Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
DEV ANDIKA SANDIANG
RIANA KATTY TUMEWAN
PAMELA REVINDRA RUMBAY
DASRIANTY
JULIA FERONIKA TANGKILISAN

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

Sejarah dan Perkembangan Bahasa indonesia


A. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pada perkembangannya, dengan semakin pesatnya arus globalisasi,
modernisasi, ilmu pengetahuan, teknologi, Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah
instrumen dalam melakukan komunikasi utama di Indonesia. Melihat keadaan tersebut, berbagai
steakholder harus mempunyai inovasi agar Bahasa Indonesia dapat senantiasa beradaptasi
mengikuti perkembangan zaman agar bahasa Indonesia memiliki kedaulatannya tersendiri di
Negara Indonesia. Pada saat perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia memerlukan alat
pemersatu dalam berinteraksi antar suku bangsa yang ada di Indonesia. Dipilihlah bahasa
Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa di Indonesia. Pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal
28 Oktober 1928 ditetapkan bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Penetapan itu pun
merupakan awal bahasa Indonesia berkedudukan sebagai Bahasa nasional.

B. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah sebuah
variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau,
tetapi telah mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses
pembakuan pada awal abad ke-20. Sampai saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
hidup dan terus berkembang dengan pengayaan kosakata baru, baik melalui penciptaan maupun
melalui penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa tersebut
sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan, tidak
hanya di Kepulauan Nusantara, tetapi juga di hampir seluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat
dengan ditemukannya prasasti- prasasti kuno yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu.
Secara resmi, bahasa indonesia dikumandangkan pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Peresmian nama Bahasa Indonesia tersebut bermakna politis sebab bahasa
Indonesia dijadikan sebagai alat perjuangan oleh kaum nasionalis yang sekaligus bertindak
sebagai perencana bahasa untuk mencapai negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Peresmian nama itu juga menunjukan bahwa sebelum peristiwa Sumpah Pemuda itu nama
bahasa Indonesia sudah ada. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum tahun 1928 telah ada
gerakan kebangsaan yang menggunakan nama “Indonesia” dan dengan sendirinya pada mereka
telah ada suatu konsep tentang bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu, sebagai salah satu bahasa di kepulauan nusantara, sudah sejak lama
digunakan sebagai bahasa perhubungan. Sejak abad ke-7 Masehi, bahasa Melayu, atau lebih
tepatnya disebut bahasa Melayu kuno yang menjadi cikal bakalnya, telah digunakan sebagai
bahasa perhubungan pada zaman kerajaan Sriwijaya. Selain sebagai bahasa perhubungan, pada
zaman itu bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, bahasa perdagangan, dan
sebagai bahasa resmi kerajaan. Bukti- bukti sejarah, seperti prasasti Kedukan Bukit di
Palembang bertahun 684, prasasti Kota Kapur di Bangka Barat bertahun 686 , prasasti Karang
Brahi antara Jambi dan Sungai Musi bertahun 688 yang bertuliskan Prae-Nagari dan berbahasa
Melayu kuno, memperkuat dugaan di atas. Selain itu, prasasti Gandasuli di Jawa Tengah
bertahun 632 dan prasasti Bogor bertahun 942 yang berbahasa Melayu Kuno menunjukan bahwa
Bahasa tersebut tidak saja dipakai di Sumatra, tetapi juga dipakai di Jawa.
Beberapa alasan lain yang mendorong dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
kebangsaan adalah:
1) bahasa Indonesia sudah merupakan lingua franca, yakni bahasa perhubungan antaretnis di
Indonesia.
2) walaupun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa
Madura, bahasa Melayu memiliki daerah penyebaran yang sangat luas dan yang melampaui
batas-batas wilayah bahasa lain.
3) bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa nusantara lain sehingga
tidak dianggap sebagai bahasa asing lagi.
4) Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana sehingga relatif mudah dipelajari
5) faktor psikologis, yaitu adanya kerelaan dan keinsafan dari penutur bahasa Jawa dan Sunda,
serta penutur bahasa-bahasa lain, untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
6) bahasa Melayu memiliki kesanggupan untuk dapat dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam
arti yang luas.

Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu (bahasa Melayu
Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan. Hal itu dapat diketahui, dari empat prasasti berusia
berdekatan yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut. Prasati
tersebut di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun
683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu
bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Pada saat itu, bahasa Melayu yang
digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan
Nusantara, para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan
bahasa Melayu walaupun dengan cara kurang sempurna. Hal itu melahirkan berbagai varian
lokal dan temporal pada bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh
para peneliti.
Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9)
dan prasasti di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan penyebaran
penggunaan bahasa itu di Pulau Jawa. Penemuan keping tembaga Laguna di dekat Manila, Pulau
Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah tersebut dengan
Sriwijaya. Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa
Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi. Penggunaanya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan
Semenanjung Malaya. Kemudian, Malaka merupakan tempat bertemunya para nelayan dari
berbagai negara dan mereka membuat sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri
dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah tersebut. Kota Malaka
yang posisinya sangat menguntungkan (strategis) menjadi bandar utama di kawasan Asia
Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling tepat di kawasan timur
jauh. Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu
oleh Moehammad Taib Soetan Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab
Logat Melayu pada tahun 1801.

C. Ragam Kata
Menurut Chaer dan Agustina (1995: 82) membedakan variasi bahasa yaitu dari segi
penutur, segi pemakaian, segi keformalan, dan segi sarana. Namun dalam penelitian ini akan
dibahasa ragam bahasa dari segi keformalannya saja. Ragam bahasa dari segi keformalannya
meliputi, ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (consultative), ragam santai
(casual), dan ragam bahasa akrab (intimate).
A. Ragam Beku
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-
situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di
mesjid, tata cara pengambilan sumpah, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam
beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
B. Ragam Resmi
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran,
dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu
standar. Ragam resmi pada dasarnya sama dengan ragam beku atau ragam standar yang
digunakan salam situasi resmi.
C. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di
sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi,
dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional yang berada di
antara ragam formal dan informal.
D. Ragam Santai
Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk
berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolahraga,
berekreasi, dan sebagainya. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur
bahasa daerah.
E. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang
hubungannya sudah akrab seperti antaranggota keluarga, atau antarteman yang sudah karib.
Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan
dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.
Misalkan di sekolah, guru dan siswa adalah dua subjek yang berbeda ketika
berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran. Guru sebagai salah satu pihak yang memiliki
inisiatif lebih awal untuk penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, sedangkan siswa atau lebih
dikenal dengan istilah “peserta didik” sebagai pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak
langsung, merasakan, mengalami dan mendapatkan manfaat dari peristiwa pembelajaran yang
terjadi. Sehingga dalam pembelajaran ada yang namanya pola interaksi. Pola interaksi ini
terjadi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa. Menurut Djamarah (2000: 12)
ada tiga pola komunikasi antara guru dan siswa dalam proses interaksi di sekolah, yakni
komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.

D. Ejaan Bahasa
Ejaan merupakan hal penting dalam pemakaian bahasa, terutama dalam ragam bahasa tulis.
Penulisan huruf, penulisan kata, sinonim, akronim, angka, dan lambang bilangan serta
penggunaan tanda baca termasuk ke dalam ejaan. Seiring berjalannya waktu, Indonesia memiliki
beberapa perubahan ejaan dari waktu ke waktu.
Ejaan Van Ophuijsen, Ejaan Suwandi, Ejaan Pembaruan, Ejaan Melindo, Ejaan LBK, dan Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan merupakan akhir dari sejarah ejaan bahasa indonesia
yang berisi kaidah aturan ejaan yang dipakai pada saat ini.
Fungsi ejaan yang utama adalah sebagai penyaring masuknya unsur-unsur bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia, terutama sebagai pelajar, mempelajari dan
mengaplikasikan ejaan yang benar adalah sebuah kewajiban agar tidak terjadi hilangnya makna
yang ingin disampaikan kepada pembaca.
1. Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan Van Ophuijsen ini dirancang oleh Van Ophuijsen dengan bantuan dari Engku Nawawi
Gelar Soetan Ma’moer serta Moehammad Thaib Soetan Ibrahim pada tahun 1901.
Ch. A. Van Ophuijsen adalah seorang inspektur pendidikan (dasar) bagi penduduk pribumi
Sumatera dan daerah sekitarnya di tahun 1890-an.
Awal dari lahirnya ejaan ini adalah pemerintah yang menugaskan Van Ophuijsen untuk
merancang sistem ejaan dasar yang mantap dan ilmiah untuk digunakan dalam pengajaran.
Tugas itu ia terima pada tahun 1896 dan selesai pada tahun 1901.
Ejaan van ophuijsen terlahir dalam bentuk sebuah daftar kata yang diawali dengan uraian singkat
tentang aturan-aturan ejaan, Kitab Logat Melajoe. Aturan-aturan tersebut, di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Kata koe (akoe), kau, se, ke, dan di ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Contoh: koelihat, kaudengar, seorang, keroemah, dibawa.
2. Kata poen- selamanya dihubungkan dengan kata sebelumnya. Contoh:
- Adapoen radja itoe hendak berangkat.
- Sekalipoen tiada lagi berbunji.
3. Ke- dan se- merupakan awalan, bukan ka- dan sa-. Contoh: ketiga, sebenarnya.
4. Ejaan van ophuijsen ini juga membahas awalan ter-, ber-, dan per- yang jika
dirangkaikan dengan kata dasar berawalan huruf r maka akan luluh. Contoh: beroemah,
terasa, peran.
5. Akhiran –i akan diberi tanda ̈ apabila bertemu dengan kata yang berakhiran huruf a.
Contoh: menamaï.
Sebelum ejaan van ophuijsen disusun, para penulis pada umumnya mempunyai aturannya
sendiri-
sendiri dalam menuliskan konsonan, vokal, kata, kalimat, dan tanda baca. Oleh karena itu, sistem
ejaan yang digunakan pada waktu itu sangat beragam. Terbitnya ejaan van ophuijsen sedikit
banyak mengurangi kekacauan ejaan yang terjadi pada masa itu.
2. Ejaan Suwandi (Ejaan Republik)
Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik disusun oleh Mr. Soewandi yang merupakan nama Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Penyusunan ejaan baru ini dimaksudkan untuk
menyempurnakan ejaan yang berlaku sebelumnya juga untuk menyederhanakan sistem ejaan
bahasa Indonesia.
Ejaan suwandi diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 berdasarkan surat keputusan menteri
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A.
Ejaan tersebut mengatur beberapa hal, di antaranya sebagai berikut:
1. Huruf oe diganti dengan huruf u. Contoh: oesia menjadi usia.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak diganti dengan huruf k. Contoh: tak, rakyat, tidak.
3. Pengulangan diberi angka dua. Contoh: buku2, mudah2an.
4. Kata dasar berhuruf e (e pepet dalam bahasa Jawa) boleh dihilangkan. Contoh: perahu
menjadi prahu, menteri menjadi mentri. Namun kata tersebut tidak boleh dipergunakan
pada kata berimbuhan. Contoh: perangkap tidak boleh diubah menjadi prangkap.
Meskipun dimaksud untuk menyempurnakan sistem ejaan sebelumnya, namun Ejaan Suwandi
ini masih memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan itu antara lain adalah penggunaan huruf f, v, x, z, sj, dan ch, yang lazim digunakan
untuk menulis kata-kata asing tidak diatur pada ejaan itu. Huruf-huruf tersebut adalah
permasalahan dalam bahasa Indonesia pada masa itu.

3. Ejaan Pembaruan
Konsep Ejaan Pembaruan dikenal dengan ejaan Prijono-Katoppo, yaitu sebuah nama yang
diambil dari dua nama tokoh yang pernah mengetuai panitia ejaan itu. Prof. Prijono merupakan
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Keberlanjutan tugas Prof. Prijono dilakukan
oleh E. Katoppo.
Prof M. Yamin memprakarsai kongres bahasa yang memutuskan agar ejaan Soewandi
disempurnakan. Kongres tersebut diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Pada waktu itu
disarankan agar dapat diusahakan tiga hal sebagai berikut.
• Satu bunyi, satu huruf,
• Penetapan hendaknya dilakukan oleh badan yang kompeten,
• Ejaan itu hendaknya praktis, tetapi ilmiah.
Ejaan pembaruan mengatur beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Diftong ai, oi, au berubah penulisannya menjadi ay, oy, aw
2. Huruf-huruf yang muncul pada ejaan ini adalah ŋ (ng), t (tj), ń (nj), dan ś (sj)
3. Pengaturan untuk fonem h adalah fonem h bila letaknya di depan dapat menghilangkan,
seperti hutan menjadi utan, juga dapat dihilangkan bila di antara dua vokal berbeda,
misalnya kata tahun menjadi ta-un, atau perahu menjadi pera-u.
4. Konsonan rangkap pada akhir kata dihilangkan. Contoh president menjadi presiden.
5. Partikel pun yang berarti juga dan saja, ditulis terpisah. Contoh: sekalipun sama dengan
meskipun, sekali pun sama dengan satu kali saja.
6. Kata berulang yang memiliki arti tunggal ditulis tanpa tanda hubung, contoh: alunalun.
Sedangkan yang bermakna jamak dengan tanda hubung, contoh: ibu-ibu, sekali-sekali.
Pada tahun 1956, Menteri Sarino membentuk Panitia Pembaruan Ejaan. Sementara itu,
Persekutuan Tanah Melayu berkeinginan untuk mengadakan penyatuan ejaan dengan Bahasa
Indonesia. Namun, ejaan Pembaruan ini tidak sempat dilaksanakan.
4. Ejaan Melindo
Tindak lanjut perjanjian persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu
pada tahun 1959, antara lain usaha mempersamakan ejaan bahasa kedua negara ini.
Pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia Melayu (Slamet Mulyana-Syed Nasir bin
Ismail sebagai ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan ejaan
Melindo (Melayu Indonesia).
Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmiannya. Ejaan
melindo mengatur beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Fonem tambah f, ś, z. Contoh: fikiran, śair, śarat.
2. Penulisan diftong: ay, aw, oy.
3. Ejaan yang menggunakan tanda fonem lain dari yang sudah ditetapkan sebagai fonem
Melindo dianggap kata asing, misal: universitas, varia, vokal.
Ejaan Melindo tidak jauh berbeda dengan Ejaan Pembaruan karena ejaan itu sama-sama
berusaha untuk menyederhanakan ejaan dengan menggunakan sistem donemis.
Hal yang berbeda ialah dalam ejaan Melindo, gabungan konsonan tj, seperti pada kata tjinta
diganti
dengan c menjadi cinta. Hal yang sama terjadi pada konsonan nj, seperti pada kata njonja diganti
dengan huruf nc yang sama sekali masih baru.
5. Ejaan LBK
Ejaan Baru merupakan lanjutan dari rintisan panitia ejaan Melindo. Ejaan ini dikeluarkan pada
tahun 1966 sebelum dikeluarkannya Ejaan Yang Disempurnakan.
Pelaksananya terdiri dari panitia Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusaatraan yang sekarang
Bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) juga terdiri dari panitia Ejaan Melayu
yang berhasil merumuskan ejaan tersebut.
Panitia tersebut bekerja atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
062/67 pada tahun 1967.
Konsep Ejaan ini disusun berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain.
 Pertimbangan Teknis, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem
dilambangkan dengan satu huruf.
 Pertimbangan praktis, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan secara
teknis disesuaikan dengan keperluan praktis seperti keadaan percetakan dan mesin tulis.
 Pertimbangan Ilmiah, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan itu
mencerminkan studi yang mendalam mengenai kenyataan bahasa dan masyarakat
pemakainya.
 Pertimbangan konotatif, bunyi menunjukkan perbedaan makna.
 Pertimbangan politis, adanya keterlibatan pemerintah yang menghendaki menertibkan
tata
istilah yang ada.
Ejaan LBK muncul karena ketidaksetujuan akan konsep Melindo. Beberapa hal yang dibahas
dalam seminar sastra 1968 yang membentuk konsep Ejaan LBK ini adalah antara lain.
1. Ada enam vokal (i, u, e, Ə, o, a).
2. Diftong tetap.
3. Di dan ke dibedakan antara preposisi dan imbuhan. Contoh: surat itu ditulisnya di rumah.
4. Kata ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
5. Mengenai istilah asing, misal guerilla (Spanyol), frasa coup de’etat (Prancis), dan extra
(Inggris) diubah menjadi gerilya, kudeta, dan ekstra.
6. Ejaan ini juga membahas mengenai qalb (hati) dan bahasa Arab juga mengenal kata kalb
(anjing), namun diputuskan tetap menggunakan kata kalbu untuk bahasa Indonesia.
6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Presiden Republik Indonesia Soeharto meresmikan Ejaan Yang Disempurnakan pada tanggal 16
Agustus 1972.
Ejaan ini merupakan lanjutan dari Ejaan Baru atau Ejaan LBK. Pada Hari Proklamasi
Kemerdekaan tahun 1972 diresmikan aturan ejaan baru ini berdasarkan keputusan Presiden
Nomor 57 tahun 1972.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman
Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu
Pada tahun 1988, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (PUEYD) edisi kedua diterbitkan
berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
0543a/U/1987 pada tanggal 9 September 1987.
Setelah itu, edisi ketiga diterbitkan pada tahun 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Dr. Anis Baswedan, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (PUEYD)
diganti dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang kesempurnaan
naskahnya disusun oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan
Pembina Bahasa.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan mengatur beberapa hal, di antaranya adalah
sebagai
berikut.
1. Pemakaian huruf (f, v, z, q, x) diresmikan.
2. Pemakaian huruf kapital dan huruf miring.
3. Pemakaian kata (kata dasar, kata berimbuhan, bentuk ulang, gabungan kata, pemenggalan
kata, kata depan, partikel, singkatan dan akronim, angka dan bilangan, kata ganti ku-,
kau-, -ku, -mu, - nya, serta kata sandang si dan sang)
4. Penulisan unsur serapan
5. Pemakaian tanda baca, antara lain tanda titik (.), tanda koma (,), tanda titik koma (;),
tanda titik dua (:), tanda hubung (-), tanda pisah (–), tanda tanya (?), tanda seru (!), tanda
elipsis (...), tanda petik (“...”), tanda petik tunggal (‘...’), tanda kurung ((...)), tanda
kurung siku ([...]), tanda garis miring (/), dan tanda penyingkat atau apostrof (‘).
Berikut adalah beberapa contoh penggunaan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan
secara tepat.
Huruf vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas lima huruf, yaitu a, i, u, e, dan o. Contoh kata
dengan penggunaan huruf vokal bahasa Indonesia antara lain, api, emas, simpan, oleh, ulang.
Terdapat tiga macam dalam pelafalan huruf e.
 Diakritik (é) dilafalkan [e]. Contoh: Anak-anak bermain di teras (téras).
 Diakritik (è) dilafalkan [ɛ]. Contoh: Pertahanan militer (militèr) Indonesia cukup kuat.
 Diakritik (ê) dilafalkan [ə]. Contoh: Upacara itu dihadiri pejabat teras (têras) Bank
Indonesia.
Huruf konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas 21 huruf, yaitu huruf yang tidak termasuk
dalam huruf vokal di atas.
Aturan pemakaian huruf kapital tergantung beberapa kondisi, antara lain adalah sebagai berikut.
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat. Contoh: Pekerjaan itu akan
selesai dalam satu jam.
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan.
Contoh:
Wage Rudolf Supratman (nama orang), Jenderal Kancil (julukan)
 Huruf kapital dipakai pada awal kalimat dalam petikan langsung. Contoh: Orang itu
menasihati anaknya, “Berhati-hatilah, Nak! Sangat berbahaya di luar sana.”
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata nama agama, kitab suci, dan
Tuhan, termasuk sebutan dan kata ganti untuk Tuhan. Contoh: Islam (agama), Alkitab
(kitab suci), Allah (tuhan). Sebagai kata ganti untuk Tuhan, contohnya pada kalimat:
Allah akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya.
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan,
keagamaan, atau akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang
mengikuti nama orang. Contoh: Raden Ajeng Kartini (gelar kehormatan), Agung
Permana, Sarjana Hukum (gelar akademik).
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Contohnya pada kalimat: bangsa Indonesia, suku Dani.
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti
nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama ins-tansi,
atau nama tempat. Contoh: Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari besar atau
hari raya serta nama peristiwa bersejarah.
Huruf miring juga digunakan tergantung dari kondisinya pada kalimat. Penggunaan huruf miring
antara lain adalah sebagai berikut.
 Menuliskan judul buku, nama majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan,
termasuk dalam daftar pustaka. Contoh: Majalah Poedjangga Baroe menggelorakan
semangat kebangsaan.
 Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam
kalimat. Contoh: Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas tangan.
 Menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau bahasa asing. Contoh: Upacara
peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh.

E. Pemerolehan Bahasa
Bahasa dalam sarana berpikir ilmiah, merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai
dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada oranglain (Sumantri S, 2003).
Bahkan menurut Boeree (2008), bahasa merupakan salah satu hal paling menakjubkan yang
mampu kita lakukan. Chomsky (Subyakto & Nababan, 1992:78) mengatakan bahwa setiap
manusia mernpunyai falcuties of the mind, yakni kapling-kapling intelektual dalam benak atau
otak mereka dan salah satunya dijatahkan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa.
Seorang yang normal akan memperoleh bahasa ibu dalam waktu singkat. Hai ini bukan
karena anak memperoleh rangsangan saja, lalu si anak mengadakan respon, tetapi karena setiap
anak yang lahir telah dilengkapi dengan seperangkat peralatan yang memperoleh bahasa ibu.
Alat ini disebut dengan Language Acquisition Device (LAD) atau lebih dikenal dengan
nama piranti pemerolehan bahasa. Setiap anak yang normal akan belajar bahasa pertama (bahasa
ibu) dalam tahun-tahun pertamanya dan proses itu terjadi hingga kira-kira umur lima tahun
(Nababan, 1992: 72). Dalam mendapatkannya mereka akan menghadapai hal-hal yang sangat
rumit karena bahasa sangat kompleks. Menurut Tarigan dkk. (1998) mengungkapkan bahwa
anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang
menggunakan bahasa daerah sebagai media komunikasi kesehariannya, kemungkinan besar anak
itu bahasa pertamanya adalah bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.
Sekalipun anak itu telah mengenal bahasa Indonesia melalui berbagai media (misalanya radio
dan
televisi), tetapi bahasa Indonesia yang dikuasainya baru benar-benar digunakan ketika telah
bersekolah Istilah ‘pemerolehan’ merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam
proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang
manusia sejak lahir. Yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa (language acquisition) di sini
adalah proses-proses yang berlaku di pusat bahasa dalam otak seorang anak (bayi) pada waktu ia
sedang memperoleh bahasa ibunya (Simanjuntak, 2009: 104).
Proses pemerolehan bahasa merupakan suatu hal yang kontroversial antara para ahli
bahasa. Permasalahan yang diperdebatan antara para ahli adalah pemerolehan bahasa yang
bersifat nuture dan nature (Dardjowidjojo, 2010:235).
Proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan
ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling
sederhana dari bahasa yang bersangkutan (Kiparsky, 1968: 194 dalam Tarigan, 1987: 1).
Menurut Chaer (2009) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah
proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak- kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning).
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang cukup
menakjubkan. Krashen dalam Schutz (2006:12) mendefinisikan pemerolehan bahasa sebagai
"the product of a subconscious process very similar to the process children undergo when they
acquire their first language. Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa
merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan
sederhana dari bahasa yang bersangkutan. Dalam proses pemerolehan adalah proses bawah
sadar, dan bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara eksplisit
tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran,
adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara sadar dilakukan oleh pembelajar di
dalam menguasai bahasa. Posisi bahasa Indonesia dalam pemerolehan bahasa bagi anak
Indonesia akan ditemukan bahwa ada anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama dan ada pula menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Anak yang
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama,
bahasa pertama yang dikenal dan dikuasai adalah bahasa Indonesia. Pemerolehan bahasa
umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informal
serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi.
Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan artifisial serta
merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz, 2006:12), dan pemerolehan bahasa dibedakan
menjadi
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama
terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini
dapat satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga dua bahasa
secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan dapat lebih dari dua bahasa
(multilingual FLA). Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh
bahasa setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan
keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses pemerolehan bahasa, antara
lain: adanya faktor internal, maupun faktor eksternal yaitu yang berasal dari pengaruh
lingkungannya.
Menurut Chomsky (dalam Hasan, 2009) pemerolehan bahasa dipengaruhi oleh faktor alamiah,
yaitu setiap anak semenjak lahir memiliki seperangkat sistem pengaturan bahasa yang disebut
LAD (language acquisition device). Anak tidak dirangsang untuk memperoleh bahasa tetapi,
anak memperoleh bahasa dari apa yang dilihatnya dilingkungan sekitar. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerolehan bahasa anak, juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal dan
bermainnya. Kemudian, menurut Mushaitir, (2016) mengartikan kognitif berkaitan dengan
pengenalan berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan, pikiran, ide, dan
gagasan.
Dapat dipahami, bahwa pemerolehan bahasa pada anak, selain dipengaruhi oleh lingkungan.
Faktor kognitif dan intelektual juga mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pada anak.
Dalam perkembangan bahasa pada anak adanya perkembangan kejiwaan dan juga gizi serta
lingkungan
memegang peranan penting dalam pertumbuhan motorik khususnya dalam pemerolehan dan
produksi bahasa anak. Di samping kata-kata dan kalimat yang diperoleh seperti dikemukakan di
atas, di sini dapat pula disimpulkan bahwa seorang anak yang normal, akan mampu memperoleh
bahasa pertama bila saraf dan jaringan otaknya tidak terganggu selama masa pertumbuhannya.
Sebelum memasuki ranah kosakata maka, harus dipelajari dahulu mengenai leksikon,
karena kosakata termasuk dalam ranah kajian leksikon. Leksikon itu sendiri juga merupakan
kesatuan ilmu linguistic dalam kajian ilmu leksikologi. Istilah “leksikon” dalam ilmu linguistik
berarti perbendaharaan kata, kata itu sendiri disebut “leksem” (Verhaar, 2006:13). Menurut
Kridalaksana (1989: 6) dalam sistem bahasa, leksem sebagai kesatuan bentuk dan makna
mengalami proses gramatikal dan proses fonologis sebelum dipergunakaan dalam komunikasi.
Leksem merupakan “bahan dasar” yang setelah mengalami “pengolahan gramatikal” menjadi
kata dalam subsistem gramatika. Kosakata adalah suatu komponen dalam bahasa yang terus
berkembang tanpa henti (Dardjowidjojo, 2000:40). Kosakata dalam bahasa Indonesia
digolongkan sesuai jenisnya menjadi kelas kata. Kata adalah kumpulan bunyi ujaran yang
mengandung
sebuah arti yang jelas. Kata adalah susunan dari huruf-huruf abjad yang mempunyai arti tertentu.
Dengan demikian, apabila ada kumpulan bunyi ujaran atau kumpulan beberapa huruf abjad
namun tidak mengandung arti yang jelas, maka itu tidak dinamakan kata. Kata Benda adalah
segala sesuatu yang kita lihat atau dapat kita bicarakan dan yang menunjukkan orang, benda,
tempat, tumbuhan, hewan, gagasan dan sebagainya. Kata kerja adalah kata yang menunjukkan
nama
perbuatan yang dilakukan oleh subyek, seperti; membaca, menulis.

F. Keterampilan Berbahasa

Dapat dibayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan berbahasa. Kita


tidak dapat mengungkapkan pikiran, tidak dapat mengekspresikan perasaan, tidak
dapat menyatakan kehendak, atau melaporkan fakta-fakta
yang kita amati. Di pihak lain, kita tidak dapat memahami pikiran, perasaan,
gagasan, dan fakta yang disampaikan oleh orang lain kepada kita. Jangankan tidak
memiliki kemampuan seperti yang dikemukakan di atas, kita pun akan mengalami
berbagai kesulitan apabila keterampilan berbahasa yang kita miliki tergolong
rendah. Sebagai guru, kita akan mengalami kesulitan dalam menyajikan materi
pelajaran kepada peserta didik bila keterampilan berbicara yang kita miliki tidak
memadai. Di pihak lain, para siswa pun akan mengalami kesulitan dalam
menangkap dan memahami pelajaran yang disampaikan gurunya. Guru tidak
memiliki keterampilan berbicara yang memadai, sebaliknya siswa tidak memiliki
kemampuan mendengarkan dengan baik maka proses komunikasi pun gagal
dilakukan. Begitu juga pengetahuan dan kebudayaan tidak akan dapat disampaikan
dengan sempurna, bahkan tidak akan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
apabila kita tidak memiliki keterampilan menulis. Sebaliknya, kita tidak akan dapat
memperoleh pengetahuan yang disampaikan para pakar terdahulu apabila kita tidak
memiliki keterampilan membaca yang memadai.Banyak contoh lain yang
menunjukkan betapa pentingnya keterampilan berbahasa dalam kehidupan. Bagi
seorang manajer misalnya, keterampilan berbicara memegang peran penting. Ia
hanya bisa mengelola karyawan di departemen atau organisasi yang dipimpinnya
apabila ia memiliki keterampilan berbicara. Kepemimpinannya pun baru akan
berhasil bila didukung pula oleh keterampilan mendengarkan, membaca, dan juga
menulis yang berkaitan dengan profesinya. Sebaliknya, jabatan sebagai seorang
manajer tidak akan pernah dapat diraih apabila yang bersangkutan tidak dapat
meyakinkan otoritas yang berkaitan melalui keterampilannya berbicara dan
menulis. Profesi-profesi di bidang hubungan masyarakat, pemasaran/penjualan,
politik, hukum (jaksa, hakim, pengacara) adalah contoh-contoh bidang pekerjaan
yang mensyaratkan dimilikinya keterampilan berbahasa, baik aspek berbicara,
menyimak, membaca, dan menulis. Masih banyak lagi contoh lain yang tidak dapat
disebutkan satu per satu di sini, yang menunjukkan betapa pentingnya
keterampilan berbahasa bagi berbagai aspek kehidupan.

Keterampilan berbahasa ada empat aspek, yaitu keterampilan menyimak,


berbicara, membaca, dan menulis.
A. MENDENGARKAN/MENYIMAK
Mendengarkan adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang bersifat
reseptif. Yang dimaksud dengan keterampilan mendengarkan di sini bukan berarti
hanya sekadar mendengarkan bunyi-bunyi bahasa melalui alat pendengarannya,
melainkan sekaligus memahami maksudnya. Oleh karena itu, istilah mendengarkan
sering diidentikkan dengan menyimak. Istilah mendengarkan/menyimak berbeda
dari istilah mendengar. Meskipun sama-sama menggunakan alat pendengaran,
mendengarkan berbeda dengan mendengar. Pada kegiatan mendengar tidak
tercakup unsur kesengajaan, konsentrasi, atau bahkan pemahaman. Sementara pada
kegiatan mendengarkan terdapat unsur-unsur kesengajaan, dilakukan dengan
penuh perhatian dan konsentrasi untuk memperoleh pemahaman yang memadai.
Dalam bahasa pertama (bahasa ibu), kita memperoleh keterampilan mendengarkan
melalui proses yang tidak kita sadari yang disebut dengan proses aquisition
(pemerolehan), bukan melalui proses learning (pembelajaran). Oleh karena itu, kita
pun tidak menyadari begitu kompleksnya proses pemerolehan keterampilan
mendengarkan tersebut. Berikut ini secara singkat disajikan deskripsi mengenai
aspek-aspek yang terkait dalam upaya belajar memahami apa yang kita dengarkan
dalam bahasa kedua.Ada dua jenis situasi dalam mendengarkan, yaitu situasi
mendengarkan secara interaktif dan situasi mendengarkan secara noninteraktif.
Mendengarkan secara interaktif terjadi dalam percakapan tatap muka dan
percakapan di telepon atau yang sejenis dengan itu. Dalam mendengarkan jenis ini
kita secara bergantian melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara. Oleh
karena itu, kita memiliki kesempatan untuk bertanya guna memperoleh penjelasan,
meminta lawan bicara mengulang apa yang diucapkan olehnya, atau mungkin
memintanya berbicara agak lebih lambat. Contoh situasi-situasi mendengarkan
noninteraktif, yaitu mendengarkan radio, TV, film, khotbah, atau mendengarkan
dalam acara-acara seremonial. Dalam situasi mendengarkan noninteraktif tersebut,
kita tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa meminta pembicara
mengulangi apa yang diucapkannya, dan tidak bisa meminta pembicaraan
diperlambat.
B. BERBICARA
Dalam keterampilan berbicara dikenal tiga jenis situasi berbicara, yaitu
interaktif, semiinteraktif, dan noninteraktif. Situasi-situasi berbicara interaktif,
misalnya terjadi pada percakapan secara tatap muka dan berbicaramelalui telepon.
Kegiatan berbicara dalam situasi interaktif ini memungkinkan adanya pergantian
peran/aktivitas antara berbicara dan mendengarkan. Di samping itu, situasi
interaktif ini memungkinkan para pelaku komunikasi untuk meminta klarifikasi,
pengulangan kata/kalimat, atau meminta lawan bicara untuk memperlambat tempo
bicara, dan lain-lain. Kegiatan berbicara dalam situasi interaktif ini dilakukan
secara tatap muka langsung, bersifat dua arah, atau bahkan multiarah.Kemudian,
ada pula situasi berbicara yang tergolong semiinteraktif, misalnya dalam berpidato
di hadapan umum, kampanye, khutbah/ceramah, dan lain-lain, baik yang dilakukan
melalui tatap muka secara langsung namun berlangsung secara satu arah. Dalam
situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap
pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi
wajah dan bahasa tubuh mereka. Beberapa situasi berbicara dapat dikatakan betul-
betul bersifat noninteraktif jika pembicaraan dilakukan secara satu arah dan tidak
melalui tatap muka langsung, misalnya berpidato melalui radio atau televisi. Pidato
kenegaraan yang disampaikan melalui siaran televisi atau radio termasuk ke dalam
jenis ini.
C. MEMBACA
Keterampilan membaca tergolong keterampilan yang bersifat aktif-reseptif.
Aktivitas membaca dapat dikembangkan secara tersendiri, terpisah dari
keterampilan mendengarkan dan berbicara. Namun, pada masyarakat yang
memiliki tradisi literasi yang telah berkembang, sering kali keterampilan membaca
dikembangkan secara terintegrasi dengan keterampilan menyimak dan
berbicara.Keterampilan membaca terbagi ke dalam dua klasifikasi, yakni (a)
membaca permulaan, dan (b) membaca lanjutan. Kemampuan membaca permulaan
ditandai oleh kemampuan melek huruf, yakni kemampuan mengenali lambang-
lambang tulis dan dapat membunyikannya dengan benar. Pada fase ini,
pemahaman isi bacaan belum begitu tampak karena orientasi pembaca lebih ke
pengenalan lambang bunyi bahasa. Sementara pada membaca lanjut, kemampuan
membaca ditandai oleh kemampuan melek wacana. Artinya, pembaca bukan hanya
sekadar mengenali lambang tulis, bisa membunyikannya dengan lancar, melainkan
juga dapat memetik isi/makna bacaan yang dibacanya. Penekanan membaca lanjut
terletak pada pemahaman isi bacaan, bahkan pada tingkat tinggi harus disertai
dengan kecepatan membaca yang memadai.
D. MENULIS
Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang bersifat aktif-produktif.
Keterampilan ini dipandang menduduki hierarki yang paling rumit dan kompleks
di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa lainnya. Mengapa? Aktivitas menulis
bukanlah sekadar hanya menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat; melainkan
menuangkan dan mengembangkan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, ide, dalam
suatu struktur tulisan yang teratur, logis, sistematis, sehingga mudah ditangkap
oleh pembacanya. Sama seperti halnya dengan keterampilan membaca,
keterampilan menulis pun dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni (a)
menulis permulaan dan (b) menulis lanjutan. Menulis permulaan sesungguhnya
identik dengan melukis gambar.Pada fase ini, si penulis tidak menuangkan
ide/gagasan, melainkan hanya sekadar melukis atau menyalin gambar/lambang
bunyi bahasa ke dalam wujud lambang-lambang tertulis. Pada awal-awal
memasuki persekolahan, para siswa dilatih menulis permulaan yang proses
pembelajarannya sering disinergiskan dan diintegrasikan dengan kegiatan
membaca permulaan. Kegiatan menulis yang sesungguhnya merupakan aktivitas
curah ide, curah gagasan, yang dinyatakan secara tertulis melalui bahasa tulis.

Anda mungkin juga menyukai