Anda di halaman 1dari 7

-Konferensi

Nasional Bahasa dan Sastra III-

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI


SEBAGAI PENGUATAN JATI DIRI BAHASA INDONESIA
DALAM KONTEKS MASAYARAKAT EKONOMI ASEAN

Haniah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
haniah.misya@gmail.com

Abstract
The implementation of AEC 2015 will adversely affect Indonesian identity. The use of language is not
appropriate to the context and the westernization of language, the use of language in public places,
the name of the hotel, shopping malls, and even the names of the food menu in the restaurant began
displaced by foreign language is a form of powerlessness and weakening of Indonesian identity.
Indonesian identity with regard to the nature and function of Indonesian. Indonesian identity is a
communication tool that serves as the national language and the language of the country. Indonesian
identity must be strengthened continuously. Strengthening Indonesian identity can be performed in
Indonesian learning process in college. Indonesian language learning in college as a special mission that
must be submitted by a lecturer in the learning process. First , a lecturer on a mission to foster a love of
Indonesian. Second, the mission exemplary lecturer in communication. Third, the lecturer should be able
to guide students so that students have the skills to use the Indonesian language properly as suggestions
of scienti ic communication in accordance with the study lived. Thus, lecturer and students together to
strengthen the identity of Indonesian, suppress and minimize the adverse effects that would undermine
the existence of Indonesian .
Keywords: strengthening Indonesian identity, nationalism, Indonesian language learning, college

Abstrak
Diberlakukannya MEA 2015 akan berdampak buruk terhadap jati diri bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya dan terjadinya westernisasi bahasa, penggunaan
bahasa di tempat-tempat umum, nama hotel, pusat perbelanjaan, bahkan nama-nama menu
makanan di restoran mulai tergeser oleh bahasa asing merupakan bentuk ketidakberdayaan dan
melemahnya jati diri bahasa Indonesia. Jati diri bahasa Indonesia berkaitan dengan hakikat dan
fungsi bahasa Indonesia. Jati diri bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang berfungsi sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Jati diri bahasa Indonesia harus dikuatkan secara terus menerus.
Penguatan jati diri bahasa Indonesia dapat dilakukan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia
di perguruan tinggi. Pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi memiliki misi khusus yang
harus disampaikan oleh seorang dosen dalam proses pembelajaran. Pertama, dosen mengemban
misi untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. Kedua, dosen mengemban misi
keteladanan dalam berkomunikasi. Ketiga, dosen harus mampu membimbing mahasiswa sehingga
mahasiswa memiliki keterampilan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sebagai
saran komunikasi ilmiah sesuai dengan bidang studi yang dijalaninya. Dengan demikian, dosen
dan mahasiswa bersama-sama melakukan penguatan jati diri bahasa Indonesia, menekan dan
meminimalisasi pengaruh buruk yang akan merusak eksistensi bahasa Indonesia.
Kata Kunci: penguatan jati diri bahasa Indonesia, nasionalisme, pembelajaran bahasa Indonesia,
perguruan tinggi

Pendahuluan
Mahasiswa adalah insan akademis yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan siswa.
Penambahan label maha pada kata siswa menjadi mahasiswa memikul beban dan tanggung
jawab yang cukup berat. Ada anggapan bahwa mahasiswa memiliki kapasitas keilmuan yang
lebih dari pada orang lain. Kapasitas keilmuan seseorang merupakan konsekuensi dari gesekan-
gesekan dengan pengetahuan dan dunia keilmuan di Perguruan Tinggi. Selain itu, mahasiswa

434
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

selalu dituntut mampu mengekspresikan pengalaman keilmuan dan pengetahuannya melalui


bahasa lisan dan tulis.
Kemampuan mengaktualisasikan pikiran, gagasan tentang pengalaman dan
pengetahuannya di bidang ilmu pengetahuan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh
insan akademis di perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan peran perguruan tinggi sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat akademis harus mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Hasil pengembangan itu
kemudian dikomunikasikan kepada sesama ahli dalam bidang yang bersangkutan atau kepada
masyarakat luas melalui bahasa tulis. Jadi, kemampuan menulis bagi insan akademis bukan lagi
hal yang mewah dan wah, melainkan kebutuhan dan keharusan yang mutlak sebagai wujud
dari Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Ironisnya,
banyak insan akademis, terutama mahasiswa yang kurang mampu mengaktualisasikan gagasan
atau pengalaman ilmiahnya.
Ada dua faktor utama yang menyebabkan bahwa kurang membudayanya kegiatan menulis
di kalangan akademis terutama mahasiswa. pertama, rendahnya minat baca di kalangan
akademisi. Dengan membaca, seseorang akan memiliki wawasan yang luas sehingga ia dapat
memformulasikan gagasan-gagasannya sendiri dengan baik. Hal ini dapat menghindari atau
setidaknya meminimalisir terjadinya plagiasi yang akhir-akhir ini menjadi wacana publik.
Kedua, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya, banyak
karya mahasiswa, baik berupa makalah, tugas-tugas kuliah, bahkan skripsi yang masih jauh
dari sempurna.
Berbicara tentang penguasaan terhadap Bahasa Indonesia Keilmuan, masih banyak di
antara mahasiswa bahkan dosen yang kurang mampu menerapkan kaidah dan tata bahasa
dalam tulisan akademiknya. Tidak jarang dijumpai kesalahan berbahasa dalam makalah ataupun
skripsi, seperti kalimat tanpa subjek, kalimat tanpa predikat, anak kalimat dipisah dari induk
kalimatnya, dan ejaan yang tidak mengikuti EYD. Hal ini secara tidak langsung melemahkan jati
diri bahasa Indonesia. Selain itu, banyak hasil penelitian, publikasi ilmiah, skripsi, tesis, bahkan
disertasi, yang masih mengandung istilah asing yang sebenarnya memiliki padanan dalam
bahasa Indonesia. Hal ini dinilai sebagai perilaku berbahasa yang berdampak buruk terhadap
jati diri bahasa Indonesia.
Jati diri bahasa Indonesia harus dikuatkan secara terus menerus. Penguatan jati diri
bahasa Indonesia dapat dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia sesuai dengan posisi tanggung
jawab masing-masing. Masyarakat akademis tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar
dibandingkan dengan masyarakat awam. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimanakah
bentuk penguatan jati diri bahasa Indonesia yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dan dosen
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi?

Pembahasan
1. Jati Diri Bahasa Indonesia dalam Konteks MEA
Setiap bangsa memiliki bahasa. Bahasa yang dimiliki suatu bangsa menjadi ciri khas yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Hal tersebut sejalan dengan pepatah bahasa
menunjukkan bangsa. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia yang
merupakan bahasa masyarakat Indonesia merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia harus senantiasa dijaga, dilestarikan secara terus-menerus. Di samping itu,
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab bersama seluruh
bangsa Indonesia.
Salah satu wujud pelaksanaan tanggung jawab tersebut adalah penggunaan bahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana

435
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

komunikasi. Pergeseran penggunaan bahasa Indonesia di era global menjadikan bahasa


Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Siapa lagi yang akan menggunakan bahasa Indonesia
secara baik dan benar kalau bukan bangsa Indonesia sendiri? Bagaimanakah jati diri bahasa
Indonesia saat ini?
Jati diri adalah ciri khas yang menandai sesuatu. Jati diri bahasa Indonesia adalah ciri
khas yang menandai bahasa Indonesia yang membedakan dengan bahasa lain di dunia. Jati diri
bahasa Indonesia berkaitan dengan hakikat dan fungsi bahasa Indonesia. jadi, jati diri bahasa
Indonesia adalah alat komunikasi yang berfungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai
identitas nasional, (2) bahasa Indonesia sebagai kebanggaan bangsa, (3) bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi, (4) bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda
suku, agama, ras, adat istiadat, dan budaya. Selain itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa
negara. Artinya, bahasa Indonesia memiliki kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi kenegaraan, (2) bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, (3)
bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, (4) bahasa Indonesia sebagai pengembangan
kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Jika diamati, kondisi bahasa Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Penggunaan
bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya dan terjadinya westernisasi bahasa merupakan
bentuk ketidakberdayaan bahasa Indonesia. Contohnya, penggunaan bahasa di tempat-tempat
umum, nama hotel, pusat perbelanjaan, bahkan nama-nama menu makanan di restoran mulai
tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dipandang
lebih prestise dan bergengsi. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi asing bagi bangsanya sendiri.
Ketidakberdayaan bahasa Indonesia tersebut pada dasarnya disebabkan oleh sikap
pemilik bahasa itu sendiri, yaitu bangsa Indonesia. Sikap bahasa adalah posisi mental atau
perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sebagian
masyarakat Indonesia beranggapan bahwa bahasa asing lebih bergengsi daripada bahasa
Indonesia. Secara tidak langsung bangsa Indonesia memosisikan bahasa Indonesia di tingkat
yang lebih rendah dari bahasa-bahasa asing.
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN maka barang, jasa, modal, dan investasi
akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional menjadi satu keharusan di era
global saat ini. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Dari tujuan inilah satu negara
menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara yang
memungkinkan terjadinya gesekan budaya yang tak terkendali.
Gesekan-gesekan tersbut akan berdampak besar terhadap eksistensi bahasa Indonesia,
apalagi kebijakan presiden Joko Widodo untuk mencoret syarat Dapat berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia bagi pekerja asing yang dipekerjakan di Indonesia. Kebijakan itu tertuang
dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015, menggantikan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013. Sebenarnya berlakunya MEA
dapat dijadikan peluang bagi pemerintah untuk menguatkan jati diri bahasa Indonesia. Jati diri
bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia
tidak terbawa arus dan pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Bagaimana pun, dalam persoalan pengaruh mempengaruhi ini, masyarakat atau kelompok yang
secara sosial, politik, dan ekonomi lebih kuat cenderung akan memberikan pengaruh yang luar
biasa besarnya, dan pengaruh itu biasanya dipandang positif oleh penerimanya (Foley, 2001:
384).
Pengaruh buruk tersebut dapat dihindari dengan melakukan penjagaan, pembinaan
terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus dilestarikan karena berperan dan berfungsi

436
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Dengan bahasa Indonesia, persatuan dan kedaulatan
bangsa Indonesia akan tetap terjaga. Masuknya beragam informasi, produk, dan budaya asing
dapat mengikis eksistensi bahasa Indonesia. Diberlakukannya MEA dan meningkatnya arus
globalisasi akan semakin banyak masuk berbagai macam bahasa dari negara lain.

2. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi


Pembelajaran bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi harus dapat menjawab kebutuhan
para mahasiswa. Apa kebutuhan dan harapan mahasiswa ketika memprogram mata kuliah
bahasa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, idealnya diadakan survei atau penelitian
tentang kebutuhan mahasiswa terhadap mata kuliah bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi.
Hasil survei atau penelitian tersebut kemudian dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan
perkuliahan bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Tentu saja, kebutuhan seorang mahasiswa
akan berbeda dengan mahasiswa yang lain, tetapi setidak-tidaknya dapat dirumuskan sebuah
kebutuhan bersama (Common Needs).
Menurut hemat penulis Common Needs meliputi dua hal yang bersifat Reseptif-Produktif.
Pertama, kemampuan untuk memahami wacana lisan dan tulis. Kedua, kemampuan untuk
mengaktualisasikan pikiran dalam sebuah wacana lisan, lebih-lebih ke dalam wacana tulis.
Artinya mahasiswa harus mampu mere leksikan keilmuannya masing-masing ke dalam sebuah
karya ilmiah dengan bahasa Indonesia yang efektif dan komunikatif, yang tidak hanya benar,
tetapi juga harus baik. Untuk itu, perlu ditinjau kembali apakah pembelajaran bahasa Indonesia
di Perguruan Tinggi sudah mampu menjawab kebutuhan mahasiswa?
Secara umum, pembelajaran bahasa bertujuan untuk membekali kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa mengacu kepada kemampuan yang berhubungan dengan penggunaan
bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Dengan kemampuan berbahasa seseorang dapat
mengungkapkan pikiran dan isi hatinya kepada orang lain (Djiwandono, 1996:1). Pembelajaran
bahasa Indonesia di Perguruan tinggi diarahkan pada kemampuan mahasiswa untuk dapat
menyampaikan gagasan ilmiah, baik serasa lisan maupun tulis. Mahasiswa diharapkan dapat
menyebarkan pemikiran dan ilmunya melalui karya-karyanya, khususnya karya tulis ilmiah dalam
berbagai bentuk. Mahasiswa juga diharapkan dapat mempresentasikan hasil-hasil temuannya
dalam forum ilmiah dengan penyajian lisan secara baik dan benar (Haniah, dkk., 2013: 1).
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan
tinggi dibutuhkan mahasiswa untuk mengasah kemampuannya dalam menyampaikan gagasan
ilmiahnya. Bahasa Indonesia merupakan sarana penyampai gagasan dan bukti kerja ilmiah
mahasiswa. Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi
harus diarahkan pada Common Needs dan didasarkan pada paradigma yang lebih memberi
peluang kepada mahasiswa untuk dapat berekspresi dan berkreasi, terutama di bidang tulis
menulis.
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain (Tarigan, 2008: 3). Sebagai
suatu keterampilan, maka kemampuan menulis harus dilatihkan secara terus menerus dalam
proses pembelajaran. Pembelajaran menulis merupakan materi pokok dalam pembelajaran
bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, dosen pengampu mata kuliah bahasa Indonesia di Perguruan
Tinggi tidak cukup hanya pakar bahasa Indonesia, tetapi ia juga harus menguasai atau
setidaknya mengetahui dasar-dasar disiplin ilmu tertentu. Sebagai contoh, dosen pengampu
mata kuliah bahasa Indonesia di Fakultas Ekonomi, setidaknya mengetahui dasar-dasar ilmu
ekonomi, di samping harus menguasai bahasa Indonesia, dan seterusnya. Dengan demikian,
dapat diwujudkan pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa
pada berbagai disiplin ilmu.

437
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

Pengetahuan tentang dasar-dasar keilmuan tertentu bagi dosen bahasa Indonesia akan
sangat membantu dalam mencetak sarjana yang kompeten di bidangnya. Dengan penguasaan
tersebut, dosen bahasa Indonesia akan mampu mengarahkan pembelajaran bahasa sesuai
kebutuhan mahasiswa sehingga mahasiswa mampu mengomunikasikan gagasan-gagasan
ilmiahnya sesuai dengan disiplin keilmuannya dengan bahasa yang komunikatif. Di sini
diperlukan kompetensi berbahasa kompetensi berbahasa aktif produktif. Kompetensi berbahasa
aktif produktif merupakan kemampuan untuk menghasilkan bahasa untuk disampaikan kepada
pihak lain Nurgiantoro (2011: 86). Menurut Werdininggsih (2001) pembelajaran bahasa
Indonesia di perguruan tinggi hendaknya diorientasikan pada pencapaian kemahiran berbahasa
Indonesia. Dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang dimilikinya, mahasiswa diharapkan
dapat memiliki profesionalitas di bidangnya dan dapat mengemukakan gagasannya sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Jadi, pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembelajaran
bahasa perlu diluaskan ke arah pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembelajaran bidang-
bidang lain.

3. Penguatan Jati Diri BI Melalui Proses Pembelajaran


Di muka telah dipaparkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi
bertujuan agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengungkapkan gagasan keilmuannya
secara lisan maupun tulis. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam proses pembelajaran
dosen memiliki peran yang penting, bagaimana ia membantu mahasiswanya untuk mencapai
tujuan tersebut. Ia harus mampu menciptakan lingkungan belajar dengan berbagai aktivitas
pengalaman belajar (Anderson, 2001: 3).
Dalam proses pembelajaran terjadi komunikasi. Dalam komunikasi ada tiga komponen
yang terlibat, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan
(3) alat yang digunakan dalam komunikasi, dalam hal ini bahasa (Chaer dan Leonie, 2010: 17).
Komponen pertama, pihak yang berkomunikasi yaitu dosen dan mahasiswa. Komponen kedua,
informasi yang disampaikan, yaitu informasi ilmiah yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Dalam konteks ini, informasi yang dikomunikasikan adalah materi bahasa Indonesia yang
meliputi sejarah BI, EYD dan diksi, kalimat, paragraf, dan penulisan karya ilmiah. Komponen
yang ketiga adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan matri pembelajaran, yaitu bahasa
Indonesia.
Pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi memiliki misi khusus yang harus
disampaikan oleh seorang dosen dalam proses pembelajaran. Pertama, dosen mengemban
misi untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. Kedua, dosen mengemban
misi keteladanan dalam berkomunikasi. Ketiga, dosen harus mampu membimbing mahasiswa
sehingga mahasiswa memiliki keterampilan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar sebagai saran komunikasi ilmiah sesuai dengan bidang studi yang dijalaninya.
Hal pertama yang harus dilakukan dosen dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia
di perguruan tinggi adalah menumbuhkan rasa cinta mahasiswa terhadap bahasa Indonesia.
sudah menjadi rahasia umum bahwa pelajaran bahasa Indonesia dipandang sebelah mata oleh
sebagian besar mahasiswa. Inilah tantangan seorang dosen bahasa Indonesia. Menumbuhkan
rasa cinta terhadap bahasa Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus menumbuhkan
kesadaran terlebih dahulu bahwa bahasa Indonesia tidak lahir begitu saja. Kehadiran bahasa
Indonesia merupakan buah perjuangan para pemuda yang menghasilkan Ikrar Sumpah Pemuda
pada 28 Oktober 1928. Dardjowidjijo (1985: 52) mengatakan bahwa kesadaran untuk memiliki
dan menggunakan bahasa Indonesia perlu ditimbulkan, lebih-lebih dalam kondisi tata ekologi
bahasa yang sekarang.
Dosen adalah guru yang merupakan sosok yang harus bisa digugu dan ditiru. Dalam proses
pembelajaran, seorang dosen bahasa Indonesia hendaknya berusaha seoptimal mungkin untuk

438
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

tidak melakukan kesalahan berbahasa, baik itu kesalahan kecil maupun kesalahan besar. Bahasa
yang digunakan oleh dosen bahasa Indonesia harus tertata, sistematis, dan sesuai dengan
kaidah kebahasaan. Di sinilah seorang dosen harus mampu mengemban misi keteladanan
dalam komunikasi.
Proses pembelajaran merupakan proses untuk menunjukkan atau membantu seseorang
mempelajari cara melakukan sesuatu (Broun, 2007: 8). Dalam hal ini dosen bahasa Indonesia
harus mampu membimbing mahasiswa agar para mahasiswa memiliki kompetensi bahasa,
khususnya penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah. Hal yang menjadi pokok pembahasan
dalam pembelajaran bahasa di perguruan tinggi adalah keterampilan menulis. Menulis
merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan dalam berkomunikasi secara
tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain (Tarigan, 2008: 3). Sebagai suatu
keterampilan, menulis merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif yang tidak dapat
diabaikan dalam kehidupan modern (Supriyadi, 2010: 11).
Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa
bersama-sama melakukan penguatan jati diri bahasa Indonesia yang tercermin dari penggunaan
bahasa Indonesia secara baik dan benar. Baik, artinya sesuai situasi dan kondisi, benar berarti
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dengan demikian, dosen dan mahasiswa dapat menekan
dan meminimalisir pengaruh buruk yang akan merusak eksistensi bahasa Indonesia. oleh sebab
itu, menurut Kusni (2007. 82) di sinilah perlu kebanggaan linguistik dan kesadaran akan norma
kebahasaan bahasa nasional memegang peranan yang sangat penting.
Kesadaran dan kebanggaan tersebut, maka proses pembelajaran bahasa Indonesia di
perguruan tinggi diharapkan dapat menguatkan jati diri bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa
nasional dan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki
kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai identitas nasional, (2) bahasa Indonesia sebagai
kebanggaan bangsa, (3) bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, (4) bahasa Indonesia
sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat istiadat, dan budaya.
Indonesia memiliki berbagai budaya dan bahasa yang berbeda-beda di setiap daerah. Pastinya,
tidak akan mungkin bangsa Indonesia dapat memahami ketika berkomunikasi antarsesama.
Betapa pentingnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa dan sebagai alat
penghubung antarbudaya dan daerah. Sebagai bahasa negara. Artinya, bahasa Indonesia memiliki
kedudukan: (1) bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa Indonesia
sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, (3) bahasa Indonesia sebagai penghubung
pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintah, (4) bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan
Teknologi.
Dari paparan tersebut dapat dilihat betapa pentingnya penguatan jati diri bahasa Indonesia
sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus terus dikembangkan agar tetap dapat
memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi. Upaya ke arah itu kini telah memperoleh
landasan hukum yang kuat, yakni dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang
tersebut merupakan amanat dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan sekaligus merupakan realisasi dari perjuangan para pemuda Indonesia
sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yakni menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Simpulan
Jati diri bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang berfungsi sebagai bahasa nasional
dan bahasa negara yang akhir-akhir ini mengalami pelemahan akibat buru k globalisasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya dan

439
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

terjadinya westernisasi bahasa, penggunaan bahasa di tempat-tempat umum, nama hotel,


pusat perbelanjaan, bahkan nama-nama menu makanan di restoran mulai tergeser oleh bahasa
asing. Namun, hal tersebut dapat ditekan dan diminimalisasi melalui pembelajaran bahasa
Indonesia di perguruan tinggi. Dosen dan mahasiswa bersama-sama melakukan penguatan jati
diri bahasa Indonesia dengan mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar dan sesuai dengan fungsinya.

Daftar Pustaka

Anderson, Lorin W. (Ed.). 2001. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Broun, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Terjemahan oleh Noor
Cholis dan Yusi Avianto Pareanom dari judul asli Language Assessment: Principles and
Classroon Practices.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Dardjowidjijo, Soenjono. 1985. Perkembangan Linguistik di Indonesia. Michigan: Arcan
Djiwandono, M. Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: Penerbit ITB Bandung
Foley, A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell.
Haniah, dkk. 2013. Bahasa Indonesia Kontekstual. Surabaya: Pustaka Radja
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kusni. 2007. Reformulasi Perancangan Program ESP di Perguruan Tinggi. Linguistik Indonesia:
Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, 25 (1): 82
Supriyadi. 2010. Model Belajar Learning Community untuk Meningkatkan Keterampilan
Menulis Ilmiah Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 17 Nomor 1
(11-22)
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan.
Werdiningsih, Dyah. 2006. Bahasa Indonesia Ilmiah Bidang Ilmu Agama Islam. Surabaya:
Penerbit IAIN Sunan Ampel

440

Anda mungkin juga menyukai