Anda di halaman 1dari 19

AWAL MULA SUKU BUGIS

Sejarah dan Asal-Usul Suku Bugis

Melansir dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Wajo, sejarah nenek moyang suku Bugis
berasal dari Etnis Deutro Melayu (Melayu muda). Yaitu Bangsa Austronesia dari Yunan
(China Selatan) yang datang ke Nusantara sekitar tahun 500 SM.

Nama Suku Bugis sendiri berasal dari kata to Ugi (diterjemahkan sebagai orang Bugis).
Istilah "Ugi" diambil dari nama raja pertama dari Kerajaan Cina (Daerah Pammana) di
Kabupaten Wajo, yang bernama La Sattumpugi.

Masyarakatnya menamai diri mereka dengan sebutan To Ugi yang artinya orang-orang
pengikut La Sattumpugi.

Dikisahkan bahwa La Sattumpugi memiliki anak bernama We Cudai. Ia menikah dengan


seorang Lelaki dari Kerajaan Luwu bernama Sawerigading dan memiliki anak bernama La
Galigo.

Sosok La Galigo inilah yang kemudian menulis karya sastra terpanjang di dunia dengan
jumlah lebih dari 9.000 halaman yang berjudul I La Galigo (Sureq Galigo). Isinya tentang
asal usul penciptaan manusia di dalam tradisi masyarakat Bugis.

Dari keturunan La Sattumpugi dan Sawerigading beserta pengikutnya inilah tersebar ke


beberapa daerah. Mereka membentuk kerajaan, kebudayaan, dan aksara sendiri. Beberapa
kerajaan Bugis klasik antara lain Bone, Soppeng, Wajo, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan
Rappang.

Pada perkembangannya mereka kemudian menjalin pertalian dan pernikahan dengan suku-
suku lain seperti Makassar dan Mandar.

Agama dan Sistem Kepercayaan Suku Bugis

Melansir Jurnal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang berjudul "Religiusitas
dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar", disebutkan bahwa terhitung 97% orang
Bugis merupakan penganut agama Islam. Mereka menganut Islam secara taat dalam artian
kepercayaan.

Meskipun dalam prakteknya belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, namun mereka
tidak mau dikatakan bukan Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat Bugis yang menjalankan praktek-
praktek kepercayaan Attoriolong. Yaitu kepercayaan nenek moyang dulu sebelum datangnya
Islam.

Contoh praktek-praktek attoriolong tersebut seperti mappanre galung (memberi makan


sawah), maccera tasi' (memberi persembahan pada laut), massorong sokko patanrupa
(memberikan persembahan kepada dewa berupa empat macam beras ketan) dan lain
sebagainya.

Adapun masyarakat yang hingga kini masih memegang teguh kepercayaan Attoriolong ini
terdapat di komunitas tolotang di Kabupaten Sidrap dan Komunitas Ammatoa Kajang di
Bulukumba.
Baca juga:
Mengenal Komunitas Towani Tolotang di Sidrap, Masih Anut Kepercayaan Leluhur

Bahasa dan Aksara Suku Bugis

Tak banyak suku di Indonesia yang memiliki bahasa sekaligus aksara tulisannya sendiri.
Suku Bugis termasuk salah satu suku bangsa yang memiliki aksara dan bahasa.

Dalam hal bahasa, Suku Bugis memiliki bahasa tersendiri yang yaitu Bahasa Bugis (basa
ogi). Bahasa Bugis ini memiliki beragam dialek tergantung wilayah masing-masing.

Menurut Laman Peta Bahasa Kemendikbud ada 27 dialek dari bahasa Bugis ini. Diantaranya
dialek Bone, dialek Pangkep, dialek Soppeng, dialek Pinrang, dialek Sinjai dan lain
sebagainya.

Selain di daerah Sulawesi, penutur Bahasa Bugis juga tersebar di beberapa daerah lain seperti
Kepulauan Seribu Jakarta, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur, Bali, Lampung, dan NTB.
Masing-masing daerah tersebut juga memiliki ragam dialek yang berbeda-beda.

Sementara pada tulisan, itu suku Bugis memiliki aksara khusus yang disebut dengan aksara
lontara. Pada zaman dahulu, naskah-naskah lontara yang berisi nasihat atau mantra-mantra
ditulis di atas daun lontar. Karena itu aksara tersebut disebut dengan aksara lontara.

Huruf-huruf lontara dalam suku bugis berupa uki sulapa eppa (tulisan segi empat). Aksara
lontara tersebut terdiri dari 23 huruf:
Huruf lontara bugisHuruf lontara bugis Foto: UNM

Masing-masing ke-23 huruf tersebut dapat dibubuhkan tanda baca bunyi berupa "O - E - E".

Kisah Perantauan Suku Bugis

Orang Bugis pada awalnya hanya berdomosili di daratan Sulawesi. Dalam perkembangannya,
sebagai orang Bugis merantau ke berbagai wilayah dan negara.
Mengutip Jurnal Universitas Hasanuddin Makassar yang berjudul "Budaya Bugis dan
persebarannya dalam Perspektif Antropologi Budaya", orang Bugis merantau dengan
berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah untuk meninggalkan rajanya yang sewenang-
wenang.

Selain itu, disebutkan bahwa profesi orang Bugis secara tradisional adalah bertani. Namun,
mereka kemudian memutuskan untuk merantau demi kepentingan ekonomi.

Di sisi lain, orang Bugis dikenal sebagai pelaut yang handal dan pemberani sejak dahulu.
Mereka dengan kapal phinisinya menjelajahi kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke
Madagaskar.

Sehingga ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis di berbagai daerah dan negara.


Seperti di pusat kota Singapura, terpampang gambar phinisi dan di sekitar tempat itu diberi
nama Bugis Street.

Selain itu, komunitas Bugis juga diketahui sudah ada di Selat Malaka jauh sebelum Kota
Malaka dibangun. Komunitas ini bahkan telah ada sejak Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak
kejayaannya pada abad X-XI

Rumah Adat Suku Bugis

Rumah Saoraja

Rumah Saoraja adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Bugis yang memiliki keunikan
tersendiri. Rumah adat ini merupakan simbol dari kekayaan dan kehormatan keluarga di
masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, rumah ini biasanya diperuntukan bagi kalangan
bangsawan.

Rumah Saoraja memiliki struktur yang megah dan elegan. Biasanya rumah ini terdiri dari dua
lantai yang terbuat dari kayu yang kuat dan tahan lama. Bagian atap rumah dibuat
melengkung dengan kemiringan yang tinggi, menyerupai perahu terbalik. Atap rumah ini
biasanya dilapisi dengan ijuk atau genting untuk melindungi dari hujan dan panas.
Rumah Saoraja memiliki tiga pintu masuk yang mewakili tiga tingkatan sosial dalam
masyarakat Bugis. Pintu utama, yang terletak di tengah, hanya boleh digunakan oleh pemilik
rumah dan tamu yang dianggap penting. Pintu samping kiri adalah pintu yang digunakan oleh
keluarga dan sahabat dekat, sedangkan pintu samping kanan adalah pintu yang digunakan
oleh pelayan dan pekerja rumah tangga.

Di dalam rumah Saoraja terdapat ruangan utama yang disebut “balla'”. Ruangan ini
digunakan untuk menerima tamu, mengadakan acara adat, dan sebagai tempat berkumpul
keluarga. Di samping balla’, terdapat ruangan-ruangan lain seperti “lampiasan” yang
digunakan untuk menyimpan perhiasan dan harta berharga keluarga, serta “carawang” yang
merupakan kamar tidur utama.

Rumah Saoraja juga memiliki taman di sekitarnya yang disebut “pe’ke’ riang”. Taman ini
biasanya dihiasi dengan pepohonan, tanaman hias, dan kolam kecil. Taman ini memiliki
fungsi estetika dan sebagai tempat berkumpul keluarga untuk bersantai dan menikmati
keindahan alam.

Rumah Saoraja bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga melambangkan status sosial
dan kekuasaan keluarga. Pembangunan rumah ini melibatkan banyak upacara adat dan ritual
yang dijalankan oleh ahli waris keluarga. Selain itu, rumah Saoraja juga menjadi pusat
kegiatan budaya dan adat yang penting bagi masyarakat Bugis.

Pakaian Adat Bugis

Pakaian adat Bugis memiliki corak yang khas ketimur-timuran dan dipadukan dengan corak
khas masyarakat setempat. Tiap pakaian adat memiliki keunikan tersendiri yang bisa
dikenakan dalam acara yang berbeda.

Berikut ini adalah beberapa daftar pakaian adat khas suku Bugis.

1. Baju Bodo

Baju bodo merupakan baju khas wanita suku Bugis. Baju adat khas Bugis ini memiliki ciri
khas, yaitu berbentuk segi empat dan memiliki lengan yang pendek. Baju bodo sudah ada
sejak zaman dahulu dan dapat ditelusuri berpuluh-puluh atau beratas-ratus tahun ke belakang.
Inilah yang menyebabkan pakaian ini juga termasuk salah satu pakaian adat tertua yang ada
di Indonesia.

Menurut suku Bugis, setiap baju ini memiliki arti tersendiri yang dapat menunjukkan usia dan
martabat dari pemakainya. Berikut ini penjelasannya.

 Jingga, mempunyai arti bahwa pemakai adalah anak berusia sekitar 10 tahun.
 Jingga dengan merah, mempunyai arti bahwa pemakai adalah anak remaja berusia 10–14
tahun.
 Merah, mempunyai arti bahwa pemakai adalah seorang wanita berusia 17–25 tahun.
 Putih, mempunyai arti bahwa pemakai adalah dari kalangan dukun dan pembantu.
 Hijau, mempunyai arti bahwa pemakai adalah perempuan bangsawan.
 Ungu, mempunyai arti bahwa pemakai adalah seorang janda.

Baju bodo dahulu bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat diperhatikan
oleh James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi Raja Sarawak) tahun
1840 saat dia mengunjungi Istana Bone. Seiring dengan masuknya Islam, baju ini pun
mengalami perubahan. Baju ini dipasangkan dalaman yang berwarna senada, tetapi warnanya
lebih terang.

Perempuan Bugis dahulu mengenakan pakaian sederhana. Sehelai sarung menutupi pinggang
hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan
leluk-lekuk dada. Cara memakai baju bodo ini masih berlaku sampai tahun 1930-an. Saat ini,
pakaian tersebut kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Baju bodo mulai
direvitalisasi melalui acara seperti lomba menari atau menyambut tamu agung.

Suku Aceh
Published at : 19 Mar 2021

Mayoritas penduduk Suku Aceh adalah beragama Islam dan memiliki kekayaan budaya yang
beragam. Kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki sarat dengan nilai-nilai Islam dan adat-
istiadat setempat. Suku Aceh memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Nenek moyang
Suku Aceh berasal dari berbagai wilayah di luar Indonesia.

Yakni Arab, Melayu, Semenanjung Malaysia, dan India. Tiap-tiap periode tertentu memiliki
ciri khas budaya dari Nenek Moyang yang berbeda. Hal ini terjadi karena wilayah Aceh
menjadi salah satu tempat singgah paling sering dikunjungi bagi para pedagang di seluruh
dunia.

Dulu sebelum Islam datang, masyarakat Aceh mayoritas memeluk Agama Hindu. Hal ini
dapat dibuktikan dari beberapa budaya Aceh yang masih memiliki unsur-unsur Hindu dan
budaya India. Namun setelah Agama Islam datang, kebudayaan Aceh mengalami perubahan
dan menyesuaikan dengan kebudyaan Islam.

Sehingga sejak saat itu, mayoritas Suku Aceh beragama Islam. Kebudayaan-kebudayaan
Suku Aceh masih tetap lestari hingga sekarang. Beberapa kebudayaan Aceh cukup terkenal
dan masih menjadi suatu ikon yang nampak apabila masyarakat di wilayah lain mengenang
tentang Aceh.

Kebudayaan Suku Aceh

Ciri khas kebudayaan Aceh tidak bisa dilepaskan dari sejarah, adat istiadat, dan Islam.
Berikut beberapa jenis kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Aceh :

1. Rumah Adat

Rumah adat yang dimiliki Suku Aceh dinamakan Krong Bade. Ciri khas dari rumah ini
adalah bentknya yang panggung dengan jarak lantai 2,5 – 3 meter dari atas tanah.

Bangunan ini dibangun menggunakan bahan kayu secara keseluruhan, mulai dari atap, lantai
hingga beberapa ornamen-ornamen yang dihias pada dinding-dinding. Sementara atapnya
terbuat dari anyaman daun enau.

Keunikan dari rumah adat aceh ini adalah dari segi fungsinya. Bagian kolong rumah (ruang
luas di sela-sela panggung) difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan persediaan
makanan.

Sementara pada bagian atas, atau ruangan rumah difungsikan sebagai tempat untuk menerima
tamu, bermusyawarah, dan digunakan untuk beristirahat dengan pembagian-pembagian
ruangan tertentu:

2. Pakaian Adat

Aceh juga memiliki jenis pakaian adat yang dikenakan pada acara-acara tertentu. Pakaian
adat aceh dibedakan menjadi 2 jenis, yakni pakaian adat laki-laki dan pakaian adat
perempuan. Masing-masing pakaian adat tersebut memiliki nama dan ciri khas yang berbeda.
Pakaian-pakaian adat ini dipakai pada acara-acara tertentu saja, seperti acara pernikahan,
upacara adat, dll.

Untuk pakaian laki-laki, mereka mengenakan perpaduan pakaian antara baju Meukasah
dengan celana Cekak Musang. Baju Meukasah merupakan pakaian berwarna hitam lengkap
dengan pernik-pernik berwarna kuning keemasan. Sementara Cekak Musang merupakan jenis
celana yang longgar dan panjang yang erat sekali dengan nilai-nilai melayu dan Islam.

Sementara untuk pakaian perempuan, mereka juga mengenakan perpaduan pakaian, yakni
baju Kurung Lengan Panjang dengan celana Cekak Musang. Baju Kurung Lengan Panjang
berciri khas longgar dan tertutup. Sama seperti celana Cekak Musang, baju Kurung Lengan
Panjang juga sangat erat dengan nilai-nilai melayu dan Islam. Baju ini biasa dikombinasikan
dengan jilbab atau kerudung.

Makanan Adat

Makanan adat khas Aceh memiliki ciri khas yang mirip dengan makanan khas India, salah
satunya gulai atau kerambi kering. Ada juga makanan khas Aceh yang menggunakan bahan
dasar ikan, yang dinamakan eungkot paya.

Selain makanan adat tersebut, terdapat makanan-makanan adat lainnya seperti manisan pala,
sanger, pisang sale, kembang loyang, keumamah, dan lain-lain. Anda dapat mencobanya
suatu saat ketika berkunjung ke wilayah Nangroe Aceh Darussalam.

agama

Masyarakat Kota Banda Aceh mayoritas pemeluk agama Islam, namun di kota ini juga berkembang
agama lainnya, seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya yang hidup berdampingan dengan Muslim.

Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Aceh yang terdapat di wilayah
pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun
bahasa Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa
Austronesia.
Suku Dayak

Batemuritour.com- Hai Sobat Batemuri!! Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
berbagai suku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu suku di Indonesia yaitu
Suku Dayak dari Kalimantan.

Dikutip dari regional.kompas.com, Suku Dayak merupakan penduduk asli yang menghuni
Pulau Kalimantan sejak zaman dulu. Suku Dayak memiliki 268 sub-suku yang terbagi
kedalam 6 rumpun yaitu Rumpun Punan, Rumpun Klemantan, Rumpun Apokayan, Rumpun
Iban, Rumpun Murut, dan Rumpun Ot Danum. Sub-suku dan rumpun-rumpun Suku Dayak
ini memiliki adat, budaya, dan tradisi yang hampir serupa.

Ada sebuah teori dari Coomans (1987) yang mengungkap bahwa Suku Dayak merupakan
keturunan imigran dari Provinsi Yunnan di China Selatan, tepatnya di Sungai Yangtse Kiang,
Sungai Mekong, dan Sungai Menan. Sebagian dari kelompok imigran ini menyebrang ke
semenanjung Malaysia dan melanjutkan perjalanan dengan menyebrang ke bagian utara
Pulau Kalimantan. Maka dari itu, persebaran Suku Dayak tidak hanya ditemukan di wilayah
Indonesia namun juga sampai ke negara tetangga yaitu Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Rumah Adat Betang Khas Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah memiliki ibu kota yang bernama Kota Palangkaraya dan didominasi oleh tiga
etnis dominan yang tinggal di daerah tersebut. Tiga etnis dominan yang berada di Kalimantan adalah
etnis Dayak, Jawa dan Banjar.

Salah satu rumah adat yang berada di Kalimantan Tengah adalah rumah adat Betang. Rumah adat
tersebut dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang menjadi pemukiman
utama bagi masyarakat suku Dayak.
Rumah adat Betang memiliki bentuk seperti rumah panggung dan dibuat secara memanjang. Ada
beberapa rumah Betang yang dibuat memiliki panjang hingga 150 meter dan dengan lebar hingga 30
meter. Rumah yang berukuran besar ini biasanya akan dihuni oleh banyak penduduk, setidaknya
minimal 100 orang.

Simak selengkapnya di sini!

Rumah adat Batang juga bisa dikatakan sebagai salah satu rumah suku terbesar karena didalamnya
terdapat satu keluarga besar sebagai penghuni utamanya dan dipimpin juga oleh seorang kepala
yang bernama Pambakas Lewu.

Rumah adat Betang juga memiliki makna tersendiri yaitu menjadi sebuah pernyataan secara konkret
atau sepenuhnya tentang tata pamong desa, sistem kependudukan dan bisa menjadi sebuah titik
pusat bagi seluruh kehidupan masyarakat yang tinggal dan berada di dalamnya.

Rumah adat ini juga bukanlah sebuah rumah tinggal yang mewah, melainkan sebuah hunian
sederhana agar masyarakat bisa tinggal dengan damai di dalamnya dan bisa hidup secara normal.

Di dalam rumah Betang juga terdapat beberapa aspek penting, seperti yang ada di bawah ini:

 Aspek penghunian yang merupakan sebuah struktur multi-keluarga permanen yang tinggal
bersama di dalamnya.
 Aspek hukum karena di dalamnya mempunyai sebuah aspek kepemilikan yang sangat jelas.
Rumah tersebut dimiliki oleh semua keluarga secara bersama untuk menguasai semua tanah
di wilayah rumah Betang.
 Aspek ekonomi karena rumah Betang memiliki peran yang sangat penting dalam distribusi
arus tenaga dan pembagian hasil antar keluarga yang ada di dalamnya.

Rumah Adat Betang yang merupakan Rumah Adat Khas Kalimantan Tengah menggunakan kayu ulin
sebagai material utama bangunannya karena dikenal kokoh dan kuat. Mau punya rumah dengan
konstruksi bangunan yang kokoh? Cek aneka pilihan rumahnya di Tangerang dengan harga di bawah
Rp700 jutaan di sini!
2. Rumah Betang Muara Mea

Salah satu rumah adat Betang yang berada di Kalimantan Tengah adalah rumah adat Betang Muara
Mea. Rumah Muara Mea memiliki tampilan yang lebih modern karena pada dinding dari rumah
Muara Mea sudah diberikan cat serta dilukis yang membuatnya menjadi lebih menarik dan indah
untuk dipandang.
Lukisan dan gambar yang berada pada dinding rumah adat ini juga dibuat sebagai salah satu
identitas yang sangat khas dari masyarakat Suku Dayak.

Rumah adat Muara Mea juga masih terbilang cukup modern karena rumah adat ini dibangun sebagai
salah satu cara pemerintah untuk melestarikan rumah adat dan budaya yang ada di Desa Muara
Mea.

Bahasa Dayak Ngaju merupakan bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar penduduk Kalimantan
Tengah. Penutur bahasa tersebut dapat dijumpai hampir di sepanjang daerah aliran sungai di
Kalimantan Tengah, kecuali Kabupaten Kotawaringin Barat.

Kuliner Khas Dayak

1. Juhu Singkah

Juhu Singkah | Sumber gambar: Borneo News

Juhu singkah adalah makanan khas Kalimantan yang memiliki bahan rotan muda
yang dibuang kulitnya, lalu dipotong ukuran kecil. Rotan ini kemudian dimasak
dengan terong asam, ikan baung, serta rempah-rempah lainnya agar lezat. Rasanya
sedikit pahit dengan sentuhan gurih dan asam. Makanan khas Dayak yang banyak
ditemukan di Kalimantan Tengah ini biasanya tidak dinikmati terpisah, namun
menjadi lauk dengan pasangan nasi hangat.

2. Kue Dange

Kue Dange | Sumber gambar: Republika


Salah satu camilan favorit khas Dayak adalah kue dange. Kue ini terbuat dari parutan
kelapa, tepung, serta gula. Campuran ketiganya kemudian dipanggang dengan
pemanggang berbentuk khusus, mirip dengan kue pukis. Rasanya gurih, cukup
renyah, dan manis. Biasanya, kue khas Kalimantan ini dinikmati dengan kopi hitam.

3. Kue Lepet

Kue Lepet

Nama kuliner khas Dayak selanjutnya ini berasal dari ‘lepet’ yang berarti ‘lipat’ dalam
bahasa Dayak. Sesuai dengan namanya, kue tradisional ini berada di dalam lipatan
daun pisang yang sudah dikukus dan dilumuri minyak.

Kue lepet terdiri dari tepung beras, kelapa parut, serta gula merah yang kemudian
dikukus hingga matang. Kue yang memiliki rasa gurih ini bisa kamu temukan pada
acara perayaan, misal pesta pernikahan atau acara adat Dayak lainnya.

Macam Macam Pakaian Adat Dayak:

Ternyata suku dayak yang terbesar berada di Kalimantan Barat. Di tempat tersebut ternyata
80% penduduknya adalah suku Dayak. Berikut ini jenis Pakian Adat Dayak Kalimantan
Barat yang perlu anda ketahui.

King Bibinge
Pakaian suku dayak khusus wanita disebut King Bibinge. Pakain tersebut terbuat dari bahan
kulit tanaman kapuo atau ampuro. Tanamna tersebut di pilih sebagai pakaian karena memiliki
serat yang tinggi. Tanaman tersebut di ambil kulitnya kemudian diolah menjadi baju yang
bagus dan menawan. Adapun seperangkat pakaian wanita terdapat kain bawahan, stagen,
penutup dada. Pada penutup dada sudah dilengkapi dengan pernak pernih dan juga perhiasan.
Seperti halya manik-manik, kalung, bulu buurng enggang dan gelang.

King Baba

@syrfxvii

Pakain yang bernama King Baba ini sebutan untuk Pakaian Dayak Laki-Laki. Selain king
Baba ada banyak sebutan lain di pulai Kalimantan yang lain juga. Untuk penyebutan King
Baba ini dikhususkan untuk suku dayak pria di Kalimantan Barat. Pakaian ini terbuat dari
tanaman yang diolah kemudian di beri lukisan khas etnik Dayak. Lukisannya menggunakan
pewarna alami, dan terlihat cerah.

agama

Orang Dayak di Lamandau menganut agama Kaharingan. Kaharingan adalah kepercayaan/agama asli
suku Dayak di Kalimantan, ketika agama-agama besar belum memasuki Kalimantan. Kaharingan
artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan.’
Suku Karo
Sejarah dan etimologi

Seorang wanita Karo mengenakan kain (Gatip Ampar) di


atas bahunya dan anting-anting (Padung Perak), dan seorang pria Karo kemungkinan mengenakan
Julu Berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di
Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914—1919.

Karo adalah salah satu etnis Batak yang menyebar dan menetap di Tanah Karo. Etnis ini
memiliki bahasa yang disebut cakap Karo dan memiliki salam khas yaitu mejuah-juah.
Adapun rumah tradisional masyarakat Batak Karo yang disebut dengan nama Siwaluh Jabu
yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan kamar yang
masing-masing kamar dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-
masing.

Wilayah

Taneh Karo (1930—1940).

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah masyarakat Batak
Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas
daripada Kabupaten Karo, yakni:
Kabupaten Karo

Siwaluh Jabu di Desa Dokan.

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Wilayah yang terkenal di kabupaten ini
adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara
yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah
jeruk dan produk minuman yang terkenal, jus markisa. Mayoritas masyarakat Batak Karo
bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung
Sibayak yang sering disebut sebagai Taneh Karo Simalem. Banyak keunikan-keunikan
terdapat pada masyarakat Batak Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan.
Masakan Batak Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta
budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang
dinamakan kerja tahun. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi atau kerbau, yang
belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur
dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat
dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang
dihormati.

Bahasa dan aksara


Artikel utama: Bahasa Karo dan Surat Batak

Ukiran dari sebuah tulisan ratapan Karo (Bilang-bilang) menggunakan


Surat Batak pada media bambu.

Bahasa Karo adalah salah satu bahasa Austronesia yang digolongkan ke dalam bahasa Batak
Utara[6]; yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Batak Karo di wilayah Kabupaten Karo,
Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan.

Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah Tulisen Karo yang merupakan varian dari
Surat Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Batak Karo,
akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah
digunakan lagi.
Kuliner khas

Makanan

Rumah makan babi panggang karo di Tigapanah.

Kuliner Karo banyak ragamnya, salah satu yang terkenal adalah babi panggang karo, sering
disingkat sebagai BPK. Babi panggang karo dibuat dengan cara memanggang babi yang
sebelumnya telah diberi bumbu khas, yang di dalamnya terdapat tuba atau andaliman.
Umumnya orang Karo yang menjual babi panggang karo di warung makan ataupun restoran,
namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut
seperti orang Batak Toba, Nias, dan lain-lain.

Kuliner Karo lainnya meliputi: kidu-kidu, manuk getah, arsik nurung mas, cimpa, unung-
unung, cincang bohan, pagit-pagit, trites, gule kuta-kuta (gulai ayam kampung), tasak telu,
mi keling, bihun bebek, bika ambon, lemang Karo, cipera, anyang pakis, gule bulung
gadung, dan lain-lain.

Minuman

Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal
adalah susu kitik, yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung
kopi di daerah Karo.

Agama

Gereja GBKP dan masjid yang berhadapan di Perteguhen.

Mayoritas masyarakat Karo memeluk agama Kristen Protestan (57.5%), Kristen Katolik
(18.7%), Islam (21.3%), dan Pemena (1.1%). Lalu ada sebagian kecil yang beragama Hindu
dan Buddha yaitu sekitar 1.4%.

Sebagian kecil orang Karo di Dusun Pintu Besi menganut agama Hindu yang dimana
memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga
upacara keagamaan.[7]

Umumnya pemeluk agama Pemena (agama awal dan agama asli Karo) berada di desa yang
berada di dekat atau di kaki Gunung Sinabung.
Pemeluk agama tradisional/kepercayaan lama lainnya dapat ditemui di pedalaman dan
mereka nyaris punah. Agama lainnya pun terutama agama Buddha dapat ditemui di perkotaan
namun jumlahnya sangat sedikit.

Gereja yang didominasi masyarakat Karo

Gereja GBKP Kabanjahe.

 Gereja Batak dan Karo Protestan (GBKP) (paling dominan)


 Gereja Injili Karo Indonesia (GIKI)

Papua
Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New
Guinea. Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena Papua bisa merujuk kepada seluruh
pulau Nugini termasuk belahan timur negara tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Papua
Barat adalah sebutan yang lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia
dan membentuk negara sendiri. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun
1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat
meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga
tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua.
Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).

Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari
bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik
suku-suku asli.

Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya
Barat yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat .

Suku Asmat
Suku Asmat merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Papua. Suku ini sangat terkenal
dengan hasil ukiran kayunya yang dianggap sangat unik. Suku Asmat juga terkenal dengan
tarian Tobe yang khas.
Suku Asmat sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat yang tinggal di daerah
pesisir dan masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman hutan. Meskipun berasal dari suku
yang sama, tapi suku Asmat yang tinggal di pesisir dan tinggal di pedalaman hutan berbeda.
Perbedaanya terlihat pada cara hidup sehari-hari, dialek bahasa, ritual adat, dan struktur
sosialnya.

Orang-orang Asmat mempunyai ciri fisik meliputi tubuh yang tergolong tinggi, bahkan untuk
ukuran tubuh orang Indonesia pada umumnya. Para perempuan disana rata-rata mempunyai
tinggi badan 162 cm, sedangkan untuk laki-laki tingginya sekitar 172 cm. Mereka biasanya
tinggal di sebuah perkampungan yang umumnya terdiri dari satu Rumah Bujang yang
digunakan sebagai tempat untuk upacara keagamaan dan juga upacara adat. Sedangkan
rumah lainnya berupa rumah tinggal yang umumnya dihuni oleh tiga kepala keluarga.

Nama Makanan Khas Papua

Berikut merupakan beberapa nama makanan khas daerah Papua:

1. Udang Selingkuh

Udang selingkuh merupakan makanan khas Papua, yang berbahan utama udang air tawar.
Menariknya, dinamakan udang selingkuh karena udang yang dipakai punya bentuk tubuh
udang tapi bentuk capit seperti kepiting.

Udang tersebut punya tekstur daging yang berserat dengan rasa yang manis mirip seperti
daging lobster. Udang ini biasanya ditemukan di Sungai Baliem, Kabupaten Jayawijaya.

Hidangan udang selingkuh bisa dimasak atau digoreng, dan terkadang disajikan bersama
dengan bunga pepaya atau tumis kangkung.

2. Papeda

Papeda merupakan salah satu makanan khas Papua terkenal yang terbuat dari sagu. Papeda
termasuk makanan pokok masyarakat asli Papua dan masyarakat di wilayah timur Indonesia
lainnya.

Umumnya, papeda disantap dengan tambahan ikan kuah kuning. Dengan cita rasa kuah
kuning yang asam segar.

3. Ikan Bakar Manokwari

Dikutip dari e-book Kuliner Bergizi berbasis Budaya oleh Sunarto Kadir dan M. Kes, Ikan
Bakar Manokwari merupakan makanan khas Papua Barat. Ikannya menggunakan ikan
tongkol berukuran besar.

Ikannya dilumuri dengan jeruk lemon, dan garam, sehingga memiliki bumbu khusus karena
rasanya berbeda dengan ikan bakar lainnya. Biasanya ketika disajikan akan diberi sambal
tumbuk.
Papua agama apa?
Kristen merupakan agama terbesar di Papua. Lebih dari separuh penduduk di provinsi paling
timur Indonesia tersebut memeluk agama Kristen. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, terdapat 2,99
juta jiwa penduduk Papua beragama Kristen pada akhir 2021

rumah adat papua

Rumah Honai merupakan salah satu rumah khas Papua, namun tidak dapat ditemukan di seluruh
Papua, hanya dapat temui pada suku Dani tepatnya di lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Honai merupakan sebutan untuk rumah adat yang ditempati oleh laki-laki.

Bahasa apa yang digunakan orang Papua?


Bahasa Usku -Papua. Bahasa Maklew/ Makleu- Papua. Bahasa Bku -Papua. Bahasa Mansim
Borai -Papua.

Di bawah ini merupakan jenis-jenis pakaian adat Papua.

1. Koteka

Koteka merupakan bagian dari pakaian adat Papua yang berfungsi untuk menutupi kemaluan
penduduk pria asli Papua, sementara bagian tubuh lainnya dibiarkan terbuka sehingga nyaris
telanjang. Koteka, secara harfiah memiliki makna sebagai pakaian. Koteka juga disebut
dengan horim atau bobbe.

aju Kurung

Baju kurung merupakan pakaian adat Papua yang digunakan oleh para wanita sebagai atasan.
Bahan dari baju kurung adalah kain beludru. Baju kurung mendapatkan pengaruh dari budaya
luar Papua dan banyak dipakai oleh perempuan di Manokwari. Anda akan menemukan
wanita Papua di Papua bagian Barat juga banyak yang mengenakan baju ini untuk acara adat.

Anda mungkin juga menyukai