Anda di halaman 1dari 27

Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di

Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak
ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr.
Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang
dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-
jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering
aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.

Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih
turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan
di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara
Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar
menggunakan aksara Arab)
Berbagai macam topik naskah lontara Bugis dan Makassar diantaranya lontara Kutika yaitu semacam
astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari
baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar
zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya.
Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis
tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan
lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan
senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’
Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara
akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang
merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’
pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna
Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).
Lontaraq sendiri adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari lontar
atau palem tal (Borassus flabellifer). Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun
tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal
mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua
kata: raung(daun) dan talak (lontar). Kata raung talakmengalami proses evolusi menjadi lontarak.
Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala
suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis
pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”,
merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan
semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka dari itu, aksara Lontara berbentuk segi empat (belah
ketupat). Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian
manusia berasal dari empat unsur, yaitu; butta (tanah), pepek (api), jeknek(air), dan (anging) angin.
Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa
yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng
Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte
menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarakmerangkap Tumailalang(Menteri Urusan Istana
dan Dalam Negeri). Pada waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada
Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538,
Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf
Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan
sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab.

Suara hembusan nafas secara perlahan-lahan terdengar. Ia menghirup lalu


melepaskannya dan terulang beberapa kali. Kemudian ia melanjutkan
tulisannya. Pada paragraf terakhir ia meluangkan beberapa kalimat untuk
sekedar menyampaiakan kata rindu, dengan sederhananya ia menuliskan.
“Masih ingat kah engkau ketika kita duduk dibangku sekolah melafalkan huruh
demi huruf KA GA NGA KA, belomba-lomba meraut pensil dengan sisi tipis
bagaikan kuas. Aku tahu meski kita berdua tak satu sekolah namun kisah kita
tidak jauh beda dengan sama-sama berucap syair bulu alauna tempe ketika
sang guru mulai mendendangkan bersama murid-muridnya. Aku mulai
mengerti bahwa sungguh hebatlah pendahulu kita. Namun aku juga khawatir
jikalau kita terlalu terjebak pada masa lalu. Aku khawatir dengan perkataan
ahmad syafii maarif bahwa bukan generasi muda kalau hanya mengekor dan
berlindung di bawah payung kebesaraan pendahulunya. Semoga perasaan
khawatirku ini juga ada pada dirimu beserta juga rasa rinduku ini dalam
kecamuk sajak-sajak yang sengaja ku tempatkan di semua mading kampus
karena waktu belum mengizinkanku mengenalmu dalam empat mata insan
yang di cipta.”

https://syamsulm52.wordpress.com/2016/08/15/lontaraq-dan-aksara-lontara-aksara-bugis/

Oleh S.P. Tumanggor

Urupu sulapa eppa atau hurupu sulapak appak—“huruf segi empat”—


demikianlah orang Bugis dan orang Makassar menjuluki aksara yang biasa
mereka gunakan di masa silam.1Lazim dipandang sebagai turunan aksara
Pallawa dari keluarga aksara Brahmik (asal India), aksara Bugis-Makassar
dulu sering dituliskan pada daun lontar hingga dinamai pula “aksara lontara.”
Walau masih berkerabat dengan kebanyakan aksara Nusantara (misalnya
aksara Batak, Rejang, dan Jawa), aksara Bugis-Makassar punya bentuk yang
unik hasil modifikasi jenius.2

Bentuk uniknya adalah bentuk berbasis segi empat itu. Ini disebut hasil
modifikasi jenius karena sangat membedakan tampilan aksara Bugis-
Makassar dari aksara Pallawa—meski kesamaan urutan dan lafal di antara
keduanya masih nyata. Ada silang pendapat tentang sejarah dan asal-usul
aksara Bugis-Makassar, tapi rasanya aman untuk kita katakan bahwa
kalaupun berpangkal pada aksara India, aksara ini sudah sangat didaratkan
pada kebugisan dan kemakassaran.

Segi empat, dalam konsep Bugis-Makassar kuna, menggambarkan


makrokosmos alam semesta dan mikrokosmos manusia. Leluhur orang
Bugis-Makassar memandang alam semesta tersusun oleh empat
unsur: butta (tanah), pepek (api), jeknek (air), dan anging(angin). Dan
manusia, lakon utama di alam semesta, mewujudkan segi empat pula,
dengan kepala, ujung tangan kanan, ujung tangan kiri, dan ujung kaki sebagai
sudut-sudutnya.3 (Kita perlu membayangkan manusia yang berdiri sambil
merentangkan tangan dan merapatkan kaki.)
Dengan dijiwai konsep macam itu, tak heran aksara Bugis-Makassar dipakai
untuk menuliskan segala macam hal yang berkaitan dengan alam semesta
dan/atau hidup manusia. Sebutlah La Galigo, epos penciptaan asal Bugis
yang ditabalkan sebagai puisi epik terpanjang di dunia. Begitu panjangnya,
sampai-sampai seorang praktisi literatur asal Sulawesi Selatan pernah
berkomentar, “Jika kelak dunia, bahkan alam semesta seisinya, tiba-tiba
melenyap dalam ketiadaan, ia mungkin diciptakan lagi dari puisi akbar itu.”4
Selain untuk menulis puisi epik, aksara Bugis-Makassar digunakan pula untuk
mencatat berbagai kronik sejarah, jurnal, silsilah, pepatah, hukum. Contoh
beken untuk yang belakangan ini adalah Ade Allopiloping Bicaranna
Pabbalu’e, kitab hukum pelayaran dan perdagangan laut yang disusun pada
tahun 1676 di bawah pimpinan La Patello Amanna Gappa, pemimpin asal
Wajo yang menjadi kepala perniagaan di Makassar.5
Dan makin seru lagi, di abad ke-17 aksara Bugis-Makassar juga dipakai untuk
menuliskan terjemahan risalah-risalah teknik Eropa, misalnya risalah tentang
bubuk mesiu dan pembuatan bedil. Lantaran kinerja ilmiah yang menakjubkan
ini orang Makassar menjadi satu-satunya bangsa Nusantara yang di masa
lampau pernah menerjemahkan risalah-risalah teknik Eropa ke dalam
bahasanya sendiri.6 Konsep segi empat, yang mencakup segala-galanya,
meresapi aksara mereka dan menyemangati kinerja mereka!

Bagi kita, bangsa Indonesia masa kini, aksara Bugis-Makassar memberi


pelajaran penting tentang sikap terbuka dan kreatif-inovatif dalam menyambut
sesuatu yang berfaedah dari luar negeri lalu mendaratkannya pada konteks
hidup kita—sehingga faedahnya benar-benar nyata bagi kita. Ini menggesek
keras sikap kita di masa kini yang cenderung menelan mentah-mentah produk
budaya luar negeri tanpa memodifikasinya dengan sentuhan khas kita.

Selain itu, dengan filosofi segi empatnya, aksara Bugis-Makassar mengajari


kita bahwa melek aksara haruslah menggerakkan kita untuk
merambah/menuliskan segala macam hal di dunia yang baik dan berguna
bagi bangsa, bahkan bagi umat manusia. Aksara, seperti dibuktikan
Kesultanan Makassar di masa lalu, dapat menunjang kemajuan negara.
Dan produk budaya sehebat aksara Bugis-Makassar tentu patut dilestarikan.
Itu sudah dan bisa dilakukan dengan cara membubuhkannya pada pelang
nama jalan atau dinas pemerintahan di kota-kota di wilayah tinggal suku
Bugis dan Makassar, mengajarkannya di sekolah dasar dan menengah di
wilayah yang sama, memperlombakan kaligrafinya, mendigitalkannya, dll.
Namun, dari waktu ke waktu, harus terus ada pemikiran—beserta penerapan
pemikiran—yang serius dan terkonsentrasi untuk membuat warisan
seberharga itu relevan bagi generasi lepas generasi.

Ya, kita semua ingin melihat “huruf segi empat” tetap meleret di dunia
bersama aksara-aksara lain dan mengilhami kita untuk merambah semua
yang bisa dibahas dari alam semesta—tanah, api, air, angin—dan dari
perikehidupan manusia.


S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang
bermukim di Bandung, Jawa Barat.
http://komunitasubi.com/2014/09/aksara-bugis-makassar/

.
Catatan
1
 Tak sulit dilihat bahwa urupu (Bugis) dan hurupu (Makassar) berasal dari
kata “huruf” dan eppa atau appak serumpun dengan kata
“empat.” Sulapa atau sulapak sendiri berarti “segi, sisi.”
2
 Lihat “Lontara Alphabet” dalam situs Wikipedia.
<http://en.wikipedia.org/wiki/Lontara_alphabet>.
3
 Lihat “Lontaraq dan Aksara Lontara (Aksara Bugis)” dalam situs Wacana
Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/lontaraq-dan-aksara-lontara-
aksara-bugis-2/>. Lihat juga Adi Lagaruda. “Sejarah Huruf Lontara” dalam
blog Tau Battu ri Bone Lassuka ri Gowa.
<http://adhiehr.blogspot.com/2010/08/sejarah-huruf-lontara.html>.
4
 Nirwan Ahmad Arsuka. “La Galigo, Odisei, Trah Buendia” dalam 1000 Tahun
Nusantara/suntingan J.B. Kristanto. Jakarta: Kompas, 2000, hal. 416.
5
 Zulkarnain Azis. “Amanna Gappa: Peletak Dasar Tradisi Maritim” dalam
blog Cahaya, Cinta dan Kehidupan.
<http://id.zulkarnainazis.com/2013/09/amanna-gappa-peletak-dasar-
tradisi.html>.

Anthony Reid. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, hal. 197
Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di
Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak
ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr.
Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang
dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-
jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering
aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.

Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih
turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan
di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara
Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar
menggunakan aksara Arab), dan tulisan Arab asli terutama untuk naskah keagamaan. Banyak diantara
naskah tersebut sudah susah dibaca, baik yang naskah aslinya maupun microfilm-nya. Hal ini disebabkan
karena naskah naskah tersebut sudah sangat rapuh, tinta yang digunakan juga sudah banyak meresap
kedalam kertasnya, ada juga yang halamannya sudah ada yang hilang atau sobek.

Di kantor Perspustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan juga tersimpan dengan baik naskah Bugis
kuno yang tertulis diatas daun lontar. Naskah ini berupa gulungan rol daun lontar yang sambung
menyambung. Menurut para pakar orang dulu menggunakan semacam paku kecil untuk menggoreskan
huruf huruf diatas helai daun lontar dengan penuh kehati-hatian karena sifat daun lontar yang mudah
sobek. Setelah satu helai ditulisi, kemudian ditaburi bubuk hitam sehingga tulisannya kentara dan dapat
dibaca dengan jelas. Setelah selesai ditaburi, helai daun lontar kemudian disambungkan dengan helai
sebelumnya dengan cara dijahit menggunakan jarum dan benang. Ketika satu naskah dianggap selesai,
kemudian helai daun lontar tersebut digulung dan dibuatkan tempat gulungan untuk memudahkan
membacanya. Cara membacanya yaitu dengan duduk bersila sambil kedua tangan memutar gulungan rol
daun lontar. Biasanya disertai dengan ritual (upacara) kecil.

Jumlah naskah lontara’ Bugis, Makassar dan Mandar yang tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah
yaitu 4.049 naskah yang semuanya sudah dimicrofilm-kan. Para peneliti atau mahasiswa yang akan
membaca dan meneliti naskah lontara hanya akan membaca hasil microfilmnya saja. Naskah aslinya
sudah tidak bisa diakses, karena sifat kertasnya yang sudah sangat rapuh. Naskah asli ini biasanya hanya
untuk dipajang saat eksibisi (pameran) saja. Hasil microfilm naskah lontara ini selain bisa dibaca di layar
Mircrofilm reader, juga bisa discan dan disimpan dalam format .tiff atau .jpg, sehingga bisa diprint
langsung, tentu dengan biaya tertentu.

Berbagai macam topik naskah lontara Bugis dan Makassar diantaranya lontara Kutika yaitu semacam
astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari
baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar
zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya.
Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis
tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan
lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan
senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’
Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara
akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang
merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’
pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna
Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).
Karya sastra dalam lontara’ Bugis biasanya terdiri dari larik larik bersambung, namun tidak sedikit yang
terdiri dari kalimat kalimat biasa yang sambung menyambung. Lontara yang berlarik larik misalnya epos
I La Galigo, Tolo’, Meongpalo, Sure’ Selleyang, Elong Ugi. Sedangkan lontara’ yang terdiri dari kalimat
kalimat bersambung misalnya lontara hikayat, kisah, tasauf, dan lontara keagamaan lainnya. Jumlah huruf
dari jenis lontara yang berlarik larik tersebut berbeda beda. Elong Ugi biasanya terdiri dari tiga baris
masing masing jumlah huruf (lontara’)nya atau sukukata pada aksara latin 8’, 7 dan 6. Terkadang juga
cuma dua baris namun jumlah huruf lontaranya harus 21. Adapun Tolo’, Menrurana, dan Meongpalo
adalah terdiri dari larik larik yang sambung menyambung yang terdiri dari 8 sukukata atau 8 huruf
lontara’ Bugisnya. I La Galigo dan Sure’ Selleyang berlarik 5, 5, 5 atau 10, 10, 10.
Sangat disayangkan bahwa minat generasi muda untuk meneliti naskah lontara Bugis atau Makassar
sangat kurang. Padahal, lontara’ Bugis dan Makassar adalah salah satu aspek kebudayaan daerah yang
mengandung nilai nilai luhur budaya bangsa. Tanpa adanya usaha usaha untuk melestarikan naskah
naskah lontara Bugis dan Makassar maka dikhawatirkan suatu saat, generasi muda Bugis dan Makassar
akan kehilangan jatidiri dan karya karya sastra tersebut akan punah terlindas masa…

http://suharman-musa.blogspot.co.id/2011/06/naskah-kuno-bugis-dan-makassar.html

PEREMPUAN

sang Penyelamat Naskah La Galigo


Tidak banyak tokoh perempuan yang ”kebetulan” terkenal di Indonesia, terutama dari
Timur. Pencatatan sejarah Indonesia, disebabkan berbagai hal, telah menyebabkan
peminggiran kiprah perempuan Indonesia terutama dari luar Jawa. Salah satu tokoh
dari Timur yang telah melakukan hal-hal luar biasa, Wanita Perkasa dari Sulawesi
Selatan yang terlupakan tanpa jasa, ya dialah Colliq Pujie sang penyelamat naskah  La
Galigo.

Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujie Matinroe ri Tucae, juga


bergelar Datu Tanete, adalah seorang Bangsawan berdarah Bugis Melayu, ia
menguasai berbagai bahasa asing bahkan Sastra Bugis Kuno, sosok perempuan
cerdas, sastrawan dan intelektual perempuan yang lahir pada 1812
di Barru – Sulawesi Selatan, beliau wafat pada 11 November 1876, Arung Pancana
Toa (Raja Pancana Toa) adalah gelar Kebangsawanannya, Retna Kencana Colliq
Pujie (Pucuk yang terpuji),  Matinroe ri Tucae (yang tidur di Tucae) adalah nama
beliau ketika sesudah wafat. Menikah dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung
Ujung), memiliki 3 orang anak yang laki-laki bernama La Makkawaru dan perempuan
bernama Siti Aisyah We Tenriolle dan I Gading.
“Dr. Ian Caldwel sejarawan Inggris mengatakan Terlalu kecil kalau seorang sekaliber
Colliq Pujie dikurung dalam tempurung Indonesia, ia adalah milik dunia.

Karyanya, epos “I La Galigo” adalah ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon
sastra dunia yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam
merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Salah satu ikon yang sangat terkait erat dengan Arung Pancana Toa adalah karya
sastra La Galigo. Entah apa yang ada di benak Colliq Pujie ketika dia menyetujui
permintaan B.F. Matthes, seorang missionaris Belanda, untuk menyalin kembali epos
besar Bugis La Galigo tersebut. Nyatanya, salinan ulang tersebut lebih dari seratus
tahun kemudian masih terus mencengangkan dunia. Tidak hanya panjang epos yang
melebihi Mahabharata ini yang dikulik ahli dari beberapa negara. Colliq Pujie-pun
menjadi subyek perbincangan dan penelitian.

Kutipan Surat-surat Matthes yang dikirim kepada NBG (Nederland Bijbelgenoschap)


tanggal 7 Mei 1861, tentang Colliq pujie “Yang lebih bermanfaat ialah perkenalanku
dengan puterinya, Aroe Pantjana(Colliq Pujie), sekarang seorang janda yang umurnya
sekitar 40 tahun. Dia sungguh-sungguh wanita berpengetahuan sastra, yang
mengarang surat penting untuk ayahnya. Bukan hanya bahasa kedaton Bone yang
dikuasainya, bahkan ia mahir dalam bahasa La Galigo yang kuno yang sekarang tidak
digunakan lagi”

Surat yang kedua tentang kondisi Colliq Pujie dalam pengasingan. ” Jika membaca
syair kepahlawanan Bugis yang lama, sastra La Galigo yang sering dibicarakan dan
menjadi keahlian ratu tersebut (Aroeng Pantjana), saya menemui bahwa dahulu segala
sesuatu dibuat dari emas atau dihiasi dengan emas yang banyak. Tetapi harus
dikatakan zaman sudah sangat berubah. Ya, saya mau bertaruh bahwa kalau anda
dengan pukulan tongkat sihir ditempatkan di istana teman bugis saya ini, anda tidak
berpendapat itu sebuah istana, tapi sebuah kandang babi. Ya, juga hampir anda tidak
berani makan sesuatu dari makanannya yang enak. Untung akhirnya bisa
menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, tetapi tidak menyenangkan hidup diantara
pribumi senantisa”

Tak hanya Matthes, Colliq Pujie juga membantu Ida Pfeiffer seorang etnolog dari


Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan pada tahun 1853, Colliq Pujie
juga membantu A Lighvoed seorang peneliti asing yang ingin menyusun catatan
peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870. Sebagai penulis sejarah
Kerajaan Tanete (dalam Naskah Lontaraqna Tanete), Colliq pujie bercerita seputar
kehidupan istana dan raja-raja Tanete terdahulu. Mulai dari raja Tanete pertama sampai
raja ke-20. Setiap tokoh diceritakan detail mulai dari kelahiran, romansa percintaan
hingga ke perkawinan. Colliq Pujie sebagai penyalin La Toa, La Toa adalah sejenis
lontaraq dari Tana Bone. Penulisan Lontaraq La Toa di duga mulai pada masa raja
Bone VII yang bernama La Tenrirawe Bongkangnge (1560-1578), La Toa dijadikan
sebagai tuntunan bagi penguasa, terutama dalam menjalankan pemerintahan dan
melaksanakan peradilan.

Sebagai seorang sastrawan, sejarahwan sekaligus ilmuwan, Colliq Pujie juga


menghasilkan berbagai macam karya diantaranya Lontarqna Tanete (Sejarah
Kerajaan Tanete, tahun 1852), Naskah ini di cetak dan di terbitkan oleh G. K.
Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette, Kemudian Beliau juga menulisSureq
Baweng, ada banyak karya Colliq Pujie yg berupa Pantun, Syair, naskah kebudayaan
dan upacara adat Bugis, Karya-karya nya tersimpan di beberapa Museum dan
Perpustakaan di Leiden, Belanda serta tersimpan juga di Yayasan Matthes Makasar.

Colliq Puji memiliki banyak kemampuan, kecerdasan emosional dalam memilah


persoalan dan mengambil keputusan misalnya, begitu nampak saat cucu Syahbandar
terkaya di Sulawesi Selatan tersebut bisa menyikapi “si kulit putih” (Tau Pute) pada saat
yang tepat. Sikapnya tegas dan menunjukkan perlawanan ketika dia melihat Belanda
sebagai pihak yang dengan berbagai cara menguasai masyarakat, adat dan tanah
Bugis. Namun, dia juga menunjukkan sikap positif saat dia menyetujui permintaan B.F.
Matthes, seorang misionaris Belanda, untuk menyalin kembali dengan tulisan tangan
naskah La Galigo yang tersebar di banyak lontaraq.

Hanya Colliq Pujie yang mengetahui persis alasannya mau melakukan tindakan
tersebut. Namun pilihan untuk menyalin dan menjadikan epos Bugis tersebut menjadi
12 jilid untuk kemudian dibawa Matthes ke Belanda terbukti strategis. Paling tidak ada
bagian La Galigo yang tetap utuh, tercatat dan menjadi bahan kajian serta dinikmati
berbagai bangsa di dunia. Hanya dengan pertimbangan cerdas dan kematangan
emosionallah yang membuat seseorang mampu melakukan hal rumit tersebut selama
bertahun-tahun.
Kemampuan menyalin kembali dan mengedit La Galigo tentunya tidak bisa
dilakukan sembarang orang. Hanya mereka yang betul-betul ahlilah yang bisa
melakukannya. Colliq Pujie telah memperlihatkan diri sebagai perempuan cerdas yang
mengetahui secara baik dan mendalam sastra dan budaya Bugis. Menyadur karya
sastra bernilai tinggi baik yang berasal dari Bugis maupun bangsa lain seperti Melayu
dan Persia juga dilakukan cucu saudagar ternama ini.

Kecerdasan Arung Pancana Toa juga menghantarkannya menciptakan huruf Bilang-


bilang yang kemudian dijadikannya alat komunikasi rahasia dengan para pengikut dan
sekutunya dalam upayanya menentang pendudukan Belanda di Tanah Bugis.
Khusus huruf Bilang-bilang, Nurhayati berargumen bahwa surat menggunakan huruf
rahasia inilah yang membuat pengikuti dan sekutunya melakukan beberapa perlawanan
terhadap Belanda, terutama di Segeri dan Tanete. Bisa dihitung jari hanya segelintir
orang di dunia ini yang mampu mencipta huruf, salah satunya adalah Colliq Pujie.

Masih banyak lagi kemampuan lain yang telah diperlihatkan Colliq Pujie seperti


penguasaan administrasi dan keuangan pemerintahan (berdasarkan pengalaman di
Kerajaan Tanete) serta kepemimpinan (menjadi Ratu di Pancana dan Lamuru). Hal lain
lagi yang bisa disebutkan adalah kemampuannya menguasai bahasa (Melayu, Bugis,
Makassar dan Arab). Sudah barang tentu masih banyak lagi bakat dan kemampuan
yang telah ditunjukkan oleh perempuan yang bernama Melayu Retna Kencana.

Hal ini kelihatannya yang paling banyak disorot dari seorang Colliq Pujie. Butuh 20
tahun waktu yang ia habiskan untuk menyalin naskah Lontaraq hingga menjadi 12 jilid
naskah buku La Galigo yang kini tersimpan dengan sangat aman di Leiden, tanpanya
dapat dipastikan naskah sastra terpanjang sepanjang masa itu pasti sudah punah
termakan zaman.

Kemampuannya menyalin kembali sekaligus mengedit La Galigo telah menjadikannya


sebagai intelektual dan sastrawan yang menjadikan epos Bugis tersebut bisa dibaca
dan dipelajari siapa saja. Perempuan ini mampu menjadikan La Galigo tidak lagi hanya
menjadi milik orang Bugis semata atau bangsa Indonesia saja, tapi menjadi milik
dunia. Jika dulu bangsa-bangsa Eropa datang dan menduduki tanah Bugis, maka
dengan La Galigo, Bugis-lah yang ”menguasai dunia”dengan caranya sendiri.

Warisan sastra tersebut tidak hanya melintasi ruang, tapi juga waktu. Berbagai negara
telah menikmati pertunjukan teatrikal La Galigo, padahal sang penulis ulang dan
editornya telah terbaring tenang di alam keabadian lebih dari satu abad yang lalu
di Tucae. Melalui banyak kajian tentang naskah tersebut ditambah dengan beberapa
pertunjukan di berbagai negara, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa La
Galigo telah menjadi salah satu pengharum nama Indonesia di tingkat internasional.
Tentunya, semua ini tidak akan terjadi tanpa campur tangan dan keputusan Colliq
Pujie untuk mau menuliskan ulang dan mengedit La Galigo lebih dari seratus tahun
yang lampau.

Indonesia memiliki beberapa Pahlawan Nasional Perempuan sebagai penggerak


perjuangan fisik dan pemikir ulung, salah satunya Tjoet Nyak Dhien (1848-1908) yang
secara berani memporakporandakan Belanda dalam Perang Aceh, perempuan ini
maju memimpin pertempuran. Kita juga memiliki RA Kartini (1879-1904) yang
bersemangat membebaskan diri dari belenggu keterkungkungan perempuan Jawa di
masanya dengan melakukan pembebasan pikiran yang tertuang melalui surat-suratnya.

Namun, entah di sengaja atau tidak, ada sisi yang ingin ditonjolkan secara terpisah di
sini tentang sosok perempuan sebagai pahlawan di Indonesia. Bisa jadi mereka
dipandang luar biasa karena berjuang secara fisik atau karena dianggap sebagai
pemikir yang melahirkan sesuatu yang luar biasa. Tetapi, saat mengenal, walaupun
masih sangat awal, Colliq Pujie, yang lahir lebih dahulu dari kedua tokoh tersebut (ada
nuansa berbeda yang kita ditemui).

Di Tanah Bugis, Colliq Pujie menjadi salah satu penentang kekuasaan Belanda.


Anaknya sendiripun yang menjadi perpanjangan tangan Belanda, tanpa kompromis
ditentang oleh perempuan pemberani ini. Oleh Nurhayati Rahman, dia disebut sebagai
aktor perlawanan rakyat. Belanda begitu mengkhawatirkan kemampuan dan kharisma
Colliq Pujie dalam mempengaruhi dan mengorganisir sekutu dan pengikutnya untuk
melakukan perlawanan, karena alasan politis, Colliq Pujie dikucilkan oleh Belanda
selama 10 tahun dengan hanya mendapat tunjangan seadanya.

Sisi lain dari seorang Colliq Pujie adalah kemampuan intelektual dan emosionalnya


(seperti telah diuraikan di atas) yang dalam banyak hal terbukti luar biasa, baik dalam
bidang ilmu pemerintahan, sejarah, sastra maupun budaya. Karya-karyanya sampai
saat ini masih menjadi bukti nyata abadi akan kemampuannya tersebut.

Jadi, Colliq Pujie telah mampu memadukan dua kekuatan menjadi satu. Layaknya dua
sisi mata uang koin, dalam diri seorang Colliq Pujie dapat kita temui semangat
juang Tjoet Nyak Dhien dan para pejuang perempuan lain seakan bertemu dengan
kekuatan intelektual Kartini, Dewi Sartika dan lainnya. Semuanya tidak terpisahkan
dan saling melengkapi. Apa yang ditemui dalam diri Colliq Pujie ini bisa menjadi satu
cara pandang baru di Indonesia dalam melihat ketokohandan kepahlawanan
perempuan.

Mengingat begitu banyaknya kekuatan dan keunikan yang dimiliki Colliq Pujie, layaklah
memang seperti yang disebut oleh beberapa ahli seperti Ian Caldwell,
bahwa perempuan perkasa ini adalah milik dunia. Jika dunia saja mengakui
ketokohan Colliq Pujie, kenapa kita sebagai Bangsa Indonesia tidak
membanggakannya ?

Sumber : Swary Utami Dewi, Lontara Project dan berbagai sumber lainnya.

5 April 1946. Gubernur Sam Ratulangi bersama dengan pembantu-pembantunya ditangkap oleh
Belanda. Lalu, kemudian, pada Juni 1946, Gubernur Ratulangi diasingkan ke Serui, Irian Barat.
Dr. Sam Ratulangi adalah pejabat Gubernur yang ditunjuk Bung Karno untuk provinsi Sulawesi.
Akan tetapi, entah karena pertimbangan apa, Ratulangi belum membentuk pemerintahan secara
resmi di Sulawesi saat itu.

Meski begitu, berita penangkapan Ratulangi mendapat protes. Salah satunya adalah perawat-
perawat putri di Rumah Sakit Katolik ‘Stella Maris’. Mereka melakukan pemogokan umum untuk
memprotes penangkapan tersebut. Salah satu tokoh penggerak aksi pemogokan ini adalah Emmy
Saelan.

Emmy Saelan adalah salah satu pejuang wanita Indonesia. Meskipun statusnya adalah seorang
perawat dan kepala bagian palang merah, tetapi ia juga ikut memanggul senjata dan bertempur di
garis depan.

Emmy dilahirkan di Makassar, pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara.
Ayahnya, Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan taman siswa di Makassar dan sekaligus
penasehat organisasi pemuda. Salah seorang adiknya yang laki-laki, Maulwi Saelan, adalah tokoh
pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno.

>>>
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai juga di telinga rakyat di Sulawesi. Lalu, pada 19
Agustus 1945, Pemerintah pusat telah menunjuk Dr. Sam Ratulangi sebagai gubernur provinsi
Sulawesi.

Akan tetapi, meski sudah ditunjuk oleh pemerintah pusat, Gubernur Ratulangi belum juga
membentuk pemerintahannya secara resmi di Sulawesi. Ia malah ditangkap oleh Belanda pada
bulan April 1946.

Tetapi sikap rakyat Sulawesi sudah jelas: mendukung Republik Indonesia.

Pada bulan September 1945, Sekutu sudah mendarat di Makassar. Secara formal, mereka bertugas
mengontrol keamanan dan melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa
mereka bekerja untuk mengalihkan kekuasaan dari tangan Jepang ke Belanda.

Rakyat Sulawesi tidak suka dengan hal ini. Pada 17 September 1945, para pelajar perguruan islam
Datu Museng mengibarkan bendera merah-putih di sekolahnya. Berkali-kali terjadi bentrokan antara
pasukan NICA dengan pelajar-pelajar Indonesia.

Pada saat itu juga, sekelompok pemuda mendirikan organisasi bernama Pusat Pemuda National
Indonesia (PPNI). Pemimpinnya adalah seorang pemuda Indonesia bernama Manai Sophiaan, kelak
dubes Indonesia untuk Rusia. PPNI memainkan peranan penting di masa-masa awal perlawanan
pelajar Sulawesi terhadap kolonialisme Belanda pasca proklamasi kemerdekaan.

28 oktober 1945, hanya beberapa saat setelah sekutu mendarat di Makassar, pasukan NICA telah
menangkap pemimpin pemuda, Manai Sophiaan. Ia lalu dibawa ke markas NICA di Empress Hotel.
Besoknya, 29 Oktober 1945, para pelajar Makassar menyerbut hotel itu dan mengibarkan bendera
merah-putih di sana. Kakak-beradik, Emmy dan Maulwi, adalah penggerak utama para pelajar yang
menyerbu kantor NICA itu.

Para pelajar heroik ini sebagian besar berasal dari SMP Nasional. Sekolah ini merupakan sekolah
milik Republik pertama yang berdiri di Makassar pasca proklamasi kemerdekaan. Latar belakang
pendirian sekolah ini pun sangat heroik: sekolah ini merupakan tantangan terhadap usaha Belanda
untuk membikin sekolah di Makassar. Belanda sendiri mencap sekolah ini sebagai sekolah
‘ekstremis’.
SMP Nasional melahirkan banyak tokoh pejuang, diantaranya: Emmy Saelan, Robert Wolter
Mongisidi dan Maulwi Saelan, adik Emmy. Sejak pemogokan Stella Maris, lalu penyerbuan Empress
Hotel, Emmy Saelan telah memilih jalan hidupnya: sebagai pejuang Republik Indonesia.

Pada bulan Juli 1946, 19 organisasi pemuda se Sulawesi Selatan telah berkumpul di
Polombankeng, sebuah daerah di Takalar, Sulawesi Selatan. Emmy Saelan dan adiknya, Maulwi
Saelan, turut dalam pertemuan itu. Hadir pula pelajar-pelajar SMP nasional seperti Wolter
Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin, dan lain-lain.

Salah satu kesepakatan dari konferensi organisasi pemuda itu adalah pembentukan sebuah wadah
bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Panglimanya adalah seorang
pejuang pemberani, Ranggong Daeng Romo.

Lalu, seiring dengan semakin banyaknya senjata hasil rampasan, para pelajar SMP nasional lalu
membentuk organisasi gerilya bernama ‘Harimau Indonesia’. Emmy Saelan ditunjuk sebagai
pimpinan laskar wanita dalam organisasi ini dan sekaligus memimpin Palang Merah.

Mantan komandan pasukan wanita Makassar, Sri Mulyati, pernah menulis perihal pengalamannya
bersama Emmy Saelan. Menurut Mulyati, Emmy dikenal sebagai seorang yang ahli menggunakan
sandi. Sebagai missal, untuk mengenal mana kawan dan mana lawan, maka diperkenalkan sandi
dengan memegang rambut. Jika seseorang berkenalan dengan memegang rambut, maka ia adalah
kawan seperjuangannya.

Semasa berjuang bersama Harimau Indonesia, Emmy menggunakan nama samaran Daeng Kebo.
Organisasi Harimau Indonesia ini adalah semacam organisasi gerilya. Hampir setiap hari mereka
menyergap patroli pasukan Belanda.

Suatu hari, Wolter Monginsidi, pimpinan Harimau Indonesia yang dikenal pemberani, menyergap
jeep Belanda. Ia lalu merampas senjata dan melucuti pakaian pasukan Belanda itu. Lalu, dengan
mengenakan seragam pasukan Belanda, Wolter Monginsidi mendatangi kantor KNIL dan
memberondongnya dengan senjata.

Karena perlawanan-perlawanan itulah, terutama karena sudah tidak bisa lagi dikontrol orang NICA,
pasukan Belanda mendatangkan pasukan elit  Depot Speciale Tropen (DST), dengan pimpinannya
adalah Westerling.
Perimbangan kekuatan pun berubah. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, pasukan Belanda
pun bertambah kuat. Westerling pun memulai sebuah operasi pembersihan, yang sasarannya
adalah para pejuang republik. Inilah peristiwa yang dikenang sebagai korban 40 ribu jiwa itu.

Sementara itu, Emmy Saelan dan kawan-kawannya terus melakukan gerilya. Akan tetapi, desakan
pasukan Belanda sangat kuat. Pasukan Harimau Indonesia pun terdesak hingga ke Kassi-Kassi,
sebuah kampung di Makassar. Pasukan Belanda mengejar dengan kendaraan lapis baja dan tank.

>>>

Sore itu, 23 Januari 1947, dalam posisi terjepit, pasukan Wolter Monginsidi pun memilih mundur.

Emmy Saelan, yang telah terpisah dengan Monginsidi, memimpin sekitar 40 orang pasukan
bertempur dengan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Seluruh anak buah
Emmy gugur dalam pertempuran itu. Tinggal Emmy sendirian.

Pasukan Belanda mendekat dan memerintahkan Emmy menyerah. Tetapi, ia menolak dan terus
melawan. Dan, karena senjata ditangannya tinggal granat, maka dilemparkanlah granat itu ke
pasukan Belanda. Pasukan Belanda pun bergelimpangan, tetapi Emmy turut gugur dalam
pertempuran jarak dekat itu.

Sementara itu, Wolter Monginsidi yang bertahan di Tidung, tidak jauh dari tempat Emmy gugur, juga
kewalahan menahan serangan Belanda. Hampir seluruh pasukannya gugur, kecuali ia dan dua
orang kawannya.

Emmy Saelan, perempuan cantik berkulit putih itu, telah memilih gugur dengan jalan sangat
terhormat. Ia adalah salah perempuan Indonesia yang telah mengorbankan dirinya di usia sangat
muda untuk revolusi nasional. Meskipun ia anggota palang merah, tetapi ia selalu berpakaian ala
laki-laki dan memilih bertempur di garis depan.

http://www.berdikarionline.com/emmy-saelan-kisah-pejuang-wanita-garis-depan/

Colliq Pujié atau lengkapnya Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah
seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi
juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik
selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru IX, sejarahwan, budayawan,
pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana
kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang). Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri
Colliq Pujié mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap
dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis.

Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujié. Mungkin saja beliau tidak
dikenal sampai sekarang kalau saja, ia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin
naskah kuno I La Galigo yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis
yang mendunia. Colliq Pujié-lah yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih
berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo yang panjang
lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos I La Galigo yang
terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh B.F. Mathes dan kemudian
dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang. Penyalinan sebagian
besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujié, sehingga riwayat hidup Colliq Pujié sedikit demi sedikit
terkuak oleh tulisan B.F. Mathes. Colliq Pujié bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi.
Colliq Pujié juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.

Prof. Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar
dalam bukunya “Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak
Zaman” menyayangkan bahwa Colliq Pujié kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut
beliau, Colliq Pujié adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada
abad ke-19 yang terlupakan. Dr. Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris bahkan mengatakan bahwa, “terlalu
kecil kalau seorang sekaliber Colliq Pujié dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik
dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos I La Galigo sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang
menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam
merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, “Andi Muhammad Rum, Titisan
Colliq Pujié”, hal. 13).

Salah satu karya sastra Colliq Pujié berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-
bilang berjudul “Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan” telah
diterjemahkan dan ditransliterasi oleh H.A. Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas
Sawerigading. Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang,
aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata
dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku
kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris
namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin. Pantun Bugis
dalam buku ini adalah ungkapan curahan hati Colliq Pujié. Salah satu bait dari 122 bait pantun dalam
buku ini sebagai berikut:

Ininnawakku muwita,
Mau natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.

(Lihatlah keadaan bathinku,


Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar) 

Colliq Pujié juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno,
kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang
paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat
tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat
kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul La Toa diterbitkan oleh Mathes dalam buku
Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colliq Pujié adalah A.
Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan,
kepiawaian, dan kecerdasan Colliq Pujié telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis dimata
orang Eropa pada abad ke-19. B.F. Mathes berkali kali menyebut nama Colliq Pujié sebagai bangsawan
Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche
Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).

Tentang I La Galigo, menurut R.A. Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La
Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun
1939 menyebutkan bahwa epos I La Galigo adalah karya sastra terbesar dan terpanjang didunia setara
dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani. Menurut Sirtjof Koolhof
pada pengantar buku I La Galigo terbitan Djambatan, naskah I La Galigo terdiri dari 300.000 larik/ bait
sementara Mahabrata hanya kurang lebih 200.000 bait. 

Sebagai tambahan informasi, di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan,
tersimpan 4.049 naskah lontara Bugis dan Makassar yang semuanya sudah di microfilm-kan, terdiri dari
lontara paseng (pesan), attoriolong (petuah orang dulu), akkalaibinengeng (sex education), kutika
(ramalan/ astrologi), tasauf dan ilmu agama, tata cara bercocok tanam, lontara Baddili Lompo
(pengetahuan persenjataan dan strategi perang), pengobatan tradisional, tabiat binatang dan arsitektur dan
beberapa penggalan kisah dalam epos I La Galigo. Sangat disayangkan bahwa minat mahasiswa sangat
kurang untuk meneliti naskah lontara Bugis dan Makassar. Malah banyak peneliti asing dari berbagai
negara yang meneliti produk budaya Bugis dan Makassar yang berupa naskah kuno lontara. 

Mungkin untuk mengkaji lebih dalam tentang kehidupan Colliq Pujié seseorang harus ke Belanda karena
disanalah segala informasi yang terekam yang tersimpan, tentang sosok Colliq Pujié yang mengagumkan. 

Gambar: koleksi pribadi (sampul buku terjemahan oleh H.A.Saransi, sampul buku katalog Naskah
Nusantara koleksi BPAD Sulsel)

http://suharman-musa.blogspot.co.id/2011/06/colliq-pujie.html

Kisah heroiknya sangat terkenal di Makassar. Bagaimana tidak, Emmy Saelan meledakkan
granat di tangannya. Menewaskan 8 serdadu Belanda kala itu. Dari kejadian ini lahirlah
kalimat “lebih baik mati secara terhomat daripada mati di tangan musuh”.

Menurut Zainuddin Tika, seorang penulis buku para pejuang  Makassar, Emmy Saelan adalah
perempuan yang sangat tangguh dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

“Saya melihat sosok Emmy Saelan adalah orang yang tangguh dan memiliki jiwa sosial yang
tinggi dalam mempertahankan kemerdekaan,” demikian cerita Zainuddin pada Cendana
News di rumahnya di Suguminasa, Kabupaten Gowa.

Emmy Saelan lahir di Makassar pada 15 Oktober 1924. Perjalanan perjuangannya dimulai
dari Zusterschool Arendsburg dan menamaatkan pendidikannya pada 1937. Setelah itu,
Emmy Saelan, melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School di Makassar.
Baru duduk di kelas 4 Jepang datang ke Indonesia sehingga terpaksa Emmy Saelan
menamatkan pendidikannya di Cugakko, dalam kurun satu tahun Emmy sudah menamatkan
pelajarannya di Cugakko.

Emmy Saelan bercita-cita melanjutkan pendidikannya di bidang spesialisasi tabib anak di


Jawa. Tetapi dilarang oleh Jepang kala itu dengan alasan bahwa kursus itu sudah ada di
Makassar. Lalu Emmy Saelan bekerja di rumah sakit Stela Maris sebagai juru rawat pada
massa pendudukan Belanda.

Karena penangkapan Dr. Sam Ratulangi oleh Belanda. Emmy Saelan memimpin pemogokan
kerja medis sebagai bentuk protes. Akibatnya, Emmy Saelan dipindahtugaskan ke Consulate
Bureau di daerah Pattunuang.

Zainuddin kembali menceritakan kisah hidup Emmy Saelan yang penuh kepahlawanan
dimulai dari sini. Bagaimana setelah dipindahkan Emmy Saelan merawat pejuang yang
terluka.

Kisah heroiknya sangat terkenal di Makassar. Bagaimana tidak, Emmy Saelan meledakkan
granat di tangannya. Menewaskan 8 serdadu Belanda kala itu. Dari kejadian ini lahirlah
kalimat “lebih baik mati secara terhomat daripada mati di tangan musuh”.

Menurut Zainuddin Tika, seorang penulis buku para pejuang  Makassar, Emmy Saelan adalah
perempuan yang sangat tangguh dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

“Saya melihat sosok Emmy Saelan adalah orang yang tangguh dan memiliki jiwa sosial yang
tinggi dalam mempertahankan kemerdekaan,” demikian cerita Zainuddin pada Cendana
News di rumahnya di Suguminasa, Kabupaten Gowa.

Emmy Saelan lahir di Makassar pada 15 Oktober 1924. Perjalanan perjuangannya dimulai
dari Zusterschool Arendsburg dan menamaatkan pendidikannya pada 1937. Setelah itu,
Emmy Saelan, melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School di Makassar.

Baru duduk di kelas 4 Jepang datang ke Indonesia sehingga terpaksa Emmy Saelan
menamatkan pendidikannya di Cugakko, dalam kurun satu tahun Emmy sudah menamatkan
pelajarannya di Cugakko.

Emmy Saelan bercita-cita melanjutkan pendidikannya di bidang spesialisasi tabib anak di


Jawa. Tetapi dilarang oleh Jepang kala itu dengan alasan bahwa kursus itu sudah ada di
Makassar. Lalu Emmy Saelan bekerja di rumah sakit Stela Maris sebagai juru rawat pada
massa pendudukan Belanda.

Karena penangkapan Dr. Sam Ratulangi oleh Belanda. Emmy Saelan memimpin pemogokan
kerja medis sebagai bentuk protes. Akibatnya, Emmy Saelan dipindahtugaskan ke Consulate
Bureau di daerah Pattunuang.
Zainuddin kembali menceritakan kisah hidup Emmy Saelan yang penuh kepahlawanan
dimulai dari sini. Bagaimana setelah dipindahkan Emmy Saelan merawat pejuang yang
terluka.

“Bahkan Emmy Saelan bersama Dr. Sam Ratulangi mendirikan sebuah sekolah yang bernama
SMP Nasional. Di tempat ini dijadikan tempat latihan para pejuang muda dan juga sebagai
tempat kamuflase dari pemerintah Belanda,” papar Zainuddin Tika.

Untuk diketahui, sekolah SMP Nasional di Makassar berdiri pada 8 Oktober 1945. Telah
melahirkan banyak para pejuang nasional yang telah berjasa memerdekakan bangsa ini.
Sekolah yang terletak di Jalan SAM Ratulangi ini masih kokoh berdiri dan sudah banyak
mengalami perubahan.

Rini, selaku sekretaris SMP Nasional yang mengetahui sejarah sekolah ini menjelaskan,
betapa besar jasa keluarga Saelan waktu itu untuk mendidik para pejuang muda.

“Pada awal berdirinya, sekolah SMP Nasional ini dimulai dari rumah keluaga Saelan. Ketika
itu muridnya masih 10 orang termasuk Malwi Saelan yang merupakan adik laki-laki Emmy
Saelan, jelas Rini pada Cendana News di ruang kerjanya.

Di sekolah ini, para pejuang muda diajarkan nilai-nilai luhur perjuangan serta nilai nasionalis
oleh para pejuang senior saat itu. Termasuk Emmy Saelan sendiri dan Dr. Sam Ratulangi. Rini
juga menjelaskan bahwa beberapa kali sekolah ini sempat digerebek oleh para tentara
Belanda.

“Menurut ayah saya yang juga salah satu murid di sekolah ini dan merupakan pejuang,
beberapa kali sekolah ini sempat digerebek oleh tentara Belanda karena Dr. Sam Ratulangi 
dan Emmy Saelan,” tambah Rini.

Menurut Rini juga, Emmy Saelan sangatlah pandai dalam menggunakan pesan-pesan sandi.
Hal itu juga yang diajarkan pada pejuang muda saat itu. Itu pula yang melatarbelakangi Emmy
Saelan serta Dr. Sam Ratulangi tidak setuju atas pembentukan sekolah Belanda yang
bernama NICA.

Cerita kepahlawanan Emmy Saelan juga datang dari Jenderal Purnawirawan Bachtiar. Laki-
laki yang kini berusia 84 tahun ini menjelaskan, dirinya tidak tahu banyak tentang Emmy
Saelan tapi sering mendengar cerita dari Malwi Saelan.

“Saya tidak tahu banyak tentang Emmy Saelan. Tapi, saya sering mendengar kisah
keberanian Emmy Saelan yang meledakkan granat di tangannya sendiri yang membuat Malwi
Saelan bersedih dengan kematian kakaknya tapi juga dia bangga atas keberanian kakaknya,”
demikian papar Bachtiar ketika ditemui di rumahnya di perumahan Metro Tanjung Bunga.

Menurut Bachtiar, Emmy Saelan lebih aktif bergrillya sehingga dirinya  tidak terlalu mengenal
Emmy Saelan. Terakhir dirinya bertemu Emmy Saelan di Pollobangkeng.
“Saya hanya berteman dengan adiknya dan Malwi Saelan. Saya tidak terlalu mengenal Emmy
Saelan. Kami sempat bertemu Emmy Saelan saat melakukan operasi ke utara yaitu daerah
Pankajekne dan Tanete,” lanjut Bachtiar.

Namun, Emmy Saelan tidak turut ikut dalam operasi itu. Emmy Saelan memimpin pasukan ke
kampung Kasi-kasi. Setelah Emmy Saelan tidak sempat mundur, Emmy Saelan dikepung
Belanda dan meledakkan granat yang ada di tangannya.

Setelah tewas, Emmy Saelan dikuburkan oleh Belanda saat itu juga. Kabar ini membuat
keluarga Saelan yang tinggal di Jalan Ali Malaka 20 menjadi terpukul. Untuk menghormati
Emmy Saelan, makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di daerah Panaikang.

https://www.cendananews.com/2017/04/emmy-saelan-kartini-makassar.html

Emmy Saelan adalah pejuang wanita Sulawesi Selatan. Di jaman Jepang dia bekerja sebagai
perawat di Rumah Sakit Katolik “Stella Maris” Makassar. Dia juga pernah ikut aksi pemogokan
Stella Maris karena protes terhadap penangkapan Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi ketika itu.
Tahun 1946 Sam Ratulangi oleh Belanda ketika itu diasingkan ke Serui, Irian Jaya.

Emmy adalah salah satu  potret pejuang muda jebolan SMP Nasional di kota Makassar. Sekolah
yang sampai sekarang masih berdiri di jalan Dr. Sam Ratulangi Makassar ini, patut dikenang
sebagai salah satu monumen sejarah. Karena di masa lalu sekolah ini banyak menelurkan tokoh
pejuang republik. Letaknya disekitar belakang stadion Matoangging.

Ketika agresi militer kedua Belanda, para pelajar sekolah itu bersatu  membentuk laskar
perjuangan dan bergerilya. Mereka itu, di antaranya Emmy Saelan sendiri, Robert Wolter
Mongisidi dan Maulwi Saelan, adik Emmy. Juga masih banyak beberapa nama lain. Maulwi
Saelan di kemudian hari dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno (resimen Tjakrabirawa)
dan mantan kiper PSSI.  Adik Emmy yang lain, Elly Saelan kemudian juga dikenal publik
dengan nama Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab.

Selain sebagai sekolah yang menghasilkan alumni pahlawan terkenal seperti Emmy Saelan,
Maulwi Saelan dan Mongisidi, sekolah ini juga pernah menjadi tempat persembunyian dan
markas pejuang. Sebagai catatan, di SMP Nasional ini pula Mongisidi bersembunyi dan
ditangkap Belanda pada suatu malam, tanggal 28 Februari 1947. Ketika ditangkap, langsung
tangannya diborgol dan kakinya dirantai.

Sejak kedatangan Kapten Westerling ke Makassar, ruang gerak anak-anak pejuang di SMP
Nasional tadi semakin sempit. (Tentang Westerling, baca artikel saya “Tembak Bung Karno,
Rugi 30 Sen”). Penangkapan besar-besaran di seluruh kota berlangsung intensif. Cara
penangkapannya kali ini tidak main-main. Siapa yang tidak kenal kekejaman Westerling?
Pasukan Westerling memang sengaja didatangkan dari Belanda, dengan misinya yang pertama.
Yaitu penumpasan pemberontakan di Sulawesi Selatan. Soalnya pemberontakan di daerah itu
sudah begitu memusingkan pihak Belanda, yang akhirnya mendapatkan solusinya. Yaitu,
mendatangkan Kapten Westerling yang bengis dan kejam.
Sebelum kedatangan Westerling, murid-murid SMP Nasional Makassar masih bisa belajar
dengan baik. Tapi sejak kedatangan Westerling, sekolah itu terpaksa ditutup. Pasalnya, Belanda
sudah mencium sekolah itu sebagai sarang ekstrimis. Pelajar SMP itu umumnya banyak yang
berusia “matang” yang seharusnya usia mereka  tergolong usia pelajar SMA ke atas. Tapi karena
di jaman Jepang mereka tidak bisa bersekolah layak, terpaksa mereka harus mengejar
ketinggalan di SMP Nasional, karena ketika itu belum ada SMA Nasional di Makassar.

SMP Nasional itu memang didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang
tidak setuju dengan rencana akan dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu
adalah para tokoh republik.

Suntikan pendidikan politik dari para tokoh republik mengobarkan semangat pelajar-pelajar SMP
Nasional itu. Karena itu mereka lalu membentuk laskar pejuang yang bernama Harimau
Indonesia. Anggotanya antara lain Emmy Saelan, Maulwi Saelan dan Robert Wolter Mongisidi
yang menjabat sebagai kepala staf.

Robert Wolter Mongisidi ketika itu terkenal dengan kenekatannya dan keberaniannya. Misalnya
melempari granat dan menyerang markas Belanda hingga kocar-kacir. Belum terhitung
memblokade jalan, meledakkan jembatan, merebut senjata, memutuskan komunikasi dan
menyebarkan pamflet yang berisi seruan pada Belanda untuk segera menyerah. Selain
menembaki kamp-kamp Belanda, mereka juga berani menembaki rumah-rumah pembesar
Belanda.

Belanda yang sudah kewalahan menghadapi teror tanpa henti itu, akhirnya memutuskan
mendatangkan pasukan khusus langsung dari Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling.
Pasukan Harimau Indonesia ketika itu memang bikin pusing Belanda. Misalnya Mongisidi
melucuti tentara Belanda yang sedang berpatroli. Merampas mobilnya, senjatanya, bahkan
seragam tentara itu juga dilucuti hingga tinggal pakaian dalam. Dengan seragam rampasan itu
Wolter dan pasukannya menyaru sebagai tentara KNIL, mendatangi markas KNIL dan
menembaki markas itu tanpa ampun. Jalan tempat Mongisidi melucuti tentara Belanda, hingga
kini diberi nama jalan Wolter Mongisidi.
Peran Emmy di laskar Harimau Indonesia yaitu memimpin laskar wanita, sekaligus bertugas di
palang merah. Karena kulitnya yang putih, dia mendapat nama sandi Daéng Kébo'  (membaca
huruf é seperti huruf é  pada kata “béda”). Daéng adalah panggilan sapaan di Makassar, kira-kira
sama artinya kalu menyapa dengan kata “Kak”.
Anggota laskar lainnya mengenang, bagaimana Emmy menentukan aturan menggunakan sandi
untuk mengenal sesama pejuang. Misalnya jika dia memegang rambut dan orang yang ditemui
juga memegang rambut, maka artinya orang itu adalah sesama teman pejuang.  

Takdir tak dapat ditolak. Tengah malam, di hutan kampung Kassi-Kassi di luar kota Makassar,
tanggal 23 Januari 1947 adalah akhir hidup Emmy.

Ketika itu Emmy yang memimpin 40 orang sekaligus memimpin palang merah, terjebak dalam
pertempuran. Pertempuran itu dikoordinasi Robert Wolter Mongisidi, yang kala itu sedang
berada di kampung Tidung, tak jauh, namun terpisah dari lokasi Emmy. Karena terkepung
dengan pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, Mongisidi memerintahkan anak buahnya
untuk mundur.

Di saat yang sama di lokasi terpisah, Emmy yang juga membawa korban-korban luka, berusaha
mundur. Tapi sudah terlambat. Kepungan begitu ketat. Persenjataan musuh jauh lebih kuat. Tak
ada lagi ruang gerak bagi pejuang-pejuang muda yang bersenjata seadanya itu.

Emmy semakin terdesak dan terkepung. Tentara Belanda berteriak padanya untuk segera
menyerah.  Teman Emmy semua sudah gugur tertembak. Tinggal Emmy sendiri yang masih
hidup. Perintah untuk menyerah tak digubris Emmy. Sebagai jawaban, dilemparkannya granat ke
pasukan Belanda itu. Sejumlah tentara Belanda tewas karenanya. Namun Emmy juga akhirnya
gugur oleh ledakan granatnya sendiri.

Jenazahnya kemudian dikuburkan oleh Belanda saat itu juga langsung di lokasi kejadian.
Sesudah situasi pulih, jenazah itu digali kembali dan dipindahkan ke Taman Makan Pahlawan
Panaikang. Di sana dia dimakamkan secara layak dengan penghormatan besar.
                      Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika
bergerilya dinamakan jalan Emmy Saelan. Letaknya tidak jauh dari rumah dinas Gubernur
Sulawesi Selatan di jalan Sam Ratulangi Makassar.

Pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena
bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, di lokasi gugurnya Emmy
dibangun Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makassar di jalan Toddopuli.
Sayang sekali keadaan monumen ini sekarang menyedihkan dan tak terawat. Hiasan monumen
seperti Garuda Pancasila tampak telah rusak, seperti dicabut paksa.  Rumput-rumput ilalang di
sekitarnya tumbuh liar meninggi.

http://www.koalisiperempuansulsel.org/2016/05/inilah-emmy-saelan-pejuang-perempaun.html

Kajao Laliddong, Mengukir Sejarah Bangsa Bugis


Mengukir sejarah pada abad XVI atau XVII di Sulawesi Selatan, merupakan suatu prestise gemilang yang
hingga kini masih sulit ditandingi. Sosok seorang tokoh bergelar Kajao Laliddong, penasehat Raja Bone,
memang patut dikenang, dicatat pemikirannya serta diungkapkan nilai-nilai yang dikandung maksud dari
berbagai pesan yang diungkapkannya.
Sebagai seorang anak penggembala dari Kampung Laliddong, konon hobbinya makan siput hingga ada
legenda disana sebuah gunung terbentuk dari ampas siput makanan Kajao Laliddong. Kini lokasi
Kampung Laliddong, Kampung Kajao Laliddong yang tidak diketahui nama aslinya itu, masuk Desa
Padangloang, Kecamatan Cina, sekitar 10 km sebelah barat Watampone. Sebagai seorang rakyat biasa
yang hanya dikenal anak dari Matoa Cina, maka sudah pasti tidak mungkin dapat menginjak Istana
kerajaan secara bebas, kalau tidak memiliki keajaiban dalam dirinya. Kalau tidak karena hak-hak
istimewa yang diberikan oleh Arung Mangkau, sebutan sebagai kepala pemerintahan Kerajaan Bone.
Sebab meskipun feodalisme tidak dikenal dalam lingkungan Kerajaan Bone di masa itu, namun tatanan
adat istiadat mengajarkan untuk menghargai posisi Raja dan lingkungan Istananya, tidak
memperkenankan orang-orang yang bukan anggota perangkat kerajaan – para pegawai atau sanak
keluarga, bebas masuk keluar lingkungan Istana. Sekali lagi, Kajao Laliddong, salah satu yang teristimewa
karena sekaligus diberi tempat tinggal dalam lingkup Istana. Bebas masuk keluar lingkungan Istana.
Kajao, sebutan bagi seorang cendekiawan di Kerajaan Bone, bukan sebuah nama yang karena kebetulan
saja dia orang tua, seperti pemahaman sekarang ini. Kajao, seperti juga Boto bagi Kerajaan Gowa dan To
Acca di Kerajaan Luwu, adalah pemberian gelar karena kelebihan-kelebihan yang melebihi kebanyakan
orang tua lainnya. Di Kerajaan Bone, justru merupakan posisi istimewa, buktinya tidak ada lagi sebutan
Kajao sesudah Kajao Laliddong.
Kajao Laliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir ahli untuk
pemerintahan Kerajaan Bone. Dan jika Ia dipilih, tentu saja bukan karena nepotisme Raja apalagi KKN,
istilah sekarang ini. Sebab seperti saya kemukakan sebelumnya, Ia berasal dari lingkungan strata
masyarakat bawah dari sebuah kampung di luar pusat kegiatan Kerajaan Bone. Sulit sekali menemukan
silsilah Kajao Laliddong, sebab tidak diketahui nama aslinya serta juga konon tidak punya turunan,
malahan dianggap sebagai Bissu.
Dibalik pemikiran Kajao Laliddong yang para pembaca dapat menyimaknya dalam uraian buku ini,
adalah justru sikap Raja Bone dalam menunjuk seorang penasehat dan pemikir kerajaan. Cara merekrut
seorang penasehat, tidak banyak ditemukan dibalik cerita-cerita kerajaan di masa lalu, kecuali bahwa
seorang Raja apabila mendengar ada orang pintar dinegrinya, dipanggilnya kemudian di uji dalam
bentuk dialog dan ujian ketangkasan, sebutlah semacam fit and propert tes, sekarang ini yang langsung
dilaksanakan oleh raja sendiri.
Apabila dalam dialog itu terungkap pernyataan yang menurut raja, ada sesuatu yang mengesankan,
misalnya kecerdasannya dalam menterjemahkan gejala alam, kepiawaian menjawab pertanyaan,
kepandaian merangkai kata-kata dan menggunakan symbol-simbol makna, maka terpililah yang
bersangkutan. Coba kita simak sebuah legenda yang menyebutkan tentang episode ujian yang harus
dilalui Kajao Laliddong.
Raja Bone menguji La Mellong, nama biasanya sekalipun belum nama aslinya, karena itu juga identik
dengan nama kampong asalnya, yakni disuruhnya mengumpulkan orang buta 40 orang. Padahal dapat
dibayangkan, sekarang saja dengan penduduk Bone sekitar 800.000 jiwa sulit mencari orang buta 40
orang apalagi, di abad XVII.
Tat kala sudah didepan Raja Bone, Ia ditanya : “ Apakah kamu sanggup membawakan saya empat puluh
orang buta ke Istana ini ?” Mendengar permintaan Raja Bone itu, La Mellong terdiam, kemudian
keluarlah dari Istana. Ideanya kemudian muncul dengan cara menarik Sebatang Bambu yang masih ada
tangkai dan daunnya keliling kampung hingga depan Istana Raja Bone. Setiap orang yang dilewati
bertanya, “Apa yang kau lakukan La Mellong,” maka yang bersangkutan lantas disuruh ikut ke Istana,
hingga tiba didepan tangga, seorang pengawal bertanya pula. “Apa yang kau bawa itu Lamellong.”
La Mellong mengitungnya sebagai orang ke empat puluh yang kemudian ditunjukkan pada Raja Bone,
bahwa mereka semua yang ikut padanya hingga didepan tangga Istana, adalah orang buta. “Semua itu
Orang Buta Puangta Mangkau, sebab dia tidak lihat kalau saya menarik sebatang bambu.” Sang Raja
terkesan dan hampir saja bertanya pula tentang apa yang dilakukan oleh La Mellong. “Mereka bertanya
pada saya, apa yang saya bawa Puangta, padahal jelas bambu, berarti mereka orang buta.”
Buta dalam pengertian dan penjelasan La Mellong alias Kajao Laliddong, bukan hanya mata yang rusak,
sebab biji mata adalah alat untuk melihat. Yang sesungguhnya melihat adalah hatinya. “ Mereka
membelalakkan matanya, tetapi pikirannya buta Puangta, dan jauh lebih berbahaya bagi kemajuan
negri,” urainya. Sang Raja Bone terkagum-kagum. Dan banyak lagi cerita-cerita yang bersifat anekdot
tetapi mengandung kebenaran, pesan tentang ajaran budaya, dllnya. Cerita lisan ini pun masih banyak
beredar di masyarakat Bugis di Cina, Bone, sekarang ini.
Hanya saja sebagai cerita yang mungkin bisa bersifat dongeng, banyak kemiripan tema dengan cerita
diberbagai wilayah bukan hanya dinegri-negri Bugis. Coba saja kalau dibaca cerita lucu tentang Abu
Nawas yang suka memperdaya Raja Irak, kita lantas menghayalkan persamaannya dengan berbagai
cerita cendekiawan masa lampau di wilayah ini. Bagi Orang Sidenreng, cerita tentang Orang Lise,
kampung awal Nenek Mallomo, banyak sekali cerita lucunya namun penuh informasi tentang
pengetahuan.
Seleksi seorang menjadi Kajao, tidak sekadar diukur kepintarannya dalam konsep Kerajaan Bone. Sebab
sebagai KAJAO bukan hanya penasehat kerajaan, melainkan juga sebagai JURU BICARA dan DIPLOMAT
negara sekaligus sebagai penujum. Dalam melaksanakan tugas diplomasi, kekuasaan dan kewibawaan
kerajaan terletak diujung lidah seorang Kajao. Banyak sekali legenda Kerajaan Bone, diukuir secara
manis oleh Kajao Lalioddong, atas keberhasilannya menjadi diplomat keberbagai negara kerajaan
terdekat, seperti Wajo, Soppeng dan Sidenreng.
Pintar saja tidak cukup bagi pemahaman Kajao Laliddong, namun harus menjadi cerdas. Dari kecerdasan
ada sikap berfikir yang bijak. Kepiawaian dan kesigapan berfikir menjadi faktor utama, karena kondisi
lingkungan yang tidak boleh terlalu lama mencari argumen apabila ada keinginan raja yang segera harus
ditanggapi apalagi kalau terkait dengan keadaan genting kerajaan. Sebab memang waktu itu, Bone
sedang berjayanya dan selalu menjadi inceran Kerajaan Gowa yang terus menerus mengadakan invasi
keberbagai wilayah agar menjadi Kerajaan terbesar di jasirah selatan Pulau Sulawesi. Bone dianggap
sebagai kerajaan rival terberatnya.
Peran penasehat Raja yang sekaligus pemikir kerajaan, sangat besar dalam mempengaruhi penetapan
keputusan tentang sikap kerajaan menanggapi berbagai masalah. Terkhusus bagi Raja selaku kepala
pemerintahan, apabila salah pengambilan keputusan maka pasti kerajaan akan hancur dan rakyat
korbannya. Tetapi coba kita lihat kiprah Kajao Laliddong yang gemilang dalam mengarsiteki hegemoni
kekuasaan Kerajaa Bone abad XVII.
Lahirnya konsep awal SEMPUGI melalui Perjanjian antar kerajaan Bone, Soppeng, Wajo yang dikenal
‘Lamumpatue’ di Timurung, adalah Kajao :Laliddong yang berangkat dari gagasan Raja Bone, agar jangan
ada perang antar kerajaan tetangga, bahkan lebih baik bersatu menghadapi serangan dari Makassar.
Tellumpoccoe sebagai persekutuan dari Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng, disatukan dalam perjanjian
‘Lamumpatue’ itu, kemudian dikembangkan oleh Arung Palakka melalui La Patau Matanna Tikka,
menjadi persekutuan TELLU BUCCOE yakni, Luwu, bone dan Gowa. Persekutuan inilah yang sekarang
terwarisi menjadi Sulawesi Selatan sehingga wajar saja kalau kepemimpinan sekarang ini tidak terlepas
factor sejarah budayanya dengan keberadaan Tellu Boccoe’ pada abada XVII.
Makna seperti itulah yang kiranya perlu dijadikan pengalaman berharga untuk sekarang ini, sebab
banyak kepela pemerintahan tidak mengangkat penasehat atau staf ahli, lantaran mungkin tidak mau
dicampuri dalam penetapatan keputusannya. Ada juga yang mengangkat staf ahli, tetapi hanya simbolik
sebab rekruitmennya berbabau ‘koncoisme’ belaka.
Yang lebih tragis, kalau istri kepala pemerintahan menjadi dominan dalam memberikan pertimbangan
suaminya, celakalah keadaan negara, sebagaimana dipesankan juga Kajao Laliddong. ‘Jangan meminta
pertimbangan pada perempuan kalau menyangkut keadaan perang negara, karena wanita lebih
mengutamakan perasaannya.’
Di masa pemerintahan Kerajaan Bone, sejak Era Tomanurung hingga Raja Bone terakhir Haji Andi
Mappanyukki, tidak semua menggunakan penasehat kerajaan seperti sebutan KAJAO, tetapi sebagai
negara kerajaan yang berserikat dan cenderung bersifat parlementer karena kuatnya peranan DEWAN
ADAT, maka tidak ada keputusan Raja tanpa melalui pertimbangan dalam permusyawaratan.
Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “ Luka taro arung telluka
taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya secara bebas bahwa, keputusan raja dapat
dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan
rakyat banyak.
Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan oleh Kajao Laliddong dengan menempatkan
rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang
sesungguhnya, padahal Kajao Laliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal
apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam proses demokrasi
melalui perwakilan rakyat ( MPR, DPR, DPRD).
Sang penasehat, tidak serta merta juga didengar pendapatnya, sebab dalam berbagai dialog dengan Raja
Bone, maka Kajao Laliddong terkadang berbicara didepan dewan hadat – ADE PITU – terkadang memang
hanya pada Arung Mangkau saja. Artinya, pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih
harus dimintakan pertimbangan dewan hadat. Persetujuan itu diperlukan, karena yang akan memimpin
dan mengarahkan pelaksanaannya nanti adalah, melalui anggota dewan adat.
Dalam pengantar kata ini, sengaja digunakan istilah penasehat raja dan pemikir kerajaan. Sebab
memang setidaknya dalam menjalankan peran Kajao Laliddong sebagaimana kajian atas berbagai
pernyataannya, Ia terkadang sebagai penasehat Raja saja. Diminta atau tidak, Kajao Laliddong
memberikan nasihat. Jika tidak diminta dan apabila ada yang dianggap Kajao Laliddong perlu
disampaikan pada raja, maka digunakan symbol-simbol atau gerak isyarat.
Berbagai cerita yang direkam penulis, apabila ada yang disampaikan Kajao Laliddong tapi tidak dapat
disampaikan langsung, maka Ia mengurung diri dalam kamar beberapa hari tanpa makan dan minum.
Pada saat itulah biasanya raja bertanya. “ Apa yang merisaukan hati Kajao hingga mengurung diri di
kamar.” Mengurung diri di sebuah kamar, sesungguhnya adalah suatu upaya perenungan untuk
menemukan pemikiran yang jernih. Bukankah Nabi Muhammad harus bersemedi di Gua Hira, luar Kota
Mekkah, untuk memperoleh wahyu ?
Kajao Laliddong dalam memberikan jawaban tidak juga secara ferbal, melainkan dalam perandaian atau
kata simbolik, “ Saya mencoba merasakan bagaimana perasaan rakyat jika tidak pernah melihat
pemimpinnya,” demikian jawabannya jika ditanya oleh raja akan sikapnya yang suka bersemdi. Melalui
ungkapan itu raja mengerti bahwa koreksi atas dirinya yang tidak pernah keluar istana melihat keadaan
masyarakat secara langsung.
Ungkapan itu sekaligus menggambarkan bahwa, nasehat itu pada dasarnya bermuatan saran atau
kritikan untuk memperbaiki sikap bertindak seorang raja pada rakyatnya. Artinya, sang penasehat
seperti Kajao, tidak berucap atau bersikap asal menyenangkan rajanya. Bukan Asal Bapak Senang (ABS),
seperti yang banyak dipraktekkan seorang bawahan kepada atasannya, terutama kepada pimpinan
pemerintahan di wilayah Bugis.
Sebagai seorang pemikir, Kajao Laliddong mengungkapkan dalam pertemuan dewan hadat, jika diminta
berpendapat atas diskusi antar anggota dewan adat. Secara bijak, memang Kajao hanyalah diam pada
pertemuan dewan adat, sebab bukan anggota, sehingga nanti berpendapat jika diminta oleh raja.
Namun jika sudah berpendapat, biasanya menjadi dasar kesepakatan yang disetujui dewan adat.
Sengaja digambarkan betapa pentingnya posisi dan peranan seorang penasehat raja atau pemikir
kerajaan, yang dimainkan oleh Kajao Laliddong di masa pemerintahan Kerajaan Bone saat itu. Sama
pentingnya penasehat Kerajaan Gowa yang dimainkan oleh cerdik cendekianya yang bernama Boto
Lempangan. Sama cerdas dan pintarnya dengan To Ciung, To Accana Luwu. Atau Nenek Mallomo di
Sidenreng.
Hampir disetiap kerajaan, ada seorang cerdik cendekia yang muncul, bedanya ada yang menjadi
penasehat langsung kerajaan seperti di Bone, ada juga tidak demikian. Di Soppeng misalnya, malahan
Arung Bila sendiri adalah seorang cerdik cendekia. Karaeng Pattingalloang, di masa Kerajaan Tallo,
mendapat pengakuan dunia atas kecerdasan dan kepintarannya.
Colli Pujie, Arung Pancana dari Tanete – Berru, mendapat kepercayaan untuk menulis kembali naskah
Surek Galigo yang hingga kini menjadi sumber penting bagi semua peniliti dan penulis cerita I Lagaligo
yang diakui sebagai termasuk salah satu keajaiban dunia karena panjang naskahnya hampir 10.000
halaman.

Namanya kurang dikenal dalam pemikiran politik di Indonesia. Maklum, di Indonesia, seperti halnya
dengan banyak negara dunia ketiga lainnya, tradisi pemikiran barat sangat dominan dan
menghegemoni. Sebaliknya, banyak pemikir cemerlang dari bumi nusantara, seperti juga tokoh yang
akan kita bahas di sini, kurang dikenal dalam pemikiran politik yang dipelajari di sekolah-sekolah dan
Universitas.

Dia adalah Kajao Laliddong, seorang pemikir dan negarawan ulung dari tanah Bugis. Salah satu penyair
besar Indonesia, WS Rendra, menyebut Kajao Laliddong sebagai “bintang cemerlang tanah Ugi.”
Pemikiran politik dan konsep ketatanegaraannya dianut dan dijalankan oleh sejumlah kerajaan di Bugis.

Kajao Laliddong adalah sebuah gelar, yang artinya: orang cerdik atau pandai dari kampung Laliddong.
Nama aslinya adalah La Mellong. Ada yang menyebut La Mellong lahir pada tahun 1507, tetapi sumber
pasti menyebut dia berkiprah antara abad ke-16 dan 17.

Dia diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Akan tetapi, patut kita catat,
bahwa ketika Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik, maka Kajao
Laliddong justru menganjurkan agar penguasa lebih jujur dan bijaksana.

Menurut WS Rendra, pemikiran Kajao Laliddong mengenai adat, peradilan, yurisprudensi, dan tata-
pemerintahan sudah cukup lengkap. Bahkan, kata penyair yang dijuluki Si Burung Merak itu, pemikiran
Kajao Laliddong itu mendahului “kode Napoleon”.

Pemimpin Jujur dan Bijaksana

Kajao Laliddong diangkat menjadi penasehat kerajaan Bone pada masa pemerintahan La Tenri Rawe
Bongkange. Pada masa pemerintahan ini, kerajaan Bone mengalami perkembangan sangat pesat berkat
sumbangsih fikiran Kajao Laliddong.

Ia mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat, yaitu:
Lempu’ (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha,kerja
keras), Siri’ (harga diri).

Pada suatu hari, sebagaimana dikisahkan dalam Lontara, raja Bone pernah bertanya kepada Kajao
Laliddong: “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?”
Kajao pun menjawab: dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung
Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya, pertama, raja yang memerintah
memiliki sifat jujur lagi pintar, dan kedua, tidak bercerai-berai/bersatu).
Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan oleh Kajao Laliddong. Ia
punya kemiripan dengan filsuf besar Yunani, Plato, yang senantiasa menekankan kebaikan dan
kebijaksanaan dalam inti filsafatnya. Padahal, hampir bisa dipastikan, Kajao Laliddong tidak pernah
bertemu dengan Plato.

Ini menarik, setidaknya untuk membuktikan bahwa peradaban di timur sudah sangat maju jauh sebelum
kedatangan kolonialisme. Alih-alih para kolonialis datang untuk membuat bangsa timur menjadi
beradab, justru menghentikan perkembangan maju tersebut dan malah mempertontonkan kekejian
kepada dunia timur.

Berbicara Soal Demokrasi

Gagasan-gagasan Kajao Laliddong sangat dekat dengan demokrasi. Dalam gagasan-gagasannya, Kajao
jelas sekali menentang kekuasaan raja yang tidak terkontrol dan tidak dibatasi. Seorang raja, di mata
Kajao Laliddong, tidak boleh terpejam matanya siang dan malam untuk memikirkan kebaikan negerinya.

Jika biasanya raja digambarkan berkuasa mutlak, dan karenanya kata-kata atau perintahnya tidak bisa
dibantah, maka Kajao Laliddong sudah menganjurkan kepada raja-raja Bugis untuk senatiasa mengkaji
segala sesuatunya sebelum bertindak, pandai berbicara dan menjawab pertanyaan, dan memilih utusan
yang senantiasa dapat dipercaya.

Bayangkan, pada abad ke-16 dan 17, jauh sebelum revolusi Perancis meletus di Eropa, kerajaan-kerajaan
Bugis sudah mengenal pembatasan kekuasaan raja. Sementara di Eropa raja-raja masih memerintah
dengan gaya absolutisme.

Di kerajaan Bone, sejak Tomanurung hingga Raja Bone terakhir Haji Andi Mappanyukki, tidak semua
kerajaan menggunakan penasehat, atau biasanya disebut Kajao. Akan tetapi, kekuasaan kerajaan sudah
sangat dibatasi oleh dewan adat. Dewan adat dapat membatalkan keputusan seorang raja.

Menariknya, ketika Kajao Laliddong menjadi penasehat, Ia telah berani mengatakan:  Luka taro arung
telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang (Terjemahan bebasnya: keputusan raja dapat
dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan
rakyat banyak).

Terlepas bagaimana kerajaan Bone mempraktekkannya, tetapi sangat menarik bahwa seorang
intelektual Bugis sudah berbicara mengenai pengutamaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan
keputusan tertinggi.

Sistem Norma (Pangngadereng)

Menurut Mattulada dalam “Matoa”, pada umumnya kerajaan-kerajaan Bugis sudah menerapkan konsep
normal sosial yang disebut “pangngadereng”. Konsep ini diturunkan dari pemikiran Kajao Laliddong,
meliputi: ade’ (adat), bicara (pengadilan) rapang (yurisprudensi), dan wari (strata sosial).

Ade’ (adat) mengandung tiga hal: 1. Ade pura Onro (norma yang bersifat permanen atau menetap tidak
mudah untuk diubah). 2.  Ade Abiasang (sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia). 3. Ade Maraja, (sistem norma baru yang
muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi).
Bicara adalah konsep menyelesaikan persoalan atau pertikaian dalam masyarakat bugis. Mirip sistim
pengadilan di jaman sekarang. Dalam fikiran Kajao Laliddong, setiap pengambilan keputusan terkait
sengketa atau pertikaian harus diputuskan secara objektif, tidak berat sebelah.

Rapang adalah bahwa sesuatu keputusan dapat diperbandingkan dengan keputusan-keputusan


terdahulu atau dengan keputusan adat dari negara tetangga.

Wari adalah sistem yang mengatur keberadaan setiap orang dalam sebuah sistem sosial berikut hak dan
kewajibannya menurut posisi sosialnya.

Konsep “pangngadereng” terus berkembang menjadi konsep umum kerajaan-kerajaan di Bugis. Hanya
saja, ketika pengaruh islam mulai masuk ke wilayah ini, konsep pangngadereng ini ditambah dengan
sara’ (syariat).

Anda mungkin juga menyukai