Anda di halaman 1dari 235

Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rangkuman Sebuah Perjalanan Spiritual

Ditulis Oleh : I Nyoman Kurniawan


Ucapan terimakasih dan sujud hormat saya yang
mendalam kepada para Guru spiritual Agung,
kepada para Ista Dewata pengayom dan pelindung,
serta kepada leluhur.
MENYATU DENGAN TARIAN KOSMIK
ALAM SEMESTA
Rangkuman Sebuah Perjalanan Spiritual

Penulis :
I Nyoman Kurniawan

Diterbitkan oleh :
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rahina Purnama Sasih Kalima, 14 November 2016


Om Swastiastu

Buku ini merupakan ringkasan dari puncak


perjalanan spiritual penulis selama jangka waktu 14
tahun [2002 – 2016] menapaki jalan spiritual
dharma. Suatu praktek spiritual jangka panjang,
berlandaskan kepada ajaran Tantra dan Upanishad,
yang dipadukan dengan penggalian kesadaran ke
dalam diri. Suatu pengalaman langsung yang
dituangkan ke dalam buku sederhana ini sebagai
ajaran dharma.

Semoga penulisan buku ini dapat


menyempurnakan pelayanan dharma penulis.
Astungkara stata shanti lan rahayu sareng sami.
BAGIAN PERTAMA :
PENGETAHUAN
DASAR
Bab 1
BRAHMAN
Tuhan Adalah Keberadaan Utuh Seluruh Alam
Semesta

Selama berabad-abad yang panjang terdapat


sebagian dari manusia yang memiliki keyakinan
Tuhan sebagai suatu sosok, atau sebagai suatu
mahluk personal. Kemudian dari keyakinan tersebut,
sebagian manusia di dunia terbelah menjadi 2 [dua]
kelompok besar.

== Kelompok pertama adalah para THEIS. Mereka


meyakini Tuhan sebagai suatu sosok, atau sebagai
suatu mahluk personal, yang berdomisili di suatu
tempat diatas langit. Kita manusia harus
menyembahnya, membujuknya untuk memberikan
kita bantuan, untuk memenuhi harapan dan
keinginan kita, untuk menyelamatkan kita, untuk
memberikan kita kebahagiaan dan kenyamanan di
dunia ini maupun di dunia setelah kematian.
== Kelompok kedua adalah para ATHEIS, yang
menolak gagasan dari para theis. Mereka dapat
melihat absurdnya gagasan dari para theis,
kemudian menjadi atheis. Para atheis tidak hanya
menolak gagasan Tuhan sebagai suatu mahluk
personal, tapi mereka juga menolak Tuhan sebagai
pengalaman langsung.

Sesungguhnya sebagai suatu kenyataan


semesta, Tuhan bukanlah suatu sosok, atau suatu
mahluk personal. Tapi Tuhan adalah keberadaan
kosmik. Tuhan adalah keberadaan semesta yang
utuh dan menyeluruh. Tuhan dapat diketahui
melalui pengalaman langsung.

Keheningan atau Sanghyang Embang, adalah


sebuah kata yang jauh lebih baik untuk digunakan
dibandingkan kata Tuhan. Karena dengan
menggunakan kata Tuhan kita mungkin akan mulai
berimajinasi merasakan adanya satu sosok.

Upanishad menyebut Tuhan sebagai


BRAHMAN. Bahasa Sansekerta yang berasal dari
akar kata “bri”, yang berarti berkembang, meluas.
Merujuk kepada satu gerak dinamis keberadaan
kosmik yang tunggal, satu gerak dinamis kehidupan
semesta yang tunggal, yang bermanifestasi dalam
tidak terhingga jumlahnya segala sesuatu, segala
bentuk, segala wujud. Semua mahluk, semua benda,
segala bentuk keberadaan yang UTUH dan
menyeluruh adalah manifestasi dari Brahman.

Tantra Shiwa menyebut Tuhan sebagai SHIWA


NATARAJA, atau tarian kosmik Shiwa. Alam semesta,
semua mahluk, semua benda, segala bentuk
keberadaan yang UTUH dan menyeluruh adalah
Tuhan, adalah tarian kosmik Shiwa.

Leluhur kita di Bali yang secara spiritual kental


dengan ajaran Tantra, menyebut Tuhan sebagai
SANGHYANG EMBANG. Keheningan yang sakral. Di
puncak atau tingkat pelataran tertinggi dari
Penataran Agung Pura Besakih kita bisa melihat
simboliknya yang agung sebagai ajaran rahasia
tentang Tuhan. Tepat sebelum pelataran puncak
tertinggi, disana terdapat dua palinggih rwa
bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kegelapan,
keburukan, kejahatan] dan Palinggih Tengen
[cahaya, kesucian, kebaikan]. Keduanya diletakkan
sama sejajar. Sebuah simbolik, sebuah ajaran rahasia
tentang KEUTUHAN, bahwa kegelapan-cahaya,
keburukan-kesucian, kejahatan-kebaikan, semuanya
adalah manifestasi Tuhan. Pola dualitas baik-buruk,
salah-benar, suci-kotor, dst-nya, semua itu hanya
ada dalam pikiran manusia yang masih terkondisi,
pikiran manusia yang belum tersentuh oleh
pencerahan Kesadaran Atma. Di tengah-tengahnya,
di pelataran puncak yang tertinggi, terdapat
Palinggih Sanghyang Embang, Tuhan sebagai
keheningan yang sakral. Sebuah simbolik, sebuah
ajaran rahasia bahwa Tuhan adalah pengalaman
langsung. Dalam puncak keheningan samadhi,
keutuhan dan pencerahan kesadaran Atma di dalam
diri, di titik itulah kita akan dapat mengetahui
tentang Tuhan.

Hal ini juga tergambar jelas dari ritual orang


Bali. Dimana dalam ritual orang Bali, kita tidak hanya
memberikan penghormatan dan persembahan
untuk para Ista Dewata dari alam-alam suci, tapi
juga memberikan segehan [makanan] untuk
mahluk-mahluk dari alam bawah atau alam gelap.
Tentu saja hal itu bukan ritual menyembah setan.
Sama sekali tidak. Tapi hal itu merupakan tindakan
belas kasih sempurna yang tidak terhingga.
Memberi penghormatan dan persembahan untuk
para Ista Dewata dari alam-alam suci adalah hal
yang mudah, tapi dapat memberikan segehan
[makanan] untuk mahluk-mahluk dari alam bawah,
hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan
kesadaran yang terang bercahaya. Yang sudah
tersadar bahwa semua mahluk, semua benda, segala
bentuk keberadaan yang UTUH dan menyeluruh
adalah manifestasi dari Tuhan. Dengan belas kasih
dan kebaikan yang sempurna.

Salah satu pendapat yang sangat absurd


adalah, mengatakan “Tuhan menciptakan dunia”
dan “Setan menciptakan dosa”. Lalu pertanyaannya,
“Siapakah yang menciptakan setan ?” dan
jawabannya, “Tentu saja Tuhan yang menciptakan
setan”. Setan menciptakan dosa dan Tuhan
menciptakan setan. Kemudian siapa yang berdosa
sebenarnya, setan atau Tuhan ? Tapi konsep
dualistik selalu mengarah ke absurditas seperti itu.
Dalam ajaran Tantra dan Upanishad, tidak ada yang
disebut “setan”. Karena Tuhan dan setan bukan dua,
tapi satu manunggal. Semua segala sesuatu adalah
satu kesatuan yang UTUH sebagai manifestasi
Tuhan. Ini adalah pengetahuan yang paling tepat
dan terdalam.

Perjalanan spiritual bukanlah suatu perjalanan


mencari Tuhan. Usaha untuk mencari Tuhan adalah
sebuah kegiatan salah paham yang hanya
membuang-buang waktu. Rahasia sesungguhnya
ada di dalam diri kita sendiri. Rahasianya ada dalam
penggalian ke dalam diri sendiri.

Cara untuk dapat mengetahui rahasia tentang


Tuhan, untuk dapat mengetahui tentang kenyataan
semesta, maka hal yang paling mendasar, hal yang
paling penting, adalah dengan mengetahui tentang
intisari terdalam dari diri kita sendiri. Pengalaman
itu pertama kali harus terjadi di dalam diri kita
sendiri. Jika kita tidak dapat mengetahui kenyataan
sejati diri kita sendiri, jika kita tidak dapat mengenali
intisari terdalam dari diri kita sendiri, maka kita tidak
akan pernah dapat mengenali kenyataan yang
lainnya. Hanya ketika kita dapat mengetahui
kenyataan sejati diri kita sendiri, ketika kita dapat
mengetahui intisari terdalam dari diri kita sendiri,
maka disanalah secara alami kita seketika akan
dapat mengetahui semua kenyataan kosmik pada
keseluruhan semesta.

Itulah sebabnya pokok utama pembahasan


ajaran Tantra dan Upanishad adalah tentang
menemukan pencerahan Kesadaran Atma,
menemukan intisari terdalam dari diri kita sendiri.
Menemukan Tuhan di dalam diri. Karena disanalah
terletak rahasia tentang kenyataan semesta yang
utuh dan menyeluruh.
Laksana samudera luas, dengan meminum
seteguk air samudera kita langsung dapat
mengetahui rasa air samudera luas, kita tidak perlu
meminum seluruh air samudera. Laksana segentong
madu, dengan meminum sesendok madu kita
langsung dapat mengetahui rasa manis madu
segentong, kita tidak perlu meminum seluruh isi
segentong madu. Kenyataan kosmik yang terdekat
adalah diri kita sendiri. Dengan mengetahui
kenyataan sejati diri sendiri [bhuwana alit], disana
kita akan langsung dapat mengetahui kenyataan
kosmik keseluruhan semesta [bhuwana agung].

Manusia pada umumnya kesadarannya mirip


seperti air di gelas yang kotor. Tugas spiritual kita
adalah mengendapkan semua kotoran di gelas
tersebut dengan cara melaksanakan praktek
meditasi kesadaran, yang disertai dengan
melaksanakan berbagai praktek sadhana [praktek
spiritual] pendukungnya. Ketika kotorannya sudah
mengendap, maka dengan sendirinya air di gelas
akan menjadi hening dan jernih. Sehingga
semuanya terlihat jelas. Inilah satu-satunya cara
untuk mengetahui Tuhan.
Pada intisari terdalam diri kita, pada
keheningan mendalam, kita akan menemukan
bahwa kenyataan sejati kita adalah ruang yang luas,
kesejukan yang abadi, keheningan, kebahagiaan
sejati. Di titik itulah kita akan mengetahui Tuhan.
Tuhan adalah sebuah pengalaman langsung, yang
terjadi dalam keheningan dan pencerahan
kesadaran Atma di dalam diri. Ini tidak akan pernah
dapat dipahami melalui kecerdasan intelektual dan
logika, tapi hanya dapat dialami sendiri sebagai
pengalaman langsung.

Dalam keheningan dan pencerahan kesadaran


Atma di dalam diri, kita akan mengetahui Tuhan.
Kita akan melihat cahaya dari keberadaan kosmik
yang utuh. Pepohonan, pegunungan, sungai,
manusia, binatang, dan segala sesuatu, segala
keberadaan, diselimuti oleh pancaran energi yang
halus. Segala sesuatu, segala keberadaan,
memancarkan energi kehidupan. Satu gerak dinamis
keberadaan kosmik yang tunggal dalam milyaran
bentuk. Satu kehidupan semesta yang tunggal
bermanifestasi dalam milyaran wujud. Ini bukanlah
suatu gagasan, atau suatu intelektualitas, atau suatu
analisa logika, tapi hanya bisa disadari dan dialami
sendiri sebagai suatu PENGALAMAN LANGSUNG
[pratyaksa pramana].
Entah kita sudah mengetahuinya melalui
pengalaman langsung, ataupun kita belum
mengetahuinya sebagai pengalaman langsung, kita
semua selalu menjadi bagian dari Brahman, sebagai
satu kesatuan yang utuh. Di dalam diri kita adalah
Tuhan. Atma tidak lain adalah Brahman. Satu-
satunya perbedaan adalah kita sudah dapat
menyadarinya [ATMA JNANA, mencapai pencerahan
Kesadaran Atma], atau kita sama sekali tidak
menyadarinya [AVIDYA, ketidaktahuan].
Bab 2
PIKIRAN-PERASAAN YANG
TERBELAH
Memahami Dasar-Dasar Ajaran Tantra Dan
Upanishad

Jika kita perhatikan di dunia ini, ada banyak


sekali jumlahnya pemuka agama, penceramah
agama, Guru agama, intelektual terpelajar dalam
agama, dsb-nya, ada banyak sekali buku-buku
agama, serta ada banyak sekali media elektronik
yang memberikan tuntunan moralitas yang baik,
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya.
Akan tetapi kehidupan manusia tetaplah dipenuhi
kegelapan. Hampir sebagian besar manusia masih
melakukan kejahatan, masih korupsi, masih
bertengkar satu sama lain, masih stress dan depresi,
masih selingkuh, dsb-nya.
Semua itu disebabkan karena adanya
sebagian cara pendekatan beragama yang kurang
tepat selama jangka waktu yang panjang. Yaitu
banyak manusia tidak dapat membedakan antara
berpengetahuan dan mengetahui. Berpengetahuan
berarti memiliki pengetahuan agama secara intelek.
Mengetahui berarti mengalami sendiri secara
langsung. Keduanya memiliki aspek yang sangat
jauh berbeda.

CARA PENDEKATAN BERAGAMA YANG


KURANG TEPAT

Pada umumnya, cara pendekatan beragama


yang kebanyakan terjadi di masyarakat hanya
sebatas dengan pengetahuan secara intelek, serta
sifatnya sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik,
dsb-nya]. Dimana pemuka agama, penceramah
agama, Guru agama, intelektual terpelajar dalam
agama, dsb-nya, menjejali masyarakat dengan
tumpukan ajaran agama, kitab suci, pengetahuan
dan filsafat, serta ceramah tentang moralitas yang
baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama,
etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab dan
sejenisnya. Kemudian jika ada orang yang tidak
mampu melaksanakannya, maka mereka akan
menghakimi dan mengintimidasinya dengan
sebutan tidak bermoral, atau tidak punya etika
kesopanan, atau salah jalan, atau tidak normal.

Semua hal-hal seperti itu akan membuat


pikiran dan perasaan manusia menjadi TERBELAH.
Pikiran dan perasaan yang TERBELAH itu akan
membuat manusia menjalani kehidupan ganda. Kita
mengatakan suatu hal atau melakukan suatu hal,
akan tetapi pikiran-perasan kita bergerak ke arah
yang berbeda. Hal itu secara alami akan membuat
kita mengalami konflik pertempuran di dalam diri
secara berkelanjutan. Kita akan terus bertempur
dengan diri kita sendiri di dalam. Kita akan terus
menyakiti diri kita sendiri. Kita akan melukai diri kita
sendiri. Yang dampaknya sangat buruk bagi
kejernihan dan keseimbangan pikiran-perasaan
manusia.

Tentu saja dalam hal ini, tidak ada kecurigaan


tentang niat baik dan mulia dari para pemuka
agama, penceramah agama, Guru agama,
intelektual terpelajar dalam agama, dsb-nya. Tidak
ada keraguan tentang niat baik dan mulia mereka
yang bertujuan agar manusia menjauh dari
kejahatan. Tapi yang secara jujur harus diungkapkan
disini adalah kegagalan dan ketidakmampuan
mereka di dalam memahami fenomena kesadaran di
dalam diri manusia. Terutama menyangkut hal yang
terpenting, yaitu bahwa kita tidak diberikan tehnik
dan cara sadhananya yang memang benar-benar
tepat dan akurat, atau bahkan sama sekali tidak
diberikan.

Seperti misalnya [contoh] kita diberitahu


“jangan korupsi”, atau “jangan marah”, dsb-nya.
Tapi bagaimana caranya ? Kita tidak diberikan
caranya, kita tidak diberikan tehniknya, yang tepat
dan akurat. Kalaupun kita diberikan tehniknya, hal
itu tidak banyak membantu dan tidak berguna.
Mengapa demikian ? Karena mereka juga tidak tahu
bagaimana tehniknya yang tepat dan akurat.
Mereka juga tidak mengalami perubahan kesadaran
di dalam dirinya. Di dalam diri mereka cengkeraman
pikiran-perasaan pada kesadaran masih tetap kuat.
Misalnya di dalam diri mereka masih tetap gelisah,
atau merasa tidak bahagia, atau mementingkan diri
sendiri, atau memendam hasrat duniawi, atau
memendam kemarahan, dsb-nya.

Jika boleh jujur, sesungguhnya semua


ceramah agama itu tidak terlalu banyak berguna.
Semua tuntunan, dikte, pemaksaan dan intimidasi
tentang moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya itu, tidak terlalu
banyak berguna. Terutama jika kita tidak diberitahu
tehnik dan cara sadhana-nya yang memang benar-
benar tepat dan akurat, sekaligus diberikan
dorongan untuk mempraktekkannya, maka itu
semua tidak terlalu banyak berguna.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa, tentu saja


tidak ada kecurigaan tentang niat baik dan mulia
dari para pemuka agama, penceramah agama, Guru
agama, intelektual terpelajar dalam agama, dsb-nya.
Tidak ada keraguan tentang niat baik dan mulia
mereka yang bertujuan agar manusia menjauh dari
kejahatan. Berbagai tuntunan untuk menjalani
kehidupan dengan moralitas yang baik, sesuai
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya,
bukanlah sesuatu yang salah atau buruk. Hal itu
berguna untuk menjaga dan melindungi manusia
dari melakukan perbuatan atau mengucapkan
perkataan yang menghasilkan akibat-akibat karma
yang fatal dan sangat berbahaya. Yaitu mencegah
kita dari melakukan kesalahan berbahaya yang
dapat menjerumuskan kita menuju jurang
kesengsaraan yang dalam, atau menjerumuskan kita
pada kelahiran yang rendah [terjerumus ke alam
bawah, atau menjadi binatang].

Tapi masalahnya disini adalah kegagalan dan


ketidakmampuan mereka di dalam memahami
fenomena dan dinamika kesadaran di dalam diri
manusia. Sehingga mereka hanya sebatas
memberikan tuntunan untuk menjalani kehidupan
dengan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, tapi tanpa
memberikan tehnik dan cara sadhana-nya yang
memang benar-benar tepat dan akurat. Sebagai
akibatnya hal itu justru akan dapat semakin
menguatkan dualitas pikiran seperti salah-benar,
buruk-baik, dsb-nya. Menimbulkan rasa bersalah,
menimbulkan konflik pikiran dan menimbulkan luka
pada pikiran kita. Membuat pikiran-perasaan kita
terbelah. Membuat di dalam diri kita menjadi
gelisah, tegang, tidak bahagia, memendam hasrat
duniawi, atau memendam kemarahan.

Tantra dan Upanishad tidak mengajarkan kita


untuk mengumbar pikiran-perasaan negatif. Sama
sekali tidak seperti itu. Tapi memahami suatu
kenyataan, bahwa pikiran-perasaan negatif adalah
bagian utuh dari diri kita sebagai manusia. Hal itu
bagian dari diri kita. Jangan ditolak, dilawan, atau
berusaha dibuang. Terutama karena cara menekan,
mengendalikan, menolak, ataupun melawan
kemunculan pikiran-perasaan negatif tidak dapat
membantu manusia. Pikiran-perasaan negatif masih
tetap ada. Cara menekan justru membuat
cengkeraman pikiran-perasaan negatif pada
kesadaran menjadi semakin kuat.

Menekankan segala bentuk aturan dan


larangan dengan alasan moralitas yang baik, sesuai
ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket, hidup
yang benar, hidup yang beradab, dan sejenisnya,
tapi jika tanpa disertai dengan memberikan cara
dan tehniknya yang tepat dan akurat, justru akan
membuat pikiran manusia menjadi tenggelam lebih
dalam ke dalam kekacauan pikiran. Pada
kenyataannya pikiran-perasaan negatif masih saja
tetap ada, bahkan dalam bentuk yang lebih
beracun. Karena tidak saja cengkeramannya dalam
kesadaran menjadi semakin kuat, tapi juga sekaligus
menimbulkan rasa bersalah, menimbulkan konflik
pikiran dan melukai pikiran kita sendiri.

Pikiran-perasaan negatif TIDAK BISA


menghilang karena merupakan realitas diri kita
sebagai manusia. Hal itu adalah eksistensial. Tidak
bisa hilang hanya dengan cara menekan,
mengendalikan, menolak, ataupun melawannya. Hal
ini hanya dapat kehilangan cengkeramannya pada
kesadaran jika kita melampauinya, melalui tehnik
dan cara sadhana [praktek spiritual] yang tepat dan
akurat.

Satu-satunya cara untuk keluar dari


pengumbaran adalah dengan memberikan
masyarakat tehnik dan cara sadhana [praktek
spiritual] yang tepat dan akurat, kemudian
mendorong mereka untuk tekun
mempraktekkannya. Itu adalah satu-satunya cara.
Tidak ada cara lain yang pernah dapat membantu
manusia.

SEKS SEBAGAI SUATU CONTOH STUDI


KASUS

Kita bisa mengambil suatu contoh yang


mudah saja, yaitu dalam urusan seks. Kita bisa
menilai kemajuan peradaban kesadaran suatu
kelompok masyarakat melalui penerimaan mereka
dalam hal ketelanjangan tubuh. Pertanda peradaban
dan kesadaran suatu masyarakat RENDAH adalah
jika suatu masyarakat memiliki penerimaan tinggi
dalam hal ketelanjangan tubuh, tapi juga memiliki
angka seks bebas, atau perselingkuhan, atau
pelecehan seksual yang tinggi. Tapi yang lebih
buruk lagi, pertanda peradaban dan kesadaran
suatu masyarakat LEBIH RENDAH lagi, adalah suatu
masyarakat yang bersikap menolak ketelanjangan
tubuh, tapi memiliki angka seks bebas, atau
perselingkuhan, atau pelecehan seksual yang tinggi.

Semakin maju peradaban kesadaran suatu


masyarakat, maka semakin telanjanglah mereka
[tidak menekan] dan sekaligus memiliki angka seks
bebas, atau perselingkuhan, atau pelecehan seksual
yang semakin kecil [tidak mengumbar]. Suatu
kelompok masyarakat yang tidak menekan dan
sekaligus juga tidak mengumbar.

Membuka dan memperlihatkan ketelanjangan


tubuh sama sekali bukan mengumbar seks. Tapi
orang-orang yang menekan seks selalu berpikir
bahwa ketelanjangan tubuh adalah pengumbaran
seks, karena di dalam lubuk pikiran mereka
memendam hasrat yang sangat kuat terhadap seks.
Hal ini disebabkan karena mereka menekan seks,
sehingga di lubuk pikiran mereka menjadi amat
sangat terobsesi dengan seks.
Terdapat dua ekstrim yang harus dihindari.
Ekstrim yang satu adalah mengumbar seks, seperti
misalnya seks bebas, selingkuh, pelecehan seksual,
dsb-nya. Ekstrim yang lainnya adalah menekan seks,
seperti misalnya menutup rapat ketelanjangan
tubuh, membagi tempat dimana lawan jenis tidak
boleh ada disana, berpuasa seks, dsb-nya.

MENGUMBAR seks [misalnya seks bebas,


selingkuh, pelecehan seksual, dsb-nya] adalah suatu
tindakan bunuh diri secara spiritual. Hal itu akan
membuat kita mengalami kemunduran kesadaran
dan sekaligus membuka kemungkinan hidup yang
sengsara.

MENEKAN seks [misalnya menutup rapat


ketelanjangan tubuh, membagi tempat dimana
lawan jenis tidak boleh ada disana, berpuasa seks,
dsb-nya] adalah suatu tindakan bunuh diri secara
spiritual yang lebih fatal lagi. Karena semua cara
untuk menekan seks justru akan membuat manusia
menjadi lebih dan lebih seksual. Apapun cara
menekan yang dicoba untuk dilakukan, seperti
misalnya menutup rapat ketelanjangan tubuh,
membagi tempat dimana lawan jenis tidak boleh
ada disana, berpuasa seks, dsb-nya. Itu semua
adalah cara menekan. Semua cara untuk menekan
seks justru akan menciptakan lebih dan lebih
banyak lagi energi seks, dan semakin banyak
hayalan dan hasrat terpendam untuk pengumbaran
seks.

Lebih jauh lagi, obsesi terhadap seks memiliki


keterkaitan yang kuat dengan obsesi berlebihan
terhadap uang, atau kekuasaan, atau prestise
[gengsi, kehormatan, kebanggaan]. Semua cara
untuk menekan seks, seperti menutup rapat
ketelanjangan tubuh, membagi tempat dimana
lawan jenis tidak boleh ada disana, berpuasa seks,
dsb-nya, akan membuat manusia mengalami
kekacauan pada energi seks mereka. Sebagai
akibatnya, seringkali terjadi energi seks mereka akan
bergerak menuju uang, atau kekuasaan, atau
prestise. Mereka harus melepaskan energi seks
mereka disana, sehingga mereka akan menjadi
orang yang gila uang, atau gila kekuasaan, atau gila
prestise.

Seharusnya sebagai jalan keluarnya, secara


sosial beradalah di jalan tengah, yaitu tidak
menekan dan tidak juga mengumbar.

Kemudian hal ini juga harus disertai dengan


ketekunan belajar untuk melepaskan cengkeraman
seks dari kesadaran, yaitu melalui tehnik dan cara
sadhana [praktek spiritual] yang tepat dan akurat.
Yang harus dipraktekkan dengan sungguh-sungguh
tekun dan tulus.

CARA PENDEKATAN BERAGAMA YANG


TEPAT

Hampir semua sistem pendidikan agama yang


ada di masyarakat, dari artikel, buku, dharma
wacana, ceramah agama, dsb-nya, termasuk juga di
sekolah-sekolah formal dari SD, SMP, SMA, sampai
Universitas Agama, hampir semuanya mengarahkan
manusia untuk menjadi orang yang
BERPENGETAHUAN [memiliki pengetahuan agama
secara intelek]. Bukan menuntun masyarakat untuk
menjadi orang yang MENGETAHUI dan mengalami
sendiri secara langsung.

Antara Guru dan murid [antara yang mengajar


dan yang diajarkan, antara yang memberikan
ceramah agama dan yang diberikan ceramah
agama], yang terjadi adalah komunikasi. Suatu
informasi yang ditransfer dari Guru ke muridnya.
Hanya diberikan informasi pengetahuan dan bukan
diberikan transfer tehnik dan cara sadhana yang
memang benar-benar tepat dan akurat, sekaligus
dorongan untuk mempraktekkannya, sehingga
dapat terjadi perubahan kesadaran di dalam diri.

Aibatnya muridnya menjadi sebatas


berpengetahuan, yaitu memiliki pengetahuan secara
intelek, tapi muridnya tidak mengetahui, tidak
mengalami perubahan kesadaran di dalam diri.
Gurunya sendiri juga sama saja tidak mengetahui
dan tidak mengalami perubahan kesadaran di
dalam diri. Gurunya hanya mengulang cerita dan
kata-kata dari Guru lain, tapi dia sendiri tidak
mengetahui. Gurunya mungkin saja sangat
terpelajar, atau berpendidikan sangat tinggi, tapi
secara spiritual hal itu tidak banyak nilainya.
Informasi tidak banyak nilainya, satu-satunya hal
yang berharga adalah mengalami perubahan
kesadaran di dalam diri, sebagai langkah-langkah
untuk MENGETAHUI.

Dalam banyak kejadian, orang yang masih


berada dalam avidya [ketidaktahuan] cenderung
lebih mudah untuk dapat mengalami perubahan
kesadaran, karena satu-satunya rantai belenggu
mereka hanya cengkeraman pikiran-perasaan di
dalam diri. Tapi orang yang berpengetahuan
memiliki rantai belenggu lain, yaitu dari
pengetahuan secara intelek itu sendiri. Semakin
banyak memiliki pengetahuan dan semakin melekat,
maka semakin kecil kemungkinan dia dapat
mencapai pengalaman langsung. Terutama karena
orang yang sebatas berpengetahuan, dualitas
pikirannya [salah-benar, baik-buruk, dsb-nya]
cenderung mencengkeram sangat kuat.

Selain itu, berpengetahuan bisa sangat


menjebak, bisa sangat menipu. Karena
berpengetahuan dapat memberikan suatu perasaan
bahwa seolah-olah kita sudah mengetahui
[merasakan pengalaman langsung]. Ketika kita
mengabaikan bahwa hal itu hanya “seolah-olah”
saja dan bukan sebuah realita, disanalah kita akan
masuk ke dalam jebakan.

Berpengetahuan juga dapat menimbulkan


keterikatan. Karena untuk menjadi orang yang
berpengetahuan, kita perlu menghabiskan banyak
waktu dan tenaga untuk mengumpulkan
pengetahuan agama, menganalisa dan mengambil
kesimpulan. Kita sudah menginvestasikan demikian
banyak waktu masa hidup kita. Tidak mungkin kita
mau membuangnya begitu saja. Itu seperti harta
karun bagi kita. Jadi kita akan takut kehilangan itu,
kita akan melekat kuat padanya, kita akan berusaha
melindunginya dengan segala cara. Mungkin saja
kita sangat pintar melakukannya. Mengutip isi buku-
buku suci, mengeksploitasinya, bermain-main
dengan logika dan kata-kata. Tapi semua
pernyataan kita seperti burung beo saja, hanya
mengulang cerita dan kata-kata orang lain tanpa
sama sekali MENGETAHUI. Dengan melekat kepada
pengetahuan, dengan berusaha melindungi
pengetahuan, kita justru menjadi melindungi avidya
[ketidaktahuan] kita sendiri.

Tantra dan Upanishad sangat menekankan


Pratyaksa Pramana atau pengalaman langsung.
Bukan untuk menjadi berpengetahuan [memiliki
pengetahuan secara intelek], karena hal itu tidak
banyak nilainya, tapi kita harus mengalami
perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai
langkah-langkah untuk MENGETAHUI. Semua
pengetahuan agama harus menjadi pengalaman
langsung yang benar-benar hidup di dalam diri kita
sendiri. Itulah satu-satunya hal yang berharga.

Ada perbedaan besar terkait pendekatan


beragama antara orang BERPENGETAHUAN dengan
orang yang MENGETAHUI.
Orang yang sebatas berpengetahuan akan
sebatas mentransfer informasi pengetahuan agama
saja, tanpa disertai memberikan tehnik dan cara
sadhana yang memang benar-benar tepat dan
akurat, sekaligus mendorong untuk
mempraktekkannya. Hal itu kemudian akan berubah
menjadi sesuatu yang buruk, jika kemudian
menimbulkan kecenderungan untuk secara gegabah
mendikte orang lain harus begini dan begitu,
memaksa orang lain dengan cara membuat aturan
ini dan itu, serta menghakimi orang lain jika mereka
tidak mampu melaksanakannya.

Orang yang mengetahui tidak akan pernah


menggunakan cara-cara dangkal seperti itu.
Sebagaimana seorang Guru spiritual Agung yang
pernah mengatakan, “jika seandainya semua anak di
dunia diajarkan meditasi sejak umur 8 [delapan]
tahun, maka generasi berikutnya akan menjadi
generasi dengan hati yang baik dan kesadaran yang
bercahaya”.

Itulah pertanda orang yang mengetahui.


Orang yang mengetahui tidak akan mentransfer
informasi pengetahuan agama dan filsafat secara
berlebihan. Tidak akan pernah mendikte orang lain
harus begini dan begitu secara berlebihan. Tidak
akan pernah memaksa orang lain dengan cara
membuat aturan dan larangan harus begini atau
harus begitu secara berlebihan. Serta tidak akan
pernah menghakimi dan mengintimidasi
menyalahkan orang lain. Karena itu semua akan
membuat pikiran-perasaan manusia terbelah,
sekaligus tidak dapat memberikan jalan keluar. Tapi
mereka akan fokus untuk memberikan tehniknya,
memberikan caranya, yang tepat dan akurat, untuk
menuntun terjadinya perubahan kesadaran di dalam
diri manusia.

Analoginya, seperti ada orang buta bertanya,


“apa itu cahaya ?”. Maka kemudian pemuka agama,
penceramah agama, Guru agama, intelektual
terpelajar dalam agama, dsb-nya, orang-orang yang
berpengetahuan, akan mulai menjelaskan tentang
cahaya. Jawaban yang mereka berikan adalah suatu
gagasan, suatu intelektualitas, suatu analisa logika,
suatu pengetahuan. Tapi selamanya orang buta
yang malang itu tetap akan berada dalam
kegelapan, menjadi semakin bingung dan
mengalami konflik di dalam diri, sekaligus tidak
pernah mengetahui apa itu cahaya.

Tantra dan Upanishad sama sekali tidak


seperti itu. Tantra dan Upanishad tidak
menggunakan cara seperti itu. Jika ada seseorang
bertanya, “apa itu cahaya ?”, maka pertama-tama
Tantra dan Upanishad akan menyadari bahwa orang
itu buta. Tantra dan Upanishad tidak akan
menjelaskan apa itu cahaya. Tapi apa yang akan
dilakukan oleh Tantra dan Upanishad adalah
menyembuhkan kebutaan orang itu, membuatnya
dapat melihat. Dengan memberikan tehnik,
memberikan cara, yang tepat dan akurat, untuk
sangat fokus menuntun praktek, sehingga terjadi
perubahan kesadaran di dalam dirinya. Ketika orang
itu kesadarannya berubah, maka secara alami
jawabannya ada disana. Ketika orang buta itu
sembuh dari kebutaannya, maka secara alami dia
akan mengetahui apa itu cahaya, sebagai pratyaksa
pramana atau PENGALAMAN LANGSUNG.

Tantra dan Upanishad sangat menekankan


Pratyaksa Pramana atau pengalaman langsung.
Tidak dengan cara mengumpulkan pengetahuan,
tapi hanya bisa ditemukan melalui pertama [1]
mendapatkan tehnik yang tepat, kemudian, kedua
[2] diikuti dengan KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek, praktek dan praktek. Hanya itu
dan hanya itu. Itulah jalan spiritual untuk
MENGETAHUI, bukan untuk menjadi
berpengetahuan. Ibarat nektar semesta, mengapa
meminjam cerita orang lain jika kita dapat
meminum langsung dari sumbernya ?

Hal itu jugalah tujuan dari buku ini. Sama


dengan pemahaman Tantra dan Upanishad, buku ini
tidak bertujuan membuat Anda menjadi orang yang
berpengetahuan [memiliki pengetahuan secara
intelek]. Buku ini tidak bertujuan untuk mendikte,
menekan dan memaksa Anda dengan berbagai
aturan dan larangan, tapi bertujuan untuk
memberikan Anda rangkaian tehnik dan cara yang
tepat dan akurat.

Buku ini tidak bertujuan menjejali Anda


tentang moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya
sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya].
Tapi buku ini bertujuan untuk menuntun Anda
mengalami perubahan kesadaran di dalam diri,
sebagai langkah-langkah untuk mengetahui.
Sehingga buku ini tidak akan mentransfer banyak
informasi pengetahuan secara berlebihan, tapi
memberikan Anda tehnik, memberikan Anda cara,
yang memang tepat dan akurat, untuk menuntun
terjadinya perubahan kesadaran di dalam diri.
Bab 3
PENDEKATAN SPIRITUAL
BENAR
Menemukan Cahaya Kesadaran Di Dalam Diri

Jantung dari ajaran Tantra dan Upanishad


adalah untuk memberikan tehnik, memberikan cara,
yang tepat dan akurat, untuk sangat fokus
menuntun praktek, sehingga dapat terjadi
perubahan kesadaran di dalam diri manusia. Tehnik
serta praktek Tantra dan Upanishad bergerak
langsung ke akar permasalahan siklus samsara ini,
yaitu dualitas pikiran. Bergerak langsung memotong
akar dari cengkeraman kegelapan pikiran dan
perasaan pada kesadaran, yaitu dualitas pikiran.

INTISARI PENGETAHUAN : DUA FAKTOR


KENYATAAN HIDUP

Sebagai intisari utama dalam ajaran Tantra


dan Upanishad, yang akan dibahas di dalam buku
ini sebagai bahan-bahan perenungan, adalah
keberadaan 2 [dua] faktor kehidupan, yaitu :

== [1]. Kenyataan keberadaan hukum semesta yaitu


Hukum Karma.

Hukum karma adalah hukum sebab-akibat


alam semesta. Hukum besi yang berlaku mutlak di
alam semesta ini. Hukum alam yang tidak bisa
dibendung.

Hukum karma ini tidak mengenal dualitas


baik-buruk, salah-benar, suci-kotor, dst-nya. Semua
dualitas buruk-baik, salah-benar, dsb-nya, hanya
ada dalam pikiran manusia yang terkondisi. Hukum
karma tidak mengenal dualitas pikiran, hukum
karma hanya mengenal sebab dan akibat. Yaitu
apapun perbuatan yang kita lakukan dan apapun
perkataan yang kita ucapkan, disebut sebagai
SEBAB, secara pasti akan direspon balik oleh alam
semesta menjadi AKIBAT.

Jika kita menyakiti orang lain atau mahluk lain,


maka kelak kita akan mengalami pengalaman
tersakiti. Jika kita membahagiakan orang lain atau
mahluk lain, maka kelak kita akan mengalami
pengalaman bahagia. Sebab dan akibat. Hanya itu
saja, sebab dan akibat.

== [2]. Cara terbaik menjalani kehidupan adalah


dengan Yoga Punya.

Yoga Punya secara literal berarti “kebaikan


yang kita peroleh sebagai hasil dari ketekunan
mempraktekkan meditasi”.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Setiap


manusia memiliki caranya tersendiri untuk menjalani
kehidupan. Setiap manusia memiliki kecenderungan,
kebutuhan dan pertumbuhan spiritual yang
berbeda-beda. Dalam ajaran Tantra dan Upanishad,
Yoga Punya memiliki arti “menjalani kehidupan
berdasarkan tuntunan cahaya kesadaran di dalam
diri”.

Yoga Punya adalah kebijaksanaan yang


berasal dari keheningan, kejernihan dan cahaya
kesadaran di dalam diri. Cara terbaik menjalani
kehidupan adalah dengan menemukan cahaya
kesadaran di dalam diri.
KEUTUHAN : MENJADI DIRI SENDIRI
YANG UNIK DAN OTENTIK, BERDASAR
TUNTUNAN CAHAYA KESADARAN DI
DALAM DIRI.

Dalam pendekatan ajaran Tantra dan


Upanishad, cara mendikte dan menekan manusia
untuk menjalani kehidupan dengan moralitas yang
baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama,
etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, yang sifatnya dualistik [salah-benar,
buruk-baik, dsb-nya], bukanlah sebuah solusi, bukan
suatu jalan keluar. Apalagi menghakimi dan
mengintimidasi orang lain dengan sebutan tidak
bermoral, atau tidak punya etika kesopanan, atau
salah jalan, atau tidak normal, itu sama sekali bukan
sebuah solusi, bukan suatu jalan keluar. Tapi
sebaliknya, kedua hal tersebut justru merupakan
masalah besar bagi perjalanan spiritual manusia. Hal
itu akan membuat pikiran dan perasaan manusia
TERBELAH, membuat manusia memiliki kehidupan
dan kepribadian ganda, sekaligus menjadi tembok
tinggi dan tebal penghalang bagi bangkitnya
kesadaran. Padahal setiap manusia itu unik dan
otentik. Setiap manusia memiliki kecenderungan,
kebutuhan dan arah pertumbuhan spiritual yang
berbeda-beda.

Ini tidak berarti Tantra dan Upanishad tidak


peduli kepada moralitas. Akan tetapi perlu dipahami
secara mendalam, bahwa yang ditekankan Tantra
dan Upanishad adalah moralitas yang muncul
secara alami dari dalam diri dan bukan moralitas
yang diperjuangkan atau dipaksakan. Yaitu
moralitas yang berasal dari tuntunan cahaya
kesadaran yang jernih dan menerangi di dalam diri.

Orang yang sering mengistirahatkan


pikirannya [sering praktek istirahat dari konflik
pertempuran dualitas pikiran] melalui praktek
meditasi kesadaran dan meditasi keutuhan, akan
memiliki ruang-ruang pikiran yang lebar, akan
memiliki pikiran yang hening, sehingga secara alami
tidak lagi tertarik melakukan hal-hal yang
melanggar moralitas. Tidak seperti orang biasa yang
tidak terlatih meditasi, dia harus berjuang dengan
cara menekan atau memaksakan diri agar dapat
memiliki moralitas. Yang cenderung akan berujung
kepada pikiran-perasaan yang terbelah.

Sehingga jalan keluarnya bukan dengan


sebatas menjejali orang lain dengan ceramah dan
filsafat, apalagi dengan mendikte, menekan dan
mengintimidasi perilaku orang lain, dengan
membuat berbagai aturan dan larangan. Satu-
satunya jalan keluar, satu-satunya cara yang tepat
dan akurat, adalah dengan memberikan tehnik,
dengan memberikan cara, yang tepat dan akurat.
Yang dapat membantu manusia menghidupkan
Yoga Punya, menuntun manusia untuk menemukan
tuntunan cahaya yang jernih dan menerangi di
dalam diri. Sehingga manusia dapat menjalani hidup
berdasarkan tuntunan cahaya di dalam diri.

Yoga Punya bukanlah kebijaksanaan dalam


pengertian biasa. Secara umum biasanya kita
mendefinisikan antara berpengetahuan dan
bijaksana. Berpengetahuan berarti memiliki
pengetahuan hanya secara intelek, yang didapatkan
dari belajar di sekolah, membaca buku,
mendengarkan ceramah, dsb-nya. Bijaksana berarti
memiliki pengetahuan, yang berasal dari
pengetahuan secara intelek, yang dipadukan
dengan pengetahuan dari pengalaman dan
perenungan pribadi. Sedangkan Yoga Punya adalah
kebijaksanaan mendalam yang berasal dari
keheningan, kejernihan dan cahaya kesadaran di
dalam diri.
Setiap manusia itu unik dan otentik. Memiliki
kecenderungan, kebutuhan dan arah pertumbuhan
spiritual yang berbeda-beda. Cahaya di dalam diri
yang jernih dan menerangi itulah yang akan
menuntun kita menjadi diri sendiri yang unik dan
otentik. Menuntun kita untuk dapat menjadi diri kita
sendiri yang UTUH dan menyeluruh. Tidak akan ada
lagi pikiran-perasaan yang TERBELAH. Darisana
kemudian kita akan dapat menghidupkan sukacita
mendalam dan kedamaian sejati di dalam diri.
Untuk kemudian menuntun kita menemukan intisari
diri, titik pusat di dalam diri, yang absolut, yang
tidak berubah.

Jantung ajaran Tantra dan Upanishad adalah


KEUTUHAN. Perhatikan bahwa bukan KESUCIAN
SEMPURNA, tapi KEUTUHAN. Karena segala sesuatu
secara UTUH dan menyeluruh adalah manifestasi
dari Brahman. Semua fenomena adalah tarian
kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.

=== Semua mahluk dari bakteri, semut, harimau,


setan, wong samar, memedi, hantu gentayangan,
manusia, ashura, para Dewa-Dewi, dsb-nya,
semuanya adalah manifestasi dari Brahman yang
sama, semuanya adalah satu tarian kosmik Shiwa
[Shiwa Nataraja] yang sama, sebagai satu
KEUTUHAN.

=== Semua kejadian dalam perjalanan kehidupan


yang oleh pikiran dianggap sebagai baik-buruk,
benar-salah, sukses-gagal, dsb-nya, semuanya
adalah manifestasi dari Brahman yang sama,
semuanya adalah satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa
Nataraja] yang sama, sebagai satu KEUTUHAN.

=== Semua jenis pikiran-perasaan di dalam diri


seperti senang-sengsara, bahagia-sedih, marah-
damai, dsb-nya, semuanya adalah manifestasi dari
Brahman yang sama, semuanya adalah satu tarian
kosmik Shiwa yang sama, sebagai satu KEUTUHAN.

Dualitas kotor-suci, buruk-baik, salah-benar,


dsb-nya, hanya ada dalam pikiran manusia yang
terkondisi. Keinginan untuk menjadi suci sempurna,
serta kecenderungan untuk menjadi perfeksionis,
tidak saja pasti akan gagal, tapi sekaligus juga dapat
menjerumuskan manusia ke jurang gangguan
pikiran.

Kesadaran yang sempurna bukanlah keadaan


lenyapnya ketidaksempurnaan. Kesadaran yang
sempurna adalah senyuman damai dan penuh belas
kasih yang sama, baik terhadap kesempurnaan
maupun terhadap ketidaksempurnaan, sebagai satu
KEUTUHAN.

Dalam buku ini akan dipaparkan rangkaian


panca sadhana [lima praktek spiritual] yang tepat
dan akurat, untuk menghidupkan tuntunan cahaya
di dalam diri. Sehingga kita dapat menjadi diri
sendiri yang unik dan otentik, diri sendiri yang
UTUH dan menyeluruh. Yang akan menuntun kita
menemukan sukacita mendalam dan kedamaian
sejati di dalam diri, sekaligus membuat kita menyatu
dengan tarian kosmik alam semesta. Yaitu sebagai
berikut :

== 1]. Tekun belajar menerima diri kita sendiri dan


kehidupan kita seperti apa adanya, secara UTUH
dan menyeluruh.

== 2]. Tekun mempraktekkan meditasi kesadaran,


yang dikombinasikan dengan praktek meditasi
keutuhan.

== 3]. Tekun mempraktekkan belas kasih kepada


orang lain dan mahluk lain.
== 4]. Mengekspresikan diri sesuai dengan
panggilan alami di dalam diri kita sendiri yang unik
dan otentik, menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh, tanpa melibatkan pola dualitas pikiran
seperti salah-benar, buruk-baik, kotor-suci, berdosa-
tidak berdosa, tidak sopan-sopan, dsb-nya, dengan
Yoga Punya [tuntunan cahaya di dalam diri] dan
belas kasih sebagai panduan penjaga-nya.

== 5]. Tekun menyatu dengan saat ini dalam


keutuhan.

Untuk dapat menemukan keutuhan dan


keheningan di dalam diri yang sangat terang dan
bercahaya, semua rangkaian panca sadhana [lima
praktek spiritual] ini harus kita praktekkan semuanya
secara bersama-sama. Tidak bisa dengan
mempraktekkan hanya sebagian-nya saja, karena itu
tidak akan dapat berhasil.

Ketekunan kita untuk melaksanakan seluruh


panca sadhana [lima praktek spiritual] inilah yang
akan dapat mengantarkan kita menemukan
KEUTUHAN, akan mengantarkan kita menjadi diri
sendiri yang unik dan otentik, berdasarkan tuntunan
cahaya kesadaran di dalam diri. Akan mengantar
kita menyatu dengan tarian kosmik alam semesta.
BAGIAN KEDUA :
PANCA SADHANA
Bab 1
SADHANA 1
Menerima Diri Sendiri Dan Kehidupan Dalam
Keutuhan

Pintu masuk untuk dapat melaksanakan


praktek meditasi kesadaran yang mendalam dan
praktek belas kasih yang mendalam, adalah dengan
ketekunan kita untuk belajar menerima diri kita
sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya.
Menerimanya secara utuh dan menyeluruh.
Menerimanya dalam KEUTUHAN.

Praktek meditasi dan praktek belas kasih akan


sulit jika di dalam diri kita masih penuh konflik
pertempuran, yaitu dalam bentuk penolakan akan
diri kita sendiri dan kehidupan kita. Praktek meditasi
dan praktek belas kasih akan mudah jika di dalam
diri kita konflik pertempuran sudah jauh mereda,
dalam bentuk kita dapat menerima diri kita sendiri
dan kehidupan kita seperti apa adanya.
Kebanyakan manusia tidak menyadari, bahwa
kenyataan sejati manusia adalah pencerahan
Kesadaran Atma yang hening, jernih dan damai. Ini
berarti bahwa, sejak awal yang tidak berawal,
kenyataan sejati diri kita adalah keheningan,
kejernihan dan kedamaian berlimpah yang abadi.
Tapi kebanyakan manusia tidak menyadarinya, tapi
malahan di dalam dirinya mengalami kegelisahan.

Coba kita perhatikan di dunia ini, kita akan


melihat ada banyak wajah manusia yang di dalam
dirinya mengalami kegelisahan. Di rumah dia
merasa tidak bahagia, di tempat kerja dia marah-
marah, di tempat ini dia bertengkar, di tempat itu
dia merasa bosan, dsb-nya. Tidak puas, tidak pernah
bersyukur, banyak protes, banyak bertengkar, selalu
bersaing, selalu membandingkan, adalah sebagian
contoh lain dalam hal ini. Sering mimpi buruk,
sering dihantui kenangan buruk, sering dikejar rasa
bersalah, cemas menghadapi masa depan, adalah
sebagian contoh lainnya lagi. Pada sebagian orang
kegelisahan itu bahkan sudah menumpuk selama
bertahun-tahun.
Sebagian manusia bahkan terjatuh ke jurang
berbahaya lautan masalah. Misalnya dalam
beberapa contoh sebagai berikut :

== Tidak bahagia di rumah adalah sebuah masalah,


mabuk-mabukan, dugem, atau memakai narkoba
adalah masalah baru lebih berat yang ditambahkan
di sana.
== Tidak puas kepada pasangan hidup adalah
sebuah masalah, selingkuh adalah menambah
jumlah masalah yang sudah banyak.
== Merasa kurang secara ekonomi adalah sebuah
masalah, korupsi dan kemudian masuk penjara
adalah masalah baru yang lebih gelap sebagai
akibatnya.

Akar dari segala akar penyebab manusia jatuh


ke jurang berbahaya lautan masalah disebabkan
oleh 3 [tiga] kegagalan sebagai berikut :

== [1]. Kegagalan untuk memahami secara


mendalam bahwa mengalami kebahagiaan dan
kesedihan, mengalami kesenangan dan
kesengsaraan, mengalami kesuksesan dan
kegagalan, mengalami keberuntungan dan kesialan,
mendapatkan pujian dan penghinaan, memiliki
kelebihan dan kekurangan, dsb-nya, merupakan
satu kesatuan yang UTUH dan menyeluruh dari
kehidupan ini.

== [2]. Kegagalan untuk memahami hukum karma


dan siklus samsara, bahwa setiap manusia memiliki
berkah-berkah kehidupannya masing-masing yang
berbeda dari orang lainnya. Tidak semua orang
diberkahi untuk menjadi kaya, tidak semua orang
diberkahi terlahir di keluarga harmonis, tidak semua
orang diberkahi untuk menjadi sukses atau terkenal,
tidak semua orang diberkahi untuk memiliki
pasangan hidup yang baik, dst-nya.

== [3]. Sekaligus pada saat yang sama, gagal untuk


menerima dengan penuh kerelaan dan tersenyum
pada apapun berkah kehidupan disaat ini.

Disebabkan serangkaian kegagalan tersebut,


manusia mengalami kebingungan, keresahan dan
kegelisahan di dalam dirinya. Kemudian memaksa
agar hidup hanya berisi kesenangan saja, memaksa
agar dalam hidup hanya ada kebahagiaan saja,
memaksa agar dalam hidup kesuksesan terus-
menerus datang, memaksa agar pujian dan
penghormatan orang lain bertahan untuk
selamanya, memaksa agar diri kita hanya memiliki
kelebihan saja, atau selalu lebih dan lebih dari orang
lain, dsb-nya. Sebagai akibatnya, tidak saja
keresahan dan kegelisahan di dalam dirinya terus
semakin membesar, tapi sebagian manusia bahkan
terjatuh ke jurang berbahaya lautan masalah.

Agar praktek meditasi dan praktek belas kasih


lebih mudah dan sekaligus mendalam, belajarlah
menghentikan penolakan akan diri, serta belajarlah
untuk menerima dengan penuh kerelaan dan
tersenyum pada apapun berkah kehidupan kita.

Ketika kita dapat menerima diri kita sendiri


apa adanya, ketika kita dapat berhenti bersaing
dengan orang lain, ketika kita dapat berhenti
menginginkan pengakuan dari orang lain, disana
kita mulai terbebas dari beban berat yang tidak
perlu di dalam diri. Sehingga kemudian, pikiran-
perasaan kita di dalam menjadi ringan dan nyaman.
Sekaligus membuka pintu menuju penemuan
sukacita dan kedamaian sejati di dalam diri.

Inilah pintu masuk untuk dapat melaksanakan


praktek meditasi kesadaran yang mendalam dan
praktek belas kasih yang mendalam, yaitu
ketekunan kita untuk belajar menerima diri kita
sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya.
Menerimanya secara utuh dan menyeluruh. Yang
terdiri dari kombinasi 3 [tiga] upaya sebagai berikut.

[1]. MENERIMA SEMUA KEKURANGAN


DALAM HIDUP DAN BERSYUKUR.

Salah satu sebab penting mengapa kita


mengalami konflik pertempuran dualitas pikiran dan
mengapa pikiran-perasaan kita jauh dari kedamaian,
adalah karena adanya ketidakpuasan. Kita tidak
puas dengan kekayaan materi yang kita miliki, kita
tidak puas dengan tubuh fisik kita, kita tidak puas
dengan pasangan, kita tidak puas dengan anak-
anak, kita tidak puas dengan pemerintah, dsb-nya.

Kita tidak pernah merasa puas dan terus


menerus mengejar keinginan-keinginan kita.
Penyebabnya adalah karena kita melakukan
penolakan terhadap kenyataan hidup yang kita
terima sesuai garis karma kita masing-masing, serta
karena kebiasaan kita untuk melakukan
pembandingan-pembandingan.

Selalu ada saja bagian-bagian kehidupan yang


kita tolak. Ada yang menolak keadaan ekonomi, ada
yang menolak tubuh fisik, ada yang menolak
kekurangan pasangan, ada yang menolak mertua
yang sentimen, ada yang menolak jatuh sakit, dsb-
nya. Semakin keras kita melakukan penolakan maka
semakin sakitlah perasaan kita, semakin membuat
kita merasa tertekan, sekaligus membuat hubungan
kita dengan orang lain menjadi memanas.

Kita selalu menyangka bahwa kebahagiaan


bisa ditemukan dengan mendapatkan apa-apa yang
belum kita dapatkan. Artinya kebanyakan manusia
selalu menunggu sesuatu agar bisa bahagia. Ada
yang menunggu punya HP baru, ada yang
menunggu punya deposito berlimpah di bank, ada
yang menunggu punya jabatan tinggi, ada yang
menunggu anak lulus sekolah, ada yang menunggu
disayang mertua, dsb-nya. Sayangnya sebagian
lebih manusia yang menunggu itu tidak pernah
bertemu dengan kebahagiaan yang ditunggu. Baik
karena keinginan kita terus bertambah meningkat,
atau karena situasi keadaan yang selalu berubah,
serta karena kebahagiaan jenis ini sifatnya sangat
pendek dan sementara.

Selain itu, kita cenderung memiliki kebiasaan


untuk selalu melakukan pembandingan-
pembandingan. Kita sulit merasa bersyukur karena
kita selalu membandingkan berkah kehidupan kita,
dengan yang lebih tinggi atau yang lebih baik.

Berhentilah membandingkan. Karena tidak


pernah ada kehidupan manusia yang serba
sempurna, aman, nyaman, serta bebas dari masalah.
Semua manusia memiliki masalah, kekurangan dan
ketidaknyamanan dalam hidupnya. Terlalu banyak
mengeluh atau protes tidak saja tidak dapat
menyelesaikan masalah, tapi justru malah membuat
perjalanan hidup kita menjadi semakin berat dan
rumit, serta sekaligus membuat kesadaran di dalam
diri menjadi gelap.

Sesungguhnya, setiap kerumitan hidup yang


kita alami saat ini, merupakan hasil dari kerumitan-
kerumitan diri kita sendiri di masa lalu. Sehingga
sebelum satu kerumitan terus berkembang-biak
menjadi kerumitan-kerumitan yang lain, secepatnya
kita belajar menyederhanakan kehidupan dengan
cara banyak bersyukur. Cara agar kita dapat selalu
bersyukur adalah dengan terus konsentrasi melihat
sisi-sisi berkah dari semua kejadian.

Merasa bosan dan lelah menasihati anak kita


yang nakal, bersyukurlah karena kita punya anak
yang mewarnai hidup kita. Mendengar isteri ngomel
dengan cerewet di rumah, bersyukurlah karena kita
punya isteri. Mendengar suami tidur mendengkur
keras di sebelah, bersyukurlah karena kita punya
suami. Merasa lelah setiap sore sepulang kerja,
bersyukurlah karena kita punya pekerjaan.
Membersihkan halaman rumah dan mengepel lantai
yang kotor, bersyukurlah karena kita punya tempat
tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan.
Mencuci dan menyetrika tumpukan baju,
bersyukurlah karena kita memiliki pakaian.

Melatih diri untuk menerima kehidupan dan


bersyukur adalah sebuah jalan yang cepat
menghadirkan kekuatan kedamaian di dalam diri.
Seperti apapun perjalanan hidup kita, seperti
apapun bentuk tubuh fisik kita, sekurang apapun
pasangan kita, sesederhana apapun kekayaan
materi yang kita miliki, seterbatas apapun
pendidikan kita, dsb-nya, belajarlah untuk selalu
melihat sisi-sisi berkahnya dan bersyukur.

Sedikit yang menyadari bahwa ada berkah


yang indah di balik setiap kekurangan dan masalah.
Berkah kekurangan-kekurangan yang kita miliki
merupakan pembimbing sepanjang perjalanan
hidup agar kita jauh dari kesombongan. Berkah
pasangan hidup yang cerewet atau pemarah, dia
terus mengajarkan kita untuk menjadi sabar. Berkah
tubuh fisik yang tidak menarik, godaan-godaan
selingkuh tidak ada. Berkah ketika mengalami
kesedihan adalah undangan untuk menggali
semakin dalam dan semakin dalam tentang tujuan
hidup dan kenyataan diri kita yang sesungguhnya.
Dengan kecerdasan dalam memandang, kita akan
menjadi mudah untuk bersyukur.

Tanpa rasa syukur, tidak ada satupun jalan


yang bisa membimbing kita menuju kedamaian
mendalam. Kedamaian di dalam diri merupakan
hasil dari ketekunan untuk selalu bersyukur. Siapa
saja yang tekun melatih diri sendiri untuk memiliki
rasa syukur yang mendalam, suatu hari ketakutan
dan keraguan di dalam diri akan menurun, serta
pada saat yang sama kesadaran di dalam diri mulai
memancar terang cahayanya.

Menerima kehidupan dan bersyukur disini


bukanlah menerima kehidupan dan bersyukur yang
pasif tidak melakukan apa-apa, karena itu namanya
malas. Melainkan menjalani hidup dengan aktif,
dengan rasa syukur yang mendalam. Artinya
lakukanlah segala upaya untuk yang terbaik dalam
hidup kita, tapi apapun hasilnya bersyukurlah pada
setiap berkah kehidupan kita, seperti pasangan
hidup, anak-anak, pekerjaan, keadaan ekonomi,
dsb-nya.

Apapun boleh terjadi dalam kehidupan kita,


bahkan termasuk jika segala apa yang terjadi jauh
dari keinginan kita, tapi jangan pernah mengeluh,
protes, atau melawan. Terutama karena dengan
mengeluh, protes, atau melawan, kita tidak saja
akan membuat kehidupan kita menjadi lebih gelap
dan rumit, tapi juga sekaligus membuat kesadaran
kita semakin jauh dari pusat kedamaian di dalam
diri.

Tekunlah melatih diri sendiri menjadi manusia


dengan rasa syukur yang mendalam. Bersyukur
tidak saja menjernihkan kesadaran di dalam diri, tapi
juga menyebarkan getaran energi kedamaian ke
orang lain.

Lebih dalam dari itu, apa saja yang kita


pandang dengan mata bersyukur dia akan
memancarkan cahaya. Rumah yang sering kita
pandang dengan rasa syukur, sebagai hasilnya
rumah akan lebih bercahaya. Demikian juga dengan
anak-anak, pasangan hidup, dsb-nya.
[2]. BERHENTI MENILAI, MENGUKUR,
MEMBANDINGKAN.

Tanpa disadari, lingkungan ataupun diri kita


sendiri, sering menggoda, mendorong, menekan,
atau mengintimidasi kita untuk hidup penuh
persaingan. Harus lebih baik dari orang lain, ingin
lebih hebat dari orang lain, tidak boleh lebih rendah
dari orang lain, harus lebih benar dari orang lain,
ingin lebih suci dari orang lain, ingin lebih banyak
uang dari keadaan saat ini, ingin lebih banyak dipuji
dari keadaan saat ini, dst-nya. Yang membuat ego
[ahamkara, ke-aku-an] dan harga diri kita naik. Ego
dan harga diri yang meninggi inilah yang selalu
menjadi sumber banyak konflik. Baik konflik secara
internal di dalam diri sendiri maupun konflik dengan
orang lain.

Akar dari melakukan kekerasan pada orang


lain adalah melakukan kekerasan pada diri sendiri.
Penolakan diri adalah sebentuk kekerasan
berbahaya yang kita lakukan kepada diri kita sendiri.
Semakin keras kita menolak diri kita sendiri dan
kehidupan kita, maka semakin keras juga kekacauan
pikiran dan rasa sakit di dalam diri kita. Yang akan
berujung kepada melakukan kekerasan kepada
orang lain. Jika dapat berhenti melakukan kekerasan
pada diri sendiri, maka secara alami akan berhenti
juga kita melakukan kekerasan kepada orang lain.
Sehingga berbaik-hatilah kepada diri kita sendiri
dengan cara menerima diri kita sendiri dan
kehidupan kita seperti apa adanya, termasuk
berbaik hati pada masa lalu yang suram, berbaik
hati pada kekurangan dan ketidaksempurnaan kita,
serta berbaik hati pada keadaan kehidupan kita.

Orang yang di dalam dirinya gelap, selalu


disebabkan karena terlalu banyak menolak dan
melawan terhadap kehidupannya. Akar utama dari
penolakan adalah muncul dari pikiran manusia yang
suka menilai, mengukur, membanding-bandingkan
dan menghakimi, dari pikiran manusia yang belum
tersentuh oleh pencerahan Kesadaran Atma.
Sehingga semua hal yang tidak sesuai keinginan
dan pikirannya, dari pasangan hidup yang tidak
sesuai harapan, anak-anak yang nakal, orangtua
yang cerewet, kondisi ekonomi yang tidak cukup,
mengalami kegagalan, mengalami kesialan, dsb-
nya, semuanya ditolak. Semakin banyak mereka
mencoba menolak kegelapan, semakin gelap dirinya
di dalam.
Pembandingan, persaingan, atau
menginginkan pengakuan, adalah cara hidup
manusia yang pikirannya gelisah. Hanya masalah
waktu kelak dia akan merasa asing dengan dirinya
sendiri dan kehidupannya.

Selama kita masih mengukur dan


membanding-bandingkan diri kita sendiri dengan
orang lain, selama kita masih menilai dan
menghakimi diri kita sendiri kurang begini atau
kurang begitu, serta selama kita masih bersaing
dengan orang lain, selama itu juga kita akan terus
diganggu oleh kemunculan pikiran-pikiran negatif.
Kemudian hanya masalah waktu pikiran dan
kehidupan kita akan dibuat menjadi kacau.

Demi untuk kejernihan di dalam diri, kita


jangan pernah membandingkan diri kita sendiri
[dalam bentuk apapun] dengan orang lain, jangan
pernah membandingkan garis karma kita sendiri
dengan garis karma orang lain. Karena hal itu
adalah sebentuk kekerasan berbahaya yang kita
lakukan pada diri sendiri. Hal itu akan membuat kita
mengalami konflik di dalam diri secara
berkelanjutan. Kita akan terus bertempur dengan
diri sendiri di dalam. Kita akan terus menyakiti diri
sendiri. Untuk kemudian hanya masalah waktu
kemudian akan membuat kita berkonflik dengan
orang lain.

Hanya dengan penerimaan mendalam pada


diri sendiri yang akan membuat kita mulai dapat
memancarkan cahaya kesadaran di dalam diri.
Sehingga, tekunlah untuk menghentikan penolakan
akan diri. Dengan cara menerima tubuh kita seperti
apa adanya, menerima garis karma kita seperti apa
adanya, menerima perjalanan hidup kita seperti apa
adanya, menerima keluarga kita seperti apa adanya,
menerima pencapaian kita seperti apa adanya,
menerima perasaan apapun yang muncul di dalam
diri kita seperti apa adanya, dst-nya. Tanpa
mengukur dan membanding-bandingkan diri kita
sendiri dengan orang lain, tanpa menilai dan
menghakimi diri kita sendiri kurang begini atau
kurang begitu.

Membandingkan diri dengan orang lain, atau


berusaha meniru orang lain, atau bersaing dengan
orang lain, adalah sebuah tindakan menghancurkan
diri sendiri. Terutama karena setiap manusia itu unik
dan otentik, serta setiap manusia itu memiliki garis
jalannya masing-masing. Peniruan dan persaingan
akan membuat kita bernasib seperti pohon kamboja
yang ditanam di tengah kolam. Persoalan waktu
pohon kamboja itu akan membusuk. Tentu saja
boleh belajar dari orang lain atau meniru orang lain.
Tapi suatu saat ada waktunya bagi kita untuk
kembali menjadi diri kita sendiri yang unik dan
otentik, serta menerima garis kehidupan kita seperti
apa adanya. Hal itu sangat menjernikan dan
mendamaikan diri kita di dalam.

Tekunlah belajar untuk menerima diri kita


sendiri dan seluruh kehidupan kita seperti apa
adanya. Baik-buruk, sengsara-senang, gagal-sukses,
perasaan sedih-bahagia, pikiran buruk-baik kotor-
suci, semuanya bagian UTUH dan menyeluruh dari
diri kita sendiri. Semuanya diterima dengan
tersenyum. Dapat menjadi diri kita sendiri yang unik
dan otentik di tengah lingkungan yang terus
menggoda, mendorong, menekan, atau
mengintimidasi kita untuk menjadi orang lain,
merupakan suatu pencapaian spiritual. Kita dapat
melihat sendiri kenyataannya, dimana-mana terlihat
orang yang terasing dengan dirinya sendiri dan
hidupnya sendiri. Selalu merasa resah, gelisah dan
tidak bahagia.

Ketika kita dapat berdamai dengan diri kita


sendiri, ketika kita dapat berdamai dengan
kehidupan kita, disana kita tidak saja mulai belajar
berdamai secara UTUH dengan keberadaan kita di
dunia ini, tapi sekaligus juga kita membangkitkan
cahaya kesadaran di dalam diri.

[3]. BERBAIK HATI PADA KESALAHAN


DAN MASA LALU YANG GELAP.

Dalam kehidupan nyata, saya [penulis]


seringkali bertemu orang yang merasa dirinya kotor,
hina, banyak dosa, atau dipenuhi rasa bersalah,
merasa dirinya manusia gagal, merasa dirinya
manusia tidak berguna, dsb-nya, sehingga merasa
dirinya tidak pantas untuk melaksanakan sadhana
[praktek spiritual]. Padahal hal itu sama sekali tidak
benar.

Hal itu akan semakin kuat jika secara sosial


terdapat dikte dan tekanan dari orang lain [orang
tua, keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta,
masyarakat, orang yang memiliki kuasa, dsb-nya]
tentang moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya
sangat dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya].
Terutama melalui pengkondisian pikiran yang sudah
berlangsung lama, bahwa jika sesorang tidak mau
melaksanakannya, maka mereka akan menghakimi
dan mengintimidasinya dengan sebutan tidak
bermoral, atau tidak punya etika kesopanan, atau
salah jalan, atau tidak normal.

Inilah yang paling banyak berperan


membentuk suatu kondisi pikiran yang membuat
banyak manusia merasa dirinya kotor, hina, banyak
dosa, atau dipenuhi rasa bersalah, merasa dirinya
manusia gagal, merasa dirinya manusia tidak
berguna, dsb-nya. Pikiran terkondisi seperti itu akan
membuatnya mengalami konflik di dalam dirinya
secara berkelanjutan. Dia akan menyakiti dirinya
sendiri. Hal ini merupakan halangan bagi meditasi
mendalam, bagi bangkitnya kembali Kesadaran
Atma di dalam diri.

Hal seperti ini tidak akan terjadi jika orang tua,


keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta,
masyarakat, orang yang memiliki kuasa, dsb-nya,
memberikan tuntunan tentang pagar-pagar perilaku
bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari,
diajarkan semata-mata hanya untuk menjaga dan
melindungi manusia dari melakukan perbuatan atau
mengucapkan perkataan yang menghasilkan akibat-
akibat karma yang fatal dan sangat berbahaya. Yaitu
yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang
kesengsaraan yang dalam, atau menjerumuskan
manusia ke kelahiran yang rendah [terjerumus ke
alam bawah, atau menjadi binatang]. Serta semua
itu disampaikan tidak dalam kerangka dualitas
pikiran seperti salah-benar, buruk-baik, dsb-nya,
tapi sebagai suatu PILIHAN BEBAS [Swatantra
Katah], serta sekaligus diberikan tehnik sadhana
[praktek spiritual] yang tepat dan akurat, sebagai
jalan keluar.

Sebabnya mengapa hal ini terjadi karena


orang lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka
agama, pendeta, masyarakat, orang yang memiliki
kuasa, dsb-nya], mempelajari ajaran agama hanya
sebatas di tingkatan kecerdasan intelektual saja.
Dimana seringkali terjadi, hal tersebut justru
semakin menguatkan dualitas pikiran seperti salah-
benar, buruk-baik, dsb-nya. Sehingga kemudian hal
itu menjadi bahan bakar ego, yaitu digunakan untuk
membuat berbagai aturan dan larangan, serta
digunakan sebagai alasan untuk menghakimi orang
lain sebagai tidak bermoral, atau tidak punya etika
kesopanan, atau salah jalan, atau tidak normal.
Padahal dalam spiritualitas, kecerdasan intelektual
dan logika itu sifatnya masih sempit, dangkal dan
terbatas. Sehingga apa yang terjadi kemudian,
analoginya ibarat suasana di dalam kegelapan
pekat, dimana orang yang tidak dapat melihat
dalam gelap mencoba menuntun orang lain dalam
kegelapan.

Sesungguhnya, perbedaan orang yang SUDAH


mencapai pencerahan Kesadaran Atma, dengan
orang yang BELUM mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, tidak terletak pada perbedaan
kualitas kesucian mereka. Kualitas keduanya sama,
tidak ada perbedaan sama sekali. Karena kenyataan
sejati semua mahluk adalah Atma. Perbedaan
kualitas hanya muncul dari pikiran manusia yang
suka menilai, mengukur, membanding-bandingkan
dan menghakimi.

Satu-satunya perbedaan kemudian adalah,


orang yang sudah mencapai pencerahan Kesadaran
Atma dia SEPENUHNYA SADAR. Dia menyadari
kenyataan kosmik yang absolut, bahwa dirinya
sendiri, semua mahluk, alam semesta, seluruh
keberadaan, adalah satu KEUTUHAN tunggal. Dia
menyadari satu gerak dinamis keberadaan kosmik
yang tunggal, satu gerak dinamis kehidupan
semesta yang tunggal, yang bermanifestasi dalam
tidak terhingga jumlahnya segala sesuatu, segala
bentuk, segala wujud. Dirinya sendiri adalah seluruh
keberadaan, seluruh keberadaan adalah dirinya
sendiri.

Banyak Guru spiritual Agung memiliki masa


lalu yang gelap. Setiap orang jahat memiliki potensi
untuk bergerak menuju cahaya kesadaran yang
terang. Sehingga jangan pernah menghakimi diri
kita sendiri berdasarkan masa lalu. Karena
perjalanan kehidupan kita tidak bergerak menuju
masa lalu.

Seringkali terjadi, bahkan orang baikpun juga


bisa mengambil keputusan yang salah dan buruk.
Tapi itu tidak berarti mereka munafik atau jahat.
Sekali lagi tidak. Karena jangankan orang biasa
seperti kita, bahkan orang-orang suci-pun juga
memerlukan ruang gerak bagi kebangkitan
kesadaran di dalam diri, dalam bentuk dulunya juga
pernah melakukan berbagai kesalahan. Sehingga
belajarlah berbaik hati pada kesalahan kita, bukan
dengan cara mengulanginya lagi, tapi dengan cara
melihat kesalahan sebagai pelajaran-pelajaran dan
bukan sebagai kesalahan. Kesalahan ada tidak untuk
menghancurkan kita, tapi untuk membuat kiat
menjadi semakin dewasa. Artinya, gunakan
kesalahan masa lalu sebagai tekad kuat untuk
merubah diri.
Berbaik hatilah pada diri sendiri, yang berarti
tidak menghakimi diri sendiri, serta menerima diri
dan kehidupan seperti apa adanya. Termasuk dalam
hal ini berbaik hati pada masa lalu kita yang gelap,
serta berbaik hati pada kekurangan dan
ketidaksempurnaan diri kita sendiri dan kehidupan
kita. Penerimaan mendalam seperti ini secara alami
akan membuat kita menghidupkan cahaya
kesadaran di dalam diri, sekaligus membuat kita
dapat bersikap baik hati pada orang lain.

Perjalanan spiritual selalu dimulai disaat ini


seperti apa adanya. Tidak nanti, tapi disaat ini,
sekarang. Entah disaat ini kita seorang penjahat,
berbaju suci, dst-nya. Maharsi Walmiki adalah salah
satu contoh yang sangat terang dalam hal ini. Beliau
awalnya adalah seorang penjahat [perampok].
Kemudian Beliau bertemu dengan Gurunya yaitu
Maharsi Narada. Penuturan dharma dari Maharsi
Narada membuat Beliau sangat tersentuh hatinya.
Sang perampok kemudian sangat TEKUN
melaksanakan sadhana yang diajarkan Gurunya.
Karena KETEKUNAN itulah, suatu ketika dalam
meditasinya Walmiki dapat memasuki samadhi yang
sangat mendalam, sampai beliau tidak sadar bahwa
tubuhnya sudah dijadikan sarang oleh semut. Itulah
asal nama dari Walmiki, yang berarti “rumah semut”.
Sampai suatu waktu dari ketekunan tersebut, Beliau
mencapai pencerahan Kesadaran Atma.

Jangan menghakimi diri sendiri. Terimalah diri


kita sendiri seperti apa adanya. Tidak ada seorang
manusiapun di dunia ini sempurna, yang tidak
pernah melakukan kesalahan-kesalahan. Sehingga
tinggalkan rasa bersalah, tinggalkan rasa
penyesalan, tinggalkan perasaan berdosa,
tinggalkan perasaan diri kotor dan hina, tinggalkan
perasaan diri gagal dan tidak berguna. Karena
begitu kita dapat memaafkan kesalahan diri kita
sendiri secara total, disanalah kita mulai dapat
membangkitkan cahaya kesadaran di dalam diri.

Satu-satunya hal yang salah dalam hidup


adalah menganggap diri kita selalu salah. Padahal
tidak pernah ada manusia yang selalu salah dan
tidak pernah ada manusia yang selalu benar. Hal itu
sama dengan tidak ada hari yang hanya berisi
malam hari saja. Sehingga maafkanlah diri sendiri.
Laksana alam yang memeluk siang hari dan malam
hari secara sama. Maafkan yang sudah lewat,
kemudian perbaiki terus-menerus setiap langkah ke
depan. Inilah jalan spiritual mendalam yang sangat
menjernihkan dan mendamaikan.
Sebagaimana contoh terang yang diberikan
oleh Maharsi Walmiki, perjalanan spiritual tidak
dimulai ketika kita sudah menjadi manusia baik,
manusia bermoral, atau ketika sudah menjadi
pemuka agama, memakai baju suci, dsb-nya. Sama
sekali tidak. Sebelum mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, kualitas semua manusia sama.
Perjalanan spiritual dimulai disaat ini, sekarang,
ketika kita mulai menerima diri sendiri seperti apa
adanya, sekaligus mulai TEKUN untuk melaksanakan
sadhana [praktek spiritual] yang mendalam, yang
tepat dan akurat. Dimana di dalam buku ini sudah
dipaparkan rangkaian panca sadhana [lima praktek
spiritual] yang tepat dan akurat, untuk tekun kita
praktekkan.
Bab 2
SADHANA 2
Meditasi Kesadaran Dan Meditasi Keutuhan

Di jaman modern ini, umumnya sejak dari kita


kecil kita terus diarahkan untuk belajar keluar. Kita
belajar di sekolah, kita belajar dari membaca buku,
kita belajar dari mendengarkan ceramah, dsb-nya.
Kita belajar agama, belajar kitab suci, belajar sejarah,
belajar fisika, belajar biologi, belajar psikologi, dsb-
nya. Kita terus saja belajar keluar. Kita tidak pernah
belajar ke dalam diri. Kita tidak pernah belajar
bagaimana cara agar kita dapat menemukan
kedamaian, rasa aman dan nyaman di dalam diri.

Karena kita terus-menerus belajar keluar,


maka pada suatu titik dalam kehidupan kita akan
muncul perasaan resah dan gelisah di dalam diri.
Kita merasa tidak nyaman dengan diri kita sendiri
dan kehidupan kita. Pertandanya adalah kita sering
merasa tidak puas, merasa ada yang kurang dan
tidak pernah merasa cukup. Kita merasa kurang
begini dan kurang begitu. Atau kita mudah sekali
marah-marah, atau kita sulit tidur, atau kita sering
mimpi buruk, atau kita sering mengalami keresahan
dan kegelisahan, atau kita merasa bosan dan tidak
peduli, atau kita mengalami stress dan depresi, atau
bahkan kita mengalami gangguan psikologi.

Belajar keluar dapat memberikan kita sumber


penghidupan [mata pencaharian] yang baik, tapi
tidak dapat memberikan kita kehidupan yang baik.
Belajar ke dalam diri dapat memberikan kita
kehidupan yang baik, tapi tidak dapat memberikan
kita sumber penghidupan yang baik. Dalam
kehidupan ini kita memerlukan keduanya secara
sama seimbang.

Sehingga penting sekali dalam kehidupan ini


kita mengimbangi belajar keluar dengan juga
belajar ke dalam diri. Caranya dengan tekun
melakukan praktek meditasi kesadaran, yang
dikombinasikan dengan praktek meditasi keutuhan.
Itu adalah cara untuk belajar ke dalam diri. Praktek
meditasi kesadaran yang dikombinasikan dengan
praktek meditasi keutuhan adalah cara agar kita
dapat menjadi penyejuk bagi pikiran-perasaan kita
sendiri, sekaligus cara untuk menemukan
kedamaian sejati di dalam diri.

I. MEDITASI KESADARAN.
Manusia yang pikirannya resah-gelisah
disebabkan karena kesadarannya dicengkeram kuat
oleh pikiran-perasaannya. Praktek meditasi
kesadaran sangat membantu kita mengistirahatkan
pikiran. Sehingga pikiran kita akan dapat kembali
jernih, tenang dan damai.

Istirahatkanlah pikiran-perasaan kita melalui


praktek meditasi kesadaran. Istirahatkan pikiran-
perasaan kita dari konflik pertempuran dualitas
pikiran. Bersihkan kesadaran kita dari racun-racun
kejiwaan. Inti dari meditasi kesadaran adalah belajar
membuat pikiran "istirahat disaat ini seperti apa
adanya". Istirahat dari konflik pertempuran dualitas
pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.

[1]. SIFAT ALAMI PIKIRAN MANUSIA.

Secara alami sifat pikiran-perasaan kita


manusia laksana riak-riak gelombang di samudera.
Ada saat gelombangnya naik dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang baik dan positif. Ada saat
gelombangnya turun dengan kemunculan pikiran-
perasaan yang buruk dan negatif. Sebagaimana sifat
alami gelombang di samudera, kemunculan
gelombang naik dan gelombang turun selalu
berada dalam siklus datang dan pergi, muncul dan
lenyap. Seperti itulah sifat alami pikiran-perasaan
manusia.

Jadi, jangan pernah berangan-angan untuk


kita dapat memiliki pikiran-perasaan yang
sepenuhnya hanya positif saja. Apalagi berangan-
angan untuk melenyapkan atau membunuh pikiran.
Karena hal itu sama sekali tidak mungkin terjadi dan
sekaligus dapat menjerumuskan kita ke jurang
gangguan pikiran.

Kesadaran yang sempurna bukanlah keadaan


lenyapnya ketidaksempurnaan. Kesadaran yang
sempurna adalah senyuman damai dan penuh belas
kasih yang sama, baik terhadap kesempurnaan
maupun terhadap ketidaksempurnaan, sebagai satu
KEUTUHAN.

Berusaha keras untuk mengendalikan,


melawan, atau melenyapkan kemunculan pikiran-
perasaan negatif adalah sebuah PRAKTEK SALAH.
Karena pikiran-perasan negatif adalah satu kesatuan
yang UTUH dan menyeluruh dari diri kita sendiri.

Laksana bulan purnama yang memiliki sisi


terang dan sisi gelap, keduanya adalah satu
kesatuan yang utuh dan menyeluruh dari bulan
yang sama. Jika kita berusaha keras untuk
mengendalikan, melawan, atau melenyapkan
kemunculan pikiran-perasaan negatif, maka sebagai
akibatnya semakin besar dan kuatlah
cengkeramannya pada kesadaran kita. Sekaligus
akan membuat pikiran kita dipenuhi guncangan
konflik, akan sangat melukai pikiran kita sendiri,
serta membuat kita menjadi frustasi.

Tantra dan Upanishad tidak mengajarkan kita


untuk mengumbar pikiran-perasaan negatif. Sama
sekali tidak seperti itu. Cara menekan,
mengendalikan, ataupun melawan kemunculan
pikiran-perasaan negatif tidak dapat membantu
manusia. Pikiran-perasaan negatif masih tetap ada.
Cara menekan justru membuat cengkeraman
pikiran-perasaan negatif pada kesadaran menjadi
semakin kuat.

Pikiran-perasaan negatif adalah bagian UTUH


dari diri kita sebagai manusia. Jangan ditolak dan
dilawan. Segala bentuk aturan dan larangan dengan
alasan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, justru akan
membuat pikiran-perasaan negatif menjadi lebih
beracun. Pada kenyataannya pikiran-perasaan
negatif masih saja tetap ada, bahkan dalam bentuk
yang lebih beracun. Karena tidak saja
cengkeramannya dalam kesadaran menjadi semakin
kuat, tapi juga sekaligus menimbulkan rasa bersalah,
menimbulkan konflik pikiran dan melukai pikiran
kita sendiri.

Tantra dan Upanishad mengajarkan, bukan


dengan cara menekan cengkeraman pikiran-
perasaan negatif dapat diredakan. Juga bukan
dengan cara mengumbar. Cara menekan pikiran-
perasaan negatif, ataupun sebaliknya mengumbar
pikiran-perasaan negatif, keduanya sama-sama
merusak kesadaran.

Pikiran-perasaan negatif adalah bagian UTUH


dari keseluruhan diri kita sendiri. Itu adalah diri kita
sendiri. Jangan ditolak dan dilawan, sekaligus juga
jangan diumbar. Tapi bersikaplah belas kasih
kepadanya. Bersahabatlah dengannya. Jika kita
dapat bersikap belas kasih dan bersahabat dengan
diri kita sendiri, diri kita akan mengungkapkan
banyak hal yang luar biasa.

Menekan dan mengumbar adalah dua sisi


ekstrim yang hendaknya dihindari. Beradalah di
tengah-tengah, dengan cara praktek meditasi
kesadaran. Praktek meditasi kesadaran akan
membuat kita mengalami perubahan dimensi
kesadaran di dalam diri. Praktek meditasi kesadaran
adalah cara utama untuk membebaskan kesadaran
kita dari cengkeraman pikiran-perasaan negatif.

Menggunakan teori yang benar sebagai


landasan sangat penting dalam perjalanan spiritual
kita. Dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa [Vijnana
Bhairawa Tantra], Kesadaran Atma disimbolikkan
sebagai langit biru yang abadi dan pikiran-perasan
disimbolikkan sebagai awan-awan yang datang dan
pergi, muncul dan lenyap. Pikiran-perasaan baik dan
positif adalah laksana awan-awan putih, sedangkan
pikiran-perasaan buruk dan negatif adalah laksana
awan-awan hitam, tapi Kesadaran Atma adalah
laksana langit biru abadi yang tidak berubah.

Meditasi kesadaran bukanlah praktek spiritual


untuk membuat pikiran-perasaan kita agar selalu
baik, damai dan positif untuk selama-lamanya,
apalagi untuk untuk membunuh atau melenyapkan
pikiran, karena hal itu sama sekali tidak mungkin
dapat tercapai. Semasih kita berada di dunia ini
menjalani kehidupan menggunakan badan manusia,
maka sifat alami pikiran-perasaan kita adalah
laksana riak-riak gelombang di samudera, dimana
kemunculan pikiran-perasaan positif dan negatif,
selalu berada dalam siklus datang dan pergi, muncul
dan lenyap.

Laksana awan-awan di langit, pikiran-perasaan


positif dan negatif di dalam diri kita datang dan
pergi secara alami sesuai dengan hukumnya. Tugas
kita dalam meditasi kesadaran adalah menjadi langit
biru yang abadi, yaitu hanya menyaksikan saja
awan-awan ini datang dan pergi, disaksikan saja
dengan penuh belas kasih, tanpa menilainya, tanpa
mengikutinya, tanpa berusaha mengendalikannya.
Hanya disaksikan saja [tidak menilai dan tidak
menghakiminya sama sekali] dengan senyuman
penuh belas kasih. Sebagai hasilnya, semua bentuk
pikiran-perasaan tersebut akan kehilangan kekuatan
cengkeramannya pada kesadaran kita dan
kemudian berlalu dengan sendirinya.
[2]. SABIJA SAMADHI DAN NIRBIJA
SAMADHI.

Meditasi memiliki dua bagian, yaitu bagian


awal dan bagian akhir. Bagian awal disebut dhyana
dan bagian akhir disebut samadhi. Ibarat bunga,
dhyana adalah bibit bunganya dan samadhi adalah
indah mekar bunganya.

Jika kita mendalami buku-buku suci Hindu


Dharma, maka kita akan dapat menemukan bahwa
semua tehnik meditasi yang ada di dunia ini, terbagi
ke dalam 2 [dua] kategori. Istilahnya berbeda-beda,
tapi maksudnya sama. Seperti misalnya pembagian
ke dalam 2 [dua] kategori yaitu sabija samadhi dan
nirbija samadhi.

Kategori pertama disebut sabija samadhi,


yang berarti “samadhi dengan benih”. Ini
merupakan meditasi di tingkat pertumbuhan. Ciri
khas meditasi di tingkat pertumbuhan ini adalah
adanya pengalaman meditasi sebagai tujuan, ada
hasil puncak samadhi, ada pencapaian, dsb-nya.
Dimana dalam meditasi kategori ini, kita dapat
mencapai hasil puncak samadhi yang sangat damai,
atau kita dapat mencapai tujuan meditasi dengan
pengalaman meditatif yang sangat indah, dsb-nya.

Disebut meditasi “dengan benih”, karena


ibarat pohon, di permukaan kelihatannya batang
pohon, daun-daunan, bunga, buah, semua sudah
dipotong habis. Di permukaan cengkeraman
kegelapan pikiran dan perasaan kelihatannya sudah
hilang. Akan tetapi akarnya masih tetap ada,
tersembunyi di bawah tanah. Benih-benih
cengkeraman kegelapan pikiran dan perasaan masih
ada tersembunyi. Pohon itu masih bisa
menumbuhkan kembali dirinya sendiri. Menunggu
waktu yang tepat, saat yang tepat, musim yang
tepat, untuk tumbuh kembali. Jika hujan turun maka
pohon itu akan tumbuh kembali.

Ketika kita bisa mencapai puncak sabija


samadhi, kita mungkin berpikir kita sudah mencapai
puncak perjalanan spiritual. Kita mungkin berpikir
dengan berhasil mencapai puncak itu, maka
cengkeraman kegelapan pikiran dan perasaan
sudah akan menghilang untuk selama-lamanya.
Akan tetapi suatu hari kemudian, dalam suatu
kejadian, kita menemukan diri kita kembali dijerat
oleh cengkeraman pikiran dan perasaan. Sehingga
semua pengalaman puncak samadhi yang sudah
dicapai sebelumnya itu seolah-olah seperti tidak
pernah terjadi.

Ketika kita bisa mencapai puncak sabija


samadhi, disana kita menjadi damai dan menikmati
kebahagiaan. Kita mungkin merasa perjalanan
spiritual kita sudah selesai. Perjalanan spiritual kita
sudah mencapai puncak. Tapi ternyata kemudian hal
itu tidak bisa langgeng. Itu hanya bisa sementara
waktu dan segera setelahnya energi itu akan hilang.
Hal itu mungkin akan membuat kita frustrasi.

Sesungguhnya tidak seperti itu. Tapi sesuatu


yang lain, sesuatu yang sangat berbeda, harus digali
dan ditemukan. Sesuatu yang kekal, sesuatu yang
dapat membuat kita tetap tenang, damai dan
bahagia, dalam apapun yang terjadi dalam
kehidupan.

Kategori kedua disebut nirbija samadhi, yang


berarti “samadhi tanpa benih”. Ini merupakan
meditasi di tingkat kesempurnaan. Pada meditasi
tingkat kesempurnaan ini, tidak ada pengalaman
spiritual sebagai tujuan, tidak ada hasil, tidak ada
pencapaian, dsb-nya, meditasi hanya istirahat. Yaitu
mengistirahatkan pikiran dari konflik pertempuran
dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk,
dsb-nya. Mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran.

Meditasi kesadaran, yang akan kita pelajari


tehniknya disini, adalah kategori nirbija samadhi.
Disebut meditasi “tanpa benih”, karena meditasi
kesadaran langsung memotong akarnya
cengkeraman kegelapan pikiran dan perasaan, yaitu
dualitas pikiran. Ibarat pohon, pohonnya dipotong
habis sampai ke akar-akarnya. Sehingga pohon itu
tidak akan bisa tumbuh kembali.

Dalam nirbija samadhi, tidak ada tujuan, tidak


ada hasil, tidak ada pencapaian. Apapun
pengalaman atau pencapaian yang muncul terjadi
dalam meditasi tidak dimaknakan. Seindah,
semegah, atau sehebat apapun pengalaman yang
muncul dalam meditasi, tidak dimaknakan. Hanya
disaksikan saja dengan tersenyum, tanpa penilaian
dualitas pikiran. Karena pengalaman indah dalam
meditasi yang dimaknakan akan menjadi penyebab
kesengsaraan di masa depan. Memaknakan akan
memperkuat dualitas pikiran dan dualitas pikiran
yang kuat merupakan akar kesengsaraan. Meditasi
di tingkat kesempurnaan hanya menyaksikan saja.
Istirahat, istirahat dan istirahat. Mengistirahatkan
pikiran dari dualitas pikiran.
Ingatlah satu hal, bahwa selain keheningan,
semua yang lain bersifat sementara waktu, walau
seindah apapun pengalaman yang muncul dalam
meditasi. Bahkan termasuk pengalaman meditasi
yang sangat indah, megah dan hebat, yang seolah
nampak seperti Tuhan. Hanya dalam keheninganlah
kita mendekat dengan pusat keberadaan yang
absolut. Yang menyaksikan itu bukanlah pikiran.
Menjadi sadar akan saksi ini adalah yang telah
menemukan intisari, titik pusat, yang absolut, yang
tidak berubah.

[3]. TEHNIK MEDITASI KESADARAN.

Manusia yang kesadarannya dicengkeram


oleh pikiran-perasaan, mirip seperti air kotor di
dalam gelas. Sebagaimana air kotor di dalam gelas,
kotorannya akan mengendap dengan sendirinya jika
gelasnya dibiarkan saja istirahat seperti apa adanya.
Kemudian air di dalam gelas akan menjadi jernih.
Demikian juga kesadaran akan kembali jernih jika
dibiarkan "istirahat seperti apa adanya". Istirahat
dari konflik pertempuran dualitas pikiran seperti
salah-benar, baik-buruk, dsb-nya. Sehingga tidak
ada lagi pikiran-perasaan yang TERBELAH, sekaligus
kesadaran di dalam diri menjadi jernih dan terang.

Inti dari meditasi kesadaran adalah


menemukan kembali Atma Jnana [Kesadaran Atma]
di dalam diri. Atma Jnana tidak berarti usaha untuk
membuat pikiran-perasaan kita menjadi selalu baik,
damai dan positif untuk selama-lamanya. Sama
sekali tidak seperti itu. Karena hal itu tidak mungkin
terjadi. Atma Jnana berarti kesadaran kita tidak lagi
dapat dicengkeram oleh riak-riak gelombang
pikiran-perasaan. Kesadaran kita terbebaskan dari
segala bentuk cengkeraman pikiran-perasaan di
dalam diri.

Inilah tehnik untuk melakukan praktek


meditasi kesadaran.

== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi


Meditasi.

Duduklah bersila dengan santai dan tenang.


Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.
Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut
membentuk jnana mudra. Tapi bahu dalam keadaan
santai [tidak tegang].
Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit
mulut. Pejamkan mata. Bernafaslah secara alami
saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan nafas
mengatur iramanya sendiri secara alami seiring
dengan praktek meditasi kita.

== [2]. Meditasi Dimulai : Konsentrasi Ke Sentuhan


Nafas Pada Hidung.

Pikiran manusia laksana perahu di tengah


samudera luas yang diombang-ambingkan dan
dihempaskan kesana-kemari oleh gejolak riak
gelombang perjalanan kehidupan. Pikiran
memerlukan jangkar agar tidak lagi terombang-
ambing dan terhempas kesana-kemari. Nafas adalah
jangkar kesadaran. Sehingga dalam meditasi
kesadaran, nafas adalah obyek meditasi yang
terbaik.

Setelah kita duduk dalam posisi meditasi,


konsentrasilah untuk merasakan sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.

== [3]. Meditasi kesadaran : Kombinasi Antara


Ketekunan Untuk Hanya Menyaksikan Dan Nafas
Sebagai Jangkar Kesadaran.
Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.

Suatu hal yang biasa terjadi dalam meditasi


kesadaran adalah, untuk beberapa saat kita
kehilangan konsentrasi merasakan sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung. Kita kehilangan
konsentrasi karena kita larut dalam arus pikiran,
atau larut dalam arus perasaan, atau larut dalam
arus gagasan yang muncul. Itu tidak berarti meditasi
kita jelek, buruk, atau salah, tapi itu hal yang sangat
alami dan pasti terjadi.

Jika seandainya untuk beberapa saat kita


kehilangan konsentrasi, karena kita larut di dalam
arus pikiran yang muncul, disaat kita tersadar akan
keadaan itu, tersenyumlah penuh belas kasih tanpa
penghakiman sama sekali. Kemudian, kembalilah
berkonsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk
nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud “tanpa penghakiman


sama sekali” seperti ini : Apapun bentuk arus pikiran
yang muncul tersebut, seperti misalnya pikiran baik
pikiran buruk, pikiran suci pikiran kotor, pikiran
benar pikiran salah, pikiran mulia pikiran berdosa,
pikiran tenang pikiran kacau, dsb-nya, kita tidak
menilainya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-
kotor, mulia-berdosa, dsb-nya. ISTIRAHAT dari
konflik pertempuran dualitas pikiran. ISTIRAHAT
dalam kesadaran. Kita tersenyum saja
menyaksikannya dengan penuh belas kasih,
kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-


masuk nafas pada hidung.

Jika seandainya untuk beberapa saat kita


kehilangan konsentrasi, karena kita larut di dalam
arus emosi atau perasaan yang muncul, disaat kita
tersadar akan keadaan itu, tersenyumlah penuh
belas kasih tanpa penghakiman sama sekali.
Kemudian, kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud “tanpa penghakiman


sama sekali” seperti ini : Apapun bentuk emosi atau
perasaan yang muncul tersebut, seperti misalnya
perasaan bahagia perasaan sedih, perasaan senang
perasaan sengsara, perasaan cinta perasaan benci,
perasaan damai perasaan marah, dsb-nya, kita tidak
menilainya sebagai benar-salah, baik-buruk, suci-
kotor, mulia-berdosa, dsb-nya. ISTIRAHAT dari
konflik pertempuran dualitas pikiran. ISTIRAHAT
dalam kesadaran. Kita tersenyum saja
menyaksikannya dengan penuh belas kasih,
kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-


masuk nafas pada hidung.

Jika seandainya untuk beberapa saat kita


kehilangan konsentrasi, karena kita larut di dalam
arus gagasan yang muncul, disaat kita tersadar akan
keadaan itu, tersenyumlah penuh belas kasih tanpa
penghakiman sama sekali. Kemudian, kembalilah
berkonsentrasi merasakan sentuhan keluar-masuk
nafas pada hidung.

== KETERANGAN. Maksud “tanpa penghakiman


sama sekali” seperti ini : Apapun bentuk gagasan
yang muncul tersebut, seperti misalnya konsentrasi
bagus konsentrasi kacau, meditasinya bagus
meditasinya kacau, meditasinya benar meditasinya
salah, saya orang baik saya orang banyak dosa, saya
melakukan kebenaran saya melakukan kesalahan,
dsb-nya, kita tidak menilainya sebagai benar-salah,
baik-buruk, suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-nya.
ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas pikiran.
ISTIRAHAT dalam kesadaran. Kita tersenyum saja
menyaksikannya dengan penuh belas kasih,
kemudian kembalilah berkonsentrasi merasakan
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Konsentrasi merasakan sentuhan keluar-


masuk nafas pada hidung.

Demikianlah seterusnya.

Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi


kesadaran. Sebagaimana disebutkan di dalam buku
suci ajaran Tantra Shiwa, pikiran-perasaan baik dan
positif adalah laksana awan-awan putih, sedangkan
pikiran-perasaan buruk dan negatif adalah laksana
awan-awan hitam, semuanya datang dan pergi,
muncul dan lenyap. Tapi Kesadaran Atma adalah
laksana langit biru sebagai saksi abadi yang tidak
berubah. Melalui praktek meditasi kesadaran, kita
belajar menjadi langit biru abadi yang menyaksikan.

Pikiran tidak baik, pikiran jahat, kenangan


buruk, atau perasaan marah, sedih, sengsara, putus
asa, tidak puas, iri hati, sentimen, atau gagasan
bahwa hal ini dan itu buruk atau salah, dsb-nya,
adalah laksana awan-awan hitam yang lewat. Pikiran
baik, pikiran mulia, kenangan indah, atau perasaan
bahagia, senang, terpuaskan, atau gagasan bahwa
hal ini dan itu baik atau benar, dsb-nya, adalah
laksana awan-awan putih yang lewat. Kenyataan diri
kita yang sejati bukanlah awan-awan pikiran,
perasaan dan gagasan tersebut. Kenyataan diri kita
yang sejati adalah Kesadaran Atma, langit biru yang
menyaksikan.

Saksikan pikiran hanya sebagai pikiran, bukan


sebagai kebenaran, bukan sebagai kenyataan sejati
diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.

Saksikan perasaan hanya sebagai perasaan,


bukan sebagai kebenaran, bukan sebagai kenyataan
sejati diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.

Saksikan gagasan hanya sebagai gagasan,


bukan sebagai kebenaran, bukan sebagai kenyataan
sejati diri kita. Kemudian kembalilah ke nafas.

ISTIRAHAT dari konflik pertempuran dualitas


pikiran. ISTIRAHAT dalam kesadaran. Kemudian
kembalilah ke nafas.
[4]. HASIL TIDAK PENTING, MELAINKAN
KETEKUNANLAH YANG TERPENTING.

Dalam praktek meditasi kesadaran [nirbija


samadhi], hasil meditasi bukanlah sesuatu yang
penting. Tapi yang terpenting adalah KETEKUNAN
kita untuk melakukan praktek meditasi secara rutin
setiap hari. Ketekunan kita untuk hanya
menyaksikan dan menyaksikan dengan penuh belas
kasih, tanpa penghakiman sama sekali. Ketekunan
kita untuk mengistirahatkan pikiran dalam
kesadaran. Mengistiratkan pikiran dari konflik
pertempuran dualitas pikiran seperti salah-benar,
baik-buruk, dsb-nya.

Meditasi kesadaran tidak memiliki tujuan,


tidak memiliki hasil, tidak memiliki pencapaian. Jadi
jangan terburu-buru atau tidak sabar. Jangan
memaksakan diri agar konsentrasinya bagus, atau
meditasinya penuh ketenangan, atau mendapatkan
pengalaman meditasi yang indah. Mengalir saja
seperti apa adanya. Kita bermeditasi tidak untuk
mencapai sesuatu, atau untuk mendapatkan hasil
sesuatu.
Satu-satunya tujuan meditasi kesadaran
adalah KETEKUNAN kita untuk melakukan praktek
meditasi itu sendiri. Ketekunan untuk
mengistirahatkan pikiran dari konflik pertempuran
dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk,
dsb-nya. Ketekunan untuk istirahat dalam
kesadaran. Tidak ada yang lainnya lagi.

Ini berarti bahwa, jika suatu saat meditasi kita


kacau atau bahkan kacau sekali, jangan menilai dan
menghakiminya bahwa konsentrasi kita buruk,
meditasi kita gagal, meditasi kita salah, dst-nya. Tapi
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih, tanpa penilaian dan tanpa penghakiman sama
sekali. ISTIRAHAT dalam kesadaran. Teruslah
melanjutkan praktek meditasinya.

Serta berlaku sebaliknya, jika suatu ketika


meditasi kita bagus atau bahkan bagus sekali,
jangan menilai dan menghakiminya bahwa
konsentrasi kita baik, meditasi kita sukses, meditasi
kita benar, dst-nya. Tapi disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih, tanpa penilaian dan
tanpa penghakiman sama sekali. ISTIRAHAT dalam
kesadaran. Teruslah melanjutkan praktek
meditasinya.
Sebagaimana sifat alami pikiran-perasaan kita
manusia laksana riak gelombang di samudera, ada
saat gelombangnya naik, ada saat gelombangnya
turun, demikian juga dengan siklus praktek
meditasi. Ada saat meditasi kita bagus, ada saat
meditasi kita kacau, ada saat meditasi kita bagus
sekali, ada saat meditasi kita kacau sekali. Selalu
berada dalam siklus naik-turun seperti itu secara
alami.

Kita harus menyadari bahwa kejernihan pikiran


dan perasaan tidak pernah lurus, dia selalu naik dan
turun, naik dan turun. Ini adalah salah satu sifat
utama dari samsara. Kita tidak hanya bicara tentang
kelahiran kembali yang lebih tinggi dan lebih
rendah, tapi naik dan turun juga mengacu pada
kehidupan keseharian. Sekarang perasaan saya
bahagia, sekarang perasaan saya tidak bahagia.
Sekarang pikiran saya baik, sekarang pikiran saya
buruk. Sekarang saya suka meditasi, sekarang saya
bosan dan malas meditasi. Semuanya naik dan
turun setiap saat. Jadi jangan terkejut atau bingung.
Pada kenyataannya hal itu akan terus berlanjut
seperti itu sampai kita terbebaskan sempurna dari
siklus samsara. Sebelum mencapai titik itu, yang
merupakan tingkatan sangat tinggi, samsara akan
terus membawa kita dalam siklus naik dan turun.
Jadi jangan berkecil hati, atau merasa gagal,
atau merasa bersalah, jika setelah kita tekun
melakukan praktek meditasi selama bertahun-tahun,
suatu saat tiba-tiba saja meditasi kita sangat kacau,
atau tiba-tiba saja perasaan kita sangat terganggu,
atau tiba-tiba kita mengalami keresahan dan
kegelisahan, atau tiba-tiba saja kita mengalami
kesulitan dalam hubungan dengan orang lain, dsb-
nya. Tidak berarti bahwa kita adalah seorang
sadhaka [praktisi spiritual] yang buruk atau gagal.
Melainkan ini hal yang wajar dan biasa, mengingat
kenyataan tentang sifat utama samsara.

Menggunakan teori yang benar sebagai


landasan sangat penting dalam perjalanan spiritual
kita. Apapun hasil dan pencapaian meditasi, seperti
apapun pikiran dan perasaan yang muncul dalam
kehidupan keseharian, disaksikan saja tanpa
penghakiman sama sekali. Istirahat dalam
kesadaran. Istirahat dari konflik pertempuran
dualitas pikiran seperti salah-benar, baik-buruk,
dsb-nya. Disanalah rahasianya akan terbuka.
Semuanya muncul dan lenyap. Seperti tarian riak-
riak gelombang di samudera, semuanya datang dan
pergi, muncul dan lenyap.
Dalam praktek meditasi kesadaran, hasil
meditasi bukanlah sesuatu yang penting. Tapi yang
terpenting adalah KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek meditasi, ketekunan kita untuk
mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran, secara
rutin setiap hari selama bertahun-tahun.

[5]. WAKTU MEDITASI / KETEKUNAN


PRAKTEK MEDITASI.

Orang sehat tidak memerlukan obat, tapi


ketika jatuh sakit barulah dia merasakan betapa
pentingnya obat dan menjaga kesehatan. Hal yang
sama terjadi dengan orang yang tidak sedang
memiliki masalah, atau kehidupannya aman-aman
saja, atau sedang berada dalam puncak kesuksesan,
seringkali mereka tidak merasakan ada hal yang
penting dari praktek meditasi kesadaran. Tapi
begitu masalah mendera kehidupan, barulah
mereka sibuk dan bingung mencari-cari cara untuk
mengobati luka-luka hatinya.

Jadi alangkah baiknya jika kita tekun


mempraktekkan meditasi kesadaran sebagai
rutinitas setiap hari, sehingga ketika masalah datang
mendera dalam kehidupan, di dalam diri kita sudah
siap dan kita bisa menghadapinya dengan
kesabaran dan ketenangan.

Kita dapat mencobanya dengan mulai


mempraktekkan meditasi kesadaran selama 30
menit [setengah jam]. Selama setengah jam
melakukan praktek meditasi kesadaran, kita akan
dapat merasakan munculnya ketenangan,
kedamaian dan keheningan di dalam diri. Selama
setengah jam konsentrasi mengamati nafas
membawa banyak ketenangan dan keheningan. Hal
itu secara pasti akan memberikan perbedaan besar
bagi kehidupan kita, jika kita mempraktekkannya
dengan tekun setiap hari sebagai rutinitas. Seiring
waktu, kesadaran kita akan terus menguat,
keseimbangan pikiran-perasaan kita berubah. Kita
menjadi lebih tenang, lebih jernih dan lebih sadar.

Praktekkanlah meditasi kesadaran setiap hari


dengan tekun. Sebagai sebuah rutinitas, lakukan
praktek meditasi kesadaran setiap pagi hari dan
malam hari.

== [1]. PAGI HARI : Lakukan praktek meditasi


kesadaran sebagai rutinitas, setiap pagi hari diantara
jam 04.00 pagi s/d saat matahari terbit, selama 30
menit s/d 2 jam [semampu kita]. Periode waktu ini
disebut Brahma Muhurta, sebuah periode waktu
dimana energi alam cenderung halus dan jernih,
serta alam cenderung bebas dari gangguan getaran
energi-energi lain [dari gangguan suara, aktifitas
manusia, polusi, dsb-nya].

== [2]. MALAM HARI : Lakukan praktek meditasi


kesadaran sebagai rutinitas, setiap malam sebelum
kita pergi tidur, selama 30 menit s/d 2 jam
[semampu kita].

== [3]. WAKTU BEBAS : Dalam melaksanakan


aktfitas keseharian, jika kita ada waktu, seling-selingi
dengan melakukan praktek meditasi kesadaran
cukup selama 1 [satu] menit saja. Singkat-singkat
saja [cukup 1 menit] tapi sering.

Setiap swadharma [tugas-tugas kehidupan]


dan setiap kejadian dalam kehidupan, mengandung
bibit-bibit stres, kegelisahan dan ketegangan. Akan
tetapi stres, kegelisahan dan ketegangan akan lebih
jarang muncul dalam pikiran kita, serta
cengkeramannya pada kesadaran kita akan lebih
melemah, jika kita tekun mempraktekkan meditasi
kesadaran sebagai rutinitas setiap hari.
[6]. PENJELASAN.

Meditasi kesadaran adalah sadhana [praktek


spiritual] untuk mengistirahatkan pikiran. Untuk
membebaskan pikiran dari dualitas baik-buruk,
benar-salah, suci-kotor, dsb-nya. Untuk
membebaskan pikiran dari penilaian. Untuk
membebaskan pikiran dari penghakiman. Untuk
"istirahat” disaat ini seperti apa adanya.

Orang yang kesadarannya terlalu kuat


dicengkeram oleh dualitas pikiran [salah-benar,
baik-buruk, dsb-nya], akan mengalami kesulitan
besar dalam hal ini. Sebagian orang lain yang
pikirannya lama terjerat oleh dogma dan doktrin
agama juga sama akan mengalami kesulitan besar
dalam hal ini. Akan tetapi tidak ada pilihan lain
selain belajar menyaksikan, menyaksikan dan
menyaksikan, tanpa penilaian dan tanpa
penghakiman sama sekali. Awalnya terasa seperti
ada yang melawan di dalam diri. Yang melawan itu
tidak lain adalah pikiran kita sendiri yang terkondisi.
Tapi seiring waktu perlawanan ini akan terus
melemah seiring dengan ketekunan kita untuk
selalu menyaksikan dan menyaksikan saja, dengan
senyum penuh belas kasih tanpa penilaian dan
penghakiman sama sekali.

Kesadaran Atma di dalam diri itu murni, jernih


dan tanpa noda kotoran. Noda kotoran hanya ada
dalam pikiran manusia yang belum terlatih praktek
meditasi kesadaran. Yaitu pikiran yang dicengkeram
oleh dualitas pikiran seperti buruk-baik, salah-benar,
sengsara-bahagia, dsb-nya. Sehingga pikirannya
dipenuhi oleh guncangan dan kontradiksi.

Manusia yang kesadarannya dicengkeram


oleh pikiran-perasaan, mirip seperti air kotor di
dalam gelas. Sebagaimana air kotor di dalam gelas,
kotorannya akan mengendap dengan sendirinya jika
gelasnya dibiarkan saja istirahat seperti apa adanya.
Kemudian air di dalam gelas akan menjadi jernih
tanpa kotoran.

Ketika kita rajin dan tekun melakukan praktek


meditasi kesadaran, rajin dan tekun
mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran, rajin dan
tekun menyaksikan, menyaksikan dan menyaksikan
tanpa penilaian dan tanpa penghakiman sama
sekali, suatu saat cengkeraman pikiran dan konflik
pertempuran dualitas pikiran akan terus melemah.
Saksikan pikiran hanya sebagai pikiran,
saksikan perasaan hanya sebagai perasaan, saksikan
gagasan hanya sebagai gagasan, bukan sebagai
kebenaran, bukan sebagai kenyataan sejati diri kita.
Setiap kemunculan pikiran, perasaan dan gagasan,
hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh
belas kasih, tanpa penilaian sama sekali. Istirahat
dari konflik pertempuran dualitas pikiran seperti
salah-benar, baik-buruk, dsb-nya. Istirahat dalam
kesadaran.

Secara alami sifat pikiran-perasaan kita


manusia adalah laksana tarian riak-riak gelombang
di samudera. Ada saat gelombangnya naik dengan
kemunculan pikiran-perasaan yang baik dan positif.
Ada saat gelombangnya turun dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang buruk dan negatif.

Ini berarti bahwa kita tidak akan pernah dapat


sepenuhnya melenyapkan kemunculan pikiran-
perasaan yang buruk dan negatif di dalam diri.
Leluhur kita di Bali sering mengucapkan ajaran
dharma ini, “manusia itu dewa ya bhuta ya”. Artinya
di dalam diri kita manusia ada bagian terangnya dan
juga ada bagian gelapnya, sebagai satu kesatuan
yang utuh dan menyeluruh dari diri kita. Laksana
bulan purnama yang memiliki sisi terang dan sisi
gelap, keduanya adalah satu kesatuan yang utuh
dan menyeluruh dari bulan yang sama.

Mencapai Moksha atau belum mencapai


Moksha, tercerahkan atau tidak tercerahkan, sifat
alami pikiran kita akan tetap seperti itu. Itu
sebabnya pada tingkat kesempurnaan, meditasi
terus mengajarkan untuk selalu istirahat, istirahat,
istirahat. Istirahat dari konflik pertempuran dualitas
pikiran seperti salah-benar, baik-buruk, dsb-nya.

Orang biasa yang belum mempraktekkan


meditasi kesadaran umumnya kesadarannya
dicengkeram habis oleh pikiran-perasaan. Senang
jika dipuji, sengsara saat dicaci-maki, bahagia jika
beruntung, bersedih saat mengalami kesialan, pesta
jika mencapai sukses, depresi saat mengalami
kegagalan, dsb-nya. Akan tetapi di jalan meditasi
kesadaran, semua hanya disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih. Laksana langit biru
sebagai saksi abadi yang tidak tersentuh oleh awan-
awan manapun.

Pertanda kita sudah “istirahat dalam


kesadaran” adalah, kita dapat tersenyum damai,
berjarak, serta merasa aman dan nyaman seperti
apapun bentuk riak-riak pikiran-perasaan-gagasan
yang muncul di dalam diri kita. Kita dapat
tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan
nyaman seperti apapun pengalaman hidup yang
kita alami.

Entah disaat ini riak-riak gelombang yang


sedang muncul dalam samudera pikiran-perasaan
kita adalah kemarahan, atau kesedihan, atau
kebahagiaan, atau perasaan datar, hambar, galau,
atau tenang, atau kacau, atau bingung, atau baik,
atau buruk, atau negatif, atau positif, atau perasaan
cinta, atau perasaan benci, dsb-nya, tapi kita tetap
dapat tersenyum damai, berjarak, serta merasa
aman dan nyaman. Dengan kata lain, kesadaran kita
tidak lagi dicengkeram oleh riak-riak gelombang
pikiran-perasaan.

Entah disaat ini pengalaman hidup yang hadir


dalam perjalanan kehidupan kita adalah kegagalan
atau kesuksesan, kesialan atau keberuntungan,
kesengsaraan atau kesenangan, kebahagiaan atau
kesedihan, caci-maki atau pujian, penghinaan atau
penghormatan, dsb-nya, tapi kita tetap dapat
tersenyum damai, berjarak, serta merasa aman dan
nyaman. Dengan kata lain, kesadaran kita tidak lagi
dicengkeram oleh riak-riak gelombang pikiran-
perasaan.
Demikian cara meditasi kesadaran
menjernihkan dan memurnikan kesadaran kita dari
cengkeraman pikiran-perasaan. Jika kita tekun
melakukan praktek meditasi kesadaran selama
bertahun-tahun, jika kita tekun dan lama
mengistirahatkan pikiran dalam kesadaran, disana
kesadaran akan menjadi jernih, bersih dan hening.
Istirahat sempurna.

Keadaan pikiran yang istirahat sempurna,


pikiran yang hening, kemudian akan memunculkan
pengetahuan diri yang sejati. Ketika pengetahuan
akan diri sejati muncul, disana setiap langkah
kehidupan kita diterangi oleh cahaya di dalam diri.
Cahaya ini yang membuat semua kegelapan,
kebodohan dan ketidaktahuan di dalam diri lenyap
menghilang.

Teorinya sangat sederhana, tapi untuk


mencapainya dalam kesadaran perlu waktu dan
disiplin praktek meditasi kesadaran selama
bertahun-tahun tanpa henti. Karena dalam jangka
waktu yang sangat lama [berjuta-juta kehidupan
dan kelahiran kembali] kita sudah melemparkan
miliaran sampah ke dalam kesadaran, sehingga
diperlukan disiplin praktek meditasi kesadaran
dalam jangka waktu panjang untuk
membersihkannya kembali.

Jika kesadaran tidak tekun dibersihkan melalui


praktek meditasi kesadaran, maka cengkeraman
pikiran-perasaan negatif akan terus mengejar-
ngejar kita, bahkan termasuk di saat-saat kematian
dan juga setelah kematian.

II. MEDITASI KEUTUHAN.


Praktek meditasi keutuhan adalah bagian
kombinasi dari praktek meditasi kesadaran.

Suatu kenyataan kita sebagai manusia adalah,


bahwa tidak pernah ada manusia yang dapat
sepenuhnya bebas dari kemunculan gejolak emosi
perasaan di dalam diri. Karena gejolak emosi
perasaan adalah bagian UTUH dari diri kita sebagai
manusia.

Kita hendaknya melakukan praktek meditasi


keutuhan, disaat kapan saja di dalam diri kita
dipenuhi oleh gejolak emosi perasaan yang sangat
kuat, seperti misalnya rasa sakit, rasa sedih, rasa
kecewa, rasa marah, rasa bosan, rasa galau, rasa
rindu, patah hati, kenangan buruk, dsb-nya. Disaat
seperti itu carilah tempat yang sepi, atau suatu
sudut pojokan yang sepi, kemudian lakukanlah
praktek meditasi keutuhan.

Inilah tehnik untuk melakukan praktek


meditasi keutuhan.

== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi


Meditasi.

Duduklah bersila dengan santai dan tenang.


Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.
Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut
membentuk jnana mudra. Tapi bahu dalam keadaan
santai [tidak tegang].

Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit


mulut. Pejamkan mata. Bernafaslah secara alami
saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan nafas
mengatur iramanya sendiri secara alami seiring
dengan praktek meditasi kita.

== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk Emosi


Perasaan Sebagai Bagian Utuh Dari Diri Kita.
Apapun gejolak emosi perasaan yang muncul
dengan kuat, yang sedang kita rasakan disaat ini,
seperti misalnya rasa sakit, rasa sedih, rasa kecewa,
rasa marah, rasa bosan, rasa galau, rasa rindu, patah
hati, dsb-nya, pusatkan perasaan tersebut di chakra
anahata atau chakra jantung [di posisi ulu hati].
Rasakan dan menyatulah dengan perasaan tersebut.
Jangan menilai dan menghakiminya sebagai benar-
salah, baik-buruk, suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-
nya. Tapi rasakanlah dan menyatulah dengan
perasaan tersebut sebagai bagian UTUH dari diri
kita. Kemudian lakukan visualisasi [membayangkan]
kita memeluk perasaan tersebut [yang sedang
terpusat di chakra jantung], dengan penuh belas
kasih, penuh kasih sayang dan tersenyum penuh
penerimaan, sebagai bagian UTUH dan menyeluruh
dari diri kita. Jangan terburu-buru ingin agar
perasaan tersebut mereda. Lakukan saja dan terus
lakukan saja praktek ini.

Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi


keutuhan.

Jika kita tekun mempraktekkan meditasi


keutuhan, maka gejolak emosi perasaan yang kita
rasakan, secara bertahap perlahan-lahan
cengkeramannya dalam kesadaran akan terus
semakin melemah. Tidak berarti gejolak emosi
perasaan tersebut akan menghilang, tapi akan
membuat cengkeramannya dalam kesadaran
melemah. Artinya kita akan dapat tersenyum damai,
berjarak, serta merasa aman dan nyaman terhadap
setiap kemunculan gejolak emosi perasaan tersebut.

Satu hal yang merupakan salah satu


penemuan terdalam dari Upanishad dan Tantra
adalah, apapun bentuk-bentuk pikiran dan perasaan
yang kita tolak, yang ingin kita buang, atau yang
kita pandang sebagai musuh yang harus dilawan -
rasa marah, rasa benci, rasa galau, rasa jatuh cinta,
keserakahan, nafsu seks, apapun itu - sikap kita
yang menolaknya, ingin membuangnya, atau
memandang mereka sebagai musuh yang harus
dilawan, akan membuat cengkeramannya dalam
kesadaran semakin kuat.

Jika apapun bentuk-bentuk pikiran-perasaan


tersebut kita ikuti kehendaknya, kita biarkan
mencengkeram kesadaran, kita akan mirip seperti
api kebakaran yang siap menghabiskan semuanya.
Sebaliknya jika apapun bentuk-bentuk pikiran-
perasaan tersebut kita tolak, ingin kita buang, atau
kita pandang sebagai musuh yang harus dilawan,
kita akan mirip seperti gunung berapi yang siap
meletus, sekaligus cengkeramannya dalam
kesadaran semakin kuat.

Disaat kita mempraktekkan meditasi


kesadaran dan meditasi keutuhan, kita sedang
melakukan praktek agar dualitas pikiran seperti
salah-benar, baik-buruk, dsb-nya, berhenti
mencengkeram kesadaran kita. Kemudian kita akan
bisa merasakan bahwa alam semesta [bhuwana
agung], diri kita [bhuwana alit] dan unsur-unsur
pembentuknya [panca maha bhuta] bukanlah dua
kutub yang saling bertentangan, tapi adalah satu.
Mereka tidak bertentangan, mereka hanya kutub-
kutub berlawanan yang saling mendukung. Jadi
lihatlah kesatuan yang ada pada segala sesuatu.
Jangan melihat sebagai 2 [dua] kutub yang
berlawanan, tapi lihat apa yang berada di
kedalamannya.

Bagi Upanishad semuanya adalah Tuhan. Bagi


Tantra semuanya adalah suci. Tidak ada yang bukan
Tuhan dan tidak ada yang tidak suci. Sehingga
Upanishad dan Tantra tidak bertentangan dengan
apa-apa, tapi merupakan satu perasaan kesatuan
dalam keheningan. Sedangkan bagi orang biasa
dengan pandangan dualitas, mereka selalu berada
di dalam kekacauan konflik pikiran-perasaan.
[1]. BELAJAR MENERIMA RASA SAKIT
SEBAGAI BAGIAN UTUH KEHIDUPAN.

Suatu kenyataan dalam hidup ini adalah, tidak


pernah ada kehidupan yang sepenuhnya bebas dari
rasa sakit. Karena rasa sakit adalah bagian UTUH
dari kehidupan. Laksana puncak gunung, di
sebelahnya pasti selalu ada jurang yang dalam.
Demikianlah hukumnya. Dimana ada kebahagiaan,
disana juga ada rasa sakit dari kesedihan. Dimana
ada kesuksesan, disana juga ada rasa sakit dari
kegagalan. Dimana ada pertemuan, disana juga ada
rasa sakit dari perpisahan. Dimana ada pujian,
disana juga ada rasa sakit dari caci-maki dan
penghinaan. Dimana ada kesenangan, disana juga
ada rasa sakit dari kesengsaraan. Demikianlah
hukum kehidupan ini secara UTUH dan menyeluruh.

Kita sering salah mengerti tentang rasa sakit.


Kita memandang datangnya rasa sakit dalam
kehidupan adalah untuk menghancurkan dan
menyengsarakan kita. Sama sekali tidak seperti itu.
Tapi rasa sakit datang untuk membuat kita menjadi
terjaga tentang kenyataan kehidupan ini. Membuat
kita terjaga tentang adanya hukum karma, tentang
adanya siklus samsara, tentang jalan dharma,
tentang sadhana [praktek spiritual], tentang
pencerahan kesadaran Atma. Tanpa adanya rasa
sakit kita tidak akan terjaga. Kita menjadi tidak
peduli. Ketika hidup cenderung mudah, nyaman,
tenang, lancar, enak, bahagia, kita tidak peduli.
Biasanya kita baru menjadi terjaga, ketika rasa sakit
dan luka-luka hati menusuk jauh ke dalam lubuk
pikiran dan perasaan kita. Disana kita menjadi
terjaga.

Ketika kita menjadi terjaga tentang kenyataan


kehidupan ini, terjaga tentang adanya hukum
karma, tentang adanya siklus samsara, tentang jalan
dharma, tentang sadhana [praktek spiritual], tentang
pencerahan kesadaran Atma, disanalah mulai
terbuka jalan agar seluruh kesengsaraan di dalam
diri kita lenyap menghilang. Artinya, gunakan rasa
sakit sebagai kekuatan pendorong bagi kita untuk
menemukan cahaya kesadaran di dalam diri.

Rasa sakit adalah berkah spiritual yang ditolak


dan ingin dibuang oleh hampir semua orang.
Padahal, bila kita tekun dan tulus menerima rasa
sakit, maka rasa sakit sangat memurnikan dan
menyempurnakan.
Saat-saat mengalami rasa sakit adalah saat
untuk memurnikan diri. Memurnikan diri dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu
[memurnikan karma buruk masa lalu], memurnikan
diri dari segala bentuk ego [keakuan], memurnikan
diri dari segala bentuk keterikatan.

Saat-saat mengalami rasa sakit adalah saat


untuk menyempurnakan kesadaran. Rasa sakit
datang untuk membantu kita secara mendalam
membuka lapisan pikiran-perasaan kita yang gelap.
Rasa sakit datang untuk membuat pikiran kita
menjadi lebih terbuka dan lebih toleran. Rasa sakit
datang untuk membuat perasaan kita menjadi lebih
halus dan sejuk. Rasa sakit sering membuka banyak
hal yang belum pernah kita pikirkan dan alami
sebelumnya.

Yang dapat membantu proses pemurnian dan


penyempurnaan kesadaran ini adalah rasa sakit.
Sebuah peran yang tidak bisa dilakukan oleh buku
suci dan Guru spiritual Agung manapun.

Berbeda dengan belajar di sekolah di mana


kita dinilai baik dan dihargai tinggi hanya dengan
mampu mengingat, menghafal dan menganalisa
pengetahuan dengan kecerdasan intelektual. Di
jalan spiritual mendalam hal itu benar-benar jauh
dari cukup. Kita harus mengetahui dengan cara
mengalami sendiri secara langsung. Dalam
perjalanan menemukan kesadaran yang terang
bercahaya, kita harus melewati banyak rasa sakit.

Misalnya [contoh], kita tidak mungkin bisa


menjadi benar-benar sabar hanya dengan
mengingat, menghafal dan menganalisa kata "sabar,
sabar, sabar". Kesabaran adalah sebentuk kualitas
kesadaran bercahaya yang hanya bisa ditemukan
setelah kita menghadapi banyak rasa sakit dengan
sadhana [praktek spiritual].

Rasa sakit memiliki sesuatu untuk diberikan


kepada kita. Sehingga jangan melawan atau lari dari
rasa sakit. Kita harus melalui rasa sakit yang dalam
untuk dapat melenyapkan kesengsaraan, untuk
kemudian menemukan kedamaian sejati di dalam
diri. Kedamaian tertinggi hanya akan muncul dari
rasa sakit, yang dihadapi dengan meditasi
kesadaran atau meditasi keutuhan.

Melalui rasa sakit dan kesengsaraan, yang


dihadapi dengan meditasi kesadaran atau meditasi
keutuhan, kita akan menemukan adanya kesadaran
yang jernih di dalam diri. Lebih dalam rasa sakitnya,
maka akan lebih dalam kedamaian yang akan
dialami.

Biasanya orang akan MELAWAN rasa sakit


dengan cara marah-marah, bertengkar, berkelahi,
dsb-nya. Atau biasanya orang akan MELARIKAN
DIRI dari rasa sakit dengan cara makan enak, pergi
ke mall, dugem, dsb-nya, atau bahkan minum
minuman keras dan narkoba.

Ingatlah kontradiksi ini, jika kita melawan atau


lari dari rasa sakit, hal itu sama dengan kita
menghindar dari kedamaian sejati di dalam diri.
Sehingga hadapilah rasa sakit yang diberikan
kehidupan dengan praktek spiritual, yaitu dengan
meditasi kesadaran atau meditasi keutuhan.
Sehingga rasa sakit dapat menjadi pembersihan.
Laksana memurnikan emas melalui api, kesadaran
dimurnikan melalui rasa sakit.

Sering terjadi dalam kehidupan, hal yang


paling menyakitkan adalah yang paling memurnikan
dan menyempurnakan kesadaran. Sehingga,
kapanpun saat kita mengalami rasa sakit, jangan
tenggelam dalam kesedihan, atau diseret
kemarahan, atau lari ke minuman keras, dsb-nya.
Rasa sakit dalam kehidupan itu tidak bisa dihindari,
tapi sengsara itu adalah sebuah pilihan. Tugas
spiritual kita kemudian adalah mengolah setiap rasa
sakit dalam kehidupan menjadi praktek spiritual,
yaitu dengan memilih untuk tidak sengsara di
tengah hukum kehidupan seperti ini.

Caranya agar kita tidak sengsara, ketika kita


merasa hati kita dilukai orang, atau kapan saja di
setiap langkah kehidupan kita mengalami kejadian
yang menimbulkan rasa sakit, ingat jangan pernah
lupa, bahwa diri kita sendiri adalah penyembuh
terbaik bagi rasa sakit dan luka-luka hati kita.
Caranya dengan praktek meditasi.

Pilihan pertama adalah melakukan praktek


meditasi kesadaran. Tapi jika rasa sakit itu terasa
sangat kuat mencengkeram kesadaran kita,
lakukanlah pilihan kedua, yaitu melakukan praktek
meditasi keutuhan, sebagai kombinasi dari praktek
meditasi kesadaran.

Cepat mengambil jarak agak jauh dari orang


yang menimbulkan luka atau kejadian yang
menimbulkan rasa sakit. Carilah tempat yang sepi,
atau suatu sudut pojokan yang sepi, kemudian
lakukanlah praktek meditasi keutuhan.
== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi
Meditasi.

Duduklah bersila dengan santai dan tenang.


Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.
Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut
membentuk jnana mudra. Tapi bahu dalam keadaan
santai [tidak tegang].

Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit


mulut. Pejamkan mata. Bernafaslah secara alami
saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan nafas
mengatur iramanya sendiri secara alami seiring
dengan praktek meditasi kita.

== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk Rasa


Sakit Sebagai Bagian Utuh Dari Diri Kita.

Pusatkan rasa sakit yang sedang kita rasakan


di chakra anahata atau chakra jantung [di posisi ulu
hati]. Rasakan dan menyatulah dengan rasa sakit
tersebut. Jangan menghakiminya sebagai benar-
salah, baik-buruk, suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-
nya. Tapi rasakanlah dan menyatulah dengan rasa
sakit tersebut sebagai bagian UTUH dari diri kita,
tanpa penghakiman sama sekali. Kemudian lakukan
visualisasi [membayangkan] kita memeluk rasa sakit
tersebut [yang sedang terpusat di chakra jantung],
dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan
tersenyum penuh penerimaan, sebagai bagian
UTUH dan menyeluruh dari diri kita. Jangan terburu-
buru ingin agar rasa sakit itu mereda. Lakukan saja
dan terus lakukan saja praktek ini.

Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi


keutuhan.

Tekun mempraktekkan meditasi keutuhan,


tidak berarti akan membuat rasa sakit menghilang.
Rasa sakit masih tetap ada disana, tapi kita tidak lagi
sengsara, karena rasa sakit tidak lagi dapat
mencengkeram kesadaran kita. Disanalah kita tidak
lagi dibuat sengsara oleh rasa sakit. Kita akan sadar
bahwa ada kesadaran yang jernih di dalam diri kita.

Kehidupan dengan sifat alaminya


menciptakan berbagai kesedihan dan kesengsaraan
bagi para mahluk. Dalam kehidupan ada kematian,
yang menciptakan kesedihan karena perpisahan.
Dalam kehidupan ada tubuh fisik, yang menciptakan
kesengsaraan karena menderita penyakit yang
berat, kehausan atau kelaparan, rasa minder [rendah
diri], rasa tidak nyaman di tubuh, luka-luka yang
menimbulkan rasa sakit, dsb-nya. Dalam kehidupan
ada pikiran, perasaan dan gagasan, yang
menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan secara
internal di dalam diri. Dalam kehidupan juga ada
kejadian-kejadian, seperti perang, bencana alam,
kecelakaan, krisis ekonomi, masalah keuangan, dsb-
nya, yang menciptakan kesulitan dan perjuangan
hidup yang berat.

Disaat rasa sakit dan kesengsaraan datang


dalam kehidupan kita, jangan melakukan hal-hal
yang berbahaya seperti mabuk minuman keras,
mengkonsumsi narkoba, selingkuh, bertengkar,
berkelahi, dsb-nya. Tapi terima rasa sakit dengan
meditasi keutuhan. Peluk rasa sakit tersebut dengan
penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan
tersenyum penuh penerimaan, sebagai bagian
UTUH dan menyeluruh dari diri kita. Jangan
melarikan diri. Jika kita melarikan diri, maka kita
tidak akan dapat menemukan kedamaian sejati di
dalam diri.

Rasa sakit adalah bagian UTUH dari


kehidupan. Kita tidak bisa merubah hal itu. Rasa
sakit adalah bagaikan sepotong sampah yang lewat
di sungai kehidupan, muncul sebentar kemudian
lewat menghilang. Mengidentikkan diri kita dengan
sampah yang hanya lewat sementara itu,
merupakan sumber kesengsaraan. Kita bisa memilih
untuk tidak sengsara. Caranya setiap kali muncul
rasa sakit yang terasa kuat mencengkeram
kesadaran kita, lakukanlah praktek meditasi
keutuhan, Itulah sumber kedamaian di dalam diri.

Orang-orang yang melukai, atau mengalami


kejadian yang buruk, sesungguhnya membawa
banyak pesan rahasia, dimana rahasia yang paling
indah adalah membuka rahasia tentang kesadaran
yang terang bercahaya. Jika setelah dicaci dan
dilukai, atau setelah mengalami kejadian yang
buruk, tapi kita masih tetap bisa bersikap sabar,
tenang dan penuh kasih sayang, itulah kesadaran
yang terang bercahaya. Tidak ada cahaya suci yang
lebih indah di dunia ini dibandingkan hati yang
sudah dicaci dan dilukai oleh orang-orang, atau
mengalami kejadian yang buruk, tapi masih bisa
terus-menerus bersikap sabar, tenang dan penuh
kasih sayang kepada semua orang.

Karena sesungguhnya kita manusia tidak


dikacaukan oleh orang lain, tidak juga dikacaukan
oleh keadaan kehidupan, tapi kita manusia
dikacaukan oleh cengkeraman pikiran-perasaan kita
sendiri. Di tataran terdalam, masalah sesungguhnya
tidak muncul dari situasi-situasi luar, melainkan
karena kesadaran kita dicengkeram kuat oleh
pikiran-perasaan kita sendiri. Masalahnya ada di
dalam diri kita sendiri.

Sulit untuk mengetahui masalah di dalam kita


sendiri secara langsung. Tapi mudah untuk
mengetahuinya melalui orang-orang yang melukai
atau melalui kejadian yang buruk. Sebuah cermin
menjadi tersedia. Orang-orang yang melukai, atau
mengalami kejadian yang buruk, adalah cermin diri
kita sendiri. Saat dilukai oleh orang lain, atau
mengalami kejadian yang buruk, logika alami kita
adalah, “cermin ini membuat aku menjadi sangat
buruk, jika tidak karena cermin ini aku adalah orang
yang tampan atau cantik”.

Tidak ada cermin yang membuat wajah kita


menjadi buruk, itulah kenyataan yang
sesungguhnya. Masalahnya adalah diri kita sendiri.
Berterimakasihlah kepada orang yang melukai, atau
mengalami kejadian yang buruk. Jangan marah atau
bersedih. Karena hal itu membantu kita untuk
membuka rahasia tentang wajah kita yang
sesungguhnya. Rasa sakit yang masih
mencengkeram kesadaran, menunjukkan kepada
kita dimana masih ada masalah. Tanpa rasa sakit,
kita menjadi tidak tahu akan masalah di dalam diri
kita sendiri.

Akan tetapi menjadi tahu, sama sekali tidak


berarti bahwa kita telah menyelesaikan masalahnya.
Mengalami rasa sakit dan melakukan praktek
meditasi keutuhan harus berjalan seiring dan
sejalan. Sampai suatu saat secara perlahan-lahan
bertahap kita akan dapat merasakan sebentuk
kejernihan dan keheningan muncul di dalam diri.

[2]. BELAJAR MENERIMA PERASAAN


TIDAK NYAMAN SEBAGAI BAGIAN UTUH
DARI KEHIDUPAN.

Secara alami sifat pikiran-perasaan kita


manusia laksana riak-riak gelombang di samudera.
Ada saat gelombangnya naik dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang baik dan positif. Ada saat
gelombangnya turun dengan kemunculan pikiran-
perasaan yang buruk dan negatif. Sebagaimana sifat
alami gelombang di samudera, kemunculan
gelombang naik dan gelombang turun selalu
berada dalam siklus datang dan pergi, muncul dan
lenyap. Seperti itulah sifat alami pikiran-perasaan
kita manusia. Sebagai bagian UTUH dari diri kita
sebagai manusia.

Oleh karena itu, dalam kehidupan ini kita


mungkin akan sering-sering merasakan kemunculan
perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri.
Seperti misalnya [contoh] kemunculan rasa marah,
rasa kecewa, rasa sedih, rasa bosan, rasa galau, rasa
jatuh cinta, kenangan buruk, rasa malu, rasa rendah
diri, rasa bersalah, dsb-nya. Bahkan kadang-kadang
bisa terjadi, kemunculannya begitu saja tanpa
disertai sebab-sebab jelas yang dapat kita mengerti.

Salah satu penemuan terdalam dari Upanishad


dan Tantra adalah, apapun bentuk-bentuk pikiran
dan perasaan yang kita tolak, yang ingin kita buang,
atau yang kita pandang sebagai musuh yang harus
dilawan, seperti misalnya rasa marah, rasa benci,
rasa galau, rasa jatuh cinta, keserakahan, nafsu seks,
dsb-nya, apapun itu, sikap kita yang menolaknya,
ingin membuangnya, atau memandang mereka
sebagai musuh yang harus dilawan, akan membuat
cengkeramannya dalam kesadaran semakin kuat.

Semua itu merupakan bagian UTUH dari diri


kita sebagai manusia. Laksana bulan purnama yang
memiliki sisi terang dan sisi gelap, kedua sisi
tersebut adalah bulan yang sama. Jadi jangan
menolaknya, ingin membuangnya, atau
memandang mereka sebagai musuh yang harus
dilawan. Karena tidak saja cengkeramannya dalam
kesadaran akan semakin kuat, tapi juga sekaligus
akan membuat kita melukai diri kita sendiri.

Perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul


di dalam diri, seperti misalnya [contoh] rasa marah,
rasa kecewa, rasa sedih, rasa bosan, rasa galau, rasa
jatuh cinta, kenangan buruk, rasa malu, rasa rendah
diri, rasa bersalah, dsb-nya, harus ditransformasikan,
jangan menolak dan menentangnya. Karena jika kita
menolak dan menentangnya, maka perasaan tidak
nyaman itu tidak akan pernah bisa hilang, sekaligus
kita tidak dapat mentransformasikannya.

Bersahabatlah dengan perasaan-perasaan


tidak nyaman yang muncul di dalam diri, karena itu
adalah energi kita sendiri, bagian UTUH dari diri kita
sendiri. Kemungkinan luar biasa tersembunyi di
dalamnya. Yaitu energi itu dapat ditransformasikan,
dapat dirubah, dapat berubah bentuk, dengan cara
praktek meditasi kesadaran atau praktek meditasi
keutuhan. Praktek meditasi kesadaran atau praktek
meditasi keutuhan adalah transformasi energi, itu
sama sekali bukan menolak dan menentang
perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul di
dalam diri, melainkan mentransformasikan
energinya menjadi energi-energi yang lebih tinggi.

Cara untuk mentransformasikan energi itu


adalah dengan praktek meditasi. Pilihan pertama
adalah melakukan praktek meditasi kesadaran. Tapi
jika perasaan-perasaan tidak nyaman itu terasa
sangat kuat mencengkeram kesadaran kita,
lakukanlah pilihan kedua, yaitu melakukan praktek
meditasi keutuhan, sebagai kombinasi dari praktek
meditasi kesadaran. Carilah tempat yang sepi, atau
suatu sudut pojokan yang sepi, kemudian
lakukanlah praktek meditasi keutuhan.

== [1]. Persiapan Meditasi : Duduk Dalam Posisi


Meditasi.

Duduklah bersila dengan santai dan tenang.


Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.
Telapak tangan diletakkan di pangkuan membentuk
dhyana mudra, atau letakkan di ujung lutut
membentuk jnana mudra. Tapi bahu dalam keadaan
santai [tidak tegang].

Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit


mulut. Pejamkan mata. Bernafaslah secara alami
saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Biarkan nafas
mengatur iramanya sendiri secara alami seiring
dengan praktek meditasi kita.

== [2]. Praktek Meditasi Keutuhan : Memeluk


Perasaan-Perasaan Tidak Nyaman Sebagai Bagian
Utuh Dari Diri Kita.

Pusatkan perasaan-perasaan tidak nyaman


yang muncul di dalam diri yang sedang kita rasakan
disaat ini, seperti misalnya rasa marah, rasa kecewa,
rasa sedih, rasa bosan, rasa galau, rasa jatuh cinta,
kenangan buruk, rasa malu, rasa rendah diri, rasa
bersalah, dsb-nya, apapun itu, pusatkan pada chakra
anahata atau chakra jantung [di posisi ulu hati].
Rasakan dan menyatulah dengan perasaan tersebut.
Jangan menghakiminya sebagai benar-salah, baik-
buruk, suci-kotor, mulia-berdosa, dsb-nya. Tapi
rasakanlah dan menyatulah dengan perasaan
tersebut sebagai bagian UTUH dari diri kita, tanpa
penghakiman sama sekali. Kemudian lakukan
visualisasi [membayangkan] kita memeluk perasaan
tersebut [yang sedang terpusat di chakra jantung],
dengan penuh belas kasih, penuh kasih sayang dan
tersenyum penuh penerimaan, sebagai bagian
UTUH dan menyeluruh dari diri kita. Jangan terburu-
buru ingin agar perasaan tidak nyaman itu mereda.
Lakukan saja dan terus lakukan saja praktek ini.

Inilah yang disebut sebagai praktek meditasi


keutuhan.

Kehidupan dan diri kita di dalam, tidak pernah


memberikan kita hal yang positif ataupun hal yang
negatif, pikiran kitalah yang membuat semuanya
terlihat menjadi negatif atau positif. Hati-hatilah
dalam mengelola pikiran, semakin banyak kita
menolak pikiran-perasaan di dalam diri, maka kita
akan semakin sengsara.

Sehingga, setiap kali muncul perasaan-


perasaan tidak nyaman di dalam diri, seperti
misalnya [contoh] rasa marah, rasa kecewa, rasa
sedih, rasa bosan, rasa galau, rasa jatuh cinta,
kenangan buruk, rasa malu, rasa rendah diri, rasa
bersalah, dsb-nya, belajar untuk selalu kembali ke
tengah [tanpa positif dan negatif], yaitu dengan cara
mempraktekkan meditasi kesadaran atau meditasi
keutuhan. Di tengah itulah tersedia kolam
ketenangan dan kedamaian.

Sekalipun kita sudah tekun melaksanakan


praktek meditasi kesadaran dan praktek meditasi
keutuhan selama bertahun-tahun yang panjang,
sekalipun kita sudah mencapai dimensi kesadaran
yang tinggi, pada suatu waktu, pada suatu titik,
perasaan-perasaan tidak nyaman akan kembali
muncul di dalam diri kita. Seperti rasa galau, rasa
resah, rasa gelisah, rasa bosan dan kenangan buruk.
Hal ini tidak berarti bahwa kita adalah seorang
sadhaka [praktisi spiritual] yang buruk atau gagal.
Melainkan hal ini adalah sangat alami.

== Pertama [1], mengingat kenyataan tentang sifat


utama samsara. Yaitu samsara tidak hanya
menyangkut naik dan turun kelahiran kembali yang
lebih tinggi dan lebih rendah, tapi juga menyangkut
pikiran dan perasaan kita. Kita harus menyadari
bahwa kejernihan pikiran-perasaan tidak pernah
lurus, dia selalu naik dan turun, naik dan turun. Ini
adalah salah satu sifat utama dari samsara.

== Kedua [2], munculnya perasaan-perasaan tidak


nyaman di dalam diri tidak selalu menjadi pertanda
kemunduran kesadaran. Kadang-kadang datangnya
perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri
dapat berarti bahwa akar kesadaran sedang tumbuh
semakin dalam dan semakin dalam. Sebagaimana
ajaran dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa [Vijnana
Bhairawa Tantra], kesadaran itu ibarat pohon.
Batang pohon, ranting dan daun-daunan yang
berada di dalam terang cahaya adalah ibarat
kedamaian dan sukacita di dalam diri. Akar pohon
yang berada di dalam kegelapan adalah ibarat
perasaan-perasaan tidak nyaman di dalam diri.
Semakin tinggi pohonnya akan tumbuh, maka
akarnya juga akan tumbuh semakin dalam. Jadi ini
berarti bahwa, kemunculan perasaan-perasaan tidak
nyaman di dalam diri merupakan pertanda bahwa
dimensi kesadaran kita, kedamaian dan sukacita di
dalam diri kita, sedang naik semakin tinggi.

Agar kesadaran dapat menjadi semakin


bercahaya, belajarlah untuk menerima dan memeluk
kegelapan, ketidaksempurnaan dan
ketidaknyamanan di dalam diri, dengan cara
melakukan praktek meditasi kesadaran atau praktek
meditasi keutuhan. Dengan cara ini, secara pelan-
pelan bertahap kita sedang membuka lapisan-
lapisan kesadaran yang lebih dalam di dalam diri.

Kapan saja kita dapat menerima dan memeluk


diri kita sendiri secara UTUH dan menyeluruh,
disanalah kita mulai dapat mengerti diri kita sendiri.
Laksana malam hari dan siang hari, di dalam diri kita
selalu ada unsur gelap dan unsur terang. Jika orang
biasa menolak, melawan dan membenci bagian
gelap di dalam dirinya, para sadhaka dengan
kesadaran bercahaya memeluk bagian gelap di
dalam dirinya, laksana alam memeluk malam hari
dengan penuh belas kasih. Dengan cara inilah
cahaya kesadaran para sadhaka akan dapat
memancar terang.
Bab 3
SADHANA 3
Belas Kasih

Belas kasih adalah satu-satunya bagian dari


pencerahan Kesadaran Atma yang masih mungkin
untuk dapat dipahami manusia dengan kecerdasan
intelektual dan logika.

Di dalam lubuk pikiran kita terdapat sebuah


"ruang", yang hendaknya kita isi dengan belas kasih
yang berlimpah. Karena jika kita gagal mengisi
ruang tersebut dengan berlimpah belas kasih, maka
ruang tersebut akan diisi oleh kegelapan dan
kesengsaraan pikiran. Sebaliknya jika kita dapat
mengisi ruang tersebut dengan belas kasih yang
berlimpah, maka pikiran kita akan diselimuti oleh
sebentuk kedamaian dan ketenangan.

Praktek meditasi dan praktek belas kasih,


laksana “sepasang sayap” yang dapat membuat
kesadaran menjadi “terbang tinggi”. Jika praktek
meditasi mendalam, maka dari keheningan secara
alami akan menghidupkan belas kasih di dalam diri.
Jika praktek belas kasih mendalam, maka secara
alami akan melemahkan cengkeraman ego
[ahamkara] dan melemahkan cengkeraman pikiran-
perasaan pada kesadaran, yang akan menjernihkan
kesadaran. Laksana sepasang sayap, meditasi
kesadaran dan belas kasih, keduanya saling
membutuhkan satu sama lain untuk dapat membuat
kesadaran menjadi terbang tinggi.

Sehingga, intisari utama dari sadhana [praktek


spiritual] yang mendalam adalah menyangkut dua
hal saja, yaitu praktek meditasi dan praktek belas
kasih. Meditasi agar kita dapat menemukan
keheningan yang mendalam dan belas kasih agar
kehidupan kita dapat menyatu dengan keindahan
tarian semesta. Kita harus bergerak di antara
keduanya. Jika kita dapat bergerak dengan mudah,
jika kita dapat bergerak tanpa upaya, maka kita
telah menguasai hal terbesar dalam hidup ini.

Belas kasih adalah salah satu rahasia penting


semua jalan spiritual. Karena praktek spiritual
manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa
dalam, jika tanpa disertai belas kasih kepada semua
mahluk. Demikian menentukannya, sehingga jika
seluruh ajaran dharma intisarinya disarikan menjadi
satu saja, maka hal itu adalah belas kasih kepada
semua mahluk.

Pedoman di jalan belas kasih hanya 2 [dua],


yaitu pertama [1] tekun dan tulus melakukan
kebaikan-kebaikan, seperti sering memberi, banyak
membantu, banyak membahagiakan, sering
menolong, penuh pelayanan dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, dsb-nya. Serta kedua [2],
yaitu jika kita belum mampu untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, cukup jangan menyakiti.

[1]. TEKUN DAN TULUS MELAKUKAN


KEBAIKAN-KEBAIKAN.

Jika kita dapat melihat secara mendalam,


dengan kejernihan, tanpa penghakiman ini dan itu,
tanpa dipengaruhi oleh dogma dan doktrin agama,
maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya
di dunia ini tidak ada orang baik, tidak ada orang
jahat, tidak ada orang Hindu, orang Buddha, orang
Islam, orang Kristen, tidak ada orang Bali, orang
Jawa, orang Jepang, orang Amerika, dsb-nya. Yang
kita temukan adalah manusia-manusia yang ingin
bahagia dan tidak ingin menderita. Jika kita dapat
melihat lebih dalam lagi, bahkan binatang dan
tumbuhanpun juga ingin bahagia. Mereka
mendambakan kebahagian dan ingin menghindari
kesengsaraan. Semuanya, semua mahluk, ingin
terbebas dari rasa takut, ingin terbebas dari rasa
bersalah, serta ingin terbebas dari segala
ketidaknyamanan baik secara fisik, maupun secara
mental [pikiran-perasaan].

Jika kita dapat melihat secara mendalam,


dengan pandangan belas kasih, kita akan dapat
melihat bahwa semua mahluk di dunia ini memiliki
kesengsaraan mereka masing-masing. Terutama
karena kehidupan dengan sifat alaminya
menciptakan berbagai kesedihan dan kesengsaraan
bagi para mahluk. Dalam kehidupan ada kematian,
yang menciptakan kesedihan karena perpisahan.
Dalam kehidupan ada tubuh fisik, yang menciptakan
kesengsaraan karena menderita penyakit yang
berat, kehausan atau kelaparan, rasa minder [rendah
diri], rasa tidak nyaman di tubuh, luka-luka yang
menimbulkan rasa sakit, dsb-nya. Dalam kehidupan
ada pikiran, perasaan dan gagasan, yang
menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan secara
internal di dalam diri. Dalam kehidupan ada
kejadian-kejadian, seperti perang, bencana alam,
kecelakaan, krisis ekonomi, masalah keuangan, dsb-
nya, yang menciptakan kesulitan dan perjuangan
hidup yang berat. Kita akan dapat melihat aliran air
mata kesedihan yang terus mengalir dalam
samudera kehidupan. Kita akan dapat mendengar
jeritan dan ratap tangis para mahluk yang terus
menyelubungi dunia ini.

Melalui pandangan belas kasih yang


mendalam, fakta adanya kesengsaraan para
makhluk akan dapat dengan jelas kita lihat dan
dengar, bahkan pada masa-masa ketika diri kita
sendiri secara pribadi sedang mengalami
kebahagiaan hidup. Belas kasih mencegah kita
melupakan, bahwa selagi kita sedang menikmati
kebahagiaan hidup yang bersifat terbatas dan
sangat sementara, pada saat yang bersamaan
terdapat berbagai keadaan kesedihan dan
kesengsaraan yang dalam di tempat lain di dunia
ini.

Belas kasih mengingatkan kita bahwa, suatu


saat kesedihan dan kesengsaraan seperti itu
mungkin saja akan menjadi nasib kita. Terutama
karena kehidupan dengan sifat alaminya
menciptakan berbagai kesedihan dan kesengsaraan
bagi semua mahluk.
Belas kasih adalah jalan kesadaran yang
sangat indah. Melaksanakan praktek belas kasih
tidak saja memurnikan kesadaran kita. Tapi secara
karma lebih dari itu. Jika kita sering menolong kelak
kita akan tertolong. Jika kita sering memberi kelak
kita akan mendapatkan. Jika kita sering memberi
bantuan kelak kita akan mendapatkan bantuan. Jika
kita menyelamatkan kelak kita akan terselamatkan.
Bahkan, beberapa tindakan belas kasih yang maha-
mulia tidak saja akan menghasilkan karma baik, tapi
juga sekaligus akan menghapuskan karma-karma
buruk kita.

Sehingga sangat layak untuk direnungkan,


untuk diri kita agar tekun melakukan kebaikan-
kebaikan yang tulus untuk orang lain dan mahluk
lain. Seperti misalnya seperti sering memberi,
banyak membantu, banyak membahagiakan, sering
menolong, penuh pelayanan dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, dsb-nya.

Lebih jauh dari itu, di jalan belas kasih, sasaran


target utama dalam melakukan kebaikan-kebaikan
bukanlah sesuatu untuk kesenangan diri kita sendiri.
Seperti misalnya agar kita disayangi orang lain, agar
kita dihormati orang, agar kita dikenal orang, agar
kita punya banyak karma baik, dsb-nya. Tapi sasaran
target utamanya adalah intisari terdalam diri kita
sendiri, yaitu Kesadaran Atma.

Ketekunan kita untuk tulus melakukan banyak


perbuatan kebaikan untuk orang lain atau mahluk
lain, memiliki daya angkat yang sangat kuat untuk
merubah dan mengangkat naik kesadaran kita.
Dengan tahap-tahap pertumbuhan sebagai berikut :

== 1]. Pada awalnya perbuatan kebaikan yang tulus


dan tekun kita lakukan untuk orang lain atau
mahluk lain, membuat kita belajar untuk
melepaskan, terutama karena nanti disaat kematian
semua manusia tidak punya pilihan lain selain
mutlak harus melepaskan semuanya.

== 2]. Begitu melakukan perbuatan kebaikan untuk


orang lain atau mahluk lain menjadi suatu
kebiasaan, melakukan kebaikan itu menjernihkan
dan mendamaikan pikiran-perasaan kita di dalam
diri.

== 3]. Pada puncaknya, ketekunan ketulusan dan


ketekunan kita untuk melakukan perbuatan
kebaikan untuk orang lain atau mahluk lain, akan
menghantarkan kita menemukan pencerahan
kesadaran Atma yang terang bercahaya di dalam
diri.

Yang tidak kalah pentingnya adalah


melakukan kebaikan dengan penuh ketulusan.
Karena jika tidak demikian, bahkan terkadang
kebaikan-pun juga dapat meracuni pikiran kita.
Seperti misalnya [contoh] ada seorang Ibu yang
mengeluh, “Saya sudah berbuat baik merawat,
menyayangi dan menjaga anak saya sejak bayi
sampai besar, tapi setelah dewasa dia malah
meninggalkan dan mengabaikan saya. Saya marah
dan kecewa kepada anak saya”. Kita bisa lihat
sendiri, bahkan melakukan kebaikan-pun juga dapat
meracuni pikiran manusia.

Sehingga lakukanlah kebaikan-kebaikan


dengan penuh ketulusan. Artinya setelah kita
melakukan kebaikan, cepat-cepat lupakan kalau kita
pernah melakukannya. Dengan cara ini kita tidak
akan pernah kehilangan ketulusan dalam melakukan
kebaikan. Terutama karena di jalan belas kasih,
sasaran utamanya adalah intisari terdalam diri kita
sendiri. Sasaran utamanya adalah menghidupkan
cahaya kesadaran di dalam diri.
Di jalan dharma, belas kasih disebut juga
sebagai drwya yadnya, yang berarti yadnya
[persembahan suci] berupa belas kasih dan
kebaikan kepada semua mahluk. Yang terdiri dari 7
[tujuh] bentuk belas kasih sebagai persembahan
suci, yaitu :

== 1]. Kshanti Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk kesabaran dan
memaafkan.

Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita


menggunakan kesabaran dan memaafkan dengan
belas kasih untuk kebahagiaan mahluk lain.
Misalnya [contoh] memaafkan kesalahan orang lain,
tidak menghakimi dan menjelekkan kekurangan
orang lain, menyediakan waktu untuk
mendengarkan curhat, meminggirkan mobil saat
ada ambulance lewat, memberi giliran antrean kita
kepada orang lain, memberi ruang bagi orang yang
akan menyeberang jalan, mengalah saat ada
kemacetan jalan, mau menunggu orang yang
datang janjian terlambat tanpa mengeluh,
menemani anak-anak bermain, dsb-nya.
== 2]. Artha Yadnya : belas kasih sebagai yadnya
[persembahan suci] dalam bentuk pemberian uang,
benda, atau hadiah.

Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita


menggunakan harta kekayaan kita dengan belas
kasih untuk membahagiakan mahluk lain. Misalnya
[contoh] mentraktir makanan, membelikan pakaian,
memberi hadiah tiket jalan-jalan, menyumbang
uang, memberikan dana punia, membelikan bensin
bagi orang yang sepeda motornya kehabisan bensin
di jalan, menyumbang kue-kue untuk pesta
pernikahan orang lain, dsb-nya.

== 3]. Widya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk pemberian
pemikiran dan pengetahuan.

Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita


menggunakan pemikiran dan pengetahuan kita
dengan belas kasih untuk kebahagiaan mahluk lain.
Misalnya [contoh] memberikan orang lain saran
yang bermanfaat, menjadi konsultan gratis untuk
memberi masukan yang berguna, memberikan
kursus atau pelatihan gratis, menceritakan hal-hal
yang baik dan membahagiakan, membuat orang
lain tertawa dengan humor yang sehat [humor yang
tidak menertawakan atau menyakiti orang lain],
dsb-nya.

== 4]. Mahati Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk menggunakan
tubuh kita sebagai sarana.

Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita


menggunakan tubuh kita dengan belas kasih untuk
kebahagiaan mahluk lain. Misalnya [contoh]
menampilkan wajah ceria dan tersenyum ramah
kepada orang lain, memeluk orang yang sedang
dalam kesedihan, menjadi donor darah,
membiarkan nyamuk-nyamuk lapar menghisap
darah kita, dsb-nya.

== 5]. Swadya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk kerja dan
pelayanan.

Ini adalah bentuk kebaikan mulia dimana kita


memberikan kerja dan pelayanan dengan belas
kasih untuk kebahagiaan mahluk lain. Misalnya
[contoh] ngayah di pura, ikut kerja bhakti,
membantu mengepel, membantu mencuci piring,
merawat orang-orang yang sudah tua, membantu
membuang sampah yang berantakan, mematikan
air keran bak yang penuh di kamar mandi umum,
dsb-nya. Hal ini termasuk juga di dalam
melaksanakan swadharma [tugas kehidupan] kita
sendiri dengan tulus, jujur, tidak serakah dan sebaik-
baiknya, seperti menjadi orang tua di rumah,
menjadi pegawai di kantor, sebagai nelayan, guru,
pelajar, mahasiswa, tukang sapu, pinandita, jro
mangku, petani, gubernur, dsb-nya.

== 6]. Abhaya Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk menyelamatkan
kehidupan mahluk lain.

Ini adalah bentuk kebaikan maha-mulia


dimana kita melakukan suatu usaha dengan belas
kasih untuk menyelamatkan kehidupan mahluk lain.
Ini terbagi menjadi 2 [dua] kategori, yaitu sekala dan
niskala.

Dalam hal sekala, misalnya [contoh] membeli


binatang yang akan dibunuh dan dimasak lalu
membebaskan mereka di alam, mendengarkan dan
memberi nasehat pada orang yang mau bunuh diri,
membantu kesembuhan orang-orang yang sakit,
menyekolahkan anak-anak miskin dan yatim-piatu
[memberi mereka peluang hidup layak di masa
depan], mencarikan pekerjaan bagi pengangguran,
memberikan karyawan gaji yang layak dan
mencukupi, dsb-nya.

Dalam hal niskala, misalnya [contoh]


mendoakan mahluk-mahluk bawah dan hantu
gentayangan untuk keselamatan dan kenyamanan
kehidupan mereka, menyelenggarakan upacara atau
ritual penyeberangan Atma yang dapat mengangkat
serta menyempurnakan kedudukan Atma yang
masih menjadi hantu gentayangan, atau yang belum
memperoleh tempat yang baik, ataupun terjerumus
ke alam-alam bawah, dsb-nya. Di Bali ada banyak
jenis upacara seperti ini, misalnya upacara
penyupatan Atma, upacara nilapati, dsb-nya.

== 7]. Dharma Yadnya : belas kasih sebagai yadnya


[persembahan suci] dalam bentuk menyebarkan
ajaran dharma.

Ini adalah bentuk kebaikan maha-mulia


dimana kita melakukan suatu usaha dengan belas
kasih untuk membebaskan mahluk lain dari siklus
samsara, atau setidaknya untuk menyelamatkan
perjalanan mahluk lain dari bahaya siklus samsara.
Misalnya [contoh] membagikan dan menyebarkan
buku-buku ajaran dharma secara gratis,
memberikan dharma wacana yang mencerahkan
secara gratis, mengajar meditasi secara gratis,
memberikan sumbangan uang [disebut dharma
dana] untuk penyebaran ajaran dharma, dsb-nya.

Sekecil apapun kebaikan, pertolongan,


pemberian dan pelayanan yang kita lakukan untuk
orang lain, selalulah melakukannya dengan
ketulusan. Siapa saja yang terus-menerus
melakukan kebaikan dengan tulus dalam
keseharian, suatu hari akan menemukan
kesadarannya menjadi jernih dan terang bercahaya.

Melakukan kebaikan tidak hanya berguna bagi


mahluk lain, tapi terutama sekali sangat berguna
untuk diri kita sendiri. Ketekunan kita untuk terus
melaksanakan kebaikan-kebaikan dengan tulus
tidak saja akan memberikan kita keberuntungan
secara karma [mengumpulkan akumulasi karma
baik, atau bahkan menghapus karma buruk], tapi
sekaligus juga akan membuat kita dari hari ke hari
terus melemahkan cengkeraman pikiran-perasaan
dan ego [ke-aku-an, ahamkara] pada kesadaran. Ini
adalah bagian dari hukum alam.

Melakukan kebaikan yang tulus tidak saja


menyegarkan pikiran mahluk lain, tapi juga akan
menyegarkan pikiran kita sendiri. Melakukan
kebaikan yang tulus tidak saja membahagiakan hati
mahluk lain, tapi juga akan membahagiakan hati
kita sendiri. Melakukan kebaikan yang tulus tidak
saja menjernihkan pikiran mahluk lain, tapi juga
akan menjernihkan pikiran kita sendiri.

Kecerdasan Spiritual Dalam Melakukan Kebaikan

Perlu sebagai sebuah catatan penting, bahwa


di dalam melakukan kebaikan kita juga memerlukan
sebentuk kecerdasan spiritual, agar kebaikan yang
kita lakukan dapat benar-benar memberikan
keselamatan dan kedamaian.

Cara cerdas melakukan kebaikan mirip dengan


seseorang yang hanya memiliki 5 [lima] bungkus
nasi. Yakinlah nasi yang sangat terbatas ini sampai
ke orang-orang yang benar-benar lapar, sangat
membutuhkan pertolongan, serta punya rasa
terimakasih. Jika itu sampai ke orang kaya,
sombong, melecehkan, maka tidak saja nasinya
terbuang percuma, tapi kita juga kehilangan
kesempatan melakukan, serta kita juga mungkin
akan terluka.

Cara cerdas melakukan kebaikan adalah


menghindari tipe orang-orang tertentu yang tidak
bisa terus diperlakukan dengan baik. Seperti bunyi
pepatah, “dikasi hati minta ampela”. Begitu
diperlakukan baik, mereka akan terus mengejar,
sekaligus membahayakan kita. Menghindarkan diri
dari tipe orang-orang seperti ini adalah sebentuk
kebaikan yang cerdas, karena membuat diri kita
selamat dan orang itu juga selamat dari melakukan
kesalahan berbahaya.

Cara cerdas melakukan kebaikan adalah


kemampuan untuk memilah antara mana yang
boleh dan tidak boleh. Ekspresi kebaikan tidak
selalu dalam bentuk penerimaan dan mengatakan
“ya”, ekspresi kebaikan juga harus bisa
diekspresikan dengan penolakan dan tegas
mengatakan “tidak”. Misalnya jika ada lawan jenis
yang mengajak selingkuh, atau misalnya jika ada
orang yang mengajak, korupsi, mencuri, mabuk-
mabukan, dsb-nya, segeralah menolak, pergi
menjauh, serta menghindar dari orang tersebut.
Kadang terjadi, menjauh dan menghindar adalah
tindakan kebaikan yang paling bercahaya, karena
itulah ekspresi kebaikan yang cerdas. Disaat kita
menyelamatkan diri sendiri, kita juga sedang
menyelamatkan orang lain.
Cara cerdas melakukan kebaikan adalah
kemampuan untuk membedakan mana orang atau
mahluk yang jika ditolong tidak membahayakan,
serta mana orang atau mahluk yang jika ditolong
membahayakan. Jika orang atau mahluk yang
sedang membutuhkan pertolongan tidak
membahayakan kita, tolonglah dengan tulus. Tapi
jika yang datang adalah orang atau mahluk [seperti
ular berbisa] yang dapat membahayakan kita, atau
yang manipulatif, atau yang licik, dsb-nya, tindakan
kebaikan yang cerdas adalah kita secepatnya pergi
menjauh. Sehingga kita selamat dan orang atau
mahluk itu juga selamat dari melakukan kesalahan
berbahaya.

Itulah adalah beberapa contoh-contoh


kebaikan yang cerdas, tepat, bijaksana dan
mendalam. Jika kita cerdas di dalam melakukan
kebaikan, maka terbuka lebar kemungkinan
kebaikan yang kita lakukan akan memberikan
keselamatan dan kedamaian.

[2]. TIDAK MENYAKITI.

Praktek spiritual tidak menyakiti sebagai jalan


belas kasih, terkait sangat erat dengan kejernihan,
ketenangan dan kesadaran di dalam diri. Terutama
karena di alam ini terdapat hukumnya, yaitu apapun
perkataan yang kita ucapkan dan perbuatan yang
kita lakukan, secara pasti akan memantul balik ke
dalam kecenderungan pikiran kita sendiri.

Artinya, jika kita sering-sering menyakiti orang


lain melalui perkataan yang kita ucapkan, atau kita
sering-sering menyakiti orang lain melalui
perbuatan yang kita lakukan, maka sebagai
akibatnya kita akan sangat sulit untuk dapat
memiliki pikiran-perasaan yang didominasi oleh
kekuatan positif, kejernihan, ketenangan dan
kebahagiaan. Sebaliknya, di dalam diri, pikiran-
perasaan kita akan didominasi oleh kekuatan
negatif, kekeruhan, keresahan dan kegelisahan.

Terdapat suatu rumus sederhana di jalan


pengembangan dan kebangkitan kesadaran. Yaitu,
seseorang yang memperlakukan orang lain dengan
tidak baik dan menyakiti, sesungguhnya dia sedang
menodai dan mengotori dirinya sendiri. Sebaliknya,
seseorang yang memperlakukan orang lain dengan
baik dan tidak menyakiti, sesungguhnya dia sedang
menyucikan dan membersihkan dirinya sendiri.
Siapa saja yang sering-sering mengucapkan
PERKATAAN tidak sedap menyangkut orang lain,
seperti menghina orang lain, merendahkan orang
lain, menjelekkan orang lain, mengkritik orang lain,
dsb-nya, suatu hari dia akan kehilangan kejernihan
dirinya sendiri di dalam. Karena kata-kata yang
sering-sering diucapkan secara pasti akan
membentuk kualitas kesadaran di dalam diri.
Sebaliknya, siapa saja yang terbiasa menggunakan
kata-kata yang baik dan halus [tidak menyakiti],
suatu hari kesadarannya juga akan baik dan halus.
Demikianlah hukumnya di alam ini. Sehingga kita
berusahalah sesedikit mungkin mengeluarkan kata-
kata tidak sedap terhadap orang lain, karena hal
itulah yang suatu hari kelak dapat membuat
kesadaran kita menjadi jernih dan terang bercahaya.

Siapa saja yang sering-sering melakukan


PERBUATAN yang menyakiti orang lain, seperti
mengganggu orang lain, melukai orang lain,
merugikan orang lain, mengerjai orang lain, dsb-
nya, suatu hari dia akan kehilangan kejernihan
dirinya sendiri di dalam. Karena perbuatan yang
sering-sering dilakukan secara pasti akan
membentuk kualitas kesadaran di dalam diri.
Sebaliknya, siapa saja yang terbiasa memperlakukan
orang lain dengan baik [tidak menyakiti], suatu hari
kesadarannya juga akan baik. Demikianlah
hukumnya di alam ini. Sehingga kita berusahalah
sesedikit mungkin melakukan perbuatan yang
menyakiti orang lain, karena hal itulah yang suatu
hari kelak dapat membuat kesadaran kita menjadi
jernih dan terang bercahaya.

Ketekunan dan ketulusan kita untuk


melaksanakan praktek tidak menyakiti sebagai jalan
belas kasih, yaitu tidak menyakiti melalui perkataan
yang kita ucapkan dan tidak menyakiti melalui
perbuatan yang kita lakukan, hal itu sama sekali
bukan sesuatu yang remeh. Karena sebagai hasilnya
adalah kita sudah menjaga kekuatan positif,
kejernihan, ketenangan dan kebahagiaan di dalam
pikiran-perasaan kita, sekaligus kita sedang
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri.

Jika saja kita bersedia membuka mata hati kita


dari cangkang ego [ahamkara,ke-aku-an] yang
sempit dan kaku, maka kita akan dapat melihat
bahwa semua orang memiliki masalah mereka
masing-masing, semua orang memiliki
kesengsaraan mereka masing-masing, semua orang
memiliki luka-luka perasaan mereka masing-masing.
Bukan hanya sebatas orang-orang yang kelihatan
sengsara saja. Tapi semua orang.
Jika kita dapat menyadari hal ini dengan baik,
maka kita akan dapat belajar memperlakukan orang
lain secara lebih baik dan pantas. Kita dapat belajar
bersikap lebih baik dan lebih belas kasih kepada
orang lain. Tidak hanya berpikir dan memandang
orang lain dari sudut pandang pikiran dan perasaan
kita sendiri saja, yang tidak lebih merupakan sifat
egois, yang miskin empati.

Tekunlah untuk mempraktekkan tidak


menyakiti sebagai jalan belas kasih. Berusahalah
agar kehadiran kita tidak menimbulkan penderitaan
dan rasa takut bagi siapapun. Sebaliknya, agar
kehadiran kita justru dapat memberikan
kegembiraan, sukacita, kesenangan, atau
kebahagiaan bagi siapa saja. Itulah jalan untuk
membuat kesadaran kita menjadi jernih dan terang
bercahaya.
Bab 4
SADHANA 4
Mengekspresikan Diri : Melakukan Apa Saja
Yang Membuat Kita Merasa Lepas, Damai
Dan Bahagia Di Dalam Diri

Perjalanan spiritual mendalam tidak selalu


berisi hal-hal yang serius saja. Tapi merupakan suatu
kombinasi, yang juga berisi perbuatan
mengekspresikan diri dan membangkitkan energi
sukacita.

Praktek mengekspresikan diri menghantarkan


kesadaran kita menuju ketinggian yang ringan.
Praktek meditasi dan belas kasih menghantarkan
kesadaran kita menuju kedalaman yang dalam.
Praktek mengekspresikan diri membuat benih-benih
kesadaran di dalam diri kita menjadi mekar. Praktek
meditasi dan belas kasih membuat kesadaran kita
menjadi sangat terang bercahaya. Keduanya bersifat
saling melengkapi dan saling memperkaya
kesadaran di dalam diri.

Mengekspresikan diri adalah suatu praktek


spiritual yang sifatnya adalah sangat pribadi.
Artinya, tidak ada seorangpun yang bisa
memberitahu, atau mendikte, atau mengatur kita
bagaimana jalan atau caranya. Hanya diri kita
sendirilah yang paling tahu. Tidak boleh
diseragamkan dan tidak boleh diorganisasi. Karena
akan menghancurkan keunikan dan keotentikan
masing-masing manusia, sekaligus menciptakan
penghalang besar bagi penemuan sukacita
mendalam di dalam diri dan kebebasan dari
cengkeraman perasaan yang gelap.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Setiap


manusia memiliki kecenderungan, kebutuhan dan
arah pertumbuhan spiritual yang berbeda-beda. Kita
sendirilah yang harus mencari dan menemukan
jalan kita sendiri untuk mengekspresikan diri.

[1]. SKEMA EMOSI MANUSIA.

Bagi orang-orang biasa, yang pikirannya


masih dicengkeram kuat oleh dualitas pikiran
seperti kotor-suci, buruk-baik, salah-benar, dsb-nya,
serta bagi orang-orang yang pikirannya lama
terjerat oleh dogma dan doktrin agama, mungkin
saja mengekspresikan diri sebagai sadhana [praktek
spiritual] akan terdengar sangat aneh. Terutama
karena mengekspresikan diri tidak terlihat sebagai
sesuatu yang suci atau sesuatu yang baik, sehingga
tidak dapat termasuk sebagai sesuatu yang spiritual.

Perlu dijelaskan bahwa jantung ajaran Tantra


dan Upanishad adalah KEUTUHAN. Perhatikan
bahwa bukan KESUCIAN SEMPURNA, tapi
KEUTUHAN. Karena segala sesuatu secara UTUH
dan menyeluruh adalah manifestasi dari Brahman.
Semua fenomena adalah tarian kosmik Shiwa [Shiwa
Nataraja] yang sama. Dualitas kotor-suci, buruk-
baik, salah-benar, dsb-nya, hanya ada dalam pikiran
manusia yang terkondisi.

Para Guru spiritual Agung yang sudah


mencapai pencerahan Kesadaran Atma akan
mengerti, bahwa mengekspresikan diri adalah
bagian sangat penting dari praktek spiritual yang
mendalam. Kita dapat melihat sendiri pada sadhaka
[praktisi spiritual] yang keras mengekang dan
menekan dirinya dengan aturan, larangan dan tata
krama sopan-santun, maka di dalam diri mereka
merasakan kegelisahan, atau ketegangan, atau
perasaan tidak bahagia, atau memendam hasrat
duniawi, atau memendam kemarahan, dsb-nya. Di
dalam diri mereka persis seperti gunung berapi
yang siap meletus.

Mengekspresikan diri bertujuan untuk


menghidupkan energi sukacita mendalam di dalam
diri manusia. Mengekspresikan diri bertujuan
membuat benih-benih kesadaran di dalam diri kita
dapat menjadi mekar. Jika kita tidak
mengekspresikan diri, jika kita terlalu menekan diri,
maka benih-benih kesadaran di dalam diri akan
sangat sulit untuk mekar.

Mengekspresikan diri terkait sangat erat


dengan skema emosi manusia. Dimana skema
emosi manusia terbagi menjadi dua bagian. Yaitu
sebagai berikut :

== [1]. Emosi bagian dalam yang terletak jauh di


lubuk pikiran seperti seperti sedih-senang,
sengsara-bahagia, dsb-nya.

== [2. Emosi bagian luar seperti perasaan malu,


sopan-santun, dsb-nya.
Jika emosi bagian luar, seperti perasaan malu,
sopan-santun, dsb-nya, dalam jangka waktu lama
menekan pikiran kita, maka emosi bagian dalam,
akan seperti air besar yang gagal mengalir. Ketika
air besar itu lama menumpuk di dalam, diri maka
manusia di dalam dirinya akan merasakan
kegelisahan, atau ketegangan, atau perasaan tidak
bahagia, atau memendam hasrat duniawi, atau
memendam kemarahan. Suatu waktu nanti, jika
seandainya air besar itu menumpuk penuh, disana
akan terlihat di permukaan dalam bentuk stres, atau
depresi, atau penyakit, atau bahkan ada yang
mengalami gangguan kejiwaan.

Emosi bagian luar seperti rasa malu, sopan-


santun, dsb-nya, bukanlah suatu hal yang murni,
melainkan suatu hal yang bersifat buatan. Rasa malu
dan sopan-santun bisa muncul dari pikiran yang
terkondisi, yang dibentuk oleh penghakiman orang
lain dan pikiran salah orang lain, atau bisa juga
muncul dari penolakan, kegelisahan dan
ketidaknyamanan diri kita sendiri di dalam. Rasa
malu, serta aturan, larangan dan tata krama sopan-
santun ibaratnya adalah racun bagi kesadaran di
dalam diri, yang akan membuat benih-benih
kesadaran di dalam diri gagal untuk mekar.
Tentu saja tidak semua emosi bagian luar itu
buruk, karena memang ada rasa malu dan sopan-
santun yang baik, yaitu rasa malu untuk berbuat
kejahatan dan rasa malu untuk menyakiti orang lain.
Tapi sisanya selain itu, rasa malu dan sopan-santun
adalah tembok penghalang besar bagi bangkit dan
mekarnya kesadaran di dalam diri.

Inilah tujuan dari mengekspresikan diri. Yaitu


untuk membuka lebar emosi bagian luar, sehingga
emosi di dalam dapat mengalir keluar. Sebagai
hasilnya, kita cenderung lebih mudah menjadi
seorang manusia dengan berlimpah energi sukacita
di dalam diri.

Kita manusia sudah sangat lama didikte dan


ditekan oleh pengkondisian pikiran yang membuat
tertahannya emosi bagian luar. Karena secara
agama, atau secara budaya, terdapat banyak sekali
aturan dan larangan dengan alasan moralitas yang
baik, sesuai ajaran agama, kesopanan, tata krama,
etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, yang sifatnya sangat dualistik [salah-
benar, buruk-baik, dsb-nya]. Semua itu dapat
membuat tertahannya emosi bagian luar.
Sehingga sebelum pikiran kita di dalam kita
dilukai oleh aturan dan larangan seperti itu, mari
kita mulai mengekspresikan diri. Dengarkan
panggilan kita di dalam. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami
kebutuhan diri kita sendiri yang unik dan berbeda
dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita
dengan penuh kebebasan dan perasaan sukacita.
Lakukan apa saja yang membuat kita merasa
nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam diri,
yang membuat kita merasa hidup, bersemangat dan
berlimpah energi sukacita, tanpa melibatkan pola
dualitas pikiran seperti salah-benar, buruk-baik,
kotor-suci, berdosa-tidak berdosa, tidak sopan-
sopan, dsb-nya, dengan Yoga Punya [tuntunan
cahaya di dalam diri] dan belas kasih sebagai
penjaga-nya.

[2]. MENGEKSPRESIKAN DIRI.

Hampir semua pengetahuan tentang diri kita


diberikan oleh orang lain dan berasal dari orang
lain. Seperti nama lahir, suku, ras, kebangsaan,
bahasa, norma-norma sosial, dsb-nya, semuanya
datang dari sudut pandang dan pengalaman orang
lain.
Hal ini bahkan termasuk menyangkut tekstur
pikiran kita. Tidak saja ilmu psikologi yang
memberikan sudut pandang penilaian dan
pengalaman orang lain ke dalam pikiran kita,
bahkan ajaran agamapun juga sama memberikan
sudut pandang penilaian dan pengalaman orang
lain ke dalam pikiran kita. Inilah salah satu akar dari
semua kegelisahan dan keterasingan di dalam diri
kita manusia. Semua hal itu membuat kita menjadi
memandang diri kita sendiri berdasarkan sudut
pandang penilaian dan pengalaman orang lain.
Padahal sesungguhnya, tekstur pikiran setiap
manusia itu masing-masing adalah unik, otentik dan
berbeda-beda satu sama lain. Sehingga apapun
sudut pandang yang berasal dari penilaian dan
pengalaman orang lain tidak akan pernah bisa
benar-benar pas dan sesuai untuk diri kita.

Mengekspresikan diri memberikan kita jalan


yang sangat lapang untuk mengungkapkan diri kita
yang unik dan otentik. Membantu kita menemukan
sisi-sisi terindah dari diri kita sendiri, membantu
kesadaran kita untuk mekar dan berkembang.
Mengekspresikan diri menjadi langkah spiritual
yang penting jika membuat kita menjadi berani
untuk menerima diri kita sendiri seperti apa adanya,
menjalani hidup kita sebagaimana adanya, dengan
cara kita sendiri, dengan cara unik kita sendiri.

Yang dimaksud dengan mengekspresikan diri,


melakukan apa saja yang membuat kita merasa
lepas, damai dan bahagia di dalam diri adalah
melakukan suatu hal, suatu aktifitas, suatu kegiatan,
apa saja, apapun itu, kemudian kita rasakan di
dalam diri, rasakan tanpa dualitas baik-buruk, salah-
benar, suci kotor, dsb-nya, bahwa hal itu membuat
kita merasa nyaman, lepas, damai dan bahagia di
dalam diri, bahwa hal itu membuat kita merasa
hidup, bersemangat dan berlimpah energi sukacita.
Itulah yang dimaksud dengan mengekspresikan diri.

Tapi ini sama sekali tidak berarti kita mabuk


minuman keras atau mengkonsumsi narkoba. Tentu
saja tidak. Karena mabuk minuman keras atau
mengkonsumsi narkoba, berarti kita memasukkan
sesuatu ke dalam tubuh kita untuk membuat kita
merasa lepas dan bahagia. Hal itu merupakan
sesuatu yang datang dari luar yang kita masukkan
ke dalam tubuh kita, merupakan sesuatu yang
buatan, bukan sesuatu yang asli alami datang dari
dalam diri. Hal itu analoginya seperti kita berusaha
menutupi lubang dengan membuat lubang baru
yang lebih besar. Lama-kelamaan kita akan menjadi
kacau di dalam. Sehingga hal itu harus kita hindari.

Mengekspresikan diri kemunculannya harus


benar-benar asli alami datang dari dalam diri kita.
Yaitu dalam bentuk kita melakukan suatu kegiatan,
kita melakukan apa saja, yang dapat membuat kita
merasa nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam
diri, yang dapat membuat kita merasa hidup,
bersemangat dan berlimpah energi sukacita, tanpa
dualitas baik-buruk, salah-benar, suci kotor, dsb-
nya. Itulah yang disebut dengan mengekspresikan
diri.

Penjaga kita di dalam mengekspresikan diri


ada 2 [dua]. Yaitu penjaga pertama [1] adalah Yoga
Punya atau tuntunan cahaya di dalam diri, sebagai
hasil ketekunan kita melakukan praktek meditasi.
Untuk menjadi diri kita sendiri yang unik dan
otentik. Serta penjaga kedua [2] adalah belas kasih
dan kebaikan. Dalam bahasa sederhana yang
mudah dimengerti, terutama karena di alam
semesta ini terdapat HUKUM KARMA. Hal ini berarti
bahwa di dalam melakukan praktek spiritual
mengekspresikan diri, jagalah diri kita agar kita tidak
sampai mengucapkan perkataan, atau melakukan
perbuatan, yang menimbulkan rasa sakit dan
kesengsaraan bagi orang lain, sehingga kita akan
terhindar dari membuat karma yang fatal dan
berbahaya.

Hukum karma tidak mengenal moralitas yang


baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama, etiket,
hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, yang sifatnya dualistik [salah-benar,
buruk-baik, dsb-nya]. Hukum karma tidak mengenal
dualitas baik-buruk, salah-benar, suci-kotor, dst-nya.
Semua bentuk dualitas hanya ada dalam pikiran
manusia yang belum tersentuh oleh pencerahan
Kesadaran Atma. Hukum Karma tidak mengenal
semua itu.

Yang ada dalam hukum karma hanya SEBAB


dan AKIBAT. Hanya itu saja. Hanya SEBAB dan
AKIBAT. Yaitu seperti apapun bentuk rasa sakit dan
kesengsaraan yang kita timbulkan ke orang lain,
suatu saat kelak [di masa depan atau di kehidupan
berikutnya] hal itu akan balik kembali ke diri kita
sendiri dalam bentuk rasa sakit dan kesengsaraan.
Sebaliknya, seperti apapun bentuk kebahagiaan dan
sukacita yang kita berikan ke orang lain, suatu saat
kelak [di masa depan atau di kehidupan berikutnya]
hal itu akan balik kembali ke diri kita sendiri dalam
bentuk kebahagiaan.
Secara mendasar, mengekspresikan diri
bertujuan untuk membuka lebar emosi bagian luar,
sehingga emosi di bagian dalam dapat mengalir
keluar. Akan tetapi, saya [penulis] tidak dapat
memberikan Anda pilihan caranya yang paling
tepat. Saya hanya bisa memberikan Anda garis
besarnya saja. Tapi yang mana yang paling tepat
untuk diri Anda sendiri, hanya Anda sendiri yang
paling tahu. Karena setiap manusia itu unik dan
otentik. Setiap manusia memiliki kecenderungan,
kebutuhan dan arah pertumbuhan spiritual yang
berbeda-beda.

Ada banyak sekali pilihan cara untuk


mengekspresikan diri. Beberapa contoh di bawah ini
hanyalah sebagian kecil saran saja :

== 1]. Melakukan kegiatan yang menyenangkan.

Banyak tertawa dan bercanda yang sehat,


yaitu tertawa dan bercanda yang tidak
menertawakan atau menghina orang lain. Lakukan
hal-hal apa saja yang mungkin kita suka, seperti
misalnya [contoh] bersepeda, bermain sepakbola,
jalan kaki berkeliling, berenang di sungai yang
airnya jernih, memasak, berkebun, membuat
kerajinan tangan, menonton film favorit,
mendengarkan musik yang terasa indah di hati
[yang sesuai dengan selera kita sendiri], melihat
taman, menikmati keindahan arsitektur tempat suci
kuno, membaca buku, berkumpul dengan sahabat-
sahabat kita, makan di tempat makan favorit, atau
mungkin sekedar bermain-main ceria seperti anak
kecil, dsb-nya.

== 2]. Melakukan perjalanan.

Lakukan perjalanan seperti apa saja yang


mungkin kita suka, seperti misalnya [contoh] jalan-
jalan ke alam terbuka yang alami, melakukan
penjelajahan ke tempat yang belum pernah
dikunjungi, melakukan tirtayatra ke tempat suci
yang sakral, jalan-jalan ke obyek wisata, dsb-nya.

== 3]. Melakukan kegiatan seni.

Seni adalah salah satu cara mengekspresikan


diri yang baik. Seni membantu menghidupkan
bagian-bagian yang halus di dalam diri kita,
sekaligus melepaskan bagian-bagian yang kasar di
dalam diri. Sebagaimana dapat kita rasakan
bersama, masyarakat menanam banyak sekali
benih-benih kekerasan di dalam pikiran kita, seperti
melalui penghakiman buruk, kata-kata tidak sedap,
dsb-nya. Tanpa upaya untuk membersihkan diri,
banyak manusia di jaman ini di dalam dirinya bisa
menjadi penuh kekerasan. Lakukan kegiatan seni
apa saja yang mungkin kita suka seperti misalnya
[contoh] dengan menari, membuat lukisan, menulis,
bermain musik, dsb-nya.

== 4]. Melakukan kegiatan spiritual.

Kegiatan spiritual adalah salah satu cara


mengekspresikan diri yang sangat baik. Kegiatan
spiritual dapat membantu kita menghidupkan
kesadaran di dalam diri, dapat membantu
mengumpulkan akumulasi karma baik, dapat
membantu mengikis karma buruk, dapat membantu
memurnikan energi di dalam diri, atau dapat
memberikan kita perlindungan niskala. Lakukan
kegiatan spiritual apa saja yang mungkin kita suka
seperti misalnya [contoh] melakukan Asana-Yoga,
melakukan snana-widhi [melukat] di tempat suci
yang sakral, menjapakan mantra Ista Dewata,
sembahyang, dsb-nya.

Ada banyak sekali pilihan cara untuk


mengekspresikan diri. Semua contoh-contoh
tersebut diatas hanya merupakan suatu garis
besarnya saja. Karena mengekspresikan diri, dalam
pilihan yang tepat untuk setiap manusia, sifatnya
adalah sangat pribadi. Tidak ada seorangpun yang
bisa memberitahu atau mendikte kita bagaimana
jalan atau caranya. Hanya diri kita sendirilah yang
tahu. Kita sendirilah yang harus mencari dan
menemukan jalan kita sendiri. Saya [penulis] hanya
bisa memberikan Anda garis besarnya saja,
bagaimana cara mengekspresikan diri. Yang
bertujuan untuk membuka lebar emosi bagian luar
[seperti perasaan malu, sopan-santun, dsb-nya],
sehingga emosi di dalam [seperti sedih-senang,
sengsara-bahagia, dsb-nya] dapat mengalir keluar.
Tapi mana yang paling tepat untuk diri sendiri,
Andalah yang harus memilih dan menentukannya
sendiri.

Sekali-sekali jika ada kesempatan dan situasi


keadaan memungkinkan, belajar dan berusahalah
mengekspresikan diri melepaskan rasa malu pada
hal-hal yang selama hidup kita banyak ditekan dan
dikondisikan secara psikologis oleh lingkungan
dengan alasan tata krama, ajaran agama,
kesopanan, dsb-nya. Lakukanlah dengan kebebasan
yang penuh, tanpa dipengaruhi dan dikondisikan
oleh dualitas baik-buruk, salah-benar, suci-kotor,
dst-nya.
Kita bisa mengambil contoh kisah para
sadhaka [praktisi spiritual] jaman dahulu, seperti
misalnya para sadhwika [sadhaka wanita] Tantra
Shiwa dalam sejarah Hindu yaitu Lalleshwari [Lalla
Yogishwari] dan Akka Mahadewi, mereka sudah
tekun melaksanakan sadhana [praktek spiritual] dan
sedikit lagi akan mencapai pencerahan kesadaran
Atma. Tapi mereka masih belum mencapainya.
Secara intuisi terdalam, dari cahaya kesadaran di
dalam diri, mereka membuka seluruh pakaiannya
dan bertelanjang bulat untuk selamanya.
Darisanalah kemudian mereka berhasil mencapai
pencerahan kesadaran Atma. Rahasianya ada dalam
skema emosi manusia. Rasa malu akan tubuh adalah
yang rasa malu yang paling utama dan mendasar,
yang membuat kita gagal terhubung dengan alam
semesta. Mereka membuka lebar emosi bagian
luarnya, sehingga emosi di dalam mengalir deras
keluar, sebagai hasilnya, dari sedikit lagi akan
mencapai pencerahan kesadaran Atma, mereka
berhasil mencapai pencerahan kesadaran Atma.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal


tersebut. Mereka memutuskan untuk diri mereka
sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat mendikte
dan menekan keputusan buruk-baik, salah-benar,
dsb-nya, untuk mereka. Dualitas hanya ada dalam
pikiran manusia yang terkondisi. Satu-satunya
pengertian tentang baik dan benar adalah apa yang
muncul dari intuisi terdalam, dari Yoga Punya,
cahaya kesadaran di dalam diri.

Mengekspresikan diri adalah sadhana [praktek


spiritual] mendalam yang secara logika paling tidak
masuk akal. Sehingga hanya mereka yang siap
untuk menerima resiko dan memasuki yang tidak
masuk akal yang akan mampu mengetahui apa itu
keheningan, apa itu kedamaian sejati di dalam diri,
apa itu pencerahan kesadaran Atma. Perlu
keberanian yang luar biasa, dibutuhkan kesiapan
untuk resiko. Pencerahan kesadaran Atma hanya
milik mereka yang berani mengambil resiko. Itu
bukan milik mereka yang hanya mau keamanan dan
kenyamanan saja.

Perjalanan spiritual mendalam tidak selalu


berisi hal-hal yang serius saja. Tapi merupakan suatu
kombinasi, yang juga berisi perbuatan
mengekspresikan diri dan membangkitkan energi
sukacita di dalam diri. Praktek mengekspresikan diri
menghantarkan kesadaran kita menuju ketinggian
yang ringan. Praktek meditasi dan belas kasih
menghantarkan kesadaran kita menuju kedalaman
yang dalam. Praktek mengekspresikan diri membuat
benih-benih kesadaran di dalam diri kita menjadi
mekar. Praktek meditasi dan belas kasih membuat
kesadaran kita menjadi sangat terang bercahaya.
Keduanya bersifat saling melengkapi dan saling
memperkaya kesadaran di dalam diri.

Mengekspresikan diri akan membuka lebar


emosi bagian luar [seperti perasaan malu, sopan-
santun], sehingga emosi di bagian dalam [seperti
sedih-senang, sengsara-bahagia] dapat mengalir
keluar. Mengekspresikan diri akan membebaskan
kesadaran kita dari cengkeraman perasaan yang
gelap, akan menghidupkan energi sukacita
mendalam di dalam diri, akan membuat benih-
benih kesadaran di dalam diri kita menjadi mekar,
serta akan menerangi hal-hal kecil di dalam diri,
sehingga kemudian secara keseluruhan kita akan
dapat berjalan menuju pencapaian kesadaran dan
keagungan yang luar biasa.

[3]. MENJADI DIRI SENDIRI YANG UNIK


DAN OTENTIK.

Seringkali dalam mengekspresikan diri, orang


lain akan berusaha menghambat kita. Kita ingin
mengekspresikan diri yang sesuai dengan panggilan
suara hati kita di dalam, tapi orang lain [orang tua,
keluarga, tetangga, pemuka agama, pendeta,
masyarakat, orang yang memiliki kuasa, dsb-nya]
tidak ingin kita melakukan sesuatu hal tersebut.
Mereka ingin kita mengikuti jalur yang mereka buat,
dengan alasan moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya. Sehingga kita
terpaksa melakukannya, padahal di dalam hati kita
menolak karena kita ingin melakukan hal yang
berbeda. Kita melakukannya dengan terpaksa, hati
kita tidak terlibat di dalamnya. Itu bukan pilihan kita.
Kita melakukannya seperti budak, karena tidak
datang dari keunikan dan keotentikan diri kita
sendiri.

Mudah untuk mengikuti dikte dan tekanan


dari orang lain. Karena hal itu akan memberikan
sebentuk situasi yang nyaman secara sosial. Orang
lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka agama,
pendeta, masyarakat, orang yang memiliki kuasa,
dsb-nya] akan gembira jika kita mengikuti gagasan
mereka tentang moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya. Ketika kita
patuh dan mengikutinya mereka merasa gembira.
Walaupun gagasan mereka itu tidak memiliki nilai
sama sekali secara spiritual, tidak membuat mereka
mengalami pencerahan Kesadaran Atma. Tapi justru
sebaliknya, hal itu membuat di dalam diri mereka
merasa gelisah, tegang, tidak bahagia, atau
memendam hasrat duniawi, atau memendam
kemarahan. Di dalam diri mereka cengkeraman
pikiran-perasaan pada kesadarannya masih tetap
kuat. Tapi mereka tetap saja berusaha
menerapkannya kepada orang lain.

Tentu saja dalam hal ini, tidak ada kecurigaan


tentang niat baik dan mulia dari para pemuka
agama, penceramah agama, Guru agama,
intelektual terpelajar dalam agama, dsb-nya. Tidak
ada keraguan tentang niat baik dan mulia mereka
yang bertujuan agar manusia menjauh dari
kejahatan. Tapi yang secara jujur harus diungkapkan
disini adalah kegagalan dan ketidakmampuan
mereka di dalam memahami fenomena kesadaran di
dalam diri manusia.

Setiap manusia itu unik dan otentik. Memiliki


kecenderungan, kebutuhan dan arah pertumbuhan
spiritual yang berbeda-beda. Ketika orang lain
mendikte dan menekan kita bahwa HARUS
melakukan ini dan itu secara sama dan seragam,
dengan alasan moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, maka secara
alami di dalam diri, pikiran dan perasaan kita akan
TERBELAH.

Pikiran dan perasaan yang TERBELAH itu akan


membuat manusia menjalani kehidupan ganda.
Akibat dikte dan tekanan orang lain tentang
moralitas yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata
krama, etiket, hidup yang benar, hidup yang
beradab, dan sejenisnya, yang sifatnya sangat
dualistik [salah-benar, buruk-baik, dsb-nya], hampir
semua manusia menjalani kehidupan ganda. Dia
mengatakan suatu hal atau melakukan suatu hal,
akan tetapi pikiran-perasannya bergerak ke arah
yang berbeda. Hal itu secara alami membuat
manusia mengalami konflik di dalam dirinya secara
berkelanjutan. Dia terus bertempur dengan dirinya
sendiri di dalam. Dia terus menyakiti dirinya sendiri.

Jika manusia memilih untuk mengekspresikan


diri sesuai dengan suara hatinya, dia akan merasa
bahwa dia sudah melawan masyarakat umum dan
orang yang memiliki kuasa, serta dia sudah
melanggar moralitas yang baik, ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya. Hal ini
membentuk suatu kondisi di dalam pikiran-perasan
manusia, suatu kondisi yang ditanamkan oleh orang
lain [orang tua, keluarga, tetangga, pemuka agama,
pendeta, masyarakat, orang yang memiliki kuasa,
dsb-nya], suatu kondisi pikiran yang membuat
manusia sibuk mengutuk dan menyalahkan dirinya
sendiri. Hal itu salah, hal itu tidak pantas, seharusnya
kamu tidak melakukan itu, kamu tidak bermoral,
kamu berdosa, atau kamu salah. Kondisi bawah
sadar itu akan menikam dirinya, akan menyiksanya,
membuatnya gelisah, tegang, tidak bahagia dan
merasa bersalah.

Sebaliknya, jika manusia memilih untuk TIDAK


mendengarkan suara hatinya, tapi mengikuti dikte
dan tekanan orang lain tentang tentang moralitas
yang baik, ajaran agama, kesopanan, tata krama,
etiket, hidup yang benar, hidup yang beradab, dan
sejenisnya, maka suara hatinya akan menekan
dirinya. Terus menekan dirinya.

Itulah yang terjadi pada sebagian besar


manusia. Pikiran dan perasaan manusia TERBELAH.
Membuatnya memiliki kehidupan dan kepribadian
ganda. Serta di dalam dirinya manusia akan
merasakan kegelisahan, atau ketegangan, atau
perasaan tidak bahagia, atau memendam hasrat
duniawi, atau memendam kemarahan.

Bahkan seringkali terjadi pada manusia,


dimana emosi bagian dalam [seperti sedih-senang,
sengsara-bahagia, dsb-nya] benar-benar tertahan,
yang ditandai dengan di dalam diri sering merasa
gelisah, tegang, tidak bahagia, sulit tidur, atau
memendam kemarahan, atau bahkan sudah terlihat
di permukaan dalam bentuk stres, depresi, penyakit,
atau bahkan gangguan kejiwaan. Di titik kritis
tersebut, jangan menunda-nunda lagi, segeralah
belajar dan berusaha untuk mengekspresikan diri.
Sebelum kita mengalami kerusakan dan kehancuran
di dalam diri.

Mengekspresikan diri dengan cara kita sendiri,


dengan menjadi diri sendiri, adalah praktek spiritual
yang paling penuh tantangan, tapi sekaligus paling
mendamaikan di dalam diri. Yaitu mengekspresikan
diri sesuai dengan panggilan alami kita di dalam
diri, serta mengabaikan standar ideal yang dibuat
orang lain tentang diri kita, kemudian dengan rasa
sukacita menjadi diri kita sendiri seperti apa adanya.

Semakin keras kita berusaha memenuhi


standar ideal, keinginan dan harapan orang lain,
maka semakin beratlah tumpukan beban mental di
dalam diri kita. Beban mental yang berat itu dapat
menjerumuskan kita ke jurang gangguan pikiran.
Tapi banyak orang yang tidak memiliki keberanian
untuk mengekspresikan diri, karena pikirannya
sudah terkondisikan dalam jangka waktu yang
sangat lama, atau karena tekanan dari lingkungan.
Mereka yang menganggap bahwa hal yang paling
sulit dilakukan adalah untuk bersantai, untuk
mengekspresikan diri.

Sesungguhnya, suatu hal yang mustahil untuk


dilakukan di dunia ini adalah dapat menyenangkan
semua orang. Bahkan Guru spiritual paling Agung-
pun tidak dapat menyenangkan semua orang. Jika
kita terus berusaha mencoba untuk menyenangkan
semua orang, kita akan merusak hidup kita sendiri.
Sekeras apapun usaha kita, pasti tetap akan ada
orang yang tidak senang. Tidak ada manusia yang
bisa menyenangkan semua orang, adalah mustahil
untuk menyenangkan semua orang. Jangan
mencoba untuk berusaha menyenangkan semua
orang, karena hal itu sama dengan merusak diri kita
sendiri.

Jangan pernah menjadi korban dari standar


ideal orang lain dan jangan membuat orang lain
sebagai korban dari standar ideal kita. Kita berada di
dunia ini tidak untuk memenuhi harapan siapapun
dan demikian juga sebaliknya, tidak ada satupun
orang yang berada di dunia ini untuk memenuhi
harapan kita. Mengekspresikan diri adalah bagian
dari praktek spiritual yang bersifat individualitas.
Artinya, tidak ada orang lain yang bisa
memberitahu, atau mendikte, atau mengatur kita
bagaimana jalan atau caranya. Hanya diri kita sendiri
yang tahu. Hormati individualitas diri kita sendiri
dan hormati individualitas orang lain.

Tidak ada kebenaran mutlak. Kebenaran selalu


bersifat sangat relatif. Mengapa diri kita terlihat
benar, karena kita mengukur diri kita sendiri dengan
standar ukuran diri kita sendiri. Mengapa orang lain
terlihat salah, karena kita mengukur orang lain
dengan standar ukuran diri kita sendiri. Sehingga,
jangan pernah ikut campur dengan menghakimi,
mendikte, atau mengatur, cara orang lain
mengekspresikan dirinya. Demikian juga sebaliknya,
jangan mengijinkan siapapun untuk mencampuri
cara kita mengekspresikan diri. Hanya dengan cara
begitu kemudian kesadaran kita dapat mulai
bercahaya.
Pahamilah kontradiksi ini, yaitu bahwa orang-
orang yang terlalu keras menekan dirinya dengan
alasan moralitas yang baik, sesuai ajaran agama,
kesopanan, tata krama, etiket, hidup yang benar,
hidup yang beradab, dan sejenisnya, maka pikiran-
perasaan mereka akan TERBELAH. Kesadaran
mereka akan gagal untuk mekar. Mereka akan
kehilangan energi sukacita mendalam di dalam diri.
Mereka akan gagal untuk menemukan kedamaian
sejati di dalam diri. Mereka akan akan gagal
mengalami pencerahan Kesadaran Atma.

Akan tetapi pada kenyataannya, kita hidup di


dunia dimana banyak manusia tidak bahagia
dengan dirinya sendiri. Sebagai akibatnya mereka
tidak dapat bahagia dengan orang lain. Mereka
menjadi penuh dengan penghakiman dan mudah
mengucapkan perkataan menyakitkan. Inilah
tantangan bagi kita semua dalam mengekspresikan
diri.

Orang-orang yang tidak bahagia dengan diri


mereka sendiri, tidak akan dapat bahagia dengan
cara apapun. Apapun yang kita lakukan, mereka
pasti akan menemukan cara untuk menjadi tidak
bahagia dengan kita, disebabkan karena mereka
sendiri tidak bisa bahagia dengan dirinya sendiri.
Berada di dalam pengaruh orang-orang seperti itu
akan menghalangi cahaya kesadaran di dalam diri
kita dapat memancar indah. Seperti lilin yang
diterpa angin, sering-sering berada di dekat mereka
dapat membuat cahaya kesadaran di dalam diri kita
menjadi padam.

Tentunya, ada cara agar kita selamat dari


penghakiman dan kritik pedas orang lain, yaitu
pertama [1] kita pergi menghindar dari mereka, atau
mengabaikan mereka. Kedua [2] jika seandainya kita
tidak dapat menghindar atau mengabaikan mereka,
kita sedikit berbicara tapi banyak tersenyum. Karena
menjawab [merespon] dengan perkataan terhadap
orang-orang yang penuh dengan kritik dan
penghakiman, hanya akan memperpanjang jumlah
kerumitan yang sudah banyak. Sedikit berkata-kata
dikombinasikan dengan banyak tersenyum, tidak
saja akan mengurai kerumitan menjadi
kesederhanaan, tapi juga bisa merubah
kesengsaraan menjadi pengertian. Artinya, mengerti
bahwa orang yang penuh penghakiman dan
kritikan, di dalam dirinya sedang sengsara.
Kemudian kita tidak perlu menambahkan
kesengsaraan dan kerumitan yang baru.
Salah satu bentuk ketakutan terbesar di dunia
ini adalah menyangkut pendapat orang lain tentang
kita. Pada saat kita tidak lagi memiliki rasa takut
terhadap pendapat semua orang-orang banyak
tentang kita, maka secara simbolik kesadaran kita
tidak lagi laksana seekor katak di dalam sumur, tapi
kesadaran kita telah menjadi laksana seekor burung
elang terbang tinggi bebas di angkasa yang tidak
mengenal takut. Berani menjadi diri sendiri yang
otentik dan berani menjalani hidup kita sesuai
dengan tuntunan cahaya di dalam diri.

Ekspresikanlah diri kita sesuai dengan


panggilan alami kita di dalam diri, sebagaimana diri
kita sendiri apa adanya, tanpa melibatkan dualitas
salah-benar, buruk-baik, kotor-suci. Ekspresikanlah
diri kita sesuai dengan panggilan alami kita di dalam
diri, tanpa penyesalan dan tanpa rasa bersalah.
Lakukan apa saja yang membuat kita merasa
nyaman, lepas, damai dan bahagia di dalam diri,
yang membuat kita merasa hidup, bersemangat dan
berlimpah energi sukacita, tanpa dualitas baik-
buruk, salah-benar, suci kotor, dsb-nya. Disanalah
kita akan mulai terbebas dari beban berat emosi di
dalam, seperti sedih-senang, sengsara-bahagia,
dsb-nya, sekaligus terbebas dari beban berat untuk
menginginkan pujian dan pengakuan dari orang
lain. Sehingga kemudian, pikiran-perasaan kita di
dalam menjadi ringan dan nyaman.

Apa jalan kita untuk mengekspresikan diri, hal


itu hanya diri kita sendiri yang tahu. Kriteria
sederhana yang harus diingat adalah, apapun yang
di dalam diri membuat kita terasa lepas, damai dan
bahagia, yang membuat kita merasa hidup,
bersemangat dan berlimpah energi sukacita, terjadi
karena kemauan kita sendiri, jika kita merasakan
kemunculan suatu energi sukacita yang indah di
dalam diri melalui mengekspresikan diri, maka itu
adalah jalan kita.

Jika kita mulai melakukan apa yang didikte,


ditekan atau diatur oleh orang lain, di dalam diri kita
akan mulai menjadi kacau. Kita akan melakukan
usaha untuk melawan diri kita sendiri. Hal itu tidak
akan alami. Kita menjadi memaksa diri kita sendiri
dan ini akan menghancurkan seluruh keindahan,
kedamaian dan keheningan di dalam diri.

Sehingga setiap orang harus mencari tahu apa


cara mengekspresikan diri yang sesuai dengan
panggilan di dalam dirinya. Setiap orang harus
mencari tahu apa yang paling tepat untuk dirinya
sendiri. Jika kita merasakan kenyamanan, perasaan
lepas, damai dan bahagia, merasakan kemunculan
suatu energi yang indah di dalam diri melalui
mengekspresikan diri, melalui melepaskan, maka itu
adalah jalan kita. Lakukan hal itu secara total.
Jangan melihat ke samping dan jangan peduli
tentang apa yang orang lain katakan. Jangan peduli
tentang apa yang orang lain lakukan. Biarkan
mereka melakukan apa yang mereka lakukan, kita
melakukan apa yang kita lakukan.

Mengekspresikan diri akan menuntun kita


menjadi diri sendiri yang unik dan otentik. Kita
dapat menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh. Tidak akan ada lagi pikiran-perasaan
yang TERBELAH. Darisana kemudian terbuka pintu
menuju penemuan kebebasan perasaan dan
sukacita mendalam di dalam diri.

Ekspresikanlah diri kita sesuai dengan


panggilan alami kita sendiri di dalam diri. Jadilah diri
kita sendiri yang unik dan otentik. Jika kita terus
memikirkan apa pendapat orang lain, atau kita
selalu menginginkan pengakuan dari orang lain,
maka kita akan hidup dalam penjara berbahaya.
Bahaya pertama, kita akan berkembang menjadi
orang lain, hanya persoalan waktu kita akan merasa
hampa dan terasing dalam hidup kita sendiri.
Bahaya kedua, kehidupan kita akan bergerak dari
gelap ke gelap. Keadaannya mirip dengan merpati
yang memaksakan diri menjadi kelinci. Di mana-
mana kita akan merasa resah dan gelisah, atau
merasa tidak tentu arah, atau merasakan kehilangan
keyakinan diri.

Sehingga kemudian, belajarlah menjadi diri


kita sendiri yang unik dan otentik. Hal itu laksana
pohon kaktus yang merasa bahagia tumbuh di
tanah kering dan bunga teratai yang merasa
bahagia tumbuh di kolam basah. Laksana pohon
kelapa yang merasa bahagia tumbuh di tepi pantai
dan pohon pinus yang merasa bahagia tumbuh di
lereng pegunungan. Laksana harimau yang bahagia
memakan daging dan kambing yang bahagia
memakan rumput. Laksana ikan yang merasa
bahagia berenang di air dan burung yang merasa
bahagia terbang di angkasa. Semuanya merasa
bahagia menjadi dirinya sendiri yang unik dan
otentik.

Biarkan saja orang lain mengatakan kita begini


dan begitu. Penghakiman dan kata-kata tidak sedap
yang diucapkan orang tentang diri kita, itu adalah
racun yang mereka minum untuk pikiran mereka
sendiri.
Ingatlah selalu bahwa menjadi bahagia adalah
spiritual. Menjadi bahagia adalah mulia. Hanya
orang yang dapat membahagiakan dirinya sendiri
yang kemudian dapat membahagiakan orang lain
secara mengagumkan. Laksana pohon rindang yang
dapat menyejukkan banyak mahluk yang berteduh
di bawahnya, demikian juga dengan orang yang di
dalam dirinya berlimpah dengan perasaan sukacita.
Sehingga sesibuk apapun pekerjaan kita, seberat
apapun tugas rumah tangga kita, selalu sediakan
waktu untuk membuat diri kita bahagia. Lakukan
apa saja yang membuat kita merasa lepas, damai
dan bahagia di dalam diri, yang membuat kita
merasa hidup, bersemangat dan berlimpah energi
sukacita. Ekspresikan diri kita sesuai dengan
panggilan alami kita di dalam diri, tanpa melibatkan
dualitas salah-benar, buruk-baik, kotor-suci.

Ini bukanlah praktek spiritual untuk menjadi


egois, ini bukanlah praktek spiritual yang
mementingkan diri sendiri, melainkan praktek
spiritual untuk membebaskan diri kita dari pikiran-
perasaan yang TERBELAH. Untuk membuka lebar
emosi bagian luar sehingga emosi di dalam dapat
mengalir keluar, untuk membebaskan kesadaran
kita dari cengkeraman perasaan yang gelap, untuk
membangkitkan energi sukacita di dalam diri, untuk
berani menerima diri kita sendiri seperti apa adanya,
untuk menemukan sisi-sisi terindah dari diri kita
sendiri, serta untuk mengungkapkan diri kita yang
unik dan otentik.

Semua hal tersebut akan membantu


kesadaran kita untuk dapat mekar berkembang dan
bercahaya, sekaligus mempersiapkan diri kita agar
dapat menolong dan membahagiakan orang lain
secara lebih mendalam.
Bab 5
SADHANA 5
Menyatu Dengan Saat Ini Dalam Keutuhan

Jantung dari ajaran Upanishad dan Tantra


adalah menemukan KEUTUHAN. Perhatikan bahwa
bukan mencapai KESUCIAN SEMPURNA, tapi
menemukan KEUTUHAN. Keinginan kita untuk
menjadi suci sempurna adalah muncul dari avidya
[ketidaktahuan] dan ahamkara [ego]. Ego selalu
memiliki kecenderungan untuk menjadi
perfeksionis. Keinginan untuk menjadi suci
sempurna tidak saja pasti akan gagal, tapi sekaligus
juga akan menjerumuskan kita ke jurang gangguan
pikiran.

Mencapai kesucian sempurna adalah suatu


keinginan. Untuk dapat mencapainya tentu saja
membutuhkan suatu jangka waktu. Mencapai
kesucian sempurna selalu berada di masa depan.
Kita harus mengorbankan saat ini untuk masa
depan. Sedangkan menyatu dalam KEUTUHAN
adalah sesuatu yang sangat berbeda, karena adanya
disini, disaat ini, sekarang.

Apapun yang sedang terjadi adanya selalu


disini, disaat ini, sekarang. Masa depan belum ada.
Masa depan hanyalah tumpukan hayalan dan
bayangan yang tidak nyata. Sedangkan masa lalu
sudah tidak ada lagi. Masa lalu hanyalah tumpukan
ingatan dan kenangan bagaikan jejak-jejak kaki di
pasir pantai yang sudah hilang disapu ombak dan
dihembus angin.

Disaat pikiran kita melompat dari waktu disaat


ini [ke masa depan atau ke masa lalu], disaat itu
juga di dalam diri kita akan mulai muncul benih-
benih kegelisahan, ketegangan, perasaan tidak
bahagia atau kemarahan. Kita tidak dapat menjadi
diri kita sendiri yang UTUH dan menyeluruh. Pikiran-
perasaan kita akan TERBELAH. Kita tidak akan dapat
merasakan sukacita mendalam dan kedamaian sejati
di dalam diri.

Kenyataan kosmik semesta hanya mengenal


saat ini, tidak mengenal masa depan dan masa lalu.
Saat ini adalah satu-satunya ruang dan waktu. Masa
lalu sudah tidak ada lagi, masa depan belum ada.
Jika pikiran kita berada pada masa lalu atau masa
depan, kita akan kehilangan moment saat ini. Kita
akan menjauh dari kenyataan kosmik semesta.
KEUTUHAN adanya disini, disaat ini, sekarang.
Hanya jika kita berada disaat ini, disini, sekarang,
disanalah letaknya KEUTUHAN.

[1]. MELAKSANAKAN SWADHARMA


[TUGAS KEHIDUPAN].

Jika kita perhatikan, secara garis besar, ada 2


[dua] pemahaman manusia tentang kenyataan
kehidupan, yaitu :

== Kelompok pertama berasal dari pemahaman


para SPIRITUALIS, yang sepenuhnya terobsesi
terhadap kesadaran di dalam diri saja dan
memandang kenyataan kehidupan ini adalah maya
[ilusi].

== Kelompok kedua berasal dari pemahaman para


ILMUWAN, yang sepenuhnya terobsesi terhadap
dunia material saja dan memandang bahwa
kesadaran di dalam diri itu tidak ada.
Kedua kelompok tersebut memandang
kenyataan kehidupan ini secara tidak tepat. Jika
kenyataan kehidupan ini adalah maya [ilusi],
mengapa kita tetap harus bekerja mencari
penghidupan, mengapa kita tetap harus mencari
makan saat lapar, mengapa kita tetap harus mencari
air saat haus, mengapa kita tetap harus tidur saat
mengantuk, dsb-nya. Sebaliknya, jika kesadaran di
dalam diri itu tidak ada, darimana datangnya rasa
kasih sayang, belas kasih, pikiran kreatif, analisa,
intuisi, kedamaian, keheningan, dsb-nya.

Kelihatannya pandangan kedua kelompok itu


seperti berlawanan, tapi sesungguhnya kedua
kelompok itu sama secara logika, yaitu kedua
kelompok itu sama-sama ketakutan menerima
keduanya. Kedua kelompok itu hanya memilih salah
satunya saja.

Seperti apa pilihan kita tidak ada bedanya.


Kita percaya atau tidak percaya, tidak akan memberi
perbedaan kepada kenyataan semesta. Dunia
material dan kehidupan spiritual tidaklah
terpisahkan, tapi merupakan satu kesatuan UTUH
dan menyeluruh sebagai kenyataan semesta. Jangan
memandang dunia material ini sebagai maya [ilusi]
dan memandang alam spiritual sebagai kenyataan.
Atau sebaliknya. Tapi pandang keduanya secara
sama sebagai suatu kenyataan. Dunia material ini
juga merupakan bagian manifestasi dari Brahman
[Tuhan]. Segala keberadaan semesta terdiri dari
paket lengkap yang UTUH dan menyeluruh. Tubuh
fisik kita dan sang Atma, alam sekala dan alam
niskala, dunia material dan kehidupan spiritual, dsb-
nya, semua fenomena adalah manifestasi yang sama
dari Brahman.

Perjalanan spiritual mendalam adalah


KEUTUHAN. Menerima kesadaran di dalam diri dan
dunia diluar secara sama. Tidak menyebutnya
sebagai 2 [dua] hal yang berbeda, tapi sebagai
Brahman yang tunggal bermanifestasi sebagai 2
[dua]. Dimana-mana, dalam segala sesuatu, dunia di
dalam dan dunia diluar, adalah manifestasi Brahman
yang sama, adalah tarian kosmik Shiwa yang sama.
Tapi kita belum menyadarinya saja. Untuk dapat
menyadarinya, pengalaman pertama harus terjadi di
dalam diri, pada kesadaran di dalam diri. Hanya
dengan cara demikian kemudian kita dapat melihat
keberadaan Brahman dalam segala sesuatu.

Perjalanan spiritual mendalam adalah suatu


perjalanan yang UTUH dan menyeluruh. Yaitu
keberadaan penuh di dunia material sekaligus
keberadaan penuh pada kehidupan spiritual. Aspek
dalamnya adalah spiritual dan aspek luarnya adalah
dunia material. Ekspresikan diri kita pada dunia
material dengan sukacita, dengan lebur dalam
keindahannya dan melalui gelombang energi yang
sama masuki sukacita kesadaran di dalam diri.
Keduanya adalah gelombang energi yang sama.
Laksana nafas masuk dan nafas keluar, keduanya
adalah satu nafas yang sama.

Perjalanan spiritual mendalam tidak anti pada


kehidupan dunia diluar, melainkan memeluk
kehidupan dunia diluar maupun dunia di dalam
secara UTUH dan menyeluruh. Hiduplah di dunia
material diluar, disaat ini, sekarang, sebagai suatu
kenyataan, dengan mengekspresikan diri, dengan
sukacita, dengan lebur dalam keindahannya. Tapi
sekaligus juga pada saat yang sama melampaui
dunia material ini.

Arti dari “melampaui dunia material” adalah,


apapun berkah kehidupan disaat ini terima dengan
sukacita, jangan tidak puas, jangan serakah, jangan
ingin lebih dari berkah kehidupan kita sendiri,
jangan terikat, jangan memiliki keterikatan pada
benda, harta, jabatan, pujian, orang-orang, atau
apapun di dunia ini. Terutama karena tidak ada
sesuatupun yang dapat kita miliki selamanya.
Leluhur kita di Bali sering mengucapkan ajaran
dharma ini, “lekad melalung mati mase melalung”,
kita datang ke dunia dengan tangan kosong dan
kelak kita mati juga pergi dengan tangan kosong.

Ini berarti bahwa kita berusahalah


melaksanakan swadharma [tugas-tugas kehidupan],
berusahalah memberikan yang terbaik. Bekerja
keras tentu saja disarankan, berusaha keras juga
boleh. Berikan yang terbaik pada setiap tugas-tugas
kehidupan disaat ini. Tapi menyangkut hasilnya,
belajar memeluk setiap berkah kehidupan dengan
penuh keikhlasan. Belajar untuk selalu melihat sisi-
sisi indah dari berkah kehidupan disaat ini,
ungkapkan rasa syukur dalam diam dan
tersenyumlah. Orang yang tersenyum indah pada
apapun berkah kehidupan disaat ini, sekaligus
melakukan upaya terbaik disaat ini, dia sedang
melakukan persiapan terbaik menuju masa depan.

Kalau kita seorang pelajar, belajarlah dengan


rajin di sekolah. Sehingga orang tua senang dan
tenang, tidak rugi mengeluarkan biaya dan kelak di
masa depan kita bisa berguna bagi orang lain. Kalau
kita seorang pekerja, bekerjalah dengan tekun dan
penuh pelayanan di tempat kerja. Misalnya [contoh]
kita bekerja di hotel sebagai receptionist. Sambutlah
setiap tamu yang datang dengan senyuman,
keramahan, kesabaran dan tekad untuk memberikan
pelayanan terbaik. Kalau tamu sedang sepi,
bersihkan tempat kerja kita, rapikan berkas-berkas
file, dsb-nya. Jangan lupa untuk bekerja dengan
jujur dan jangan bermalas-malasan. Atau misalnya
kita membuka usaha bengkel motor. Sambutlah
setiap pelanggan yang datang dengan ramah, sabar
dan tekad untuk memberikan yang terbaik. Jujurlah
dan penuh pelayanan dalam usaha kita, jangan
menipu pelanggan dengan mengatakan onderdil
yang masih baik mengalami kerusakan, jika
pelanggan memiliki uang yang terbatas jangan
bersikap meremehkan dan berikan jalan keluar
terbaik, dsb-nya.

Ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari


nafkah atau memperoleh laba, tapi intinya adalah
kita tulus, penuh pelayanan dan tidak serakah dalam
menjalankan usaha kita. Kita perlu mengingat hal ini
secara mendalam, mereka yang menjalani
kehidupan duniawi dengan pelayanan,
mendapatkan dua kekayaan sekaligus, yaitu
kekayaan material dan kekayaan spiritual.
Kejujuran, kebaikan dan ketulusan kita untuk
melakukan pelayanan [sewaka dharma] merupakan
praktek spiritual yang sederhana tapi mendalam.
Entah kita menjadi pekerja kantoran, tukang kebun,
petani, dokter, gubernur, receptionist hotel,
membuka usaha, ibu rumah tangga, dsb-nya,
asalkan kita melakukan tugas-tugas kita dengan
kejujuran, kebaikan dan ketulusan untuk melakukan
pelayanan, itu adalah sadhana [praktek spiritual]
yang mendalam.

Di rumah kita kerjakan tugas-tugas rumah


tangga dengan baik. Kalau ada piring kotor
segeralah kita cuci bersih, kalau rumah kotor ambil
sapu dan pel lalu bersihkan. Kita lakukan dengan
sikap penuh pelayanan, dengan rasa suka-cita dan
meneng [diam], tidak usah mengeluh siapa yang
seharusnya punya tugas mencuci piring atau
membersihkan rumah. Hormati dan bahagiakan
orang tua. Sayangi, setia dan bahagiakan pasangan
kita [suami atau istri]. Sayangi dan bahagiakan anak-
anak. Sayangi dan bahagiakan saudara.

Jika kita tidak mencintai dan mensyukuri


keluarga kita serta pekerjaan kita, sesungguhnya
kita sedang merusak diri kita sendiri secara pelan-
pelan. Terutama karena kebanyakan waktu dalam
kehidupan kita habiskan di keluarga dan di tempat
kerja. Jika disana kita tidak menemukan kedamaian
dan sukacita, secara pelan-pelan kita akan
mengalami kekacauan kesadaran. Sehingga, seperti
apapun keluarga dan pekerjaan kita, belajarlah
melihat sisi-sisi berkah dari keluarga dan tempat
kerja. Hal itu merupakan praktek spiritual yang tidak
saja akan membuat hidup kita menjadi indah, tapi
juga membuat kesadaran kita menjadi bercahaya.

Apapun tugas kehidupan dan pekerjaan yang


kita lakukan, jika kita melakukannya dengan
sukacita, jika kita melakukannya dengan penuh
cinta, jika kita melakukannya dengan penuh
pelayanan, maka itu akan membuat kesadaran kita
mekar bercahaya di dalam diri. Jika sesuatu hal
memberikan kita pertumbuhan kesadaran, maka itu
adalah jalan spiritual, itu adalah jalan suci.

Apapun tugas kehidupan dan pekerjaan yang


kita lakukan, jika kita melakukannya dengan
sukacita, jika kita melakukannya dengan penuh
cinta, jika kita melakukannya dengan penuh
pelayanan, menikmati dan merayakannya sebagai
berkah hadiah dari Tuhan, maka itu adalah sebentuk
kegiatan meditasi. Bahkan pekerjaan-pekerjaan kecil
akan menjadi besar dengan sentuhan sukacita, cinta
dan pelayanan.

Jika keadaan memungkinkan, kita dapat


melakukannya secara lebih luas lagi. Kita lakukan
jalan pelayanan [sewaka dharma] kepada yang tidak
terkait atau tidak dikenal. Misalnya [contoh], kalau
tirtayatra ke pura ambil sapu kita bantu bersihkan
sampah, kalau di jalan melihat ada paku yang
membahayakan kita pungut dan amankan, kalau di
toilet umum kita melihat keran air mengalir sia-sia
kita bantu matikan, dsb-nya.

Jalan pelayanan [sewaka dharma] adalah jalan


spiritual yang sederhana tapi mendalam, yang dapat
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri kita.
Apalagi pelayanan yang dianggap remeh, rendah
atau hina oleh orang lain, itu akan lebih terang lagi
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri.
Jalan pelayanan bertujuan untuk pemurnian
mendasar bagi diri kita, serta untuk meredakan
ahamkara [ego, ke-aku-an] dan sifat egois
mementingkan diri sendiri di dalam diri. Ini
merupakan sadhana [praktek spiritual] yang bisa
kita lakukan sambil kita melaksanakan kehidupan
duniawi.
Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang
sudah kita lakukan cepat sekali dilupakan orang,
tetap saja yang terus diingat orang adalah apa yang
mereka anggap sebagai kekurangan atau kesalahan
kita. Analoginya jalan pelayanan membuat kita
bernasib seperti keset, sudah diinjak-injak orang
kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita.
Tapi itulah jalan menuju kesadaran yang terang
bercahaya.

Hiduplah disaat ini. Laksanakan tugas-tugas


kehidupan [swadharma]. Tetaplah berencana tapi
tidak terikat dengan hasilnya. Fokus kita adalah
untuk memberikan yang terbaik dalam
melaksanakan tugas kehidupan. Menjalani saat ini
dengan sukacita, dengan cinta, dengan penuh
pelayanan, sekaligus pasrah dan bersyukur.
Berikanlah yang terbaik, tapi apapun hasilnya terima
dengan hati damai.

Jangan memandang kenyataan dunia material


ini adalah maya [ilusi]. Jangan menolak kenyataan
dunia material ini. Kehidupan di dunia material ini
adalah berkah semesta, adalah manifestasi yang
sama dari Brahman, adalah bagian dari tarian
kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama. Peluklah
kehidupan dunia material maupun kehidupan
spiritual secara utuh dan menyeluruh. Jangan
melaksanakan spiritual dengan ekstrim terlalu
terobsesi dengan kesadaran di dalam diri, untuk
kemudian melewatkan berkah sukacita dan
keindahan kehidupan dunia diluar disaat ini, disini
dan sekarang.

Jangan melewatkan sukacita bekerja


melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
melakukan pelayanan, disaat ini. Jangan melewatkan
sukacita anak-anak yang sedang bermain, disaat ini.
Jangan melewatkan keindahan tari-tarian, seni
musik, seni rupa, seni bangunan, disaat ini. Jangan
melewatkan keindahan awan-awan, hembusan
angin, pantai, matahari, atau keindahan burung-
burung terbang, bunga dan pepohonan, disaat ini.
Tapi sekaligus pada saat yang sama, lampaui dunia
material ini. Itulah yang disebut sebagai keberadaan
penuh di dunia material sekaligus keberadaan
penuh pada kehidupan spiritual. Terutama karena
perjalanan spiritual mendalam adalah suatu
perjalanan yang UTUH dan menyeluruh.

Puncak perjalanan spiritual tidak mengenal


hasil, tidak mengenal tujuan, tidak mengenal
pencapaian, tidak ada yang dicari, tidak ada yang
dicapai, tidak ada yang didapatkan, melainkan
KEUTUHAN disaat ini, disini, sekarang. Mengalir
sempurna di sungai kehidupan, menyatu dengan
keindahan tarian semesta. Dalam KEUTUHAN.
Dengan sukacita mendalam dan senyuman indah,
disini, disaat ini, sekarang.

[2]. MENYATU DENGAN SAAT INI SEPERTI


APA ADANYA.

Dalam simbol berupa lingkaran sempurna, diri


kita [bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana
agung] adalah rangkaian perputaran energi-energi
yang mengalir berputar sempurna dalam siklus
hukumnya. Laksana malam yang berganti siang,
atau musim kemarau yang berganti musim hujan,
atau bunga yang menjadi sampah, demikianlah
siklus perputarannya. Semuanya adalah satu tarian
kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.
Kekacauan pikiran terjadi karena kita gagal menyatu
mengalir dalam perputaran tersebut, disaat ini,
seperti apa adanya.

Pintu masuk untuk dapat menyatu dengan


saat ini seperti apa adanya, adalah suatu pengertian,
kita perlu untuk mengerti, bahwa satu-satunya
kenyataan yang otentik hanyalah saat ini.
Kegelisahan pikiran dan perasaan mungkin datang
dari kenangan akan kejadian masa lalu, atau dari
kecemasan akan ketidakpastian masa depan, tapi
keduanya tidak pernah ada. Jadi ini berarti, jika kita
dicengkeram kenangan masa lalu atau cemas akan
masa depan, kita sedang hidup dalam halusinasi.
Suatu halusinasi yang membuat pikiran-perasan kita
terbelah, satu bagian bergerak menuju masa lalu,
satu bagian bergerak menuju masa depan.
Keberadaan kita menjadi tidak otentik, karena hanya
ada satu hal yang otentik dan itu adalah saat ini.
Karena keberadaan kita tidak otentik itulah
sebabnya ada kesedihan mendalam, kecemasan,
rasa sakit dan kesengsaraan.

Untuk memudahkan pengertian, inilah


sebagian hal yang dimaksud sebagai menyatu
dengan saat ini seperti apa adanya, yaitu :

== 1]. Kesadaran kita tidak dicengkeram oleh


kejadian masa lalu.

Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya,


berarti kesadaran kita tidak lagi dapat dicengkeram
oleh kejadian-kejadian dari masa lalu. Kejadian dari
masa lalu dapat menimbulkan rasa marah, rasa
dendam, rasa penyesalan, rasa bersalah, dsb-nya,
yang datang dari kenangan masa lalu. Tinggalkanlah
semua itu, karena hanya akan menjadi penghalang
bagi kesadaran.

Pikiran kita memandang ke masa lalu,


mungkin dulu seseorang pernah menyakiti kita, atau
dulu kita pernah melakukan kesalahan, kemudian
kita menyesalinya, atau menangisinya, atau
meratapinya. Itu adalah kebodohan karena tidak
ada yang dapat kita lakukan untuk merubah hal itu.
Masa lalu adalah masa lalu dan kita tidak bisa
membatalkannya. Jadi jangan buang waktu kita
sedikitpun untuk itu. Disaat muncul kenangan masa
lalu, santai sajalah, bersantailah disaat ini seperti apa
adanya. Tidak perlu untuk merasa marah, merasa
dendam, merasa menyesal, merasa bersalah, dsb-
nya. Semua itu tidak pernah dapat merubah masa
lalu, tapi justru akan menciptakan lebih banyak
kerumitan disaat ini dan di masa depan.

Jika kesadaran kita dicengkeram oleh kejadian


masa lalu, kita akan kehilangan setiap keindahan
disaat ini. Sehingga fokuslah untuk mengambil
tuntunan dan pelajaran-pelajarannya saja. Lupakan
kejadiannya. Kemudian belajar untuk menyatu
dengan saat ini seperti apa adanya.
== 2]. Kesadaran kita tidak dicengkeram oleh
masa depan.

Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya,


berarti tidak memiliki harapan, tujuan dan hasil
untuk dicapai. Bukan berarti kita tidak membuat
perencanaan. Tapi fokus kita adalah memberikan
usaha yang terbaik disaat ini. Rencanakanlah masa
depan dengan sebaik-baiknya dan berikan usaha
yang terbaik disaat ini. Tapi apapun hasilnya biarkan
alam yang mengaturnya, sesuai dengan hukumnya.
Terima dengan senyuman damai, bebas tanpa
terikat kepada harapan dan tujuan.

Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya,


berarti berserah kepada alam, mengalir dengannya.
Bukan berarti tidak berusaha. Tapi berusahalah dan
berikan yang terbaik disaat ini. Tapi apapun hasilnya
terima dengan senyuman damai. Seperti apapun
hasilnya kita tidak menolaknya, kita tidak
melawannya. Tapi mengalir dengan itu, sepanjang
jalan, kemanapun itu mengarah. Apapun yang
terjadi, kita menyaksikan, kita adalah saksi untuk itu.
Hal itu berarti kita berada dalam keadaan
merelakan, kita berada dalam keadaan melepaskan.
Jika kita memiliki harapan, tujuan dan hasil
untuk dicapai kita tidak akan bisa menyatu dan
mengalir sempurna dengan kehidupan, terutama
jika kita sepenuhnya mengarahkan diri kita menuju
harapan, tujuan dan hasil. Sebagai akibatnya kita
akan menolak dan melawan jika tiba-tiba alam
membawa kita ke suatu arah yang tidak sesuai
dengan harapan, tujuan dan hasil yang ingin kita
capai.

Kita memproyeksikan kehidupan menurut


pikiran kita sendiri, menurut keinginan kita, menurut
harapan kita, menurut apa yang kita ketahui. Itu
sebabnya kita merasa takut menyatu dan mengalir
sempurna dengan perjalanan kehidupan. Tapi
perjalanan kehidupan tidak dapat bergerak
mengikuti pikiran kita, kehidupan selalu bergerak ke
arah yang tidak pasti, sesuai dengan hukumnya.
Kehidupan tidak pernah dapat memberikan kita
kepastian, demikianlah hukumnya.

Tapi itulah yang dilakukan oleh banyak


manusia di dunia, menjebak dirinya sendiri kepada
harapan, tujuan dan hasil. Sehingga jika tiba-tiba
alam membawa mereka ke arah yang berbeda,
mereka akan menolak dan melawan. Di dalam diri
mereka tenggelam dalam kegelisahan dan
kesengsaraan. Mereka gagal menyatu dengan tarian
kosmik alam semesta disaat ini seperti apa adanya.
Itulah sebabnya mengapa ada begitu banyak
manusia merasa putus-asa, merasa sengsara dan
merasakan kehidupan bagaikan neraka.

Kehidupan tidak pernah memberikan kita


kepastian, sehingga mengalirlah sempurna dalam
perjalanan kehidupan. Mungkin apa yang sedang
terjadi jauh dari harapan kita, mungkin secara
duniawi kita tidak terkenal, atau mungkin kita tidak
memiliki uang, atau mungkin kita tidak sukses
dalam apa yang disebut kehidupan duniawi, dsb-
nya. Tetapi seringkali untuk mencapai sukses dalam
kehidupan duniawi, hal itu harus dibayar dengan
kegagalan spiritual yang sangat dalam. Kita gagal
dalam kesadaran. Lalu apa gunanya jika kita berhasil
memiliki seluruh dunia, tapi kita kehilangan diri kita
sendiri ?

Ingatlah hal ini baik-baik, bahwa kehidupan


adalah sebuah tarian yang dinamis. Sebuah tarian
dinamis antara siang hari dan malam hari, antara
musim kemarau dan musim hujan, antara bulan
purnama dan bulan gelap [tilem]. Sebuah tarian
dinamis antara kebahagiaan dan kesedihan, antara
kesuksesan dan kegagalan, antara kesenangan dan
kesengsaraan. Hidup adalah sebuah tarian dinamis
yang terus berkelanjutan.

Kehidupan sesungguhnya melampaui semua


bentuk. Tapi sayangnya, pikiran kita sering memaksa
agar kehidupan berbentuk serupa dengan
keinginan. Sukses, kaya-raya, pujian, kekaguman
orang lain, kenyamanan, dsb-nya, adalah sebagian
bentuk kehidupan yang sangat diinginkan manusia.
Tapi sekeras apapun kita menginginkannya, pasti
kadang-kadang kita dapat, kadang-kadang kita
tidak dapat. Sebelum pikiran kita dibuat lelah dan
kacau oleh keinginan, belajarlah untuk menyatu
dengan apapun berkah kehidupan disaat ini.

Ketika kita mengalami kegagalan, menyatulah


dengan kegagalan, terutama dengan cara melihat
pelajaran-pelajaran yang diberikan. Ketika kita
mengalami kesuksesan, menyatulah dengan
kesuksesan, terutama dengan cara mengungkapkan
rasa syukur secara mendalam.

Menyatu dengan saat ini seperti apa adanya,


berarti menjadi alami, untuk membiarkan semuanya
terjadi secara alami sesuai dengan hukumnya. Tidak
menolak, tidak melawan, tidak menghindar dan
tidak memaksa mengalihkannya ke arah lain.
Kehidupan tidak pernah memberikan kita kepastian.
Sehebat apapun rencana kita, sekeras apapun usaha
kita, selalu ada unsur ketidakpastian di masa depan.
Sehingga belajarlah bersahabat dengan
ketidakpastian, dengan cara menyatu dengan saat
ini seperti apa adanya.

== 3]. Menyaksikan : Istirahat disaat ini seperti


apa adanya.

Kita tidak perlu menolak dan melawan


perjalanan kehidupan. Apapun yang terjadi, kita
menyaksikan, kita adalah saksi untuk itu. Hal itu
berarti kita berada dalam keadaan merelakan, kita
berada dalam keadaan melepaskan. Serta pikiran
kita tidak bergerak ke masa lalu dan ke masa depan.
Kesadaran kita berlabuh pada saat ini. Kesadaran
kita berpusat disaat ini, disini, sekarang, Apapun
yang terjadi dalam kehidupan disaat ini, kita tidak
menolak dan tidak melawan. Tapi mengalirlah
damai dengan itu, sepanjang jalan, kemanapun itu
mengarah. Kita hanya perlu memahami hal ini dan
menjadi semakin sadar.

Belajarlah untuk konsentrasi menyatu dengan


saat ini seperti apa adanya, sekaligus belajar
menerima apa saja yang sedang terjadi disaat ini
seperti apa adanya. Tersenyum menyatu dan
mengalir dengan apapun berkah kehidupan disaat
ini. Kita hanya menyaksikannya saja, istirahat disaat
ini seperti apa adanya, istirahat dari dualitas pikiran
dan tersenyum pada apapun berkah kehidupan
disaat ini.

Semua kejadian dalam perjalanan kehidupan


yang oleh pikiran dianggap sebagai baik-buruk,
benar-salah, sukses-gagal, dsb-nya, semuanya
adalah manifestasi dari Brahman yang sama,
semuanya adalah satu tarian kosmik Shiwa [Shiwa
Nataraja] yang sama, sebagai satu KEUTUHAN.

Semua jenis pikiran-perasaan di dalam diri


seperti senang-sengsara, bahagia-sedih, marah-
damai, dsb-nya, semuanya adalah manifestasi dari
Brahman yang sama, semuanya adalah satu tarian
kosmik Shiwa yang sama, sebagai satu KEUTUHAN.

Kehidupan adalah tarian kosmik alam


semesta, murni sebuah permainan energi. Sehingga
mulailah untuk hidup dari waktu ke waktu, disaat ini,
disini, sekarang, secara total dan berkelanjutan,
dengan sukacita mendalam dan kedamaian di
dalam diri. Menyatu dengan saat ini dalam
KEUTUHAN. Kemudian kita akan dapat melihat
bahwa semuanya sempurna seperti apa adanya.
Sebuah langkah sederhana dan mendalam untuk
merubah setiap saat ke dalam rasa syukur,
kemuliaan dan kesadaran.
BAGIAN KETIGA :
TUJUAN SPIRITUAL
Bab 1
MENUJU KEUTUHAN
Tekun Melaksanakan 5 [Lima] Sadhana
[Praktek Spiritual]

Setelah Anda selesai membaca buku ini, anda


menjadi orang yang BERPENGETAHUAN. Tapi bagi
Tantra dan Upanishad, hal itu tidak banyak nilainya.
Satu-satunya hal yang bernilai adalah KETEKUNAN
Anda untuk mempraktekkan isi buku ini, sebagai
langkah-langkah perjalanan untuk MENGETAHUI
[mengalami sendiri secara langsung].

Yang terjadi antara buku ini dan pembacanya


adalah komunikasi, suatu informasi yang ditransfer
dari buku ini ke pembacanya. Hanya informasi
pengetahuan dan bukan perubahan di dalam diri.
Pembaca menjadi berpengetahuan, yaitu memiliki
pengetahuan secara intelek, tapi hal itu tidak
banyak nilainya. Informasi tidak banyak nilainya,
satu-satunya hal yang berharga adalah terjadinya
perubahan di dalam diri, sebagai langkah-langkah
untuk MENGETAHUI. Dimana hal itu hanya bisa
terjadi melalui KETEKUNAN kita untuk
mempraktekkan isi buku ini.

Berpengetahuan, yaitu memiliki pengetahuan


secara intelek, tidak sama dengan kebijaksanaan,
tidak sama dengan kejernihan kesadaran, tidak
sama dengan Yoga Punya [tuntunan cahaya
kesadaran di dalam diri]. Berpengetahuan memiliki
nilai spiritual yang amat sangat jauh berbeda
dengan MENGETAHUI [merasakan pengalaman
langsung]. Sekalipun kita memiliki gelar akademis
yang sangat tinggi, atau menjadi pemuka agama
yang sangat dihormati, hal itu tetaplah amat sangat
jauh nilainya dibandingkan dengan mengetahui
melalui pengalaman langsung.

Sehingga ada saatnya dalam hidup kita untuk


mengatakan cukup pada kegiatan mengumpulkan
serta menumpuk pengetahuan agama dan spiritual
di kepala. Berpengetahuan [memiliki pengetahuan
secara intelek] bisa dicapai dengan cara bersekolah,
rajin belajar, suka membaca buku, sering melakukan
diskusi, dsb-nya. Akan tetapi kematangan,
kebijaksanaan, kejernihan, sukacita mendalam,
kedamaian sejati di dalam diri dan Kesadaran Atma,
hanya bisa ditemukan jika kita tekun untuk
melaksanakan praktek.

Tantra dan Upanishad sangat menekankan


Pratyaksa Pramana atau pengalaman langsung.
Bukan untuk menjadi berpengetahuan [memiliki
pengetahuan secara intelek], karena hal itu tidak
banyak nilainya, tapi kita harus mengalami
perubahan kesadaran di dalam diri, sebagai
langkah-langkah untuk MENGETAHUI. Semua
pengetahuan agama harus menjadi pengalaman
langsung yang hidup di dalam diri kita sendiri. Itulah
satu-satunya hal yang berharga. Tidak bisa dengan
cara mengumpulkan pengetahuan, tapi hanya bisa
ditemukan melalui KETEKUNAN kita untuk
melakukan praktek, praktek dan praktek. Ibarat
nektar semesta, mengapa meminjam cerita orang
lain jika kita dapat meminum langsung dari
sumbernya ?

Jadi setelah Anda selesai membaca buku ini,


janganlah sebatas menjadi orang yang
berpengetahuan, tapi TEKUNLAH untuk melakukan
praktek, praktek dan praktek. Mulailah tekun
mempraktekkan semua ke-5 [lima] sadhana [praktek
spiritual] yang sudah disampaikan.
Tujuan spiritual tertinggi adalah ketekunan
kita untuk melaksanakan semua 5 [lima] sadhana
[praktek spiritual] secara menyeluruh, yaitu :

== 1]. Tekun belajar menerima diri kita sendiri dan


kehidupan kita seperti apa adanya, secara UTUH
dan menyeluruh.

== 2]. Tekun mempraktekkan meditasi kesadaran,


yang dikombinasikan dengan praktek meditasi
keutuhan.

== 3]. Tekun mempraktekkan belas kasih kepada


orang lain dan mahluk lain.

== 4]. Mengekspresikan diri sesuai dengan


panggilan alami di dalam diri kita sendiri yang unik
dan otentik, menjadi diri kita sendiri yang UTUH dan
menyeluruh, tanpa melibatkan pola dualitas pikiran
seperti salah-benar, buruk-baik, kotor-suci, berdosa-
tidak berdosa, tidak sopan-sopan, dsb-nya, dengan
Yoga Punya [tuntunan cahaya di dalam diri] dan
belas kasih sebagai panduan penjaga-nya.

== 5]. Tekun menyatu dengan saat ini dalam


keutuhan.
Untuk dapat menemukan keutuhan dan
keheningan di dalam diri yang sangat terang dan
bercahaya, semua rangkaian panca sadhana [lima
praktek spiritual] ini harus kita praktekkan semuanya
secara bersama-sama. Tidak bisa dengan
mempraktekkan hanya sebagian-nya saja, karena itu
tidak akan dapat berhasil.

Para sadhaka yang tekun melakukan praktek


seluruh 5 [lima] sadhana [praktek spiritual] tersebut,
dialah yang sedang mulai mempelajari sesuatu yang
tidak bisa dipelajari dan tidak bisa diajarkan melalui
kecerdasan intelektual dan logika. Mulai menyatu
dengan pencapaian spiritual yang sangat terang
bercahaya. Mulai menyatu dengan tarian kosmik
alam semesta. Mulai menyatu dengan Brahman. Kita
tidak lagi meminjam cerita orang lain, tapi kita mulai
dapat meminum nektar semesta langsung dari
sumbernya.

TARIAN KEHENINGAN DAN BELAS KASIH

Brahman atau Tuhan bukanlah suatu sosok,


atau suatu mahluk personal, tapi keberadaan
kosmik. Tuhan adalah keberadaan semesta yang
utuh dan menyeluruh. Tuhan adalah sebuah tarian
kosmik alam semesta, dimana diri kita adalah satu
keutuhan yang manunggal dengan tarian kosmik
Tuhan. Menyatu dengan tarian kosmik alam
semesta adalah menyangkut dua hal saja, yaitu
keheningan dan belas kasih yang mendalam. Agar
kita dapat menyatu dengan keindahan tarian
semesta, kita harus bergerak di antara keduanya.
Jika kita dapat bergerak dengan mudah, jika kita
dapat bergerak tanpa upaya, maka kita telah
menyatu dengan tarian kosmik alam semesta.

Perjalanan spiritual bukanlah untuk menjadi


sesuatu, termasuk tidak untuk membuat diri kita
semakin suci dan sempurna. Tapi perjalanan
spiritual adalah soal menyatu dengan diri kita
sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya.
Perjalanan spiritual tidak memiliki tujuan, tidak ada
hasil dan tidak ada pencapaian. Memiliki tujuan
untuk mencapai pencerahan kesadaran Atma adalah
sebuah kesalahan besar. Terutama karena sejak awal
yang tidak berawal, kenyataan sejati diri kita adalah
Kesadaran Atma.

Kenyataan sejati setiap manusia adalah


kesadaran Atma yang hening, jernih dan penuh
kedamaian. Tubuh fisik, pikiran dan perasaan,
hanyalah bungkus-bungkus luar dari kenyataan
sejati manusia. Ini berarti sesungguhnya kita
manusia tidak perlu berusaha mencapai pencerahan
Kesadaran Atma, kita hanya perlu membuka lapisan-
lapisan pembungkus luarnya, yaitu tubuh fisik,
pikiran dan perasaan. Dengan cara ISTIRAHAT
dalam kesadaran. Menyatu dengan keheningan.

Pikiran kita akan mulai belajar untuk


ISTIRAHAT, disaat kita tekun melaksanakan 5 [lima]
sadhana [praktek spiritual] yang sudah disampaikan
di dalam buku ini. Ketekunan kita untuk istirahat,
ketekunan kita untuk mempraktekkan sadhana,
itulah tujuan spiritual yang tertinggi. Pikiran yang
sering-sering istirahat inilah yang akan membawa
kita menemukan kembali intisari diri yang sejati,
yaitu Kesadaran Atma, yang hening, jernih dan
penuh kedamaian.

Ketika semua dualitas pikiran berhenti


mencengkeram kesadaran, kita langsung memasuki
puncak keheningan. Menjadi sadar bahwa sejak
awal yang tidak berawal sampai akhir yang tidak
ada akhirnya, semuanya sempurna sebagaimana
adanya.

Satu-satunya penyebab kita gagal untuk


melihat kesempurnaan tersebut, semata-mata
karena adanya cengkeraman dualitas pikiran [buruk-
baik, salah-benar, dsb-nya]. Sejak awal yang tidak
berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya. Alam
mengalir dinamis dengan siang dan malamnya.
Kehidupan mengalir dinamis dengan bahagia dan
sengsaranya. Pikiran mengalir dinamis dengan
benar dan salahnya. Perasaan mengalir dinamis
dengan senang dan sedihnya. Semuanya mengalir
dinamis berputar sempurna dalam siklus hukumnya,
tanpa label dualitas buruk-baik, salah-benar, dsb-
nya. Dualitas pikiran seperti buruk-baik, salah-benar,
dsb-nya, hanya ada dalam pikiran manusia yang
terkondisi.

Pencerahan Kesadaran Atma bukanlah sebuah


pencapaian, tapi merupakan sebuah pemahaman
sangat mendalam bahwa inilah segalanya, bahwa
segala sesuatu sempurna seperti apa adanya, bahwa
tidak ada hasil yang perlu dicapai, tidak ada tempat
yang harus dituju. Sehingga kehidupan menjadi
mengalir sempurna dan tanpa memilih, karena
semuanya sempurna sebagaimana adanya.

Puncak perjalanan spiritual BUKAN MENCAPAI


KESEMPURNAAN, juga BUKAN MENCAPAI
KESUCIAN YANG SEMPURNA, tapi KEUTUHAN
disaat ini, disini, sekarang. Menerima diri kita sendiri
dan kehidupan kita seperti apa adanya, dalam
KEUTUHAN. Jangankan kebenaran, kesucian,
kebahagiaan dan kehormatan, bahkan kesalahan,
kekotoran, kesengsaraan dan kehinaan semuanya
diterima apa adanya, semuanya hanya disaksikan
saja tanpa penilaian dan penghakiman sama sekali,
semuanya disambut dengan senyuman penuh belas
kasih yang sama. ISTIRAHAT dalam kesadaran.
Menyatu dengan keheningan. Terutama karena
sudah memahami secara sangat mendalam, bahwa
semua hal yang dinilai sebagai baik-buruk, benar-
salah, suci-kotor, dsb-nya, oleh pikiran, semuanya
adalah manifestasi Brahman, semuanya adalah satu
tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama.

Kehidupan adalah tarian kosmik alam


semesta, yang dalam ajaran Hindu disebut LILA,
murni sebuah permainan energi. Dalam tarian
kosmik alam semesta ini terdapat hukum sempurna
yang bekerja. Dengan menyatu dengan diri kita
sendiri secara UTUH seperti apa adanya, dengan
istirahat sempurna, dalam keheningan sempurna,
itulah yang membuat kesadaran kita dapat menyatu
sempurna dengan kesempurnaan yang ada di alam
semesta.
Perjalanan spiritual bukanlah untuk membuat
diri kita menjadi semakin suci atau menjadi semakin
sempurna. Tapi perjalanan spiritual adalah untuk
menyatu sempurna dengan diri kita sendiri dan
kehidupan kita seperti apa adanya. Disini, disaat ini,
sekarang, dari waktu ke waktu secara total.
Menerima secara UTUH apapun berkah diri kita dan
kehidupan kita disaat ini, disini, sekarang, dengan
sukacita mendalam dan tersenyum indah di setiap
langkah. ISTIRAHAT disaat ini seperti apa adanya.
Istirahat dari dualitas pikiran seperti baik-buruk,
benar-salah, dsb-nya. Menjadi saksi yang abadi.
Yang menyaksikan itu bukanlah pikiran. Mereka
yang telah menjadi sadar akan saksi ini adalah yang
telah menemukan intisari diri, titik pusat di dalam
diri, yang absolut, yang tidak berubah.

Jika kita memiliki tujuan, memiliki target,


menginginkan hasil, kita tidak akan pernah dapat
menemukannya. Tapi jika kita ISTIRAHAT, disanalah
semuanya akan terlihat sangat jernih dan sangat
jelas. Bahwa kehidupan dan alam semesta tidak lain
adalah sebuah tarian keheningan dan belas kasih
yang mendalam.
Bab 2
MENYATU DENGAN TARIAN
KOSMIK ALAM SEMESTA
Terima, Mengalir, Tersenyum

Di tingkatannya yang sudah mendalam, tujuan


spiritual tidak ada di masa depan, tapi disaat ini.

Di tingkatannya yang sudah mendalam, puncak


pencapaian spiritual tidak ada di masa depan, tapi
disaat ini.

Di tingkatannya yang sudah mendalam, puncak


pencapaian spiritual adalah sebuah seni untuk
menerima, mengalir dan tersenyum, terhadap apa
saja berkah kehidupan kita disaat ini.

Apa saja yang muncul di dalam diri kita, dari


pikiran buruk hingga pikiran baik, dari pikiran kotor
hingga pikiran suci, dari emosi negatif hingga emosi
positif, dari perasaan cemas hingga perasaan tenang,
dari perasaan kecewa hingga perasaan puas, dst-nya,
sikap kita adalah menerima, mengalir dan tersenyum.

Apa saja berkah kehidupan kita disaat ini, dari


mengalami kesedihan hingga mengalami
kebahagiaan, dari mendapat kesialan hingga
mendapat keberuntungan, dari dicaci-maki hingga
dipuji, dari pikiran kacau hingga pikiran yang damai,
dst-nya, sikap kita adalah menerima, mengalir dan
tersenyum.

Ini bukan sebuah tindakan pasrah dan tidak


berbuat apa-apa, melainkan menjalani hidup dengan
memberikan usaha terbaik, tapi seperti apapun
hasilnya, kita terima, mengalir dan tersenyum. Ini
adalah penyatuan yang sangat indah dengan tarian
kosmik Tuhan [Brahman].

Hidup itu sempurna hanya dalam satu


pengertian, yaitu sempurna dalam penyatuan kita
dengan dinamika tarian kosmik alam semesta. Kita
menjalani hidup dengan memberikan usaha terbaik,
tapi kita tidak berorientasi pada tujuan atau hasil,
melainkan berorientasi pada usaha atau perjalanan itu
sendiri. Kita tidak memaksa dinamika tarian alam
semesta agar sesuai dengan tujuan, harapan atau
keinginan kita, tapi kita menerima, mengalir dan
tersenyum terhadap apapun yang diinginkan
dinamika alam semesta terhadap diri kita. Ini adalah
penyatuan yang sangat indah dengan tarian kosmik
Tuhan [Brahman].

Tantra dan Upanishad tidak memikirkan


pencapaian tertinggi [kesadaran Atma, Moksha].
Tantra dan Upanishad hanya peduli dengan yang
disaat ini, disini, sekarang. Tantra dan Upanishad
mengajarkan bahwa pencapaian tertinggi
sesungguhnya tersembunyi dibalik saat ini, disini,
sekarang. Sehingga kita tidak perlu cemas dengan
pencapaian tertinggi.

Dengan memikirkan dan mencemaskan


pencapaian tertinggi [kesadaran Atma, Moksha],
maka kita akan melewatkan saat ini. Padahal
sesungguhnya pencapaian tertinggi tidak ada di
masa depan, tapi tersembunyi dibalik saat ini, disini,
sekarang. Jadi ini berarti bahwa, jika kita memikirkan
pencapaian tertinggi, maka kita akan melewatkan
kedua-duanya [moment saat ini dan pencapaian
tertinggi]. Artinya, jika kita melewatkan yang disaat
ini, maka itu sama dengan kita juga melewatkan
pencapaian tertinggi.
Tantra dan Upanishad hanya peduli dengan
yang disaat ini, disini, sekarang. Terutama karena
yang disaat ini adalah pintu gerbang untuk
memasuki pencapaian tertinggi [kesadaran Atma,
Moksha]. Pencapaian tertinggi terjadi jika kita
memasuki yang disaat ini. Pencapaian tertinggi ada
disaat ini, disini, sekarang. Tidak ada cara lainnya
lagi untuk mencapainya.

Sehingga, tujuan puncak dari perjalanan


spiritual, tidak bertujuan untuk menjadikan diri kita
sesuatu, termasuk tidak untuk menjadikan diri kita
lebih suci atau lebih sempurna, tapi untuk menjadi
semakin tersenyum menyatu dengan diri kita sendiri
dan kehidupan kita, disaat ini.

Keheningan bukanlah sebuah tujuan yang


jauh di masa depan, keheningan adalah senyuman
penuh penerimaan terhadap diri kita sendiri seperti
apa adanya disaat ini. Keheningan adalah senyuman
disaat ini, disini, sekarang, yang mengerti secara
mendalam bahwa semua apa yang disebut pikiran
sebagai benar-salah, baik-buruk, kotor-suci, dsb-
nya, adalah manifestasi Tuhan [Brahman] yang
sama, satu tarian kosmik kesempurnaan yang sama.
Keheningan bukanlah sebuah tujuan yang
jauh di masa depan, keheningan adalah
pengalaman kebersatuan dengan apapun yang
terjadi di dalam kehidupan kita disaat ini.
Keheningan adalah senyuman disaat ini, disini,
sekarang, yang memahami secara mendalam bahwa
apa yang dinilai oleh pikiran sebagai senang-sedih,
bahagia-sengsara, sukses-gagal, dsb-nya, adalah
manifestasi Tuhan [Brahman] yang sama, satu tarian
kosmik kesempurnaan yang sama.

Kesempurnaan kesadaran bukan keadaaan


lenyapnya ketidaksempurnaan. Kesempurnaan
kesadaran adalah senyuman penuh belas kasih yang
sama, baik terhadap kesempurnaan maupun
terhadap ketidaksempurnaan. Karena yang
sempurna itu Tuhan [Brahman], yang tidak
sempurna itu juga Tuhan. Tidak ada yang bukan
Tuhan. Semuanya adalah Tuhan [Brahman].

Oleh karena itu, tujuan puncak dari perjalanan


spiritual adalah untuk menjadi saksi yang
tersenyum, yang menerima, mengalir, tersenyum,
terhadap apapun berkah kehidupan kita, disaat ini.

Ketika disaat ini, di dalam pikiran kita muncul


ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, kebaikan,
dsb-nya, menjadilah saksi yang tersenyum. Terima,
mengalir, tersenyum. Ketika disaat ini, di dalam
pikiran kita muncul kekacauan, kesedihan,
kegelisahan, pikiran buruk, dsb-nya, menjadilah
saksi yang tersenyum. Terima, mengalir, tersenyum.
Karena pikiran baik itu tarian kosmik Tuhan
[Brahman] dan pikiran buruk itu juga tarian kosmik
Tuhan, Tidak ada yang bukan Tuhan. Semuanya
Tuhan. Sehingga tugas kita hanya satu, yaitu
menyaksikan dengan tersenyum.

Ketika disaat ini, di dalam kehidupan kita


mengalami nasib baik, kesuksesan, kebahagiaan,
keberuntungan, dsb-nya, menjadilah saksi yang
tersenyum. Terima, mengalir, tersenyum. Ketika
disaat ini, di dalam kehidupan kita mengalami nasib
buruk, kegagalan, kesedihan, kesialan, dsb-nya,
menjadilah saksi yang tersenyum. Terima, mengalir,
tersenyum. Karena pengalaman hidup bahagia itu
tarian kosmik Tuhan [Brahman] dan pengalaman
hidup sengsara itu juga tarian kosmik Tuhan, Tidak
ada yang bukan Tuhan. Semuanya Tuhan. Sehingga
tugas kita hanya satu, yaitu menyaksikan dengan
tersenyum.

Dengan cara ini maka akan terbuka pintu


kemungkinan terjadinya transformasi kesadaran
yang maha-utama. Di dalam diri kita menjadi
kembali UTUH, satu, manunggal, hening, kita tidak
lagi TERBELAH. Kita sangat dekat menyatu dengan
tarian kosmik alam semesta.

Kehidupan dengan sifat alaminya yang


dualistik menciptakan ketegangan. Pikiran, perasaan
dan tubuh fisik dengan sifat alaminya yang dualistik
menciptakan kesengsaraan. Hanya keheningan,
dengan menjadi saksi yang tersenyum, dengan
terima, mengalir, tersenyum, yang menciptakan
ketenangan dan kedamaian. Hanya terima,
mengalir, tersenyum yang dapat membawa kita
mendekat kepada Tuhan yang ada di dalam diri
[kesadaran Atma].

Kapan saja kita menerima, mengalir dan


tersenyum, terhadap apapun yang terjadi disaat ini
seperti apa adanya, kita adalah kedua-duanya, yaitu
“diluar” kita sepenuhnya menjalani kehidupan tetapi
“di dalam” kita hening. Kita menjalani kehidupan
dan hening secara bersamaan. Gerak kehidupan
lebur menjadi satu dengan keheningan, yang
melenyapkan semua bentuk ketegangan dan
kesengsaraannya. Terima, mengalir, tersenyum.
Ketika kita tidak lagi dijejali oleh kehidupan
dan ketika kita tidak lagi dijejali oleh cengkeraman
pikiran, perasaan, serta tubuh fisik, dengan cara
menjadi saksi yang tersenyum, dengan menerima,
mengalir dan tersenyum, disana ada kemungkinan
kesadaran Atma dibalik semua ini mulai terlihat. Ada
secercah penglihatan.

Pada titik inilah, pada secercah penglihatan


tersebut, kita berada sangat dekat dengan pintu
gerbang pencerahan, kita sangat dekat dengan
pencapaian tertinggi [kesadaran Atma, Moksha].
Yang sejati di dalam diri kita telah mulai sedikit
muncul keluar. Pada titik ini kita sangat dekat
menyatu dengan tarian kosmik Brahman [Tuhan],
kita sangat dekat menyatu dengan Brahman
[Moksha], sangat dekat dan sangat dekat.

Tetapi secercah penglihatan yang sekelebat


itu, secara perlahan-lahan ada kemungkinan akan
menjadi sebuah pencapaian. Suatu titik dimana kita
sepenuhnya sadar.

Jika kita terberkahi untuk dapat sepenuhnya


melihat titik ini, kita tidak akan pernah lagi kembali
pada diri kita yang lama. Begitu kita dapat
sepenuhnya mengetahuinya, kita tidak akan pernah
dapat melupakannya. Bahwa diri kita yang
sesungguhnya sudah selalu adalah kesadaran Atma.
Dari awal yang tidak berawal sampai akhir yang
tidak berakhir, kita adalah kesadaran Atma.

Hal ini bukanlah sesuatu yang dapat kita


ciptakan. Itu kenapa ini sering disebut sebagai titik
“seketika”. Karena ini sama sekali bukan sesuatu
yang kita ciptakan. Ini sudah selalu ada disana,
hanya saja kita sudah melupakannya. Terutama
karena kita sepenuhnya dijejali oleh kehidupan dan
kita terlalu banyak dijejali oleh cengkeraman pikiran,
perasaan, serta tubuh fisik. Kita tidak dapat
menyadari kesadaran Atma yang ada dibalik semua
ini. Jadi ini adalah mengingat kembali, ini adalah
menemukan kembali.

TINGKAT KESEMPURNAAN

Begitu kita mulai belajar istirahat dalam


kesadaran [keheningan], disana kesadaran kita mulai
termurnikan, tapi belum tersempurnakan.

Kesempurnaan akan tercapai ketika


keheningan, kemudian melahirkan belas kasih dan
kebaikan yang mendalam kepada semua mahluk
[keterhubungan kosmik]. Disana semua kegelapan
di dalam diri menghilang, pencerahan kesadaran
Atma muncul dengan sendirinya dan kehidupan
berubah menjadi samudera senyuman penuh
cahaya dan samudera penuh belas kasih.

Dalam kehidupan yang sudah menyatu


dengan tarian kosmik alam semesta, yang sudah
menjadi tarian keheningan dan belas kasih yang
mendalam, kita lagi tidak memiliki alasan dan
tujuan. Tidak ada pikiran yang terlibat di dalam
ruang luas tersebut. Hening, sepi, sunyi. Tapi disana
terdapat suatu kebersatuan kosmik, terdapat suatu
keterhubungan kosmik, terdapat suatu keutuhan
kosmik. Dimana antara yang memberikan belas
kasih dan kebaikan, serta yang diberikan belas kasih
dan kebaikan menjadi satu.

Om shanti shanti shanti Om !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


facebook.com/rumahdharma
[Rumah Dharma - Hindu Indonesia]

Website Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


rumahdharma.com

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu


Indonesia bisa di-download secara gratis tanpa dipungut
biaya apapun di :

rumahdharma.com/download
tattwahindudharma.blogspot.com
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus


melakukan penerbitan buku-buku dharma berkualitas,
baik berupa e-book maupun buku cetak, untuk dibagi-
bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma


berkualitas, Rumah Dharma - Hindu Indonesia
memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran
masyarakat. Semakin banyak dharma dana yang
terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku
dharma yang dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang


kebaikan yang bernilai sangat utama, salah satunya
adalah ber-dharma dana untuk penyebaran ajaran
dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia
dengan karma baik berlimpah, tetapi juga adalah sebuah
sadhana nirjara, sadhana penghapusan karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi


penyebarluasan ajaran dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai


karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan
berjodoh dengan ajaran dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma,
tidak mudah terseret dendam kebencian, pikirannya
lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan
masyarakat luas, donatur akan mendapatkan
perlindungan dari para Ista Dewata.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur


mendapat kerahayuan.
TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari kakeknya, Pan
Siki, yang merupakan seorang balian usadha terkenal
dari Banjar Tegallinggah, Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


yang menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno, sebagai
bagian dari arahan Gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang kedua, mendalami kekayaan spiritual
Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin
pertemanan dengan banyak Guru dan praktisi spiritual,
serta tetap meneruskan melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan


dharma untuk umum di halaman facebook “Rumah
Dharma - Hindu Indonesia”, serta mulai memberikan
tuntunan dan berbagi ajaran kepada adik-adik
dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis
buku. Inspirasi dharma yang didapatnya dari perjalanan
ke berbagai pura pathirtan kuno, dikombinasikan
dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi
panjang dengan banyak praktisi spiritual, kemudian
ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang ketiga, serta tetap meneruskan
melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai