Anda di halaman 1dari 75

Lukman feri 1855040002

Eka Safitri 1855040011

Siti Hardiyanti Jamal 1755041004

BAB 1

SEJARAH BAHASA BUGIS

A. Asal Mula Bahasa Bugis


Bahasa bugis merupakan bahasa yang digunakan oleh suku bugis di
Sulawesi Selatan, yang tersebar di berbagai kabupaten yakni Kabupaten Maros,
Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang,
Kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sidenreng rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten
Bantaeng.(Koolhof, 2007)
Suku bugis adalah suatu kelompok etnik dengan wilayah Sulawesi
Selatan, ciri utama dari kelompok etnik bugis adalah bahasa dan adat-
istiadat.Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara
Lontara.Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
(Kapojos & Wijaya, 2018)
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat
di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka.Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan
Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari
We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat
karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.

1
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
(Mattulada, 1985)
Di Indonesia, tidak terdapat banyak suku atau daerah yang memiliki
tradisi tulis dengan menggunakan dan memiliki aksara. Orang Bugis-Makassar di
Sulawesi Selatan termasuk salah satu suku yang memiliki aksara yang disebut
aksara Lontara.Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesiamenyebutkan bahwa
lontarak merupakn naskah kuno yang menggambarkan kebudayaan suku bugis
pada masa lampau.Naskah-naskah lontara berisi tentang kesusatraan suci,
mantra-mantra, serta kepercayaan mitologis. Naskah lontara pada masayarakat
Bugis-Makassar dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu: Lontara Pasang :
merupakan kumpulan amanat orang-orang bijaksana yang kemudian menjadi
kaidah dalam setiap kehidupan masyarakat bugis. Attoriolong, ialah catatan yang
berisi mengenai turunan raja-raja dengan pengalaman mereka di masa
lampau.Pau-pau ri kadong adalah cerita-cerita rakyat yang mengandung sifat
lagenda serta peristiwa-peristiwa luar biasa (Pelras, 2006)
Awal mulanya mereka menulis di atas daun lontar dengan alat yang
tajam, seperti pisau (cobbok).Sebelum abad ke-16 dikemukakan bahwa
penggunaan daun lontar dalam tradisi tulis menulis tidak hanya terjadi di daerah-
daerah wilayah Indonesia melainkan sudah menjadi sebuah tradisi sebagian besar
di beberapa negara misalnya India dan Filipina (Anthony Reid, 1992).
Di Sulawesi Selatan terdapat dua macam huruf yang pernah dipakai
secara bersamaan, yakni huruf segi empat (hurufu sulapak eppa) dan huruf
burung-burung (huruf jangan-jangan).Tidak diketahui secara pasti sejak kapan
secara pasti tradisi tulis sudah dimulai di Sulawesi Selatan. Hanya dapat
diperkirakan dari informasi yang terdapat didalam naskah mitologi Galigobahwa
tradisi tulis sudah mulai sebelum Islam menjadi agama kerajaan di Sulawesi
Selatan (Fakhruddin, 1983), sekitar abad ke-16karena dalam mitologi Galigo

2
Islam sama sekali tidak disebutkan atau tercermin kedalam naskah tersebut
(Mattulada, 1985). Sementara pendapat lain memperkirakan bahwa masa Galigo
berlangsung pada abad ke-11 dan ke-13 (Christian Pelras, 2006).
Lontarak merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Bugis-
Makassar yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.Berbagai macam falsafah
dan petuah (pappangaja; Bugis) tertuang di dalam Lontarak.Lontarak
merupakan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang dibubuhi cairan
berwarna hitam.Lontarak adalah manuskrip yang aslinya ditulis dengan alat yang
tajam di atas daun lontar. Setelah ditemukannya kertas sebagai media tulis,
namalontarak masih tetap digunakan (Mattulada, 1985).
Di awal penemuaannya, lontarak yang merupakan kesusatraan suci orang
Bugis Makassar diwariskan secara lisan, namun pada perkembangannya tersurat
yang berisi pengetahuan-pengetahuan klasik, kepercayaan dan mantera-
mantera.Perkembangan selanjutnya pada zaman kerajaan-kerajaan munculnya
tokoh pemikir (to acca) membawa pengaruh yang cukup mendasar pada isi
lontarak.

B. Perkembangan Bahasa Bugis

Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, bukanlah sesuatu yang tetap.Bahasa


dapat berubah-ubah, dan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan
masyarakat.Beberapa ahli linguistik berpendapat tidak ada bahasa yang murni. Jadi
bahasa–bahasa dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Biasanya bahasa satu
meminjam bahasa lain hal ini biasanya disebabkan oleh tiga faktor seperti faktor letak
geografis yang berdekatan, faktor kekuasaan dan faktor kebutuhan. Letak geografis
yang tidak saling berjauhan memudahkan bahasa-bahasa saling mempengaruhi.
Contoh bahasa masyarakat Bugis, Makasar dan Gorontalo yang berada di pulau
Sulawesi saling mempengaruhi dan saling meminjam.(Pantu, 2014)

Indonesia adalah Negara yang memiliki aneka ragam budaya yang melimpah,

3
dan bisa kita lihat melalui ragam bahasa daerah. Bahasa daerah juga tidak hanya
menjadi alat penghubung didalam masyarakat dan keluarga, akan tetapi juga
berfungsi sebagai lambang dan identitas daerah yang menjadi kebanggaaan
tersendiri(Muin & Sulfasyah, 2018). Hasil Kementrian pendidikan dan kebudayaan
dilihat bahwa pada tahun 2019 jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 718
bahasa.Di Sulawesi Selatan sendiri ada delapan bahasa daerah salah satunya adalah
bahasa bugis.

“Bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional yang


dilindungi oleh negara berdasarkan penjelasan pada UUD 1945 pasal 36 Bab
XV.Salah satu bahasa daerah yang banyak digunakan di Sulawesi Selatan adalah
Bahasa Bugis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutur bahasa Bugis di
Sulawesi Selatan mengalami penurunan utamanya di kalangan generasi muda yang
mengakibatkan bahasa ini masuk kategori tidak aman (endangered language) dan
berpotensi untuk mengalami kepunahan”.(Nursalam & Fallis, 2013)

Masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia dan ada


juga yang menggunakan bahasa daerah. Bahasa daerah banyak tersebar di seluruh
penjuru tanah air, yang mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia yang menguasai
dua bahasa atau bilingual.Bahasa daerah sangat bermanfaat bagi penggunannya
terutama sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa daerah juga dapat digunakan
sebagai alat komunikasi antar suku dalam suasana yang tidak formal untuk
menjukkan penghargaan atau rasa hormat, rasa persaudaraan terhadap lawan bicara
yang berasal dari kelompok yang sama(Siti Hadrawati et al., 2020).

Bahasa daerah berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan


dan teknologi.Bahasa bugis adalah bahasa yang hidup dan terbuka, karena dapat
saling berhubungan dengan bahasa-bahasa lainya, baik bahasa yang serumpun
maupun yang tidak. Jadi bahasa bugis bisa berkebangan dan melengkapi dirinya dan
menambah jumlah kata melalui penggabungan unsur bahasa yang lain. Salah satu

4
bahasa asing yang sangat mempengaruhi bahasa Bugis adalah Bahasa Arab (Masnani,
2018).Aksara Bugis/Makassar Di Sulawesi Selatan Ada 4 macam huruf yang pernah
dipakai yaitu.

1. Huruf Lontaraq

2. Huruf Jangan-jangan

3. Huruf Bilang-bilang

5
4. Huruf arab Serang.

Huruf Lontaraq jika ditempatkan dalam kebudayaan memiliki dua pengertian,


yaitu pertama Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan dan yang kedua adalah
lontaraq sebagai tulisan (Rahman, 2014).

C. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Bugis

Bahasa Bugis bagi sebagian masyarakat Sulawesi selatan menjadikannya


sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Dalam lingkungankeluarga bahkan di
lingkungan sekitar seperti di desa atau di kampung kemudian mulai dalam sekolah
dan berkenalan dengan bahasa Indonesia yang sebagai bahasa kedua bagi masyarakat.
(perawati, 2020)Namun seiring dengan berkembangnya zaman Bahasa bugisyang
merupakan bahasa pertama yang diperoleh dalam lingkungan keluarga, maupun di
lingkungan masyarakat kini mulai dilupakan dan bahkan sudah banyak penutur
bahasa bugis mulai melupakan bahasanya.(Rabiah, 2013)

Bahasa Bugis memiliki kedudukan sebagai bahasa daerah.Kedudukan ini


didasarkan sesuai dengan kenyataan bahwa bahasa bugis merupakan bahasa

6
pengantar serta penghubung antar sesama penutur bahasa bugis yang sekaligus
menjadi pendukung kebudayaan yang ada diSulawesi Selatan pada umumnya. Hal ini
dapat dilihat pada gambaran masyarakat bugis yang memiliki tradisi sikap, serta
bahasa yang dapat membedakannya dengan masyarakat yang lain.(Rabiah, 2013)

Menurut Alwi dan Sugono (2003:40) , kedudukan bahasa daerah harus dilihat
dua sudut pandang:

1) Bahasa daerah sebagai sarana komunikasi bagi para penutur yang berasal dari
kelompok etnik yang sama, dan
2) Bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia.

Adapun Fungsi bahasa bugis itu sendiri adalah sebagai alat komunikasi pada
daerah yang bersangkutan, dan juga sebagai pemerkaya kosa kata bahasa
Indonesia.Beberapa ungkapan yang belum pernah ditemukan dalam bahasa Indonesia
dapat diserap dari bahasa daerah bugis. Dalam hal ini mulai dari pembentukan istilah,
bahasa daerah-lah yang menempati kedudukan pertama setelah bahasa Indonesia,
dan bahasa asing menempati urutan terakhir .(Said,M.,Thalib,I.,& Ichwan, 2007).

Fungsi selanjutnya yaitu :

1) lambang kebanggaan daerah,


2) lambang identitas daerah,
3) alat perhubungan di dalam keluarga,
4) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, serta
5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.(Asrif, 1945)

7
Fahira Purnama Sari1855041008

Riska1855042006

BAB 2

DIALEKTOLOGI BAHASA BUGIS

Penelitian Dialektologi di berbagai bahasa daerah sudah berjalan selama 50


tahun di Indonesia. Berdasarkan kajian terhadap 129 penelitian dialektologi di seluruh
Indonesia, cenderung untuk menggunakan isogloss dibandingkan dialektologi.
Modifikasi untuk isologis terfokus pada penentuan kriteria tingkat kemiripan bunyi
dan kriteria pembuatan berkas isologis.Modifikasi untuk dialektometri berkfokur
pada presentase pemilihan bahasa dan dialek.

Negara Indonesia Memiliki berbagai macam suku, salah satu sukuy yang ada di
Sulawesi Selatan Adalah Suku “Ugi” atau biasa disebut Suku Bugis. Yang dimana
suku bugis itu sendiri memiliki semangat kebudayaan dan bahasa tersendiri dan
dialek yang berbeda di setiap daerah .bahasa daerah bugis digunkan sebagai alat
komunikasi antar sesama suku bugis.

A. PENUTUR BAHASA DAERAH SUKU BUGIS


Penutur Bahasa Daerah Suku Bugis terdapat di berbagai wilayah yang ada di
sulawei yang diantaranya meliputi :
Sebagian Kabupaten Pangkep, sebagian Kabupaten Bulukumba, sebagian
Kabupaten Maros, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang, sebagian Kabupaten Enrekang,
sebagian Kabupaten Majenne, sebagian Kabupaten Bantaeng, Kota Pare-
Pare, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten
Sinjai..Menurut Sikki, dkk (dalam Tatanan bahasa Bugis, 1988:2).

8
B. DIALEK BAHASA BUGIS.
Bahasa bugis adalah bahasa yang digunakan dan berasal dari sulawesi
selatan. Bahasa bugis terdiri dari 27 dialek yang terbagi di beberapa daerah
sulawesi selatan. Dialek-dialek tersebut :
1) Dialek Bone
2) Dialek Pangkep
3) Dialek Makassar
4) Dialek Pare-pare
5) Dialek Soppeng
6) Dialek Wajo
7) Dialek Sidenreng Rappang
8) Dialek Sinjai
9) Dialek Pinrang
10) Dialek Malimpung
11) Dialek Pattijo
12) Dialek Dentong
13) Dialek Kaluppang
14) Dialek Maiwa
15) Dialek Maroangin
16) Dialek Wani
17) Dialek Bugis Kayowa
18) Dialek Buol Pamoyagon (Bugis Pamayagon)
19) Dialek Buol Bokat (Bugis Bokat)
20) Dialek jambi
21) Dialek Kalimantan Selatan
22) Dialek lampung
23) Dialek Sulawesi Tenggara

9
24) Dialek Bali
25) Dialek Sulawesi Tengah
26) Dialek Riau
27) Dialek Kalimantan timur

Dialek Bone dituturkan di Kelurahan Otting, Kecamatan Tellu Siattinge; Desa


Welado, Kecamatan Ajangale; Desa Waempubu, Kecamatan Amali; Desa
Mattanetebua, Kecamatan Palakka; Desa Ulu Balang, Kecamatan Salomekko; Desa
Pattimpa, Kecamatan Ponre; Desa Gaya Baru, Kecamatan Tellulimpoe; Desa Gona,
Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone.Dialek Pangkep dituturkan di Kelurahan
Samalewa, Kecamatan Bungoro; Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang;
Kelurahan Bonto Matene, Kecamatan Segeri; dan Desa Pitue, Kecamatan Marang,
Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Dialek Makassar dituturkan di Kelurahan Wajo
Baru, Kecamatan Bontoala, Kabupaten Kota Makassar. Dialek Pare-Pare dituturkan
di Kelurahan Wattang Bacukiki, Kecamatan Bacukiki; Kelurahan Lapadde,
Kecamatan Ujung; dan Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Kabupaten
Kota Pare Pare. Dialek Wajo dituturkan di Desa Ongkoe, Kecamatan Belawa; Desa
Liu, Kecamatan Sabangparu; Desa Poleonro, Kecamatan Gilireng; Kelurahan
Pattirosompe, Kecamatan Tempe; Desa Lapauke, Kecamatan Pammana; dan Desa
Tosora, Kecataman Majauleng, Kabupaten Wajo.Dialek Sidenreng Rappang
dituturkan di Desa Bulo, Kecamatan Panca Rijang; Desa Betao, Kecamatan Pitu
Riawa; dan Desa Buae, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Dialek Sopeng dituturkan di Kelurahan Botto, Kecamatan Lalabata; Desa Leworeng,
Kecamatan DonriDonri; Kelurahan Limpomajang, Kecamatan Marioriawa; Desa
Congko, Kecamatan Marioriwawo; Desa Citta, Kecamatan Citta; dan Desa Kebo,
Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng. Dialek Sinjai dituturkan di Desa
Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur; serta Desa Panaikang,
Kecamatan Sinjai Timur dan Desa Kanrung, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten
Sinjai. Dialek Pinrang dituturkan di Desa Mattirotasi, Kecamatan Mattiro Sompe;

10
Desa Padakkalawa, Kecamatan Mattiro Bulu; Desa Maccoralaie, Kecamatan Watang
Sawitto; Kelurahan Watang Suppa, Kecamatan Suppa; Kelurahan Lansirang,
Kecamatan Lansirang; Desa Malongi-longi, Kecamatan Lansirang; Desa Tiroang,
Kecamatan Tiroang; Desa Leppanggang, Kecamatan Patampanua; dan Desa Paria,
Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang. Dialek Malimpung dituturkan di Desa
Malimpung, Kecamatan Patampanua, Kabupaten Pinrang.Dialek Dentong dituturkan
di Desa Laiya, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.Dialek Pattinjo dituturkan di
Desa Malimpung, Kecamatan Patampanua dan di Desa Rajang, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Pinrang.Dialek Kaluppang dituturkan di Desa Kaballangan, Kecamatan
Duampanua, Kabupaten Pinrang.Dialek Maiwa tersebar di Desa Bungin, Kecamatan
Bungin dan di Desa Patondon Salu, Kecamatan Maiwa, Kabupaten
Enrekang.DialekMaroangin tersebar di Desa Tuncung/Kaluppang, Kecamatan
Maiwa, Kabupaten Enrekang. Dialek Wani dituturkan di Desa Wani Satu, Wani Dua,
dan Wani Tiga, Kecamatan Tanantovea, KabupatenDonggala, Provinsi Sulawesi
Tengah. Dialek Bugis Kayowa dituturkan di Desa Kayowa, Kecamatan Batui,
Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.Dialek Buol Pamoyagon (Bugis
Pomayagon) dituturkan di Desa Pomayagon, Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol,
Provinsi Sulawesi Tengah.Dialek Buol Bokat (Bugis Bokat) dituturkan di Desa
Bokat, Kecamatan Bokat dan di Kelurahan Leok I, Kecamatan Biau, Kabupaten Buol,
Provinsi Sulawesi Tengah. Persentase perbedaan antardialek tersebut berkisar antara
51%—80%;

Bahasa bugis juga tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bahasa bugis


yang biasanya di gunakan di luar sulawesi selatan memiliki perbedaan dialek atau
merupakan variasi dialektal. Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan dengan isolek Bugis
yang ada di Kepulauan Seribu Jakarta (Desa Sabira dan Desa Kelapa Dua) memiliki
persentase antara 43%--45%; isolek Bugis yang ada di Jambi (Kampung Laut)
memiliki persentase 52%; isolek Bugis yang ada di Kalimantan Selatan (Desa Juku
Eja) memiliki persentase79%; isolek Bugis yang ada di Kalimantan Timur (Tanjung

11
Palas) memiliki persentase 69%; isolek Bugis di Sulawesi Tenggara (Desa Lapao-
pao) memiliki persentase 59%; isolek Bugis yang ada di Sulawesi Tengah (Desa
Wani Satu, Wani Dua, dan Wani Tiga) 62%; isolek Bugis yang ada di Bali (Desa
Serangan) memiliki persentase54%; isolek Bugis yang ada di Lampung (Desa Kota
Karang) memiliki persentase79%; isolek Bugis yang ada di Riau Pulau kecil (di
Kabupaten Indragiri Hilir) memiliki persentase69%; dan isolek Bugis yang ada di
Riau Sungai Sebesi (Kabupaten Indragiri Hilir) memiliki persentase 79% dan isolek
Bugis di NTB (Teluk Santong) 49%.

Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Bugis merupakan


sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 85%--91% jika
dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Selatan, misalnya dibandingkan
dengan bahasa Makassar.

12
Melisa Angelica 1855041017

Arsi putri rahmatullah 1855041002

BAB 3

VARIASI BAHASA BUGIS

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Oleh karena itu,
masyarakatnya bukan hanya mempergunakan satu bahasa, melainkan paling sedikit
dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah yang dipergunakan baik dalam
lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan berkeluarga. Dalam lingkungan
itu, bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting.Tanpa Bahasa orang tidak
dapat berkomunikasi.

Variasi bahasa adalah jenis ragam bahasa yang pemakaianya disesuaikan


dengan fungsi dan situasi tanpa menghasilkan kaidah-kaidah pokok yang berlaku
dalam bahasa yang bersangkutan (Suwito, 1985: 29). Ciri variasi bahasa yang terjadi
karena adanya perbedaan bidang pemakaian antara lain leksikogramatis, fonologis,
ciri penunjuk yang berupa bentuk kata tertentu, penanda gramatis tertentu, atau
bahkan penanda fonologi yang memiliki fungsi untuk memberi tanda kepada para
pelaku bahasa bahwa inilah register yang dimaksud.

Variasi bahasa dapat juga dibedakan menjadi dua macam bentuk, yaitu
register dan dialek.Dialek merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakainya,
sedangkan register merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya.Dalam
kehidupan, seseorang mungkin saja hidup dengan satu dialek, tetapi tidak hanya
hidup dengan satu register, sebab dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat,
bidang yang dilakukan pasti lebih dari satu.Adanya faktor-faktor sosial dan faktor
situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa menimbulkan variasi-variasi

13
bahasa.Dengan timbulnya variasi bahasa menunjukkan bahwa bahasa itu bersifat
aneka ragam dan manasuka.

A. Pengertian variasi Bahasa Bugis

Manusia merupakan mahkluk yang diciptakan untuk hidup berhubungan


dengan orang lain. Proses interaksi tersebut membutuhkan alat bantu untuk
berhubungan dengan individu yang lain. Atas dasar hal tersebut kemudian munculah
apa yang disebut variasi bahasa. Variasi bahasa sendiri muncul karena proses
interaksi sosial dari para pelaku bahasa yang beragam. Bahasa merupakan salah satu
alat bantu untuk berinteraksi dengan manusia lain. Semua gagasan, ide, maupun
maksud dari penutur disampaikan melalui Bahasa.
Variasi bahasa adalah jenis ragam bahasa yang pemakaianya disesuaikan
dengan fungsi dan situasi tanpa menghasilkan kaidah-kaidah pokok yang berlaku
dalam bahasa yang bersangkutan (Suwito, 1985: 29).Variasi bahasa berkenaan
dengan penggunannya, pemakainya atau fungsinya disebut fungsiolek ragam atau
register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan gaya atau
tingkat keformalan dan sarana penggunaan (Nababan melalui Chaer, 1995: 89-90).
Ciri variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan bidang pemakaian antara
lain leksikogramatis, fonologis, ciri penunjuk yang berupa bentuk kata tertentu,
penanda gramatis tertentu, atau bahkan penanda fonologi yang memiliki fungsi
untuk memberi tanda kepada para pelaku bahasa bahwa inilah register yang
dimaksud. Penanda atau ciri itu pulalah yang membedakan antara register satu
dengan yang lainnya.

B. Klasifikasi Variasi Bahasa

Klasifikasi Variasi Bahasa

14
Chaer dan Agustina (1995: 81) menyatakan bahwa para ahli memiliki
pandangan yang berbeda-beda mengenai variasi bahasa.Hartman dan Stork (dalam
Chaer dan Agustina, 1995: 81).

Variasi Bahasa dari Segi Penutur


Pertama, idiolek, merupakan variasi bahasa yang bersifat
perseorangan.Setiap orang mempunyai idiolek masing-masing.Contoh dialek
orang soppeng berbeda dengan dialek orang pangkep. Dialek orang bugis
berbeda dengan orang makassar.
Kedua, dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada di suatu tempat atau area tertentu.Bidang studi
yang mempelajari tentang variasi bahasa ini adalah dialektologi.Ketiga,
kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi bahasa Indonesia
pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun saat ini. Keempat,
sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik variasi
inilah yang menyangkut semua masalah pribadi penuturnya, seperti usia,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, seks, dan sebagainya.
Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan,
status, dan kelas sosial para penuturnya disebut dengan prokem.
1)Idiolek
Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep
idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-
masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pilihan kata,
gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling
dominan adalah warna suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan
seseorang, hanya dengan mendengar suaranya tanpa melihat orangnya, kita
dapat mengenalinya. Seperti ketika kita berkomunikasi dengan orang bugis

15
soppeng dan bugis pangkep maka kita dapat mengetahui bahwa dialek yang
di gunakan dengan tutur kata mereka
2) Dialek
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya
relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.Karena
dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, dialek
ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.Para
penutur dalam suatu dialek kita dapat tebak jika dia berkomunikasi dengan
Bahasa mereka masing-masing, soppeng, wajo, pangkep, maros itu
mempunya dialek yang khas.

3) Kronolek atau dialek temporal

Kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia
pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan pada tahun lima
puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini. Variasi bahasa pada
ketiga zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi,
maupun sintaksis.Yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena
bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan sosial budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Misal kata ringgit, sen, dan rupiah (nama mata
uang) digunakan pada kurun waktu yang berbeda. Nama satuan mata uang
Indonesia ketika merdeka menggunakan rupiah, sedangkan sebelumnya
masyarakat Indonesia pernah

menggunakan kata ringgit dan sen.

16
4)Sosiolek atau dialek social

Sosiolek atau dialek sosial adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan
status, golongan, dan kelas sosial penuturnya. Dalam sosiolinguistik,
umumnya variasi bahasa inilah yang paling banyak dibicarakan, karena
variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya,
seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, dan
keadaan sosial ekonomi. Perbedaan variasi bahasa itu bukanlah berkenaan
dengan isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi,
sintaksis, dan juga kosa kata.

C. Variasi dari Segi Pemakaian bugis


Variasi bahasa berkenaan dengan penggunanya, pemakainya atau
fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi ini biasanya
dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan
dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini
adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.
Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan,
dan sebagainya.
Variasi bahasa atau ragam bahasa sastra biasanya menekankan bahasa
dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosa kata yang secara
estetis memiliki ciri eufoni serta daya ungkap yang paling tepat.Ragam bahasa
jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana,
komunikatif, dan ringkas.Sederhana karena harus dipahami dengan mudah;
komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan
ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasaan
waktu (dalam media elektronik).Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas
adalah ragam bahasa yang menunjukkan perbedaan ditinjau dari segi siapa
yang menggunakan bahasa tersebut.

17
D. Variasi dari Segi Sarana bugis

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi jalur yang digunakan.Dalam
hal ini ada ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa
dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni dalam bertelepon atau
bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan bahasa tulis didasarkan pada
kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud stuktur yang
tidak sama.
Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini karena dalam berbahasa
lisan atau dalam mneyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh
unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara,
gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik
lainnya.Padahal di dalam ragam bahasa tulis, hal-hal yang disebutkan itu tidak
ada (Chaer dan Agustina, 1995: 95).
Selain pendapat ahli di atas, ahli lain yang berpendapat tentang variasi
bahasa adalah Kridalaksana. Menurut Kridalaksana, variasi bahasa dapat
dipandang secara diakronis dan secara sinkronis. Secara diakronis, variasi
bahasa dapat dibedakan menurut tahap-tahap bahasa yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu.Sementara itu,secara sinkronis, variasi bahasa dapat
dibedakan menjadi dua, yakni variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dan
pemakaian bahasa.

E. Variasi Bahasa Berdasarkan Pemakai Bahasa Bugis

Kita mengenal bermacam-macam variasi bahasa.Variasi bahasa berdasarkan


pemakai bahasa ini dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Dialek regional, yaitu variasi bahasa yang dipakai di daerah tertentu.


Variasi bahasa ini membedakan bahasa yang dipakai di suatu tempat dengan yang

18
dipakai di tempat lain, walaupun variasinya berasal dari satu bahasa. Misalnya, kita
mengenal adanya bahasa bugis Soppeng, Bone, Maros, Pangkep, Sinjai dan lain-
lain.KataTabemisalnya digunakan oleh masyarakat Bugies Makassar untuk
menyatakan Permisi.

b. Dialek sosial, yaitu dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau
menandai stratum sosial tertentu. Misalnya, dialek orang dewasa dan dialek remaja.
Para remaja misalnya menggunakan bahasa gaul ketika berkomunikasi dengan
temannya. Kata bro yang berarti saudara laki-laki, bokap yang berarti ayah, nyokap
yang berarti ibu, gue yang berarti aku merupakan beberapa contoh bahasa gaul yang
digunakan oleh remaja Indonesia.

c. Dialek temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu.
Misalnya kata njolo dan kata dolo merupakan bahasa yang berkembang saat ini,
sedangkan pada tahun 20-an kata-kata tersebut belum dikenal oleh masyarakat.

d. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri-ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua


masyarakat suku bugis berbahasa Bugis, tetapi kita masing-masing mempunyai ciri
khas pribadi dalam lafal, tata bahasa, pilihan kata, warna suara, dan lain-lain.Yang
paling menonjol dalam idiolek ini adalah warna suara, sehingga jika kita sudah akrab
dengan seseorang, hanya dengan mendengar suaranya kita bisa tahu siapa yang
berbicara. Contoh:

Bugis Soppeng : “je”

Bugis Sinjai : identic dengn kata “ Lo”

Bugis Bone : “Mbe”

19
20
Nur Aisyah. S 1855041021

Zainal 1855041025

BAB 4

DIALEK BAHASA BUGIS

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa


persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya,

Sebagai negara yang multikultural Indonesia memiliki beraneka ragam suku,


bahasa, budaya dan ras.Keanekaragaman ini tentu saja menjadi kebanggaan kita
semua. Selain memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dari seluruh
pelosok negeri, negara Indonesia juga memiliki banyak bahasa daerah yang semakin
memperkaya budaya bangsa Indonesia. Salah satu bahasa daerah yang akan dibahas
saat ini adalah bahasa Bugis.

Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa Austronesia yang


digunakan oleh suku Bugis. Bahasa tersebut banyak dipertuturkan di Sulawesi
Selatan, terutama Kabupaten Bone, Soppeng, Sidenreng Rappang, Pinrang, Wajo,
Sinjai, Maros, Barru, Kota Parepare serta sebagian Kabupaten Enrekang, Majene,
dan Bulukumba serta daerah lainnya yang di huni oleh penduduk bugis yang tersebar
di wilayah Indonesia.

Bahasa Bugis terdiri dari beberapa dialek yang digunakan oleh masyarakat
yang ada di Sulawesi Selatan.Seperti dialek Pinrang yang mirip dengan dialek Sidrap.
Dialek Bone (yang berbeda antara Bone utara dan Selatan). Dialek Soppeng. Dialek
Wajo (juga berbeda antara Wajo bagian utara dan selatan, serta timur dan barat).
Dialek Barru, Dialek Sinjai dan sebagainya..

21
Ada dua ciri yang dimiliki dialek yaitu:

1. Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang


memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

2. Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa,
(Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979:2).

Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan menurut peta bahasa yang


dikeluarkan oleh ‘The Australia Academy of the Humanitas’ menunjukkan
pengelompokan bahasa pada situasi geografis tertentu. Pengelompokan tersebut
adalah :

1. Bugis terdiri atas Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sidenreng, Pare-
pare, dan Sawitto.

2. Makassar terdiri atas Lakiung, Turatea, Bantaeng, Konjo, dan Selayar

3. Mandar terdiri atas Balanipa, Majene, dan Botteng Tapppalang

4. Saqdan Toraja terdiri atas Rongkong, Makki, Mamasa, Mappapama,


Kesuq Rantepao, Makale, Sillanan, Dandang Batu dan Sangalla.

5. Mamuju

6. Massenrempuluq terdiri atas Enrekang Duri dan Maiwa

7. Seko

8. Pitu Ulunna Salu (Keraf dalam Jerniati, 2012:208).

Pengelompokan bahasa di Sulawesi dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa


Indonesia dikeluarkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas (Sugono, 2008:71) menunjukkan
bahwa bahasa daerah di Sulawesi ada 58 dan khusus di Sulawesi Selatan ada 14
bahasa. Pengelompokan tersebut telah memberikan informasi mengenai pemetaan
bahasa-bahasa yang ada di Indonesia. Khusus di wilayah Sulawesi Selatan ditemukan

22
beberapa bahasa yaitu bahasa Bugis, bahasa Makassar, bahasa Toraja, bahasa
Massenrepulu, bahasa Pamona, bahasa Wotu, bahasa Seko, bahasa Rampi, bahasa
Lemolang, bahasa Bugis De’, bahasa Bonerate, bahasa Konjo, bahasa Laiyolo, dan
bahasa Bajo. Sedangkan SIL dalam Bahasa dan Peta bahasa di Indonesia (Sugono,
2008:76) membagi dialek Bugis menjadi sebelas dialek yaitu, dialek Palakka, dialek
Pangkajene, dialek Camba, dialek Sidrap, dialek Pasangkayu (Ugi Riawa), dialek
Sinjai (Ennak), dialek Soppeng (Kessi), dialek Wajo, dialek Barru, dialek Sawitto
(Pinrang), dan dialek Luwu. Palengkahu (1974:15) mengelompokkan bahasa Bugis
dengan lambang B dari kata Bugis, sekalipun didalam bahasa Bugis, lebih dikenal
istilah “Ugi”.Kelompok ini meliputi sepuluh dialek yang pada umumnya berlokasi
sesuai wilayah-wilayah kerajaan di masa lalu. Dialek dialek tersebut yaitu, dialek
Luwu, dialek Wajo, dialek Palakka, dialek Ennak, dialek Soppeng, dialek Sidenreng,
dialek Pare-pare, dialek Sawitto, dialek Tallumpanua, dialek Ugi Riawa. Ada
pendapat bahwa bahasa Bugis tertua terdapat dalam dialek Luwu, sedangkan bahasa
standar biasanya disebut dialek Palakka.Hal ini berkaitan dengan mitologi Bugis yang
dianggap bersumber di Luwu, dan Kerajaan Bugis yang besar serta dipandang
berperanan dalam sejarah ialah Bone, yang menggunakan dialek Palakka.

      Dialek Bone dituturkan di Kelurahan Otting, Kecamatan Tellu Siattinge; Desa
Welado, Kecamatan Ajangale; Desa Waempubu, Kecamatan Amali; Desa
Mattanetebua, Kecamatan Palakka; Desa Ulu Balang, Kecamatan Salomekko; Desa
Pattimpa, Kecamatan Ponre; Desa Gaya Baru, Kecamatan Tellulimpoe; Desa Gona,
Kecamatan  Kajuara, Kabupaten Bone.

Dialek Pangkep dituturkan di Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro;


Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang; Kelurahan Bonto Matene, Kecamatan
Segeri; dan Desa Pitue, Kecamatan Marang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

23
Dialek Makassar  dituturkan di Kelurahan Wajo Baru, Kecamatan Bontoala,
Kabupaten Kota Makassar.

Dialek Pare-Pare  dituturkan di Kelurahan Wattang Bacukiki, Kecamatan


Bacukiki; Kelurahan Lapadde, Kecamatan Ujung; dan Kelurahan Watang Soreang,
Kecamatan Soreang, Kabupaten Kota Pare Pare.

Dialek Wajo  dituturkan di Desa Ongkoe, Kecamatan Belawa; Desa Liu,


Kecamatan Sabangparu; Desa Poleonro, Kecamatan Gilireng; Kelurahan
Pattirosompe, Kecamatan Tempe; Desa Lapauke, Kecamatan Pammana; dan Desa
Tosora, Kecataman Majauleng, Kabupaten Wajo.

Dialek Sidenreng Rappang dituturkan di Desa Bulo, Kecamatan Panca Rijang;


Desa Betao, Kecamatan Pitu Riawa; dan Desa Buae, Kecamatan Watang Pulu,
Kabupaten Sidenreng Rappang.

Dialek Sopeng dituturkan di Kelurahan Botto, Kecamatan Lalabata; Desa


Leworeng, Kecamatan Donri Donri; Kelurahan Limpomajang, Kecamatan
Marioriawa; Desa Congko, Kecamatan Marioriwawo; Desa Citta, Kecamatan Citta;
dan Desa Kebo, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng.

Dialek Sinjai dituturkan di Desa Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten


Luwu Timur; serta Desa Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur dan Desa Kanrung,
Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai.

Dialek Pinrang dituturkan di Desa Mattirotasi, Kecamatan Mattiro Sompe;


Desa Padakkalawa, Kecamatan Mattiro Bulu; Desa Maccoralaie, Kecamatan Watang
Sawitto; Kelurahan Watang Suppa, Kecamatan Suppa; Kelurahan Lansirang,
Kecamatan Lansirang; Desa Malongi-longi, Kecamatan Lansirang; Desa Tiroang,

24
Kecamatan Tiroang; Desa Leppanggang, Kecamatan Patampanua; dan Desa Paria,
Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang.

Dialek Malimpung dituturkan di Desa Malimpung, Kecamatan Patampanua,

Kabupaten Pinrang. Dialek Dentong dituturkan di Desa Laiya, Kecamatan


Cenrana, Kabupaten Maros.Dialek Pattinjo dituturkan di Desa Malimpun, Kecamatan
Patampanua dan di Desa Rajang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang.Dialek
Kaluppang dituturkan di Desa Kaballangan, Kecamatan Duampanua, Kabupaten
Pinrang.

Dialek Maiwa tersebar di Desa Bungin, Kecamatan Bungin dan di Desa


Patondon Salu, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang. DialekMaroangin tersebar
di Desa Tuncung/Kaluppang, Kecamatan Maiwa,

Kabupaten Enrekang. Dialek Wani  dituturkan di Desa Wani Satu, Wani Dua,
dan Wani Tiga, Kecamatan Tanantovea, KabupatenDonggala, Provinsi Sulawesi
Tengah.

Dialek Bugis Kayowa dituturkan di Desa Kayowa, Kecamatan Batui,


Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.Dialek Buol Pamoyagon (Bugis
Pomayagon) dituturkan di Desa Pomayagon, Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol,
Provinsi Sulawesi Tengah.Dialek Buol Bokat (Bugis Bokat) dituturkan di Desa
Bokat, Kecamatan Bokat dan di Kelurahan Leok I, Kecamatan Biau, Kabupaten Buol,
Provinsi Sulawesi Tengah. Persentase perbedaan antardialek tersebut berkisar antara
51%—80%;

          Bahasa Bugis juga tersebar di beberapa daerah lain, seperti di Kepulauan
Seribu (Jakarta), Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali, Lampung,
Riau, dan NTB.Selain itu, penutur bahasa Bugis juga dapat ditemukan di Kabupaten

25
Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi
Tenggara.Pada daerah sebaran tersebut, bahasa Bugis berdampingan dengan bahasa
Tolaki (di Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara) dan bahasa Morunene (di Kabupaten
Bombana) yang merupakan bahasa penduduk asli.

          Bahasa Bugis yang digunakan di daerah lain di luar Sulawesi Selatan,
semuanya menunjukkan adanya perbedaan dialek atau merupakan variasi dialektal.
Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan dengan isolek Bugis yang ada di Kepulauan Seribu
Jakarta (Desa Sabira dan Desa Kelapa Dua) memiliki persentase antara 43%--45%;
isolek Bugis yang ada di Jambi (Kampung Laut) memiliki persentase 52%; isolek
Bugis yang ada di Kalimantan Selatan (Desa Juku Eja) memiliki persentase79%;
isolek Bugis yang ada di Kalimantan Timur (Tanjung Palas) memiliki persentase
69%; isolek Bugis di Sulawesi Tenggara (Desa Lapao-pao) memiliki persentase 59%;
isolek Bugis yang ada di Sulawesi Tengah (Desa Wani Satu, Wani Dua, dan Wani
Tiga) 62%; isolek Bugis yang ada di Bali (Desa Serangan) memiliki persentase54%;
isolek Bugis yang ada di Lampung (Desa Kota Karang) memiliki persentase79%;
isolek Bugis yang ada di Riau Pulau kecil (di Kabupaten Indragiri Hilir) memiliki
persentase69%; dan isolek Bugis yang ada di Riau Sungai Sebesi (Kabupaten
Indragiri Hilir) memiliki persentase 79% dan isolek Bugis di NTB (Teluk Santong)
49%.

          Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Bugis merupakan sebuah
bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 85%--91% jika dibandingkan
dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Selatan, misalnya dibandingkan dengan
bahasa Makassar.

Ada beberapa kosakata yang berbeda selain dialek.Misalnya, dialek Pinrang


dan Sidrap menyebut kata Loka untuk pisang. Sementara dialek Bugis yang lain
menyebut Otti atau Utti,adapun dialek yang agak berbeda yakni kabupaten Sinjai
setiap Bahasa Bugis yang menggunakan Huruf "W" diganti dengan Huruf "H".

26
Contoh; diawa di ganti menjadi diaha. Huruf "C" dalam dialek bahas Bugis lain,
dalam dialek Sinjai berubah menjadi "SY". Contoh : cappa(ujung) menjadi "syappa".

Karya sastra terbesar dunia yaitu I Lagaligo menggunakan Bahasa Bugis


tinggi yang disebut bahasa Torilangi.Bahasa Bugis umum menyebut kata Menre' atau
Manai untuk kata yang berarti "ke atas/naik".Sedang bahasa Torilangi menggunakan
kata "Manerru".Untuk kalangan istana, Bahasa Bugis juga mempunyai aturan
khusus.Jika orang biasa yang meninggal digunakan kata "Lele ri Pammasena" atau
"mate".Sedangkan jika Raja atau kerabatnya yang meninggal digunakan kata
"Mallinrung".

Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara.

Contoh: 

semanis gula

= Alfab

Contoh: Kata Dialek Luwu Dialek Bone Dialek Sidrap Rokok Tole Tole Pelo

Berikut contoh afiks pembentuk verba dalam bahasa Bugis dialek Luwu.
Prefiks ma-, mas-, mak-, mat-, mal-, man-, mang-, mappa- dan si-.

1. Polo’patah’ (Adj)+ ma= mapolo’memotong’ (V).

2. Sessa’cucian’(N)+ mas= masessa’mencuci’ (V).

3. Akkutana’pertanyaan’(N)+ mak= makkutana’bertanya’ (V).

4. Tole’rokok’(N)+mat= mattole’merokok’ (V).

5. Lipa’sarung’(N)+mal= mallipa’memakai sarung’(V).

6. Nasu’masak’(Adj)+ man= mannasu’memasak’(V).

7. Iccu’ludah’(N)+mang= manggiccu’meludah’(V).

27
8. Guru’guru’(N)+mappa= mappaguru’mengajar’(V).

9. Poji’suka’(Adj)+si= sipoji’saling suka’ (V). Sufiks i

10. Golla’gula’(N)+i= gollai’gulai’ (V). Infiks ar

11. Kemmo’remas’(V)+ar= karemmo’meremas’ (V).

12. Konfiks mak....eng-, pa....i-, mak....i-, dan pa....ki-.

28
Nurfaisyah 1855041026

Nirwana 1855040007

BAB 5

AKSARA LONTARA DAN BAHASA BUGIS YANG PUNAH

Ada 4 macam bentuk huruf yang pernah di pakai di Sulawesi Selatan yaitu,
huruf lontarak, huruf jangang-jangang, huruf bilang-bilang dan huruf Arab
Serang.Lontaraq dapat diartikan sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan namun dapat
pula diartikan sebagai tulisan.Lontaraq adalah kategori yang kedua yang bentuk dan
jumlah hurufnya seperti di bawah ini (gambar 1).

Kata lontaraq berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yakni
raung yang berarti saung, dan taq yang berarti lontar, jadi dapat dikatakan bahwa
Raung taq berarti daun lontar.Mengapa dikatakan seperti itu karena asal mulanya
tulisan tersebut di tulis di atas daun lontar yang kira-kira lebarnya 1 cm dengan
panjang bergantung seberapa panjang cerita yang ditulis. Setiap daun lontar
disambung menggunakan benang, lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya

29
mirip pita kaset yang cara membacanya dari kiri ke kanan seperti di gambar di bawah
ini (gambar 2)

Aksara lontaraq ini kemudian mengalami perubahan penyebutan yaitu aksara


sulapaq eppaq wola Suji yang artinya segi empat bela ketupat disebut demikian
karena bentuknya yang segi empat mirip ketupat.Yang pertama kali mengeluarkan
dan mempopulerkan istilah sulapaq eppaq wola suji yakni Mattulada dalam
disertasinya La Toa.

Menurut Fachruddin (1983: 420) mengatakan bahwa huruf lontaraq sudah ada
sejak zaman Sriwijaya (abad 7-10).Berbeda dengan aksara lontaraq yang
pemakaiannya menyebar ke seluruh daerah-daerah Bugis dan Makassar bahkan
sampai di Ende, maka aksara jangang-jangang yang pemakaiannya hanya pada
naskah-naskah Makassar, dan itu pun hanya sebagian kecil dan selebihnya ditulis
menggunakan aksara lontaraq dan Arab-Melayu yang sering disebut Serang di
Sulawesi Selatan.

Kata jangang-jangang yang berarti burung-burung berasal dari kata Makassar,


di sebut seperti burung karena bentuknya yang bulat-bulat dan bersayap menyerupai
seekor burung.Dikatakan demikian bisa jadi karena burung dianggap sebagai
representasi dari simbol pembawa komunikasi pada masyarakat tradisional di

30
Sulawesi Selatan, dan karena hal itu huruf-huruf tersebut dikatakan sebagai bentuk
burung yang disimbolkan sebagai alat komunikasi bagi manusia.

Sementara itu aksara bilang-bilang yang diciptakan oleh Retna Kencana


Colliq Pujie Arung Pancana Toa yang seorang dari golongan bangsawan dan
aristokrat keturunan Bugis-Melayu.Ia adalah ratu di Pancana, salah satu kerajaan
bawahan Tanete yang letaknya di tepi pantai. Ia menciptakan huruf bilang-bilang ini
dikarenakan untuk berkomunikasi dengan para pengikutnya secara rahasia melalui
surat yang bertuliskan huruf bilang-bilang yang ia ciptakan sendiri yang tidak
sembarang orang bisa membacanya. Ia menciptakan huruf bilang-bilang dengan
inspirasi dari huruf Arab dan Lontaraq.

Sementara itu aksara Arab Serang masuk ketika orang Bugis Makassar
menjadi penganut agama Islam.Menurut Mattulada (1985:10) mengatakan bahwa
orang Bugis-Makassar, awalnya berhubungan dengan orang-orang Seram yang sudah
lebih dulu menerima agama Islam.Di Seram memakai huruf Arab-Melayu (Jawi)
untuk menyebarkan agama Islam.

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Serang berasal dari kata Bugis
yang artinya berdiri agak miring. Karena ketika dituliskan huruf Arab Serang
bentuknya memang agak miring dan cara menulisnya mulai Kana ke kiri.

Huruf Arab Serang diadopsi dari huruf Arab-Melayu yang biasa disebut Jawi
akan tetapi menggunakan bahasa Bugis-Makassar yang dipergunakan dalam naskah-
naskah yang ada kaitannya dengan ajaran Islam. Yang menjadi pembeda yakni huruf
Arab Serang umumnya mempunyai baris sedangkan Jawi lebih banyak yang gundul.

Kebudayaan manusia adalah sesuatu yang tak terhindarkan terutama dalam


menyebabkan interaksi sosial di antara mereka. Dalam melalui interaksi maka terjadi
sebuah pengaruh - mempengaruhi yang memunculkan kebudayaan serumpun di dunia
yang di samping memperlihatkan perbedaan yang memiliki karakter yang sama. Hal

31
itu pun terjadi dalam aksara didunia.Khusus yang berada di Asia tenggara
hubungannya dapat dilihat pada perbandingan beberapa aksara yaitu huruf Sumatra
dengan huruf Bugis, dan antara huruf Makassar dengan huruf kawi.

Perpindahan dan perubahan tidak langsung terjadi, tetapi melalui suatu proses
evaluasi yang panjang. Perpindahan huruf pallawa ke huruf – huruf nusantara dapat
dijelaskan melalui gambar dibawah ini. Huruf – huruf pallawa yang diadopsi ke
dalam berbagai huruf di nusantara setelah mengalami seleksi natural oleh suku
bangsa yang memamakainya dengan mengikuti dan menyesuaikan dengan konverensi
sistem bunyi bahasa yang diwakili lambang – lambang. Adapun beberapa hal yang
tidak mengalami perubahan antara lain antara lain sifatnya yang silabis, susunan
alfabetnya yang dimulai denganka, ga, nga, serta simbol bunyi vokalnya yaitu di
samping kiri untuk melambangkan bunyi e, di atas untuk i, di samping kanan o, dan
dibawah untuk u.

32
Proses adopsi itu tidak berjalan dan langsung jadi, tetapi melalui proses
evaluasi yang panjang untuk mendapatkan bentuknya yang prima seperti yang kita
temukan sekarang.

Pada dasarnya para ilmuwan yang telah meneliti yang telah meneliti aksara –
aksara jangang – jangang dan lontaraq berasal dari kawi, meskipun dengan
argumentasi yang berbeda – beda. Aksara lontaraq sebagai aksara baru sedangkan
aksara jangang – jangang sebagai aksara lama.Dapat dilihat dari segi bentuk. Aksara
lontaraq sangat berbeda dengan aksara India, akan tetapi vokal yang ada di depan, di
belakang, di atas dan dibawah yang memperlihatkan perasaan dengan aksara India.
Sementara itu pada aksara jangang – jangang kemiripanya terdapat pada ga, pa, ma,
dan la.

Lain halnya dengan dengan H. Kern, adapun persamaan antara aksara lontaraq
dan aksara Sumatera yaitu berpendapat bahwa tulisan ini diturunkan dari induk yang
sama (1882: 136).

Sementara itu, mills berpendapat bahwa aksara lontaraq lama (hurupuq


jangang – jangang ) lebih mirip aksara kawi, sedangkan aksara lontaraq baru
(hurupuq sulapa eppaq) lebih mirip dengan aksara rejang (sumatra) (1975: 602).

33
Sebaliknya, Fachruddin mengemukakan bahwa huruf segi empat yang
diperkirakan seasal dengan aksara Sumatra diciptakan sekitar taman kejayaan
sriwijaya (abad ke- 7-10 m) dan jumlah hurufnya sebanyak yang ada sekarang
sehingga diperkirakan oleh mills kedua aksara tersebut pernah dipakai secara
bersamaan, sebab pada Perjanjian Bongaya (1667) huruf jangan-jangan digunakan
dalam bahasa Makassar.

34
SITTI AISYA 1855042011
RINA SABRINA 1855040005

BAB 6

KESANTUNAN BERBAHASA BUGIS

“Bahasa adalah sebuah sarana komunikasi yang paling penting dalam


kehidupan terutama dalam interaksi sosial.denganbahasa, manusia dapat melakukan
hubungan komunikasi dengan manusia lainya. oleh karena itu, hubungan timbal balik
antara anggota masyarakat akan terhenti tanpa bahasa. bahasa merupakan
kepentingan yang harus terpenuhi dalam komunikasi. selain untuk berkomunikasi,
bahasa juga merupakan lambang identitas sosial manusia.”(SURIYANI ISKANDAR
& HANAFI, 2013)
“Bentuk bahasa merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesama. berdasarkan pada budaya yang dimiliki bersama.”(Hasrianti, 2014)
Sebagai masyarakat yang dikenal dengan budayasantunnya, bugis seyogyanya
selalu dipersepsikan santun di mana pun mereka berada.tak terkecuali jika mereka
berada ditanah rantau. karena itu, tulisan ini berupaya mengungkap model kesantunan
bahasabugis di tanah rantauadengan pendekatan desriptif kualitatif. hasil
menunjukkanbahwa; strategikesantunan berbahasa direpresentasikan secara deskriptif
melalui duakategori strategi yaitu strategi positif dan strategi negatif. komunikasi
dalammasyarakatdiketahui bahwa bahasa diciptakan dan dipertahankan melalui
aktivitas komunikasi paraindividu anggotanya. secara kolektif, perilaku mereka
secara bersama-sama menciptakanrealita yang mengikat dan harus dipenuhi oleh
individu agar dapat menjadi bagian darikebudayan.etiket dan kesantunan melalui
penggunaan piranti sistem kekerabatan,bahasa bugis juga menyediakan kosa kata,
partikel, dan afiks-afiks yang lazimdigunakan untuk menyatakan etiket dan

35
kesantunan dalamkomunikasi sehari-hari. katakata„ie‟, „idi‟, „puang, „pung‟,
„petta‟ merupakan sistem leksikal yang memiliki maknasosial
kesantunan”(Hasrianti, 2014)
Kesantunan (politiness), kesopansantunan,atau etiket adalah tatacara,adat,
atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. kesantunanmerupakan aturan
perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama olehsuatu masyarakat tertentu
sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh peri-laku
sosial. Oleh karena itu, kesan-tunanini biasa disebut "tata-krama".kesantunan dapat
dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. pertama, kesantunan
memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam
pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu
tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat
tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan
santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara
seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama).
(Hasrianti, 2014)
“Kesantunan bagi orang bugis merupakan sesuatu yang mutlak dipergunakan
dalam berinteraksi.Memahami tipe kesantunan mereka dalam berbahasa merupakan
salah satu upaya untuk menghindari konflik. Masyarakat bugis yang masih fasih
berbahasa bugis di sulawesi selatan yang berjumlah 229 orang
responden”(Gusnawaty; et al., 2014)
“Kesantunan dalam bahasa bugis berhubungan dengan kekuasaan dan
solidaritas. kekuasaan dan solidaritas termanifestasi dalam pemilihan
strategikesantunan yang digunakan dalam berinteraksi, yakni kesantunan positif dan
kesantunan negatif.”(Gusnawaty; et al., 2014)

Yang termasuk kesantunan positif yakni melalui strategi pengakuan


kesamaan, (b) pembicara dan pendengar menunjukkan bekerjasama, dan (c)

36
memenuhi keinginan pembicara. Selanjutnya, strategi kesantunan negatif meliputi
tuturan yang menggunakan:

A) Strategi Pembatas,

B) Pernyataan Pesimisme,

C) Pernyataan Hormat, Dan

D) Apologi.

Bahasabugis termasuk bahasa yang kaya dalam merepresentasikan


penghargaan kepada pendengarnya lewat tuturan yakni, dengan cara mendekatkan
diri (disebut oleh brown dan levinson sebagai kesantunan positif) atau dengan cara
membuat jarak (disebut kesantunan nagatif). penanda-penanda linguistik yang
ditemukan pada kedua strategi tersebut merupakan keunikan dari bahasa bugis dan
dipergunakan sesuai konteks sosial budayabugis tutur bahasa bugis yang
bersangkutan.

Tuturan bahasa bugis harus selalu mematuhi kaidah-kaidah sosial dalam


bertutur demi untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi.

Kesantunan bagi orang bugis sudah demikian lekat dengan kehidupannya


sejak dahulu. Menurut pandangan tradisional, seru sekalian alam ini dimaknai sebagai
kesatuan yang disimbolkan dengan (s) s. simbol s atausulapak eppak walasuji (segi
empat belah penjabaran simbol tersebut menjelaskan bahwa s dapat dimaknai
sebagaisauang „tempat keluar‟ yang disimbolkanmulut). melalui mulut keluarsadda
„suara‟ atau bunyi dan bunyi-bunyi tersusun menjadiada „kata-kata‟ yang bermakna.
orang bugis berpandangan bahwa dari ada itulah semua gerak tertib alam diatur. Bila
kataada ditambah artikel /-é/; menjadi adaé „pesan‟ akan menjadi pangkal adə‟ yang
berarti adat atau aturan. Sekaitan dengan itu tersebutlah dalampaseng ogi (pesan,
nasihat bugis) sebagai berikut.

37
“Sadda Mappabbatik Ada „Bunyi Mewujudkan Kata‟
Ada Mappabbatik Gauk „ Kata Mewujudkan Perbuatan‟
Gauk Mappabbatik Tau” „Perbuatan Mewujudkan Manusia‟
(Mattulada, 1975: 9)

Pesan tertua bugis tersebut tertuang dalam lontarak (daun lontar) dan
didengung-dengungkan pada anak-anaknya secara lisan pada waktu-waktu tertentu
agar anak-anak yang menjadi ahli waris masa depan tidak berbicara semau-maunya
pada sesamanya dalam berinteraksi. Mengingat ada atau bahasa yang keluar dari
mulut dapat menyakiti dan menimbulkan konflik, maka tertua bugis mengingatkan
bahwa kata-kata atau bahasa yang merupakan asal-muasal perbuatan harus
menunjukkan derajad kemanusiaan. Tekad ini saling berhubungan dengan kata-kata
sipakalebbi (sipklebi) „saling menghargai‟; sipakatau (sipktau) „saling
(memperlakukan) sebagai manusia‟; sipakainge (sipkaige) „saling mengingatkan‟;
sipakario (sipkriao) „saling (membuat) gembira‟; dan lain sebagainya. Rentetan
kosakata tersebut memperlihatkan representasi sosial orang bugis yang sangat
memperhatikan keharmonisan dan kesantunan dengan sesama dalam berinteraksi
menjalani hidup.manifestasi budaya melalui bahasa dikenal sebagai hubungan
relativitas bahasa yang dicetuskan oleh boaz, diteruskan sapir selanjutnya
disempurnakan whorf yang memandang klasifikasi bahasa sebagai representasi
sistematis dari fakta-fakta sosial (foley, 1999: 192-202). Dengan kata lain, teori ini
menyatakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga
menentukan cara dan jalan pikiran manusia.
Strategi Kesantunan Dalam Bahasa Bugis
a. Kesantunan Positif
Kesantunan positif, dikatakan demikian, apabila sebuah tuturan yang memperlihatkan
penghargaan atau kesenangan terhadap t. strategi bertutur seperti ini menonjolkan
kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara si a dan si b. Secara umum, orang
bugis memiliki tiga kategori strategi kesantunan positif dalam bertutur yakni,

38
pengakuan kesamaan, penunjukan bahwa si a dan si b bekerja sama, dan memenuhi
(walaupun sebagian) keinginan petutur.
ciri-ciri linguistik yang menghiasi kesantunan positif dalam bahasa bugis,
yaitu pemakaian klitika familiar, unsur interjeksi seperti puah (yang bermakna
kagum), kata-kata penanda identitas kelompok seperti iye dan jé‟, sopan, pujian, dan
unsur-unsur lain yang meningkatkan kedekatan antara si a dan si b. Variasi
penggunaan kesantunan positif bergantung pada kedekatan antara si a dan si b.
Tujuan penggunaan tipe kesantunan ini berusaha memperkecil ketidaksepakatan
dalam tuturannya walaupun sebenarnya mereka tidak sepakat. misalnya, berusaha
menetralisir atau meredam kejengkelan si a dengan sapaan padakkunrai/padaoroane
„saudara perempuan/saudara laki-laki‟ walaupun sebenaranya baru berkenalan.
Tambahan sapaan padaoroane/padakkunrai pada si b sangat potensial dalam
meredakan konflik dalam berinteraksi.
a) perhatian tinggi
dalam menghargai pendengarnya, penutur bb dalam bertutur memperlihatkan
perhatian yang tinggi pada t dengan cara memperlihatkan minat yang tinggi pada
aktivitas t,contohnya
d: “puah acim tongeng, mancaji fotografer. „wah acim betul-betul jadi fotografer‟
pp: “pitang manekki matu hasilna di?” „perlihatkan nanti hasilnya ya?‟
Pada tuturan tersebut si amemperlihatkan bahwa kegiatan yang dilakukan si b
merupakan hal yang baik. komentar si a merupakan perhatian dalam mendukung si b
untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif serupa pada masa akan datang. unsur
interjeksi puah di awal kata bermakna kagum (perhatian) terhadap hasil yang
dilakukan si b. Ditambah lagi dengan komentar puang pahi yang meminta hasil foto
tersebut bila sampai di rumah nanti. Unsur di „ya‟ yang diletakkan diakhir tuturan
juga merupakan penguatan atas apa yang sudah dikatakan pembicara sebelumnya.
b) bercanda
Orang bugis kadang-kadang mengisi kekosongan pembicaraan dengan cara
membuat lelucon dalam kebersamaannya dengan orang lain. Lelucon yang

39
digunakan kadang-kadang seperti „menghina‟ atau „merendahkan‟ mitra
tuturnya.Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk memancing tawa atau
menyemarakkan suasana dalam pergaulan. Contohnya
pp: “iko dafira dépatu nekka mulalo kudiyawana terowongangé kuhé” „kau
dafirah, pasti belum pernah lewat di bawah terowongan di sini‟
d: “haha..wékka limappuloni lima wola” „saya sudah lewat 55 kali‟
pp: “oh, hahaha…waseng dépa nekka molai. pa‟ nasaba nampiki engka” „saya kira
kamu belum pernah lewat karena baru datang‟
c) menggunakan penanda identitas kelompok
Berbicara dengan caramemperlihatkan identitas (dialek) kelompok juga
merupakan suatu usaha untuk mendekatkan diri pada si a perilaku ini dilakukan si b
untuk memperlihatkan bahwa dirinya bukan orang lain dan ingin diperlakukan
sebagai orang „dalam‟, meskipun sesungguhnya baru berjumpa. Cara-cara seperti ini
sering sekali dilakukan orang bugis apabila mengurus sesuatu secara
formal.contohnya a: “eee…magi dénengka lokka bolaé je’?” „eee..kenapa tidak
pernahjalan-jalan ke rumah?‟
e) menghindari ketidaksetujuan
Strategi terakhir dalam mendekatkan diri dengan t dalam bertutur adalah
dengan cara memperlihatkan persetujuan dalam pembicaraan. Metode ini sangat
umum digunakan dalam berbicara khususnya apabila seseorang berbicara dengan
orang yang dihormatinya atau baru dikenalnya.contohnya
g: “muisseng moppa ga “ “masih ingat saya?”
s: “ié’ ié’ ié’.., yang dari tamalanrea to?
g: “weddiki utanai cedde“ “bisa tanya-tanya sedikit?”
s: “ié ié ié..”
g: de’to wa’ganggu “tidak menggangguji?”
s: “oh, ié…sudahpi paeng magrib karena ada mau kukerja dulu”

40
Terlihat pada tuturan di atas g menghindari ketidaksetujuan dengan s dengan
mengatakan ié‟ [iyyé‟] yang berarti ya, walaupun maksudnya tidak demikian alias
menolak.
dalam budaya bugis, adalah kurang santun apabila langsung menolak suatu
pertanyaan terutama dari orang yang baru dikenal. Oleh karena itu, s
menjawabiyek„ya‟ walaupun sebenarnya dia tidak memiliki waktu (untuk
diwawancarai). Jadi bijaklah apabila seorang tamu atau s mengerti konteks situasi,
apakah g bersedia „diganggu‟ atau tidak.
f). memenuhi (walaupun sebagian) keinginan petutur
Yang dimaksud dengan kategori ini adalah tuturan „manis‟ atau menyenangkan t.
pemberian tuturan secara menyenangkan t merupakan suatu kesantunan. tuturan yang
dikategorikan sebagai memenuhi (walaupun sebagian) keinginan t , yaitu tuturan
pujian dan atau tuturan yang membubuhkan kata-kata khusus yang sifatnya
menyenangkan (hadiah) t . Seperti tambahannak (ana‟) „anak‟ padakunrai „saudara
perempuan‟ sappo „sepupu‟, ndi‟ „adik‟, dan lain-lain.
hs : “wée..tatudangini kapangkantokkantokku tue aji.. „aduh, mungkin anda
menduduki kresekku aji?‟
hx :de..padakkunrai.‟tidak saudaraku‟
hs :tapeso-pesoni kapang, magi nappenynyo tué…‟mungkin anda sudah
mendudukinya karena sudah penyot‟
hx :na dé ukennai padakkunrai.‟tidak saudaraku‟
hs: diam.
b. kesantunan negatif
Kesantunan negatif dalam bahasa bugis ditandai dengan penanda-penanda tertentu
untuk menjaga jarak sosial dengan pendengarnya, yakni melalui klitika honorifik dan
pilihan kata-kata tertentu yang menandakan penghormatan.Ciri lainnya,
memperlihatkan adanya keraguan-raguan penutur atas hal yang ingin
disampaikan.Keraguan itu bisa disebabkan oleh adanya jarak antara interlokutor
seperti kenalan baru, atasan, ada orang ketiga yang turut hadir, atau dalam situasi

41
publik. Berdasarkan karakteristik yang telah ditetapkan tersebut, ditemukan empat
perilaku kesantunan negatif bahasa bugis, yakni penggunaan: a) strategi pembatas, b)
pernyataan pesimisme, c) pernyataan hormat, dan d) apologi.
a) pernyataan hormat
Pernyataan hormat lewat tuturan merupakan salah satu bentuk tuturan
kesantunan negatif.bentuk tuturan ini ditandai dengan cara n merendahkan diri atau
merendahkan kapasitas diri, serta meremehkan milik diri. Ciri-ciri bentuk tuturan ini
adalah dengan penggunaan bentuk honorifik dan pendayagunaan perangkat istilah
pernyataaan hormat oleh n kepada n dilakukan secara bervariasi.perbedaan itu
disebabkan oleh faktor sosial dan usia peserta tutur. seperti yangdikemukakan oleh
pelras (1998:25) bahwa orang bugis merupakan masyarakat yang kompleks dan
terdiri dari berbagai jenis tingkatan.
Hierarki adalah sesuatu yang muncul berdasarkan kekuasaan.kekuasaan dalam
masyarakat bugis dapat dilihat dengan mempelajari asal-usul, hubungan dengan
peristiwa sebelumnya, dan juga dengan status sosial. status sosial terbagi dalam dua
kelompok yakni ascribed status dan achieved status. turner (1988: 4) dalam mahmud
(2009:9) mengatakan bahwa ascribed status berkaitan dengan atribut yang dimiliki
seseorang yang berkaitan dengan keturunan, gender, atau umur, sedangkan achieved
status berkaitan dengan posisi yang dimiliki seseorang seperti melalui pendidikan.
Jadi, ada status yang dibawa sejak lahir seperti kebangsawanan ada pula status yang
diperoleh seperti kekayaan atau dengan mengikuti pendidikan.status itu disebut dalam
bahasa bugis sebagaiabbatireng„keturunan, titisan‟ atau onrong „tempat‟.
Secara garis besar, ada dua bentuk pernyataan hormat oleh orang bugis, yakni
dengan sapaan gelar (kebangsawanan/jabatan) dan tanpa gelar
(kebangsawanan/jabatan). Pernyataan hormat tanpa gelar hanya dikenali lewat
enklitik honorifik –ki yang digunakan si n .keberagaman tersebut dipicu pada
umumnya oleh perbedaan status sosial dan umur antara si pembicara dan si
pendengar pada saat terjadinya tuturan tersebut.

42
ada tiga pola sapaan bahasa bugis (sapaan penghormatan) kepadat, yakni sebagai
berikut.
a) pola sapa 1: paling berjarak
struktur tuturan orang ketiga + sapaan kebangsawanan + nama jabatan
petta nama diri (ku)
puang gelar agama
b) pola sapa 2: berjarak

struktur tuturan kalimat + sapaan kebangsawanan + puang


frase aji
kata
c) pola sapa 3: agak berjarak

verba + enklitik honorifik (-ki)


Ketiga pola strategi penghormatan orang bugis seperti di atas, terlihat berjenjang dari
yang paling santun ke paling kurang santun. Perbedaan strategi itu dipicu oleh
pencapaian status sosial yang dimiliki t. dengan kata lain, apabila t memiliki baik
ascribed maupun achieved status maka pola sapaan penghormatan yang digunakan n
pada t akan semakin kompleks seperti yang tampak dalam pola sapa 1. selanjutnya,
apabila t hanya memiliki status keturunan, pola sapaan yang digunakan adalah pola
sapa 2.
Kemudian, ketika hanya konteks minus solidaritas dan situasi publik yang menjadi
penyebab lahirnya tuturan, seperti hubungan n dan t sebagai tuan rumah dan tamu,
kenalan biasa, dan lain-lain maka tuturan yang lahir biasanya hanya menggunakan
klitika honorifik seperti pola 3.
contoh pola sapa 1.
contoh

43
puang kaya (pk, ±60) dengan dg ina (di, ±35) sedang berada di dapur membuat kue
untuk persiapan suatu acara perkawinan. di berbicara kalau selama ini dicari-cari
sanaknya yang bernama puang hawa. dia berkata:
di: batena puang hawaku sappaka
cara-nya puang hawa-ku mencari-saya
„puang hawaku selama ini mencari-cari saya‟
berikut contoh tuturan pola sapa 2 dalam tuturan ini:
puang satiah (s, 53) ingin supaya wati (w, 16) membuatkan sebuah sambel terasi yang
menjadi pelengkap sarapan pagi. puang s ingin supaya sambel itu dicobek saja supaya
hasilnya kasar dan memancing selera tetapi w ingin supaya sambel tersebut diblender
supaya tangannya tidak kotor.
s: “abbuko dolo‟ sambala‟ ”
buat-kamu dulu sambal
„buatlah sambal‟
w: “ié‟ puang. iblender i puang?” „ya, puang.saya blender ya puang?”
s: “ja‟na. cobé‟ banni. makessing ita kukassara‟i” „
jangan. cobek saja. baik dilihat bila kasar
„jangan. cobek saja. bagus dilihat bila kasar‟
w: diam dengan muka ditekuk
b) strategi pembatas
Strategi pembatas digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi untuk
mengurangi derajat keterancaman muka pendengarnya atas ucapan yang dikeluarkan
oleh penutur. Tuturan seperti ini sering terjadi pada interlokutor yang tidak saling
mengenal dengan baik (-s), hubungan antara pimpinan dan stafnya, atau hubungan
antara tuan rumah dan tamunya. tuturan tidak bersifat langsung tetapi berputar dalam
mengemukakan maksudnya.
s: “manengka waé loki‟ lésu, abbennini‟?”
kenapa mau pulang? bermalamlah‟

44
Tuturan ini memperlihatkan bagaimana cara si n menahan si t terlihat
menggunakan strategi pembatas, yakni dengan cara bertanya “manengka waé loki‟
lésu?”. Pertanyaan ini mengandung nilai rasa keheranankarena malam sudah larut
tetapi tidak ingin memaksa secara langsung karena antara n dan t pada waktu itu
belum akrab dan t masih berstatus sebagai tamu. Tuturan yang dikeluarkan memiliki
penanda honorifik enklitik (absolutif) –ki dan completive honorifik –ni. seperti yang
telah diketahui –ki adalah penanda orang pertama jamak dalam bahasa bugis dan
apabila digunakan untuk orang kedua tunggal, -ki bermakna honorifik demikian pula
dengan –ni.
c) pernyataan pessimisme
Pernyataan pesimisme merupakan strategi bertutur yang digunakan n pada t
karena adanya rasa keraguan atas permintaan yang mungkin membebani t.
Pernyataan pesimisme dileburkan dalam bentuk ungkapan memohon yang
menyatakan fungsi harapan.Contohnya.
pt: “maéloka méllo tulung, tatanda tangani iaé sure‟ é yé”
„saya mau minta tolong, anda tanda tangani surat ini‟
pw: “aja‟ sana jolo‟ “nantilah dulu”
d) pernyataan apologia
Strategi apologia adalah strategi yang digunakan n untuk
mengomunikasikanrasa segan untuk menyentuh citra diri t atau melindungi . Dalam
kategori ini, ditemukan dua subkategori dari kelompok ini, yakni: pernyataan maaf
dan mengemukakan alasan.contohnya.r: "taparajaingak addampeng puang méloka
lésu sedding mélé, malasai anatta”
„mohon maafkan saya sebesar-besarnya puang, kalau boleh saya permisi pulang
karena hambamu (anak saya) sakit‟.
Bahasa bugis termasuk bahasa yang kaya dalam merepresentasikan
penghargaan kepada pendengarnya lewat tuturan yakni, dengan cara mendekatkan
diri (disebut oleh brown dan levinson sebagai kesantunan positif) atau dengan cara
membuat jarak (disebut kesantunan nagatif). Penanda-penanda linguistik yang

45
ditemukan pada kedua strategi tersebut merupakankeunikan dari bahasa bugis dan
dipergunakan sesuai konteks sosial budaya masyarakat tutur bahasa bugis yang
bersangkutan.
Strategi kesantunan berbahasa direpresentasikan secara deskriptif melalui dua
kategori strategi yaitu strategi positif dan strategi negatif.proses komunikasi dalam
masyarakat diketahui bahwa bahasa diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas
komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif, perilaku mereka secara
bersama-sama menciptakan realita yang mengikat dan harus dipenuhi oleh individu
agar dapat menjadi bagian dari kebudayanetiket dan kesantunan melalui penggunaan
piranti sistem kekerabatan, bahasa bugis juga menyediakan kosa kata, partikel, dan
afiks-afiks yang lazim digunakan untuk menyatakan etiket dan kesantunan dalam
komunikasi sehari-hari. kata-kata„ie‟, „idi‟, „puang, „pung‟, „petta‟merupakan
sistem leksikal yang memiliki makna sosial kesantunan.

46
Fitriani 1855040009

Muhammad Adam Rifandi 1855041012

Muh. Syahril 1855042003

BAB 7

GENERASI MUDA DAN BAHASA BUGIS DI MEDIA SOSIAL

Saat dunia menagalami perkembangan teknologi, masing-masing negara pasti


ingin mamajukan teknologi di setiap negaranya hal itu dikarenakan agar kita mampu
bersaing dengan negara-negara lain, mampu menyesuikan diri dengan segalah
tuntutan perkembangan zaman dalam artian kita tidak ketinggalan
zaman.Perkembangan zaman juga ditantai dengan adanya globalisasi memberikan
pengaruh besar pada suatu negara ataupun wilayah tertentu.
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang
bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses global itu
sendiri. Dapat dikatakan bahwa munculnya globalisasi dipicu oleh kehadiran
teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang memperepat akselerasi proses
globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Kemajuan
teknologi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus
dijawab, dipecahkan dalam upaya memenfaatkan teknologi untuk kepentingan
kehidupan karna pada dasarnya kita tidak akan mampu lepas dari sarana dan prasana
teknologi di jaman sekarang ini karena hadirnya teknologi dalam sisi positifnya
mampu meringkangakan beban manusia sehingga dari sisi negatifnya tidak menjadi
tolak ukur dalam pengunnan teknologi.
Di era milineal ini teknologi sudah mampu diakses oleh anak-anak sampai
orang dewasa yang menjadi bentuk perhatian kita saat ini bagaimana setiap kalangan
dalam memanfaatkan teknologi? Karna pada realitanya anak-anak mileneal sekarang
yang merupakan generasi bangsa lebih suka bermedia sosial daripada mengunakan

47
handphone nya untuk belajar hal ini yang menjadi bentuk perhatian bagi anak bangsa
kita, dalam mengunakan teknologi selain itu pengaruh globalisasi yang sudahsemakin
kencang masuk di Indonesia dan bahkan di berbangai wilayah/daerah terpencilpun.
Globalisasi dapat memberikan perubahan dalam keadaan tersebut baik dari
gaya hidup, budaya dan bahkan dapat memberikan pengaruh pada pertahanan bahasa.
Proses perkembangan globalisasi pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi
informasi dan komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi.Dari
kemajuan bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi. Dari kemajuan bidang
ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti terkikisnya
bahasa, budaya dan lain-lain.
Arus globalisasi dan kemajuan teknologi menjadi pendorong mulai pudarnya
bahasa di indonesia apalagi bahasa-bahasa daerah khususnya di daerah Bugis.
Pengaruh globalisasi membuat mereka lebih suka untuk menggunakan bahasa asing
daripada menggunakan bahasa sendiri apalagi bahasa daerah, sebagian besar dari
generasi saat ini meresa gengsi jika harus memakai bahasa sendiri sehingga semakin
kesini pengunaan bahasa daerah pun sangatlah jarang dalam media sosial.
A. Pengertian Generasi muda

Generasi muda secarah etimologi berasal dari dua kata, yaitu generasi yang
berarti angkatan dan turunan (Dep P dan K 1999, hlm,309) dan muda beararti belum
lama (Dep P dan K 1999 hlm.667). generasi muda berarti angakatan atau turunan
yang belum hidup.

Kata generasi mudah juka diartikan bardasarkan ilmu kebahasaan saja generasi
muda juga diartikan secarah istilah menurut Suraiya generasi muda dairtikan sebangai
generasi yang sedang menjalankan giliran mengelolah kehidupan masyarakat dan
berneg

istilah generasi muda, yang diyakini memiliki banyak potensi atau keunggulan
keunggulan tertentu. Di samping itu, istilah generasi muda sering dikaitkan dengan

48
semakin maraknya berbagai perilaku generasi muda yang melanggar aturan-aturan
yang berlaku, seperti mabuk-mabukan, pelecehan seksual, pemalakan, mengonsumsi
narkoba, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian di atas, terutama secara terminologis ternyata pengertian


generasi memiliki cakupan makna yang cukup luas, tergantung dari sisi mana
pemaknaannya.Dalam kaitan ini maka perlu dipahami secara benar tentang makna
generasi itu sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang kurang tepat.

Dari berbangai pengertian generasi mudah dapat disimpulkan bahwa generasi


muda ialah kelompok generasi yang merupakan kaum muda yang hidup dalam
jangkah waktu tertentu dalam artian belum lama generasi muda menjadi aset
terpenting dalam setiap generasi bamgsa karna generasi muda tumpuhan bagi bangsa
dalam memajukan perkembangan bangsa.

B. Media sosial

Pada era pasca modern ini, semua aktivias harian manusia bermula dari bangun
pagi hingga sebelum tidur di malam hari dilengkapi dengan penggunaan teknologi
dan gajet yang terhasil daripada pembangunan teknologi hal ini menjadi sesuatu yang
lumrah pada manusai saat ini. Internet juga diartiakn sebangai salah satu daripada
keperluan harian dalam kehidupan setiap individu (Nadia Fauzi, 2017). Selain itu
Internet juga diartikan sebangai salah satu media komunikasi dan informasi moden
ketika era globalisasi dan pasca globalisasi (Buang, 2005; Hassan, 2009; Jasmi,
Kamarul Azmi & Mohd Rashid, 2008; Mohd Rashid & Jasmi, 2006; Sidek, 2003;
Suhid, 2005; Yaacob & Othman, 2007). internet sangatlah penting bagi manusia
kerena dengan adanya internet kita mampu mengakses segala maklumat melalui
hujung jari dan tanpa sempadan.
Berbicara mengenai teknologi dan internet kita tidak akan lepas dari kata media
sosial dimana media sosial merupakan media yang sangat populer di kalangan

49
masyarakat yang pada umumnya digunakan semua golongan masyarakat khususnya
generasi muda zaman sekarang, khususnya anak-anak remaja melihat media sosial
sebagai satu trend terkini untuk mengisi aktiviti pada waktu lapang di samping
bersosial di alam maya.
Media sosial ini dapat dibahagikan dengan berbagai cara atau jenis antaranya blog,
wikipedia, forum dan juga dunia virtual. Blog dan wiki merupakan bentuk media
sosial yang lama diwujudkan dan antara media sosial yang paling umum. Menurut
Andrea Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah
kelompok aplikasi yang menggunakan internet yang membangun di atas dasar
ideologi dan teknologi Web 2.0”(Kaplan & Haenlein, 2010).
Media sosial merupakan suatu platform dimana kita mempunyai hak masing-
masing dalam menggunakanya dapat diartikan setiap orang mampu membuka akun
sendiri dengan percuma, dan kemudian mampu berhubung dengan kenalan di
platform tersebut. Dengan akun yang kita miliki mampu memberikan kemudahkan
bagi dalam bermedia sosial, misalnya dengan cepat kita bisa memberikan informasi
kepada orang, mengirim lokasi yang sekarang kita tempati dan lain-lain. Hal ini
membawa maksud bahawa media sosial ini tidak terbatas oleh jarak untuk berkongsi
maklumat dan berinteraksi (Siti Ezaleila Mustafa, 2010).
Pada tahun 2002, lahirnya sebuah media sosial bernama lahirnya ini menjadi
awal bagi semua orang dalam menggunakan internet.Melalui Friendster ini juga
dicatat lebih daripada tiga juta orang mendaftarkan diri sebagai pengguna selepas
diperkenalkan dalam tempoh tiga bulan sahaja. Pada awalnya Friendster ini sangat
popular dalam kalangan remaja disebabkan Friendster adalah salah satunya media
sosial yang pertama yang mempunyai fungsi seperti memuat naik gambar dan
berinteraksi dengan orang lain. Platform ini juga dijadikan tempat untuk berbual
(chatting) bagi tujuan berdating dan menemui pasangan hidup masingmasing (Lee,
2010) Setelah dua tahun Friendster terpaksa bersaing selepas pengenalan media
sosial bernama Facebook yang dicipta oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2004.
Facebook adalah platfrom dimana seseorang boleh memuat naik gambar dan video

50
dan juga menulis sesuatu yang tentu malah ia boleh dilihat oleh pengguna Facebook
lain aplikasi Fecebook menjadi aplikasi media sosial yang sangat digaugi oleh
brbagai kalangan karena banyak yang adapat kita lakukan Melalui Facebook
misalnya, seseorang boleh berinteraksi dan mengeluarkan pandangan dari persepsi
sendiri. Di Facebook juga terdapat banyak fungsi menarik yang tidak terdapat di
laman sosial lain seperti berbual dalam talian (Ika DestIana, 2013) Selepas
kemunculan Friendster dan Facebook, tidak sampai disitu sekarang sudah sangat
banyak bermuculan aplikasi media sosial yang sudah diakses oleh semua kalangan,
media sosial lain turut muncul seperti Instagram, Twitter, Snapchat, Whatsaap juga
Telegram. Aplikasi media sosial ini masing-masing populer di kalangan remaja
karena generasi milineal saaat ini selalu mengikuti arus agar tidak ketinggalan zaman.
Perkembangan media sosial semakin hari pun semakin berkembang sebangai
Survei yang dilakukan berbagai lembaga riset bahwa media international
menunjukkan penggunaan Internet sangatlah tinggi di negara Indonesia. Hal itu bisa
kita lihat dari lembaga Global Web Index (2010) menunjukkan bahwa Indonesia,
diantara negara Asia lainnya, memiliki pengguna Internet yang paling banyak
menggunakan media sosial (79.72%), bandingkan dengan Jepang (30.1%), Australia
(48.8%) dan Singapura (63%). Selain itu juga dikabarkan pada majalah The
Economist, mengutip dari sejumlah perusahaan riset internet, melaporkan bahwa
jumlah pengguna Facebook di Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia, dan
Twitter pada posisi ketiga terbesar di dunia (The Economist, 2011). Selanjutnya
dalam penelitian yang dilakukan comScore (2011) juga disebutkan bahwa Indonesia
sebagai the planet’s most Twitter-addicted nation atau negara dengan penduduk yang
paling ketagihan di dunia dalam menggunakan Twitter denagn pernyataan diaras
maka dapat simpulkan bahwa pengunaan media sosial di Indonesia sangatlah tinngi
atau dapat diartikan bahwa pendudk indosea memiliki minat yang sangat tinggi dalam
mengunakan media sosial di seluruh penjuru nusantara. Bukan hanya pengunaan
teknologi di wilayah kota saja yang tinggi di daerah pelosok pun tidak mau kalah

51
dengan remeja di kota pengunnan teknologi (media sosial) di daerah perkampungan
semakin hari semakin tinggi salah satunya di pulau Sulawesi Selatan( Bugis).

C. Pengaruh Media Sosial Terhadap Generasi Muda Bugis

Bugis adalah salah satu suku di pulai sulawesi, dimana suku bugis ini
merupakan sekelompok etnik yang berasal dari sulawesi selatan. Suku bugis tersebar
di berbagai daerah di indonesi. Sebagian besar penduduk asli bugis ialah mereka yang
bertepat tinggal di provinsi sulawesi selatan dari dulu samapai sekarang.
Perkembangan teknologi dan informasi di sulawesi selatan tidak hanya
berpusat pada kota Makasar melainkanwilah Bugis pun semakin berkembang
dalampengunaan teknologinya. Perkembangan teknologi dan informasi di daerah
bugis dipicu karena generasi muda mereka sendiri dimana mereka yang menuntut
ilmu ke kota sehingga dengan muda mereka memahami pengunaan teknologi
khususnya kelompok-kelompok remaja yang sudah tidak bisa lepas dari sosial media.
Walaupun media sosial ini diperuntukan oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi yang
menjadi persoalan dalam pengunaan internet adalah tentang bagaiamana pengaruh
atau dampak yang akan timbul terhadap golongan remaja atau mereka yang sudah
ketagihan dalam menggunakan media sosial.Media sosial ini seumpama air kolam
yang jernih di atas, cantik dilihat dari pandangan mata tetapi dibawahnya yang tidak
begitu cantik ditutupi lapisan kekotoran yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar.
Penggunaan media sosial yang meluas dapat memberikan manfaat dan pada masa
yang sama ia juga memberikan kesan yang buruk kepada masyarakat (Nadia, 2017).
Pada realita sekarang kelompok yang paling tinggi dalam mengunakan media
sosial adalah usia remaja atau generas-generasi bangsa yang seharusnya belajar
untuk menjadi generasi yang unggul dalam menghadapi tantangan dunia justru
sebaliknya. kemajuan zaman semakin memberikan perubahan terhadap pola hidup
manusia misalnya kemarin anak sekolah sebelum mengenal media sosial lebih suka

52
membaca buku, sekarang sudah tidak lagi, mereka lebih suka membaca komik-komik
remeja dibandingkan membaca materi-materi pembelajar.
Selain itu media sosial meenjadi salah satu jalan dalam memperkuat
globalisasi sekarang sudah sangat jelas di depan mata lunturnya budaya di tanah
bugis sendiri misalnya budaya “siri” atau budaya malu budaya tersebut sudah mudai
dikikis oleh media sosial misalnya saat ini yang sangat populer di kalangan
masyarakata yaitu bermaid “Tiktok” vidio-vidio yang dipertontongkan di media
sosial terlihat sangatlah miris, dengan jelas anak-anak milineal sekarag sangat
mengikuti budaya-budaya asing. Selain bergesernya budaya-budaya daerah, bahasa
daerah bugis pun perlahan-lahan sudah jarang digunakan apalagi para kaum remaja,
sebagian besar penerus bangsa saat ini lebih suka mengunakan bahasa asing daripada
bahasa sendiri, bahasa Indonesia saja sudah terancam keberadaanya oleh bahasa asing
apalagi bahasa daerah yang dimana generasi sekarang merasa sangat gengsi jika harus
berbahasa daerah. Rasa tidak percaya diri dalam mengunakan bahasa daerah tidak
hanya di lingkungan masyarakat tapi di dunia maya pun remaja zaman sekarang
sudah langkah dalam mengunakan bahasa daerahnya. Kebanyakan dari remaja
sekarang lebih berasa bangga jika mengunakan bahasa asing di media sosial
dibandingkan bahasa ibunya sendiri (bahasa daerah). Hal inilah yang akan menjadi
pintu tamatnya bahasa daerah bugis, karena kurangnya kesadaran dari generasinya
sendiri padahal media sosial sangatlah baik jika kita jadikan media dalam
melestarikan bahsa bugis karena mampu di akses oleh seluruh manusia di dunia
sehingga mempermudah bagi mereka yang ingin belajar bahasa bugis baik dengan
melalui tulisan misalnya wacana, pidato, ceramah, puisi, pantun dll, selain bentuk
tulisan sebagain generasi bangsa seharusnya kita mampu secerah inovatif dalam
melestarikan budaya-budaya daerah sendiri misalnya melaui konten youtube cara
seperti ini sangatlahlah bagus dalam memanfaatkan media sosial.
Seharusya kita mampu memahmi bahwa generasi mudalah yang akan menjadi
penerus dalam berbangai aspek kehidupan baik dari segi budaya, bahasa dll untuk itu
diharapkan agar kita mampu meningkatkan kesadaran dalam melestarikan kekayaan

53
daerah yang kita miliki, khususnya bahasa daearah bugis.jika generasi sekarang sudah
tidak mampu memperjuangkan bahasa daerahnya sendiri maka bagaiama generasi
yang akan datang. perkebanggan teknologi harus mampu kita memanfaatkan dalam
mempertahankan bahasa daerah serra kencangnya arus globalisasi harus membuat
kita semakin kuat dalam mempertahankan saetiap kekayaan daerah kita masing-
masing. kita harus mampu manfaatkan teknologi dan media sosial dalam kemajuan
dan perkeambangan bahasa daerah bugis dan menumbuhkan rasa cinta kita terhadap
bahasa daerah sendiri, banyak hal yang bisa kita lakukan dalam memperthankan
bahasa daerah bugis selaku generasi bangsa, khususnya dengan memanfaatkan
teknologi melalui media sosial jangan malu mengunakan media sosial dengan bahasa
daerah kita sendiri.

54
Henny Alfiana
Winalda
BAB 8
PEMERINTAH DAN REVITALISASI BAHASA DAERAH
DI SULAWESI SELATAN
A. Pengertian Revitalisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Revitalisasi merupakan
upaya untuk menghidupkan kembali sesuatu hal yang sempat kurang
diberdayakan sebelumnya.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 18 tahun
2010tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan dalam (Mansur, 2006)
Revitalisasi merupakan upaya untukpeningkatan dalam fungsi suatu kawasan.
Revitalisasi menurut Kimpraswil dalam (Evitasari, 2016) penghidupan
kembali kawasan yang mati, peningkatan kawasan yang hidup maupun
memasukkan hal yang bersifat pembaruan terhadap suatu kawasan.
Dalam peningkatan terhadap sesuatu hal tersebut tidak lain untuk
menambah vitalisas sosial, ekonomi maupun lingkungan kawasan tersebut.
Revitalisasi merupakan usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kembali kawasan yang sudah mengalami keadaan yang sudah penurunan
kualitas pada aspek sosial, budaya maupun ekonomi.
Kemendikbud memberikan penugasan kepada pemerintah daerah
maupun pusat untuk pengadaan revitalisasi untuk menjadikan kawasan pada
sistem budaya yaitu dalam revitalisasi bahasa daerah agar bisa mengalami
perkembangan. Revitalisasi menjadi usaha untuk memperluas dalam bidang
linguistik pada bahasa serta menciptakan lingkungan baru pada pengguna atau
penuturnya (King, 2001: 5–9) dalam (Ismadi, 2015).Salah satunya dalam
dalam aspek kebahasaan daerah khususnya di Sulawesi Selatan dimana jika
dilihat sekarang bahasa daerah kini yang mulai kehilangan penggunanya pada

55
penduduk-penduduk aslinya maupun dalam pendidikan bahasa daerah sudah
mulai pudar.Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya Pergub No.79 Tahun 2018
tentang pembinaan bahasa daerah di Sulawesi Selatan.Maka dari itu, dalam
rangka mengembalikan dan melestarikan bahasa daerah yang ada di Sulawesi
selatan, diperlukan strategi-starategi seperti memasukkan bahasa daerah
kembali ke dalam kurikulum yang sempat ditiadakan oleh pemerintah.Hal itu
menjadi tujuan agar bahasa daerah tidak tertelan oleh zaman dan tetap dikenal
di daerah-daerah asalnya yang bisa tetap dipertahankan melalui zona sekolah.
Revitalisasi sangat penting dilakukan, namun sebelum melakukan
revitalisasi terlebih dahulu harus dilakukan penilaian vitalitas atau daya hidup
bahasa untuk memastikan apakah bahasa tersebut perlu untuk direvitalisasi.
Unesco (2003) dalam (DIKDAS & PELATIHAN, n.d.)menggunakan
sembilan faktor untuk menentukannya, yaitu :
1. transmisi bahasa pada generasi masyarakat
2. jumlah dalam orang yang berbicara secara absolut
3. jumlah penutur
4. kecenderungan dalam penggunaan bahasa
5. cara menanggapi ranah yang baru dan materi untuk pendidikan bahasa dan
keberaksaraan;
6. kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi, termasuk status resmi dan
penggunaanya
7. perilaku masyarakat dalam penggunaan bahasa mereka;
8. total dan jumlah dan kualitas bahasa.

Hinton (2001) dalam (Dharma, 2011) mengemukakan terdapat enam


upaya dalam mengangkat kembali penggunaan bahasa yang hampir punah
(revitalisasi bahasa), yaitu:
1. belajar kata, salam, perkenalan maupun percakapan
2. pengumpulan bahan linguistik, rekaman

56
3. pengembanagan dalam penulisan dan membuat kamus yang sumbernya
dari masyarakat dan tata bahasa
4. pembuatan rekaman dalam bentuk audio atau video dari pembicara
5. ikut dalam kelas mengenai kebahasaan
6. menciptakan sekolah dengan menggunakan bahasa yang hampir punah
Hinton juga menegaskan bahwa tugas utama revitalisasi bahasa adalah
mengajarkan bahasa kepada mereka yang tidak mengetahui bahasa itu dan
membuat orang yang mempelajari bahasa dan orang yang sudah mengetahui
bahasa itu menggunakannya dalam situasi yang lebih luas atau dapat
dikatakan bahwa bahasa tersebut bisa direalisasilan. Tujuan transmisi
antargenerasi ini dikatakan berhasil jika tugas yang kedua dapat dicapai dan
terealisasikan.
B. Kondisi-Kondisi Bahasa Daerah
Diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang memiliki bahasa dan kebudayaan masing-masing, nah disini dapat
dilihat bahwasanya sudah tentu dapat membuka peluang peluang terjadinya
kontak melalui komunikasi dan interaksi antaretnik yang berbeda bahasa dan
kebudayaan tersebut.Keadaan masyarakat multi etnik ini menyebabkan
masalah kebahasaan seperti bilingualisne atau multilingualisme yang terjadi
pada sekumpulan bahasa minoritas karena adanya kontak antaretnik.Kontak
bahasa tersebut dapat pula mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa
(language shift), perubahan yang terjadi pada bahasa individu dalam
kesehariannya salah satunya pada individu yang melakukan migrasi
(Kridalaksana 1993: 169, 172) dalam (Asrif, n.d.)Selain itu, informasi dan
komunikasi dengan gejala lainnya yang terjadi akibat kegiatan orientasi
pemakaian bahasa masyarakat dewasa ini yang semakin meluas menjadi
pemicu adanya berbagai persoalan kebahasaan, termasuk persoalan
kepunahan bahasa daerah.

57
Jumlah penutur bahasa-bahasa daerah di nusantara ini secara kuantitas
cukup berbeda.Ada bahasa-bahasa daerah yang masih memiliki jumlah
penutur yang relatif banyak dan ada pula bahasa-bahasa daerah yang memiliki
jumlah penutur yang relative rendah atau sedikit yang biasa disebut sebagai
bahasa minoritas. Walaupun jumlah penutur bahasa tersebut sedikit namun itu
tidak menjadi tolak ukur keminoritasannya dikarenakan ada pula bahasa yang
memiliki penutur dengan jumlah sedikit namun loyalitas penutur tersebut
terhadap bahasanya cukup kuat sehingga terhindar dari ancaman kepunahan
(Coulmas 1997:276) dalam (Tondo, 2009).
Selain bahasa-bahasa daerah yang sampai saat ini masih memiliki
jumlah penutur yang relatif banyak seperti yang dikemukakan diatas ada juga
bahasa-bahasa dearah yang memiliki jumlah penutur yang sedikit dan berada
diambang kepunahan.
C. Revitalisasi Bahasa Daerah di Sulawesi selatan
Sulawesi Selatan memiliki 14 bahasa daerah, diantaranya bahasa Bajo,
Bonerate, Bugis, Bugis De, Konjo, Laiyolo, Lemolang, Makassar, Mandar,
Massenrengpulu, Rampi, Seko, Toraja, dan Wotu. Melihat begitu banyak
bahasa daerah yang ada di Sulawesi Selatan memang perlu untuk pemerintah
dalam menaikkan kembali vitalitas bahasa daerah. Dalam (Wibawa, 2007)
kegiatan pembinaan dan pengembangan bertumpu pada kebijakan bahasa
daerah yang dimulai dari Sumpa Pemuda 1928. Bunyi sumpah pemuda “Kami
putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasaIndonesia”. Pada isi
Sumpah pemuda tersebut secara implsist diakuinya akan kehadiran bahasa
daerah.
Dalam melindungi bahasa daerah ini merupakan tanggung jawab kita
sebagai masyarakat khususnya yang ada di Sulawesi Selatan. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (UU RI No. 24/2009) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 (PP No. 57/2014) dalam

58
(Ismadi, 2015) kebijakan terhadap bahasa dan sastra daerah terdapat tiga
penerapan yaitu pengembangan, pembinaan dan perlindungan bahasa dan
sastra daerah. Menurut Seminar Nasional 1975 dalam (Asrif, n.d.), bahasa
daerah berfungsi utama sebagai alat perhubungan antar warga di daerah dan
pendukung pelestarian seni budaya daerah.Dalam pengembangan bahasa
daerah yang ada di Sulawesi selatan dilakukan dengan memperkaya kosakata,
pembakuan dalam sistem kebahasaan serta memberikan pengajaran dengan
tujuan meningkatkan kedisiplinan, keteladanan dan mutu.
Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah khusunya Gubernur
Sulawesi Selatan yaitu dengan mengadakan kembali pelajaran muatan lokal
atau bahasa daerah pada satuan pendidikan. Meskipun sebelumnya muatan
lokal dihilangkan dalam kurikulum K-13 dan K-Revisi 2017).Penghilangan
mata pelajaran tersebut dilakukan karena melihat banyaknya bahasa yang ada
di Indonesia sehingga pemerintah mengalami kesulitan untuk dijadikan
pelajaran. Akan tetapi, Karena adanya peraturan yang diberlakukannya
kembali pembelajaran bahasa daerah dengan dimana peraturannya diserahkan
kepada daerah atau provinsi masing-masing.
Maka dari itu, dalam rangka mengembalikan dan melestarikan bahasa
daerah yang ada di Sulawesi selatan, diperlukan strategi-starategi seperti
memasukkan bahasa daerah daerah kembali ke dalam kurikulum yang sempat
ditiadakan oleh pemerintah.Hal itu menjadi tujuan agar bahasa daerah tidak
tertelan oleh zaman dan tetap dikenal di daerah-daerah asalnya.
Utomo (2000) dalam (Rabiah, 2018) mengatakan bahwa kebijakan
untuk muatan lokal dalam kurikulum dilandasi dengan kenyataan bahwa
Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya, kondisi alam dan lingkungan
sosial. Pendidikan yang memuat kurikulum bahasa daerah menjadi penting
agar siswa mengetahui kekhususan yang berada pada lingkungannya termasuk
bahasa daerah.

59
Dalam Pergub No.79 Tahun 2018 tentang pembinaan bahasa daerah di
Sulawesi Selatan pasal 10 menyatakan Bahasa Daerah Wajib Diajarkan 2 Jam
Pelajaran Per Minggu, selanjutnya pada pasal 11 menyatakan
Wajib menggunakan bahasa Daerah Setiap Hari Rabu Sesuai Dialek masing-
masing di Sekolah. Hal tersebut menjadi suatu usaha yang ditunjukkan
pemerintah dalam melakukan revitalisasi bahasa daerah.
Menurut Moeliono dalam (Gloriani, 2017) kegiatan dalam membina
bahasa untuk bisa menjadi efektif jika unsur-unsur dalam bahasa jika telah
terkodifikasi. Pembinaan bahasa khususnya di Sulawesi Selatan melalui jalur
formal menjadi salah satu cara merevitalisi bahasa daerah, akan tetapi pada
penerapannya ada sekolah masih kurang memadai karena mempunyai kendala
pada biaya maupun sumber dan tenaga pengajaran masih kurang.
Revitalisasi dengan melakukan pengembangan pada bahasa daerah
akan membuat bahasa daerah yang ada khususnya di Sulawesi selatan akan
menimbulkan dan membuat daya tarik tersendiri agar bahasa daerah bisa tetap
dikenal. Dalam (Said, Thalib, & Ichwan, 2007) menggunakan kegiatan
kegiatan yang bisa dilakukan dalam pengangkatan kembali bahasa daerah
yang sudah hampir terlupakan yaitu :
1. Sarana/ prasarana
a. Melakukan pengembahan bahasa daerah yang dibiayai oleh pemerintah
b. Membentuk pusat studi bahasa daerah
c. Membentuk lembaga swadaya dalam bidang masyarakat
d. Pengembangan kamus bahasa daerah
2. Non-formal
a. Lomba berpidato
b. Membaca puisi
c. Membaca aksara Lontara
d. Menggunakan dwi bahasa pada tempat umum

60
e. Lomba musik tradisional dalam menggunakan bahasa daerah

3. Formal
Perkembangan bahasa daerah secara formal dilakukan dalam lingku
keluarga. Dengan menanamkan keseriusan untuk tetap melestarikan bahasa
daerah dilakukan dengan memperkenalkan cerita rakyat yang dikemas
sedemikian rupa hingga bisa menarik untuk dinikmati seperti dalam bentuk
gambar, komik dan CD.
Kegiatan yang dilakukan tersebut dapat terus menaikkan vitalitas
sekaligus bisa mencegah kepunahan bahasa daerah dan akan terus digunakan
pada masyarakat Sulawesi Selatan.

61
Nur Fadilah

Deni Fikasari

BAB 9

PEMERTAHANAN BAHASA BUGIS

Pada masa seperti sekarang ini pemertahanan bahasa Bugis menjadi melemah
di kalangan anak-anak dan remaja yang tidak peduli lagi dengan bahasa Bugis dan
orang Bugis yang masih muda memiliki persepsi negatif terhadap nilai-nilai budaya.
Dapat di lihat bahwa adanya penurunan apresiasi masyarakat Bugis terkait nilai-nilai
budayanya sendiri terhadap sikap bahasanya seperti bergesernya penggunaan bahasa
Bugis, kebanggaan berbahasa Bugis, dan kepedulian agar bahasa Bugis tetap dijaga
keberadaanya oleh pemerintah. Gejala pergeseran bahasa Bugis berawal dari
masyarakat bilingual dan multilingual karena ketika dihadapkan dengan pilihan
bahasa mereka lebih tertarik untuk menggunakan bahasa besar daripada
menggunakan bahasa kecil.Hal tersebut menyebabkan bahasa besar selalu unggul di
bandingkan dengan bahasa kecil. Dengan adanya pergeseran bahasa Bugis
mengakibatkan beberapa istilah khusus dan kosakata pada bahasa Bugis yang sulit
dipadukan ke dalam bahasa Indonesia menjadi terlupakan sehingga hal tersebut dapat
menyebabkan kepunahan pada istilah dan kosa kata dalam bahasa Bugis. Selain hal
tersebut, penggunaan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar sudah jarang di temui
baik dalam situasi formal, informal, pengajian, ceramah agama dan lain sebagainya
karena penutur lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar.
Pemertahanan bahasa Bugis dapat terjadi pada suatu masyarakat bahasa yang
masih menggunakan bahasa Bugis dalam kehidupan sehari-hari yang dalam
penggunaan bahasa Bugis biasanya terdapat tradisi yang di kuasai oleh penutur
bahasa Bugis.

62
Perlu di ketahui bahwa bahasa daerah memiliki fungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam
keluarga dan masyarakat daerah. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia,
bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar
di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar
pelajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta
pendukung kebudayaan daerah.
Pemertahanan bahasa Bugis masih mengalami penguatan bahasa pada
beberapa titik tertentu salah satunya pada masyarakat pedesaan yang menggunakan
tuturan bahasa Bugis dalam berkomunikasi, di antaranya:
1. Usia 50th ke atas,
2. Keluarga satu etnis tidak berpendidikan,
3. Pemangku adat,
4. Anak-anak dan generasi muda pedesaan yang jarang bepergian ke kota.
Kenyataan tersebut dibuktikan dengan masih dominannya penggunaan bahasa
Bugis dalam pergaulan sehari-hari dalam berbagai ranah seperti ranah:
a. Keluarga dan ketetanggaan,
b. Balai desa dan baruga,
c. Terminal,
d. Warung,
e. Posyandu,
f. Puskesmas,
g. Pangkalan ojek,
h. Pasar tradisional,
i. Tempat beribadah,
j. Tempat kerja
k. Tempat pengajian tradisional,
l. Pos ronda

63
Pemertahanan bahasa Bugis dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Pembelajaran;
Pemertahanan bahasa Bugis tersebut dapat di lakukan dalam interaksi
pembelajaran antara pengajar dan pembelajar. Misalnya dalam proses tanya
jawab, pengajar dan pembelajar menggunakan bahasa Bugis. Hal tersebut
dapat menjadi salah satu strategi pemertahanan bahasa Bugis melalui
pendidikan sehingga bahasa Bugis senantiasa terjaga dan tidak mengalami
pergeseran di masyarakat.
2. Kegiatan komunitas/ekstrakurikuler;
Kegiatan-kegiatan bebasis budaya tersebut dapat digunakan sebagai media
pemertahanan bahasa Bugis misalnya ekstrakurikuler kesenian tradisional
dengan demikian secara tidak langsung kegiatan tersebut telah membuat
anggotanya mempelajari dan menggunakan bahasa Jawa sebagai alat
komunikasi.
3. Alat komunikasi wajib pada hari tertentu.
Pada hari tertentu, seluruh masyarakat sekolah diwajibkan menggunakan
bahasa daerah sebagai alat komunikasi.Kewajiban tersebut bertujuan untuk
membiasakan peserta didik dalam menggunakan bahasa daerah membuat
murid menjadi terbiasa menggunakan bahasa daerah.

64
Selain itu hal tersebutjuga berfungsi sebagai upaya dalam mencegah
pergeseran dan kepunahan bahasa daerah; mempersiapkan penutur bahasa daerah di
masa depan; dan melestarikan budaya bangsa. Berhasil atau tidaknya pemertahanan
bahasa bergantung pada dinamika masyarakat yang menggunakan bahasa Bugis yang
berkaitan tentang perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat
Bugis. Selain itu pemertahanan bahasa juga dapat di tentukan berdasarkan kerentanan
masyarakat terhadap proses industrialisasi, urbanisasi, politik bahasa nasional dan
tingkat mobilitas anggota masyarakat Bugis.
pemertahanan Bahasa Daerah yang telah dilakukan di Sulawesi Selatan, yaitu
salah satunya Pelestarian Bahasa Bugis melalui Dunia Pendidikan,Pemertahanan
bahasa Bugis merupakan suatu langkah yang terstruktur yang sengaja di lakukan
untuk mempertahankan bahasa Bugis. Pemertahahan bahasa Bugis harus memiliki
sinergitas dalam suatu lingkungan bahasa, baik yang alamiah maupun yang tidak
alamiah. Artinya bahwa elemen sekolah juga harus mendukung pemertahanan bahasa
Bugis dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan daerah yang benar dan baik agar
pendengar dapat membedakan antara tuturan bahasa Bugis dan tuturan bahasa
Indonesia.Di lain sisi di perlukan pula dukungan dari keluarga sebagai lingkungan
yang alamiah yang memiliki kewajiban untuk mendukung pemertahanan bahasa
Bugis karena keluarga merupakan tempat pertama kali anak mendapatkan bahasa
Bugis. Selain itu ada juga upaya lain harus dilakukan dengan cara mengedukasi anak-
anak dan generasi muda agar melek literasi dan bahasa Bugis. Salah satunya dengan
menggelar perlombaan di tingkat nasional maupun internasional. Hal tersebut
berguna untuk mempromosikan bahasa Bugis sebagai salah satu kekayaan
masyarakat Indonesia yang harus dipertahankan sebab selain bahasa menjadi
identitas, bahasa juga menjadi pembentuk karakter manusia.
Pemertahanan dan pergeseran bahasa (language maintenance and shift)
bagaikan dua sisi mata uang. Pemertahanan bahasa dapat terjadi manakala secara
kolektif masyarakat tutur bahasa memutuskan tetap menggunakan bahasa yang
digunakan sebelumnya meskipun ada desakan berganti menggunakan bahasa lain.

65
Keduanya hadir secara bersamaan.Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan pada
ranah pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu elemen penting dalam
mempersiapkan generasi masa depan. Pemertahanan bahasa daerah pada ranah
pendidikan dapat dilakukan dengan strategi formal dan informal.Strategi formal
dilakukan melalui pembelajaran, sedangkan strategi informal dilakukan melalui
komunitas/ekstrakurikuler, dan sebagai alat komunikasi yang wajib digunakan pada
hari spesial. Pemertahanan bahasa daerah ini berfungsi mencegah pergeseran dan
kepunahan bahasa daerah, mempersiapkan penutur bahasa daerah di masa depan, dan
melestarikan bahasa dan budaya bangsa.

Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi antara satu


individu dengan individu lainnya serta juga dapat menyampaikan maksud dan tujuan
tertentu kepada orang lain. Bahasa dapat terjadi melalui kontak bahasa yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam situasi pemakaian bahasa. Pelestarian
bahasa adalah salah satu cara atau upaya yang dilakukan dari pemertahanan bahasa.
Pelestarian bahasa harus dilakukan secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu
supaya bahasa tersebut akan tetap digunakan oleh masyarakat.

Adanya fenomena antara prestise (gengsi) dan apresiasi.Bahasa Daerah yang


dimaksud adalah bahasa yang dominan digunakan dalam komunikasi, meliputi
bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja.Bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang
ditengarai semakin hari semakin menurun persentase pengunaan dan penuturnya
memerlukan perhatian khusus, bukan hanya perlu dilestarikan, tetapi lebih jauh dari
itu; bahasa daerah harus diperkembangkan.Memperkembangkan bahasa-bahasa
daerah Sulawesi Selatan berarti membuat bahasa daerah berkembang yang kondisinya
lebih baik daripada kondisinya saat ini atau sebelum mendapat pengaruh globalisasi.

Bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia, khususnya di


Sulawesi Selatan.Bahasa Bugis mempunyai aksara tersendiri yang disebut
Lontarak.Lontarak adalah naskah klasik yang mengilustrasikan kehidupan manusia di

66
masa lalu.Terdapat tiga lontarak yang dijumpai di Sulawesi Selatan, yaitu Lontarak
Pasang, Attoriolong, dan Pau-Pau Rikadong.Ketiganya memuat isi yang berbeda-
beda. Di tengah-tengah ancaman kepunahan akibat pengaruh arus globalisasi, maka
umat Islam di Sulawesi Selatan khususnya ulama Bugis berupaya mempertahankan
tradisi bahasa Bugis dengan menulis tafsir Alquran dalam bahasa Bugis dengan
menggunakan aksara Lontarak. Hal ini juga merupakan upaya ulama Bugis di
Sulawesi Selatan untuk mengkolaborasikan antara Islam dan khazanah kearifan lokal.

67
DAFTAR PUSTAKA
Asrif. (1945). Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Daerah Dalam Memantapkan
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia. Asrif, 4 N. 1, 11–23.

Masnani, S. W. (2018). Kata Serapan Bahasa Arab dalam Perubahannya dalam Bahasa
Bugis. Nady Al-Adab, 5(1), 45–51.

Muin, M., & Sulfasyah, S. (2018). Penggunaan Teori Monitor Krashen Dalam Pembelajaran
Bahasa Daerah Bugis Sebagai Upaya Pelestarian Bahasa Daerah. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan, 1(1).

Nursalam, 2016, & Fallis, A. . (2013). Penggunaan Teori Monitor Krashen Dalam
Pembelajaran Bahasa Daerah Bugis Sebagai Upaya Pelestarian Bahasa Daerah. Journal
of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Pantu, A. (2014). Pengaruh Bahasa Arab Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia. ULUL
ALBAB Jurnal Studi Islam, 15(1), 97–114.

perawati. (2020). Interferensi Bahasa Bugis Dialeg Wajo Terhadap Penggunaan Bahasa
Indonesia Lisan Di Desa Torue Kecamatan Torue Kabupaten Parigi Moutong. 5(2),
53–59.

Rabiah, S. (2013). Revitalisasi Bahasa Daerah Makassar Melalui Pengembangan Bahan Ajar
Bahasa Makassar Sebagai Muatan Lokal. Dinamika Ilmu, 13(1), 51–66.

Rahman, N. (2014). Sejarah dan dinamika perkembangan huruf lontaraq di Sulawesi selatan.
International Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast Asia, Tokyo
University of Foreign Studies.

Said,M.,Thalib,I.,& Ichwan, I. (2007). Model Pemerkembangan Bahasa-Bahasa Daerah


Sulawesi Selatan. 1–11.

Siti Hadrawati, T., Nazari, N., & Fadlan, A. (2020). Bahasa Daerah (Bugis) yang digunakan
Orang Tua Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia Bagi Anak Usia 5-6 Tahun RT
01 Kec. Sadu Kab. Tanjung Jabung Timur. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Kapojos, S. M., & Wijaya, H. (2018). MENGENAL BUDAYA SUKU BUGIS. Jurnal
Lembaga STAKN Kupang| MATHETEUO Vol, 6(2), 153.
Koolhof, S. (2007). Sureq, Lontaraq, Toloq: Manuskrip dan Ragam Sastera Bugis. Sari
(ATMA), 25, 171–186.
Mattulada, L. (1985). Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Cet.
II.
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis (terjemahan Abdul Rahman Abu, dkk). Jakarta: Nalar
Bekerjasama Dengan Forum Jakarta-Paris EFEO.

68
Reid, A. (1992). Southes Asia in the Age of Commerce 1640-1680. Terj. Muchtar
Pabottingi. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 1450–1680.
Teng, M. B. A. (2015). Filsafat dan Sastra Lokal (Bugis) dalam Perspektif Sejarah.
Sikki, dkk. 1988. Tata Bahasa Bugis. Makassar : Universitas Negeri Makassar
1
Lauder, M. R. REEVALUASI KONSEP PEMILAH BAHASA DAN DIALEK UNTUK
BAHASA NUSANTARA.Makara Hum. Behav. Stud. Asia (2002)
doi:10.7454/mssh.v6i1.31.

Gusnawaty, G. PENGAKUAN DAN ETNISITAS : Strategi Kesantunan dalam Bahasa


Bugis. in Masyarakat Linguistik Indonesia (2014).

Marniyanti, M., Tinus, A. & Syahri, M. PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP


EKSISTENSI MUSEUM SAMPARAJA BIMA DALAM MENGEMBANGKAN
PARIWISATA DI KOTA BIMA NTB. J. Civ. Huk.3, 174 (2018).

Shubhi, M. Distribusi dan Pemetaan Bentuk dan Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan
Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Sasak di Kabupaten Dompu dan Bima.
198 (2008).

M.A., H. S. S. REDUPLIKASI DALAM BAHASA BUGIS DIALEK SINJAI. Multilingual


(2020).

Achmad, S. Strategi Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis Pinrang Provinsi Sulawesi


Selatan. Bhs. dan Seni (2012).

Aznawi, M. & Anas, S. STRATEGI KESANTUNAN BAHASA BUGIS DALAM TINDAK


TUTUR MEMERINTAH DI DESA LAMATA KECAMATAN
GILIRENGKABUPATEN WAJO. KONFIKS J. Bhs. DAN SASTRA Indones. (2017)
doi:10.26618/jk.v2i2.412.

Inovasi Fonologis dan Variasi Leksikal dalam Bahasa Bugis Dialek Sinjai. Parol. J. Linguist.
Educ. (2014) doi:10.14710/parole.v3i2Okt.5505.

Agus, N. Bentuk Eufemisme dalam Pertuturan Bahasa Bugis. Sawerigading (2012).

Darwis, M. & Kamsinah, K. SUMBANGAN BAHASA INDONESIA TERHADAP


PEMEKARAN KOSAKATA BAHASA BUGIS: KASUS PENGGUNAAN
BAHASA BUGIS PADA MEDIA SOSIAL FACEBOOK (The Contribution of
Indonesian Language on Buginese Vocabulary Development: A Case Study of the
Use of Buginese on Facebook Social Media). SAWERIGADING (2019)
doi:10.26499/sawer.v25i2.626.

Sholihah, R. A. Korespondensi Fonemis Bahasa Melayu Makassar, Bahasa Mandar, dan


Bahasa Bugis. Gramatika J. Ilm. Kebahasaan dan Kesastraan (2015)
doi:10.31813/gramatika/3.1.2015.121.60--75.

69
Wibawa, S. Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka
Budaya. Implementasi Pembelajaran Bhs. Drh. Sebagai Muatan Lokal (2007).

Alwi, Hasan, Dkk. 2003.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta:
Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Haruddin, 2008. Bunga Rampai. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi


Tenggara.

Hidayat, Syamsul. 2007. Intisari Kata Bahasa Indonesia. Surabaya: Apolo Surabaya.

Http:// Amirudin, Risal. Blogspot.Com/2014/04/03 Rampang.Com/, 23 September


2015 pukul 23.00 WIB.

https://petabahasa.kemdikbud.go.id/infobahasa.php?idb=172

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Cetakan


Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Palengkahu, dkk.1974. Peta Bahasa Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Lembaga


Bahasa Nasional.

Sugono, Dendy. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional

Abidin, Zainal. 1985. Wajo Pada Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah
Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontar. Bandung,

Alumni

------------------. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Hasanuddin


University Press, Ujung Pandang.

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu.

70
Amin, Encik. 2008. Syair Perang Mengkasar” Diterjemahkan oleh Ininnawa dan
diterbitkan atas kerja sama Ininnawa dengan KITLV Jakarta.

Ambo Enre, Fachruddin. 1983. Ritumpanna Welenrengnge: Telaah Filologis Sebuah


Episode Sastra Bugis Klasik”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Coulmas, Florian. 1989. The Writing System of the World. New York: Basil
Blackwell.

Holle,K.F. 1882. Tabel van Oud anNieuw Indische Alphabetten . Batavia.

Kern, R.A. 1939. Catalogous Van de Boegineesche tot de I La Goligocyclus


Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitsbibliotheek. Leiden:
Universiteitsbibliotheek.

Gusnawaty;, Lukman;, & Darwis, M. (2014). Pengakuan dan Etnisitas: Strategi


Kesantunan dalam Bahasa Bugis (Acknowledgment and Ethnicity: Politeness
Strategies Language). Kimli, 175–179.

Hasrianti, A. (2014). Kesantunan dan Hubungan Sosial dalam Masyarakat Bugis di


Sulsel Politeness and Social Relations in Bugis Society in South Sulawesi Andi.
2(1), 31–51.

SURIYANI ISKANDAR, & HANAFI, M. (2013). WUJUD INTERFERENSI


BAHASA BUGIS TERHADAP BAHASA INDONESIA DALAM WACANA
AKADEMIK DI STKIP MUHAMMADIYAH SIDENRENG. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Adeney, Bernard T. 1995, Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta:Kanisius. Al-


Hadar Smith, Syariah dan Tradisi Syiah Ternate”, dalam
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm, didownload 7/15/04.6
Agustin, Dyah Satya Yoga. "Penurunan rasa cinta budaya dan nasionalisme generasi
muda akibat globalisasi."JURNAL SOSIAL HUMANIORA (JSH) 4.2 (2011):
177-185.

71
Azmi, M., Rafiuddin, M., Kamalanathan, S., & Safar, J. (2019).Media Sosial dan
Generasi Muda Menurut Islam.Kertas Kerja Dibentangkan di Seminar Sains
Teknologi dan Manusia.

Fuad Hasan. “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”.


http://kongres.budpar.go.id/news/article/pokok_pokok_bahasan.htm,
didownload 7/15/04.4. Koenjaraningrat. 1990, Kebudayaan mentalitas dan
Pembangunan, Jakarta: Gramedia. 5.
Hamid, Farid, A. Rahman HI, and Morissan Morissan."Pro-sosial, anti-sosial
pengguna media sosial di kalangan generasi muda."Jurnal Ilmu Ekonomi dan
Sosial 4.1 (2015): 50-66.
Kuntowijaya, Budaya Elite dan Budaya Masa dalam Ectasy Gaya Hidup:
Kebudayaan Pop dalam masyarakat komoditas Indonesia, Mizan 1997.2
Sapardi Djoko Damono, Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah
Catatan Kecil dalam Ectasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam masyarakat
komoditas Indonesia, Mizan 1997.
Said Bediuzzan.2015.prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda, Yogyakarta:
CV Budi Utama.
Sumantri, H. Endang, et al. "Generasi dan Generasi Muda."
Asrif, N. F. N. (n.d.). Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Daerah dalam
Memantapkan Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia. Mabasan, 4(1).
Dharma, A. (2011). Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Daerah.
DIKDAS, B. P., & PELATIHAN, M. (n.d.). Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya
Revitalisasi Bahasa Daerah yang Terancam Punah di Indonesia.
Evitasari, N. (2016). REVITALISASI KAWASAN MUSEUM FATAHILLAH
DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KOTA TUA, JAKARTA.
SKRIPSI-2016.
Gloriani, Y. (2017). KONSERVASI DAN REVITALISASI BAHASA SEBAGAI
SALAH SATU UPAYA INTERNASIONALISASI BAHASA INDONESIA.
Fon: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 11(2).
Ismadi, H. D. (2015). Kebijakan pelindungan bahasa daerah dalam perubahan
kebudayaan Indonesia.
Mansur, F. (2006). Konservasi dan Revitalisasi Bangunan Lama di Lingkungan Kota

72
Donggala. MEKTEK, 8(2).
Rabiah, S. (2018). Revitalisasi Bahasa Daerah Makassar melalui Pengembangan
Bahan Ajar Bahasa Makassar sebagai Muatan Lokal.
Said, M., Thalib, I., & Ichwan, I. (2007). Model pemerkembangan bahasa-bahasa
daerah Sulawesi-Selatan. Skripsi Program Studi Sastra Inggris.
Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi
etnolinguistis. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 11(2), 277–296.
Wibawa, S. (2007). Implementasi pembelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
http://bone.go.id/2018/11/25/pergub-sulsel-bahasa-daerah-wajib-diajarkan-2-jam-
pelajaran-per-minggu/

Ayu Puspita Indah Sari, N. A. (2020). UPAYA PENINGKATAN PEMERTAHANAN


BAHASA BUGIS SEBAGAI BAHASA PENDATANG. Dipetik 12
2020, dari ejournal.fkip.unsri: https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahan+bahasa+daerah+bugis+dala
m+masyarakat&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DHvigkRlXBU0J

Eko Widianto, M. (2018). PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH MELALUI


PEMBELAJARAN DAN KEGIATAN DI SEKOLAH. Dipetik 2020,
dari jurnal.umk.:
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/kredo/article/viewFile/2096/1236

Ery Iswary, M. H. (t.thn.). rofil Penggunaan dan Pemertahanan Bahasa Daerah di


Sulawesi Selatan: Antara Prestise dan Apresiasi. Dipetik 12 2020,
dari eprints.undip: https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahan+bahasa+bugis+di+sulawesi
+selatan&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DgPaLnEyFNQ4J

Herawati, H. (2010). PEMERTAHANAN BAHASA KONJO DI TENGAH DESAKAN


BAHASA BUGIS DI DAERAH BUFFER STARD. Dipetik 12 2020,
dari eprints.undip: http://eprints.undip.ac.id/36877/1/6.pdf

Ibda, H. (2017). Urgensi pemertahanan bahasa ibu di sekolah dasar. Dipetik 2020,
dari ejournal.iainsurakarta.: https://scholar.google.co.id/scholar?

73
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahanan+bahasa+bugis&oq=pemer
tahanan+bahasa+

Ida Zulaeha, M. H. (2017). Strategi pemertahanan bahasa daerah pada ranah


pendidikan. Dipetik 12 5, 2020, dari Jurnal Peradaban Melayu :
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahan+bahasa+daerah&oq=pemert
ahan+#d=gs_qabs&u=%23p%3DeYD9QKj4NFcJ

Mashadi Said, I. T. (2007). Model pemerkembangan bahasa-bahasa daerah


Sulawesi-Selatan. Dipetik 12 2020, dari Skripsi Program Studi
Sastra Inggris: https://scholar.google.co.id/scholar?
start=10&q=pemertahan+bahasa+bugis+di+sulawesi+selatan&hl=i
d&as_sdt=0,5#d=gs_qabs&u=%23p%3D715yCxvMh0kJ

NUR, A. &. (2019). PEMERTAHANAN BAHASA BUGIS SEBAGAI PELESTARIAN


BAHASA DAERAH DI DESA DAYA MURNI (Doctoral
dissertation, Universitas Bina Darma). Dipetik 12 5, 2020, dari
repository.binadarma.: http://repository.binadarma.ac.id/128/2/Nur
%20Aisyah%20%28bab%201%29.pdf

Sailan, Z. (2014). Pemertahanan Bahasa Muna di Kabupaten Muna Sulawesi


Tenggara. Dipetik 12 5, 2020, dari journal.uny:
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahanan+bahasa+bugis&oq=pemer
tahanan+bahasa+

Setyawan, A. (2011). Bahasa Daerah Dalam Perspektif Kebudayaan dan


Sosiolinguistik: Peran dan Pengaruhnya dalam Pergeseran dan
Pemertahanan Bahasa. Dipetik 2020, dari eprints.undip.:
http://eprints.undip.ac.id/53927/1/International_Proceeding_UNDIP
_July__2%2C_2011_-_Aan_Setyawan.pdf

Syamsuri, A. S. (2020). Pelestarian dan Pemertahanan Bahasa dan Sastra Bugis.


Dipetik 12 2020, dari Nas Media Pustaka:
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemertahan+bahasa+daerah+bugis+dala
m+masyarakat&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DBiRpFFd_l4wJ

74
Yusuf, M. (2012). Bahasa Bugis dan Penulisan Tafsir di Sulawesi Selatan. Dipetik
12 2020, dari jurnal.iaingorontalo:
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pelestarian+bahasa+bugis&btnG=#d=gs
_qabs&u=%23p%3DMfqrWwENJkwJ

75

Anda mungkin juga menyukai