Anda di halaman 1dari 18

PARADIGMA KESEJAHTERAAN

(Makalah Dipresentasikan pada Mata Kuliah Teori Pembangunan)

OLEH

KELOMPOK 3

REGYTA JULIANI

NURAIN HASANUDIN

SYAFIGA NURCAHYANI GOBEL

MOH.RIFAI SILAMA

RAHMAT REIZAL LOLEH

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “PARADIGMA KESEJAHTERAAN” untuk pemenuhan tugas
mata kuliah Teori Pembangunan dengan baik.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima


kasih yang tak terhingga kepada anggota-anggota kelompok yang mau
bekerja sama dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami
sebagai manusia menyadari bahwa masih ada kelemahan dan kekurangan
dalam pembuatan makalah ini. Demikian makalah ini terima kasih.

Gorontalo,01 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................3

2.1 Paradigma Kesejahteraan (Walfare Paradigm).................................4


2.2 Paradigma Kesejahteraan di Indonesia.............................................5
2.3 Pendekatan Paradigma Kesejahteraan..............................................7
2.4 Dampak Paradigma Kesejahteraan...................................................10
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................12

A. Simpulan.....................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seperti kata Jones, tujuan pembangunan Kesejahteraan Sosial yang


pertama dan utama adalah penangulangan kemiskinan dalam segaal bentuk
manifestasinya. Maknanya, meskipun pembangunan kesejahteraan sosial
dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya
adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka
yang termasuk kelompok kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti
orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan,
pekerja anak, orang dengan kemampuan berbeda (difabel), serta kelompok
rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi sosial,
bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial, dan penguatan
kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh program pembangunan
kesejahteraan sosial.
Di negara-negara maju, terutama yang menganut ideologi
‘kesejahteraan negara’ (welfare state), pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin
hak-hak dasar warga negara. Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara
de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara,
implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak
terlantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan beragam
tantangan. Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham neo-
liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal finansial,
dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran
dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang
mengedepankan keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan kapasitas

1
2

sumberdaya manusia. Desentralisasi yang terutama digerakan oleh


globalisasi pada arah internasional dan reformasi pada arah nasional,
mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial
di daerah.
Kesejahteraan dan keadilan merupakan kata kunci dari sebuah
bangunan masyarakat sipil (civil society) yang gilang-gemilang. Dalam
membangun masyarakat seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya
pemenuhan hak sipil dan politik, tetapi juga pemenuhan hak ekonomi, sosial,
dan budaya. Memang kedengarannya merupakan hal mudah untuk
mewujudkannya, apalagi bila diukur dari keberhasilan perjuangan
masyarakat sipil (civil society) dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru
tahun 1998. Dalam kenyataannya tidaklah demikian, meski proses
demokratisasi telah bergulir cepat, tapi di sisi lain proses melemahnya
birokrasi negara menjadi lahan empuk masuknya globalisasi. Ini berimplikasi
pada pemotongan pengeluaran pemerintah untuk pelayanan sosial, seperti
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk
safety-net bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk
infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, dan air bersih. Untuk mengatasi
masalah ini, tidak bisa dibebankan kepada birokrasi pemerintah saja, atau
pada elemen masyarakat sipil (civil society) saja. Sudah saatnya ada
kerjasama nyata diantara keduanya dalam mewujudkan kesejahteraan dan
kegemilangan bersama. Untuk itu, posisi masyarakat sipil (civil society) perlu
digeser untuk lebih berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen)
terhadap peran yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Pada saat yang
sama, birokrasi pemerintah juga menjadi pemerintahan yang civilian
government.
Paradigma Pertumbuhan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang
bersifat agregat. Paradigma Kesejahteraan fokus pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Masalahnya apa yang dimaksud dengan
3

kesejahteraan tidak ada persamaan diantara para pakar. Untuk itu, dalam
kategori paradigma kesejahteraan tercakup sub paradigma yang bervariasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Paradigma Kesejahteraan di Indonesia?
2. Apa saja Pendekatan yang digunakan dalam Paradigma
Kesejahteraan?
3. Apa dampak dari Paradigma Kesejahteraan?
1.3 TUJUAN
1. Mendeskripsikan Paradigma Kesejahteraan di Indonesia
2. Mengklasifikasikan pendekatan yang digunakan dalam Paradigma
Kesejahteraan
3. Menginformasikan dampak dari Paradigma Kesejahteraan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PARADIGMA KESEJAHTERAAN (WELFARE PARADIGM)
Pada awal dasawarsa 1970 – an muncul pemikiran baru dalam
pelaksanaan pembangunan yaitu paradigma kesejahteraan (welfare
paradigm) yang orientasinya ingin mewujudkan peningkatan kesejahteraan
rakyat dan keadilan sosial dalam waktu sesingkat mungkin. Pada periode
dasawarsa pembangunan kedua (1971-1980) pelaksanaan pembangunan
dengan strategi pertumbuhan ekonomi bergeser menjadi orientasi 8
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth and equity of strategy
development) menuju industrialisasi dengan strategi pertumbuhan ekonomi
sebesar 6% pertahun dengan tujuan pemerataan pembangunan di bidang
pendapatan, kesehatan, keadilan, pendidikan, kewirausahaan, keamanan,
kesejahteraan social termasuk pelestarian dan penyelamatan lingkungan dari
kerusakan.
Dalam dasawarsa ini ternyata juga belum mampu merubah
ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju ditandai dengan
ketergantungan investasi, bantuan dan pinjaman luar negeri. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan dengan orientasi pada
pertumbuhan ekonomi menjadikan paradigma pertumbuhan menjadi semakin
dominan. Akan tetapi keberhasilan itu tidak terlepas dari berbagai resiko
negative yang terjadi. Sebagaimana dinyatakan oleh Tjokrowinoto (1999:10)
bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu
yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.
Selanjutnya muncul gagasan baru dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keberlanjutan pembangunan yaitu pembangunan
berkelanjutan(sustained development).

4
Strategi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) ini
belajar dari pengalaman pelaksanaan pembangunan pada dasawarsa ketiga

5
5

dengan munculnya konsep tata ekonomi dunia baru sebagai upaya


perbaikan sosial ekonomi negara berkembang dengan strategi pertumbuhan
ekonomi sebesar 7% pertahun. Pada dasawarsa ini pusat perhatian proses
pembangunan berkaitan dengan masalah kependudukan yang meningkat
pesat (population boom), urbanisasi, kemiskinan, kebodohan, partisipasi
masyarakat, organisasi sosial politik, kerusakan lingkungan dan masyarakat
pedesaan. Dalam dasawarsa ini masih menghadapi masalah yakni
pelaksanaan pembangunan tidak berdemensi pada pembangunan manusia,
sehingga pada gilirannya berpengaruh pada timbulnya masalah ketidak
adilan, kelangsungan hidup dan ketidak terpaduan pembangunan.
2.2 PARADIGMA KESEJAHTERAAN di INDONESIA
Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari
zaman orde baru yang mana pembangunan dilaksanakan secara sentralistik
yang berarti pembangunan dari atas kebawah. Saat era reformasi paradigma
tersebut berubah menjadi pembangunan yang berazaskan desentralisasi
yang berarti pembangunan dilakukan dari bawah ke atas (bottom-Up). Hal ini
disahkan melalui undang-undang otonomi daerah yang direvisi sebanyak 2
kali yaitu undang-undang no 22 tahun 1999 menjadi undang-undang no 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta undang-undang no 25 tahun
2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Azas
desentralisasi merupakan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah
memiliki hak untuk mengurusi rumah tangganya sendiri dengan
memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (welfare society).
Dengan ini diharapkan pemerintah daerah dapat menangkap
permasalahan pembangunan yang begitu kompleks di daerahnya masing-
masing. Pemerintah daerah dapat menyerap aspirasi masyarakat dari bawah
untuk perencanaan pembangunan daerahnya sesuai dengan kebutuhan
daerah serta yang terintegrasi dengan pembangunan nasional. Berbeda
6

dengan yang dilaksanakan selama masa pembangunan yang sentralistik.


Instansi-instansi sektoral di daerah hanya menjadi perpanjangan instansi-
instansi ditingkat pusat sehingga pembangunan yang dilaksanakan kurang
sesuai atau tidak dibutuhkan oleh daerah tersebut. Tentu saja pembangunan
seperti ini akan menjadi tidak efektif dan efisien.
Perencanaan pembangunan dilakukan dari masyarakat paling bawah.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan yang
akan dilaksanakan demi tercapainya suatu pembangunan yang berorientasi
kepada kesejahteraan masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat
dilaksanakan melalui musyawarah perencanaan pembangunan tingkat
kelurahan hingga tingkat nasional. Perencanaan pembangunan penting
dilakukan agar pembangunan menjadi terarah dan teroganisir demi mencapai
tujuan pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat baik sekarang maupun masa yang akan datang dengan
memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan
keamanan serta lingkungan.
Perencanaan pembangunan ekonomi dilaksanakan untuk percepatan
pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi disparitas dan mengurangi
kemiskinan. Pembangunan sebagai suatu proses multidimensional yang
melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial. Perubahan
tersebut di dalamnya juga termasuk percepatan atau akselerasi ekonomi,
pengurangan ketimpangan pendapatan, dan pemberantasan kemiskinan
absolut (Todara, 1987). Dengan adanya pertumbuhan ekonomi pemerintah
daerah dapat berjalan dengan efektif dan efisien sehingga pemerintah daerah
dapat mandiri. Pemerintah daerah dapat mengurangi ketergantungan dari
pemerintah pusat dengan mengoptimunkan sumber daya yang ada.
Setiap daerah memiliki potensi serta struktur ekonomi yang berbeda-
beda. Pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan ekonomi harus
mengidentifikasi potensi-potensi sumber daya yang ada. Potensi daerah
7

merupakan daya saing daerah dengan daerah lain yang dapat dikembangkan
untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah
daerah harus melakukan perencanaan pembangunan ekonomi agar dapat
mendongkrak laju pertumbuhan ekonominya.
2.3 PENDEKATAN PARADIGMA KESEJAHTERAAN
1. Paradigma Wawasan Indikator Sosial
Paradigma ini Lahir dari ketidakpuasan terhadap paradigma
pertumbuhan. Paradigma pertumbuhan tidak dapat mengungkap
penduduk di bawah garis kemiskinan. Indikator paradigma
pertumbuhan seperti pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per
kapita tidak dapat merefleksikan apa yg dialami kaum miskin. Tidak
menolak paradigma pertumbuhan, tetapi melengkapi economic
accounting dengan social accounting. Objek yg dipantau wawasan
indikator sosial adalah kesejahteraan (welfare), well being atau
happiness, yg berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Overseas Development Council, memperkenalkan ukuran
kesejahteraan yg disebut Physical Quality of Life Index (PQLI), yg
meliputi : (1) angka kematian bayi (infant mortality rate). (2) Harapan
hidup pada bayi berumur satu tahun (life expectancy at age one),(3)
Tingkat kemampuan membaca dan menulis (basicliteracy) (Morris,
1979)
2. Pendekatan Kebutuhan Pokok (Basic Needs Approach)
Reaksi atas kegagalan paradigma pertumbuhan dalam
meningkatkan Kesejahteraan. Paradigma pertumbuhan diterapkan
pada struktur politik dan system ekonomi internasional yg timpang
dan berat sebelah dan gagal menjangkau penduduk miskin.
Kelompok miskin semakin tertinggal dalam gerak laju pembangunan
nasional. Laporan Bank Dunia yang dimuat dalam World
Development, 1978, telah meramalkan bahwa pada tahun 2000 lalu
8

penduduk dunia yang secara absolut berada di bawah garis


kemiskinan 600 juta jiwa dan 540 juta jiwa berasal dari negara-
negara berkembang.
Kegagalan tadi kemudian memunculkan paradigma Basic
Needs Approach atau Basic Needs Strategy yang merupakan
prakarsa dari Barrilocke Foundation di Argentina pada 1974. Mereka
berkesimpulan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok secara merata
bagi setiap manusia merupakan prasyarat bagi peningkatan mutu
kehidupan. Sebagai suatu konsep, pendekatan BNA telah menguasai
pemikiran para ilmuan dan pakar pada tahun 1960-an, tetapi baru
pada sekitar tahun 1970-an mendapat perhatian yang luas. Tahun
1959, Hatta dalam pidato di kongres ISEI menegaskan tentang
perlunya pemenuhan kebutuhan pokok untuk mewujudkan keadilan
sosial.
Pada tahun 1979, Gunnar Myrdal, dalam bukunya Asian
Drama, telah menegaskan tentang perlunya pemenuhan kebutuhan
pokok. Lebih jauh Myrdal mengatakan,” Agar sasaran pembangunan
yang berupa realisasi potensi kepribadian manusia dapat tercapai,
maka syarat minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok harus
terlebih dahulu dipenuhi.” Barulah tahun 1976, dalam konferensi ILO
di Geneva yang dikenal dengan The World Employment Conference,
ide kebutuhan pokok mendapat perhatian yg sangat luas. Pada
konferensi ini, Richard Jolly, mengemukakan tentang pokok-pokok
baru tentang kebutuhan pokok dalam makalahnya,”World
Employment Conference the Enthronement of Basic Needs.”
Makalah Jolly mengilhami ILO tentang kebutuhan pokok.
Konferensi ILO tadi akhirnya berkesimpulan bahwa :
1. Konsep kebutuhan pokok mencakup 2 hal, yaitu, (1) konsumsi
minimum untuk keluarga, seperti sandang, pangan, papan,
9

pendidikan, kesehatan, dan (2) pelayanan publik untuk


komunitas pada umumnya, seperti sumber air bersih,
transportasi, listrik, dsb.
2. Konsep kebutuhan pokok merupakan konsep yg country
specific dalam arti bahwa ukuran-ukuran kebutuhan pokok
antara negara yang satu dengan negara yang lain tidaklah
sama.
3. Konsep kebutuhan pokok merupakan konsep yang dinamis.
Artinya ukuran tentang kebutuhan pokok dalam satu negara
bisa berbeda antara periode yang satu dengan yang lain.
4. Kebutuhan pokok tidak boleh diartikan sebagai sekedar
pemenuhan kebutuhan subsistensi (nafkah hidup-sekedar untuk
menyambung hidup).
5. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok tadi perlu didorong
partisipasi masyarakat.
6. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, perlu didorong
pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam dokumen ILO yg berjudul, “Development, Growth and Basic
Needs : A One World Problem,; disimpulkan bahwa kebutuhan manusia tidak
dipenuhi jika pendapatannya rendah sebagai akibat dari pengangguran.
Karenanya, ILO meletakkan 3 sasaran utama dalam kerangka pemikiran
kebutuhan pokok tadi, yaitu:
1) Membuka lapangan kerja,
2) Meningkatkan pertumbuhan, dan
3) Memenuhi kebutuhan pokok.
Pendekatan kebutuhan pokok yg dirumuskan ILO memiliki pengaruh besar
terhadap kebijakan pembangunan berbagai negara.
3. Redistribusi dengan pertumbuhan (Redistribution with Growth)
10

Hollis Chenery, “Paradigma pertumbuhan menjadi penyebab ketimpangan.


Paradigma pertumbuhan mengakibatkan terjadinya konsentrasi kekuasaan
dan kekayaan pada beberapa negara maju dan golongan masyarakat.”
Mengatasinya melalui paradigma redistribusi dengan pertumbuhan
(redistribution with growth). Intinya adalah : Disarankan agar negara-negara
kaya mentransfer 2% dari GNP-nya per tahun kepada Negara-negara
miskin, adanya transfer resources dari lapisan atas ke lapisan bawah.
Misalnya melalui penerapan pajak progressif.
2.4 DAMPAK PARADIGMA KESEJAHTERAAN
Wawasan indikator social memberikan pengaruhnya di Indonesia.
Pada tahun 1974, di Indonesia Indikator Sosial terdiri atas 10
komponen dan 115 indikator (Esmara, 1986, pp. 382-385). Komponen
tersebut mencakup :
a) Kependudukan, KB, dan Transmigrasi
b) Kesehatan
c) Gizi
d) Tenaga Kerja dan Koperasi
e) Pendidikan dan Kebudayaan,
f) Kesejahteraan social
g) Perumahan
h) Keamanan dan ketertiban
i) Agama
j) Umum
Dalam perkembangannya, tahun 1983, Indikator Sosial berubah menjadi
Indikator Kesejahteraan Rakyat (IKR). IKR terdiri atas 6 komponen dan 83
indikator. Komponen tersebut adalah:
1) Penduduk, KB dan migrasi
2) Pendidikan,Sosial dan Budaya
3) Kesehatan, gizi dan konsumsi RT
11

4) Angkatan kerja
5) Kamtibmas
6) Perumahan dan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Pada awal dasawarsa 1970 – an muncul pemikiran baru dalam
pelaksanaan pembangunan yaitu paradigma kesejahteraan (welfare
paradigm) yang orientasinya ingin mewujudkan peningkatan
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu sesingkat
mungkin. Pada periode dasawarsa pembangunan kedua (1971-1980)
pelaksanaan pembangunan dengan strategi pertumbuhan ekonomi
bergeser menjadi orientasi 8 pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan (growth and equity of strategy development) menuju
industrialisasi dengan strategi pertumbuhan ekonomi sebesar 6%
pertahun dengan tujuan pemerataan pembangunan di bidang
pendapatan, kesehatan, keadilan, pendidikan, kewirausahaan,
keamanan, kesejahteraan social termasuk pelestarian dan penyelamatan
lingkungan dari kerusakan.
Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran
dari zaman orde baru yang mana pembangunan dilaksanakan secara
sentralistik yang berarti pembangunan dari atas kebawah. Saat era
reformasi paradigma tersebut berubah menjadi pembangunan yang
berazaskan desentralisasi yang berarti pembangunan dilakukan dari
bawah ke atas (bottom-Up). Hal ini disahkan melalui undang-undang
otonomi daerah yang direvisi sebanyak 2 kali yaitu undang-undang no 22
tahun 1999 menjadi undang-undang no 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah serta undang-undang no 25 tahun 2004 tentang
sistem perencanaan pembangunan nasional.

12
DAFTAR PUSTAKA
Hutahaean Marlan.2016.Paradigma Kesejahteraan
(https://docplayer.info/48329933-Paradigma-kesejahteraan.html)
diakses pada 01 April 2020
Suharto Edi.2005. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Pusaran
Desentralisasi dan Good Governance

(http://www.policy.hu/suharto/Naskah
%20PDF/UINYogyaParadigmaKesos.pdf ) diakses pada 01 April 2020
Paradigma Pembangunan
(http://ocw.usu.ac.id/course/download/10580000048-institusi-dan-
kebijakan-pembangunan
kota/tka_574_slide_paradigma_pembangunan.pdf ) diakses pada 01
April 2020

Anda mungkin juga menyukai