Anda di halaman 1dari 9

A.

Bentuk dan Kerakter Dasar Sulawesi Selatan

Beberapa yang menjadi bentuk-bentuk karakter dasar yang ada di Sulawesi Selatan
diantaranya sebagai berikut:

1. Aksara Lontara

Gambar 22. Tulisan Bahasa bugis Aksara Lontara

Sumber : http://www.naraaksara.com/2020/09/daftar-penyimpanan-daring-naskah-
bugis.html

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di SulawesiSelatan,


yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten
Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang,sebahagian kabupaten
Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, KabupatenLuwu, Kabupaten
Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo,Kabupaten Bone,
Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan KabupatenBantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksaraLontara.

Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek
budaya.Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis
(Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagaiLontara
yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah
memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar.
Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari
Sanskerta. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya.
Penciptaantulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk
mengabdikanhasil-hasil pemikiran mereka.

Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkanfirman-


firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namundalam
perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapioleh
manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikianpula
dengan tulisan yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem
manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a kin gof social
problem solving, and any writing system as the comman solution of a number of
related problem” (1989:15)

1. Alat Untuk Pengingat

2. Memperluas jarak komunikasi

3. Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan dating

4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol

5. Sebagai Media Interaksi

6. Sebagai Fungsi estetik Lontara Bugis-Makassar

Merupakan sebuah huruf yang sakral bagimasyarakat bugis klasik. Itu


dikarenakan epos la galigo di tulis menggunakanhuruf lontara. Huruf lontara tidak
hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapihuruf lontara juga digunakan oleh
masyarakat makassar dan masyarakat luwu.Kala para penyair-penyair bugis
menuangkan fikiran dan hatinya di atas daunlontara dan dihiasi dengan huruf-huruf
yang begitu cantik sehingga tersusun katayang apik diatas daun lontara dan karya-
karya itu bernama I La Galigo.

Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapasuku


bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda,Budaya Bali,
Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis DanBudaya
Makassar.Disulawesi selatan ada 3 betuk macam huruf yang pernah dipakai
secarabersamaan.1. Huruf Lontara2. Huruf Jangang-Jangang3. Huruf Seran
Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraqmempunyai dua
pngertian yang terkandung didalamnyaa. Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu
pengetahuanb. Lontaraq sebagai tulisanKata lontaraq berasal dari Bahasa
Bugis/Makassar yang berarti daunlontar.

Kenapa disebuat sebagai lontaran ?, karena pada awalnya tulisan tersebutdi


tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cmsedangkan
panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daunlontar disambungkan
dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu,yang bentuknya mirip
gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan.Aksara lontara biasa juga
disebut dengan aksara sulapaq eppaqKarakter huruf bugis ini diambil dari Aksara
Pallawa (Rekonstruksi aksaradunia yang dibuat oleh Kridalaksana).

2. Pinisi

Gambar 22 kapal pinisi ketika berlayar

Sumber : worldofghibli.id

Kapal Pinisi merupakan bukti sejarah sekaligus saksi bisu kehebatan pelaut
Nusantara. Tak hanya sebagai armada laut tangguh, kapal ini pun memiliki filosofi
mendalam. Seperti pada ungkapan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, menurut
peneliti dan ahli sejarah Von Heine Geldern dahulu kala nenek moyang Indonesia
datang ke Nusantara hanya dengan bermodalkan perahu bercadik.
Ungkapan tersebut memanglah benar, pasalnya hingga sekarang kapal
legendaris tradisional milik bangsa kita masih bertahan di tengah peradaban zaman
modern. Saat ini, kapal legendaris tersebut bernama Pinisi.

Menurut tradisi setempat, pinisi berasal dari nama sebuah kapal milik Raja
Tallo, I Manyingrang Dg Makkilo. Penamaannya diambil dari dua kata, yaitu
“Picuru” yang berarti contoh baik dan “Binisi” merupakan sejenis ikan kecil yang
dikenal lincah dan tangguh.

Ditelusuri lebih dalam, terdapat mitos masyarakat setempat mengenai sejarah


keberadaan kapal pinisi. Berdasarkan naskah sastra Sera Babad La Lagaligo yang
dibuat oleh putra mahkota kerajaan Luwu, Sawerigading. Dalam naskah tersebut,
terdapat sepenggal kisah yang menjelaskan bahwa sosok Sawerigading berlayar
menuju negeri Tiongkok. Tak lain tujuannya untuk merantau dan meminang putri
Tiongkong bernama We Cudai.

Awalnya, perjalanan cinta Swerigading berjalan lancar sampai negeri tujuan.


Namun ketika hendak pulang untuk kembali ke Luwu, dalam perjalanan
rombongannya diterjang kerasnya badai besar yang membuat kapalnya pecah menjadi
tiga bagian dan membuat para penumpangnya terdampar di tiga wilayah berbeda
(Ara, Tanah Lemo, dan Bira).

Di tiga wilayah tersebut pecahan kapal Sawerigading dirakit kembali menjadi


sebuah kapal baru yang menjadi cikal bakal Kapal Pinisi. Oleh sebab itu, tiga wilayah
ini kemudian dikenal sebagai tempat kelahiran kapal pinisi. Dalam mitologi lain,
masyarakat Tanah Beru meyakini, hikayat Kapal Pinisi dimulai ketika leluhur mereka
membuat kapal besar yang difungsikan untuk membawa barang dagangan dan
menangkap ikan.

Namun ombak dan badai menghancurkan kapal tersebut. Seperti yang ada
pada Sera Babad La Lagaligo, bagian-bagian kapalnya terdampar di tiga daerah
berbeda. Bagian badan perahu terdampar di Dusun Ara, bagian layarnya di Tanjung
Bira, dan isinya terburai di Tanah Lemo.Insiden ini dipercaya oleh masyarakat sekitar
sebagai pesan, bahwa masyarakat ketiga wilayah itu harus bergotong royong untuk
menaklukkan lautan.
Masing-masing penduduk di setiap daerah tersebut memiliki keahlian yang
unik dan saling menguntungkan satu sama lain. Seperti orang Ara sebagai pembuat
kapal, orang Bira menguasai ilmu alam perbintangan, dan orang Lemo sebagai
pengusaha yang menyediakan modal. Makanya, hingga saat ini masyarakat ketiga
daerah tersebut memiliki rasa persaudaraan yang erat.

3. Badik

Gambar 3. Badik suku bugis

Sumber : indobadik.blogspot.com

Nama Sulawesi juga telah menjadi misteri tentang siapa yang pada awalnya
memberikan nama pulau ini menjadi pulau Sulawesi. Akan tetapi besar dugaan bahwa
orang yang bersejarah memberikan nama pulau ini sebagai Sulawesi yaitu
Prof.Moh.Yamin sebagai ganti dari nama yang sebelumnya yaitu Celebes yang
dikenal pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya nama Celebes pada
awalnya dikenalkan oleh seorang yang berkebangsaan Portugal yang bernama
Antonio Calvao pada tahun 1563 .Celebes oleh Antonio Calvao dimaksudkan sebagai
” ternama” atau tanah yang makmur yang terletak digaris Khatulistiwa. Celebes bagi
orang Belanda menyebutnya dari kata Cele Besi yaitu Cele ( Keris,badik atau
kawali)`yang dibuat dari Bessi`( Bugis).

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi.


Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga
melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa
Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan
pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini terutama di tanah Bone. Kebiasaan
tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku
bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari
keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada
Badik/kawali tersebut.

Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan


makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa
baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya
dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
Badik sendiri memiliki beragam bentuk begitu pun dengan badik Makassar yang
memiliki ciri tersendiri, terlepas dari bentuk secara fisik, badik bagi masyarakat
setempat juga memiliki masing masing kekuatan tersendiri berdasarkan guratan pada
besi yang di sebut pamoro yang terdapat pada senjata khas tersebut, badik Makassar
sendiri terdiri dua jenis yakni Taeng dan Panjarungang, hal ini berdasarkan tempat
dimana badik ini ditempa, secara fisik antara Taeng dan Panjarungang tampak sama
kecuali bagian bawah atau perut, Taeng memiliki ciri khas memiliki perut yang lebar
atau mirip dengan perut buncit, sementara Panjarungang memiliki perut yang tidak
terlalu buncit (badik Bugis).

Sementara bahan pembuatan Badik ini sendiri beragam tergantung dari usia
senjata tersebut. Menurut penuturan beberapa warga awal mula pembuatan badik
beragam ada yang berasal dari busa air da nada pula yang terbuat dari batu, dari kedua
bahan ini dibuat badik oleh Pade’de atau empu yang memiliki kekuatan magis,
sehingga hasilnya badik tersebut memiliki keunggulan tersendiri.

4. Sula Eppa Wala suji


Gambar 33 Ilustrasi hubungan sulapa appa dengan manusia
Sumber : amscentre.wordpress.com
Dalam Falsapah hidup orang Bugis/Makassar yang telah diwariskan turun
temurun dikenal dengan nama ‘SULAPA’ APPA’. Cara pandang suatu masyarakat
selalu dihubungkan langsung dengan basis materi kebudayaan, yakni alam beserta
isinya. Pertalian kedua hal itu digambarkan sebagai hubungan yang saling
mengkonstruksi dan karenanya saling menentukan. Jikalau manusia gagal
menatakelola sumber daya alam, maka kerusakan yang diakibatkannya akan
membawa malapetaka bagi manusia.

Pada setiap kebudayaan mengenal kosmologi ruang yang mencerminkan suatu


pandangan dunia. Misalnya, orang Aceh mengekspresikan pandagan dunianya dalam
konsep “Aceh Lhee Sago” (Aceh Tiiga Segi). Sedangkan kosmologi orang Bugis–
Makassar dapat ditelusuri pada konsep Sulapa Appa’. Simbol “Sulapa Appa” dalam
tulisan Lontara Makassa dibaca sebagai huruf “SA”, bermakna seua, yang berarti
“tunggal” atau “esa”.

Aksara lontara ini berpangkal pada pandangan mitologis orang Bugis-


Makassar, yang mengandaikan alam semesta ini adalah Sulapa Appa’ Walasuji (“segi
empat belah ketupat”). Huruf “SA” juga melambangkan “empat unsur alam” yang
menjadi sifat manusia, yakni angin, air, api, dan tanah. Ke empat unsur alam ini
bertalian dengan warna, yaitu kuning, putih, merah dan hitam. Lebih jauh, simbol
“sa” di atas melambangkan “empat sisi tubuh manusia”. Paling atas adalah kepala, sisi
kiri dan kanan adalah kedua tangan, dan paling bawah adalah kaki. Orang bugis-
makassar juga melihat appaka sulapa dalam segi Pengetahuan Agama Islam yaitu
Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma’rifat. mengidealisasikan manusia sulapa appa’, manusia
yang menjaga prinisp kesetimbangan atas-bawah (keadilan), kiri-kanan (kesetaraan).
Dengan alam, manusia sulapa appa’ mengemban tanggung jawab untuk merawat
kearifan lokal, keselarasan dalam tata kelolanya serta hubungan manusia dan sang
pencipta Allah SWT.

Jika orang yang memahami adat maka dia akan mengerti akan makna di balik
kalimat ini ” Punna ero’ko ampabajiki tallasa’nu ri lino, isseng baji’ laloi nikanaya
appaka sulapa” (jika engkau ingin kebaikan di hidupmu kenalilah dengan baik appaka
sulapa’),
Beberapa versi yang membahas mengenai appaka sulapa’ (empat persegi),
Ada yang beranggapan falsafah ini membawa empat unsur kehidupan yaitu Api,
Angin, Air, dan udara dalam kajian lebih lanjut kita akan mendapati Bahwa keempat
unsur tadi kemudian akan membawa sifat-sifat serta kebutuhan dalam diri manusia.

1. Menjaga tanahnya (sifat tanah mengatakan), bagaimana menjaga mulut.


2. Menjaga angin (sifat anginnya mencium), bagaimana menjaga pergaulannya.
3. Menjaga apinya (sifat api melihat), membuat diri terjaga dan saksama.
4. Menjaga airnya (sifat air mendengar), bagaimana memilih dan menentukan
perbuatannya.

Dalam Versi ini Appaka Sulapa juga Mengaitkan dengan Tubuh, Hati, Nyawa,
Rahasia dimana dalam empat usur ini juga dihubungkan dengan pembuatan senjata
tradisional (Badik/pisau) bagi orang Bugis/Makassar Badik dianggap sebagai saudara
yang selalu menjaganya.

Pembuatan badik kemudian di sesuaikan ukurannya dengan orang yang akan


memakainya dengan mengambil dasar hitungan dari sulapa appa. kemudian versi lain
mengaitkan appaka sulapa’ adalah tingkatan dari Ilmu agama Islam yaitu Syariat,
Tarekat, Hakikat, Ma’rifat. dalam dua versi ini kita bisa membandingkan seperti apa
kaitan atau peran Adat kepada Ilmu agama, maka tak heran jika dalam tradisi-tradisi
orang terdahulu akan di temukan hal-hal yang terkesan dan berbau Spiritual, atau
seringkali dikaitkan dengan entitas Metafisika.

Falsapah inilah yang kemudian dijadikan bekal bagi orang Bugis/Makasar


dalam menata kehidupan dimanapun berada, hal Itulah yg menyebabkan mengapa
orang Bugis/Makassar’ mudah berassimilasi dan berintegrasi dengan kehidupan
masyarakat sekitarnya yang juga memengang teguh yang namanya Sipaka’labiri,
Sipaka’tau, sipaka’inga.

Adapun juga beranggapan falsapah SULAPA’ APPA’ itu :

1. peneguhan seteguhnya hubungan kita dengan Sang Pencipta (Allah SWT),


2. perkuat sekuat-kuatnya hubungan kita dengan sesama ummat manusia tanpa
membeda-bedakan asal usul dan latar belakang mereka,
3. keramahan seramah-ramahnya kepada alam semesta dan lingkungan sekitar dan
4. bersenyawa seutuhnya dengan diri/jiwa kita sendiri.
falsapah hidup ini sekaligus mencerminkan Adat, Agama, Alam dan Manusia itu
berkaitan yang perlukita jaga bersama.

Anda mungkin juga menyukai