nDherek Tepang
Joko Elysanto
Tinggal di Jeruklegi, Tegaltandan, Banguntapan, Bantul
Ini hanya cerita tentang perjalanan dan sudut pandang saya tentang
logika dasar aksara jawa.
Apa pentingnya belajar aksara jawa?.
Apa gunanya mengetahui filosofinya?.
Ngayogjakarta
Berbicara
tentang
aksara,
sebenarnya
berbicara
Budi pekerti
Menggaulkan kembali aksara jawa
Metode “apa ya sarana madhangi jawa” Membuat font
Membuat Buku Pedoman Belajar
Membuat produk kopi (merchandise)
Membuat kedai dg menu beraksara jawa
SIPLAH
Sebuah Realita
• Realita saat ini Bahasa jawa dan Aksaranya sudah menjadi
Bahasa & Aksara asing bagi bangsanya sendiri. Generasi
sekarang sukar membedakan bunyi “Ta” dan “Tha” demikian
juga “Dha & Da”.
“KARAKTER JAWA”
MASYARAKAT DUNIA MENGAKUI
(contoh : suara thing, thong, thung, theng. atau penamaan manggar, bluluk, cengkir, degan, klapa)
• KAYA KOSA KATA. Bahasa jawa dengan kekayaan bahasa & aksaranya jelas menyediakan banyak kosa
kata yang sangat dibutuhkan oleh seorang sastrawan dalam menghasilkan sebuah karya sastra.
Indahnya Majaz (gaya bahasa) sangat membutuhkan kekayaan diksi dalam sebuah bahasa. Dengan
kekayaan inilah bangsa jawa mempunyai banyak gaya berkomunikasi dalam berbahasa dan beraksara.
Di era Sultan Agung memang sudah mulai tidak digunakan lagi beberapa bunyi aksara.
(kha, Gha, Bha dll yang terdapat dalam bahasa kawi), namun aksara-aksara yang tidak
termasuk dalam 20 aksara hanacaraka tersebut masih digunakan ketika untuk menuliskan
kata yang berasal dari bahasa kawi dan diposisikan sebagai aksara murda yang berfungsi
sebagai tata-prunggu (sebagai penghormatan). Di masa ini pula muncul aksara rekaan /
rekan yang dibuat untuk menjembatani bunyi-bunyi dari bahasa asing. (arab, China dll).
Khususnya di Jawa Tengah bagian timur sampai ke Jawa Timur.
Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya proses akulturasi budaya luar dengan budaya Jawa Kuno, maka terjadilah
adaptasi suara atau asimilasi suara yang kemudian ketika dituliskan dengan alfabet latin sekarang ini jadi membingungkan
kita. (pakai "A" atau "O").
Aksara Jawa HANACARAKA ini disebut oleh para sejarawan sebagai Aksara Jawa Islam, karena memang muncul pada
era Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram Islam.
Untuk menghindari perihal penulisan suara yang membingungkan tersebut, mari kita mulai belajar aksara Jawa dengan
sejenak mengabaikan perbedaan itu dengan cara kita akan banyak menggunakan bahasa Indonesia saja dalam belajar
aksara Jawa.
Namun jika ingin menuliskan bahasa Jawa dengan aksara Jawa, maka bayangkan saja dialek "Banyumasan / ngapak".
Karena begitulah kira-kira suara asli bahasa Jawa dahulu.
Apakah evolusi bentuk dan tata tulis aksara berkaitan dengan evolusi kesantunan?
AKSARA JAWA
YANG MANA?
KAGANGA & HANACARAKA
KA KHA GA GHA NGA
contoh
AKSARA = Tidak akan hancur / musnah
A = tidak. Ksara = Hancur / musnah
Aksara jawa sebagai wakil dari bunyi yang keluar dari mulut orang jawa, dibuat bentuknya sebagai
pencerminan dari karakter budaya jawa itu sendiri. sebagaimana bentuk-bentuk aksara bangsa lain,
seperti arab, India, Jepang, China, Korea dll yang mencerminkan karakter bangsa tersebut.
Jika kita sepakat bahwa pertahanan dan peradaban tersimpan dalam aksara, maka untuk menggali peradaban wong jawa yang
sesungguhnya pastilah tersimpan dalam aksara dan cara wong jawa memperlakukan aksaranya ( tata tulis / paugeran).
Aksara berbeda dengan Abjad atau Alfabet
Mencerminkan perbedaan sudut pandang
Abugida/Alfasilabik : Setiap aksara itu hidup, sudah berbunyi vokal “a”.
(contoh : Aksara Jawa Ha Na Ca Ra Ka )
Abjad : Setiap huruf punya nama sendiri dan hanya berupa seperti konsonan
(huruf mati), karena baru hidup jika sudah tersusun menjadi kata. (contoh
huruf Arab : Alif Ba Ta tsa Jim…). Atau justru mungkin sudah hidup
sendiri karena Ketika tersambung dengan abjad lainnya menjadi kata,
dia akan otomatis punya penanda vocal sendiri sesuai “kondisi”.
Alfabet : Konsonan (huruf mati) dan vokal (huruf hidup) statusnya sama.
(a.b.c.d.e….)
Semua tentu mengandung filosofinya sendiri-sendiri, dan pasti sesuai cara
pandang bangsa yang menggunakannya. Perbedaan dasar inilah yang otomatis
berdampak pada perbedaan perlakuannya karena didasarkan pada cara
pandang filosofi yang berbeda., Hal ini pula yang mendasari perbedaan budaya
kata Aksara & Santun
• Pemilihan istilah Aksara (tidak hancur) / lestari oleh “orang Timur” menunjukkan cara pandang yang
berbeda dengan “orang Barat”., maka belajar Aksara adalah belajar melestarikan sesuatu agar bisa
dilihat, dirasakan, diketahui oleh orang lain atau generasi sesudahnya.
• Kata Santun, Moral, Budi, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan (Hasil dari perpaduan Akal dan rasa).
Muaranya adalah untuk hidup bersosial. (dengan orang lain/ lebih luas lagi dengan semua mahluk). Hal
ini tercermin pada system tata tulis aksara jawa yang bersifat scriptio continua / sastralampah / tulisan
yang bersambung tanpa spasi dalam satu kalimat utuh.
Kedua duanya terkait dalam rangka pelestarian kehidupan sosial dan alam yang harmonis.
Kesantunanlah yang membuat segala sesuatu menjadi lestari. (tidak hancur)
Tanpa Aksara ilmu tidak akan berkembang dan lestari.
Semua Ilmu jika tercerabut dari akarnya (budi), maka kehancuran yang akan dihadapi.
“Tambah Ilmu tambah berbudi” bukan ”Tambah ilmu tambah kemaki”
Aksara Jawa & Tata Tulisnya
Menata pondasi bawah sadar kita
Dalam tata tulis aksara jawa kita tidak mengenal spasi antar kata. karena tata tulis akasara jawa menggunakan Scriptio
Continua, artinya script yang bersambung. Hal ini menunjukkan atau mengajarkan pada orang jawa agar :
Menjadi seorang pendengar yang baik dan selalu berhati-hati. sebab dalam tata tulis aksara jawa itu ada tanda-
tanda vokal ( taling) yang harus ditulis dahulu sebelum aksaranya dan juga ada aksara pasangan. Maka kita harus
mendengarkan kalimat yang utuh dahulu, baru bisa kita tuliskan agar penempatan sandhangan dan pasangannya
tepat.. Tidak bisa langsung dinotuleni.
Menjadi orang yang bijak dalam bersikap. Karena kita selalu diajarkan untuk selalu melihat sesuatu dalam konteks
yang utuh, sebagaimana tulisan aksara jawa yang bersambung / scriptio continua dalam satu kalimat utuh. Dengan
demikian kita terbiasa melihat sebuah masalah dalam konteks yang utuh. Tidak sepotong-sepotong, bahkan diajarkan
menjadi orang yang sukar ditebak oleh musuh, karena mampu menyimpan gejolak rasa, pintar bersandhi (sanepan,
pasemon dll). Maka dalam tata tulis aksara jawa tidak mengenal tanda tanya dan tanda seru, semua harus dilihat
dalam satu konteks utuh. ( orang jawa kalau marah tingkat tinggi, kadang justru diekspresikan dengan senyum).
Menjadi orang yang sangat menghormati leluhur. karena dalam tata tulis aksara jawa itu, aksara yang mati
bentuknya utuh (lestari), justru aksara yang hidup sesudahnya yang harus berubah menjadi aksara pasangan untuk
menghormati aksara sebelumnya yang mati.
WARTA
implementasi
refleksi
Tiga Konsonan Yang Bisa menjadi Akhir Suku Kata
– “Ha” Filosofinya Hurip / hidup… maka aksara “Ha” tidak boleh mati
(mandeg,stagnan, bodoh). Namun jika aksara “Ha” terpaksa harus mati, maka
aksara “Ha” diganti wignyan (kudu pinter /wignya). Karena ilmunya yang akan
lestari.
– “Ra” Filosofinya Matahari/penerang/sinar di era jawa baru filosofinya bergeser
menjadi “rasa yang bisa jadi pepadhang sejati”. Maka jika aksara “Ra” harus mati
aksaranya diganti layar (seperti Sinar)
– “Nga” filosofi aksara “nga” di era jawa baru, yaitu ngracut busana manungsa,
menjadi Pandhita / Begawan / menjadi suatu yang diluhurkan, maka dia berpindah
tempat, berganti nama dan berganti bentuk menjadi cecak.
Wong Jawa Luwes
Ketika saya hanya belajar untuk bisa baca tulis aksara jawa, dari mulai paugeran KBJ,
Wewaton Sriwedari hingga ke Mardi Kawi saya belum menemukan refleksi karakter
sesungguhnya dari aksara jawa. Namun setidaknya saya jadi tahu paugeran
paugeran dari berbagai era.
Namun… ketika saya mulai mengais ngais hasil tulisan tangan para leluhur kita, saya
baru menyadari ada refleksi perilaku yang tersirat dari tata tulis dan mulai
memahami apa sesungguhnya keluwesan orang jawa.
Karena tinggal kita pencet tombol hurufnya dan variasi tombolnya, sudah muncul
bentuk aksaranya. (yang harus diingat adalah, bahwa Aksara Jawa sudah berbunyi
(vocal A) sedangkan huruf yang ditombol keyboard tersusun model Qwerty. Namun
begitu dapat kita atasi dengan stiker dan beberapa aplikasi keyboard pada HP.
ANSI & UNICODE
Dari telanjang hingga berbaju lengkap
Sandhangan dan Tata Tulis sebagai salah satu indikator kesantunan sebuah Bangsa.
Hampir semua bangsa-bangsa di Asia dan khususnya Asia tenggara dikenal sebagai bangsa yang santun. Dalam
hal kesantunan ini, bangsa Jawa dikenal sebagai bangsa yang sangat santun. Kesantunannya tercermin dari
kekayaan bahasa dan aksaranya.
Pada tata tulis aksara Jawa Kuno (kawi) bahkan Aksara Pallawa semua aksaranya akan turun kebawah jika
sebelumnya ada aksara yang mati, meskipun tidak berubah bentuknya dari aksara nglegena utuh. Hal itu
mencerminkan sebuah kesantunan perilaku sosial dan spiritual yang luar biasa dari sebuah bangsa yang bisa
teridentifikasi dari budi bahasanya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.
Meski bahasa Sanskerta dikatakan sebagai bahasa yang banyak diserap oleh bahasa Jawa. namun tentunya
tidak kalah banyak juga bahasa Jawa asli yang diserap oleh bahasa Sanskerta. Hal ini terjadi karena interaksi
perdagangan bangsa Jawa dengan bangsa-bangsa lain sudah terjalin sejak lama.
Pada jaman dahulu bahasa Sanskerta tersebar dan digunakan hampir di seluruh dunia karena bahasa tersebut
dikenal sebagai bahasa yang santun dan efektif.
Menurut saya pribadi (penulis), Secara sederhana bisa kita analogikan bahwa
bahasa Sanskerta bagaikan sebuah "Bahan Besi Baja" yang terbaik yang disepakati
oleh semua "Pandai Besi" di seluruh dunia. Dan di tangan "Pandai Besi" Jawa, besi
baja tersebut menjadi sebuah senjata yang sangat tajam sekaligus sangat indah.
Evolusi kesantunan perilaku manusia Jawa dari waktu ke waktu sejalan dengan
proses akulturasi budaya dari berbagai bangsa, terlihat dari perubahan bahasanya
yang semakin tajam (detil) dan makin menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan budi
pekerti. Pola Prakerta dan Sanskerta menjadi Ngoko, Krama, dan Krama Inggil.
Filosofi aksara jawa pada Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung
Hanyakrakusuma tentunya berimbas pada bentuk aksara dan tata tulis aksara Jawa
di era baru/modern.
Beberapa Aksara yang bunyinya mulai hilang dari bahasa tutur pun dialihfungsikan
menjadi Aksara Murda yang berfungsi sebagai bentuk penghormatan (tata-
prunggu) agar semakin hidup karena pada dasarnya aksara jawa itu harus hidup.
Perubahan bentuk aksara pasangan juga tidak semata hanya turun kebawah untuk
meluhurkan, namun perubahan juga menyimbolkan perubahan yang
sesungguhnya hingga ke bentuk penampilannya.