PENDAHULUAN
Bahasa, budaya dan masyarakat merupakan tiga unsur kesatuan yang erat berpadu.
Ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketiadaan yang satu akan menyebabkan
ketiadaan yang lainnya. Budaya dan masyarakat adalah hal yang tidak dapat terpisahkan. Dimana
ada masyarakat disitu pun ada budaya, demikian sebaliknya. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, sosok bahasa menjadi hal terpenting. Di dalam sebuah wadah masyarakat pasti hadir
entitas bahasa. Demikian pula, entitas bahasa itu pasti akan hadir jika masyarakatnya ada. Sosok
bahasa pasti akan selalu berkaitan erat dengan dimensi-dimensi kompleks masyarakat yang
menjadi wadahnya. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi atau berinteraksi
dengan sesamanya dalam melangsungkan hidup sebagai mahluk sosial. Masyarakat tidak
mungkin dapat berjalan tanpa bahasa, begitu juga sebaliknya bahasa tidak akan ada jika tidak ada
masyarakat. Karena bahasa yang dipergunakan pun merupakan sesuai kesepakatan bersama
masyarakat tersebut. Bahasa berperan sebagai penanda (signifier) eksistensi budaya dari
masyarakat yang bersangkutan sebagai petanda (signified). Bahasa yang ada di dalam
masyarakat menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun sehingga menjadi suatu ciri
khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, bahasa, masyarakat dan budaya, ketiganya saling berpautan
1
Masyarakat yang maju budayanya pasti juga akan berkembang baik entitas bahasanya.
Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakatnya. Maka, bahasa sering pula
disebut sebagai cerminan masyarakatnya. Jadi, selain sebagai penanda keberadaan bagi budaya,
bahasa juga merupakan cermin bagi keberadaan masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa sering
dikatakan pula bahwa bahasa hampir pasti menunjukkan sikap bangsanya. Pada bangsa yang
Berbicara mengenai kebudayaan, tidak bisa kita pungkiri bahwa kenyataan menunjukkan
bahwa kebudayaan nasional termasuk hal yang rumit. Terkait dengan masalah kebudayaan
nasional, sepatutnya perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemiliknya bangsa
Indonesia. Betapa pentingnya penekanan perhatian terhadap kebudayaan itu akan lebih terasa
jika dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa kebudayaan nasional Indonesia, terutama bahasa
Indonesia merupakan sebuah lambang identitas nasional bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam suku budaya dengan memiliki beraneka ragam unsur kebudayaan daerah.
Kebudayaan nasional tersebut masih berada dalam taraf mencari bentuk dan harus sangat
Usaha pembinaan dan pengembangan itu akan menjadi lebih terarah apabila alat
budayanya sudah ada yakni bahasa. Bahasalah yang menjadi wujud nyata lambang alam pikiran
bagi manusia sebagai pemilik budaya yang bersangkutan. Karena itu sosok bahasa sangatlah
menentukan dalam melaksanakan usaha pembinaan dan pengembangan budaya tersebut. Dari
sinilah terlihat bahwa pengembangan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia berfungsi sebagai
alat pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional karena kondisi bahasa Indonesia yang
memadai kepentingan budaya dan sangat menunjang kepentingan pembinaan dan pengembangan
2
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam dua era sekaligus, yaitu era
globalisasi dan otonomi daerah. Kedua era ini telah mempengaruhi peran bahasa-bahasa di
Indonesia. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia kini telah terjadi berbagai
perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, perkembangan
teknologi informasi maupun sebagai akibat tatanan ekonomi dunia baru. Arus globalisasi telah
menimbulkan evolusi pendidikan, teknologi, pengetahuan, demografis dan hal-hal yang tidak
dapat diduga. Bahasa Indonesia yang kini kian terpuruk seperti sekarang tentu juga dapat
dijadikan penanda bagi eksistensi budaya dan masyarakat Indonesia, yang sepertinya kian
tergerus jatuh dalam keterpurukan. Budaya dan masyarakat Indonesia yang kian karut-marut oleh
aneka terpaan intrik dan masalah sosial, ekonomi, politik, primordialitas, dan lain-lain yang
semakin tidak terarah perkembangannya. Semua evolusi itu dapat memberikan dampak bagi
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebagian besar bangsa Indonesia. dan
yang menjadi bahasa pertama adalah bahasa daerah mereka masing-masing. Maka dari itu
terdapat kemungkinan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak menggunakan
bahasa daerah dan hanya menggunakan bahsa Indonesia hanya untuk komunikasi tertentu saja.
Bahasa Indonesia memiliki ragam atau laras bahasa yang banyak sekali jumlahnya.
terjadi saat ini sepertinya justru semakin memperjelas bahwa bahasa Indonesia ternyata
bermanifestasi pula dalam berbagai bentuk kebahasaan. Persoalan yang cukup serius sekarang ini
muncul karena terhadap ragam-ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya tersebut cenderung
banyak orang mencampur-adukannya. Dapat kita lihat sebagai contoh di dalam dunia periklanan,
3
yang dengan adanya inovasi dan kreativitas yang mendukung seakan-akan berhasil melahirkan
bentuk-bentuk kebahasaan baru. Dalam banyak hal pula, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-
hari banyak kaum muda termasuk kaum pelajar yang menggunakan kata-kata bahasa Indonesia
baik pengucapan maupun penulisannya dimodifikasi menjadi istilah yang dikenal dengan
“bahasa gaul”. Di era globalisasi seperti yang terjadi saat ini, minat para kaum terpelajar untuk
mempelajari bahasa Indonesia menurun. Mereka lebih berminat untuk mempelajari bahasa asing
seperti bahasa Inggris yang dituntut oleh kemajuan zaman global. Banyak orang Indonesia yang
belajar dan menggunakan bahasa asing dengan baik tetapi mereka menguasai bahasa Indonesia
apa adanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan bahasa asing terutama bahasa Inggris juga
begitu penting agar tidak menjadi manusia yang ketinggalan oleh tuntutan zaman. Namun, kita
harus lebih dahulu menguasai bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lainnya karena
perkembangan yang cukup pesat. Peran bahasa Indonesia dan Bahasa asing perlu dirumuskan
kembali seiring dengan era globalisasi sedangkan peran bahasa daerah pun perlu
dipertimbangkan kembali seiring dengan otonomi daerah. Dalam kaitannya dengan hal itu, mutu
bahasa, terutama bahasa Indonesia dan bahasa daerah perlu ditingkatkan mutunya dan
dikembangkan kemampuan daya ungkapnya untuk lebih memberdayakan sumber daya manusia
di samping dapat terus terpelihara. Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, sudah
sepantasnya bahasa Indonesia itu dicintai dan dijaga. Memang inilah yang perlu diperhatikan
dalam membina dan mengembangkan bahasa. Membangun sikap berbahasa yang baik dan benar
menjadi tolak ukur, setidaknya untuk melambatkan laju verbalisme bahasa. Tanpa adanya sikap
berbahasa yang baik dan benar, akan mustahil bahasa Indonesia dapat bertahan baik dalam arus
4
global yang belum sepenuhnya diglokalisasikan ini. Bahasa Indonesia yang tidak baik niscaya
akan akan menjadi penanda eksistensi budaya dan masyarakat Indonesia yang tidak kukuh pula.
yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui seluk beluk perkembangan bahasa Indonesia
2. Mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
3. Menyikapi pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar untuk
dan membina bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bahasa Indonesia.
2. Manfaat teoritis yaitu, program pembinaan dan pengembangan bahasa
digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan
5
permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoretis karya tulis
mengambil data melalui kegiatan membaca dari berbagai sumber literature, buku, artikel
jurnal yang relevan dengan tema karya tulis ilmiah. Data tersebut diolah dengan teknik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam dua bab terakhir dari bukunya Language, Sapir (1921) membahas kaitan tidak
langsung antara bahasa dan budaya, serta kekhasan bentuk sastra yang tergantung pada kekhasan
struktur bahasa yang menjadi wahananya. Di masa kejayaan aliran Strukturalisme Amerika,
relativitas bahasa dinyatakan oleh Joos (1957: 96) sebagai berikut, “Languages could differ from
each other without limit and in unpredictable ways”. Secara lebih ringkas, Moulton (periksa
6
Rivers 1981: 43) menyarikannnya, “Languages are different”. Dalam aliran Strukturalisme
Amerika, perbedaan lintas bahasa yang dinyatakan oleh Joos maupun Moulton terutama meliputi
perbedaan struktur bahasa pada tingkat fonetik, fonemik, morfemik, dan sintaktik. Kuatnya
keyakinan terhadap relativitas bahasa tersebut mendorong munculnya gagasan tentang analisis
kontrastif dalam pengajaran bahasa asing, yang dipelopori oleh Fries (1945) dan kemudian
dipopulerkan oleh Lado (1964). Artinya, relativitas bahasa, yang merupakan kesimpulan analisis
linguistik murni, jadi menonjol secara amat jelas di bidang linguistik terapan: every language is
structurally unique.
Keterkaitan antara relativitas bahasa dan budaya tampak pada hasil kajian antropologi
budaya, misalnya tentang tingkat tutur bahasa Jawa. Meskipun Uhlenbeck (1978) telah meneliti
berbagai aspek bahasa Jawa sejak dasawarsa 1950an, tingkat tutur bahasa Jawa dikenal oleh para
pakar sosiolinguistik dan pragmatik. (periksa Brown dan Levinson 1987, Levinson 1983, dan
Trudgill 1983) terutama melalui karya Geertz (1960), The Religion of Java. Tingkat tutur dalam
bahasa Jawa, demikian pula dalam bahasa Bali, Madura, dan Sunda merupakan sebuah contoh;
bagaimana nilai kesantunan budaya secara eksplisit terungkap pada kesantunan bahasa
(Poedjosoedarmo et al. 1979:8). Tingkat tutur bahasa Jawa akan dibahas lebih lanjut di bawah
sub-topik “leksikalisasi”. Pakar sosiolinguistik Hudson (1980: 80-94) menjelaskan bahwa bahasa
tercakup dalam budaya. Oleh karena itu, tuturan dalam komunikasi verbal sering mencerminkan
secara langsung maupun tak langsung, nilai-nilai budaya yang dianut oleh penutur suatu bahasa.
Model yang dikemukakan oleh Hudson adalah gambaran tentang langue yakni konsep
Berbicara tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya di awal abad ke-21 adalah
meninjau topik lama dengan cara pandang yang baru. Kini gagasan tentang relativitas bahasa
7
muncul kembali sebagai reaksi terhadap ide universalitas bahasa yang ditonjolkan secara
berlebihan melalui pendekatan formal (Gumperz and Levinson 1966). Pahama tentang
universalitas bahasa dipicu oleh istilah “Gramatika Semesta” atau “Universal Grammar” (UG),
yang secara eksplisit dikemukakan oleh Chomsky dalam Aspects (1965). Dalam teori generatif
klasik ini, UG masih ditafsirkan sebagai sejumlah prinsip kebahasaan yang bersifat umum, yang
terdapat pada setiap bahasa. UG is a set of general linguistic principles available in particular
grammars. Bersamaan dengan terjadinya perkembangan dan perubahan teoritis dalam aliran
Linguistik Generatif, penjelasn tentang UG menjadi tujuan utama. Dalam Teori GB (Chomsky
1981) maupun Teori Minimalis (Chomsky 1995), UG adalah nama baru bagi LAD (Language
Acquisition Device). UG is “the set of linguistic principles we are endowed with at birth in
virtue of being human” (Smith 1999: 42). Dalam paradigm Chomskyan, universalitas bahasa
terutama bertumpu pada formal universals, yaitu prinsip-prinsip kebahasaan yang diklaim
bersifat universal dan secara bersama-sama membentuk UG. Perlu diingat dalam teori Chomsky,
sintaksis bersifat sentral. Maka tidak mengejutkan jika formal universals sebagian besar
Bagi Chomsky, language is a mirror of the mind. Linguistic Generatif adalah linguistic
bebas konteks, pendekatannya bersifat mentalistik-formal, dan tujuannya adalah mencari dan
pentingnya konteks dan aspek sosial dan kultural, language is a mirror of the society atau a
mirror of the culture. Dalam Tarik ulur ini, menarik sekali bagaimana Lavendera (1998:1)
It does not seem far-fetched to hold Chomsky indirectly responsible for the accelerated
development in sociolinguistics and ethnolinguistics at the end of the 1960s and for the emphasis
8
laid upon pragmatics and discourse analysis in the mind 1970s. Paradoxical as it may seem, his
revival of the Saussurean langue-parole dichotomy (under the name “competence” and
“performance”), and even more important, his assertion of the auto-nomy of syntax, sparked
maka muncullah pragmatic, analisis wacana, sosiolinguistik dan etnolinguistik yang seluruhnya
menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita
miliki. Kedua, pendekatan Hudson, yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut
akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan kita. Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan
pemikiran Saussurean tentang penanda (Signifier) dan petanda (Signified), dengan menambahkan
Bagi pendekatan yang melihat bahasa sebagai cermin masyarakat atau cermin budaya, definisi
bahasa yang sesuai adalah paduan antara definisi Sapir (1921: 8) dan definisi Francis (1958: 13).
culture as a means to carry on their daily affairs. (Bahasa adalah sistem verbal atau visual bersifat
manasuka, yang digunakan oleh sekelompok penutur dengan budaya tertentu, sebagai alat
Definisi ini mengaskan bahwa bahasa merupakan entitas budaya, dan menyarankan
bahwa konsep-konsep budaya mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas melalui
9
ekspresi bahasa. Sejak kita mengenal pemikiran Ferdinand De Saussure (1916 [1959]), kita
setuju bahwa bahasa bukanlah name-giving. Artinya, berbahasa bukan berarti memberikan nama-
nama pada benda belum bernama. Setiap kata, menurut de Saussure, adalah sebuah tanda yang
arbitrer (arbitrary sign) yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam
istilah yang lebih kita kenal, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna. Dalam konteks
ini, istilah “leksikalisasi” berarti kehadiran makna dan bentuk secara serempak sebagai kata
seperti (misalnya, kata ibu, yang terdiri dari bentuk atau bunyi [ibu] dan makna’orang tua
perempuan’); dan “gramatisasi” berarti kehadiran konsep dan bentuk gramatikal secara serempak
sebagai penanda gramatik (misalnya, sufiks -s pada kata chair-s, yang berarti ‘lebih dari satu’).
1. Menurut Barber dalam bukunya yang berjudul The Story of Language (1964-:21)
mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang berhubungan dengan lambang
bunyi- bunyi suara dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk berkomunikasi
Linguistics (1977:3) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi suara
Benar III (1989:3) mengatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi
anggota masyarakat yaitu individu- individu sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan
10
berkeinginan. Pikiran, perasaan, dan keinginan baru berwujud bila dinyatakan, dan alat
mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol- simbol bunyi ujaran yang arbitrer yang
digunakan oleh anggota masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan
mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampai ide, perasaan, dan
(1966:16)
mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengapresiasikan ide- ide dan
oleh sebab itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, alfabet orang- orang yang bisu-
tuli, upacara- upacara simbolis, formula-formula yang bersifat sopan, isyarat- isyarat dan
sebagainya. Akan tetapi, bahasa adalah sistem tanda yang paling penting dari semua
bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”.
11
2.3. Definisi Ilmu Bahasa (Linguistik)
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi
ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English
“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar,
structural linguistics.”
1. Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu atau sains manusia yang
mencoba mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh,
bagaimana bahasa itu bekerja dan bagaimana bahasa itu berkembang. (Simanjuntak,
bahasa dan deskripsi (pemerian) bahasa. Linguistik adalah ilmu atau studi bahasa yang
mempelajari secara ilmiah tentang hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu
diperoleh dan bagaimana bahasa itu bekerja, serta bagaimana bahasa itu berkembang.
dengan bahasa dengan mengambil bahasa dalam arti harafiah (bahasa tutur sehari-hari)
12
sebagai objek sasarannya objek sasaran yang dikhususkan. (Sudaryanto. 1985. Linguistik
Penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis di Amerika sekitar tahun 1940-
an (William G. Moulton dalam Kroeber, 1958). Oleh para ahlinya, linguistik dikatakan
membantu pengajaran bahasa dalam: (1) menentukan deskripsi bahasa yang akan diajarkan (2)
memilih materi bahasa yang akan diajarkan, (3) memberi pedoman tentang cara penganalisaan
memanfaatkan pula hasil-hasil linguistik terapan, yaitu linguistik yang mempelajari bahasa
dengan pendekatan dari luar diri bahasa itu sendiri. Termasuk ke dalam linguistik terapan ini
antara lain:
masyarakat;
b. psikolinguistik yang meneliti hubungan bahasa dengan kehidupan kejiwaan dan
c. etnolinguistik atau linguistik antropologi yang mempelajari hubungan bahasa
dengan kebudayaan.
bahasa yang tepat untuk diajarkan; dan pemilihan materi bahasa (kata, ungkapan, kalimat) yang
diterima oleh masyarakat (Oller, 1971). Dari psikolinguistik, pengajaran bahasa dapat
memanfaatkan teori-teori yang menerangkan proses kejiwaan siswa dalam belajar bahasa
(Slobin, 1971). Sedangkan dari etnolinguistik, pengajaran bahasa akan dituntun menempatkan
13
diri secara tepat di tengah-tengah kehidupan kebudayaan tempat pengajaran bahasa tersebut
Globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mendunia. Globalisasi merupakan
suatu proses menyeluruh yang tidak terikat oleh negara atau batas wilayah, dimana setiap
individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi dimanapun dan kapanpun melalui media
elektronik maupun cetak sehingga memberi kemudahan dalam menjalin komunikasi antarnegara
sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti
sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dari setiap individu di dunia tanpa dibatasi oleh
wilayah.
intensifikasi interaksi dan integrasi antara orang-orang, perusahaan dan pemerintah dari
sosial secara mendunia sehingga menghubungkan antara kejadian yang terjadi dilokasi
yang satu dengan yang lainnya serta menyebabkan terjadinya perubahan pada keduanya.
Menurut Emanuel Ritcher Globalisasi adalah jaringan kerja global secara
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh
dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.
Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para
penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian W. Pye, 1966).
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi
komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui
media telah memungkinkan. Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka
ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990)
Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber
dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu
adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka
adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota
dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari
segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi
bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi
bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
15
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Muh. Yamin mengatakan
bahwa: "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu
bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim (1990)
menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu,
yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang
kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS,
dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah
mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni
masalah lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya
tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya.
Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang
Berbicara mengenai identitas bangsa, pasti aka nada kaitannya dengan kebudayaan, dan
jika kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan bahasa. Itu
bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas
yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material
dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari
16
sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA) daripada penggunaan
bahasa Indonesia (BI), misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap
mementingkan kegiatan tertentu, seperti demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis.
Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti
kata-kata atau istilah bahasa asing dengan kata-kata atau istilah bahasa Indonesia.
Bahasa mempunyai fungsi yang beraneka ragam. Setiap pakar bahasa juga mempunyai
rumusan bahasa yang berbed-beda, sesuai dengan fokus-fokus penjelasannya. Akan tetapi,
sebelum disajikan bermacam-macam fungsi bahasa oleh banyak pakar bahasa, harus ditegaskan
terlebih dahulu bahwa fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi dan
interaksi. Bagi umat manusia, bahasa menjadi alat peranti utama dalam berkomunikasi dan
Berbicara mengenai fungsi-fungsi bahasa itu, nama Halliday, seorang linguis yang sangat
ternama sama sekali tidak dapat ditinggalkan. Lewat karyanya yang berjudul “Explortions in the
Adapun yang dimaksud fungsi instrumental bahasa adalah bahwa bahasa itu dapat
digunkan untuk melayani lingkungannya. Bahasa juga dapat digunakan untuk menyebabkan
komunikatif tertentu yang juga akan menghasilkan kondisi-kondisi komunikasi tertentu pula.
Selanjutnya yang dimaksud fungsi regulatif, adalah bahwa entitas bahasa itu dapat
Jadi, titik fokus fungsi regulatif ini adalah bahwa bahasa digunakan untuk mengatur serta
mengendalikan orang-orang sebagai warga masyarakat. Bentuk seperti ‘ke kiri jalan terus’ yang
dapat ditemukan di pelbagai persimpangan jalan, adalah manifestasi fungsi regulatif bahasa yang
sesuatu, dan seterusnya. Jadi, fungsi representasional bahasa ini bersifat menggambarkan atau
merepresentasikan sesuatu.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi interaksional bahasa adalah bahwa bahasa itu
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud fungsi personal adalah bahwa bahasa itu
18
Fungsi heuristik bahasa berkaitan erat dengan kegunaan bahasa untuk mempelajari
fungsi heuristik ini. Lemahnya penelitian di Indonesia, dalam hemat penulis, banyak terjadi
karena fungsi heuristic ini tidak benar-benar dinyatakan dengan baik sejak anak usia dini. Maka
sesungguhnya, sejak sangat awal seorang anak sudah harus dibiasakan bertanya. Bertanya adalah
dasar dari hadinya penelitian di keudian hari. Jadi, bertanya itu sesungguhnya upaya untuk
Adapun fungsi bahasa yang terakhir, yakni fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang
berkenaan dengan penciptaan imajinasi. Fungsi bahasa ini dapat dilihat dari sering
difungsikannya bahasa untuk mendongeng, membuat cerita, menciptakan khayalan, mimpi, dan
seterusnya. Dengan fungsi imajinatif bahasa ini, seseorang akan dapat menggunakan bahasa
untuk bertamasya ke alam awing-awang, bersastra dengan segala keindahannya, dan pada
akhirnya akan sampai pada keindahan entitas bahasa yang digunakan untuk terbang ke awing-
awang itu sendiri. Jadi, tujuh fungsi bahasa inilah yang pertama-tama ditegaskan oleh Halliday.
Sepertinya gagasan cemerlang Halliday inilah yang digunakan sebagai acuan dalam
banyak tulisan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi bahasa. Dengan tidak mengubah sama
sekali fungsi-fungsi bahasa sebagaimana ditunjukkan Halliday di depan itu, Tarigan (1993)
merangkum fungsi-fungsi yang berjumlah tujuh itu menjadi “Sapta Guna Bahasa”.
Berbeda sedikit dengan yang disampaikan Halliday seperti yang telah disebutkan diatas.
Wood (1980) sebagaimana dikutip Tarigan (1993) menyebutkan sepuluh fungsi bahasa dalam
kaitannnya dengan perkembangan sistem komunikasi pada anak-anak. Wood menyebut bahwa
pada anak usia 9-16 bulan, fungsi-fungsi bahasa yang dapat ditemukan adalah:
19
1) Fungsi instrumental
2) Fungsi regulasi
3) Fungsi representasional
4) Fungsi interaksional
5) Fungsi personal
6) Fungsi imajinatif
Kemudian pada seseorang yang berusia 16-24 bulan, fungsi-fungsi bahasa yang muncul adalah:
1) Fungsi pragmatik
2) Fungsi matetik
Adapun pada anak berusia 24 bulan dan seterusnya, fungsi bahasa yang dikembangkan
adalah fungsi interpersonal dan fungsi ideasional. Maka, untuk memudahkan pemahaman,
sepuluh fungsi bahasa yang disebut oleh Barbara S. Wood itu kemudian dirangkum dalam
Sedangkan Stephan C. Levinson menyebutkan adanya enam fungsi bahasa yang secara berturut-
1) Fungsi referensial
2) Fungsi emotif
3) Fungsi konatif
4) Fungsi metalinguistik
5) Fungsi fatik
6) Fungsi puitik
Bahasa merupakan salah satu yang termasuk lembaga sosial kemanusiaan. Oleh sebab itu,
tentu tidak mengherankan apabila kita dalam berbahasa sering menbedakan dengan kata yang
benar maupun yang salah antara bentuk ucapan yang indah atau baik dan yang tidak indah atau
tidak baik.
20
Sehubungan dengan ini Jespersen (1954 : 110) mengatakan bahwa pembedaan antara bentuk
ucapan bahasa yang benar dan yang salah dan antara yang baik dan yang buruk itu disebabkan
oleh karena adanya kebiasaan membedakan serupa itu dalam bidang kehidupan yang lain. Dapat
dikatakan bahwa sebenarnya pembedaan yang serupa itu bukanlah persoalan yang ada pada
bahasa itu sendiri, melainkan pembedaan yang dibuat oleh masyarakat para pemakai bahasa itu.
Bentuk dari sebuah bahasa yang baik dan benar itu biasanya sering dihubungkan dengan
sebuah bentuk kata-kata bahasa yang dipakai sebagai sebuah pedoman atau bisa dianggap
Hocket (1960 : 3) mengatakan bahwa persoalan benar-salah dalam ucapan bahasa ini
adalah persoalan para sosiolog dan para antropolog dalam pembicaraanya tentang etika. Karena
itu ilmu ilmu bahasa dalam arti yang sempit (pure linguistic) tidak mempunyai kompetensi
membahas yang demikian ini, karena secara ilmu bahasa pembedaan yang demikian itu tidak
dipersoalkan selama bentuk ucapan bahasa itu telah menunjukkan kesanggupannya sebagai alat
komunikasi di masyarakatnya.
Persoalan logis dan tidak logis adalah persoalan logika. Namun persoalan bahasa
bukanlah semata-mata persoalan logika. Persoalan bahasa adalah persoalan simbolisasi dan
Menurut Wojowasito banyak sekali didapati peristiwa-peristiwa bahasa yang berlangsung secara
tidak logis seperti dalam bentukan analogi. Dilihat dari segi kenyataan bahasa yang demikian ini,
sangat sulitlah bagi kita untuk memakai dasar yang logis sebagai dasar untuk menentukan bahasa
yang betul itu. Sering pula orang-orang menghubungkan bentuk ucpan bahasa yang betul itu
dengan ucapan bahasa yang diinginkan oleh masyarakat. Gejala yang demikian ini disinyalir
oleh Jespersen (1954:125) sebagai berikut “…that correct speech means the speech that
21
community expects”. Masyarakat mengharapkan ucapan bahasa yang betul itu namun masyarakat
tidak merumuskan bentuk ucapan bahasa yang betul itu dengan tegas. Persoalan ini dapat kita
tinjau dari keadaan yang dialami oleh tiap individu dalam pengucapan bahsanya di tengah-tengah
Bahasa masyarakat itu seperti yang dikemukakan oleh Jespersen (1954:113) “People
often talk of the tyranny of linguistic usage and the community is certainly, in the domain of
language usage and in other domains, tyrannical in some of its domains”. Akibatnya, ucapan
bahasa oleh setiap individu akan selalu berkisar antara tuntutan pemenuhan kebutuhan ekspresi
dan tuntutan kebututhan masyarakatnya. Kriteria bentuk ucapan bahasa yang diharapkan oleh
masyarakat tidak akan mudah untuk ditentukan dan diterapkan pada betuk ucapan bahasa yang
benar. Dikatakannya …from adalah scientific point of view there was nothing in language which
Adapun usaha-usaha yang dpat dilakukan untuk bagaimana menentukan bentuk ucapan
bahasa yang betul dalam uraian yang akan dibatasi pada usaha yang pernah dilakukan oleh Adolf
Noreen dalam disertasinya tentang “Standard of Correctness” (1954). Menurut Adolf Noreen
terdapat tiga pandangan dasar untuk menentukan bentuk ucapan bahasa yang betul yaitu sebagai
berikut :
1. Dari sudut pandangan sejarah bahasa sastra (aslinya adalah Literary Historical)
2. Dari sudut pandangan sejarah perkembangan alamiah dari bahasa (aslinya adalah
Natural Historical)
3. Dari sudut pandangan rasional (aslinya adalah Rational)
Noren mengatakan bahwa tidak semua bentukan kata yang dipakai oleh pengarang itu
merupakan bentukan yang betul. Bahasa sastra atau bahasa pengarang itu adalah suatu dialek ,
22
yaitu dialek sastra (literarary dialect) (Francis 1952: 48). Sebagai suatu dialek, dia mempunyai
corak pengucapan bahasa tersendiri yang Antara lain tampak dalam pemilihan unsur-unsur
bahasa yang dipakainya, karena itu Vendereyes (1952: 272-273) cenderung untuk menamakan
nama sastra itu sebagai special language yaitu bahasa yang (artistik writing). Selanjutnya
dikatakan “Artistic writing is always a reaction againts the standard language”. Jika dilihat dari
segi ini, sulit bagi kita untuk menjadikan bahasa sastra itu sebagai pedoman.
ada atau dikatakan terdapat pada bahasa sastra secara umum dapat dikatakan bahwa bahasa
sastra itu merupakan refleksi dari bahasa standar, yakni bahasa yang benar.
Adolf Noreen mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu organisme yang berkembang
secara alamiah di dalam masyarakatnya. Karena itu bentuk ucapan bahasa yang benar itu adalah
bentuk ucapan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat bahasa. Noreen mengemukakan
bahwa dalam penentuan bentuk ucapan bahasa yang benar itu, sebanyak mungkin kita harus
berorientasi terhadap bentuk ucapan bahasa yang sedang hidup dipakai. Kita tidak perlu banyak
Anggapan Noreen seperti ini dapat kita pahami jika kita hubungkan dengan masa
desertasinya pada (tahun 1895, yaitu abad ke-19) yang merupakan suatu masa dimana kajian
linguistik sangat berpedoman kepada perkembangan alamiah dari bahasa dan menganggap apa
yang sedang terpakai itu adalah bentuk-bentuk yang betul. Sedangkan Jespersen (1954: 77)
memiliki pandangan bahwa sebenarnya persoalan benar-salah pada waktu itu tidak ada, sehingga
kurang tepatlah kalau Noreen menggunakan dasar alamiah bahasa ini sebagai titik tolak.
23
Menurut sudut pandangan Noreen yang ketiga adalah sudut padangan yang rasional. Dari sudut
pandangan yang dikemukakan bahwa bentuk ucapan bahasa yang betul itu adalah “The best is
that which can be cought most exactly and most quickly by the audience present and be most
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang dan identitas nasional bangsa yang tidak
luput dari adanya tantangan. Walaupun Bahasa Indonesia kini telah menjelma menjadi potensi
budaya bagi bangsa Indonesia, hadirnya berbagai tantangan yang tantangan yang perlu
diantisipasi dan tantangan yang telah nyata sekarang harus dihadapkan dengan adanya
perencanaan serta pemikiran yang bersifat intelektual, konseptual, dan penuh kearifan. Tantangan
itu terbagi dua yakni ada yang bersifat internal dan adapun yang bersifat eksternal. Tantangan
yang bersifat eksternal itulah disebabkan antara lain karena adanya arus globalisasi.
Amran Halim (terdapat pada Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) mengemukakan
pendapat bahwa setelah 67 tahun Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa persatuan
dan situasi kebahasaan itu ditandai oleh adanya dua tantangan. Tantangan yang pertama, yaitu
perkembangan Bahasa Indonesia yang bersifat dinamis, namun tidak menimbulkan adanya
pertentangan di antara masyarakat. Pada saat yang bersamaan pula bangsa Indonesia telah
mencapai puncak kedewasaan dalam berbahasa. Mulai saat ini, tumbuh rasa kesadaran secara
emosional bahwa perilaku dalam berbahasa sama sekali tidak terkait dengan masalah
nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa asing. Tantangan yang
kedua, yaitu merupakan sebuah persoalan mengenai tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan
kedua ini yang menimbulkan prasangka terhadap ilmuwan kita yang menyatakan bahwa bahasa
Indonesia itu miskin, bahkan kita dituduh belum mampu untuk menyediakan sepenuhnya
24
padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Mediono
(1991:15) memiliki pandangan bahwa prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak
Kedua tantangan menurut Amran Halim tersebut dapat dikategorikan sebagai tantangan
yang bersifat internal. Tantangan itu dapat dilihat dari kenyataan Bahasa Indonesia itu sendiri,
dan yang satu dari pemilik penutur Bahasa Indonesia sendiri. Tantangan yang datang dari
pemilik dan penutur bahasa Indonesia sebenarnya bersumber dari sikap kesadaran berbahasa
32). Terhadap ujaran sulitnya mendapatkan padanan istilah yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni sebenarnya Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar
dalam disiplin ilmu tertentu telah mengupayakan menerbitkan kamus, antara lain Kamus Istilah
Teknik Perkapalan (Soegiono dkk,1985), Kamus Istilah Politik (Muhaimin dkk, 1985), Kamus
Istilah Teknologi Mineral (Soetjipto dkk, 1985) tetapi barangkali tidak luas, sehingga tuduhan di
atas muncul.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, banyaknya tantangan yang menghadang Bahasa
Indonesia sebagai lambang kebanggan kebangsaan dan identitas nasional. Maka dari itu, perlu
dilakukan kiat-kiat strategis dan taktis untuk penanggulangannya. Upaya awal yang layak untuk
25
Moeliono (1985:5-11) membahas perencanaan tersebut menjadi tiga hal, yakni;
1) Perencanaan fungsional
2) Perencanaan sebagai proses; dan
3) Penamaan yang bervariasi
Perencanaan dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan, yakni (1) perencanaan, (2)
Sementara itu, Klose (lihat pada Fishman, 1974, 112) yang mengidentifikasi dimensi
1) Korpus bahasa
2) Status bahasa; dan
3) Aspek yang mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi.
kegiatan perencanaan bahasa yang meliputi (1) kodifikasi, (2) regularisasi, (3) simplikasi, (4)
Sementara itu, Christian (lihat Newmeyer, 1988:197) menyatakan bahwa komponen kunci
dalam perencanaan bahasa meliputi (1) intervensi, (2) eksplisit, (3) berorientasi pada tujuan, (4)
sistematis, (5) memilih dari berbagai alternative dan (6) bersifat institusional.
Indonesia, kita harus melaksanakan kegiatan terpadu yang melibatkan selain unsur pemerintah
26
juga (1) ABRI, (2) badan peradilan, (3) organisasi keagamaan, (4) penerbit, (5) organisasi profesi
kebahasaan, (6) linguis, (7) pakar bidang linguistic, (8) guru bahasa, dan (9) tokoh masyarakat
(cf. moeliono, 1985:19). Konsekuensi logis selanjutnya, yakni mengharapkan agar Putusan
Kongres Bahasa (1993) yang berisi antara lain agar status Pusat Bahasa ditingkatkan, supaya
BAB III
27
PEMBAHASAN
Para ahli bahasa telah menggolongkan bahasa menjadi beberapa rumpun. Penggolongan
bahasa menjadi beberapa rumpun tersebut dilakukan berdasarkan anggapan yang menyatakan
bahwa bahasa-bahasa di dunia ini, dilihat dari letak daerah dan cirinya diperkirakan mempunyai
asal-usul yang sama. Salah satu unsur rumpun tersebut ialah Austria. Rumpun Austria ini terdiri
seperti bahasa-bahasa Khosi, Nikobar, Mon dan Kmer. Sebaliknya, bahasa Austronesia dibagi
menjadi dua kelompok bahasa-bahasa Oceania, yakni bahasa-bahasa Indonesia (Nusantara) dan
Filipina, Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, Solor, Alor dan lain-lain. Bahasa-bahasa
Salomon, dan Sabnta Cruz. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam bahasa Oceania ialah bahasa
Maor, Tahiti, Hawai dan lain-lain. Selanjutnya, daerah-daerah bahasa Austronesi terbentang dari
pulau Madagaskar di sebelah barat samapai ke pulau Papanui (paskah) dekat pantai Amerika
Selatan (di sebelah timur) dan sebelah utara dimulai dari Tiwan dan Filipina membentang ke
bahasa-bahasa di sebelah barat dan sebelah timur. Adapun batasannya dari pulau Sumba bagian
28
timur melintang ke utara membelah kepulauan Sula. Perbedaan kedua kelompok itu memiliki
banyak sekali morfem terikat. Kata benda yang berfungsi posesif (penunjuk milik) dalam
bahasa-bahasa sebelah Barat terletak di belakang kata benda yang dimilikinya. Sebaliknya,
dalam bahasa-bahasa sebelah timur kata benda posesif terletak di depan kata benda yang
dimilikinya. Jumlah bahasa Nusantara banyak sekali. Berdasarkan penelitian pusat pembinaan
dan Pengembangan bahasa, bahasa yang berada di kawasan Nusantara berjumlah 418 buah.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu sejak awal abad ke 7, yakni sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perdagangan lingua franca di
Nusantara. Bahasa Melayu terus merembes ke Pulau Sumatera hingga menyebar luas ke
Palembang. Pada waktu itu bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya yang
berdiri pada abad VII sampai dengan abad XII dan telah mencapai puncak kejayaannya pada
abad IX. Kerajaan Sriwijaya mendapat pengaruh yang besar sekali karena kerajaan tersebut
dapat menguasai lalu lintas pelayaran yang meluas sampai ke Sri Lanka Barat, Kamboja, Filipina
Jauh sebelum bangsa Belanda menjajah Nusantara, bahasa Melayu telah merembes ke
wilayah Indonesia bersamaan dengan datangnya berbagai bangsa yang membawa bermacam-
macam kebudayaan, agama dan bahasa. Selanjutnya bahasa Melayu terus meluas ke arah selatan
memasuki wilayah Indonesia. Daerah yang pertama kali dimasuki yaitu Kepulauan Riau. Itulah
sebabnya bahasa Melayu di Kepulauan Riau termasuk bahasa Melayu baku di Indonesia.
Semakin jauh dari pusatnya, bahasa Melayu tersebut semakin berubah karena mendapat
Mulanya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, yakni salah satu bahasa
daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para
29
pemuda pada “Kongres Pemoeda” pada 28 Oktober 1928 di Solo, dan diresmikan menjadi
bahasa Indonesia. Ketika itu, penamaan dan pengangkatan bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa
Indonesia lebih bersifat politis daripada linguistis. Tujuannya adalah ingin mempersatukan para
pemuda-pemuda Indonesia, alih-alih disebut sebagai bangsa Indonesia. Pada saat itu, wakil-
wakil pemuda Indonesia yang mengikuti “Kongres Pemoeda’ adalah dari Jong Jawa, Jong Sunda,
Jong Ambon, Jong Batak, dan Jong Selebes. Jadi, sebenarnya saat itu secara linguistis yang
dinamakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak jauh berbeda
dengan bahasa Melayu. Namun, demi mewujudkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia, secara politis para pemuda Indonesia saat itu menyebutkan bahasa Melayu-Riau
menjadi bahasa Indonesia. Dengan nama bahasa Indonesialah yang dianggap dapat
memancarkan inspirasi dan jiwa semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang
berbau kedaerahan.
Ikrar yang sudah jauh lama dikenal oleh bangsa Indonesia dengan nama “Soempah
Pemoeda” Sumpah Pemuda ini pada butir ketiga berbunyi “Kami poetra-poetri Indonesia,
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indoensia). Bangsa Indonesia yang selalu
memperingatinya setiap tahun telah memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu
bangsa. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi paling efektif, yang mutlak diperlukan setiap
bangsa. Tanpa adanya bahasa, bangsa tidak akan bisa berkembang, dan menunjukkan dirinya
secara utuh dalam lingkungan dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akan
lenyap ditelan masa. Maka dari itu, bahasa menunjukkan dirinya sebagai identitas bangsa.
kebudayaan bangsa tersebut. Bahasa menggambarkan sudah sejauh mana kemajuan yang telah
30
dicapai oleh suatu bangsa. Ikrar berupa Sumpah Pemuda inilah yang menjadi dasar pokok bagi
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, bahasa Indonesia kini
tidak lagi berperan sebagai bahasa persatuan, tetapi juga bahasa Indonesia berkembang sebagai
bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang telah menunjukkan identitias dan
memperlihatkan ciri-cirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bagi bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia sangat berperan dalam upaya mempersatukan berbagai suku bangsa,
adat dan budayanya yang beraneka ragam. Dalam mewujudkan misinya, bahasa Indonesia akan
terus berkembang seiring dengan perkembangan dan keperluan bangsa Indonesia, meskipun ada
menjadi dinamika dan konsekuensi bahasa yang hidup. Namun, karena bahasa Indonesia sudah
ditetapkan sebagai bahasa yang berkedudukan tinggi oleh bangsa Indonesia maka bahasa
Indonesia harus dipupuk dan ditumbuhkan dengan baik dan penuh tanggung jawab agar dapat
Sebelum terjadinya perang dunia kedua, bahasa Indonesia tidak mendapat penghargaan
masyarakat dengan sepantasnya meskipun dalam dunia pergerakan politik semakin banyak
menggunakan bahasa Indonesia. Pada dunia pendidikan dan dunia ilmu pengetahuan bahasa
Indonesia belum digunakan dengan baik. Pada saat itu bukan bahasa Indonesialah yang
digunakan melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa pengantar yang
digunakan untuk ilmu pengetahuan pun adalah bahasa Belanda. Dan apabila seseorang ingin
dihormati, dihargai dan disegani dalam lingkungan pergaulan saat itu, ia harus dapat menguasai
bahasa Belanda dengan baik. Karena bahasa Belanda benar-benar dapat menentukan status
pemakainya. Sehingga para penutur bahasa Indonesia merasa apatis atau merasa bodoh melihat
31
kekangan yang hebat terhadap bahasa Indonesia. Seolah-olah pada saat itu, bahasa Indonesia
tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Orang-orang Indonesia ketika itu merasa
tidak berguna mempelajari bahasa Indonesia dan sebaliknya mereka merasa lebih terhormat dan
terpelajar apabila mereka menguasai bahasa Belanda dengan baik. Akibatnya, tidak banyak
orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius dan sudah merasa cukup
untuk menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum dan kondisi tertentu
saja. Akhirnya, banyak pula orang-orang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia
Pada zaman pendudukan Jepang, sebagai lawan penjajah bahasa Belanda dilarang
penggunaannya dan harus diganti dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih
meragukan kemampuan dalam berbahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan dan orang-orang
Indonesia pun belum memahami bahasa Jepang. Jadi, satu-satunya bahasa yang dapat dipakai
adalah bahasa Indonesia. Tetapi, ketika bangsa Jepang datang ke Indonesia dan banyak dari
mereka yang sudah pandai dalam berbahasa Indonesia dan oleh berkat dorongan pemuda-
pemuda Indonesia, maka orang-orang Indonesia terpaksa memakai bahasa Indonesia dalam
setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia pun menjadi popular dan mulai diperhatikan para
pemakainya dengan baik. Pemakaian istilah bahasa “Indonesia” tidak dilarang oleh penduduk
Jepang. Para ahli bahasa memiliki pandangan bahwa situasi ini sangatlah menguntungkan
bahkan ada pula yang mengatakan bahwa zaman Jepang merupakan zaman keemasan bagi
bahasa Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan kosakata yang
cukup pesat sehingga bermunculan berbagai istilah seperti perang, senapan, genting, samurai,
kamikaze, bayonet, harakiri, sayonara, taisyo, yudo, karate, dan sebagainya. Namun demikian,
tidak semua dari pakar bahasa memiliki anggapan dan mengakui zaman Jepang sebagai zaman
32
keemasan bagi bahasa Indonesia. Para pegawai maupun pejabat-pejabat negara yang awalnya
terbiasa dalam berbahasa Belanda justru mereka beramai-ramai mengikuti kursus bahasa
Indonesia. Banyak orang tua, anak-anak yang belajar bahasa Indonesia dan sempat dari mereka
menjadi penulis, guru bahasa Indonesia. Terbuktilah bahwa bahasa Indonesia mulai mengalami
perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai bahasa hidup yang akan terus dipakai
pemiliknya dengan teratur dan lebih luas tidak jauh berbeda mutunya dengan bahasa-bahasa
asing lainnya.
bahasa Indonesia
1. Pada tahun 1850, seorang sarjana Inggris yang bernama J.R. Logan (James
“penduduk Kepulauan India”. Secara perlahan istilah Indonesia mulai melekat pada diri
bangsa Indonesia. Dengan nama “Indonesia” penduduk mempunyai rasa kebersamaan, dan
rasa persatuan. Namun, pemerintah Belanda kurang meyenangi istilah itu karena dibalik
2. Pada tahun 1896, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuysen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini
3. Pada tahun 1908 terjadi beberapa peristiwa kebahasaan di tanah air antara lain;
banyak putra dan putri Indonesia yang sudah dapat membaca dan menulis. Mereka haus
akan bacaan namun pemerintah Belanda belum menyiapkan bahan bacaan tersebut. Karena
33
tidak ada bahan bacaan, putra dan putri Indonesia membaca buku-buku dari luar negeri.
Banyak dari buku-buku tersebut yang membahas tentang sejarah, bagaimana bangsa asing
dalam merebut kemerdekaan. Istilah “Indonesia” alih-alih pada kata “Melayu” mulai
terkenal dan populer. Namun, putra dan putri Indonesia lebih menyukai istilah “Indonesia”
“Indonesia” karena dibalik istilah itu terdapat makna sebuah kesatuan. Tetapi, putra dan
putri Indonesia semakin dilarang dalam penggunaan istilah tersebut meskipun tahanan
Rakyat) yang berarti Komisi untuk Sekolah-sekolah Bumiputera dan Bacaan Rakyat.
Badan ini menangani penerbitan karangan atau cerita hiburan yang dibuat oleh para
sastrawan Indonesia. pujangga Indonesia dihimbau untuk menulis cerita rakyat yang sudah
Malin Kundang, Si Kabayan, Nini Towok, Batu Balah dan Ande-Ande Lumut. Buku-buku
tersebut untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan dan untuk mengimbangi bacaan liar.
Karangan cerita yang akan diterbitkan Taman Bacaan Rakyat harus melalui badan sensor
dan isinya tidak boleh membakar semangat rakyat melainkan harus menghibur para
pembaca sebagai sarana hiburan semata. Karangan cerita-cerita rakyat tersebut mulai
dibukukan pada tahun 1908. Pada tahun 1908 ini dinamakan dengan tahun kebangkitan
nasional.
4. Kemudian pada tahun 1917 Taman Bacaan Rakyat diubah menjadi Balai Pustaka,
tetapi patriot bangsa tetap tidak menyukai badan tersebut. Badan penerbit ini menerbitkan
novel-novel, seperti Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Muda teruna buku-
34
buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, dan sebagainya yang
Penerbitan buku-buku ini tetap harus dilakukan melalui badan sensor. Menurut bebearapa
ahli bahasa, pada zaman ini bahasa Melayu mengalami pertumbuhan yang cukup cepat.
Dan penggunaan nama Indonesia semakin dilarang. Para pemuda semakin memiliki hasrat
5. Pada tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia
dalam pidatonya. Hal ini dilakukan untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, bahwa
agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Para pemuda Indonesia tidak
dapat lagi menahan rasa gejolak ingin memiliki bahasa persatuan. Dengan keberanian dan
mempertaruhkan jiwa raga putra dan putri memproklamasikan bahasa persatuan yakni
bahasa Indonesia yang dikenal dengan nama “Soempah Pemoeda”. Ikrar Sumpah Pemuda
ini dilaksanakan di Gedung Pemuda Jl.Kramat Raya no 108. Terdapat ikrar ketiga Sumpah
Pemuda yang menyangkut kebahasaan, yaitu yang berbunyi “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia”. Jadi, sejak tahun
1908 pada bulan Oktober, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan. Sejak saat itu,
pura dan putri dari berbagai suku manapun sepakat menamakan bahasanya dengan nama
Bahasa Indonesia. sebutan bahasa Melayu secara perlahan sudah tidak terdengar lagi dari
bangsa Indonesia namun pemerintah Belanda masih tetap saja bersikeras memberi nama
35
7. Selanjutnya pada tahun 1930, putra dan putri Indonesia sepakat untuk
menerbitkan sebuah majalah dengan nama Majalah Pujangga Baru. Para pujangga
Indonesia yang awalnya terbagi dua yaitu dengan adanya pro dan kontra terhadap Balai
8. Dalam tempo tiga tahun, para pujangga yang tergabung dalam majalah Pujangga
Baru berjumlah semakin banyak dan pada tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan
muda yang menamakan dirinya sebagai Angkatan Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana. Putra dan putri Indonesia dapat berbicara dengan lebih bebas
pada majalah ini. Kemudian pada tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tata
bahasa Baru Bahasa Indonesia. Buku tersebut menjadi pelopor untuk buku tata bahasa
yang selanjutnya. Pada tanggal 25-28 Juni 1938 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo yang tujuannya untuk menyepakati rumusan “bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan”.
9. Pada tahun 1942, pemerintah Jepang, Dai Nippon datang ke Indonesia. Penjajah
melarang penggunaan bahasa Belanda. Ketika itu satu-satunya bahasa yang dapat dipakai
yang terdapat pada salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara.
36
11. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa
13. Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia, telah meresmikan
kenegaraannya di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57 tahun 1972. Pada tanggal 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Ejaan ini sudah direncanakan dan diusahakan
perwujudannya yang bekerja sama dengan Malaysia sejak tahun 1956. Akan tetapi karena
terjadi konfrontasi dengan Malaysia rencana itu ditunda. Kemudian pada tahun 1966 kerja
sama itu dilanjutkan kembali dan mulai terwujud pada tahun 1972.
Bahasa Indonesia III di Jakarta sekaligus memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-50
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia..
Selanjutnya secara periodik lima tahun sekali bangsa Indonesia mengadakan kongres
bahasa. Hal ini jarang terjadi atau mungkin tidak terjadi pada bangsa lain.
37
15. Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta
yang berlangsung pada tanggal 21 November sampai dengan 26 November 1983. Kongres
ini untuk memperingati Sumpah Pemuda yang ke-55 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
mahasiswa dan para peminat dari dalam maupun luar negeri. Kesimpulan yang dapat
diambil adalah yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara untuk
Negara, Jakarta pada hari Jum’at tanggal 28 Oktober, dan sidang-sidangnya berlangsung
hingga hari Kamis, 3 November 1988 di Hotel Kartika Chandra. Dihadiri oleh kira-kira
tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara
sahabat seperti Malaysia, Singapura, Jerman, Brunei Darussalam, Belanda, dan Australia.
17. Pada tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VI di Jakarta dihadiri oleh sebanyak 770 peserta dari berbagai mancanegara.
18. Pada tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII
Bahasa.
Secara formal hingga saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu
sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam
38
perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa
Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, harus dicatat bahwa bahasa Indonesia memiliki
kedudukan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia sudah dikenal secara luas oleh masyarakat
sejak "Soempah Pemoeda" Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan memiliki kedudukan
yang sangat penting yang menjadikan bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan. Seperti yang
tercantum dalam ikrar ketiga yang berbunyi, 'kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi
bahasa persatuan bahasa Indonesia'. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
bahasa nasional dimana kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah yang sesungguhnya
memberikan roh bagi perawatan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa Indonesia dalam
Akhir-akhir ini, roh 'menjunjung tinggi' ini harus dimaknai sebagai pengakuan pula
terhadap keberadaan bahasa-bahasa yang lainnya. Terhadap serangan dan gempuran bahasa-
bahasa asing dalam konteks globalisasi yang terjadi sekarang ini, roh 'menjunjung tinggi' bahasa
Indonesia ini harus tetap dijaga dengan sebaik-baiknya. Bahasa Indonesia bisa menjalankan
fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia, dapat menumbuhkan
rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang memiliki berbagai etnis. Namun kehadiran bahasa
Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan pandangan negatif bagi
etnis yang menggunakannya melainkan bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung reaksi
Dengan adanya berbagai latar belakang suku, budaya dan bahasa yang berbeda-beda
sangat sulit untuk berkomunikasi kecuali jika adanya bahasa pokok yang digunakan. Tetapi
39
berkat dengan adanya bahasa Indonesia, satu etnis yang berbeda dengan etnis yang lainnya dapat
apapun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat perantara untuk menjalin komunikasi dan
perhubungan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, telah menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia dalam fungsinya telah mengalami peningkatan dan penyebarluasan sebagai alat
perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Semuanya dapat terjadi karena sarana perhubungan
yang bertambah baik, semakin bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum,
bertambah banyaknya jumlah perkawinan yang dilakukan antarsuku, dan juga bertambah
banyaknya para pekerja, karyawan swasta maupun pegawai negeri dari satu daerah yang pindah
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi
sebagai lambang kebanggaan kebangsaan dan lambang identitas nasional. Bahasa indonesia
mencerminkan nilai-nilai luhur sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan perilaku bangsa
Indonesia. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menunjukkan harga diri dan
mencerminkan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup. Atas dasar rasa
kebanggan ini, bahasa Indonesia digunakan dengan terus dipelihara dan dikembangkan oleh
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia ini pun harus terus dibina dan dijaga oleh bangsa Indonesia.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia mewakili jati diri bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia dijunjung tinggi disamping bendera nasional, Merah Putih, lambang Negara
Dalam pelaksanaanya, bahasa Indonesia harus memiliki ciri identitasnya sendiri sehingga
serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Masyarakat penggunanya perlu membina dan
40
mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain yang tidak
diperlukan misalnya istilah atau kata dari bahasa asing yang sering diadopsi, padahal istilah atau
kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa gaul remaja masa kini.
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi di dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Sebenarnya dalam hal untuk berkomunikasi kita dapat menggunakan
cara lain misalnya dengan memakai isyarat, lambang-lambang gambar ataupun kode-kode
tertentu lainnya. Tetapi dengan adanya pemakaian bahasa, komunikasi akan dapat berlangsung
dengan lebih baik dan lebih sempurna. Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945,
bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, dalam pasal 36 dinyatakan dengan tegas bahwa
bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara. Dengan kata lain, harus ditegaskan pula bahwa
bahasa Indonesia adalah bahasa Negara. Begitupun dengan bahasa indonesia, yang memiliki
kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di tengah-tengah berbagai macam bahasa
daerah dalam kedudukannya sebagai bahasa negara tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi
timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas maupun alat perhubungan antardaerah dan
antarsuku, tetapi juga sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa
formal lainnya. antara lain alat untuk menjalankan administrasi kenegaraan seperti undang-
rapat-rapat dinas, pendidikan, lokakarya masalah pembangunan nasional dan surat dari karyawan
atau pegawai yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya dan sebagainya
ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi jika terjalin komunikasi dengan jarak
sosial yang cukup jauh, misalnya antara kepala dinas dengan bupati atau walikota, kepala desa
dengan camat, bawahan dengan atasan, mahasiswa dengan dosen, dan sebagainya.
41
Tidak jauh berbeda dengan pidato-pidato kenegaraan yang juga ditulis dan diucapkan
dalam bahasa Indonesia namun hanya saja terkadang jika dalam kondisi tertentu seperti dalam
komunikasi internasional antarbangsa dan antarnegara, pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan
dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris. Untuk melaksanakan fungsi bahasa negara,
senantiasa perlu diadakannya pembinaan dan pengembangan bahasa. Fungsi ini harus dipertegas
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, pasal 36, UUD 1945, dinyatakan
bahwa bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu, di
samping sebagai bahasa Negara dan bahasa resmi. Dalam kaitannya sebagai bahasa budaya,
bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri yang membedakannya dengan
kebudayaan daerah sehingga bahasa Indonesia menjadi perantara yang memungkinkan untuk
membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa yang pada saat ini bahasa
Indonesia menunjukkan nilai-nilai luhur sosial budaya nasional. Pada situasi inilah, bahasa
Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, demi
pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam fungsinya sebagai bahasa ilmu.
Dalam pelaksanaannya di bida ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK dilakukan dengan
Bahasa Indonesia pun berperan sebagai bahasa pengantar dan penyampaian ilmu
pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkatan lembaga-lembaga pendidikan. Mulai dari
lembaga pendidikan terendah (Taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks
42
serta penyajian pelajaran atau perkuliahan seperti karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik
buku, rujukan, skripsi, tesis, disertasi dan hasil laporan penelitian) yang menggunakan bahasa
Indonesia telah menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mampu berperan sebagai alat
penyampaian IPTEK. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya
kepada bahasa-bahasa asing dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan IPTEK. Pada
tahap ini, bahasa Indonesia telah menjalankan perannya sebagai bahasa ilmu.
Bahasa merupakan suatu sistem lambang berupa bunyi, yang bersifat arbitrer yang
mengandung arti manasuka dan digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama
dan mengidentifikasi diri. Sistem-sistem lambang bahasa yang berupa bunyi, yang bersifat
arbitrer itu artinya tidak ada ketentuan ataupun hubungan antara suatu lambang bunyi dengan
Sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis yakni bahasa tersusun
menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak dan sistemis yang berarti bahwa bahasa itu
terdiri dari beberapa sub sistem seperti sub sistem fonologi, morfologi, sintaksis, semantik.
Kemudian bahasa tersusun dan terbentuk oleh suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu baik
dalam bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kata maupun tata bentuk kalimat yang secara
keseluruhan membentuk satu sistem karena jika tidak tersusun maka sub sistem tersebut tidak
berfungsi. Bila aturan-aturan, kaidah atau pola ini dilanggar maka akan menyebabkan
terganggunya komunikasi.
Lambang yang digunakan dalam sistem bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia karena yang dianggap primer dalam berbahasa adalah bahasa yang diucapkan
43
atau sering kita sebut dengan bahasa lisan. Di samping itu pula, bahasa tulisan yang walaupun
sangat penting dalam dunia modern hanyalah bersifat sekunder. Penguasaan terhadap bahasa
lisan maupun bahasa tulisan harus dipelajari dengan sungguh-sungguh karena keduanya sama
penting.
Setiap bahasa sebenarnya memiliki kesamaan dalam hal tata bentuk kata, tata kalimat dan
tata makna. Tetapi karena dengan adanya berbagai faktor seperti usia, agama, pendidikan, profesi
dan latar belakang budaya daerah yang terjadi di dalam masyarakat pemakai bahasa itu menjadi
tidak seragam dengan benar. Bahasa itupun menjadi beragam misalnya dengan tata bunyinya
yang menjadi tidak sama persis, mungkin tata bentuk dan tata katanya dan juga tata kalimatnya.
Keragaman bahasa ini terjadi pada bahasa Indonesia akibat berbagai faktor tersebut maka ragam
a) Ragam bahasa perseorangan atau biasa disebut dengan istilah idiolek. Setiap
orang pasti memiliki ragam bahasa atau gaya bahasa sendiri yang sering tidak disadari
olehnya sendiri. Sebagai contoh, dapat kita lihat perbedaan idiolek Antara “gaya” bahasa
Sutan Takdir Alisyahbana dengan “gaya” bahasa Pramudya Anananta Toer tidak sama.
b) Ragam bahasa oleh sekelompok masyarakat dari wilayah tertentu atau biasa
disebut dengan istilah dialek. Misalnya ragam bahasa Indonesia di Jakarta yang sudah
jelas sangat berbeda dengan ragam bahasa di Medan, Denpasar ataupun di Yogyakarta.
c) Ragam bahasa oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu
atau disebut dengan istilah sosiolek. Sebagai contoh pada ragam bahasa golongan terdidik
44
sudah jelas tidak sama dengan ragam bahasa dari golongan masyarakat umum ataupun
golongan buruh.
d) Ragam bahasa dalam kegiatan suatu bidang tertentu. Ragam biasa ini biasa
disebut dengan istilah fungsiolek. Misalnya dalam kegiatan ilmiah, sastra, jurnalistik,
matematika, hukum, dan militer. Ragam bahasa ilmiah ini biasanya bersifat logis dan
eksak sedangkan ragam bahasa sastra penuh dengan berbagai kiasan dan ungkapan.
e) Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi formal atau resmi. Ragam bahasa ini
biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku atau bahasa standar. Kaidah-kaidah
yang digunakan secara konsisten biasanya terdapat dalam ragam bahasa baku maupun
bahasa ini biasanya disebut dengan istilah ragam bahsa tidak baku atau nonstandard.
Kaidah-kaidah dan tata bahasa dalam ragam bahasa ini bisanya tidak digunakan secara
yang digunakan secara tertulis atau disebut dengan bahasa tulisan atau bahasa tertulis.
Ragam bahasa lisan berbeda dengan ragam bahasa tulisan. Dalam realisasinya, ragam
bahasa lisan sering dibantu dengan mimik, gerakan anggota tubuh dan intonasi ucapan.
Namun berbeda dalam bahasa tulisan, mimik, gerakan anggota tubuh dan intonasi sama
sekali tidak dapat diwujudkan. Maka dari itu, untuk dapat mencapai sasaran yang baik
dalam bahasa tulisan harus diupayakan susunan struktur kalimat dan penggunaan tanda-
tanda baca sedemikian rupa agar pembaca dapat menangkap dan memahami bahasa
Alangkah baiknya kita dapat menguasai ragam-ragam bahasa tersebut dengan baik agar
komunikasi dapat terjalin secara efektif sesuai dengan tempat dan situasi ragam itu digunakan.
45
Namun, penggunaan ragam bahasa baku tampaknya sangat penting dan harus dikuasai karena
jangkauan penggunaannya yang lebih luas dan lebih merata berhubung dengan ragam bahasa
Ragam bahasa lama atau kuno. Dengan adanya ragam bahasa laras lama atau kuno dapat
dilacak keberadaan berikut makna sejumlah dokumen-dokumen kuno, aneka prasasti dan tulisan-
tulisan yang masih sangat sederhana. Disiplin filologi dalam ilmu bahasa sepertinya dapat
berbicara banyak mengenai hal demikian itu. Segala sesuatu yang bersifat lama atau kuno
sesungguhnya sangatlah penting sebab dengan menyingkap hal-hal lama tersebut dapat
dirancang langkah pemeliharaan, penyelamatan dan perkembangannya untuk masa yang akan
datang. Dalam konteks bahasa, demikian pula dengan adanya bahasa modern seperti sekarang ini
sesungguhnya merupakan akibat dari hadirnya bahasa-bahasa yang berstatus lama atau kuno
tersebut. Sesuatu yang bersifat lama atau kuno cenderung arkais memiliki nilai yang dianggap
lebih tinggi daripada bentuk-bentuk kebahasaan yang hadir saat ini. Dapat kita lihat banyak
orang maupun pejabat, birokrat, teknorat yang gemar menggunakan kata-kata lama atau kuno
Selanjutnya, terdapat ragam bahasa baru atau modern. Dengan ragam bahasa baru itu
kebahasaan yang baru. Bahasa indonesia dengan ragam baru diatur dalam kaidah-kaidah
46
Jika dilihat berdasarkan medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua yakni
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan, lazimnya ditandai dan
ditentukan oleh penggunaan aksen dalam berbicara, pemakaian intonasi atau penekanan tertentu
dalam aktivitas bertutur kata. Demikian akan terlihat dari wujud kosakata, tatabahasa, kalimat
dan paragrafnya. Adapun untuk alinea atau paragraf yang biasa disebut dengan paratone. Jadi,
orang yang bertutur kata dengan baik selalu memperhatikan kerangka wujud tutur dan
paratonenya. Dapat kita lihat lazimnya hadir dalam aktivitas menelepon, berdiskusi,
berwawancara, dan aktivitas kebahasaan lainnya. Selanjutnya ragam bahasa lisan dapat dibagi
kembali menjadi dua yaitu ragam bahasa lisan baku dan ragam bahasa lisan tidak baku. Ragam
bahasa lisan baku dapat terlihat seperti ketika orang sedang berpidato di depan khalayak, ketika
orang sedang presentasi, ketika orang sedang berceramah dan seterusnya. Sama halnya dengan
ragam bahasa lisan tidak baku sebagai contoh ketika orang sedang berbincang santai di
sepanjang jalan, sekolah, tempat ronda, warung dan sebagainya. Begitu juga dengan tawar
menawar dalam tranksaksi jual beli di pasar tradisional dengan bahasa yang digunakan pun
Ragam bahasa tulis merupakan suatu bahasa yang hanya muncul tepat dalam konteks
tertulis. Pemakaian tanda baca dalam ragam bahasa tulis harus dilakukan dengan cermat dan
tepat baik dalam penggunaan kata, ejaan, frasa, kalimat, klausa, paragraf dan sebagainya.
Lazimnya ditemukan ketentuan dalam ragam bahasa baku terlebih lagi dalam ragam baku tulis,
Antara lain menggunakan ucapan baku, menggunakan ejaan resmi menggunakan fungsi
gramatikal dengan eksplisit, menghindari unsur-unsur kedaerahan, pemakaian kata depan secara
tepat, memakai konjungsi bahwa’ secara eksplisit, penggunaan bentuk kebahasaan secara
47
lengkap, mnggunakan bentuk sintesis, pemakaian partikel secara konsisten, penggunaan aspek
pelaku tindakan, dan menghindari unsur leksikal yang terdapat unsur bahasa daerah.
Ragam bahasa ilmiah biasanya dipakai dalam dua manifestasi yaitu dalam karya ilmiah
akademis di perguruan tinggi yang biasanya meliputi artikel ilmiah, jurnal, surat menyurat,
skripsi, tesis, disertasi, habilitasi dan karya ilmiah populer yang meliputi esai, opini, kolom khas
di media massa dan catatan tentang bidang tertentu lainnya di media massa. Dalam karya ilmiah
bahasa harus singkat, padat, jelas, dan tidak bertele-tele. Dalam penentuan kata dan diksinya pun
harus dilakukan dengan cermat. Kalimat yang disusun harus efektif dan cermat demikian pula
dengan konstruksi wacana dan paragrafnya dalam memeranti kan ketentuan-ketentuan ejaan dan
Sosok bahasa di dalam kehidupan masyarakat selalu digunakan sesuai dengan situasi,
kondisi, dan kebutuhan yang tertentu juga sifatnya. Maksud dan tujuan dari sebuah pemakaian
bahasa dipandang sebagai sosok penentu ragam bahasa yang sangat variatif. Kevariatifan itu
cukup menambah khazanah pengetahuan kita. Masyarakat bahasa yang hanya memiliki satu
macam bahasa saja menggunakan bahasa yang satu tersebut dalam aneka pemakaian dan
hanya dapat diwakili oleh satu sosok bahasa dalam masyarakat monolingual.
48
Namun dalam masyarakat bilingual ataupun multilingual, aneka pemakaian dan
kebutuhan bahasa tersebut dipenuhi oleh ragam-ragam variatif bahasa yang banyak jumlahnya,
yang cenderung berciri inferior. Jika situasi dan kondisi serta kebutuhan pemakaiannya memang
menuntut untuk bersantai-santai maka bahasa yang digunakan juga dalam variasi atau ragam
santai. Bahkan, tidak aneh apabila ditemukan bahwa dalam pemakaian yang demikian tersebut
banyak digunakan bentuk-bentuk dari bahasa baku yang sengaja disantaikan. Bentuk-bentuk
yang demikian itu biasanya ditandai oleh rupa-rupa kelonggaran aturan, pemotongan bentuk-
bentuk tertentu sehingga digunakan secara tidak penuh, bahkan juga dengan pemelesetan bagian
bentuk tertentu sehingga benar-benar memenuhi kriteria kesantaian. Sebagai contoh dapat kita
lihat apabila pada situasi dan kondisi yang dalam pemakaiannya menuntut bentuk-bentuk
fantastik dan romantik maka ragam bahasa susastra, ragam bahasa literer, atau ragam yang indah
akan banyak digunakan. Ragam bahasa indah atau yang bergaya literer demikian ini banyak
itu dilakukan demi tujuan keindahan dan kecapikan tertentu. Orang dapat merekayasa
digunakannya sedemikian rupa sehingga bunyinya cukup ritmis dan serba seimbang, misalnya
saja vokalisas pemakaian bentuk-bentuk sering kali juga digunakan tetapi rekayasa bahasa yang
demikian itu selalu dilakukan secara bermaksud dan bertujuan tidak merupakan tindakan
kesemena-menaan. Itulah yang dalam dunia sastra sering disebut dengan istilah licentia poetica ,
yakni pemberian kewenangan kepada para pekerja sastra untuk merekayasa bahasa sedemikian
rupa demi tujuan literer atau susatra. Dengan penggunaan ragam bahasa yang demikian ini orang
hendak menyampaikan maksud yang . Banyak ditemukan bentuk penyanjungan dan pelebih-
lebihan dalam pencandilontarkan itu dengan berandai-andai pada sosok gaya bahasa tertentu
yang banyak ditemukan seperti pleonasme, hiperbola, metafora, dan sejenisnya sehingga
49
kadangkala justru dapat melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Berkenaan dengan semua ini,
lihatlah bahasa literernya orang yang sedang jatuh cinta atau mabuk asmara lewat surat-surat
cinta yang dituliskan atau ditorehkannya. Di dalam budaya Jawa dan budaya Sunda, misalnya
saja, cermatilah bahasanya seorang dalang di dalam pertunjukan wayang purwa, terlebih-lebih
pada awal atau permulaan ceritanya. Juga dalam setiap larik tembangnya, akan jelas sekali
Dalam masyarakat multilingual lazimnya juga ada bahasa yang digunakan untuk
menyampaikan maksud suci atau tujuan sakral. Perhatikanlah bahasanya orang yang sedang
berdoa di tempat-tempat ibadah keagamaan tertentu. Juga, perhatikanlah bahasa orang yang
bahasa ragam keramat yang bernuansa suci, yang tentu saja tidak dapat disamakan dengan ragam
bahasa lainnya. Lalu, bahasa nasional, bahasa yang telah dibakukan dan dikodifikasikan secara
ketat, biasanya memang digunakan untuk memancarkan keformalan atau keresmian. Tetapi,
kadangkala pemakaian bahasa standar, bahasa yang telah dibakukan, dirasa tidak selalu cukup
oleh warga masyarakat bahasa tertentu yang demikian erat dengan ikon-ikon bahasa tertanam
dalam bahasa daerah atau bahasa ibunya. Maka, leksikon-leksikon bahasa daerah yang lekas
dengan dirinya itu akan banyak memuat pula dalam pemakaian bahasa baku atau bahasa standar.
Berkenaan dengan kenyataan ini pula, dapat kita cermati bahwa karyawan-karyawan
pada institusi swasta ataupun instansi negeri di daerah-daerah yang masih cukup kuat nuansa
birokrasi dan kefeodalannya banyak dari mereka yang menggunakan bahasa lndonesia dengan
diselipi adanya leksikon-leksikon tertentu dalam bahasa daerahnya dengan tujuan untuk
memberikan penghormatan atau penghargaan kepada mitra tuturnya sebab dalam masyarakat
yang memiliki bahasa tertentu, bahasa daerah memiliki peran dan fungsi untuk memberikan
50
penghormatan dan penghargaan itu. Dengan demikian hal tersebut sudah jelas menunjukkan
bahwa sosok bahasa atau dialek bahasa tertentu, terlebih pada masyarakat bilingual ataupun
multilingual dapat berfungsi sebagai manifestasi pada laras ragam bahasa itu sendiri. Maka,
sosok bahasa di dalam masyarakat bilingual ataupun multilingual memiliki dua manifestasi, yaitu
sebagai sosok ragam bahasa itu sendiri dan di sisi lain sebagai wadah dari ragam bahasa yang
dipayunginya.
Era globalisasi biasanya selalu ditandai antara lain oleh adanya kontak bahasa dan budaya
yang tidak dapat terelakan. Dalam kaitannya dengan hal itu, kedudukan bahasa yang hidup
diperlukan dan perlu dikukuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa Indonesia
ditempatkan sebagai alat pemersatu, pembentuk jati diri dan kemandirian bangsa, serta sebagai
wahana bangsa menuju kehidupan yang lebih modern dan beradab. Bahasa daerah merupakan
bagian sarana pembinaan dan pengembangan budaya, seni dan tradisi daerah yang dapat
memperkuat jati diri bangsa dalam berbagai kompetisi global. Bahasa asing merupakan sarana
agar bangsa kita mampu berkompetensi aktif dalam kontak antar bangsa. Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, tuntutan peri kehidupan dalam era globalisasi yang penuh persaingan,
teknologi informasi masa kini dan masa yang akan datang dalam milenium ketiga menuntut
ungkapnya. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi di segala bidang perlu
lebih dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan makin meluasnya penggunaan bahasa asing,
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkukuh kedudukan bahasa antara lain sebagai berikut:
51
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Kebudayaan tetapi juga oleh departemen/instansi lain, organisasi profesi, dan dunia
usaha.
2. Pengindonesiaan nama dan kata asing di tempat umum perlu diperlukan hingga ke
rujukan yang antara lain telah dipublikasikan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
bahasa.
1. Kantor perwakilan RI diluar negeri perlu lebih aktif lagi dalam mengembangkan
bahasa Indonesia pembelajar asing (BIPA) di luar negeri dan menyebarkan informasi
Bahasa Daerah
52
2. Kegiatan penerbitan buku, surat kabar, dan majalah yang menggunakan bahasa
pengembangan sumber daya manusia dalam menyongsong era globalisasi. Untuk itu,
penyediaan dan penggunaan sarana dan prasarana serta teknologi pendidikan yang akan
mampu menunjang pemerolehan bahasa sasaran perlu mendapat perhatian yang khusus.
Sarana, prasarana, dan sumber daya manusia untuk pengajaran bahasa Inggris ada
bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu ditingkatkan baik dengan pengembangan
Organisasi profesi
53
1. Organisasi profesi bahasa dan dunia usaha bendaknya terlibat secara lebih aktif
lagi dalam memberikan kontribusi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia pada
2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa perlu terus bekerja sama dengan
3. Organisasi profesi pengajaran bahasa asing perlu dikembangkan secara baik lagi.
dikembangkan secara lebih efektif lagi untuk lebih menyebarluaskan pemakaian bahasa
5. Kerja sama dengan pemerintah daerah diharapkan lebih proaktif dalam membina
dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, antara lain
membuka peluang kerja bagi lulusan perguruan tinggi jurusan bahasa daerah.
Pada dasarnya konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak terlepas dari
pemakaian bahasa yang beragam seperti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa dalam
masyarakat selalu digunakan sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang tertentu pula
sifatnya. Maksud dan tujuan dalam sebuah pemakaian bahasa dapat dipandang sebagai salah satu
54
sosok penentu ragam bahasa. Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penggunaannya
selalu dikondisikan sesuai dengan kondisi dan situasi pemakainya. Karena maksud dari bahasa
Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan situasi
pemakaiannya. Disamping itu, bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang
digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Sehingga dapat kita simpulkan maksud dari
bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai
dengan situasi pemakaian dan kaidah yang berlaku. Maksudnya agar dapat disampaikan dan
dimengerti oleh lawan bicara baik dari segi laras bahasa maupun kata yang digunakan harus
sesuai agar mudah dipahami. Dalam situasi pemakaian berkaitan dengan masalah baku dan tidak
baku. Jika dalam situasi resmi, kita menggunakan bahasa yang benar atau baku sesuai dengan
kaidah yang digunakan seperti dalam surat menyurat laporan resmi, memberi khutbah,
pengajaran dan sebagainya. Dan sebaliknya jika dalam situasi yang tidak resmi misalnya di
rumah, pasar, jalan, atau tempat-tempat reaksi dan lainnya bahasa yang digunakan hanyalah
sekedar bahasa asal yang dapat dipahami oleh orang lain yakni bahasa yang tergolong baik.
Artinya kesalahan dalam ucapan, pilihan kata ataupun kesalahan dalam struktur kalimat tidak
menjadi masalah asalkan komunikasi masih dapat berjalan, bahasa yang digunakan seseorang itu
sudah termasuk bahasa yang baik. Berdasarkan hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik belum tentu merupakan bahasa Indonesia yang
benar, begitu juga dengan bahasa Indonesia yang benar belum tentu bahwa bahasa itu merupakan
bahasa Indonesia yang baik sebab semua hal itu bergantung pada kondisi situasi pemakaian dan
Sebagai contohnya, kita tahu bahwa dalam situasi rapat dinas, seminar atau penulisan
karya ilmiah merupakan situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dalam situasi formal atau resmi
55
semacam itu, kita dituntut untuk menggunakan bahasa yang sifatnya resmi yaitu dengan
menggunakan bahasa yang baku. Jika dalam situasi semacam itu kita tidak menggunakan bahasa
yang baku seperti menggunakan kata-kata gimana, udah, dong, atuh, dibilang, dibikin dan
sejenisnya, bahasa tersebut dapat dikatakan tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi
pemakaiannya. Meskipun demikian, contoh seperti dalam struktur kalimat ”Tadi telah dibilang
oleh pemakalah bahwa makalah tersebut sangat kompleks”. Jika dilihat dari konteks tata bahasa,
kata dibilang adalah benar namun secara morfologi bentukan kata dibilang pun benar. Atas dasar
kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa dalam pemakaian bahasa tersebut benar tetapi tidak baik
sebab dibilang merupakan kata yang tidak baku sementara suasana tersebut sedang resmi.
Jika bahasa baku yang diterapkan secara resmi lewat keputusan pemerintah maupun yang
diterima berdasarkan dengan kesepakatan umum, wujudnya dapat kita saksikan pada pengajaran
bahasa kepada khalayak mana bahasa yang benar dengan yang tidak benar. Pemakaian bahasa
yang mengikuti susunan kaidah yang dibakukan itulah yang dianggap merupakan bahasa yang
benar. Jika sebagian orang masih membedakan pendapat tentang benar atau tidaknya suatu
bentuk bahasa, hal tersebut menandakan tidak atau belum adanya bahasa baku yang mantap.
Bahasa Indonesia, agaknya termasuk kaidah ejaan kata dan pembentukan istilah sudah
distandarkan dengan penggunaan kata yang sudah tepat dapat dianggap baku tetapi dalm
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak sejalan dengan baik. Orang yang mahir dalam
berbahasa biasanya dengan maksud hatinya yang sudah mencapai sasarannya dianggap telah
dapat berbahasa dengan efektif. Bahasanya memberikan efek atau hasil karena serasi dengan
keadaan atau peristiwa yang sedang dihadapinya. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi
sesuai dengan golongan penutur atau pemakai dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut
dengan bahasa yang baik. Bahasa yang harus mengenai sasaranya tidak harus selalu perlu
56
beragam bahasa baku. Dalam tawar menawar di pasar misalnya dengan pemakaian ragam bahasa
baku justru akan menimbulkan keheranan, keanehan bahkan kecurigaan. Akan sangat ganjil jika
kita memakai bahasa baku dalam tawar menawar seperti “Berapakah bapak mau menjual ikan
ini?”. Contoh kalimat tersebut merupakan bahasa Indonesia yang benar tetapi tidak baik karena
Dengan penjelasan serta contoh-contoh yang telah dipaparkan tersebut dapat ditegaskan
bahwa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar kita harus memperhatikan situasi
pemakaian dan kaidah tata bahasa yang digunakan. Jika dalam situasi resmi, kita harus
menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak resmi, kita tidak
diharuskan menggunakan bahasa yang baku. Bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi
itu adalah bahasa yang cocok atau sesuai dengan situasi itu.
Lebih jauh lagi akan dibahas aspek-aspek bahasa Indonesia yang baik dan benar yang
menitikberatkan pada pemakaian bahasa resmi yang kita kenal dengan bahasa baku, ragam
Berbicara mengenai bahasa baku berarti kita berada dalam situasi formal baik lisan
maupun tulis. Ragam bahasa baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian
besar masyarakat pemakainya sebagai kerangka bahasa resmi dalm penggunaannya. Ragam
a. Kemantapan dinamis
Ragam bahasa baku memiliki kemantapan dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap
karena baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang
57
memunculkan bentuk petani, perasa, pesuruh dan sebagainya dengan taat asas harus
dapat menghasilkan bentuk perajin, petenis, perusak, pesepak bola bukan pengrajin,
penenis, pengrusak, penyepak bola dan lain-lain. Jika kita berpegang pada sifat mantap
dalam penggunaanya kata pengrajin dan pengrusak tidak dapat diterima. Demikian pula
dengan bentuk-bentuk kata lepas landas, lepas tangan, lepas pantai merupakan contoh
dalam kalimat, paragraph dan satuan bahasa lain lebih besar mengungkapkan penalaran
logis atau pemikiran yang teratur dan masuk akal. Dalam proses pencendekiaan itu
sangatlah penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern yang sekarang ini
umumnya masih bersumber dari bahasa asing, yang harus dapat dilangsungkan melalui
buku bahasa Indonesia. Penggunaan ragam bahasa cendekia oleh penulis ataupun
pembicara dapat memberikan sebuah gambaran yang ada di dalam otak pendengar atau
pembaca. Dalam kaitannya dengan hal ini, tidak ada penafsiran tertentu terhadap sebuah
bentuk bahasa.
c. Seragam
Ragam bahasa baku yang bersifat seragam berarti proses pembakuan, artinya proses
dalam penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa merupakan pencarian
memakai istilah pramugdra dan pramugari. Andaikata, istilah tersebut disebut menjadi
steward atau stewardes dan penyerapan kata itu seragam, maka kata itu menjadi ragam
baku. Namun, kata steward dan stewardes sampai saat ini tidak disepakati pemakaiannya.
58
Ciri-ciri bahasa Indonesia baku
pelafalan atau ucapan tampaknya agak sulit untuk dilakukan. Sebagai acuannya, pelafalan
yang baik merupakan pelafalan yang tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan bahasa
bahasa Indonesia. Seperti kata-kata daerah atau dalam bahasa gaul contohnya kenapa
gramatikal merupakan unsur yang bersifat ketatabahasaan atau pembentukan kata atau
kalimat. Contohnya “Dia benci sama saya”, kalimat tersebut tidak baku seharusnya “Dia
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia merupakan usaha sadar atau usaha yang
disengaja, terencana dan sistematis. Bedanya pembinaan dilakukan untuk meningkatkan mutu
bahasa indonesia dengan baik dan benar sehingga masyarakat pemakai bahasa Indonesia
Indonesia itu dapat digunakan secara efektif sesuai dengan kedudukan dan fungsinya di
masyarakat Indonesia. Dalam sistem kerjanya, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
saling berkaitan dan tidak dapat saling dipisahkan. Keduanya merupakan proses yang berjalan
sejajar dan saling mengisi. Pembinaan bahasa Indonesia saja yang dilakukan tanpa adanya
dukungan pengembangan bahasa Indonesia tidak akan mungkin bisa mencapai sasarannya,
karena akan dapat dicapai apabila bahasa Indonesia itu sendiri benar-benar menjadi sarana
komunikasi yang dapat diandalkan. Begitu pun sebaliknya, pengembangan bahasa Indonesia
tanpa didukung pembinaan bahasa Indonesia tidak akan ada gunanya, hal tersebut hanyalah
pemborosan waktu, biaya dan tenaga karena bahasa Indonesia yang dikembangkan itu tidak
digunakan dengan memiliki rasa kebanggaan dan kegairahan oleh masyarakat pemakai bahasa
Dapat kita lihat bahwa kedua usaha itu memiliki sasaran yang berbeda. Pembinaan
bahasa Indonesia itu ditujukan pada pemakai bahasa Indonesia yang berurusan dengan
bagaimana si pemakai bahasa Indonesia itu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Sedangkan pengembangan bahasa Indonesia ditujukan
pada bahasa Indonesia itu sendiri mengenai bagaimana bahasa Indonesia dapat menjalankan
kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta dalam fungsinya sebagai bahasa
pemersatu, bahasa perhubungan resmi, bahasa pengantar pendidikan, bahasa pemerintahan, dan
bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan masalah kebahasaan adalah usaha-
usaha dan kegiatan yang ditujukan untuk mengembangkan dan memelihara bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing agar tercapai pemakaian bahasa yang tepat, cermat
60
dan efisien dalam berkomunikasi dan dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Mengingat
fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia maka pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
itu mutlak adanya di dalam Negara Republik Indonesia. Usaha yang dilakukan tidak hanya
menyangkut masalah bahasa belaka tetapi juga masalah kesusasteraan karena merupakan salah
satu faktor penunjang perkembangan bahasa dan kebudayaan yang bersangkutan. Maka dari itu
perlu diadakannya upaya pembakuan bahasa agar tercapainya pemakaian bahasa yang cermat,
tepat dan efisien dalam komunikasi. Dalam hal tersebut pelu ditetapkan kaidah-kaidah berupa
aturan yang tepat di bidang ejaan, istilah, kosakata, dan tatabahasa. Perlu adanya pembakuan
lafal bahasa Indonesia sebagai pegangan bagi masyarakat umum. Pemakaian bahasa Indonesia
harus terus diperbaiki dan ditingkatkan usaha pembakuannya. Dalam pembakuan bahasa
yang menghasilkan berbagai ragam gaya bahasa seperti yang dipakai dalam lingkungan
pengajaran, sarana komunikasi massa, ilmu pengetahuan, administrasi pemerintahan dan adanya
kodifikasi struktur bahasa yang akan menghasilkan istilah, tatabahasa dan kosakata yang baku
sebagai sistem komunikasi, tersedianya sarana pembakuan seperti kamus umum, kamus ejaan,
pedoman pembentukan istilah, pedoman umum ejaan dan pedoman dalam gaya tulis menulis,
serta kerja sama dengan para ahli bahasa, cendekiawan, sastrawan, guru, wartawan, lembaga-
Media massa menjadi penunjang dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia
dalam rangka pembangunan nasional karena media massa memiliki pengaruh yang begitu luas di
lingkungan masyarakat. Dalam hubungannya dengan hal itu, media massa telah memberikan
sumbangan yang berharga seiring dengan petumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.
Akan tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam pemakaian bahasa
61
Indonesia melalu media massa baik secara lisan maupun tulisan. Kecenderungan dalam
menghilangkan kata-kata pada media cetak yang misalnya sering mengakibatkan makna kalimat
yang menyimpang atau hilang sama sekali. Masyarakat publik atau media massa di Indonesia
baik melalui elektronik, cetak, maupun cyber menyadari bahwa bahasa Indonesia menjadi sarana
bahkan salah satu modal utama pekerja media dalam menjalankan tugasnya. Tanpa terkecuali
media massa mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar yang tidak menghalangi kreativitas penggunaan bahasa sesuai dengan keperluan media
masing-masing. Media massa perlu menyadari peran dan fungsinya sebagai sarana pendidikan
Di samping itu pula dalam kesempatan atau kondisi tertentu masih ada saja pemakaian
dalam unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing yang tidak diperlukan. Unsur-unsur bahasa
daerah menjadi salah satu potensi yang penting dalam melaksanakan pembinaan dan
maksud untuk memperkaya bahasa Indonesia dan hendaknya dilakukan dengan cermat sehingga
tidak akan menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri
maupun terhadap perkembangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Peran ampuh bahasa
Indonesia sebagai lambang pemersatu bangsa harus tetap terjamin dan ketahanan nasional tidak
boleh terganggu sebab banyaknya pemakaian unsur-unsur bahasa daerah dalam bahasa
peningkatan yang sangat cukup pesat oleh masyarakat dan jumlah pemakai bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama pun semakin mengalami peningkatan. Namun, dalam tingkat
kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar masih perlu mendapatkan perhatian dari
para pendidik dan pemakai bahasa Indonesia itu sendiri. Pemerintah perlu segera mengambil
62
tindakan yang memungkinkan agar terciptanya suasana atau iklim kebahasaan yang sedemikian
rupa sehingga bahasa Indonesia merupakan sarana alat komunikasi utama di Negara Republik
Indonesia. Penggunaan istilah atau kata asing yang tidak perlu harus segera diubah dengan istilah
atau kata bahasa Indonesia. Dalam hubungan itu, kerja sama terpadu antar berbagai instansi
sangatlah diperlukan. Perlu direncanakan pemanfaatan dan penugasan para ahli bahasa secara
maksimal dalam berbagai sektor pembangunan guna menunjang usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa baik pemerintah maupun swasta. Semua aparatur pemerintah secara
langsung terlibat dalam perencanaan, penyusunan, pengesahan dan pelaksanaan terutama harus
memiliki kemampuan dan keterampilan dalam berbahasa Indonesia yang memadai sehingga
pembangunan bahasa yang lebih dikenal dengan kondisi pembinaan bahasa. Dalam kondisi
pembinaan bahasa Indonesia dikatakan dapat mecapai titik optimal apabila komponen-komponen
yang ada dapat mendukung dan menjalankan fungsinya dengan baik. Sasaran-sasaran proses
pembinaannya harus dilakukan dengan jelas dan terperinci. Kejelasan ini akan menjadikan segala
kegiatan yang dilakukan tidak akan sia-sia dan dapat dengan mudah mengontrol target
keberhasilannya. Dalam upaya untuk memenuhi sasaran dan kelancaran pembinaan bahasa
Indonesia diperlukan adanya kesadaran akan masyarakat itu sendiri. Masyarakat indonesia yang
berperan sebagai sasaran utama dalam pembinaan bahasa Indonesia harus memiliki kesadaran
bahwa bahasa Indonesia tidak sedikit peranannya bagi mereka karena tidak hanya berperan
sebagai sarana komunikasi tetapi hal lain yang lebih penting adalah bahwa bahasa Indonesia
yang menjadi alat pemersatu bagi bangsa Indonesia. Kesadaran akan hal itu sudah harus benar-
63
benar tertanam di dalam jiwa tiap-tiap masyarakat Indonesia. Berbagai kondisi lingkungan
masyarakatnya pun harus diperhatikan. Kondisi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya
masyarakat dipakai sebagai titik pangkal dalam pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia
tersebut. Segala program dan pengelolaannya haruslah didasarkan terhadap kondisi masyarakat
sehingga tidak lagi adanya benturan antara kondisi masyarakat dengan pelaksanaan pembinaan
bahasa Indonesia. Para tenaga pembinanya pun harus mempunyai kemampuan dalam berbahasa
Indonesia yang baik dalam menjalankan fungsinya, sistem pengelolaannya harus jelas dan
fleksibel dengan sarana yang ada harus menunjang kelancaran dalam pembinaan bahasa
Indonesia. Sasaran-sasaran proses pembinaan yang masih dianggap belum berhasil juga akan
dilakukan perbaikan dan ditingkatkan pada pembinaan selanjutnya. Dengan demikian tidak akan
ada lagi sasaran yang tertingal atau tidak terwujudkan. Apabila segala kondisi berjalan
sebagaimana yang diharapkan maka akan tercapailah tujuan pembinaan bahasa Indonesia.
Usaha pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan secara lebih intensif perlu
bahasa Indonesianya masih rendah. Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya sebagai alat
pemersatu bangsa perlu dimantapkan. Salah satunya ialah dengan menghindari, mengurangi
pemakaian istilah atau kata-kata asing dan bahasa daerah dalam peristiwa atau hal yang bersifat
nasional. Para generasi muda perlu dibekali dengan disiplin sikap berbahasa yang patut dapat
dibanggakan. Kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia terutama para pendidik, guru
bahasa Indonesia perlu ditingkatkan terus disamping usaha untuk meningkatkan mutu pengajaran
bahasa Indonesia. Mulai dari buku-buku yang diterbitkan baik yang asli maupun terjemahan,
majalah dan surat kabar yang diedarkan serta bahan bacaan koleksi perpustakaan hendaknya
diusahakan agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Usaha yang dilakukan pun
64
perlu direncanakan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga sikap dinamika dan disiplin
berbahasa yang baik serta keterampilan berbahasa Indonesia para pemakai bahasa Indonesia
muncul dari seluruh lapisan masyarakat dapat ditingkatkan secara mantap dan efisien. Guna
memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan itu jalur-jalur formal, informal dan nonformal perlu
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan
kamus bahasa Indonesia baku perlu dilakukan agar buku-buku yang menjadi acuan itu dapat
bertujuan agar bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa yang satu, baku, modern dan
cendekia karena yang menjadi sasaran pengembangan itu adalah bahasa Indonesia sendiri.
Meskipun bahasa Indonesia sudah menjalankan perannya sesuai dengan fungsi dan
kedudukannya namun tetap saja dalam berbagai aspek kehidupan bahasa Indonesia belum
mencapai tingkat yang maksimal. Terlepas dari kemampuan pemakainya, bahasa Indonesia
masih terdapat kekuranagan seperti dalam aspek tata bunyi, tata kata, tata kalimat, tata makna
dan peristilahannya. Maka dari itu pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan
Pengembangan bahasa Indonesia ini dapat dikatakan sebagai suatu keharusan dalam mendukung
65
Kekurangan bahasa Indonesia yang paling menonjol terletak pada ungkapan, kosakata
dan istilahnya misalnya tampak pada terbatasnya jumlah jenis kata, ungkapan dan istilah yang
masyarakat kebudayaan suku bangsa Indonesia dan perbedaan nuansa makna secara akurat.
Disamping itu, terdapat kekurangan dalam unsur pembentuk morfem terikat seperti untuk
mengungkapkan proses, sifat atau keadaan, paham ajaran, jenis kelamin dan sebagainya.
Indonesia antara lain melaksanakan pemungutan kata dari bahasa-bahasa lain baik dari bahasa
daerah maupun bahasa asing. Pemungutan ini dapat dilakukan dengan cara; Adopsi yakni konsep
memungut secara utuh. Contohnya ajeg, tuntas, sinambung, wacana, karsa (dari bahasa daerah)
dan media, data, norma, stamina, hijrah, nasabah (dari bahasa asing). Adaptasi yaitu konsep
kasual, imajinasi, korek, akurat, interfensi dan sebagainya. Dan terjemahan pinjaman (loan
translation) yakni suatu konsep memungut yang diwadahi dengan materi bahasa Indonesia
seperti coba uji (try out), umpan balik (feedback), tumpang tindih (over lapping), belajar tuntas
(mastery learning), dan lain sebagainya. Kemudian menetapkan ungkapan kata dalam istilah lain
dalam lingkup bahasa Indonesia. Biasanya dikenal dengan terjemahan misalnya (discourse)
wacana , (skill) keterampilan, (stress) tekanan, (advanced) lanjut, (utterance) ujaran, (item) butir,
dan lain-lain. Selanjutnya menghidupkan kembali kata-kata yang bersifat lama dengan kata baru
(arkaisme) seperti wira, pilah, wicara, berjaya, busana. Menciptakan sebuah kata-kata yang baru
66
Adapun cara-cara yang dapat ditempuh dalam mengatasi kelemahan-kelemahan bahasa
Indonesia diantaranya menggunakan bahasa Indonesia dalam aspek bidang kehidupan biasanya
menggunakan bahasa daerah seperti dalam lingkungan pergaulan atau keluarga, menggunakan
bahasa Indonesia dalam kesadaran pembebanan makna yang pasti maksudnya setiap ungkapan,
kata dan istilah yang dipakai dalam kalimat dengan makna yang pasti sehingga tidak dapat
digantikan begitu saja dengan bahasa lain, seta mempercepat proses pemantapan bahasa
Indonesia dengan mengurangi persamaan kata atau kesinoniman, membedakan makna pada
bahasa yang maknanya berdekatan, dan mengikatkan makna yang ajeg pada bahasa Indonesia.
Mutu sebuah bahasa biasanya diukur dari segi maknanya, sebuah bahasa itu dapat
dikatakan bermutu jika acuan bahasanya bersifat pasti, tidak samar dan tidak mendua. Kenyataan
tentang belum tingginya mutu bahasa Indonesia menjadi tantangan bagi pemeliharaan bahasa
Indonesia dalam pengembangan bahasa Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain
dengan menggunakan bahasa Indonesia baku dalam situasi formal atau resmi yang bentuk
maupun maknanya telah umum dipakai dan dikenal. Mengikuti kebijaksanaan bahasa Indonesia
Pembentukan Istilah dan Kamus Umum Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Serta meneladani tutur kata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Demikianlah
beberapa usaha relevan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka membantu peningkatan mutu
bahasa Indonesia. Tentunya masih banyak usaha lain yang dapat dilakukan namun ini tidak perlu
dipersoalkan. Karena yang terpenting adalah terwujudnya mutu bahasa Indonesia yang tinggi
67
BAB 4
PENUTUP
68
4.1.Kesimpulan
Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya
dalam melangsungkan hidup sebagai mahluk sosial. Masyarakat tidak mungkin dapat berjalan
tanpa bahasa, begitu juga sebaliknya bahasa tidak akan ada jika tidak ada masyarakat.
Betapa pentingnya penekanan perhatian terhadap kebudayaan itu akan lebih terasa jika dikaitkan
dengan adanya kenyataan bahwa kebudayaan nasional Indonesia, terutama bahasa Indonesia
merupakan sebuah lambang identitas nasional bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai
macam suku budaya dengan memiliki beraneka ragam unsur kebudayaan daerah. Kebudayaan
nasional tersebut masih berada dalam taraf mencari bentuk dan harus sangat diperlukan adanya
4.1.2.Saran
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, sudah sepantasnya kita mencintai dan
memeliharanya. Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga memiliki bahasa Indonesia
sebagai lambang identitas nasional. Namun, kita tidak boleh hanya bersikap bangga saja atas
dasar kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu, kita juga harus mempelajari, menguasai dan
DAFTAR PUSTAKA
69
Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi: kedudukan, fungsi,
Kadarisman, A. Effendi. 2010. Mengurai Bahasa, Menyibak Budaya Bunga: Rampai Linguistik,
Prof. Dr. Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, struktur, dan logika). Bandung: PT Refika
Aditama
Alwi, H.et.al. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1976b. “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia.”
Dalam Politik Bahasa Nasional I, Amran Halim, ed. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1983. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan
Modern, dalam Halim, Amran, dsb. Lumintangintang, Yayah. B. eds. 1983. Kongres Bahasa
Indonesia III (halaman 32-49). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Pembinaan dan Pengembangannya.
Bandung: Jemmars
70