Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa, budaya dan masyarakat merupakan tiga unsur kesatuan yang erat berpadu.

Ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketiadaan yang satu akan menyebabkan

ketiadaan yang lainnya. Budaya dan masyarakat adalah hal yang tidak dapat terpisahkan. Dimana

ada masyarakat disitu pun ada budaya, demikian sebaliknya. Dalam kaitannya dengan hal

tersebut, sosok bahasa menjadi hal terpenting. Di dalam sebuah wadah masyarakat pasti hadir

entitas bahasa. Demikian pula, entitas bahasa itu pasti akan hadir jika masyarakatnya ada. Sosok

bahasa pasti akan selalu berkaitan erat dengan dimensi-dimensi kompleks masyarakat yang

menjadi wadahnya. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi atau berinteraksi

dengan sesamanya dalam melangsungkan hidup sebagai mahluk sosial. Masyarakat tidak

mungkin dapat berjalan tanpa bahasa, begitu juga sebaliknya bahasa tidak akan ada jika tidak ada

masyarakat. Karena bahasa yang dipergunakan pun merupakan sesuai kesepakatan bersama

masyarakat tersebut. Bahasa berperan sebagai penanda (signifier) eksistensi budaya dari

masyarakat yang bersangkutan sebagai petanda (signified). Bahasa yang ada di dalam

masyarakat menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun sehingga menjadi suatu ciri

khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, bahasa, masyarakat dan budaya, ketiganya saling berpautan

dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

1
Masyarakat yang maju budayanya pasti juga akan berkembang baik entitas bahasanya.

Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakatnya. Maka, bahasa sering pula

disebut sebagai cerminan masyarakatnya. Jadi, selain sebagai penanda keberadaan bagi budaya,

bahasa juga merupakan cermin bagi keberadaan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa sering

dikatakan pula bahwa bahasa hampir pasti menunjukkan sikap bangsanya. Pada bangsa yang

maju, bahasanya juga maju, tertata dan bermartabat.

Berbicara mengenai kebudayaan, tidak bisa kita pungkiri bahwa kenyataan menunjukkan

bahwa kebudayaan nasional termasuk hal yang rumit. Terkait dengan masalah kebudayaan

nasional, sepatutnya perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemiliknya bangsa

Indonesia. Betapa pentingnya penekanan perhatian terhadap kebudayaan itu akan lebih terasa

jika dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa kebudayaan nasional Indonesia, terutama bahasa

Indonesia merupakan sebuah lambang identitas nasional bangsa Indonesia yang terdiri dari

berbagai macam suku budaya dengan memiliki beraneka ragam unsur kebudayaan daerah.

Kebudayaan nasional tersebut masih berada dalam taraf mencari bentuk dan harus sangat

diperlukan adanya pembinaan dan pengembangan.

Usaha pembinaan dan pengembangan itu akan menjadi lebih terarah apabila alat

budayanya sudah ada yakni bahasa. Bahasalah yang menjadi wujud nyata lambang alam pikiran

bagi manusia sebagai pemilik budaya yang bersangkutan. Karena itu sosok bahasa sangatlah

menentukan dalam melaksanakan usaha pembinaan dan pengembangan budaya tersebut. Dari

sinilah terlihat bahwa pengembangan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia berfungsi sebagai

alat pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional karena kondisi bahasa Indonesia yang

memadai kepentingan budaya dan sangat menunjang kepentingan pembinaan dan pengembangan

sebagai alat pewarisan nilai-nilai kebudayaan nasional tersebut.

2
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam dua era sekaligus, yaitu era

globalisasi dan otonomi daerah. Kedua era ini telah mempengaruhi peran bahasa-bahasa di

Indonesia. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia kini telah terjadi berbagai

perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, perkembangan

teknologi informasi maupun sebagai akibat tatanan ekonomi dunia baru. Arus globalisasi telah

menimbulkan evolusi pendidikan, teknologi, pengetahuan, demografis dan hal-hal yang tidak

dapat diduga. Bahasa Indonesia yang kini kian terpuruk seperti sekarang tentu juga dapat

dijadikan penanda bagi eksistensi budaya dan masyarakat Indonesia, yang sepertinya kian

tergerus jatuh dalam keterpurukan. Budaya dan masyarakat Indonesia yang kian karut-marut oleh

aneka terpaan intrik dan masalah sosial, ekonomi, politik, primordialitas, dan lain-lain yang

semakin tidak terarah perkembangannya. Semua evolusi itu dapat memberikan dampak bagi

perkembangan Bahasa di Indonesia.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebagian besar bangsa Indonesia. dan

yang menjadi bahasa pertama adalah bahasa daerah mereka masing-masing. Maka dari itu

terdapat kemungkinan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak menggunakan

bahasa daerah dan hanya menggunakan bahsa Indonesia hanya untuk komunikasi tertentu saja.

Bahasa Indonesia memiliki ragam atau laras bahasa yang banyak sekali jumlahnya.

Perkembangan penggunaan bahasa Indonesia dalam pemakaian kontemporer seperti yang

terjadi saat ini sepertinya justru semakin memperjelas bahwa bahasa Indonesia ternyata

bermanifestasi pula dalam berbagai bentuk kebahasaan. Persoalan yang cukup serius sekarang ini

muncul karena terhadap ragam-ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya tersebut cenderung

banyak orang mencampur-adukannya. Dapat kita lihat sebagai contoh di dalam dunia periklanan,
3
yang dengan adanya inovasi dan kreativitas yang mendukung seakan-akan berhasil melahirkan

bentuk-bentuk kebahasaan baru. Dalam banyak hal pula, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-

hari banyak kaum muda termasuk kaum pelajar yang menggunakan kata-kata bahasa Indonesia

baik pengucapan maupun penulisannya dimodifikasi menjadi istilah yang dikenal dengan

“bahasa gaul”. Di era globalisasi seperti yang terjadi saat ini, minat para kaum terpelajar untuk

mempelajari bahasa Indonesia menurun. Mereka lebih berminat untuk mempelajari bahasa asing

seperti bahasa Inggris yang dituntut oleh kemajuan zaman global. Banyak orang Indonesia yang

belajar dan menggunakan bahasa asing dengan baik tetapi mereka menguasai bahasa Indonesia

apa adanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan bahasa asing terutama bahasa Inggris juga

begitu penting agar tidak menjadi manusia yang ketinggalan oleh tuntutan zaman. Namun, kita

harus lebih dahulu menguasai bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lainnya karena

bahasa Indonesia merupakan dasar untuk mempelajari bahasa yang lainnya.

Dewasa ini, melihat perkembangan bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang cukup pesat. Peran bahasa Indonesia dan Bahasa asing perlu dirumuskan

kembali seiring dengan era globalisasi sedangkan peran bahasa daerah pun perlu

dipertimbangkan kembali seiring dengan otonomi daerah. Dalam kaitannya dengan hal itu, mutu

bahasa, terutama bahasa Indonesia dan bahasa daerah perlu ditingkatkan mutunya dan

dikembangkan kemampuan daya ungkapnya untuk lebih memberdayakan sumber daya manusia

di samping dapat terus terpelihara. Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, sudah

sepantasnya bahasa Indonesia itu dicintai dan dijaga. Memang inilah yang perlu diperhatikan

dalam membina dan mengembangkan bahasa. Membangun sikap berbahasa yang baik dan benar

menjadi tolak ukur, setidaknya untuk melambatkan laju verbalisme bahasa. Tanpa adanya sikap

berbahasa yang baik dan benar, akan mustahil bahasa Indonesia dapat bertahan baik dalam arus

4
global yang belum sepenuhnya diglokalisasikan ini. Bahasa Indonesia yang tidak baik niscaya

akan akan menjadi penanda eksistensi budaya dan masyarakat Indonesia yang tidak kukuh pula.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan penulis kaji dalam makalah ini tentang Bahasa

Indonesia Dalam Teori Linguistik Di Era Globalisasi adalah sebagai berkut :


1. Bagaimana perkembangan bahasa Indonesia dari awal kemunculannya

hingga saat ini?


2. Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia?
3. Bagaimana bahasa Indonesia mempertahankan jati dirinya di tengah-

tengah arus globalisasi ini?


4. Apakah peluang yang mendukung pembinaan bahasa Indonesia dalam

rangka mempertahankan jati diri bahasa Indonesia?


1.3. Tujuan Penulisan
Salah satunya untuk memenuhi tugas mata kuliah Indonesian writing. Adapun tujuan

yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui seluk beluk perkembangan bahasa Indonesia
2. Mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
3. Menyikapi pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar untuk

mempertahankan jati dirinya dalam perkembangan globalisasi


4. Membina dan mengembangkan Bahasa Indonesia dalam rangka

mempertahankan jati diri Bahasa Indonesia

1.4. Manfaat Penulisan


1. Manfaat praktis yaitu, supaya bangsa Indonesia dapat mengembangkan

dan membina bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bahasa Indonesia.
2. Manfaat teoritis yaitu, program pembinaan dan pengembangan bahasa

Indonesia dapat membina dan mengembangkan masyarakat sehingga dapat

mencerminkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia dalam berbahasa.

1.5. Metode penulisan


Karya tulis ilmiah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan
5
permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoretis karya tulis

ilmiah ini dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan, artinya penulis

mengambil data melalui kegiatan membaca dari berbagai sumber literature, buku, artikel

jurnal yang relevan dengan tema karya tulis ilmiah. Data tersebut diolah dengan teknik

analisis melalui kegiatan mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut

dengan tema karya tulis ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Relativitas Bahasa dan Relativitas Budaya

Dalam dua bab terakhir dari bukunya Language, Sapir (1921) membahas kaitan tidak

langsung antara bahasa dan budaya, serta kekhasan bentuk sastra yang tergantung pada kekhasan

struktur bahasa yang menjadi wahananya. Di masa kejayaan aliran Strukturalisme Amerika,

relativitas bahasa dinyatakan oleh Joos (1957: 96) sebagai berikut, “Languages could differ from

each other without limit and in unpredictable ways”. Secara lebih ringkas, Moulton (periksa

6
Rivers 1981: 43) menyarikannnya, “Languages are different”. Dalam aliran Strukturalisme

Amerika, perbedaan lintas bahasa yang dinyatakan oleh Joos maupun Moulton terutama meliputi

perbedaan struktur bahasa pada tingkat fonetik, fonemik, morfemik, dan sintaktik. Kuatnya

keyakinan terhadap relativitas bahasa tersebut mendorong munculnya gagasan tentang analisis

kontrastif dalam pengajaran bahasa asing, yang dipelopori oleh Fries (1945) dan kemudian

dipopulerkan oleh Lado (1964). Artinya, relativitas bahasa, yang merupakan kesimpulan analisis

linguistik murni, jadi menonjol secara amat jelas di bidang linguistik terapan: every language is

structurally unique.

Keterkaitan antara relativitas bahasa dan budaya tampak pada hasil kajian antropologi

budaya, misalnya tentang tingkat tutur bahasa Jawa. Meskipun Uhlenbeck (1978) telah meneliti

berbagai aspek bahasa Jawa sejak dasawarsa 1950an, tingkat tutur bahasa Jawa dikenal oleh para

pakar sosiolinguistik dan pragmatik. (periksa Brown dan Levinson 1987, Levinson 1983, dan

Trudgill 1983) terutama melalui karya Geertz (1960), The Religion of Java. Tingkat tutur dalam

bahasa Jawa, demikian pula dalam bahasa Bali, Madura, dan Sunda merupakan sebuah contoh;

bagaimana nilai kesantunan budaya secara eksplisit terungkap pada kesantunan bahasa

(Poedjosoedarmo et al. 1979:8). Tingkat tutur bahasa Jawa akan dibahas lebih lanjut di bawah

sub-topik “leksikalisasi”. Pakar sosiolinguistik Hudson (1980: 80-94) menjelaskan bahwa bahasa

tercakup dalam budaya. Oleh karena itu, tuturan dalam komunikasi verbal sering mencerminkan

secara langsung maupun tak langsung, nilai-nilai budaya yang dianut oleh penutur suatu bahasa.

Model yang dikemukakan oleh Hudson adalah gambaran tentang langue yakni konsep

Saussurean yang terkenal itu dilingkupi oleh ranah budaya.

Berbicara tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya di awal abad ke-21 adalah

meninjau topik lama dengan cara pandang yang baru. Kini gagasan tentang relativitas bahasa

7
muncul kembali sebagai reaksi terhadap ide universalitas bahasa yang ditonjolkan secara

berlebihan melalui pendekatan formal (Gumperz and Levinson 1966). Pahama tentang

universalitas bahasa dipicu oleh istilah “Gramatika Semesta” atau “Universal Grammar” (UG),

yang secara eksplisit dikemukakan oleh Chomsky dalam Aspects (1965). Dalam teori generatif

klasik ini, UG masih ditafsirkan sebagai sejumlah prinsip kebahasaan yang bersifat umum, yang

terdapat pada setiap bahasa. UG is a set of general linguistic principles available in particular

grammars. Bersamaan dengan terjadinya perkembangan dan perubahan teoritis dalam aliran

Linguistik Generatif, penjelasn tentang UG menjadi tujuan utama. Dalam Teori GB (Chomsky

1981) maupun Teori Minimalis (Chomsky 1995), UG adalah nama baru bagi LAD (Language

Acquisition Device). UG is “the set of linguistic principles we are endowed with at birth in

virtue of being human” (Smith 1999: 42). Dalam paradigm Chomskyan, universalitas bahasa

terutama bertumpu pada formal universals, yaitu prinsip-prinsip kebahasaan yang diklaim

bersifat universal dan secara bersama-sama membentuk UG. Perlu diingat dalam teori Chomsky,

sintaksis bersifat sentral. Maka tidak mengejutkan jika formal universals sebagian besar

merupakan kaidah-kaidah sintaksis.

Bagi Chomsky, language is a mirror of the mind. Linguistic Generatif adalah linguistic

bebas konteks, pendekatannya bersifat mentalistik-formal, dan tujuannya adalah mencari dan

merumuskan kaidah-kaidah universal. Sebaliknya, bagi pakar linguistic yang memperhatikan

pentingnya konteks dan aspek sosial dan kultural, language is a mirror of the society atau a

mirror of the culture. Dalam Tarik ulur ini, menarik sekali bagaimana Lavendera (1998:1)

melihat paradoks yang mendorong pertumbuhan kembali relativitas bahasa.

It does not seem far-fetched to hold Chomsky indirectly responsible for the accelerated

development in sociolinguistics and ethnolinguistics at the end of the 1960s and for the emphasis

8
laid upon pragmatics and discourse analysis in the mind 1970s. Paradoxical as it may seem, his

revival of the Saussurean langue-parole dichotomy (under the name “competence” and

“performance”), and even more important, his assertion of the auto-nomy of syntax, sparked

renewed interest in the study of language in its sociocultural context.

Karena keterangan Chomsky dalam mempertahankan sentralitas dan otonomi sintaksis,

maka muncullah pragmatic, analisis wacana, sosiolinguistik dan etnolinguistik yang seluruhnya

tertarik untuk mempelajari bahasa dalam konteks interpersonal atau sosiokultural.

Berbicara mengenai relativitas bahasa dan relativitas budaya dalam kaitannya

menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan Sapir-Whorf, yang dalam hipotesisnya

menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita

miliki. Kedua, pendekatan Hudson, yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut

akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan kita. Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan

pemikiran Saussurean tentang penanda (Signifier) dan petanda (Signified), dengan menambahkan

konsep mutakhir berupa leksikalisasi, gramatisasi dan verbalisasi.

Bagi pendekatan yang melihat bahasa sebagai cermin masyarakat atau cermin budaya, definisi

bahasa yang sesuai adalah paduan antara definisi Sapir (1921: 8) dan definisi Francis (1958: 13).

Language is a system of arbitrary vocal or visual symbols used by people of a given

culture as a means to carry on their daily affairs. (Bahasa adalah sistem verbal atau visual bersifat

manasuka, yang digunakan oleh sekelompok penutur dengan budaya tertentu, sebagai alat

komunikasidalam kehidupan mereka sehari-hari).

Definisi ini mengaskan bahwa bahasa merupakan entitas budaya, dan menyarankan

bahwa konsep-konsep budaya mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas melalui

9
ekspresi bahasa. Sejak kita mengenal pemikiran Ferdinand De Saussure (1916 [1959]), kita

setuju bahwa bahasa bukanlah name-giving. Artinya, berbahasa bukan berarti memberikan nama-

nama pada benda belum bernama. Setiap kata, menurut de Saussure, adalah sebuah tanda yang

arbitrer (arbitrary sign) yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam

istilah yang lebih kita kenal, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna. Dalam konteks

ini, istilah “leksikalisasi” berarti kehadiran makna dan bentuk secara serempak sebagai kata

seperti (misalnya, kata ibu, yang terdiri dari bentuk atau bunyi [ibu] dan makna’orang tua

perempuan’); dan “gramatisasi” berarti kehadiran konsep dan bentuk gramatikal secara serempak

sebagai penanda gramatik (misalnya, sufiks -s pada kata chair-s, yang berarti ‘lebih dari satu’).

2.2. Definisi Bahasa

1. Menurut Barber dalam bukunya yang berjudul The Story of Language (1964-:21)

mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang berhubungan dengan lambang

bunyi- bunyi suara dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk berkomunikasi

dan bekerja sama.


2. Menurut Wardhaugh dalam bukunya yang berjudul An Introduction to

Linguistics (1977:3) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi suara

yang arbitrer, yang digunakan untuk berkomunikasi antarmanusia.


3. Menurut Badudu dalam bukunya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia yang

Benar III (1989:3) mengatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi

anggota masyarakat yaitu individu- individu sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan

10
berkeinginan. Pikiran, perasaan, dan keinginan baru berwujud bila dinyatakan, dan alat

untuk menyatakan adalah bahasa.


4. Menurut Trager dalam bukunya yang berjudul The Field of Linguistics (1949:18)

mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol- simbol bunyi ujaran yang arbitrer yang

digunakan oleh anggota masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan

keseluruhan pola budaya mereka.


5. Menurut Sapir dalam bukunya yang berjudul Language (1921:80)

mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampai ide, perasaan, dan

keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan mempergunakan sistem

simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan sukarela.


6. Menurut Saussure dalam bukunya yang berjudul Course in General Linguistics

(1966:16)

mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengapresiasikan ide- ide dan

oleh sebab itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, alfabet orang- orang yang bisu-

tuli, upacara- upacara simbolis, formula-formula yang bersifat sopan, isyarat- isyarat dan

sebagainya. Akan tetapi, bahasa adalah sistem tanda yang paling penting dari semua

sistem tanda itu.


7. Menurut Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982) mengatakan

bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para

anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”.

(Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta)


8. Selain itu, bahasa adalah bunyi suara, bersifat arbitrer, manusiawi, berhubungan

dengan suara dan pendengaran, konvensional, dan bersistem.

(Hakikat Bahasa_Drs. Robert Sibarani,M.S)

11
2.3. Definisi Ilmu Bahasa (Linguistik)

Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi

ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English

(2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:

“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar,

syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics,

dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and

structural linguistics.”

1. Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu atau sains manusia yang

mencoba mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh,

bagaimana bahasa itu bekerja dan bagaimana bahasa itu berkembang. (Simanjuntak,

Mangantar. 1987. Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa

dan Pustaka Kementrian Pelajar Malaysia)


2. Linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori

bahasa dan deskripsi (pemerian) bahasa. Linguistik adalah ilmu atau studi bahasa yang

mempelajari secara ilmiah tentang hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu

diperoleh dan bagaimana bahasa itu bekerja, serta bagaimana bahasa itu berkembang.

(Yudibrata, Karna H, dkk. 1997. Psikolinguistik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D-III)


3. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; dalam arti; salah satu ilmu yang berurusan

dengan bahasa dengan mengambil bahasa dalam arti harafiah (bahasa tutur sehari-hari)

12
sebagai objek sasarannya objek sasaran yang dikhususkan. (Sudaryanto. 1985. Linguistik

Esai Tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu).

Penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis di Amerika sekitar tahun 1940-

an (William G. Moulton dalam Kroeber, 1958). Oleh para ahlinya, linguistik dikatakan

membantu pengajaran bahasa dalam: (1) menentukan deskripsi bahasa yang akan diajarkan (2)

memilih materi bahasa yang akan diajarkan, (3) memberi pedoman tentang cara penganalisaan

materi bahasa yang diajarkan itu (Hodge, 1963).

Di samping linguistik (linguistik murni), studi modern pengajaran bahasa telah

memanfaatkan pula hasil-hasil linguistik terapan, yaitu linguistik yang mempelajari bahasa

dengan pendekatan dari luar diri bahasa itu sendiri. Termasuk ke dalam linguistik terapan ini

antara lain:

a. sosiolinguistik, yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan

masyarakat;
b. psikolinguistik yang meneliti hubungan bahasa dengan kehidupan kejiwaan dan
c. etnolinguistik atau linguistik antropologi yang mempelajari hubungan bahasa

dengan kebudayaan.

Dari sosiolinguistik, pengajaran bahasa memperoleh bimbingan dalam pemilihan ragam

bahasa yang tepat untuk diajarkan; dan pemilihan materi bahasa (kata, ungkapan, kalimat) yang

diterima oleh masyarakat (Oller, 1971). Dari psikolinguistik, pengajaran bahasa dapat

memanfaatkan teori-teori yang menerangkan proses kejiwaan siswa dalam belajar bahasa

(Slobin, 1971). Sedangkan dari etnolinguistik, pengajaran bahasa akan dituntun menempatkan

13
diri secara tepat di tengah-tengah kehidupan kebudayaan tempat pengajaran bahasa tersebut

dilaksanakan (Krober, 1958)

2.4. Definisi Globalisasi

Globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mendunia. Globalisasi merupakan

suatu proses menyeluruh yang tidak terikat oleh negara atau batas wilayah, dimana setiap

individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi dimanapun dan kapanpun melalui media

elektronik maupun cetak sehingga memberi kemudahan dalam menjalin komunikasi antarnegara

dalam berbagai bidang seperti pertukaran informasi dan perdagangan.

Menurut Para Pakar Indonesia


 Selo Soemardjan mengatakan globalisasi merupakan sebuah proses terbentuknya

sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti

sistem dan kaidah-kaidah tertentu yang sama.


 Achmad Suparman mengatakan globalisasi yaitu suatu proses yang menjadikan

sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dari setiap individu di dunia tanpa dibatasi oleh

wilayah.

Menurut Para Pakar Internasional

 Laurence E. Rothernberg mengatakan globalisasi ialah percepatan dari

intensifikasi interaksi dan integrasi antara orang-orang, perusahaan dan pemerintah dari

negara yang berbeda.


 Anthony Giddens mengatakan bahwa globalisasi adalah intensifikasi hubungan

sosial secara mendunia sehingga menghubungkan antara kejadian yang terjadi dilokasi

yang satu dengan yang lainnya serta menyebabkan terjadinya perubahan pada keduanya.
 Menurut Emanuel Ritcher Globalisasi adalah jaringan kerja global secara

bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi


14
kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh

dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.

Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para

penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian W. Pye, 1966).

Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi

komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui

media telah memungkinkan. Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka

ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990)

2.5. Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Globalisasi

Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay

Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber

dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu

adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa

yang digunakan di seluruh Hindia Belanda."

Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka

adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota

dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari

segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi

bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi

bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."

15
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Muh. Yamin mengatakan

bahwa: "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan

kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu

bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan

menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim (1990)

menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu,

yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang

kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS,

dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah

mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni

masalah lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya

tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya.

Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang

hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.

Berbicara mengenai identitas bangsa, pasti aka nada kaitannya dengan kebudayaan, dan

jika kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan bahasa. Itu

sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya kesadaran tentang identitas budaya,

bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas

yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material

dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari

16
sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA) daripada penggunaan

bahasa Indonesia (BI), misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap

mementingkan kegiatan tertentu, seperti demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis.

Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti

kata-kata atau istilah bahasa asing dengan kata-kata atau istilah bahasa Indonesia.

2.6. Fungsi Bahasa

Bahasa mempunyai fungsi yang beraneka ragam. Setiap pakar bahasa juga mempunyai

rumusan bahasa yang berbed-beda, sesuai dengan fokus-fokus penjelasannya. Akan tetapi,

sebelum disajikan bermacam-macam fungsi bahasa oleh banyak pakar bahasa, harus ditegaskan

terlebih dahulu bahwa fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi dan

interaksi. Bagi umat manusia, bahasa menjadi alat peranti utama dalam berkomunikasi dan

berinteraksi dengan sesamanya.

Berbicara mengenai fungsi-fungsi bahasa itu, nama Halliday, seorang linguis yang sangat

ternama sama sekali tidak dapat ditinggalkan. Lewat karyanya yang berjudul “Explortions in the

Functions of Language” Halliday (1973) menunjukkan tujuh fungsi bahasa.

Berturut-turut, ketujuh fungsi bahasa itu dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Fungsi instrumental (Instrumental function)

2. Fungsi regulasi (Regulatory function)

3. Fungsi representasional (Representational function)

4. Fungsi interaksional (Interactional function)

5. Fungsi personal (Personal function)

6. Fungsi heuristic (Heuristic function)


17
7. Fungsi imajinatif (Imaginative function)

Adapun yang dimaksud fungsi instrumental bahasa adalah bahwa bahasa itu dapat

digunkan untuk melayani lingkungannya. Bahasa juga dapat digunakan untuk menyebabkan

terjadinya peristiwa tertentu. Jadi, dengan bahasa dapat dihasilkan tindakan-tindakan

komunikatif tertentu yang juga akan menghasilkan kondisi-kondisi komunikasi tertentu pula.

Selanjutnya yang dimaksud fungsi regulatif, adalah bahwa entitas bahasa itu dapat

digunakan untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa tertentu dalam masyarakat.

Jadi, titik fokus fungsi regulatif ini adalah bahwa bahasa digunakan untuk mengatur serta

mengendalikan orang-orang sebagai warga masyarakat. Bentuk seperti ‘ke kiri jalan terus’ yang

dapat ditemukan di pelbagai persimpangan jalan, adalah manifestasi fungsi regulatif bahasa yang

disampaikan Halliday ini.

Selanjutnya fungsi representasional adalah fungsi bahasa untuk membuat pernyataan-

pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan peristiwa, melaporkan

sesuatu, dan seterusnya. Jadi, fungsi representasional bahasa ini bersifat menggambarkan atau

merepresentasikan sesuatu.

Adapun yang dimaksud dengan fungsi interaksional bahasa adalah bahwa bahasa itu

dapat digunakan untuk menjamin terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi, dan

mengukuhkan komunikasi dan interaksi antarwarga masyarakat itu sendiri..

Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud fungsi personal adalah bahwa bahasa itu

dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud-maksud pribadi atau personal, menyatakan

emosi, untuk mengungkapkan perasaan dan maksud-maksud personal lainnya.

18
Fungsi heuristik bahasa berkaitan erat dengan kegunaan bahasa untuk mempelajari

pengetahuan, mencari ilmu, mengembangkan teknologi, dan menyampaikan rumusan-rumusan

yang bersifat pertanyaan. Tulisan-tulisan di dalam karangan ilmiah lazimnya memanfaatkan

fungsi heuristik ini. Lemahnya penelitian di Indonesia, dalam hemat penulis, banyak terjadi

karena fungsi heuristic ini tidak benar-benar dinyatakan dengan baik sejak anak usia dini. Maka

sesungguhnya, sejak sangat awal seorang anak sudah harus dibiasakan bertanya. Bertanya adalah

dasar dari hadinya penelitian di keudian hari. Jadi, bertanya itu sesungguhnya upaya untuk

mewujudkan fungsi heuristic dari bahasa.

Adapun fungsi bahasa yang terakhir, yakni fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang

berkenaan dengan penciptaan imajinasi. Fungsi bahasa ini dapat dilihat dari sering

difungsikannya bahasa untuk mendongeng, membuat cerita, menciptakan khayalan, mimpi, dan

seterusnya. Dengan fungsi imajinatif bahasa ini, seseorang akan dapat menggunakan bahasa

untuk bertamasya ke alam awing-awang, bersastra dengan segala keindahannya, dan pada

akhirnya akan sampai pada keindahan entitas bahasa yang digunakan untuk terbang ke awing-

awang itu sendiri. Jadi, tujuh fungsi bahasa inilah yang pertama-tama ditegaskan oleh Halliday.

Sepertinya gagasan cemerlang Halliday inilah yang digunakan sebagai acuan dalam

banyak tulisan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi bahasa. Dengan tidak mengubah sama

sekali fungsi-fungsi bahasa sebagaimana ditunjukkan Halliday di depan itu, Tarigan (1993)

merangkum fungsi-fungsi yang berjumlah tujuh itu menjadi “Sapta Guna Bahasa”.

Berbeda sedikit dengan yang disampaikan Halliday seperti yang telah disebutkan diatas.

Wood (1980) sebagaimana dikutip Tarigan (1993) menyebutkan sepuluh fungsi bahasa dalam

kaitannnya dengan perkembangan sistem komunikasi pada anak-anak. Wood menyebut bahwa

pada anak usia 9-16 bulan, fungsi-fungsi bahasa yang dapat ditemukan adalah:
19
1) Fungsi instrumental
2) Fungsi regulasi
3) Fungsi representasional
4) Fungsi interaksional
5) Fungsi personal
6) Fungsi imajinatif

Kemudian pada seseorang yang berusia 16-24 bulan, fungsi-fungsi bahasa yang muncul adalah:

1) Fungsi pragmatik
2) Fungsi matetik

Adapun pada anak berusia 24 bulan dan seterusnya, fungsi bahasa yang dikembangkan

adalah fungsi interpersonal dan fungsi ideasional. Maka, untuk memudahkan pemahaman,

sepuluh fungsi bahasa yang disebut oleh Barbara S. Wood itu kemudian dirangkum dalam

Tarigan (1993) sebgai “Dasa guna Bahasa”.

Sedangkan Stephan C. Levinson menyebutkan adanya enam fungsi bahasa yang secara berturut-

turut dapat disebutkan berikut ini:

1) Fungsi referensial
2) Fungsi emotif
3) Fungsi konatif
4) Fungsi metalinguistik
5) Fungsi fatik
6) Fungsi puitik

2.7. Persoalan bentuk ucapan baku bahasa Indonesia

Bahasa merupakan salah satu yang termasuk lembaga sosial kemanusiaan. Oleh sebab itu,

tentu tidak mengherankan apabila kita dalam berbahasa sering menbedakan dengan kata yang

benar maupun yang salah antara bentuk ucapan yang indah atau baik dan yang tidak indah atau

tidak baik.

20
Sehubungan dengan ini Jespersen (1954 : 110) mengatakan bahwa pembedaan antara bentuk

ucapan bahasa yang benar dan yang salah dan antara yang baik dan yang buruk itu disebabkan

oleh karena adanya kebiasaan membedakan serupa itu dalam bidang kehidupan yang lain. Dapat

dikatakan bahwa sebenarnya pembedaan yang serupa itu bukanlah persoalan yang ada pada

bahasa itu sendiri, melainkan pembedaan yang dibuat oleh masyarakat para pemakai bahasa itu.

Bentuk dari sebuah bahasa yang baik dan benar itu biasanya sering dihubungkan dengan

sebuah bentuk kata-kata bahasa yang dipakai sebagai sebuah pedoman atau bisa dianggap

sebagai bentuk dari bahasa ucapan yang ideal.

Hocket (1960 : 3) mengatakan bahwa persoalan benar-salah dalam ucapan bahasa ini

adalah persoalan para sosiolog dan para antropolog dalam pembicaraanya tentang etika. Karena

itu ilmu ilmu bahasa dalam arti yang sempit (pure linguistic) tidak mempunyai kompetensi

membahas yang demikian ini, karena secara ilmu bahasa pembedaan yang demikian itu tidak

dipersoalkan selama bentuk ucapan bahasa itu telah menunjukkan kesanggupannya sebagai alat

komunikasi di masyarakatnya.

Persoalan logis dan tidak logis adalah persoalan logika. Namun persoalan bahasa

bukanlah semata-mata persoalan logika. Persoalan bahasa adalah persoalan simbolisasi dan

persoalan persepakatan antaranggota masyarakat bahasa itu (Wojowasito, MCMLXI: 10).

Menurut Wojowasito banyak sekali didapati peristiwa-peristiwa bahasa yang berlangsung secara

tidak logis seperti dalam bentukan analogi. Dilihat dari segi kenyataan bahasa yang demikian ini,

sangat sulitlah bagi kita untuk memakai dasar yang logis sebagai dasar untuk menentukan bahasa

yang betul itu. Sering pula orang-orang menghubungkan bentuk ucpan bahasa yang betul itu

dengan ucapan bahasa yang diinginkan oleh masyarakat. Gejala yang demikian ini disinyalir

oleh Jespersen (1954:125) sebagai berikut “…that correct speech means the speech that
21
community expects”. Masyarakat mengharapkan ucapan bahasa yang betul itu namun masyarakat

tidak merumuskan bentuk ucapan bahasa yang betul itu dengan tegas. Persoalan ini dapat kita

tinjau dari keadaan yang dialami oleh tiap individu dalam pengucapan bahsanya di tengah-tengah

masyarakat sehingga akan menjadi lebih jelas.

Bahasa masyarakat itu seperti yang dikemukakan oleh Jespersen (1954:113) “People

often talk of the tyranny of linguistic usage and the community is certainly, in the domain of

language usage and in other domains, tyrannical in some of its domains”. Akibatnya, ucapan

bahasa oleh setiap individu akan selalu berkisar antara tuntutan pemenuhan kebutuhan ekspresi

dan tuntutan kebututhan masyarakatnya. Kriteria bentuk ucapan bahasa yang diharapkan oleh

masyarakat tidak akan mudah untuk ditentukan dan diterapkan pada betuk ucapan bahasa yang

benar. Dikatakannya …from adalah scientific point of view there was nothing in language which

could be called correct or incorrect” (Jespersen, :1954:125).

Adapun usaha-usaha yang dpat dilakukan untuk bagaimana menentukan bentuk ucapan

bahasa yang betul dalam uraian yang akan dibatasi pada usaha yang pernah dilakukan oleh Adolf

Noreen dalam disertasinya tentang “Standard of Correctness” (1954). Menurut Adolf Noreen

terdapat tiga pandangan dasar untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul yaitu sebagai

berikut :

1. Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra (aslinya adalah Literary Historical)
2. Dari sudut pandangan sejarah perkembangan alamiah dari bahasa (aslinya adalah

Natural Historical)
3. Dari sudut pandangan rasional (aslinya adalah Rational)

Noren mengatakan bahwa tidak semua bentukan kata yang dipakai oleh pengarang itu

merupakan bentukan yang betul. Bahasa sastra atau bahasa pengarang itu adalah suatu dialek ,

22
yaitu dialek sastra (literarary dialect) (Francis 1952: 48). Sebagai suatu dialek, dia mempunyai

corak pengucapan bahasa tersendiri yang Antara lain tampak dalam pemilihan unsur-unsur

bahasa yang dipakainya, karena itu Vendereyes (1952: 272-273) cenderung untuk menamakan

nama sastra itu sebagai special language yaitu bahasa yang (artistik writing). Selanjutnya

dikatakan “Artistic writing is always a reaction againts the standard language”. Jika dilihat dari

segi ini, sulit bagi kita untuk menjadikan bahasa sastra itu sebagai pedoman.

Vendreyes (1952:274) mengemukakan bagaimanapun juga kelemahan-kelemahan yang

ada atau dikatakan terdapat pada bahasa sastra secara umum dapat dikatakan bahwa bahasa

sastra itu merupakan refleksi dari bahasa standar, yakni bahasa yang benar.

Adolf Noreen mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu organisme yang berkembang

secara alamiah di dalam masyarakatnya. Karena itu bentuk ucapan bahasa yang benar itu adalah

bentuk ucapan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat bahasa. Noreen mengemukakan

bahwa dalam penentuan bentuk ucapan bahasa yang benar itu, sebanyak mungkin kita harus

berorientasi terhadap bentuk ucapan bahasa yang sedang hidup dipakai. Kita tidak perlu banyak

terikat oleh ketentuan-ketentuan yang sudah pernah dirumuskan sebelumnya.

Anggapan Noreen seperti ini dapat kita pahami jika kita hubungkan dengan masa

desertasinya pada (tahun 1895, yaitu abad ke-19) yang merupakan suatu masa dimana kajian

linguistik sangat berpedoman kepada perkembangan alamiah dari bahasa dan menganggap apa

yang sedang terpakai itu adalah bentuk-bentuk yang betul. Sedangkan Jespersen (1954: 77)

memiliki pandangan bahwa sebenarnya persoalan benar-salah pada waktu itu tidak ada, sehingga

kurang tepatlah kalau Noreen menggunakan dasar alamiah bahasa ini sebagai titik tolak.

23
Menurut sudut pandangan Noreen yang ketiga adalah sudut padangan yang rasional. Dari sudut

pandangan yang dikemukakan bahwa bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah “The best is

that which can be cought most exactly and most quickly by the audience present and be most

easily produced by the speaker”. (Jespersen, 1954: 77).

2.8. Tantangan terhadap Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang dan identitas nasional bangsa yang tidak

luput dari adanya tantangan. Walaupun Bahasa Indonesia kini telah menjelma menjadi potensi

budaya bagi bangsa Indonesia, hadirnya berbagai tantangan yang tantangan yang perlu

diantisipasi dan tantangan yang telah nyata sekarang harus dihadapkan dengan adanya

perencanaan serta pemikiran yang bersifat intelektual, konseptual, dan penuh kearifan. Tantangan

itu terbagi dua yakni ada yang bersifat internal dan adapun yang bersifat eksternal. Tantangan

yang bersifat eksternal itulah disebabkan antara lain karena adanya arus globalisasi.

Amran Halim (terdapat pada Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) mengemukakan

pendapat bahwa setelah 67 tahun Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa persatuan

dan situasi kebahasaan itu ditandai oleh adanya dua tantangan. Tantangan yang pertama, yaitu

perkembangan Bahasa Indonesia yang bersifat dinamis, namun tidak menimbulkan adanya

pertentangan di antara masyarakat. Pada saat yang bersamaan pula bangsa Indonesia telah

mencapai puncak kedewasaan dalam berbahasa. Mulai saat ini, tumbuh rasa kesadaran secara

emosional bahwa perilaku dalam berbahasa sama sekali tidak terkait dengan masalah

nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa asing. Tantangan yang

kedua, yaitu merupakan sebuah persoalan mengenai tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan

kedua ini yang menimbulkan prasangka terhadap ilmuwan kita yang menyatakan bahwa bahasa

Indonesia itu miskin, bahkan kita dituduh belum mampu untuk menyediakan sepenuhnya
24
padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Mediono

(1991:15) memiliki pandangan bahwa prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak

dikenal atau diketahui, serta tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Kedua tantangan menurut Amran Halim tersebut dapat dikategorikan sebagai tantangan

yang bersifat internal. Tantangan itu dapat dilihat dari kenyataan Bahasa Indonesia itu sendiri,

dan yang satu dari pemilik penutur Bahasa Indonesia sendiri. Tantangan yang datang dari

pemilik dan penutur bahasa Indonesia sebenarnya bersumber dari sikap kesadaran berbahasa

yang kemudian tercermin dalam perilaku berbahasa (lihat Fishman, 1975:24-28,Pateda,1990:25-

32). Terhadap ujaran sulitnya mendapatkan padanan istilah yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni sebenarnya Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar

dalam disiplin ilmu tertentu telah mengupayakan menerbitkan kamus, antara lain Kamus Istilah

Teknik Perkapalan (Soegiono dkk,1985), Kamus Istilah Politik (Muhaimin dkk, 1985), Kamus

Istilah Teknologi Mineral (Soetjipto dkk, 1985) tetapi barangkali tidak luas, sehingga tuduhan di

atas muncul.

2.9. Perencanaan Bahasa sebagai Upaya Penanggulangan Tantangan

Seperti yang telah dipaparkan di atas, banyaknya tantangan yang menghadang Bahasa

Indonesia sebagai lambang kebanggan kebangsaan dan identitas nasional. Maka dari itu, perlu

dilakukan kiat-kiat strategis dan taktis untuk penanggulangannya. Upaya awal yang layak untuk

dipertimbangkan adalah dengan melaksanakan perencanaan dan pengembangan Bahasa

Indonesia secara sistematis.

25
Moeliono (1985:5-11) membahas perencanaan tersebut menjadi tiga hal, yakni;

1) Perencanaan fungsional
2) Perencanaan sebagai proses; dan
3) Penamaan yang bervariasi

Perencanaan dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan, yakni (1) perencanaan, (2)

pelaksanaan dan (3) penilaian. (cf. Robin dalam Fasold, 1984:254)

Sementara itu, Klose (lihat pada Fishman, 1974, 112) yang mengidentifikasi dimensi

perencanaan bahasa yang meliputi tiga hal berikut

1) Korpus bahasa
2) Status bahasa; dan
3) Aspek yang mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi.

Dalam kaitan dengan dimensi-dimensi ini, Jernudd (lihat Eastman,1983:146-147) menyebutkan

kegiatan perencanaan bahasa yang meliputi (1) kodifikasi, (2) regularisasi, (3) simplikasi, (4)

purifikasi, (5) elaborasi, (6) implementasi, (7) evaluasi.

Sementara itu, Christian (lihat Newmeyer, 1988:197) menyatakan bahwa komponen kunci

dalam perencanaan bahasa meliputi (1) intervensi, (2) eksplisit, (3) berorientasi pada tujuan, (4)

sistematis, (5) memilih dari berbagai alternative dan (6) bersifat institusional.

Berdasarkan uraian di atas, untuk melaksanakan kegiatan perencanaan bahasa di

Indonesia, kita harus melaksanakan kegiatan terpadu yang melibatkan selain unsur pemerintah

26
juga (1) ABRI, (2) badan peradilan, (3) organisasi keagamaan, (4) penerbit, (5) organisasi profesi

kebahasaan, (6) linguis, (7) pakar bidang linguistic, (8) guru bahasa, dan (9) tokoh masyarakat

(cf. moeliono, 1985:19). Konsekuensi logis selanjutnya, yakni mengharapkan agar Putusan

Kongres Bahasa (1993) yang berisi antara lain agar status Pusat Bahasa ditingkatkan, supaya

diwujudkan oleh pemerintah.

BAB III

27
PEMBAHASAN

3.1.Perkembangan Bahasa Indonesia di era globalisasi

Para ahli bahasa telah menggolongkan bahasa menjadi beberapa rumpun. Penggolongan

bahasa menjadi beberapa rumpun tersebut dilakukan berdasarkan anggapan yang menyatakan

bahwa bahasa-bahasa di dunia ini, dilihat dari letak daerah dan cirinya diperkirakan mempunyai

asal-usul yang sama. Salah satu unsur rumpun tersebut ialah Austria. Rumpun Austria ini terdiri

atas bahasa-bahasa Austro dan Austronesia.

Bahasa-bahasa Austro Asia yaitu bahasa-bahasa yang terdapat di daratan AsiaTenggara

seperti bahasa-bahasa Khosi, Nikobar, Mon dan Kmer. Sebaliknya, bahasa Austronesia dibagi

menjadi dua kelompok bahasa-bahasa Oceania, yakni bahasa-bahasa Indonesia (Nusantara) dan

kelompok bahasa-bahasa Ociania. Bahasa-bahasa Indonesia meliputi bahasa Malagasi, Formosa,

Filipina, Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, Solor, Alor dan lain-lain. Bahasa-bahasa

Oceania meliputi bahasa-bahasa Melanesia dan bahasa-bahasa Polinesia.

Adapun bahasa-bahasa Melanesia meliputi bahasa-bahasa Kaledonia Baru, Hibrid, Fiji,

Salomon, dan Sabnta Cruz. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam bahasa Oceania ialah bahasa

Maor, Tahiti, Hawai dan lain-lain. Selanjutnya, daerah-daerah bahasa Austronesi terbentang dari

pulau Madagaskar di sebelah barat samapai ke pulau Papanui (paskah) dekat pantai Amerika

Selatan (di sebelah timur) dan sebelah utara dimulai dari Tiwan dan Filipina membentang ke

sebelah selatan sampai ke Selandia Baru.

Bahasa-bahasa Nusantara dapat pula dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu

bahasa-bahasa di sebelah barat dan sebelah timur. Adapun batasannya dari pulau Sumba bagian
28
timur melintang ke utara membelah kepulauan Sula. Perbedaan kedua kelompok itu memiliki

banyak sekali morfem terikat. Kata benda yang berfungsi posesif (penunjuk milik) dalam

bahasa-bahasa sebelah Barat terletak di belakang kata benda yang dimilikinya. Sebaliknya,

dalam bahasa-bahasa sebelah timur kata benda posesif terletak di depan kata benda yang

dimilikinya. Jumlah bahasa Nusantara banyak sekali. Berdasarkan penelitian pusat pembinaan

dan Pengembangan bahasa, bahasa yang berada di kawasan Nusantara berjumlah 418 buah.

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu sejak awal abad ke 7, yakni sebuah bahasa

Austronesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perdagangan lingua franca di

Nusantara. Bahasa Melayu terus merembes ke Pulau Sumatera hingga menyebar luas ke

Palembang. Pada waktu itu bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya yang

berdiri pada abad VII sampai dengan abad XII dan telah mencapai puncak kejayaannya pada

abad IX. Kerajaan Sriwijaya mendapat pengaruh yang besar sekali karena kerajaan tersebut

dapat menguasai lalu lintas pelayaran yang meluas sampai ke Sri Lanka Barat, Kamboja, Filipina

Timur, Siam dan Kepulauan Nusantara.

Jauh sebelum bangsa Belanda menjajah Nusantara, bahasa Melayu telah merembes ke

wilayah Indonesia bersamaan dengan datangnya berbagai bangsa yang membawa bermacam-

macam kebudayaan, agama dan bahasa. Selanjutnya bahasa Melayu terus meluas ke arah selatan

memasuki wilayah Indonesia. Daerah yang pertama kali dimasuki yaitu Kepulauan Riau. Itulah

sebabnya bahasa Melayu di Kepulauan Riau termasuk bahasa Melayu baku di Indonesia.

Semakin jauh dari pusatnya, bahasa Melayu tersebut semakin berubah karena mendapat

pengaruh dari bahasa daerah.

Mulanya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, yakni salah satu bahasa

daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para
29
pemuda pada “Kongres Pemoeda” pada 28 Oktober 1928 di Solo, dan diresmikan menjadi

bahasa Indonesia. Ketika itu, penamaan dan pengangkatan bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa

Indonesia lebih bersifat politis daripada linguistis. Tujuannya adalah ingin mempersatukan para

pemuda-pemuda Indonesia, alih-alih disebut sebagai bangsa Indonesia. Pada saat itu, wakil-

wakil pemuda Indonesia yang mengikuti “Kongres Pemoeda’ adalah dari Jong Jawa, Jong Sunda,

Jong Ambon, Jong Batak, dan Jong Selebes. Jadi, sebenarnya saat itu secara linguistis yang

dinamakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak jauh berbeda

dengan bahasa Melayu. Namun, demi mewujudkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa

Indonesia, secara politis para pemuda Indonesia saat itu menyebutkan bahasa Melayu-Riau

menjadi bahasa Indonesia. Dengan nama bahasa Indonesialah yang dianggap dapat

memancarkan inspirasi dan jiwa semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang

berbau kedaerahan.

Ikrar yang sudah jauh lama dikenal oleh bangsa Indonesia dengan nama “Soempah

Pemoeda” Sumpah Pemuda ini pada butir ketiga berbunyi “Kami poetra-poetri Indonesia,

mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia” (Kami putra-putri Indonesia,

menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indoensia). Bangsa Indonesia yang selalu

memperingatinya setiap tahun telah memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu

bangsa. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi paling efektif, yang mutlak diperlukan setiap

bangsa. Tanpa adanya bahasa, bangsa tidak akan bisa berkembang, dan menunjukkan dirinya

secara utuh dalam lingkungan dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akan

lenyap ditelan masa. Maka dari itu, bahasa menunjukkan dirinya sebagai identitas bangsa.

Bahasa menjadi bagian dari kebudayaan yang menunjukkan tinggi rendahnya

kebudayaan bangsa tersebut. Bahasa menggambarkan sudah sejauh mana kemajuan yang telah

30
dicapai oleh suatu bangsa. Ikrar berupa Sumpah Pemuda inilah yang menjadi dasar pokok bagi

kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, bahasa Indonesia kini

tidak lagi berperan sebagai bahasa persatuan, tetapi juga bahasa Indonesia berkembang sebagai

bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang telah menunjukkan identitias dan

memperlihatkan ciri-cirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bagi bangsa

Indonesia. Bahasa Indonesia sangat berperan dalam upaya mempersatukan berbagai suku bangsa,

adat dan budayanya yang beraneka ragam. Dalam mewujudkan misinya, bahasa Indonesia akan

terus berkembang seiring dengan perkembangan dan keperluan bangsa Indonesia, meskipun ada

perkembangan yang menyedihkan dan membahayakan. Dualisme perkembangan ini memang

menjadi dinamika dan konsekuensi bahasa yang hidup. Namun, karena bahasa Indonesia sudah

ditetapkan sebagai bahasa yang berkedudukan tinggi oleh bangsa Indonesia maka bahasa

Indonesia harus dipupuk dan ditumbuhkan dengan baik dan penuh tanggung jawab agar dapat

menjadi “cerminan” bagi bangsa Indonesia.

Sebelum terjadinya perang dunia kedua, bahasa Indonesia tidak mendapat penghargaan

masyarakat dengan sepantasnya meskipun dalam dunia pergerakan politik semakin banyak

menggunakan bahasa Indonesia. Pada dunia pendidikan dan dunia ilmu pengetahuan bahasa

Indonesia belum digunakan dengan baik. Pada saat itu bukan bahasa Indonesialah yang

digunakan melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa pengantar yang

digunakan untuk ilmu pengetahuan pun adalah bahasa Belanda. Dan apabila seseorang ingin

dihormati, dihargai dan disegani dalam lingkungan pergaulan saat itu, ia harus dapat menguasai

bahasa Belanda dengan baik. Karena bahasa Belanda benar-benar dapat menentukan status

pemakainya. Sehingga para penutur bahasa Indonesia merasa apatis atau merasa bodoh melihat

31
kekangan yang hebat terhadap bahasa Indonesia. Seolah-olah pada saat itu, bahasa Indonesia

tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Orang-orang Indonesia ketika itu merasa

tidak berguna mempelajari bahasa Indonesia dan sebaliknya mereka merasa lebih terhormat dan

terpelajar apabila mereka menguasai bahasa Belanda dengan baik. Akibatnya, tidak banyak

orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius dan sudah merasa cukup

untuk menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum dan kondisi tertentu

saja. Akhirnya, banyak pula orang-orang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia

melainkan mereka lebih menguasai dan sangat mahir berbahasa Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang, sebagai lawan penjajah bahasa Belanda dilarang

penggunaannya dan harus diganti dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih

meragukan kemampuan dalam berbahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan dan orang-orang

Indonesia pun belum memahami bahasa Jepang. Jadi, satu-satunya bahasa yang dapat dipakai

adalah bahasa Indonesia. Tetapi, ketika bangsa Jepang datang ke Indonesia dan banyak dari

mereka yang sudah pandai dalam berbahasa Indonesia dan oleh berkat dorongan pemuda-

pemuda Indonesia, maka orang-orang Indonesia terpaksa memakai bahasa Indonesia dalam

setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia pun menjadi popular dan mulai diperhatikan para

pemakainya dengan baik. Pemakaian istilah bahasa “Indonesia” tidak dilarang oleh penduduk

Jepang. Para ahli bahasa memiliki pandangan bahwa situasi ini sangatlah menguntungkan

bahkan ada pula yang mengatakan bahwa zaman Jepang merupakan zaman keemasan bagi

bahasa Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan kosakata yang

cukup pesat sehingga bermunculan berbagai istilah seperti perang, senapan, genting, samurai,

kamikaze, bayonet, harakiri, sayonara, taisyo, yudo, karate, dan sebagainya. Namun demikian,

tidak semua dari pakar bahasa memiliki anggapan dan mengakui zaman Jepang sebagai zaman

32
keemasan bagi bahasa Indonesia. Para pegawai maupun pejabat-pejabat negara yang awalnya

terbiasa dalam berbahasa Belanda justru mereka beramai-ramai mengikuti kursus bahasa

Indonesia. Banyak orang tua, anak-anak yang belajar bahasa Indonesia dan sempat dari mereka

menjadi penulis, guru bahasa Indonesia. Terbuktilah bahwa bahasa Indonesia mulai mengalami

perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai bahasa hidup yang akan terus dipakai

pemiliknya dengan teratur dan lebih luas tidak jauh berbeda mutunya dengan bahasa-bahasa

asing lainnya.

3.1.1. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan

bahasa Indonesia

1. Pada tahun 1850, seorang sarjana Inggris yang bernama J.R. Logan (James

Richardson Logan memperkenalkan istilah “Indonesia” yang digunakan pula untuk

“penduduk Kepulauan India”. Secara perlahan istilah Indonesia mulai melekat pada diri

bangsa Indonesia. Dengan nama “Indonesia” penduduk mempunyai rasa kebersamaan, dan

rasa persatuan. Namun, pemerintah Belanda kurang meyenangi istilah itu karena dibalik

nama “Indonesia” terdapat arti persatuan bangsa yang kokoh.

2. Pada tahun 1896, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuysen yang

dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini

dimuat dalam Kitab Logat Melayu.

3. Pada tahun 1908 terjadi beberapa peristiwa kebahasaan di tanah air antara lain;

banyak putra dan putri Indonesia yang sudah dapat membaca dan menulis. Mereka haus

akan bacaan namun pemerintah Belanda belum menyiapkan bahan bacaan tersebut. Karena

33
tidak ada bahan bacaan, putra dan putri Indonesia membaca buku-buku dari luar negeri.

Banyak dari buku-buku tersebut yang membahas tentang sejarah, bagaimana bangsa asing

dalam merebut kemerdekaan. Istilah “Indonesia” alih-alih pada kata “Melayu” mulai

terkenal dan populer. Namun, putra dan putri Indonesia lebih menyukai istilah “Indonesia”

daripada “Melayu”. Sebaliknya pemerintah Belanda melarang penggunaan istilah

“Indonesia” karena dibalik istilah itu terdapat makna sebuah kesatuan. Tetapi, putra dan

putri Indonesia semakin dilarang dalam penggunaan istilah tersebut meskipun tahanan

taruhannya. pemerintah kolonial Belanda segera mendirikan sebuah badan penerbitan

buku-buku bacaan yang dinamakan Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan

Rakyat) yang berarti Komisi untuk Sekolah-sekolah Bumiputera dan Bacaan Rakyat.

Badan ini menangani penerbitan karangan atau cerita hiburan yang dibuat oleh para

sastrawan Indonesia. pujangga Indonesia dihimbau untuk menulis cerita rakyat yang sudah

berkembang pada masyarakat antara lain Lutung Kasuru, Sangkuriang Kabeurangan,

Malin Kundang, Si Kabayan, Nini Towok, Batu Balah dan Ande-Ande Lumut. Buku-buku

tersebut untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan dan untuk mengimbangi bacaan liar.

Karangan cerita yang akan diterbitkan Taman Bacaan Rakyat harus melalui badan sensor

dan isinya tidak boleh membakar semangat rakyat melainkan harus menghibur para

pembaca sebagai sarana hiburan semata. Karangan cerita-cerita rakyat tersebut mulai

dibukukan pada tahun 1908. Pada tahun 1908 ini dinamakan dengan tahun kebangkitan

nasional.

4. Kemudian pada tahun 1917 Taman Bacaan Rakyat diubah menjadi Balai Pustaka,

tetapi patriot bangsa tetap tidak menyukai badan tersebut. Badan penerbit ini menerbitkan

novel-novel, seperti Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Muda teruna buku-

34
buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, dan sebagainya yang

tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Penerbitan buku-buku ini tetap harus dilakukan melalui badan sensor. Menurut bebearapa

ahli bahasa, pada zaman ini bahasa Melayu mengalami pertumbuhan yang cukup cepat.

Dan penggunaan nama Indonesia semakin dilarang. Para pemuda semakin memiliki hasrat

untuk mengukuhkan nama istilah Indonesia tersebut.

5. Pada tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia

dalam pidatonya. Hal ini dilakukan untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, bahwa

seseorang berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia.[5]

6. Pada tanggal 28 Oktober 1928, secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan

agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Para pemuda Indonesia tidak

dapat lagi menahan rasa gejolak ingin memiliki bahasa persatuan. Dengan keberanian dan

mempertaruhkan jiwa raga putra dan putri memproklamasikan bahasa persatuan yakni

bahasa Indonesia yang dikenal dengan nama “Soempah Pemoeda”. Ikrar Sumpah Pemuda

ini dilaksanakan di Gedung Pemuda Jl.Kramat Raya no 108. Terdapat ikrar ketiga Sumpah

Pemuda yang menyangkut kebahasaan, yaitu yang berbunyi “Kami putra dan putri

Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia”. Jadi, sejak tahun

1908 pada bulan Oktober, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan. Sejak saat itu,

pura dan putri dari berbagai suku manapun sepakat menamakan bahasanya dengan nama

Bahasa Indonesia. sebutan bahasa Melayu secara perlahan sudah tidak terdengar lagi dari

bangsa Indonesia namun pemerintah Belanda masih tetap saja bersikeras memberi nama

bahasa tersebut dengan bahasa Melayu.

35
7. Selanjutnya pada tahun 1930, putra dan putri Indonesia sepakat untuk

menerbitkan sebuah majalah dengan nama Majalah Pujangga Baru. Para pujangga

Indonesia yang awalnya terbagi dua yaitu dengan adanya pro dan kontra terhadap Balai

Pustaka kini mereka bahu membahu untuk mendukung majalah tersebut.

8. Dalam tempo tiga tahun, para pujangga yang tergabung dalam majalah Pujangga

Baru berjumlah semakin banyak dan pada tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan

muda yang menamakan dirinya sebagai Angkatan Pujangga Baru yang dipimpin oleh

Sutan Takdir Alisyahbana. Putra dan putri Indonesia dapat berbicara dengan lebih bebas

pada majalah ini. Kemudian pada tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tata

bahasa Baru Bahasa Indonesia. Buku tersebut menjadi pelopor untuk buku tata bahasa

yang selanjutnya. Pada tanggal 25-28 Juni 1938 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia I di Solo yang tujuannya untuk menyepakati rumusan “bahasa Indonesia sebagai

bahasa persatuan”.

9. Pada tahun 1942, pemerintah Jepang, Dai Nippon datang ke Indonesia. Penjajah

Belanda merasa hengkang ke negerinya. Sebagai lawan penjajah, pemerintah Jepang

melarang penggunaan bahasa Belanda. Ketika itu satu-satunya bahasa yang dapat dipakai

hanyalah bahasa Indonesia.

10. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945,

yang terdapat pada salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai

bahasa negara.

36
11. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai

pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

12. Pada tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 November 1954 diselenggarakan

Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa

Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai

bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.

13. Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia, telah meresmikan

pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato

kenegaraannya di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden

No. 57 tahun 1972. Pada tanggal 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

menetapkan berlakunya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Ejaan ini sudah direncanakan dan diusahakan

perwujudannya yang bekerja sama dengan Malaysia sejak tahun 1956. Akan tetapi karena

terjadi konfrontasi dengan Malaysia rencana itu ditunda. Kemudian pada tahun 1966 kerja

sama itu dilanjutkan kembali dan mulai terwujud pada tahun 1972.

14. Pada tanggal 28 Oktober hingga 2 November 1978 diselenggarakan Kongres

Bahasa Indonesia III di Jakarta sekaligus memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-50

selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak

tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia..

Selanjutnya secara periodik lima tahun sekali bangsa Indonesia mengadakan kongres

bahasa. Hal ini jarang terjadi atau mungkin tidak terjadi pada bangsa lain.

37
15. Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta

yang berlangsung pada tanggal 21 November sampai dengan 26 November 1983. Kongres

ini untuk memperingati Sumpah Pemuda yang ke-55 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh

lembaga pemerintahan, departemen dan non departemen, organisasi, profesi, guru,

mahasiswa dan para peminat dari dalam maupun luar negeri. Kesimpulan yang dapat

diambil adalah yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara untuk

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

16. Kemudian selanjutnya Kongres Bahasa Indonesia V yang dilangsungkan di Istana

Negara, Jakarta pada hari Jum’at tanggal 28 Oktober, dan sidang-sidangnya berlangsung

hingga hari Kamis, 3 November 1988 di Hotel Kartika Chandra. Dihadiri oleh kira-kira

tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara

sahabat seperti Malaysia, Singapura, Jerman, Brunei Darussalam, Belanda, dan Australia.

17. Pada tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa

Indonesia VI di Jakarta dihadiri oleh sebanyak 770 peserta dari berbagai mancanegara.

18. Pada tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII

di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan

Bahasa.

3.2.Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia

Secara formal hingga saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu

sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam

38
perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa

budaya dan bahasa ilmu.

Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, harus dicatat bahwa bahasa Indonesia memiliki

kedudukan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia sudah dikenal secara luas oleh masyarakat

sejak "Soempah Pemoeda" Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan memiliki kedudukan

yang sangat penting yang menjadikan bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan. Seperti yang

tercantum dalam ikrar ketiga yang berbunyi, 'kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi

bahasa persatuan bahasa Indonesia'. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai

bahasa nasional dimana kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah yang sesungguhnya

memberikan roh bagi perawatan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa Indonesia dalam

konsistensi bahasa-bahasa lainnya.

Akhir-akhir ini, roh 'menjunjung tinggi' ini harus dimaknai sebagai pengakuan pula

terhadap keberadaan bahasa-bahasa yang lainnya. Terhadap serangan dan gempuran bahasa-

bahasa asing dalam konteks globalisasi yang terjadi sekarang ini, roh 'menjunjung tinggi' bahasa

Indonesia ini harus tetap dijaga dengan sebaik-baiknya. Bahasa Indonesia bisa menjalankan

fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia, dapat menumbuhkan

rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang memiliki berbagai etnis. Namun kehadiran bahasa

Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan pandangan negatif bagi

etnis yang menggunakannya melainkan bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung reaksi

kedaerahan dan penegah ego kesukuan.

Dengan adanya berbagai latar belakang suku, budaya dan bahasa yang berbeda-beda

dapat berpotensi menghambat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Masyarakat akan

sangat sulit untuk berkomunikasi kecuali jika adanya bahasa pokok yang digunakan. Tetapi
39
berkat dengan adanya bahasa Indonesia, satu etnis yang berbeda dengan etnis yang lainnya dapat

berhubungan tanpa menimbulkan adanya kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia, dengan

apapun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan

menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat perantara untuk menjalin komunikasi dan

perhubungan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, telah menunjukkan bahwa bahasa

Indonesia dalam fungsinya telah mengalami peningkatan dan penyebarluasan sebagai alat

perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Semuanya dapat terjadi karena sarana perhubungan

yang bertambah baik, semakin bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum,

bertambah banyaknya jumlah perkawinan yang dilakukan antarsuku, dan juga bertambah

banyaknya para pekerja, karyawan swasta maupun pegawai negeri dari satu daerah yang pindah

ke daerah lain karena mutasi tugas ataupun karena inisiatif sendiri.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi

sebagai lambang kebanggaan kebangsaan dan lambang identitas nasional. Bahasa indonesia

mencerminkan nilai-nilai luhur sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan perilaku bangsa

Indonesia. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menunjukkan harga diri dan

mencerminkan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup. Atas dasar rasa

kebanggan ini, bahasa Indonesia digunakan dengan terus dipelihara dan dikembangkan oleh

bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia ini pun harus terus dibina dan dijaga oleh bangsa Indonesia.

Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia mewakili jati diri bangsa Indonesia.

Bahasa Indonesia dijunjung tinggi disamping bendera nasional, Merah Putih, lambang Negara

Garuda Pancasila dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya.

Dalam pelaksanaanya, bahasa Indonesia harus memiliki ciri identitasnya sendiri sehingga

serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Masyarakat penggunanya perlu membina dan
40
mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain yang tidak

diperlukan misalnya istilah atau kata dari bahasa asing yang sering diadopsi, padahal istilah atau

kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa gaul remaja masa kini.

Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi di dalam kehidupan

bermasyarakat sehari-hari. Sebenarnya dalam hal untuk berkomunikasi kita dapat menggunakan

cara lain misalnya dengan memakai isyarat, lambang-lambang gambar ataupun kode-kode

tertentu lainnya. Tetapi dengan adanya pemakaian bahasa, komunikasi akan dapat berlangsung

dengan lebih baik dan lebih sempurna. Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945,

bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, dalam pasal 36 dinyatakan dengan tegas bahwa

bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara. Dengan kata lain, harus ditegaskan pula bahwa

bahasa Indonesia adalah bahasa Negara. Begitupun dengan bahasa indonesia, yang memiliki

kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di tengah-tengah berbagai macam bahasa

daerah dalam kedudukannya sebagai bahasa negara tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi

timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas maupun alat perhubungan antardaerah dan

antarsuku, tetapi juga sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa

formal lainnya. antara lain alat untuk menjalankan administrasi kenegaraan seperti undang-

undang, peraturan-peraturan, dokumen-dokumen, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan,

rapat-rapat dinas, pendidikan, lokakarya masalah pembangunan nasional dan surat dari karyawan

atau pegawai yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya dan sebagainya

ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi jika terjalin komunikasi dengan jarak

sosial yang cukup jauh, misalnya antara kepala dinas dengan bupati atau walikota, kepala desa

dengan camat, bawahan dengan atasan, mahasiswa dengan dosen, dan sebagainya.

41
Tidak jauh berbeda dengan pidato-pidato kenegaraan yang juga ditulis dan diucapkan

dalam bahasa Indonesia namun hanya saja terkadang jika dalam kondisi tertentu seperti dalam

komunikasi internasional antarbangsa dan antarnegara, pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan

dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris. Untuk melaksanakan fungsi bahasa negara,

senantiasa perlu diadakannya pembinaan dan pengembangan bahasa. Fungsi ini harus dipertegas

dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.

Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, pasal 36, UUD 1945, dinyatakan

bahwa bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu, di

samping sebagai bahasa Negara dan bahasa resmi. Dalam kaitannya sebagai bahasa budaya,

bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri yang membedakannya dengan

kebudayaan daerah sehingga bahasa Indonesia menjadi perantara yang memungkinkan untuk

membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa yang pada saat ini bahasa

Indonesia menunjukkan nilai-nilai luhur sosial budaya nasional. Pada situasi inilah, bahasa

Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, demi

kepentingan menjalankan pembangunan nasional bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa

pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam fungsinya sebagai bahasa ilmu.

Dalam pelaksanaannya di bida ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK dilakukan dengan

menggunakan bahasa Indonesia untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Negara.

Bahasa Indonesia pun berperan sebagai bahasa pengantar dan penyampaian ilmu

pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkatan lembaga-lembaga pendidikan. Mulai dari

lembaga pendidikan terendah (Taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi

(Perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritasnya masih

menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks

42
serta penyajian pelajaran atau perkuliahan seperti karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik

buku, rujukan, skripsi, tesis, disertasi dan hasil laporan penelitian) yang menggunakan bahasa

Indonesia telah menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mampu berperan sebagai alat

penyampaian IPTEK. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya

kepada bahasa-bahasa asing dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan IPTEK. Pada

tahap ini, bahasa Indonesia telah menjalankan perannya sebagai bahasa ilmu.

3.2.1. Hakikat Bahasa

Bahasa merupakan suatu sistem lambang berupa bunyi, yang bersifat arbitrer yang

mengandung arti manasuka dan digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama

dan mengidentifikasi diri. Sistem-sistem lambang bahasa yang berupa bunyi, yang bersifat

arbitrer itu artinya tidak ada ketentuan ataupun hubungan antara suatu lambang bunyi dengan

konsep yang dilambangkannya

Sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis yakni bahasa tersusun

menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak dan sistemis yang berarti bahwa bahasa itu

terdiri dari beberapa sub sistem seperti sub sistem fonologi, morfologi, sintaksis, semantik.

Kemudian bahasa tersusun dan terbentuk oleh suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu baik

dalam bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kata maupun tata bentuk kalimat yang secara

keseluruhan membentuk satu sistem karena jika tidak tersusun maka sub sistem tersebut tidak

berfungsi. Bila aturan-aturan, kaidah atau pola ini dilanggar maka akan menyebabkan

terganggunya komunikasi.

Lambang yang digunakan dalam sistem bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh

alat ucap manusia karena yang dianggap primer dalam berbahasa adalah bahasa yang diucapkan

43
atau sering kita sebut dengan bahasa lisan. Di samping itu pula, bahasa tulisan yang walaupun

sangat penting dalam dunia modern hanyalah bersifat sekunder. Penguasaan terhadap bahasa

lisan maupun bahasa tulisan harus dipelajari dengan sungguh-sungguh karena keduanya sama

penting.

3.2.2. Ragam Bahasa

Setiap bahasa sebenarnya memiliki kesamaan dalam hal tata bentuk kata, tata kalimat dan

tata makna. Tetapi karena dengan adanya berbagai faktor seperti usia, agama, pendidikan, profesi

dan latar belakang budaya daerah yang terjadi di dalam masyarakat pemakai bahasa itu menjadi

tidak seragam dengan benar. Bahasa itupun menjadi beragam misalnya dengan tata bunyinya

yang menjadi tidak sama persis, mungkin tata bentuk dan tata katanya dan juga tata kalimatnya.

Keragaman bahasa ini terjadi pada bahasa Indonesia akibat berbagai faktor tersebut maka ragam

bahasa Indonesia yang ada Antara lain sebagai berikut :

a) Ragam bahasa perseorangan atau biasa disebut dengan istilah idiolek. Setiap

orang pasti memiliki ragam bahasa atau gaya bahasa sendiri yang sering tidak disadari

olehnya sendiri. Sebagai contoh, dapat kita lihat perbedaan idiolek Antara “gaya” bahasa

Sutan Takdir Alisyahbana dengan “gaya” bahasa Pramudya Anananta Toer tidak sama.
b) Ragam bahasa oleh sekelompok masyarakat dari wilayah tertentu atau biasa

disebut dengan istilah dialek. Misalnya ragam bahasa Indonesia di Jakarta yang sudah

jelas sangat berbeda dengan ragam bahasa di Medan, Denpasar ataupun di Yogyakarta.
c) Ragam bahasa oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu

atau disebut dengan istilah sosiolek. Sebagai contoh pada ragam bahasa golongan terdidik

44
sudah jelas tidak sama dengan ragam bahasa dari golongan masyarakat umum ataupun

golongan buruh.
d) Ragam bahasa dalam kegiatan suatu bidang tertentu. Ragam biasa ini biasa

disebut dengan istilah fungsiolek. Misalnya dalam kegiatan ilmiah, sastra, jurnalistik,

matematika, hukum, dan militer. Ragam bahasa ilmiah ini biasanya bersifat logis dan

eksak sedangkan ragam bahasa sastra penuh dengan berbagai kiasan dan ungkapan.
e) Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi formal atau resmi. Ragam bahasa ini

biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku atau bahasa standar. Kaidah-kaidah

yang digunakan secara konsisten biasanya terdapat dalam ragam bahasa baku maupun

dalam bidang kosakata, fonologi, morfologi, sintaksis.


f) Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi informal atau tidak resmi. Ragam

bahasa ini biasanya disebut dengan istilah ragam bahsa tidak baku atau nonstandard.

Kaidah-kaidah dan tata bahasa dalam ragam bahasa ini bisanya tidak digunakan secara

konsisten dan seringkali dilanggar.


g) Ragam bahasa secara lisan atau bahasa lisan. Lawannya, adalah ragam bahasa

yang digunakan secara tertulis atau disebut dengan bahasa tulisan atau bahasa tertulis.

Ragam bahasa lisan berbeda dengan ragam bahasa tulisan. Dalam realisasinya, ragam

bahasa lisan sering dibantu dengan mimik, gerakan anggota tubuh dan intonasi ucapan.

Namun berbeda dalam bahasa tulisan, mimik, gerakan anggota tubuh dan intonasi sama

sekali tidak dapat diwujudkan. Maka dari itu, untuk dapat mencapai sasaran yang baik

dalam bahasa tulisan harus diupayakan susunan struktur kalimat dan penggunaan tanda-

tanda baca sedemikian rupa agar pembaca dapat menangkap dan memahami bahasa

tulisan itu dengan baik dan benar.

Alangkah baiknya kita dapat menguasai ragam-ragam bahasa tersebut dengan baik agar

komunikasi dapat terjalin secara efektif sesuai dengan tempat dan situasi ragam itu digunakan.

45
Namun, penggunaan ragam bahasa baku tampaknya sangat penting dan harus dikuasai karena

jangkauan penggunaannya yang lebih luas dan lebih merata berhubung dengan ragam bahasa

baku ini digunakan dalam komunikasi resmi Negara.

3.2.2.1. Ragam bahasa berdasarkan waktunya

Ragam bahasa lama atau kuno. Dengan adanya ragam bahasa laras lama atau kuno dapat

dilacak keberadaan berikut makna sejumlah dokumen-dokumen kuno, aneka prasasti dan tulisan-

tulisan yang masih sangat sederhana. Disiplin filologi dalam ilmu bahasa sepertinya dapat

berbicara banyak mengenai hal demikian itu. Segala sesuatu yang bersifat lama atau kuno

sesungguhnya sangatlah penting sebab dengan menyingkap hal-hal lama tersebut dapat

dirancang langkah pemeliharaan, penyelamatan dan perkembangannya untuk masa yang akan

datang. Dalam konteks bahasa, demikian pula dengan adanya bahasa modern seperti sekarang ini

sesungguhnya merupakan akibat dari hadirnya bahasa-bahasa yang berstatus lama atau kuno

tersebut. Sesuatu yang bersifat lama atau kuno cenderung arkais memiliki nilai yang dianggap

lebih tinggi daripada bentuk-bentuk kebahasaan yang hadir saat ini. Dapat kita lihat banyak

orang maupun pejabat, birokrat, teknorat yang gemar menggunakan kata-kata lama atau kuno

dalam setiap perbincangannya.

Selanjutnya, terdapat ragam bahasa baru atau modern. Dengan ragam bahasa baru itu

perkembangan bahasa dapat diprediksikan karena dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi

kebahasaan yang baru. Bahasa indonesia dengan ragam baru diatur dalam kaidah-kaidah

kebahasaan yang umumnya juga sudah diperbarui.

3.2.2.2. Ragam bahasa berdasarkan medianya

46
Jika dilihat berdasarkan medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua yakni

ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan, lazimnya ditandai dan

ditentukan oleh penggunaan aksen dalam berbicara, pemakaian intonasi atau penekanan tertentu

dalam aktivitas bertutur kata. Demikian akan terlihat dari wujud kosakata, tatabahasa, kalimat

dan paragrafnya. Adapun untuk alinea atau paragraf yang biasa disebut dengan paratone. Jadi,

orang yang bertutur kata dengan baik selalu memperhatikan kerangka wujud tutur dan

paratonenya. Dapat kita lihat lazimnya hadir dalam aktivitas menelepon, berdiskusi,

berwawancara, dan aktivitas kebahasaan lainnya. Selanjutnya ragam bahasa lisan dapat dibagi

kembali menjadi dua yaitu ragam bahasa lisan baku dan ragam bahasa lisan tidak baku. Ragam

bahasa lisan baku dapat terlihat seperti ketika orang sedang berpidato di depan khalayak, ketika

orang sedang presentasi, ketika orang sedang berceramah dan seterusnya. Sama halnya dengan

ragam bahasa lisan tidak baku sebagai contoh ketika orang sedang berbincang santai di

sepanjang jalan, sekolah, tempat ronda, warung dan sebagainya. Begitu juga dengan tawar

menawar dalam tranksaksi jual beli di pasar tradisional dengan bahasa yang digunakan pun

berada dalam ragam lisan juga.

Ragam bahasa tulis merupakan suatu bahasa yang hanya muncul tepat dalam konteks

tertulis. Pemakaian tanda baca dalam ragam bahasa tulis harus dilakukan dengan cermat dan

tepat baik dalam penggunaan kata, ejaan, frasa, kalimat, klausa, paragraf dan sebagainya.

Lazimnya ditemukan ketentuan dalam ragam bahasa baku terlebih lagi dalam ragam baku tulis,

Antara lain menggunakan ucapan baku, menggunakan ejaan resmi menggunakan fungsi

gramatikal dengan eksplisit, menghindari unsur-unsur kedaerahan, pemakaian kata depan secara

tepat, memakai konjungsi bahwa’ secara eksplisit, penggunaan bentuk kebahasaan secara

47
lengkap, mnggunakan bentuk sintesis, pemakaian partikel secara konsisten, penggunaan aspek

pelaku tindakan, dan menghindari unsur leksikal yang terdapat unsur bahasa daerah.

3.2.2.3. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya

Ragam bahasa ilmiah biasanya dipakai dalam dua manifestasi yaitu dalam karya ilmiah

akademis di perguruan tinggi yang biasanya meliputi artikel ilmiah, jurnal, surat menyurat,

skripsi, tesis, disertasi, habilitasi dan karya ilmiah populer yang meliputi esai, opini, kolom khas

di media massa dan catatan tentang bidang tertentu lainnya di media massa. Dalam karya ilmiah

bahasa harus singkat, padat, jelas, dan tidak bertele-tele. Dalam penentuan kata dan diksinya pun

harus dilakukan dengan cermat. Kalimat yang disusun harus efektif dan cermat demikian pula

dengan konstruksi wacana dan paragrafnya dalam memeranti kan ketentuan-ketentuan ejaan dan

tata tulis lainnya.

3.2.3. Sosok bahasa sebagai ragam

Sosok bahasa di dalam kehidupan masyarakat selalu digunakan sesuai dengan situasi,

kondisi, dan kebutuhan yang tertentu juga sifatnya. Maksud dan tujuan dari sebuah pemakaian

bahasa dipandang sebagai sosok penentu ragam bahasa yang sangat variatif. Kevariatifan itu

cukup menambah khazanah pengetahuan kita. Masyarakat bahasa yang hanya memiliki satu

macam bahasa saja menggunakan bahasa yang satu tersebut dalam aneka pemakaian dan

kebutuhan. kebutuhan untuk menyampaikan nuansa keindahan, kebutuhan untuk

mengungkapkan warna kesakralan, dan kebutuhan untuk menyatakan keformalan, semuanya

hanya dapat diwakili oleh satu sosok bahasa dalam masyarakat monolingual.
48
Namun dalam masyarakat bilingual ataupun multilingual, aneka pemakaian dan

kebutuhan bahasa tersebut dipenuhi oleh ragam-ragam variatif bahasa yang banyak jumlahnya,

yang cenderung berciri inferior. Jika situasi dan kondisi serta kebutuhan pemakaiannya memang

menuntut untuk bersantai-santai maka bahasa yang digunakan juga dalam variasi atau ragam

santai. Bahkan, tidak aneh apabila ditemukan bahwa dalam pemakaian yang demikian tersebut

banyak digunakan bentuk-bentuk dari bahasa baku yang sengaja disantaikan. Bentuk-bentuk

yang demikian itu biasanya ditandai oleh rupa-rupa kelonggaran aturan, pemotongan bentuk-

bentuk tertentu sehingga digunakan secara tidak penuh, bahkan juga dengan pemelesetan bagian

bentuk tertentu sehingga benar-benar memenuhi kriteria kesantaian. Sebagai contoh dapat kita

lihat apabila pada situasi dan kondisi yang dalam pemakaiannya menuntut bentuk-bentuk

fantastik dan romantik maka ragam bahasa susastra, ragam bahasa literer, atau ragam yang indah

akan banyak digunakan. Ragam bahasa indah atau yang bergaya literer demikian ini banyak

ditandai oleh sejumlah penyimpangan kebahasaan, tetapi memang penyimpangan-penyimpangan

itu dilakukan demi tujuan keindahan dan kecapikan tertentu. Orang dapat merekayasa

digunakannya sedemikian rupa sehingga bunyinya cukup ritmis dan serba seimbang, misalnya

saja vokalisas pemakaian bentuk-bentuk sering kali juga digunakan tetapi rekayasa bahasa yang

demikian itu selalu dilakukan secara bermaksud dan bertujuan tidak merupakan tindakan

kesemena-menaan. Itulah yang dalam dunia sastra sering disebut dengan istilah licentia poetica ,

yakni pemberian kewenangan kepada para pekerja sastra untuk merekayasa bahasa sedemikian

rupa demi tujuan literer atau susatra. Dengan penggunaan ragam bahasa yang demikian ini orang

hendak menyampaikan maksud yang . Banyak ditemukan bentuk penyanjungan dan pelebih-

lebihan dalam pencandilontarkan itu dengan berandai-andai pada sosok gaya bahasa tertentu

yang banyak ditemukan seperti pleonasme, hiperbola, metafora, dan sejenisnya sehingga

49
kadangkala justru dapat melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Berkenaan dengan semua ini,

lihatlah bahasa literernya orang yang sedang jatuh cinta atau mabuk asmara lewat surat-surat

cinta yang dituliskan atau ditorehkannya. Di dalam budaya Jawa dan budaya Sunda, misalnya

saja, cermatilah bahasanya seorang dalang di dalam pertunjukan wayang purwa, terlebih-lebih

pada awal atau permulaan ceritanya. Juga dalam setiap larik tembangnya, akan jelas sekali

kelihatan nuansa bahasa keindahan atau kelitererannya.

Dalam masyarakat multilingual lazimnya juga ada bahasa yang digunakan untuk

menyampaikan maksud suci atau tujuan sakral. Perhatikanlah bahasanya orang yang sedang

berdoa di tempat-tempat ibadah keagamaan tertentu. Juga, perhatikanlah bahasa orang yang

sedang menyampaikan sesajian di tempat-tempat yang dianggap keramat. Mereka menggunakan

bahasa ragam keramat yang bernuansa suci, yang tentu saja tidak dapat disamakan dengan ragam

bahasa lainnya. Lalu, bahasa nasional, bahasa yang telah dibakukan dan dikodifikasikan secara

ketat, biasanya memang digunakan untuk memancarkan keformalan atau keresmian. Tetapi,

kadangkala pemakaian bahasa standar, bahasa yang telah dibakukan, dirasa tidak selalu cukup

oleh warga masyarakat bahasa tertentu yang demikian erat dengan ikon-ikon bahasa tertanam

dalam bahasa daerah atau bahasa ibunya. Maka, leksikon-leksikon bahasa daerah yang lekas

dengan dirinya itu akan banyak memuat pula dalam pemakaian bahasa baku atau bahasa standar.

Berkenaan dengan kenyataan ini pula, dapat kita cermati bahwa karyawan-karyawan

pada institusi swasta ataupun instansi negeri di daerah-daerah yang masih cukup kuat nuansa

birokrasi dan kefeodalannya banyak dari mereka yang menggunakan bahasa lndonesia dengan

diselipi adanya leksikon-leksikon tertentu dalam bahasa daerahnya dengan tujuan untuk

memberikan penghormatan atau penghargaan kepada mitra tuturnya sebab dalam masyarakat

yang memiliki bahasa tertentu, bahasa daerah memiliki peran dan fungsi untuk memberikan

50
penghormatan dan penghargaan itu. Dengan demikian hal tersebut sudah jelas menunjukkan

bahwa sosok bahasa atau dialek bahasa tertentu, terlebih pada masyarakat bilingual ataupun

multilingual dapat berfungsi sebagai manifestasi pada laras ragam bahasa itu sendiri. Maka,

sosok bahasa di dalam masyarakat bilingual ataupun multilingual memiliki dua manifestasi, yaitu

sebagai sosok ragam bahasa itu sendiri dan di sisi lain sebagai wadah dari ragam bahasa yang

dipayunginya.

3.3. Memperkukuh Kedudukan Bahasa dalam Era Globalisasi

Era globalisasi biasanya selalu ditandai antara lain oleh adanya kontak bahasa dan budaya

yang tidak dapat terelakan. Dalam kaitannya dengan hal itu, kedudukan bahasa yang hidup

diperlukan dan perlu dikukuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa Indonesia

ditempatkan sebagai alat pemersatu, pembentuk jati diri dan kemandirian bangsa, serta sebagai

wahana bangsa menuju kehidupan yang lebih modern dan beradab. Bahasa daerah merupakan

bagian sarana pembinaan dan pengembangan budaya, seni dan tradisi daerah yang dapat

memperkuat jati diri bangsa dalam berbagai kompetisi global. Bahasa asing merupakan sarana

agar bangsa kita mampu berkompetensi aktif dalam kontak antar bangsa. Perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi, tuntutan peri kehidupan dalam era globalisasi yang penuh persaingan,

teknologi informasi masa kini dan masa yang akan datang dalam milenium ketiga menuntut

perlunya bahasa Indonesia ditingkatkan kualitasnya dan dikembangkan kemampuan daya

ungkapnya. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi di segala bidang perlu

lebih dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan makin meluasnya penggunaan bahasa asing,

terutama bahasa Inggris di Indonesia dan di dalam pergaulan internasional.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkukuh kedudukan bahasa antara lain sebagai berikut:

51
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

1. Bahasa Indonesia hendaknya dibina tidak hanya oleh Departemen Pendidikan

Kebudayaan tetapi juga oleh departemen/instansi lain, organisasi profesi, dan dunia

usaha.

2. Pengindonesiaan nama dan kata asing di tempat umum perlu diperlukan hingga ke

tingkat kabupaten dan kotamadya.

3. Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber

rujukan yang antara lain telah dipublikasikan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan

bahasa.

4. Penghargaan perlu diberikan kepada tokoh-tokoh yang telah memberikan

sumbangan berarti bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia bagi penutur Asing

1. Kantor perwakilan RI diluar negeri perlu lebih aktif lagi dalam mengembangkan

bahasa Indonesia pembelajar asing (BIPA) di luar negeri dan menyebarkan informasi

tentang program BIPA yang dikembangkan di Indonesia.

2. Perguruan tinggi yang menawarkan program BIPA perlu dikembangkan.

3. Kegiatan Konferensi Internasional BIPA perlu didukung dan dilestarikan.

Bahasa Daerah

1. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah perlu dilakukan karena budaya

daerah tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

52
2. Kegiatan penerbitan buku, surat kabar, dan majalah yang menggunakan bahasa

daerah perlu didorong dan jika diperlukan diberi subsidi.

3. Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber

yang telah dikembangkan di daerah masing-masing.

4. Penghargaan perlu diberikan kepada tokoh-tokoh yang telah memberikan

sumbangan berarti bagi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah.

Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing

1. Peningkatan kemampuan bahasa Inggris merupakan bagian tak terpisahkan dalam

pengembangan sumber daya manusia dalam menyongsong era globalisasi. Untuk itu,

penyediaan dan penggunaan sarana dan prasarana serta teknologi pendidikan yang akan

mampu menunjang pemerolehan bahasa sasaran perlu mendapat perhatian yang khusus.

Sarana, prasarana, dan sumber daya manusia untuk pengajaran bahasa Inggris ada

perguruan tinggi perlu dikembangkan untuk memperkukuh kedudukan bahasa tersebut

sebagai alat percaturan global yang efektif.

2. Upaya penggalangan peneljemahan sumber-sumber sarana moderenisasi dari

bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu ditingkatkan baik dengan pengembangan

program. Maupun peningkatan kemampuan sumber daya manusianya.

3. Upaya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris melalui jalur

pendidikan informal perlu didukung secara moril maupun materil.

Organisasi profesi

53
1. Organisasi profesi bahasa dan dunia usaha bendaknya terlibat secara lebih aktif

lagi dalam memberikan kontribusi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia pada

lembaga atau perusahaan terkait.

2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa perlu terus bekerja sama dengan

organisasi profesi bidang nonbahasa.

3. Organisasi profesi pengajaran bahasa asing perlu dikembangkan secara baik lagi.

4. Kerja sama dengan organisasi profesi kewartawanan perlu dibina dan

dikembangkan secara lebih efektif lagi untuk lebih menyebarluaskan pemakaian bahasa

Indonesia yang baik dan benar.

5. Kerja sama dengan pemerintah daerah diharapkan lebih proaktif dalam membina

dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, antara lain

dengan melahirkan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya yang

menyangkut keseluruhan upaya pembinaan dan pengembangan, Para ahli bahasa di

daerah diharapkan terlibat secara aktif dalam memberikan sumbangan keahlian

kebahasaannya dalam menata produk-produk kebahasaan resmi. Pemerintah daerah perlu

membuka peluang kerja bagi lulusan perguruan tinggi jurusan bahasa daerah.

3.3.1. Pentingnya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar

Pada dasarnya konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak terlepas dari

pemakaian bahasa yang beragam seperti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa dalam

masyarakat selalu digunakan sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang tertentu pula

sifatnya. Maksud dan tujuan dalam sebuah pemakaian bahasa dapat dipandang sebagai salah satu

54
sosok penentu ragam bahasa. Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penggunaannya

selalu dikondisikan sesuai dengan kondisi dan situasi pemakainya. Karena maksud dari bahasa

Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan situasi

pemakaiannya. Disamping itu, bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang

digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Sehingga dapat kita simpulkan maksud dari

bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai

dengan situasi pemakaian dan kaidah yang berlaku. Maksudnya agar dapat disampaikan dan

dimengerti oleh lawan bicara baik dari segi laras bahasa maupun kata yang digunakan harus

sesuai agar mudah dipahami. Dalam situasi pemakaian berkaitan dengan masalah baku dan tidak

baku. Jika dalam situasi resmi, kita menggunakan bahasa yang benar atau baku sesuai dengan

kaidah yang digunakan seperti dalam surat menyurat laporan resmi, memberi khutbah,

pengajaran dan sebagainya. Dan sebaliknya jika dalam situasi yang tidak resmi misalnya di

rumah, pasar, jalan, atau tempat-tempat reaksi dan lainnya bahasa yang digunakan hanyalah

sekedar bahasa asal yang dapat dipahami oleh orang lain yakni bahasa yang tergolong baik.

Artinya kesalahan dalam ucapan, pilihan kata ataupun kesalahan dalam struktur kalimat tidak

menjadi masalah asalkan komunikasi masih dapat berjalan, bahasa yang digunakan seseorang itu

sudah termasuk bahasa yang baik. Berdasarkan hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa yang

dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik belum tentu merupakan bahasa Indonesia yang

benar, begitu juga dengan bahasa Indonesia yang benar belum tentu bahwa bahasa itu merupakan

bahasa Indonesia yang baik sebab semua hal itu bergantung pada kondisi situasi pemakaian dan

tata bahasa atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.

Sebagai contohnya, kita tahu bahwa dalam situasi rapat dinas, seminar atau penulisan

karya ilmiah merupakan situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dalam situasi formal atau resmi

55
semacam itu, kita dituntut untuk menggunakan bahasa yang sifatnya resmi yaitu dengan

menggunakan bahasa yang baku. Jika dalam situasi semacam itu kita tidak menggunakan bahasa

yang baku seperti menggunakan kata-kata gimana, udah, dong, atuh, dibilang, dibikin dan

sejenisnya, bahasa tersebut dapat dikatakan tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi

pemakaiannya. Meskipun demikian, contoh seperti dalam struktur kalimat ”Tadi telah dibilang

oleh pemakalah bahwa makalah tersebut sangat kompleks”. Jika dilihat dari konteks tata bahasa,

kata dibilang adalah benar namun secara morfologi bentukan kata dibilang pun benar. Atas dasar

kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa dalam pemakaian bahasa tersebut benar tetapi tidak baik

sebab dibilang merupakan kata yang tidak baku sementara suasana tersebut sedang resmi.

Jika bahasa baku yang diterapkan secara resmi lewat keputusan pemerintah maupun yang

diterima berdasarkan dengan kesepakatan umum, wujudnya dapat kita saksikan pada pengajaran

bahasa kepada khalayak mana bahasa yang benar dengan yang tidak benar. Pemakaian bahasa

yang mengikuti susunan kaidah yang dibakukan itulah yang dianggap merupakan bahasa yang

benar. Jika sebagian orang masih membedakan pendapat tentang benar atau tidaknya suatu

bentuk bahasa, hal tersebut menandakan tidak atau belum adanya bahasa baku yang mantap.

Bahasa Indonesia, agaknya termasuk kaidah ejaan kata dan pembentukan istilah sudah

distandarkan dengan penggunaan kata yang sudah tepat dapat dianggap baku tetapi dalm

pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak sejalan dengan baik. Orang yang mahir dalam

berbahasa biasanya dengan maksud hatinya yang sudah mencapai sasarannya dianggap telah

dapat berbahasa dengan efektif. Bahasanya memberikan efek atau hasil karena serasi dengan

keadaan atau peristiwa yang sedang dihadapinya. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi

sesuai dengan golongan penutur atau pemakai dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut

dengan bahasa yang baik. Bahasa yang harus mengenai sasaranya tidak harus selalu perlu

56
beragam bahasa baku. Dalam tawar menawar di pasar misalnya dengan pemakaian ragam bahasa

baku justru akan menimbulkan keheranan, keanehan bahkan kecurigaan. Akan sangat ganjil jika

kita memakai bahasa baku dalam tawar menawar seperti “Berapakah bapak mau menjual ikan

ini?”. Contoh kalimat tersebut merupakan bahasa Indonesia yang benar tetapi tidak baik karena

tidak cocok dengan situasi dan kondisi pemakaiannya.

Dengan penjelasan serta contoh-contoh yang telah dipaparkan tersebut dapat ditegaskan

bahwa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar kita harus memperhatikan situasi

pemakaian dan kaidah tata bahasa yang digunakan. Jika dalam situasi resmi, kita harus

menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak resmi, kita tidak

diharuskan menggunakan bahasa yang baku. Bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi

itu adalah bahasa yang cocok atau sesuai dengan situasi itu.

Lebih jauh lagi akan dibahas aspek-aspek bahasa Indonesia yang baik dan benar yang

menitikberatkan pada pemakaian bahasa resmi yang kita kenal dengan bahasa baku, ragam

bahasa baik ragam lisan maupun ragam tulis.

3.3.2. Bahasa baku

Berbicara mengenai bahasa baku berarti kita berada dalam situasi formal baik lisan

maupun tulis. Ragam bahasa baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian

besar masyarakat pemakainya sebagai kerangka bahasa resmi dalm penggunaannya. Ragam

bahasa baku mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.

a. Kemantapan dinamis
Ragam bahasa baku memiliki kemantapan dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap

karena baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang

57
memunculkan bentuk petani, perasa, pesuruh dan sebagainya dengan taat asas harus

dapat menghasilkan bentuk perajin, petenis, perusak, pesepak bola bukan pengrajin,

penenis, pengrusak, penyepak bola dan lain-lain. Jika kita berpegang pada sifat mantap

dalam penggunaanya kata pengrajin dan pengrusak tidak dapat diterima. Demikian pula

dengan bentuk-bentuk kata lepas landas, lepas tangan, lepas pantai merupakan contoh

kemantapan bahasa baku.


b. Cendekia
Ragam baku yang bersifat cendekia dipakai pada tempat-tempat resmi. Perwujudannya

dalam kalimat, paragraph dan satuan bahasa lain lebih besar mengungkapkan penalaran

logis atau pemikiran yang teratur dan masuk akal. Dalam proses pencendekiaan itu

sangatlah penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern yang sekarang ini

umumnya masih bersumber dari bahasa asing, yang harus dapat dilangsungkan melalui

buku bahasa Indonesia. Penggunaan ragam bahasa cendekia oleh penulis ataupun

pembicara dapat memberikan sebuah gambaran yang ada di dalam otak pendengar atau

pembaca. Dalam kaitannya dengan hal ini, tidak ada penafsiran tertentu terhadap sebuah

bentuk bahasa.
c. Seragam
Ragam bahasa baku yang bersifat seragam berarti proses pembakuan, artinya proses

dalam penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa merupakan pencarian

titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, pelayan di pesawat terbang dianjurkan untuk

memakai istilah pramugdra dan pramugari. Andaikata, istilah tersebut disebut menjadi

steward atau stewardes dan penyerapan kata itu seragam, maka kata itu menjadi ragam

baku. Namun, kata steward dan stewardes sampai saat ini tidak disepakati pemakaiannya.

58
Ciri-ciri bahasa Indonesia baku

a) Menggunakan ucapan baku


Ucapan baku berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan. Sampai saat ini pembakuan

pelafalan atau ucapan tampaknya agak sulit untuk dilakukan. Sebagai acuannya, pelafalan

yang baik merupakan pelafalan yang tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan bahasa

daerah maupn bahasa asing.


b) Memakai ejaan resmi
c) Terbatasnya unsur-unsur bahasa daerah baik leksikal maupun gramatikal
Unsur leksikal merupakan unsur bahasa berupa kata yang dapat merusak eksistensi

bahasa Indonesia. Seperti kata-kata daerah atau dalam bahasa gaul contohnya kenapa

seharusnya mengapa, entar seharusnya sebentar, ketawa seharusnya tertawa, nggak

seharusnya tidak, gimana seharusnya bagaimana, dan sebagainya. Sedangkan unsur

gramatikal merupakan unsur yang bersifat ketatabahasaan atau pembentukan kata atau

kalimat. Contohnya “Dia benci sama saya”, kalimat tersebut tidak baku seharusnya “Dia

benci kepada saya”.


d) Pemakaian fungsi gramatikal (subjek,predikat,..) secara eksplisit dan konsisten
e) Pemakaian konjungsi bahwa atau karena (bila ada) secara eksplisit dan konsisten
f) Pemakaian awalan meN, di-, atau ber-, lah, kah (bila ada) secara konsisten
g) Pemakaian kata deoan, kata sambung secara tepat
h) Menghindari pemakaian bentuk-bentuk yang mubazir atau bentuk bersinonim
i) Menghindari pemakaian kalimat yang bermakna ganda
j) Memakai konstruksi sintetis

3.4.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia merupakan usaha sadar atau usaha yang

disengaja, terencana dan sistematis. Bedanya pembinaan dilakukan untuk meningkatkan mutu

bahasa indonesia dengan baik dan benar sehingga masyarakat pemakai bahasa Indonesia

memiliki kebanggaan dalam menggunakannya. Sedangkan pengembangan dilakukan untuk


59
meningkatkan mutu dan kelengkapan bahasa Indonesia seemikian rupa sehingga bahasa

Indonesia itu dapat digunakan secara efektif sesuai dengan kedudukan dan fungsinya di

masyarakat Indonesia. Dalam sistem kerjanya, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia

saling berkaitan dan tidak dapat saling dipisahkan. Keduanya merupakan proses yang berjalan

sejajar dan saling mengisi. Pembinaan bahasa Indonesia saja yang dilakukan tanpa adanya

dukungan pengembangan bahasa Indonesia tidak akan mungkin bisa mencapai sasarannya,

karena akan dapat dicapai apabila bahasa Indonesia itu sendiri benar-benar menjadi sarana

komunikasi yang dapat diandalkan. Begitu pun sebaliknya, pengembangan bahasa Indonesia

tanpa didukung pembinaan bahasa Indonesia tidak akan ada gunanya, hal tersebut hanyalah

pemborosan waktu, biaya dan tenaga karena bahasa Indonesia yang dikembangkan itu tidak

digunakan dengan memiliki rasa kebanggaan dan kegairahan oleh masyarakat pemakai bahasa

Indonesia itu sendiri.

Dapat kita lihat bahwa kedua usaha itu memiliki sasaran yang berbeda. Pembinaan

bahasa Indonesia itu ditujukan pada pemakai bahasa Indonesia yang berurusan dengan

bagaimana si pemakai bahasa Indonesia itu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Sedangkan pengembangan bahasa Indonesia ditujukan

pada bahasa Indonesia itu sendiri mengenai bagaimana bahasa Indonesia dapat menjalankan

kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta dalam fungsinya sebagai bahasa

pemersatu, bahasa perhubungan resmi, bahasa pengantar pendidikan, bahasa pemerintahan, dan

bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan pembinaan dan

pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan masalah kebahasaan adalah usaha-

usaha dan kegiatan yang ditujukan untuk mengembangkan dan memelihara bahasa Indonesia,

bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing agar tercapai pemakaian bahasa yang tepat, cermat

60
dan efisien dalam berkomunikasi dan dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Mengingat

fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia maka pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia

itu mutlak adanya di dalam Negara Republik Indonesia. Usaha yang dilakukan tidak hanya

menyangkut masalah bahasa belaka tetapi juga masalah kesusasteraan karena merupakan salah

satu faktor penunjang perkembangan bahasa dan kebudayaan yang bersangkutan. Maka dari itu

perlu diadakannya upaya pembakuan bahasa agar tercapainya pemakaian bahasa yang cermat,

tepat dan efisien dalam komunikasi. Dalam hal tersebut pelu ditetapkan kaidah-kaidah berupa

aturan yang tepat di bidang ejaan, istilah, kosakata, dan tatabahasa. Perlu adanya pembakuan

lafal bahasa Indonesia sebagai pegangan bagi masyarakat umum. Pemakaian bahasa Indonesia

harus terus diperbaiki dan ditingkatkan usaha pembakuannya. Dalam pembakuan bahasa

Indonesia perlu dilaksanakan dengan mengusahakan kodifikasi menurut situasi pemakaiannya

yang menghasilkan berbagai ragam gaya bahasa seperti yang dipakai dalam lingkungan

pengajaran, sarana komunikasi massa, ilmu pengetahuan, administrasi pemerintahan dan adanya

kodifikasi struktur bahasa yang akan menghasilkan istilah, tatabahasa dan kosakata yang baku

sebagai sistem komunikasi, tersedianya sarana pembakuan seperti kamus umum, kamus ejaan,

pedoman pembentukan istilah, pedoman umum ejaan dan pedoman dalam gaya tulis menulis,

serta kerja sama dengan para ahli bahasa, cendekiawan, sastrawan, guru, wartawan, lembaga-

lembaga pendidikan pemerintahan dan swasta dan tentunya masyarakat umum.

Media massa menjadi penunjang dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia

dalam rangka pembangunan nasional karena media massa memiliki pengaruh yang begitu luas di

lingkungan masyarakat. Dalam hubungannya dengan hal itu, media massa telah memberikan

sumbangan yang berharga seiring dengan petumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.

Akan tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam pemakaian bahasa

61
Indonesia melalu media massa baik secara lisan maupun tulisan. Kecenderungan dalam

menghilangkan kata-kata pada media cetak yang misalnya sering mengakibatkan makna kalimat

yang menyimpang atau hilang sama sekali. Masyarakat publik atau media massa di Indonesia

baik melalui elektronik, cetak, maupun cyber menyadari bahwa bahasa Indonesia menjadi sarana

bahkan salah satu modal utama pekerja media dalam menjalankan tugasnya. Tanpa terkecuali

media massa mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan

benar yang tidak menghalangi kreativitas penggunaan bahasa sesuai dengan keperluan media

masing-masing. Media massa perlu menyadari peran dan fungsinya sebagai sarana pendidikan

bagi masyarakat termasuk dalam pembinaan bahasa Indonesia.

Di samping itu pula dalam kesempatan atau kondisi tertentu masih ada saja pemakaian

dalam unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing yang tidak diperlukan. Unsur-unsur bahasa

daerah menjadi salah satu potensi yang penting dalam melaksanakan pembinaan dan

pengembangan bahasa Indonesia. Pemanfaatan unsur-unsur bahasa daerah dilakukan dengan

maksud untuk memperkaya bahasa Indonesia dan hendaknya dilakukan dengan cermat sehingga

tidak akan menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri

maupun terhadap perkembangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Peran ampuh bahasa

Indonesia sebagai lambang pemersatu bangsa harus tetap terjamin dan ketahanan nasional tidak

boleh terganggu sebab banyaknya pemakaian unsur-unsur bahasa daerah dalam bahasa

Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi sehari-hari menunjukkan

peningkatan yang sangat cukup pesat oleh masyarakat dan jumlah pemakai bahasa Indonesia

sebagai bahasa pertama pun semakin mengalami peningkatan. Namun, dalam tingkat

kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar masih perlu mendapatkan perhatian dari

para pendidik dan pemakai bahasa Indonesia itu sendiri. Pemerintah perlu segera mengambil

62
tindakan yang memungkinkan agar terciptanya suasana atau iklim kebahasaan yang sedemikian

rupa sehingga bahasa Indonesia merupakan sarana alat komunikasi utama di Negara Republik

Indonesia. Penggunaan istilah atau kata asing yang tidak perlu harus segera diubah dengan istilah

atau kata bahasa Indonesia. Dalam hubungan itu, kerja sama terpadu antar berbagai instansi

sangatlah diperlukan. Perlu direncanakan pemanfaatan dan penugasan para ahli bahasa secara

maksimal dalam berbagai sektor pembangunan guna menunjang usaha pembinaan dan

pengembangan bahasa baik pemerintah maupun swasta. Semua aparatur pemerintah secara

langsung terlibat dalam perencanaan, penyusunan, pengesahan dan pelaksanaan terutama harus

memiliki kemampuan dan keterampilan dalam berbahasa Indonesia yang memadai sehingga

dapat mudah dipahami dan tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.

3.4.1. Pembinaan bahasa Indonesia

Salah satu sasaran dalam pembangunan Indonesia di bidang kebudayaan ialah

pembangunan bahasa yang lebih dikenal dengan kondisi pembinaan bahasa. Dalam kondisi

pembinaan bahasa Indonesia dikatakan dapat mecapai titik optimal apabila komponen-komponen

yang ada dapat mendukung dan menjalankan fungsinya dengan baik. Sasaran-sasaran proses

pembinaannya harus dilakukan dengan jelas dan terperinci. Kejelasan ini akan menjadikan segala

kegiatan yang dilakukan tidak akan sia-sia dan dapat dengan mudah mengontrol target

keberhasilannya. Dalam upaya untuk memenuhi sasaran dan kelancaran pembinaan bahasa

Indonesia diperlukan adanya kesadaran akan masyarakat itu sendiri. Masyarakat indonesia yang

berperan sebagai sasaran utama dalam pembinaan bahasa Indonesia harus memiliki kesadaran

bahwa bahasa Indonesia tidak sedikit peranannya bagi mereka karena tidak hanya berperan

sebagai sarana komunikasi tetapi hal lain yang lebih penting adalah bahwa bahasa Indonesia

yang menjadi alat pemersatu bagi bangsa Indonesia. Kesadaran akan hal itu sudah harus benar-
63
benar tertanam di dalam jiwa tiap-tiap masyarakat Indonesia. Berbagai kondisi lingkungan

masyarakatnya pun harus diperhatikan. Kondisi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya

masyarakat dipakai sebagai titik pangkal dalam pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia

tersebut. Segala program dan pengelolaannya haruslah didasarkan terhadap kondisi masyarakat

sehingga tidak lagi adanya benturan antara kondisi masyarakat dengan pelaksanaan pembinaan

bahasa Indonesia. Para tenaga pembinanya pun harus mempunyai kemampuan dalam berbahasa

Indonesia yang baik dalam menjalankan fungsinya, sistem pengelolaannya harus jelas dan

fleksibel dengan sarana yang ada harus menunjang kelancaran dalam pembinaan bahasa

Indonesia. Sasaran-sasaran proses pembinaan yang masih dianggap belum berhasil juga akan

dilakukan perbaikan dan ditingkatkan pada pembinaan selanjutnya. Dengan demikian tidak akan

ada lagi sasaran yang tertingal atau tidak terwujudkan. Apabila segala kondisi berjalan

sebagaimana yang diharapkan maka akan tercapailah tujuan pembinaan bahasa Indonesia.

Usaha pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan secara lebih intensif perlu

dilaksanakan dengan menjadikan prioritas utama di daerah-daerah yang tingkat pemahaman

bahasa Indonesianya masih rendah. Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya sebagai alat

pemersatu bangsa perlu dimantapkan. Salah satunya ialah dengan menghindari, mengurangi

pemakaian istilah atau kata-kata asing dan bahasa daerah dalam peristiwa atau hal yang bersifat

nasional. Para generasi muda perlu dibekali dengan disiplin sikap berbahasa yang patut dapat

dibanggakan. Kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia terutama para pendidik, guru

bahasa Indonesia perlu ditingkatkan terus disamping usaha untuk meningkatkan mutu pengajaran

bahasa Indonesia. Mulai dari buku-buku yang diterbitkan baik yang asli maupun terjemahan,

majalah dan surat kabar yang diedarkan serta bahan bacaan koleksi perpustakaan hendaknya

diusahakan agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Usaha yang dilakukan pun

64
perlu direncanakan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga sikap dinamika dan disiplin

berbahasa yang baik serta keterampilan berbahasa Indonesia para pemakai bahasa Indonesia

muncul dari seluruh lapisan masyarakat dapat ditingkatkan secara mantap dan efisien. Guna

memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan itu jalur-jalur formal, informal dan nonformal perlu

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Selain daripada itu, usaha memasyarakatkan Pedoman

Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan

kamus bahasa Indonesia baku perlu dilakukan agar buku-buku yang menjadi acuan itu dapat

dicapai dan dijangkau masyarakat luas.

3.4.2. Pengembangan Bahasa Indonesia

Perlu diketahui bahwa pengembangan bahasa Indonesia merupakan sistem yang

melibatkan komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi. Pengembangan bahasa

bertujuan agar bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa yang satu, baku, modern dan

cendekia karena yang menjadi sasaran pengembangan itu adalah bahasa Indonesia sendiri.

Meskipun bahasa Indonesia sudah menjalankan perannya sesuai dengan fungsi dan

kedudukannya namun tetap saja dalam berbagai aspek kehidupan bahasa Indonesia belum

mencapai tingkat yang maksimal. Terlepas dari kemampuan pemakainya, bahasa Indonesia

masih terdapat kekuranagan seperti dalam aspek tata bunyi, tata kata, tata kalimat, tata makna

dan peristilahannya. Maka dari itu pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan

maksud untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bahasa Indonesia, menutupi kelemahan-

kelemahannya serta meningkatkan mutu kemampuannya sebagai alat komunikasi.

Pengembangan bahasa Indonesia ini dapat dikatakan sebagai suatu keharusan dalam mendukung

pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia.

65
Kekurangan bahasa Indonesia yang paling menonjol terletak pada ungkapan, kosakata

dan istilahnya misalnya tampak pada terbatasnya jumlah jenis kata, ungkapan dan istilah yang

mampu mewadahi dan mengungkapkan aspek-aspek kehidupan, kepekaan emosional,

kemasyarakatan, kebudayaan, konsep-konsep teknis ilmu pengetahuan dan pandangan hidup

masyarakat kebudayaan suku bangsa Indonesia dan perbedaan nuansa makna secara akurat.

Disamping itu, terdapat kekurangan dalam unsur pembentuk morfem terikat seperti untuk

mengungkapkan proses, sifat atau keadaan, paham ajaran, jenis kelamin dan sebagainya.

Usaha-usaha yang diperkirakan relevan untuk mewujudkan pengembangan bahasa

Indonesia antara lain melaksanakan pemungutan kata dari bahasa-bahasa lain baik dari bahasa

daerah maupun bahasa asing. Pemungutan ini dapat dilakukan dengan cara; Adopsi yakni konsep

memungut secara utuh. Contohnya ajeg, tuntas, sinambung, wacana, karsa (dari bahasa daerah)

dan media, data, norma, stamina, hijrah, nasabah (dari bahasa asing). Adaptasi yaitu konsep

memungut dengan menyesuaikan ciri-ciri kepribadian bahasa Indonesia seperti fenomena,

kasual, imajinasi, korek, akurat, interfensi dan sebagainya. Dan terjemahan pinjaman (loan

translation) yakni suatu konsep memungut yang diwadahi dengan materi bahasa Indonesia

seperti coba uji (try out), umpan balik (feedback), tumpang tindih (over lapping), belajar tuntas

(mastery learning), dan lain sebagainya. Kemudian menetapkan ungkapan kata dalam istilah lain

dalam lingkup bahasa Indonesia. Biasanya dikenal dengan terjemahan misalnya (discourse)

wacana , (skill) keterampilan, (stress) tekanan, (advanced) lanjut, (utterance) ujaran, (item) butir,

dan lain-lain. Selanjutnya menghidupkan kembali kata-kata yang bersifat lama dengan kata baru

(arkaisme) seperti wira, pilah, wicara, berjaya, busana. Menciptakan sebuah kata-kata yang baru

contohnya santai, pemilu, sandera, ampere dan yang lainnya.

66
Adapun cara-cara yang dapat ditempuh dalam mengatasi kelemahan-kelemahan bahasa

Indonesia diantaranya menggunakan bahasa Indonesia dalam aspek bidang kehidupan biasanya

menggunakan bahasa daerah seperti dalam lingkungan pergaulan atau keluarga, menggunakan

bahasa Indonesia dalam kesadaran pembebanan makna yang pasti maksudnya setiap ungkapan,

kata dan istilah yang dipakai dalam kalimat dengan makna yang pasti sehingga tidak dapat

digantikan begitu saja dengan bahasa lain, seta mempercepat proses pemantapan bahasa

Indonesia dengan mengurangi persamaan kata atau kesinoniman, membedakan makna pada

bahasa yang maknanya berdekatan, dan mengikatkan makna yang ajeg pada bahasa Indonesia.

Mutu sebuah bahasa biasanya diukur dari segi maknanya, sebuah bahasa itu dapat

dikatakan bermutu jika acuan bahasanya bersifat pasti, tidak samar dan tidak mendua. Kenyataan

tentang belum tingginya mutu bahasa Indonesia menjadi tantangan bagi pemeliharaan bahasa

Indonesia dalam pengembangan bahasa Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain

dengan menggunakan bahasa Indonesia baku dalam situasi formal atau resmi yang bentuk

maupun maknanya telah umum dipakai dan dikenal. Mengikuti kebijaksanaan bahasa Indonesia

yang termasuk didalamnya Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan, Pedoman Umum

Pembentukan Istilah dan Kamus Umum Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa. Serta meneladani tutur kata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Demikianlah

beberapa usaha relevan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka membantu peningkatan mutu

bahasa Indonesia. Tentunya masih banyak usaha lain yang dapat dilakukan namun ini tidak perlu

dipersoalkan. Karena yang terpenting adalah terwujudnya mutu bahasa Indonesia yang tinggi

sebagai sarana alat komunikasi.

67
BAB 4

PENUTUP

68
4.1.Kesimpulan

Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya

dalam melangsungkan hidup sebagai mahluk sosial. Masyarakat tidak mungkin dapat berjalan

tanpa bahasa, begitu juga sebaliknya bahasa tidak akan ada jika tidak ada masyarakat.

Betapa pentingnya penekanan perhatian terhadap kebudayaan itu akan lebih terasa jika dikaitkan

dengan adanya kenyataan bahwa kebudayaan nasional Indonesia, terutama bahasa Indonesia

merupakan sebuah lambang identitas nasional bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai

macam suku budaya dengan memiliki beraneka ragam unsur kebudayaan daerah. Kebudayaan

nasional tersebut masih berada dalam taraf mencari bentuk dan harus sangat diperlukan adanya

pembinaan dan pengembangan.

4.1.2.Saran

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, sudah sepantasnya kita mencintai dan

memeliharanya. Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga memiliki bahasa Indonesia

sebagai lambang identitas nasional. Namun, kita tidak boleh hanya bersikap bangga saja atas

dasar kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu, kita juga harus mempelajari, menguasai dan

menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

69
Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi: kedudukan, fungsi,

pembinaan, dan pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara

Kadarisman, A. Effendi. 2010. Mengurai Bahasa, Menyibak Budaya Bunga: Rampai Linguistik,

Puitika, dan Pengajaran Bahasa. UIN-Maliki Press

Prof. Dr. Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, struktur, dan logika). Bandung: PT Refika

Aditama

Alwi, H.et.al. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1976b. “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia.”

Dalam Politik Bahasa Nasional I, Amran Halim, ed. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1983. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan

Modern, dalam Halim, Amran, dsb. Lumintangintang, Yayah. B. eds. 1983. Kongres Bahasa

Indonesia III (halaman 32-49). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Pembinaan dan Pengembangannya.

Bandung: Jemmars

70

Anda mungkin juga menyukai