Anda di halaman 1dari 16

SASTRA LISAN SINRILIK DALAM PEMBELAJARAN BIPA

Dedi Gunawan Saputra


Pascasarjana Universitas Negeri Malang
NIM 180211848549
dedigunawan_saputra@yahoo.com

Abstrak: Meningkatnya minat para pemelajar BIPA di beberapa negara menunjukkan


sebuah peluang besar bagi Indonesia dalam memperkenalkan bahasa, sastra, dan budaya
Indonesia ke berbagai negara di dunia. Hal ini perlu didukung dengan persiapan
pembelajaran BIPA yang digali dari kekayaan dan keberagaman bahasa, sastra, dan
budaya Indonesia itu sendiri. Sastra lisan merupakan salah satu jenis sastra yang dapat
memperkenalkan kebudayaan Indonesia di dalam proses pembelajaran BIPA. Salah satu
sastra lisan yang yang ada pada Suku Makassar adalah sinrilik. Sastra lisan sinrilik
adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang disampaikan dengan cara dilagukan
secara berirama khusus, baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat
musik. Alat musik yang biasanya digunakan dalam penyampaian sastra lisan sinrilik ini
disebut kesok-kesok, sejenis instrumen musik yang digesek dan mempunyai beberapa
dawai. Sastra lisan sinrilik tersebut perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada
pemelajar BIPA agar proses pembelajaran BIPA lebih menarik, lebih berkesan,
menambah khazanah kebudayaan, dan wawasan keindonesiaan. Makalah ini merupakan
makalah konseptual dengan menggunakan pendekatan deskriptif dengan analisis
etnografi. Tujuan makalah konseptual ini, yaitu: untuk mendeskripsikan pengertian
sastra lisan, untuk mendeskripsikan sinrilik, dan untuk mendeskripsikan konsep sastra
lisan sinrilik yang diintegrasikan dalam pembelajaran BIPA. Sebagai gagasan
konseptual terkait sastra lisan sinrilik yang penulis ajukan ini dapat menjadi
pertimbangan untuk pembelajaran BIPA karena di dalam sastra lisan tersebut terdapat
banyak nilai-nilai universal, di antaranya: nilai pendidikan, nilai integritas, nilai sosial,
nilai moral, dan nilai kepemimpinan.

Kata Kunci: sastra lisan, sinrilik, media, pembelajaran BIPA

Perkembangan pemelajar BIPA untuk belajar bahasa, sastra, dan budaya


Indonesia sangat meningkat dan berkembang pesat. Hal ini memiliki dampak positif
terhadap penyebarluasan bahasa, sastra, dan budaya Indonesia sebagai bentuk atau cara
memperkenalkan Indonesia di dunia internasional. Selain itu, upaya dalam peningkatan
tersebut perlu dibarengi dengan usaha dan kesadaran untuk menggali kekayaan dan
keragaman bahasa, sastra, dan budaya Indonesia itu untuk memaksimalkan peran dan
fungsi dalam kaitannya dengan proses penyebarluasan bahasa Indonesia untuk
pembelajar BIPA.
Salah satu program pemerintah yang berhubungan dengan penyebarluasan
bahasa Indonesia disebut darmasiswa. Darmasiswa ini merupakan program beasiswa
yang dijadikan wadah untuk memperkenalkan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa

[1]
asing dari negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Program ini dimulai sejak tahun 1974 di negara-negara ASEAN dan diperluas dengan
mencakup negara-negara lainnya, di antaranya: Amerika Serikat, Australia, Kanada,
Prancis, Jerman, Hungaria, Jepang, Meksiko, Belanda, Norwegia, Polandia, dan Swedia.
Hal ini menunjukkan banyaknya potensi bahasa Indonesia diperkenalkan dan
disebarluaskan sebagai bagian untuk meningkatkan minat terhadap bahasa, sastra, dan
budaya Indonesia itu sendiri. Peningkatan jumah peminat untuk mempelajari bahasa
Indonesia tentunya harus diimbangi dengan meningkatkan pemantapan dan persiapan
dalam proses pembelajaran BIPA agar proses pembelajaran tersebut dapat berkesan dan
tentunya pemelajar BIPA dalam tertarik untuk belajar bahasa, sastra, dan budaya
Indonesia.
Pembelajaran BIPA berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa pertama (B1). Pembelajaran BIPA lebih kompleks dan rumit, antara lain karena
siswa asing yang belajar BIPA dapat berasal dari berbagai negara. Yang dimaksud
dengan siswa asing di sini adalah pemelajar yang: (1) berkebangsaan asing (non-
Indonesia) dan (2) berbahasa ibu bukan bahasa Indonesia (Suyitno, 2005:10). Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
proses interaksi belajar bahasa Indonesia karena penanganan tersebut juga bersifat
khusus, sehingga para pengajar BIPA seyogiyanya membuat pembelajaran yang sifatnya
menarik dan menyenangkan.
Pendapat Suyitno didukung oleh pernyataan Iskandarwassid dan Sunendar
(2011:266), yang menyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia bagi
penutur asing tidak sama dengan penutur asli bahasa Indonesia. Sikap peserta didik
Indonesia berbeda dengan penutur asing sehingga rumusan tujuan pembelajaran harus
berbeda.
Menurut Muliastuti (2017:25), karakteristik pembelajaran BIPA berbeda dengan
pembelajaran bahasa Indonesia untuk siswa Indonesia. Perbedaan terutama terletak pada
beragamnya B1 dan budaya yang dimiliki siswa BIPA. Usia, latar belakang pendidikan,
dan tujuan mereka belajar juga sangat beragam. Heterogenitas tersebut harus disikapi
dengan bijak oleh pengajar BIPA. Selain itu, tujuan belajar bahasa Indonesia bagi siswa
asing mengacu pada kemampuan berbahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan.
Kemampuan ini akan dicapai sesuai tingkat materi yang mereka pelajari (pemula,
madya, atau lanjut).

[2]
Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing pada hakikatnya merupakan
sebuah aktivitas yang sistemis, sistematis, dan terencana. Sistemis karena di dalamnya
terdapat seperangkat aspek dan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan. Disebut
sistematis karena dalam pelaksanaannya bersifat prosedural. Terencana karena
pembelajaran sudah tergambar dengan jelas dan tegas. Pembelajaran BIPA memiliki
tujuan, target, dan sasaran yang harus dicapai.
Adapun tujuan penulisan makalah konseptual ini, yaitu: untuk mendeskripsikan
pengertian sastra lisan, untuk mendeskripsikan sinrilik, dan untuk mendeskripsikan
konsep sastra lisan sinrilik yang diintegrasikan dalam pembelajaran BIPA. Sebagai
gagasan konseptual terkait sastra lisan sinrilik yang penulis ajukan ini dapat menjadi
pertimbangan untuk pembelajaran BIPA, karena di dalam sastra lisan tersebut terdapat
banyak nilai-nilai universal.
Analisis dalam tuturan sinrilik dinalisis dengan menggunakan analisis kajian
etnografi. Menurut Locido, dkk. (2006:12) kajian etnografi bertujuan untuk menggali
atau menemukan esensi dari suatu kebudayaan dan keunikan beserta kompleksitas untuk
bisa melukiskan interaksi dan setting suatu kelompok. Selain itu, Creswell (2006:30)
mengemukakan bahwa etnografi adalah suatu desain kualitatif di mana seorang peneliti
menggambarkan dan menginterpretasikan pola nilai, perilaku, kepercayaan, dan bahasa
yang dipelajari dan dianut oleh suatu kelompok budaya.

SASTRA LISAN
Berbagai etnis di Indonesia memiliki sastra lisan yang menunjukkan sebuah
identitas kebudayaan yang dimilikinya. Karya sastra tersebut menjadi salah satu bagian
untuk mempertahankan prinsip dan nilai-nilai lokalitas yang ada untuk terus menjadikan
sastra sebagai media penyampaian pesan moral atau pesan sosial yang ada di suatu
masyarakat. Saat ini, sastra lisan semakin menghilang disebabkan sulitnya untuk
mempertahankan tradisi penikmat sastra lisan tersebut untuk berkumpul atau bertemu
antara satu sama lainnya dan juga disebabkan oleh perkembangan globalisasi serta
perubahan-perubahan sosial di masyarakat.
Sastra lisan merupakan salah satu jenis sastra yang dapat memperkenalkan
kebudayaan Indonesia di dalam proses pembelajaran khususnya BIPA. Sastra lisan
sebagai bagian untuk menjadi hal pokok atau inti proses pembelajaran, sekaligus
sebagai ekspresi seseorang yang diungkapkan dalam bentuk bahasa lisan. Pentingnya
sastra lisan untuk ditelaah menunjukkan proses kematangan dalam berpikir dan

[3]
menuangkan rasa atau kepekaan. Dengan sastra lisan tersebut, seseorang bisa
mendapatkan pengalaman-pengalaman dan juga menunjukkan identitas dan lokalitas
kebudayaan yang ada.
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi warga suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut (Hutomo,
1991:1). Definisi ini mencakup aspek medium atau cara penyampaian ekspresi melalui
tuturan langsung secara lisan kepada khalayak terkait sastra lisan itu sendiri. Proses
lisan tersebut tentunya muncul dari sebuah kebudayaan yang ada di lingkungan
masyarakat secara turun temurun. Aspek inilah perlu untuk dikaji atau ditelaah untuk
mendapatkan informasi atau wawasan kebudayaan khususnya mengenai sastra lisan.
Sastra lisan memiliki fungsi, yaitu: pertama berfungsi sebagai sistem proyeksi
pada bawah sadar manusia terhadap suatu angan. Pada fungsi ini, cerita memberikan
jalan kepada pendengar untuk bermimpi akan suatu hal. Kedua, sastra lisan berfungsi
sebagai pengesahan kebudayaan. Pada fungsi kedua ini, cerita memberikan suatu jalan
keluar dari pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang asal-usul dari suatu upacara,
tempat, dan lain sebagainya. Ketiga, sastra lisan berfungsi sebagai alat pemaksa
berlakunya norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Jadi, sastra lisan berusaha
membatasi atau bahkan mengendalikan suatu norma dalam masyarakat agar tidak terjadi
disintegrasi di dalamnya. Keempat, sebagai alat pendidikan. Di sini, sastra lisan
digunakan untuk mendidik dan membentuk kepribadian yang baik (Hutomo, 1991:69).
Masyarakat telah berubah secara cepat disebabkan oleh berbagai kekuatan, baik
dari dalam maupun dari luar. Menurut Abdullah (2007:16), ada tiga tahap perubahan
yang terjadi secara meluas di dalam masyarakat. Pertama, masuknya pasar ke dalam
masyarakat yang berkultur agraris yang mengubah sistem barter menjadi sistem upah.
Kedua, terjadinya integrasi pasar yang semakin kuat sejalan dengan terikatnya
penduduk ke dalam tatanan ide, nilai, dan praktik yang bersifat nasional yang lebih luas.
Ketiga, ekspansi pasar, yakni perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan
sistem sosial. Perubahan tidak lagi bersifat nasional, tetapi sudah global dengan
serangkaian nilai dan norma baru. Ketiga perubahan ini dapat dilihat melalui berbagai
fakta yang ada di dalam masyarakat.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom) atau kecerdasan setempat (local genius). Kearifan lokal dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut

[4]
Koestoro (2010:122) kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang
menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Menurut Hendrawan (2011:230) di dalam kearifan lokal, terkandung pula
kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang
sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama dalam
suatu masyarakat.
Kearifan lokal merupakan nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan melembaga. Kearifan lokal juga merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan
perilaku yang melembaga secara tradisional, sehingga kearifan lokal merupakan hal
yang perlu untuk dijaga dan dimaksimalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pentingnya untuk melestarikan budaya melalui sastra lisan sebagai salah satu
alternatif untuk mempertahankan kebudayaan yang ada di masyarakat itu sendiri agar
kebudayaan yang berkaitan erat dengan aspek kehidupan masyarakat dapat terus terjaga
dengan baik, sehingga kekayaan budaya dalam hal ini sastra lisan perlu dilestarikan dan
diaplikasikan dalam berinteraksi baik secara pribadi maupun secara sosial.
Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu
merupakan anggota dari sebuh kelompok etnis tertentu yang meliputi pembelajaran,
penerimaan terhadap tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan, dan dari suatu
kebudayaan (Liliweri, 2005:43). Identitas ini perlu untuk digali agar bisa menunjukkan
bukti-bukti identitas di sebuah kelompok etnis tersebut, sehingga budaya dapat bertahan
dan dapat dilestarikan dengan baik. Hal ini memang membutuhkan keseriusan dan juga
kesadaran untuk menyelamatkan budaya melalui identitas yang ada.
Masyarakat Indonesia menghadapi dua fenomena budaya yang saling
bedampingan dan bersinggungan (dalam hal kesusatraan), yaitu kebudayaan lisan-
tradisional-kesukuan dan kebudayaan tulisan-modern-nasional (Taum, 2011:1).
Kekayaan budaya yang terpendam di dalam sastra lisan dari berbagai daerah harus
diangkat dan disajikan secara terbuka agar dapat dipelajari. Hal ini karena di dalam
sastra lisan yang digolongkan sebagai produk masa lampau tersimpan berbagai
informasi yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan (Soeratno, 2011:44). Di antara
sekian banyak bentuk sastra lisan yang ada di Indonesia, salah satunya adalah sastra
lisan yang ada pada suku Makassar, yaitu sinrilik. Sastra lisan tersebut dapat

[5]
memperkenalkan kebudayaan Indonesia khususnya suku Makassar di dalam
pembelajaran BIPA.

SINRILIK
Objek kajian dalam makalah konseptual ini adalah sinrilik. Sinrilik merupakan
sastra lisan yang berbentuk prosa lirik yang penyampaiannya dengan cara dilagukan
atau diiramakan, baik dengan alat musik maupun tanpa alat musik. Menurut Matthes
(dalam Lewa, 2015:6), sinrilik adalah cerita yang tersusun secara puitis berirama yang
diceritakan/dinyanyikan oleh seseorang yang ahli yang dinamakan pasinrilik. Alat
musik yang biasanya digunakan ialah sejenis rebab yang dinamakan kesok-kesok. Alat
ini digesek sendiri oleh pasinrilik mengikuti irama dan nada penuturan yang agak
monoton.
Pendapat Matthes tampaknya sesuai dengan pendapat Parawansa (dalam Rahim,
dkk.,2015:2), sinrilik disusun dalam penyampaian puisi liris yang tepatnya disebut juga
sebagai nyanyian oleh seorang ahli. Musik ini adalah musik yang didukung oleh
instrumen musik. Penyampaian sinrilik yang dibawakan oleh pasinrilik selalu
disesuaikan dengan cerita yang dibawakan serta irama kesok-kesok yang dimainkan.
Pada penyampaian cerita yang berupa deskripsi dan narasi, suara pasinrilik terdengar
agak biasa saja dan cenderung monoton. Akan tetapi, jika cerita berada pada beberapa
bagian yang bersifat klimaks untuk menceritakan mengenai peperangan terdengar
lagu/nada yang tinggi, cepat, dan keras, serta bersemangat.
Karya sastra yang diciptakan dalam hal ini yaitu sinrilik dipakai sebagai alat
untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, serta kepercayaan masyarakat
Makassar. Oleh sebab itu, melalui sastra lisan sinrilik dapat dijajaki dan dipelajari
sejumlah aspek kehidupan masyarakat Makassar yang selama ini membentuk perilaku,
nilai, pikiran, serta sikap mereka secara berkelanjutan. Hal ini diperlukan dalam
kaitannya dengan pembangunan budaya bangsa. Pengenalan, pemahaman,
sertapenghayataan terhadap nilai-nilai, yang pernah hidup dalam masyarakat tersebut,
dianggap sebagai modal utama untuk melihat relevansi produk masa lampau, masa kini,
dan masa depan.

Jenis-jenis Sinrilik

[6]
Berdasarkan isi dan cara melagukannya, sinrilik dibedakan atas dua jenis, yaitu:
sinrilik bosi timurung dan sinrlik pakesok-kesok. Sinrilik bosi timurung umumnya
melukiskan kesedihan seseorang. Oleh sebab itu, dalam melagukannya tidak digunakan
rebab sebagai alat musik pengiringnya. Sedangkan sinrilik pakesok-kesok melukiskan
semangat perjuangan, kepahlawanan, dan percintaan. Dalam melagukan sinrilik
pakesok-kesok digunakan rebab sebagai instrumen musiknya (Dola, 2005:69).
Selain itu, menurut Basang (dalam Daeng dan Syamsuddin, 2015:87), karya
sastra Makassar yang tergolong jenis puisi adalah doangang, paruntuk kana, kelong,
dondo, aru, rapang, dan pakkiok bunting, dan yang tergolong bahasa berirama adalah
royong dan sinrilik. Adapun menurut Nur (dalam Lewa, 2015:5), yang termasuk ke
dalam bentuk prosa ialah (1) rupama, (2) pau-pau, (3) patturioloang. Yang termasuk ke
dalam bentuk puisi, yaitu: (1) doangang, (2) pakkiok bunting, (3) dondo, (4) aru, (5)
kelong. Yang termasuk ke dalam prosa lirik adalah royong dan sinrilik.
Semua bentuk kesusastraan Makassar ini ada yang sudah ditulis dan dibukukan,
tetapi sebagian besar masih tersebar secara lisan, sehingga pentingnya melakukan
revitalisasi sastra lisan sinrilik ini ke dalam bentuk yang lebih aplikatif, khususnya
dalam proses pembelajaran BIPA karena semakin pesatnya perkembangan modernisasi
yang berlangsung saat ini, maka sastra lisan pun semakin terancam punah jika
kesadaran masyarakat terhadap sinrilik berkurang. Dengan demikian, sangat diperlukan
perhatian dan dan penanganan secara maksimal untuk pemajuan kebudayaan khususnya
sastra lisan sinrilik.

Teks Sinrilik
Menurut Ratna (2014:294), ide “teks”, baik model ilmu pengetahuan maupun
rekaman arsip, mitos, dan ritual, atau program kehidupan manusia secara keseluruhan
tidak terbatas sebagai representasi tulisan. Setiap pernyataan pengalaman atau setiap
pengalaman yang diimajinasikan adalah praktik diskursif yang tertanam secara kultural
dan dikondisikan secara historis.
Teks pada gilirannya menjadi jaringan intertekstual. Teks tidak otonom, teks
dianggap sebagai jaringan kutipan yang berasal dari kebudayaan. Sebagai akibatnya
tidak ada makna tertentu tetapi banyak makna dan banyak suara. Makna mengatasi
material tertulis, teks menjadi metaforis.
Berikut ini teks sinrilik yang dilantunkan oleh Sirajuddin Daeng Bantang, salah
seorang pasinrilik dan tokoh budayawan Makassar.

[7]
Kiu’rangi pasanna Karaeng Pattingalloang nisakbuka I Mangngadacing Daeng
Sitaba, Ia kananna Ia paunna, limai passala’ kapanrakanna se’rea kalompoang.
Eeee….uru’uru na punna pammarentayya teami napilangngeri atanna.
Eeee….makaruanna punna jaimo gauk tannaba naba I lalang ri pa’rasanganga.
Panra’mi antu se’rea kalompoang. Eeee…makatalluna punna tena mo tupanrita I
lalang ri pa’rasanganga. Eeee…makaappakna punna jaimo pakbicara angnganre
sosok. Eeee…makalimana punna ma’gauka nabawang-bawangngammi masyaraka’ka.
Kammainjo pasanna I mangngadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang.
Mangkubumi Kerajaan Gowa. Eeee…iya kanna iya pasanna mange ri tumakbuttayya
bajiki nipinawang kalambusanga siagang ka adelanga karena kapanrakanganna
todong se’rea pa’rasangang, punna iya makgauka nabokoimi kalambusanga siagang ka
adelanga. Kuspasang ki’ mange ri tau makbuttayya siangang calon-calon pemimpin.
Pimpinlah masyarakat menuju kebahagiaan.

Terjemahan: Ingatlah pesan dari Raja Pattingalloang bergelar I Mangngadacing Daeng


Sitaba, perkataannya, nasihatnya mengenai 5 (lima) pasal kehancuran sebuah sistem,
kekuasaan, atau negara. Awal mula kehancuran sebuah negara atau sistem kekuasaan
adalah jika pimpinan tidak mau mendengar nasihat dari masyarakat. Yang kedua adalah
jika sudah banyak perilaku yang tidak benar dalam suatu wilayah. Wilayah itu akan
rusak atau hancur. Ketiga adalah jika sudah tidak ada orang cerdas dalam sebuah
wilayah. Yang keempat adalah jika pejabat sudah melakukan penyogokan. Kelima
adalah jika pemerintah sudah tidak memedulikan rakyatnya.
Itulah pesan dari I Mangngadacing Daeng Sitaba, Raja Pattingalloang, perdana menteri
Kerajaan Gowa. Selain itu, pesan untuk seluruh masyarakat atau rakyat agar mengikuti
kebenaran dan keadilan, karena kehancuran dalam suatu wilayah akan terjadi jika
pemerintah sudah meninggalkan kebenaran dan keadilan. Pesanku untuk rakyat dan
juga calon pemimpin agar memimpin masyarakat menuju kebahagiaan.

Nilai Pendidikan dalam Sinrilik


Nilai adalah salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia
(Frondasi, 2007:1). Pengertian ini memberikan gambaran terkait nilai sebagai bagian
dari perwujudan dalam melihat sesuatu atau menafsirkan ciri khas terhadap dunia atau
alam yang ada. Selain itu, gambaran inilah menjadi dasar ataupun penjelasan mendalam
yang terdapat pada karya sastra khususnya sastra lisan sinrilik. Berbagai macam nilai
yang ada dan berlaku pada seseorang ataupun masyarakat menjadi sebuah prinsip atau

[8]
pegangan hidup untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada dan juga menjadi
identitas dan karakteristik seseorang terhadap nilai-nilai yang dianutnya.
Nilai merupakan bagian yang integral dari struktur kepribadian individu dan
bagian hasil interaksi sosial dan kebudayaan lingkungan. Nilai secara relatif bersifat
tetap, artinya nilai itu tidak berubah dan merupakan komponen dasar dari kesadaran
psikologis yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang.
Adapun nilai pendidikan dalam sinrilik, yaitu: Eeee…makatalluna punna tena
mo tupanrita I lalang ri pa’rasanganga (jika sudah tidak ada lagi orang cerdas di dalam
sebuah wilayah). Dalam sastra lisan ini, nilai pendidikan disimbolkan sebagai orang
cerdas atau tupanrita. Orang-orang yang memiliki keluasan pendidikan maka akan
memiliki tingkat pengalaman yang luas dan juga kebijaksanaan dalam memandang
sesuatu.
Selain itu, ditekankan betapa pentingnya orang yang memiliki pendidikan itu
sendiri, sehingga digunakan diksi tupanrita. Hal ini menunjukkan bahwa pendidik,
guru, dan ulama memiliki peran yang sangat penting di dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa di suatu wilayah. Sehingga, peran tersebut sebagai hal pokok atau sentral dalam
proses kehidupan yang ada.

Nilai Integritas dalam Sinrilik


Nilai integritas atau nilai kejujuran dalam sinrilik termuat dalam teks, yaitu:
Eeee…makaappakna punna jaimo pakbicara angnganre sosok (jika pejabat sudah
melakukan penyogokan). Nilai integritas di dalam sebuah negara sangat ditekankan
untuk memperoleh kesejahteraan. Hal ini dapat dijalankan dengan baik jika perilaku
sogok menyogok atau perilaku koruptif dapat dihindari.
Hal-hal kecil tentunya sangat berpengaruh dalam konteks nilai integritas itu
sendiri, karena perilaku koruptif dalam menyengsarakan tatanan masyarakat yang ada,
sehingga nilai integritas sangat perlu untuk diketahui oleh setiap orang yang ingin
mencapai kemakmuran. Jika para pejabat melakukan sogok menyogok atau
penyogokan, maka hilanglah kewibawaan seseorang. Kewibawaan ini bisa hilang
karena tidak adanya prinsip hidup yang dipegang teguh dan juga menjadi karakteristik
pribadi seseorang. Sehingga, orang lain tidak akan mempercayai lagi disebabkan
perilaku koruptif itu sendiri.

Nilai Sosial dalam Sinrilik

[9]
Adapun nilai sosial yang terdapat dalam sinrilik, yaitu: Eeee…makalimana
punna ma’gauka nabawang-bawangngammi masyaraka’ka (jika pemerintah sudah
tidak memedulikan rakyatnya). Bagian ini dalam tuturan sinrilik menjelaskan bahwa
jika pemimpin tidak memiliki kepekaan sosial, tidak lagi mengurusi rakyatnya, dan
telah menghiraukan mereka, maka ini sangat fatal bagi seorang pemimpin.
Seorang pemimpin seyogianya mampu mengayomi rakyatnya, menjaga
rakyatnya, bahkan melakukan perubahan menuju kesejahteraan dan kehidupan yang
lebih baik khususnya dalam aspek sosial kemasyarakatan, sehingga hubungan
antarsesama dapat dimaksimalkan dengan baik dan juga dapat dilaksanakan secara
komprehensif berkesinambungan.
Nilai sosial sebagai landasan dalam meningkatkan kepekaan sosial
kemasyarakatan menjadi salah satu hal yang tidak luput dari padangan hidup kita
sebagai warga negara atau masyarakat yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial idealnya saling membantu, memperhatikan, dan juga
memiliki rasa empati terhadap manusia yang lainnya agar sifat individualis dapat
terhindarkan.

Nilai Moral dalam Sinrilik


Nilai moral berkaitan tentang tingkah laku baik dan buruk. Adapun nilai moral
ini termuat dalam sinrilik, yaitu: Eeee….makaruanna punna jaimo gauk tannaba naba I
lalang ri pa’rasanganga. Panra’mi antu se’rea kalompoang (jika sudah banyak perilaku
yang tidak benar dalam suatu wilayah. Wilayah itu akan rusak atau hancur). Dalam
konteks nilai moral, sinrilik mengkhususkan diksi gau tannaba-naba (perbuatan yang
tidak benar atau tidak baik). Perilaku yang tidak benar atau tidak baik ini menjadi sebab
suatu wilayah itu rusak atau hancur.
Hal krusial di dalam moralitas seseorang adalah mengenai tingkah laku yang ada
pada orang tersebut. Perilaku yang tercermin dapat menunjukkan sebuah kepribadian
dan juga identitas. Pentingnya moralitas ini sehingga seseorang dapat memberikan
sebuah kepercayaan jika dapat menampilkan sesuatu yang baik dan benar. Perilaku yang
baik dan benar tersebut sangat perlu ditanamkan dan dibiasakan sejak dini, sehingga
menjadi sebuah pembiasaan dan karakter nilai moral yang dimiliki.

Nilai Kepemimpinan dalam Sinrilik

[10]
Nilai kepemimpinan juga termuat di dalam sinrilik, yaitu: Eeee….uru’uru na
punna pammarentayya teami napilangngeri atanna. (jika pimpinan tidak mau
mendengar nasihat dari masyarakat). Nilai kepemimpinan ini tampak jelas pada diksi
napilangngeri (mendengar). Seorang pemimpin atau leader seyogianya dapat
mengamati, melihat, dan mendengar suara dan aspirasi dari rakyatnya. Dengan cara
itulah seorang pemimpin mampu untuk memaksimalkan kinerjanya sebagai seorang
pemimpin yang baik di masyarakat. Ini menunjukkan sebuah paradigma yang perlu
diperhatikan dalam hal kepemimpinan.
Pemimpin yang senantiasa dekat dan juga mau mendengar aspirasi masyarakat,
tentunya akan mendapatkan posisi dan kedudukan yang terhormat, karena posisi itulah
seorang pemimpin akan memberikan pengaruh yang besar di wilayah yang
dipimpinnya. Selain itu, pemimpin menjadi lokomotif perubahan yang ada, karena hasil
dari mendengar aspirasi masyarakat dapat menjadi pertimbangan-pertimbangan untuk
melakukan terobosan atau inovasi pembangunan.

SINRILIK DALAM PEMBELAJARAN BIPA


Dalam proses pembelajaran seorang pengajar perlu memperhatikan beberapa
hal, yaitu: tujuan dan metode pembelajaran, isi materi yang dipilih, jenis tugas
pembelajaran, aktivitas pembelajaran, peran siswa, peran guru, dan peran materi-materi
instruksional. Selain itu, perlunya pemilihan pendekatan yang digunakan dalam proses
pembelajaran. Menurut Sanjaya (2007:127), pendekatan dapat diartikan sebagai titik
tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat
pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction),
pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery
dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.
Salah satu jenis pendekatan yang ada adalah pendekatan integratif. Menurut
Trianto (2010:58), secara umum prinsip-prinsip pendekatan integratif dapat
diklasifikasikan menjadi: (1) prinsip penggalian tema, (2) prinsip pengelolaan
pembelajaran, (3) prinsip evaluasi, (4) reaksi. Prinsip penggalian tema merupakan
prinsip utama dalam pendekatan integratif. Hal yang harus diperhatikan dalam
penggalian tema adalah tidak boleh terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan,
bermakna, sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis pemelajar BIPA.

[11]
Dalam prinsip pengelolaan pembelajaran, pegajar sedapat mungkin
mengakomodasi ide-ide yang kadang kala tidak terencanakan dan jangan menjadi single
actor yang mendominasi pembicaraan dalam proses pembelajaran. Selain itu, dalam
prinsip evaluasi, maka yang perlu diperhatikan adalah memberikan kesempatan kepada
pembelajar BIPA untuk melakukan evaluasi diri di samping bentuk evaluasi lainnya,
dan pengajar BIPA perlu mengajak para pembelajar untuk mengevaluasi perolehan
belajar yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan.
Pembelajaran integratif di BIPA tentu memperhatikan prinsip reaksi terhadap
semua peristiwa yang ada serta tidak mengarahkan aspek yang sempit melainkan ke
suatu kesatuan yang utuh dan bermakna. Adapun karakteristik pembelajaran integratif
memiliki ciri, yaitu: holistik, bermakna, autentik, dan aktif. Holistik berarti pemelajar
BIPA dapat memahami suatu fenomena dari segala sisi. Bermakna, pemelajar mampu
memperoleh bekal untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidupnya. Autentik,
pembelajaran di kelas menyediakan hal-hal autentik yang real yang akan ditemui
pemelajar dalam kehidupannya. Aktif, berarti dalam pembelajaran BIPA, pengajar
menekankan keaktifan fisik, mental, intelektual, dan emosional.
Proses pembelajaran BIPA harus dapat menciptakan suasana atau kondisi yang
nyaman dengan tujuan untuk melakukan peningkatan pembelajaran dan meningkatkan
kualitas pembelajaran itu sendiri. Pemelajar BIPA tentunya dapat mengekspresikan
dirinya, menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk atau model yang variatif dalam
proses pembelajaran berlangsung sehingga sifatnya tidak monoton dan kaku. Hal ini
tercipta sebuah proses pembelajaran yang kondusif dan mendukung pemerolehan
bahasa secara tidak langsung.
Sebagai langkah awal, perlunya analisis konsep pada proses pembelajaran yang
akan dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal pokok pembelajaran BIPA. Analisis
konsep dilakukan untuk membantu mengetahui konten-konten di dalam proses
pembelajaran yang ada sehingga terbangun konsep yang utuh dan bisa digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran BIPA. Selain itu, analisis yang perlu dilakukan untuk
mendukung analisis konsep adalah standar kompetensi, kompetensi dasar, analisis
sumber belajar/ media ajar.
Selain itu, perumusan tujuan pembelajaran untuk merangkum hasil dari analisis
konsep pembelajaran BIPA. Tujuan pembelajaran inilah sebagai ranah teknis atau
kongkret di dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Di tujuan pembelajaran
tersebut, dirancang tahapan-tahapan inti pembelajaran, pemilihan media atau

[12]
penggunaan media untuk mencapai kompetensi yang telah dirumuskan di awal
pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan proses pembelajaran BIPA.
Pada tahapan pendahuluan yang berisi apersepsi mengenai pembelajaran yang
akan dilakukan, maka pengajar BIPA sudah membangun skemata untuk landasan
pengetahuan yang akan dipelajari pemelajar BIPA. Dalam tahap ini tentunya mengecek
kembali kesiapan materi ajar akan diajarkan kepada pemelajar BIPA. Materi ajar BIPA
dapat dikembangkan agar pembelajaran BIPA dapat maksimal dan juga sesuai dengan
kebutuhan pemelajar BIPA itu sendiri.
Menurut Suyitno (2005:24), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan materi BIPA, yaitu: (1) relevan dengan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai, baik secara akseptual maupun global, (2) harus sesuai dengan taraf kemampuan
pemelajar di dalam menerima dan mengolahnya, (3) harus dapat mengembangkan dan
membangkitkan motivasi pemelajar, relevan dengan pengalaman, dan aktual, (4) harus
menuntut keterlibatan pembelajar secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun
dengan melakukan berbagai kegiatan, (5) harus sesuai dengan prosedur didaktif/metodik
yang ditetapkan, (6) sedapat mungkin diangkat dari fakta-fakta kebahasaan dan
pemakaian bahasa Indonesia secara nyata.
Selain itu, menurut Suyitno, pengembangan materi BIPA juga harus
memperhatikan: (1) tingkat kesulitan, (2) tingkat produktivitas, (3) tingkat
kompleksitas, dan (4) tingkat keberterimaan. Tingkat kesulitan materi untuk pemelajar
BIPA tingkat dasar akan berbeda dengan materi untuk tingkat mandiri dan mahir.
Dengan demikian, materi yang disusun harus memperhatikan gradasi kesulitan. Materi
harus disusun mulai dari mudah ke sulit dan konkret ke abstrak. Materi yang
dikembangkan harus dikaitkan dengan tingkat produktivitas dan juga tingkat
kompleksitas. Untuk pemelajar BIPA dasar, tentu materi harus lebih sederhana,
selanjutnya baru meningkat ke materi yang lebih rumit. Terakhir, materi harus berterima
ke dalam situasi real.
Setelah proses pemilihan materi dan media, maka tahap selanjutnya adalah tahap
implementasi. Tahap ini dilakukan kegiatan pembelajaran di kelas, diskusi antara
pengajar dan pembelajaran BIPA, interaksi pembelajaran BIPA, latihan dan evaluasi
dalam pembelajaran BIPA, dan kegiatan penutup berupa refleksi pembelajaran BIPA,
serta penilaian dalam pembelajaran BIPA.
Dalam konteks pembelajaran BIPA, maka pendekatan yang digunakan untuk
proses implementasi sinrilik yaitu menggunakan pendekatan integratif. Pendekatan

[13]
integratif ini disebut sebagai pendekatan terpadu, yang pada hakikatnya sebagai
pendekatan pembelajaran yang memungkinkan pemelajar BIPA mencari, menggali, dan
menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan autentik. Selain itu, pendekatan ini
memadukan pokok bahasan atau materi yang akan disampaikan, khususnya berkaitan
tentang beberapa nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra lisan sinrilik.
Pembelajaran BIPA di dalamnya termuat serangkaian kegiatan pendahuluan, inti,
dan penutup yang dapat menggambarkan sisi kebudayaan lokal dan sebagai perwujudan
keindonesiaan, sehingga proses pembelajaran BIPA, tidak sekadar mengetahui aspek
kebahasaan, tetapi juga mengetahui aspek kesastraan khususnya sastra lisan sinrilik. Hal
ini merupakan inovasi atau terobosan sebagai konsep dalam pembelajaran BIPA untuk
memaksimalkan proses pembelajaran yang ada.
Selain itu, penampilan dan visualiasi sastra lisan sinrilik untuk memotivasi
pemelajar BIPA dalam memahami budaya yang ada. Sekaligus sebagai wadah untuk
membiasakan pemelajar BIPA dalam melihat sisi lain dari wilayah yang ada, karena di
setiap wilayah atau daerah memiliki ciri khas tertentu dalam melestarikan budaya yang
ada. Aspek kebudayaan sangat penting diintegrasikan di dalam proses pembelajaran
BIPA.
Untuk konsep sastra lisan sinrilik dalam pembelajaran BIPA dilakukan atau
dilaksanakan secara intensif dalam proses pembelajaran berlangsung. Selain itu,
penyampaian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai salah satu media dalam
pembelajaran BIPA dapat digunakan atau dimaksimalkan, sehingga pemelajar BIPA
dapat mengetahui isi atau substansi dari pesan-pesan yang terdapat di dalam sinrilik itu
sendiri.
Pembelajaran BIPA dengan menggunakan sastra lisan sinrilik sebagai media
pembelajaran dapat menumbuhkan motivasi, menarik perhatian, minat, dan juga rasa
ingin tahu terhadap kebudayaan lokal di Indonesia, sehingga proses pembelajaran dapat
berkesan dan juga menambah wawasan dan pengetahuan tentang Indonesia khususnya
suku Makassar sebagai salah satu suku yang mempertahankan kearifan lokal sinrilik itu
sendiri. Seorang pengajar BIPA mengintegrasikan atau mengaitkan pembelajaran empat
keterampilan berbahasa dengan sastra lisan sinrilik yang terimplementasikan pada ranah
membaca, menyimak, berbicara, dan menulis.

PENUTUP

[14]
Sastra lisan sinrilik menjadi salah satu media dalam pembelajaran BIPA untuk
memaksimalkan proses pembelajaran yang ada agar pemelajar BIPA dapat mengetahui
sisi kebudayaan Indonesia. Selain itu, sastra lisan sinrilik merupakan budaya yang
merefleksikan kearifan lokal suku Makassar. Sastra lisan sinrilik perlu dilestarikan dan
diperkenalkan kepada pemelajar BIPA agar proses pembelajaran BIPA lebih menarik,
lebih berkesan, dan menambah khazanah kebahasaan dan kesastraan Indonesia.
Adapun nilai-nilai universal yang terkandung di dalam sastra lisan sinrilik ,
yaitu: nilai pendidikan, nilai integritas, nilai sosial, nilai moral, dan nilai kepemimpinan.
Nilai-nilai ini dapat dijadikan sebagai pandangan hidup dan juga prinsip hidup. Selain
itu, sastra lisan sinrilik dapat diimplementasikan dalam pembelajaran BIPA melalui
pembelajaran integratif yang mengintegrasikan proses pembelajaran BIPA dalam
konteks sastra lisan sinrilik.

DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Creswell, John W. (2016). Reseacrh Design Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dola, Abdullah. (2005). Fonologi Generatif Bahasa Makassar. Makassar: Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Frondasi, Risieri. (2007). What is Value? Diterjemahkan oleh Cut Ananta Wijaya
dengan judul Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hendrawan, Jajang Hendar. 2011. “Transformasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Kepemimpian Sunda, Prosiding Konvensi Nasional Pendidikan IPS ke-1 Peranan
Ilmu-ilmu Sosial dalam Pendidikan IPS untuk Membangun Karakter Bangsa.
Bandung: Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. (2011). Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Rosdakarya.
Koestoro, dkk. 2010. Kearifan Lokal dalam Arkeologi Seri Warisan Budaya Sumatera
Bagian Utara. Medan: Balai Arkeologi.
Lewa, Inriati. (2015). “Sinrilik Kappalak Tallumbatua”. Disertasi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Liliweri, Alo. (2005). Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

[15]
Locido, Marguerite G., dkk. (2006). Methods in Educational Research from
Theory to Practice. San Fransisco: Jossey Bass.
Muliastuti, Liliana. (2017). Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Acuan Teori dan
Pendekatan Pengajaran. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rahim, Abdul, dkk. (2015). The Retention of Sinrilik Values in Teaching Local
Language and Literature of Makassar. Jurnal of Languge Teaching and Research,
6(1): 2.
Ratna, Nyoman Kutha. (2014). Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Prenada Media.
Soeratno, Chamamah. (2011). “Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan
Analisis Resepsi”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Suyino, Imam. (2005). Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing: Teori, Strategi, dan
Aplikasi Pembelajarannya. Yogyakarta: Grafika Indah.
Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan
Pendekatan. Yogyakarta: Lamalera.
Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu, Konsep, Strategi, dan Implementasinya.
Jakarta: Bumi Aksara.

[16]

Anda mungkin juga menyukai