Anda di halaman 1dari 73

MOKSARTHAM JAGADHITA

YA CA ITI DHARMA
Mencapai kebebasan dan keseimbangan jiwa
melalui pengamalam ajaran Dharma

oleh
GELSANA

Pesantian Tribuana Agung Depok


2006

MOKSARTHAM JAGADHITA
YA CA ITI DHARMA
Mencapai kebebasan dan keseimbangan jiwa di dunia
melalui ajaran dharma

KATA PENGANTAR
Kitab suci Weda adalah merupakan ajaran/petunjuk bagi umat manusia dalam berjalan menuju
dan mencari siapa yang menciptakan dirinya yaitu Gusti Kang Murbeng Dumadi. Berbagai ayat
weda menjelaskan kepada kita tentang keberadaan, keagungan, kemahakuasaan dari Tuhan Yang
Maha Absolut, Maha Rahasia. Manusia sebagai salah satu mahluk ciptaan-Nya sebagai yang
mencari dan Tuhan sebagai penciptanya yang menjadi tujuan atau yang dicari. Om Narayanad
evedam sarwam yad bhutam yascca bhawyam, semuanya berasal dari Dia dan akan kembali kepada
Dia yaitu Narayana, Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun dalam kenyataannya, yang dicari sangatsangat sulit untuk dijumpai sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan (Rta) yang hakiki yang
dimiliki oleh manusia. Kurang pengetahuan disebabkan oleh antara lain :
1. Manusia tidak mau mencari tahu
2. Tidak ada yang memberitahu tentang hakekat ajaran weda
3. Karena belum dikehendaki atau mendapat restu dari Dia.
Banyak orang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna
diantara mahluk ciptaann-Na yang lain disatu sisi, di sisi lain banyak orang mengatakan bahwa tidak
ada manusia yang sempurna di dunia ini. Perbedaan pendapat seperti ini timbul karena kurangnya
i

pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, sebab pikirannya selalu diselimuti oleh sifat maya dari
dunia nyata ini. Padahal dalam Upanisad dikatakan :
Purnam adam purnam idam,
purnat purnam udacyate,
purnasya purnam adaya,
purnam eva awacisyate.
Tuhan adalah sempurna, alam semesta inipun sempurna. Dari yang sempurna lahirlah yang
sempurna, walaupun dari yang sempurna (Tuhan) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi
sisa (Tuhan) tetap sempurna adanya.
Alam semesta (makro kosmos) diciptakan sempurna, wujud manusia (mikro kosmos) juga
diciptakan sempurna. Apa yang ada pada makro kosmos ada juga pada mikro kosmos. Bumi dan
langit beserta isinya dan antara bumi dan langit diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Manusia diberikan keleluasaan untuk mempergunakan serta menjaganya. Semuanya diserahkan
kepada manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling sempurna karena dibekali sabda, bayu dan
idep. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, secara hakekat segala pikiran dan tindakan manusia
diatur oleh-Nya, seperti dikatakan dalam Bhagavadgita bab X (30):
yach cha pi sarvabhutanam
bijam tad aham arjuna,
na tad asti vina syam
maya bhutam characharam.
Artinya : dan selanjutnya apapun oh Arjuna, benih segala mahluk ini adalah Aku, tidak ada
sesuatupun bisa ada, bergerak atau tidak bergerak tanpa Aku.

ii

Manusia sebetulnya seperti wayang, yang gerak dan ucapannya ditentukan oleh sang Dalang sesuai
dengan alur cerita/fragmen yang sedang dimainkan. Sebagai wayang harus tunduk kepada kehendak
sang Dalang. Titah jalmo manuso sadermo ngelakoni, ora kuoso jaluk, kodrat manusia hanyalah
sebatas kerja/melaksanakan, tidak boleh meminta (pahala).
Dalam Bhagavadgita Bab II soka (47) dikatakan :
karmany eva dhikaras te
ma phalesu kadachana,
ma karma phala hetur bhur
ma te sango ,stv akarmani.
Artinya : Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tanpa mengharapkan hasil, jangan sekali
pahala jadi motifmu, jangan pula berdiam diri jadi tujuanmu.
Bhagavadgita Bab II sloka (49) mengatakan:
durena hy avaram karma
buddhi yogad dhananjaya,
buddhau saranam anvichchha
kripanah phala hetevah.
Artinya : rendahlah derajat kalau hanya kerja tanpa disiplin budi, oh Dananjaya, serahkanlah
dirimu pada Yang Maha Tahu, kasihan yang mengharap pahala dari kerja.
Sloka di atas menyuruh agar manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan
tidak mengharap pahala dari kerja. Secara teori sangatlah mudah dimengerti, akan tetapi dalam
pelaksanaannya agar seseorang bisa mencapai tingkat keseimbangan jiwa atau tingkat kesadaran
tertinggi seperti yang dimaksudkan oleh sloka di atas sangatlah sukar tanpa tekad yang kuat dalam
iii

melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi, sampai dia sanggup mati didalam hidup, hidup didalam
kematian dengan kata lain sudah tidak ada lagi keterikatan pikiran dengan ilusi duniawi. Orang yang
kaya harta tetapi dia tidak merasa kaya/memiliki, orang miskin tetapi dia tidak merasa miskin, tidak
terpengaruh oleh dualisme baik dan buruk, panas dan dingin, kaya dan miskin, memegang segumpal
tanah merasa sama dengan memegang segumpal emas, tidak saling menyakiti antara sesama mahluk
ciptaan-Nya, sanggup melihat Tuhan ada pada setiap ciptaan-Nya. Keadaan seperti inilah yang
disebut seseorang telah mencapai moksartham jagadhita.
Moksartham dan Jagadhita bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dicapai, akan tetapi
sebaliknya sangatlah sulit, karena memerlukan tekad, usaha yang kuat, serta waktu yang lama bagi
seseorang. Dalam carita Mahabarata, Pandawa setelah bertapa selama duabelas tahun barulah bisa
mencapai tingkat spiritual mematikan diri. Manusia harus bisa memahami keberadaan dirinya,
bahwa disamping dirinya ada lagi dirinya yang sejati yang harus dia temukan, seperti yang
dikisahkan oleh Bima dalam cerita mencarai tirta amerta ke tengah laut. Catur Marga adalah empat
jalan yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam penguasaan Rta (hukum agama), pelaksanaan
Diksa (mensucikan diri), Tapa, Brata, Yoga, Semadhi, dalam usaha manusia untuk mencari dan
bertemu dengan pencipta-Nya.
Marilah kita kembali kepada ajaran Weda yang sejati yaitu Iswara Prani Dhana.

DAFTAR ISI
iv

Halaman
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

iii

BAB

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Ruang Lingkup

1
3

C. Tujuan Penulisan

3
BAB

II. TINJAUAN UMUM


A. Pemahaman Tentang Tuhan Yang Maha Esa
B. Pengertian Moksa dan Jagadhita

5
19

BAB III. JALAN PENCAPAIAN MOKSA DAN JAGADHITA


A. Pemahaman tentang hakekat dari manusia
1. Hakekat dari mantra Uttpati, Sthiti, Pralina
2. Hakekat dari falsafah Panca Pandawa
2.1. Panca Pandawa adalah symbol dari lima sifat
2.2. Panca Pandawa sebagai symbol manusia titisan
2.3. Panca Pandawa sebagai symbol pelajaran
spiritual
2.4. Panca Pandawa sebagai perjalanan akhir
manusia ke alam Baka
3. Hakekat dari ajaran Aji Saka
3.1. Hakekat dari upacara potong gigi
3.2. Hakekat dari upacara mediksa
3.3. Hakekat dari pelaksanaan caru
B. Kedudukan Dewa, Bethara, Manusia dan Setan.
v

28
28
34
35 manusia
38 Dewa
42
52
59
63
64
66
69

C. Tapa, Brata, Yoga, Semadhi, laku untuk mencapai


moksa dan jagadhita
1. Pengertian Tapa
2. Pengertian Brata
3. Pengertian Yoga
4. Pengertian Samadhi

72
78
80
83
87

BAB IV. PEMAHAMAN SEMBAH, DOA, JAPA, SERTA


PELAKSANAANNYA

98

A. Pengertian Sembahyang
B. Pengertian Doa
C. Pengertian Japa
D. Pelaksanaan Sembahyang
BAB V. KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Penutup

98
100
101
111
113

DAFTAR PUSTAKA

105

vi

Ya Tuhan,
Semua doa tertuju pada Mu
Semua permintaan tertuju pada Mu
Semua pujian tertuju pada Mu
Apakah Engkau tidak jenuh?
Seandainya Engkau tidak menciptakan manusia
Dengan siapa Engkau bercanda?
Siapa yang akan mencintai Mu?
Siapa yang akan merindukan Mu?
Siapa yang akan membenci Mu?
Engkau tidak pernah tidur
Apakah engkau tidak mengantuk?
Engkau tidak pernah makan
Apakah Engkau tidak lapar?
Engkau ada dimana-mana
Kenapa aku sulit bertemu Engkau?
Engkau sungguh maha misteri

vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Adalah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mengenal secara hakiki siapa sebetulnya
dirinya dan siapa dan bagaimana serta dimana Dia dapat menemukan yang menciptakan dia. Bagi
umat Hindu yang dasar keyakinannya yaitu Panca Sradha sangat perlu untuk mengetahui lebih
mendalam tentang hakekat dari pada kelima keyakinannya tersebut, tidak hanya cukup mengenal
filsafatnya saja, akan tetapi harus diuji dan dibuktikan sehingga kita tidak hidup di dalam
khayalan kosong dan berkutat setiap hari dengan laku/syariat yang diterima turun temurun dari
nenek moyang tanpa pernah mengkaji apakah demikian perjalanan hidup kita dalam mencari
Yang Maha Pencipta. Sebab dengan hanya mengetahui, membaca dan menghafal seluruh kitab
suci Weda, tanpa pengamalan dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mungkin seseorang dapat
mengenal dirinya yang sejati, dan sebaliknya bila seseorang sudah dapat mengetahui dirinya yang
sejati, berarti dia sudah mengetahui dan menjalankan inti sari dari ajaran Weda. Ajaran Weda
memang sangat sulit dimengerti bagi mereka yang belum mendapat restu dari yang memiliki
Weda itu sendiri walaupun sudah berusaha dengan keras. Selama ini, kita selalu bergelut dengan
berbagai macam upacara yadnya (jalan material) untuk menghormati para dewa, leluhur dan
bhuta kala, dengan sorga dan meningkatkan kehidupan dimasa yang akan datang (inkarnasi)
menjadi tujuan.
Dalam Bhagavadgita Bab II sloka (42), (43) dikatakan :
yam imam pusphpitam vacham
pravadanty avipaschitah
vedavadaratah partha
na nyad asti ti vadinah
Artinya : kata-kata muluk dan menarik diucapkan oleh orang-orang yang munafik, menikmati apa
yang tersurat dalam Weda dan berkata tiada lain hanya ini oh Parta.
kamatmanah svargapara
janma karma phala pradam
kriya visesha bahulam
bhogaisvaryagatim prati
1

Artinya : nafsu pribadi dan sorga jadi tujuan, memberikan inkarnasi sebagai pahala dan mereka
mengajarkan anekawarna upacara untuk memperoleh kenikmatan dan kekuasaan.
Sloka di atas menegaskan kepada kita tentang orang-orang yang munafik dalam menyampaikan
ajaran Weda. Karena ketidak tahuan (awidya), sehingga selalu timbul perasaan takut kepada
dewa, bethare, leluhur, juga kepada bhuta kala, sehingga lebih senang memilih jalan material
dengan melaksanakan berbagai macam upacara yadnya secara berlebihan. Padahal, apabila kita
sudah mengenal diri kita yang sejati, selalu bersama rahmat Yang Maha Agung, semuanya itu
akan lenyap dan sebaliknya mereka akan menghormati kita sebagai manusia sejati ya sejatinya
manusia. Maka dari itu, jadilah pelayan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
(Iswara Prani Dhana).
B. RUANG LINGKUP
Dalam buku ini, saya mencoba menulis hakekat dari moksa atau penyatuan diri dengan Sang
Maha Pencipta (Aham Brahman Asmi) dan jagadhita berdasarkan ajaran kitab suci Weda dan
berdasarkan wejangan langsung dari maha guru yang selama ini membimbing saya dalam mencari
guru sejati yang ada bersembunyi di dalam diri saya sendiri.

C. TUJUAN PENULISAN
Bertitik tolak dari latar belakang dan ruang lingkup di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui tulisan ini adalah :
1. Mengajak kepada seluruh umat Hindu agar berpikir kritis, mau mengkaji jalan keyakinan yang
mereka anut, sehingga tidak mudah untuk menerima ajaran yang menyimpang dari hakekat
ajaran Weda.
2. Menganjurkan agar umat Hindu agar lebih memilih jalan spiritual dalam mengarungi lautan
kehidupan yang penuh gelombang dan badai, sehingga beban material dapat dikurangi dengan
tanpa mengingkari ajaran Trihita Karana.
3. Melalui tulisan ini, semoga kita sadar, bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna setelah Yang Maha Pencipta dibandingkan dengan mahluk ciptaan Tuhan
yang lainnya.

4. Agar umat Hindu menyembah dan sujud hanya kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca, Tuhan
Yang Maha Pencipta dengan Gayatri mantram tanpa melalui perantara para dewa, bethara
dan leluhur.

BAB II
TINJAUAN UMUM
A. PEMAHAMAN TENTANG TUHAN YANG MAHA ESA
Dilahirkan sebagai manusia di lingkungan umat yang beragama hindu, saya sangat yakin dengan
adanya Tuhan yang memiliki kemampuan yang tak tertandingi dalam segala hal. Dia adalah
awal, pertengahan dan akhir dari perjalanan jaman dan Dia sudah tulis suatu skenario cerita maha
besar dalam kitab-Nya tentang apa saja yang menjadi kehendak-Nya dari sejak awal dunia dan
segala isinya diciptakan sampai dengan saat akhir dari waktu dimana dunia akan mengalami
kiamat. Dia tidak berjenis kelamin, tidak laki dan tidak perempuan dan juga tidak banci. Dia
adalah disebut Ardenareswari. Dia adalah Roh Yang Maha Agung dari dunia ini, maha dari
segala maha, berada dimana-mana tetapi sangat sulit untuk ditemukan. Dia bersembunyi dibalik
maya-Nya, sehingga menjadi sangat misteri bagi manusia, kecuali bagi mereka yang dikehendakiNya untuk bisa mengetahui keberadaan Dia.
OM Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman, Tuhan hanyalah satu sama sekali tidak ada
duanya. Ini adalah ajaran yang dijadikan pondasi pemehaman tentang ketuhanan oleh umat
hindu. Antar Tuhan (pencipta) dan manusia (ciptaan-Nya) sangat memiliki hubungan bathin yang
kuat. Tuhan sebagai penulis skenario sandiwara agung dan manusia sebagai pelaku utama dari
skenario tersebut. Sungguh luar biasa, maka dari itu pusatkanlah hati dan pikiran kita hanya
kepada Dia. Dia sumber dari segalanya, asal muasal kita, kawitan kita dan kepada Dia juga kita
semua akan kembali.
Mengenai keberadaan Tuhan, kitab suci Weda sangat sangat jelas mengungkapkan, antara lain :
Atharvaveda IV.1.1. mengatakan :
Brahma jajnanam prathamam purastat.
Hyang Widhi Wasa adalah yang pertama-tama, yang ada di alam semesta.
Atharvaveda X.2.25. mengatakan :
Brahmana bhumir vihta, brahma dyaur uttara hita
Brahma idam urdhvam tiryak ca antariksam vyaco hitam.
Brahman menciptakan bumi ini. Brahman menempatkan langit ini di atasnya.
Brahman menempatkan wilayah tengah yang luas ini di atas dan di jarak lintas.
4

Atharvaveda XX.121.1. mengatakan :


Isanam asya jagatah svardrsam, isanam Indra tasthusah.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah kebahagiaan. Dia adalah raja dari yang bernyawa dan yang tidak
bernyawa.
Dari beberapa bat Weda di atas saya menyimpulkan, bahwa Tuhan adalah Sang Maha Pencipta.
Dialah yang menciptakan baik yang bernyawa dan yang tidak bernyawa. Karena Dia yang
menciptakan ini berarti bahwa Dia lah Yang Maha Kaya yang memiliki segalanya. Manusia tidak
lain hanyalah diberikan hak guna pakai sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup di
dunia dan di akhirat.
Selanjutnya, timbul pertanyaan, dimanakah saya mencari Dia Yang Maha Rahasia?
Dengan pemahaman bahwa Tuhan itu ada dimana-mana (wyapi wyapaka), secara logika manusia
seharusnya menemukan Dia tidaklah sulit. Akan tetapi kenyataannya sangat kontradiksi
(berlawanan). Sebagai langkah untuk menuju kepada Dia, saya mencoba menyimak isi dari bat
weda yang menjelaskan dimana Tuhan bersembunyi.
Rgveda I.164.31. mengatakan :
A varivarti bhuvanesu antah
Tuhan Yang Maha Esa meliputi alam semesta.
Atharvaveda XI.8.30. mengatakan :
Sariram Brahma pravis at sarire-adhi prajapatih.
Sang Hyang Widhi Waca memasuki tubuh manusia dan Dia menjadi raja tubuh
itu.
Rgveda X.82.7. mengatakan :
Anyad yusmakam antaram babhuva.
Tuhan Yang Maha Esa ada di dalam hatimu.

Dari bait-bait Weda di atas saya dapat menyimak bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada di luar
(meliputi alam semesta) dan di dalam diri manusia dan malah dikatakan Dia menjadi raja.
Apabila saya ajukan pertanyaan yang konyol mengingat di dunia ini ada berjuta-juta manusia,
apakah Tuhan juga ada sebanyak itu? Padahal yang saya yakini Tuhan itu adalah Esa (Om tat sat
ekam eva adwityam Brahman).
Rgveda VIII.71.11. menjelaskan :
Dvita yo-abhud amrto mrtyesva, hota mandratamo visi.
Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) memanggil khusuk para Dewata. Dia adalah sumber
kebahagiaan yang menghuni hati semua manusia. Dia adalah abadi. Dia berdiam di dalam diri
manusia dengan dua bentuk, satu sebagai Tuhan dan dua sebagai jiwa Perseorangan (Atma).
Dalam Bhagavadgita Bab VIII Sloka (20) dikatakan :
aham atma gudakesa,
sarva bhutasaya sthitah,
aham adis cha madhyam cha,
bhutanam anta eva cha.
Artinya : Aku adalah Djiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai Gudakesa, Aku adalah
permulaan, pertengahan dan penghabisan dari makhluk semua.
Rgveda VIII.58.2. mengatakan :
Ekam va idam vi babhuva sarvam.
Tuhan Yang Maha Esa adalah satu. Dia mengambil setiap bentuk di alam semesta
Bhagavadgita Bab XIII Sloka (15) mengatakan :
bahir antas cha bhutanam,
acharam charam eva cha,
sukshmatvat tad avijneyam
durastham cha ntike cha tat
Artinya : ada di luar dan di dalam semua insani, tiada bergerak tetapi bergerak senantiasa, terlalu
amat halus untuk diketahui, jauh nian namun juga dekat sekali.
6

Selanjutnya dalam Bab XIII Sloka (16) dikatakan :


avibhaktam cha bhuteshu,
vibhaktam iva cha sthitam,
bhutabhartri cha taj jneyam,
garsishnu prabhavishnu cha.
Artinya : tidak dapat dibagi-bagi namun terbagi diantara insani, diketahui sebagi pemelihara
mahluk semua, memusnahkan dan menciptakan mereka.
Dalam Bab XVI Sloka (180) dikatakan :
ahamkaram balam darpam
kamam krodham cha samsritah,
mam atma paradeheshu
pradvishanto bhyasuyakah.
Artinya : membiarkan diri dikuasai egoisme, kekuasaan, keangkuhan dan juga nafsu serta
kemaraham, mereka yang durhaka ini membenci Aku yang ada dalam jasmani mereka sendiri
dan yang lainnya.
Bait-bait Weda serta sloka-sloka Bhagavadgita di atas memperjelas tentang keberadaan Tuhan
Yang Maha Esa. Dia adalah absolut, tunggal dan hanya satu. Disisi lain dengan segala
kemahakuasaan-Nya, Dia sanggup berada dimana-mana dan mengambil setiap bentuk di alam
semesta. Dia tidak dapat dibagi-bagi namun terbagi diantara insani, ada di luar dan di dalam diri
manusia. Keberadaan Tuhan di dalam diri manusia dikatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa
berdiam di dalam diri manusia dengan dua bentuk, satu sebagai Tuhan dan dua sebagai jiwa
perseorangan (Atma). Sebagai Tuhan dimaksudkan adalah bahwa Tuhan Yang Maha Sempurna
meniupkan sebagian diri-Nya (Roh Yang Agung) ke dalam diri manusia. Tuhan Yang Maha Esa
sendiri yang mempunyai sifat wyapi wyapaka nirwikara (ada dimana-mana pada setiap ciptaanNya dan tidak terpengaruhi). Dia hanya sebagai saksi. Dia adalah Nur Illahi (Sinar Suci atau Roh
Kudus), Dia adalah Jiwa (Gusti) yang bersembunyi secara sangat rahasia. Nur Illahi ini sering kita
sebut sebagai hati sanubari yang paling dalam. Sebagai Atma (Kawula) dimaksudkan, adalah
pikiran, intelek yang memberikan kekuatan kepada badan kasar kita untuk bergerak sesuai dengan
fungsinya.

Bila diibaratkan dengan sebuah kereta, maka badan kasar ini adalah keretanya, Atma adalah
pikiran yang sangat dipengaruhi oleh lima kuda (panca indria) sebagai penggerak, sedangkan Roh
Kudus sebagai Saisnya yang mengarahkan jalannya kereta untuk mencapai tujuan. Dari ketiga
unsur tersebut, pikiran yang paling dominan dalam mengatur irama perjalanan dalam mencapai
tujuan, karena yang satu ini sangatlah liar dan susah diatur. Dikatakan susah karena pikiran
sangat mudah dipengaruhi dan diselimuti oleh gemerlapnya duniawi. Badan yang diibaratkan
sebagai kereta, harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, agar semua komponen dengan fungsinya
masing-masing dapat bergerak tanpa kendala, sehingga kita berhasil dalam mencapai tujuan.
Sedangkan Saksi Yang Agung sangat tergantung dari tingkatan spiritual dari manusia itu sendiri,
sejauh mana dia sanggup memahami keberadan dari dirinya sendiri.
Mempelajari hakekat Tuhan sangatlah sulit bagi orang-orang yang hati dan pikirannya masih
diselimuti oleh awidya (kegelapan), akan tetapi sebaliknya bagi orang-orang yang sudah
dibukakan jalan oleh Yang Maha Gaib akan selalu mendapat petunjuk serta tuntunan-Nya. Sejak
kecil saya sering mendengar, bahwa Tuhan itu selalu dihubungkan dengan hal-hal yang baik saja,
seperti Maha Pengasih, Maha Pelindung, Maha Penyayang, Maha Pemurah dan sebagainya. Hal
ini wajar dan dapat diterima agar kita umat manusia dapat meniru sifat-sifat baik tersebut.
Padahal tidaklah demikian keberadaannya. Saya ingat istilah rwa bhineda (dua hal yang
berbeda/berlawanan) seperti; siang dan malam, pria dan wanita, baik dan buruk, langit dan bumi.
Kalau kita tanyakan, siapakah yang menciptakan? Sudah tentu jawabannya adalah Tuhan. Di
dalam diri manusia ada dua sifat yang berbeda yaitu baik dan buruk. Kalau kita tanyakan lagi,
siapakah yang menciptakan, jawabannya pasti Tuhan Yang Maha Pencipta. Manusia adalah
mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dikatakan sempurna justru karena adanya dua
sifat yang berbeda tersebut dan Tuhan memberikan akal dan budi untuk dapat memposisikan diri,
sifat yang mana yang akan diwujudkan dalam menjalani kehidupannya.
Kalau kita renungkan sifat dari pada Tuhan adalah Maha dari segala Maha, ini berarti sifat
apapun yang ada di dunia ini, adalah Dia (Tuhan) Maha-nya, tidak ada yang mengalahkan Dia.
Hal ini perlu direnungkan secara mendalam. Kalau kita bertanya lagi lebih jauh, di antara orangorang terkejam di dunia ini, siapakah yang paling (maha) kejam?, di antara orang-orang terpelit,
siapakah yang paling (maha) pelit?, di antara orang-orang tersombong, siapakah yang paling
(maha) sombong?, di antara para penipu ulung, siapakah yang paling (maha) penipu?. Diantara
yang terkotor, siapakah mahanya?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangatlah berat untuk
dijawab bagi mereka yang belum memahami hakekat dari Tuhan Yang Maha Kontradiksi.

Pertanyaan selanjutnya adalah: jalan manakah yang sebaiknya ditempuh manusia untuk dapat
menyatu dengan Sang Maha Pencipta?
Awatara Kresna sangatlah jelas dan gamblang menunjukkan kepada Arjuna dalam Bhagawad
Gita, bagaimana caranya dan dengan apa manusia menuju kepada tujuan hidup tertinggi yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Bab VII Sloka (24) dikatakan :
avyaktam vyaktim apannam
manyante mam abuddhayah
param bhavam ajananto
mama vyayam anuttamam.
Artinya : Orang yang picik pengertian beranggapan Aku yang tak berbentuk seperti
termanifestsikan, tidak mengetahui sifat-Ku yang kekal abadi, tak berubah-ubah, Yang Maha
Tinggi.
Dari bait sloka di atas, marilah kita lihat diri kita sendiri apakah kita tergolong orang yang picik
atau tidak? Pengertian picik disini adalah memiliki pengetahuan yang sempit tentang Tuhan Yang
Maha Esa, seperti pemikiran yang menganggap bahwa Dewa itu adalah Tuhan, sehingga
dibuatlah berbagai macam patung dewa untuk melaksanakan persembahan.
Dalam Bab IX Sloka (25) dikatan :
yanti devavrata devan,
pitrin yanti pitrivratah,
bhutani yanti bhutejya,
yanti madyajino pi mam.
Artinya : yang memuja dewata pergi kepada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja
leluhur mereka, dan kepada roch alam perginya yang memuja roch alam, tetapi mereka yang
memuja Aku datang kepada Ku.
Sloka ini menjelaskan kepada kita, bahwa karena keterbatasan pengetahuan daripada manusia
tentang Widhi Tattwa, maka mereka melaksanakan bhakti dan karma marga sesuai dan sebatas
dengan pengetahuan yang mereka miliki dan yakini. Ada yang menyembah dewa, ada yang
menyembah leluhur dan ada pula yang menyembah roch alam (bhuta). Sebagai makhluk ciptaan
9

Tuhan yang paling sempurna seyogyanya mengerti betul kepada siapa kita harus menyembah dan
kepada siapa kita harus menghormat dan mengasihi. Bila Tuhan (Gusti Kang Murbeng Dumadi)
yang menjadi tujuan kita, maka hanya Dia lah yang patut kita sembah, sekali lagi hanya Dia lah
tidak ada yang lain, dan Dia berada di dalam diri kita sendiri. Sembah yang paling utama adalah
penyerahan diri secara total kepada Nya (Isvara prani dhana). Terhadap yang lainnya kita
patut menghormati saja. Renungkanlah secara mendalam.
Catur Marga adalah empat jalan mencari kesatuan dengan Sang Hyang Widhi (menurut Upadeca)
yaitu : Jnana marga (jalan mengabdikan ilmu pengetahuan), Bhakti marga (tekun memuja,
berbhakti), Karma marga (tekun melakukan pekerjaan yang baik), dan Raja marga (tekun
melaksanakan semadhi). Dalam Upadeca dijelaskan, bahwa jalan mana yang ditempuh oleh
manusia disesuaikan dengan kemampuan, watak dan kepribadiannya. Ini artinya orang boleh
memilih salah satu diantara empat jalan tersebut di atas, asalkan dilakukan dengan tulus dan
ihklas. Terhadap penjelasan ini saya masih bertanya kepada diri sendiri, apakah betul demikian?
Sebagai contoh, bila seseorang berniat memakai jalan Jnana, apakah dia tidak melaksanakan
Bhakti (sembahyang), Karma (bekerja) dan Raja (semadhi)? Begitu juga, bila seseorang ingin
menempuh jalan Bhakti apakah dia tidak perlu melaksanakan Karma, Semadhi dan memiliki
Jnana?. Perlu dihayati, tanpa pengetahuan yang tinggi tentang hakekat Tuhan kemungkinan
Bhakti yang dilakukan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Selanjutnya juga dijelaskan, bahwa walaupun ada empat jalan/cara, tetapi tidak ada yang lebih
tinggi atau pun lebih rendah, dan jalan yang satu berhubungan erat dengan yang lainnya.
Dari penjelasan ini, pertanyaan-pertanyaan di atas dapatlah dijawab yaitu: bahwa seseorang yang
ingin menyatukan diri dengan Sang Pencipta harus menempuh keempat jalan ini. Dan Jnana
(pengetahuan) merupakan dasar utama untuk mengarahkan Bhakti, Karma dan Semadhi supaya
sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Arsitek Yang Maha Agung.
Dalam Atharvaveda XX.92.18. dikatakan:
Nakis tam karmana nasat.

Tak seorangpun bisa mencapai Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Agung melalui
tindakan/perbuatan.
Di maksudkan dengan tindakan/perbuatan adalah yang bersifat lahiriah (materialisme) seperti
melaksanakan upacara yadnya dengan berbagai macam sesaji.

10

Atharvaveda VII.8.1. mengatakan :


Bhadrad adhi sreyah prehi.
Semoga engkau lebih menyukai jalan kerohanian daripada jalan keduniawian (materialisme).
Kerohanian disini mempunyai arti yang luas seperti; pengetahuan tentang roh yang kekal abadi,
pengetahuan tentang hakekat bhakti, karma, semadhi dan lain-lain yang selalu harus dilihat dari
sudut hakekat.
Yayurveda XL.11. mengatakan:
Sambhutim ca vinasam ca yas tad uedobhayam saha.
Vinasena mrtyum tirtva sambhutya-amrtam asnute.
Dia yang mengetahui kedua-dua jalan spiritual (kerohanian) dan materialisme (kebendaan),
mencapai keselamatan melalui spiritualisme (kerohanian).
Disini jelaslah, bahwa jalan spiritual (kerohanian) sebaiknya menjadi pilihan manusia dalam
mecapai kesempurnaan hidup. Dengan kemampuan spiritual yang tinggi, kesucian hati dan
pikiran, manusia akan mampu menembus/melihat apa saja yang bersembunyi di balik tirai misteri
dunia gaib, dunia yang tidak dilihat dengan mata biasa, apalagi oleh manusia yang hati dan
pikirannya masih gelap (awidya).
Baghavadgita Bab XV Sloka (15) mengatakan :
sarvasya cha ham hridi samnisvishto
mattah smritir jnanam apohanam cha
vedais cha sarvair aham eva vedyo
vedantakrid vedavid eva cha ham
Artinya : Aku berdiam dalam hati semua, ingatan dan ilmu pengetahuan datangnya dari Aku jua,
Aku-lah sebenarnya harus diketahui oleh semua kitab Weda yang suci, demikian pula Aku-lah
sesungguhnya pencipta kitab ajaran Vedanta, pula pengenal kitab-kitab suci Weda.
Makna dari sloka di atas menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, inti dari ajaran kitab suci Weda
yaitu Tuhan itu sendiri, baik Tuhan Yang Maha Absolut maupun bagian Tuhan yang berdiam
dalam hati setiap manusia. Sesungguhnya wujud dari Weda adalah alam semesta (bhuana agung)
11

dan manusia (bhuana alit). Apa saja yang terdapat dalam bhuana agung ada juga pada bhuana
alit. Tuhan dan manusia adalah dua figur yang satu sama lainnya sangat berhubungan erat. Yang
satu sebagai pencipta dan yang lainnya sebagai hasil ciptaan-Nya. Sebagai hasil ciptaan adalah
merupakan kesayangan dari penciptanya. Tuhan tidak ingin sendirian, dia juga ingin teman
bermain, bercerita, bersendagurau, maka Dia ciptakan sandiwara agung yang terdiri dari episode
yang tak terbatas jumlahnya dan Dia ciptakan juga wujud manusia yang di dalamnya ada Dia
sebagai saisnya, untuk melakonkan serita tersebut dari jaman ke jaman sampai akhirnya kiamat.
Pada saat kiamat, semua mahkluk yang diciptakan Tuhan akan musnah/lenyap, akan tetapi
manusia tidak, karena bagian dari Tuhan (Roh Suci) yang ada pada manusia tidak bisa musnah
(abadi) dan harus kembali kepada Tuhan Yang Maha Sempurna.

B. PENGERTIAN MOKSA DAN JAGADHITA


Tujuan tertinggi dari kehidupan manusia menurut ajaran Weda adalah menyatu dengan Sang
Maha Pencipta (Aham Brahman Asmi). Dalam masyarakat hindu lebih dikenal dengan istilah
moksa. Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma artinya dengan menghayati dan mengamalkan
dharma atau agama untuk mencapai moksa (kebebasan) dan kesejahteraan di dunia. Sangat perlu
untuk menjadi perhatian kita adalah mengenai kesejahteraan di dunia, apakah yang sesungguhnya
dimaksud ? Dalam sudut pandang manusia normal, bahwa harta benda, istri dan anak serta
pangkat ataupun kedudukan merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan bahkan
diagungkan, karena dengan itu semua mereka merasakan sejahtera dan bahagia. Tidak sedikit
orang yang beranggapan bahwa apa yang dia miliki adalah miliknya, sehingga dia sangat terikat
oleh miliknya tersebut. Ada yang sampai tidak pernah merasa puas dan selalu merasa kekurangan
(loba) atau juga ada yang dengki dan iri hati terhadap harta orang lain, sehingga diapun berusaha
untuk mengejar meskipun harus menempuh jalan yang keliru. Bagaimanakah pandangan manusia
yang tidak normal

terhadap fenomena duniawi ? Orang-orang seperti ini akan menganggap

bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka dari Sang Maha Penipu. Mereka beranggapan bahwa
kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia bukanlah semata-mata karena harta kekayaan, istri
dan anak serta kedudukan seseorang. Akan tetapi yang lebih penting adalah dimana manusia
mengerti akan hakekat dari semuanya itu, bahwa tak satupun dari semua itu merupakan hak atau
miliknya. Karena pemilik yang sejati adalah Yang Maha Pencipta dan Maha Kaya. Manusia tidak
pernah menciptakan, dia hanya mengubah bentuk dari yang asli menjadi bermacam-macam
12

bentuk baru. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan bumi, antara bumi dan langit, serta langit
berikut segala isinya untuk kepentingan umat manusia yang juga ciptaan Nya. Bagaimana
menjadi seorang yang kaya raya tetapi ia merasa tidak kaya raya, sebaliknya seorang yang miskin
tetapi ia tidak merasa miskin, ia seimbang dalam panas dan dingin, dalam suka dan duka, dalam
puji dan caci, bebas dari nafsu (ego). Bila seseorang sudah sanggup seperti itu, maka dia sudah
dapat merasakan kebahagiaan yang sejati. Jadi pengertian jagadhita sesungguhnya, adalah
terbebasnya seseorang dari keterikatan ilusi duniawi walaupun dia berada di dalamnya. Sebab
orang yang berlimpah ruah harta kekayaan, jabatan, anak, istri, belumlah tentu mereka bahagia
dan bahkan mungkin sebaliknya, karena keterikatannya akan menyebabkan penderitaan apabila
semuanya itu diambil oleh Yang Maha Kuasa. Jagadhita yang sejati tidaklah dapat diukur oleh
banyaknya harta kekayaan, besarnya kekuasaan, atau sebaliknya. Ukuran Jagadhita adalah
apakah seseorang sudah bisa mencapai tingkatan yogi yang hakikinya sudah sanggup membunuh
dan selanjutnya mengendalikan nafsu (musuh) yang berada dalam dirinya.
Bhagavad Gita Bab VI sloka (5), (6),(7) dan (8) mengatakan:
uddhared atmana tmanam
na tmanam avasadayet
atmai va hy atmano bandhur
atmai va ripur atmanah
Artinya: biarlah dia mengangkat jiwanya dengan Jiwa, janganlah jiwanya menjerumuskan
dirinya, sebab hanya Jiwa adalah teman jiwanya, dan hanya jiwa adalah musuh jiwanya.
bandhur atma tmanas tasya
yena tmai va tmana jitah
anatmanas tu satrutve
varteta tmai va satrutve
Artinya: Jiwa menjadi teman jiwa orang yang bisa menguasai jiwanya dengan Jiwa, tetapi bagi
yang jiwanya tidak ditaklukkan Jiwa, seperti musuh, menjadi lawan, (simak ajaran Aji Saka).
jitatmanah prasantasya
paramatma samahitah
sitoshna sukha duhkheshu
13

tatha manapamanayoh
Artinya: yang dapat menguasai jiwanya dengan Jiwa Tertinggi dan mencapai ketentraman
sempurna, ia seimbang tenang dalam panas dan dingin, dalam suka dan duka, dalam puji dan
caci.
jnana vijnana triptatma
kustastho vijitendriyah
yukta ity uchyate yogi
sama loshta sma kanchanah
Artinya:, yang jiwanya penuh ilmu dan budi pekerti, teguh iman, panca indrianya dikuasai,
memandang segumpal tanah, batu dan emas sama, maka ia-lah disebut seorang yogi.
Makna yang tersirat dalam beberapa sloka di atas adalah sangat dalam kaitannya dengan konsep
manunggaling kaula dengan Gusti. Jiwa ditulis dengan huruf j kecil (jiwa), adalah bermakna
kaula (jiwa pribadi) yang sangat terikat oleh pancaindria dan senang dengan hal-hal duniawi yang
semu dan menjebak manusia. Jiwa ditulis dengan huruf J kapital (Jiwa), adalah bermakna
sebagai Gusti dalam diri manusia yang merupakan bagian dari Gusti Yang Agung, Gusti Kang
Akaryo Jagad. Apabila jiwa (kaula) sudah tunduk kepada Jiwa (Gusti) dan berteman, ini artinya
sang kaula sudah menyatu dengan Gustinya. Karena kaula sudah lebur dan menyatu dengan sang
Gusti, maka disaat kondisi seperti ini, dalam badan manusia hanya ada sang Gusti yang berkuasa
dan mengendalikan pikiran, perkataan dan tingkaah laku manusia. Kontradiksi dan pertentangan
dua sifat (dualisme) sudah tidak ada (data sewala sudah tidak ada), maka berdasarkan tuntunan
dari Gusti barulah kaula (ceraka) bisa ketemu dengan aksara A (Ho, Tuhan Sang Maha Pencipta).
Bhagavadgita Bab VIII sloka (28) mengatakan:
vedeshu yajneshu tapahsu chai va
daneshu yat punyaphalam pradishtam
atyeti tat sarwam idam viditva
yogi param sthanam upaiti cha dyam

14

Artinya: pahala kebajikan tersirat dalam kitab-kitab suci Weda, bakti persembahan, tapa brata dan
sedekah-sumbangan, semuanya itu dilampaui oleh yogi yang mengetahui sesuatu ini dan
mencapai tempat utama tertinggi.
Moksa dan jagadhita adalah dua kata yang sangat dekat maknanya. Keduanya mengandung
makna bebas dari keterikatan duniawi. Seseorang yang sudah mencapai tingkatan jagadhita yang
sejati dalam hidupnya (Jiwan Mukti), maka ia bisa mencapai moksa (Brahman Atman Aikyam).
Apabila pikiran masih terikat dengan duniawi walaupun sedikit, dia tidak bisa mencapai
kebebasan (kelepasan) yang sejati dan masuk ke Swah Loka, karena ia masih terkena hukum
reinkarnasi.
Bhagavadgita Bab VI sloka (46) mengatakan :
tapasvibhyo dhiko yogi
jnanibhyo pi mato dhikah
karmibhyas cha dhiko yogi
tasmad yogi bhava rjuna
Artinya: seorang yogi lebih besar dari pertapa, ia lebih mulia daripada sarjana, lebih utama dari
yang melakukan upacara, karenanya, menjadilah yogi, oh Arjuna.
Bab VI sloka (47) mengatakan :
yogiman api sarvesham
madgatena ntaratmana
sraddhavan bhajate yo mam
sa me yuktatamo matah
Artinya: dan juga diantara semua yogi, dengan penuh kepercayaan menyembah Aku dengan intijiwa bersatu pada-Ku, ia adalah yogi terbaik bagi-Ku.
Jadi lebih jelas lagi, bahwa hanya yogi yang sudah sanggup menyatukan inti-jiwanya dengan Jiwa
Yang Agung lah yang bisa masuk ke alam kelanggengan (singgasananya Tuhan). Moksa tidak
dapat dicapai dengan ilmu apapun yang dimiliki manusia. Moksa dapat dicapai hanya dengan
penyerahan diri secara ikhlas total (Isvara prani dhana) kepada Sang Maha Pencipta (Gusti Kang
15

Murbeng Dumadi). Karena Yang Maha Sakti tidak dapat didekati dengan kesaktian manusia.
Kalaupun ada orang yang sanggup menghilang dangan raganya masuk ke dimensi lain itu
bukanlah moksa yang dimaksudkan dalam ajaran Weda. Karena menghilang dari kasat mata
manusia belumlah tentu dapat mencapai alam kerajaan Yang Maha Agung di langit yang
tertinggi. Karena ilmu orang dapat menghilang, akan tetapi belum tentu arahnya benar, karena
bisa saja ia masuk ke alam siluman, atau baru bisa sampai ke alam sorga. Sedangkan bila kita
hayati lebih dalam, hal tersebut dapat disebut menentang kodrat alam. Karena wadah (badan
manusia) yang asalnya dari tidak ada dijadikan ada (dengan unsur-unsur Panca Mahabhuta) oleh
Yang Maha Pencipta, pada waktu manusia kembali kepada penciptanya, yang kembali adalah
atma (jiwa perorangan) yang sudah bersatu bersama roh kudus (Nur Tuhan), sedangkan badan
kasarnya dilebur kembali menjadi panca mahabhuta.
Mari kita simak secara mendalam Bab XI Sloka (52), (53) dan (54), dari Bhagavadgita yang
berbunyi :
sudurdarsam idam rupam
drishtavan asi yan mama
deva apy asya rupasya
niyam darsanakankshinah
Artinya: sungguh sukar dilihat rupa-Ku ini, yang engkau telah dapat saksikan, sedang para
dewatapun selalu mengharapkan untuk dapat menyaksikan wujud rupa ini.
na ham vedair na tapasa
na danena na che jyaya,
sakya evamvidho drashtum
drishtavan asi mam yatha.
Artinya: Aku tidak bisa dilihat dalam rupa seperti yang engkau telah saksikan biarpun dengan
kitab suci Weda, tapabrata, maupun dengan sedekah atau upacara-upacara.
Bhaktya tv ananyaya sakya
aham evamvidho rjuna
jnatum drashtum cha tattvena
praveshtum cha paramtapa.

16

Artinya: tetapi dengan pengabdian jua yang hanya terpusatkan oh Arjuna, Aku dapat diketahui
juga sesungguhnya dapat dilihat, Parantapa.
...Ring angambeki yogi kiteng sakala, hanya kepada orang yang sudah mencapai tingkatan yogi
yang sempurnalah Tuhan akan menampakkan wujud-Nya. Maka sekali lagi saya tegaskan, bahwa
pengertian

moksa (kelepasan/kebebasan) menurut ajaran Weda adalah bila manusia dapat

mencapai alam kelanggengan (alam Brahman), bertemu Tuhan dan tidak terkena hukum
kelahiran kembali. Untuk mencapai moksa, manusia harus mencapai moksartham (lepas dari
keterikatan dengan duniawi/harta benda), lepas dari pengaruh dualisme (bersikap netral/nol).
Tanpa ketergantungan, bebas dari ikatan anak istri, rumah tangga dan sebagainya, selalu netral menghadapi
peristiwa yang diinginkan atau tidak diinginkan, puja Aku dengan keteguhan hati tanpa tujuan lain melalui
yoga, pergi ketempat-tempat sunyi hindari hiruk pikuk keramaian manusia, terus-menerus dalam ilmu
pengetahuan Jiwa dan memahami sampai akhir falsafah kebenaran, inilah disebut ilmu pengetahuan yang
sebenarnya dan semua yang berbeda lainnya adalah ketidaktahuan (BG. Bab XIII sloka (9), (10), (11)).
Apabila seseorang walaupun dia masih berada dan hidup di dunia nyata ini sudah bisa mencapai
tingkat kesadaran tertinggi (jiwan mukti) seperti apa yang telah dialami oleh Kresna, maka itulah
yang disebut dengan Jagadhita (kedamaian di dunia) yang sejati. Orang yang sudah mencapai
Jagadhita yang sejati secara alamiah akan mencapai tingkat kesempurnaan hidup yang sejati ya
sejatinya sempurna dan mencapai kelepasan (kebebasan) menuju alam Brahman.

17

BAB III
JALAN PENCAPAIAN MOKSA DAN JAGADHITA
A. PEMAHAMAN TENTANG HAKEKAT DIRI MANUSIA
1. Hakekat dari mantra Uttpati, Sthiti, Pralina
Mantra Uttpati : OM, I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa, Om Mang Ung Ang
Bila kita cermati kandungan makna yang terdapat dalam mantra Uttpati dapat kita jumpai
aksara (simbol) yang jumlahnya 10 (sepuluh) yaitu I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa dan sering
disebut dengan Dasaksara. Aksara Ya adalah sebagai penegas makna disatukan dengan aksara
I, sehingga jumlah aksara menjadi 9 (sembilan). Angka 9 adalah sebagai simbol dari
kesempurnaan.
Berawal dari I (Tuhan), ditiupkan Ba (Atma) ke dalam Sa (Prakrti) dibangkitkan dengan energi
Matahari (Ta), maka terciptalah A (Brahma) yang berwujud manusia, Ya Na Ma Ci Wa,
maksudnya, ya namamu Ciwa. Disini yang dimaksud adalah baru hanya nama, tetapi belum
Ciwa. Tri aksaranya berurutan Mang Ung Ang.
Dalam proses penciptaan aksara I (Tuhan Yang Maha Pencipta) memegang peran dalam
menciptakan A (Brahma) yaitu salah satu wujudnya manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna setingkat di bawah Dia.
Dikatakan sempurna karena manusia diciptakan dalam satu wujud nyata yang terdiri dari
sembilan wujud maya. Dikatakan maya karena sukar dilihat dengan mata biasa dan dikenal
orang sebagai Dewata Nawa Sanga (sembilan sinarnya Tuhan). Posisi dari Dewata Nawa Sanga
tersebut adalah 4 (empat) berada di luar diri manusia dan 5 (lima) lainnya matrap/bersatu
didalam badan manusia atau disebut lima pancer. Empat diluar sifatnya menjaga dan menggoda
yang wujud fisiknya berupa : air kawah, lamas, darah merah dan ari-ari. Ke-empat unsur ini
dalam ajaran kanda pat dikenal dengan nama Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati
Raja. Pemahaman tertinggi di Bali yang sampai sekarang masih dipelajari hanyalah tentang
empat unsur manusia yang berada di luar dirinya (kanda pat) yaitu Sa, Ba, Ta. A, sedangkan
lima lainnya belum diketemukan ataupun dipelajari/dikaji. Lima unsur yang berada di dalam
diri manusia yang disembunyikan sejak manusia diciptakan oleh Tuhan adalah I, Na, Ma, Ci,
Wa. Perwujudannya yang muncul adalah berupa sifat yaitu : Satwam (baik), Kroda (marah),
Kama (nafsu birahi), Lobha (serakah), Matsarya (iri hati). Kroda, Kama, Lobha dan Matsarya,
adalah merupakan empat musuh utama (Catur Ripu) dari manusia. Ke-lima unsur ini, bersatu
18

dalam satu wujud yaitu PIKIRAN dan berkedudukan di kepala. Bagi umat Hindu di Bali lebih
dikenal dengan simbol Omkara sungsang (terbalik). Kenapa disimbolkan terbalik? Karena
pikiran yang masih dipengaruhi oleh Panca Indria lebih cenderung untuk bersifat negatip dan
merusak sesuai dengan sifat dari Ciwa. Siapakah pikiran itu?
Bhagavadgita Bab X Sloka (22) mengatakan:
..indriyanam manas cha smi..
dari semua indria Aku adalah pikiran.
Jadi pikiran itu adalah unsurnya Tuhan. Simbol dari lima pancer dalam upacara caru adalah
ayam berumbun, sedangkan empat unsur yang di luar disimbolkan dengan ayam berwarna
putih, kuning, merah dan hitam. Dalam cerita Mahabrata lima unsur yang berada didalam
manusia disimbolkan oleh 5 orang Panca Pandawa dan empat unsur yang diluar diri manusia
disimbolkan oleh empat punakawannya. Maka, manusia janganlah berhenti pada tingkat
pengetahuan kanda pat karena belumlah sempurna, berusahalah mencapai tingkat yang lebih
tinggi adalah KANDA SEMBILAN yaitu penyatuan sembilan sinar Tuhan di dalam pure yang
sejati yaitu diri manusia sendiri.
Mantra Sthiti : OM, Sa Ba Ta A I Na Ma Ci Wa Ya, OM Ang Ung Mang.
Makna yang terkandung dalam mantra sthiti adalah : semoga dalam perjalanan hidupmu kamu
dapat mengalahkan dan mengendalikan musuh-musuh yang ada dalam dirimu (nafsu), sehingga
kamu bisa menjadi Ciwa, tidak hanya sekedar nama. Disini aksara Sa (prakrti) diletakkan di
depan dan paling berperan dalam membawa A(Brahma/manusia) menuju kepada I (Iswara).
Prakrti (Sa) dituntun oleh Roh/Gusti (Ba) dan digerakkan oleh pikiran/kaula (Ta) agar manusia
(A) dapat mencapai Iswara (I).Triaksara juga berganti posisi yaitu Ang didepan menggantikan
posisi Mang. Sedangkan Ung tetap ditengah sebagai jembatan/antara keduanya dan harus
ditemukan lebih dulu oleh Ang (Brahma) barulah dia (manusia) bisa ketemu dengan Mang
(Iswara).
Mantra Pralina : OM, A Ta Sa Ba I Ci Wa Na Ma Ya, OM Ung Ang Mang.
Makna yang terkandung dalam mantra ini adalah :

kamu (manusia) betul-betul sudah dapat

mengalahkan dan mengendalikan dirimu sendiri (nafsu/ego) dan kamu betul-betul sebagai Ciwa
kembali kepada Iswara. dalam kembali kepada Iswara. Triaksara juga berganti posisi Ung
berada di depan, Ang di tengah dan Mang dibelakang sebagai tujuan akhir. Ketika usia manusia
dikatakan tua, kekuatan energinya sudah tinggal sedikit, phisik sudh rapuh, manusia (A) mulai
19

ditinggalkan oleh pikirannya/kesadarannya (Ta), sehingga prakrtinya (Sa) tidak berfungsi lagi
dan akhirnya Roh (Ba) ikut dengan pikiran (Ta) menuju Iswara (I). Disini tergantung dari :
apabila Ang bisa menemukan Ung, maka A (Brahma/manusia) bisa mencapai I (Iswara), dan
manusianya betul-betul disebut Ciwa. Sebaliknya bila Ang tidak bisa menemukan Ung, maka A
(Brahma/manusia) tidak bisa mencapai I (Iswara), dan manusianya tidak dapat disebut Ciwa.
Maka dari itu, kendalikanlah pikiran karena dia sangat liar bagaikan angin bergerak kesana
kesini dan karena pikiran juga menusia mengalami dualisme.
Selanjutnya kita kaji Triaksara yang merupakan simbol dari Trimurti yaitu perwujudan dari
Tuhan dalam fungsinya mencipta, memelihara dan memralina. Untuk itu marilah kita hayati
bait mantra Pranayama Adhi yang terdapat dalam kitab Weda Parikrama Bab IV halaman 123
hasil tulisan G. Pudja,MA. berbunyi sebagai berikut :
Om Am Atmaya Brahma Murtyai namah (1)
Om Um Antar Atmaya Wisnu Murtyai namah (2)
Om Mam Parama Atmaya Icwara Murtyai namah (3)
Om Um Rah Phat astraya namah sarwa winacaya swaha. (4)
Baris pertama dari matra tersebut menyebut Brahma dan tempatnya di pusar, baris kedua
menyebut Wisnu tempatnya di dada, bait ketiga menyebut Icwara tempatnya di kepala, ini
disebut Triloka dalam bhuana alit (diri manusia) dan bait keempat menyebut Um Rah Phat
sebagai pembersih kotoran/mala yang melekat pada badan.
Betulkah Brahma ada pada pusar? Marilah kita kaji apa yang disebutkan dalam Bhagavadgita
Bab XIV sloka (3) :
mama yonir mahad brahma
tasmin garbham dadhamy aham,
sambhavah sarvabhutanam
tato bhavati bharata.
Artinya : kandungan-Ku adalah Brahma Yang Esa, di dalamnya Aku letakkan benih, dan dari
sanalah terlahir semua mahluk, wahai Barata.
Kita ketahui, bahwa dalam badan manusia (laki-aki dan perempuan) adalah benih yang disebut
sperma dan sel telor. Bersatunya sperma (kama putih) dengan sel telor (kama bang) terciptalah
janin dalam kandungan seorang ibu dan selanjutnya lahir sebagai manusia. Yang menjadi
pertanyaan disini adalah, apakah wujud Brahma dalam melakukan hubungan penyatuan antara
kama putih dan kama bang? Jawabannya adalah manusia. Selanjutnya, dalam proses
20

memelihara bayi tersebut dari memandikan, menyusui, menimang dan sebagainya dalam arti
menjalankan fungsinya Wisnu, wujudnya juga manusia. Demikian juga, ketika manusia
melakukan perbuatan seperti : membunuh, merusak, menghancurkan, itulah Ciwa yang
wujudnya juga manusia. Ini berarti, bahwa yang mengimplementasikan fungsi Tri Murti adalah
manusia. Maka dari itu, sebagai manusia kita harus sadar sesadar-sadarnya, bahwa manusia
adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di bawah Dia. Manusia lahir dikawal oleh
dewata nawa sanga, ini berarti bahwa manusia keberadaanya di atas dewata nawa sanga. Akan
tetapi bagi manusia yang tidak menyadari dan tidak mencari diri-Nya di dalam dirinya, maka
mereka akan memposisikan diri dibawah dewa, bethara, leluhur dan bahkan bersekutu dengan
setan. Itulah manusia yang sangat ditentukan oleh pikirannya (ego).

2. HAKEKAT DARI PANCA PANDAWA


Mahabarata adalah merupakan satu cerita besar hasil karya Rsi Vyasa yang merupakan
implementasi (perwujudan) dan penjabaran dari isinya weda. Mahabarata adalah sebuah cerita
terbesar yang terdiri dari 18 episode (parwa) dan boleh dikatakan merupakan kaca benggala dari
kisah perjalanan seorang manusia daari sejak lahir sampai kembali lagi kepada Sang Maha
Pencipta. Dalam perjalanan cerita, banyak sekali para ksatria yang dalam menjalani
kehidupannya terikat oleh sumpah. Seperti Bisma, bersumpah tidak akan menikah selama
hidupnya, Bima bersumpah akan membelah pahanya Duryodana, Pancali(Drupadi) bersumpah
rambutnya tidak akan diikat sebelum dibasuh oleh darahnya Dursasana. Dewi Amba
bersumpah akan membunuh Bisma yang dikenal sakti. Apa yang dapat kita kaji dari contoh di
atas untuk menjadikan pelajaran bagi kita semua dalam menempuh bahtera kehidupan di dunia
fana ini, bahwa manusia janganlah gampang mengucapkan sumpah. Karena sumpah yang
dinyatakan dengan hati yang tulus akan membawa dampak kejiwaan bagi yang mengucapkan
sumpah. Bila sumpah tersebut tidak terlaksana, maka akan terbawa sampai mati dan ke
kehidupan yang akan datang. Dilihat dari sudut sifatnya, sumpah bisa dibagi dua yaitu sumpah
untuk melaksanakan kebaikan dan sumpah untuk melaksanakan kejahatan atau dendam.
Contoh sumpah yang tujuannya baik adalah sumpah jabatan bagi orang-orang yang akan
diangkat untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, kaul (sesangi) yang tujuannya
mendoakan agar diberikan sehat, lulus ujian, dagangannya laku dan sebagainya. Contoh
sumpah yang tujuannya tidak baik adalah bersumpah untuk membunuh, menyakiti orang lain,
sumpah yang mengutuk orang lain.
21

Kenapa orang sampai mengeluarkan kata-kata sumpah untuk mencelakai atau membunuh orang
lain? Adalah karena orang tersebut tidak bisa mengandalikan musuh besarnya yaitu sifat marah
yang ada pada dirinya.
2.1. PANCA PENDAWA ADALAH SIMBOL DARI LIMA SIFAT MANUSIA
Panca Pendawa atau disebut juga Pendawa Lima adalah merupakan simbol dari seorang
manusia yang di dalam dirinya penuh dengan sifat satwam, kesatria berbudi luhur. Sifat
dasar rajasnya hanya dua yaitu : sifat marah dan nafsu birahi, sedangkan sifat dasar
tamasnya juga hanya dua yaitu: sifat loba dan sifat sirik/iri hati. Ditambah dengan sifat
satwam, maka dalam setiap diri manusia terdapat lima sifat yang sejak bayi sudah ditaruh
dan disatukan dengan pancernya (manusia). Empat sifat tersebut di atas yang cendrung
negatip kita sebut Catur Ripu (empat musuh) dan keempat sifat inilah yang menyebabkan
manusia mengalami dualisme (kontradiktif) didalam hidupnya. Catur Ripu ini haruslah
dimatikan dan selanjutnya dikendalikan supaya tidak menguasi diri kita.
Bhagavadgita Bab VII Sloka (27) mengatakan:
ichchhadvesha samuthena
dvandvamohena bharata
sarvabhutani sammohan
sarge yanti paramtapa
Artinya: semua mahkluk sejak lahir, oh Barata telah disesatkan oleh dualisme pertentangan
yang lahir dari hawanafsu, ketamakan,amarah dan dengki, wahai Parantapa.
Dalam sloka ini seharusnya dilengkapi dengan sifat satwam (baik) sehingga jumlahnya
menjadi lima. Alasannya, karena nafsu berbuat baik yang karena mengharapkan pahala,
adalah menjadi tidak baik di mata Tuhan. Untuk merealisasikan isi dari sloka di atas,
dalam cerita mahabarata kelima sifat tersebut disimbolkan dengan lima orang ksatria yang
disebut Panca Pandawa. Darmawangsa/Yudistira (ibu jari) sebagai simbol sifat satwam,
Bima (jari telunjuk) adalah simbol daari sifat marah (krodha), Arjuna (jari tengah) adalah
simbol dari sifat birahi (kama), Nakula (jaari manis) merupakan simbol daari sifat tamak
(loba), Sadewa (jari kelingking) merupakan simbol daari sifat irihati (matsarya). Panca
Pandawa walaupun terdiri dari lima orang secara hakekat mengandung makna satu yaitu
seorang manusia yang di dalam dirinya terdapat kelima sifat tersebut. Apapun warna
22

kulitnya, apapun agamanya, apapun suku dan bangsanya, kelima sifat dasar tersebut pasti
ada pada dirinya. Dalam cerita mahabarata makna ini disimbolkan oleh Drupadi, seorang
putri raja yang diperoleh Arjuna melalui sayembara adu ketangkasan memanah. Karena
sabda dari ibu Kunti yang meminta agar oleh-oleh yang dibawa Arjuna supaya dibagi-bagi
dengan saudara-saudaranya, maka jadilah Drupadi sebagai istri dari Panca Pendawa.
Dalam cerita, Drupadi dikisahkan sebagai seorang wanita yang menginginkan jodohnya
seorang laki-laki yang bijaksana, kuat, romantis, ganteng dan pintar. Semuanya ini ada
pada seorang Arjuna. Dia baik dan bijaksana, kuat tidak pernah kalah berperang, romantis
sehingga banyak wanita yang jatuh cinta, dia juga ganteng dan berotak cerdas. Kaitannya
Arjuna dengan kelima sifat (nafsu) di atas, adalah bahwa dalam diri Arjunalah kelima sifat
tersebut bisa terlihat dalam kehidupannya. Arjuna adalah seorang yang mempunyai sifat
baik suka menolong, suka membela kebenaran, setia pada ucapan. Dia juga bisa marah
pada saat harus marah, dia memiliki nafsu birahi yang tinggi sehingga senang dengan
gadis-gadis cantik, dia loba sehingga istrinya lebih dari satu, dan dia juga sirik, tidak boleh
ada orang lain yang menjadi jago dalam memanah, sehingga Bambang Ekalaya yang
mempunyai kemampuan seperti dia jadi korbannya. Atas perintah Drona yang menjadi
guru idola Bambang Ekalaya, dia bersedia memotong ibu jari tangannya, sehingga
kemampuannya memanah menjadi dibawah kemampuan Arjuna. Sosok Drupadi pada
hakekatnya memiliki dua makna (simbol) yaitu: pertama sebagai simbol yang menyatakan
bahwa Panca Pendawa meskipun lima orang pada hakekatnya adalah satu orang yang
memiliki lima sifat dasar. Kedua, sebagai simbol bahwa seorang wanita yang bersuami
banyak disebut sebagai pelacur, seperti yang dikatakan oleh Adipati Karna. Selain itu, juga
merupakan gambaran bahwa di dunia ini ada seorang ibu yang memerintahkan agar
seorang wanita untuk menjadi pelacur.

2.2. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL MANUSIA TITISAN DEWA


Terkisahkan dalam cerita tatkala Raden Pandu Dewanata berburu di tengah hutan
belantara. Ketika dia melihat sepasang kijang yang sedang bercumbu kasih, langsung dia
memanah kijang tersebut dan tepat mengenai sasaran. Seketika itu juga kedua ekor kijang
tersebut berubah menjadi sepasang manusia yang begelar Rsi. Akan tetapi, sebelum Rsi
tersebut meninggal dia mengutuk Raden Pandu, apabila dia berhasraat melakukan

23

senggama maka dia akan mati. Pelajaran apa yang ingin disampaikan oleh sang sutradara
dan dapat kita petik dari kejadian tersebut?
Pertama, kisah yang sangat menyedihkan bagi seorang Rsi yang masih belum sanggup
mematikan sifat nafsu kamanya, apalagi melakukan hubungan sek dengan cara berubah
wujud dari wujud manusia menjadi binatang. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalam
diri Rsi tersebut masih dikuasai oleh sifat binatang (rajas). Hal lain ditunjukkan kepada
kita, bahwa untuk menjadi seorang Rsi bukanlah perkara mudah dan sepele, karena
seorang Rsi adalah merupakan simbol dari orang yang sudah suci dan terbebas dari ikatan
nafsu duniawi. Menjadi Rsi bukanlah bertujuan agar dimana tempat selalu dipuja, dielukan
suci oleh orang banyak, pikiran ini adalah suatu ketololan. Manusia yang sudah sanggup
melaksanakan Iswara Prani Dana (berserah diri kepada Iswara) dan terbebas dari
keterikatan dengan duniawi, barulah pantas memakai gelar Rsi. Renungkanlah!
Kedua, oleh karena Raden Pandu tidak bisa melakukan hubungan badan dengan istriistrinya, maka tidak ada lagi harapan Raden Pandu untuk mempunyai keturunan. Untuk
memenuhi harapan tersebut ibu Kunti istri pertama Pandu yang telah menguasai mantra
sakti pemberian dari gurunya bhagawan Parasara dapat mewujudkannya. Mantra tersebut
hanya bisa diucapkan sebanyak lima kali. Tetapi, ketika ibu Kunti masih gadis ( sebelum
menikah), dia ingin menguji dan membuktikan apakah benar mantra sakti ini kalau
diucapkan dengan serius bisa menyebabkan wanita menjadi hamil. Setelah dicoba dengan
khusuk dan yang dicipta (dipikirkan) pada saat itu adalah Dewa Surya, maka masuklah
ciptanya Dewa Surya ke dalam rahim ibu Kunti sehingga dia hamil. Lantaran malu hamil
sebelum menikah dan untuk menjaga agar tetap perawan, maka anak yang dalam
kandungannya dilahirkan melalui telina (karna). Setelah lahir anak ini dihanyutkan di kali,
lalu dipungut oleh seorang kusir kereta, dan anak ini selanjutnya disebut Karna.
Selanjutnya ibu Kunti masih mempunyai empat kali kesempatan untuk mengucapkan
mantra tesebut. Setelah ibu Kunti tiga kali mengucapkan mantra dengan khusuk sampai
dia melahirkan tiga orang putra: pertama Darmawangsa cipta dari Sang Hyang Dharma,
kedua Bima cipta dari Dewa Bayu, ketiga Arjuna cipta dari Dewa Indra, Dewi Madrim
istri kedua Pandu memohon kepada ibu Kunti agar dia diberi kesempatan juga untuk
melahirkan anak dan minta diajarkan mantra yang sakti tersebut. Atas ijin dan arahan dari
ibu Kunti, dewi Madrim berhasil dan melahirkan putra kembar Nakula dan Sadewa cipta
dari dewa Aswin (kembar). Pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa cerita tadi adalah,
bahwa manusia (wanita) bisa hamil tanpa melakukan hubungan suami istri secara langsung
24

apabila Yang Maha Pencipta menghendaki (hal seperti ini terjadi pada Bunda Maria
ibunya Yesus). Kelima putra yang lahir dari rahim ibu Kunti dan dewi Madrim adalah
manusia titisan para Dewa sehingga memiliki sifat-sifat kedewataan. Makna dari saudara
Pandawa yang paling tua yaitu Karna yang dibuang dan tidak diurus sehingga dialah
musuh terbesar dan terkuat dari Pandawa adalah: manusia yang tidak ingat dan tidak kenal
dengansaudara gaibnya yang lain, maka saudaranya itulah yang akan menjadi musuhnya
yang terberat. Sedangkan ajaran karma yang dapat kita petik adalah bahwa Raden Pandu
akhirnya meninggal karena dia melanggar kutukan dari Rsi yang dibunuhnya ketika dia
berburu. Apa yang kita tanam itulah yang kita petik.

2.3. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL PELAJARAN SPIRITUAL


Cerita mahabarata adalah sebuah cerita yang mengandung makna yang luar biasa bila
dilihat dari sudut pandang spiritual. Dengan memahami makna dari perjalanan Pandawa
sampai akhir cerita, berarti kita akan paham tentang konsep manunggaling kaula dengan
Gusti. Bila manusia sudah bisa mematikan lalu mengendalikan nafsu yang ada dalam
dirinya maka ia akan menjadi seperti Darmawangsa, yang merupakan simbol dari sosok
manusia yang sudah bisa mencapai tingkat kesucian menurut kaca mata Tuhan, sehingga
ia dianugrahi kemuliaan oleh Tuhan.
Hal ini disebutkan dalam Yayurweda XIX.30.
Pratena diksam apnoti,
Diksaya apnoti daksinam,
Daksina sraddham apnoti,
Sraddhaya satya apyate.
Artinya : Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat
kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita
peroleh kebenaran.
Bagaimana bhagawan Vyasa mengajarkan kepada kita agar dapat mematikan semua nafsu
yang menjadi musuh utama manusia sehingga menjadi orang suci menurut kaca mata
Tuhan, bukan menurut kaca mata manusia melalui karya sastra Mahabarata?
Berawal dari pikiran jahatnya seorang yang bernama Sengkuni, ia mengusulkan agar
Duryodana menantang Yudistira untuk bermain dadu dengan taruhan bagi yang menang
25

akan mendapatkan Drupadi dan kerajaan Astina, dan bagi yang kalah harus menjalani
hukuman dibuang ke hutan selama duabelas tahun dan pada tahun ketigabelas harus
menyamar tidak boleh sampai ketahuan. Dalam pertandingan dadu tersebut ternyata
Yudistira mengalami kekalahan sehingga Panca Pandawa harus dibuang ke hutan selama
duabelas tahun dan Drupadi harus diserahkan kepada Duryodana. Pandawa sangaat sedih
dan malu menyaksikan Drupadi ditunjuk dan dikatakan pelacur oleh adipati Karna.
Selanjutnya Duryodana memerintahkan agar kain sari Drupadi ditanggalkan (ditelanjangi).
Dalam situasi ini, sang Awatara Kresna datang membantu sehingga Drupadi selamat dari
niat jahat Duryodana. Pelajaran yang sangat bermakna dapat kita petik dari alur ceritta di
atas antara lain :
-

Judi sangat dilarang oleh ajaran Weda, karena dapat menghancurkan diri sendiri dan
menyengsarakan keluarga, seperti yang disebutkan dalam Rgveda X.34.10. adalah :
Jaya tapyate kitvasya hina
mata putrasya caratah kva svit
mava bibhyal dhanam icchamanah
anyesam astam upa naktam eti
Artinya: Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang
mendalam di dalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi semacam itu tetap
dirundung derita. Dia yang dalam lilitan utang dan dalam kekurangan uang, memasuki
rumah orang-orang lainnya dengan diam-diam di malam hari.

Orang yang licik seperti Sangkuni selalu pintar memanfaatkan kelemahan orang lain
seperti Yudistira. Yudistira adalah seorang yang jujur, sedangkan bermain judi penuh
dengan cara-cara licik, sehingga Yudistira tidak akan mungkin bisa menang.

Seorang Yudistira (dalam episode ini) masih belum bisa mematikan nafsunya sehingga
dia bisa tertipu oleh akal licik Sangkuni, walaupun sudah dilarang oleh saudaranya.

Drupadi memetik pahala atas kebaikan yang dia pernah berikan kepada Kresna. Ketika
Kresna membunuh Susupala dengan senjata cakra, jari telunjuknya mengeluarkan
darah, dan saat itu secara spontan Drupadi merobek kain sarinya untuk membalut jari
telunjuk Kresna yang luka agar darahnya tidak sampai jatuh mengenai bumi. Siapa saja
yang berbuat kebaikan, maka akan memetik pahala yang baik dan sebaliknya siapa saja
yang berbuat kejahatan, maka akan memetik pahala yang tidak baik.

Makna dari duabelas tahun dibuang ke hutan adalah, bahwa manusia baru dapat
mematikan hawanafsunya yang berupa empat sifat buruk yaitu: sifat marah, birahi,
26

loba dan sirik, setelah melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi, selama kurun waktu
duabelas tahun. Hal ini disimbolkan dalam cerita ketika Bima, Arjuna, Nakuladan
Sadewa, semuanya meninggal ketika minum air di sebuah kolam. Kejadian ini sebagai
pelajaran kepada kita, bahwa Yudistira (manusia) setelah duabelas tahun lamanya
mencari jati dirinya, barulah dia bisa mematikan sifat marah (Bima), birahi (Arjuna),
loba (Nakula), iri haati (Sadewa). Pada situasi begini, Yudistira pada episode ini adalah
sebagai simbol orang yang sudah mati. Selanjutnya, dari tengah kolam terdengarlah
suara gaib: wahai Yudistira, siapakah satu orang dari empat saudaramu tersebut ingin
kamu hidupkan? Jawaban Yudistira: oleh karena aku putra dari ibu Kunti, maka aku
minta Nakula putra dari ibu Madrim supaya dihidupkan kembali demi keadilan.
Pertanyaannya sekarang, kenapa Yudistira meminta Nakula dan bukan Sadewa yang
juga putra dari ibu Madrim? Jawabannya adalah, karena Nakula adalah merupakan
simbol pikiran/intelek (Na-kaula) dan Sa-dewa sebagai simbol Roh (Gusti) yang
tugasnya membimbing, menuntun sang kaula supaya selalu berjalan di jalan Tuhan.
Kalau Sadewa yang dihidupkan maka jantung manusia berdenyut akan tetapi
pikirannya tidak sadar (dalam keadaan koma), karena kaulanya bandel tidk mau ikut.
Teapi apabila kaulanya (Nakula) yang dihidupkan, maka Roh (sadewa) juga secara
otomatis (kodrat) akan ikut hidup dan kesadaran manusia kembali normal. Yudistira
setelah mengalami proses mematikan diri, memiliki tingkat spiritual yang sempurna.
Dia sudah bisa menguasai nafsunya sendiri dan sudah memiliki sifat yang samar yaitu
wujudnya manusia tetapi sifat dan keinginannya sudah tidak seperti manusia normal.
Hal ini dikisahkan pada tahun ketigabelas Yudistira dan saudara-saudaranya harus
melakukan penyamaran selama satu tahun dan tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Yudistira disini sebagai simbol dari seorang manusia yang sudah bisa menjadi raja atas
dirinya sendiri, mempunyai penglihatan (waskita) yang berbeda dibandingkan dengan
manusia normal lainnya, dan sudah mencapai tingkat kesucian menurut kaca mata
Tuhan sehingga dia dimuliakan oleh Yang Maha Mulia.
Bila seseorang sudah dimuliakan oleh Tuhan, maka barulah ia bisa melihat dirinya
yang sejati. Penemuan diri sejati dalam cerita Mahabarata disimbolkan oleh Bima. Dia
adalah simbol dari seorang manusia yang sudah ikhlas menyerahkan dirinya
sepenuhnya kepada Iswara. Hal ini dikisahkan ketika Bima ikhlas dijadikan caru oleh
ibu Kunti dan kisah lainnya adalah ketika dia diperintahkan oleh guru Drona untuk
mencari tirta amerta ke tengah samudera. Bima merupakan simbol manusia yang
27

satya guru, sehingga dengan tekad yang bulat perintah Drona dia laksanakan dengan
ikhlas. Di tengah samudera dia bertemu dengan seekor naga yang bernama Dewa Ruci
dan terjadilah perkelahian. Setelah Bima berhasil mengalahkan naga Dewa Ruci,
muncullah Bima kecil yang tidak lain adalah dirinya yang sejati. Setelah ketemu
dengan diri sejati, antara yang mencari dan yang dicari bersatu (manunggal), barulah
seseorang dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, seorang manusia yang sudah
diperlihatkan jalan yang lurus untuk dapat kembali kepada Gusti Kang Murbeng
Dumadi. Simbol dari tingkatan manusia seperti ini adalah Arjuna. Kenapa Arjuna kok
tidak

Darmawangsa?

Karena

Arjunalah

yang

secara

sempurna

menerapkan/menjalankan kedua (rwa bhineda) sifat Tuhan. Sifat baik dia jalankan
sesuai dengan ajaran, sifat jelek juga dia laksanakan sesuai dengan perintah Gustinya,
aartinya apapun yang kerjakan bukanlah karena kemauannya pribadi akan tetapi
semata-mata karena kehendak Tuhan.
Dalam Bhagavadgita Bab X Sloka (17) dikatakan:
vrishninam vasudevo smi
pandavanam dhanamjayah
muninam apy aham vyasah
kavinam usana kavih
Artinya: dari keturunan Wrisni Aku ini Wasudewa, dari Panca Pandawa Aku ini
Dananjaya, dari muni sempurna Aku ini Vyasa, dari biduan penyair Aku ini Usana.
Makna dari Aku ini Dananjaya adalah, bahwa sifat-sifat Tuhan yang kontradiktsi
(rwa bhineda) ada pada diri Arjuna dan dialah yang sudah sanggup memahami dan
mengaktualisasikan dalam laku lampah sehari-hari. Pada saat Arjuna disuruh oleh
Kresna untuk membawa lari Subadra kekasihnya yang dia cintai, maka dia sempat
menolah karna sebagai seorang ksatria dia tidak sanggup untuk melakukan perbuatan
itu, karena sama saja dengan mencuri. Akan tetapi, karena merupakan perintah dari
seorang Kresna (sebagai awatara Tuhan), maka diapun akhirnya mentaati dan
melaksanakannya. Dalam pelarian Subadralah yang disuruh menjadi kusir kereta,
dengan tujuan apabila Baladewa (kakaknya Kresna) menuduh Arjuna melarikan
Subadra bisa dibantah oleh Kresna bahwa Subadralah yang melarikan Arjuna bukan
Arjuna yang membawa lari Subadra. Pada saat Arjuna harus melaksanakan yoga
semadhi dia lakukan dengan sempurna walaupun berbagai macam godaan yang dia
28

harus terima. Ketika dalam keadaan menyamar menjadi seorang perempuan dan
sebagai guru tari, dia lakukandengan sempurna sehingga tidak ada yan gmengenalinya.
Disaat dia harus berperang, dia menjadi pahlawan yang sejati dan sanggup membunuh
semua musuh-musuhnya sekalipun musuhnya itu adalah kakeknya, saudaranya dan
gurunya sendiri. Semuanya dia lakukan dengan tanpa mengharapkan pahala, rame ing
gawe sepi ing pamerih. Di sisi lain, seorang Darmawangsa yang disimbolkan sebagai
orang dharma dan sudah mencapai kesucian, apabila diperintahkan untuk berbohong
atau berbuat yang tidak baik pasti dia akan menolak seperti ketika dia diperintahkan
oleh Kresna untuk berbohong untuk mengatakan bahwa Aswatama putra dari guru
Drona benar meninggal walaupun faktanya yang mati adalah gajah Aswatama. Dengan
berat hati akhirnya perintah tersebut dia laksanakan tetapi, kata gajah masih dia
ucapkan dengan pelan sekali sehingga tidak terdengar oleh Drona. Hal ini
menggambarkan bahwa seorang Darmawangsa benar-benar tidak mau disuruh
berbohong. Apabila antara Darmawangsa dan Arjuna diuji dengan sepuluh soal, lima
soal tentang perbuatan tidak baik dan lima soal lainnya tentang perbuatan yang baik,
maka Darmawangsa hanya akan sanggup menjawab hanya 5 pertanyaan yang
menyangkut perbuatan baik. Sedangkan Arjuna bisa menjawab 10 pertanyaan tersebut,
karena dia pernah melaksanakan kedua-duanya. Pelajaran yang dipetik dari kasus ini
adalah, bahwa seorang yang sudah dikatakan suci belum tentu dia sudah sempurna,
tetapi orang yang sudah sempurna sudah pasti suci. Jika seorang sudah mencapai
kesempurnaan,

maka

Na-kula

(kaula)

dan

Sa-dewa

(Dewa/Gusti)

menyatu

(manunggal). Nakula dan Sadewa merupakan titisan dari Dewa Aswin (kembar) adalah
simbol dari perwujudan dari keberadaan Tuhan di dalam diri manusia seperti dikatakan
dalam Regveda I.164.20. yaitu:
Dva suparna sayuja sakhaya
samanam vrksam pari sasvajate
tayor anyah pippalam svadvatya
masnannanyo abhi caksiti
Artinya: Dua burung yang indah, hidup bersama (karena cinta kasih) sahabat, tinggal
di sebuah pohon. Burung yang satu makan buah pippala yang manis, yang lain tidak
makan, menjaga dan mengawasi.

29

Dua burung yang indah dalam ayat weda di atasditerjemahkan dengan simbol anak
kembar yaitu Nakula dan Sadewa oleh Bagawan Vyasa, yang mengandung makna Nakula (kaula) da Sa-dewa (Gusti) yang berdiam di dalam setiap diri manusia. Sebagai
Gusti dimaksudkan disini adalah bagian-Nya yang berupa Roh Kudus, Jiwa Yang
Agung, Wisnu, atau lebih dikenal sebagai Gusti yang di dalam diri manusia hanya
sebagai Saksi Yang Agung dan tida terpangaruh oleh karma pebuatan. Sebagai kaula
(jiwa perorangan) dimaksudkan adalah sebagai jiwa pribadi (pikiran/intelek) yang
sangat dipengaruhi oleh panca indria. Keduanya berasal dari satu sumber yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan mempunyai sifat kontradiksi (saling berlawanan dan sama
saktinya). Karena Arjuna sebagai simbol manusia yang sempurna, artinya dia sudah
sanggup mematikan ego (rasa ke-aku-an) dalam dirinya, maka dialah yang disebut yogi
yang sempurna, dialah sosok manusia yang sudah memahami dan menjalankan Iswara
prani dhana, penyerahan diri secara ikhlas total atas hidupnya hanya semata-mata
menjalankan apa yang menjadi kehendak-Nya, bukan karena aku-nya atau karena
pahalanya. Berhubung kaulanya sudah dia matikan dan menyerah kepada Gustinya,
maka dia hanya bekerja atas apa yang diperintahkan oleh Gustinya (Guru Sejatinya).
Arjuna dikatakan sebagai simbol seorang yogi yang sempurna karena dialah satusatunya manusia (versi Bhagavadgita) yang ditunjukkan wujud dari Tuhan (ring
angambeki yogi kiteng sakala). Inilah perjalanan terakhir dari kehidupan manusia yang
disebut Aham Brahman Asmi.

2.4. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL PERJALANAN AKHIR MANUSIA KE


ALAM BAKA
Apabila kita kaji makna dari cerita perjalanan keluarga Pndawa dalam menuju puncak
Mahameru (Mahaprasthanika Parwa), maka hakekat yang kita dapatkan adalah:
1. Gunung Mahameru adalah simbol dari alam bwah (alam sorga yang bertingkat) dan
puncaknya simbol dari sorga yang paling tinggi mendekati alam swah (kerejaan dari
Yang Maha Agung).
2. Darmawangsa adalah sebagai simbol dari orang yang sudah mencapai tingkat kesucian
dalam arti sudah sanggup mengendalikan nafsu pribadinya, sehingga dia berhasil
mencapai puncaknya Mahameru.

30

3. Anjing yang sangat setia adalah sebagai simbol dari kesetiaan seorang istri yang setia
mendampingi suminya, baik dalam keadaan suka maupun duka mengarungi bahtera
kehidupan. Apabila suaminya masuk sorga maka istrinya akan ikut terbawa, sebaliknya
jika seorang istri tidak akan bisa membawa suaminya masuk sorga meskipun dia sendiri
bisa masuk sorga (swarga nunut neraka kitut).
4. Bima tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari
manusia yang belum berhasil mengalahkan sifat marah (amarah) dalam dirinya.
5. Arjuna tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari
manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat birahi (kama) dalam dirinya.
6. Nakula tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari
manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat tamak (loba) dalam dirinya.
7. Sadewa tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari
manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat iri hati (matsarya) dlam dirinya.
8. Drupadi tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari
wanita yang dalam menjalani kehidupannya sebagai wanita pelacur.
Dari kelima sosok Pandawa dapatlah dimaknai bahwa perjalanan manusia ke tempat mana
yang akan dituju ketika dia meninggal adalah tergantung dari beban karma yang masih
melekat dan dibawa ke alam baka seperti yang dikatakan dalam Bhagavadgita Bab VIII
Sloka (6) yaitu:
yam-yam va pi smaram bhawam
tyajate ante kalivaran
tam-tam evai ti kaunteya
sada tadbhavabhavitah
Artinya: apa saja yang terpikirkan pada saat ajalnya meninggalkan badan jasmani ini, oh
Kuntiputra, ia akan sampai pada keadaan yang terpikirkan itu, sebab ia trus menerus
terbenam dalam pikiran itu.
Drupadi yang dijadikan simbol sebagai wanita pelacur paling pertama meninggal dan alam
yang dicapai paling rendah. Selanjutnya yang meninggal berturut-turut adalah Sadewa,
Nakula, Arjuna, Bima dan yang teakhir Darmawangsa diiringi oleh seekor anjingnya
berhasil sampai kepuncak Mahameru. Sangat perlu untuk dihayati bahwa karma seseorang
yang dilakukannya pada saat menjalani kehidupan di dunia nyata ini akan sangat
31

menentukan situasi dan kondisi kehidupannya di alam kelanggengan, apakah akan


merasakan enak atau tidak enak (sengsara). Bab IX sloka (25) dari Bhagavadgita
mengajarkan kepada kita masalah hakekat dari bhakti dan sembah. Kepada siapa kita
harus menyembah supaya kita bisa kembali kepada asal muasal sesuai dengan tujuan
ajaran agama hindu yaitu Tuhan. Dijelaskan, mereka yang menyembah dewa kalau
meninggal paling tinggi hanya sampai di alam dewa, yang menyembah leluhur akalu
meninggal paling tinggi akan sampai di alam leluhur dan yang menyembah setan atau roh
jahat, kalau meninggal mereka akan menjadi budak pengikutnya setan. Akan tetapi bagi
orang yang senantiasa menyembah hanya kepada Tuhan, merekalah yang akan kembali
menuju kepada Tuhan (sangkan paraning dumadi). Maka dari itu, marilah kita bersihkan
hati dan pikiran, bunuhlah sifat ke-aku-an (egoisme) dalam diri, bebaskan pikiran dari
keterikatan dari duniawi yang menjerumuskan kita, pahamilah dan laksanakanlah ajaran
Isvara prani dhana (berserah diri kepada Tuhan)
Bila kita kaji dan hubungan dengan mantra Utphati: I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa. Ya
menjadi satu dengan I, maka ada sembilan aksara yang merupakan simbol dari keberadaan
manusia (bersaudara sembilan) dari sejak diciptakan. Dalam cerita Mahabarata yang
muncul baru lima yaitu I, Na, Ma, Ci, Wa, (dalam caru diwujudkan oleh ayam brumbun
tempatnya ditengah) dan kita kenal dengan nama Panca Pandawa, sedangkan empat
lainnya Ba, Sa, Ta, A, belum diceritakan. Kekurangan tersebut dilengkapi oleh utusan
Tuhan yang bernama Sidharta Gautama dengan ajarannya yang tekenal adalah agama
Budha. Kita kaji lagi mengenai kisah seorang pendeta budha Tom Sam Chong dalam
mencari kitab suci ke barat. Dalam perjalanan dia dikawal oleh empat muridnya yaitu:
Kera Sakti, Pat Kai, Wu Cing dan Kuda Putih, dan keempat muridnya ini adalah berasal
dari dewa yang menjalani hukuman. Keempat murid dari pendeta budha tersebut adalah
merupakan simbol dari saudara kita (Ba, Sa, Ta, A) yang berada di luar dan bertugas
untukmengawal danmenggoda kita. Ini mempunyai makna, bahwa ajaran yang dibawa
oleh Sidharta Gautama dengan konsep vegetariannya adalah melengkapi ajaran weda.
Dengan melaksanakan vegetarian diharapkan manusia akan dapat mengendalikan
nafsunya, berprilaku bijak, bebicara sopan dan santun dalam bergaul antar sesama
manusia, sampai akhirnya sanggup mematikan diri (mati sakjroning urip). Ajaran Kanda
Pat yang sampai sekarang populer di Bali lebih sendrung berasal dari ajaran Budha yang
dulu sempat berkembang di Jawa pada jaman Sriwijaya. Makna dari istilah Ciwa Budha
32

sinunggal adalah: bahwa ajaran Weda dan ajaran Budha keduanya harus disatukan untuk
dipelajari bagi mereka yang ingin mencapai tingkat kesempurnaan dalam spiritual, karena
masing-masing saling melengkapi. Ciwa Budha sinunggal bukan berarti pendeta Ciwa dan
pendeta Budha harus bersama-sama menjadi pengantar suatu upacara supaya upacara
dikatakan sempurna. Makna spiritual yang lebih dalam lagi adalah, bahwa Ciwa dikepala
(Omkara sungsang) dan Budha/budhi yangada di jantung (Omkara ngadeg) harus
disatukan kalau manusia ingin mengetahui jalan untuk menuju singgasananya Tuhan.
Jalan agar keduanya bisa bersatu putar Omkara sungsang supaya ngadeg dengan
membebaskan pikiran dari keterikatan dengan hal-hal duniawi (pancaindria).
Selanjutnya marilah kita lihat wajah Panca Pandawa setelah sampai di tanah Jawa. Oleh
Sunan Kalijogo putra dari Adipati Tuban yang sebelum menganut ajaran Islam beliau
adalah menganut ajaran Hindu dengan pengalaman spiritualnya beliau menambahkan
panca Pandawa dengan empat punakawan (pelayan) yaitu: Semar, Gareng, Petruk,
Dawala, sebagai simbol dari empaat saudara kita yang berada di luar yang menjadi
pengawal/pembantu dan penggoda kita, sehingga Panca Pandawa (5) dan empat
punakawan (4) kalau dijumlahkan menjadi 9 (simbol dari kesempurnaan).
Sampai sekarang terdapat perbedaan yang hakiki antaraa pagelaran wayang di Jawa
dengan di Bali. Di Jawa semua punakawan adanya di Panca Pandawa sedangkan di Bali
dipecah, dua (Tuwalen dan Werdah) di pihak Pandawa, dua lagi (Delem, Sangut) di pihak
Kurawa sehingga maknanya menjadi lain. Hal ini pernah saya tanyakan kepada seorang
dalang dan saya memperoleh penjelasan yang logis yaitu, kalau wayang di Jawa dalangnya
berbahasa jawa penontonnya adalah orang Jawa sehingga tidak perlu penterjemah, kalau
wayang di Bali penontonnya adalah masyarakat yang berbahasa Bali apabila dalang
berbahasa Jawa kuno perlu penterjemah supaya penontonnya bisa mengerti dengan alur
percakapan yang berlangsung. Itulah sebabnya empat punakawan tersebut dipecah menjadi
dua dipihak Pandawa dan dua lagi dipihak Kurawa. Pertanyaannya adalah kenapa tidak
diciptakan saja figur lain yang lucu sebagai penterjemah untuk Kurawa sehingga tanpa
harus memecah empat punakawan yang mengakibatkan hilangnya makna hakiki yang
dikandungnya yaitu kesempurnaan?

33

3. HAKEKAT DARI AJARAN AJI SAKA


Aji Saka adalah salah satu dari manusia utama yang menurunkan ajaran di dunia untuk
kepentingan umat manusia. Salah satu diantaranya yang sangaat berkaitan erat dengan hakekat
dari perjalanan hidup manusia dalam usahanya mencari kesempurnaan yang sejati ya sejatinya
sempurna adalah makna dari dua puluh aksara Jawa yaitu : A(Ha)Na, CaRaKa, DaTa SaWaLa,
PaDaJaYaNya, MaGa BaTaNga. Bila kita perhatikan daari dua puluh aksara tersebut tampaklah
beberapaaaa kata yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Hana berarti ada, Caraka
berarti

utusan

(manusia),

Data

berarti

macam

(sifatnya),

Sawala

berarti

berlawanan/kontradiksi, Padajayanya berarti sama-sama saktinya, Maga berarti semoga,


Batanga berarti watang/mati.
Bila kata-kata tersebut kita sambungkan maka akan menghasilkan sebuah kalimat yang
mempunyai makna yaitu : Ada utusan (manusia) ciptaan Yang Maha Kuasa, mempunyai sifat
yang selalu berlawanan (kontradiksi), mempunyai kesaktian yang sama, semoga kamu mati.
Utusan yang dimaksud adalah manusiaa yang dalam dirinya bersemayam Roh Kudus
(Wisnu/Saksi

yang

Agung/Gusti)

yang

berdiam

di

jantung

dan

Jiwa

perorangan

(intelek/pikiran/kaula) yang ada di kepala. Dikatakan mempunyai sifat yang saling berlawanan,
karena Roh/Gusti tidak terikat/terpengaruh oleh karma perbuata manusia, sedangkan jiwa
pribadi (kaula) sangat dipengaruhi oleh perbuatan (Panca Indria) manusia dan di Bali dikenal
sebagai Omkara ngadeg da Omkara sungsang. Dikatakan mempunyai kesaktian yang sama karena
kedua-duanya berasal dari satu sumber yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan menyatukan kaula dengan Gustinya, manusia harus bisa menjadi orang
yang mati (batang/watang), maksudnya manusia harus dapat mematikan nafsu (ego) sehingga
terbebas dari keterikatan duniawi, terbebas dari sifat dualisme baik dna buruk, panas dan dingin,
dan sebagainya. Apabila nafsu pribadi sudah berhasil dimatikan, maka sang kaula menyerah sama
Gustinya dan Gustilah sekarang yang berkuasa. Setiap gerak langkah manusia akan ditentukan
oleh Gustinya dan sang kaula hanya berserah diri mengikuti apa yang dikehendaki sang Gusti,
kaula sudah melebur dirinya menyatu dengan Gustinya, inilah yang disebut manunggaling kula
dengan Gusti.Mati dalam istilah lainnya adalah Iswara prani dhana yaitu totalitas penyerahan diri
semata-mata hanya kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Berbuatlah karena kita harus bebuat atas
kehendak-Nya, bukan karena pahala.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa, dua puluh aksara yang diturunkan oleh Aji Saka merupakan
ajaran tertinggi yaitu konsep dari perjalanan manusia dalam mencapai kesempurnaan yang sejati
34

haruslah dimulai dari menjadi batang (mati dalam hidup, hidup tetap mati) untuk menghilangkan
sifat sama-sama sakti dan berlawanan (padajayanya dan data sewala) sampai pada keadaan
dimana kaula menyerah dan tunduk kepada Gustinya. Setelah itu barulah utusan
(ceraka/manusia) dengan diantar oleh Gustinya (Roh) bisa kembali kepada A (Ha) yaitu Gusti
Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Dalam Bhagavadgita Bab VI sloka (5) dikatakan :
uddhared tamana tmanam
na tmanam avasadayet
atmani va hy tamano bandhur
atmani va ripur atmanah
Artinya: biarlah dia mengangkat kiwanya denga Jiwa, Janganlah jiwanya menjerumuskan dirinya,
sebab hanya Jiwa adalah teman jiwanya dan hanya jiwa adalah musuh jiwanya.
bandhur atma tmanas tasya
yena tmai va tmana jitah
anatmanas tu satrutve
varteta tmai va satrutve
Artinya: Jiwa menjadi teman jiwa orang yang bisa menguasai jiwanya dengan Jiwa, tetapi bagi
yang jiwanya tidak ditaklukkan Jiwa, seperti musuh, menjadi lawan.
Bila kita hayati, jelaslah, bahwa sebagai manusia jiwa perorangan (kaula) haruslah ditundukkan.
Jiwa perorangan bisa tunduk apabila ia sudah terbebas dari pengaruh panca indria yaitu nafsu
berbuat baik, nafsu marah, nafsu birahi, nasfu loba dan nafsu sirik. Setelah kelima nafsu tersebut
bisa dimatikan, barulah sang jiwa pribadi bisa terbebas, merdeka, melihat Gustinya (Saksi Agung)
tersenyum ramah menyambut dan mempersilahkan masuk menjadi satu (manunggal). Setelah
kaula dan Gusti manunggal, maka dalam perjalanan hidup manusia selanjutnya Gustilah yang
memegang kendali sebagai penunjuk jalan agar manusia bisa sampai ke tempat tertinggi yaitu
tempatnya Brahman.
Hal ini dipertegas lagi oleh Bab XIII sloka (28) yang berbunyi :
samam pasyan hi sarvatra s
amavasthitam isvaram,
a hinasty tamaa tmanam
tato yati param gatim.
35

Artinya : dikala ia melihat Yang Maha Kuasa bersamayam merata dimana-mana, ia tidak
menyakiti Jiwa dengan jiwa dan iapun mencapai tujuan utama.
Supaya lebih mendalam, bacalah kitab Bhagavadgita, secara berulang-ulang dengan hening.
Semoga dengan pertolongan 700 sloka (700 dijumlahkan = 7 = pitu = pitulungan) engkau bisa
mencapai angka 18 = 9 = kesempurnaan hidup, hidup yang sempurna. Inilah makna dari kitab
Bhagavadgita kenapa terdiri dari 700 sloka dan 18 bab.
Ada beberapa bentuk ritual di Bali yang sangat tinggi maknanya dan mempunyai korelasi dengan
ajaran Aji Saka yaitu:

3.1. Hakekat dari upacara potong gigi


Makna dari pelaksanaan upacara potong gigi adalah agar gigi taring dan delapan buah gigi
suri yang ada pada manusia menjadi rata sehingga menyerupai bentuk gigi yang ada pada
sapi, tidak lagi seperti bentuk gigi binatang buas. Bahasa hakiki yang ingin disampaikan
melalui upacara ini adalah :
- agar manusia mengurangi dan bahkan kalau bisa tidak memakan daging, karena sangat
mempengaruhi tabiat dan mengotori darah manusia. Orang yang suka memakan daging
biasanya cendrung lebih cepat emosi/marah.

agar manusia melaksanakan pola makan seperti sapi, lebih banyak memakan sayur
(vegetarian). Dengan pola makan vegetarian, manusia sifatnya cendrung sabar, emosinya
terkendali dan ditambah dengan tekun melaksanakan tapa, brata, yoga, semadi, akhirnya
hingga pada waktunya dia dapat mematikan Catur Ripu yang ada dalam dirinya.
Keadaan mati disimbolkan adanya prosesi seperti orang mati dalam pelaksanaan

upacara

potong gigi.
Pemahaman yang terdapat

dalam ajaran Kalapati Tatwa tentang upacara potong gigi

adalah, bahwa manusia sejak dilahirkan dari rahim seorang ibu dikotori oleh unsur-unsur
bhuta kala (Panca Maha Bhuta), sehingga setelah dewasa taringnya harus dipotong, sehingga
pada waktu meninggalnya nanti tidak menjadi bhuta kala. Satu sisi memang betul, akan
tetapi janganlah kita lupa, bahwa manusia itu bhuta ya, manusia ya, dewa ya. Apabila
seseorang mangajukan pertanyaan : apakah orang yang tidak melaksanakan upacara potong
gigi akan tetapi dia dengan tekun mempelajari dan mengamalkan ajaran agama, malakukan
36

tapa, brata, yoga, semadhi, jika dia meninggal nantinya menjadi bhuta kala? Sudah tentu
akan saya jawab tidak, karena anda sudah menjalankan hakekatnya dari pelaksanaan
upacara potong gigi. Gigi merupakan bagian dari badan kasar manusia adalah benda mati.
Badan kasar bisa bergerak karena adanya Jiwa dan Pikiran (yang dapat dipengaruhi oleh
catur ripu) sebagai penggeraknya. Maka sebenarnya mematikan catur ripulah yang menjadi
tujuan dari upacara potong gigi, sedangkan taring hanyalah sebagai simbol dari catur ripu.

3.2. Hakekat dari upacara mediksa


Mediksa secara umum dapat diartikan sebagai pelaksanaan upacara/ritual keagamaan yang
bertujuan untuk mensucikan seseorang yang oleh seorang guru/brahmana sudah dianggap
patut untuk itu. Di Bali dikenal dengan istilah sulinggih (seseorang yang didudukkan sebagai
orang yang telah suci).
Dalam kitab Dharma Sastra 87, dikatakan :
Kamanmata pita caiman,
yadutpadayato mithah,s
ambhutim tasya tam,
vidyadyonavabhijayate.
Artinya: Ibu dan bapak melahirkan seseorang bersama karena nafsu, maka ia lahir dari
rahim. Ketahuilah (kelahiran) ini, adalah kelahiran jasmani. Selanjutnya Dharma Sastra 88,
mengatakan :
Acaryastvasya yam jatim wadhivad vedaparagah,
utpadayati savatrya sa satya sajaramara.
Artinya: Namun kalahiran yang berdasarkan pentasbihan (dwijati) dengan (mantra) Sawitri
dari guru suci yang di dalam Weda, itulah kelahiran yang sejati, yang utuh dan abadi
(ajaramara).
Dwijati maksudnya, kelahiran kedua yang sejati.
Sangat penting untuk dihayati, bahwa dalam pelaksanaan mediksa tersebut calon sulinggih
dikurung selama beberapa hari di dalam kamar untuk mengheningkan pikiran dan
mematikan egonya, serta adanya prosesi seperti orang meninggal adalah merupakan bahasa
symbol agar yang bersangkutan harus mematikan musuh yang ada dalam dirinya yaitu catur
ripu. Nama panggilan sehari-hari diganti dengan nama baru yang diberikan oleh sang guru.

37

Tujuan dari pelaksanaan upacara pensucian (pawintenan,mediksa) adalah sebagai langkah


awal agar manusia bertekad untuk selalu mensucikan dirinya melalui pelaksanaan trikaya
parisudha dengan baik, agar selanjutnya dia dapat mematikan musuh-musuh yang ada
dalam dirinya. Trikaya Parisudha adalah merupakan sarana permbersih yang paling hakiki
bagi umat manusia. Kasihan lmereka yang melakukan diksa dengan tujuan hanya untuk
menjadi manggala upacara, tetapi tidak bisa menjalankan trikaya parisudha sehari-hari
dengan baik. Apalagi yang memikirkan dan mengharapkan akan memperoleh daksina, hal
ini akan mengakibatkan terjadinya perebutan wilayah (sisye), sirik, iri hati dan lebih parah
lagi sampai seorang sulinggih sanggup mencelakakan sulinggih yang tidak disenanginya
dengan perantaran ilmu gaib. Sangat disayangkan sekali. Maka dari itu, untuk memciptakan
seorang Sulinggih yang berkwalitas spiritualnya, sebaiknya calon Sulinggih harus dikurung
menyepi di dalam kamar selama 40 hari dengan puasa mutih.

3.3. Hakekat Pelaksanaan Upacara Caru


Pelaksanaan caru ayam manca warna mengandung makna yang sangat dalam bagi umat
Hindu dalam kaitannya dengan pencapaian moksa dan jagadhita. Secara turun temurun
prosesi upacara ini diterima hanya sebatas melaksanakan saja, ada rasa ketakutan kalau tidak
melaksanakannya, takut kalau-kalau bhuta kala nantinya ngamuk dan merusak tatanan
hidup

manusia.

Apakah

benar

demikian

Jawabannya,

itu

tergantung

dari

pikiran/kepercayaan manusia itu sendiri. Sebab apa yang mereka yakini bisa itulah yang
terjadi. Lalu bagaimana dengan umat manusia ditempat lain yang tidak melaksanakan
upacara caru dan mereka tidak terlalu memikirkan apa itu bhuta kala? Apakah hidup mereka
diacak-acak oleh bhuta kala? Di sisi lain, mereka hanya mengenal Tuhan Yang Maha
Pelindung, satu-satunya yang sanggup melingdungi manusia dari godaan syetan dan iblis.
Ketakutan yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia terhadap bhuta kala, karena mereka
belum menemukan keyakinan bahwa bhuta kala tidak akan sanggup menggoda manusia
yang selalu bersujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini sudah menjadi sumpahnya
syetan dan iblis, sehingga tidak perlu ditakuti. Laksanakanlah mecaru dengan ihklas dan
kasih tanpa ada rasa takut, sebagai pengamalan dari ajaran trihita karana. Justru yang paling
ditakuti adalah syetan/bhuta kala yang ada di dalam diri manusia sendiri, yang sifatnya
selalu menggoda dan munculnya sangat sulit untuk diduga, karena dia berwujud sama tetapi
karakternya berbeda. Dia berwujud manusia sedang marah, manusia sedang dikuasai nafsu
38

birahi, manusia sedang diselimuti sifat loba akan duniawi, dan manusia yang sedang dirasuk
oleh sifat iri hati/dengki. Catur Ripu inilah merupakan wujud syetan yang paling berbahaya,
karena bisa menjadikan manusia melebihi syetan yang sebenarnya. Manusia mampu
mencincang manusia lainnya bila sifat syetannya sudah menguasai dirinya. Melalui
pelaksanaan caru ayam panca warna inilah para pendahulu kita ingin menyampaikan
ajarannya yang maknanya kira-kira sebagai berikut : siapa saja yang ingin mencapai
kesempurnaan hidup (manunggal kaula dengan Gusti) dan hidup yang sempurna
(jagadhita/keseimbangan jiwa), maka dia harus ihklas total mati seperti yang disimbolkan
oleh ayam panca warna tersebut. Ayam brumbun sebagai simbol agar manusia bisa
mematikan nafsu yang ada dalam dirinya yaitu: nafsu untuk beruat baik, nafsu marah, nafsu
birahi, nafsu loba dan nafsu dengki/sirik, sehingga pikiran terbebas dari keterikatan duniawi
(jagadhita). Karena semua nafsu yang di dalam diri manusia sudah bisa digoda lagi, maka
saudara empat lainnya yang keberadaannya di luar diri kita dan mempunyai tugas menjaga
dan menggoda juga ikut mati (dalam arti mereka tidak bisa lagi menggoda), akhirnya mereka
menjadi satu dan masuk ke dalam diri menyatu dengan yang di dalam. Rumusannya adalah
5 di dalam menjadi 1, dan 4 di luar menjadi 1, selanjutnya 1 + 1 = 1 (manunggal). Dalam
upacara caru saudara empat yang di luar diri kita disimbolkan oleh ayam putih, kuning,
merah dan hitam. Sebelum kelima saudara kita yang bersifat negatip yang berada di dalam
diri dimatikan, maka empat saudara kita yang di luar tidak akan mau masuk dan bersatu.
Dari mantra caru dapatlah dikaji siapa saja penikmat caru tersebut.

B. KEDUDUKAN DEWA, BETHARA, MANUSIA DAN BHUTA


Sebelum jagat raya ini beserta isinya diciptakan, Tuhan Yang Maha Absolut adalah yang paling
pertama/permulaan ada. Setelah itu, barulah Dia menciptakan dunia dengan segala isinya melalui
kemahakuasaannya. Dia adalah Maha Pencipta, Maha Menghendaki. Tiada kehendak-Nya yang
tidak terjadi. Setelah diciptakan dunia dan seisinya, lalu dia ciptakan mahkluk yang disebut
dewa/malaikat dan iblis/syetan dari sinar/api. Itulah sebabnya mahkluk ciptaan-Nya tersebut
memakai badan halus dan dapat menembus benda kasar dengan laluasa. Para dewa diciptakan
untuk menjaga dunia ciptaan-Nya dan masing-masing diberi tugas sendiri-sendiri. Dewa Surya
tugasnya menjaga dan mengurus matahari terbit dari arah timur dan terbenam di barat. Dewa
Chandra tugasnya menjaga bulan, Dewa Bumi tugas mengurus bumi, Dewa Waruna tugasnya
mengurus lautan, Dewa Yama tugasnya mencabut nyawa dan sebagai hakim yang adil, demikian
39

juga dewa-dewa lainnya, mereka bekerja sesuai dengan hukum alam (Tuhan). Dewa bukanlah
Tuhan.
Didalam kitab Rig Weda X 129.6 dikatakan sebagai berikut :
Sesungguhnya siapakah yang menganal-Nya? Siapa pula yang dapat mengatakan bila penciptaan
itu dan bila ini dijadikan? Setelah diciptakannya alam semesta ini kemudian dijadikanNya Dewadewa itu. Siapakah yang mengetahui kejadian itu?
Jadi sekali lagi Dewa bukanlah Tuhan, tetapi mahluk ciptaan Tuhan. Semua dewa diciptakan
tanpa nafsu, artinya tidak dibekali unsur-unsur negatip. Mereka tidak berani melanggar hukum
alam. Dewa Surya tidak akan berani terbit dari barat dan terbenam di timur, tanpa kehendak dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, pada diri Bhuta Kala (Iblis/Syetan), dalam dirinya
dibekali unsur-unsur yang sifatnya negatip (merusak/menggoda). Selanjutnya, untuk melengkapi
para pelaku yang akan memainkan sandiwara agung-Nya sampai waktu kiamat nanti, maka
Tuhan menciptakan manusia dari sarinya tanah dan Tuhan meniupkan sebagian roh-Nya
kedalam diri manusia, sehingga didalam diri manusia terdapatlah sifat-sifat dari penciptanya yaitu
rwa bhineda (baik dan buruk). Karena ada tujuh lapisan bumi (Sapta Petala), maka ada tujuh
warna dari tanah. Itulah sebabnya, warna kulit manusia terlihat ada berbagai warna. Manusia bisa
menjadi iblis/syetan dan bahkan melebihi, manusia juga bisa menjadi dewa dan bahkan melebihi
dewa, tergantung dari kemampuannya untuk mengolah hati dan pikirannya dalam mengikuti
tulisan skenario dari yang menciptakannya. Itulah sebabnya manusia bisa dikatakan paling
sempurna diantara mahluk ciptaan-Nya, ini artinya antara dewa, manusia dan iblis/syetan, serta
ciptaan-Nya yang lain, manusialah yang paling sempurna. Manusia diberikan kebebasan untuk
mempergunakan akal dan kekuatannya untuk mengelola dunia nyata ini dengan memperhatikan
hukum sebab dan akibat.

Pengertian ini sangat penting sekali untuk dipahami bagi manusia,

karena akan berkaitan dengan tata cara dalam melaksanakan sembah. Dalam ajaran agama Hindu
sebenarnya hanya ada eka sembah (satu sembah) yaitu sembah manusia kepada Sang Maha
Pencipta, sembah dari kawula kepada Gustinya, lain itu tidak ada. Kepada para dewa, bethara,
leluhur dan syetan, manusia hanya menerapkan ajaran Tat Twam Asi, saling menghormati,
mengasihi, dan saling mendoakan sesama ciptaan Tuhan.
Khusus Bethara, yang diartikan sebagai pelindung, ada yang berasal dari manusia artinya,
dulunya bethara tersebut pernah lahir sebagai manusia seperti kita, hanya saja mereka sudah
mencapai tingkat kesucian tertentu seperti para bhagawan, rsi, mpu, seorang raja yang sudah
menjadi bhiksuka, atau manusia yang memiliki kesaktian ilmu hitam tingkat tinggi. Kita ambil
contoh yang paling gampang yaitu Mpu Genijaya, Mpu Kuturan, Dang Hyang Dwijendra, Dang
40

Hyang Astapaka, Ratu Pasek dan orang-orang suci lainnya, mereka tersebut sebelumnya adalah
lahir sebagai manusia seperti kita, makan nasi, buah, daging, sayuran, kue, sirih, minum air putih,
kopi, teh, dia juga pernah sakit, senang, dan lain sebagainya. Ada lagi seperti Dalem Bungkut
yang ilmu kesaktiannya belum sempurna dan lebih condong kekiri, duduklah dia sebagai bethara
di Pura Dalem Peed, Nusa Penida. Begitu juga orang-orang yang menjadi pengikut ilmunya Dewi
Durga dan sudah mencapai tingkat puncak, dia bisa duduk sebagai pelindung di pure-pure dalem.
Dengan mengetahui dan memahami, bahwa posisi manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna di bawah Tuhan, maka hanya Tuhan Maha Pencipta sajalah satu-satunya yang
patut disembah oleh manusia, kalau kita berniat untuk kembali menyatu dengan Nya (Aham
Brahman Asmi).

C. TAPA, BRATA, YOGA, SEMADHI,

LAKU UNTUK MENCAPAI MOKSA DAN

JAGATDHITA.
Untuk mencapai tingkatan tertinggi dari tujuan hidup manusia menurut weda yaitu Aham
Brahman Asmi haruslah melalui tahapan-tahapan, seperti kita akan membangun sebuah candi,
maka haruslah memulai dari dasar/pondasi yang kokoh sehingga dapat menopang bangunan
yang ada di atasnya. Konsep yang paling mendasar yang harus dikuasai seseorang adalah
Rta/Jnana (pengetahuan tentang kitab suci). Kita mengenal adanya Widhi Tattwa, Susila Tattwa,
Yadnya Tattwa. Ketiga pengetahuan ini haruslah benar-benar dikuasai hakekatnya, bukan hanya
proses ritualnya/ceremonialnya saja. Sekarang ini, umumnya kita sudah merasa pas dan bangga
dapat melaksanakan upacara yadnya/persembahan berupa beraneka macam sesaji (banten). Akan
tetapi tidak pernah bertanya yadnya manakah yang paling utama yang harus dilakukan manusia
untuk bisa mencapai tujuan hidup yang hakiki. Hal ini bisa kita pahami oleh karena kurangnya
pengetahuan tentang ketiga tattwa tadi. Maka dari itu, sudah saatnyalah kita sadar dan berbenah
diri untuk mencari mana yang baik, mana yang lebih baik dan mana yang paling baik.
Kebanyakan dari kita umat Hindu sangat takut untuk tidak melakukan sesuatu kebiasaan yang
telah diwariskan oleh para leluhur dan menganggap hal tersebut yang terbaik. Alasan dari
ketakutan tersebut karena takut disalahkan oleh leluhur. Mereka yang telah ahli dalam membaca,
memahami ajaran Weda seyogyanya melakukan kajian ulang secara mendalam tentang semua
pelaksanaan yadnya yang ada sekarang dan menyesuaikannya dengan ajaran hakiki dari Weda
tanpa mengecilkan jasa dari para leluhur kita. Karena fakta yang ada sampai sekarang,
41

pengetahuan tertinggi di Bali yang diwariskan oleh para leluhur kita hanya sampai Kanda Pat.
Kalau diibaratkan dengan sekolah, baru sampai kelas empat. Seharusnya yang dituju adalah kelas
sembilan (kesempurnaan), barulah dekat untuk mencapai nol (kosong).
Dalam Kitab Dharma Sastra 13 mengajarkan tentang tingkatan dari yadnya yang mengatakan
sebagai berikut :
Kupasatad vai paramam saropi sarah,
satad vai paramopi yajnah,
yajna satad vai paramopi putrah,
putra satad vai paramam hi satyam.
(Bagi seorang dermawan) membuat sebuah waduk (pengairan dsb.) lebih mulia amalnya dari
menggali seratus sumur (untuk umum), melaksanakan suatu Yajna (mempersembahkan sebagian
dari harta kekayaan untuk amal, mendirikan tempat ibadah, sedekah kepada fakir miskin, kepada
para biarawan dsb.) lebih utama dari pada membuat seratus waduk. Memperoleh putra (berbudi
luhur) lebih mulia dari melaksanakan seratus Yajna, dan kebenaran (kesucian) lebih utama
daripada seratus putra (berbudi luhur).
Kalau kita hayati, tampaknya kebenaran(kesucian) menempati urutan paling utama, setelah itu
anak yang berbudi luhur, dibawahnya adalah Yadnya dan seterusnya. Lalu apakah alasannya
memperoleh anak yang berbudhi luhur lebih mulia dibandingkan dengan seratus Yadnya?
Karena doa yang dikirimkan oleh seorang anak yang suputra (berbudi luhur) untuk orang tuanya
yang sudah meninggal akan sangat didengarkan oleh Tuhan dan dapat membebaskan orang
tuanya dari siksa neraka. Sebagai contoh adalah putra Pandawa dapat membebaskan ayahnya
Raden Pandu dari siksa neraka dan dinaikan ke sorga oleh Yang Maha Kuasa. Akan tetapi seratus
yadnya belum tentu bisa menempatkan seseorang di dalam sorga, karena dosa tidak bisa ditebus
dengan pengorbanan materi, seperti melakukan upacara Ngeben yang sampai menghabiskan
biaya besar, dosa hanya bisa dihapus dengan ilmu pengetahuan suci tentang Atman hal ini sangat
tergantung dari berapa banyak dosa yang sudah dilakukan selama menjalani hidup di dunia. Ini
lain artinya bila seseorang telah berhasil mencapai tingkat kesucian, maka ia sudah berhasil
memperoleh landasan untuk dimuliakan oleh Tuhan dan diberikan tempat di Sorga tanpa harus
menunggu doa dari anak-anaknya.
Dalam Yaurweda XIX.30. dikatakan :
Pratena diksam apnoti,
diksaya apnoti daksinam,
42

daksina sraddham apnoti,


sraddhaya satya apyate.
Artinya : melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat
kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita peroleh
kebenaran.
Bhagavadgita sangat jelas mengatakan bahwa yadnya yang paling utama diantara semua yadnya
adalah ilmu pengetahuan tentang falsafah Atman. Hal ini tercantum dalam Bab IV sloka (33) yang
berbunyi :
srayan dravyamayad yajnaj
jnanayajnah paramtapa,
sarvam karma khilam partha,
jnane perisamapyate.
Artinya : persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada
persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan oh
Partha.
Ilmu pengetahuan apa yang dimaksud oleh sloka di atas, adalah ilmu pengetahuan tentang
falsafah Atman, seperti disebutkan dalam Bhagavadgita Bab X sloka (32) yang petikannya
berbunyi sebagai berikut :.........adhyatmavidya vidyanam, ........
Artinya : diantara ilmu pengetahuan Aku falsafah Atman.
Selanjutnya Bab IV sloka (36) dan (37) mengatakan :
api ched asi papebyah
sarvebhyah pakritamah
sarvam jnanaplavenai
vrijinam samtarishyasi
Artinya: Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa, dengan
ilmu pengetahuan ini lautan dosa engkau akan sebrangi.
yathai dhamsi samiddho gnir
bhasmasat kurute rjuna
jnanagnih sarvakarmani
bhasmasat kurute tatha

43

Artinya: Bagaikan api menyala, oh Arjuna, membakar kayu api menjadi abu, api ilmu
pengetahuan demikian pula membakar segala karma jadi abu.
Dengan penjelasan dari sloka-sloka di atas, jelaslah betapa sangat pentingnya ilmu pengetahuan
tentang Roh, karena dapat membebaskan manusia dari lautan dosa, bagaikan api membakar kayu
sampai menjadi abu. Demikian juga hebatnya ilmu pengetahuan tentang Roh, apabila manusia
sudah bisa menemukan sang Roh(Gusti) maka Dia akan menghapus segala dosa yang telah
diperbuat. Lagikanya, orang yang bisa menemukan sang Roh adalah orang yang sudah mencapai
tingkat kesucian menurut Tuhan. Seseorang bisa mencapai tingkat kesucian menurut Tuhan dia
harus menggembleng dirinya lahir dan bathin dengan melaksanakan diksa, tapa, brata, yoga
semadhi dengan tekun dan teguh (satya). Untuk mengarahkan supaya laku lampah seseorang
dalam melaksanakan diksa, tapa, brata, yoga, semadhi, maka dia harus menguasai ilmu
pengetahuan (jnana) tentang Roh. Maka dari itu, kenapa manusia tidak berlomba untuk mencari
kesucian dengan harta kekayaan sebagai sarana dan mengekang kama melalui pelaksanaan diksa,
tapa, brata, yoga, semadhi.

1. Pengertian TAPA
Ketika saya masih kanak-kanak, sering saya mendengar cerita tentang kehebatan dari Arjuna
dalam melakukan tapa, duduk hening berhari-hari di puncak gunung untuk memperoleh
kemenangan atas dirinya sendiri. Tindakan ini menurut saya adalah melaksanakan tapa pada
tingkat yoga dan semadhi.
Hal ini dijelaskan dalam Yayurveda XXVI.15.
Upahvare girinam, samgame ca nadiman, dhiya vipro ajayata.
Orang yang bermeditasi/bersemadhi pada lereng-lereng pegunungan atau di pertemuan sungaisungai menjadi tercerahkan.
Kalau demikian, apakah hakekat dari pada tapa?
Segala tindakan seseorang yang bertujuan untuk berbuat sesuatu yang dapat mensucikan dirinya dengan
jalan melakukan pengekangan secara ikhlas terhadap rasa aku (ego) yang dimilikinya. Ini kita sebut saja
tapa tahap pertama
Bermacam-macam yadnya yang kita laksanakan adalah merupakan pengejawantahan dari pada
tapa. Belajar ilmu pengetahuan, memberi makan, sedekah kepada fakir miskin, juga merupakan
tapa. Memberi obat kepada orang yang sakit adalah tapa. Memelihara seluruh ciptaan Tuhan
44

adalah tapa, yang penting, asalkan semuanya harus dilakukan dengan ikhlas total tanpa
menharapkan pamrih apapun.
Hakekat dari melakukan tapa (pengekangan) tidaklah harus pergi menyepi ke hutan ( ke gunung),
akan tetapi justru sebaliknya. Kita akan lebih bermanfaat bila melakukan tapa di dalam
lingkungan segala lapisan kelompok masarakat. Dengan melakukan interaksi (hubungan) antar
sesama manusia yang memiliki beraneka macam prilaku, disitu kita diuji keteguhan dari tapa kita
apakah kita sanggup menerapkan ajaran Tat Twan Asi dengan baik dan benar, mengalahkan sifat
ke-aku-an kita yang muncul akibat dari pengaruh kelima nafsu yang ada dalam diri, sehingga kita
sanggup menerima dengan ikhlas kekurangan dan kelebihan dari orang lain. Malaksanakan tapa
berarti kita belajar untuk bisa menjadi orang yang ikhlas menerima segala sesuatu yang menimpa
diri kita. Selama kita menjalankan tapa selama itu pula Tuhan akan menguji keteguhan iman dan
taqwa (sraddha dan bhakti) kita.
Dalam Rgveda IX.83.1. dikatakan :
Atapta-tanur na tad amo asnute.
Orang yang tanpa menjalankan tapa (pengekangan diri) yang keras tidak dapat menyadari Tuhan
Yang Maha Esa.
Dalam Atharvaveda XI.8.2. dikatakan:
Tapas Caiva-astam karma ca-antar mahati arna ve.
Tapa dan keteguhan hati adalah satu-satunya juru selamat di dunia yang mengerikan.
Tujuan hakiki melaksanakan tapa adalah untuk membangun pondasi sebagai tempat kita berpijak
dan meningkatkan spiritual secara bertahap, mempercepat proses pensucian diri, sehingga
memudahkan proses penyatuan diri dengan Sang Pencipta Alam.
Dengan mengamalkan ajaran dharma melalui pelaksanaan Tat Twam Asi dan Trikaya
Parisuddha dengan baik dan benar, ikhlas berkorban untuk kepentingan orang lain dan sesama
ciptaan Tuhan, tidak bermusuhan antara sesama makhluk ciptaan Tuhan, mematikan sifat-sifat
setan yang ada di dalam diri, maka seseorang akan berhasil dalam melaksanakan tapa.

45

2. Pengertian BRATA
Brata (upawasa) adalah merupakan tapa (pengekangan diri) tahap kedua dan sifatnya sebagai
penyempurna pelaksanaan tapa tahap pertama. Macam-macam dari brata (upawasa) dijelaskan
dalam Yayurveda IX.21 sebagai berikut :
Ayur yajnena kalpatam,
prano yajnena kalpatam,
caksur yajnena kalpatam,
srotam yajnena kalpatam,
prstham yajnena kalpatam
yajno yajnena kalpatam,
prajapateh praja abhuma
svardeva aganmamrta abhuma.
Artinya : Pengorbanan hidup (mengikuti hukum-Nya) adalah patut (dilakukan), pengorbanan
jiwa adalah patut (dilakukan), pengorbanan mata adalah patut (dilakukan), pengorbanan telinga
adalah patut (dilakukan), pengorbanan mulut adalah patut (dilakukan), dengan pengorbanan yang
dikorbankan itu, seseorang akan menjadi putra-putri Tuhan Maha Penjipta (Prajapati),
mendapatkan kebahagiaan yang sempurna, semangat tinggi dan memperoleh kehidupan yang
abadi.
Dengan pengorbanan hidup maksudnya adalah penyerahan diri (Iswara Prani Dhana),
pengorbanan jiwa maksudnya adalah melakukan perenungan (meditasi), pengorbanan mata dan
telinga maksudnya latihan mempergunakan insting/rasa dengan cara menutup mata dan telinga,
serta tidak tidur (jagra), pengorbanan mulut maksudnya melakukan puasa tidak makan dan tidak
berbicara (mona brata). Ada lagi puasa birahi yaitu tidak melakukan hubungan suami istri dalam
jangka waktu tertentu. Tujuan malaksanakan puasa adalah: pertama, dilihat dari sudut lahiriah
dapat menghilangkan zat-zat yang tidak berguna dalam tubuh karena dibakar oleh panasnya suhu
badan disamping mengistirahatkan sementara organ pencernaan. Karena makanan orang
bertumbuh dan karena makanan juga orang mendapat penyakit. Dengan melakukan upawasa
dapat mencegah dan menetralisir sesuatu yang berlebihan di dalam tubuh. Kedua, secara spiritual
pelaksanaan upawasa dapat menekan dan mengurangi kekuatan dari unsur-unsur negatip (catur
ripu), karena secara fisik seseorang yang dalam melaksanakan upawasa akan lemah dan lebih
cendrung untuk berdiam diri dan merenung. Bila hal seperti ini dilakukan secara rutin dan jangka
46

waktu puasanya makin bertambah, maka tubuh (pure) akan menjadi bersih dan kekuatan (aura)
sinar Tuhan akan memancar dari dalam pure tersebut, dan orang yang demikian disebut orang
yang sudah memiliki sedikit kekuatan Tuhan. Dia akan berubah menjadi orang lembut, tidak
gampang marah, dapat mengekang emosi, birahi, dapat mengekang sifat loba dan dengki. Di sisi
lain ada suatu kekuatan spiritual yang masuk ke dalam dirinya yang tanpa dia sadari
keberadaanya.
Pengekangan terhadap mulut dapat berupa : tidak makan dan minum, puasa mutih (tiga kepal
nasi putih dan air putih), ngrowot (hanya makan umbi-umbian yang direbus atau hanya makan
buah) dan vegetarian.
Pelaksanaan puasa dilakukan pada hari-hari baik seperti : purnama, tilem (bulan mati), dan pada
hari kelahiran (weton). Khusus untuk puasa weton ini, sebaiknya dilaksanakan satu hari sebelum
sampai dengan satu hari sesudah hari kelahiran kita (tiga hari). Diantara semua waktu
pelaksanaan puasa, pelaksanaan puasa weton (hari lahir) adalah yang paling utama, karena pada
hari itulah kita melakukan upacara piodalan untuk pure yang sejati kita dan mengajak semua
saudara kita yang lahir pada hari itu untuk berkumpul menjadi satu.

3. Pengertian YOGA
Yoga adalah pelaksaaan tapa tahap ketiga. Bila kita membicarakan masalah yoga, maka tidak bisa
lepas dari pada nafas karena keduanya sangat berkaitan. Disini tidak akan dibicarakan secara
mendalam mengenai pelaksanaan yoga itu sendiri, akan tetapi membicarakan hakekat daripada
latihan pernafasan yang mempunyai tujuan untuk menguatkan simpul syaraf dalam tubuh kita.
Dalam urutan pelaksanaan trisandya, kita mengenal adanya pranayama. Pranayama ini
dilaksanakan sebelum mengumandangkan Gayatri Mantram. Tujuannya, supaya syaraf-syaraf
dalam tubuh kita terutama tujuh simpul syaraf (cakra) terbuka dan dapat menyerap dan
menghimpun tenaga prana, sehingga mempercepat proses konsentrasi pikiran kita pada waktu
sembahyang. Pranayama ini sebaiknya dilatih secara khusus dan rutin sehingga tenaga prana
(hawa murni) masuk dan tersimpan di dalam tubuh manusia semakin besar.
Dalam Atharvaveda X.2.26. dikatakan :
Murdhanam asya samsivya atharva hrdayam ca yat,
Mastiskad urdhvah prairayat pavamano adhi sirsatah.

47

Seorang suci membuat keserasiannya kepala dan hati. Kemudian dia menaikan udara vital ke arah
atas dan memeras udara-udara itu di dalam kepala untuk mencapai tujuannya.
Pengertian dari memeras udara-udara itu di kepala untuk mencapai tujuannya adalah menahan
udara-udara itu lebih lama dikepala dengan tujuan agar syaraf-syaraf otak menjadi kuat, cakra
dahi dan cakra ubun-ubun terbuka terang, karena kelenjar pineal bekerja labih aktif.
Dalam kitab Weda Parikrama yang diterjemahkan dan ditulis oleh G. Pudja, MA. kita jumpai
adanya mantra pranayama adhi yang berbunyi sebagai berikut :
1. Om Ang Atmaya Brahma murtyayai namah (nafas ditarik kepusar )
2. Om Ung Antaratmaya Wisnu murtyayai namah (nafas dinaikan ke dada)
3. Om Mang Paramaatmaya Iswara murtyayai namah (nafas dinaikan ke kepala/ditahan)
4. Om Ung Rah Phat astraya namah, sarwa winasaya swaha (nafas dikeluarkan).
Nafas ditarik dalam-dalam langsung diturunkan ke pusar lalu ditahan sambil mengucapkan
mantra (1) dalam hati, setelah itu langsung dinaikan ke dada dan ditahan sambil mengucapkan
mantra (2) dalam hati, selanjutnya dinaikan ke kapala dan ditahan sambil mengucapkan mantra
(3) dan terakhir nafas dikeluarkan sambil mengucapkan mantra (4).
Laksanakanlah pranayama ini dengan sabar dan diulang-ulang sesuai dengan kemampuan,
janganlah terlalu memaksakan. Kesabaran adalah kunci dari keberhasilan. Sangat dianjurkan
supaya sering melakukan japa Gayatri mantram, supaya ada tenaga karomah yang juga masuk ke
dalam diri kita dan dapat lebih menguatkan tenaga prana yang sudah ada.
Perlu dipahami, bahwa latihan tenaga prana hanya sebatas ilmu yang akan menjadi sarana penopang
dalam mencapai kesucian. Maka dari itu, perlu dibarengi dengan melakukan brata (puasa,
pengekangan diri). Apabila seluruh pusat syaraf (cakra) sudah kuat, dan dalam tubuh kita terkumpul
hawa murni (positip), maka mantra apapun yang dipelajari tidak akan menimbulkan efek negatip
terhadap diri sendiri. Hanya nantinya, semua mantra yang dipelajari penggunaannya tergantung dari
niat manusianya sendiri. Disini janganlah sampai terjabak oleh tipuan Sang Maha Pintar. Yoga juga
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan pisik, supaya dalam melaksanakan meditasi tidak cepat
lelah. Sekali lagi perlu diingat, bahwa berlatih pernafasan adalah hanya sebatas membantu
mempercepat proses pencapaian tujuan daripada tapa yaitu mencari diri yang sejati, mencapai urip
yang sejati ya sejatining urip, weruh ing sangkan paraning dumadi. Ini dapat dicapai hanya dengan
berusaha menjadi yogi yang sempurna. Dalam melaksanakan yoga perlu kita perhatikan petunjuk
dari sloka (16), 17), dan (18) BabVI Bhagavadgita :
48

na tyasnatas tu yugo sti


na chai kantam anasnatah
na cha tisvapnasailasya
jagrato nai iva cha rjuna
Artinya: sesungguhnya yoga bukanlah bagi orang yang makan terlalu banyak atau puasa terlalu
banyak, bukanlah untuk orang yang tidur terlalu banyak atau melek terlalu banyak
yuktahara viharasya
yukta cheshtasya karmasu
yukta svapnavabodhasya
yogo bhavati duhkhaha
Artinya: bagi yang berdisiplin dalam makanan, hiburan dan langkah usaha kerjanya, berdisiplin
dalam tidur dan jaga, yoga ini menjadi penghapus dukanya.
yada viniyatam chittam
atmany eva vatishthate
nhisprihah sarva kamebhyo
yukta ity uchyate tada
Artinya: bila pikirannya yang telah terkendalikan terpaku hanya kepada Atman, bebas dari nafsu
dan segala keinginan, maka ia dikatakan berhasil dalam yoga.
Pelajaran yang dapat kita jadikan teladan dari sloka-sloka di atas ada, bahwa kondisi yang baik
bagi seseorang yang hendak melaksanakan yoga adalah jangan pada saat perut terlalu kenyang
atau terlalu lapar, hal ini akan berakibat tidak baik bagi tubuh kita. Juga jangan melakukan latihan
yoga pada saat kondisi kurang tidur (karena hal yang terpaksa) karena hasilnya tidak akan baik.
Latihan yoga sangat baik dilaksanakan bagi orang disiplin dalam menjalani hidupnya, sehingga
dapat mencapai tujuan daripada yoga yaitu membebaskan diri dari nafsu dan keinginan
duniawi.
Ketiga sloka di atas maknanya sudah lebih cendrung kepada yoga dalam arti orang yang akan
berniat untuk melaksanakan semadhi (meditasi/tafakur)

49

4. Pengertian SAMADHI
Dengan pranayama terbuanglah kekotoran badan, kekotoran pikiran; dengan pratyahara
terbuanglah kekotoran ikatan-ikatan; dengan dhyana dihilangkan segala apa yang berada di antara
manusia dan Tuhan (aniswara). Kalimat ini dikutip dari buku Raja Yoga Patanjali oleh Swami
Satya Prakas Saraswati.
Tahapan keempat dari pelaksanaan tapa adalah Samadhi. Dhyana (perenungan yang terus
menerus kepada suatu obyek) akan menghilangkan segala apa yang berada antara manusia
dengan Tuhan. Tirai-tirai penyekat akan terbuka satu persatu. Dan pada saat pikiran mencapai
nol, dimana seluruh panca indera sudah dapat ditarik/dimatikan sehingga wadah kasar seseorang
tidak merasakan apa-apa, keadaan seperti ini disebut wening kang sejati yo sejatining wening,
wening ingsun yo wening Gusti, wening Gusti yo wening ingsun (samadhi) dan pada saat itulah
tercapainya kabahagiaan bathin yang luar biasa. Dalam melaksanakan semadhi, kondisi fisik dan
kejiwaan serta tempat, sangat berpengaruh dalam mencapai tujuan. Maka dari itu, buatlah situasi
atau tempat yang khusus (kamar suci).
Dalam Yayurveda XXVI.15. dikatakan:
Upahware girinam samgame ca nadiman, dhiya vipro ajayate.
Orang yang bermeditasi/bersemadhi pada lereng-lereng pegunungan atau di pertemuan sungaisungai menjadi tercerahkan.
Tempat dan situasi alam juga sangat berperan dalam perjalanan seseorang mencapai tingkat
samadhi.
Dalam Bhagavadgita Bab VI Sloka (11), (12), dikatakan:
suchau dese pratishthapya
sthiram asanam atmanah
na tyuchchhritam na tinicham
chaila jina kusottaram
tatrai kagram manah krita
yata chittendriya kriyah
upvisya sane yunjyad
yogam atma visuddhaye

50

Artinya: dengan teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah, ditumbuhi
oleh rumput kusa, di atasnya kulit rusa dan kain silih bertindih,
Disana dengan menyatupadukan hatinya, mengendalikan pikiran dan gerak pancaindria, ia bersila
di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga, mensucikan diri.
Sloka (13) dan (14) mengatakan:
samam kayasirogrivam
dharayann achalam sthirah
samprekshya nasikagram
disas cha navalokayan
prasantatma vigatabhir
brahmacharivrate sthitah
manah samyamya machchitto
yukta asita matparah
Artinya: dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada bergerak-gerak, tetap
memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh sekitarnya,
Dengan tentram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik, menaklukkan hatinya, dengan
harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk, Aku jadi tujuannya.
Selanjutnya dalam Bab VII Sloka 8. dikatakan:
abhyasa yoga yuktena,
chetasa na nyagamina,
paramam purusham divyam,
yati partha nuchintayan.
Artinya: Dengan pikiran tak mengembara kemana-mana, terpusat berkat latihan tak hentihentinya, dia yang melaksanakan meditasi pada Yang Mahautama, pergi oh Parta menuju
Brahman Yang Mahasuci.
Dari sloka di atas dijelaskan bagaimana seseorang dapat menuju kepada Yang Mahasuci melalui
meditasi. Dengan pikiran tak mengembara kemana-mana maksudnya, pada saat kita
melaksanakan meditasi pikiran harus dikontrol, dikendalikan supaya terkonsentrasi hanya kepada
51

satu tujuan yaitu Tuhan Yang Maha Rahasia yang bagian diri-Nya atau sinarnya ada di dalam diri
kita sendiri (kalbu) dengan berkata dalam hati, bahwa aku menyerahkan diri kepada-Mu, aku
tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Berkat latihan yang tak hentihentinya akhirnya pikiran dapat terpusatkan artinya dapat mencapai titik nol (kosong) yaitu suatu
keadaan dimana seseorang merasakan kebahagiaan yang tiada dapat dilukiskan dengan kata-kata,
tidak dapat dihargai dengan materi, merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa karena yang
dicari (Gusti/ Jiwa yang Agung) dan yang mencari (jiwa perorangan/kaula) sudah bertemu lalu
bercakap-cakap dengan bahasa rahasia, sang kaula bertanya dan sang Gusti menjawab dengan
sabar. Keadaan seperti inilah yang disebut puncaknya samadhi, karena yang kita cari sudah
muncul berwujud (ring angambeki yogi kiteng sakale), dialah diri kita yang sejati, dialah guru kita
yang sejati yang akan mengantarkan kita kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Bab VI Sloka (19), (20, (21), (22) Bhagavadgita mengatakan:
yatha dipo nivatastho
ne ngate so oama smrita
yogino yatachittasya
yunyato yogam atmanah
Artinya: bagaikan nyala pelita tak tergoyangkan di tempat tak berangin, demikian yogi dengan
pikirannya yang terkendalikan melaksanakan konsentrasi jiwa pada Atman
yatro paramate chittam
niruddham yogasevaya
yatra chai va tmanam
pasyann atmani tushyati
Artinya: disana dimana pikiran telah tenteram terkendalikan oleh konsentrasi yoga, menyaksikan
Jiwa dengan jiwa dan jiwa merasa dalam bahagia.
sukham atyantikam yat tad
buddhigrahyam atindriyam
vetti yatra na chai va yam
sthitas chalati tattvatah
Artinya: dimana dijumpai kebahagiaan tertinggi dengan intelek di luar kemampuan pancaindria,
di sana ia mencapai tujuan dan tiada lagi jatuh dari kebenaran.

52

yam labdhva cha param labham


manyate na dhikam tatah
yasmin sthito na dukkhena
guruna pi vichalyate
Artinya: dimana tercapai apa yang dipikirkan dan tiada lagi lebih mulia di luar itu yang dapat
dicapai, di sana ia tertuju tiada tergoyahkan oleh duka terberat sekalipun.
Selanjutnya dalam sloka (27), (28), (29),32) mengatakan:
prasanta manasam hy enam
yoginam sukham uttaman
upaiti santarajasam
brahmabhutam akalmasham
Artinya: sebab kebahagiaan tertinggi tiba pada yogi yang pikirannya tenteram damai, yang hawa
nafsunya tiada lagi, yang tiada noda, bersatu dengan Brahman.
yunjann evam sada tmanam
yogi vigatakalmasah
sukhena brahmasamparsam
atyantam sukham asnute
Artinya: dengan mengendalikan jiwa selalu seimbang, maka yogi yang telah menghapus dosa
dengan mudah menikmati restu abadi yang berhubungan dengan Yang Maha Abadi.
sarvabhutastham atmanam
sarvabhutani cha tmani
ikshate yogayuktatma
sarvatra samadarsanah
Artinya: dia yang jiwanya terkonsentrasikan oleh yoga melihat Atman ada pada semua insan dan
semua insan ada pada Atman, dimana-mana ia melihat yang sama.
yo mam pasyati sarvatra
sarvam cha mayi pasyati
tasya ham na pranasyami
sa cha me na pranasyati
53

Artinya: dia yang melihat segala sesuatu sama dalam persamaan jiwanya, oh Arjuna, baik dalam
suka maupun dalam duka, dia dinamakan yogi yang sempurna.
Bab XVIII yang merupakan bab penutup dari Bhagavadgita, sloka (51), (52), (53), (54), (55),
mengajarkan kepada kita bagaimana laku dan lampah yang harus dijalankan supaya berhasil
sampai kepada tujuan hakiki manusia yaitu Brahman Yang Agung yaitu:
buddhya visuddhaya yukto
dhritya tmanam niyamya cha
sabdadin vishayams tyaktva
ragadveshau vyudasya cha
Artinya: diperlengkapi dengan pengertian suci, teguh mengendalikan jiwa, menghindari suara dan
obyek pancaindria lain-lainnya serta menjauhi segala yang dicintai dan dibenci,
viviktasevi laghvasi
yata vak kaya manasah
dhyanayogaparo nityam
vairagyam samupasritah
Artinya: berdiam di tempat suci, makan hanya sekedarnya, perkataan, badan jasmani dan pikiran
terawasi, selalu bermeditasi dan berkonsentrasi serta bernaung di bawah kedamaian hati,
ahamkaram balam darpam
kamam krodham parigraham
vimuchya nirmamah santo
brahmabhuyaya kalpate
Artinya:

membuang

jauh-jauh

egoisme,

kekerasan,

keangkuhan,

nafsu,

amarah

dan

hartakekayaan, suka bersosial dan memiliki ketenangan pikiran, ialah yang patut menjadi satu
dengan Brahman.
brahmabhutah prasannatma
na sochati na kankshati
samah saveshu bhuteshu
madbhaktim labhate param
54

Artinya: Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tenteram, tiada duka tiada nafsu birahi,
memandang semua mahkluk insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi.
bhaktya mam abhijanati
yavan yas cha smi tattvatah
tato mam tattvato jnatva
visate tadanantram
Artinya: dengan jalan mengabdi ia mengetahui Aku, betapa agung dan siapa Aku sebenarnya dan
setelah mengetahui Aku yang sesungguhnya, ia kemudian masuk ke dalam-Ku.
Dalam Bhagavadgita Bab X Sloka (25) dikatakan:
..... yajnanam japayajno smi.......
Artinya: Aku ini meditasi sunyi (sambil berjapa) diantara cara sembahyang.
Samadhi (meditasi) adalah laku puncak dalam usaha menguak tabir-tabir rahasia dari Yang Maha
Rahasia, sehingga tujuan manusia untuk menyatu dengan Dia bisa dicapai atas kehendak-Nya.
Pelaksanaan samadhi tidaklah berarti berdiri sendiri, karena berhasilnya seseorang melakukan
samadhi sangat tergantung dari keberhasilan penguasaan atas ilmu pengetahuan (jnana) tentang
falsafah Roh dan keberhasilan dari pelaksanaan tapa, brata, dan yoga sebelumnya. Tapa, brata,
yoga dan samadhi, adalah merupakan tahapan-tahapan laku manusia untuk mencari kesucian hati
dan pikiran, sampai pada akhirnya mencapai Moksartham Jagadhita yang sejati yaitu yang
dikehendaki oleh Yang Maha Menghendaki.

Pada saat seseorang dalam periode waktu

menjalankan tingkatan Brahmacari (sekolah) dan Grehasta (berkeluarga), laku tapa dengan jalan
kerja dan bhakti yang lebih besar porsinya, dibandingkan dengan laku tapa brata, tapa yoga dan
tapa semadhi. Waktu antara grehasta dan wanaprasta barulah sebaiknya ditambah dengan tapa
melalui yoga dan mulai belajar berpuasa (brata). Bagi yang sudah melaksanakan wanaprasta dan
biksukha dimana keadaan kekuatan pisik (secara lahirian) sudah mulai menurun maka, jalan
jnana (dyana) dan semadhi yang lebih besar porsinya, puasa (brata), dan semadhi (meditasi) lebir
besar porsinya ditambah dengan melakukan japa yang sebanyak-banyaknya. Konsep rta
(pengatahuan tentang hukum agama), diksa (pensucian diri), tapa, brata, yoga, semadhi, adalah
merupakan laku yang harus dijalankan manusia (apapun agama dan kepercayaannya) untuk
mencapai tujuan yang hakiki yaitu kembali ke Sangkan Paraning Dumadi.

55

BAB IV
PEMAHAMAN TENTANG SEMBAHYANG, DOA, JAPA,
DAN PELAKSANAANNYA
A. PENGERTIAN SEMBAHYANG
Sembahyang adalah tata cara yang dilakukan oleh seseorang melalui pikiran dalam tujuannya
menuju Tuhan Yang Maha Pencipta dengan diiringi pengucapan syair suci ataupun mantra. Oleh
karena itu, landasan yang paling mendasar dalam pelaksanaan sembahyang adalah bersih hati dan
bersih pikiran supaya sembahyang kita boleh dikatakan baik dan benar dari sudut kacamata
Tuhan. Sebenarnya ada satu prosesi upacara yang sangat patut kita kaji dalam kaitannya dengan
pelaksanaan sembahyang yaitu upacara ngenteg linggih. Setiap membangun pura, maka
dilaksanakanlah upacara pembersihan (melaspas), setelah itu barulah upacara ngenteg linggih.
Makna

yang

dikandung

dari

pelaksanaan

upacara

tersebut

adalah,

setelah

kita

membersihkan/mensucikan pure dari unsur-unsur negatip, maka kita memohon kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa agar berkenan mengutus Bethara (pelindung) agar duduk/bersthana di pure
yang bersangkutan. Kita bandingkan antara diri manusia dengan pure yang bahannya dari paras
dan batu bata dan dibuat oleh manusia. Badan manusia adalah merupakan pure yang sejati yang
diciptakan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Kenapa kita tidak mensucikan diri dengan
trikaya parisudha, tapa, brata, yoga, semadhi, dan selanjutnya kita dudukkan (sthanakan) Tuhan
didalam diri kita? Bagi yang berniat mencari Tuhan, cara mensthanakan inilah yang lebih baik
dibandingkan dengan menyembah, sebab antara yang menyembah dan yang disembah akan selalu
ada jarak, sehingga tidak akan bisa bersatu. Tetapi dengan melakukan pensucian diri (diksa)
secara terus menerus dan memohon agar Dia berkenan duduk di dalam diri kita, maka Dia akan
selalu bersama dan menunjukkan jalan yang terang dan lurus kepada kita untuk menuju kepada
penyatuan antara kawula dengan Gustinya (dhiyo yo nah pracodayat). Adapun bahasa yang
dipergunakan adalah Gayatri mantram, karena Baghavadgita Bab X sloka (35) :
.....gayatri chandasam aham....
Artinya: diantara syair suci Aku adalah Gayatri.
Tingkatan dalam sembahyang ada 4 (empat) :
-

Sembahyang Raga, tingkatan seseorang dalam melaksanakan sembahyang hanya raganya saja
yang sembahyang, sedangkan pikirannya masih berkelana kemana-mana (belum terpusatkan).
56

Sembahyang Rasa, tingkatan

seseorang dalam melaksanakan sembahyang disamping

raganya, pikirannya sudah mulai khusuk, rasa juga ikut sembahyang, sehingga dapat
merasakan getaran-getaran suci dalam jiwanya.
-

Sembahyang Cipta, tingkatan seseorang dalam melaksanakan sembahyang

sudah bisa

mengkonsentrasikan pikirannya, setingkat di atas sembahyang rasa, cakra dahi da ubunubunnya sudah mulai terbuka dan sudah bisa menerima sinyal dari alam gaib.
-

Sembahyang Sukma, tingkatan sembahyang dimana sukma seseorang sudah bisa keluar dari
badannya dan melakukan perjalanan astral ke alam gaib sampai bisa menghadap kepada- Nya.
Inilah puncaknya sembahyang, karena sang kawula langsung mengahadap kepada Gustinya.
Ini juga disebut tingkatan Pratyaksa Pramana (melihat langsung).

Bagi orang yang sudah sanggup melakukan sembahyang sukma, ukuran waktu sembahyang
adalah nafasnya. Setiap menarik nafas dia ingat kepada Tuhan (OM).

B. PENGERTIAN DOA
Doa adalah kalimat yang diucapkan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan
memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Mengabulkan. Bahasa yang dipergunakan dalam
berdoa bisa bahasa sehari-hari, bisa dengan mantra. Sedangkan pengucapannya bisa keluar
melalui mulut (dapat didengar orang lain) atau dengan bahasa kalbu (bathin). Berdoa dapat
merupakan rangkaian dari pelaksanaan sembahyang atau dilakukan khusus sendiri. Berdoa dapat
dilakukan dimana saja, kapan saja. Dalam Gayatri mantram, kalimat pertama, kedua dan ketiga,
adalah merupakan

peng-Agung-an kepada Tuhan, dan kalimat keempat ( dhiyo yo nah

pracodayat, semoga Engkau menunjukkan sinar yang terang kepada hamba dalam menuju
kepada-Mu) adalah merupakan permohonan (doa). Dalam pelaksanaan panca sembah, sembah
yang keempat adalah merupakan permohonan (doa).

C. PENGERTIAN JAPA
Berjapa adalah mengucapkan dengan berulang-ulang bait mantra ataupun salah satu nama
kebesaran Tuhan dengan tujuan untuk mengagungkan-Nya. Berjapa merupakan rangkaian dari
pelaksanaan sembahyang. Dalam Bhagavadgita Bab X sloka (25) dikatakan:
.....yajnanam japayajno smi.......
Aku ini meditasi sunyi (sambil berjapa) diantara cara sembahyang.
57

Maka dari itu, sehabis melaksanakan tri sandhya, sebaiknya melakukan meditasi sambil berjapa
didalam hati. Berjapa (untuk mengingat Tuhan) dapat juga dilakukan tersendiri ketika kita berada
di dalam bis, dalam kereta atau dikantor sesuai dengan situasi yang memungkinkan untuk itu.
Kalimat atau mantra yang bisa dipakai untuk berjapa antara lain :
- Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman
Sebagai pengakuan atas ke-Esa-an dari Tuhan Yang Maha Pencipta.
- Gayatri mantram, yaitu bait pertama dari puja tri sandhya.
Khusus Gayatri mantram ini, penggunaannya multi fungsi.
- Mahammrtyunjaya

mantra

Om Tryambakam yajamahe
sugandhim pusthivardhanam,
urvarukam iva vandhanat
mrtyor muksiya mamrtat.
Mantra ini khusus untuk memohon kesembuhan.
- Astra mantra :
- OM Ung Rah Phat astraya namah,
- OM atmatatwatma sudhamam swaha,
- OM Om ksamasampurnaya namah,
- OM Cri Pacupataye Hum Phat.
Mantra ini sangat rahasia, karena oleh para pendeta diikuti oleh gerak tangan (petanganan). Bila
mantra ini sering dijapa dengan hening, maka dampak kedalam diri adalah penyatuan tiga unsur
Ung Rah Phat, pembersihan atma, mohon kesempurnaan.
- Kuta Mantra :
- Om hram hrim sah parama Ciwaraditya ya namah swaha.
Sebagai penghormatan dan minta kekuatan dari surya. Sebaiknya dilakukan waktu pagi hari
disaat matahari baru muncul atau sore hari saat matahari mau terbenam. Tatap matahari sambil
berjapa, agar kekuatannya berdiam di mata.
- Nama-nama kebesaran Tuhan seperti :
Ya Brahman, Ya Narayana, Ya Hari, YaParama Icwara, Ya Parama Ciwa

58

D. PELAKSAAN SEMBAHYANG
Menurut ajaran agama Hindu, umat Hindu diwajibkan untuk melaksanakan sembahyang tiga
kali dalam sahar (Tri Sandhya) yaitu pada jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 sore dengan
mengucapkan puja Tri Sandhya. Kewajiban sembahyang hanya 3 kali sahar ini, masih sangat
banyak yang tidak menjalankan dengan rutin karena berbagai macam alasan. Umumnya,
kebanyakan mangaku sibuk karena kegiatan rutinitas sahar-hari. Padahal sebenarnya karena
belum menjadi kebiasaan, sebab kalau sudah menjadi kebiasaan, apabila tidak melaksanakannya
sepertinya ada yang kurang atau hilang dalam hidup ini. Sembahyang dalam arti
mengkonsentrasikan pikiran untuk mengingat Tuhan bagi mereka yang sedang berada di kantor
dapat dilakukan di kantor, bagi mereka yang berkendaraan dapat memberhentikan kendaraannya
di tempat yang teduh dan dilakukan di dalam mobil, bagi mereka menumpang bus dapat
dilakukan di dalam bus, bagi yang sedang berdagang dapat dilakukan ditempat berjualan, bagi
yang sedang di sawah dapat dilakukan di sawah, bagi yang sedang di pantai dapat dilakukan di
pantai, carilah tempat yang menurut kita merasa nyaman.

Soal pakaian, kalau bisa yang rapi,

kalau tidak bisa ya yang ada pada saat itu, karena bukan pakaian yang jelek menjadi sebab
sembahyang kita tidak diterima Tuhan, akan tetapi pikiran dan hati yang kotor itulah yang
menjadi penyebab sembahyang seseorang tidak sah di mata Tuhan.
Mengenai tata cara dalam melaksanakan sembahyang (Tri Sandhya) dalah sebagai berikut:
a. Ucapkan Om awighnam astu nama siddham
b. Ambil sikap bersila (sesuaikan dengan keadaan) lalu bersihkan tangan (kare suddha mam)
dengan mantra :
Om kare suddhamam swaha, Om kare ati suddhamam swaha.
c. Ambil sikap asana dengan jari tangan membentuk dewa

pratistha (kedua ibu jari dan

telunjutk disatukan). Makna yang dikandung, dalah untuk menyatukan Brahma, Wisnu dan
Ciwa yang duduk di dalam tri loka pada badan kita (mikro kosmos) yaitu pusar, jantung dan
kepala. Ucapkan mantra:
Om presadha sthiti carire Ciwa suci nirmala ya namah swaha.
Ya Tuhan, semoga badan hamba ini terpelihara sehingga bisa menjadi suci seperti Ciwa.
+ Ucapkan Sthiti mantra :
Om Sa Ba Ta A I Na Ma Ci Wa Ya, Om Ang Ung Mang, mengundang penguasa sembilan penjuru
mata angin untuk menjaga supaya tidak mendapat gangguan dari unsur negatip.
e. Lakukan pranayama dengan mengucapkan mantra pranayama adi (dalam hati):
59

Om Ang Atmaya Brahma murtyayai namah (nafas ditahan di puser sebentar lalu dinaikan ke
dada).
Om Ung Antar-Atmaya Wisnu murtyayai namah (nafas ditahan di dada sebentar lalu dinaikan ke
kepala).
Om Mang Parama Atmaya Icwara murtyayai namah (nafas di tahan di kepala sesuaikan dengan
kemampuan).
Om Ung Rah Phat astraya namah, sarwe winacaya swaha (nafas dikeluarkan secara perlahan).
f. Selanjutnya lakukan Dagdi Karana (pembersihan badan astral) dengan mantra :
Om cariram kundam ityuktan,
Tryantah karanam indhanam,
Saptongkara mayo bahnir,
Bojananta udinditah.
Om Ang astra Kala Agni Rudraya namah.
Badan ini disebut tungku api makanannya (adalah) ketiga bagian bentuk organ dalam, terdiri
dari Sapta Ongkara (yang) telah terbakar sebagai makanan (minyak).

Ya Tuhan, hamba

hormat kepada Ang senjata dari Kala Agni Rudra.


Setelah mambaca mantra, tarik nafas lalu tahan di pusar, bayangkan di daerah dubur (cakra
bumi/muladara cakra) dan ibu jari kaki kanan seperti ada api yang membara naik perlahan
melalui sumsum tulang belakang seolah-olah membakar badan kita.
Selanjutnya membunuh api rahasia tadi dengan Amrta mantra:
Om hram hrim sah parama Ciwaraditya ya namah, Om Um Rah Phat astraya namah.
Setelah mengucapkan mantra, tarik nafas tahan di dada sambil membayangkan seolah-olah
ada tirtha amerta yang menyiram dari ubun-ubun mengalir melalui tulang belakang dan
meresap keseluruh badan dan membersihkan abu rahasia yang dihasilkan oleh pelaksanaan
dagdi karana sebelumnya.
g. Sebelum melaksanakan tri sandhya, bagi mereka yang merasa ketujuh cakranya sudah terbuka,
mengucapkan Sapta Ongkara mantra yang tujuannya untuk menaikkan kundalini. Bagi
mereka yang pemula, sebaiknya mantra ini jangan dipergunakan dulu dan dapat langsung
melaksanakan tri sandhya.
Om Am Ciwa Atmakaya namah (penghormatan)
Om ham Hrdayaya namah (membangunkan Atma)
60

Om Am Brahma Atmane namah


Om Um Wisnu Antar Atmane namah
Om Mam Icwara parama Atmane namah
Om Om Mahadewa nir-Atmane namah
Om Om Sada Rudra ati Atmane namah
Om Om Sada Ciwa niskala Atmane namah
Om Om Parama Ciwa Sunya Atmane namah
Om Am atmane namah.
h. Laksanakan puja tri sandhya dengan suara yang lembut, pelan, ikuti dengan rasa.
Sebelumnya, saudara kita yang lahir bersama-sama diajak : Sadulurku papat kelima pancer,
kakang kawah adi ari-ari, kang lahir tunggal dina, tunggal jalan, kadangku tuwo lan sinom
podo, mari kita sama-sama manembah kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca.
i. Setelah selesai melaksanakan tri sandhya, selanjutnya mengucapkan mantr Mrtyunjaya (pujian
kepada Penakluk Kematian Tuhan Yang Maha Kuasa):
Om Dirghayur bala wrddha cakti karanamam mrtyunjaya caswatan,
Rogadi-ksaya-kusta-dusta-kalusam candra prabhabhawaram,
Hrim mantram cacatur bhujam trinayana wyalopawitam Ciwam,
Cwetam camrta madhyagam sukha karan jiwa ksaya wyansakam,
Cwetamboruha karnikopari gatam dewa suraih pujitam,
Mrtyu krodhabalam maha krti mayam karpura renu prabham,
Twam wande aradaya bhakti caranam prapyam maha pratumaih,
Cantam sarwa gatam nirantam abhawam bhutatmakam nirganam,
Craddha bhakti krtam wimukti karanam wyaptam jagat dharanam,
Mauli bandha krita dharan caitanya dusta ksayam,
Wande mrtyu jitam sayap marahomatra di-dewa Harih,
Mukta twam jagat twam samadhi satatan caitanya dusta ksayam.
Dalam menghafalkan mantra, sebaiknya jangan terlalu emosi ingin cepat hafal. Pikiran harus
tenang, rilek, dan setiap hari dihafalkan satu baris dan seterusnya, sehingga dalam dua belas
hari semuanya bisa dihafal. Semakin bersih pikiran seseorang, semakin cepat mantra menyatu
dalam pikiran. Sesudah hafal seluruhnya, barulah mantra dipergunakan.
61

j.

Selanjutnya, melaksanakan japa (berzikir dengan khusuk).


Oleh karena berjapa memerlukan waktu yang cukup lama, maka sebaiknya panjang dan
pendeknya mantra yang dijapa disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu.

k. Tindakan selanjutnya adalah melakukan meditasi kurang lebih selama 15 menit.


Apabila sembahyang pada malam hari (tengah malam), maka meditasinya bisa disuaikan
dengan kata hati (nurani) sendiri.
Setelah itu tutuplah dengan puja parama santih.
Pada waktu kita datang ke suatu Pure dengan niat untuk sembahyang, maka ada dua hal yang
sepatutnya dilakukan yaitu:
1. Sembahyang untuk diri kita sendiri dengan urutan seperti tersebut di atas.
2. Melakukan penghormatan dengan cara mendoakan Bethara atau gaib, serta para leluhur kita
yang ada di Pure tersebut kepada Tuhan Yang Maha Sempurna.
Ya Tuhan Yang Maha Sempurna, niat hamba menghadiahkan Gayatri Mantram untuk
Bethara yang bersthana di Pure ....(sebutkan namanya), semoga Engkau menganugrahkan
kasampurnan yang sejati kepada beliau. Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman. Ucapkan
Gayatri mantram dengan khusuk sebanyak 108 atau seihklasnya.
Kepada para leluhur, kita juga lakukan penghormatan dengan memohonkan pengampunan
atas dosa-dosa mereka kepada Tuhan Yang Maha Pengamppun dengan sarana Gayatri
mantram. Ya Tuhan Yang Maha Pengampun, niat hamba menghadiah Gayatri mantram
untuk para leluhur atau almarhum orang tua hamba yang namanya ...(sebutkan namanya),
semoga engka mengampuni dosa-dosa beliau dan memberikan tempat yang sesuai denagn
kehendak-Mu. Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman. Ucapkan Gayatri mantram
sebanyak 108 atau seihklasnya. Laksana seperti ini, juga disebut pengabenan secara spiritual
(penyupatan anak yang bhakti /suputra kepada orang tuanya).
Semakin sering kita mendoakan/menghadiahkan Gayatri mantram kepada para bethara
ataupun kepada leluhur, maka akan semakin dekat hubungan kita dengan mereka. Kadangkadang beliau hadir dalam semadhi atau hadir melalui mimpi. Dampaknya ke dalam diri, hati
dan pikiran kita akan semakin bersih, dan merasakan ada kedamaian yang sangat indah,
karena dalam mejalani kehidupan kita selalu dibimbing/dituntun oleh Gusti Kang Moho
Agung.
62

BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat lah ditarik beberapa kesimpulan antara lain :
1. Karena tujuan tertinggi dari manusia adalah menyatu dengan Sang Maha Pencipta, maka dia
harus menyembah dan sujud hanya kepada Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan
mereka. Kepada sesama mahkluk ciptaan-Nya, baik itu dewa, bethara, manusia, iblis ataupun
syetan berlakulah hubungan saling menghormati dan kasih (Tat Twam Asi).
2. Walaupun diberikan dua jalan yaitu jalan material (upacara) dan spiritual (kerohanian), akan
tetapi Weda sangat menganjurkan agar kita lebih memelilih jalah spiritual (kerohanian),
karena dengan jalan spirituallah yang dapat menyelamatkan kita baik di dunia ini maupun di
dunia sana.
3. Manusia dalam tujuannya mencapai mokshartam jagaditha ya ca iti dharma, haruslah terlebih
dahulu menguasai Rta yaitu ilmu pengetahuan tentang falsafah Atman, karena inilah yadnya
yang paling tinggi nilainya, tiada lagi yang lain.
Manusia harus memahami betul tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Rahasia.
4. Manusia dapat mencapai kesadaran tertinggi, alamnya Brahman Yang Agung,

maka dia

harus melepaskan diri dari ikatan duniawi, dia harus sanggup mati di dalam hidup dan hidup
tetapi mati, sesuai dengan ajaran Aji Saka.
5. Manusia dalam perjalanan hidupnya harus dapat menyatukan semua saudaranya, empat yang
di luar dan lima yang di dalam diri, sehingga 4 di luar menjadi 1 dan lima di dalam menjadi 1,
1 di luar ditambah 1 di dalam menjadi 1 (kawula). Selanjutnya 1 (kawula) + 1 (Gusti) = 1
(Brahman Atman Aikyam). Agar saudara empat yang di luar mau bersatu dengan yang empat
di dalam, maka manusia harus mematikan terlebih dahulu saudara empatnya yang negatip
(Catur Ripu) di dalam dirinya.

63

6. Manusia dalam mencapai tujuannya bersatu dengan Sang Maha Pencipta, maka dia harus
melaksanakan Diksa, Tapa, Brata, Yoga dan Semadhi

dengan teguh dan disiplin. Selalu

mengingat Tuhan setiap menarik nafas kehidupan. Rajin melakukan puasa, rajin berjapa dan
paling penting selalu kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan (Tat Twam Asi).
7. Akhirnya diketahuilah, bahwa inti sari dari kehidupan menurut ajaran kitab suci Weda adalah
ISWARA PRANI DHANA yaitu menyerahkan hidup kita semata-mata kepada Tuhan Yang
Maha Pencipta. Biarlah Dia Yang Maha Mengetahui menuntun perjalanan hidup kita dalam
menuju ke kerajaan-Nya.

B. PENUTUP
Demikianlah tulisan yang sangat sederhana ini saya persembahkan kepada umat Tuhan
yangmemerlukan. Tulisan ini masih sangat jauh dari apa yang disebut sempurna, maka dari itu
tugas para pembacalah untuk melengkapi sehingga menjadi sempurna melalui masing-masing
proses pencarian jati diri yang sejati. Agama hanyalah sekedar tuntunan, petunjuk dari Yang
Maha Rahasia bukanlah hanya untuk dijadikan bahan diskusi atau diwacanakan di atas mimbar,
akan tetapi mutlak harus diwujudkan dan dibuktikan dalam tingkah laku keseharian sehingga
mencapai tingkat pratyaksa pramana. Tulisan ini hanyalah sekedar pembasuh dahaga dikala
seseorang kahausan dalam mencari Yang Sejati. Sebagai akhir kata saya haturkan Om
ksamaswamam, dhiyo yo nah pracodayat, Om santih santih santih Om.

64

DAFTAR PUSTAKA

Pendit, S, Nyoman, Bhagavadgita, LPP Kitab Suci dan Dammapada Dep.RI.1967.


Titib, I Made, Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya 1996.
Kajeng, I Nyoman, Dkk. Sarassamuccaya, Hanuman Sakti, 1997.
Pudja, G.MA, Wedaparikrama, Hanuman Sakti 1991.
Pudja, G. MA, SH. Theologi Hindu (Brahma Widya), Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1992.
Parisada Hindu Dharma, Upadeca, 1978.
Puniatmadja, I.B. Oka, Drs.

Dharma Sastra, Hanuman Sakti, Jakarta 1994.

Jendra, I Wayan, Samadhi Hening Tanpa Kata, PT Pustaka Manik Geni 1994.

65

Anda mungkin juga menyukai