Anda di halaman 1dari 10

ASPEK BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA BAGI PENUTUR ASING

ABSTRAK

Kajian ini menunjukkan bahwa keberadaan budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA)
memiliki peran penting. Selain digunakan untuk memperkaya bahan ajar dalam pembelajaran BIPA, konten budaya
mampu memperkenalkan identitas budaya Indonesia ke ranah internasional, baik lokal maupun nasional. Muatan
budaya dalam pembelajaran BIPA juga merupakan salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan sebagai strategi
menghadapi MEA. Melalui pembelajaran BIPA berbasis budaya, diharapkan mahasiswa asing yang belajar bahasa
Indonesia lebih dekat dan mengenal multikulturalisme di Indonesia.

Kata kunci: Budaya, BIPA

PENDAHULUAN

Pembelajaran merupakan aspek penting yang harus diajarkan guna


memperkokoh rasa cinta generasi muda terhadap bahasa dan budaya Indonesia
yang unik dan beragam. Namun, saat ini pembelajaran bahasa Indonesia tidak
hanya diajarkan kepada penutur asli saja tetapi program pembelajarannya sudah
mulai merambah ke dunia internasional. Penguasaan bahasa yang baik tentunya
akan membantu masyarakat untuk dapat berkomunikasi secara global dalam
berbagai bidang. Hal inilah yang mendasari keberadaan pembelajaran bahasa
Indonesia mulai berkembang di tingkat internasional. Menurut data Pusat Bahasa
di Jakarta, program pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) telah
diselenggarakan di sekitar 46 negara di dunia (Azizah et al. 2012: 1).

Pembelajaran BIPA berbasis budaya merupakan salah satu langkah


yang dapat diterapkan bagi mahasiswa asing yang ingin belajar bahasa
Indonesia. Berdasarkan banyak penelitian, saat ini para pendidik bahasa telah
menekankan pentingnya menjaga nilai bahasa warisan, tidak hanya sebagai
sumber daya pribadi, tetapi juga sebagai sumber daya sosial (Brecht & Ingold,
1998; Brecht & Walton, 1993). Oleh karena itu, sangat penting jika pembelajaran
bahasa Indonesia bagi penutur asing harus diintegrasikan dengan pengenalan
konsep budaya yang mendasarinya. Dengan pembelajaran bahasa yang
menggunakan isu-isu budaya, diharapkan pembelajar asing akan terbantu untuk
mencapai standar kompetensi dan penguasaan bahasa Indonesia yang
dipersyaratkan dan juga akan membekali pembelajar BIPA tentang kemampuan
bahasa Indonesia dan pengetahuan tentang budaya Indonesia. Pengenalan budaya
yang terdapat di Indonesia perlu dilakukan yaitu untuk memperluas pengetahuan
siswa tentang budaya Indonesia. Julianto dkk. (2018) mengemukakan bahwa
melalui pendidikan dapat bermanfaat untuk mewariskan budaya lokal kepada
generasi muda agar tidak terdegradasi oleh modernisasi. Hal ini dikarenakan di
era globalisasi banyak masyarakat yang perlahan mulai apatis dengan nilai-nilai
kearifan lokal sebagai bagian dari bangsa yang multikultural dalam berbudaya.

Namun, dalam menyikapi budaya baru, Lambert (1975) mengemukakan


bahwa ada empat kemungkinan penyesuaian yang dilakukan oleh siswa bahasa
minoritas yang belajar bahasa asing di satu tempat, yaitu (1) Siswa dapat menolak
bahasa dan budaya warisan mereka. ; (2) ia dapat menolak bahasa dan budaya
masyarakat yang lebih luas/dominan, (3) ia dapat menjadi individu anomi tanpa
berafiliasi dengan budayanya sendiri atau budaya yang lebih luas/dominan; dan
akhirnya (4) ia menjadi bilingual dan bikultural yang nyaman dan dapat
berpartisipasi penuh dalam kedua budaya tersebut.

Namun, alternatif yang ideal adalah mengintegrasikan dua budaya untuk


membentuk identitas bikultural yang unik (Hamers & Blanc, 1993). Dari basis
bilingual-bikultural, mahasiswa BIPA dapat meningkatkan toleransi dan
penghargaan terhadap keragaman manusia, termasuk di Indonesia (Lambert,
1975: 79). Menurut LaFromboise et al. (1993), bikulturalisme mengasumsikan
bahwa seseorang dapat mengetahui dan memahami dua budaya yang berbeda. Ini
juga mengandaikan bahwa seorang individu dapat mengubah perilakunya agar
sesuai dengan konteks sosial tertentu. Selain itu, ini menyimpulkan bahwa
seseorang dapat memiliki rasa memiliki dalam dua budaya tanpa mengurangi rasa
identitas budayanya.
Dalam pembelajaran BIPA, konten pembelajaran yang mengandung nilai-
nilai budaya lokal merupakan hal yang penting dilakukan untuk memberikan
pemahaman tentang budaya Indonesia yang beragam sehingga akan membantu
pembelajar asing untuk berinteraksi dan beradaptasi di negara Indonesia.
Pembelajaran BIPA tidak hanya dimaksudkan agar pembelajar menguasai bahasa
verbal saja melainkan konsep budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang
juga merupakan komponen penting untuk diketahui oleh pembelajar asing dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Dengan adanya pembelajaran BIPA berbasis budaya diharapkan dapat
membantu proses internasionalisasi bahasa dan budaya Indonesia. Mahasiswa
BIPA dapat mengenal bahasa dan budaya Indonesia dengan baik sehingga
menjadi bekal bagi mereka untuk menetap di Indonesia. Pembelajaran yang
dirancang tentunya juga akan berpengaruh dalam memperkenalkan dan
memberikan pemahaman tentang bahasa serta budaya Indonesia yang unik di
mata dunia internasional. Dengan demikian, mahasiswa BIPA setidaknya tidak
hanya menguasai kaidah bahasa Indonesia tetapi dapat berkomunikasi dengan
baik dan benar sesuai dengan konteks budaya multikultural Indonesia.
PEMBAHASAN

Pembelajaran dan Budaya

Penelitian tentang hubungan antara budaya dan pembelajaran telah dilakukan


oleh para peneliti di seluruh dunia. Secara umum penelitian menyatakan bahwa
pembelajaran dan perkembangan manusia (learning) sangat dipengaruhi oleh
budaya (Lee, 2009; Lee, Spencer, & Harpalani, 2003; Orellana & Bowman,
2003). Artinya kebudayaan telah dipengaruhi dan dipengaruhi oleh
pembelajaran dan perkembangan manusia. Oleh karena itu, peneliti terus
menyelidiki pertimbangan budaya dalam desain, pengajaran, pembelajaran, dan
penilaian konten pembelajaran. (Hood, Hopson, & Frierson, 2005; Swartz,
2009; Warikoo, 2009). Investigasi ini dilakukan untuk menjelaskan pengaruh
budaya yang telah membuat kemajuan di sekolah pembelajaran berbasis
STREAM terkait sastra dan literatur pendidikan tinggi pada e- learning. Oleh
karena itu, pemilihan strategi pembelajaran bagi siswa memerlukan
pertimbangan peran budaya dalam pembelajaran.

Hubungan Bahasa dan Budaya


Wardhaugh (2002: 2) mendefinisikan bahasa sebagai seperangkat aturan
tentang cara mengatakan atau melakukan sesuatu dengan bunyi, kata, dan
kalimat, bukan hanya pengetahuan tentang bunyi, kata, dan kalimat tertentu.
Wardhaugh tidak hanya menyatakan budaya, tetapi juga tindak tutur yang kita
lakukan tidak terlepas dari hubungannya dengan lingkungan, dan inilah
alasannya, Wardhaugh mendefinisikan bahasa dengan pertimbangankonteks.
Sedangkan Thanasoulas (2001) mendefinisikan bahasa sebagai perangkat yang
diwariskan secara sosial dari praktik dan kepercayaan yang menentukan bentuk
kehidupan manusia.

Jika kita ingin membahas hubungan antara bahasa dan budaya, kita harus
memiliki pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan budaya. Goodenough
(1957: 167, diambil dari Wardhaugh, 2002: 219) menjelaskan budaya dalam
kaitannya dengan tanggung jawab anggotanya. Ia menyatakan bahwa budaya
masyarakat terdiri dari apa saja yang dimiliki masyarakat dalam segala
aktivitasnya dengan diterima oleh anggotanya, termasuk dalam berinteraksi
dan berperan dalam masyarakat.
Brown (dalam Supardo, 1988: 29) menyatakan bahwa bahasa memiliki
hubungan yang erat dengan kebudayaan. Budaya merupakan bagian integral
dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Pola budaya, adat istiadat, dan cara
hidup manusia diekspresikan dalam bahasa. Sudut pandang tertentu tentang
dunia diekspresikan dalam bahasa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Aslinda dan Syafyahya (2010:11) bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh
budaya, segala sesuatu yang ada dalam budaya akan tercermin dalam bahasa.
Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004:165) menyatakan bahwa hubungan
antara bahasa dan budaya merupakan hubungan subordinat, dimana bahasa
berada di bawah ruang lingkup budaya. Namun, ini bukan satu-satunya konsep
utama, karena ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan budaya
memiliki hubungan koordinatif, yaitu sama atau sama tinggi.

Berdasarkan pendapat tersebut, kita dapat memahami bahwa bahasa memiliki


peran dalam budaya karena pada dasarnya suatu budaya akan diekspresikan
melalui bahasa, terlepas dari pola hubungan keduanya. Ketika kita berbicara
tentang kondisi masyarakat, pada dasarnya sebagian besar yang kita bicarakan
adalah tentang budaya. Misalnya ketika kita mengamati tradisi atau adat
istiadat suatu masyarakat di suatu daerah tertentu, jika kegiatan itu melibatkan
bahasa, tentu pelakunya akan menyampaikan atau mengkomunikasikan ide-ide
yang
bersifat universal yang menunjukkan identitas masyarakat setempat. Begitu juga
saat kami melaksanakan proses pembelajaran

Dimensi Antarbudaya

Dimensi interkultural memberikan orientasi baru yang berbeda dalam


pengajaran bahasa asing. Menurut Scarino (2010), sebelum penerapan dimensi
antarbudaya, komponen budaya pengajaran bahasa asing hanya mencakup
generalisasi pengetahuan tentang budaya sasaran dan masyarakatnya, dari
sastra dan seni hingga kehidupan sehari-hari. Sementara itu, pengajaran bahasa
berorientasi interkultural mencari transformasi identitas siswa dalam tindakan
pembelajaran (Singh, binti Marsani, Jaganathan, Abdulah & Karupian, 2016).
Kompetensi antarbudaya dalam pengajaran bahasa asing mendorong siswa
menjadi penutur antarbudaya. Penutur lintas budaya harus mampu bertindak
sebagai mediator untuk merangkul kompleksitas identitas budaya mereka dan
lawan bicara mereka, serta untuk menghindari stereotip yang menyertai
seseorang (Garrett-Rucks, 2016). Untuk menjadi penutur antarbudaya,
pembelajar bahasa asing perlu memperoleh kompetensi antarbudaya.
Komponen utama kompetensi antarbudaya dapat dibagi lagi menjadi lima
savoir dalam kerangka konseptual yang disusun oleh Byram (1997).
Komponen pertama dari kompetensi antarbudaya adalah 'pengetahuan'
(Savoirs). Kompetensi ini mencakup pengetahuan tentang kelompok sosial dan
budaya mereka, pengetahuan serupa tentang negara konseling mereka, dan
pengetahuan serupa tentang proses dan interaksi di tingkat individu/sosial.
Kompetensi kedua dan ketiga merupakan bagian dari 'keterampilan' yang dapat
dibagi menjadi Savoir- comprendre dan Savoir-apprendre/ savoir-faire. Untuk
savoir-apprendre/ savoir-faire, keterampilan mengacu pada kemampuan
mempelajari budaya dan menentukan makna fenomena budaya tertentu secara
mandiri. Savoir- comprendre mengacu pada kemampuan untuk menafsirkan
dan menghubungkan budaya (Byram, 2015). Komponen kompetensi keempat
dan kelima merupakan bagian dari 'sikap', yang terdiri dari Savoir-etre dan
Savoir- s'engager. Savoir-etre adalah kemampuan dan keinginan untuk
mengabaikan sikap dan pandangan etnosentris agar peserta didik dapat
menjalin dan memelihara hubungan antara dirinya dengan budaya asing.
Savoir-s'engager mengacu pada keterlibatan kritis dengan budaya asing di
bawah pertimbangan dan pemikiran pribadi pelajar. Lebih lanjut, Covert
(2014) menambahkan bahwa kepekaan antar budaya siswa memainkan peran
penting untuk melihat keberhasilan antar budaya. Seorang siswa dengan
kepekaan antar budaya yang tinggi bisa lebih toleran terhadap perbedaan
budaya. Dengan demikian, siswa akan dapat terlibat dalam komunikasi antar
budaya yang lebih kompeten.

Peran Buku Teks dalam Pengajaran Bahasa Asing

Buku teks adalah salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam
pengajaran bahasa asing. Buku teks diproduksi oleh penerbit komersial,
kementerian pendidikan, dan lembaga. Mereka biasanya datang dengan bahan
pendukung, seperti buku guru, buku kerja siswa, buku bacaan, materi visual
(kartu grafis atau flash), dan materi video atau audio (McGrath, 2013). Dari
buku teks, siswa dapat belajar tentang budaya bahasa target dan guru dapat
mengeksplorasi tema budaya. Untuk memeriksa konten budaya, sebagian besar
studi telah mengambil orientasi kritis dan melihat representasi budaya sebagai
bukti dalam materi tekstual dan visual dari buku teks, baik sebagai menyajikan
budaya bahasa target, budaya sumber peserta didik, atau menawarkan budaya
internasional. orientasi budaya yang dibangun di atas banyak konteks dan
sumber daya (Pasquarelie, 2018). Instrumen pembelajaran muatan budaya
dalam buku ajar telah dikembangkan oleh Lee (2009) yaitu daftar tema
pembelajaran antar budaya. Menurut Weninger dan Kiss (2013), buku teks
menyediakan sumber pembelajaran budaya yang potensial. Kegiatan dalam
buku teks harus menjadi unit ujian ketika mempelajari potensi budaya bahan
ajar bahasa. Dengan kata lain, teks, gambar, dan tugas yang membentuk suatu
kegiatan harus diperlakukan bersama karena memfasilitasi pembelajaran dan
menciptakan peluang bagi pesan budaya untuk mengemuka dalam pelajaran.

Mengembangkan Kompetensi Antarbudaya Melalui Kegiatan


Ekstrakurikuler

Selain mempelajari kompetensi lintas budaya melalui buku teks, siswa dapat
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk mengalami sendiri budaya sasaran.
Beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pembelajaran kompetensi
antarbudaya misalnya pertukaran pelajar, karya wisata, kelas tari, kelas
memasak, dll. Menurut Reva (2012), siswa yang mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler diuntungkan dalam pembelajaran kompetensi bahasa dan
antarbudaya. Dalam pembelajaran bahasa, siswa mengaku mendapatkan
kemajuan yang signifikan dalam penguasaan kosa kata dan peningkatan
pelafalan. Dalam pembelajaran kompetensi antar budaya, mereka mendapatkan
lebih banyak pengetahuan tentang budaya sasaran. Selain itu, siswa merasa
lebih termotivasi untuk belajar bahasa asing. Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Liu (2016) yang meneliti manfaat kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa
EFL. Pertama, siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler mendapatkan
lebih banyak teman dari berbagai latar belakang. Kedua, siswa dapat berlatih
menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi kehidupan nyata. Ketiga,
mereka mendapatkan lebih banyak apresiasi terhadap budaya asal mereka.
Keempat, mereka memperoleh persepsi positif tentang komunikasi antar
budaya. Kelima, mereka mendapatkan lebih banyak kesadaran antar budaya.

KESIMPULAN
Pembelajaran BIPA berbasis budaya dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain dengan mengenalkan budaya fisik dan non fisik. Pembelajaran
BIPA berbasis budaya fisik, misalnya dengan mengambil muatan objek wisata
dan objek yang menjadi ciri khas suatu daerah tertentu. Sedangkan budaya
fisik seperti nyanyian atau tradisi daerah tertentu. Muatan budaya ini tentunya
dapat dimasukkan dalam bahan ajar dalam pembelajaran BIPA untuk
membantu pembelajar asing menguasai keterampilan berbahasa yang
diinginkan.

SARAN

Selain itu, pelaksanaan pembelajaran BIPA berbasis budaya juga dilakukan


secara integratif sehingga tidak ada pemisahan antar keterampilan berbahasa
tertentu. Peneliti menyarankan agar isi buku ajar yang digunakan untuk
pembelajaran perlu direvisi atau diperbarui.

REFERENSI

Aslinda dan Leni Syafyahya (2010). Pengantar sosiolinguistik. Bandung: PT


Refika Aditama.
Azizah, dkk (2012). Pembelajaran BIPA program CLS (critical language
scholarship) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Brecht, R.D. & Ingold, C.W. (1998). Tapping a national resource: Heritage
languagesin the United States. Washington DC: National Foreign Language
Center Occasional Paper (NFLC).
Brecht, R.D. & Walton, A.R. (1993) National strategic planning in the less
commonly taught languages. Washington DC: National Foreign Language
Center Occasional Paper (NFLC). Hamers, J. & Blanc, M. (1993).
Bilinguality and bilingualism. New York, NY: Cambridge University Press
Byram, M. (1997). Teaching and assessing intercultural communicative
competence. Multilingual Matters.
Byram, M. (2015). Culture in foreign language learning – The implications for
teachers and teacher training. In W. M. Chan, S. K. Bhatt, M. Nagami and I.
Walker, Culture and foreign lanauge education: Insights from research and
implications for the practice (pp. 45-71). Boston: Walter de Gruyter, Inc.
Chaer, A. dan Agustina, L. (2004). Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Covert, H. H. (2014). Stories of personal agency: undergraduate students’
perceptions of developing intercultural competence during a semester
abroad in chile. Journal of Studies in International Education, 18(2), 162-
179.
Garrett-Rucks, P. (2016). Intercultural competence in instructed language
learning: Bridging theory and practice. Charlotte: Information Age
Publishing, Inc.
Hood, S., Hopson, R., & Frierson, H. (2005). The role of culture and cultural
context: A mandate for inclusion, the discovery of truth and understanding
in evaluative theory and understanding in evaluative theory and practice.
Greenwich, CT: Information Age Publishing.
Julianto, H.D. & Subroto, W.T. (2019). Multicultural education based on local
education in elementary school. International Journal of Educational
Research Review, 4 (3), 420–426.
LaFromboise, T., Coleman, H. & Gerton, J. (1993). Psychological impact of
biculturalism: Evidence and theory. Psychological Bulletin, 114 (3), 395–
412.
Lambert, W. (1975). Culture and language as factors in learning and education.
In A. Wolfgang (ed.) Education of Immigrant Students. Toronto: Ontario
Institute for Studies in Education.
Lee, C. D. (2009). Cultural influences on learning. In J. A. Banks (Ed.), The
Routledge International companion to multicultural education (pp. 239–
251). New York: Routledge.
Lee, C. D., Spencer, M. B., & Harpalani, V. (2003). Every shut eye ain’t sleep:
Studying how people live culturally. Educational Researcher, 32 (5), 6–13.
Lee, K. Y. (2009). Treating culture: what 11 high school EFL conversation
textbooks in South Korea do. English Teaching, 8(1), 76-96. Liu, K. L.
(2016). Exploring intercultural competence through an intercultural
extracurricular activity in Taiwan. Journal of Language and Cultural
Education, 4(1), 99-109.
McGrath, L. (2013). Teaching materials and the roles of EFL/ESL teachers:
practice and theory. London: Bloomsbury Academic.
Orellana, M. F., & Bowman, P. (2003). Cultural diversity research on learning
and development: Conceptual, methodological, and strategic considerations.
Educational Researcher, 32 (5), 26–32.
Pasquarelie, S. L. (2018). Defining an academically sound, culturally relevant
study abroad curriculum. In S. L. Pasquarelie, R. A. Cole, and
Reva, A. (2012). The role of extracurricular activities in foreign language learning
in university settings (Doctoral dissertation, University of Saskatchewan).
Scarino, A. (2010). Assessing intercultural capability in learning languages: A
renewed understanding of language, culture, learning, and the nature of
assessment. The Modern Language Journal, 94(2), 324-329.
Singh, M. K. M., binti Marsani, et. al. (2016). Promoting intercultural
understanding among school students through an English language-based
reading programme. Advances in Language and Literary Studies, 7(5), 128-
136.
Supardo, S. (1988). Bahasa Indonesia Dalam Konteks. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Thanasoulas, D. (2001). Radical pedagogy: The importance of teaching culture in
the foreign language classroom. Retrieved from the International
Consortium for the Advancement of Academic Publication Web site:
http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue3_3/7-thanasoulas.html
Wardhaugh, R. (2002). An introduction to sociolinguistics (Fourth Ed.). Oxford:
Blackwell Publishers.
Weninger, C. and Kiss, T. (2013). Culture in English as a foreign language (EFL)
textbook: a semiotic approach. TESOL Quarterly, 47(4), 694-716.

Anda mungkin juga menyukai