Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH LOKAL

KAGHATI
LAYANG LAYANG ADAT MUNA

DI SUSUN OLEH
LINGTANG ALIDYA
A1N122075

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR
Dalam menyusun makalah ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan,
namun dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Makalah ini membahas tentang layang-layang Muna, sebuah topik yang memiliki nilai
budaya dan sejarah yang penting bagi masyarakat Muna. Melalui makalah ini, diharapkan
pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi layang-layang
Muna serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Penulis juga terbuka untuk menerima saran dan kritik yang membangun guna
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi kecil dalam
memperluas wawasan dan pemahaman tentang budaya dan tradisi masyarakat Muna.
Terima kasih.

[Penulis]
DAFTAR ISI

BAB 1.........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A . LATAR BELAKANG........................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. SEJARAH DAN ASAL USUL KAGHATI.........................................................................................6
B. KARAKTERISITIK DAN JENIS JENIS KAGHATI DI MUNA.......................................................8
C. PERAN KAGHATI ATAU LAYANG LAYANG MUNA DALAM BUDAYA MUNA..........................................9
D. MAKNA FILOSOFI KAGHATI MENURUT KEPERCAYAAN MASYARAKAT MUNA............11
BAB III......................................................................................................................................................14
PENUTUP.................................................................................................................................................14
a. KESIMPULAN.............................................................................................................................14
b. SARAN.........................................................................................................................................16
BAB 1
PENDAHULUAN

A . LATAR BELAKANG

Salah satu kekayaan yang terdapat di Indonesia adalah budaya layangan. Secara
khusus layangan yang dimiliki dalam penelitian ini adalah layangan yangterdapat di Desa
Liangkabhori Kecamatan Lohia Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terbuat
dari daun ubi hutan. Istilah layangan di DesaLiang kabhori Kecamatan Lohia Kabupaten
Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara dikenal dengan nama kaghati roo kolope,kaghati dalam
bahasa Indonesia berarti jepitan sedangkanrooartinya daun dankolopeartinya ubi hutan
yangdimanfaatkan sepenuhnya adalah daunnya sebagai proses pembuatankaghati.Kaghati roo
kolopeselain menggunakan ubi hutan hal yang uniknya yaitumenggunakan tali yang terbuat
dari serat daun nenas hutan yang disebuta denganghurame,kemudian dilengkapidengan alat
bunyi yang disebut dengankamuu.Layang-layang juga sangat ber-peran penting sebagai
media promosi danmemperkenalkan budaya nusantara lainnya, misalnya layang-layang
yangberbentuk bogong, tokoh pewayangan, layang-layang yang bersusun memakaibaju
daerah dan ukiran-ukiran khas nusantara yang terdapat pada layang-layangtersebut. Keragaman
budaya yang ada di Indonesia juga menghasilkan

Kaghati adalah layang-layang tradisional GTBM yang dijadikan sebagai salah satu jenis
permainan rakyat yang masih ada sampai saat ini. Bick (1997) mengatakan bahwa kaghati
diperkirakan telah berkembang sejak 4000 tahun yang lampau. Kaghati dijadikan sebagai
permainan petani pada masa lalu dimana dilakukan sambil menjaga kebudayaan mereka juga
memainkannya setelah masa panen. Kaghati bagi masyarakat Muna bukan hanya sekedar
permainan rakyat. Masyarakat Muna percaya bahwa kaghati mengandung nilai magis, kaghati itu
sendiri memiliki hubungan dengan keberadaan manusia sesudah mati. GTBM yakin bahwa
kaghati merupakan sarana penolong yang akan memayungi mereka agar tidak terkena sengatan
matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia. Ketika si pemilik kaghati ini
meninggal dunia, arwahnya berpulang dan berpegangan pada tali layangan dan bernaung di
bawah kaghati tersebut.
Permainan kaghati tidak hanya dimainkan dan diterbangkan begitu saja setiap
berakhirnya masa panen, namun GTBM menaikkannya selama tujuh hari tujuh malam secara
berturut-turut tanpa ditarik untuk diturunkan sekali pun. Apabila selama waktu tersebut kaghati
yang diterbangkan tidak jatuh maka si pemilik akan menggelar syukuran dengan memanggil
imam ‘modhi’ untuk melakukan aspek gramatikal (frase, kata majemuk,), aspek tekstual (teks-
teks tuturan ritual dan mantra), dan aspek kulturalisasi (pengenalan simbol adat, falsafah dasar
kehidupan masyarakat). Keempat aspek linguistik tersebut akan tercermin dalam kaghati. Bahasa
seperti halnya elemen-elemen kebudayaan lainnya senantiasa berubah dari waktu ke waktu.
Perubahan bahasa mencerminkan perubahan lingkungan dari waktu ke waktu yang tercermin
dalam dinamika kekayaan pengetahuan kebahasaan, khususnya leksikon-leksikon dan ungkapan-
ungkapan yang dimiliki oleh masyarakat. Keadaan sistem ekologi suatu kelompok masyarakat
akan tercermin dalam penggunaan ungkapan/metafora yang diciptakan oleh kelompok
masyarakat. Perubahan itu semakin jelas terlihat pada perubahan leksikon yang dikenal oleh
setiap generasi mulai dari leksikon yang masih digunakan sampai leksikon yang sudah tidak
digunakan dalam percakapan seharihari. Dengan kata lain, gejala perubahan itu menunjukkan
bahwa perangkat kata tertentu tidak diwariskan lagi kepada generasi muda antara lain karena
faktor lingkungan yang berubah sehingga apa yang generasi tua ketahui dan alami tidak bisa
diketahui dan tidak dialami lagi oleh generasi muda. Tumbuhan-tumbuhan, misalnya gadung (ubi
hutan), nenas hutan, waru, buluh, bambu, dan palma yang dijadikan sebagai bahan baku
pembuatan kaghati jumlahnya sekarang ini sudah mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh
perombakan/pembukaan hutan dan berkembangbiaknya hewan yang memakan tumbuhan
tersebut. Perubahan lingkungan tersebut pergantian leksikon yang lama dengan leksikon yang
baru, penggunaan leksikon lama berkurang dalam komunikasi antar guyub tutur di lingkungan
tersebut bahkan ada leksikon lama yang tidak digunakan lagi oleh guyub tutur.

B. RUMUSAN MASALAH
i. Bagaimana Sejarah dan asal usul layang layang kaghati di pulau muna, Sulawesi
Tenggara?
ii. Apa saja karakteristik dan jenis jenis layang layang kaghati yang ada pulau muna ?
iii. Bagaiamana peran layang layang kaghati dalam budaya muna?
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN ASAL USUL KAGHATI


Awal mula kelahiran Kaghati roo kolope yang merupakan hasil perjuangan panjang La
Pasindaedaeno yang sejak remaja telah bercita-cita menjadi kepala suku Muna. La
Pasindaedaeno menerima saran dari tantenya yang bernama Wa Ina Gure, bahwa untuk mencapai
cita-cita menjadi kepala suku, La Pasin- daedaeno harus bertapa di tempat keramat selama 40
hari tanpa makan, tanpa minum, tanpa tidur, serta mengatasi dari berbagai godaan dari manapun
selama pertapaan itu berlangsung. Jika La Pansdaedaeno tidak mampu mengatasinya, maka
otomatis pertapaan tersebut tidak akan berhasil sekaligus cita-cita tidak tercapai. La
Pasindaedaeno menjalankan saran dari tantenya tiu. Ketika La Pasindaedaeno sedang bertapa di
salah satu gua keramat, dia mendapatkan sejumlah godaan. Salah satu godaannya adalah dia
didatangi oleh ratu penguasa makhluk halus dari luar angkasa yang bernama Ratu Wa Mboro.
Ratu Wa Mboro mengajak La Pansidaedaeno pergi kesuatu tempat untuk berpesta pora bersama
dan dia dijanji akan diperlakukan sebagai tamu agung di kerajaan luar angkasa akan tetapi La
Pasindaedaeno menolak tawaran itu dari Wa Mboro lalu kemudian dengan kesalnya Wa Mboro
pulang ke tempat asalnya. Proses pertapaan yang dilakukan oleh La Pasindaedaeno berhasil
dengan baik karena ia mampu mengatasi berbagai godaan, maka ia telah menjadi kepala suku. La
Pasindaedaeno memiliki seorang istri bernama Wa Ntiwose dan seorang anak laki-laki yang
bernama La Ghane. Ketika Wa Ntiwose hamil untuk anak keduanya dalam kehamilannya
mengidamkan makanan yang tidak mengandung darah. Sebagai seorang suami yang
bertanggungjawab La Pasin-daedaeno meminta pada sang Khalik dengan jalan bertapa. Dalam
per-tapaannya menemukan semacam ilham, untuk pergi ke hutan lalu memotong anaknya hingga
terbagi empat. Berang-katlah mereka bersama anaknya dengan tidak memberitahu istrinya.
Ketika sampai di tengah hutan langsung memotong anaknya hingga terbagi empat, lalu potongan
badan La Ghane ditanam ditempat yang berbeda-beda. Selang beberapa waktu kemudian dari
badan La Ghane lalu tumbuh berbagai jenis tumbuhan seperti ubi kayu, jagung, ubi hutan, dan
ubi tatas. Wa Ntiwose heran melihat suaminya pulang dengan sendirinya “di mana La Ghane”,
tanya Wa Ntiwose. Dengan tidak menjawab apa-apa, La Pasindaedaeno mengajak istrinya untuk
menunjukkan hutan tempatnya berpisah dengan La Ghane anaknya. Dalam perjalanannya di
tengah hutan, kaki Wa Ntiwose terkait pada sebatang pohon sehingga Wa Ntiwose berteriak
karena kakinya tertusuk duri pohon yang menyerupai tali. Mendengar teriakan Wa Ntiwose
istrinya, La Pasindaedaeno berusaha untuk menolongnya. Setelah melihat tali yang mengait kaki
Wa Ntiwose istrinya itu, ternyata adalah pohon kolope (gadung). La Pasindaedaeno menelusuri
pohon tersebut, ternyata batangnya merambat di atas pohon lain dan memiliki daun yang indah,
serta memiliki umbi yang bisa dijadikan makanan sebagaimana keinginan Wa Ntiwose adalah
makanan yang tidak mengandung darah. diperhatikan pohon itu, ternyata daun-daun matinya
diterbangkan angin setinggi-tingginya ke angkasa hingga tidak terjangkau oleh pandangan mata
La Pasindaedaeno bersama istrinya. Melihat daun yang diterbangkan angin tersebut, La
Pasindaedaeno menyampaikan khaya-lannya kepada istrinya, “jangan sampai daun-daun ini bisa
menga-ntarkan mereka dalam mencari La Ghane hingga mencapai matahari”. La Ghane
dipersepsikan telah bersama matahari. Pulanglah mereka berdua untuk memberitahukan kepada
warga mengenai kejadian yang luar biasa itu. La pasindaedaeno mengajak warga untuk
menyaksikan kejadian dimaksud ternyata benar. Dipetiknya daun-daun itu oleh warga lalu
dibawa ke perkampungan. Setibanya di per-kampungan, warga mengambil bambu lalu dibelah
kecil-kecil kemudian daun itu dirakit dalam bentuk segi empat lalu dijepit agar rapih. Jepit dalam
bahasa Muna disebut ghati. Setelah itu, daun yang dirakit dan ternyata dapat diterbangkan ke
angkasa. Itulah sebabnya mereka sebut kaghati. Jadi kaghati artinya daun kolope yang dijepit
lalu dirakit dalam bentuk segi empat, setelah jadi lalu dijepit dengan alat pemberat.
Gambar 1 lukisan layang layang pada dinding gua liang kabori.

B. KARAKTERISITIK DAN JENIS JENIS KAGHATI DI MUNA


Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat layang-layang kaghati adalah daun kolope
(ubi hutan} dan bambu rami sebagai bahan utama. Masyarakat juga menggunakan serat daun
nenas hutan yang dipintai untuk benangnya. Untuk merangkai bahan layang-layang tersebut
digunakan kulit bambu yang dihaluskan dan diruncingkan. Selanjutnya untuk menyeimbangkan
layang-layang masyarakat melengkapinya dengan kayu yang dipotong-potong berukuran kecil.
Potongan kayu tersebut dipasang pada sayap kiri dan kanan layang-layang.

Ukuran kaghati dapat mencapai 1,9 meter dan lebar 1,5 meter sehingga untuk
menerbangkannya membutuhkan sumber angin yang lebih kencang dari angin biasanya. Angin
yang biasa digunakan adalah angin timur yang bertiup pada bulan Juni hingga September.
Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.

Pembuatan kaghati tidak mengikuti ukuran tertentu tergantung pada selera pembuatnya dan siapa
yang akan memainkan layangan tersebut. Menurut bentuknya kaghati dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat daerah Muna :

 Bhangkura. Jenis ini berbentuk wajik dan merupakan jenis yang paling umum dibuat
karena modelnya relatif sederhana. Panjang tiang vertikal dan horizontal seimbang
(sama). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 1 /5 bagian atas tiang vertikal.
 Bhalampotu (Mantobua). Jenis ini memiliki tiang vetikal (kainere) lebih pendek dari
tiang horizontal (pant). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 2/5 bagian atas
kainere.
 Kasopa. Jenis ini bentuknya menyerupai bhalampotu dimana tiang vertikal lebih pendek
dari tiang horizontal. Pertengahan tiang horizontal diikat pada kurang lebih 3/7 bagian
atas tiang tiang vertikal.
 Wantafotu. Jen is ini memiliki ciri khas tiang vertikal lebih pendek dari tiang horizontal
dengan menggunakan perbandingan 1 : 1.2. Pertengahan tiang horizontal diikat pada
kurang lebih 5/9 bagian atas tiang vertikal.
 Salabanga. Jenis ini bentuknya menyerupai wajik tetapi sisi-sisinya tidak terlalu
berimbang seperti pada jenis bhangkura.
 Sopi Fotu. Jenis ini memiliki bentuk yang lebih lancip pada sisi atasnya dibanding jenis
bhangkura dan salabanga. Keunggulan jenis ini adalah kecepatan melayang/terbang di
udara sangat tinggi.

Untuk melestarikan keberadaan Kaghati, layang-layang ini sering diikutsertakan dalam


perlombaan tingkat nasional dan internasional, bahkan, pada tahun 1996 dan 1997 layang-layang
kaghati mendapat penghargaan dari kalangan pecinta layang-layang sebagai layang-layang yang
paling alami.

C. PERAN KAGHATI ATAU LAYANG LAYANG MUNA DALAM BUDAYA MUNA

1. Peran kaghati dalam aspek religi.

Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga
menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan kedalam
ke-Esaan Tuhan. Ketika layang-layang yang diterbangkan bermalam selama tujuh hari tujuh
malam di langit maka pemilik layang-layang menyiapakn sesajen berupa ketupat dan telur yang
digantung di tali laying-layang setelah itu layang-layang diterbangkan kembali lalu kemudian
talinya diputus agar bisa terbang menuju langit tempat Tuhan mereka berada. Layang-layang
yang terlepas tadi dipercaya akan memberi perlindungan pada pemilik layang-layang pada saat
meninggal dunia nanti.

2. Peran kaghati dalam aspek sosial Masyarakat.

Manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi di lingkungan komunitasnya,
masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Begitu pula dengan kaghati roo kolope, kaghati
roo kolope dengan ukurannya yang besar memungkinkan adanya bantuan dari teman untuk
menerbangkannya, maka disinilah dapat dilihat relasi solidaritasnya, dan interaksi yang
dilakuakn dalam menerbangkan kaghati roo kolope ini. Kaghati roo kolope tidak bisa
diterbangkan secara individu olehnya itu dibutuhkan orang lain untuk menerbangkannya.

Gambar 2 proses penerbangan layang layang kaghati yang memerlukan kerja sama tim.

3. Peran kaghati dalam aspek ekonomi.

Apabila kagahti roo kolope tersangkut pada salah satu ranting pohon sekalipun pohon itu
besar dan tinggi, maka pemiliknya akan melakuakn berbagai hal untuk mendapatkannya,
biasanya dilakukan dengan memanjat pohon tersebut. Hal ini terkuak pada kehidupan orang
Muna, karena masyarakat Muna sebahagian besar dengan mata pencaharian bertani, maka
mereka harus berjuang dan bekerja keras untuk tetap hidup mencukupi kebutuhan sehari-hari,
serta menyekolahkan anak-anak mereka salah satunya dengan bertani.
Gambar 3 laode pomusu seorang maestro dalam pembuatan layang layang kaghati

4. Peran kaghati dalam aspek seni.

Hal ini setara dengan proses pembuatan kaghati roo kolope yang membutuhkan tenaga,
dan ketelitian yang ekstra dalam pembuatannya. Mulai dari pengambilan daun kolope lalu dipilih
daun kolope itu yang berkualitas, proses pembuatannya, dan proses pembuatan tali yang terbuat
dari serat daun nenas kemudian dipintal-pintal sehingga membentuk tali yang kuat dan dapat
menerbangkan kaghati roo kolope hingga dalam ukuran yang besar. Begitu pula dengan
kehidupan masyarakat Muna, apabila ingin menghasilkan sesuatu yang berkualitas misalnya
seperti pembutan rumah harus memiliki keterampilan dan ketelitian khusus dalam pembuatannya
agar rumah yang dihasilkan terlihat menarik ketika dipandang oleh orang dan tidak mudah
roboh.
Gambar 4 festival kaghati, guna melestarikan warisan budaya muna.

D. MAKNA FILOSOFI KAGHATI MENURUT KEPERCAYAAN MASYARAKAT MUNA

Relasi Bangun Tubuh Manusia

a) Relasi Kaghati Dengan Tulang Belakang Manusia

Relasi kaghati roo kolope dengan manusia yaitu, kainere diibaratkan sebagai tulang
belakang manusia, hal ini karena kainere ini merupakan pusat kekuatan kaghati roo kolope. Hal
ini diibaratkan kokohnya tulang belakang manusia, akan membuat seseorang dapat berdiri tegak.

b) Relasi Kaghati Dengan Jiwa/Ruh Manusia

Ghurame digunakan untuk mengendalikan kaghati roo kolope yang sedang


mengangkasa. Jika dihubungkan dengan manusia maka, Ghurame ini diibaratkan sebagai nyawa
manusia. Jika Ghurame pada kaghati roo kolope putus maka menandakan akhir dari kaghati roo
kolope, begitu pula pada manusia.

c) Kaghati Dengan Kulit Manusia


Roo kolope adalah daun ubi gadung atau ubi hutan yang digunakan sebagai pengganti
kertas dalam pembuatan kaghati roo kolope, dalam hal ini digunakan sebagai penahan angin.
Jika dihubungkan dengan manusia maka roo kolope diibaratkan sebagai kulit manusia, jika
kaghati roo kolope digunakan untuk menahan angin, maka pada kulit manusia berfungsi untuk
melindungi tubuh manusia bagian dalam dari benda tajam.

d) Relasi Kaghati Dengan Amal Manusia

Kasaa merupakan yang mengatur keseimbangan kaghati roo kolope pada saat
diterbangkan, dimana tali pertama diikat pada pertengahan antara tiang vertikal dan horizontal
pada kaghati roo kolope dan ujung tali yang kedua diikatkan pada ujung bahwa pada tiang
vertikal kaghati roo kolope. Kasaa jika dibawa dalam kehidupan manusia maka dapat
diibaratkan sebagai amal seseorang sebagai penyeimbang pada kehidupan manusia, dunia dan
akhirat.

e) Dengan Pembulu Darah Manusia

Kampaligi merupakan salah satu bagian dari kaghati roo kolope dimana kampaligi ini
berfungsi untuk memberikan bentuk pada kaghati roo kolope, dan biasanya dipakai pada
bagian pinggir. kampaligi Jika diibaratkan dalam kehidupan manusia maka kampaligi ini
diibaratkan sebagai pembuluh darah. Jika tali kampaligi putus maka kaghati roo kolope tidak
bisa difungsikan lagi, begitu pula pada manusia jika pembulu darah putus maka tidak lama lagi
akan berakhir hidupnya.

f) Relasi Kaghati Dengan Urat-Urat Manusia

Merupakan bentuk jarring-jaring yang terbuat dari serat nenas hutan yang digunakan
sebagai tempat tumpuan daun kolope dari terpaan angin. Jika diibaratkan pada kehidupan
manusia kalolonda ini diibaratkan sebagai urat-urat pada manusia, jika salah satu kalolonda
putus maka kekuatan terbang kaghati roo kolope akan berkurang.
Gambar 5 layang layang kaghati kolope.

BAB III
PENUTUP

a. KESIMPULAN
Dari hasil pencarian, dapat disimpulkan bahwa layang-layang (kaghati) memiliki peran
penting dalam budaya dan tradisi masyarakat Muna. Layang-layang berasal dari Cina lebih dari
dua ribu lima ratus tahun silam, namun telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat
Muna. Tradisi layang-layang ini memiliki nilai magis dan diyakini memiliki hubungan dengan
keberadaan manusia setelah mati. Selain itu, layang-layang juga digunakan sebagai permainan
dan memiliki implementasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pada pola lantai dan
dinding. Situs Liang Kabori juga membuktikan bahwa masyarakat pada waktu tertentu telah
memiliki tradisi bermain layang-layang. Dengan demikian, layang-layang memiliki nilai budaya,
sejarah, dan spiritual yang penting bagi masyarakat Muna sebelum Islam

Kesimpulan menggambarkan layang-layang kaghati roo kolope memiliki relasi-relasi


dengan kehidupan masyarakat Muna, diantaranya:

 Pertama, relasi sportivitas. Proses pembuatan layang-layang kaghati roo kolope tidak bisa
berkata bohong karena mengakibatkan hasil layang-layang tidak bisa mengangkasa
dengan baik. Begitu pula pada kehidupan masyarakat suku Muna, sejak kecil anak-anak
suku Muna telah diajarkan oleh orang tua mereka untuk selalu berkata jujur pada sesama
agar kelak kemudian menjadi anak yang sukses.
 Kedua relasi religius, kaghati roo kolope jika bermalam selama tujuh hari tujuh malam di
udara maka pemilik layang-layang kaghati roo kolope menyiapkan sesajen berupa
makanan tradisional lalu diikatkan di tali layang-layang setelah itu tali tersebut diputus
dan dibiarkan melayang-layang di udara karena mereka meyakini layang-layang tersebut
menjadi penolong di akherat nanti.
 Ketiga, relasi solidaritas. Proses pembuatan layang-layang kaghati roo kolope tidak bisa
dibuat hanya seorang diri melainkan membutuhkan teman begitu pun pada saat
diterbangkan harus ada teman sebagai pengayun. Begitu pula dengan kehidupan pada
suku Muna, pada saat ada pesta saudaranya atau membangun rumah mereka berbondong-
bondong datang membantu biarpun tidak dipanggil sama sekali.
 Keempat, relasi perjuangan. Jika layang-layang kaghati roo kolope tersangkut di atas
pohon walaupun pohon tersebut besar dan tinggi sang pemilik layanglayang akan
berusaha bagaimana agar bisa mendapatkan layang-layang tersebut. Begitupun dengan
kehidupan masyarakat Muna, karena mata pencaharian suku Muna sebahagian besar
bertani maka harus berjuang dan bekerja keras untuk menghidupi keluarganya serta
menyekolahkan anak-anaknya.
 Kelima, relasi ekonomi. Jika tiba waktu festival layang-layang maka akan menambah
penghasilan bagi mas-yarakat Muna terutama pengrajin kaghati roo kolope.
 Keenam relasi seni. Daalam pembuatan kaghati roo kolope membutuhkan tenaga dan
keterampilan yang ekstra untuk menghasilkan kaghati yang berkualitas baik begitu pula
denngan kehidupan manusia ketika ingin membangun sebuah rumah harus membutuhkan
tenaga dan keterampilan yang mumpuni agar rumah yang dihasilkan dapat berdiri kokoh
dan dapat bertahan lama.
 Ketujuh, relasi politik. Mas-yarakat Muna dalam pemilihan pemimpin berdasarkan
kemampuan kaghatinya mengudara selama tujuh hari tujuh malam, apabila kaghati
tersisa dua kontestan di udara, maka panitia akan menamba harinya hingga menyisahkan
satu kontestan (pemenang).
 kedelapan, relasi dengan bangun tubuh manusia, seperti relasi kaghati dengan tulang
belaka manusia, yaitu kainere pada tubuh manusia diibaratkan sebagai tulang belakang
yang kokoh, relasi kaghati dengan jiwa/ruh manusia, yaitu ghurame pada tubuh manusia
diibaratkan sebagai nyawa manusia, relasi kaghati dengan kulit manusia, yaitu roo
kolope pada tubuh manusia diibaratkan sebagai kulit manusia, relasi kaghati dengan amal
manusia, yaitu kasaa pada tubuh manusia diibaratkan sebagai amal seseorang sebagai
penyeimbang pada kehidupan manusia, dunia dan akhirat, relasi kaghati dengan pembulu
darah manusia, yaitu kampaligi pada tubuh manusia diibaratkan sebagai pembuluh darah
manusia, dan yang terakhir adalah relasi kaghati dengan urat-urat manusia, yaitu
kalolonda pada tubuh manusia kalolonda ini diibaratkan sebagai urat-urat pada manusia.

b. SARAN

Berikut adalah beberapa saran yang dapat diberikan terkait materi layang-layang Muna:
 Menambahkan informasi tentang teknik pembuatan layang-layang tradisional Muna,
seperti bahan-bahan yang digunakan dan cara membuatnya.
 Menjelaskan lebih lanjut tentang nilai budaya dan spiritual layang-layang Muna, serta
bagaimana layang-layang ini dihubungkan dengan kehidupan manusia setelah mati.
 Menambahkan informasi tentang permainan layang-layang tradisional Muna, seperti
aturan main dan jenis-jenis permainan yang ada.
 Memberikan contoh implementasi layang-layang dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Muna, seperti pada pola lantai dan dinding.
 Menambahkan informasi tentang situs Liang Kabori dan bagaimana situs ini terkait
dengan tradisi layang-layang Muna.
 Menambahkan informasi tentang komunitas pelayang Jara'an dan kegiatan pembuatan
layang-layang yang dilakukan oleh komunitas ini.
 Menambahkan informasi tentang kegiatan pembuatan layang-layang di sekolah dan
bagaimana kegiatan ini dapat menumbuhkan jiwa kreativitas dan kewirausahaan bagi
siswa.
 Dengan menambahkan informasi-informasi tersebut, diharapkan materi layang-layang
Muna dapat menjadi lebih lengkap dan bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta:
Jakarta.

Arief, D. (2014). Pemikiran dan karya-karya tokoh sastra Indonesia. Pustaka Jaya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Kamus besar bahasa Indonesia. Balai
Pustaka

Gorys Keraf. (1977). Sejarah sastra Indonesia modern. Gramedia

Iskandar, T. (2002). Pemikiran dan karya-karya tokoh sastra Indonesia. Pustaka Jaya

Sartono, C. (2006). Kamus bahasa Indonesia. KPG.

Alfan, (2013). Pengantar Filsafat Nilai. Bandung ; CV Pustaka Setia.

Geertz.(1992). “Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Press.

Rangkuti, (2002). “The Power Of Brand”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai