Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MUATAN LOKAL

ASAL USUL SUKU BUGIS

Disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat melengkapi


tugas mata pelajaran Muatan Lokal

Disusun Oleh :

Nama : Muh. Fauzan


NIS : 223065
Kelas : X.3 (Auditori)

UNIT PELAKSANA TUGAS


SMA NEGERI 2 WAJO
Jalan Poros Sengkang-Palopo Kilometer 25,
Limpomajang, Kecamatan Majauleng, Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan 90991
TAHUN PELAJARAN 2023/2024

BAB I
PEMBAHASAN
A. ASAL USUL SUKU BUGIS
Suku Bugis merupakan salah satu suku yang ada dipulau Sulawesi.
Suku bugis sekarang tidak hanya dipulau sulawesi tetapi sudah tersebar
di seluruh Indonesia. Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu
Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang
berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan
Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka
mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To
Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi
adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading.Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya
sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Saat ini
orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan
Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan.
Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan
Pinrang.
.

B. BAHASA DAN AKSARA SUKU BUGIS


Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi
Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros,
sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare,
Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian
kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang,
Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada
dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek
budaya. Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai
Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di
kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis
mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak
berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah
aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Seperti
halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun
diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-
hasil pemikiran mereka.
Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan
firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan.
Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan
yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami
perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah satu
jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya.
Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of social problem solving,
and any writing system as the comman solution of a number of related
problem” (1989:15)

ii

1. Alat untuk pengingat


2. Memperluas jarak komunikasi
3. Sarana untuk memindahkan pesan untuk masa yang akan datang
4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol
5. Sebagai Media Interaksi
6. Sebagai Fungsi estetik
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi
masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo di tulis
menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh
masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat
makassar dan masyarakat luwu. Kala para penyair-penyair bugis
menuangkan fikiran dan hatinya di atas daun lontara dan dihiasi dengan
huruf-huruf yang begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik diatas
daun lontara dan karya-karya itu bernama I La Galigo. Begitu pula yang
terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang
memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali,
Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan
Budaya Makassar. Disulawesi selatan ada 3 bentuk macam huruf yang
pernah dipakai secara bersamaan.
1. Huruf Lontara
2. Huruf Jangang-Jangang
3. Huruf Serang
Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontara
mempunyai dua pengertian yang terkandung didalamnya
a. Lontara sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
b. Lontara sebagai tulisan
Kata lontara berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun
lontar. Kenapa disebuat sebagai lontara ?,

iii
karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Daun
lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung
dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan
memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip
gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara
biasa juga disebut dengan aksara sulapa eppa Karakter huruf bugis ini
diambil dari Aksara Pallawa (Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh
Kridalaksana).
Memang terdapat beberapa varian bantuk huruf bugis di sulawesi
selatan, tetapi itu tidaklah berarti bahwa esensi dasar dari huruf bugis ini
hilang, dan itu biasa dalam setiap aksara didunia ini. Hanya ada
perubahan dan penambahan sedikit yang sama sekali tidak menyimpang
dari bentuk dasar dari aksara tersebut.
Varian itu disebabkan antara lain :
1. Penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya.
2. Penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan.

C. AGAMA DAN KEPERCAYAAN SUKU BUGIS


Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata
hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem
pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan. Orang
Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang
Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran,
Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya
kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan
istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh
orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib).

iv
Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak
yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kedendak) dan
orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhan yang maha mulia).
Mereka pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-
tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam
di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama
Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan
Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin
dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan
sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan
bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi
Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta.
Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta
Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan. Religi suku Bugis dan
Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya
keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa
tunggal, biasa disebut patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata
seuwae (tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Sisa
kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To latang dikabupaten
Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang kabupaten
Bulukumba.
Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17,
ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu
mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam
dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat
setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap di
Makassar.

v
Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran
islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk
menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik,
tindakan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya
ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami
proses pemurnian.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama
Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau
Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-
pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja.
Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.

D. ADAT ISTIADAT SUKU BUGIS


- Rumah Adat
Bentuk rumah adat suku Bugis memiliki bentuk rumah panggung
seperti yang dapat dijumpai di kawasan Asia Tenggara. Mayoritas material
yang digunakan adalah kayu termasuk untuk area atap. Rumah adat suku
Bugis dibagi menjadi dua jenis berdasarkan status sosial orang yang
menempatinya. Rumah Souraja adalah rumah besar yang ditempati oleh
kaum bangsawan. Sedangkan rumah panggung yang ditempati
masyarakat umum bernama Bola.Secara umum, rumah adat ini memiliki
tiga bagian utama yakni atas, tengah dan bawah. Bagian atas merupakan
bagian penutup sedangkan bagian tengah yang dimanfaatkan untuk
tinggal. Sementara itu, bagian bawah rumah atau siring difungsikan untuk
tempat penyimpanan alat-alat bertani atau melaut. Terkadang pemilik
rumah juga menaruh hewan peliharaan di bagian bawah ini.Uniknya,
rumah adat suku Bugis ini bisa dengan mudah dibongkar pasang. Hal ini
karena dalam struktur kayunya hanya menggunakan parelepang (fattoppo
dan fadongko) yang tidak disambung.

vi

- Ritual Mappenre Tojang


Budaya suku Bugis yang pertama ini dilakukan kepada bayi. Ketika
bayi mulai diayun, maka keluarganya akan mengadakan ritual naik
ayunan atau istilah lokalnya Naik Tojang. Dalam prosesi naik ayunan,
akan dipasangkan contengan kapur sirih pada ayunan.Sebelum bayi
diletakan di dalam ayunan, didahului dengan memasukkan sapu lidi,
seekor kucing, dan anak lesung batu. Setelah itu, barang-barang tersebut
dikeluarkan dan dibersihkan. Kemudian bayi akan dimasukkan ke dalam
ayunan untuk ditidurkan.Ayunan bayi yang digunakan berupa kain kuning
diikat dengan tali. Pada sambungan tali dengan kain, harus digantung
pisang dan cabai. Sementara itu, pada bagian bawah ayunan, harus buah
botol berisi air putih yang telah ditulis dengan Lam Jalalah (lam alif) pada
dua sisinya. Sebagai informasi, Lam jalalah merupakan huruf lam yang
terdapat dalam lafaz Allah.

- Makkuluhuwallah
Tradisi lokal selanjutnya yang masih dipertahankan oleh masyarakat
Bugis adalah ritual kematian, Makkuluhuwallah. Rangkaian acaranya
dilakukan selama tujuh malam, dimulai setelah jenazah dikuburkan.
Meskipun merupakan ritual, namun dalam prakteknya melibatkan
pembacaan Al-Qur’an. Ritual ini diperkirakan telah muncul sejak tahun 80-
an dan diprakarsai oleh tokoh agama setempat.Penamaan ritual
Makkuluhuwallah sendiri, diambil dari ayat pertama surat al-Ikhlas (Qul
Huwallahu) yang memiliki imbuhan “ma.” Ini merupakan bagian dari
bahasa Bugis dan kemudian disambungkan dengan Qul Huwallahu, yang
berarti sedang melakukan pembacaan surat Al-Ikhlas.Biasanya di hari
pertama pelaksanaan ritual, keluarga akan anak-anak dari pondok
pesantren. Setelah itu, pembacaan Al-Qur’an akan dilanjutkan oleh
masyarakat yang datang agar menghibur keluarga yang berduka.

vii
Tak hanya bagi orang tua, anak-anak juga diajak untuk melakukan tradisi
ini. Uniknya, setiap orang yang telah melaksanakan pembacaan surah
dalam acara ini akan mendapatkan bingkisan sebagai tanda ucapan
terima kasih atas kehadiran serta keikhlasannya mendoakan orang yang
telah meninggal tersebut.

- Mappadendang
Ritual Mappadendang adalah wujud ritual panen masyarakat Bugis
yang wajib diikuti oleh seluruh petani. Para petani akan menumbuk padi
dalam lesung panjang yang disebut palungeng. Biasanya palungeng
memiliki enam hingga dua belas lubang. Sementara untuk menumbuk
padi, digunakan alu.Saat melakukan ritual, setiap pemukul padi harus
bersolek dan mengenakan pakaian khas tradisional Bugis yakni Baju
Bodo. Dulu ritual ini dilakukan hampir di seluruh wilayah Sulawesi Selatan
ketika musim panen tiba. Namun sayangnya, tradisi ini mulai ditinggalkan
meski ada beberapa daerah yang masih mempertahankannya. Selain
bentuk suka cita atas hasil panen yang berlimpah, ritual Mappadendang
juga terus diadakan untuk mempertahankan warisan budaya leluhur.
Ritual ini dilakukan selama tiga malam berturut-turut. Komponen utama
dalam ritual ini dilakukan oleh enam perempuan dan tiga pria, atau secara
berpasang-pasangan. Mereka kemudian akan memecah biji padi yang
telah ditelakkan ke dalam palungeng, diiringi dengan tabuhan rebana,
petikan kacapi serta suling bambu khas suku Bugis. Dalam budaya suku
Bugis ini, strata sosial antara pemilik sawah maupun buruhnya, dianggap
setara.Karena dianggap penting, beberapa pemerintah daerah
menjadikan ritual panen Mappadendang menjadi program tahunan yang
masuk dalam kalender pariwisata daerah. Selain melestarikan nilai-nilai
budaya, diharapkan juga dapat menarik minat wisatawan.

viii
- Pernikahan
Ritual pernikahan suku Bugis memiliki proses yang panjang juga
membutuhkan biaya besar. Untuk menikahi gadis pujaannya, seorang pria
harus memberikan sejumlah mahar dan uang panai. Bila jumlah mahar
dan uang panai yang diberikan besar, maka perjuangan sang pria pun
dianggap lebih gigih.Selain mahar dan uang panai, beberapa ritual juga
harus dilakukan calon mempelai sebelum sampai ke jenjang pernikahan.
Ritual pertama adalah Ma ‘Manu’-manu’. Calon pengantin pria akan
bertandang ke rumah orang tua calon mempelai wanita untuk meminta
izin untuk mempersunting kekasih hatinya. Jika pinangan diterima, dalam
momen ini, akan dilakukan pembahasan mengenai besar mahar dan uang
panai yang akan diberikan.Setelah itu, akan dilakukan prosesi lamaran.
Calon mempelai pria akan membawa kedua orang tuanya untuk melamar
calon mempelai wanita. Ritual ini tidak bisa dilakukan bila belum ada
persetujuan dalam ritual Ma’manu-manu.Selanjutnya akan dilakukan ritual
Ma’pacci. Ritual ini biasanya berlangsung pada malam hari, di rumah
masing-masing mempelai dan dilakukan demi mendapatkan restu dari
keluarga dan teman-teman dekat. Pemberian restu ditandai dengan
pemakaian pacci atau henna di tangan masing-masing mempelai.
Biasanya, ditandai dengan Ijab Qabul. Kemudian setelah itu, akan
memasuki puncak ritual pernikahan yakni pesta. Selain diadakan dengan
meriah, banyak hidangan makanan yang tersaji. Seluruh tamu undangan,
keluarga dan kerabat akan datang dan merayakan kehidupan baru kedua
mempelaidi sela-sela ritual, pembawa acara akan menuturkan cerita sedih
mengenai perasaan orang tua yang akan ditinggalkan sang anak atau
sebaliknya. Pernikahan kedua mempelai akan.

ix
- Sigajang Laleng Lipa
Sigajang laleng lipa adalah tradisi tarung dalam sarung. Tradisi ini
hanya dijalani kaum laki-laki. Jika masalah pribadi tidak ada jalan keluar,
maka penyelesaiannya dilakukan secara jantan; berkelahi hidup mati satu
lawan satu dalam sarung.Tradisi sigajang laleng lipa bermula pada masa
Kerajaan Bugis terdahulu, dan ini merupakan upaya terakhir
menyelesaikan suatu masalah adat yang tidak bisa diselesaikan. Walau
nyawa jadi taruhan, tapi demi harga diri tetap dilakukan.Orang Bugis
sangat menjaga harkat martabat dirinya. Ada pepatah Bugis bilang “ketika
badik telah keluar dari sarungnya pantang diselip di pinggang sebelum
terhujam di tubuh lawan”.

Anda mungkin juga menyukai