Mencari Tuhan
Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata, penguasa dan pemilik alam raya
seisinya, yang dengan-Nyalah penulis dapat menuangkan pemikiran dan isi hati dalam
buku yang saat ini berada dalam genggaman para pembaca yang budiman. Buku yang
diberi judul “Sang Profesor Mencari Tuhan” ini, adalah sebuah autobiografi atau riwayat
perjalanan hidup penulis dari masa kanak-kanak sampai dengan kakek-kakek, yang
didalamnya penuh dengan dinamika suka-duka, serta “pemberontakan” intelektual dan
batin dalam memaknai artinya sebuah kehidupan.
Telah banyak autobiografi sejenis yang dapat para pembaca pelajari baik di
perpustakaan maupun di toko-toko buku, yang ditulis oleh orang-orang terkemuka dan
mempunyai pengalaman sejarah panjang, sehingga autobigrafi yang penulis sajikan ini
tidaklah sepadan dengan pengalaman hidup mereka. Namun demikian, dalam buku ini
dikemukakan sisi lain dari sebuah autobiografi, bukan penonjolan peranan penulis
dalam merubah sejarah, tetapi lebih banyak pada pengalaman bagaimana
memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien dalam menjalani proses penuaan
(ageing process).
Disadari atau tidak, bahwasanya semenjak manusia dilahirkan oleh sang ibu,
maka fungsi-fungsi biologis dan kejiwaan manusia terus berjalan untuk mencapai fase
penyempurnaan. Dalam proses inilah peranan kedua orang tua dan lingkungan
sekitarnya sangat besar artinya dalam membentuk penampilan biologis dan watak atau
karakter insaninya kelak manakala seseorang tersebut diperlukan peranan sosialnya.
Bimbingan atau lingkungan yang kurang kondusif atau menguntungkan untuk
berkembangnya kedua unsur tersebut (misal: kurang gizi dan pendidikan) akan
menyebabkan munculnya manusia “kerdil” baik dalam arti biologis maupun jiwanya;
dan sebaliknya dalam kondisi yang menguntungkan tentu saja hasilnya adalah manusia
“besar” dalam arti keduanya.
Liku-liku kehidupan inilah yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca yang
mulia sebagai pesan pendidikan moral dan intelektual sesuai dengan pengalaman
penulis sendiri tentunya. Penulis yakin bahwa para pembaca tentu punya pengalaman
yang jauh lebih berharga dibanding segala sesuatu yang ditulis dalam buku ini, tentu
saja hal tersebut merupakan investasi (tabungan) hari tua pembaca untuk
menikmatinya, dan penulis sangat mengharapkan mendapatkan “secercah percikan”
dari karunia tersebut sebagai bahan perbaikan diri untuk mengisi sisa hidup yang masih
tercecer. Dengan cara demikianlah isi buku yang berisi komentar-komentar penulis
2
yang tidak sesuai dengan kenyataan atau paradigma kebenaran tertentu, perlu ditinjau
ulang, sementara mengenai pahit-getirnya kehidupan penulis biarlah tertulis apa
adanya, karena memang demikian keadaannya.
Dalam buku ini pembaca disajikan sebuah paparan tentang rentang waktu
kehidupan yang dijalani penulis sejak dari masa kanak-kanak sampai menjadi seorang
kakek-kakek sebagai sebuah autobiografi (riwayat hidup pribadi) tentunya. Tujuan
penulis dari paparan tersebut adalah sebagai landasan alamiah dari perjalanan “anak
manusia” dalam mencari dimanakan kebenaran yang hakiki itu? Karena hanya itulah
yang dapat menyelamatkan diri dan masyarakat manusia untuk waktu yang lama,
selama hal tersebut masih utuh dipertahankan, dan akan rontok dengan dibuangnya
nilai-nilai tersebut.
Selain kisah hidup yang dipaparkan secara kritis oleh penulis, yang tentu saja
menjadi guru terbaik bagi penulis untuk menaiki tangga yang lebih tinggi lagi dalam
dimensi kehidupan ini; maka harapannya adalah dapat menjadi referensi orang lain
dalam mengisi riwayat hidupnya yang tersisa sehingga lebih mempunyai nilai guna.
Semoga Allah ridho dan memberikan ampunan atas kealfaan riwayat buruk yang
telah dijalani penulis, tidak lupa nasehat pembaca akan sangat membantu penulis
dalam memperbaiki citra dan cita yang tersisa ini.
Sebagai pengantar terhadap isi buku ini penulis ingin menyampaikan sebuah
pantun nasehat yang selama ini digunakan sebagai pembimbing kerohanian penulis
sendiri:
Akhirnya penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tulisan ini tentu
tidaklah ada artinya dibandingkan dengan luas dan dalamnya samudra kehidupan
sesungguhnya, untuk itulah penulis masih terus belajar sekalipun “onggokan” tulang
belulang ini telah tua renta (dalam akhir umur kenabian Muhammad s.a.w = 63 tahun);
dan semoga pembaca dapat bersabar dalam menelaah uraian dalam buku ini.
Wassalam,
Malang, 2012
Hormat penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar i
Bab I Pengetahuan membangun peradaban 1
Bab II Derita membawa nikmat 13
Bab III Pencarian ketuhanan 48
Bab IV Berkenalan dengan Tuhan 77
Bab V Makna kehidupan 105
4
BAB I
Pencarian akan adanya Tuhan telah lama dilakukan oleh manusia sejak manusia
tersebut mengisi permukaan bumi dengan berbagai cara sesuai pada perkembangan
pemikiran dan adanya petunjuk wahyu dari “langit” yang disampaikan oleh para
nabinya masing-masing. Pencarian melalui pemikiran (filosofi), pencerahan (ilham)
banyak terjadi pada tokoh-tokoh besar yang kemudian berkembang menjadi agama
bumi (budaya), sedangkan pemberitaan tentang Tuhan melalui sumber wahyu disebut
sebagai agama langit (samawi). Kedua pembahasannya dikemukakan dalam bab
berikutnya.
Dalam sejarah perkembangan peradaban, terlihat bahwa maju atau mundurnya
suatu peradaban dalam suatu bangsa tertentu sangat ditentukan oleh ada atau tidak
adanya tokoh yang menjadi pemicu dan pemacu peradaban tersebut. Kemunculan
tokoh tadi seringkali membawa pemikiran “baru” yang berbeda dengan adat kebiasaan
yang sudah dianut dari generasi ke generasi pada masyarakat tersebut. Munculnya
tokoh Lao Tse (570-470 SM) di China telah membawa angin segar bagi peradaban China
yang mulai memudar karena kehilangan nilai moral dan etika oleh perilaku para raja-
raja dan bangsawannya yang mewarnai kehidupan bangsa China. Ajaran tersebut terus
dikembangankan oleh pengikutnya seorang Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) yang
memodifikasi ajaranya sesuai dengan zamannya. Baik ajaran Lao tse (Taoisme)
maupun Kong Hu Chu (Kongfutsu), saat ini berkembang menjadi agama budaya
5
dengan nama Taoisme dan Konfutsuisme. Peninggalan peradaban China yang
spektakuler adalah tembok raksasa (the great wall), seperti terlihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. The great wall di China sepanjang 7300 km. Peninggalan dinasti Zhou (770
SM – 476 SM) dan Ming (1368 – 1644), sebagai benteng pertahanan
terhadap suku bangsa di Utara ( seperti Hun, Mongol, Turki, dan lainnya).
10
Gambar 1.2. Sisa peninggalan Yunani berupa sebuah kuil Parthenon: Adalah kuil dewi
Athena, yang dibangun pada pada abad ke 5 di Akropolis. Bangunan ini
adalah bangunan paling penting yang berhasil selamat di masa Yunani
Klasik, dan dianggap sebagai puncak perkembangan budaya Klasik
Yunani.
Dengan uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa adalah sangat riskan apabila
manusia hidup di atas bumi ini untuk membangun sebuah masyarakat tanpa adanya
nilai yang menjadi pedomannya karena dengan demikian mereka akan menjadi mangsa
dan pemangsa satu sama lain. Kalau hal ini telah menjadi warna peradabannya, maka
sulit sekali untuk membangun masa depan, manusia telah kehilangan harapan, padahal
harapan itulah yang menjadi motor dinamika bermasyarakat. Munculnya peradaban
moderen saat ini dengan berpatokan kepada “Sains”, dikenal dengan istilah lain ilmu
pengetahuan; secara fisik atau material memang sangat membanggakan dan
menggairahkan. Bagaimana tidak menyenangkan, karena kita dapat melihat di malam
hari dengan penerangan listrik yang tinggal tekan tombol dan menggeser obor atau
lampu tempel dan lilin. Demikian pula dengan air kran yang sudah masuk ke dalam
kamar tidur sehingga tidak perlu ke sumur untuk menimba air; perjalanan ribuan
kilometer jauhnya yang dahulu ditempuh berbulan-bulan dengan berkuda, kini hanya
dalam ukuran jam karena adanya transportasi pesawat terbang; dan demikian
seterusnya pada teknologi lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah peradaban yang kita bangun dari fondasi sains
tersebut cukup ampuh atau resisten terhadap perkembangan dinamika umat manusia,
baik yang menyangkut aspek kebutuhan maupun pemikiran? Kalau hal ini tidak kita
pikirkan dengan serius, maka sama artinya kitapun hidup dalam peradaban coba-coba
(trial and error), yang tentu saja akan berdampak pada kepunahan bangsa dan
peradaban itu sendiri seperti halnya kasus-kasus peradaban lainnya yang sekarang
12
tinggal kenangan. Pertanyaan inilah sebenarnya yang menjadi inti sari dari tulisan
dalam buku ini, dan menjadi tanggungjawab para ilmuwan tentunya untuk
mempertahankan eksistensi peradaban manusia seutuhnya sehingga harus terus
mencari jawaban tentang kebenaran itu sendiri. Sementara itu paradigma ilmiah
mengakui tentang relativitas kebenarannya. Apakah kita pertaruhkan umat manusia ini
di atas landasan yang rapuh atau relatif tersebut, dan hanya berorientasi kepada
kepentingan pragmatisme dan sesaat belaka?
13
rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa):
Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" [2: 285].
Masalah yang muncul saat ini adalah bagaimana semua nilai dan aturan yang
telah termuat dalam perkembangan peradaban manusia, baik melalui jalur budaya
maupun sumber wahyu dapat beradaptasi atau terjadi integrasi dengan perkembangan
peradaban yang dibangun atas dasar sains tersebut. Sekulerisasi terhadap sains yang
berarti melepaskan pencarian kebenaran melalui metode sains dari nilai moral dan etika
khususnya yang diwarnai oleh sumber wahyu, sungguh sangat disesalkan dan
merupakan “kebodohan” dari saintis. Hal ini makin terasa pada akhir-akhir ini dimana
sains telah mewujudkan dirinya menjadi “monster” atau “iblis” yang lebih berbahaya
dari iblis sesungguhnya. Bagaimana tidak, karena sang iblis saja dikutuknya oleh Tuhan
karena pembangkangannya terhadap perintah Tuhan agar sujud kepada Adam yang ia
tolak mentah-mentah, karena logika iblisnya yang menganggap dirinya lebih mulia dan
terhormat. Akan tetapi apakah yang terjadi pada manusia yang jelas-jelas merusak dan
menentang aturan Tuhan melalui perkembangan sains pada berbagai fenomena
kehidupan. Dahulu orang masih punya harga diri dengan rasa malu bila diketahui
bahwa dia berperilaku “wadam” yang “gay”; tetapi saat ini mereka justru menuntut
adanya undang-undang bolehnya perkawinan sejenis. Para ahli kedokteran yang masih
mempunyai moral tentu tidak akan mau melakukan “pembuatan bayi tabung” melalui
semens sperma jantan yang bukan ayahnya (diambil dari bank sperma); tapi logika ini
ditolak bagi manusia yang menganut aliran “sains bebas nilai”. Dalam sains lunak (ilmu-
ilmu sosial) sungguh kerusakan peradaban manusia semakin cepat karena menganut
aliran kebebasan berfikir yang dianggapnya hak azazi manusia secara individual.
Mereka boleh berpendapat dan berperilaku apapun selama tidak merugikan orang lain.
Model berfikir demikian pada dasarnya telah menunjukan logika bengkoknya,
bagaimana tidak merugikan orang lain sementara perbedaan berfikir dan bertindak
anggota masyarakat yang demikian besar itu sangat variatif, dan pasti akan terjadi
benturan nilai. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terjadi di negara-negara barat
(khususnya Amerika) yang mengagungkan berfikir bebas dan pengusung HAM itu
14
sendiri justru terlihat adanya jurang yang dalam antara orang berlimpah materi ( the
have) dan masyarakat miskin menderita (the have not). Dalam kondisi demikian maka
sains tidak bisa berbuat apa-apa, dia akan berlepas tangan dengan mengatakan “itu
semua di luar kewenangan kami dan bukan dalam koridor sains”.
Gambar 1.3. Skema prosedur kloning pada domba yang telah berhasil diuji cobakan,
bagaimana dengan manusia?
15
BAB II
Telah lama aku berjalan; jurang, bukit, gelap dan terang aku lalui,
Jangan ditanya tentang kesenangan, karena akan terhampar kesusahan,
Kini terkuak cahaya kebenaran melalui pendalaman pengalaman,
Biarkan ia bertutur sebagai obat pelipur dalam ujung jalan yang belum
terlampaui.
===================================================
Dalam ilmu biologi, baik yang menyangkut manusia, khewan, atau tumbuhan;
latarbelakang (background) suatu jenis (spesies) sangat penting untuk diruntut asal
muasal tetuanya untuk mengetahui sifat genetikanya, karena ada hubungannya dengan
masalah penyakit bawaan (keturunan), kemampuan reproduksi, dan lain sebagainya.
Untuk melakukan penelusuran secara silsilah keturunan, penulis mengalami kesulitan
mengingat faktor sejarah hidup yang tidak tertulis dan ketersediaan waktu serta dana
dalam menggalinya. Oleh karena itu penuangan latarbelakang kehidupan dan garis
keturunan penulis, dituangkan atas dasar pengalaman langsung penulis yang sampai
usia senja ini (63 tahun) masih terekam dengan baik dalam ingatan intelektual maupun
tertanam dalam di hati sanubari penulis.
20
berliku diperlukan adanya kerjasama dengan kawan (suatu latihan olah raga dan
jiwa pada awal pertumbuhan). Sayang permainan tersebut saat ini sudah
ditinggalkan karena dianggap kuno dan ndesit, beralih pada permainan games di
komputer yang membangun watak egois dan masa bodoh.
Masa kanak-kanak saya di Campaka-Purwakarta relatif pendek, yakni
hanya sampai dengan usia sekolah kelas dua SD (tahun 1956), akan tetapi lebih
banyak dukanya dibandingkan sukanya (sekalipun dukanya tidak terasa).
Mengapa demikian? Yah karena ternyata setelah lahirnya adik ketiga saya, kedua
orangtua bercerai, kami bertiga ditinggal di Campaka mengikuti ibu, sementara
ayah pergi ke Surabaya mencari kerja setelah ke luar dari angkatan laut, dan
tidak pernah kembali. Akibat perceraian tersebut ibu kemudian menikah lagi
dengan pemuda sunda lain kampung namun masih dalam satu kecamatan,
namanya Bapak Sunaryo. Dari padanya kemudian ibu melahirkan adik-adik tiri
saya tiga orang.
Dalam kondisi keluarga yang gagal (broken home) itulah saya hidup
dengan standar kesehatan dan pendidikan yang minim, sehingga kondisi fisikpun
ikut jatuh. Penyakit malaria bertubi-tubi menyerang saya hingga hampir
mendekati ajal dan diperparah dengan gizi yang buruk sehingga sering
menderita “buta ayam” (bila masuk maghrib tidak dapat melihat). Saya masih
ingat betapa “primitifnya” cara nenek saya mengobati buta ayam saya, yakni
dengan disembur pakai air kumur ke muka pada saat maghrib dimana saya tidak
dapat melihat. Ibu tentu saja tidak berdaya dengan tiga anak yang masih kecil
tanpa penghasilan sama sekali sehingga untuk hidup hanya penghasilan kakek
dari penggarap sawah orang lain (kerja maro), yang juga punya tanggungan
paman dan bibi yang masih kecil. Tidak heranlah apabila dalam kondisi demikian
kontrol terhadap saya baik pendidikan, pergaulan, makanan, dan kesehatan
menjadi amat rendah; tidak ada yang salah dalam hal ini, hanyalah takdir yang
harus saya lewati. Akibatnya saya bermain bebas, sering ke sawah mencari belut
dan ikan dengan cara merogohi lubang-lubang yuyu dipematang sawah, hasilnya
21
memang tidak seberapa, namun bila dapat langsung dibakar, tentu saja hal ini
menjadi derita yang membawa nikmat. Kenikmatan kecil tersebut nampaknya
harus dibayar, karena besok harinya ketika kembali saya cari ikan di lubang
pematang sawah, kali ini didapat ikan keting (dalam marga Mystus lihat Gambar
2.2), namun dia berontak dan mematil jari kiri saya hingga patilnya patah dan
tertinggal menancap di sela kuku; saya tidak menangis hingga ditolong ayah tiri
saya, yakni dengan mencabut patilnya kemudian tangan yang luka diasapi
dengan bakaran jerami di sawah.
22
Gambar 2.3. Belalang kayu penghuni tegalan.
Disamping belalang seringkali juga saya mencari
tanam-tanaman jenis gulma di sawah yang dibero,
salah satu yang bisa dijadikan lalapan adalah tanaman
dengan nama “jonghe” (Sunda) atau Tĕmpuh uyung
(Jawa)” (nama ilmiahnya Emelia sonchifolia (L.) D.
lihat Gambar 2.4). Tanaman ini dikenal sebagai jenis sayuran, dimakan dengan
dikukus atau sebagai lalapan, dan menjadi tumbuhan inang dari Thrips tabaci
Lind.
23
Gambar 2.5. Siput kijing bergizi tinggi.
25
saya kalah, saya nangis ketakutan dan berlari ke dalam rumah kemudian
sembunyi di bawah kolong tempat tidur, lupa entah berapa lama.
Dalam berkomunikasi setiap hari keluarga saya menggunakan bahasa
Sunda, sekalipun ibu dan kakek saya bisa bahasa Jawa, demikian pula dalam
pergaulan. Mungkin inilah yang disebut dengan bahasa “ibu” sebenarnya, karena
semua perbendaharaan kata dan kalimat terekam dengan baik sampai saat ini
sekalipun telah puluhan tahun tidak digunakan sama sekali. Bahkan lagu seperti:
acuk bungur, pat lapat, nama-nama kota, dsb, yang diajarkan dikelas 1 dan 2 SD
di Campaka lagunya masih ingat hanya baitnya yang tidak lengkap. Mungkin
inilah yang perlu mendapat perhatian dari para pendidik bahasa dengan
saksama, mengapa bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP, bahkan sekarang
sejak SD sulit melekat sekalipun diulang-ulang dan bahkan telah ikut kursus
segala sampai sarjana.
Perpindahan ke Cirebon.
Mungkin sudah nasib atau takdir tak dapat dicegah, untung tak dapat
diraih, begitu kata peribahasa. Pada sekitar tahun 1956/1957 saya naik kelas 3
SD, begitu liburan tiba-tiba datang orang yang tidak saya kenal sama sekali yang
menurut ibu saya kala itu sebagai paman dan bibi saya dari pihak ayah (yakni
Oom Gunawan dan Tante Utami), ingin mengajak saya dan adik saya (Agus)
untuk liburan di Cirebon di rumah nenek. Saya baru tahu setelah dewasa bahwa
hal ini memang skenario ayah dan ibu saya untuk gantian mengasuh anak.
Dalam hidup sejak kecil saya bukan tipe pembantah, sehingga mengiyakan
dengan mudah dan jadilah kami berdua meninggalkan tanah kelahiran Campaka
yang rupanya untuk selamanya. Memang demikian adanya karena setelah masa
liburan selesai, saya mendapat surat dari ibu saya untuk bersekolah di Cirebon
agar menjadi anak pintar. Kembali disitu saya bisa menangis tetapi tangisan
sementara dan tak berdaya, karena begitu masuk sekolah di SD Pamitran I kota
Cirebon, adik saya masuk kelas 1 dan saya masuk kelas 3 SD; maka sayapun
26
lupa dengan rasa kangen keluarga di Campaka. Saya hidup dilingkungan
perkampungan keraton Kasepuhan yang tentu lebih baik dibandingkan desa
Campaka, meskipun paman dan bibi sayapun masih bersekolah, tetapi kakek
saya mbah Sumaatmadja orangnya sangat sabar, dan hampir setiap tiga hari
sekali sekitar jam 11 pagi memberi kami uang receh untuk jajan, tidak seberapa
memang, tetapi untuk membeli es gandul rasanya tidak ternilai bagi seeorang
anak kecil. Dengan kakek inilah saya, adik saya (Agus) dan adik ipar (dari bi
Anah) yakni Sri Mahastutik mendapatkan penetrasi perasaan kasih sayang,
sementara nenek saya (ibu kandung ayah saya) menurut penilaian saya saat itu
adalah sosok yang kurang menarik karena jarang bicara dan tersenyum, sekali
bicara isinya tegoran.
Dalam pergaulan keseharian saya cukup mendapat banyak kawan disini
dibandingkan di Purwakarta, bahkan jumlahnya puluhan teman sebaya,
semuanya menyenangkan; kecuali ada seorang yang menjadi kepala
“hulubalang”, panggilannya si Tamang (entah nama lengkapnya). Anaknya
paling besar dan memang usianya mungkin 3-4 tahun di atas kami semua.
Perilakunya buruk dan menjadi manajer dalam segala bentuk permainan di
kampung tersebut, mulai dari petak umpet, cari layangan, main kelereng dan
sebagainya. Rupanya anak ini takdirnya calon preman, sehingga semua anak
takut dan harus nurut dia, sayapun takut karena ancamannya yang paling sadis
adalah boikot sosial yakni tidak mendapatkan kawan bermain dan dicegat
disetiap sudut kampung untuk diadu berkelahi dengan lainnya. Pernah saya
“disiksa” dengan cara disuruh naik sebuah pohon palma di dalam keraton,
sampai tinggi ke pucuk begitu turun langsung disuruh berkelahi dengan teman
lain yang sudah disiapkan, untungnya teman saya tersebut punya perasaan iba
sambil mendekap ia berbisik “kita pura-pura saja”. Disitu saya belajar siasat
secara tak sengaja bagaimana seharusnya menghadapi tekanan hidup. Suatu
ketika hari minggu kami diajak main ke tepi pantai yang dikenal dengan sebutan
“tropic garden”, begitu dipantai saya disuruh mengejar binatang kecil-kecil yang
27
banyak dibatuan licin, kemudian saya ditinggal beramai-ramai. Pada hari lain
kami bermain (tentu atas perintah si Tamang) disungai besar di belakang
Keraton, disitu saya dikerjain lagi dengan disuruh masuk kesungai padahal saya
tidak bisa berenang sama sekali. Namun rasa takut si Tamang jauh lebih besar
dari rasa takut tenggelam; dan setelah berkali-kali minum air sungai saya
mendapatkan batang pisang, berpegangan menepi sendiri, sementara preman
kampung dan kawan-kawan sudah pergi meninggalkan saya seorang diri. Dalam
gambar nampak halaman depan kraton Kasepuhan Cirebon tempat biasanya
kami bermain karena memang istananya telah menjadi semacam museum yang
terbuka untuk umum dan sampai tulisan ini dimuat, dari masa kecil saya pada
bangunan tersebut tidak banyak perubahan (lihat Gambar 2.7).
Itulah kesulitan hidup sosial pertama kali, tanpa salah apapun saya
dikucilkan, dan hal ini ternyata menjadi pemicu saya untuk menghadapinya
dengan tabah. Masalah serupa ini saya buktikan kemudian setelah saya dibawa
28
ke Surabaya oleh ayah dan dididik hingga dewasa (mahasiswa). Waktu pulang
ke Cirebon menjenguk nenek dan paman, maka orang pertama yang saya cari
adalah sahabat saya si Tardiwan (sebelah rumah), darinya saya tanya tentang si
Tamang, jawabnya benar dia menjadi sopir truk dan sekaligus preman; dasar
takdir sejak awalpun sudah nampak.
Perpindahan ke Surabaya
Sekolah di Cirebon akhirnya saya tempuh sampai kelas 5 SD, yang naik
kelas dengan status naik dengan percobaan (lihat dokumen terlampir). Dua
minggu masuk sekolah di kelas 5, saya diturunkan lagi ke kelas 4 karena disuruh
maju ke papan tulis untuk menghitung sesuatu saya tidak bisa, pak guru berkata
begini: besok kamu masuk kelas empat lagi yah. Saya tidak menangis dan diam
tidak bilang paman dan bibi di rumah, hanya ada perasaan malu. Belum juga
kembali ke kelas empat tahu-tahu ayah datang dari Surabaya untuk mengambil
saya dan adik saya, dan otomatis di Surabaya saya di masukan ke kelas 5,
karena di rapot ditulis naik kelas V dengan percobaan, naassiiiiib!
Di Surabaya saya tinggal di kampung Krembangan Jaya gg V/18 (dahulu
Krembangan Tegal karena banyak tegalan), yang merupakan rumah pribadi ayah
saya. Kampung ini sebenarnya berada di pusat kota karena dekat dengan tugu
pahlawan, dimana terdapat banyak sekolahan disekitarnya, saya dimasukan SD
Bubutan I persis berdekatan dengan tugu pahlawan, pasar Turi, kantor pos
besar, dan terminal trem listrik dan kereta uap Kebon Rojo. Bersekolah di sini
saya mulai melihatkan bakat intelektualnya sekalipun tidak tinggi, yakni pada
kuwartal awal (dahulu rapotan tiap 4 bulan, jadi 3 kali setahun), angka rapot
saya banyak merahnya dari pada birunya (dari 18 mata pelajaran 9 merah
dengan angka rata-rata 5,5). Hasil rapotan ini tidak menjadikan saya diturunkan
kembali ke kelas 4 seperti yang dilakukan guru saya di Cirebon, namun saya
diberi kesempatan oleh guru saya yang namanya Pak Liesman yang sangat
29
berwibawa dan benar-benar pendidik (yang di Cirebon itu monster), untuk giat
belajar.
Dan benarlah, karena ayah sayapun ikut turun tangan, bukan hanya pada hal
sekolah tetapi juga di luar sekolah, saya dimasukan dalam kegiatan kepanduan
(sekarang Pramuka) yakni, Kepanduan Bangsa Indonesia (disingkat KBI, seperti
terlihat dalam Gambar 2.8).
33
2) Masa remaja
Masuknya saya ke SMA VII adalah suatu hal yang tidak saya pahami
sampai saat ini, karena pada waktu itu saya hanya mendaftar di SMA III Genteng
Kali. Tetapi waktu melihat pengumuman disana, nama saya tidak ada alias tak
diterima. Dalam rangka pulang dari Genteng Kali ke Ngagel Timur, saya dengan
berspeda lewat jalan Wijaya Kesuma (sekedar lewat), tetapi “tiba-tiba” dari pintu
gerbang SMA kompleks tersebut ada teman berteriak memanggil saya yang
kebutalan lewat itu, katanya saya diterima di SMA VII, yang pengumumannya
ada disitu. Benar saya turun untuk melihat dan ternyata ada, padahal saya tidak
mendaftar dan tidak tahu ada SMA VII (angkatan saya baru tahun II); lho koq
bisa ya? Yah suatu karunia Illahi tentunya sehingga akhirnya saya bersekolah
disitu, sekalipun masuk siang sampai selesai.
Di muka disebutkan bahwa kondisi rumah tangga ayah dengan ibu tiri ini
tidak harmonis karena anak bawaannya selalu ribut dan berdampak pada daya
bela masing-masing. Dalam kondisi itulah ayah saya mencari jawab untuk
ketenangan batinnya sehingga berbagai cara ditempuhnya, antara lain kepada
“paranormal” dan “perewangan”. Bahkan saya pernah diajak kesuatu tempat di
daerah Lamongan, jauh masuk didesa berkendaraan speda motor pinjaman
kantor mendatangi seorang perempuan yang dianggap sakti (dukun), padahal
sekarang saya tahu orang tersebut “kesurupan”. Daripadanya ayah mendapat
sebuah cincin yang tak boleh dibawa masuk WC katanya, hingga akhirnya cincin
itu hilang, saya lagi yang jadi sasaran untuk mencarinya. Paling sering saya
diajak ayah mendatangi komplek Sunan Ampel, untuk berdoa di makam sang
Sunan; tentu saja minta macam-macam pada makam beliau karena dianggap
keramat. Tulisan besar waktu masuk yang berbunyi “Ojo nyenyuwun menyang
pesarean Sunan Ampel, ning nyenyuwun menyang Gusti Allah” sama sekali tidak
diperhatikan oleh semua penziarah termasuk ayah (usia sekitar 45 tahun) dan
34
saya yang waktu pertama kesitu masih SMP (sekitar umur 15 tahun). Inilah
semua sebenarnya awal pencarian KEBENARAN yang tidak benar, tetapi diakui
sebagai kebenaran pada saat itu.
Hingga akhirnya, datanglah cahaya keyakinan yang benar, manakala
seorang tokoh, yakni ketua Buruh Muhammadiyah (pak Tadjarudin) di pabrik
karung tersebut mengajak ayah saya untuk mengikuti pengajian rutin di jalan
Irian Barat di masjid Dorowati (sekarang telah digusur), tentu saja saya dan adik
saya dipaksa ikut sekalipun masih senang bermain. Alhamdulillah, inilah awal
pertama kami (ayah, saya, dan adik) mengenal Islam pertama (sekalipun lahir
sudah Islam), yang dibina oleh seorang guru yang tegas, kritis, dan dengan dalil
yang benar; yakni Bapak K.H. Abd. Madjid Iljas. Dialah guru kedua bagi saya
dalam hidup ini dalam keagamaan yang ajarannya masih tertanam sampai saat
ini. Dia berani menentang arus pendapat umum (common sense) untuk
memisahkan ajarah Islam dari tahayul, bid‟ah, musyrik, khurafat, dan bentuk
kebohongan serta penyesatan berkedok agama lainnya. Tidak heran apabila
“musuhnya” banyak karena banyak para kyai atau para santri yang kebakaran
jenggot dengan dakwah beliau, baik di atas mimbar harian dan mingguan,
pengajian umum, siaran radio dorowati, maupun melalui media cetak yang rutin
dikeluarkan mingguan di masjid Bubutan (belakang makam Dr. Soetomo, dikenal
GNI), dengan judul “Jamaah Pengajian Surabaya” disingkat JPS; beberapa
edaran saya simpan, dan contohnya dapat dibaca di lampiran. Dari sekian
ceramah beliau yang selalu disampaikan dengan suara “keras” menggelegar,
adalah apa yang saya dengar manakala khutbah Jum‟at di masjid Bubutan
tersebut. Demikan kata-katanya dalam bahasa jawa Surabaya: “Sing sopo
ngomong pejah gesang nderek Bung Karno, terus kepetrapan mate, mlebu nroko
wong iku”. Artinya: barang siapa bicara atau berpendapat hidup mati ikut Bung
Karno, terus mati benar, maka pasti masuk neraka. Argumentasi beliau sangat
rasional bagi saya, karena menggunakan nas Al-Qur‟an yakni: "Sesungguhnya
salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam;
35
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" [6.162-
163]. Ayat ini digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai bacaan awal
shalat setelah takbir. Sungguh untuk saya yang sedang mengijak masa remaja
(kala itu sudah di SMA) pendapat ini adalah sebagai kebenaran luar biasa karena
berani menentang arus dimana nama Bung Karno sedang ada di puncak
kekuasaannya; karena pada saat itupun saya termasuk pemuda yang simpati
perjuangan Sukarno, maka tentu saja hal ini menjadi arus balik politik remaja
saya. Sekalipun dalam masa remaja ini saya terus aktif mengikuti latihan silat
Perisai Diri yang langsung dibina Pak Dirdjo dari pendidikan dasar tangan kosong
(serang-hindar) hingga penggunaan senjata (pisau, pedang satu dan dua, dan
toya) hingga mencapai tingkat cukup tinggi setelah lulus SMA (tahun 1967),
yakni “ban biru”, yang kemudian diteruskan di Malang setelah kuliah hingga “ban
merah”, yakni tingkat pelatih. Tetapi aktifitas keagamaan saya terus berkembang
karena rasa haus saya dengan nilai-nilai baru yang belum dikenal diwaktu masa
kanak-kanak saya, yang kebetulan ayahpun belajarnya bersama-sama. Tidak
heran bila dasar-dasar pengetahuan Islam saya pelajari dengan mengikuti
ceramah dan pengajian pak Majid, yang meliputi pengetahuan ilmu hadist dan
Qur‟an tentunya, serta pengetahuan politik yang berkembang saat itu. Selain
Islam saya belajar agama lain “kristologi” dari Bapak Abdulah Wasian, seorang
tokoh ahli injil, sehingga tidak heran setelah itu saya sering debat dengan orang-
orang nasrani tentang isi bibel yang dianggap membingungkan; yah tentunya
termasuk paman dan bibi saya karena diantara mereka ada yang beragama
kristen. Hal ini mungkin yang kemudian membina saya menjadi “tukang debat”
dan senang diskusi diberbagai situasi, yah tentu saja seadanya karena
keterbatasan pengetahuan.
Di SMA prestasi akademik saya biasa saja, tidak menonjol dan hanya pada
tingkat rata-rata, namun hal ini cukup bagi saya untuk masuk jurusan yang
paling “bergengsi” kala itu, yakni: Pengetahuan Alam (PAL). Karena pada saat itu
36
dibagi empat jurusan, ialah: pengetahuan alam (PAL), pengetahuan ilmu pasti
(PAS), Ilmu Budaya (Bud), dan Ilmu Sosial (Sos). Disini saya punya sahabat
namanya Mochamad Thohir yang sekaligus jadi guru tentir saya, karena anaknya
pandai (dirapotnya banyak angka 9, hanya olah raga yang 6), sementara saya
sebaliknya banyak angka enamnya hanya olah raganya yang bagus (Gambar
2.10 saya waktu di SMA dengan kawan-kawan). Itu pula yang mengantar Thohir
masuk mulus ke Fakultas Farmasi Unair Surabaya, sementara saya dengan nilai
pas bandrol masuk ke Pertanian Unibraw Malang.
40
sebuah perusahaan swasta hingga pensiun (tahun 2005), yang tentu saja secara
ekonomi sangat menjanjikan.
Kembali kestudi saya; pada tahun 1975 saya dinyatakan lulus sarjana
pertanian dengan titel Insinyur Pertanian (Ir.) dalam jurusan Teknik Pertanian,
yang saya tempuh 7 tahun (1968-1975). Maka sesuai dengan perjanjian semula
saya harus menjadi dosen di Unibraw, sehingga persyaratan untuk menjadi CPNS
saya siapkan. Namun betapa terkejutnya saya dikala menghadap PD I FP
Unibraw yang waktu itu dijabat Bapak Ir. Sumaryo (dulu dipanggil mas Maryo),
beliau menjelaskan bahwa tidak ada posisi jabatan gol. III A yang biasanya
diduduki pegawai berpendidikan S1. Dengan berbagai argumentasi pada saat itu,
tetap pada kesimpulan dengan pernyataannya, yakni bila mau tetap di fakultas,
maka akan diusulkan pada gol. II B, bila tidak mau dipersilahkan mencari
pekerjaan di tempat lain. Kenyataan itu sampai saat ini tetap menjadi pertanyaan
bagi saya, karena yang lulus di bawah saya langsung diproses ke gol. III A.
Sebenarnya pada saat itu bisa saja saya benar-benar angkat kaki dari fakultas,
namun sudah menjadi “dasar tabiat saya” sejak kecil seperti diuraikan di depan,
bahwa setiap ada rasa ketidak-adilan menimpa saya pasti melawan dan bukan
melarikan diri. Sehingga opsi ke 2 yakni untuk posisi gol. II B saya terima
(setelah tua baru tahu bahwa itu adalah untuk posisi tatausaha bukan dosen),
tekad saya adalah akan bersaing didalam dengan menunjukan prestasi kerja dan
akademik. Hal ini saya buktikan benar, karena setelah itu dalam tahun yang
sama saya diikutkan training atau Short Course on Agronomy yang
diselenggarakan oleh AAUCS Australia di Denpasar, Bali selama 1 bulan (Oktober
1975) bersama mas Bambang (Ir. Bambang Guritno). Pada tanggal 9 Februari
tahun 1976 SK sebagai CPNS dalam gol. II B saya terima dari Menteri P & K
dengan gaji bulanan (80%) sebesar Rp. 1488,- (seribu empat ratus delapan
puluh rupiah). Alhamdulillah Januari 1977, saya dikirim ke Landbouw
Hogeschool, Wageningen-Belanda selama satu tahun untuk mengikuti training
riset melalui program kerjasama NUFFIC; kembali saya berangkat dengan mas
41
Bambang Guritno (dalam karier saya di Universitas Brawijaya ternyata banyak
ditolong beliau, semoga Allah menerima amal shalehnya). Selama di Wageningen
saya aktif di laboratorium penyakit tumbuhan (Laboratory of Phytopathology -
Wageningen University - Wageningen, The Netherlands) di bawah Prof. Dr.
Dekker, tetapi saya di bimbing oleh bawahan beliau yakni Drs. G.J. Bollen. Pak
Bollen ini orangnya ternyata produktif dan menguasai benar teknik-teknik
penelitian laboratorium dan rumah kaca, publikasi dalam jurnalnya amat banyak,
dan anehnya beliau banyak membimbing kandidat Doctor, meskipun beliau
sendiri tidak mau jadi Doctor. Saya sungguh beruntung karena dengan
bimbingan beliau semua keperluan saya dalam riset di Wageningen di fasilitasi.
Rasanya saya menjadi “pemula” kembali dalam hal penelitian, dan hal ini benar-
benar saya manfaatkan sehingga penanganan penelitian yang berskala
laboratorium pada saat itu saya banyak belajar; mulai dari perencanaan
proposal, penguasaan teknik peralatan, pengenalan bahan-bahan penelitian,
penelusuran pustaka, dan sebagainya. Hasil riset tersebut ternyata setelah
pulang ke Indonesia dapat digunakan untuk mengikuti program doktor (S3) di
UGM lewat jalur riset (by research).
Pada sekitar bulan Oktober 1977, Prof. Soetono, dekan saya di Fakultas
Pertanian Unibraw berkunjung ke Wageningen dalam rangka kerjasama Nuffic
tersebut sekaligus menengok saya dan mas Bambang sebagai stafnya.
Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi dengan beliau bahwa saya minta
izin untuk pulang lebih awal ke Indonesia karena bulan Nopember saya mau naik
haji dari Amsterdam. Permintaan tersebut langsung ditolak beliau dengan alasan
masa studi belum selesai; kembali disini saya menunjukan “pemberontakan”
saya dengan mengatakan bahwa niat tersebut sudah saya rencanakan dari
Indonesia. Melihat kengototan saya, beliau minta saya berfikir 24 jam dan
kembali besok. Sesuai dengan perjanjian, esoknya saya berdiskusi kembali
sekitar jam 10 pagi di lobby “hotel” IAC tentang niat saya tersebut. Saya katakan
padanya bahwa tekad itu tak dapat dibatalkan dan sudah saya pikir 1 tahun
42
(bukan semalam). Beliau kaget, sehingga “menggertak” saya dengan
ancamannya, yakni saya akan dipetikotakan (black list) bila nekad. Dengan
entengnya saya jawab, maaf pak saya lebih takut di black list Allah bila saya
tidak berangkat untuk menunaikan perintahNya pada saat ada kesempatan. Saya
baru ingat, bahwa pada saat itu usia saya masih muda yakni sekitar 29 tahun.
Atas jawaban tersebut beliau terkejut, sehingga beliau melunak dengan
mengajukan opsi membujuk: kenapa tidak nanti saja setelah anda jadi doktor,
bukankan nanti bayarannya cukup dan kesempatannya masih panjang? Saya
menjawab: “maaf pak sayapun tidak tahu apakah saya masih diberi umur untuk
mencapai itu”. Ternyata benar, 3 tahun kemudian justru beliaulah yang wafat
dalam usia ± 50 tahun. Dengan kokohnya argumentasi saya, kemudian beliau
mengajukan opsi lain, demikian: “kenapa tidak anda lakukan umrah saja
sepulangnya dari studi di Belanda”. Dengan entengnya sayapun menjawab:
“Maaf pak masalah Umrah dan Haji saya lebih paham karena saya sudah belajar
sejak remaja”. Beliau tercengang, dan akhirnya lelehlah gunung es argumnetasi
beliau: “Oke, silahkan dengan tekad anda, namun darimana anda mendapat tiket
? Tiket sudah ditangan pak karena menggunakan tiket pulang-pergi (return
ticket), bahkan sudah saya booking tanggal berangkat ke Saudia ke Garuda serta
saya sudah mendapatkan visa dari kedutaan Saudia Arabia, semua sudah
ditangan, demikian jawaban saya. Wah! Ini namanya memojokan saya, katanya.
Saya jawab kembali, ya maaf bapak saya tidak bermaksud memojok siapapun,
apalagi saya mau ibadah haji, namun itu semua merupakan suatu perencaan
yang sudah matang yang mungkin baru sampai informasinya kepada bapak.
Sungguh diluar dugaan saya, nampaknya hasil diskusi tersebut telah membalik
pandangan beliau terhadap saya, yang mungkin selama ini negatif menjadi
positif. Karena tiba-tiba beliau berkata: “Baiklah, lalu bagaimana saudara
mengurus visa dan cara melakukan peribadatan tersebut”. Saya balik tanya
karena penasaran: kenapa pak? Jawabnya mengejutkan saya: “Sayapun ingin
berangkat haji, tolong antar saya untuk mengurus prosedurnya”. Betapa
43
senangnya saya karena telah menyadarkan seorang tokoh yang sangat dikenal
dengan rasionalnya (sekuler) dan argumentasinya tidak ada yang dapat
mematahkannya. Allahu Akbar!
Besoknya kami (saya, pak Soetono, mas Bambang Guritno) berangkat ke
atase Kedutaan Besar RI di Den Haag untuk mengurus izin beliau berangkat haji.
Kebetulah yang jadi atasenya adalah Bapak Prof. Dr. Kusnadi Hardjo Soemantri,
SH. Yang tak lain adalah teman beliau di UGM dulu. Pak Kusnadi malah
menganjurkan agar semua teman-teman yang sedang belajar silahkan untuk
berangkat haji, akan dibantu prosesnya. Yah semoga ucapan beliau tersebut
(1977) menjadi pintu ampunan Allah kepadanya dan diterima amalnya;
sebagaimana kita tahu beliau meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda yang
jatuh terbakar di lapangan terbang Adi Sutjipto Yogyakarta beberapa tahun yang
lalu. Dari situ saya antar pak Soetono ke kedutaan Saudia Arabia yang visanya
keluar langsung waktu itu pula, kemudian karena beliau ingin keliling negara
Eropa dahulu maka diuruslah visa ke beberapa negara seperti Perancis, Swedia,
dll yang saya lupa lagi. Sepulang dari kedutaan-kedutaan itulah beliau berkata:
“saya akan keliling Eropa dahulu selama satu minggu dan silahkan pak
Rochdjatun berangkat dahulu, nanti tolong saya dijemput di Jedah”. Saya
spontan menjawab, bagaimana pak kalau saya yang mundur nunggu bapak
sehingga kita bisa berangkat bersama? Saya langsung dibentaknya: “Bagaimana
saudara ini kemarin sudah nekad mau berangkat, sekarang mau mundur, nanti
malah tidak jadi! Wow! disinilah saya mendapatkan pelajaran yang hebat
tentang arti “sebuah kebijasanaan (wisdom), yang tidak pernah saya dapatkan
sebelumnya kecuali ayah saya tentunya”. Rupanya perdebatan beberapa hari
yang lalu dan ancaman-acaman mautnya tersebut sekedar menguji keteguhan
atau keseriusan hati saya dalam suatu cita-cita, bukan untuk menghukum orang.
Disinilah saya mendapatkan seorang guru yang ketiga (setelah pak Dirdjo untuk
silat dan pak Majid untuk agama) dengan kuwalitas intelektual bertaraf
internasional. Hal ini pula dibuktikan oleh beliau setelah ibadah haji selesai ketika
44
bertemu dengan saya di kantor Garuda dengan penerbangan pertama; saya
meminta maaf bahwa saya tidak bisa jemput beliau di Jedah dari Belanda karena
setelah masuk Mekah saya tidak bisa keluar lagi, dan beliau berkata: tidak
menjadi masalah pak Rochdjatun yang penting kita telah selamat dan mari kita
pulang ke tanah air. Dalam satu pesawat kami pulang dan saya duduk
berdekatan dengan beliau.
Kurang afdol kiranya apabila selama ibadah haji yang pertama kali saya
lakukan (1977) tersebut tidak saya uraikan karena didalamnya saya banyak
mendapat kemudahan. Untuk mendapat visa Saudia dengan haji individual pada
saat itu, seseorang harus menyerahkan uang jaminan hidup yang akan
diserahkan oleh kedutaan Saudia ke Syech (penyedia akomodasi) di negaranya,
yang jumlahnya sekitar 1000 rial (sekitar Rp. 2.500.000). Tentu saja semua ini
telah saya siapkan dari tabungan uang saku saya selama di Belanda yang per
bulannya sekitar 500 gulden. Saya berangkat dari Amsterdam hari kamis, sekitar
2 minggu sebelum hari Arafah (wukuf), yang setelah itu Lanud-nya ditutup. Pada
saat itu Lanud di Jedah sangat sederhana karena pintu pemeriksaannya
(embarkasi) masih seperti pintu di Lanud Abdurahman Saleh-Malang (dari ram-
raman kawat). Di pintu keluar lanud saya antri dengan rombongan haji dari
Amsterdam. Tiba-tiba nama saya dipanggil dengan beberapa orang lolos dari
pemeriksaan, yang ternyata saya dikumpulkan dengan orang-orang Indonesia
yang berpaspor sama dengan saya yakni paspor biru (paspor dinas). Dari Lanud.
saya dengan rombongan dibawa kekedutaan RI di untuk Saudia di Jedah dan
dinginapkan di wisma tamunya semalam. Disitu saya baru tahu rupanya saya
ditempelkan dengan rombongan bapak duta Besar RI dari Jerman Barat (kalau
tidak salah namannya Bapak Parman), yang jumlahnya sekitar 25 orang.
Mungkin dikira saya rombongan duta besar oleh embarkasi lanud Jedah karena
paspornya sama-sama biru, padahal saya berangkat sendirian. Kejadian ini saya
baru terasa adanya sentuhan “tangan” Illahi yang langsung mengatur posisi saya
di Saudia karena dengan kondisi ini oleh kedutaan di Jedah kami dicarikan Syech
45
untuk pemondokan selama di Mekah. Besok paginya kami dikumpulkan di
ruangan untuk menentukan perjalanan kembali yakni ke Medinah dahulu, tetapi
ada beberapa orang yang ingin langsung ke Mekah. Melihat ini saya langsung
berbisik kepada yang ingin ke Mekah, demikian kata-kata saya: “Bapak kalau
saran saya sebaiknya kita langsung ke Mekah saja karena waktu wukuf tinggal 1
minggu, kita bisa langsung umrah dan bersiap haji; saya khawatir bila ke
Medinah dahulu nanti ada hambatan di jalan maka jadi batal hajinya, sementara
ke sana bisa dilakukan setelah haji”. Terus terang saja sebenarnya ada alasan
lain dari argumentasi saya adalah mencari teman ke Mekah saja karena saya
tidak punya niat ke Medinah dengan alasan tidak ada biaya lagi untuk kesana.
Alhamdulillah, saran saya didengar beliau yang ternyata juga “orang penting”
yakni Bapak Adang Suhendar dengan jabatannya sebagai atase perbendaharaan
ekonomi RI untuk Eropa. Beliau bertanya: “Apakah adik bisa membimbing
manasik hajinya? Yang saya jawab dengan mantap: “Insya Allah”. Maka jadilah
kami memisahkan diri dengan rombongan pak Parman dan janji ketemu di
Mekah saja. Sejak itulah saya menjadi pimpinan cakupan rombongan haji pak
Adang yang ternyata anggotanya semuanya perempuan yang bejumlah sekitar
10 orang, dan hanya saya dan pak Adang saja lelaki. Disini kembali “tangan
Tuhan” bermain, saya oleh rombongan tersebut tidak boleh pisah kamar dan
selalu bersama, sehingga selama di Mekah makan saya ditanggung pak Adang
Cs. dan saya menjadi kesayangan ibu-ibu karena pada saat itu kesabaran saya
betul-betul teruji menghadapi kesulitan disana. Bagaimana tidak! Begitu
berangkat ke Arafah untuk wukuf dan kembali untuk mabit di Mina dan ke
Mekah kembali, saya tidak banyak bicara dan hanya membantu memikul barang-
barang jamaah. Pernah saya dengan pak Adang jalan kaki dari Mina ke Mekah
(± 5 km, memikul barang), walaupun saya sering jatuh karena konidisi sakit
namun tidak saya rasakan, disebabkan semangat sebagai adanya karunia Illahi
memperkenankan saya untuk berhaji. Pada gambar nampak saya dan pak Adang
waktu wukuf di Arafah dalam pakaian ihram (Gambar 2.11). Dalam haji pertama
46
inilah yang menjadi momentum bagi saya untuk menyongsong hari depan yang
berbeda dengan masa lalu. Sehingga pada waktu perpisahan dengan rombongan
untuk kembali ke tanah air kami hanya bisa menyapa salam haru karena tahu
bahwa setelah itu tak akan jumpa kembali karena beliau kembali ke Eropa
melanjutkan tugas sementara saya ditunggu tugas di Unibraw.
Kerja keras dalam bidang akademik itulah yang memuluskan saya untuk
mencapai gelar Guru Besar (Profesor) karena saya tidak mengalami kesulitan
untuk mengumpulkan persyaratan akademiknya (KUM) sebesar 1000 kredit, dan
alhamdulillah saya diangkat jadi profesor pada tahun 1997 sepulang dari tanah
suci untuk yang ketiga kalinya.
Memang ada juga gebrakan masyarakat yang saya kerjakan bersama
teman-teman dari kampus lain, salah satu yang cukup fenomenal dan berskala
luas adalah mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Terus
terang asal muasal ICMI digarap di rumah saya dengan beberapa mahasiswa
yang ternyata terus bergulir; disini saya tidak ingin menuliskan kembali
riwayatnya karena didalamnya telah banyak ditunggangi nuansa politik sejak
kelahirannya, yang bagi saya pribadi kurang sesuai karena saya seorang ilmuwan
dan religius yang cenderung polos sehingga mudah dipermainkan “orang lain”.
51
BAB III
PENCARIAN KETUHANAN
=============================================
Dengan ungkapan riwayat hidup saya tersebut dalam bab sebelumnya, maka
nampaklah bahwa manusia itu hanyalah sebuah boneka tidak berdaya dari rekayasa
atau skenario global (luas) dan amat rumit dari Sang Penciptanya, yang kita kenal
sebagai Tuhan (Islam menyebut banyak nama sebagaimana disebutkan dalam asmaul
husna). Perjalanan hidup itu sendiri adalah bagian dari skenario tersebut, sebab mana
mungkin seorang anak kecil yang hidup miskin di desa dengan kondisi keluarga
“berantakan” dapat mencapai status sosial akademik demikian tinggi (Profesor) apabila
tidak ada yang menjalankan ke arah itu bahkan diluar kemampuan si anak dan kedua
orang tuanya sendiri. Disinilah banyak manusia “misunderstand” atau salah tafsir,
karena dikiranya semua apa yang dihasilkan atau terjadi saat ini adalah merupakan
kekuatan usahanya sendiri sehingga ia tidak mau menerima adanya “kekuatan dahsyat”
di luar dirinya. Memang manusia diberi naluri ikhtiar atau berusaha namun kita sering
melihat bahwa banyak manusia yang telah berikhtiar dengan segala potensi dan
tenaganya namun toh, hasilnya nihil; sementara keadaan sebaliknya banyak terjadi
dimana kesuksesan hidup didapat dengan mudah tanpa menghabiskan potensi yang
ada. Kebanyakan manusia ingin hidup sehat, namun betapa banyaknya yang diberi
bertubu-tubi penyakit. Banyak yang ingin naik jadi penguasa namun betapa banyak
penguasa jatuh dari kekuasaannya, mengapa hal ini tidak menjadi bahan renungan?
Banyak orang putus asa menghadapi beratnya kehidupan dan ingin segera mati
sekalipun dengan bunuh diri, tetapi malah diberi umur panjang; demikian pula banyak
orang sukses dalam materi sehingga ingin umur panjang justru berumur pendek. Masih
52
banyak fenomena kehidupan yang apabila diuraikan satu persatu maka akan menjadi
tumpukan tulisan yang berjilid-jilid sehinga sipenulis capai membuatnya sementara si
pembaca menjadi bosan menyimaknya. Kalau hal ini terjadi maka menjadi tidak
bergunalah segala bentuk tulisan tersebut karena jangankan mempengaruhi pola tindak
orang, sementara pola pikir saja tidak “nutut” (gak nyandak, bahasa Jawa).
Dari pengalaman hidup saya dalam bab II tersebut sebenarnya ada beberapa hal
yang dapat disimak sebagai suatu karunia yang diberikan Illahi tanpa saya sadari
karena memang saya hanya merupakan elemen dari proses waktu itu sendiri yang pasti
tidak akan sadar. Tentu saja kalau saya uraikan satu persatu maka karunia tersebut
sulit disebutkan, tetapi beberapa hal yang amat menonjol dikemukakan sebagai berikut:
53
seperti yang terjadi pada diri saya tersebut. Bagi yang mengalami penderitaan
jenis ini seringkali kondisinya tidak terasa bahwa dia menderita karena faktor
adaptasi dari kejadian yang bertubi-tubi. Hanya orang luarlah yang sering
melihatnya kasihan, namun merekapun tidak pernah mau bergeser untuk
mengulurkan tangan dari sekedar ucapan (lips service) menjadi tindakan (action
service). Oleh karena pada dasarnya penderitaan tersebut dibagi menjadi dua
jenis atau bentuk, yakni: Penderitaan yang bukan disebabkan oleh si penderita
dan penderitaan yang terjadi akibat pilihan si penderita itu sendiri. Penderitaan
yang menimpa penulis berkali-kali sejak kecil tersebut nampak sebagai
penderitaan jenis pertama, yakni bukan atas pilihan saya sendiri; melainkan
bentuk “pemberian” (given) yang harus saya jalani suka atau tidak suka.
Menghadapi jenis pertama ini agaknya siapapun tidak dapat melarikan diri
sehingga dia harus mau menghadapinya dengan senang hati (ikhlas) yang
dengan cara itulah ia akan menjadi matang dan dewasa oleh tempaan kesulitan
hidup yang akan dihadapi pula dikemudian hari. Kesadaran demikian akan
menyebabkan tereliminasinya beban penderitaan tersebut, sehingga dengan
tidak terasa waktunya telah berlalu. Waktu mencari kijing, dihisap lintah, makan
belalang, disiksa teman, buta ayam, dipatil lele, dan bentuk tempaan lainnya
telah lewat dan saya menjadi matang oleh kesulitan tersebut. Dari kasus serupa
inilah saya menyadari (setelah tua), bahwa kita pada dasarnya tidak dapat
melarikan diri dari hukum-hukum (sunatullah) Illahi yang memiliki konsep global
tentang peruntukan suatu makhluk diciptakan. Burung walet dicipta memang
sebagai predator serangga tertentu yang tanpa adanya itu ia akan mengalami
ledakan yang dahsyat sehingga dapat merugikan kehidupan manusia. Manusia
punya berbagai peranan atau fungsi, yang salah satunya adalah fungsi sosial;
untuk itu dia perlu dipersiapkan sejak awal agar fungsi tersebut menjadi optimal.
Saya nampaknya sudah terprogram menjadi manusia yang dimanfaatkan dalam
fungsi sosial sebagai pendidik dalam bidang pertanian khususnya, maka sejak
awal tanpa lewat jalur sekolah saya sudah dibina oleh Tuhan melalui perjalanan
54
waktu hidup sedikit demi sedikit sesuai dengan daya tahan fisik dan mental saya.
Begitu melekatnya saya dengan dunia pertanian dan pengenalan alam tersebut
maka telah menjadikan saya demikian mencintainya dalam arti sesungguhnya,
yakni: menanam, memelihara, mengkoleksi, menimba ilmu, menyampaikan
pengetahuan, bahkan semua anak dan cucu, saya beri nama jenis tanaman
dalam istilah latin (nama ilmiah).
Hal ini kemudian menjadi model cara saya berfikir dan bertindak dalam
menjalani sisa hidup atau usia yang tersisa ini manakala problema hidup yang
umumnya menyebabkan penderitaan, seperti: penyakit, dikhianati teman, dihina
orang, kesulitan rezeki, dan sebagainya. Semua saya terima seperti masa kecil
saya yang tidak pernah mengeluh dan merasa takut, biarkan kehidupan itu tetap
berjalan, toh masing-masing jenis problema itu punya waktu datang, ngendon
(menetap), dan perginya. Pada saat datang saya sudah siapkan untuk kondisi
ngendon, pada saat ngendon (misal penyakit tidak hilang-hilang) maka saya
sudah beranjak pada fase kepergiannya (dianggap sembuh), dan pada saat telah
pergi saya sudah siapkan diri untuk menerima jenis problema yang baru. Itulah
siklus hidup yang menjadi bagian dari sunatullah atau hukum alam tadi, yang
harus diterima dengan senang hati sebagaimana senangnya hati ini pada saat
menerima rezeki, kesehatan, posisi sosial, dan sebagainya.
Saat ini pola saya dalam menerima semua problema hidup tersebut yang
memang bukan pilihan saya, adalah diterima dengan rasa syukur yang dalam
(dan setiap saat saya meminta petunjuknya untuk pandai bersyukur) dengan
permohonan agar diberi ketabahan (sabar) dan kekuatan dalam memikul
penderitaan tersebut. Format berfikir demikian ternyata telah menjadi bagian
dari obat kerohanian yang amat mujarab sehingga sekalipun menderita, ia
menjadi tidak terasa sebagaimana tidak terasanya saya dalam penderitaan masa
kecil tersebut. Format ini ternyata diperkokoh oleh hukum Allah yang pasti
berlaku pada orang yang ingin menjadi kekasihnya, yakni mesti melewati pintu
ujian tersebut, sebagaimana difirmankan-Nya:
55
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [2: 155-157]
Demikian tegasnya ayat tersebut di atas, sehingga sungguh menjadi anehlah
bagi mereka yang mungkin diberi ujian berupa penyakit, tiba-tiba dia “berontak”
dengan berbagai keluhan dan omelan. Bukankah penyakit itu sendiri datangnya
tidak dikehendaki dan bukankah pada waktunya akan pergi juga? Obat mujarab
dalam menghadapi dilematis ini saya dapatkan dalam sabda nabi: bahwa
penyakit itu dapat dikelompokan kedalam tiga kretaria, yakni: penyakit yang
menjadi batu ujian, penyakit yang menjadi pembersih dari segala dosa, dan
penyakit yang merupakan tiket menuju el-maut (kematian). Bagi orang yang
dalam hidupnya hanya bersandar kepada kekuatan yang Maha Dashyat, maka
tentu ia akan malu meminta kesembuhan, sekalipun syariat mencari obat telah ia
jalani sekedar untuk “menggugurkan” ketentuan syariat yakni adanya ikhtiar.
Bagaimana ia tidak malu padahal apa yang menjadi cobaannya adalah bagian
dari perhatian Tuhan kepadanya agar mampu menaiki tangga-tangga kerohanian
yang lebih tinggi lagi? Karena tempat tersebut hanya pantas bagi orang-orang
terpilih, bukan mereka yang suka berkeluh kesah. Mengenai hal ini saya punya
pengalaman menarik bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi
kesulitan hidup tadi. Pada suatu saat istri saya, Siti Hamidah, mengalami sakit
parah demam berdarah yang hampir merenggut jiwanya. Pada saat sudah
berbaring di rumah sakit, saya bicara begini: Dik! Saya, dokter dan dirimu tidak
bisa berbuat apapun saat ini kecuali menyerah pada taqdir. Dokter hanya
mengusahakan berdasarkan teori kedokterannya, namun penyakit ini obatnya
hanya ada pada kekebalan dari diri sendiri, oleh karena itu obatnya hanyalah
“penyerahan total” dan mintalah pada Allah rasa sabar dan kekuatan menahan
56
sakit dari gangguan penyakit ini. Yah, penyerahan total itulah yang membuat
datangnya takdir kesembuhan sedangkan obat hanya sarana dan dokter sebagai
prasarana, rumah sakit sebagai ajang ikhtiar atau usaha. Pada hari yang
bersamaan masuknya istri saya kerumah sakit, dokter tetangga saya baru keluar
dari rumah sakit karena sakit juga; saya diskusikan masalah tersebut, dan saya
katakan bahwa bagi mereka yang ingin mengenal Tuhannya dengan lebih dekat,
maka bentuk ujian berupa sakit atau penyakit ini sebaiknya yang bersangkutan
tidak meminta sembuh. Betapa terkejutnya beliau karena profesi dokternya
menolak, lho kok bisa, mengapa demikian; tanyanya. Saya mencoba meyakinkan
dia bahwa pendapat saya itu benar adanya dengan logika religi, yakni dengan
mengemukakan klasifikasi jenis penyakit seperti tersebut di atas (sebagai ujian,
sebagai penghapus dosa, dan sebagai tiket akhir kehidupan). Bagi orang yang
ingin kenal Tuhannya, manakah dari ketiga kretarium tersebut yang merugikan
dan ia yakin bahwa itu semua kehendak Illahi adanya; bukankah bila dipandang
dari sisi illahiah hal tersebut menguntungkan? Dia bertanya, lalu dimana gunanya
kita disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya, dan bahwa setiap penyakit itu
ada obatnya. Saya jawab kembali: disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya
merupakan bentuk ajaran syariat yang memang harus (wajib) dilakukan setiap
manusia, setiap penyakit ada obatnya merupakan informasi tentang harapan
agar manusia mau melakukan hal pertama tadi. Masalahnya kita tidak tahu
apakah obatnya; memang banyak penyakit yang tersembuhkan oleh obatnya,
tetapi masih jauh lebih banyak penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan
obatnya, termasuk demam berdarah tersebut. Menghadapi dilematis yang
demikian itulah kita tidak cukup hanya mengandalkan analisis rasional semata
dengan coba-coba, namun kita perlu menempatkan diri dalam posisi hakiki yakni
apakah sebenarnya suatu penyakit bagi seorang yang beriman?
57
2. Tentang pilihan hidup
Dalam hidup duniawiah ini tentu pula kita pernah merasakan, bahwa apa yang
kita pilih dengan segala cara yang tadinya dikira adalah suatu nikmat, ternyata
setelah dicapai menjadi laknat. Dalam dimensi sosial saya pernah mengalami
suatu pilihan yang untuk diri saya bukan tempatnya, yakni dunia politik yang
dalam hal ini menjadi pengurus partai politik tertentu. Posisi saya sebenarnya
cukup strategis karena berada dalam level pimpinan sehingga mudah mengaksek
kemana-mana. Dengan munculnya undang-undang kepartaian saya harus
menentukan berkarier di partai politik atau di akademik (perguruan tingg), saya
hampir memilih yang pertama (partai politik) karena posisi saya yang
memungkinkan itu yang berarti saya harus keluar. Namun Allah kembali
menolong saya melalui pertimbangan keluarga dan sahabat agar saya tetap di
kampus karena strategis kampus dalam membentuk karakter kader bangsa, yang
tidak setiap orang dapat mengaksesnya, sedangkan saya mempunyai powerfull
karena sebagai seorang Profesor. Namun ada juga kawan yang tidak beruntung
dengan pilihan hidup yang salah tersebut sehingga apa yang sudah dicapainya
selama ini ia buang begitu saja tanpa hasil apapun baik di politik maupun di
akademisnya. Salahkah Tuhan? Tentu saja tidak, karena Sang Pencipta telah
membuat rambu-rambu, baik yang terang (explicit) maupun samar-samar
(implicit) yang harusnya telah diketahui oleh manusia yang dianggap dewasa
(akil balig). Kalau Tuhan melarang minum chamar, bukanlah ingin membatasi
kebebasan manusia, melainkan karena adanya dampak yang amat buruk bagi si
peminum, baik ditinjau dari sisi biologis (kerusakan sel otak), humanitas (etika
dan moral), maupun sosial (patologi sosial). Jika hal tersebut dipilih (orang
menyebutnya melanggar aturan agama), maka konsekuensinya pasti akan ia
terima disaat hidup itu juga dan tidak usah menunggu kelak di akherat. Demikian
juga dengan pilihan untuk “jajan” seksual di pasar gelap atau terang, itu adalah
pilihannya sendiri; sekalipun anak-istrinya tidak bisa mencegahnya. Maka jangan
heran bila dia divonis dengan menderita penyakit AID-HIV atau Sipilis yang
58
mematikan; jangan menunggu konsekuensi diakherat karena pelanggaran syar‟i,
karena di dunia itupun ia menderita kesakitan fisik yang bukan main dan isolasi
sosial yang menghinakan. Masih banyak contoh lainnya yang seringkali kita salah
memilih dalam hidup ini yang dikarenakan “kerdilnya” pengetahuan kita tentang
memaknai arti sesungguhnya kehidupan ini, sehingga manakala pilihan telah kita
tetapkan ternyata menemui jalan buntu yang sulit terus dan sulit kembali. Orang
yang nalarnya panjang, setelah menempuh hidup panjang berkeluarga penuh
cinta-kasih, cita dan citra dari istri, anak, saudara, kawan, masyarakat; akan
berfikir seribu kali untuk menempuh perkawinan baru (poligami), sekalipun
syariat membolehkannya. Karena bukankah dengan yang baru tersebut ia akan
kehilangan kasih sayang yang ada tadi dan muncul kebencian dari istri pertama,
rasa jijik dan malu dari anak-anaknya yang mengijak dewasa, rasa tidak percaya
dari masyarakat, beban ekonomi yang menyesakan dada, dan reduksi jihad
terhadap kebenaran karena jiwanya telah tergadaikan demi wanita. Sering
penyesalan dirasakan setelah “buah ranum yang baru” menjadi pahit. Tapi itulah
pilihannya sendiri. Rasaiin Lhu, kata orang Betawi.
Disamping pilihan hidup yang berbau aktifitas keseharian, pilihan hidup
yang tidak kalah penting adalah manakala kita menentukan jodoh yang
dengannyalah dibangun mahligai rumah tangga. Memang sulit untuk
menentukan atau mengira apakah setelah terjadinya pernikahan atau
perkawinan dapat berlangsung lama atau justru hanya sekejap (seumur jagung
kata orang Jawa). Banyak faktor yang dominan dalam menentukan pilihan jodoh,
antara lain: masalah pendidikan, masalah watak, masalah kerupawanan (wajah),
masalah status sosial, masalah agama, dan sebagainya. Kurang luasnya
penglihatan seseorang pada faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan
pendeknya umur perkawinan tadi. Sering kita dihadapkan pada pilihan yang sulit
dipilih, misalnya: status sosial bagus, tapi wajahnya buruk; wajahnya indah, tapi
wataknya buruk (ketus, emosional, dll); cantik, status sosial baik, tapi berbeda
agama dan keyakinan; wajah buruk, status sosial rendah, pendidikan rendah,
59
watak tak terpuji, ekonomi miskin, yah sebaiknya dihindarilah karena tidak ada
yang tersisa untuk dipilih.
Mungkin masalah inilah yang menyebabkan saya masuk perkawinan relatif
lambat (usia 30 tahun), disamping faktor studi tentunya. Dalam tulisan ini saya
sajikan Gambar 3.1. akad nikah saya tahun 1979 didepan penghulu, disamping
istri dan ayah mertua.
Demikian pula dengan nabi Sulaeman dikala diminta memilih oleh Tuhan
antara kerajaan plus kekayaan yang ada didalamnya dengan ilmu pengetahuan.
Maka Sulaeman lebih memilih ilmu pengetahuan, maka ia memiliki kerajaan plus
kekayaan. Nikmat itulah yang menjadikan beliau mawas diri (bukan angkuh),
seraya doanya: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham (ilmu pengetahuan) untuk tetap
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai;
dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang shaleh".
Mungkin riwayat-riwayat berhikmah itu pulalah yang memantapkan saya
untuk konsisten berada dalam jalur keilmuan sebagai dosen yang diwujudkan
dengan berbagai kegiatan seperti mengikuti seminar-seminar, penelitian, menulis
buku (termasuk buku ini), ceramah, mengajar, melakukan kegiatan
kemasyarakatan yang berbau keilmuan, dan sebagainya. Dunia keilmuan itulah
yang sangat membantu saya untuk mengenal, merasakan, memahami, dan
membimbing saya membuka cakrawala dunia seisinya, baik yang menyangkut
alam materi maupun non materi. Bagaimana tidak, yang tadinya tugas utama
saya hanya dalam bidang hama dan penyakit tumbuhan, saat ini diminta
pemikirannya kearah yang lebih luas karena kita hidup dalam masyarakat yang
amat luas. Maka dengan pemberian kunci-kunci ilmu pengetahuan itulah saya
menjelajah dunia lebih luas lagi, antara lain: filsafat (dosen di Pascasarjana),
63
politik (pernah menjadi wakil ketua partai politik tertentu Provinsi Jatim),
lingkungan global (anggota Kementerial Lingkungan Hidup tahun 80-an dan
ICETT Yokkaichi Jepang), ekonomi (baitul-mal), agama (pembina Pusat Kajian
Islam & Sains “Bhima Sakti” Malang), sejarah (khususnya perkembangan
peradaban dan Islam & Iptek), biotek (pengembangan potensi plasma nutfah
dalam pertanian), sosial (aktif dalam perkembangan pemikiran sosial), hukum
(pernah kuliah di FH UMM), dan sebagainya.
Dengan pengetahuan itulah saya menjadi lebih tahu, mana boleh dan
mana tidak boleh dimasuki; sehingga hidup tidak menjadi sia-sia dan terseok-
seok pada jalan yang penuh duga. Saya paham ilmu ekonomi, dan dengan ilmu
pertanian sayapun sanggup memasuki praktek ekonomi untuk mendapatkan
limpahan keuntungan yang lebih “berjibun” dibandingkan hanya menunggu gaji
bulanan PNS. Tetapi dengan pengetahuan itu pula melarang saya untuk
menerjuninya karena adanya kendala waktu, ketidak jujuran dalam barter,
sosial, dan lain-lain sehingga bila dipaksakan maka akan menjadi bumerang bagi
keilmuan yang selama ini saya geluti.
Profesi sebagai guru ini pulalah yang memacu saya untuk
mengembangkan bakat saya dalam mentransfer pengetahuan ke orang lain,
sehingga pada tahun 1985 (satu tahun setelah mendapatkan titel doktor, Dr.)
saya mendirikan sebuah perguruan tinggi yang berbasis pertanian yang saya beri
nama Institut Pertanian Malang (IPM). Semua konsep saya siapkan mulai dari
studi kelayakan, kurikulum, silabus, perizinan, yayasan, program studi, lokasi,
dan lain-lain. Dalam tahun pertama dengan status izin operasional, saya
mendapatkan mahasiswa sebanyak 300 orang yang terbagi dalam tiga fakultas,
yakni: Pertanian, Teknologi Pertanian, dan Kehutanan. Pada awal berdiri, saya
harus memilih antara sebagai pengelola perguruan (Rektor) atau pengelola
yayasan (ketua), karena tidak boleh dirangkap. Mengingat saya yang tahu seluk
beluk perguruan tinggi maka saya bertanggungjawab sebagai Rektor, sedang
ketua yayasan saya pasang orang lain yang tidak tahu menahu pendidikan dan
64
bukan sarjana, yah saya anggap orang baik dan mau berbuat baik (ternyata
kemudian menjadi blunder). Demikian pula untuk mengisi berbagai jabatan dari
dekan, sekretaris dekan, pembantu rektor, kepala tata usaha, dosen tetap, dan
sebagainya, saya tawarkan kepada orang-orang terdekat dan saya kenal.
Perkuliahan berjalan normal dari awal dan selalu mendapatkan mahasiswa baru
serta pertambahan staf pengajar. Mengijak tahun ketiga (1988), mulailah orang-
orang yang selama ini saya bantu (tolong) yakni dari ketua yayasan dan seorang
PR dan Dekan bermanuver untuk menguasai perguruan yang saya buat dengan
tangan saya tersebut. Mereka membuat SK baru untuk mangganti saya agar
supaya menguasai asetnya (memang ternyata oleh kelompok ini kemudian dijual
dan uangnya dibagi-bagi), yang tentu saja tidak sesuai dengan maksud saya
mendirikan institut tersebut. Disinilah saya mulai menghadapi nilai sosial yang
dikenal sebagai pengkhianatan yang pelakunya disebut sebagai para
pengkhianat. Sebagai manusia biasa rasa jengkel, marah, dendam, jijik, dan
lain sebagainya kegalauan hati menjadi satu. Namun dampak pemahaman nilai
agama saya tentang makna hidup menginsyafkan saya untuk melihat dibalik
kejadian itu semua, ada apakah ini? Akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan
menengok tentang usia saya, yakni pada kejadian tersebut mengijak 40 tahun,
yang kata orang merupakan umur awal kenabian atau hampir semua nabi
diangkat menjadi pesuruh Tuhan pada usia yang matang tersebut. Disitulah saya
bertafakur untuk melihat kejadian apa saja pada usia tersebut, yang tenyata
sungguh mengejutkan saya, yakni: saya mendapatkan ujian fisik dan mental
yang berat secara bertubi-tubi, bukan karena saya berbuat salah melainkan
karena taqdir semata. Bagaimana tidak? Tepat Januari 1988 di saat usia awal 40
tahun (lahir 9 Januari 1948), saya menderita penyakit lever Hepatitis B sehingga
harus dirawat di RS selama 2 minggu; sekitar bulan Juni-Juli terjadi pengkhiatan
oleh orang yang saya percaya dengan merebut IPM yang saya buat, akibatnya
saya dihijrahkan Allah untuk mengikuti pelatihan biotek mikoriza di UPLB-Filipina
pada bulan Oktober; sepulang dari Filipina bulan Nopevember saya berurusan
65
dengan Polda menjadi saksi kasus “lemak babi” hasil penelitian Dr. Tri Susanto,
yang menurut hemat saya sudah dipolitisir menjadi sebuah fitnah yang keji dari
penguasa saat itu tetapi sekarang justru menjadi undang-undang negara tentang
“sertifikasi halal-haram” makanan. Akhir tahun yakni bulan Desember kembali
saya berurusan dengan pengadilan sebagai saksi dari orang yang menipu banyak
orang dengan alasan “masuk agama Islam”, saya dan kawan-kawan termasuk
yang tertipu. Nah kapok lhu, mau lari kemana apabila ujian Allah telah
diselenggarakan, maka jalan yang terbaik adalah saya jalani dengan sabar dan
tawakal mengikuti resep-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [2.153]. Resep inilah yang
saya “minum” untuk menghadapi cobaan hidup yang tidak saya minta tersebut
sambil menunggu janji Allah lainnya, yakni: Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran dan kesulitan
hidup) kepada cahaya (iman dan kemudahan). [2.257]. Ternyata resep ini benar-
benar sangat ampuh setelah saya praktekan; karena setelah tahun duka itu
maka munculah kemudahan yang sangat menggembirakan. Yakni sepulangnya
dari Filipina (tahun 1989) saya mendapat dana penelitian Hibah Bersaing I
melalui DP2M Dikti selama 5 tahun (umumnya maksimal 3 tahun). Dengan dana
yang relatif besar pada saat itu, saya bisa mengembangkan karier akademik
untuk ke Guru Besar (1997), bisa menabung untuk pendidikan anak-anak, dan
ibadah haji dengan istri tercinta (1992 dan 1997), dll. Mungkin itulah jalan hidup
saya yang harus di penelitian dan pendidikan, sehingga setelah itu selesai, setiap
tahun saya selalu mendapatkan dana bantuan, baik melalui Dikti, Departemen
Pertanian, maupun pihak swasta. Bahkan sampai buku ini ditulis bersamaan
dengan laporan akhir saya dalam bidang penelitian multi years dari Dikti (Hibah
Kompetensi) dan dari Deptan (Dana Kerjasama Deptan dengan Perguruan
Tinggi). Inilah janji Tuhan yang langsung terbayar di dunia semoga rahman
rahim Allah tercurah pula pada saya dan keluarga di akherat kelak.
66
Dengan pengetahuan dan pengalaman hidup itu pula saya dipercaya
pemerintah sebagai anggota penilai (assesor) perguruan tinggi se Indonesia
(BAN PT) sejak tahun 1989 sampai sekarang. Ditengah-tengah itu pula pada
tahun 2001 saya diminta bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur untuk mendirikan
perguruan tinggi pertanian, dan saya laksanakan dari nol sampai saat ini masih
berdiri. Sepulang dari Kalimantan saya ditunjuk pemerintah sebagai anggota
detasering (detaser) yang ditugaskan untuk membina perguruan tinggi yang
baru dinegerikan yakni di Unijoyo-Bangkalan dan Syah Kuala (Aceh) tahun 2003-
2005. Dan sebagai rasa syukur saya dan keluarga pada karunia Illahi yang
demikian besar tersebut maka saya bangkit untuk menyampaikan pengetahuan
sains yang selama ini saya timba dan pengetahuan agama Islam yang telah saya
dalami dan laksanakan sejak masih remaja. Maka sejak tahun 2001 sepulang
dari Kalimantan tadi berdirilah Pusat Kajian Islam dan Sains “Bhima Sakti”
dengan posnya di rumah saya, dan cabang-cabangnya diberbagai daerah (kota)
di Jawa Timur, yang saya bina langsung setiap minggu pagi, dan berjalan sampai
saat ini (sudah 10 tahun).
70
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur” [57.20].
Mungkin disitulah kesalahan kita dalam melihat segala bentuk isi
duniawiah itu, kita tersilaukan sesaat dan disaat lain setelahnya kita tidak pernah
belajar dengan pintar bahwa apa yang kita genggam atau jalankan itu hanyalah
kulit luarnya, yang isinya masih perlu digali lagi agar terasa cita rasanya.
Dalam melakukan peribadatanpun demikian, betapa banyak manusia
menjalankan shalat yang kadang berjamaah, namun hatinya sendiri-sendiri dan
setelahnya sampai hati untuk nyikut teman sesama jamaah tadi. Mengapa
demikian, yah tidak lain karena perintah shalat hanya sampai kulit luarnya, yakni
sekadar ibadah mahdah (penyembahan) padahal makna yang sesungguhnya
adalah penyerahan. Hanya orang-orang yang telah menyerahlah yang mau
mendengar dan menjalankan semua perintah-Nya dengan penuh keikhlasan
sebagai bentuk penyembahan.
Dalam sebuah hadist diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahab r.a. berkata:
Nabi saw. bersabda: Allah ta'ala berfirman: Tiada semua orang yang
sembahyang dapat dikatakan sembahyang. Aku hanya menerima sembahyang
dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku serta menahan hawa-
nafsunya dari perbuatan-perbuatan haram dan tidak terus-menerus
melakukan ma'siyat, disamping itu ia juga memberi perlindungan dan naungan
kepada orang musafir kelana. la berbuat itu semua untuk-Ku, maka demi
kemulyaan dan kebesaranKu bahwa wajahnya lebih bercahaya disisiKu dari
cahaya matahari. Aku memberinya ilmu menggantikan kebodohannya dan
cahaya menggantikan kegelapannya. Aku mendengarkan do'anya serta
memberinya apa yang ia minta dan memenuhi sumpahnya. Aku melindunginya
dengan kekuasaan-Ku dan menitipkannya kepada malaikat-Ku.
Perumpamaannya dalam anggapanKu seperti syurga "Firdaus" tidak rusak buah-
buahnya dan tidak berubah keadaannya. (R. Addailami). Itulah makna ibadah
shalat sesungguhnya yakni kebersihan jiwa, pikiran dan pengamalan sosial.
71
5. Tentang harapan hidup
Manusia menjadi dinamis dan kreatif sebagai sifat utamanya dibandingkan
makhluk lain, disebabkan mereka mempunyai harapan hidup kearah yang lebih
baik dan terhormat serta penuh kemuliaan. Apabila harapan tersebut telah
tercabut dari dirinya disebabkan berbagai alasan, seperti pahitnya kegagalan,
traumatik, merasa rendah diri, teraniaya, putus cinta, dan sebagainya; maka ia
akan masuk pada suatu ruangan hidup tanpa gerak yakni keputus-asaan.
Apabila ruangan ini telah dimasukinya maka sungguh sulit siapapun untuk
mengeluarkannya, apalagi dirinya sendiri yang nyata-nyata telah menyatukan diri
dengan kepus-asaan tadi. Fenomena keputus-asaan selain yang fatal berupa
bunuh diri, masih banyak bentuknya sehingga dengan mudah kita dapat menilai
dengan terang benderang apakah teman, saudara, keluarga, atau bahkan kita
sendiri sedang menuju ruang atau lembah nestapa tersebut. Beberapa
diantaranya adalah: (a) mengisolasi diri dari pergaulan bermasyarakat dengan
berbagai alasan, mulai dari alasan peribadatan, alasan keluarga (anak dan cucu),
alasan tidak sesuai, alasan status sosial, dll; (b) penampilan berlebihan dan aneh
(mutrofin) dengan cara mentato atau merajam diri, rambut gondrong, laki-laki
beranting dan bercela, bercadar, dll; (c) melarikan diri dari tantangan hidup,
seperti: bermabuk-mabukan; narkoba, merokok, sibuk dengan permainan yang
menyita waktu (time killing) seperti main catur, kartu, berjudi, dll; (d) asyik
masuk dalam dunia khayal yang khayalinya diwujudkan dalam istilah seni,
seperti: melukis, pemahat patung, pemusik, dsb.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa manusia masuk dalam dunia
keputus-asaan tersebut, antara lain:
(1) Kurang bisanya keluar dari kemelut tantangan hidup yang dihadapinya,
apalagi bila terjadi secara bertubi-tubi. Jalan keluarnya adalah berlatih olah
nalar dan olah batin, sehingga antara perasaan dan intelektual menempati
72
posnya masing-masing; karena apabila dicampur maka akan terjadi konflik
kepribadian yang semakin akut.
(2) Kurangnya menimba pengetahuan secara luas dari berbagai sumber yang
benar sehingga tidak terjadi saling tubruk pemahaman yang menyebabkan
kebingungan dalam mengambil kesimpulan. Banyak membaca dan
mendengar serta melihat, kemudian mencoba menghayati apa yang
diinformasikannya, sekecil apapun azaz manfaatnya lama kelamaan akan
menjadi segunung tumpukan informasi yang mempunyai nilai guna.
(3) Kurangnya pergaulan dengan sesama yang mampu menghasilkan manfaat
bagi harkat dirinya, seperti: orang berpengetahuan, berpengalaman,
berakhlak mulia, bersopan-santun, berpendidikan, bergaul luas,
berperikemanusiaan, dan sebagainya. Imbas dari teman atau sahabat dengan
ciri-ciri tersebut lambat laun pasti akan membentuk kepribadiannya yang jauh
berbeda bila seseorang bergaul dengan manusia bersifat tercela.
(4) Adanya faktor luar (eksternal) yang mengkondisikan seseorang dalam dunia
yang tidak punya pilihan, ia merasa terpojok dan dipojokan; faktor ini antara
lain: pendidikan orang tua yang otoriter, pendidikan sekolah yang
menekankan pada prestasi akademik semata bukan kepribadian, salah
memilih teman hidup maupun pergaulan, dll.
(5) Faktor bawaan (internal) khususnya yang berhubungan dengan kejiwaan,
seperti: emosional, kesurupan, pelamun, dsb. Jalan terbaik adalah dijauhkan
dari penyebabnya dengan mengkondisikan lingkungan hidupnya, sifatnya
bukan penyembuhan namun penghindaran; dan perlu pengawasan khusus
dari akhlinya (psyater) atau ahli hikmah.
Abu Hurairah berkisah berdasar cerita Nabi: Hiduplah seorang laki-laki yang
selama hidup tak pernah berbuat baik selain keyakinan hanya Allah Yang Maha Esa.
Ketika ajal siap menjemput, ia berpesan kepada keluarganya, "Jika aku mati, bakarlah!
Buang abunya ke laut saat angin bertiup." Keluarganya memenuhi pesan tersebut.
Ketika di akhirat Allah bertanya kepadanya, "Amal apakah yang kau jadikan bekal ?"
"Hanya rasa takut menghadap Engkau, wahai Tuhan," jawabnya. Lantas Allah
mengampuninya. Sedangkan dia sama sekali tak pernah berbuat baik selain
mengesakan Allah.
Pada masa Nabi Musa, seorang laki-laki meninggal. Karena ia sesat maka para
penduduk enggan memandikan dan menguburkannya. Mereka menendanginya dan
membuang ke tempat sampah. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa dan
berfirman, "Hai Musa! Ada laki-laki yang mati. Mayatnya dibuang di tempat sampah. Ia
salah satu wali-Ku. Ia belum dimandikan, dikafani dan belum dikuburkan. Pergilah
79
kamu kesana! Mandikanlah, kafanilah, shalatilah lalu kuburkan dengan baik.
Kemudian Nabi Musa mendatangi tempat tersebut. Ia bertanya kepada penduduk
setempat tentang mayat tersebut. "Ya. Seorang laki-laki sesat, bermoral rusak telah
mati di sini." "Dimana mayatnya? Allah menyuruhku kemari adalah karena laki-laki itu.
"Bersama mereka Nabi Musa pergi. Ketika melihat langsung mayat yang terbuang di
tempat sampah itu dan mendengar penuturan penduduk tentang keburukan
perbuatannya, maka Musa penasaran. "Wahai Tuhan, Kau suruh aku mengkafani dan
menshalatinya, sementara kaumnya menyaksikan dia seorang yang tercela. Engkau
lebih tahu dari mereka tentang kebaikan dan keburukan." Allah berfirman, "Wahai
Musa! Kaumnya memang benar menjatuhkan hukuman karena keburukan
perbuatannya. Hanya saja ketika ia mati aku mengampuninya karena tiga hal. Orang-
orang yang berbuat dosa yang memohon ampunan-Ku pastilah Aku memberikannya.
Bagaimana Aku tidak mengampuni dia? Akulah Yang Maha Penyayang." "Apakah tiga
hal itu, wahai Tuhan ?" tanya Musa. Allah berfirman, "Ketika akan meninggal ia berkata:
Wahai Tuhan! Engkau tahu dengan semua maksiat yang aku lakukan. Hatiku
sebenarnya sangat membenci maksiat itu. Ada tiga hal yang membuatku begitu.
Pertama karena hawa nafsu, pergaulan buruk dan karena Iblis terkutuk. Tiga hal ini
menyeretku ke kancah maksiat. Engkau tahu itu. Ampunilah aku. Kedua : Kamu tahu
kenapa aku berbuat maksiat. Itu karena hidupku dikitari oleh kemaksiatan. Padahal aku
lebih suka bergaul di lingkungan orang shalih dan zuhud. Bersama mereka lebih kusuka
daripada dengan orang-orang sesat. Ketiga; Sungguh, orang shalih lebih baik daripada
orang jahat. Orang shalih lebih kusukai. Bila datang kepadaku orang shalih dan jahat,
pasti akan kudahulukan orang shalih.
(Dalam riwayat Wahab bin Munabbih lelaki itu berkata : Wahai Tuhan ! Andaikan Kau
ampuni dosaku maka akan bergembiralah para wali dan Nabi-Mu. Sedangkan setan
yang memusuhiMu dan musuhku akan bersedih. Apabila Kau siksa aku karena ulah
dosaku maka setan dan sekutunya akan bergembira. Sedangkan para Nabi dan para
wali akan bersedih. Kutahu kegembiraan para Nabi dan para wali lebih Kau suka
daripada kegembiraan setan dan sekutunya. Ampunilah aku! Ya Allah, Kau tahu apa
80
yang kukatakan. Maka rahmatilah dan ampunilah dosaku). Maka Kurahmati dan
Kuampuni dia karena Aku Maha Penyayang. Lebih-lebih kepada orang yang telah
mengakui dosanya, maka Kuampuni dia dan kumaafkan semua dosanya. Wahai Musa
lakukanlah apa yang Kuperintahkan. Akan Kuampuni orang-orang yang menshalatinya,
menghadiri pemakamannya karena kemuliaan lelaki tersebut."
81
BAB IV
Dia adalah zat yang amat tersembunyi yang tempat persembunyiannya tidak
tersembunyi; Dia hadir (dhohir) dibalik ketidak hadirannya (batin) yang apabila
mewujudkan dirinya maka menjadi batalah segala sesuatu yang wujud; Dia amat dekat
dan yang didengar hanyalah bisikan hati yang tulus, tidak berjarak dan tidak
membutuhkan perantara untuk didekati; luas pengetahuan-Nya setitik dari ilmunya
telah mencukupi kebutuhan hajat hidup makhluknya, yang diberikan kepada mereka
yang membutuhkannya tanpa harus lewat belajar; Dia pencipta jarak, waktu, dan
ruang sehingga mustahil terkungkung di dalamnya, yang sifatnya tersebut dapat
diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.
=====================================================
Istilah berkenalan dengan Tuhan bisa menjadi diskusi yang panjang bagi mereka
yang hanya membatasi dirinya kepada penampakan kulit luarnya atau hanya berstandar
kepada aspek syariat dan terminologi semata. Sebaliknya bagi mereka yang ingin
menjenguk kepada penjelajahan ketuhanan lebih jauh dan mendalam tentu saja hal
tersebut tidak sempat diperdebatkan karena setiap alam pikiran dan kerohaniannya
manakala menyentuh satu titik tertentu ia telah melihat garis yang panjang, begitu
menginjakan kakinya pada garis tersebut iapun telah melebar kepada bidang yang luas,
demikian juga bila ia melangkahkan kakinya kepada bidang tersebut iapun telah berada
dalam ruang tanpa batas. Itulah dimensi atau tingkatan-tingkatan pengenalan kepada
Tuhannya dari dahulu dan kedepan, apakah hal tersebut dikemukakan oleh para nabi
dan rasul atau oleh mereka yang diberi pencerahan langsung oleh Tuhan melalui ilham,
firasat, filsafat, atau sumber pengetahuan lainnya. Benar kiranya dikala Muhammad
s.a.w. diperjalankan Allah ke Sidratul Muntaha melalui peristiwa Isro‟ dan Mi‟rajnya,
ketika Jibril tak mampu menembus alam tersebut, maka beliau dibawa oleh gumpalan
awan untuk menghadap Ilahi; maka ketika ditanya peristiwa tersebut seperti apakah
awan tadi, beliau menjawab berwarna-warni tanpa ada padanannya (yakni bukan
warna biasa). Sahabat bertanya dengan dimensi alam dunia (titik), sementara
Rasulullah menjawab dengan dimensi langit (ruang); maka terjadi jurang yang dalam
82
dan panjang untuk menerangkan, baik yang bertanya dan ditanya tidak cukup
perbendaharaan pengetahuannya untuk menerangkan dan diterangkan.
1. Kelompok naturalis atau serba alam wujud. Pemahaman kelompok ini adalah
sederhana, yakni mengenal Tuhan bukan pada wujud zatnya melainkan kepada
kreatifitasnya dalam menciptakan alam raya seisinya. Terdapat beberapa
argumentasi logis tentang adanya kreatifitas tersebut, yakni: adanya variasi
bentuk dan jenis yang tidak terbatas jumlahnya, adanya ukuran yang pasti dan
tetap pada setiap varians tersebut, adanya konsistensi aturan sehingga tidak
terjadi tubrukan atau benturan yang mengakibatkan hancurnya varians tadi,
adanya fase awal dan akhir yang sulit diduga dengan dimensi waktu planet
biasa, adanya perubahan bentuk, warna, dan ukuran karena suatu sebab yang
bergerak dari waktu ke waktu; adanya kesinambungan peruntukan dan fungsi
dari berbagai varians yang saling bergantung; dan lain sebagainya. Dalam
perjalanannya dalam kelompok inipun masih dibagi pula pada sub-kelompok,
antara lain:
2) Kelompok yang berhenti pada dimensi terpukau oleh bentuk alam raya
seperti yang disebutkan di atas, sehingga tidak henti-hentinya ia tergagap
dalam rasa kagum yang tidak berujung. Kekagumannya tersebut diukir dalam
ekpresi hatinya melalui lukisan, puisi dan pantun, ukiran, nyanyian, musik,
83
dan sebagainya. Kelompok ini dikenal sebagai seniman atau sastrawan, yang
kemudian terbagi lagi dalam berbagai aliran seni atau sastra, seperti aliran
naturalis, abstraksi, bebas nilai, dan lain-lain.
3) Kelompok yang mencoba mencari rahasia dibalik yang ada tersebut dalam
dimensi pemikiran, karena tidak mungkin bintang yang jumlahnya triliunan di
langit menjadi mubazir belaka karena tak satupun yang dapat digapai
manusia. Kelompok ini dikenal dengan kaum pemikir atau filsafati
(manusianya disebut filosof). Ditemukannya hukum gravitasi bumi tidak lain
karena Isaac Newton mempunyai nalar filosofis tersebut, dengan logikanya
yang sederhana, mengapa benda selalu jatuh ke tanah (bumi) ?
2. Kelompok serba benda (materi). Pemikiran atau pendapat dari kelompok ini amat
bersahaja saja yakni, bahwa alam raya ini pada dasarnya hanya merupakan
kumpulan materi atau benda dan energi atau tenaga saja. Setiap bentuk materi
sekecil apapun ia (atom misalnya) tentu mempunyai energi yang tersimpan
(energi kinetik atau energi potensial) yang dapat diukur dan dimanfaatkan.
Apabila terjadi perubahan bentuk dari materi tersebut, apakah menjadi bagian
kecil (fraksi), memadat atau menyatu dengan materi lain (fusi); maka tentu akan
terjadi pelepasan energi yang energi tersebut tidak akan hilang. Munculnya ilmu
fisika berupa teori dinamika I dan II tidak lain adalah mengikuti paham tentang
kekekalan materi dan energi tersebut. Dalam kelompok ini dapat terjadi dua
aliran yang jangkauannya sangat luas dan mendasar, antara lain:
Melihat begitu banyaknya aliran keagamaan yang terdapat di muka bumi ini yang
berkembang dari generasi ke genarasi adalah menjadi bukti bahwa manusia
pada prinsipnya punya keinginan untuk mengenal Tuhannya dan berdekatan
dengan-Nya. Tentu saja masing-masing aliran tersebut mempunyai argumentasi
yang demikian kental sebagai keyakinannya atas dasar berbagai latar
belakangnya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pencarian pengenalan
ketuhan dalam kelompok religius dapat dibagi dua, yaitu:
2) Aliran religius yang pengenalan Tuhannya melalui sumber wahyu atau kitab
suci. Berdasarkan sumber wahyu tersebut pada dasarnya aliran dalam
kelompok ini jauh lebih awal datangnya dan paling tua usianya. Pengakuan
tersebut berdasarkan atas munculnya manusia pertama yang disebut Adam
yang mengenal Tuhannya jauh sebelum dia sendiri bersama istrinya (Hawa)
mengisi bumi ini untuk beranak pinak (regenerasi). Akan tetapi dengan
semakin jauhnya jarak usia generasi awal dengan berikutnya, maka Tuhan
berdasarkan wahyu tersebut semakin tidak dikenal. Itulah yang menyebabkan
manusia mencari jalannnya sendiri untuk mencari tuhan karena kebutuhan
insting rohaninya. Sehingga dikemudian hari terjadilah pelurusan jalan
menuju Tuhan itu dengan diutusnya para Rasul dan Nabi untuk
menyampaikan formula wahyu tentang cara mengenal Tuhan yang dilengkapi
dengan softwarenya dan tersempurnakan pada kenabian Muhammad s.a.w.
Dalam konsep wahyu ini Tuhan diaktualisasikan sebagai Zat Tunggal (Esa),
yang keberadaannya dapat dikenal melalui sifat, tabiat, dan perbuatannya
86
yang semuanya menyatu dalam wujud tunggal yakni asmaul husna (zatnya
tunggal namun sifatnya terwujud dalam alam raya seisinya). Semua jenis
kitab suci yang diturunkan dan nama-nama nabi atau rasulnya disebutkan
secara gamblang, hanya ada yang tidak dijelaskan karena diduga
berhubungan dengan kegunaannya. Sayangnya yang sampai pada generasi
sekarang, hanya tinggal satu kitab suci yakni Al-Qur‟an yang masih mampu
bertahan keasliannya (originalitasnya), sementara kitab suci lainnya
diragukan keasliannya. Tidak sulit untuk menguji keaslian suatu sumber
informasi tersebut karena dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:
bahasa ibu yang digunakan pada saat diturunkan, kodifikasi (pensyahan) oleh
generasi awal atas pembawa risalahnya, sulit dipalsukan karena adanya
kunci-kunci hafalan yang kuat dari generasi ke genarasi, isi (matan)
kandungannya tidak bertubrukan satu sama lain dan mengandung kewajaran
logika (mantik), siap untuk dikoreksi dengan argumentasi sejenis atau lebih
tinggi derajatnya. Bahkan Al-Qur‟an sendiri dibukukan justru oleh para
sahabat nabi sendiri sebagaimana cerita berikut: Setelah wafatnya
Muhammad s.a.w. terjadilah suatu peristiwa dimana seorang penipu bernama
Musailamah Al-Kazzab menganggap dirinya sebagai nabi. Maka orang yang
lemah imannya banyaklah yang kembali murtad. Setelah keadaan bertambah
genting Abu Bakar r.a. (sebagai khalifah) telah memerintahkan memerangi
untuk memberantas gejala buruk ini, maka terjadilah satu peperangan yang
hebat. Dengan bantuan Allah s.w.t. tentara Islam dapat menewaskan dan
membunuh Musailamah. Dalam peperangan ini banyak para hafiz (penghafal
Qur‟an) yang terbunuh. Hal ini amat membimbangkan Abu Bakar. Maka
beliau memerintahkan Zaid bin Thabith untuk mengumpulkan lembaran ayat-
ayat Al-Quran untuk dibukukan. Ketika mendengar perintah itu Zaid berkata:
Dengan nama Allah, jika tuan menyuruh saya mengubah gunung dari satu
tempat ke satu tempat yang lain tidaklah ia membebankanku dari
mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Quran. Bagaimanakah sanggup tuan
87
melakukan sesuatu yang Rasulullah sendiri tidak melakukannya?" Abu Bakar
r.a. menerangkan bahwa tindakan ini terpaksa dibuat demi menyelamatkan
Al-Quran dari terpupus (hilang). Setelah Zaid mendengar penerangan itu,
maka iapun menemui penduduk-penduduk di situ dan mengumpulkan satu
demi satu lembaran ayat-ayat Al-Quran dari mereka yang ada dan
menyalinnya. Zaid r.a. juga menemui para hafiz yang menghafalnya dalam
hati mereka sehingga dapatlah Zaid mengumpulkan hingga ayat yang
terakhir.
Dengan uraian tersebut di atas maka menjadi bahan renungan bagi kita, mungkinkan
kita mampu mengenal tuhannya apabila tidak ada peta yang menuntun kesana atau
tidak ada buku software yang bisa kita gunakan untuk mengenalnya. Ilmuwan saat ini
telah terjerumus pada paham yang menyulitkan dirinya sendiri untuk jauh dari
pengenalan terhadap tuhannya dengan membingkai dirinya dalam figura methode
ilmiah yang sekuler (segala sesuatu yang berbau tuhan ditolak). Demikian pula kaum
religius yang mencari tuhan atas pencariannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam
sangka-sangka semakin abstrak dan berbenturannya nilai tuhan bila diejawatahkan
dalam dimensi sosial dan berbudaya. Arca-arca, simbol-simbol berbau keagamaan,
piramid, stupa, ritual persembahan dan pengorbanan, dan sebagainya, menjadi bukti
tentang kegagalan manusia dalam menjumpai tuhannnya. Hal serupa bisa juga terjadi
pada kaum yang mengikuti aliran monotheisme yang kemudian berbelok menjadi aliran
polytheisme dan mendekati kepada mistik dan ritual. Dari kelompok ini yang paling
ketara adalah agama Nasrani yang telah pecah belah menjadi berbagai sub aliran yang
sama sekali berbeda dalam sistem kepercayaannya dan ritualnya (silahkan dilihat
perbedaan antara Katolik, Protestan, Pantekosta, Advent, Ortodoks, Anglikant, dsb.).
Dalam Islampun sebenarnya telah terjadi pula adanya sub aliran seperti Syiah (hanya
bersumber pada garis keluarga nabi, khususnya Ali bin Abu Thalib) dan Sunni (tidak
membedakan garis keturunan), serta adanya sekte-sekte (pecahan) di dalamnya. Hanya
perlu dikritisi disini bahwa adanya aliran dalam Islam tersebut tidak sampai kepada hal
yang sifatnya prinsip yakni tentang Keesaan Tuhan dan cara peribadatan (ritual). Prinsip
88
tauhid tersebut demikian dijaga dalam Islam sehingga simbol aktualisasi Tuhan dan
nabinya dilarang sama sekali sampai saat ini dan dikontrol ketat oleh setiap muslim.
Demikian pula dalam hal ritual apakah itu shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, serta
shahadatnya tidak ada perbedaan sama sekali. Memang ada sekte-sekte tertentu
seperti aboge (Jawa), Ahmadyah (Pakistan), Bahiyyah (Iran), dsb; semuanya mengaku
sebagai pembaharu dalam Islam namun semua ulama Islam sepakat bahwa sekte-sekte
tersebut bukan Islam melainkan mengaku Islam yang disebabkan oleh kepentingan
politik tertentu. Adanya pengelompokan dalam Islam sehingga teraktualisasi dalam
gerakan dakwah eksklusif seperti: kelompok bergamis, bercadar, berjenggot, celana
“cingkrang”, dari mesjid ke mesjid, dan lain-lain yang sekarang berkembang pesat
adalah semata-mata karena pemahaman hadist nabi yang “sempit” yang kemudian
menjadi gerakan sosial. Sementara gerakan-gerakan keIslaman yang berbau politik juga
mewabah saat ini sebagai respon dari tekanan sosial dan politik umat lain, di dalamnya
terdapat: Hisbut Thahir (Yordania), Ikhwanul Muslimin (Mesir), Wahabi (Saudi Arabia),
dan lain sebagainnya. Memang terdapat pula aliran Islam yang menyerempet pada
persoalan akidah pada masa lalu dan pernah menjadi gerakan politik atau dipolitisir
antara lain: Aliran Mu‟tazilah, Aliran Asy‟ariah, Aliran Maturidiyah, Aliran Jabariyah,
Aliran Qadariyah, dan sebagainya.
Setelah kita ikuti berbagai aliran yang mencari ketuhanan tersebut di atas, maka
tentu kita akan bertanya apakah sampai mereka semua itu menemukan Tuhannya?
Saya tidak berani untuk menjawab secara vulgar karena keterbatasan pengetahuan
saya tentang hakekat sesungguhnya dari pertemuan antara hamba dan kholiknya.
Keterbatasan pandangan tersebut sama juga seperti halnya nabi Musa a.s. ketika
“berguru” kepada Khidir tentang ilmu yang diberikan secara khusus kepada Khidir,
sekalipun ilmu kitab sudah dikuasai oleh Musa karena memang dia adalah Rasulullah.
Orang musyrik bisa saja secara tiba-tiba mendapatkan Tuhannya, sementara orang
beriman bisa saja terhempas atau terlempar jauh dari hadapan-Nya.
Demikian tertutupnya rahasia Tuhan tentang segala kejadian, maka tidak aneh
pula tentang keberadaannya; sebenarnya tidak sulit bagi siapapun untuk mengenal
89
Tuhannya selama dia mau “mencampakan” keakuannya yang umumnya menjadi
tembok tertutup rapat bagi masuknya petunjuk dan bimbingan Illahi yang akan
mengenalkan dirinya. Isyarat ini telah dikemukakan oleh Tuhan itu sendiri melalui
wahyunya sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” [2: 6-7].
Manusia cenderung selalu merasa sudah tahu segalanya sehingga perlu merubah
pandangan dan sikap untuk menjadi insani yang butuh pengetahuan. Dengan
perubahan tersebut maka mata hatinya akan menjadi lebih sensitif terhadap segala
informasi yang masuk sekecil apapun “bisikannya”. Bagi seorang ibu yang mempunyai
hati ke-ibuan, maka rengekan atau tangisan bayinya akan direspon dengan perhatian
yang mendalam dan luas, mungkin bayi tersebut gatal, sakit, lapar, takut, kaget, buang
hajat, ingin didekap, dan sebagainya. Tetapi bagi si ibu yang telah tercabut hati
keibuannya, mungkin akan mengumpat, apalagi maunya anak ini, sudah disusui kok
masih rewel saja (sebenarnya yang rewel ibunya yang telah tertutup matahatinya).
Pada manusia tipe kedua Tuhan enggan “mendekat” sekalipun dekat yang disebabkan
ketidak layakan hati sang ibu tersebut yang kesat dan keras, sementara Tuhan Maha
Halus dan Lembut. Sementara pada tipe ibu pertama, Tuhan akan memberi jalan-
jalannya semakin terbuka dan naik pada pintu “makrifat” yang semakin hari akan
semakin terang benderang.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya telah pula memberikan sinyal tentang jalan
menuju pengenalan Tuhan, sayangnya manusia hatinya terkesatkan atau menjadi
semakin keras oleh “kesombongan” dan kebanggaan terhadap apa yang diketahuinya
sekalipun baru mencapai permukaannya. Maka apabila ilmu pengetahuan tidak
membukakan jalan bagi si pencinta ilmu tersebut, ia laksana lumpur hidup yang tak
tampak dari permukaan tetapi bila terinjak atau dimasukinya, maka ia akan menjadi
kuburan masal bagi para ilmuwan itu sendiri. Jasmaninya hidup sehat, namun hatinya
90
telah mengeras menjadi batu bahkan lebih keras lagi, sehingga mana mungkin ia kenal
akan Tuhannya. Melihat fenomena itulah maka sudah saatnya kita yang diberi ilmu
pengetahuan dan bisa mengaksesnya, mencoba mencarikan terobosan baru agar
supaya segala sesuatu yang dipelajari dan didapat dari pelajaran tersebut sanggup
mengenal Tuhannya. Terdapat beberapa anak tangga untuk mencapai hal tersebut,
yang apabila dinaiki secara perlahan dan sistematis, maka taqdir pencarian Tuhan akan
terpenuhi juga. Apakah anak tangga tersebut?
91
studi banding dengan tingkatan sosial lain sangat banyak dalam sejarah umat
manusia, apakah mereka itu kaum pemikir, hartawan, pejuang, negarawan, ahli
ibadah, hakim yang adil, pendidik, dan lain-lain. Maka kalau hal ini yang
dijadikan cara berfikir untuk melihat sejarah, betapa “kerdilnya” jejak sejarah
hidup kita, bahkan kita belum mampu merubah atau mewarnai sejarah seperti
orang-orang mulia yang mendahului kita. Dalam posisi berfikir dan kesadaran
demikianlah kita baru bisa memperbaiki diri dengan mengukir hari ini sebagai
kenyataan hidup karena saat inilah kita bisa berbuat. Banyak nian warna yang
dapat kita torehkan pada waktu saat ini supaya menjadi sejarah hidup yang
indah dimasa akan datang. Bukankah pada diri kita masih diberi tangan yang
dengan itu kita menggapai dan bekerja; mempunyai kaki yang dengan itu kita
bisa mencapai; mempunyai panca indra yang dengan itu kita membaca, melihat,
merasa, mengecap dan meraba; kita masih diberi akal fikiran yang sehat (belum
pikun) yang dengan itu bisa membuat kreasi dan mengembangkan
pengetahuan; mempunyai perasaan yang dengan itu dapat membedakan mana
yang baik dan buruk. Itulah faktor internal kita yang perlu difungsikan secara
maksimal agar supaya kenyataan hari ini menjadi fakta bagi hari esok. Hari esok
yang menjadi lamunan adalah apabila kita dalam berpijak pada hari ini selalu
menunda waktu untuk berbuat sesuatu dengan dalih masih ada hari esok,
padahal tidak ada seorangpun yang menjamin apakah hari esok itu benar-benar
milik kita! Janganlah kita menjadi si Kabayan dalam cerita rakyat Sunda. Dikala
disuruh mertuanya pergi ke huma (ladang atau kebun) untuk bertani menanam
jagung, dipilihnya dangau (tempat istirahat di sawah atau ladang) kemudian dia
berleha-leha sambil tiduran menikmati angin pagi yang sejuk seraya berkhayal
atau melamun. Dipaculnya tanah, dibalik dan diolah agar gembur, setelah itu ia
tugal untuk lubang tanaman biji jagung satu per satu, ditunggunya hujan,
dilihatnya tumbuh dan membesar tanamannya, mulailah dia membentuk bunga
dan jadilah tongkol jagung, kemudian sambil bernyanyi dipetiknya jagung muda
untuk dibakar karena perutnya terasa lapar, namun betapa kagetnya ia waktu
92
akan menggigit biji jagung digebah (disablek) orang yang ternyata si Iteung
(istrinya) membangunkan disianghari sambil ngomel ia berkata: mana kang
pekerjaannya, kok malah molor! Mungkin sayapun adalah bagian dari si Kabayan
yang banyak berkhayal sehingga hidup tidak produktif dan untuk itulah saya
berusaha memperbaiki diri merubah lamunan menjadi harapan. Lalu bagaimana
caranya, bisakah? Tentu bisa bila kita mempunyai ilmunya, maka baiklah kita
belajar pada seorang petani tua yang sedang menanam tanaman korma disiang
hari yang panas. Datanglah padanya seorang raja yang menyamar sebagai
rakyat jelata, didekatinya si petani tersebut seranya bertanya: Wahai orang tua
tumbuhan apakah yang kamu tanam? Bibit korma, jawabnya singkat. Ia
bertanya kembali: Lho dari raut muka tuan nampaknya sudah berusia lanjut!
Benar, saya sudah umur 70 tahun saat ini jelasnya. Diteruskan oleh sang Raja:
Lalu bagaimana kamu menikmati hasil panennya karena korma berumur
panjang? Jawabnya: Emangnya hasil panennya untuk saya, kalau dahulu kakek
saya tidak menanamnya tentu saya tak menuai hasilnya! Betapa terkejutnya
sang raja mendengar hal tersebut, karena iapun hanyalah memanen hasil orang
tuanya sebagai raja, maka disuruhnyalah pengawalnya untuk memberi
sekantong uang sebagai hadiah kebajikan orang tua tersebut, dengan katanya:
Orang tua terimalah ini sebagai rasa syukur saya menerima pengetahuan
tentang kebijakan dari tuan. Melihat hal ini si petani tersenyum (bukan gembira
karena hadiah, melainkan karena berhasil memberi pelajaran) dan katanya: Ha
ha, belum juga tumbuh ternyata pohon kurma saya sudah berbuah!
Pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk menguasai semua dimensi ruang
dan waktu tersebut, baik masa lalu, saat kini, maupun masa depan; tanpanya
kita akan dimakan oleh waktu dan digencet oleh ruang sehingga cepat tua
93
dengan organ tubuh baik jasmani dan rohani yang menjadi rapuh. Kelihatan
besar, indah menarik, tetapi apalah artinya semua itu kalau hanya laksana
sebuah krupuk yang hancur digenggaman anak kecil dan melempem dikala
dicelup ke dalam air.
Pengetahuan menjadi penting bukan saja ia akan menjadi penerang bagi dirinya
sehingga ia mudah menjalani kehidupan ini namun juga berguna untuk orang
lain yang membutuhkannya, hal ini dijelaskan oleh suatu hadist berikut. Dari
Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi bersabda :
"Barangsiapa mempelajari satu bagian dari ilmu yang akan berguna untuk
akhirat dan dunianya, maka Allah akan memberikan kebaikan dari orang-orang
yang mendiami dunia selama 7000 tahun. Puasanya pada siang hari dan
shalatnya di saat malam pasti diterima dan tak akan ditolak." Menurut riwayat
yang sama Nabi bersabda : "Membaca al-Qur'an adalah amalan orang-orang
yang cukup. Shalat adalah amalan orang yang lemah. Puasa adalah amalan
orang yang fakir. Bertasbih adalah amalan wanita. Sedekah adalah amalan orang
berada. Tafakur adalah amalan orang yang lemah. Inginkah kalian kutunjukkan
amalan para pahlawan ?" "Apakah amalan para pahlawan itu, Ya Rasul ?"
"Mencari ilmu. la akan menjadi penerang bagi orang mukmin di dunia dan
akhirat."
94
2. Tangga kedua disebut tangga penyerahan
96
laku, dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah sami‟na wa a‟thona (kami
dengar dan kami taat). Dengan metode ini maka setiap informasi kebenaran
yang sampai lewat sumber wahyu hendaknya pembuktiannya melewati diperbuat
dahulu, sehingga ia akan membentuk kharakter baru dari si pelaku, yang
kemudian akan berubah menjadi pola baru pula dari yang bersangkutan baik
menyangkut cara berfikir, berbuat, berprasangka, bermasyarakat dan
sebagainya. Dalam bahasa ilmiah hal ini disebut sebagai “multiplier effect
(pengaruh pelipatan)” yang akan merubah dinamika struktur jiwa dan raga
manusia yang bersangkutan. Ia akan hidup sehat, kreatif, dinamis, motivatif dan
inovatif, berfikir jauh kedepan, pemaaf, dapat dipercaya, dsb.
Orang sering menuduh bahwa Umar itu keras (ekstrim) dan berperilaku
buruk pada masa sebelum menjadi muslim. Pertanyaannya adalah apakah
mungkin, ayat tersebut dapat terbaca oleh mereka yang hatinya kasar dan keras,
97
padahal firman Allah itu demikian santun dan lembut, dan zat yang demikian
Maha Tinggi mau mengenalkan dirinya. Disinilah kita sering salah menilai orang,
orang keras pada prinsip dianggapnya jahat sementara orang yang plin plan (tak
punya prinsip) dikiranya baik dan mulia. Sungguh orang yang baik adalah
mereka yang mau tunduk dan menyerah pada kebenaran apalagi bila datangnya
dari Tuhan sendiri serta mau memanfaatkan potensi dirinya untuk
kemasylahatan alam raya seisinya. Mungkin cerita di bawah yang saya ambil dari
buku Piano on the beach (Jim Dornan) ini dapat kita jadikan suritauladan tentang
siapakah sebenarnya diri kita.
Istilah pengabdian tentu saja banyak corak ragamnya, tetapi yang dimaksud
dalam anak tangga ini mengabdi untuk menegakan kebenaran yang tata caranya
99
tentu saja tergantung pada skala atau ruang gerak pengabdian tersebut.
Seorang ilmuwan yang selama hidupnya seluruh potensi dirinya hanya untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sudah pasti akan mendapatkan
reward (pahala) dari pengabdiannya tersebut baik berupa sebutan kemuliaan
atau posisi duniawiahnya.
Manusia yang telah menyerah terhadap Tuhan bisa saja dia ilmuwan, hartawan,
politikus, agamawan, dsb; yang dengan itu ia sudah sewajarnya mau tunduk taat
dalam menjalankan dan mempromosikan kebenaran pengetahuan yang ada
didalam firmannya. Pengabdian kepada Tuhan tentu berbeda dengan kepada
makhluk (sesama manusia). Karena pengabdian kepada Tuhan dimaksudkan
untuk mengangkat derajat kemuliaan dan kemudahan hidupnya baik di dunia ini
maupun akheratnya karena telah tercerahkan akal-fikiran dan nuraninya.
Sementara pengabdian kepada makhluk cenderung untuk mendapatkan “upah
duniawiah” yang dapat membutakan matahatinya terhadap kebenaran.
Pengabdian kepada Tuhan banyak bentuk ragamnya dari yang berupa
penyembahan, pengamalan perintah dan larangan, penyampaian kebenaran
kepada khalayak, sampai kepada pembelaan dengan jiwa, raga, dan harta
terhadap nilai kebenarannya, dll. Penilaian Tuhan terhadap pengabdian hamba
kepadaNya bersifat pelipatan pangkat 10 sampai 700 berarti kepastian;
sementara penilaian sesama manusia atas dasar untung rugi antara yang
mengabdi dan yang diabdi, kalau untung ia mendapatkan reward bila rugi tentu
hanya kehampaan yang didapat.
Manusia yang telah berpijak pada anak tangga ke 2, tentu akan mudah untuk
memahami mengapa Tuhan “mengiming-iming” adanya reward atau pahala
tersebut yang tak lain karena memang itulah logika manusia yakni selalu
mengabdi atas dasar untung rugi. Bila hal ini tetap dipertahankan maka tentu ia
tak akan dapat naik ke anak tangga ke tiga ini. Oleh karena itu bentuk
pengabdiannya adalah bersifat “lepas” dari ikatan apapun, dan hanya semata-
100
mata karena ia senang berbuat dan malu bila tidak berbuat, orang demikian
disebut sebagai “mukhlish” atau manusia yang ikhlash. Ukurannya adalah hanya
pada hasil karyanya sekalipun tanpa namanya namun penuh dengan makna.
Pengabdian demikian sulit dipahami oleh manusia biasa atau kaum awam yang
memang motivasinya hanya duniawiah semata, tetapi bagi mereka yang
memang layak untuk berdiri tegak diatas anak tangga ketiga ini maka semuanya
akan mudah dilakukan, bukan untuk dirinya (vested interst) namun semata-mata
karena ia tahu bahwa yang diabdinya adalah zat yang layak dan tahu cara
menempatkan kelayakan tersebut. Pedoman tersebut bagi kaum beragama
(khususnya muslim) sangat gamblang sekali terukir dalam retorika hadist
dibawah.
Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala berfirman: Apabila
seorang hambaKu berdzikir (ingat) padaKu sendiri, maka Aku dzikir padanya
sendirian, dan apabila ia ingat (berdzikir) padaKu ditengah-tengah khalayak
ramai, niscaya Aku dzikir padanya ditengah-tengah kumpulan yang jauh lebih
baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu. (R. Atthabarani).
Diingat Tuhan dan ditempatkan pada posisi kemulyaan itulah yang menjadi
tujuan pengabdiannya karena tidak ada kenikmatan, keamanan, kesejahteraan,
kemudahan, dan lain sebagainya dalam kehidupan ini baik duniawiah apalagi
akheratnya kecuali bila kita telah mampu menapaki atau beridiri di atas anak
tangga demikian.
101
berbuat. Ia tidak akan pernah mengalami titik jenuh atau masa bodoh dalam
merespon perkembangan dinamika sosial; sehingga perlu adanya prasyarat
untuk menjadi seorang bertawakal yakni, cerdik dan jujur. Kecerdikan diperlukan
untuk bermanuver atau mencari jalan keluar bila ada kesulitan, sedangkan
kejujuran diperlukan untuk mau terbuka bila tidak mempunyai kemampuan
sehingga memberi kesempatan orang lain yang lebih mampu untuk
meneruskannya.
Saya punya cerita yang menarik dalam tawakal ini dari pengalaman hidup yang
benar terjadi.
Ketika saya berhaji pertama kalinya, yakni tahun 1977 seperti tersebut di atas,
saya akan melakukan tawaf sunah di ka‟bah, begitu masuk masjidil Haram saya
dipanggil penjaga keamanan kabah untuk melepaskan tustel saya padanya.
Tanpa pikiran macam-macam saya berikan dia, yang nanti saya ambil setelah
tawaf. Masalahnya justru begitu selesai tawaf orang tersebut tidak ada ditempat,
dan saya tidak tahu kemana perginya. Maka tawakal pertama yang saya lakukan
adalah shalat sunah untuk mendapatkan petunjuk-Nya kemana saya harus
mencari, seraya saya berdoa setelahnya: Tuhanku! tustel tersebut hanyalah
benda biasa, namun punya arti penting bagiku yakni untuk sarana riset tentang
makhlukmu, maka tunjukilah kemana aku mencarinya! Selesai itu tawakal kedua
saya lakukan, yakni dengan mengitari serambi masjid dari ruang ke ruang; nah
tiba-tiba di suatu ruang kosong saya melihat tustel Praktica saya digeletakan di
atas bangku ubin begitu saja, tentu saja saya masuki dan saya ambil. Tuhan
mengabulkan doa saya langsung setelah bertawakal. Seorang yang bertawakal
pada dasarnya melihat segala sesuatu yang menyangkut kehidupan duniawiah
ini datangnya hanya dari Allah semata, dengan kata lain orang yang
menyampingkan fungsi atau peranan Tuhan dalam kehidupan tidak akan
mungkin mampu menaiki tangga tawakal ini. Bagi orang yang telah ada pada
anak tangga ini, sungguh sederhana hidup ini karena semua taqdir pada
102
dasarnya telah menjadi ketetapan Tuhan, kita hanya menjalani taqdir itu dengan
tetap berprasangka baik terhadap kemuliaan dan kebijakan Tuhan. Agama
sendiri telah menuntun manusia bahwa taqdir Allah telah terukir pada tiga hal
bagi manusia, yakni: umur hidup, rezeki, dan pasangan hidup (jodoh). Dalam
masalah umur kita harus bertawakal melalui pemeliharaan diri agar supaya
angka harapan hidup meningkat dengan memperlambat proses penuaan (ageing
process), yakni melalui pola hidup yang sehat, pola batin yang bersih, makanan
yang halal dan bergizi, dan sebagainya. Dirahasiakannya umur seseorang
merupakan berkah agar ia mau berbuat banyak dan punya harapan hari esok,
sementara bila dibuka tentu manusia akan stress dan menjadi putus-asa
(hopeless). Memang dalam riwayat kenabian, pernah ada seorang sahabat
Muhammad s.a.w. bercerita pada beliau, bahwa ia diberi pengetahuan tentang
umur seseorang dan penyebab kematiannya. Mendengar hal ini nabi berbisik:
Tolong rahasiakan dan jangan diceritakan kepada siapapun. Yah! Itu rahasia
yang dibocorkan Allah, namun tetap harus dirahasiakan; yang tersirat dari
peristiwa itu bahwa seseorang yang berbuat kebajikan tentu akan mendapatkan
“bonus” pahala di dunia ini.
Dalam hal rezeki, seseorang dikatakan tawakal tentu melalui proses usaha
bagaimana suatu rezeki tersebut seharusnya diambil. Makanan di piringpun tidak
akan menjadi rezeki baginya bila tidak diambil tangannya dan dimasukan ke
mulutnya. Konon masalah rezeki ini banyak manusia salah pengertian yang
mendasar mengenai bentuk ikhtiar atau usaha untuk mencari rezeki dengan
tawakal. Karena rezeki ini berada dalam taqdir Illahi, maka rumus yang
digunakan dalam mendapatkannya adalah melalui pintu illahi pula. Rezeki
menurut Illahi adalah sesuatu yang sudah dipaket sepertinya umur dan paket
tersebut telah ditempatkan Allah disuatu tempat yang dirahasiakan pula, oleh
karena itu banyak manusia menjadi frustasi karena sulitnya mendapatkan rezeki
tersebut sekalipun telah “membanting tulang”. Jawabnya amat sederhana, yakni
tanyalah kepada yang menyimpannya dimana rezeki itu ditaroh, sehingga kita
103
tinggal mengambilnya. Tuhan menciptakan makhluk hidup dan telah
menentukan rezekinya. Dan hanya Dialah yang tahu dimana rezeki tersebut
disimpan. Informasi wahyu tersebut adalah peluang kemudahan seseorang untuk
mendapatkannya, oleh karena itu bertawakal dalam mendapatkan rezeki adalah
melalui dialogis intensif dengan yang menyimpannya dan setelah tahu
bertawakalah untuk mengambilnya.
104
Maka apabila norma ini telah melekat pada insani manusia ialah yang layak
berdiri di atas tangga kelima ini, seperti halnya cerita tasawuh yang diceritakan
berikut.
Junaid (ahli sufi dan ibadah) punya seorang murid yang lebih dicintai.
Para murid lain menjadi iri. Hal ini diketahui oleh Junaid melalui intuisinya. "la
lebih tinggi dari kalian dalam hal prilaku dan pengetahuan," kata Junaid kepada
murid-muridnya. "Itulah yang kuketahui. Tidak percaya, marilah kita buktikan,
agar kalian menyadarinya." Lalu, Junaid memerintahkan semua murid agar diberi
seekor burung, dan masing-masing diperintah untuk menyembelihnya dengan
syarat tidak terlihat oleh siapapun. Setelah itu mereka diharapkan kembali
sembari membawa burung yang disembelihnya. Semua murid tersebut pergi dan
segera melaksanakan perintah gurunya, kecuali murid kesayangannya.
Semuanya membawa seekor burungnya dalam keadaan telah disembelih dan
mati. Sementara, murid kesayangannya masih hidup burungnya. "Kenapa
engkau tidak menyembelihnya?" tanya Junaid kepada murid kesayangan itu.
“Karena guru berkata bahwa aku harus menyembelihnya ditempat yang tidak
terlihat oleh siapapun," jawab murid tersebut."Ke mana pun makhluk pergi, Allah
selalu melihatnya." "Sekarang, kalian tahu sendiri tingkat pengetahuannya,"
sambung Junaid. "Silakan bandingkan dengan pengetahuan kalian." Kemudian
semua murid yang iri hati tersebut mohon ampun kepada Allah atas
kekeliruannya.
Tuhan telah mampu dihayati sebagai zat yang wujud dan dhohir dalam diri murid
yang satu tersebut, dan itulah essensi ajaran kebenaran hakiki bagsimana Tuhan
yang sulit tersentuh indrawi jasmani dapat dilihat dengan mata rohani. Kepada
orang demikian dunia seisinya menjadi aman dan damai karena ia telah
menghayati kehadiran zat yang Maha Damai.
105
6. Tangga keenam disebut tangga penyatuan
Harga dari suatu komoditas material adalah adanya kesatuan antara bentuk,
warna, dan rasa yang sudah terpaket secara lengket dan alamiah. Orang tentu
tidak akan mencari “semangka berbuah sirih” karena memang tak mungkin ada
di bumi ini; rasa semangka melekat dengan bentuk buah dan warnanya, kalau
toh bergeser hanya variasinya namun tak menghilangkan essensi buah
semangka tersebut. Kalau kita menolak taqdir buah-buahan tersebut maka akan
mendapatkan kesulitan pilihan lain yang serasi; sifat-sifat itulah yang telah
disatukan oleh Tuhan dalam tubuh makhluk hidup dalam bentuk gen.
106
untuk menerima, namun filosof dan ahli kerohanian akan lebih mudah
menerimanya.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya
(50.16].
Anas dan Abuhurairah r.a. keduanya berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala
berfirman: Jika seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku
mendekatinya sehasta dan jika ia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat
padanya sedepa, dan jika ia datang kepadaKu berjalan, Aku akan datang
kepadanya berlari. (R. Bukhari, At-tabarani meriwayatkan dari Salman r.a.).
Sungguh berat bagi saya untuk menerangkan anak tangga ketujuh ini karena
sudah bersinggungan langsung dengan essensi Tuhan itu sendiri sehingga tidak
ada satu kata apalagi kalimat yang bisa menerangkan secara gamblang. Untuk
itu saya hanya bisa mensitir ayat dalam Qur‟an yakni sebagai berikut:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa (tiada). Dan tetap kekal (baqa‟)
Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” [55: 26-27].
Teori kuwantum Planck salah satunya menyebutkan tentang apa yang disebut
dengan “The Uncertainty Principle”, yakni prinsip mengenai segala sesuatu yang tidak
menentu: position/momentum and time/energy (including the rest mass energy mc2), it
is impossible to have a precisely determined value of each member of the pair at the
same time. Dengan memahami teori tersebut maka mustahilah seseorang akan
mendapatkan suatu wujud keberadaan benda tertentu yang sama dalam suatu waktu
apalagi bila waktunya telah berubah maka berubah pula benda tersebut hakekatnya.
108
Mungkin inilah yang dipahami oleh Ibrahim manakala mencari keberadaan tuhannya,
yang dengan metode ekplorasinya mempelajari planet (bintang, bulan dan matahari); ia
sampai suatu kesimpulan yang cerdik, yakni mana mungkin tuhan itu tidak menentu
yang bila demikian sama dengan ciptaannya yang bersifat tidak menentu. Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:"Saya tidak suka kepada
yang tenggelam" [6.76]. Ya Ibrahim tidak suka kepada sesuatu yang tidak menentu,
ia mencari zat yang pasti sehingga kehadirannya menghilangkan keraguannya,
keabadiannya menjadikan segala bentuk mengalami kefanaan. Di tangga demikianlah
manusia akan menempati posisi utamanya sebagai makhluk yang tercerahkan oleh
yang baqa‟, sehingga tindak tanduknya hanya semata untuk mencari keabadian dan
bukan kefanaan. Sulit memang, tetapi dengan keabadian-Nya tersebut maka segala
yang nampak mustahil menjadi faktual, dan perjalanan ketuhanan demikianlah yang
hendaknya menjadi cita-cita insani manusia.
Banyak orang merasa tahu, sekalipun ia tak tahu apa yang mesti tahu
Inilah awal datangnya awan kegelapan, sebelum datangnya badai kehinaan
Sayangnya sadar selalu datang terlambat, dikala daya tak cukup kuat
Tinggalah takdir penentu nasib, penderitaan mesti ditempuh
109
BAB V
MAKNA KEHIDUPAN
Dari apa yang ditulis didepan maka perlu kiranya disampaikan beberapa hal yang
dapat dijadikan pegangan atau rujukan pengalaman hidup dalam mencari Tuhan.
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
(makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini
pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi
dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya
semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
110
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir [13.2-4].
Sungguh sulit diterima akal sehat, bahwa kaedah keilmuan (scientific method)
yang disadari para ilmuwan mempunyai keterbatasan dan sifat kebenaran yang
didapatnya relatif, tetapi ia tidak mau membuka cakrawala berfikir yang lebih luas dan
maju, yakni merintis dirinya untuk mengenal Tuhannya sebagaimana tuntunan
sumber wahyu di atas. Memang terdapat kontradiktif faktual dalam kehidupan bahwa
mereka yang “katanya” telah mengenal tuhan karena telah banyak mempelajari “kitab-
kitab keagamaan”, tetapi dalam kehidupan duniawiahnya mereka memprihatinkan.
Kebodohan, kelaparan, kerusuhan sosial, kemiskinan, dan sebagainya justru melanda
bangsa-bangsa yang menyangka dirinya telah bertuhan. Mengapa hal demikian terjadi,
apakah memang peranan aturan Tuhan tidak dioperasikan dalam kehidupan sosialnya
ataukan adanya paham yang salah “bahwa kehidupan dunia ini bukan tujuan utama
orang bertuhan”?
Dari hasil pengamatan dan pengalaman penulis terdapat beberapa hal yang
sudah terstruktur dalam pola pemikiran masyarakat bertuhan yang justru kontra
produktif dengan maksud Tuhan memberi software agama dan menciptakan manusia.
Khususnya pada masyarakat muslim yang saat ini telah mencapai hampir 1,6 milyar
orang ternyata telah terjadi pendangkalan pemahaman ajarannya melalui berbagai
sekte atau aliran dan analisis dalil Al-Qur‟an dan Hadist yang sempit. Bagaimana tidak,
bahwa dalam Al-Qur‟an Tuhan itu amat dekat dan mendengar apa yang menjadi bisikan
hati di dalam dada, tetapi mengapa umat Islam berteriak-teriak menggunakan loud
speaker bervolume tinggi di masjid-masjid, manakala berdo‟a atau memuji-Nya.
Bagaimana mungkin mendakwahkan hidup sederhana, bersih dari najis jasmani-rohani,
banyak tafakur dari pada tertawa, dan sebagainya; kemudian berdalih demi siar agama
111
ia menyanyi, menari, dan dikelilingi sumber maksiat wanita cantik-cantik disekitarnya di
atas panggung dengan hingar bingarnya suara musik dan tepuk tangan pemujanya.
Bagaimana mungkin dakwah berkembang sesuai dengan peruntukannya yakni
sejahteraan masyarakat, sementara umat Islam untuk membangun masjid saja masih
meminta-minta di tepi jalan. Bagaimana mungkin, manusia memahami isi ajaran
agamanya, sementara kitab sucinya hanya sebagai bacaan untuk orang mati dan
dikhatamkan hanya “semalam” dengan dalih telah mendapatkan pahala dari bacaannya.
Padahala pahala atau reward seharusnya baru ia dapatkan setelah konsepsi yang ada
didalamnya diamalkan, buah amalan itulah yang disebut pahala. Bagaimana mungkin
seseorang mendapatkan khikmah dari perjuangan nabi dan para shabatnya bila tarech
kenabian hanya untuk pengkultusan terhadap diri Muhammad, sahabat beliau, keluarga
beliau, para mujahid (misal ahlul Badr), dan sebagainya; yang seharusnya dianalisis
dari berbagai segi keilmuan seperti: politik, sosial, ekonomi, tatanegara, hukum, dan
lainnya. Yah! Masih banyak lagi ke bagaimana mungkinan yang dapat kita rasakan
disekitar kita untuk diperbaiki agar umat ini lebih kenal dengan ilmu Tuhannya,
maksud-Nya, dan keberadaan-Nya.
Mari kita ikuti alur taqdir illahi dengan penuh rasa tawakal dan penyerahan total
dengan mematuhi aturan yang ada didalamnya dan mengurangi tingkat kesalahan.
1. Bahwa Tuhan sebenarnya telah “mewujudkan dirinya” dalam bentuk sifat dan
perbuatan di alam raya ini yang dapat kita akses atau pelajari agar supaya kita
berada dalam “kedekatannya”. Pengetahuan seseorang untuk memaknai setiap
bentuk dan kejadian dalam perjalanan hidup akan sangat membantu dalam
“membuka” tabir atau tirai “kerahasiaan-Nya”.
2. Jauh-dekatnya Tuhan bukan ditentukan oleh ruang dan waktu melainkan atas
dasar “prasangka” dan tindak tanduk seseorang dalam dinamika kehidupan
kesehariannya. Elastisitas jarak sangat ditentukan oleh yang bersangkutan sesuai
dengan kemampuannya masing-masing dalam menapaki tangga-tangga naik
kerohiannya.
112
3. Suka dan duka pada dasarnya adalah ketiadaan semata yang dapat dikelola
dengan baik berdasarkan pola pikir dan pola rasa. Perjalanan hidup adalah
merupakan laboratorium lapangan bagi setiap orang untuk memanfaatkannya
agar supaya dapat mengelola hal tersebut.
4. Waktu adalah kesempatan untuk bertanam amal kebajikan, yang dengannyalah
pula seseorang menantikan saatnya panen buah kebajikan.
5. Umat Islam telah termarginalkan oleh pemahaman keIslaman yang semu
sehingga menjadi kontra produktif dan bersifat reaktif, sungguh amat sulit untuk
merubah paradigma baru kearah yang lebih produktif, kreatif, inovatif, dan
menjadi motivator bagi terwujudnya peradaban manusia baru.
6. Islam dapat hilang dari peradaban manusia sekalipun Al-Qur‟an sulit dipalsukan,
namun ia hanya akan tersimpan di rak-rak perpustakaan; sebagaimana
hilangnya agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani. Negara-negara
Balkan yang dahulunya menjadikan Islam sebagai rujukan hidup, saat ini telah
menjadi masyarakat atheis sekuler, itulah contoh konkrit di jaman moderen ini
yang harus menjadi bahan pemikiran dan keprihatinan.
7. Manusia tanpa mengenal Tuhan akan laksana planet tanpa matahari, ia akan
dingin, beku, mati, dan tidak menarik karena sulitnya melihat potensi yang ada.
Setinggi apapun posisi yang bersangkutan didalam masyarakatnya, hanyalah
laksana tumpukan mayat beku yang berjalan, essensi manusianya telah hilang,
berupa kesantunan, kehormatan, penyayang, cerdik, keadilan, kebijakan, dan
sebagainya.
113