Anda di halaman 1dari 206

Penulis:

Tri Wahyuni
Umi Farida
Desi Ari Pressanti

Balai Bahasa Jawa Tengah


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2017
CERITA RAKYAT JAWA TENGAH:
KABUPATEN BLORA
Penulis
Tri Wahyuni, Umi Farida, Desi Ari Pressanti

Penanggung Jawab
Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah

Pemimpin Redaksi
Drs. Suryo Handono, M.Pd.

Penyunting
Enita Istriwati

Cetakan pertama tahun 2017


viii + 196 halaman, 14,5 x 21 cm.
ISBN: 978-602-5057-50-2

Penerbit
Balai Bahasa Jawa Tengah
Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang
Jawa Tengah 50272
Pos-el:info@balaibahasajateng.web.id
Laman: www.balaibahasajateng.web.id

Hak cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA
JAWA TENGAH

Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2012 tentang Organisasi


dan Tata Kerja Balai Bahasa di lingkungan Kemen­terian Pendidikan
dan Kebudayaan dengan tegas dinyatakan bahwa Balai Bahasa
mempunyai tugas melaksanakan peng­kajian dan pemasyarakatan
bahasa dan sastra Indonesia di wilayah kerjanya. Hal itu berarti
bahwa Balai Bahasa Jawa Tengah mempunyai tugas melaksanakan
pengkajian dan pemasyarakatan bahasa dan sastra Indonesia di
Provinsi Jawa Tengah. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Balai
Bahasa, termasuk Balai Bahasa Jawa Tengah, menyelenggarakan
fungsi (a) pengkajian bahasa dan sastra; (b) pemetaan bahasa
dan sastra; (c) pemasyarakatan bahasa dan sastra Indonesia; (d)
fasilitasi pelaksanaan pengkajian dan pemasyarakatan bahasa
dan sastra; (e) pemberian layanan informasi kebahasaan dan
kesastraan; dan (f) pelaksanaan kerja sama di bidang kebahasaan
dan kesastraan.
Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pemerintah
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sedang menggalak­kan
program literasi yang beberapa ketentuannya dituangkan dalam
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015. Program literasi ialah program
yang dirancang untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak bangsa
(Indonesia) dalam kerangka menghadapi masa depan. Dalam
hubungan ini, kesuksesan program literasi memerlukan dukungan
dan peranan banyak pihak, salah satu di antaranya yang penting
ialah dukungan dan peranan bahasa dan sastra. Hal demikian berarti
bahwa–dalam upaya menyukseskan program literasi-- Balai Bahasa

f iii
yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana disebutkan di atas
dituntut untuk memberikan dukungan dan peranan sepenuhnya.
Dukungan dan peranan yang dapat diberikan oleh Balai Bahasa
Jawa Tengah pada tahun ini (2017) di antaranya ialah penerbitan
dan penyebarluasan bahan-bahan bacaan yang berupa buku-buku
kebahasaan dan kesastraan. Buku-buku itu tidak hanya berupa
karya ilmiah hasil penelitian dan/atau pengembangan (kamus,
ensiklopedia, lembar informasi, dan sejenisnya), tetapi juga berupa
karya-karya kreatif seperti puisi, cerpen, cerita anak, dan sejenisnya,
baik yang disusun oleh tenaga peneliti dan pengkaji Balai Bahasa
Jawa Tengah maupun oleh para ahli dan praktisi (sastrawan) di
wilayah Provinsi Jawa Tengah. Hal itu dilakukan tidak lain sebagai
realisasi program pembinaan dan/atau pemasyarakatan kebahasaan
dan kesastraan kepada para pengguna bahasa dan apresiator
sastra, terutama kepada anak-anak, remaja, dan generasi muda.
Buku berjudul Cerita Rakyat Jawa Tengah: Kabupaten Blora ini
tidak lain juga dimaksudkan sebagai upaya men­dukung program
peningkatan kecerdasan anak-anak bangsa sebagaimana dimaksud­
kan di atas. Buku ini memuat 34 judul cerita rakyat di Jawa Tengah
yang ditulis oleh Tri Wahyuni, Umi Farida, dan Desi Ari Pressanti.
Buku ini diharapkan menjadi pemantik dan sekaligus penyulut api
kreatif pembaca, terutama anak-anak, remaja, dan generasi muda.
Dengan terbitnya buku ini, Balai Bahasa Jawa Tengah me­
nyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus
kepada para penulis, penyunting, pengelola, dan pihak-pihak lain
yang terlibat dalam menghantarkan buku ini ke hadapan pembaca.
Selamat membaca dan salam kreatif.

Semarang, Oktober 2017



Dr. Tirto Suwondo, M.Hum.

f iv
f PRAKATA f

Puji syukur kami persembahkan ke hadirat Allah SWT karena


rahmat dan karunia-Nya penulisan Cerita Rakyat Jawa Tengah:
Kabupaten Blora ini dapat terlaksana dengan baik. Hasil kerja ini
merupakan salah satu wujud nyata pengembangan bahasa dan
sastra yang terus dilakukan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah.
Penulisan Cerita Rakyat Jawa Tengah: Kabupaten Blora ini
bertujuan memaparkan dan mendokumentasikan cerita rakyat
yang eksis dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian
dari budaya masyarakat pendukungnya. Pekerjaan ini dilakukan
dengan niat awal untuk menjaga keutuhan cerita milik masyarakat
agar generasi muda tidak kehilangan nilai-nilai kearifan lokal
yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut. Selain itu, upaya
ini dilakukan sebagai benteng agar budaya lokal tidak semakin
tergerus oleh budaya asing yang masuk melalui berbagai media
dewasa ini. Dengan dasar pemikiran itu, Balai Bahasa Jawa Tengah
terus berupaya melakukan pendokumentasian secara bertahap
dan terus menerus.
Penulisan cerita rakyat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih kepada Kepala
Balai Bahasa Jawa Tengah yang telah memberikan bimbingan
dan arahan kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan
buku cerita rakyat ini sesuai dengan rencana. Selain itu, tim juga
mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu terwujudnya buku cerita rakyat ini. Semoga
Tuhan memberkahi upaya kita ini.

f v
Tim penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk me­
nye­lesaikan tugas ini. Segala kritik, pendapat, sumbang saran, dan
masukan dengan senang hati akan kami terima demi perbaikan
buku. Harapan kami, semoga buku cerita rakyat ini bermanfaat dan
berguna demi pelestarian budaya lokal yang merupakan penanda
jatidiri bangsa, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Semarang, Oktober 2017,

Tim Penulis Cerita Rakyat Jawa Tengah:


Kabupaten Blora
Balai Bahasa Jawa Tengah

f vi
f DAFTAR ISI f

KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA JAWA TENGAH....................................iii
PRAKATA............................................................................... v
DAFTAR ISI..........................................................................vii

1. ASAL-USUL BLORA........................................................... 1
2. LEGENDA ARYA PENANGSANG.......................................... 7
3. HILANGNYA PUSAKA PAJANG.......................................... 11
4. LEGENDA PUNDEN JANJANG.......................................... 21
5. LEGENDA KYAI BALUN................................................... 27
6. ASAL MULA CEPU........................................................... 30
7. ASAL-USUL DESA SAMBONG........................................... 33
8. LEGENDA DESA WATU BREM (TU-BREM) ........................ 39
9. ASAL MULA NAMA DESA BRABOWAN, BITING,
DAN GAGAKAN ............................................................. 43
10. LEGENDA KUDA GAGAK RIMANG.................................... 49
11. LEGENDA NAYA GIMBAL................................................. 53
12. ASAL-USUL LIMA DESA................................................... 67
13. MAKAM PURWA RUCI..................................................... 73
14. LEGENDA MALING GENTHIRI ........................................ 78
15. KENTIRI SI BAIK HATI................................................... 83

f vii
16. ARA-ARA KESANGA........................................................ 91
17. JAKA SANGSANG............................................................ 98
18. LEGENDA MBONG SANGSANG....................................... 109
19. LEGENDA KALI LUSI..................................................... 113
20. TERJADINYA DESA GRESI............................................. 118
21. LEGENDA PUSAKA WULU DOMBA PANCAL PANGGUNG... 123
22. LEGENDA LONGKO PATI............................................... 130
23. LEGENDA SILIHWARNA DAN SILIHWARNI..................... 134
24. LEGENDA PRABU KLANA SAWANDANA.......................... 140
25. LEGENDA EYANG JATI KUSUMA.................................... 143
26. LEGENDA TIGA SERANGKAI SORENG............................ 147
27. PERTEMPURAN ARYA JIPANG DAN SUTAWIJAYA............ 153
28. RIWAYAT SUNAN POJOK BLORA................................... 159
29. JAKA SANGSANG DAN DEWI SUMILAH.......................... 162
30. LEGENDA ARUNG BONDAN........................................... 165
31. GAGAK RIMANG KUDA YANG GAGAH BERANI................ 171
32. LEGENDA PENAKLUKAN BLORA..................................... 175
33. LEGENDA KEDUNG MOYO............................................. 181
34. KISAH KADIPATEN PARANG GARUDA DAN
KADIPATEN CARANGSOKA............................................ 190

f viii
<<1 >>
ASAL-USUL
BLORA

B lora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang


letaknya berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur. Cerita asal-
usul Blora ini memiliki banyak versi. Berbagai versi tersebut memiliki
kekhasan dalam penceritaan. Hal tersebut bergantung pada siapa
dan kapan cerita tersebut diceritakan. Berikut ini merupakan salah
satu versi cerita asal-usul Blora berdasarkan cerita beberapa warga
asli Blora.
Dahulu, ada sebuah wilayah yang bernama Kadi­paten Bangir.
Saat itu Kadipaten Bangir termasuk dalam Afdeling Residen
Rembang dan Residen Jepara-Rembang. Pemerintahan Kadipaten
Bangir dipimpin oleh seorang adipati yang dibantu beberapa orang
tumenggung atau wedana. Salah satu wedana di wilayah Kadipaten
Bangir adalah adik kandung Adipati Bangir. Ia merupakan Wedana
Karangjati yang bernama Ngadi. Wedana Ngadi menderita lumpuh.
Meskipun demikian, dia dikenal sebagai orang yang memiliki
kesaktian.
Suatu ketika terjadi gejolak di Kadipaten Bangir. Terjadi pem­­
berontakan yang dipimpin oleh sisa-sisa laskar prajurit Diponegoro
yang bernama Naya Sentika. Naya Sentika merupa­ kan seorang

f 1
lelaki kekar, berwajah garang, berambut panjang dan gimbal. Ia
merupakan salah satu cucu prajurit pribumi yang setia. Penampilan
Naya Sentika yang memiliki rambut gimbal dan terlihat tidak
terurus tersebut memunculkan julukan “Naya Gimbal”. Meskipun
penampilannya sangat menakutkan, dalam jiwa Naya Gimbal
sudah tertanam rasa nasionalisme yang tinggi. Ia dikenal sebagai
sosok yang sangat antipenjajah. Ia sangat membenci para penjajah
beserta antek-anteknya. Naya Sentika pun tidak menyukai para
Bupati dan Wedana yang cenderung berpihak pada Belanda.
Dalam pemberontakan tersebut, Naya Gimbal beserta para
prajuritnya menyerang kadipaten dengan membabi buta. Hal
ini mengakibatkan prajurit kadipaten kewalahan. Naya Gimbal
menyerang siapa saja dengan garang. Banyak sekali prajurit
Kadipaten Bangir yang tewas. Senopati perang Kadipaten Bangir
yang bernama Begede Jetis gugur dalam pertempuran tersebut.
Pemberontakan Naya Gimbal cukup meresahkan Adipati Bangir
dan rakyatnya. Dalam keadaan bingung dan terancam, Adipati
Bangir memutuskan bersemedi untuk mendapatkan petunjuk
tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk menghentikan
pemberontakan Naya Gimbal dan pengikut­nya tersebut.
Akhirnya, dalam semedinya Adipati Bangir mendapat­ kan
wangsit ‘petunjuk gaib’. Sang adipati mendapat petunjukbahwa
orang yang dapat mengalahkan Naya Gimbal adalah adik kan­­
dungnya sendiri, yakni Wedana Ngadi. Akhirnya, tanpa pikir
panjang, Adipati Bangir mem­beritahukan wangsit yang diterimanya
tersebut kepada adiknya. Wedana Ngadi pun segera maju ke
medan perang melaksanakan titah sang adipati yang tak lain adalah
kakak kandungnya. Dikarenakan tubuh Wedana Ngadi lumpuh, ia
memerintah anak buahnya untuk mem­ bawanya menggunakan
tandu ke medan laga menghadapi pasukan Naya Gimbal.

f 2
Wedana Ngadi yang lumpuh ditandu di medan perang
menghadapi pasukan Naya Gimbal

Wedana Ngadi tidak gentar sedikitpun menghadapi Naya


Gimbal dan pasukannya yang garang. Dengan kesaktian yang
dimilikinya ia melawan Naya Gimbal dari tandu. Selain itu,
Wedana Ngadi memiliki pusaka ampuh berupa tombak yang
dinamai Godong Andong. Dengan pengaruh kewibawaan pusa­
ka­­nya tersebut akhirnya Wedana Ngadi berhasil menghalau dan
mengalahkan prajurit Naya Gimbal.
Kemenangan Wedana Ngadi ini disambut suka cita dan sorak
sorai rakyat Kadipaten Bangir. Wedana Ngadi diarak me­nuju ke
balairung kadipaten. Dengan bangga Adipati Bangir memeluk
adiknya yang lumpuh tersebut. Sambil terus mendekap adik
kandungnya, sang adipati membisikkan ucapan selamat dan terima
kasih atas perjuangan sang adik. Setelah itu, sang adipati berkata
pada semua orang yang ikut mengarak sang wedana.

f 3
“Wahai, rakyatku. Hari ini sebuah sejarah besar telah ter­ukir.
Adikku, Wedana Ngadi telah berhasil menyelamatkan Kadi­pa­ten
Bangir dari aksi pemberontakan Naya Gimbal,” kata sang adipati
tertahan sejenak.
“Oleh karena itu, aku akan menghadiahinya separuh wila­yah
Bangir ini,” lanjut sang adipati tanpa sadar menitikkan air mata
haru.
“Tubuhnya memang lumpuh, tetapi semangat dan ke­ bera­
nian­nya patut kita contoh, wahai rakyatku,” kata sang adipati lagi.
Uraian Adipati Bangir ini disambut gegap gempita suara rakyat
yang berkumpul di balairung kadipaten sambil mengelu-elukan
nama Wedana Ngadi.
“Ampun, Gusti. Itu sudah menjadi tanggung jawab ham­ba
sebagai salah satu rakyat Kadipaten Bangir. Sudah sepantasnyalah
saya membela tanah air ini demi kemaslahatan bersama,” sergah
Wedana Ngadi yang masih duduk di tandunya.
“Ini sudah menjadi keputusanku, Adhi Ngadi. Engkau tidak
usah risau. Separuh wilayah Kadipaten Bangir ini aku serahkan
kepadamu, Adhi. Jagalah, rawatlah, dan pimpinlah rakyatmu
dengan segala kemapuan dan daya linuwih yang kau miliki, Adhi.
Aku tahu engkau adalah kesatria pinilih dan pinuji. Aku yakin
kau bisa memimpin kadipaten baru nantinya, Adhi,” kata Adipati
Bangir sambil memeluk Wedana Ngadi lagi. Setelah mengusap
air mata yang tidak disadarinya mengalir, Adipati Bangir kembali
mengumumkan pemberian separuh wilayah Kadi­­paten Bangir ini.
“Wahai, rakyatku. Kalian adalah saksi dari keputusanku.
Kadipaten Bangir ini akan dibagi dua sigar semangka atau sama
besar. Separuh wilayah Bangir ini akan dipimpin oleh adikku,
Ngadi,” kata sang adipati di depan rakyatnya yang bersorak sorai
mendengar kembali pengumuman tersebut.

f 4
Singkat cerita, Wedana Ngadi diangkat menjadi bupati
separuh wilayah Bangir itu. Namun, wilayah yang dihadiahkan
tersebut belum bernama. Demi mendapatkan nama untuk kadi­
paten baru tersebut, Ngadi bersemedi. Dalam semedinya, Ngadi
justru mendapat wangsit ‘petunjuk gaib’ yang berseberangan
dengan apa yang diharapkannya. Ia mendapat “titah” gaib untuk
menguburkan jenazah senopati yang gugur dalam per­tem­puran
pemberontakan Naya Gimbal, yakni Begede Jetis. Sebelumnya,
jenazah senopati tersebut dikebumikan di Desa Jetis. Dalam
wangsit yang diterima Ngadi, jenazah Begede Jetis tersebut harus
dipindahkan ke sebelah utara Desa Jetis. Tanah di sebelah utara
Jetis itu berada di dataran tinggi yang disebut pojok.
Kemudian, Ngadi memerintah anak buahnya mengadakan
upacara penggalian makam Senopati Begede Jetis. Para pengikut
Ngadi yang setia itu segera melaksanakan titah sang pimpinan
dengan cekatan. Upacara penggalian dilaksanakan dengan baik.
Segala macam ubarampe dipersiapkan demi kelancaran upa­
cara tersebut. Ngadi memimpin pelaksanaan upacara ter­ sebut
secara langsung di atas tandu. Setelah makam digali, jenazah
sang senopati diangkat dan dipindahkan ke tempat yang sudah
dipersiapkan sesuai wangsit yang diterima Ngadi. Setelah upa­cara
pemindahan jenazah itu selesai, Ngadi memerintah anak buah­nya
untuk membangun cungkup di wilayah itu. Demi menghargai dan
menghormati jasa sang senopati, Ngadi mem­berikan gelar sunan.
Oleh karena makamnya berada di tanah yang tinggi (pojok),
akhirnya Begede Jetis mendapatkan sebutan Sunan Pojok. Hingga
sekarang banyak peziarah yang men­datangi makam Sunan Pojok
ini.
Meskipun sudah diumumkan sebagai pimpinan wilayah
separuh Kadipaten Bangir, Ngadi belum dilantik secara resmi.
Pada saat pelantikannya sebagai adipati, Ngadi belum juga

f 5
mendapatkan petunjuk mengenai nama kadipaten yang dipimpin­
nya. Hari pelantikan telah tiba. Banyak tamu undangan yang hadir
untuk memberikan ucapan selamat dan hadiah atas pelantikan
Ngadi sebagai adipati wilayah yang belum bernama tersebut. Lalu,
Ngadi mendapatkan ide nama kadipaten dari sebuah hadiah yang
dibawa oleh Asisten Residen Rembang. Ngadi dihadiahi seekor
kuda tunggang atau kuda teji yang masih muda yang dapat dipakai
sebagai kendaraan. Dalam bahasa Jawa anak kuda atau kuda yang
masih muda disebut dengan belo. Namun, entah mengapa tiba-tiba
kuda yang dihadiahkan tersebut jatuh sakit. Tercetus oleh Ngadi
untuk memberi nama kadipaten baru yang dipimpinnya itu Blora
yang berasal dari kata belo ‘anak kuda/kuda yang masih muda’dan
lara ‘sakit’.
Demikianlah, pada upacara pelantikan tersebut, Ngadi resmi
menjadi Adipati Blora. Pemerintahan Adipati Ngadi sangat baik.
Meskipun beliau cacat, tetapi memiliki strategi kepemimpinan
yang baik. Adipati Ngadi memimpin dengan bijaksana. Ia tidak
segan turun langsung ke wilayah-wilayah perkampungan untuk
mengetahui langsung keadaan rakyatnya. Ia begitu dicintai rakyat­
nya. Rakyat merasa senang dan tenteram. Hasil bumi Kadipaten
Blora melimpah di bawah kepemimpinan Adipati Ngadi. Singkat
cerita, Adipati Ngadi meninggal dalam usia lanjut. Sebelum
mangkat, sang adipati berpesan agar dimakamkan di sebelah
utara kadipaten yang berbatasan dengan Kadipaten Bangir.
Masyarakat Blora menyebut makam Adipati Ngadi dengan sebutan
Ngadi Purwa yang berasal dari kata Ngadi, yaitu nama adipati
yang dimakamkan dan kata purwa yang berarti ‘pemula’. Sebutan
tersebut dimaksudkan untuk mengenang Adipati Ngadi sebagai
pemula berdirinya Kadipaten Blora, yang sekarang menjadi
Kabupaten Blora.

f 6
2 >>
<<

LEGENDA ARYA
PENANGSANG

A rya Penangsang merupakan seorang keturunan Raja Demak,


yakni cucu Sultan Trenggono, Raja Demak yang berkuasa
pada tahun 1521—1546 M. Arya Penangsang merupakan putra
dari anak tertua Sultan Trenggono. Sultan Trenggono mangkat
pada tahun 1546 M, pada saat melakukan ekspedisi ke Panarukan.
Sepeninggal Sultan Trenggono suasana di Demak menjadi tidak
kondusif. Terjadi perebutan kekuasaan hingga jatuh banyak korban
di lingkungan keluarga istana. Korban pertama adalah Pangeran
Seda Ing Lepen, putra tertua Sultan Trenggono. Pangeran Seda
Ing Lepen merupakan ayah Arya Penangsang yang dibunuh atas
perintah Pangeran Prawata, yaitu Putra kedua Sultan Trenggono.
Sepeninggal Pangeran Seda Ing Lepen, Pangeran Prawata
menjadi anak laki-laki tertua Sultan Trenggono, sehingga dialah
yang berhak naik takhta menggantikan kedudukan sang ayah
menjadi Raja Demak. Anak Pengeran Seda Ing Lepen bernama
Arya Penangsang tidak terima atas kematian ayahnya. Diliputi
dendam membara, Arya Penangsang menuntut balas atas kematian
ayahnya. Dia membunuh Sunan Prawata beserta istrinya. Selain
itu, Arya Penangsang juga membunuh pamannya yang tinggal di

f 7
Kalinyamat (daerah Jepara) yang dikenal dengan nama Pangeran
Kalinyamat.
Setelah membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Kalinya­
mat, Arya Penangsang menjadi keturunan laki-laki tertua Sultan
Trenggono. Dengan demikian, dia berhak kembali atas tahta
Kerajaan Demak. Namun, kenyataan tersebut tidak lantas mem­
buat Arya Penangsang menjadi lega karena sepeninggal Sunan
Prawata pihak kerajaan tidak menunjuknya untuk men­ duduki
tahta kerajaan. Seseorang yang ditunjuk untuk menduduki tahta
Kerajaan Demak adalah Pengeran Kediri atau Pangeran Pangiri.
Ia merupakan anak laki-laki Pangeran Seda Ing Lepen yang
berarti saudara Arya Penangsang. Namun, kedudukan Pangeran
Kediri atau Pangeran Pangiri sebagai Raja Demak hanya semacam
simbolis saja. Hal ini dikarenakan Kerajaan Demak masih dianggap
labil sepeninggal Sultan Trenggono. Oleh karena itu, dalam
mengatur jalannya pemerintahan masih di bawah perlindungan
Sultan Pajang.
Menurut cerita tutur Jawa, Arya Penangsang menjadi adipati,
yang menguasai wilayah Jipang Panolan. Arya Penangsang juga
disebut dengan nama Arya Jipang. Sebagaimana diketahui, Jipang
dan Panolan adalah dua nama tempat yang berbeda yang kini
berada di wilayah Kabupaten Blora. Dengan begitu dapat diartikan
bahwa Arya Penangsang adalah penguasa di dua wilayah tersebut
sekaligus yang merupakan wilayah bawahan Kerajaan Demak.
Arya Penangsang akhirnya dikalahkan oleh Jaka Tingkir, me­
nantu Sultan Trenggono yang menjadi adipati di Pajang. Kekalahan
Arya Penangsang ini sudah direncanakan oleh bibinya sendiri, yakni
Ratu Kalinyamat. Jaka Tingkir menyerang Arya Penangsang atas
permintaan Ratu Kalinyamat yang merasa sakit hati kerena Arya
Penangsang telah membunuh suaminya. Dalam riwayat dinyatakan
bahwa Ratu Kalinyamat bersumpah atas nama suaminya, yakni

f 8
Ratu Kalinyamat bertapa di sebuah gua sebagai bentuk protes atas
kematian suaminya di tangan Arya Penangsang.

selama pembunuh suaminya masih berada di muka bumi, dia akan


terus melakukan tapa wuda ‘bertapa dengan tidak mengenakan
busana’. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes atas kematian
suaminya. Dia benar-benar tidak mengenakan selembar kain pun,
melainkan menutupi tubuhnya hanya dengan rambutnya yang
panjang tergerai.
Keberhasilan Jaka Tingkir mengalahkan Arya Penangsang
sebenarnya bukan mutlak keberhasilan pribadi. Jaka Tingkir
dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan dan Sutawijaya. Sutawijaya
merupakan anak Ki Ageng Pemanahan yang sudah diangkat oleh
Jaka tingkir. Atas jasanya tersebut, Ki Ageng Pemanahan dan
Sutawijaya diberi hadiah berupa lahan hutan yang bernama Hutan
Mentao. Hutan tersebut pada perkembangannya dibuka dan kelak

f 9
menjadi kerajaan besar bernama Mataram di bawah kekuasaan
Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.
Berkat kemenangannya atas Arya Penangsang, Jaka Ting­kir
mengubah wilayah tempat tinggalnya di Pajang menjadi ibu kota
kerajaan. Dia juga mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar
Sultan Hadiwijaya. Kemudian, di bawah kepemimpinannya, Demak
diubah menjadi ibu kota daerah. Sepeninggal Arya Penangsang,
wilayah Jipang Panolan diambil alih oleh Sultan Hadiwijaya yang
kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama Pangeran
Benawa.
Pada saat Mataram tumbuh menjadi sebuah kerajaan yang
sema­kin besar, Sultan Pajang mengkhawatirkan kebesaran Mata­­
ram akan mengancam keberadaan Kerajaan Pajang. Oleh karena
itu, Raja Pajang berusaha memperingatkan Raja Mata­ram, yaitu
Panembahan Senopati atau Sutawijaya yang sudah diangkatnya
sebagai anak. Namun, Panembahan Senopati tidak menghiraukan
peringatan dari Raja Pajang tersebut. Hal ini menyebabkan
pecahnya perang terbuka antara Kerajaan Pajang dan Kerajaan
Mataram.
Pasukan Pajang tidak berhasil mengalahkan bala tentara
Mataram. Hal ini disebabkan pasukan Mataram dibantu oleh
pasukan makhluk halus, yakni anak buah ratu jin penguasa Laut
Selatan. Sultan Hadiwijaya tidak terima dengan kekalahan yang
dialami pasukan Kerajaan Pajang. Ia merasa sedih dan jatuh sakit
hingga akhirnya meninggal dunia. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya,
Kerajaan Pajang beserta seluruh wilayah bawahannya jatuh ke
tangan kekuasaan Mataram, termasuk wilayah Kadipaten Jipang
Panolan.

f 10
3 >>
<<

HILANGNYA
PUSAKA PAJANG

T ersebutlah pemerintahan Kadipaten Jipang Panolan yang


menjadi wilayah bawahan Kerajaan Pajang karena kekalahan
Arya Penangsang oleh Sutawijaya. Wilayah tersebut kemudian
diserahkan kepada putra Sultan Hadiwijaya yang bernama
Pangeran Benawa. Adapun Ki Ageng Pemanahan, ayah Sutawijaya,
yang membantu menyingkirkan Arya Penangsang diberi hadiah
bumi Mentaok. Selain itu, Ki Penjawi yang juga dianggap berjasa
dalam mengalahkan Arya Penangsang, diberi hadiah bumi Pati.
Kelak, Bumi Mentaok menjadi kerajaan besar bernama Mataram di
bawah kepemimpinan Ki Ageng Pe­manahan yang bergelar Sultan
Agung. Setelah Ki Ageng Pema­na­han wafat, Bumi Mentaok atau
Mataram diserahkan kepada anaknya, yaitu Sutawijaya. Setelah
naik tahta, Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati.
Kebesaran Kerajaan Mataram akhirnya mengalahkan ke­
besaran Kerajaan Pajang. Melihat hal itu, Raja Pajang, Sultan
Hadi­wijaya tidak berkenan. Beliau lalu memperingatkan Suta­
wi­jaya atau Panembahan Senopati untuk tidak meluaskan wila­
yah kekuasaanya. Namun, Panembahan Senopati tidak meng­
hiraukannya sehingga akhirnya pecah perang terbuka antara

f 11
Kerajaan Pajang melawan Kerajaan Mataram. Sudah menjadi hal
yang umum jika suatu kerajaan kalah perang, maka kerajaan
beserta seluruh isinya menjadi milik sang pemenang. Begitu
pula Kerajaan Pajang. Seluruh isi istana dirampas dan dikuasai
untuk selanjutnya diboyong ke Mataram termasuk benda-benda
kebesaran kerajaan maupun pusaka-pusakanya. Namun, pada
kenyataannya Pangeran Benawa sebagai pewaris Kerajaan Pajang
tidak mau melepaskan sebuah pusaka yang bernama Wulu Domba
Pancal Panggung dengan alasan pusaka tersebut sudah diserahkan
oleh ayahnya kepadanya. Meskipun pihak Mataram terkenal sangat
garang, tetapi untuk hal tersebut pihak Mataram meluluskan
permintaan Pangeran Benawa untuk tidak mengambil pusakan
kerajaan tersebut. Begitulah, akhirnya Pangeran Benawa masih
tetap dapat menyimpan pusaka pemberian ayahandanya tersebut.
Pusaka Wulu Domba Pancal Panggung adalah kumpulan
dari beberapa pusaka bertuah Kerajaan Pajang yang terdiri atas
Tumbak Kyai Karawelang, Keris Kyai Semburat, Kudi Trantang,
Panah Kyai Sapu Jagat, dan Pedang Kyai Clengkrong. Kelima
pusaka tersebut ditempatkan dalam sebuah guci buatan Cina.
Dalam keyakinan Pangeran Benawa, kelima pusaka tersebut
merupakan yoni atau wahyu untuk keraton. Artinya, barang siapa
memiliki atau menyimpan pusaka tersebut, dia akan mendapatkan
wahyu keraton.
Pangeran Benawa dan beberapa orang pengikutnya menata
kembali sisa wilayah Pajang yang sebagian sudah dirampas
oleh Kerajaan Mataram. Berbekal pusaka Wulu Domba Pancal
Panggung ia mengembangkan wilayah kekuasaan ke seberang
timur Bengawan Sala. Wilayah-wilayah perluasan tersebut di
antaranya adalah Kabupaten Bojonegoro dan Rajegwesi. Tindakan
Pangeran Benawa dalam memperluas wilayah ke­kuasa­an tersebut

f 12
Pangeran Benawa memohon agar pusaka Kerajaan Pajang
tidak dirampas.

sebenarnya kurang disetujui oleh saudara-saudaranya karena akan


mendatangkan risiko yang tidak ringan.
Perluasan wilayah yang dilakukan Pangeran Benawa tersebut
membuat Bupati Rajegwesi merasa terancam. Bupati Rajegwesi
menyiapkan diri untuk berjaga-jaga bila terjadi tersuatu yang tidak
diinginkan. Ia mengatur strategi agar dapat menghalau pasukan
Pangeran Benawa dari bumi Rajegwesi. Dari mata-mata dan
sejumlah telik sandi yang dikerahkan, Bupati Rajegwesi mengetahui
bahwa Pangeran Benawa mengandalkan pusaka keramat Kerajaan
Pajang. Oleh karena itu, Bupati Rajegwesi menyusun siasat untuk
mencuri pusaka keramat tersebut.
Bupati Rajegwesi mengumpulkan semua petinggi dan tetua
Kabupaten Rajegwesi dalam pengaturan siasat menghadapi
pasukan Kerajaan Pajang. Di antara para tumenggung yang

f 13
hadir dalam persidangan tersebut, hanya seorang modin dari
Kuncen yang menyanggupi untuk mencuri Pusaka Pajang yang
berada di Panolan tersebut. Singkat cerita, Modin Kuncen itu pun
segera berangkat ke Panolan dengan didampingi Modin Ngoken.
Keberangkatan Modin Kuncen dan Modin Ngoken ke Panolan
diiringi oleh Laskar Recakwesi. Salah satu strategi Laskar Recakwesi
yang dipimpin Modin Kuncen dan Modin Ngoken adalah membuat
kekacauan di wilayah timur kadipaten, yakni Desa Sumber Pitu.
Kekacauan yang dibuat itu bukan tanpa alasan. Laskas Recakwesi
bertujuan mengalihkan perhatian prajurit Kadipaten Panolan agar
terfokus di sebalah timur istana.
Siasat tersebut pun berhasil. Kekacauan tersebut membuat
sebagian besar Laskar Jipang Panolan membuat persiapan dan
berjaga-jaga di Desa Sumber Pitu sehingga di dalam istana kosong.
Dengan begitu, Modin Kuncen dan Modin Ngoken dengan mudah
dapat masuk istana dengan leluasa.
Akhirnya, mereka berdua berhasil menemukan pusaka
keramat Kerajaan Pajang yang konon merupakan sumber kekuatan
Pangeran Benawa. Namun, Modin Kuncen dan Modin Ngoken
mengalami kesulitan ketika hendak mengangkat seperangkat
pusaka keramat Kerajaan Pajang tersebut. Mereka berdua mencari
akal agar dapat mengangkat pusaka itu. Akhirnya, mereka
berdua menemukan cara jitu. Dengan menggunakan seutas tali
ijuk mereka berdua berhasil membawa pusaka keramat tersebut.
Setelah berhasil membawa seperangkat pusaka keramat Kerajaan
Pajang itu, pasukan Kabupaten Rajegwesi yang tergabung dalam
Laskar Recakwesi menuju ke arah barat kadipaten agar tidak
berjumpa dengan pasukan Jipang Panolan yang berjaga di sebelah
timur, tepatnya di Desa Sumber Pitu.
Singkat cerita, Pangeran Benawa akhirnya menyadari
hilangnya pusaka Wulu Domba Pancal Panggung. Ia sangat marah

f 14
dan kecewa atas kelalaiannya menjaga pusaka peninggalan
ayahnya tersebut. Hal itu mengakibatkan keadaan di dalam istana
tidak kondusif. Sering terjadi perselisihan antara satu dengan
yang lainnya. Akhirnya, Pangeran Benawa memanggil saudara-
saudaranya, yakni Pangeran Jati Kusuma, Pangeran Jati Kuswara,
Pangeran Anom (Panjaringan), Pangeran Giri Jati, dan Pangeran
Giri Kusuma. Pangeran Benawa memerintah saudara-saudaranya
tersebut untuk mencari pusaka keramat. Pangeran Benawa
menunjuk pimpinan pasukan pencari pusaka kepada Pangeran Jati
Kusuma. Setelah semuanya siap, mereka berlima segera berangkat
menuju ke arah barat lalu ke utara.
Pasukan pencari pusaka tersebut tiba di suatu tempat yang
dihuni sejenis makhluk halus atau siluman. Orang yang tinggal di
kawasan tersebut banyak yang menganut ajaran mistik sehingga
mereka bisa berubah wujud menjadi seekor binatang jadi-jadian,
seperti harimau, babi hutan, dan sebagainya. Kepandaian tersebut
digunakan untuk berbuat yang tidak baik, seperti mencuri,
merampok dan perbuatan jahat yang lain. Mereka memanfaatkan
ilmu berubah wujud yang dikuasai untuk melancarkan aksi jahat.
Melihat hal tersebut, Pangeran Jati Kusuma menamai tempat
tersebut gadu, yang artinya ‘tempat ini banyak terdapat binatang
gadungan’.
Agar terhindar dari hal-hal buruk, Pangeran Jati Kusuma
beserta pasukannya cepat-cepat meninggalkan wilayah Gadu.
Mereka terus berjalan ke arah utara. Akhirnya, sampailah mereka
di suatu tempat yang sejuk dan ditumbuhi banyak pepohonan. Di
tempat tersebut, pasukan Pangeran Jati Kusuma dapat dengan
mudah melihat ke arah utara. Ketika beristirahat sambil melihat-
lihat suasana di sekelilingnya, Pangeran Jati Kusuma mengambil
sehelai daun dibentuk sebuah menjadi cinthung ‘centong sayur’
untuk mengambil air di sebuah sumur yang berada di daerah

f 15
tersebut. Sumur tersebut kemudian dinamakan Sumur Cinthung
atau Sendang Cinthung. Ketika sebagian pengikutnya beristirahat,
Pangeran Jati Kusuma melihat ke arah utara dan tampaklah sebuah
tempat yang kelihatan agak kurang terang. Menurut perkiraan
Sang Pangeran, tempat itu dapat menunjukkan di mana pusaka
kerajaan yang hilang dapat ditemukan. Tidak jelas bagaimana
ceritanya hingga akhirnya tempat yang tampak suram tersebut
dinamakan Cereme.
Pangeran Jati Kusuma beserta pasukannya melanjutkan
perjalanan ke tempat yang diperkirakan dapat menunjukkan dapat
ditemukannya pusaka kerajaan yang hilang. Akhirnya, sampailah
mereka di tempat yang sangat sulit dilalui karena keadaan
sudah gelap. Hal tersebut membuat mereka terpaksa menunda
perjalanan untuk sementara. Keadaan di tempat tersebut sangat
gelap. Akhirnya, Pangeran Jati Kusuma menancapkan Tongkat
Kyai Jumpina ke tanah. Dari bekas tancapan tongkat tersebut
keluar cairan yang menyala sehingga dapat dipakai sebagai
minyak untuk menyalakan obor. Petilasan tempat tersebut
kemudian disebut Magung atau Murgum yang artinya ‘sumur
agung’ (sekarang terletak di Desa Lodok bagian barat). Magung
ini sampai sekarang dipergunakan untuk sesaji dan sedekah bumi.
Selain itu juga digunakan untuk melepas kaul atau nazar bagi yang
memercayainya.
Setelah cukup terang, rombongan tersebut melanjutkan
perjalanan. Di tengah perjalanan, obor yang mereka bawa ke­
habisan minyak. Dengan sigap dan cekatan Pangeran Jati Kusuma
kembali menancapkan tongkatnya dan seketika keluarlah minyak
dari tempat yang ditumbuhi pohon beringin tersebut. Pada
perkembangannya tempat keluarnya minyak yang ditumbuhi
pohon beringin tersebut dinamakan Sringin berasal dari kata ngisor
‘di bawah’ dan ringin ‘beringin’. Rombongan kembali melanjutkan

f 16
perjalanan hingga di tengah perjalanan obor yang mereka bawa
kehabisan minyak kembali. Seperti yang dilakukan sebelumnya,
Pangeran Jati Kusuma menancapkan kembali tongkat ke tanah
sehingga keluar minyak yang dapat digunakan untuk menyalakan
obor. Di tempat tersebut Pangeran Jati Kusuma membagi tugas
kepada saudara-saudaranya. Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran
Jati Kuswara meneruskan perjalanan ke arah utara sedangkan
Pangeran Anom, Pangeran Giri Jati, dan Pangeran Giri Kusuma
melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Di tempat lain, perjalanan Modin Kuncen sampai di sebuah
ladang yang penuh dengan tanaman cabai yang mulai memerah.
Modin Kuncen melepas lelah dengan beristirahat di bawah pohon
rindang di tengah ladang cabai tersebut.
“Alangkah banyak cabai di tempat ini,” gumam Modin Kuncen
sambil mengamati ladang cabai yang subur itu.
“Kelak, tempat ini dinamakan Desa Cabaian,” gumamnya lagi.
Hingga kini Desa Cabaian masih ada tetapi tidak banyak penduduk
yang menanam cabai.
Setelah merasa segar, Modin Kuncen melanjutkan per­
jalanannya menuju ke arah utara. Sampai akhirnya dia tiba di
sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon Joho. Hutan itu begitu
lebat dan sejuk. Suasana ini membuat Modin Kuncen mengantuk
hingga akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat di hutan
tersebut. Setelah sekian waktu berselang, Modin Kuncen bangun
dan merasakan tubuhnya menjadi segar kembali. Dia menamakan
hutan tersebut Hutan Joho. Kemudian Modin Kuncen melanjutkan
perjalanannya ke arah utara.
Dalam perjalanannya, Modin Kuncen tidak menemui banyak
rintangan. Dia sangat menikmati perjalanannya tersebut. Hingga
sampailah dia di sebuah sendang ‘sumber mata air’. Karena hari
sudah agak siang, Modin Kuncen merasa lapar. Dia memutuskan

f 17
beristirahat di dekat sendang tersebut. Dia membuat perapian
di dekat sendang itu dan memasak dedaunan untuk sarapan.
Setelah mengisi perut, Modin Kuncen hendak membersihkan diri.
Modin Kuncen mandi sepuasnya di sendang yang teduh itu. Dia
juga mencuci pakaian yang dipakainya karena sudah agak berbau
keringat. Setelah dicuci, pakaiannya langsung dijemur di sekitar
sendang tersebut. Sembari menunggu pakaiannya kering, Modin
Kuncen menutupi badannya dengan selembar kain yang dibawanya.
Dengan buaian semilir angin dan kicau burung, tertidurlah Modin
Kuncen. Ketika sudah menjelang waktu salat asar dia terbangun.
Pakaian yang dipakainya telah kering dan siap dipakai kembali.
Modin Kuncen bersiap hendak melanjutkan perjalanannya kembali.
Sendang tempatnya beristirahat dan menjemur pakaian tersebut
dinamakannya Sendang Pepe yang artinya ‘sendang tempat
menjemur’. Tempat tersebut sampai sekarang sering didatangi oleh
seniman untuk ngalap berkah ‘meminta barokah’ agar diberi suara
bagus seperti suara Modin Kuncen. Adapun yang dilakukan adalah
dengan cara mengadakan sedekah di tempat tersebut. Sampai
sekarang sendang tersebut masih sangat dikeramatkan, khususnya
oleh masyarakat di sekitar sendang. Begitu keramatnya tempat itu
hingga tidak ada orang yang berani mengambil ikan yang hidup di
sendang tersebut.
Modin Kuncen melanjutkan perjalanan ke arah timur. Dia
menuju ke wilayah Kadipaten Rajegwesi. Menjelang waktu salat
magrib Modin Kuncen tiba di Desa Paingan. Karena waktu untuk
menjalankan salat magrib sangat terbatas, dia singgah di surau
desa tersebut untuk menunaikan sembahyang. Desa Paingan
merupakan desa tempat tinggal Pangeran Giri Kusuma. Pada
saat Modin Kuncen memasuki halaman surau, dia dilihat oleh dua
orang warga desa yang ternyata anak Pangeran Giri Kusuma yang
bernama Sumilir dan Sikentir. Melihat ada orang asing di desa

f 18
mereka, Sumilir dan Sikentir berinisiatif memberitahu ibu mereka
yang bernama Nyai Sri Kuning. Begitu mendengar laporan dari
kedua anaknya, Sri Kuning segera pergi ke surau yang letaknya
tidak begitu jauh dari rumahnya.di rumahnya yang tidak begitu
jauh dari surau. Setelah mengamati beberapa saat, Sri Kuning
tertarik pada barang yang dibawa orang asing yang datang ke desa
mereka tersebut. Sri Kuning mengenali barang yang dibawa oleh
pendatang itu merupakan pusaka yang sedang dicari suaminya.
Sri Kuning mengatur siasat untuk dapat merebut pusaka
keramat itu. Ia mencoba merayu pendatang tersebut agar mau
bermalam di rumahnya. Pada mulanya Modin Kuncen tidak mau
bermalam di tempat yang sama sekali belum dikenalnya. Namun,
kecantikan Sri Kuning yang sangat memesona telah meluluhkan
naluri kelelakiannya. Setelah lama bercengkerama akhirnya Modin
Kuncen berkenan menginap di rumah keluarga Nyai Sri Kuning
yang merupakan istri Giri Kusuma. Sri Kuning menjamu tamunya
dengan minuman tuak yang sudah diramu dengan ramuan yang
memabukkan. Hal ini dilakukan agar Modin Kuncen pingsan
sehingga Sri Kuning leluasa mengambil pusaka keramat yang telah
lama dicari suaminya. Benar saja, begitu menenggak minuman
yang disuguhkan Sri Kuning, Modin Kuncen langsung mabuk lalu
tak sadarkan diri.
Pada saat itu pula Sri Kuning memerintah kedua putranya untuk
memberitahukan keberadaan tamu tersebut kepada Pangeran Giri
Kusuma. Saat itu Pangeran Giri Kusuma tengah berada di Trisinan,
yakni sebelah timur Desa Paingan. Pangeran Giri Kusuma bergegas
kembali ke Paingan begitu mendengar pemberitahuan dari kedua
putranya. Setibanya di rumah, dia sangat gembira karena barang
yang dibawa sang tamu benar-benar pusaka yang sedang dicarinya.
Agar tamunya tidak melarikan diri, Pangeran Giri Kusuma dibantu
kedua putranya mengikat kaki dan tangannya.

f 19
Tidak lama berselang, Modin Kuncen sadar dari pingsannya.
Ia sangat terkejut dan tidak berdaya karena kedua tangan dan
kakinya terikat. Setelah dicecar pertanyaan bertubi dari Pangeran
Giri Kusuma, Modin Kuncen pun akhirnya mengakui bahwa
dirinyalah yang telah mencuri pusaka Kerajaan Pajang yang berada
di Kadipaten Jipang Panolan. Karena sang pencuri pusaka sudah
mengaku dan sudah tidak berdaya, Pangeran Giri Kusuma tidak
tega untuk menghukumnya. Akhirnya dia membebaskan Modin
Kuncen dengan syarat tidak boleh memberitahukan hal itu kepada
orang lain.
Dengan ditemukannya kembali pusaka tersebut, Pangeran Giri
Kusuma beserta saudara-saudaranya merasa sangat gembira. Agar
tidak diketahui orang lain, pusaka-pusaka tersebut dibagi dengan
saudara-saudaranya. Tempat penyimpanan pusaka yang berwujud
guci atau gentong ditinggalkan di Desa Paingan. Guci tersebut diisi
dengan lantung ‘residu’ yang berasal dari Magung. Oleh sebab itu,
guci tersebut kemudian dikenal dengan nama Genthong Silatung
dan menjadi pusaka Desa Ledok turun-temurun. Guci tersebut diisi
dengan lantung setiap tiga bulan sekali. Adapun hari pengisiannya
dipilih pada Jumat Pahing.

f 20
4 >> <<

LEGENDA
PUNDEN JANJANG

L egenda Punden Janjang terkait dengan kisah perjalanan


Pangeran Jati Kusuma dan Pengeran Jati Kuswara dalam
pengembaraannya mencari pusaka Kerajaan Pajang yang
hilang. Konon setelah berpisah dengan ketiga saudaranya, yakni
Pangeran Anom, Pangeran Giri Jati, dan Pangeran Giri Kusuma
yang melanjutkan perjalanan ke arah timur, Pangeran Jati Kusuma
dan Pangeran Jati Kuswara melanjutkan perjalanan ke arah utara.
Perjalanan mereka berdua dapat dikatakan cukup lancar tanpa
halangan yang berarti. Mereka membawa beberapa orang pengikut
yang terdiri atas sahabat dekat dan beberapa orang punggawa.
Suatu hari, sampailah mereka berdua di suatu tempat yang
sulit dilalui karena di depannya terbentang sungai yang berarus
deras dan curam. Para pengikutnya tidak dapat melalui rintangan
tersebut. Melihat hal itu, Pangeran Jati Kusuma segera bertindak. Ia
menggunakan kesaktiannya untuk menciptakan sebuah jembatan
di atas sungai tersebut. Jembatan yang terbuat dari tanah itu
terbentang menghubungkan dua tebing di atas sungai yang deras
dan curam itu. Akhirnya rombongan dapat melintasi sungai dengan
lancar dan selamat. Hingga sekarang tempat tersebut dikenal
dengan sebutan Wot Lemah ‘jembatan yang terbuat dari tanah’.

f 21
Sesampainya di seberang sungai, rombongan Pangeran Jati
Kusuma beristirahat melepas penat yang mendera. Pangeran
Jati Kusuma melihat keadaan di sekitar tempat tersebut. Dia
menikmati suasana alam yang sejuk dan tenang. Tiba-tiba,
Pangeran Jati Kusuma memerhatikan sebuah tempat yang
menarik perhatiannya. Pangeran Jati Kusuma melihat tempat yang
diarasakan layak untuk bertapa. Ia segera memberitahukan hal
itu kepada para pengikutnya. Ia berkehendak bertapa di tempat
tersebut. Dengan tangkas dan cekatan para pengikut Pangeran
Jati Kusuma menyiapkan segala peralatan yang diperlukan untuk
bertapa. Namun, setelah beberapa lama ternyata tempat tersebut
tidak cocok untuk bertapa. Tanah tempat bertapa tersebut tiba-
tiba jigrug ‘longsor’ yang berarti tidak cocok untuk bertapa. Para
pengikut Pangeran Jati Kusuma menduga bahwa tanah di tempat
tersebut tidak kuat menahan kesaktian Pangeran Jati Kusuma yang
sedang bertapa.
Kemudian, para pengikut kedua pangeran itu pun menyaran­­
kan untuk berpindah ke tempat yang lebih cocok. Adapun tempat
tersebut kemudian dinamakan Gunung Cilik atau Juruk yang berasal
dari kata Jugrug. Pangeran Jati Kusuma menyatakan pada para
pengikutnya bahwa ketika bertapa di tempat yang longsor tersebut
dia sempat mendapat wangsit ‘petunjuk’. Pangeran Jati Kusuma
mendapatkan petunjuk bahwa tempat bertapa yang cocok untuk
kedua pangeran tersebut ialah sebuah pegunungan yang berada di
sebelah utara tempat tersebut. Jadi, tanah longsor itu merupakan
pertanda mereka harus pindah ke tempat yang lain. Dalam
wangsit ‘petunjuk’ tersebut, kedua pangeran beserta rombongan
diperintahkan untuk mencari tanah yang njajang. Oleh karena itu,
sang pangeran menyebut tempat yang disebutkan dalam semedinya
dengan tanah janjang.

f 22
Tanpa berpikir lama lagi, mereka pergi mencari tempat seperti
yang diperintahkan pada wangsit. Mereka berjalan ke arah timur
laut. Tampaklah di sana gugusan pegunungan yang sesuai dengan
petunjuk yang diterima dalam tapa brata sang pangeran. Akhirnya,
rombongan pun segera menuju ke tempat tersebut.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tersebut, diceritakan
bahwa kedua pangeran itu membuat masjid di Desa Genjeng, yang
terletak di dekat Desa Nglebur/ Ngrambah. Masjid tersebut dikenal
dengan nama Masjid Benteng. Tidak terlalu jelas riwayat penamaan
masjid tersebut. Diceritakan juga bahwa selama proses pembuatan
masjid tersebut, kedua pangeran itu selalu didatangi oleh seorang
wanita cantik dari Desa Bleboh yang bernama Nyai Randha Kuning.
Maksud kedatangan wanita tersebut agar diperkenankan menjadi
selir sang pangeran. Keinginan Nyai Randha Kuning tersebut tidak
dikabulkan, tetapi juga tidak ditolak. Kedua pangeran tampan
itu tidak menanggapi rayuan wanita cantik itu karena mereka
menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian dari godaan dalam
pembangunan masjid. Mereka hanya memfokuskan perhatian
pada pembangunan masjid agar manfaatnya dapat dirasakan oleh
masyarakat di sekitar wilayah itu untuk beribadah.
Proses pembangunan masjid belum selesai, tetapi sang
pangeran sudah meninggalkan tempat tersebut untuk bertapa
di tanah janjang. Menurut cerita, hal ini dilakukan karena sang
pangeran mendengar sebuah bisikan untuk segera bertapa
di tanah janjang tersebut. Akhirnya, pembangunan masjid
dilanjutkan oleh para pengikut dan warga Desa Bleboh. Di sisi
lain, selama sang pangeran bertapa, Nyai Randha Kuning tetep
setia menunggu permintaannya dijadikan selir dikabulkan sang
pangeran. Nyai Randha Kuning benar-benar dimabuk asmara yang
bertepuk sebelah tangan. Tindakan Nyai Randha Kuning tersebut
pada akhirnya memunculkan sebuah aturan umum yang harus

f 23
dipatuhi oleh warga Desa Bleboh, yakni orang dari Desa Bleboh
atau Desa Nglebur tidak boleh menikah dengan orang dari Desa
Janjang. Latar belakang munculnya aturan tersebut kurang begitu
jelas. Peraturan tersebut benar-benar dipatuhi oleh warga kedua
desa tersebut karena jika dilanggar akan mengakibatkan bencana.
Namun, apabila memaksa harus menikah, kedua calon mempelai
harus bersedia hidup bersama terlebih dahulu di Desa Nglebur
atau Desa Bleboh. Selain itu, calon mempelai wanitalah yang harus
mengajukan lamaran terlebih dahulu, seperti yang dilakukan oleh
Nyai Randha Kuning.
Di tanah janjang, diceritakan dua pangeran yang sedang
melakukan tapa brata. Cara bertapa dua orang pangeran tersebut
berbeda. Pangeran Jati Kusuma melakukan tapa dengan cara
mengurangi makan dan tidur, sedangkan Pangeran Jati Kuswara
melakukan tapa dengan cara terus-menerus makan dan tidur.
Dikisahkan, selama melakukan tapa, kedua pangeran tersebut
saling menunjukkan kesaktiannya. Di antara kedua pangeran
tersebut yang memiliki kesaktian yang lebih ungggul adalah
Pangeran Jati Kuswara.
Suatu ketika, Pangeran Jati Kusuma marah kepada adiknya.
Ia tidak suka dengan cara bertapa adiknya yang terus-menerus
makan tersebut. Pangeran Jati Kusuma pun memecah kendil yang
biasa dipergunakan untuk menanak nasi. Namun, kemarahan
Pangeran Jati Kusuma tersebut tidak membuat Pangeran Jati
Kuswara terpancing untuk marah. Pecahan kendil yang sudah
berantakan tersebut dipungut dan dikumpulkan serta diatur
sedemikian rupa sehingga pulih kembali seperti sediakala. Pernah
pula Pangeran Jati Kusuma mencoba kesaktian adiknya dengan
cara menyuruh seorang utusan mengambil sorban yang tertinggal
di Desa Semanggi. Sang utusan pun segera berangkat menjalankan
perintah tuannya. Setibanya di Desa Semanggi sang utusan

f 24
Pangeran Jati Kusuma menasihati adiknya, Pangeran Jati Kuswara yang
terus makan dan tidur ketika bertapa

tertegun karena melihat sorban yang dimaksud berada di puncak


pohon nyiur yang cukup tinggi sehingga tidak mudah diambil.
Karena merasa tidak sanggup mengambil sorban tersebut, sang
utusan memutuskan untuk kembali menghadap tuannya, Pangeran
Jati Kusuma. Ia memberitahu sang tuan perihal yang dilihatnya.
Mendengar hal tersebut, Pangeran Jati Kuswara menyatakan tidak
percaya lalu sang utusan disuruhnya kembali ke Desa Semanggi
untuk segera mengambil sorban yang diminta kakaknya.
Dengan perasaan kesal karena tidak dipercaya, sang utusan
pun kembali ke Desa Semanggi memenuhi Perintah Pangeran Jati
Kuswara. Namun, begitu tiba di Desa Semanggi, utusan tersebut
merasa heran dan takjub karena pohon nyiur yang tadinya
menjulang tinggi, seketika merendah sehingga sorban yang

f 25
dimaksud oleh tuannya dapat diambil dengan mudah. Begitulah,
akhirnya kedua pangeran sakti tersebut menghabiskan sisa usia
mereka di tempat mereka bertapa yang kemudian diberi nama
Desa Janjang. Mereka menjadi tokoh masyarakat yang sangat
disegani dan dikagumi karena kebijaksanaan dan kesaktian
mereka. Mereka pun meninggal di desa tersebut dan dimakamkan
di tempat yang sama. Makam kedua pangeran tersebut dinamakan
punden janjang karena berbentuk punden berundak yang berada
di Desa Janjang.
Sampai sekarang, setiap tahun diadakan upacara sedekah
bumi di makam kedua pangeran tersebut. Upacara itu dilaksanakan
setiap habis panen, tepatnya pada Jumat Pon. Di samping itu, di
makam tersebut juga sering digunakan sebagai tempat ngalab
berkah ‘mencari barokah’. Ritual itu dilaksanakan dengan acara
mementaskan pertunjukan wayang Krucil khas Janjang dengan
menampilkan wayang keramat ciptaan sang pangeran yang terdiri
atas Wayang Panji, Wayang Kyai Brojol, Wayang Kyai Kuripan, dan
Wayang Nyi Sekentir.
Konon wayang-wayang tersebut sangat keramat. Jika
terpaksa dipentaskan di luar daerah, wayang tersebut harus
dibawa dengan jalan kaki dengan cara digendong. Selain itu,
makam kedua pangeran tersebut juga sering digunakan sebagai
sarana melakukan peradilan tradisional yang dikenal dengan istilah
Sumpah Janjang. Acara tersebut biasanya dilakukan dalam rangka
mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan jalan
lain. Dengan dilakukannya Sumpah Janjang dalam waktu yang tidak
terlalu lama kebenaran pasti akan segera terungkap, paling lama
dalam jangka waktu tiga bulan. Hal ini sebagaimana pepatah Jawa
yang berbunyi becik ketitik, ala ketara ‘yang baik akan diketahui,
yang jelek pun akan kelihatan’.

f 26
<<5 >>
LEGENDA
KYAI BALUN

K yai Balun merupakan sebutan untuk Pangeran Anom atau


Pangeran Panjaringan. Pada cerita sebelumnya disebutkan
bahwa pusaka keramat Kadipaten Jipang Panolan yang hilang
berhasil ditemukan oleh para pangeran. Para pangeran yang
menemukan pusaka tersebut memutuskan untuk tidak kembali
ke Panolan. Pangeran-pangeran tersebut memutuskan bermukim
di daerah lain (daerah yang dilewati ketika mencari pusaka yang
hilang). Beberapa desa yang dijadikan tempat bermukim para
pangeran tersebut adalah Desa Trisinan dan Desa Giyanti. Hal
tersebut dilakukan karena para pangeran itu mendengar kabar
bahwa sepeninggal mereka mencari pusaka, Pangeran Benawa
kurang mendapatkan simpati masyarakat dalam pemerintahannya
karena dianggap kurang bijaksana.
Pangeran Giri Kusuma memerintah Pangeran Anom untuk
memata-matai Kadipaten Jipang Panolan dari sebelah barat. Untuk
melancarkan titah itu Pangeran Anom melepas busana kesatrinya
dan berganti pakaian layaknya orang kebanyakan. Busana kesatria
Pangeran Anom ditanam di bawah pohon beringin di sebelah timur
Desa Giyanti. Tempat pakaian Pangeran Anom ditanam kemudian

f 27
Pangeran Anom sangat kurus sehingga terlihat “balung”
atau tulang-belulangnya .

disebut dengan nama Desa Ringin Anom. Setelah menanam baju


kesatrianya, Pangeran Anom pergi ke arah Barat Laut Panolan dan
memutuskan bermukim di Gunung Kedinding. Di tempat tersebut
ia bertapa sembari melihat keadaan Kadipaten Jipang Panolan.
Pada suatu ketika Pangeran Anom menginginkan pergi ke
arah timur agar dapat lebih dekat mengawasi daerah kekuasaan
Pangeran Benawa. Bahkan, ia mengganti namanya menjadi
Pangeran Panjaringan. Sesampainya di Desa Balun, sang pangeran
bertemu dengan seorang gadis yang menurut penduduk setempat
sangat misterius. Gadis tersebut kadang-kadang kelihatan,
kadang-kadang tidak dalam bahasa Jawa dikatakan cat katon
cat ora. Singkat cerita, gadis misterius yang bernama Rara Sekar
tersebut diperistri oleh Pangeran Anom atau Pangeran Penjaringan.

f 28
Selanjutnya Pangeran Panjaringan menetap di desa tersebut dan
menjadi kyai yang berjuluk Kyai Balun karena badannya yang
sangat kurus sehingga terlihatlah tulang belulangnya atau dalam
bahasa Jawa disebut balung. Adapun tempat Rara Sekar ditemukan
dinamakan “Balun Sri Katon”.
Kyai Balun dan istrinya sama-sama memiliki daya linuwih
atau kesaktian yang mumpuni. Desa yang mereka tempati pada
akhirnya dinamakan Desa Balun. Rakyat hidup rukun tenteram dan
bersahaja di bawah kepemimpinan Kyai Balun dan istrinya yang
murah hati dan bijaksana. Mereka sangat mencintai Kyai Balun
dan istrinya tersebut. Bahkan, demi kemajuan masyarakat desa
yang dipimpinnya, Kyai Balun dan istrinya mendirikan sebuah
padepokan tempat masyarakat belajar beraneka macam ilmu yang
bermanfaat bagi kehidupan mereka.

f 29
6 >>
<<

ASAL
MULA CEPU

D iceritakan sejak pusaka Pajang hilang, Pangeran Benawa


mengutus saudara-saudaranya untuk mencarinya sampai
ditemukan. Ia begitu risau dengan hilangnya pusaka peninggalan
ayahnya tersebut. Siang dan malam ia sangat gelisah dan menanti
kabar dari saudara-saudaranya. Keadaan tersebut membuatnya
sangat tidak tenang. Tidak jarang ia marah tanpa sebab. Namun,
kelakuannya tersebut dimaklumi oleh semua penghuni Istana
Jipang, baik para dayang, hulubalang, permaisuri, para selir,
maupun rakyat Jipang secara luas. Mereka sangat maklum dengan
apa yang dialami Pangeran Benawa tersebut. Tidak lelah permaisuri
dan seluruh penghuni istana menenangkan Pangeran Benawa.
Akhirnya, suatu hari ia mendapatkan kabar gembira. Pusa­ka
yang lama hilang tersebut ditemukan dalam keadaan utuh. Pangeran
Benawa bersuka cita dengan kabar tersebut. Ia memutuskan
menyelenggarakan sebuah pesta rakyat meraya­ kan kembalinya
pusaka keluarga tersebut. Semua penghuni istana pun bersuka
ria karena pemimpin mereka kembali ceria dan bersemangat.
Pesta dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Rentak gendang dan
tabuh-tabuhan melengkapi suasana gegap gempita pesta rakyat

f 30
itu. Pangeran Benawa tampak begitu gagah duduk di singgasana
dikelilingi permaisuri dan para selir. Aneka hidangan tersaji rapi
di meja jamuan. Para tamu undangan dari kadipaten-kadipaten
sekitar Istana Jipang juga ikut larut dalam keriaan tersebut.
Hari demi hari berlalu menjadi bulan dan tahun. Setelah
pusaka ditemukan tidak lantas membuat Pangeran Benawa
menjadi semakin baik dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia
menjadi sangat arogan dan pongah. Demi membangkitkan kembali
kejayaan Jipang, ia menekan rakyat dengan pajak dan upeti yang
sangat tinggi. Hal tersebut membuat rakyat Jipang menjadi kurang
bersimpati lagi dengan Pangeran Benawa.
Kabar kurang simpatinya rakyat Jipang Panolan terhadap
kepemimpinan Pangeran Benawa akhirnya didengar oleh
saudara-saudara Pangeran Benawa yang berada di luar Jipang
Panolan. Mereka memang tidak kembali lagi ke Panolan setelah
melaksanakan tugas mencari pusaka kadipaten yang hilang. Dua
pangeran di antara lima saudara Pangeran Benawa sangat tidak
berkenan dengan ketidakadilan Pangeran Benawa memimpin
Panolan. Mereka adalah Pangeran Giri Kusuma dan Pangeran
Giri Jati. Mereka memang dikenal memiliki kesaktian dan ilmu
kanuragan yang baik. Mereka berdua bersepakat melakukan
pemberontakan terhadap saudaranya tersebut. Maksud dan
tujuan mereka adalah untuk memberi pelajaran kepada Pangeran
Benawa. Kedua pangeran tersebut menganggap Pangeran Benawa
sudah tidak bisa diberi pengertian dan dianggap sering melakukan
tindakan yang kurang terpuji terhadap bawahan dan rakyat Jipang
Panolan.
Aksi pemberontakan pun segera dilancarkan. Ternyata, aksi
pemberontakan ini sudah tercium oleh pasukan dari Panolan.
Pasukan Kadipaten Jipang Panolan dipimpin langsung oleh Pangeran
Benawa. Singkat cerita, pasukan Pangeran Benawa sudah sampai

f 31
Pangeran Benawa dan pasukannya terbenam di dalam lumpur
panas sampai batas paha.

di tepi Sungai Bengawan Sala. Namun, pada akhirnya pasukan


Pangeran Benawa terkurung di daerah lembah yang dalam dan
berlumpur. Pangeran Benawa tidak dapat bergerak karena kakinya
terbenam dalam lumpur panas hingga di atas lutut, dalam bahasa
Jawa istilah tersebut adalah disebut sadhuwuring pupu ‘di atas
paha’. Oleh karena itu, tempat tersebut pada akhirnya diberi nama
cepu yang berasal dari kata mancep sepupu ‘terbenam hingga
paha’. Karena tidak bisa bergerak, dengan terpaksa Pangeran
Benawa menyerah kepada kedua adiknya. Di tempat itu dia berjanji
akan mematuhi nasihat-nasihat saudara-saudaranya.

f 32
7 >>
<<

ASAL-USUL
DESA SAMBONG

K ekalahan pasukan Kadipaten Jipang Panolan oleh pasukan


dari Kadipaten Pajang mengakibatkan pendudukan wilayah
Jipang oleh orang Pajang. Adapun yang kemudian menduduki
Kadipaten Jipang adalah Pangeran Benawa, putra Raja Pajang.
Atas kekalahannya tersebut, laskar Jipang yang masih setia tetap
melakukan kegiatan di sekitar Jipang Panolan.
Di bagian utara wilayah Jipang, dikenal seorang yang sangat
taat beragama dan cukup disegani bernama Kyai Angga­ maya.
Beliau berasal dari Tuban. Kedatangan Kyai Angga­ma­ya ke wilayah
tersebut atas permintaan pengikut setia Arya Penang­ sang. Kyai
Anggamaya diminta untuk membantu mem­ bangkitkan kembali
kekuatan. Padahal, sebenarnya ada maksud lain di balik permintaan
tersebut. Kyai Anggamaya yang karismatik tersebut akan dijadikan
alat untuk merongrong ketenteraman di Kadipaten Jipang Panolan.
Kyai Anggamaya dikenal sebagai seorang yang saleh dengan
pengikut yang banyak. Berkat keramahan dan kepiwaiannya dalam
menyebarkan agama Islam, ia mampu menga­ jak banyak orang
untuk menjadi pengikut.

f 33
Wilayah utara yang berkembang pesat tersebut dinamai Desa
Sambong. Adapun nama “Sambong” berasal dari kata sam­bongan
‘bendungan’. Dikisahkan, pada waktu pertama bermukim di desa
tersebut, Kyai Anggamaya dan pengikut-pengikutnya membuat
bendungan. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebutnya dengan
sam­bongan, yaitu bendungan untuk menahan air agar pada waktu
musim kemarau tidak kekurangan air. Bendungan itulah yang dapat
menyambung hidup para warga karena memang air adalah ke­
butuhan dasar manusia. Desa Sambong begitu makmur dan berkem­
bang pesat setiap harinya di bawah keemimpinan Kyai Anggamaya.
Suatu ketika, di Jipang Panolan terjadi kekacauan yang
disebabkan oleh beberapa orang yang mengaku berasal dari
wilayah utara. Kekacauan tersebut dicurigai sebagai bentuk
pemberontakan. Pemberontakan yang cepat dan luas di wilayah
utara tersebut dianggap mengancam keutuhan pemerintahan
Jipang Panolan. Akhirnya, Adipati Jipang Panolan menyatakan
perang dengan Kyai Anggamaya dan pengikut-pengikutnya.
Pasukan kadipaten dikerahkan untuk menumpas Kyai Anggamaya
dan pengikutnya sebelum terjadi pemberontakan yang lebih besar.
Perang saudara pun pecah. Pasukan Jipang Panolan menyerang
para santri Kyai Anggamaya dengan garang. Akan tetapi, pasukan
Jipang Panolan kalah dan dapat didesak mundur. Para santri Kyai
Anggamaya menggunakan taktik yang sangat halus dan rapi.
Tidak tampak sama sekali akan ada aksi pemberontakan di wilayah
utara tersebut. Sang kyai pun meyakinkan bahwa tidak ada niat
sedikit pun untuk menyerang Jipang Panolan. Namun, pihak Jipang
Panolan tidak begitu saja percaya dengan penyataan kyai sepuh
tersebut. Mereka tetap merasa terancam dengan bahaya laten
yang mungkin saja dilancarkan oleh wilayah utara tersebut.
Berita tentang kerisauan Jipang Panolan tersebut akhirnya
didengar oleh pihak Mataram. Panembahan Senopati menyatakan

f 34
Kyai Anggamaya mencoba meyakinkan panglima perang Jipang Panolan
bahwa tidak ada upaya pemberontakan.

jika kekacauan di Panolan dibiarkan akan mem­ bahayakan bagi


Panolan sendiri, bahkan mungkin dapat meluas ke Mataram.
Oleh karena itu, Panembahan Senopati mengirim dua orang
putranya, yakni Raden Rangga dan Raden Rama untuk mengatasi
masalah tersebut. Pasukan dari Mataram dipimpin oleh Ki Juru
Martani yang dikenal hebat dan ahli di bidang strategi perang
untuk turut menyelesaikan kerisauan di Panolan akan adanya isu
pemberontakan tersebut.
Ki Juru Martani beserta dua orang putra mahkota Panem­bahan
Senopati datang ke Jipang Panolan dan menyelidiki keadaan yang
sebenarnya. Setelah tahu kalau pemberontakan dilakukan dengan
cara sembunyi-sembunyi, Ki Juru Martani lalu menyelidikinya
lebih serius. Dengan keahlian luar biasa, Ki Juru Martani akhirnya

f 35
tahu bahwa ternyata pemberontakan yang terjadi itu dipimpin
oleh orang dari Tuban, bernama Kyai Anggasana. Ia merupakan
saudara Kyai Anggamaya, tetapi bukan santri Kyai Anggamaya.
Jadi, hal tersebut merupakan upaya propaganda yang sangat rapi
mengambinghitamkan santri Kyai Anggamaya.
Lalu, Ki Juru Martani meminta Pangeran Rangga untuk
mema­damkan pemberontakan tersebut. Akan tetapi, laskar yang
dipimpin oleh Pangeran Rangga dan Pangeran Rama tidak mampu
menandingi kekuatan pasukan pemberontak yang dipimpin Kyai
Anggasana. Terpaksa Pangeran Rama kembali menghadap Ki
Juru Martani untuk melaporkan kejadian tersebut. Ki Juru Martani
turun tangan memadamkan pemberontakan tersebut. Dalam
peperangan antara Pangeran Rangga melawan Kyai Anggasana
tersebut banyak sekali prajurit yang terluka bahkan tidak sedikit
yang gugur. Pangeran Rangga harus mengakui keunggulan Kyai
Anggasana.
Ki Juru Martani tidak terima dengan kekalahan tersebut.
Lalu, dengan kesaktiannya ia menyerang Kyai Anggasana hing­ga
tewas. Tewasnya Kyai Anggasana tersebut akhirnya diketahui Kyai
Anggamaya. Sebagai seorang kakak, ia membela adiknya, Kyai
Anggasana. Kesaktian Kyai Anggasana memang tidak sebanding
dengan Kyai Anggamaya. Oleh karena itu, Kyai Anggamaya
membantu adiknya agar dapat mendesak mundur pasukan
pimpinan Ki Juru Martani dan dua pangeran Mataram. Pada
akhirnya, Ki Juru Martani mengakui kesaktian Kyai Anggamaya
yang tidak mempan oleh segala macam senjata, kecuali dengan
pusaka yang dimiliki Ki Klepu dari Kapuwan.
Ki Juru Martani pun segera menghubungi Ki Klepu. Ki Juru
Martani diberitahu oleh Ki Klepu bahwa Anggamaya akan sulit
dikalahkan jika pusaka andalannya yang berupa “Kul Buntet” tidak
lepas dari badannya. Selain itu, walau pusaka yang berupa “Kul

f 36
Buntet” sudah lepas dari badannya, ia masih tetap tidak akan
mempan oleh senjata apapun jika tidak dibunuh dengan pusaka
dari Pluntur Sewu yang dimiliki oleh Kyai Putat. Untuk keperluan itu,
Ki Juru Martani diminta kesediaannya mengambil pusaka di Pluntur
Sewu yang berwujud Kutuk Buntung ‘anak ayam buntung’. Ki Juru
Martani pun segera berangkat ke Pluntur Sewu untuk menghadap
Kyai Putat guna meminta senjata seperti yang diberitahukan oleh
Ki Klepu.
Setelah mendapatkan pusaka yang dimaksud, Ki Juru Martani
segera mengajak Raden Rangga untuk melaksanakan tugasnya.
Raden Rangga diberitahu bahwa saat yang tepat untuk membunuh
Anggamaya adalah pada saat dia sedang sembahyang karena pada
saat itu ia akan melepaskan semua piandel ‘pusaka’ dari badannya.
Oleh karena itu, sebelumnya Raden Rangga harus bersembunyi,
jangan sampai diketahui oleh Anggamaya.
Saat yang dinantikan pun tiba. Waktu itu, Kyai Anggamaya
sedang menunaikan salat Asar. Pada saat ia sedang bersujud, ketika
perhatiannya hanya berpusat kepada Tuhan, Raden Rangga segera
menusukkan pusaka Kutuk Buntung ke tubuh Anggamaya. Seketika
Kyai Anggamaya jatuh terkapar. Sebelum menghembuskan napas
terakhirnya, ia sempat meninggalkan pesan atau ipat-ipat
“Eh wong sakiwa tengene Sambongan iki, sasurutku aja ana
sing ngrusak Agama Islam. Yen nganti ngrusak Agama Islam bakal
ora langgeng uripe, kaya aku kang bekti lan mituhu prentahe agama”
(Hai orang-orang di sekitar daerah Sambong ini, sesudah aku mati
jangan ada yang merusak agama Islam. Jika sampai merusak agama
Islam bakal tidak abadi hidupnya, seperti saya yang berbakti dan
menaati perintah agama). Sampai sekarang orang-orang di Desa
Kejalen dan Sambong masih sangat percaya akan hal itu. Jenazah
Kyai Anggamaya dikebumikan oleh para santrinya di wilayah Desa
Sambong. Dengan wafatnya sang kyai membuat pihak Jipang

f 37
Panolan dan Mataram merasa aman. Akhirnya, mereka kembali ke
tempatnya masing-masing dan tidak ada lagi pemberontakan yang
mereka risaukan.
Sampai sekarang sambongan atau bendungan tersebut
masih ada. Di tempat itu banyak sekali ditemukan peninggalan
sejarah, seperti pecahan keramik buatan Cina dan beberapa
situs sejarah yang lain. Di samping itu, di sepanjang aliran air
sambongan tersebut banyak dijumpai keong yang sudah membatu
yang biasa disebut kul buntet. Setiap malam Jumat Pon banyak
orang membawa sesaji. Hal teristimewa dari tempat tersebut
adalah kepercayaan bahwa tempat itu sangat tabu bagi orang
yang bersalah dan bertabiat jahat. Bila ada pencuri yang menjadi
buronan polisi melewati makam keramat Kyai Anggamaya, pasti
akan tertangkap. Begitu pula bila ada orang melakukan semedi di
tempat tersebut dengan maksud yang kurang baik, pasti dirinya
sendiri yang akan mendapatkan halangan.

f 38
8 >><<

LEGENDA
DESA WATU BREM
(TU-BREM)

A lkisah, pada saat masih zamannya penggede di Desa Pojok


Watu (Desa Tu-Brem) hiduplah seorang penggede (kepala
perampok) bernama Malang Sudiro. Suatu saat ia bermaksud
mengawinkan anaknya yang bernama Malang Kusuma dengan
seorang gadis dari Desa Ngoda. Hari perkawinan sudah ditentukan,
begitu pula semua peralatan yang diperlukan sudah disiapkan.
Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan pengiring pengantin
pria berbondong-bondong dari Desa Pojok Watu menuju ke Desa
Ngoda. Upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah.
Pada hari kelima setelah perkawinan (sepasar) sang pengantin
akan diunduh, diboyong untuk dirayakan di Desa Pojok Watu. Pada
saat yang sudah ditentukan, rombongan pengantin berjalan dari
Desa Ngoda menuju Desa Pojok Watu.
Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh segerombolan
perampok yang sesungguhnya adalah anak buah ayah sang
pengantin laki-laki. Gerombolan tersebut merampok iring-iringan
pengantin Malang Kusuma karena mereka tidak tahu kalau yang
menjadi pengantin adalah anak dari pimpinan mereka.
Dalam peristiwa perampokan tersebut, segala peralatan
dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin berceceran

f 39
di sepanjang jalan antara Ngoda dan Pojok Watu. Iring-iringan
pengantin berusaha melawan rombongan para perampok untuk
mempertahankan benda-benda perlengkapan upacara perkawinan
yang dibawanya. Maka, terjadilah pertempuran cukup seru yang
dalam istilah setempat disebut tawur. Tempat terjadinya pepe­
rangan (tawur) antara rombongan pengiring pengantin melawan
gerombolan perampok tersebut kemudian dinamakan Desa Sawur.
Peralatan kebesaran pengiring pengantin banyak yang ter­
cecer di perjalanan. Barang-barang tersebut antara lain: bo­nang
renteng (alat gamelan untuk mengiringi perjalanan rombongan
pengantin); kembang nyamplung (sumping sang pengantin);
jarit jomblang (kain yang dipakai oleh sang pengantin); kukusan
(peralatan dapur yang dipergunakan untuk keperluan upacara
bubak kawah, khususnya untuk pengantin anak sulung).
Tempat hilangnya bonang renteng kemudian disebut Sawah
Bonang Renteng. Di sawah ini, setiap akan mulai tanam atau panen
harus didahului dengan membunyikan (nabuh) bende, sebagai
pengganti bonang renteng. Tempat hilangnya sumping pengantin
yang bernama kembang nyamplung ke­ mudian disebut Sawah
Nyamplung. Tempat hilangnya kain yang dikenakan pengantin
bernama jarit jomblang kemudian disebut Sawah Jomblang. Tempat
hilangnya kalung yang dikenakan sang pengantin kemudian disebut
Sawah Kalung. Tempat hilangnya peralatan upacara bubak kawah
yang berupa kukusan, kemudian dinamakan Sawah Kukusan.
Hilangnya kalung yang dikenakan oleh sang pengantin disebabkan
sang pe­ngantin terjerat (kesrimpet) dahan kacang. Oleh karena
itu, di sawah tempat hilangnya kalung tersebut ditanami pohon
kacang.
Dalam peristiwa tersebut akhirnya pengantin dan pengiring­
nya terpisah. Tempat terpisahnya pengantin dengan pengiringnya
kemudian disebut Sawah Manten. Untuk membuang sial, di

f 40
Peralatan pengantin berceceran di perjalanan.

tempat tersebut setiap tahun harus disediakan sepasang bekakak


putra-putri menyerupai sepasang pengantin, sebagai peringatan
atas terjadinya peristiwa naas tersebut. Adapun sang pengantin
karena sudah tidak ada lagi yang mengurusi merasa ketakutan,
akhirnya bersembunyi (ndhelik) pada sebuah sendang (mata air),
yang kemudian disebut Sendang Delika. Usai tawur, para pengiring
mencari sang pengantin. Akan tetapi, dicari ke sana-kemari
(digoleki nganti napis) belum juga ketemu. Akhirnya, tempat para
pengiring mencari pengantinnya tersebut kemudian disebut Sawah
Napis.
Atas terjadinya peristiwa perampokan terhadap iring-iringan
pengantin yang berasal dari Desa Ngoda menuju Desa Pojok Watu
tersebut dianggap sebagai malapetaka besar sehingga sampai
saat ini orang Desa Pojok Watu pantang berbesan dengan orang

f 41
Desa Ngoda. Jangankan berbesan, membawa sesuatu dari Desa
Ngoda ke Desa Pojok Watu pun dipantangkan. Konon pernah
terjadi, seorang gembala membawa batu kerikil dari Desa Ngoda
ke Desa Pojok Watu yang juga disebut Desa Tubrem (Watu Brem)
terpaksa harus dikembalikan ke tempatnya semula karena begitu
tiba di rumah, semua binatang piaraannya sakit. Anehnya, setelah
batu kerikil tersebut dikembalikan ke tempatnya semula, seketika
semua binatang piaraannya yang semula sakit sembuh seperti
sedia kala.
Adapun asal mula nama Desa Tu-Brem atau Watu Brem adalah
sebagai berikut. Penggede Malang Sudira begitu menge­ tahui
bahwa apa yang diperbuat oleh anak buahnya adalah perbuatan
yang salah, maka dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan
desanya. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang
memikul dagangan brem (makanan dari sari tape).
Penggede Malang Sudira bertanya pada orang yang memikul
dagangan tersebut.
“Hei, Pak Tua! Apa yang ada dalam pikulanmu itu?”
Orang tersebut merasa ketakutan dan khawatir kalau barang
yang dibawanya akan dirampas oleh penggede tersebut. Oleh
karenanya dia menjawab dengan berbohong. “Ini batu, Penggede.”
Mendengar jawaban tersebut Penggede Malang Sudira
bertanya lagi.
“Watu apa kok kaya brem?” ‘Batu apa kok seperti brem’.
Atas kejadian itu, akhirya desa yang dilewati tersebut dinama­
kan Desa Watu Brem atau Tubrem, yang merupakan kependekan
dari kata watu brem. Demikianlah asal mula nama Desa Watu Brem
atau Tubrem menurut cerita yang berkembang di masyarakat.

f 42
9 >> <<

ASAL MULA NAMA DESA


BRABOWAN, BITING,
DAN GAGAKAN

A lkisah, pada zaman dahulu kala sekitar abad XV, ada


sebuah desa yang terkenal dengan nama Desa Senori. Di
desa tersebut hidup seorang tokoh sakti bernama Ki Gede Senori.
Karena kesaktiaannya, dia mempunyai banyak cantrik atau murid.
Di antara murid-muridnya yang terkenal ialah: Soreng Rana,
Soreng Pati, dan Soreng Rangkut. Soreng Rana menjadi penggede
di Batokan, Soreng Pati menjadi penggede di Kasiman, dan Soreng
Rangkut menjadi penggede di Sambeng.
Ketiga soreng tersebut terkenal sebagai tiga serangkai
yang ditakuti, baik oleh lawan maupun kawan. Ketiga penggede
ini masing-masing mempunyai anak satu orang. Soreng Rana
mempunyai anak perempuan bernama Rara Swari. Soreng Pati
mempunyai anak laki-laki bernama Riman. Soreng Rangkut juga
mempunyai anak laki-laki bernama Siman.
Riman dan Siman sama-sama menaruh hati pada Rara Swari.
Bagi Swari sendiri sangatlah sulit dalam menentukan siapa yang
akan dipilihnya karena keduanya sama-sama baik kepadanya.
Akan tetapi, kedua perjaka tersebut selalu saling cemburu. Mereka

f 43
berdua berlomba-lomba berusaha untuk dapat memiliki gadis
pujaan hatinya.
Pada suatu hari Riman datang ke rumah Rara Swari untuk
mengajak pergi Rara Swari, datang pula Siman di Batokan dengan
maksud akan mencurahkan segala isi hatinya untuk meminang
gadis pujaannya tersebut. Sayang, kedatangannya sedikit terlambat
karena Rara Swasi sudah diajak Riman ke Kasiman. Oleh karena
itu, Siman sangat marah kepada saingannya tersebut.
Siman bermaksud menyusul Riman yang sedang berduaan
dengan Rara Swari. Hati Siman merasa sangat sakit ketika melihat
dua orang yang dicarinya terlihat sangat santai di atas punggung
kuda Riman. Dengan marah Siman menyuruh Riman turun dari
kudanya dan mengajaknya bertanding untuk memperebutkan Rara
Swari.
“Riman, cepatlah turun dari kudamu!”
“Mari kita bertanding secara jantan. Siapa yang menang, dia
yang mendapatkan Rara Swari!”
Mendengar tantangan Siman, Riman pun menyahut.
“Baik, aku terima tantanganmu!”
Keduanya adalah anak dari penggede-penggede sakti yang
berasal dari satu perguruan sehingga sama-sama kuat. Mereka
berdua sama-sama menguasai ilmu perkelahian yang bersumber
dari satu aliran. Perkelahiran berlangsung dalam waktu cukup lama
dan masing-masing sangat sulit untuk mengalahkan lawannya.
Akhirnya, keduanya bersepakat untuk beristirahat sejenak guna
mengambil nafas, yang dalam istilah setempat disebut brubuh
(istirahat). Tempat untuk istirahat tersebut kemudian disebut
brubuhan yang selanjutnya berkembang menjadi nama desa
Brabowan.
Pada saat Riman dan Siman sedang beristirahat, sambil
masing-masing mempelajari dan mengamati kelemahan lawannya,

f 44
Riman dan Siman berduel memperebutkan Rara Swari.

tiba-tiba datanglah Soreng Rangkut, ayah Siman. Kedatangan


Soreng Rangkut memperbesar hati Siman. Siman lalu mengadu
kepada ayahnya dengan berkata bohong bahwa Riman telah
merebut paksa calon menantunya.
Mendengar laporan anaknya tersebut, hati Soreng Rangkut
menjadi membara. Dia sangat marah kepada Riman yang telah
mengganggu kebahagiaan anaknya. Oleh karena itu, tanpa
pikir panjang Riman langsung dibunuhnya di tempat itu juga
dan jenazahnya dibiarkan begitu saja di tempat tersebut. Pada
waktu Soreng Rangkut datang, Rara Swari sudah terlebih dahulu
melarikan diri. Begitu pula kuda Riman, juga sudah pergi tak
diketahui rimbanya.
Sepeninggal Riman, Soreng Rangkut dan anaknya bermaksud
akan pergi ke Batokan untuk melamar Rara Swari. Akan tetapi,

f 45
di tengah perjalanan Soreng Rangkut memerintahkan kepada
anaknya untuk kembali saja ke rumah. Adapun yang melamar
Swari cukup dirinya yang pergi.
Disebutkan pada waktu itu, Soreng Pati, ayah Riman sedang
dalam perjalanan pulang dari bepergian. Dia melalui tempat
seperti yang biasa dilewatinya. Tiba-tiba di tengah perjalanan ia
melihat jenazah Riman, anaknya, tergeletak di tengah jalan yang
sepi. Jenazah Riman tampak tergeletak begitu saja kaya babi
ngglinting (seperti babi hutan yang terkapar) sehingga tempat
tersebut kemudian disebut Desa Biting berasal dari kata babi dan
ngglinting.
Soreng Pati segera mengamati luka pada tubuh anaknya
untuk mengetahui penyebab kematiannya. Dia sangat terkejut
begitu melihat bekas pukulan yang mengenai anaknya, ternyata
sama dengan jenis pukulan yang dimilikinya. Dengan begitu, dia
dapat memastikan bahwa yang membunuh anaknya adalah orang
yang satu perguruan dengannya. Menurutnya, kemungkinan hanya
ada dua, apakah Soreng Rangkut atau Soreng Rana.
Pada saat dia termangu memikirkan siapa sebenarnya yang
telah membunuh anaknya, tiba-tiba dia melihat Siman berkelebat
di tempat tersebut dengan sikap yang mencurigakan. Siman pun
segera dikejarnya. Begitu tertangkap, Soreng Pati sangat terkejut
melihat pakaian yang dipakai Siman berantakan tampak habis
berkelahi. Dengan begitu, dia tahu pasti bahwa yang membunuh
Riman pastilah Siman. Siman pun lalu memberi tahu bahwa yang
membunuh Riman adalah ayahnya. Begitu mendengar penjelasan
tersebut, tanpa pikir panjang Siman pun lalu dibunuhnya. Jenazah
Siman dikubur dalam satu tempat dengan Riman.
Disebutkan, pada waktu Soreng Rangkut ke Batokan mau
melamar Rara Swari untuk anaknya Siman, didapati rumah Soreng
Rana dalam keadaan kosong. Soreng Rana sedang pergi ke Senori

f 46
menghadap gurunya. Mendapati keadaan keperti itu, dia lalu
bermaksud akan menyusul ke Senori. Di tengah jalan ia bertemu
saudara sepeguruannya, Ki Soreng Pati, yang mencarinya. Maka
terjadilah pertarungan antara dua jago seperguruan tersebut.
Keduanya belum bisa saling mengalahkan. Akhirnya, mereka
berdua bersepakat untuk mencari biang keladi persoalan yang
memakan korban anak-anak mereka tersebut.
Oleh karena yang menjadi penyebab perkelahian tersebut
adalah Rara Swari, mereka berdua memutuskan untuk mencari
wanita tersebut. Tujuannya adalah membunuh Rara Swari sebagai
pertanggungjawaban atas terbunuhnya Siman dan Riman. Mereka
berdua lalu melanjutkan perjalanan ke arah utara guna mencari
Rara Swari. Tempat pertempuran antara kedua jago tersebut
menjadi bosah-baseh (porak-poranda) dan rata. Tempat tersebut
kemudian disebut dengan nama Desa Ngrata.
Tersebutlah Rara Swari yang melarikan diri karena takut
pada kedatangan Soreng Rangkut, ayah Siman. Perjalanan Rara
Swari sampai di suatu tempat yang rindang dan banyak airnya.
Ia menyembunyikan diri di tempat itu dengan maksud agar tidak
diketahui oleh Soreng Rangkut. Akan tetapi, belum juga hilang
lelahnya, ia sudah keburu diketahui oleh kedua orang soreng yang
mencarinya. Dengan penuh kemarahan, kedua soreng itupun
segera membunuhnya.
Sebelum meninggal, Rara Swari sempat berpesan bahwa
siapapun yang berwujud wanita bila sampai berani meminum atau
mandi di tempat itu pasti akan celaka. Sampai sekarang mata air
di tempat tersebut disebut Sendang Lanang. Bagi wanita sangat
ditabukan mandi atau membasuh muka dan kakinya di sendang
tersebut karena akan menemui halangan, lalu sesampainya di
rumah meninggal dunia. Adapun tempat di mana Rara Swari
dibunuh disebut dengan nama Desa Swareh.

f 47
Setelah puas membunuh Rara Swari, Soreng Pati dan
Soreng Rangkut melanjutkan pertarungan untuk menunjukkan
kesaktian masing-masing. Akan tetapi, seperti halnya pada waktu
sebelumnya, mereka berdua tidak berhasil mengalahkan satu
sama lainnya. Hingga habis tenaga keduanya belum ada yang
kalah maupun menang. Akhirnya, mereka berdua terkulai tidak
mampu bergerak karena kehabisan tenaga.
Pada saat itu datanglah Ki Gede Senori dengan diiring Soreng
Rana yang mencarinya karena hatinya merasa tidak enak. Setelah
diobati oleh gurunya, Soreng Pati dan Soreng Rangkut pun sadar.
Mereka berdua lalu menceritakan peristiwa yang sudah terjadi,
yang telah membawa korban ketiga anak mereka.

f 48
10 >> <<

LEGENDA
KUDA GAGAK RIMANG

K uda Gagak Rimang adalah kuda tunggangan andalan Arya


Penangsang. Menurut cerita tutur yang berkembang di
lingkungan masyarakat Kabupaten Blora, khususnya di sekitar
wilayah Jipang dan Panolan, konon asal-usul kuda Gagak Rimang
adalah kuda milik Riman. Riman adalah anak Soreng Pati,
Penggede di Desa Kasiman. Konon kuda tersebut menghilang pada
saat tuannya, yaitu Riman bertarung melawan Siman, anak Soreng
Rangkut, Penggede di Desa Sambeng, dalam memperebutkan
Rara Swari. Adapun kisahnya adalah sebagai berikut.
Pada saat Riman bertarung melawan Siman dalam rangka
memperebutkan Rara Swari, gadis pujaan mereka, kuda kendaraan
Riman melarikan diri. Sampai dengan saat Riman meninggal, kuda
tersebut tidak diketahui rimbanya. Konon kuda tersebut melarikan
diri masuk hutan.
Tersebutlah Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan pada
saat itu sedang memikirkan keadaan daerahnya yang di bagian
utara. Beliau berjalan-jalan mengadakan pelawatan untuk
memeriksa daerah kekuasaannya. Dalam lawatannya tersebut
beliau ditemani oleh patihnya yang bernama Metaun.

f 49
Kuda yang terlihat binal seketika jinak di hadapan Arya Penangsang.

Tatkala perjalanan Arya Penangsang sampai pada suatu


tempat yang banyak ditumbuhi rumput segar, tampaklah oleh
beliau seekor kuda hitam yang mulus pancal panggung sedang
berlari mendekatinya. Anehnya, kuda yang tampak binal tersebut
sesampainya di depan Arya Penangsang seketika jinak, seolah-olah
minta dikasihi. Ia menggaruk-garukkan kakinya ke tanah, seolah-
olah meminta perlindungan.
Melihat hal itu, Arya Penangsang segera mendekatinya. Aneh­
nya, kuda tersebut sama sekali tidak menunjukkan kebinalan­nya.
Seketika itu Arya Penangsang merasa tertarik kepada kuda tersebut
dan bermaksud ingin memilikinya. Kuda tersebut lalu didekatinya,
kemudian beliau naik ke punggungnya. Di atas punggung kuda
yang baru ditemukannya tersebut Arya Penangsang tampak
sangat gagah dan anggun. Beliau lalu mengajak Patih Metaun

f 50
untuk mencari pemilik kuda tersebut. Adapun tempat di mana
diketemukannya kuda tersebut disebut Desa Gagakan karena sang
kuda berbulu hitam mulus bagaikan burung gagak.
Untuk mencari sang pemilik kuda, Arya Penangsang dengan
diiringi Patih Metaun, berjalan ke arah timur. Akhirnya, beliau
sampai di tempat Soreng Pati dan Soreng Rangkut bertarung. Pada
saat itu kedua jagoan tersebut sedang merenungi peristiwa yang
baru saja mereka alami, yang memakan korban anak-anak yang
sangat mereka cintai. Mereka berdua merasa sangat menyesal.
Baru kemudian, berkat nasihat gurunya, Ki Gede Senori, akhirnya
mereka bisa menerima dengan ikhlas segala apa yang telah terjadi
dan menimpa dirinya.
Arya Penangsang, begitu tiba di tempat itu segeralah meng­
hampiri keempat orang yang sedang duduk termangu tersebut.
Lain halnya dengan Soreng Pati, begitu melihat kuda tunggangan
anaknya datang dengan ditunggangi orang lain, seketika hatinya
yang semula agak reda langsung kembali membara karena teringat
akan Riman, anaknya. Dia langsung berdiri dan dengan marah
akan menghampiri sang penunggang kuda. Begitu pula saudara-
saudaranya, Soreng Rangkut dan Soreng Rana. Mereka mengira
orang tersebut telah merampas kuda milik Riman.
Akan tetapi, kekuatan mereka seakan tiba-tiba sirna begitu
orang yang menunggang kuda tersebut mengibaskan tangannya
memberi isyarat agar mereka menahan diri. Seketika mereka jatuh
terduduk, seakan-akan ada kekuatan gaib mahadahsyat yang
memaksa mereka untuk duduk menghormat. Sadarlah sekarang
bahwa mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang bukan
sembarangan. Mereka pun tetap duduk dengan mata menatap
tajam pada Arya Penangsang.
Arya Penangsang lalu memperkenalkan diri pada keempat
orang guru dan murid tersebut. Mereka berempat kagum akan

f 51
kesetiaan Adipati tersebut. Kemudian, Arya Penangsang me­
nanya­kan apakah mereka tahu siapa pemilik kuda hitam yang
ditungganginya itu. Seketika keempat orang tersebut serentak
menjawab “Riman”. Begitu mendengar jawaban tersebut, Arya
Penangsang lalu memberi nama kuda hitam yang ditungganginya
dengan sebutan “Gagak Riman” karena kuda tersebut berbulu
hitam mulus laksana burung gagak dan pemiliknya bernama
“Riman”. Dalam perkembangan selanjutnya, nama “Gagak Riman”
sering juga disebut “Gagak Rimang”.
Keempat guru dan murid tersebut oleh Arya Penangsang
diminta untuk menjadi pengikutnya dan diberi pangkat Wedana
Prajurit. Adapun, tempat kuda Gagak Rimang ditambatkan
disebut dengan nama Desa “Cancangan”, sedangkan peninggalan-
peninggalan yang berkaitan dengan legenda kuda Gagak Rimang,
antara lain adanya Sendang Modan dan Sendang Gagakan.
Sendang Modan berada di sebelah selatan Desa Gagakan.
Dahulu Sendang ini merupakan tempat minum kuda Riman. Konon
air dari sendang tersebut sangat bertuah. Terutama, bagi orang
yang ingin menggugurkan kandungan. Jika ada orang yang ingin
menggugurkan kandungan, syaratnya minum air sendang dengan
cara mencuri. Syarat lainnya ialah orang tersebut belum pernah
meminum air di Desa Gagakan. Setelah itu, diharapkan kandungan
tersebut akan menghilang tanpa bekas. Cerita tuah sendang ini
faktanya hanyalah sebuah mitos.
Adapun, Sendang Gagakan berada di sebelah timur Desa
Gagakan. Air di sendang ini selalu keruh karena sendang ini
diguna­kan sebagai tempat berkubangnya kuda Riman pada saat
belum berjumpa dengan Arya Penangsang.

f 52
11 >>
<<

LEGENDA
NAYA GIMBAL

N ama Naya Gimbal bukanlah nama sebenarnya. Nama


sebenarnya adalah Sentika. Kata Naya diambil dari nama
induk pasukan laskar Diponegoro. Sebagaimana diketahui, laskar
prajurit Pangeran Diponegoro terbagi dalam satuan-satuan induk
seperti Laskar Naya, Laskar Dipo, dan lain-lain. Nama Naya ini
tidak hanya digunakan oleh Sentika, semua teman Sentika juga
menggunakannya. Oleh sebab itu, banyak orang yang memiliki
nama Naya.
Alkisah, dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro di
Magelang, Sentika melarikan diri ke wilayah utara. Dalam pelarian­
nya tersebut sampailah dia di Desa Bangsri yang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Bangir. Oleh karena masih selalu terbayang
pengejar­an musuh, ia selalu berpindah-pindah tempat. Akhirnya,
sampailah ia di Desa Kembang. Pengembaraan Sentika tidak hanya
untuk bersembunyi, melainkan juga untuk mengamat-amati gerak-
gerik musuh.
Naya Sentika merasa kurang aman di Desa Kembang. Ia lalu
meninggalkan desa tersebut dan pergi ke Desa Mrayun. Ia merasa
cocok dengan lurah Desa Mrayun karena memiliki pendapat dan

f 53
Naya Sentika bermimpi bertemu dengan pertapa sakti
bernama Moro.

tujuan yang sama dengan dirinya. Oleh karena itu, dia merasa
tenang tinggal di desa tersebut. Dia mendapatkan teman hidup
seorang gadis anak petani kaya yang bernama Tomiyah. Dengan
demikian, Sentika dapat menyembunyikan diri di tanah petegalan
milik mertuanya.
Dalam persembunyiannya tersebut Sentika memelihara ba­
nyak kerbau yang dibelinya dengan maksud sebagai persiapan
biaya jika sewaktu-waktu dibutuhkan dalam perjuangan. Ternak-
ternak piaraan Sentika dikumpulkan dan dipelihara di Dusun
Ngingser bersama pengikutnya yang bernama Beja.
Sebagai pejuang sejati, dia tidak bisa tenang sebelum cita-
citanya untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi berhasil.
Pada suatu hari ia bermimpi seolah-olah bertemu dengan seorang

f 54
pertapa bernama Moro. Dalam mimpi itu ia diperintahkan untuk
bertapa di suatu tempat sebagai sarana agar kelak bisa mencapai
cita-citanya. Dalam mimpi tersebut Sentika merasa diberi peralatan
sebagai penanda waktu yang baik untuk memulai perjuangannya.
Peralatan yang diberikan tersebut berupa sebuah payung dan
sehelai sapu tangan sebagai senjata dan sebuah genuk (gentong)
sebagai penanda waktu. Pertapa itu berpesan apabila genuk
tersebut posisinya sudah miring, berarti waktu untuk berjuang
sudah dapat dimulai.
Begitu terbangun dia merasa heran karena apa yang didapat­
kannya dalam mimpi ternyata benda tersebut benar-benar ada di
hadapannya. Dengan begitu, dia yakin bahwa mimpinya tersebut
bukanlah mimpi biasa, melainkan semacam wasiat atau amanah
yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, dia lalu berniat untuk
bertapa di tempat sebagaimana yang ditunjukkan dalam mimpinya.
Sebelum pergi bertapa, Sentika menyerahkan segala miliknya
kepada istri dan pengikutnya, Beja. Ia meminta Beja merawat
dan memelihara segala apa yang ia kumpulkan itu dengan sebaik-
baiknya karena di kemudian hari akan sangat bermanfaat. Selanjut­
nya, ia berpamitan akan berangkat ke Bukit Gempol untuk bertapa.
Sepeninggal Sentika, kedua adik Tomiyah yang bernama Budi
dan Gluntang sangat gembira. Mereka akan mendapatkan harta
yang cukup banyak peninggalan dari kakak iparnya. Pada suatu
hari, hasil panen Sentika di ladang yang ditunggu Beja diambil
oleh Budi dan Gluntang. Walaupun Beja sudah melarangnya, Budi
dan Gluntang tidak menghiraukannya. Bahkan, Budi dan Gluntang
menangkap Beja, lalu menghajarnya sampai tidak berdaya. Ketika
Beja dalam keadaan tidak berdaya, Budi dan Gluntang dapat
dengan mudah menghabiskan seluruh hasil panen Sentika yang
sebenarnya akan dipergunakan untuk persiapan keperluan per­
juangan di kemudian hari.

f 55
Dengan badan masih berlumuran darah dan sedikit tenaga,
Beja tertatih-tatih datang ke rumah Tomiyah. Melihat hal itu istri
Sentika sangat terkejut. Dia pun segera menanyakan apa yang
sebenarnya terjadi. Begitu mengetahui duduk persoalannya,
Tomiyah sangat marah kepada kedua adiknya yang dianggap tidak
tahu diri.
Kemarahan Tomiyah membuat kedua adiknya sakit hati. Mereka
berdua mencari tahu tempat pertapaan kakak iparnya. Mereka
bermaksud melaporkan keberadaan kakak iparnya kepada penguasa
setempat agar mendapat kepercayaan. Setelah mengetahui keber­
adaan kakak iparnya serta ciri-ciri akan dimulainya perjuangan,
mereka bermaksud akan menggulingkan genuk pusaka kakak iparnya
tersebut. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua berhasil
menggulingkan genuk pusaka Sentika.
Pada suatu hari Naya Sentika mengetahui bahwa genuknya
sudah miring. Dengan begitu, ia berpendapat bahwa waktu untuk
mulai berjuang sudah tiba. Segeralah payung dan saputangan
pemberian Ki Moro dibawanya. Kemudian ia mengumpulkan orang-
orang yang sepaham dengannya. Tidak berapa lama dia sudah
mendapatkan pengikut dalam jumlah yang cukup banyak. Para
pengikut Sentika, selain bekas pasukannya yang semula tersebar
tak terorganisir, juga para warga yang antipenjajah.
Penyerangan yang pertama-tama dilakukan adalah menyerbu
gudang gula dan tembakau di Mrayun. Dengan berkobarnya gudang
milik Belanda tersebut, pasukan Sentika bersorak-sorai kegirangan.
Semua petugas dan pegawai gudang tersebut diajak memberontak
bersama pasukan Sentika sehingga barisan pasukannya menjadi
semakin besar. Dengan bertambahnya barisan pasukan yang
mendukung pem­berontakannya, pasukan Sentika selalu bersorak-
sorai. Sebagai tanda kegembiraannya, tempat tersebut kemudian
diberi nama Gunung Surak.

f 56
Pada waktu terjadi pemberontakan tersebut Lurah Desa Mrayun
sedang tidak berada di tempat. Ia sedang berada di Desa Sedan
untuk mengikuti pertemuan di kawedanan. Berita pemberontakan
tersebut menggegerkan persidangan. Dengan segera Wedana
Sedan mengajak pengawalnya beserta seorang naib bernama
Markhoti untuk turut memberantas pemberontakan tersebut.
Sampai di Desa Taunan rombongan wedana dari Sedan bertemu
dengan laskar Naya Sentika sehingga terjadilah pertempuran yang
cukup seru. Dalam per­ tempuran tersebut Naib Markhoti gugur.
Dengan gugurnya Naib Markhoti, rombongan Wedana Sedan
terpaksa harus mengakui kekuatan pasukan laskar Naya Sentika.
Akhirnya, rombongan Wedana Sedan mundur dengan teratur.
Asisten Residen Rembang begitu mendengar berita tersebut
segera meminta bantuan kepada Bupati Tuban. Bupati Tuban
kemudian menghubungi saudara seperguruan yang berada di Desa
Kembangsore (Doplang). Ia meminta bantuan Bupati Tuban untuk
menangkap Naya Sentika, hidup ataupun mati.
Pasukan Tuban dipimpin oleh Bupati Tuban dan dibantu Lurah
Kembangsore. Dalam waktu yang tidak lama, pasukan Tuban dan
pasukan Naya Sentika sudah terlibat pertempuran. Dalam pertem­
puran ini payung Naya Sentika robek terkena senjata Jaya Gludhug
Kamituwa. Oleh karena jumlah pasukannya kalah banyak, akhirnya
Naya Sentika memerintahkan kepada pasukannya untuk mundur.
Pada saat mundur tersebut bertemulah Naya Sentika dengan Nyi
Moro. Dalam pertempuran tersebut ia diberitahu Nyi Moro bahwa
sebenarnya belum tiba saatnya untuk memberontak. Adapun,
gentong yang posisinya miring itu sebenarnya karena dimiringkan
oleh adik iparnya sendiri yang bernama Budi.
Pada pertemuan itu pusaka wasiat yang berupa payung dan
saputangan diminta kembali oleh Nyi Moro. Selanjutnya, Naya
Sentika dianjurkan untuk melarikan diri ke arah selatan. Mengikuti

f 57
anjuran Nyi Moro, Naya Sentika pun segera melarikan diri ke arah
selatan.
Joyo Glundhung dan rombongan terus mengejar Sentika,
tetapi tidak dapat menemukannya. Hanya pembantunya yang ber­
nama Beja yang tertangkap. Beja lalu dibunuh oleh Joyo Glundhung.
Oleh lurah Mrayun, jasad Beja dibawa ke Bupati Tuban seba­ gai
bukti. Oleh karena itu, Lurah Mrayun mendapatkan hadiah karena
berhasil membunuh pemberontak dengan bukti membawa jasad
tersebut. Walaupun, sesungguhnya yang membunuh Beja ada­lah
Joyo Glundhung. Jasad Beja lalu diletakkan di tonggak kayu bogor.
Tempat tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Sawah Bogor.
Atas pemberontakan Naya Sentika tersebut, Residen Jepara
Rembang lalu mengeluarkan perintah bahwa siapapun yang bisa
menangkap Naya Sentika, hidup atau mati, ia akan diberi hadiah
tanah perdikan. Dengan perintah tersebut, Lurah Kembangsore
yang bernama Suradipa segera mendatangi adiknya yang bernama
Suradira yang tinggal di Bleboh. Setelah sekian lama ia tidak
bertemu dengan adiknya.
“Wahai adikku Suradira. Bagaimana kabarmu?”
“Saya baik, Kakanda. Bagaimana dengan Kakanda?”
“Seperti inilah keadaan Kakandamu.”
“Kiranya ada angin apa Kakanda menyempatkan diri berkun­
jung ke mari?”
“Begini, adikku, Dira. Aku mendapat perintah dari Residen
untuk menangkap pemberontak Naya Sentika, hidup atau mati.
Siapa pun yang bisa menangkapnya akan mendapat hadiah tanah
perdikan.”
“Hmm, saya sudah sering mendengar nama Naya Sentika ini.
Ia terkenal lihai dalam bertarung dan memiliki banyak pengikut.”
“Oleh karena itulah, kedatanganku ke mari untuk meminta
bantuanmu menangkap Naya Sentika.”

f 58
“Baik, Kakanda. Dengan senang hati, saya akan membantumu.”
Suradira segera mengerahkan anak buahnya untuk mencari
informasi mengenai Naya Sentika.
Beberapa saat kemudian, anak buahnya melapor.
“Ki Lurah, saya mendengar kabar bahwa Naya Sentika pernah
datang ke Desa Sambong Bleboh.”
“Sedang apa dia di desa tersebut?”
“Kabarnya, Naya Sentika sering mengunjungi seorang janda
muda yang ada di desa tersebut.”
“Kira-kira kapan dia akan datang?”
“Menurut informasi, Naya Sentika akan datang ke rumah
janda tersebut sekitar pukul sepuluh malam.”
“Bagus, kita akan menangkapnya begitu dia datang.”
Mendengar laporan tersebut Lurah Suradira segera meng­
adakan persiapan untuk menangkap Naya Sentika. Begitu Naya
Sentika tiba di rumah janda tersebut, pasukan Lurah Suradira ber­
siap siaga. Pada saat akan makan sayur bayam, Naya Sentika lang­
sung ditangkap.
Oleh karena itu, sebelum meninggalkan tempat tersebut Naya
Sentika berkata.
“Dengarkan, wahai penduduk Desa Bleboh! Kukatakan bahwa
di desa ini tidak akan tumbuh pohon bayam lagi. Selain itu, orang
yang hidup di daerah ini akan menderita.”
Setelah ditangkap, Naya Sentika kemudian dibawa ke
Rembang untuk diserahkan ke Asisten Residen. Oleh karena keber­
hasilannya menangkap Naya Sentika, Lurah Kembangsore men­
dapatkan hadiah tanah perdikan. Sementara itu, Lurah Bleboh
mendapatkan hadiah seorang putri bernama Den Ayu Nganten.
Asisten Residen Rembang memerintahkan agar Naya Sentika
dimasukkan ke dalam tong ‘kaleng besar’, kemudian dilarung

f 59
‘dihanyutkan’ ke laut. Pada waktu itu Naya Sentika meninggalkan
kata-kata.
“Besuk yen ana bentung plonthang sangisore uwit uwal-uwil
ing tegalan getak-getak iku bakal males lan nagih janji”.
‘Kelak jika ada bentung plontang di bawah pohon uwal-uwil
di ladang getak-getak itu saya akan membalas dan menagih janji.’
***
Cerita mengenai Naya Sentika ini diawali ketika berakhirnya
perang Diponegoro pada 1830. Tertangkapnya Pangeran Diponegoro
oleh tentara Belanda dengan cara tipu muslihat, tidak me­nyu­rutkan
perlawanan dari para pengikutnya. Di berbagai daerah masih ada
sisa-sisa prajurit Diponegoro yang tetap patuh dan setia me­
neruskan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Salah satu
prajurit yang meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro itu
adalah Naya Sentika. Naya Sentika merupakan seorang Wiratama
kenamaan. Ia melakukan pergerakannya di daerah Rembang.
Konon kabarnya, sebelum memulai pergerakan di daerah
Pantai utara, Naya Sentika terlebih dahulu bersembunyi di lereng
Gunung Butak. Ia menyamar sebagai seorang pendeta. Keber­
adaannya sebagai pendeta di Gunung Butak, semakin hari sema­
kin dikenal oleh masyarakat sekitar. Pendeta Naya Sentika dikenal
sangat pandai dan bijaksana. Hal ini menyebabkan banyak pendu­
duk sekitar Gunung Butak yang datang untuk berguru maupun
memohon nasihat kepadanya. Lambat laun semakin banyak murid
yang berguru pada Pendeta Naya Sentika tersebut.
Suatu hari, disampaikan pada murid-muridnya bahwa ia akan
melakukan semedi (tapa) untuk keperluan khusus. Namun, Naya
Sentika tidak menjelaskan tujuannya bertapa. Ia hanya mengatakan
bahwa semedi akan dilakukan dengan cara menghadap kepada
sebuah jambangan besar (genuk = Jawa) yang diletakkan mene­

f 60
lungkup. Apabila nanti genuk itu dapat berdiri seperti semula,
berarti permohonannya terkabul.
Berhari-hari, berbulan-bulan Naya Sentika telah bertapa.
Namun, jambangan tersebut belum nampak berdiri seperti se­
mula, melainkan hanya miring letaknya. Para murid pun telah
lama menunggunya dan segera ingin tahu hasil semedinya ter­
sebut. Mereka berduyun-duyun menuju tempat Naya Sentika.
Murid-murid itu kemudian beramai-ramai mendatangi tempat Sang
Guru Naya Sentika bersemedi. Kedatangan mereka penuh riang
gembira, serta sorak-sorai penuh harapan.
Melihat jamban itu miring keadaannya para murid pun
menyangka bahwa permohonan Sang Guru telah terkabul. Untuk
mengenang peristiwa itu, mereka menyebut tempat semedi itu
Gunung Genuk dan tempat mereka datang bersorak-sorai disebut
Gunung Sorak. Karena sudah terlalu lama bertapa kondisi fisik Sang
Guru pun sudah banyak berubah. Badannya menjadi kurus kering,
sedangkan rambutnya lebat dan kusut masai (gimbal = Jawa).
Karena melihat fisik Sang Guru itulah, mereka lalu memberikan
gelar kepada Sang Guru, Naya Gimbal. Sesampainya di tempat
semedi tersebut para murid pun bertanya kepada Sang Guru, atas
hasil semedinya. Naya Gimbal menjawab bahwa ia sebenarnya
sedang berjuang melawan penjajah Kompeni. Kepada murid-
murid­nya, Naya Gimbal menanyakan kesediaan mereka menjadi
prajurit dalam barisan menentang penjajah Kompeni. Akhirnya,
mereka semua menyetujui permintaan Sang Guru untuk menjadi
prajurit. Tempat murid-murid Naya Sentika mendengar permintaan
Sang Guru dan menyatakan kesediaannya untuk menjadi prajurit
kemudian disebut Gunung Prajurit.
Selanjutnya, Naya Gimbal beserta para muridnya beralih ke
tempat yang lebih aman dari Gunung Prajurit. Di tempat yang baru
ini, Naya Gimbal mengeluarkan maklumat (woro-woro = Jawa).

f 61
Maklumat tersebut antara lain berbunyi demikian, “Siapa pun yang
menjadi pegawai (punggawa = Jawa) Kompeni maka harus kita
lawan!” Tempat dikeluarkannya maklumat itu sekarang terkenal
dengan nama Desa Woro. Mereka bertolak menuju ke timur. Di suatu
desa mereka menyerang serikat desa yang memihak kompeni.
Serangan berlangsung agak lama dan dahsyat sehingga me­
nim­bulkan banyak korban. Banyak korban yang luka-luka, berat
maupun ringan. Bahkan, ada seorang penduduk desa yang mati
terbunuh oleh prajurit Naya Gimbal. Mayatnya disandarkan seolah-
olah masih hidup pada batang pohon bogor (pohon siwalan yang
disadap untuk diambil air niranya). Melihat kejadian seperti itu
Naya Gimbal bersabda bahwa mayat itu benar-benar masih hidup.
Sungguh menakjubkan, badan mayat itu benar-benar hidup seper­
ti semula. Penduduk desa yang menyaksikan kesaktian Naya
Gimbal itu kemudian berbalik memihak kepadanya dengan penuh
kesetia­an. Demikian pula, bagi Naya Gimbal sendiri, rasa cintanya
terhadap rakyat menjadi lebih tebal. Untuk mengenang kisah itu,
desa tersebut diberi nama Desa Bogorejo.
Setelah pertempuran di Desa Bogorejo, Naya Gimbal dan para
pengikutnya bergerak menuju ke arah selatan. Di suatu tempat
mereka mendapat serangan dari pihak lawan. Pertempuran ber­lang­
sung amat hebatnya, banyak korban berguguran pada pihak Naya
Gimbal. Mereka gugur di medan bakti dalam memper­tahan­kan tanah
air dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Untuk mengenang
pengorbanan mereka, Naya Gimbal memberi nama tempat itu Desa
Sedan (dari perkataan seda yang berarti mening­gal).
Sementara itu, pergerakan Naya Gimbal telah tersebar luas di
kalangan orang-orang yang memihak Kompeni. Mereka membenci,
mengutuki, dan menyebutnya berandal. Untuk mencegah meluas­
nya berita, Naya Sentika atau Naya Gimbal berusaha meninggalkan
tempat itu. Ia dan pasukannya bergerak ke hutan, naik dan turun

f 62
gunung. Demikian jauhnya mereka melakukan perjalanan, kemudian
sampailah di salah satu desa. Di desa tersebut terjadi pertempuran
lagi. Ketika pertempuran sedang berkecamuk hebat, tiba-tiba Naya
Gimbal dikejutkan oleh menyemburnya darah dari tubuh salah
satu prajurit yang tertusuk senjata musuh. Naya Gimbal berusaha
menutup luka sejadi-jadinya. Mujurlah luka itu dapat segera sembuh.
Atas kejadian itu, Naya Gimbal berpesan agar kelak apabila negara
telah aman, makmur dan sentosa tempat itu hendaknya dinamakan
Desa Pancur (mancur = Jawa). Akhirnya, pertempuran berakhir
dengan kemenangan pada pihak Naya Gimbal.
Pergerakan dilanjutkan ke barat. Di suatu desa mereka
ber­istirahat. Mereka merasa aman di tempat itu. Naya Gimbal
memutuskan untuk bermalam sambil memikirkan dan merencana­
kan tujuan selanjutnya. Rencana berjalan lancar dan baik, seperti
halnya dengan tempat lain, desa ini pun kemudian disebut dengan
Desa Tuyuan. Untuk menambah kesigapan para prajurutnya, Naya
Gimbal memberikan pelajaran pencak silat di dekat Desa Tuyuan
tersebut. Pelajaran pencak silat yang diberikan segera dapat di­
kuasai oleh para prajuritnya. Kemudian tempat dilakukannya
latihan pencak silat itu diberi nama dengan Pesanggrahan. Kenya­
taannya sekarang Desa Pesanggrahan saat ini terkenal akan ahli-
ahli pencak silatnya.
Pergerakan Naya Gimbal dan para prajurit pengikutnya
makin lama makin tersiar ke seluruh pelosok di daerah Kabupaten
Rembang. Berita ini pun telah dilaporkan kepada Sang Bupati.
Mendengar laporan ini, Sang Bupati segera mengirim pasukannya
yang dipimpin oleh Ki Demang Waru untuk menumpas pergerakan
yang dipimpin oleh Naya Gimbal. Walaupun demikian, pihak Naya
Gimbal tidak merasa takut dan gentar. Bahkan, pantang mundur
setapak pun. Kedudukan mereka telah bergeser ke arah barat dari
Desa Tuyuan dan Desa Pesanggrahan.

f 63
Ketika tengah bergerak, pasukan Naya Gimbal bertemu
dengan pasukan Ki Demang Waru. Terjadilah pertempuran sengit
yang memakan waktu agak lama dan memakan banyak korban
dari kedua belah pihak. Dalam pertempuran kali ini Naya Gimbal
dapat berhadapan langsung dengan Ki Demang Waru. Pada saat
mereka berhadapan muka, Naya Gimbal berkata seperti ini.
“Kami tidak memusuhi kalian, melainkan Kompeni. Akan tetapi,
kalian bertempur berhadapan dengan kami? Bukankah engkau
sendiri masih ingat bahwa Pangeran Diponegoro adalah guru kita?”
Mendengar perkataan tersebut, Ki Demang Waru menjadi
teringat bahwa sebenarnya mereka masih satu perguruan.
Kemudian jawab Ki Demang Waru, “Benar katamu itu, se­
benarnya kami pun tidak memusuhimu. Kami hanya mem­pe­ringat­­
kan dirimu saja. Bukankah engkau bergerak seorang diri? Se­
dangkan kekuatan Kompeni lebih besar. Oleh karena itu, urungkan
saja niatmu itu!”
“Tidak, kami tidak akan mundur setapakpun, melainkan
hendak meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro, Guru kita!”
Kemudian Ki Demang Waru menyambung lagi, “Sudah,
janganlah marah. Aku memang menyalahi kesetiaan terhadap guru
karena itu ambillah senjata gadaku ini sebagai taruhan nyawaku.
Bunuhlah diriku dengan gadaku ini!”
Terperanjatlah Naya Gimbal, tak sampai hati ia membunuh
temannya sendiri. Ki Demang Waru membujuk lagi, “Naya Gimbal,
sekarang belum waktunya untuk mengusir Kompeni dari bumi
kita ini. Bila kamu tak mau mengerti, berarti menyiksa temanmu
sendiri. Kembalilah ke tempatmu!”
Mendengar bujukan itu, Naya Gimbal agak marah, “Tidak,
aku tidak sudi, Demang Waru. Engkaulah satu-satunya orang yang
menghalang-halangi. Itu berarti engkau sendiri berpihak kepada
Kompeni.”

f 64
Ki Demang Waru lalu menyanggah tuduhan tersebut, “Seperti
halnya kamu, aku pun tidak berpihak kepada Kompeni. Hanya lain
caraku dengan caramu.”
“Bohong, mana buktinya kalau memang demikian?” Ki Demang
Waru menyakinkan lagi, “Kalau kamu tak percaya kepadaku, bunuh
saja aku!”
Karena geram dan marahnya Naya Gimbal, diayunkanlah
senjata gada ke arah Ki Demang Waru. Akan tetapi, Naya Gimbal
menjadi heran karena ternyata senjata gada itu lenyap, tiada
berbekas. Kemudian, ia mengundurkan diri dari tempat tersebut,
sedangkan Ki Demang Waru berdiri terpaku saja, tiada bergerak
sedikitpun.
Peristiwa hilangnya gada Ki Demang Waru membekas menjadi
sebuah desa, Desa Gada. Habis rasa kagumnya, Ki Demang Waru
kembali ke Kabupaten Rembang untuk melaporkan kejadian
itu kepada Sang Bupati. Dalam laporannya kepada bupati, ia
menyatakan bahwa Naya Gimbal telah melarikan diri dari daerah
Rembang sehingga tak berhasil ditangkap. Namun, ternyata tanpa
sepengetahuan Ki Demang Waru, ada orang lain yang melaporkan
bahwa sebenarnya Ki Demang Waru sepakat dan setuju dengan
Naya Gimbal. Mendapat laporan yang sebaliknya tersebut,
Bupati Rembang menjadi marah. Ki Demang Waru merasa malu
mengakibatkan demikian. Rasa malunya membuatnya tidak pulang
ke rumahnya, tetapi pergi tanpa meninggalkan bekas (muksa =
Jawa). Bekas kademangannya sekarang menjadi Desa Waru.
Selanjutnya, pasukan Naya Gimbal berjalan ke arah selatan
dari Desa Gada. Mereka beristirahat di suatu tempat yang dianggap
aman untuk mengembalikan semangat. Tiada lagi rasa samar akan
kekuatan mereka. Karena hilangnya perasaan samar di tempat itu,
desa tempat beristirahat itu kemudian disebut dengan nama Desa
Samaran. Dari sini mereka terus bergeser dan semakin bertambah

f 65
semangat juang mereka. Sebagai kenangan tempat tersebut di­
namai Desa Sulang.
Pergerakan pun dilanjutkan ke selatan. Dalam perjalanan Naya
Gimbal berhenti sejenak dan berpesan, “Kalian tidak perlu menge­
tahui arah kita bergerak, melainkan ikut sajalah kehendakku. Bila
tidak suka kembalilah ke tempatmu masing-masing.”
Para prajurit menjawab bahwa masih akan tetap setia meng­
ikuti jejaknya. Ucapan janji setia itu dikenang dengan memberi
nama tempat itu Desa Pragen. Desa Pragen pun ditinggalkannya.
Akhirnya mereka sampai di suatu desa yang agak besar.
Naya Gimbal berkata, “Berhentilah di tempat ini, kita bertahan
di daerah ini!” Perintah itu kemudian dikenang sebagai nama desa,
yaitu Desa Gunem. Di sekitar Desa Gunem mereka bertempur me­
ngalahkan musuh. Tempat kemenangan itu dikenal orang dengan
nama Desa Andang-Andang. Alkisah, pergerakan Naya Gimbal
semakin tersebar luas hingga ke luar daerah Rembang.
Berita ini pun didengar oleh Bupati Blora. Bupati Blora mem­
buat suatu tipu muslihat untuk melumpuhakan mereka. Kepada
putrinya diperintahkan untuk menari Jangglungan (semacam tarian
tayub) yang telah direncanakan. Tepat pada waktunya, berlangsung
permainan. Tontonan itu sangat ramai dikunjungi orang. Tidak
ketinggalan pula Naya Gimbal dengan para pengikutnya. Semen­
tara itu, pasukan dari Blora diam-diam menyamar menjadi penari
Jangglungan. Tengah ramai-ramai permainan berlangsung tiba-
tiba Naya Gimbal dengan pasukannya disergap pasukan Blora
yang menyamar tersebut. Demikianlah, riwayat Naya Gimbal ber­
akhir. Sama dengan gurunya, Pangeran Diponegoro yang dapat
dikalahkan Kompeni dengan tipu muslihat. Demikian juga, Naya
Gimbal akhirnya tertangkap dengan tipu muslihat.

f 66
12 >>
<<

ASAL-USUL
LIMA DESA

C erita ini merupakan legenda yang menceritakan asal usul


lima nama desa di Kecamatan Jipon, Kabupaten Blora.
Legenda ini berawal ketika Perang Diponegoro selesai dengan
ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Belanda. Kemudian sisa-
sisa prajurit Diponegoro mengikuti Pangeran Diponegoro melarikan
diri ke utara. Namun, pasukan ini tetap bergerilya meneruskan
per­juangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Salah satu
prajurit Pangeran Diponegoro yang menyelamatkan diri ke utara
tersebut yaitu Naya Sentika. Perjuangan Naya Sentika dilanjutkan
di sekitar Desa Bangsri. Lurah Desa Bangsri yang bernama Ki
Gede Toinah mendukung dan membantu perlawanan Naya Sentika
terhadap Belanda.
Di Desa Bangsri ini Naya Santika membagun kekuatan ber­­
sama para pengikutnya. Ia tidak hanya mendapatkan kekuatan
dari Lurah Desa Bangsri, tetapi seluruh rakyat di desa tersebut
juga ikut membantunya. Penduduk Desa Bangsri sebagian menjadi
prajurit dan sebagian yang lain membantu menyediakan makanan
dan perlengkapan perang lainnya. Dari Desa Bangsri, pasukan
Naya Santika menyerang desa-desa di sekitarnya yang menjadi kaki

f 67
tangan Belanda. Lambat laun penyerangan yang dilakukan oleh Naya
Santika tersebut terdengar oleh Bupati Blora Raden Tumenggung
Cakranegara. Bupati Blora yang merasa dekat dengan Belanda
me­rasa teran­cam kedudukannya. Ia segera memerintahkan para
pung­­gawa­nya untuk menghentikan peperangan yang dilakukan
oleh Naya Sentika dan para pengikutnya.
“Peperangan yang dikobarkan Naya Sentika harus dihenti­kan.
Kalau sampai Belanda mendengar ada perang di wilayah Blora,
jabatanku sebagai bupati akan terancam.”
“Bagaimana caranya Kanjeng Bupati?”
“Aku akan mengutus adikku, Pangeran Sumenep untuk
menyer­bu Desa Bangsri yang dijadikan markas Naya Sentika dan
menumpas pemberontakan itu. Lebih baik kita terlebih dahulu
menyerbu daripada kita diserbu Naya Sentika. Aku dengar Naya
Sentika mempunyai rencana menyerbu kota Blora.”
Rencana Raden Mas Tumenggung Cakranegara untuk me­
lakukan penyerbuan ke Desa Bangsri pun segera dimatangkan.
Pasukan, makanan, senjata, dan strategi disiapkan dengan baik.
Namun demikian, ternyata Naya Sentika pun sudah mendengar
rencana penyerbuan Bupati Blora tersebut ke Desa Bangsri. Oleh
karena itu, ia segera memindahkan markasnya ke arah tenggara
Bangsri. Tempat yang kemudian dijadikan markas baru oleh Naya
Sentika dan pengikutnya dinamakan Desa Nglorok, yang berarti
pergi ke arah tenggara. Saat itu pula Naya Sentika bernazar tidak
akan memotong rambutnya sebelum berhasil menumpas Belanda
dan membuatnya angkat kaki dari Tanah Jawa. Karena nazar
itulah, Naya Sentika bergelar Naya Gimbal. Istri Naya Sentika,
Dyah Ayu Sumarti tidak ikut suaminya pindah ke Desa Nglorok,
melainkan tetap tinggal di Desa Bangsri. Dyah Ayu Sumarti tetap
tinggal karena ia harus tetap melatih para wanita Desa Bangsri
untuk menjadi prajurit.

f 68
Dyh Ayu Sumarti, Isti Naya Gimbal tetap tinggal di Bangsri untuk melatih
para wanita menjadi prajurit.

Sementara itu, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,


Pangeran Sumenep menyerbu Desa Bangsri. Ketika pasukannya
sampai di Desa Bangsri, ia tidak menemukan prajurit Naya Sentika.
Pangeran Sumenep hanya berjumpa dengan istri Naya Sentika,
Dyah Ayu Sumarti dan beberapa prajurit wanitanya. Melihat
kecantikan Dyah Ayu Sumarti, Pangeran Sumenep jatuh cinta
dan ingin menjadikannya istri. Dyah Ayu Sumarti menolak. Dyah
Ayu Sumarti melarikan diri dan mengadukan segala perbuatan
Pangeran Sumenep kepada Naya Sentika, suaminya. Mendengar
pengaduaan istrinya itu, Naya Sentika atau Naya Gimbal beserta
prajuritnya langsung menyerang pasukan Pangeran Sumenep.
Dalam penyerbuan itu, Pangeran Sumenep kalah dan melarikan
diri ke Blora.

f 69
Dalam peperangan itu, ada beberapa prajurit Naya Gimbal
yang terluka dan diobati dengan menggunakan daun turi yang
masih muda. Oleh karena itu, tempat terjadinya pertempuran
antara pasukan Naya Gimbal dan pasukan Pangeran Sumenep
dinamakan Desa Turi. Tidak jauh dari tempat itu, ditemukan mayat
para prajurit Pangeran Sumenep, tersangkut di pohon. Tempat
itu kemudian diberi nama Desa Semampir sebab ada mayat yang
semampir ‘tersangkut’ di pohon. Prajurit Naya Gimbal bersuka ria
karena dapat mengalahkan pasukan Pangeran Sumenep. Dalam
perjalanan kembali ke Desa Nglorok, sampai di suatu tempat
mereka saling tinggil-tinggilan ‘saling mengangkat tubuh seorang
dengan yang lainnya’ sebagai ungkapan kegembiraan. Tempat itu
kemudian dinamakan Desa Tinggil.
Setelah penyerangan Pangeran Sumenep, pasukan Naya
Gimbal diperkuat oleh Ki Gede Toniah, Ki Samboro, Beia, dan
Dyah Ayu Sumarti beserta prajurit putrinya. Ia menyuruh sebagian
prajuritnya ke Gunung Genuk untuk mengambil senjata. Di tengah
perjalanan prajurit Naya Gimbal bertemu orang dari Desa Taunan
dan Mrayun. Mereka menyarankan agar senjata dari Gunung
Genuk disimpan di rumah Lurah Mrayun. Saran itu diterima oleh
suruhan Naya Gimbal. Sampai sekarang sebagian senjata yang
berupa pedang dan bendhe masih ada di Desa Mrayun.
Kekalahan Pangeran Sumenep saat melawan Naya Gimbal
kemu­ dian dilaporkan kepada Raden Mas Tumenggung Cakra­
negara. Mendengar laporan itu, ia lalu meminta bantuan Kompeni
di Semarang. Kompeni mengabulkan permintaan Raden Mas
Tumeng­­ gung Cakranegara. Beberapa hari kemudian, sejumlah
besar tentara Kompeni berangkat dari Semarang ke Blora. Setelah
bantuan Kompeni dari Semarang tiba, Kompeni bersama dengan
pasukan Raden Mas Tumenggung Cakranegara menyerbu Desa
Bangsri. Terjadilah pertempuran yang sengit. Banyak jatuh korban,

f 70
baik dari pihak Naya Gimbal maupun pihak Kompeni Belanda dan
Bupati Blora. Perang Bangsri yang seru sampai saat ini tetap
dikenang oleh penduduk Desa Bangsri. Mereka kagum dengan
keberanian dan perjuangan Naya Gimbal beserta prajuritnya, yang
sebagian besar adalah penduduk Bangsri, yang tiada mengenal
kata menyerah. Untuk mengenang peperangan itu, penduduk
Bangsri mendirikan patung Naya Gimbal sebagai peringatan Perang
Bangsri. Mereka menganggap perang tersebut adalah perang
antara rakyat yang dipimpin oleh Naya Gimbal dengan Belanda
dan kaki tangannya.
Karena kekuatan yang tidak seimbang, baik kekuatan pra­
jurit maupun senjatanya, akhirnya Naya Gimbal terdesak dan
mengundurkan diri ke arah timur, ke arah Desa Sambeng. Desa
Sambeng ini terletak di sebelah timur laut Kota Cepu. Di desa
tersebut Naya Gimbal dan prajuritnya bersembunyi. Pasukan
Kompeni bersama pasukan Raden Mas Tumenggung Cakranegara
mengejar ke Sambeng. Ketika Kompeni mencari persembunyian
Naya Gimbal, penduduk Desa Sambeng memberi tahu persem­
bunyiannya.
Setelah diketahui tempat persembunyian Naya Gimbal, Kom­
peni dan pasukan Bupati Blora berencara menangkap Naya Gimbal
dengan tipu muslihat. Ketika menyerbu Naya Gimbal, barisan per­
tama bukan Kompeni dan pasukan Blora, tetapi penabuh terban
dan jidor seperti arak-arakan pengantin. Dalam penyerbuan ter­
sebut terjadi peperangan yang sengit. Banyak penduduk Desa
Sambeng yang mati. Tempat terjadinya peperangan itu kemudian
dinamakan Desa Besah. Kata Besah berasal dari blasah (bahasa
Jawa) berarti ‘bergeletakan’.
Peperangan tersebut menunjukkan kesaktian Naya Gimbal
karena tidak ada satupun peluru Kompeni yang dapat menembus
tubuhnya. Namun, karena kalah persenjataan dan prajurit, akhirnya

f 71
pasukan Naya Gimbal terkepung dan Naya Gimbal menyerah. Bupati
Blora, Raden Tumenggung Cakranegara membawa Naya Gimbal
ke Rembang. Oleh Residen Rembang, Naya Gimbal dibuang ke
Laut Jawa sebagai hukumannya. Demikianlah akhir riwayat Naya
Gimbal.

f 72
13 >>
<<

MAKAM
PURWA RUCI

L egenda makam Purwa Ruci berawal dari keributan yang terjadi


di Tulungagung. Pada saat keributan terjadi, ada seorang
bangsawan bernama Wonoboyo atau ‘Derkuku Mas’ melarikan
diri ke daerah Panolan. Untuk menyambung hidup dan memenuhi
kebutuhan di tempat yang baru ia pun bertani. Panolan memang
daerah yang tanahnya subur, maka segala tanaman yang ditanam
Wonoboyo tumbuh dengan subur. Namun, ada satu tanaman yang
aneh di antara tanaman yang lain, yaitu tanaman koro.
Setiap kali tanaman koro mulai berbuah, maka di pagi
harinya buah tersebut selalu menghilang. Hal tersebut membuat
Wonoboyo bingung dan bertanya-tanya siapa yang mencuri buah
koro miliknya.
“Sebenarnya siapa yang mengambil buah koro milikku? Ini
sungguh keterlaluan, aku belum pernah sekalipun memetiknya
padahal aku yang telah menanamnya,” kata Wonoboyo di kebunnya.
Wonoboyo akhirnya memutuskan untuk menjaga tanaman
koro ketika mulai berbuah. Tujuannya supaya ia mengetahui siapa
yang memetik buah koro miliknya. Ia berjaga-jaga dari siang

f 73
sampai keesokan harinya. Namun, ia belum juga menemukan
siapa yang memetik buah koro tersebut. Siang dan malam ia terus-
menerus menjaga buah koro yang hampir matang itu. Pada suatu
malam Wonoboyo merasakan angin yang aneh, ia pun semakin
waspada dan pandangannya berusaha fokus ke buah koro. Tiba-
tiba ada seekor ular yang sangat panjang.
“Hah…ular?! Panjang sekali ular itu,” kata Wonoboyo kaget.
“Ternyata ular itu yang mencuri buah koro milikku selama ini. Tak
akan aku biarkan ular itu memetik buah koro milikku lagi.”
Dengan cepat Wonoboyo melompat dari tempat ia berjaga,
“Ciiiaaatt…”
Ular tersebut hampir memakan buah koro milik Wonoboyo,
tetapi ular itu tidak jadi memakan buah koro karena kaget melihat
kehadiran Wonoboyo.
“Wahai ular yang selalu mencuri buah koro milikku. Kau
panjang sekali. Maka berubahlah kau menjadi tombak panjang!”
Maka seketika itu juga, ular tersebut berubah menjadi
tombak. Wonoboyo menganggap tombak tersebut sebagai benda
yang sakti. Kemudian oleh Wonoboyo tombak tersebut diberi nama
Kyai Upas.
Setelah memiliki pusaka Kyai Upas, nama Wonoboyo semakin
terkenal dan mulai disegani oleh masyarakat di tempat tinggalnya.
Kemudian ia mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang
tumenggung.
“Wahai masyarakat yang ada di desa ini. Aku mengumpul­kan
kalian di tempat ini tujuannya hanya satu yaitu untuk menyaksikan
bahwa aku akan mengangkat diriku sebagai tumeng­gung. Sekarang
resmilah aku menjadi tumenggung yang akan ditemani oleh Kyai
Upas ini. Jika aku meninggal kelak, tombak pusaka Kyai Upas ini
akan aku turunkan pada keturunanku.”

f 74
Seketika si ular menjadi tombak yang sangat runcing.

Masyarakat sangat kaget dan saling berbisik satu dengan yang


lainnya. Kemudian ada satu orang sesepuh di sana yang ditunjuk
sebagai perwakilan untuk berbicara kepada Wonoboyo.
“Baiklah Wonoboyo, jika itu keputusanmu kami sepenuhnya
mendukungmu sebagai tumenggung.”
Masyarakat di desa itu akhirnya menerima keputusan ter­
sebut dan menyebutnya dengan nama Tumenggung Wonoboyo.
Setelah meninggal, tombak pusaka Kyai Upas selalu diturunkan
pada keturunannya. Keturunan Wonoboyo yang pertama adalah
Notowijoyo I. Notowijoyo I berhasil membangung tempat tinggal
yang seperti kerajaan karena di sekitarnya dibangun pula alun-
alun, masjid, paseban, dan bangunan yang lain.
Setelah Notowijoyo I meninggal, ia digantikan Notowijoyo II,
kemudian digantikan oleh Notowijoyo III. Tumenggung Notowijoyo

f 75
III yang diangkat menjadi tumenggung meng­gantikan ayahnya,
pada saat penjajahan Belanda. Ia sangat bersikap anti-Belanda
dan karena hal itu, ia dipindah ke Madiun kemudian dipindah
lagi ke Tulungagung. Ketika pindah ke tempat lain, Beliau tidak
lupa selalu membawa pusaka warisan leluhurnya yaitu Kyai Upas.
Namun, plawung tombak pusaka Kyai Upas tertinggal.
Menurut masyarakat sekitar, plawung dari tombak Kyai Upas
yang tertinggal disimpan di makam Purwa Suci milik neneknya.
Namun, suatu ketika tombak tersebut menghilang setelah ada
seseorang yang bermimpi, dirinya mengantar benda tersebut
ke Tulungagung. Semua warga geger dengan kejadia tersebut.
Mereka khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena
hilangnya plawung tersebut. Anehnya pada saat yang bersamaan,
ada seorang warga yang melihat orang bermimpi tersebut memang
benar-benar naik perahu dan berkata akan mengantar plawung ke
Tulungagung.
“Maaf Kyai saya ingin menceritakan sesuatu yang aneh Kyai,”
kata seorang warga dengan gugup.
“Ada apa? Mengapa gugup sekali?”
“Itu Kyai, semalam saya bermimpi kalau saya pergi naik
perahu mengantarkan plawung ke Tulungagung.”
“Benarkah? Ini sangat aneh karena bersamaan dengan
hilangnya plawung itu.”
Tiba-tiba ada seorang warga datang terburu-buru ke rumah
Kyai tersebut.
“Permisi…maaf Kyai saya mengganggu.”
“Oh tidak, silahkan masuk. Ada keperluan apa, Bapak datang
ke sini.”
“Semalam saya bermimpi kalau saya melihat seorang warga
pergi naik perahu ke Tulungagung Kyai.”
“Terus apa masalahnya Pak?” kata Kyai penasaran.

f 76
“Saya melihat warga tersebut membawa plawung Kyai Upas.
Katanya ia pergi ke Tulungagung tujuannya untuk mengantarkan
plawung Kyai Upas.”
“Wah ini benar-benar mimpi yang sangat berkaitan dengan
Bapak ini,” kata Kyai sambil menunjuk warga yang pertama
menceritakan mimpinya.
“Mungkin ini petunjuk bagi kita Bapak-bapak bahwa plawung
tersebut memang sudah di Tulungagung. Kita berdoa saja semoga
semuanya baik-baik saja.”
Kemudian di antara perjalanannya berpindah dari Panolan
sampai ke Tulungagung, Notowijiyo III memeritahkan untuk
memin­ dahkan makam neneknya dari Panolan ke Purwa Ruci.
Selanjutnya makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat di
sekitar Bukit Kedinding. Setiap tahun di makam tersebut selalu
dilakukan upacara sedekah bumi dengan dilengkapi pagelaran
‘Lengen Tayub’ selama sehari semalam yang dilaksanakan pada
hari Jumat Pahing. Kepercayaan dari masyarkat sekitar makam
mengenai makam tersebut adalah apabila ada pegawai atau
pejabat yang beru pindah ke Kedung Tuban lalu segera berziarah
ke makam tersebut, maka ia akan segera naik pangkat.

f 77
14 >>
<<

LEGENDA
MALING GENTHIRI

P ada zaman dahulu tersebutlah seorang tokoh bernama Ki


Ageng Pancuran. Ia mempunyai dua orang putra laki-laki
bernama Maling Kondang dan Maling Kopa. Ketika mulai menginjak
usia dewasa, Maling Kondang mencari ilmu dengan berguru pada
Sunan Ngerang di Semarang.
Sebelum diterima sebagai murid, Maling Kondang ber­
sembunyi di kolong yaitu di bawah rumah geladak tempat Sunan
Ngerang mengajarkan ilmu pada murid-muridnya. Sunan Ngerang
yang menyadari keberadaan Maling Kondang tersebut kemudian
memanggilnya untuk menghadap.
“Hei anak muda. Apa yang sedang kau lakukan di bawah
sana?”
“Maaf Sunan…tujuan saya bersembunyi di sini supaya saya
dapat diangkat menjadi murid Sunan.”
“Apa benar begitu? Kau yakin tidak punya niat jahat kepadaku?”
“Sungguh Sunan, saya tidak punya niat jahat sedikitpun.”
“Baiklah kalau begitu, sekarang kau resmi sebagai muridku.”
“Terima kasih banyak, Sunan telah berbaik hati menerima
saya sebagai murid Sunan.”

f 78
Maling Kondang akhirnya diterima sebagai murid oleh Sunan
Ngerang dan diberi julukan Maling Genthiri. Menurut Sunan
Ngerang, Maling Kondang mempunyai sifat seperti hewan Genthiri
yang bersembunyi di bawah kolong.
Setelah mendapat ilmu, Genthiri lalu mengambara di daerah
Kabupaten Blora dan Rembang.
“Maaf, Sunan. Saya merasa bahwa ilmu-ilmu Sunan sudah
saya pelajari semuanya. Saya memohon izin untuk mengembara
ke daerah lain.”
“Ya, betul memang semua ilmu sudah kau pelajari. Namun,
apakah kau sudah menguasai jurus-jurus andalanku?”
“Ya, Sunan, semua jurus-jurus yang diajarkan Sunan sudah
saya kuasai.”
“Bagus! Pergilah. Aku hanya bisa berpesan supaya hidupmu
selalu berguna untuk orang lain.”
“Baik, Sunan.”
Pekerjaannya Maling Kondang di Blora dan Rembang ialah
mencuri. Namun, barang yang ia curi adalah benda-benda milik
orang kaya. Kemudian ia berikan kepada orang-orang miskin.
Kemudian karena sudah merasa dewasa, Genthiri mempunyai
keinginan untuk mempersunting seorang perempuan. Perempuan
tersebut bernama Dewi Sirep, anak dari Mbok Randha Suganti.
“Ayah, kini aku sudah dewasa.”
“Lalu?”
“Aku ingin meminang seorang perempuan.”
“Perempuan mana yang ingin kau pinang, Nak?”
“Nama perempuan itu Dewi Sirep dari Desa Sapetik, Keca­
matan Sulang, Kabupaten Rembang.”
“Baiklah, nanti aku akan mengutus adikku untuk meminang­nya.”
Kemudian setelah mengetahui keinginan anaknya tersebut, Ki
Ageng Pancurang mengutus adiknya yang bernama Jarum. Jarum

f 79
Maling Genthiri mencuri harta orang kaya untuk membantu orang-orang
yang hidup miskin.

diutus Ki Ageng Pancurang untuk pergi ke Desa Sapetik untuk


meminang Dewi Sirep. Akan tetapi, lamarannya ditolak karena
Dewi Sirep sudah mempunyai tunangan bernama Jaka Salakan.
Ketika mengetahui lamarannya ditolak, Genthiri marah.
“Wahai Kakanda, perempuan yang bernama Dewi Sirep tidak
menerima pinangan dari Maling Kondang,” kata Jarum dengan
hati-hati.
“Apa?? yang benar saja!” kata Maling Kondang yang dari tadi
mengintip di belakang.
“Betul Maling Kondang. Dewi Sirep telah dipinang laki-laki
lain.”
“Kurang ajar! Ini tidak bisa aku biarkan,” Kata Maling Kondang
marah.
“Sudah, Nak. Bersabarlah…mungkin ia bukan jodohmu.”

f 80
“Tidak ayah. Aku sungguh mencintai Dewi Sirep. Aku harus
melakukan sesuatu.”
Akhirnya dengan amarah yang berkecamuk Maling Kon­dang
pergi untuk mendatangi Jaka Salakan. Kemudian Maling Kondang
membunuh Jaka Salakan. Dewi Sirep yang merasa takut kemudian
menerima Genthiri dengan dua syarat.
“Maling Kondang, kau telah membunuh kekasihku Jaka
Salakan. Sekarang aku hanya bisa pasrah padamu, kau bisa juga
membunuhku jika kau mau.”
“Dewi Sirep, tolong terimalah pinanganku. Aku sangat men­
cintaimu.”
“Jika itu keinginanmu, akan aku turuti.”
“Benarkah, Dewi Sirep?”
“Tapi, dengan dua syarat.”
“Apapun syarat yang kau ajukan pasti aku dapat
melaksanakannya. Katakan saja persyaratannya,” kata Maling
Kondang dengan semangat yang menggebu-gebu.
“Syarat yang pertama adalah Maling Genthiri harus mandi di
Sendang Karang di daerah Tuban. Kemudian syarat yang kedua
adalah Genthiri harus membawa Bende Becak, Bende Singa Barong
dan Bende Kencana.”
“Jika hanya itu syaratnya, pasti aku bisa melakukannya Dewi.
Percayalah padaku.”
“Sudah. Segera laksanakan saja dua syarat yang aku katakan
tadi. Jika seandainya kau gagal, maka, aku tidak berhak menerima
pinanganmu.”
“Iya Dewi, akan segera aku laksanakan.”
Maling Genthiri menyanggupi persyaratan yang diberikan Dewi
Sirep. Kemudian dengan mudah ia melakukan syarat yang pertama
yaitu mandi di Sendang Karang di daerah Tuban. Bende yang telah
ia berikan pada Dewi Sire adalah Bende Becak. Kemudian, ia hendak

f 81
memenuhi syarat yang lain, yaitu membawa salah satu bende milik
Rangga Yuda di Semarang. Suatu malam, ia hendak mencuri bende
milik Rangga Yuda.Namun, sebelum berhasil mencuri ia telah terlihat
oleh Rangga Yuda, ia gagal mencuri.
Sebenarnya Maling Genthiri memiliki ilmu panalimunan, yaitu
ia dapat masuk ke dalam rumah dan ruangan lain hanya melalui
cahaya lampu yang menembus celah-celah pada dinding. Ia juga
memiliki benda pusaka berupa gunting sakti yang dapat memotong
kayu setebal apapun. Akan tetapi, takdir berkata lain. Ia harus gagal
memenuhi persyaratan yang diajukan Dewi Sirep.
Hidup Maling Genthiri akhirnya berakhir di Desa Kawengan,
Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Hal itu terjadi pada saat ia
akan mencuri, seseorang melihatnya. Kemudian ia pun berniat
melarikan diri. Namun, nasibnya berakhir ketika kakinya terjerat
tanaman talas sehingga ia terjatuh.
“Ah, sial! Hanya karena tanaman ini kakiku terjerat. Kurang
ajar! Aku bersumpah siapa pun di daerah Kawengan sebelah barat
akan celaka hidupnya bila menanam talas.”
Kata-kata Maling Kondang dipercaya oleh masyarakat hingga
kini. Masyarakat sekitar tidak ada yang berani menanam talas di
dekat makam Maling Kondang.

f 82
15 >>
<<

KENTIRI
SI BAIK HATI

A lkisah di sebuah desa di tanah Jawa hiduplah seorang kyai


dan anaknya. Kyai tersebut bernama Kyai Ageng Pancuran
dan anaknya bernama Kentiri. Kentiri adalah seorang pemuda yang
gagah dan tampan sehingga selalu dibanggakan oleh ayahnya.
Selain tampan, Kentiri juga pandai bela diri dan mempunyai
kesaktian yang tinggi. Setiap hari Kentiri rajin belajar berbagai
ilmu. Tidak jarang ia berguru sampai jauh dari rumahnya. Berkat
ketekunan dan kerajinannya ia memiliki kekuatan lahir dan batin
yang luar biasa.
Dalam pengembaraannya untuk mencari ilmu, Kentiri sering
bertemu dengan rakyat kecil yang hidupnya sengsara. Berkat
ajaran dari ayahnya, Kentiri tumbuh menjadi pemuda yang tidak
sombong dan suka menolong sehingga ia mudah berbelas kasihan
melihat penderitaan rakyat kecil. Ia tidak segan-segan untuk
membantu mereka bahkan Kentiri juga sampai rela membagi harta
miliknya. Namun, di balik sifatnya yang baik dan suka menolong,
Kentiri memiliki sifat yang keras terutama dalam hal mewujudkan
impian dan cita-citanya. Apabila ia menginginkan sesuatu, apapun
rintangannya pasti ia hadapi agar keinginannya dapat terwujud.

f 83
Kentiri terlihat duduk termenung dan melamun.

Tidak jarang ia menghalalkan segala cara agar semua keinginannya


dapat tercapai. Sifat inilah yang kerap membuat Kyai Ageng
Pancoran sedih dan prihatin.
Sore itu ketika matahari condong ke barat, Kentiri duduk ter­
menung di dalam rumah. Tidak biasanya Kentiri seperti itu, biasa­
nya bila malam hampir tiba ia bersiap untuk bertapa. Ayahnya
bingung melihat Kentiri yang tidak biasa duduk melamun sehingga
Kyai Ageng Pancuran bertanya-tanya.
“Mengapa kamu melamun dan terlihat sedih, anakku? Tidak
biasanya kamu seperti ini, katakanlah apa yang membuatmu
seperti ini”.
“Saya baik-baik saja Bapak, hanya saja saya malu dan takut
apabila menceritakannya kepada Bapak.”
“Sebenarnya apa yang ingin kau ceritakan? Selama ini bila
kamu menginginkan sesuatu kamu pasti mengatakan dengan

f 84
tegas, tapi ini tidak seperti biasanya. Apakah kamu menginginkan
gadis untuk menjadi istrimu, Nak?”
“Benar, Pak. Beberapa hari yang lalu, ketika aku bersemedi di
daerah Sulang, aku berjumpa dengan seorang gadis cantik. Aku
ingin sekali meminangnya, apakah Bapak menyetujuinya?”
“Bapak ikut pendapatmu saja Nak, kalau menurutmu gadis itu
baik pasti bapak setuju. Siapa gadis itu dan anak siapa dia?”
“Gadis itu bernama Dewi Sirep, anak Mbok Randha Suganti
dari Desa Sepetik.”
Setelah mendengar penjelasan dari Kentiri, Kyai Ageng
Pancoran terkejut. Beliau langsung menasihati Kentiri. “Aduh
anakku, apa sudah tidak ada gadis lain? Masih banyak gadis lain
yang lebih cantik dan lebih baik daripada Dewi Sirep. Apakah kamu
sudah yakin akan meminangnya untuk menjadi istrimu?”
“Memang ada apa dengan Dewi Sirep? Wajahnya cantik sekali.
Aku jatuh hati kepadanya, aku ingin ia jadi istriku, Pak!”
“Kamu benar-benar sudah yakin mau meminangnya?
Konon gadis itu sudah membuat banyak pemuda jatuh cinta
kepadanya dan banyak pula pemuda yang patah hati karenanya.
Apakah nanti lamaran kita diterima? Tapi Nak, jika kamu benar-
benar menginginkannya, Bapak akan berusaha mewujudkan
keinginanmu,” jawab Kyai Ageng Pancoran.
Setelah mendengar keinginan anaknya, Kyai Ageng Pancoran
kemudian meminta tolong kepada saudaranya yang bernama
Jaruman. Jaruman ialah paman Kentiri. Ia tinggal di Rajekwesi.
Beliau dimintai tolong oleh Kyai Ageng Pancoran untuk melamar
Dewi Sirep untuk dijadikan istri Kentiri. Beberapa waktu kemudian
pergilah Jaruman ke Desa Sepetik untuk menemui Mbok Randha
Suganti dan tidak lupa mengatakan apa maksud kedatangannya.
Selang tak berapa lama setelah lamaran dari Kentiri, datanglah
seorang kyai yang bernama Kyai Ngusman dari Mbalun Cepu

f 85
bersama dengan anaknya yang bernama Jaka Selakan. Kyai dan
anaknya ini datang ke rumah Mbok Randha Suganti juga untuk
melamar Dewi Sirep, dan ternyata lamarannya diterima. Ketika
berita tersebut didengar oleh Kentiri, ia sangat marah dan hendak
membunuh Jaka Selakan. Pergilah Kentiri mencari Jaka Selakan
dan menantangnya. Kemudian terjadilah perkelahian antara Kentiri
dan Jaka Selakan. Akhirnya Kentiri memenangkannya dan Jaka
Selakan tewas.
“Akhirnya kau mati juga, Jaka Selakan! Kau telah merebut
calon istriku,” kata Kentiri.
Ketika mendengar kabar bahwa Jaka Selakan telah dibunuh
oleh Kentiri, Dewi Sirep menjadi takut. Beberapa hari kemudian
Kentiri dan Paman Jaruman tiba di Desa Sapetik dan menemui
Mbok Randha Suganti untuk kembali meminta Dewi Sirep untuk
dijadikan istri Kentiri.
“Baiklah, karena ini pinangan yang kedua kalinya maka
jika Kentiri benar-benar ingin meminang saya Kentiri harus
melaksanakan dua syarat. Syarat yang pertama yaitu Kentiri harus
mandi di Sendang Kara yang berada di Tuban. Syarat kedua saya
ingin memiliki bendhe becak, ketiga ingin memiliki bendhe singa,
dan keempat ingin memiliki bendhe kencana,” jawab Dewi Sirep.
“Dengan kesaktianku yang luar biasa, aku kira syarat yang
Dewi Sirep ajukan tidak berat. Aku pasti bisa melaksanakannya
dengan baik sesuai permintaan Dewi Sirep,” kata Kentiri dengan
sombong.
Kentiri pun segera pergi dari rumah Mbok Randha Suganti.
Benda-benda yang diminta Dewi Sirep sebenarnya sudah ada
yang memilikinya. Sebenarnya itulah cara Mbok Randha Suganti
menolak permintaan Kentiri secara halus. Kemudian Kentiri pergi
ke Desa Mlandingan, Tuban untuk menemui Mbok Randha Suli,
karena menurut kabar yang ia terima bendhe becak dimiliki Mbok

f 86
Randha Suli. Kentiri mengungkapkan kepada Mbok Randha Suli
apa maksud kedatangannya tersebut.
“Mbok Randha apakah kau mempunyai benda pusaka Bendhe
Becak?”
“Sungguh Kentiri, aku tidak mempunyai benda pusaka yang
disebut bendhe becak, yang ada di sini hanyalah anakku Jaka
Becak,” jawab Mbok Randha Suli ketakutan.
“Betul apa kata si mbok, kami tidak memiliki apa yang kau
maksud Kentiri,” sambung Jaka Becak.
Kentiri marah dan tidak percaya mendengar ucapan Mbok
Randha Suli dan anaknya.
“Hai, Jaka Becak! Kaulah sebenarnya bendhe itu, maka dari
itu sekarang ikutlah bersamaku.” Kentiri menyampaikan kepada
Jaka Becak sambil menendang kakinya. Mendapat tendangan dari
Kentiri, Jaka Becak tidak terima dan akhirnya terjadi perkelahian
sengit. Akhirnya Jaka Becak kalah karena dibunuh oleh Kentiri
dengan tombak Kyai Dorodarsih yang juga digunakan untuk
membunuh Jaka Selakan. Setelah Jaka Becak meninggal jasadnya
berubah menjadi Bendhe Becak.
Kemudian setelah mendapatkan Bendhe Becak, Kentiri segera
pergi mencari bendhe singabarong milik Mbok Hira yang berada
di Tuban. Pusaka ini dengan mudah didapatkan Kentiri. Sekarang
tinggal tersisa satu pusaka yang harus didapatkan Kentiri untuk
memenuhi persyaratan dari Dewi Sirep. Sayangnya pusaka bendhe
kencana itu milik Ranggayudha, Bupati Semarang.
“Satu lagi benda pusaka yang harus aku temukan, dan setelah
itu Dewi Sirep akan menjadi istriku,” kata Kentiri dengan gembira.
Tanpa berpikir panjang Kentiri pergi ke Semarang untuk mencuri
bendhe Kencana itu. Tak disangka sebelum dapat mencuri bendhe
kencana, ia sudah ketahuan oleh para prajurit Kadipaten Semarang.
Selanjutnya Kentiri dikejar-kejar para prajurit Kadipaten.

f 87
“Maling! Maliing! Maling! Ada pencuri masuk Kadipaten, Kejar!
Kejar! Tangkap dia, jangan sampai lolos! Maling! Maling!” teriak
para prajurit.
Mendengar teriakan para prajurit, Kentiri pun lari terbirit-
birit. Di tengah jalan, Kentiri berjumpa dengan seorang pencuri
bernama Jaka Sanggar, anak Ki Gede Tuguan. Jaka Sanggar dan
Kentiri saling pandang dan akhirnya terlibat perkelahian mengadu
kesaktian. Akhirnya Jaka Sanggar kalah dan terbunuh oleh Kentiri
dengan pusaka tombak Kiai Dorodarsih.
Prajurit Kadipaten Semarang terus mengejar, pelarian Kentiri
sampai ke daerah Blora, dalam persembunyiannya ia pun tetap
mencuri untuk menyambung hidup. Kentiri hanya mencuri harta
milik orang kaya saja. Hasil curiannya tidak Kentiri nikmati sendiri
teatapi juga dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang
membutuhkan terutama orang miskin yang tinggal di desa. Sejak
itulah ia disebut maling Kentiri atau Maling Gentiri.
Kebiasaan Kentiri yang suka menolong orang-orang miskin itu
menyebabkan penduduk desa sangat menyayangi Maling Kentiri.
Ia tidak dianggap sebagai orang jahat tetapi dianggap sebagai
Ratu Adil yang datang ke bumi. Kentiri dianggap sebagai dewa
yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan orang-
orang yang menderita karena ditindas oleh prajurit Kadipaten. Jadi,
seringkali Maling Kentiri ini disembunyikan penduduk dari prajurit
Kadipaten yang mencarinya dan ingin menangkapnya.
“Kami tidak tahu dan tidak kenal siapa itu Kentiri,” demikian
jawaban penduduk desa bila para punggawa Kadipaten berpatroli
ke desa mencari keberadaan Kentiri. Kentiri terus pergi ke timur
menghindari prajurit Ranggayudha. Sambil menyingkir ia tetap
mencuri dan membagikan harta curiannya kepada penduduk desa.
Dalam menjalankan aksinya mencuri, Kentiri tidak pernah
tertangkap karena kesaktiannya yang luar biasa. Ia dapat memasuki

f 88
rumah korbannya hanya dengan meniti sorot atau sinar lampu yang
keluar dari celah dinding rumah. Pada umumnya dinding rumah
orang kaya di Blora terbuat dari kayu jati sehingga ada celah yang
memungkinkan sinar lampu dalam rumah memancar keluar. Hal
ini berlangsung terus-menerus sampai suatu waktu Kentiri merasa
bosan dan lelah harus selalu berkejaran dan bersembunyi dari
prajurit Kadipaten Semarang. Kentiri juga bosan dan lelah jika
harus mencuri terus-menerus untuk menjaga keberlangsungan
hidupnya dalam pelarian. Kepada Paman Jaruman ia berkata ingin
berhenti mencuri dan ingin bertobat dan berguru kepada seorang
kyai di Semarang, yaitu Sunan Ngerang.
“Paman, aku sudah lelah hidup seperti ini. Aku ingin tobat
Paman karena aku tahu mencuri itu perbuatan yang salah.”
“Baiklah, Kentiri. Kalau begitu nanti Paman antar ke Semarang
untuk menemui seorang kyai.”
Kentiri dan Paman Jaruman akhirnya pergi ke Semarang untuk
menemui Sunan Ngerang dan menyatakan kalau mereka ingin
berguru. Mereka berdua diterima Sunan Ngerang sebagi murid.
Kentiri termasuk murid yang rajin mengaji dan belajar agama. Ia
ingin menunjukkan kepada gurunya bahwa ia sudah bertobat dan
tidak mencuri lagi. Berkat ketekunan dan kemauannya yang kuat
untuk belajar, kemajuan yang dicapai Kentiri sangat cepat sehingga
dalam waktu singkat ia sudah menjadi santri yang berbakat.
Sekarang Kentiri sadar bahwa tujuan yang baik untuk
menolong orang miskin juga harus dilakukan dengan cara yang
baik. Dahulu Kentiri berpikir yang penting ialah tujuannya baik
untuk menolong orang miskin walaupun dengan cara mencuri
harta milik orang lain. Ternyata semua itu keliru dan sekarang
Kentiri menjadi seorang muslim yang taat.
Suatu ketika Paman Jaruman kembali kepada kebiasaan
mencuri. Sunan Ngerang menginginkan agar ia tetap bersama

f 89
Kentiri untuk belajar ilmu agama. Sepeninggal Jaruman Kentiri
tetap memeluk agama Islam dan menjadi seorang muslim yang
taat. Ia telah membuang kebiasaan mencuri. Namun, ia tetap
gemar membagikan beras pada orang miskin. Hanya saja beras
yang dibagikan bukan dari hasil curian lagi, melainkan dari hasil
kerja kerasnya menggarap sawah yang berada di sekitar kediaman
Sunan Ngerang.

f 90
<< 16 >>
ARA-ARA
KESANGA

P ada zaman dahulu kala ada seorang pemuda yang bernama


Aji Saka. Ia adalah seorang kesatria yang baik hati, suka
menolong, dan sakti mandraguna. Aji Saka memiliki dua orang
punggawa bernama Dora dan Sembada. Mereka setia menemani
Aji Saka dalam setiap pengembaraannya.
Pengembaraan Aji Saka sampai di wilayah Kerajaan Kamulan.
Konon pada waktu itu, pemerintahan kerajaan itu sangat
kacau karena raja yang memerintah merupakan raja yang sakti
mandraguna tetapi sangat bengis dan kejam. Raja itu bernama
Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar itu juga memiliki
kebiasaan yang tidak lazim yaitu senang memakan daging manusia.
Ia juga sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Oleh karena
itu, kedatangan Aji Saka merupakan ancaman baginya.
Aji Saka menumpang di rumah seorang janda yang bernama
Mbok Randha Cangek. Di rumah tersebut Aji Saka selalu berbuat
kebajikan, baik kepada Mbok Randha dan keluarganya, maupun
kepada tetangganya. Hampir semua orang di desa itu merasa
senang padanya.

f 91
Aji Saka terkejut ketika seekor induk ayam mematuk-matuk cairan dari
tubuhnya yang tercecer di tanah.

“Anak muda itu sungguh baik. Ia sangat baik kepada semua


orang,” kata seorang seorang warga kepada Mbok Randha.
“Iya betul, kita sangat beruntung dapat mengenalnya.”
Pada suatu hari Aji Saka bertemu dengan Mbok Randha
Cangek. Aji Saka dan Mbok Randha Cangek pun saling jatuh
cinta. Hingga suatu hari, Aji Saka terkejut ketika ada induk ayam
yang mematuk ceceran cairan yang keluar dari tubuhnya. Ayam
tersebut suatu hari pasti akan bertelur. Sebelum pergi, Aji Saka
menitipkan telur ayam itu untuk dijaga oleh Mbok Randha Cangek
dan disimpan di tempat penyimpanan padi.
Suatu hari tertangkaplah Aji Saka oleh pejabat Kerajaan
Medang Kamulan. Kemudian dibawa dan diserahkan kepada sang
raja. Aji Saka ditangkap dan dianggap bersalah karena sudah

f 92
melakukan pelanggaran di kerajaan tersebut. Oleh karena itu,
sang raja menantang Aji Saka untuk beradu kekuatan. Mendengar
tantangan dari Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka bersedia
menanggapinya. Sebagai perlindungan diri ia pun menyuruh Dora
agar menemui Sembada untuk meminta keris pusakannya.
Aji Saka mengetahui bahwa Prabu Dewata Cengkar memang
sakti. Ia tidak mempan dengan senjata apapun. Aji Saka teringat
pada Sembada yaitu seorang abdinya yang tinggal di Pulau Majeti
untuk menjaga keris pusakannya.
“Dora, aku mengutusmu untuk mengambilkan keris pusaka
milikku di Pulau Majeti. Keris itu dijaga oleh Sembada.”
“Baik, Aji Saka,” kata Dora.
Pada Sembada, Dora menyatakan bahwa dirinya disuruh
majikannya untuk mengambil pusaka milik Aji Saka. Dora juga
menceritakan bahwa keris itu dibawa untuk melawan Sang Prabu
yang bengis.
“Tidak, tidak akan kuberikan keris pusaka ini padamu. Aku
tidak percaya kau diutus Aji Saka. Sebelum Aji Saka mengambil
dengan tangannya sendiri, aku tidak akan memberikannya kepada
siapa pun,” kata Sembada kepada Dora.
“Sembada, kau harus percaya. Aku ini benar-benar diutus
oleh Aji Saka.”
“Tidak! Aku tidak mempercayaimu!”
Sembada memiliki sifat yang sangat setia kepada majikannya
se­hingga Sembada tak mau memberikan kerisnya. Keduanya
ber­sikeras mempertahankan pendapatnya. Akhirnya terjadi per­
tarungan hingga Dora dan Sembada pun tewas.
Setelah cukup lama menunggu Dora yang tak kunjung
datang, Aji Saka memutuskan untuk menyusulnya. Setibanya di
Pulau Majeti ia terkejut karena menjumpai kedua abdinya sudah
tidak bernyawa dan saling berpegang keris pusakanya.

f 93
“Oh Tuhan, mengapa jadi seperti ini. Kalian memang benar-
benar pengikutku yang setia. Sembada benar-benar menjaga keris
pusaka ini dengan baik,” kata Aji Saka sambil mengusap kepala
Dora dan Sembada.
Dari kisah ini, konon Aji Saka menciptakan Aksara Jawa yang
terdiri atas 20 huruf adalah sebagai berikut.
HA NA CA RA KA artinya ada utusan
DA TA SA WA LA artinya sama-sama setia
PA DHA JA YA NYA artinya sama- sama jaya (sakti)
MA GA BA THA NGA artinya inilah bangkainya (akhirnya)
Aji Saka menciptakan aksara Jawa tersebut dengan harapan
dapat memberi peringatan bahwa menjadi orang jangan bersikukuh
dengan pendapatnya sendiri. Apabila suatu pendapat dipaksakan
dapat memberikan suatu kerugian. Oleh karena itu, sebaiknya
dilakukan sebuah musyawarah untuk memecahkan masalah yang
dihadapi.
Setelah menguburkan jenazah kedua abdinya, Aji Saka
kemudian kembali ke Medang Kamulan dengan membawa pusaka
untuk meladeni tantangan Sang Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka
akhirnya dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Namun, Sang
Prabu tidak mati melainkan masuk ke dalam laut selatan. Konon
Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi seekor buaya putih.
Setelah Prabu Dewata Cengkar kalah, Aji Saka diangkatl menjadi
seeorang raja. Masyarakat di desa itu menjadi sangat tenteram
dan damai.
Singkat cerita ayam betina milik Mbok Randha Cangek
sudah bertelur. Sesuai pesan Aji Saka, telur ayam itu disimpan di
sebuah lumbung padi. Suatu hari Mbok Randha Cangek melihat
lumbung padinya yang semakin menumpuk. Ketika semakin dalam
ia masuk ke lumbung padi itu Mbok Randha terkejut. Ia melihat
seekor naga yang sangat besar. Mbok Randha pun langsung

f 94
menggigil ketakutan. Naga tersebut ternyata dapat berbicara dan
menanyakan siapa ayahnya kepada Mbok Randha.
“Mbok, Mbok tahu siapa ayahku?”
Mendengarkan pertanyaan itu, Mbok Randha Cangek
menjelaskan sejarah kehidupan sang naga dari awal sampai akhir.
Dimulai dari perintah Aji Saka untuk menyimpan telur di lumbung
padi sampai ia menemukan ular di lumbung padi itu. Sang naga
semakin penasaran untuk mengetahui siapa orang tuanya. Mbok
Randha akhirnya menyarankan untuk menemui Aji Saka yang pada
saat itu menjadi Raja Medang Kamulan.
Setelah mendengarkan saran dari Mbok Radha, sang naga
bergegas menuju Kerajaan Medang Kamulan. Sang naga akhirnya
bertemu dengan Aji Saka. Setelah itu, Aji Saka memberi nama
naga tersebut Naga Linglung. Aji Saka berjanji kepada sang naga
bahwa ia akan mengakui sebagai anak jika Naga Linglung berhasil
membunuh Prabu Dewata Cengkar.
“Namamu sekarang Naga Linglung. Kau akan kuakui sebagai
anak jika berhasil membunuh Prabu Dewata Cengkar yang sudah
berubah wujud menjadi seekor buaya putih di laut selatan.”
“Baik, aku akan melaksanakan perintahmu raja.”
“Akan tetapi, untuk menuju ke laut selatan maupun
sekembalinya ke Medang Kamulan nanti kau tidak boleh melewati
permukaan bumi karena badanmu terlalu besar. Maka dari itu kau
harus berjalan di bawah tanah.” Pesan Aji Saka kepada sang naga.
“Baik, Raja.”
Setelah melalui pergulatan yang cukup hebat, Naga Linglung
pun berhasil membunuh buaya putih jelmaan Prabu Dewata
Cengkar. Dengan kemenangan tersebut ia merasa senang karena
akan mendapat pengakuan sebagai anak Aji Saka. Oleh karena itu,
ia segera kembali ke Medang Kamulan. Sang naga segera masuk
ke bumi. Ia menembus jalan untuk menuju ke Medang Kamulan.

f 95
Setelah berjalan cukup lama, ia muncul di permukaan bumi untuk
melihat tempat yang dicarinya. Namun, ternyata ia belum sampai
ke tempat yang dituju. Sang naga baru sampai di daerah timur
Purwodadi yang kemudian dinamakan Desa Jono.
Setelah itu sang naga pun masuk kembali ke dalam bumi untuk
melanjutkan perjalannya. Ia berjalan ke timur kemudian berbelok
ke selatan. Setelah berjalan cukup lama ia lalu menyembulkan
kepalanya ke permukaan bumi untuk melihat lokasi tempat yang di­
tujunya. Namun, ternyata ia belum juga sampai di Medang Kamulan
melainkan baru sampai di daerah Kuwu.
Akhirnya setelah melewati beberapa daerah, Naga Linglung
sampai di Kerajaan Medang Kamulan. Kemudian Naga Linglung
diakui sebagai anak oleh Aji Saka. Setelah itu Naga Linglung di­
sarankan untuk bertapa agar menjadi seorang manusia. Ia diperin­
tahkan untuk bertapa di lapang (ara-ara) yang berada di sebelah
selatan Kerajaan Medang Kamulan. Lapangan tersebut sesuai
dengan ukuran badan Naga Linglung yang sangat besar. Selain itu,
ia juga diperintahkan untuk tidak makan apapun selama bertapa.
Singkat cerita pada suatu hari ada segerombolan anak yang
menggembala ternaknya di sekitar ara-ara tempat Naga Linglung
bertapa. Mereka berjumlah sepuluh orang. Hujan pun turun dan
sepuluh anak tersebut mencari tempat berteduh. Tiba-tiba mereka
menemukan sebuah lubang yang sangat besar. Sebenarnya lubang
tersebut merupakan mulut Naga linglung yang sedang bertapa.
Sepuluh anak tersebut beramai-ramai masuk gua. Akan tetapi,
satu di antara mereka ada yang menderita sakit kulit maka teman-
temanya merasa jijik sehingga anak itu diusir dan tidak boleh ikut
berteduh di dalam gua.
“Hei..ada lubang besar. Ayo kita masuk ke sana untuk ber­
teduh.”
“Ayo..ayo…” kata anak-anak dengan kompak.

f 96
“Eh, tunggu dulu, semuanya boleh masuk kecuali kamu. Kamu
itu punya penyakit kulit, kami jijik jika harus berteduh bersamamu.
Kami takut tertular,” kata anak yang mengajak teman-temannya
masuk ke dalam lubang besar itu sambil menunjuk dada anak yang
terkena penyakit kulit.
“Betul…betul..” kata yang lainnya.
Anak tersebut lalu keluar dan duduk berhujan-hujan di atas
sebatang kayu. Untuk mengusir rasa dinginnya anak tersebut tidak
sengaja mematuk-matukkan parang yang dibawanya ke batang
kayu yang didudukinya. Ia sangat terkejut tatkala batang kayu
tersebut mengeluarkan getah berwarna merah. Ketika batang itu
dicium ternyata baunya amis seperti darah. Naga Linglung kaget
karena ekornya terasa dipatuk-patuk dengan benda tajam. Ia me­
rasa sakit lalu menggerakkan tubuhnya. Begitu pula ketika merasa
ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutnya, kemudian ditelanlah
segala apa yang berada di dalamnya.
Melihat kejadian tersebut anak itu lari terbirit-birit sambil ber­
teriak minta tolong karena sembilan kawannya telah ditelan seekor
naga.
“Tolong…tolong…kawanku dimakan naga. Tolong..tolong…”
Kejadian tersebut menggegerkan seluruh warga. Hal tersebut
dilaporkan kepada Aji Saka. Mereka menuntut supaya Naga Linglung
dihukum seberat-beratnya karena telah memakan warga. Kemudian
Naga Linglung dihukum dengan dipaku kepalanya sehingga badan­
nya mengelepar di tanah.
Tanah tempat Naga Linglung menggelepar-geleparkan tubuh­
nya itu seperti kubangan lumpur disertai suara menggelegar.
Feno­mena tersebut sampai sekarang masih disaksikan di wilayah
Purwodadi yang dinamakan Bledug Kuwu. Adapun tanah lapang
(ara-ara) tempat ditelannya sembilan anak tersebut kemudian
dikenal dengan nama Ara-Ara Kesanga.

f 97
17 >>
<<

JAKA
SANGSANG

K onon, pada zaman kerajaan Mataram, di Dukuh Jambi, Desa


Madalem ada seorang janda yang bernama Mbok Randha
Jambi. Ia hidup berdua dengan adiknya yang bernama Blacak
Nyilo. Mereka berdua hidup dalam kemiskinan. Pada suatu hari
pada saat Mbok Randha pergi ke sungai untuk mencuci beras,
ia melihat sebuah peti yang tersangkut di rerumputan glagah di
tepi bengawan. Melihat peti itu Mbok Randha mengambilnya lalu
membuka peti tersebut.
“Siapa yang membuang peti ke sungai?” bisik Mbok Randha
dalam hati. Begitu peti terbuka, seketika Mbok Randha terkejut
karena ternyata peti itu berisi bayi laki-laki.
“Kira-kira bayi siapakah ini? Lucu sekali bayi ini. Kamu anak
siapa, Nak?” kata Mbok Randha. Ia sangat senang bisa menemukan
bayi di tepi bengawan karena ia tidak memiliki seorang anak pun.
Kemudian, ia membawa pulang bayi itu dengan sehelai kain
untuk menutupi tubuh bayi tersebut. Dalam perjalanan pulang
Mbok Randha memberikan nama bayi itu dengan sebutan Jaka
Sangsang. Hal ini disebabkan bayi tersebut ditemukan di dalam
peti yang tersangkut (kesangsang). Mbok Randha Jambi juga

f 98
berpesan kepada siapapun yang memiliki tanah di tepi bengawan
agar ditanami rumput glagah. Maksud dari pesan Mbok Randha ini
adalah tanaman rumput dapat digunakan untuk menahan tanah
agar tidak longsor atau menahan sesuatu yang hanyut.
Beberapa tahun kemudian setelah Jaka Sangsang tumbuh
besar, paman dan ibunya menyuruhnya pergi ke rumah Begede
Kuwung yang bernama Ki Mangun Dipura. Tujuannya supaya Jaka
Sangsang menjadi seorang penggembala kerbau.
“Permisi Ki. Ki saya disuruh ibu dan paman saya menemui Ki
Mangun di sini.”
“Ada maksud apa kau menemuiku, Nak?”
“Saya disuruh ibu dan paman saya supaya dapat membantu
menggembala kerbau.”
“Apa sebelumnya kau pernah menggembala kerbau?”
“Belum pernah Ki, tapi saya akan belajar dengan rajin supaya
dapat menggembala kerbau dengan baik.”
“Kalau begitu kau diterima sebagai penggembala di sini.”
“Terima kasih, Ki.”
Setelah Jaka Sangsang menemui Ki Mangun Dipura, ia
menyampaikan maksud kedatangannya. Akhirnya Jaka Sang­sang
pun diterima sebagai abdi penggembala kerbau. Adapun kerbau
yang dipercayakan kepada Jaka Sangsang adalah seekor kerbau
pancal panggang yang berkalungkan benang lawe tiga warna.
Pada saat Jaka Sangsang menjalankan tugas menggembala
kerbau bersama teman-temannya. Jaka Sangsang melepas kerbau
pancal panggang dari ikatannya. Sebenarnya Jaka Sangsang
mengetahui bahwa kerbau pancal panggang adalah kerbau yang
dikeramatkan. Akan tetapi, Jaka Sangsang sama sekali tidak
merasa takut, bahkan saat menggembalapun ia menaiki punggung
kerbau tersebut. Pada saat menggembala, kerbau yang dinaiki
Jaka Sangsang terus berjalan ke arah timur menuju sebuah parit

f 99
Jaka Sangsang menemui Ki Mangun Dipura untuk mengabdi
menjadi penggembala kerbau.

kecil. Di parit itu airnya sangat jernih. Melihat air di parit itu Jaka
Sangsang membendung parit itu agar si kerbau bisa minum. Air
yang diminum oleh kerbau tersebut adalah hasil dari singgetan
(bendungan) maka tempat tersebut diberi nama “Dukuh Singget”.
Begede Kuwung mempunyai dua orang anak perempuan
yang bernama Dewi Sumilah dan Retno Dumilah. Dewi Sumilah
jatuh cinta kepada Jaka Sangsang, karena tubuh Jaka Sangsang
mengeluarkan sinar. Akan tetapi, Begede Kuwung tidak menyetujui
hubungan antara Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah.
“Aku tidak akan menyetujui hubunganmu dengan Jaka
Sangsang. Mulai sekarang kau harus menjauhinya,” kata Bagede
Kuwung kepada Dewi Sumilah.
“Tapi, ayah. Aku sangat mencintainya”.

f 100
“Aku tidak mau tahu. Kau harus mengikuti perintahku,” Bege­
de Kuwung berkata dengan marah.
Akhirnya Dewi Sumilah dan Jaka Sangsang berusaha untuk
saling menjauh meskipun masih memiliki rasa saling suka.Pada
suatu hari Begede Kuwung kedatangan tamu yang bernama Ki
Gede Sentono. Ki Gede Sentono berencana untuk malamar dua
anak Begede Kuwung untuk dinikahkan dengan dua anak Ki Gede
Sentono yaitu Surangga dan Suranggi.
“Ki Mangun, kedatangan saya ke sini bukan hanya untuk
menjalin kekerabatan saja tetapi juga untuk melamar dua putri Ki
Mangun untuk anak saya,” kata Ki Gede Sentono.
“Saya dan keluarga di sini sangat senang sekali dengan
kedatangan Ki Gede Sentono dan keluarga. Saya dan keluarga
pasti menerima lamaran dari Ki Gede Sentono,” kata Ki Mangun.
“Tapi ayah, sebelum aku menerima lamarannya. Aku punya
satu permintaan,” kata Dewi Sumilah.
“Permintaan apa itu? Sebutkan saja”. kata Ki Gede Sentono.
“Aku meminta mas kawin berupa seekor kerbau Pancal
Panggung,” kata Dewi Sumilah.
“Itu hal yang mudah. Saya dan putra saya akan mengabulkan
permintaan Dewi Sumilah,” kata Ki Gede Sentono.
Tujuan Dewi Sumilah meminta syarat itu adalah supaya anak
Ki Gede Sentono tidak dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan
kerbau Pancal Panggang hanya ada satu yaitu yang digembala
oleh Jaka Sangsang. Mengetahui hal itu, keesokan harinya Ki Gede
Sentono menyuruh dua anaknya untuk menemui Jaka Sangsang
untuk meminta kerbau Pancal Panggang yang biasa digembala
oleh Jaka Sangsang. Jika boleh akan diminta secara cuma-cuma
dan jika tidak boleh maka akan dibeli dengan harga berapapun
untuk mendapatkan kerbau tersebut.

f101
Surangga dan Suranggi pun melaksanakan anjuran ayahnya
untuk menemui Jaka Sangsang. Mereka berdua menunggu Jaka
Sangsang di jalan yang biasa dilewati Jaka Sangsang dengan
kerbau Pancal Panggung. Dari arah barat mereka melihat Jaka
Sangsang yang sedang naik menunggangi kerbau Pancal Panggung.
Kemudian Surangga dan Suranggi menanyakan nama dan kerbau
yang ditunggangi Jaka Sangsang tersebut.
“Maaf, saya mau bertanya siapa nama Kisanak? Dan nama
kerbau ini apa?” kata Suranggi.
“Saya Jaka Sangsang dan kerbau ini Pancal Panggang,” jawab
Jaka Sangsang.
“Oh, ternyata inilah orang yang kita cari,” kata Suranggi
kepada Surangga.
“Maksudnya?” kata Jaka Sangsang bingung. Surangga dan
Suranggi pun menjelaskan tentang siapa mereka dan alasan
kenapa mereka ingin meminta kerbau tersebut.
“Saya dan saudara saya diperintah ayah untuk menemuimu
dan meminta kerbau Pancal Panggung ini. Tujuannya supaya kami
dapat melamar anak Begede Kuwung”.
“Apa? Enak saja kau ingin meminta kerbauku ini. Aku tidak
akan memberikannya kepada kalian,” kata Jaka Sangsang dengan
marah. Mendengar pernyataan Surangga dan Suranggi tersebut,
Jaka Sangsang seketika marah dan terjadi penyelisihan di antara
mereka, yang berlanjut menjadi pertarungan.
Akhirnya pertarungan tersebut dimenangkan oleh Jaka Sangs­
ang. Pada saat itu paman Jaka Sangsang, Blacak Nyilo, mengetahui
jika keponakannya menang dari pertarungan. Blacak Nyilo sangat
gembira, maka Blacak Nyilo berkata kelak jika zamannya sudah
makmur tempat tersebut bisa dinamakan Dukuh Jigar.
Tidak lama kemudian, Ki Gede Sentono datang mencari
Jaka Sangsang. Sebelum ia menemui Jaka Sangsang, Blacak

f 102
Nyilo berkata kepada Ki Gede Sentono untuk tidak mencari Jaka
Sangsang.
“Mengapa Ki Gede mencari Jaka Sangsang? Ada perlu apa?”
tanya Blacak Nyilo.
“Aku ingin membalas dendamku karena ia telah mengalahkan
dua anakku,” jawab Ki Gede Sentono.
“Oh jadi itu maksud Ki Gede. Kalau begitu aku tidak akan
membiarkan Ki Gede menemui Jaka Sangsang. Sekarang hadapilah
aku, Ki Gede,” kata Blacak Nyilo dengan marah.
Akhirnya terjadi pertarungan di antara keduanya. Dalam
pertarungan awal tersebut Blacak Nyilo hampir kalah. Ia lalu berlari
ke arah barat laut, sampai di tepi Bengawan Solo. Di tempat itu
ia mengambil senjatanya berupa sepucuk tumbak yang bernama
Tumbak Krincing Mas. Ki Sentono ditumbak tetapi bisa menghindar
sehingga tumbak tersebut tidak mengenainya. Tumbak itu justru
menancap di sebuah batu besar. Kemudian begitu tumbak itu
dicabut, batu tersebut membekas menjadi terowongan seperti gua
sehingga tembus sampai ke arah Tuban Jawa Timur. Melihat tero­
wongan itu, Sentono berlari masuk ke dalam terowongan tersebut
dan tidak terkejar lagi. Setelah kejadian itu Blacak Nyilo berkata
“Kelak kalau sudah makmur tempat tersebut dinamakan Goa
Sentono.”
Setelah itu Blacak Nyilo kembali ke arah timur untuk menemui
Jaka Sangsang. Setelah sampai menemui Jaka Sangsang dan
kerbau Pancal Panggang, Blacak Nyilo pun heran karena melihat
kerbau Pancal Panggang yang beristirahat. Blacak Nyilo tidak
pernah melihat kerbau Pancal Panggung beristirahat sebelumnya.
Oleh karena itu, ia lalu berkata bahwa “Kelak kalau tempat itu
sudah menjadi kota atau dukuh akan dinamakan Dukuh Ngleren”.
Tak lama kemudian Blacak Nyilo dan Jaka Sangsang beserta
kerbaunya berjalan ke arah barat. Dalam perjalanannya mereka

f 103
menemui sumber mata air. Blacak Nyilo singgah sebentar untuk
mencuci senjata Tumbak Krincing yang belum dicuci. Sambil
mencuci senjatanya itu Blacak Nyilo bersandar pada sebuah batu
besar yang ada di tepi sumber mata air tersebut. Oleh karena mata
air itu dipakai untuk mencuci senjata Tumbak Krincing, sumber
mata air itu dinamakan Belik Krincing. Kemudian batu yang menjadi
sandaran untuk mencuci senjata tersebut kelak dinamakan Dukuh
Menden.
Setelah dirasa Jaka Sangsang sudah aman dari gangguan para
musuh, Blacak Nyilo pun kembali ke Dukuh Jambi. Di perjalanan,
Jaka Sangsang bertemu dengan temannya, Jaka Sentir, yang juga
mengabdi pada Begede Kuwung.
“Jaka Sangsang, kebetulan kita bertemu di sini. Aku hanya
ingin menyampaikan pesan dari Begede Kuwung,” kata Jaka Sentir.
“Pesan apakah gerangan?” jawab Jaka Sangsang penasaran.
“Kau harus segera kembali ke tempat Begede Kuwung dengan
membawa kerbau Pancal Panggang karena waktumu mengabdi
kepada Begede Kuwung sudah selesai. Selanjutnya kau diminta
untuk kembali ke Dukuh Jambi,” sambung Jaka Sentir.
Mendengar perintah tersebut Jaka Sangsang dan Jaka Sentir
segera menuju ke arah barat menuju rumah Begede Kuwung.
Dalam perjalanannya, Jaka Sangsang menjumpai ikan Kutuk yang
berada di dalam lobang (rong). Jaka Sangsang lalu menyuruh
Jaka Sentir untuk mengambil ikan-ikan tersebut. Ia berkata “Iki
lho, ana iwak, jupuki” (ini lho, ada ikan, ambilah). Jaka Sentir pun
menjawab, “Kepiye ta Sang, aku ora iso njupuk” (bagaimana Sang,
aku tidak bisa mengambilnya), jawab Jaka Sentir. Jaka Sangsang
pun menjawab “Ya rogoi ta” (ambillah dengan cara dirogoh).
Akhirnya Jaka Sentir berhasil mengambil ikan-ikan tersebut setelah
menerapkan saran Jaka Sangsang. Karena kejadian itulah, kelak
dusun tersebut dinamakan Dusun Goito.

f 104
Selanjutnya Jaka Sangsang dan Jaka Sentir melanjutkan
perjalannya. Dalam perjalanan itu pula mereka menemui sekum­
pulan orang yang sedang berdebat dan berkeluh-kesah masalah
pangan karena di daerah itu memang sedang terjadi kekurangan
pangan. Hal inilah yang menyebabkan tempat tersebut dinamakan
Dukuh Bapangan. Dalam perjalanan mereka menuju rumah
Begede Kuwung, kerbau Pancal Pangggang tiba-tiba behenti dan
menanduk-nanduk tanah untuk dimakan. Melihat hal tersebut Jaka
Sangsang berkata, “Kebo kok mangan lemah/ngampo” (kerbau kok
makan tanah/ampo). Oleh karena itu, tempat tersebut kemudian
dinamakan “Dukuh Ngampo”.
Setelah Jaka Sangsang dan Jaka Sentir sampai di rumah Ki
Gede Kuwung, Jaka Sangsang langsung menemui Ki Gede Kuwung
dan berkata, “Ki Gede, aku telah sampai di rumah ini. Maaf se­
belum­nya, apakah benar berita yang disampaikan oleh Jaka Sentir
kepadaku?”
“Benar, hari ini bertepatan dengan hari Senin Legi yang me­
rupakan hari baik untukmu pergi meninggalkan pekerjaan sebagai
penggembala kerbau. Sebagai upah selama mengabdi kepadaku,
kau akan kuberi seekor anak kerbau (gudel) untuk dipelihara di
rumah setelah kau pergi kembali ke Dusun Jambi.”
“Terima kasih banyak, Ki. Kalau begitu saya pamit kembali ke
Dusun Jambi,” jawab Jaka Sangsang.
Jaka Sangsang lalu pergi ke Dukuh Jambi dengan membawa
pulang kerbau hadiah dari Ki Gede Kuwung. Dia berjalan ke arah
timur seraya menuntun kerbau tersebut. Kerbau yang dibawanya
pulang ternyata bukan kerbau yang sehat, melainkan kerbau yang
sedang sakit kulit. Ketika melintasi Desa Singgit, anak kerbau itu
dibawa ke sungai untuk dimandikan. Setelah dimandikan, kerbau
itu tidak mau diajak pulang. Jaka Sangsang pun menjadi jengkel,
anak kerbau itu ditempeleng dengan tangan kanannya sampai

f 105
mati seketika. Setelah anak kerbau tersebut mati, Jaka Sangsang
menye­ salinya. Jaka Sangsang pun melanjutkan perjalannya ke
Dukuh Jambi dengan tangan kosong. Sesampainya di rumah,
Jaka Sangsang memberi tahu kepada ibu dan pamannya tentang
hal tersebut. Anak kerbau yang mati di desa Singgit tadi ternyata
sudah dikerumuni banyak semut maka dinamakanlah Kali Semut.
“Nak, mengapa kau pulang begitu cepat dengan tangan
kosong seperti itu?” tanya Mbok Randha.
“Aku disuruh pulang oleh Begede Kuwung, katanya waktu
pengabdian sebagai penggembala sudah habis, Mbok,” jawab Jaka
Sangsang.
Mendengar pernyataan itu Mbok Randha terkejut, ia ber­tanya
dalam hati apa salah Jaka Sangsang sehingga ia disuruh untuk
pulang ke Dukuh Jambi.
“Tapi, pasti ada sebabnya Jaka. Apa kau melakukan kesalahan
di sana?” tanya Mbok Randha penasaran.
“Iya Mbok. Aku mencintai putri dari Begede Kuwung, yaitu Dewi
Sumilah. Begitu juga Dewi Sumilah juga mencintaiku. Mbok, maukah
Mbok melamar Dewi Sumilah untukku?” pinta Jaka Sangsang.
Mbok Randha pun sangat kebingungan. Jika permintaan Jaka
Sangsang tidak dituruti, Jaka Sangsang akan marah. Jika dituruti,
hal tersebut tidak akan mendapat persetujuan dari Ki Gede
Kuwung. Mbok Randha berusaha menghibur hati anaknya seraya
memberikan pengertian.
“Nak, keinginanmu itu ibarat pepatah “Cebol nggayuh lintang”
(si pungguk merindukan bulan) yaitu sesuatu yang sangat mustahil
untuk bisa terlaksana. Kau cari saja gadis yang lain ya,” Mbok
Randha berusaha mengalihkan perhatian Jaka Sangsang.
“Tidak, Mbok. Aku sangat mencintai Dewi Sumilah, tolong
aku Mbok. Lamarkan ia untukku,” Jaka Sangsang meminta dengan
penuh harap.

f106
“Baiklah, jika kau memaksa. Mbok akan turuti keinginanmu
Jaka,” jawab Mbok Randha.
Dalam hati Mbok Randha sudah menduga bahwa lamarannya
pasti akan ditolak karena perbedan status sosial antara mereka
sangat jauh. Sesampainya di rumah Ki Gede Kuwung ternyata benar
bahwa lamarannya tersebut ditolak. Bahkan, di rumah Ki Gede
Kuwung ia mendapatkan penghinaan yang sangat menyakitkan.
“Berani sekali Mbok datang ke sini melamar putriku untuk si
Jaka. Mbok tidak sadar Mbok itu siapa?” bentak Ki Gede Kuwung.
“Maaf Ki Gede, anak saya sangat mencintai putri Ki Gede.
Saya hanya ingin anak saya bahagia,” jawab Mbok Randha.
“Apa? Bahagia? Itu tidak mungkin terjadi Mbok. Aku tidak sudi
menerima lamaranmu!” kata Ki Gede Kuwung.
Alkisah diceritakan kalau Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah
sudah berjanji akan tetap hidup bersama sehidup semati walaupun
mereka dalam keadaan berjauhan dan dipisahkan. Mereka saling
mengerti satu sama lain. Dewi Sumilah bisa merasakan kepedihan
hati Jaka Sangsang. Begitu pula Jaka Sangsang juga bisa merasakan
kepedihan hati Dewi Sumilah.
“Kangmas, aku tahu hatimu sangat sakit,” kata Dewi Sumilah.
“Ya tentu saja Dewi. Begitu juga dengan hatimu bukan?” Jaka
Sangsang menimpali.
“Iya, Kangmas. Aku ingin selalu bersamamu sampai kapan
pun,” Dewi Sumilah berjanji.
“Kalau begitu kita lari saja dari sini Dewi,” ajak Jaka Sangsang.
“Ya Kangmas, aku akan ikut denganmu,” kata Dewi Sumilah.
Kemudian, Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah melarikan diri
secara bersamaan. Jaka Sangsang melangkahkan kakinya ke arah
barat dan Dewi Sumilah melangkahkan kaki ke arah timur. Jaka
Sangsang berjalan menyusuri tepi bengawan. Dalam perjalanannya
tersebut ia tiba-tiba terjatuh. Kelak di tempat terjatuhnya Jaka

f107
Sangsang tersebut dinamakan Dusun Parengan. Jaka Sangsang lalu
melanjutkan perjalanannya ke arah barat melalui Desa Jigar untuk
menyeberangi Sungai Bengawan lalu melewati Desa Kradenan.
Setelah menyusuri Sungai Bengawan dan melewati beberapa
dusun, akhirnya Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah berada di
seberang barat dan seberang timur sungai dan mereka saling
melambaikan tangan. Selanjutnya mereka menatap satu sama
lain melangkah saling mendekat hingga tidak lagi menghiraukan
air sungai yang menghalangi di depan mereka. Mereka terus
saja melangkah perlahan tetapi pasti mendekat dengan saling
menggapai tangan. Akhirnya mereka berdua tenggelam di dalam
air sungai bengawan. Terlihat samar-samar (moyo-moyo) mereka
terapung di tengah sungai bengawan tersebut. Kadang-kadang
tampak kadang-kadang tidak tampak. Karena kejadian hal tersebut,
daerah tersebut dinamakan “Kedung Moyo”.

f 108
18 >> <<

LEGENDA
MBONG SANGSANG

C erita legenda di Mbong Sangsang ini menurut penutur


masyarakat Blora, terjadi ketika di Blora ada Bupati Kembar
Wilatikta. Pada suatu hari, Bupati Sumenep melarikan putri
Sinuwun Solo. Sinuwun Solo kemudian mengadakan sayembara,
siapa saja yang dapat meringkus Bupati Sumenep ia akan diberi
hadiah separuh dari bumi atau negeri Blora (sigar semangka).
Wilatikta berhasil membunuh Jayeng Tirtanata, Bupati Sumenep
tersebut. Oleh karena itu, Wilatikta mendapat hadiah separuh
bumi Blora (sigar semangka), dengan pusat pemerintahan di Begir.
Wilatikta mempunyai anak kembar, satu orang laki-laki dan
satu orang perempuan. Namun, ia mempunyai pandangan jika ia
memiliki dua anak, Bumi Blora akan terus terbagi. Ia bertekad akan
tetap mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaannya. Demi
keutuhan Bumi Blora, ia harus tega menyingkirkan salah seorang
anaknya. Tujuannya, sepeninggalnya kelak bumi Blora tidak perlu
dibagi-bagi dan tetap utuh menjadi satu bagian.
“Ketika aku meninggal nanti, aku hanya ingin satu penguasa
saja di Negeri Blora ini. Aku tidak ingin Negeri Blora ini dibagi,

f 109
Wilatikta memiliki dua orang anak kembar, lelaki dan perempuan.

meskipun harus dibagi di antara anakku sendiri. Aku ingin Negeri


Blora tetap utuh. Ini berarti aku harus menyingkirkan anak
perempuanku,” kata Wilatikta ketika ia duduk di depan rumah­
nya. Akan tetapi, Wilatikta masih belum menemukan cara untuk
menyingkirkan anak perempuannya. Alasan ia memilih anak
perem­puannya yang disingkirkan karena menurutnya perempuan
adalah makhluk lemah. Selain itu, tidak ada perempuan yang dapat
menjadi seorang pemimpin. Perempuan tetaplah perempuan yang
berada dalam kekuasaan laki-laki. Setelah berhari-hari berpikir,
Wilatikta memutuskan untuk membuang anak perempuannya..
“Putriku, Ayah punya sebuah kejutan untukmu,” kata Wila­tikta
kepada putrinya.
“Benarkah, Ayah?” Kata Putri Wilatikta dengan gembira.
“Tentu saja. Tapi, jangan bilang-bilang Masmu ya. Ini rahasia

f 110
antara kita berdua. Kejutannya akan ayah berikan di Mbong
Sangsang besok sambil kita jalan-jalan di sana. Jadi, kamu tidak
boleh mengajak siapa-siapa. Kita pergi berdua saja ya, Nak,” kata
Wilatikta berbohong.
“Baik, Ayah. Aku pasti akan menjaga rahasia ini. Terima kasih,
Ayah. Ayah sudah mau memberikan kejutan kepadaku. Aku sangat
senang sekali, aku menyayangimu, Ayah,” kata Putri Wilatikta tulus.
“Ya, sama-sama, Putriku.”
Keesokan harinya anak perempuannya diajak ke Mbong
Sangsang untuk berjalan-jalan. Putri Wilatikta sangat bahagia,
karena ayahnya hanya mengajak dirinya saja. Putri Wilatikta
ber­­
anggapan bahwa ia akan mendapatkan kejutan spesial dari
ayahandanya yang akan membuatnya bahagia. Kemudian ketika
Putri Wilatikta sedang membayangkan kebahagiaan tersebut, tiba-
tiba ia merasakan tubuhnya didorong seseorang. Putri Wilatikta
seketika membalikkan badannya.
“Ayah? Apa yang Ayah lakukan, mengapa Ayah men­dorong­
ku?” tanya Putri Wilatikta dengan cemas.
“Sudah, kau ikuti saja rencana ayah. Ini adalah yang terbaik
untukmu.”
“Rencana apa, Ayah? Aku tidak mengerti maksud, Ayah. Mana
kejutan yang ayah janjikan kepadaku?”
“Sebentar lagi kau akan mengetahui kejutan yang akan aku
berikan kepadamu putriku. Inilah kejutan untukmu wahai putriku,”
teriak Wilatikta sambil mendorong putrinya dengan paksa ke dalam
jurang.
“Tidak, Ayah. Tolong aku, Ayah. Ayah mengapa kau melakukan
ini padaku?”
Sang Putri pun lenyap bersama jasadnya. Akan tetapi, sebelum
menghilang putri tersebut berkata: “Ya, aku trima mbok piloro, tapi
besuk akire Negara Blora iku bakal ana apa-apa, ake mesthi bakal

f 111
males” (Ya,aku rela kau aniaya, tapi kelak pada akhirnya Negeri
Blora akan terjadi sesuatu, aku pasti akan membalas).
Ancaman putri Bupati yang terbunuh karena ulah ayahandanya
sendiri itu sampai sekarang masih dipercaya sebagai kutukan.
Oleh karena itu, konon apabila ada pejabat yang masuk ke Desa
Gulingan pasti mendapatkan petaka.

f112
<< 19 >>
LEGENDA
KALI LUSI

P ada zaman kejayaan Sri Jayabaya dan Raja Kediri ada tiga
orang pengembara yaitu Kyai Mranggi, Bahu Rena, dan
Parta Gendul atau Parta Balung. Mereka tinggal di hutan Gunung
Butak di sebelah utara Blora yang pada waktu itu masih bernama
“Wurera”. Wurera sekarang dikenal dengan nama Gunung Pranti
atau Dhunggrenjang (Kedung Grenjeng).
Di tempat itu ada sebuah pohon suren. Konon pohon suren
tersebut sangat dikeramatkan oleh warga. Akan tetapi, hal ini
awam bagi pengembara seperti Parta Balung.
“Sebelum Kyai Mranggi dan yang lainnya terbangun, aku
harus membuat perahu untuk menyeberangi sungai,” kata Parta
Balung dalam hati. Ia sangat bersemangat untuk melaksanakan
niatnya itu. Ia ingin membuat sebuah kejutan kepada Kyai Mranggi
dan yang lainnya. “Pasti mereka bangga kepadaku,” sambungnya.
Tanpa sepengetahuan Kyai Mranggi, pohon suren tersebut akhirnya
ditebang oleh Parta Balung untuk dibuat sebuah perahu.
Ketika Parta Balung sedang asyik membuat perahu, tiba-tiba
terjadi prahara. Hujan deras disertai angin ribut datang.

f113
Pohon Suren yang sangat dikeramatkan warga.

“Wah ada apa ini?” kata Parta Balung panik. “Kyai bangun,
Kyai bangun,” kata Parta Balung sambil berteriak-teriak.
“Ada apa, Parta Balung?”
“Kyai, saya takut. Tiba-tiba saja ketika saya sedang mem­buat
perahu, hujan turun sangat deras disertai angin ribut. Banyak tanah
yang longsor dan tanah berubah menjadi aliran lumpur.” Tiba-tiba
muncul pula seekor ular naga. Ular ini tidak tampak sebab ia berjalan
di dalam tanah.” Parta Balung men­jawab dengan terbata-bata.
“Membuat perahu? Ular naga? Untuk apa kau membuat
perahu?” kata Kyai Mranggi dengan kaget.
“Maafkan saya Kyai. Tadinya saya ingin membuat kejutan
untuk Kyai dan yang lainnya.”
Kyai Mranggi dan teman-temannya sangat cemas karena
hujan dan angin ribut tidak kunjung reda. Selain itu, mereka
juga memikirkan ular naga yang tiba-tiba muncul begitu saja.

f114
Ke­esokan harinya barulah hujan deras dan angin rebut itu reda.
Tempat tinggal Kyai Mranggi dan Kyai Bahurena juga longsor. Kyai
Mranggi menyebut hutan yang rusak itu Desa Coban, sebab di
tempat tersebut Kyai Mranggi mendapat coba (cobaan dari Tuhan).
Kemudian Kyai Mranggi memutuskan untuk mencari tempat tinggal
ular naga yang merusak tempat tinggalnya. Dalam perjalanan
mencari ular naga itu, lahirlah nama-nama desa dan tempat tinggal
sebagai penanda peristiwa yang dialami oleh Kyai Mranggi. Ada
Desa Gunung Kajar (dari kata pajar), Desa Trimbangan (dari kata
tetimbangan), Desa Sucen (dari kata asu blecen), Desa Tegaldawa
(dari kata dawa), karena di tempat tersebut ada makam yang
panjangnya 4 meter, Desa Penden Wedalan (dari kata wedel),
Desa Pecak Selawe (dari kata dipecaki ping selawe, diukur dengan
langkah sebanyak 25 langkah), dan lain-lain.
Beberapa daerah telah ditelusuri oleh Kyai Mranggi tetapi ia
belum juga menemukan ular naga. Kemudian Kyai Mranggi pergi
ke puncak Gunung Butak, tempat Syekh Jati Kusuma bertapa.
Kepada Syekh Jati Kusuma, Kyai Mranggi memohon bantuan untuk
menemukan ular naga yang telah merusak tempat tinggalnya.
Syekh Jati Kusuma menyanggupi permohonan Kyai Mranggi.
“Permisi…permisi, Syekh.”
“Iya, siapa di sana?” kata Syekh Jati Kusuma.
“Saya Syekh, Kyai Mranggi”.
“Oh Kyai Mranggi, ada apa gerangan Kyai menemui saya?”
“Maaf sebelumnya saya telah lancang menemui Syekh Jati di
sini. Saya ingin memohon bantuan Syekh. Saya sedang mencari naga
yang telah merusak tempat tinggal saya Syekh. Saya telah mencari
ke berbagai daerah, tetapi saya belum juga menemukannya. Saya
sangat berharap Syekh dapat membantu saya.”
“Jadi itu tujuan Kyai menemui saya. Baiklah, saya akan men­
coba untuk membantu Kyai.”

f 115
“Terima kasih banyak, Syekh.”
“Sama-sama, Kyai. Kita sebagai sahabat sudah seharusnya
saling membantu. Kalau begitu nanti saya akan mengambil sebuah
pusaka di gua dekat puncak Gunung Butak. Kemudian akan saya
tancapkan di puncak Gunung Butak. Mudah-mudahan dengan cara
itu kita dapat menemukan naga yang Kyai cari.”
“Baik kalau begitu, saya ikut Syekh saja.”
Syekh Jati Kusuma lalu mengambil pusaka ‘Kyai Akik Ampal
Bumi’. Lalu pusaka tersebut ditancapkan di puncak Gunung Butak.
Melalui pusaka tersebut tampaklah di dalam gunung ada ular naga
yang sedang tidur pulas dan tampak jinak.
“Lihat, Kyai, kita berhasil menemukan ular naga yang Kyai
cari.”
“Syukurlah. Ternyata naga ini yang merusak tempat tinggal
saya.”
Di tengah kegembiraan Syekh Jati Kusuma dan Kyai Mranggi
tiba-tiba datanglah sebuah prahara. Prahara tersebut berupa hujan
deras dan angin ribut yang sempat membuat Syekh Jati Kusuma
dan Kyai Mranggi panik. Hujan deras dan angin ribut itu terjadi
selama beberapa hari. Kemudian di Gunung Butak muncullah
beberapa sumber air. Sumber yang airnya mengalir ke arah timur
itu dinamakan Kali Kesemen. Sumber air tersebut menjelajahi
Desa Tahunan, Bangilan, dan terus ke arah Bojanegara. Sumber
air yang mengalir ke selatan berasal dari Gunung Kajar atau Desa
Kajar. Daerah yang dilalui oleh air dari sumber tersebut tanahnya
longsor. Oleh karena itu, banyak penghuni yang mengungsi.
Sumber air tersebut dinamakan Kali Lusi. Nama Kali Lusi berasal
dari kata “ngungsi” (mengungsi). Air dari Kali Lusi yang terletak di
Gunung Butak yang mengalir ke arah barat menjadi Kali Brubulan.
Kemudian air yang mengalir ke arah utara menjadi Kali Mudal (di
daerah Pamotan).

f 116
Setelah peristiwa itu, Kyai Mranggi pulang ke daerahnya.
Beliau meninggal dunia dan makamnya dihormati oleh banyak
orang. Makam tersebut dinamakan “Punden Mranggi”, sedangkan
makam temannya, Bahurena disebut “Punden Bahurena”.

f 117
20 >>
<<

TERJADINYA
DESA GRESI

L egenda terjadinya Desa Gresi berkaitan dengan peristiwa


yang terjadi di negara Kerajaan Tanjung Mas. Tanjung Mas
memiliki seorang tumenggung yang sangat sakti bernama Tunggul
Wulung. Tumenggung Tunggul Wulung mempunyai istri yang
sangat cantik bernama Dewi Sumekar. Pada suatu hari di Kerajaan
Tanjung Mas terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Bupati
Nglangitan. Prajurit Tanjung Mas telah dikalahkan oleh pasukan
pemberontak. Melihat kekalahan prajuritnya, Raja Tanjung Mas
memerintahkan kepada putranya yang bernama Pangeran Suryo
untuk menyingkirkan Bupati Nglangitan.
Pangeran Suryo tidak menuju medan perang, melainkan pergi
ke Katumenggungan. Tujuannya untuk menemui Tumenggung
Tunggul Wulung dengan alasan mendapatkan perintah dari
ayahnya. Ia mengarang cerita bahwa Tumenggung Tunggul
Wulung diperintahkan ayah Pangeran Suryo untuk menumpas
Bupati Nglangitan. Hal tersebut dilakukan karena Pangeran Suryo
tertarik kepada Dewi Sumekar. Setelah kepergian Tumenggung
Tunggul Wulung, Pangeran Suryo membujuk Dewi Sumekar agar
mau diperistri. Keinginan Pangeran Suryo ternyata ditolak oleh

f118
Pangeran Suryo membujuk Dewi Sumekar agar mau dipersunting
manjadi istrinya.

Dewi Sumekar. Dewi Sumekar pun melarikan diri. Dewi Sumekar


kemudian bertemu dengan suaminya yang baru saja sampai di
Sekanthen (saat ini menjadi Desa Sekenthi). Dewi Sumekar
menangis di luar Sekanthen (sampai saat ini tanah tempat Dewi
Sumekar menangis menjadi tanah sangar/gawat).
Selanjutnya Pangeran Suryo menghadap raja. Setibanya di
sana ternyata Tunggul Wulung dan istrinya sudah menghadap
terlebih dahulu. Tumenggung Tunggul Wulung menyerahkan istri­
nya kepada raja dan mengatakan bahwa istrinya akan dinikahi oleh
Pangeran Suryo. Setelah menyerahkan istrinya, Tunggal Wulung
lalu pergi. Kedatangan Pangeran Suryo ke istana menjadikan
raja marah. Beliau memerintahkan kepada Pangeran Suryo untuk
memberantas angkara Bupati Nglangitan sebagai hukuman. Jika

f119
Pangeran Suryo gagal, meskipun anaknya tetap akan dihukum
mati.
Lalu Dewi Sumekar pulang ke rumah orang tuanya di Bathokan.
“Ayah, Ibu. Aku pulang ke sini karena ada suatu alasan.
Suamiku sudah tidak membutuhkanku lagi. Tolong terima aku di
sini.”
“Nak, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Tapi, apakah
kau masih mencintai suamimu?” kata ayah Dewi Sumekar.
“Tentu saja Ayah. Aku masih mencintainya seperti dulu.”
“Kalau begitu, pergilah ke Nglangitan dan daftarkanlah dirimu
sebagai prajurit di sana.”
“Bagaimana bisa Ayah? Aku ini seorang perempuan, bukan
laki-laki.”
“Menyamarlah sebagai laki-laki, Nak. Kemudian selama
penyamaran namamu diganti menjadi Silihwarni.”
“Baiklah Ayah. Saran ayah pasti saran yang terbaik untukku.”
Sepeninggal Dewi Sumekar, datanglah Tunggul Wulung ke
Bathokan menemui mertuanya untuk menyerahkan istrinya karena
dicintai oleh anak raja.
“Ayah, aku datang ke sini untuk meminta izin kepada Ayah
dan Ibu. Aku akan menyerahkan istriku kepada raja.”
“Mengapa kau lakukan itu? Apa kau sudah tidak mencintainya
lagi?”
“Bukan itu permasalahnnya, Ayah. Putra raja mencintai istriku,
tetapi sebenarnya aku masih sangat mencintainya.”
“Jika kau masih mencintainya, pertahankanlah istrimu dan
kau juga harus mengikuti saranku. Untuk bertemu dengan istrimu
lagi, kau harus mengalahkan Bupati Nglangitan yang bernama
Silihwarno.”
“Baik, Ayah. Akan aku laksanakan perintah Ayah ini,” kemudian
Tunggul Wulung pergi ke Nglangitan.

f120
Di Kadipaten Nglangitan terjadi peperangan yang dimenang­
kan oleh Pangeran Suryo. Kekalahan prajurit Nglangitan teratasi
dengan datangnya Silihwarni yang mendaftar sebagai prajurit.
Silihwarni ditugaskan untuk meringkus Pangeran Suryo yaitu
sebagai syarat untuk mendaftar sebagai prajurit di sana. Silihwarni
berhasil meringkus Pangeran Suryo dan memenjarakannya di
Nglangitan.
Tak lama kemudian datanglah Silihwarno mengamuk ke
Nglangitan. Ia bertemu dengan Silihwarni. Terjadilah perang
tanding antara Silihwarno dan Silihwarni, yang dimenangkan oleh
Silihwarno. Kemudian Silihwarni menjumpai ayahnya, Ki Ageng
Bathokan. Sang ayah menyuruh kembali ke medan perang dan
langsung menyerang dengan cara rayuan dan cubitan. Setelah
merayu dan mencubit, Silihwarni melarikan diri dan jatuh dilobang
becek seperti belik (sumur kecil dan dangkal). Silihwarni terus
mencubit hingga Silihwarno menarik iket (penutup kepala)
Silihwarni. Begitu tutup kepalanya Silihwarni terbuka, Tunggal
Wulung mengetahui bahwa Silihwarni itu istrinya yang bernama
Dewi Sumekar. Kemudian Tunggal Wulung pun membuka
penyamarannya.
“Istriku, Dewi Sumekar? Kau benar-benar istriku?”
“Iya Kangmas, aku ini istrimu. Akhirnya kita dipertemukan
kembali.”
Tempat jatuhnya Silihwarni tersebut akhirnya longsor dan
berlobang serta berair sehingga dinamakan “Sendang Gowak”,
sedangkan lobang becek tempat Silihwarno (Tunggul Warno)
ter­jatuh dinamakan “Seneng Blibis”. Lalu, penggede Bathokan
bersama anak dan menantunya menuju Kadipaten Nglangitan.
Bupati Nglangitan mempunyai senopati andalan bernama Ki
Ageng Nglaban. Dialah yang mendatangi pemberontakan Bupati
Nglangitan. Raja Tanjung Mas ketika diberi tahu bahwa bupati

f 121
Nglangitan telah dikalahkan oleh Tunggal Wulung dan Dewi
Sumekar langsung menuju medan perang untuk melawan Tunggul
Wulung yang kemudian digantikan Ki Gede Bathokan. Terjadilah
perang tanding antara Ki Gede Nglaban melawan Ki Gede Bathokan.
Dalam pertempuran tersebut kolor (tali celana) Ki Gede
Nglaban terlempar dan tersangkut di pagar besi. Melihat hal
itu Ki Gede Bathokan bersabda bahwa kelak tempat tersebut
menjadi Kota Gresi dan kalau menjadi desa dinamakan Desa
Gresi. Pertarungan antara Ki Gede Nglaban dan Ki Gede Bathokan
terus berlangsung dan semakin seru. Dalam pertarungan mereka
semakin bergeser ke timur hingga sampai ke sebuah kedung yang
dalam yang menyebabkan airnya bludhak. Oleh karena hal itu,
tempat tersebut kemudian disebut Desa Keburan.
Perang semakin menjadi-jadi dan semakin ke timur. Tanpa
mereka sadari tubuhnya sudah dikerumuni jangkrik sehingga
tempat tersebut kemudian disebut desa Jangkrikan. Akhirnya Ki
Gede Nglaban gugur di sebelah kraton. Darahnya mengalir sangat
banyak seperti kolam. Hingga saat ini kolam tersebut airnya merah
seperti darah.

f122
21 >> <<

LEGENDA
PUSAKA WULU DOMBA
PANCAL PANGGUNG

C erita legenda Pusaka Wulu Domba Pancal Panggung adalah


pusaka yang dimiliki Pangeran Benawa, putra raja Sultan
Hadiwijaya yang diserahi daerah kekuasaan perluasan Kerajaan
Pajang. Daerah kekuasan baru itu diberi nama Kadipaten Jipang
Panolan. Kehidupan masyarakat di Kadipaten Jipang dan kota
Raja Panjang Panolan setelah dipimpin Pangeran Benawa berjalan
damai, tidak ada peperangan, rakyatnya hidup makmur, dan
sejahtera. Suri teladan yang diterapkan Pangeran Benawa dalam
memimpin pemerintahan mengikuti jejak Sultan Hadiwijaya.
Semasa hidupnya, Sultan Hadiwijaya memimpin kerajaan Pajang
dengan arif dan bijaksana. Oleh sebab itu, beliau disenangi
oleh rakyatnya. Dalam memimpin pun, Sultan Hadiwijaya selalu
berusaha memakmurkan rakyatnya. Selain itu, Sultan Hadiwijaya
juga berusaha untuk memperluas daerah kekuasaan yang diberi
nama daerah Jipang Panolan.
Selanjutnya, Sultan Hadiwijaya akan mewariskan daerah
kekuasaan wilayah Jipang Panolan kepada anaknya yang bernama
Pangeran Benawa. Namun, pemberian itu tidak diberikan begitu
saja. Akan tetapi, pemberian itu dengan perjanjian terlebih dahulu,

f 123
Pangeran Benawa menerima persyaratan dari ayahnya untuk bertanding
melawan Arya Penangsang.

yakni dengan cara diadakan sayembara peperangan antara Arya


Penangsang dengan Pangeran Bawana. Sultan Hadiwijaya ber­janji
kepada putranya Pangeran Benawa apabila mampu memenangi
peperangan, Pangeran Benawa berhak menerima daerah kekuasa­
an wilayah Jipang Panolan. Akhirnya Pangeran Banawa bersedia
menerima penawaran ayahnya Sultan Hadiwijaya untuk melaksana­
kan peperangan melawan Aryo Penangsang. Pepe­rangan antara
Arya Penangsang dengan Pangeran Benawa dilaksanakan pada
tahun 1549 dan Arya Penangsang kalah peperangan dimenangi
oleh Pangeran Benawa. Akhirnya wilayah Jipang Panolan menjadi
daerah kekuasaan Pajang.
Setelah mempertimbangkan dengan seksama atas pena­waran
ayahnya Sultan Hadiwijaya akhirnya Pangeran Benawa bersedia
menerima permintaan ayahnya untuk menjadi Adipati Jipang

f 124
Panolan. Beberapa hari kemudian, Pangeran Benawa berangkat ke
wilayah Jipang Panolan dan menjadi Adipati. Di Jipang Panolan
Pangeran Benawa masuk dalam pemerintahan baru­ nya dan
men­jalankan pemerintahan dengan baik. Dikarena­kan Pangeran
Benawa adalah anak seorang Raja, sedikit banyak Pangeran
Benawa mengerti seluk-beluk cara menge­lola pemerintahan yang
dikelola oleh ayahnya. Meskipun Kadi­paten Jipang Panolan katagori
wilayah kekuasaan baru, Pangeran Benawa mampu menjalankan
pemerintahannya tanpa mengalami kesulitan apapun. Kehidupan
masyarakat di Kadipaten Jipang Panolan maupun Kota Raja Pajang
setelah dipimpin Pangeran Benawa berjalan dalam keadaan damai,
tidak ada peperangan, rakyatnya hidup makmur dan sejahtera.
Sultan Hadiwijaya berkata kepada anaknya, Pangeran Be­
na­wa, bahwa suatu saat Kerajaan Pajang dapat dikalahkan oleh
Sutawijaya. Karena Sutawijaya sedang melebarkan kekua­ sa­
an,wilayah Mataram, lambat laun Kerajaan Pajang semakin redup
akibat kekuasan wilayah Mataram semakin luas yang memung­
kinkan Kerajaan Pajang akan kalah.
Sultan Hadiwijaya sangat sedih memikirkan bahwa Kerajaan
Pajang akan dikalahkan oleh Kerajaan Mataram. Oleh sebab itu, pada
suatu hari Sultan Hadiwijaya memanggil anaknya, Pangeran Benawa,
untuk datang di Kerajaan Pajang dan memberi tahu bahwa Kerajaan
Pajang akan diserang oleh Mataram. Sultan Hadiwijaya memanggil
anaknya Pangeran Benawa dengan maksud akan menyerahkan Wulu
Domba Pancal Panggung yang merupakan kumpulan pusaka Kerajaan
Pajang. Kata Sultan Hadiwijaya kepada anaknya
“Anakku Benawa, aku ingin engkau menyelamatkan pusaka
kerajaan Pajang ini, Wulu Bomba Pancal Panggung. Bawalah pergi
dan simpanlah baik-baik di tempat yang engkau anggap aman.”
Sultan Hadiwijaya kemudian menyerahkan sebuah guci buat­
an Cina yang berisi sekumpulan pusaka Kerajaan Pajang kepa­

f 125
da anaknya Pangeran Benawa. Guci buatan Cina yang berisi
pusaka Kerajaan Pajang akhirnya diterima oleh Pangeran Benawa.
Dibawalah pusakan dari ayahnya Sultan Hadiwijoyo dan simpan di
tempat yang aman.
“Baiklah Ayahanda, aku akan melaksanakan titahmu sebaik-
baiknya. Aku akan selamatkan pusaka Kerajaan Pajang ini. Saya
mohon doa Ayah agar pusakan Kerajaan Pajang tersimpan dalam
keadaan aman dan tidak ada gangguan apapun.”.
Selanjutnya, Pangeran Benawa segera bergegas mening­gal­kan
Pajang. Pangeran Benawa sangat terharu hingga me­ne­tes­kan air
matanya. Rasa haru yang dirasakan oleh Pangeran Benawa karena
merasakan penderitaan ayahnya, Sultan Hadiwijaya, ketika Kerajaan
Pajang akan dikuasai oleh Sutawijaya. Pangeran Benawa bertekad
untuk mewujudkan pesan ayahnya untuk mengembangkan Jipang
Panolan menjadi tempat yang makmur dan damai. Seiring dengan
berjalannya waktu, daerah Jipang Panolan akhirnya berkembang
pesat. Pangeran Benawa dapat memerintah daerahnya dengan
bijaksana sehingga menjadi makmur dan damai. Perkembangan
itu membuat iri penguasa wilayah kadipaten lainnya di sekitar
Jipang Panolan. Salah satunya adalah Kadipaten Rajegwesi, yaitu
wilayah kadipaten yang letaknya di seberang Sungai Bengawan di
sebelah timur Jipang Panolan.
Adipati Rajegwesi sangat iri terhadap kemajuan dan kemak­
muran yang dicapai oleh Kadipaten Jipang Panolan beberapa
waktu terakhir. Agar dapat menandingi kemakmuran yang dicapai
Kadipaten Jipang Panolan, ia berencana menghancurkan Kadipaten
Jipang Panolan. Adipati Rajegwesi setuju dengan usulan Ki Demang
dan ia menyuruh Patih untuk menyiapkan prajurit pilihan yang
diberikan tugas untuk mencuri pusaka Jipang Panolan. Beberapa
waktu kemudian berangkatlah para prajurit pilihan tersebut dan
secara diam-diam mereka masuk ke wilayah Kadipaten Jipang

f126
Panolan untuk mengambil pusaka yang dimiliki oleh Pangeran
Benawa.
Pusaka Jipang Panolan tersebut disimpan pada tempat khusus
yang dijaga oleh beberapa prajurit. Pada suatu pagi, ketika para
prajurit Jipang Panolan yang bertugas menjaga pusaka memeriksa
tempat penyimpanan pusaka, mereka sangat kaget melihat pusaka
Jipang Panolan telah hilang. Kemudian prajurit yang bertugas
menjaga pusaka tersebut melaporkan hilangnya Pusaka Wulu
Domba Pancal Panggung kepada Pangeran Benawa. Ketika itu
Pangeran Benawa sedang membicarakan kehidupan rakyat Jipang
Panolan bersama patih dan kedua saudaranya yaitu Pangeran
Jati Kusuma dan Pangeran Jati Swara. Seketika, ia kemudian
memerintahkan kepada kedua adiknya, Pangeran Jati Kusuma dan
Pangeran Jati Swara untuk mencari pusaka yang hilang tersebut.
Berhari-hari kedua pangeran tersebut berjalan, masuk hutan,
mendaki gunung, menuruni lembah, menyeberangi sungai, serta
bertanya ke kampung-kampung dan di desa-desa. Perjalanan
menemukan pusaka Wulu Domba Pancal Panggung tersebut cukup
panjang dan melelahkan, tetapi keduanya tidak patah semangat
dan terus berjalan. Selama perjalanan tersebut Pangeran Jati
Kusuma sering menolong orang lain yang mengalami kesulitan dan
penderitaan, seperti menawarkan bantuan kepada bapak tua yang
sedang memikul kayu jati.
Pada kesempatan lain ketika melewati hutan, kedua pangeran
itu juga menolong anak kijang yang terjerat kakinya oleh ulah
pemburu. Ketika mereka melihat telur-telur burung merak yang
tergeletak di jalan, kedua pangeran tersebut membuatkan sarang
dari rumput dan meletakkan telur itu ke dalam sarangnya, lalu
sarang itu diletakkan jauh dari jalan agar tidak terinjak. Selama
perjalanan di dalam hutan belantara, Pangeran Jati Swara dan
Pangeran Jati Kusuma tidak pernah merusak dan menebangi

f 127
pohon-pohon yang rimbun. Bahkan, ketika melihat orang yang
sedang merusak atau menebangi hutan, mereka tidak segan-
segan menegur dan menasihatinya.
Kebaikan hati dan keramahan Pangeran Jati Swara dan Jati
Kusuma diketahui oleh penduduk desa yang tinggal di sepanjang
perkampungan yang dilalui kedua pangeran tersebut. Selama
perjalanan di hutan belantara mereka mendapatkan empat orang
sahabat baru. Keempat orang sahabat baru itu adalah pemuda
desa yang bermaksud berguru dan mengikuti perjalanan kedua
pangeran tersebut. Dalam perjalanan keempat pemuda tersebut
berkata kepada pangeran.
“Bolehkah saya berguru dan menyertai perjalanan pangeran
dalam mencari pusaka?”
“Kalau itu keinginanmu, kami tidak bisa melarang dan me­
nolaknya”.
Kemudian mereka berenam meneruskan perjalanan menuju
ke atas bukit dan sampailah ke Desa Janjang. Akhirnya di desa itu
mereka dapat menemukan pusaka Wulu Domba Pancal Panggung
yang hilang. Namun, setelah mereka menemukan pusaka Wulu
Domba Pancal Panggung, Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati
Kusuma tidak kembali ke Jipang Panolan melainkan menuju ke
Desa Janjang. Hal ini dikarenakan daerah kekuasaan Pajang telah
diserahkan kepada Sultan Sutawijaya di Mataram. Selanjutnya
Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma memutuskan
untuk tinggal dan menetap di Desa Janjang.
Demikian juga dengan empat pemuda yang mengikutinya,
mereka juga tinggal di Desa Janjang. Setelah beberapa waktu
Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma berserta muridnya
tinggal di Desa Janjang terdapat seorang putri bernama Rondo
Kuning yang tergila-gila dan berkeinginan dijadikan istri oleh
Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma. Namun, dengan

f128
sikap yang halus dan sopan santun, Pangeran Jati Swara dan
Pangeran Jati Kusuma dapat menolak keinginan Rondo Kuning.
Karena keinginannya untuk menjadi istri pangeran tidak dapat
terpenuhi maka, Rondo Kuning akhirnya menjadi murid Pangeran
Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma. Di Desa Janjang, Pangeran
Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma bersama keempat sahabatnya
mengajarkan kepada penduduk sekitar tinggalnya berbagai ke­
bijakan dan pengetahuan yang berguna serta menanamkan rasa
cinta kepada alam dan sesamanya. Kedua pangeran itu juga menye­
barkan agama Islam di daerah itu. Dengan berjalannya waktu,
lambat laun tempat tinggal kedua pangeran bersama murid-murid­
nya menjadi desa yang maju dan berkembang. Banyak penduduk
sekitar hutan menetap bersama Pangeran Jati Swara dan Pangeran
Jati Kusuma di desa tersebut. Berkat keteladanan dan ajaran
yang disampaikan kedua Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati
Kusuma, Desa Janjang menjadi damai dan makmur.

f 129
22 >>
<<

LEGENDA
LONGKO PATI

C erita Legenda Longko Pati merupakan cerita rakyat yang


berasal dari Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora. Cerita
Legenda Longko Pati awalnya dari Desa Nganguk, Kecamatan
Jakenan, Kabupaten Pati. Awalnya oleh Kyai Mutamakin tempat
tersebut disebut Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten
Pati. Akan tetapi, Kyai Abdul Qohal dan Kyai Muzaroah dari Desa
Ngampel Kabupaten Blora menyebutnya dengan nama Jerangah
atau Longko Pati. Nama Jerangah atau Longko Pati beralamat
di Desa Kedungjambon, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora.
Dalam pertemuan antara Kyai Mutamakin, Kyai Abdul Qohal dan
Kyai Muzaroah tersebut akan dibahas strategi melawan penjajah
Belanda untuk menguasai Nusantara. Intensitas pertemuan
yang dilakukan tokoh-tokoh agama seperti Kyai Abdul Qohal dan
Kyai Muzaroah itu membuat Belanda tidak senang dan merasa
terganggu. Pada saat itu Belanda merencanakan mengepung dan
menangkap ketiga orang tokoh-tokoh agama tersebut. Setelah
tentara Belanda sampai di lokasi pertemuan, tentara Belanda
baru mengintai (Jawa) anguk, para tokoh-tokoh agama tersebut
melarikan diri dan meloloskan diri dari penangkapan tentara

f130
Kyai Muzaroah bertanya mengenai tujuh bungkusan
kepada majikannya.

Belanda. Untuk mengenang peristiwa tersebut kelak tempat ter­


sebut dinamakan Desa Nganguk.
Dalam pelariannya, Kyai Muzaroah bersama istri dan Kyai
Abdul Qohar menuju Kabupaten Blora, sedangkan Kyai Abdul
Qohar akhirnya menetap di Kabupaten Blora utara tepatnya di Desa
Ngampel, Kecamatan Blora, sedangkan Kyai Muzaroah menetap di
Desa Banjarwaru, Kecamatan Ngawen, sebelah barat Kabupaten
Blora.
Dalam pelarian Kyai Muzaroah tidak hanya mencari aman dari
pengejaran tentara Belanda, di Desa Banjarwaru Kyai Muzaroah
juga melakukan syiar agama Islam dengan cara yang sangat
baik dan santun. Di Desa Banjarwaru Kyai Muzaroah bekerja
kepada seorang raja yang kaya raya. Setelah sekian lama bekerja

f 131
dengan raja yang kaya raya tersebut, Kyai Muzaroah mengetahui
kebiasaan majikannya yang selalu membungkus uang sebanyak
tujuh bungkusan.
Berkenaan dengan tujuh bungkusan tersebut Kyai Muzaroah
menanyakan kepada sang majikan. Kemudian majikan menjelaskan
bahwa setiap malam sang majikan selalu didatangi perampok atau
pembegal yang jumlahnya tujuh orang. Setelah mendapatkan
penjelasan dari majikannya, Kiai Muzaroah memberi saran kepada
majikannya untuk tidak membungkus uang lagi pada malam hari
berikutnya. Selanjutnya, untuk menjamin keselamatannya, Kyai
Muzaroah memagari rumah sang majikan dengan karomah yang
dipunyainya. Ketujuh pembegal yang sering datang untuk meminta
jatah uang tidak datang lagi ke rumah karena mereka tidak bisa
masuk ke dalam rumah walaupun dengan cara memanjat dengan
batu besar.
Akhirnya mereka kelelahan memanjat dan akhirnya tertidur.
Melihat para pembegal yang kelelahan dan tertidur Kiai Muzaroah
meminta pembantu majikannya untuk memasak nasi liwet dengan
sayur dan lauk-pauknya. Setelah masakan yang diminta siap, para
pembegal yang tertidur dibangunkan, kemudian diajak makan
bersama. Saat makan bersama tersebut, Kiai Muzaroah memberi
nasihat kepada para para pembegal untuk tidak melakukan
kejahatan apapun. Jika masih melakukan kejahatan, mereka akan
dihukum mati. Oleh sebab itu, para pembegal tersebut ditawari
Kiai Muzaroah untuk masuk Islam. Akhirnya ketujuh pembegal
tersebut sadar dan masuk Islam dan menjadi murid Kyai Muzaroah.
Dalam kisah ini disebutkan apabila berhasil menangkap maling
atau penjahat sebaiknya tidak dihukum mati tetapi dinasihati
sehingga sadar dan tidak melakukan kejahatan lagi. Pada waktu
itu, apabila maling atau penjahat tertangkap, penjahat itu pasti
akan dihukum mati. Berdasarkan kedua kisah cerita tersebut Kyai

f 132
Muzaroah mendapat julukan Longko Pati. Longko artinya tidak
mungkin dan Pati adalah mati, maka Longko Pati adalah orang yang
tidak mungkin mati apabila pembegal atau penjahat melakukan
perbuatan yang jahat. Jadi untuk mengenang legenda tersebut
Kyai Muzaroah mendapat julukan Longko Pati.

f133
23 >>
<<

LEGENDA
SILIHWARNA DAN
SILIHWARNI

L egenda terjadinya Desa Gresi berawal dari sebuah negara


yang bernama Tanjung Mas. Di negeri Tanjung Mas hiduplah
seorang Tumenggung bernama Tunggul Wulung dan istrinya Dewi
Semekar. Tumenggung Tunggul Wulung termasuk orang yang
sangat sakti. Pada suatu hari terjadilah pemberontakan dari salah
satu wilayah negara Tanjung Mas yaitu Nglangitan yang dipimpin
oleh Bupati Nglangitan. Walaupun telah melakukan perlawanan
tetapi para prajurit Tanjung Mas ternyata dapat dikalahkan oleh
Bupati Nglangitan.
Melihat kekalahan prajuritnya, Raja Tanjung Mas kemudian
memerintahkan anaknya yang bernama Pangeran Suryo untuk turun
serta membantu prajurit melawan serangan Bupati Nglangitan.
“Anakku, Suryo, aku mendengar para prajurit kita tidak
mampu menandingi kekuatan Bupati Nglangitan. Agar tidak
semakin banyak prajurit yang menjadi korban, aku perintahkan
engkau agar ikut menyertai para prajurit yang masih ada untuk
melawan Bupati Nglangitan itu.”
“Baiklah Ayahanda, akan aku laksanakan.”

f134
“Segeralah berangkat anakku, hati-hati engkau melawan
Bupati Nglangitan.”
Namun, Pangeran Suryo tidak segera menuju ke medan perang
melainkan pergi ke Katumenggungan menemui Tumeng­ gung
Wulung. Pangeran Suryo sebenarnya secara diam-diam menyukai
istri Tumenggung Tunggul Wulung dan ingin memperistrinya. Dalam
benak Pangeran Suryo, hal ini merupakan kesempatan untuk dapat
memiliki Dewi Semekar. Sesampainya di Katumenggungan, ia
kemudian menemui Tumenggung Tunggul Wulung dan menyampai­
kan bahwa ia mendapat perintah dari ayahnya supaya disampaikan
kepada Tumenggung Wulung, yaitu perintah untuk menumpas
pemberontakan dari Bupati Nglangitan.
Mendapat perintah dari Raja Tanjung mas yang disampaikan
melalui Pangeran Suryo tersebut, maka dengan serta merta
Tumenggung Wulung segera berangkat ke medan perang. Ia per­
caya perintah tersebut karena yang menyampaikan adalah putra
raja sendiri.
Sepeninggal Tumenggung Wulung, Pangeran Suryo membujuk
Dewi Semekar agar mau diperistri. Keinginan Pangeran Suryo
ditolak mentah-mentah oleh Dewi Semekar. Kkemudian melarikan
diri menyusul Tumenggung Wulung. Dewi Semekar akhirnya dapat
bertemu dengan Tumenggung Wulung yang saat itu baru sampai
di Sekanthen. Untuk mengenang peristiwa ini tempat tersebut
dinamakan Desa Sekenthi. Begitu bertemu dengan suaminya
Tumeng­gung Wulung, Dewi Semekar sambil menangis kemudian
menyampaikan peristiwa yang menimpanya sepeninggal suaminya.
Sampai saat ini tanah tempat menangis Dewi Semekar menjadi
tanah yang sangar/gawat.
Setelah mendengar keluhan istrinya, Tumenggung Wulung
tidak jadi melanjutkan perjalanannya ke medan perang tetapi
justru mengajak istrinya Dewi Semekar untuk menghadap ke Raja

f135
Tanjung Mas. Sesampainya di istana, Tumenggung Wulung segera
menghadap raja dan menceritakan segala kejadian. Ia kemudian
menyerahkan istrinya kepada raja karena Dewi Semekar diinginkan
oleh Pangeran Suryo. Setelah menyerahkan istri­ nya, Tumeng­
gung Wulung kemudian pergi ke medan perang untuk melawan
Bupati Nglangitan. Sepeninggal Tumenggung Wulung kemudian
datanglah Pangeran Suryo. Kedatangan Pangeran Suryo membuat
Raja Tanjung Mas marah. Kemudian Pangeran Suryo diperintahkan
oleh raja untuk menumpas Bupati Nglangitan. Jika gagal, Pangeran
Suryo akan dihukum mati. Raja tidak segan menghukum mati
walau itu putranya sendiri.
Sementara itu Dewi Semekar kemudian pulang ke Bathokan,
ke rumah ayahnya. Sesampainya di rumah ia menyampaikan
kepada ayahnya bahwa suaminya sudah meninggalkannya.
“Ayahanda, aku pulang karena sudah tidak berguna lagi untuk
Tumenggung Wulung.”
“Anakku Dewi Semekar, masihkah engkau mencintai Tumeng­
gung Wulung?”
“Sebenarnya, aku masih mencintai Tumenggung Wulung,
Ayahanda.”
“Kalau begitu, pergilah engkau ke Kabupaten Nglangitan
dengan menyamar menjadi seorang laki-laki gantilah namamu men­
jadi Silihwarni. Kemudian sesampainya di Nglangitan mendaftarlah
menjadi prajurit bupati.”
“Baiklah, Ayahanda, jika memang itu jalan yang dapat
membuat aku bertemu kembali dengan Tumenggung Wulung
maka akan aku laksanakan.”
Kemudian pergilah Dewi Semekar ke Nglangitan dengan
berpakaian seperti laki-laki.
Sepeninggal Dewi Semekar, datanglah Tumenggung Wulung ke
rumah mertuanya. Ia kemudian mengembalikan istrinya kepada orang

f136
Pertandingan Silihwarna dan Silihwarni.

tuanya karena istrinya dicintai oleh anak rajanya. Ayah Dewi Semekar
yang merupakan Penggedhe Bathokan bertanya pada Tumenggung
Wulung, apakah ia masih mencintai Dewi Semekar.
“Masih Ayah, saya masih mencintai Dewi Semekar.”
“Jika kamu memang masih cinta dengan Dewi Semekar dan
ingin bertemu lagi dengannya maka kamu harus membrantas
Bupati Nglangitan dan mengganti nama menjadi Silihwarna.”
Mendengar nasihat ayah mertuanya, maka berangkatlah
Tumeng­gung Wulung yang kemudian telah berganti nama menjadi
Silih­warna ke Nglangitan.
Sementara itu Pangeran Suryo yang telah sampai di Nglangitan
berperang melawan Bupati Nglangitan. Pangeran Suryo berhasil
mengalahkan Bupati Nglangitan. Setelah kekalahan Ngangitan,
datanglah Silihwarni mendaftar menjadi prajurit. Ia dapat diterima
menjadi prajurit dengan syarat dapat meringkus Pangeran Suryo.

f137
Kemudian terjadilah perang tanding antara Silihwarni dengan
Pangeran Suryo. Peperangan akhirnya dapat dimenangkan oleh
Silihwarni. Pangeran Suryo kemudian diringkus dan dipenjara di
Nglangitan. Tidak berapa lama datanglah Silihwarna dan ditemui
oleh Silihwarni. Kemudian terjadilah perang antara Silihwarna dan
Silihwarni yang dimenangkan oleh Silihwarna. Setelah dikalahkan
oleh Silihwarna, Silihwarni menjumpai ayahnya Ki Ageng Bathokan.
Namun, ayahnya menyuruh Silihwarni untuk maju berperang lagi
melawan Silihwarna dengan menggunakan rayuan dan cubitan.
Pergilah Silihwarni kembali ke Nglangitan menemui Silihwarna dan
menantangnya. Setelah Silihwarna dicubit dan dirayu, ia bermaksud
melarikan diri tetapi ia jatuh ke lubang becek seperti belik (sumur
kecil dan dangkal). Selanjutnya, tempat terjatuhnya Silihwarni
tersebut nantinya akan menjadi “Sendang Blibis”. Kemudian ikat
kepala yang dipakai oleh Silihwarni ditarik dan dibuang oleh Silih­
warna ke utara. Konon tanah yang tertimpa oleh iket kepala ter­
sebut akan longsor menjadi “gowaan” berluang dan menjadi
“Sen­dang Gowak”. Silihwarna dan Silihwarni pun bertemu dengan
Ki Ageng Bathokan. Silihwarna berganti menjadi Tumenggung
Wulung dan Silihwarni kembali menjadi Dewi Semekar.
Kemudian Penggede Bathokan bersama-sama Tunggul
Wulung dan Dewi Semekar menuju Kabupaten Nglangitan. Bupati
Ngla­ngitan memiliki agul-agul bernama Ki Ageng Nglaban, yang
menjadi dalangnya Ki Ageng Nglangitan. Ketika, Ki Ageng Nglaban,
diberitahu bahwa Bupati Nglangitan dikalahkan oleh Tumenggung
Tunggul Wulung dan Dewi Semekar, maka Ki Ageng Nglaban
kemudian maju perang melawan Tunggul Wulung. Selang beberapa
lama, perang dilanjutkan oleh Penggedhe Bathokan dengan Peng­
gede Nglaban. Ki Ageng Nglangitan memiliki pager besi atau pager
wesi/dirajeg wesi, serta perang tanding kolor Panggedhe Nglaban

f138
terlempar dan menyangkut di pager wesi (besi), maka di tempat
itu Ki Ageng Bathokan bersabda:
“Besuk yen ono rejaningjaman, nek dadi kuto ya kuto Gresi,
yen dadi desa ya Desa Gresi” (kalau jadi kota disebut kota Gresi,
kalau jadi desa ya Desa Gresi).
Peran tanding Ki Ageng Nglaban dengan Ki Ageng Bathokan,
semakin seru dan bergeser ke timur. Ki Ageng Nglaban dengan
Ki Ageng Bathokan keduanya sama-sama sakti. Perang keduanya
sampai pada Mbong Anyar, di tempat itu terdapat kedung yang
dalam. Ketika digunakan perang oleh dua orang sakti tersebut,
kedung itu seperti dikebur (diaduk) maka kemudian desa itu
dinamakan Desa Keburan. Perang semakin ke timur dan suatu
saat keduanya sempat dikerumuni jangkrik, maka tempat itu
dinamakan Desa Jangkrikan. Perang semakin ke timur dan di
sebelah utara kraton. Akhirnya Ki Ageng Nglaban gugur. Lukanya
banyak mengeluarkan darah hingga seperti kolam atau blumbang,
dan sampai sekarang blumbang tersebut airnya berwarna merah
seperti darah.

f 139
24 >>
<<

LEGENDA
PRABU KLANA
SAWANDANA

C erita legenda Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten


Ban­tarangin berawal dari kisah percintaan Dewi Sekartaji
putri dari Raja Kediri. Pada suatu hari diperintahkanlah Patih
Bujangganong (Pujangga Anom) untuk meminangnya. Kebe­rang­
katannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin empat orang
perwira diantaranya; Kuda Larean, Kuda Panagan, Kuda Panyisih,
dan Kuda Sangsangan. Sampai di hutan Wengkar, rombongan
prajurit Kabupaten Bantarangin dihadang oleh singo Barong
sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi
menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah pertempuran yang
memuncak hingga menjadi peperangan yang sengit. Semua
prajurit dari Kabupaten Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo
Barong. Akan tetapi, keempat per­wiranya dapat lolos dan melapor
ke kepala Sang Adipati Klana Sawandana.
Pada saat itu ada dua orang Punakawan Raden Panji Asmara­
bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untab yang
juga mempunyai tujuan sama yaitu utusan Raden Panji untuk
melamar Dewi Sekartaji. Namun, sesampai di hutan Wengker,
Noyotoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong

f 140
Raden Panji Asmarabangun, Lurah Noyontoko, dan Untab mempunyai
tujuan melamar Dewi Sekartaji.

yang melarang keduanya untuk melanjutkan perjalanan. Namun,


keduanya tetap berkeras untuk melamar Dewi Sekartaji sehingga
terjadilah peperangan. Noyontoko dan Untab merasa kewalahan
sehingga mendatangkan saudara seper­guruan yaitu Joko Londro
dari Kedung Srengenge. Akhirnya, Singo Barong dapat ditaklukkan
dan dibunuh. Akan tetapi, Singo Barong memiliki kesaktian. Meski­
pun sudah mati, Singo Barong dapat hidup kembali asal disumbari.
Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke Raden Panji Asmarabangun.
Kemudian berangkatlah ia dengan rasa marah hingga seperti
menjadi lumpuh dan tak berdaya karena kesaktian Adipati Klana
Sawen­dana dan kekuatan Singo Barong. Dengan beberapa syarat,
Singo Barong akhirnya bersedia mengantarkannya ke Kediri untuk
melamar Dewi Sekartaji.

f 141
Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan bertemu dengan
rombongan Raden Panji yang juga bermaksud ingin meminang Dewi
Sekartaji hingga terjadilah perselisihan yang tidak dapat dihindari.
Akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dan Adipati
Klana Sawendana yang dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati
Klana Sawendana berhasil dibunuh, sedangkan Singo Barong yang
bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk Raden Panji
tidak dapat berubah wujud sebagai manusia (Gembong Amijoyo)
lagi. Akhirnya Singo Barong, prajurit berkuda, dan Bujangganong
dari Kerajaan Bantarangin takluk dan mengabdikan diri kepada
Raden Panji. Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji
melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana
arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong
inilah yang menjadi latar belakang kesenian Barongan.

f 142
25 >> <<

LEGENDA
EYANG JATI KUSUMA

L egenda Eyang Jati Kusuma berawal dari Eyang Jati Kusuma


sebagai seorang pertapa. Selama bertahun-tahun Eyang Jati
Kusuma bertapa di Gunung Butak. Eyang Jati Kusuma bertapa
dengan maksud meminta ilmu dan kesaktian dari Tuhan agar
dapat membantu dan menolong sesama manusia. Pada suatu hari,
ketika sedang berdoa, ia mendengar suara gaib.
“Anakku semua doamu sudah kukabulkan. Sekarang
hentikanlah bertapamu dan pergilah ke arah selatan.”
Setelah mendengar suara gaib itu, Eyang Jati Kusuma
bergegas turun dari Gunung Butak dan pergi ke arah selatan sesuai
dengan pesan suara gaib itu. Ia merasa telah memiliki cukup ilmu
untuk bekal menolong orang lain.
Pada tengah malam ketika ia sedang menuruni Gunung
Butak, Eyang Jati Kusuma bertemu dengan harimau dan ular sanca
yang besar. Namun, harimau dan ular sanca yang besar tersebut
tidak dapat menyerang dan menerobos Eyang Jati Kusuma karena
kesaktiannya. Eyang Jati Kusuma dapat menerobos hutan jati
yang cukup lebat dan gelap meskipun sinar rembulan malam tidak
bisa menerobos lebatnya hutan jati. Menjelang fajar suara burung
saling bersahutan seolah mengiringi langkah Eyang Jati Kusuma
menuruni Gunung Butak.

f 143
Eyang Jati Kusuma bertemu dengan harimau dan
ular sanca yang besar.

Setelah melewati hutan, Eyang Jati Kusuma sampai di per­


sawahan. Namun, sawah itu kering kerontang dan tidak ada
tanaman apapun. Eyang Jati Kusuma heran bercampur bingung.
“Apa yang sedang terjadi di desa ini ?” batin Eyang Jati
Kusuma.
Tidak terasa ia sudah menempuh perjalanan, malam hingga
menjelang dini hari. Tiba saatnya Eyang Jati Kusuma untuk me­lak­
sanakan salat subuh. Ia kemudian bergegas menuju per­kam­pungan
terdekat dengan maksud meminta air untuk wudhu. Sesampainya
di perkampungan, Eyang Jati Kusuma menemui seorang ibu yang
sedang mengumpulkan daun jati.
“Ibu, sumur yang terdekat di mana?” kata Eyang Jati Kusuma.

f144
“Bisakah ibu menunjukkan sumur padaku agar aku dapat
berwudhu sebab sudah tiba saatnya untuk salat subuh.”
“Di tempat ini tidak ada sumur yang berair. Percuma saja
mencari sumur.”
Namun, Eyang Jati Kusuma mendesak ibu yang mengum­
pulkan daun jati tadi untuk membawanya ke sumur yang paling
dekat.
“Tidak apa-apa, Bu. Meskipun sumurnya kering, saya tetap
ingin ke sana.”
Akhirnya, ibu yang mengumpulkan daun jati membawanya
ke sebuah sumur. Dalam perjalanan menuju sumur, ibu yang
mengumpulkan daun jati itu bercerita kepada Eyang Jati Kusuma
bahwa desanya sudah lama dilanda kekeringan.
“Semua sumur telah kering, demikian juga sungai yang ada di
desa ini. Sudah lama desa kami dilanda kekeringan. Seluruh penduduk
desa dilanda kekeringan. Akibat kekeringan, penduduk desa dilanda
kelaparan. Banyak orang yang mati karena kehabisan makanan.
Banyak sapi, kambing, dan ternak lainnya mati karena tidak ada air
untuk minum. Bila tidak ada untuk kami, seisi desa ini akan mati.”
Mendengar cerita ibu itu, Eyang Jati Kusuma iba dan berniat
untuk menolong penduduk desa itu.
“Aku harus menolong penduduk desa ini agar tidak banyak
lagi jatuh korban. Bukankah suara gaib itu berkata agar aku pergi
ke selatan? Apakah ini maksud Tuhan menuntun aku ke desa ini
untuk menolong penduduk desa ini ?” pikir Eyang Jati Kusuma.
Kemudian Eyang Jati Kusuma berdoa kepada Tuhan agar ia
diberi kekuatan untuk menolong penduduk desa itu. Tak lama
kemudian sampailah Eyang Jati Kusuma dan ibu penduduk desa
tersebut ke sebuah sumur.
“Inilah satu-satunya sumur yang mungkin masih menyisa­kan
air. Lihatlah!”

f 145
“Terima kasih, Bu. Ibu telah menolongku.”
Betapa kagetnya Eyang Jati Kusuma ketika melihat sumur itu,
ternyata cukup dalam sehingga ia tidak dapat mengambil airnya
dengan timba.
Akhirnya, dengan segala ilmu dan kekuatan dari Allah, ia ter­
paksa menggulingkan sumur itu agar airnya dapat dipakai untuk
wudhu. Setelah berwudhu, kemudian ia melaksankan salat subuh
di dekat sumur itu. Selesai melaksanakan salat subuh, Eyang
Jati Kusuma melihat sebuah pemandangan yang luar biasa. Air
sumur yang digulingkan itu ternyata mengalir terus. Aliran air dari
sumur yang telah digulingkan tersebut semakin deras dan bahkan
berubah menjadi sebuah sungai. Sungai itu mengalir ke selatan
melintas sepanjang desa yang dilanda kekeringan.
Melihat sebuah sungai yang mengalirkan air, penduduk desa
itu bergembira. Mereka mandi di sungai itu sebab sudah lama tidak
mandi. Ada juga penduduk desa yang mengambil air untuk mengisi
tempayan. Ada pula yang menggiring ternaknya ke sungai. Setelah
mereka puas, barulah mereka bertanya satu dengan yang lainnya.
“Siapa yang menciptakan sungai itu ?”
Mereka saling bertanya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat
menjawab.
Melihat kebingungan penduduk desa tersebut, ibu pengum­
pul daun jati yang menolong Eyang Jati Kusuma itu menjelaskan
bahwa yang membuat keajaiban itu adalah seorang pengembara
yang sedang mencari sumur karena akan melaksankan salat subuh.
“Sekarang pengembara itu ada di mana ?”
“Saya tidak tahu!”
“Marilah kita cari bersama-sama”
Para penduduk desa itu mencari Eyang Jati Kusuma untuk
berterima kasih, tetapi ternyata ia sudah pergi dari desa itu untuk
meneruskan perjalanannya menuju desa lain yang membutuhkan
pertolongan.

f146
26 >> <<

LEGENDA
TIGA SERANGKAI SORENG

L egenda Tiga Serangkai Soreng merupakan cerita makam atau


punden Eyang Jati Kusuma yang terdapat di Desa Janjang,
Kecamatan Jiken. Makam tersebut masih dianggap keramat
(bahasa Jawa dipundi). Oleh sebab itu disebut punden yang sering
dikunjungi orang untuk meminta berkah. Menurut tradisi lisan
yang berkembang di Desa Janjang, kedua orang yang dimakamkan
merupakan putra (sentono dalem) dari Kerajaan Pajang yang pergi
meninggalkan kraton dan mengembara. Sampai di Desa Janjang,
keduanya berhenti dan menetap di situ. Karena tempatnya tinggi
ia dapat melihat kemana saja dengan jelas. Oleh sebab itu
dinamakan Janjang (artinya jelas). Kemudian tempat itu menjadi
Desa Janjang. Pengaruh Eyang Jati Kusuma makin meluas hingga
daerah Semanggi Kecamatan Jepon, Desa Besah dan Sambeng
Kecamatan Kasiman. Daerah itu dijaga oleh para punakawan. Di
tempat itu Eyang Jati Kusuma dan Eyang Jatiswara melakukan
semedi dan tapa brata untuk mendapatkan ilham dan kesaktian.
Cara bertapa kedua orang tersebut sangat berbeda. Eyang
Jati Kusuma dengan cara tidak makan tetapi boleh tidur, sedangkan
Eyang Jatiswara dengan cara tidak tidur tetapi boleh makan.
Karena itu, timbullah perselisihan pendapat. Kemudian keduanya

f 147
pun saling mengadu kesaktian. Eyang Jatiswara dapat memulihkan
kembali periuk yang dibanting oleh Eyang Jati Kusuma. Eyang
Jatiswara dapat pula merendahkan pohon kelapa yang sangat
tinggi. Peristiwa itu terjadi ketika para punakawannya disuruh
mengambil kelapa di Desa Semanggi tetapi tidak dapat memanjat.
Oleh Eyang Jatiswara, pohon kelapa itu dapat merendah. Eyang
Jatiswara juga dapat masuk ke dalam tanah dan kembali ke
permukaan, dan bekas tersebut sekarang menjadi gua. Selain itu,
ia dapat juga memecahkan batu besar menjadi dua dengan tangan.
Sekarang bekas kesaktian tersebut disebut: Batu Cepit. Adapun,
Eyang Jati Kusuma mempunyai kesaktian dapat merendahkan
pohon jati yang tinggi. Hal ini terjadi karena punakawan tidak
dapat mengambil handuk yang tertinggal di Sendang Masohan.
tetapi punakawan tidak dapat merendah. Eyang Jati Kusuma pun
memiliki kesaktian dapat menghilang (musna) dan kemudian
muncul lagi. Eyang Jati Kusuma dapat pula meninju batu besar
hingga batu itu menjadi lekuk-lekuk. Batu itu sekarang disebut Batu
Cumpleng. Selain karena kesaktiannya, Eyang Jati Kusuma dikenal
karena mempunyai binatang peliharaan yaitu kuda tunggang dan
seekor harimau yang disebut Kyai Pengkrong.
Pada waktu itu ada seorang putri dari Desa Bleboh bernama
Randa Kuning datang untuk meminta menjadikannya sebagai
istrinya. Namun, hal ini ditolaknya. Akan tetapi, putri itu tetap
tidak mau pulang. Karena kasihan, permintaan Randa Kuning itu
dipenuhi tetapi hanya dijadikan sebagai abdi bukan sebagai istri.
Kemudian ia diberi pekerjaan membatik hingga akhir hidupnya.
Dengan kejadian itu putri itu bersumpah kelak anak cucunya dilarang
kawin dengan orang dari Desa Janjang. Pesan itu ditunaikan hingga
kini, orang Desa Bleboh tidak berani kawin dengan orang desa Janjang.
Begitu juga masyarakat yang dahulu menjadi wilayah Janjang tidak
boleh menanam kedelai hitam dan padi ketan ireng. Karena sewaktu

f148
Eyang Jati Kusuma dapat merendahkan pohon jati yang
menjulang tinggi.

Eyang Jati Kusuma dan Eyang Jatiswara berkelana, kudanya sakit


karena kakinya menginjak tonggak bekas kedelai hitam dan makan
dedak padi ketan ireng.
Karena besarnya pengaruh dan kesaktiannya, setelah wafat,
makamnya masih dianggap keramat. Setiap tahun pada hari Jumat
Pon selalu diadakan upacara Manganan Janjang. Pada upacara
itu, orang dalam dan luar desa, membawa sesaji seperti tumpeng
bucu, panggang ayam dan jajan pasar, ternak misalnya kambing
atau lembu. Bila tumpeng bucu dan panggang ayam oleh anak-
anak gembala diminta harus diberikan. Setelah itu, nasi dan
jajannya dikumpulkan menjadi satu, dan orang-orang menunggui
hingga upacara selesai. Pada upacara itu dipertunjukkan wayang
krucil sebagai peninggalan keduanya. Setelah upacara selesai
diadakan selamatan dilanjutkan pem­bagian nasi secara merata ke

f 149
masyarakat yang ada untuk dibawa pulang. Menurut kepercayaan
masyarakat, upacara ter­ sebut akan memberikan pertanda ke­
adaan yang akan datang. Apabila dalam upacara tersebut nasi
yang dibagikan kurang, pertanda di tahun yang akan datang masa
paceklik (kurang pangan). Apabila daun pembungkusnya kurang,
pertanda akan terjadi harga tembakau mahal. Apabila air yang ada
dalam guci (genthong) itu kurang, pertanda akan terjadi kemarau
panjang. Adapun, barang-barang peninggalan keduanya, antara
lain:
1. wayang krucil atau wayang klithik dan seperangkat gamelan,
2. guci (air dalam guci tersebut dapat digunakan untuk upacara
penyumpahan),
3. upacara penyumpahan,
4. damar sewu,
5. baju ontokusumo,
6. kendi,
7. mustoko rumah.

Wayang krucil dan klithik sebenarnya memiliki arti yang sama


yaitu berasal dari perkataan yang bermakna ‘kecil’. Klitik berasal
dari kata ketik, mengingatkan akan perkataan ‘setitik’ atau suara
benturan kayu klithak-klithik, yang merupakan bahan baku wayang
krucil. Kayu yang dipakai bahan wayang ini adalah kayu yang
berserat kuat. Tidak jarang aspek-aspek pertunjukan pada wayang
krucil didasarkan pada kepercayaan yang mereka anut, dan diyakini
mempunyai kekuatan magis. Namun, sebaliknya banyak aspek
pertunjukkannya yang bersifat hiburan.
Pengertian tersebut memuat cakupan yang sangat luas
tentang kehadiran wayang krucil/wayang klithik. Sebagai seni pe­
wayangan, wayang klitik jauh dari pengaruh istana, memiliki bentuk
pertunjukkan yang beragam, begitu dihayati dan dimiliki serta

f 150
akrab dengan pendukungnya. Sepanjang daerah-daerah pedesaan,
wayang ini masih kental dengan sifat-sifat kepedesaannya. Oleh
karenanya, wayang krucil Blora menjadi milik semua warga. Seni
rakyat, dan lagu rakyat ini hingga sekarang tidak pernah diketahui
siapa penciptanya. Pada awal penciptaannya, dari salah seorang
anggota masyarakat. Selanjutnya, tercipta musik atau lagu
pendukungnya. Setelah itu baru masyarakat mengklaim sebagai
miliknya.
Kehidupan wayang krucil di Kabupaten Blora masih dihubung­
kan dengan hal-hal yang sakral. Hal ini seperti apa yang dialami
Mitra lala, wayang krucil yang masih bertahan hingga saat ini di
Kabupaten Blora. Ia dapat mendalang karena wangsit atau wahyu.
Pada saat itu ia bermimpi disuruh menggantikan mendalang seorang
tua. Kemudian dengan telanjang dada ia duduk di samping wayang
dan ternyata langsung bisa mendalang, seperti apa yang terdapat
dalam mimpi. Ciri yang menarik dalam pertunjukkan wayang Krucil
Kabupaten Blora adalah adanya iringan krucilan. Dalang dalam
memainkan wayang selalu diiringi krucilan ini yang ikut meliuk-
liukan tubuhnya mengimbangi semaraknya gending krucilan.
Wayang krucil bukan sekadar tontonan. Kehadirannya juga seperti
wayang yang lain. Dalam pertunjukkanya mengandung falsafah
yang sarat dengan tuntutan. Jumlah boneka wayangnya tidak
banyak, hanya 40 buah tanpa kelir. Instrumen musiknya berlaras
slendro sera terdiri dari : kendhang, 2 buah saron (dengan 9
wilah), kempul laras nem, kethuk, dan kenong laras nem. Menurut
Sajid, fungsi wayang ini untuk mengamen ke kota semasa di desa
terjadi paceklik dan sewaktu di desa tak ada pekerjaan (sebab
masa menggarapa sawah telah usai).
Wayang krucil merupakan serpihan tradisi yang tidak dapat
ditinggal begitu saja karena identik milik masyarakat Blora.
Sebagai kajian dalam tulisan ini akan digunakan contoh-contoh

f 151
dalam wayang krucil Kabuapetn Blora. Wayang Krucil peninggalan
Jartikusuma dan Jatiswara yang ada di Janjang terdiri dari lima
buah wayang yang menurut keterangan melam­ bangkan beliau
sekeluarga. Nama-nama dari wayang itu adalah sebagai berikut.
1. Kyai Brajal melambangkan Eyang Jatikusuma.
2. Kyai Kuripan melambangkan Eyang Jatiswara.
3. Nyai Sekintir melambangkan Putri Rondo Kuning.
4. Semar.
5. Bletik melambangkan para punakawan.

Wayang tersebut adalah wayang yang selalu dibungkus


kain mori dan tidak digunakan untuk pertunjukkan. Akan tetapi,
wayang ini hanya digunakan hanya untuk orang yang mem­punyai
ujar. Untuk kelengkapan wayang itu dibuatkan wayang krucil biasa.
Gamelannya hanya terdiri dari: gong, kenong, gambang, kendang,
dan saron. Larasnya laras pelog, lampunya lampu blencong.

f152
27 >> <<

PERTEMPURAN ARYA
JIPANG DAN SUTAWIJAYA

L egenda ini menceritakan pertempuran Arya Jipang dan Sutawi­


jaya yang berhasil menaklukan Kadipaten Demak, kemudian
memindahkan kekuasaan Kadipaten Demak ke Pajang. Dalam hal
ini Sultan Hadiwijaya masih merasa hidupnya belum tenang karena
masih ada seorang pewaris tahta, yang masih hidup. Pewaris
Kabupaten Demak itu adalah Arya Jipang yang merupakan cucu
dari Sultan Trenggono. Arya Jipang berpendirian bahwa dia lah yang
berhak atas tahta Kabupaten Demak. Sultan Hadiwijaya semakin
tidak tenang karena Arya Jipang berhasil memperkuat Kadipaten
Jipang. Sultan Hadiwijaya mulai memikirkan rencana membunuh
Arya Jipang. Namun, ia tidak berani melakukannya sendiri karena
ia masih keturunan Sultan Trenggono. Selain itu, Arya Jipang juga
memiliki kesaktian yang hebat. Oleh karena itu, Sultan Hadiwijaya
pun membuat sayembara “Siapa pun yang dapat membunuh Arya
Jipang akan mendapatkan hadiah bumi Pati dan bumi Mataran.”
Sayembara ini diumumkan di seluruh wilayah Pajang.
Banyak orang yang mendaftar dan ingin mengikuti sayem­bara
itu. Bukan hanya orang-orang pajang tetapi juga dari luar Pajang.
Namun, kebanyakan dari mereka yang mendaftar tidak memenuhi
syarat. Bahkan, banyak pula peserta yang mengundurkan diri

f 153
Banyak orang mendaftar menjadi prajurit.

setelah mengetahui Arya Jipang memiliki kesaktian yang luar biasa.


Konon Arya Jipang memliki keris Kyai Kober yang ampuh dan kuda
tunggangan yang tangguh yaitu gagak rimang. Diantara sekian
orang yang mendaftar tersebut, akhirnya ditetapkan yang layak
mengikuti sayembara yaitu Ki Panjawi dan Ki Ageng Pemanahan,
kakak angkat Sultan Hadiwijaya. Ketika mendaftar sebagai peserta
sayembara, Ki Ageng Pemanahan membawa serta Sutawijaya
yakni anak angkat Sultan Hadiwijaya. Karena mengetahui bahwa
Arya Jipang seorang yang sakti, sebelum berangkat ke Jipang Ki
Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan menjumpai Ki Juru Mertani untuk
meminta tolong dibuatkan strategi mengalahkan Arya Jipang yang
sakti itu. Ki Juru Mertani menyanggupi membuat strategi yang jitu
untuk mengalahkan Arya Jipang.
Atas nasihat dari Ki Juru Martani diketahui bahwa Arya
Jipang sering menjalani puasa 40 hari. Menurut pesan gurunya,

f 154
Sunan Kudus, selama berpuasa tersebut tidak boleh marah dan
harus menahan emosi. Maka ketika mengetahui bahwa saat itu
Arya Jipang sedang menjalani puasa 40 hari tersebut, Ki Penjawi
kemudian mengatur cara yang licik untuk mengalahkan Arya
Jipang. Surat itu dikirim dengan cara memotong telinga abdi Arya
Jipang yang sedang mencari rumput untuk kudanya, gagak rimang.
Setelah dipotong, telinga abdi pencari rumput itu ditempeli surat
tantangan atas nama Sultan Hadiwijaya.
Arya Jipang sangat marah ketika melihat telinga abdinya
dipotong dan ditempeli surat tantangan berperang. Arya Jipang
membanting piring yang dipegangnya dan menggebrak meja yang
penuh dengan makanan. Kebetulan saat itu sedang menyantap
buka puasa.
“Ini penghinaan Sultan Hadiwijaya terhadap Arya Jipang! Aku
harus meladeninya!”
“Sabarlah Kanjeng Adipati. Ingatlah pesan Sunan Kudus agar
Adipati menahan amarah selama 40 hari. Ingatlah Kanjeng, puasa
yang sedang kanjeng jalani hanya tinggal satu hari lagi.”
“Benar Anakku, janganlah kau masuk ke dalam perangkap
orang-orang Pajang yang berniat membatalkan puasamu.” kata
patih metahun dan ibu Arya Jipang membujuk anaknya.
Demikian juga adiknya Arya Mataram ikut pulang membujuk
kakaknya, Arya Jipang, agar tidak terbawa emosi saat sedang puasa
dan mengurungkan niatnya untuk meladeni tantangan tersebut.
“Kangmas tidak perlu meladeni siasat jahat Sultan Hadiwi­
jaya. Ingatlah, Kangmas adalah keturunan Sultan Patah yang
luhur. Tidak pantas menjawab tantangan dengan marah, apalagi
Kangmas sedang dalam masa berpuasa. Sabarlah barang sehari
saja,”
Namun, emosi yang memuncak telah membuat Arya Jipang
mengabaikan nasihat orang-orang yang mencintainya. Ia akhirnya

f 155
berangkat menghadapi tantangan untuk berperang melawan
Sultan Hadiwijaya. Ia tidak mengetahui siasat licik yang sedang
dijalankan oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Ageng
Mertani. Dengan mengendarai kuda kesayangannya gagak rimang
dan membawa pusakanya keris Kyai Setan Kober, Arya Jipang
men­jumpai musuhnya di tempat Bengawan Sore. Ki Ageng Pema­
nahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Mertani serta Sutawijaya sudah
berada di seberang Bengawan Sore. Mereka bertiga tidak berani
menyeberangi Bengawan Sore karena mereka tahu Sunan Kudus
sudah memantrainya.
Demikian pula Arya Jipang tidak berani menyebrangi Benga­
wan Sore karena ingat pesan Sunan Kudus, gurunya, agar tidak
menyebrangi Bengawan Sore. Siapapun yang menyeberangi
Bengawan Sore akan kalah.
Hai Sultan Hadiwijaya, janganlah bersembunyi. Kalau berani,
keluarlah! Lawanlah aku!”
Namun, Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Mertani
serta Sutawijaya tidak menjawab. Hingga berulang Arya Jipang
berteriak, tetap tidak ada jawaban. Ki Juru Mertani mengeluarkan
siasatnya. Sutawijaya disuruh menaiki kuda betina yang sudah
dipotong ekornya sehingga kelihatan alat vitalnya. Alangkahnya
kagetnya Arya Jipang. Yang keluar bukan Sultan Hadiwijaya
melainkan Sutawijaya anak angkatnya. Sadarlah ia bahwa telah
diperdaya oleh Sultan Hadiwijaya.
Belum hilang rasa kagetnya dari tipu muslihat Sultan Hadi­wijaya
tersebut, Arya Jipang dikagetkan oleh Gagak Remang, kuda jantan
tunggangannya. Gagak Rimang menjadi liar dan tidak terkendali
ketika melihat kuda betina yang dinaiki Sutawi­ jaya. Akhirnya,
Arya Jipang terpaksa menyeberangi benga­wan sore karena gagak
rimang mengejar kuda betina milik Sutawijaya. Ketika baru saja
menyebrangi Bengawan Sore, Sutawijaya segera menusuk perut

f 156
Arya Jipang dengan tombak Kyai Pleret. Arya Jipang terluka, tetapi
dengan kesaktiannya ia masih dapat bertahan. Arya Jipang yang
sudah terluka bahkan dapat meringkus Sutawijaya. Sekali lagi
Ki Juru Mertani mengeluarkan siasat liciknya, ia meneriaki Arya
Jipang.
“Jipang kau harus bersikap adil dan bersikap kasatria. Karena
Sutawijaya bersenjata tombak Kyai Plered, engkaupun harus
membunuhnya dengan pusakamu keris Kyai Setan Kober!”
Mendengar teriakan Ki Juru Mertani yang bernada mengejek
Arya Jipang kembali tersulut emosinya, ia merasa diremehkan
sebagai seorang kesatria keturunan Sultan Patah Eyang Luhur. Ia
lupa bahwa itulah siasat licik Ki Ageng Pemanahan, Ki Panjawa, dan
Ki Juru Mertani. Tanpa mikir panjang lagi, Arya Jipang mencabut
keris Kyai Setan Kober. Arya Jipang pun lupa bahwa ia terluka dan
kerisnya melukainya Ia kesakitan dan jatuh tersungkur dari gagak
rimang kudanya. Melihat Arya jipang telah jatuh terseungkur, Ki
Ageng Pemanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Mertani serta Sutawijaya
mengira Arya Jipang tewas. Mereka bertiga pun pulang ke Pajang
dan membuat laporan palsu ke Sultan Hadiwijaya bahwa Arya
Jipang telah mati dikeroyok oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Panjawi
dan Ki Juru Martani. Mereka membuat laporan palsu tersebut
dengan maksud agar tetap mendapat hadiah bumi mataram dan
bumi pati, yang telah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya dalam
pengumuman sayembara.
Sebenarnya Arya Jipang belum tewas. Patih Metahun me­
ngetahui kondisi itu sehingga ia beserta Arya Mataram kemudian
men­ jemput Arya Jipang dan mengajaknya kembali ke Jipang.
Setelah pertempuran dengan Sutawijaya, Arya Jipang, para pung­
gawa, dan keluarganya memutuskan untuk memerintah Desa
Jipang Panolan. Namun, mereka melarang rakyatnya menceritakan
ke­adaan yang sebenarnya. Pesan Arya Jipang itu dipegang teguh

f 157
oleh orang-orang Desa Jipang Panolan sampai hari ini. Berita
yang disebarkan oleh Ki Ageng Pemanehan, Ki Penjawi dan Ki
Juru Mertani serta Sutawijaya bahwa Arya Jipang tewas dalam
pertempuran tidak perlu disanggah oleh rakyat Jipang. Arya
Jipang beserta adiknya Arya Mataram bahu membahu melebarkan
kekuasaannya di sekitar Jipang. Arya Jipang akhirnya meninggal
wajar dalam usia yang lanjut. Kegagahan dan keperwiraan Arya
Jipang dan kegagahan kudanya, Gagak Rimang, tetap dikenang
oleh rakyat Kabupaten Blora sampai sekarang.

f 158
28 >> <<

RIWAYAT
SUNAN POJOK BLORA

C erita rakyat Sunan Pojok Blora ini diwariskan secara turun


temurun. Nama Sunan Pojok Blora disandang beliau sejak
menjadi cikal bakal (pendiri) Kadipaten Blora. Beliau telah memberi
nama-nama pedukuhan dan kota serta banyak peninggalan
lainnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Agung Baitunnur
Blora. Di samping itu, Sunan Pojok Blora merupakan suri teladan
bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Sunan Pojok Blora adalah sosok hamba Allah yang sangat
berjasa karena pengabdian beliau dalam membela tanah air, negara
dan bangsa (Kerajaan Islam Mataram yang kala itu dipimpin oleh
Sultan Agung Hanyokrokusumo). Selain itu, Sunan Pojok Blora
juga merupakan sosok hamba Allah yang dibekali dengan banyak
karamah atau keistimewaan (baik yang bersifat umum maupun
yang bersifat khusus) yang tidak dimiliki oleh hamba Allah pada
umumnya. Beragam keistimewaan beliau tentunya harus dijaga
dan diperhatikan. Keistimewaan beliau dianggap sebagai sebuah
ujian yang harus dipahami, dihayati, dan diamalkan untuk sarana
penghambaan diri kepada Allah SWT, kepada pemerintah, dan

f 159
Pangeran Pojok beristirahat di bawah pohon nangka.

kepada masyarakat sebagaimana yang diperintahkan dalam al-


Quran dan Sunnah. Atas jasa-jasa dan perjuangan beliau dalam
menegakkan syariat agama Islam melalui tarekat, Sunan Pojok
Blora memiliki beragam nama atau panggilan seperti Pangeran
Pojok, Pangeran Surabaya, Pangeran Surabahu, Pangeran Sedah,
Syekh Amirullah Sayid Abdurrochim, dan Sunan Pojok Blora atau
Mbah Benun Wali Pojok.
Menilik tentang asal-usul Sunan Pojok Blora, beliau yang
dikenal juga sebagai Pangeran Pojok atau Pangeran Surabaya
adalah putra dari Pangeran Ronggo Sedajoe. Pangeran Ronggo
Sedajoe adalah putra dari Pangeran Sedajoe, dan Pangeran
Sedajoe sendiri adalah putra dari Hadipati Sarengat yang menikah
dengan Ratu Pekodjo.

f 160
Pangeran Pojok menjadi Adipati Tuban selama 42 tahun sejak
tahun 1619—1661. Salah satu peninggalannya selama menduduki
jabatan tersebut adalah pemberian nama desa yang ada di Blora.
Dikisahkan pada hari Grebeg Maulud Tahun Dal (yang jatuh setiap
delapan tahun sekali), seluruh Bupati/Adipati di Tanah Jawa datang
ke Mataram dan menghadap Sri Sultan yang pada saat itu dijabat
oleh Sri Susuhunan Amangkurat Agung (Amangkurat I) untuk
melaporkan pelaksanaan tugas mereka masing-masing. Sebagai
Adipati di Tuban, Pangeran Pojok pun turut datang ke Mataram
dengan dikawal oleh bebe­rapa anak buah beliau. Saat perjalanan
pulang dari Mataram, beliau beristirahat di bawah pohon nangka.
Karena daerah tersebut belum memiliki nama, maka Pangeran
Pojok memberi nama Karangnangka. Perjalanan beliau pun
dilanjut­
kan dengan melewati daerah yang masih berupa hutan
belan­tara. Untuk melewatinya, beliau dan anak buahnya harus
nasak-nasak (membabat hutan). Oleh karenanya tempat tersebut
kemu­dian dinamakan Desa Sasak. Perjalanan pun dilanjutkan kem­
bali dengan perlahan-lahan (alon-alon) karena melewati daerah
yang tanahnya embel atau berlumpur, daerah tersebut kemu­
dian diberi nama Blora (dari asal kata Belor yang berarti lumpur).
Dan karena mereka berjalan dengan alon-alon, maka tempat ter­
sebut dinamakan Alun-alun. Pangeran Pojok kemudian men­dirikan
tempat ibadah yang terletak di sebelah barat Alun-alun Blora, yang
sekarang menjadi masjid Agung Baitunnur Blora.
Sunan Pojok Blora dikaruniai tiga orang putra, yaitu Pangeran
Kleco, Raden Sumodito, dan Raden Dipoyudo. Pange­ ran Kleco
tinggal dan dimakamkan di Kudus, sementara Raden Sumodito
dan Raden Dipoyudo tinggal dan dimakamkan di Blora. Setelah
wilayah Blora dibangun, Raden Sumodito atau Raden Tumenggung
Djojodipo atau Raden Tumenggung Djojodiwirya diangkat menjadi
Bupati pertama di Kadipaten Blora.

f 161
29 >> <<

JAKA SANGSANG DAN


DEWI SUMILAH

J aka Sangsang memberitahu kepada ibunya bahwa dia sangat


mencintai Dewi Sumilah dan Dewi Sumilah pun mencintainya.
Oleh karena itu, dia memohon kepada ibunya agar mau
melamarkan Dewi Sumilah untuk dirinya. Mendengar pernyataan
anaknya tersebut, Mbok Randha Jambi merasa sangat masygul.
Untuk menolak permohonan anaknya Mbok Randha rasanya tidak
tega, kalau menuruti keinginan anaknya sepertinya akan sia-sia.
Mbok Randha Jambi berusaha menghibur hati anaknya seraya
memberinya pengertian bahwa keinginannya itu ibarat pepatah
‘cebol nggayuh lintang’ (si pungguk merindukan bulan), yaitu
sesuatu keinginan yang mustahil dapat tercapai. Jaka Sangsang
kemudian dianjurkan untuk mencari gadis lain saja sebagai
penggantinya. Mbok Randha Jambi terus berusaha mengendorkan
keinginan Jaka Sangsang untuk mempersunting Dewi Sumilah.
Namun usahanya sia-sia karena Jaka Sangsang tidak menginginkan
gadis yang lain.
Karena begitu sayangnya pada Jaka Sangsang dan demi ke­
bahagiaan anak satu-satunya itu, Mbok Randha Jambi akhirnya
mengalah.Mbok Randha Jambi segera berangkat untuk melamar

f162
Mbok Randha Jambi mendapatkan penghinaan ketika melamar Dewi
Sumilah untuk Jaka Sangsang.

Dewi Sumilah. Karena merasa dirinya miskin sementara orangtua


Dewi Sumilah adalah seorang penggede yang sangat kaya raya,
dalam hati Mbok Randha Jambi sebenarnya sudah menduga bahwa
lamarannya mungkin akan ditolak. Alhasil seperti dugaannya,
lamaran Mbok Randha Jambi pun benar-benar ditolak. Bahkan di
rumah Begede Kuwung, dia mendapatkan penghinaan yang sangat
menyakitkan.
Alkisah Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah sudah berjanji
sehidup semati. Ikatan batin mereka berdua sudah sangat kuat.
Meskipun mereka berdua dalam kejauhan, masing-masing bisa
saling mengerti perasaan kekasihnya. Atas penolakan dari sang
ayah, Dewi Sumilah bisa merasakan kepedihan hati Jaka Sangsang.
Begitu pula dengan Jaka Sangsang yang juga bisa merasakan
kepedihan hati Dewi Sumilah.

f 163
Pada waktu yang bersamaan, Dewi Sumilah dan Jaka Sang­
sang beranjak keluar rumah. Mereka saling melambaikan tangan.
Jaka Sangsang melangkahkan kaki ke arah barat, sementara Dewi
Sumilah melangkahkan kaki ke arah timur. Pada saat Jaka Sangsang
berjalan menyusuri tepi Bengawan, tiba tiba dia terjatuh.Jaka
Sangsang kemudian berucap bahwa jika zaman sudah makmur,
kelak tempat tersebut akan dinamakan Dusun Parengan.
Jaka Sangsang terus melanjutkan perjalanan ke arah barat
melalui Desa Jigar. Pada saat hendak menyeberang Bengawan,
di tempat itu dia melihat orang-orang yang sedang menata kayu.
Jaka Sangsang bertanya kepada merekapa yang sedang mereka
lakukan. Orang-orang itu pun menjawab bahwa mereka sedang
mengelompokkan kayu yang bisa dijual dan yang hanya bisa
untuk memasak. Salah seorang di antara mereka berkata bahwa
karena hutan adalah milik negara, maka yang bisa dimakan dan
ditelan (di-pangan dan di-ulu) oleh rakyat hanyalah cabang dan
rantingnnya. Mendengar jawaban tersebut, Jaka Sangsang berkata
bahwa kelak kalau zaman sudah makmur, tempat tersebut akan
dinamakan Dusun Kradenan.
Akhirnya Dewi Sumilah dan Jaka Sangsang yang berada di
seberang barat dan timur sungai saling melambaikan tangan.

f 164
30 >>
<<

LEGENDA
ARUNG BONDAN

P ada zaman dahulu di Medang Kamulan, hidup seorang


pemuda yang tampan dan gagah perkasa bernama Arung
Bondan. Berbeda dengan pemuda-pemuda lain yang seumuran
yang lebih gemar berburu binatang, memancing di sungai, atau
berlatih menggunakan senjata, Arung Bondan lebih suka berguru
pada orang-orang pintar dan memohon kemurahan Dewata.
Pada suatu hari, Arung Bondan mendengar kabar bahwa
ada seorang guru sakti yang tinggal di seberang lautan di Pulau
Majeti. Pulau Majeti tersebut berada di sebelah utara Pulau Jawa
Dwipa. Arung Bondan kemudian pamit dan memohon doa restu
kepada kedua orangtuanya agar diizinkan untuk belajar pada guru
sakti tersebut. Setelah mendapatkan restu dan izin dari kedua
orangtuanya, Arung Bondan pun berlayar menyeberangi selat yang
memisahkan Pulau Majeti dan Pulau Jawa.
Setelah berlayar beberapa waktu, Arung Bondan kemudian
mendarat di Pulau Majeti. Arung Bondan lalu pergi ke Kaling dan
menjumpai guru sakti tersebut.
“Wahai guru, hamba datang dari jauh hendak berguru.
Terimalah hamba menjadi murid karena hamba ingin menjadi
orang yang pandai seperti guru.”

f165
Arung Bondan belajar ilmu meditasi dari seorang biksu.

“Baiklah. Aku terima kau menjadi muridku. Aku hanya minta


kau rajin belajar dan tidak malas. Setelah memiliki ilmu, kau harus
mengamalkannya dalam hidupmu. Apakah kau bersedia menerima
syarat itu?”
“Hamba bersedia dan berjanji akan melaksanakan semua
persyaratan dari guru.”
Setelah resmi menjadi murid guru sakti tersebut, Arung
Bondan mulai belajar berbagai macam ilmu. Selain kepada guru
sakti tersebut, Arung Bondan juga belajar pada seorang guru lain
yang pandai dalam hal pengobatan dan pertukangan. Di Kaling,
ia pun menjumpai seorang Brahmana dari India dan belajar ilmu
agama kepadanya. Ketika ada seorang Biksu yang datang dari
Swarnadwipa, Arung Bondan memanfaatkan kesem­­patan itu untuk
belajar meditasi. Lambat laun, ilmu yang didapat Arung Bondan

f 166
semakin banyak dan akhirnya dia ber­hasil menjadi seorang yang
cerdik pandai berkat kerja keras dan ketekunannya.
Setelah merasa cukup dengan ilmu yang didapatnya di Kaling,
Arung Bondan pun memutuskan untuk pulang ke Medang Kamulan
di Pulau Jawadwipa. Arung Bondan pun mengem­ bangkan dan
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh­nya di Medang Kamulan.
Meski sudah menguasai banyak ilmu, tetapi Arung Bondan tidak
pernah merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya. Masih
saja ada keinginan dalam dirinya untuk selalu menimba ilmu yang
belum dimiliki dan dikuasainya.
Hingga pada suatu hari, Arung Bondan mendengar bahwa
di Rajekwesi—negeri di sebelah timur Medang Kamulan—ada
seorang raja yang bernama Angling Darma yang mengerti bahasa
hewan. Merasa tertarik untuk bisa mempelajarinya, Arung Bondan
kemudian meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk menuju
ke Rajekwesi.
“Bapak, izinkan saya untuk mencari ilmu ke Rajegwesi. Saya
ingin berguru pada Prabu Angling Darma.”
“Bukankah kau sudah menguasai berbagai ilmu, Anakku?”
Sebenarnya kedua orangtua Arung Bondan merasa keberatan
karena mereka menginginkan agar Arung Bonang dapat segera
menikah seperti teman sebayanya dan memberi mereka cucu-
cucu.
“Saya sangat ingin berguru pada Prabu Angling Darma. Saya
mohon sekali ini saja Bapak bisa mengizinkan, dan saya berjanji
setelah pulang ke Rajegwesi akan memenuhi keinginan Bapak
untuk berumah tangga.”
“Kalau memang kau sudah bertekad bulat, Bapak tidak bisa
menahanmu. Bapak merestui kepergianmu, tetapi jangan lama-
lama seperti saat kau merantau ke Kaling.”

f167
Akhirnya berangkatlah Arung Bondan ke Rajegwesi untuk
menemui Prabu Angling Darma. Sesampainya di Rajegwesi, Arung
Bondan tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menjumpai
Prabu Angling Darma. Setelah bertemu dengan Sang Prabu,
disampaikanlah maksud kedatangannya kepada Prabu Angling
Darma.
“Hamba datang dari Medang Kamulan karena mendengar
kepandaian Prabu Angling Darma, bolehkah hamba berguru pada
Prabu?”
“Tentu saja boleh, dan bahkan aku senang ada anak muda
yang gemar belajar, bahkan datang dari tempat yang jauh.”
Sungguh gembira hati Arung Bondan ketika Prabu Angling
Darma mau menerimanya sebagai muridnya. Seperti ketika
menimba ilmu di Kaling, di Rajegwesi pun Arung Bondan belajar
dengan tekun dan bersungguh-sungguh kepada Prabu Angling
Darma. Prabu Angling Darma sangat senang melihat murid yang
cerdas dan berbakat serta rajin belajar seperti Arung Bondan.
Setelah ilmu yang diajarkan dirasa cukup, Prabu Angling Darma
berkata pada Arung Bondan.
“Segala ilmu telah aku berikan kepadamu, dan kau termasuk
anak yang tekun sehingga dapat menyerap segala ilmu yang telah
aku ajarkan dengan cepat. Sekarang pulangah ke Medang Kamulan
dan amalkan ilmu itu untuk kebaikan semua makhluk di bumi. Pasti
kedua orangtuamu sudah menantimu pulang.”
“Sungguh hamba sangat berterimaksih, Prabu. Semoga segala
pesan dan nasihat Prabu dapat hamba laksanakan. Hamba mohon
pamit.” Kemudian pergilah Arung Bondan mening­galkan Rajegwesi.
Dalam perjalanan pulang, Arung Bondan mendengar ada
seorang guru yang sangat pandai di Swarnadwipa. Ia pun kemudian
terpikir ingin belajar di Swarnadwipa sekaligus ingin melihat pulau
Swarnadwipa. Perjalanan menuju Pulau Swarnadwipa ternyata

f168
sangat jauh. Butuh berhari-hari bagi Arung Bondan dengan
berlayar. Namun ia merasa tidak kenal lelah karena ia ingin terus
belajar. Ia sangat ingin menjadi orang yang sangat pandai.
Akhirnya setelah berhari-hari berlayar, sampailah Arung
Bondan di Pulau Swarnadwipa. Begitu senangnya Arung Bondan
bisa sampai di Swarnadwipa sebab di negeri itu banyak sekolah
yang mengajarkan berbagai ilmu. Murid-murid yang belajar dan
berguru di Swarnadwipa datang dari berbagai pelosok negeri.
Bahkan ada murid yang berasal dari negeri seberang, Tiongkok.
Arung Bondan tinggal dan berguru di Swarnadwipa selama
beberapa tahun. Ia mempelajari berbagai ilmu yang belum
dimilikinya dan membuatnya semakin pandai. Meski demikian, ia
tetap tidak sombong karena kepandaian yang dimilikinya. Setelah
dirasakannya cukup dalam mempelajari semua ilmu yang ada,
akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Medang Kamulan.
Sesampainya di Medang Kamulan, Arung Bondan kemudan
mendirikan padepokan dan ia menjadi gurunya. Banyak anak muda
yang belajar kepadanya. Berbagai ilmu dia ajarkan kepada murid-
muridnya. Orang-orang di desa merasa sangat senang sebab anak-
anak mereka memperoleh pengetahuan yang sebelumnya tidak
mereka miliki. Arung Bondan terkenal sebagai ahli bangunan dan
ilmu pemerintahan. Bahkan karena ilmu yang dimilikinya itu, ia
sering dimintai tolong—baik oleh rakyat biasa maupun raja—untuk
membangun rumah. Di samping itu, ia juga sering diminta nasihat
oleh punggawa kerajaan tentang berbagai persoalan pemerintahan
yang mereka hadapi.
Karena kepandaian yang dimilikinya dan sifatnya yang tidak
sombong, Arung Bondan memiliki banyak sahabat di berbagai tempat.
Namun, kedua orangtuanya merasa gelisah dan sedih karena hingga
saat ini Arung Bondan belum juga memiliki istri. Maka pada suatu
hari, dipanggillah Arung Bondan oleh orangtuanya.

f 169
“Anakku, kau sudah menjadi orang yag pandai dan terkenal di
seluruh Medang Kamulan. Namun, masih ada satu yang kurang….”
“Apa yang kurang, Bapak?”
“Engkau belum beristri. Bapak ingin kau telah beristri dan
memiliki anak sebelum Bapak meninggal. Maukah kau memenuhi
permintaan Bapakmu yang renta ini?”
Beberapa waktu kemudian Arung Bondan akhirnya menikah
dengan gadis pilihannya. Setelah menikah, Arung Bondan ber­
tapa di sebuah gunung. Berkat kesungguhan dan kemuliaan
sifat­
nya, Dewata berkenan atas laku tapa Arung Bondan. Sang
Dewa kemudian memberi anugerah kepada Arung Bodan. Dalam
tapanya, Arung Bondan menerima wahyu Dewa.
“Kuanugerahkan kepadamu, kelak anak cucumu akan menjadi
orang-orang yang pandai dan berkuasa. Dari anak cucumu akan
lahir para patih di Jawadwipa dan juga para ahli bangunan.”
Setelah menyelesaikan laku pertapanya tersebut, Arung
Bondan pulang ke Medang Kamulan. Beberapa tahun kemudian,
Arung Bondan dikaruniai beberapa anak. Seperti wahyu yang
diterimanya saat laku tapa, anak-anaknya menjadi orang-orang
yang pandai. Ada yang menjadi patih dan ada yang menjadi ahli
pertukangan. Konon dari keturunan Arung Bondan-lah asal para
patih dan punggawa kerajaan-kerajaan di Jawa dan pejabat tinggi
kerajaan di Zaman kuno. Dari keturunan Arung Bondan pula lahir
orang-orang yang ahli bangunan sehingga Arung Bondan disebut
sebagai nenek moyang para ahli bangunan di pulau Jawa.

f170
31 >> <<

GAGAK RIMANG KUDA


YANG GAGAH BERANI

K uda gagak rimang adalah kuda tunggangan andalan Arya


Penangsang. Menurut cerita yang berkembang—khususnya
di sekitar wilayah Jipang dan Panolan—konon asal-usul kuda
gagak rimang adalah kuda milik Riman, anak dari Soreng Pati yang
menjadi Penggede di Desa Kasiman. Kuda tersebut menghilang
pada saat Riman bertarung melawan Siman, anak Soreng Rangkut
yang menjadi penggede di Desa Sambong, untuk memperebutkan
gadis pujaan hati mereka yang bernama Rara Swari. Berikut adalah
kisahnya.
Pada saat Riman bertarung melawan Siman demi mem­pere­
but­kan Rara Swari, kuda kendaraan Riman melarikan diri. Bahkan
sampai saat Riman meninggal, kuda itu belum juga diketahui
keberadaannya. Konon menurut kisah yang beredar, kuda tersebut
melarikan diri masuk ke dalam hutan. Di lokasi lain, tersebutlah Arya
Penangsang—adipati Jipang Panolan—yang sedang memikirkan
daerah kekuasaanya di bagian utara. Ia berjalan untuk mengadakan
lawatan dengan ditemani oleh patihnya yang bernama Metaun.
Ketika perjalanan Arya Penangsang sampai di suatu tempat yang

f 171
banyak ditumbuhi oleh rumput segar, tampaklah seekor kuda
hitam yang mulus ‘pancal panggung’sedang berlari mendekatinya.
Anehnya kuda yang tampak binal itu seketika berubah menjadi
jinak seolah meminta untuk dikasihi saat berada di depan Arya
Penangsang. Kuda tersebut menggaruk-garukkan kakinya ke tanah
seolah minta perlindungan.
Melihat hal itu, Arya Penangsang segera mendekatinya dan
seketika itu pula Arya Penangsang merasa tertarik pada kuda
hitam itu dan berniat ingin memilikinya. Arya Penangsang pun
naik ke punggug kuda tersebut. Di atas punggung kuda yang baru
ditungganginya itu, Arya Penangsang tampak sangat gagah dan
anggun. Ia pun mengajak Patih Mentaun untuk mencari pemilik
kuda tersebut. Adapun, tempat ditemukan kuda tersebut kemudian
disebut (Desa) Gagakan karena sang kuda berbulu hitam mulus
bagaikan burung gagak.
Untuk mencari sang pemilik kuda, Arya Penangsang dengan
diiringi oleh Patih Metaun berjalan ke arah timur. Akhirnya mereka
sampai di tempat Soreng Pati dan Soreng Rangkut bertarung. Pada
saat itu, kedua jagoan tersebut sedang merenungi peristiwa yang
baru saja mereka alami, yang memakan korban anak-anak yang
sangat mereka cintai. Mereka berdua merasa sangat menyesal atas
peristiwa tersebut. Namun berkat nasihat gurunya, Ki Gede Senori,
akhirnya mereka bisa menerima dengan ikhlas semua yang telah
terjadi dan menimpa mereka.
Begitu Arya Penangsang tiba di tempat itu, ia segera meng­
hampiri keempat orang yang sedang duduk termenung tersebut.
Ketika melihat kuda tunggangan anaknya datang dengan ditunggangi
oleh orang lain, seketika gejolak hati Soreng Pati yang semula sudah
agak mereda langsung kembali membara karena teringat akan
Riman. Dia pun langsung berdiri dan dengan marah menghampiri
sang penunggang kuda dengan diikuti oleh saudara-saudaranya,

f 172
Arya Penangsang tampak gagah dan anggun ketika menunggang kuda
berwarna hitam itu.

Soreng Rangkut dan Soreng Rana. Mereka mengira orang tersebut


telah merampas kuda milik Riman.
Namun tiba-tiba, kekuatan mereka seakan-akan sirna dan
mereka jatuh terduduk manakala orang yang menunggang kuda
tersebut mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar mereka
menahan diri. Seolah-olah ada kekuatan gaib dahsyat yang
memaksa mereka untuk duduk menghormat. Mereka pun langsung
menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang
bukan sembarangan. Mereka tetap duduk dengan mata menatap
tajam tak berkedip.
Arya Penangsang lalu memperkenalkan dirinya pada ke­
empat orang guru dan murid tersebut. Mereka berempat pun
kagum akan kesaktian sang adipati. Arya Penangsang kemu­
dian menanyakan apakah mereka tahu pemilik kuda hitam yang

f173
sedang ditungganginya itu. Dengan serentak, mereka ber­empat
pun menjawab bahwa pemilik kuda tersebut adalah Riman. Be­gitu
mendengar jawaban tersebut, Arya Penangsang kemudian mem­
beri nama kuda hitam tersebut dengan sebutan ‘gagak Riman’,
Kata ‘gagak’ karena kuda tersebut berbulu hitam mulus ‘laksana
burung gagak’ dan ‘Riman’ karena pemiliknya bernama ‘Riman’.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ‘gagak riman’ sering juga
disebut ‘gagak rimang’.
Oleh Arya Penangsang, keempat orang guru dan murid
itu kemudian diangkat menjadi pengikutnya dan diberi pangkat
Wedana Prajurit. Tempat kuda gagak riman ditambatkan kemudian
disebut dengan nama (Desa) Cancangan. Adapun, peninggalan
yang berkaitan dengan legenda kuda gagak rimang, antara lain
adanya sendang Modan dan sendang Gagakan.
Sendang Modan dulunya merupakan tempat minum kuda
Riman yang berada di sebelah selatan Desa Gagakan. kabarnya
air dari sendang tersebut sangat bertuah, terutama bagi mereka
yang ingin menggugurkan kandungan. Konon jika ada orang
yang ingin menggugurkan kandungan, cukup dengan meminum
air dari Sendang Modan yang diambil dengan cara mencurinya,
kandungannya akan menghilang tanpa bekas. Sementara itu
Sendang Gagakan terdapat di sebelah timur Desa Gagakan. Air
di sendang ini selalu keruh karena konon sendang ini merupakan
tempat berkubangnya kuda Riman sebelum berjumpa dengan Arya
Penangsang.

f 174
32 >> <<

LEGENDA
PENAKLUKAN BLORA

S etelah kekalahan Arya Jipang dalam peperangan melawan


Pajang. Sultan Hadiwijaya kemudian memerintahkan putranya
yang bernama Pangeran Benawa untuk memimpin Jipang Panolan.
Kekalahan Arya Jipang dari Pajang sebenarnya tidak membuat
rakyat Jipang Panolan takluk begitu saja pada Pajang. Sebagian
Besar rakyat, prajurit, dan keluarga Arya Jipang meninggalkan
Jipang Panolan dan pergi ke Surabaya serta ke Palembang. Karena
sebagian rakyat Kadipaten Jipang Panolan pergi, pengeran Benawa
kemudian mendatangkan orang Pajang untuk menjadi prajurit dan
pegawa kadipaten.
Orang-orang Pajang yang datang dan berada di Jipang Panolan
ternyata bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat asli Jipang.
Karena tidak tahan dengan perbuatan sewenang-wenang orang
Pajang, rakyat Jipang kemudian mengungsi ke Blora yang terletak
di sebelah barat laut Jipang. Mendengar adanya pengungsian
tersebut, orang-orang Pajang kemudian mengejar dan menganiaya
mereka. Bukan hanya terhadap orang Jipang yang mengungsi ke
Blora, orang Pajang juga bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat Blora. Seperti yang dilakukan oleh seorang prajurit Pajang

f 175
Rakyat Jipang mengungsi ke Blora akibat kesewenangan
pasukan Pajang.

terhadap seorang pengembala sapi yang sebenarnya merupakan


rakyat Blora.
“Kalian sebagai rakyat yang kalah perang sudah sepantasnya
menuruti semua kehendak kami, orang Pajang. Serahkanlah
sapimu yang gemuk itu kepada kami.”
“Jangan, ini milik kami satu-satunya. Sapi ini kami butuhkan
untuk membajak sawah.”
“Kalau kau tidak menurut, kau akan dipukul!”
Kemudian Prajurit Pajang memukuli para pengembala yang
malang itu dan merampas sapinya.
Melihat kekejaman orang Pajang, sisa-sisa keluarga Arya
Jipang beserta para punggawanya menghimpun kekuatan untuk
memulai perlawanan terhadap Pajang dan menjadikan Blora

f 176
sebagai basis perlawanannya. Ki Lurah dan beberapa warganya
saling mengutarakan pendapat tentang kekejaman yang dilaku­kan
oleh orang-orang Pajang tersebut.
“Kita tidak mungkin membiarkan diri kita dihina oleh Pajang.”
“Mereka telah berlaku sewenang-wenang dan bahkan meram­
pas harta kita.”
“Para prajurit dan orang-orang Pajang suka membunuh dan
memperkosa anak-anak kita. Mereka menganggap kita bukan
manusia lagi!”
“Tidak ada jalan lain. Kita harus melawannya! Kita kobarkan
perang! Kita kobarkan semagat Arya Jipang yang pantang menye­
rah. Kita lawan Pajang!”
“Kalau memang itu sudah menjadi tekad kalian, aku pun
setuju. Sebab kekejaman Pajang sudah di luar batas kemanu­siaan.
Bersiaplah untuk berperang mulai dari sekarang!”
Mereka kemudian melancarkan serangan terhadap prajurit
Pajang dengan cara gerilya. Semakin lama, perlawanan rakyat
Blora terhadap Pajang semakin menguat dan prajurit Pajang mulai
kewalahan. Mereka pun malaporkan perlawanan rakyat Blora
kepada Sultan Hadiwijaya di Pajang.
“Kanjeng Sultan Hadiwijaya, menurut laporan prajurit yang
bertugas di Blora, perlawanan rakya Blora semakin lama semakin
besar, dan mereka tidak mau tunduk kepada Pajang. Mereka
melawan kekuasaan Pajang. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau memang Blora merongrong kewibawaan Pajang, sudah
semestinya kita akan mengirim pasukan ke Blora.”
“Apakah kita akan menumpas pemberontakan rakyat Blora?”
“Ya, di sana sisa-sisa dari kekuatan Arya Jipang masih ber­
cokol. Kita harus menumpas sisa-sisa prajurit Arya Jipang yang
sekarang bekerja sama dengan Surabaya untuk membangun
kekuatan di Blora.”

f 177
Sultan Hadiwijaya kemudian memperintahkan patihnya untuk
mempersiapkan penyerangan di Blora.
“Paman patih, engkau bersama senopati mulai sekarang harus
menyiapkan prajurit untuk menghancurkan Blora. Kalau memang
sangat diperlukan, ajaklah putra angkatku, Sutawijaya. Jangan
lupa, mintalah nasihat kepada Ki Ageng Pemanahan, Ki Panjawi,
dan Ki Juru Mertani.”
Dengan segera, Patih Pajang melakukan semua titah rajanya.
Setelah semua prajurit disiapkan dengan baik, Sultan Pajang
mengirimkan ekspedisi bersenjata untuk menumpas per­lawa­nan
rakyat Blora. Dalam peristiwa penyerangan itu, hampir semua
prajurit Pajang dikerahkan ke Blora.
Setelah kekalahan Jipang Panolan, Blora dipandang penting
dan sekaligus dianggap sebagai ancaman oleh Pajang karena Blora
menjadi pusat pergerakan orang-orang Jipang Panolan yang tidak
mau menerima kekuasaan Pajang. Selain itu, wilayah Blora juga
akan direbut oleh Surabaya karena Blora merupakan penghasil
kayu jati dengan kualitas terbaik. Ketika itu, kayu jati sangat
baik untuk membuat perahu dan rumah sehingga menjadi salah
satu dagangan yang cukup laris. Prajurit Pajang yang terdiri dari
pasukan gajah, pasukan berkuda, dan pasukan bertombak mulai
bergerak ke Blora. Sesampainya di Blora, prajurit Pajang mulai
menyerang prajurit maupun rakyat biasa.
“Serang! Habisi semua yang ada di depanmu, Prajurit!”
demikian perintah senopati kepada prajuritnya.
“Kalau bukan prajurit, apakah tetap dibunuh?”
“Semua orang laki-laki yang sudah disunat harus dibunuh,
baik prajurit maupun rakyat biasa. Sebab bila masih ada orang
laki-laki di desa ini, mereka akan menjadi pemberontak. Aku
perintahkan untuk membunuh mereka semua!”

f178
“Bukankah hal itu tidak mencerminkan perbuatan seorang
kasatria, Senopati?”
“Kalian prajurit tidak perlu membantah senopati. Tugas kalian
adalah melaksanakan perintahku. Kalau tidak melak­ sanakan
perintah ini, kalian yang akan aku bunuh!”
Mendengar perintah senopati, maka prajurit Pajang menyisir
setiap rumah yang dilaluinya dalam perjalaan peyerangan tersebut.
Penggeledahan dilakukan di semua rumah penduduk pada
siang dan malam hari. Jika di dalam rumah terdapat seorang laki-
laki yang sudah disunat, ia langsung dibunuh. Jika yang ada di
dalam rumah hanya seorang gadis, anak gadis tersebut diperkosa
oleh prajurit. Jika orang yang ada di dalam rumah tersebut tidak
mau digeledah, rumahnya dibakar dan diratakan dengan tanah.
Tak pelak, jerit tangis terdengar memilukan mengiringi setiap
kedatangan para prajurit Pajang tersebut. Rakyat menjadi sangat
ketakutan. Berhari-hari rakyat Blora diliputi rasa sedih dan tangisan
anak yang ditinggal oleh ayah dan saudaranya, serta tangisan ibu
yang kehilangan suami dan anak laki-lakinya. Darah mengalir bagai
air sungai. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan di sawah. Di
rumah dan di sudut mana pun di Blora dijumpai mayat.
Beberapa ibu dan penduduk laki-laki yang tersisa kemudian
pergi menemui Ki lurah dan mangadu tentang keadaan di Blora
yang semakin genting tersebut.
“Bila keadan ini terus berlanjut, rakyat Blora akan habis.
Lantas apa yang harus kita lakukan?”
“Lelaki yang sudah disunat harus segera meningalkan Blora.
Bersembunyilah ke hutan-hutan.”
“Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak, Ki Lurah?”
“Biarlah para ibu yang merawatnya. Bila kita ingin keturunan
orang Blora tidak punah, hanya ini jalan satu-satunya. Pergilah
sekarang, selamatkanlah dirimu dan generasimu berikutnya.”

f 179
“Ki Lurah sendiri ikut dengan kami, bukan?”
“Aku akan menjaga para istri dan anak-anak.”
“Itu berarti Ki Lurah akan dibunuh oleh prajurit Pajang.”
“Ya. Tetapi untuk beberapa saat sepeninggal kalian me­ngung­
si ke hutan, aku dapat menjaga mereka walau aku harus mati.
Sekarang berangkatlah dan jangan hiraukan diriku.”
Gelap malam mulai menelan segala yang ada di Bumi Blora.
Dalam kegelapan malam itu pula beberapa orang laki-laki yang
tersisa pergi menuju hutan untuk bersembunyi dari kejaran prajurit
Pajang. Hutan jati di sekitar Blora sangatlah lebat. Pergerakan orang
laki-laki yang tersisa itu semakin jauh masuk hutan. Naik gunung
dan menuruni lembah demi mencari tempat yang dianggap aman
untuk berlindung.
“Sudah berhari-hari kita berjalan di dalam hutan, saya kira
kita bisa tinggal dan menetap di sini. Tidak perlu meneruskan
perjalanan.”
“Ya, saya setuju. Lagi pula di tempat ini juga terdapat sungai
yang airnya cukup deras. Di seberang sugai juga ada gua yang
dapat kita gunakan sabagai tempat berteduh kalau hujan dan
dapat dipakai untuk tidur di waktu malam.”
“Baiklah kalau teman-teman menghendaki tempat ini untuk
tempat kita bersembunyi dari kejaran prajurit Pajang, aku setuju.”
Akibat pembantaian kejam yang dilakukan Pajang, pen­duduk
Blora yang tersisa hanyalah kaum perempuan, bayi, dan anak-
anak. Tidak ada satu pun lelaki dewasa yang tertinggal di Blora.
Blora tersebut dikenal dengan peristiwa Pamblora. Bebe­rapa
tahun kemudian setelah peristiwa Pamblora, orang-orang laki-laki
yang bersembunyi di hutan kembali menjumpai keluarga mereka
dan kembali membangun Blora. Namun, ada pula sebagian dari
mereka yang tetap memutuskan untuk tinggal di dalam hutan
bersama dengan orang Kalang yang ahli dalam hal bangunan.

f180
33 >>
<<

LEGENDA
KEDUNG MOYO

A lkisah pada zaman kerajaan Mataram—tepatnya di Dukuh


Jambi, Desa Mendalem—terdapat seorang janda yang
dikenal dengan sebutan ‘Mbok Randha Jambi’. Dia hidup bersama
dengan adiknya yang bernama Blacak Ngilo dan mereka berdua
hidup dalam kemiskinan. Pada suatu hari Mbok Randha Jambi
pergi ke bengawan untuk mencuci beras (Jawa: mususi).Tiba-
tiba ia melihat sebuah peti (gendaga) yang tersangkut di atas
rerumputan glagah di tepi bengawan. Karena penasaran, ia
mengambil peti tersebut dan membukanya. Betapa terkejutnya
Mbok Randha Jambi ketika mengetahui bahwa yang ada di dalam
peti adalah seorang bayi laki-laki. Mbok Randha Jambi pun segera
membawa bayi itu pulang dan merawatnya. Dia sangat bersyukur
dan sekaligus sangat beruntung sebab kebetulan sudah lama dia
mendambakan kehadiran seorang anak.
Oleh Mbok Randha Jambi, bayi tersebut kemudian diberi
nama Jaka Sangsang. Setelah beranjak dewasa, ibu dan pamannya
menyuruh Jaka Sangsang untuk pergi ke rumah Begede Kuwung
yang bernama Ki Mangun Dipura untuk mengab­ di sebagai
penggembala kerbau. Setibanya di rumah Begede Kuwung, Jaka

f181
Sangsang ditanya oleh Ki Mangun Dipura mengenai jati dirinya
beserta maksud kedatangannya. Sebenarnya abdi penggembala
kerbau sang Begede sudah cukup banyak, tetapi jumlah kerbau yang
dipelihara mencapai 144 ekor, maka tenaga Jaka Sangsang tetap
diperlukan. Adapun kerbau yang dipercayakan untuk dipelihara
oleh Jaka Sangsang adalah seekor kerbau pancal panggung yang
berkalungkan benang lawe tiga warna.
Begede Kuwung sudah mempunyai enam orang abdi peng­
gembala kerbau, yaitu Jaka Pon, Jaka Wage, Jaka Kliwon, Jaka
Legi, Jaka Pahing, dan Jaka Senthir. Adapun, anak Begede ada
dua orang dan semuannya perempuan, yaitu Dewi Sumilah dan
Retno Dumilah. Setelah itu, Jaka Sangsang menjalankan tugas
meng­ gembala kerbau dan melepakan kerbau pancal panggung
dari ikatannya. Ketika mengembala, Jaka Sangsang tidak mau
berjalan kaki, melainkan sembari duduk di punggung kerbau yang
digembalakannya. Sebenarnya Jaka Sangsang tahu kalau kerbau
hati pancal panggung itu adalah seekor kerbau yang sangat
dikeramatkan. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.
Kerbau Pancal Panggung yang dikendarai Jaka Sangsang
berjalan terus ke arah timur. Di suatu tempat, Jaka Sangsang mene­
mukan sebuah parit yang airnya mengalir dengan sangat jernih.
Agar kerbau yang digembalakan bisa minum, parit tersebut lalu di
bendung (Jawa: di-singget) sehingga airnya bisa menggenang. Oleh
karena air yang diminum kerbau tersebut adalah hasil dari singgetan
(bendungan), maka tempat tersebut kemudian dinamakan ‘dukuh
singget’. Ketika hari sudah sore, Jaka Sangsang pulang ke rumah
Bagede Kuwung seraya menggiring kerbaunya ke kandang. Pada
saat Jaka Sangsang tidur, ada temannya yang melihat bahwa
tubuh Jaka Sangsang memancarkan sinar. Dewi Sumilah yang
juga mengetahui hal itu pun jatuh hati kepadanya. Seiring dengan
berjalannya waktu, teman-temannya mulai mengetahui kalau Dewi

f182
Sumilah menaruh hati kepada Jaka Sangsang sehingga mereka
merasa cemburu. Akan tetapi, Dewi Sumilah tidak terpengaruh
pada perbuatan mereka. Rasa cintanya kepada Jaka Sangsang
justru semakin membara dan Jaka Sangsang pun membalas cinta
Dewi Sumilah. Begede Kuwung yang akhirnya mengetahui kalau
putrinya, Dewi Sumilah, jatuh cinta pada Jaka Sangsang kemudian
menolak hubungan antara dua anak manusia itu.
Pada suatu hari, Begede Kuwung kedatangan seorang tamu
bernama Ki Gede Sentono. Kedatangan tamu tersebut bermaksud
untuk melamar kedua putri Begede Kuwung, Dewi Sumilah dan
Retno Dumilah, untuk dikawinkan dengan dua orang anak Begede
Sentono yang bernama Suronggo dan Suranggi. Lamaran itu pun
diterima tetapi dengan syarat, yaitu Dewi Sumilah minta mas
kawin berupa seekor pancal panggung. Sesampai di rumah, Ki
Gede Sentono memberitahu kedua putranya jika mereka berdua
benar-benar ingin menikah dengan putri Begede Kuwung, esok
hari mereka berdua disarankan untuk menemui Jaka Sangsang
dan meminta kerbaunya. Jika boleh diminta secara cuma-cuma,
namun kalau tidak boleh diminta, agar dibeli berapa pun harganya.
Dan jika tidak boleh dibeli, maka disarankan untuk diminta secara
paksa.
Keesokan harinya, Suronggo dan Suranggi melaksanakan
anjuran ayahnya. Pagi-pagi buta mereka berdua sudah
menunggu di jalan yang biasa dilewati oleh Jaka Sangsang
untuk menggembalakan kerbaunya. Mereka berdua kemudian
menanyakan tentang diri sang pemuda; siapa namanya dan
kerbau siapa yang dinaikinya. Sang Jaka Sagsang pun menjawab
bahwa ia bernama Jaka Sangsang, anak dari desa Kuwung dan
abdi dari Begede Kuwung. Adapun, kerbau yang dinaikinya adalah
milik Baginda Kuwung yang bernama kerbau pancal panggung.
Jaka Sangsang juga menanyakan siapa mereka yang kemudian

f 183
Jaka Sangsang membendung parit agar kerbau gembalaannya dapat
minum dengan puas.

dijelaskan oleh Suronggo dan Suronggi bahwa mereka adalah anak


Ki Gede Sentono. Adapun, keperluan menemui Jaka Sangsang
adalah hendak meminta kerbaunya untuk dipergunakan sebagai
mas kawin dalam meminang putri Begede Kuwung yang bernama
Dewi Sumilah.
Mendengar pernyataan Suronggo dan Suronggi, Jaka Sang­
sang seketika marah. Lalu terjadilah perselisihan di antara mereka
yang kemudian berlanjut menjadi pertarungan. Dalam pertarungan
tersebut, Suronggo dan Suronggi mengalami kekalahan. Sang
kerbau pancal panggung yang mengetahui tuannya menang dalam
pertarungan, berlari-lari tampak gem­bira. Pada saat itu, datanglah
Blancak Ngilo. Mengetahui kepona­ kannya habis bertaruh dan
menang serta kerbaunya berlari-lari tampak gembira, dia kemudian

f184
berkata bahwa kelak jika zaman sudah makmur, tempat tersebut
bisa dinamakan Dukuh Jigar.
Tak lama kemudian, datanglah Ki Begede Sentono ke ha­
dapan Blacak Ngilo. Blacak Ngilo bertanya mengenai siapa dirinya
dan Ki Sentono menjelaskan bahwa maksud kedatangannya
adalah untuk mencari dan hendak membunuh Jaka Sangsang
serta untuk meminta kerbaunya. Mendengar jawaban tersebut,
Bla­cak Ngilo marah. Dia lantas meminta Ki Sentono untuk tidak
perlu mencari Jaka Sangsang dan sekaligus menantang Ki Sentono
untuk menghadapidirinya. Akhirnya terjadilah pertarungan di­
antara keduannya. Dalam pertarungan tersebut awalnya Blacak
Ngilo hampir kalah. Dia lalu berlari kearah barat laut sampai di tepi
Benga­­­wan Solo. Di tempat tersebut dia lalu mengambil senjatanya
yang berupa sepucuk Tombak Krincing Mas. Ki Sentono ditombak
tetapi mampu menghindar sehingga tidak kena. Mata tombak
itu menancap di sebuah batu besar. Manakala tombak dicabut,
bekas lubang pada batu tersebut menjadi terowongan seperti gua
hingga tembus ke daerah Tuban, Jawa Timur. Begitu melihat ada
terowongan tersebut, Blacak Ngilo berkata bahwa kelak jika zaman
sudah makmur tempat tersebut dinamakan Gua Sentono.
Tak lama kemudian, sang kerbau berdiri dan berjalan ke arah
barat. Jaka Sangsang dan Blacak Ngilo mengikutinya dari belakang.
Dalam perjalanan tersebut, Blacak Ngilo melihat ada sumber mata
air di tepi sebuah batu dan airnya nampak sangat jernih. Setelah
tombaknya dicuci bersih, Blacak Ngilo kemudian beristirahat dengan
duduk bersandar di salah satu batu di tepi mata air tersebut. Dia
lalu berangan-angan bahwa karena mata air tersebut dia gunakan
untuk mencuci tombak pusakanya yang bernama Krincing Mas,
maka kelak kalau mata air tersebut berkembang menjadi sebuah
sumur atau belik akan dinamakan Belik Krincing. Selain itu, karena
dia beristirahat dengan duduk bersandar (Jawa: senden) pada

f 185
batu, maka kelak kalau zaman sudah makmur tempat tersebut
akan dinamakan Dukuh Menden.
Pada saat itu, datanglah Jaka Senthir—teman Jaka Sang­sang
yang mengabdi sebagai pengembala kerbau milik Begede Kuwung.
Jaka Senthir datang atas perintah Begede Kuwung untuk menyuruh
Jaka Sangsang segera pulang dengan meng­ giring kerbaunya
karena waktu mengabdinya sudah habis dan sudah tiba saatnya
bagi Jaka Sangsang untuk kembali ke Dukuh Jambi. Atas perintah
tersebut, Jaka Sangsang bersama-sama dengan Jaka Senthir
menggiring kerbaunya ke arah barat. Dalam perjalanan tersebut,
Jaka Sangsang dan Jaka Senthir melihat ikan kutuk (gabus) berada
di dalam lubang (rang). Ikan-ikan tersebut lalu dirogoh hingga ter­
tangkap semua. Kelak tempat tersebut dinamakan ‘Dukuh Gioto’.
Keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat.
Pada suatu tempat tampak banyak orang—yang terdiri dari para
petani dan buruh tani—yang sedang berkerumun. Mereka ternyata
sedang membicarakan masalah pangan (bab pangan), yaitu padi,
jagung, ketela, kacang, dan lain-lain. Oleh karena itu, tempat
tersebut kemudian dinamakan ‘Dukuh Bapangan’.
Kemudian sang kerbau berlari ke arah barat. Jaka Sangsang
dan Jaka Senthir terus mengikuti kemana kerbau itu berlari. Akhirnya
kerbau tadi berhenti dengan menanduk-nanduk tanah, dan tanah
dari hasil tandukan tersebut kemudian dimakan. Melihat hal itu, Jaka
Sangsang berguman: “kebo kok mangan lemah/ ngampo” (kerbau
kok makan tanah/makan ampo). Oleh karena itu, tempat tersebut
dinamakan ‘Dukuh Ngampon’. Sampai di rumah sang panggede, Jaka
Sangsang lalu bertanya kepada Begede Kuwung mengenai kepastian
apakah dirinya memang sudah saatnya untuk berhenti mengabdi.
Menurut Begede Kuwung, hari itu bertepatan dengan hari Senin Legi,
yaitu hari yang baik untuk dia pulang. Sebagai upah mengabdi, Jaka
Sangsang mendapatkan seekor anak kerbau (Jawa: gudel).

f 186
Jaka Sangsang pun pulang dengan membawa anak kerbau
yang merupakan upah dari hasil kerjanya. Ternyata anak kerbau
tersebut tidak sehat dan banyak gudiknya. Namun, Jaka Sangsang
terus berjalan ke arah timur seraya tetap menuntun anak kerbau
tersebut. Ketika melewati desa Singgit, anak kerbau tersebut
dibawa ke sungai dengan maksud untuk dibersihkan (Jawa:
diguyang). Setelah dibersihkan, anak kerbau tersebut justru tidak
mau berjalan meski sudah ditarik dan didorong. Jaka Sangsang
pun menjadi jengkel dan kemudian menempeleng anak kerbau
tersebut dengan tangan kanannya hingga mati seketika. Jaka
Sang­sang pun pulang ke Dukuh Jambi dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, Jaka Sangsang memberitahu paman dan
ibunya bahwa anak kerbau hasil upah kerjanya di tempat Begede
Kuwung telah ia tempeleng hingga tewas. Di desa sekitar Dukuh
Singgit tersebutlah bahwa ada bangkai anak kerbau di sungai yang
dikerumuni oleh semut sehingga sungai itu dinamakan ‘Kali Semut’.
Di satu waktu, Jaka Sangsang memberitahu ibunya bah­wa dia
sangat mencintai Dewi Sumilah,dan begitu juga sebalik­nya. Karena
itu, dia memohon kepada ibunya agar mau me­ lamar­
kan Dewi
Sumilah untuk dirinya. Mbok Randha Jambi ber­ usaha menghibur
hati anaknya seraya memberi pengertian bahwa keinginannya itu
ibarat pepatah cebol nglayuh lintang (si pungguk merindukan bulan).
Jaka Sangsang pun dianjurkan untuk mencari gadis lain sebagai
pengantinya. Sayangnya Jaka Sangsang menolak anjuran ibunya.
Karena rasa sayangnya yang begitu besar kepada Jaka Sangsang,
akhirnya Mbok Randha Jambi bersedia melamarkan Dewi Sumilah.
Alhasil, lamaran Mbok Randha Jambi benar-benar ditolak. Bahkan
dia mendapatkan penghinaan yang sangat menyakitkan di rumah
Begede Kuwung.
Alkisah, Jaka Sangsang dan Dewi Sumilah sudah berjanji
untuk sehidup semati. Ikatan batin di antara mereka berdua sudah

f 187
sangat kuat. Dalam waktu yang bersamaan, Dewi Sumilah dan Jaka
Sangsang beranjak keluar rumah dan mereka saling melambaikan
tangan. Jaka Sangsang melangkahkan kakinya ke arah barat,
sementara Dewi Sumilah melangkahkan kakinya ke arah timur.
Jaka Sangsang yang berjalan menyusuri tepi bengawan tiba-
tiba terjatuh di tanah yang berlereng (mereng). Jaka Sangsang
kemudian berkata bahwa kelak jika zaman sudah makmur, tempat
tersebut dinamakan Parengan.
Jaka Sangsang terus melanjutkan perjalanan ke arah barat
melalui Desa Jigar dan kemudian menyeberangi bengawan. Di
tem­pat itu, dia melihat orang-orang yang sedang menata dan
menge­lempokkan kayu yang bisa dijual dan yang hanya bisa untuk
memasak. Salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa
karena hutan itu milik negara, maka yang bisa dimakan oleh
rakyat hanyalah cabang dan rantingnya saja. Mendengar jawaban
tersebut, Jaka Sangsang kemudian berkata bahwa kelak jika zaman
sudah makmur, tempat itu akan dinamakan Dusun Jipangulu.
Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Jaka Sangsang men­
dengar suara seorang wanita yang menangis di seberang barat
benga­wan. Setelah dilihat ternyata dia adalah Dewi Sumilah yang
memanggil-manggil namanya dari seberang sungai dengan dikawal
oleh beberapa orang. Dewi Sumilah menangis karena ketakutan
mendengar suara kerat-kerat yang merupakan suara hantu untuk
menakut-nakuti (wedenan). Oleh karena itu, Jaka Sangsang lantas
berkata bahwa kelak jika zaman sudah maju, tempat tersebut akan
dinamakan ‘Dusun Kradenan’.
Akhirnya Dewi Sumilah dan Jaka Sangsang yang berada di
sebelah barat dan timur sungai saling melambaikan tangan. Masing-
masing dari mereka kemudian melangkah mendekat dan tidak
menghiraukan air bengawan yang menghalanginya. Perlahan tapi
pasti mereka terus melangkah. Dengan tangan saling menggapai,

f188
akhirnya keduanya tenggelam dalam aliran Bengawan. Mayat Jaka
Sangsang dan Dewi Sumilah pun nampak samar-samar (moyo-
moyo) mengapung di bengawan. Kadang tampak kadang tidak.
Oleh karena itu, tempat tersebut kemudian dinamakan“Kedung
Moyo”.

f 189
34 >> <<

KISAH KADIPATEN PARANG


GARUDA DAN KADIPATEN
CARANGSOKA

S yahdan, dikisahkan di Kerajaan Medan Panolan terdapat dua


pusaka yang merupakan lambang kekuasan dan kekuatan
yang juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan. Dua pusaka
berupa keris Rambut Pinutung dan keris Keluk Kaniraga tersebut
dikenal memiliki kekuatan yang luar biasa. Hanya seseorang yang
memiliki cukup ilmu kanuragan dan hati yang bersih yang dapat
memiliki kedua pusaka sakti mandraguna tersebut. Tidak diketahui
secara pasti siapa resi sakti yang membuat dua pusaka tersebut.
Ada sebuah maklumat dari para kasatria bahwa siapapun yang
memiliki kedua pusaka sakti tersebut akan mampu menguasai
Pulau Jawa.
Saat itu, di wilayah pantai utara Jawa bagian timur terdapat
dua kadipaten, yaitu Kadipaten Parang Garuda dan Kadipaten
Carangsoko. Dua kadipaten ini merupakan daerah yang tata, titi,
tentrem. Kedua kadipaten dipimpin oleh adipati yang bijaksana.
Kondisi alam pantai menjadikan kedua kadipaten ini dikenal
dengan hasil lautnya yang mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya.
Roda pemerintahan juga dapat terus berputar dengan tingkat
perekonomian yang cukup memadai.

f190
Kadipaten Parang Garuda dipimpin oleh seorang adipati
bernama Yudhapati. Ia memiliki seorang putra bernama Raden
Jasari. Wilayah kekuasaan Adipati Yudhapati meliputi Sungai Juwana
ke arah selatan hingga wilayah Pegunungan Gamping sebelah utara
yang berbatasan dengan wilayah Kadipaten Grobokan. Cakupan
wilayah yang cukup luas tersebut menjadi simbol kejayaan ke­
pemimpinannya. Sementara itu, Kadipaten Carangsoko dipimpin
oleh Adipati Puspa Andungjaya. Ia memiliki seorang putri jelitaa
bernama Rara Rayungwulan. Wilayah kekuasaan beliau meliputi
sisi utara Sungai Juwana hingga wilayah pantai utara Jawa sebelah
timur. Wilayah inilah yang menjadi tempat dua pusaka sakti berada.
Kedua kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling
meng­hormati, dan menghargai. Mereka juga saling berkunjung dan
berbagi hasil bumi masing-masing. Demi melanggengkan keruku­
nan dan memperkuat tali persaudaraan, kedua adipati bersepakat
untuk menjodohkan dan putri mereka. Mereka menentukan hari
baik untuk mengadakan acara lamaran. Kadipaten Carangsoko
mempersiapkan segala sesuatunya. Para dayang mendandani sang
putri, para punggawa dan pesuruh menata ruangan dengan dekorasi
yang menarik dan megah, para prajurit memperketat pengamanan
kadipaten. Di Kadipaten Paranggaruda pun melakukan persiapan
yang matang. Sang Adipati tidak mau menanggung wirang. Beliau
mengutus para dayang mendandani putra mahkotanya, Pangeran
Jamasari. Pasukan berkuda dan bersenjata lengkap disiapkan untuk
mengawal rombongan keluarga untuk prosesi lamaran tersebut.
Persiapan di sana-sini sudah dilakukan, tibalah hari yang
telah ditentukan untuk melamar. Kedatangan keluarga Kadipaten
Paranggaruda disambut meriah oleh keluarga Kadipaten Carang­
soka. Tari-tarian yang rancak disuguhkan, beraneka macam hidang­
an digelar dan ditata apik. Sang pangeran terlihat tampan dengan
balutan sorjan lengkap didampingi ayah bundanya. Ia berdiri tegap

f 191
dan gagah dengan lengan digamit kedua orang tuanya. Sementara
sang putri terlihat cantik dan anggun dengan balutan kemben
berwarna sogan, bersanggul tinggi dengan hiasan roncean melati,
bunga kenanga, dan mawar duduk bersimpuh di sudut balairung
dikitari oleh para dayang. Ruangan yang dihias beraneka bunga
dengan taburan maik-manik dan wangi bunga kantil dan irisan
daun pandan menambah megah suasana malam peminangan itu.
Singkat cerita, juru bicara Kadipaten Paranggaruda meng­
utara­kan niat mereka untuk melamar Rara Rayungwulan, putri
mahkota Kadipaten Carangsoka. Pinangan tersebut di­teri­ma oleh
pihak Kadipaten Carangsoka, akan tetapi Rara Rayungwulan
mengajukan bebana ‘syarat’ agar pada saat pahagyan boja wiwah
daup ‘resepsi’ dapat dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit
dengan dalang yang tersohor bernama Sapanyana. Pihak calon
mempelai laki-laki menyanggupi persyaratan tersebut.
Untuk memenuhi beban itu, Adipati Paranggaruda menugasi
seorang punggawa kadipaten yang memiliki kemampuan olah
kanuragan yang baik. Punggawa tersebut dikenal dengan Pagede
Kemaguhan bernama Kyai Yuyu Rumpung. Kyai Yuyu Rumpung
dipercaya memiliki strategi perang yang cukup cerdik. Gagasan-
gagasannya menjadi salah satu taktik yang dijadikan andalan Adipati
Paranggaruda. Jadi, tidak heran jika sang adipati mempercayakan
tugas negara memenuhi syarat yang diajukan calon menantunya.
Kyai Yuyu Rumpung menyiapkan strateginya dengan meren­
canakan pelumpuhan kewibawaan Kadipati Carangsoko dengan cara
menguasai dua pusaka sakti yang ada di Kadipaten Carangsoko. Ia
dibantu oleh pengawal setia bernama Kyai Sondong. Dengan taktik
yang teruji, Kyai Yuyu Rumpung dan Sondong berhasil mencuri
dua pusaka sakti tersebut. Namun, usaha Kyai Yuyu Rumpung itu
digagalkan oleh seorang punggawa Kadipaten Carangsoka karena hal
tersebut dianggap mengancam kerukunan dua kadipaten tersebut.

f192
Balairung Kadipaten Carangsoka sedang dihias untuk merayakan malam
peminangan.

Kyai Yuyu Rumpung kembali melaksankan tugasnya membawa


Dalang Sapanyana untuk dapat tampil di dalam pagelaran wayang
di hari pernikahan dan resepsi pernikahan Pangeran Jasari dan Rara
Rayungwulan. Akhirnya, Kyai Yuyu Rumpung datang ke kediaman
dalang kondang tersebut. Sang dalang menyanggupi permintaan
Yuyu Rumpung untuk me­ nampilkan lakon yang diminta dalam
acara resepsi pernikahan Pangeran Jasari dan Rara Rayungwulan.
Singkat cerita, tibalah hari pernikahan kedua putra-putri
mah­kota kedua kadipaten. Pernikahan berjalan dengan lancar dan
khikmat. Kedua mempelai disandingkan di pelaminan. Namun, tidak
seperti pasangan yang baru saja menikah, ada gurat kesedihan di
raut muka sang putri. Hal ini membuat mem­pelai laki-laki menjadi
agak gusar.

f 193
Pada malam hari, diselenggarakan pesta resepsi perni­kahan
keduanya. Pesta rakyat digelar besar-besaran. Semua ber­gembira
bersorak-sorai merayakan persatuan kedua kadipaten tersebut.
Para dayang sibuk mendandani kedua mempelai yang baru saja
menikah. Para prajurit merapatkan barisan melakukan pengamanan
ketat agar parahargyan tersebut tetap aman terkendali. Setelah
acara jamuan makan malam dengan seluruh tamu undangan,
tibalah saatnya hiburan berupa tanggapan wayang oleh Dalang
Sapanyana. Ada gurat bahagia dan berbinar di wajah sang
pengantin perempuan. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Lakon baru setengah berjalan, disambut tepuk tangan, keplok,
dan sorak sorai seluruh hadirin. Tiba-tiba ada kejadian di luar du­
gaan Rara Rayungwulan tiba-tiba beranjak dari pelaminan dan
meng­hampiri sang dalang. Hal tersebut membuat seluruh hadirin
heran bercampur bingung. Keduanya berlari bergandengan tangan
me­ninggalkan balairung Kadipaten Carangsoka. Semua saling
pandang, bingung bercampur menjadi satu.
Kejadian tersebut sontak membuat geger. Para hulubalang
dituga­si mengejar keduanya. Mereka berlari menuju Desa Maja­
semi, tempat kedua pusaka sakti, keris Rambut Pinutung dan keris
Keluk Kaniraga berada. Rupanya mereka berdua merencanakan
bentuk pemberontakan dengan cara menguasai dua pusaka
tersebut agar dapat menguasai Pulau Jawa.
Peristiwa larinya Rara Rayungwulan dan Dalang Sapanya ter­
sebut menorehkan luka mendalam bagi Pangeran Jamari. Ia merasa
sangat terhina. Hal tersebut membuatnya putus asa dan pada
akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi hidupnya karena tidak
kuat menanggung rasa malu. Hal tersebut membuat keluarga Adipati
Paranggaruda hancur, luluh lantak. Adipati Paranggaruda merasa
dikhianati, dipermalukan, dan dipermainkan. Kesalahpahaman ter­
sebut berlanjut menjadi permusuhan abadi. Adipati Carangsoka

f194
tidak terima dengan tuduhan Adipati Paranggaruda. Akhirnya
kedua kadipaten berperang.
Sementara itu, selain mengerahkan pasukan untuk meng­han­
curkan Kadipaten Carangsoka, Adipati Paranggaruda juga menugasi
Kyai Yuyu Rumpung untuk menangkap Dalang Sapanya dan Rara
Rayungwulan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Dengan geram sang adipati memerintahkan Kyai Yuyu Rumpung
membawa kedua orang tersebut ke hadapan­ nya dalam keadaan
hidup.
Mereka dapat ditangkap dalam pelarian membawa kedua
pusaka di hutan di Majasemi. Namun, ketika Kyai Yuyu Rumpung
dan Dalang Sapanyana berduel hebat, terjadi keanehan. Kedua
pusaka yang ada di genggaman Rara Rayungwulan tiba-tiba
menjadi ular yang sangat besar dan menelan Rara Rayungwulan.
Melihat kejadian tersebut, Kyai Yuyu Rumpung dan Dalang
Sapanyana ternganga. Dalam terpana mereka mendengar suara
menggelegar.
“Inilah hasil perbuatan tercela Rara Rayungwulan dan Dalang
Sapanyana.” suara itu menggelegar diiringi petir berkilatan meski
tidak sedang hujan.
“Sapanyana, kini giliranmu karena telah merusak kesucian
hubungan dua kadipaten.” suara itu terdengar lagi memekakkan
telinga siapapun yang mendengar.
Seketika tubuh Dalang Sapanyana pun ditelan oleh ular jel­
maan dua pusaka tersebut. Kyai Yuyu Rumpung masih ternganga
dan terduduk lemas melihat semua kejadian yang aneh tersebut.
Keris Rambut Pinutung dan keris Keluk Kaniraga kembali ke bentuk
asal setelah menelan raga sang putri dan sang dalang yang telah
berkhianat tersebut. Kedua pusaka tergeletak di hadapan Kyai
Yuyu Rumpung.

f 195
Akhir kisah, kedua pusaka diserahkan pada Adipati Karang­
garuda. Pada akhirnya kedua kadipaten kembali damai. Adipati
Paranggaruda memegang keris Rambut Pinutung, sementara Adipati
Carangsoka memegang keris Keluk Kaniraga. Kisah tersebut memberi
banyak pelajaran untuk tidak mudah melakukan pengkhianatan.
Kyai Yuyu Rumpung diangkat menjadi panglima tertinggi Kadipaten
Paranggaruda.

***

f 196

Anda mungkin juga menyukai