Anda di halaman 1dari 113

Sang Profesor

Mencari Tuhan

Prof.Dr.Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat

Diterbitkan oleh: UB. Press-Malang


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warachmatullahi wabarakatuh

Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata, penguasa dan pemilik alam raya
seisinya, yang dengan-Nyalah penulis dapat menuangkan pemikiran dan isi hati dalam
buku yang saat ini berada dalam genggaman para pembaca yang budiman. Buku yang
diberi judul “Sang Profesor Mencari Tuhan” ini, adalah sebuah autobiografi atau riwayat
perjalanan hidup penulis dari masa kanak-kanak sampai dengan kakek-kakek, yang
didalamnya penuh dengan dinamika suka-duka, serta “pemberontakan” intelektual dan
batin dalam memaknai artinya sebuah kehidupan.

Telah banyak autobiografi sejenis yang dapat para pembaca pelajari baik di
perpustakaan maupun di toko-toko buku, yang ditulis oleh orang-orang terkemuka dan
mempunyai pengalaman sejarah panjang, sehingga autobigrafi yang penulis sajikan ini
tidaklah sepadan dengan pengalaman hidup mereka. Namun demikian, dalam buku ini
dikemukakan sisi lain dari sebuah autobiografi, bukan penonjolan peranan penulis
dalam merubah sejarah, tetapi lebih banyak pada pengalaman bagaimana
memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien dalam menjalani proses penuaan
(ageing process).

Disadari atau tidak, bahwasanya semenjak manusia dilahirkan oleh sang ibu,
maka fungsi-fungsi biologis dan kejiwaan manusia terus berjalan untuk mencapai fase
penyempurnaan. Dalam proses inilah peranan kedua orang tua dan lingkungan
sekitarnya sangat besar artinya dalam membentuk penampilan biologis dan watak atau
karakter insaninya kelak manakala seseorang tersebut diperlukan peranan sosialnya.
Bimbingan atau lingkungan yang kurang kondusif atau menguntungkan untuk
berkembangnya kedua unsur tersebut (misal: kurang gizi dan pendidikan) akan
menyebabkan munculnya manusia “kerdil” baik dalam arti biologis maupun jiwanya;
dan sebaliknya dalam kondisi yang menguntungkan tentu saja hasilnya adalah manusia
“besar” dalam arti keduanya.

Liku-liku kehidupan inilah yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca yang
mulia sebagai pesan pendidikan moral dan intelektual sesuai dengan pengalaman
penulis sendiri tentunya. Penulis yakin bahwa para pembaca tentu punya pengalaman
yang jauh lebih berharga dibanding segala sesuatu yang ditulis dalam buku ini, tentu
saja hal tersebut merupakan investasi (tabungan) hari tua pembaca untuk
menikmatinya, dan penulis sangat mengharapkan mendapatkan “secercah percikan”
dari karunia tersebut sebagai bahan perbaikan diri untuk mengisi sisa hidup yang masih
tercecer. Dengan cara demikianlah isi buku yang berisi komentar-komentar penulis
2
yang tidak sesuai dengan kenyataan atau paradigma kebenaran tertentu, perlu ditinjau
ulang, sementara mengenai pahit-getirnya kehidupan penulis biarlah tertulis apa
adanya, karena memang demikian keadaannya.

Dalam buku ini pembaca disajikan sebuah paparan tentang rentang waktu
kehidupan yang dijalani penulis sejak dari masa kanak-kanak sampai menjadi seorang
kakek-kakek sebagai sebuah autobiografi (riwayat hidup pribadi) tentunya. Tujuan
penulis dari paparan tersebut adalah sebagai landasan alamiah dari perjalanan “anak
manusia” dalam mencari dimanakan kebenaran yang hakiki itu? Karena hanya itulah
yang dapat menyelamatkan diri dan masyarakat manusia untuk waktu yang lama,
selama hal tersebut masih utuh dipertahankan, dan akan rontok dengan dibuangnya
nilai-nilai tersebut.

Selain kisah hidup yang dipaparkan secara kritis oleh penulis, yang tentu saja
menjadi guru terbaik bagi penulis untuk menaiki tangga yang lebih tinggi lagi dalam
dimensi kehidupan ini; maka harapannya adalah dapat menjadi referensi orang lain
dalam mengisi riwayat hidupnya yang tersisa sehingga lebih mempunyai nilai guna.

Semoga Allah ridho dan memberikan ampunan atas kealfaan riwayat buruk yang
telah dijalani penulis, tidak lupa nasehat pembaca akan sangat membantu penulis
dalam memperbaiki citra dan cita yang tersisa ini.

Sebagai pengantar terhadap isi buku ini penulis ingin menyampaikan sebuah
pantun nasehat yang selama ini digunakan sebagai pembimbing kerohanian penulis
sendiri:

Intan di jalan dikira kaca


Banyak pejalan tak akan peduli
Usia jalan banyak berkaca
Agar badan mengenal diri

Akhirnya penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tulisan ini tentu
tidaklah ada artinya dibandingkan dengan luas dan dalamnya samudra kehidupan
sesungguhnya, untuk itulah penulis masih terus belajar sekalipun “onggokan” tulang
belulang ini telah tua renta (dalam akhir umur kenabian Muhammad s.a.w = 63 tahun);
dan semoga pembaca dapat bersabar dalam menelaah uraian dalam buku ini.
Wassalam,

Malang, 2012
Hormat penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar i
Bab I Pengetahuan membangun peradaban 1
Bab II Derita membawa nikmat 13
Bab III Pencarian ketuhanan 48
Bab IV Berkenalan dengan Tuhan 77
Bab V Makna kehidupan 105

4
BAB I

PENGETAHUAN MEMBANGUN PERADABAN

Banyaklah mendengar agar mendapat rachmat


Banyaklah melihat agar mendapat nikmat,
Banyaklah berfikir agar mendapat hikmat,
Banyaklah berdzikir agar mengenal diri
==============================

Pencarian akan adanya Tuhan telah lama dilakukan oleh manusia sejak manusia
tersebut mengisi permukaan bumi dengan berbagai cara sesuai pada perkembangan
pemikiran dan adanya petunjuk wahyu dari “langit” yang disampaikan oleh para
nabinya masing-masing. Pencarian melalui pemikiran (filosofi), pencerahan (ilham)
banyak terjadi pada tokoh-tokoh besar yang kemudian berkembang menjadi agama
bumi (budaya), sedangkan pemberitaan tentang Tuhan melalui sumber wahyu disebut
sebagai agama langit (samawi). Kedua pembahasannya dikemukakan dalam bab
berikutnya.
Dalam sejarah perkembangan peradaban, terlihat bahwa maju atau mundurnya
suatu peradaban dalam suatu bangsa tertentu sangat ditentukan oleh ada atau tidak
adanya tokoh yang menjadi pemicu dan pemacu peradaban tersebut. Kemunculan
tokoh tadi seringkali membawa pemikiran “baru” yang berbeda dengan adat kebiasaan
yang sudah dianut dari generasi ke generasi pada masyarakat tersebut. Munculnya
tokoh Lao Tse (570-470 SM) di China telah membawa angin segar bagi peradaban China
yang mulai memudar karena kehilangan nilai moral dan etika oleh perilaku para raja-
raja dan bangsawannya yang mewarnai kehidupan bangsa China. Ajaran tersebut terus
dikembangankan oleh pengikutnya seorang Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) yang
memodifikasi ajaranya sesuai dengan zamannya. Baik ajaran Lao tse (Taoisme)
maupun Kong Hu Chu (Kongfutsu), saat ini berkembang menjadi agama budaya

5
dengan nama Taoisme dan Konfutsuisme. Peninggalan peradaban China yang
spektakuler adalah tembok raksasa (the great wall), seperti terlihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. The great wall di China sepanjang 7300 km. Peninggalan dinasti Zhou (770
SM – 476 SM) dan Ming (1368 – 1644), sebagai benteng pertahanan
terhadap suku bangsa di Utara ( seperti Hun, Mongol, Turki, dan lainnya).

Di India muncul seorang tokoh berkelas putra mahkota, yakni Siddartha


Gautama (563 - 483 SM), yang karena adanya pencerahan intelektualnya mencari jawab
terhadap pertanyaan kerohaniannya tentang makna kehidupan. Suatu hari Pangeran
Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang
berbeda dilihatnya "empat kondisi" yang sangat berbeda: yaitu orang tua-renta, orang
sakit, orang mati dan orang hidup tenang. Pangeran Siddhartha bersedih dan
menanyakan kepada dirinya sendiri, "apakah arti kehidupan ini, kalau semuanya akan
6
menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan
kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan
segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya
kehidupan tenang (suci) lah yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat
pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, pangeran Siddharta
memutuskan untuk meninggalkan istananya dan hanya ditemani oleh kusirnya, yang
bernama Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan perjalanan kerohanian yang
besar, dengan menjalani hidup sebagai pertapa. Melalui tapa-brata yang sungguh-
sungguh, jauh dari kemewahan duniawiah dan hingar bingarnya pujian manusia, ia
mendapatkan pencerahan melalui peristiwa yang hanya dapat dipahami oleh mereka
yang memang layak untuk mendapatkannya. Pada suatu hari pertapa Gautama dalam
pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang
melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan: “Wahai anaku bila senar kecapi ini
dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Namun kalau terlalu dikencangkan,
putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Sebaliknya bila senar kecapi
ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka
lenyaplah suara kecapi itu”. Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama
yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk
mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang
tubuh pertapa Gautama. Sang Pangeran tersebut akhirnya mendapatkan bimbingan
melalui “ilham” kerohanian, sehingga dia beralih posisi dari seorang penguasa materi
menjadi penguasa “hati manusia”, dengan sebutan “Sang Budha”, yang berarti
penguasa akal dan budi, ajarannya dikenal sebagai agama Budha. Pada waktu
Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat
Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu:
1. Berusaha menolong semua makhluk.
2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
7
4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Perkembangan paradaban “barat” nampaknya tidak seindah yang terjadi di
Timur tersebut, karena dalam catatan sejarah bangsa barat hanya sekali mencapai
peradaban bernilai tinggi, yakni pada era Yunani dengan munculnya para filosof Yunani
awal maupun belakangan. Nilai-nilai peradaban yang dikembangan bangsa ini banyak
diwarnai oleh tokoh-tokoh sekelas:

1. Thales (625-545 SM), dengan filsafatnya, antara lain:


• “orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran-teguran keras
baginya lembut daripada sanjungan merdu dari penjilat yang berlebih-lebihan”.
• “apabila kamu menasihati orang yang bersalah maka berlemah lembutlah agar dia
tidak merasa di telanjangi”.
• “orang yang secara sembunyi-sembunyi melakukan suatu perbuatan yang tidak di
lakukan secara terang-terangan, ia tidak berharga di hadapan dirinya”.
2. Phytagoras ( 572-497 SM ), pemikirannya antara lain:
• ”jika engkau ingin hidup senang, maka hendaklah engkau rela di anggap sebagai
tidak berakal atau di anggap orang bodoh”.
• Pukulan dari sahabatmu lebih baik dari pada ciuman dari musuhmu.
• ”jangan sekali-kali percaya pada kasih sayang yang datang tiba-tiba, karena dia akan
meninggalkanmu dengan tiba-tiba pula”.
• Jangan membanggakan apa yang kamu lakukan hari ini, sebab engkau tidak akan
tahu apa yang akan di berikan oleh hari esok.
3. Socrates (470 SM - 399 SM), dengan sikapnya:
• Seseorang menampar pipi Socrates, lalu pada bekas tamparan itu Socrates menulis
“Seseorang telah menamparku ini balasan dariku”.
• Socrates di cela karena makan terlalu sedikit, maka dia menjawab,“aku makan untuk
hidup, bukan hidup untuk makan”.
• Socrates di cela karena dia tidak banyak bicara, dia menjawab,”Allah Taala telah
menciptakan dua telinga dan satu lidah untukku, agar aku banyak mendengar daripada
berbicara, tetapi kalian lebih banyak bicara daripada mendengar”.
8
• Setelah berusia tua, Socrates belajar musik. Lalu ada orang berkata padanya,” apakah
engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu
menjadi orang yang bodoh di usia tua”.
• Socrates berkata,”Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah
dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap.
• Socrates berkata ,” kesedihan membuat akal terpana dan tidak berdaya; maka jika
anda tertimpa kesedihan, terimalah dia dengan keteguhan hati dan berdayakanlah akal
untuk mencari jalan keluar”.
• Janganlah engkau menceritakan isi jiwamu kepada orang lain, karena sungguh jelek
orang yang menaruh hartanya di rumah dan memamerkan isinya.
• Kesejahteraaan memberikan peringatan, sedangkan bencana memberi nasihat.
• Jangan mengomentari kesalahan orang lain, karena orang itu akan mengambil
manfaat dari ilmumu lalu dia menjadi musuhmu.
4. Plato (427 SM-347 SM) dengan pemikirannya:
• Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja.
• Janganlah engkau berteman dengan orang jahat karena sifatmu akan mencuri
sifatnya tanpa engkau sadari.
• Plato berkata ,”Orang yang berilmu mengetahui orang yang bodoh karena dia pernah
bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang berilmu karena dia
tidak pernah berilmu”.
• Budi pekerti yang tinggi adalah rasa malu terhadap diri sendiri.
• Plato di tanya ,”Bagaimana caranya agar seseorang bisa hidup dengan tenang?”. Dia
menjawab ,” Jika orang itu tidak melakukan kejahatan dan tidak bersedih akan sesuatu
yang di alaminya, maka dia tentu akan merasa tenang”.
• Kerendahan seseorang di ketahui melalui dua hal : banyak berbicara tentang hal-hal
yang tidak berguna, dan bercerita padahal tidak ditanya.
• Jangan terlalu banyak mengenal orang, sebab kalian lebih sering di sakiti oleh orang
yang kalian kenal, sedangkan orang yang tidak kalian kenal nyaris tidak dapat
menyakiti kalian.
9
• Cinta adalah gerak jiwa yang kosong tanpa pikiran.
5. ARISTOTELES (384 - 322 SM)
Nyaris tak terbantahkan, Aristoteles seorang filosof dan ilmuwan terbesar dalam dunia
masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap
cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu
pengetahuan. Banyak ide-ide Aristoteles kini sudah ketinggalan jaman. Tetapi yang
paling penting dari apa yang pernah dilakukan Aristoteles adalah pendekatan rasional
yang senantiasa melandasi karyanya. Tercermin dalam tulisan-tulisan Aristoteles
tentang sikapnya, bahwa tiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka
untuk obyek pemikiran dan analisa. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah
dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh magik, oleh keinginan tak terjajaki kehendak
dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-
hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk
mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis dan kita mesti
memanfaatkan baik pengamatan empiris dan alasan-alasan yang logis sebelum
mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini yang bertolak belakang dengan tradisi,
takhayul dan mistik telah mempengaruhi secara mendalam peradaban Eropa.
Dari contoh para filosof tersebut di atas, hampir semuanya bernuansa tentang
memaknai kehidupan manusia. Berkat jasa para tokoh tersebut bangsa Yunani menjadi
rujukan bangsa lain dalam mencari nilai kebenaran dan kedamaian hidup. Sayangnya
peradaban yang bernilai tinggi tersebut hancur (lihat Gambar 1.2) demikian saja setelah
para penguasanya (para raja) tidak memperhatikan pentingnya pilar-pilar membangun
bangsa, yakni moral. Mereka lebih senang mengikuti kesenangannya sendiri (hawa
nafsu) dan menganggap sebuah misi moral atau etika sebagai ideologi yang akan
menghancurkan atau mengambil kekuasaanya. Pilihan demikian justru mempercepat
keruntuhannya, sehingga setelah bangsa Yunani hilang dari peta sejarah dan diganti
oleh bangsa Romawi, toh akhirnya bangsa tersebut hilang juga oleh dirinya sendiri,
karena terjadinya pembusukan dari dalam (self decay).

10
Gambar 1.2. Sisa peninggalan Yunani berupa sebuah kuil Parthenon: Adalah kuil dewi
Athena, yang dibangun pada pada abad ke 5 di Akropolis. Bangunan ini
adalah bangunan paling penting yang berhasil selamat di masa Yunani
Klasik, dan dianggap sebagai puncak perkembangan budaya Klasik
Yunani.

Munculnya agama-agama samawi di Timur yang cukup mewarnai peradaban,


seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam; yang masing-masing membawa konsep moral dan
etika untuk membangun peradaban, yang tertuang masing-masingnya dalam Taurat,
Injil, dan Al-Qur‟an dan dibawa oleh para nabi seperti: Musa (sekitar 1527-1408 SM),
Isa al Masih (sekitar 1 - 32M), Muhammad (570-632 M) ; terbukti cukup ampuh
mewarnai peradaban sampai saat ini. Memang pada masing-masing ajaran agama
tersebut telah berkembang menjadi berbagai aliran atau paham (firqah), tetapi tidak
menghilangkan pengakuan umat manusia bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya
masih dapat diadopsi sebagai tata nilai yang mulia dalam membangun peradaban
manusia, hal ini terlihat dari data pemeluk agama tersebut yang terus berkembang
sesuai dengan peningkatan populasi manusia.

Terdapat hal mendasar yang perlu dipertanyakan mengenai keorisinilan dari


konsep Ilahiah yang terdapat dalam ketiga kitab suci tersebut oleh mereka yang
berakal, mengingat panjangnya perjalanan risalah yang dibawa sampai saat ini
(kehidupan moderen). Bila melihat risalah masing-masing, yakni Musa a.s. (± 2500
tahun), Isa a.s (± 2000 tahun), Muhammad s.a.w. (± 1500 tahun); sungguh hal ini
merupakan perjalanan suatu konsepsi hidup yang amat panjang dalam sejarah umat
manusia, sehingga terjadinya pemalsuan terhadap isi konsepsi dalam kitab tersebut
11
bukan hal aneh dapat terjadi karena banyaknya kepentingan hawa nafsu manusia
(apalagi bila mempunyai kekuasaan untuk melakukannya). Sehingga tidak salahlah
generasi saat ini bila menanyakan secara kritis dan rasional, manakah konsepsi yang
asli dalam kitab suci tersebut, baik Taurat, Injil, maupun Al-Qur‟an? Terus terang
sampai tulisan ini dibuat, penulis masih mencari Taurat dan Injil yang asli, sementara
Al-Qur‟an sudah mendapatkannya yang sekarang telah diterjemahkan dalam berbagai
jenis bahasa dunia.

Dengan uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa adalah sangat riskan apabila
manusia hidup di atas bumi ini untuk membangun sebuah masyarakat tanpa adanya
nilai yang menjadi pedomannya karena dengan demikian mereka akan menjadi mangsa
dan pemangsa satu sama lain. Kalau hal ini telah menjadi warna peradabannya, maka
sulit sekali untuk membangun masa depan, manusia telah kehilangan harapan, padahal
harapan itulah yang menjadi motor dinamika bermasyarakat. Munculnya peradaban
moderen saat ini dengan berpatokan kepada “Sains”, dikenal dengan istilah lain ilmu
pengetahuan; secara fisik atau material memang sangat membanggakan dan
menggairahkan. Bagaimana tidak menyenangkan, karena kita dapat melihat di malam
hari dengan penerangan listrik yang tinggal tekan tombol dan menggeser obor atau
lampu tempel dan lilin. Demikian pula dengan air kran yang sudah masuk ke dalam
kamar tidur sehingga tidak perlu ke sumur untuk menimba air; perjalanan ribuan
kilometer jauhnya yang dahulu ditempuh berbulan-bulan dengan berkuda, kini hanya
dalam ukuran jam karena adanya transportasi pesawat terbang; dan demikian
seterusnya pada teknologi lainnya.

Pertanyaannya adalah, apakah peradaban yang kita bangun dari fondasi sains
tersebut cukup ampuh atau resisten terhadap perkembangan dinamika umat manusia,
baik yang menyangkut aspek kebutuhan maupun pemikiran? Kalau hal ini tidak kita
pikirkan dengan serius, maka sama artinya kitapun hidup dalam peradaban coba-coba
(trial and error), yang tentu saja akan berdampak pada kepunahan bangsa dan
peradaban itu sendiri seperti halnya kasus-kasus peradaban lainnya yang sekarang

12
tinggal kenangan. Pertanyaan inilah sebenarnya yang menjadi inti sari dari tulisan
dalam buku ini, dan menjadi tanggungjawab para ilmuwan tentunya untuk
mempertahankan eksistensi peradaban manusia seutuhnya sehingga harus terus
mencari jawaban tentang kebenaran itu sendiri. Sementara itu paradigma ilmiah
mengakui tentang relativitas kebenarannya. Apakah kita pertaruhkan umat manusia ini
di atas landasan yang rapuh atau relatif tersebut, dan hanya berorientasi kepada
kepentingan pragmatisme dan sesaat belaka?

Berbeda dengan perkembangan pemikiran yang terjadi melalui tokoh-tokoh


seperti tersebut di atas, maka pemikiran pencarian Tuhan melalui agama wahyu
sebenarnya telah ada sejak manusia pertama diciptakan (Adam), yang telah mengenal
Penciptanya semenjak terciptanya. Hanya karena “kesialan” Adamlah yang mendekati
“pohon larangan” menyebabkan dia tersesat dalam belantara kemanusiaan yang
membumi dan “terlempar” dari kehidupan mapan didekat Tuhannya (surgawi). Hanya
melalui pintu taubatlah Tuhan mengenalkan dirinya kembali kepada Adam dan
memberikan tuntunan bagi keturunannya untuk tetap mengenalnya dalam bentuk
agama samawi tersebut. Mengingat populasi manusia terus berkembang dan terjadi
distribusinya di muka bumi sehingga mengalami perubahan sistem nilai dalam
bermasyarakatnya, maka agama samawipun mengalami perbaikan atau
penyempurnaan dalam kandungan ajarannya, yakni yang menyangkut aturan
bermasyarakat, peribadatan, dan sistem nilai; sedangkan mengenai ajaran
Ketuhanannya tidak berubah sama sekali yakni monotheisme (bertuhan satu). Itulah
sebabnya dalam ajaran Islam (yang diyakini sebagai agama samawi terakhir atau
penutup), maka umat Islam diharuskan mengimani semua bentuk agama samawi tadi
sejak dari Adam tanpa membedakannya. Hal tersebut terukir jelas dalam firman Tuhan
sebagai berikut: ”Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):
Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul

13
rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa):
Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" [2: 285].

Masalah yang muncul saat ini adalah bagaimana semua nilai dan aturan yang
telah termuat dalam perkembangan peradaban manusia, baik melalui jalur budaya
maupun sumber wahyu dapat beradaptasi atau terjadi integrasi dengan perkembangan
peradaban yang dibangun atas dasar sains tersebut. Sekulerisasi terhadap sains yang
berarti melepaskan pencarian kebenaran melalui metode sains dari nilai moral dan etika
khususnya yang diwarnai oleh sumber wahyu, sungguh sangat disesalkan dan
merupakan “kebodohan” dari saintis. Hal ini makin terasa pada akhir-akhir ini dimana
sains telah mewujudkan dirinya menjadi “monster” atau “iblis” yang lebih berbahaya
dari iblis sesungguhnya. Bagaimana tidak, karena sang iblis saja dikutuknya oleh Tuhan
karena pembangkangannya terhadap perintah Tuhan agar sujud kepada Adam yang ia
tolak mentah-mentah, karena logika iblisnya yang menganggap dirinya lebih mulia dan
terhormat. Akan tetapi apakah yang terjadi pada manusia yang jelas-jelas merusak dan
menentang aturan Tuhan melalui perkembangan sains pada berbagai fenomena
kehidupan. Dahulu orang masih punya harga diri dengan rasa malu bila diketahui
bahwa dia berperilaku “wadam” yang “gay”; tetapi saat ini mereka justru menuntut
adanya undang-undang bolehnya perkawinan sejenis. Para ahli kedokteran yang masih
mempunyai moral tentu tidak akan mau melakukan “pembuatan bayi tabung” melalui
semens sperma jantan yang bukan ayahnya (diambil dari bank sperma); tapi logika ini
ditolak bagi manusia yang menganut aliran “sains bebas nilai”. Dalam sains lunak (ilmu-
ilmu sosial) sungguh kerusakan peradaban manusia semakin cepat karena menganut
aliran kebebasan berfikir yang dianggapnya hak azazi manusia secara individual.
Mereka boleh berpendapat dan berperilaku apapun selama tidak merugikan orang lain.
Model berfikir demikian pada dasarnya telah menunjukan logika bengkoknya,
bagaimana tidak merugikan orang lain sementara perbedaan berfikir dan bertindak
anggota masyarakat yang demikian besar itu sangat variatif, dan pasti akan terjadi
benturan nilai. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terjadi di negara-negara barat
(khususnya Amerika) yang mengagungkan berfikir bebas dan pengusung HAM itu
14
sendiri justru terlihat adanya jurang yang dalam antara orang berlimpah materi ( the
have) dan masyarakat miskin menderita (the have not). Dalam kondisi demikian maka
sains tidak bisa berbuat apa-apa, dia akan berlepas tangan dengan mengatakan “itu
semua di luar kewenangan kami dan bukan dalam koridor sains”.

Hal-hal serupa inilah yang seharusnya menjadi tanggungjawab saintis yang


masih memiliki moral khususnya moral agama, karena pada mereka masih tercerahkan
oleh cahaya illahiah yang tak akan pernah redup sekalipun tiada daya dan terpinggirkan
oleh kekuatan sosial yang rusak. Apakah saintis cukup mempunyai kekuatan moral
agar laju teknologi yang telah dimilikinya tidak berdampak negatif kepada eksistensi
dirinya? Teknologi kloning yang belakangan ramai dibicarakan orang memang telah
berhasil pada binatang seperti digambarkan pada Gambar 1.3. Namun bagaimana sikap
saintis bila hal tersebut digunakan pada manusia, apakah masih cukup moral untuk
menolaknya atau justru menerimanya sebagai perkembangan teknologi biologi yang
dianggapnya mutakhir; apakah masih akan terbangun suatu peradaban?

Gambar 1.3. Skema prosedur kloning pada domba yang telah berhasil diuji cobakan,
bagaimana dengan manusia?

15
BAB II

DERITA MEMBAWA NIKMAT

Telah lama aku berjalan; jurang, bukit, gelap dan terang aku lalui,
Jangan ditanya tentang kesenangan, karena akan terhampar kesusahan,
Kini terkuak cahaya kebenaran melalui pendalaman pengalaman,
Biarkan ia bertutur sebagai obat pelipur dalam ujung jalan yang belum
terlampaui.
===================================================

Dalam ilmu biologi, baik yang menyangkut manusia, khewan, atau tumbuhan;
latarbelakang (background) suatu jenis (spesies) sangat penting untuk diruntut asal
muasal tetuanya untuk mengetahui sifat genetikanya, karena ada hubungannya dengan
masalah penyakit bawaan (keturunan), kemampuan reproduksi, dan lain sebagainya.
Untuk melakukan penelusuran secara silsilah keturunan, penulis mengalami kesulitan
mengingat faktor sejarah hidup yang tidak tertulis dan ketersediaan waktu serta dana
dalam menggalinya. Oleh karena itu penuangan latarbelakang kehidupan dan garis
keturunan penulis, dituangkan atas dasar pengalaman langsung penulis yang sampai
usia senja ini (63 tahun) masih terekam dengan baik dalam ingatan intelektual maupun
tertanam dalam di hati sanubari penulis.

1. Garis kedua orang tua.


1) Dari pihak ayah
Ayah saya bernama Bunyamin Rahayu (1918 – 1998), putra dari mbah
Sastroprawiro dan Rinta, yang lahir di Cirebon dan tinggal di perkampungan
(Mandalangen), Kraton Kasepuhan. Belakangan penulis mengetahui yang
ternyata bahwa sang nenek adalah trah kesultanan Kasepuhan. Sementara sang
kakek adalah putra asli Karanganyar (Jawa Tengah) dari keluarga kepala desa
tersebut (turun temurun). Nama mbah Sastroprawiro inilah yang kemudian
diadopsi oleh saya untuk menambah kata Sastrahidayat dalam nama.
Dengan berjalannya waktu antara kakek dan nenek tersebut setelah
mempunyai anak dua, yakni: Bunyamin (ayah saya) dan paman saya (tak kenal
nama karena mati muda); nampaknya rumah tangga mereka tidak abadi dan
16
terjadi perceraian yang diakibatkan kurang sepahamnya pemahaman keyakinan
agama. Dimana kakek saya sangat intensif (mengganti kata fanatik yang
konotasinya negatif) dalam kerohanian aliran kebatinan “ilmu sejati”, sementara
nenek saya sangat intensif sebagai muslimah yang taat menjalankan syariat
Islam. Perceraian tersebut membawa berkah karena nenek saya kemudian
menikah lagi dengan seorang “hulubalang” raja Kasepuhan, yakni “mbah
Sumaatmaja” (darah sunda Cirebon), yang bekerja sebagai “lurah keraton
Kasepuhan”. Dari perkawinan kedua tersebut nenek mempunyai tiga anak yang
menjadi oom dan tante saya, yakni: Gunawan, Mulyana, Sri Utami. Semua
keluarga ini menetap di kompleks keraton kasepuhan sampai meninggal (rumah
induk sekarang sudah ditempati putra-putrinya).
Sementara itu mbah Sastroprawiro, juga tidak mau kalah dengan nenek,
yang kemudian beliaupun membangun keluarga baru dan mempunyai anak,
yakni: Hardini, Tatik, Nanik, Sigit, Sutaryo, dan Sutrisno. Sampai riwayat ini
ditulis tiga bulik terdahulu masih hidup sampai saat ini yakni di Kertosono,
Surabaya, dan Bangil. Dalam akhir hayatnya mbah Sastroprawiro dirawat oleh
bulik Hardini di Kertosono, dan meninggal dalam usia tua, yakni sekitar 95 tahun
(tahun 1898 – 1993).
Ayah saya nampaknya diboyong oleh mbah Sastroprawiro ke Jawa Timur
meninggalkan Cirebon setelah bercerai dan dibesarkan dalam didikan mbah
sampai menimba ilmu pengetahuan ke HIS (karena posisi mbah sebagai kepala
pegadaian di Nganjuk saat penjajahan Belanda), dan dari sana melanjutkan
pendidikan mantri kesehatan (perawat) di rumah sakit Cipto Mangukusumo,
Jakarta (sekarang) dan mendapatkan ijasah Diploma A1 voor Algemeene
Ziekenverpleging tahun 1941. Setelah selesai pendidikan beliau kemudian
bekerja dirumah sakit tersebut sebagai mantri di bawah dokter-dokter Belanda
tentunya sampai dengan masa pemerintahan Jepang (1942), yang berarti beliau
masih berusia 24 tahun. Dalam masa pemerintahan Jepang beliau bekerja
sebagai mantri ditempat yang sama dan banyak menangani pasien sakit akibat
17
kerja paksa (romusa), sehingga beliaupun mendapatkan sangsi penyiksaan
Jepang karena dianggap tidak becus menyembuhkan pasien yang banyak mati
akibat penyakit menular saat itu (kolera dan malaria). Dari kedua penjajah
tersebut beliau mendapat keuntungan sendiri yakni: pengetahuan kesehatan
sebagai mantri dari Belanda, dan pengetahuan kemiliteran (Peta) dari Jepang
sebagai konsekuensi perawat dijaman peperangan. Dengan jatuhnya
pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, dan proklamasi kemerdekaan RI,
tahun 1945; beliau kemudian diangkat sebagai pegawai negeri tingkat III
(mantri kesehatan) tertanggal 1 Nopember 1945 (atau 2,5 bulan setelah
proklamasi kemerdekaan). Terpanggil oleh pergerakan revolusi kemerdekaan,
beliau kemudian masuk militer (dalam angkatan laut dengan pangkat Letnan),
dan berevolusi bersama rakyat dan angkatan bersenjata lainnya untuk melawan
Belanda dan sekutu yang pada saat itu mendarat kembali untuk meneruskan
penjajahannya. Dari perjuangan tersebut beliau hanya mendapatkan dua lembar
kertas tanda bintang jasa “peristiwa kemerdekaan I dan II dari Presiden RI.
Dalam masa sulit itulah agaknya ayah saya bertemu dengan ibu saya, karena
sewaktu beliau pulang ke Nganjuk untuk cuti ke mbah Sastro, beliau di bawa ke
Madiun untuk dikenalkan dengan ibu saya tadi. Perkenalan itu sendiri
nampaknya memang jodoh, karena yang di Madiun tersebut adalah pamannya
ibu saya dari pihak ibunya (nenek saya), yang bernama Sunaryo (mbah Naryo).
Kebetulan pula istri mbah Naryo tersebut adalah kakak dari istrinya mbah Sastro
yang kedua tersebut di atas, sehingga terjadi perkawinan dalam keluarga
sebenarnya. Dengan desakan keluarga itulah akhirnya ayah saya menikahi ibu
saya, dan akhirnya membawa pulang kembali ke Purwakarta (Jawa Barat)
tempat orang tua ibu berada.

2) Dari pihak ibu


Garis keturunan dari pihak ibu, dapat disebutkan sebagai berikut: Ibu
saya bernama Sutiyah (1928 – 1972), yang dilahirkan dari nenek saya bernama:
18
Suratminah dan kakek bernama Notowidjojo (dipanggil mbah Salam). Beliau
adalah anak kedua dari lima bersaudara, yakni: Sukarti, Sutiyah (ibu saya),
Sutedja, Suyatmi, Harismayani, Sutinah, dan Suherman. Sampai buku ini ditulis
tinggal kedua paman saya yang masih hidup, bahkan Suherman usianya hanya
satu tahun lebih tua dari saya, dan sekarang tinggal di Jakarta sebagai
pensiunan mantri kesehatan di dinas perhubungan, sementara Sutedja tinggal di
Purwakarta sebagai petani, mengisi rumah peninggalan mbah.
Silsilah dari nenek pihak ibu relatif masih dapat diingat karena sewaktu
kanak-kanak (sampai kelas tiga SR = SD) saya tinggal disana, namun dari pihak
kakek (ayah ibu) sama sekali petanya buta, hanya “seletingan” beliau berdarah
Karanganyar. Kalau hal ini benar nampaknya akan ketemu dengan silsilah mbah
Sastroprawiro tersebut di atas, yang masih darah Jawa. Pihak nenek dari ibu
mempunyai silsilah darah campuran antara Jawa dan Sunda, dimana mbah buyut
perempuan bernama Uginah berdarah Sunda dan mbah buyut lelaki berdarah
Jawa, bernama Mangunkusumo. Saya bersyukur, masih diberi ingatan bahwa
waktu masa balita (entah umur berapa), kalau tidur sering dengan mbah buyut
perempuan (dikeloni-Jawa), dan sebelum tidur sering diajari do‟a tidur secara
Islami dan dalam bulan puasa do‟a niat puasa (walaupun ikut puasa sapi kata
orang), yang ternyata berbekas amat dalam pada jiwa kerohanian saya, dan
mungkin itulah tinta emas yang diukirkan oleh mbah buyut pada usia emas (the
golden age) saya sehingga saat ini saya begitu haus dan dahaga untuk menggali
Islam secara intensif.
Dari mbah buyut tersebut menurunkan anak, yakni: mbah Sulmin,
Suratminah (nenek saya), Sunaryo, Suparto, Sutinah, Subandi, Suparti,
Sudirman, dan Rohendah. Mbah Sulmin ternyata kemudian menjadi lurah dan
ahli pengobatan tradisional (dukun) di desa Cihuni, di Purwakarta. Mbah
Sunaryo setelah dari Madiun kemudian menjadi Administratur kehutanan di
Kebonhardjo, Tuban. Sementara mbah saya sekeluarga (termasuk ibu saya),
hidup sederhana sebagai petani penggarap didesa Campaka, kecamatan
19
Cikumpai, Purwakarta; yang kemudian menjadi tempat ibu saya melahirkan
anak-anaknya.
2. Garis silsilah penulis
Dari uraian di atas telah disebutkan bahwa saya mempunyai orang tua,
ayah bernama: Bunyamin Rahayu sedangkan ibu bernama Sutiyah, yang
darinyalah kami dilahirkan; yakni: Rochdjatun, Dwi Agus Sudjud, dan Sri Sundari.
Saya merupakan anak sulung yang kemudian namanya saya minta ijin ke ayah
saya untuk ditambahi Ika didepan (karena alasan adik saya diberi nama Dwi),
dan Sastrahidayat dibelakang untuk mengabadikan nama Sastra seperti
diterangkan di atas; jadilah lengkap menjadi Ika Rochdjatun Sastrahidayat
sampai saat menjadi kakek ini, dan saya senang dikenal dengan panggilan IKA.
1) Dari kelahiran sampai masa kanak-kanak
Seperti dijelaskan di atas, saya di lahirkan didesa Campaka-Purwakarta, pada
hari Jum‟at, tanggal 9 Januari 1948. Disini saya sajikan foto ibu, saya dan adik
Agus (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Ibu penulis, penulis masa balita dan adik

Desa ini sekalipun berada dikawasan perkebunan karet


Cikumpay, namun berada di tepi jalan raya yang
menghubungkan kota Purwakarta dan pangkalan militer
Kalijati-Subang, yang pada saat itu hanya dilewati truk
pengangkut kayu karet, satu dua dan transportasi antara kota. Kesepian akan
terasa dikala malam hari, karena meskipun jalannya mulus beraspal namun gelap
karena tidak ada penerangan jalan (maklum di desa); penerangan baru nampak
indah di malam hari dikala muncul bulan purnama sehingga biasanya
dimanfaatkan oleh kami untuk membuat permainan di jalan berupa gobak sodor
(mungkin dari kata go back to the door = kembali ke pintu masuk). Indah
memang permainan itu karena selain memerlukan kelincahan dalam berlari dan

20
berliku diperlukan adanya kerjasama dengan kawan (suatu latihan olah raga dan
jiwa pada awal pertumbuhan). Sayang permainan tersebut saat ini sudah
ditinggalkan karena dianggap kuno dan ndesit, beralih pada permainan games di
komputer yang membangun watak egois dan masa bodoh.
Masa kanak-kanak saya di Campaka-Purwakarta relatif pendek, yakni
hanya sampai dengan usia sekolah kelas dua SD (tahun 1956), akan tetapi lebih
banyak dukanya dibandingkan sukanya (sekalipun dukanya tidak terasa).
Mengapa demikian? Yah karena ternyata setelah lahirnya adik ketiga saya, kedua
orangtua bercerai, kami bertiga ditinggal di Campaka mengikuti ibu, sementara
ayah pergi ke Surabaya mencari kerja setelah ke luar dari angkatan laut, dan
tidak pernah kembali. Akibat perceraian tersebut ibu kemudian menikah lagi
dengan pemuda sunda lain kampung namun masih dalam satu kecamatan,
namanya Bapak Sunaryo. Dari padanya kemudian ibu melahirkan adik-adik tiri
saya tiga orang.
Dalam kondisi keluarga yang gagal (broken home) itulah saya hidup
dengan standar kesehatan dan pendidikan yang minim, sehingga kondisi fisikpun
ikut jatuh. Penyakit malaria bertubi-tubi menyerang saya hingga hampir
mendekati ajal dan diperparah dengan gizi yang buruk sehingga sering
menderita “buta ayam” (bila masuk maghrib tidak dapat melihat). Saya masih
ingat betapa “primitifnya” cara nenek saya mengobati buta ayam saya, yakni
dengan disembur pakai air kumur ke muka pada saat maghrib dimana saya tidak
dapat melihat. Ibu tentu saja tidak berdaya dengan tiga anak yang masih kecil
tanpa penghasilan sama sekali sehingga untuk hidup hanya penghasilan kakek
dari penggarap sawah orang lain (kerja maro), yang juga punya tanggungan
paman dan bibi yang masih kecil. Tidak heranlah apabila dalam kondisi demikian
kontrol terhadap saya baik pendidikan, pergaulan, makanan, dan kesehatan
menjadi amat rendah; tidak ada yang salah dalam hal ini, hanyalah takdir yang
harus saya lewati. Akibatnya saya bermain bebas, sering ke sawah mencari belut
dan ikan dengan cara merogohi lubang-lubang yuyu dipematang sawah, hasilnya
21
memang tidak seberapa, namun bila dapat langsung dibakar, tentu saja hal ini
menjadi derita yang membawa nikmat. Kenikmatan kecil tersebut nampaknya
harus dibayar, karena besok harinya ketika kembali saya cari ikan di lubang
pematang sawah, kali ini didapat ikan keting (dalam marga Mystus lihat Gambar
2.2), namun dia berontak dan mematil jari kiri saya hingga patilnya patah dan
tertinggal menancap di sela kuku; saya tidak menangis hingga ditolong ayah tiri
saya, yakni dengan mencabut patilnya kemudian tangan yang luka diasapi
dengan bakaran jerami di sawah.

Gambar 2.2. Ikan keting penghuni air tawar


Nampaknya inilah ilmu pertolongan pertama pada kecelakaan (PKK) paling
tradisional untuk membunuh bakteri yang
menyebabkan infeksi, memang malamnya suhu saya
naik dan mengggil demam karena infeksi. Dari
peristiwa ini setelah di perguruan tinggi, saya baru
mengerti bahwa teknologi pengasapan adalah metode pengawetan yang cukup
efektif, dan saat ini banyak dilakukan untuk makanan, seperti “bandeng asap”
dan sebagainya.
Kadangkala sambil “angon” kambing (walaupun hanya beberapa ekor
kambing aja) di tegalan, saya isi untuk mencari belalang yang kemudian ditusuki
pakai lidi dan dibakar, yah sekedar menambah gizi protein hewani yang tidak
saya sadari, yang enak dengan dagingnya besar adalah jenis belalang kayu
(nama ilmiahnya Melanoplus cinereus lihat Gambar 2.3), dan ternyata
mengandung protein sekitar 18 % lebih tinggi dari udang windu yang hanya
10%. Dalam Agama Islam, belalang dan ikan adalah salah satu dari dua hewan
yang apabila telah terlebih dahulu mati (bangkai) masih dihalalkan untuk
dimakan.

22
Gambar 2.3. Belalang kayu penghuni tegalan.
Disamping belalang seringkali juga saya mencari
tanam-tanaman jenis gulma di sawah yang dibero,
salah satu yang bisa dijadikan lalapan adalah tanaman
dengan nama “jonghe” (Sunda) atau Tĕmpuh uyung
(Jawa)” (nama ilmiahnya Emelia sonchifolia (L.) D.
lihat Gambar 2.4). Tanaman ini dikenal sebagai jenis sayuran, dimakan dengan
dikukus atau sebagai lalapan, dan menjadi tumbuhan inang dari Thrips tabaci
Lind.

Gambar 2.4. Jonghe di tegalan.


Daunnya digunakan untuk luka/sakit di mata
dan telinga; dan saat ini telah dimanfaatkan
untuk berbagai penawar bagi jenis penyakit
seperti: asthma, intermittent fevers, breast
cancer, ophthalmia, nyctalopia, dan lain-lain,
serta mengandung zat dari kelompok flavonoid yang berguna sebagai pencegah
kerusakan peroxidative jaringan sehingga bisa dipakai untuk agen terapi.
Atau saya bermain sendiri ke “situ” Cikumpay (semacam telaga
penampung air irigasi) yang ada tak jauh di belakang rumah, disitu dengan
beraninya saya masuk ditepinya untuk mencari kijing (sejenis keong dengan
rumahnya gepeng memanjang lihat Gambar 2.5); lumayan sambil bermain
sendirian (semacam outbound mungkin) saya dapat menambah gizi kembali.

23
Gambar 2.5. Siput kijing bergizi tinggi.

Memang bila diingat dari sisi pendidikan hal ini


termasuk “bonek” tanpa pengawasan sama sekali,
segala risiko bisa terjadi; bahkan pada saat itu saya tidak dapat berenang sama
sekali; jangan ditanya tentang adanya lintah yang menempel penuh di badan
setelah ke luar dari dalam situ tersebut, bahkan kadang sulit dilepas. Kalau hal
tersebut belum puas saya sering naik tanaman buah-buahan, yang antara lain
pohon “sentul atau kecapi” (nama ilmiahnya Sandoricum koetjape (Burm.f.)
Merr. Lihat Gambar 2.6) yang cukup tinggi untuk mengambil buahnya berbentuk
bulat warna kuning (seperti bola tenis), sekedar untuk dimakan sebagai
pengganjal perut, hal ini biasanya saya lakukan di tegalan etah siapa yang
punya.

Gambar 2.6. Buah kecapi rasa masam manis.


Banyak ditegalan ditanam kecapi mungkin
karena peranannya, yakni kayunya bermutu
baik sebagai bahan konstruksi rumah, bahan
perkakas atau kerajinan, mudah dikerjakan dan
mudah dipoles. Sementara rebusan daunnya digunakan sebagai penurun
demam, serbuk kulit batangnya untuk pengobatan cacing gelang, akarnya untuk
obat kembung, sakit perut dan diare; serta untuk penguat tubuh wanita setelah
melahirkan.
Pernah pula saking “nakalnya”, saya melihat sarang burung di pohon
mangga koweni di depan rumah, kemudian saya naiki hendak diambil
burungnya, namun betapa kagetnya saya sewaktu hendak memegang burung
24
ternyata isinya ular, hampir jatuh saya dibuatnya, cepat turun dan setelah di
bawah ternyata dada saya luka semua, agaknya turun dengan merosot tanpa
dirasa; nah kapok lu ! Apakah benar kapok? Tidak juga. Ini terbukti dengan
keinginan saya untuk bisa naik sepeda. Suatu kali saya melihat ada sepeda orang
di rumah, tanpa permisi , setiap kali orang tersebut ke rumah saya coba berlatih
sendiri untuk mendayungnya, sekalipun sepedanya lebih besar dari badan saya,
rasa penasaran saya lebih besar untuk selalu mencobanya tanpa harus diajari.
Benar saja setelah beberapa kali berlatih, kesimbangan terjaga, sayapun mulai
mendayung agak jauh dari rumah di jalan aspal. Dalam percobaan inilah saya
jatuh terlempar ke sungai karena ingin bergaya berhenti dipinggir jembatan
dengan kaki satu tetap di sepeda satunya berdiri ke tepi jembatan. Untungnya
air sungai tidak banyak dan mengalir, namun kejatuhan itu cukup tinggi untuk
seusia anak SD kelas 2, yakni sekitar 3 meter dan malamnya saya demam, sakit
keras.
Kejadian-kejadian kecil yang saya ceritakan di atas ternyata tidak
membuat saya mempunyai rasa takut dan menangis waktu terjadi, sungguh
sayapun heran mengapa saya sulit menangis. Saya baru merasa takut dan
menangis pada suatu peristiwa, dimana saya disuruh nenek mencari kambing
yang belum pulang ke kandang yang digembalakan di kebun karet (dahulu
disebut hutan karet). Disitulah manakala saya menggiring pulang kambing
bertemu dengan sekelompok monyet yang memang banyak disitu, saya
ketakutan dan menangis dan lari melaporkan kejadian tersebut ke nenek saya.
Kejadian lain adalah dalam hal berhadapan dengan kenakalan paman saya yang
memang berbeda 1 tahun usianya dan lebih besar, hidup dalam satu atap rumah
tetapi dalam keseharian saya selalu dijadikan bulan-bulan, apakah dipukul,
diketak, dilempar, dan sebagainya. Pada suatu hari saya bermain gangsingan
(panggalan-sunda) sendirian, tiba-tiba paman datang dan “menembak” panggal
saya yang sedang berputar sehingga terlempar, saya marah dan berkelahi, tetapi

25
saya kalah, saya nangis ketakutan dan berlari ke dalam rumah kemudian
sembunyi di bawah kolong tempat tidur, lupa entah berapa lama.
Dalam berkomunikasi setiap hari keluarga saya menggunakan bahasa
Sunda, sekalipun ibu dan kakek saya bisa bahasa Jawa, demikian pula dalam
pergaulan. Mungkin inilah yang disebut dengan bahasa “ibu” sebenarnya, karena
semua perbendaharaan kata dan kalimat terekam dengan baik sampai saat ini
sekalipun telah puluhan tahun tidak digunakan sama sekali. Bahkan lagu seperti:
acuk bungur, pat lapat, nama-nama kota, dsb, yang diajarkan dikelas 1 dan 2 SD
di Campaka lagunya masih ingat hanya baitnya yang tidak lengkap. Mungkin
inilah yang perlu mendapat perhatian dari para pendidik bahasa dengan
saksama, mengapa bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP, bahkan sekarang
sejak SD sulit melekat sekalipun diulang-ulang dan bahkan telah ikut kursus
segala sampai sarjana.

Perpindahan ke Cirebon.
Mungkin sudah nasib atau takdir tak dapat dicegah, untung tak dapat
diraih, begitu kata peribahasa. Pada sekitar tahun 1956/1957 saya naik kelas 3
SD, begitu liburan tiba-tiba datang orang yang tidak saya kenal sama sekali yang
menurut ibu saya kala itu sebagai paman dan bibi saya dari pihak ayah (yakni
Oom Gunawan dan Tante Utami), ingin mengajak saya dan adik saya (Agus)
untuk liburan di Cirebon di rumah nenek. Saya baru tahu setelah dewasa bahwa
hal ini memang skenario ayah dan ibu saya untuk gantian mengasuh anak.
Dalam hidup sejak kecil saya bukan tipe pembantah, sehingga mengiyakan
dengan mudah dan jadilah kami berdua meninggalkan tanah kelahiran Campaka
yang rupanya untuk selamanya. Memang demikian adanya karena setelah masa
liburan selesai, saya mendapat surat dari ibu saya untuk bersekolah di Cirebon
agar menjadi anak pintar. Kembali disitu saya bisa menangis tetapi tangisan
sementara dan tak berdaya, karena begitu masuk sekolah di SD Pamitran I kota
Cirebon, adik saya masuk kelas 1 dan saya masuk kelas 3 SD; maka sayapun
26
lupa dengan rasa kangen keluarga di Campaka. Saya hidup dilingkungan
perkampungan keraton Kasepuhan yang tentu lebih baik dibandingkan desa
Campaka, meskipun paman dan bibi sayapun masih bersekolah, tetapi kakek
saya mbah Sumaatmadja orangnya sangat sabar, dan hampir setiap tiga hari
sekali sekitar jam 11 pagi memberi kami uang receh untuk jajan, tidak seberapa
memang, tetapi untuk membeli es gandul rasanya tidak ternilai bagi seeorang
anak kecil. Dengan kakek inilah saya, adik saya (Agus) dan adik ipar (dari bi
Anah) yakni Sri Mahastutik mendapatkan penetrasi perasaan kasih sayang,
sementara nenek saya (ibu kandung ayah saya) menurut penilaian saya saat itu
adalah sosok yang kurang menarik karena jarang bicara dan tersenyum, sekali
bicara isinya tegoran.
Dalam pergaulan keseharian saya cukup mendapat banyak kawan disini
dibandingkan di Purwakarta, bahkan jumlahnya puluhan teman sebaya,
semuanya menyenangkan; kecuali ada seorang yang menjadi kepala
“hulubalang”, panggilannya si Tamang (entah nama lengkapnya). Anaknya
paling besar dan memang usianya mungkin 3-4 tahun di atas kami semua.
Perilakunya buruk dan menjadi manajer dalam segala bentuk permainan di
kampung tersebut, mulai dari petak umpet, cari layangan, main kelereng dan
sebagainya. Rupanya anak ini takdirnya calon preman, sehingga semua anak
takut dan harus nurut dia, sayapun takut karena ancamannya yang paling sadis
adalah boikot sosial yakni tidak mendapatkan kawan bermain dan dicegat
disetiap sudut kampung untuk diadu berkelahi dengan lainnya. Pernah saya
“disiksa” dengan cara disuruh naik sebuah pohon palma di dalam keraton,
sampai tinggi ke pucuk begitu turun langsung disuruh berkelahi dengan teman
lain yang sudah disiapkan, untungnya teman saya tersebut punya perasaan iba
sambil mendekap ia berbisik “kita pura-pura saja”. Disitu saya belajar siasat
secara tak sengaja bagaimana seharusnya menghadapi tekanan hidup. Suatu
ketika hari minggu kami diajak main ke tepi pantai yang dikenal dengan sebutan
“tropic garden”, begitu dipantai saya disuruh mengejar binatang kecil-kecil yang
27
banyak dibatuan licin, kemudian saya ditinggal beramai-ramai. Pada hari lain
kami bermain (tentu atas perintah si Tamang) disungai besar di belakang
Keraton, disitu saya dikerjain lagi dengan disuruh masuk kesungai padahal saya
tidak bisa berenang sama sekali. Namun rasa takut si Tamang jauh lebih besar
dari rasa takut tenggelam; dan setelah berkali-kali minum air sungai saya
mendapatkan batang pisang, berpegangan menepi sendiri, sementara preman
kampung dan kawan-kawan sudah pergi meninggalkan saya seorang diri. Dalam
gambar nampak halaman depan kraton Kasepuhan Cirebon tempat biasanya
kami bermain karena memang istananya telah menjadi semacam museum yang
terbuka untuk umum dan sampai tulisan ini dimuat, dari masa kecil saya pada
bangunan tersebut tidak banyak perubahan (lihat Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Halaman depan Keraton Kasepuhan Cirebon tak berubah

Itulah kesulitan hidup sosial pertama kali, tanpa salah apapun saya
dikucilkan, dan hal ini ternyata menjadi pemicu saya untuk menghadapinya
dengan tabah. Masalah serupa ini saya buktikan kemudian setelah saya dibawa
28
ke Surabaya oleh ayah dan dididik hingga dewasa (mahasiswa). Waktu pulang
ke Cirebon menjenguk nenek dan paman, maka orang pertama yang saya cari
adalah sahabat saya si Tardiwan (sebelah rumah), darinya saya tanya tentang si
Tamang, jawabnya benar dia menjadi sopir truk dan sekaligus preman; dasar
takdir sejak awalpun sudah nampak.

Perpindahan ke Surabaya
Sekolah di Cirebon akhirnya saya tempuh sampai kelas 5 SD, yang naik
kelas dengan status naik dengan percobaan (lihat dokumen terlampir). Dua
minggu masuk sekolah di kelas 5, saya diturunkan lagi ke kelas 4 karena disuruh
maju ke papan tulis untuk menghitung sesuatu saya tidak bisa, pak guru berkata
begini: besok kamu masuk kelas empat lagi yah. Saya tidak menangis dan diam
tidak bilang paman dan bibi di rumah, hanya ada perasaan malu. Belum juga
kembali ke kelas empat tahu-tahu ayah datang dari Surabaya untuk mengambil
saya dan adik saya, dan otomatis di Surabaya saya di masukan ke kelas 5,
karena di rapot ditulis naik kelas V dengan percobaan, naassiiiiib!
Di Surabaya saya tinggal di kampung Krembangan Jaya gg V/18 (dahulu
Krembangan Tegal karena banyak tegalan), yang merupakan rumah pribadi ayah
saya. Kampung ini sebenarnya berada di pusat kota karena dekat dengan tugu
pahlawan, dimana terdapat banyak sekolahan disekitarnya, saya dimasukan SD
Bubutan I persis berdekatan dengan tugu pahlawan, pasar Turi, kantor pos
besar, dan terminal trem listrik dan kereta uap Kebon Rojo. Bersekolah di sini
saya mulai melihatkan bakat intelektualnya sekalipun tidak tinggi, yakni pada
kuwartal awal (dahulu rapotan tiap 4 bulan, jadi 3 kali setahun), angka rapot
saya banyak merahnya dari pada birunya (dari 18 mata pelajaran 9 merah
dengan angka rata-rata 5,5). Hasil rapotan ini tidak menjadikan saya diturunkan
kembali ke kelas 4 seperti yang dilakukan guru saya di Cirebon, namun saya
diberi kesempatan oleh guru saya yang namanya Pak Liesman yang sangat

29
berwibawa dan benar-benar pendidik (yang di Cirebon itu monster), untuk giat
belajar.
Dan benarlah, karena ayah sayapun ikut turun tangan, bukan hanya pada hal
sekolah tetapi juga di luar sekolah, saya dimasukan dalam kegiatan kepanduan
(sekarang Pramuka) yakni, Kepanduan Bangsa Indonesia (disingkat KBI, seperti
terlihat dalam Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Penulis waktu SD di Kepanduan (KBI)

Disini selain diajarkan ketrampilan dan kesenangan


bersosialisasi juga perasaan ingin menolong sesama
telah ditumbuhkan dalam jiwa saya tanpa saya sadari.
Dalam hal pelajaran meskipun tidak mengikuti kursus
atau private pelajaran, tetapi ayah membantunya di rumah sehingga pada
kuwartal II nilai rapot merahnya tinggal 1 dengan angka rata-rata 6,3; dan pada
kuwartal III, rata-rata nilai menjadi 6,7; sehingga saya naik kelas VI. Dikelas VI
inilah saya kembali digodog oleh pak Liesman disekolah dengan memberikan
banyak harapan sehingga saya bersaing ketat dengan sahabat saya dalam
pelajaran yang bernama Muhammad Hafidz, ia seorang pandai yang saat ini
menjadi dokter kenamaan di Surabaya karena ahli bedah syaraf otak; sayang
pada ujian akhir nasional SD dia kalah satu angka oleh saya, yakni: saya rata-
rata nilai 8, dia ada yang 7. Dari sini saya mendapat pelajaran bahwa bila
seorang itu diberi harapan dan ditangani dengan baik, insya Allah prestasinya
akan meningkat.
Dengan angka demikian maka tidak sulit bagi saya mencari sekolah SMP
dan kemudian saya masuk di SMP VI Jl. Jawa Surabaya. Ini ada alasannya,
karena ayah saya mendapatkan rumah dinas di pabrik karung Rossela, Jl. Ngagel
Timur no. 35, pada waktu saya kelas VI, sehingga lebih dekat ke sekolah. Di
30
komplek perumahan ini pengaruh elite sosial mulai terasa, karena saya berada di
lingkungan anak-anak rumah gedongan, padahal saya ndesit alias deso dan
kampungan. Hal ini terasa langsung manakala saya pergi kesekolah SD kelas VI
(biasanya jalan kaki dari Ngagel Timur ke Jl. Bengawan) naik trem listrik dengan
sandalan, memang di sekolah tersebut tidak dilarang. Teman saya sebelah
rumah yang lebih muda kelasnya, bertanya “lho kok ke sekolah pakai sandal?”
Pertanyaan tersebut tidak saya mengerti sebagaimana tidak mengertinya ia
dengan sekolah bersandal yang seharusnya bersepatu. Setelah hal tersebut
disampaikan ke ayah, barulah saya dibelikan sepatu. Dasar nasib!
Setelah saya bersekolah di SMP, mulailah di rumah saya bergaul dengan
kelompok anak dengan sosial cukup, sehingga permainannya meningkat
menjadi: main musik (ngeband), main pingpong, main voli, dan acara ulang
tahunan. Di sekolah kebiasaan saya lama masih terbawa, yakni senang main
kelereng meskipun tidak pernah menang, sehingga mencari kawan yang bisa
diajak main tentunya. Prestasi belajar biasa saja tidak menonjol namun tidak
tertinggal. Hingga akhirnya saya mendapatkan teman sekelas yang relatif
menonjol dalam hal menyanyi dikelas dialah jagoannya, dia bernama
Hermunanto. Dengan dialah saya bermain kelereng baik di sekolah dan biasanya
diajak terus di rumahnya (di kampung Kedondong Surabaya). Teman saya ini
pinter bicara dan membujuk, namun nakalnya bukan main, dan saya sering
diketaki (dijitak) karena dia merasa lebih kuat dari saya; konyolnya saya selalu
mau diajak bermain kelereng olehnya. Sampai akhirnya terjadi suatu keadaan
yang nantinya merubah situasi keluarga saya, yakni karena saya sering bermain
di rumah Hermunanto, maka siangnya sering diajak makan, sehingga pulang
tidak makan lagi. Hal ini ditanyakan oleh ayah saya, yang dijawab bahwa saya
makan di rumah teman saya yang ibunya menjanda, namun bekerja di
kesehatan angkatan darat. Penasaran nampaknya, hingga minta diajak untuk
mengucapkan terima kasih, dan ternyata setelah bertemu ayah saya, ia adalah
temannya sekolah waktu di rumah sakit Cipto Jakarta (ayah mantri, dia bidan).
31
Pertemuan ini rupanya diproses oleh mereka berdua tanpa sepengetahuan saya,
yakni karena ayah saya bujangan setelah cerai dengan ibu saya, ibunya
Hermunanto janda, maka akhirnya diputuskan oleh ayah untuk menikahinya.
Sang ibu membawa 4 anak peninggalan suami lama, ayah membawa dua anak
yakni saya dan adik saya. Terus terang saya berontak, karena Hermunanto pada
dasarnya musuh saya dalam pergaulan bukan teman sejati karena sifatnya yang
kurang terpuji. Namun apa daya, nasib beribu tiri saya terima, dan jadilah
keluarga Hermunanto pindah ke rumah dinas pabrik karung sehingga menjadi
ramai. Ramai bukan hanya dalam arti jumlah namun lebih parah dalam arti
sesungguhnya yakni perkelahian antara saya dengan Hermunanto dilain pihak.
Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa saya adalah anak yang tak mau
dijajah dan tidak merasa takut, maka meskipun dalam setiap perkelahian selalu
kalah, tetap melawan sekalipun sakit, tidak menangis. Melihat kondisi ini orang
tua kuwalahan karena masing-masing membela anaknya, hingga untuk
menghindarinya kami dipisah (setelah di kelas 2), Hermunanto dipindah ke
Madium ikut oom nya, sementara saya di pindah ke pelosok hutan jati di Kebon
Hardjo – Tuban, ikut mbah Sunar (adik mbah dari ibu) yang pada saat itu
menjadi administratur (ADM) disana. Saya senang saja tanpa perlawanan,
karena kebetulan mbah saya tersebut tidak punya keturunan, sehingga saya
amat disayang, tetapi nenek saya sengitnya bukan main (wah bingung nih).
Sebagai administratur tentu saja hidup dengan kemewahan karena selain rumah
dinas yang megah dan luas ditengah hutan, ia pun dihormati masyarakat karena
memang orangnya santun dan berwibawa. Sekolah saya cukup jauh dari rumah
yakni di SMPN, Jatirogo (sekitar 5 km) yang saya tempuh setiap hari dengan
bersepeda. Mungkin karena sayangnya mbah saya terhadap cucu, saya kurang
mendapatkan perhatian dalam hal belajar sehingga setiap malam tidak pernah
belajar atau membaca buku, yang ada hanya main badminton, jangan heran bila
disekolah prestasi saya jeblog, sehingga begitu kuwartal pertama rapot saya
“terbakar” bahkan banyak angka 4 nya, memang menyebalkan, yang tentu saja
32
bila diteruskan takdirnya adalah tidak naik kelas. Dalam kondisi demikian, takdir
berubah lagi karena setelah ayah saya datang dan melihat prestasi yang gawat,
saya dipulangkan lagi ke Surabaya dan dimasukan kembali ke SMP VI yang saya
tinggal satu kuwartal; hasilnya alhamdulillah saya bisa naik kelas 3. Namun apa
daya, kembali perang “bratayudha” terjadi di rumah, yang selalu saya menjadi
bulan-bulanan karena tidak pernah mau menyerah untuk dijajah. Dalam kondisi
gawat demikian, tiba-tiba “ada tangan bermain”, yakni seorang buruh pabrik
karung datang ke rumah, namanya mas Abas, ia menawarkan pada saya apakah
mau belajar silat. Kontan tawaran tersebut saya respon dan langsung saya dan
adik saya (Agus) diajak mendaftar di sebuah perguruan silat yang pada saat itu
(tahun 60 an) sangat terkenal dan disegani, yakni “Perisai Diri” (disingkat PD),
dibawah asuhan Bapak R.M.S. Dirdjoatmodjo (biasa disebut pak Dirdjo, lihat
Gambar 2.9), yang tempat berlatihnya di Gedung Taman Mayangkara-
Wonokromo, Surabaya (sekarang jadi museum Mpu Tantular).

Gambar 2.9. Pak Dirdjoatmodjo pendekar PD, guru penulis.

Situasi ini langsung merubah kepercayaan diri saya, karena


semakin berani dan tegas (bukan pengecut), yang hanya
dalam waktu 6 bulan saja gerakan saya sudah lebih gesit.
Celakanya, hasil latihan ini nampaknya diuji langsung oleh Hermunanto yang
selalu menjajah saya di rumah, tiba-tiba ia menghadang saya di jalan (didepan
markas KKO = Korps Komado Operasi - Gubeng) yang sekarang telah jadi dua
jalan, sewaktu baru masuk sekolah SMA VII di Kompleks Wijaya Kesumah.
Disitulah ilmu silat saya praktekan yang tentu dengan kemenangan saya, dan dia
langsung lari, bahkan waktu pulangpun dia saya cari ternyata setelah itu ia
“minggat” entah kemana.

33
2) Masa remaja
Masuknya saya ke SMA VII adalah suatu hal yang tidak saya pahami
sampai saat ini, karena pada waktu itu saya hanya mendaftar di SMA III Genteng
Kali. Tetapi waktu melihat pengumuman disana, nama saya tidak ada alias tak
diterima. Dalam rangka pulang dari Genteng Kali ke Ngagel Timur, saya dengan
berspeda lewat jalan Wijaya Kesuma (sekedar lewat), tetapi “tiba-tiba” dari pintu
gerbang SMA kompleks tersebut ada teman berteriak memanggil saya yang
kebutalan lewat itu, katanya saya diterima di SMA VII, yang pengumumannya
ada disitu. Benar saya turun untuk melihat dan ternyata ada, padahal saya tidak
mendaftar dan tidak tahu ada SMA VII (angkatan saya baru tahun II); lho koq
bisa ya? Yah suatu karunia Illahi tentunya sehingga akhirnya saya bersekolah
disitu, sekalipun masuk siang sampai selesai.
Di muka disebutkan bahwa kondisi rumah tangga ayah dengan ibu tiri ini
tidak harmonis karena anak bawaannya selalu ribut dan berdampak pada daya
bela masing-masing. Dalam kondisi itulah ayah saya mencari jawab untuk
ketenangan batinnya sehingga berbagai cara ditempuhnya, antara lain kepada
“paranormal” dan “perewangan”. Bahkan saya pernah diajak kesuatu tempat di
daerah Lamongan, jauh masuk didesa berkendaraan speda motor pinjaman
kantor mendatangi seorang perempuan yang dianggap sakti (dukun), padahal
sekarang saya tahu orang tersebut “kesurupan”. Daripadanya ayah mendapat
sebuah cincin yang tak boleh dibawa masuk WC katanya, hingga akhirnya cincin
itu hilang, saya lagi yang jadi sasaran untuk mencarinya. Paling sering saya
diajak ayah mendatangi komplek Sunan Ampel, untuk berdoa di makam sang
Sunan; tentu saja minta macam-macam pada makam beliau karena dianggap
keramat. Tulisan besar waktu masuk yang berbunyi “Ojo nyenyuwun menyang
pesarean Sunan Ampel, ning nyenyuwun menyang Gusti Allah” sama sekali tidak
diperhatikan oleh semua penziarah termasuk ayah (usia sekitar 45 tahun) dan
34
saya yang waktu pertama kesitu masih SMP (sekitar umur 15 tahun). Inilah
semua sebenarnya awal pencarian KEBENARAN yang tidak benar, tetapi diakui
sebagai kebenaran pada saat itu.
Hingga akhirnya, datanglah cahaya keyakinan yang benar, manakala
seorang tokoh, yakni ketua Buruh Muhammadiyah (pak Tadjarudin) di pabrik
karung tersebut mengajak ayah saya untuk mengikuti pengajian rutin di jalan
Irian Barat di masjid Dorowati (sekarang telah digusur), tentu saja saya dan adik
saya dipaksa ikut sekalipun masih senang bermain. Alhamdulillah, inilah awal
pertama kami (ayah, saya, dan adik) mengenal Islam pertama (sekalipun lahir
sudah Islam), yang dibina oleh seorang guru yang tegas, kritis, dan dengan dalil
yang benar; yakni Bapak K.H. Abd. Madjid Iljas. Dialah guru kedua bagi saya
dalam hidup ini dalam keagamaan yang ajarannya masih tertanam sampai saat
ini. Dia berani menentang arus pendapat umum (common sense) untuk
memisahkan ajarah Islam dari tahayul, bid‟ah, musyrik, khurafat, dan bentuk
kebohongan serta penyesatan berkedok agama lainnya. Tidak heran apabila
“musuhnya” banyak karena banyak para kyai atau para santri yang kebakaran
jenggot dengan dakwah beliau, baik di atas mimbar harian dan mingguan,
pengajian umum, siaran radio dorowati, maupun melalui media cetak yang rutin
dikeluarkan mingguan di masjid Bubutan (belakang makam Dr. Soetomo, dikenal
GNI), dengan judul “Jamaah Pengajian Surabaya” disingkat JPS; beberapa
edaran saya simpan, dan contohnya dapat dibaca di lampiran. Dari sekian
ceramah beliau yang selalu disampaikan dengan suara “keras” menggelegar,
adalah apa yang saya dengar manakala khutbah Jum‟at di masjid Bubutan
tersebut. Demikan kata-katanya dalam bahasa jawa Surabaya: “Sing sopo
ngomong pejah gesang nderek Bung Karno, terus kepetrapan mate, mlebu nroko
wong iku”. Artinya: barang siapa bicara atau berpendapat hidup mati ikut Bung
Karno, terus mati benar, maka pasti masuk neraka. Argumentasi beliau sangat
rasional bagi saya, karena menggunakan nas Al-Qur‟an yakni: "Sesungguhnya
salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam;
35
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" [6.162-
163]. Ayat ini digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai bacaan awal
shalat setelah takbir. Sungguh untuk saya yang sedang mengijak masa remaja
(kala itu sudah di SMA) pendapat ini adalah sebagai kebenaran luar biasa karena
berani menentang arus dimana nama Bung Karno sedang ada di puncak
kekuasaannya; karena pada saat itupun saya termasuk pemuda yang simpati
perjuangan Sukarno, maka tentu saja hal ini menjadi arus balik politik remaja
saya. Sekalipun dalam masa remaja ini saya terus aktif mengikuti latihan silat
Perisai Diri yang langsung dibina Pak Dirdjo dari pendidikan dasar tangan kosong
(serang-hindar) hingga penggunaan senjata (pisau, pedang satu dan dua, dan
toya) hingga mencapai tingkat cukup tinggi setelah lulus SMA (tahun 1967),
yakni “ban biru”, yang kemudian diteruskan di Malang setelah kuliah hingga “ban
merah”, yakni tingkat pelatih. Tetapi aktifitas keagamaan saya terus berkembang
karena rasa haus saya dengan nilai-nilai baru yang belum dikenal diwaktu masa
kanak-kanak saya, yang kebetulan ayahpun belajarnya bersama-sama. Tidak
heran bila dasar-dasar pengetahuan Islam saya pelajari dengan mengikuti
ceramah dan pengajian pak Majid, yang meliputi pengetahuan ilmu hadist dan
Qur‟an tentunya, serta pengetahuan politik yang berkembang saat itu. Selain
Islam saya belajar agama lain “kristologi” dari Bapak Abdulah Wasian, seorang
tokoh ahli injil, sehingga tidak heran setelah itu saya sering debat dengan orang-
orang nasrani tentang isi bibel yang dianggap membingungkan; yah tentunya
termasuk paman dan bibi saya karena diantara mereka ada yang beragama
kristen. Hal ini mungkin yang kemudian membina saya menjadi “tukang debat”
dan senang diskusi diberbagai situasi, yah tentu saja seadanya karena
keterbatasan pengetahuan.
Di SMA prestasi akademik saya biasa saja, tidak menonjol dan hanya pada
tingkat rata-rata, namun hal ini cukup bagi saya untuk masuk jurusan yang
paling “bergengsi” kala itu, yakni: Pengetahuan Alam (PAL). Karena pada saat itu
36
dibagi empat jurusan, ialah: pengetahuan alam (PAL), pengetahuan ilmu pasti
(PAS), Ilmu Budaya (Bud), dan Ilmu Sosial (Sos). Disini saya punya sahabat
namanya Mochamad Thohir yang sekaligus jadi guru tentir saya, karena anaknya
pandai (dirapotnya banyak angka 9, hanya olah raga yang 6), sementara saya
sebaliknya banyak angka enamnya hanya olah raganya yang bagus (Gambar
2.10 saya waktu di SMA dengan kawan-kawan). Itu pula yang mengantar Thohir
masuk mulus ke Fakultas Farmasi Unair Surabaya, sementara saya dengan nilai
pas bandrol masuk ke Pertanian Unibraw Malang.

Gambar 2.10. Penulis dengan para sahabat di SMA VII,


Surabaya.

Sayangnya setalah tua ketemu sahabat saya tersebut


nasibnya “kurang beruntung”, ia memilih ke luar
ditingkat 5, untuk cari pekerjaan, yang akhirnya pekerjaannyapun berantakan.
Masih ada seorang teman SMA, yang biasanya menjadi lawan “politik saya”,
dikelas dia dikenal sebagai ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI),
suatu organisasi siswa di bawah PNI saat itu, yang kebanyakan nantinya menjadi
anggota GMNI di perguruan tinggi. Orang ini namanya Mochamad Romdhoni, dia
dikelas prestasinya sama saja dengan saya, berarti di bawah Thohir, namun dia
masuk Fakultas Kedokteran Unair, dan sekarang jadi Guru Besar dan ahli jantung
di Unair seperti saya di Unibraw. Dasar nasib!
Lulus SMA tahun 1968, sempat saya ditanya ayah, mau meneruskan studi
kemana? Saya jawab ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Ampel”
Surabaya, yah mungkin karena sedang “gandrung” dengan pengetahuan ke
Islaman dari pada Majid tersebut. Ayah saya memberi saran sebaiknya ke
perguruan tinggi umum, agar mempunyai pengetahuan umum yang luas
sekaligus nantinya memperdalam masalah keagamaan. Saran tersebut saya
terima, karena memang saya penurut pada orang tua; hingga saya mendaftar ke
37
Fakultas Kehutanan UGM dan Pertanian Unibraw pada tahun 1968 (pada saat itu
belum dikenal UMPTN, yang ada SKALU jadi tes masuknya sendiri-sendiri).
Alhamdulillah pertama saya diterima di UGM dan langsung bayar pendaftaran,
kemudian diterima pula di Brawijaya; dan atas saran ayah dipilih Brawijaya
(kembali saya nurut), dengan alasan dekat rumah, yakni Surabaya.
Pada saat masuk di FP. Unibraw saya langsung mencari organisasi
kemahasiswaan yang berbau Islam, dan saya pilih Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) yang pada saat itu merupakan organisasi paling disegani dan bergengsi
karena langsung berhadapan dengan rejim komunis (khususnya CGMI = Central
Gerakan Mahasiswa Indonesia). Dengan tumbangnya rejim komunis otomatis
yang hidup dari Islam adalah HMI dan PMII, dari kristen adalah PMKRI dan
GMKI, dan paling dominan di fakultas Pertanian adalah Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) di bawah PNI. HMI saya pilih selain karena
popularitasnya, juga tentir-tentirnya pada saat itu, dan kebebasanya yang bukan
merupakan underbouw partai tertentu. Ternyata pilihan ini tepat bagi saya,
karena di dalamnya saya digodog menjadi kader umat atau bangsa melalui
training-trainingnya yang sangat briliant saat itu, yakni: basic training,
intermediate training 1 dan 2, serta advance training. Melalui training itulah
mahasiswa dilatih berorganisasi dan menjadi pemimpin, sayangnya saya hanya
sampai ketua komisariat fakultas pertanian saja; dasar tidak bakat! Dalam halnya
dengan prestasi akademik dikampus, banyak matakuliah bisa lulus karena
melalui tentir, dimana diktat atau latihan soal ujian selalu dilatih dan diutamakan,
sehingga kekurangan atau kesulitan di kampus dapat ditutupi oleh kebiasaan
belajar bersama tersebut. Bank-bank soal dari angkatan sebelumnya merupakan
topik utama dalam tentir, sehingga saking hafalnya, maka sangat membantu
dalam kelulusan mata kuliah tersebut, yang tentu saja hal ini sangat membantu
kelancaran kenaikan tingkat sehingga tidak pernah tinggal kelas. Namun
demikian pernah pada suatu waktu saya hampir tinggal kelas dalam matakuliah
genetika karena tidak mendapatkan surat lolos butuh dari ujian praktikum yang
38
pada saat itu diasuh Mas Subur Djatiwaluyo. Tiga kali saya ikut ujian dan
hasilnya selalu tidak lulus, sayapun heran karena saya tidak pernah diberitahu
dimana letak kesalahan saya sehingga dapat memperbaiki kebodohannya. Maka
bila hal ini diteruskan pasti saya tidak bisa ikut ujian dan tinggal kelas. Untung
pertolongan Tuhan datang, disaat kritis itu, saya ketemu asisten genetika lainnya
yakni Mas Soenarso; saya sampaikan permasalahan saya, dan alhamdulillah saya
langsung diuji dan dinyatakan lulus, sehingga mendapatkan surat lolos butuh
tersebut, dengan itu saya bisa ikut ujian matakuliah genetika dan lulus; semoga
beliau (almarhum) mendapat pahala atas kebaikannya menolong sesama
tersebut. Kuliah sampai tingkat sarjana muda saya tempuh tiga tahun tepat
sehingga bisa meneruskan ke tingkat doktoral, di tingkat inilah waktu studi
cukup lama saya jalani, yakni sekitar empat tahun, sehingga S1 saya tempuh
selama 7 tahun. Sebenarnya lamanya studi bukan karena kebodohan saya,
misalnya tinggal kelas, bukan itu, karena selama studi saya tidak pernah
“ngendon”. Faktor utama saat itu adalah karena masalah kurikulum yang
demikian luas, matakuliah yang harus ditempuh ditambah tugas akhir yang
banyak dan berjenjang: antara lain minor 1 dan 2, major, skripsi, Bimas, study
pustaka di perpustakaan pusat Bogor milik LIPI, dan sebagainya; yang masing-
masingnya kalau dikonversikan pada lamanya waktu setingkat dengan membuat
skripsi S1 sekarang. Itulah sebabnya banyak kawan yang sampai sarjana muda
langsung cari kerja karena alasan ekonomi dan kepraktisan. Hal yang sama saya
lakukan pula, hanya saya tidak tetap namun cari “gandolan” lewat proyek-proyek
yang ditawarkan oleh Fakultas yang bisa saya gunakan untuk menyelesaikan
tugas akhir tersebut.
Dalam kondisi serba kekurangan tenaga dosen itulah fakultas melakukan
penjaringan tenaga pengajar dengan menawarkan ke mahasiswa sebagai asisten
dosen tetap (melalui biasiswa ikatan dinas atau fakultas), yakni bila telah lulus
harus mau jadi dosen. Perlu saya kemukakan disini bahwa pada saat itu jarang
yang mau jadi dosen karena bayarannya kecil, kata orang dozen itu singkatan
39
dari pekerjaannya satu dos, bayarannya satu sen! Hal ini nyata karena bila lulus
S1 (Ir. Pertanian) pada saat itu (tahun 70‟an) bekerja di perkebunan swasta saja
langsung dapat gaji Rp. 150.000, sementara jadi dosen hanya Rp. 15.000, atau
di luar dosen gajinya 10 kali lipat. Akan tetapi pada saat itu saya mengambil
aspek praktis dan peluang; sehingga saya ambil keputusan untuk menjadi
asisten tetap (SK. Dekan tgl. 1 Nop. 1973) yang ditawarkan fakultas yang berarti
siap jadi dosen pada matakuliah Fitopatologi. Bayaran pertama sebagai asisten
tetap saya mendapatkan honor hanya Rp. 5.000,- namun cukup untuk bayar
kost dan makan, sedangkan untuk biaya kuliah, alhamdulillah semua asisten
tetap dibebaskan. Dasar nasib lagi mujur! Itulah yang menyebabkan saya bisa
selesai studi di fakultas, tanpa itu semua saya sudah drop out, karena ayah saya
pensiun tidak mampu lagi membayar biaya hidup sekaligus kuliah.
Perlu saya tambahkan disini bahwa dikala saya naik ke tingkat 3 (sarjana
muda), adik saya Agus Sudjud ikut menyusul saya masuk di fakultas yang sama
dan sempat ikut dalam masa perploncoan (mapram). Tetapi setelah mapram
tersebut tiba-tiba saya mendengar berita dari teman bahwa IPB sudah ada
pengumuman dan daftar ulang, berita yang tak diduga ini saya cepat respon.
Saya perintahkan adik saya pulang ke Surabaya (rumah) untuk melihat apakah
ada panggilan kalau tak ada cek langsung ke Bogor. Saya katakan padanya pada
saat itu, sebuah kalimat yang menjadi kenyataan: “kalau diterima di IPB
(kehutanan) kamu harus kuliah disana jangan dekat saya, karena bila dengan
saya kamu tak akan berkembang disebabkan berada di bawah bayang-bayang
saya”. Setelah tua baru saya sadari bahwa kalimat itu mengnadung kebenaran
hikmah yang saya keluarkan pada saat remaja tanpa saya sadari. Dan benar
menjadi kenyataan, prestasi adik saya dalam pekerjaan cukup berhasil, karena
dengan adanya perombakan Departemen Kehutanan secara terpusat di
Manggala Wana Bhakti, adik saya terbawa arus promosi ke tempat strategis di
Bina Program Pusat, dan dari sana dia diperbantukan menjadi Direktur HPH di

40
sebuah perusahaan swasta hingga pensiun (tahun 2005), yang tentu saja secara
ekonomi sangat menjanjikan.
Kembali kestudi saya; pada tahun 1975 saya dinyatakan lulus sarjana
pertanian dengan titel Insinyur Pertanian (Ir.) dalam jurusan Teknik Pertanian,
yang saya tempuh 7 tahun (1968-1975). Maka sesuai dengan perjanjian semula
saya harus menjadi dosen di Unibraw, sehingga persyaratan untuk menjadi CPNS
saya siapkan. Namun betapa terkejutnya saya dikala menghadap PD I FP
Unibraw yang waktu itu dijabat Bapak Ir. Sumaryo (dulu dipanggil mas Maryo),
beliau menjelaskan bahwa tidak ada posisi jabatan gol. III A yang biasanya
diduduki pegawai berpendidikan S1. Dengan berbagai argumentasi pada saat itu,
tetap pada kesimpulan dengan pernyataannya, yakni bila mau tetap di fakultas,
maka akan diusulkan pada gol. II B, bila tidak mau dipersilahkan mencari
pekerjaan di tempat lain. Kenyataan itu sampai saat ini tetap menjadi pertanyaan
bagi saya, karena yang lulus di bawah saya langsung diproses ke gol. III A.
Sebenarnya pada saat itu bisa saja saya benar-benar angkat kaki dari fakultas,
namun sudah menjadi “dasar tabiat saya” sejak kecil seperti diuraikan di depan,
bahwa setiap ada rasa ketidak-adilan menimpa saya pasti melawan dan bukan
melarikan diri. Sehingga opsi ke 2 yakni untuk posisi gol. II B saya terima
(setelah tua baru tahu bahwa itu adalah untuk posisi tatausaha bukan dosen),
tekad saya adalah akan bersaing didalam dengan menunjukan prestasi kerja dan
akademik. Hal ini saya buktikan benar, karena setelah itu dalam tahun yang
sama saya diikutkan training atau Short Course on Agronomy yang
diselenggarakan oleh AAUCS Australia di Denpasar, Bali selama 1 bulan (Oktober
1975) bersama mas Bambang (Ir. Bambang Guritno). Pada tanggal 9 Februari
tahun 1976 SK sebagai CPNS dalam gol. II B saya terima dari Menteri P & K
dengan gaji bulanan (80%) sebesar Rp. 1488,- (seribu empat ratus delapan
puluh rupiah). Alhamdulillah Januari 1977, saya dikirim ke Landbouw
Hogeschool, Wageningen-Belanda selama satu tahun untuk mengikuti training
riset melalui program kerjasama NUFFIC; kembali saya berangkat dengan mas
41
Bambang Guritno (dalam karier saya di Universitas Brawijaya ternyata banyak
ditolong beliau, semoga Allah menerima amal shalehnya). Selama di Wageningen
saya aktif di laboratorium penyakit tumbuhan (Laboratory of Phytopathology -
Wageningen University - Wageningen, The Netherlands) di bawah Prof. Dr.
Dekker, tetapi saya di bimbing oleh bawahan beliau yakni Drs. G.J. Bollen. Pak
Bollen ini orangnya ternyata produktif dan menguasai benar teknik-teknik
penelitian laboratorium dan rumah kaca, publikasi dalam jurnalnya amat banyak,
dan anehnya beliau banyak membimbing kandidat Doctor, meskipun beliau
sendiri tidak mau jadi Doctor. Saya sungguh beruntung karena dengan
bimbingan beliau semua keperluan saya dalam riset di Wageningen di fasilitasi.
Rasanya saya menjadi “pemula” kembali dalam hal penelitian, dan hal ini benar-
benar saya manfaatkan sehingga penanganan penelitian yang berskala
laboratorium pada saat itu saya banyak belajar; mulai dari perencanaan
proposal, penguasaan teknik peralatan, pengenalan bahan-bahan penelitian,
penelusuran pustaka, dan sebagainya. Hasil riset tersebut ternyata setelah
pulang ke Indonesia dapat digunakan untuk mengikuti program doktor (S3) di
UGM lewat jalur riset (by research).
Pada sekitar bulan Oktober 1977, Prof. Soetono, dekan saya di Fakultas
Pertanian Unibraw berkunjung ke Wageningen dalam rangka kerjasama Nuffic
tersebut sekaligus menengok saya dan mas Bambang sebagai stafnya.
Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi dengan beliau bahwa saya minta
izin untuk pulang lebih awal ke Indonesia karena bulan Nopember saya mau naik
haji dari Amsterdam. Permintaan tersebut langsung ditolak beliau dengan alasan
masa studi belum selesai; kembali disini saya menunjukan “pemberontakan”
saya dengan mengatakan bahwa niat tersebut sudah saya rencanakan dari
Indonesia. Melihat kengototan saya, beliau minta saya berfikir 24 jam dan
kembali besok. Sesuai dengan perjanjian, esoknya saya berdiskusi kembali
sekitar jam 10 pagi di lobby “hotel” IAC tentang niat saya tersebut. Saya katakan
padanya bahwa tekad itu tak dapat dibatalkan dan sudah saya pikir 1 tahun
42
(bukan semalam). Beliau kaget, sehingga “menggertak” saya dengan
ancamannya, yakni saya akan dipetikotakan (black list) bila nekad. Dengan
entengnya saya jawab, maaf pak saya lebih takut di black list Allah bila saya
tidak berangkat untuk menunaikan perintahNya pada saat ada kesempatan. Saya
baru ingat, bahwa pada saat itu usia saya masih muda yakni sekitar 29 tahun.
Atas jawaban tersebut beliau terkejut, sehingga beliau melunak dengan
mengajukan opsi membujuk: kenapa tidak nanti saja setelah anda jadi doktor,
bukankan nanti bayarannya cukup dan kesempatannya masih panjang? Saya
menjawab: “maaf pak sayapun tidak tahu apakah saya masih diberi umur untuk
mencapai itu”. Ternyata benar, 3 tahun kemudian justru beliaulah yang wafat
dalam usia ± 50 tahun. Dengan kokohnya argumentasi saya, kemudian beliau
mengajukan opsi lain, demikian: “kenapa tidak anda lakukan umrah saja
sepulangnya dari studi di Belanda”. Dengan entengnya sayapun menjawab:
“Maaf pak masalah Umrah dan Haji saya lebih paham karena saya sudah belajar
sejak remaja”. Beliau tercengang, dan akhirnya lelehlah gunung es argumnetasi
beliau: “Oke, silahkan dengan tekad anda, namun darimana anda mendapat tiket
? Tiket sudah ditangan pak karena menggunakan tiket pulang-pergi (return
ticket), bahkan sudah saya booking tanggal berangkat ke Saudia ke Garuda serta
saya sudah mendapatkan visa dari kedutaan Saudia Arabia, semua sudah
ditangan, demikian jawaban saya. Wah! Ini namanya memojokan saya, katanya.
Saya jawab kembali, ya maaf bapak saya tidak bermaksud memojok siapapun,
apalagi saya mau ibadah haji, namun itu semua merupakan suatu perencaan
yang sudah matang yang mungkin baru sampai informasinya kepada bapak.
Sungguh diluar dugaan saya, nampaknya hasil diskusi tersebut telah membalik
pandangan beliau terhadap saya, yang mungkin selama ini negatif menjadi
positif. Karena tiba-tiba beliau berkata: “Baiklah, lalu bagaimana saudara
mengurus visa dan cara melakukan peribadatan tersebut”. Saya balik tanya
karena penasaran: kenapa pak? Jawabnya mengejutkan saya: “Sayapun ingin
berangkat haji, tolong antar saya untuk mengurus prosedurnya”. Betapa
43
senangnya saya karena telah menyadarkan seorang tokoh yang sangat dikenal
dengan rasionalnya (sekuler) dan argumentasinya tidak ada yang dapat
mematahkannya. Allahu Akbar!
Besoknya kami (saya, pak Soetono, mas Bambang Guritno) berangkat ke
atase Kedutaan Besar RI di Den Haag untuk mengurus izin beliau berangkat haji.
Kebetulah yang jadi atasenya adalah Bapak Prof. Dr. Kusnadi Hardjo Soemantri,
SH. Yang tak lain adalah teman beliau di UGM dulu. Pak Kusnadi malah
menganjurkan agar semua teman-teman yang sedang belajar silahkan untuk
berangkat haji, akan dibantu prosesnya. Yah semoga ucapan beliau tersebut
(1977) menjadi pintu ampunan Allah kepadanya dan diterima amalnya;
sebagaimana kita tahu beliau meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda yang
jatuh terbakar di lapangan terbang Adi Sutjipto Yogyakarta beberapa tahun yang
lalu. Dari situ saya antar pak Soetono ke kedutaan Saudia Arabia yang visanya
keluar langsung waktu itu pula, kemudian karena beliau ingin keliling negara
Eropa dahulu maka diuruslah visa ke beberapa negara seperti Perancis, Swedia,
dll yang saya lupa lagi. Sepulang dari kedutaan-kedutaan itulah beliau berkata:
“saya akan keliling Eropa dahulu selama satu minggu dan silahkan pak
Rochdjatun berangkat dahulu, nanti tolong saya dijemput di Jedah”. Saya
spontan menjawab, bagaimana pak kalau saya yang mundur nunggu bapak
sehingga kita bisa berangkat bersama? Saya langsung dibentaknya: “Bagaimana
saudara ini kemarin sudah nekad mau berangkat, sekarang mau mundur, nanti
malah tidak jadi! Wow! disinilah saya mendapatkan pelajaran yang hebat
tentang arti “sebuah kebijasanaan (wisdom), yang tidak pernah saya dapatkan
sebelumnya kecuali ayah saya tentunya”. Rupanya perdebatan beberapa hari
yang lalu dan ancaman-acaman mautnya tersebut sekedar menguji keteguhan
atau keseriusan hati saya dalam suatu cita-cita, bukan untuk menghukum orang.
Disinilah saya mendapatkan seorang guru yang ketiga (setelah pak Dirdjo untuk
silat dan pak Majid untuk agama) dengan kuwalitas intelektual bertaraf
internasional. Hal ini pula dibuktikan oleh beliau setelah ibadah haji selesai ketika
44
bertemu dengan saya di kantor Garuda dengan penerbangan pertama; saya
meminta maaf bahwa saya tidak bisa jemput beliau di Jedah dari Belanda karena
setelah masuk Mekah saya tidak bisa keluar lagi, dan beliau berkata: tidak
menjadi masalah pak Rochdjatun yang penting kita telah selamat dan mari kita
pulang ke tanah air. Dalam satu pesawat kami pulang dan saya duduk
berdekatan dengan beliau.
Kurang afdol kiranya apabila selama ibadah haji yang pertama kali saya
lakukan (1977) tersebut tidak saya uraikan karena didalamnya saya banyak
mendapat kemudahan. Untuk mendapat visa Saudia dengan haji individual pada
saat itu, seseorang harus menyerahkan uang jaminan hidup yang akan
diserahkan oleh kedutaan Saudia ke Syech (penyedia akomodasi) di negaranya,
yang jumlahnya sekitar 1000 rial (sekitar Rp. 2.500.000). Tentu saja semua ini
telah saya siapkan dari tabungan uang saku saya selama di Belanda yang per
bulannya sekitar 500 gulden. Saya berangkat dari Amsterdam hari kamis, sekitar
2 minggu sebelum hari Arafah (wukuf), yang setelah itu Lanud-nya ditutup. Pada
saat itu Lanud di Jedah sangat sederhana karena pintu pemeriksaannya
(embarkasi) masih seperti pintu di Lanud Abdurahman Saleh-Malang (dari ram-
raman kawat). Di pintu keluar lanud saya antri dengan rombongan haji dari
Amsterdam. Tiba-tiba nama saya dipanggil dengan beberapa orang lolos dari
pemeriksaan, yang ternyata saya dikumpulkan dengan orang-orang Indonesia
yang berpaspor sama dengan saya yakni paspor biru (paspor dinas). Dari Lanud.
saya dengan rombongan dibawa kekedutaan RI di untuk Saudia di Jedah dan
dinginapkan di wisma tamunya semalam. Disitu saya baru tahu rupanya saya
ditempelkan dengan rombongan bapak duta Besar RI dari Jerman Barat (kalau
tidak salah namannya Bapak Parman), yang jumlahnya sekitar 25 orang.
Mungkin dikira saya rombongan duta besar oleh embarkasi lanud Jedah karena
paspornya sama-sama biru, padahal saya berangkat sendirian. Kejadian ini saya
baru terasa adanya sentuhan “tangan” Illahi yang langsung mengatur posisi saya
di Saudia karena dengan kondisi ini oleh kedutaan di Jedah kami dicarikan Syech
45
untuk pemondokan selama di Mekah. Besok paginya kami dikumpulkan di
ruangan untuk menentukan perjalanan kembali yakni ke Medinah dahulu, tetapi
ada beberapa orang yang ingin langsung ke Mekah. Melihat ini saya langsung
berbisik kepada yang ingin ke Mekah, demikian kata-kata saya: “Bapak kalau
saran saya sebaiknya kita langsung ke Mekah saja karena waktu wukuf tinggal 1
minggu, kita bisa langsung umrah dan bersiap haji; saya khawatir bila ke
Medinah dahulu nanti ada hambatan di jalan maka jadi batal hajinya, sementara
ke sana bisa dilakukan setelah haji”. Terus terang saja sebenarnya ada alasan
lain dari argumentasi saya adalah mencari teman ke Mekah saja karena saya
tidak punya niat ke Medinah dengan alasan tidak ada biaya lagi untuk kesana.
Alhamdulillah, saran saya didengar beliau yang ternyata juga “orang penting”
yakni Bapak Adang Suhendar dengan jabatannya sebagai atase perbendaharaan
ekonomi RI untuk Eropa. Beliau bertanya: “Apakah adik bisa membimbing
manasik hajinya? Yang saya jawab dengan mantap: “Insya Allah”. Maka jadilah
kami memisahkan diri dengan rombongan pak Parman dan janji ketemu di
Mekah saja. Sejak itulah saya menjadi pimpinan cakupan rombongan haji pak
Adang yang ternyata anggotanya semuanya perempuan yang bejumlah sekitar
10 orang, dan hanya saya dan pak Adang saja lelaki. Disini kembali “tangan
Tuhan” bermain, saya oleh rombongan tersebut tidak boleh pisah kamar dan
selalu bersama, sehingga selama di Mekah makan saya ditanggung pak Adang
Cs. dan saya menjadi kesayangan ibu-ibu karena pada saat itu kesabaran saya
betul-betul teruji menghadapi kesulitan disana. Bagaimana tidak! Begitu
berangkat ke Arafah untuk wukuf dan kembali untuk mabit di Mina dan ke
Mekah kembali, saya tidak banyak bicara dan hanya membantu memikul barang-
barang jamaah. Pernah saya dengan pak Adang jalan kaki dari Mina ke Mekah
(± 5 km, memikul barang), walaupun saya sering jatuh karena konidisi sakit
namun tidak saya rasakan, disebabkan semangat sebagai adanya karunia Illahi
memperkenankan saya untuk berhaji. Pada gambar nampak saya dan pak Adang
waktu wukuf di Arafah dalam pakaian ihram (Gambar 2.11). Dalam haji pertama
46
inilah yang menjadi momentum bagi saya untuk menyongsong hari depan yang
berbeda dengan masa lalu. Sehingga pada waktu perpisahan dengan rombongan
untuk kembali ke tanah air kami hanya bisa menyapa salam haru karena tahu
bahwa setelah itu tak akan jumpa kembali karena beliau kembali ke Eropa
melanjutkan tugas sementara saya ditunggu tugas di Unibraw.

Gambar 2.11. Penulis waktu haji I tahun


1977.

Benarlah, nasib saya setelah haji


tersebut mulai terasa berubah ke arah lebih
meningkat dalam status sosialnya. Karena
sepulang dari Belanda SK Gol II B saya diterima penuh (100%) sehingga gaji
naik menjadi Rp. 29.300,-. Setelah itu saya proses penyesuaian ke III A dan SK-
nya keluar per tanggal 1 April 1979, sehingga gaji yang diterima naik lagi
menjadi Rp. 45.000,-. Dari situ kenaikan pangkat dan golongan saya mulai lancar
dan tepat waktu setiap 2 tahun sekali, sehingga saya dapat mencapai Guru Besar
(Profesor) dari Presiden Suharto pada tahun 1997.
Disamping status kepegawaian yang menjadi lancar, sayapun
mendapatkan pasangan hidup setelah haji tersebut dengan istri saya sekarang
Ir. Siti Hamidah. Pernikahan saya terjadi pada bulan April 1978, yang prosesnya
sebenarnya sudah saya lakukan lamaran padanya melalui surat menyurat dari
negeri Belanda. Hal ini saya lakukan karena tadinya hanya coba coba aja (trial
and error) saya minta lewat surat tersebut dengan alasan kalau ditolak saya
tidak malu karena tak terlihat muka; namun alhamdulillah nampaknya itulah
suratan jodoh dari Allah hingga sampai saat ini kami dianugerahi anak sebanyak
lima orang yang sebagian sudah berkeluarga yang lainnya masih kuliah, yakni:
Saintpaulia Yonantha, S.E., M.M; Mychelia Champaca, S.E.Ak., M.M; dr. Camellia
Nucivera; Renanthera Candra Nuralam; dan Arumdina Sandriana. Sebagai
47
gambaran keluarga yang telah saya bina dan asuh di bawah saya sajikan foto
keluarganya pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12. Keluarga saya (dari kiri


ke kanan): menantu dari anak kedua
(M. Nur Hidayat, ST, MM), anak
kedua (Mychelia Champaca, SE.Ak.,
MM), anak pertama (Saintpaulia
Yonantha, SE, MM), anak ketiga (dr.
Camellia Nucifera), istri (Ir. Siti
Hamidah), saya (Prof. Ika Rochdjatun
S.), anak kelima (Arumdina
Sandriana, S.Kg), anak keempat
(Renanthera Candra Nuralam, S.Ap.),
yang memfoto tak nampak (Krisna
Slamet Andriawan, S.si, MM).

Setelah pernikahan yakni pada tahun 1980 saya akhirnya diberi


kesempatan oleh Prof. Soetono (Dekan) untuk melanjutkan studi langsung ke S3
tanpa lewat S2 di UGM. Karena sepulangnya dari Belanda, saya dipanggil beliau
untuk menagih janji bahwa saya dapat menunjukan prestasi dari satu bulan
waktu studi di Belanda yang hilang karena berangkat haji, yakni dengan
membuat paper penelitian untuk dipresentasikan dalam Kongres Nasional
Fitopatologi (Penyakit Tanaman) yang akan diselenggarakan tahun 1979 di
Malang dimana beliau menjadi ketua panitianya. Sayapun menyanggupinya
dengan dua paper secara mandiri dan saya presentasikan dalam seminar
nasional tersebut. Pada saat saya mempresentasikan tersebut terdapat tiga
orang senior (Dr. Oka, Dr. Mien A. Rifai, Dr. Tantre) yang mengkritisi dan
mencecar makalah saya, yang saya jawab dengan lancar karena itu semua
adalah hasil penelitian saya di Belanda. Diluar dugaan Dr. Oka ketua lembaga
penelitian Hama & Penyakit Deptan di Bogor tersebut memuji saya dalam forum
seminar, dan hal inilah yang menjadi kartu pertama bagi diri saya dikukuhkan
sebagai Peneliti Muda Terbaik Tingkat Nasional pada waktu penutupan
kongres. Atas dasar itu pula besoknya saya dipanggil pak Soetono dan
48
ditemukan dengan Prof. Haryono Semangun bahwa saya bisa diterima sebagai
kandidat Doktor di UGM sehingga saya segera menyiapkan diri untuk proses
berikutnya dengan Promotornya Prof. Haryono dan Ko-promotornya Prof.
Soetono. Kembali disini saya dipaparkan oleh strategi pak Soetono dalam
mengarahkan anak buahnya untuk berkarier dalam dunia akademik, sulit diduga
dan tak mau ditentang, tapi pasti terbukti lebih baik bagi yang bersangkutan.
Pola inilah yang kemudian saya adopsi dalam membimbing mahasiswa dan
masyarakat yang ternyata hasilnya juga cukup efektif dan efisien.
Begitu masuk program doktor saya langsung riset dengan topik penelitian
adalah penyakit tepung (powdery mildew) pada apel di Batu. Saya pilih Batu
karena dengan begitu saya tidak perlu meninggalkan keluarga di Malang ke
Yogyakarta, selain itu penyakit tersebut baru saja outbreak (meledak) yang
merusak pertanaman apel yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Kembali tangan
Tuhan bekerja, karena untuk penelitian saya memerlukan kebun apel yang tidak
perlu disemprot pestisida demi untuk melihat perkembangan penyakit. Tentu
untuk itu saya harus sewa lahan petani yang berarti saya harus mengganti
kehilangan produksinya. Namun ternyata Bapak R. Widodo yang pada waktu itu
sebagai Ketua Lembaga Penelitian Hortikultura (LPH) di Jl. Wilis Malang
membantu saya untuk menggunakan kebun apel di desa Tlekung Batu dipakai
untuk riset. Untuk itu semua semoga amal kebajikan beliau dalam membantu
sesama dan membimbing mantan mahasiswanya mendapatkan imbalan yang
jauh lebih baik dari Tuhan. Penelitian saya berjalan selama dua tahun untuk
skala laboratorium, rumah kaca dan lapangan tersebut, sehingga tahun ke III
saya gunakan untuk konsultasi penulisan desertasinya. Konsultasi penulisan
pertama dilakukan di Malang dengan Prof. Soetono yang kala itu masih menjabat
Dekan FP Unibraw. Dalam kesibukan beliau hampir setiap saat saya bisa
konsultasi selama beliau ada di Malang, setiap selesai saya disuruh datang lagi
esok harinya dengan ketikan baru dari apa yang sudah diperbaiki; sayapun
lakukan sekalipun harus melekan malam (maklum waktu itu belum ada
49
komputer). Hingga datanglah suatu peristiwa yang diluar dugaan saya, yakni
dikala setelah konsultasi beliau menyatakan: “Oke dengan saya sudah selesai,
mana lembaran persetujuannya”. Tentu saja saya jawab bahwa hal itu belum
diketik dan diperbaiki tulisannya secara lengkap. Beliau berkata lagi: Ambil kertas
kosong saya tanda tangani sekarang. Perintah itu saya laksanakan dengan
mengetik lembar persetujuan yang berisi nama Prof. Haryono dan Prof. Soetono
dikantor beliau langsung, sehingga merupakan lembar kosongan karena
desertasinya belum ditulis lagi. Setelah saya sodori lima lembar, beliau bertanya
“tidak kurang nih”, kemudian saya tambahi yang kurang lebih berjumlah 20
lembar yang semuanya ditandatangani detik itu pula. Selesai itu didepan saya
beliau langsung menelpon ke Yogya kepada Prof. Haryono Semangun, kata-
katanya masih terngiang ditelinga saya dalam bahasa Jawa: “Mas Har (demikian
beliau memanggil pak Haryono), pak Rochdjatun wis mari karo aku, tak kirim
nang Yogya yo? Itulah usaha beliau terakhir dalam membantu saya untuk
menjadi doktor, karena besok harinya beliau pergi ke Jakarta selama seminggu,
dan waktu kembali ke rumah barunya di jalan Mawar Malang, beliau terkena
serangan jantung saat baru tiba dan langsung meninggal dunia. Disitu pula
“tangan” Tuhan bermain untuk saya, karena dengan berbekal tanda tangan
beliau pada desertasi saya, proses selanjutnya dengan pak Haryono tidak begitu
sulit dan pada bulan April 1984 saya telah dinyatakan lulus S3 dengan titel
Doktor (Dr.) dalam bidang pertanian.
Sepulangnya dari studi saya terus mengembangkan diri dalam berbagai
aktivitas kemasyarakatan dan akademik, sehingga saya masih berkesempatan
untuk memperdalam keilmuan dalam bidang mikoriza di UPLB Los Banos-Filipina
dan mengikuti training tentang ilmu lingkungan di ICETT, Yokkaichi-Jepang (lihat
Gambar 2.13). Dari hasil training itulah saya terus mengembangkan diri dengan
terlibat dalam penelitian yang panjang sampai saat ini (2010), yakni
mendapatkan hibah dana penelitian baik dari DP2M Dikti maupun kerjasama
dengan Deptan. Hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah
50
dan penulisan buku-buku ilmiah menjadi aktivitas saya keseharian disamping
mengajar tentunya baik dalam Unibraw sendiri maupun di universitas swasta
pada saat itu.

Gambar 2.13. Training lingkungan hidup di ICETT, Yokkaichi-Jepang tahun 1993.

Kerja keras dalam bidang akademik itulah yang memuluskan saya untuk
mencapai gelar Guru Besar (Profesor) karena saya tidak mengalami kesulitan
untuk mengumpulkan persyaratan akademiknya (KUM) sebesar 1000 kredit, dan
alhamdulillah saya diangkat jadi profesor pada tahun 1997 sepulang dari tanah
suci untuk yang ketiga kalinya.
Memang ada juga gebrakan masyarakat yang saya kerjakan bersama
teman-teman dari kampus lain, salah satu yang cukup fenomenal dan berskala
luas adalah mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Terus
terang asal muasal ICMI digarap di rumah saya dengan beberapa mahasiswa
yang ternyata terus bergulir; disini saya tidak ingin menuliskan kembali
riwayatnya karena didalamnya telah banyak ditunggangi nuansa politik sejak
kelahirannya, yang bagi saya pribadi kurang sesuai karena saya seorang ilmuwan
dan religius yang cenderung polos sehingga mudah dipermainkan “orang lain”.

51
BAB III

PENCARIAN KETUHANAN

Pengelanaan pencarian Tuhan adalah perjalanan sejarah yang amat panjang


yang tidak ada ujung dan pangkalnya serta awal dan akhirnya karena yang dicari
telah “mewujudkan dirinya” pada penciptaan-Nya, tergantung tingkat kelayakan
seseorang untuk mngenalNya pada perwujudan tersebut. Semakin diraba
semakin terasa, semakin dilihat akan terwujud, semakin didengar akan tersibak
makna dibalik fakta.

=============================================

Dengan ungkapan riwayat hidup saya tersebut dalam bab sebelumnya, maka
nampaklah bahwa manusia itu hanyalah sebuah boneka tidak berdaya dari rekayasa
atau skenario global (luas) dan amat rumit dari Sang Penciptanya, yang kita kenal
sebagai Tuhan (Islam menyebut banyak nama sebagaimana disebutkan dalam asmaul
husna). Perjalanan hidup itu sendiri adalah bagian dari skenario tersebut, sebab mana
mungkin seorang anak kecil yang hidup miskin di desa dengan kondisi keluarga
“berantakan” dapat mencapai status sosial akademik demikian tinggi (Profesor) apabila
tidak ada yang menjalankan ke arah itu bahkan diluar kemampuan si anak dan kedua
orang tuanya sendiri. Disinilah banyak manusia “misunderstand” atau salah tafsir,
karena dikiranya semua apa yang dihasilkan atau terjadi saat ini adalah merupakan
kekuatan usahanya sendiri sehingga ia tidak mau menerima adanya “kekuatan dahsyat”
di luar dirinya. Memang manusia diberi naluri ikhtiar atau berusaha namun kita sering
melihat bahwa banyak manusia yang telah berikhtiar dengan segala potensi dan
tenaganya namun toh, hasilnya nihil; sementara keadaan sebaliknya banyak terjadi
dimana kesuksesan hidup didapat dengan mudah tanpa menghabiskan potensi yang
ada. Kebanyakan manusia ingin hidup sehat, namun betapa banyaknya yang diberi
bertubu-tubi penyakit. Banyak yang ingin naik jadi penguasa namun betapa banyak
penguasa jatuh dari kekuasaannya, mengapa hal ini tidak menjadi bahan renungan?
Banyak orang putus asa menghadapi beratnya kehidupan dan ingin segera mati
sekalipun dengan bunuh diri, tetapi malah diberi umur panjang; demikian pula banyak
orang sukses dalam materi sehingga ingin umur panjang justru berumur pendek. Masih
52
banyak fenomena kehidupan yang apabila diuraikan satu persatu maka akan menjadi
tumpukan tulisan yang berjilid-jilid sehinga sipenulis capai membuatnya sementara si
pembaca menjadi bosan menyimaknya. Kalau hal ini terjadi maka menjadi tidak
bergunalah segala bentuk tulisan tersebut karena jangankan mempengaruhi pola tindak
orang, sementara pola pikir saja tidak “nutut” (gak nyandak, bahasa Jawa).

Dari pengalaman hidup saya dalam bab II tersebut sebenarnya ada beberapa hal
yang dapat disimak sebagai suatu karunia yang diberikan Illahi tanpa saya sadari
karena memang saya hanya merupakan elemen dari proses waktu itu sendiri yang pasti
tidak akan sadar. Tentu saja kalau saya uraikan satu persatu maka karunia tersebut
sulit disebutkan, tetapi beberapa hal yang amat menonjol dikemukakan sebagai berikut:

1. Tentang penderitaan hidup


Manusia kebanyakan lebih memilih opsi “mengeluh” pada saat menghadapi
kesulitan atau penderitaan hidup, baik itu kesulitan ekonomi, kesehatan,
sandang pangan, dan lain sebagainya. Sehingga jangan aneh bila dikantor atau
dijalan bertemu dengan teman yang akrab yang muncul pertama adalah keluhan
hidupnya, hingga kitapun sulit untuk tidak mendengarkannya walaupun kitapun
tak tahu bagaimana jalan keluarnya. Pada awalnya sayapun sama seperti
kebanyakan manusia atau orang awam umumnya. Bagaimana tidak, dikala kita
membantu kesulitan orang dengan memberikan fasilitas baik materi, kedudukan,
status sosial, dan lain-lain; lalu justru orang tersebut menjadi penghianat dan
musuh yang nyata setelah lepas dari kesulitannya. Saya yakin pembaca yang
budiman dalam hidupnya pernah mengalami hal yang pahit tersebut.
Banyak kejadian dalam kehidupan ini yang benar-benar bukan karena yang
bersangkutan yang membuatnya, seperti contohnya kejadian saya waktu kecil
dan remaja tersebut di atas. Faktor “broken home” kedua orang tua tentu
dampaknya ke si anak yang menyebabkan anak tidak terawat secara fisik,
kejiwaan, materi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Dalam kondisi
demikian ada yang tenggelam, tetapi banyak juga yang justru terangkat ke atas

53
seperti yang terjadi pada diri saya tersebut. Bagi yang mengalami penderitaan
jenis ini seringkali kondisinya tidak terasa bahwa dia menderita karena faktor
adaptasi dari kejadian yang bertubi-tubi. Hanya orang luarlah yang sering
melihatnya kasihan, namun merekapun tidak pernah mau bergeser untuk
mengulurkan tangan dari sekedar ucapan (lips service) menjadi tindakan (action
service). Oleh karena pada dasarnya penderitaan tersebut dibagi menjadi dua
jenis atau bentuk, yakni: Penderitaan yang bukan disebabkan oleh si penderita
dan penderitaan yang terjadi akibat pilihan si penderita itu sendiri. Penderitaan
yang menimpa penulis berkali-kali sejak kecil tersebut nampak sebagai
penderitaan jenis pertama, yakni bukan atas pilihan saya sendiri; melainkan
bentuk “pemberian” (given) yang harus saya jalani suka atau tidak suka.
Menghadapi jenis pertama ini agaknya siapapun tidak dapat melarikan diri
sehingga dia harus mau menghadapinya dengan senang hati (ikhlas) yang
dengan cara itulah ia akan menjadi matang dan dewasa oleh tempaan kesulitan
hidup yang akan dihadapi pula dikemudian hari. Kesadaran demikian akan
menyebabkan tereliminasinya beban penderitaan tersebut, sehingga dengan
tidak terasa waktunya telah berlalu. Waktu mencari kijing, dihisap lintah, makan
belalang, disiksa teman, buta ayam, dipatil lele, dan bentuk tempaan lainnya
telah lewat dan saya menjadi matang oleh kesulitan tersebut. Dari kasus serupa
inilah saya menyadari (setelah tua), bahwa kita pada dasarnya tidak dapat
melarikan diri dari hukum-hukum (sunatullah) Illahi yang memiliki konsep global
tentang peruntukan suatu makhluk diciptakan. Burung walet dicipta memang
sebagai predator serangga tertentu yang tanpa adanya itu ia akan mengalami
ledakan yang dahsyat sehingga dapat merugikan kehidupan manusia. Manusia
punya berbagai peranan atau fungsi, yang salah satunya adalah fungsi sosial;
untuk itu dia perlu dipersiapkan sejak awal agar fungsi tersebut menjadi optimal.
Saya nampaknya sudah terprogram menjadi manusia yang dimanfaatkan dalam
fungsi sosial sebagai pendidik dalam bidang pertanian khususnya, maka sejak
awal tanpa lewat jalur sekolah saya sudah dibina oleh Tuhan melalui perjalanan
54
waktu hidup sedikit demi sedikit sesuai dengan daya tahan fisik dan mental saya.
Begitu melekatnya saya dengan dunia pertanian dan pengenalan alam tersebut
maka telah menjadikan saya demikian mencintainya dalam arti sesungguhnya,
yakni: menanam, memelihara, mengkoleksi, menimba ilmu, menyampaikan
pengetahuan, bahkan semua anak dan cucu, saya beri nama jenis tanaman
dalam istilah latin (nama ilmiah).
Hal ini kemudian menjadi model cara saya berfikir dan bertindak dalam
menjalani sisa hidup atau usia yang tersisa ini manakala problema hidup yang
umumnya menyebabkan penderitaan, seperti: penyakit, dikhianati teman, dihina
orang, kesulitan rezeki, dan sebagainya. Semua saya terima seperti masa kecil
saya yang tidak pernah mengeluh dan merasa takut, biarkan kehidupan itu tetap
berjalan, toh masing-masing jenis problema itu punya waktu datang, ngendon
(menetap), dan perginya. Pada saat datang saya sudah siapkan untuk kondisi
ngendon, pada saat ngendon (misal penyakit tidak hilang-hilang) maka saya
sudah beranjak pada fase kepergiannya (dianggap sembuh), dan pada saat telah
pergi saya sudah siapkan diri untuk menerima jenis problema yang baru. Itulah
siklus hidup yang menjadi bagian dari sunatullah atau hukum alam tadi, yang
harus diterima dengan senang hati sebagaimana senangnya hati ini pada saat
menerima rezeki, kesehatan, posisi sosial, dan sebagainya.
Saat ini pola saya dalam menerima semua problema hidup tersebut yang
memang bukan pilihan saya, adalah diterima dengan rasa syukur yang dalam
(dan setiap saat saya meminta petunjuknya untuk pandai bersyukur) dengan
permohonan agar diberi ketabahan (sabar) dan kekuatan dalam memikul
penderitaan tersebut. Format berfikir demikian ternyata telah menjadi bagian
dari obat kerohanian yang amat mujarab sehingga sekalipun menderita, ia
menjadi tidak terasa sebagaimana tidak terasanya saya dalam penderitaan masa
kecil tersebut. Format ini ternyata diperkokoh oleh hukum Allah yang pasti
berlaku pada orang yang ingin menjadi kekasihnya, yakni mesti melewati pintu
ujian tersebut, sebagaimana difirmankan-Nya:
55
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [2: 155-157]
Demikian tegasnya ayat tersebut di atas, sehingga sungguh menjadi anehlah
bagi mereka yang mungkin diberi ujian berupa penyakit, tiba-tiba dia “berontak”
dengan berbagai keluhan dan omelan. Bukankah penyakit itu sendiri datangnya
tidak dikehendaki dan bukankah pada waktunya akan pergi juga? Obat mujarab
dalam menghadapi dilematis ini saya dapatkan dalam sabda nabi: bahwa
penyakit itu dapat dikelompokan kedalam tiga kretaria, yakni: penyakit yang
menjadi batu ujian, penyakit yang menjadi pembersih dari segala dosa, dan
penyakit yang merupakan tiket menuju el-maut (kematian). Bagi orang yang
dalam hidupnya hanya bersandar kepada kekuatan yang Maha Dashyat, maka
tentu ia akan malu meminta kesembuhan, sekalipun syariat mencari obat telah ia
jalani sekedar untuk “menggugurkan” ketentuan syariat yakni adanya ikhtiar.
Bagaimana ia tidak malu padahal apa yang menjadi cobaannya adalah bagian
dari perhatian Tuhan kepadanya agar mampu menaiki tangga-tangga kerohanian
yang lebih tinggi lagi? Karena tempat tersebut hanya pantas bagi orang-orang
terpilih, bukan mereka yang suka berkeluh kesah. Mengenai hal ini saya punya
pengalaman menarik bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi
kesulitan hidup tadi. Pada suatu saat istri saya, Siti Hamidah, mengalami sakit
parah demam berdarah yang hampir merenggut jiwanya. Pada saat sudah
berbaring di rumah sakit, saya bicara begini: Dik! Saya, dokter dan dirimu tidak
bisa berbuat apapun saat ini kecuali menyerah pada taqdir. Dokter hanya
mengusahakan berdasarkan teori kedokterannya, namun penyakit ini obatnya
hanya ada pada kekebalan dari diri sendiri, oleh karena itu obatnya hanyalah
“penyerahan total” dan mintalah pada Allah rasa sabar dan kekuatan menahan
56
sakit dari gangguan penyakit ini. Yah, penyerahan total itulah yang membuat
datangnya takdir kesembuhan sedangkan obat hanya sarana dan dokter sebagai
prasarana, rumah sakit sebagai ajang ikhtiar atau usaha. Pada hari yang
bersamaan masuknya istri saya kerumah sakit, dokter tetangga saya baru keluar
dari rumah sakit karena sakit juga; saya diskusikan masalah tersebut, dan saya
katakan bahwa bagi mereka yang ingin mengenal Tuhannya dengan lebih dekat,
maka bentuk ujian berupa sakit atau penyakit ini sebaiknya yang bersangkutan
tidak meminta sembuh. Betapa terkejutnya beliau karena profesi dokternya
menolak, lho kok bisa, mengapa demikian; tanyanya. Saya mencoba meyakinkan
dia bahwa pendapat saya itu benar adanya dengan logika religi, yakni dengan
mengemukakan klasifikasi jenis penyakit seperti tersebut di atas (sebagai ujian,
sebagai penghapus dosa, dan sebagai tiket akhir kehidupan). Bagi orang yang
ingin kenal Tuhannya, manakah dari ketiga kretarium tersebut yang merugikan
dan ia yakin bahwa itu semua kehendak Illahi adanya; bukankah bila dipandang
dari sisi illahiah hal tersebut menguntungkan? Dia bertanya, lalu dimana gunanya
kita disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya, dan bahwa setiap penyakit itu
ada obatnya. Saya jawab kembali: disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya
merupakan bentuk ajaran syariat yang memang harus (wajib) dilakukan setiap
manusia, setiap penyakit ada obatnya merupakan informasi tentang harapan
agar manusia mau melakukan hal pertama tadi. Masalahnya kita tidak tahu
apakah obatnya; memang banyak penyakit yang tersembuhkan oleh obatnya,
tetapi masih jauh lebih banyak penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan
obatnya, termasuk demam berdarah tersebut. Menghadapi dilematis yang
demikian itulah kita tidak cukup hanya mengandalkan analisis rasional semata
dengan coba-coba, namun kita perlu menempatkan diri dalam posisi hakiki yakni
apakah sebenarnya suatu penyakit bagi seorang yang beriman?

57
2. Tentang pilihan hidup
Dalam hidup duniawiah ini tentu pula kita pernah merasakan, bahwa apa yang
kita pilih dengan segala cara yang tadinya dikira adalah suatu nikmat, ternyata
setelah dicapai menjadi laknat. Dalam dimensi sosial saya pernah mengalami
suatu pilihan yang untuk diri saya bukan tempatnya, yakni dunia politik yang
dalam hal ini menjadi pengurus partai politik tertentu. Posisi saya sebenarnya
cukup strategis karena berada dalam level pimpinan sehingga mudah mengaksek
kemana-mana. Dengan munculnya undang-undang kepartaian saya harus
menentukan berkarier di partai politik atau di akademik (perguruan tingg), saya
hampir memilih yang pertama (partai politik) karena posisi saya yang
memungkinkan itu yang berarti saya harus keluar. Namun Allah kembali
menolong saya melalui pertimbangan keluarga dan sahabat agar saya tetap di
kampus karena strategis kampus dalam membentuk karakter kader bangsa, yang
tidak setiap orang dapat mengaksesnya, sedangkan saya mempunyai powerfull
karena sebagai seorang Profesor. Namun ada juga kawan yang tidak beruntung
dengan pilihan hidup yang salah tersebut sehingga apa yang sudah dicapainya
selama ini ia buang begitu saja tanpa hasil apapun baik di politik maupun di
akademisnya. Salahkah Tuhan? Tentu saja tidak, karena Sang Pencipta telah
membuat rambu-rambu, baik yang terang (explicit) maupun samar-samar
(implicit) yang harusnya telah diketahui oleh manusia yang dianggap dewasa
(akil balig). Kalau Tuhan melarang minum chamar, bukanlah ingin membatasi
kebebasan manusia, melainkan karena adanya dampak yang amat buruk bagi si
peminum, baik ditinjau dari sisi biologis (kerusakan sel otak), humanitas (etika
dan moral), maupun sosial (patologi sosial). Jika hal tersebut dipilih (orang
menyebutnya melanggar aturan agama), maka konsekuensinya pasti akan ia
terima disaat hidup itu juga dan tidak usah menunggu kelak di akherat. Demikian
juga dengan pilihan untuk “jajan” seksual di pasar gelap atau terang, itu adalah
pilihannya sendiri; sekalipun anak-istrinya tidak bisa mencegahnya. Maka jangan
heran bila dia divonis dengan menderita penyakit AID-HIV atau Sipilis yang
58
mematikan; jangan menunggu konsekuensi diakherat karena pelanggaran syar‟i,
karena di dunia itupun ia menderita kesakitan fisik yang bukan main dan isolasi
sosial yang menghinakan. Masih banyak contoh lainnya yang seringkali kita salah
memilih dalam hidup ini yang dikarenakan “kerdilnya” pengetahuan kita tentang
memaknai arti sesungguhnya kehidupan ini, sehingga manakala pilihan telah kita
tetapkan ternyata menemui jalan buntu yang sulit terus dan sulit kembali. Orang
yang nalarnya panjang, setelah menempuh hidup panjang berkeluarga penuh
cinta-kasih, cita dan citra dari istri, anak, saudara, kawan, masyarakat; akan
berfikir seribu kali untuk menempuh perkawinan baru (poligami), sekalipun
syariat membolehkannya. Karena bukankah dengan yang baru tersebut ia akan
kehilangan kasih sayang yang ada tadi dan muncul kebencian dari istri pertama,
rasa jijik dan malu dari anak-anaknya yang mengijak dewasa, rasa tidak percaya
dari masyarakat, beban ekonomi yang menyesakan dada, dan reduksi jihad
terhadap kebenaran karena jiwanya telah tergadaikan demi wanita. Sering
penyesalan dirasakan setelah “buah ranum yang baru” menjadi pahit. Tapi itulah
pilihannya sendiri. Rasaiin Lhu, kata orang Betawi.
Disamping pilihan hidup yang berbau aktifitas keseharian, pilihan hidup
yang tidak kalah penting adalah manakala kita menentukan jodoh yang
dengannyalah dibangun mahligai rumah tangga. Memang sulit untuk
menentukan atau mengira apakah setelah terjadinya pernikahan atau
perkawinan dapat berlangsung lama atau justru hanya sekejap (seumur jagung
kata orang Jawa). Banyak faktor yang dominan dalam menentukan pilihan jodoh,
antara lain: masalah pendidikan, masalah watak, masalah kerupawanan (wajah),
masalah status sosial, masalah agama, dan sebagainya. Kurang luasnya
penglihatan seseorang pada faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan
pendeknya umur perkawinan tadi. Sering kita dihadapkan pada pilihan yang sulit
dipilih, misalnya: status sosial bagus, tapi wajahnya buruk; wajahnya indah, tapi
wataknya buruk (ketus, emosional, dll); cantik, status sosial baik, tapi berbeda
agama dan keyakinan; wajah buruk, status sosial rendah, pendidikan rendah,
59
watak tak terpuji, ekonomi miskin, yah sebaiknya dihindarilah karena tidak ada
yang tersisa untuk dipilih.
Mungkin masalah inilah yang menyebabkan saya masuk perkawinan relatif
lambat (usia 30 tahun), disamping faktor studi tentunya. Dalam tulisan ini saya
sajikan Gambar 3.1. akad nikah saya tahun 1979 didepan penghulu, disamping
istri dan ayah mertua.

Gambar 3.1. Akad nikah


penulis di KUA Malang dengan
Siti Hamidah.

Karena meskipun faktor-faktor


dominan tersebut di atas
semuanya memenuhi syarat, masih ada faktor lain yang sulit dilihat yakni
keserasian nantinya dalam mengarungi samodra lautan kehidupan. Faktor
tersebut saya hadapkan ke hadirat illahi di baitullah sekalipun pilihan telah
dijatuhkan dengan yang jadi istri saya saat ini, saya hanya berdoa: Tuhan
mantapkanlah kami dalam pilihan kami apabila itu baik bagi kami, namun
jauhkanlah kami seperti jauhnya langit dan bumi bila hal itu buruk bagi kami,
dan bila pilihan telah terjadi maka janganlah Engkau uji diriku dengan wanita!
Alhamdulillah, doa itulah nampaknya yang menjaga kami berdua sehingga
mampu menapaki mahligai berkeluarga saat ini yang telah ditempuh selama ±
32 tahun.
Mahligai perkawinan ini telah berkembang menjadi sebuah keluarga
“kecil” yang dibangun di atas dasar lima pilar utama untuk membangun keluarga
sakinah yang penuh kasih sayang dan diridhoi Allah, yakni: intelektual (ilmu),
ketaqwaan (religius), kesejahteraan (kecukupan dan kesehatan jasmani dan
60
rohani), kebersamaan (saling asah, asuh, dan asih), dan kesadaran penuh akan
misi berumah tangga.
Dengan dasar itulah maka standarisasi pendidikan anak-anak saya
ditegakan, demikian pula dengan bagaimana seharusnya mereka meneruskan
hidup berumah tangga (regenerasi) agar supaya kuwantitas (beranak banyak)
dan kuwalitas (berakhlaq dan intelektual) terjamin. Maka hidup menjadi lebih
mudah karena segala kemelut atau ujian hidup tidak terlihat gelap gulita seperti
gelapnya malam tanpa bintang, namun menjadi terang benderang seperti siang
bolong.

3. Tentang profesi hidup


Di dalam bermasyarakat, kita sering ditawari berbagai lapangan kerja yang
tentu nantinya akan menjadi profesinya dalam mencari “sesuap nasi” bagi diri
dan keluarga kita. Disaat itu kita dibingungkan oleh tawaran tadi dan menurut
keinginan diri, rasanya semuanya mau tanpa pikir panjang dan renungan yang
mendalam. Menjadi pedagang mau, menjadi politikus senang, menjadi ilmuwan
oke, menjadi pejabat apalagi, menjadi pengusaha tambah mau, dan sebagainya.
Kondisi demikian pernah saya alami disaat saya lulus sarjana S1 dari Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya tahun 1975, tiba-tiba lamaran saya diterima di
perusahaan tebu “Gunung Madu” Lampung yang baru dibuka saat itu, dan saya
dipanggil ke Jakarta. Tentu saja saya tertarik karena tawaran gaji yang 10 kali
lipat dibandingkan sebagai dosen; maka berangkatlah saya angkat koper akan
pamit ke pada bapak di Surabaya, namun apa dikata, bapak melarang dan
memerintahkan saya kembali ke Unibraw sebagai dosen. Maka sejak itu sayapun
menjadi semakin mantap bahwa profesi sebagai seorang guru nampaknya
merupakan suratan hidup saya sampai saat ini yang dengannyalah segala
kebutuhan hidup saya untuk hidup layak telah terpenuhi sekalipun tidak
melimpah, namun semuanya tercukupi. Benar pula kata guru saya dari UGM,
Prof. Haryono Semangun yang berujar demikian dalam kelas Filsafat Ilmunya:
61
“Saudara sebagai ilmuwan, memang bukan jalan untuk mencari harta, namun
mencari ilmu, yang dengannyalah pula maka kebutuhan harta sekalipun tidak
melimpah namun cukup”. Yah beliau tentu menimba dari pengalaman hidupnya
yang tercukupi secara ekonomi dan sosial.
Alur hidup sebagai seorang guru sekaligus ilmuwan nampaknya menempati
posisi tersendiri dari sisi kemuliaan hakekat hidup sebagai mana suatu uraian Ali
bin Abu Thalib yang saya pelajari setelah dewasa. Ceritanya begini. Pada suatu
waktu Ali setelah jadi khalifah didatangi oleh 10 orang tokoh perwakilan kaum
khawarij (kelompok penentang Ali), yang mengajukan masing-masing satu
pertanyaan yang sama, namun dijawab dengan 10 jawaban berbeda
(menunjukan keluasan pengetahuan beliau). Pertanyaannya adalah: Wahai Ali
manakah yang lebih utama antara ilmu pengetahuan dan harta. Maka Ali
menjawabnya dengan jawaban demikian; Ilmu lebih utama karena:
(1) Ilmu merupakan warisan (pusaka) para nabi dan rasul, sedangkan harta
pusaka dari Qarun, Fir‟aun, dll.
(2) Ilmu dapat menjaga dan memelihara pemiliknya, sedangkan harta harus
dijaga dan dipelihara oleh pemiliknya.
(3) Ilmu membentuk banyak sahabat dan kawan, sedangkan harta
memperbanyak musuh dan lawan.
(4) Ilmu apabila dikeluarkan (diajarkan) semakin bertambah, sedangkan harta
jika dikeluarkan (dibelanjakan) semakin berkurang dan habis.
(5) Orang yang berilmu mendapatkan panggilan mulia (terhormat), hartawan
seringkali mendapatkan panggilan rendah dan hina dalam masyarakat (si
bakhil, dll).
(6) Ilmu tidak bisa dicuri dari pemiliknya, sedangkan harta dapat dicuri dan
hilang.
(7) Orang berilmu pada hari kiamat akan mendapatkan syafa‟at (pertolongan)
dari ilmu yang dikembangkannya, sedangkan hartawan akan dihisab dan
diminta tanggungjawabnya terhadap asal dan penggunaannya.
62
(8) Ilmu tidak bisa habis walaupun tidak ditambah, sedangkan harta lambat laun
pasti habis.
(9) Ilmu membentuk pikiran seorang menjadi cerah dan hatinya terang
benderang, sedangkan harta lebih banyak membuat pemiliknya kusut pikiran
dan kesat hati.
(10) Ilmu yang mendatangkan manfa‟at merupakan pahala, sedangkan harta
lebih banyak menimbulkan silang-sengketa, azab dan siksa.

Demikian pula dengan nabi Sulaeman dikala diminta memilih oleh Tuhan
antara kerajaan plus kekayaan yang ada didalamnya dengan ilmu pengetahuan.
Maka Sulaeman lebih memilih ilmu pengetahuan, maka ia memiliki kerajaan plus
kekayaan. Nikmat itulah yang menjadikan beliau mawas diri (bukan angkuh),
seraya doanya: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham (ilmu pengetahuan) untuk tetap
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai;
dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang shaleh".
Mungkin riwayat-riwayat berhikmah itu pulalah yang memantapkan saya
untuk konsisten berada dalam jalur keilmuan sebagai dosen yang diwujudkan
dengan berbagai kegiatan seperti mengikuti seminar-seminar, penelitian, menulis
buku (termasuk buku ini), ceramah, mengajar, melakukan kegiatan
kemasyarakatan yang berbau keilmuan, dan sebagainya. Dunia keilmuan itulah
yang sangat membantu saya untuk mengenal, merasakan, memahami, dan
membimbing saya membuka cakrawala dunia seisinya, baik yang menyangkut
alam materi maupun non materi. Bagaimana tidak, yang tadinya tugas utama
saya hanya dalam bidang hama dan penyakit tumbuhan, saat ini diminta
pemikirannya kearah yang lebih luas karena kita hidup dalam masyarakat yang
amat luas. Maka dengan pemberian kunci-kunci ilmu pengetahuan itulah saya
menjelajah dunia lebih luas lagi, antara lain: filsafat (dosen di Pascasarjana),
63
politik (pernah menjadi wakil ketua partai politik tertentu Provinsi Jatim),
lingkungan global (anggota Kementerial Lingkungan Hidup tahun 80-an dan
ICETT Yokkaichi Jepang), ekonomi (baitul-mal), agama (pembina Pusat Kajian
Islam & Sains “Bhima Sakti” Malang), sejarah (khususnya perkembangan
peradaban dan Islam & Iptek), biotek (pengembangan potensi plasma nutfah
dalam pertanian), sosial (aktif dalam perkembangan pemikiran sosial), hukum
(pernah kuliah di FH UMM), dan sebagainya.
Dengan pengetahuan itulah saya menjadi lebih tahu, mana boleh dan
mana tidak boleh dimasuki; sehingga hidup tidak menjadi sia-sia dan terseok-
seok pada jalan yang penuh duga. Saya paham ilmu ekonomi, dan dengan ilmu
pertanian sayapun sanggup memasuki praktek ekonomi untuk mendapatkan
limpahan keuntungan yang lebih “berjibun” dibandingkan hanya menunggu gaji
bulanan PNS. Tetapi dengan pengetahuan itu pula melarang saya untuk
menerjuninya karena adanya kendala waktu, ketidak jujuran dalam barter,
sosial, dan lain-lain sehingga bila dipaksakan maka akan menjadi bumerang bagi
keilmuan yang selama ini saya geluti.
Profesi sebagai guru ini pulalah yang memacu saya untuk
mengembangkan bakat saya dalam mentransfer pengetahuan ke orang lain,
sehingga pada tahun 1985 (satu tahun setelah mendapatkan titel doktor, Dr.)
saya mendirikan sebuah perguruan tinggi yang berbasis pertanian yang saya beri
nama Institut Pertanian Malang (IPM). Semua konsep saya siapkan mulai dari
studi kelayakan, kurikulum, silabus, perizinan, yayasan, program studi, lokasi,
dan lain-lain. Dalam tahun pertama dengan status izin operasional, saya
mendapatkan mahasiswa sebanyak 300 orang yang terbagi dalam tiga fakultas,
yakni: Pertanian, Teknologi Pertanian, dan Kehutanan. Pada awal berdiri, saya
harus memilih antara sebagai pengelola perguruan (Rektor) atau pengelola
yayasan (ketua), karena tidak boleh dirangkap. Mengingat saya yang tahu seluk
beluk perguruan tinggi maka saya bertanggungjawab sebagai Rektor, sedang
ketua yayasan saya pasang orang lain yang tidak tahu menahu pendidikan dan
64
bukan sarjana, yah saya anggap orang baik dan mau berbuat baik (ternyata
kemudian menjadi blunder). Demikian pula untuk mengisi berbagai jabatan dari
dekan, sekretaris dekan, pembantu rektor, kepala tata usaha, dosen tetap, dan
sebagainya, saya tawarkan kepada orang-orang terdekat dan saya kenal.
Perkuliahan berjalan normal dari awal dan selalu mendapatkan mahasiswa baru
serta pertambahan staf pengajar. Mengijak tahun ketiga (1988), mulailah orang-
orang yang selama ini saya bantu (tolong) yakni dari ketua yayasan dan seorang
PR dan Dekan bermanuver untuk menguasai perguruan yang saya buat dengan
tangan saya tersebut. Mereka membuat SK baru untuk mangganti saya agar
supaya menguasai asetnya (memang ternyata oleh kelompok ini kemudian dijual
dan uangnya dibagi-bagi), yang tentu saja tidak sesuai dengan maksud saya
mendirikan institut tersebut. Disinilah saya mulai menghadapi nilai sosial yang
dikenal sebagai pengkhianatan yang pelakunya disebut sebagai para
pengkhianat. Sebagai manusia biasa rasa jengkel, marah, dendam, jijik, dan
lain sebagainya kegalauan hati menjadi satu. Namun dampak pemahaman nilai
agama saya tentang makna hidup menginsyafkan saya untuk melihat dibalik
kejadian itu semua, ada apakah ini? Akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan
menengok tentang usia saya, yakni pada kejadian tersebut mengijak 40 tahun,
yang kata orang merupakan umur awal kenabian atau hampir semua nabi
diangkat menjadi pesuruh Tuhan pada usia yang matang tersebut. Disitulah saya
bertafakur untuk melihat kejadian apa saja pada usia tersebut, yang tenyata
sungguh mengejutkan saya, yakni: saya mendapatkan ujian fisik dan mental
yang berat secara bertubi-tubi, bukan karena saya berbuat salah melainkan
karena taqdir semata. Bagaimana tidak? Tepat Januari 1988 di saat usia awal 40
tahun (lahir 9 Januari 1948), saya menderita penyakit lever Hepatitis B sehingga
harus dirawat di RS selama 2 minggu; sekitar bulan Juni-Juli terjadi pengkhiatan
oleh orang yang saya percaya dengan merebut IPM yang saya buat, akibatnya
saya dihijrahkan Allah untuk mengikuti pelatihan biotek mikoriza di UPLB-Filipina
pada bulan Oktober; sepulang dari Filipina bulan Nopevember saya berurusan
65
dengan Polda menjadi saksi kasus “lemak babi” hasil penelitian Dr. Tri Susanto,
yang menurut hemat saya sudah dipolitisir menjadi sebuah fitnah yang keji dari
penguasa saat itu tetapi sekarang justru menjadi undang-undang negara tentang
“sertifikasi halal-haram” makanan. Akhir tahun yakni bulan Desember kembali
saya berurusan dengan pengadilan sebagai saksi dari orang yang menipu banyak
orang dengan alasan “masuk agama Islam”, saya dan kawan-kawan termasuk
yang tertipu. Nah kapok lhu, mau lari kemana apabila ujian Allah telah
diselenggarakan, maka jalan yang terbaik adalah saya jalani dengan sabar dan
tawakal mengikuti resep-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [2.153]. Resep inilah yang
saya “minum” untuk menghadapi cobaan hidup yang tidak saya minta tersebut
sambil menunggu janji Allah lainnya, yakni: Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran dan kesulitan
hidup) kepada cahaya (iman dan kemudahan). [2.257]. Ternyata resep ini benar-
benar sangat ampuh setelah saya praktekan; karena setelah tahun duka itu
maka munculah kemudahan yang sangat menggembirakan. Yakni sepulangnya
dari Filipina (tahun 1989) saya mendapat dana penelitian Hibah Bersaing I
melalui DP2M Dikti selama 5 tahun (umumnya maksimal 3 tahun). Dengan dana
yang relatif besar pada saat itu, saya bisa mengembangkan karier akademik
untuk ke Guru Besar (1997), bisa menabung untuk pendidikan anak-anak, dan
ibadah haji dengan istri tercinta (1992 dan 1997), dll. Mungkin itulah jalan hidup
saya yang harus di penelitian dan pendidikan, sehingga setelah itu selesai, setiap
tahun saya selalu mendapatkan dana bantuan, baik melalui Dikti, Departemen
Pertanian, maupun pihak swasta. Bahkan sampai buku ini ditulis bersamaan
dengan laporan akhir saya dalam bidang penelitian multi years dari Dikti (Hibah
Kompetensi) dan dari Deptan (Dana Kerjasama Deptan dengan Perguruan
Tinggi). Inilah janji Tuhan yang langsung terbayar di dunia semoga rahman
rahim Allah tercurah pula pada saya dan keluarga di akherat kelak.
66
Dengan pengetahuan dan pengalaman hidup itu pula saya dipercaya
pemerintah sebagai anggota penilai (assesor) perguruan tinggi se Indonesia
(BAN PT) sejak tahun 1989 sampai sekarang. Ditengah-tengah itu pula pada
tahun 2001 saya diminta bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur untuk mendirikan
perguruan tinggi pertanian, dan saya laksanakan dari nol sampai saat ini masih
berdiri. Sepulang dari Kalimantan saya ditunjuk pemerintah sebagai anggota
detasering (detaser) yang ditugaskan untuk membina perguruan tinggi yang
baru dinegerikan yakni di Unijoyo-Bangkalan dan Syah Kuala (Aceh) tahun 2003-
2005. Dan sebagai rasa syukur saya dan keluarga pada karunia Illahi yang
demikian besar tersebut maka saya bangkit untuk menyampaikan pengetahuan
sains yang selama ini saya timba dan pengetahuan agama Islam yang telah saya
dalami dan laksanakan sejak masih remaja. Maka sejak tahun 2001 sepulang
dari Kalimantan tadi berdirilah Pusat Kajian Islam dan Sains “Bhima Sakti”
dengan posnya di rumah saya, dan cabang-cabangnya diberbagai daerah (kota)
di Jawa Timur, yang saya bina langsung setiap minggu pagi, dan berjalan sampai
saat ini (sudah 10 tahun).

4. Tentang memaknai hidup


Memang sulit untuk memberikan makna terhadap setiap kejadian yang
kita lewati dalam kehidupan ini, apalagi kalau kita kurang peka terhadap
momentum (peristiwa kejadian) tersebut. Sadar atau tidak bahwa setiap saat
(detik) siapapun orangnya selalu akan berjalan di atas waktu (umur), yang
diatasnya dibangun segala bentuk hasil usahanya; sehingga setelah sekian kurun
waktu tentu akan terlihat wujudnya. Proses ini bila dijabarkan atas perjalanan
kehidupan saya sebagai contoh adalah demikian: masa kanak-kanak (7-13
tahun) adalah masa bermain, untuk belajar bersosialisasi dan mengenal alam
lingkungan; masa remaja (13- 20 tahun) digunakan untuk menimba ilmu
pengetahuan dan meneruskan tingkat sosialisasinya; masa dewasa (20 – 30
tahun) digunakan untuk membangun rumah tangga baru (berkeluarga); masa
67
pasca dewasa (30 – 40 tahun) digunakan untuk memperdalam tingkat
intelektual; masa pemantapan (40 – 50 tahun) digunakan untuk memperkuat
fondasi kerohanian dan perjuangan kebenaran; masa kerohanian (50 – 60
tahun) digunakan untuk mengembangkan nalar kerohanian dan memperkuat
bangunan bermasyarakat; masa lansia (> 60 tahun) persiapan untuk regenerasi
dan pengkaderan agar supaya nilai-nilai kebenaran tidak roboh kembali setelah
ditinggalkannya.
Dengan pereodenisasi yang elastis (tidak kaku) tersebut maka hendaknya
kita dapat mengisinya dengan mudah dan sistematis segala jenis aktivitas hidup
baik yang menyangkut individual, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat
manusia sepenuhnya. Pada pereode awal kehidupan (balita) memang kita sangat
tergantung pada kedua orang tua, bentuk apa yang diajarkan dan ditanamkan.
Masa kanak-kanak sekalipun peranan orang tua masih dominan namun
lingkungan pendidikan ikut memberi warna, sehingga masih perlu adanya kontrol
yang saksama agar warna yang dituangkan tidak salah, karena sulit untuk dicuci
kembali bila telah merasuk kedalam jiwa. Masa remaja peranan orang tua
memang masih dominan namun mulai kedodoran karena adanya dinamika
remaja, maka diperlukan “menitipkan” kepada teman atau sahabat yang mampu
dipercaya untuk saling menjaga, disamping “guru” yang layak digugu dan ditiru
dalam membangun kepribadian seseorang. Masa dewasa adalah masa dimana
manusia mulai mempraktekan hidupnya lepas dari kontrol orang tua dan
gurunya, sehingga rasa tanggungjawab individu menjadi menonjol. Disinilah
mulai terjadi konflik pemikiran dan jiwa manusia yang apabila ia mampu
menemukan jalan keluarnya maka menjadi tenang dan lancarlah perjalanan
hidupnya, namun bila buntu mencari celah keluarnya, maka tingkatan stress
demi stress akan “menghantuinya”. Pasca dewasa seharusnya telah dijadikan
landasan utama bagi seseorang untuk punya peranan penting di masyarakat
sebagai hasil atau buah pendidikannya dan kedewasaannya sehingga sungguh
sangat disesalkan atau disayangkan apabila ia masih menjadi beban
68
masyarakatnya. Oleh karena itu luasnya pengetahuan seseorang akan sangat
membantu individu tersebut dalam menghadapi tantangan sosialnya. Dari masa
pemantapan ke atas pada hakekatnya merupakan perjuangan yang berat karena
seseorang harus telah mampu mewarnai bentuk masyarakatnya melalui
pengetahuan dan pengalaman hidupnya serta terus memberikan corak yang
dikehendakinya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang nilai kebenaran.
Untuk usia yang sudah uzur apakah mungkin masih mencari status sosial yang
sudah tidak berguna itu, mengapa ia tidak menggunakannya untuk melepaskan
ke generasi berikut yang memang masih membutuhkan untuk menapaki sisa
hidup duniawiahnya. Khusus dengan masalah ini saya punya pengalaman yang
menarik dengan ayah saya yang pada saat itu sudah mendekati usia 80-an, ia
masih suka menggunakan simbol-simbol “kepahlawanannya” yakni bintang
veteran, baju veteran, topi veteran, dan bahkan HR veterannya. Pada suatu saat
saya berdiskusi dengan beliau: “Pak apakah boleh saya punya pendapat yang
bisa membawa bapak lebih kenal dengan Illlahi? Tentu saja hal ini bukan
merendahkan ayah saya, karena beliau adalah ahli ibadah dan tirakat. Dengan
tercengang beliau bertanya: “ Apakah itu? Saya bilang: “Sudah saatnya bapak
mengganti semua simbol ini dan biar saya simpan sebagai kenangan, agar
supaya semakin terkuak hijab kebenaran hakiki! Diluar dugaan pendapat
tersebut diikuti oleh ayah, dengan kata-katanya: “Darimana kamu mendapatkan
pengetahuan itu? Saya jawab itulah hasil pendidikan bapak kepada saya,
sehingga Allah memasukannya kedalam rongga dada ini tanpa sekolah!
Diskusi inilah sebenarnya yang menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa
pada hakekatnya sesuatu yang kita cari dalam kehidupan ini tersembunyi dibalik
semua asesori yang gemerlapan dan menarik, apakah itu pangkat, jabatan, harta
benda, rumah mewah, wajah cantik, kendaraan, dan sebagainya. Kita dalam
hidup sering tergiur oleh kulit luar tersebut dan selalu disibukan oleh mengganti
dan mempercantik etalase kehidupan tadi sehingga tidak terasa rambut menjadi
putih, kulit mengeriput, jalan mulai terseok, mata sudah rabun, pendengaran
69
berkurang, dan sebagainya. Isyarat tersebut bagi yang mau membuka tabir
hakekat, sudah seharusnya mulai berfikir dan berperasaan yang lebih “pintar”
dan “cerdik” bahwa sudah waktunya merasakan apa yang ada dibalik kulitnya
tadi agar supaya terasa lezatnya hidup setelah kelezatan biologis tergusur habis
oleh ketuaannya. Sudah bukan saatnya memakan “kulit” pisang sekalipun indah
warna dan bentuknya, namun pilihlah isinya dengan mengupas kulitnya
perlahan-lahan agar supaya mendapatkan tambahan nilai dari ikhtiarnya. Setelah
itu kupaslah semangka, pepaya, durian, srikaya, dan lain-lain buah kehidupan,
sayur mayur kehidupan, dan bentuk makanan kehidupan lainnya. Maka akan
sampai pada pintu hakekat, seraya tersenyum dikulum penuh rasa malu: betapa
bodohnya saya ini, semua yang diperebutkan dan dimakan selama ini ternyata
hanyalah kulit duniawiah yang pahit dan keras!!!
Bukankah bila kita menderita sakit, mengeluh dan frustasi setengah mati,
sementara bila hidup sehat bersenang tak kenal batas?
Tidakah apabila mendapatkan kedudukan baru, bergembira dengan
merayakannya berkedok syukuran, sementara bila lengser dari jabatan
bermuram durja dan menutup diri?
Mengapa jika dikecam dan dicaci cepat emosi dan balas mencaci
sementara bila dipuji bersenang hati dan minta terus dipuja!
Kenapa dikala usia muda habis terkuras untuk berbuat hal yang tidak
berguna, namun ketika usia senja tiba merasa masih muda?
Tidakah mencari harta sangat melelahkan dan menyita seluruh potensi
diri, lalu mengapa setelah didapat ditinggal pergi (sakit dan mati).
Hakekat itulah yang hendak dibuka oleh Tuhan agar manusia tidak salah
duga terhadap apa yang dicarinya seperti dikemukakannya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang

70
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur” [57.20].
Mungkin disitulah kesalahan kita dalam melihat segala bentuk isi
duniawiah itu, kita tersilaukan sesaat dan disaat lain setelahnya kita tidak pernah
belajar dengan pintar bahwa apa yang kita genggam atau jalankan itu hanyalah
kulit luarnya, yang isinya masih perlu digali lagi agar terasa cita rasanya.
Dalam melakukan peribadatanpun demikian, betapa banyak manusia
menjalankan shalat yang kadang berjamaah, namun hatinya sendiri-sendiri dan
setelahnya sampai hati untuk nyikut teman sesama jamaah tadi. Mengapa
demikian, yah tidak lain karena perintah shalat hanya sampai kulit luarnya, yakni
sekadar ibadah mahdah (penyembahan) padahal makna yang sesungguhnya
adalah penyerahan. Hanya orang-orang yang telah menyerahlah yang mau
mendengar dan menjalankan semua perintah-Nya dengan penuh keikhlasan
sebagai bentuk penyembahan.
Dalam sebuah hadist diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahab r.a. berkata:
Nabi saw. bersabda: Allah ta'ala berfirman: Tiada semua orang yang
sembahyang dapat dikatakan sembahyang. Aku hanya menerima sembahyang
dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku serta menahan hawa-
nafsunya dari perbuatan-perbuatan haram dan tidak terus-menerus
melakukan ma'siyat, disamping itu ia juga memberi perlindungan dan naungan
kepada orang musafir kelana. la berbuat itu semua untuk-Ku, maka demi
kemulyaan dan kebesaranKu bahwa wajahnya lebih bercahaya disisiKu dari
cahaya matahari. Aku memberinya ilmu menggantikan kebodohannya dan
cahaya menggantikan kegelapannya. Aku mendengarkan do'anya serta
memberinya apa yang ia minta dan memenuhi sumpahnya. Aku melindunginya
dengan kekuasaan-Ku dan menitipkannya kepada malaikat-Ku.
Perumpamaannya dalam anggapanKu seperti syurga "Firdaus" tidak rusak buah-
buahnya dan tidak berubah keadaannya. (R. Addailami). Itulah makna ibadah
shalat sesungguhnya yakni kebersihan jiwa, pikiran dan pengamalan sosial.
71
5. Tentang harapan hidup
Manusia menjadi dinamis dan kreatif sebagai sifat utamanya dibandingkan
makhluk lain, disebabkan mereka mempunyai harapan hidup kearah yang lebih
baik dan terhormat serta penuh kemuliaan. Apabila harapan tersebut telah
tercabut dari dirinya disebabkan berbagai alasan, seperti pahitnya kegagalan,
traumatik, merasa rendah diri, teraniaya, putus cinta, dan sebagainya; maka ia
akan masuk pada suatu ruangan hidup tanpa gerak yakni keputus-asaan.
Apabila ruangan ini telah dimasukinya maka sungguh sulit siapapun untuk
mengeluarkannya, apalagi dirinya sendiri yang nyata-nyata telah menyatukan diri
dengan kepus-asaan tadi. Fenomena keputus-asaan selain yang fatal berupa
bunuh diri, masih banyak bentuknya sehingga dengan mudah kita dapat menilai
dengan terang benderang apakah teman, saudara, keluarga, atau bahkan kita
sendiri sedang menuju ruang atau lembah nestapa tersebut. Beberapa
diantaranya adalah: (a) mengisolasi diri dari pergaulan bermasyarakat dengan
berbagai alasan, mulai dari alasan peribadatan, alasan keluarga (anak dan cucu),
alasan tidak sesuai, alasan status sosial, dll; (b) penampilan berlebihan dan aneh
(mutrofin) dengan cara mentato atau merajam diri, rambut gondrong, laki-laki
beranting dan bercela, bercadar, dll; (c) melarikan diri dari tantangan hidup,
seperti: bermabuk-mabukan; narkoba, merokok, sibuk dengan permainan yang
menyita waktu (time killing) seperti main catur, kartu, berjudi, dll; (d) asyik
masuk dalam dunia khayal yang khayalinya diwujudkan dalam istilah seni,
seperti: melukis, pemahat patung, pemusik, dsb.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa manusia masuk dalam dunia
keputus-asaan tersebut, antara lain:
(1) Kurang bisanya keluar dari kemelut tantangan hidup yang dihadapinya,
apalagi bila terjadi secara bertubi-tubi. Jalan keluarnya adalah berlatih olah
nalar dan olah batin, sehingga antara perasaan dan intelektual menempati

72
posnya masing-masing; karena apabila dicampur maka akan terjadi konflik
kepribadian yang semakin akut.
(2) Kurangnya menimba pengetahuan secara luas dari berbagai sumber yang
benar sehingga tidak terjadi saling tubruk pemahaman yang menyebabkan
kebingungan dalam mengambil kesimpulan. Banyak membaca dan
mendengar serta melihat, kemudian mencoba menghayati apa yang
diinformasikannya, sekecil apapun azaz manfaatnya lama kelamaan akan
menjadi segunung tumpukan informasi yang mempunyai nilai guna.
(3) Kurangnya pergaulan dengan sesama yang mampu menghasilkan manfaat
bagi harkat dirinya, seperti: orang berpengetahuan, berpengalaman,
berakhlak mulia, bersopan-santun, berpendidikan, bergaul luas,
berperikemanusiaan, dan sebagainya. Imbas dari teman atau sahabat dengan
ciri-ciri tersebut lambat laun pasti akan membentuk kepribadiannya yang jauh
berbeda bila seseorang bergaul dengan manusia bersifat tercela.
(4) Adanya faktor luar (eksternal) yang mengkondisikan seseorang dalam dunia
yang tidak punya pilihan, ia merasa terpojok dan dipojokan; faktor ini antara
lain: pendidikan orang tua yang otoriter, pendidikan sekolah yang
menekankan pada prestasi akademik semata bukan kepribadian, salah
memilih teman hidup maupun pergaulan, dll.
(5) Faktor bawaan (internal) khususnya yang berhubungan dengan kejiwaan,
seperti: emosional, kesurupan, pelamun, dsb. Jalan terbaik adalah dijauhkan
dari penyebabnya dengan mengkondisikan lingkungan hidupnya, sifatnya
bukan penyembuhan namun penghindaran; dan perlu pengawasan khusus
dari akhlinya (psyater) atau ahli hikmah.

Mengapa harapan hidup tersebut harus dibangun, sementara untuk


membangunnya diperlukan demikian besarnya tenaga dan pengorbanan yang
harus dikerahkan. Jawabnya adalah: justru disitulah indahnya hidup dan
nikmatnya hidup yakni manakala kita telah punya suatu harapan kemudian untuk
73
mencapainya diusahakan berbagai cara, dan akhirnya harapan itu tercapai maka
betapa lezatnya harga pencapaian tersebut walaupun didapat hanya sesaat.
Untuk itu marilah kita belajar pada petani yang mungkin tidak mengenyam
pendidikan formal yang layak (SD saja tidak tamat). Ia mungkin hanya punya
sekedok (sebidang) lahan sawah, yang ia olah setiap hari dari setelah subuh
sampai dengan waktu dhuhur, dipacul, dibajak, digaru, diairi, disemainya biji
padi berhari-hari ia tunggu, kemudian ia pindah untuk ditanam disawahnya,
berbulan-bulan ia tunggu untuk diketam bulirnya; dan hasilnya tidak seberapa
apalagi untuk menghidupi keluarga. Namun mengapa ia tidak juga mau berajak
dari sawahnya, dari tahun ke tahun rutinitas dijalaninya dengan pendapatan
yang tidak memadai, mengapa ia mau dan senang; jawabnya adalah karena ia
mempunyai sebuah harapan akan adanya panen esok hari. Demikian
mulianya sebuah harapan, yang ternyata telah mampu menghidupi umat
manusia dikolong langit ini, karena tanpa adanya sang petani yang sederhana
dan bersahaja cara hidupnya tersebut, maka betapa susahnya kita mencari
makan.
Oleh karena itulah Tuhan membimbing manusia agar tidak mudah putus-asa
dan selalu mencari harapan hidup berupa ikhtiar dalam segala tantangannya.
Bahkan diwahyukannya aturan Tuhan tidak lain dimaksudkan agar manusia
mampu menghadapi tantangan hidup karena ada pedomannya, dan bila belum
berhasil atau gagal ia tidak berputus-asa. Demikian lembut dan indahnya nasihat
Tuhan pada makhluknya tersebut seperti tercantum dalam firman berikut:”
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, Dan Kami telah
menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan
Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap. [94: 1- 8].
74
Berharap kepada Tuhan tentu saja menjadi sebuah motivator yang sangat
dahsyat karena manusia percaya bahwa apa yang dijanjikan-Nya pasti
terwujud, dan bahkan dalam mewujudkannya sulit diperhitungkan oleh nalar
manusia; kalaupun tidak terwujud kitapun menjadi tenang dan sejuk hati ini
karena kita telah melakukan suatu ikhtiar yang belum tentu mampu dilakukan
pada kesempatan lainnya. Kalau hal ini yang menjadi motivasi seseorang dalam
mengisi lembaran hidupnya tentu semua coretan hidupnya akan bermakna
sekalipun tidak ditulis dengan tinta emas. Marilah simak sebuah pembelajaran
kepribadian yang penuh harap dari seorang yang tidak kenal Tuhannya menjadi
manusia yang ditunjukan kejalan Tuhannya, sebagaimana cerita berikut. Konon
dalam sebuah masyarakat ada seorang penyembah api (majusi) yang pada suatu
waktu di musim dingin, setiap hari ia tebarkan biji gandum ditegalannya
sehingga membuat heran seorang muslim ahli ibadah (abid), sehingga berucap:
”Aneh kamu ini dimusim dingin kok menyebar bibit gandum mana bisa tumbuh”.
Dijawablah oleh si Majusi tadi: “ Emangnya aku mau bertanam, apa yang aku
lakukan adalah untuk memberi makan burung-burung yang sulit mencari
pangan”. Dijawab lagi oleh si Abid tadi: “ Jadi anda rupanya mengamalkan
kebajikan untuk mendapatkan pahala”. Dengan cueknya si Majusi mendengus:
Entahlah, akupun tak tahu apakah itu pahala! Mana mungkin Tuhan memberi
pahala kepada seorang penyembah api, demikian terusan si Abid tadi. Yah
terserahlah dia karena akupun tidak menyembah Tuhan yang tidak punya
perasaan, karena kalau benar dia itu Tuhan tentu dia tahu apa yang aku
perbuat, demikian jawabnya. Beberapa tahun setelah kejadian tersebut, dikala si
Abid melaksanakan ibadah haji bertawaf di Baitullah, betapa terkejutnya ia
karena dilihatnya si Majusipun sedang bertawaf. Setelah selesai ia hampiri dan
bertanya: Bukankah kamu si Majusi dahulu yang memberi makan burung
diwaktu musim dingin? Dijawabnya: Benar itulah aku! Lho mengapa sekarang
engkau menjadi muslim dengan berhaji? Tanya si Abid kembali. Yang dijawabnya
75
dengan jitu: „Itulah tabiat Tuhan yang tidak pernah menutup pintu harap bagi
hambanya!

Bahkan Tuhanpun memberikan amnesi secara majemuk kepada semua


umat manusia agar supaya jangan putus-asa dan tetap penuh harap terhadap
ampunan ilahi bagi mereka yang berbuat dosa dan maksiat seperti firman
berikut:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga
yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya;
dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal [3:135-136]. Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia
mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang [4: 110].
Harapan inilah yang jarang kita dapatkan dari guru-guru kita sehingga
mengapa kita membenci matapelajaran tertentu waktu sekolah (matematika
misalnya), tidak lain karena sang guru hanya memberikan ancaman dengan nilai
buruk, muka cemberut, bahkan tidak naik kelas. Demikian pula pada guru-guru
agama waktu kecil sampai dewasa, yang disampaikan adalah tentang sadisnya
Tuhan dengan siksa nerakanya bagi sipembangkang, sementara harapan yang
menjadi sisi welas asihnya, seperti ayat tersebut di atas tidak banyak
dikemukakan. Kembali disini peranan kebijakan dan kebajikan sang guru
memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas seorang manusia;
apabila si penyampai adalah para guru atau ustadz “karbitan” yang juga
seharusnya dalam posisi untuk dibina, maka wajah ilmu pengetahuan atau nilai-
nilai agama menjadi buram.
76
Nilai-nilai harapan bukan hanya difirmankan oleh Tuhan dalam bentuk
kitab suci (tersurat), tetapi ditebarkan di alam disekitar kita hidup (tersirat);
sayangnya dari kedua sumber tersebut kita jarang memanfaatkannya sehingga
menjadikan hidup ini terjal dan penuh duri yang menusuk kaki. Untuk itu perlu
kita berlatih setiap saat tanpa harus malu karena status sosial kita, sebagaimana
suatu kasus yang diceritakan dalam buku “The 7 habits of highly effective people
karangan Stephen R. Covey berikut ini.
Arthur Gordon (seorang penulis populer Amerika) menceritakan sebuah
kisah yang menakjubkan mengenai pembaruan spiritualnya sendiri pada sebuah
kisah pendek yang disebut "The Turn of the Tide." Kisah ini menceritakan suatu
masa dalam hidupnya ketika ia mulai merasakan bahwa segalanya
membosankan dan datar. Antusiasmenya semakin berkurang; usahanya untuk
menulis tidak membuahkan hasil. Dan situasinya semakin buruk hari demi hari.
Akhirnya, ia bertekad untuk mendapatkan bantuan dari seorang dokter. Setelah
mengamati bahwa tidak ada yang salah secara fisik, dokter bertanya kepadanya
apakah ia dapat mengikuti instruksinya selama satu hari. Ketika Gordon
menjawab dapat, dokter tersebut menyuruhnya menghabiskan hari berikutnya di
tempat dimana ia merasa paling bahagia sewaktu ia masih anak-anak. Ia boleh
makan, tetapi ia tidak boleh berbicara dengan siapa pun atau membaca atau
menulis atau mendengarkan radio. Dokter tersebut kemudian menulis empat
buah resep dan menyuruhnya membuka satu demi satu pada pukul sembilan,
pukul dua belas, pukul tiga, dan pukul enam. "Anda serius?" Gordon bertanya
kepadanya. "Anda tidak akan berpikir saya bergurau jika anda mendapat tagihan
saya!" jawab dokter tersebut tersenyum.
Keesokan paginya, Gordon pergi ke pantai. Ketika ia membuka resep
pertama (jam 9 pagi), ia membaca "Dengarkan dengan cermat." Ia berpikir
dokter tersebut tidak waras. Bagaimana ia dapat mendengarkan selama tiga
jam? Tetapi ia sudah setuju untuk mematuhi perintah dokter tersebut, maka ia
pun mendengarkan. Ia mendengar bunyi-bunyi yang biasa dari laut dan burung-
77
burung. Sesudah beberapa saat, ia dapat mendengar bunyi-bunyi lain yang tidak
begitu jelas pada mulanya. Ketika ia mendengarkan, ia mulai berpikir tentang
pelajaran yang diberikan oleh laut kepadanya ketika ia masih anak-anak yakni
tentang: kesabaran, respek, kesadaran akan kesaling tergantungan segala
sesuatunya. Ia mulai mendengarkan bunyi-bunyian dan keheningan dan mulai
merasakan kedamaian yang semakin meningkat. Pada tengah hari (jam 12), ia
membuka resep kedua dan membaca "Cobalah mengingat-ingat."
"Mengingat-ingat apa?" ia bertanya dalam hati. Barangkali masa kanak-kanak,
barangkali kenangan masa-masa bahagia. Ia berpikir tentang masa lalunya,
tentang banyak kegembiraan kecil yang dialaminya. Ia berusaha mengingat itu
semua dengan cermat. Dan sewaktu mengingat, ia merasakan kehangatan
semakin berkembang dalam dirinya. Pada pukul tiga sore, ia membuka lembaran
kertas ketiga. Sampai saat ini, resep-resep tersebut mudah dijalani. Tetapi yang
satu ini berbeda, bunyinya "Periksalah motif-motif anda." Pada mulanya ia
defensif (bertahan). Ia berpikir tentang apa yang ia inginkan: keberhasilan,
pengakuan, jaminan - dan ia membenarkan itu semua. Akan tetapi kemudian
terlintas pikiran bahwa motif-motif itu tidak cukup baik, dan barangkali di
sanalah terletak jawaban untuk situasinya yang mandek. Ia mempertimbangkan
motif-motifnya secara mendalam. Ia berpikir tentang kebahagiaan masa lalu.
Dan akhirnya, jawaban itu muncul kepadanya.
“Dalam kilasan yang pasti, “ia menulis", saya melihat bahwa jika motif
seseorang salah, tidak akan ada yang dapat menjadi benar. Tidak ada bedanya
apakah anda seorang tukang pos, penata rambut, wiraniaga asuransi, ibu rumah
tangga atau apa saja. Selama anda merasa melayani orang lain, anda melakukan
pekerjaan itu dengan baik. Jika anda hanya peduli untuk menolong diri sendiri,
anda mengerjakannya dengan kurang baik sebuah hukum yang tidak dapat
ditawar-tawar seperti halnya gravitasi."
Ketika pukul enam tiba, resep terakhir, tidak membutuhkan waktu lama
untuk dipenuhi. "Tulislah kekhawatiran anda di atas pasir," bunyi resep itu.
78
Ia berlutut dan menuliskan beberapa kata dengan pecahan kulit kerang; lalu ia
berbalik dan berjalan menjauh. Ia tidak menengok kembali; ia tahu air pasang
akan datang dan problema hidupnya akan hilang laksana tulisan pasir ditelan air
laut tersebut. Maka kembalilah ia dengan sebuah harapan baru dan bukan
dengan problema baru yang menumpuk di atas yang lama.
Esensi ajaran agama pada hakekatnya adalah menekankan pada manusia
agar supaya tidak mudah putus asa terhadap rahmat Illahi dalam segala bentuk
kemelut kehidupan yang hal ini dikemukakan dalam Hadist Qudsi: Dari Ibnu
Mas'ud, bahwa Nabi bersabda : "Seorang pendosa yang sangat mengharap
rahmat Allah lebih dekat di sisi Allah daripada ahli ibadah yang putus asa akan
rahmat Allah."
Beberapa hikayat menerangkan cerita berikut:

Hikayat 1. Rahmat Allah kepada HambaNya

Abu Hurairah berkisah berdasar cerita Nabi: Hiduplah seorang laki-laki yang
selama hidup tak pernah berbuat baik selain keyakinan hanya Allah Yang Maha Esa.
Ketika ajal siap menjemput, ia berpesan kepada keluarganya, "Jika aku mati, bakarlah!
Buang abunya ke laut saat angin bertiup." Keluarganya memenuhi pesan tersebut.
Ketika di akhirat Allah bertanya kepadanya, "Amal apakah yang kau jadikan bekal ?"
"Hanya rasa takut menghadap Engkau, wahai Tuhan," jawabnya. Lantas Allah
mengampuninya. Sedangkan dia sama sekali tak pernah berbuat baik selain
mengesakan Allah.

Hikayat 2. Nabi Musa dan Lelaki Sesat

Pada masa Nabi Musa, seorang laki-laki meninggal. Karena ia sesat maka para
penduduk enggan memandikan dan menguburkannya. Mereka menendanginya dan
membuang ke tempat sampah. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa dan
berfirman, "Hai Musa! Ada laki-laki yang mati. Mayatnya dibuang di tempat sampah. Ia
salah satu wali-Ku. Ia belum dimandikan, dikafani dan belum dikuburkan. Pergilah

79
kamu kesana! Mandikanlah, kafanilah, shalatilah lalu kuburkan dengan baik.
Kemudian Nabi Musa mendatangi tempat tersebut. Ia bertanya kepada penduduk
setempat tentang mayat tersebut. "Ya. Seorang laki-laki sesat, bermoral rusak telah
mati di sini." "Dimana mayatnya? Allah menyuruhku kemari adalah karena laki-laki itu.
"Bersama mereka Nabi Musa pergi. Ketika melihat langsung mayat yang terbuang di
tempat sampah itu dan mendengar penuturan penduduk tentang keburukan
perbuatannya, maka Musa penasaran. "Wahai Tuhan, Kau suruh aku mengkafani dan
menshalatinya, sementara kaumnya menyaksikan dia seorang yang tercela. Engkau
lebih tahu dari mereka tentang kebaikan dan keburukan." Allah berfirman, "Wahai
Musa! Kaumnya memang benar menjatuhkan hukuman karena keburukan
perbuatannya. Hanya saja ketika ia mati aku mengampuninya karena tiga hal. Orang-
orang yang berbuat dosa yang memohon ampunan-Ku pastilah Aku memberikannya.
Bagaimana Aku tidak mengampuni dia? Akulah Yang Maha Penyayang." "Apakah tiga
hal itu, wahai Tuhan ?" tanya Musa. Allah berfirman, "Ketika akan meninggal ia berkata:
Wahai Tuhan! Engkau tahu dengan semua maksiat yang aku lakukan. Hatiku
sebenarnya sangat membenci maksiat itu. Ada tiga hal yang membuatku begitu.
Pertama karena hawa nafsu, pergaulan buruk dan karena Iblis terkutuk. Tiga hal ini
menyeretku ke kancah maksiat. Engkau tahu itu. Ampunilah aku. Kedua : Kamu tahu
kenapa aku berbuat maksiat. Itu karena hidupku dikitari oleh kemaksiatan. Padahal aku
lebih suka bergaul di lingkungan orang shalih dan zuhud. Bersama mereka lebih kusuka
daripada dengan orang-orang sesat. Ketiga; Sungguh, orang shalih lebih baik daripada
orang jahat. Orang shalih lebih kusukai. Bila datang kepadaku orang shalih dan jahat,
pasti akan kudahulukan orang shalih.

(Dalam riwayat Wahab bin Munabbih lelaki itu berkata : Wahai Tuhan ! Andaikan Kau
ampuni dosaku maka akan bergembiralah para wali dan Nabi-Mu. Sedangkan setan
yang memusuhiMu dan musuhku akan bersedih. Apabila Kau siksa aku karena ulah
dosaku maka setan dan sekutunya akan bergembira. Sedangkan para Nabi dan para
wali akan bersedih. Kutahu kegembiraan para Nabi dan para wali lebih Kau suka
daripada kegembiraan setan dan sekutunya. Ampunilah aku! Ya Allah, Kau tahu apa
80
yang kukatakan. Maka rahmatilah dan ampunilah dosaku). Maka Kurahmati dan
Kuampuni dia karena Aku Maha Penyayang. Lebih-lebih kepada orang yang telah
mengakui dosanya, maka Kuampuni dia dan kumaafkan semua dosanya. Wahai Musa
lakukanlah apa yang Kuperintahkan. Akan Kuampuni orang-orang yang menshalatinya,
menghadiri pemakamannya karena kemuliaan lelaki tersebut."

81
BAB IV

BERKENALAN DENGAN TUHAN

Dia adalah zat yang amat tersembunyi yang tempat persembunyiannya tidak
tersembunyi; Dia hadir (dhohir) dibalik ketidak hadirannya (batin) yang apabila
mewujudkan dirinya maka menjadi batalah segala sesuatu yang wujud; Dia amat dekat
dan yang didengar hanyalah bisikan hati yang tulus, tidak berjarak dan tidak
membutuhkan perantara untuk didekati; luas pengetahuan-Nya setitik dari ilmunya
telah mencukupi kebutuhan hajat hidup makhluknya, yang diberikan kepada mereka
yang membutuhkannya tanpa harus lewat belajar; Dia pencipta jarak, waktu, dan
ruang sehingga mustahil terkungkung di dalamnya, yang sifatnya tersebut dapat
diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.

=====================================================

Istilah berkenalan dengan Tuhan bisa menjadi diskusi yang panjang bagi mereka
yang hanya membatasi dirinya kepada penampakan kulit luarnya atau hanya berstandar
kepada aspek syariat dan terminologi semata. Sebaliknya bagi mereka yang ingin
menjenguk kepada penjelajahan ketuhanan lebih jauh dan mendalam tentu saja hal
tersebut tidak sempat diperdebatkan karena setiap alam pikiran dan kerohaniannya
manakala menyentuh satu titik tertentu ia telah melihat garis yang panjang, begitu
menginjakan kakinya pada garis tersebut iapun telah melebar kepada bidang yang luas,
demikian juga bila ia melangkahkan kakinya kepada bidang tersebut iapun telah berada
dalam ruang tanpa batas. Itulah dimensi atau tingkatan-tingkatan pengenalan kepada
Tuhannya dari dahulu dan kedepan, apakah hal tersebut dikemukakan oleh para nabi
dan rasul atau oleh mereka yang diberi pencerahan langsung oleh Tuhan melalui ilham,
firasat, filsafat, atau sumber pengetahuan lainnya. Benar kiranya dikala Muhammad
s.a.w. diperjalankan Allah ke Sidratul Muntaha melalui peristiwa Isro‟ dan Mi‟rajnya,
ketika Jibril tak mampu menembus alam tersebut, maka beliau dibawa oleh gumpalan
awan untuk menghadap Ilahi; maka ketika ditanya peristiwa tersebut seperti apakah
awan tadi, beliau menjawab berwarna-warni tanpa ada padanannya (yakni bukan
warna biasa). Sahabat bertanya dengan dimensi alam dunia (titik), sementara
Rasulullah menjawab dengan dimensi langit (ruang); maka terjadi jurang yang dalam

82
dan panjang untuk menerangkan, baik yang bertanya dan ditanya tidak cukup
perbendaharaan pengetahuannya untuk menerangkan dan diterangkan.

Dalam pengembaraannya mencari Tuhan, maka manusia dibagi dalam beberapa


golongan atau kelompok sesuai dengan lorong waktu dan koridor pemahamannya, yang
apabila diuraikan dalam bentuk pengelompokannya adalah sebagai berikut:

1. Kelompok naturalis atau serba alam wujud. Pemahaman kelompok ini adalah
sederhana, yakni mengenal Tuhan bukan pada wujud zatnya melainkan kepada
kreatifitasnya dalam menciptakan alam raya seisinya. Terdapat beberapa
argumentasi logis tentang adanya kreatifitas tersebut, yakni: adanya variasi
bentuk dan jenis yang tidak terbatas jumlahnya, adanya ukuran yang pasti dan
tetap pada setiap varians tersebut, adanya konsistensi aturan sehingga tidak
terjadi tubrukan atau benturan yang mengakibatkan hancurnya varians tadi,
adanya fase awal dan akhir yang sulit diduga dengan dimensi waktu planet
biasa, adanya perubahan bentuk, warna, dan ukuran karena suatu sebab yang
bergerak dari waktu ke waktu; adanya kesinambungan peruntukan dan fungsi
dari berbagai varians yang saling bergantung; dan lain sebagainya. Dalam
perjalanannya dalam kelompok inipun masih dibagi pula pada sub-kelompok,
antara lain:

1) Kelompok yang berhenti hanya sampai pada pengenalan hukum-hukum alam


sehingga menjadi pengetahuan bersifat universal dan mampu memanfaatkan
keuniversalan tersebut untuk kepentingan hidup duniawiahnya. Dalam
kelompok ini umumnya diisi para ilmuwan (saintis), yang kemudian muncul
dengan istilah penguasaan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi).

2) Kelompok yang berhenti pada dimensi terpukau oleh bentuk alam raya
seperti yang disebutkan di atas, sehingga tidak henti-hentinya ia tergagap
dalam rasa kagum yang tidak berujung. Kekagumannya tersebut diukir dalam
ekpresi hatinya melalui lukisan, puisi dan pantun, ukiran, nyanyian, musik,

83
dan sebagainya. Kelompok ini dikenal sebagai seniman atau sastrawan, yang
kemudian terbagi lagi dalam berbagai aliran seni atau sastra, seperti aliran
naturalis, abstraksi, bebas nilai, dan lain-lain.

3) Kelompok yang mencoba mencari rahasia dibalik yang ada tersebut dalam
dimensi pemikiran, karena tidak mungkin bintang yang jumlahnya triliunan di
langit menjadi mubazir belaka karena tak satupun yang dapat digapai
manusia. Kelompok ini dikenal dengan kaum pemikir atau filsafati
(manusianya disebut filosof). Ditemukannya hukum gravitasi bumi tidak lain
karena Isaac Newton mempunyai nalar filosofis tersebut, dengan logikanya
yang sederhana, mengapa benda selalu jatuh ke tanah (bumi) ?

2. Kelompok serba benda (materi). Pemikiran atau pendapat dari kelompok ini amat
bersahaja saja yakni, bahwa alam raya ini pada dasarnya hanya merupakan
kumpulan materi atau benda dan energi atau tenaga saja. Setiap bentuk materi
sekecil apapun ia (atom misalnya) tentu mempunyai energi yang tersimpan
(energi kinetik atau energi potensial) yang dapat diukur dan dimanfaatkan.
Apabila terjadi perubahan bentuk dari materi tersebut, apakah menjadi bagian
kecil (fraksi), memadat atau menyatu dengan materi lain (fusi); maka tentu akan
terjadi pelepasan energi yang energi tersebut tidak akan hilang. Munculnya ilmu
fisika berupa teori dinamika I dan II tidak lain adalah mengikuti paham tentang
kekekalan materi dan energi tersebut. Dalam kelompok ini dapat terjadi dua
aliran yang jangkauannya sangat luas dan mendasar, antara lain:

1) Kelompok yang memandang materi apa adanya sebagai benda yang


mempunyai hukum alami (masuk dalam kelompok ilmuwan) yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Yang paling kuat dan
dominan peranannya dalam kelompok ini adalah kaum fisikawan (yang
analisisnya berdasarkan hukum fisika). Kemajuan peradaban manusia sangat
dibantu oleh kelompok ini karena dengan ilmunyalah manusia mampu
menguasi air, angin, api, transportasi, energi, komunikasi, dan sebagainya.
84
2) Kelompok yang memandang alam seisinya pada dasarnya tidak ada bedanya
semua benda atau materi semata, yang berbeda hanyalah variasinya. Batu
adalah benda, tanaman benda, monyet adalah benda, manusia juga benda;
semua makhluk hidup adalah benda yang apabila mati akan menjadi benda
mati seperti tanah, air, dan abu. Nilai guna dari benda-benda tersebut
tergantung pada fungsinya, apabila masih berfungsi maka berguna, jika tidak
maka ia tak punya nilai guna. Manusia berguna bila masih produktif
menghasilkan barang dan jasa, namun bila tidak seperti sakit atau uzur
ketuaan, pikun, dan sebagainya; maka kehadirannya hanya akan mengurangi
fungsi-fungsi produksi lainnya. Dalam perjalanan sejarah kelompok ini
mewujudkan ide dan citranya dalam bentuk pemahaman atheisme yang
kemudian menjadi gerakan politik komunisme.

3. Kelompok religius atau mendekati Tuhan dengan menggunakan norma agama.

Melihat begitu banyaknya aliran keagamaan yang terdapat di muka bumi ini yang
berkembang dari generasi ke genarasi adalah menjadi bukti bahwa manusia
pada prinsipnya punya keinginan untuk mengenal Tuhannya dan berdekatan
dengan-Nya. Tentu saja masing-masing aliran tersebut mempunyai argumentasi
yang demikian kental sebagai keyakinannya atas dasar berbagai latar
belakangnya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pencarian pengenalan
ketuhan dalam kelompok religius dapat dibagi dua, yaitu:

1) Aliran religius (spiritualis) yang cara pengenalan ketuhanannya melalui jalur


perkembangan kebudayaan manusia, dikenal sebagai agama budaya. Dalam
aliran ini terdapat agama filsafat (yakni dari filsafat berkembang jadi sistem
agama), seperti Kong Hut Chu dan Budha; serta agama polytheisme
(bertuhan banyak), seperti Hindu; dan agama berhala (anggapan adanya
kekuatan magis pada benda tertentu), seperti Majusi, Kejawen, dll. Dengan
berjalannya waktu semua aliran ini bisa melakukan asimilasi (penyatuan)
sehingga bisa terbentuk aliran baru. Contoh: Orang China menyatukan antara
85
aliran Konfusius dengan Budha; pada relief Borobudur terjadi asimilasi antara
cerita Hindu dan Budha; dll.

Penonjolan pada aliran religius ini adalah adanya aktualisasi (perwujudan


tuhan) menurut asumsi manusianya yang kemudian dilukis atau dibuat
patung dengan berbagai versinya. Bisa saja orang barat yang bergama hindu
menggambarkan tuhan Krisna dengan warna kulit putih, orang Afrika dengan
warna hitam, sementara orang Asia dengan warna coklat. Kejawen
menganggapnya semua pusaka peninggalan leluhur bertuah, sehingga
kekuatan tuhan atau wujud tuhan diformulasikan pada kekuatan magis dari
tuahnya tersebut. Orang Budha cara mengenalkan tuhannya melalui
gambaran berupa patung atau lukisan Budha yang dalam berbagai bentuk
dan posisinya yang dianggapnya mengandung berbagai simbol ajaran, ada
Budha bersila, tidur, berdiri, dan lain sebagainya.

2) Aliran religius yang pengenalan Tuhannya melalui sumber wahyu atau kitab
suci. Berdasarkan sumber wahyu tersebut pada dasarnya aliran dalam
kelompok ini jauh lebih awal datangnya dan paling tua usianya. Pengakuan
tersebut berdasarkan atas munculnya manusia pertama yang disebut Adam
yang mengenal Tuhannya jauh sebelum dia sendiri bersama istrinya (Hawa)
mengisi bumi ini untuk beranak pinak (regenerasi). Akan tetapi dengan
semakin jauhnya jarak usia generasi awal dengan berikutnya, maka Tuhan
berdasarkan wahyu tersebut semakin tidak dikenal. Itulah yang menyebabkan
manusia mencari jalannnya sendiri untuk mencari tuhan karena kebutuhan
insting rohaninya. Sehingga dikemudian hari terjadilah pelurusan jalan
menuju Tuhan itu dengan diutusnya para Rasul dan Nabi untuk
menyampaikan formula wahyu tentang cara mengenal Tuhan yang dilengkapi
dengan softwarenya dan tersempurnakan pada kenabian Muhammad s.a.w.
Dalam konsep wahyu ini Tuhan diaktualisasikan sebagai Zat Tunggal (Esa),
yang keberadaannya dapat dikenal melalui sifat, tabiat, dan perbuatannya

86
yang semuanya menyatu dalam wujud tunggal yakni asmaul husna (zatnya
tunggal namun sifatnya terwujud dalam alam raya seisinya). Semua jenis
kitab suci yang diturunkan dan nama-nama nabi atau rasulnya disebutkan
secara gamblang, hanya ada yang tidak dijelaskan karena diduga
berhubungan dengan kegunaannya. Sayangnya yang sampai pada generasi
sekarang, hanya tinggal satu kitab suci yakni Al-Qur‟an yang masih mampu
bertahan keasliannya (originalitasnya), sementara kitab suci lainnya
diragukan keasliannya. Tidak sulit untuk menguji keaslian suatu sumber
informasi tersebut karena dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:
bahasa ibu yang digunakan pada saat diturunkan, kodifikasi (pensyahan) oleh
generasi awal atas pembawa risalahnya, sulit dipalsukan karena adanya
kunci-kunci hafalan yang kuat dari generasi ke genarasi, isi (matan)
kandungannya tidak bertubrukan satu sama lain dan mengandung kewajaran
logika (mantik), siap untuk dikoreksi dengan argumentasi sejenis atau lebih
tinggi derajatnya. Bahkan Al-Qur‟an sendiri dibukukan justru oleh para
sahabat nabi sendiri sebagaimana cerita berikut: Setelah wafatnya
Muhammad s.a.w. terjadilah suatu peristiwa dimana seorang penipu bernama
Musailamah Al-Kazzab menganggap dirinya sebagai nabi. Maka orang yang
lemah imannya banyaklah yang kembali murtad. Setelah keadaan bertambah
genting Abu Bakar r.a. (sebagai khalifah) telah memerintahkan memerangi
untuk memberantas gejala buruk ini, maka terjadilah satu peperangan yang
hebat. Dengan bantuan Allah s.w.t. tentara Islam dapat menewaskan dan
membunuh Musailamah. Dalam peperangan ini banyak para hafiz (penghafal
Qur‟an) yang terbunuh. Hal ini amat membimbangkan Abu Bakar. Maka
beliau memerintahkan Zaid bin Thabith untuk mengumpulkan lembaran ayat-
ayat Al-Quran untuk dibukukan. Ketika mendengar perintah itu Zaid berkata:
Dengan nama Allah, jika tuan menyuruh saya mengubah gunung dari satu
tempat ke satu tempat yang lain tidaklah ia membebankanku dari
mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Quran. Bagaimanakah sanggup tuan
87
melakukan sesuatu yang Rasulullah sendiri tidak melakukannya?" Abu Bakar
r.a. menerangkan bahwa tindakan ini terpaksa dibuat demi menyelamatkan
Al-Quran dari terpupus (hilang). Setelah Zaid mendengar penerangan itu,
maka iapun menemui penduduk-penduduk di situ dan mengumpulkan satu
demi satu lembaran ayat-ayat Al-Quran dari mereka yang ada dan
menyalinnya. Zaid r.a. juga menemui para hafiz yang menghafalnya dalam
hati mereka sehingga dapatlah Zaid mengumpulkan hingga ayat yang
terakhir.

Dengan uraian tersebut di atas maka menjadi bahan renungan bagi kita, mungkinkan
kita mampu mengenal tuhannya apabila tidak ada peta yang menuntun kesana atau
tidak ada buku software yang bisa kita gunakan untuk mengenalnya. Ilmuwan saat ini
telah terjerumus pada paham yang menyulitkan dirinya sendiri untuk jauh dari
pengenalan terhadap tuhannya dengan membingkai dirinya dalam figura methode
ilmiah yang sekuler (segala sesuatu yang berbau tuhan ditolak). Demikian pula kaum
religius yang mencari tuhan atas pencariannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam
sangka-sangka semakin abstrak dan berbenturannya nilai tuhan bila diejawatahkan
dalam dimensi sosial dan berbudaya. Arca-arca, simbol-simbol berbau keagamaan,
piramid, stupa, ritual persembahan dan pengorbanan, dan sebagainya, menjadi bukti
tentang kegagalan manusia dalam menjumpai tuhannnya. Hal serupa bisa juga terjadi
pada kaum yang mengikuti aliran monotheisme yang kemudian berbelok menjadi aliran
polytheisme dan mendekati kepada mistik dan ritual. Dari kelompok ini yang paling
ketara adalah agama Nasrani yang telah pecah belah menjadi berbagai sub aliran yang
sama sekali berbeda dalam sistem kepercayaannya dan ritualnya (silahkan dilihat
perbedaan antara Katolik, Protestan, Pantekosta, Advent, Ortodoks, Anglikant, dsb.).
Dalam Islampun sebenarnya telah terjadi pula adanya sub aliran seperti Syiah (hanya
bersumber pada garis keluarga nabi, khususnya Ali bin Abu Thalib) dan Sunni (tidak
membedakan garis keturunan), serta adanya sekte-sekte (pecahan) di dalamnya. Hanya
perlu dikritisi disini bahwa adanya aliran dalam Islam tersebut tidak sampai kepada hal
yang sifatnya prinsip yakni tentang Keesaan Tuhan dan cara peribadatan (ritual). Prinsip
88
tauhid tersebut demikian dijaga dalam Islam sehingga simbol aktualisasi Tuhan dan
nabinya dilarang sama sekali sampai saat ini dan dikontrol ketat oleh setiap muslim.
Demikian pula dalam hal ritual apakah itu shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, serta
shahadatnya tidak ada perbedaan sama sekali. Memang ada sekte-sekte tertentu
seperti aboge (Jawa), Ahmadyah (Pakistan), Bahiyyah (Iran), dsb; semuanya mengaku
sebagai pembaharu dalam Islam namun semua ulama Islam sepakat bahwa sekte-sekte
tersebut bukan Islam melainkan mengaku Islam yang disebabkan oleh kepentingan
politik tertentu. Adanya pengelompokan dalam Islam sehingga teraktualisasi dalam
gerakan dakwah eksklusif seperti: kelompok bergamis, bercadar, berjenggot, celana
“cingkrang”, dari mesjid ke mesjid, dan lain-lain yang sekarang berkembang pesat
adalah semata-mata karena pemahaman hadist nabi yang “sempit” yang kemudian
menjadi gerakan sosial. Sementara gerakan-gerakan keIslaman yang berbau politik juga
mewabah saat ini sebagai respon dari tekanan sosial dan politik umat lain, di dalamnya
terdapat: Hisbut Thahir (Yordania), Ikhwanul Muslimin (Mesir), Wahabi (Saudi Arabia),
dan lain sebagainnya. Memang terdapat pula aliran Islam yang menyerempet pada
persoalan akidah pada masa lalu dan pernah menjadi gerakan politik atau dipolitisir
antara lain: Aliran Mu‟tazilah, Aliran Asy‟ariah, Aliran Maturidiyah, Aliran Jabariyah,
Aliran Qadariyah, dan sebagainya.
Setelah kita ikuti berbagai aliran yang mencari ketuhanan tersebut di atas, maka
tentu kita akan bertanya apakah sampai mereka semua itu menemukan Tuhannya?
Saya tidak berani untuk menjawab secara vulgar karena keterbatasan pengetahuan
saya tentang hakekat sesungguhnya dari pertemuan antara hamba dan kholiknya.
Keterbatasan pandangan tersebut sama juga seperti halnya nabi Musa a.s. ketika
“berguru” kepada Khidir tentang ilmu yang diberikan secara khusus kepada Khidir,
sekalipun ilmu kitab sudah dikuasai oleh Musa karena memang dia adalah Rasulullah.
Orang musyrik bisa saja secara tiba-tiba mendapatkan Tuhannya, sementara orang
beriman bisa saja terhempas atau terlempar jauh dari hadapan-Nya.
Demikian tertutupnya rahasia Tuhan tentang segala kejadian, maka tidak aneh
pula tentang keberadaannya; sebenarnya tidak sulit bagi siapapun untuk mengenal
89
Tuhannya selama dia mau “mencampakan” keakuannya yang umumnya menjadi
tembok tertutup rapat bagi masuknya petunjuk dan bimbingan Illahi yang akan
mengenalkan dirinya. Isyarat ini telah dikemukakan oleh Tuhan itu sendiri melalui
wahyunya sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” [2: 6-7].

Manusia cenderung selalu merasa sudah tahu segalanya sehingga perlu merubah
pandangan dan sikap untuk menjadi insani yang butuh pengetahuan. Dengan
perubahan tersebut maka mata hatinya akan menjadi lebih sensitif terhadap segala
informasi yang masuk sekecil apapun “bisikannya”. Bagi seorang ibu yang mempunyai
hati ke-ibuan, maka rengekan atau tangisan bayinya akan direspon dengan perhatian
yang mendalam dan luas, mungkin bayi tersebut gatal, sakit, lapar, takut, kaget, buang
hajat, ingin didekap, dan sebagainya. Tetapi bagi si ibu yang telah tercabut hati
keibuannya, mungkin akan mengumpat, apalagi maunya anak ini, sudah disusui kok
masih rewel saja (sebenarnya yang rewel ibunya yang telah tertutup matahatinya).
Pada manusia tipe kedua Tuhan enggan “mendekat” sekalipun dekat yang disebabkan
ketidak layakan hati sang ibu tersebut yang kesat dan keras, sementara Tuhan Maha
Halus dan Lembut. Sementara pada tipe ibu pertama, Tuhan akan memberi jalan-
jalannya semakin terbuka dan naik pada pintu “makrifat” yang semakin hari akan
semakin terang benderang.

Ilmu pengetahuan pada dasarnya telah pula memberikan sinyal tentang jalan
menuju pengenalan Tuhan, sayangnya manusia hatinya terkesatkan atau menjadi
semakin keras oleh “kesombongan” dan kebanggaan terhadap apa yang diketahuinya
sekalipun baru mencapai permukaannya. Maka apabila ilmu pengetahuan tidak
membukakan jalan bagi si pencinta ilmu tersebut, ia laksana lumpur hidup yang tak
tampak dari permukaan tetapi bila terinjak atau dimasukinya, maka ia akan menjadi
kuburan masal bagi para ilmuwan itu sendiri. Jasmaninya hidup sehat, namun hatinya

90
telah mengeras menjadi batu bahkan lebih keras lagi, sehingga mana mungkin ia kenal
akan Tuhannya. Melihat fenomena itulah maka sudah saatnya kita yang diberi ilmu
pengetahuan dan bisa mengaksesnya, mencoba mencarikan terobosan baru agar
supaya segala sesuatu yang dipelajari dan didapat dari pelajaran tersebut sanggup
mengenal Tuhannya. Terdapat beberapa anak tangga untuk mencapai hal tersebut,
yang apabila dinaiki secara perlahan dan sistematis, maka taqdir pencarian Tuhan akan
terpenuhi juga. Apakah anak tangga tersebut?

1. Tangga pertama disebut tangga pengetahuan.

Derajat manusia sangat ditentukan oleh seberapa luas pengetahuannya akan


segala sesuatu yang ada di alam raya ini, dan seberapa dalam pengungkapan
maknawinya tentang sesuatu tersebut. Bagi seseorang yang mendengar istilah
tentang hari kemarin hanyalah sejarah atau kenangan, hari ini adalah kenyataan,
dan hari esok adalah harapan atau lamunan; mungkin tidak mempunyai
maknawi sama sekali kecuali sekedar ungkapan penyederhanaan permasalahan
yang dihadapinya. Sedangkan bagi seseorang yang mempunyai dasar
pengetahuan cukup luas; maka hal tersebut dilihatnya sebagai rangkaian
gerbong kehidupan yang sangat menarik untuk disimak dengan saksama dan
dirinci (Jawa: dipetani) satu persatu agar menjadikan sebuah cerita yang dapat
dijadikan tolak ukur keteladanan seseorang. Sayapun dalam menulis buku ini
dimaksudkan sebagai bacaan akuntabilitas diri saya untuk mengukur dan
menghitung segala sesuatu tindak tanduk saya dalam hidup, agar supaya dapat
memperbaiki tingkat kesalahan dalam umur yang tersisa ini. Agar supaya ia
mampu menilai harga sejarah masa lalunya, maka ia harus melakukan studi
banding (comparative study) dengan orang lain yang telah meninggalkan jejak
sejarah secara benar dan penuh kemuliaan bagi peradaban manusia. Studi
banding terhadap sejarah para nabi dan rasul nampaknya tidak representatif
(terwakili atau bukan padanannya), mengingat beliau-beliau itu adalah
perwujudan firman Tuhan dalam bentuk insani yang perlu diteladani. Namun

91
studi banding dengan tingkatan sosial lain sangat banyak dalam sejarah umat
manusia, apakah mereka itu kaum pemikir, hartawan, pejuang, negarawan, ahli
ibadah, hakim yang adil, pendidik, dan lain-lain. Maka kalau hal ini yang
dijadikan cara berfikir untuk melihat sejarah, betapa “kerdilnya” jejak sejarah
hidup kita, bahkan kita belum mampu merubah atau mewarnai sejarah seperti
orang-orang mulia yang mendahului kita. Dalam posisi berfikir dan kesadaran
demikianlah kita baru bisa memperbaiki diri dengan mengukir hari ini sebagai
kenyataan hidup karena saat inilah kita bisa berbuat. Banyak nian warna yang
dapat kita torehkan pada waktu saat ini supaya menjadi sejarah hidup yang
indah dimasa akan datang. Bukankah pada diri kita masih diberi tangan yang
dengan itu kita menggapai dan bekerja; mempunyai kaki yang dengan itu kita
bisa mencapai; mempunyai panca indra yang dengan itu kita membaca, melihat,
merasa, mengecap dan meraba; kita masih diberi akal fikiran yang sehat (belum
pikun) yang dengan itu bisa membuat kreasi dan mengembangkan
pengetahuan; mempunyai perasaan yang dengan itu dapat membedakan mana
yang baik dan buruk. Itulah faktor internal kita yang perlu difungsikan secara
maksimal agar supaya kenyataan hari ini menjadi fakta bagi hari esok. Hari esok
yang menjadi lamunan adalah apabila kita dalam berpijak pada hari ini selalu
menunda waktu untuk berbuat sesuatu dengan dalih masih ada hari esok,
padahal tidak ada seorangpun yang menjamin apakah hari esok itu benar-benar
milik kita! Janganlah kita menjadi si Kabayan dalam cerita rakyat Sunda. Dikala
disuruh mertuanya pergi ke huma (ladang atau kebun) untuk bertani menanam
jagung, dipilihnya dangau (tempat istirahat di sawah atau ladang) kemudian dia
berleha-leha sambil tiduran menikmati angin pagi yang sejuk seraya berkhayal
atau melamun. Dipaculnya tanah, dibalik dan diolah agar gembur, setelah itu ia
tugal untuk lubang tanaman biji jagung satu per satu, ditunggunya hujan,
dilihatnya tumbuh dan membesar tanamannya, mulailah dia membentuk bunga
dan jadilah tongkol jagung, kemudian sambil bernyanyi dipetiknya jagung muda
untuk dibakar karena perutnya terasa lapar, namun betapa kagetnya ia waktu
92
akan menggigit biji jagung digebah (disablek) orang yang ternyata si Iteung
(istrinya) membangunkan disianghari sambil ngomel ia berkata: mana kang
pekerjaannya, kok malah molor! Mungkin sayapun adalah bagian dari si Kabayan
yang banyak berkhayal sehingga hidup tidak produktif dan untuk itulah saya
berusaha memperbaiki diri merubah lamunan menjadi harapan. Lalu bagaimana
caranya, bisakah? Tentu bisa bila kita mempunyai ilmunya, maka baiklah kita
belajar pada seorang petani tua yang sedang menanam tanaman korma disiang
hari yang panas. Datanglah padanya seorang raja yang menyamar sebagai
rakyat jelata, didekatinya si petani tersebut seranya bertanya: Wahai orang tua
tumbuhan apakah yang kamu tanam? Bibit korma, jawabnya singkat. Ia
bertanya kembali: Lho dari raut muka tuan nampaknya sudah berusia lanjut!
Benar, saya sudah umur 70 tahun saat ini jelasnya. Diteruskan oleh sang Raja:
Lalu bagaimana kamu menikmati hasil panennya karena korma berumur
panjang? Jawabnya: Emangnya hasil panennya untuk saya, kalau dahulu kakek
saya tidak menanamnya tentu saya tak menuai hasilnya! Betapa terkejutnya
sang raja mendengar hal tersebut, karena iapun hanyalah memanen hasil orang
tuanya sebagai raja, maka disuruhnyalah pengawalnya untuk memberi
sekantong uang sebagai hadiah kebajikan orang tua tersebut, dengan katanya:
Orang tua terimalah ini sebagai rasa syukur saya menerima pengetahuan
tentang kebijakan dari tuan. Melihat hal ini si petani tersenyum (bukan gembira
karena hadiah, melainkan karena berhasil memberi pelajaran) dan katanya: Ha
ha, belum juga tumbuh ternyata pohon kurma saya sudah berbuah!

Itulah sebuah argumentasi harapan yang sungguh berbeda dengan si Kabayan


sekalipun sama-sama kaum tani, yang satu berjalan di atas lamunan sedangkan
yang lainnya berjalan tegap di atas harapan.

Pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk menguasai semua dimensi ruang
dan waktu tersebut, baik masa lalu, saat kini, maupun masa depan; tanpanya
kita akan dimakan oleh waktu dan digencet oleh ruang sehingga cepat tua

93
dengan organ tubuh baik jasmani dan rohani yang menjadi rapuh. Kelihatan
besar, indah menarik, tetapi apalah artinya semua itu kalau hanya laksana
sebuah krupuk yang hancur digenggaman anak kecil dan melempem dikala
dicelup ke dalam air.

Pengetahuan menjadi penting bukan saja ia akan menjadi penerang bagi dirinya
sehingga ia mudah menjalani kehidupan ini namun juga berguna untuk orang
lain yang membutuhkannya, hal ini dijelaskan oleh suatu hadist berikut. Dari
Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi bersabda :
"Barangsiapa mempelajari satu bagian dari ilmu yang akan berguna untuk
akhirat dan dunianya, maka Allah akan memberikan kebaikan dari orang-orang
yang mendiami dunia selama 7000 tahun. Puasanya pada siang hari dan
shalatnya di saat malam pasti diterima dan tak akan ditolak." Menurut riwayat
yang sama Nabi bersabda : "Membaca al-Qur'an adalah amalan orang-orang
yang cukup. Shalat adalah amalan orang yang lemah. Puasa adalah amalan
orang yang fakir. Bertasbih adalah amalan wanita. Sedekah adalah amalan orang
berada. Tafakur adalah amalan orang yang lemah. Inginkah kalian kutunjukkan
amalan para pahlawan ?" "Apakah amalan para pahlawan itu, Ya Rasul ?"
"Mencari ilmu. la akan menjadi penerang bagi orang mukmin di dunia dan
akhirat."

Ilmu pengetahuan apapun bentuknya, apakah itu masalah yang


membahas pengetahuan umum (alam raya seisinya) ataupun yang berhubungan
dengan masalah keagamaan (biasanya disebut ilmu agama), pada prinsipnya
berada pada level atau tingkatan tangga pertama ini. Setinggi dan seluas apapun
pengetahuan seseorang apakah menyangkut masalah biologi, astronomi, filsafat,
ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan sebagainya hanya berada dalam anak
tangga tersebut; sehingga tidak heran bila masih terjadi rasa harga diri “maha
tahu” sehingga terjadi perdebatan tak berkesudahan.

94
2. Tangga kedua disebut tangga penyerahan

Hanya manusia yang mempunyai ilmu pengetahuanlah yang mau menyerah


kepada kebenaran, karena dengannyalah ia mengerti bahwa bilamana tidak ia
ikuti semua “hukum kebenaran” tersebut maka akan menyulitkan hidupnya dan
merendahkan derajat kemuliaan dirinya. Suatu kebenaran darimana saja
datangnya tetaplah dia akan menempati posisi benar adanya sekalipun
dimanupulasi, mungkin saja ia tertutupi tetapi pada akhirnya akan muncul
kembali cahayanya ke permukaan. Inilah yang disampaikan Qur‟an: Katakanlah
yang haq (benar) itu benar adanya dan bila kebenaran telah datang maka akan
sirnalah kebatilan”. Dalam kehidupan sering kita dapati banyak manusia selalu
berkecimpung dalam kemungkaran dan kemaksiatan, sehingga timbulah
pertanyaan apakah mereka itu belum mengetahui bahwa yang benar itu indah
dan terhormat, sementara apa yang mereka perbuat itu menyebabkan mereka
berada dalam lembah yang sulit dan hina? Tentu saja tidak demikian; karena
kebenaran dan kebatilan adalah merupakan “sejoli” kehidupan yang tak dapat
dipisahkan karena laksana sekeping mata uang. Orang berbuat mungkar bukan
berarti ia tak melihat kebajikan atau kebenaran, seperti halnya orang berbuat
kebajikan tentu saja dapat melihat kemungkaran. Masalahnya adalah terletak
pada sisimana yang ingin ia pilih; nah kembali pilihan memegang peranan.
Orang mampu memilih tentu ia sadar dan sehat akal jasmaninya sehingga iapun
tahu risikonya terhadap pilihan tersebut, tetapi ia enggan keluar dari pilihan
tersebut karena berbagai alasan, seperti: ekonomi, gengsi, takut, dsb. Bagi
manusia demikian tentu saja ia akan jatuh dari tangga kemuliaan tanpa ada
seorangpun yang dapat menolongnya, bahkan apabila ia telah “termabukan”
oleh pilihannya tersebut iapun sudah tidak akan mampu lagi untuk melihat
cahaya kebenaran. Mereka telah menyerah (Jawa: pasrah bongkokan) terhadap
perilaku buruknya karena segala sesuatu yang semakin buruk dari itu akan
terlihat “indah”. Penyerahan demikian tentu saja bukan yang saya maksud dalam
tulisan ini karena mereka tidak layak untuk berdiri tegak di atas anak tangga
95
kedua ini. Mereka bahkan hanya berada di dasar anak tangga pertama bahkan
hanya sebagai “debu” kehinaan.

Tuhan tidak menghendaki hal tersebut, karena manusia dicipta bukanlah


untuk hal tersebut, melainkan untuk “dibanggakan” Illlahi terhadap makhluk
lainnya yang Dia cipta. Untuk itulah Tuhan memberikan bimbingan bagaimana
seharusnya manusia menyerahkan hidupnya pada kebenaran yang standarnya
telah Ia tentukan dengan terang benderang sehingga siapapun dapat
melihatnya. Terdapat berbagai bimbingan Tuhan bagaimana cara kita menyerah
dan pada aturan apa saja kita menyerah; maka penjelasannya tentu saja berada
pada tingkatan-tingkatan kebenaran yang ditawarkannya. Apabila kebenaran
berskala ilmiah yang ditawarkan maka sudah sewajarnya siapapun mengikutinya
selama kebenaran lain yang lebih tinggi derajatnya belum diketahui atau belum
datang. Contoh sederhana adalah demikian: dahulu untuk membunuh kuman
(patogen) setelah ditemukannya antibiotika, para dokter selalu memberikan
terapi berupa penyuntikan antabiotika pada diri si pasien dan memang hasilnya
“ces pleng”. Namun dengan berkembangnya pengetahuan tentang daya
resistensi patogen terhadap antibiotika, maka pola terapi tersebut berubah, dari
yang bernuansa “selalu” menjadi “jika perlu”. Saat ini telah diikuti oleh para ahli
medis sebagai “penyerahan diri” terhadap kebenaran yang bersifat ilmiah
(karena dibuktikan dengan metode ilmiah). Dengan cara inilah para dokter
tersebut memberikan kesempatan pada tubuh si pasien agar supaya mampu
memunculkan ketahanan alami yang terdapat pada tubuhnya, dan hasilnya
sekalipun tidak mencapai tingkat kebenaran mutlak (artinya ada yang gagal),
namun peluang hidup relatif berhasil dengan menggembirakan.

Dalam hal menaiki tangga penyerahan yang bersifat keagamaan, maka


metodenya berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap kebenaran ilmiah atau
saintifik tersebut di atas. Metode yang digunakan disebut sebagai “action method
(metode diperbuat)”, dalam bahasa Jawa lebih mengena dengan istilah metode

96
laku, dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah sami‟na wa a‟thona (kami
dengar dan kami taat). Dengan metode ini maka setiap informasi kebenaran
yang sampai lewat sumber wahyu hendaknya pembuktiannya melewati diperbuat
dahulu, sehingga ia akan membentuk kharakter baru dari si pelaku, yang
kemudian akan berubah menjadi pola baru pula dari yang bersangkutan baik
menyangkut cara berfikir, berbuat, berprasangka, bermasyarakat dan
sebagainya. Dalam bahasa ilmiah hal ini disebut sebagai “multiplier effect
(pengaruh pelipatan)” yang akan merubah dinamika struktur jiwa dan raga
manusia yang bersangkutan. Ia akan hidup sehat, kreatif, dinamis, motivatif dan
inovatif, berfikir jauh kedepan, pemaaf, dapat dipercaya, dsb.

Disinilah arti sesungguhnya dari seorang yang telah menyerah, yakni ia


campakan kekerdilan dirinya pada kebenaran yang hakiki tanpa harus menengok
kepada orang lain karena semata-mata tersilaukan oleh kebenaran tersebut.
Seorang Umar bin Chatab mau menyerah sehingga menerima Islam yang dibawa
Muhammad adalah semata-mata karena terbukanya matahati nuraninya dikala
melihat kebenaran yang diwahyukan Alllah lewat surat Thaha sebagai berikut ini:
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi
susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah); yaitu
diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy. Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya
dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka
sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al
asmaulhusna (nama-nama yang baik). [20: 1-8].

Orang sering menuduh bahwa Umar itu keras (ekstrim) dan berperilaku
buruk pada masa sebelum menjadi muslim. Pertanyaannya adalah apakah
mungkin, ayat tersebut dapat terbaca oleh mereka yang hatinya kasar dan keras,

97
padahal firman Allah itu demikian santun dan lembut, dan zat yang demikian
Maha Tinggi mau mengenalkan dirinya. Disinilah kita sering salah menilai orang,
orang keras pada prinsip dianggapnya jahat sementara orang yang plin plan (tak
punya prinsip) dikiranya baik dan mulia. Sungguh orang yang baik adalah
mereka yang mau tunduk dan menyerah pada kebenaran apalagi bila datangnya
dari Tuhan sendiri serta mau memanfaatkan potensi dirinya untuk
kemasylahatan alam raya seisinya. Mungkin cerita di bawah yang saya ambil dari
buku Piano on the beach (Jim Dornan) ini dapat kita jadikan suritauladan tentang
siapakah sebenarnya diri kita.

Selama bertahun-tahun sebuah patung Budha duduk bersila dengan


khidmatnya di pusat kota Bangkok, Thailand. Patung yang terbuat dari semen
dan tingginya kurang lebih 2,43 meter ini keberadaannya kurang dihargai dan
dihormati, baik sebagai benda seni maupun sebagai simbol keagamaan. Para
pengunjung yang datang dari seluruh dunia kerap kali dengan seenaknya
meletakkan kaleng bekas minuman di atas patung itu. Tidak kurang pula yang
memanfaatkannya sebagai alas untuk meletakkan kamera pada saat mengganti
film. Pendeknya, sebagian besar pengunjung tidak terlalu peduli akan
keberadaan patung itu. Empat puluh (40) tahun yang lalu seorang pendeta
Budha membawa patung tua ini kebiaranya. Sewaktu dipindahkan patung
tersebut retak. Saat pecahan-pecahan patung itu berjatuhan, si pendeta melihat
sesuatu yang bercahaya di bawah batu betonnya. Dengan bantuan teman-
temannya dia menarik rangka betonnya. Ternyata, di dalamnya ia menemukan
sebongkah emas berukir terbesar di dunia. Ternyata patung tersebut bernilai
tinggi! Dan selamanya akan tetap seperti itu. Inilah contoh kasus dari sesuatu
yang bermakna yang luput dari perhatian. Keindahan yang tersembunyi dan
potensi yang tidak pernah tergali. Ini juga merupakan contoh aset yang tidak
pernah dimanfaatkan! Kita tahu siapa saja orang yang memiliki emas di dalam
dirinya. Hanya, emasnya masih tersembunyi di bawah penutup baja. Anda pun
tahu kalau emas itu berada dalam diri Anda. Pada dasarnya semua orang
98
memiliki potensi dan bakat yang unik yang diberikan oleh Tuhan. Namun, salah
satu hal yang sulit dimiliki dan dipertahankan dalam hidup ini adalah sikap
menghargai apa yang kita miliki dan siapa kita. Jutaan orang hidup di dunia ini
dengan memberikan citra buruk terhadap diri sendiri, karena mereka tidak
menghargai potensi yang ada dalam diri mereka. Mereka hanya terfokus pada
kegagalan yang tampak dari luar saja dan bukan melihat potensi-potensi yang
ada di dalam diri mereka. Mereka hanya membiarkan kemampuan luar biasa
mereka tertutup rangka keras berupa keragu-raguan dan perasaan tidak aman.
Karena itu, mereka segera menutupi rasa mindernya dengan pakaian model
terakhir agar tampak terkesan percaya diri dan berharga di mata orang lain.
Memberikan citra diri yang positif bukan dilakukan dengan cara menyenangkan
orang lain atau dengan mengikuti tren yang sedang populer, tetapi mengenal
dengan baik siapa diri Anda, kelebihan-kelebihan apa yang anda miliki. Anda
juga harus tahu apa yang Anda tuju dan apa yang Anda cari. Galilah kelebihan-
kelebihan dan bakat-bakat yang Anda miliki, tetapi Anda juga harus belajar
bagaimana menerima dan mengendalikan kelemahan-kelemahan Anda.
Memberikan citra diri yang positif jangan diartikan dengan mencari
kesempurnaan, tetapi berusahalah untuk memberikan hal yang terbaik dari diri
kita. Citra diri yang positif juga bukan berarti harus memenangkan persaingan
atau membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain. Yang benar adalah
Anda harus senantiasa memaksimalkan apa yang mampu Anda lakukan. Orang
yang memiliki citra diri positif yang sebenarnya-benarnya memiliki: Kemampuan
untuk melakukan keseimbangan; Kemampuan untuk menentukan tujuan;
Kemampuan untuk menerima secara wajar segala kesuksesan dan kegagalan;
Kepribadian yang kuat.

3. Tangga ketiga disebut tangga pengabdian

Istilah pengabdian tentu saja banyak corak ragamnya, tetapi yang dimaksud
dalam anak tangga ini mengabdi untuk menegakan kebenaran yang tata caranya

99
tentu saja tergantung pada skala atau ruang gerak pengabdian tersebut.
Seorang ilmuwan yang selama hidupnya seluruh potensi dirinya hanya untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sudah pasti akan mendapatkan
reward (pahala) dari pengabdiannya tersebut baik berupa sebutan kemuliaan
atau posisi duniawiahnya.

Manusia yang telah menyerah terhadap Tuhan bisa saja dia ilmuwan, hartawan,
politikus, agamawan, dsb; yang dengan itu ia sudah sewajarnya mau tunduk taat
dalam menjalankan dan mempromosikan kebenaran pengetahuan yang ada
didalam firmannya. Pengabdian kepada Tuhan tentu berbeda dengan kepada
makhluk (sesama manusia). Karena pengabdian kepada Tuhan dimaksudkan
untuk mengangkat derajat kemuliaan dan kemudahan hidupnya baik di dunia ini
maupun akheratnya karena telah tercerahkan akal-fikiran dan nuraninya.
Sementara pengabdian kepada makhluk cenderung untuk mendapatkan “upah
duniawiah” yang dapat membutakan matahatinya terhadap kebenaran.
Pengabdian kepada Tuhan banyak bentuk ragamnya dari yang berupa
penyembahan, pengamalan perintah dan larangan, penyampaian kebenaran
kepada khalayak, sampai kepada pembelaan dengan jiwa, raga, dan harta
terhadap nilai kebenarannya, dll. Penilaian Tuhan terhadap pengabdian hamba
kepadaNya bersifat pelipatan pangkat 10 sampai 700 berarti kepastian;
sementara penilaian sesama manusia atas dasar untung rugi antara yang
mengabdi dan yang diabdi, kalau untung ia mendapatkan reward bila rugi tentu
hanya kehampaan yang didapat.

Manusia yang telah berpijak pada anak tangga ke 2, tentu akan mudah untuk
memahami mengapa Tuhan “mengiming-iming” adanya reward atau pahala
tersebut yang tak lain karena memang itulah logika manusia yakni selalu
mengabdi atas dasar untung rugi. Bila hal ini tetap dipertahankan maka tentu ia
tak akan dapat naik ke anak tangga ke tiga ini. Oleh karena itu bentuk
pengabdiannya adalah bersifat “lepas” dari ikatan apapun, dan hanya semata-

100
mata karena ia senang berbuat dan malu bila tidak berbuat, orang demikian
disebut sebagai “mukhlish” atau manusia yang ikhlash. Ukurannya adalah hanya
pada hasil karyanya sekalipun tanpa namanya namun penuh dengan makna.
Pengabdian demikian sulit dipahami oleh manusia biasa atau kaum awam yang
memang motivasinya hanya duniawiah semata, tetapi bagi mereka yang
memang layak untuk berdiri tegak diatas anak tangga ketiga ini maka semuanya
akan mudah dilakukan, bukan untuk dirinya (vested interst) namun semata-mata
karena ia tahu bahwa yang diabdinya adalah zat yang layak dan tahu cara
menempatkan kelayakan tersebut. Pedoman tersebut bagi kaum beragama
(khususnya muslim) sangat gamblang sekali terukir dalam retorika hadist
dibawah.

Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala berfirman: Apabila
seorang hambaKu berdzikir (ingat) padaKu sendiri, maka Aku dzikir padanya
sendirian, dan apabila ia ingat (berdzikir) padaKu ditengah-tengah khalayak
ramai, niscaya Aku dzikir padanya ditengah-tengah kumpulan yang jauh lebih
baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu. (R. Atthabarani).

Diingat Tuhan dan ditempatkan pada posisi kemulyaan itulah yang menjadi
tujuan pengabdiannya karena tidak ada kenikmatan, keamanan, kesejahteraan,
kemudahan, dan lain sebagainya dalam kehidupan ini baik duniawiah apalagi
akheratnya kecuali bila kita telah mampu menapaki atau beridiri di atas anak
tangga demikian.

4. Tangga keempat disebut tangga tawakal

Tawakal atau penyerahan diri memang mudah dikatakan namun sungguh


mustahil terjadi bila anak tangga ketiga saja tidak mampu dilewati. Karena
penjabaran tawakal adalah amat luas, yang didalamnya termasuk adanya ikhtiar
untuk mewujudkan cita-cita mulia. Orang yang sudah berada pada anak tangga
tawakal akan nampak pada dinamika kreativitas, motivasi, dan inovasinya dalam

101
berbuat. Ia tidak akan pernah mengalami titik jenuh atau masa bodoh dalam
merespon perkembangan dinamika sosial; sehingga perlu adanya prasyarat
untuk menjadi seorang bertawakal yakni, cerdik dan jujur. Kecerdikan diperlukan
untuk bermanuver atau mencari jalan keluar bila ada kesulitan, sedangkan
kejujuran diperlukan untuk mau terbuka bila tidak mempunyai kemampuan
sehingga memberi kesempatan orang lain yang lebih mampu untuk
meneruskannya.

Saya punya cerita yang menarik dalam tawakal ini dari pengalaman hidup yang
benar terjadi.

Ketika saya berhaji pertama kalinya, yakni tahun 1977 seperti tersebut di atas,
saya akan melakukan tawaf sunah di ka‟bah, begitu masuk masjidil Haram saya
dipanggil penjaga keamanan kabah untuk melepaskan tustel saya padanya.
Tanpa pikiran macam-macam saya berikan dia, yang nanti saya ambil setelah
tawaf. Masalahnya justru begitu selesai tawaf orang tersebut tidak ada ditempat,
dan saya tidak tahu kemana perginya. Maka tawakal pertama yang saya lakukan
adalah shalat sunah untuk mendapatkan petunjuk-Nya kemana saya harus
mencari, seraya saya berdoa setelahnya: Tuhanku! tustel tersebut hanyalah
benda biasa, namun punya arti penting bagiku yakni untuk sarana riset tentang
makhlukmu, maka tunjukilah kemana aku mencarinya! Selesai itu tawakal kedua
saya lakukan, yakni dengan mengitari serambi masjid dari ruang ke ruang; nah
tiba-tiba di suatu ruang kosong saya melihat tustel Praktica saya digeletakan di
atas bangku ubin begitu saja, tentu saja saya masuki dan saya ambil. Tuhan
mengabulkan doa saya langsung setelah bertawakal. Seorang yang bertawakal
pada dasarnya melihat segala sesuatu yang menyangkut kehidupan duniawiah
ini datangnya hanya dari Allah semata, dengan kata lain orang yang
menyampingkan fungsi atau peranan Tuhan dalam kehidupan tidak akan
mungkin mampu menaiki tangga tawakal ini. Bagi orang yang telah ada pada
anak tangga ini, sungguh sederhana hidup ini karena semua taqdir pada

102
dasarnya telah menjadi ketetapan Tuhan, kita hanya menjalani taqdir itu dengan
tetap berprasangka baik terhadap kemuliaan dan kebijakan Tuhan. Agama
sendiri telah menuntun manusia bahwa taqdir Allah telah terukir pada tiga hal
bagi manusia, yakni: umur hidup, rezeki, dan pasangan hidup (jodoh). Dalam
masalah umur kita harus bertawakal melalui pemeliharaan diri agar supaya
angka harapan hidup meningkat dengan memperlambat proses penuaan (ageing
process), yakni melalui pola hidup yang sehat, pola batin yang bersih, makanan
yang halal dan bergizi, dan sebagainya. Dirahasiakannya umur seseorang
merupakan berkah agar ia mau berbuat banyak dan punya harapan hari esok,
sementara bila dibuka tentu manusia akan stress dan menjadi putus-asa
(hopeless). Memang dalam riwayat kenabian, pernah ada seorang sahabat
Muhammad s.a.w. bercerita pada beliau, bahwa ia diberi pengetahuan tentang
umur seseorang dan penyebab kematiannya. Mendengar hal ini nabi berbisik:
Tolong rahasiakan dan jangan diceritakan kepada siapapun. Yah! Itu rahasia
yang dibocorkan Allah, namun tetap harus dirahasiakan; yang tersirat dari
peristiwa itu bahwa seseorang yang berbuat kebajikan tentu akan mendapatkan
“bonus” pahala di dunia ini.

Dalam hal rezeki, seseorang dikatakan tawakal tentu melalui proses usaha
bagaimana suatu rezeki tersebut seharusnya diambil. Makanan di piringpun tidak
akan menjadi rezeki baginya bila tidak diambil tangannya dan dimasukan ke
mulutnya. Konon masalah rezeki ini banyak manusia salah pengertian yang
mendasar mengenai bentuk ikhtiar atau usaha untuk mencari rezeki dengan
tawakal. Karena rezeki ini berada dalam taqdir Illahi, maka rumus yang
digunakan dalam mendapatkannya adalah melalui pintu illahi pula. Rezeki
menurut Illahi adalah sesuatu yang sudah dipaket sepertinya umur dan paket
tersebut telah ditempatkan Allah disuatu tempat yang dirahasiakan pula, oleh
karena itu banyak manusia menjadi frustasi karena sulitnya mendapatkan rezeki
tersebut sekalipun telah “membanting tulang”. Jawabnya amat sederhana, yakni
tanyalah kepada yang menyimpannya dimana rezeki itu ditaroh, sehingga kita
103
tinggal mengambilnya. Tuhan menciptakan makhluk hidup dan telah
menentukan rezekinya. Dan hanya Dialah yang tahu dimana rezeki tersebut
disimpan. Informasi wahyu tersebut adalah peluang kemudahan seseorang untuk
mendapatkannya, oleh karena itu bertawakal dalam mendapatkan rezeki adalah
melalui dialogis intensif dengan yang menyimpannya dan setelah tahu
bertawakalah untuk mengambilnya.

Tawakal terhadap jodoh kretariumnya sudah saya sebutkan dalam bab


terdahulu, maka tawakal berikutnya adalah dialogis intensif dengan yang
bersangkutan, keluarganya dan keluarga kita, serta berakhir dengan pernikahan.
Demikian pula tawakal untuk mempertahankan hasil perjodohan tersebut perlu
dilakukan melalui bangunan keluarga sakinah seperti dalam bab yang lalu.
Semua paduan softwarenya tentang hal ini telah dengan detail disampaikan
melalui informasi wahyu dan percontohan nabinya, maka hanya mereka yang
bisa memanfaatkannya dengan benar akan mendapatkan kebahagiaan dari
taqdir yang telah ditentukan tadi.

5. Tangga kelima disebut tangga penghayatan

Seseorang dikatakan mempunyai tingkat penghayatan adalah apabila dia telah


paham benar antara kulit dan isi, sehingga dia semakin mencintainya dan
menjadi sedih dan gelisah dengan kehilangannya. Mari kita bertanya pada
seorang petani, mengapa ia harus membajak dan menggaru sawahnya pada
saat akan tanam padi. Tentu saja jawabnya adalah untuk menggemburkan tanah
dan menghaluskan partikelnya agar supaya akar semai padi mudah berkembang.
Dengan penghayatan itulah pak tani mau bersusah payah dan dilakukannya
dalam seumur hidupnya. Yah hanya mereka yang telah berdiri di atas tangga
penghayatanlah yang mampu mengerjakan atau mengamalkan segala bentuk
kebajikan karena kebajikan yang diperbuat pada prinsipnya menunjukan derajat
kemuliaannya.

104
Maka apabila norma ini telah melekat pada insani manusia ialah yang layak
berdiri di atas tangga kelima ini, seperti halnya cerita tasawuh yang diceritakan
berikut.

Junaid (ahli sufi dan ibadah) punya seorang murid yang lebih dicintai.
Para murid lain menjadi iri. Hal ini diketahui oleh Junaid melalui intuisinya. "la
lebih tinggi dari kalian dalam hal prilaku dan pengetahuan," kata Junaid kepada
murid-muridnya. "Itulah yang kuketahui. Tidak percaya, marilah kita buktikan,
agar kalian menyadarinya." Lalu, Junaid memerintahkan semua murid agar diberi
seekor burung, dan masing-masing diperintah untuk menyembelihnya dengan
syarat tidak terlihat oleh siapapun. Setelah itu mereka diharapkan kembali
sembari membawa burung yang disembelihnya. Semua murid tersebut pergi dan
segera melaksanakan perintah gurunya, kecuali murid kesayangannya.
Semuanya membawa seekor burungnya dalam keadaan telah disembelih dan
mati. Sementara, murid kesayangannya masih hidup burungnya. "Kenapa
engkau tidak menyembelihnya?" tanya Junaid kepada murid kesayangan itu.
“Karena guru berkata bahwa aku harus menyembelihnya ditempat yang tidak
terlihat oleh siapapun," jawab murid tersebut."Ke mana pun makhluk pergi, Allah
selalu melihatnya." "Sekarang, kalian tahu sendiri tingkat pengetahuannya,"
sambung Junaid. "Silakan bandingkan dengan pengetahuan kalian." Kemudian
semua murid yang iri hati tersebut mohon ampun kepada Allah atas
kekeliruannya.

Tuhan telah mampu dihayati sebagai zat yang wujud dan dhohir dalam diri murid
yang satu tersebut, dan itulah essensi ajaran kebenaran hakiki bagsimana Tuhan
yang sulit tersentuh indrawi jasmani dapat dilihat dengan mata rohani. Kepada
orang demikian dunia seisinya menjadi aman dan damai karena ia telah
menghayati kehadiran zat yang Maha Damai.

105
6. Tangga keenam disebut tangga penyatuan

Harga dari suatu komoditas material adalah adanya kesatuan antara bentuk,
warna, dan rasa yang sudah terpaket secara lengket dan alamiah. Orang tentu
tidak akan mencari “semangka berbuah sirih” karena memang tak mungkin ada
di bumi ini; rasa semangka melekat dengan bentuk buah dan warnanya, kalau
toh bergeser hanya variasinya namun tak menghilangkan essensi buah
semangka tersebut. Kalau kita menolak taqdir buah-buahan tersebut maka akan
mendapatkan kesulitan pilihan lain yang serasi; sifat-sifat itulah yang telah
disatukan oleh Tuhan dalam tubuh makhluk hidup dalam bentuk gen.

Demikian pula antara kholik dengan makhluk seharusnya menjadi suatu


kesatuan yang utuh sehingga si makhluk akan terjaga aman dalam kediriannya
karena sang kholik tidak pernah lengah. Dalam konteks ini saya mengajak
pembaca untuk berfikir “dewasa” agar supaya memahami makna sesungguhnya
dari anak tangga ke enam tersebut. Dalam kelas Filsafat di S3, saya pernah
bertanya demikian: Tolong, anda lihat dengan benar, apakah saya ini ada atau
tiada; dan dijawab dengan koor: Ada! Saya tersenyum, mahasiswa penasaran.
Kemudian saya letakan kacamata di atas meja seraya bertanya: Kacamata ini
ada atau tiada? Dan jawabannya tetap sama. Ada! Kemudian saya ambil dan
sembunyikan di dalam kantong dan bertanya: Apakah sekarang kacamata ada?
Jawabnya tentu saja: Tiada! Itulah jawaban sesungguhnya bahwa suatu benda
yang diadakan pada hakekatnya adalah tiada, ia menjadi ada karena diadakan,
lalu siapa yang ada, tentu saja yang mengadakan; yakni, saya (Ika Rochdjatun)
dalam kasus kaca mata tadi. Lalu bagaimana dengan manusia, alam raya, bumi
seisinya, dll, apakah mereka itu ada? Kalau kita mau mengikuti nalar tersebut di
atas maka harus menjawab jujur adalah tiada sekalipun berhadapan dengan
fakta yang ada. Inilah salah satu logika untuk mampu berdiri di atas tangga ke
enam yakni penyatuan, tentu saja logika lainnya masih banyak sebanyak rasa,
bentuk dan warna kehidupan duniawiah ini. Pada tingkatan ini ilmuwan sulit

106
untuk menerima, namun filosof dan ahli kerohanian akan lebih mudah
menerimanya.

Kemampuan perwujudan Tuhan agar mampu menyatu dengan makhluknya tentu


saja bukan dalam pengertian fisik karena memang bukan tempatnya. Bagaimana
bisa menyatu dengan fisik jika manusia tersebut berada dalam dimensi ruang
dan waktu (dan tak mampu keluar darinya), sementara Tuhan adalah pencipta
keduanya. Maka perwujudan penyatuan adalah bersifat kerohanian atau jiwa
yang sulit dinalar tapi faktual ada. Ayat Qur‟an dan Hadist Qudsi tersebut di
bawah menjadi bukti adanya indikasi penyatuan makhluk dan kholiknya.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya
(50.16].

Anas dan Abuhurairah r.a. keduanya berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala
berfirman: Jika seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku
mendekatinya sehasta dan jika ia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat
padanya sedepa, dan jika ia datang kepadaKu berjalan, Aku akan datang
kepadanya berlari. (R. Bukhari, At-tabarani meriwayatkan dari Salman r.a.).

7. Tangga ketujuh disebut dengan tangga kefanaan

Sungguh berat bagi saya untuk menerangkan anak tangga ketujuh ini karena
sudah bersinggungan langsung dengan essensi Tuhan itu sendiri sehingga tidak
ada satu kata apalagi kalimat yang bisa menerangkan secara gamblang. Untuk
itu saya hanya bisa mensitir ayat dalam Qur‟an yakni sebagai berikut:

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa (tiada). Dan tetap kekal (baqa‟)
Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” [55: 26-27].

Bukankah ruang, waktu, dan seluruh materi yang mengandung energi di


alam ini selalu datang dan hilang silih berganti? Bukankan bintang yang nampak
107
di langit tersebut, justru sebagian besar telah binasa, hilang entah kemana,
sementara yang nampak berkilau tersebut hanyalah pancaranan cahayanya yang
baru sampai kepada kita setelah menempuh milyaran tahun cahaya! Apalah
artinya umur manusia yang terputarkan oleh rotasi bumi dengan kecepatan yang
rendah, dibandingkan perjalanan cahaya dengan kecepatan tinggi tersebut (300
ribu km per detik). Berhitung dengan penampakan kecepatan cahaya ini saja
manusia sudah menjadi makhluk yang tiada, demikian pula dengan alam raya
tersebut, yang hal ini telah dikemukakan melalui teori relativitas Einstain atau
kuwantum Planck. Muhammad s.a.w menteladaninya dengan peristiwa isro‟ dan
mi‟raj yang menakjubkan tersebut, telah menunjukan bukti akan ketiadaan
makhluk manakala “kehadiran khaliqnya”.

Waktu menjadi fana; bila seseorang bergerak dengan kecepatan 1000


km/jam untuk menempuh jarak 1000 km, maka tentu waktu 1 jam ia gunakan;
tetapi bila ia bergerak dengan kecepatan cahaya tersebut di atas maka ia akan
menempuhnya hanya dalam waktu 0,003 detik, dengan demikian waktu 1 jam
menjadi fana terhadap waktu 0,003 detik. Demikian pula waktu 0,003 detik akan
semakin fana bila berhadapan dengan waktu berkecepatan gejala “black hole”,
yakni lobang maha besar yang gelap namun benda langit berkecepatan
cahayapun akan lenyap ditelannya. Lalu bagaimana dengan Tuhan pencipta
kecepatan dan materi tersebut apakah masih ada yang tersisa dari kehadiran
makhluk dalam jagad raya ini?

Teori kuwantum Planck salah satunya menyebutkan tentang apa yang disebut
dengan “The Uncertainty Principle”, yakni prinsip mengenai segala sesuatu yang tidak
menentu: position/momentum and time/energy (including the rest mass energy mc2), it
is impossible to have a precisely determined value of each member of the pair at the
same time. Dengan memahami teori tersebut maka mustahilah seseorang akan
mendapatkan suatu wujud keberadaan benda tertentu yang sama dalam suatu waktu
apalagi bila waktunya telah berubah maka berubah pula benda tersebut hakekatnya.

108
Mungkin inilah yang dipahami oleh Ibrahim manakala mencari keberadaan tuhannya,
yang dengan metode ekplorasinya mempelajari planet (bintang, bulan dan matahari); ia
sampai suatu kesimpulan yang cerdik, yakni mana mungkin tuhan itu tidak menentu
yang bila demikian sama dengan ciptaannya yang bersifat tidak menentu. Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:"Saya tidak suka kepada
yang tenggelam" [6.76]. Ya Ibrahim tidak suka kepada sesuatu yang tidak menentu,
ia mencari zat yang pasti sehingga kehadirannya menghilangkan keraguannya,
keabadiannya menjadikan segala bentuk mengalami kefanaan. Di tangga demikianlah
manusia akan menempati posisi utamanya sebagai makhluk yang tercerahkan oleh
yang baqa‟, sehingga tindak tanduknya hanya semata untuk mencari keabadian dan
bukan kefanaan. Sulit memang, tetapi dengan keabadian-Nya tersebut maka segala
yang nampak mustahil menjadi faktual, dan perjalanan ketuhanan demikianlah yang
hendaknya menjadi cita-cita insani manusia.

Banyak orang merasa tahu, sekalipun ia tak tahu apa yang mesti tahu
Inilah awal datangnya awan kegelapan, sebelum datangnya badai kehinaan
Sayangnya sadar selalu datang terlambat, dikala daya tak cukup kuat
Tinggalah takdir penentu nasib, penderitaan mesti ditempuh

109
BAB V

MAKNA KEHIDUPAN

Dari apa yang ditulis didepan maka perlu kiranya disampaikan beberapa hal yang
dapat dijadikan pegangan atau rujukan pengalaman hidup dalam mencari Tuhan.

Paradigma ilmiah memang sangatlah menguntungkan dalam mempelajari kaidah


hukum alam dan interaksinya sehingga manusia dapat memanfaatkan potensi alam
untuk kesejahteraan hidupnya. Namun paradigma tersebut menjadi “kerdil” untuk
mengungkap eksistensi Tuhan, karena ia telah menolak “kehadiran-Nya” melalui
rumusan alam raya seisinya dengan keaneka ragaman bentuk, warna, rasa, isi, guna,
ukuran, dan sebagainya. Harga diri demikian telah terbangun oleh mereka yang
memang dari awalnya terfrustasikan oleh ketidak mampuannya untuk mengenal Tuhan,
sehingga ia campakan dan mewujudkan tuhan dalam paradigma saintifik tersebut. Para
ilmuwan telah didorong untuk menggantikan kata yang kurang senonoh “diperosokan”
kedalam lubang kebodohan yang amat dalam untuk memaknai sesuatu kejadian atau
kehadiran benda dan materi. Intelektual ilmuwan ditantang oleh sumber wahyu untuk
berfikir objektif dan mau mengenal Tuhannya melalui stimulus berikut:

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang


menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” [56.63-64].

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
(makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini
pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi
dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya
semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang

110
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir [13.2-4].

Sungguh sulit diterima akal sehat, bahwa kaedah keilmuan (scientific method)
yang disadari para ilmuwan mempunyai keterbatasan dan sifat kebenaran yang
didapatnya relatif, tetapi ia tidak mau membuka cakrawala berfikir yang lebih luas dan
maju, yakni merintis dirinya untuk mengenal Tuhannya sebagaimana tuntunan
sumber wahyu di atas. Memang terdapat kontradiktif faktual dalam kehidupan bahwa
mereka yang “katanya” telah mengenal tuhan karena telah banyak mempelajari “kitab-
kitab keagamaan”, tetapi dalam kehidupan duniawiahnya mereka memprihatinkan.
Kebodohan, kelaparan, kerusuhan sosial, kemiskinan, dan sebagainya justru melanda
bangsa-bangsa yang menyangka dirinya telah bertuhan. Mengapa hal demikian terjadi,
apakah memang peranan aturan Tuhan tidak dioperasikan dalam kehidupan sosialnya
ataukan adanya paham yang salah “bahwa kehidupan dunia ini bukan tujuan utama
orang bertuhan”?

Dari hasil pengamatan dan pengalaman penulis terdapat beberapa hal yang
sudah terstruktur dalam pola pemikiran masyarakat bertuhan yang justru kontra
produktif dengan maksud Tuhan memberi software agama dan menciptakan manusia.
Khususnya pada masyarakat muslim yang saat ini telah mencapai hampir 1,6 milyar
orang ternyata telah terjadi pendangkalan pemahaman ajarannya melalui berbagai
sekte atau aliran dan analisis dalil Al-Qur‟an dan Hadist yang sempit. Bagaimana tidak,
bahwa dalam Al-Qur‟an Tuhan itu amat dekat dan mendengar apa yang menjadi bisikan
hati di dalam dada, tetapi mengapa umat Islam berteriak-teriak menggunakan loud
speaker bervolume tinggi di masjid-masjid, manakala berdo‟a atau memuji-Nya.
Bagaimana mungkin mendakwahkan hidup sederhana, bersih dari najis jasmani-rohani,
banyak tafakur dari pada tertawa, dan sebagainya; kemudian berdalih demi siar agama

111
ia menyanyi, menari, dan dikelilingi sumber maksiat wanita cantik-cantik disekitarnya di
atas panggung dengan hingar bingarnya suara musik dan tepuk tangan pemujanya.
Bagaimana mungkin dakwah berkembang sesuai dengan peruntukannya yakni
sejahteraan masyarakat, sementara umat Islam untuk membangun masjid saja masih
meminta-minta di tepi jalan. Bagaimana mungkin, manusia memahami isi ajaran
agamanya, sementara kitab sucinya hanya sebagai bacaan untuk orang mati dan
dikhatamkan hanya “semalam” dengan dalih telah mendapatkan pahala dari bacaannya.
Padahala pahala atau reward seharusnya baru ia dapatkan setelah konsepsi yang ada
didalamnya diamalkan, buah amalan itulah yang disebut pahala. Bagaimana mungkin
seseorang mendapatkan khikmah dari perjuangan nabi dan para shabatnya bila tarech
kenabian hanya untuk pengkultusan terhadap diri Muhammad, sahabat beliau, keluarga
beliau, para mujahid (misal ahlul Badr), dan sebagainya; yang seharusnya dianalisis
dari berbagai segi keilmuan seperti: politik, sosial, ekonomi, tatanegara, hukum, dan
lainnya. Yah! Masih banyak lagi ke bagaimana mungkinan yang dapat kita rasakan
disekitar kita untuk diperbaiki agar umat ini lebih kenal dengan ilmu Tuhannya,
maksud-Nya, dan keberadaan-Nya.

Mari kita ikuti alur taqdir illahi dengan penuh rasa tawakal dan penyerahan total
dengan mematuhi aturan yang ada didalamnya dan mengurangi tingkat kesalahan.

1. Bahwa Tuhan sebenarnya telah “mewujudkan dirinya” dalam bentuk sifat dan
perbuatan di alam raya ini yang dapat kita akses atau pelajari agar supaya kita
berada dalam “kedekatannya”. Pengetahuan seseorang untuk memaknai setiap
bentuk dan kejadian dalam perjalanan hidup akan sangat membantu dalam
“membuka” tabir atau tirai “kerahasiaan-Nya”.
2. Jauh-dekatnya Tuhan bukan ditentukan oleh ruang dan waktu melainkan atas
dasar “prasangka” dan tindak tanduk seseorang dalam dinamika kehidupan
kesehariannya. Elastisitas jarak sangat ditentukan oleh yang bersangkutan sesuai
dengan kemampuannya masing-masing dalam menapaki tangga-tangga naik
kerohiannya.

112
3. Suka dan duka pada dasarnya adalah ketiadaan semata yang dapat dikelola
dengan baik berdasarkan pola pikir dan pola rasa. Perjalanan hidup adalah
merupakan laboratorium lapangan bagi setiap orang untuk memanfaatkannya
agar supaya dapat mengelola hal tersebut.
4. Waktu adalah kesempatan untuk bertanam amal kebajikan, yang dengannyalah
pula seseorang menantikan saatnya panen buah kebajikan.
5. Umat Islam telah termarginalkan oleh pemahaman keIslaman yang semu
sehingga menjadi kontra produktif dan bersifat reaktif, sungguh amat sulit untuk
merubah paradigma baru kearah yang lebih produktif, kreatif, inovatif, dan
menjadi motivator bagi terwujudnya peradaban manusia baru.
6. Islam dapat hilang dari peradaban manusia sekalipun Al-Qur‟an sulit dipalsukan,
namun ia hanya akan tersimpan di rak-rak perpustakaan; sebagaimana
hilangnya agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani. Negara-negara
Balkan yang dahulunya menjadikan Islam sebagai rujukan hidup, saat ini telah
menjadi masyarakat atheis sekuler, itulah contoh konkrit di jaman moderen ini
yang harus menjadi bahan pemikiran dan keprihatinan.
7. Manusia tanpa mengenal Tuhan akan laksana planet tanpa matahari, ia akan
dingin, beku, mati, dan tidak menarik karena sulitnya melihat potensi yang ada.
Setinggi apapun posisi yang bersangkutan didalam masyarakatnya, hanyalah
laksana tumpukan mayat beku yang berjalan, essensi manusianya telah hilang,
berupa kesantunan, kehormatan, penyayang, cerdik, keadilan, kebijakan, dan
sebagainya.

Banyak orang mencari jalan ke surga, berujung di neraka


Bukanlah diri tak tahu diciri, namun langkah tak tahan goda
Padahal itulah tangga menuju suka
Mengapa jatuh dihimpit duka

113

Anda mungkin juga menyukai