Anda di halaman 1dari 169

STRATEGI LAPANG DAN BEBERAN DALAM BIPA SEBAGAI

MEDIA PEMAHAMAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Dr. Arif Budi Wurianto


BIPA Universitas Muhammadiyah Malang

Indonesia memiliki keragaman kebudayaan yang memungkinkan


pengkaji bahasa dan budaya Indonesia perlu menfaatkan pemahaman lintas
budaya. BIPA merupakan wahana yang sangat efektif untuk memberikan
pemahaman kebudayaan bagi orang asing. Hal ini menjadi efektif apabila
metode dan strategi yang digunakan tepat untuk pencapaian tujuan. Bahasa
Indonesia bagi penutur asing, baik peserta didik, maupun materi pelajaran
yang memilik kekhususan dalam proses pembelajarannya. Penyertaan
media pembelajaran atas topik Aspek Budaya dalam Bahasa Indonesia
sangat diperlukan. Strategi lapang dan media beberan cukup membantu
secara efektif dan sesuai dengan karakteristik peserta didik dan tujuan
pembelajaran. Strategi lapang adalah pengenalan riil tindak tutur Bahasa
Indonesia dalam konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat, baik melalui
kunjungan langsung yang disertai penulisan laporan maupun melalui
simulasi dan media audio visual yang disertai diskusi. Konsep dasar strategi
lapang ini adalah aplikasi teks dan konteks sebagai sebuah pengalaman
belajar terpadu. Sedangkan media beberan adalah alat bantu pembelajaran
berbentuk lembar komunikasi yang berupa gambar dan tulisan yang dalam
pemanfaatannya disertai dengan permainan, lagu , dan perangkat audio
visual.
A. Pengantar
Salah satu hal yang terpenting dalam BIPA adalah orientasu
lintas budaya. BIPA dapat dipandang sebagai media komunikasi
lintas budaya. Pemahaman budaya merupakan bagian yang integral
dalam belajar bahasa. Hipotesis Sapir dan Whorf menyatakan bahasa
memiliki keterkaitan dengan pikiran. Hipotesis Edward Sapir
beserta Benyamin Lee Whorf menyatakan bahwa bahasa itu
merupakan aktivitas ruhani, proses kejiwaan yang berulang-ulang
untuk membentuk gagasan / pikiran melalui bunyi yang
~1~
berartikulasi. Setiap bahasa memiliki keistimewaan yaitu lambang
jiwa, tabiat dan sifat bangsa. Akibatnya timbul keragaman bahasa
dan perbedaannya. Selanjutnya prinsip dasarnya menyebutkan
bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya
terhadap dunia dan lingkungan budaya sekitarnya melalui kategori
gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin dalam bahasa
yang diwarisinya bersama kebudayaannya. Pikiran manusia
merupakan hasil konstruksi budaya . Melalui BIPA, budaya
Indonesia perlu diperkenalkan dan diharapkan para peserta didik
memahami budaya Indonesia bahasa dan mampu berbahasa
Indonesia dengan pikiran dan “rasa” budaya Indonesia. Hubungan
dialektika ini melahirkan pemahaman lintas budaya.
Proses pembelajaran BIPA bukan sekedar melakukan transfer
pengetahuan, sikap dan keterampilan berbahasa Indonesia bagi
penutur asing saja, melainkan di dalamnya harus tercipta proses-
proses pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi si
pembelajar. Krashen (1982, dalam Abdul Hamied, 2000:764)
menyatakan bahwa dalam upaya pembelajaran bahasa asing harus
diperhatikan (a) keterpahaman, (b) kemenarikan dan/atau relevansi,
(c) keteracakan gramatika, dan (d) kuantitas yang memadai. Hal
yang mendasari konsep ini menurut Alatis dan Altman (dalam
Abdul Hamied, 2000:764) terdiri dari tiga hal mendasar, yaitu (a)
motivasi, (b) bakat bahasa, dan (c) jumlah waktu yang dipakai dalam
belajar bahasa. Disebutkan bahwa variabelmotivasional meliputi
motivasi integratif dan instrumental, kontak dengan budaya bahasa
target, faktor sosio-ekonomi, perbedaan jenis kelamin, situasi kelas,
hubungan guru-siswa, dan sajian bahan ajar. Bakat bahasa meliputi
kemampuan mengkode stimulus fonetik, kepekaan gramatis, dan
kemampuan gramatis. Sedangkan waktu/lama belajar bahasa
dinyatakan bahwa semakin banyak waktu yang dipakai, semakin
baik hasil dari proses pembelajaran itu.
B. Belajar dan Pembelajaran BIPA
Dalam konteks makalah ini, BIPA dipandang sebagai belajar
bahasa asing. Berbeda dengan situasi pembelajaran bahasa Indonesia
yang dalam konteks masyarakat Indonesia dikatakan sebagai belajar
~2~
bahasa kedua ( second language) setelah belajar bahasa ibu yaitu
bahasa daerah. Sebagai belajar bahasa asing, pembelajaran bahasa
Indonesia harus ditempatkan dalam konteks internasional. Peserta
didik BIPA berasal dari berbagai ragam bangsa, ras, dan latar
belakang sosial-ekonomi- teknologi- dan budaya. Oleh sebab itu
pembelajaran bahasa Indonesia melalui BIPA sebagai kondisi yang
sangat spesifik karena menyangkut si pembelajar, materi ajar, dan
pembelajar.

Gambar 1. Segi Tiga Pembelajaran BIPA


Si pembelajar adalah orang asing, materi ajar adalah bahasa
dan kebudayaan Indonesia dan pembelajar adalah pembina bahasa
Indonesia BIPA. Ketiganya dibingkai oleh tujuan pembelajaran,
Metode Belajar, dan Pengkondisian Belajar. Sebagai contoh si belajar
yang dalam hal ini orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Ada
yang datang ke Indonesia dengan dasar-dasar keterampilan bahasa
Indonesia yang dimiliki. Mereka ada yang mendapatkan pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah, maupun secara mandiri diperolehnya
melalui kursus bahasa Indonesia yang diselenggaraan
Kedutaanbesar RI di luar negeri. Ada pula yang datang ke
Indonesia tanpa bekal keterampilan berbahasa Indonesia. Mereka
berbekal bahasa Inggris sebagai komunikasi internasional. Adapula
dari kalangan ekspatriat, diplomat, atau yang karena sesuatu
kepentingan tinggal di Indonesia, mereka harus belajar bahasa
~3~
Indonesia. Yang kedua adalah si Pembelajar atau para pembina
BIPA. Mereka juga memiliki keragaman latar belakang, seperti
berlatar belakang Pendidikan Bahasa Indonesia, Ahli Bahasa dan
Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Praktisi BIPA, atau
voluntir penutur asli Bahasa Indonesia tanpa latar belakang
pendidikan bahasa. Sedangkan Bahan Ajar adalah Bahasa Indonesia
meliputi : sejarah singkat bahasa Indonesia, Variasi Bahasa
Indonesia, pengetahuan budaya Indonesia, aspek kaidah dan
gramatika kebahasaan bahasa Indonesia, ragam penggunaan
bahasa Indonesia dan praktik berbahasa Indonesia dalam berbagai
situasi dan kondisi. Selanjutnya dalam praktiknya hal-hal yang
penting untuk diperhatikan adalah tujuan belajar bahasa Indonesia,
Metode Belajar, dan Pengkondisian Belajar. Hal ini didasari
pemikiran bahwa mereka yang datang untuk belajar bahasa
Indonesia adalah orang yang sama sekali berbeda adat, kebiasaan,
kebudayaan, cara berpikir dan teknologi. Oleh sebab itu bingkai ini
harus kuat dan mendukung proses-proses penyelenggaraan BIPA.
C. BIPA sebagai Media Komunikasi Lintas Budaya
Tidak dapat disangkal, bahwa pada abad informasi ini,
competing globally merupakan kata kunci untuk saling
memberdayakan diri dalam arena lintas budaya. Penguasaan bahasa
asing sangat diperlukan dalam upaya negosiasi-negosiasi dan
manajemen yang bersifat lintas budaya, termasuk penguasaan
bahasa Indonesia oleh penutur asing. Hal inilah sisi penting BIPA
sebagai media komunikasi lintas budaya sebagai sebuah upaya
sinergi budaya melalui kekuatan bahasa. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa untuk maju dengan pesat dan dalam banyak hal
untuk mempertahankan hidup, di abad ke-21, individu-individu dan
institusi-institusi haruslah memasukkan sensitivitas dan
keterampilan budaya ke dalam hubungan, strategi, dan struktur
kehidupan. Ada tantangan dalam komunikasi secara efektif
antarbudaya, negosiasi global dan bisnis internasional. Kemampuan
bahasa Indonesia oleh penutur asing merupakan sebuah kompetensi
kultural, oleh sebab itulah BIPA akan memperkenalkan norma-
norma kultural budaya Indonesia.
~4~
Komunikasi lintas budaya dengan menggunakan bahasa
Indonesia, secara praktis dapat dimanfaatlam oleh penutur asing
dalam tindak tutur berbahasa sehari-hari, misalnya:
memperkenalkan diri, menelepon, berkomunikasi melalui surat, pos
elektronik, mengetahui pesan-pesan non verbal dari aneka budaya
Indonesia, presentasi dan pertemuan bisnis, sarana mengkaji
Indonesia, negosiasi, mampu menghindari tabu sosial, dan lain-lain.
BIPA sebagai media komunikasi lintas budaya dapat membantu
pemahaman adat dan kebiasaan budaya Indonesia dalam segala
aspek kehidupan masyarakat.
Sebagai media komunikasi lintas budaya, BIPA menempatkan
diri sebagai sarana (alat) pembelajaran.Oleh sebab itu prinsip-
prinsip pembelajaran harus mewarnai pelaksanaan kelas-kelas
bahasa Indonesia bagi penutur asing. Peran tutor, fasilitator, guru,
atau dosen bahasa Indonesia untuk penutur asing harus mewakili
sosok Indonesia yang mampu memahami peserta didik yang “non
Indonesia” agar dalam berbahasa Indonesia secara signifikan akan
“mengindonesia”. Oleh sebab itu rasa “kearifan” dalam berbahasa
Indonesia cukup mewakili “media komunikasi” lintas budaya ini.
Oleh sebab itu perlu pembentukan “citra” yang tergambarkan dalam
cara berbahasa, bertemu orang lain, menempatkan diri sendiri,
menempatkan lawan bicara, dan pemberian atau pengisian “ruh”
nilai rasa bahasa dalam tindak komunikasi berbahasa Indonesia
yang berpangkal pada kompetensi kultural.
Dalam menjembatani pemahaman budaya Indonesia, materi
BIPA akan dikembangkan berdasarkan tema-tema seperti: konsep
hakikat dan sifat hidup manusia Indonesia, hakikat karya manusia
Indonesia, hakikat kedudukan manusia Indonesia dalam makna
ruang dan waktu, hakikat hubungan manusia dengan alam
Indonesia dan hakikat hubungan sesama manusia Indonesia. Materi-
materi ini secara mendasar merupakan gambaran manusia dan
budaya Indonesia. Sudah tentu dalam sajiannya akan dirinci secara
integratif dengan aspek-aspek kebahasaan.
BIPA sebagai media komunikasi lintas budaya memantapkan
kenyataan budaya yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang

~5~
berbahasa Indonesia, pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku
bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang
berbicara dengan bahasa nasional sebagai bahasa persatuan bangsa.
Untuk itu, penutur asing yang berkomunikasi dengan penduduk
Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling
tidak ia telah mempelajari linguistik bahasa Indonesia dalam konteks
ruang dan waktu kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan
“manusia Indonesia”. Dengan demikian pendekatan lintas budaya
dengan pendidikan heuristik dan pola-pola empatik sangat
dimungkinkan. Pola ini dapat diimplementasikan dalam berbagai
ragam metode dan teknik pembelajaran BIPA.
D. Strategi Lapang dan Beberan dalam BIPA sebagai Pemahaman
Kebudayaan Indonesia
BIPA di beberapa perguruan tinggi di Indonesia memiliki
berbagai ragam bentuk dan program pelaksanaannya. Ada yang
secara otonomi berupa BIPA, ada yang berupa kursus, atau dalam
integrasi program institusi lain seperti ACICIS (Australian
Consortium for in Country Indonesian Studies), dan lain-lain. Demikian
juga dengan latar belakang peserta didiknya, ada yang benar-benar
pertama kali belajar bahasa Indonesia, ada yang dalam tingkat lanjut
karena pernah belajar bahasa Indonesia secara formal di negara asal,
dan ada yang belajar untuk memperdalam studi kebudayaan di
Indonesia. Oleh sebab itulah pemahaman atas latar belakang peserta
didik ini sangat penting untuk menentukan bahan ajar, metode, dan
media.
Metode adalah seperangkat prosedur yang dilakukan dalam
pembelajaran bahasa yang meliputi seleksi, gradasi, presentasi, dan
evaluasi. Prosedur ini berkaitan dengan kondisi peserta didik dan
materi yang dirancangnya.
1. Strategi Lapang dalam BIPA sebagai Pemahaman Kebudayaan
Indonesia

Strategi lapang adalah pengenalan riil tindak tutur Bahasa


Indonesia dalam konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat,

~6~
baik melalui kunjungan langsung yang disertai penulisan laporan
maupun melalui simulasi dan media audio visual yang disertai
diskusi. Konsep dasar strategi lapang ini adalah aplikasi teks dan
konteks sebagai sebuah pengalaman belajar terpadu. Ada dua
pengertian dalam pelaksanaan strategi lapang ini. Pertama,
pelaksanaan program pembelajaran, setelah peserta didik memiliki
seperangkat pengetahuan kebahasaan bahasa Indonesia, diadakan
kegiatan kunjungan lapang ke suatu tempat yang memberi
pengalaman belajar langsung.
Dalam catatan penulis, banyak program BIPA yang
melakukan strategi ini. Program tanpa penyusunan laporan seperti
dilakukan salah satu agen informasi pariwisata di Malang,
menyelenggarakan BIPA melalui internet yang dalam
pelaksanaannya diintegrasikan dengan kunjungan tempat wisata
dan pengembangan konsep wisata sambil belajar bahasa dan
kebudayaan Indonesia. Dalam pelaksanaan pembelajaran dapat
dilakukan diskusi kebudayaan,misalnya topik “ pengucapan salam
dalam bahasa dan kebudayaan Indonesia” selain peserta didik
belajar tata cara Indonesia, dilakukan juga “sharing” dengan
kebudayaan peserta didik berasal. Ada juga yang melakukannya
dengan kunjungan langsung untuk observasi dan melakukan
wawancara. Di Malang ada sebuah kawasan industri rumah dalam
pembuatan tempe dan tahu. Makanan tempe dan tahu sudah tentu
“asing” bagi si penutur asing Oleh sebab itu sambil mengenal
kuliner Indonesia mereka diajak langsung ke tempat pembuatannya.
Bagi mereka pengalaman ini sebagai sesuatu yang “eksotik”. Kedua,
pelaksanaan program pembelajaran yang terintegrasi dengan
program studi Indonesia. Hal ini sebagaimana dikembangkan
ACICIS. Di Universitas Muhammadiyah Malang program ACICIS
untuk semester pertama 2007 masuk ke angkatan ke-24. Program ini
mulai diadakan pada tahun 1995. Para peserta didik melakukan riset
tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Sebelum terjun ke
lapang untk riset dilakukan pembelajaran kelas yang salah satunya
adalah Bahasa dan Kebudayaan Indonesia. Mereka mendapatkan
materi bahasa Indonesia dalam ragam kehidupan riil masyarakat. Di

~7~
lapang mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai
pengetahuan budaya lokal. Dalam kurun waktu penelitian, mereka
melakukan pembelajaran secara mandiri. Pada akhir semester, para
peserta didik akan menulis laporan dalam bahasa Indonesia dan
mempresentasikannya dalam bahasa Indonesia. Proses belajar ini
menjadikan mereka “telah menjadi Indonesia” karena pengalaman
lapang dan secara lintas budaya memahami masyarakat Indonesia.
Hal senada seperti yang dikemukakan oleh Tetty Simanjuntak (2000)
bahwa pelatihan lintas-budaya diberikan oleh seorang konsultan
pelatihan lintas budaya (cross-cultural training consultant) yang
lamanya dua jam setiap kali BII diselenggarakan.  Selanjutnya
diadakan tiga kali kunjungan lapangan seperti pasar tradisional,
rumah sakit, dan hotel masing-masing selama dua jam. Gambar di
bawah ini menunjukkan saat peserta didik mempresentasikan hasil
risetnya dalam bahasa Indonesia, baik saat presentasi maupun
laporan tertulisnya. Pemerolehan bahasa dan pengenalan budaya
semakin bertambah ketika mereka di lapang dan ditunjukkan
melalui kesan-kesan mereka yang positif.

Gambar 2. Presentase Hasil Riset Peserta Didik


Gambar di atas merupakan guntingan berita koran Kompas
Jawa Timur yang memberitakan kegiatan presentasi mahasiswa
asing yang melakukan riset sosial budaya di Jawa Timur. Gambar
2a, mahasiswa berkebangsaan Perancis melalui program ACICIS,
Hannah Al Rasyid yang mempresentasikan fenomena budaya Barat-
Timur melalui kajian “Konsep Kulit Putih bagi Wanita Indonesia”,
~8~
dan Gambar 2b memberitakan Anne Dickson yang
mempresentasikan Poligami di kalangan Aisiyah. Terlepas dari
topik yang dipilih untuk dikaji di lapang, persoalan lintas budaya
dapat dipahami melalui kunjungan lapang dan bahasa Indonesia
dapat menjembatani pemahamannya.
Dalam pelaksanaannya, strategi lapang dilakukan dengan
cara sebagai berikut. Pembina BIPA nmelakukan koordinasi dengan
program dan memahami paket-paket belajar yang
dikembangkannya. Pembina BIPA mendapatkan informasi
mengenai topik-topik yang akan dikaji para peserta didik di lapang.
Topik-topik selanjutnya dijadikan dasar seleksi materi ajar BIPA
dan dapat disampaikan secara individual kepada peserta didik.
Materi ajar BIPA selain pembelajaran Bahasa Indonesia secara
umum, dikembangkan pula materi-materi yang menyangkut topik
mahasiswa, baik kosa kata, pilihan dan penggunaan kata, makna
kata dalam perspektif budaya dan pengetahuan budaya masyarakat
tempat riset peserta didik. Dalam hal ini pembina BIPA selain
sebagai pengajar Bahasa Indonesia, juga sebagai konsultan Lintas
Budaya. Dalam proses peserta didik turun lapang, pembina BIPA
bekerjasama dengan pembimbing akademik, khususnya dalam
bahasa Indonesia dan aspek kebudayaannya. Dari pengalaman
presentasi Pengalaman Budaya Indonesia melalui BIPA program
ACICIS angkatan 24 di Universitas Muhammadiyah Malang pada
11-12 Juni 2007, diikuti oleh 8 mahasiswa asing. Mereka menulis
kebudayaan Indonesia menurut persepsi dan penilaian mereka
mengenai keadaan sosial, politik, dan kebudayaan di Indonesia,
khususnya Jawa Timur. Hal ini mendukung program pemahaman
lintas budaya. Secara akademis, isi riset mereka didasarkan atas
genuisitas atau keaslian, independensi temuan dan pemahaman
mereka atas keanekaragaman corak dan topik kebudayaan Indonesia
yang ditulisnya. Sekedar informasi, nama mahasiswa berikut
tulisannya dapat disebutkan sebagai berikut : (1) Anne Dickson :
Persepsi ibu-ibu Aisiyah di Malang terhadap Poligami, (2) Linda
Brewis : Sekitar Aliran Musik Indie Bands di Malang.(3) Hannah Al
Rashid : Obsesi Menjadi Putih Wanita Indonesia: Mengapa Orang

~9~
Indonesia ingin Berkulit Putih seperti Bule?, (4) Candice Vooles :
Kepercayaan Masyarakat Jawa Timur tentang Nyai Roro Kidul, (5)
Marrion McQueen: Sekitar Sebab Musabab dan Dampak Sosial
Ekonomi Lumpur Panas di Sidoarjo, (6) Nina James: Pengaruh
Otonomi pada Nelayan dan Perikanan di Kabupaten Jembrana dan
Banyuwangi, (7) James Welch: Regulasi Industri Penerbangan di
Indonesia Pasca Deregulasi, dan (8) Sam Pickering: Sumber Daya
Alam di Jawa Timur. Judul-judul di atas merupakan kalimat asli
peserta didik. Selama mereka berada di lapang, kemampuan mereka
bergaul, bercakap-cakap,hidup dan beradaptasi dengan masyarakat
dan budaya setempat serta mencoba memahami rasa dan pikiran
masyarakat sekitar. Apabila mereka menemui kendala kebahasaan
dan kebudayaan, ketika berada di kampus mereka akan
menanyakan dan mendiskusikannya.
Secara teoritik, strategi lapang ini merupakan konsep
pembelajaran berbasis critical incident (pengalaman penting).
Pentingnya melibatkan peserta didik sejak awal dengan melihat
pengalaman mereka. Pada dasarnya mereka telah memiliki
kemampuan dasar berbahasa Indonesia (meskipun dalam
kenyataan, dalam kelas BIPA program ACICIS ini, kemampuan
berbahasa Indonesia mereka sangat beragam) Di dalam strategi ini
juga terkandung konsep pembelajaran berbasis assessment search
(mencari kesan), yaitu teknik yang cuku menarik untuk menilai
kelas yang melibatkan peserta didik sejak awal pertemuan untuk
saling mengenal dan bekerjasama. Untuk pembelajaran BIPA
reguler, teknik ini dapat dilakukan pembina BIPA untuk mengetahui
pengetahuan bahasa dan budaya peserta didik, sikap mereka
terhadap bahan ajar, pengalaman peserta didik yang berhubungan
dengan bahan ajar, keterampilan yang dimiliki peserta didik, dan
harapan peserta didik yang ingin diperoleh. Hal yang sulit diperoleh
adalah pemahaman atas latar belakang peserta didik, karena budaya
orang asing umumnya tidak boleh mengetahui urusan pibadi orang
lain.
2. Strategi Beberan dalam BIPA sebagai Pemahaman Kebudayaan
Indonesia

~ 10 ~
Beberan adalah sebuah kata untuk konsep lembar simulasi
atau display materi dalam bentuk gambar dan permainan. Strategi
beberan BIPA lebih tepat dikatakan sebagai media beberan dalam
BIPA, karena fungsi beberan lebih banyak sebagai sarana atau alat
bantu belajar bahasa Indonesia untuk penutur asing. Strategi ini
sangat konvensional dan dapat dikatakan tradisional, mengingat
bentuk pembelajaran pada masa kini lebih berorientasi pada
pemanfaatan teknologi multi media dan komputerisasi. Namun sisi
lain beberan adalah konsep “keunikan” dan” tradisional” yang boleh
jadi sebagai sesuatu yang “aneh” bagi peserta didik penutur asing
ini. Media beberan adalah alat bantu pembelajaran berbentuk lembar
komunikasi yang berupa gambar dan tulisan yang dalam
pemanfaatannya disertai dengan permainan, lagu , dan perangkat
audio visual.

Gambar 3. Contoh Media Beberan dalam BIPA


Bentuk beberan adalah selembar kertas, yang di dalamnya
dibagi menjadi beberapa bagian. Tiap bagian menggambarkan
situasi kehidupan budaya di Indonesia, baik teknologi, ekonomi,

~ 11 ~
kesenian, arkeologi, bahasa daerah, adat-istiadat, kebiasaan, objek
wisata, sejarah, transportasi lokal, dan sebagainya. Beberan ini
dilengkapi dengan kartu pertanyaan, kartu jawaban, kartu diskusi,
kaset video/cakram film kebudayaan, CD musik, dan dadu. Tidak
semua bagian dalam kertas diisi, tetapi ada beberapa bagian yang
diisi dengan “jebakan” hukuman menyanyi lagu Indonesia, atau
melakukan atraksi tertentu yang menggambarkan budaya Indonesia.
Contoh bentuk beberan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Bagian kotak tidak harus diisi semuanya. Dapat dikosongkan
untuk “hukuman” ketika dadu menunjukkan angka bagian kotak
ini. Hukuman dapat didiskusikan bentuknya dengan peserta didik
yang intinya peserta didik mau dan mampu mengekspresikannya
dalam Bahasa Indonesia. Sebagai contoh kotak nomor 3 yaiyu wisata
puncak gunung Bromo, kelas dapat diputarkan film tentang Gunung
Bromo dan Masyarakat Tengger, demikian seterusnya.
Pada program BIPA dengan peserta didik input dari program
Darma Siswa Depdiknas, Universitas Muhammadiyah Malang
mendapat peserta didik dari Finlandia, Madagaskar, Jepang, dan
Australia. Dengan bahan ajar yang telah dipersiapkan didukung oleh
media beberan ini, kelas menjadi hidup, tidak monoton, dan
memberikan stimulus untuk berdiskusi dan bertanya yang dalam hal
ini memacu mereka untuk berlatih mengeluarkan pendapat dan
berbahasa Indonesia. Alangkah lebih baik ditunjang dengan “field
trip” berdasar pemahaman yang diperoleh di kelas dengan media
beberan. Contoh ketika di kelas mereka mendapat pemahaman
tentang candi Singosari di Malang, maka setelah akhir kelas
diadakan kunjungan ke candi Singosari. Dapat juga untuk wisata
kuliner, belanja di pasar tradisional, atau ke tempat-tempat yang
mengandung interes sosial budaya. Hal ini sudah tentu
dimaksudkan untuk lebih memahamkan kebudayaan dan
pembelajaran berbasis lintas budaya.
Contoh pada gambar 3 tersebut dibuat sederhana.Bagian-
bagian di dalamnya masih dapat dibuat lebih banyak lagi dengan
lebih banyak permasalahan yang dijadikan bahan ajar dan diskusi
budaya dalam pembelajaran BIPA. Dalam contoh tampak:

~ 12 ~
Tabel 1. Contoh Media Beberan dalam BIPA
Bagian/
Gambar Keterangan
Kotak
1 Pembuat Tempe Pembina BIPA dapat menjelaskan
kuliner tradisional Indonesia yaitu
tempe, cara membuatnya, makanan
olahannya, dan lain-lain.
2 Bunga Di Bali kedudukan bunga Jepun
Jepun/Kemboja sangat istimewa. Untuk sesaji,
hiasan, dan lain-lain. Dapat
dijelaskan arti, fungsi dan makna
bunga-bunga dalam konteks
kebudayaan Indonesia.
3 Tempat Wisata Dapat dijelaskan upacara adat suku
Puncak Gunung Tengger Kasada dan hubungannya
Bromo dengan tempat wisata Kawah
Gunung Bromo ini.
4 Tokoh Wayang Pembina BIPA dapat menjadikan
Abimanyu wayang kulit sebagai bagian
kesenian tradisional di Indonesia,
baik cara membuatnya, simbolnya,
watak, dan lain-lain.
5 Batik Pembina BIPA dapat menjadikan
batik kulit sebagai bagian seni
tradisional di Indonesia, baik cara
membuatnya, simbolnya,
pemanfaatannya, dan lain-lain.
6. Pakaian Adat Pembina BIPA dapat menjadikan
Bugis pakaian adat tradisional Indonesia
sebagai bagian kesenian tradisional
di Indonesia, baik cara memakainya,
~ 13 ~
fungsinya, dan lain-lain.

Secara teoretik, strategi beberan ini mengindikasikan tingkat


berpikur aplikasi dan performansi. Melalui strategi dan media ini
akan dikembangkan kemampuan menerapkan prinsip-prinsip dan
generalisasi yang dipelajari kepada situasi dan masalah yang baru.
Dikembangkan pula kemampuan mengambil kesimpulan yang
masuk akal dari pengamatan, pengembangan kecakapan berpikir
kreatif, belajar konsep-konsep, mengembangkan apresiasi atau
penghargaan terhadap kebudayaan.
3. Contoh Bahan Ajar BIPA berbasis Pengenalan Kebudayaan
Indonesia dan Pemahaman Lintas Budaya/ Cross Culture
Understanding

Contoh berikut ini adalah Bahan Ajar BIPA berbasis


Pengenalan Kebudayaan Indonesia dan Pemahaman Lintas Budaya/
Cross Culture Understanding. Materi dibagi atas unit-unit. Tiap unit
menggambarkan bagian dari unsur kebudayaan, seperti sistem
kepercayaan dan agama di Indonesia, Kesenian, Sistem Mata
Pencaharian, Sistem Teknologi, Organisasi Sosial, Bahasa Lokal, dan
Sistem Pengetahuan. Masing-masing unit terdiri dari bacaan-bacaan,
Kosa Kata Budaya, dan Diskusi Lintas Budaya yang termasuk dalam
Sudut Pandang. Dalam sudut pandang inilah peserta didik
berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Bagaimana persepsi
mereka atas budaya Indonesia yang dibaca dan dipahami, dan
Pembina BIPA memberikan jawaban, penjelasan rasional, dan sudut
pandang budaya Indonesia. Tidak menutup kemungkinan untuk
mempertajam keterampilan berbicara peserta didik, dapat kita
ajukan pertanyaan tentang persepsi atau menurut sudut
pandangnya. Materi-materi ini disertai pula dengan permainan
beberan, pemutaran film, kunjungan, dan diskusi kelas.
E. Penutup
Terlepas dari berbagai fenomena BIPA di luar negeri
sebagaimana dilaporkan Sarumpaet (1988); Young-Rhim (1988),

~ 14 ~
Sumarmo (1988), Sudijarto (1988), dan Shigeru (1988) yang
menginfromasikan kemanfaatan untuk melamar pekerjaan bagi yang
mahir Bahasa Indonesia, Standard materi pelajaran BIPA, masalah
mutu pelajaran BIPA, kurangnya buku tentang Indonesia, dan
permasalahan kamus (Abdul Hamied, 2000), penanganan BIPA di
Indonesia haruslah ditingkatkan profesionalismenya dalam berbagai
aspek sistem pembelajaran BIPA. Ada banyak variasi yang dapat
ditawarkan, yang terpenting selama proses pembelajaran BIPA
tercipta kelas yang menyenangkan, terekspresikan rasa
keindonesiaan, dan kelas benar-benar pengejawantahan budaya
Indonesia.
Strategi lapang dan beberan untuk BIPA ini hanyalah
sebagian kecil upaya mengkreasikan pembelajaran BIPA agar tetap
menarik, menyenangkan, tercapainya tujuan dan mampu
menumbuhkan kepekaan dan kepahamannya tentang kebudayaan
Indonesia. Apapun variasi pembelajarannya, yang jelas aspek-aspek
dedaktik-metodik, dan pedagogik tetap mendpatkan perhatian.
Daftar Pustaka
Abdul Hamied, Fuad. 2000. Pengajaran Bahasa Asing dalam
Bambang Kaswanti Purwo (ed) Kajian Serba Linguistik untuk
Anton M. Moeliono Pareksa Bahasa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Elashmawi, Farid. 2002. Competing Globally. Sukses Bersaing


dengan Negosiasi dan Manajemen Lintas Budaya. Jakarta :
Gramedia.

Said, Mas’ud. 2007. Press Release ACICIS-UMM 11-12 Juni 2007.


Malang: ACICIC-UMM

Tim BIPA. 2004. Lentera Indonesia. Penerang untuk Memahami


Masyarakat dan Budaya Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa
Depdiknas.

Wurianto, Arif Budi. 2001. Pendekatan Silang Budaya sebagai


Pencitraan Budaya Indonesia melalui Pengajaran BIPA.
~ 15 ~
Makalah APBIPA. Dipublikasikan melalui Prosiding APBIPA.
Denpasar: IALF

Contoh Materi untuk BIPA Program Darma Siswa:

UNIT 1: BAHASA INDONESIA BERNILAI RASA


SISTEM KEPERCAYAAN DAN AGAMA

Bacaan No. 1
Dunia kehidupan saat ini diwarnai oleh sikap serba boleh.
Apa saja boleh. Serba bebas. Saksikan bagaimana gadis-gadis dan
wanita Indonesia berpakaian yang serba bebas, pamer aurat.
Saksikan pula bagaimana anak-anak remaja putra dan pria dewasa
dengan mudah terlibat dalam penyim-pangan narkoba,
kekerasan, perkosaan dan tindakan amoral yang merusak
kehidupan. Berbagai tindak kejahatan atau kriminalitas bukan
menunjukkan frekuensi yang meningkat sebagaimana dapat
disaksikan dalam tayangan media elektronik, cetak, internet, bahkan
yang disaksikan langsung. Pendek kata, krisis moral atau akhlaq
sudah sedemikian rupa.
Kita berharap penegakkan hukum dapat berjalan lebih baik
dan semakin tegas, sehingga kemaksiatan di masyarakat tidak kian
mewabah. Dengan hukum dapat dicegah dan ditindak kemaksiatan
dengan sistem, bukan tindakan oranag per orang. Di sini kita
berharap para penegak hukum benar-benar berkhidmat untuk
penegakkan hukum secara bertanggungjawab karena menyangkut
nasib bangsa. Memberantas kemaksiatan lewat jalur dan tindakan
hukum akan memiliki kekuatan yang objektif, Namun, rupanya
masih jauh panggang dari api. Hukum dan penegak hukum masih
belum memadai dalam memberantas kemunkaran, lebih-lenih yang
berskala besar dan luas. Masih banyak bolongnya.
Bagaimana dengan pembentengan moral atau akhlaq? Inilah
tugas mulia perorangan dan organisasi-organisasi dakwah Islam,

~ 16 ~
termasuk Muhammadiyah dengan seluruh elemen kelembagaannya.
Selain mendorong dan mengontrol negara agar hukum ditegakkan,
secara khusus bagaimana meningkatkan kualitas dan frekuensi
dakwah untuk menegakkan akhlaq masyarakat. Ini tugas yang tidak
ringan, karena selaian seiring dianggap kuno atau konservatif,
ikhtiar menegakkan akhlaq juga dituntut melalui berbagai macam
saluran dan bahkan didukung serta metode yang lebih baik. Bukan
apa adanya. Membangun akhlaq pun perlu tersistem tidak asal-
asalan.
Mengandalkan ceramah atau tabligh bil lisan atau tulisan
tentu tidaklah cukup, bahkan di aspek ini pun perlu perbaikan dan
pembaharuan. Diperlukan juga peningkatan pembangunan akhlaq
melalui pendidikan, keluarga, dan berbagai institusi sosial dalam
masyarakat secara lebih tersistem. Termasuk dengan meningkatkan
fungsi masjid, pranata sosial setempat, dan berbagai sarana yang
langsung memiliki akses pada sumber-sumber rawan kejahatan dan
kemaksiatan. Di sinilah tugas berat para elite, aktivis, dan pimpinan
organisasi-organisasi dakwah. Perlu pengembangan segala macam
potensi, sarana, media, dan daya dukung kegiatan-kegiatan dakwah
untuk menegakkan akhlaq masyarakat termasuk mencegah
kemaksiatan.
Hal yang perlu menjadi perhatian dalam membangun akhlaq
bangsa ialah soal keteladanan, cara dan substansi atau isi.
Keteladanan para juru dakwah dan tokoh Muslim di semua
lingkungan merupakan benteng sekaligus contoh nyata dari gerakan
membangun akhlaq. Kata yang sejalan dengan tindakan yang serba
menjadi suri teladan. Kalimat yang manis di mimbar tidak akan
berbuah indah bagi umat manakala tidak disertai amalan dan
praktik yang serba baik. Begitu juga menyangkut isi. Membangun
akhlaq memerlukan cara dan isi dakwah yang penuh hikmah,
pendidikan dan dialog yang baik serta mengandung pesan serba
kebaikan. Dakwah yang menampilkan wajah Islam sebagai agama
rahmat bagi semesta kehidupan. (HNs).
(Dikutip dari Tajuk Rencana Suara Muhammadiyah No.19 Th.ke-
91/1-15 Oktober 2006M. Halaman 4)

~ 17 ~
Sudut Pandang
1. Isi
Kutipan teks di atas ditulis dalam sudut pandang budaya
Islam,
2. Diskusi
Mendiskusikan dengan mahasiswa aspek-aspek budaya
yang ada dan yang secara umum dalam perspektif Islam.
Konsep Budaya dalam Kosa Kata
1. aurat
2. akhlaq
3. dakwah
4. hikmah
5. jauh panggang dari api
6. maksiat
7. munkar
8. muhammadiyah
9. teladan

~ 18 ~
Bacaan No. 2
Hari ke-210 dalam kalender Jawa-Bali adalah hari Sabtu
Umanis Wuku Watugunung. Hari terakhir dari lingkaran kalender
itu disebut juga hari Saraswati, hari suci bagi umat Hindu Indonesia
untuk melakukan Puja Saraswati. Tentu menarik perhatian kita,
bagaimana proses masuknya hari “Puja Saraswati” ke dalam sistem
kalender Wuku kalender Jawa-Bali), padahal di India sendiri Puja
Saraswati diadakan pada awal musim semi antara Januari dan
Februari (Kinsley,1986:64; Benerjea, 1987:69). Sebagaimana diketahui
umat Hindu Indonesia juga memakai sistem kalender Surya-
Candra-Pramana yang melahirkan hari-hari raya/suci seperti Hari
Raya Nyepi dan Siwaratri; sedangkan sistem kalender wuku antara
lainmelahirkan hari raya Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Saraswati,
dan lain-lain.
Puja Saraswati kiranya mendapat tempat istimewa bagi umat
Hindu Indonesia, sehingga masuk ke dalam sistem kalendernya,
tetapi juga ditempatkan pada hari terakhir hari Sabtu, hari untuk
mengumpulkan dan menyucikan benda-benda pusaka dan pustaka.
Puja Saraswati ditandai oleh kegiatan membuat “candi pustaka”
(mengumpulkan lontar-lontar dan buku-buku terpilih) yang
dijadikan Sthana Hyang Saraswati. Puja Saraswati, melaksanakan
brata Saraswati dan Puja Saraswati. Puja Saraswati dilaksanakan
pada pagi hari (dengan menghaturkan sesajen khusus disebut
Banten Saraswati), dan pada malam harinya (semalam suntuk)
dilakukan pembacaan dan menyanyikan kitab-kitab suci dan kitab-
kitab sastra terpilih, sampai besok paginya saat dilakukan Banyu
Pinaruh, pencarian air atau membersihkan diri pada sumber-sumber
air (laut, danau, campuhan, mumbul, mata air). Kata “banyu
pinaruh” boleh jadi berasal dari kata “banyu pangawruh” yang

~ 19 ~
berarti “air ilmu pengetahuan” (yang menyucikan dan memberi
vitalitas hidup).
Saraswati (dalam bahasa Sansekerta bermakana “sesuatu
yang mengalir”,’percakapan’, ‘kata-kata’) di dalam kitab suci Weda
dipuja sebagai Dewa Sungai dengan permohonan mendapatkan
vitalitas hidup dan kesehatan. Posisinya sebagai Wach atau “dewa
kata-kata” baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana,
dan Mahabarata. Aaraswati juga dikenal sebagai “sakti” dewa
Brahma atau Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama
lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada,
Wagiswari (Downson, 1979:285; Davane, 1968).
Baik sebagai Dewa Sungai ataupun Dewa Kata-kata atau
Dewa Ilmu Pengetahuan, Saraswati dikenal dan dipuja oleh umat
Hindu Indonesia. Dalam mantram Sapta Gangga yang diucapkan
dalam memohon Tirtha nama Saraswati disebutkan beberapa kali
(Goris, 1936:33). Dengan demikian Saraswati yang awalnya sebagai
Istadewata kaum agamawan dan sekarang telah menjadi pujaan
seluruh umat Hindu. Adakah hal itu sebagai pertanda telah
terjadinya penyadaran dan pencerahan dalam masyarakat umat
hindu?
(Dikutip dari “Dewi Saraswati Simbol Penyadaran dan Pencerahan
dalam Hindu” tulisan IBD Agastia. 1997. Halaman 5-6. TU Warta
Hindu Dharma Denpasar.1997)
Sudut Pandang
1. Isi
Kutipan teks di atas ditulis dalam sudut pandang budaya
Hindu.
2. Diskusi
 Mendiskusikan dengan mahasiswa aspek-aspek budaya
yang ada dan yang secara umum tradisi Hindu dalam
konteks budaya Indonesia yang multikultur.
 Mendiskusikan sejarah agama-agama besar datang dan
menyebar di Indonesia. Sebelum Hindu-Budhha datang
ke Nusantara di Indonesia telah mengenal sistem
kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah Hindhu-
Budha datang terjadi akulturasi. Kemudian datang Islam

~ 20 ~
dan bersamaan dengan Kolonialisme datang agama
Nasrani.
Konsep Budaya dalam Kosa Kata
1. kalender Jawa-Bali
2. Sabtu Umanis Wuku Watugunung.
3. hari Saraswati,
4. sistem kalender Surya-Candra-Pramana
5. benda-benda pusaka dan pustaka.
6. menghaturkan sesajen
Bacaan No.3
Bersatunya desa dan kongregasi menjadi jelas dalam slametan
desa, upacara desa tahunan yang diselenggarakan selama bulan haji.
Petang hari sebelum upacara komunal malam hari, suatu waktu
dimana [sic!] slametan desa dianggap layak diadakan, suatu
peristiwa yang lebih kecil diadakan di tempat keramat, yang dihadiri
oleh pejabat-pejabat desa memohon kepada Buyut Cungking agar
“penduduk patuh” kepadanya sehingga program-program
pemerintah bisa berjalan dan pemilihan umum yang segera tiba
berlangsung lancar dengan kemenangan partai pemerintah (karena
tiap perubahan akan mengakibatkan kekacauan). Ia juga minta
berkah agar panen penduduk berhasil baik, harmoni antara atasan
dan bawahan, anak-anak di sekolah pintar-pintar, dan keselamatan
umum bagi seluruh penduduk desa.
Juru kunci dan kepala desa secara simbolik besan satu sama
lain, yakni mereka masing-masing adalah rangtua anak mereka yang
menikah. Pada hari upacara desa dilakukan dengan peranan kuasi-
afinal ini, satu pihak melakukan “kunjungan pernikahan” (nglamar)
kepada yang lain. Dalam tataran ini ada kecenderungan diarkhi atau
“pemerintahan komplementer” antara kekuasaan temporal dan
kekuasaan mistik (Needham, 1980a), yang mencerminkan
penekanan pada komplementaritas laki-laki dan perempuan dan ciri
dualisme kebudayaan Jawa.
(Dikutip dari Andrew Beatty (2001): Variasi Agama di Jawa. Jakarta:
Murai Kencana. Halaman 143-144)
Sudut Pandang

~ 21 ~
1. Isi. Kutipan teks di atas ditulis dalam sudut pandang
sistem kepercayaan, akulturasi, sinkretisme, dan
antropologi.
2. Diskusi. Mendiskusikan dengan mahasiswa aspek-aspek
budaya yang ada dan yang secara umum tradisi
masyarakat Jawa yang mensinkretiskan tradisi animisme-
dinamisme, Hindu, dan Islam.
Konsep Budaya dalam Kosa Kata
1. slametan desa
2. bulan haji
3. tempat keramat
UNIT 2: KOMUNIKASI BAHASA INDONESIA
Bacaan No. 1
Pernahkah Anda merasa sangat geli dan kemudian tertawa
sendiri di dalam hati ketika mendengar seseorang menerjemahkan
bentuk kebahasaan tertentu dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia?
Demikian sebaliknya, terjemahan dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris. Kemudian translasi frasa, translasi kata,
translasi ungkapan, dan translalsi idiom dalam bahasa-bahasa
daerah yang ada di bumi Nusantara.
Misalnya bila ada bentuk bahasa Inggris, “ It’s raining cats and
dogs” yang diterjemahkan secara statis menjadi ‘ hujan anjing dan
kucing’. Padahal, seharusnya kita cukup mentranslasikan bentuk
asing menjadi “Hujan amat deras” atau “Hujan deras sekali”.
Demikian pula untuk menyebut hujan rintik-rintik saat
matahari belum terbenam, bahasa Jawa menggunakan istilah udan
tekek, bahasa Bali memakai ujan raja, dan bahasa Manggarai
menggunakan usang rewe. Namun dalam bahasa Indonesia cukup
mengatakan ‘hujan rintik-rintik’.
Beberapa contoh di atas sebenarnya jelas menunjukkan bahwa
translasi bentuk kebahasaan tidak selamanya dapat dilakukan kata
per kata, serba harfiah, senantiasa setia wujudnya, dan serba
semantis.

~ 22 ~
Translasi bentuk-bentuk kebahasaan umumnya tidak bisa
tidak harus menautkan pertimbangan konteks sosial budayanya,
konteks situasi dan lingkungannya, serta tujuan dan maksud
komunikasinya.
Tanpa mempertimbangkan semuanya, niscaya terjemahan
hanyalah hasil pencarian ekuivalensi sifatnya statis ( static
equivalence), bukan ekuivalensi bersifat dinamis (dynamic equivalence).
Kata ‘enak’ dalam metafora sinestesia bahasa Indonesia seperti pada
kalimat “ badanku sedang tidak enak,” tentu lucu bila serta merta
dialihbahasakan menjadi “my body is not delicious”.
Bentuk idiomatis ‘sambil menyelam minum air’ akan menjadi
lucu pula bila diterjemahkan ‘while diving drinking water’. Dalam
budaya bangsa Inggris, bentuk idiomatik demikian pasti akan
menjadi ‘killing two birds with one stone’.
Akhir-akhir ini, banyak pemakaian bentuk yang menurut
penulis cenderung tidak tepat dan lucu, kendatipun mungkin pihak-
pihak berotoritas telah melegitimasinya.
Ambillah contoh bentuk translasi ‘hadiah lawang’ atau
‘hadiah pintu’ sebagai penerjemahan bentuk dalam bahasa Inggris
door prize. Menurut penulis, bentuk asing akan lebih tepat dan masuk
akal bila diterjemahkan ‘hadiah kedatangan’ atau ‘hadiah
kehadiran’.
Kemudian bentuk ‘rumah terbuka’ sebagai translasi open
house. Dalam konteks Idul Fitri, bolehlah kita menyebutnya
‘silaturahmi terbuka’. Namun dalam konteks pameran di kampus-
kampus perguruan tinggi, kiranya menjadi lebih tepat bila bentuk
diterjemahkan ‘kampus terbuka’.
Jadi, persis sama dengan yang disampaikan di atas ‘its raining
cats and dogs’ tidak bisa serta merta diterjemahkan secata statis
menjadi ‘hujan kucing dan anjing’. Kita harus menerjemahkan
bentuk harus secara dinamis dan berdimensi budaya menjadi ‘hujan
deras sekali’ atau ‘hujan amat deras’.
Penerjemahan bentuk-bentuk kebahasaan dalam bahasa apa
pun, entah yang berupa ungkapan, idiom, peribahasa, seloka,
maupun frasa-frasa lain yang bermuatan sosial budaya, niscara

~ 23 ~
tidak bisa dilakukan hanya secara biner dam dengan ekuivalensi
yang statis semata.
(Dikutip dari Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa. Dr. R. Kunjana
Rahardi, M.Hum. Ando Ofset: Yogyakarta, 2006. halaman 125-127).
Sudut Pandang
Rasa bahasa Indonesia dikaitkan dengan masalah-masalah
sosiolonguistik, khususnya penggunaan dan pemakaian bahasa.
Diskusi
Kata-kata bermuatan budaya dan maksudnya, seperti : masuk
angin, cuci mata, jalan-jalan, telur setengah matang, kerokan, jamu,
dan lain-lain. mengumpulkan kata-kata bahasa Inggris dalam
penamaan kantor/tempat usaha, dan lain-lain. dalam konteks
budaya dan masyarakat Indonesia sekarang.
Konsep Budaya
Mengidentifikasi pengaruh sistem sosial-budaya masyarakat
Indonesia dan perubahan-perubahan terjadi dalam kaitannya
dengan pemakaian bahasa.

~ 24 ~
PEMANFAATAN KESAMAAN BUDAYA CHINA-INDONESIA
DALAM PENGEMBANGAN PENGAJARAN BIPA

Prof. Cai Jincheng, M.A.

Yth. Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa,


Bapak-bapak, ibu-ibu para hadirin yang saya hormati,
Assalamualaikum! Pertama-tama izinkanlah saya menyatakan
banyak terima kasih kepada Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusata
Bahasa, atas undangannya, maka dengan bahagia saya dapat
mengikuti lokakarya kali ini. Sudah sekian tahun buat saya belajar
bahasa dan budaya Indonesia, oleh sebab-sebab yang umum ketahui,
kesempatan buat kami bertukaran pengalaman pengajaran bahasa
Indonesia dengan pakar-pakar dari Indonesia, maupun mancanegara
memang sedikit sekali. Dengan keikutsertaan kami, maka peta
pengajaran bahasa Indonesia global akan lebih sempurna kiranya.
Saya selain harus mengerjakan PR yang ditetapkan oleh Tim BIPA,
juga ingin saya sampaikan serba sedikit informasi tentang
pengajaran bahasa Indonesia di China. Sebelum memasuki topik
utama saya, saya sampaikan dulu keadaan umum pengajaran bahasa
Indonesia/Melayu di China.

~ 25 ~
A.  Pengajaran Bahasa Indonesia/Melayu di China
Pengajaran bahasa Indonesia diselenggarakan di China sudah
lebih dari setengah abad, pertama diselenggarakan di Akademi
Bahasa Asing Nanjing, tahun 1940-an, masih zamannya
Guomingtang. Setelah Republik Rakyat China didirikan pada tahun
1949, ibu kotanya juga dipindahkan dari Nanjing ke Beijing, maka
tenaga pengajar beserta jurusannya pun ikut pindah ke Beijing,
akhirnya digabungkan dengan Universitas Peking. Tahun 1950-an
UP adalah satu-satunya universitas di China yang ada membuka
jurusan bahasa Indonesia. Awal tahun 1960-an, seiring dengan
perkembangan hubungan persahabatan China-Indonesia yang
cukup akrab itu, di Institut Bahasa Asing Beijing dibuka jurusan
bahasa Indonesia dan juga jurusan bahasa Melayu (Malaysia). Pada
tahun 1960-an pula, di Universitas Huaqiau di Fujian, juga
diselenggarakan jurusan bahasa Indonesia. Setelah terjadinya
Revolusi Kebudayaan Besar di China, kemudian universitas ini
ditutup untuk beberapa waktu, kemudian jurusan ini pun tidak bisa
dipertahankan.
Pada tahun 1965, didirikan Institut Bahasa Asing Guangzhou,
di institut ini pun dibuka jurusan bahasa Indonesia mulai tahun
1970. Saya sempat menjadi mahasiswa S1 di institut ini. Selama
perkembangan 30-an tahun, Institut Bahasa Asing Guangzhou
sekarang sudah diganti nama menjadi Guangdong University of
Foreign Studies, jumlah mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di
universitas ini sudah paling banyak di seluruh China. Untuk saat ini,
sekaligus ada 3 angkatan mahasiswa S1 lagi belajar bahasa
Indonesia. Mungkin untuk selanjutnya harus setiap tahun menerima
mahasiswa jurusan ini, asal tenaga pengajarnya mencukupi
kebutuhan.
Sejak tahun 2000-an, pengajaran bahasa Indonesia/Melayu
mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat, pertama di
Universitas Media Beijing, dibuka jurusan bahasa Melayu, kemudian
di Universitas Bahasa Asing Shanghai, Universitas Suku Bangsa
Guangxi, juga di Universitas Suku Bangsa Yunnan, berturut-turut
membuka jurusan bahasa Indonesia/Melayu.

~ 26 ~
Apabila di negara lainnya pengajaran bahasa Indonesia
mengalami keadaan peminatnya menurun, maka sebaliknya, di
China justru peminat bahasa Indonesia mengalami kenaikan,
walaupun benar kalau dibandingkan dengan populasi China yang
nomor wahid di dunia, orang yang belajar bahasa Indonesia masih
minim. Meskipun demikian, lembaga pengajaran bahasa Indonesia
di China menunjukkan laju pertumbuhannya yang sangat pesat.
Kalau dalam 50 tahun abad yang lalu, perguruan tinggi di China
yang membuka jurusan bahasa Indonesia/Melayu hanya 3 saja, maka
dalam abad yang baru ini sudah bertambah 4 perguruan tinggi yang
menyelenggarakan jurusan ini. Kalau dasar setiap wadah pengajaran
itu semakin kuat, mahasiswa peminat bahasa Indonesia mesti
semakin banyak pula. Kini, masalah yang dialami di China bukan
lulusan jurusan bahasa Indonesia dapat atau tidaknya mendapat
lowongan kerja, melainkan dapat atau tidaknya lembaga pendidikan
itu mencetak tamatan yang sesuai dengan kebutuhan lowongan kerja
itu, atau lembaga-lembaga yang membuka jurusan ini mampu atau
tidaknya menampung mahasiswa peminat bahasa ini.
B. Kesamaan Budaya China-Indonesia
Secara pembagian rumpun bahasa, bahasa Tionghoa
(Mandarin) tergolong kedalam rumpun bahasa Sino-Tibet,
sedangkan bahasa Indonesia tergolong kedalam rumpun bahasa
Austronesia. Kedua negara ini sama-sama terletak di benua Asia,
secara budaya tergolong kedalam budaya Timur. Dalam
perkembangan sejarah umat manusia yang berjangka amat panjang
itu, selain terjadi pengaruh-mempengaruhi dalam bahasa, apakah
juga terdapat kesamaannya dalam kebudayaan? Sudah pasti
jawabannya. Namun kebudayaan itu terlalu luas lingkupannya,
supaya lebih meyakinkan, penulis memfokuskan saja pada cerita
rakyat yang terdapat di China Selatan dan Nusantara. Pada 20 tahun
yang lalu, saya menulis sebuah tesis tentang perbandingan cerita
rakyat China Selatan dengan cerita rakyat Nusantara, dari cerita-
cerita yang diperbandingkan itu, memang terasa banyak
persamaannya, baik dari segi tipe, tema, figur, plot cerita maupun
~ 27 ~
dari segi hakekatnya, sampai ke unsur semangatnya yang
terpendam dalam cerita itu. Di bawah ini adalah perbandingan
beberapa tipe dongeng kuno dari China Selatan dan Nusantara.
1. Tipe Bidadari
Dalam cerita rakyat, terdapat banyak cerita percintaan. Ini
dapat dimaklumi, hubungan antara manusia dengan manusia,
terutama hubungan perasaan antara dua jenis manusia, sudah
terdapat sejak mulai ada umat manusia. Kehidupan percintaan
manusia terdapat dalam segala macam bentuk sastra. Dalam cerita
rakyat atau dongeng juga tak terkecuali, dan dalam jumlah yang
tidak sedikit yang sangat menarik dan popular pula.

a.  Bidadari Burung


Cerita bidadari burung(angsa putih) merupakan cerita
khayalan kuno dan populer di banyak negeri. Dongeng China dan
dongeng Nusantara terdapat banyak persamaannya dalam cerita
jenis ini.
Cerita bidadari burung banyak terdapat di kalangan suku
bangsa di China Selatan. Misalnya: suku-suku Han, Miao, Yao, Wa,
Zhuang, Thai, Tibet, dll. Jalan ceritanya umumnya begini:
Para bidadari dari kayangan turun ke suatu danau di hutan
untuk mandi, biasanya danau itu jarang didatangi manusia. Mereka
terlihat oleh seorang pemuda, lalu dicurinya pakaian salah seorang
bidadari burung itu, tanpa pakaian burung, sehingga ia tak dapat
terbang kembali ke kayangan. Maka bidadari itu dikawini oleh
pemuda tadi. Kemudian lahirlah anak mereka seorang atau sampai
beberapa orang. Setelah itu bidadari tersebut menemukan kembali
pakaiannya yang semula. Lantas terbang kembali ke istana
kayangan. Suami dan anaknya mengejarnya ke kayangan atas
bantuan suatu jenis binatang. Mertua lelaki sangat benci kepada
orang dari bumi, dan ingin membunuh menantunya yang manusia
dari bumi itu dengan melalui beberapa ujian yang sulit dilulusi oleh
manusia biasa, tetapi karena bantuan isterinya, ia selalu menang.

~ 28 ~
Akhirnya mertua yang membenci manusia dari bumi itu mati karena
kejahatannya sendiri.
Cerita bidadari burung juga banyak terdapat di Nusantara.
Menurut bahan-bahan yang ada di tangan penulis, tidak kurang dari
delapan buah cerita bidadari burung yang sudah penulis
kumpulkan. Dan cerita itu masing-masing dari pulau Jawa, Madura,
Bali dan Sulawesi, di antaranya yang paling banyak dari pulau
Sulawesi, yaitu lima buah.
Apa ciri-ciri cerita bidadari burung Nusantara itu? Model cerita
Sulawesi begini:
1. Seorang anak yatim atau petani yang bercocok-tanam
diganggu bidadari kayangan. Bidadari burung itu datang
pada malam hari ke suatu danau untuk mandi, selain itu
mereka juga mengambil buah-buahan, bunga-bungaan
dan sebagainya dari bilik pemuda itu.
2. Pemuda yang kecurian mengetahui rahasia bidadari
burung itu dan menangkap salah seorang dari mereka
serta meminangnya untuk dijadikan isteri. Bidadari setuju
menikah dengan pemuda, tetapi ia mengajukan sebuah
permintaan sebagai prasyarat, yaitu kalau nanti janji
diingkari maka bidadari akan kembali ke kayangan.
3. Dengan tidak sengaja pemuda mengingkari janji, bidadari
kembali ke kayangan. Suami dan anaknya mengejar ke
kayangan dengan bantuan binatang atau tumbuhan
tertentu.
4. Mertua (kadang-kadang kakak sang puteri) menguji
pemuda dari bumi itu dengan beberapa ujian yang sangat
sulit. Pemuda menang dengan bantuan binatang seperti
anjing, kucing atau kunang-kunang.
5. Mertua senang menerima menantu dari bumi dan tidak
bermaksud membunuhnya.
6. Anak mereka yang setengah manusia dan setengah dewa
itu seringkali menjadi kepala negeri akhirnya.

~ 29 ~
Sedang cerita bidadari burung yang terdapat di Bali dan
Madura agak lain sedikit dengan yang terdapat di Sulawesi.
Misalnya:
1. Setelah pemuda kawin dengan puteri kayangan, maka
mereka semakin menjadi kaya, padi di lumbung mereka
tidak pernah kurang. Suatu kali, kala sedang menanak
nasi, sang isteri menyuruh suaminya menjaga api dan
berpesan supaya jangan membuka tutup periuk, sedang ia
sendiri pergi mencuci pakaian ke sungai. Suaminya
merasa heran mengapa tidak boleh melihat nasinya, maka
dibuka tutup periuk dan kelihatanlah di dalamnya hanya
ada sebutir padi. Maka diketahuilah oleh suaminya
mengapa padinya tidak pernah berkurang. Setelah
kembali, isterinya melihat padinya belum menjadi nasi, ia
pun tahu bahwa suaminya sudah pernah membuka tutup
periuk. Ia tidak marah, tetapi sejak itu ia tak dapat lagi
menanak nasi hanya dengan sebutir padi.
2. Lama kelamaan padi di lumbung habis, maka kelihatanlah
oleh sang isteri pakaian terbangnya di bawah padi dalam
lumbung itu. Dan setelah dipakainya kembali pakaian
tersebut, ia pun terbang ke istana kayangan.
Persamaan antara cerita bidadari burung yang di China
dengan yang di Nusantara:
1. Bidadari burung yang datang dari kayangan umumnya
berjumlah tujuh atau sembilan, angka lain jarang terdapat.
2. Mandi di danau di hutan yang jarang didatangi manusia,
kalau di China pedalaman memang hal ini gampang
dimengerti, tetapi di Nusantara yang banyak terdapat laut
toh hanya sebuah cerita saja yang terjadi di laut, yang lain
semuanya terjadi di danau.
3. Pemuda yang merupakan anak yatim piatu (juga ada yang
bangsawan tinggi) melihat bidadari mandi di danau dan
mencuri satu setel pakaian mereka, dan yang tercuri itu
selalu pakaian bidadari yang bungsu.
4. Sang pemuda dan bidadari menikah, lahir anak mereka
~ 30 ~
dan suami-isteri hidup bahagia.
5. Bidadari kembali ke kayangan oleh sesuatu sebab,
suaminya mengejar dan berhasil karena mendapat
bantuan dari binatang tertentu.
6. Mertua mengadakan ujian sekali atau sampai beberapa
kali terhadap menantunya.(mengenai ujian akan
dibicarakan lebih kongkrit di bagian puteri ikan.)
Perbedaannya:
1. Dari cerita China, bidadari burung itu turun pada siang
hari ke danau, sebelum matahari terbenam mereka harus
pulang ke kayangan. Sedang dari cerita Nusantara,
bidadari burung turun mandi semuanya terjadi pada
malam hari. Perbedaan ini terjadi mungkin karena
pengaruh iklim dan geografi. China Selatan termasuk
daerah sub tropik, walaupun musim panas kalau pada
malam hari tetap sangat sejuk, apalagi kalau musim
dingin, tentu sangat dingin. Maka mandi di danau itu
hanya mungkin pada siang hari. Lain halnya di Nusantara,
yang terletak di daerah tropik, mandi itu terjadi boleh
pada siang atau pada malam hari. Kalau bidadari datang
mandi pada malam hari lebih diwarnai perasaan misterius.
2. Dalam hal bidadari menikah dengan pemuda, dalam cerita
China sebagian berada dalam posisi pasif, tetapi ada juga
dalam posisi aktif. Bidadari ingin atau berhasrat menikah
dengan manusia di bumi dengan memberi isyarat-isyarat
tertentu supaya sang pemuda meminangnya atau
membawanya pulang ke rumah pemuda. Sedang bidadari
cerita Nusantara semuanya dalam posisi pasif. Bidadari
menikah dengan sang pemuda, sekali-kali bukan karena ia
jatuh cinta pada sang pemuda, melainkan terpaksa.
3. Bidadari burung China kembali ke kayangan seringkali
disebabkan unsur gangguan dari luar, misalnya penguasa
yang jahat dan berhati busuk yang berusaha merebut
bidadari cantik itu. Ini pencerminan sudah terjadi
pembagian kelas dalam masyarakat. Bidadari Nusantara

~ 31 ~
tidak menghadapi gangguan semacam itu, ia kembali ke
kayangan hanya karena suaminya melanggar janji atau
tidak menuruti perkataan bidadari. Jadi bercorak tabu.
Orang ketiga tidak kelihatan dalam cerita bidadari burung
itu. Kontradiksi antarkelas tak tercermin dalam cerita,
cerita bidadari Nusantara ini kelihatannya dalam bentuk
yang lebih tua dan lebih asli.
4. Setelah bidadari kembali ke kayangan, suaminya mengejar
ke kayangan. Mertua dalam cerita China lebih
menunjukkan sifat manusia dalam masyarakat berkelas. Ia
membenci manusia di bumi. Itu sebenarnya bermakna
memandang rendah rakyat pekerja. Sebagai penguasa,
tentu saja ia tidak setuju puterinya menikah dengan
seorang anak petani. Ia berusaha dengan seribu satu daya
upaya untuk membunuh menantunya itu. Tetapi karena
pertolongan bidadari, kesulitan-kesulitan itu satu persatu
berhasil diatasi, akibatnya mertua yang sebagai simbolik
penguasa feodal lalim gagal, yang diwujudkan dengan
kematiannya yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri
juga. Dalam cerita Nusantara, figur mertua tidak berwatak
jahat. Ia menguji menantunya hanya untuk mengetahui
apakah menantunya itu manusia sejati atau palsu, atau
untuk mengetahui kepandaian dan kejujuran menantunya
saja. Manusia dari bumi boleh tinggal bersama dengan
isterinya di kayangan.
5. Anak dari perkawinan manusia dengan bidadari itu
kemudian hari seringkali menjadi raja, atau menjadi asal-
usul keluarga raja. Ini baik yang terjadi di Jawa, ataupun
di Sulawesi. Dalam cerita China tidak terdapat pelukisan
semacam itu.
Walaupun tipe cerita bidadari di China dan di Nusantara
terdapat perbedaan, tetapi unsur persamaannya lebih nyata.
Mungkin cerita-cerita itu berasal dari sumber yang sama, tetapi
karena telah mengalami perkembangan dalam penyebarannya, maka
cerita-cerita itu menunjukkan gejala dan unsur yang tidak sama.

~ 32 ~
Kalau demikian, di manakah tempat atau kampung asalnya cerita
bidadari burung di Asia?
Di China, ada sejilid buku bernama Sou Shen Ji yang amat
terkenal, yang sudah bersejarah 1600 tahun lebih, penyusunnya
bernama Gan Bao, ia hidup pada zaman Dinasti Jin(265-420 M).
Tahun lahir dan matinya kurang jelas, kira-kira ia hidup pada tahun
314 Masehi(1), dalam Sou Shen Ji itu terdapat cerita bidadari burung
yang paling tua dibandingkan dengan cerita bidadari burung
lainnya. Cerita itu tidak panjang, untuk mempermudah
perbandingan, penulis mengutipnya secara lengkap dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Seorang lelaki di kabupaten Xinyu(daerah perbatasan provinsi
Jiangxi dan provinsi Hunan), melihat ada enam tujuh orang perempuan di
sawah. Mereka semuanya berpakaian bulu, dan ia tidak menyangka bahwa
mereka adalah burung. Ia mendekatinya dengan menyuruk-nyuruk,
mengambil pakaian yang ditanggalkan oleh salah seorang perempuan itu
dan menyembunyikannya. Kemudian ia mendekati burung-burung itu,
tetapi burung-burung itu terbang dan pergi, hanya seekor yang tidak dapat
terbang. Lelaki itu mengambilnya sebagai isteri, yang melahirkan 3 orang
anak perempuan. Ibu itu menyuruh anaknya menanyakan pada sang ayah
hal pakaian burung. Sesudah mengetahui bahwa pakaian itu disimpan di
bawah tumpukan padi, ia pun mencarinya. Dan setelah ia mendapatkannya
kembali, lalu dipakainya dan terbang meninggalkan rumah. Kemudian ia
datang kembali menjemput ketiga orang anak perempuannya dan berhasil
dibawa terbang.(2)
Perempuan Berpakaian Bulu ini merupakan cerita bidadari
burung yang paling tua di dunia. Ini pun sudah diakui oleh para
penyelidik dan ahli folklore di luar China. Seorang ahli folklore
Jepang yang bernama Hisako Kimijima menganggap bahwa provinsi
Jiangxi bukan hanya merupakan kampung halaman cerita bidadari
burung dari China, melainkan juga kampung halaman cerita jenis ini
di Timur. (3)
Berdasarkan cerita-cerita bidadari burung yang dikumpulkan
dan diadakan perbandingan, akan didapat kesimpulan bahwa cerita
bidadari burung telah mengalami empat tahap perkembangannya,

~ 33 ~
atau disebut empat turunan. Perempuan Berpakaian Bulu dari Sou Shen
Ji baik berdasarkan waktu yang dicatat maupun dari segi plot
ceritanya boleh dikatakan paling tua, setidaknya sangat mendekati
yang tertua, boleh digolongkan ke dalam turunan pertama.
Cerita bidadari burung yang terdapat di Nusantara boleh
digolongkan ke dalam turunan kedua. Jalan ceritanya juga belum
rumit. Yang mengawini bidadari burung adalah pemuda petani atau
pemburu, pemuda itu belum menunjukkan derajatnya sebagai
bangsawan yang mulia.
Cerita bidadari burung yang terdapat di daerah suku bangsa
minoritas di China Selatan seperti di provinsi Yunnan dan daerah
otonom Guangxi kebanyakan boleh digolongkan ke dalam turunan
ketiga. Unsur-unsur kelas penindas dan penghisap sudah tampak
dalam ceritanya. Tetapi umumnya masih petani miskin atau anak
yatim yang tidak berbangsa sebagai suami bidadari burung.
Sedang bidadari burung yang terdapat di kalangan suku
bangsa Thai seperti dalam cerita Puteri Merak sudah termasuk
turunan keempat. Dalam cerita itu tidak hanya ada ciri-ciri cerita
bidadari burung biasa saja, tetapi juga ada peperangan antar negeri,
bidadari burung ikut memberi sumbangan dalam membasmi musuh
yang datang menyerang negeri suaminya. Penghulu, massa rakyat,
prajurit, dll, sudah tercantum dalam ceritanya. Di sini yang
mengawini bidadari kayangan sudah bukan pemuda dari rakyat
jelata lagi, melainkan putra mahkota yang berbangsa.
Dari sini kita dapat melihat bahwa dongeng bidadari burung
berkembang sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang memberi isi baru bagi dongeng
bidadari burung yang kuno ini.
b.  Puteri Ikan
Baik di daerah China Selatan maupun di Nusantara terdapat
banyak dongeng puteri ikan. Seperti dongeng-dongeng: Puteri Ikan
suku Lisu, Ajusi dan Muami suku Lahu, Si Yatim dan Bidadari suku
Wa, Puteri Ikan suku Kino, Ikan Rumput Wangi Yang Indah suku Yao,
dan Puteri Ikan Merah di Tawan. Di Nusantara terdapat Cerita
Penangkap Ikan suku Batak, Sibelabalungui suku Mentawai, Pemuda
~ 34 ~
Yang Menyamar Menjadi Ikan Lumba-Luba suku di Irian Jaya, Ikan
Lodan dan Ikan Lumba-Lumba dari kepulauan Kai. Cerita-cerita ini
melukiskan bagaimana manusia menikah dengan puteri penjelmaan
ikan, ceritanya menarik sekali. Unsur-unsur persamaannya juga
sangat menonjol, walaupun menunjukkan ciri kedaerahannya
masing-masing.
Jalan cerita puteri ikan di China umumnya begini:
Seorang pemuda yatim piatu yang miskin tetapi jujur dan
rajin dapat menolong ikan dari bahaya atau dapat menangkap
seekor ikan yang indah, lalu dibawa pulang ke rumah dan
dipiaranya saja, tidak dimakan atau dijualnya. Sebenarnya ikan itu
puteri raja naga. Karena ia melihat pemuda tadi sangat berbudi,
maka ia menjelma menjadi seorang puteri dan membantu pemuda
itu dalam urusan rumah tangga. Pemuda yang pulang dari bekerja
melihat hal itu merasa heran. Dan beberapa hari terus-menerus
terjadi begitu, akhirnya diintip oleh pemuda itu dan rahasia itu pun
terbongkar, pemuda lalu menikahi puteri ikan dan mereka hidup
berbahagia.
Cerita Penangkap Ikan dari suku Batak sangat dekat dengan
cerita China. Ringkasan cerita begini:
Di suatu kampung hidup seorang wanita tua dengan anak
lelakinya yang bernama Sariwodo. Sariwodo tiap hari pergi
menangkap ikan dengan bubu. Tujuh hari berturut-turut seekor ikan
pun tak tertangkap. Kemudian ia mendapat seekor ikan luar biasa
besarnya di dalam bubunya itu. Ikan itu dibawa pulang dan siap
diadakan pesta dengan mengundang famili-familinya. Tetapi tiba-
tiba ikan itu berubah menjadi seorang puteri yang amat cantik.
Sariwodo menyatakan cintanya kepada sang puteri dan ingin
mengambilnya sebagai isteri. Puteri itu mengajukan syarat, agar si
pemuda tidak boleh bilang bahwa ia datang karena dedak. Pemuda
menurut saja dan mereka mendirikan rumah tangga, dan mereka
pun hidup dengan bahagia.
Sebagian cerita tidak hanya sampai di situ saja, kebahagiaan
pemuda dengan puteri ikan itu diganggu oleh yang berkuasa atau
hantu jahat. Puteri ikan yang cantik itu diculik, atau dibuat

~ 35 ~
perselisihan antara pemuda dengan puteri ikan, sehingga pemuda
menceraikan puteri ikan. Puteri ikan membawa pulang hartanya dan
si pemuda kembali miskin seperti dahulu. Pemuda menyesali
perbuatannya sendiri, tetapi dengan dibantu oleh si katak yang baik
hati, akhirnya dapat bertemu kembali dengan puteri ikan di istana
raja naga. Raja naga mengujinya dengan beberapa percobaan yang
amat sukar, tetapi berkat bantuan puteri ikan, si pemuda dapat lulus
dan akhirnya suami isteri itu dapat hidup bahagia kembali.
Baik puteri ikan, maupun puteri naga merupakan penjelmaan
bidadari dalam bentuk lain. Pada hakekatnya tidak terdapat
perbedaan antara bidadari burung dengan puteri ikan dan naga.
Yang menarik di sini ialah setelah bidadari burung atau puteri
ikan kembali kepada orang tuanya dan pemuda mengejar pula ke
tempat mertuanya, mereka menguji menantu dengan beberapa ujian
yang sukar. Apa yang tercermin dalam isi ujian cara memecahkan
kesulitan begitu banyak persamaannya sungguh suatu hal yang
menakjubkan.
2.  Ujian Pihak Mertua Terhadap Menantu
Dalam Ajusi dan Juami(4), Ajusi seorang pemuda yatim yang
menikah dengan puteri ikan dan hidup bahagia untuk beberapa
waktu. Karena intrik jahat pengetua desa, Ajusi menceraikan Juami,
dan Juami kembali ke istana naga. Ajusi menyesali perbuatannya
dan berkat bantuan katak, ia mencapai istana naga. Ia mengakui
kesalahannya kepada isterinya.
Untuk mencoba kesetiaan cinta dan kehebatan Ajusi, raja
naga mengujinya dalam beberapa hal:
1. Hari pertama harus menanam tiga Kang(sama dengan 240
kg) sekoi dalam sehari.
2. Hari kedua harus menyelesaikan pencangkulan ladang
yang telah ditanam itu dalam sehari.
3. Hari ketiga harus selesai memungut semua sekoi yang
telah ditanam dalam sehari pula.
Karena bantuan puteri naga maka Ajusi dengan
mudahnya telah lulus dari ujian, mereka dapat hidup rukun

~ 36 ~
kembali. Raja naga tidak menghalangi mereka kembali ke
kampung halaman Ajusi.
Dalam Puteri Ikan(5), ujian itu sebagai berikut:
1. Menyembunyikan diri supaya tidak dapat dicari oleh raja
naga.
2. Perlombaan bercocok tanam, termasuk menebangi
pepohonan dan membakari ladang, menyebarkan benih-
benih sekoi dan kemudian memungutnya kembali.
3. Perlombaan berburu. Mertuanya ingin memusnahkan si
Yatim, tetapi dapat dihindari berkat nasehat isterinya.
Ujian itu seluruhnya lima kali, tetapi berkat nasehat
isterinya, si Yatim selalu berhasil dan menang.
Dalam Segemulaibi(6), Segemulaibi seorang yatim yang tinggal
di hutan dan menjadi anak angkat si Kokong (roh hutan yang
digambarkan sebagai nenek). Ia menikahi seorang bidadari dari
kayangan dan kemudian mempunyai dua orang anak. Bidadari itu
lari kembali ke kayangan karena tersinggung perasaannya oleh lagu
yang dinyanyikan si Kokong kepada cucunya. Segemulaibi yang
sangat rindu akan isteri dan anaknya mendapat bantuan roh manau
dan berhasil mencapai kayangan tempat isterinya tinggal.
Segemulaibi harus melalui beberapa ujian kalau ingin berkumpul
kembali dengan isterinya. Ujian-ujian itu berupa:
1. Mengumpulkan kelapa yang sudah dikukur bercampur
dengan pasir di pantai.
2. Mengambil air dengan keranjang.
3. Menari semalam suntuk dengan bunga yang dipakainya
tak boleh layu dan di atas lantai yang telah dilicini minyak.
4. Membuat perahu besar.
5. Memetik buah durian dari sepohon yang besar lagi tinggi
sekali.
Berkat bantuan binatang-binatang (seperti: semut, belut, tikus,
tupai, moyet) dan isterinya, Segemulaibi berhasil. Akhirnya
Segemulaibi dengan isterinya kembali ke bumi dan hidup bahagia.
Dalam Mengapa Orang Toraja Tidak Memakan Kerbau Putih,
ujian dari pihak mertua ialah:

~ 37 ~
1. Disuruh menimba air dengan bakul.
2. Disuruh mengalirkan air dari mata air ke pekarangan di
depan rumah.
3. Disuruh mengisi empat bakul dengan jagung gerai dan
harus diisi sebutir demi sebutir.
4. Disuruh memakan habis ubi sebidang tanah ladang.
5. Disuruh mencari isterinya dalam kumpulan orang berada
dalam gelap dan kesempatan hanya diberi sekali saja.
Berkat bantuan sesuatu binatang-binatang seperti
serangkak(ketam kecil), tikus, celang, kucing dan kunang-kunang,
maka pemuda berhasil dan suami-isteri beserta anaknya dapat
hidup rukun kembali.
Unsur-unsur persamaan:
1. Manusia di bumi menikahi bidadari dari kayangan atau
puteri raja naga. Setelah hidup bersama untuk beberapa
lama, suami berbuat salah dan bidadari kembali ke
kayangan atau istana naga.
2. Suami mencari ke kayangan atau ke istana naga. Berkat
bantuan binatang atau tumbuhan berhasil mendapatkan
kembali isterinya. Binatang dan tumbuhan di sini semua
menunjukkan ada rohnya, ada jiwanya, dapat bertukar
pikiran dengan manusia dan suka membantu manusia
mengatasi kesulitannya. Ini menunjukkan kepercayaan
animisme yang sangat kongkrit.
3. Mertua kurang percaya akan kemampuan menantunya di
bumi atau tidak suka kepada manusia yang bukan dewa.
Dengan alasan menguji kepandaian menantu, membuat
syarat bahwa hanya kalau dapat lulus dari ujian, barulah
menantunya dapat berkumpul kembali dengan isterinya.
Bidadari, isteri manusia di bumi itu selalu berpihak
kepada suaminya, dan berusaha membantunya sedapat
mungkin.
4. Ujian terhadap menantu atau perlombaan antara mertua
dengan menantunya selalu bersangkut-paut dengan
pekerjaan sehari-hari, seperti menebangi pepohonan,

~ 38 ~
membakari belukar dan membuka ladang, menanami
ladang dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa dunia
dewa(kayangan) di dalam mata nenek moyang kedua
bangsa, China-Nusantara tidak beda dengan yang di bumi
nyata ini. Dewa dan raja naga pun pandai bercocok tanam,
pandai memanah dan membuat perahu. Ini menunjukkan
cerita-cerita ini terjadi pada masa yang amat jauh dari
masa sekarang. Dewa dan raja naga masih berada dalam
taraf masa permulaannya, belum menunjukkan sifat
kedewaannya yang amat hebat. Sebenarnya dewa atau raja
naga adalah wakil dari raja-raja dalam tahap permulaan
sejarah umat manusia. Mereka sama sekali bukan
penguasa yang hanya tahu makan saja dan tak tahu kerja.
Sebaliknya mereka sangat pandai dalam mengerjakan
sesuatu. Dewa dan raja naga tidak terlalu merasa tercemar
namanya kalau bermenantukan seorang manusia di bumi.
Ujian itu tidak selalu bermaksud jahat. Tetapi memang ada
juga yang tegas-tegas bermaksud jahat dan ingin
mencelakakan atau membunuh menantunya. Yang
terakhir ini telah menunjukkan jejak masyarakat berkelas.
3.  Kesaktian
Selain unsur-unsur persamaan yang tersebut itu, perlu
dibicarakan persamaan yang lain ialah masalah kesaktian yang
terdapat dalam cerita-cerita itu. Memang, tokoh dalam dongeng
sering memiliki kesaktian. Yang menakjubkan di sini ialah bukan
hanya memiliki kesaktian, melainkan kesaktian itu hampir sama
wujudnya dan cara menggunakan kesaktian itu juga sama. Misalnya:
Dalam cerita Ajusi dan Juami, Juami itu mempunyai kesaktian.
Ketika mereka ingin membangun rumah, dan memperlukan kayu
tidak sedikit, Ajusi cukup menebang sebatang saja dari pohon-pohon
yang diinginkannya, pekerjaan lain dibereskan oleh Juami. Balok
kayu itu juga cukup sebatang diangkat oleh Ajusi, dan daun yang
dipakai untuk atap juga perlu diambil sedikit saja oleh Ajusi.
Pekerjaan lain semuanya dikerjakan oleh Juami dengan

~ 39 ~
menggunakan kesaktiannya, dan sebentar saja sudah selesai
dibangun rumah yang bagus.
Dalam cerita Segumulaibi, si Kokong juga memiliki kesaktian
yang hampir sama. Segemulaibi ketika menebangi pepohonan dan
membuka ladang, harus mengerjakannya sendiri dulu, kemudian
baru menyuruh ladang meneruskan penebangan pepohonan itu, dan
sebentar saja sudah terselesaikan. Waktu membuat pagar,
Segemulaibi mengerjakan pula sendiri lebih dulu, kemudian ia
melemparkan saja tonggak-tonggak itu, dan tonggak-tonggak itu
pun berdiri tegak dengan sendirinya.
Dalam cerita Puteri Ikan suku Lisu, puteri ikan juga memiliki
kesaktian yang luar biasa. Ketika perlombaan kedua, si Yatim
disuruh mertuanya menebangi pepohonan dan membakari ladang,
tetapi di bawah bantuan puteri naga, si Yatim hanya perlu
menebang dua batang pohon di hulu, dua batang pohon di hilir.
Kemudian ia mengucapkan mantra: “Naga jantan dan naga betina
menebangi pohon.” Maka pohon-pohon itu pun roboh dengan
sendirinya. Waktu membakari ladang, ia bermantara lagi: “Naga
jantan dan naga betina membakari ladang”, semuanya dengan
sendirinya terbakar habis. Waktu menyebar sekoi, ia hanya perlu
menyebar segenggam di hulu, segenggam di hilir, kemudian ia
bermantra: “Naga jantan dan naga betina menyebari sekoi.” Maka
semua benih sekoi itu tersebar sendiri di ladang itu.
Manusia biasa harus mengerjakan dulu apa yang harus
didahulukan, kemudian baru meminta bantuan tenaga sakti. Tenaga
sakti itu tidak boleh digunakan sembarangan dan semena-mena. Ini
menunjukkan bahwa ciri-ciri dongeng-dongeng ini sudah sangat tua.
Kalau dongeng yang lebih belakangan, dalam menggunakan
kesaktian itu tidak perlu begitu rumit.
Kesaktian lain yang terdapat dalam ketiga cerita tersebut di
atas ialah:
Isteri Segemulaibi (puteri kayangan) dapat menyihir tanaman
dan binatang piaraan, tanaman tumbuh subur dan binatang-
binatang piaraannya berkembang biak banyak sekali.

~ 40 ~
Ajusi dan Juami telah membuat kandang sapi, kuda, dll.
Juami bersiul dengan nyaringnya, maka berderaplah datangnya
kuda-kuda, kerbau-kerbau, sapi-sapi dan sebagainya yang tak
terhitung banyaknya. Kelompok babi dan ayam pun datang
berturut-turut. Ajusi yang tadinya miskin sekarang menjadi kaya.
Puteri ikan juga sangat sakti. Setelah ia kawin dengan si
Yatim, ia menyuruh suaminya itu membuat kandang-kandang babi,
kerbau, ayam dll. Puteri ikan begitu bersiul, maka babi, kerbau, sapi,
ayam dll itu pun berdatangan, dan kandang-kandangnya penuh.
Karenanya hidup mereka sangat bahagia.
Dalam cerita Asal Mula Gempa Bumi(7), juga ada pelukisan
semacam ini. ada tiga orang saudara kakak beradik, semuanya laki-
laki, si bungsu memiliki kesaktian. Ia menyuruh kakaknya membuat
kandang-kandang babi, sapi dan ayam, ia sendiri juga membuatnya,
setelah selesai, dipanggil oleh adiknya babi, sapi dan ayam, maka
penuhlah kandang-kandang mereka itu.
Dari contoh-contoh yang tersebut ini, jelaslah betapa miripnya
titik-titik persamaan itu.
Pembuatan rumah, perkawinan dan memiliki harta benda
penyambung kehidupan merupakan prasyarat manusia berkembang
biak dan kesinambungan hidupnya. Tetapi bagi orang miskin, bukan
sesuatu hal yang gampang untuk memiliki itu. Maka manusia
primitif itu berkhayal supaya ada semacam tenaga gaib yang dapat
mengatasi kesulitan yang nyata ini. Puteri kayangan, puteri naga
atau puteri ikan merupakan pencerminan khayalan semacam itu.
Kesaktian bidadari dan si Kokong serta si Bungsu merupakan
pencerminan khayalan semacam itu pula.
C.  Tentang Totem Kepercayaan Manusia Purba
Manusia modern tentu merasa amat heran, bagaimana
manusia dapat menikah dengan burung, ikan dan sebagainya?
Sebenarnya dongeng itu merupakan semacam pencerminan
khayalan naif manusia purba. Misalnya, bidadari burung,
sebenarnya mungkin gadis dari suku yang bersangkutan menjadikan
burung sebagai totem sukunya. Pemuda mencuri pakaian burung
merupakan pencerminan simbolik pria memaksa atau menculik
~ 41 ~
gadis untuk dijadikan isterinya. Bidadari meninggalkan suaminya
setelah mendapatkan kembali pakaian burungnya, mengandung arti
wanita masih sangat rindu terhadap kampung asalnya. Hingga
sekarang, di kalangan sementara suku minoritas di China Selatan,
masih terdapat adat kuno bahwa setelah kawin, isteri tidak tinggal di
rumah suaminya. Di kalangan suku Pumi, masih berlaku adat lama
menculik calon isteri. Pria dengan cara memaksa mendapat wanita
dari tempat jauh, sedang wanita tidak rela seumur hidup berkumpul
bersama dengan suaminya. Inilah pencerminan dalam dongeng
bidadari burung.
Di China, totem kepercayaan suku-suku minoritas dapat
digolongkan ke dalam tiga macam!
1. Burung-burung yang dapat terbang di angkasa;
2. Ikan, ular, naga, siput dan sebagainya yang hidup di air;
3. Binatang yang terdapat di daratan, misalnya harimau,
orang utan, kerbau, kuda, anjing dan sebagainya.
Apa yang terdapat dalam dongeng Nusantara tidak beda
dengan yang terdapat dalam dongeng China. Selain apa yang
tersebut di depan, penulis menganggap perlu mengemukakan
beberapa contoh. Misalnya:
Di Jawa Barat terdapat cerita Sang Kuriang yang amat terkenal.
Nenek Sang Kuriang ialah babi hutan, dan ayahnya ialah seekor
anjing.
Di kalangan suku Miao di China terdapat cerita Ibu Dewi dan
Ayah Anjing. Di kalangan suku Yao ada dongeng Hikayat Raja Panhu.
Raja Panhu itu ialah seekor anjing yang berjasa dalam
menumbangkan musuh dan kemudian menikah dengan puteri raja.
Di Sulawesi ada dongeng puteri menikah dengan kerbau liar,
karena kerbau itu telah berhasil melakukan pekerjaan yang diminta
oleh ayah sang puteri itu.
Di kalangan suku Thai di Yunan ada Cerita Puteri Kerbau
Putih, yang menceritakan ada seorang wanita mendapat sebuah
nanas yang telah dimakan sedikit oleh raja kerbau. Setelah nanas itu
dimakan oleh wanita tersebut, hamillah ia, dan kemudian
dilahirkannya seorang puteri.

~ 42 ~
Di Lombok ada cerita manusia menikah dengan rusa. Rusa
betina dapat menjelma menjadi wanita.
Di kalangan suku Miao, ada cerita Yapang Menikah dengan
Harimau, seorang gadis bernama Yapang tidak sudi menikah dengan
seorang kaya yang tak berbudi. Daripada menikah dengan orang itu
lebih baik menikah dengan harimau yang buas. Akhirnya ia
dilarikan harimau dan dikawininya. Tetapi harimau itu dapat
menjelma menjadi manusia pula.
Dengan demikian, maka boleh dianggap, tidak hanya
terdapat unsur-unsur persamaan dalam dongeng-dongeng itu saja,
tetapi juga terdapat unsur persamaan dalam totem kepercayaan
rakyat kedua bangsa, China dan Nusantara.
1.  Tipe Katak
Dongeng tipe katak umumnya menceritakan seorang lelaki
yang berwujud sebagai katak, dan bukan seperti manusia biasa. Di
China dongeng tipe katak ini tidak kurang dari 15 buah. Dan
tersebar di kalangan luas suku-suku Han, Tibet, Miao, Pai, Yi, Yao,
Tulong, Palaung, dll. Dongeng-dongeng ini dengan tokoh si katak
yang jelek, yang selalu dipandang rendah, berhasil mendapatkan
isteri yang cantik, bahkan puteri raja. Dalam anggapan manusia
primitif, beristeri yang cantik merupakan simbolik bahagia yang
sempurna. Si katak itu sebenarnya bukan katak biasa, melainkan
penjelmaan dewa. Ia mampu mengerjakan apa saja yang tak
mungkin dikerjakan manusia biasa. Ketika ia menanggalkan pakaian
kataknya, ia dapat berubah menjadi seorang pemuda yang tampan
perkasa, yang didambakan oleh semua gadis dewasa. Ini merupakan
sejenis dongeng yang indah dan telah bersejarah lama sekali.
Puteri dan Katak dari suku Tulong merupakan sebuah
dongeng yang mengenai pemuda katak mencari isteri. Ia mewakili
kebanyakan dongeng dari tipe ini. dongeng ini mengisahkan tentang
seorang wanita yang melahirkan seorang anak yang berupa katak.
Setelah anaknya besar, ia bermohon kepada ibunya supaya melamar
seorang gadis untuk diperisterikannya. Ibunya menjawab bahwa tak
akan ada gadis yang mencintainya. Maka anaknya lalu pergi mencari
sendiri calon isterinya. Ketika ia lewat di depan pintu sebuah rumah,
~ 43 ~
kelihatanlah olehnya seorang puteri yang cantik sedang menenun,
maka ia langsung melamarnya kepada orang tua si puteri. Orang tua
puteri tersebut berkata: “Kalau kamu dapat ketawa, saya akan
mengawinkan anak saya denganmu.” Si katak pun tertawa, maka
terjadilah goncangan seperti gempa bumi yang hebat. “Coba
menangislah kamu, hai katak!” Suruh ayah puteri itu. Ketika si katak
menangis, air bah yang hebat pun datang, rumah mereka terendam
dalam air. Melihat keadaan ini, ayah si puteri terpaksa mengizinkan
anaknya mengikuti si katak. Ibu si katak senang sekali, tetapi puteri
itu sangatlah sedih karena suaminya seekor katak yang jelek
rupanya. Puteri dan ibu si katak setiap hari bekerja di ladang, begitu
pulang ke rumah, nasi dan lauk-pauk sudah tersedia. Sekali si puteri
dengan ibu si katak mengintip dari luar, terbongkarlah rahasia si
katak. Mereka melihat si katak menanggalkan pakaian kataknya,
seketika berubahlah si katak menjadi seorang pemuda yang tampan.
Puteri dan ibu si katak segera masuk ke dalam rumah, meminta si
katak jangan berubah lagi menjadi katak, kemudian mereka hidup
dengan bahagianya.
Penunggang Katak adalah dongeng suku Tibet. Ini agak lain
dengan dongeng-dongeng katak umumnya yang terdapat di China
Selatan. Selain ada unsur-unsur yang sama dalam hal mencari isteri,
ada pula unsur perbedaannya seperti ketika isterinya mengetahui
rahasia si katak, ia membakar kulit katak itu. Begitu suaminya
pulang dan melihat hal itu, ia sangat terkejut, kemudian ia bercerita
kepada isterinya bahwa ia bukan manusia biasa, melainkan dewa, ia
datang ke dunia untuk berbuat jasa kepada rakyat miskin.
Keinginannya ada tiga: di dunia tiada perbedaan antara yang kaya
dengan yang miskin; yang berkuasa tidak menindas rakyat jelata;
dan ada sebuah jalan yang menuju ke sorga. Tetapi ia belum kuat
dan belum bisa mewujudkan cita-citanya. Ia juga tak boleh lepas dari
lindungan pakaian katak, sebab sebelum fajar, ia akan mati
kedinginan. Tetapi kalau dewa mengabulkan ketiga keinginannya
itu sekarang, ia dapat hidup terus. Walaupun isterinya berusaha
meminta bantuan dewa, tetapi karena halangan mertua si katak,
maka si katak pun mati juga sebelum fajar menyingsing.(8)

~ 44 ~
Di Nusantara juga terdapat dongeng tentang katak. Dan
bahkan banyak unsur-unsur persamaannya. Memang, dari bahan-
bahan Nusantara itu satu-satunya dongeng katak yang dapat penulis
temukan hanyalah Dongeng Si Katak dari kepulauan Kai. Untuk
memudahkan perbandingan, penulis bercerita kembali secara
ringkas.
Seorang perempuan tua mempunyai tujuh orang anak,
semuanya anak laki-laki, tetapi anehnya anak bungsunya bukan
seperti manusia biasa, melainkan berwujud seekor katak. Ia hidup
terpencil dan tidak dihiraukan orang bahkan oleh abang-abangnya
sendiri.
Keenam abangnya akan berdagang dan merantau ke negeri
yang jauh-jauh. Si bungsu terus meminta dibawa ikut serta, dan
modalnya untuk perjalanan itu ialah sebuah labu yang diberikan
ibunya.
Di tengah jalan, si bungsu diturunkan oleh kakaknya di suatu
pulau dan disanggupi bahwa nanti waktu mereka kembali akan
dijemput pulang. Si Katak bertanam labu di pulau yang pada
mulanya tandus itu. Ketika musim panen, labunya selalu hilang. Si
Katak dapat menangkap basah seorang jin yang mencuri labunya. Ia
mendapat sebuah kampak wasiat dari jin. Waktu kakaknya berlayar
lewat pulau di mana Si Katak diturunkan, mereka tidak datang
menjemputnya. Tetapi dengan mendadak mereka tidak dapat
berlayar lagi, terpaksa Si Katak dijemput untuk dibawa ke perahu
mereka.
Si Katak meminta ibunya supaya pergi meminang salah
seorang puteri raja untuk dijadikan isterinya. Hari pertama gagal.
Hari kedua juga tidak berhasil. Hari ketiga Si Katak memaksa ibunya
supaya pergi lagi. Keenam puteri yang besar masih tetap tidak
seorang pun yang mau menerima pinangan Si Katak. Tetapi puteri
bungsu sudi saja menerima lamarannya, sebab ia kasihan kepada Si
Katak dan ibunya. Raja pun tidak keberatan asal Si Katak memenuhi
syarat, yaitu: alat-alat perang seperti meriam dan barang-barang
perhiasan seperti emas dan intan harus dijajarkan dari depan rumah
Si Katak sampai ke depan pintu gerbang istana. Si Katak

~ 45 ~
menyanggupinya. Semua maskawin dapat disediakan dalam satu
malam.
Walaupun Si Katak telah kawin tetapi ia tetap merupakan
seekor katak. Dua kali Si Katak menanggalkan pakaian kataknya dan
menguji isterinya, ketika si isteri dengan kakaknya berkunjung ke
lain tempat. Akhirnya rahasia Si Katak diketahui oleh isterinya dan
kulit kataknya telah dimusnahkan oleh isterinya. Si Katak yang akan
mati itu tertolong oleh isterinya. (9)
Persamaan dongeng tipe katak China dan Nusantara:
1. Tokoh katak memiliki kekuatan gaib. Ia dapat
mengerjakan apa yang tak dapat dikerjakan manusia
biasa. Katak itu seringkali penjelmaan dewa, dalam
sementara dongeng ada yang jelas disebutkan begitu.
2. Tema yang terkandung dalam tipe dongeng katak
terutama mengenai hubungan percintaan antara tokoh
dari kelas yang berbeda. Si katak berasal dari kalangan
orang miskin, simbolik rakyat pekerja yang diremehkan.
Tetapi dia selalu beristerikan puteri dari kelas berkuasa,
tak jarang yang beristerikan puteri raja pula.
3. Puteri bungsu selalu yang paling cantik, berbudi dan
paling bersimpati terhadap si katak. Hanya puteri
bungsulah yang menerima lamaran si katak.
4. Si katak sebenarnya pemuda yang tampan. Kebanyakan
dalam dongeng tipe ini terdapat pelukisan si katak
menguji kesetiaan isterinya.
5. Rahasia si katak diketahui, dan puteri yang tak sabar
memusnahkan kulit katak itu sebelum berunding dengan
suaminya lebih dulu. Isteri yang baik hati berbuat salah.
Akibatnya, si katak ada yang tertolong dan ada pula yang
tidak. Yang lebih banyak ialah si katak dan isterinya
mencapai kehidupan bahagia yang sempurna.
2.  Tentang Dongeng Tipe Katak
Mengapa si katak berwujud sebagai seekor katak? Dalam
cerita suku Pai dituturkan bahwa sebenarnya si katak itu juga
manusia, tetapi karena kejahatan hantu, maka ia dibungkus dengan
~ 46 ~
kulit katak, dan kalau kehebatan sudah mencapai puncaknya, ia
dapat mengalahkan si hantu, dengan demikian ia dapat
menanggalkan pakaian katak itu.
Dongeng katak tersebar luas di kalangan suku-suku China
Selatan, adalah berhubungan dengan totem katak kepercayaan
manusia purba di daerahnya. Ukiran katak yang terdapat pada
nekara purba itu merupakan bukti yang meyakinkan. Nekara adalah
benda purba yang terbuat dari perunggu dan berupa gendang. Dari
lima buah nekara yang tergali di Chuxiong di provinsi Yunnan, yang
telah bersejarah 2,700 tahun, ahli yang bersangkutan di bidang itu
mengatakan bahwa Yunnan adalah kampung halaman asal nekara.
Pada nekara itu sering terdapat ukiran katak dalam berbagai rupa.
Yang membuat nekara dan memakainya ialah manusia Yue yang
bermukim di daerah luas Guangdong dan Guangxi serta manusia Pu
di Yunnan dan Guizhou pada zaman purba. Ukiran katak pada
nekara justru pencerminan kepercayaan dan pemujaan terhadap
katak dari suku-suku ini. Hingga sekarang, di daerah pemukiman
suku Zhuang di Guangxi dan Yunnan, masih terdapat adat
menyembah katak. Dalam dongeng ada disebutkan, bahwa katak
adalah anak raja guruh di kayangn. Ia sebagai utusan yang dikirim
sang raja guruh untuk menghubungkan kayangan dengan bumi. Ini
dapat dimengerti, di daerah China Selatan, banyak terdapat gejala
guruh dan hujan, dan waktu hujan katak selalu berbunyi. Asal katak
sudah bernyanyi riuh-rendah, pertanda hari akan hujan. Demikian
pula di Nusantara. Di daerah tertentu di Nusantara seperti di Aceh,
katak dilarang membunuhnya. Manusia purba menganggap antara
katak dengan raja guruh di kayangan terdapat hubungan yang
misterius. Dengan demikian terjadilah adat dan kepercayaan
terhadap katak di China Selatan dan Asia Tenggara. Pemuda katak
yang punya kekuatan gaib dan ajaib itu menjadi tokoh utama dalam
dongeng tipe ini. Ia berhubungan erat dengan dongeng dan adat
manusia purba yang menganut kepercayaan terhadap katak.
3.  Tipe Labu
Di kalangan suku Thai di provinsi Yunnan terdapat
dongeng Danjau. Danjau berarti labu. Danjau ialah nama seorang
~ 47 ~
pemuda dari kalangan orang miskin dan berwujud sebagai
sebuah labu. Ceritanya begini:
Di negeri Mengpalanaxi hiduplah seorang janda dengan anak
lelaki tunggalnya. Hidup mereka amat sengsara dan dalam keadaan
sangat miskin. Karena tidak tahan melihat kesengsaraan ibunya,
anak tunggal yang masih kecil itu ingin menjadi sebuah labu demi
meringankan beban ibunya. Dengan menakjubkan keinginannya itu
terwujud. Maka sejak itu anak si janda disebut orang “Danjau”.
Danjau sudah menanjak dewasa, setelah mendengar ada
armada kapal dagang akan berlayar ke luar negeri untuk berdagang,
ia meminta ibunya agar melepaskannya turut dalam armada kapal
dagang itu. Si Danjau akhirnya dapat ikut dalam pelayaran jauh itu.
Di suatu pulau ia meminta kepada awak kapal supaya ia diturunkan
di sana, dan awak kapal berjanji nanti akan menjemputnya lagi kalau
armada kapal dagang itu kembali dari perdagangan.
Danjau menanam berbagai macam labu di pulau itu, ketika
tujuh orang bidadari dari kayangan turun mandi ke laut, tanaman
labunya dirusak sama sekali. Dan Danjau dapat menolong salah
seorang bidadari yang dikongkong oleh seekor ikan besar. Raja di
kayangan memberikan tujuh buah kapal emas kepada Danjau
sebagai tanda terima kasihnya.
Setelah Danjau kembali ke negerinya, namanya tersohor ke
seluruh negeri dengan kekayaan tujuh kapal emas. Ibunya
disuruhnya untuk pergi meminang puteri rajanya yang cantik.
Danjau dapat menempuh ujian yang amat berat, berhasil
memperisterikan puteri raja. Setelah menikah beberapa waktu,
Danjau keluar dari labu ajaib itu dan hidup dengan isterinya dengan
bahagia. Akhirnya Danjau menggantikan mertuanya menjadi raja.
(10)
Cerita aslinya sangat panjang dan menarik.
Dari dongeng Nusantara ditemukan Kapitu(11). Kapitu juga
bermakna labu. Ceritanya begini:
Ada dua orang miskin laki-bini mempunyi seorang anak laki-
laki bernama Kapitu. Ia berkepala kecil, lehernya panjang, sedang

~ 48 ~
pantatnya besar, kelihatannya seperti labu, maka ia dinamakan
Kapitu (labu).
Kapitu yang sudah menjadi taruna hanya pandai bersuling
dan tak seorang pun yang dapat menandinginya. Ia meminta ibunya
agar pergi meminang puteri Kepala Negeri, yang mempunyai tujuh
orang puteri. Setelah tiga hari terus-menerus didatangi oleh ibu
Kapitu, maka puteri bungsu dengan senang hati menerima pinangan
ibu Kapitu.
Ibu si Kapitu pusing memikirkan anaknya, dengan apa ia
mengongkosi peralatannya nanti? Kapitu senang benar rupanya,
semalaman ia bersuling saja kerjanya. Keesokan harinya, orang di
kampung terheran-heran melihat rumah yang bagus di tepi danau di
dekat kampung. Semua penduduk tak ada yang mengetahui rumah
siapa itu.
Pesta pernikahan diadakan, seluruh penduduk kampung
diundang ke pesta yang banyak tersedia makanan itu. Para hadirin
lebih heran lagi ketika puteri bungsu keluar ditemani bukan oleh si
Kapitu seperti yang kelihatan sehari-hari, melainkan oleh seorang
pemuda yang gagah perwira bagaikan seorang satria. Mereka lebih
takjub dan ternganga lagi, setelah makan Kapitu mengundang
hadirin untuk mengunjungi rumahnya yang bagus di tepi danau itu.
Keenam kakak si bungsu sangat menyesali diri mereka,
karena sebelumnya mereka bersikap sinis terhadap pinangan ibu
Kapitu, sekarang mereka sangat irihati kepada adiknya. Pada suatu
hari keenam kakaknya merencanakan untuk membunuh si bungsu
ketika berayun-ayun di pantai. Kepitu yang punya suling sakti
setelah kembali dari pelayaran mencari kembali isterinya. Walaupun
Kepitu tahu kejahatan keenam kakak iparnya, tetapi ia tidak
membalas dendam. Kedua suami-isteri ini hidup bahagia. Akhirnya
karena budi bahasanya yang baik dan hatinya yang jujur, Kapitu
dipilih orang menjadi Kepala Negeri.
Unsur persamaan Danjau dengan Kapitu terlihat pada:
1. Si Danjau dan Kapitu sama-sama mempunyai rupa yang
jelek, yang diejek dan ditertawakan orang. Ini sebenarnya
suatu figur rakyat kecil yang dipandang rendah oleh yang

~ 49 ~
berkuasa.
2. Kedua-duanya mempunyai kekuatan gaib.
3. Kedua-duanya melamar puteri raja sebagai isteri.
4. Danjau setelah keluar dari labu, menjadi seorang pemuda
yang tampan. Kapitu ketika diadakan upacara pernikahan,
berubah rupanya menjadi pemuda yang gagah perkasa,
sama-sama mendapat hidup bahagia yang sempurna.
5. Danjau kemudian menjadi raja menggantikan mertuanya.
Sedang Kapitu akhirnya dipilih sebagai Kepala Negeri. Ini
sebenarnya menunjukkan keinginan rakyat yang
mengharapkan ada penguasa yang adil dan jujur, yang
dapat mewakili kepentingan rakyat jelata.
D.  Tentang Dongeng Tipe Labu
Dongeng-dongeng labu tersebar luas di kalangan suku-suku
bangsa di China Selatan. Kepercayaan akan labu dan dongeng-
dongeng labu yang sangat erat saling hubungan itu disebutkan
“kebudayaan labu primitif bangsa Tionghoa” oleh sementara sarjana.
Dalam dongeng-dongeng yang mengenai labu, setidaknya terdapat
tiga macam cerita:
1. Manusia keluar dari labu. Pada zaman purba yang amat
jauh lampau itu, di bumi ini belum ada apa-apa. Dewa
mengutus seekor kerbau dan seekor burung ke bumi.
Kerbau betina itu hanya bertelur tiga butir dan ia pun
mati. Burung itu mengeraminya, dari salah sebutir telur
itu keluar sebuah labu. Dari labu itu keluar manusia.
2. Labu selain sebagai nenek moyang manusia, juga sebagai
alat berlindung dari bencana kebanjiran. Ini tercermin
dalam dongeng-dongeng perkawinan kakak dengan adik
sekandung yang banyak terdapat dalam kalangan suku-
suku di China Selatan.
3. Segala binatang dan tumbuhan yang berjiwa keluar dari
labu.
Dengan mengetahui latar belakang ini, maka kita tidak sulit
lagi untuk bersusah payah memikirkan kenapa dari labu itu dapat

~ 50 ~
keluar manusia. Tak salahlah kiranya dongeng Danjau merupakan
kelanjutan dari dongeng-dongeng labu yang primitif itu. Ia
mempunyai ciri-ciri yang lama, tetapi bukan yang paling primitif.
Dari dongeng-dongeng Indonesia penulis tidak menemukan
dongeng labu yang dekat dengan yang terdapat di China itu. Kapitu
yang tidak berwujud sebagai labu yang sesungguhnya, dapatkah
ditafsirkan sebagai dongeng yang masuk dari luar negeri? Karena di
sana tiada latar belakang yang serupa dengan yang di China Selatan.
Kapitu itu tidak diterima kalau ia berwujud asli. Maka terjadi
penyesuaian. Atau nenek moyang bangsa Nusantara memang
berasal dari China Selatan, dalam “kantong rohani”nya terbawa
dongeng atau kepercayaan labu itu ke Indonesia. Lama kelamaan,
dongeng-dongeng labu itu sudah hilang lenyap, dan Kapitu juga
mesti mengalami perubahan besar-besaran, hanya rupanya saja yang
masih kelihatan jejak perubahan itu.
E. Tipe Dongeng Padi
Padi (beras) merupakan bahan makanan utama rakyat di
China Selatan maupun di Asia Tenggara. Dongeng-dongeng tentang
padi banyak terdapat di kalangan suku-suku di China Selatan dan di
Nusantara. Dongeng padi banyak variasinya dan sangat menarik.
Dari apa yang tercermin dalam dongeng itu dapat pula ditemukan
unsur-unsur persamaan kedua bangsa, China dan Nusantara. Di lain
segi juga menunjukkan adanya perbedaan setelah mengalami
pengaruh kebudayaan luar dan lama-kelamaan berkembang ke arah
yang lain.
1.  Padi Dahulu Lebih Besar Daripada Padi Sekarang
Suku Kocin mempunyai dongeng yang mengatakan bahwa
mula-mula beras itu besar dan sedap dimakan.
Di kalangan suku Thai juga disebut padi dahulu sebesar
lobak. Padi menjadi kecil karena terbelah-belah dipukuli oleh
seorang wanita malas. Sejak itu padi menjadi kecil.
Dalam Tumileng Mengambil Padi cerita Minahasa, juga
disebutkan bahwa padi waktu itu masih sebesar padi hutan. Padi itu
dijemur dan dimasukkan kedalam cawan, lalu diambilnya golok,

~ 51 ~
dan padi itu dipotong-potong, yang sebagian besar-besar, yang lain
lagi kecil-kecil. Itulah yang dipakai sebagai bibit baru. Demikianlah
terjadi bermacam-macam padi, ada yang besar ada yang kecil dan
sesudah itu jadilah padi biasa.
Baik di China maupun di Nusantara padi dahulu dianggap
lebih besar, padi menjadi kecil karena dipukuli atau dipotong-
potong manusia karena sesuatu sebab.
2.  Kepercayaan Adanya Roh Padi atau Dewi Sri
Dalam dongeng suku Kocin disebutkan bahwa walaupun
padi dahulu besar dan sedap dimakan, tetapi manusia masih tidak
puas, karena itu roh padi marah sekali dan terbang kembali ke
kayangan.
Di kalangan suku Thai terdapat dongeng yang mengatakan
bahwa padi dahulu setelah ditanam di sawah dan ladang, ia tumbuh
dan berbuah. Setelah buahnya matang, bisa terbang sendirian ke
rumah-rumah orang. Tetapi karena ada seorang wanita malas, ia tak
mau bekerja, kedatangan padi-padi telah mengganggunya dari
ketiduran, maka wanita itu memukul padi-padi itu dengan galah.
Sejak itu padi tidak terbang lagi ke rumah-rumah, dan wanita malas
itu juga mati kelaparan.
Di kalangan suku Yao juga ada dongeng yang hampir sama
dengan dongeng suku Thai ini. Dikisahkan bahwa setelah padi-padi
terbang kembali ke kayangan, karena dipukuli oleh wanita malas,
maka dua tahun berturut-turut tiada panen padi. Wanita malas itu
menyesali perbuatnnya, kemudian mengakui kesalahannya di
hadapan umum. Wanita itu disuruh pergi menyembah roh padi.
Di kalangan suku Wa dan Kocin di Yunnan, harus diadakan
upacara persembahan untuk roh padi waktu tanam dan panen. Dan
upacara itu dipimpin oleh dukun. Waktu panen di kalangan suku
Kocin diadakan upacara “memanggil roh padi”, agar roh padi yang
lari kembali lagi. Orang suku Braung menganggap bahwa roh padi
itu lari karena ketakutan ketika dipanen, maka setelah selesai
dipanen, harus ada serentetan upacara yang memanggil kembali roh
padi, baru dapat menjamin padi itu cukup untuk penduduk suku
itu.
~ 52 ~
Dukun suku Kocin dalam upacara persembahan untuk roh
padi itu bermantara: “Yang tak dapat dilihat manusia, dapat engkau
lihat. Yang tak dapat dikerjakan manusia, dapat engkau kerjakan.
Sudah kemana engkau, roh padi? Cepatlah kembali ke rumah!”
sekali lagi mantara dibacakan dalam perjalanan mengangkut padi ke
lumbung: “Engkau jangan takut, tongkat hantu di perjalanan itu
kami berikan kepada hantu. Tak usah takut akan kokok ayam dan
gonggong anjing, itu milik rumah kita.” Akhirnya dipesan supaya
padi dan roh padi baik-baik tinggal di lumbung padi.
Dalam banyak dongeng padi Indonesia ada disebut Dewi Sri.
Menurut dongeng Bali, Dewi Sri itu asalnya isteri Batara Wisnu.
Batara Wisnu menjelma menjadi seorang maharaja di bumi, Dewi Sri
sangat setia pada suaminya dan datang pula ke bumi membantu
suaminya. Dewi Sri menetap di dalam padi.
Di Indonesia, apalagi di Jawa, Bali dan Madura, upacara
penyembahan Dewi Sri sangat populer, dan merupakan adat yang
terkenal. Ini tak terpisahkan dari kepercayaan bahwa padi memiliki
semangat (atau roh padi).
Justru bangsa di Nusantara percaya padi itu ada
semangatnya, maka waktu panen padi, tidak hanya mengambil padi
saja, tetapi yang lebih penting ialah mengambil padi bersama
dengan semangatnya, kalau tidak padi itu akan kehilangan
khasiatnya dan tak akan tumbuh lagi kalau ditanam. Untuk menjaga
semangat padi, harus diadakan berbagai upacara agama dan banyak
tabu. Seperti tak boleh berteriak di sawah ladang padi. Pemakaian
ani-ani oleh wanita asalnya juga terdapat semacam kepercayaan
bahwa ani-ani itu tidak akan sampai menakuti semangat padi.
Pemakaian ani-ani yang umum sekali di Nusantara juga terdapat di
kalangan suku Li di pulau Hainan. (12)
Pendeknya, baik di China Selatan maupun di Indonesia
terdapat banyak suku yang percaya adanya roh padi atau semangat
padi. Dengan demikian terdapat serentetan upacara persembahan
untuk roh padi, baik yang tercermin dalam dongeng maupun yang
terdapat dalam adat-istiadat di kalangan suku-suku yang kuno itu.

~ 53 ~
Dengan masuknya pengaruh kebudayaan India ke Indonesia,
semangat padi telah berubah menjadi Dewi Sri.
3. Padi Berasal dari Kayangan
Dalam dongeng suku Zhuang “Benih Padi dan Ekor anjing”
diceritakan bahwa mula-mula di bumi tidak ada padi. Manusia di
bumi hanya makan buah-buahan saja. Padi itu terdapat di kayangan.
Padi itu tidak diberikan kepada manusia di bumi, mereka kuatir
manusia di bumi setelah makan nasi berkembang biak cepat dan
menyerang ke kayangan. Kemudian manusia di bumi mengutus
seekor anjing yang berekor sembilan batang ke kayangan untuk
mencuri padi. Tetapi ketahuan dan delapan batang ekor anjing itu di
potong dan hanya tinggal sebatang saja ekornya. Dari ekor yang
tinggal itu ditemukan beberapa butir padi. Sejak itu manusia di bumi
mulai menanam padi.
Dongeng mendapat benih padi dari kayangan juga terdapat
di kalangan suku-suku Buyi, Tujia, Shui, Yi, Miao, Tulong, Moso,
Tibet dan lain-lainnya.
Di Nusantara terdapat dongeng yang sama pula. Misalnya
Dari Mana Asal Padi dongeng Sulawesi mengisahkan bahwa padi
mula-mula tumbuh di kayangan, dicuri oleh seorang anak yatim
piatu yang masih kecil dan dibawa pulang ke bumi, dan sejak itulah
di bumi mulai ada tanaman padi.(13) dalam Tumileng Mengambil Padi
diceritakan bahwa mula-mula di bumi ini tidak ada padi. Ada
seorang bernama Tumileng naik ke sorga. Ketika itu jika manusia
mau naik ke sorga sangat gampang. Ia berusaha mencuri padi yang
sedang dijemur, yang kedua kali barulah berhasil. Padi itu dibawa
ke bumi, maka tanaman padi dapat berkembang di bumi.(14)
Yang tercermin dalam dongeng itu hanya mengenai
bagaimana penyebaran padi itu. Menurut sementara sarjana, apa
yang disebut kayangan itu sebenarnya lembah daerah hulu sungai
atau daerah di dataran tinggi. Ini menunjukkan bahwa padi itu
sudah ditanam duluan di daerah-daerah tertentu, dalam pertukaran
ekonomi dan kebudayaan serta perkawinan kelompok satu dengan
kelompok lainnya terjadi penyebaran padi dan teknik
penanamannya. Di kalangan suku bangsa China banyak terdapat
~ 54 ~
dongeng di mana hewan-hewan membantu manusia mendapatkan
benih padi. Ini dianggap oleh para penyelidik merupakan
pencerminan yang tak langsung dari penyebaran penanaman padi
pada suku-suku atau kelompok-kelompok yang menganut
kepercayaan totemisme.
Sekarang sampai pada soalnya, dari manakah asal mula padi?
Di kalangan suku Thai ada dongeng bahwa seorang pemburu
telah mencium semacam angin harum, ia mencari ke suatu kolam di
lembah, di sana ditemukannya buah yang harum dan manis, buah
itu dinamakan “padi harum”.
Dalam Asal Mula Benih suku Keba diceritakan bahwa seorang
pemburu memanah seekor burung di dekat sungai Yaruzhangbu,
pada paruhnya ditemukan benih padi dan jagung, sejak itu orang
suku Keba mulai menanam padi dan jagung.
Di kalangan suku-suku Keba, Nu, Thai, Shui, Buyi dll
dikatakan bahwa padi-padi ditemukan di pinggir kolam, danau atau
di lembah pegunungan di daerah pemukiman mereka. Sedang
daerah tempat bermukim suku-suku itu justru berada di lereng-
lereng sebelah timur pegunungan Himalaya sampai ke dataran
tinggi Yunnan dan Guizhou. Ini kebetulan sesuai dengan apa yang
diakui oleh banyak penyelidik tentang padi berasal dari dataran
tinggi Yunnan dan Guizhou atau daerah Yunnan-Assam.
Di dalam dongeng Indonesia, selain yang dikatakan padi itu
berasal dari kayangan, juga ada yang disebutkan padi penjelmaan
puteri yang telah meninggal. Dari kuburan itu tumbuh padi dan
beberapa macam tanaman lainnya. Seperti yang tercermin dalam
Rumput Berbulir Kencana(15), Asal Mula Tanaman Padi(16), Asal Mula
Padi(17) dan sebagainya. Pengaruh kebudayaan India sangat nyata
dalam dongeng itu.
Dari unsur-unsur persamaan dongeng padi China dan
Nusantara itu dapat dianggap bahwa terdapat hubungan akrab
antara kedua bangsa ini. Mungkin berasal dari sumber yang sama.
Tetapi setelah menerima pengaruh kebudayaan yang tidak sama,
terjadi perselisihan, seperti yang terdapat dalam dongeng di Bali,
Banyumas, Madura dan Jawa Barat itu.

~ 55 ~
Dari perbandingan cerita rakyat yang tersebut di atas, yang
terdapat di China Selatan dengan Nusantara, maka dapat
membuktikan bahwa terdapat kesamaan budaya antara dua bangsa
dan dua kawasan ini. Kesamaan itu baik dari segi tipe, tema, figur,
plot cerita maupun kesamaan dari segi hakekatnya, terdapat dalam
jumlah yang amat besar pula. Kesamaan yang terdapat antara cerita
rakyat China Selatan dengan cerita rakyat Nusantara, dibandingkan
dengan kesamaan yang terdapat antara cerita-cerita suku-suku
Nusantara sendiri, tidak terdapat perbedaan yang lebih nyata.
Apakah ini berasal dari satu sumber yang sama? Ataukah lahir dan
berkembang sendiri-sendiri? Penulis lebih condong kepada
pandangan dari satu sumber yang sama. Tetapi masih banyak
masalah perlu diteliti lebih lanjut, baru mungkin mencapai
pemecahan tuntas. Dengan situasi dan kondisi sekarang, sudah
sampai saatnya bila diadakan penelitian bilateral atau multilateral.
Betapa baik dan berartinya bila dapat diadakan pengkajian bersama
semacam itu. Mudah-mudahan himbauan ini mendapat dukungan
yang bersangkutan.
F. Pemanfaatan Kesamaan Budaya untuk Pengajaran BIPA
Kesamaan unsur budaya itu memang menguntungkan
pengajaran bahasa Indonesia buat penutur asing. Umpamanya
dalam membaca dongeng, cerita rakyat dan sebagainya, karena alam
pemikirannya kedua bangsa ini begitu banyak kesamaannya, maka
tidak merasa heran atau bingung atas gejala yang terdapat dalam
dongeng tertentu.
Penulis ambil contoh dari Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer, ini sebuah kutipan percakapan dari Miriam, anak
Asisten Residen dengan Minke:
“Nenek-moyangku mungkin lebih dungu daripada nenek-
moyangmu, Minke. Waktu nenek-moyangmu sudah bisa bikin
sawah dan irigasi, leluhurku masih tinggal dalam gua. Tapi bukan
itu yang hendak kita bicarakan. Begini, di sekolah kau diajar: petir
hanya perbenturan awan positif dengan negatif. Malah Benjamin
Franklin bisa membikin penangkal petir. Begitu, kan? Sedang
heluhurmu punya dongengan indah – sejauh yang pernah kudengar
~ 56 ~
ceritanya – tentang Ki Ageng Sela yang dapat menangkap sang petir,
kemudian menyekapnya dalam kurungan ayam.” (18)
Buat orang Barat, mungkin dongeng semacam manusia
menangkap sang petir adalah hal yang tak dapat dimengerti, tetapi
dalam dongeng-dongeng Timur, ini semacam hal yang lumrah.
Satu contoh lagi, seperti tentang pengertian atas pantun.
Pantun itu sebagai semacam bentuk sajak, buat orang Barat mungkin
akan bingung sebingung-bingungnya kenapa terbagi dalam dua
bagian, yaitu sampiran dan isi. Dan antara sampiran dan isinya, tidak
boleh ada sangkutan makna yang jelas. Sedangkan dalam sajak dan
lagu rakyat di China, ini sama sekali tidak menjadi masalah. Karena
terdapat unsur yang sama pula.
Kita harus mengakui, dalam kantong rohani kita memang
terdapat banyak hal yang sama, sebagaimana yang diperbandingkan
tadi, ini mungkin bermanfaat buat bangsa China mempelajari bahasa
Indonesia. Akan tetapi, dari segi bahasa, bahasa Tionghoa yang baku
dengan bahasa Indonesia, tergolong dalam dua rumpun bahasa yang
berlainan. Ini sebenarnya hambatan buat orang China menguasai
bahasa Indonesia. Memang saja, di China, masih ada suku minoritas
seperti suku-suku Zhuang, Tong dan Wa, bahasanya masih
tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia, tetapi itu hanya
dikuasai oleh penduduk suku itu saja, tidak dikuasai oleh orang lain,
bahkan sekarang, angkatan muda dari suku itu sendiri pun, belum
tentu semuanya menguasai bahasanya sendiri.
Selain itu, kita juga tahu, dalam pertukaran kebudayaan yang
cukup lama sejarahnya China dan Nusantara, di dalam bahasa
Indonesia banyak terdapat kata-kata pinjaman dari bahasa daerah
Fujian Selatan. Kalau tidak salah, kata pinjaman dari China itu
seluruhnya ada 800-an, seperti kata-kata teh, tauke, taoco, taci, lengkeng
dan sebagainya, tetapi jangan salah anggap, bahwa semua orang
China tahu maknanya kata-kata itu, karena di China sendiri,
terdapat banyak bahasa daerahnya, fonem dan pengucapannya
berlainan sekali, ini tidak beda dengan pengucapan bahasa asing.
Dalam kenyataan, bukan pengajaran bahasa Indonesia di
China lebih gampang atau lebih sukses dibandingkan dengan

~ 57 ~
pengajaran bahasa asing lainnya, pengajaran bahasa asing itu ada
hukumnya, umumnya hukum yang ditegaskan di China adalah
“kemampuan-kemampuan mendengar, berbicara, membaca,
menulis dan menerjemahkan”, semua mahasiswa atau peminat yang
belajar bahasa asing harus berdasarkan hukum itu. Penulis
menganggap praktek pengajaran bahasa asing di China cukup
sukses. Ini diakui dan dipuji oleh orang-orang dari banyak negara
dimana bahasa itu dipakai.
Guangzhou, Juli, 2007.
Tentang penulis: Prof. Cai Jincheng (Gunawan) M.A., lahir pada
Maret 1954, Kabupaten Huazhou, Provinsi Guangdong, China. 1970-
1975 kuliah S1 sebagai angkatan pertama di Jurusan Bahasa
Indonesia, Fakultas Bahasa dan Budaya Timur Institut Bahasa Asing
Guangzhou, kemudian menjadi dosen pengajar Bahasa Indonesia di
almamater. 1984-1987 S2 di jurusan yang sama. Setelah itu menjadi
dosen terus hingga sekarang. 1996-2003 diangkat menjadi Wakil
Dekan Fakultas Bahasa dan Budaya Timur merangkap Ketua
Jurusan Bahasa Indonesia/Melayu di Guangdong University of
Foreign Studies, Guangzhou, Republik Rakyat China.
Keterangan:
1. Liu Souhua, Zhongguo Minjian Tonghua Gaishuo, Sichuan Minzu
Chubanshe, 1985, h.228.
2. Ibid.
3. “Minjian Wenyi Jikan” Seri Ke-VIII, Shanghai Wenyi Chubanshe,
1986, h.67.
4. Tao Lifan dan Mo Fushan, Zhongguo Shaoshu Minzu Aiqing
Gushixuan, Gansu Renmin Chubanshe, Lanzhou, 1983, h.324.
5. Zhu Faqing et.al., Lisuzu Minjian Gushixuan, Shanghai Wenyi
Chubanshe, 1982, h.115.
6. Spina, Bruno, Mitos dan Legenda Suku Mentawai, Balai Pustaka,
1981, h.216.
7. Ibid., h.269.
8. Xizang Minjian Gushixuan, Shanghai Wenyi Chubanshe, 1984, h.
279.
9. Prawiraatmadja, R.S., Cerita Rakyat IV, Balai Pustaka, 1963, h.225
~ 58 ~
10. Fu GuangYu et.al., Daizu Minjian Gushixuan Shanghai Wenyi
Chubanshe, 1985, h. 96.
11. Dongeng Daerah Sulawesi, Departemen P&K, 1959, h.44.
12. Prof. Xu Younian, “Hubungan Suku Melayu dengan Suku-suku Yue
dan Pu Purbakala di China”, makalah berupa stensilan, h.50.
13. Prawiraatmadja, R.s., Cerita Rakyat I, Balai Pustaka, 1963, h.44.
14. Bunga Rampai Cerita Rakyat Nusantara, (Penulis hanya
memperoleh foto-kopi dari bukunya yang asli, tanpa data-data,
nama penyusun, penerbit, dll), h.29.
15. Masdipura, Hami, Kumpulan Cerita-cerita dari Kalimantan, h.29.
16. Prawiraatmadja, R.S., Op.Cit., h.30
17. Ibid., h.33.
18. Pramoedya Anata Toer, Bumi Manusia, Cetakan3, Desember
2006, h.212

BIPA SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

Edy Jauhari

~ 59 ~
Pusat Informasi dan Layanan Bahasa (PINLABS)
Universitas Airlangga, Surabaya

A. Pendahuluan
Setidak-tidaknya ada dua faktor pendukung penting yang
perlu mendapat perhatian berkenaan dengan fungsi BIPA sebagai
media komunikasi lintas budaya. Faktor pendukung pertama
berkenaan dengan kemantapan gramatika bahasa Indonesia itu
sendiri, dan yang kedua berhubungan dengan kemantapan
pemakaiannya sebagai sarana komunikasi dan interaksi sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma sosiokultural masyarakat
indonesia.
Kemantapan gramatika diperlukan untuk memberikan
kemudahan bagi penutur bahasa asing di dalam memahami
gramatika bahasa Indonesia yang bisa jadi sangat berbeda dengan
gramatika bahasa yang dikuasai sebelumnya. Hal ini mengandung
arti bahwa gramatika yang tidak cukup mantap, tidak konsisten,
atau tidak begitu jelas prinsipnya dapat menyulitkan penutur bahasa
asing dalam mempelajari bahasa Indonesia. Betapapun pengajaran
BIPA tidak berbasis gramatika, namun penggunaan bahasa yang
menyimpang dari gramatika pasti akan sulit dipahami oleh penutur
asli bahasa Indonesia.
Selanjutnya, kemantapan pemakaian dibutuhkan untuk
memberikan kemudahan bagi penutur bahasa asing dalam
menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma sosiokultural masyarakat Indonesia. Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai dan norma-norma budaya yang membingkai
penggunaan bahasa Indonesia harus juga dapat dirumuskan dengan
mantap. Jika tidak, hal itu juga dapat menyulitkan penutur bahasa
asing dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai media
komunikasi lintas budaya. Dengan kata lain, ketidakmantapan nilai
dan norma budaya yang mengatur bagaimana bahasa Indonesia itu
digunakan dapat menyebabkan BIPA tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik sebagai media komunikasi lintas Budaya.

~ 60 ~
Meskipun kemantapan gramatika juga menarik dan penting
diulas dalam kaitannya dengan fungsi BIPA sebagai media
komunikasi lintas budaya, namun, karena terbatasnya waktu,
makalah ini hanya akan membahasa nilai-nilai dan norma-norma
budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia beserta renik-renik
problematika yang terdapat di dalamnya. Pembahasan ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya mewujudkan BIPA sebagai
media komunikasi lintas budaya.
B. BIPA sebagai Media Komunikasi Lintas Budaya
Yang dimaksud komunikasi lintas budaya dalam makalah ini
adalah komunikasi di antara partisipan atau penutur-penutur bahasa
asing yang berbeda-beda latar belakang budayanya dengan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai medianya, sesuai dengan
norma-norma budaya komunikasi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pengertian ini, komunikasi antara penutur asli bahasa
Spanyol dengan penutur asli bahasa Jepang dapat disebut sebagai
komunikasi lintas budaya. Karena media yang digunakan adalah
bahasa Indonesia, diharapkan norma budaya yang digunakan
adalah norma budaya Indonesia, bukan budaya Spanyol atau
budaya Jepang. Demikian juga, komunikasi antara penutur bahasa
Prancis dengan orang India, ketika berlangsung dengan media
bahasa Indonesia, harus juga dalam bingkai norma budaya
Indonesia. Pendek kata, komunikasi yang dilakukan oleh siapa pun
dan dari latar belakang budaya apa pun, ketika berlangsung dengan
media bahasa Indonesia, haruslah dalam bingkai budaya Indonesia.
Jika hal ini dapat diwujudkan, maka BIPA diharapkan dapat
menjalankankan fungsinya dengan baik sebagai media komunikasi
lintas budaya.
C. Norma Budaya Komunikasi dalam Bahasa Indonesia
Setiap bahasa digunakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma budaya komunikasi masyarakat penutur bahasa yang
bersangkutan. Pada kenyataannya, norma budaya komunikasi untuk
tiap-tiap bangsa cenderung berbeda-beda. Perbedaan itu tidak hanya
menyangkut budaya Barat dan Timur, tetapi di antara bangsa Barat

~ 61 ~
sendiri atau bangsa Timur sendiri juga terdapat perbedaan-
perbedaan budaya komunikasi. Semakin besar perbedaan norma
budaya komunikasi, semakin besar pula peluang untuk melanggar
norma budaya (Liliweri, 2003). Padahal, pelanggaran terhadap
norma budaya dapat menimbulkan dampak negatif yang wujudnya
bisa bermacam-macam, misalnya kesalahpahaman, dianggap tidak
tahu sopan santun dan kurang ajar, tidak menghormati lawan tutur,
tidak ramah, sombong, angkuh, dan kesan-kesan negatif yang lain.
Pendek kata, pelanggaran terhadap norma budaya dapat
menyebabkan peristiwa komunikasi tidak dapat berlangsung
dengan baik.
Sebagaimana masyarakat bangsa yang lain, masyarakat
bangsa Indonesia juga memiliki norma budaya komunikasi sendiri
yang dalam banyak hal berbeda dengan masyarakat bangsa lain.
Oleh karena itu, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia berarti
harus memahami norma budaya komunikasi masyarakat Indonesia.
Akan sangat aneh apabila bahasa Indonesia digunakan menurut
norma budaya komunikasi masyarakat Amereka, Jepang, India,
Belanda, Arab, dan lain-lain. Hal yang cukup fatal ialah ketika
penutur-penutur bahasa asing itu (misalnya penutur dari Amereka
dan Arab Saudi) saling berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang
masing-masing mempertahankan norma budaya komunikasi mereka
sendiri-sendiri. Orang bisa membayangkan keanehan-keanehan
yang dapat terjadi dan hambatan-hambatan komunikasi yang
mereka hadapi.
Yang menjadi persoalan ialah bagaimanakah norma budaya
komunikasi masyarakat Indonesia itu. Dapatkah norma budaya
komunikasi dalam bahasa Indonesia dirumuskan dengan jelas
sehingga dapat digunakan sebagai pegangan bagi penutur asing
untuk berkomunikasi secara lintas budaya. Jawaban atas pertanyaan
ini tampaknya tidak mudah diberikan mengingat masyarakat bangsa
Indonesia sangat majemuk dan hiterogen. Bangsa Indonesia terdiri
atas berpuluh-puluh suku bangsa yang boleh jadi masing-masing
memiliki norma budaya komunikasi yang agak berbeda satu sama
lain. Perbedaan itu bisa menyangkut komunikasi verbal atau pun

~ 62 ~
nonverbal. Orang Jawa, misalnya, memiliki norma budaya
komunikasi yang agak berbeda`dengan orang Batak. Orang Jawa
biasanya lebih suka mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung,
atau tidak to the point, sedangkan orang Batak cenderung lebih
langsung.
Penulis, yang orang Jawa Timur asli, pernah memiliki
pengalaman borkomunikasi yang unik dengan orang Bali ketika
penulis menempuh studi magister di Universitas Udayana
Denpasar. Pada suatu ketika, penulis berbelanja di sebuah pasar
tradisional di Denpasar untuk membeli telor. Komunikasi itu
berlangsung seperti (1) berikut.
(1) ( +): Berapa, Bu, telornya ini?
( -): Seribu dua, Pak.
( +): Kalau begitu, saya beli dua ribu, Bu.
Dalam komunikasi tersebut, penulis menyodorkan uang dua
ribu rupiah dengan harapan mendapat empat butir telor. Akan
tetapi, betapa terkejutnya penulis karena ternyata penulis hanya
diberi satu butir telor dan uang kembalian delapan ratus rupiah.
Penulis sempat protes karena di awal transaksi dikatakan seribu
dapat dua. Salah paham pun terjadi dan setelah diberi penjelasan
akhirnya penulis menyadari bahwa ternyata yang dimaksud seribu
dua oleh penjual telor bukanlah seribu mendapat dua sebagaimana
kebiasaan komunikasi di Jawa, melainkan seribu dua ratus. Jadi, per
telor harganya seribu dua ratus. Di Jawa pengucapan ”seribu dua
ratus” biasanya tidak disingkat. Penyingkatan seribu dua ratus
menjadi seribu dua akan dimaknai seribu mendapat dua.
Bukti lain bahwa suku-suku bangsa di Indonesia cenderung
memiliki kebiasaan komunikasi yang agak berbeda adalah ketika
penulis pergi bersama dengan seorang kawan dari Manggarai, Nusa
Tenggara Timur, naik motor menuju ke salah satu tempat wisata di
Bali. Ketika itu, kawan dari Manggarai ini membonceng penulis.
Karena yang tahu persis arah jalan yang akan dituju adalah kawan
Manggarai ini, maka dialah yang bertugas menjadi penunjuk jalan.
Setiap kali akan berbelok di simpang tiga atau di simpang empat, dia
harus memberi tahu supaya jangan sampai salah jalan. Yang

~ 63 ~
membingungkan penulis pada saat itu adalah, kawan Manggarai ini
selalu mengatakan ”Naik !” atau ”Turun !” setiap kali mau berbelok.
Penulis tidak mengerti maksudnya dan bingung sampai-
sampai hampir menabrak penjual bakso. Kawan Manggarai ini
mengira bahwa apa yang dikatakannya itu sudah cukup jelas,
padahal penulis tidak paham sama sekali dengan apa yang
dikatakannya, sementara penulis harus mengambil keputusan
dengan cepat karena lalu lintas begitu ramai dan padat. Akhirnya,
kita terpaksa harus berhenti sejenak untuk berunding dan minta
penjelasan apa yang dimaksud ”Naik !” atau ”Nurun !”. Dari
penjelasan itu penulis baru memahami bahwa yang dimaksud naik
atau turun oleh kawan Manggarai ini adalah keadaan geografis jalan
ketika akan berbelok. Apabila di sebuah simpang tiga ada salah satu
jalan yang posisinya lebih menurun daripada jalan yang lain dan
jalan itu yang akan dilalui, maka kawan Manggarai ini mengatakan
”Turun Sebaliknya, apabila jalan yang akan dilalui itu menanjak, dia
akan mengatakan ”Naik!!”. Hal ini sungguh sangat tidak biasa bagi
orang Jawa yang pada umumnya menunjuk arah berbelok dengan
ungkapan kanan atau kiri, atau menggunakan arah mata angin
(timur, selatan, barat, utara) dalam budaya komunikasinya. Jadi,
setiap akan berbelok, orang Jawa akan mengatakan ”Kanan !” atau
”Kiri !”, atau bisa juga :”Ke timur !”, ”Ke barat !”, dsb jika orang
tidak bingung dengan arah mata angin, sementara orang Manggarai
akan mengatakan naik atau turun sesuai dengan keadaan geografis
jalan yang akan dilalui.
Meskipun contoh-contoh yang telah dipaparkan di atas hanya
bersifat subjektif, yakni hanya berdasarkan pengalaman yang
dialami penulis, namun contoh tersebut kiranya dapat memberikan
sedikit gambaran betapa tidak mudahnya merumuskan budaya
komunikasi dalam bahasa Indonesia mengingat kondisi penuturnya
yang begitu majemuk dan beragam.
Di antara masyarakat penutur asli bahasa Indonesia sendiri
dapat terjadi salah paham karena sedikit perbedaan kebiasaan
komunikasi. Akan tetapi, betapapun tidak mudah dirumuskan,
namun menurut hemat penulis, norma budaya komunikasi dalam

~ 64 ~
bahasa Indonesia harus tetap dapat dijelaskan mengingat fungsinya
yang penting sebagai media komunikasi lintas budaya. Oleh karena
itu, uraian berikut akan mencoba memaparkan, menurut pandangan
mata burung, norma budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia.
Mengingat komunikasi dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yakni verbal dan nonverbal dan keduanya memiliki peranan yang
penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi, maka kedua
jenis komunikasi tersebut seharusnya dibahas. Akan tetapi, karena
terbatasnya waktu, pembahasan dalam makalah ini hanya akan
difokuskan pada komunikasi verbal.
1. Norma Budaya Komunikasi dalam Bahasa Indonesia
Menurut pengamatan penulis (yang masih bersifat sementara
dan perlu dites secara lebih cermat), secara umum norma budaya
komunikasi dalam bahasa Indonesia dapat dilihat berdasarkan
beberapa prinsip. Prinsip yang dimaksud adalah (a) prinsip
kesantunan, (b) prinsip penghormatan, (c) prinsip keramah-
tamahan, dan (d) prinsip kerendahan hati. Jadi, sebuah komunikasi
dapat dikatakan berlangsung dengan baik ,sesuai dengan norma
budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia, jika tiap-tiap peserta
komunikasi, setidak-tidaknya, memperhatikan keempat prinsip yang
dimaksud. Bagaimana realisasi prinsip-prinsip komunikasi tersebut
dalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan pada seksi-seksi berikut.
a. Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan ini menyarankan agar setiap peserta
komunikasi tidak melanggar nilai-nilai kesantunan. Dalam
berkomunikasi, prinsip ini direalisasikan dengan rumusan ”Jangan
menanyakan sesuatu yang menjurus pada sesuatu yang sifatnya
pribadi”. Pertanyaan yang menjurus ke arah pribadi dapat
melanggar prinsip kesantunan.
Persoalannya adalah pengertian ”sesuatu yang bersifat
pribadi” ini, menurut budaya yang satu dengan yang lain, tidak
selalu sama. Bagi masyarakat Amerika, Belanda, dan lain-lain,
masalah agama barangkali dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
pribadi sehingga pertanyaan tentang agama dalam berkomunikasi

~ 65 ~
dianggap melanggar kesantunan. Akan tetapi, pada masyarakat
Indonesia agama cenderung tidak dimasukkan sebagai sesuatu yang
bersifat pribadi sehingga pertanyaan tentang agama dianggap
sebagai seuatu yang wajar.
Dialog (2) berikut biasa terjadi dalam bahasa Indonesia dan
tidak ada pelanggaran kesantunan, baik oleh penutur (O1) maupun
kawan tutur (O2). (konteks dialog hari Jumat, O1 duduk-duduk
santai dengan O2, mereka baru kenal dalam Lokakarya BIPA).
(2) O1: Sudah jam dua belas, waktunya shalat Jumat. Di mana,
Pak ya, ada masjid?
O2: Kurang tahu, ya Pak. Saya juga kurang paham daerah
sini.
O1: Mohon maaf, Bapak agamanya apa?
O2: Islam, Pak.
Akan tetapi, bertanya tentang gaji dalam bahasa Indonesia
pada umumnya dianggap kurang santun. Rupanya, masalah gaji ini
pada masyarakat Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
pribadi sehingga orang lain tidak perlu tahu kecuali hubungan
mereka sudah sangat akrab. Jadi, dalam dialog (3) berikut O1
dianggap melanggar nilai kesantunan karena bertanya tentang
sesuatu yang sifatnya pribadi. (konteks dialog dalam bus, perjalanan
dari Surabaya, pukul 14.00 WIB).
(3) O1 : .Turun mana, Bu?
O2 : Turun Jombang, Mas.
O1 : Pulang kerja ya, Bu!
O2 : I ya.
O1 : Kerja di mana, Bu.
O2 : Di rumah sakit.
O1 : Dokter, ya, Bu!
O2 : Bukan, perawat.
O1 : Berapa gaji Ibu sebagai perawat?
O2 : ??????
Berbeda dengan gaji, bertanya tentang harga sesuatu yang
baru dibeli oleh (O2) pada umumnya diperbolehkan menurut norma
budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia. Harga tampaknya

~ 66 ~
tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi sehingga
seandainya ditanyakan hal itu dianggap tidak melanggar norma
kesantunan. Jadi, komunikasi yang berlangsung seperti (4) berikut
dianggap biasa dan wajar dalam bahasa Indonesia (konteks dialog
antardosen di kampus dalam suasana santai).
(4) O1 : Baru beli kacamata, ya Pak?
O2 : Iya
O1 : Beli di mana?
O2 : Di Optik Tragia.
O1 : Berapa?
O2 : Murah. Cuma lima puluh ribu.
O1 : Bagus, ya Pak ?
Bisa jadi O1 dalam konteks dialog (4) di atas sekedar berbasa
basi, tidak ingin tahu betul di mana kacamata itu dibeli dan
harganya berapa. O1 barangkali sekedar ingin menjalin hubungan
sosial dan memberikan perhatian kepada O2 dengan bertanya
tentang sesuatu yang baru dibeli. Sementara itu, O2 sebagai kawan
tutur pun tidak merasa privasinya terganggu dengan pertanyaan
tersebut karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam
pergaulan sehari-hari. Seandainya O1 betul-betul ingin tahu di mana
O2 membeli kacamata dan harganya berapa tampaknya hal itu juga
tidak melanggar norma kesantunan karena bisa saja O1 memang
tertarik pada kacamata tersebut dan ingin membeli juga. Dalam hal
seperti ini O2 biasanya dengan senang hati bersedia membantunya
dengan memberi informasi secukupnya.
Bertanya tentang harga, menurut norma budaya komunikasi
masyarakat tertentu, bisa dianggap melanggar norma kesantunan
karena harga termasuk sesuatu yang sifatnya pribadi. Bertanya
tentang harga dapat dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi.
Dalam bahasa Inggris, misalnya, orang tidak biasa melakukan dialog
sebagaimana (4) di atas.
Dalam bahasa Prancis, Belanda, Jepang, dan lain-lain, orang
juga tidak dapat berdialog seperti (4) di atas. Akan tetapi, begitu
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, penutur-penutur asing
tersebut harus menganggap dialog (4) di atas sebagai sesuatu yang

~ 67 ~
wajar dan harus mampu melakukannya, betapa pun norma budaya
komunikasi mereka tidak mengijinkannya kerena melanggar norma
kesantunan. Untuk pertama kalinya, hal ini barangkali agak sulit
dilakukan oleh penutur asing, tetapi mengingat bahasa harus
digunakan sesuai dengan norma budaya masyarakat penuturnya,
penutur-penutur asing tersebut pelan-pelan harus dapat
menyesuaikan diri.
Hal-hal lain yang menurut norma budaya komunikasi bahasa
asing cenderung tidak diperbolehkan, tetapi dalam bahasa Indonesia
dianggap biasa dan tidak dikategorikan sebagai sesuatu yang
bersifat pribadi adalah soal pekerjaan, status perkawinan, dan umur.
Jadi, norma budaya komunikasi masyarakat Indonesia
memperbolehkan orang bertanya tentang hal-hal tersebut. Dialog (5)
berikut, misalnya, dianggap wajar dalam bahasa Indonesia (konteks
dialog di stasiun kereta api, sedang menunggu datangnya kereta, O1
dan O2 tidak kenal).
(5) O1: Hari Minggu begini rata-rata orang pergi bersama
keluarga ya, Mas!
O2 : Iya, Pak, soalnya hari libur.
O1 : Ini putranya ya Mas?
O2 : Bukan, keponakan.
O1 : O, belum berkeluarga, ya Mas?
O2 : Belum.
Khusus pertanyaan yang menyangkut umur atau usia dan
status perkawinan bila ditujukan kepada perempuan, terutama yang
menginjak dewasa atau sudah waktunya berumah tangga, ada yang
mengatakan tidak sopan. Hal ini barangkali ada benarnya karena di
Indonesia pada umumnya para wanita tidak suka atau merasa tidak
nyaman bila diketahui belum menikah pada usia yang seharusnya
sudah menikah menurut rata-rata perempuan Indonesia. Akan
tetapi, bertanya tentang usia kepada anak-anak dan kepada wanita
yang sudah menikah ada yang menganggap hal yang biasa dan tidak
melanggar kesantunan.
b. Prinsip Penghormatan

~ 68 ~
Prinsip penghormatan ini menyarankan agar O1
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sedemikian rupa
sehingga O2 merasa dihormati. Dalam bahasa Indonesia,
penghormatan itu dapat diwujudkan dengan (a) ketepatan
penggunaan kata ganti orang, (b) penggunaan kata sapaan yang
sesuai, dan (c) ketepatan pilihan kata.
1) Penggunaan Kata Ganti
Sudah umum diketahui, kata ganti orang dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu kata ganti orang pertama (KGO1), kata ganti
orang kedua (KGO2), dan kata ganti orang ketiga (KGO3). Dalam
bahasa Indonesia, aku dan saya dikenal sebagai KGO1, kamu, Anda,
Saudara sebagai KGO2, sedangkan dia, beliau, dan mereka dikenal
sebagai KGO3.
Kata ganti-kata ganti tersebut dalam bahasa Indonesia harus
betul-betul digunakan sesuai dengan norma yang berlaku. Sebab,
penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan O2 merasa tidak
atau kurang dihormati. Pak Guru (O1), misalnya, dalam dialog (6)
berikut merasa tidak dihormati oleh muridnya (O2) karena si murid
menggunakan kata ganti yang tidak tepat ( kamu) untuk Pak Guru.
(6) O1 :Pak Guru, nanti malam ada pertandingan sepak bola
bagus di televisi. Kamu suka nggak nonton sepak
bola?
O2 : ??????
Bagaimana menggunakan kata ganti secara tepat dalam
bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
konteksnya, yakni siapa berbicara kepada siapa, di mana, dalam
situasi seperti apa, bagaimana relasi antara O1 dan O2, dan
sebaginya. KGO1 aku ,misalnya, biasanya digunakan apabila
situasinya informal, relasi antara O1 dan O2 cukup akrab, usia dan
status sosial sederajat atau lebih rendah daripada O1. Sementara
KGO1 saya bisa digunakan secara netral, kepada siapa pun, formal
atau informal, akrab atau tidak akrab.
2) Penggunaan Kata Sapaan

~ 69 ~
Ketepatan penggunaan sapaan dalam bahasa Indonesia juga
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memberikan
penghormatan kepada O2. Kata sapaan dalam bahasa Indonesia
dapat berupa kata-kata yang menunjukkan hubungan kekerabatan
seperti Bapak, Ibu, Mas, mBak, Paman, Om, Tante, dan lain-lain;
dapat juga berupa jabatan tertentu seperti Lurah, Camat, RT, RW,
dan lain-lain atau berupa profesi tertentu seperti Guru dan Dokter.
Menurut norma budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia,
O1 tidak dapat begitu saja memanggil nama O2 sebagaimana norma
budaya komunikasi masyarakat Amereka atau yang lain.
Penyebutan nama saja tanpa memperhatikan situasi dapat
melanggar prinsip penghormatan. Seorang anak, misalnya, yang
memanggil orang tuanya dengan hanya menyebut namanya
dianggap tidak menghormati orang tuanya.
Seorang mahasiswa yang memanggil dosennya dengan
menyebut namanya saja juga dinilai melanggar prinsip
penghormatan. Oleh karena itu, O1 sebelum memanggil O2, harus
betul-betul memperhatikan siapa sesungguhnya O2, bagaimana
status sosialnya, usianya, situasinya, tingkat keakrabannya, dan lain-
lain. Setelah itu, O1 boleh mengambil keputusan apakah cukup
memanggil namanya saja, atau harus menggunakan sapaan di depan
nama O2. atau memanggil dengan kata sapaan saja tanpa diikuti
nama O2. Keputusan yang tidak tepat dapat melanggar prinsip
penghormatan yang pada gilirannya dapat mengganggu kelancaran
komunikasi.
3) Diksi
Diksi atau pilihan kata dalam bahasa Indonesia dapat juga
merefleksikan apakah O1 menaruh rasa hormat atau tidak terhadap
O2. Diksi yang dimaksud adalah diksi yang mengandung nilai rasa
tertentu seperti (a) mati – meninggal- wafat, (b) bini - istri, (c) mayat-
jenazah, (d) tunarungu- tuli, tunanetra- buta, (e) kencing -buang air
kecil, berak-buang air besar, dan lain-lain. Penggunaan kata-kata
yang mengandung nilai rasa positif (seperti wafat, meninggal, buang
air, dan sebagainya) menunjukkan bahwa O1 menaruh rasa hormat
atau santun terhadap O2. Sebaliknya, pemakaian kata-kata yang
~ 70 ~
bernilai rasa negatif dapat menunjukkan kurangnya rasa hormat dan
rasa santun O1 kepada O2.

c. Prinsip Keramah Tamahan


Prinsip keramah-tamahan ini menganjurkan agar orang
menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga bisa memberikan
kesan ramah kepada orang lain. Orang yang tidak ramah dapat
dipahami sebagai orang yang angkuh. Keangkuhan dapat
menimbulkan hambatan komunikasi. Sebaliknya, keramahan dapat
menjalin hubungan sosial dengan baik dan memperlancar
komunikasi. Keramahan ini dalam budaya komunikasi masyarakat
Indonesia harus ditunjukkan, baik oleh O1 maupun O2, terutama
jika mereka sudah saling mengenal.
Secara nonverbal keramahan ini dapat ditunjukkan dengan
memberi sedikit senyuman kepada O2 ketika mereka bertemu di
suatu tempat, kadang-kadang juga sambil bersalaman. Selanjutnya,
O2 harus membalas senyuman pula kepada O1 untuk menunjukkan
keramahannya juga. Peserta tutur yang tidak pernah memberikan
senyuman, apalagi diikuti dengan ekspresi wajah yang angker,
serius, kaku, dingin dengan sorot mata yang tajam, dapat
memberikan kesan yang tidak ramah. Pada budaya lain, senyuman
itu barangkali tidak diperlukan untuk menunjukkan keramahan.
Mereka mungkin punya cara tersendiri untuk menunjukkan
keramahan dalam berkomunikasi.
Keramahan nonverbal tersebut biasanya diiringi dengan
keramahan-keramahan verbal. Keramahan verbal dapat ditunjukkan
dengan memberikan salam kepada O2 pada saat mereka baru
bertemu, misalnya ”Selamat pagi!”, ”Selamat siang!”, dan
sebagainya atau ”Asalamualaikum” bila peserta tutur memiliki latar
belakang agama Islam yang kuat. Keramahan verbal dapat juga
ditunjukkan dengan menyapa O2 dengan sapaan tertentu yang
sesuai, misal ”Pak!”, ”Bu!”, ”Mbak!”, ”Om!”, dan lain-lain.

~ 71 ~
Keramahan verbal dapat ditunjukkan pula dengan memberi
perhatian melalui ungkapan pertanyaan-pertanyaan tertentu,
misalnya ”Mau ke mana?” atau ”Dari mana?”. Dialog (7) berikut
menggambarkan keramahan peserta tutur dengan memberi
perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan khas budaya Indonesia.
(konteks dialog O1 bertemu dengan O2 di suatu tempat tanpa
sengaja, mereka sudah cukup akrab).
(7) O1 : Hai, Wil, dari mana kamu sore-sore begini?
O2 : Dari toko buku. Kamu sendiri dari mana?
O1 : Dari rumah teman. Habis ini kamu mau ke mana?
O2 : Ke Jalan Salak.
O1 : Ngapain?
O2 : Njemput tante.
Pada budaya komunikasi masyarakat tertentu, pertanyaan-
pertanyaan dalam dialog (7) di atas barangkali dianggap
mencampuri urusan pribadi. Tetapi, dalam budaya komunikasi
masyarakat Indonesia, pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru
dianggap merupakan ungkapan keramahan dan perhatian O1
terhadap O2. Oleh karena itu, di sinilah diperlukan pemahaman
tentang pentingnya budaya komunikasi dalam bahasa Indeonesia
agar BIPA dapat berfungsi secara maksimal sebagai sarana
komunikasi lintas budaya.
Ketika akan bersipisah dalam suatu pertemuan seperti
digambarkan dalam dialog (7) di atas, budaya komunikasi dalam
bahasa Indonesia juga memiliki ungkapan-ungkapan yang khas.
Orang Indonesia jarang sekali mengucapkan ”Selamat tinggal!” atau
”Selamat berpisah!” untuk mengakhiri suatu pertemuan. Yang
sering diucapkan adalah ungkapan seperti ”Mari!” atau ”Ayo!”.
Ungkapan ini tidak dimaksudkan untuk mengajak, tetapi sebagai
ungkapan perpisahan. Ungkapan ”Mari!” biasanya digunakan
terutama apabila O2 adalah orang yang dihormati, sedangkan
ungkapan ”Ayo!” digunakan apabila O1 dan O2 memiliki hubungan
yang cukup akrab. Perhatikan dialog (8) berikut yang merupakan
lanjutan dari dialog (7) di atas.

~ 72 ~
(8) O2 : Udah ya, Wil, aku mau njemput Tante dulu. Ayo
Wil!
O1 : Ayo-ayo.
d. Prinsip Kerendahan Hati
Prinsip kerendahan hati mengajarkan agar O1 menggunakan
bahasa sedemikian rupa sehingga memberikan kesan tidak sombong
atau rendah hati. Dalam berkomunikasi, prinsip ini dapat
direalisasikan melalui pujian, yakni maksimalkan pujian kepada O2
dan minimalkan pujian kepada diri sendiri. Dengan demikian, O1
yang suka memuji-muji diri sendiri melanggar prinsip kerendahan
hati. O1 yang demikian ini dapat dinilai sombong dan dapat
mengganggu kelancaran berkomunikasi. Dialog (9) berikut
menggambarkan kesombongan O1 karena memuji diri sendiri.
(Konteks dialog mahasiswa yang baru mengikuti ujian semester)
(9) O1 : Dalam ujian kemarin, aku dapat menyelesaikan
soal hanya dalam waktu tiga puluh menit. Hebat ya
aku!
O2 : ??????
Sementara itu, O2 yang mendapat pujian dari O1 dinilai tidak
rendah hati juga jika O2 menunjukkan sikap dan rasa bangga yang
berlebihan di hadapan O1. Dalam kebiasaan berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia, O2 yang mendapat pujian dari O1 biasanya O2
tidak menjawab dengan ucapan terima kasih sebagaimana kebiasaan
komunikasi dalam bahasa Inggris, tetapi menjawab dengan kata-
kata yang menunjukkan kerendahan hati dengan rumusan yang
bervariasi. Dialog (10) berikut kurang lazim dalam bahasa Indonesia,
sedangkan dialog (11) dan (12) merupakan dialog yang lumrah
dalam bahasa Indonesia.
(10) O1 : Kamu hebat, ya, bisa menyelesaikan soal dengan
cepat!
O2 : * Terima kasih.
(11) O1 : Kamu hebat, ya, bisa menyelesaikan soal dengan
cepat!
O2 : Nggak, biasa-biasa aja.
(12) O1 : Mobilmu baru ya?
~ 73 ~
O2 : Nggak, mobil bekas.
O1 : Masih bagus ya!
O2 : Ya, lumayanlah.
D. Simpulan
BIPA dapat berfungsi dengan baik sebagai media komunikasi
lintas budaya bila setiap penutur bahasa asing, ketika berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia, menggunakan norma-norma budaya
komunikasi masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa norma
budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia harus dapat
dirumuskan dengan mantap. Merumuskan norma budaya
komunikasi dalam bahasa Indonesia tampaknya tidak mudah
mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dan beragam.
Berdasarkan pengamatan dan intuisi penulis sebagai penutur asli
bahasa Indonesia, dapat dikemukakan bahwa secara umum norma
budaya komunikasi dalam bahasa Indonesia dapat dilihat
berdasarkan empat prinsip, yaitu prinsip kesantunan, prinsip
penghormatan, prinsip keramah-tamahan, dan prinsip kerendahan
hati.
Daftar Pustaka
Genzel, Rhona B., dan Martha Graves Cumming. 1995. Culturally
Speaking, Secon Edition. Boston, Massachusetts: Heinle &
Heinle Publishers

Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam


Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di
Jakarta” dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika
Atma Jaya.

__________. 1994. “ Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan


Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam
PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

~ 74 ~
__________. 1996. “The Speech Act of Criticizing among Speakers of
Javanese”. Makalah Dipresentasikan dalam Pertemuan ke-6
South East Asian Linguistics Society. Tidak diterbitkan.

__________. 2000. "Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua


Kelompok Etnis Indonesia: Kearah Kajian Etnopragmatik"
dalam PELLBA 13. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma
Jaya.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinisip-Prinsip Pragmatik. Diterjemahakan


oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antar-Budaya.


Yogyakarta: LKIS

Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

~ 75 ~
SKEMATA PENERIMAAN PENUTUR ASING
TERHADAP BUDAYA INDONESIA

Ekarini Saraswati
Universitas Muhammadiyan Malang

  Kehidupan global memungkinkan terjadinya interaksi


manusia dari berbagai latar budaya yang berbeda. Dalam proses
interaksi tersebut terjadi cara pandang seseorang terhadap budaya
lain berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang selama ini dia
miliki. Cara pandang tersebut dikenal dengan istilah skemata yang
merupakan suprastruktur tindak tutur yang digunakan. Untuk
menafsirkan skemata tersebut dapat dilihat dari informasi budaya,
konteks sosial dan interaksi serta informasi pragmatik.
Indonesia telah kedatangan siswa dari berbagai negara untuk
belajar bahasa Indonesia. Bagaimanakah skemata mereka ketika
memandang kebudayaan Indonesia yang mereka pelajari? Untuk
menjawab permasalahan tersebut digunakan data tuturan yang
mereka kemukakan baik secara lisan maupun tulis.
A.  Konsep Skemata
Skemata termasuk ke dalam pranata pengetahuan berskala
besar yang tersimpan. Konfigurasi pengetahuan itu mempunyai
empat perspektif (de Beaugrande, 1980:163). 1) pengetahuan
dipandang sebagai urutan yang unsur-unsurnya ditata dengan akses
unsur-unsur yang relevan. Perspektif ini disebut frame. 2)
~ 76 ~
Pengetahuan dapat dipandang sebagai progress di mana unsur-
unsurnya terjadi selama aktualisasi. Perspektif ini disebut skemata. 3)
pengetahuan dipandang sebagai yang relevan sebagai rencana
seseorang di mana unsur-unsurnya memajukan perencanaan menuju
tujuan. Perspektif ini disebut plans, dan 4) Pengetahuan dapat
dipandang sebagai sikap yang dinamakan script yang elemen-
elemennya merupakan instruksi-instruksi bagi partisipan tentang
apa yang akan mereka katakan atau lakukan dalam aturan
reseptifnya.
  Keempat perpektif ini meliputi suatu gradasi dari akses
umum menuju operasional dan tatanan langsung. Frame dan skemata
lebih berorientasi pada susunan pengetahuan di dalam sedangkan
plans dan script refleksi kebutuhan manusia untuk melakukan
sesuatu di dalam interaksinya tiap hari. Skema adalah frame yang
diletakkan pada susunan berseri, plan merupakan skema tujuan
langsung dan script penyeimbang sosial plan
Selanjutnya van Dijk mengemukakan bahwa skemata
dikatakan sebagai ‘struktur-struktur pengetahuan tingkat tinggi
yang kompleks (dan bahkan konvensional atau tetap) ( dalam Brown
and Yule,1985:246). yang berfungsi sebagai ‘perancah ideasi’
(ideational scaffolding – Anderson, dalam Brown and Yule, 1985:246)
dalam menyusun dan menafsirkan pengalaman Dalam pandangan
yang tajam, skemata dianggap sebagai deterministis menjadikan
orang yang mengalami cenderung untuk menafsirkan
pengalamannya dengan cara yang tetap.
Tannen dan Anderson (dalam Brown danYule, 1985:247)
memperoleh konsep ‘skema’ mereka dari tulisan-tulisan Barlett
(dalam Taylor1990:23). Barlett yakin bahwa ingatan kita akan
wacana tidak berdasarkan reproduksi murni, tetapi konstruktif.
Proses konstruktif ini menggunakan informasi dari wacana yang
dijumpai bersama-sama dengan pengetahuan dari pengalaman masa
lalu yang berhubungan dengan wacana yang dihadapi untuk
membentuk realisasi mental. Menurut Barlett, pengalaman masa lalu
itu tidak mungkin berupa kumpulan peristiwa dan pengalaman
sendiri berturut-turut, tetapi pasti teratur dan dapat dikuasai – yang

~ 77 ~
telah lalu bekerja sebagai massa yang teratur dan bukan sekelompok
unsur yang masing-masing mempertahankan sifatnya yang khusus.
Yang memberi struktur kepada massa yang teratur itu adalah skema
yang oleh Barlett tidak dikemukakannya sebagai suatu bentuk
penataan, tetapi sebagai sesuatu yang tetap aktif dan berkembang.
Ciri aktif inilah yang digabungkan dengan pengalaman pada sebuah
wacana tertentu, menyebabkan proses-proses konstruktif dalam
ingatan
 Struktur intern suatu skemata terdiri dari variabel-variabel
yang dapat diasosiasikan dengan aspek-aspek yang berlainan dalam
lingkungan pemakaiannya. Pengetahuan seperti nilai khusus
variabel-variabel dan hubungan di antaranya disebut kendala
variabel. (Taylor, 1990:23) Kendala variabel itu mempunyai dua
fungsi yang penting dalam teori skema. Pertama-tama, kendala
variabel dapat digunakan untuk mengenali berbagai aspek situasi
dengan variabel-variabel skema. Kedua, kendala variabel dapat
berfungsi sebagai unsur atau nilai yang diperlukan dalam membuat
terkaan awal bagi variabel-variabel yang nilainya belum kita ketahui.
Adapun struktur pengendalian skemata beranjak dari dua
sumber dasar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan skemata
yang masing-masing diacu sebagai pengaktifan atas ke bawah dan
pengaktifan bawah ke atas. Pengaktifan bawah ke atas bermula dari
rincian menuju ke keseluruhan. Sebaliknya pengaktifan atas ke
bawah bermula dari keseluruhan.
Pemrosesan skema itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Suatu
peristiwa terjadi pada pancaindera. Terjadinya peristiwa itu secara
otomatis akan mengaktifkan skemata bawahan tertentu. Skemata
bawahan itu, pada gilirannya akan mengaktifkan (berdasarkan data)
skemata atasan tertentu, yang merangkum skema tersebut sebagai
bagiannya. Skemata atasan itu kemudian akan mengaktifkan
(berdasarkan konsep) subskemata yang belum diaktifkan untuk
menguji kesesuaian atau kecocokannya. Pada saat tertentu, apabila
salah satu dari skemata atasan telah memperoleh hasil positif, skema
itu akan mengaktifkan skemata yang lebih tinggi lagi, dan bahkan
akan mencari bagian-bagian lain yang lebih besar.
Skema yang lebih tinggi atau lebih abstrak itu akan
mengaktifkan (berdasarkan pengaktifan atas ke bawah) skema
~ 78 ~
bagian yang lain dan pengaktifan itu berjalan melalui skematanya
kembali ke bawah sampai ke skemata tingkat bawahan. Skemata
tingkat bawahan akhirnya akan berhubungan dengan skemata lain
yang telah diproses berdasarkan pengaktifan bawah ke atas atau
akan mulai mencari masukan inderawi "yang diramalkan"
B. Strategi Skemata
Skemata dalam konsep pemikiran van Dijk (1983:237)
dimasukkan ke dalam superstruktur wacana. Menurutnya perangkat
superstruktur biasanya memiliki strategi yang alami. Penggunaan
bahasa normalnya tidak menunggu hingga akhir keseluruhan
episode atau hingga akhir keseluruhan wacana sebelum
mempertimbangkan fungsi-fungsi skemata dari informasi lokal atau
umum. Salah satu kategori sebuah skemata sudah dirancang,
pengetahuan tentang struktur skemata memungkinkan penggunaan
bahasa untuk mengantisipasi informasi dalam teks yang kemudian
akan merupakan fasilitas membaca dan memahami. Pengetahuan itu
sendiri berhubungan dengan kontekstual dan struktur tekstual.
Strategi skemata terdiri dari informasi budaya, konteks sosial dan
interaksi, informasi pragmatik
1. Informasi Budaya
 Puisi, cerita, artikel psikologis, dan wacana ruang pengadilan
merupakan tipe wacana yang memiliki karakteristik secara kultural
bervariasi dalam peristiwa komunikatif. Aspek-aspek budaya dari
wacana ini serta dasar strategi pemahaman yang terkandung di
dalamnya mengungkapkan fakta-fakta tipe konteks, tipe teks dan
skemata yang beragam menurut budaya. Dari studi etnografi
komunikasi dan dari studi eksperimen menjadi jelas dalam skemata
wacana-wacana tersebut memperlihatkan perbedaan budaya satu
dengan budaya lainnya.
2.  Konteks Sosial dan Interaksi
Di luar kerangka budaya, pengguna bahasa berpastisipasi
dalam peristiwa komunikasi lebih atau kurang dalam latar sosial
yang disepakati. Fitur-fitur konteks interaksi secara sistematis
berhubungan dengan struktur skemata wacana, contoh pengguna
bahasa mungkin membuat inferensi tentang kategori-kategori skema

~ 79 ~
aktual. Kendala interaksi yang sukses merupakan cerminan dalam
kategori-kategori yang disepakati selama berlangsungnya
pembicaraan. Jadi, tidak hanya konteks global tetapi juga skemata
wacana bergantung pada properti-properti konteks sosial: pembicara
mungkin akan menyarankan, menyemangati atau juga menyuruh
pendengar.
3.  Informasi Pragmatik
Karena wacana sebagian besar menggunakan performansi
tindak ujar, konteks interaksi memungkinkan inferensi tindak tutur
yang ditampilkan oleh pembicara. Tidak hanya terdapat hubungan
yang sistematis antara tindak ujar global dan isi semantik global
tetapi urutan kategori skemata bergantung pada informasi
pragmatik. Beberapa tipe teks tidak didefinisikan dalam term-term
struktur gaya permukaan atau isi semantik dan skemata tetapi
semua term-term pragmatik. Pada cerita hipotesis strategi secara
sederhana bahwa episode pertama merupakan informasi yang
dimilikinya pada latar. Apabila kalimat pertama cerita
mendeskripsikan waktu, tempat, partisipan, situasi maka
makroposisi pertama merupakan kategori latar. Dalam suatu
percakapan memilki determinasi yang berlaku secara konvensi
seperti menyapa pada permulaan dan harapan pada akhir
pertemuan.
C. Beberapa Skemata
Sebelum menginjak pada skemata yang dikemukakan
penutur asing yang belajar bahasa Indonesia terlebih dulu akan
dikemukakan profil yang berhubungan dengan siswa tersebut.
Darmasiwa yang belajar di Universitas Muhammadiyah Malang
terdiri dari lima orang yang berasal dari Negara Finlandia, Australia,
Jepang dan Madagaskar. Juha Joose Samuli adalah siswa dari
Finlandia yang tengah menempuh perkuliahan di salah satu
Universitas di Helsinski jurusan manajemen dan bekerja di sebuah
counter Lo Real. Siswa yang berasal dari Australia terdiri dari dua
orang, yakni Rachael Louise Ratican dan Katherine Purwanto.
Rachael berasal dari Adelaide berayah Amerika dan beribu
Australia. Katherine berasal dari Perth berayah Indonesia dan beribu
Australia. Razafindrakoto Miora berasal dari Madagaskar yang
~ 80 ~
berayah keturunan Kerajaan Majapahit dan Beribu dari Perancis
bekerja di Kedubes RI di Madagaskar. Terakhir.
1. Asuka Sasaki Berasal dari Jepang yang Bermukim di Hiroshima
Skemata yang dikemukakan mahasiswa meliputi materi yang
disajikan dalam perkuliahan, yakni tentang pengemis, perlakuan
pria pribumi terhadap wanita asing, pencopet, perlakuan
pemerintah, lapindo, TKW, pergaulan intim, pakain dan jam karet.

2.  Pengemis
Konsep tentang pengemis beranjak dari penafsiran puisi
"Kepada Peminta-minta" karya Toto Sudarto Bachtiar. Mereka tidak
begitu kenal dengan pengemis karena di negara mereka kehidupan
sosial relatif setara tidak ada kesenjangan sosial yang begitu jauh.
Orang Finlandia berpendapat bahwa di negaranya tidak terjadi
kesenjangan sosial yang begitu tajam karena adanya perbedaan
pungutan pajak yang beragam berdasarkan tingkat penghasilan
penduduk. Tiap warga dijamin bersekolah gratis hingga sarjana.
Sebagian besar penduduk bekerja mulai usia 15 tahun, untuk laki-
laki biasanya mereka bekerja di gudang sedangkan untuk
perempuan biasanya mereka bekerja di toko sebagai pramuniaga.
Ketika usia delapan belas mereka sudah mandiri, tinggal di
apartemen dan hidup dengan pilihan sendiri. Upah minimum di
Eropa 7 euro per jam. Di Australia tidak ada pengemis karena bagi
warga yang tidak bekerja mendapat tunjangan dari pemerintah. Di
Jepang tidak ada pengemis tetapi banyak yang bunuh diri karena
banyak yang frustasi dengan sistem kerja yang diterapkan yang
dimulai pukul 09.00 pagi hingga pukul 12.00 malam. Di Madagaskar
tidak ada pengemis karena sebagian besar penduduk bekerja tetapi
ada juga yang bekerja tidak sesuai dengan pendidikan yang
ditempuhnya terutama kebanyakan dari mereka berstatus dokter,
tetapi bekerja sebagai supir taksi.
Berdasarkan informasi budaya yang disampaikan dalam
bentuk tuturan secara suprastruktur tergambar bahwa orang
Indonesia pada umumnya kurang biasa bekerja keras, penduduk
kurang diperhatikan pemerintah baik dari segi kesejahteraan
maupun pendidikan.
~ 81 ~
3. Perlakuan Pria Pribumi Terhadap Wanita Asing
Bagi siswa dari Finlandia dan Australia perlakuan penduduk
terhadap mereka agak kasar karena sebagian besar pria yang duduk
di jalanan berani menggoda sekalipun mereka tengah berjalan
dengan pacar mereka. Di negara mereka hal itu tidak akan terjadi
karena biasanya akan terjadi perkelahian antara teman pria dan si
penggoda orang Jepang dan Madagaskar tidak mengalami hal
demikian.
  Orang Australia beranggapan bahwa orang Indonesia
memiliki pandangan negatif terhadap orang bule karena berbagai
tayangan tv yang menayangkan pakaian orang bule yang kurang
sopan yang seolah-olah ada pencitraan bahwa orang bule dekat
dengan pornografi. Orang Jepang menganggap dia tidak mengalami
perlakuan yang tidak baik dari pria pribumi karena dia memiliki
wajah yang mirip dengan orang Indonesia. Orang Madagaskar
beranggapan perlakuan yang tidak baik dari pria pribumi
bergantung pada sikap yang ditunjukan kita.
Berdasarkan informasi budaya dan pragmatik yang
dikemukakan tergambar bahwa skemata perlakuan pria terhadap
wanita terutama yang berkulit putih di Indonesia belum seimbang
sehingga wanita masih dianggap sebagai objek seks.
4.  Pencopet
Pengalaman mereka terhadap pencopet atau penodong di
Indonesia beragam Orang Australia menganggap bahwa pencopet
lebih mendekati orang yang berkulit bule karena disangka mereka
kaya dan tidak dapat berbahasa Indonesia sehingga tidak bisa
melawan Orang Jepang dapat menegur pencopet ketika dia merasa
dompetnya ada yang mengambil dari dalam tas tangan yang dia
bawa. Orang Finlandia dapat menghadapi penodong dengan santai
sewaktu dia berwisata ke Wonosobo.
Dari penuturan dan informasi budaya yang diberikan dapat
digambarkan skemata pencopet Indonesia menurut mereka kurang
canggih. Dapat ditafsirkan para pencopet Indonesia tidak terlalu
pintar sehingga tidak terlalu menakutkan dan dengan sedikit
gertakan pencopet sudah berlalu.
5.  Kinerja Pemerintah
~ 82 ~
Perlakuan pemerintah Indonesia terhadap darmasiswa plus
tidak jelas. Mereka diperlakukan sebagai TKA dengan jam mengajar
yang banyak dan pencairan beasiswa yang tidak lancar. Terhadap
perlakuan yang adil tersebut mereka tidak mengetahui tempat untuk
mengadu. Semua lembaga pendidikan yang dia hubungi baik di
daerah maupun di pusat saling lempar tanggung jawab.
Skemata yang diperoleh menggambarkan bahwa pemerintah
Indonesia kurang profesional di dalam menangani kegiatan
darmasiswa plus.
6.  Lumpur Lapindo
Orang Australia menganggap penanganan lumpur Lapindo
dengan cara pendropan bola besar ke dalam pusat lumpur
merupakan tindakan bodoh karena akan memunculkan semburan
lumpur yang baru. Orang Australia yang lain percaya dengan
ramalan cenayang Mamah Lauren yang mengatakan dengan adanya
kasus lumpur Lapindo akan mengakibatkan Jawa Timur terpisah
dari Pulau Jawa.
  Skemata tentang orang Indonesia yang tidak terlalu pintar
kelihatannya begitu melekat sehingga dia tidak tahu bahwa
penanganan lumpur Lapindo dengan menggunakan bola-bola beton
itu dilakukan para pakar dari salah satu institut terkenal di
Indonesia.. Untuk mengubah skemata tentang orang Indonesia yang
tidak terlalu pintar perlu upaya memperkenalkan beberapa pakar
Indonesia yang telah berhasil dengan berbagai penemuan yang telah
mereka lakukan
7. TKI
Pengiriman serta pelakuan TKI di Indonesia merupakan suatu
masalah besar. Menurut orang Jepang kebiasaan itu tidak terjadi di
negaranya, mereka memiliki kebiasaan mengirim warganya ke luar
negeri dalam rangka tugas belajar. Orang Madagaskar menganggap
pengiriman TKI terjadi karena Indonesia sering dilanda bencana.
Dari pernyataan mereka di atas tergambar skemata tentang
TKI Indonesia memiliki kehidupan yang menyedihkan karena SDM
yang dimiliki Indonesia kurang berkualitas.
8.  Pergaulan Intim

~ 83 ~
 Pembicaraan tentang pergaulan intim beranjak dari artikel
Dr. Boyke yang berjudul "Hubungan Intim Pranikah Wajarkah?"
Pergaulan intim dalam masa pacaran bagi orang Indonesia
merupakan sesuatu yang tabu karena sebagian masyarakat
Indonesia tidak dapat menerimanya. Di dalam artikel itu disebutkan
bahwa kebiasaan hubungan intim sebelum nikah biasanya dilakukan
para pria untuk mengetahui keperkasaannya dan setelah itu mereka
akan meninggalkan pasangannya. Perlakuan yang demikian
mengakibatkan kesengsaraan bagi sebagian besar para wanita. Bagi
orang Finlandia, Australia dan Madagaskar , artikel itu bersifat
kekanak-kanakan.. Orang Jepang tidak secara eksplisit mengatakan
demikian tetapi dia berpendapat bahwa di Jepang subjek yang
melakukan adalah berbeda. Di Jepang yang sering melakukan
hubungan intim sebelum menikah adalah wanita. Secara umum
pendapat mereka mengindikasikan bahwa bagi mereka moral sosial
dalam pergaulan tidak menjadi ukuran tetapi yang menjadi ukuran
adalah tingkat tanggung jawab pribadi.
Skemata yang diperoleh menggambarkan bahwa hubungan
intim sebelum menikah yang di Indonesia dianggap tabu menurut
mereka sebagai suatu sikap yang kekanak-kanakan.
9. Cara Berpakaian
Orang Australia merasa tidak nyaman di Indonesia karena
mereka tidak bebas berpakaian yang biasa mereka pakai di
negaranya. Mereka heran dengan orang Indonesia yang tidak
memberikan reaksi negatif terhadap penduduk dari bangsa lain
yang menggunakan pakaian yang sama dengan mereka. "Kami telah
berusaha menyesuaikan diri dengan orang Indonesia dengan
memakai pakaian yang sopan tetapi orang Indonesia tidak berusaha
menyesuaikan diri dengan kami dengan tetap tidak menghargai
kami."
Skemata tentang pakaian menggambarkan bahwa orang
Indonesia kurang konsisten di dalam memandang cara berpakaian
orang Australia.
10. Jam Karet
Tentang jam karet yang berlaku dalam kehidupan orang
Indonesia merupakan skemata yang umum dan ini juga

~ 84 ~
diinformasikan mereka ketika mereka akan mengikuti lomba pidato
di salah satu perguruan tinggi di Malang. Mereka mengatakan
"Kegiatan dimulai pukul 08.00, tapi paling-paling jam 09.00 baru
dimulai"
Agar gambaran skemata yang telah dikemukakan para
penutur asing si atas menjadi lebih jelas maka dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 2. Skemata Penutur Asing Terhadap Budaya Indonesia
No. Materi Skemata
1. Pengemis Orang Indonesia tidak biasa bekerja keras,
penduduk kurang diperhatikan pemerintah
baik dari segi kesejahteraan maupun
pendidikan
2. Perlakuan Pria Perlakuan pria terhadap wanita terutama
Pribumi yang berkulit putih di Indonesia belum
terhadap seimbang sehingga wanita masih dianggap
Wanita Asing sebagai objek seks
3. Pencopet Para pencopet Indonesia tidak terlalu pintar
sehingga tidak terlalu menakutkan dan
dengan sedikit gertakan pencopet sudah
berlalu
4. Kinerja Pemerintah Indonesia yang kurang
Pemerintah profesional di dalam menangani kegiatan
darmasiswa plus
5. Lumpur Orang Indonesia tidak terlalu pintar.
Lapindo
6. TKI TKI Indonesia yang memiliki kehidupan
yang menyedihkan karena SDM yang
dimiliki Indonesia kurang berkualitas
7. Pergaulan Hubungan intim sebelum menikah yang di
Intim Indonesia dianggap tabu sebagai suatu sikap
yang kekanak-kanakan.
8. Cara Orang Indonesia kurang konsisten di dalam
Berpakaian memandang cara berpakaian mereka
9. Jam Karet Orang Indonesia biasa dengan jam karet.

~ 85 ~
D. Perubahan Skemata
Skemata terhadap kesembilan materi yang dibicarakan di atas
menunjukkan bahwa tidak selamanya skemata tersebut bersifat
tetap. Dari kesembilan skemata tersebut ada yang bersifat tetap dan
ada yang mengalami perubahan, yakni tujuh skemata yang bersifat
tetap dan dua skemata yang mengalami perubahan. Tujuh skemata
yang tidak mengalami perubahan setelah mereka menyelesaikan
perkuliahan, yakni (1) skemata tentang orang Indonesia yang pada
umumnya kurang biasa bekerja keras, penduduk kurang
diperhatikan pemerintah baik dari segi kesejahteraan maupun
pendidikan, (2) skemata perlakuan pria terhadap wanita terutama
yang berkulit putih di Indonesia belum seimbang sehingga wanita
masih dianggap sebagai objek seks, (3) skemata tentang para
pencopet Indonesia tidak terlalu pintar sehingga tidak terlalu
menakutkan dan dengan sedikit gertakan pencopet sudah berlalu,
(4) skemata tentang pemerintah Indonesia yang kurang profesional
di dalam menangani kegiatan darmasiswa plus, (5) skemata tentang
orang Indonesia tidak terlalu pintar, (6) skemata tentang TKI
Indonesia yang memiliki kehidupan yang menyedihkan karena SDM
yang dimiliki Indonesia kurang berkualitas, dan (7) skemata yang
diperoleh menggambarkan bahwa hubungan intim sebelum
menikah yang di Indonesia dianggap tabu sebagai suatu sikap yang
kekanak-kanakan.
Adapun skemata yang mengalami perubahan adalah (1)
skemata tentang cara pandang orang Indonesia terhadap cara
berpakaian dan (2) skemata tentang kebiasaan jam karet. Skemata
cara berpakaian mereka berubah setelah mereka berkunjung ke
negaranya dan menganggap pakaian yang dipakai sebagian
penduduk di negaranya tidak sopan seperti yang ditayangkan di
televisi maupun yang dikenakan saudara mereka. Skemata tentang
kebiasaan jam karet berubah karena praduga mereka tidak terjadi.

~ 86 ~
Lomba pidato yang dikhawatirkan akan dilaksanakan molor
ternyata tepat waktu. Demikian juga dengan ketepatan waktu pada
pelaksanaan proses belajar mengajar yang mereka ikuti.

E. Kesimpulan
  Kesembilan skemata yang digambarkan para penutur asing
terhadap materi yang diberikan di Universitas Muhammadiyah
Malang menunjukkan bahwa penutur asing yang mengalami
perbenturan skemata terutama penutur asing yang berasal dari
Eropa dan Australia. Hal ini dapat dimungkinkan karena keadaan
fisik dan perilaku mereka yang berkebudayaan Barat berbeda
dengan perilaku bangsa Indonesia yang berkebudayaan Timur.
Sebagian besar skemata yang tidak mengalami perubahan
adalah skemata terhadap budaya Indonesia untuk prototipe orang
tetapi untuk cara hidup menunjukkan adanya perubahan skemata.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
 
Brown, Gillian and George Yule. 1985. Discourse Analysis. London:
Cambridge University Press.
 
Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistics. USA: Prentice-Hall
International, Inc
 
Van Dijk, Teun A dan Walter Kintsch. 1983. Strategies of Discourse
Comprehension. Orlando San Diego: Academic Press.

~ 87 ~
PENGAJARAN BIPA SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
LINTAS BUDAYA

Endang Poerwanti

Abstrak

Fenomena menonjol dalam era globalisasi adalah gelombang


informasi yang hampir tanpa batas, yang sering menimbulkan
kecemasan akan terhapusnya identitas dan jati diri pribadi maupun
kelompok ; budaya global akan menelan budaya lokal dan etnis.
Demikian juga kekhawatiran terkikisnya khasanah budaya
Nusantara. Berfikir lokal dan bertindak global akan menjadi sikap
arif dalam memahami dan mengantisipasi permasalahan ini.
Transformasi budaya dalam konteks sosialisasi dan pewarisannya
tidak cukup dilakukan dalam pembinaan formal tetapi lebih
ditentukan “mekanisme pasar”. Dalam hal ini funsi bahasa secara
sosial dan kultural, mempunyai posisi yang sangat penting, dan
menentukan apakah budaya suatu bangsa akan musnah, atau dapat
berjaya di tengah masyarakat dunia. Bahasa adalah media
komunikasi yang sangat efektif, bukan saja sebagai upaya
komunikasi dan sosialisasi budaya, tapi sekaligus sebagai sensor
secara substantif dan distributif. Terkait dengan itu, bagaimana
kemasan pengajaran BIPA dapat menjadikan identitas budaya
nusantara bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan
egoisme kelompok, tetapi dapat menampilkan infomasi apresiatif
terhadap budaya nusantara. Transformasi budaya harus dipandu
secara pelan, bukan revolusi yang dipaksakan. Untuk itu sangatlah
bijak bila pengajaran BIPA tetap tidak kehilangan fungsi dalam
pemerolehan bahasa dengan berbagai latihan yang mungkin

~ 88 ~
mekanistis, dengan mempelajari tatabahasa dsb, tetapi kemasan
materinya berupa pengenalan budaya nusantara, tidak hanya
budaya phisik yang teramati seperi tarian dan adat, tetapi juga
kekayaan sosial,etika, dan moral. Makalah ini secara khusus akan
mencermati fungsi bahasa dalam demensi individual dan fungsi
secara sosial kultural, langkah antisipatif fungsi bahasa Indonesia
dalam budaya global, serta bagaimana mengemas pengajaran BIPA
agar dapat berfungsi sebagai media komunikasi lintas budaya

A. Bahasa dan Kebudayaan


Bahasa adalah suatu bentuk ungkapan yang bentuk dasarnya
ujaran, yang bermakna, bahasa juga dapat pula dikatakan sebagai
alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi-
suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa juga bersifat
manusiawi karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia yang
memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya, dan yang terpenting
adalah, bahasa bersifat komunikatif karena fungsi utama bahasa
adalah sebagai alat berkomunikasi atau alat perhubungan antara
anggota-anggota masyarakat, bahkan manusia yang tidak
berbicarapun, pada hakikatnya masih memakai bahasa., karena
bahasa ialah alat yang dipakai untuk memenuhi pikiran dan
perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan, sekaligus sebagai
alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bahasa adalah produk sosial sekaligus produk budaya,
karenanya bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan
dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk
teknologi yang berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat
pemakai bahasa itu. Menurut Santoso (2004) bahasa sebagai alat
komunikasi dilihat dari dasar dan motif pertumbuhannya memiliki
empat fungsi yaitu (1) Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan
informasi timbal-balik antar anggota keluarga ataupun anggota-
anggota masyarakat. (2) Fungsi ekspresi diri, Dalam fungsi ini
bahasa merupakan alat untuk mengkespresikan segala sesuatu yang
tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya, yaitu untuk
menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan

~ 89 ~
perasaan pembaca. Bahasa sebagai alat mengekspresikan diri ini
dapat menjadi media untuk menyatakan eksistensi (keberadaan) diri,
membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik perhatian
orang.(3) Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, ketika seseorang berada
di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan
aturan-aturan dari lingkungannya, sehingga bermanfaat dalam
menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat,
melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit
belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika
masyarakatnya. (4) Alat untuk mengadakan kontrol sosial, yaitu
untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini
berlaku dengan baik, maka semua kegiatan sosial akan berlangsung
pula secara baik, termasuk untuk mengembangkan kepribadian
dan nilai-nilai sosial yang lebih berkualitas.
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai
empat kedudukan, yaitu sebagai (1) bahasa persatuan, (2) bahasa
nasional, (3) bahasa negara, dan (4) bahasa resmi, sekaligus sebagai
(5). bahasa budaya dan (6) bahasa ilmu. Penggunaan bahasa
Indonesia dapat memupuk rasa kesatuan dan persatuan bangsa
berbagai etnis, karena dalam kenyataan kehadiran bahasaIndonesia
di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan
sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sejak Indonesia
menyatakan kemerdekaannya, bahasa Indonesia telah menjadi
bahasa nasional, yang merupakan lambang kebanggaan nasional
atau lambang kebangsaan. Dengan berlakunya UUD 1945, Pasal 36
maka bahasa Indonesia telah menjadi bahasa negara dan bahasa
resmi. Bahasa Indonesia juga dipergunakan sebagai alat untuk
menyatakan semua nilai sosial budaya nasional, sehingga bahasa
Indonesia telah berkedudukan sebagai bahasa budaya, dan yang tak
kalah pentingnya bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa
pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk
kepentingan pembangunan nasional. Dalam upaya penyebarluasan
iptek dan pemanfaatannya, perancanaan dan pelaksanaan
pembangunan juga menggunakan bahasa Indonesia, termasuk

~ 90 ~
penggunaannya sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan.
Sedang terkait dengan proses pembelajaran formal
keterampilan berbahasa menurut Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(Depdiknas, 2006) memiliki empat aspek atau ruang lingkup yaitu
keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Keterampilan mendengarkan di sekolah dasar meliputi kemampuan
memahami bunyi bahasa, perintah, dongeng, drama, petunjuk,
denah, pengumuman, berita, dan konsep materi pelajaran.
Keterampilan berbicara meliputi kemampuan mengungkapkan
pikiran, perasaan dan informasi secara lisan mengenai perkenalan,
tegur sapa, pengenalan benda, fungsi anggota tubuh, kegiatan
bertanya, percakapan, bercerita, deklamasi, memberi
tanggapanpendapat/saran, diskusi, dan lain-lain. Keterampilan
membaca meliputi keterampilan memahami teks bacaan melalui
membaca nyaring, membaca lancar, membaca puisi, membaca dalam
hati, membaca intensif dan sekilas. Keterampilan menulis meliputi
kemampuan menulis permulaan, dikte, mendeskripsikan benda,
mengarang, menulis surat, undangan, ringkasan paragraf, dan lain-
lain.
B. Budaya Lokal Nasional dan Budaya Global
Dalam dimensi yang paling populer budaya dan kebudayaan
diinterpretasi sebagai fenomena material, sehingga menurut faham
ini pemahaman dan pemaknaannya terarah pada keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dapat dijadikan milik pribadi manusia
dengan belajar (Kuntjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan
pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota
masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat ujudnya
dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol
bagi tingkah laku manusia, kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Permasalahan silang budaya terkait dengan
paham kultural materialisme tersebut yang cenderung mencermati
~ 91 ~
permasalahan budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok
sosial tertentu. Pola temperamen yang relatif seragam pada suatu
masyarakat banyak ditentukan oleh faktor keturunan, ketubuhan
dan hubungan sosial yang terjadi diantara mereka, sehingga dalam
kehidupan suatu kebudayaan ada kecenderungan untuk
mengulang-ulang bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku
tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar, sehingga
muncul struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang
merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu.
Anak dalam perkembangannya akan selalu dalam
lingkungan budaya tertentu, secara perlahan tapi pasti anak akan
memperlajari mengakui dan mengapresiasi budaya lokalnya sendiri..
Budaya tidak terletak pada etnis atau ras itu sendiri, namun lebih
ditujukan pada nilai, perilaku dan produk yang khas yang melekat
pada orang yang dan menjadi identitas etnis atau ras itu. Karena
anak hidup dengan nilai-nilai budaya lokalnya. Ada kebiasaan yang
selalu menjadi kriteria dan patokan dalam bertindak. Disadari atau
tidak, dia akan bersikap, berperilaku serta mengumpulkan berbagai
produk yang selaras dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya dalam
merespon lingkungan fisik, lingkungan sosial sosial maupun
lingkungan metafisiknya. Sehingga nilai budaya yang berkembang
dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan
tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri, karena suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways) dan tata
kelakuan (mores) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan
suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya
yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam
khasanah budaya Nasional. Kebijakan sentralistis, pola-pola
penyeragaman dan pengawalan ketat terhadap isu perbedaan telah
menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan,
membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari
perbedaan secara terbuka, rasional dan damai, yang dapay
mengembangkan aktualisasi identitas budaya lokal, memaknai

~ 92 ~
secara positif dan saling menghormati, berubah menjadi kebanggan
dan sifat egoisme kelompok, yang terekspresi secara berlebihan
sebagai bentuk-bentuk penolakan. Akan lebih tragis bila
pengembangan budaya nasional diwarnai kepentingan politik.
Permasalahan silang budaya dapat terjembatani dengan
membangun kehidupan multi kutural yang sehat, hal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar
budaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan ciri khas budaya
tertentu. Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri
keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi
menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap
sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru
pada taraf pembentukan. Dengan berpijak pada pemahaman
tersebut, nampak bahwa kebijaka-kebijakan yang sentralistik dan
cenderung membuat keseragaman-keseragaman menjadi tidak
relevan.
Berikutnya berkembangnya era globalisasi perlu pula
diperhitungkan. Fenomena menonjol dalam era ini adalah
gelombang informasi yang hampir tanpa batas, yang sering
menimbulkan kecemasan akan terhapusnya identitas dan jati diri
pribadi maupun kelompok ; budaya global akan menelan budaya
lokal dan etnis. Demikian juga kekhawatiran terkikisnya khasanah
budaya Nusantara. Globalisasi memunculkan harapan saling
kesepahaman antarbudaya, tetapi juga kekhawatiran terhadap
benturan antarbudaya, serta kecenderungan untuk mengadopsi
budaya global yang negatif dengan cepat, namun mengalami
keterlambatan dalam mengadopsi budaya yang positif dan
produktif. Budaya global leluasa memasuki kehidupan yang paling
pribadi dari warga masyarakat, menguasainya, membangun dan
membentuk mindset dengan kriteria utama persaingan menuju
"kemajuan" dan "kesuksesan". Seharusnya berfikir lokal dan
bertindak global akan menjadi sikap arif dalam memahami dan
mengantisipasi permasalahan ini.
C. Pendidikan Multi Kultural dan Komunikasi Lintas Budaya

~ 93 ~
Dalam pembahasan multikultural atau studi silang budaya,
perlu pemahaman bersama tentang konsep ethic dan Emic, yang
awalnya dikembangkan oleh Pike (1954) untuk menjelaskan dua
sudut pandang dalam mempelajari perilaku multikultural. Ethic
sebagai demensi yang awal berkembang dalam mempelajari budaya
dari luar sistem budaya itu, dan emic merupakan studi perilaku dari
dalam sistem budaya tersebut. Sehingga Ethic adalah aspek kehidupan
yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah aspek
kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya
tertentu, yang kemudian diperjelas oleh Matsumoto (1996) bahwa
Ethic menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan
emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep budaya. Jika hal ini
dikaitkan dengan budaya suatu bangsa, yang memiliki banyak segi,
nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya
(cultural pluralism). Yang secara operasional dapat didifinisikan
sebagai "menghargai berbagai tingkat perbedaaan dalam batas-batas
persatuan nasional”
Pemahaman multikultural akan membantu manusia dari
berbagai kelompok budaya yang berbeda saling mengenal,
memaknai dan menghormati budaya masing-masing dalam
kebersamaan, sehingga pendidikan Multikultural merupakan
pendidikan untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat
yang majemuk. Lebih dari itu, pengetahuan tentang pluralisme
budaya merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati,
mengapresiasi, menilai dan memperingati keragaman, baik lokal,
nasional dan internasional. Fondasi psikhologis Pendidikan
Multikultural ditekankan pada pengembangan pemahaman diri
yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggan pada
identitas pribadinya, tanpa meremehkan budaya dan harga diri etnis
lain
Selanjutnya James Banks dalam Muhaemin (2004)
menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi
yang saling berkaitan: (1) Content integration ; yang berupaya
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam

~ 94 ~
mata pelajaran/disiplin ilmu (2) The Knowledge Construction
Process ; Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke
dalam sebuah mata pelajaran (disiplin) (3) An Equity Paedagogy ;
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam
rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik
dari segi ras, budaya ataupun sosial. (4) Prejudice Reduction ;
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka dan (5) Melatih kelompok untuk berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan
siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya
akademik. Multikultural berkontribusi nyata terhadap warga
negara yang demokratis di dalam global village, karena fungsi
multikulturalisme adalah pendekatan aksi/tindakan sosial dari
Pendidikan Multikultural, yang mengajarkan bagaimana menjadi
kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political activists), agen
perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam
masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara
kultural. Yang semuanya terkait erat dengan keselarasan komunikasi
lintas budaya, baik secara nasional maupun global.
D. Bahasa Indonesia Dalam Budaya Global
Proses globalisasi yang berimbas pula pada kebudayaan
mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan
"pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan
hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga harus mampu
menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal, selama
bahasa dapat memenuhi tuntutan untuk mengakomodasikan
perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Mekanisme pembinaan
dan pengembangan tidaklah cukup ditentukan oleh gencarnya
suatu lembaga mengembangkan program, tetapi akan lebih banyak
ditentukan oleh mekanisme "pasar" yaitu bagaimana bahasa dapat
diterima dan dikembangkan oleh penuturnya, yang akan menentuka
apakah bahasa mampu survival dan mengglobal atau sebaliknya
justru akan punah ditinggalkan penuturnya. Dipahami bersama
bahwa pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia secara

~ 95 ~
formal terus menerus dilakukan lewat pembalajaran formal mulai
dari TK sampai PT, namun tetap saja yang menjadi tandasan
kegiatannya adalah upaya peningkatan kemampuan berbahasa,
bukan bagaimana meningkatkan kecintaan dan rasa memiliki dan
mempertahankannya. Sangatlah bijaksana bila pembelajaran bahasa,
bermuatan nilai-nilai budaya nusantara, sehingga pengembangan
bahasa sekaligus pengenalan dan pelestarian nilai-nilai luhur yang
hampir punah terseret arus yang disebut globalisasi
Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa
Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan
"Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa
bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai
bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam
berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam
berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai
bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang
berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era
globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin
dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara
berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini
terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah
bersaing dengan bangsa lain. Apakah bahasa indonesia akan
berkembang dan mampu menembus pangsa global, sejumlah
pertanyaan perlu mendapat jawaban positif (Masnur Muslich, 2006)
(1) Apakah setiap bangsa Indonesia sudah bangga berbahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional (2) Apakah setiap bangsa
Indonesia sudah mencintai dan menghormati bahasa Indonesia (3)
Adakah rasa kebanggan itu timbul dari hati nurani setiap orang
yang mengaku berbangsa indonesia (4) Apabila setiap bangsa
Indonesia sudah mencintai, menghormati, dan bangga berbahasa
Indonesia, apakah mereka sudah membina bahasa Indonesia dengan
baik (5) Adakah pemakai bahasa Indonesia itu sudah memathui
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar (6) Apakah setiap orang
yang mengaku berbangsa Indonesia itu sudah mempergunakan

~ 96 ~
bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan mungkin masih
banyak lagi pertanyaan dan persyaratan yang harus dipenuhinya.
Upaya pembinaan Bahasa Indonesia lebih ditekankan pada
perencanaan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, yang meliputi
upaya (1) peningkatan mutu bahasa, (2) pemantapan sistem bahasa,
(3) peningkatan mutu penggunaan bahasa, (4) peningkatan
kepedulian masyarakat terhadap bahasa, (5) pengadaan sarana
kebahasaan, dan (6) peningkatan mutu tenaga kebahasaan, serta (7)
kelembagaan.
E. Mengemas Materi Pembelajaran BIPA
Pada dasarnya bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat
satu dengan yang lainnya berbeda. Adanya kelompok-kelompok
sosial, menyebabkan bervariasi pula bahasa yang dipergunakan.
Kebervariasan bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan
penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan
situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul
bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan
oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam. Diatas
dikemukakan adanya enam pertanyaan yang cukup menggelitik,
apakah itu telah dijawab secara positif, sebelum ditularkan pada
penutur asnng, barangkali jawabannya adalah belum karena masih
banyaknya bahasa gaul nahasa prokem dan bahasa-bahasa
kembangan yang kadang mengesampingkan estetika dan melukai
nilai rasa bagi pendengar di luar kelompoknya.
BIPA adalah salah satu upaya agar bahasa indonesia survival
di kancah global, seperi dikemukakan oleh I Gede Artika (2001)
bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, kehadiran BI
dapat diterima oleh seluruh warga suku bangsa dengan tangan
terbuka. Mudahnya mempelajari bahasa Indonesia juga menjadi
peluang dan nilai yang amat strategis dalam upaya memposisikan BI
sebagai salah satu bahasa di dunia yang sanggup menjadi “jembatan”
untuk membangun persahabatan dengan bangsa-bangsa lain.
Masalah pengajaran BI bagi penutur asing harus mulai menjadi
perhatian serius dengan semakin meningkatnya jumlah penutur BI

~ 97 ~
bagi orang asing. Hal ini tidak hanya memberikan dampak positif
pada bidang bahasa tetapi juga bidang-bidang lainnya. Khususnya
sebagai media komunikasi lintas budaya. Konsep komunikasi lintas
budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran
BIPA secara lebih tegas harus diarahkan menuju wacana baru
dalam pengajaran Bahasa Indonesia untuk penutur asing dengan
menekankan pada pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan
kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai
bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
nformatif. Untuk itu sangatlah bijak bila pengajaran BIPA tetap
tidak kehilangan fungsi dalam pemerolehan bahasa dengan
berbagai latihan yang mungkin mekanistis, dengan mempelajari
tatabahasa dsb, tetapi kemasan materinya berupa pengenalan
budaya nusantara, tidak hanya budaya phisik yang teramati seperi
tarian dan adat, tetapi juga kekayaan sosial,etika, dan moral.
Akanlah sangat menguntungkan bila pembelajaran BIPA
terselenggara di Indonesia, karena pembelajaran akan berada dalam
konteks bahasa Indonesia, buka pengenalan lewat film atau sinetron
yang mungkin akan mengaburkan kesan keindahan dan keluhuran
budaya kita. Sebagai orang awam dalam pengajaran Bahasa, penulis
mengharapkan bagaimana para perencana pembelajaran BIPA dapat
mengemas substansinya dengan pengenalan dan pemaknaan
kearifan budaya Nusantara, mulai dari yang bersifat phisik yang
berupa empiri sensual tentang jenis makanan, tarian, dan keunikan
perilaku budaya seperti pasar klewer, reog dan pengobatan
tradisional dipedesaan maupun peninggalan karya budaya yang
berupa karaton, candi dan sebagainya. Tak kalah pentingnya adalah
pengenalan tentang budaya spiritual yang ada pada tataran empiri
ethic sampai pada empiri transendental seperti ; modal sosial yang
kita miliki, makna tembang, nilai-nilai sastra kuno, adat, pola asuh
dan sebagainya.
Bahan Bacaan
Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta

~ 98 ~
Gumperz, John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and
Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.

Muhaemin El-Ma'hady, Multikulturalisme dan Pendidikan


Multikultural: 27 Mei 2004

Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Pembinaan


dan Pengembangannya. Banung: Jemmars.
Newmeyer, Frederick, J. 1988. Language: The Sociocultural Context.
Cambridge: Cambridge University Press.

Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Masnur Muslich, Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi,


pendidikan.net, 11 Oktober 2006

Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra


Wacana, Surabaya

~ 99 ~
BIPA SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

Fatimah Djajasudarma
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebahasaan dan Kesenian
Universitas Padjadjaran

Abstrak

Bahasa Indonesia diajarkan di sejumlah negara, baik di negara


berkembang maupun di negara maju. Bahasa Indonesia dalam
menjaga keseimbangan lingkungan budaya dunia, dipelajari melalui
budaya setempat. Campur tangan budaya asing tidak dianggap
sebagai sesuatu yang merugikan, malahan dianggap sebagai sesuatu
yang memperkaya baik bahasa maupun budaya itu Indonesia.
Budaya yang beragam (budaya Nusantara – Indonesia) merangsang
para penutur asing untuk mempelajari dan meneliti budayanya.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia untuk penutur
asing (BIPA) menjadi wadah yang menjanjikan terpeliharanya
bahasa dan sekaligus budaya Indonesia.
Bahasa berinteraksi erat dengan budaya. Bahasa merupakan
suatu ekspresi, suatu pernyataan budaya. Bahasa bersifat dualisme
dihubungkan dengan budaya, yakni sebagai unsur dasar budaya
dan sebagai bagian budaya yang dapat diteliti – observable. Bahasa
hanya dapat memperkaya diri dalam budaya, dan sambil
memperkaya diri bahasa pun memperkaya budaya. Proses dialektika
budaya dikomunikasikan melelui bahasa, dan bahasa pun

~ 100 ~
merupakan dialektika budaya. Naluri manusia yang paling dasar
adalah untuk mempertahankan hidupnya. Kualitas yang khas cara
suatu bangsa mempetahankan hidupnya melalui jati diri yang
dimilikinya (bahasa sebagai identitas bangsa).
BIPA sebagai media komunikasi budaya dipelajari baik oleh
pemiliknya maupun oleh penutur asing. Penutur asing yang
mempelajari bahasa Indonesia di UPT Kebahasaaan dan Kesenian
Universitas Padjadjaran sangatlah beragam. Mereka datang dari
berbagai negara baik Asia, Afrika maupun Eropa dan Amerika.
Mereka mempelajari bahasa Indonesia sebagai media komunikasi
budaya, a.l. kesenian, sistem sosial, politik, ekonomi, dan unsur
budaya lainnya yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Universitas Padjadjaran mengatur langkah-langkah untuk
pembinaan BIPA melalui program-program pengajaran bahasa
Indonesia dengan derajat dari kelas 1 sampai dengan kelas IV. Di
samping itu setiap semeter ada kuliah lapangan, yang menyangkut
aset budaya Indonesia.
UPT Kebahasaan dan Kesenia menyediakan program budaya
a.l. melalui seni karawitan (musik tradisional, tari, dan art media),
oleh karena itu peserta BIPA dapat mengikuti program budaya
(kesenian) . Hal tersebut dilakukan demi kepentingan pencagaran
(konservasi) budaya Nusantara yang sangat diminati para peserta
asing. Penyesuaian pengembangan kebahasaan dan kesenian tidak
menutup para peserta untuk mengembangkan budayanya secara
komparatif. Peserta asing yang belajar bahasa Indonesia di UPT
Kebahasaan dan Kesenian tahun 2007 ini ada sebanyak 32 orang
dari berbagai negara, termasuk dari Mexico. Bagaimana program
BIPA disusun secara rinci dapat diungkapkan di dalam makalah.
A. Pembuka
Paradigma baru dalam pemikiran mutakhir akan membawa
masyarakat kepada pemahaman dunia pluralitas dengan
multikultural. Dimensi baru seperti ruang dan waktu yang
memunculkan masalah-masalah baru, dan semua ilmu pengetahuan,
serta pengalaman bersifat relatif. Kecenderungan pemikiran tersebut
telah melahirkan perkembangan baru dalam berbagai ilmu
~ 101 ~
pengetahuan, atau budaya pada umumnya. Bagimana dengan
bahasa sebagai unsur dasar budaya dan sebagai bagian dari budaya?
Bahasa merupakan unsur dasar budaya bergerak pelahan memenuhi
kebutuhan budaya pada zamannya, dengan berbagai aspeknya,
mulai dari istilah budaya dan unsur-unsur budaya itu sendiri.
Unit p atau institusi pembina dan pengembang bahasa
Indonesia untuk penutur asing (BIPA) menjadi wadah yang
menjanjikan terpeliharanya bahasa baik bahasa sebagai unsur dasar
budaya maupun bahasa sebagai bagian dari budaya. Sebagai unsur
dasar budaya bahasa digunakan sebagai media budaya, dan sebagai
bagian dari budaya bahasa dapat diteliti karena “observable”.
Bahasa hanya dapat memperkaya diri dalam budaya, dan sambil
memperkaya diri bahasa pun memperkaya budaya. Proses dialektika
budaya dikomunikasikan melalui bahasa. ialektika bahasa
merupakan dialektika budaya. Naluri manusia yang paling dasar
adalah untuk mempertahankan hidupnya. Kualitas yang khas cara
bangsa mempertahankan hidupnya melalui jati diri yang dimilikinya
(bahasa sebagai identitas bangsa yang diamati melalui budayanya).
Bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) sebagai media
komunikasi budaya dipelajari baik oleh pemiliknya maupun oleh
penutur asing. Penutur asing yang mempelajari bahasa Indonesia di
UPT Kebahasaan dan Kesenian Universitas Padjadjaran sangatlah
beragam, datang dari berbagai negara. Penutur asing mempelajari
bahasa Indonesia sebagai media komunikasi lintas budaya.
Dikatakan lintas budaya karena masing-masing penutur dapat
mengungkapkan budayanya, serta mereka semua mempelajari pula
budaya melalui kearifan lokal a.l. kesenian, atau budaya membatik
(sebagi unsur budaya Nusantara – kesenian daerah setempat,
demikian pula di UPT Kebahasaan dan Kesenian Universitas
Padjadjaran di samping mempelajari bahasa Indonesia, mereka
mempelajari kesenian Sunda (tari/musik/art media), dan membatik.
UPT Kebahasaan dan Kesenian menyediakan program
budaya a.l. melalui seni karawitan (musik tradisional/modern), tari
klasik dan modern, dan art media. Oleh karena itu para peserta BIPA
dapat mengikuti program budaya (kesenian), setelah mengikuti

~ 102 ~
jadwal BIPA. Hal tersebut dilakukan demi kepentingan pengenalan
budaya agar dalam belajar terjadi pemahaman bahasa melalui
budaya lokal dan akhirnya nasional - budaya Nusantara.
Penyesuaian pengembangan kebahasaan dan kesenian tidak
menutup kemungkinan para peserta BIPA untuk mengembangkan
budayanya secara komparatif, misalnya dalam keakraban masing-
masing menampilkan makanan khas negaranya. Peseta asing yang
mngikuti BIPA di UPT Kebahasaan dan Kesenian untuk tahun 2007,
pada semester Ganjil sebanyak 32 orang dari berbagai negara a.l.
Mexico, Amerika, Eropa (Jerman, Belanda, Polandia), Asia (Jepang,
Korea, dan Cina).
B.  BIPA Sebagai Media Komunikasi Lintas Budaya
Munculnya budaya global atau multikultural yang merambah
dunia mengakibatkan masing-masing pemilik budaya di dunia
mencagarnya, karena budaya adalah identitas bangsa masing-
masing dalam kepluralitasan budaya dunia. Budaya dapat dipahami
dari segi “keseluruan kelakuan dan hasil dari kelakuan manusia
yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan
cara belajar, dankesemuanya tersusun dalam kehidupan
bermasyarakat” (Koentjaraningrat, ed. 1985: 77). Pemahaman
tersebut mengacu kepada kebudayaan sebagai tingkah laku yang
dipelajari atau hasil belajar dari masyarakatnya (sebagai anggota
masyarakat budaya, masyarakat terlibat sebagai pembelajar,
penikmat, dan penerus budaya tersebut). Apapun yang dilakukan
seseorang pada saat ini adalah hasil belajar dari budaya masa
lampau (Djajasudarma, 1994).
Masyarakat Indonesia (budaya Nusantara) memiliki tingkah
laku budaya Nusantara yang terpolakan. Salah satu Contoh budaya
Nusantara adalah budaya Sunda yang ada di Jawa Barat dan Banten.
Dikaji dari budayanya adalah masyarakat yang memiliki berbagai
macam budaya. pengenalan budaya berbagai macam tersebut dapat
diamati a.l. dari kesenian, sehingga ada program kuliah lapangan
yang harus diikuti oleh para peserta BIPA, dan ada laporan yang
ditulis mereka dalam bahasa Indonesia. Budaya nonmateri yang
dapat dibandingkan antara budaya peserta BIPA, melalui cara
~ 103 ~
pandang terhadap alam, yang sangat berbeda antara masyarakat
Indonesia dengan masyarakat asing (Eropa , a.l. Inggris) dikaji
melalui nyanyian naka-anak, seperti dala memandang kekayaan
alam. Ambilah nyanyian yang sederhana seperti, “Bintang Kecil di
langit yang tinggi ... (dan seterusnya.), pernyataan dengan
memandang alam apa adanya (eksistensinya), tetapi bagi anak barat
(Inggris) akan dikatakan “Twinkle twinkle little stars ...” dan
seterusnya. menyatakan pandangan alam dapat memberikan apa
kepada manusia. (Djajasudarma, 2001). Demikian pula dalam
mengusir hujan, masyarakat budaya Sunda melalui media “Tramg-
trang kolentrarng Si Londok paeh nundutan, tikusruk kana
durukan ...”, dan seterusnya. melalui media bunyi, sedangkan dalam
budaya Inggris disebutkan “Rain-rain go away , all the children want
to play ...” dan seterusnya.
Di dalam konsep soaial budaya dapat dipahami pula segi
sistem sosial dan sistem budaya. Sistem sosial yang menyangkut
pranata yang berlaku bagi masyarakat Sunda itu sendiri dan dalam
pergaulan global, hal tersebut harus dipertimbangkan sebagai hal
yang bersifat “mutual intelligibillity”, sehingga terdapa “value”
(nilai) bagi masing-masing budaya. Sistem budaya menyangkut
aspekaspek budaya secara universal, yakni (1) bahasa, (2) sistem
teknologi, (3) sistem mata pencaharian, (4) organisasi sosial, (5)
sistem pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian (Malinowski -
Koentjaraningrat, 1985). Para peserta BIPA yang sudah lulus dari
tingkat IV dapat melanjutkan mempelajari budaya tersebut melalui
bidang ilmu yang dikelola oleh Universitas Padjadjaran. BIPA
disusun melalui tahapan kelas dari kelas I sampai dengan Kelas IV.
Untuk memahami budaya (kesenian) dapat dilakukan dengan
mengikuti kursus kesenian Sunda di UPT Kebahasaan dan Kesenian.
Program BIPA disusun berdasarkan tingkat I (elementary),
tingkat II (intermediate), tingkat III (advance), dan tingkat IV
(advance II). Setiap progran disusun berdasarkan: (1) tujuan, (2)
materi pembelajaran terdiri atas: a. materi utama, dan (b) materi
pndukung, (3) batasan materi pembelajaran, (4) target penguasaan
materi, (5) jumlah pertemuan, (6) metode pembelajaran, (7) evaluasi,

~ 104 ~
(8) materi dan jadwal, (9) sasran sesuai target, (10) waktu program.
Program. Jumlah pertemuan lima kali per minggu. Jumlah jam tatap
muka 3 jam / hari. Setiap mahasiswa sebelum mulai kuliah dites
dengan placement test untuk menentukan tingkat kelas. Di samping
itu selain kuliah di kelas/ di lab bahasa mahasiswa kuliah di
lapangan untuk mengenal lingkungan. Setiap akhir semester
mahasiswa diajak ke lapangan (tempat-tempat yang memiliki aset
budaya yang khas, baik untuk rekreasi maupun untuk kesenian. Hal
tersebut sangat bermanfaat untuk mengenal lingkungan sekitarnya
dalam pembelajaran budaya.

C.  Penutup
UPT Kebahasaan dan Kesenian Universitas Padjadjaran
adalah unit pelayanan kebahasaan dan Kesenian, karena itu
peralatan selain untuk belajar bahasa di laboratorium juga
dilengkapi dengan alat-alat kesenian. Untuk mengikuti
perkembangan zaman UPT bekerja sama dengan iBicom Indonesia
melengkapi kegiatan tersebut dengan art media. Jadi setiap kegiatan
kebahasaan dan kesenian dapat diabadikan media elektronik, oleh
Unpad Language and Art Broadcast.
Semula UPT hanya melayani kursus untuk penutur asing,
hanya dengan nama “Kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur
Asing”. Kemudian unit kesenian bergabung dan namanya menjadi
UPT Kebahasaan dan Kesenian dan dilengkapi dengan Language
and Art Broadcast. UPT ini juga disebut sebagai Centre for
Language and Art Services. Kemudian berkembang menjadi
pelayanan kemahiran berbagai bahasa, termasuk bahasa asing untuk
penutur bahasa Indonesia, terutama yang akan belajar ke luar negeri.
Di UPT selain BIPA ada pula pendidikan nondegree untuk seni
televisi, sehingga UPT ini berkembang dari BIPA menjadi meluas
untuk pelayanan berbagai bahasa (Indonesia, Sunda, Inggris,
German, Belanda, Prancis, Jepang, Rusia, Arab, Korea, dan
Mandarin).
BIPA sebagai media Komunikasi lintas budaya, melalaui
perhatian mereka setelah kursus bahasa Indonesia dapat mengikuti
~ 105 ~
kursus seni dan industri setempat, a.l. membatik, memasak , seni
musik Sunda (kecapi, rampak kendang, suling , dan degung). Selain
itu juga musik dan nyanyian modern yang dapat dibandingkan
dengan musik dan nyanyian mereka di negaranya. Selain itu seni
padalangan banyak diminati pula, dengan menampilkan unsur
humor dengan bahasa Indonesia atau bahasa Sunda (sekarang ada
yang kursus dari Jepang dan Fiji).
Batik Indonesia melalui motif Cirebon dan Garutan, sebagai
pengenalan aspek filosofis batik Indonesia melalui gambar-gambar
atau alur yang dikerjakan. Mereka belajar bahasa dengan media
komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya yang sangat
diperlukan dalam rangka memahami “diversity in harmony” dalam
budaya multikultural (global), sehingga masing-masing dapat
menghargai budayanya sebagai identitas bangsa.
Pustaka Acuan
Appel, Rene and Pieter Muysken. 1987 Language Contact and
Billingualism. Great Britain: Edward Arnold.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. “Bahasa Indonesia sebagai Upaya


Pengembangan Wilayah Asean: Tantangan dan Harapan”.
Makalah “Seminar Studi Masalah Asia-Afrika dan Negara
Berkembang. Deplu, 24 September 1994. Unpad bekerja sama
dengan Deplu RI. Bandung: Pusat Studi Masalah Asia-Afrika
dan Negara Berkembang.

1998 “Bias-Bias Berbahasa dalam Berbudaya dan Dampak Sosial”.


Makalah Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora V
dalam Rangka menyambut Purna Bakti Guru Besar
Fakultas Sastra UGM Prof.Dr. Djoko Soekiman, 8-9 Desember
1998. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

2000 “Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur


Asing: Satu Ancangan Pragmatik”. Penyuluhan Pengajar
BIPA. Bandung: UPT Kebahasaan Fakultas Sastra Unpad. 23
September 2000.
~ 106 ~
2001 Fungsi Bahasa dan Budaya dalam Merekat Persatuan Bangsa.
Denpasar-Bali: Seminar Nasional Bahasa dan Budaya
Austronesia II, 7-9 Februari 2001.

2004 “Learning Bahasa Indonesia for Foreign Natives”: Kinesics


Language andSongs as Pragmatics Approach”. Makalah
Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi
Penutur Asing (KIPBIPA). Makasar: Universitas Negeri
Makasar, 6-8 Oktober 2004.

Fishman, J.A. 1966 Language Loyalty in the United State. The


Hague: Mouton.

Koentjataningrat, ed. 1985 Manusia dan Kebudayaan Indonesia.


Jakarta: Djambatan.

Triandis, H.C. “Attitude and Attitude Change” dalam W.H. Whiteley


“On Mixture in Language” dalam Transaction of the
American Philoshophical Association.

Valdman, Albert 1979 “Communicative ability and syllabus


design for global foreign language courses”, di dalam Studies
in Second Language Acquisition.

~ 107 ~
CITRA DAN WACANA

Imelda Yance
Balai Bahasa Pekanbaru

A. Pengantar
Saat ini, banyak citra (image) negatif melekat pada Indonesia.
Misalnya, negara sarang koruptor, banyak teroris, pelanggar HAM,
tidak menegakkan hukum, penuh bencana, perusak lingkungan.
Citra tersebut bukan melekat begitu saja. Berbagai peristiwa yang
terjadi di dalam negeri menyebabkan timbulnya citra tersebut. Lalu,
apakah citra tersebut akan kita biarkan melekat selamanya? Tidak
adakah citra lain yang positif yang dapat ditampilkan? Berbagai
upaya dapat dilakukan mengubah bahkan membangun citra baru
diantaranya adalah melalui BIPA. Walaupun kecil kemungkinan
untuk mengubah citra negatif tersebut menjadi citra positif dalam
waktu singkat karena upaya tersebut tidak semudah membalikkan
telapak tangan, tetapi BIPA dapat membantu membangun atau
menampilkan citra positif lainnya tentang Indonesia. Salah satu
caranya adalah melalui materi pembelajaran yang diberikan dalam
program BIPA.
Tulisan ini memokuskan perhatian pada upaya penggalangan
citra Indonesia melalui wacana yang ditampilkan dalam materi
~ 108 ~
pembalajaran BIPA. Wacana tersebut diharapkan selain
memberikan informasi tentang Indonesia sekaligus sebagai salah
satu sarana untuk menggalang citra Indonesia, citra positif tentunya.
B. Citra
1. Sekilas tentang Citra
Sebelum kita membicarakan fokus utama tulisan ini, ada
baiknya kita tinjau sekilas perihal citra. Citra atau image berasal dari
bahasa Latin imago, merupakan suatu artifak yang memroduksi
ulang kesamaan di antara subjek-subjek, biasanya subjek fisik atau
seseorang (wikipedia.org, 2006). Citra disebut juga sebagai suatu
prototipe: suatu contoh standar atau khas. Ia memberikan kesan
umum tentang sesuatu (orang, organisasi, atau produk) yang
dihadirkan ke hadapan publik. Citra dapat berupa gambar dan atau
bahasa. Apabila dikaitkan dengan materi pembelajaran BIPA, citra
dapat ditampilkan dalam wacana seperti bacaan dan atau gambar,
serta dengaran Bagi sebuah negara menurut Simon Anholt
(Cravatts, 2007), citra dapat menarik tidak hanya wisatawan dan
investasi asing, tetapi juga prestise dan diplomasi internasional.
Agar efektif, citra tersebut harus dilindungi dan dipromosikan.
Walaupun citra suatu negara sudah terbentuk oleh pihak luar, tetapi
yang perlu diingat bagi suatu negara yang ingin membangun citra
adalah bahwa citra tersebut dirancang dan didefinisikan oleh negara
itu sendiri, bukan oleh kritik dan musuh. Citra bukanlan pemberian
(given) tetapi suatu konstruksi sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh penginginnya (Baudrillard, 1998).
2. Citra Indonesia
Dalam membangun citra, perlu juga dicamkan bahwa citra
tersebut bukan dimaksudkan untuk menipu atau bertolak belakang
dengan realitas walaupun ia dapat dikonstruksi sesuai keinginan.
Citra tersebut juga haruslah dapat dikenang dan menyentuh emosi
publik serta memiliki keberbedaaan.
Indonesia memiliki sejumlah citra positif yang berpeluang
untuk ditampilkan sehingga dapat saja suatu saat menjadi suatu

~ 109 ~
brand image. Lalu, citra apakah yang dapat dibangun oleh Indonesia
dalam situasi telah terbangunnya berbagai citra negatif?
Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu
dirumuskan lagi apa yang diinginkan Indonesia dari orang asing
yang belajar bahasa Indonesia? Apakah untuk menarik investor?
Apakah untuk menarik wisatawan? Apakah untuk menciptakan
prestise tertentu dan mempunyai keleluasaan dalam diplomasi
internasional? Saya pikir, semua keinginan tersebut masuk akal
dipertimbangkan sebagai acuan atau kerangka dalam membangun
citra Indonesia. Walaupun demikian, perlu diingat juga adalah para
pembelajar BIPA pada umumnya adalah pelajar atau mahasiswa.
Oleh sebab itu, upaya membangun citra tersebut lebih difokuskan
pada tujuan untuk menarik wisatawan dan untuk prestise
internasional walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk tujuan
menarik investor dan diplomasi internasional atau tujuan lainnya.
Selanjutnya, kita perlu memerinci bidang yang menarik
wisatawan berkunjung ke Indonesia dan jenis prestise yang ingin
ditampilkan. Biasanya suatu negara menurut Simon Anholt
(Cravatts, 2007) akan dihargai dalam hal seperti berikut ini:
1. investasi,
2. imigrasi,
3. ekspor,
4. budaya dan heritage,
5. penduduk,
6. gaya pemerintahan,
7. pariwisata
Bagi, Indonesia, jika yang diinginkan adalah untuk menarik
wisatawan dan membangun prestise internasional, potensi yang
lebih berpeluang diekspos adalah:
1. keberagaman sumber daya alam,
2. keberagaman sumber daya budaya.
Kedua sumber daya tersebut memiliki keberagaman dan
kekhasan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu budaya
ke budaya yang lain yang ada di Indonesia. Khusus untuk
membangun prestise, aspek yang sangat berperan adalah:

~ 110 ~
1. prestasi,
2. penemuan (inventions).
Di samping itu, kita perlu tanggap terhadap isu-isu terbaru
yang berkembang di tataran internasional seperti:
1. multikulturalisme,
2. HAM,
3. lingkungan,
4. demokrasi,
5. terorisme.
Sisi-sisi positif dari keseluruhan aspek tersebutlah yang
ditonjolkan dalam materi pembelajaran BIPA.

C. Wacana dan Citra


1. Topik Wacana
Wacana yang dimasukkan ke dalam materi BIPA harus sesuai
atau mendukung citra yang ingin dibentuk. Dari berbagai peluang
potensi yang dapat diangkat untuk membangun citra di atas, kita
misalnya dapat membangun citra sebagai:
1. Negara yang memiliki kekayaan alam (keberagaman
hayati dan hewani),
2. Negara yang memiliki keberagaman budaya dan heritage
(seni, religi, bahasa, kekerabatan, pencarian nafkah, ilmu,
dan teknologi),
3. Negara demokratis,
4. Negara multikulturalis,
5. Negara yang juga mencetak prestasi di tingkat
internasional,
6. Negara yang juga memiliki kepedulian terhadap
lingkungan dan ham.
Wacana yang sesuai dengan beberapa citra di atas misalnya
sebagai berikut.
1. Wisata bahari,
2. Keindahan pantai di Indonesia,

~ 111 ~
3. Gunung Krakatau; aktivitas dan keindahannya,
4. Keberagaman hayati di Kalimantan dan Papua,
5. Hewan langka dan dilindungi yang terdapat di Indonesia,
6. Danau di Indonesia dan berbagai peristiwa (misalnya
terbang layang di kawasan danau Maninjau),
7. Beragam etnis dan bahasa tetapi satu bahasa nasional dan
bahasa resmi,
8. Seni dan religi,
9. Tekstil tradisional Indonesia dari dulu sampai sekarang
di berbagai provinsi (misalnya songket),
10. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tentang obat-
obatan,
11. Seni patung dan ukir di Indonesia (Indonesian sculpture),
12. Borobudur dan candi lainnya yang terdapat di Indonesia,
13. Teater tradisional di Indonesia,
14. Orkestra (dari tradisional sampai modern, misalnya
Campur Sari),
15. Olah raga tradisional (silat, lompat batu dsb.),
16. Kerajaan di dalam negara republik,
17. Piala Sudirman atau jawara bulutangkis,
18. Pelajar Indonesia dan Olimpiade Sains,
19. Ekspor Indonesia terpenting,
20. Lebaran dan Natal di Manado,
21. Imigran China di Indonesia,
22. Pendidikan dan demokrasi.
2. Gambar
Wacana bacaan dan dengaran dapat disertai oleh gambar
yang sesuai dengan citra yang ingin dibangun dan tema wacana.
Gambar tersebut merupakan kesan dan pesan pertama yang dapat
ditangkap oleh pembelajar walaupun ia belum membaca atau
mendengarkan wacana. Bahkan, gambar dapat membantu
pembelajar untuk memahami informasi yang disampaikan walau ia
kurang atau tidak paham wacana yang dibaca atau didengarnya.
3. Nilai-nilai dan Evaluasi

~ 112 ~
Nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dapat disampaikan dalam wacana tanpa harus menjadi sebuah
wacana khusus tentang nilai. Nilai tersebut disampaikan secara
definitif, bukan sekadar menyebutkan label tertentu. Lebih mengena
dengan menyampaikan misalnya,
“Di depan dan belakang rumah ada halaman luas dengan
bunga-bunga berwarna indah. Di samping rumah ada dua
pohon mangga dan satu pohon jambu biji. Saat musim berbuah,
keluarga Sundari membagikan buahnya kepada tetangga
dan kerabat.
Waktu di Indonesia dua tahun lalu, saya tinggal di rumah
Sundari. Saya betah di rumah Sundari. Keluarga Sundari sangat
baik. Tetangga-tetangganya sangat ramah. Mereka selalu
tersenyum dan menyapa saat bertemu”.
daripada penyampaian seperti berikut ini
“Di depan dan belakang rumah ada halaman luas dengan
bunga-bunga berwarna indah. Di samping rumah ada dua
pohon mangga dan satu pohon jambu biji.
Waktu di Indonesia dua tahun lalu, saya tinggal di rumah
Sundari. Saya betah di rumah Sundari. Keluarga Sundari sangat
baik. Tetangga-tetangganya sangat ramah”. (Lentera Indonesia
2, 2006)
Nilai yang disampaikan dalam wacana hendaknya juga
ditanyakan dalam evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar nilai tersebut
juga menjadi perhatian pembelajar. Mereka akan lebih
mengingatnya daripada tidak ditanyakan dalam evaluasi. Otomatis
ini menjadi suatu nilai positif bagi citra Indonesia.
4. Kemajuan
Di antara wacana yang ditampilkan, perlu juga menyertakan
wacana yang memperlihatkan suatu kemajuan peradapan atau suatu
sejarah yang memperlihatkan kesinambungan dengan masa
sekarang. Hal ini akan memberi kesan atau citra sebagai suatu
bangsa yang mengalami kemajuan peradapan dan memiliki warisan
budaya.

~ 113 ~
5. Beberapa Citra Kurang Positif dalam Lentera Indonesia 2
Dalam Lentera Indonesia 2, terdapat beberapa wacana dan
materi yang kurang mendukung citra positif Indonesia dan perlu
direvisi, yaitu:
1. Bacaan 1 dan 2 dalam unit 3 tentang mitos
2. Ungkapan denotasi dan konotasi dalam unit 4 halaman 89-
91
3. Bacaan 1 dan 2 dalam unit 6
4. Gambar dengaran dalam unit 6
5. Gambar dengaran dalam unit 8
6. Dengaran dalam unit 4 Kerja Bakti
7. Dengaran dalam unit 8 tentang pesawat jatuh
8. Dengaran dalam unit 9 Iklan sebuah Pasar Swalayan
Dalam wacana dan materi pembelajaran tersebut, terdapat
pandangan hidup, sikap dan perilaku serta peristiwa yang kurang
tepat ditampilkan untuk mendukung konstruksi citra positif
Indonesia.
D. Penutup
Citra positif bagi negara dan bangsa merupakan modal yang
sangat bermanfaat untuk berbagai kepentingan baik yang bersifat
ekonomis maupun politis. Citra dapat dibentuk sesuai dengan
keinginan tetapi bukan bersifat “tipuan”. Penggalangan citra bagi
suatu negara atau bangsa tetap memperhitungkan berbagai potensi
yang mungkin untuk ditonjolkan.
Daftar Bacaan
Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society. London: Sage
Publiscations.

Cravatts, Richard L. 2007 The Brand Image of Nations: Israel.


www.americanthinker.com.

Tim BIPA Pusat Bahasa, 2006. Lentera Indonesia 2: Penerang untuk


Memahami Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Depdiknas.
~ 114 ~
Wikipedia.org. 2006. Image

~ 115 ~
PENGAJARAN BIPA MEMBUKA JENDELA INFORMASI
TENTANG INDONESIA

Karen Bailey

Dalam konferensi BIPA ini saya akan menyampaikan makalah


ini dengan tujuan memberi penjelasan kepada ibu-ibu dan bapak-
bapak mengenai keadaan pengajaran dan pembelajaran bahasa
Indonesia di Australia Barat pada saat ini. Makalah ini dibuat
berdasarkan pengamatan saya sebagai guru bahasa Indonesia di
Australia selama empat belas tahun dan sebagai ketua asosiasi guru
bahasa Indonesia di Australia Barat (WILTA) dari tahun 1996 sampai
dengan 2006.
Bagi masyarakat Australia yang bertetangga dengan
masyarakat Indonesia, tidak dapat disangkal bahwa belajar bahasa
Indonesia sangat penting dalam upaya untuk saling memahami dan
menghormati.
Seorang ahli bahasa di Universitas Nasional Australia, Ida
Baharuddin Major pada tanggal 30 Maret 2007 di Canberra, Australia
mengajukan pendapatnya sebagai berikut:
Penggalakan pengajaran Bahasa Indonesia di Australia akan
menjadi investasi jangka panjang negara itu untuk menjaga stabilitas,

~ 116 ~
memperkuat dan memperluas hubungan kedua negara karena tanpa
menguasai bahasa sulit bagi warga negara itu untuk lebih mengenal
karakteristik Indonesia.
"Sebenarnya, tidak ada pilihan banyak buat Australia untuk
mengenal baik Indonesia kecuali melalui penguasaan bahasanya. Bagi
peneliti Australia misalnya, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan
riset tentang Indonesia dengan baik jika tidak menguasai bahasanya".
Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang terbesar dan
terdekat jaraknya dengan Australia. Kedua negara sudah ditakdirkan Tuhan
hidup bertetangga sehingga keduanya tidak memiliki pilihan lain kecuali
membangun hubungan yang baik kendati keduanya memiliki perbedaan
sejarah, tingkat ekonomi, sosial dan budaya, katanya.
"Australia lebih dekat ke Asia daripada Eropa. Dan Indonesia adalah
negara terbesar di Asia Tenggara dan terdekat dengan Australia.
Sebenarnya Australia tidak ada urusan dengan Eropa, kecuali Inggris,"
katanya.
Sebelum saya melanjutkan dengan penjelasan mengapa saya
percaya bahwa belajar BIPA membuka jendela informasi tentang
Indonesia, saya akan mengemukakan sedikit latar belakang dan
data-data mengenai pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia
dan bahasa asing pada umumnya di sekolah-sekolah Australia
sekarang ini.
A. Status Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Asing di Australia
Sangatlah sulit untuk memperoleh gambaran lengkap
mengenai pengajaran dan pembelajaran bahasa asing di Australia.
Pihak-pihak yang berwenang mempunyai cara masing-masing
untuk mengumpulkan dan melaporkan data, sehingga seringkali
data yang diperoleh sulit dibandingkan satu sama lain.
B. Pernyataan dan Rencana Nasional – Pengajaran Bahasa Asing
Sebelumnya, harus dijelaskan peran DEST (Departemen
Pendidikan, Sains dan Pelatihan) di tingkat Federal (Pusat) serta
peran DET (Departemen Pendidikan dan Pelatihan) di masing-
masing Negara Bagian dan Teritori (Daerah).
Pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah setiap
negara bagian, bukan tanggungjawab pemerintah Federal, walaupun
banyak dana diterima dari pemerintah Federal. Oleh karena itu
~ 117 ~
Australia tidak mempunyai sebuah kurikulum nasional. Hal ini
berarti ada berbagai macam program dan implementasi pengajaran
Bahasa Asing di Austalia.
Pernyataan dan Rencana Nasional bagi Bahasa Asing
(National Statement and Plan) sudah ditetapkan oleh MCEETYA
(Ministerial Council of Education, Employment, Training and Youth
Affairs – Dewan Pendidikan, Ketenagakerjaan, Pelatihan dan
Kepemudaan) pada tahun 2004 untuk kurun waktu 2005-2008.
Pengurus MCEETYA terdiri-dari Menteri-menteri Pendidikan
dari masing-masing negara bagian Australia dan Selandia Baru.
Setiap Menteri Pendidikan terikat pada pandangan/visi (vision)
tentang pendidikan bahasa asing yang bermutu bagi semua pelajar,
di semua sekolah, di seluruh negara Australia. Mereka percaya
bahwa dengan belajar bahasa asing, para pelajar maupun
masyarakat umum akan memperoleh keuntungan yang besar.
Pernyataan Nasional ini dibuat berdasarkan konsep-konsep
bahwa mempelajari bahasa asing akan:
1. Memperkaya pengetahuan para pelajar baik dalam bidang
intelektual maupun dalam bidang pengetahuan budaya.
2. memberi ketrampilan kepada para pelajar untuk
berkomunikasi lintas budaya
3. menambah semangat kebersamaan melalui komunikasi
dan saling pengertian.
4. mengembangkan sumber linguistik dan kebudayaan di
masyarakat.
5. mempengaruhi perkembangan strategis, ekonomis dan
internasional
6. memperbesar kesempatan bekerja dan kemungkinan karir
bagi seseorang.
Sebenarnya, mengajarkan bahasa asing kepada semua pelajar
adalah sebuah konsep yang agak baru di sejarah persekolahan di
Australia. Walaupun bahasa asing sudah dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah menengah, pada umumnya pelajaran ini masih
dianggap oleh beberapa pihak sebagai bidang studi untuk pelajar-
pelajar yang berprestasi akademik saja.
Selama masa sepuluh tahun ini anggapan tersebut diragukan.
Misalnya, pada tahun 1993 di Australia Barat, Departemen

~ 118 ~
Pendidikan mewajibkan pengajaran bahasa asing dari kelas 3 SD
sampai dengan Kelas 10 (Kelas 1 SMU). Sejak tahun 1993 sampai
dengan 2003 jumlah siswa yang belajar bahasa asing pada tingkat
sekolah dasar naik tajam. Sekarang ini di Australia Barat, 90% dari
murid sekolah dasar belajar bahasa asing.
Walaupun Menteri Pendidikan masing-masing negara bagian
Australia mendukung dan ikut serta mempromosikan pengajaran
dan pembelajaran bahasa asing, namun kenyataannya dukungan itu
tidak terlihat secara praktis di seluruh sekolah Australia. Ada
indikasi bahwa visi pemerintah tidak dicerminkan dalam tingkah
laku pemerintah negara bagian atau pejabat -pejabat pendidikan
lainnya.
Meskipun cukup banyak orangtua mendukung program
bahasa asing bagi anak-anaknya, di lain pihak mereka pun mengakui
bahwa masyarakat dan kebudayaan Australia pada umumnya tidak
menyediakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk menjalankan
program pengajaran bahasa asing. Dapat dikatakan bahwa pada
umumnya baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja
pemerintah negara bagian makin mempertebal ketidakpedulian
rakyat Australia.
Tentu saja rencana nasional ini seharusnya menjadi investasi
jangka panjang bagi masa depan Australia, namun kelemahannya
adalah bahwa setiap negara bagian tidak mendapat dorongon untuk
memenuhi kewajibannya untuk memecahkan isu-isu terkait dengan
pengajaran dan pembelajaran bahasa asing. Mereka hanya
diwajibkan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap
masalah-masalah tersebut. Tidak ada rencana mengikat untuk betul-
betul memanfaatkan dana yang memusatkan perhatian pada
prakarsa untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan bahasa
asing di Australia.
C. Enam Bidang Strategis
Sejalan dengan National Statement and Plan, sampai tahun 2008
usaha dan sumber nasional akan memusatkan perhatian pada enam
bidang strategis berikut:
1. Pengajaran dan Pembelajaran
2. Pengadaan dan Pemeliharaan Tenaga Pengajar BIPA
3. Diklat
~ 119 ~
4. Pengembangan Program
5. Kepastian mutu
6. Dukungan dan Sosialisasi pembelajaran bahasa asing
Setiap tahun, masing-masing negara bagian akan melaporkan
kemajuan di setiap bidang tersebut langsung kepada pengurus
MCEETYA. Sebuah evaluasi resmi akan diselenggarakan pada akhir
tahun 2008. Fokus evaluasinya akan dipusatkan pada kumpulan dan
analisis data mengenai partisipasi pelajar, pembentukan dan
pengembangan sebuah proses nasional untuk menentukan mutu
hasil pembelajaran bagi para pelajar yang belajar bahasa asing.
Masalahnya, undang-undang pendidikan tidak menyinggung
tentang peningkatan jumlah dan mutu program bahasa asing di
sekolah-sekolah di seluruh Australia. Sekolah-sekolah hanya perlu
berpartisipasi dalam penelitian lebih lanjut mengenai tantangan
yang menghadapi sekolah-sekolah tersebut. Oleh karena itu banyak
pengajar bahasa asing yang bersikap skeptis baik terhadap National
Statement and Plan maupun terhadap upaya memperbaiki keadaan
pengajaran dan pembelajaran bahasa asing di sekolah-sekolah.
Namun, saya sebagai guru bahasa Indonesia yang sudah
cukup lama mengajarkan bahasa Indonesia kepada pelajar-pelajar di
Australia, merasa agak optimis. Mengapa begitu? Saya merasa inilah
saat yang tepat bagi semua pihak, baik di Indonesia maupun di
Australia, untuk bersatu dan bekerja sama untuk meningkatkan
peranan bahasa Indonesia sebagai bagian penting dari pendidikan
bagi cukup banyak pelajar Australia di semua tingkat dari SD, SMP,
SMU sampai Universitas. Menurut pendapat saya pihak yang
berkepentingan tersebut seharusnya terdiri-dari para politikus,
pemimpin dan pejabat pendidikan, tokoh masyarakyat yang
berpengaruh dan pengajar BIPA di kedua negeri kita, Mengapa
sekarang? Karena saya merasa suasananya cocok sekali.
Ada cukup banyak perbincangan yang berfokus pada
keuntungan berketrampilan bahasa asing (termasuk bahasa
Indonesia) dengan tujuan bahwa orang Australia akan bisa berfungsi
sebagai warga yang bertanggung jawab di wilayah Asia-Pasifik.
Selain daripada perbincangan yang dipicu oleh peluncuran National
Statement and Plan akhir-akhir ini ada beberapa contoh perbincangan
dalam bidang politik dan media di Australia.

~ 120 ~
Pada bulan Maret 2007, Mr Kevin Rudd, pemimpin Partai
Oposisi Federal (Partai Buruh) memaparkan bahwa jika Partai Buruh
menang pemilu di Australia tahun ini, pemerintahnya akan
memastikan bahwa semua pelajar di sekolah-sekolah Australia akan
mempunyai kesempatan belajar suatu bahasa Asia. Dia berpendapat
bahwa sangat penting sekali bagi pemerintah untuk menolong
pembelajaran bahasa Indonesia, Jepang atau Cina yang antara lain
akan menguntungkan perusahaan Australia dalam bidang ekonomi
internasional. Mr Rudd berjanji bahwa pemerintahnya dia
menerapkan sebuah strategi nasional untuk mengajarkan bahasa
Asia (Indonesia, Jepang, Mandarin dan Korea) di sekolah-sekolah
Australia.
“Ini merupakan sebuah keharusan. Hal ini menjadi prioritas
nasional bahwa dalam pandangan dunia berkembang Australia
adalah Negara di Dunia Barat yang paling memahami Asia,” kata
Kevin Rudd. (The Australian 20 Maret 2007).
Pada bulan Maret tahun ini Dubes Indonesia di Australia,
Bapak Hamzah Thayeb mengecam pengurangan dana pemerintah
Australia terhadap program-program bahasa di sekolah-sekolah
Australia. Dia menganjurkan para remaja Australia untuk belajar
suatu bahasa Asia.
Di lain pihak, Bapak Hamzah Thayeb juga memuji keputusan
pemerintah Australia untuk menawarkan lebih banyak beasiswa
dalam rangka memberi kesempatan pelajar di kedua negara kita
untuk belajar di luar negeri dan berkata bahwa bahasa sangat
penting untuk memperbaiki hubungan pendidikan antara Australia
dan Indonesia.
Beliau menekankan bahwa rakyat Australia dan Indonesia
harus saling memahami dan ini hanya dapat dilakukan lewat
bahasa.
Bapak Robert McClelland menganjurkan pemerintah John
Howard untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah Australia karena hanya lewat bidang
pendidikan hubungan Indonesia – Australia dapat diperkuat.
Senada denganhal di atas Professor David Hill (2007) dari
Southeast Asian Studies dan Fellow of the Asia Research Centre di
Universitas Murdoch menandaskan bahwa kebijakan pendidikan

~ 121 ~
Australia di bidang pengajaran bahasa asing sedang dalam keadaan
gawat. Kesimpulan yang sangat memprihatinkan ini, dikemukakan
di laporan yang bernada keras dan tegas dan disahkan oleh
Australian Academy of the Humanities di Konferensi Tingkat Tinggi
(Summit) Bahasa Nasional di Canberra pada awal bulan Juni
2007..Laporan tersebut berjudul Languages in Crisis: A rescue plan for
Australia, ditulis oleh Group of Eight Universities, G 8 yang terdiri dari
delapan universitas besar di Australia
Studi yang diselenggarakan oleh The Group of Eight
Universities mendesak pemerintah negara bagian dan Federal
Australia untuk menginvestasikan dana yang ada dalam keahlian
linguistik Australia. Kalau hal ini tidak dilakukan, Australia
kemungkinan akan mengalami kerugian yang cukup besar jika
modal nasional ini tidak dimanfaatkan.
ACSSO, the Australian Council of State School
Organisations (Dewan Sekolah Negeri) yang merupakan pucuk
organisasi yang mewakili kepentingan orangtua dan masyarakat
yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri, dan APC, the
Australian Parents Council (Dewan Wali Murid Australia) yang
merupakan kumpulan organisasi yang mewakili kepentingan
orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta,
telah membuat sebuah situs web independen untuk
mempromosikan pengajaran bahasa yang dapat dijadikan sebagai
sumber informasi bagi seluruh aspek pengajaran bahasa. Sekarang
ini ACSSO membuat dan mengedarkan sebuah laporan berkala dua
minggu sekali kepada pengajar bahasa asing, orang tua dan
masyarakat umum dengan tujuan untuk mempromosikan dan
mendorong pengajaran dan pembelajaran bahasa asing di seluruh
negeri kangguru.
Seperti sudah saya katakan tadi, saya merasa inilah saat yang
tepat untuk maju ke depan dengan berani. Harus ditekankan disini
bahwa penting sekali semua pihak yang berminat pada pengajaran
dan pembelajaran bahasa Indonesia untuk bekerja sama, berusaha
keras dan maju ke arah yang sama.
D. Pembelajaran
Sekarang saya akan memusatkan perhatian pada keadaan
pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia di Australia saat ini
~ 122 ~
dalam konteks enam bidang strategis yang sudah saya sebutkan
terlebih dahulu.
Ada beberapa prestasi yang telah dicapai dalam hal
pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia di Australia:
1. di beberapa negara bagian, jumlah pelajar bahasa
Indonesia di tingkat SD dan SMP naik cukup tajam dalam
kurun waktu 1970-2002.
2. pemakaian Teknologi Komunikasi Informasi (ICT) untuk
pelajaran bahasa Indonesia cukup canggih dan berhasil
membawa kebudayaan dan bahasa Indonesia ke dalam
ruang kelas di Australia lewat situs-situs web, blog, posel
dan hubungan dunia maya lainnya.
3. peningkatan jumlah program Sister School antara sekolah-
sekolah di Australia dan Indonesia
1. Tantangan
Oleh karena ada banyak sumber yang dari Internet (mis. situs
web, blog, dll) berarti para siswa harus diajarkan bagaimana
memahami bahasa gaul. Sejauh mana bahasa gaul harus diajarkan
telah menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pengajar bahasa
Indonesia di Australia.
Walaupun jumlah murid SD - SMP yang belajar bahasa
Indonesia di Australia meningkat sejak tahun 70-an, sebaliknya
jumlah siswa yang lulus dari SMU dengan ketrampilan berbahasa
asing sudah turun dari 40% menjadi 13%. Pengaruh dari kejadian ini
dirasakan juga oleh hampir semua Universitas di seluruh Australia.
Keadaan ini mengakibatkan semakin berkurangnya mahasiswa yang
lulus dari fakultas pendidikan dengan ketrampilan berbahasa
Indonesia (atau bahasa asing lain). Hal ini berarti ada kekurangan
guru bahasa Indonesia di Australia.
2.  Pengadaan dan Pemeliharaan Tenaga Pengajar BIPA
Seperti sudah saya sebutkan, ada terlalu banyak kursus
bahasa Indonesia yang sudah tutup atau diciutkan di tingkat
universitas yang mengakibatkan kesempatan mahasiswa untuk
mempelajari bahasa Indonesia juga menjadi semakin kecil.
Akibatnya, persediaan guru yang mampu mengajar bahasa
Indonesia semakin berkurang.
~ 123 ~
3.  Diklat
Kita perlu mempertimbangkan program-program bagi guru-
guru bahasa (Indonesia) khususnya program-program yang
1. Mempertahankan dan memperkuat kemahiran berbahasa
para guru-guru
2. Mengembangkan pemahaman lintas budaya dan
3. Mengembangkan kompetensi guru dalam merancang
kurikulum, pengajaran dan penilaian.
Ini seharusnya dilaksanakan dengan berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan seperti:
1. Kegiatan “immersion” pada akhir pekan
2. Lokakarya
3. In-country
4. Program pertukaran
Yang paling penting untuk pengajar bahasa Indonesia di
Australia Barat dan saya rasa masalahnya hampir sama di seluruh
Australia, adalah kurangnya kesempatan bagi para guru untuk
meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia. Sejak 2001
kesempatan ini semakin berkurang. Sampai sekarang di Australia
Barat, hanyalah WILTA yang menyediakan lokakarya bahasa
Indonesia. Karena WILTA, seperti asosiasi guru bahasa Indonesia
lain di Australia (mis. VILTA dan Intan) dikelola secara sukarela,
sehingga sulit untuk mengharapkan gagasan-gagasan segar dari
para pengurus yang sebenarnya sudah disibukkan oleh kewajiban
mengajarnya.
Pengurus WILTA mengadakan satu lokakarya setiap triwulan
dengan fokus pada pendalaman bahasa dan budaya atau pedagogi.
Selain daripada lokakarya kecil ini diselenggarakan pula program
lain seperti:
1. Lokakarya akhir pekan (1999, 2000, 2002, 2003, 2004,2005,
2006)
2. Darmawisata ke Indonesia 2001 (KIPBIPA IV Bali dan
Padepokan Seni Mangun Dharma Malang, Java) dan 2005
(Bali)
Juga ada program lain seperti RTV (Reciprocal Teacher Visit
Program). RTV adalah sebuah program pertukaran guru yang
dilaksanakan bersama dengan Indonesia Australia Language
~ 124 ~
Foundation (IALF) di Bali. Dalam program ini seorang guru dari
IALF mengajar di Perth selama empat minggu dan seorang guru dari
WILTA pergi ke Bali pada bulan Januari untuk mengajar di IALF
dan sebuah sekolah di Bali.
WILTA juga bekerja sama dengan Kantor Konsulat Republik
Indonesia di Perth untuk mempromosikan pengajaran dan
pembelajaran bahasa Indonesia di Australia Barat. Selama dua tahun
WILTA dan KBRI sudah mengadakan perundingan dengan
Departemen Pendidikan dan Pelatihan Australia Barat untuk
melaksanakan Program Guru Pendamping dari Indonesia. Program
ini akan dimulai pada bulan Januari tahun 2008 dengan empat guru
dari beberapa propinsi di Indonesia yang akan ditempatkan di
sekolah-sekolah Perth dan sekitarnya. Peran guru-guru dari
Indonesia ini adalah untuk mendampingi guru bahasa dan bertukar
pikiran selagi mereka mengajar bahasa Indonesia.
Harus disebutkan bahwa walaupun WILTA bekerja keras dan
sudah menjadi sebuah asosiasi penting bagi guru-guru bahasa
Indonesia di Australia Barat dan di tempat lain di Australia, namun
para guru bahasa Indonesia masih membutuhkan cara-cara lain
untuk meningkatkan ketrampilan berbahasa Indonesian.
4.  Pengembangan Program
Minat warga negara Australia untuk mempelajari Bahasa
Indonesia tetap ada, namun sangat dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi Indonesia. Selain daripada citra Indonesia yang agak
terpuruk sekarang ini, ada pula persaingan dengan bahasa asing lain
terutama bahasa Jepang maupun bahasa Cina. Bahasa Cina adalah
bahasa yang paling cepat berkembang di Australia pada saat ini.
Kita harus bekerja sama untuk menetapkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing yang sangat penting dipelajari, khususnya di
negara bagian seperti WA, SA, NSW, Victoria dan NT.
5. Kepastian Mutu
Walaupun ada proses untuk menjamin mutu program bahasa
asing di sekolah-sekolah, masih dirasakan sangat sulitlah untuk
melakukan hal ini atau meningkatkan kompentensi guru dalam
berbahasa Indonesia maupun kompetensi mengajar bahasa pada
umumnya.
~ 125 ~
Salah satu laporan NALSAS yang diselenggarakan pada bulan
Agustus 2005 mengusulkan standar-standar kompetensi bagi
pengajar bahasa asing dengan beberapa kompetensi yang spesifik
untuk pengajaran Bahasa Indonesia. Namun demikian, standar-
standar tersebut bukanlah standard minimal melainkan standard-
standar jangka panjang untuk dicapai oleh pengajar selama karirnya.
6. Dukungan dan Sosialisasi Pembelajaran Bahasa Asing
Sosialisasi terpadu diperlukan untuk mengubah sikap
masyarakat terhadap kebutuhan pembelajaran bahasa asing (Bahasa
Indonesia).
ACCSO mengadakan penelitian selama 2006 mengenai
Attitudes Towards the Study of Languages in Australian Schools (Sikap-
sikap terhadap pembelajaran bahasa-bahasa asing di Australia). Banyak
kepala sekolah, pengajar bahasa asing, orang tua maupun pelajar
berpartisipasi dalam penelitian tersebut. Kesimpulan dari laporan
ACCSO ini melaporkan bahwa ada dukungan yang cukup berarti.
Meskipun laporan itu melukiskan sikap Departemen Pendidikan di
seluruh Australia yang mengabaikan pengajaran bahasa Asing,
masih banyak sekolah yang justru menawarkan program bahasa
asing yang bermutu.
Banyak orangtua yang memahami peran bahasa untuk anak-
anak mereka dan lebih luas lagi untuk negara. Banyak pelajar yans
mencintai pelajaran bahasa Indonesia. Banyak guru-guru yang
hebat. Banyak kepala sekolah yang berani mendukung pengajaran
bahasa di sekolahnya walaupun harus menghadapi tantangan yang
berat.
Dan yang paling penting, kami mempunyai sembilan orang
Menteri Pendidikan yang mempunyai pandangan yang positif
tentang pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah Australia.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita akan mewujudkan
visi tersebut menjadi sebuah kenyataan. Apakah Australia sebagai
sebuah bangsa dapat menyerahkan pemecahan masalah ini kepada
tokoh-tokoh pendidikannya? Jika mereka gagal mewujudkannya,
apakah kita dapat bertahan diterlantarkan lagi selama satu dekade
yang akan datang?

~ 126 ~
E.  Bukalah Jendela dan Melihat ke Masa Depan
Menurut pendapat saya suatu strategi yang sangat penting
adalah mendirikan sebuah Balai Bahasa Indonesia di Australia –
tentu saja perannya sedikit berbeda dengan Balai Bahasa di
Indonesia. Walaupun Kedutaan Besar Indonesia di Canberra dan
beberapa kantor konsulat di negara bagian Australia mendukung
dan menolong dengan mempromosikan pengajaran dan
pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia, hal ini menurut hemat
saya dapat dilakukan secara lebih menyeluruh dan lebih berhasil
oleh suatu lembaga seperti Balai Bahasa Cabang Australia. Saya
yakin usulan ini perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Beberapa tugas dan tanggungjawab yang dapat diemban oleh
Balai Bahasa itu meliputi:
1. membantu dengan cara menghimpun jaringan-jaringan di
Australia yang memusatkan perhatiannya pada
pembelajaran dan pengajaran Bahasa Indonesia sehingga
kita mempunyai sebuah suara nasional/internasional.
2. mengadakan pelaksanaan UKBI bagi guru-guru bahasa
Indonesia dan orang-orang lain di Australia
3. mendorong dan memberi motivasi kepada masyarakat
Australia untuk belajar bahasa Indonesia supaya lebih
mengenal tettanga mereka
Untuk keterangan lebih lanjut tentang bagaimana hal ini
dapat dilaksanakan, lihatlah situs Alliance Francaise – Perth.
Karangan Natha (Siswa Kelas 12) 2006
Read Natha’s essay
F.  Kesimpulan
Sebagai penutup, saya ingin mengajak rekan-rekan untuk
membuat sesuatu yang berarti dengan meningkatkan keterampilan
orang Australia berbicara bahasa Indonesia dan meningkatkan
keterampilan orang Indonesia berbicara bahasa Inggris, sehingga
kita dapat menyaksikan peningkatan pemahaman lintas budaya
antara negara kita, baik dalam pemerintahannya maupun dalam
masyarakatnya di tingkat akar rumput.

~ 127 ~
STUDI PEDESAAN: KEGIATAN PRAKTIK BAHASA
DAN BUDAYA INDONESIA

Suharsono
Fakultas Ilmu Budaya UGM

A. Pengantar
Belajar bahasa tidak dapat dilepaskan dari belajar tentang
kebudayaan masyarakat pendukung bahasa yang bersangkutan.
Mempelajari bahasa pada dasarnya adalah mempelajari kebudayaan
masyarakat pendukung bahasa tersebut. Dengan memahami
kebudayaan masyarakat pendukung bahasa yang bersangkutan,
penguasaan terhadap bahasa tersebut menjadi komprehensif. Hal ini
berlaku juga bagi pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing
(BIPA).
Ada beberapa model pembelajaran yang memasukkan aspek-
aspek budaya dalam pengajaran BIPA. Ada yang
mengintegrasikannya ke dalam teks atau bacaan untuk pelajaran
membaca, topik percakapan/berbicara, topik menulis, atau kegiatan
tutorial atau pendampingan praktik bahasa di luar kelas (misalnya
pengenalan lingkungan kampus, pergi ke bank, kantor pos,
wartel/warnet, toko atau supermarket, kantor imigrasi, kantor
polisi). Praktik bahasa Indonesia sambil mengunjungi tempat atau
objek tertentu yang memiliki nilai budaya penting atau khas,
misalnya mengunjungi situs-situs budaya (candi/peninggalan
purbakala, kraton, bangunan-bangunan khas/tradisional),
merupakan bentuk yang lain lagi. Dalam kegiatan yang disebut
~ 128 ~
”kunjungan budaya” ini pembelajar biasanya didampingi tutor 1: satu
pembelajar didampingi seorang tutor. Agar lebih terintegrasi, objek
yang akan dikunjungi dapat dijadikan topik pelajaran membaca,
percakapan, menyimak, dan menulis sebelum atau sesudah kegiatan
kunjungan budaya. Ada satu lagi model alternatif yang belum
banyak dilakukan, yaitu “studi pedesaan” (village studies). Makalah
ini akan membicarakan ihwal studi pedesaan tersebut.
”Studi pedesaan” adalah suatu kegiatan yang memberikan
kesempatan kepada pembelajar BIPA (selanjutnya disebut
pembelajar) untuk tinggal di desa bersama keluarga di desa itu
selama beberapa hari. Pemberian label studi mengindikasikan bahwa
kegiatan ini bukan semata-mata bertujuan agar pembelajar
merasakan bagaimana rasanya hidup di desa, tetapi lebih dari itu,
yaitu sambil berpraktik bahasa Indonesia pembelajar mendapat
kesempatan untuk menyerap pengalaman budaya dan mempelajari
budaya Indonesia dalam perspektif yang berbeda dibandingkan
dengan pengalaman tinggal di kos (yang kebanyakan di perkotaan).
Berbeda dengan kunjungan budaya yang dalam pelaksanaannya
pembelajar didampingi tutor, dalam studi pedesaan pembelajar
tanpa didampingi tutor. Jadi, pembelajar dilepas langsung ke
tengah-tengah masyarakat pedesaan.
Di Universitas Gadjah Mada kegiatan ini awalnya muncul
karena adanya keinginan dari beberapa mahasiswa ACICIS,
Australia, yang menginginkan kegiatan yang memungkinkan
pembelajar dapat merasakan kehidupan di desa secara nyata,
semacam ”kuliah kerja nyata” seperti yang didapatkan oleh
mahasiswa Indonesia di UGM2. Akan tetapi, karena masa tinggal
para mahasiswa ACICIS di UGM terbatas mereka menginginkan
kegiatan ”KKN kecil” itu dipersingkat. Dengan mempertimbangkan

1
Di Inculs, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, tutor adalah mahasiswa UGM
yang direkrut oleh Inculs berdasarkan persyaratan atau kualifikasi tertentu.
Inculs (Indonesian Language and Culture Learning Service) adalah salah
satu unit pelayanan di FIB UGM yang mengelola pengajaran bahasa dan
budaya Indonesia bagi penutur asing.
2
Ketika itu, sekitar tahun 1996-an, mahasiswa ACICIS dikomandani oleh
Bapak David Reeves sebagai Resident Director ACICIS di Yogyakarta.
~ 129 ~
berbagai aspek terkait, antara lain faktor biaya, hal-hal teknis
administratif di lapangan, dan keamanan, akhirnya dibuatlah
kegiatan tinggal di desa, yaitu kegiatan yang memungkinkan
pembelajar tinggal di desa, hidup berbaur bersama masyarakat
pedesaan, dengan waktu tinggal berkisar 3—4 hari. Di Inculs UGM
sejauh ini studi pedesaan merupakan salah satu kegiatan pilihan
yang ditawarkan kepada para pembelajar yang mengikuti kursus
program reguler, yaitu program kursus yang terselenggara selama
satu semester untuk setiap tingkat (level) dan diikuti oleh peserta
dari berbagai negara, baik yang datang secara kelompok maupun
tidak, yang dikirim oleh lembaga maupun datang secara individual,
berlatar belakang sebagai mahasiswa maupun bukan. Paparan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran ihwal studi pedesaan
tersebut. Sebagai bahan pembicaraan, diambil contoh studi pedesaan
yang telah dilaksanakan di Inculs UGM.
B. Bentuk Kegiatan dan Pelaksanaan
Sebagaimana dikemukakan di depan, studi pedesaan
merupakan suatu kegiatan yang memberikan kesempatan kepada
pembelajar untuk tinggal di desa bersama keluarga di desa itu
selama beberapa hari. Rentang waktu 3-4 hari tinggal di desa seperti
selama ini dilaksanakan di UGM sebetulnya lebih pada
pertimbangan meminimalisasi ketidakhadiran pembelajar dalam
perkuliahan dan menghindari kebosanan bagi pembelajar. Hal ini
juga yang mendorong alasan mengapa studi pedesaan ini lebih tepat
dilaksanakan pada akhir minggu (Jumat pagi sampai dengan
Minggu siang), hari libur, atau waktu jeda sehabis tes tengah
program/semester agar tidak terlalu mengganggu perkuliahan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah penempatan
pembelajar. Karena kegiatan ini bertujuan agar pembelajar
mempraktikkan sebanyak mungkin kemampuan berbahasa
Indonesia, maka lebih baik setiap pembelajar ditempatkan di rumah
keluarga yang agak berjauhan dan dalam satu keluarga hanya
ditempatkan seorang pembelajar. Lebih baik dihindari dua
pembelajar tinggal bersama dalam satu keluarga, apalagi bila berasal
dari negara yang sama, karena hal ini akan mengurangi kesempatan
pembelajar mempraktikkan bahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-hari.
~ 130 ~
Tidak boleh dilupakan juga bahwa penyelenggara BIPA perlu
membekali pembelajar dengan identitas yang selain berisi nama
pembelajar tetapi juga informasi tentang tempat tinggal sementara di
dusun itu (nama bapak/ibu kos beserta alamat). Hal ini kelihatannya
sepele tetapi ini penting untuk mengantisipasi kemungkinan
pembelajar tersesat atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan membawa identitas tersebut, mudah bagi masyarakat untuk
memberikan bantuan apabila pembelajar tersesat dan memudahkan
pembelajar mengingat tempat tinggalnya.
Sudah barang tentu sebelum terjun ke lapangan,
penyelenggara BIPA harus menginformasikan rencana kegiatan
kepada pembelajar. Deskripsi kegiatan harus disampaikan secara
jelas sebelum pembelajar terjun ke desa agar pembelajar mengetahui
apa yang harus dan sebaiknya dilakukan, baik ketika tinggal di desa
maupun setelah kembali ke kampus. Deskripsi itu misalnya
menyangkut aturan atau tata tertib bagi pembelajar selama tinggal di
desa dan tugas-tugas yang harus dikerjakan.
Ketika di lapangan pembelajar disarankan untuk sebanyak
mungkin berkeliling kampung dan terlibat dalam kegiatan
dusun/kampung itu. Bapak/ibu kos beserta anggota keluarga
mempunyai tugas memberi informasi kepada pembelajar mengenai
kegiatan yang ada di kampung itu. Sambil terlibat dalam kegiatan
masyarakat setempat, pembelajar melakukan pengamatan terhadap
aspek(-aspek) yang menarik minatnya. Hasil pengamatan ini
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan penulisan laporan.
Setelah kegiatan ini selesai, pembelajar membuat laporan
tertulis dalam bahasa Indonesia mengenai kegiatan atau hasil
pengamatannya selama tinggal di desa. Bergantung pada kebutuhan
pembelajar atau program pengajaran yang dirancang oleh
penyelenggara BIPA, laporan tertulis bisa bersifat wajib dan bisa
pula tidak. Topik laporan bisa bersifat bebas-murni, artinya
pembelajar menentukan sendiri topik laporannya, tetapi bisa juga
bersifat bebas-terarah, maksudnya pembelajar diarahkan untuk
memfokuskan laporannya pada satu topik tertentu yang menjadi
minatnya, misalnya masalah budaya, sosial-ekonomi, kesehatan, dan
sebagainya. Bila laporan itu bersifat wajib, maka laporan tersebut

~ 131 ~
selanjutnya dinilai oleh dosen dan bila perlu dipresentasikan di
depan kelas.
C. Prakondisi
Ada beberapa prakondisi yang memungkinkan kegiatan ini
dapat berjalan sesuai dengan harapan. Pertama adalah masalah
penguasaan bahasa Indonesia pembelajar. Penguasaan bahasa
Indonesia pembelajar merupakan prasyarat mutlak mengikuti
kegiatan ini. Penguasaan yang dimaksud tidak harus tingkat lanjut
atau mahir, melainkan setidak-tidaknya tingkat menengah atau
pembelajar sudah mampu berbahasa Indonesia untuk keperluan
komunikasi sehari-hari. Peserta yang belum bisa berbahasa
Indonesia atau tingkat kemampuannya masih dasar akan
mengalami hambatan komunikasi mengingat hanya bahasa
Indonesialah yang dapat dipakai pembelajar sebagai sarana
komunikasi di pedesaan. Di luar itu warga masyarakat pedesaan
hanya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar
pergaulan, padahal pembelajar tidak bisa menggunakan bahasa
daerah sebagai bahasa pengantar alternatif. Hambatan komunikasi
akan mengganggu kenyamanan pembelajar tinggal di desa.
Kedua adalah adanya kesediaan dan dukungan dari desa dan
pemda setempat untuk menerima pembelajar di wilayahnya. Tanpa
kesediaan dan dukungan desa/pemda mustahil kegiatan ini
terlaksana. Karena itu, diperlukan kerja sama dan koordinasi yang
baik antara penyelengara BIPA dan pemda setempat (kabupaten,
kecamatan, desa/kelurahan, dusun) serta masyarakat setempat.
Keberhasilan kegiatan ini bergantung pada kerja sama dan
dukungan yang baik antarlembaga tersebut. Kerja sama yang
dimaksud bukan semata-mata terkait dengan masalah koordinasi
dan teknis administratif, tetapi lebih penting adalah pemahaman
bersama bahwa kegiatan ini tidak dimaknai dari segi keuntungan
finansial sesaat; melainkan merupakan salah satu bagian dari
”diplomasi budaya” bagi desa atau pemerintah daerah setempat
khususnya dan negara pada umumnya, yang efeknya akan terasa
dalam jangka panjang dan dalam spektrum yang lebih luas. Untuk
kasus di Yogyakarta, beruntung bahwa pemda dan masyarakat
setempat/DIY sangat memahami dan menyadari hal ini sehingga

~ 132 ~
sejauh ini pelaksanaan kegiatan ini berjalan dengan lancar karena
mendapat dukungan penuh dari pemda dan masyarakat setempat.
Ketiga, studi pedesaan hanya bisa diselenggarakan di
Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bahwa kegiatan ini
diselenggarakan oleh penyelenggara BIPA di luar negeri. Di
Indonesia pun kegiatan ini barangkali tidak mudah dilaksanakan
oleh penyelenggara BIPA yang lokasinya di perkotaan dan jauh dari
pedesaan, seperti Jakarta. Penyelenggara BIPA yang berada di kota
metropolitan, seperti Jakarta, atau kota industri, seperti Surabaya,
akan sulit mendapatkan susana pedesaan seperti yang digambarkan
dalam makalah ini.
D. Persyaratan Desa-Tujuan: Beberapa Pertimbangan
Yang diharapkan dari kegiatan ini adalah pembelajar
mendapatkan pengalaman hidup seperti apa adanya, kehidupan
yang tidak dibuat-buat. Oleh karena itu, kewajaran kegiatan atau
aktivitas merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh
desa/dusun-tujuan. Menempatkan pembelajar pada dusun yang
kegiatan dan tatanan masyarakatnya dibuat-buat atau artifisial
hanyalah akan membohongi pembelajar. Dengan demikian,
koordinasi dan mengecek kelayakan lokasi desa yang akan ditempati
merupakan kegiatan penting yang perlu dilakukan penyelenggara
BIPA sebelum kegiatan ini dilaksanakan. Koordinasi diperlukan agar
masyarakat desa-tujuan memahami sasaran yang ingin dicapai
dalam kegiatan ini sehingga ”kegiatan artifisial” dapat dihindari.
Selain itu, agar pemahaman terhadap desa diperoleh dengan
baik, maka lokasi desa-tujuan menjadi bahan pertimbangan pula.
Karena salah satu tujuan studi pedesaan ini adalah agar pembelajar
mendapat gambaran dan merasakan kehidupan pedesaan yang
sesungguhnya, maka perlu dipilih desa yang memiliki tatanan
kehidupan tradisional (seperti adanya ikatan kolektif, ikatan
kebersamaan). Desa yang demikian biasanya berlokasi relatif agak
jauh dari perkotaan. Desa yang berdekatan dengan perkotaan tidak
berbeda jauh kondisinya dengan daerah tempat kos para pembelajar.
Desa yang demikian akan kurang memiliki daya tarik bagi
pembelajar karena tidak banyak pengalaman dan tantangan baru
yang didapat.

~ 133 ~
Asalkan memenuhi kedua syarat di atas, sebetulnya desa
mana pun dapat dijadikan sasaran kegiatan ini asalkan keamanan
terjamin. Alasannya adalah karena banyak kegiatan harian di desa
yang mudah dijumpai oleh para pembelajar, seperti kegiatan
membajak sawah atau lahan, mengatur irigasi, menyiangi rumput di
sawah, merawat ternak, merawat tanaman pertanian, tebar benih
tanaman atau ikan, mengambil hasil bumi (tanaman sayuran, cabe,
buah melinjo, dan sebagainya.), ronda kampung, posyandu,
selamatan, rapat kampung/warga, dan sebagainya. Pendeknya,
asalkan pembelajar suka keluar rumah, banyak kegiatan menarik
yang dapat diamati atau diikuti.
Namun demikian, memilih desa yang memiliki daya tarik
khusus merupakan suatu kelebihan. Daya tarik khusus atau
keunggulan tersebut misalnya adanya industri rumah tangga/home
industry (seperti pembuatan anyaman bambu, genting, batu bata,
kerajinan tangan dari kayu, batu, atau keramik/tanah liat bakar,
pembuatan tahu atau tempe), pertanian (padi, buah-buahan,
sayuran, teh, kopi), dan perikanan. Desa wisata, kalau ada,
merupakan sasaran kegiatan yang lebih menarik lagi. Satu kelebihan
yang dimiliki Yogyakarta adalah bahwa di wilayah ini terdapat
banyak desa wisata, seperti Dusun Sambi dengan andalan seni
karawitan, bangunan rumah tradisional, dan Sungai Kuning yang
berhulu di Gunung Merapi, dengan daya tarik berupa kejernihan air
beserta material bebatuan limpahan Gunung Merapi; Dusun Turgo
dengan andalan agrowisata salak pondoh dan perikanan; Dusun
Tanjung dengan andalan kerajinan anyaman bambu; Kasongan
dengan andalan kerajinan keramik; Dusun Wukirsari dengan batik
tulisnya, dan sebagainya.
Lebih menimbulkan daya tarik lagi apabila diusahakan
pelaksanaan studi pedesaan disesuaikan dengan peristiwa khusus di
desa-tujuan, misalnya tebar benih tanaman, panen padi, upacara
tradisi (tanam padi, menjelang panen padi, bersih desa, dan
sebagainya.), peringatan/perayaan saparan, muludan, kegiatan rutin
bulanan/tahunan (untuk desa wisata), dan sebagainya. Salah satu
keuntungan Yogyakarta, khususnya di wilayah utara (Kabupaten
Sleman), adalah terdapatnya banyak desa (desa wisata maupun
bukan) yang memiliki aktivitas khas pedesaan sehingga pada

~ 134 ~
dasarnya penyelenggara BIPA kapan pun dapat menyelenggarakan
kegiatan ini karena tidak akan kehabisan objek untuk dijadikan ajang
kegiatan ini. Di desa wisata tertentu yang irigasinya baik hampir
sepanjang tahun dapat disaksikan (bahkan pembelajar boleh
melakukan kegiatan bersama-sama warga masyarakat) aktivitas
siklus bertani sayuran, yaitu mulai dari menebar benih, menanam,
merawat, sampai memanen, karena petani setempat mengatur
sistem tanam sedemikian rupa sehingga tamu/pendatang dapat
menyaksikan siklus bertani pada hari atau minggu yang bersamaan.
Dengan menyesuaikannya dengan peristiwa khusus di desa-tujuan
diharapkan selama tinggal di desa para pembelajar mendapatkan
pengalaman yang unik, menarik, bahkan menantang.
Berikutnya adalah adanya keluarga di desa itu yang bersedia
atau siap ditempati pembelajar. Barangkali tidak terlalu sulit
mendapatkan keluarga demikian karena pada umumnya warga
pedesaan sangat senang menerima tamu, apalagi tamu asing.
Ketempatan tamu dari luar negeri merupakan pengalaman berharga
bagi keluarga itu. Yang perlu dipertimbangkan oleh penyelenggara
BIPA adalah syarat minimal yang harus dimiliki oleh keluarga kos,
antara lain orang tua angkat dan anggota keluarganya dapat
berbahasa Indonesia, ada listrik, ada air bersih, ada kamar mandi
dan WC yang tertutup, ada satu kamar tersendiri untuk pembelajar.
Perlu ditekankan kepada keluarga yang ditempati, yaitu bahwa pada
dasarnya tidak ada standar tertentu untuk semua fasilitas rumah
keluarga tersebut. Segala fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa
harus disediakan seperti apa adanya yang terdapat di rumah atau
desa itu.
Di samping itu, ada beberapa hal sepele yang perlu
diinformasikan kepada keluarga yang akan ditempati pembelajar
seperti berikut ini.
1. Semua keperluan akomodasi (makan, minum, penginapan,
dan sebagainya.) diadakan sewajarnya sebagaimana yang
terjadi sehari-hari di rumah itu.
2. Keluarga diminta memberi kebebasan kepada mahasiswa
asing untuk memilih kegiatan yang akan diamati atau
diikuti. Keluarga diminta untuk tidak mengarahkan
mahasiswa untuk memilih satu kegiatan tertentu.

~ 135 ~
3. Yang diharapkan dari keluarga yang ditempati adalah
bahwa segala kegiatan yang ada di dalam keluarga
berlangsung sebagaimana apa adanya. Keluarga diminta
untuk tidak ”memanjakan” mahasiswa asing, baik dalam
hal fasilitas di dalam rumah, di luar rumah, perhatian,
maupun hal-hal lainnya. Studi pedesaan bukanlah
kegiatan wisata atau ”bertamu”.
4. Anggota keluarga tidak diperbolehkan mengajak,
membujuk, atau mempengaruhi mahasiswa asing agar
pergi meninggalkan lokasi (desa/kecamatan) untuk
mengunjungi suatu kegiatan atau objek di luar desa yang
ditempatinya, meskipun kegiatan/objek tersebut mungkin
menarik bagi mahasiswa. Kalau hal ini dibiarkan terjadi,
maka yang terjadi adalah mahasiswa asing ”berwisata
desa”. Desa atau keluarga yang ditempatinya seolah-olah
hanyalah tempat ”transit”.
E. Manfaat
Dengan kegiatan ini, ada beberapa manfaat yang diperoleh,
baik bagi pembelajar, penyelenggara BIPA, maupun bagi program
BIPA di masa datang. Beberapa manfaat itu diuraikan berikut ini.
Bagi pembelajar, studi pedesaan merupakan kegiatan yang
menantang untuk mempraktikkan kemampuan berbahasa Indonesia
dalam kehidupan nyata. Pembelajar akan memperoleh pengalaman
baru dalam berbahasa. Pengalaman bahasa yang dimaksud bukan
sekadar praktik berbahasa Indonesia, melainkan pembelajar
mendapatkan pengalaman dan pemahaman tentang ragam bahasa
Indonesia (dialek, formal dan nonformal, dan sebagainya.). Ini
penting dalam rangka meningkatkan kompetensi komunikatif
pembelajar.
Selain itu, studi pedesaan memberikan pengalaman budaya
secara nyata, bukan hanya melalui buku teks, kepada pembelajar.
Pengalaman budaya secara langsung dan nyata ini akan memberikan
kesan lebih kuat dan mendalam dibandingkan dengan pemahaman
yang didapat melalui ceramah atau kuliah khusus. Kesan kuat dan
mendalam ini akan melahirkan pemahaman dan empati secara lebih
luas untuk pengertian antarbudaya.

~ 136 ~
Bagi dosen pengajar BIPA, studi pedesaan dapat dijadikan
bahan dalam proses belajar-mengajar: isi laporan dan bahan atau
pengalaman yang didapat selama tinggal di desa dapat
dimanfaatkan oleh dosen sebagai salah satu bahan pelajaran menulis
(bahan pembuatan koran atau laporan akhir), pelajaran
percakapan/berbicara (misalnya dalam bentuk presentasi), pelajaran
tata bahasa (misalnya butir-butir kebahasaan tertentu yang baru atau
”berbeda” dengan yang telah diperoleh di kelas), dst.
Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya,
kegiatan ini akan memberikan dampak positif dalam kaitannya
dengan penciptaan citra positif kepada orang asing. Dengan tinggal
di desa, para pembelajar secara langsung mengalami dan merasakan
suasana kehidupan di desa yang aman, masih terpeliharanya sifat
gotong royong, toleransi antarsesama, saling menjaga dan
kepedulian antarsesama. Hal ini akan memperlihatkan secara tidak
langsung kepada pembelajar bahwa kehidupan di wilayah itu aman.
Ini merpakan promosi secara tidak langsung bagi Indonesia kepada
dunia luar bahwa sebetulnya Indonesia itu aman, bahwa Indonesia
itu tidak penuh dengan kekerasan, terorisme, seperti yang
diberitakan di televisi atau internet; bahwa berita-berita di media itu
hanyalah sebagian kecil dari situasi kehidupan di Indonesia dan
hanya terjadi kota tertentu. Perlu diketahui bahwa rekomendasi
pembelajar yang pernah tinggal di Indonesia kepada teman
senegaranya merupakan salah faktor penting pembelajar lain datang
ke Indonesia.
Kegiatan studi pedesaan dapat menjadi salah satu wahana
menjalin persahabatan antarbangsa dan meningkatkan
kesalingpahaman antarbangsa dan antarbudaya. Paskakegiatan
banyak pembelajar dan mantan keluarga-kos menjalin komunikasi
lebih lanjut. Kedua pihak melanjutkan komunikasi meskipun
pembelajar sudah meninggalkan lokasi. Bentuknya dapat bermacam-
macam, seperti saling berkirim surat atau email (bagi keluarga yang
mempunyai anak yang bisa mengakses internet), berkirim foto,
bapak/ibu kos dan pembelajar saling berkunjung ketika pembelajar
masih tinggal di Yogyakarta, atau pembelajar berkunjung ketika
datang kembali ke Yogya, bahkan ada pembelajar yang kembali
menginap di desa itu karena merasa rindu dengan kampung itu,

~ 137 ~
atau tertarik untuk mengadakan pengamatan/penelitian lebih
mendalam.
F. Beberapa Kendala
Kegiatan studi pedesaan terlaksana bukan tanpa hambatan.
Tentu saja hambatan itu dapat saja bervariasi untuk setiap wilayah
tempat penyelenggara BIPA berada. Beberapa hambatan yang
dijumpai di Yogyakarta berikut kiranya dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi penyelenggara BIPA apabila menyelenggarakan
kegiatan sejenis.
Pertama, masih banyak masyarakat pedesaan yang dalam
komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
pengantar. Dari sisi pengalaman budaya hal ini menarik, tetapi dari
segi komunikasi membuat mahasiswa asing mengalami kesulitan
komunikasi dan kadang-kadang frustasi. Memang bagi mahasiswa
asing yang telah atau sedang mengikuti kuliah bahasa daerah
(bahasa Jawa mialnya) hal ini menjadi tantangan dan pengalaman
yang menarik, tetapi bagi mahasiswa yang belum pernah mengambil
kuliah bahasa daerah/Jawa membuat perasaan tidak enak.
Kedua, image yang masih melekat dalam pikiran sebagian
masyarakat pedesaan yang masih menganggap bahwa orang asing
adalah turis, kaya, dan sebagainya, padahal tidak semua pembelajar
BIPA berasal dari keluarga kaya/mampu. Bagi sebagian masyarakat
pedesaan predikat ”turis” berkorelasi dengan kebebasan pergaulan,
kebebasan seksual. Itulah sebabnya mengapa pernah terjadi kasus
keluarga-kos meminta bantuan atau pinjaman finansial kepada
pembelajar untuk anggota keluarganya yang membutuhkan bantuan
finansial. Selain itu, juga pernah terjadi kasus pembelajar-mahasiswi
yang merasa dirinya dilecehkan oleh warga masyarakat. Kasus kecil
semacam ini akan mengganggu hubungan sosial pembelajar dengan
keluarga atau masyarakat setempat dan menimbulkan kesan negatif
bagi pembelajar.
Ketiga, faktor kesehatan lingkungan, khususnya masalah
nyamuk. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan, nyamuk
merupakan hal yang biasa, merupakan ”sahabat” dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat menganggap bahwa hidup di desa adalah
(hidup) bersahabat dengan nyamuk. Tidak demikian halnya dengan
pembelajar/mahasiswa asing. Meskipun pembelajar sudah dibekali
~ 138 ~
dengan informasi yang cukup dan obat, nyamuk menjadi salah satu
kendala psikologis pembelajar. Mereka merasa takut dengan akibat
yang timbul apabila digigit nyamuk. Seolah-olah semua gigitan
nyamuk berakibat serius seperti malaria atau demam berdarah.
Nyamuk merupakan salah satu faktor yang mengganggu
kenyamanan pembelajar tinggal di desa.
Keempat, diperlukan waktu untuk merencanakan dan
melaksanakan kegiatan ini. Masalah koordinasi dengan pemda dan
masyarakat setempat merupakan hal yang agak menyita waktu
dalam proses perencanaan. Dengan pemda, koordinasi berhubungan
dengan masalah perizinan yang umumnya tidak dapat diselesaikan
alam waktu yang singkat. Dengan masyarakat setempat, koordinasi
berhubungan dengan sosialisasi program dan peningkatan
pengetahuan terhadap pemahaman antarbudaya, khususnya untuk
mengantisipasi terjadinya hal-hal negatif seperti diuraikan di atas.
G. Kesimpulan dan Saran
Keberhasilan mengintegrasikan pengajaran bahasa dan
kebudayaan akan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi
peningkatan pengetahuan dan pemahaman antarumat manusia. Bagi
pembelajar asing, kemahiran dalam berbahasa Indonesia dan
kesensitifan terhadap kebudayaan Indonesia berperan penting bagi
pengembangan cita karsanya. Studi pedesaan memberikan
sumbangan sangat berharga dalam meningkatkan kemahiran dalam
berbahasa Indonesia dan kesensitifan budaya.
Bila studi pedesaan direncanakan dan diselenggarakan
dengan baik, akan memberikan kontribusi positif dalam upaya
meningkatkan pengertian dan pemahaman antarbudaya. Pengertian
dan kesan positif yang diperoleh pembelajar setelah mengikuti studi
pedesaan akan memberikan sumbangan bagi peningkatan minat
belajar tentang Indonesia. Sebaliknya, bila tidak direncanakan dan
diantisipasi dengan baik akan memberikan efek yang sebaliknya.
Karena itu, diperlukan sikap proaktif dan antisipatif dari
penyelenggara BIPA bila hendak menyelenggarakan kegiatan ini.
Kerja sama dan koordinasi yang baik antarlembaga sangat
dibutuhkan demi kelancaran dan keberhasilan kegiatan ini.

~ 139 ~
SASTRA INDONESIA: JENDELA LINTAS BUDAYA
UNTUK PEMBELAJAR BIPA/INDONESIAN STUDIES

Syukur Ghazali
(Universitas Negeri Malang)

A. Sastra sebagai Sumber tentang Indonesia


Ketika mencoba mendefinisikan sastra, Culler (1997) membuka
dunia sastra menjadi ladang ilmu. Menurut pandangan Culler,
ilmuwan tidak perlu memperuncing pertanyaan apakah ia
memperoleh ide dari fiksi atau bukan fiksi. Yang penting, menurut
profesor Perbandingan Sastra dari Cornell University ini, teks yang
kita baca mampu memperkaya, lebih memberikan daya, atau lebih
penting lagi, pikiran yang nanti mampu dipersaingkan dengan
pikiran lain, atau mampu memberikan contoh yang jauh lebih tepat
dan akurat dibandingkan contoh yang diambil dari sumber bukan
sastra, ketika seseorang hendak mengemukakan pikiran, baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Dalam pernyataannya, Culler (1997:
18) menegaskan bahwa, “It’s not that all texts are somewhow equal:
some texts are take to be richer, more powerful, more exemplary,
more contestatory, more central, for one reason or another.”
Mengapa Culler menekankan tentang pentingnya informasi
dari bacaan yang dikategorikan sebagai sastra? Dengan
membedakan informasi sejarah yang dikemukakan oleh sejarawan
dengan aspek sejarah yang diangkat oleh sastrawan, Culler (1997:19)
menyatakan bahwa, ”Characteristically, historians do not produce
explanations 5that are like the predictive explanations of science:
they cannot show that when X and Y occur, Z will necessarily
happen.” Dalam kutipan itu, dengan tegas dinyatakan bahwa
sejarawan hanya menjajarkan peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Penjelasan yang disajikan oleh sejarawan merupakan logika cerita
(logic of stories). Karena hanya mengandalkan logika, maka, ketika

~ 140 ~
menjelaskan Perang Dunia Pertama, Sang sejarawan berhenti pada
penjelasan mengapa perang itu terjadi, mengapa sebuah peristiwa
yang terjadi berikutnya berhubungan dengan peristiwa lain
sebelumnya, dan apa yang terjadi sesudahnya, yang kesemuanya itu
harus mengikuti alur sebuah logika.
Peristiwa yang diangkat ke dalam sastra bukan dilakukan
secara sebarang. Sastrawan mempertimbangkan secara mendalam
bagian yang mana dari sebuah peristiwa yang layak dijadikan
bagian dari tulisan kreatifnya. Percy (1981:17) menjelaskan bahwa
penulisan sastra merupakan hasil inspirasi, persepsi, pencarian, atau
pengungkapan dari emosi yang sangat kuat. Sangat lazim bagi
seorang penulis kreatif untuk melahirkan karya sastra yang tecipta
berkat sang kreator melakukan creative problem-solving. Karena itu,
dalam penulisan kreatif, penulis profesional mengombinasikan
sejumlah proses: eksplorasi, penemuan, penyeleksian, dan evaluasi
terhadap bahan tulisan yang hendak diambil dan bahan tulisan yang
hendak disajikan kepada pembaca.
Bertolak dari pandangan-pandangan di atas, dapatlah
dikatakan bahwa karya sastra layak dijadikan sumber atau bahan
ajar yang mampu memperkaya BIPA/Indonesian Studies. Dengan
bahan dari karya sastra, berbagai informasi tentang Indonesia dapat
diangkat sebagai bahan diskusi, sumber dialog yang asli, salah satu
referensi ketika pembelajar BIPA/Indonesian Studies hemdak menulis
makalah tentang Indonesia. Lebih dari itu, sastra mampu
memberikan suasana yang hidup dan menantang, karena bahasa
sastra adalah bahasa ”otentik”, sehingga mampu merasuk ke dalam
jiwa pembelajar yang membaca atau mendengarnya.
Jika kita mau mundur sedikit ke pandangan-pandangan
tentang sastra yang dikemukakan oleh ahli-ahli sastra yang lebih
dahulu dari Culler, Wellek dan Warren (Budianta, 1990:109),
misalnya, telah lama menyatakan bahwa sastra adalah institusi sosial
yang memakai medium bahasa. Dengan tidak ragu-ragu, Wellek dan
Warren melanjutkan pernyataannya, bahwa sastra ”menyajikan
kehidupan” dan ”kehidupan” yang sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun sastra juga ”meniru” alam dan dunia

~ 141 ~
subjektif manusia. Bahkan, dalam bukunya yang telah tergolong
klasik itu, penelitian sastra dari sudut tinjau ekstrinsik yang
mengambil aspek khusus dari dalam sastra, seorang peneliti dapat
mengaitkan sastra dengan situasi tertentu, misalnya sistem politik,
ekonomi, dan sosial tertentu (Budianta, 1977:109). Karena itu,
bertolak dari kacamata ekstrinsik, besar kemungkinan bagi
seseorang untuk membaca karya sastra untuk memperoleh informasi
di luar sastra itu sendiri, sebab, di dalam sastra terdapat informasi
yang menurut Teeuw (1984:150-152) adalah ”pembayangan” atau
”pencerminan kenyataan”.
Jadi, seorang pembaca karya sastra karangan sastrawan
Indonesia, menurut pandangan di atas, pembaca tersebut dapat
memanfaatkan informasi yang disampaikan oleh sastrawan dalam
karyanya itu sebagai percerminan kenyataan yang ada di Indonesia.
Dengan keyakinan itu, pembaca itu dapat ”mempercayai” informasi
tentang Indonesia yang termuat dalam karya itu.
B. Sastra sebagai Bahan Ajar BIPA/Indonesian Studies
Noveseltseva (2003) menekankan tentang pentingnya bahan-
ajar-BIPA yang beragam agar tujuan pembelajaran komunikasi dan
silang budaya dapat terpenuhi. Untuk itu, pengajar bahasa Indonesia
di Universitas Rusia tersebut menganjurkan untuk menggunakan
sastra Indonesia sebagai bahan ajar yang kaya dengan gambaran
tentang situasi, gaya hidup, tradisi, kebudayaan dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Imbauan pengajar MGIMO ini sesuai
dengan pandangan During (dalam Bhaba, 1990) yang menyatakan
bahwa sastra adalah identitas nasional dan perekam warisan budaya
yang tidak dapat dinafikan kebenarannya. Akan tetapi, meskipun
pikiran berharga itu sudah dilontarkan 4 tahun yang lalu, dalam
prosiding KIPBIPA III di Bandung, KIPBIPA IV di Denpasar, Bali,
dan KIPBIPA V di Makassar, belum ada satu pun makalah yang
secara khusus mengangkat sastra sebagai bahan ajar yang dapat
dijadikan jendela informasi tentang Indonesia.
Pikiran Noveseltseva (2003) tersebut di atas sejalan dengan
kebutuhan pembelajaran bahasa Indonesia di luar negeri yang
mempelajari bahasa Indonesia sebagai wahana untuk mempelajari
~ 142 ~
aspek kemasyarakatan, sistem politik, ekonomi, agama, atau budaya
dari negara-negara yang bertetangga dengan negaranya sendiri, atau
dengan negara-negara yang mempunyai hubungan politik atau
hubungan dagang dengan negaranya. Sebagai contoh, Regional
Studies Program (Southeast Asia), salah satu program di Faculty of
Liberal Arts, Walailak University, Nakhon Si Thammarat, Thailand,
dengan tegas menyuratkan di dalam rumusan tujuan Jurusan ini,
bahwa:
“Regional Studies” means the study of a particular region
from different disciplinary perspectives. The Regional Studies
curriculum at Walailak University emphasises the study of the
societies, cultures, histories, economics, politics, ethnic groups,
religions and languages of Southeast Asia, with a special focus
on Thailand’s close neighbour, Malaysia and Indonesia. …
The on-going regional integration of Southeast Asia
through the framewrok of Asean makes a knowledge of the
countries of The Southeast region, not only in the area of
economy, but also in politics, society, and culture, more
important than before.
Untuk mewujudkan misinya tersebut, Regional Studies
Program (Southeast Asia) menyusun struktur kurikulumnya seperti
berikut:
1. Mata Kuliah Inti (wajib):
1. Bahasa Indonesia
2. Sejarah, Budaya, dan Masyarakat Asia Tenggara
3. Kebinekaan Suku dan Budaya di Asia Tenggara
4. Media Masa dan Budaya Populer di Asia Tenggara
5. Hubungan Jender dan Seksualitas di Asia Tenggara
6. Krisis Lingkungan dan Konflik sumber daya di Asia
Tenggara
7. Dunia islam di Asia Tenggara, dan
8. Teori Ilmu-ilmu Sosial dan Kemasyarakatan Kontemporer.
2. Mata Kuliah tentang Indonesia, di antaranya:
1. Kolonialisme, Revolusi, dan Kebangkitan Bangsa
Indonesia

~ 143 ~
2. Etnisitas dan Integrasi Nasional di Indonesia
3. Keris dan Wayang: Politik Kontemporer di Indonesia
4. Politik Ekonomi Indonesia di Pentas Dunia

3. Mata Kuliah Pilihan, di antaranya:


1. Pergerakan Agama dan Masyarakat Modern di Asia
Tenggara,
2. Arts and Achealogy in SEA: From Lost Kingdoms to
Cultural Commodities, dan
3. Writing the Nation: Modern Literature in Southeast Asia
Bertolak dari struktur kurikulum seperti di atas, pembelajaran
Indonesian Studies melalui matakuliah 1108-305 Writing Nation:
Modern Literature in South East Asia, mahasiswa diarahkan
mempelajari sastra untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh
industri percetakan terhadap suatu negara, khususnya pengaruh
sastra terhadap pola berpikir, perilaku, dan perikehidupan suatu
bangsa pada masa kolonial, pascakolonial, dan zaman reformasi, dan
juga pengaruh Sosialisme Sosialis terhadap sastra Indonesia.
Dengan tujuan perkuliahan seperti itu, sastra Indonesia tidak saja
dijadikan sebagai sumber asli bahasa yang kaya dengan dialog yang
hidup dan menarik untuk dipelajari ciri kebahasaannya, dihafalkan
atau didramatisasikan, tetapi juga dapat dipelajari sebagai sumber
sejarah, ekonomi, politik, budaya, sosial dan agama pada saat karya
sastra tersebut ditulis. Dengan demikian, pembelajaran sastra dapat
dijadikan sebagai jendela lintas budaya, sebab, dalam perkuliahan
itu, sastra Indonesia dihadirkan sebagai rekaman identitas nasional
dan warisan budaya bangsa Indonesia yang menyediakan sumber
sejarah, politik, dan budaya Indonesia. Melalui Cerita Dari Blora
karangan Pramoedya, atau membaca kumpulan cerita pendek
Bromocorah karangan Mochtar Lubis, misalnya, mahasiswa dapat
memperoleh informasi tentang perilaku penjajah dan masyarakat
yang dijajah pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Paparan
tentang sastra Indonesia sebagai jendela lintas budaya tersebut dapat
diikuti dalam uraian berikut ini.

~ 144 ~
1. Sastra sebagai Bahan Ajar yang Bermuatan Sejarah Kolonial
Belanda/Jepang Melalui Kacamata Pram
Membahas aspek politik dan sejarah kebangsaan yang termuat
di dalam sastra menjadi kegiatan pembelajaran yang menarik, baik
bagi dosen-dosen maupun mahasiswa-mahasiswa di Regional
Studies Program di Walailak University. Terutama dosen-dosennya,
mereka sangat menghayati pandangan Homi Bhaba (1990: 1) dalam
pengantar bukunya sendiri yang berjudul ”Nation and Narration”.
Dinyatakannya pada awal pengantar bukunya, bahwa:
Nations, like narratives, lose their origins in the myths of time
and only fully realize their horizons in mind’s eye. Such an
image of the nation -– or narration -- might seem impossibly
romantic and excessively metaphorical, but it is from those
traditions of political thought and literary language that the
nation emerges as a poweful historical idea in the west. An idea
whose cultural compulsion lies in the impossible unity of the
nation as a symbolic force. This is not to deny the attempt by
nationalist dicourses persistently to produce the idea of the
nation as a continuous narrative of national progress, the
narcicisism of self-generation, the primeval present of the Volk.
Bertolak dari pandangan Bhaba yang dikembangkannya dari
pikiran Benedict R.O. Anderson dalam bukunya Imagined
Communities itulah di Regional Studies Program sangat disukai
karya-kaya Pramoedya Ananta Toer, sehingga kuartet Buru-nya
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Thai oleh Pakavadi
Verapaspong dari bahasa Inggris seakan-akan menjadi bacaan wajib
bagi mahasiswa yang hendak mempelajari Indonesia3.
2. Rekaman Masa Kolonial Belanda/Jepang Melalui Kacamata
Pram
3
Untuk memberikan penjelasan yang berimbang tentang sikap pemerintah
Indonesia terhadap pelarangan karya-karya Pram , penulis menguraikan
keterlibatan Pram dalam Lekra dan kekentalan ciri realisme sosialis
karyanya dalam sebuah makalah yang disajikan dalam seminar sehari
yang dilaksanakan dalam rangka memperingati meninggalnya Pramoedya
Ananta Toer dan Kanoppong (Sastrawan Nakhorn Si Thammarat,
Thailand).
~ 145 ~
Terlepas dari keterlibatannya di dalam LEKRA, harus diakui
bahwa Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang Indonesia
yang sangat produktif. Oleh ahli-ahli sastra Indonesia dari manca
negara, di antaranya Foulcher (1993) dan Maier (2004), Pram
digolongkan sebagai pengarang berkaliber dunia. Karya-karyanya
telah diterjemahkan ke 36 bahasa di dunia, dan banyak dibahas oleh
ahli sastra dunia. Bahkan Maier sangat menyanjung tinggi karya
Pramoedya sebagai karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan
yang sangat menguasai aliran realisme sosialis. Rekaman kenyataan
sosial, politik, dan budaya Indonesia yang disajikan oleh Pram,
khususnya dalam ”Cerita Dari Blora” (CDB) seperti berikut ini.
a.  Kemiskinan dan Akibatnya
Tanah Blora yang gersang berisi penduduk yang sebagian
besar miskin. Hanya mereka yang bekerja kepada pemerintah sajalah
yang memperoleh penghasilan tetap. Miskin dan akibat kemiskinan
itulah yang menjadi pokok perhatian Pram. Akibat kemiskinan yang
ditunjukkan oleh Pram dalam CDB ialah keluarganya jadi bodoh
(Pelarian yang tak Dicari), mau menjadi gundik (Hidup yang tak
Diharapkan), atau menjadi pelacur murahan di warung-warung kopi
di tepi jalan (Pelarian yang tak Dicari), atau dikawini oleh siapa saja
asal seseorang bisa menumpang hidup, meskipun akhirnya ia
menderita karena sipilis yang dibawa oleh lelaki yang tidak dikenal
sebelumnya (Nyi Kin dalam ”Yang Sudah Hilang, dan ”Yang
Menyewakan Diri”), atau menjadi pencuri sapi, begal, atau rampok,
seperti dalam ”Hidup yang Tak Diharapkan. Juga karena
kemiskinanlah muncul kebiasaan mengawinkan anak pada usia
sangat muda, seperti dalam ”Inem”. Dan akibat kemiskinan dan
kesulitan mencari kerja seseorang mau disewa untuk menghabisi
nyawa orang lain meskipun bayarannya sangat murah.
b.  Penderitaan Akibat Penjajahan
Kedatangan penjajah tidak pernah mendatangkan kebahagiaan
bagi bangsa Indonesia. Menderita akibat harta benda dirampas,
barang perdagangan perdagangan diblokade untuk kepentingan
penjajah merupakan potret yang dituangkan kembali oleh

~ 146 ~
Pramoedya dalam cerpen-cerpen dalam CDB, seperti dalam
”Kemudian Lahirlah Dia”, ”Dia Yang Menyerah”, dan dalam
”Hidup Yang Tak Diharapkan”.
Telah menjadi cerita umum bahwa jika Belanda atau Jepang
datang ke suatu daerah, ketika pulang mereka mesti membawa satu
atau dua orang perempuan ke tangsinya untuk dijadikan gundik
yang kemudian melahirkan anak-anak yang tidak punya bapak yang
sah. Karena kemiskinannya, perempuan itu senang saja, karena di
tangsi perutnya kenyang, tetapi sebagai imbalannya, ia harus
bersedia memenuhi nafsu seksual mereka. Setelah bosan, perempuan
dikembalikan ke rumahnya tanpa pemenuhan kewajiban apa-apa.
Pramoedya menceritakan hal ini dalam “Hidup yang Tak
Diharapkan”.
c.  Perbuatan Tidak Terpuji di Masa Penjajahan
Mungkin karena terpaksa, bisa juga karena imbalan yang
diterima, seseorang mau menjadi mata-mata penjajah, dan
korbannya adalah bangsanya sendiri. Jika mata-mata itu masih
hidup di zaman merdeka, anaknya akan menjadi cemoohan orang
banyak. Akibatnya, anak yang tidak berdosa ikut menderita batin
akibat perbuatan orang tuanya. Kejadian ini dituturkan secara intens
oleh Pram dalam ”Anak Haram”.
d.  Bentuk-bentuk Perjuangan yang Dilakukan oleh Rakyat
Atas prakarsa sendiri, rakyat dengan sukarela melakukan
sesuatu yang bermanfaat untuk mengisi kemerdekaan, misalnya
mendirikan koperasi, pemberantasan buta huruf, atau mendirikan
sekolah swasta dengan biaya dari kantong sendiri. Perbuatan mulia
ini diangkat oleh Pram dalam cerpennya ”Kemudian Lahirlah Dia”.
1) Penderitaan di Masa Perjuangan Revolusi
Menjadi korban peluru hingga tubuhnya cacat merupakan
konsekuensi peperangan. Sebagai akibatnya, sang korban tidak lagi
bisa mandiri dan harus tergantung pada orang lain. Ketergantungan
tersebut merupakan penderitaan batin bagi tokoh yang sebelumnya

~ 147 ~
merupakan orang ”merdeka”. Penderitaan tokoh korban perang ini
hadir dalam ”Yang Hitam”.

2) Munculnya Partai Sosialis Pesindo


Sebuah partai yang diharapkan dapat memberikan harapan
akan perubahan di masa datang acapkali mengundang simpati calon
anggota baru. Bisa juga calon anggota merasa tertarik dengan partai
baru itu, karena partai baru tersebut dapat membakar semangat
anggotanya, memberikan kegagahan dan rasa percaya diri,
sebagaimana yang termuat dalam ”Dia Yang Menyerah”. Diah
tertarik masuk Pesindo karena partai itu memberinya identitas yang
membuat dirinya gagah, meskipun ia tidak tahu apa Pesindo itu
sebenarnya.
3) Kenangan Masa Kecil Dalam Keluarga
Masa kecil dalam kehidupan bernuansa Jawa bersama bapak,
ibu, dan saudara-saudara di kampung memberikan pengalaman
yang kental kepada Pram. Sketsa yang ditulis dalam bentuk
rangkaian peristiwa dalam cerpen ”Yang Sudah Hilang” merupakan
bukti munculnya kembali ibu yang lembut tetapi tegas bila anak
berbuat salah, bayangan menakutkan ketika duduk sendiri di
rumah, ketakutan akan ditinggal oleh ayah akibat ayah bepergian
dalam waktu yang relatif lama, dan hubungan akrab dengan
pembantu yang sering bercerita kepada anak.
Kedatangan adik baru merupakan pengalaman lain yang
mendebarkan bagi seorang kakak. Pramoedya mencatat peristiwa ini
dalam ”Kemudian Lahirlah dia”. Bagaimana seorang saudara yang
lebih tua kebagian tugas ketika seorang ibu menghadapi masalah,
merupakan pendidikan masa kecil yang berkesan. Selain itu, anak
kecil masih berada pada usia pengasuhan ibu. Jadi, waktunya
bersama ibu sangat panjang. Pada saat inilah petuah, nasehat,
contoh-contoh kehidupan, dapat dengan intensif diberikan pada
anak, misalnya untuk selalu jujur, tidak mengambil sesuatu yang
bukan haknya, selalu giat berusaha dan tidak boleh malas,

~ 148 ~
merupakan petuah ibu Jawa dalam “Kemudian Lahirlah Dia”.
Meskipun pada saat itu anak belum ingat betul, tetapi jika peristiwa
itu terjadi berulang-ulang, pada akhirnya akan menjadi ingatan yang
tidak terlupakan.
Pengalaman mengaji dan bersunat merupakan peristiwa
penting yang dipotret kembali oleh Pramoedya dalam ”Sunat”.
Tahap inisiasi yang memberikan pengalaman rohaniah ini melekat
erat dalam diri Pram, karena pada masa ini anak sudah tumbuh
kemampuan berpikirnya. Perhatian ayah dan ibu, kekaguman teman
karena ia sudah lebih dahulu disunat, ketakutan ketika pisau cukur
akan memotong ujung kemaluannya, hadiah yang diterima oleh
anak yang melakukan sunat, merupakan saat-saat yang sulit
dilupakan oleh siapa pun yang pernah mengalami peristiwa ini.
Kenangan masa kecil yang kurang membahagiakan juga
muncul dalam CBD. Ibu yang meninggal ketika anaknya masih kecil
hadir di dalam ”Dia yang Menyerah”. Bukan soal kematiannya yang
perlu ditangisi, tetapi kejadian berikutnya yang muncul dan
menyedihkan hati anak-anak yang ditinggalkan. Dalam ”Dia yang
Menyerah”, Sri yang masih anak-anak, baru berumur sepuluh tahun,
harus bersedia berhenti dari sekolah karena ia harus bertindak
sebagai kepala rumah tangga di masa ekonomi yang sangat sulit,
harus rela lapar sebelum adik-adiknya kenyang, tidak berias diri
karena khawatir uang belanja tidak cukup, dan beberapa
penderitaan lainnya.
C. Rekaman Masa Perjuangan dan Pascakemerdekaan Indonesia
Melalui Kacamata Mochtar Lubis

Dalam kumpulan cerita pendek ”Bromocorah dan Cerita


Pendek Lainnya” kaya Mochtar Lubis terdapat dua contoh yang
menarik untuk dibahas dalam makalah ini, yaitu Uang, Uang, Uang
dan Hati yang Hampa. Pada cerpen yang pertama, Mochtar
bermaksud menuturkan bahwa ada juga orang Indonesia keturunan
Cina yang nasionalis. Dalamcerpen yang kedua, Mochtar ingin
menuturkan bahwa ada beberapa orang Indonesia yang berada di

~ 149 ~
luar negeri yang bersedia menghibahkan harta bendanya untuk
bumi pertiwi yang dicintainya ”dari jauh”.

1. Keturunan Cina di Mata Mochtar Lubis


Dalam cerpennya Uang, Uang, Uang, Mochtar bercerita bahwa
tidak semua keturunan Cina tidak berjiwa nasionalis. Ringkasan
cerpen itu sebagai berikut:
Bok, keturunan Cina yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia, terpaksa meninggalkan tanah air tempat tumpah
darahnya dan kekasihnya karena keselamatannya terancam.
Meskipun berat hati, ia meninggalkan Indonesia menuju
Belanda, karena ayahnya telah mendepositokan seluruh
hartanya di sebuah bank di Belanda. Di Belanda, Bok hidup
berfoya-foya dengan teman-temannya dan wanita-wanita dari
berbagai bangsa. Pada akhir hayatnya, Bok sering sakit; Ema,
pembantunya yang orang Belanda, secara diam-diam
membuat surat wasiat yang diajukan kepada Bok untuk
ditandatangani ketika Bok setengah pingsan akibat asmanya
kambuh. Pengkhianatan Ema terbongkar tanpa diketahui oleh
pembantu culas itu. Dengan diam-diam, Bok menyuruh
penasehat hukumnya membuat surat wasiat yang isinya
mewariskan seluruh hartanya kepada pemerintah Indonesia
untuk biaya perjuangan.
Dari plot cerita dan pengakhiran cerita yang dibuat oleh
Mochtar, seseorang yang pernah belajar sejarah akan mengatakan
bahwa Mochtar, dengan cerpennya ini, ingin mengoreksi Bung
Karno yang dengan serta-merta mengusir Cina dari bumi Indonesia.
Dari sejarah pula, kita tahu bahwa Mochtar, dengan sikapnya yang
bertolak belakang dengan Bung Karno itu, termasuk salah seorang
yang pernah merasakan hidup di balik jeruji besi tanpa melalui
pengadilan. Dengan cerpennya itu, Mochtar bermaksud mengatakan
bahwa pengusiran Cina secara membabi buta itu adalah tindakan

~ 150 ~
yang kurang bijaksana. Itulah sikap politik Mochtar yang besar
kemungkinan juga menjadi sikap politik orang lain di Indonesia.
2. Perkawinan Antarbangsa di Mata Mochtar Lubis
Sebagai seorang sastrawan, Mochtar dikaruniai penglihatan
dan perasaan yang lebi tajam dibandingkan orang biasa. Dengan
ketajaman indranya itu, Mochtar ingin bertutur, bahwa hidup
bergelimang harta, sebagaimana dialami oleh orang barat, tidaklah
selalu diiringi dengan hati yang damai. Kehampaan hati yang
dialami oleh Padma, wanita keturunan bangsawan Madura, yang
kawin dengan Jacques, diplomat Perancis, itulah yang dikisahkan
oleh Mochtar dalam Hati yang Hampa. Ringkasan cerpen itu seperti
berikut ini.
Padma, anak bangsawan Madura, sempat mengenyam
pendidikan HBS. Dengan pendidikannya itu, ia fasih
berbahasa Belanda, Perancis, dan Inggris. Kefasihan
bahasanya itulah yang membawanya menjadi wartawan dan
pada suatu kali ia berjumpa dengan Jacques, diplomat
Perancis. Padma bersikeras kawin dengan diplomat itu dan
hidup bersama suaminya itu di Perancis, meskipun orang
tuanya bersumpah tidak akan mengakui Padma sebagai
anaknya. Ternyata, perkawinan yang tidak direstui itu hancur
pada tahun kedua, ketika Padma tahu bahwa Jacques tidak
saja bermain cinta dengan perempuan lain, tetapi juga dengan
sesama laki-laki. Akibat perceraian itu, Padma menerima
pembagian harta yang tidak ternilai. Namun, meskipun dari
luar ia hidup di rumah besar dan mewah di Paris, tetapi
hatinya jauh dari damai dan kasih sayang, karena ia tidak
mau menjilat ludahnya sendiri untuk meminta maaf kepada
kedua orang tuanya. Kepada Mochtar, Padma berbisik, bahwa
ia ingin menghibahkan hartanya yang berupa perpustakaan
yang berisi sumber ilmu yang mahal harganya kepada tanah
air yang dicintainya, Indonesia.
Dalam cerpen yang kedua ini, Mochtar mengambil tema
kedamaian hati. Sebagai putra Sumatera yang dilahirkan di Ranah
Minang, Mochtar tetap menjunjung tinggi nilai restu orang tua
~ 151 ~
dalam pernikahan. Meskipun kawin berdasarkan cinta, tetapi karena
pasangan Padma berasal dari bangsa dengan kebudayaan yang
berbeda, menurut Mochtar, pasangan itu akan banyak menemui
benturan budaya yang dapat membawa pasangan itu ke perceraian
yang menyakitkan. Meskipun secara hukum Padma berhak
menerima pembagian harta, tetapi kemewahan itu tidak mampu
menjadikannya hidup bahagia. Inilah nilai budaya yang masih
dipegang teguh oleh bangsa Indonesia yang perlu dipahami oleh
bangsa lain yang ingin memahami bangsa Indonesia.
D. Pembelajaran Indonesian Studies dengan Bahan Ajar Sastra
1. Metode dan Media Pembelajaran
Karya sastra yang dijadikan sebagai bahan ajar dalam kelas
Indonesian Studies disikapi sebagai bahan bacaan untuk membaca
ekstensif. Dengan cara ini, mahasiswa diminta membaca karya sastra
secara berulang-ulang agar mereka dapat memahami isinya karya
sastra itu secara global. Untuk memahami isi cerita, mahasiswa
dituntun dengan pertanyaan pembimbing seperti contoh berikut:
1. Mengapa Bok hendak meninggalkan Indonesia? Apakah
ia tidak cinta lagi kepada tanah airnyaIndonesia?
2. Apa alasan Bok meninggalkan Indonesia untuk
selamanya?
3. Mana yang lebih dicintai Bok, hartanya atau kekasihnya,
Reni?
4. Apa yang dilakukan oleh Bok pada awal ia hidup di
Belanda?
5. Apakah Bok pandai menghemat uangnya?
6. Siapakah Emma? Bagaimana hubungan Bok dengan
Emma?
7. Apakah Emma seorang pembantu yang jujur atau jahat?
Carilah bukti yang mendukung jawab Anda!
8. Apa yang dilakukan oleh Emma terhadap harta Bok?
9. Apa yang dilakukan oleh Bok untuk menyelamatkan
hartanya?
10. Kepada siapa Bok mewariskan hartanya di dalam surat
wasiatnya?
~ 152 ~
11. Apakah Bok berjiwa nasionalisme yang baik?
Dengan pertanyaan-pertanyan di atas, mahasiswa dituntun
untuk menemukan isi global cerita; dan dengan pertanyaan-
pertanyaan itu pula, mereka dapat diminta untuk membuat
ringkasan cerita.
Setelah paham isi karya sastra itu, mereka diajak untuk
memahami unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
terkandung di dalam karya tersebut. Ketika membaca Dia yang
Menyerah dalam CDB, misalnya, mahasiswa berjumpa dengan
informasi tentang masuknya ”pasukan merah” ke Blora. Untuk
memperluas wawasan mereka tentang pengaruh PKI di Indonesia,
mereka bisa saja diminta membaca sumber lain, misalnya, ”Kelir
Tanpa Batas” oleh Umar Kayam. Melalui buku itu, mahasiswa akan
memperoleh informasi yang lebih dalam tentang pengaruh PKI di
dalam kesenian wayang di Jawa.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pemberontakan
PKI di Indonesia, mahasiswa dapat diajak untuk membaca tulisan
Hermawan Sulistyo yang berjudul ”Palu Arit di Ladang Tebu:
Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966)” (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xv + 291 halaman. Dalam
buku ini mahasiswa akan mengetahui bahwa setelah G 30 S PKI
telah terjadi pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966, yang merupakan salah
satu pembunuhan yang terbesar di dunia.  Diperkirakan 78.000--
500.000 orang telah dibantai dalam kurun waktu itu.  Bahkan,
beberapa sarjana memperkirakan jumlah korban mencapai satu juta
orang.
Selain cara-cara di muka, bacaan sastra dapat disikapi sebagai
bahan untuk perbandingan sastra. Mereka dapat diminta untuk
membaca cerita pendek dari negara mereka sendiri yang
mempunyai tema yang sama atau mirip dengan cerita yang baru saja
mereka pelajari. Di Thailand, mereka dapat diajak untuk
mendiskusikan cerpen-cerpen Khamsing Srinawk dalam bahasa Thai
dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, cerpen
berjudul ”Dust Under Foot” atau ”Breeding Stock”. Di dalam cerpen

~ 153 ~
pertama itu, mahasiswa akan menjumpai kisah, bahwa kekuasaan
dapat membuat seseorang tidak berperikemanusiaan, karena
nalarnya dikendalikan oleh nafsunya. Pada cerpen yang kedua,
mahasiswa dibuka matanya oleh pengarang, bahwa kekuatan asing
itu tidak akan membuat bangsa mereka menjadi tuan rumah di
negaranya sendiri: mereka datang untuk menghisap bangsa Thai,
dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk
kepentingannya sendiri.
2. Evaluasi Pembelajaran
Selain evaluasi yang konvensional berupa tes, mahasiswa boleh
memilih untuk dievaluasi dengan cara lain, misalnya membuat
proyek kecil menulis makalah (lihat lampiran). Dengan makalah itu,
pengajar dapat mewawancarai mahasiswa, sehingga nilai bisa
diberikan bukan saja pada kemampuan tulis mahasiswa, melainkan
juga pada kemampuan lisannya.
E. Penutup
Sastra dapat dijadikan sebagai bahan yang menarik untuk
menghidupkan kelas BIPA yang bertujuan untuk mempelajari
sesuatu tentang Indonesia. Bahasa sastra yang hidup, dan isinya
yang informatif, merupakan bahan ajar yang dapat dijadikan sebagai
alternatif yang menjanjikan.
Daftar Pustaka

Bhaba, Homi K. 1990. Introduction: Narrating the Nation. Dalam


Bhaba, Homi K. 1990. Nation and Narration. London:
Routledge.
Culler, Jonathan. 1997. Literary Theory. Oxford: Oxford University
Press

During, Simon. 1990. Literature—Nationalism’s Other? The Case for


Revision. Dalam Bhaba, Homi K. 1990. Nation and Narration.
London: Routledge.

~ 154 ~
Ghazali, A. Syukur. 2006. Mengenal Wajah Indonesia Melalui Penulis
Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer. Makalah disajikan
pada seminar sehari memperingati meninggalnya dua
penulis Asian: Pramoedya Ananta Toer dan Kanokphong di
Institute of Liberal Arts, Walailak University, Tha sala,
Nakorn Sri Thammarat, Thailand, 27 Juli 2006. Tidak
Diterbitkan.

Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Jogyakarta: Pusat Studi


Kebudayaan UGM.

Maier, Henk. 2004. We Are Playing Relatives: A Survey of Malay


Writing. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Percy, Bernard. 1981. The Power of Creative Writing, a Handbook of


Insights, Activities, and Information to Get Your Students Involved.
Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall Inc.

Srinawk, Khamsing. 1991. The Politician and Other Stories. New York:
Oxford University Press.

Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah


Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1977. Teory Kesusastraan.


Terjemahan Melani Budianta. 1990. Jakarta: PT Gramedia.

~ 155 ~
Lampiran 1

Proyek Penulisan Makalah oleh Arm Suttideth

Politik dalam Zaman Jenderal Sarit Thanarat


Jenderal Sarit Thanarat adalah perdana menteri ke-sebelas di
negara Thailand. Dia menjadi perdana menteri dari kuasa angkatan
darat. Dia adalah tentara di angkatan darat. Dia melakukan kudeta
di negara Thailand karena dia ingin berkuasa dalam politik. Dia
melakukan kudeta pada tanggal 16 bulan September tahun 1957.
Kudeta ini bernama “Kudeta Pada Tahun 1957”. Dalam kudeta ini
jenderal Sarit Thanarat merampas kekuasaan dari jenderal Pao.
Phibul Songkhram. Jenderal Pao. Phibul Songkhram adalah perdana
menteri ke-sepuluh di negara Thailand. Dia adalah perdana menteri
yang berkuasa terlama dalam negara Thailand. Politik dalam zaman
jenderal Pao. Phibul Songkhram adalah pola demokrasi. Dia bersatu
dengan jenderal Sarit Thanarat tetapi sesudah itu, jenderal Sarit
Thanarat dan teman-teman yang dari angkatan darat seperti letnan
jenderal Thanom Kittikhajohn, letnan jenderal Prapas melakukan
kudeta untuk berebuk kekuasa dari jenderal Pao. Phibul Songkhram.
Kemudian kudeta ini jenderal Sarit Thanarat tidak menjadi perdana
menteri. Dia melantik Bapak Pot Sarasin menjadi perdana menteri
(sementara) tetapi dia kontrol kuasa di belakang.

~ 156 ~
Mengapa ada Kudeta pada Tahun 1957 oleh Jenderal Sarit
Thanarat?
Politik dalam zaman lalu Jenderal Pao. Phibul Songkhram
yang menjadi perdana menteri. Dia dan Jenderal Sarit Thanarat
bersatu karena mereka adalah tentara di angkatan darat yang sama.
Mereka belajar di sekolah yang sama. Ketika jenderal Pao. Phibul
Songkhram berkuasa kuat dia membantu jenderal Sarit Thanarat.
Jenderal Sarit Thanarat sangat cepat dapat pangkat tentara yang
lebih tinggi. Jenderal Pao. Phibul Songkhram tersuka rezim politik
demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam zamannya , dia merombok
sosial dan lain-lain. Dia mengganti nama negara dari nama Syiam
menjadi nama Thailand. Dia menentukan lagu negara Thailand juga.
Pada tanggal 26 bulan Februari 1957 adalah hari pemilihan
umum. Dalam pemilihan umum ini, masyarakat sangat gugup
karena ada banyak partai politik.
Hasil pemilihan umum ini

Partai Politik Jumlah Kursi di


Parlemen
Saree Manang Ka Sila 85
Pracha Thippat 28
Siree Prachathippathai 11
Thammathippat 10
Niewrumsanthakorn 8
Chardniyom (Nasionalis) 8
Hypark 2
Idsara (Otonomi) 2
Partai Lain-lain 13
Pemilihan umum ini partai Saree manang ka sila mendapat
suara paling banyak. Partai Saree manang ka sila adalah partai
pemerintah yang kepalanya bernama jenderal Pao. Phibul
Songkhram. Maka jenderal Pao. Phibul Songkhram menjadi perdana
menteri lagi. Tetapi pemilihan umum ini, masyarakat tidak percaya.
Masyarakat percaya bahwa pemilihan umum ini dicurangkan oleh
jenderal Pao. Phibul Songkhram dan anggota dalam partai Saree
manang ka sila. Lalu jenderal Sarit Thanarat yang wakil kepala

~ 157 ~
partai Saree manang ka sila mengundurkan diri dari partai ini.
Jenderal Sarit Thanarat mengundurkan diri dari partai Saree manang
ka sila karena dia tidak suka perbuatan orang dalam partai ini. Lalu
dia mendukung masyarakat yang sedang unjuk rasa. Jenderal Sarit
Thanarat disukai oleh masyarakat dan ingin jenderal Pao. Phibul
Songkhram menggundurkan diri dari pangkat perdana menteri.
Kemudian jenderal Sarit Thanarat dan orang yang mendukungnya
terutama tentara dalam angkatan darat melakukan kudeta pada
tanggal 16 september 1957. Kudeta pada tanggal ini ada simbol yaitu
bahan berwarna putih di lengan semua tentara. Bahan berwarna
putih ini berarti bahwa kuasa murni (Pure Power).
Lalu jenderal Pao. Phibul Songkhram melarikan diri pergi ke
luar negeri. Sejak kudeta itu jenderal Sarit Thanarat mengedalikan
politik di Thailand satu-satunya. Tetapi dia tidak menjadi perdana
menteri. Jenderal Sarit melantik Bapak Pot Sarasin mejadi perdana
menteri sementara sampai hari pemilihan umum.
Pemerintahan (Sementara) Bapak Pot Sarasin (pada Tanggal 20
September-26 Desember 1957)
Ketika jenderal Pao. Phibul Songkhram mengundurkan diri
dari perdana menteri. Bapak Pot Sarasin menjadi perdana menteri
mengganti dia. Kemudian Bapak Pot Sarasin mengambil undang-
undang dasar jilid pada tahun 1932 (jilid revesi pada tahun 1952)
untuk mengelola negara. Dia menentukan 4 hal seperti berikut:
1. Dia akan mengundurkan diri dari perdana menteri dan
akan ada pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam 90 hari.
2. Akan mengadakan pemilihan Majelis permusyawaratan
Rakyat (MPR) jumlah 123 orang untuk mengurus negara
sehingga ada pemelihan umum.
3. Jenderal Sarit Thanarat ada kekuasaan yang bisa melantik
kabinet baru.
4. Tidak memperboleh melantik dan kasih pangkat untuk
polisi.
Pada tanggal 15 Desember 1957 adalah hari pemilihan umum.
Pemilihan umum ini ada banyak partai. Hasil pemilihan umum ini
adalah
~ 158 ~
Partai Politik Jumlah Kursi di
Parlemen
Sahaphum 44
Pracha Thippat 39
Sadthakorn 6
Siree Prachathippathai 5
Saree Manang Ka Sila 4
Chardniyom (Nasionalis) 1
Hypark 1
Idsara (Otonomi) 1
Tidak Ada Partai Politik 59
Pemilihan umum ini partai Sahaphum (Pot Sarasin, kepala
partai politik) dapat suara tertinggi, maka bapak Pot Sarasin harus
menjadi perdana menteri lagi. Tetapi dia tidak menjadi perdana
menteri negara karena dia tidak ingin menjadi perdana menteri.
Sementara itu, ada partai politik baru yang bernama Chard Sangkom
(National Sosial). Partai Chard Sangkom adalah partai tentara. Partai
ini ada kepala yang bernama letnan jenderal Thanom Kittikhajohn.
Letnan jenderal Thanom Kittikhajohn adalah teman jenderal Sarit.
Mereka pernah melakukan kudeta seperti kudeta pada tahun 1957.
Lalu letnan jenderal Thanom Kittikhajohn kumpul dewan
perwakilan rakyat dari partai Sahaphum dan partai politik lain-lain.
Sehingga partai Chard Sangkom ada banyak dewan perwakilan
rakyat. letnan jenderal Thanom Kittikhajohn membina pemerintah
dan dia menjadi perdana menteri baru.
Dalam rezim letnan jenderal Thanom Kittikhajohn yang
menjadi perdana menteri. Dia ada banyak masalah. Dia suka dan
mendukung teman-teman yang menjadi tentara. Tentara yang
adalah teman letnan jenderal Thanom Kittikhajohn berpasisi dalam
pemerintah. Letnan jenderal Thanom Kittikhajohn melantik banyak
tentara yang dari angkatan darat menjadi politikus. Dalam zaman
dia ada banyak korupsi. Sehigga masyarakat melewan dan unjuk
rasa. Kemudian letnan jenderal Thanom Kittikhajohn mengancam
bahwa dia ingin mengundurkan diri dari perdana menteri. Maka
jenderal Sarit Thanarat sidang dengan rombongan tentata pada
tanggal 19 bulan Oktober 1958, Sesudah itu letnan jenderal Thanom
~ 159 ~
pemberitahuan mengundurkan diri dari pangkat perdana menteri
pada tanggal yang sama, oleh sebab itu jenderal Sarit Thanarat dan
anak buahnya melakukan revolusi.
Jenderal Sarit melakukan revolusi pada tanggal 20 Oktober
1958. Kemudian dia menjadi perdana menteri baru di negara
Thailand. Lalu dia sidang dengan rombongan revolusi untuk
menentukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam zaman perdana
menteri jenderal Sarit Thanarat sangat bengis karena dia ada sangat
kuasa politik satu-satunya dalam negara Thailand. Kebijaksanaan
dalam zaman jenderal Sarit ditentukan untuk ingin dapat
kedukungan dari masyarakat seperti menurun tarif listrik,
masyarakat bisa memakai air ledang gratis, membangun pasar hari
minggu untuk menjua barang dagangan yang harga sangat murah,
menurunkan harga kopi, gula dan mencari kelapa yang harga murah
menjual di pasar.
Dua bulan yang lalu jenderal Sarit Thanarat bisa
merencanakan tata adminstrasi negara seperti harus memecahkan
masyarakat dengan cepat-cepat, menerungku orang yang membuat
salah dalam undang-undang, menyuruh tutup toko buku dan tidak
memperboleh membangun partai politik.
Filsafat Politik Jenderal Sarit Thanarat
Jenderal Sarit Thanarat melakukan revolusi ini karena dia dan
rombongan revolusi ada tujuan membangun tata politik demokrasi
dalam negara Thailand. Mereka ingin membangun tata politik
demokrasi dalam negara Thailand yang harus pantas dengan
masyarakat Thailand. Maka harus mengajar tentang tata politik
demokrasi. Mereka ingin menetibkan tentang tata politik demokrasi
di negara Thailand. Penertiban politik di negara Thailand harus ada
persetujuan yang adalah
1. Tata politik dalam negara Thailand harus berasal dari
prinsip masyarakat Thailand.
2. Harus membuang tata politik yang berasal dari prinsip
luar negara.
3. Harus membuang konsep politik yang berasal dari orang
Thai menjadi konsep politik tiang.
~ 160 ~
Jenderal Sarit Thanarat terbenci negara Amerika. Maka dia
tidak suka tata politik demokrasi yang ada konsep dari Amerika dan
luar negaeri. Dia suka tata politik demokrasi yang menjadi konsep
politik dari masyarakat Thailand. Dia menekankan kebijaksanaan
tentang berkembang negara yang harus moderen. Sebelum itu, harus
menyembangkan sosial dan masyarakat dalam negara. Masyarakat
harus ada pekerjaan, ada makanan bagus dan ada rumah yang
bagus. Lalu jenderal Sarit Thanarat menyuruh tidak boleh ada
pekerjaan becak dalam Bangkok karena becak menyebabkan lalu
lintas macet.
Jenderal Sarit Thanarat mengelola negara seperti tata Ayah
mengasuh Anak yang sama rezim dalam zaman Raja Khunram
Kamhang di era Sukhothai. Konsep tentang rezim Ayah mengasuh
anak adalah kelihatannya negara menjadi keluarga, Raja atau
perdana menteri menjadi Ayah dan masyarakat dalam negara
menjadi anak. Maka negara Thailand menjadi keluarga, Jenderal
Sarit Thanarat menjadi Ayah dan masyarakat dalam negara Thailand
menjadi anaknya. Maka Jenderal Sarit Thanarat bisa mengasuh
masyarakat dalam negara Thailand sama anaknya. Dia bisa
memukul, menyuruh,mengasih uang,membunuh dan lain-lain.
Konsep tentang Rezim Politik Ayah Mengasuh Anak dalam
Zaman Jenderal Sarit Thanarat
Orang yang menjadi Ayah harus membantu anaknya dengan
kesudian dan penerusan. Maka ketika masyarakat ada masalah,
janderal Sarit Thanarat harus membantu dengan cepat-cepat.
Sesudah jenderal Sarit Thanarat melakukan revolusi pada tahun 1958
dia ada amanat yang harus menurun harga listrik. Di kota Bangkok
dan kota Ton Buri adalah tempat yang tidak punya air untuk
bersantap, maka jenderal Sarit Thanarat ada amanat bahwa
masyarakat yang tinggal di situ bisa dapat air 30 belek per bulan
yang gratis. Lalu dia menurunkan harga tumpang kereta api dan
harga belajar untuk pelajar karena itu dia ingin membuat
masyarakat ada kehidupan yang lebih bagus.
Lalu dia beramanat bahwa pemerintah lokal harus menurun
harga pajak, harga tarif yang dari masyarakat. Bagain keluarga yang
~ 161 ~
miskin akan dapat obat dan pengobatan dari rumah sakit gartis.
Pelajar dan murid yang miskin akan dapat buku dari sekolah gratis
juga. Lalu dia beramanat tentang hari bekerja yang dia ingin
menurun dari 7 hari menjadi 5 hari. Keluarga yang punya banyak
anak mandapat uang unit untuk menggunakan dalam keluarga. Dia
membangun bank untuk pegawai negeri. Bank ini untuk pegawai
negeri yang dapat gaji sedikit.

Jenderal Sarit Thanarat dalam Jabatan Ayah yang Harus


Menenteramkan dalam Keluarga
Jenderal Sarit Thanarat menjadi tentara dari angkatan darat.
Dia tidak suka sosial yang kulut dan tidak rapi. Maka revolusi pada
tahun 1958 dulu ada tujuan untuk membasmi kuasa warga negara
asing yang membuat sosial Thailand tidak ada rapi. Jenderal Sarit
ingin meningkatkan negara untuk mutukhir dan dari konsep yang
berasal dari masyarakat Thailand. Jenderal Sarit percaya tentang
meningkatkan negara harus seperti Ayah memelihara anak supaya
ada jusa dan susila. Maka sesudah revolusi pada ahun 1958, dia
beramanat tentang menerungkan orang yang melakukan salah
undang-undang karena orang dalam rombongan ini menjadi orang
yang membasmi negara.
Dia beramanat menaklukan orang yang ada perbuatan ikut-
ikut tradisi sekekita seperti orang yang berambut panjang,
berpantolon yang kecil, berbaju warna menyolok. Karena itu, oranag
yang dalam rombongan ini ada tradisi ikut-ikuttan negara Amerika,
jenderal Sarit Thanarat tidak suka Amerika. Kemudian Jenderal Sarit
Thanarat ada kebijaksanaan menaklukkan orang yang berjalan-jalan
di tempat yang menjual minuman keras. Dalam zamannya ada
banyak orang dipenjara. Lalu mereka diantaran ke sekolah dan
sekalah vak untuk merombak perangai.
Jenderal Sarit Thanarat dalam Jabatan Ayah dan Anak, Ayah
Harus Mendukung Kesehatan dan Susila

~ 162 ~
Masyarakat Thailand dalam zaman dulu suka mengisap
candu. Ketika jenderal Sarit Thanarat menjadi perdana menteri. Dia
beramanat tidak boleh mengisap dan tidak boleh menjual candu. Dia
ingin masyarakat ada kesehatan bagus dan ingin membasmi korupsi
dalam rombongan pegawai negara yang menjadi penjual candu.
Pemerintah jenderal Sarit mengumunkan undang-undang tentang
mengisap dan menjual candu menjadi tidakan tidak sah dalam
undang-undang. Sejak pada tanggal 1 bulan Januari 1959. Jenderal
Sarit membangun rumah sakit untuk orang yang ketagihan candu.
Maka pada tanggal 1 Januari 1959 perlengkapan untuk mengisap
candu dan candu banyak sekali dibakar di alun-alun (Sanam Luang).
Orang yang melakukan kesalahan dalam undang-undang ini
menjadi musuh negara yang harus dibasmi dari negara. Ketika ada
undang-undang tentang larangan mengisap dan manjual candu
masyarakat mengisap obat bius baru. Obat bius baru yang
manaklukkan candu bernama ganja. Maka jenderal Sarit
menaklukkan yang ketat karena dia ingin sosial Thailand ada
matakhir dan ketertiban.
Jenderal Sarit Thanarat dalam Jabatan Ayah yang Harus
Mewajibkan Anak
Jenderal Sarit Thanarat ada kuasa yang bisa mewajibkan
untuk masyarakat. Dia ada kuasa banyak sekali. Dia bisa
mewajibkan seenaknya. Karena dia ada kuasa dari undang-undang
dasar. Undang-undang dasar di negara Thailand (jilid pada tahun
1959) memberi kuasa untuk perdana menteri yang bisa membuat
setiap-setip dalam negara Thailand. Maka jenderal Sarit yang
menjadi perdana menteri memakai kuasa seenaknya yang dia pikir
bisa membangun guna dengan politiknya dan negara Thailand.
Jenderal Sarit Thanarat mewajibkan membatalkan partai
politik semua dan jangan membangun partai politik. Lalu dia
mewajibkan tidak boleh masyarakat berhimpun dan kontrol surat
kabar. Dia menyuruh menerungu orang yang dituduh bahwa
manjadi komunis. Mereka disiksa dan dibunuh.

~ 163 ~
Jenderal Sarit Thanarat dalam Jabatan Ayah yang Harus
Berkunjung Keluarga Anak
Ketika Jenderal Sarit Thanarat menjadi perdana menteri. Dia
berkunjung masyarakat setiap kota dalam negara Thailand. Khusus
kota di timur laut dalam negara Thailand. Karena dia adalah orang
kota Khonkan. Dia tahu masyarakat yang tinggal dalam kota yang di
timur laut dalam negara Thailand termiskin dalam negara Thailand.
Maka dia membantu masyarakat yang tinggal di situ lebih banyak
dari pada masyarakat yang tinggal di tempat lain-lain. Dia
mengunjungi masyarakat di tempat rupa-rupa untuk bidang
mengetahui dan memecahkan masyarakat dalam tempat itu.
Sesudah dia mengunjungi tempat rupa-rupa dia kasih uang untuk
memecahkan seperti membangun jalan, membangun jembatan dan
lain-lain.
Jenderal Sarit Thanarat menjadi perdana menteri di negara
Thailand sehingga dia meninggal. Dia meninggal pada tanggal 8
bulan Desember 1963. Dia menjadi perdana menteri dinegara
Thailand sejak pada tanggal 9 bulan Mei 1959 sampai pada tanggal 8
bulan Desember 1963. Dia menjadi perdana menteri termasuk jangka
waktu 4 tahun. Sesudah jenderal Sarit Thanarat meninggal, Jenderal
Thanom Kittikhajohn menjadi perdana menteri baru. Dia menjadi
perdana menteri di negara Thailand sampai 2 periode.
Pusaka Politik dari Jenderal Sarit Thanarat
Korupsi
Sejak Jenderal Sarit Thanarat menjadi perdana menteri. Dia
menggunakan banyak uang negara untuk ditanamkan dalam
perusahaannya. Dia menggunakan uang negara untuk biaya dan
kasih istri yang bernama Ibu Wijittra Thanarat , kasih madunya yang
bernama Ibu Nuanjan dan Ibu Prima. Dan dia kasih uang untuk
saudaranya. Mereka punya uang banyak sekali. Uang ini dari
anggaran negara. Anggaran negara dari pendapatan pajak yang dari
masyarakat. Sesudah jenderal Sarit meninggal dan ada uang banyak
sekali dalam wasiatnya. Maka masyarakat tidak bisa menerima
karena mereka percaya bahwa jenderal Sarit korupsi. Maka

~ 164 ~
masyarakat menuntut jenderal Thanom, perdana menteri mengusut
harta pusaka jenderal Sarit yang dalam wasiat. Maka jenderal
Thanom (perdana menteri) menyuruh sita uang jenderal Sarit dan
membangun komisaris untuk menyelidiki uang ini. Lalu pengadilan
memutuskan bahwa jenderal Sarit Thanarat berkurupsi uang jumlah
kira-kira 750 juta Bath.
Biografi Jenderal Sarit Thanarat
Jenderal Sarit Thanarat lahir pada tanggal 16 bulan Juni tahun
1908 di kota Khonkan. Dia belajar di sekolah tentara yang bernama
Prejullajomklaow sama dengan jenderal Pao Phibul Songkhram. Ayah
dia bernama mayor Luang Rangdad Anan (Tongdee Thanarat). Jenderal
Sarit Thanarat punya banyak teman-teman. Dia berbicara sedikit
tetapi dia murah senyum. Biasa dia berdandan dengan baju yang
bersih dan mulus. Dia bergiat, berani dan suka membantu orang
lain-lain.
Sejak dia menjadi perdana menteri, bisa ringkasan tentang
identitas dia adalah
1. Dia berloyal dengan Raja dan Ratu.
2. Dia berani ketika dia menjadi dalam perang dan dia
pernah menaklukkan penjahat dalam negara.
3. Dia bersabar ketika dia menjadi tentara yang harus
tangguh dan sabar.
4. Dia bisa memakai kuasa yang total, Dalam kudeta, dalam
revolusi dia bisa kontrol anak buah dan orang lain-lain.
5. Dia ada logis.
6. Dia bisa memilih dan memakai anak buah.
Jabatan Politik Jenderal Sarit Thanarat
1. Menteri 8 Desember 1951
2. Wakil Menteri di Departemen Pertahanan 11 Desember 1951
3. Wakil Menteri di Departemen Pertahanan 11 Desember 1952
4. Wakil Menteri di Departemen Pertahanan 31 Desember 1957
5. Perdana Menteri 9 Mei 1959
6. Menteri di Departemen Koperasi dan Kesejateraan

~ 165 ~
Foto Jenderal Sarit Thanarat

Indeks Subjek C
cerita rakyat · 28, 56, 57
A cerpen · 150, 152, 153, 155, 157

agama · 15, 18, 21, 54, 67, 73, 94, 146, 148
akhlaq · 17, 18, 19 D
alternatif · 132, 135, 158
asosiasi · 119, 127, 128 demam berdarah · 142
demokrasi · 113, 114, 160, 164, 165
Dongeng · 29, 44, 46, 47, 48, 51, 52, 55, 60
B
bangsawan · 31, 35, 154, 155
berkhidmat · 17
BIPA · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15,
16, 26, 57, 60, 61, 62, 67, 73, 75, 89, 90, E
99, 100, 102, 103, 104, 105, 106, 107,
108, 109, 111, 112, 113, 117, 118, 120, ekonomi · 2, 3, 12, 55, 103, 119, 123, 135,
122, 123, 126, 131, 132, 134, 135, 136, 145, 146, 148, 153, 156
138, 139, 140, 141, 143, 145, 146, 158 era · 90, 95, 98, 165
budaya · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13,
15, 16, 19, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 57, 61,
62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74,
H
75, 77, 80, 81, 83, 84, 89, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 98, 100, 102, 103, 104, 105, harfiah · 23
106, 107, 108, 112, 113, 116, 119, 121,
127, 130, 131, 132, 131, 135, 140, 141,
143, 146, 148, 150, 155, 156

~ 166 ~
I P
Idul Fitri · 24 partisipasi · 122
ikhtiar · 17 pencopet · 82, 84, 87, 88
penelitian · 8, 57, 122, 123, 129, 141, 145
penjajah · 148, 150, 151
J Perang Dunia Pertama · 144
perguruan tinggi · 6, 24, 27, 86
jenderal · 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, politik · 10, 95, 97, 103, 123, 145, 146, 148,
167, 168, 169 150, 154, 156, 160, 161, 162, 163, 164,
165, 167

K
R
kayangan · 29, 30, 31, 32, 33, 35, 38, 39, 41,
42, 48, 49, 53, 55, 56 Raja · 37, 43, 46, 49, 101, 165, 169
komunikasi · 1, 4, 5, 11, 61, 62, 63, 64, 66,
68, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 81, 90, 91, 97,
100, 103, 104, 121, 134, 135, 141, 146 S
kudeta · 160, 161, 162, 163, 169
sastra · 20, 29, 100, 143, 144, 145, 146, 147,
148, 149, 156, 157, 158
L Sastrawan · 144, 149
sejarah · 4, 12, 21, 28, 40, 116, 119, 121,
logika. · 144 144, 148, 154
Skemata · 78, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 88
sosial · 1, 3, 5, 7, 9, 10, 13, 18, 23, 24, 25,
M 68, 71, 72, 78, 80, 81, 82, 86, 90, 91, 92,
93, 94, 97, 99, 100, 103, 106, 119, 135,
mahasiswa · 9, 19, 21, 22, 27, 28, 59, 71, 74, 142, 145, 148, 150, 156, 161, 165, 166,
82, 107, 112, 126, 131, 132, 138, 139, 167
141, 142, 147, 148, 149, 156, 157, 158
masyarakat · 1, 3, 5, 7, 8, 9, 17, 18, 21, 22,
25, 32, 33, 35, 40, 61, 62, 63, 66, 67, 69, T
71, 72, 73, 75, 85, 90, 91, 93, 94, 95, 96,
97, 99, 100, 103, 105, 106, 115, 119, 120, teknologi · 3, 4, 11, 12, 91, 92, 106, 113
121, 122, 125, 129, 130, 131, 132, 133, TKI · 85, 87, 88
134, 135, 136, 138, 140, 141, 142, 148,
161, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169
media komunikasi · 1, 4, 5, 6, 61, 62, 66, U
75, 91, 100, 103, 104, 108
mindset · 95 UGM · 109, 131, 132, 133, 159

N W
naga · 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43 wacana · 79, 80, 81, 100, 111, 115, 116
wartawan · 155
~ 167 ~
zaman purba · 48, 51
Z

Indeks Pengarang

A H
Abdul Hamied · 2, 14, 15 harfiah · 22
Andrew Beatty · 21 Hasan Alwi · 86
Asim Gunarwan · 73

I
B
Ibid · 57, 58
Benyamin Lee Whorf · 1 Insup Taylor · 86

E J
Edward Sapir · 1 Jean Baudrillard · 113

G K
Geoffrey Leech · 74 Krashen · 2
Gillian Brown · 86

~ 168 ~
L S
Liliweri · 61, 74 Sarumpaet · 14
Liu Souhua · 57 Shigeru · 14
Sudijarto · 14
Sumarmo · 14
M
Masnur Muslich · 95, 98 Y
Young-Rhim · 14
R
Richard Cravatts · 113

~ 169 ~

Anda mungkin juga menyukai