Anda di halaman 1dari 21

ANTROPOLINGUISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA ARAB

MAKALAH

Disusun oleh

SYARIFATUNADIA - 5521007

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

TAHUN PELAJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Antropolinguistik, Pemahaman
Budaya, dan Bahasa Pelesetan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhandis Azzuhry,
Lc., M.A., selaku dosen penulis yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian
Makalah penulis ini. Kemudian, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
penulis yang telah membantu proses pembuatan Makalah ini sehingga penulis dapat
merampungkan dan menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa Makalah berjudul Antropolinguistik, Pemahaman Budaya, dan Bahasa
Pelesetan yang telah penulis kerjakan ini masih jauh dari kata sempurna baik segi tata bahasa,
penulisan, dan sistem penyusunan pada Makalah penulis ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang positif dan membangun dari semua pembaca guna menjadi
rujukan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Penulis berharap Makalah
ini dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan bagi para pembaca, dan tentunya bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan dalam kehidupan yang akan
datang.

Pekalongan, 26 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB 1 – PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
1.1. LATAR BELAKANG................................................................................................................4
1.2. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................7
1.3. TUJUAN PENULISAN.............................................................................................................7
BAB 2 – PEMBAHASAN..........................................................................................................................8
2.1. GAMBARAN UMUM ANTROPOLINGUSTIK....................................................................8
2.2. PEMAHAMAN BUDAYA MELALUI MAKNA NAMA DAN BAHASA..........................10
2.3. PEMAHAMAN BAHASA PELESETAN..............................................................................12
2.4. IMPLIKASI ANTROPOLINGUISTIK MODERN..............................................................15
BAB 3 – KESIMPULAN.........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Negara Indonesia tentunya mempunyai banyak keberagaman dalam kebudayaan yang
dihasilkan dari adanya keanekaragaman budaya, tradisi, suku, adat istiadat, ras, dan
keagamaan. Hal tersebut adalah penyebab munculnya berbagai budaya yang cukup beragam.
Salah satu bentuk kebudayaan yang terdapat di Indonesia ialah tradisi atau kebudayaan
dalam bentuk lisan. Peranan bahasa sebagai metode pewarisan, pengembangan, penyebaran,
dan penanda budaya bisa muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya berupa tradisi lisan.
Definisi dari tradisi lisan tersebut adalah suatu kebudayaan yang didapatkan dari aspek
kelisanan (oral tradition). Sehubungan dengan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan juga
bahwa tradisi lisan adalah salah satu kekayaan dalam suatu budaya yang cara
penyampaiannya dilaksanakan dengan cara mengamati dimensi kelisanan dan wujudnya
yang berupa tuturan lisan. Namun pada era modern saat ini, keberadaan tradisi lisan semakin
berkurang dan mempunyai potensi untuk ditinggalkan oleh masyarakat umum. Hal tersebut
disebabkan karena terdapatnya petunjuk dasar mengenai modifikasi sosial dan budaya
masyarakat umum yang sangat cepat.

Perubahan sosial dan budaya tersebut memungkinkan dapat terjadi karena terdapat interaksi
dengan kebudayaan luar. Kontak budaya dapat diartikan sebagai interaksi antara nilai-nilai
baru dengan nilai-nilai lama yang saling menguasai dan sangat berdampak terhadap sikap
dan pola perilaku, sistem penilaian, sudut pandangan hidup, filsafat, dan kepercayaan.
Secara pokoknya, modernisasi dan globalisasi adalah salah satu alasan yang dapat
mempengaruhi adanya peluang menghilangnya suatu tradisi kebudayaan lokal termasuk
tradisi lisan di Indonesia.

Globalisasi dan modernisasi pada saat ini tentunya sangat berhubungan dengan Era Revolusi
pada Industri 4.0 yang mempunyai kemampuan sebagai salah satu indikator terancamnya
eksistensi terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang didapatkan melalui pendekatan
kebudayaan. Hal tersebut tentunya sejalan dengan efek negatif dari Revolusi Industri 4.0
yang merupakan berkurangnya pemahaman tentang pendidikan multi kebudayaan yang
dapat mengakibatkan pudarnya identitas nasional bangsa sendiri yakni bangsa Indonesia,
selain itu terdapat pula nilai-nilai utama pada bangsa Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh
generasi muda kita. Isu tersebut sering terjadi disebabkan karena terdapat tuntutan era yang
mewajibkan penggunaan teknologi modern yang lebih banyak dibandingkan dengan era
yang sebelumnya. Realita di lapangan mengenai memudarnya pewarisan nilai-nilai kearifan
dan kebudayaan lokal yang terjadi karena menurunnya tugas anak muda dalam suatu praktik
kebudayaan dan juga menurunnya minat generasi milenium terhadap budaya mereka sendiri.
Hal tersebut tentunya sesuai dengan kebudayaan lokal yang banyak pudar akibat dari
berkurangnya generasi penerus yang mempunyai keinginan untuk belajar dan mewariskan
kebudayaan tersebut. Berdasarkan paparan tersebut, penulis menganggap bahwa aktivitas
menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dan kebudayaan dalam kebudayaan cukup penting
untuk dilaksanakan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan cara identifikasi dan
penggalian kebudayaan lokal pada tradisi-tradisi lisan yang tak hanya menginformasikan
secara deskriptif terkait penilaian, penciptaan, dan kegunaannya, akan tetapi sampai pada
perumusan usaha pelestarian dari nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

Bahasa dan budaya adalah dua bidang yang sangat berbeda, tetapi tidak dapat dipecahkan,
karena bahasa adalah suatu cerminan identitas dan kebudayaan dari penuturnya. Pada tahun
1960-an, komite Amerika mengenai bahasa dan budaya mendeskripsikan mengenai relasi
antara bahasa dan budaya. Bahasa tentunya tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa
merupakan sistem komunikasi pada suatu bagian dari sistem kebudayaan tersebut, bahkan
bahasa adalah suatu hal yang sangat penting dari kebudayaan. Hubungan antara bahasa
dengan budaya dapat dikelompokkan dalam tiga hal. Hal pertama, bahasa dapat
mengekspresikan realitas budaya dalam suatu lingkungan sosial. Kemudian, bahasa bisa
menjadi bagian dari kenyataan budaya. Hal terakhir, bahasa tentunya dapat melambangkan
kenyataan budaya.

Antropolinguistik tentunya bisa difungsikan untuk mempelajari aspek bahasa dan


kebudayaan pada suatu lingkungan sosial sehingga sangat dibutuhkan untuk melestarikan
warisan kebudayaan dalam suatu bangsa. Bahasa yang dipakai pada penamaan geografis
tentunya memperlihatkan kekayaan pada kebudayaan suatu bangsa. Dari segi bahasa, suatu
penamaan yang bersifat arbitrer, walaupun tidak berdefinisi namun selalu ada makna dibalik
nama pada tempat tersebut. Di dalam sistem toponimi tersebut, masih terdapat nilai-nilai
filosofis hidup yang menjadi karakteristik khas bahasa dan masyarakat umum. Salah satu
contoh penamaan tempat berada di Pandeglang. Penamaan tempat di Pandeglang tidak
pernah lepas dari berbagai aspek geografi yang muncul di balik penamaan tempat tersebut,
karena pemberian nama tempat tersebut tentunya berdasarkan dari pengalaman dan
pertimbangan dari manusia itu sendiri. Terdapat dua pengalaman yang ditinjau untuk
penamaan tempat tersebut. Pengalaman pertama adalah pertimbangan yang diperoleh oleh
dari metode lingkungan alam dan nama dari hasil rekayasa manusia. Pengalaman kedua
adalah pemberian nama tempat kelihatannya didasarkan pada ide gagasan, harapan, cita-cita,
dan citra manusia terhadap tempat tersebut agar selaras dengan apa yang dikehendakinya.
Penamaan adalah salah satu simbol dari suatu kebudayaan. Nama adalah suatu kata yang
menjadi label bagi setiap benda, makhluk, kegiatan, dan peristiwa di dunia ini, kemudian
nama dapat muncul dalam kehidupan manusia yang cukup kompleks dan beragam.
Dengan bergesernya nilai-nilai kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat sehari-hari,
tentunya diperlukan adanya usaha agar pergeseran nilai-nilai tersebut tidak lantas
melenyapkan kehidupan budaya masyarakat. Nilai-nilai kehidupan yang dapat dijunjung
tinggi dalam penggunaan bahasa daerah, misalnya dalam tata penamaan tradisional pada
tempat oleh masyarakat umum yang tergeser oleh istilah modern. Melalui Antropolingistik,
tentunya penulis dapat mengidentifikasi bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang tentunya
dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya, aspek mental, aspek psikologis, hakikat
sebenarnya dari bentuk dan makna tulisan, dan relasi yang didapatkan dari keduanya.
Bahasa tentunya tidak dapat dipisahkan dari kenyataan terhadap sosial budaya masyarakat
beserta pendukungnya. Analisis terhadap kosakata pada suatu bahasa merupakan hal yang
sangat penting untuk mengidentifikasi lingkungan fisik dan sosial di mana penutur bahasa
tinggal pada daerah tersebut.

Bahasa tentunya memegang kedudukan yang paling utama dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Manusia pastinya memakai bahasa sebagai metode untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan yang lain. Bahasa tentunya juga dipakai sebagai alat komunikasi yang
benar untuk menginformasikan pesan atau informasi pembicara kepada pendengar.
Pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi tentunya dipengaruhi oleh faktor kondisi dan
faktor. Pada hakikatnya, bahasa yang digunakan oleh manusia seharusnya tidak ada yang
lebih buruk maupun lebih baik, secara setara. Semua bahasa tentunya mempunyai hakikat
dan martabat yang setara, yaitu sebagai alat komunikasi yang baik. Oleh sebab itu, ungkapan
bahwa bahasa dapat mewujudkan suatu bangsa tentu tidak dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa bahasa satu lebih optimal daripada bahasa yang lain. Maksud dari ungkapan tersebut
adalah ketika suatu individu sedang berinteraksi dengan bahasanya, tentu individu tersebut
mampu mengidentifikasi potensi bahasanya dan mampu memakai bahasa tersebut secara
benar dan optimal. Kehidupan berbahasa dalam lingkungan sosial adalah salah satu kunci
untuk membenarkan atau meluruskan tata cara berkomunikasi yang lebih memadai lagi.
Pada zaman ini, cukup banyak orang memakai tata bahasa secara bebas tanpa didasari oleh
pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan atas etika, moral, nilai, maupun Agama.
Akibat kebebasan tanpa nilai-nilai tersebut, tentu muncul berbagai macam pertentangan dan
perselisihan yang terjadi dalam kalangan masyarakat umum. Salah satu contoh dari
pertentangan tersebut adalah demo mahasiswa yang sebagai komunitas intelektual, kini
sering kali diikuti oleh perkataan yang sangat jauh dari norma dan etika kesantunan.
Demikian pula, dalam konteks lingkungan pergaulan sehari-hari.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berikut ini merupakan Rumusan Masalah yang terdapat dalam pembuatan Makalah pada
Antropolinguistik dan Pemahaman Budaya.
 Bagaimana gambaran umum dari Antropolinguistik?
 Bagaimana bahasa dapat dijadikan sebagai sarana kebudayaan?
 Bagaimana cara pemahaman budaya terhadap bahasa yang dipelesetkan?
 Apa Fungsi dari bahasa pelesetan?
 Bagaimana Implikasi Antropolinguistik Modern terhadap Pembelajaran Bahasa Arab
?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Berikut ini merupakan Tujuan Penulisan yang terdapat dalam pembuatan Makalah pada
Antropolinguistik dan Pemahaman Budaya.

 Mengidentifikasi gambaran umum dari Antropolinguistik.


 Mengetahui bahasa yang dapat dijadikan sebagai sarana kebudayaan.
 Mengetahui cara pemahaman budaya terhadap bahasa yang dipelesetkan.
 Mengidentifikasi fungsi dari bahasa pelesetan.
 Mengetahui Implikasi Antropolinguistik Modern terhadap Pembelajaran Bahasa
Arab.

BAB 2

PEMBAHASAN
2.1. GAMBARAN UMUM ANTROPOLINGUSTIK
Secara ringkas, dapat diketahui bahwa Antropologi Linguistik (linguistic anthropology),
atau umumnya sering disebut juga sebagai Antropolinguistik adalah suatu kajian mengenai
manusia dan kebudayaan yang berhubungan dengan aspek kebahasaan dengan dinamika
sosial yang terdapat di dalamnya. Antropologi Linguistik (linguistic anthropology) adalah
suatu ilmu interdisipliner yang mempelajari tentang relasi bahasa dan budaya dengan seluk-
beluk kehidupan sosial manusia. Dalam berbagai literatur peneliti yang lain, terdapat pula
istilah dari Linguistik Antropologi (anthropological linguistics), Linguistik Budaya
(cultural linguistics), dan Etnolinguistik (ethnolinguistics). Meskipun terdapat penekanan
tertentu yang mengkategorikan empat istilah tersebut, namun pada dasarnya kajian-kajian
terhadap empat istilah tersebut tentunya tidak bisa saling dipecahkan, dapat saling mengisi,
dan tentunya bisa saling melengkapi. Hal tersebut bermakna bahwa empat istilah itu
mengacu pada kajian yang hampir sama walaupun harus diakui bahwa istilah Antropologi
Linguistik (linguistic anthropology) cukup sering dipakai dari pada empat istilah Antroplogi
tersebut.

Studi kebahasaan pada bidang Antropolinguistik tentunya dihubungkan dengan peran bahasa
dalam seluk-beluk kehidupan sosial manusia.1 Karena kebudayaan adalah aspek yang sangat
penting atau paling utama dalam kehidupan sosial, segala posisi atau kedudukan kajian
bahasa dalam bidang Antropolinguistik lebih sering diidentifikasi dalam kerangka
kebudayaan. Studi bahasa tersebut juga disebut sebagai pemahaman bahasa dalam konteks
kebudayaan. Studi budaya dalam bidang Antropolinguistik mempunyai makna sebagai
memahami seluk beluk kebudayaan dari kajian bahasa atau dapat mendalami suatu
kebudayaan melalui bahasa dari sudut pandang linguistik.2 Aspek-aspek lain dalam
kehidupan manusia selain kebudayaan seperti aspek religi, aspek politik, dan juga aspek

1
Dindha Amelia. (2020). Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Merapi Dalam Kidung Tradisi Sedhekah Gunung: Kajian
Antropolinguistik Tesis. 21(1), 1–9. http://mpoc.org.my/malaysian-palm-oil-industry/
2

Sibarani, R. (1997). Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan Abstrak. Syria Studies, 7(1), 37–72.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/548173090cf22525dcb61443/download
%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civilwars_12December2010.pdf%0Ahttps://thinkasia.org/handle/
11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625
sejarah dapat diamati melalui bahasa sehingga hal tersebut cukup menarik dalam kajian
Antropolinguistik. Atas hal dasar tersebut, Antropolinguistik tidak hanya meneliti tentang
bahasa, melainkan juga kebudayaan dan indikator lain dalam kehidupan manusia. Namun,
ketika meneliti budaya dan aspek-aspek kehidupan manusia, Antropolinguistik tentunya
menelaah hal tersebut berdasarkan pada teks lingual atau kebahasaan. Temuan masuk dari
kajian Antropolinguistik adalah bahasa yang kemudian dapat menjelajahi suatu kebudayaan
dan indikator lain pada kehidupan manusia itu secara menyeluruh. Ketika Antropolinguis,
individu yang mempelajari tentang Antropolinguistik, meneliti sopan santun sebagai bagian
dari suatu kebudayaan, dia dapat mempelajari praktik kesantunan berbahasa. Dalam salah
satu contoh kasus, ketika Antropolinguis meneliti tentang Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) suatu daerah sebagai bagian dari aspek kehidupan masyarakat, individu tersebut
dapat mempelajari bahasa dalam spanduk dan tata bahasa kampanye politik.

Istilah yang dipakai para ahli untuk mendiskusikan relasi antara bahasa dan kebudayaan
adalah linguistic anthropology. Sesuai dengan namanya, istilah pada kata pertama lebih
memfokuskan terhadap kajian linguistik, sedangkan istilah pada kata kedua lebih
memfokuskan terhadap kajian antropologi. Secara etimologi, Antropolinguistik adalah
bidang interdisipliner yang terdiri atas dua disiplin ilmu yaitu Antropologi dan Linguistik.
Kombinasi pengkajian bahasa dan budaya tentunya mencoba untuk membuktikan bahwa
suatu kebahasaan dapat mengekspresikan, meningkatkan, dan membuat simbol terhadap
kenyataan kebudayaan. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam suatu kebudayaan, bahasa
menduduki tempat yang terhormat dan sangat unik. Bahasa tentunya tidak bisa lepas begitu
saja dari kebudayaan. Dalam melakukan penggalian relasi bahasa dengan budaya, perlu
memakai pendekatan yang menghubungkan bahasa dengan konteks budaya. pada dasarnya
Linguistik Antropologi sebagai sub-disiplin Linguistik tentunya melihat aspek kebahasaan
melalui konsep Antropologis pokok, konsep kebudayaan, dan konsep yang lain. Bahasa
yang dipakai dalam suatu kebudayaan diungkap untuk mengamati suatu fungsi dan
kegunaan, bentuk yang berbeda dari bahasa tersebut, penyalahgunaan bahasa, dan gaya
bahasanya. Pengidentifikasian bahasa tersebut bertujuan memahami budaya tertentu. Dalam
penjelasan lain, Antropolinguistik mempelajari bahasa melalui seluk beluk kebudayaan dan
masyarakat sosial yang secara menyeluruh. Ilmu yang mengkaji relasi antara bahasa dan
kebudayaan biasa disebut sebagai Antropologi Linguistik yang dibuat oleh Franz Boas,
sedangkan di belahan Benua Eropa digunakan istilah Etnolinguistik.

Pada dasarnya, Antropolinguistik, Etnolinguistik, dan Linguistik kebudayaan secara umum


mempunyai kesamaan. Pendekatan Antropolinguistik berupaya meneliti apa yang sedang
dilakukan orang dengan bahasa dan perkataan yang dibuat, pola gestur tubuh yang dikaitkan
dengan konteks pemunculannya. Kondisi yang dapat diidentifikasi dalam Antropolinguistik
adalah sebagai berikut. Pertama, Antropolinguistik dapat melakukan analisis terhadap
istilah-istilah budaya dan ungkapan. Kemudian, Antropolinguistik dapat menganalisis
terhadap proses penamaan. Hal berikutnya, Antropolinguistik dapat mengidentifikasi sopan
santun dan normal. Kemudian, Antropolinguistik dapat melakukan observasi pada konsep
kebudayaan dari unsur-unsur kebahasaan. Berikutnya, Antropolinguistik dapat menganalisis
adanya etnis dari sudut pandang bahasa. Hal yang terakhir, Antropolinguistik dapat
membuat analisis tentang pola berpikir melalui struktur kebahasaan dan gaya pembicaraan.

2.2. PEMAHAMAN BUDAYA MELALUI MAKNA NAMA DAN BAHASA


Penamaan ialah sesuatu hal yang harus dipahami oleh seseorang dengan berupa kata, istilah,
atau ungkapan yang bisa dipakai untuk mengenali dan mengidentifikasi seseorang, atau
sesuatu hal lainnya. Nama orang dalam lingkungan masyarakat tidak saja berkaitan dengan
nama penyandang atau nama keluarganya saja, tetapi sangat berhubungan dengan aspek
yang lain, misalnya saja tempat, suasana, waktu, peristiwa, sejarah, status sosial, dan
tradisi.3 Suatu penamaan ialah produk masyarakat yang bisa mendeskripsikan berbagai hal
tentang masyarakat tersebut. Tentunya, nama dapat merujuk pada ide-ide yang abstrak,
seperti kebudayaan, masyarakat, nilai sosial, cita-cita dan harapan, dan doa. Penelitian
tentang penamaan orang masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan berbagai macam
penelitian lain dalam bidang kebudayaan, bahasa, dan lingkungan sosial. Berbagai sumber
literatur dan penelitian yang terdahulu selalu merujuk nama dalam paradigma tunggal, yaitu
sebagai struktur kebahasaan.

3
Widodo, S. T. (2013). Konstruksi Nama Orang Jawa Studi Kasus Nama-Nama Modern Di Surakarta. Humaniora, 25(1), 82–91.
Suatu aspek penamaan dan kebahasaan tentunya memiliki keterkaitan yang sangat kuat
terhadap kebudayaan. Hal tersebut karena kebudayaan adalah bagian integral dari suatu
interaksi antara bahasa dan penamaan.4 Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan antara bahasa
yang ada tentunya disebabkan oleh perbedaan visi setiap lingkungan sosial. Pola-pola yang
terdapat pada suatu kebudayaan, adat istiadat, dan cara hidup pada lingkungan sosial
tersebut diungkapkan dan diekspresikan dalam bahasa dan penamaan. Oleh karena itu,
secara keseluruhan pada sistem bahasa mengandung suatu visi yang oleh penutur bahasa
tersebut diterima dan diproyeksikan ke dalam kenyataan penguasaan bahasa yang memadai.
Dalam komunikasi, tentunya bukan hanya karena dipengaruhi oleh penguasaan linguistik
namun juga dipengaruhi oleh pemahaman bahasa yang selaras dengan isi konteks, sehingga
dibutuhkan pemahaman terhadap budaya penutur.

Dalam hal lain, aspek kebudayaan juga berhubungan dengan nilai kesantunan. Kesantunan
atau sopan santun adalah suatu metode, tata cara, adat istiadat, atau kebiasaan positif yang
dapat berlaku dalam masyarakat sehari-hari. Kesantunan ialah suatu aturan dan norma
perilaku yang sudah ditetapkan dan diputuskan bersama oleh suatu masyarakat tertentu
sehingga kesantunan dapat menjadi syarat yang disepakati oleh perilaku sosial. 5 Oleh karena
itu, sopan santun umumnya disebut juga sebagai tata krama. Berdasarkan definisi tersebut,
sopan santun dapat ditinjau dari berbagai bidang atau aspek dalam pergaulan sehari-hari.
Aspek yang pertama, sopan santun dapat memperlihatkan karakter yang mengandung nilai
sopan santun atau etika dalam pergaulan sehari-hari. Ketika suatu individu mempunyai nilai
kesantunan yang baik, maka dalam diri individu tersebut tergambar nilai sopan santun atau
nilai etika yang sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat umum. Ketika suatu individu
tersebut dikatakan santun, masyarakat tentunya memberikan nilai positif kepadanya, baik
evaluasi tersebut dilakukan secara seketika maupun secara umum dan detail. Aspek yang
kedua, sopan santun merupakan hal sangat kontekstual, yakni bisa berlaku dalam kehidupan
masyarakat, situasi tempat, atau kondisi tertentu dalam satu waktu. Aspek yang ketiga,
sopan santun tentunya selalu bersifat bipolar, yang bermakna bahwa mempunyai hubungan
dua kutub kesantunan, yang contohnya seperti karakter atau perilaku antara anak dan orang

4
M. Basir, U. P. (2019). Fenomena Bahasa Nama Dalam Budaya Jawa: Kajian Aspek Filosofis Dan Fakta Sosial. Lokabasa, 8(1),
112. https://doi.org/10.17509/jlb.v8i1.15972
5
Mislikhah, S. (2014). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies, 1(2), 285.
https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.18
tua dan antara orang yang berusia masih muda dan orang yang berusia lebih tua. Aspek yang
terakhir, sopan santun dapat tercermin dari cara berpakaian sehari-hari, cara berbuat suatu
aktivitas, dan cara bertutur kata yang optimal kepada individu lain.

Dalam hal ini, bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang sangat melekat pada
kehidupan manusia. Kebudayaan tersebut adalah satu sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berguna sebagai
sarana dalam bahasa bukan hanya sebagai penentu corak budaya, tetapi juga sebagai penentu
metode dan pola pikir manusia.6 Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang
lain, tentunya akan mempunyai corak kebudayaan dan jalan pikiran yang berbeda pula.
Perbedaan-perbedaan kebudayaan dan jalan pikiran manusia tersebut diawali dari perbedaan
bahasa. Bahasa tentunya memengaruhi terhadap kebudayaan dan jalan pikiran manusia,
maka karakteristik yang terdapat pada suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya
penuturnya.

2.3. PEMAHAMAN BAHASA PELESETAN


Bahasa Pelesetan ialah salah satu bentuk transformasi bahasa umum karena bersinggungan
dengan aspek-aspek kebahasaan tertentu, seperti perubahan pola pikir dalam suatu
peradaban manusia yang sangat berhubungan kuat dengan kebudayaan manusia. 7 Fenomena
dari Bahasa Pelesetan tersebut sebenarnya bukan hal yang asing apabila diamati secara
mendalam mengenai hakikat bahasa standar. Hal tersebut dideskripsikan sebagai belum
ditemukannya hubungan yang logis antara penanda, arti makna, dan kenyataan di dunia
yang direferensikan. Bahasa tentunya dapat bersifat arbitrer, yang dapat menjadi asas dasar
sebuah bahasa itu bisa mengalami fenomena Bahasa Pelesetan.

Bahasa Pelesetan adalah suatu aspek bahasa yang dapat mengalami penyimpangan atau
disimpangkan dari kebakuannya dalam bahasa standar tersebut. Namun, pada tiga
6
Puspitasari, R. N. (2019). Interaksi Budaya dan Bahasa dalam Kehidupan Masyarakat di Indonesia. Sabda: Jurnal Kajian
Kebudayaan, 10(2), 1–7. https://osf.io/preprints/inarxiv/hg3t7/

7
Zulkifli, O. (2013). Belajar Bahasa Secara Holistik : Apakah Pandangan Murid?. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 13(2),
102–117. https://doi.org/10.17509/bs
kepentingan utama komunikasi, yang berupa ekspresif, informatif, dan direktif sudah
termuat dalam kepentingan bahasa tersebut. Hal tersebut dapat diperhatikan dari respons
pembaca atau pendengar terhadap Bahasa Pelesetan. Meskipun Bahasa Pelesetan ialah suatu
aspek kebahasaan yang berisi tentang penyimpangan-penyimpangan, Bahasa Pelesetan
tentunya memiliki bentuk atau pola tertentu yang dapat diidentifikasi sebagaimana sifat
bahasa secara umum, yang arbitrer maupun konvensional.

Bahasa Pelesetan tentunya dapat dihubungkan dengan karakteristik generasi milenium yang
sangat menyukai inovasi baru dan sesuatu yang luar biasa. Bahasa Pelesetan yang mereka
tuangkan umumnya dalam bentuk tulisan-tulisan yang tidak hanya memakai media kertas
dalam penulisannya, namun telah memakai media lain, seperti kain. Sebagai dampak dari
variasi bahasa tersebut, cukup banyak tas, kaos pakaian, gantungan kunci, atau gambar
tempel yang bertuliskan tentang Bahasa Pelesetan. Tentunya, Bahasa Pelesetan merupakan
bahasa yang sebagai wujud inovasi dan kreativitas dalam berbahasa, yang pasti terdapat
keberadaannya tanpa suatu alasan tertentu. Namun hingga sejauh ini, masih sedikit pihak
yang menaruh atensi terhadap presensi dan perkembangan terhadap Bahasa Pelesetan.
Tentunya, Bahasa Pelesetan adalah salah satu wujud kreativitas berbahasa yang dapat
memotivasi pembaca atau penulis lain untuk membuat kreasi bahasa agar lebih bermakna
dan bernuansa lebih enak.

Pelesetan tentunya bukan hanya sekedar fenomena berbahasa karena anak muda yang iseng
yang dianggap masih mencari identitas diri. Bila diteliti secara mendalam dan detail,
Pelesetan juga merupakan salah satu fenomena dalam tradisi kebudayaan. Transisi
kebudayaan yang dimaksud biasanya berdasarkan terhadap transformasi lingkungan sosial
yang melatarbelakangi suatu kondisi dengan usia tertentu yang tentunya mempunyai pola
bahasa sendiri. Pelesetan tentunya memiliki variasi pada bentuk yang sangat beragam.
Inovasi-inovasi terbaru tersebut selalu muncul dalam perwujudan yang segar. Akan tetapi,
usia bentuk baru tersebut tentunya tidak akan bertahan lama. Sifat dari kreatif dan inovatif
kebahasaan tersebut pula yang menjadi ciri khas dari Pelesetan. Karakter dari Bahasa
Pelesetan yang sering muncul dan berganti inilah yang mendasari beberapa pendapat bahwa
Pelesetan adalah suatu wujud bahasa yang sangat populer. Bahasa Pelesetan tentunya
mempunyai fungsi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah
fungsi dari Bahasa Pelesetan.

a) Bahasa Pelesetan sebagai sarana komunikasi informal


Bahasa Pelesetan secara umum hanya berlaku dalam komunikasi yang santai dan
informal, sesuai dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang pengguna
bahasa melakukan komunikasi terhadap ide atau gagasan yang dikemas dalam
bentuk Bahasa Pelesetan, pada saat itu dia dapat mengubah situasi formal menjadi
informal. Hal tersebut dapat saja diterima jika kondisi yang melatarbelakangi
terjadinya komunikasi tersebut adalah situasi santai dan juga situasi humor. Sebagai
dampak dari hal tersebut, penyampaian nasihat atau kritik yang umumnya berkesan
serius dan formal, bisa saja berubah menjadi penyampaian pesan yang bersifat santai
atau informal sehingga isi nasihat atau pesan menjadi lebih mudah dipahami oleh
masyarakat umum.
b) Bahasa Pelesetan berfungsi sebagai Kritik Sosial
Dalam kehidupan sering dijumpai adanya ketimpangan-ketimpangan dalam segala
aspek yang dapat memunculkan perasaan yang tidak puas dalam kalangan
masyarakat umum yang berpikiran kritis, maka muncul kritik-kritik yang
memperhatikan ketimpangan tersebut. Kritikan tersebut tentunya ditujukan terhadap
mereka yang dianggap sebagai penyebab dari ketimpangan tersebut. Namun, karena
adanya kebudayaan masyarakat yang senantiasa menghindari suatu permasalahan
atau konflik, maka kritik tersebut dibawakan dalam bentuk Bahasa Pelesetan.
Perasaan yang tidak puas terhadap kalangan masyarakat tentunya dapat diungkapkan
dan diharapkan memperoleh atensi dari pihak yang dikritik tanpa memunculkan
perasaan kesal atau tersinggung secara langsung.
c) Bahasa Pelesetan adalah bahasa yang bersifat Eufemisme
Dalam menulis atau membicarakan tentang Bahasa Pelesetan, tentunya Bahasa
Pelesetan mempunyai sifat Eufemisme. Kata dari Eufemisme berasal dari Bahasa
Yunani euphemizei, yang mempunyai arti perkataan yang baik dan memadai. Dalam
definisi secara umum, Eufemisme adalah penghalusan arti kata yang dianggap tabu
oleh masyarakat. Eufemisme tentunya berfungsi sebagai penutup atau pengganti
perkataan dan ungkapan lain yang dianggap masyarakat umum atau individu lain
kasar, kurang sopan, tabu, dan tidak pantas.
d) Bahasa Pelesetan ialah bahasa yang kreatif
Kreatif yang dimaksud merupakan kapabilitas suatu individu untuk menciptakan
sesuatu bahasa yang baru dengan bentuk kata atau kalimat yang baru tanpa
menghilangkan makna dari bahasa tersebut. Tentunya, kemampuan kreativitas
tersebut adalah suatu sumber kekuatan dari lahirnya inovasi. Oleh sebab itu,
kemampuan kreatif sering dilakukan pada dunia bisnis dan juga aspek kebahasaan.
Tentunya, kemampuan kreativitas dalam Bahasa Pelesetan akan terus mengikuti
perkembangan zaman. Semakin cepat Bahasa Pelesetan dapat menyesuaikan
kemampuan kreativitas yang selaras dengan perkembangan zaman, maka semakin
cepat pula Bahasa Pelesetan tersebut populer.
e) Bahasa Pelesetan mempunyai karakteristik sebagai bahasa yang rekreatif
Rekreatif mempunyai makna penyegaran kembali akal pikiran. Dalam penjelasan
lain, rekreatif ialah sesuatu hal yang dapat menyenangkan dan menggembirakan
perasaan dan hati. Tentunya, rekreatif merupakan suatu karakteristik pada Bahasa
Pelesetan, karena Bahasa Pelesetan umumnya bersifat menyenangkan, menarik, dan
menantang yang tentunya bisa mengembangkan daya imajinasi, kapabilitas berpikir
kritis, dan kapabilitas mengemukakan ide kreativitas dalam suatu Bahasa Pelesetan
yang unik.
f) Bahasa Pelesetan mempunyai nilai estetis yang baik
Bahasa Pelesetan memiliki nilai keindahan dalam membaca dan mengartikan isi dari
Bahasa Pelesetan tersebut. Tentunya, nilai dari Bahasa Pelesetan juga menyangkut
apresiasi terhadap keelokan bahasa itu sendiri. Oleh sebab itu, Bahasa Pelesetan
mempunyai keunikan dan nilai estetis yang baik.

2.4. IMPLIKASI ANTROPOLINGUISTIK MODERN TERHADAP PEMBELAJARAN


BAHASA ARAB
Dinamika studi pembelajaran pada Bahasa Arab hingga saat ini masih terus dijalankan,
bahkan cukup terlihat adanya modifikasi seiring dengan perubahan kebahasaan secara
global. Tidak sedikit pula para akademisi pun praktisi bahasa yang mencoba untuk
menciptakan warna dan makna baru dalam bahasa baru tersebut dengan menuangkan ide
gagasannya.8 Narasi yang dikembangkan oleh akademisi atau praktisi beragam pula, mulai
membuat soal mengenai isu landasan atau paradigma mengenai proses pembelajaran hingga
pada level teknik yang terdapat dalam pembelajaran tersebut. Pilar pada studi pembelajaran
Bahasa Arab di Indonesia perlu dikonstruksi ulang. Para ahli bahasa di Indonesia
mengemukakan bahwa sistem pembelajaran Bahasa Arab yang digunakan di Indonesia pada
umumnya sudah tidak cocok pada saat ini.

Antropolinguistik modern memiliki tiga teori dasar sebagai dasar analisis dalam mengkaji
isu permasalahan mengenai struktur bahasa dengan kebudayaan. Teori dasar tersebut adalah
performance, indexicality, dan partisipasi. Dalam pembelajaran Bahasa Arab, percakapan
kebudayaan dan Bahasa Arab tentunya memakai ketiga teori di atas, yang tentunya
menciptakan sintesis yang berhubungan dengan Hard Core pada proses pembelajaran
tersebut. Keberadaan dari dasar tersebut bersifat mutlak. Hard Core tersebut berhubungan
dengan kapabilitas utama yang harus dipunya pada pembelajar bahasa Arab yang sudah
selaras dengan tipologi Antropolinguis. Kompetensi yang dimaksud adalah Kompetensi
Gramatika, Kompetensi Komunikatif, serta Keterampilan Berbahasa. Berikut adalah
penjelasan dari kompetensi tersebut.

a) Kompetensi Gramatikal
Kompetensi gramatikal merupakan pengetahuan yang menjadi instrumen asasi bagi
seseorang mengoperasionalkan bahasa dalam bentuk pemahaman terhadap sistem
bahasa. Pemahaman terhadap aspek gramatika membuat seseorang tersistem
dalam mengekspresikan makna layaknya seorang native speaker. Dalam hal ini,
kategorisasi ilmu struktur tata bahasa Arab dalam perspektif Mujib terdiri dari
disiplin morfologi, sintaksis, semantik, bayan, badi’, lughoh, fiqhul lughoh, dan
etimologi. Sementara dalam narasi Maksudin, diskursus gramatika memuat empat
komponen, yakni al-Ashwat, al-Huruf, al-Qawa’id, dan al-Mufradat. Setiap
komponen tersebut menjadi disiplin keilmuan yang mandiri, seperti al-Ashwat yang

8
Yusuf, M., & Rahmawati, E. D. (2020). Kemasan Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teori Antropolinguistik Modern. Lisanan
Arabiya: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, 3(02), 153–175. https://doi.org/10.32699/liar.v3i2.985
dibahas dalam linguistik, al-Huruf dan al-Mufradat dibahas dalam mu’jam,
sementara al-Qawa’id dibahas dalam nahwu dan sharf.
b) Kompetensi Komunikatif
Kompetensi tersebut ialah suatu kapabilitas yang memakai bahasa untuk melakukan
komunikasi sosial dan bersifat komunikatif. Kompetensi tersebut bertujuan untuk
mengidentifikasi kondisi dan situasi yang selaras dalam mengawali percakapan,
menentukan topik percakapan yang sesuai, narasi yang kompatibel dalam tindak
tutur pembicaraan, teknik mengekspresikan pembicaraan, dan melakukan respon
tindakan.

c) Keterampilan Berbahasa
Keterampilan tersebut tentunya berhubungan dengan kualitas kemahiran seseorang
dalam memakai bahasa untuk melaksanakan suatu tugas komunikatif dalam bahasa
sasaran. Dalam hal lain, keterampilan berbahasa merupakan kualitas dan kompetensi
tenaga pembelajar dalam menjalankan bahasa untuk tujuan praktis kehidupan sehari-
hari dengan melakukan desakan dari mana dan bagaimana kompetensi tersebut
didapatkan.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa agar seorang pembelajar
sebaiknya dapat mengoptimalkan fungsi Bahasa Arab seperti seorang pembicara ahli, yang
kemudian harus memenuhi Kompetensi Gramatika, Kompetensi Komunikatif, dan
Keterampilan Berbahasa. Dalam sudut pandang Antropolinguis, Kompetensi Gramatika
tentunya mempunyai tugas yang cukup penting sebagai kerangka struktur kebahasaan yang
berfungsi untuk menjadikan bahasa sebagai suatu aspek yang sesuai dengan rumus yang
sudah menjadi konsensus terhadap masyarakat Arab Saudi. Sementara itu, Kompetensi
Komunikatif mempunyai peran sebagai penuntun bagaimana cara mengoperasikan bahasa
dalam kondisi realitas yang nyata. Sedangkan, Keterampilan Berbahasa mempunyai
kedudukan sebagai optimalisasi dalam memakai bahasa dalam penampilan. Kepintaran
dalam berbahasa tersebut bermula dari kenyataan sosial bahwa setiap individu tentunya
merupakan bagian dari komunitas sosial yang sangat kompleks, sehingga untuk dapat
mengoptimalkan Bahasa Arab dalam setiap dimensi yang terdapat pada masyarakat sosial,
tentunya diperlukan kualitas yang cukup baik dalam melakukan presentasi bahasa.

d)
BAB 3

KESIMPULAN

Bahasa dan budaya adalah dua bidang yang sangat berbeda, tetapi tidak dapat dipecahkan,
karena bahasa adalah suatu cerminan identitas dan kebudayaan dari penuturnya. Bahasa
tentunya tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa merupakan sistem komunikasi
pada suatu bagian dari sistem kebudayaan tersebut, bahkan bahasa adalah suatu hal yang
sangat penting dari kebudayaan.

Pendekatan Antropolinguistik berupaya meneliti apa yang sedang dilakukan orang dengan
bahasa dan perkataan yang dibuat, pola gestur tubuh yang dikaitkan dengan konteks
pemunculannya. Penamaan ialah sesuatu hal yang harus dipahami oleh seseorang dengan
berupa kata, istilah, atau ungkapan yang bisa dipakai untuk mengenali dan mengidentifikasi
seseorang, atau sesuatu hal lainnya. Suatu penamaan ialah produk masyarakat yang bisa
mendeskripsikan berbagai hal tentang masyarakat tersebut. Suatu aspek penamaan dan
kebahasaan tentunya memiliki keterkaitan yang sangat kuat terhadap kebudayaan. Bahasa
Pelesetan ialah salah satu bentuk transformasi bahasa umum karena bersinggungan dengan
aspek-aspek kebahasaan tertentu, seperti perubahan pola pikir dalam suatu peradaban
manusia yang sangat berhubungan kuat dengan kebudayaan manusia. Fenomena dari Bahasa
Pelesetan tersebut sebenarnya bukan hal yang asing apabila diamati secara mendalam
mengenai hakikat bahasa standar. Bahasa Pelesetan adalah suatu aspek bahasa yang dapat
mengalami penyimpangan atau disimpangkan dari kebakuannya dalam bahasa standar
tersebut. Bahasa Pelesetan tentunya dapat dihubungkan dengan karakteristik generasi
milenium yang sangat menyukai inovasi baru dan sesuatu yang luar biasa. Pelesetan
tentunya bukan hanya sekedar fenomena berbahasa karena anak muda yang iseng yang
dianggap masih mencari identitas diri. Pelesetan tentunya memiliki variasi pada bentuk yang
sangat beragam. Bahasa Pelesetan secara umum hanya berlaku dalam komunikasi yang
santai dan informal, sesuai dengan bahasa pergaulan sehari-hari.

Dinamika studi pembelajaran pada Bahasa Arab hingga saat ini masih terus dijalankan,
bahkan cukup terlihat adanya modifikasi seiring dengan perubahan kebahasaan secara
global. Tidak sedikit pula para akademisi pun praktisi bahasa yang mencoba untuk
menciptakan warna dan makna baru dalam bahasa baru tersebut dengan menuangkan ide
gagasannya. Hard Core tersebut berhubungan dengan kapabilitas utama yang harus dipunya
pada pembelajar bahasa Arab yang sudah selaras dengan tipologi Antropolinguis yakni
Performansi, Indeksikaliti, dan Partisipasi. Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat
dikatakan bahwa agar seorang pembelajar sebaiknya dapat mengoptimalkan fungsi Bahasa
Arab seperti seorang pembicara ahli, yang kemudian harus memenuhi Kompetensi
Gramatika, Kompetensi Komunikatif, dan Keterampilan Berbahasa.
DAFTAR PUSTAKA

 Dindha Amelia. (2020). Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Merapi Dalam Kidung
Tradisi Sedhekah Gunung: Kajian Antropolinguistik Tesis. 21(1), 1–9.
http://mpoc.org.my/malaysian-palm-oil-industry/
 M. Basir, U. P. (2019). Fenomena Bahasa Nama Dalam Budaya Jawa: Kajian Aspek
Filosofis Dan Fakta Sosial. Lokabasa, 8(1), 112. https://doi.org/10.17509/jlb.v8i1.15972
 Mislikhah, S. (2014). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry, International Journal of Islamic
Studies, 1(2), 285. https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.18
 Puspitasari, R. N. (2019). Interaksi Budaya dan Bahasa dalam Kehidupan Masyarakat di
Indonesia. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 10(2), 1–7.
https://osf.io/preprints/inarxiv/hg3t7/
 Sibarani, R. (1997). Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan
Abstrak. Syria Studies, 7(1), 37–72.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/
548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://
www.jstor.org/stable/41857625
 Widodo, S. T. (2013). Konstruksi Nama Orang Jawa Studi Kasus Nama-Nama Modern
Di Surakarta. Humaniora, 25(1), 82–91.
 Zulkifli, O. (2013). Belajar Bahasa Secara Holistik : Apakah Pandangan Murid?. Jurnal
Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 13(2), 102–117. https://doi.org/10.17509/bs
 Yusuf, M., & Rahmawati, E. D. (2020). Kemasan Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis
Teori Antropolinguistik Modern. Lisanan Arabiya: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, 3(02),
153–175. https://doi.org/10.32699/liar.v3i2.985

Anda mungkin juga menyukai