Anda di halaman 1dari 317

KELAHI RAN UL ANG

1
KELAHI RAN UL ANG

2
KELAHI RAN UL ANG

1
Judul Asal 1. Does Rebirth Make Sense?
2. Excerpts from The Buddha and His Teachings
3. The Truth of Rebirth and Why It Matters in Buddhist Practice
4. Rebirth as Doctrine and Experience

Penulis 1. Bhikkhu Bodhi
2. Bhikkhu Nārada
3. Bhikkhu Ṭhānissaro
4. Francis Story

Penerjemah Tasfan Santacitta


Penyunting Handaka Vijjānanda
Penata Andreas Dīpaloka & Intan Dhitādhīvarā
Penerbit Ehipassiko Foundation
085888503388
ehipassikofoundation@gmail.com
www.ehipassiko.or.id

Hak Cipta ©2017 Ehipassiko Foundation


ISBN 978-602-8194-27-4
Edisi Okt 2022

E-book ini terbit berkat kedermawanan Anda.


Donasi bisa disalurkan ke:
BCA 4900333833 Yayasan Ehipassiko
KELAHI RAN UL ANG

SENARAI ISI

Para Penulis 5

BAGIAN 1: APAKAH KELAHIRAN ULANG MASUK AKAL? 9

BAGIAN 2: AJARAN KELAHIRAN ULANG 23


Alasan Meyakini Kelahiran Ulang 28
Roda Kehidupan, Paṭicca-Samuppāda 38
Jenis Kelahiran dan Kematian 50
Alam-alam Kehidupan 53
Bagaimana Kelahiran Ulang Terjadi 61
Apa yang Terlahir Ulang? 68
Tanggung Jawab Moral 81
Turun dan Naiknya Karma 84
Catatan Tentang Ajaran Karma dan Kelahiran Ulang di Barat 91

BAGIAN 3: KEBENARAN DAN PENTINGNYA KELAHIRAN ULANG 101


Asumsi yang Meragukan Doktrin 104
Kontroversi Kuno 112
Kelahiran Ulang dan Perbuatan 119
Kebenaran Suciwan Tentang Kelahiran Ulang 136
Kerangka yang Sesuai 145
Bahan Bakar Kelahiran Ulang 153
Memilih Lenyapnya Nafsu 164
Ironi Modern 180

3
BAGIAN 4: STUDI KASUS DAN BUKTI KELAHIRAN ULANG 191
Jenis Kasus Kelahiran Ulang 192
Kasus Warnasiri Adikari di Sri Lanka 196
Kasus Disna Samarasinghe di Sri Lanka 209
Kasus Sersan Thiang San Kia di Thailand 233
Metamorfosis Seorang Ibu 240
Kelahiran Ulang Atau Perasukan? 253
Apa yang Terjadi Selama Kelahiran Ulang 263
Serba-serbi Kasus Ingatan Kelahiran Ulang 276
Kasus Memori Kelahiran Ulang Melalui Hipnosis Regresi 304

Senarai Istilah 312


Senarai Singkatan 314

4
KELAHI RAN UL ANG

PARA PENULIS
Bhikkhu Bodhi (Jeffrey Block), Ph.D., lahir 14 Desember 1944, adalah
bhikkhu Amerika dan cendekiawan Pāḷi. Setelah menamatkan studi
universitasnya dalam bidang filosofi di Claremont Graduate School,
ia pergi ke Sri Lanka, tempat ia menerima penahbisan penuh pada
tahun 1973 di bawah bimbingan mendiang Bhikkhu Ānanda Maitreya.
Ia melayani sebagai penyunting Buddhist Publication Society (Sri
Lanka) sejak 1984-1988 dan menjadi presidennya sejak tahun 1988.
Terjemahan Majjhima Nikāya atau The Middle Length Discourses of the
Buddha (Somerville: Wisdom Publications, 1995), lalu The Connected
Discourses of the Buddha: A New Translation of the Saṁyutta Nikāya
(2000, Wisdom Publications),The Numerical Discourses of the Buddha: A
Translation of the Aṅguttara Nikāya (2012, Wisdom Publications), dan In
the Buddha’s Words: An Anthology of Discourses from the Pāḷi Canon (2005,
Wisdom Publications) sangat disegani cendekiawan dan praktisi
Buddhis di seluruh dunia. Ia kini adalah Presiden Saṅgha Council of
Bodhi Monastery (USA) dan Ketua Yin Shun Foundation.

Bhikkhu Nārada (Sumanapala Perera) lahir 14 Juli 1898 di Kotahena,


Sri Lanka. Ia seorang siswa berbakat, belajar di St. Benedict’s College,
sekolah menengah Katolik. Pada usia 18 tahun ia menjadi samanera,
dua tahun kemudian ia mendapat penahbisan penuh menjadi bhikkhu.
Ia mewakili Sri Lanka dalam upacara pembukaan Mulagandhakuti
Vihāra baru di Sarnath, India, dan pada tahun 1934 ia mengunjungi
Indonesia, bhikkhu Theravada pertama yang melakukannya setelah
lebih dari 450 tahun. Semenjak itu ia bepergian ke banyak negara
untuk melakukan misionari, ke Taiwan, Kamboja, Laos, Vietnam

5
KELAHI RAN UL ANG

Selatan, Singapura, Jepang, Nepal, dan Australia. Pada tahun 1956,


ia mengunjungi Inggris dan Amerika Serikat, lalu berceramah ke
banyak orang di Washington Monument. Tanggal 2 November 1960,
Bhikkhu Nārada membawa pohon Bodhi ke wihara Vietnam Selatan
Thích Ca Phật Đài, dan melakukan banyak kunjungan ke negara itu
selama tahun 1960-an. Ia meneruskan studinya di University College,
Colombo. Ia menghabiskan lima puluh tahun terakhir hidupnya
menulis, menerjemahkan, dan tanpa kenal lelah melakukan layanan
misionari, menyebarkan Dhamma melintasi Asia, Eropa, Australia,
Afrika, dan Amerika. Ia meninggal pada 2 Oktober 1983.

Bhikkhu Ṭhānissaro (Geoffrey DeGraff) adalah bhikkhu Amerika


dari tradisi kammaṭṭhāna hutan Thai. Setelah lulus dari Oberlin
College tahun 1971 dengan gelar Sejarah Intelektual Eropa, ia pergi
ke Thailand, tempat ia belajar meditasi di bawah bimbingan Ajahn
Fuang Jotiko, yang merupakan murid Ajahn Lee. Ia ditahbis tahun
1976 dan hidup di Wat Dhammasathit, tempat ia berdiam di sana
setelah gurunya wafat pada tahun 1986. Pada tahun 1991, ia pergi ke
perbukitan San Diego County, Amerika Serikat, tempat ia membantu
Ajahn Suwat Suvaco membangun Wat Mettāvanaram (Mettā Forest
Monastery). Ia diangkat menjadi kepala wihara itu tahun 1993. Daftar
panjang karya terbitannya meliputi terjemahan panduan meditasi
Ajahn Lee, Segenggam Daun, empat jilid antologi terjemahan sutta,
Aturan Disiplin Monastik Buddhis, dua jilid rujukan panduan para
bhikkhu, Sayap Kecerahan, dan sebagai penulis bersama buku teks
tingkat universitas Buddhist Religions: A Historical Introduction.

Francis Story (Anagārika Sugatānanda) lahir di Inggris tahun 1910


dan mengenal ajaran Buddha sejak usia belia. Pada umur 25 tahun,
ia tinggal di negara-negara Asia: India, Myanmar, dan Sri Lanka,
tempat ia belajar filosofi hidup Buddhis secara mendalam. Dengan

6
KELAHI RAN UL ANG

latar belakang itu serta terberkahi batin analitik yang tajam, ia


menghasilkan banyak tulisan, yang dihimpun dan diterbitkan dalam
tiga jilid oleh Buddhist Publication Society. Pada usia 61, ia meninggal
di rumah sakit London akibat kasus kanker tulang yang berat.

Sejak kontak awalnya dengan ajaran Buddha, Francis Story telah


menaruh minat istimewa dalam tema kelahiran ulang, yang makin
kuat selama tahun-tahun ia tinggal di Burma saat ia menemui banyak
kasus individu yang sesungguhnya mampu mengingat kehidupan
lampau mereka. Francis Story menulis banyak sekali mengenai
sisi doktrin ajaran Buddha mengenai kelahiran ulang dan yang
berhubungan dengannya, doktrin karma. Minatnya akan memori
kelahiran ulang akhirnya membuatnya membantu Dr. Ian Stevenson
dalam melacak, menyelidiki, dan mempelajari kasus-kasus seperti
itu di Sri Lanka, Thailand, dan India. Terbukti betapa berbuahnya
kerjasama ini diceritakan dengan sangat jelas dalam Pendahuluan
Profesor Stevenson dan didokumentasikan dengan studi kasus yang
ada dalam buku ini.

Dr. Ian Stevenson lahir di Montreal, Kanada, tahun 1918 dan menerima
latihan medisnya di berbagai institusi di Kanada dan Amerika Serikat.
Ia adalah profesor dan Ketua Fakultas Psikiatri di University of
Virginia School of Medicine, dan menjabat sebagai Carlson Professor
of Psychiatry dan Direktur Divisi Parapsikologi di University of
Virginia School of Medicine. Profesor Stevenson memiliki minat
hampir seumur hidupnya dalam parapsikologi dan telah aktif terlibat
dalam riset di bidang ini sejak 1957, mengkhususkan diri dalam kasus
kelahiran ulang. Ia telah melakukan banyak perjalanan ke lapangan
untuk menyelidiki kasus seperti itu di Asia dan bagian dunia yang
lainnya. Ia sering ditemani dalam perjalanan seperti itu oleh Francis
Story sampai kematian Francis tahun 1971. Karyanya yang diterbitkan

7
KELAHI RAN UL ANG

meliputi: Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, Xenoglossy, dan


tiga buku Cases of Reincarnation Type: Vol. 1. Ten Cases in India; Vol 2.
Ten Cases in Sri Lanka; dan Vol 3. Fifteen Cases in Thailand, Lebanon, and
Turkey. Semua ini diterbitkan oleh University of Press of Virginia,
Charlottesville, Virginia 22901, Amerika Serikat.

8
KELAHI RAN UL ANG

BAGIAN SATU

APAKAH KELAHIRAN ULANG


MASUK AKAL?

Bhikkhu Bodhi

9
KELAHI RAN UL ANG

P ara pendatang baru ke ajaran Buddha biasanya terkesan oleh


kejernihan, kelugasan, dan kepraktisan Dhamma yang membumi
seperti yang terwujud dalam ajaran mendasar seperti Empat
Kebenaran Suciwan, Jalan Delapan Faktor Suciwan, dan tiga tahapan
latihan. Ajaran-ajaran secerah siang hari ini dapat diakses pencari
serius mana pun yang ingin menilik suatu jalan yang melampaui duka.
Akan tetapi, tatkala para pencari ini bertemu doktrin kelahiran ulang,
mereka sering menolaknya, karena merasa bahwa ajaran ini tidak
masuk akal. Pada titik ini, mereka menduga bahwa ajaran telah mulai
keluar jalur, tergelincir dari jalan tol akal sehat menuju spekulasi dan
angan-angan.

Bahkan para penafsir ajaran Buddha modern tampaknya mengalami


kesulitan menimbang serius ajaran kelahiran ulang. Sebagian besar
memvonis ajaran ini sebagai sekadar beban budaya, “metafisika India
kuno”, yang Buddha tetap masukkan untuk menghormati pandangan
dunia pada zaman-Nya. Sebagian yang lain menafsirkannya sebagai
kiasan perubahan keadaan pikiran, dengan alam-alam kelahiran ulang
dipandang sebagai simbol kepribadian psikologi dasar. Segelintir
kritikus bahkan mempertanyakan keaslian naskah mengenai
kelahiran ulang, mereka mendebat bahwa ajaran ini pasti merupakan
unsur sisipan.

Sekilas pandang sutta Pāḷi akan menunjukkan bahwa tak satu pun
pernyataan ini yang memiliki bukti. Ajaran tentang kelahiran ulang

10
KELAHI RAN UL ANG

bermunculan hampir di mana saja dalam kitab suci, dan terpaut erat
dengan sehimpunan doktrin lainnya sehingga menyingkirkan ajaran
ini akan jelas membuat Dhamma menjadi compang-camping. Lebih
lanjut, ketika sutta membahas mengenai kelahiran ulang ke dalam
lima alam—neraka, alam binatang, alam hantu, alam manusia, dan
surga—sutta tak pernah menyiratkan bahwa istilah ini bermakna
simbolis. Sebaliknya, sutta bahkan menyatakan bahwa kelahiran
ulang terjadi “dengan hancurnya tubuh, setelah kematian”, yang
dengan jelas menyiratkan sutta menghendaki agar gagasan kelahiran
ulang diterima secara harfiah.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan berdebat mengenai keabsahan


kelahiran ulang secara ilmiah. Alih-alih, saya ingin menunjukkan
bahwa gagasan kelahiran ulang itu masuk akal. Saya akan
menunjukkan bahwa doktrin ini “masuk akal” dengan dua cara:
pertama, bahwa gagasan ini dapat dipahami batin, memiliki makna
secara intrinsik dan selaras dengan Dhamma secara keseluruhan;
dan yang kedua, ajaran ini membantu kita untuk bisa memaknai,
memahami posisi kita sendiri di semesta. Saya akan membangun
tulisan ini sehubungan dengan tiga wilayah pembabaran, yaitu secara
etika, ontologi, dan soteriologi (perilaku, filsafat semesta, dan konsep
keselamatan). Jangan takut dengan kata-kata heboh ini: maknanya
akan menjadi jelas sendiri saat kita mengulasnya.

Yang pertama, ajaran kelahiran ulang masuk akal sehubungan


dengan etika. Bagi ajaran Buddhisme awal, lahirnya konsep kelahiran
ulang merupakan landasan pokok etika ajaran ini, yang memberi
imbalan untuk memantang berbuat jahat dan melakukan kebajikan.
Dalam konteks ini, doktrin kelahiran ulang terhubung dengan prinsip
karma, yang menegaskan bahwa perbuatan yang diniati secara

11
KELAHI RAN UL ANG

moral, perbuatan kita yang bajik dan tidak bajik, memiliki kekuatan
hakiki untuk menghasilkan buah sehubungan dengan kualitas moral
perbuatan itu. Jika ditilik bersama, ajaran ganda mengenai kelahiran
ulang dan karma menunjukkan adanya prinsip keseimbangan moral
yang diraih antara perbuatan kita dengan kualitas hidup yang
kita rasakan, seperti perbuatan bajik secara moral membawa hasil
yang menyenangkan, perbuatan jahat menghasilkan yang tidak
menyenangkan.

Sehingga nyata sekali bahwa keseimbangan moral seperti itu tidak


bisa ditemukan dalam batasan kehidupan tunggal. Kita bisa melihat,
sering kali dengan sedih, bahwa orang-orang yang tak bermoral bisa
menikmati kebahagiaan, kehormatan, dan keberhasilan, sementara
orang yang menjalani hidup dengan integritas tertinggi sering
kali dipaksa membungkuk di bawah derita dan kemalangan. Agar
prinsip keseimbangan moral ini berfungsi, dibutuhkan pelbagai
jenis keberlangsungan di luar kehidupan sekarang, karena karma
bisa menghasilkan buah yang sesuai hanya jika aliran kesadaran
individu tidak berakhir dengan kematian. Dua jenis keberlangsungan
dimungkinkan: di satu sisi, suatu kehidupan setelah kematian yang
kekal di surga atau neraka, atau di sisi lain serangkaian kelahiran
ulang. Dari alternatif ini, hipotesis kelahiran ulang tampak jauh lebih
sesuai dengan keadilan moral daripada kehidupan selanjutnya yang
kekal; karena perbuatan baik apa pun yang terbatas, tampaknya,
pada akhirnya pasti kehabisan kekuatannya, dan tiada perbuatan
buruk terbatas, betapa pun buruknya, yang layak memperoleh
hukuman abadi. Mungkin juga bahwa bersikeras akan adanya suatu
keseimbangan moral merupakan ilusi, suatu tuntutan tidak nyata
yang kita terapkan pada semesta yang cuek dan tak peduli terhadap
harapan kita; tidak ada cara logis untuk membuktikan keabsahan

12
KELAHI RAN UL ANG

kelahiran ulang dan karma.

Kaum naturalis mungkin saja benar dengan berpegang bahwa


keberadaan individu berakhir pada saat kematian, berikut semua
harapannya akan keadilan moral. Akan tetapi, saya yakin teori
tersebut lenyap di hadapan salah satu naluri moral kita yang terdalam,
suatu pemahaman bahwa sejenis keadilan moral pada akhirnya akan
menang. Untuk menunjukkan hal ini, mari kita menimbang dua
kasus perbuatan terbatas yang telak secara etis. Mengenai kasus
perbuatan tak bermoral yang terbatas, kita ambil contoh Hitler, yang
bertanggung jawab langsung terhadap kematian sepuluh juta orang
secara tidak berperikemanusiaan. Sebagai contoh perbuatan bermoral
terbatas, mari kita menimbang orang yang mengorbankan hidupnya
untuk menyelamatkan kehidupan orang yang benar-benar asing.
Lalu, jika tidak ada keberlangsungan setelah kematian, kedua orang
ini akan memperoleh takdir akhir yang sama. Mungkin, menjelang
ajal, Hitler mengalami berbagai deraan keputusasaan; pahlawan yang
mengorbankan dirinya menikmati beberapa detik sambil mengetahui
ia telah melakukan perbuatan mulia. Kemudian, setelah itu—nihil,
kecuali dalam kenangan orang lain. Keduanya musnah, menjadi
daging dan tulang tanpa nyawa.

Kaum naturalis mungkin saja benar dalam menarik kesimpulan ini


dan berpegang bahwa mereka yang meyakini keberlangsungan dan
adanya akibat perbuatan mungkin hanya memproyeksikan keinginan
mereka kepada dunia. Namun saya rasa ada sesuatu dalam batin kita
yang memberontak untuk menyimpulkan Hitler maupun pahlawan
kita yang baik hati tadi mengalami nasib yang sama. Alasan kita
memberontak adalah karena kita memiliki pemahaman naluriah
mendalam bahwa ada prinsip keadilan moral yang bekerja di alam,

13
KELAHI RAN UL ANG

yang mengatur jalannya peristiwa sedemikian sehingga perbuatan


baik dan buruk akan memantul kembali kepada diri kita, menghasilkan
buah yang sesuai. Sementara kaum naturalis berpegang bahwa naluri
ini tidak lain hanyalah proyeksi idealisme kita kepada dunia, saya
hendak mengemukakan fakta bahwa kita bisa memikirkan tuntutan
keadilan moral memiliki kepentingan yang lebih dari psikologis
belaka. Betapa pun kaburnya, naluri subjektif kita akan keadilan
moral mencerminkan realitas objektif, suatu prinsip keadilan moral
yang bukan hanya sekadar proyeksi namun terbangun ke dalam batu
pondasi realitas itu sendiri.

Pertimbangan di atas tidak dimaksudkan untuk membuat keyakinan


akan kelahiran ulang menjadi landasan wajib untuk etika. Buddha
sendiri tidak berupaya membangun etika berdasarkan gagasan karma
dan kelahiran ulang, namun menggunakan suatu jenis penalaran
moral yang murni alami yang tidak menebak-nebak sebelumnya
mengenai keberlangsungan individu atau proses kerja karma.
Intisari penalaran-Nya hanya sekadar bahwa kita seharusnya tidak
menindas orang lain—dengan melukai, mencuri kepunyaan mereka,
mengeksploitasi seksual, atau menipu mereka—karena kita sendiri
tidak suka diperlakukan demikian. Akan tetapi, meskipun Buddha
tidak membangun etika berdasarkan teori kelahiran ulang, Buddha
membuat keyakinan akan karma dan kelahiran ulang sebagai pemicu
kuat terhadap perilaku yang bermoral. Saat kita menyadari bahwa
perbuatan buruk dan baik bisa memantul kembali ke diri kita,
menentukan kehidupan mendatang dan menghadirkan suka atau
duka, ini memberi kita alasan telak untuk menghindari melakukan
perbuatan tidak bajik dan dengan tekun melakukan yang bajik.

Buddha memasukkan keyakinan akan kelahiran ulang dan karma

14
KELAHI RAN UL ANG

dalam definisi-Nya mengenai pandangan benar, dan penyangkalan


tegas mengenai ajaran itu sebagai pandangan salah. Bukanlah hasrat
terhadap buah karma baik yang menjadi motivasi kita menjalani
kehidupan bermoral, namun penerimaan akan ajaran ini menggugah
dan menguatkan kembali komitmen kita terhadap idealisme etika.
Prinsip ganda ini membuka suatu jendela ke latar yang lebih luas
di mana pengejaran kita terhadap kehidupan bermoral terungkap.
Kedua prinsip ini menunjukkan bahwa kondisi kehidupan kita
sekarang, kepribadian dan kepiawaian kita, kebaikan dan kekurangan
kita, berasal dari perbuatan kita pada kehidupan lampau. Saat kita
menyadari bahwa kondisi kita sekarang mencerminkan karma
lampau, kita juga akan menyadari bahwa tindakan kita sekarang
adalah warisan yang akan kita teruskan ke keturunan karma kita,
kepada diri kita pada kehidupan mendatang. Sehingga, ajaran
kelahiran ulang memungkinkan kita menghadapi masa depan dengan
ketabahan, martabat, dan keberanian. Jika kita menyadari bahwa
entah betapa cacatnya keadaan kita sekarang, betapa pun terbatas dan
susahnya, kita masih bisa memperbaiki diri, maka kita akan terpacu
untuk mengerahkan tekad kita demi mencapai kebaikan pada masa
mendatang. Melalui perbuatan kita sekarang lewat tubuh, ucapan,
dan pikiran, kita bisa mengubah diri kita, dan dengan mengubah diri
kita, kita bisa menaklukkan semua rintangan luar dan dalam, serta
melaju menuju tujuan akhir.

Ajaran karma dan kelahiran ulang memiliki makna penting etis yang
lebih dalam daripada sekadar anjuran sederhana untuk tanggung
jawab moral. Ajaran ini menunjukkan bahwa tidak hanya kehidupan
pribadi kita dibentuk oleh karma lampau kita sendiri, namun juga
kita hidup di semesta yang memiliki makna etis. Jika dihubungkan,
ajaran ini membuat semesta suatu kosmos, suatu tatanan, terpadu,

15
KELAHI RAN UL ANG

dengan tataran kepentingan yang melampaui fisik belaka. Tataran


keteraturan yang bisa kita akses melalui pengamatan langsung atau
penelitian ilmiah tidak membongkar seluruh tataran keteraturan
kosmik. Ada suatu sistem dan pola, bukan hanya di wilayah fisik
dan biologis, namun juga dalam wilayah etis, serta ajaran karma dan
kelahiran ulang mengungkap apa pola itu. Meski tatanan etis bersifat
tidak kasat oleh mata kita dan tak bisa dipindai peralatan ilmiah, ini
bukan berarti tidak nyata. Melampaui batasan pencerapan normal,
suatu hukum moral memengaruhi perbuatan kita dan melalui
perbuatan kita memengaruhi takdir kita. Inilah prinsip karma, yang
beroperasi sepanjang urutan kelahiran ulang, yang mengunci aksi
berniat kita ke dalam dinamika semesta, sehingga membuat etika
sebagai ungkapan keteraturan hakiki semesta itu sendiri. Pada titik
inilah etika mulai membayang menuju filosofi semesta, yang akan
kita bahas dalam bagian berikutnya dari tulisan ini.

Ajaran kelahiran ulang, jika diterima bersama ajaran karma,


menyiratkan bahwa kita hidup dalam suatu semesta yang memiliki
keteraturan secara moral, semesta tempat perbuatan berniat
kita secara moral membawa hasil yang dengan pelbagai cara
berhubungan dengan kualitas etika kita sendiri. Meski hukum
moral yang menghubungkan perbuatan kita dengan buahnya tidak
bisa ditunjukkan secara eksperimental seperti halnya hukum fisika
dan kimia, ini bukan berarti hukum itu tidak nyata. Itu hanya
berarti bahwa, seperti partikel quark dan quasar, hukum ini bekerja
melampaui ambang batas pencerapan indriawi. Jauh dari sekadar
proyeksi idealisme subjektif kita belaka, hukum moral mengunci
aksi berniat kita ke dalam tatanan kosmik maha-melingkupi yang
objektif sempurna dalam pengertian bahwa itu berfungsi mandiri
dari keinginan, pandangan, dan keyakinan kita. Sehingga, ketika kita

16
KELAHI RAN UL ANG

memasrahkan perilaku kita kepada hukum etika, kita tidak sekadar


bertindak dengan cara mendapatkan persetujuan moral. Dengan
menyesuaikan ke prinsip etis, kita tidak lain menyelaraskan diri kita
dengan Dhamma, hukum kepantasan dan kebenaran universal yang
berdiri sebagai pondasi semesta.

Ini membawa kita ke aspek ontologis ajaran Buddha mengenai


kelahiran ulang, maknanya untuk memahami sifat keberadaan.
Ajaran Buddha melihat proses kelahiran ulang sebagai hal integral
bagi hukum sebab-akibat yang berfungsi sepanjang seluruh
kehidupan. Semesta kehidupan diatur oleh berbagai tataran musabab
yang berlapis sedemikian sehingga tataran musabab yang lebih tinggi
bisa menguasai yang lebih rendah. Demikianlah tataran karma, yang
mengatur proses kelahiran ulang, mendominasi musabab tataran
fisik dan biologis yang lebih rendah, membengkokkan energi mereka
menuju terpenuhinya potensinya sendiri. Buddha tidak memandang
adanya hakim ilahi yang mengawasi kerja karma, memberi imbalan
atau hukuman bagi perbuatan kita. Proses karma berfungsi secara
otonomi, tanpa pengawas atau pengarah, sepenuhnya melalui
kekuatan hakiki aksi yang memiliki perniatan. Tersaling-silang
dengan tataran lainnya dalam jejaring pengondisian yang luas dan
rumit, perbuatan kita menghasilkan akibatnya sama alaminya seperti
benih di ladang menumbuhkan rempah dan bunganya.

Untuk memahami bagaimana karma bisa menghasilkan akibatnya


sepanjang rangkaian kelahiran ulang, kita harus membalik konsep
hubungan antara kesadaran dan materi kita yang biasa dan sehari-
hari. Di bawah kecenderungan pengaruh materialistik, kita mengira
bahwa keberadaan materi itu penting bagi kesadaran. Karena kita
menyaksikan badan terlahir ke dunia ini dan mengamati bagaimana

17
KELAHI RAN UL ANG

batin menjadi dewasa bersamaan dengan tubuh, kita dengan cepat


menganggap badan sebagai landasan keberadaan kita sementara
batin atau kesadaran merupakan keluaran hasil evolusi dari proses
materi secara membuta. Materi memenangi status terkemuka sebagai
“realitas objektif”, sedangkan batin menjadi pengganggu tak disengaja
di semesta yang hakikinya tidak bermakna.

Akan tetapi, dari sudut pandang Buddhis, kesadaran dan dunia hadir
bersama dalam hubungan penciptaan yang saling membutuhkan
dengan setara. Sama seperti tidak mungkin ada kesadaran tanpa tubuh
sebagai penyokong fisiknya dan dunia sebagai lingkup cerapnya,
demikian juga tidak ada organisme fisik dan tidak ada dunia tanpa
sejenis kesadaran yang menyusun mereka sebagai organisme dan
dunia. Meski untuk sementara tiada batin atau pun materi yang bisa
dianggap mendahului yang lainnya, namun demi kepentingan praktis,
Buddha mengatakan bahwa batin adalah pendahulu. Batin adalah
pendahulunya, bukan dalam artian batin muncul sebelum tubuh atau
bisa eksis secara mandiri dari tataran fisik, namun dalam artian badan
dan dunia tempat kita ada mencerminkan aktivitas batin kita.

Aktivitas batin dalam bentuk perniatanlah yang menyusun karma,


dan persediaan karma kita yang mengarahkan arus kesadaran
dari kehidupan lampau menuju tubuh yang baru. Demikianlah
Buddha mengatakan, “Tubuh ini, para bhikkhu, adalah karma lama,
hendaknya dipandang sebagai tercipta dan terbentuk oleh perniatan,
sebagai sesuatu untuk dirasakan.” (SN 11.37). Bukan hanya tubuh,
sebagai suatu bentukan keseluruhan, yang merupakan hasil karma
lampau, namun juga landasan indra (lihat SN 25.146). Mata, telinga,
hidung, lidah, indra tubuh, dan landasan batin juga terbentuk oleh
karma lampau kita, dan demikianlah karma sampai taraf tertentu

18
KELAHI RAN UL ANG

membentuk dan memengaruhi seluruh pengalaman indriawi kita.


Karena karma pada akhirnya dijelaskan sebagai kehendak (cetanā),
ini berarti bahwa tubuh yang terbekalkan kepada kita, dengan semua
ciri khusus dan indranya, berakar dalam aktivitas kehendak pada
kehidupan-kehidupan sebelumnya. Tepatnya bagaimana perniatan
lampau bisa memengaruhi pertumbuhan zigot ada di luar jangkauan
penjelasan ilmiah, namun jika kata-kata Buddha dipercaya, maka
pengaruh seperti itu pasti nyata.

Saluran penerusan pengaruh karma dari kehidupan ke kehidupan


sepanjang rangkaian kelahiran ulang adalah arus kesadaran individu.
Kesadaran melingkupi kedua fase keberadaan kita—fase saat kita
menghasilkan karma baru dan dalam fase kita memetik buah
karma lampau—sehingga dalam proses kelahiran ulang, kesadaran
menjembatani keberadaan lama dan baru. Kesadaran bukanlah
suatu entitas tunggal yang berpindah, bukan suatu diri atau jiwa,
namun arus tindakan kesadaran yang tidak tetap, yang masing-
masing muncul, bertahan sejenak, kemudian lenyap. Akan tetapi,
meski keseluruhan arus ini terbuat dari unit yang tidak tetap,
kesadaran ini digabung menjadi kesatuan penuh oleh hubungan
sebab-akibat yang didapat antara semua peristiwa kesadaran dalam
arus keberlangsungan individu apa pun. Di tataran mendalam, tiap
peristiwa kesadaran mewarisi dari pendahulunya seluruh warisan
karma arus itu; saat hendak berlalu, kesadaran itu pada gilirannya
mengoperkan muatan itu ke penerusnya, ditambah sumbangsih
khususnya sendiri. Demikianlah aksi berniat kita tidak menghabiskan
seluruh potensi mereka dalam pengaruh mereka yang langsung
terlihat. Tiap perbuatan berniat yang kita lakukan, saat aksi itu
selesai, meninggalkan jejak halus yang dicap dalam arus kesadaran
yang terus mengalir maju. Perbuatan itu menyimpan benih yang

19
KELAHI RAN UL ANG

mampu menghasilkan buah dalam arus kesadaran, benih yang mampu


menghasilkan buah yang cocok dengan kualitas etis perbuatan itu.

Saat kita menjumpai kondisi luar yang cocok, benih karma yang
tersimpan dalam arus keberlangsungan batin, bangkit dari kondisi
laten dan berbuah. Fungsi terpenting yang dilakukan karma adalah
menghasilkan kelahiran ulang di alam yang sesuai, alam yang
menyediakan ladang bagi karma untuk mengeluarkan potensinya
yang tersimpan. Jembatan antara kehidupan lalu dan yang baru,
seperti yang kita sebut di atas, adalah arus kesadaran yang berevolusi.
Dalam arus kesadaran inilah karma tercipta melalui aktivitas
perniatan; adalah arus kesadaran yang terus mengalir, yang samalah,
yang membawa energi karma menuju keberadaan baru; dan sekali
lagi arus kesadaran ini pula yang mengalami buahnya. Dapat dinalar,
di tataran terdalam, seluruh arus kesadaran individu tergabung
dalam suatu matriks yang maha melingkupi, sedemikian hingga,
di bawah permukaan peristiwa, penumpukan karma terpisah dari
semua makhluk saling-silang, menimpa, dan menyatu. Hipotesis ini—
meski spekulatif—akan membantu menjelaskan kebetulan aneh yang
kadang kita temui, yang membuat lubang dalam asumsi-asumsi kita
mengenai tataran rasional.

Fungsi penghasil karma dalam pembuatan keberadaan baru dijabarkan


oleh Buddha dalam sutta yang singkat namun sarat makna dalam
Aṅguttara Nikāya (AN 3.76). Bhikkhu Ānanda mendekati gurunya dan
berkata, “’Keberadaan, keberadaan,’ dikatakan, Bhante. Dengan cara
apakah ada keberadaan?” Buddha menjawab, “Jika tidak ada karma
yang matang di alam indriawi, tidak ada keberadaan dalam lingkup
indra yang bisa dicerap. Jika tidak ada karma yang matang di alam rupa,
tidak ada keberadaan di alam rupa yang bisa dicerap. Jika tidak ada

20
KELAHI RAN UL ANG

karma yang matang di alam tanpa-rupa, tidak ada keberadaan di alam


tanpa-rupa yang bisa dicerap. Maka, Ānanda, karma adalah ladangnya,
kesadaran adalah benihnya, dan nafsu adalah kelembabannya, karena
makhluk hidup terhalang ketaktahuan dan terbelenggu nafsu untuk
muncul di alam keberadaan baru, yang rendah (alam nafsu), menengah
(alam rupa), atau tinggi (alam tanpa-rupa).”

Selama ketaktahuan dan nafsu, akar ganda penyebab lingkaran


kelahiran ulang, tetap utuh dalam keberlangsungan kesadaran kita,
maka pada saat kematian, salah satu karma yang terutama kuat
akan naik dan melajukan arus kesadaran itu ke alam keberadaan
yang sesuai dengan “frekuensi getarannya”. Saat kesadaran, sebagai
benihnya, tertanam atau “didirikan” dalam lingkup itu, kesadaran
berkecambah menjadi organisme mental-fisik sisanya, yang disingkat
dengan istilah “badan dan batin” (nāma-rūpa). Tatkala organisme
menjadi dewasa, itu menyediakan tempat bagi karma lampau lainnya
untuk mendapat kesempatan berbuah.

Kemudian, dalam keberadaan baru ini, sebagai tanggapan atas


berbagai pengalaman kita yang dipicu karma, kita melakukan aksi yang
menimbulkan karma baru dengan kemampuan untuk menghasilkan
kelahiran ulang lainnya. Sehingga lingkaran kelahiran ulang terus
berputar dari satu kehidupan menuju kehidupan berikutnya, kala arus
kesadaran, tersapu oleh nafsu dan diarahkan oleh karma, mengalami
berbagai macam jenis perwujudan berikutnya.

Konsekuensi tertinggi ajaran Buddha mengenai karma dan kelahiran


ulang adalah bahwa manusia adalah penguasa final takdir mereka
sendiri. Melalui perbuatan kita yang tidak baik, yang berakar dalam
ketamakan, kebencian, dan kekeliruan, kita menciptakan karma

21
KELAHI RAN UL ANG

yang tidak baik, yang menyebabkan musabab penghasil kelahiran


ulang yang buruk, kesengsaraan dan belenggu masa depan.
Melalui perbuatan baik kita, yang berakar dalam kedermawanan,
kewelasan, dan kebijaksanaan, kita memperindah batin kita sehingga
menciptakan karma yang produktif untuk kelahiran ulang yang
bahagia. Dengan menggunakan kebijaksanaan untuk menggali lebih
dalam aspek dangkal berbagai hal, kita bisa menguak kebenaran halus
yang tersembunyi oleh kesibukan kita dengan beraneka tampakan.
Sehingga, oleh karena itu, kita bisa mencabut noda batin pembelenggu
dan memenangi kedamaian keterbebasan, keterbebasan melampaui
lingkaran karma dan buahnya.

Aspek ketiga ajaran Buddha mengenai kelahiran ulang ini akan


dijelajahi lebih lengkap dalam bagian tulisan berikutnya.

22
KELAHI RAN UL ANG

BAGIAN DUA

AJARAN KELAHIRAN ULANG

Bhikkhu Nārada

23
KELAHI RAN UL ANG

A jaran kelahiran ulang, yang umat Buddha pandang bukan


sekadar teori namun fakta yang dapat dibuktikan, membentuk
prinsip dasar ajaran Buddha, meski puncak pencapaian ajaran ini bisa
diraih dalam kehidupan ini juga. Idealisme Bodhisattwa dan doktrin
keterbebasan demi mencapai kesempurnaan tertinggi dilandasi
ajaran kelahiran ulang ini.

Dokumen mencatat bahwa keyakinan akan kelahiran ulang,


dipandang sebagai perpindahan atau reinkarnasi, diterima oleh guru
spiritual seperti Yesus Kristus, filsuf seperti Pythagoras dan Plato,
pujangga seperti Shelley, Tennyson, dan Wordsworth, serta banyak
orang di Barat maupun Timur.

Akan tetapi, ajaran Buddha mengenai kelahiran ulang harus


dibedakan dari perpindahan jiwa dan reinkarnasi dalam sistem ajaran
lain, karena ajaran Buddha menyangkal adanya jiwa permanen yang
berpindah, yang diciptakan oleh Tuhan ataupun merupakan pancaran
dari Paramatma.

Karmalah yang mengondisikan kelahiran ulang. Karma lampau


mengondisikan kelahiran yang sekarang, dan karma sekarang,
digabung dengan karma lampau, mengondisikan masa depan. Masa
kini adalah keturunan masa lalu, yang pada gilirannya, masa kini
adalah orangtua masa depan.

Kenyataan masa kini tidak memerlukan bukti karena sudah terbukti

24
KELAHI RAN UL ANG

sendiri. Kenyataan masa lalu dilandasi kenangan dan laporan,


dan kenyataan masa nanti didasari perenungan sebelumnya dan
penyimpulan.

Jika kita mempostulatkan suatu kehidupan lampau, kehidupan kini,


dan kehidupan nanti, kemudian kita segera dihadapkan dengan
pertanyaan misterius,“Apakah asal mula kehidupan?”

Satu sistem keyakinan, dalam berupaya memecahkan masalahnya,


mengajukan adanya kausa pertama, baik itu sebagai daya kosmik atau
makhluk mahakuasa. Sistem lain menyangkal adanya kausa pertama
karena, dalam pengalaman sehari-hari, penyebab menjadi akibat
dan akibat menjadi sebab. Dalam suatu lingkaran sebab dan akibat,
adanya sebab pertama tidak bisa dicerap nalar. Menurut sistem
keyakinan yang pertama, kehidupan memiliki suatu permulaan;
sementara menurut sistem keyakinan yang kedua, kehidupan tak
memiliki awal. Menurut pendapat sebagian orang, kehidupan yang
dimusababkan oleh penyebab pertama itu sama konyolnya seperti
segitiga yang bulat.

Ilmu pengetahuan modern berupaya menjawab pertanyaan itu dengan


pengetahuan sistematisnya yang terbatas. Menurut pandangan
ilmiah, kita adalah produk langsung dari sel sperma dan sel telur
yang disediakan orangtua kita. Namun ilmu pengetahuan tidak
memberikan penjelasan memuaskan mengenai perkembangan batin,
yang mutlak lebih penting daripada mekanisme kerja tubuh materi
manusia. Para ilmuwan, sembari meyakinkan bahwa ”omne vivum
ex vivo”—”semua kehidupan berasal dari kehidupan”, berpendapat
bahwa batin dan kehidupan berevolusi dari benda mati.

Beberapa sistem ajaran agama lainnya menegaskan bahwa jiwa,

25
KELAHI RAN UL ANG

intisari manusia, muncul dari Tuhan. Orangtua hanya menyediakan


baju kasar bagi jiwa.

Dari sudut pandang ilmiah, kita mutlak lahir dari orangtua. Dengan
demikian, maka kehidupan mengembangbiakkan kehidupan.
Mengenai asal mula protoplasma pertama kehidupan, atau “koloid”
(apa pun nama yang akan kita sebut), para ilmuwan mengatakan
tidak tahu.

Menurut ajaran Buddha, kita terlahir dari suatu jejaring perbuatan


(kammayoni). Orangtua hanya menyediakan lapisan materinya.
Karena itu, makhluk hidup mendahului makhluk. Pada momen
munculnya kehidupan, karmalah yang mengondisikan kesadaran
awal yang menghidupkan janin. Energi karma tak kasat mata, yang
dibangkitkan dari kehidupan lampau, yang menghasilkan fenomena
batin dan fenomena kehidupan dalam suatu fenomena fisik yang telah
ada, untuk melengkapi tiga komponen yang menyusun manusia.

Berkaitan dengan proses kelahiran makhluk, Buddha mengatakan,


“Di mana ditemukan segala unsurnya hadir, maka benih kehidupan
ditanam. Jika ibu dan ayah berkumpul, namun bukan masanya bagi
ibunya, dan “makhluk yang akan lahir” (gandhabba) tidak ada, maka
tidak ada benih kehidupan yang ditanam. Jika ibu dan ayahnya
berkumpul, dan itu masanya bagi ibunya, namun “makhluk yang akan
lahir” tidak ada, maka tidak ada benih kehidupan yang ditanam. Jika
ibu dan ayah berkumpul, dan itu masanya bagi ibunya, dan “makhluk
yang akan lahir” ada, maka dengan penggabungan tiga hal ini, benih
kehidupan ditanam di sana.”

Di sini Gandhabba (=gantabba) tidak berarti “golongan dewa yang


konon mengatur proses kelahiran”, namun merujuk pada makhluk

26
KELAHI RAN UL ANG

yang cocok terlahir dalam rahim yang itu. Istilah ini hanya digunakan
dalam hubungan ini, dan tidak boleh dikelirukan dengan suatu jiwa
yang tetap.

Agar suatu makhluk terlahir di sini, suatu makhluk harus mati di tempat
lain. Kelahiran suatu makhluk—yang secara ketat berarti pemunculan
gugus-gugus kehidupan (khandhanaṁ patubhāvo), atau fenomena
badan-batin dalam kehidupan ini, berkaitan dengan kematian suatu
makhluk dalam kehidupan lampau; sama seperti dalam contoh sehari-
hari, terbitnya matahari di tempat lain. Pernyataan misterius ini bisa
lebih mudah dipahami dengan membayangkan kehidupan sebagai
gelombang dan bukan sebagai garis lurus. Kelahiran dan kematian
hanyalah dua tahap dari proses yang sama. Kelahiran mendahului
kematian, dan kematian, di lain pihak, mendahului kelahiran.
Pergantian sinambung kelahiran dan kematian sehubungan dengan
tiap arus kehidupan individu menyusun apa yang secara teknis
disebut sebagai saṁsāra—pengembaraan terus-menerus.

Apakah Asal Pertama Kehidupan?

Buddha secara jelas menyatakan: “Saṁsāra ini tanpa akhir yang


bisa dicerap. Suatu permulaan awal bagi makhluk yang terhalangi
ketaktahuan dan terbelenggu nafsu, yang berkelana dan dan
mengembara terus, tidak bisa dicerap.”

Arus kehidupan ini mengalir terus tanpa akhir, selama masih


diasup air keruh ketaktahuan dan nafsu. Tatkala dua komponen ini
sepenuhnya terputus, maka tidak hanya arus kehidupan itu yang
berhenti mengalir; kelahiran ulang pun berhenti, seperti halnya para
Buddha dan Arahanta. Permulaan paling awal dari arus kehidupan ini
tidak bisa ditentukan, seperti suatu tahapan tak bisa dicerap saat daya

27
KELAHI RAN UL ANG

hidup ini tidak ternoda ketaktahuan dan nafsu.

Buddha di sini sekadar merujuk pada awal arus kehidupan


makhluk hidup. Tinggal para ilmuwan menduga-duga asal mula
dan perkembangan semesta. Buddha tidak berupaya memecahkan
semua masalah etis dan filosofis serta berteori hal-hal yang tidak
berhubungan dengan kebaikan atau kecerahan. Tidak pula Buddha
menuntut iman membuta dari pengikut-Nya dan keyakinan akan
suatu Kausa Prima. Buddha memprioritaskan umumnya pada masalah
duka dan pengakhirannya. Namun dengan tujuan spesifik dan praktis
pandangan ini, semua aspek yang tak relevan diabaikan sepenuhnya.

ALASAN MEYAKINI KELAHIRAN ULANG

“Aku mengingat berbagai nasib-Ku dalam kehidupan lampau.”


—Majjhima Nikāya

Bagaimana kita bisa meyakini kelahiran ulang?

Buddha adalah otoritas tertinggi mengenai kelahiran ulang. Pada


malam kecerahan-Nya, selama malam jaga pertama, Buddha
mengembangkan pengetahuan pencerapan masa lampau yang
membuat-Nya mampu melihat kehidupan lampau-Nya.

“Aku mengingat,” Buddha menyatakan, “berbagai nasib-Ku dalam


kehidupan lampau, sebagai berikut: pertama satu kehidupan,
kemudian dua kehidupan, lalu tiga, empat, lima, sepuluh, dua puluh

28
KELAHI RAN UL ANG

sampai lima puluh kehidupan, kemudian seratus, seribu, seratus ribu,


dan seterusnya.”1

Selama waktu jaga kedua, Buddha, dengan mata adikodratinya,


mencerap makhluk-makhluk lenyap dari satu kehidupan dan muncul
kembali dalam kehidupan lainnya. Ia melihat “rendah dan mulia,
indah dan buruk, bahagia dan menderita, berlalu sesuai dengan
perbuatan mereka.”

Inilah ucapan paling awal Buddha mengenai kelahiran ulang. Rujukan


naskah secara dengan bulat membuktikan bahwa Buddha tidak
meminjam kebenaran tegas mengenai kelahiran ulang dari sumber
yang telah ada sebelumnya, namun bicara dari pengalaman pribadi—
suatu pengetahuan yang adikodrati, dikembangkan oleh-Nya, dan
yang bisa juga dikembangkan orang lain.

Dalam ungkapan sukacita-Nya (udāna) yang pertama, Buddha


mengatakan, “Melalui banyak kelahiran (anekajāti), Aku telah
berkelana, mencari pembuat rumah ini. Sungguh menyengsarakan
terlahir ulang lagi dan lagi (dukkhājātipunnaṁ).”2

Dalam Dhammacakkapavattana Sutta,3 pembabaran-Nya yang


perdana, Buddha, tatkala mengomentari Kebenaran Suciwan kedua,
menyatakan, “Nafsu inilah yang membawa kelahiran ulang” (y,āyaṁ
tanhā ponobhavikā). Buddha menutup pembabaran ini dengan kata-
kata, “Inilah kelahiran-Ku yang terakhir. Kini tidak ada lagi kelahiran
ulang (ayaṁ antimā jāti natthi dāni punabbhavo).”

1 Majjhima Nikāya, Mahāsaccaka Sutta No. 36, i. 248.


2 Dhammapada syair 153
3 Mahā Vagga hal. 10, Saṁyutta Nikāya v. 428.

29
KELAHI RAN UL ANG

Kitab Majjhima Nikāya menuturkan bahwa saat Buddha, karena


kewelasan terhadap makhluk, memindai dunia dengan mata Buddha-
Nya sebelum memutuskan mengajar Dhamma, Ia mencerap banyak
makhluk yang menyadari kecacatan dan ketakutan mengenai alam
lain (paralokavajjabhayadassāvino).

Dalam beberapa pembabaran, Buddha dengan jelas menyatakan bahwa


makhluk-makhluk, setelah melakukan kejahatan, setelah kematian
(parammaraṇā), terlahir di alam menyedihkan, dan makhluk-makhluk
yang melakukan kebaikan, terlahir di alam bahagia.

Selain kisah-kisah Jātaka yang sangat menarik mengenai kehidupan


lampau Buddha dan yang memiliki nilai penting moral, Majjhima
Nikāya dan Aṅguttara Nikāya memuat rujukan peristiwa sebagian
kehidupan lampau Buddha.

Dalam Ghaṭikāra Sutta,4 Buddha menceritakan kepada Bhikkhu


Ānanda bahwa Ia dahulu terlahir sebagai Jotipāla, pada zaman
Buddha Kassapa, Buddha tepat sebelum diri-Nya. Anāthapiṇḍikovāda
Sutta5menguraikan kunjungan Anāthapiṇḍika kepada Buddha pada
malam hari, segera setelah kelahiran ulangnya sebagai dewa. Dalam
Aṅguttara Nikāya,6 Buddha merujuk kelahiran lampau-Nya sebagai
pacetana (pembuat roda). Dalam Saṁyutta Nikāya, Buddha merujuk
nama beberapa Buddha sebelumnya.

Suatu rujukan langsung yang tidak biasanya mengenai yang telah

4 Majjhima Nikāya No. 81, ii. 45.


5 Majjhima Nikāya No. 143, iii. 258
6 Bagian I, 111.

30
KELAHI RAN UL ANG

meninggal muncul dalam Parinibbāna Sutta.7 Bhikkhu Ānanda ingin


mengetahui dari Buddha nasib masa depan beberapa orang yang
telah meninggal di desa tertentu. Buddha dengan sabar menjelaskan
nasib mereka.

Contoh-contoh seperti itu dengan mudah bisa didapat dalam Tipiṭaka


untuk menunjukkan bahwa Buddha memang membabarkan ajaran
kelahiran ulang sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan.8

Mengikuti ajaran Buddha, siswa-siswa-Nya juga mengembangkan


kemampuan melihat kehidupan lampau ini dan mampu melihat
sejumlah besar kehidupan lampau mereka meskipun terbatas. Kekuatan
Buddha dalam hal melihat kehidupan lampau ini tidak terbatas.

Beberapa petapa India pun, sebelum kedatangan Buddha, terkenal


memiliki kekuatan adikodrati seperti telinga surgawi, mata surgawi,
telepati, kemampuan cenayang, dan seterusnya.

Meski ilmu pengetahuan belum mengakui kemampuan adikodrati ini,


namun menurut ajaran Budda, orang-orang dengan batin yang telah
sangat berkembang bisa mengembangkan kekuatan adikodrati ini
dan melihat kehidupan lampau mereka sama seperti kita mengingat
kejadian lampau kehidupan kita yang sekarang. Dengan bantuan
mereka, mandiri dari lima indra, komunikasi langsung melalui batin
dan pencerapan mengenai alam lain itu menjadi mungkin.

Beberapa tokoh luar biasa, terutama pada masa kanak-kanak,


secara spontan mengembangkan, sesuai hukum asosiasi, kenangan

7 Dīgha Nikāya No, 16, ii, 91.


8 Bandingkan dengan karya J.G. Jennings, The Vedantic Buddhism of the Buddha.

31
KELAHI RAN UL ANG

akan kelahiran lampaunya dan mengingat kepingan kehidupan


lampaunya.9 Pythagoras konon dengan jelas mengingat perisai, dalam
suatu kuil Yunani, yang dibawa olehnya dalam kelahiran lampaunya
saat Pengepungan Kota Troy.10 Dengan satu atau lain cara anak-anak
menakjubkan ini kehilangan ingatan mengenai itu pada kemudian
hari, seperti dalam kasus anak-anak genius.

Pengalaman beberapa cenayang modern yang terpercaya, fenomena


hantu, komunikasi dengan arwah, kepribadian ganda dan berganti-
ganti yang aneh11 juga memberikan terang terhadap pertanyaan
mengenai kelahiran ulang ini. Dalam keadaan hipnotis, sebagian bisa
menceritakan pengalaman kehidupan lampau mereka, sementara
sebagian lainnya, seperti Edgar Cayce dari Amerika, tidak hanya
mampu melihat kehidupan lampau orang lain namun juga bisa
menyembuhkan penyakit.12

9 Kasus Shanti Devi di India merupakan contoh yang tegas. Lihat The Bosat, vol. xiii,
No. 2, hal. 27.
10 William W. Atkinson dan E.D. Walter, Reincarnation and the Law of Kamma.
11 Psalms of the Brethren (Theragāthā) memberikan kisah menarik mengenai seorang
brahmana bernama Vaṅgīsa, yang mendapat kehormatan sebagai guru dengan
mengetuk tengkorak dengan kuku jarinya dan bisa mengetahui ke mana empunya
tengkorak itu terlahir ulang.
Beberapa tokoh kadang menampilkan kepribadian berbeda selama rentang
kehidupan mereka. Profesor James mengutip beberapa kasus menakjubkan dalam
bukunya Principles of Psychology. Lihat F. W. H. Myers, Human Personality and Its
Survival of Bodily Death. Kitab Visuddhi Magga menyebutkan peristiwa menarik
seorang dewa merasuki tubuh seorang siswa perumah tangga. Lihat The Path of
Purity, bagian i, hal. 48.
Penulis sendiri telah bertemu orang-orang yang penghidupannya sebagai
medium makhluk tak kasat untuk menyampaikan pikiran mereka serta orang-
orang lainnya yang sesungguhnya dirasuki makhluk gaib jahat. Dalam keadaan
terhipnosis ini mereka bicara dan melakukan hal-hal yang biasanya benar-benar
tidak mereka ketahui dan setelahnya tidak bisa mereka ingat.
12 Lihat Many Mansions dan The World Within oleh Gina Cerminara.

32
KELAHI RAN UL ANG

Fenomena kepribadian sekunder harus dijelaskan baik sebagai sisa


pengalaman pribadi lampau atau “perasukan” oleh makhluk tak kasat
mata.” Penjelasan yang pertama tampak lebih masuk akal, namun
penjelasan kedua tidak bisa ditolak sepenuhnya.

Betapa sering kita bertemu orang-orang yang belum pernah kita


temui sebelumnya, namun yang, secara naluriah kita rasa akrab
dengan kita? Betapa sering kita mengunjungi tempat-tempat dan
secara naluriah merasa terkesan bahwa kita sangat akrab dengan
situasi sekitar?13

Kitab Komentar Dhammapada menceritakan kisah suami dan istri


yang, saat melihat Buddha, bersujud di kaki-Nya dan memberi salam
kepada-Nya, dengan mengatakan, “Putraku, bukankah kewajiban
putra untuk merawat ayah dan ibu saat mereka telah lanjut usia.
Mengapa sudah begitu lama Kamu belum menampakkan diri kepada
kami? Ini adalah pertama kalinya kami melihat-Mu.”

13 Pengalaman seperti demikian yang membuat Sir Walter Scott ke suatu sensasi
kelahiran ulang. Biografernya, Lockhart, mengutip dalam bukunya Life of Scott,
kutipan berikut dalam buku harian Scott pada tanggal 17 Februari 1828.
“Aku tidak bisa tahu, aku yakin, apakah ini berharga untuk dicatat, bahwa
kemarin saat makan malam, aku anehnya merasa dihantui oleh apa yang kusebut
rasa bahwa aku pernah hidup sebelumnya, yaitu gagasan kabur bahwa tiada hal
yang terjadi yang diucapkan untuk pertama kalinya, bahwa topik yang sama
pernah didiskusikan dan orang-orang pernah menyatakan pendapat yang sama
mengenai hal itu. Sensasi itu begitu kuat sehingga menyerupai apa yang disebut
fatamorgana di gurun dan halusinasi serangan panas di atas kapal.”
Bulwer Lytton menjabarkan pengalaman misterius ini sebagai sejenis memori
batin dan spiritual aneh yang sering mengingatkan kita ke tempat dan orang
yang belum pernah kita temui sebelumnya, dan yang kaum pengikut Plato yang
tegaskan sebagai kesadaran yang belum padam dan masih hidup dari kehidupan
sebelumnya.” H.M. Kitchener, The Theory of Reincarnation, hal. 7.
Penulis juga telah menemui beberapa orang yang mengingat kepingan kehidupan
lampau mereka dan juga seorang dokter terkenal di Eropa yang menghipnosis
orang-orang dan membuat pasiennya menguraikan kehidupan lampau mereka.

33
KELAHI RAN UL ANG

Buddha mengatakan letupan mendadak cinta kasih orangtua ini


adalah fakta bahwa mereka pernah menjadi orangtua-Nya beberapa
kali selama kehidupan lampau-Nya dan berkomentar, “Melalui
hubungan masa lalu atau masa kini, cinta kasih lama bangkit lagi
seperti teratai dalam air.”

Di sana muncul di dunia ini tokoh-tokoh yang sangat maju, dan yang
sempurna seperti para Buddha. Mungkinkah mereka berkembang
tiba-tiba? Mungkinkah mereka produk satu kehidupan saja?

Bagaimana kita bisa menjelaskan kepribadian seperti Konfusius,


Pānini, Buddhaghosa, Homer, dan Plato, orang-orang genius seperti
Kālidāsa, Shakespeare, anak-anak genius seperti Ramanujan, Pascal,
Mozart, Beethoven, dan lainnya?

Bisakah mereka menjadi luar biasa jika mereka tidak menjalani


kehidupan mulia dan memperoleh pengalaman lampau yang serupa?
Apakah hanya kebetulan belaka mereka terlahir dari orangtua seperti
itu dan ditempatkan di bawah situasi menguntungkan itu?

Anak-anak genius pun, tampaknya jadi pertanyaan bagi para ilmuwan.


Beberapa dokter berpendapat bahwa anak genius merupakan hasil
kelenjar yang abnormal, terutama kelenjar pituari, pineal, dan
adrenal. Pembesaran luar biasa dari kelenjar pada individu khusus
itu pun mungkin disebabkan karma lampau. Namun, bagaimana bisa
pembesaran kelenjar saja, menyebabkan seorang Christian Heinecken
bisa bicara dalam waktu beberapa jam saja setelah kelahirannya,
menghafal kutipan Injil pada usia satu tahun, menjawab pertanyaan
apa pun mengenai geografi pada usia dua tahun, fasih berbahasa
Perancis dan Latin pada usia tiga tahun, dan menjadi pelajar filosofi
pada usia empat? Bagaimana John Stuart Mill bisa membaca bahasa

34
KELAHI RAN UL ANG

Yunani pada usia tiga? Bagaimana Macaulay bisa menulis sejarah


dunia pada usia enam tahun? Bagaimana William James Sidis, anak
ajaib Amerika Serikat, bisa membaca dan menulis pada usia dua
tahun, bicara bahasa Perancis, Rusia, Inggris, Jerman, dan bahasa
Latin dan Yunani pada usia delapan? Bagaimana bisa Charles Bennet
dari Manchester bisa bicara beberapa bahasa pada usia tiga? Inilah
kejadian menakjubkan yang tidak bisa dipahami mereka yang bukan
ilmuwan.14 Tidak pula ilmu pengetahuan menjelaskan mengapa
kelenjar bisa membesar pada segelintir orang saja dan bukan pada
semua. Masalah sejatinya tetap tak terpecahkan.

Faktor keturunan belaka tidak bisa menjelaskan para genius, jika


tidak, nenek moyang mereka akan menunjukkan kegeniusan ini, dan
bahkan generasi mendatangnya akan menunjukkan kegeniusan yang
lebih hebat lagi.

Teori genetika seharusnya ditambahi doktrin karma dan kelahiran


ulang agar muncul penjelasan yang cukup bagi persoalan yang
membingungkan ini. Apakah masuk akal untuk meyakini bahwa hanya
jangka kehidupan yang ini sajalah satu-satunya kehidupan di antara
dua kehidupan yang kekal bahagia dan sengsara? Beberapa tahun
belaka yang kita lewatkan di sini, paling banyak lima kali dua puluh
tahun lamanya, pasti bukan persiapan yang cukup untuk keabadian.

Jika kita meyakini keberadaan masa kini dan masa depan, maka
logis untuk meyakini keberadaan suatu masa lalu. Jika ada alasan
meyakini bahwa kita telah eksis pada masa lalu, maka pasti tidak ada
alasan untuk tidak memercayai bahwa kita akan terus hidup setelah

14 Ceylon Observer, 21 November 1948.

35
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan kita yang sekarang berakhir.15

Ini sungguh argumen kuat yang mendukung kehidupan lampau dan


mendatang bahwa “di dunia ini, orang baik sering malang dan orang
jahat malah menang.”16

Kita terlahir ke dalam kondisi yang kita ciptakan sendiri. Jika, alih-
alih kebaikan yang kita jalani, kita dipaksa menjalani kehidupan yang
malang, maka itu disebabkan karma buruk lampau kita. Jika, walau
kejahatan yang kita lakukan, kita menang, itu juga disebabkan karma
baik lampau kita. Perbuatan baik dan buruk sekarang, akan tetapi,
menghasilkan pengaruhnya kelak pada kesempatan paling dini.

Seorang penulis Barat mengatakan: “Apakah kita memercayai adanya


kehidupan lampau atau tidak, namun kehidupan lampau membentuk
satu-satunya hipotesis masuk akal yang menjembatani beberapa
lubang dalam pengetahuan manusia mengenai fakta dalam hidup
sehari-hari. Akal memberi tahu kita bahwa hanya gagasan kelahiran
lampau dan karma yang bisa menjelaskan, misalnya, kadar perbedaan
antara kembar; bagaimana orang seperti Shakespeare dengan
pengalaman sangat terbatas mampu mengungkapkan, dengan
ketepatan ajaib, jenis karakter manusia, adegan, dan seterusnya yang
sangat beraneka ragam, yang tak mungkin ia punya pengetahuan
aktual mengenainya, mengapa karya genius pasti melampaui
pengalamannya, keberadaan anak yang kecerdasannya melampaui
perkembangannya, dan keanekaragaman besar batin dan moralitas,
di otak dan fisik, dalam kondisi, situasi, dan lingkungan, yang bisa
dilihat di seluruh dunia.”

15 “Kita mulai melihat masa kini sebagai anak masa lalu dan sebagai orangtua masa
depan.” T.H. Huxley.
16 Addison.
36
KELAHI RAN UL ANG

Apa yang dijelaskan karma dan kelahiran ulang?


1. Mereka menjelaskan masalah penderitaan, yang untuk itu kita
sendirilah yang bertanggung jawab.
2. Mereka menjelaskan kesenjangan dalam umat manusia.
3. Mereka menjelaskan munculnya kaum genius dan anak-anak
berbakat.
4. Mereka menjelaskan mengapa kembar identik yang serupa
secara fisik, mengenyam situasi yang sama, menampakkan sifat
yang benar-benar berbeda, secara mental, moral, karakter, dan
intelektual.
5. Mereka menjelaskan ketidaksamaan antara anak-anak dari
keluarga yang sama, meski hukum genetik mungkin menjelaskan
kesamaan mereka.
6. Mereka menjelaskan bakat alam luar biasa orang tertentu.
7. Mereka menjelaskan perbedaan moral dan intelektual antara
orangtua dan anak.
8. Mereka menjelaskan bagaimana anak-anak secara spontan
mengembangkan nafsu seperti ketamakan, kemarahan, dan
kecemburuan.
9. Mereka menjelaskan kesukaan dan ketaksukaan naluriah pada
pandangan pertama.
10. Mereka menjelaskan bagaimana dalam batin kita ditemukan
“tumpukan sampah kejahatan dan gudang harta kebajikan.”
11. Mereka menjelaskan ledakan amarah mendadak dalam batin
orang yang sangat beradab, dan juga keberubahan mendadak
seorang penjahat menjadi suciwan.
12. Mereka menjelaskan bagaimana orang yang tak bermoral terlahir
dari orangtua yang bajik, dan anak bajik lahir dari orangtua yang
tak bermoral.
13. Mereka menjelaskan bagaimana, dalam satu sisi, kita adalah hasil
dari apa kita sebelumnya, dan kita akan menjadi hasil apa kita kini.

37
KELAHI RAN UL ANG

Lalu, dalam artian lain, kita tidak mutlak apa kita sebelumnya,
dan kita tidak akan mutlak karena apa kita sekarang.
14. Mereka menjelaskan penyebab kematian dini dan perubahan
kemujuran mendadak.
15. Di atas segalanya, mereka menjelaskan pemunculan guru spiritual
yang sempurna, mahatahu, seperti para Buddha, yang memiliki
karakteristik fisik, batin, dan intelektual yang tiada banding.

RODA KEHIDUPAN, PAṬICCA-SAMUPPĀDA

“Tiada Tuhan tiada Brahma yang bisa ditemukan, apa pun mengenai roda
kehidupan ini, hanya fenomena polos yang bergulir, semuanya tergantung
pada kondisi.”
—Visuddhi Magga

Proses kelahiran ulang dijelaskan sempurna oleh Buddha dalam


Paṭicca-Samuppāda.

Paṭicca berarti “disebabkan karena” atau “bergantung dari” samuppāda


berarti “pemunculan” atau “musabab”. Meski makna harfiah istilah
ini adalah “pemunculan karena” atau “pemunculan atau musabab
bergantung”, ini diterapkan ke seluruh rumusan penyebab yang
terdiri dari dua belas sebab dan akibatnya yang saling bergantung,
yang secara teknis disebut paccaya dan paccayauppanna.

Metode Paṭicca-Samuppāda bisa dipahami sebagai berikut:

Karena A, muncul B. Karena B, muncul C. Jika tidak ada A, tidak ada

38
KELAHI RAN UL ANG

B. Jika tidak ada B, tidak ada C. Dengan kata lain—”Karena ini, maka
itu; ini tidak ada, itu tidak ada.” (imasmiṁ sati, idaṁ hoti; imasmiṁ asati,
idaṁ na hoti.)

Paṭicca-Samuppāda adalah pembabaran mengenai proses kelahiran


dan kematian, dan bukan teori filosofi mengenai pembentukan dunia.
Ini berkaitan dengan musabab kelahiran ulang dan duka dengan
pandangan untuk membantu manusia menyingkirkan kemalangan
kehidupan. Teori ini tidak membuat upaya memecahkan teka-teki
mengenai asal mula kehidupan.

Teori ini sederhananya menjelaskan “terjadinya suatu kondisi,


bergantung dari kondisi sebelumnya.17

Ketaktahuan (avijjā) adalah kebenaran tentang duka, musababnya,


akhirnya, dan jalan menuju akhirnya, adalah penyebab utama yang
memutar jalannya roda kehidupan. Dengan kata lain, ketaktahuan
mengenai hal-hal sebagaimana mereka adanya, atau mengenai
hakikat diri kita sebenarnya. Ketaktahuan menyelimuti semua
pemahaman benar.

“Ketaktahuan adalah kegelapan batin mendalam di mana kita sudah


berada di sini selama begitu lama berputar-putar,”18 kata Buddha.

Tatkala ketaktahuan hancur dan diubah menjadi mengetahui, semua


sebab-akibat hancur seperti halnya yang dialami para Buddha dan
Arahanta.

17 Tabbhāvabhāvibhābākāramatta—Kitab Abhidhammattha Saṅgaha.


Lihat Manual of Abhidhamma oleh Nārada Thera, hal. 360.
18 Sutta Nipāta syair 730.

39
KELAHI RAN UL ANG

Dalam Itivuttaka19 Buddha menyatakan, ”Mereka yang telah


menghancurkan kegelapan batin dan menembusi kegelapan pekat,
tidak akan berkelana lagi: sebab-akibat tidak lagi hadir bagi mereka.”

Ketaktahuan mengenai masa lalu, masa depan, masa lalu dan masa
depan, dan terhadap “Musabab Yang Saling Bergantung” juga
dianggap sebagai avijjā. Bergantung pada ketaktahuan, muncullah
bentukan terkondisi (saṅkhārā).

Saṅkhārā adalah istilah penting banyak arti yang semestinya dipahami


sesuai konteks. Di sini istilah itu berarti kehendak (cetanā) tak
bermoral (akusala), bermoral (kusala), dan yang tak tergoyah (āneñja)
yang menyusun karma yang menghasilkan kelahiran ulang. Yang
pertama melingkupi semua kehendak dalam dua belas jenis kesadaran
tak bermoral; yang kedua, semua kehendak dalam delapan jenis
kesadaran bermoral yang indah (sobhana) dan lima jenis kesadaran
bermoral rūpajhāna, dan yang ketiga, semua kehendak dalam empat
jenis kesadaran bermoral arūpajhāna.

Saṅkhārā sebagai salah satu dari lima gugus penyusun kehidupan,


menyiratkan lima puluh dari lima puluh dua kondisi batin, tidak
termasuk perasaan dan pencerapan. Tidak ada kata dalam bahasa
Indonesia yang bisa memberikan makna yang pas dengan istilah Pāḷi
saṅkhārā.

Kehendak empat kesadaran adiduniawi dari Jalan (lokuttara


maggacitta) tidak dianggap sebagai saṅkhārā karena mereka cenderung
menghancurkan ketaktahuan. Kebijaksanaan (paññā) mendominasi
jenis-jenis kesadaran adikodrati, sementara perniatan (cetanā)
mendominasi jenis kesadaran biasa.

19 Hal. 14
40
KELAHI RAN UL ANG

Semua pikiran, perkataan, dan perbuatan moral dan tak bermoral


termasuk dalam saṅkhārā. Perbuatan, entah baik atau buruk, langsung
berakar dalam, atau secara tak langsung ternoda ketaktahuan,
dan yang pasti menghasilkan akibat yang sesuai, cenderung
memperpanjang pengelanaan dalam saṁsāra. Akan tetapi, perbuatan
baik, yang terbebas dari ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin,
dibutuhkan untuk bisa menyingkir dari duka kehidupan. Sesuai
dengan itulah, Buddha membandingkan Dhamma-Nya dengan rakit
yang dipakai seseorang untuk menyeberangi samudra kehidupan.
Akan tetapi, aktivitas para Buddha dan Arahanta, tidak dianggap
sebagai saṅkhārā karena mereka telah melenyapkan ketaktahuan.

Ketaktahuan mendominasi perbuatan tak bermoral, dan bersifat


terselubung dalam perbuatan bermoral. Karena itulah, baik perbuatan
bermoral dan tak bermoral dianggap disebabkan oleh ketaktahuan.

Bergantung pada pengondisian bentukan batin masa lalu muncul


penyambungan kembali atau kesadaran-kelahiran-ulang (patisandhi-
viññāṇa) dalam kelahiran berikutnya. Disebut demikian karena
kesadaran itu menghubungkan masa lalu dengan masa kini,
dan merupakan kesadaran awal yang kita alami pada momen
terbentuknya kita.

Viññāna sebenarnya mencirikan sembilan belas jenis kesadaran


kelahiran ulang (patisandhiviññāna) yang dijabarkan dalam
Abhidhamma. Seluruh tiga puluh dua jenis kesadaran yang dihasilkan
(vipāka citta) yang dialami selama masa kehidupan, juga terlingkup
istilah itu.

Janin dalam rahim ibu terbentuk oleh kombinasi kesadaran-


kelahiran-ulang ini dengan sel sperma dan telur orangtuanya. Dalam

41
KELAHI RAN UL ANG

kesadaran ini, tersimpan potensi semua kesan masa lalu, sifat, dan
kecenderungan arus-kesadaran individu tersebut.

Kesadaran kelahiran ini dianggap murni20 karena kesadaran ini tidak


memiliki akar keburukan berupa nafsu, kebencian, dan kegelapan
batin21 atau pun disertai akar kebajikan.22

Bersamaan dengan munculnya kesadaran-kelahiran-ulang, di


sana muncul badan dan batin (nāma-rūpa) atau seperti beberapa
cendekiawan lebih suka istilahkan “organisme jasmani”.

Faktor kedua dan ketiga (saṅkhārā dan viññāna) menyangkut


kehidupan lampau dan kini sesosok individu. Faktor ketiga dan
keempat (viññānadannāma-rūpa) itu sebaliknya, bersifat saat kini.

Gabungan nāma-rūpa semestinya dipahami sebagai nāma (batin)


belaka, dan nāma-rūpa (badan dan batin) bersama-sama. Dalam kasus
Alam Tanpa Wujud (arūpa) di sana hanya muncul batin; dalam kasus
Alam Tanpa Pencerapan (asañña), hanya badan; dalam kasus Alam
Nafsu (kāma) dan Alam Wujud (rūpa), ada badan dan batin.

Nāma di sini berarti tiga gugus—perasaan (vedanā), pencerapan


(sañña), dan pemikiran (saṅkhārā)—yang muncul bersamaan dengan
kesadaran-kelahiran-ulang. Rūpa berarti tiga kelompok sepuluh—kāya
(tubuh), bhāva (kelamin), dan vatthu (takhta kesadaran)—yang juga
muncul bersamaan dengan kesadaran-kelahiran-ulang, terkondisi

20 “Bercahaya kesadaran ini,” (pabhassaraṁ idaṁ cittaṁ) kata Buddha dalam Aṅguttara
Nikāya vol. 1, hal. 10. Menurut komentator, Buddha merujuk pada kesadaran-
kelahiran-ulang.
21 Dalam kasus Hasil Tanpa Akar (Ahetuka-vipāka).
22 Dalam kasus Hasil Dengan Akar (Sahetukavipāka).

42
KELAHI RAN UL ANG

oleh karma lampau mereka.

Kelompok sepuluh dari badan tersusun dari empat unsur, yaitu 1.


Unsur penguluran (pathavi), 2. Unsur kohesi (āpo), 3. Unsur panas
(tejo), 4. Unsur pergerakan (vāyo); empat turunannya (upādārūpa)—
yaitu, 5. Warna (vanna), 6. Bau (gandha), 7. Citarasa (rasa), 8. Unsur gizi
(ojā), 9. Kebugaran (jīvitindriya), dan 10. Badan (kāya).

Kelompok sepuluh kelamin dan takhta kesadaran juga meliputi


sembilan pertama, lalu masing-masing kelamin (bhāva) dan takhta
kesadaran (vatthu). Dari hal ini jelas bahwa kelamin ditentukan karma
lampau pada konsepsi makhluk itu. Di sini, kāya berarti bagian sensitif
tubuh (pasāda).

Jenis kelamin tidak berkembang pada saat pembuahan namun


potensinya tersembunyi. Jantung atau otak, tempat diduga takhta
kesadaran berada, pun belum terbentuk pada momen pembuahan,
namun potensi takhta ini tersembunyi.

Sehubungan dengan ini harus dikomentari bahwa Buddha tidak secara


pasti memberikan suatu tempat khusus bagi kesadaran seperti yang
Ia berikan ke indra lainnya. Merupakan teori jantung (pandangan
bahwa jantung adalah takhta kesadaran) yang unggul pada zaman-
Nya dan ini jelas sekali disokong oleh kitab Upanishad.

Buddha bisa saja menerima teori populer, namun Ia tidak


melakukannya. Dalam Kitab Patthāna, Hubungan, Buddha merujuk
pada takhta kesadaran, dengan istilah tidak langsung seperti
“yamrūpam nissāya—bergantung ke hal materi itu”, tanpa secara
positif menegaskan apakah rūpa itu jantung (hadaya) atau otak.

43
KELAHI RAN UL ANG

Namun menurut pandangan komentator seperti Bhikkhu


Buddhaghosa dan Anuruddha, takhta kesadaran pastilah di jantung.
Mesti dipahami bahwa Buddha tidak menerima atau menolak teori
populer bahwa takhta kesadaran ada di jantung.

Semasa pembentukan embrio, enam landasan indra (salāyatana)


perlahan-lahan berkembang dari fenomena badan-batin yang di
dalamnya memiliki potensi laten yang tanpa batas. Kini noda yang
sangat amat kecil dan tidak penting berkembang menjadi mesin enam
indra yang rumit.

Mekanisme manusia sangat sederhana pada awalnya namun sangat


rumit pada akhirnya. Mesin biasa, di sisi lain, rumit pada awalnya
namun sangat sederhana pada akhirnya. Kekuatan suatu jari cukup
untuk mengoperasikan mesin raksasa sekalipun. Mekanisme enam
indra manusia kini beroperasi nyaris mekanik tanpa adanya agen apa
pun seperti jiwa yang bertindak sebagai operator.

Seluruh enam indra—mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan


batin—memiliki objek dan fungsinya masing-masing. Enam objek
indra seperti tampakan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan objek
pikiran bertumbukan dengan organ indranya masing-masing dan
memunculkan enam jenis kesadaran.

Bertemunya landasan indra, objek indra, dan kesadaran yang dihasilkan


adalah kontak (phassa) yang murni subjektif dan tidak memihak.

Buddha menyatakan: “Karena mata dan tampakan, kesadaran


penglihatan muncul. Kontak adalah gabungan dari ketiganya. Karena
telinga dan suara, muncul kesadaran pendengaran; karena hidung
dan bau, muncul kesadaran penciuman; karena lidah dan rasa, muncul

44
KELAHI RAN UL ANG

kesadaran pengecap; karena tubuh dan objek sentuhan, muncul


kesadaran sentuhan; karena batin dan objek batin, muncul kesadaran
batin. Gabungan ketiganya disebut kontak. (Saṁyutta Nikāya, bagian ii,
hal. 70; Kindred Sayings, bagian ii, hal. 50.)

Sebaiknya tidak dipahami bahwa tumbukan belaka adalah kontak


(nasangatimatto eva phasso).

Bergantung pada kontak, perasaan (vedanā) muncul. Sebenarnya,


perasaanlah yang mengalami suatu objek ketika berkontak dengan
indra. Perasaan inilah yang mengalami buah yang disukai atau tak
disukai dari suatu aksi yang dilakukan dalam kehidupan ini atau
kehidupan lampau. Selain keadaan batin ini, tidak ada jiwa atau sosok
lain yang mengalami hasil dari aksinya.

Perasaan, atau setidaknya sebagian orang lebih suka mengatakan


sebagai sensasi, adalah keadaan yang umum bagi semua jenis
kesadaran. Utamanya, ada tiga jenis perasaan yaitu menyenangkan
(somanassa), tidak menyenangkan (domanassa), dan netral
(adukkhamasukha). Bersama dengan penderitaan fisik (dukkha) dan
kebahagiaan fisik (sukha) bersama-sama ada lima jenis perasaan.
Perasaan netral juga diistilahkan sebagai upekkhā yang bisa berarti
ketakgoyahan atau keseimbangan batin.

Menurut Abhidhamma hanya ada satu jenis kesadaran yang


disertai penderitaan. Sama pula hanya ada satu kesadaran yang
disertai kebahagiaan. Keduanya terhubung dengan perasaan tidak
menyenangkan. Dari 89 jenis kesadaran, 85 kesadaran ditemukan
dalam perasaan menyenangkan atau netral.

Semestinya dipahami di sini bahwa kebahagiaan Nibbāna tidak

45
KELAHI RAN UL ANG

terkait dengan perasaan apa pun. Kebahagiaan Nibbāna jelas adalah


kebahagiaan tertinggi (Nibbānaṁ paramaṁ sukhaṁ), namun itu adalah
kebahagiaan terbebas dari duka. Nibbāna bukanlah penikmatan objek
menyenangkan apa pun.

Bergantung pada perasaan, muncul nafsu (tanhā) yang, seperti


ketaktahuan, adalah faktor lainnya yang paling penting dalam
“Musabab Yang Saling Bergantung”. Pencengkeraman, kehausan, dan
kemelekatan adalah beberapa terjemahan istilah Pāḷi ini.

Nafsu terdiri dari tiga jenis—yaitu, nafsu akan kenikmatan indriawi


(kāmatanhā), nafsu akan kenikmatan terkait dengan pandangan
eternalisme (bhavatanhā) yaitu, menikmati kenikmatan berpikir
bahwa kenikmatan itu tidak bisa musnah, dan nafsu akan kenikmatan
indriawi dengan pandangan nihilisme (vibhavatanhā) yaitu menikmati
kenikmatan berpikir bahwa segalanya musnah setelah kematian.
Yang terakhir ini adalah sudut pandang materialistik.

Bhavatanhā dan vibhavatanhā pun ditafsirkan sebagai kemelekatan


terhadap masing-masing Alam Wujud (rūpabhava) dan Alam Tanpa-
Wujud (arūpabhava). Biasanya dua istilah ini diterjemahkan sebagai
nafsu untuk mengada dan tidak mengada.

Ada enam macam nafsu yang terkait dengan enam objek indra
seperti wujud, suara, dan seterusnya. Menjadi dua belas macam nafsu
saat digolongkan sebagai internal dan eksternal. Dianggap sebagai 36
jenis nafsu saat dipandang sebagai nafsu masa lalu, masa kini, dan
masa depan. Saat dikalikan dengan tiga jenis nafsu di atas, menjadi
108 jenis nafsu.

Lumrah bagi penghuni dunia untuk mengembangkan nafsu

46
KELAHI RAN UL ANG

akan kenikmatan indriawi. Sangat sulit untuk mengatasi nafsu


indriawi. Faktor paling kuat dalam roda kehidupan adalah
ketaktahuan dan nafsu, dua penyebab utama Musabab Yang
Saling Bergantung. Ketaktahuan ditunjukkan sebagai musabab
lampau yang mengondisikan saat kini; dan nafsu, musabab kini
yang mengondisikan masa depan. Bergantung pada nafsu adalah
pencengkeraman (upādāna) yang merupakan nafsu kuat.

Tanhā diibaratkan seperti merogoh dalam kegelapan untuk mencuri


suatu objek. Upādāna adalah aksi mencuri objek itu.

Pencengkeraman disebabkan oleh kemelekatan dan kesalahan. Itu


menimbulkan gagasan keliru, “aku” dan “milikku”. Kemelekatan
itu terdiri dari empat jenis—yaitu terhadap kenikmatan indriawi,
pandangan salah, ritual dan upacara, serta adanya diri. Dua yang
terakhir ini juga dianggap sebagai pandangan keliru.

Bergantung pada kemelekatan, muncul bhava yang harfiahnya berarti


menjadi atau eksis. Ini dijelaskan sebagai tindakan yang bermoral
maupun tak bermoral yang menyusun karma (kammabhava)—
suatu proses aktif kemenjadian dan pelbagai alam keberadaan—
(upapattibhava)—proses kemenjadian pasif.

Perbedaan halus antara saṅkhārā dan kammabhava adalah: saṅkhārā


berhubungan dengan masa lalu; kammabhava berhubungan dengan
kehidupan kini. Keduanya disebut aktivitas karma. Hanya kammabhava
yang mengondisikan kelahiran mendatang.

Bergantung pada kemenjadian muncul kelahiran (jāti) dalam


kehidupan selanjutnya. Kelahiran sebenarnya berarti munculnya
fenomena badan-batin (khandhānam pātubhāvo). Ketuaan dan

47
KELAHI RAN UL ANG

kematian (jarāmarana), adalah hasil tak terhindarkan dari kelahiran.

Jika karena suatu musabab, suatu akibat muncul, kemudian jika


musababnya lenyap, maka akibatnya juga lenyap.

Urutan terbalik Paticca-Samuppāda akan membuat hal ini jelas.


Ketuaan dan kematian hanya mungkin di dalam dan bersama suatu
makhluk badan-batin, yaitu mekanisme enam indra. Organisme
seperti itu pasti terlahir, karena itulah muncul asumsi enam landasan
indra mendahului kelahiran. Namun kelahiran adalah hasil tak
tehindarkan dari karma atau perbuatan lampau, yang terkondisi
kemelekatan karena nafsu. Nafsu seperti itu muncul saat perasaan
muncul. Perasaan adalah hasil kontak antara indra dan objek indra.

Karena itulah organ indra tidak bisa muncul tanpa badan dan batin.
Batin berasal dari kesadaran-kelahiran-ulang, terkondisi oleh
aktivitas, karena ketaktahuan akan sebagaimana mereka adanya.

Seluruh rumusan bisa dirangkum sebagai berikut:


Bergantung pada ketaktahuan muncul bentukan.
Bergantung pada bentukan muncul kesadaran-kelahiran-ulang.
Bergantung pada kesadaran-kelahiran-ulang muncul badan dan batin.
Bergantung pada badan dan batin muncul enam landasan indra.
Bergantung pada enam landasan indra muncul kontak.
Bergantung pada kontak muncul perasaan.
Bergantung pada perasaan muncul nafsu.
Bergantung pada nafsu muncul kemelekatan.
Bergantung pada kemelekatan muncul kemenjadian (kammabhava).
Bergantung pada kemenjadian muncul kelahiran.
Bergantung pada kelahiran muncul pelapukan, kematian, kesedihan,
ratapan, penderitaan, kesusahan, kesulitan.

48
KELAHI RAN UL ANG

Demikianlah bagaimana seluruh gugus duka muncul.

Penghentian ketaktahuan membawa penghentian bentukan.


Penghentian bentukan membawa penghentian kesadaran-kelahiran-
ulang.
Penghentian kesadaran-kelahiran-ulang membawa penghentian
badan dan batin.
Penghentian badan dan batin membawa penghentian enam landasan
indra.
Penghentian enam landasan indra membawa penghentian kontak.
Penghentian kontak membawa penghentian perasaan.
Penghentian perasaan membawa penghentian nafsu.
Penghentian nafsu membawa penghentian kemelekatan.
Penghentian kemelekatan membawa penghentian kemenjadian.
Penghentian kemenjadian membawa penghentian kelahiran.
Penghentian kelahiran membawa penghentian pelapukan, kematian,
kesedihan, ratapan, penderitaan, kesusahan, kesulitan.
Demikianlah penghentian seluruh gugus duka terjadi.

Dua faktor pertama dari dua belas faktor ini menyangkut masa lalu,
delapan berikutnya menyangkut masa kini, dan dua yang terakhir
menyangkut masa depan. Dari semuanya, aktivitas moral dan tak
bermoral (saṅkhārā) dan aksi atau kemenjadian (bhava) dianggap
sebagai karma. Ketaktahuan (avijjā), nafsu (tanhā), dan kemelekatan
(upādāna) dianggap sebagai hasrat atau kotoran batin (kilesa);
kesadaran-kelahiran-ulang (patisandhi-viññāna), badan dan batin
(nāma-rūpa), landasan indra (salāyatana), kontak (phassa), perasaan
(vedanā), kelahiran (jāti), pelapukan dan kematian (jarāmaranā)
dianggap sebagai buah (vipāka).

Demikianlah ketaktahuan, bentukan, nafsu, kemelekatan, dan karma

49
KELAHI RAN UL ANG

adalah lima musabab masa lalu, mengondisikan lima buah pada masa
kini (phala)—yaitu kesadaran-kelahiran-ulang, badan dan batin,
landasan indra, kontak, dan perasaan. Sama pula, nafsu, kemelekatan,
karma, ketaktahuan, dan bentukan saat kini mengondisikan lima
pengaruh masa depan di atas.

Proses sebab dan akibat ini berlanjut tanpa akhir. Permulaan proses ini
tidak bisa ditentukan karena mustahil memikirkan suatu waktu ketika
arus kesadaran ini tidak diliputi ketaktahuan. Namun kala ketaktahuan
ini digantikan oleh kebijaksanaan dan arus-kesadaran merealisasi
unsur Nibbāna, hanya saat itulah proses kelahiran ulang berhenti.

“Adalah ketaktahuan yang menyusun pengembaraan terus-menerus


yang jenuh ini—kini, di sini, lalu kelak di sana—dari tak terhitung
kelahiran dan kematian; namun tiada setelah itu, bagi ia yang tahu.”23

JENIS KELAHIRAN DAN KEMATIAN

“Lagi dan lagi, mereka yang dungu mencari kelahiran ulang,


Lagi dan lagi, muncul kelahiran dan kematian,
Lagi dan lagi, orang menanggungnya menuju kematian.”
—Saṁyutta Nikāya

Paticca-Samuppāda menjabarkan proses kelahiran ulang dalam istilah


teknis mendalam dan menyebutkan bahwa kematian disebabkan oleh
empat penyebab berikut ini:

23 Chambers, Buddha’s Teachings, vv. 729, 730

50
KELAHI RAN UL ANG

1. Habisnya energi karma penghasil kehidupan (kammakkhaya).

Ajaran Buddha memercayai bahwa, sebagai prinsipnya, pikiran,


perniatan atau keinginan, yang sangat kuat selama masa kehidupan,
menjadi dominan pada waktu kematian dan mengondisikan kelahiran
berikutnya. Dalam proses pikiran terakhir ini hadir suatu potensi
istimewa. Saat potensi energi karma penghasil kehidupan (janaka) ini
habis, maka aktivitas organik tubuh yang di dalamnya diresapi daya
hidup, berhenti bahkan sebelum akhir jangka kehidupan di alam itu.

Ini sering terjadi pada makhluk yang lahir di alam menderita (apāya)
namun terjadi juga di alam lainnya.

2. Habisnya masa kehidupan (āyukkhaya), yang panjangnya bervariasi


di berbagai alam.

Kematian alami, akibat pelapukan, bisa digolongkan dalam kategori


ini. Ada bermacam-macam alam keberadaan dengan berbagai batas
usia. Tidak peduli daya karmanya belum habis, akan tetapi seseorang
harus meninggal saat batas usia maksimal tercapai. Jika kekuatan
karma penghasil kehidupan sangatlah kuat, maka kekuatan karma
mewujudkan dirinya di alam yang sama atau dalam kasus para dewa,
di beberapa alam yang lebih tinggi.

3. Habisnya bersamaan kekuatan karma penghasil kehidupan dan


habisnya jangka waktu kehidupan (ubhayakkhaya).

4.Aksi penghalang karma lebih kuat yang tak diharapkan menjegal


aliran karma penghasil kehidupan sebelum masa kehidupannya
berakhir (upacchedaka-kamma).

51
KELAHI RAN UL ANG

Kematian orang dan anak-anak sebelum waktunya yang tiba-


tiba disebabkan hal ini. Kekuatan menentang yang lebih kuat bisa
menghalangi laju anak panah yang melayang dan meruntuhkannya.
Demikian pula kekuatan karma yang sangat besar dari masa lalu
mampu menetralkan energi potensial proses pikiran terakhir,
sehingga mampu menghancurkan kehidupan batin makhluk itu.
Kematian Bhikkhu Devadatta, misalnya, adalah karena karma
penghancur yang pernah ia lakukan semasa hidupnya.

Tiga jenis kematian pertama secara umum disebut sebagai “kematian


pada waktunya” (kāla-marana), dan yang keempat dikenal sebagai
“kematian tidak pada waktunya” (akāla-marana).

Sebuah lampu minyak, misalnya, mungkin padam karena empat


penyebab ini, yaitu: habisnya sumbu, habisnya minyak, bersamaan
habisnya sumbu dan minyak, atau penyebab luar lain seperti embusan
angin. Kematian bisa disebabkan salah satu dari empat hal ini.

Menjelaskan musabab kematian seperti demikian, ajaran Buddha


menyatakan bahwa ada empat cara kelahiran yaitu makhluk yang:
Lahir dari telur (andaja).
Lahir dari rahim (jalābuja).
Lahir dari kelembaban (samsedaja).
Lahir spontan (opapātika).

Klasifikasi luas ini meliputi semua makhluk. Burung dan ular yang
lahir dari telur termasuk jenis pertama. Makhluk terlahir dari rahim
meliputi semua manusia, beberapa dewa yang menghuni bumi, dan
sebagian binatang yang terkandung dalam rahim ibu.

Embrio yang menggunakan kelembaban sebagai landasan

52
KELAHI RAN UL ANG

pertumbuhannya, seperti wujud binatang bentuk rendah, termasuk


jenis ketiga.

Makhluk-makhluk yang terlahir spontan pada umumnya tak kasat


mata fisik. Terkondisi karma lampaunya, mereka muncul secara
langsung, tanpa melalui tahapan embrionik. Makhluk peta, dewa,
serta brahma termasuk kelompok ini.

ALAM-ALAM KEHIDUPAN

“Tidak bisa dicapai dengan pergi ke ujung dunia.”


—Aṅguttara Nikāya

Menurut ajaran Buddha, bumi, titik yang nyaris tidak penting di


semesta, bukanlah satu-satunya alam yang bisa dihuni, dan manusia
bukanlah satu-satunya makhluk hidup. Ada tak terhingga tata
dunia dan demikian pula makhluk hidupnya. Tidak pula “sel telur
yang dibuahi satu-satunya jalan menuju kelahiran ulang.” Dengan
melintasinya, kita tak bisa mencapai akhir dunia24, kata Buddha.

Kelahiran mungkin terjadi di dalam lingkup keberadaan yang berbeda-


beda. Ada 31 alam kehidupan tempat makhluk memunculkan dirinya
sesuai dengan karma bajik atau buruk mereka. Ada empat alam
ketakbahagiaan (Apāya)25 yang dipandang baik sebagai kondisi batin
maupun tempat.

24 Lihat Kindred Sayings, bagian 1, hal. 85, 86.


25 Apa + aya = tanpa kebahagiaan.

53
KELAHI RAN UL ANG

Alam-alam ini adalah:


1. Niraya (ni + aya = tanpa kebahagiaan) keadaan menderita tempat
makhluk menyesali akibat karma buruk mereka. Ini bukan neraka-
neraka abadi tempat makhluk dikenai derita tiada akhir. Pada saat
habisnya karma buruk ada kemungkinan bagi makhluk-makhluk
dalam keadaan itu untuk terlahir ulang dalam keadaan bahagia
sebagai hasil perbuatan baik masa lampau mereka.

2. Tiracchāna-yoni (tiro = seberang; acchāna = pergi), kerajaan binatang.


Keyakinan agama Buddha adalah makhluk terlahir sebagai binatang
karena karma buruk. Akan tetapi, ada kemungkinan binatang terlahir
sebagai manusia karena karma baik yang dikumpulkannya pada masa
lampau. Tegasnya, lebih benar untuk menyatakan bahwa karma
yang mewujudkan dirinya sendiri dalam wujud manusia, mungkin
mewujudkan dirinya sendiri dalam bentuk binatang atau sebaliknya,
sama seperti arus listrik bisa mewujudkan dirinya dalam bentuk
cahaya, panas, dan gerakan secara berturut-turut—di mana satu
wujud energi bukan berarti berubah dari yang lain.

Mungkin bisa dikomentari bahwa kadang binatang-binatang tertentu,


terutama anjing dan kucing, menjalani hidup lebih nyaman daripada
sebagian manusia karena karma baik lampau mereka.

Adalah karma kita yang menentukan sifat atau wujud materi kita yang
bermacam-macam sesuai dengan kepiawaian atau ketakpiawaian
perbuatan kita.

3. Peta-yoni (pa + ita) harfiahnya makhluk yang pergi, atau mereka


yang mutlak tidak bahagia. Mereka bukanlah arwah tanpa tubuh atau
hantu. Mereka memiliki wujud fisik cacat yang kadarnya berbeda-
beda, biasanya tak kasat mata fisik. Mereka tidak memiliki alamnya

54
KELAHI RAN UL ANG

sendiri, namun hidup dalam hutan, lingkungan kotor, dan lain-


lain. Ada kitab khusus yang disebut Petavatthu, yang secara khusus
membahas kisah makhluk-makhluk malang ini. Saṁyutta Nikāyajuga
mengisahkan beberapa kisah menarik makhluk peta ini.

Menggambarkan keadaan menyedihkan sesosok peta, Bhikkhu


Moggallāna mengatakan: “Baru saja saya menuruni Bukit Puncak
Nasar, saya melihat sesosok tengkorak melayang di udara, dan burung
nasar, gagak, dan elang mengejarnya, mematuki rusuknya, menarik-
nariknya sembari tengkorak itu menjerit sakit. Bagi saya, kawan,
muncul pikiran ini: ”Menakjubkan! Menakjubkan bahwa seseorang
bisa berwujud seperti itu, bahwa sosok itu memperoleh wujud seperti
itu!” “Makhluk ini,” kata Buddha, “dahulunya penjagal ternak pada
kehidupan sebelumnya, dan akibat karma lampaunya, ia terlahir
dalam keadaan seperti itu.”26

Menurut Kitab Pertanyaan Milinda, ada empat jenis peta, yaitu:


Vantāsika yang makan muntahan, Khuppipāsino yang lapar dan haus,
Nijjhāmatanhikā yang terlanda kehausan, dan Paradattūpajīvino yang
hidup dari pemberian orang lain.

Seperti yang dinyatakan dalam Tirokudda Sutta27, jenis peta yang


disebutkan terakhir ini berbagi jasa kebajikan atas nama mereka yang
dilakukan sanak saudara mereka yang hidup, sehingga mereka bisa
meninggal menuju keadaan bahagia yang lebih baik.

4. Asura-yoni, alam asura, atau harfiahnya mereka yang tidak cemerlang


atau tidak bersenang. Mereka juga golongan makhluk tak bahagia

26 Lihat Kindred Sayings, bagian ii, hal. 170.


27 Khuddhaka Pātha.

55
KELAHI RAN UL ANG

yang serupa dengan kaum peta. Mereka dikenal sebagai makhluk yang
melawan para dewa.

Setelah empat alam tak bahagia (duggati) ada tujuh alam bahagia
(sugati), yaitu:

1. Manussa28—alam manusia, campuran derita dan bahagia. Para


Bodhisatta memilih alam manusia sebagai lahan terbaik melayani
dunia dan menyempurnakan persyaratan Kebuddhaan. Para Buddha
juga selalu terlahir sebagai manusia.

2. Cātummahārājika—alam surga terendah tempat dewa penjaga di


empat penjuru berdiam bersama pengikut mereka.

3. Tāvatimsa—harfiahnya tiga puluh tiga—alam surga tiga puluh tiga


dewa29 tempat Dewa Sakka menjadi rajanya. Namanya berasal dari
kisah yang menyatakan bahwa tiga puluh tiga relawan yang tak egois
yang dipimpin Magha (nama lain Sakka), setelah melakukan perbuatan
derma, terlahir di alam surga ini. Ini adalah surga di mana Buddha
mengajarkan Abhidhamma kepada para dewa selama tiga bulan.

4. Yāma—alam para dewa Yāma. Yang menghancurkan rasa sakit


adalah Yāma.

28 Harfiahnya mereka yang memiliki batin yang luhur atau berkembang (mano
ussannaṁ etasaṁ). Padanan Saṅskerta manussa adalah manushya yang berarti
”putra Manu”. Mereka disebut demikian karena mereka menjadi beradab berkat
Manu, sang petapa.
29 Kitab Buddhis Tiongkok menyatakan bahwa pada empat sisi alam ini terdapat tiga
puluh dua surga (32) dan surga tengahnya adalah tempat Raja Sakka berdiam.
Panduan Menuju Kebuddhaan.

56
KELAHI RAN UL ANG

5. Tusita—harfiahnya, penghuni bahagia, adalah “alam kegembiraan”.


Para Bodhisatta yang telah menyempurnakan persyaratan
Kebuddhaan berdiam di alam ini sampai saat yang baik tiba untuk
mereka di alam manusia untuk mencapai Kebuddhaan.

Bodhisatta Metteyya, Buddha masa depan, kini sedang berdiam di


alam ini menunggu kesempatan yang tepat untuk terlahir sebagai
manusia dan menjadi Buddha. Ibu Bodhisatta, setelah kematian,
terlahir di alam ini sebagai dewa. Dari tempat ini, ia pergi ke Surga
Tāvatiṁsa untuk mendengar Abhidhamma yang diajarkan Buddha.

6. Nimmānarati—“alam dewa yang bergembira dalam wisma yang


diciptakan”.

7. Paranimmitavasavatti—“alam dewa yang membuat ciptaan lainnya


melayani maksud mereka”.

Enam yang terakhir ini adalah alam dewa yang wujud fisiknya lebih
halus dan murni daripada manusia dan tak kasat mata. Makhluk
surgawi pun rentan terhadap kematian seperti semua makhluk hidup.
Dalam beberapa hal seperti tubuh, tempat tinggal dan makanan mereka
mengungguli manusia, namun pada prinsipnya tidak mengungguli
manusia dalam kebijaksanaan. Mereka terlahir spontan, tampak
seperti pemuda atau gadis berusia lima belas atau enam belas tahun.

Enam alam surga ini adalah kediaman bahagia sementara di mana


para makhluk hidup menikmati kenikmatan indriawi sementara.
Empat kondisi tidak bahagia (duggati) dan tujuh keadaan bahagia
(sugati) bersama-sama diistilahkan sebagai kāmaloka—alamindra.

Lebih unggul dibanding alam indra adalah alam brahma atau rūpaloka

57
KELAHI RAN UL ANG

(alam wujud) di mana para makhluk bergembira dalam kebahagiaan


jhāna, yang dicapai dengan melepas nafsu indriawi.

Rūpaloka terdiri dari enam belas alam sesuai dengan jhāna atau
penyerapan meditatif yang dikembangkan. Alam-alamnya adalah
sebagai berikut:

(a) Alam Jhāna Pertama:


1. Brahma Pārisajja—Alam Pengiring Brahma.
2. Brahma Purohita—Alam Menteri Brahma.
3. Mahā Brahma—Alam Brahma Agung.

Yang tertinggi dari tiga alam pertama adalah Mahā Brahma. Disebut
demikian karena penghuni alam ini mengungguli yang lainnya dalam
kebahagiaan, keindahan, dan batas usia sesuai dengan kebajikan
intrinsik pengembangan batin mereka.

(b) Alam Jhāna Kedua:


4. Parittābhā—Alam Kecemerlangan Kecil.
5. Appamānābhā—Alam Kecemerlangan Tanpa Batas.
6. Ābhassarā—Alam Brahma Bercahaya.

(c) Alam Jhāna Ketiga:


7. Parittasubhā—Alam Brahma Pancaran Kecil.
8. Appamānasubhā—Alam Brahma Pancaran Tanpa Batas.
9. Subhakinhā—Alam Brahma Pancaran Sinambung.

(d) Alam Jhāna Keempat:


10. Vehapphala—Alam Brahma Pahala Agung.
11. Asaññasatta—Alam Makhluk Tanpa Pencerapan.
12. Suddhāvāsa—Kediaman Murni yang dibagi lagi jadi lima, yaitu:

58
KELAHI RAN UL ANG

i. Aviha—Alam Mapan.
ii. Atappa—Alam Hening.
iii. Sudassa—Alam Indah.
iv. Sudassi—Alam Wawasan Jernih.
v. Akanittha—Alam Tertinggi.

Hanya mereka yang telah mengembangkan jhāna yang terlahir di


alam tinggi ini. Mereka yang telah mengembangkan jhāna pertama
terlahir di alam pertama; mereka yang mengembangkan jhāna kedua
dan ketiga terlahir di alam kedua; mereka yang mengembangkan
jhāna keempat dan kelima terlahir di alam ketiga dan keempat.

Tingkatan pertama dari tiap alam diperuntukkan bagi mereka yang


mengembangkan jhāna sampai tataran biasa, yang kedua untuk
mereka yang mengembangkan jhāna ke tataran lebih besar, dan yang
ketiga untuk mereka yang meraih penguasaan penuh terhadap jhāna.

Di alam kesebelas, yang disebut Asaññasatta, makhluk-makhluknya


terlahir tanpa kesadaran. Di sini hanya aliran materi yang ada. Batin
sementara teredam selagi kekuatan jhāna ini berlangsung. Biasanya
baik badan dan batin tak terpisahkan. Oleh kekuatan meditasi,
kadang, adalah mungkin memisahkan badan dari batin seperti dalam
kasus ini. Saat seorang Arahā mencapai nirodha samāpatti, saat itu pun
kesadaran lenyap sementara.

Keadaan seperti itu hampir tak terbayang oleh kita, namun mungkin
banyak hal yang tak terbayang sesungguhnya adalah fakta nyata.

Alam Suddhāvāsa atau Kediaman Murni adalah alam-alam khusus para


Anāgāmi atau Yang-Tak-Kembali. Makhluk biasa tidak terlahir di alam
ini. Mereka yang meraih tataran Anāgāmi di alam lain terlahir ulang di

59
KELAHI RAN UL ANG

Kediaman Murni ini. Kemudian, mereka meraih tataran Arahatta dan


hidup di alam itu sampai jangka kehidupan mereka berakhir.

Ada empat alam lain yang disebut arūpaloka yang benar-benar tak
memiliki materi atau tubuh. Umat Buddha memercayai bahwa ada alam
di mana hanya ada batin tanpa materi. “Sama seperti dimungkinkan
suatu batang besi melayang di udara karena telah dilempar di sana,
dan tetap ada di sana selama masih memiliki momentum yang belum
dihabiskan, demikian pula makhluk tanpa-wujud muncul karena
dilemparkan ke tataran itu oleh kekuatan batin yang perkasa, dan
berada di sana sampai momentumnya habis. Ini adalah pemisahan
sementara badan dan batin, yang biasanya eksis bersama-sama.”30

Disebutkan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam rūpaloka


dan arūpaloka. Alam arūpaloka dibagi menjadi empat sesuai dengan
empat jhāna tanpa-wujud, yaitu:
1. Ākāsānañcāyatana—Lingkup Pencerapan Ruang Tanpa Batas.
2. Viññānañcāyatana—Lingkup Pencerapan Kesadaran Tanpa Batas.
3. Ākiñcaññayatana—Lingkup Pencerapan Ketiadaan.
4.N’eva Saññā Nāsaññayatana—Lingkup Bukan Pencerapan Pun Bukan
Tanpa-Pencerapan.31

Perlu dicatat bahwa Buddha tidak berupaya membabar teori kosmologi


apa pun. Hakikat ajaran Buddha tidak dipengaruhi ada atau tidak
adanya alam-alam ini. Tidak ada yang akan meyakini sesuatu jika
tidak sesuai dengan penalarannya. Namun, tidak pula layak menolak
sesuatu hanya karena itu tidak bisa dinalar oleh pengetahuan kita
yang terbatas.

30 Kassapa Thera.
31 Untuk rincian dan jangka kehidupan berbagai alam lihat Buku A Manual of
Abhidhamma oleh Nārada Thera, hal. 234—246.
60
KELAHI RAN UL ANG

BAGAIMANA KELAHIRAN ULANG TERJADI

“Tumpukan belulang (semua jasad) seseorang yang telah hidup satu kalpa
saja, akan setinggi gunung. Demikian sabda petapa agung.”
—Itivuttaka

Bagi orang menjelang ajal pada tahapan kritis ini, menurut filosofi
Abhidhamma, mengalami suatu kamma, kamma nimitta, atau gati nimitta.

Kamma yang dimaksud di sini adalah beberapa perbuatan baik


atau buruk yang dilakukan selama masa kehidupannya atau segera
sebelum momen menjelang ajalnya. Ini adalah pikiran baik atau
buruk. Jika orang yang menjelang ajal melakukan salah satu dari
lima kejahatan berat (garuka kamma) seperti membunuh orangtua
dan sebagainya, atau mengembangkan jhāna (penyerapan meditatif),
ia akan mengalami kamma seperti itu sebelum kematiannya. Kamma
ini begitu kuat sehingga mereka bisa menutupi semua aksi lain dan
tampak sangat jelas di depan mata batin. Jika ia belum melakukan
aksi yang demikian berbobot, ia bisa mengambil objek proses pikiran
menjelang ajal berupa suatu kamma yang dilakukan sesaat sebelum
kematian (āsanna kamma); yang mungkin bisa disebut “kamma tepat
saat kematian”.

Jika tidak ada “kamma tepat saat kematian: suatu tindakan kebiasaan
yang baik atau buruk (ācinna kamma) muncul, seperti menyembuhkan
orang sakit dalam kasus dokter yang baik, mengajar Dhamma bagi
bhikkhu yang baik, atau mencuri dalam kasus seorang pencuri. Jika
tidak memperoleh ini, maka beberapa perbuatan baik atau buruk
remeh (katattā kamma) menjadi objek proses pikiran menjelang ajal.

61
KELAHI RAN UL ANG

Kamma nimitta atau“perlambang”, berarti cipta ulang batin terhadap


tampakan, suara, bau, rasa, sentuhan atau gagasan yang dominan
pada saat suatu perbuatan penting, apakah itu baik atau buruk, seperti
tampakan pisau atau binatang mati dalam kasus seorang penjagal,
pasien dalam kasus seorang dokter, dan objek pemujaan dalam kasus
penganut yang taat, dan lain-lain.

Yang dimaksud gati nimitta, atau “perlambang tempat tujuan” adalah


beberapa simbol tempat kelahiran berikutnya. Ini sering muncul
sendiri bagi orang menjelang ajal dan mematri kegembiraan atau
kemurungan di wajah mereka. Saat pertanda kelahiran mendatang ini
muncul, jika penampakannya buruk, kadang itu bisa ditanggulangi.
Ini dilakukan dengan memengaruhi pikiran orang yang menjelang
ajal. Wawasan yang meramalkan tempat kelahiran32 itu bisa berupa
api, hutan, pegunungan, rahim ibu, wisma surgawi, dan sejenisnya.

Mengambil kamma, atau simbol kamma, atau simbol tempat tujuan


sebagai objeknya, maka proses pikiran akan melaju sesuai jalurnya
sekalipun kematian itu berlangsung sekejap.

Demi kemudahan mari kita membayangkan bahwa orang yang


meninggal itu terlahir ulang di rahim binatang dan objeknya adalah
kamma baik. Kesadaran bhavaṅga-nya tersela, bergetar untuk sesaat
suatu momen pikiran, dan berlalu, yang setelahnya pintu-kesadaran-
batin (manodvāravajjana) muncul dan berlalu. Kemudian muncul
tahapan yang penting secara psikologi—proses javana—yang hanya
berlangsung lima momen pikiran karena sifatnya yang lemah, alih-
alih tujuh momen pikiran seperti biasanya. Momen ini tidak memiliki
semua daya penghasil kehidupan, fungsi utamanya hanyalah

32 Untuk rincian mengenai “wawasan yang meramalkan tempat kelahiran ulang”


lihat Dr. W. T. Evans-Wents, Tibetan Book of the Dead, hal. 183.

62
KELAHI RAN UL ANG

mengatur laju keberadaan baru (abhinavakarana).

Objeknya menyenangkan, maka kesadaran yang ia alami itu


baik. Kesadaran tadālambana yang fungsinya mencatat atau
mengidentifikasi objek selama dua momen pikiran tercerap, bisa
muncul atau tidak muncul. Setelah ini terjadi kesadaran kematian
(cuticitta), momen pikiran terakhir yang dialami dalam kehidupan ini.

Ada kesalahpahaman di antara sebagian orang bahwa kelahiran


berikutnya terkondisi oleh kesadaran-kematian terakhir ini
(cuticitta) yang sebenarnya tidak memiliki fungsi khusus. Apa yang
mengondisikan kelahiran ulang adalah yang dialami selama proses
javana.

Dengan lenyapnya kesadaran-kematian, kematian akhirnya terjadi.


Kemudian kualitas materi yang terlahir dari batin dan makanan
(cittaja dan āhāraja) terbentuk. Hanya serangkaian sifat materi
terlahir dari panas (utuja) yang masih berlangsung sampai jasad
akhirnya menjadi abu.33

Bersamaan dengan munculnya kesadaran-kelahiran-ulang, muncul


di sana “sepuluh kesadaran tubuh”, “sepuluh landasan kelamin”, dan
“sepuluh landasan takhta”(kāya-bhāva-vatthu-dasaka).34

Karena itu, menurut ajaran Buddha, jenis kelamin ditentukan pada

33 Menurut ajaran Buddha, sifat materi dihasilkan dengan empat cara.


Kamma, yaitu perbuatan moral dan tak bermoral lampau;
Utu, yaitu perubahan fisik atau unsur tejo (panas) termasuk panas dan dingin;
Citta, yaitu sifat batin dan pikiran.
Āhara, yaitu gizi yang ada dalam makanan.
34 Lihat halaman 424.

63
KELAHI RAN UL ANG

momen pembuahan dan terkondisi oleh kamma bukan karena


gabungan secara kebetulan sperma dan sel telur apa pun.35

Berlalunya kesadaran kelahiran lampau merupakan kesempatan


munculnya kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya. Akan tetapi,
tiada yang tak bisa diubah atau ajek yang dihantarkan dari masa lalu
ke masa kini.

Sama seperti suatu bagian roda hanya menyentuh tanah pada satu
titik, demikian pula, tegasnya, kita hidup hanya untuk satu momen
pikiran. Kita selalu berada pada momen kini, dan momen kini itu
senantiasa tergelincir ke masa lalu yang tak bisa diubah lagi. Tiap
kesadaran sementara dari proses kehidupan yang senantiasa berubah
ini, saat berlalu, menghantarkan seluruh energinya, seluruh kesan
yang tercatat tanpa bisa terhapus kepadanya, ke penerusnya. Tiap
kesadaran baru, karena itu, terdiri dari potensi pendahulunya dengan
tambahan lagi.

Pada momen kematian, kesadaran lenyap, karena sebenarnya


kesadaran mati tiap momen, untuk melahirkan kesadaran lainnya
dalam kelahiran ulang. Kesadaran lebih baru ini mewarisi semua
pengalaman lampaunya. Karena semua kesan tercatat tanpa bisa
terhapus dalam batin yang senantiasa berubah seperti perkamen
yang tulisannya masih tumpang-tindih, dan semua potensinya
dipindahkan dari hidup ke hidup, tidak peduli pemudaran sementara,
sehingga mungkin ada kenangan akan kelahiran atau kejadian
lampau. Sementara jika kenangan hanya bergantung pada sel otak,
maka mengingat hal seperti itu akan tidak mungkin.

35 Bandingkan “jenis kelamin individu ditentukan saat pembuahan oleh pola


kromosom gamet. Melalui ini, embrio ini terberkahi potensi berkembang menuju
suatu jenis kelamin” Frank Alexander, Psychosomatic Medicine, hal. 219.

64
KELAHI RAN UL ANG

“Makhluk baru ini yang merupakan perwujudan arus energi kamma saat
kini tidaklah sama dengan, dan tidak memiliki identitas yang sama, dengan
yang sebelumnya—gugus yang menyusunnya berbeda dari, dan tidak
memiliki identitas bersama, dengan yang menyusun pendahulunya. Namun
itu bukan makhluk yang benar-benar berbeda karena memiliki arus energi
kamma yang sama, meski mungkin mengalami perubahan sekadar dengan
perwujudan itu sendiri, yang membuat keberadaannya diketahui dalam
dunia pencerapan indra sebagai mahluk yang baru.”36

Menurut ajaran Buddha, kematian adalah penghentian kehidupan


badan-batin suatu keberadaan individu. Itu adalah berlalunya vitalitas
(āyu), yaitu kehidupan batin dan badan (jīvitindriya), panas (usma), dan
kesadaran (viññāna).

Kematian bukanlah kemusnahan total makhluk, karena meski suatu


jangka kehidupan tertentu berakhir, daya yang membangkitkannya
tidak hancur.

Sama seperti cahaya listrik adalah perwujudan luar energi listrik


yang tak kasat mata, demikian pula kita adalah perwujudan luar
energi kamma yang tak kasat mata. Bola lampunya mungkin pecah
dan cahayanya padam, namun arusnya tetap ada dan cahaya lain
bisa dihasilkan dari bola lampu lain. Sama pula, daya karma tetap
tak terusik oleh terurainya tubuh fisik, dan kematian kesadaran kini
membawa pemunculan kesadaran baru dalam kelahiran lainnya.
Namun tidak ada sesuatu pun yang tak berubah atau ajek yang
“berpindah” dari masa kini ke masa depan.

Dalam kasus yang tengah dibahas, pikiran yang dialami sebelum

36 Bhikkhu Silācāra.

65
KELAHI RAN UL ANG

kematian adalah pikiran bajik, dan kesadaran-kelahiran-ulang


yang dihasilkan mengambil materinya berupa sel sperma dan telur
orangtua manusia. Kesadaran-kelahiran-ulang (patisandhi viññāna)
kemudian masuk ke dalam keadaan bhavaṅga.37

Kesinambungan arus ini, saat kematian, tak tersela oleh waktu dan
tak ada celah dalam arus kesadaran itu. Kelahiran ulang terjadi
langsung, tak peduli tempat kelahirannya, sama seperti gelombang
elektromagnet saat dipancarkan ke ruang, segera direproduksi di
pesawat radio penerima. Kelahiran ulang arus batin juga seketika
dan tidak meninggalkan ruang apa pun untuk keadaan antara38
(antarabhava). Ajaran Buddhisme murni tidak menyokong keyakinan
bahwa arus batin orang yang meninggal berdiam dalam keadaan
sementara sampai menemukan tempat yang sesuai untuk “kelahiran
ulangnya”.

Pertanyaan mengenai kelahiran ulang seketika ini dijabarkan dengan


baik dalam Kitab Milinda Pañha:

Raja Milinda bertanya:


“Bhikkhu Nagasena, jika seseorang meninggal di sini dan terlahir ulang di
alam brahma, dan orang lain meninggal di sini dan terlahir ulang di Kashmir,
yang mana dari mereka yang akan sampai lebih dahulu?”
“Mereka akan tiba pada saat yang sama, Baginda.”
“Di kota mana, Anda terlahir, Baginda?”
“Di desa bernama Kalasi, Bhante.”

37 Lihat A Manual of Abhidhamma oleh Nārada Thera, hal. 273.


38 Menurut karya Tibet, tulis Dr. Evans-Wents, ada alam antara tempat makhluk
berdiam selama satu, dua, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh minggu, sampai
empat puluh sembilan hari. Pandangan ini bertolak belakang dengan ajaran
Buddha. The Tibetan Book of the Dead, hal. XLII -XLIII, 58, 160—165.

66
KELAHI RAN UL ANG

“Seberapa jauh Kalasi dari sini, Baginda?”


“Sekitar dua ratus mil, Bhante?”
“Dan berapa jauh Kashmir dari sini, Baginda?”
“Sekitar dua belas mil, Bhante.”
“Sekarang coba pikirkan desa Kalasi, Baginda.”
“Saya sudah melakukannya, Bhante.”
“Sekarang coba pikirkan Kashmir, Baginda.”
“Sudah, Bhante.”
“Yang mana dari dua ini, Baginda, yang Anda pikir lebih lambat dan mana
yang lebih cepat?
“Keduanya sama cepatnya, Bhante.”
“Maka demikianlah, Baginda, ia yang meninggal di sini dan terlahir ulang di
alam brahma, tidak terlahir ulang lebih lambat dari ia yang meninggal di sini
dan terlahir ulang di Kashmir.”
“Berikan saya satu kiasan lagi, Bhante.”
“Bagaimana pendapat Anda, Baginda? Seandainya dua burung terbang di
udara dan mereka mendarat pada saat bersamaan, yang satu di pohon yang
tinggi dan yang satu di pohon rendah. Bayangan burung mana yang lebih
awal jatuh ke bumi dan bayangan burung mana yang lebih akhir?”
“Kedua bayangan akan muncul pada saat yang sama, dan tidak salah satu
lebih awal dan yang lainnya lebih akhir.”39

Pertanyaan mungkin muncul: apakah sel sperma dan sel telur selalu
siap, menunggu untuk mengambil kesadaran kelahiran ulang?

Menurut ajaran Buddha, jumlah makhluk hidup tak terhingga


banyaknya, demikian juga tata dunia. Tidak pula sel telur yang dibuahi
adalah satu-satunya rute menuju kelahiran ulang. Bumi, suatu titik
yang nyaris tidak penting di semesta, bukanlah satu-satunya tempat

39 Pertanyaan Milinda, Bagian 1, hal. 127-128.

67
KELAHI RAN UL ANG

makhluk hidup.40 Karena itu bukan tidak mungkin meyakini bahwa


akan selalu ada tempat yang sesuai untuk menerima getaran pikiran
terakhir. Suatu titik selalu siap menerima batu yang jatuh.

APA YANG TERLAHIR ULANG?

“Bukan sama namun bukan lain.”


—Visuddhi Magga

Selain badan dan batin, yang menyusun yang disebut makhluk


ini, ajaran Buddha tidak menegaskan keberadaan jiwa abadi, atau
kepribadian kekal, yang manusia telah peroleh secara misterius dari
sumber yang sama misteriusnya.

Jika yang kekal pasti harus tetap sama tanpa perubahan apa pun.
Jika jiwa yang semestinya merupakan esensi manusia itu kekal, tidak
mungkin ada pemunculan atau pelenyapan. Tidak pula kita bisa
menjelaskan mengapa “berbagai jiwa begitu beragam sedari awal.”

Untuk membuktikan keberadaan kebahagiaan tiada akhir dalam


surga abadi dan siksaan tiada berujung dalam neraka abadi, mutlak
perlu untuk mengajukan pernyataan mengenai jiwa abadi.

“Semestinya dikatakan,” tulis Bertrand Russel, “bahwa pembedaan


lama antara jiwa dan tubuh telah menguap, sama seperti ‘materi’ telah
kehilangan kepadatannya, karena batin telah kehilangan spiritualitasnya.

40 “Ada sekitar 1.000.000 tata surya di Galaksi Bima Sakti tempat kehidupan mungkin
eksis.”Lihat Fred Hoyle, The Nature of the Universe, hal. 87—89.

68
KELAHI RAN UL ANG

Psikologi baru mulai menjadi ilmiah. Dalam kondisi ilmu psikologi saat ini,
keyakinan akan keabadian tidak bisa mendapatkan dukungan dari ilmu
pengetahuan.”(Religion and Science, hal. 132.)

Menurut pengarang terpelajar buku Riddle of the Universe41:

“Bukti teologis ini bahwa suatu pencipta pribadi meniupkan jiwa abadi (yang
pada umumnya dianggap sebagai bagian Jiwa Kudus) ke manusia adalah
mitos belaka. Bukti kosmologis bahwa “tatanan moral dunia” menuntut
jangka waktu kekal bagi jiwa manusia adalah dogma tanpa dasar. Bukti
teologis bahwa “takdir lebih tinggi” manusia melibatkan penyempurnaan
jiwanya yang cacat dan tak membumi melampaui kuburnya—berlandaskan
pandangan pemanusiaan yang keliru. Bukti moral—bahwa ketaksempurnaan
dan keinginan tak terpuaskan dari keberadaan di bumi harus dipenuhi oleh
“keadilan pembalas” di sisi keabadian—tidak lain hanyalah keinginan angan-
angan. Bukti etnologis—bahwa keyakinan akan keabadian, seperti keyakinan
akan Tuhan, merupakan kebenaran hakiki, yang umum bagi semua umat
manusia—sesungguhnya adalah kekeliruan. Bukti ontologis—bahwa jiwa,
karena merupakan entitas sederhana, tanpa materi, tak terbagi, tidak bisa
terlibat dalam penodaan kematian—didasari sepenuhnya oleh pandangan
keliru mengenai fenomena batin adalah kekeliruan spiritual. Semua ini
beserta “bukti athanatisme” yang serupa sedang berada dalam keadaan
bahaya. Mereka jelas dianulir kritik ilmiah selama beberapa dasawarsa
terakhir.”

Jika tidak ada hal dalam wujud roh atau jiwa yang berpindah dalam
kehidupan ini ke kehidupan lain, apakah yang terlahir ulang itu? Dalam
pertanyaan ini diasumsikan bahwa ada sesuatu yang terlahir ulang.

41 Religion and Science, hal 166.

69
KELAHI RAN UL ANG

Beberapa abad yang lalu ada pendapat “Cogito, ergo sum” (Aku
berpikir, maka aku ada). Memang benar, namun pertama-tama harus
dibuktikan bahwa ada suatu “aku” yang berpikir.

Kita mengatakan bahwa mentari terbit di timur dan terbenam di


barat, meski kita tahu bahwa sesungguhnya tidak demikian. Kita
harus mengakui bahwa kita tidak bisa mengenai tempat yang sama
dua kali meski penampakannya demikian. Segalanya berubah begitu
cepat. Tidak ada dua momen saat kita secara identik tetap sama.

Umat Buddha setuju dengan Bertrand Russell tatkala ia mengatakan:

“Nyata bahwa ada berbagai alasan mengapa saya orang yang sama
seperti diri saya kemarin, dan, mengambil contoh lebih nyata lagi,
jika saya bersamaan melihat dan mendengar seseorang bicara, ada
kesan bahwa saya yang melihat adalah saya yang mendengar.”42

Sampai akhir-akhir ini para ilmuwan meyakini suatu atom yang tak
terbagi dan tak bisa hancur, “Untuk alasan yang cukup memadai,
ahli fisika telah mengurai atom ini menjadi serangkaian peristiwa;
untuk alasan yang sama baik pula para psikolog menemukan bahwa
batin tak memiliki identitas dari hal tunggal yang sinambung namun
serangkaian kejadian yang terpaut bersama oleh suatu hubungan
akrab. Maka pertanyaan mengenai keabadian, telah menjadi
pertanyaan apakah hubungan akrab ini ada dan terhubung dengan
peristiwa lain yang terjadi setelah tubuh itu meninggal.”43

Seperti C.E.M. Joad katakan dalam Meaning of Life:

42 Religion and Science, hal. 132.

43 Religion and Science, hal. 166

70
KELAHI RAN UL ANG

“Materi telah luruh di hadapan mata kita. Materi tak lagi padat; materi tak
lagi ajek; materi tak lagi ditentukan hukum yang wajib; dan lebih penting
dari semua itu, materi tidak lagi diketahui.”

“Yang disebut dengan atom nampaknya “tidak bisa terbagi dan


dihancurkan”. Elektron dan proton yang menyusun atom “bisa bertemu
dan memusnahkan satu sama lain, sementara sifat kekukuhan mereka,
sebagaimana adanya, itu lebih seperti gelombang yang tak memiliki batasan
tetap, dan berada dalam proses perubahan sinambung baik dalam bentuk
maupun posisi, ketimbang suatu substansi.”

Bishop Berkley, yang menunjukkan bahwa yang disebut atom ini


adalah suatu fiksi metafisika, berpegang bahwa pasti ada suatu
substansi spiritual yang disebut jiwa. Hume dalam pencariannya akan
jiwa menyatakan:

“Ada sebagian filsuf yang membayangkan kita dalam tiap momen secara
intim menyadari apa yang kita sebut diri kita: bahwa kita merasakan
keberadaannya dan kesinambungannya dalam eksistensi dan yakin,
melampaui demonstrasi suatu bukti, baik identitasnya yang sempurna serta
kesederhanaannya. Bagi saya sendiri, saat saya masuk dengan paling dekat
ke apa yang saya sebut diri saya, saya selalu terbentur pencerapan tertentu
atau lainnya—seperti panas atau dingin, terang atau teduh, cinta atau benci,
derita atau nikmat. Saya tak pernah bisa menemukan diri saya kapan pun
tanpa suatu pencerapan, dan tak pernah bisa mengamati apa pun selain
pencerapan….”44

Bergson mengatakan:
“Semua kesadaran adalah keberadaan waktu; dan keadaan sadar bukanlah

44 William James, Principles of Psychology, hal. 351.

71
KELAHI RAN UL ANG

keadaan yang bertahan tanpa berubah. Itu adalah perubahan tanpa henti;
tatkala perubahan berhenti, kesadaran berhenti; kesadaran itu sendiri tiada
lain adalah perubahan.”

Watson, seorang psikolog terkenal, menyatakan:


“Tak seorang pun pernah menyentuh suatu jiwa, atau melihatnya
dalam tabung reaksi, atau pernah dengan cara apa pun berkontak
dengannya seperti pengalamannya dengan objek lain dalam pengalaman
kesehariannya. Akan tetapi meragukan keberadaannya telah dicap sesat,
dan suatu ketika bisa menyebabkan dirinya kehilangan kepalanya. Bahkan
zaman sekarang seseorang yang memegang jabatan umum tidak berani
mempertanyakannya.”45

Berkaitan dengan pertanyaan mengenai jiwa, Profesor James menulis:


“Teori jiwa ini adalah sungguh terlalu berlebihan, sampai batasan bahwa
fakta-fakta yang telah dibuktikan sebelumnya mengenai pengalaman sadar.
Sampai sejauh ini tak seorang pun bisa diyakinkan untuk meyakininya untuk
alasan ilmiah yang tepat.”

“Diriku ini adalah gugus empiris hal-hal yang diketahui secara objektif.
Aku yang mengetahui mereka tidak mungkin merupakan gugus itu sendiri,
atau pun demi tujuan psikologis perlu dianggap sebagai entitas metafisika
tak berubah seperti jiwa, atau prinsip seperti ego murni yang berada di
luar waktu. Diriku adalah suatu pikiran, yang tiap momennya berbeda
dari momen terakhir, namun terkait dengan sebelumnya, bersama dengan
semua yang kesadaran baru tadi anggap sebagai miliknya. Seluruh fakta
eksperimental menunjukkan penggambaran ini, tak terbebani hipotesis apa
pun selain keberadaan pikiran atau kondisi batin yang berlalu.”46

45 Watson, Behaviourism, hal. 4.


46 Principles of Psychology, hal. 215.

72
KELAHI RAN UL ANG

Ia menyimpulkan bab menariknya tentang jiwa dengan kata-kata ini:


“Dan dalam buku ini solusi sementara yang telah kita peroleh pastilah kata-
kata terakhir ini: ‘Pikiran itu sendiri adalah pemikirnya.’”

Dan inilah gaung kata-kata Buddha dari 2.500 tahun yang lalu di
lembah Sungai Gangga. Buddhisme, mengajarkan psikologi tanpa
psikis, menyatakan makhluk hidup sebagai badan dan batin (nāma-
rūpa) yang senantiasa berada dalam pergerakan sinambung.

Pada zaman kuno, orang bijak India pun memercayai suatu atom
yang tak dapat terbagi yang mereka sebut Paramānu. Menurut
keyakinan kuno:

36 Paramānu menyusun satu Anu; 36 Anu, menyusun satu Tajjāri; 36


Tajjāri menyusun satu Ratharenu. Partikel debu mungil yang menari-
nari di bawah sinar matahari disebut Ratharenu. Satu Paramānuitu, jika
demikian adalah 1/46.656 bagian dari Ratharenu. Dengan wawasan
adikodrati-Nya Buddha menganalisis Paramānu dan menyatakan
bahwa Paramānu terdiri dari daya saling terkait bernama Paramattha
atau unsur hakiki. Paramattha ini adalah Pathavi, Āpo, Tejo, and Vāyo.

Pathavi berarti unsur pemuluran, landasan materi. Tanpa itu objek-


objek tak bisa menempati ruang. Sifat keras dan lembut yang nisbi
merupakan kondisi dari unsur yang sama.

Āpo adalah unsur kohesi, perekat. Tidak seperti pathavi, unsur ini
tak kasat mata. Inilah unsur yang membuat atom-atom materi yang
tersebar menyatu dan memberi kita gagasan suatu tubuh. Saat tubuh
padat dicairkan, unsur ini menjadi makin menonjol dalam cairan
yang muncul. Unsur ini ditemukan bahkan dalam partikel renik kala
tubuh padat dihancurkan menjadi debu. Unsur pemuluran dan kohesi

73
KELAHI RAN UL ANG

saling terkait erat dalam hal saat kohesi berhenti, pemuluran lenyap.

Tejo adalah unsur panas. Dingin juga merupakan wujud tejo. Baik
panas dan dingin termasuk dalam tejo karena mereka memiliki
kekuatan untuk mematangkan tubuh, atau dengan kata lain, energi
kebugaran. Pemeliharaan dan kelapukan disebabkan unsur ini. Tidak
seperti tiga unsur materi lainnya, unsur ini juga disebut utu, kekuatan
untuk meregenerasi dirinya sendiri.

Vāyo adalah unsur pergerakan. Pergerakan disebabkan unsur ini.


Gerakan dianggap sebagai daya atau pembangkit panas.

“Gerakan dan panas di alam materi masing-masing berhubungan


dengan kesadaran dan kamma dalam batin.”

Empat ini adalah unsur materi mendasar yang pasti tergabung dari
empat turunannya, yaitu warna (vanna), bau (gandha), rasa (rasa), dan
unsur gizi (ojā).

Empat unsur dan turunannya tak terpisahkan dan saling terkait,


namun satu unsur mungkin mendominasi lainnya, misalnya, unsur
pemuluran mendominasi dalam unsur tanah; kohesi, dalam unsur
air; panas, dalam api; dan pergerakan, dalam udara. Sehingga, materi
terdiri dari daya dan sifat yang senantiasa berada dalam pergerakan
sinambung. Menurut ajaran Buddha, materi bertahan hanya 17
momen pikiran.47

Batin, bagian lebih penting dalam kompleks penyusun manusia, terdiri

47 Para komentator mengatakan bahwa rentang waktu atau satu momen pikiran
bahkan lebih kecil dari sepersejuta waktu yang dibutuhkan oleh sekilatan petir.

74
KELAHI RAN UL ANG

dari lima puluh dua kondisi batin. Perasaan atau sensasi (vedanā)
adalah satu jenis, pencerapan (saññā) adalah satu lagi. Lima puluh
jenis lainnya secara kolektif disebut sebagai pemikiran (saṅkhārā),
suatu terjemahan yang tidak secara penuh menyampaikan makna
istilah Pāḷi ini. Dari mereka, kehendak atau cetanā adalah faktor paling
penting. Semua keadaan batin ini muncul dalam kesadaran (Viññāna).

Menurut filosofi Buddhis, tidak ada momen kita tidak mengalami


suatu jenis kesadaran, menggantungkan kesadaran pada suatu objek
badan atau batin. Batas waktu kesadaran seperti itu diberi istilah satu
momen pikiran. Tiap momen pikiran diikuti momen pikiran lain.
Demikianlah peralihan kondisi batin memuat unsur waktu. Kecepatan
peralihan momen pikiran ini nyaris tak bisa dipikirkan.

Tiap unit kesadaran terdiri dari tiga kejadian (khana). Yaitu,


pemunculan atau asal (uppāda), kelangsungan atau perkembangan
(thiti), dan pemadaman atau pelenyapan (bhaṅga). Segera setelah
tahap pelenyapan suatu momen pikiran di sana muncul tahap
pemunculan momen pikiran berikutnya. Tiap momen kesadaran
dari proses kehidupan yang senantiasa berubah ini, pada saat lenyap,
menghantarkan seluruh energinya, semua kesan tercatat tanpa bisa
terhapus, ke penerusnya. Tiap kesadaran baru terdiri dari potensi
pendahulunya ditambah sesuatu lagi. Karena itu, ada arus kesadaran
sinambung seperti aliran tanpa jeda. Momen pikiran berikutnya pun
bukannya mutlak sama dengan pendahulunya karena susunannya
tidak sama—atau pun sepenuhnya berbeda—karena berasal dari arus
kehidupan yang sama. Tidak ada makhluk yang sama, namun ada
suatu identitas dalam prosesnya. Tidak semestinya dipahami bahwa
kesadaran dalam kepingan-kepingannya bergabung bersama seperti
kereta atau rantai. Sebaliknya, itu senantiasa mengalir seperti sungai
menerima tambahan arus air sinambung dari anak sungainya, dan

75
KELAHI RAN UL ANG

senantiasa mengalirkannya ke dunia di sekitarnya melalui pemikiran


yang telah dibawanya sepanjang jalan.48

Arus kehidupan memiliki kelahiran sebagai mata airnya dan kematian


sebagai hilirnya. Di sini terjadi kondisi kesadaran tak ajek yang saling
bersisian, namun bukan tumpang tindih keadaan seperti itu, seperti
yang sebagian orang yakini. Tiada keadaan yang telah lewat akan
terulang kembali—sama sekali tidak ada yang mutlak sama dengan
yang telah terjadi sebelumnya. Keadaan ini senantiasa berubah,
tidak tetap sama untuk dua momen berturutan. Penghuni dunia,
yang terjerat dalam jejaring khayalan, mengelirukan kesinambungan
yang tampak ini sebagai sesuatu yang kekal dan bersusah payah
memperkenalkan suatu jiwa yang tak berubah (yang disangka sebagai
pelaku dan pengamat seluruh perbuatan) ke dalam kesadaran yang
senantiasa berubah ini.

Empat fenomena batin, digabung dengan fenomena badan,


membentuk lima gugus (pañcakkhanda), menyusun komponen rumit
yang disebut sebagai makhluk. Individualitas kita adalah gabungan
lima gugus. Kita melihat bentangan luas air di samudra, namun air
dalam samudra terdiri dari tak terhitung tetes air. Tak terhingga
jumlah partikel pasir menyusun pesisir pantai, namun tampak seperti
satu bentangan panjang. Ombak muncul dan menerpa tepian namun
sebenarnya, tiada ombak tungal yang muncul dari samudra biru dan
kehilangan identitasnya di pantai. Dalam perfilman kita melihat
gambar bergerak, namun untuk mewakili gerakan itu serangkaian
gambar diam harus muncul di layar.

Kita tak bisa mengatakan bahwa wangi suatu bunga bergantung pada

48 Lihat Compendium of Philosophy—Pendahuluan, hal. 12.

76
KELAHI RAN UL ANG

kelopak atau pada putik atau warnanya, namun wanginya ada dalam
bunganya. Sama pula, individualitas adalah kombinasi seluruh lima
gugus. Seluruh proses fenomena badan-batin ini yang senantiasa
muncul dan lenyap, kadang disebut, dalam istilah sehari-hari, sebagai
diri atau attā oleh Buddha; namun itu adalah suatu proses, dan bukan
identitas seperti yang disebut.

Ajaran Buddha tidak sepenuhnya menyangkal keberadaan suatu


kepribadian dalam hal empiris. Ajaran Buddha menyangkal, dalam
pengertian mutlak (paramatthasaccena), suatu makhluk yang sama
atau permanen, namun tidak menyangkal suatu kesinambungan
dalam proses. Istilah filosofis Buddhis bagi suatu individu adalah
santati, yaitu arus atau kesinambungan. Arus yang tak bersela atau
kesinambungan fenomena badan-batin yang terkondisi karma, tidak
memiliki sumber yang bisa dicerap dalam masa lalu yang tanpa
permulaan atau pun ujung apa pun dalam kesinambungannya pada
masa depan, kecuali oleh Jalan Delapan Faktor Suciwan, adalah istilah
Buddhis untuk menggantikan ego permanen atau jiwa kekal dalam
sistem religius lainnya.

Bagaimana kelahiran ulang itu bisa terjadi tanpa adanya jiwa yang
terlahir ulang? Kelahiran, menurut ajaran Buddha, adalah pemunculan
khanda, gugus atau kelompok (khandhānam pātubhāvo). Sama seperti
pemunculan kondisi fisik terkondisi oleh kondisi sebelumnya sebagai
penyebabnya, demikian pula penampakan fenomena badan-batin ini
terkondisi oleh musabab sebelum kelahirannya. Proses kemenjadian
saat ini adalah hasil nafsu untuk menjadi dalam kelahiran lampaunya,
dan nafsu naluriah saat kini mengondisikan kehidupan dalam kelahiran
mendatang. Karena proses satu masa kehidupan dimungkinkan tanpa
adanya entitas permanen yang berpindah dari satu momen pikiran ke
momen pikiran lainnya, demikian pula serangkaian proses kehidupan

77
KELAHI RAN UL ANG

dimungkinkan tanpa adanya apa pun yang berpindah dari satu


kehidupan ke kehidupan lainnya.

Doktrin kelahiran ulang Buddhis semestinya dibedakan dari teori


kelahiran ulang yang menyiratkan perpindahan jiwa dan materi
kelahiran ulangnya yang pasti tak berubah. Dalam Kitab Milinda
Pañha dan Visuddhi Magga, Bhikkhu Nāgasena dan Buddhaghosa telah
menggunakan beberapa kiasan untuk menggambarkan kebenaran
bahwa tidak ada yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain.

Kiasan api sangatlah mengena. Hidup diibaratkan suatu api. Kelahiran


ulang adalah meneruskan api ini dari satu kelompok ke kelompok
lain. Nyala kehidupan itu sinambung meski ada suatu jeda nyata pada
momen yang disebut kematian.

Raja Milinda bertanya:


“Bhikkhu Nāgasena, apakah kelahiran ulang terjadi tanpa ada apa pun yang
berpindah?”
“Ya, Baginda, kelahiran ulang terjadi tanpa ada apa pun yang berpindah.”
“Berikan ilustrasi, Bhante.”
“Seandainya, Baginda, ada orang hendak menyalakan lampu dengan lampu,
apakah satu cahaya itu berpindah ke cahaya lain?”
“Sungguh tidak, Bhante.”
“Persis sama, Baginda, kelahiran ulang terjadi tanpa apa pun yang
berpindah.”
“Berikan saya kiasan lainnya.”
“Apakah Baginda ingat mempelajari syair atau hal lain saat Baginda kecil
dari guru syair Anda?”
“Ya, Bhante.”
“Apakah, Baginda, syair itu berpindah pada Anda dari guru Anda?”
“Sungguh tidak, Bhante.”

78
KELAHI RAN UL ANG

“Sama halnya pula, Baginda, kelahiran ulang terjadi tanpa apa pun yang
berpindah.”

Raja Milinda bertanya lagi:


“Bhante Nāgasena, apakah yang terlahir ulang ke keberadaan berikutnya?”
“Baginda, batin dan badanlah yang terlahir ke keberadaan berikutnya.”
“Apakah batin dan badan yang sama ini yang terlahir ulang dalam
keberadaan berikutnya?”
“Baginda, bukanlah badan dan batin yang sama yang terlahir dalam
keberadaan berikutnya, namun dengan badan dan batin ini, Baginda, kita
melakukan perbuatan—bisa jadi baik, bisa jadi buruk—dan karena perbuatan
inilah badan dan batin lain terlahir dalam keberadaan berikutnya.”
“Bhante, jika bukan badan dan batin ini yang terlahir dalam keberadaan
berikutnya, tidakkah kita terbebas dari perbuatan buruk kita?”
“Jika seseorang tak terlahir dalam keberadaan lain, kita akan terbebas dari
perbuatan buruk kita, namun Baginda, selama seseorang terlahir ulang dalam
keberadaan berikutnya, maka ia tidak terbebas dari perbuatan buruknya.”
“Berikan suatu kiasan.”
“Baginda, ini seolah ada orang hendak mengambil buah mangga orang lain,
dan pemilik mangga itu hendak menangkapnya, dan menyeretnya kepada
raja dan berkata—‘Baginda, pria ini mengambil manggaku’; dan orang itu
berkata, ‘Baginda, saya tak mengambil mangganya. Mangga yang ditanam
orang ini berbeda dari yang saya ambil. Saya tidak pantas terkena hukuman.’
Baginda, apakah orang itu layak terkena hukuman?”
“Tentu saja, Bhante, ia layak dikenai hukuman.”
“Apa alasannya?”
“Karena, meskipun ia berkata begitu, ia akan layak dihukum karena alasan
bahwa mangga yang terakhir itu diturunkan dari mangga pertama.”
“Persis sama pula, Baginda, dengan badan dan batin ini kita melakukan
perbuatan—bisa baik atau buruk—dan dengan alasan inilah perbuatan
badan dan batin lain yang terlahir dalam keberadaan berikutnya. Karena

79
KELAHI RAN UL ANG

itulah kita tidak terbebas dari perbuatan buruk kita.”49

Bhikkhu Buddhagosa menerangkan hal rumit ini dengan mengutip


kiasan gema, cahaya, kesan akan suatu segel, dan pantulan di
cermin. Seorang penulis modern menggambarkan proses ini dengan
serangkaian bola biliar yang berkontak berdekatan.

“Jika, misalnya, bola lain digulirkan terhadap bola dalam posisi


diam terakhir, bola yang bergerak akan berhenti, dan bola diam
paling depan akan bergerak. Bola pertama yang bergerak tidak akan
berpindah, itu akan tetap di belakang, bola itu mati; namun tak dapat
disangkal bahwa gerakan bola itu, momentumnya, karmanya, dan
bukanlah gerakan yang tercipta baru apa pun, yang terlahir ulang di
bola paling depan.”50

Sama pula, menggunakan istilah konvensional yaitu badan mati dan


kekuatan karmanya terlahir ulang dalam keberadaan lainnya tanpa
apa pun yang berpindah dari kehidupan ini ke kehidupan lain. Momen
pikiran terakhir kehidupan ini mati, mengondisikan momen pikiran
lainnya dalam kehidupan berikutnya. Makhluk baru itu pun bukan
mutlak sama—karena telah berubah atau pun mutlak berbeda—
karena berasal dari arus energi karma yang sama. Hanya sekadar ada
kesinambungan dari arus kehidupan itu, hanya itu, tidak lebih.

49 Lihat Warren—Buddhism in Translations, hal. 234, 235.


50 Dr. Ananda Coomarasvami—Buddha and the Gospel of Buddhism, hal. 106.

80
KELAHI RAN UL ANG

TANGGUNG JAWAB MORAL

“Oleh diri sendiri seseorang ternoda,


oleh diri sendiri seseorang termurnikan.”
—Dhammapada

Apakah si pelaku aksi ataukah orang lain yang akan menuai hasilnya dalam
kelahiran berikutnya?51

Mengatakan bahwa ia yang menabur mutlak sama dengan ia yang


menuai adalah satu ekstrem, dan mengatakan bahwa ia yang menuai
benar-benar berbeda dari yang menuai adalah ekstrem lainnya.
Menghindari dua ekstrem ini, Buddha mengajar doktrin Jalan Madya
mengenai sebab dan akibat. “Bukan sama maupun bukan lainnya”(na
ca so na ca añño), tulis Bhikkhu Buddhaghosa dalam Visuddhi Magga.
Metamorfosis kupu-kupu bisa menjadi suatu gambaran.

Pada awalnya adalah sebutir telur. Kemudian menetas menjadi ulat.


Kemudian ulat itu membuat kepompong, dan pada akhirnya menjadi
kupu-kupu. Proses ini terjadi selama durasi satu masa kehidupan.
Kupu-kupu tidaklah sama dengan, atau pun benar-benar berbeda dari
ulat. Di sini pun ada arus kehidupan, suatu kesinambungan.

Bhikkhu Nāgasena menjelaskan hal ini dengan mengutip ilustrasi


lampu yang terbakar sepanjang malam. Api pada waktu jaga pertama
tidak sama dengan api pada waktu jaga terakhir, namun sepanjang
malam cahaya terbakar bergantung pada satu lampu yang sama.

51 Lihat Pertanyaan Milinda, bagian I, hal. 111 dan Dr. Dahlke, Buddhism and Science,
hal. 64.

81
KELAHI RAN UL ANG

Demikian halnya dengan api maka demikian pula ada kesinambungan


kehidupan—tiap tahapan berikutnya bergantung dari tahapan
sebelumnya.

Jika tidak ada jiwa, bagaimana bisa ada tanggung jawab moral?52

Ada, karena ada kesinambungan identitas dalam proses, yang disangka


sebagai kepribadian identik. Seorang anak, misalnya, menjadi pria
dewasa. Pria dewasa bukan sama persis dengan anak itu—karena
sel-sel telah mengalami perubahan sempurna atau pun benar-benar
berbeda karena berasal dari arus kehidupan yang sama. Akan tetapi,
individu itu, sebagai orang dewasa, bertanggung jawab atas apa pun
yang ia lakukan saat kanak-kanak. Apakah arusnya mati di sini dan
terlahir ulang di tempat lain, atau terus ada dalam kehidupan yang
sama, faktor pentingnya adalah kesinambungan ini. Seandainya orang
ini “A” dalam kelahiran sebelumnya, dan “B” dalam kelahiran ini,
maka dengan kematian “A” sebagai wahana jasmaninya, perwujudan
luar energi karmanya dilepaskan dan, dengan kelahiran “B” suatu
wahana fisik baru muncul. Walau ada perubahan materi yang nyata,
arus kesadaran yang tak kasat mata (cittasantati) terus mengalir, tak
tersela oleh kematian, membawa bersamanya seluruh kesan yang
diterima dari anak-anak sungai indriawi. Dalam bahasa sehari-hari,
tidakkah “B” bertanggung jawab atas perbuatan “A” yang merupakan
pendahulunya?

Sebagian mungkin keberatan bahwa dalam kasus ini tidak ada ingatan
karena adanya kematian yang memutusnya. Namun, apakah identitas

52 Lihat “Anattā and Moral Responsibility” oleh A. D. Jayasundara, Mahabodhi Journal,


vol. 41, hal. 93.

82
KELAHI RAN UL ANG

atau ingatan mutlak perlu dalam memutuskan tanggung jawab moral?


Sesungguhnya, keduanya tidak penting.

Jika, misalnya, seseorang hendak melakukan kejahatan dan tiba-tiba


kehilangan ingatannya, lalu lupa akan kejadian itu, tidakkah ia akan
bertanggung jawab terhadap perbuatannya?

Kelupaannya tidak membebaskannya dari tanggung jawab melakukan


kejahatan itu. Karena hal ini, sebagian orang mungkin bertanya, “Buat
apa menghukumnya, karena ia tidak sadar bahwa ia sedang dihukum
atas kejahatan itu? Apakah ada keadilan di sini?”

Tentu saja, tidak ada, jika kita diperintah dan diadili oleh Tuhan yang
memberi imbalan dan menghukum kita. Umat Buddha memercayai
hukum karma yang adil dan rasional yang bekerja secara otomatis dan
umat Buddha bicara dalam istilah sebab dan akibat alih-alih imbalan
dan hukuman.

Dalam perkataan Bhikkhu Silācāra:


“Jika seseorang melakukan sesuatu dalam tidur, keluar dari pembaringan dan
berjalan di ujung suatu beranda, ia akan jatuh ke jalanan di bawahnya dan
mungkin patah tangan atau kaki. Namun bahwa ini akan terjadi sama sekali
bukan hukuman berjalan sambil tidur, namun hanya sekadar akibatnya.
Dan fakta bahwa ia tidak ingat pergi ke serambi tidak membuat perbedaan
sedikit pun terhadap hasilnya: ia jatuh, dalam bentuk tulang patah. Jadi
penganut ajaran Buddha memastikan agar ia tidak berjalan di serambi atau
tempat berbahaya lainnya, tidur atau pun bangun, supaya bisa menghindari
melukai diri sendiri atau orang lain yang mungkin ada di bawah dan yang
mungkin membuatnya jatuh.”

Fakta bahwa seseorang tidak ingat masa lalunya bukanlah rintangan

83
KELAHI RAN UL ANG

bagi pemahaman intelektual mengenai cara kerja hukum karma.


Pengetahuan mengenai urutan karma yang tak terhindarkan selama
kehidupan kita dalam saṁsāra yang membantu membentuk karakter
seorang umat Buddha.

TURUN DAN NAIKNYA KARMA

“Karma membedakan makhluk jadi mulia dan hina.”


—Majjhima Nikāya

Apakah kemerosotan karma mungkin terjadi? Dengan kata lain,


bisakah manusia terlahir ulang sebagai binatang?

Jawaban Buddhis mungkin tidak bisa diterima bagi semua orang,


karena ajaran Buddha mengakui kemungkinan ini.

Wujud materi, yang melaluinya termanifestasi kesinambungan


kehidupan, hanyalah perwujudan kasat mata sementara dari energi
karma. Badan fisik seperti ini tidak secara langsung berkembang dari
wujud fisik sebelumnya, namun merupakan penerus wujud lampau
ini—yang terkait dengannya melalui arus energi karma yang sama.

Sama seperti arus listrik bisa mewujud dalam bentuk cahaya, panas,
dan gerakan berturut-turut—kita tidak harus berkembang dari
wujud lain—jadi energi karma ini bisa mewujudkan dirinya dalam
bentuk sesosok dewa, manusia, binatang, atau makhluk lain, satu
wujud tidak memiliki hubungan fisik dengan lainnya. Karma kitalah
yang menentukan sifat wujud materi kita, yang bervariasi menurut

84
KELAHI RAN UL ANG

kepiawaian atau ketakpiawaian perbuatan lampau kita, dan ini


kembali bergantung sepenuhnya pada perkembangan pemahaman
kita akan realitas. Alih-alih mengatakan bahwa manusia menjadi
binatang atau sebaliknya, lebih tepat mengatakan bahwa energi
karma mewujudkan diri dalam wujud manusia atau bisa mewujudkan
diri dalam wujud binatang. Selama pengembaraan kita dalam
saṁsāra—jika kita bicara dalam istilah biasa—kita mengumpulkan
berbagai pengalaman, menerima pelbagai kesan, mendapatkan
karakteristik yang berbeda. Pikiran, perkataan, atau perbuatan kita
itu tanpa bisa dihapus lagi, tercatat dalam batin seperti gulungan
perkamen. Berbagai sifat yang kemudian kita dapatkan selama
rangkaian kelahiran sebagai manusia, dewa, binatang, atau hantu,
terbaring tidur dalam diri kita, dan selama kita masih menjadi
penghuni dunia maka kecenderungan yang belum hancur ini, pada
momen tak terduga, muncul “dengan kekuatan mengerikan” dan
mengungkap kecenderungan tersembunyi karma kita.

Cukup alami bagi kita untuk berkomentar setelah menyaksikan


ledakan kemarahan dalam diri orang yang sangat terpelajar,
“Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal seperti itu? Siapa yang
mengira bahwa ia akan berbuat seperti itu?”

Tidak ada yang aneh dengan perilaku salah ini. Itu hanya ungkapan
bagian tersembunyi dari diri yang rumit ini. Inilah alasan mengapa
orang-orang yang biasanya memiliki niat luhur kadang tergoda
melakukan satu hal yang tak disangka-sangka mengenai diri mereka.

Devadatta, misalnya, memiliki kelahiran sebagai pangeran mulia,


sebagai anggota Saṅgha, memiliki kekuatan adikodrati. Terkuasai
kecemburuan yang tersembunyi dalam dirinya, ia beberapa kali
berupaya membunuh Buddha, gurunya sendiri. Demikianlah

85
KELAHI RAN UL ANG

sifat rumit manusia. Masa lalu kita yang terdekat bukanlah selalu
merupakan pertanda sejati masa depan kita berikutnya. Tiap momen
kita menciptakan karma baru. Dalam satu arti, kita yang sekarang
bukan mutlak apa kita yang dahulu, dan kita tidak akan menjadi
kita yang sekarang. Ia yang kemarin penjahat bisa menjadi suciwan
hari ini, dan yang hari ini muliawan bisa berubah menjadi penjahat
menyedihkan esoknya. Kita dengan aman dan benar bisa dihakimi
oleh momen saat kini yang abadi. Hari ini kita menabur benih masa
depan. Pada momen ini, kita mungkin memainkan peran seorang
yang brutal dan menciptakan neraka kita sendiri, atau di sisi lain,
memainkan peran manusia super dan menciptakan surga kita sendiri.
Tiap momen pikiran kini mengondisikan momen pikiran berikutnya.
Kelahiran berikutnya pun, menurut filosofi Buddhis, ditentukan oleh
proses pikiran terakhir yang kita alami dalam kehidupan ini.

Sama seperti selama hidup seseorang, setiap pikiran mati memberikan


semua potensinya ke penerusnya, demikian pula proses pikiran
terakhir kehidupan ini berakhir, menghantarkan semua ciri dan sifat
yang diperolehnya ke momen berikutnya—yaitu, momen pikiran
pertama (patisandhi viññāna) dalam kelahiran berikutnya.

Kini, jika orang yang jelang ajal memegang hasrat atau gagasan rendah,
atau mengalami suatu pikiran, atau melakukan aksi yang pantas
bagi binatang, maka karma buruknya akan mengondisikannya ke
kelahiran dalam wujud binatang. Kekuatan karma yang mewujudkan
dirinya sendiri dalam wujud manusia akan mewujudkan dirinya
dalam wujud binatang. Ini tidak menyiratkan bahwa karena itu
semua kecenderungan karma baik lampaunya hilang. Kecenderungan
ini tidur diam mencari kesempatan untuk bangkit ke permukaan.
Itu adalah karma yang begitu baik sehingga kelak menghasilkan
kelahiran sebagai manusia.

86
KELAHI RAN UL ANG

Proses pikiran terakhir, pada prinsipnya, bergantung pada keseluruhan


total perbuatan selama kehidupan kita. Pada umumnya, orang baik
memperoleh kelahiran yang baik, dan orang jahat memperoleh
kelahiran buruk. Namun, dalam beberapa kasus istimewa hal yang tak
diharapkan bisa terjadi.

Ratu Mallikā,53misalnya, menjalani kehidupan bajik, namun karena


mengalami pikiran buruk pada momen menjelang ajalnya, ia terlahir
di alam menderita. Namun karena karma baiknya kuat, masa
kehidupan itu hanya berlangsung beberapa hari.

“Apakah ini adil?”orang bisa bertanya.

Jika orang baik, karena terpancing, melakukan pembunuhan, maka


ia akan dituntut sebagai pembunuh. Perbuatan baiknya yang lampau
tidak diragukan lagi akan meringankannya dan memiliki pengaruhnya,
namun perbuatan brutal itu tidak bisa dihancurkan oleh kebaikan
masa lalunya. Mungkin catatan masa lalunya akan meringankan
hukumannya, namun tidak pernah cukup untuk membebaskannya
sama sekali dari kejahatan beratnya. Peristiwa tak diharapkan ini
akan memaksanya hidup dalam suasana tidak nyaman di antara para
kriminal yang bertindak sama. Apakah ini adil? Bayangkan bagaimana
satu perbuatan tidak bajik bisa meruntuhkan seorang mulia!

Pada salah satu kejadian, dua petapa bernama Punna dan Seniya
yang menjalani pertapaan kerbau dan anjing menemui Buddha dan
bertanya kepada-Nya mengenai nasib mendatang mereka.

Buddha menjawab:

53 Permaisuri Raja Kosala yang hidup pada zaman Buddha.

87
KELAHI RAN UL ANG

“Di dunia ini seseorang yang mengembangkan dengan saksama dan


senantiasa melakukan praktik, kebiasaan, mentalitas, dan sikap
seekor anjing, maka ia setelah mengembangkan praktik, kebiasaan,
mentalitas, dan sikap keanjingan dengan saksama dan menerus,
pada saat terpisah dari tubuh, setelah kematian, akan terlahir ulang
di antara anjing. Tentu saja jika ia memegang keyakinan seperti
ini, ‘Dengan kebajikan praktik, pertapaan, kehidupan mulia ini,
aku akan menjadi dewa atau sejenis makhluk surgawi’—itu adalah
keyakinannya yang keliru.Karena bagi ia yang memegang pandangan
keliru seperti yang Saya nyatakan tadi maka ada dua pilihan kondisi
masa depannya—terlahir di alam derita atau di kerajaan binatang.
Demikianlah, jatuh ke keadaan derita, pertapaan keanjingan yang
sukses hanya membawa kita menuju pertemanan dengan anjing.”54

Sama halnya pula, Buddha menyatakan bahwa ia yang melakukan


pertapaan kerbau setelah meninggal akan terlahir di antara kerbau.
Jadi ada kemungkinan kemerosotan karma dalam satu lompatan
dalam yang disebut tangga evolusi makhluk hidup.

Sebaliknya, kenaikan karma juga bisa terjadi. Misalnya, saat seekor


binatang akan meninggal, ia mungkin mengalami kesadaran moral
yang akan matang menjadi kelahiran manusia. Proses pikiran terakhir
ini tidak bergantung sepenuhnya pada perbuatan atau pikiran apa
pun binatang itu, sebab pada umumnya, batin binatang lembam dan
tidak mampu melakukan perbuatan moral apa pun.

Ini bergantung pada perbuatan bajik lampau yang dilakukan selama


masa kehidupan sebelumnya yang telah lama tertunda untuk
menghasilkan buah yang tak terhindarkan. Pada momen terakhirnya,

54 Majjhima Nikāya, Sutta 57.

88
KELAHI RAN UL ANG

binatang itu bisa mendapat gagasan atau gambaran yang akan


menyebabkan kelahiran manusia.

Poussin, penulis Perancis, menggambarkan fakta ini dengan hukum


genetika, “Seseorang mungkin seperti kakeknya namun tidak seperti
ayahnya. Bibit penyakit telah dimasukkan ke dalam organisme
leluhurnya, namun selama beberapa generasi tidak aktif. Namun tiba-
tiba, itu mewujud menjadi penyakit sebenarnya.”

Begitulah rumitnya sifat ajaran karma dan kelahiran ulang ini!

Kapan kita datang, ke mana kita akan pergi, dan kapan kita akan
pergi, kita tidak tahu. Kenyataan bahwa kita akan pergi, kita tahu
dengan pasti.

Kepemilikan yang kita sayangi, sanak dan saudara tidak mengikuti


kita—tidak, tidak bahkan tubuh yang kita sebut milik kita sendiri. Dari
unsur-unsur mereka datang, ke unsur-unsur mereka kembali. Hanya
ketenaran kosongan dan sia-sia yang lenyap di udara nan tipis.

Sendirian kita berkelana dalam samudra saṁsāra yang diterpa badai


ini, terbawa ke sini dan ke sana oleh karma kita sendiri, muncul di
sini sebagai hewan atau manusia dan di sana mungkin sebagai sesosok
dewa atau brahma.

Kita bertemu dan berpisah namun kita mungkin bertemu lagi tanpa
saling mengetahui. Karena jarang kita menemukan makhluk yang,
selama pengembaraan kita, belum pernah suatu waktu menjadi ibu,
ayah, saudara, putra, atau putri kita.

89
KELAHI RAN UL ANG

“Jika seseorang,” kata Buddha, “hendak mencabuti rumput, ranting,


cabang, dan dahan di India ini dan mengumpulkannya bersama,
membuat tumpukan dengan menumpuk mereka dalam tumpukan
setebal empat inci, lalu mengatakan kepada masing-masing, ‘Ini
ibuku, ini ibu dari ibuku,’—semua rumput, ranting, cabang, dan dahan
di India ini akan terpakai habis, namun belum berakhir urutan ibu
dari ibu orang itu.”

Kita begitu terpaut erat selama pengelanaan kita dalam saṁsāra. Tak
terhingga kehidupan telah kita jalani dan tak terhingga duka kita terima
selama masa tak terbatas yang sedemikian, sehingga Buddha berkata,

“Tulang satu orang yang berkelana dalam saṁsāra akan menjadi penanda,
gundukan, tumpukan setinggi Gunung Vepulla, seandainya ada yang
mengumpulkan belulang ini dan belulangnya tidak hancur.”

“Telah lama kalian menderita kematian ayah dan ibu, kematian putra, putri,
saudara dan saudari, dan selagi kalian berduka seperti itu, kalian telah
meneteskan air mata sepanjang jalan ini, lebih dari air di empat samudra.”

“Telah lama darah kalian mengalir karena kehilangan kepala kalian saat
terlahir sebagai kerbau, sapi, kambing jantan, betina, dan lain-lain.”

“Telah lama kalian tertangkap sebagai pencuri atau pembegal atau pezina,
dan melalui dipenggalnya kepala kalian, sesungguhnya jauh lebih banyak
darah mengalir di jalan ini daripada air di empat samudra.”

“Dan demikianlah kalian telah lama sekali mengalami duka, mengalami


siksaan, mengalami kemalangan, dan mengisi penuh pekuburan,
sesungguhnya cukup lama untuk kecewa dengan setiap wujud keberadaan,

90
KELAHI RAN UL ANG

cukup lama untuk berpaling dan membebaskan diri kalian dari seluruh
wujud keberadaan.”55

CATATAN TENTANG AJARAN KARMA


DAN KELAHIRAN ULANG DI BARAT

Doktrin mengenai karma dan kelahiran ulang adalah batu pondasi


filosofi Plato. Makhluk-makhluk selamanya bepergian melalui “siklus
keharusan”; kejahatan yang mereka lakukan dalam setengah lingkaran
pengembaraan mereka ditebus dalam setengah lingkaran yang lain.
Dalam bukunya Republic, kita menemukan karma dipersonifikasikan
sebagai “Lachesis, putri kemestian”, yang di tangannya arwah-arwah
tanpa tubuh memilih inkarnasi mereka. Orpheus memilih tubuh
angsa. Thersites memilih kera. Agamemmon memilih elang. “Sama
pula, beberapa binatang berlalu menjadi manusia, dan begitu juga
satu sama lain, yang tidak adil menjadi hewan liar, dan yang adil
menjadi hewan jinak.”

Dalam periode sebelum Perang Persia, kontak dengan Barat dengan


Timur menyebabkan pemberontakan terhadap doktrin kematian
sederhana Homer, dan pencarian dimulai untuk penjelasan lebih
mendalam mengenai kehidupan. Pencarian ini, menariknya, dimulai
oleh bangsa Yunani Ionia di Asia Kecil, yang dipengaruhi India.

Pythagoras,56 yang terlahir sekitar tahun 580 SM di Pulau Samos,

55 Lihat Buku Saṁyutta Nikāya I, hal 31-34.


56 Pythagoras ingat pernah bertempur sebagai Eophorbus dalam Perang Troya.
Empedocles pernah dalam kelahiran lampaunya menjadi bocah, gadis, dan ikan
bersisik di samudra (Frag. 117, Diels.)
91
KELAHI RAN UL ANG

berkelana luas, dan menurut pembuat riwayat hidupnya, mempelajari


ajaran orang India. Dialah yang mengajarkan Barat doktrin karma dan
kelahiran ulang.

“Bukan berlebih-lebihan,” kata Garble dalam bukunya Greek


Thinkers,57“untuk menyangka bahwa orang Yunani yang ingin tahu
ini, yang sezaman dengan Buddha, akan memperoleh pengetahuan
Timur yang kurang lebihnya tepat, di zaman kemajuan intelektual
itu, melalui Persia.”

Pandangan Lain Mengenai Kelahiran Ulang

Bhagavad Gitā:
“Kala manusia melepaskan pakaiannya yang usang, mengenakan
yang baru, demikian pula yang berdiam dalam tubuh, menanggalkan
tubuh usangnya, memasuki tubuh lainnya yang baru.”
“Karena kematian telah pasti bagi yang terlahir, dan kelahiran telah
pasti bagi yang mati.”

Herodotus:
“Mesir mengeluarkan teori bahwa jiwa manusia tidak bisa hancur,
dan bahwa tempat di mana tubuh siapa pun meninggal, tubuh itu
memasuki makhluk lainnya yang siap menerimanya.”

Pythagoras:
“Semua memiliki jiwa, semua adalah jiwa, berkelana dalam dunia
organik dan mematuhi hukum atau kehendak abadi.”

Plato:

57 i. 127.

92
KELAHI RAN UL ANG

“Jiwa lebih tua dari tubuh. Jiwa terus-menerus terlahir ulang lagi ke
dalam kehidupan ini.”

Ovid mengenai Pythagoras, diterjemahkan oleh Dryden


“Kematian demikian itu disebut hanya barang lama
yang dipakaikan wujud baru; dan dalam berbagai rompi
dari rumah bobrok ke rumah bobrok meski dikeluarkan,
jiwanya masih yang sama, hanya sosoknya yang hilang.
Lalu seperti lilin yang diambil segel baru,
yang dikenakan wajah ini, dan kesan itu pergi,
kini disebut yang satu, lalu disebut dengan nama lain,
hanya wujudnya yang berubah, lilinnya masih sama.
Kemudian, terlahir itu adalah mulai menjadi
hal lain yang sebelumnya kita tidak demikian.
Wujud-wujud aku yakin terubahkan;
bahwa tiada yang bisa berlanjut dalam sosok yang dimulainya.”

Schopenhauer:
“Kita menemukan doktrin Metempsychosis58, yang muncul dari zaman
paling awal dan mulia peradaban manusia, selalu menyebar luas
di bumi seperti keyakinan mayoritas besar umat manusia, tidak,
sesungguhnya seperti ajaran semua agama, dengan perkecualian
Yahudi dan dua agama yang telah muncul darinya dalam wujud
paling halus, namun, paling mendekati kebenaran yang telah
disebutkan dalam ajaran Buddha. Sesuai dengan itu, selagi umat
Kristiani menghibur diri dengan pikiran bertemu di dunia lain tempat
seseorang meraih kembali kepribadian penuhnya dan mengetahui
dirinya seketika, dalam agama-agama lain ini, pertemuan itu telah
dan sedang terjadi meski tak diketahui. Dalam laju kelahiran demi

58 Kelahiran ulang.

93
KELAHI RAN UL ANG

kelahiran mereka yang kini berhubungan erat atau berkontak


dengan kita juga akan terlahir bersama dengan kita pada kelahiran
berikutnya, dan akan memiliki hubungan dan kesan yang sama atau
cocok terhadap kita seperti sekarang, baik kesannya ramah atau pun
bermusuhan.”

“Seperti yang telah diajarkan dalam Kitab Veda, seperti juga dalam
semua kitab suci India, metempsychosis juga dikenal sebagai inti ajaran
Brahmanisme dan Buddhisme. Sesuai dengannya ajaran ini berjaya
pada zaman sekarang di seluruh Asia yang bukan Islam, demikianlah
di antara lebih dari separuh umat manusia, sebagai keyakinan paling
teguh dan suatu pengaruh praktik yang luar biasa kuat. Ada juga
keyakinan orang Mesir yang diterima dengan antusias oleh Orpheus,
Pythagoras, dan Plato. Kaum Pythagorean, akan tetapi, terutama
memeluknya. Itu juga diajarkan dalam misteri orang Yunani yang tak
disangkal lagi ada dalam buku kesembilan Hukum Plato.”

“Edda, terutama juga dalam ‘Volusna’ mengajarkan metempsychosis;


yang kurang lebih adalah landasan ajaran para Druid.”

“Menurut semua ini, keyakinan akan metempsychosis muncul sendiri


sebagai keyakinan alami manusia, kapan pun ia merenugi semuanya
dengan sikap tanpa prasangka….” The World as Will and Idea

Hume:
“Metempsychosis adalah satu-satunya sistem keabadian yang layak
didengar filosofi.”

Disraeli:
“Tiada sistem yang begitu sederhana, dan begitu tidak memuakkan
pemahaman kita selain metempsychosis. Derita dan kenikmatan

94
KELAHI RAN UL ANG

hidup ini dengan sistem ini dianggap sebagai tebusan atau hukuman
perbuatan kita dalam keadaan lain.”

Dante:
“Dan kemudian, Nak, yang melalui bobot fanamu akan kembali lagi
ke bawah.”

Emerson:
“Kita harus menyimpulkan takdir kita dari awal kita terdorong oleh
naluri untuk memiliki tak terhitung banyaknya pengalaman yang tak
memiliki nilai yang kasat mata, dan yang mungkin telah kita terima
selama banyak kehidupan sebelum kita akan menggabungkan atau
melenyapkannya.”

Lessing:
“Mengapa tidak saya kembali lagi sesering yang saya mampu untuk
memperoleh pengetahuan baru, pengalaman baru? Apakah saya
membawa pergi begitu banyak dari satu kehidupan sehingga tidak
ada kehidupan lain untuk membayar susah payah untuk kembali?”

Huxley:
“Seperti doktrin evolusi itu sendiri, kelahiran ulang memiliki akarnya
dalam lingkup realitas.”
“Pengalaman setiap hari mengakrabkan kita dengan kenyataan
yang tergolong di bawah yang disebut faktor keturunan. Setiap dari
kita memiliki pertanda nyata orangtuanya bahkan mungkin dalam
hubungan lebih jauh. Lebih khusus lagi, seluruh kecenderungan
untuk bertindak dengan cara tertentu, yang kita sebut karakter,
sering kali bisa dilacak melalui serangkaian leluhur dan silsilahnya.
Jadi kita bisa mengatakan dengan benar bahwa karakter ini, hakikat
moral dan intelektual seseorang bisa dibuktikan diturunkan dari satu

95
KELAHI RAN UL ANG

wadah ke wadah lainnya, dan benar-benar berpindah dari generasi


ke generasi. Pada bayi yang baru lahir, karakter bayi itu masih laten,
dan ego tidak lebih dari sebuntal potensi, namun sejak dini sekali,
potensi ini menjadi kenyataan; dari masa kanak-kanak ke usia
tempat potensi ini mewujud sebagai kedunguan atau kecemerlangan,
kelemahan atau kekuatan, kebuasan atau kesusilaan; dan tiap sifatnya
terus dimodifikasi dan saling memengaruhi karakter lain, lalu bukan
dengan lain lagi, karakter itu berlalu menuju inkarnasinya dalam
tubuh baru.”
“Filsuf India disebut karakter, seperti yang disebut ‘karma’. Karma
inilah yang dari diteruskan dari kehidupan ke kehidupan dan
menghubungkan mereka dalam rantai kelahiran ulang; dan mereka
berpandangan bahwa karma selalu berubah dalam tiap kehidupan,
bukan sekadar karena pengaruh orangtua namun oleh aksi karma
sendiri.”

Tennyson:
“Atau, jika melalui kelahiran lebih rendah aku datang,
semua pengalaman lampau menjadi,
terkonsolidasi dalam batin dan badan.
Aku mungkin melupakan nasibku dahulu yang lebih lemah:
karena bukankah pada usia tahun pertama
kita melupakan gema kenangan masa lalu.”

Wordsworth:
“Kelahiran kita tidak lain tidur dan lupa,
jiwa yang muncul bersama dengan kita,
bintang kehidupan kita,
memiliki tempat terbenam yang lain,
dan muncul darinya setelah itu:
tidak dalam kelupaan penuh
dan tidak pula dalam kepolosan sempurna.”
96
KELAHI RAN UL ANG

Shelley:
“Jika tidak ada alasan untuk menyangka bahwa kita telah ada sebelum
periode tempat kehidupan kita tampak nyata dimulai, maka tidak
ada alasan untuk menyangka bahwa kita akan terus eksis setelah
kehidupan kita yang sekarang berhenti.”

Profesor Francis Bowen dari Harvard University:


“Kehidupan kita di bumi dipandang dengan benar sebagai disiplin
dan persiapan bagi kehidupan yang lebih tinggi dan kekal setelahnya,
namun jika dibatasi jangka satu tubuh saja, jangka ini begitu singkat
sehingga tampaknya nyaris tak mencukupi tujuan yang demikian
agung itu. Tiga kali dua puluh tahun ditambah sepuluh lagi pasti
merupakan persiapan yang tidak cukup bagi keabadian. Namun
jaminan apa yang kita miliki bahwa masa percobaan jiwa hanya
dibatasi batas waktu yang begitu sempit? Mengapa tidak mungkin
bahwa serangkaian panjang kelahiran berikutnya yang berlanjut
atau berulang, kepribadian yang sama terus menggerakkan satu
demi satu rumah jasmani berikutnya dan meneruskan tiap latihan
yang diterimanya, karakter yang telah dibentuknya, sifat dan
perilaku yang dianutnya, dalam langkah-langkah keberadaan yang
mendahuluinya. Itu tidak perlu mengingat sejarah lampaunya
bahkan sembari menghasilkan buah dan konsekuensi sejarah itu
yang terpatri mendalam ke sifatnya kini. Berapa banyak kisah
panjang satu kehidupan apa pun yang kini benar-benar lenyap dari
kenangan, meski mereka telah memberikan banyak sumbangsih
untuk mengembangkan hati dan pikiran yang membedakan satu
orang dengan yang lain? Tanggung jawab kita pasti tidaklah dikurangi
kelupaan seperti itu. Kita tampaknya masih bertanggung jawab atas
penyia-nyiaan waktu, meskipun kita telah lupa bagaimana atau pada
apa kita menyia-nyiakannya. Kita kini bahkan menuai buah pahit,
melalui kesehatan yang buruk dan nafsu serta kemampuan jahat,

97
KELAHI RAN UL ANG

mengenai banyak perbuatan berfoya-foya, kenakalan, dan dosa yang


terlupakan—terlupakan hanya karena jumlahnya begitu banyak.”
“Jika setiap kelahiran merupakan aksi penciptaan mutlak, bahwa
pemunculan kehidupan sesosok makhluk itu benar-benar baru, kita
mungkin dengan masuk akal bertanya mengapa jiwa berbeda begitu
bermacam-macam sedari awal? Jika metempsychosis dimasukkan dalam
rencana ilahi dunia ini, maka masalah ini akan lenyap sama sekali. Jika
dipandang dari sudut pandang ini, tiap orang terlahir dalam kondisi
yang telah ia peroleh dengan adil dari sejarah lampaunya sendiri.
Doktrin pewarisan dosa dan konsekuensinya adalah pelajaran yang
pahit untuk dipelajari. Namun tak seorang pun bisa mengeluhkan
pembawaan dan berkah yang ia warisi dari dirinya sendiri, yaitu dari
dirinya yang dahulu pada kehidupan sebelumnya. Apa yang kita sebut
kematian hanyalah pendahuluan kehidupan lain di bumi, dan jika
kehidupan lebih tinggi dan lebih baik dari yang baru berakhir, maka
itu adalah kesalahan kita.”

Keberadaan Sebelumnya
“Aku membaringkan diriku di tepian
dan mengimpikan ruang kecil;
aku mendengar ombak besar memecah dan meraung;
matahari menerpa wajahku.
Tanganku diam dan jariku cokelat,
bermain dengan kerikil abu-abu;
ombak datang, ombak menyurut;
dengan paling menggelegar dan riang.
Kerikilnya halus dan bundar,
dan kehangatan di tanganku;
seperti orang-orang kecil
yang kutemukan duduk di pasir.
Butiran pasir begitu kecil menyilaukan,

98
KELAHI RAN UL ANG

bergulir melalui jari-jariku;


matahari menyinari semua itu
dan demikianlah mimpiku dimulai;
bagaimana semua ini telah ada sebelumnya,
betapa dalam zaman yang telah lama.
Aku terbaring di pesisir terlupakan,
seperti aku terbaring hari ini.
Ombak datang membuat pasir berkilau,
seperti hari ini mereka bersinar;
dan dalam tanganku yang dahulu
pasirnya hangat dan halus.
Aku telah melupakan kapan aku datang,
atau apa rumahku,
atau oleh nama aneh dan liar apa
aku memanggil laut menggelegar itu.
Aku hanya tahu matahari menyinari,
seperti mentari masih bersinar hari ini,
dan dalam jari-jariku yang panjang dan cokelat,
tergeletak kerikil-kerikil kecil.”59

59 Frances Cornford—An Anthology of Modern Verse, dipilih oleh A. Methuen, London.


Methuen and Co., dan dikutip dalam “The Buddhist Annual of Ceylon.” 1927

99
KELAHI RAN UL ANG

100
KELAHI RAN UL ANG

BAGIAN TIGA

KEBENARAN DAN PENTINGNYA


KELAHIRAN ULANG

Bhikkhu Ṭhānissaro

101
KELAHI RAN UL ANG

T iap kali Anda memilih suatu perbuatan daripada perbuatan


lainnya, Anda melakukan taruhan dengan konsekuensi
pilihan Anda. Ini terutama sangat benar jika pilihannya adalah
antara hal mudah yang menawarkan imbalan jangka pendek yang
menyenangkan, dengan sesuatu yang sulit namun menjanjikan
imbalan besar namun hanya setelah jangka yang lama. Akankah
pilihan yang lebih sulit itu layak untuk diupayakan? Akankah yang
lebih mudah itu tidak bertanggung jawab pada jangka panjangnya?
Sebagai sosok yang terpatri dalam waktu, tidak ada cara agar Anda
bisa tahu secara pasti. Jika kita pikir, ada hal-hal khusus mengenai
masa depan pribadi Anda sendiri: Apakah Anda atau orang yang Anda
cintai akan hidup cukup lama untuk mengalami hasil pilihan Anda?
Akankah bencana turut campur untuk menyapu bersih segala yang
telah Anda kerjakan?

Kemudian ada ketidakpastian dalam kehidupan yang umumnya lebih


kuat: apakah kita bahkan punya pilihan dalam perbuatan kita, ataukah
semua pilihan kita telah ditentukan sebelumnya oleh suatu masa
lalu atau kekuatan luar yang di luar kendali kita? Jika kita memang
memiliki pilihan, apakah cukup berharga untuk berkutat dengan
pilihan sulit? Apakah itu benar-benar berarti? Dan meskipun pilihan
kita bermakna, sampai berapa jauh ke masa depan kita menghitung
konsekuensinya? Apakah pilihan itu hanya membentuk kehidupan
ini, ataukah mereka bisa membentuk kehidupan setelah kematian?

102
KELAHI RAN UL ANG

Argumen yang dilandasi logika atau penalaran tidak pernah mampu


menuntaskan hal-hal ini secara bulat, dan agama-agama besar dunia
tidak sepakat dalam jawaban mereka, dan ilmu pengetahuan empiris
tidak mampu menjawab pertanyaan ini sama sekali. Namun, kita semua
terus harus bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Kita tidak
membiarkannya dengan, “Aku tidak tahu,” dan menolak melayaninya,
karena bahkan penolakan memikirkan hal ini merupakan taruhan:
bahwa pada akhirnya pertanyaan ini tidak penting.

Akan tetapi, Buddha mengajar bahwa pertanyaan ini memiliki makna


besar, dan bahwa kecerahan—dengan pergi melampaui dimensi ruang
dan waktu—memberi perspektif mengenai bagaimana pilihan bekerja
dalam dimensi ini. Anda melihat bahwa pilihan itu nyata, bahwa
pilihan memang membuat perbedaan, dan bahwa konsekuensi pilihan
Anda tidak hanya membentuk kehidupan ini, namun juga banyak
kehidupan pada masa mendatang—selama batin masih memiliki
nafsu yang membawa menuju kelahiran ulang setelah kematian.
Sebelum kecerahan, Anda tidak bisa tahu hal-hal ini dengan pasti,
namun seperti yang dinyatakan Buddha, jika Anda ingin mendapat
kecerahan dan meminimalisir derita sementara itu, paling bijak untuk
menganggap prinsip-prinsip ini sebagai hipotesis yang bekerja.

Tentu saja, itu berarti meyakini kata-kata Buddha—yang selama Anda


belum meraih kecerahan, merupakan suatu pertaruhan pula. Tujuan
tulisan mengenai ajaran Buddha tentang kelahiran ulang ini adalah
menunjukkan mengapa, selagi Anda berulang kali terlibat dalam
pertaruhan dalam perbuatan, jalan paling bijak adalah menaruh
taruhan Anda dengan Buddha.

103
KELAHI RAN UL ANG

ASUMSI YANG MERAGUKAN DOKTRIN

Kelahiran ulang sudah dan selalu menjadi ajaran sentral dalam


tradisi Buddhis. Catatan paling awal dalam Kanon Pāḷi (MN 26, MN 36)
mengindikasikan bahwa Buddha, sebelum kecerahan-Nya, mencari
suatu kebahagiaan yang tidak rentan terhadap deraan kelahiran,
pelapukan, kesakitan, dan kematian berulang. Salah satu alasan
Ia meninggalkan guru-guru awalnya adalah karena Ia mengenali
bahwa ajaran mereka tidak membawa menuju tujuan yang Ia cari,
namun kelahiran ulang pada tataran yang lebih murni. Pada malam
kecerahan-Nya, dua dari tiga pengetahuan yang membawa menuju
keterbebasan-Nya dari duka terpusat pada topik kelahiran ulang.

Pengetahuan pertama menunjukkan banyak kehidupan lampau-Nya


sendiri. Pengetahuan kedua, menunjukkan pola umum makhluk mati
dan lahir ulang di seluruh semesta, menunjukkan hubungan antara
kelahiran ulang dengan karma, atau perbuatan.

Tatkala Ia akhirnya meraih keterbebasan dari duka, Ia menyadari


bahwa Ia telah mencapai tujuan-Nya karena Ia telah menyentuh
suatu aspek yang tidak hanya bebas dari kelahiran, namun juga
telah membebaskan-Nya dari akan terlahir lagi. Setelah Ia meraih
keterbebasan, keterbebasan yang baru Ia temukan dari kelahiran ulang
adalah realisasi pertama yang secara spontan terlintas di batin-Nya.

Ketika mengajarkan jalan kecerahan kepada orang lain, Ia


mendefinisikan empat tataran kecerahan yang dicapai sepanjang jalan
berdasarkan berapa kali kelahiran ulang yang tersisa bagi mereka
yang mencapainya: sampai tujuh kali lagi bagi yang meraih tataran
pertama; sekali kembali lagi ke alam manusia bagi yang mencapai
tataran kedua; kelahiran ulang diikuti dengan keterbebasan penuh

104
KELAHI RAN UL ANG

di Alam Kediaman Murni bagi yang mencapai tataran ketiga; dan


tiada kelahiran ulang bagi yang mencapai tataran keempat (AN 3:86).
Pada suatu kejadian, saat salah satu siswa-Nya yang belum mencapai
kecerahan tertinggi meninggal, ia akan mengomentari kelahiran
ulang siswa itu—seperti saat perumah tangga Anāthapiṇḍika, setelah
wafatnya, mendatangi Buddha sebagai makhluk surgawi (MN 143).
Saat siswa Buddha mana pun yang cerah penuh meninggal, Ia akan
menyatakan bahwa salah satu ciri menakjubkan kepergian mereka
adalah bahwa kesadaran mereka tak bisa lagi ditemukan dalam
semesta. Kelahiran ulang, kata-Nya, terjadi bagi mereka yang masih
memiliki kemelekatan, namun tidak bagi mereka yang tak memiliki
kemelekatan (SN 44:9). Dan salah satu pencapaian menakjubkan
Buddha sendiri sebagai Buddha, Ia bersabda, adalah bahwa pada akhir
kehidupan ini, dunia tidak akan melihat-Nya lagi (DN 1).

Saat membahas topik yang lebih duniawi, seperti imbalan atas


kedermawanan dan kesusilaan, Ia akan mengutip imbalan yang
dihadirkan kedermawanan dan kesusilaan bukan hanya dalam
kehidupan ini namun juga pada kehidupan mendatang. Bahkan dalam
kasus Ia diminta secara khusus untuk membatasi pembahasannya
pada kehidupan kini, Ia akan mengakhiri pembahasan dengan
merujuk pada imbalan perbuatan piawai ini setelah kematian (AN
5:34; AN 7:54).

Jadi, tema kelahiran ulang terajut tanpa-bisa-dilepaskan sepanjang


ajaran Buddha. Dan keterbebasan dari kelahiran ulang telah menjadi
ciri sentral tujuan umat Buddha sejak awal tradisi itu. Pelbagai aliran
agama Buddha yang kemudian berkembang di Asia, meskipun adanya
perbedaan satu sama lain, semuanya mufakat mengajarkan kelahiran
ulang. Bahkan aliran yang tidak bertujuan mengakhiri kelahiran
ulang pun masih mengajarkan kelahiran ulang sebagai fakta.

105
KELAHI RAN UL ANG

Namun saat aliran Buddhis ini datang ke Barat, mereka membentur


dinding kebudayaan Barat modern: dari seluruh ajaran Buddha,
kelahiran ulang menjadi salah satu yang paling sulit diterima orang
Barat modern. Sebagian perlawanan ini muncul dari fakta bahwa tidak
ada pandangan dunia budaya Barat yang dominan, baik secara religius
atau pun materialistik, memuat apa pun yang berhubungan dengan
gagasan kelahiran ulang. Plato mengajarkannya, namun—selain
sedikit sisi yang esoterik—segelintir orang di Barat memperlakukan
aspek ajaran Plato ini sebagai sesuatu selain mitos.

Bagi sebagian orang yang merasa teriritasi atau muak oleh tuntutan
iman agama Barat, ada penghalang tambahan bahwa ajaran kelahiran
ulang adalah sesuatu yang—bagi yang belum cerah—harus diterima
sebagai iman. Mereka lebih menyukai ajaran Buddha yang tidak
membuat tuntutan iman apa pun, memusatkan perhatiannya hanya
pada manfaat yang bisa dihadirkannya dalam kehidupan ini.

Jadi bagi banyak orang Barat yang telah menerima keuntungan dari
wawasan psikologis dan sarana meditasi Buddha, pertanyaan muncul:
bisakah kita menanggalkan sebutan apa pun mengenai kelahiran
ulang dari ajaran Buddha dan masih mendapat manfaat penuh ajaran-
Nya? Dengan kata lain, bisakah kita meluruhkan pandangan dunia
Buddha sambil mempertahankan aspek psikologi-Nya dan masih bisa
merealisasi segala yang ditawarkan ajaran ini?

Kita di Barat telah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Pada akhir
abad ke-18 dan awal abad ke-19, banyak kaum Romantik Eropa dan
Transendentalis Amerika menemukan bahwa mereka tidak bisa
menerima pandangan dunia dalam Injil karena mereka terlahir dalam
zaman penemuan ilmiah baru—yang memiliki kedalaman waktu
geologis dan kedalaman ruang astronomis—yang membuat pandangan

106
KELAHI RAN UL ANG

dunia Injil jadi dipertanyakan. Akan tetapi, mereka menghargai


banyak ajaran psikologis yang dimuat Injil. Jadi, mereka mulai
mengembangkan pendekatan historis terhadap Injil, menyatakan
bahwa pandangan dunia Injil mungkin sesuai dengan prasangka
budaya pada zaman Injil ditulis, namun pandangan dunia itu harus
ditanggalkan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Hanya saat
itulah wawasan psikologis Injil bisa bertahan di dunia modern. Dan
bukan hanya bertahan: wawasan itu sesungguhnya berkembang ke
tingkat yang lebih tinggi. Dengan menanggalkan pandangan dunianya
yang ketinggalan zaman dan menyerahkan kosmologi kepada para
ilmuwan, tradisi Yudeo-Kristian bisa lebih memusatkan secara tepat
dan efektif di lingkup semua agama yang sesuai: pengembangan batin
manusia. Pendekatan ini membentuk landasan Kristianitas liberal
dan agama Yahudi yang direformasi.

Tergugah pendekatan ini, banyak guru Buddhis modern telah


berpendapat bahwa ajaran kelahiran ulang semestinya diperlakukan
dengan cara yang sama. Dalam pandangan mereka, kelahiran ulang
hanyalah suatu asumsi budaya pada zaman Buddha dan—karena itu
tak lagi sesuai dengan asumsi budaya kita dan kepercayaan ilmiah—
sudah tiba waktunya menanggalkannya supaya bisa membantu
kemajuan tradisi Buddhis.

Untuk mendukung argumen mereka, para guru ini mengutip hasil


karya cendekia sejarah yang menyatakan bahwa tiap orang di India
pada zaman Buddha memercayai gagasan kelahiran ulang dan asumsi
metafisika mengenai karma, gagasan yang melandasi identitas diri:
bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang bertahan hidup setelah
kematian jasmani, dan bahwa perbuatan kita membentuk ke mana
“sesuatu” tadi akan terlahir ulang. Demikianlah, mereka berdebat,
bahwa Buddha, dalam mengajarkan karma dan kelahiran ulang,
sekadar menyetujui khalayak ramai.
107
KELAHI RAN UL ANG

Versi lebih kuat dari argumen ini berpegang bahwa ajaran kelahiran
ulang bukan sekadar tak relevan dengan esensi ajaran Buddha; namun
sesungguhnya malah bertolak belakang. Sama seperti semua pemikir
besar memiliki kelemahannya, Ia—atau siapa pun, dalam proses
penghimpunan Kanon Pāḷi, meletakkan ajaran kelahiran ulang ke
mulut Buddha—tak menyadari bahwa asumsi budaya-Nya mengenai
karma, kelahiran ulang, dan identitas diri bertentangan dengan
ajaran utamanya mengenai tanpa-inti-diri dan Empat Kebenaran
Suciwan. Maka kini saat kita tak lagi memegang asumsi itu—dan
telah menggantikannya dengan gagasan yang lebih andal dan ilmiah
mengenai perbuatan manusia dan metafisika identitas diri—kita
berada dalam posisi yang lebih baik untuk menanggalkan gagasan
kelahiran ulang dan membentuk ulang tradisi Buddhis supaya bisa
memusatkan dengan lebih jelas ke wawasan utama Buddha dan tujuan
utama ajaran-Nya: mengakhiri duka di sini dan kini.

Ironi pendapat ini adalah, saat kita memeriksa pendapat ini terhadap
bukti sejarah yang aktual, kita menemukan semuanya terbalik. Fakta
nyatanya adalah sebagai berikut:

1) Gagasan kelahiran ulang jauh dari diterima secara universal di


India pada zaman Buddha. Beberapa aliran pemikiran secara aktif
menolaknya, sebagian menyetujuinya. Lalu para pemikir dari kedua
belah pihak menawarkan pelbagai gagasan metafisika yang berbeda
jauh mengenai identitas diri untuk menyokong posisi mereka.
Dengan kata lain, bahkan mereka yang setuju bahwa kelahiran ulang
terjadi atau tidak terjadi tidak sepakat mengenai apa yang terlahir
ulang atau tidak itu. Pada saat yang sama, mereka yang setuju
dalam mengajarkan kelahiran ulang tidak setuju mengenai peranan
karma, atau perbuatan, dalam proses kelahiran ulang. Sebagian
berpandangan bahwa perbuatan memengaruhi jalannya banyak

108
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan seseorang setelah kematian; aliran lain mengatakan itu


tidak memainkan peranan sama sekali.

2) Maka Buddha, dalam mengajarkan kelahiran ulang dan


hubungannya dengan karma, sesungguhnya membahas salah satu
topik panas zaman itu. Karena Buddha tidak selalu ikut ambil bagian
dalam topik kontroversial, maka Buddha pasti telah melihat bahwa isu
ini memenuhi syarat yang Ia tetapkan untuk topik-topik yang ingin Ia
bahas: bahwa itu mendukung pada pengakhiran duka. Dan nyatanya,
Ia membuat kelahiran ulang sebagai bagian pokok penjelasan-Nya
mengenai pandangan benar duniawi—tataran pandangan benar
yang memberi pemahaman mengenai kekuatan dan konsekuensi
perbuatan manusia yang memungkinkan perbuatan manusia untuk
bisa mengakhiri duka.

3) Ia juga membuat kelahiran ulang bagian pokok penjelasan-Nya


mengenai Empat Kebenaran Suciwan dan pemahaman sebab-akibat—
Musabab Yang Saling Bergantung—yang melandasi kebenaran ini.
Karena Musabab Yang Saling Bergantung berisi banyak lingkaran
sebab-akibat—tempat satu faktor menghasilkan faktor lain yang
mengasupnya—maka itu adalah proses swadaya dengan potensi
mempertahankan keberlangsungannya tanpa batas. Inilah sebabnya
kelahiran memiliki potensi untuk terus berulang sebagai kelahiran
ulang sampai sesuatu secara aktif diperbuat untuk memotong
lingkaran sebab-akibat yang membuat proses itu terus berlangsung.
Pada waktu yang sama, karena Musabab Yang Saling Bergantung
bekerja pada banyak skala—mulai dari tataran mikro fenomena
dalam batin, sampai tataran makro jangka kehidupan lintas masa
di semesta—ini menunjukkan bagaimana fenomena mikro bisa
membawa kelahiran ulang pada skala makro, dan sama pula,
bagaimana pelatihan batin bisa mengakhiri seluruh bentuk duka—
termasuk kelahiran ulang—di setiap tataran.
109
KELAHI RAN UL ANG

Apa makna hal ini dalam praktik adalah tak peduli seberapa banyak
Anda mengamati peristiwa Musabab Yang Saling Bergantung pada
momen kini, jika Anda tak menghargai potensinya untuk mengasup
satu sama lain tanpa hingga, Anda tidak memahaminya dengan
penuh. Dan jika Anda tidak memahaminya dengan penuh, Anda tak
bisa mendapatkan keterbebasan penuh darinya.

4) Dalam membahas kelahiran ulang, Buddha berbeda dari aliran


pemikiran lain pada masa itu bahwa Ia tak mendasarkan posisinya pada
pandangan metafisika mengenai identitas diri—yaitu, mendefinisikan
apa yang terlahir ulang. Dengan menaruh kelahiran ulang pada konteks
Musabab Yang Saling Bergantung, Ia menghadirkannya dalam konteks
fenomena—yaitu, pandangan yang memusatkan pada fenomena
karena mereka bisa dialami langsung dan yang menolak menetapkan
posisi mengenai apakah ada realitas “substansi” yang mendasari
mereka. Tujuan-Nya mengambil posisi ini pragmatis dan strategis:
dengan memusatkan pada kejadian dan proses saat mereka dialami
secara langsung, Anda bisa mengarahkan mereka—melalui kekuatan
perhatian dan perniatan—menjauh dari duka yang biasanya mereka
sebabkan serta menuju kebahagiaan tanpa kematian. Dengan cara ini,
pendekatan Buddha, alih-alih metafisik, memiliki kesamaan dengan
aliran pemikiran filosofi modern—fenomenologi dan pragmatisme—
yang menghindar terlibat dalam prasangka metafisika mengenai
realitas di balik pengalaman langsung.

5) Fakta bahwa Buddha mengusulkan kepada rekan-rekan sezaman-


Nya untuk menanggalkan asumsi metafisika mereka mengenai
identitas diri jika mereka ingin melatih jalan menyiratkan bahwa Ia
hendak mengusulkan hal yang sama kepada orang-orang di dunia
modern. Untuk memperoleh manfaat terbanyak dari ajaran-Nya,
perlu untuk menyadari bahwa kita memiliki asumsi metafisika

110
KELAHI RAN UL ANG

mengenai identitas diri dan dunia; dan bahwa—kecuali kita bisa


mengesampingkannya—asumsi itu akan mencegah kita melihat cukup
mendalam pada pengalaman langsung dalam istilah yang dijabarkan
dalam Musabab Yang Saling Bergantung.

Melihat pengalaman berdasarkan istilah Musabab Yang Saling


Bergantung berarti mengidentifikasi peristiwa batin dan pilihan yang
membawa menuju kelahiran ulang dan wujud duka lainnya, serta
mengembangkan pengetahuan yang bisa mengakhiri mereka. Dengan
kata lain, bagian dari latihan bahkan sampai hari ini terletak dalam
membuktikan bahwa Buddha benar mengenai hubungan antara karma
dan kelahiran ulang, dan bahwa kebenaran-Nya itu tak lekang waktu.
Ajaran ini bersifat pokok bagi Empat Kebenaran Suciwan, terutama
ke jalan lelaku yang membawa menuju akhir duka. Menyingkirkan
ajaran ini tidak akan membantu memajukan ajaran Buddha. Itu hanya
akan mencegah ajaran ini memenuhi tujuannya. Meski dimungkinkan
untuk meraih berbagai manfaat dari ajaran Buddha tanpa menerima
apa yang Ia katakan mengenai kelahiran ulang, jika kita ingin
memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari ajaran-Nya, kita
semestinya memberikan diri kita kesempatan untuk mendengarkan
dengan adil pernyataan Buddha mengenai kelahiran ulang. Karena
kelahiran ulang merupakan hipotesis kerja yang begitu penting dalam
terus mengikuti jalan sampai pada akhir duka, dan karena kesalahan
informasi mengenai poin-poin ini sudah begitu tersebar luas, maka
penting untuk membahas apa ajaran Buddha yang sebenarnya, serta
konteksnya, secara terperinci. Tambah lagi, karena para pemikir
Buddhis, berabad-abad setelah Buddha mangkat sering meninggalkan
posisi Buddha pada poin nomor empat—mereka membiarkan diri
mereka ditarik ke dalam pembahasan metafisika mengenai apa yang
terlahir atau tak terlahir—kita harus memusatkan pada pembabaran
awal dalam Kanon Pāḷi untuk memperoleh gambaran akurat mengenai
pendapat Buddha sendiri mengenai hal-hal ini.
111
KELAHI RAN UL ANG

KONTROVERSI KUNO

Sulit dimengerti mengapa para cendekiawan modern terus mengulang


gagasan bahwa semua orang di India pada zaman Buddha meyakini
kelahiran ulang. Sesungguhnya, pembabaran dalam Kanon Pāḷi
memberikan bukti kebalikannya dengan jelas, bukti yang telah tersedia
dalam bahasa Barat selama lebih dari satu abad.

Buddha sering merujuk pada dua ekstremitas pandangan salah


yang menghalangi kemajuan dalam jalan: pandangan keabadian
dan kemusnahan. “Pandangan kemusnahan” adalah istilah yang Ia
gunakan untuk menggambarkan mereka yang menolak kelahiran
ulang. Nyata sekali, Ia tidak menciptakan istilah itu sendiri, karena MN
22 melaporkan bahwa guru-guru lainnya kadang menuduh Buddha
sebagai pengajar pandangan kemusnahan itu pula.

Tulisan lainnya dalam Kanon menggambarkan dengan lebih kaya


beberapa pandangan kemusnahan yang diajarkan pada zaman-
Nya. Terutama, mereka menyebut dua orang yang tersohor karena
pandangan kemusnahannya. Yang satu adalah Ajita Kesakambalī,
pemimpin sekte materialis. DN 2 melaporkan dirinya mengatakan
hal ini:

“Tiada yang diberikan, tiada yang dipersembahkan, tiada yang


dikorbankan. Tiada hasil perbuatan baik atau buruk. Tiada alam ini,
tiada alam berikutnya, tiada ibu, tiada ayah, tiada makhluk yang
terlahir ulang spontan [makhluk yang terlahir tanpa memerlukan
orangtua di surga atau neraka]. Tiada petapa atau brahmana, yang
berkelakuan benar dan berlatih dengan benar, menyatakan alam ini
dan alam berikutnya setelah mengetahui dan merealisasinya sendiri
secara langsung.”

112
KELAHI RAN UL ANG

“Manusia terdiri dari empat unsur utama. Pada kematian, unsur tanah
(dalam tubuh) kembali dan bergabung dengan unsur tanah (di luar).
Api kembali dan bergabung dengan unsur api di luar. Cairan kembali
dan bergabung dengan unsur cair di luar. Angin kembali dan bergabung
dengan unsur angin di luar. Indra-indra terberai ke ruang. Empat
orang, dengan keranda mayat sebagai yang kelima, membawa mayat
itu. Puji-pujiannya hanya berbunyi sampai sejauh pekuburan. Belulang
berubah menjadi warna burung merpati. Persembahan berakhir dalam
abu. Kedermawanan diajarkan para dungu. Kata-kata mereka yang
bicara mengenai keberadaan setelah kematian itu obrolan palsu dan
kosong. Dengan terurainya tubuh, orang bijak dan dungu sama saja
musnah, hancur. Mereka tidak ada lagi setelah kematian.
—DN 2

Seorang penganut paham kemusnahan lainnya yang terkenal adalah


Pangeran bernama Pāyāsi. DN 23 menyatakan bahwa ia menganut
pandangan materialis yang sama dengan Ajita Kesakambalī, dan ia
menggunakan kekuasaannya untuk mengeksekusi pelaku kejahatan
sebagai kesempatan untuk melakukan uji cobanya yang keji dan semi-
ilmiah untuk membuktikan apakah ada bagian dari manusia yang
masih bertahan setelah kematian.

Ia melaporkan eksperimen ini ke salah satu pengikut Buddha, bhikkhu


bernama Kumāra Kassapa, dan dua dari eksperimennya adalah ini:

“Ada kasus, Bhante Kassapa, saat anak buah saya—setelah


menangkap seorang pencuri, pelaku kejahatan—membawanya
ke saya, (mengatakan), ‘Ini ada pencuri, pelaku kejahatan bagi
Paduka. Putuskanlah baginya apa pun hukuman yang Paduka
inginkan.’ Maka saya mengatakan, ‘Baiklah, kalau begitu, Tuan-
tuan, setelah menaruh orang ini hidup-hidup dalam kendi tanah

113
KELAHI RAN UL ANG

liat, setelah menyegel mulutnya, setelah menutupinya dengan


kulit lembab, setelah menyemennya dengan lapisan tebal tanah
liat lembab, memasukkannya dalam tungku, nyalakan apinya.’
Mereka—menjawab, ‘Baiklah,’ kata saya—setelah menaruh orang
itu hidup-hidup dalam kendi tanah liat, setelah menyegel mulutnya,
menutupinya dengan kulit lembab, menutupinya dengan lapisan tebal
tanah liat basah, menaruhnya dalam tungku, menyalakan apinya.
Tatkala kita mengetahui, ‘Orang itu sudah mati,’ maka—mengambil
kendi itu, membuka segelnya, membuka tutupnya—kita memeriksa
dengan saksama, (berpikir), ‘Mungkin kita akan melihat rohnya
meloloskan diri.’ Namun kita tak melihat rohnya meloloskan diri ….”

“Ada kasus, Bhante Kassapa, saat anak buah saya—setelah


menangkap seorang pencuri, pelaku kejahatan—membawanya ke
saya, (mengatakan), ‘Ini ada pencuri, pelaku kejahatan bagi Paduka.
Putuskanlah baginya apa pun hukuman yang Paduka inginkan.’
Maka saya mengatakan, ‘Baiklah, kalau begitu, Tuan-tuan, setelah
menimbang bobot orang ini di neraca selagi masih hidup, cekiklah
ia sampai mati dengan tali busur, lalu timbanglah ia lagi di neraca.’”

“Mereka—menjawab, ‘Baiklah,’ kepada saya—setelah menimbang


orang itu di neraca selagi masih hidup, mencekiknya sampai mati
dengan tali busur, menimbangnya lagi di neraca. Saat ia masih
hidup, ia lebih ringan, lebih lentur, dan lebih mudah digerakkan.
Namun setelah ia meninggal, ia lebih berat, lebih kaku, dan lebih sulit
digerakkan.”

“Inilah alasannya, Bhante Kassapa, kenapa saya meyakini, ‘Tidak ada


alam lain, tidak ada makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah
atau hasil perbuatan baik atau buruk.’”
—DN 23

114
KELAHI RAN UL ANG

DN 1 memberi gambaran pandangan kemusnahan pada zaman itu


dengan lebih lengkap, menggolongkannya dengan cara mereka
mendefinisikan diri yang musnah pada saat kematian. Keseluruhannya
ada tujuh jenis. Tiga aliran mendefinisikan diri sebagai tubuh: baik
tubuh fisik yang tersusun dari unsur materi, tubuh fisik surgawi, atau
tubuh astral. Pandangan yang dianut Ajita Kesakambalī dan Pangeran
Pāyāsi termasuk dalam golongan pertama dari ketiga pandangan ini.
Akan tetapi, empat pandangan kemusnahan lainnya, mendefinisikan
diri sebagai tanpa wujud: mengalami dimensi ruang tanpa batas,
kesadaran tanpa batas, kekosongan, atau bukan-pencerapan-pun-
bukan-tanpa-pencerapan. Dalam tiap tujuh pandangan ini, ajaran ini
menyatakan bahwa diri, betapa pun definisinya, hancur dan musnah
pada saat kematian.

Sedangkan aliran non-Buddhis yang menyetuhui gagasan kelahiran


ulang, Kanon Pāḷi secara jelas menamakan setidaknya empat aliran:
kaum brahmana (SN 42:6; AN 10:177), kaum Jain (MN101), dan dua
aliran petapa (samaṇa)—yang satu dipimpin oleh Makkhali Gosāla, dan
yang lainnya oleh Pakudha Kaccāyana. Kita mengetahui dari sumber
lainnya bahwa kaum Jain dan sebagian brahmana menyetujui bahwa
perbuatan memainkan peranan dalam membentuk kelahiran ulang.
Akan tetapi, Kanon menunjukkan bahwa dua guru lain menyangkal
bahwa perbuatan memainkan peranan apa pun dalam kelahiran ulang.

“[Makkhali Gosāla:] ‘Meski kita mungkin berpikir, “Melalui


kesusilaan ini, lelaku ini, pertapaan ini, atau kehidupan suci saya
akan mematangkan karma yang belum matang dan menyingkirkan
karma matang kapan pun tersentuh olehnya”—itu tidak mungkin.
Kenikmatan dan derita telah ditakar; pengembaraan terus memiliki
batasnya. Tiada perpendekan atau perpanjangan, tiada percepatan
atau perlambatan. Sama seperti bola benang, saat dilempar, akan

115
KELAHI RAN UL ANG

sampai ke ujungnya hanya dengan mengurainya, sama pula, setelah


berpindah dan berkelana terus, orang bijak dan orang dungu pun
akan mengakhiri derita.’”
—DN 2

“[Pakudha Kaccāyana:] ‘Ada tujuh substansi—yang tak terbentuk, tak


bisa diluruhkan, tak tercipta, tanpa pencipta, gersang, stabil seperti
puncak gunung, berdiri kukuh seperti pilar—yang tidak berganti,
tidak berubah, tidak mengganggu satu sama lain, tidak mampu
menyebabkan kenikmatan, derita, atau baik kenikmatan dan derita
satu sama lain. Tujuh yang mana? Unsur bumi, unsur cair, unsur api,
unsur angin, kenikmatan, derita, dan jiwa sebagai yang ketujuh. Inilah
tujuh substansi—yang tak terbentuk, tak bisa diluruhkan, tak tercipta,
tanpa pencipta, gersang, stabil seperti puncak gunung, berdiri kukuh
seperti pilar—yang tidak berganti, tidak berubah, tidak mengganggu
satu sama lain, tidak mampu menyebabkan kenikmatan, derita, atau
kenikmatan dan derita satu sama lain.’”
—DN 2

Sebagai tambahan para penganut kelahiran ulang yang disebutkan


ini, DN 1 menyebutkan kilas pandang berbagai jenis pandangan yang
digolongkannya sebagai “kaum eternalis” dan “separuh eternalis”.
Kaum eternalis, seperti Pakudha Kaccāyana, berpegang bahwa
jiwa tidak berubah sedikit pun selama jiwa mengarungi rangkaian
kelahiran ulang. Kaum separuh eternalis berpegang bahwa sebagian
jiwa mengubah posisi mereka di semesta—dan demikian pula
pengalaman kenikmatan dan derita kala mereka mengarungi berbagai
kehidupan—sementara sebagian lainnya tak pernah mengubah posisi
mereka di semesta sama sekali.

Meski Kanon Pāḷi tidak membahas teori-teori kelahiran ulang ini

116
KELAHI RAN UL ANG

secara terperinci, kita mengetahui dari sumber kontemporer lainnya


bahwa kaum Jain dan brahmana secara mati-matian berupaya
mengartikan jenis diri atau esensi apa yang terlahir ulang—dan
mungkin pula Makkhali Gosāla dan Pakudha Kaccāyana, karena teori-
teori kelahiran ulang membutuhkan jiwa atau substansi di dalam
orang yang terlahir ulang setelah kematian. Diskusi paling terperinci
mengenai apa jiwa itu mungkin adalah naskah Brahmana Upanisad,
yang mengajukan banyak teori mengenai apa yang terlahir ulang: diri
menjadi kesadaran dan meninggalkan tubuh (BAU VI.4.2); diri tidak
memiliki badan, energi napas kekal, dan identik dengan Brahman,
daya yang mendasari semesta (BAU IV.4.7), diri tertinggi kita sebagai
tubuh astral (ChU VIII.12) yang bisa dipindai indra batin (KaṭhU II.3.9).

Kitab Upanisad juga mencatat banyak jenis deskripsi perkembangan


jiwa setelah kematian, yang paling menarik adalah kisah dalam ChU
V.3-10, yang membagi makhluk hidup dalam tiga golongan. Golongan
jiwa paling berkembang menyatu dengan Brahman setelah kematian.
Golongan menengah pergi secara bertahap ke bulan, yang menjadi
asupan mereka. Kemudian mereka kembali ke bumi sebagai hujan,
menjadi tanaman, lalu kemudian terlahir ulang sebagai jenis binatang
yang makan tanaman itu. Mereka yang memiliki karma baik dimakan
manusia, mereka yang memiliki karma lebih buruk, dimakan binatang
yang lebih rendah. Golongan makhluk terbawah—meliputi serangga
kecil—mengalami nasib yang bahkan tidak dijabarkan Upanisad.

Jadi jelas bahwa saat mendiskusikan kelahiran ulang, kedua pihak isu
ini merasa terpanggil untuk mengambil posisi dalam dua isu. Yang
pertama adalah hakikat apa kepribadian itu, dan dari sana, suatu
penjelasan bagaimana orang itu musnah atau tidak musnah pada saat
kematian. Dengan kata lain, kedua sisi mengasumsikan bahwa mereka
harus menjelaskan posisi mereka dengan berpegang pada metafisika
suatu identitas diri.
117
KELAHI RAN UL ANG

Isu kedua—di antara mereka yang menerima kelahiran ulang—adalah


hubungan antara perbuatan manusia dan kelahiran ulang: apakah
jalur kelahiran ulang dipengaruhi oleh perbuatan manusia atau tidak.

Mengingat demikian luasnya keragaman pandangan di kedua pihak


pertanyaan ini, maka jelas sekali bahwa gagasan kelahiran ulang
bukanlah asumsi yang tidak diperiksa dalam budaya India. Ini adalah
isu paling kontroversial pada zaman Buddha. Dan kontroversi itu
tidak terbatas hanya ke para filsuf. Dalam salah satu pembabarannya
yang paling terkenal, Buddha berkata kepada kaum Kālāma, kelompok
penduduk desa yang skeptis, memberi tahu mereka bahwa dengan
menghindari perbuatan tidak bajik dan mengembangkan batin yang
bebas dari niat jahat, seseorang memperoleh empat jaminan di sini
dan kini.

“‘Jika ada alam setelah kematian, jika ada buah perbuatan bajik dan
buruk, maka inilah landasan yang pada saat terurainya tubuh, setelah
kematian, aku akan muncul kembali di tempat tujuan yang baik, di
alam surga.’ Inilah jaminan pertama yang ia peroleh.
‘Namun jika tak ada alam setelah kematian, jika tidak ada buah
perbuatan yang bajik dan buruk, maka dalam kehidupan ini aku
menjaga diriku dengan tenteram—bebas dari permusuhan, bebas dari
niat buruk, bebas dari masalah.’ Inilah jaminan kedua yang ia peroleh.
‘Jika kejahatan dilakukan melalui perbuatan, namun aku tak
menghendaki hal buruk bagi siapa pun. Setelah tidak melakukan
perbuatan buruk, dari mana derita akan menyentuhku?’ Inilah
jaminan ketiga yang ia peroleh.
‘Namun jika tidak ada kejahatan yang dilakukan melalui perbuatan,
maka aku bisa memastikan diriku murni dalam kedua sisi.’ Inilah
jaminan keempat yang ia peroleh.”
—AN 3:65

118
KELAHI RAN UL ANG

Jika gagasan kelahiran ulang—dan hubungannya dengan karma—telah


secara universal diterima pada zaman India kuno, Buddha pasti tidak
perlu memberikan jaminan ini kepada para penduduk desa Kālāma.

Ini berarti kita tak bisa sekadar menganggap bahwa ajaran Buddha
mengenai karma dan kelahiran ulang sekadar ampas sisa kebudayaan-
Nya yang tak bisa dicerna. Dalam mengajar kelahiran ulang, Ia secara
sadar membahas masalah yang sedang diperdebatkan dengan panas,
dalam budaya yang mengharapkan-Nya untuk membabarkan dengan
jelas penjelasan-Nya bagaimana dan mengapa kelahiran ulang itu
terjadi atau tidak terjadi.

KELAHIRAN ULANG DAN PERBUATAN

Akan tetapi, masih ada pertanyaan, mengapa Buddha merasa wajib


membahas masalah karma dan kelahiran ulang. Kita tahu bahwa
Buddha menolak mengambil posisi di isu lainnya yang diperdebatkan
dengan panas pada saat itu—seperti apakah semesta kekal atau tidak
(MN 63)—jadi apa yang membuat-Nya mengambil posisi dalam hal ini?

Bagian pertama jawabannya adalah pengetahuan mengenai kelahiran


ulang membentuk bagian pokok pengalaman kecerahan-Nya,
memainkan peranan dalam seluruh tiga pengetahuan yang membawa
ke pencapaian keterbebasan total. Pengetahuan mengenai karma
memainkan peranan dalam pengetahuan kedua dan ketiga.

Dalam pengetahuan pertama, Ia mengingat banyak kalpa kehidupan


lampau-Nya sendiri:

119
KELAHI RAN UL ANG

“Tatkala batin Saya yang terpusat termurnikan seperti demikian,


terang, tanpa noda, bebas dari cacat, ketika batin telah lentur, mudah
dibentuk, mudah digunakan, seimbang, dan mencapai keadaan
tak tergoyahkan, Saya mengarahkan, mencondongkan batin ke
pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Saya mengingat pelbagai
kehidupan lampau Saya, yaitu, satu kelahiran, dua, tiga, empat, lima
kelahiran, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh
kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran,
banyak kurun penyusutan dunia, banyak kurun pengembangan
dunia, banyak kurun penyusutan dan pengembangan dunia, ’Di
sana Saya memiliki nama ini, dari keluarga ini, dengan penampilan
ini, makanan ini, pengalaman menyenangkan dan derita ini, dengan
jangka kehidupan ini; dan meninggal dari sana, Saya terlahir ulang
di tempat lain, dan di sana pula Saya diberi nama itu, dari keluarga
itu, dengan penampilan itu, dengan pengalaman menyenangkan dan
derita itu, dengan jangka kehidupan itu, meninggal dunia dari sana
Saya terlahir ulang di sini. ’Demikianlah dengan aspek dan rincian itu
Saya mengingat pelbagai kehidupan lampau Saya.”

“Inilah pengetahuan sejati pertama yang diraih oleh Saya pada waktu
jaga pertama malam itu. Ketaktahuan tersingkir dan pengetahuan
sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang
dialami ia yang tekun, sungguh-sungguh, dan teguh.”
—MN 19

Pada malam jaga kedua, Ia meraih pengetahuan kedua, wawasan


bagaimana makhluk hidup secara massal terlahir ulang setelah
kematian:

“Tatkala batin Saya yang terpusat termurnikan seperti demikian,


terang, tanpa noda, bebas dari cacat, ketika batin telah lentur, mudah

120
KELAHI RAN UL ANG

dibentuk, mudah digunakan, seimbang, dan mencapai keadaan


tak tergoyahkan, Saya mengarahkan, mencondongkan batin ke
pengetahuan meninggal dan terlahir ulangnya makhluk-makhluk.
Dengan mata surgawi, yang murni dan melampaui manusia, Saya
melihat makhluk-makhluk meninggal dan terlahir ulang, yang lebih
rendah dan lebih unggul, yang indah dan yang buruk, yang bahagia
dan tak bahagia. Saya memahami bagaimana makhluk pergi sesuai
perbuatan mereka, ’Makhluk-makhluk berharga yang berkelakuan
buruk lewat tubuh, ucapan, dan pikiran, pencela para suciwan,
memiliki pandangan keliru, mengembangkan pandangan salah
dalam lelaku mereka, maka pada saat terpisah dari tubuh, setelah
kematian, telah muncul kembali dalam kondisi menderita, tujuan
yang buruk, di alam derita, bahkan dalam neraka. Namun, makhluk-
makhluk berharga ini, yang berkelakuan baik lewat tubuh, ucapan,
dan batin, bukan pencela para suciwan, memiliki pandangan benar,
mengembangkan pandangan benar dalam lelaku mereka, maka pada
saat pemisahan dari tubuh, setelah kematian, muncul kembali di
tempat tujuan yang bahagia, bahkan di alam surgawi.’ Demikianlah
dengan mata surgawi, yang murni dan melampaui manusia, Saya
melihat makhluk-makhluk meninggal dan terlahir ulang, yang lebih
rendah dan lebih unggul, yang indah dan yang buruk, yang bahagia
dan tak bahagia. Saya memahami bagaimana makhluk-makhluk pergi
sesuai dengan perbuatan mereka.”

“Inilah pengetahuan sejati kedua yang diraih oleh Saya pada waktu
jaga kedua malam itu. Ketaktahuan tersingkir dan pengetahuan
sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang
dialami ia yang tekun, sungguh-sungguh, dan teguh.”
—MN 19

Dalam pengetahuan ketiga malam itu, Buddha mengambil wawasan

121
KELAHI RAN UL ANG

yang diperoleh dari pengetahuan kedua pada tataran pengalaman


makro—menyangkut peran perbuatan (perniatan) dan pandangan
dalam membentuk peristiwa sepanjang semesta dan waktu—dan
menerapkannya ke tataran mikro: peristiwa yang segera hadir dalam
batin-Nya sendiri. Ia menemukan bahwa pola sebab-akibat yang
sama bekerja pada kedua tataran—salah satu wawasan paling penting
yang membawa menuju kecerahan-Nya. Ia menyelidiki skala mikro
lebih lanjut untuk menemukan perniatan dan pandangan mana yang
membawa menuju akhir perniatan (AN 4:237) dan akhir pandangan
(AN 10:93), maka menuju akhir kelahiran ulang. Lalu Ia menemukan
jawaban-Nya dalam pandangan yang diungkapkan dalam istilah
Empat Kebenaran Suciwan mengenai duka:

“Tatkala batin Saya terpusat termurnikan seperti demikian, terang,


tanpa noda, bebas dari cacat, ketika batin telah lentur, mudah
dibentuk, mudah digunakan, seimbang, dan mencapai keadaan
tak tergoyahkan, Saya mengarahkan, mencondongkan batin ke
pengetahuan mengenai pemadaman noda batin.”

“Saya mengetahui langsung sebagaimana adanya bahwa, ’Inilah


duka,’ bahwa ’Inilah musabab duka,’ bahwa ’Inilah akhir duka,’ dan
bahwa ’Inilah jalan menuju akhir duka’.”

“Saya mengetahui langsung sebagaimana adanya bahwa ’inilah noda,’


bahwa ’inilah musabab noda,’ bahwa ’inilah lenyapnya noda batin,’
dan bahwa ’Inilah jalan menuju lenyapnya noda batin’.”

“Tatkala mengetahui dan melihat demikian, batin Saya terbebas dari


noda nafsu indriawi, dari noda keberadaan, dari noda ketaktahuan.
Tatkala batin terbebas, muncul pengetahuan, ’Batin terbebas.’ Saya
mengetahui langsung, “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci

122
KELAHI RAN UL ANG

telah dijalani, apa yang harus dituntaskan telah tuntas, tiada lagi
pemunculan dalam kondisi keberadaan apa pun.’”

“Inilah pengetahuan sejati ketiga yang diperoleh Saya pada malam


jaga ketiga. Ketaktahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul,
kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang dialami ia yang
tekun, sungguh-sungguh, dan teguh.”
—MN 19

Dengan cara ini, akhir kelahiran direalisasi melalui pengetahuan


ketiga meyakinkan kebenaran dua pengetahuan yang pertama.
Dengan menggunakan pandangan benar yang membawa ke perbuatan
yang mengakhiri kelahiran, pengetahuan ketiga menunjukkan bahwa
tindakan berniatlah yang membahanbakari proses kelahiran ulang
sedari awal. Ini berarti bahwa pengetahuan mengenai kelahiran
ulang, dan hubungannya dengan perbuatan, merupakan bagian pokok
pengalaman yang memicu dan mengikuti keterbebasan penuh Buddha.
Namun, fakta bahwa kecerahan-Nya mengikutkan pengetahuan
mengenai kelahiran ulang tidak menjelaskan mengapa, saat Ia mulai
mengajar, Ia membahas topik ini. Bagaimanapun, dari kesaksian-Nya
sendiri, ada banyak hal lain yang Ia pelajari selama kecerahan-Nya
yang Ia tidak anggap sesuai untuk dimasukkan ke dalam ajaran-Nya
karena mereka tidak mendukung dalam membawa pendengar-Nya
menuju keterbebasan total mereka. Buddha membatasi diri-Nya
mengajar Empat Kebenaran Suciwan karena “mereka berkaitan
dengan tujuan, berhubungan dengan landasan kehidupan suci, dan
membawa menuju pelepasan, padamnya nafsu, penghentian, menuju
penenangan, menuju pengetahuan langsung, kecerahan diri, menuju
Keterbebasan.”
—SN56:31

123
KELAHI RAN UL ANG

Ini menyiratkan bahwa Ia melihat adanya hubungan erat antara


topik kelahiran ulang dan Empat Kebenaran Suciwan. Dan nyatanya,
tatkala kita memeriksa kebenaran-kebenaran ini, kita menemukan
bahwa kelahiran ulang memang memainkan peranan penting dalam
pemahaman duka yang membentuk kebenaran mulai pertama;
dalam pemahaman musabab duka—nafsu dan kemelekatan—yang
membentuk Kebenaran Suciwan kedua; dan dalam pandangan
benar transenden yang memandu jalan praktik menuju akhir duka,
Kebenaran Suciwan keempat. Kelahiran ulang juga memainkan
peranan penting dalam tataran pandangan benar duniawi yang
memberikan konteks untuk memahami makna dan tujuan Empat
Kebenaran Suciwan.

Hubungan antara dua tataran pandangan benar—duniawi dan


adiduniawi—mencerminkan hubungan antara pengetahuan
pertama dan kedua pada malam kecerahan-Nya di satu sisi, dengan
pengetahuan ketiga di sisi lain. Keduanya memiliki tujuan strategik.
Pandangan benar duniawi, yang terbingkai dalam istilah “makhluk”
dan “alam”, menegaskan efektifnya aksi: prinsip bahwa aksi benar-
benar memiliki hasil. Prinsip ini membuka kemungkinan bahwa
pandangan benar adiduniawi, bisa mengakhiri duka. Pandangan
benar adiduniawi kemudian meluruhkan istilah “makhluk” dan
“alam” untuk memusatkan langsung ke aksi dalam batin yang
menyebabkan duka sehingga aksi-aksi itu bisa ditinggalkan. Ini
membawa duka ke akhirnya—yang pada titik itu semua pandangan
pun ikut dikesampingkan.

Untuk menegaskan efektifnya perbuatan, pandangan benar duniawi


menyatakan (menentang Pakudha Kaccāyana) bahwa ada hal yang
disebut perbuatan, dan (menentang Ajita Kesakambalī dan Makkhali
Gosāla) bahwa perbuatan itu sesungguhnya membuahkan hasil.

124
KELAHI RAN UL ANG

Karena empat kebenaran mulai mengajarkan bahwa duka dan derita


adalah hasil dari perbuatan dan bisa diakhiri melalui perbuatan,
pemahaman mengenai perbuatan ini diperlukan untuk menjelaskan
mengapa Empat Kebenaran Suciwan menawarkan gambaran realistik
akan apa yang manusia bisa lakukan untuk mengakhiri duka.

Dalam penyangkalan langsung pandangan kemusnahan yang


dibabarkan Ajita Kesakambalī, maka definisi standar pandangan
benar duniawi adalah: “Ada apa yang diberikan, apa yang
dipersembahkan, apa yang dikorbankan. Ada buah dan hasil
perbuatan baik dan buruk. Ada alam ini dan alam berikutnya. Ada
ayah dan ibu. Ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan. Ada para
petapa dan brahmana yang, berjuang dengan benar dan berpraktik
benar, menyatakan alam ini dan berikutnya setelah mengetahui
secara langsung dan merealisasikannya sendiri.”
—MN 117

Istilah “alam berikutnya” dalam tulisan di atas merujuk pada


kehidupan setelah kematian. Rujukan mengenai apa yang diberikan
dan seterusnya menegaskan bahwa perbuatan ini sesungguhnya
adalah hasil pilihan sadar dan memang membuahkan sebagai
kesejahteraan dan kebahagiaan. Rujukan mengenai petapa dan
brahmana yang mengenal kedua alam adalah pernyataan keyakinan:
Kita dengan upaya sendiri mungkin tidak mengetahui alam
berikutnya, namun kita yakin bahwa ada dari mereka yang telah
melatih batin mereka sampai ke tahapan mereka mengetahuinya
secara langsung. Karena“petapa dan brahmana”—dalam konteks
naskah ini—adalah mereka yang telah berhasil mengikuti jalan sampai
kecerahan, dan karena siapa pun secara potensial mampu melakukan
hal yang sama, pernyataan keyakinan ini berfungsi sebagai hipotesis
kerja. Anda menganut hal-hal ini berdasarkan keyakinan sampai Anda
bisa memastikannya sendiri.
125
KELAHI RAN UL ANG

Salah satu alasan Buddha merekomendasikan keyakinan mengenai


kelahiran ulang sebagai hipotesis kerja yang bermanfaat adalah,
seperti yang telah kita lihat, Buddha harus mengajar bahwa perbuatan
piawai manusia itu cukup kuat dan andal untuk mengakhiri duka, dan
ajaran-Nya mengenai konsekuensi perbuatan piawai dan tidak piawai
akan tidak lengkap—dan oleh karena itu tidak bisa dipertahankan—
tanpa rujukan terhadap kelahiran ulang.

Ini disebabkan karena pembedaan yang Ia gariskan antara yang


piawai dan tidak piawai itu berdasarkan konsekuensi perbuatannya:
hasil kerja karma mungkin rumit, namun perbuatan piawai selalu
membawa ke arah kebahagiaan dan kesejahteraan; perbuatan tidak
piawai selalu membawa ke arah duka dan celaka. Pembedaan ini
tidak hanya menyediakan definisi konsep ini, namun juga motivasi
untuk meninggalkan perbuatan tidak piawai dan mengembangkan
perbuatan yang piawai sebagai gantinya.

Motivasi ini perlu, karena meski orang-orang pada hakikatnya tidak


jahat, namun mereka juga hakikatnya tidak baik. Saat tak menyadari
konsekuensi tindakannya, mereka berperilaku dengan tidak piawai.
Itulah mengapa, seperti yang Buddha perhatikan, kewaspadaan terletak
pada akar semua kepiawaian (AN 10:15). Untuk mengembangkan
sifat piawai, orang perlu melihat bahaya perilaku tidak piawai
dan keuntungan perilaku piawai. Karena perbuatan kadang bisa
membutuhkan banyak kehidupan untuk membuahkan hasilnya,
maka suatu kasus yang sempurna dan meyakinkan bahwa perbuatan
tidak piawai semestinya selalu dihindari, dan perbuatan piawai selalu
dikembangkan, membutuhkan sudut pandang yang muncul hanya
dari melihat hasil perbuatan sepanjang banyak kehidupan.

126
KELAHI RAN UL ANG

Tentu saja, sebagian hasil perbuatan sering muncul dalam masa


kehidupan ini: seperti saat Bhikkhu Ānanda sedang duduk di sana,
Bhagavā berkata kepadanya, “Saya mengatakan dengan pasti,
Ānanda, bahwa perbuatan jasmani yang keliru, ucapan yang keliru,
dan pikiran yang keliru semestinya tidak dilakukan.”

“Mengingat Bhagavā telah menyatakan bahwa perbuatan jasmani


yang keliru, ucapan yang keliru, dan pikiran yang keliru seharusnya
tidak dilakukan, apa kerugian yang bisa kita harapkan saat melakukan
yang semestinya tak dilakukan?”

“ … Kita bisa menyalahkan diri sendiri; orang lain yang waspada,


saat memeriksa dengan teliti, bisa mengkritik kita; reputasi buruk
kita tersebar luas; kita meninggal dengan bingung; lalu—dengan
terurainya tubuh, setelah kematian—kita muncul kembali di alam
sengsara, tujuan buruk, alam lebih rendah, neraka ….”

“Saya mengatakan dengan pasti, Ānanda, bahwa perbuatan jasmani


yang baik, ucapan yang baik, dan pikiran yang baik semestinya
dilakukan.”

“Mengingat bahwa Bhagavā telah menyatakan, bahwa perbuatan


jasmani yang baik, ucapan yang baik, dan pikiran yang baik semestinya
dilakukan, apa hasil yang bisa kita harapkan saat melakukan apa yang
semestinya dilakukan?”

“ … Kita tidak menyalahkan diri sendiri; orang yang waspada, saat


memeriksa teliti, memuji kita; reputasi baik kita tersebar; kita
meninggal dengan tidak bingung; dan—dengan terurainya tubuh,
setelah kematian—kita terlahir ulang di tempat tujuan baik, alam
surga.”
—AN 2:18
127
KELAHI RAN UL ANG

Bagi orang-orang yang memiliki kesulitan meyakini kehidupan setelah


kematian, konsekuensi perbuatan yang kasat mata dalam kehidupan
ini juga mungkin cukup untuk membangkitkan kewaspadaan. Namun,
Buddha memerhatikan bahwa perilaku salah sering membawa
imbalan dalam kehidupan ini, dan Ia menumpuk teguran dan kritik
kepada mereka yang bersikeras bahwa hasil perbuatan baik dan buruk
selalu muncul di sini dan kini.

“Ada, kepala desa, beberapa petapa dan brahmana yang berpegang


pada ajaran dan pandangan seperti ini, ‘Semua yang membunuh
makhluk hidup mengalami derita dan duka di sini dan kini. Semua
yang mengambil yang tak diberikan … yang melakukan zina … yang
berdusta mengalami derita dan duka di sini dan kini.’”

“Kini ada kasus sesesorang dikalungi bunga dan dirias, baru


dimandikan dan didandani, dengan rambut dan jenggot dicukur,
menikmati kenikmatan indriawi perempuan seolah ia seorang raja.
Mereka menanyainya, ‘Teman baik, apa yang orang ini telah lakukan
sehingga ia dikalungi bunga dan dirias … seolah ia seorang raja?’
Mereka menjawab, ‘Kawan baik, teman ini menyerang musuh raja dan
membunuhnya. Raja, berterima kasih kepadanya, menghadiahinya.
Itulah mengapa ia dikalungi bunga dan dirias … seolah ia seorang raja.’”

“Kemudian ada kasus seseorang tertentu diikat dengan tambang


kuat dengan tangannya terikat kencang di punggungnya, kepalanya
dicukur gundul, diarak dengan gendang bersuara berisik dari jalan ke
jalan, perempatan ke perempatan, lalu keluar dari gerbang selatan,
dan dipenggal di gerbang selatan. Mereka menanyainya, “Kawan, apa
yang orang ini telah lakukan sampai ia diikat dengan tali kuat … dan
dipenggal di gerbang selatan?’ Mereka menjawab, “Kawan, teman

128
KELAHI RAN UL ANG

ini adalah musuh raja, telah membunuh laki-laki dan perempuan.


Itulah sebabnya para penguasa, setelah menangkapnya, menjatuhkan
hukuman seperti itu kepadanya.’”

[Buddha kemudian mengutip kasus serupa di mana sebagian orang


dihadiahi untuk mencuri, berselingkuh, dan berdusta, sementara
orang lain dihukum.]

“Kini, bagaimana menurut Anda, kepala desa:pernahkan Anda melihat


atau mendengar kasus seperti itu?”

“Saya pernah melihat ini, Bhante, telah mendengarnya, dan akan


mendengar kabarnya [lagi pada masa depan].”

“Jadi kepala desa, saat para petapa dan brahmana yang berpegang
pada doktrin dan pandangan seperti ini mengatakan, ‘Semua yang
membunuh makhluk hidup … mengalami duka dan derita di sini dan
kini,’ apakah mereka bicara dengan benar atau salah?”

“Dengan salah, Bhante.”

“Dan mereka yang membual dusta kosong: apa mereka bermoral atau
tak bermoral?”

“Tak bermoral, Bhante.”

“Dan mereka yang tak bermoral dan bersifat buruk, apakah mereka
berlatih dengan benar atau salah?”

“Dengan salah, Bhante.”

129
KELAHI RAN UL ANG

“Lalu mereka yang berperilaku dengan salah, apakah mereka


memegang pandangan keliru atau pandangan benar?”

“Pandangan keliru, Bhante.”

“Dan apakah pantas menaruh keyakinan kepada mereka yang


memegang pandangan keliru?”

“Tidak, Bhante.”
—SN 42:13

Menghindari pandangan keliru—dan cercaan yang layak diterimanya—


Buddha menemukan bahwa perlu untuk mengungkap pengetahuan-
Nya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dan Ia memasukkan sudut
pandang bukan hanya satu masa kehidupan setelah kematian, namun
banyak. Ini karena ada kasus saat orang bertindak tidak piawai dalam
kehidupan ini namun memperoleh kelahiran ulang menyenangkan
segera setelah kematian, dan orang lain yang bertindak piawai
dalam kehidupan ini, namun segera setelah kematian, memperoleh
kelahiran ulang menyakitkan (MN 136). Seorang meditator yang
hanya mampu melihat satu masa kehidupan setelah kematian, saat
melihat hal seperti ini, akan salah paham terhadap konsekuensi
perbuatan. Hanyalah saat kita memasukkan gambaran keseluruhan
kerumitan karma—kita baru bisa menerima bahwa pernyataan tegas
Buddha mengenai perbuatan piawai dan tidak piawai itu bisa tepat.

Jadi, dari sudut pandang kecerahan-Nya, Buddha melihat bahwa satu-


satunya pemahaman sejati mengenai konsekuensi perbuatan harus
meliputi cara pandang sempurna mengenai banyak kehidupan setelah
kematian. Inilah mengapa Buddha menggunakan cara pandang ini saat
berusaha membangkitkan rasa kewaspadaan dalam diri orang lain,

130
KELAHI RAN UL ANG

supaya mereka tergerak untuk mengambil jalan perbuatan piawai.

Dalam beberapa kasus, ini meliputi menjabarkan bagaimana perbuatan


piawai dan tak piawai membawa kenyamanan dan ketaknyamanan
pada kehidupan manusia selanjutnya (MN 41; AN 8:40). Dalam
kasus lain, itu meliputi menjabarkan kenikmatan surgawi (yang
hanya dibahas sekilas) dan kengerian neraka (yang dibahas dalam
rincian menggiriskan—lihat MN 129 dan 130). Kadang Buddha akan
menambahkan pengamatan bahwa kelahiran di alam lebih rendah
jauh lebih sering daripada kelahiran ulang di alam lebih tinggi (SN
20:2). Dalam semua kasus, Ia akan menyatakan bahwa penjabaran dan
pengamatan-Nya muncul bukan dari dugaan dan kabar, namun dari
pengalaman langsung-Nya sendiri.

Akan tetapi, Ia tahu bahwa—sampai mereka meraih pengalaman


sendiri melalui latihan—para pendengar-Nya bisa mengambil
pernyataan-Nya mengenai efektifnya perbuatan dan kebenaran
kelahiran ulang hanya dengan keyakinan. Namun keyakinan, bagi
Buddha, bukanlah suatu sikap bersikeras bahwa Anda tahu apa yang
Anda tidak bisa benar-benar ketahui, atau Anda menerima gagasan
yang tidak masuk akal. Keyakinan adalah pengakuan ketaktahuan
mengenai hal yang Anda tak miliki bukti pribadi terhadapnya,
digabung dengan kerelaan menerima asumsi yang diperlukan untuk
mengikuti jalan menuju kebahagiaan yang secara nalar lebih mungkin
memberikan hasil (MN 27).

Inilah alasannya mengapa Buddha tak pernah mengklaim menawarkan


bukti efektifitas perbuatan atau bukti kelahiran ulang, karena Ia tahu
bahwa bukti ajaran ini berada di luar jangkauan pemahaman sebagian
besar pendengar-Nya. Mengenai efektifnya tindakan, yang paling
baik yang bisa Ia lakukan adalah menunjukkan bahwa mereka yang

131
KELAHI RAN UL ANG

menyangkal bahwa perbuatan kini memiliki peran dalam membentuk


pengalaman kini—karena mereka menyumberkan semua pengalaman
ke tindakan lampau, ke tindakan Tuhan pencipta, atau ke keacakan
total (AN 3:62)—semuanya memotong penalaran apa pun yang mereka
miliki dengan mengajarkan orang lain atau mengikuti jalan praktik.
Dengan kata lain, jika pengalaman kini bukanlah setidaknya sebagian
karena aksi sekarang, tidak mungkin sebuah jalan praktik bisa
memiliki pengaruh. Mengajari suatu jalan praktik akan jadi aktivitas
sia-sia. Argumen Buddha di sini bukanlah bukti bahwa perbuatan
piawai dan tidak piawai sesungguhnya memiliki konsekuensi baik
pada masa kini dan kemudian pada masa depan. Itu hanya sekadar
menunjukkan kontradiksi dalam mengajarkan ajaran lain.

Di sisi lain, saat Anda mengasumsikan keefektifan tindakan dan


pengaruhnya pada kelahiran ulang, Anda lebih mungkin berlaku
piawai. Mengasumsikan hal sebaliknya akan memudahkan mencari
alasan untuk berdusta, membunuh, atau mencuri kala dihadapkan
dengan kemiskinan atau kematian. Lalu, dari sana, akan mudah
mengulur alasan untuk menutupi masa-masa saat sekadar lebih
mudah untuk berbohong, dan lain-lainnya, daripada tidak. Namun
jika Anda mengasumsikan bahwa tindakan Anda memiliki hasil, maka
hasil itu akan bergema sepanjang banyak masa kehidupan, maka akan
lebih mudah berpegang pada prinsip Anda untuk tidak berbohong,
membunuh, atau mencuri bahkan dalam tekanan sangat berat.
Dan sekalipun Anda mungkin tidak tahu apakah asumsi ini benar,
Anda tidak bisa merencanakan suatu tindakan tanpa secara tersirat
bertaruh mengenai masalah ini.

Inilah alasannya mengapa sekadar mengatakan, “Saya tidak tahu,”


bukanlah tanggapan memadai untuk masalah kelahiran ulang dan
keefektifan karma. Sikap di balik tanggapan ini mungkin pada satu

132
KELAHI RAN UL ANG

tingkat jujur, namun tidak jujur dalam berpikir bahwa hanya itu
semua yang perlu dikatakan, karena sikap itu mengabaikan kenyataan
bahwa Anda harus membuat asumsi mengenai kemungkinan hasil
tindakan Anda tiap kali Anda bertindak.

Ini seperti memiliki uang: tak peduli apa yang Anda lakukan
dengan uang—menghabiskannya, menanamkannya, atau hanya
menyimpannya—Anda secara tersirat membuat taruhan bagaimana
cara terbaik menggunakannya sekarang dan pada masa depan.
Strategi penanaman uang Anda tidak akan berhenti dengan, “Saya
tidak tahu.” Jika Anda memiliki kebijaksanaan sedikit pun, Anda
harus mempertimbangkan kemungkinan masa depan dan mencoba
peruntungan Anda dengan apa yang tampaknya cara teraman dan
terproduktif untuk memanfaatkan sumber daya yang Anda miliki.

Demikian pula dengan seluruh tindakan kita. Mengingat bahwa


kita satu atau lain cara harus bertaruh sepanjang waktu mengenai
bagaimana menemukan kebahagiaan, Buddha menyatakan
bahwa pertaruhan yang lebih aman adalah mengasumsikan
perbuatan membuahkan hasil yang bisa memengaruhi tidak hanya
kehidupan ini namun juga banyak kehidupan setelah ini daripada
mengasumsikan sebaliknya.

Dalam MN 60, misalnya, Ia menunjukkan bahwa setiap orang


yang mengikuti pandangan kemusnahan yang dibabarkan Ajita
Kesakambalī tidak akan diharapkan menghindari perilaku tak piawai,
sementara mereka yang berpegang pada pandangan sebaliknya—
pandangan benar duniawi—akan diharapkan menghindari perilaku
tak piawai. Kemudian Ia mengatakan mengenai kelompok pertama:

“Mengenai ini, seorang yang bijak akan menimbang sebagai berikut,

133
KELAHI RAN UL ANG

‘Jika tidak ada alam berikutnya, maka—dengan terurainya tubuh,


setelah kematian—maka orang ini telah membuat dirinya aman.
Namun jika ada alam berikutnya, maka orang ini—dengan terurainya
tubuh, setelah kematian—akan muncul dalam lingkup sengsara,
tempat tujuan buruk, alam lebih rendah, neraka. Sekalipun kita
tidak membicarakan alam berikutnya, dan tidak ada pernyataan
kebenaran dari para petapa dan brahmana yang dihormati itu [yang
menegaskan keberadaan alam berikutnya], orang ini masih akan
dikritik di sini dan kini oleh orang yang sadar sebagai orang dengan
perilaku buruk dan pandangan salah: orang yang menganut ajaran
tanpa-keberadaan.’ Jika benar-benar ada alam berikutnya, maka
orang ini telah melakukan lemparan buruk dua kali: yaitu ia dikritik
oleh orang bijak di sini dan kini, serta—dengan terurainya tubuh,
setelah kematian—ia akan muncul kembali di lingkup sengsara,
tempat tujuan buruk, alam lebih rendah, neraka. Sehingga ini adalah
ajaran pertaruhan yang aman, yang bila dipahami dan dianut dengan
buruk oleh mereka yang hanya melingkupi satu sisi (saja), dan
meninggalkan kemungkinan yang piawai.”
—MN 60

Sedangkan untuk kelompok kedua—mereka yang memegang


pandangan benar duniawi dan menindaklanjutinya—Buddha
mengatakan hal ini:

“Mengenai ini, orang bijak akan merenungi demikian, ‘Jika ada alam
lain, maka orang ini—dengan terurainya tubuh, setelah kematian—
akan terlahir ulang di tempat yang baik, di alam surgawi. Sekalipun
kita tidak membicarakan alam berikutnya, dan tidak ada pernyataan
benar dari para petapa dan brahmana yang dihormati itu, orang ini
masih akan dipuji di sini dan kini oleh orang bijak sebagai orang dengan
kebiasaan baik dan pandangan benar: orang yang menganut ajaran

134
KELAHI RAN UL ANG

keberadaan.’ Jika benar-benar ada alam berikutnya, maka orang ini


telah melakukan lemparan yang baik dua kali, yaitu ia dipuji oleh yang
bijak di sini dan kini, dan bahwa—dengan terurainya tubuh, setelah
kematian—ia akan muncul kembali di tempat tujuan yang baik, di alam
surgawi. Demikianlah ini adalah ajaran pertaruhan yang aman, yang
ketika dipahami dan dianut dengan baik olehnya, melindungi kedua
sisi dan meninggalkan kemungkinan yang tidak piawai.”
—MN 60

Argumen-argumen ini tidak membuktikan keefektifan perbuatan atau


kebenaran mengenai kelahiran ulang, namun mereka menunjukkan
bahwa merupakan kebijakan lebih aman, lebih masuk akal, dan lebih
terhormat untuk mengasumsikan kebenaran ajaran ini daripada
mengasumsikan sebaliknya. Buddha tidak menekan argumen ini
melebihi batas ini. Dengan kata lain, Ia membiarkan pendengar-Nya
memutuskan sendiri apakah mereka ingin menyadari bahwa aksi
adalah investasi yang, seperti halnya semua investasi, menimbulkan
risiko. Dan Buddha membiarkan mereka memutuskan bagaimana
mereka ingin menghitung risiko dan potensi yang perbuatan itu
mungkin libatkan masa kini dan ke masa depan. Ia tidak meminta
pendengar-Nya untuk seluruhnya menyerahkan diri mereka dalam
keyakinan tanpa mempertanyakan kemungkinan bahwa perbuatan
mereka mungkin membawa ke kelahiran ulang, namun Buddha
tidak berminat mengajar siapa pun yang terang-terangan menolak
kemungkinan itu sama sekali. Seperti yang telah kita lihat, Buddha
melihat bahwa penyadaran berada di akar semua kualitas piawai. Jika
seorang pendengar tidak bisa dibujuk untuk mengembangkan kadar
kesadaran yang sesuai mengenai risiko suatu perbuatan, maka ajaran
apa pun lebih lanjut hanyalah buang-buang waktu.

135
KELAHI RAN UL ANG

KEBENARAN SUCIWAN
TENTANG KELAHIRAN ULANG

Untuk memindahkan para pendengar-Nya dari pandangan benar


duniawi menuju pandangan benar adiduniawi, Buddha menggunakan
ajaran kelahiran ulang untuk menggugah tidak hanya rasa kesadaran
dalam batin pendengarnya, namun juga rasa saṁvega, kekecewaan
dan kengerian akan harapan tidak memperoleh keterbebasan dari
kelahiran ulang.

“Telah lama kamu (berulang kali) mengalami kematian seorang


ibu. Air mata yang telah kamu cucurkan karena kematian seorang
ibu selagi berkelana dan berpindah selama waktu yang lama sekali
ini—menangis dan meratap karena bersama dengan yang tak
menyenangkan, terpisah dari apa yang menyenangkan—lebih banyak
dari air di empat samudra raya.”

“Telah lama kamu (berulang kali) mengalami kematian seorang


ayah … kematian saudara … kematian saudari … kematian putra …
kematian putri … kehilangan sanak saudara … kehilangan kekayaan
… kehilangan karena penyakit. Air mata yang telah kamu cucurkan
karena kehilangan akibat penyakit selagi berkelana dan berpindah
selama waktu yang lama sekali ini—menangis dan meratap karena
bergabung dengan yang tak menyenangkan, terpisah dari apa yang
menyenangkan—lebih besar dari air dalam empat samudra raya.”

“Mengapa demikian? Karena para bhikkhu, saṁsāra ini tanpa awal


yang bisa ditemukan. Awal mulanya tidak bisa dilihat makhluk-
makhluk yang berkeliaran dan mengembara terus, dihalangi oleh
ketaktahuan dan terbelenggu nafsu. Karena selama waktu yang
demikian lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami duka, derita, dan

136
KELAHI RAN UL ANG

bencana, dan telah menjejali pekuburan. Cukup untuk mengalami


kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk kehilangan nafsu
terhadap segala bentukan, cukup untuk terbebas dari segala bentukan.”
—SN15:3

Hubungan antara kewaspadaan dengan saṁvega mencerminkan


hubungan antara pengetahuan kedua pada malam kecerahan Buddha
dengan pengetahuan ketiga. Melihat jalan yang di dalamnya kelahiran
ulang bergantung pada pandangan dan perbuatan kita, Ia melihat
perlunya penyadaran dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan kita.
Melihat kerumitan membahayakan dan kesia-siaan seluruh proses
kematian dan kelahiran ulang ini, Ia mengembangkan rasa saṁvega
yang menggugahnya untuk mencari suatu jalan keluar.

Jalan yang Ia pilih—dan yang membuahkan hasil—adalah mengambil


pelajaran mengenai kelahiran ulang yang Ia peroleh dalam dua
pengetahuan pertama-Nya, dan menerapkannya dalam aksi batin
pada momen kini dan ke pengaruh mereka baik pada saat kini dan
selama berjalannya waktu. Dengan melakukan itu, Ia sampai ke Empat
Kebenaran Suciwan sebagai bentuk pandangan benar yang akan
membawa menuju keterbebasan total dan akhir dari kelahiran ulang.

Hubungan antara kelahiran ulang dan Kebenaran Suciwan pertama


tercermin dalam kenyataan bahwa kebenaran ini mencantumkan
kelahiran sebagai salah satu wujud duka yang diakhiri Empat
Kebenaran Suciwan. Nyatanya, kelahiran berada di permulaan daftar
itu:

“Para bhikkhu, inilah Kebenaran Suciwan tentang duka: kelahiran


adalah duka, pelapukan adalah duka, kesakitan adalah duka, kematian
adalah duka, kesedihan dan ratapan, nyeri, derita dan keputusasaan

137
KELAHI RAN UL ANG

adalah duka, bergaul dengan yang dibenci adalah duka, berpisah


dari yang dicintai adalah duka, tidak mendapat apa yang diinginkan
adalah duka—singkatnya, lima gugus yang dipengaruhi kemelekatan
adalah duka.”
—SN 56:11

Hubungan antara kelahiran ulang dan Kebenaran Suciwan kedua


tercermin dalam kenyataan bahwa kebenaran ini mengartikan
musabab duka sebagai wujud nafsu atau kemelekatan apa pun yang
membawa pada “kemenjadian lebih lanjut,” yaitu kondisi untuk
kelahiran ulang lebih lanjut:

“Para bhikkhu, inilah Kebenaran Suciwan mengenai musabab duka:


yaitu nafsu yang menghasilkan kemenjadian berikutnya—disertai
oleh kegembiraan dan hasrat, mencari kegembiraan di sini dan sana—
yaitu: nafsu akan kenikmatan indriawi, nafsu untuk menjadi, dan
nafsu untuk lenyap.”
—SN 56:11

Para penulis yang menolak gagasan bahwa Buddha membahas


kelahiran ulang seseorang dalam dua Kebenaran Suciwan ini cenderung
berdebat dalam salah satu dari dua cara: entah dengan mengatakan
bahwa rujukan terhadap kelahiran tidak menyiratkan kelahiran ulang,
atau mereka merujuk pada kelahiran ulang pada tataran mikro yaitu
keadaan batin sementara, dan bukan ke tataran makro makhluk atau
kepribadian selama waktu berjalan. Namun, kedua penafsiran ini yang
benar-benar mewakili secara penuh apa yang Buddha hendak katakan.

Para penulis dalam kelompok pertama memanfaatkan besar-besaran


fakta bahwa Buddha menggunakan kata “kelahiran” alih-alih
“kelahiran ulang” dalam Kebenaran Suciwan pertama, menyimpulkan

138
KELAHI RAN UL ANG

bahwa kelahiran ulang tidak mesti yang dimaksud di sini. Namun,


kesimpulan ini mengabaikan hubungan kebenaran pertama dengan
kebenaran lainnya. Semua bentuk duka yang dirinci dalam Kebenaran
Suciwan pertama disebabkan oleh Kebenaran Suciwan kedua, dan
diakhiri oleh Kebenaran Suciwan keempat. Jika kelahiran hanyalah
urusan sekali terjadi saja, maka—bagi orang yang sudah lahir—tidak
ada gunanya mencari musabab duka kelahiran, dan tidak mungkin
Kebenaran Suciwan keempat bisa mengakhiri duka.

Pokok ini terutama jelas saat kita menilik kisah Buddha sendiri
bagaimana Ia menyelidiki musabab duka setelah melihat, dalam dua
pengetahuan pertama-Nya, duka yang disebabkan kelahiran ulang.
Ia menilik musabab kelahiran dan melacaknya dalam-dalam sampai
ke batin:

“Para bhikkhu, sebelum kecerahan Saya, tatkala Saya masih menjadi


Bodhisatta, belum cerah sempurna, tebersit dalam benak Saya: ‘Aduh,
dunia ini telah mengalami kesulitan, yaitu terlahir, menua, dan mati,
dunia ini lenyap dan terlahir ulang, namun dunia ini tidak memahami
jalan keluar dari penderitaan yang diakibatkan oleh penuaan dan
kematian ini. Jadi, kapankah jalan keluar dari penderitaan yang
diakibatkan oleh penuaan dan kematian ini akan diketahui?’”

“Para bhikkhu, lalu tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika sesuatu
itu ada akan timbul penuaan dan kematian? Terkondisi oleh apakah
penuaan dan kematian itu? Lalu, para bhikkhu, melalui perhatian
saksama, timbullah dalam diri Saya terobosan melalui kebijaksanaan:
‘Tatkala ada kelahiran, timbullah penuaan dan kematian; penuaan
dan kematian terkondisi oleh kelahiran.’”

“Para bhikkhu, lalu tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika sesuatu

139
KELAHI RAN UL ANG

itu ada akan timbul kelahiran? … kelangsungan hidup? … kemelekatan?


… nafsu? … perasaan? … kontak? … enam landasan indra? … batin-
dan-badan? Terkondisi oleh apakah batin-dan-badan itu?’ Lalu,
para bhikkhu, melalui perhatian saksama, timbullah dalam diri Saya
terobosan melalui kebijaksanaan: ‘Tatkala ada kesadaran, timbullah
batin-dan-badan; batin-dan-badan terkondisi oleh kesadaran.’”

“Para bhikkhu, lalu tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika sesuatu
itu ada akan timbul kesadaran? Terkondisi oleh apakah kesadaran itu?
Lalu, para bhikkhu, melalui perhatian saksama, timbullah dalam diri
Saya terobosan melalui kebijaksanaan: ‘Tatkala ada batin-dan-badan,
timbullah kesadaran; kesadaran terkondisi oleh batin-dan-badan.’”

“Lalu, para bhikkhu, tebersit dalam benak Saya: ‘Kesadaran ini kembali
lagi; kesadaran ini tidak melampaui batin-dan-badan. Sejauh inilah
sesosok makhluk bisa terlahir, menua, dan mati, lenyap dan terlahir
ulang, dengan kata lain, saat terdapat kesadaran dengan batin-dan-
badan sebagai kondisinya, dan batin-dan-badan dengan kesadaran
sebagai kondisinya.21 Dengan batin-dan-badan sebagai kondisinya,
timbullah enam landasan indra; dengan enam landasan indra sebagai
kondisinya, timbullah kontak …. Demikianlah sumber keseluruhan
penderitaan ini.’”

“‘Keberasalan, keberasalan’demikianlah, para bhikkhu, sehubungan


dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, timbullah
dalam diri Saya wawasan, pengetahuan, kebijaksanaan, penembusan,
dan cahaya.

“Lalu, para bhikkhu, tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika


sesuatu itu tak ada maka tak akan ada penuaan dan kematian? Dengan
terhentinya apakah maka terhentilah penuaan dan kematian?’ Lalu,

140
KELAHI RAN UL ANG

para bhikkhu, melalui perhatian saksama, timbullah dalam diri Saya


terobosan melalui kebijaksanaan: ‘Tatkala tiada kelahiran, penuaan
dan kematian tak akan muncul; dengan terhentinya kelahiran,
terhentilah penuaan dan kematian.’”

“Tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika sesuatu itu tak ada maka
tak akan ada kelahiran? … kehidupan? … kemelekatan? … nafsu? …
perasaan? … kontak? … enam landasan indra? … batin-dan-badan?
Dengan terhentinya apakah, maka terhentilah batin-dan-badan?’
Lalu, para bhikkhu, melalui perhatian saksama, timbullah dalam
diri Saya terobosan melalui kebijaksanaan: ‘Tatkala tiada kesadaran,
batin-dan-badan tak akan muncul; dengan terhentinya kesadaran,
terhentilah batin-dan-badan.’”

“Tebersit dalam benak Saya: ‘Kapankah jika sesuatu itu tak ada maka
tak akan ada kesadaran? Dengan terhentinya apakah, maka terhentilah
kesadaran?’ Lalu, para bhikkhu, melalui perhatian saksama, timbullah
dalam diri Saya terobosan melalui kebijaksanaan: ‘Tatkala tiada batin-
dan-badan, kesadaran tak akan muncul; dengan terhentinya batin-
dan-badan, terhentilah kesadaran.’”

“Lalu, para bhikkhu, tebersit dalam benak Saya: ‘Saya telah


menemukan jalan menuju Kecerahan ini, yaitu, dengan terhentinya
batin-dan-badan, terhentilah kesadaran; dengan terhentinya
kesadaran, terhentilah batin-dan-badan; dengan terhentinya batin-
dan-badan, terhentilah keenam landasan indra; dengan terhentinya
enam landasan indra, terhentilah kontak …. Demikianlah terhentinya
keseluruhan penderitaan ini.”

“‘Keterhentian, keterhentian’demikianlah, para bhikkhu, sehubungan


dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, timbullah

141
KELAHI RAN UL ANG

dalam diri Saya wawasan, pengetahuan, kebijaksanaan, penembusan,


dan cahaya.
—SN 12:65

Kalau saja Buddha mengasumsikan bahwa kelahiran hanya urusan


yang terjadi satu kali saja, Ia tidak akan menyelidiki musababnya
melalui kemenjadian, kemelekatan, dan terus sampai ke badan
dan batin. Ia pasti telah menghentikan analisis musabab duka-Nya
pada realisasi: ‘Pelapukan dan kematian ada saat kelahiran ada.
Dari kelahiran sebagai kondisi penyebabnya muncul pelapukan dan
kelahiran.’ Demikianlah ia pasti membatasi analisis musabab duka-
Nya hanya pada apa yang terjadi setelah kelahiran. Namun karena
Buddha melihat bahwa kelahiran adalah proses berulang maka Ia
menyelidiki musabab kelahiran dan melacaknya ke faktor-faktor
yang kelak Ia ajarkan dalam penjelasan-Nya mengenai Musabab Yang
Saling Bergantung.

Dengan kata lain, jika Buddha tidak pernah menerima kelahiran


ulang, Ia tidak akan pernah menemukan atau mengajar prinsip utama
ajaran-Nya: Empat Kebenaran Suciwan dan Musabab Yang Saling
Bergantung. Analisis-Nya akan duka dan musababnya pasti akan
jauh lebih terbatas cakupannya. Dan seperti yang akan kita simak,
Buddha menemukan bahwa proses yang membawa menuju duka itu
bersifat swadaya, yang berarti bahwa kecuali mereka secara disengaja
diputus pasokannya, mereka akan terus berulang tanpa akhir. Dengan
ini, bukan hanya kelahiran, namun setiap faktor Musabab Yang
Saling Bergantung diberi imbuhan “ulang” yang tersirat, mulai dari
ketaktahuan ulang sampai kematian ulang.

Sedangkan untuk argumen bahwa “kelahiran” yang disebutkan dalam


kebenaran mulai pertama mungkin adalah proses berulang, namun
hanya pada skala mikro pemunculan kondisi batin yang sementara:
142
KELAHI RAN UL ANG

fakta bahwa Buddha menemukan Empat Kebenaran Suciwan dan


faktor-faktor Musabab Yang Saling Bergantung dengan menilik
peristiwa batin pada momen kini seolah memberikan keabsahan bagi
penafsiran ini. Namun argumen ini mengabaikan dua hal penting.

Yang pertama adalah tatkala Buddha sendiri menjelaskan kelahiran,


pelapukan, dan kematian dalam konteks ajaran ini, Ia melakukannya
dengan merujuk pada kelahiran dalam skala makro—yaitu, kelahiran,
pelapukan, dan kematian seseorang:

“Dan apakah penuaan dan kematian itu, apakah sumber penuaan


dan kematian itu, apakah terhentinya penuaan dan kematian itu,
serta apakah jalan menuju terhentinya penuaan dan kematian itu?
Penuaan makhluk hidup dalam pelbagai jajaran makhluk hidup,
usia tua, tanggalnya gigi, berubannya rambut, mengeriputnya kulit,
merosotnya kehidupan, melemahnya indra—inilah yang disebut
penuaan. Berlalunya makhluk hidup dari pelbagai jajaran makhluk
hidup, matinya mereka, hancurnya mereka, lenyapnya mereka,
matinya mereka, purna waktunya mereka, hancurnya gugus-gugus,
digeletakkannya tubuh—itulah yang disebut kematian.”

“Dan apakah kelahiran itu? Kelahiran makhluk hidup dalam pelbagai


jajaran makhluk hidup, terlahirnya mereka, pengendapan [dalam
rahim], pembangkitan, perwujudan gugus-gugus, diperolehnya
landasan-landasan bagi kontak—inilah yang disebut kelahiran.”
—SN 12:2

Hal kedua adalah dengan bersikeras membatasi Empat Kebenaran


Suciwan dan faktor Musabab Yang Saling Bergantung pada satu skala
atau lainnya adalah melewatkan ciri penting ajaran ini. Ingat bahwa
pengetahuan ketiga Buddha muncul dari menerapkan pada tataran

143
KELAHI RAN UL ANG

mikro pelajaran dari dua pengetahuan pertama yang dipelajari pada


tataran makro. Pelajaran yang Buddha peroleh sebagai hasilnya
adalah bahwa tataran skala adalah hal relatif: prosesnya adalah yang
konstan. Jika dibandingkan dengan fisika modern, itu seperti usulan
Einstein bahwa dimensi ruang dan waktu tidaklah konstan; yang
konstan adalah kecepatan cahaya.

Kenyataan bahwa Buddha meraih keterbebasan dengan menemukan


proses yang yang tetap konstan sepanjang banyak tataran skala
tercermin dengan cara Ia mengajar, yang sering kali mengganti-ganti
skala selama pembahasan-Nya dan menolak untuk terpaku pada satu
atau lain skala. Kadang Ia bicara mengenai “makhluk” dalam arti
standar kata itu, dan kadang sebagai kemelekatan (SN 23:2), yaitu
proses pada tataran batin.

Terutama demikian halnya dengan Musabab Yang Saling Bergantung.


Ajaran ini selalu dihadirkan sebagai suatu proses tanpa rujukan tetap
ke mana—pada tataran di dunia atau dalam individu—faktor-faktor
proses ini bekerja. Ini seperti melihat foto pola pengikisan tanah.
Tanpa adanya objek tambahan seperti pohon atau serangga untuk
menunjukkan skalanya, sulit diketahui apakah jangkauan foto itu
meliputi dua mil atau dua inci, apakah pengikisan itu terjadi sepanjang
dataran luas atau petak kecil pasir di pinggir jalan, dan apakah bagian
yang terkikis dalam foto itu adalah batu karang besar atau butiran
pasir. Bagaimanapun, foto ini bisa dipelajari untuk memahami pola
sebab-akibat rumit yang melandasi erosi; dan—lebih langsung ke
masalah—kita bisa belajar lebih banyak mengenai proses erosi dengan
mempelajarinya pada pelbagai tataran daripada membatasi diri kita
dengan hanya satu tingkatan skala.

Sama pula, merupakan kesalahan membatasi ajaran Buddha mengenai

144
KELAHI RAN UL ANG

kelahiran ulang hanya pada satu tataran skala. Membatasi mereka


hanya pada tataran mikro berarti meremehkan potensi peristiwa
batin pada saat kini untuk menciptakan duka jangka panjang, dan
sifat mendasar obat yang dibutuhkan untuk mengakhiri duka itu.
Membatasi ajaran-Nya hanya pada tataran makro membuatnya tidak
mungkin diamati secara langsung pada saat kini bagaimana kelahiran
dan berbagai duka pengiringnya muncul dan bisa diakhiri. Untuk
bisa menarik sebanyak mungkin manfaat dari ajaran ini, paling baik
adalah melepas kekeraskepalaan apa pun, yang selaras dengan asumsi
metafisika kita, bahwa mereka bisa diterapkan pada satu tataran dan
tidak pada tataran lain. Alih-alih, lebih baik melihat proses itu sebagai
proses—yang berlaku sepanjang banyak skala—dan menggunakannya
sebagai cara membingkai isu ini sebagai bagian dari strategi untuk
mengakhiri duka.

KERANGKA YANG SESUAI

Sebagai bagian dari kebijakan-Nya untuk tidak terpaku mengenai


isu skala saat membabarkan proses kelahiran ulang, Buddha
saksama menghindari isu yang demikian memanaskan rekan-
rekan sezaman-Nya saat membahas kelahiran ulang yaitu:
metafisika mengenai apa orang itu, dan apa yang terlahir atau tak
terlahir ulang setelah kematian.

Dengan kata lain, Ia menolak menjelaskan apakah ada “apa” pun


yang melandasi pengalaman kelahiran ulang. Ia sekadar membahas
mengenai bagaimana pengalaman terjadi dan apa yang harus
dilakukan untuk mengakhirinya.

145
KELAHI RAN UL ANG

Dalam filosofi modern, pendekatan ini disebut fenomologi: membahas


mengenai fenomena pengalaman sekadar dalam istilah pengalaman
langsung, tanpa merujuk pada apa pun realitas mendasari apa pun
yang bisa saja atau bisa juga tidak berada di balik pengalaman itu.
Buddha adalah seorang fenomologis radikal dalam cara Ia menangani
pengalaman dalam istilah pengalaman itu sendiri. Buddha adalah
seorang pragmatis dalam hal Ia mengambil pendekatan ini karena Ia
melihat bahwa ini efektif dalam mengakhiri duka.

Kanon mencantumkan bahwa anggota aliran lainnya—dan bahkan


sebagian bhikkhu-Nya sendiri—sering mengungkapkan rasa frustrasi
karena aspek pendekatan Buddha ini (MN 63, AN 10:93). Di mata
mereka, seluruh pertanyaan mengenai kelahiran ulang berputar
di sekitar “apa” yang terlahir ulang atau tidak. Baik daya hidupnya
serupa dengan tubuh, sehingga tidak mengizinkan kelahiran ulang
terjadi setelah tubuh meninggal; atau pun adanya jiwa atau daya
hidup yang terpisah dari tubuh, yang baik meninggal bersama
tubuh atau bertahan setelah kematian. Namun saat rekan sezaman
Buddha mendesak-Nya mengambil posisi dalam pertanyaan ini dan
pertanyaan yang berhubungan dengannya, Buddha secara konsisten
selalu mengesampingkannya.

Bhagavā mengatakan, “Dari ketaktahuan sebagai kondisinya muncul


bentukan batin …. Dari kemenjadian sebagai kondisinya muncul
kelahiran.”

Ketika hal ini dikatakan, ada bhikkhu berkata kepada Bhagavā, “Yang
mana yang lahir, Bhante, dan milik siapa yang lahir [atau: apa yang
lahir]?”

“Bukan pertanyaan yang sah,” kata Bhagavā. “Jika seseorang hendak

146
KELAHI RAN UL ANG

bertanya, ‘Yang mana yang lahir, Bhante, dan milik siapa yang lahir?’
dan jika seseorang hendak mengatakan, ‘Kelahiran itu satu hal, dan
kelahiran itu adalah hal atau orang lain,’ keduanya akan memiliki
makna yang sama, sekalipun kata-katanya berbeda. Tatkala ada
pandangan bahwa jiwa sama dengan tubuh, tidak ada menjalani
kehidupan suci. Lalu saat ada pandangan bahwa jiwa adalah satu hal
dan tubuh adalah lain lagi, maka tidak ada yang menjalani kehidupan
suci. Menghindari dua ekstrem ini, Tathāgata mengajarkan Dhamma
melalui Jalan Madya: dari kemenjadian sebagai kondisinya muncul
kelahiran.”
—SN 12:35

“Para bhikkhu, ada empat nutrisi untuk keberlangsungan makhluk


yang telah muncul atau untuk menyokong mereka yang mencari
tempat untuk terlahir. Apakah yang empat ini? Makanan fisik, baik
kasar atau halus; kontak sebagai yang kedua, perniatan sebagai yang
ketiga, dan kesadaran sebagai yang keempat. Ada empat nutrisi untuk
menyokong makhluk-makhluk yang telah muncul atau menyokong
makhluk yang mencari tempat untuk terlahir.”

Saat ini dikatakan, Bhante Moḷiya Phagguna berkata kepada Bhagavā,


“Bhante, siapa yang mengasup nutrisi kesadaran?”

“Bukan pertanyaan yang sah,” kata Bhagavā. “Saya tidak mengatakan


‘mengasup’. Jika saya mengatakan ‘mengasup’, maka, ‘Siapa yang
mengasup nutrisi kesadaran?’ akan menjadi pertanyaan yang benar.
Namun saya tidak mengatakan hal itu. Ketika Saya tidak mengatakan
hal itu, pertanyaan yang benar adalah, ‘Nutrisi kesadaran untuk
apa?’ dan jawabannya yang benar adalah, ‘Nutrisi kesadaran untuk
menghasilkan kemenjadian mendatang. Saat itu telah menjadi dan
muncul, maka enam landasan indra [dialami]. Dari enam landasan

147
KELAHI RAN UL ANG

indra sebagai kondisinya muncullah kontak.’”


—SN 12:12

Kecenderungan untuk menafsirkan “sesuatu” atau “tidak ada


sesuatu” di balik proses Musabab Yang Saling Bergantung masih
hidup bersama kita zaman sekarang. Banyak orang mengasumsikan
bahwa Buddha mengajarkan bahwa tidak ada diri—yang berarti tidak
ada hal di balik proses Musabab Yang Saling Bergantung, dan tak
ada yang terlahir ulang. Banyak orang lain mengasumsikan Buddha
mengajarkan suatu Diri Sejati yang mendasari rasa adanya diri
individu yang keliru, yang mendasari proses itu. Akan tetapi, kedua
asumsi ini adalah pengetahuan yang keliru. Buddha sesungguhnya
menolak menyatakan apakah diri jenis apa pun eksis atau tidak eksis.
Suatu kali Ia ditanya langsung apakah diri eksis, Ia menolak untuk
menjawab (SN 44:10).

Ini karena Ia melihat bahwa pertanyaan sejenis ini menghalangi


jalan latihan yang membawa menuju akhir duka. Seperti yang Ia
katakan dalam MN 2, memusatkan pada pertanyaan-pertanyaan
seperti—”Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku?
Apakah aku pada masa lalu? Apakah aku pada masa depan?—adalah
wujud perhatian yang tidak tepat: jenis perhatian yang mengabaikan
Empat Kebenaran Suciwan dan sesungguhnya membawa ke duka
lebih lanjut. Maka, jika suatu pandangan dunia menuntut penjelasan
mengenai “apa” yang ada di balik kelahiran ulang—seperti yang kita
temukan tidak hanya dalam cara pandang dunia India kuno namun
juga dalam banyak pandangan dunia modern lainnya—itu hanyalah
wujud tidak tepat yang akan terus membuahkan duka. Jika Anda
ingin mengakhiri duka, Anda harus meletakkan tuntutan metafisika
pandangan dunia Anda.

148
KELAHI RAN UL ANG

Buddha menemukan bahwa lebih tepat dan menghasilkan daripada


memusatkan pada proses bagaimana kelahiran ulang kali dibangkitkan
oleh faktor-faktor yang langsung ada pada penyadaran seumur hidup,
dan yang secara langsung dialami faktor-faktor yang ada pada momen
itu. Ini karena faktor-faktor ini cukup berada di bawah kendali Anda
untuk diarahkan menuju akhir kelahiran ulang.

Suatu pemahaman proses sebagaimana proses—dan terutama,


sebagai contoh proses Musabab Yang Saling Bergantung—
sesungguhnya bisa bersumbangsih terhadap akhir duka. Ini memberi
panduan bagaimana menerapkan tugas-tugas yang diperlukan bagi
Empat Kebenaran Suciwan pada proses kelahiran: yaitu, memahami
duka, meninggalkan musababnya, merealisasi penghentiannya, dan
mengembangkan jalan menuju penghentiannya. Bila tugas-tugas ini
telah sepenuhnya dikuasai, mereka bisa mengakhiri duka dengan
meninggalkan musababnya, sehingga membuka jalan menuju
kebahagiaan tertinggi yang muncul tatkala batin tak lagi terjerat
dalam proses kelahiran ulang.

Buddha menggunakan beberapa model untuk menjelaskan proses


Musabab Yang Saling Bergantung, dengan tiap model merinci urutan
faktor yang saling bergantung. Dalam model paling standar, faktor-
faktornya adalah ini:

ketaktahuan (bagaimana menerapkan Empat Kebenaran Suciwan),


bentukan batin (tindakan berniat yang membentuk pengalaman tubuh,
ucapan, dan pikiran),
kesadaran (pada enam indra, meliputi batin sebagai indra keenam),
badan dan batin (fenomena batin [meliputi perniatan, perhatian,
perasaan, pencerapan, dan kontak] dan fenomena badan [tubuh
seperti yang dialami dalam istilah energi, kehangatan, cairan, dan

149
KELAHI RAN UL ANG

kepadatan]),
enam landasan indra (termasuk batin sebagai yang keenam),
kontak (pada enam landasan indra),
perasaan (suka, duka, atau bukan suka bukan duka, berdasarkan
kontak itu),
nafsu (akan kenikmatan indriawi, untuk menjadi, atau untuk lenyap),
kemelekatan (pada kenikmatan indriawi, kebiasaan dan ritual,
pandangan, dan paham diri),
kemenjadian (asumsi suatu identitas di suatu alam pengalaman
tertentu dalam lingkup nafsu indra, alam wujud halus, atau wujud
tanpa bentuk), dan
kelahiran (ke dalam identitas itu)
—diikuti oleh duka pelapukan, kesakitan, dan kematian.

Daftar ini memuat banyak kerumitan, dengan beberapa faktor


tertentu muncul di beberapa titik dalam urutan itu. Misalnya, faktor
ketaktahuan identik dengan sub-faktor perhatian tidak benar dalam
badan dan batin. Daftar ini juga memuat banyak lingkaran umpan
balik, urutan tempat suatu pengaruh akan kembali berikutnya untuk
memengaruhi musababnya. Seperti yang kita lihat, keberadaan
lingkaran umpan-balik dalam proses inilah yang membuatnya
swadaya dan memberinya potensi untuk berjalan terus tanpa akhir.

Bagaimana pun, untuk momen kini, kita bisa memusatkan pada salah
satu ciri paling menonjol Musabab Yang Saling Bergantung: ketiadaan
konteks luarnya. Musabab Yang Saling Bergantung menghindari
rujukan akan keberadaan atau ketiadaan diri atau dunia di sekitar
proses yang dijabarkannya. Alih-alih, ini membentuk konteks untuk
memahami “diri” dan “alam-alam”. Dengan kata lain, rumusan ini
menunjukkan bagaimana gagasan seperti konteks metafisika tercipta
dan terlekati, dan apa yang terjadi sebagai hasilnya. Terutama,

150
KELAHI RAN UL ANG

rumusan ini menunjukkan dengan terperinci bagaimana aksi


mencipta dan melekati asumsi metafisika mengenai keberadaan atau
ketiadaan diri atau alam sesungguhnya membawa pada kelahiran
dan duka. Ini berarti bahwa Musabab Yang Saling Bergantung itu,
alih-alih berada dalam konteks metafisika, sesungguhnya memberi
konteks fenomologi yang menunjukkan mengapa konteks metafisika
sebaiknya dikesampingkan.

Faktor penting yang membawa asumsi metafisika menuju


kelahiran ulang adalah “kesadaran”, “kontak”, “kemelekatan”, dan
“kemenjadian”. Di bawah “kesadaran” terdapat sub-faktor perhatian
yang dalam MN 2—seperti yang telah kita lihat—menggambarkan
aksi memilih pertanyaan mana untuk ditanyakan. Tatkala perhatian
dengan tidak tepat diarahkan ke pertanyaan mengenai metafisika
identitas—mengenai apa diri Anda atau apakah Anda ada—itu akan
menjerat Anda dalam “rerimbunan pandangan, liuk-liuk pandangan”
yang membuat Anda terperangkap dalam duka dan ketegangan.
Sedangkan untuk pandangan mengenai apa alam itu dan dari mana
itu berasal, Buddha menunjukkan bahwa semua ini berasal dari
kontak dengan enam indra (DN 1; SN 35:82). Pandangan mengenai
diri dan dunia ini kemudian menjadi objek kemelekatan, yang pada
gilirannya menimbulkan kemenjadian: aksi mengambil identitas
dalam suatu alam pengalaman yang didefinisikan di sekeliling nafsu
yang melandasi kemelekatan itu. Kemenjadian, pada gilirannya,
adalah syarat bagi kelahiran ulang.

Penawar proses ini adalah mengarahkan perhatian dengan pantas


untuk mengidentifikasi Empat Kebenaran Suciwan saat dialami. Wujud
perhatian ini memungkinkan Anda untuk melihat aksi pembentukan
pandangan sebagai suatu proses, melihat kerugian dalam proses
itu, lalu meninggalkan kemelekatan terhadap isi pandangan itu. Ini

151
KELAHI RAN UL ANG

menyingkirkan kondisi kemenjadian dan kelahiran selanjutnya.


Sekalipun Empat Kebenaran Suciwan terhitung sebagai sejenis
pandangan, kemampuannya untuk melihat semua pandangan—
bahkan pandangan Empat Kebenaran Suciwan itu sendiri—sebagai
bagian proses ini, berarti mereka memuat benih adiduniawinya
sendiri (AN 10:93).

Jadi jika Anda ingin mendapatkan manfaat terbaik dari Musabab Yang
Saling Bergantung, maka alih-alih memandang Musabab Yang Saling
Bergantung terjadi dalam konteks diri dan dunia, Anda akan lebih
mendapat manfaat dengan memandang bahwa gagasan mengenai diri
dan dunia itu terjadi dalam lingkup Musabab Yang Saling Bergantung.

Keuntungan mengambil pendekatan ini adalah hal itu memusatkan


perhatian jauh dari hal-hal yang bukan tanggung jawab Anda—entitas
metafisika yang bisa jadi atau bisa tidak mendasari pengalaman itu—
dan ke hal-hal alih-alih peristiwa yang mana Anda adalah aksi perhatian
dan berbagai wujud perniatan di bawah “bentukan batin” dan
“kesadaran”. Inilah penyebabnya, sekalipun Buddha tidak mengambil
posisi dalam isu metafisika kelahiran ulang, Ia mencurahkan banyak
waktu menjelaskan hubungan antara kelahiran ulang dan tindakan.
Tindakan adalah hal yang membawa pada kelahiran ulang, namun
tindakan—yang piawai—juga bisa mengakhirinya.

Bila Anda menganut cara pandang ini, Anda memusatkan secara


langsung kepada tindakan saat mereka dialami sebagai faktor: bagian
dari urutan sebab-akibat. Lalu ini, pada gilirannya, memudahkan untuk
menerapkan tugas Empat Kebenaran Suciwan dengan keakuratan
lebih besar. Dengan kata lain, ini membantu Anda memerhatikan
faktor mana—seperti ketaktahuan—yang menyebabkan duka sehingga
semestinya ditinggalkan dengan menggantikan ketaktahuan dengan
pandangan benar; dan faktor-faktor mana—seperti perhatian dan
152
KELAHI RAN UL ANG

perniatan, di bawah “kesadaran”—bisa dialihkan menjadi jalan menuju


akhir duka sehingga semestinya dikembangkan sebelum mereka
pun, ditinggalkan; dan faktor-faktor mana—seperti kemelekatan,
kemenjadian, dan kelahiran—yang menyusun duka sehingga
seharusnya dipahami sampai ke titik ketaklekatan dan lenyapnya
nafsu, membawa menuju realisasi akhir duka: keterbebasan.

BAHAN BAKAR KELAHIRAN ULANG

Apa yang dimaksud “memahami” kelahiran sebagai peristiwa duka?


Dan apa yang diperoleh dengan memandangnya seperti itu? Buddha
sering membandingkan semua duka dengan aksi melekati dan makan:
aksi yang hakikinya duka tidak hanya bagi mereka yang dilekati dan
dimakan, namun juga bagi mereka yang, melalui penyakit bernama
lapar (Dhp 203), tetap perlu melekat dan makan.

Kenyataannya, bagi Buddha, makan dan melekat tampak jelas adalah


hal yang tunggal dan sama. Kata Pāḷi untuk kemelekatan—upādāna—
juga berarti bahan bakar atau asupan dan tindakan akan mengambil
asupan dari bahan bakar. Dalam penjelasan Buddha bagaimana
api menyala, misalnya, api makan dirinya sendiri dengan melekati
bahan bakarnya—suatu gambaran yang Buddha juga pakai untuk
menggambarkan bagaimana kelahiran ulang terjadi melalui proses
melekati nafsu:

“Namun, Bhante Gotama, saat api tersapu angin dan pergi jauh,
kepada apa Anda menggolongkan kemelekatan/asupannya?”

“Vaccha, saat api tersapu oleh angin dan pergi jauh, Saya menyebutnya
terasup angin, karena angin adalah kemelekatan/asupannya saat itu.”
153
KELAHI RAN UL ANG

“Dan saat suatu makhluk melepas tubuhnya dan belum terlahir lagi di
tubuh lain, apa yang Anda sebut sebagai kemelekatan/asupannya?”

“Vaccha, saat suatu makhluk melepas tubuhnya dan belum terlahir


lagi dalam tubuh lain, Saya menyebutnya sebagai terasup nafsu,
karena nafsu adalah kemelekatan/asupannya saat itu.”
—SN 44:9

Dengan memperkenalkan “makhluk” ke dalam naskah ini, Buddha


mungkin disangka memperkenalkan “apa” ke dalam pembahasan-Nya
mengenai kelahiran. Dan ini bukan satu-satunya tempat Ia berbicara
mengenai makhluk yang bakal lahir dalam konteks ini.

“Para bhikkhu, munculnya embrio terjadi dengan bergabungnya tiga


hal. Ada kasus terjadi penyatuan ibu dan ayah, ibunya tidak dalam
masanya, dan suatu gandhabba (makhluk yang bakal lahir) tidak ada,
maka tidak ada pemunculan embrio. Ada kasus terjadi penyatuan ibu
dan ayah, dan ibunya sedang dalam masanya, namun gandhabba tidak
hadir, maka tidak ada pemunculan embrio. Namun saat ada penyatuan
ibu dan ayah, ibunya sedang dalam masanya, dan suatu gandhabba hadir,
kemudian dengan penyatuan tiga hal ini pemunculan embrio terjadi.”
—MN 38

Akan tetapi, pada tataran Musabab Yang Saling Bergantung, Buddha


tidak memperlakukan konsep makhluk sebagai suatu “apa”. Definisi
Buddha mengenai “makhluk” menunjukkan bahwa Buddha pun
menganjurkan untuk melihatnya sebagai suatu proses:

Ketika sedang duduk di sana, Bhikkhu Rādha berkata kepada Bhagavā,


“’Makhluk,’ Bhante, ‘makhluk,’ dikatakan. Sampai batasan apa sesuatu
bisa dikatakan ‘makhluk’?”

154
KELAHI RAN UL ANG

“Keinginan, nafsu, kesenangan, atau hasrat apa pun akan wujud,


Rādha. Saat seseorang tertangkap [satta] di sana, terikat [visatta] di
sana, seseorang dikatakan sebagai ‘makhluk’[satta].”

“Keinginan, nafsu, kesenangan, atau hasrat apa pun akan perasaan …


pencerapan … bentukan batin ….”

“Keinginan, nafsu, kesenangan, atau hasrat apa pun akan kesadaran,


Rādha, saat seseorang tertangkap di sana, terikat di sana, seseorang
dikatakan sebagai ‘makhluk’.”
—SN 23:2

Jadi Buddha menganjurkan memandang “makhluk” sekadar sebagai


proses kemelekatan terhadap keinginan, nafsu, kesenangan, dan
hasrat. Suatu makhluk dalam artian ini bisa terlahir, mati, dan
terlahir ulang banyak kali selama satu hari—sebagai kemelekatan
yang berkembang untuk suatu hasrat, yang lalu berakhir, kemudian
mengembangkan hasrat lain—belum lagi betapa seringnya ini terjadi
selama masa kehidupan suatu tubuh fisik. Inilah mengapa proses
yang membawa menuju kelahiran ulang bisa diamati dan diarahkan
kembali pada momen kini, karena—seperti yang telah kita simak—
proses batin yang bergerak dari momen ke momen pada tataran
mikro serupa dengan proses batin yang bergerak dari tubuh ke tubuh
pada tataran makro.

Saat terlahir baik di tataran mikro atau makro, proses-menjadi


dipelihara oleh empat nutrisi kesadaran: makanan fisik, kontak
indriawi, kesadaran indriawi, dan perniatan batin.

“Tempat ada hasrat, kesenangan, dan nafsu akan nutrisi makanan

155
KELAHI RAN UL ANG

fisik, kesadaran mendarat di sana dan bertambah. Tempat kesadaran


mendarat dan bertambah, di sana ada mendarat badan dan batin.
Tempat mendaratnya badan dan batin, ada pertumbuhan bentukan
batin. Tempat ada pertumbuhan bentukan batin, ada dihasilkannya
menjadi lebih lanjut pada masa depan. Tempat ada menjadi lebih
lanjut pada masa depan, Saya beritahu kalian, maka ada kelahiran,
pelapukan, dan kematian mendatang, berikut dengan penderitaan,
kesusahan, kesulitan ….”

“[Sama pula dengan nutrisi kontak (indriawi, nutrisi perniatan batin,


dan nutrisi (kesadaran) indriawi.]”
—SN 12:64

Ada hubungan rumit antara nafsu dan nutrisi yang menyokong proses
ini, Di satu sisi, nafsu harus secara aktif ada sebelum kesadaran bisa
mendarat pada apa pun wujud nutrisinya. Namun di sisi lain, jika tidak
ada nafsu dari masa lalu, tidak ada wujud nutrisi ini yang bahkan ada:

“Empat nutrisi ini memiliki nafsu sebagai musababnya, nafsu sebagai


asalnya, terlahir dari nafsu, dan dimunculkan dari nafsu.”
—MN 38

Ini berarti nafsu itu menghasilkan makanan yang kemudian


dimakannya—suatu fakta yang mengizinkan proses yang membawa
menuju kelahiran menjadi kelahiran ulang kali. Peran nafsu di sini
terkait erat dengan kesadaran itu, yang—seperti halnya nafsu—
menghasilkan makanan yang kemudian ia makan.

Karena proses ini bersifat swadaya, maka upaya apa pun untuk bisa
menera mereka pasti rumit. Salah satu keluhan utama mengenai
Musabab Yang Saling Bergantung adalah bahwa ini luar biasa
rumit. Namun, ini seperti mengeluhkan kerumitan peta kota yang
156
KELAHI RAN UL ANG

menunjukkan semua nama jalannya. Anda harus bertahan dengan


kerumitan itu supaya Anda bisa menemukan jalan yang Anda
inginkan. Sama pula, begitu Anda menerima fakta bahwa proses yang
membawa menuju duka itu rumit, Anda akan menghargai kegunaan
peta yang diberikan Musabab Yang Saling Bergantung yaitu mereka
menunjukkan dengan tepat di mana dalam proses itu Anda bisa
melakukan perubahan, supaya pola sebab-akibat bisa dialihkan dari
duka menuju akhir duka.

Kita bisa melihat ini dengan jelas dalam dua model utama Musabab
Yang Saling Bergantung yang menggambarkan pola swadaya
kesadaran dalam menghasilkan makanannya yang bisa terus
dikonsumsinya sendiri. Pola ini paling menonjol dalam model
yang merunut kembali musabab kelahiran sampai ke sebab saling
bergantung antara kesadaran pada satu sisi, dan nāma-rūpa—dimensi
batin dan badan dari pengalaman—di sisi lain.

“Dari kesadaran sebagai kondisi yang diperlukan muncullah


badan dan batin.” Demikianlah itu dikatakan. Dan inilah cara
untuk memahami bagaimana dari kesadaran sebagai kondisi yang
diperlukan muncul badan dan batin. Jika kesadaran tidak masuk ke
dalam rahim ibu, akankah badan dan batin (janin) mengambil bentuk
dalam rahim?”
“Tidak, Bhante.”
“Jika, setelah turun ke dalam rahim, kesadarannya pergi, akankah
badan dan batin dihasilkan ke dunia ini?”
“Tidak, Bhante.”
“Jika kesadaran anak laki-laki atau perempuan itu terputus, akankah
badan dan batin matang, bertumbuh, dan mencapai kedewasaan?”
“Tidak, Bhante.”
“Demikianlah inilah musababnya, inilah alasannya, inilah asalnya,

157
KELAHI RAN UL ANG

inilah syarat yang dibutuhkan untuk badan dan batin, yaitu


kesadaran.”
—DN 15

Dalam memainkan peranan dalam proses kelahiran dan pertumbuhan,


kesadaran juga bergantung pada fenomena yang diasupnya:

“Jika kesadaran tidak memperoleh sokongan dalam badan dan


batin, akankah terlihat munculnya penyebab kelahiran, pelapukan,
kematian, dan duka pada masa depan?”
“Tidak, Bhante.”
“Demikianlah inilah musababnya, inilah alasannya, inilah asalnya,
inilah syarat yang dibutuhkan untuk badan dan batin, yaitu
kesadaran.”
—DN 15

Dengan cara ini, kesadaran secara langsung mengasup faktor-faktor


yang, pada gilirannya, mengasup faktor lainnya. Jadi model untuk
memetakan Musabab Yang Saling Bergantung memusatkan pada
satu tempat untuk memotong urutan sebab-akibat itu yaitu: saling
ketergantungan antara kesadaran dengan badan dan batin.

[Bhikkhu Sāriputta:] “Ini seolah dua buntal buluh berdiri saling


bersandar. Dengan cara yang sama, dari badan dan batin sebagai
kondisi yang diperlukan dari kesadaran, dari kesadaran sebagai
kondisi yang diperlukan muncul badan dan batin ….”

“Jika seseorang hendak menarik salah satu buntal buluh, yang


lainnya akan jatuh; jika seseorang hendak menarik yang kedua, yang
pertama akan jatuh. Sama pula, dari penghentian badan dan batin
muncul penghentian kesadaran, dari penghentian kesadaran muncul
penghentian badan dan batin.”
158
KELAHI RAN UL ANG

—SN 12:67

Model Musabab Yang Saling Bergantung yang lebih standar


memberikan gambaran lebih tepat akan apa yang dimaksud dengan
“menarik” kesadaran serta badan dan batin. Model ini—yang faktor-
faktornya telah dirinci di bab sebelumnya—merunut musabab duka
kembali ke ketaktahuan, dan dengan itu memberikan gambaran lebih
kompleks mengenai cara kesadaran menghasilkan makanannya sendiri.

Pada tatapan pertama, pola swadaya dalam proses kesadaran


tampaknya lebih tidak kelihatan dalam model ini karena kesadaran
muncul sebagai faktornya hanya sekali. Akan tetapi, kesadaran
berfungsi sebagai sub-faktor dalam dua hal lainnya dalam proses,
tempat kesadaran mengonsumsi faktor yang diasupnya. Karena
gambarannya di sini lebih rumit, akan lebih jelas dengan menunjukkan
ke mana harus memusatkan upaya Anda untuk memotong nutrisi
proses ini.

Kesadaran pertama kali muncul dalam proses sebagai faktor kesadaran


itu sendiri. Faktor ini mengikuti setelah ketaktahuan dan bentukan
batin, dan bertindak sebagai kondisi bagi badan dan batin. Fakta
bahwa kesadaran muncul segera setelah bentukan batin menekankan
bahwa kesadaran diarahkan oleh perniatan. Seperti yang dikutip SN
22:79, unsur penyadaranlah yang mengalihkan potensi kesadaran
indriawi menjadi pengalaman kesadaran indriawi yang nyata.

“Demi kepentingan keberadaan kesadaran, bentukan batin


membentuk kesadaran sebagai bentukannya.”
—SN 22:79

Demikianlah setiap aksi kesadaran indriawi itu bertujuan. Selama

159
KELAHI RAN UL ANG

ketaktahuan yang memicu bentukan batin, tidak ada yang namanya


keadaan kesadaran murni atau benar-benar pasif. Setiap aksi
kesadaran diwarnai unsur tujuan yang membentuknya.

Fakta bahwa faktor kesadaran muncul sebelum badan dan batin


menekankan fakta bahwa kesadaran harus hadir bagi semua faktor
tersisa lainnya—termasuk “perniatan” di bawah “nama”—agar
bisa muncul. Dan karena baik kesadaran serta badan dan batin
bergantung pada bentukan batin, yang pada gilirannya bergantung
pada ketaktahuan akan hakikat bentukan batin yang duka, model ini
menunjukkan satu cara memotong nutrisi proses kesadaran adalah
mengembangkan pandangan benar mengenai unsur perniatan
bentukan batin yang mendasari proses itu.

Poin kedua tempat kesadaran muncul dalam proses Musabab Yang


Saling Bergantung adalah sebagai komponen faktor kontak di landasan
enam indra. Peranannya di sini melanjutkan dari ketergantungannya
pada bentukan batin, menekankan fakta bahwa kontak indriawi tidak
pernah murni pasif. Bahkan kontak terkecil telah memuat unsur
bentukan batin disengaja yang mewarnainya dengan ketaktahuan.

“Bergantung pada suatu pasangan kesadaran muncul. Dan bagaimana


kesadaran muncul dalam ketergantungan pada suatu pasangan?
Bergantung pada mata dan wujud muncul kesadaran-mata. Mata
tidak tetap, rentan berubah, memiliki sifat berubah menjadi lain.
Wujud tidak tetap, rentan berubah, memiliki sifat berubah menjadi
lain. Demikianlah pasangan ini keduanya goyah dan berpindah—tidak
tetap, rentan berubah, dan memiliki sifat berubah menjadi lain.

“Kesadaran mata tidak tetap, rentan berubah, dan memiliki sifat


berubah menjadi lain. Apa pun sebabnya, kondisi syaratnya, bagi
pemunculan kesadaran mata, itu tidak tetap, rentan berubah, dan
160
KELAHI RAN UL ANG

memiliki sifat berubah menjadi lain. Setelah muncul bergantung


pada faktor yang tidak tetap, bagaimana mungkin kesadaran mata
bisa tetap?“ Tibanya bersama-sama, pertemuan, penggabungan tiga
fenomena ini adalah kontak mata.”

“[Sama pula dengan kontak telinga, hidung, lidah, tubuh, dan


kesadaran batin.]”
—SN 35:93

Apa yang ditunjukkan hal ini adalah, untuk melaparkan proses


kesadaran makanan, Anda harus memusatkan lebih sedikit pada
bagaimana Anda bereaksi terhadap kontak indriawi dan lebih
banyak ke apa yang Anda hadirkan ke kontak indriawi—kebiasaan
bentukan batin keliru-tahu yang membentuk apa yang Anda cerap.
Pada titik ketiga rangkaian ini, kesadaran bersama dengan nutrisinya
memainkan peranan mengonsumsi dan melekat: membangun
nafsu, dan membawa pada kemenjadian—rasa identitas diri di alam
pengalaman tertentu—yang jadi syarat kelahiran.

(Renungi bagaimana saat Anda terlelap, dunia mimpi muncul


dalam batin, dan Anda memasuki dunia itu.) Dalam hal ini, Buddha
mengatakan, kesadaran memainkan peranan suatu benih yang—saat
diairi nafsu dan kegembiraan—mekar jadi kemenjadian pada tataran
nafsu indra, wujud indah, atau tanpa-wujud.

“Karma adalah ladangnya, kesadaran adalah benihnya, dan nafsu


kelembabannya. Kesadaran makhluk hidup dihalangi ketaktahuan
dan terbelenggu nafsu dibangun dalam sifat [tataran nafsu indra]
yang lebih rendah … sifat menengah [alam wujud indah] … sifat murni
[tataran tanpa wujud]. Demikianlah dihasilkannya kemenjadian lebih
lanjut pada masa depan. Inilah bagaimana ada menjadi.”
—AN 3:76
161
KELAHI RAN UL ANG

“Seperti unsur tanah, para bhikkhu, inilah bagaimana empat


pilar kesadaran [sifat wujud, perasaan, pencerapan, dan bentukan
batin] semestinya dipandang. Seperti unsur cair adalah bagaimana
kegembiraan dan nafsu semestinya dipandang. Seperti lima jenis
perkembangbiakan tanaman [akar, batang, percabangan, tunas, dan
benih] adalah bagaimana kesadaran bersama-sama dengan nutrisinya
dipandang.”
—SN 22:54

Memandang kesadaran dan nutrisinya di sini sebagai benih yang diairi


nafsu, kegembiraan, dan hasrat membantu memusatkan perhatian
pada peran yang dimainkan oleh tiga kondisi batin lebih lanjut dalam
menghasilkan makanan bagi duka dan kelahiran yang berulang tanpa
akhir. Ini adalah kondisi batin yang menyokong proses kesadaran saat
itu bergerak dari satu landasan ke landasan lainnya. Mungkin Buddha
berpindah dari analogi mengonsumsi ke analogi benih di sini karena
implikasi analogi makanan sampai di sini akan terlalu keras jika
dijelaskan lugas kepada khayalak yang santun: kita terus mengasup
produk sampingan asupan kita sebelumnya. Akan tetapi, analogi
benih menyajikan masalahnya secara lebih tidak langsung. Sama
seperti benih, saat diairi, tumbuh menjadi tanaman yang keduanya
menghasilkan benih, dan saat mereka mati, menambah pupuk bagi
tanah yang mengasup benih itu, sama pula, kesadaran diasup dengan
karma dan nafsu terus menghasilkan lebih banyak landasan—gugus
wujud, perasaan, pencerapan, bentukan batin, dan kesadaran—untuk
diasup tindakan kesadaran masa depan:

“Seandainya kesadaran, saat berdiri, berdiri melekat ke wujud,


disokong oleh wujud (sebagai objeknya), mendarat pada wujud,
diairi kegembiraan, kesadaran akan menampakkan pertumbuhan,
pertambahan, dan perkecambahan.”

162 “Seandainya kesadaran, saat berdiri, berdiri melekat ke perasaan,


KELAHI RAN UL ANG

disokong oleh perasaan (sebagai objeknya), mendarat pada perasaan,


diairi kegembiraan, kesadaran akan menampakkan pertumbuhan,
pertambahan, dan perkecambahan.”

“Seandainya kesadaran, saat berdiri, berdiri melekat ke pencerapan,


disokong oleh pencerapan (sebagai objeknya), mendarat pada
pencerapan, diairi kegembiraan, kesadaran akan menampakkan
pertumbuhan, pertambahan, dan perkecambahan.”

“Seandainya kesadaran, saat berdiri, berdiri melekat ke bentukan


batin, disokong oleh bentukan batin (sebagai objeknya), mendarat pada
bentukan batin, diairi kegembiraan, kesadaran akan menampakkan
pertumbuhan, pertambahan, dan perkecambahan.”

“Jika ada orang hendak berkata, ‘Aku akan menunjukkan kedatangan,


perjalanan, pelenyapan, pemunculan, pertumbuhan, penambahan,
atau perkecambahan kesadaran yang terpisah dari wujud, perasaan,
pencerapan, dan bentukan batin,’ maka itu tidaklah mungkin.”
—SN 22:54

Dengan kata lain, selama kegembiraan dan hasrat—ini adalah istilah


yang sepadan dengan kemelekatan—mengasup proses kesadaran,
maka kesadaran pada gilirannya terus menciptakan makanan untuk
menjaga proses ini berlangsung tanpa akhir, bahkan setelah wujud
tubuh ini disingkirkan. Inilah mengapa kelahiran ulang sebagai
proses tak akan berakhir sampai air yang mengasup nafsu dan
kemelekatannya dihentikan. Lalu satu-satunya jalan memotong
asupan air dan makanan proses ini adalah mengembangkan
lenyapnya nafsu terhadap aktivitas yang menyokongnya. Inilah
tempat model Musabab Yang Saling Bergantung ini menunjukkan
nilai pragmatisnya. Model ini menunjukkan bahwa tidak hanya

163
KELAHI RAN UL ANG

makanan dan air untuk proses kelahiran ulang bisa dialami langsung,
namun juga proses-proses ini merupakan konsekuensi pilihan yang
dibuat dalam batin: aktivitas disengaja bentukan batin yang dilandasi
ketaktahuan. Dengan cara ini, maka model ini menunjukkan adanya
kemungkinan bahwa duka kelahiran ulang bisa diakhiri dengan
pilihan: memilih mengembangkan perhatian yang sesuai—yaitu
pandangan benar menyangkut Empat Kebenaran Suciwan—yang
mengakhiri nafsu dan ketaktahuan. Dengan cara itu, alih-alih
terbelit dalam upaya menghancurkan kondisi yang memungkinkan
kelahiran—yang akan mengakibatkan munculnya penghancuran
identitas, yang malah hanya melanjutkan proses kemenjadian—Anda
sekadar memilih memotong asupan proses itu, mengizinkan proses
itu berakhir sendiri.

Pilihan itulah di mana jalan ini, Empat Kebenaran Suciwan, dimulai.

MEMILIH LENYAPNYA NAFSU

Mengingat nafsu adalah sesuatu yang secara kebiasaan kita nikmati,


maka tidaklah mudah untuk memilih jalan yang membawa menuju
lenyapnya nafsu secara menyeluruh. Anda harus memiliki motivasi
kuat untuk menjalani dan terus melakukannya. Pada saat yang sama,
Anda harus memasang standar yang tinggi untuk diri Anda sepanjang
perjalanan itu, karena terlalu mudah untuk jatuh ke tataran nafsu halus
yang bisa menyeret Anda kembali ke dalam proses yang membawa
menuju duka dan kelahiran ulang baru. Inilah salah satu alasannya
mengapa pandangan benar berada pada awal jalan—untuk memberi
motivasi dan panduan bagi semua faktor jalan yang lain: perniatan
benar, perkataan benar, perbuatan benar, penghidupan benar,

164
KELAHI RAN UL ANG

pengupayaan benar, penyadaran benar, dan pengheningan benar.

Sebagai bagian dari pandangan benar, keyakinan akan kelahiran


ulang—dan pengaruh tindakan dalam hal membawa menuju
kelahiran ulang—memainkan peranan penting dalam melakukan
kedua fungsi ini: memotivasi pilihan awal untuk mengikuti jalan, dan
pilihan pemandu yang dibuat sepanjang jalan. Kita telah menyimak
dalam bab empat bagaimana Buddha menggunakan keyakinan akan
kelahiran ulang untuk menginspirasi keinginan secara umum untuk
bebas dari lingkaran duka; di sini, hal spesifik mengenai pandangan
benar mengenai kelahiran ulang membantu memusatkan keinginan
itu terutama pada jalannya.

Sebagian orang menyatakan bahwa keyakinan akan kelahiran


ulang menimbulkan rasa puas diri—bahwa Anda memiliki banyak
kali kehidupan untuk mengikuti jalan, jadi Anda bisa pelan-pelan
melakukannya—namun penggambaran Buddha mengenai bahaya
kelahiran ulang memberikan gambaran yang sangat berbeda: Anda
bisa mati kapan saja, dan ada banyak tempat menyengsarakan—
alam yang tidak mungkin menjadi tempat berlatih—tempat Anda
dengan mudah bisa terlahir ulang di sana. Dan sekalipun Anda
berhasil mencapai tataran kelahiran ulang yang baik kali berikutnya,
kesempatan untuk kelahiran ulang yang baik setelah itu sangat tipis.
Maka Anda harus mulai menguasai jalan selagi Anda bisa.

Kemudian Bhagavā, mengambil sedikit debu dengan ujung kuku


jarinya, berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, bagaimana
pendapat kalian? Mana yang lebih banyak: sepernik debu yang Saya
pungut di ujung kuku jari, atau bumi raya?”

“Bumi raya jauh lebih besar, Bhante. Sepernik debu yang Bhagavā

165
KELAHI RAN UL ANG

pungut di ujung kuku jari tidak ada apa-apanya. Itu bahkan tidak
dihitung. Tidak bisa dibandingkan. Itu bahkan bukan pecahan,
sepernik debu yang Bhagavā pungut di ujung kuku jari, bila
dibandingkan dengan bumi raya.”

“Sama pula, para bhikkhu, sedikit sekali makhluk yang, ketika


meninggal dari alam manusia, terlahir ulang di alam manusia. Jauh
lebih banyak makhluk yang saat meninggalkan alam manusia, terlahir
di neraka … di rahim binatang … di alam hantu menderita.”

… “Sama pula, para bhikkhu, sedikit sekali makhluk yang, ketika


meninggal dari alam manusia, terlahir ulang di antara para dewa.
Jauh lebih banyak makhluk yang saat meninggalkan alam manusia,
terlahir di neraka … di rahim binatang … di alam hantu menderita.”

… “Sama pula, para bhikkhu, sedikit sekali makhluk yang, saat


meninggal dari alam dewa, terlahir di antara para dewa. Jauh lebih
banyak makhluk, yang saat meninggal dari alam dewa, terlahir di
neraka … di rahim binatang … di alam hantu menderita.”

… “Sama pula, para bhikkhu, sedikit sekali makhluk yang, saat


meninggal dari alam dewa, terlahir di antara manusia. Jauh lebih
banyak makhluk, yang saat meninggal dari alam dewa, terlahir di
neraka … di rahim binatang … di alam hantu menderita.”

“Karena itu tugas kalian adalah merenungi, ‘Inilah duka …. Inilah


musabab duka …. Inilah lenyapnya duka.’ Tugas kalian adalah
merenungi, ‘Inilah jalan menuju lenyapnya duka.’”
—SN 56:102-113

Buddha juga menggunakan keyakinan akan kelahiran ulang untuk

166
KELAHI RAN UL ANG

menyemangati para pendengar-Nya untuk tidak jerih oleh kesulitan


yang dihadapi sepanjang jalan. Dibandingkan duka kelahiran berulang
kali, kesulitan itu tidak ada apa-apanya.

“Para bhikkhu, andaikan ada orang yang jangka hidupnya seratus


tahun, yang akan hidup sampai seratus tahun. Seseorang kemudian
berkata kepadanya, ‘Kawan, dengarkan. Mereka akan menusuk engkau
dengan seratus tombak pada fajar hari, seratus tombak pada siang hari,
dan lagi pada malam hari dengan seratus tombak. Sehingga, engkau
ditusuk hari demi hari dengan tiga ratus tombak, akan memiliki umur
seratus tahun, dan akan hidup sampai seratus tahun, dan pada akhir
seratus tahun itu engkau akan merealisasi Empat Kebenaran Suciwan
yang belum pernah engkau realisasi sebelumnya.’”

“Para bhikkhu, bagi orang yang mendambakan manfaat sejati bagi


dirinya sendiri akan berlaku bijak untuk menerimanya (tawaran
itu). Mengapa demikian? Dari awal yang tak dapat dicerap muncul
pengembaraan terus-menerus. Suatu titik awal tidaklah jelas bagi
(nyeri) pukulan tombak, pedang, dan kapak. Sekalipun (tawaran) ini
terjadi, Saya nyatakan kepada kalian bahwa realisasi Empat Kebenaran
Suciwan tidak akan disertai duka dan derita. Saya nyatakan kepada
kalian, realisasi Empat Kebenaran Suciwan akan disertai kenikmatan
dan kebahagiaan.”

“Empat kebenaran yang mana? Kebenaran Suciwan mengenai duka,


Kebenaran Suciwan mengenai musabab duka, Kebenaran Suciwan
mengenai lenyapnya duka, dan Kebenaran Suciwan mengenai jalan
praktik menuju lenyapnya duka.”

“Karena itulah tugas kalian adalah merenungi, ‘Inilah duka …. Inilah


musabab duka …. Inilah lenyapnya duka …. Inilah jalan menuju

167
KELAHI RAN UL ANG

lenyapnya duka.’”
—SN 56:35

Prinsipnya, jalan menuju akhir duka bisa dituntaskan dalam satu


masa kehidupan.

Kanon memuat banyak kisah orang-orang yang memperoleh


kecerahan penuh setelah mendengar satu saja pembabaran Buddha,
dan MN 10, di antara banyak pembabaran lainnya, menyatakan bahwa
dalam beberapa kasus bahkan hanya tujuh hari latihan teguh cukup
untuk menuntaskan jalan. Namun itu adalah prinsipnya. Akan tetapi,
kecerahan setiap orang adalah kasus spesifik, dan Buddha mengetahui
bahwa, untuk sebagian besar pendengar-Nya, jalan akan menjadi
urusan berkali-kali masa kehidupan. Dan tidak sulit membayangkan
bahwa banyak pendengar-Nya—seperti banyak orang pada zaman
sekarang—melihat kekusutan hidup mereka dan menyadari bahwa
mereka tidak akan pernah memiliki cukup waktu dalam masa
kehidupan ini untuk mencurahkan waktu penuh untuk berlatih.

Jadi, alih-alih berusaha menyenangkan mereka dengan mengencerkan


jalan pada apa yang mungkin mereka bisa capai dengan masuk akal
dalam batasan masa kehidupan ini, Buddha menyemangati mereka
dengan cara pandang banyak kehidupan dalam jalan, meyakinkan
mereka bahwa apa pun upaya yang mereka lakukan ke arah kecerahan
tidak akan sia-sia. Buddha memasang target tinggi, dan dengan
alasan yang bagus: hanya saat Anda telah memiliki pandangan
realistik mengenai apa sesungguhnya diperlukan untuk menapaki
jalan menuju akhir duka, barulah Anda mampu mengikutinya dan
mencapai hasil sempurna.

Pada saat yang sama, Buddha menyemangati orang-orang menjelang

168
KELAHI RAN UL ANG

ajal untuk melakukan upaya mengembangkan lenyapnya nafsu


akan berbagai alam kelahiran ulang. Ia bahkan menyatakan bahwa
mereka mungkin sesungguhnya mencapai kecerahan penuh selagi
melakukannya. Dengan cara ini, mereka akan mampu mencegah
banyak sekali jumlah duka dan kesengsaraan masa mendatang (SN
55:54).

Orang yang hanya mengasumsikan adanya satu masa kehidupan


tidak akan melihat nilai pengupayaan seperti ini—yang berarti bahwa
sudut pandang satu kehidupan saja akan meremehkan apa yang
bisa dilakukan orang menjelang ajal, dan alih-alih akan menyetujui
untuk membius orang itu sampai kehilangan penyadaran untuk
mengurangi deritanya yang sekarang. Karena keadaan batin yang
terbius tidak memiliki kesempatan menahan nafsu, ini berarti bahwa
sudut pandang kehidupan tunggal saja akan menempatkan orang
menjelang ajal dalam posisi sangat tidak menguntungkan—dan
sesungguhnya merupakan pandangan yang lebih berpuas diri dan
tidak bertanggung jawab.

Selain memberi semangat untuk mempraktikkan jalan, asumsi akan


karma dan kelahiran ulang memainkan peranan penting dalam
menggali keluar kemelekatan terhadap kelahiran ulang dan proses
lainnya yang mungkin saja Anda tidak akan lihat jika Anda tidak
mengikuti jalan. Jika Anda tidak memercayai, misalnya, bahwa suatu
hasrat atau kegembiraan tertentu bisa memiliki balasan sangat besar
pada masa depan, dan jika itu tampaknya nikmat sekarang, Anda
dengan mudah bisa menganggapnya sebagai tidak penting dan tetap
mengizinkannya berbuih dalam batin.

“Ada, para bhikkhu, ruang hampa antar galaksi, suatu kegelapan


tanpa terhalang, kegelapan pekat, tempat bahkan cahaya matahari

169
KELAHI RAN UL ANG

dan bulan—yang begitu perkasa, begitu kuat—tidak mencapainya.”

Saat ini dikatakan, salah satu bhikkhu berkata kepada Bhagavā, “Oh,
betapa kegelapan yang sangat besar! Betapa kegelapan yang sangat
besar! Adakah kegelapan lain yang lebih besar dan menakutkan
daripada itu?”

“Bhikkhu, ada kegelapan yang lebih besar dan menakutkan daripada


itu.”

“Dan kegelapan apakah, Bhante, yang lebih besar dan menakutkan


daripada itu?”

“Petapa atau brahmana apa pun yang tidak mengetahui, sebagaimana


adanya, bahwa ‘Inilah duka’; yang tidak mengetahui, sebagaimana
adanya, ‘Inilah musabab duka’ … ‘Inilah lenyapnya duka’ … ‘Inilah
jalan menuju lenyapnya duka’. Mereka bergembira dalam bentukan
batin yang membawa menuju kelahiran. Mereka bergembira
dalam bentukan batin yang membawa menuju pelapukan. Mereka
bergembira dalam bentukan batin yang membawa menuju kematian.
Mereka bergembira dalam bentukan batin yang membawa menuju
kesedihan, ratapan, penderitaan, kesusahan, kesulitan. Bergembira
dalam bentukan batin yang membawa menuju kelahiran … pelapukan
… kematian … kesedihan, ratapan, penderitaan, kesusahan, kesulitan,
mereka membentuk bentukan batin yang membawa menuju
kelahiran … pelapukan … kematian … kesedihan, ratapan, penderitaan,
kesusahan, kesulitan. Membentuk bentukan batin yang membawa
menuju kelahiran … pelapukan … kematian … kesedihan, ratapan,
derita, duka dan keputusasaan, mereka jatuh dalam kegelapan
kelahiran. Mereka jatuh dalam kegelapan pelapukan … kegelapan
kematian … kegelapan kesedihan, ratapan, penderitaan, kesusahan,
kesulitan. Mereka tak terbebas penuh dari kelahiran, pelapukan,
170
KELAHI RAN UL ANG

kematian, kesedihan, ratapan, penderitaan, kesusahan, kesulitan.


Saya nyatakan kepada kalian, mereka tak sepenuhnya terbebas dari
duka dan derita.”
—SN56:46

Hanya saat Anda menghargai potensi kemelekatan yang paling alami


dan kelihatannya paling tak berbahaya untuk membawa duka jangka
panjang, barulah Anda bersedia menyikapinya dengan serius dan
berupaya meninggalkannya. Lalu hanya saat itulah Anda akan benar-
benar mengikuti jalan.

Seperti yang telah kita simak dalam bab tiga, suatu sudut pandang
banyak kehidupan membantu Anda tetap berada di wilayah kesusilaan,
suatu pokok yang berlaku ke faktor jalan berupa perkataan benar,
perbuatan benar, dan penghidupan benar. Prinsip yang sama juga
berlaku bagi faktor-faktor yang lebih terkait langsung ke meditasi.
Ini bisa digambarkan dengan dua contoh dari strategi dua-langkah
Buddha untuk mengembangkan kemuakan akan kemelekatan dan
nafsu.

Dalam langkah pertama, Buddha meminta Anda memusatkan pada


kerugian nafsu akan kenikmatan indriawi, yaitu kecenderungan
batin untuk terobsesi dengan rencana akan kenikmatan indriawi.
Jika Anda terbatas hanya pada pandangan satu-kehidupan, sulit
untuk bisa menghargai dengan penuh kekuatan dan kerugian nafsu
indriawi. Bagaimana pun, evolusi kehidupan bergantung pada nafsu
ini, dan kepada banyak orang nafsu ini menyediakan satu-satunya
kenikmatan dan kegembiraan yang mereka ketahui, jadi mudah
untuk membenarkan bahwa kenikmatan indriawi sebagai hal yang
baik. Bahkan saat Anda menimbang banyak kerugian kenikmatan
indriawi yang kasat mata dalam kehidupan ini, tetap saja itu hanya

171
KELAHI RAN UL ANG

sekadar selera apakah Anda merasa kerugian itu cukup untuk


membuat Anda jera dari pengejaran kenikmatan indriawi. Sebagian
orang lebih menyukai kedamaian dan keamanan. Sebagian lainnya
lebih menyukai debar bahaya dan risiko. Jika segalanya berakhir
dalam ketiadaan dan kemusnahan, siapa yang bisa mengatakan bahwa
kenikmatan merugikan lebih parah daripada kenikmatan yang tak
membahayakan? Namun saat Anda dengan serius menyikapi akibat
jangka panjang kenikmatan indriawi selama banyak masa kehidupan,
itu akan mengubah seluruh rumusnya. Anda menemukan lebih
mudah untuk melihat kenikmatan dan kegirangan yang ditawarkan
kenikmatan indriawi itu tidaklah sepadan.

“Adalah dengan kenikmatan indriawi sebagai alasannya, kenikmatan


indriawi sebagai sumbernya … bahwa (orang-orang) melakukan
perbuatan jasmani yang salah, ucapan yang salah, batin yang salah.
Setelah melakukan perbuatan jasmani, ucapan, dan batin yang
salah, mereka—dengan terurainya tubuh, setelah kematian—muncul
kembali di alam sengsara, tempat tujuan buruk, alam lebih rendah,
neraka.”
—MN 13

Hanya saat Anda bisa melihat nafsu indriawi dalam pemaknaan ini
Anda baru benar-benar siap mengikuti jalan untuk sepenuhnya
memotong nafsu indriawi yang berfungsi sebagai salah satu musabab
duka dan derita. Akan tetapi, bahkan pemahaman ini pun tidak
cukup untuk mencabut nafsu indriawi. Batin memerlukan sumber
kenikmatan yang lain untuk mengasupnya dalam jalan. Kenikmatan
ini disediakan oleh jhāna, faktor jalan pengheningan benar.

“Sekalipun seorang siswa para Suciwan telah melihat jelas dengan


kebijaksanaan benar sebagaimana adanya bahwa nafsu indriawi
memiliki banyak penderitaan, banyak kesulitan, dan kerugian lebih
172
KELAHI RAN UL ANG

besar, namun—jika ia belum mencapai kegiuran dan kenikmatan yang


terpisah dari kenikmatan indriawi, terpisah dari kualitas batin tak
piawai, atau sesuatu yang lebih damai daripada itu—ia bisa tergoda
oleh nafsu indriawi. Namun tatkala ia telah melihat jelas dengan
kebijaksanaan benar sebagaimana adanya bahwa nafsu indriawi
memiliki banyak penderitaan, banyak kesulitan, dan kerugian lebih
besar, serta ia telah mencapai kegiuran dan kenikmatan yang terpisah
dari kenikmatan indriawi, terpisah dari kualitas batin tak piawai, atau
sesuatu yang lebih damai daripada itu, ia tidak bisa tergoda oleh nafsu
indriawi.”
—MN 14

Namun, sekalipun kenikmatan jhāna merupakan bagian yang penting


dari jalan, kenikmatan itu tidak benar-benar aman. Memasuki jhāna
berarti memasuki tahapan menjadi, maka, itu pun bisa menjadi objek
nafsu. Dan karena beberapa jhāna yang lebih tinggi menyentuh dimensi
ketiadaan dan bukan pencerapan atau pun bukan tanpa-pencerapan,
mereka mudah dikelirukan dengan keadaan tanpa-menjadi. Ini
berarti bahwa sekalipun praktik jhāna membantu Anda mengatasi
nafsu indriawi, jhāna itu sendiri tidak cukup untuk mengatasi dua
jenis nafsu yang tersisa—nafsu untuk menjadi dan tidak-menjadi—
yang membawa menuju duka dan derita lebih lanjut.

Lagi-lagi, di sini, sudut pandang berbagai kehidupan bermanfaat


dalam mendeteksi kemelekatan-kemelekatan halus ini—kemelekatan
yang bahkan perenungan tanpa-diri, jika tidak diberitahukan dengan
sudut pandang ini, bisa dilewatkan dengan mudah. Seperti yang
dinyatakan MN 106, adalah mungkin mengembangkan pencerapan
tanpa-diri, menerapkannya ke semua fenomena, dan sampai ke tataran
jhāna halus tanpa-bentuk, dimensi ketiadaan. Pada saat itu, Anda
akan mengalami ketenangseimbangan yang halus, begitu mendalam

173
KELAHI RAN UL ANG

sehingga Anda bisa melewatkan fakta bahwa Anda melekatinya. Jika


Anda tidak melihat bahwa bahkan ketenangseimbangan ini bisa
membawa ke bahaya masa depan, Anda tidak akan merasa terdorong
untuk menyelidikinya.

Inilah mungkin penyebabnya mengapa banyak meditator dengan


cara pandang satu kehidupan saja menyamakan ketenangseimbangan
dengan Nibbāna. Mereka tidak melihat adanya kebutuhan
mempertanyakan pencapaian ketenangseimbangan murni mereka,
karena mereka merasa sudah cukup mempertahankannya tetap
berjalan baik sepanjang sisa masa kehidupan ini. Dan jika mereka
memegang pandangan materialis bahwa segala yang bisa diketahui
itu diketahui melalui indra, maka ketenangseimbangan di hadapan
pengalaman indriawi akan menjadi kedamaian tertinggi yang bisa
mereka bayangkan. Namun seperti yang Buddha tunjukkan dalam
SN 35:117, ada dimensi pengalaman di luar indra-indra tempat
suatu kedamaian yang bahkan lebih besar bisa ditemukan melalui
pengakhiran total bentukan batin. Lalu Ia menyatakan dalam MN 140,
jika—dengan kemungkinan adanya dimensi yang lebih damai ini dalam
batin—Anda melihat bahwa meski tataran ketenangseimbangan halus
bisa membawa ke jangka kehidupan yang panjang, namun jangka
kehidupan seperti itu akan berakhir, Anda akan lebih cenderung
menyelidiki tataran ketenangseimbangan itu untuk melihat
bagaimana mereka terbentuk. Hanya melalui penyelidikan seperti
ini Anda bisa mengembangkan lenyapnya nafsu akan sisa-sisa akhir
bentukan batin yang tampaknya tak berbahaya, yang menghalangi
keterbebasan sempurna.

Inilah langkah kedua dalam strategi Buddha. Dalam salah satu


penjelasan standar mengenai bagaimana mengembangkan ketanpa-
nafsuan akan jhāna (MN 51; AN 4:124; AN 4:126), Buddha pertama-

174
KELAHI RAN UL ANG

tama membuat Anda menguasai jhāna—Anda tak bisa menaklukkan


kemelekatan tanpa melakukannya. Kemudian Buddha membuat Anda
merenungi peristiwa batin yang menyokong jhāna sebagai proses—
gugus-gugus, yang memainkan peranan dalam Musabab Yang Saling
Bergantung dalam faktor bentukan batin dan kesadaran—untuk
melihat bahwa mereka pun, memiliki kekurangan. Ini memusatkan
perhatian langsung ke faktor-faktor Musabab Yang Saling
Bergantung—dalam berbagai macam modelnya—yang menerangi
titik-titik tempat proses swadaya menuju duka itu bisa diputus
asupannya.

Ini juga tempat kita bisa melihat paling jelas mengapa Buddha
mendiskusikan semua faktor yang membawa menuju kelahiran ulang
sebagai proses. Jika Anda melihat pada esensi batin atau landasan
keberadaan dunia, maka akan terlalu mudah—saat mencapai tataran
jhāna—untuk mengelirukan bahwa inilah yang Anda cari-cari.
Akan tetapi, ini hanya akan membawa menuju ketidaktahuan dan
kemelekatan lebih lanjut. Namun jika Anda memandang jhāna sebagai
hasil perbuatan dan proses, maka saat Anda mencapai tataran ini,
Anda akan lebih mudah mengembangkan ketanpa-nafsuan akan jhāna
tanpa merasa kehilangan suatu hal yang hakiki.

“Andaikan seorang pemanah atau cantriknya hendak berlatih dengan


sasaran orang-orangan jerami atau gundukan tanah liat, supaya
selang beberapa lama ia bisa menembak jarak jauh, menembakkan
tembakan jitu dengan cepat berturut-turut, dan menembus banyak
sasaran. Sama pula, ada kasus saat seorang bhikkhu … memasuki dan
berdiam dalam jhāna pertama yang berisi kegiuran dan kenikmatan
yang terlahir dari penyunyian, disertai pikiran dan analisis terarah. Ia
menganggap apa pun fenomena di sana yang terhubung dengan wujud,
perasaan, pencerapan, bentukan batin dan kesadaran sebagai tidak

175
KELAHI RAN UL ANG

tetap, duka, penyakit, penghalang, anak panah, menyakitkan, duka,


asing, peluruhan, kekosongan, tanpa-diri. Ia mengalihkan batinnya
dari fenomena itu, dan setelah melakukannya, mengarahkan batinnya
ke sifat tanpa-kematian. ‘Inilah kedamaian, ini menakjubkan—akhir
semua bentukan; pelepasan semua perolehan; akhir nafsu, lenyapnya
nafsu, penghentian, pelepasan.’”

“[Sama pula dengan jhāna kedua, ketiga, dan keempat.]”


—AN 9:36

Selaras dengan pendekatan Buddha yang melihat bagaimana


proses ini mewujud dalam banyak tataran, Ia menasihati agar Anda
memandang bahkan “makhluk” yang melakukan jhāna sebagai proses
yang tersusun dari gugus-gugus. Saat perenungan ini menghasilkan
ketanpa-nafsuan untuk semua gugus masa lalu, kini, dan masa
depan—bahkan kepada gugus yang digunakan dalam jalan—maka
ketanpa-nafsuan itu memotong asupan proses itu yang melalui nafsu
bisa membawa pada kelahiran ulang berikutnya.

“Di mana tidak ada nafsu akan nutrisi makanan jasmani, di mana tiada
kegembiraan, tiada nafsu, maka kesadaran tak mendarat di sana atau
bertambah. Di mana kesadaran tidak mendarat atau bertambah, maka
tidak ada turunnya badan dan batin. Di mana tidak ada turunnya badan
dan batin, tidak ada pertumbuhan bentukan batin. Di mana tidak ada
pertumbuhan bentukan batin, tidak ada dihasilkannya kemenjadian
lebih lanjut pada masa depan. Di mana tidak ada dihasilkannya
kemenjadian lebih lanjut pada masa depan, maka tidak ada kelahiran,
pelapukan, dan kematian mendatang. Saya beritahu kalian, hal itu tak
memiliki penderitaan, kesusahan, kesulitan.”

“[Sama pula dengan nutrisi kontak (indriawi), nutrisi perniatan, dan

176
KELAHI RAN UL ANG

nutrisi kesadaran (indriawi).]”


—SN 12:64

“Jika seorang bhikkhu meninggalkan nafsu akan sifat wujud … sifat


perasaan … sifat pencerapan … sifat bentukan batin … sifat kesadaran,
maka karena ditinggalkannya nafsu, penyokongnya terputus, dan
tiada pijakan bagi kesadaran. Kesadaran, karena tidak berpijak, tidak
bertambah, tidak mengasup, terbebas. Karena keterbebasannya, maka
kesadaran mapan. Karena kemapanannya, kesadaran berkecukupan.
Karena berkecukupan, kesadaran tidak terusik. Tak terusik, ia
sepenuhnya terbebas dalam batin. Ia mencerap bahwa, ‘Kelahiran
telah diakhiri, kehidupan suci telah terpenuhi, tugas telah selesai.
Tiada lagi hal lebih lanjut demi kepentingan dunia ini.’”
—SN 22:54

Yang tersisa adalah suatu dimensi yang bebas dari kelahiran dan
kematian.

“Para bhikkhu, ada yang tak terlahir—tak menjadi—tak terbentuk. Jika


tidak ada yang yang tak terlahir—tak menjadi—tak terbentuk, maka
tidak akan ada keterbebasan dari yang terlahir—menjadi—terbuat—
terbentuk yang bisa ditemukan. Namun tepat karena ada yang yang
tak terlahir—tak menjadi—tak terbentuk, maka keterbebasan dari
yang terlahir—menjadi—tercipta bisa ditemukan.”
—Ud 8:3

Dimensi ini dicirikan dengan sejenis kesadaran yang berada di luar


jangkauan kesadaran indra yang terlibat dalam Musabab Yang Saling
Bergantung dan lingkup enam indra—lingkup yang Buddha sebut
“seluruhnya”. Sehingga dimensi ini sepenuhnya terbebas dari duka.

177
KELAHI RAN UL ANG

“Kesadaran tanpa permukaan, tanpa akhir, bercahaya ke segala


arah, tidak pernah dialami melalui padatnya tanah … cairnya unsur
air … nyala unsur api … deru unsur angin … dan keseluruhan dari
segalanya.’”
—MN 49

Gambaran Kanon mengenai jenis kesadaran ini, yang benar-benar


mandiri dari nutrisi, adalah gambaran seberkas cahaya yang tak
mendarat di mana pun.

“Sama seperti jika ada rumah beratap atau aula beratap yang memiliki
jendela di utara, selatan, atau timur. Saat matahari terbit, dan cahaya
masuk melalui jendela, di mana cahayanya mendarat?”
“Di tembok sebelah barat, Bhante.”
“Lalu jika tidak ada tembok sebelah barat, di mana cahaya itu
mendarat?”
“Di tanah, Bhante.”
“Lalu jika tidak ada permukaan tanah, di mana cahaya itu mendarat?”
“Di air, Bhante.”
“Dan jika tidak ada air, di mana cahaya itu mendarat?”
“Cahaya itu tidak mendarat, Bhante.”
“Sama pula, tempat tidak ada nafsu akan nutrisi makanan fisik …
kontak … perniatan batin … kesadaran, tempat tiada kegembiraan,
tiada nafsu, maka kesadaran tak mendarat di sana atau bertambah.
Tempat kesadaran tidak mendarat atau bertambah, maka tidak
ada turunnya badan dan batin. Tempat tidak turunnya badan dan
batin, tidak ada pertumbuhan bentukan batin. Tempat tidak ada
pertumbuhan bentukan batin, tidak ada dihasilkannya menjadi lebih
lanjut pada masa depan. Tempat tidak ada dihasilkannya menjadi
lebih lanjut pada masa depan, maka tidak ada kelahiran, pelapukan,
dan kematian mendatang. Saya nyatakan kepada kalian, itu tak

178
KELAHI RAN UL ANG

memiliki penderitaan, kesusahan, kesulitan.”


—SN 12:64

Sejalan dengan pembahasannya mengenai kelahiran ulang, Buddha tak


pernah menawarkan penjelasan metafisika mengenai apa kesadaran
itu dan bagaimana kemungkinan kesadaran itu. Bagaimanapun, akan
jadi kesalahan untuk membenarkan realitas tak terkondisi dengan
menggunakan rujukan hal terkondisi, karena realitas tak terkondisi
tak bergantung pada apa pun atau “bagaimana” apa pun dengan cara
apa pun.

Akan tetapi, Buddha sesungguhnya menunjukkan bagaimana cara


sampai ke sana. Itulah mengapa kiasannya terhadap praktik adalah
suatu jalan. Suatu jalan menuju ke gunung tidak menyebabkan gunung,
namun memberikan kesempatan berjalan ke sana. Jalan praktik tidak
menyebabkan yang tak terkondisi, namun memberikan celah untuk
meraihnya. Kanon, saat menjelaskan kecerahan penuh seseorang,
tidak pernah menggambarkan pengetahuan yang menyertainya
sebagai yang menyentuh “apa” atau “bagaimana” kesadaran tak
terkondisi ini. Alih-alih, pengetahuan dikatakan dimulai dengan
realisasi keterbebasan dari āsava (kotoran batin, aliran) nafsu indriawi,
kemenjadian, dan ketaktahuan (MN 19), berikut dengan realisasi
bahwa keterbebasan itu sekali dan selamanya (MN 146). Kemudian
berlanjut ke realisasi akan akibat masa depan keterbebasan itu (DN
29), dimulai dari fakta bahwa itu mengakhiri kelahiran ulang apa pun
pada masa mendatang.

Dalam kasus Buddha sendiri, Ia mengungkapkan pengetahuan-Nya


seperti ini:

“Pengetahuan dan wawasan muncul dalam diri-Ku, ’Tak tergoyahkan

179
KELAHI RAN UL ANG

keterbebasan batin-Ku. Inilah kelahiran-Ku yang terakhir. Tiada lagi


keberadaan berikutnya.’”
—SN 56:11

Dua penjelasan yang paling sering digunakan mengenai pengetahuan


yang menyertai pencapaian tataran Arahatta menyatakan hal yang
sama seperti ini:
“Dengan keterbebasan, hadir pengetahuan, ‘Terbebas.’ Ia melihat
bahwa ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci terpenuhi, tugas
tuntas. Tiada lagi keberadaan selanjutnya demi dunia ini.’”
—SN 35:28

Berdiam sendirian—sunyi, sadar, tekun dan teguh—Bhikkhu


Anuruddha dalam waktu tak lama mencapai dan menetap dalam
tujuan tertinggi kehidupan suci yang para warga suku dengan tepat
meninggalkan keduniawian dari rumah menuju kehidupan tanpa-
rumah, mengetahui dan merealisasinya sendiri di sini dan kini. Ia
mengetahui, “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci terpenuhi,
tugas tuntas. Tiada lagi keberadaan selanjutnya demi dunia
ini.”Demikianlah Bhikkhu Anuruddha menjadi seorang Arahā.
—AN 8:30

Dengan kata lain, ketika batin kembali dari dimensi bentukan setelah
perjumpaan total dengan dimensi yang tanpa bentukan dan telah
menyadari keterbebasannya, realisasi bahwa melalui kelahiran/
kelahiran ulanglah—baik dalam tataran makro dan mikro—hal
pertama yang terlintas spontan. Realisasi akhir kelahiran ini membawa
pada realisasi lebih lanjut bahwa semua duka telah diakhiri pula.

180
KELAHI RAN UL ANG

IRONI MODERN

Orang-orang yang berpegang ke pandangan dunia dan diri modern


yang materialis cenderung bereaksi terhadap deskripsi kanonik
mengenai apa yang diketahui dalam kecerahan dengan memberi tiga
alasan utama untuk menolaknya.

Yang pertama adalah bahwa penjabaran ini, di mata mereka,


melampaui apa yang manusia bisa dan mungkin ketahui. Kadang
alasan ini didukung oleh pernyataan bahwa penjabaran dalam Kanon
melanggar kriteria Buddha sendiri, yang dinyatakan di tempat lain
dalam pembabaran, mengenai apa yang bisa dan tak bisa diketahui.
Naskah yang paling sering dikutip dalam argumen ini adalah:

“Apakah segalanya? Sekadar mata dan wujud, telinga dan suara,


hidung dan aroma, lidah dan rasa, tubuh dan sensasi sentuhan,
batin dan pikiran. Ini, para bhikkhu, yang disebut dengan segalanya.
Siapa pun yang akan mengatakan, ‘Menolak ini semua, aku akan
menjabarkan jawaban lain,’ jika ditanya atas landasan apa tepatnya
pernyataannya, tidak akan mampu menjelaskan, dan lebih lanjut,
akan menyesal. Mengapa? Karena itu berada di luar jangkauan.”
—SN 35:23

Argumen ini bersikeras bahwa “di luar jangkauan” di sini berarti


“di luar jangkauan pengetahuan yang mungkin ada”. Sehingga
keberadaan suatu dimensi yang berada di luar enam indra—seperti
kesadaran tanpa landasan yang dijabarkan dalam MN 49—tidak
mungkin diketahui. Ini akan menggugurkan pernyataan apa pun
bahwa seseorang telah mengetahui hal-hal seperti itu—dan, secara
tidak langsung menyatakan bahwa keterbebasan dari kelahiran ulang
merupakan pengetahuan seperti itu.

181
KELAHI RAN UL ANG

Akan tetapi, ada bukti jelas bahwa “di luar jangkauan” di sini sekadar
berarti “di luar jangkauan penjelasan yang memadai”, karena ada
naskah kanonik lain yang menerangkan bahwa sekalipun dimensi di
luar enam indra tidak bisa dijabarkan dengan memadami, dimensi itu
masih bisa diketahui.

Bhikkhu Mahākoṭṭhita: “Dengan pemadaman tanpa sisa dan


meluruhnya enam lingkup kontak [pemandangan, pendengaran,
penciuman, pengecapan, sentuhan, dan penggagasan] apakah
setelahnya ada hal apa pun lagi?

Bhikkhu Sāriputta: “Jangan mengatakan itu, sahabatku.”

Bhikkhu Mahākoṭṭhita: “Dengan pemadaman tanpa sisa dan


meluruhnya enam lingkup kontak, apakah setelahnya tidak ada hal
apa pun lagi?”

Bhikkhu Sāriputta: “Jangan mengatakan itu, sahabatku.”

Bhikkhu Mahākoṭṭhita: “ … ataukah ada baik apa pun maupun tidak


ada apa pun?”

Bhikkhu Sāriputta: “Jangan mengatakan itu, sahabatku.”

Bhikkhu Mahākoṭṭhita: “ … ataukah bukan ada apa pun atau pun


bukan tiada apa pun?”

Bhikkhu Sāriputta: “Jangan mengatakan itu, sahabatku.”

Bhikkhu Mahākoṭṭhita: “Saat ditanya … apakah ada hal apa pun


lainnya, Anda berkata, ‘Jangan mengatakan itu, sahabatku.’ Saat

182
KELAHI RAN UL ANG

ditanya … apakah tidak ada hal apa pun lainnya … apakah ada baik apa
pun maupun tidak ada apa pun lainnya … apakah bukan ada maupun
bukan tiada apa pun lainnya, Anda berkata, ‘Jangan mengatakan
itu, sahabatku.’ Kini, bagaimana makna pernyataan ini sebaiknya
dipahami?”

Bhikkhu Sāriputta: “Mengatakan … apakah ada hal lain lagi … apakah


tidak ada hal lain lagi … apakah baik ada hal lain lagi dan tiada hal lain
lagi … apakah bukan ada hal lain lagi dan bukan tiada hal lain lagi, kita
mengobjekkan hal yang tidak terobjekkan. Betapa pun jauhnya enam
lingkup kontak pergi, sampai sejauh itulah pengobjekan pergi. Betapa
pun jauhnya pengobjekan pergi, sejauh itulah enam lingkup kontak
pergi. Dengan pemadaman tanpa sisa dan peluruhan enam lingkup
kontak, terjadilah penghentian, dan pemudaran pengobjekan.”
—AN 4:173

“Para bhikkhu, dimensi itu semestinya dialami tempat mata


[pemandangan] berhenti dan pencerapan wujud padam. Dimensi itu
semestinya dialami saat telinga berhenti dan pencerapan suara padam
… tempat hidung berhenti dan pencerapan bau padam … tempat lidah
berhenti dan pencerapan citarasa padam … tempat tubuh berhenti
dan pencerapan kesan sentuhan padam … tempat batin berhenti dan
pencerapan gagasan atau fenomena padam. Dimensi itu semestinya
dialami.”
—SN 35:117

Jadi tidak ada dalam pembabaran Kanon Pāḷi yang menandakan


bahwa Buddha setuju dengan pandangan materialis modern bahwa
pengalaman terbatas hanya ke enam indra. Dan sungguh meragukan
bahwa Buddha akan berupaya membenarkan pernyataan-Nya dalam
istilah yang akan diterima seorang materialis modern. Bagaimana pun,

183
KELAHI RAN UL ANG

Buddha mengatakan bahwa jangkauan Buddha seorang Buddha, dan


jangkauan jhāna seseorang dalam jhāna adalah “hal tak terjabarkan”
yang sebaiknya tidak diduga-duga, yang akan membawa kegilaan dan
kejengkelan bagi siapa pun yang menduga-duga mengenai mereka.”
(AN 4:77). Ini berarti bahwa Ia tidak akan mendukung jenis penduga-
dugaan yang seorang materialis—atau siapa pun lainnya—lakukan
mengenai apa yang bisa diketahui atau tak bisa diketahui batin
terlatih untuk menguasai jhāna atau mencapai tataran kecerahan
tertinggi.

Argumen modern kedua yang menentang untuk menerima kisah


kanonik mengenai apa yang diketahui dalam kecerahan—dan
khususnya, pengetahuan mengenai kelahiran ulang yang tercapai
dalam kecerahan—adalah bahwa kita masih bisa memperoleh semua
hasil praktik tanpa harus menerima kemungkinan adanya kelahiran
ulang. Bagaimana pun, semua faktor yang membawa menuju duka
ada langsung dalam kesadaran, sehingga tidak perlu, tatkala berusaha
meninggalkannya, untuk menerima pernyataan apa pun mengenai ke
mana mereka pergi atau tidak pergi pada masa depan.

Namun, keberatan ini mengabaikan peranan perhatian benar ke


jalan. Seperti yang kita simak di atas, salah satu peran perhatian
benar adalah memeriksa dan menanggalkan asumsi yang mendasari
pandangan seseorang mengenai metafisika identitas pribadi. Kecuali
Anda bersedia untuk melangkah mundur dari pandangan Anda
sendiri—seperti pandangan mengenai apa orang itu, dan mengapa itu
membuat kelahiran ulang tidak mungkin terjadi—dan memaparkan
pandangan itu ke pemeriksaan seperti ini, maka ada sesuatu yang
kurang dalam jalan Anda. Anda akan tetap terbelit dalam pertanyaan
yang tak memiliki perhatian benar, yang akan mencegah Anda untuk
mengidentifikasi dan meninggalkan musabab duka dan meraih hasil

184
KELAHI RAN UL ANG

penuh dari praktik.

Tambah lagi, istilah perhatian benar—Empat Kebenaran Suciwan—


tidak terkait sekadar dengan peristiwa yang muncul dan berlalu pada
masa kini. Mereka juga memusatkan pada hubungan sebab-akibat
antara peristiwa-peristiwa itu, hubungan yang terjadi baik langsung
saat kini dan sepanjang waktu. Jika Anda membatasi pemusatan Anda
sekadar ke hubungan dalam saat kini sambil mengabaikan akibat
selama waktu berjalan, Anda tak akan bisa sepenuhnya memahami
bagaimana nafsu menyebabkan duka: tidak hanya dengan melekati
empat jenis nutrisi, namun juga membangkitkan empat jenis nutrisi
pula.

Fokus sempit ini menempatkan suatu penghalang dalam kemampuan


Anda mengembangkan pandangan benar—terutama, kemampuan
Anda melihat Musabab Yang Saling Bergantung sebagai proses yang
swadaya. Jika, selaras dengan pandangan materialis standar, Anda
menganggap kesadaran hanyalah efek samping proses material,
maka tidak mungkin Anda bisa menghargai dengan penuh kekuatan
kesadaran dan nafsu untuk membangkitkan makanan yang bisa
mengasup proses duka ini tanpa batas. Lalu jika Anda tidak bisa
menghargai kekuatan ini dengan penuh, tidak mungkin Anda bisa
secara efektif mengakhirinya.

Argumen ketiga menolak pengetahuan akan kelahiran ulang sebagai


bagian yang pokok bagi kecerahan adalah banyak orang modern yang
mengklaim telah mengalami tataran kecerahan yang dijabarkan dalam
Kanon tidak memperoleh pengetahuan mengenai kelahiran ulang
atau mengenai akhir kelahiran ulang sebagai bagian pengalaman
itu. Fakta bahwa orang-orang pada zaman Buddha menyatakan
telah memperoleh jenis pengetahuan ini selama kecerahan mereka

185
KELAHI RAN UL ANG

membuat ini bisa dianggap sebagai artefak budaya. Orang-orang


zaman dahulu dikondisikan melihatnya karena latar budaya, sehingga
itu bukan benar-benar bagian esensial dari pengalaman itu.

Akan tetapi, ada dua masalah dengan argumen ini. Yang pertama
adalah, seperti yang telah kita bahas, kelahiran ulang bukanlah asumsi
yang secara universal diterima pada zaman Buddha. Suatu bagian
penting dari pengalaman kecerahan siapa pun—saat itu maupun kini—
akan membuktikan sendiri apakah Buddha benar dalam topik ini.

Yang kedua, lebih tegas, masalah dengan alasan ketiga ini


sesungguhnya adalah alasan ini menghancurkan dirinya sendiri. Jika
pengalaman kecerahan kita tidak sesuai dengan penjabaran mengenai
tataran kecerahan Kanon, mengapa kita ingin menyematkan label
Kanon ke pengalaman itu? Bagian penting dari bahkan tataran
pertama kecerahan dijelaskan dalam Kanon—Pemasuk Arus—
meneguhkan kebenaran pandangan benar (MN 48), yang meliputi
pemahaman bahwa ada dimensi tanpa kematian, tanpa kelahiran
(Mv.I.23.5), dan bahwa ada tataran nafsu yang, jika tidak ditinggalkan,
akan membawa menuju kelahiran ulang. Ciri khas pencapaian
tataran Arahatta—dibanding tataran kecerahan di bawahnya diakui
dalam Kanon—adalah bahwa tataran ini harus mengakhiri nafsu itu,
sehingga mengakhiri kelahiran. Jika Kanon keliru mengenai poin ini,
maka istilah yang digunakan untuk menjabarkan tataran kecerahan
pun akan palsu.

Ini berarti bahwa jika pengalaman kecerahan seseorang tidak


sesuai dengan penjabaran dalam Kanon, maka orang itu sebaiknya
memeriksa motivasinya untuk menyematkan label Kanon ke
pengalaman itu. Jika guru orang itu telah mengesahkan pengalaman
itu dengan suatu label kanonik, pengetahuan dan motivasi guru itu

186
KELAHI RAN UL ANG

sebaiknya diperiksa pula. Dan jika seseorang ingin mengakhiri duka


dengan serius, orang itu semestinya berlaku benar dengan menerima
dengan tulus keteguhan Kanon bahwa jika kecerahan seseorang
belum mengakhiri kemenjadian dan kelahiran, maka kemungkinan
duka berlanjut masih ada.

Ironi tiga alasan menentang ajaran kelahiran ulang ini adalah orang-
orang yang membuat alasan ini semuanya mengasumsikan bahwa
Buddha tidak mampu mempertanyakan berbagai pandangan pada
zaman-Nya, akan tetapi nyatanya diri merekalah yang tidak bersedia
menerima tantangan Buddha untuk undur dan mempertanyakan
pandangan mereka. Kita mengetahui bagaimana Buddha menanggapi
paham materialis pada zaman-Nya sendiri, dan tidak ada alasan
untuk mengasumsikan bahwa Buddha hari ini akan menanggapi
materialisme dengan cara berbeda.

Sebagian orang mungkin keberatan bahwa paham materialis modern


jauh lebih canggih saat ini daripada pada zaman Buddha, sehingga
layak didengar dengan lebih serius. Namun betulkah demikian?
Pertanyaan yang para ahli neurobiologi hadirkan saat ini adalah
masalah kesadaran—”Apakah identitas diri? Benda apakah kesadaran
itu? Bagaimana kesadaran bisa diukur secara materi?”—tepatnya
adalah pertanyaan yang Buddha rinci sebagai perhatian yang tidak
benar. Sekalipun eksperimen ilmiah modern bisa lebih canggih
daripada eksperimen Pangeran Pāyāsi terhadap kriminal, ilmuwan
yang melakukannya sama kelirunya dengan berpikir bahwa suatu
proses fenomenologis—kesadaran dan peristiwa batin seperti yang
dialami dari dalam—bisa ditangkap dan diukur dalam ukuran fisik.
Meski kelahiran ulang sering diungkapkan sebagai pandangan yang
tidak ilmiah, ilmu pengetahuan materi sesungguhnya tidak memiliki
cara sama sekali untuk membuktikannya dengan satu atau lain cara.

187
KELAHI RAN UL ANG

Sedangkan mengenai keefektifan perbuatan manusia, metode


ilmiah tidak pernah bisa membuktikan apakah ilmuwan yang
menerapkannya sesungguhnya mempraktikkan kehendak bebas
dalam mendesain eksperimen mereka. Metode ilmiah juga tidak
bisa membuktikan apakah tindakan mereka dalam mendesain
dan menjalankan eksperimen sesungguhnya memiliki pengaruh
terhadap hasil eksperimen. Penyelidikan ilmiah dan penilikan ulang
rekan sejawat tentu saja bertindak seolah asumsi ini benar—gagasan
mengkritik suatu eksperimen yang didesain dengan buruk tidak akan
masuk akal jika para ilmuwan tidak memiliki kehendak bebas dalam
mendesain eksperimennya. Lalu jika kita bisa menghakimi dengan
penampilan belaka, maka asumsi kehendak bebas dan tanggung
jawab yang dibawanya telah penting sekali untuk bisa membuat ilmu
pengetahuan ilmiah maju. Namun metode ilmiah itu sendiri tak bisa
membuktikan apakah adanya kehendak bebas dan tindakan yang
menghasilkan tidak lebih dari sekadar penampakan. Dan tentu saja,
ironinya adalah banyak ilmuwan mengasumsikan bahwa fenomena
yang mereka amati itu bekerja di bawah hukum ketat dan telah pasti,
sementara metode yang mereka pakai mengasumsikan bahwa mereka
sendiri tidak terpicu hukum seperti itu saat menerapkan metodenya.
Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan tidak berada dalam posisi untuk
membuktikan atau tak membuktikan ajaran Buddha mengenai
jangkauan dan kekuatan tindakan manusia.

Akhirnya, ada segala pertanyaan mengenai betapa validnya


menceraikan wawasan psikologis Buddhis dari ajaran kosmologinya.
Seperti yang kita simak pada bab pertama, kami di Barat—dimulai
dengan kaum Romantik Eropa dan kaum Transendentalis Amerika—
telah lama mengasumsikan bahwa kosmologi adalah lingkup yang
tepat bagi ilmu pengetahuan fisik, sementara agama semestinya

188
KELAHI RAN UL ANG

membatasi dirinya terhadap urusan batin manusia. Namun salah satu


wawasan utama kecerahan Buddha adalah bahwa peristiwa di tataran
mikro dalam batin sesungguhnya membentuk pengalaman di tataran
makro dalam ruang dan waktu. Jika kita tidak bisa mempertanyakan
garis jelas yang ditarik budaya kita antara psikologi dan kosmologi,
kita tidak akan berada dalam posisi untuk menghargai bagaimana
wawasan Buddha mengenai hal ini sesungguhnya bisa menolong
untuk mengakhiri duka.

Maka kita dihadapkan dengan suatu pilihan. Jika kita tulus hendak
mengakhiri duka dan memberikan kesempatan yang adil bagi ajaran
Buddha, maka—alih-alih mengasumsikan bahwa Buddha adalah
tawanan zaman dan lokasi-Nya, tak mampu mempertanyakan asumsi
budaya-Nya—kita harus memeriksa sendiri sampai batas mana,
dalam mengikuti asumsi budaya kita sendiri, kita memenjarakan
diri sendiri. Jika kita tak ingin menanggalkan pembatasan yang
kita tetapkan sendiri, kita masih bisa memperoleh manfaat dari
ajaran Buddha apa pun yang sesuai dengan batasan itu, namun kita
harus menerima konsekuensinya: bahwa hasil yang kita peroleh
akan terbatas pula. Hanya jika kita bersedia menyerah kepada ujian
perhatian benar, meninggalkan prasangka yang menyelewengkan
pikiran kita mengenai isu karma dan kelahiran ulang, kita baru
mampu memanfaatkan sarana Kanon secara penuh untuk meraih
keterbebasan total.

189
KELAHI RAN UL ANG

190
KELAHI RAN UL ANG

BAGIAN EMPAT

STUDI KASUS DAN BUKTI


KELAHIRAN ULANG

Francis Story

191
KELAHI RAN UL ANG

JENIS KASUS KELAHIRAN ULANG

Bukti kelahiran ulang muncul dari pelbagai sumber. Berikut ini


adalah jenis-jenis utama kasus yang darinya kita bisa memperoleh
bukti seperti itu.

1. Mengingat kehidupan lampau di bawah hipnosis regresi.

Ada banyak literatur mengenai kasus-kasus ini, yang telah


menimbulkan banyak kontroversi. Telah ditunjukkan bahwa sebagian
kasus sejenis ini adalah contoh cryptomnesia1, kasus lainnya adalah
fantasi yang terbangun untuk melaksanakan perintah penghipnosis,
yang menyuruh subjeknya mengingat kembali kelahiran sebelumnya,
atau sebelumnya memberi tahu subjek bahwa ia akan membawanya di
bawah hipnosis ke periode sebelum ia terlahir. Pembentukan fantasi
bisa dikontrol, dan dengan cara yang sama bisa sangat dikurangi, jika
bukannya dilenyapkan. Namun hanya ketika bukti objektif bahwa
pernyataan yang dibuat selama dalam hipnosis itu benar bisa terbukti,
barulah teori fantasi alternatif ini bisa sempurna diruntuhkan. Kasus-
kasus mengenai kehidupan di Atlantis atau planet lain lumrahnya
berada di luar cakupan pembuktian ini. Dalam kasus fantasi ini
ada kemungkinan lain bahwa subjek dalam pengaruh hipnosis ini
memiliki kemampuan cenayang, telepati, atau mengetahui masa

1 Kenangan masa lalu yang kembali tanpa dikenali subjeknya sebagai ingatannya
sendiri, sehingga dianggap sebagai kenangan baru dan orisinil.

192
KELAHI RAN UL ANG

depan diberikan akses ke bahan fantasi itu dalam bentuk tulisan


atau bawah-sadar orang lain. Satu-satunya bukti yang benar-benar
meyakinkan akan keaslian kasus ini adalah fenomena xenoglossy2.
Namun kasus xenoglossy tulen itu langka. Kasus ini pun tidak boleh
dikelirukan dengan glossolalia3. Regresi hipnosis memiliki kegunaan
paling besar dalam menguak kenangan lebih rinci yang aktual dalam
kasus pengingatan spontan. Bahkan saat itu pun, banyak tindakan
pencegahan harus dilakukan untuk memastikan sugesti penghipnosis
tidak memengaruhi isi pesan yang disampaikan.

2. Kasus di mana kehidupan lampau tampaknya dibeberkan


komunikator arwah melalui suatu medium (yang peka).

Di bawah judul ini ada contoh seperti pembacaan-kasus-kehidupan


oleh Edgar Cayce. Allan Kardec juga memiliki beberapa contoh hal ini
(“The Spirit Book”). Kasus-kasus seperti ini tidak langka dalam literatur
spiritual zaman sekarang. Pengungkapan kehidupan lampau seperti
ini sering kali ke zaman yang sangat jauh, dan jarang memberikan
informasi yang tepat atau rinci yang kebenarannya bisa dibuktikan.
Mereka juga sering berkaitan dengan kehidupan yang dinyatakan di
Atlantis, Lemuria, dan planet lainnya, yang tak bisa dibuktikan. Alasan
hal ini adalah orang yang tampaknya komunikator dengan arwah
ini lebih peduli menjelaskan mengenai sebab karma kecacatan yang
dialami pada masa kini, dan jalan untuk menyingkirkannya, daripada
berusaha membuktikan kebenaran kelahiran ulang.

Ciri paling mengesankan kasus-kasus ini tepatnya adalah: pelacakan

2 Kemampuan bicara dalam bahasa asing baku yang tidak pernah dipelajari atau
diketahui subjek sebelumnya.
3 Kemampuan bicara fasih dalam nada-nada asing yang menyerupai bahasa namun
sebenarnya bukan bahasa baku. Misalnya fenomena bahasa roh.

193
KELAHI RAN UL ANG

mengenai suatu pola karma yang sering sangat meyakinkan, dan


seringnya terapi yang berhasil, secara psikologis dan fisiologis, yang
komunikator ini berikan. Ciri ini sangat menonjol dalam pembacaan
kehidupan oleh Cayce. Namun jika perawatan psikologis atau fisiologis
berhasil bisa dikatakan bahwa tindakan perawatannya sukses karena
tindakan itu sendiri, dan bahwa kesuksesan terapi ini tidak pasti
membuktikan, atau secara substansial menyokong, hipotesis kelahiran
ulang yang menyertainya. Sama pula, pengobatan Ayurveda sering
berhasil, meski banyak teori Ayurveda yang tidak ilmiah.

3. Serangkaian luas kasus di mana subjeknya samar-samar merasa


bahwa ia pernah hidup sebelumnya, dan mungkin memiliki ciri yang
secara objektif bisa dipertimbangkan sebagai saṅkhārā dari satu atau
banyak kehidupan lalu, namun tidak memiliki kenangan khusus
mengenai kehidupan itu.

Ini adalah golongan kasus yang cukup menarik. Golongan ini


sangat tersebar luas dan contoh-contoh paling sugestif ditemukan
dalam budaya yang tidak menerima kelahiran ulang atau bahkan
menentangnya. Mungkin sebagian besar tokoh terkenal di Barat yang
meyakini kelahiran ulang menganutnya karena beberapa pengalaman
pribadi seperti itu. Ini setidaknya terjadi dengan banyak penulis
seperti John Masefield dan yang lainnya, yang dikutip penulis dalam
antologi Reincarnation in World Thought (eds. J. Head dan S.L. Cranston;
New York, The Julian Press, 1967).

4. Kasus tempat subjek mengalami mimpi, atau hypnagogic4 atau


wawasan saat sepenuhnya bangun, yang ia yakini sebagai munculnya
kenangan kehidupan sebelumnya dari bawah-sadarnya (ālaya-viññaṇa).

4 Transisi kesadaran dari keadaan tidur ke keadaan terjaga.


194
KELAHI RAN UL ANG

Profesor Ian Stevenson telah mengumpulkan sejumlah besar kasus ini


dan saya telah membaca uraian singkat beberapa kasus itu. Tampaknya
jenis pengalaman ini cenderung muncul paling sering ke orang yang
berada dalam keadaan tertekan, atau dengan gangguan jiwa. Dalam
situasi tegang atau tidak jelas orang-orang menjadi perenung, sering
menanyakan diri mereka pertanyaan seperti: “Mengapa masalah ini
mendatangiku?” Jawabannya pada saat itu seolah datang ke dalam
wawasan mereka disertai emosi yang berkaitan dan pengetahuan
mengenai kejadian pada kehidupan sebelumnya. Hal ini bagi
subjeknya memiliki makna terhadap situasi saat ini. Gagasan bahwa
pengalaman ini paling sering terjadi pada orang dengan gangguan
jiwa, atau yang membutuhkan pertolongan, akan tetapi mungkin
saja keliru, karena didasari hanya pada buku kasus seorang psikiater.
Banyak orang lain bisa mengalaminya, namun hanya pasien psikiater
yang biasa mengungkapkannya.

5. Sama seperti nomor 4 di atas, dialami dalam kasus meditasi Buddhis


atau yoga (keadaan kegiuran).

Bukanlah tujuan meditasi Buddhis untuk mengingat kehidupan


lampau, namun ini terjadi pada suatu tataran perkembangan tertentu,
dan Buddha menyebutnya sebagai salah satu pencapaian seorang
Arahā. Ini muncul saat meditator itu cukup maju untuk memperoleh
manfaat dari pengetahuan mengenai tindakan dan pengalaman
lampaunya, alih-alih terluka olehnya. Profesor Stevenson dan saya
mempelajari kasus seorang biarawati di Thailand selatan yang berlatih
meditasi vipassanā (wawasan) pada usia dua puluhan, mengalami
gambaran peristiwa tak disangka-sangka dalam wujud hidup dan
mati bayi berusia tiga bulan. Kenangan itu dibuktikan dengan sangat
akurat. Bayi itu pernah hidup di desa sekitar 90 kilometer jauhnya
dari tempat biawarati itu mengalami “ingatannya”, sehingga sejauh

195
KELAHI RAN UL ANG

yang kami ketahui, ia tak memperoleh informasi mengenai kematian


bayi itu dengan cara biasa. Sebagian anak yang secara spontan
mengingat masa lalu mereka di negara Buddhis mungkin memiliki
kemampuan ini karena mereka melatih meditasi dalam kehidupan
mereka sebelumnya.

6. Kasus mengingat secara spontan pada awal masa kanak-kanak.

Kasus-kasus inilah yang akan dijabarkan dalam bab-bab berikut ini.

KASUS WARNASIRI ADIKARI DI SRI LANKA

Pendahuluan

Kami telah mempelajari kasus kelahiran ulang di Asia secara


terpisah dan bersama-sama selama bertahun-tahun. Ian Stevenson
mengunjungi Asia dalam beberapa kesempatan untuk mempelajari
kasus seperti ini dan menerbitkan laporan sejumlah kasus Asia
yang ia selidiki. Francis Story, orang Inggris sejak lahir, telah hidup
selama dua puluh tahun di Asia Tenggara, terutama di Myanmar
dan Sri Lanka, dan beberapa waktu di India, Thailand, dan tempat
lain. Seorang pelajar agama Oriental dan penulis serta penceramah
filosofi Buddhis, ia telah berkesempatan mempelajari sejumlah
kasus yang telah dinyatakan sebagai kenangan kehidupan lampau,
sebagian besar terjadi di Sri Lanka dan Myanmar. Pada tahun 1959,
ia memberikan kisah dari sebagian kasus ini dalam buklet mengenai
doktrin kelahiran ulang Buddhis. Kasus-kasus yang ia sebutkan adalah
perwakilan bukti kasus dari jenis pengingatan spontan orang-orang
dan tempat terjadinya, dan ia menyertakan dua kasus yang ia pelajari
di Myanmar.
196
KELAHI RAN UL ANG

Mayoritas orang di Barat tampaknya tidak menyadari jumlah kasus


seperti itu terjadi di negara Asia, dan juga fakta bahwa kasus seperti
ini ditemukan, meski dalam frekuensi lebih sedikit, di Barat. Di antara
mereka yang mengawasi hal ini, adalah umum dianggap bahwa
keyakinan akan reinkarnasi mendukung perkembangan dan kesaksian
kasus jenis ini. Memang benar bahwa keyakinan itu sendiri pasti akan
mendukung ungkapan tak terhalang kenangan pra-kelahiran di anak-
anak kecil saat pengingatan itu terjadi, dan memberikan dukungan
untuk tetap mengingatnya selama periode waktu yang lama. Namun
sama benarnya bahwa kasus-kasus itu juga memberi sumbangsih dan
memperkuat keyakinan akan kelahiran ulang, karena bagi mereka
yang menyelidikinya kasus ini biasanya muncul untuk memberikan
kepastian terhadap keyakinan ini. Kita bisa memeriksa kebajikan
keyakinan meluas ini hanya dengan pemeriksaan saksama kasus-
kasus itu sendiri, lebih baik dari sumbernya langsung. Karena apa pun
penafsiran akhir yang kita kenakan kepada kasus itu, sejumlah besar
kasus ini tampaknya memberikan bukti suatu pengalaman adikodrati.
Karena itulah penyelidikan kasus seperti ini telah diabaikan karena
kurang bisa dibahas daripada pengalaman adikodrati jenis lainnya.

Pada tahun 1961, kami bekerja sama dalam penyelidikan tiga kasus
kelahiran ulang di Sri Lanka. Sejak saat itu kami telah menyelidiki lebih
banyak kasus lagi di sana dan di Thailand. Dari kasus ini, hanya kasus
Warnasiri Adikari yang disajikan, yang memberikan banyak materi
yang layak mendapatkan laporan khusus. Kasus lainnya masih dalam
penyelidikan. Selain fakta bahwa kasus ini menunjukkan berbagai
fitur istimewa yang serupa dengan yang kita temukan dalam kasus di
Sri Lanka dan tempat lain, sehingga menyiratkan adanya persamaan
pengalaman, kasus Warnasiri layak mendapat perhatian karena
Francis Story mampu menyelidikinya pada waktu peristiwa utama
yang berkaitan dengannya baru saja terjadi. Sehingga kekeliruan

197
KELAHI RAN UL ANG

ingatan karena berlalunya waktu, yang bisa mengubah kesaksian


para saksi dalam kasus ini sangat sedikit. Perhatian saksama telah
dilakukan dengan memeriksa silang laporan berbagai saksi agar bisa
menghilangkan kesalahan dalamingatan individu sebisa mungkin.

Laporan Kasus—Sejarah Singkat dan Penyelidikan Kasus

Warnasiri Adikari lahir pada 9 November 1957 dan tinggal di Kirikita,


dekat Weliweriya, sekitar dua puluh mil timur laut Colombo. Saat ia
berumur empat tahun, Warnasiri mulai bicara kepada ayahnya, Julis
Adikari, mengenai kehidupan lampau di Desa Kimbulgoda, enam mil
jauhnya dari Welilweriya. Ayah anak laki-laki itu tidak tahu sama
sekali mengenai orang yang Warnasiri nyatakan sebagai dirinya,
namun selang menunda beberapa lama, ia memutuskan membawa
putranya itu ke Kimbulgoda. Namun, sebelum ia melakukan ini,
kabar mengenai pernyataan anak itu menyebar ke desa tetangga
di Kimbulgoda. Seorang warga Kimbulgoda, Nyonya Emma Nona,
yang memiliki sanak saudara yang tinggal di Weliweriya dan setelah
mendengar pernyataan Warnasiri, menyebutkannya ke saudarinya,
Nyonya T. Ranaweera. Nyonya Ranaweera mengenali kesamaan
antara cerita bocah itu dengan fakta kehidupan putranya. Putranya
ini, yang bernama Ananda V. Mahipala, lahir 26 Oktober 1926 dan
meninggal tiba-tiba pada tanggal 26 Oktober 1956. Nyonya Ranaweera
mengunjungi Weliweriya pada musim semi tahun 1962 dan bertemu
Julis Adikari, namun saat itu tidak bertemu putranya, Warnasiri.
Saat itu, Warnasiri sedang pergi, namun sebelumnya mengatakan
bahwa mantan ibunya akan mengunjunginya dalam waktu tiga hari—
ramalan akurat waktu dan kunjungannya. Perbincangannya dengan
ayah bocah itu meningkatkan keinginannya menemui Warnasiri dan
ia mengundangnya dan ayahnya mengunjungi Kimbulgoda.

198
KELAHI RAN UL ANG

Mereka membalas kunjungannya dua minggu kemudian. Warnasiri


sebelumnya telah menandakan lokasi umum rumah saat kehidupan
lampaunya di Kimbulgoda. Saat Warnasiri dan ayahnya tiba di desa,
bocah itu memimpin jalan menuju situs rumah mereka sebelumnya,
namun rumah itu sudah dirobohkan. Kemudian mereka pergi ke
rumah tetangga. Di antara kerumunan perempuan yang berkumpul
di sana, Warnasiri mengenali Nyonya Tanaweera sebagai mantan
ibunya, terlepas dari upaya para wanita lain dalam kerumunan untuk
menariknya kepadanya. Warnasiri menanyakan mengenai beberapa
barang milik mendiang putra Nyonya Ranaweera, dan dengan tepat
mengenali beberapa barangnya.

Segera setelah pertemuan pertama antara Warnasiri dan Nyonya


Ranaweera, kasus itu menarik perhatian kami, dan Francis Story
bepergian ke kedua desa itu pada Juli dan Agustus 1962 untuk
menyelidiki langsung kasus itu dan menyaksikan uji kemampuan
Warnasiri mengenali anggota keluarga mendiang yang lain,
terutama saudari kandungnya. Dalam pengujian ini, Warnasiri
pada awalnya gagal. Pada saat itu Francis Story (dan kerumunan
orang) menyaksikan apa yang Warnasiri akan lakukan saat diminta
mengenali saudari Ananda, ia jelas tidak melakukannya. Namun
pada tahun 1965, dua saudari kandung ini menegaskan bahwa saat
ketegangan dan perhatian mereda dan orang-orang mulai mengurusi
hal lain, seseorang kembali meminta Warnasiri apakah ia mengenali
saudarinya. Lalu ia mendatangi Irangani Mahipala dan Vinitha, dua
saudari Ananda, dan menggamit tangan mereka. Francis Story tidak
melihat kejadian ini. Irangani Mahipala, informan peristiwa ini, puas
bahwa Warnasiri melalui perilaku dan sikapnya, mengenalinya.

Warnasiri bertemu Nyonya Ranaweera pada kesempatan lain


pada tahun 1962 (sebelum kunjungan pertama Francis Story) dan

199
KELAHI RAN UL ANG

pada waktu itu menanyainya mengenai barang milik mendiang


Ananda yang lain. Tahun 1965, Francis Story kembali ke sana
(dengan penerjemah lain) untuk memeriksa kembali kesaksian dan
mempelajari perkembangan kasus itu setelah kunjungan sebelumnya.
Ia belajar bahwa Warnasiri telah memberikan beberapa pernyataan
tambahan mengenai kehidupan Ananda Mahipala dan juga pernyataan
tambahan mengenai kehidupan lain di Kelaniya.

Pada Juli 1966, kami sekali lagi menilik ulang kasus ini bersama saat
kunjungan Ian Stevenson ke Sri Lanka. Kami berdua mengunjungi
keluarga Warnasiri Adikari dan keluarga Ananda Mahipala, yang
dinyatakan sebagai sosok Warnasiri sebelumnya. Sebelum penilikan
ulang kasus ini, kami telah mendapat terjemahan dalam bahasa Sri
Lanka laporan kasarnya, termasuk daftar pernyataan dan perilaku
yang dilaporkan Warnasiri mengenai kehidupan lampaunya. Daftar
ini kami lampirkan. Kami menunjukkan terjemahan ini ke dua saksi
utama kasus ini, ayah Warnasiri dan ibu Ananda. Mereka membaca
daftar ini, membuat beberapa perubahan kecil dari perincian yang
tidak penting, dan menandatanganinya sesuai dengan apa yang
mereka ingat dari faktanya.

Pada tahun 1966, beberapa hal ditambahkan pada kesaksian itu dan
beberapa koreksi kesaksian sebelumnya (biasanya minor) dilakukan.

Warnasiri juga menyatakan mampu mengingat kehidupan singkat


sebagai bayi pertama ibunya, Nyonya B.A. Roslin Nona Adikari, yang
bayinya meninggal sejam setelah kelahiran. Dan ia mengingat lebih
lanjut kehidupan lain sebelum kehidupan di Kimbulgoda tatkala ia
hidup di Kelaniya, dekat Colombo, bekerja sebagai tukang gigi, dan
meninggal dalam kecelakaan perahu. Beberapa rincian kehidupan
yang diberikan Warnasiri ini selaras dengan kejadian di Kelaniya,

200
KELAHI RAN UL ANG

namun karena pembuktian hal ini masih berlanjut, kami tidak akan
memasukkannya ke tabel rangkuman kesaksian dan pengenalan
Warnasiri.

Fakta Geografi Relevan dan Cara Komunikasi yang Mungkin Terjadi untuk
Memberi Informasi Kepada Subjek

Seperti telah disebutkan, dua desa Kirikita dan Kimbulgoda terpisah


sejauh enam mil. Akses satu sama lain tidak sulit, meski di Sri Lanka
bukan berarti terjalin hubungan erat antara orang di dua desa. Julis
Adikari telah mengunjungi Kimbulgoda sekali atau dua kali sebelum
kunjungan pertama bersama Warnasiri. Akan tetapi, ia menyatakan
bahwa ia dan istrinya tidak mengenal siapa pun di Kimbulgoda dan
tidak pernah bicara kepada Warnasiri mengenai tempat itu sebelum
pernyataan Warnasiri mengenai kehidupan lampaunya di sana.
Nyonya Ranaweera sama pula tidak tahu apa pun tentang keluarga
Julis Adikari, dan ia tak mengenal siapa pun yang berhubungan
dengan keluarga ini. Ia pernah ke Kirikita, namun tak punya hubungan
atau minat apa pun di desa itu. Seperti yang disebutkan, saudari
sulungnya memiliki sanak di Weliweriya yang dari sana ia pertama
kali mendengar pernyataan Warnasiri.

Di Kirikita, kami mewawancarai:


o Warnasiri Adikari
o Tuan Julis Adikari, ayah Warnasiri
o Nyonya B.A. Roslin Nona Adikari, ibu Warnasiri (diwawancara
hanya tahun 1965 dan 1966)
o Nyonya Isabella Kumarapelie, ibu Julis Adikari dan nenek
Warnasiri

Di Kimbulgoda, kami mewawancarai:

201
KELAHI RAN UL ANG

o Nyonya T. Ranaweera, ibu mendiang Ananda V. Mahipala (nama


setelah menikahnya adalah Nyonya T. Mahipala namun ia dikenal
masyarakat dengan nama gadisnya sehingga disebut Nyonya
Ranaweera)
o Nyonya Irangani Mahipala Pieris, saudari mendiang Ananda V.
Mahipala (diwawancara hanya tahun 1965 dan 1966)
o Nyonya Swarna Jayawardena, saudari mendiang Ananda V.
Mahipala
o Nyonya H. Albert Pieris, kakak ipar mendiang Ananda V. Mahipala
(diwawancara hanya tahun 1965)
o Tuan D.A. Ranaweera, saudara Nyonya Ranaweera, yang
menyaksikan Wanasiri mengenali ibunya
o Tuan R.K. Dharmaratne, tetangga

Ketika Francis Story mengunjungi keluarga Adikari pada tahun 1962,


Nyonya B.A. Roslin Nona Adikari, ibu Warnasiri, sangat pemalu dan
meninggalkan ruangan tempat Francis Story bicara dengan suaminya.
(Perilaku seperti ini biasa ditemui di antara perempuan Timur di
depan orang asing, terutama perempuan desa). Kesaksiannya karena
itu tidak dimasukkan saat itu. Akan tetapi tahun 1965, ia lebih
tidak pemalu dan Francis Story mampu bicara dengannya melalui
penerjemah. Tahun 1966, ia bahkan lebih ramah dan memberikan
kesaksian dengan bebas. Dalam poin-poin yang dibahas, kesaksiannya
menguatkan suaminya mengenai pernyataan dan perilaku Warnasiri.

Laporan dan Pengamatan Relevan Perilaku Orang-orang Terkait

Warnasiri menunjukkan, menurut ayahnya, kesamaan yang


cukup besar dengan Ananda. Ia berulang kali meminta ayahnya
membawanya ke Kimbulgoda. Ia bersikeras bahwa mantan ibunya
mencintainya lebih dari ibunya yang sekarang. Setelah pertama kali

202
KELAHI RAN UL ANG

menemui Nyonya Ranaweera, Warnasiri bersikeras menemuinya lagi


dan menolak makan sampai ayahnya setuju mengantarnya. Pernah
sekali bocah lain mengatakan ia akan menyerang ibu Warnasiri yang
“baik” (yaitu Nyonya Ranaweera), Warnasiri marah dan menyerang
bocah ini. Nyonya Ranaweera menyetujui bahwa sifat Warnasiri
menyerupai Ananda pada usia yang sama.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Warnasiri mengatakan


bahwa ia bisa mengingat tiga kehidupan lampau sebelum
kehidupannya kini sebagai Warnasiri, ia terlahir ulang sejenak sebagai
bayi baru lahir ibunya yang sekarang, Nyonya Roslin Nona, tahun
1956; sebelum itu ia hidup sebagai Ananda di Kimbulgoda, dan sebelum
itu ia hidup di Kelaniya dan meninggal dalam kecelakaan perahu.
Kepada ayahnya, Warnasiri telah beberapa kali mengungkapkan
kemuakan terlahir ulang lagi dan lagi, dan bertekad menjadi bhikkhu
untuk mengakhiri semuanya. Selama beberapa waktu ia memiliki
kebiasaan membuang sampah ke sumur rumahnya. Saat ditanya
mengapa, ia mengatakan bahwa ia ingin mengisi penuh sumur itu,
membangun rumah di tempat itu untuk orangtua barunya, kemudian
meninggalkan mereka untuk menjadi bhikkhu. Ayahnya mengalami
kesulitan besar menghentikan kebiasaan ini. Sampai sesungguhnya,
suatu ketika, ayahnya berpikir tidak mampu menghentikannya dan
mengirim Warnasiri untuk tinggal bersama sanaknya dengan harapan
bisa menghentikan kebiasaan melemparkan barang ke sumur. Nyonya
B.A. Roslin Nona Adikari mengatakan tahun 1966 bahwa Warnasiri
masih ingin menjadi bhikkhu.

Saat Francis Story menemui Warnasiri pada 1962, ia tampak sebagai


anak yang sangat serius, pemalu, dan pendiam. Ia agaknya terpisah
dari sekitarnya, menatap hampa ke ruangan. Ia bicara agak ragu
dengan kata-kata yang patah-patah. Namun ayahnya memberi

203
KELAHI RAN UL ANG

kesaksian bahwa Warnasiri cukup cerdas. Tahun 1965 dan 1966,


Warnasiri lebih bahagia dan terbuka.

Nyonya Ranaweera sendiri meyakini penuh bahwa Warnasiri adalah


mendiang putranya, Ananda, yang terlahir ulang, dan ia menampakkan
selama wawancara dengannya, semua emosi yang umum muncul
kepada perempuan yang bicara ke putra yang dikasihinya.

Tahun 1965, kami mempelajari bahwa kasih sayang Warnasiri


dan Nyonya Ranaweera terus berlanjut, demikian pula kunjungan
Warnasiri secara berkala ke Kimbulgoda. Keluarga Warnasiri
agak enggan ia sering mengunjungi Nyonya Ranaweera, namun
mengizinkan kunjungan sesekali. Ibu Warnasiri menyatakan bahwa
Warnasiri sering minta dibawa ke Kimbulgoda dan “membuatnya
cemas” soal permintaan ini. Tahun 1965, Francis Story membawa
Warnasiri bersamanya dan mengunjungi Nyonya Ranaweera lagi.
Dalam kesempatan ini, bocah ini semangat dan gembira dengan
kunjungan ini. Di Kimbulgoda, ia menunjukkan kasih sayang yang
sangat jelas ke Nyonya Ranaweera (yang timbal-balik) dan selama
kunjungan itu, ia jelas sekali lebih suka bersamanya daripada orang
lainnya yang hadir yang sebagian besar ia abaikan.

Tahun 1966, kami kembali membawa Warnasiri (dan ayahnya)


bersama kami ke Kimbulgoda. Dalam kesempatan ini, tidak ada emosi
kuat yang ditunjukkan Warnasiri atau pun Nyonya Ranaweera, namun
mereka tampak saling menikmati perjumpaan itu.

Sampai tahun 1966 Warnasiri juga terus memiliki minat besar dengan
mobil, hasrat yang sulit dinalar jika hanya mempertimbangkan
kesempatan dalam keluarganya yang tak memiliki mobil. Ia juga
tampaknya memiliki pengetahuan melampaui kebiasaan (bagi anak

204
KELAHI RAN UL ANG

usia delapan pada tahun 1965) mengenai bagaimana mengemudi mobil.


Ananda, kami diberitahu, memiliki keterampilan montir. Sedangkan
ciri perilaku lainnya yang mungkin terkait dengan kehidupan
lampau, kami tidak menemukan bukti ini. Warnasiri, menurut ibunya
tidak menunjukkan rasa takut pada air (yang mungkin terkait dengan
tenggelamnya dirinya pada kehidupannya di Kelaniya) atau buah
(terkait gagasan kematiannya sebagai Ananda).

Tahun 1966, kami mengetahui dari ibu Warnasiri bahwa ia masih


bicara mengenai kehidupan lampaunya saat ditanya, namun tidak
lagi bicara spontan seperti sebelumnya. Peluruhan ingatan atau
setidaknya pembentukan kata-kata ini terjadi dalam sebagian besar
jenis kasus kelahiran ulang pada anak-anak.

Komentar Mengenai Bukti Aktivitas Paranormal Dalam Pernyataan Warnasiri

Kami tidak bisa menemukan motif atau kesempatan terjadinya


kecurangan atau penipuan oleh informan dalam kasus ini. Pada
tahun 1965, kesan integritas sebelumnya makin diperkuat ketika
diusulkan untuk dilakukan regresi hipnosis ke Warnasiri. (Upaya ini,
yang dilakukan melalui penerjemah, gagal). Tatkala Francis Story
menjelaskan dan mengusulkan hal ini ke orangtuanya, mereka langsung
setuju. Mereka memahami bahwa kemungkinan fakta terkuak dari
Warnasiri, jika dihipnosis, dan tidak akan setuju dengan prosedur ini
jika mereka takut beberapa informasi tak menguntungkan bagi mereka
akan muncul dari eksperimen ini. Lebih lanjut, dua informan utama,
Tuan Julis Adikari dan Nyonya T. Ranaweera, menandatangani setelah
membaca (dalam bahasa Sinhala) tabel pokok-pokok (1-27) kasus yang
mencatat kesaksian mereka sesuai fakta yang mereka ingat.

Meski pernyataan Warnasiri mengenai kehidupan lampau mengalami

205
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan yang lebih makmur daripada yang sekarang, kami tak


menemukan bukti bahwa dirinya atau keluarganya mendapat
keuntungan dari menceritakan ingatannya itu. Jika ini hanya
merupakan khayalan untuk mengabulkan keinginan, mereka tidak
mendapatkan apa pun dari Warnasiri menceritakan ini ke orang
lain. Namun jelas sekali Warnasiri meyakini ia memiliki ingatan
sejati kehidupan lampau dan merajuk terhadap keterbatasan
keberadaannya yang sekarang. Tidak pula kami bisa melacak dengan
masuk akal dorongan perilaku Warnasiri kepada orangtuanya, yang
jelas tidak ingin anak mereka lebih menyukai orangtua lain atau
membuang barang ke sumur keluarga.

Informasi rinci dan akrab yang dimiliki oleh Warnasiri mengenai


kehidupan Ananda V. Mahipala hampir tak mungkin diketahui
secara menyeluruh oleh siapa pun selain Nyonya T. Ranaweera. Akan
tetapi, menurut para saksi, ia benar-benar asing tidak mengenal
keluarga Warnasiri sampai setelah Warnasiri mulai bicara mengenai
kehidupan lampaunya. Banyak penduduk Desa Kimbulgoda mungkin
tahu mengenai rincian rumah Nyonya Ranaweera yang kelak
dihancurkan serta putranya. Namun pengetahuan mengenai barang
milik Ananda tidak mungkin tersebar di khalayak umum. Bahkan
Nyonya Ranaweera telah melupakan keberadaan mainan penabuh
gendang milik putranya saat Warnasiri pertama kali menyebutnya.
Bagaimana pun, tidak ada penduduk desa Kimbulgoda lainnya yang
mengenal keluarga Adikari. Kita tidak bisa menemukan orang yang
bisa bertindak sebagai pembawa informasi bagi Warnasiri.

Kita harus menganggap pengenalan Nyonya Ranaweera bukan


bukti kuat karena, meski beberapa nyonya berusaha mengalihkan
perhatian Warnasiri, ia diminta mengidentifikasi ibunya, dan lirikan
terhadapnya mungkin bisa memandunya. Akan tetapi penjelasan ini

206
KELAHI RAN UL ANG

tidak cukup untuk menjelaskan perilaku sayang Warnasiri terhadap


Nyonya Ranaweera. Lirikan dan bahkan dorongan terbuka para
penonton tidak mungkin bisa menghasilkan perilaku ini tepat di sana
atau mempertahankannya selama beberapa tahun.

Kegagalan awal Warnasiri untuk mengenali saudari kandung mendiang


Ananda mungkin muncul dari kegelisahan alih-alih ketaktahuan.
Karena meski upaya untuk tidak memercayainya, sejumlah besar
penonton berkumpul saat uji pengenalan ini dan bersama dengan
tingkah laku dibuat-buat para pelakunya, mungkin membuat
Warnasiri tegang, seperti kelihatannya saat itu, dan menghambat
aliran kesadaran menuju informasi apa pun mengenai orang-orang
di sana. Hipotesis kegagalan awalnya didukung oleh kesaksian salah
satu saudari kandung Ananda setelah itu, yang mengatakan bahwa
setelah kegagalan awal, Warnasiri sesungguhnya mengenalinya
bersama saudari lain. Sayangnya, kami tidak melihat peristiwa ini
dan hanya mendengarnya tiga tahun kemudian, dan pertanyaan
pancingan tampaknya memainkan peranan. Akan tetapi, Francis
Story menyaksikan tahun 1965, pengenalan Warnasiri terhadap foto
Ananda dan salah satu saudarinya.

Rangkuman dan Komentar Kesimpulan

Kami telah melaporkan kasus jenis kelahiran ulang di Sri Lanka yang
berkesempatan kami selidiki dalam kurun beberapa bulan sejak
terjadinya peristiwa utama kasus itu. Kasus ini memuat ciri-ciri yang
umum ditemukan dalam kasus lain jenis ini di belahan dunia lainnya.
Misalnya, anak yang terkait memberikan informasi kami mengenai
kehidupan lampaunya dalam ucapan yang dikemukakan pada masa
yang berbeda-beda. Ingatan jelas yang terpusat pada orang dan
kepemilikan kehidupan lampau dan mengenai rincian kematian

207
KELAHI RAN UL ANG

kepribadian sebelumnya; subjek kasus menunjukkan kerinduan


kembali ke keluarga kehidupan lampaunya, meski ada ketidakpuasan
bersama “tarikan” yang ia rasakan, dan ia menunjukkan perilaku
sayang kepada ibu kepribadian lampaunya yang sesuai dengan
kepribadian itu, namun sangat tidak biasa bagi anak kecil bertemu
dengan perempuan asing yang lebih tua. Lebih lanjut, ia bisa menjaga
hubungan sayang ini selama periode empat tahun.

Kami telah memaparkan alasan mengapa kami berpikir bahwa anak


ini menunjukkan informasi mengenai kehidupan lampaunya yang
diturunkan dengan cara adikodrati. Bagi kita tampaknya ada tiga
hipotesis saingan untuk menjelaskan fakta kasus ini jika kita berpikir
bahwa anak ini memperoleh informasi mengenai kepribadian
lampaunya melalui proses adikodrati. Tiga hipotesis ini adalah:
mengaku sebagai kepribadian lampau karena termotivasi oleh
keinginan melarikan diri dari lingkungan kini (yang diakui anak itu
lebih tidak enak daripada kehidupan sebelumnya), menggunakan
kekuatan adikodrati dan didukung kebudayaan yang meyakini
gagasan kelahiran ulang; kedua, anak itu dirasuki kepribadian yang
belum terlahir ulang, yang diduga berasal dari kepribadian lampau;
dan yang ketiga, kelahiran ulang.

Teori pertama dari tiga hipotesis ini didukung Chari dan Murphy
sebagai penjelasan atas kasus-kasus jenis kelahiran ulang. Ian
Stevenson mendebat di tempat lain bahwa penjelasan ini mungkin
menjelaskan beberapa kasus jenis ini, namun penjelasan ini menurut
kami gagal menjelaskan beberapa ciri dalam sebagian kasus, seperti
pernyataan yang kuat dan teguh dari banyak subjek tentang identitas
sinambung yang menghubungkan kepribadian kini dan lampau. Jika
ciri perilaku kasus ini dipertimbangkan sebagai kombinasi khayalan
identitas dan proses adikodrati, mereka pasti menonjol daripada

208
KELAHI RAN UL ANG

kasus mengkhayalkan identitas di Timur atau Barat. Jelas sekali, tak


ada kesimpulan kuat yang bisa ditarik dari kasus tunggal apa pun
dan kami tidak ingin melakukannya dalam kasus Warnasiri. Namun
kami bisa menyatakan bahwa ciri-cirinya, yang begitu serupa dengan
banyak kasus lain yang diamati, membuat kami lebih menyukai teori
kelahiran ulang sebagai cara paling masuk akal untuk menjelaskan
semua aspek dan rinciannya. Studi lebih lanjut kasus-kasus ini, yang
mendesak dibutuhkan, bisa menguak informasi baru yang akan
membuat kita bisa memilih penjelasan lain. Sementara itu, tampak
bagi kami bahwa kelahiran ulang semestinya dipandang serius sebagai
prinsip penjelasan kasus-kasus jenis ini.

Rujukan
Chari, C.T.K. “Paramnesia and Reincarnation.”Proc. S.P.R., Vol 53, 1962,
264-86.
Murphy, Gardener. “Body-Mind Theory as a Factor Guiding Survival
Research.”Journal A.S.P.R., Vol. 59, April 1965, 148-56.
Stevenson, Ian. “Twenty Cases Suggestive of Reincarnation.”Proc. A.S.P.R.,
Vol 26, 1966, 1-362.
Story, Francis. The Case for Rebirth, Kandy, Sri Lanka: Buddhist
Publication Society, 1959. (Edisi revisi, 1964).

KASUS DISNA SAMARASINGHE DI SRI LANKA

Pendahuluan

Kasus-kasus yang menyiratkan kelahiran ulang terjadi di banyak


negara yang berbeda-beda di dunia. Kasus ini ditemukan di Eropa

209
KELAHI RAN UL ANG

dan Amerika Utara, akan tetapi, kasus ini lebih melimpah ditemukan
di banyak negara Asia. Selama tujuh tahun terakhir, kami telah
mempelajari dua puluh delapan kasus kelahiran ulang di Sri Lanka.
Kami telah menerbitkan empat laporan kasus ini dan beberapa laporan
kasus lain sedang disiapkan. Salah satu dari kami telah menulis artikel
yang merangkum ciri pokok kasus-kasus kelahiran ulang di Sri Lanka
dan artikel lain mengenai kasus Sri Lanka telah dibandingkan dengan
yang ditemukan di Turki dan Indian Tlingit di Alaska.

Kasus yang dipaparkan di sini bertujuan menghadirkan kasus


sama jenis yang umum agar diperhatikan para pembaca yang tidak
mengenal literatur khusus parapsikologi atau ajaran Buddha yang di
mana, sejauh ini, semua laporan kasus kelahiran ulang di Sri Lanka
telah terbitkan. Kami tidak berharap kasus berikut ini—atau kasus
tunggal apa pun—harus menimbulkan tafsiran tertentu berdasarkan
data yang dipaparkan di sini, namun kami berharap pembaca
akan cukup tergugah oleh laporan kasus ini sehingga mereka mau
membaca laporan kasus serupa lainnya yang telah diterbitkan atau
dalam persiapan terbit.

Metode Penyelidikan

Metode yang digunakan dalam penyelidikan kasus berikut mengikuti


cara yang telah dijabarkan dalam laporan lainnya, sehingga kami tak
akan menjelaskannya kembali dengan rinci di sini. Cukup dikatakan
bahwa cara kami adalah mewawancarai sebanyak mungkin saksi
terlebih dahulu di desa atau kota tempat subjek berada dan kemudian
di tempat subjek tadi menyatakan pernah hidup. Kami membuat
catatan rinci mengenai semua kesaksian yang dikatakan para saksi.
Sebanyak mungkin, kami mencoba mewawancarai para informan
secara terpisah supaya mereka tidak mengotori ingatan satu sama

210
KELAHI RAN UL ANG

lain atau cenderung menyamakan kisah mereka dengan keliru.


Kami memeriksa pernyataan satu saksi terhadap yang lainnya dan
terhadap apa yang ia sendiri katakan pada kesempatan lain jika kami
mewawancarainya lebih dari sekali. Kami kemudian membandingkan
pernyataan dan perilaku subjek (atau diungkapkan olehnya kepada
kami secara langsung) dengan peristiwa berkaitan yang dilaporkan
dialami kepribadian lampau yang dinyatakan subjek pernah jalani.
Singkatnya, metode penyelidikan dan analisis milik pengacara,
sejarawan, psikiater dalam melakukan reka-ulang sedekat mungkin
apa yang terjadi dalam suatu peristiwa lampau.

Komponen penting data kami terdiri dari pengamatan perilaku


non-verbal saksi dan terutama subjek kasus ini saat mereka bicara
mengenai pelbagai rincian. Unsur non-verbal ini memberi petunjuk
berharga mengenai keandalan saksi dan juga emosi, sering kali
sangat kuat, yang dibangkitkan kasus ini pada pesertanya untuk
berbagai alasan. Kasus jenis ini tidak hanya terdiri dari pernyataan
dan pengenalan yang dirujuk ke anak itu, namun juga bukti yang
ditunjukkan tampakan perilaku anak itu sesuai dengan kepribadian
telah meninggal.

Kami akan memberikan rangkuman pendek kasus ini dan


penyelidikannya agar bisa memperkenalkan pembaca kepada peserta
dan saksi utamanya.

Rangkuman Kasus dan Penyelidikannya

Subjek kasus ini adalah Disna N.K. Samarasinghe, yang terlahir ulang
di desa Udobagawa, dekat Galagedera (sekitar dua puluh mil dari
Kandy) pada 26 April 1959. Disna adalah anak kedua yang hidup dan
putri sulung dalam keluarga dengan empat anak yang hidup. Ayahnya

211
KELAHI RAN UL ANG

adalah Tuan A.S. Samarasinghe, pedagang sayur Udobagawa dan


ibunya Nyonya Seelawathie Samarasinghe, guru di sekolah dekat sana
di Minigamuwa.

Disna mulai bicara saat ia berusia satu setengah tahun. Ketika ia


berusia tiga tahun, suatu hari ibunya sedang mencuci baju ketika
Disna tiba-tiba mengatakan bahwa ia pernah mencuci baju sendiri
saat berada di rumahnya di Wettewa. Saat ibu Disna bertanya di mana
Wettewa berada, Disna dengan tepat menunjukkan arah Wettewa
yang merupakan desa tiga setengah mil dari Udobagawa. Menanggapi
pertanyaan lebih lanjut ibunya, Disna mengatakan bahwa di Wettewa
ia memasak sendiri, makan sendiri, dan hidup sendiri. Kemudian
selama minggu-minggu dan bulan-bulan selanjutnya, Disna memberi
tambahan rincian kehidupan yang ia katakan pernah dijalaninya di
Wettewa. Ia mengatakan bahwa di rumah tempat ia hidup dahulu ada
satu “mahatmaya” dan satu “perempuan”. Disna menggunakan bahasa
Sri Lanka “amma”, yang berarti “ibu”. Ternyata kelak diketahui Disna
menggunakan kata itu dengan nada benci untuk merujuk “ibu yang
itu” dari anak-anak putranya, orang yang tidak ia sukai. “Mahatmaya”
adalah istilah hormat yang diberikan kepada pria lebih tua, terutama
jika mereka memiliki jabatan sebagai pengawas. Orang yang dirujuk
Disna ini kemudian diidentifikasi sebagai R.M. Gardias, yang ibunya,
Tilakarachige Babanona meninggal pada usia 68 tahun, tanggal 15
Januari 1968, lima belas bulan sebelum kelahiran Disna. Mendiang
perempuan itu, yang umumnya dikenal sebagai Babanona, biasa
memanggil R.M. Gardias “loku puta” yang berarti “putra sulung,” cara
sapaan umum di antara orang Sri Lanka yang terkait dengan cara
ini. Namun, saat Babanona bicara mengenai putranya kepada orang
lain ia merujuknya sebagai “Mahatmaya” dan orang lain juga biasa
memanggilnya dengan nama ini. Ia sesungguhnya adalah pengawas
para pekerja di perkebunan karet dan sekretaris koperasi setempat.

212
KELAHI RAN UL ANG

Melanjutkan pernyataan Disna, ia terus memberi tahu orang-


orang rincian kehidupan yang ia jalani di Wettewa. Terutama saat
ia melihat ibunya melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga,
misalnya memasak atau mencuci, ia sendiri akan mengomentari telah
melakukannya sendiri, bahkan mungkin lebih baik! Dan sesungguhnya
Diana menunjukkan kecerdasan menakjubkan mengenai beberapa
pekerjaan rumah tangga seperti yang kelak akan kita bahas lagi. Ia
juga bicara mengenai anak-anak “perempuan itu” dengan misalnya
mengatakan, “Perempuan itu punya anak-anak yang begitu hitam
sampai aku tidak mau menggendong mereka dengan tanganku.”

Disna tak pernah mengungkapkan hasrat apa pun untuk mengunjungi


Wettewa, dan sesungguhnya mengatakan ia tak ingin pergi ke sana,
menyatakan bahwa Mahatmaya telah memperlakukannya dengan
buruk. Menurut Disna, Mahatmaya lebih menyukai istrinya daripada
ibunya. Ia mengatakan bahwa Mahatmaya memberikan hadiah
kosmetik dan parfum untuk istrinya, namun bersikap membatasi
dan bahkan kejam kepadanya. Disna menyatakan bahwa Mahatmaya
menyimpan tongkat yang kadang dipakai untuk memukul Babanona
jika ia tidak melakukan yang Mahatmaya minta.

Keengganan Disna untuk mengunjungi keluarga dari kehidupan


lampau berlawanan kontras dengan perilaku banyak anak dalam
kasus jenis ini yang menekan orangtua mereka untuk membawanya
ke keluarga lain dan kadang mengancam melarikan diri atau benar-
benar melakukannya. Akan tetapi, pada akhirnya, rasa penasaran ibu
Disna mengatasi keengganan Disna untuk mengunjungi Wettewa.
Disna akhirnya setuju pergi ke Wettewa setelah diyakinkan bahwa
ibunya tak akan meninggalkannya di sana.

Disna dan ibunya, ditemani tiga orang lain, berjalan kaki ke Wettewa

213
KELAHI RAN UL ANG

pada 24 April 1964. Disna menunjukkan jalan pintas melintasi sawah


yang menghemat jarak setengah mil dibanding rute mengikuti jalan
utama. Ibu Disna dan rekan lainnya tidak tahu ke mana ia hendak
membawa mereka, selain mereka menuju Wettewa. Ketika ia keluar
dari sawah lewat jalan yang dipilih Disna, ia menunjuk ke sebuah
rumah dan berkata, “Itu rumahnya.” Mereka telah melewati beberapa
rumah lainnya selama perjalanan, sehingga Disna tidak memilih rumah
pertama yang dilewati mereka. Rombongan pergi menuju rumah dan
saat mereka mendekat, mereka melihat seorang perempuan berdiri
di sekitar bangunan. Ibu Disna menanyai Disna siapa itu dan Disna
menjawab, “Itulah ibu!” Mereka kemudian mendekati rumah dan
karena Disna haus, mereka meminta air. Perempuan itu mengundang
rombongan masuk ke rumah dan mereka masuk. Disna, tercatat,
memasuki rumah bukan dari pintu utama, namun lewat pintu
samping. Jalan masuk samping ini tidak terlihat dari jalan, namun
Disna tampaknya akrab sekali dengan pintu itu. (Ternyata jalan masuk
ke rumah ini secara rutin dipakai Babanona karena pintu samping ini
menuju tempat ia mencuci dan ia jarang keluar lewat jalan utama.)

Di dalam rumah, rombongan itu memperkenalkan diri mereka ke T.N.


Alice Gardias. Mereka baru mengetahui bahwa ia adalah istri R.M.
(Mahatmaya) Gardias. Mereka memberi tahu Alice Gardias mengapa
mereka datang dan ia menebak dengan agak cepat bahwa Disna
memiliki ingatan terkait dengan kehidupan ibu mertuanya, Babanona.
Ia memanggil suaminya yang segera datang dan rombongan itu
kemudian mendiskusikan pernyataan Disna dan pembuktiannya.
Disna membuat berbagai komentar mengenai objek dalam rumah
dan ini, bersama dengan pernyataan yang dibuat Disna yang ibunya
ceritakan ke keluarga Gardias, meyakinkan mereka bahwa Disna
sesungguhnya adalah Babanona yang terlahir ulang.

214
KELAHI RAN UL ANG

Setelah pertemuan awal antara dua keluarga ini, berbagai


anggota keluarga dan kawan Babanona mengunjungi Disna untuk
mendengarnya bicara mengenai kehidupan lampaunya atau mungkin
untuk dikenali olehnya. Sesungguhnya, Disna hanya bisa mengenal
satu orang dengan jelas dari orang-orang ini seperti yang dibahas
nanti. Disna juga dibawa ke Medagoda, desa tetangga tempat Babanona
dahulu hidup sebelum pindah ke Wettewa.

Kesulitan menganalisis kasus jenis ini sering ditambah oleh


ketidakpastian mengetahui seberapa banyak dua keluarga ini telah
mencampurkan ingatan akan apa yang dikatakan anak itu sebelum
mereka bertemu dan apa yang dipelajari keluarga lainnya setelah
bertemu. Ada sejumlah kasus, sebagian masih belum diterbitkan,
yang di dalamnya suatu catatan tertulis dibuat mengenai pernyataan
anak itu sebelum dua keluarga bertemu. Kasus yang ini tidak
demikian, namun ibu Disna membuat laporan pernyataan utama
Disna yang agak terperinci (tidak setelah Juni 1964) dan peristiwa
yang membawa menuju kunjungan pertama ke Wettewa. Catatan
tertulis ini selaras sekali dengan kesaksian yang diberikan selama
penyelidikan kami kelak.

Penyelidikan pertama kasus ini terjadi bulan Mei 1965 ketika Francis
Story mengunjungi wilayah Galagedera dan menghabiskan dua hari
penuh mengumpulkan kesaksian. Penyelidikan kemudian dihentikan
sampai Maret 1968 saat kami berdua mengerjakan kasus ini selama
dua hari. Pada kesempatan kedua, kami mewawancarai kembali
hampir semua saksi yang sebelumnya diwawancara Francis Story
tahun 1965 dan tambah lagi mengambi kesaksian dari sejumlah saksi
baru seperti putri Babanona, R.M. Nonnohamy, yang tinggal dekat
kota Rambukkana sekitar 20 mil dari Wettewa, dan U.A. Rambukkana
Bacho Harmy, mantan tetangga Babanona dalam desa Medagoga.

215
KELAHI RAN UL ANG

Kami juga memiliki terjemahan catatan tertulis yang dibuat ibu Disna
dan beberapa informasi lainnya yang dikumpulkan Tuan P.K. Petera
dan Tuan H.S.S. Nissanka, yang lebih awal mempelajari kasus ini. Tuan
Godwin Samararatne memperoleh tambahan informasi mengenai
rincian suatu kunjungan ke daerah itu tentang kasus ini pada musim
panas 1968.

Fakta Relevan mengenai Geografi dan Sarana Komunikasi Normal


di Antara Dua Keluarga.

Seperti yang telah disebutkan, Wettewa adalah desa sekitar tiga


setengah mil dari Udobagawa tempat Disna dan keluarganya hidup.
Sekitar satu mil lebih jauh ke jalan dari Udobagawa adalah Desa
Medagoda empat baik R.M. (Mahatmaya) Gardoas dan saudaranya R.M.
Romanis kini hidup dan tempat Babanona pernah tinggal sebelum ia
pindah ke Wettewa untuk tinggal bersama dengan putranya di sana.
Ini terjadi karena R.M. Romanis pindah ke desa lain yang cukup jauh.
Babanona, saat itu sudah lanjut usia agak kukuh dalam kebiasaannya,
tidak ingin pindah begitu jauh. Jadi ia hidup sendiri selama dua tahun
di Medagoda. Kemudian ia menjadi agak sakit dan tinggal dengan
putranya yang lain (yang lebih tua) dekat Wettewa. Ia tinggal di
sana dengan keluarganya selama enam bulan sebelum ia meninggal.
Rumah yang ditempati Babanona di Medagoda ada dalam beberapa
pernyataan dan pengenalan Disna.

Jasad Babanona dikubur di lereng di belakang rumah di Medagoda,


sekitar separuh jalan antara rumah ini dan rumah di Wettewa (dari
R.M. Gardias) tempat ia meninggal. Tempat pekuburannya, yang
dekat sarang rayap, tidak kasat mata dari lokasi rumah di Wettewa.

216
KELAHI RAN UL ANG

Desa tempat dua keluarga pokok yang terkait dalam kasus ini terletak
agak dekat, dan jarak di antaranya lebih sedikit dari jarak rata-rata
desa tempat kasus kelahiran ulang di Sri Lanka terjadi. Akan tetapi,
jarak jika dilihat dari sudut pandang perjalanan dan komunikasi jauh
lebih besar dari yang kelihatan oleh pembaca Barat. Tak satu pun dari
dua keluarga yang terkait dalam kasus ini memiliki mobil, namun
bus melintas di jalan utama antara kedua desa. Biasanya hanya ada
sedikit hubungan antara anggota desa berbeda yang tidak memiliki
hubungan.

Kami menanyai para informan utama kasus ini mengenai pengetahuan


mereka perihal keluarga lainnya sebelum perkembangan kasus
dan pertemuan pertama kedua keluarga. Kesaksian berbagai saksi
cukup selaras mengenai kadar hubungan di antara keluarga. Mereka
mengenali satu sama lain di jalan yang kadang mereka lewati,
namun mereka tidak mengenal nama satu sama lain dan tak pernah
melakukan perkenalan sosial, apalagi berada dalam rumah keluarga
lainnya. Masuk akalnya bantahan pernah berkenalan sebelumnya
antara dua keluarga ini diperkuat fakta bahwa dua keluarga ini
berasal dari kasta berbeda, dengan keluarga Disna yang berkasta lebih
tinggi sama sekali tidak mungkin bersosialisasi dengan anggota kasta
keluarga Babanona.

Kami mengetahui adanya dua hubungan saling kenal antara dua


keluarga ini. Yang pertama adalah Bhikkhu Ambanwelle Somasara,
kepala wihara di Wettewa, yang mengenal Babanona dengan baik
dan juga kenal dengan keluarga Samarasinghe. Kami mengetahui
pula bahwa pelanggan toko Tuan Samarasinghe, William Kankanam,
pernah tinggal di Walpolatenne sebelum pindah ke Udobagawa. Ia
mengenal keluarga Babanona saat ia tinggal di Walpolatenne dan

217
KELAHI RAN UL ANG

ia mampu memastikan beberapa pernyataan Disna bahkan sebelum


ibunya membawanya ke Wettewa. Akan tetapi, kami tak menemukan
bukti apa pun bahwa dua orang ini, atau siapa pun yang mengetahui
fakta kehidupan Babanona, memiliki akses ke Disna sehingga
memungkinkan Dinna mengumpulkan informasi dari mereka
mengenai Babanona selain dengan sarana kekuatan adikodrati.

Orang-orang yang Diwawancara Dalam Penyelidikan

Dalam penyelidikan kasus ini, kami mewawancarai tujuh belas


informan bersama-sama. Informan paling penting adalah Disna
Samarasinghe dan kedua orangtuanya, serta R.M. Gardias (putra
Babanona) dan istrinya. Kami juga bicara dengan R.M. Romanis,
putra Babanona lainnya dan istrinya serta dua anaknya, juga dengan
berbagai anggota keluarga dan tetangga atau teman dua keluarga itu.

Pernyataan dan Pengenalan Bersumber dari Disna

Kurangnya halaman memaksa kami tidak memasukkan daftar


rinci semua pernyataan dan pengenalan yang dikatakan Disna oleh
informan kami. Daftar dan beberapa rincian tambahan kasus ini akan
diterbitkan di buku lain. Disna dinyatakan mengucapkan tiga puluh
empat pernyataan mengenai fakta yang terkait dengan kehidupan
lampaunya. Semua itu kecuali satu dipastikan oleh informan yang
mengetahui fakta kehidupan Babanona. Pernyataan yang belum
dipastikan adalah keterangan Disna bahwa dalam kehidupan lampau,
putranya (R.M. Gardias) memukulinya dengan tongkat. R.M. Gardias
menyangkal ini dan kami tak bisa menemukan kepastian mengenai
hal ini dari informan lainnya. Tampaknya mungkin bahwa ia pernah
kadang-kadang agak keras dengan ibunya, namun tidak mungkin

218
KELAHI RAN UL ANG

ia sesungguhnya memukulnya. Ia mengatakan bahwa kadang ia


mengancam memukuli dirinya sendiri jika ibunya tidak minum
obat. Mungkin Disna mengingat adegan itu secara keliru; juga bisa
orangtuanya salah paham mengenai apa yang Disna katakan.

Banyak pernyataan Disna merujuk pada tempat ia pernah hidup atau


kunjungi (dengan nama-nama disebutkan) atau peristiwa khusus
hidup yang katanya pernah ia jalani. Rincian ini begitu banyak dan
terperinci dalam begitu banyak peristiwa sehingga tak bisa diragukan
lagi bahwa Disna merujuk pada kehidupan Babanona dan bukan orang
lain. Berlawanan dengan beberapa kasus yang telah kami pelajari,
kami merasa cukup yakin mengenai identifikasi kepribadian lampau
yang terkait dalam kasus ini. Ini adalah fakta yang terpisah dari
penilaian mengenai bagaimana Disna memperoleh informasi yang ia
tunjukkan mengenai kehidupan Babanona.

Pernyataan Disna meliputi rujukan terhadap rincian kehidupan


Babanona, seperti bagaimana ia (Babanona) bepergian dengan kereta
dan mobil untuk mengunjungi sanak saudara di Rambukkana. Ia
juga merujuk pada hal-hal yang hanya diketahui segelintir kecil
orang dalam keluarga Babanona, misalnya, saat ia menyatakan telah
menyembunyikan sejumlah uang dalam kaleng rokok dekat perapian
di salah satu rumah yang ia tinggali. Uang ini telah ditemukan setelah
kematian Babanona. Tak seorang pun mengetahui bahwa ia telah
menyembunyikannya di sana tatkala ia masih hidup.

Disna juga membuat beberapa pernyataan mengenai pengalaman


yang ia ingat setelah meninggal sebagai Babanona dan sebelum ia
terlahir sebagai Disna. Ia dengan benar menyatakan bahwa Babanona
telah dikubur di suatu tempat tertentu di dekat bukit semut. Ia

219
KELAHI RAN UL ANG

memberikan kisah yang cukup spesifik mengenai pengalaman setelah


penguburan jasadnya dan sebelum kelahiran ulangnya.

Tambah lagi, Disna menurut informan kami memberikan lima belas


pernyataan yang menandakan pengenalan orang atau tempat yang
terkait dengan kehidupan sebagai Babanona. Ia dikatakan selalu tepat
dalam semua pengenalan ini kecuali satu pernyataan, dan dalam
kasus itu informan kami adalah pelapor tangan kedua. Kami belum
memasukkan di antara lima belas pengenalan ini beberapa laporan
pengenalan lain Disna yang mungkin ia lakukan dengan menduga-
duga. Tampaknya tidak mungkin Disna bisa menebak informasi dalam
lima belas pernyataan yang kami masukkan. Misalnya, orang-orang
yang menemaninya dalam kunjungan pertama ke Wettewa tidak tahu
ke mana Babalona memiliki kebiasaan membasuh diri, namun Disna
dengan tepat menunjukkan tempatnya saat mereka mendekati rumah
tempat Babanona tinggal. Di rumah itu, rombongan diundang masuk,
namun Disna spontan pergi ke samping rumah dan masuk lewat
pintu yang bahkan tidak terlihat dari depan. Pintu itu adalah jalan
masuk kebiasaan yang digunakan Babanona. Dalam rumah itu, Disna
mengenali sejumlah barang rumah tangga milik Babanona atau yang
pernah ia pakai. Dalam contoh-contoh ini, petunjuk halus diberikan
tanpa sadar bisa saja memandunya. Disna mengenali istri R.M. Gardias
dan ia mengenali pemilik toko yang sebelumnya menjual beras ke
Babanona. Akan tetapi, ia tidak mengenali sebagian besar keluarga
Babanona saat mereka mengunjunginya.

Laporan Pengamatan Relevan Perilaku Orang yang Terkait


Dengan Kasus

Di bawah judul ini kita akan menjabarkan pengamatan perilaku

220
KELAHI RAN UL ANG

informan kasus ini, pertama terkait dengan perilaku mereka mengenai


otentisitas kasus, dan yang kedua berkaitan dengan pengidentikkan
Disna dengan Babanona.

Dalam kasus sekarang ini kesaksian saksi berbeda cukup selaras


dengan fakta-fakta utama kasus ini. Ada ketidakcocokan mengenai
rincian kesaksian seperti yang kami temukan dalam hampir semua
kasus seperti ini, namun dalam kasus ini jumlah ketidakcocokan jauh
di bawah rata-rata. Lebih lanjut, dengan membandingkan kesaksian
yang dicatat dalam buku catatan ibu Disna (Juni 1964), dengan
penyelidikan pertama Francis Story (Mei 1965), dan penyelidikan
kami yang kedua (Maret, 1968), kesaksian saksi yang sama
menakjubkannya tetap konsisten. Sebagian kasus yang kami teliti ada
yang meliputi peristiwa tidak menyenangkan seperti pembunuhan
dan skandal lebih kecil dan bisa dipahami bahwa kami menemukan
sikap menghindar sehubungan dengan peristiwa itu. Kasus ini, selain
tuduhan Disna bahwa putranya memukulnya (sebagai Babanona),
pada umumnya bebas dari sikap menghindar ini. Kami mendeteksi
adanya keraguan dan ketimpangan kesaksian mengenai barang-
barang dan berpikir bahwa adanya ketakutan Disna akan mengklaim
ulang barang itu membuat keluarga Babanona lebih tidak terbuka
mengenai barang-barang itu. Akan tetapi selain masalah ini, kami tak
pernah menemukan kecurigaan sedikit pun bahwa kebenaran, sejauh
yang bisa diingat, sedang disembunyikan dari kami. Sebaliknya, para
saksi tampak terbuka dan bersemangat menguak rinciannya kepada
kami. Sedangkan dalam adanya kerancuan, kami tak menemukan
bukti bahwa kasus ini telah dibesar-besarkan dengan adanya
tambahan rincian palsu selama bertahun-tahun ini. Di sini sekali lagi,
kami kadang menemukan beberapa pemanis fakta oleh saksi yang
ingin memperbesar peranan mereka sendiri dalam suatu kasus atau

221
KELAHI RAN UL ANG

memperkuat, seperti pemikiran mereka, suatu pokok yang lemah


dalam kasus.

Semua informan utama kasus ini meyakini Disna telah memberi bukti
memuaskan sebagai Babanona yang terlahir ulang. Penerimaan seperti
itu seringnya cukup mudah diperoleh dari keluarga yang berduka
di Sri Lanka yang menyambut kesempatan meyakini bahwa anggota
keluarga yang mereka cintai telah kembali. (Namun akan tidak benar
menyangka bahwa setiap pernyataan kelahiran ulang diterima tanpa
penyelidikan saksama mengenai pernyataan yang dibuat orang yang
mengaku terlahir ulang.) Akan tetapi, bagi keluarga Disna, penerimaan
identifikasi Disna sebagai Babanona melibatkan penerimaan
berhubungan dengan orang dari kasta dan golongan ekonomi lebih
rendah, sesuatu yang tidak dianggap sepele di Sri Lanka.

Sedangkan Disna sendiri, ia dilaporkan menunjukkan beberapa dalam


beberapa aspek penting sifat yang serupa seperti yang sifat Babanona
yang diingat, atau setidaknya selaras dengan apa yang dinyatakan
mengenai situasi dan sifat Babanona. Kami akan menjabarkan
beberapa sifat ini secara terperinci.

Pertama-tama, ada kebencian kuat Disna terhadap Mahatmaya dan


keengganannya mengunjungi Wettewa, ciri perilaku yang berlawanan
dengan sebagian besar (namun tidak semua) anak lain dalam kasus
jenis ini. Disna mengeluh bahwa Mahatmaya memukulnya dan secara
tidak adil lebih menyukai istrinya daripada dirinya, dan meski kita tak
bisa mengetahui dari kesaksian tangan pertama apakah R.M. Gardias
sebenarnya memukul ibunya, konsensus para saksi (selain dirinya dan
istrinya) bahwa ia tegas dan keras terhadap ibunya. Gardias sendiri
mengakui ke keluarga Samarasinghe bahwa ia menyimpan tongkat

222
KELAHI RAN UL ANG

yang kadang ia ancam akan dipukulkan ke dirinya sendiri (namun


bukan katanya) ketika ia tidak minum obat dengan benar. Kombinasi
sikap keras dari putranya dan bukti lain masalah “mertua” yang kami
ketahui membuat sangat mungkin bahwa Babanona tidak bahagia
tinggal bersama putra dan menantunya di Wettewa selama enam
bulan terakhir hidupnya.

Dalam keadaan itu, pantas bagi Disna tidak ingin diingatkan mengenai
kehidupannya di Wettewa dan inilah yang ditunjukkan perilakunya.
Anak-anak lain atau orangtuanya kadang menggodanya dengan
memanggilnya “Babanona” dan ini membuatnya kesal. Ia memukul
saudaranya jika mereka menggodanya seperti itu. Ketika ayahnya
bercanda memanggilnya “Babanona” di depan kami tahun 1968, ia
meledak dalam tangis. Saat itu Disna berusia sembilan tahun. Ibunya
mengatakan bahwa ia tak lagi bicara spontan mengenai kehidupan
lampau, namun akan melakukannya dengan enggan jika ditanya.
Jika mereka mengingatkannya akan kehidupan lampaunya, ia akan
meminta mereka untuk tidak mengingatkannya. Disna dengan tegas
mengatakan bahwa ia sangat suka kehidupannya yang sekarang
daripada kehidupan yang ia ingat di Wettewa.

Sifat kedua dalam perilaku Disna yang dengan menonjol menyerupai


Babanona adalah kesalehannya, setidaknya dalam usia lanjutnya,
sebagai nyonya saleh yang berlatih meditasi dengan rutin dan
membaca (semampu mungkin) buku Buddhis mengenai meditasi.
Kala ia sudah terlalu lemah untuk pergi ke wihara di Wettewa, ia akan
mendengarkan ceramah Bana di radio sebelum ia akan duduk di lantai
dengan tangan terangkap dalam sikap memuja.

Disna menunjukkan minat terhadap agama sejak usia sangat dini.

223
KELAHI RAN UL ANG

Saat ia berusia dua tahun, ia mendengarkan saksama ceramah Bana


di radio, duduk dan merangkapkan tangannya dalam sikap memuja.
Orangtuanya maupun anak lain keluarga itu tidak melakukan ini
dan tidak mungkin Disna bisa melihat siapa pun berlaku seperti ini
sebelum ia sendiri melakukannya. Jelas tidak ada model perilaku itu
dalam keluarga dekatnya. Disna menyatakan bahwa saat ia adalah
perempuan tua ia mendengarkan ceramah Bana di radio. Disna
terus menunjukkan minat makin besar dalam agama dibanding tiga
saudaranya. Tahun 1968, ia memiliki mainan biara Buddhis yang ia
puja, nyalakan lampu, dan persembahkan bunga, seperti halnya
biara Buddhis biasa. Anak lain berusaha merusak biara Disna, namun
ia bersikeras melakukannya. Perilakunya mengenai praktik agama
sungguh tidak biasa dalam keluarga itu.

Yang ketiga, Disna menunjukkan pengetahuan tidak biasa dalam hal


kepiawaian melakukan beberapa tugas rumah tangga. Ia terutama
sangat piawai sejak usia dini dalam memasak. Ia bermain memasak
dengan panci dan kuali kecil. Ia mengkritik nasi masakan ibunya
dan ayahnya mengatakan Disna mengkritik itu dengan pembuktian,
karena Disna bisa masak lebih baik dari istrinya! Disna bicara banyak
mengenai memasak dan jelas sangat berminat dengan topik itu.
Tahun 1968, ibu Disna mengatakan ia masih bermain masak dengan
panci dan kuali kecil. Sehubungan dengan minat memasak Disna
dan pengetahuan luar biasanya dalam masak, kita bisa mencatat
bahwa Babanona sangat piawai dalam memasak dan ia memasak
untuk dirinya sendiri selama yang ia mampu sampai sejenak sebelum
kematiannya.

Disna juga menunjukkan kemampuan tak diajarkan untuk menganyam


daun kelapa pada saat ia mulai pertama kali bicara mengenai

224
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan lampau, yaitu saat usia tiga tahun. Ia mengatakan ia telah


melakukan ini dalam kehidupan lampaunya. Ibu Disna cukup yakin
Disna belum melihat siapa pun di keluarga mereka atau lainnya yang
menganyam daun kelapa. Keluarga Samarasinghe, karena cukup
makmur, tidak memiliki daun kelapa di atap rumah mereka yang
terbuat dari genteng dan seng. Namun rumah keluarga Babanona
ditutupi anyaman daun kelapa seperti yang kami lihat sendiri. Lalu
Babanona, menurut putranya, R.M. Romanis, adalah penganyam daun
kelapa yang piawai.

Yang keempat, Disna menunjukkan rasa kepemilikan besar terhadap


barang kepunyaannya. Ia tidak percaya dalam berbagi dan cenderung
lebih banyak mengambil lebih dari yang diberikan oleh orang lain.
Ia mungkin menggerutu jika tak diberi hadiah yang mencukupi. Ia
menaruh uang yang ia terima dalam kotak untuk tujuan itu. Sifat ini
sesuai dengan kepelitan menonjol Babanona. (Kesepakatan para saksi
adalah Babanona tidak terlalu posesif, kecuali soal uang). Babanona
cenderung menumpuk dan menyembunyikan uangnya, diperkirakan
untuk menghindar dimintai pinjaman uang dari orang yang tak
pernah membayarnya kembali. Kami telah menyebutkan satu
tempat penyimpanan uang Babanona. Saat keluarga itu menemukan
uang ini mereka menduga Babanona telah menyembunyikannya.
Penyimpanan dan penyembunyian uang bukan hal aneh bagi orang
lanjut usia di Sri Lanka, yang sering merasa tidak aman dibanding
orang muda yang tinggal bersama mereka. Namun rasa kepemilikan
Disna pada usia awal adalah sifat yang dianggap orangtuanya tidak
biasanya di antara anak-anak.

Sifat kelima Disna yang selaras dengan Babanona adalah


kebiasaannya mengikat simpul di sari ibunya kapan pun ia bisa.

225
KELAHI RAN UL ANG

(Disna sendiri masih mengenakan baju pendek, bukan sari).


Babanona punya kebiasaan mengikat simpul di sarinya dan
menyimpan sebagian uangnya di sana.

Kesamaan lainnya antara Disna dan Babanona adalah perhatian


keduanya terhadap kebersihan. Babanona sangat pembersih dan
mandi rutin dan lama pada waktu yang sama setiap pagi. Disna
menyolok dibanding saudara-saudaranya dalam kepeduliannya akan
kebersihan dan memiliki kesukaan mandi pada pagi hari.

Dalam dua hal perilaku Disna yang dilaporkan berbeda dengan


Babanona. Babanona memiliki ketakutan besar terhadap perampok
dan biasanya sangat peduli memastikan semua pintu rumah terkunci.
Disna tidak menunjukkan kekhawatiran seperti itu. Babanona
sangat menyukai susu, namun Disna memilih hanya menyukainya
dengan biasa.

Disna menunjukkan rasa malu yang nyata mengenai peristiwa


pernikahan yang ia alami saat menjadi Babanona. Babanona
menikahi orang dari kasta lebih rendah dan dari “daerah rendah”.
Selama penyelidikan tahun 1968, Disna tidak mau membicarakan
perkawinannya di hadapan ayahnya atau kelompok yang berkumpul
di toko ayahnya selama wawancara kami di sana. Ia bersikeras
membawa ibunya dan penerjemah kami ke kamar belakang di
mana ia membeberkan kepada mereka bahwa ia menikah di luar
restu orangtuanya. Kebetulan, Babanona sendiri tidak merestui
pernikahan putranya ke perempuan berkulit gelap. Setelah putranya
R.M. Gardias menikah di luar restu ibunya (Babanona), ia tidak
mengunjungi putranya dan menantunya selama setahun, perbuatan
yang pasti memberi sumbangsih terhadap masalah “menantu” yang

226
KELAHI RAN UL ANG

menggelapkan bulan-bulan terakhir hidupnya. Babanona mencela


anak berkulit gelap hasil pernikahan ini, cucunya sendiri, dan tidak
mau menggendong mereka. Disna, saat mengingat cucu Babanona
ini, menyatakan mereka menjijikkan karena kulit gelap mereka dan
mengatakan ia ingat bahwa ia tidak mau menggendong mereka di
pelukannya.

Dalam menceritakan ingatan kehidupan lampau yang ia yakin telah


dijalaninya, Disna tidak mengeluh berada dalam tubuh kecil seperti
beberapa anak dalam kasus yang kami teliti. Akan tetapi, ia merujuk
pada peristiwa yang terjadi “saat saya adalah perempuan tua”, jelas-
jelas mengalami perasaan citra tubuh yang sesuai dengan perempuan
tua. Kita juga bisa melihat bahwa ingatan jelas mengenai penyakit
perempuan tua dalam komentar Disna mengenai kehilangan giginya
dan menggunakan tongkat untuk berjalan. Disna mengatakan bahwa
tanpa tongkat berjalan ia akan jatuh. Ia pun merujuk sejumlah peristiwa
mengenakan baju yang “panjang sampai ke pergelangannya”, yaitu
jaket lengan panjang yang umumnya dipakai perempuan lanjut usia
seperti Babanona, namun tidak dipakai gadis kecil.

Peluruhan bertahap ingatan yang jelas saat anak bertumbuh besar


merupakan hukum kasus seperti ini. Biasanya anak itu pada awalnya
berhenti bicara secara spontan mengenai kehidupan lampau, namun
masih akan membicarakannya jika ditanya. Kemudian, si anak mungkin
lupa segalanya atau nyaris segalanya. Segelintir anak tampaknya
mempertahankan ingatannya dengan utuh sampai dewasa. Pada
tahun 1968, ibu Disna memberi tahu kami bahwa Disna telah berhenti
bicara spontan mengenai kehidupan lampau, namun ingatannya
masih cukup jelas. Disna masih menanggapi, kadang dengan penuh
perasaan, saat ditanya atau digoda mengenai kehidupan lampau yang
telah kita bahas.
227
KELAHI RAN UL ANG

Pembahasan

Di tempat lain, salah seorang dari kami telah menerbitkan pembahasan


panjang mengenai hipotesis utama yang harus dipertimbangkan
saat menghadapi kasus jenis kelahiran ulang ini. Karena itu, kami
akan merangkum singkat beberapa pokok utama yang harus
dipertimbangkan sehubungan dengan kasus ini.

Sebelum mempertimbangkan hipotesis tandingan utama, kami


pertama-tama akan mengomentari pembobotan berbeda yang
kami sematkan ke tiga jenis bukti utama yang menyiratkan adanya
proses adikodrati pada Disna dan subjek lain dalam kasus serupa.
Pembobotan itu meliputi: a) pernyataan mengenai kehidupan lampau
yang bersumber dari anak itu; b) pengenalan orang, tempat, dan objek
anak itu yang dilaporkan; c) perilaku anak itu yang dilaporkan selaras
dengan kepribadian kehidupan lampaunya.

Dari ketiga jenis bukti ini, kami memberikan pembobotan penting


paling kecil pada pengenalan. Dalam kasus jenis ini, uji pengenalan
jarang sekali dilakukan oleh orang-orang bersangkutan dengan
sejenis kontrol yang biasa dilakukan ilmuwan. Biasanya ada banyak
kesempatan untuk (mungkin secara tak disadari) memberikan
informasi atau petunjuk kepada anak itu. Pengenalan juga terjadi
dengan cepat dan biasanya langsung ditanggapi sebagai ya atau tidak
oleh penonton. Sebagian saksi mungkin tidak mendengar atau salah
mendengar apa yang anak itu katakan dan ini mungkin menyebabkan
lebih banyak ketakcocokan dalam kesaksian mengenai pengenalan
daripada pernyataan anak itu pada kesempatan lainnya.

Terlepas dari semua kelemahan dari laporan pengenalan ini, kami

228
KELAHI RAN UL ANG

tidak tergesa-gesa meremehkan semua laporan pengenalan oleh anak-


anak seperti Disna, terutama dalam kasus anak itu dilaporkan secara
spontan menunjuk ke orang atau objek dan mengenalinya sebelum
ada orang lain yang hadir di sana yang menarik perhatiannya ke objek
atau orang yang diidentifikasi. Disna tampaknya membuat sejumlah
pengenalan spontan seperti ini.

Kami juga tidak menempatkan pembobotan besar ke laporan


kepribadian Disna yang cocok secara khusus ke perilaku Babanona.
Namun kepribadian oleh anak memiliki kepentingan ini, bahwa
anak itu dengan nyata berperilaku, jika kita memberi kepercayaan
kepada orangtuanya, seolah ada campuran kuat dalam kepribadian
anak itu dengan kepribadian lain. Singkatnya, anak itu dicirikan dari
perilakunya dibanding orang lain dalam keluarga itu dan bertindak
dengan cara yang tidak lazim bagi anak biasa, namun dalam banyak
aspek lazim untuk orang yang jauh lebih tua, siapa pun itu. Dan
perilaku tidak biasa ini harus dijelaskan, atau diulas, oleh siapa pun
yang berusaha melakukan klarifikasi penuh kasus ini.

Beralih ke hipotesis lainnya yang dipertimbangkan dan, jika mungkin,


disisihkan, kami mengambil kemungkinan adanya penipuan terlebih
dahulu. Kami telah mendengar kasus-kasus kelahiran ulang palsu,
meski kami belum memiliki kesempatan mempelajari satu kasus
yang menurut kami palsu. Dalam kasus ini, penipuan tampaknya
sangat tidak mungkin. Kami tak menemukan bukti apa pun itu,
dengan perkecualian minor, bahwa ada fakta yang disembunyikan
atau laporan mereka diubah dengan disengaja. Tidak pula kami
mengetahui motif apa pun untuk pemalsuan dari pihak Disna atau
keluarganya. Kehidupan lampau yang diklaim Disna pastilah orang
dari strata sosial dan ekonomi lebih rendah dari keluarganya. Rumah

229
KELAHI RAN UL ANG

itu, yang sebenarnya hanya gubuk, di Wettewa jauh lebih buruk dari
rumah Samarasinghe. Kebetulan pula, kasus ini adalah perkecualian
bagi sebagian besar kasus di Sri Lanka dan India di mana subjeknya
mengingat kehidupan lampau dari kasta yang lebih tinggi.

Sebagai penjelasan, yang lebih mungkin dari penipuan adalah


hipotesis yang menduga Disna entah bagaimana mengetahui
kehidupan Babanona dari teman atau sanak yang mengunjungi
rumahnya dan menceritakan peristiwa kehidupan Babanona yang
didengar Disna. Disna sendiri pasti tidak akan bisa pergi ke Wettewa
sebelum ia mulai membicarakan kehidupan lampaunya. Ia pasti harus
mendengar mengenai ini dari pengunjung. Namun pengunjung itu
harus dilengkapi dengan sejumlah besar bahan terperinci kehidupan
Babanona. Ia harus mampu mengetahui perihal urusan keluarga
yang intim seperti keberadaan bukit sarang semut di dekat kuburan
Babanona, uang yang disembunyikan Babanona di perapian dalam
rumah Medagoda, penggunaan pintu samping Babanona di rumah
Wettewa, dan siapa yang hadir saat Babanona meninggal. Hampir
tidak mungkin ada orang yang bisa memperoleh semua informasi ini
lalu kemudian mengisahkannya di hadapan Disna tanpa orangtuanya
menyadari adanya pengunjung seperti itu dan tanpa setelahnya
mengingat pengunjung itu. Teori cryptomnesia juga tampaknya akan
jadi terlalu banyak yang dilupakan orangtua Disna.

Satu orang yang mengenal Babanona dengan baik dan yang memiliki
hubungan dengan Samarasinghe adalah Bhikkhu Amabanwelle
Somasara, kepala Wihara Wettewa. Namun A.S. Samarasinghe
mengatakan bahwa, sampai sejauh ia bisa ingat, bhikkhu itu tidak
berkunjung ke rumah mereka dari kelahiran Disna sampai waktu
kunjungan pertama Disna ke Wettewa lima tahun kemudian, yang

230
KELAHI RAN UL ANG

saat itu Disna mengenalinya. Tampaknya jelas pula bahwa Disna


belum mengenal bhikkhu itu di tempat lain sebelumnya.

Sekalipun jika kita menduga bahwa Disna entah bagaimana telah


memperoleh semua informasi mengenai kehidupan Babanona secara
normal seperti yang ditunjukkan, kami mesti mempertimbangkan
adanya ciri perilaku yang sangat kuat dalam kasus ini. Karena, seperti
yang telah disebutkan, Disna tak hanya sekadar mengingat rincian
kehidupan Babanona; ia menjadi karakter perempuan lebih tua seperti
Babanona, yaitu dengan cara menunjukkan sifat serupa yang diketahui
bahwa Babanona menunjukkan sifat atau diduga akan menunjukkan
sikap sama. Seperti yang telah disebutkan, sifat-sifat yang ditunjukkan
Disna jelas tidak spesifik bagi Babanona. Mereka bisa ditemukan di
nyonya Buddhis saleh, berusia lanjut, mana pun di Sri Lanka. Namun
perilaku ini tidak biasa bagi anak di usia dan situasi Disna. Singkatnya,
ungkapan dalam perilaku aneh Disna, yang perilaku itu sendiri tidak
disebabkan karena ia sekadar mendengar kisah hidup Babanona
dan yang sesuai dengan sifat Babanona. Juga jika Disna hendak
mengidentikkan dirinya dengan kuat pada sesosok orang dewasa,
orang pasti mengharap ia memilih sosok dalam lintasan kehidupan
sehari-harinya seperti orangtua atau tetangga yang lebih tua.

Satu hipotesis yang mungkin adalah menduga bahwa Disna


memperoleh informasi yang benar mengenai Babanona melalui
pencerapan adikodrati dan kemudian menggunakan informasi ini
untuk membuat kepribadian sekunder yang memiliki ciri perilaku
Babanona. Akan tetapi, ada beberapa rintangan penting bagi teori
ini. Pertama, orangtua Disna sama sekali tidak mengamati adanya
bukti Disna memiliki kemampuan pencerapan adikodrati selain
pengetahuan akan kehidupan Babanona jika itu diperoleh dari

231
KELAHI RAN UL ANG

kekuatan adikodrati. (Dalam sejumlah kecil kasus jenis ini, orangtua


mengamati adanya sedikit bukti pencerapan adikodrati dalam anak-
anak kasus ini. Apakah sedikit jumlah pencerapan adikodrati yang bisa
diwujudkan segelintir anak ini memang memengaruhi rincian kasus
kelahiran ulang yang mereka alami adalah pertanyaan lain). Yang
kedua, jika Disna memperoleh pengetahuannya melalui kekuatan
adikodrati, ia pasti melakukannya dengan cara selektif, memilih
pengetahuan yang hanya terkait dengan kehidupan Babanona dan
melenyapkan atau tidak mengungkapkan pengetahuan lainnya yang
diperoleh dengan cara ini. Yang terakhir, kita semestinya bertanya
aapa motif Disna sehingga mengidentikkan dirinya dengan kehidupan
yang, menurut Disna, tidak bahagia yang katanya tidak suka ia
ingat kembali. Apakah harus diduga bahwa secara bawah-sadar ia
menikmati gagasan kehidupan lampau sebagai perempuan sakit-
sakitan lanjut usia ditindas putranya, sambil secara sadar bersikeras
bahwa ia menemukan ingatan itu memuakkan?

Jika kita menyingkirkan hipotesis sebelumnya tadi, kita sampai ke


hipotesis lainnya yang memperkirakan sejenis keberlangsungan
kepribadian manusia setelah kematian. Dua hipotesis paling umum
dari keberlangsungan ini adalah perasukan dan kelahiran ulang.
Teori perasukan menduga bahwa Babanona mendiang, terus hidup
sebagai kepribadian yang tak mewujud, dengan satu atau lain cara
memengaruhi Disna dan memaparkan ingatan dan perilakunya
kepada Disna supaya Disna menyatakan bahwa ia adalah Babanona
yang terlahir ulang. Teori kelahiran ulang sekadar menduga bahwa
kepribadian Disna dengan satu atau lain cara adalah kelanjutan
kepribadian Babanona, yang selang suatu kurun waktu, terlahir
ulang dalam tubuh fisik baru dan diberi nama Disna. Pembedaan
jelas antara perasukan dan kelahiran ulang sebagai hipotesis bagi

232
KELAHI RAN UL ANG

kasus yang diduga kelahiran ulang tidak bisa dilakukan dalam kasus
Disna. Kelahiran ulang dalam banyak aspek merupakan penjelasan
paling sederhana untuk kasus ini. Hipotesis ini melibatkan penjelasan
yang lebih tidak rumit daripada gabungan pencirian adikodrati dan
kepribadian kedua. Namun itu bukanlah penjelasan paling masuk
akal bagi rata-rata orang Barat yang tak terbiasa mempertimbangkan
gagasan keberlangsungan kepribadian manusia setelah kematian
itu bisa disokong bukti empiris. Bagaimana pun, bukanlah tujuan
kami untuk mendesakkan penafsiran kami sendiri terhadap kasus
ini, namun menghadirkannya agar menarik perhatian ke potensi
pentingnya kasus seperti ini dan perlunya studi lebih lanjut terhadap
kasus-kasus ini.

KASUS SERSAN THIANG SAN KIA DI THAILAND

Sersan angkatan bersenjata Thai itu bertubuh kecil, kurus, dengan


ciri tubuh tegap dan tidak ada yang luar biasa mengenai dirinya selain
tanda lahir cacat besar, tonjolan pembuluh darah yang menyebar dari
atas telinga kirinya sampai ke pangkal tengkoraknya. Itu adalah tanda
lahir berwarna merah tua, kulit mengeriput, tempat tidak ada rambut
yang tumbuh, dan kelihatan seperti darah yang menggumpal.

Saya bertemu dengannya di Kamp Militer di Surin, Thailand Tengah,


tahun 1963, saat saya menyelidiki kasus seorang bhikkhu yang konon
ingat kehidupan lampaunya. Sersan itu, Thiang San Kia, dikirim
menghadap saya oleh komandan kompinya, Kapten Nit Vallasiri,
sebagai contoh lain orang yang ingat kehidupan lampaunya.

233
KELAHI RAN UL ANG

Kasus orang yang meyakini bahwa mereka ingat pernah hidup


sebelumnya bukannya tidak dikenal di Barat, namun di Timur kasus
ini lebih umum. Ini bisa diharapkan, karena biasanya kita mengingat
dengan mudah hal-hal yang terkondisi kita ingat, dan pengaruh
Buddhisme dan Hinduisme menciptakan lingkungan yang memadai
untuk jenis ingatan seperti ini. Dalam masyarakat Barat, anak-anak
yang menciptakan dunia khayalan biasanya tidak didukung sedari
awal. Namun di Asia, ciptaan batin anak dipandang serius sebagai
kemungkinan ingatan kehidupan lampau, terutama jika ingatan
itu memuat materi di luar jangkauan pengetahuan biasa anak itu.
Akhir-akhir ini beberapa pernyataan seperti itu telah diselidiki oleh
parapsikolog Barat.

Selama delapan belas tahun terakhir, yang telah saya lewatkan di


berbagai negara Asia, saya telah menemui sejumlah kasus spontan
seperti ini, terutama di India, Myanmar, Thailand, dan Sri Lanka.
Kasus-kasus ini bagi saya tampaknya layak mendapatkan penyelidikan
metodik, namun hanya baru-baru ini, berkat dukungan keuangan dari
Dana Riset Para psikologi dari Universitas Virginia, saya baru mampu
membuat penyelidikan kasus-kasus ini secara terperinci dan langsung
di tempat.

Kasus Sersan Thiang termasuk kategori paling menarik, yang di


dalamnya tanda lahir atau kecacatan sewaktu lahir berhubungan
dengan luka yang diingat pernah diderita dalam kehidupan lampau.
Singkatnya, inilah kisahnya.

Lahir Oktober 1924, di Desa Ru Sai, Provinsi Surin, Sersan Thiang


memiliki tanda lahir menyerupai tato di kedua tangan dan kakinya,
selain tanda lahir di kepalanya. Juga, jempol kaki kanannya agak aneh
bentuknya, dengan kukunya tebal dan kulitnya terlipat-lipat seperti
bekas luka.
234
KELAHI RAN UL ANG

Pada usia empat tahun ia memberi tahu orangtuanya, dalam ucapan


kanak-kanak dan putus-putus bahwa ia adalah saudara kandung
ayahnya yang terlahir ulang, dan ia ingat dengan sempurna kehidupan
dan kematian lampaunya. Ia bersikeras bahwa nama sebenarnya
adalah “Tuan Phoh”, dan marah saat orang memanggilnya sebagai
“A-pong” (bayi). Phoh dahulu adalah nama saudara kandung ayahnya,
yang meninggal pada Juli 1924, tiga bulan sebelum kelahiran Thiang.
Begitu ia bisa bicara, Thiang mengisahkan kepada orangtuanya semua
peristiwa paling pokok dalam kehidupan Phoh. Ia telah keliru disangka
mencuri ternak dan disergap penduduk desa. Salah satu dari mereka
melempar pisau dari jarak dekat dan menembus tengkoraknya,
menyebabkan kematian nyaris seketika. Tempat tusukan itu adalah
lokasi persis tonjolan pembuluh darah Thiang dan posisi itu terkait
dengan gerakan menurun pisau yang menembus.

Beberapa bulan sebelum kematiannya, Phoh telah menderita luka


bernanah di jempol kaki kanannya, dan ia memiliki tato simbol magis
“pelindung” (yang diyakini memberinya kebal senjata) di kedua
tangan dan kaki, di tempat yang sama seperti tanda kelahiran yang
kini tampak di tangan dan kaki Thiang.

Thiang ingat melihat tubuhnya sendiri terbaring di tanah, dan ingin


kembali ke tubuh itu. Namun tubuh itu dikelilingi orang, dan ia takut
untuk mendekat. Ia melihat darah keluar dari luka itu. Penjabarannya
mengenai bagian dari pengalaman setelah ajal ini serupa dengan
kisah yang diberikan orang-orang yang mengalami pengalaman
“keluar dari tubuh” di bawah pengaruh obat bius atau tahap kritis
suatu penyakit.

Dalam wujudnya yang terlepas dari tubuh, ia kemudian mengunjungi


semua kerabat dan sahabat, namun sedih karena mereka tidak bisa

235
KELAHI RAN UL ANG

melihatnya. Dengan rasa sayang ia memikirkan saudara kandungnya,


dan ingin bersama dengannya. Seketika ia mendapati dirinya ada di
rumah saudara kandungnya.

Di sana, ia merasa entah bagaimana tertarik pada istri saudara


kandungnya yang sedang sarapan. Ia sedang hamil, dan dalam kata-
kata Thiang sendiri, ia merasa tak tahan terpicu memasuki tubuhnya.
Selama bulan-bulan kandungan berikutnya, ia mempertahankan
kesadarannya, kadang ia sadar berada di luar tubuhnya. Kemudian saat
ia menceritakan hal ini kepada ibunya, ibunya ingat bahwa sebelum
kelahiran Phoh ia mengalami mimpi di mana saudara kandung
suaminya, Phoh, mendatanginya dan berkata ia ingin terlahir ulang
sebagai anaknya.

Ayah Thiang meninggal sekitar dua bulan setelah anak itu


mulai bicara, namun ayahnya sudah cukup mendengar untuk
meyakinkannya bahwa anak kecil itu memang saudara kandungnya
yang kembali dari kubur. Tidak hanya ia menceritakan peristiwa
kehidupan Phoh yang mereka ketahui, namun juga hal-hal yang
mereka tidak tahu tetapi sudah bisa mereka pastikan dari orang lain.
Ia tahu nama semua anggota kedua keluarga, dan mampu mengenali
dan mengidentifikasi kawan-kawan mendiang Phoh.

Saat Thiang berusia lima belas, ibu Thiang meninggal. Ia kemudian


diasuh pamannya, yang menyuruhnya tidak membicarakan mengenai
kehidupan lampaunya. Ketika bocah itu tidak patuh, pamannya
menghukumnya dan mengakibatkan luka bakar di dadanya. Membuka
bajunya, Sersan Thiang menunjukkan dua bekas luka bakar tersebut.

Mendiang Phoh, yang berusia empat puluh tahun saat ia dibunuh,


memiliki istri bernama Pai, yang meninggal tahun 1962 pada usia 76

236
KELAHI RAN UL ANG

tahun. Saat Thiang berusia lima tahun, ia datang dari rumahnya di


Desa Ar Vud, tempat Phoh dahulu hidup dan menemui kematiannya,
untuk mencari tahu apakah benar kisah mengenai Thiang adalah
suaminya yang terlahir ulang. Ia membawa beberapa barang milik
mendiang suaminya, dicampur barang lain. Thiang dengan mudah
mengenali barang miliknya saat ia dahulu Phoh; ia juga membuktikan
identitasnya dengan menceritakan mengenai hal-hal akrab dalam
kehidupan keluarga mereka. Saat Pai yakin bahwa suaminya sungguh
terlahir ulang, ia menjadi biarawati Buddhis. Ia merasa bahwa karena
ia bukan perempuan yang menikah, namun tidak bisa menganggap
dirinya janda, ia tidak punya pilihan lain. Thiang menunjukkan
kepada saya foto Pai dalam jubah biarawati yang jelas-jelas ia sayangi.

Dua saksi kisah ini, yang dikenal di seluruh wilayah itu, datang bersama
Sersan Thiang menjumpai saya. Yang pertama adalah Sersan Manoon
Rungreung, dari divisi angkatan bersenjata yang sama. Ia mengatakan
bahwa ia mengenal kisah Phoh ini dan kelahiran ulangnya sejak
kanak-kanak, dan yakin akan kebenarannya. Secara fisik tidak ada
kesamaan antara Phoh dan Thiang, katanya; Phoh itu “tinggi, gagah,
dan tampan”, sedangkan Thiang sebaliknya.

Saksi kedua adalah pria berusia 72 tahun, Nai Pramaun, dari Kantor
Balai Kota Surin. Ia sebelumnya adalah Asisten Pejabat Distrik, dan
berusia muda saat pembunuhan Phoh. Ia mengenal mendiang Phoh,
dan mengenal Thiang sejak kecil. Ia memberi tahu saya bahwa Phoh
sebenarnya adalah pencuri ternak dan orang yang bersifat buruk
pada masa hidupnya. Nai Pramaun telah menyelidiki kasus pencurian
ternak dan pembunuhan ini selama tugasnya. Saat mendengar kabar
burung mengenai kelahiran ulang Phoh, ia pergi menemui anak itu
saat berusia empat atau lima tahunan. Thiang mengenalinya dan
memanggil dengan namanya. Ia juga telah mengatakan dengan

237
KELAHI RAN UL ANG

benar semua nama orang yang terkait urusan itu. Nai Pramaun telah
memeriksa tanda lahir dan menemukan bahwa tanda lahir itu sesuai
dengan luka kematian Phoh dan tanda lain di tubuhnya. Ia menemukan
pula bahwa Thiang ingat orang yang telah membunuhnya, penduduk
desa bernama Chang, yang meninggal saat ia masih kanak-kanak.
Nai Pramaun memastikan semua bukti lain kasus ini seperti yang
diceritakan Thiang. Ia menambahkan bahwa kisah ini dikenal di
seluruh daerah itu dan tak seorang pun meragukannya.

Yang menarik dari orang ini adalah dia sungguh menghancurkan


upaya Thiang yang malang untuk membuktikan bahwa kepribadian
lampaunya tidak bersalah, yang menurut versinya ia “keliru dituduh”
mencuri ternak. Nai Pramaun, walau usianya lanjut, tampak bugar dan
sigap, dengan ingatan tajam. Ia menyampaikan bukti dengan yakin,
menjawab langsung semua pertanyaan saya. Ia jelas adalah jenis
pegawai provinsi zaman dahulu yang bagus, orang yang sepenuhnya
andal dan terbiasa dengan tanggung jawab.

Sehari setelah wawancara saya dengan Sersan Thiang, saya mendapat


kunjungan dari Kapten Nit Vallasiri, Komandan Kompi C dari Kamp
Militer Surin. Ia datang sukarela memberi informasi lebih lanjut
dan ingin tahu pendapat saya mengenai kasus itu. Ia mengatakan
bahwa ia sudah lama tahu kisah kehidupan lampau Sersan Thiang
dan memastikan segala sesuatu yang sudah diceritakan kepada saya.
Ia menambahkan bahwa beberapa tahun yang lalu, Sersan Thiang
telah mengklaim kepemilikan tanah bersebelahan dengan kamp
militer, dengan alasan tanah itu dahulu miliknya pada kehidupan
lampau sebagai Phoh. Ia hanya melepas klaim kepemilikan itu setelah
diyakinkan bahwa tidak ada pengadilan yang mau membelanya.
Kejadian ini membuat Thiang mendapat julukan “tuan tanah” yang
membuatnya dikenal setiap orang. Tampaknya ia telah mengenali

238
KELAHI RAN UL ANG

lahan itu sebagai miliknya saat ia dahulu adalah Phoh, tanpa diberitahu
fakta ini, dan dalam menyatakan kepemilikan, ia telah memberi tahu
situasi bagaimana tepatnya Phoh memperoleh tanah itu.

Ditanya mengenai sifat dan kecerdasan Thiang, Kapten Nit Vallasiri


mengatakan bahwa ia adalah prajurit yang baik, emosinya stabil, dan
menunjukkan tingkat kecerdasan tinggi dalam ujian keprajuritan.
Ambisi dan tekadnya adalah berhenti dari Pasukan Kerajaan Thai dan
mengambil jabatan lurah di desanya.

Saya menyelidiki kasus ini pada 22-24 Januari 1963, di Changwad


Surin, dan penerjemah saya adalah Dr. Thavil Soon Tharaksa, Pejabat
Kesehatan Provinsi di Distrik Surin. Dua pekerja Peace Corps warga
Amerika yang saat itu ditempatkan di daerah itu hadir selama
wawancara ini atas undangan saya. Pasangan muda yang sangat
menyenangkan ini kemudian mengaku bahwa Thailand telah memberi
mereka pengalaman yang baru dan sama sekali tak disangka.

Berpindahnya pertanda fisik dari satu tubuh ke tubuh lain dalam


proses kelahiran ulang—atau alih-alih pembentukan ulang pertanda
itu di tubuh baru—adalah ciri berulang dalam banyak kasus ini.
Saya rasa, ini bisa dijelaskan, hanya dengan mengasumsikan
adanya interaksi badan-batin yang terbawa oleh kesan batin kuat
selama kehidupan lampau atau pada saat kematian. Tampaknya itu
termasuk dalam tataran hubungan badan-batin yang sama sehingga
bisa membuat bekas luka muncul di tangan orang yang terhipnosis,
yang diberitahu ia akan terbakar lalu disentuh dengan benda dingin.
Sehingga, selain pertanyaan mengenai keberlangsungan setelah
kematian, studi ilmiah mengenai kasus orang yang menyatakan
telah mengingat kehidupan lampau menyiratkan kemungkinan besar
bahwa dengan cara ini kita mungkin bisa lebih menerangi tema yang

239
KELAHI RAN UL ANG

sangat penting dalam menyembuhkan penyakit—hubungan antara


aspek badan dengan batin dalam suatu kepribadian.

METAMORFOSIS SEORANG IBU

Kasus Win Win Nyunt

Profesor Ian Stevenson dari Departemen Neurologi dan Psikiatri


Universitas Virginia telah mengumpulkan sampai 600 kasus yang
merujuk adanya kelahiran ulang dari berbagai bagian dunia.
Distribusi geografis kasus ini, berjarak dari Afrika Utara sampai
Alaska, menunjukkan bahwa kasus ini terjadi di antara orang dari
berbagai latar budaya berbeda dan bahkan dalam adat istiadat
tempat agama tidak mendukung keyakinan akan kelahiran ulang.
Studi perbandingan kasus-kasus ini mengungkap bahwa mereka
memiliki sifat tertentu yang sama yang tampaknya terbebas dari
faktor pengondisian dalam lingkungan batin subjeknya. Suatu
kasus yang dicurigai sebagai kelahiran ulang biasanya dianggap
sebagai kemurtadan ketika terkuak dalam komunitas berakarnya
kepercayaan agama ortodoks yang menentang keimanan. Tentu saja,
tidaklah mungkin mengukur berapa banyak kasus yang dipendam
karena alasan ini.

Dalam kasus Asia yang telah saya pelajari secara pribadi, pengaruh
hambatan sosial tidak berperan besar. Kadang ada kerumitan keluarga
yang menghalangi penelitian lebih lanjut serta uji terkontrol kasus
ini. Orangtua anak, yang mengaku ingat kehidupan lampau dan telah
mengenali orang-orang tertentu yang masih hidup sebagai ayah dan
ibu lampaunya, biasanya ingin melepas ikatan anak itu dengan orang-

240
KELAHI RAN UL ANG

orang yang diklaim sebagai ayah dan ibunya alih-alih mendukungnya


dengan mendukung ingatannya. Dalam beberapa kasus yang saya
ketahui, orangtuanya yang sekarang menunjukkan ketakutan nyata
bahwa keluarga dari kehidupan lampaunya akan mengasingkan kasih
sayang anaknya dan bahkan berupaya mengambilnya dari mereka. Hal
ini, selain membuat penelitian jadi lebih sulit, juga merupakan bukti
kuat keaslian atau setidaknya keapa-adaan orang-orang yang terlibat.

Suatu survei umum tampaknya menunjukkan bahwa kelahiran ulang


cenderung terjadi di daerah dan kelompok sosial yang sama, sering
dalam keluarga yang sama, seperti pada kehidupan lampau. Ini adalah
salah satu sifat umum yang saya simpulkan dan mudah dipahami
berlandaskan kemelekatan dan tarikan emosi. Ini sebenarnya tepat
seperti yang diharapkan. Prinsip ini bisa digambarkan dengan baik
dalam kasus gadis kecil, Win Win Nyunt, yang menarik perhatian saya
di Myanmar beberapa tahun yang lalu.

Ayah Win Win Nyunt, U Khin Nyunt adalah Administrator Militer


dan Pejabat Sub-Divisi Pyunmana, Myanmar Atas, tahun 1948, saat
pemberontak Komunis mengganggu wilayah itu. Ketika pasukan
pemberontak lainnya, suku Karen mengusir mereka, U Khin Nyunt dan
istrinya Daw Mu Mu ditangkap dan dikirim ke Thandaung di Distrik
Toungoo. Ibu U Khin Nyunt, saat itu berusia 67, berada di Rangoon dan
semua komunikasi di antara mereka terputus. Suatu malam, U Khin
Nyunt bermimpi bahwa ibunya sakit dan hendak menemui dirinya. Ia
kemudian bermimpi ia berada di sisi pembaringan ibunya dan ibunya
berusaha memberitahunya sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Selagi mereka masih di Thandaung, istri U Khin Nyunt mengandung


dan pada waktu yang sama ia mengalami mimpi lain yang di dalamnya
ia melihat ibunya terbaring wafat. Ibunya mengenakan pakaian

241
KELAHI RAN UL ANG

lengkap, seolah untuk kremasi, sesuai dengan tradisi Myanmar.


Mimpi itu begitu nyata sehingga ia mampu mengingat dengan persis
pakaian apa yang ibunya kenakan. Lalu kemudian istrinya mendapat
mimpi yang di dalamnya ia melihat ibu suaminya mengatakan bahwa
ia akan datang tinggal bersama mereka. Dalam mimpi Daw Mu Mu, ibu
itu naik ke ranjang dan berbaring di antara U Khin Nyunt dan istrinya.
Mimpi itu terjadi pada awal kehamilan Daw Mu Mu dan sesungguhnya
hanya setelah mimpi itu ia menyadari bahwa ia mengandung. Mereka
telah menikah selama enam tahun namun tidak menginginkan anak
apa pun karena situasi mereka yang sulit dan berbahaya.

Pada waktunya anak itu terlahir; anak itu laki-laki dan mereka
menamainya Maung Maung Lay. Selang tiga bulan setelah
kelahirannya, U Khin Nyunt mendapat mimpi lain yang sangat
mengerikan. Ia bermimpi putranya meninggal dan jantung, hati, serta
organ lainnya berceceran di sekitar suatu kotak kaca.

Segera setelah mimpi ini, suatu kesempatan datang bagi mereka


untuk melarikan diri, namun U Khin Nyunt harus mengambil rute
lain dari yang diambil istri dan bayinya. Saat sampai di Rangoon ia
mengetahui ibunya telah meninggal. Selama beberapa waktu sebelum
kematiannya, ibunya menangis dan memohon kedatangannya. Saat
menerima berita itu, ia menceritakan mimpi soal ibunya kepada sanak
saudaranya dan mimpi terakhir ternyata bertepatan dengan tanggal
wafat ibunya. Tatkala ia menjabarkan pakaian yang ia lihat ibunya
kenakan dalam mimpinya, ia diberitahu bahwa itu persis pakaian
yang digunakan jasad itu untuk kremasi. Itu adalah pakaian baru yang
belum pernah ia lihat ibunya kenakan semasa hidup.

Di Rangoon, U Khin Nyunt bergabung kembali dengan istri dan


anaknya, namun setelah itu kesehatan bayinya mulai membuat

242
KELAHI RAN UL ANG

mereka cemas. Walau sudah memperoleh nasihat medis terbaik yang


ada, kondisi bayinya tidak membaik. Dalam situasi sulit ini, mertua U
Khin Nyunt menasihati mereka untuk membawa bayi itu menemui
bhikkhu di Gyogon, menemui mendiang Yagyaw Sayadaw yang
dikenal sebagai cenayang. Ini mereka lakukan. Begitu bhikkhu sepuh
itu melihat sang bayi, ia berkata, “Putramu cuma tamu di sini.”

U Khin Nyunt merasa sangat terusik oleh kata-kata ini dan bahkan
marah mendengar ramalan kematian yang tersirat. Menolak bicara
kepada Sayadaw, ia langsung pergi. Di Myanmar, bhikkhu diberi
penghormatan tertinggi dan perilakunya terhadap bhikkhu itu
menunjukkan betapa berdukanya U Khin Nyunt.

Pada bulan April 1953, bocah yang saat itu berumur lima tahun,
sakit parah dengan gejala yang didiagnosis sebagai anemia akut.
Tepat sebelum ini, ayahnya mengalami mimpi lain yang mana sosok
mengerikan berpakaian hitam berusaha menarik putranya dari
dirinya. Dengan susah payah ia melawan, namun ia bangun dengan
sangat resah. Ia tidak bisa mengusir perasaan stres yang tersisa dari
mimpi buruk itu. Itu terasa seperti penampakan jelas saat bangun dari
pengalaman mimpi.

Anak itu dibawa ke dokter spesialis WHO (Badan Kesehatan Dunia),


yang setelah pemeriksaan saksama, mengirim sampel darahnya ke
Amerika untuk dilaporkan. Saat muncul, diagnosis menyatakan bahwa
itu leukemia—kanker darah yang saat itu tidak ada penyembuhnya.

Peristiwa ini diikuti mimpi lain yang sangat jelas dan realistik. U Khin
Nyunt dan istrinya bermimpi mereka melihat ibunya meninggalkan
ruangan dan turun tangga. Ia berpakaian seperti dalam mimpi
kematiannya dan tidak melihat atau bicara kepada mereka. Masih

243
KELAHI RAN UL ANG

dalam mimpi, U Khin Nyunt berpaling ke istrinya dan berkata, “Lihat


ibuku! Ia bahkan tidak bicara kepada kita!”

Dua bulan setelah itu, Maung Maung Lay meninggal.

Selama sakit terakhirnya, bocah kecil itu mengotot ingin bertahan


hidup. Ia berulang kali berkata, “Tidak bisakah menolongku? Tidak
bisakah kalian menolongku dari kematian?”Sekitar setengah jam
sebelum meninggal ia memandang orangtuanya dan menjerit, “Aku
akan kembali!”

Setelah kehilangan ini, kedua orangtuanya merasa sangat berduka.


Mereka sangat penasaran mengenai mimpi dan kata-kata terakhir
anak yang sekarat itu. Apa hubungan antara ibu U Khin Nyunt dengan
putra kecil yang telah meninggalkan mereka dengan begitu tragis?
Apa makna kata-kata terakhir yang diucapkan dengan seluruh
kekuatannya yang tersisa itu? Apakah ia benar-benar akan kembali ke
mereka lagi? Dalam upaya menuntaskan keraguan mereka, saudarinya
membawa mereka berkonsultasi dengan peramal terkenal di Henzada.
Peramal itu mengatakan, “Anakmu akan kembali kepadamu setelah
tiga tahun, tetapi sebagai putri, bukan putra.”

Benar saja, tiga tahun kemudian, Daw Mu Mu mengandung lagi. Ia


bermimpi melihat putra kecilnya kembali. Pada saat yang sama, salah
satu pelayan mereka, yang tidak tahu majikannya sedang mengandung,
juga bermimpi ia melihat bocah kecil itu masuk ke dalam rumah,
mengenakan baju yang ia pakai saat ia meninggal. Ketika pelayan itu
menanyainya ia mau ke mana, bocah itu menjawab ia mau pulang ke
rumah. Ia menceritakan mimpi ini ke tuan dan nyonyanya, namun
mereka tidak memberitahunya mengenai kehamilan itu.

244
KELAHI RAN UL ANG

Pada 22 Maret 1957, seorang gadis terlahir yang mereka beri nama
Win Win Nyunt. Di mata kaki kiri bayi itu ada tanda lahir berbentuk
persegi, yang warnanya lebih pucat dari kulitnya dan kelihatan persis
seperti tanda sisa selotip. Persis di tempat itu Dr. Perabo, spesialis
WHO, melakukan transfusi darah ke anak mereka selama tiga hari
sebelum kematiannya.

U Khin Nyunt mempekerjakan seorang sopir yang sangat menyayangi


bocah itu. Pria ini sangat berduka dengan kematian bocah itu dan
kerap kali ia melewati kuburan ia berseru, “Maung Maung Lay—
kembalilah!” Saat gadis kecil itu ditunjukkan ke sang sopir, hal
pertama yang ia lakukan adalah menengkurapkan bayi itu. Kemudian
dengan bersorak menang ia menunjuk noda hitam di bokong bayi itu.
“Ini tanda yang kubikin!” katanya.

Orangtuanya, yang tidak tahu apa yang ia bicarakan, kaget. Ia


kemudian memberi tahu mereka bahwa tepat sebelum Maung Maung
Lay dikubur, ia membuat tanda itu dengan arang di bokong anak yang
meninggal itu. Tanda yang dimiliki gadis itu sama dengan yang ia buat
di tubuh Maung Maung Lay, ujarnya.

Saat gadis kecil Win Win Nyunt bisa bicara dengan kalimat terhubung,
ia menyatakan bahwa ia bukan hanya Maung Maung Lay yang dahulu
namun juga Daw U Shwe, ibu U Khin Nyunt. Dengan menyebut
nama orang yang tidak mungkin ia tahu dalam hidup ini dan
merujuk pada peristiwa kehidupan Daw U Shwe dan Maung Maung
Lay, ia meyakinkan baik U Khin Nyunt dan istrinya bahwa kedua
kepribadian itu sesungguhnya adalah dirinya. Ia kadang lupa diri dan
memanggil ayahnya seolah putranya sendiri. Di Myanmar, seperti
di sebagian besar negara Asia, ada bentuk sapaan yang digunakan
untuk menunjukkan senioritas dan status dalam keluarga, dan ini

245
KELAHI RAN UL ANG

sendiri sudah cukup aneh untuk memancing komentar. Bahkan tanpa


menggunakan kata “ayah”, “ibu”, atau “anak” bisa diketahui apakah
sanak yang dipanggil itu lebih tua atau muda.

Selagi sejarah kehidupan ini diceritakan kepada saya oleh U Khin


Nyunt dan istrinya di rumah mereka yang nyaman di Campbell Road,
Rangoon, Win Win Nyunt hadir di sana. Perbincangan kami dalam
bahasa Inggris, namun kapan pun nama Daw U Shwe disebutkan, gadis
kecil itu akan berseru, “Itu aku!” Seperti sebagian besar anak yang
ingat kehidupan lampaunya, ia tampak seperti anak yang memiliki
pengetahuan di luar kewajaran. Beberapa kali ia mengatakan dalam
bahasa Myanmar sambil tersenyum bahagia, “Daw U Shwe—itu bukan
orang lain, itu aku!”

Di Myanmar ada adat menandai anak yang meninggal atau yang


akan meninggal dengan harapan mereka akan terlahir ulang dalam
keluarga yang sama, dan ia bisa diidentikkan dengan tanda lahir di
tempat yang sama. Praktik ini tercatat oleh H. Fielding Hall dalam
bukunya The Soul of a People dan juga dalam A Burmese Family yang
ditulis oleh pengarang Myanmar baru-baru ini. Dalam sebagian
besar kasus anak yang diyakini telah diidentifikasi dengan cara ini,
pertandanya selalu cocok dengan yang dibuat sebelumnya, sehingga
dikenali orangtuanya. Ini menimbulkan kemungkinan bahwa tanda
itu bisa direka ulang oleh suatu sugesti sebelum lahir yang muncul
dari batin ibunya, yang dengan cara yang belum bisa dijelaskan,
memengaruhi embrio selama masa pembentukannya. Akan tetapi,
tidak ada hal dalam ilmu genetika yang mendukung teori bahwa
gagasan itu bisa memengaruhi anak yang belum lahir seperti ini
dan sesungguhnya sebagian besar ahli genetika akan menyangkal
langsung ini bisa terjadi. Akan tetapi, hipotesis ini telah diajukan
dalam banyak kasus seperti ini. Namun dalam kasus yang saya catat

246
KELAHI RAN UL ANG

di atas, hipotesis ini bisa digugurkan karena tanda di bokong bayi itu
hanya ada satu orang yang mengetahui bahwa jasad Maung Maung
Lay ditandai setelah kematian, yaitu sopir yang melakukannya. Kedua
orangtua tidak menyadari perbuatannya yang dipicu rasa sayangnya
terhadap bocah itu. Ini membuat kasus ini memiliki ciri istimewa,
selain ciri-ciri lainnya yang menakjubkan.

Bisa didebat bahwa hasrat orangtua untuk kembalinya anak yang


sama bersama dengan keyakinan mereka menciptakan suatu
suasana batin yang di dalamnya mereka memproyeksikan keinginan
mereka pada kepribadian anak itu sehingga anak itu “melakoninya”.
Mungkin dalam situasi seperti itu, ini bisa terjadi, namun tidak
akan memperhitungkan pengetahuan anak itu mengenai orang dan
peristiwa yang terkait dengan kepribadian lampau mereka. Dan
bahkan jika hasrat penuh harap orangtua cukup untuk membangun
hubungan fiktif antara bocah Maung Maung Lay dan bayi baru, tidak
ada alasan untuk menyangka mereka cenderung melihat Maung
Maung Lay sebagai kelahiran ulang U Khin Nyunt. Tidak pula teori
ini menjelaskan rangkaian mimpi dalam kasus ini. Jika mimpi
menyangkut Daw U Shwe hanya dialami oleh putranya, maka itu
bisa dianggap sebagai kebetulan; namun ia dan istrinya, berdua,
mengalami mimpi sama dan pada saat mereka tidak memiliki dugaan
bahwa Daw U Shwe sedang menjelang ajal.

Masih ada satu teori yang mungkin: Win Win Nyunt mendapat
informasinya secara telepati dari orangtuanya dan menganut
pengetahuan itu seolah didapat dari ingatannya sendiri. Namun, ini
akan terlampau mengulur potensi komunikasi telepati di luar batas
dari yang telah ditunjukkan bisa dilakukan berdasarkan eksperimen
apa pun yang dilakukan sejauh ini. Sejauh yang saya tahu, tidak ada
kasus pengetahuan yang diperoleh secara telepatik bisa terserap ke

247
KELAHI RAN UL ANG

dalam kepribadian sebagai bagian tetapnya. Jika semua anak, yang


menunjukkan pengetahuan mengenai kehidupan orang yang sudah
meninggal, memperolehnya dengan cara ini, maka telepati pasti
merupakan kekuatan adikodrati yang lebih umum terlihat daripada
yang ditunjukkan dalam eksperimen terkontrol. Lebih lanjut, telepati
pasti mampu meneruskan informasi yang lebih rinci dan tepat
dari yang diterima dalam uji telepati apa pun yang telah terbukti.
Penerusan informasi ini jauh melebihi sekadar mereka-ulang secara
telepatik lukisan garis sederhana dan menyebutkan tampilan kartu
Zener sampai bisa menceritakan kejadian hidup orang lain dan
mengenali orang-orang dan tempat yang telah mereka ketahui, seperti
yang dilakukan anak-anak ini. Orang-orang yang peka, faktanya, bisa
memperoleh informasi itu dengan kekuatan psikometri, namun sekali
lagi di sini kesan yang mereka terima selalu tetap jelas berasal dari
batin mereka sendiri dan tidak menghasilkan kebingungan antara
kepribadian mereka sendiri dengan kepribadian lainnya. Andaikan
Win Win Nyunt memang peka secara psikometrik—ia pasti telah
menyentuh objek milik banyak orang lain di rumah itu selain milik
neneknya yang telah meninggal serta saudaranya, dan kelihatannya
tidak ada alasan jelas bahwa ia bisa memperoleh informasi yang
terkait dengan mereka sendiri.

Kasus menarik ini memusatkan dengan tajam perhatian kita pada


masalah yang terkait dengan konsep kepribadian. Sampai sebatas
mana suatu entitas “berpindah” itu tetap merupakan entitas yang
“sama”—dalam pengertian apa pun yang diterima akal sehat?
Penyusun kepribadian pada umumnya dianggap pokok terhadap
strukturnya (seperti perilaku yang ditentukan dari jenis kelamin, sifat
yang dibentuk oleh pengalaman lampau, lingkungan, pengetahuan
yang diperoleh, dan bahkan pola kepribadian yang diatur oleh aksi
kelenjar hormon), jika mereka bertahan hidup selepas kematian,

248
KELAHI RAN UL ANG

harus mengalami perubahan penuh dalam proses kelahiran ulang


menjadi suatu landasan jasmani baru dan situasi lingkungan menjelma
menjadi makhluk. Saat itu, di sana hanya ada kemungkinan ingatan,
mengingat masa lalu, mempertahankan hubungan antara kepribadian
kini dan kepribadian lampau.

Sesungguhnya kesulitan yang sama muncul jika kita memilih


menghadapinya dalam gagasan kami mengenai apakah pria berumur
tujuh puluh tahun “sama” dengan saat ia dahulu bocah berusia
tujuh tahun. Jika ia menderita kehilangan ingatan total, maka tidak
ada hubungan tersisa antara dirinya dan anak yang dahulu adalah
dirinya. Yang bisa dikatakan hanyalah bahwa ia adalah hasil tak
langsung dari anak itu dalam lingkup garis-dunia yang sama. Dalam
ajaran Buddha, kesulitannya diatasi dengan menganggap bahwa
kepribadian secara murni adalah suatu gagasan. Istilah ini sekadar
menandakan arus sebab-akibat yang di dalamnya tidak ada entitas
tetap yang bisa ditemukan. Pada saat kematian, semua yang kita
anggap kepribadian akan meluruh, hanya meninggalkan potensi
karma (perbuatan) lampau untuk menghasilkan gugus psikologis
baru, suatu “kepribadian” baru. Kepribadian kita terhubung dengan
kepribadian lampau dan juga dengan semua kepribadian yang telah
kita lalui sebelumnya sebenarnya termasuk arus individu sebab dan
akibat yang sama dalam tataran batin. Inilah yang dimaksud sebagai
satu-satunya wujud “identitas” yang ada antara satu perwujudan
hidup dengan yang lain dalam urutan kelahiran ulang. Umat Buddha
Mahāyana memandang diingatnya kehidupan lampau dengan
membuat teori “waduk kesadaran” (Sanskerta: ālayavijñāna), yang
unik bagi tiap arus batin yang bisa diambil dalam kondisi apa pun
yang sesuai.

Mungkin rintangan berupa ketiadaan kepribadian yang termuat

249
KELAHI RAN UL ANG

dalam kelahiran ulang inilah yang membuat doktrin ini tidak bisa
diterima bagi banyak orang. Ada orang yang lebih suka dimusnahkan
total daripada menjadi orang lain seperti yang kelihatannya menimpa
mereka saat terlahir ulang. Kita memikirkan diri kita sebagai
kepribadian berdasarkan ingatan lampau, kesadaran kini, dan sifat
kita, dan semua perabot batin yang telah kita peroleh, termasuk
pengetahuan mengenai hubungan kita dengan orang lain sedari
muda. Dengan lenyapnya semua ini dan terlempar ke lingkungan
yang benar-benar baru, apa yang tersisa dari individu yang saya
sebut aku? Jawabannya hanyalah bahwa tiap dari kita adalah produk
dari arus “keberadaan” individu tempat tidak ada yang ajek kecuali
kesinambungan sebab-akibat.

Namun tidak perlu menganut pandangan nihilistik dari kelahiran


ulang hanya karena itu tidak memasukkan keberlangsungan
kepribadian secara total. Sifat yang dikembangkan dengan kuat
akan muncul kembali dalam kehidupan baru, yang sering kali
cukup menonjol untuk menunjukkan hubungan yang bisa dikenali
antara dua kepribadian. Kemahiran khusus yang telah diperoleh
dalam kehidupan sebelumnya bisa dibawa terus jika mereka telah
dikembangkan dengan tekad khusus dan kemanunggalan tujuan. Anak
genius dalam bidang musik atau lingkup disiplin lainnya mungkin
bukanlah penerima berkah yang tidak ia kerjakan. Perubahan adalah
prinsip dasar pertumbuhan dan adalah sia-sia bertanya apakah pohon
ek berumur 300 tahun itu tanaman yang “sama” dengan kenari yang
tumbuh dari tanah.

Ketika kepribadian yang menonjol muncul berulang kali dalam


keluarga yang sama, melompati satu atau lebih generasi, mungkin
saja terlibat faktor selain keturunan. Itu mungkin menunjukkan
faktor keturunan psikis yang merupakan harta milik individu itu.

250
KELAHI RAN UL ANG

Hukum biologi sendiri akan membantu memungkinkan leluhur yang


sama terlahir berulang kali dalam silsilah genetik keturunannya.
Sehubungan dengan daya kemelekatan terhadap sanak saudaranya,
yang tampaknya bekerja dalam kasus Daw U Shwe, dan dorongan
ke kelompok keluarganya yang ditunjukkan dalam banyak kasus
kelahiran ulang lainnya, memberikan penjelasan mengenai apa yang
disebut dengan jenis keluarga yang berulang, fenomena yang sering
terlihat dalam silsilah keluarga sepanjang sejarah. Jika prinsip ini
diperpanjang secara logika maka suatu pengondisian berkepanjangan
melalui serangkaian kelahiran ulang dalam kelompok psikis dan
etnis yang sama cenderung menghasilkan jenis ras dan kebangsaan
yang, walaupun telah dikarikaturkan dengan kasar dalam literatur
dan propaganda, tidak diragukan lagi memang ada. Suatu studi
sistematik mengenai tema ini mungkin akan menerangi sifat dan
asal mula ingatan secara rasial. Bawah-sadar kolektif yang disebut
Jung mungkin tidak lain adalah kenangan kehidupan lampau yang
terbenam dan dorongan bawah-sadar yang terkait dengan mereka.

Honoré de Balzac mencirikan proses “kemenjadian” melalui


serangkaian kehidupan ketika ia menulis dalam Seraphita: “Keluhuran
yang kita peroleh, yang berkembang dengan perlahan dalam diri kita,
adalah ikatan tak kasat mata yang mengikat setiap keberadaan kita
dengan yang lainnya—keberadaan yang hanya diingat roh belaka,
karena materi tak memiliki ingatan akan hal spiritual. Pikiran saja
yang merengkuh tradisi kehidupan yang telah berlalu. Warisan masa
lalu tanpa akhir ke masa kini adalah sumber rahasia kegeniusan
manusia.”

Mungkin ia benar dan ini adalah warisan keluhuran dan kepiawaian


yang telah kita perjuangkan yang menyusun kepribadian sejati kita,
bukan isi batin kita yang fana dan kebetulan pada momen tertentu.

251
KELAHI RAN UL ANG

Saya meyakini bahwa memahami hal ini berarti memiliki pengertian


benar akan apa yang dimaksud dengan mengatakan, “Saya eksis.”

Sebelum menutup diskusi singkat kasus Daw U Shwe, ada hal yang
mesti disampaikan mengenai perubahan jenis kelaminnya dalam
kehidupan antara. Mungkin bahwa Daw U Shwe terlahir sebagai
laki-laki karena keresahannya untuk bergabung kembali dengan
putranya menyebabkan ia mewujud kembali dalam tubuh yang telah
berkembang sebelum kematiannya dan memiliki jenis kelamin yang
keliru. Sayangnya, saya tidak mampu memperoleh tanggal tepat
permulaan kehamilan Daw Mu Mu namun jika asumsi saya benar, maka
kematian dini anak itu bisa dijelaskan dengan alasan bahwa karma
Daw U Shwe tidak cukup untuk menyokong kepribadian laki-laki.
Situasi itu kemudian bisa disesuaikan hanya dengan memindahkan
potensi karma kehidupannya ke kelahiran baru sebagai perempuan.
Ini tidak berarti bahwa perubahan jenis kelamin dalam kelahiran
ulang selalu membawa hasil seperti itu. Sebaliknya, ada sejumlah
kasus pergantian jenis kelamin yang tercatat dan berbagai tataran
identifikasi seksual serta penyesuaiannya adalah tema studi istimewa.
Namun dalam semua atau hampir seluruh kasus ini tampak adanya
faktor pendukung dalam kehidupan lampau yang melakukan peralihan
antar jenis kelamin itu kurang-lebihnya sesuai. Dalam kasus Daw U
Shwe, naluri keibuannya yang kuat, membuat asumsi bahwa faktor-
faktor itu tidak ada adalah benar. Kehidupan singkatnya sebagai anak
laki-laki mungkin tidak lain adalah kesalahannya, namun kesalahan
yang segera dikoreksi alam.

Inilah tafsiran saya sendiri mengenai kasus ini. Orang lain yang
membaca fakta ini mungkin mendapat kesimpulan berbeda. Apa
pun penafsiran yang akhirnya benar, suatu kasus yang memuat
begitu banyak unsur pengalaman adikodrati akan sulit menjelaskan

252
KELAHI RAN UL ANG

tanpa kembali ke doktrin kelahiran ulang. Alih-alih mendesak di


luar cakupan nalar dari telepati, psikometri, cenayang, kemampuan
ramalan, dan fenomena adikodrati lainnya, saya menemukan lebih
mudah untuk meyakini bahwa Win Win Nyunt tepat seperti yang ia
akui—yaitu Daw U Shwe dan Maung Maung Lay yang terlahir ulang.

KELAHIRAN ULANG ATAU PERASUKAN?

Kasus Phra Rajsuthajarn

Thailand adalah negeri yang cukup kaya dalam jumlah kasus orang
yang menyatakan memiliki ingatan kehidupan lampau. Nilai bukti
kasus Thai tidak lebih kecil dari kasus yang saya teliti di bagian lain
Asia dan kasus Thai, tambah lagi, memiliki ciri yang langka ditemukan
di tempat lain. Sejumlah kasus Thailand meliputi apa yang diklaim
sebagai ingatan nyata mengenai tahapan kesadaran antara satu
kehidupan manusia dengan kehidupan lainnya. Dalam sebagian kasus
ini, serangkaian peristiwa yang panjang, lebih jelas dari dalam mimpi,
dijabarkan secara terperinci. Jika kisah ini menceritakan pengalaman
batin nyata, maka pengalaman ini secara menarik menerangi
mengenai tataran kesadaran yang dimungkinkan dalam keadaan
terpisah dari raga, atau alih-alih keadaan yang terkait dengan tubuh
yang terbuat dari materi selain dalam kehidupan di bumi. Materi,
yang sekadar suatu wujud energi, mungkin mampu mewujud dalam
keadaan yang biasanya tidak bisa dicerap indra manusia namun tetap
merupakan wujud fisik di alam keberadaannya sendiri. Ini tampaknya
benar jika pengalaman setelah kematian itu cocok dengan kenyataan
dan bukan sekadar potongan “mimpi yang bisa muncul saat kita
terlepas dari libatan raga ini.”

253
KELAHI RAN UL ANG

Kurun waktu yang dirujuk ingatan yang sangat jelas ini tampaknya
adalah periode yang mengikuti setelah fase transisi yang dijabarkan
dalam buku Buddhisme Utara klasik Bardo Thodol, yang terjemahan
bahasa Inggrisnya diterbitkan oleh Dr. W.Y. Evans-Wentz, atau
mungkin juga bagian dari fase itu. Dalam pandangan Buddhis, arus
kesadaran terus berlanjut tanpa terputus antara kematian dan
kelahiran ulang, sehingga setiap keadaan yang dilewatinya harus
dianggap sebagai kelahiran ulang, entah berapa panjang atau pendek
durasinya atau di alam keberadaan apa itu muncul. Singkatnya,
jika pernyataan Barat adalah saat kematian roh keluar dari tubuh,
Buddhisme akan mengatakan bahwa setelah kematian kelahiran ulang
terjadi. Ini karena Buddhisme menganggap seluruh kesinambungan
kehidupan sebagai peristiwa silih-berganti kematian dan kelahiran
ulang tanpa tersela yang terjadi dari momen ke momen. Perbedaan
sudut pandang ini penting untuk memahami apa makna pengalaman
seperti ini bagi mereka yang menyatakan pernah mengalaminya
jika subjeknya adalah umat Buddha Thai, Myanmar, atau Sri Lanka.
Sesungguhnya, ini hanya cara yang lebih filosofis untuk menafsirkan
teori keberlangsungan pasca-kematian yang dianut para spiritualis.

Suatu contoh umum kasus seperti ini adalah kasus Bhikkhu Phra
Rajsuthajarn, Bhikkhu Wihara Pa Yodhaprasiddhi, Changwad Surin,
Thailand. Ia lahir 12 Oktober 1908 di Desa Nabua, Distrik Kota,
Provinsi Surin. Saya mewawancarainya pada Januari 1973, pertama
di Bangkok dan kemudian di Surin, tempat saya juga menanyai
anggota keluarganya yang sekarang dan yang ia akui sebagai keluarga
kehidupan lampaunya. Saya juga bicara dengan sejumlah saksi
setempat yang tidak terkait dengan kedua keluarga ini.

Menurut kisahnya sendiri, sewaktu anak-anak Phra Rajsuthajarn


mengingat kehidupan lampaunya sebelum ia mampu bicara. Dalam

254
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan itu ia menjadi petani bernama Leng, tinggal 200 meter


jauhnya dari tempat kelahirannya yang sekarang. Leng, memiliki
empat saudari dan dua saudara kandung, meninggal karena demam
yang tak diperiksa dokter pada usia 45 tahun pada 14 Oktober 1908.
Ia meninggalkan tiga putri kandung bernama Pah, Poh, dan Pi, yang
masih hidup pada tahun 1963, yang masing-masing berusia 74, 67, dan
65 tahun.

Phra Rajsuthajarn menyatakan bahwa setelah meninggal sebagai


Leng, ia terlahir ulang sebagai anak adik perempuan Leng bernama
Rian, namun kelahiran ulang itu tidak terjadi dengan cara biasa.
Kepribadian Leng masuk ke dalam tubuh bayi yang sudah dilahirkan
adiknya sehari sebelum kematiannya. Perempuan yang dahulunya
adik perempuannya, menjadi ibunya dalam kehidupan sekarang.

Kisahnya mengenai masa tunggu singkat antara kematian Leng dan


kelahiran ulang itu nyata. Tampaknya, setelah kematiannya, ia melihat
tubuhnya terbaring pada matras di serambi, kemudian ia menyaksikan
kremasinya, melihat tulang-tulang yang tersisa dibawa kembali ke
rumah, sesuai adatnya, dan hadir saat para bhikkhu melafalkan ayat
suci yang biasa dibacakan saat perkabungan. Menjabarkan keadaan
kesadarannya pada saat itu, ia mengatakan ia memiliki kesan mampu
melihat ke segala penjuru.

Selagi upacara perkabungan berlangsung, ia ingat salah satu adik


perempuannya telah melahirkan anak laki-laki sehari sebelum ia
meninggal. Segera saat ia terpikir mengenai adiknya, ia menemukan
dirinya di sampingnya tempat adiknya berbaring bersama bayinya.
Saat melihatnya, Leng merasakan luapan kasih sayang bagi keduanya.
Ia memiliki desakan kuat menyentuh anak itu, namun takut
mengusiknya. Nyatanya, ibunya melihat wujud arwahnya, karena ia

255
KELAHI RAN UL ANG

memanggilnya, memberitahunya bahwa ia sudah mati dan ia harus


pergi ke tempat yang seharusnya.

Ia pergi namun terus mengawasi dari luar, dan saat ia pikir saudarinya
tertidur, ia mendekat lagi. Sekali lagi, saudarinya melihatnya
dan memintanya meninggalkannya. Ia pergi lagi untuk kedua
kalinya, namun daya ketertarikan terlalu kuat baginya. Pada saat ia
memutuskan bahwa ia benar-benar harus meninggalkan tempat itu
dan hendak berbalik pergi, ia merasa dirinya berputar-putar dan
kehilangan kesadaran. Kesan terakhirnya adalah ia mengalami jatuh.

Berikutnya, ia sadar menjadi bayi kecil yang terbaring di ranjang bayi.


Ia merasa bahwa ia masih merupakan kepribadian yang sama, Leng,
dan berusaha mengingat kehidupan lampaunya. Keadaannya yang
baru sangat tak menyenangkan baginya, karena ia merasa frustrasi
tidak mampu bicara atau bangkit atau berjalan. Pada tahap ini, ia
tidak mampu mengenali siapa pun dan pikirannya kacau; namun
ia menyadari bahwa saat ia mengubah posisinya dan telungkup, ia
bisa mengingat dalam batinnya semua orang yang ia kenal dalam
kehidupan lampaunya dan ingin melihat mereka lagi. Ia pertama
mengingat nama-nama, bentuk, dan ciri sanaknya, kemudian teman-
teman dan tetangganya, dan ingin melihat mereka lagi.

Ibu Phra Rajsuthajarn telah meninggal beberapa tahun sebelum 1963,


namun saya bisa mewawancarai tiga putri Leng, kepribadian lampau
Phra Rajsuthajarn. Mereka berkata bahwa saat Phra Rajsuthajarn
masih kecil, dan neneknya mengunjunginya, ia bersikeras
memanggilnya, “Ibu”—relasinya sebagai yang melahirkan Leng. Ia
mulai bicara mengenai kehidupan lampaunya begitu ia bisa bicara
dan tanpa dipicu menyebut nama-nama sanak keluarga Leng dengan
benar, termasuk saudari dan saudara serta ibunya, Ma Chama, dan

256
KELAHI RAN UL ANG

ayahnya, Wa Sawa, yang kini menjadi kakek dan neneknya.

Sebagai petani, kebiasaan Leng pergi dengan kereta untuk berdagang


ke provinsi lain pada musim tertentu. Karena ini ia akrab dengan
bahasa Laos. Meski bahasa Laos tidak dibicarakan dalam komunitas
Phra Rajsuthajarn dan tak seorang pun mengetahuinya, ia mampu
memahami dan bicara bahasa itu saat beberapa orang Laos
mengunjungi tempat itu. Ia masih kecil saat itu, dan kemampuan
bicara dalam bahasa yang tak diketahui dengan orang asing ini
memukau para penduduk desa.

Kejadian menarik lainnya terjadi saat Phra Rajsuthajarn telah


menjadi bocah berusia 13 tahun. Ia membawa sapi merumput jauh
dari rumah dan mengenali satu ruas jalan, meski ia belum pernah ke
sana sebelumnya. Ia tiba-tiba ingat melihat perempuan melahirkan
anak di pinggir jalan di sana dan sesuai adat yang meluas, suatu api
unggun telah dinyalakan untuk membantu kelahiran. Saat pulang ke
rumah, ia menceritakan ingatan jelas ini kepada ibunya, menjabarkan
suasana api menyala terang dan perempuan berbaring di sampingnya.
Ibunya langsung ingat bahwa ia dan saudaranya, Leng, pernah melihat
kejadian itu persis di tempat yang anaknya tunjukkan. Mereka sedang
pulang bersama dari sawah pada saat itu. “Kejadian itu terjadi waktu
aku berumur 14 dan kamu dahulu 15,” kata ibunya kepada putranya.

Pada usia 16 tahun, Leng masuk persamuhan bhikkhu (Saṅgha) sebagai


samanera dan bertahan sampai usia 25 tahun. Phra Rajsuthajarn
juga menjadi samanera pada usia 16 tahun, dan menyadari bahwa
pelajaran agama sangat mudah baginya. Naskah Buddhis Pāḷi yang
dipelajari para bhikkhu ditulis dalam huruf Kamboja, yang berbeda
dalam beberapa hal dengan tulisan Thai. Mendengar seorang bhikkhu
melantun lantang ayat itu suatu hari, samanera itu membawa kitab

257
KELAHI RAN UL ANG

itu ke kamarnya dan mulai berusaha mengartikannya. Ia mampu


membaca dalam tulisan Thai namun sampai sejauh itu belum
menerima pelajaran huruf Kamboja sama sekali. Namun, dalam sekali
coba, ia menyadari bahwa ia bisa membaca huruf Kamboja dengan
mudah. Ia telah mempelajarinya dalam kehidupan lampaunya
sebagai bhikkhu.

Para saksi yang saya wawancara dalam kasus ini adalah tiga anak
perempuan Leng, yang saat itu hidup di Desa Kraton, di Surin, dan
beberapa tetangga yang mengenal orangtua Phra Rajsuthajarn dan
menyaksikan pengenalannya. Putri pertama, Nyonya Pah, mengatakan
bahwa ia berusia 22 tahun saat ayahnya, Leng, meninggal. Saat Phra
Rajsuthajarn berusia empat tahun, ia mengenalinya dan berkata,
“Aku ayahmu.” Phra Rajsuthajarn memanggil dengan namanya,
kemudian mulai memanggilnya dengan panggilan kecilnya. Ini
awalnya membuatnya kesal, karena ia saat itu adalah perempuan yang
sudah menikah. Ia mengatakan kemudian bahwa sifat dan kebiasaan
Phra Rajsuthajarn persis mendiang ayahnya. Misalnya, ia senang
bertelanjang sampai pinggang, seperti yang dahulu diperbuat Leng,
dan sebelum menjadi bhikkhu ia juga seperti Leng, sangat berminat
dengan agama, sering berkunjung ke wihara.

Putri kedua, Nyonya Poh, memberikan kisah yang cukup serupa,


menambahkan bahwa Phra Rajsuthajarn telah menyebutkan
kepadanya banyak peristiwa hidup Leng yang ia tahu sebagai
kebenaran. Nyonya Pi, anak perempuan ketiga, mengkonfirmasikan
kesaksian dua orang lainnya. Sewaktu masih kecil, ia menambahkan,
Phra Rajsuthajarn sering marah jika mereka tidak memanggilnya
sebagai ayah. Lama sebelum ia bisa bicara, ia berkata, Phra
Rajsuthajarn sudah membuat tanda mengenali dengan tangannya
setiap kali melihat dirinya dan saudarinya. Saat membuat tanda ini,

258
KELAHI RAN UL ANG

sikapnya seperti kebiasaan ayah kepada anak-anaknya.

Tiga putri ini diwawancarai di rumah tua mereka di desa tempat


mereka tinggal bersama ayah mereka. Rumah ini khas rumah desa
Thai, terbuat dari kayu, yang ditumpuk-tumpuk. Phra Rajsuthajarn
menunjukkan tempat di serambi saat kesadaran pasca-kematiannya
melihat tubuhnya sendiri dibaringkan sebelum kremasi. Saya juga
mengunjungi rumah tempat ia terlahir. Melintasi desa itu, saya
memerhatikan bagaimana ia diperlakukan dengan penghormatan
besar oleh penduduknya, terutama para sepuh yang telah
menyaksikan sebagian aksi pengenalan yang dilakukan waktu ia kecil.
Penerjemah saya dalam kasus ini adalah Dr. Thavil Soon Thararaksa,
pejabat kesehatan Provinsi Surin, dan Tuan Sujib Punyanubhab, dosen
universitas para bhikkhu di Bangkok.

Kasus Phra Rajsuthajarn sangat terkenal di Thailand, telah menjadi


subjek penelitian oleh Prof. Amphai Sutdhatritkul dari Universitas
Chulalongkorn, Bangkok. Prof. Sutdhatrikul merekam film dan
membuat rekaman kaset selama penyelidikannya. Ia menunjukkan
hasilnya di televisi Thai. Saya tidak melihat atau mendengar rekaman
ini baik sebelum atau setelah penyelidikan saya sendiri mengenai
kasus ini namun saya mengetahui bahwa bukti yang diberikan sama.

Tiga putri Leng semuanya sepakat bahwa Phra Rajsuthajarn secara fisik
berbeda sama sekali dari ayah mereka, namun sifatnya menyerupainya.
Leng bertubuh tinggi, kuat, dan tampan, sementara Phra Rajsuthajarn
tingginya di bawah rata-rata, dan tubuhnya kurus. Penampilan
umumnya tampak rapuh namun ia meyakinkan saya bahwa ia
senantiasa sehat. Kenyataan bahwa ia terlahir sebelum kepribadian
lampaunya, Leng, meninggal, menyiratkan bahwa arus batin Leng,
melalui daya tarik kuat, pasti telah memproyeksikan dirinya ke tubuh

259
KELAHI RAN UL ANG

anak yang baru lahir itu, secara permanen menggantikan kepribadian


individu yang karmanya telah membentuk tubuh dalam rahim.

Ketika mempelajari kasus ini, saya memperoleh kesempatan


mendiskusikannya dengan beberapa tokoh dengan kewenangan
paling tinggi mengenai ajaran Buddha di Thailand, termasuk
mendiang bhikkhu tertinggi Saṅgha Thai. Saya tertarik mengetahui
apakah mereka menganggap hal ini sebagai kasus kelahiran ulang,
karena tidak cocok dengan pola umum peristiwa yang didefinisikan
dalam ajaran Buddha. Menurut ajaran Buddha, karma seseorang
yang meninggal bekerja pada makhluk badan-batin sejak momen
pembuahan, membentuk janin yang bersangkutan dengan faktor
biologisnya disumbangkan oleh orangtuanya. Namun jika kita
menganggap kasus Phra Rajsuthajarn dan beberapa kasus serupa
lainnya itu benar, tampaknya kadang kepribadian yang gentayangan
bisa memaparkan dirinya setelah mati ke tubuh yang telah disiapkan
oleh karma orang meninggal lainnya, menggantikan kepribadian
awal sepenuhnya dan selamanya. Ini mungkin terjadi melalui
daya tarik-menarik kuat seperti yang terjadi antara Leng dan adik
perempuannya, maupun dari penyebab lainnya. Karena itu, kejadian
ini tidak lantas jadi bertentangan dengan ajaran Buddha, demikian
saya diberitahu.

Jika itu yang terjadi dalam kasus Phra Rajsuthajarn, maka itu
menceritakan dengan sangat masuk akal bahwa Leng, petani yang
kekar, kembali dalam suatu tubuh rapuh yang sama sekali tidak
mirip dengannya. Itu pasti karena wadah fisiknya terbentuk oleh
karma orang lain. Akan tetapi, sifat Leng bertahan hidup dengan utuh
berikut ingatannya, mungkin karena peralihan sangat singkat antara
kematian dan kelahiran ulangnya. Juga menarik untuk memerhatikan
bahwa Phra Rajsuthajarn, walau penampilannya rapuh, memiliki

260
KELAHI RAN UL ANG

kesehatan yang baik. Ini bisa dijelaskan dengan kemungkinan bahwa


karma Leng meresapi tubuh rapuh itu dengan kekuatan yang tak
dimiliki tubuh itu pada awalnya. Dalam hal ini, kasus itu mengingatkan
dengan kasus serupanya (kasus Jasbir) yang diteliti di India oleh Prof.
Ian Stevenson dan dijabarkan dalam bukunya Twenty Cases Suggestive
of Reincarnation.

Komentar ini, dalam kondisi pengetahuan kita saat ini, tidak


bisa diajukan melebihi dugaan sementara. Fenomena apa pun
hanya bisa diteliti dengan mengamati semua yang terjadi dan
kemudian merumuskan teori, memodifikasi teori, atau bahkan
menggugurkannya jika teori itu ditemukan tidak sesuai dengan
fakta. Terutama hal ini mesti dilakukan dalam wilayah di mana
kriteria tidak bisa digariskan dengan kaku dan standar penilaian
tidak mudah ditegakkan. Dalam mempelajari kasus yang terkait
dengan kelahiran ulang, teori perasukan permanen suatu tubuh oleh
kepribadian lainnya merupakan salah satu kemungkinan yang harus
dipertimbangkan jika dipandang dari jumlah kasus yang tampaknya
merupakan kategori tidak biasa ini.

Saya berterima kasih kepada Prof. Ian Stevenson dari University


of Virginia, dan Code Foundation, yang membuat penelitian saya
mengenai kasus Phra Rajsuthajarn ini bisa terlaksana. Di Thailand,
saya mendapat kerja sama yang berharga dari Dr. Chien Siriyanand,
psikiater Bagian Medis Pengadilan Anak Bangkok, Kolonel Chalor
Uthongpatchana, dan Masyarakat Riset Batin Thailand.

Imbuhan

Suatu kasus yang luar biasanya sama dengan yang ini telah dilaporkan
dari Inggris. Ini nyaris merupakan kasus kelahiran ulang, namun

261
KELAHI RAN UL ANG

tidak sama pula. Ini mungkin adalah kasus paling menarik dari
semuanya, namun sayangnya, karena terjadi bertahun-tahun lalu,
tidak mungkin bisa dilakukan pemastian bukti. Subjeknya (W. Martin)
menuliskan kisah pengalamannya yang diterbitkan dalam koran
Sunday Express (London) pada 26 Mei 1935. Ia menceritakan sewaktu
muda ia bekerja di kota bermil-mil jauhnya dari rumah. Suatu hari
kepalanya terkena batu bata dari runtuhan tembok. Ia dibawa masuk
ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan dicemaskan akan
meninggal. Sepucuk telegram dikirim ke orangtuanya dan diterima
mereka sewaktu makan siang. Mereka naik kereta berikutnya dan
mengunjunginya di rumah sakit, tempat ia masih dalam keadaan
koma mendalam. Setelah beberapa jam, ia siuman. Segera setelah ia
mampu bicara, ia menceritakan mereka bahwa ia tahu semua yang
terjadi kepada mereka selagi ia tidak sadarkan diri. Selagi tubuhnya
terbaring di rumah sakit, kesadarannya ada di rumah. Ia melihat
ibunya membuka telegram itu, dan telah bersama mereka sepanjang
perjalanan. Ia mengulangi pembicaraan ayah dan ibunya selama di
kereta api, dan menggambarkan bagaimana ayahnya terus menengok
jamnya, cemas apakah keretanya akan terlambat.

Selama pengalaman keluar dari tubuhnya ini, ia pernah masuk dalam


rumah tetangganya, di mana seorang perempuan, bernama Nyonya
Wilson, baru melahirkan anak perempuan. Melihat bayi itu, ia
merasakan hasrat kuat untuk memasuki tubuhnya supaya bisa hidup
kembali. Ia merasa bahwa ia bisa melakukan itu, dan sesungguhnya
harus berjuang melawan godaan itu. Hanya pikirannya mengenai
orangtuanya yang berduka yang mencegahnya. Penyelidikan lebih
lanjut membuktikan bahwa perempuan yang namanya ia sebut tadi
memang melahirkan anak perempuan pada waktu yang ia sebut.

Setelahnya, pemuda itu pulih sepenuhnya, namun kenangan

262
KELAHI RAN UL ANG

pengalaman itu terus bersamanya seumur hidup. Ia menulis kisah


itu dan mengakhirinya dengan kata-kata, “Aku yakin bahwa jika aku
meniatkan diriku masuk ke tubuh bayi itu, hari ini aku akan menjadi
Nona Wilson, alih-alih sebagai W. Martin.”

Ketertarikan khusus akan kasus ini adalah fakta bahwa ini sangat
menyerupai pengalaman pasca-kematian yang diceritakan Phra
Rajsuthajarn, yang memasuki tubuh anak saudarinya yang terlahir
sehari sebelum ia meninggal. Pengalaman yang mirip seperti ini bisa
terjadi pada dua orang dengan latar budaya, agama, ras, dan situasi
geografis yang sangat berbeda, yang diantaranya tidak mungkin ada
hubungan keduanya dalam bentuk pikiran dan keimanan, merupakan
bukti yang lantang dan kuat bagi pengalaman itu, meski tidak biasanya
diingat, bersifat universal.

APA YANG TERJADI SELAMA KELAHIRAN ULANG

Kasus Prajurit Keaw—Nang Tong Klub—U Sobhana

Ada kasus yang saya sebut mengingat kehidupan lampau secara


“spontan”. Saya membedakan kasus ini dibanding kasus yang
orangnya menyatakan mengingat kehidupan lampau di bawah
hipnosis regresi atau telah diberi tahu mengenai kehidupan lampau
oleh cenayang seperti Edgard Cayce. Tidak pula saya menyebut kasus-
kasus di mana orang memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan
lampau melalui meditasi itu spontan—seperti yang sering sekali
terjadi di Timur.

Dalam jenis kasus-kasus pengingatan spontan, begitu anak itu

263
KELAHI RAN UL ANG

mampu bicara, ia akan menyebutkan hal-hal yang terkait dengan


ingatan kehidupan lampaunya. Biasanya anak itu membicarakan
mengenai keluarga sebelumnya, ibu dan ayah sebelumnya, kadang
membuat perbandingan yang tidak menyenangkan bagi orangtuanya
yang sekarang. Dalam banyak kasus ini kami menemukan bahwa
kepribadian yang dijabarkan si anak bisa diidentifikasi sebagai
seseorang yang sungguh pernah hidup. Kami menemukan orang yang
selaras dengan deskripsi anak itu mengenai sanak lampaunya dan
mereka memastikan banyak hal yang anak itu katakan.

Merupakan kehormatan besar bisa membantu Dr. Ian Stevenson,


Profesor Psikiatri di University of Virginia School of Medicine, saat
ia berkunjung ke Sri Lanka, dan ia mengikutkan beberapa kasus yang
terlibat dalam penyelidikan kami dalam bukunya The Cases Suggestive
of Reincarnation. Saya telah menerbitkan kasus lainnya dalam buku
kecil saya The Case for Rebirth, dan dalam majalah Fate. Jadi dalam
artikel ini saya tidak ingin membahas kasus di mana subjek mengaku
ingat hanya kehidupan lampau saja melainkan ingat pula keadaan di
antara dua kehidupan.

Salah satu kasus itu adalah prajurit dalam angkatan bersenjata


Thai bernama Prajurit Keaw. (Itulah namanya. Nama kedua jarang
digunakan rakyat biasa pada masa itu). Kasusnya diceritakan kepada
saya oleh atasan Keaw, Kapten Luang Varionnakaran, yang saya
wawancara pada tanggal 11 September 1966, bersama Dr. Charoon,
seorang dokter Thai, yang bertindak sebagai penerjemah.

Keaw adalah prajurit dalam Peleton Keempat, Kompi Kedelapan,


Resimen Kedua dari Divisi Pengawal Kerajaan pada tahun 1912.
Rumahnya berada di Desa Dang dekat Wat Anung (wat adalah
nama untuk wihara), yang terletak di dataran rendah distrik

264
KELAHI RAN UL ANG

Paklad, Thailand. Prajurit Keaw berumur 18 pada tahun 1912 dan


menceritakan kisah kelahiran lampaunya kepada sahabatnya.
Kapten Luang, yang saat itu adalah letnan sub, mendengar kasus ini
namun tidak berupaya memastikannya sendiri. Akan tetapi, perwira
atasannya, Varn Gangasavara, pergi ke Paklad dan di sana menemui
orangtua Prajurit Keaw, baik orangtua saat ini dan yang diaku
sebagai orangtua pada kehidupan lampau. Ayah Prajurit Keaw dalam
kehidupan lampau telah meninggal namun ibu kehidupan lampaunya
masih hidup, demikian pula kedua orangtuanya kini masih ada.
Varn Gangasavara mampu memastikan pernyataan Keaw mengenai
kehidupan lampaunya dan mengetahui bahwa ibu lampau Keaw
menerimanya sebagai putranya yang terlahir ulang. Kapten Luang
tidak ingat nama orangtua lampau Keaw atau pun rincian tanggalnya
namun ia ingat bahwa semua ini telah dipastikan akurat selama
penyelidikan Varn.

Prajurit Keaw memberi tahu Luang bahwa dalam kehidupan


lampaunya ia ingin menjadi bhikkhu desa namun sebelum ia bisa
ditahbis, ia meninggal karena kolera sekitar usia 20 tahun. Ia ingat
bahwa ia tidak menyadari dirinya meninggal dan mencoba dengan sia-
sia berbicara ke sanak dan teman-temannya. Ia melihat keluarganya
memberi derma makanan kepada bhikkhu, yang setara dengan
mengadakan misa perkabungan. Para bhikkhu diberi persembahan
dan makanan atas nama yang meninggal dan kebajikan dari perbuatan
itu diharapkan bisa diteruskan kepadanya supaya keadaannya dalam
kehidupan berikutnya bisa lebih baik.

Suatu hari, mereka mengadakan upacara agama di rumah Keaw dan


paritta, pendarasan ayat spiritual, dilantunkan. Kala para bhikkhu
berhenti melantun dan meninggalkan rumah, Keaw memerhatikan
keanehan tubuhnya sendiri dan menyadari untuk pertama kalinya

265
KELAHI RAN UL ANG

bahwa ia sudah meninggal. Ia kemudian mengikuti para bhikkhu.


Segalanya tampak biasa baginya kecuali ia mampu berjalan menembus
orang dan ketika ia memikirkan suatu tempat ia segera mendapati
dirinya berada di sana. Ia tidak merasa lapar. Saat Luang bertanya
kepadanya apakah ia merasa takut akan apa pun selama waktu itu,
Keaw mengatakan bahwa ia takut dengan orang mabuk yang berjalan
dan anak seandainya mereka jatuh menimpanya. Keaw sendiri merasa
tubuhnya sangat kecil. Ia tidak ingat pernah marah, namun ia melihat
hantu lain marah kepada orang hidup yang melempari batu atau
meludah. Mereka takut bisa terkena batu atau ludah. Inilah contoh
biasa yang bisa Anda duga dialami orang Timur setelah kematian.
Pengalaman pasca-kematian agaknya diwarnai pengharapan orang
yang meninggal sampai skala besar.

Suatu hari, Keaw melihat perempuan hidup mendekat dan merasa


suka dengannya. Saat ia sudah dekat, ia masuk ke dalam keranjang
yang ia bawa. Pada ujung pagar di sekitar rumah perempuan itu ada
anjing menggonggongi keranjang itu. Keaw ketakutan. Ia melarikan
diri dan sembunyi di jembatan dekat sana. Ia di sana sampai petang
saat perempuan itu muncul untuk mandi di klang (sebutan untuk
kanal atau jalur air di Thailand). Ia mendekatinya dan memeluk
lehernya. Ia merasa terhibur dan tak lagi takut dengan anjing itu.
Sejenak kemudian ia kehilangan kesadaran. Saat ia sadar kembali
akan sekitarnya, ia menemukan dirinya adalah bayi dan telah terlahir
ulang ke perempuan itu.

Kasus yang serupa, sekali lagi dari Thailand, terjadi pada Nai Chook,
yang juga mengingat keluarga sebelumnya. Ia mengatakan bahwa
saat ia mengenali ibu lampaunya, ia berkata kepadanya, “Mengapa
kamu tidak datang ke rahimku lagi untuk terlahir ulang dariku?” Ia
memberitahunya bahwa ia tidak bisa memasuki rumah karena adanya

266
KELAHI RAN UL ANG

benang keramat. Benang keramat adalah bagian upacara setelah


kematian di negara Buddhis. Di rumah mendiang, para bhikkhu
melantun ayat suci dan memegang benang yang dioperkan ke semua
yang hadir. Setiap orang memegangnya dan konon menjadi teresapi
dengan potensi adikodrati melalui pelantunan. Bagian dari benang itu
dipotong dan dikenakan di pergelangan tangan kanan mereka yang
hadir melantun, sementara sisa benang itu ditaruh di sekitar rumah
untuk menghalau hantu. Di Timur, orang-orang memiliki ketakutan
besar terhadap hantu, bahkan hantu mendiang keluarga mereka
sendiri. Karena itulah Nai Chook takut memasuki rumah karena
benang ini digantung di pintu dan jendela. Ia menunggui ibunya
di luar namun ibunya tidak muncul. Kemudian ia pergi ke sumur,
mengira ibunya di sana.

Alih-alih, ibunya dalam kehidupan kini telah datang ke desa untuk


menukar tebu dengan beras. Saat ia mampir di sumur, ia melekatkan
dirinya kepadanya dan masuk ke keranjang yang ia bawa—sama
seperti dalam kasus sebelumnya, Nai Chook ingat dan bisa menyebut
nama tempat perempuan itu berhenti dalam perjalanan pulang,
Wat Tao It, 17 kilometer di selatan rumahnya. Di sana, ia minum
air dari kanal di samping wihara. Ia masuk ke air dan segera setelah
perempuan itu meminumnya, ia kehilangan kesadaran.

Informan yang memberi tahu saya kisah ini memiliki kesan bahwa
Nai Chook menceritakan semua rincian ini sebelum ia bisa mengenali
satu pun orang-orang ini dan menyatakan bahwa kisah ini adalah
ingatan keadaan setelah kematiannya.

Kasus saya yang lainnya dari Thailand adalah seorang bhikkhu


bernama Phra Som Pit Hancharoen, yang tinggal cukup jauh dari
Bangkok di Desa Ban Sac, tempat ia lahir 3 November 1939. Ketika

267
KELAHI RAN UL ANG

ia mulai bicara pada usia tiga tahun, ia membicarakan ingatan


kehidupan lampaunya, meskipun ingatan itu kabur di sana-sini seolah
ia sedang mengingat film yang pernah ditonton. Ia menyatakan
bahwa nama sebelumnya adalah Nai Soey dan ia dahulu tinggal di
Klong Bang Paklad, cukup jauh dari rumahnya yang sekarang. Ia
menyebutkan nama-nama ini ke ibunya dan memberitahunya bahwa
dalam kehidupan sebelumnya, ia ditikam sampai mati di Khoo Sang
Wat, Bang Paklad, sekitar dua kilometer (satu seperempat mil) dari
rumahnya yang sekarang.

Ia berusia sekitar 45 tahun saat ia meninggal dan memberikan kisah


kematiannya. Ia pergi ke upacara kremasi di Khoo Sang Wat. Di sana,
ia bertemu seorang perempuan, Nang Hom, yang sebelumnya telah
ia kenal. Di bawah pengaruh alkohol ia berusaha untuk berhubungan
intim dengannya. Saat ia menyentuhnya, Nang Hom mencabut pisau
dan menusuk dada kirinya lokasi ia kini memiliki tanda lahir. Saya
telah melihat tanda lahir ini, yang terletak di bawah puting kiri. Itu
adalah tanda yang agak gelap dan mencuat naik dan diameternya
sekitar satu sentimeter. Ibunya yang sekarang berkata bahwa saat ia
terlahir, tanda lahir itu adalah luka menganga bernanah dan harus
dirawat selayaknya cedera untuk bisa menyembuhkannya.

Semua itu telah dipastikan. Memang ada orang seperti itu dan
kejahatan seperti itu. Phra Som Pit juga mengenali sebagian sanak
saudara dari kehidupan lampaunya dan menyebut nama mereka.
Setelah kematiannya, ia mengisahkan, ia merasa seolah ia berada
dalam mimpi. Ia berkelana untuk waktu yang lama. Ia sangat mabuk
saat kematiannya dan tak diragukan lagi menjadi salah satu penyebab
kebingungannya. Ia bergerak sepanjang jalan dengan hutan lebat di
kedua sisinya; tidak ada rumah yang terlihat. Ia merasa ceroboh namun
tidak mengalami sakit atau luka. Ia tidak bisa ingat melihat tubuhnya

268
KELAHI RAN UL ANG

di tanah. Ini adalah pokok penting dalam kasus ini di mana tanda lahir
berkaitan dengan luka di tubuh kepribadian sebelumnya. Biasanya
mereka melihat luka itu dan melalui reaksi badan-batin, luka ini
diteruskan ke tubuh baru dalam wujud tanda lahir. Akan tetapi, dalam
kasus Pra Som Pit, ia mengatakan bahwa ia tidak melihat tubuhnya.
Selagi berkelana, ia merasa sama seperti biasa. Ia mengenakan bajunya
yang biasa. Ia bertelanjang kaki, dalam pakaian hitam penduduk desa
tanpa penutup kepala, sama seperti saat ia terbunuh.

Akhirnya ia sampai ke gubuk kayu tempat ada pria dan wanita


lanjut usia tinggal. Ia minta minum kepada mereka. Perempuan
tua itu memberinya semangkuk air dan buah berwarna merah. Ia
memintanya untuk minum air dan makan buah itu sebelum masuk ke
rumahnya. Ia minum airnya namun tidak makan buahnya. Perempuan
itu keluar lagi dan bertanya apa ia sudah makan semuanya, dan ia
bilang ia sudah makan semuanya, meski sebenarnya ia membuang
buah itu. Meninggalkan rumah itu, ia terus berjalan namun tiba-tiba
kehilangan kesadaran. Ia tidak ingat apa pun lagi sampai ia berusia
tiga tahun dalam kehidupan ini, yang pada saat itu ia melihat orang
yang ia kenali sebagai salah satu anaknya dalam kehidupan lampau.

Kenyataan bahwa perempuan tua menawarkan buah ini menarik. Ini


pun terjadi dalam kasus Nang Tong Klub, perempuan muda yang saya
wawancarai pada tahun 1963 di Thailand Utara. Ia terlahir ke ibunya
yang sekarang untuk kedua kalinya. Ibunya menceritakan kisah ini.
Ia memiliki anak perempuan yang sangat ia sayangi namun gadis itu
malangnya suatu hari tenggelam di kanal, di samping wihara setempat.
Segera setelah tubuh gadis ini dikubur, ibunya bermimpi ada seorang
pria mengenakan pakaian putih memasuki kamarnya. Ia adalah pria
bertubuh besar, agak buncit. Berjubah putih, tentu saja, tidak dikenakan
para bhikkhu—yang memakai jubah kuning—namun dikenakan

269
KELAHI RAN UL ANG

para yogi yang menjalani kehidupan suci namun tidak ditahbis ke


dalam persamuhan bhikkhu. Orang ini memberitahunya untuk tidak
mencemasi putrinya. Ia mengatakan putrinya aman bersamanya dan ia
siap memulangkan putri itu kepadanya jika ia mendermakan sejumlah
arca emas dan perak ke wihara ini atas namanya.

Setelah mengalami mimpi ini, ibu itu bergegas melaksanakan perintah


pria berbaju putih ini. Ia mendermakan arca ke wihara dan pada
saat yang sama membuat tekad agar putrinya kembali kepadanya
dan supaya putrinya memiliki pertanda khusus yang bisa ia kenali.
Salah satu pertandanya adalah lekukan kecil di lipatan telinga kiri,
dan pertanda lainnya adalah sejumlah bintik hitam kecil, seperti tahi
lalat hitam, tepat di bawah bibir. Akhirnya, ia meminta agar anak
itu terlahir pada hari Kamis, yang merupakan hari yang lebih mujur
menurut kepercayaan Thai dibanding hari anak sebelumnya lahir.

Segera setelahnya, ibu itu mengandung dan pada waktunya, seorang


gadis terlahir darinya pada hari Kamis. Ibunya menamainya Tong
Klub, yang artinya “hartaku kembali”. Anak itu memiliki lekukan
kecil di telinga kirinya—masih cukup terlihat pada Tong Klub—
namun tanda yang seharusnya ada di bawah bibir entah bagaimana
pindah ke dada. Begitu Tong Klub mulai bicara, ia menyebut dirinya
dengan nama anak sebelumnya. Ia bicara banyak hal yang diketahui
ibunya sebagai kebenaran, mengenai baju dan benda rumah tangga
yang ia gunakan dan mengenai bagaimana ia dahulu bekerja keras
menghasilkan uang untuk ibunya.

Tong Klub juga ingat apa yang terjadi kepadanya setelah ia tenggelam.
Ia mengatakan ia menyadari dirinya berada di tempat ada pria
bertubuh tinggi, buncit, berpakaian putih persis gambaran orang
dalam mimpi ibunya. Orang ini mengatakan ia akan menjaganya dan

270
KELAHI RAN UL ANG

membuatnya bekerja untuknya namun ia juga sangat baik kepada


Tong Klub. Ia menawarkan buah, mengatakan bahwa itu akan
membuatnya lupa dengan kehidupan sebelumnya. Namun ia tidak
ingin lupa dan menolak makan buah itu. Alih-alih ia terus memintanya
untuk membiarkannya pulang. Kemudian ia memberitahunya bahwa
jika ibunya mendermakan arca Buddha ke wihara atas namanya, ia
akan membuat Tong Klub terlahir ulang sebagai anak perempuan dari
ibu yang sama. Setelahnya, hal berikutnya yang ia sadari adalah ia
kembali bersama ibunya.

Ini adalah kasus kedua di mana buah misterius ini memainkan peranan.
Ada pula kasus lainnya. Saya tidak bisa melacaknya, namun agaknya
pasti ada legenda di Thailand atau mungkin juga di Myanmar, bahwa
setelah kematian kita ditawari buah yang membuat kita melupakan
kehidupan silam. Itu bisa dibandingkan dengan air Lethe, sungai
kelupaan, dalam mitologi Yunani. Jika Anda tidak makan buahnya,
Anda tetap mempertahankan ingatan Anda. Saya belum menemukan
gagasan ini ke dalam kasus kelahiran mana pun di Sri Lanka atau India,
meski kami sering memiliki gagasan berulang mengenai seorang pria
yang muncul kepada, mengambil alih, dan kadang membawanya
menuju kelahiran baru.

Salah satu kasus seperti itu terjadi kepada Bhikkhu U Sobhana,


bhikkhu Myanmar yang lahir pada 5 November 1921, dan meninggal
di Rumah Sakit Myingyam di Thailand tahun 1964. Ia memberi
tahu saya bahwa sejak tahun-tahun paling awal, ia ingat kehidupan
lampaunya. Ia pernah menjadi penyurvei lahan bernama Maung Po
Thit dan menikahi Ma Shwethin. Ia memiliki satu putra, Maung Po
Min, yang berusia tiga tahun. Mereka tinggal di Desa Thananungdaing
di Myanmar Atas. Pada usia 36 tahun, ia terjangkit demam berat dan
dilarikan ke Rumah Sakit Myingyam. Ia ingat pergi dengan kereta

271
KELAHI RAN UL ANG

kerbau ke rumah sakit dan sampai di sana sewaktu hujan deras


musim penghujan. Setelah sampai di rumah sakit, ia hanya ingat
ia menemukan dirinya sendirian dalam hutan dan merasa sangat
tidak enak, lapar, dan haus. Ia berada dalam penderitaan hebat dan
tak menyadari bahwa ia sudah meninggal. Sekitar dua atau tiga jam
kemudian, ia melihat pria sangat tua dengan janggut dan kumis putih,
berpakaian putih dan membawa tongkat. Saat melihat petapa ini,
penderitaannya lenyap.

Pria tua ini memanggil namanya dan memberitahunya bahwa ia


harus mengikutinya. Ia mengikuti pria tua ini selama sejam sampai
saat mereka mencapai tempat yang ia kenali sebagai dekat desanya.
Mereka memasuki desa dan pergi ke rumah lamanya. Pria tua itu
memintanya menunggu di luar di samping pagar sembari ia masuk
ke dalam rumah. Hantu ini menunggu dan orang tua itu muncul lagi
setelah lima menit. Pria tua itu kemudian berkata, “Kamu harus ikut
aku ke rumah lainnya.” Mereka pergi ke arah barat sekitar tujuh rumah
dari sana, ke rumah kepala desa. Sekali lagi, yogi itu memintanya
menunggu di luar. Pria tua itu keluar dari rumah kepala desa lima
menit kemudian dan meminta U Sobhana masuk. Saat sudah di dalam,
ia memberitahunya, “Kamu harus tinggal di sini. Aku akan kembali.”
Kemudian petapa itu lenyap. U Sobhana melihat orang di rumah itu
namun tidak ingat hal lainnya.

Sementara, jasadnya dikeluarkan dari rumah sakit dan dikubur.


Tujuh hari kemudian, para bhikkhu diberi derma makanan sesuai
tradisi. Malam itu, istrinya bermimpi ia melihat pria tua berpakaian
putih yang berkata kepadanya, “Aku mengirim suamimu ke rumah
kepala desa.”

Pagi-paginya ia bangun dan pergi ke rumah kepala desa dan memberi

272
KELAHI RAN UL ANG

tahu istrinya mengenai mimpinya. Istri kepala desa mengatakan


ia mendapat mimpi ada orang tua muncul dan memberitahunya ia
memercayakan Maung Po Thit ke keluarga mereka. Ia membawa
Maung Po Thit ke dalam rumah dan kemudian lenyap. Sejak hari itu,
istri kepala desa mengandung dan pada waktunya U Sobhana terlahir.

Pada usia dua tahun, ia mampu menceritakan kepada ibunya semua hal
di atas dan mereka meyakini orang yang mereka lihat dalam keadaan
sebelum lahirnya adalah pria tua yang ibunya lihat dalam mimpinya
dan yang mantan istrinya lihat dalam mimpinya. Ia mengenali semua
saudara, sahabat, dan barang lampaunya. Ia bahkan mengingat utang-
utang lamanya. U Sobhana memberi tahu saya ia pernah melihat
orang tua itu sekali lagi dalam kehidupan ini. Pada saat krisis besar
terjadi, orang tua itu muncul dan memperingatkannya, agar ia
harus memberi tahu yang sejujurnya, apa pun akibatnya; jika tidak,
situasinya akan sangat buruk baginya. Bhikkhu U Sobhana berjanji
dan sungguh mengikuti nasihat orang tua itu dan segalanya berakhir
baik. Itu bukan mimpi namun suatu wawasan, ceritanya. Itu terjadi
larut malam sekali namun ia tidak terlelap dan penglihatannya jelas
dan nyata.

Kasus ini menggemakan keyakinan yang nyaris universal bahwa


ada roh penjaga atau malaikat yang membantu orang pada saat-saat
tertentu. Ini pun mengingatkan akan ajaran spiritualis bahwa saat
orang meninggal dan memasuki alam arwah, kita ditemui seseorang
yang mengajar dan bahkan memberi tahu kondisi kita. Spiritualis
dan umat Buddha setuju bahwa sering kali yang meninggal tidak
menyadari bahwa ia telah meninggal. Mereka pun setuju bahwa
dalam kehidupan selanjutnya, yang meninggal terus mengalami apa
yang ia alami dalam hidup atau apa latar latihan dan budayanya telah
mengondisikan apa yang diharapkan muncul. Demikianlah kita bisa

273
KELAHI RAN UL ANG

menduga bahwa pada saat kematian, seorang Kristiani akan pergi


ke surga jenis Kristiani atau tempat penyucian jenis Kristiani, dan
seorang Buddhis akan pergi ke surga atau neraka jenis Buddhis.

Saya pikir tidak benar-benar relevan bertanya apakah pengalaman ini


merupakan realitas objektif atau murni ciptaan subjektif. Ketika kita
bermimpi, kita mengalami pengalaman yang saat bermimpi, sama
nyatanya bagi kita seperti yang kita alami saat bangun. Saya rasa bisa
subjektif jika membuat perbandingan antara realitas di alam mimpi
dan realitas saat bangun, kecuali mengamati bahwa kondisi saat
bangun adalah kondisi yang sama-sama kita rasakan dengan orang
lain, sementara alam mimpi adalah dunia pengalaman pribadi.

Kita kini sampai ke masalah apa jenis tubuh makhluk atau roh
“tanpa tubuh” itu miliki. Beberapa orang medium roh menyatakan
mereka memiliki tubuh yang fungsinya sama dengan tubuh manusia,
memiliki mata, telinga, alat kelamin, dan seterusnya. Profesor C.D.
Broad mengomentari bahwa meski kita mungkin berpikir pernyataan
demikian sulit dinalar, kita tak memiliki hak mengabaikannya.
Kenyataan bahwa pernyataan seperti itu diucapkan pastinya
menandakan sesuatu yang asli dan penting sekalipun itu hanya ada
dalam psikologi medium itu, kata profesor itu.

Namun di sini kami memiliki bukti yang menunjukkan jenis tubuh


yang sama, namun bukti yang tidak berasal dari medium namun orang
hidup yang mengatakan bahwa mereka ingat berada dalam keadaan
antara dua kehidupan di dunia. Kita juga menemukan kesamaan
menarik antara pengalaman sebelum lahir dengan yang dilaporkan
oleh individu yang menyatakan memiliki pengalaman di luar tubuh.
Pengalaman keluar tubuh seperti itu memiliki banyak sebutan seperti
proyeksi astral atau proyeksi tubuh eter. Dalam ajaran Buddha, tubuh

274
KELAHI RAN UL ANG

eter disebut manomayakāya, badan bentukan batin. Saya pikir istilah


itu menunjukkan hal yang sama. Ada tubuh seperti itu, yang memiliki
materi penyusun yang berbeda dari tubuh fisik, dan eksis di tataran
frekuensi getaran yang agak berbeda. Saat kita menimbang berapa
banyak orang hidup yang mengalami keluar dari tubuh, kita harus
menimbang bahwa pengalaman sangat nyata yang dipaparkan di
sini dan bahwa kasus ini menerangi dengan penting keadaan yang
bisa kita alami sendiri saat kita meninggal. Ini pun sesuai dengan
ajaran dalam The Tibetan Book of the Dead, kitab ajaran lama Tibet
yang diterjemahkan W.Y. Evans-Wentz dan didesain untuk mengajari
kesadaran yang baru terlepas dari raganya.

Saya telah mengumpulkan banyak lagi kasus ingatan pasca-kematian


dan pra-kelahiran. Banyak menampilkan yogi berpakaian putih dan
beberapa dari mereka menampilkan buah kelupaan. Kasus yang telah
saya kutip adalah perwakilan dari materi yang telah saya kumpulkan.
Harus dipahami bahwa tidak ada yang merupakan bukti dalam cerita-
cerita ini; mereka murni ada dalam tataran cerita. Kita tidak memiliki
sarana memeriksa seperti saat kita memeriksa ingatan kehidupan
di dunia sebelumnya seperti saat saya membantu Dr. Ian Stevenson.
Sampai sejauh riset mengenai kelahiran ulang ini, kasus-kasus ini
tidak bisa dibuktikan atau tidak dibuktikan harus dikesampingkan.
Namun saya pikir bahwa dalam konteks riset fenomena adikodrati,
kasus-kasus ini sendiri masih memiliki nilai yang cukup bersar.

Akan bermanfaat membandingkan pengalaman yang diceritakan


orang Asia dengan orang Barat yang telah kami dokumentasikan—
kami memiliki banyak contoh kasus Barat pula. Faktanya, materi
yang telah kami miliki cukup untuk menyediakan hal signifikan bagi
banyak riset lain.

275
KELAHI RAN UL ANG

SERBA-SERBI KASUS INGATAN KELAHIRAN ULANG

Pendahuluan

Kasus berikutnya yang diselidiki selama tahun 1960-an adalah kasus


yang dengan satu atau lain alasan tidak memiliki rincian yang bisa
dikonfirmasi, namun telah diselidiki sejauh yang bisa dilakukan sesuai
keadaan. Bobot kasus itu sebagian besar ditunjukkan dari karakter
dan status orang yang menceritakan mereka, dari fakta bahwa subjek
tidak memiliki keuntungan materi dengan pernyataan mereka
mengingat kembali (dalam artian terluasnya) kehidupan lampaunya,
dan dari kesan umum integritas dan ketulusan dalam memberikan
pengalaman mereka. Dalam beberapa kasus, situasi yang diceritakan
telah bertahun-tahun diketahui oleh teman-teman subjek, dan kapan
pun dimungkinkan, kesaksian mereka juga dicatat. Dalam beberapa
kasus ada kemungkinan proses pemastian lebih lanjut dari sumber
yang tidak terjangkau pada saat naskah ini dibuat.

Sri Lanka
1

Ranjith Makalanda, putra Tuan Makalandage Sam de Silva dari Kotte,


Sri Lanka, berusia sekitar tiga setengah tahun saat ia memberi tahu
ibunya, saudara dan saudarinya, “Kalian bukan saudaraku. Ayahku
dan yang lainnya ada di Inggris.” Ia mengatakan ayahnya bekerja di
kapal uap besar, dan biasanya kembali ke rumah setelah pelayaran
keliling dunia. Ia biasa mengantarkan makan siang ayahnya ke
tempat ia bekerja, dan membawa saudarinya ke gereja pada hari
Minggu dengan motornya. Ia menggambarkan suasana musim dingin
di Inggris, dengan salju dan badai es, yang tak pernah ia alami dalam
hidupnya di Sri Lanka. Ia memberi penggambaran lain mengenai

276
KELAHI RAN UL ANG

kehidupan lampaunya, yang sesuai dengan kondisi di Inggris.

Pernah, saat ulang tahunnya, orangtuanya memberitahunya bahwa


ibu Inggrisnya ingin bicara kepadanya lewat radio. Mereka sebelumnya
telah mengirimkan salam ulang tahun untuk disiarkan kepadanya
dari Radio Ceylon pada tanggal itu. Ketika waktunya sudah dekat, ia
menempel dekat corong suara, dan saat suara penyiar perempuan
itu terdengar membacakan pesannya, ia berkata, “Itu ibuku! Begitu
caranya ia bicara.” Aksen Inggris penyiar Radio Ceylon itu lebih dekat
dengan aksen standar Inggris daripada yang biasanya ia dengar.

Ranjith Makalanda, menurut pernyataan ayahnya, merupakan orang


aneh di lingkungannya. Ia menganggap dirinya bocah Inggris, dan
menunjukkan banyak sifat orang Inggris, seperti lebih suka makanan
Inggris daripada Sri Lanka, dan menunjukkan sikap mandiri dan
banyak sifat yang lebih kebaratan daripada Sri Lanka. Pada usia
empat belas ia ingin meninggalkan sekolah dan bekerja. Kemudian,
ia mewujudkan ambisi idamannya untuk pergi ke Inggris, tempat ia
merasa betah, mendapat kerja, dan pada umumnya beradaptasi lebih
baik ke kondisi di sana daripada di Sri Lanka.

Dari banyak sifat non-Sri Lanka yang ditunjukkan Rajith di antaranya


adalah kesukaannya akan roti dan mentega daripada nasi, dan
penggunaan pisau dan garpu alih-alih makan dengan jarinya.
Tidak seperti anak Sri Lanka lainnya, ia tak pernah pergi dengan
bertelanjang kaki, namun selalu bersikeras memakai sepatu dan kaus
kaki. Dari usianya yang paling dini, ia tak menunjukkan kasih sayang
kepada orangtuanya, namun selalu bicara tentang rumah dan ibunya
di Inggris. Keluarganya semua Buddhis, namun Ranjith berkeras ia
dahulu Kristen. Ia kini Buddhis.

277
KELAHI RAN UL ANG

Tidak ada pemastian objektif tentang kasus ini, karena bocah itu
tidak bisa mengingat nama atau data persis lainnya, namun bukti
psikologisnya sangat kuat. Bisa disebutkan bahwa pada waktu Ranjith
mulai bicara mengenai kehidupan lampaunya, dua puluh tahun yang
lalu, ayahnya memiliki kebencian besar kepada orang Inggris karena
alasan politik, dan tidak ada hal dalam lingkungan anak itu yang bisa
mendorongnya meyakini bahwa ia orang Inggris.

Di Ambalangoda, Sri Lanka, gadis berumur tujuh tahun, Prasantha


Ramani Senawardena, mengaku mengingat kehidupan lampaunya
di Manipur, India, saat ia dahulunya penari. Anak ini, tanpa diajari
sebelumnya, mampu melakukan tarian India yang sangat rumit sejak
usia sangat dini. Ia menjabarkan tempat ia dahulu hidup sangat jauh
dari Sri Lanka. Tempat itu ada di samping sungai, dengan jembatan
gantung di dekatnya dan beberapa toko di tepian seberang. Rumahnya
besar dengan enam kamar dan bisa terlihat dari jembatan. Di rumah
itu ada paman, kakak perempuan dan laki-laki, serta dua adik
perempuan dan satu adik laki-laki. Salah satu kakak perempuannya
adalah penari yang lebih andal dari dirinya. Pekerjaan pamannya
adalah membongkar bawang merah ke kapal yang berdagang di
sepanjang sungai. Ia mengatakan namanya sendiri adalah Rani, nama
kakak laki-lakinya Chandram, dan kakak perempuan yang menari
lebih baik darinya bernama Indrani. Ini adalah nama-nama India yang
tidak umum ditemukan di antara orang Sri Lanka.

Ia sering bicara mengenai kehidupan lampaunya, biasanya setelah


lama merenung sendiri. Pernah ia berkata, “Tak jauh dari rumahku
ada tempat film ditayangkan. Kakak perempuanku dan aku pergi ke
sana beberapa kali. Nama aulanya Dharani.”

278
KELAHI RAN UL ANG

Saat ditanya bagaimana ia bisa terlahir di Sri Lanka, ia menjawab,


“Suatu hari kakak laki-lakiku sedang mandi di sungai. Ada karang
besar di tempat pemandian di sungai, sebagian karang itu ada di tepian
dan sisanya dalam air. Aku duduk di karang itu dan menonton kakak
laki-lakiku, dan selagi melakukannya, aku jatuh dari karang besar
itu ke gundukan karang lain. Kakiku patah. Saudariku membawaku
ke rumah sakit dan aku diletakkan di ranjang. Dari sana aku muncul
kemari.”

Prasantha mengatakan bahwa jika ia dibawa ke Manipur, ia akan bisa


mengenali dan menunjukkan semua tempat dan orang yang ia ingat.
Orangtuanya mengungkapkan kesediaan mereka kepadanya agar
mendapat penyelidikan penuh, namun belum mungkin membawanya
ke Manipur untuk tujuan ini. Ia tak diragukan lagi berbakat sebagai
penari, dan telah mendapatkan penghargaan beberapa kali dalam
festival tari Sri Lanka. Penari profesional berpendapat bahwa ia
memiliki kemampuan menari setara dengan para penari terbaik.

(Kasus diselidiki oleh Francis Story tahun 1962).

Ranjith Anura Senanayake, bocah berumur tiga tahun yang hidup


di Rattota, Ambagasthanne, Sri Lanka, mulai memberi keterangan
mengenai kehidupan lampaunya, mengatakan bahwa ia pernah
hidup di tempat yang disebut Butanne. Ia mengatakan bahwa mantan
ayahnya memakai sarung bergaris-garis dan memiliki “bekas luka”
kecil di kepalanya. Ia pergi ke kantornya setiap hari dan pulang
larut malam. Ibunya biasanya pergi ke pasar dan membeli makanan,
membawa pulang banyak pakkade, sejenis kue, yang sangat ia sukai. Ia
ingat bagaimana ibunya biasa memerah susu sapi dan mendidihkan

279
KELAHI RAN UL ANG

susu sebelum diberikan kepadanya. Ia mengatakan ia mencintai ibu


sebelumnya lebih dari ibu yang kini. Rumah tempat mereka hidup
lebih besar dari rumahnya yang sekarang; rumah itu memiliki
lantai tegel dan pohon buah di kebunnya. Ada banyak perabot di
dalamnya, termasuk almari besar, yang di paling bawahnya ada kotak
uang tempat ia menaruh tabungannya. Ranjith biasa menggunakan
beberapa kata uang tidak pernah ia dengar dalam kehidupan kini,
di antaranya beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ia mengatakan
mantan guru sekolahnya disebut “Madam” dan ia biasanya memakai
dasi. Guru sekolahnya biasa mengelus kepalanya saat hendak berpisah
dan mengatakan, “Ta-ta!” Ini adalah cara mengucapkan “selamat
berpisah” dalam bahasa Inggris kepada anak-anak. Itu adalah kata lain
yang belum pernah Ranjith dengar dalam kehidupan yang sekarang.

Ia memberikan beberapa hal identifikasi lainnya. Akan tetapi, belum


bisa memastikan hal-hal ini, terutama karena kehidupan lampaunya
sudah lama sekali. Bahkan nama tempat yang diklaim Ranjith sebagai
rumah lampaunya tampaknya telah berubah. Akan tetapi, anak itu
mempunyai ingatan sangat jelas mengenai kelahiran lampaunya, dan
sering menangis minta dibawa ke Butanne.

(Kasus diselidiki oleh Francis Story tahun 1963)

Myanmar
1

U Ba Hlaing (alias Peter Knight), terlahir ulang 2 Januari, 1927, di


Maymyo, Myanmar Atas, adalah salah satu dari anak kembar. Saat ia
mulai bicara, ia mengatakan bahwa ia dahulu adalah kapten di Tentara
Inggris, dan kembarannya yang lebih muda adalah pelayan Indianya.
Ia berkebangsaan Eropa (kemungkinan Inggris) dan menikah dengan

280
KELAHI RAN UL ANG

gadis Eropa. Ia ingat memiliki banyak kuda, dan ada suatu perang.
Mereka menyerang sejumlah negara, bertempur dengan senjata api.
Akhirnya pasukannya kalah, dan ia sendiri tidak ingin ditawan, ia
membunuh istri dan pelayannya, lalu dirinya sendiri.

Banyak rincian lain diceritakan anak itu ke ibunya, yang saat itu
menulisnya, namun sayangnya catatannya kemudian hilang. Anak
itu selalu memperlakukan kembarannya seperti pelayan, dan
memanggilnya dengan nama alih-alih menyapanya sebagai “saudara”.
Meski anak itu kembar, keduanya memiliki penampilan yang sangat
berbeda. Ba Hlaing tampan dan kurus, sementara saudaranya berkulit
gelap dan gemuk. Fakta ini dipastikan oleh saudari mereka. Kapan
pun ayah mereka memukulnya, Ba Hlaing akan memegang kedua
tangannya di atas kepalanya seperti sikap menyerah dalam militer.
Kembaran lebih muda bereaksi berbeda terhadap pemukulan, berdiri
kaku dan diam. Ia adalah bocah yang diam, sedih, pasrah, sangat
berbeda sikapnya dengan Ba Hlaing yang lebih cerdas. Saudara
kembarnya meninggal tahun 1942.

Ba Hlaing selalu menyenangi pakaian Inggris; ia lebih suka


mengenakan warna putih, sementara orang Myanmar senang
mengenakan warna-warni. Ia selalu bersikeras agar pakaiannya
sangat bersih.

(Ba Hlaing dan saudarinya diwawancara oleh Francis Story di


Rangoon, 1961.)

Michael Ohn Gaing terlahir dari orangtua Myanmar di Mumbai pada


28 Oktober 1950. Ayahnya bernama U Ohn Gaing dan ibunya Daw

281
KELAHI RAN UL ANG

Khin May Yee, yang juga dikenal sebagai Mary Knight (ayahnya orang
India, ibunya orang Myanmar).

Pada saat anak itu dikandung, orangtuanya tinggal di Rambagh,


Mankhut, cukup jauh dari Mumbai. Segera setelah anak itu lahir,
Nyonya Ohn Gaing mendapat mimpi, yang di dalamnya ia pergi ke
Fort, Mumbai, dan membeli kotak aluminium di pasar. Seorang
warga India melompat ke dalam kotak dan menemaninya pulang di
dalamnya. Michael terlahir beberapa bulan kemudian.

Nyonya Ohn Gaing punya tujuh anak, termasuk sepasang kembar.


Sebelum tiap kelahiran ia mendapat mimpi penting. Sekitar dua
bulan sebelum kembar lahir, ia bermimpi akan kaktus kembar, yang
memiliki dua cabang dalam satu pokok.

Sekitar umur dua tahun dan enam bulan, Michael mulai bicara ke
kakak laki-laki dan pelayannya, mengatakan bahwa ia punya lima anak
di India—tiga putra dan dua putri. Ia mengatakan bahwa ia dahulu
adalah “doodh-wallah” (tukang susu) dan sangat senang bermain kartu.
Ia selalu menunjukkan minat besar pada sapi dan selalu menggambar
sapi. Rambagh, tempat orangtuanya tinggal, adalah wilayah “doodh-
wallah”; orangtuanya meninggalkan India dan kembali ke Myanmar
saat Michael berumur dua bulan, jadi ia tidak mungkin mengetahui
hal-hal ini dengan cara biasa.

Ayah Michael memiliki station wagon tua, yang mesinnya selalu


bermasalah. Saat ini terjadi, anak itu mengatakan, “Belilah mobil
baru, Ayah. Aku punya banyak uang.” Ia memberi tahu mereka ia
menyimpan uang di bawah pohon mangga, dalam koper besar. Ia
juga bicara mengenai rumahnya, menjabarkannya, dan menggambar
lukisan rumahnya.

282
KELAHI RAN UL ANG

Saat mereka hendak meninggalkan India, orangtuanya tidak mampu


memastikan pernyataan mengenai rumah dan keluarga ini, namun
perilaku anak itu sangat konsisten dengan pernyataannya. Ia bicara
banyak mengenai keluarga lampaunya dan sangat berminat pada sapi.
Ia senang menggambar sapi dan menyukai mainan sapi kecil, yang
biasa diberi ibunya sebagai hadiah. Ia terus-menerus bicara mengenai
hewan ternak.

Pada usia lima tahun, ia tinggal di Rangoon bersama orangtuanya.


Suatu hari, selama musim hujan, mereka semua duduk di depan
rumah, melihat ke luar, saat serta-merta Michael menangis keras.
Ketika ditanya kenapa, ia menunjuk ke seekor sapi di luar, mengatakan
bahwa sapi itu mesti diberi makan. Biasanya Michael tidak menangis
tanpa alasan yang baik. Minat terhadap sapi dan kesejahteraannya
adalah sifat khas orang India, terutama untuk pemilik ternak. Sifat ini
tak ditemukan di antara warga Myanmar.

Pada kesempatan lain, Michael melihat beberapa sapi digiring menuju


masjid untuk kurban. Ia sangat sedih. Ia mengatakan sapi menangis,
dengan air mata mengalir dari mata sapi itu. Setelah itu, ia selalu
menolak makan daging.

Ketika berusia sekitar delapan, Michael dibawa mengunjungi seorang


paman di Myanmar Atas. Ada beberapa sapi di sana, dan bocah itu
menunjuk dirinya untuk memberi makan dan merawatnya. “Aku
harus memberi makan sapiku,” ia sering berkata. Alih-alih main
dengan anak lainnya, ia hanya peduli tentang sapi. Ia menemukan
pohon dengan buah yang disukai sapi (koke-ko) dan menghabiskan
waktu mengumpulkan buahnya.

Karena ingatan mengenai kehidupan lampau tampak membuatnya

283
KELAHI RAN UL ANG

sedih, orangtuanya berupaya menghentikannya membicarakan dan


memikirkannya.

Kasus ini diselidiki Francis Story di Rangoon pada Desember 1961.


Ia menanyai orangtua dan anak kecil itu. Menjawab pertanyaannya,
Michael mengatakan bahwa dalam kehidupan sebelumnya, ia menjadi
orang lanjut usia. Anak-anaknya hadir saat ia meninggal. Selama
wawancara ia menunjukkan emosi saat bicara mengenai keluarga dan
sapi yang ia miliki dalam keberadaan sebelumnya.

India
1

Tahun 1964, Sunil Dutt, anak usia empat tahun, putra Tuan Chadammi
Lal Saksena dari Bareilly, India, menyatakan bahwa ia bisa mengingat
kehidupan lampaunya.

Itu dimulai saat anak itu terus-menerus menolak melakukan pekerjaan


apa pun selama beberapa hari. Kapan pun ia disuruh melakukan ini itu
oleh orangtuanya, ia meminta orangtuanya tidak mengusiknya namun
menyelesaikan pekerjaan itu dengan pelayannya. Orangtuanya tidak
menanggapi pembicaraan “pelayannya” dengan serius. Saat ayahnya
membawanya untuk masuk suatu sekolah, Sunil menolak belajar di
sana. Ia mengatakan ia akan belajar di sekolahnya sendiri di Budaun.

Saat ditanya mengenai sekolah ini, ia bilang bahwa ia dahulu adalah Seth
Krishna dan ia memiliki sekolah di Budaun. Memang sesungguhnya ada
seorang Seth Shrikhrisna, yang merupakan pendiri Seth Shrikrishna
Intermediate College, Budaun; ia meninggal tahun 1951.

Orangtuanya yang kaget membawa anak itu ke Budaun pada 29

284
KELAHI RAN UL ANG

Desember 1963. Sunil seketika mengenali bangunan gedung itu dan


berkomentar bahwa papan nama besar yang memuat namanya telah
hilang dari dinding sekolah. Ia menunjukkan tempat papan nama itu
dahulunya dipasang.

Anak kecil itu memasuki sekolah tanpa dipandu apa pun dan bergegas
menuju kantor kepala sekolah, namun kecewa saat melihat “orang
asing” duduk di kursi kepala sekolah. Sebenarnya, kepala sekolah yang
ditunjuk Seth mendiang telah turun jabatan setelah kematian Seth.

Sunil kemudian dibawa ke Kilang Minyak Shri Krishna tempat ia


bergegas menuju ke “gaddi” dan duduk di atasnya seperti yang biasa
dilakukan Seth. Kemudian ia memanggil Shafaat, pelayan tua, dan
menanyakan kabarnya.

Sunil kemudian berkeliling dengan riang dalam kilang dan pada suatu
tempat ia menunjuk papan yang menampilkan namanya. Papan itu
terletak di serambi, terliputi debu.

Tiba-tiba anak itu bergegas ke sayap kilang tempat Seth biasanya


tinggal dan bertanya mengenai “istrinya”. Istri Seth dahulu bernama
Nyonya Shakuntala Devi, namun sepeninggal Seth ia mulai tinggal
bersama anak adopsi Seth di Mohalla, Birampur. Saat diberi tahu hal
ini, Sunil sangatlah sedih.

Ketika ditunjukkan foto keluarga Seth, Sunil mengenali Seth sebagai


dirinya, dan juga mengenali anggota keluarganya.

Tatkala Sunil melihat saudari tua Seth dan saudara iparnya di


antara orang-orang di kilang, ia menyentuh kaki. Ia sangat enggan
meninggalkan kilang. Selagi mereka berkeliling kota, Sunil

285
KELAHI RAN UL ANG

menunjukkan gerbang indah Taman Gandhi, yang ia bangun sendiri


tahun 1948.

Sunil mengenali Tuan S.D. Pathak, mantan kepala sekolah S.K. College
di antara tiga puluh orang. Ia bergegas menuju dan memeluknya.
Kemudian ia duduk di pangkuan Tuan Pathak. Sunil memberi tahu
ayahnya, Tuan Saksena, bahwa ia mau diajar Tuan Pathak.

Kemudian, Sunil dibawa ke kediaman janda Seth. Saat mereka


bertemu, mereka berdiri menatapi satu sama lain dan airmata muncul
di mata mereka. Sunil kemudian menanyainya mengenai citra
dewa keluarga mereka yang, Seth sendiri, telah hadiahkan kepada
istrinya. Ia mengenali kotak tempat Seth menaruh pakaiannya. Saat
perpisahan, Sunil menepuk-nepuk tangan istri lampaunya.

Suatu tonga dibawa untuk mengangkutnya bersama kedua


orangtuanya. Anak itu kemudian bertanya mengenai tonga-nya, yang
ditarik kuda hitam, dan sedih saat mengetahui bahwa itu sudah dijual.

Saat ditanya apakah ia mengenal Tuan J.D. Shukla, I.C.S., yang


merupakan Hakim Distrik Budaun pada tahun 1947-1949, anak itu
menjawab ya. Ketika ditunjukkan suatu foto bersama, ia mengenali
Tuan Shukla, yang kemudian menjadi Komisioner Divisi Allahabad.
Orangtua Sunil yang kebingungan tidak mengizinkan anak itu
difoto. Mereka bergegas pulang ke Bareilly dan tak seorang pun
diizinkan menanyainya lebih lanjut. Akan tetapi, pada kemudian
hari, penyelidikan menyeluruh dilakukan dan fakta-fakta kasus ini
dipastikan dengan baik.

(Kasus ini diselidiki Francis Story dan Dr. Ian Stevenson tahun 1964).

286
KELAHI RAN UL ANG

Subjek kasus ini, S.B. Barua, adalah umat Buddha Chittagong yang lahir
dan dibesarkan di Myanmar Atas. Ia hidup di Kalkuta pada tahun 1963.
Beberapa tahun sebelum 1963, ia telah berlatih meditasi di Kammayut
Meditation Centre di Rangoon. Ia tidak mampu mendapat kemajuan
mengembangkan keheningan karena selalu terusik bunyi lonceng
terus-menerus. Suaranya itu seperti lonceng kekang kuda. Pada saat
yang sama, ia merasakan sensasi bergerak bersama dan dari waktu
ke waktu, pecutan dan gatal dirasakan di berbagai bagian tubuhnya,
seolah ia digigit lalat. Ia merasakan keinginan menghalau mereka dan
kaget menemukan bahwa tidak ada lalat dalam ruangan itu.

Mengingat ciri fisik dan sensasi pendengaran selama upaya meditasi


ini, ia menyimpulkan bahwa kesan utama yang muncul adalah ia kuda
yang menarik sejenis kereta yang memiliki suara bel kekang. Karena
ia tidak bisa mengatasi gangguan ini, ia akhirnya berhenti meditasi.

Ia menyatakan bahwa sejak dini ia telah memiliki kasih sayang


besar kepada kuda dan perasaan akrab dengannya. Ia selalu tergerak
saat melihat kuda yang menderita—pemandangan yang begitu
umum di India dan jarang sekali ada orang yang memerhatikannya.
Lebih lanjut, ia memiliki bakat mampu menjinakkan kuda dan
memenangkan hati kuda. Ia sering menenangkan kuda gelisah ketika
orang lain telah gagal.

Ciri fisiknya, ia pikir, agak menyiratkan seekor kuda dan,


sesungguhnya, ia janggalnya jangkung dan memiliki tulang besar
untuk ukuran orang Chittagong. Wajahnya panjang, dengan hidung
panjang agak melengkung, gigi besar, dan dahi masuk ke dalam. Ia
sadar akan wajahnya yang seperti kuda namun tidak mengetahui

287
KELAHI RAN UL ANG

bahwa kemiripan itu bahkan makin menonjol lagi dalam kasus ini.
Suaranya sengau, kadang diseret, dan memiliki ciri seperti suara kuda
dalam getarannya, terutama saat ia bicara secara meditatif seolah
ke dirinya sendiri, yang sering ia lakukan. Saat kanak-kanak ia aktif,
senang bermain, dan pelari yang baik. Secara psikologis, ia memiliki
batin agak lamban dan mudah dibujuk.

Saya menunjukkan kepadanya metode memperoleh konsentrasi batin


dan selagi melakukannya, saya membuatnya masuk dalam keadaan
hipnosis. Ini diulang beberapa kali dalam durasi beberapa hari sampai
ia mampu melaksanakan suatu sugesti pasca-hipnosis. (Ia dibuat
tidak mampu bicara atau memahami bahasa Bengal, bahasa ibunya).
Di bawah regresi, ia kembali mendengar suara denting lonceng dan
memiliki sensasi yang sama seperti dalam meditasi. Akan tetapi,
regresinya tidak sempurna.

Komentar Kasus

Sedikit sekali yang bisa dikomentari dalam kasus ini. Tidak ada
alasan jelas mengapa seseorang mau mengidentifikasi dirinya
dengan kuda. Pada saat yang sama, tidak ada bukti objektif mengenai
keyakinannya yang bisa diperoleh. Subjek ini memiliki keyakinan
kuat bahwa kehidupan sebelumnya ia menjadi kuda, namun apakah
ini disugestikan dirinya karena penampilannya yang “menyerupai
kuda” dan rasa empatinya, lalu kemudian diperkuat khayalan yang
dipicu meditasi, tidak mungkin bisa dipastikan. Ini bukan kasus yang
bisa ditafsir secara ilmiah.

288
KELAHI RAN UL ANG

Thailand
1

Phra Kemy adalah bhikkhu Kamboja yang tinggal, pada tahun 1963,
di Wat Mahamakut Buddhist University, Bangkok. Ia berbicara
bahasa Perancis dan Inggris. Ia menyatakan bahwa saat ia berusia
sepuluh tahun, orangtuanya memberitahunya bahwa saat ia bayi, ia
menyatakan bahwa ia adalah mendiang putra sulung mereka yang
terlahir ulang. Ia mengatakan hal ini saat ia pertama kali mulai bicara,
mengatakan bahwa ia telah mengikuti orangtuanya sedari tempat
kremasi dan tinggal bersama mereka sampai ia bisa terlahir ulang. Ia
memberi tahu mereka nama sebelumnya, Teav Seang, dengan tepat.

Kedua orangtuanya saat itu sudah meninggal, namun saudari dan


saudara kandungnya masih hidup di tempat lahirnya di Kamboja.
Mereka memanggilnya dengan nama lampaunya, Teav Seang,
dan ia menganggap kakak perempuannya yang kini sebagai adik
perempuannya. Ia tidak ingat apa pun lainnya dan cenderung
meragukan kisah kelahiran ulang itu. Alasan satu-satunya ia
meragukannya adalah fakta bahwa ia tidak bisa mengingat apa yang
ia ceritakan kepada orangtuanya saat ia pertama kali bisa bicara;
namun ia tidak berpikir mereka hendak mendustainya atau tertipu
sendiri. Ia tidak tahu berapa usia Teav Seang saat ia meninggal,
namun memercayai usianya sekitar 16 dan 17. Ia tidak mengatakan
apakah ia mirip dengan Teav Seang dalam hal apa pun Ia memercayai
durasi beberapa tahun berlalu antara kelahiran Teav Seang dan
kelahirannya.

Phra Kemy sangat kooperatif dan bersedia menjalani hipnosis oleh


Dr. Chien Siriyananda namun regresi itu tidak berhasil. Karena ia
kembali ke Kamboja segera setelah sesi itu, tidak ada kesempatan
untuk regresi berikutnya.
289
KELAHI RAN UL ANG

Dalam mengisahkan ceritanya, bhikkhu muda ini menunjukkan


bahwa dirinya tertarik sekali dengan kasusnya namun ragu-ragu
memercayainya dan jelas sangat hati-hati agar tidak melampaui
informasi yang bisa ia yakini dari pengetahuannya sendiri.
Kemungkinan terbesar bahwa keraguannya disebabkan paparan ke
gagasan modern (materialistik) selama pendidikannya. Ia memiliki
bacaan luas dalam bahasa Perancis dan Inggris.

Ada kemungkinan penyelidikan lebih lanjut mengenai kasusnya pada


kemudian hari di Kamboja. Ia adalah subjek hipnosis yang baik dan
regresi mungkin bisa dicapai dalam sesi kedua atau ketiga. Bukti
lebih lanjut bisa diperoleh dari sanak saudara dan orang lain di desa
kelahirannya.

Ayah Lam San Kantapurar adalah seorang umat Sikh Punjab yang
menjadi Buddhis. Ibunya tetap beragama Sikh. Anak ini (lahir 1955)
masuk ke Sekolah Buddhis Sammajiva-silpa Mulnidhi, Bangkok. Ia
mulia bicara begitu berumur dua tahun. Pada usia itu ia melihat gambar
dewa dan menunjuk kepadanya ia berkata, “Itu adalah yakkha.”
(“Yakkha” adalah istilah kitab suci Buddhis untuk golongan makhluk
halus tertentu; istilah ini tidak umum digunakan zaman sekarang.)
Orangtuanya yakin bahwa ia belum mendengar kata itu dalam
kehidupannya yang sekarang. Anak itu menceritakan kepada mereka
bahwa ia sebelumnya adalah orang Cina, setelah itu menjadi dewa, dan
kini menjadi orang India. Ia senang mendengar musik Cina di radio
dari musik lainnya dan menunjukkan beberapa ciri khas orang Cina. Ia
tidak pernah mau minum susu, namun selalu minta teh; bahkan pada
tahun 1963, ia tidak akan mau minum susu kecuali kalau berwarna.
Bahkan saat tidur, ia selalu menggulung baju dalamnya seperti yang

290
KELAHI RAN UL ANG

sering dilakukan orang Cina. Orangtua dan gurunya mengatakan


bahwa suaranya memiliki aksen Cina, dan pengejaan bahasa Hindinya
tidak jelas dan bagus dibanding saudara dan saudarinya. Namun apa
yang paling mencolok adalah fakta bahwa Lam Sam selalu lebih suka
bermain dengan anak-anak Cina dan menolak bergaul dengan teman-
teman Indianya di sekolah. Jika sahabat Cinanya datang menonton
televisinya, ia menyambut mereka, namun ia mengusir teman India
dan Thainya. Kepala sekolahnya, Nyonya Sisalab Kokilananda, yang
hadir dalam wawancara saya, turut menguatkan pernyataan ini. Ia
sering mengamati bahwa Lam Sam lebih suka bermain dengan anak-
anak Cina dan menganggap hal itu tidak biasa.

Ditanya melalui penerjemah, bocah itu mengatakan bahwa ia dengan


jelas mengingat beberapa fakta kehidupannya sebagai orang Cina.
Ia memiliki toko daging dan biasa membunuh hewan—ayam, bebek,
dan babi—untuk dijual dan dimakannya sendiri. Namun menjelang
akhir hidupnya, ia berhenti menjagal hewan dan makan daging, yang
merupakan penyebab ia kemudian terlahir ulang sebagai dewa dan
kemudian orang India. Ia tidak ingat apa pun mengenai keluarganya
sewaktu menjadi orang Cina namun meyakini bahwa itu sudah lama
sekali dan ia menjadi dewa selama periode yang lama. Ditanya apa
jenis pakaian yang dikenakan dewa, ia mengatakan bahwa para dewa
berpakaian dengan baju gaya Cina. Ia mengatakan bahwa ia lebih suka
menjadi orang Cina sekarang tetapi tidak akan membunuh hewan.
Dalam kehidupan kini, ia selalu menolak makan daging.

Komentar Kasus

Lingkungan dan latar keluarga anak itu memberikan berbagai ciri


menarik. Ayahnya, yang merupakan pemilik toko buku di sudut
Bangkok tempat terdapat komunitas Sikh kecil, telah berdomisili

291
KELAHI RAN UL ANG

di Thailand selama bertahun-tahun dan menjadi Buddhis karena


pengaruh lingkungan. Ia telah meninggalkan ciri khas Sikhnya,
namun istrinya masih memakai baju Punjab dan belum menganut
ajaran Buddha. Putranya, Lam Sam, diberi pendidikan Buddhis
namun melalui pengaruh ibunya, ia masih memiliki rambut panjang
orang Sikh. Tampaknya tidak ada ketegangan dalam keluarga karena
perbedaan agama dan anak-anak itu sama sekali tak terpengaruh. Tak
seorang pun dari keluarga itu bicara bahasa Inggris.

Jika memandang perasaan berkelompok kuat di antara orang India,


yang, bahkan lebih menyolok di antara orang India yang hidup di luar,
kesukaan Lam Sam terhadap teman bermain Cina adalah sesuatu yang
cukup luar biasa. Wawancara ayah dan ibunya gagal mengungkap
adanya penyebab psikologis mengenai hal ini dalam kehidupan kini.
Disepakati semua orang yang mengenal bocah itu bahwa ia berbeda
jauh dengan saudara kandungnya dalam selera dan pola perilaku dan
dalam beberapa hal masih menolak menyesuaikan dengan norma
kehidupan India. Misalnya, ia tidak suka duduk bersila untuk makan,
lebih suka makan di meja sambil duduk di kursi.

Secara fisik, ia kurus dan berkulit cerah, dan meski bukan aneh bagi
seorang Punjab, ia memiliki warna kulit lebih pucat dari orangtuanya.
Saudara kandungnya tidak hadir untuk menjadi perbandingan. Secara
batin ia tampak sadar dan cerdas. Saat ditanya mengenai kehidupan
lampaunya, ia tampak membuat upaya keras untuk mengingat,
namun tak bisa mengingat rincian fakta apa pun yang memberikan
petunjuk periode kehidupan Cinanya. Ia juga tak bisa memberi
informasi rinci mengenai kelahiran antaranya (menurut doktrin
Buddhis, kehidupan di alam surgawi bisa mencapai durasi beberapa
abad). Orangtua Lam Sam mengatakan bahwa sejak usia sangat belia
ia mengetahui beberapa kosakata Cina namun kemungkinan bahwa ia

292
KELAHI RAN UL ANG

mempelajari hal ini dari anak-anak Cina yang senang ia kawani tidak
bisa diabaikan.

Ibunya, Amrit Gaur, diwawancara terpisah, dengan bantuan


terjemahan seorang bhikkhu India, Bhikkhu Nāgasena dari Wat
Benchamabophitr. Ia meyakinkan bukti yang diberikan ayahnya
mengenai kesukaan bocah itu terhadap kawan Cina. Tidak ada orang
Cina yang tinggal di dekatnya pada waktu anak itu dikandung atau
di tempat kelahirannya. Ia ingat bahwa sementara kelahiran anak-
anak lain sulit, kelahiran Lam Sam mudah. Sementara mengakui
fakta-fakta di atas, ia tampaknya enggan meyakini bahwa putranya
adalah orang Cina pada kehidupan lampau. Saat ditanya langsung
mengenai keunikannya, ia menjawab bahwa ia tidak yakin apakah
ia percaya atau tidak. Keengganannya jelas muncul dari suatu emosi
yang memihak.

Kasus berikutnya agak berbeda dari kasus lain dalam hal subjeknya,
Bua Pun, tidak dipertemukan dan kasus ini dilihat dari sudut pandang
orang-orang yang terkait dengan kepribadian lampau Bua Pun yang
bernama Snien (dieja Sunyin).

Informasi mengenai kasus ini awalnya datang dari Nyonya Sawaeng


Kamphol dari Dhonburi. Ia tidak ingat nama subjek yang sekarang
namun mengatakan bahwa ibu Snien adalah sanaknya. Ia memberikan
alamat subjek dan surat yang dikirimkan ke pejabat distrik untuk
melacak orang itu namun belum mendapat balasan sampai saat saya
meninggalkan Thailand sehingga kasus itu tidak bisa diselidiki penuh.

Menurut kesaksian awal Nyonya Sawaeng Kamphol, Bua Pun (pada

293
KELAHI RAN UL ANG

tahun 1963) berusia antara 32 dan 33 tahun. Saat kecil, ia mengatakan


bahwa ibu dalam kehidupan kini bukanlah ibunya yang sejati dan ia
menggambarkan orang lain yang, katanya, adalah ibu sejatinya. Ia
juga memberikan penjabaran baju yang ia kenakan tepat sebelum
kematiannya dan membuat rujukan mengenai sapinya. Pernyataan
ini kemudian ditemukan selaras dengan fakta kehidupan Snien.
Nyonya Sawaeng tidak bisa bicara bahasa Inggris dan kisah yang bisa
ia ceritakan dengan bantuan penerjemah sangat umum. Ia bukan
saksi mata peristiwa apa pun dalam kasus ini.

Kemudian, Nyonya Sawaeng Kamphol mengatur pertemuan saya


untuk mewawancarai orangtua Snien, Nai Phoon dan istrinya, Sai,
yang keduanya berusia enam puluh tahun.

Nai Phoon dan istrinya menyatakan bahwa mereka punya lima anak,
dua yang pertama kembar bernama Snien dan Snun, keduanya laki-
laki. Snien meninggal pada tahun 1930 pada usia dua tahun enam
bulan. Beberapa tahun setelah kematiannya, ibunya, Sai bertemu
nenek Bua Pun di wihara dan diberi tahu olehnya bahwa anak itu, Bua
Pun, menyatakan ingat kehidupan lampaunya dan mengaku bahwa
dahulu ia bernama Snien. Nenek itu mengatakan bahwa penggambaran
yang ia berikan mengenai ibu lampaunya tampaknya menunjukkan
bahwa Bua Pun dahulu adalah putra Sai. Ia menceritakan lebih lanjut
bahwa pada usia tiga atau empat, Bua Pun mengatakan ini kepada
ibu saat kini, “Ibuku lebih baik dari kamu.” Ia juga berkata kepada
saudaranya, “Ibumu tidak baik. Ibuku jauh lebih baik.” Ketika ditanya
di mana ibunya tinggal, ia menunjuk ke arah utara. Rumah orangtua
lampaunya sesungguhnya terletak di utara dari rumahnya kini dan
berjarak tiga kilometer.

Anak itu kemudian dipertemukan dengan Nai Phoon dan Sai, dan

294
KELAHI RAN UL ANG

kerumunan besar hadir untuk menyaksikan pertemuan itu. Bocah


itu diminta duduk di pangkuan ibu lampaunya. Ia langsung menuju
Sai tanpa ragu dan melompat ke pangkuannya. Ia menunjukkan kasih
sayangnya seperti anak menyapa ibunya. Setelah itu, ia berhasil
mengenali Nai Phoon secara spontan, yang sampai saat itu belum
memercayai ceritanya. Nai Phoon berkata kepada anak itu, “Nak,
jika kamu anakku, bolehkah aku mengasuh kamu di sini?” Anak itu
menjawab, “Aku selalu ingin di sini!” Ia kemudian mulai berkeliaran
di sekitar rumah, memeriksa barang-barang. Sai mengikutinya dan
melihat bahwa ia berperilaku seperti orang yang kembali ke rumah
lamanya. Sai mengatakan kepadanya dari waktu ke waktu, “Apa
kamu ingat ini dan itu?” Bocah itu mengatakan ia ingat, namun ia
berkomentar, “Rumah ini sekarang beda. Rumah ini sudah diubah.” Ini
benar. Atapnya sudah diubah dan bagian rumah tempat putra mereka
biasanya tidur telah dirobohkan. Kemudian Bua Pun bertanya, “Di
mana sapiku, Sau?” Snien punya sapi dengan nama itu namun hewan
itu sudah dijual sepeninggalnya. Ia juga minta diberi kalung emasnya
(dalam bentuk rantai). Ibunya memang pernah memberi rantai
emas kepada kedua anak kembar. Ia membawa keduanya keluar dan
meminta Bua Pun mengambil miliknya, yang berhasil ia lakukan tanpa
ragu. Rantai ini memiliki bandul batu merah muda, sedangkan bandul
kalung lainnya berwarna putih. Nai Phoon dan Sai menyatakan bahwa
Bua Pun memiliki paras hampir persis dengan anak mereka, Snien.

Komentar Kasus

Penyelidikan kasus ini baru dimulai saat saya diharuskan meninggalkan


Thailand dan kasus ini tidak tuntas. Selain fakta bahwa subjek, Bua
Pun, tidak ditemui, ada banyak celah besar dalam kesaksian Nai Phoon
dan Sai. Tanggalnya tidak disebutkan dan dari data apa pun tidak
bisa dipastikan bahwa Bua Pun tidak diberikan petunjuk informasi

295
KELAHI RAN UL ANG

penting oleh kedua orangtuanya. Fakta pokok hanyalah keyakinan


kuat Nai Phoon dan istrinya bahwa Bua Pun adalah putra mereka
yang terlahir ulang. Satu hal lain mesti disebutkan. Saat ditanya
apakah Bua Pun menerima hadiah dari mereka kemudian, Nai Phoon
menjawab bahwa Bua Pun sering datang minta pertolongan mereka,
karena orangtuanya yang sekarang miskin.

Subjek kasus berikutnya, John Coleman, adalah warga Amerika berusia


33 tahun yang setuju ikut serta dalam eksperimen hipnosis regresis
mengenai kehidupan lampau. Uji coba ini berlangsung di Bangkok.
Subjek telah dihipnosis beberapa kali oleh Dr. Siriyananda.

Dalam kesempatan ini, Dr. Chien menghipnosisnya lagi dan kemudian


“mengalihkan” tugasnya kepada saya untuk regresi. Ia diregresi
menjadi umur lima belas dengan cara menghitung mundur, kemudian
ke usia enam, lalu dua tahun. Ia menjawab dengan baik, menggunakan
present tense. Dari usia dua tahun, ia diregresi sepuluh tahun
sebelumnya. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang diulang, namun
menunjukkan reaksi fisik yang jelas. Pada hitung mundur ke sembilan
tahun sebelumnya, ia terkejut, seolah mengalami guncangan. Ini
akan bertepatan tahapan sebelum kelahiran. Setelah itu, kepalanya
terpekur dan ia seolah-olah mengalami koma. Ia kemudian diregresi
sepuluh tahun lebih mundur dan ditanyai lagi.

Siapa namamu? (Kedengarannya) Powell.


Di mana kamu? (Tidak menjawab)
Apa yang kamu lihat? Rumah.
Rumah seperti apa? Daun dan lumpur.
Ada yang lain? Sapi.

296
KELAHI RAN UL ANG

Apa yang kamu lakukan? Bersandar ke tongkat.


Berapa usiamu? Dua puluh tujuh.
Siapa nama ayahmu? Michael.
Nama lainnya? (Tidak ada jawaban)
Apa nama ibumu? Anna.
Ada saudara atau saudari? Saudari.
Siapa namanya? Olenka.
Di mana kamu kini? (Tidak ada jawaban)
Sebutkan nama tempatnya. (Tidak ada jawaban)
Apa kota besar terdekat? Bucharest.
(Saat itu saya menyadari nama yang kedengarannya seperti Powell pastilah
Pavel).
Pernahkah kamu pergi ke sana? Tidak.
Apa yang kamu kerjakan? Bertani.
Apa kamu baca koran? Tidak.
Apa yang pemerintah lakukan? Perang.
Dengan siapa? Hungaria.
(Ia diregresi sepuluh tahun lebih undur lagi).

Kini, siapa namamu? Pavel.


Nama ayah? Mikhail.
(Ia memberi ejaan Slavonik).
Ibu? Anna.
Nama lainnya? (Tidak ada jawaban)
Beritahu saya dalam bahasamu sendiri (Tidak ada jawaban)
Apa yang kamu kerjakan?

Saat pertanyaan diulang, Coleman menjawab setelah jeda panjang,


dengan kata-kata yang tak bisa dimengerti. Karena ia menunjukkan
pertanda kegelisahan, ia dibawa kembali menuju masa kini. Untuk
menguji kedalaman trans, ia diberi sugesti pasca-hipnosis yang ia
laksanakan saat bangun.
297
KELAHI RAN UL ANG

Setelah sesi, saya menanyai subjek beberapa pertanyaan dan


terungkap bahwa ia adalah orang Amerika generasi pertama yang
orangtuanya datang dari Yugoslavia.

Saya menghipnosis subjek dalam tiga kesempatan berbeda dan ia


memberi jawaban yang sama. Tiap kali pula kondisi transnya diuji
dengan sugesti pasca-hipnosis yang ia laksanakan. Selama dalam
keadaan terhipnosis, jawabannya selalu singkat dan dibuat dengan
susah payah. Ditemukan sulit membuatnya bicara selain dengan
bahasa Inggris, namun kadang ia menggumam beberapa frasa yang tak
bisa dipahami yang kedengarannya seperti bahasa asing, di samping
perkataannya dalam keadaan hipnosis yang tidak selalu jelas.

Subjek kasus ini, Bongkuch, terlahir pada Februari 1972 di Provinsi


Nakhon Sawan. Orangtuanya Pamorn Promsin dan istrinya, Sawai.

Bongkuch mulai bicara pada usia satu tahun enam bulan. Ia mengatakan
bahwa ia ingin pulang. Pertama kali ia bicara mengenai kehidupan
lampaunya terjadi saat ia tidur dan terbangun. Ia mengatakan bahwa ia
memiliki rumah lain. Saat ia mengatakan bahwa ini bukan rumahnya,
ayahnya marah. Tiga atau empat bulan kemudian, ia mengatakan
bahwa orangtuanya bukan ibu atau ayah aslinya. Ia mengatakan
bahwa ia hidup di Hua Tanon, dan ia memberitahukan nama orangtua
dahulunya. Ia mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Chan Man
(ia bermaksud mengatakan “Achan” atau guru). Ia mengatakan ia
tahu jalan menuju rumahnya sebelumnya, namun ia tidak dibawa ke
sana pada awalnya. Namun sekali waktu saat ayahnya membawanya
ke Paknam Po, bus berhenti di Hua Tanon dan Bongkuch menangis
minta turun. Ia memberi tahu seorang tetangga bahwa ia dibunuh

298
KELAHI RAN UL ANG

pada kehidupan lampaunya. Kepada seorang perempuan tua berumur


tujuh puluh bernama Kio, ia memberi tahu nama pembunuhnya pada
kehidupan lampau.

Saat berusia tiga tahun, ia membawa tongkat besar dan memukul


tiang rumah, dengan berkata, “Akan kubunuh kamu!” pada saat yang
sama menyebutkan Tuan Ban sebagai salah satu pembunuhnya. Ini
terjadi tiga atau empat kali setahun. Untuk kata Thai “Nai” (Tuan),
ia memakai kata dalam bahasa Laos yaitu “Bach”, yang merupakan
bentuk menghina. Ia juga memanggil orang asing dengan bahasa Laos
“Maung” alih-alih bahasa Thainya. Ia menyebut jambu “bugsida”
yang merupakan bahasa Laos, alih-alih bahasa Thainya yaitu “farang”.
Orangtuanya tidak tahu bahasa Laos. Ia senang makan nasi ketan
dengan ikan mentah difermentasi sebagai makanan pencuci mulut.
Ini ia jelaskan dengan mengatakan bahwa ia bukan orang Thai, namun
orang Laos.

Suatu hari, mantan ibunya (dan beberapa orang lain) datang


melihatnya. Mereka memanggilnya Chamrat, dan menanyainya
mengenai pembunuhan itu. Ia mengatakan bahwa ia pergi ke pekan
raya di Wat, mengenakan celana pendek, baju putih, jam tangan,
cincin dan rantai emas. Saat ia kembali, ia dipukul dari belakang
oleh satu pria dan ditusuk oleh pria lainnya. Mereka merampas jam
tangan dan kalung, namun tidak bisa melepas cincinnya. Tuan Ban
dahulu adalah sahabatnya. Panen tahun itu buruk, buruh tani tidak
mendapat bayaran yang baik, dan itulah penyebab pembunuhan itu.
Ketika ayah, ibu, keponakan laki-laki dan perempuan Chamrat pergi
ke rumah Bangkuch, mereka (Bongkuch dan anak-anak lain) bermain
bersama dan Bongkuch bicara kepada mereka dalam bahasa Laos. Ia
menggunakan kata Laos yang tak dipahami orangtuanya. Dua hari
kemudian, Bongkuch memberi tahu ibunya bahwa ia ingat nama

299
KELAHI RAN UL ANG

mantan saudari kandungnya. Saat dibawa ke tempat pembunuhan,


Bongkuch memberi tahu ayahnya ia merasa takut. Ia menyebut nama
dua belas guru dan satu bhikkhu di Hua Tanon.

Keluarga Bongkuch belum pernah mendengar mengenai keluarga


lampaunya sebelum ini. Kali kedua ibu Chamrat mengunjungi
Bongkuch, ia melihat sepeda ayahnya dan menanyai Bongkuch
apakah ia punya sepeda dalam kehidupan lampaunya. Ia berkata,
“Ya. Warnanya marun.” Ia juga menyebutkan ke ibu Chamrat bahwa
ia dahulu memiliki pisau. Pisaunya tergantung di dinding rumahnya.
Bongkuch sejak lama telah menyebut nama orangtua lampaunya
sebelum adanya kontak dengan mereka. Ia juga menyebut namanya
sendiri sebagai Chamrat. Ia memiliki kebiasaan makan orang Laos.
Pernah saat ia sedang mengasah pisau, dan saudarinya bertanya
mengapa, ia menjawab, “Untuk membunuh seseorang.” Tatkala
saudarinya berusaha menghentikannya, ia sangat marah, melempar
pisau itu, dan melukai kaki saudarinya. Ia agak pemarah.

Chamrat berusia delapan belas tahun tatkala ia meninggal pada


tahun 1954. Ayahnya, Nai Man Poo Keo (berusia 63) diwawancarai.
Ia memastikan bahwa segala yang dikatakan Bongkuch mengenai
pembunuhan dan perampokan itu benar. Catatan polisi yang resmi
ditemukan. Pembunuhan itu terjadi tanggal 9 April 1954. Chamrat
adalah pemuda yang bersifat baik. Ia juga penakut dan selalu pergi ke
mana pun disertai teman. Ia lebih suka nasi ketan daripada jenis nasi
lain, dan makan nasi itu dengan ikan mentah difermentasi. Chamrat
punya sepeda. Ayahnya membawa sepeda itu berikut sepeda lainnya
ke rumah Bongkuch, dan Bongkuch berhasil mengenali sepeda milik
Chamrat yang berwarna marun. Ciri-ciri Bongkuch menyerupai
Chamrat. Pembunuhnya meninggalkan wilayah itu, namun masih
hidup pada saat penyelidikan. Bongkuch mengenali pacar Chamrat,

300
KELAHI RAN UL ANG

Thien, dan memanggil namanya. Ia sering bertingkah seperti


orang dewasa. Ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi bhikkhu. Ia
menceritakan dua sapi, menyebut warnanya. Ia mengatakan bahwa
saat para pembunuh melepas rantai emasnya, mereka melukai
lehernya. Ini juga dibuktikan. Kadang Bongkuch biasa mengatakan
bahwa ia berusia delapan belas tahun. Ia menjelaskan bahwa atap
rumah sebelumnya tidak seperti atap rumahnya kini. Saat ibu
lampaunya meninggal, Bongkuch menangis, minta dibawa ke rumah
lampaunya dan memberikan 300 Baht, seluruh tabungannya, untuk
upacara perkabungannya.

Ibu Bongkuch, Nyonya Sawai Promsin, mengatakan bahwa Bongkuch


memberitahunya bahwa setelah pembunuhan di Hua Tanon, ia tinggal
di pohon bambu di dekat sana. Ibu Chamrat memastikan bahwa
memang ada satu pohon bambu di daerah itu. Bongkuch mengatakan
bahwa ia tinggal di sana selama tujuh tahun dan tidak merasa lapar.
Ia mengatakan bahwa saat itu hujan dan tunas pohon bambu itu
menggoresnya. Ia berusaha pergi ke ibu lampaunya namun tersesat
di pasar. Ia kemudian melihat ayahnya yang kini di perhentian bus
dan datang menyertainya. Ayah Bongkuch mengatakan bahwa hari
itu memang hujan saat ia pergi ke Hua Tanon sekitar waktu istrinya
mengandung Bongkuch. Kehamilan dimulai pada bulan itu. Bongkuch
mengatakan bahwa ia datang dengan ayah kininya naik bus dalam
wujud arwah.

Sersan Phoo Thatman (usia 57 tahun) dari kepolisian, ingat akan kasus
pembunuhan itu, yang ia telah selidiki. Ia menguraikan luka tubuh
dan memastikan apa yang dikatakan Bongkuch mengenai bajunya—
kaos putih lengan pendek, celana pendek gelap, dan tidak pakai
topi. Ada pohon bambu sekitar dua puluh meter dari jasad. Beberapa
penangkapan dilakukan, namun sersan itu tidak bisa menceritakan

301
KELAHI RAN UL ANG

sejarah kasus tersangka itu. Dua saksi polisi lain mengatakan bahwa
jenasah memakai celana panjang.

(Kasus ini diperiksa oleh Dr. Stevenson tahun 1966).

Subjek kasus ini, Somkroon Meetuam, berusia tiga puluh lima saat
penyelidikan tahun 1963. Ia terlahir di Desa Bangmuang, Nakhon
Sawan, tempat ia masih tinggal di sana saat saya menemuinya. Ia
adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Orangtuanya bernama
Wan Meetuam dan Ub Meetuam.

Somkroon ingat pernah menjadi perempuan Cina, Nek Oiy, dalam


kehidupan lampaunya. Ayahnya bernama Nai Sow, ibunya bernama
Suan. Mereka tinggal di Desa Payooha, Nakhon Sawan, sekitar dua
puluh mil dari Bangmuang.

Saat Somkroon berusia enam tahun, ia memberi tahu ibunya bahwa ia


tidak ingin tinggal bersamanya. Ia saat itu sedang bermain, dan ibunya
menyuruhnya membersihkan rumah. Somkroon mengeluh bahwa
ibunya yang sekarang selalu menyusahkannya dan ia ingin pulang ke
rumah ibunya yang lampau. Ia mengatakan bahwa ia tinggal di Desa
Payooha.

Beberapa lama kemudian, seorang perempuan tua datang dari


Payooha untuk menjual jeruk. Kala Somkroon mengetahui hal ini,
ia meminta perempuan tua itu mengantarnya kembali ke sana. Ia
memberi tahu nama ibunya dengan benar. Saat kembali, perempuan
tua itu menemukan Nyonya Suan dan memastikan fakta bahwa ia telah
kehilangan seorang anak. Putri satu-satunya, Nek Oiy, meninggal pada

302
KELAHI RAN UL ANG

usia enam tahun. Setelah itu, Suan pergi naik perahu ke Bangmuang
untuk menemui Somkroon. Somkroon melihatnya dalam perjalanan
ke sekolah dan langsung mengenalinya. Ia berlari menyongsongnya,
memanggilnya, “Ibu!”

Ia membawanya ke rumah orangtuanya yang sekarang, dan di sana


kedua perempuan ini bertengkar karena Suan ingin membawa
Somkroon kembali ke rumahnya. Akan tetapi, pada akhirnya,
Somkroon diizinkan pergi mengunjungi Suan. Selama kunjungan itu,
Somkroon bertanya mengenai bajunya dalam kehidupan lampau dan
menyebutkan banyak hal yang meyakinkan Suan bahwa ia adalah
Nek Oiy yang terlahir ulang. Suan lalu merancang pengenalan dengan
suaminya, yang meragukan hal ini. Sebelum Somkroon melihatnya,
suaminya menempatkan dirinya di antara sejumlah pria cina di
aula pengisapan candu yang dimilikinya. Somkroon mengenalinya
langsung, meski ayahnya memunggunginya saat Somkroon masuk.
Somkroon juga menunjukkan ia tahu mengenai rumah dan desa itu.
Ia selalu lebih suka makanan Cina. Ia menggunakan kosakata Cina
sewaktu kanak-kanak, namun ibunya melarangnya menggunakannya.

Saat ibunya bertanya kepada Somkroon bagaimana ia bisa terlahir


padanya, Somkroon menjawab, “Kamu tidak tahu sama sekali. Tentu
saja, aku ikut bersamamu. Kamu naik bus lalu naik perahu, dan aku
bergelantung di bajumu. Begitulah cara aku ikut kamu.”

303
KELAHI RAN UL ANG

KASUS MEMORI KELAHIRAN ULANG


MELALUI HIPNOSIS REGRESI

Tahun-tahun belakangan ini minat terhadap doktrin kelahiran ulang


telah mendapatkan rangsangan publisitas karena beberapa kasus
orang yang sudah mengingat kehidupan lampaunya. Selama beberapa
lama ini telah diketahui bahwa dalam keadaan hipnosis mendalam,
peristiwa pada masa kanak-kanak yang sangat dini, di luar jangkauan
ingatan biasa, bisa dikuak, dan teknik ini makin banyak digunakan
untuk perawatan gangguan kepribadian. Hipnosis ini tidak bisa
digunakan dengan sukses kepada semua pasien karena perlawanan
tak disengaja beberapa subjek terhadap sugesti hipnosis, yang
menghambat kerja sama yang dibutuhkan untuk meraih keadaan
trans mendalam. Namun saat bisa diterapkan, teknik ini memiliki
keuntungan dibanding metode psikoanalisis mendalam yang biasa,
yaitu kecepatan mendapatkan hasil.

Teknik yang dilakukan adalah memicu keadaan hipnosis dan


kemudian membawa subjek kembali pada suatu periode kanak-kanak
atau balita tertentu yang diduga terjadinya peristiwa penting dalam
kehidupan batinnya. Dalam keadaan ini, yang dikenal dengan istilah
hypermnesia, subjek praktis menjadi kanak-kanak seperti ia dahulu,
dan menjalani kembali pengalaman yang telah lama terpendam
dalam batin bawah-sadar. Ingatan mengenai masa anak paling dini,
dan dalam beberapa kasus ingatan semasa dalam kandungan, bisa
dihadirkan dengan cara ini.

Beberapa praktisi telah membawa eksperimen regresi ini lebih jauh


lagi, dan menemukan bahwa mereka menguak ingatan yang tidak
berasal dari kehidupan subjek yang sekarang sama sekali, namun
ingatan dari keberadaan sebelumnya. Dalam kasus di mana tidak ada

304
KELAHI RAN UL ANG

yang bisa dibuktikan, penjelasan mengenai kelahiran ulang telah


diperdebatkan, dan berbagai macam teori diajukan seperti telepati,
khayalan bawah-sadar, dan bahkan fenomena cenayang, untuk
menjelaskan fenomena ini. Namun meski kenyataan bahwa banyak
pilihan teori yang diajukan meminta penerimaan akan adanya
kemampuan adikodrati, yang jika diyakini sebagai besar, maka
penjelasan ini sendiri membuat kelahiran ulang makin dekat sebagai
realitas yang bisa dipahami, karena tak satu pun teori ini yang bisa
mencakup seluruh fenomena yang telah muncul dalam pengamatan.
Jika, misalnya, xenoglossy, kemampuan yang ditunjukkan beberapa
subjek dalam keadaan hipnosis mampu berbicara bahasa yang tak
diketahui mereka dalam keadaan biasa, hendak dijelaskan dengan
telepati, maka kita dihadapkan langsung dengan kemampuan
adikodrati batin, yang mana, kekuatan itu sendiri memberi sumbangsih
bagi pemahaman kita mengenai bagaimana energi batin bisa bekerja
dalam proses kelahiran ulang. Meskipun telepati kini telah diakui
sebagai salah satu fenomena parapsikologi yang tak bisa dijelaskan—
berikut dengan kemampuan cenayang, telekinesis, dan psikometri—
telepati itu sendiri tidak bisa secara sah diperluas untuk mencakup
segala fenomena yang terkuak dalam eksperimen ini. Untuk bisa
menjelaskan seluruh materi dari ingatan lampau ini membutuhkan
gabungan semua pengetahuan adikodrati yang telah dikenal dalam
satu konsep, yaitu suatu pengembaraan bebas, kecerdasan tanpa-
tubuh, yang mandiri dari batasan ruang dan waktu. Jika kita hendak
menerapkan hukum ilmiah tentang keterbatasan, maka penjelasan
yang paling nyata adalah memori kehidupan lampau.

Mengenai teori bahwa memori itu adalah hasil batin bawah-sadar,


teori ini tidak gugur di hadapan bukti yang berlawanan bahwa
fakta-fakta yang terkuak tidak mungkin bisa diketahui subjek dalam
kehidupannya kini. Fakta ini objektif, sesuai konteks, dan berlimpah,

305
KELAHI RAN UL ANG

seperti dinyatakan semua laporan tertulis mengenai subjek.

Contoh kasus mengingat kehidupan lampau dari hipnosis regresi


yang paling dikenal adalah kasus Bridey-Murphy di Amerika, yang
menimbulkan badai kontroversi saat muncul di berita beberapa tahun
silam. Kemudian diikuti kasus serupa di Inggris di mana subjeknya,
Nyonya Naomi Henry, dalam keadaan hipnosis, mengingat dua
kehidupan lampaunya. Eksperimen yang dilakukan di bawah kondisi
tes oleh Tuan Henry Blythe, seorang konsultan hipnotis profesional.
Dalam kehadiran beberapa saksi, rekaman dilakukan selama sesi,
yang dilakukan di bawah pengawasan praktisi medis, Dr. William C.
Minifie, yang bersaksi bahwa keadaan hipnosisnya yang dialami itu
otentik. Dikatakan bahwa rekaman yang dihasilkan mengenai subjek
itu “pasti merupakan sudut pandang paling kontroversial, menawan,
dan merangsang pertanyaan”.

Inilah yang terjadi. Nyonya Naomi Henry, ibu rumah tangga berusia
32 tahun di Exeter, ibu empat anak, disembuhkan dari kebiasaan
merokok oleh perawatan hipnosis oleh Tuan Henry Blythe dari
Torquay, Devon. Ahli hipnosis ini menemukan bahwa Nyonya Naomi
sebagai “subjek yang sangat menerima”, sedemikian rupa sehingga
tanpa memberitahunya tujuan eksperimennya, ia mulai serangkaian
sesi yang di dalamnya ia berhasil membawanya mundur sampai
melampaui kehidupannya yang sekarang.

Nyonya Henry ingat dua kehidupan silamnya. Dalam kehidupan silam


pertama ia memberi tahu namanya adalah Mary Cohan, gadis berusia
17 tahun yang tinggal di Cork pada tahun 1790. Dalam kesempatan
lain, ia memberi tahu bagaimana ia dinikahkan di luar kehendaknya
dengan pria bernama Charles Gaul, yang dalam pernikahan ini ia
mendapat dua anak, Pat dan Will. Suaminya memperlakukannya

306
KELAHI RAN UL ANG

dengan buruk, dan akhirnya menyebabkan kematiannya dengan


penganiayaan yang mematahkan kakinya. Sambil menjabarkan
peristiwa ini dalam keadaan trans, ia jelas-jelas menjalani kembali
pengalaman emosional kuat dari masa lalu dengan kejelasan realitas
kini daripada hanya sekadar ingatan.

Selang waktu berlalu, dan ia sekali lagi menjadi gadis Irlandia buta
huruf satu setengah abad yang lalu. Pernikahannya, katanya, terjadi
di Gereta St. John, di desa bernama “Grenner”. Beberapa fakta yang ia
ceritakan setelahnya memastikan adanya tempat itu, namun tidak ada
desa bernama “Grenner” yang terlacak. Akan tetapi, pada akhirnya,
beberapa dokumen yang bisa ditelusuri sampai abad ke-17 ditemukan
sebagai barang milik imam paroki, dan di dalam dokumen itu
disebutkan nama Gereja St. John di sebuah desa bernama Grennhalgh.
Nama itu dieja secara lokal seperti yang disebut Mary Cohan tadi yaitu
“Grenner”.

Berikutnya, ia ingat kehidupan di mana ia dahulu adalah Clarice


Hellier, perawat yang mengurusi dua puluh empat anak di Downham
tahun 1902. Setelah menuturkan apa yang ia ingat dalam kehidupan
ini, ia menceritakan sakit terakhir yang ia alami, kematiannya,
pemakamannya, yang tampaknya ia mampu saksikan. Ia bahkan
mampu memberikan nomor makamnya, 207, tempat ia dikubur.

Saat Nyonya Henry keluar dari trans, ia tidak ingat apa yang terjadi
dan barulah ketika ia mendengar rekamannya, ia mengetahui tujuan
eksperimen ini. Keotentikan kasus ini tak bisa diragukan lagi.

Salah satu tokoh paling mengagumkan zaman ini adalah Edgar Cayce,
merupakan bukti yang bahkan lebih menonjol lagi. Terlahir di Christian
County, Kentucky, tahun 1877, sewaktu muda ia menderita gangguan

307
KELAHI RAN UL ANG

mengecilnya saluran kerongkongan psikosomatik yang membuatnya


tidak bisa bersuara. Perawatan medis ortodoks gagal, lalu ia dirawat
dengan sugesti hipnosis, yang waktu itu belum diakui sebagai sejenis
terapi seperti saat ini. Dalam keadaan trans mendalam, suaranya
kembali normal dan ia bisa mendiagnosis keadaannya sendiri. Tidak
hanya ia menjabarkan gejala fisiologis dalam istilah yang tak diketahui
saat ia bangun, namun ia juga meresepkan perawatan.

Teknik penyembuhan dirinya begitu menakjubkan sehingga


ia bersedia, berlawanan dengan kehendaknya, untuk mencoba
meresepkan penyembuhan bagi orang lain yang penyakitnya tidak
sembuh oleh penanganan medis. Ini ia lakukan dengan sangat sukses,
menggunakan istilah teknis dan meresepkan obat yang, sebagai
orang dengan pendidikan biasa, tidak ia ketahui dalam keadaan
normal. Beberapa kali, obat yang ia resepkan itu obat biasa namun
dalam kombinasi yang tidak biasa; kadang berupa senyawa yang
tidak ditemukan dalam buku farmasi standar. Cayce sendiri heran
dan agak takut dengan kemampuan adikodratinya, namun karena
itu terbukti bermanfaat bagi jumlah pasien yang makin bertambah,
ia terus menggunakannya, namun menolak pembayaran apa pun
atas bantuan yang ia berikan. Ia kemudian menyadari bahwa seorang
penghipnosis tidak diperlukan. Keadaan transnya bisa dipicu sendiri,
dan setelah itu ia bekerja melalui swa-hipnosis.

Suatu hari, saat Cayce sedang memberi konsultasi, seorang kawan


yang hadir bertanya kepadanya apakah kelahiran ulang itu benar.
Masih dalam keadaan trans, Cayce segera menjawab bahwa kelahiran
ulang itu benar. Menjawab pertanyaan berikutnya, ia mengatakan
bahwa banyak pasien yang datang kepadanya untuk diobati
menderita penyakit yang disebabkan karma buruk dalam kehidupan
lampau. Karena hal inilah penyakit mereka tidak bisa disembuhkan

308
KELAHI RAN UL ANG

pengobatan biasa. Saat ditanya apakah ia mampu melihat kehidupan


lampau pasiennya dan menjabarkannya, ia mengatakan bahwa ia bisa
melakukannya.

Saat diberi tahu apa yang tadi ia katakan dalam keadaan trans, Cayce
merasa sangat terguncang dari sebelumnya. Hal-hal terasa mulai
keterlaluan. Ia tidak pernah mendengar kata “karma” dan gagasannya
mengenai kelahiran ulang hanyalah keyakinan yang terkait dengan
beberapa agama “kafir”. Reaksi pertamanya adalah menghentikan
semua aksi ini, sebagai sesuatu yang gaib dan kemungkinan tidak
sesuai dengan iman Kristianinya.

Hanya dengan susah payah ia bisa dibujuk untuk melanjutkannya.


Bagaimanapun, ia bersedia ditanyai lebih lanjut dalam keadaan
hipnosis, dan setelah memberikan beberapa penerawangan
kehidupan lampau dan lebih banyak lagi pengobatan yang berhasil, ia
baru yakin bahwa tidak ada yang bersifat sesat atau merugikan dalam
gagasan aneh yang sedang terkuak ini. Sejak saat itu, ia menambahkan
penerawangan karma masa lampau pasiennya dalam semua
diagnosisnya. Lalu ditemukan bahwa ia mampu memberi bimbingan
moral dan spiritual berharga untuk menangkal kecenderungan karma
buruk, dan perawatannya menjadi makin manjur. Ia kini mengobati
batin maupun badan pasien yang mencari pertolongannya.

Saat Cayce menemukan bahwa ia mampu merawat orang yang tinggal


di tempat jauh, yang tak pernah ia lihat, cakupan pelayanannya meluas
ampai akhirnya mencapai seluruh Amerika Serikat dan luar negeri.
Sebelum ia meninggal tahun 1945, Cayce, dengan bantuan teman-
teman dan penyokongnya, mendirikan lembaga Cayce Foundation,
di Virginia Beach, Virgina. Yayasan ini kini beroperasi sebagai
lembaga riset di bawah arahan rekan-rekannya. Cayce meninggalkan

309
KELAHI RAN UL ANG

sejumlah besar sejarah kasus dan catatan lain yang terkumpul selama
bertahun-tahun, dan catatan ini sampai sekarang masih diperiksa
dan dihubungkan oleh yayasan ini. Untuk informasi lebih lanjut
mengenai Edgar Cayce, karyanya dan sumbangsihnya ke kelahiran
ulang, pembaca dirujuk membaca buku Many Mansions karya Gina
Cerminara, “Edgar Cayce, Mystery Man of Miracles” karya Joseph Millard,
dan sejumlah tulisan yang diterbitkan Cayce Foundation.

Ada banyak bukti yang menyiratkan bahwa Cayce dalam keadaan


terhipnosis memiliki akses terhadap pengetahuan medis yang
telah hilang, maupun kekuatan melihat kehidupan lampau orang
lain. Dalam naskah Buddhis periode awal, ada rujukan mengenai
pengetahuan medis modern dan teknik pembedahan yang dalam
banyak hal setara dengan pengetahuan kita, yaitu mengenai Jivaka,
seorang tabib terkenal sezaman dengan Buddha yang tercatat
melakukan operasi otak untuk menyingkirkan makhluk hidup
yang ada di dalamnya. Namun masih ada catatan lebih kuno lagi.
Papyrus Edwan Smith (sekitar 3500 SM) menjabarkan perawatan
untuk cedera otak, dan tulisan Hippocrates termasuk arahan untuk
membuka tengkorak. Tabib besar Mesir, Imhotep, yang hidup tiga
ribu tahun sebelum Masehi dan merupakan genius dalam banyak
bidang yang setara dengan Leonardo da Vinci, memiliki kepiawaian
pengobatan sehingga ia menjadi legenda. Imhotep bahkan didewakan
di bawah dinasti Ptolemy dan diidentifikasi sebagai Asklepois, dewa
pengobatan, oleh orang Yunani; namun tidak diragukan lagi bahwa
ia adalah tokoh sejarah asli. Tanpa keluar dari apa yang secara alami
disiratkan dari pernyataan Edgar Cayce mengenai kelahiran ulang,
dan hubungannya dengan pengobatannya yang sering aneh namun
luar biasa manjur, bisa dilihat bahwa mungkin ada hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki para tabib kuno dan pengetahuan tidak

310
KELAHI RAN UL ANG

biasa yang terkuak dari batin bawah-sadar Cayce di bawah pengaruh


hipnosis ini.

Namun bahkan Cayce pun tidak unik. Egerton C. Baptist, dalam


buku“Nibbāna or the Kingdom?” mengutip kisah dari buku “Life and
Destiny” karya Leon Denis ini:

“Pada tahun 1880, di Vera Cruz, Meksiko, ada anak berusia tujuh
tahun yang memiliki kekuatan menyembuhkan. Beberapa orang
disembuhkan oleh obat-obat dari sayuran yang diresepkan anak itu.
Saat ditanya dari mana ia mengetahui hal ini, anak itu mengatakan
bahwa ia dahulu adalah dokter hebat, dan dahulu namanya Jules
Alpherese. Kemampuan mengejutkan ini berkembang dalam dirinya
pada usia empat tahun.”

311
SENARAI ISTILAH

Arahā: “Yang berharga” atau “yang murni”, orang yang batinnya


bebas dari noda batin sehingga tidak akan terlahir ulang lagi. Sebutan
untuk Buddha dan tataran tertinggi siswa mulia-Nya.

Āsava: Noda batin, luapan. Empat sifat yaitu nafsu indriawi, pandangan,
keberadaan, dan ketaktahuan—yang “mengalir keluar” dari batin dan
menciptakan banjir (ogha) lingkaran kematian dan kelahiran ulang.

Brahmā: Penghuni alam surga yang lebih tinggi dalam lingkup wujud
dan tanpa wujud.

Brahmana: Anggota kasta pendeta, yang dinyatakan sebagai kasta


tertinggi di India, berdasarkan kelahiran. Dalam penggunaan khusus
Buddhis, istilah “brahmana” juga bisa berarti Arahā, yang menyatakan
bahwa keunggulan bukan berdasarkan kelahiran atau ras, namun
kualitas yang diraih dalam batin.

Dewa (devatā): Harfiahnya berarti, “yang bersinar”. Makhluk tataran


halus dalam lingkup indriawi, wujud, atau tanpa-wujud, yang hidup di
bumi atau alam surga.

Dhamma: (1) Peristiwa; aksi; (2) fenomena di dalam dan di luar; (3)
kualitas batin;(4) doktrin, ajaran; (5) Nibbāna (meski ada naskah
yang menyatakan Nibbāna sebagai ditinggalkannya segala dhamma).
Sanskerta: Dharma.

312
KELAHI RAN UL ANG

Gotama: Marga Buddha.

Jhāna: Penyerapan batin. Tataran pemusatan kuat yang memfokuskan


pada satu sensasi atau gagasan batin.

Kamma: (1) aksi yang diniati; (2) hasil dari aksi yang diniati. Sanskerta:
karma.

Nibbāna: Harfiahnya, “pelepasan” batin dari nafsu, kebencian, dan


ketaktahuan, dan dari seluruh lingkaran kematian dan kelahiran
ulang. Istilah ini juga merujuk padamnya api, mengandung konotasi
pengheningan, pendinginan, dan kedamaian. Sanskerta: Nirvāṇa.

Pāḷi: Bahasa kitab suci ajaran Buddha paling tua yang masih ada.

Saṁvega: Keengganan karena sia-sianya kehidupan seperti yang biasa


dijalani.

Sutta: Ajaran, khotbah.

Tathāgata: Harfiahnya, orang yang “menjadi otentik (tatha-āgata)”


atau yang “benar-benar pergi (tathā-gata)”: julukan yang digunakan
di India kuno bagi orang yang telah mencapai tujuan spiritual
tertinggi. Dalam ajaran Buddha, ini biasanya merujuk pada Buddha,
meski kadang juga merujuk pada siswa-siswa Buddha yang mencapai
tataran Arahatta.

Upādāna: Kemelekatan yang berupa empat wujud: nafsu indriawi,


kebiasaan dan upacara, pandangan, dan gagasan diri.

313
SENARAI SINGKATAN

Naskah Pāḷi:
AN Aṅguttara Nikāya
Dhp Dhammapada
DN Dīgha Nikāya
MN Majjhima Nikāya
Mv Mahāvagga
SN Saṁyutta Nikāya
Sn Sutta Nipāta
Ud Udāna

Naskah Veda:
BAU Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad
ChU Chāndogya Upaniṣad
KaṭhU Kaṭha Upaniṣad

Rujukan ke DN dan MN adalah rujukan ke nomor sutta-nya. Rujukan


ke Mv adalah nomor babnya, bagian, dan sub-bagiannya. Rujukan ke
naskah Pāḷi lain adalah ke bagiannya (saṁyutta, nipāta, atau vagga) dan
sutta-nya.

314
KELAHI RAN UL ANG

E-book ini terbit berkat


kedermawanan Anda.
Donasi bisa disalurkan ke

4900333833
YAYASAN EHIPASSIKO

085888503388
ehipassikofoundation
www.ehipassiko.or.id

Buku Dharma | Beasiswa | Cancer Care


Abdi Desa | Bakti Sosial Lintas Agama

315

Anda mungkin juga menyukai