Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar 2014
1. Pengertian Model Pembelajaran Secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif (Meyer, W.J., 1985: 2 dalam Trianto 2009: 21). Sebagai contoh, model pesawat terbang, yang terbuat dari kayu, plastik, dan lem adalah model nyata dari pesawat terbang. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain (Joyce, 1992:4 dalam Trianto, 2009: 22). Selanjutnya, Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Adapun Soekamto, dkk (dalam Trianto, 2009: 22) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah: Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar. Arends, 1997: 7 (dalam Trianto, 2009: 22) menyatakan The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system. Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksisnya, lingkungannya, dan system pengelolaannya. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah: 1. rasional teoretis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; 2. landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); 3. tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan 4. lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Kardi dan Nur, 2009: 9 dalam Trianto, 2009: 23) Menurut Nieveen, 1999 (dalam Trianto, 2009: 24), suatu model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut: pertama, sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal, yaitu: (1) apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoretis yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi internal. Kedua , praktis. Aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan. Ketiga, efektif. Berkaitan dengan aspek efektivitas ini, Nieveen memberikan parameter sebagai berikut: (1) ahli dan praktisi berdasar pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2) secara operasional model tersebur memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
2. Teori-teori Belajar Modern yang Melandasi Model Pembelajaran Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar. Gagne, seperti yang dikutip oleh Mariana, 1999: 25 (dalam Trianto, 2009: 27) menyatakan untuk terjadinya belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen kemampuan yang baru dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil belajar (learning outcomes), Gagne, seperti yang dikutip oleh Mariana, 1999: 25 (dalam Trianto, 2009: 27) menyatakan dalam lima kelompok, yaitu intelektual skill, cognitive strategy, verbal information, motor skill, dan attitude.
A. Teori Belajar Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori- teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Trianto, 2009: 28)
B. Teori Perkembangan Kognitif Piaget Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman- pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998 dalam Trianto, 2009: 29). Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
C. Metode Pengajaran John Dewey Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir kea rah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah. Pertama, siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri. Kedua, siswa akan menyelidiki dan menganalisis kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya. Ketiga, siswa menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri. Keempat, ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing- masing. Kelima, ia mencoba mempraktikkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.
D. Teori Pemrosesan Informasi Teori ini menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respons). Model pemrosesan informasi dapat digambarkan sebagai kumpulan kotak-kotak yang dihubungkan dengan garis-garis. Kotak itu menggambarkan fungsi-fungsi atau keadaan sistem, dan garis-garis menggambarkan transformasi yang terjadi dari satu keadaan ke keadaan yang lain. (Dahar, 1988: 40 dalam Trianto, 2009: 33).
E. Teori Belajar Bermakna David Ausubel Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 1988: 137 dalam Trianto: 37). Faktor yang paling penting yang memengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Yakinilah ini dan ajarlah ia demikian (Dahar, 1988: 143 dalam Trianto, 2009: 37). Pernyataan inilah yang menjadi inti dari teori belajar Ausubel. Dengan demikian agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Berdasarkan teori Ausubel, dalam membantu siswa menanamkan pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Sehingga jika dikaitkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah, di mana siswa mampu mengerjakan permasalahan yang autentik sangat memerlukan konsep awal yang sudah dimiliki siswa sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata.
F. Teori Penemuan Jerome Bruner Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery learning). Brunner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya member hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1988: 125 dalam Trianto, 2009: 38) Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
G. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas- tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar-individu sebelum fungsi mental lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
H. Teori Pembelajaran Perilaku Skinner, salah seorang tokoh yang sangat berperan dalam teori pembelajaran perilaku yang telah mempelajari hubungan antara tingkah laku dan konsekuensinya mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku (Gredlerm 1994: 117 dalam Trianto, 2009: 39). Prinsip yang paling penting dari teori belajar perilaku adalah bahwa perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi langsung dari perilaku tersebut. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku. Dengan kata lain konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan meningkatkan frekuensi seseorang untuk melakukan perilaku yang serupa (Budayasa, 1998: 14 dalam Trianto, 2009: 40).
3. Model-model pembelajaran A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualistis telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi dan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualistis, guru menempatkan siswa pada tempat duduk yang terpisah dari siswa yang lain. Kata-kata dilarang mencontoh, geser tempat dudukmu, saya ingin agar kamu bekerja sendiri, dan jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistis (Johnson & Johnson, 1994 dalam Trianto, 2009: 55). Proses belajar seperti ini masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sekarang ini. Jika disusun dengan baik, belajar kompetitif dan individualistis akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik. Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan individualistis, yaitu (1) kompetisi siswa kadang tidak sehat. Sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (2) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (3) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (4) dapat membuat frustasi siswa lainnya (Slavin, 1995 dalam Trianto, 2009: 56). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan agar siswa dapat membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya adalah dengan belajar kooperatif. Artzt & Newman, 1990: 448 (dalam Trianto, 2009: 56). Menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar. Selama belajar secara kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya. Agar terlaksana dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggoa kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu di antara teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota kelompok ada yang belum menguasai materi pelajaran. Johnson & Johnson, 1994 (dalam Trianto, 2009: 57) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah. Zamroni, 2000 (dalam Trianto, 2009: 57) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khsusunya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat. Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Eggen dan Kauchak, 1996: 279 dalam Trianto, 2009: 58). Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan pembelajaran ini mencakup tiga jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim, dkk, 2000: 7 dalam Trianto, 2009: 59).
B. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Istilah Pengajaran Berdasarkan Masalah (PBM) diadopsi dari istilah Inggris Problem Based Instructrion (PBI). Model pengajaran berdasarkan masalah ini telah dikenal sejak zaman John Dewey. Dewasa ini, model pembelajaran ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009: 91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya. Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanan, 2002: 123 dalam Trianto, 2009: 92). Pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok kecil siswa bekerja sama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Ketika guru sedang menerapkan model pembelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan bermacam- macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis. Model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis. Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang pernyelesaiannya membutuhkan kerja sama di antara siswa-siswa. Dalam model pembelajaran ini guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa. Menurut Arends, 1997 (dalam Trianto, 2009: 92), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction), belajar autentik (authentic learning) dan pembelajaran bermakna atau pembelajaran berakar pada kehidupan (anchored instruction) (Ibrahim dan Nur, 2000: 2 dalam Trianto, 2009: 93). Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki tujuan, yaitu membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, menjadi pembelajar yang mandiri, dan belajar peranan orang dewasa yang autentik. PBI memberikan dorongan kepada peserta didik untuk tidak hanya sekadar berpikir sesuai yang bersifat konkret, tetapi lebih dari itu berpikir terhadap ide-ide yang abstrak dan kompleks. Dengan kata lain PBI melatih kepada peserta didik untuk memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hakikat kekomplekan dan konteks dari keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak dapat diajarkan menggunakan pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan ide dan keterampilan yang lebih konkret, tetapi hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) oleh peserta didik sendiri. Menurut Resnick (dalam Trianto, 2009: 95), bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah amat penting untuk menjembatani gap antara pembelajaran di sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Berdasarkan pendapat Resnick tersebut, maka PBI memiliki implikasi: Pertama, mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Kedua, memiliki elemen-elemen belajar magang, hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan orang lain, sehingga secara bertahap siswa dapat memahami peran orang yang diamati atau yang diajak dialog (ilmuan, guru, dokter dan sebagainya). Ketiga, melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, sehingga memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahaman terhadap fenomena tersebut secara mandiri. Pengajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000: 7 dalam Trianto, 2009: 96). Menurut Sudjana manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya. Selain manfaat, metode pengajaran berdasarkan masalahnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan PBM sebagai suatu model pembelajaran adalah: (1) Realistis dengan kehidupan siswa; (2) Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa; (3) Memupuk sifat inquiry siswa; (4) Retensi konsep jadi kuat; (5) Memupuk kemampuan Problem Solving. Selain kelebihan tersebut PBM juga memiliki beberapa kekurangan antara lain: (1) Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks; (2) Sulitnya mencari problem yang relevan; (3) Sering terjadi miss-konsepsi dan (4) Konsumsi Waktu, di mana model ini memerlukan waktu yang cukup dalam proses penyelidikan. Sehingga terkadang banyak waktu yang tersita untuk proses tersebut.
C. Pembelajaran Berbasis Inkuiri Indrawati, 1999: 9 (dalam Trianto, 2009: 165) menyatakan, bahwa suatu pembelajaran pada umumnya lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Menurut Downney, 1967 (dalam Trianto, 2009: 165) menyatakan: The core of good thinking is the ability to solve problems. The essence of problem solving is ability to learn in puzzling situations. Thus, in the school of these particular dreams, learning how to learn pervades what is the taught, how it is taught, and the kind of place in which it is taught. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah model pembelajaran inkuiri. Sund (dalam Trianto, 2009: 166) menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelididkan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo, 2002 (dalam Trianto, 2009: 166) menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar; (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran; dan (3) mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah: (1) Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi; (2) Inkuiri berfokus pada hipotesis; dan (3) Penggunaan faktas sebagai evidensi (informasi, fakta). Untuk menciptakan kondisi seperti itu, peranan guru adalah sebagai berikut: 1. Motivator, member rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir 2. Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan 3. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat 4. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas 5. Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan 6. Manajer, mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas 7. Rewarder, member penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relative singkat. Hasil penelitian Schlenker, (dalam Trianto, 2009: 167), menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi. Munandar, 1990: 47 (dalam Trianto, 2009: 167), mengemukakan beberapa perumusan kreativitas adalah sebagai berikut: Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan-berdasarkan data atau informasi yang tersedia-menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap sesuatu masalah di mana penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan beragam jawaban. Makin banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap suatu masalah makin kreativitas seseorang. Tentu saja jawaban itu harus sesuai dengan masalahnya. Jadi tidak semata-mata banyaknya jawaban yang dapat diberikan yang menentukan kreativitas seseorang, tetapi juga kualitas atau mutu dari jawabannya. Lebih lanjut Munandar, memberikan alasan bahwa kreativitas pada anak perlu dikembangkan karena: .dengan berkreasi anak dapat mewujudkan dirinya; sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah; memberikan kepuasan kepada individu; dan memungkinkan meningkatkan kualitas hidupnya. Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan masyarakat dan Negara bergantung pada sumbangan kreatif dari masyarakat, untuk itu perlulah sikap dan perilaku dipupuk sejak dini pada peserta didik yang kelak mampu menghasilkan pengetahuan baru. Ciri perkembangan afektif, yaitu menyangkut sikap dan perasaan, motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, misalnya rasa ingin tahu, tertarik terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan siswa sebagai tantangan, berani mengambil risiko untuk membuat kesalahan atau dikritik oleh siswa lain, tidak mudah putus asa, menghargai diri sendiri maupun orang lain (Munandari, 1990: 51 dalam Trianto, 2009: 168).
D. Pembelajaran Berbasis Projek Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja; 2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik; 3. peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan; 4. peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan; 5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu; 6. peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan; 7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan 8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan. Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa. Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini. 1. Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek. 2. Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru. 3. Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi. 4. Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah. Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay- out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas. Kelebihan dan kekurangan pada penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Keuntungan Pembelajaran Berbasis Proyek a. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai. b. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. c. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem- problem yang kompleks. d. Meningkatkan kolaborasi. e. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi. f. Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber. g. Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas. h. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata. i. Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata. j. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran. 2. Kelemahan Pembelajaran Berbasis Proyek a. Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah. b. Membutuhkan biaya yang cukup banyak. c. Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas. d. Banyaknya peralatan yang harus disediakan. e. Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan. f. Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok. g. Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran. Pembelajaran Berbasis Proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa. Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka telah lulus tes.
4. Penutup Inti daripada proses pendidikan secara formal adalah mengajar. Sedangkan inti proses pengajaran adalah siswa belajar. Oleh karena itu mengajar tidak dapat dipisahkan dari belajar. Sehingga dalam peristilahan kependidikan kita mengenal ungkapan Proses Belajar Mengajar atau disingkat PBM. Menganalisis proses belajar mengajar pada intinya tertumpu pada suatu persoalan. Yaitu bagaimana guru member kemungkinan bagi siswa agar terjadi proses belajar yang efektif atau dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Dalam praktik , pengajaran merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Agar pengajaran dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang direncanakan guru perlu mempertimpangkan strategi belajar mengajar yang efektif. Penilaian memegang peranan yang sangat penting dalam pengajaran. Hasil penilaian merupakan ukuran keberhasilan mengajar. Di samping itu penilaian merupakan dasar catu balik (feed back) untuk perbaikan. Karena itu kemampuan melakukan penilaian merupakan bagian dari kemampuan guru melaksanakan pengajaran. Sesungguhnya mengajar dapat dilakukan dengan cara sembarangan. Bila ini dilakukan hasil yang diperoleh pun tentu asal jadi saja. Oleh karena itu agar diperoleh hasil lebih baik, diperlukan sikap mental untuk mau memperbaiki atau meningkatkan kemampuan mengajar dengan menggunakan model-model pembelajaran yang variatif.
Daftar Rujukan Ali, Muhammad. 2010. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana