Anda di halaman 1dari 251

KEHENINGAN

ATMA JNANA / KESADARAN ATMA

Ditulis Oleh :
I Nyoman Kurniawan

Rumah Dharma - Hindu Indonesia


Namaskara sujud hormat saya yang mendalam
kepada para Guru suci dharma, para Ista Dewata
dan para Leluhur.
KEHENINGAN
Atma Jnana / Kesadaran Atma

Penulis :
I Nyoman Kurniawan

Peraga :
Jro Tjampuhan

Fotografi :
Ketut Eddie Dharmawan [Dudut Photography]

Diterbitkan oleh :
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rahina Kajeng Kliwon Pemelastali, 26 April 2015


Kata Pengantar

Dalam uraian ajaran Hindu Dharma kuno di


tanah nusantara, selalu dapat kita temukan
pemaparan tentang keheningan sebagai Atma
Jnana atau Atma Tattwa [kenyataan sejati semua
mahluk di dalam diri, yaitu Atman]. Atma Jnana atau
Atma Tattwa adalah keheningan yang disebut
sebagai Suwung, Sunia atau Embang. Ini tidak saja
termuat dalam lontar-lontar ajaran dharma, tapi
juga disembunyikan sebagai ajaran rahasia dalam
simbolik tattwa.

Pada puncak atau tingkat pelataran tertinggi


dari Penataran Agung Pura Besakih yang dibangun
pada abad ke-8 Masehi disebut Sanghyang Embang
[yang mahasuci keheningan sempurna].

Selama lebih dari jangka waktu seribu tahun,


Tahun Baru Saka diselenggarakan dengan cara
Nyepi [keheningan].

Di Tampaksiring pada abad ke-10 Masehi


dibangun parahyangan suci sebagai tempat para
Raja Kerajaan Bali membina diri untuk mencapai
Moksha yang diberi nama Parahyangan Suci
Mangening [maha-hening].

Dalam lontar Dharma Sunia disebutkan bahwa


kenyataan sejati Sanghyang Shiwa adalah suwung
[keheningan]. Manifestasi materi dari Sanghyang
Shiwa adalah alam semesta. Ringkasan alam
semesta adalah gunung. Ringkasan gunung adalah
meru [palinggih meru]. Ringkasan meru adalah
manusia atau diri kita sendiri. Artinya manusia
[bhuwana alit] adalah ringkasan dari alam semesta
[bhuwana agung] dan kenyataan sejati manusia
adalah suwung [keheningan].

Kenyataan sejati dari semua mahluk adalah


kesadaran Atma. Kenyataan sejati Atma adalah
keheningan. Di dalam keheningan, disanalah
kenyataan sejati Atma [Atma Jnana] akan hadir
kembali dengan sendirinya.
BAGIAN 1
Samsara : Siklus Kelahiran,
Kehidupan Dan Kematian

Walaupun secara sekala [yang dapat dilihat


dengan mata biasa] kehidupan ini seolah-olah
sepertinya hanya sekali saja dan jangka waktunya
sangat singkat, tapi sesungguhnya selama milyaran
tahun Atma telah menempuh perjalanan di alam
semesta melewati jutaan kehidupan dan kematian,
dengan menggunakan jutaan tubuh fisik.

Sejak jaman yang sangat kuno hingga sampai


jaman sekarang ini, para Maharsi, Mahayogi,
Mahasiddha, Danghyang, dsb-nya, dengan kekuatan
mata spiritual beliau, serta para sadhaka [praktisi
spiritual] yang mata spiritualnya sudah sangat
terbuka, dapat melihat sendiri secara langsung
tentang adanya fenomena samsara [siklus kelahiran
kembali yang terjadi berulang-ulang], hukum karma
[hukum sebab-akibat] dan pencerahan Kesadaran
Atma [Moksha].

Di dalam berbagai buku-buku suci Hindu


banyak dibahas mengenai adanya fenomena
samsara [siklus kelahiran-kematian yang berulang-
ulang].

Seperti misalnya sebagai sebuah contoh, yaitu


kutipan sloka dari Rig Veda I.164.38 :

Apan pran eti svadhaya grbhito


Amartyo martyena sayonih

Artinya :

Jiwa yang memiliki tubuh yang sementara,


mengambil bentuk keberadaan lain mahluk
seperti ini atau seperti itu [terlahir kembali]
menurut perbuatannya [sesuai dengan
karmanya] sendiri.

Kita semua adalah para pengembara samsara


yang terus berkelana selama milyaran tahun dari
satu tubuh fisik ke tubuh fisik lainnya, dalam siklus
kelahiran, kehidupan dan kematian yang terus-
menerus terjadi berulang-ulang.
Dalam jangka waktu milyaran tahun, dalam
berjuta-juta kehidupan sebelumnya tersebut, kita
tidak selalu terlahir sebagai manusia. Semua ini
sangat erat kaitannya dengan akumulasi karma kita
sendiri. Secara umum, akumulasi karma masing-
masing orang adalah yang akan menjadi penentu
kemana Atma akan terbawa setelah dijemput
kematian.

Terdapat empat kenyataan kehidupan sebagai


manusia dalam siklus samsara yang harus kita
ketahui :

1]. Agar kita bisa terlahir sebagai manusia, kita


membutuhkan akumulasi karma baik yang sangat
banyak.

2.] Agar kita bisa terlahir sebagai manusia dan


berjodoh dengan ajaran dharma, kita membutuhkan
lagi akumulasi karma baik yang sangat banyak.

3]. Agar kita bisa terlahir sebagai manusia, berjodoh


dan mampu memahami ajaran dharma dengan baik,
kita membutuhkan lagi akumulasi karma baik yang
sangat banyak.
4]. Agar kita bisa terlahir sebagai manusia, berjodoh
dan mampu memahami ajaran dharma, lalu bisa
melaksanakannya hingga dapat mencapai Moksha,
kita membutuhkan lagi akumulasi karma baik yang
sangat banyak.

Kita harus menyadari bahwa kelahiran kita


sebagai manusia adalah sebuah karunia, yang kita
ciptakan sendiri sebabnya dengan hidup secara baik
dengan timbunan akumulasi karma baik yang
banyak pada kehidupan-kehidupan kita
sebelumnya. Sebaliknya, kelahiran kita yang akan
datang juga akan ditentukan oleh segala apa yang
kita lakukan saat ini juga.

Tapi sayangnya jarak pandang penglihatan


manusia yang tenggelam dalam avidya
[ketidaktahuan, kebodohan] sangat terbatas,
sehingga yang terlihat hanya kenikmatan indriya,
kehormatan, harga diri, gengsi, rasa sakit hati,
keuntungan, harta kekayaan, wujud, serta bentuk-
bentuk fisik dan materi. Hal inilah yang telah
mengundang banyak manusia menjadi enggan
melaksanakan dharma dan malah menciptakan
berbagai karma buruk tanpa menyadari akibatnya
kelak yang fatal.
Orang yang tenggelam dalam avidya,
menyangka perbuatan adharma yang dia lakukan
itu nikmat dan manis laksana madu, selama ketika
buah karma buruk dari perbuatannya itu belum
matang. Tapi disaat buah karma buruk dari
perbuatannya itu matang, maka disanalah dia akan
mengalami kesengsaraan. Oleh karena itu kita harus
tekun dan bersemangat melaksanakan ajaran
dharma dan mengumpulkan akumulasi karma baik,
agar kehidupan kita di masa depan selalu baik dan
beruntung.

Jika selama masa kehidupan ini kita membuat


sedikit akumulasi karma baik [jarang melakukan
kebaikan], serta membuat banyak akumulasi karma
buruk [sering melakukan kejahatan], maka ada
beberapa kemungkinan dalam kelahiran kembali
[punarbhawa, reinkarnasi] kita berikutnya, seperti
misalnya :

== 1]. Setelah meninggal, kemudian Atma akan


terlahir kembali sebagai manusia, tapi dengan
kehidupan yang gelap [tidak ada jalan dharma],
berat dan sengsara.

== 2]. Setelah meninggal, kemudian Atma akan


menjadi hantu gentayangan, atau ditarik masuk
terbawa ke dimensi alam-alam bawah [Bhur Loka],
atau terlahir kembali sebagai hewan [binatang], atau
bahkan masuk alam bawah yang paling gelap dan
sengsara, yaitu alam neraka. Dimana hal ini berarti
kita harus mengulangi lagi dari awal perjuangan
sangat berat untuk dapat terlahir kembali sebagai
manusia. Kita harus mengumpulkan lagi akumulasi
karma baik yang sangat banyak, dalam jangka
waktu sangat panjang, agar kita dapat terlahir
kembali sebagai manusia.

Sebaliknya, jika selama masa kehidupan ini


kita membuat sedikit akumulasi karma buruk
[jarang melakukan kejahatan], serta kita membuat
banyak akumulasi karma baik [sering melakukan
kebaikan] maka ada beberapa kemungkinan dalam
kelahiran kembali [punarbhawa, reinkarnasi] kita
berikutnya, seperti misalnya :

== 1]. Setelah meninggal, kemudian Atma akan


terlahir kembali sebagai manusia, dengan
kehidupan yang terang, damai dan bahagia.

== 2]. Setelah meninggal, kemudian Atma akan


ditarik masuk terbawa ke dimensi alam-alam suci
[Swah Loka].
Singkatnya, kita bisa membayangkan sendiri
seperti apa kehidupan kita yang akan datang hanya
dengan melihat sikap dan tindakan kita disaat ini.

Selain berbagai kemungkinan-kemungkinan


tersebut, terdapat suatu kenyataan semesta yang
tertinggi dan terdalam. Yaitu bahwa kehidupan kita
sebagai manusia hanyalah kulit luar yang semu dan
sangat tidak kekal, dari kenyataan Atma yang
sesungguhnya di dalam diri. Sehingga jalan yang
paling terang adalah jika dalam kehidupan manusia
ini kita dapat mencapai tingkat dimensi kesadaran
Jivan-Mukti, terbebaskan dari siklus samsara dan
memasuki alam-alam suci tingkat dimensi tinggi.
Atau bahkan dapat mencapai pencerahan
Kesadaran Atma [Moksha], menyatu sempurna
dengan Brahman, sekaligus mengakhiri
pengembaraan kita dalam siklus samsara dan
mencapai tingkatan yang amat sangat tinggi.

Kita telah melewati berjuta-juta kehidupan.


Hidup kita disaat ini sebagai manusia dikatakan
sebagai berada di dimensi alam Bwah Loka, atau
alam tengah. Ini disebut sebagai alam tengah,
bukan karena letaknya di tengah-tengah, tapi
karena kehidupan manusia laksana berada di
tengah-tengah, bisa naik keatas [ke alam suci] atau
mencapai Moksha, atau bisa juga terjerumus jatuh
ke bawah [ke alam bawah atau menjadi binatang].
Sehingga siapapun diri kita, bodoh atau pintar,
cantik atau jelek, kaya atau miskin, pegawai
rendahan atau direktur perusahaan, petani atau
pertapa, orang biasa atau mahayogi, semuanya
punya tugas hidup penting yang sama dalam
kehidupan ini, yaitu tekun melaksanakan ajaran
dharma.

Jika kita benar-benar dapat memahami


fenomena siklus samsara dan hukum karma, maka
kita akan dapat mengetahui bahwa mendapat
kesempatan terlahir sebagai manusia adalah tidak
ternilai harganya. Jika kita terlahir sebagai manusia
tapi tidak melaksanakan dharma dan melaksanakan
sadhana, hal itu sungguh adalah sebuah kerugian
amat sangat besar. Ibarat seperti kita pergi ke pulau
harta karun tapi kita pulang dengan tangan kosong.
Kesempatan terlahir sebagai manusia ini akan
tersia-siakan.

Ingatlah, bahwa permata berkah yang paling


utama dalam siklus samsara adalah dapat terlahir
sebagai manusia. Yang artinya, seperti apapun
berkah kehidupan kita, seperti apapun sulitnya
hidup kita, ingatlah bahwa kita sudah dapat terlahir
sebagai manusia. Yang berarti kita memiliki
kesempatan sangat berharga untuk melaksanakan
dharma dan melaksanakan sadhana. Jika kita tidak
melaksanakannya, maka hal itu adalah sebuah
kerugian amat sangat besar.

Sebab utama mengapa Atma terus terlahir,


terlahir dan terlahir kembali, terus mengembara
tanpa tujuan dalam siklus samsara, dalam jangka
waktu yang tidak terhingga panjangnya, adalah
karena kita tidak sadar dengan kenyataan diri kita
yang sesungguhnya, yaitu Kesadaran Atma. Semua
perjalanan kehidupan pasti menuju akhir pada
kematian. Ada manusia yang menikmati
keduniawian kehidupan walau hanya sesaat [hanya
sebatas masa kehidupan yang singkat ini] dan ada
yang bertindak benar dengan berjuang dalam
perjalanan kehidupan, dengan tekun melaksanakan
dharma dan tekun melaksanakan sadhana, sebagai
perjuangan untuk menemukan kembali Kesadaran
Atma di dalam diri.
BAGIAN 2
Melaksanakan Dharma Adalah
Kekuatan Pelindung Utama Dalam
Samsara

Tujuan hidup tertinggi dalam ajaran Hindu


Dharma adalah menyadari kenyataan diri yang sejati
[Atma Jnana], sehingga Atma dapat terbebas dari
siklus samsara dan mencapai Moksha.

Sayangnya bagi kebanyakan manusia, jarak


pandang penglihatannya teramat sangat terbatas,
sehingga yang terlihat hanyalah kenikmatan indriya,
kehormatan, harga diri, keuntungan, harta kekayaan,
wujud, serta bentuk-bentuk fisik dan materi. Hal
inilah yang telah mengundang banyak manusia
enggan melaksanakan dharma dan malah bahkan
menciptakan berbagai karma buruk tanpa
menyadari akibatnya kelak yang membawa
kesengsaraan.
Lahir dan hidup sebagai manusia itu penuh
dengan dinamika. Setiap hari kejadian yang terjadi
itu berbagai macam, datang-pergi, naik-turun,
dengan berbagai dualitas kebahagiaan-
kesengsaraan di dalamnya. Coba kita renungkan
kejadian yang umum dalam sehari-hari ini, misalnya
pagi-pagi kita mesra dengan istri, siangnya istri
ngomel-ngomel menyakitkan, malamnya kita kena
sakit flu. Pagi-pagi pekerjaan kita dipuji-puji oleh
atasan, siangnya klien complain, sorenya ketika
pulang kerja ban kendaraan kita pecah. Banyak
sekali contoh kejadian lainnya dalam kehidupan.
Hidup selalu berada dalam dinamika naik-turun
dengan berbagai dualitas kebahagiaan-
kesengsaraan di dalamnya.

Umumnya hanya persoalan waktu kita sebagai


manusia terjerumus ke dalam lubang perangkap
kehidupan. Kita yang sudah menikah kemudian cari
istri lagi, itu masuk perangkap. Kita tidak puas
dengan gaji kemudian kita korupsi, itu masuk
perangkap. Kita tidak puas dengan suami atau istri
kemudian selingkuh atau minta cerai, itu masuk
perangkap. Kita tidak puas dengan atasan lalu kerja
dengan bermalas-malasan, itu masuk perangkap.
Tentu masih banyak sekali contoh lainnya dalam
kehidupan. Kita hanya akan menyakiti dan melukai
diri kita sendiri maupun orang lain. Ujung-ujungnya
kelak diri kita sendiri akan sulit keluar dari jurang
kegelapan dan kesengsaraan. Dengan kata lain,
sangat-sangat mendesak bagi kita sebagai manusia
untuk segera ”sadar”, karena kita dikelilingi oleh
berbagai lubang perangkap kehidupan. Jika kita
salah melangkah, cepat atau lambat kita akan
terbawa masuk ke dalam jurang kesengsaraan.

Di dalam Rig Veda V.12.5 disebutkan sebagai


berikut :

Adhursata svayam ete vacobhir


Rjuyate vrjinani bruvantah

Artinya :

Orang-orang yang tidak berjalan lurus


[tidak melaksanakan ajaran dharma], akan
mengalami kehancuran semata karena
perbuatan-perbuatan [karma buruk] mereka
sendiri.

Dari sejak awal yang tidak berawal di dalam


mengarungi samsara [siklus kelahiran-kematian
yang berulang-ulang], melewati berjuta-juta
kehidupan, kita tidak punya sumber keselamatan
lain selain melaksanakan ajaran dharma. Tekun dan
tulus melaksanakan ajaran dharma akan menjadi
pelindung utama yang menyelamatkan perjalanan
kita dalam roda samsara.

Di alam semesta ini berlaku hukum karma, ada


akibat karena ada sebab. Sayangnya sebagian orang
tidak mengenali adanya hukum semesta ini, karena
memiliki pandangan salah. Sebagian lainnya lagi,
walaupun sudah tahu akan adanya hukum karma,
tapi dia tetap merasa heran, marah dan protes
ketika berbagai masalah, kesulitan dan
kesengsaraan datang dalam hidupnya.

Dalam hidup ini kita sering melihat kenyataan


yang sulit dipahami. Kita mungkin melihat orang-
orang baik yang menderita dan orang-orang jahat
yang tidak kekurangan suatu apapun. Selain itu
banyak orang yang menderita sejak dilahirkan, baik
karena kekurangan secara fisik maupun kekurangan
mental. Mengapa mereka sengsara dan mengapa
hal itu terjadi ?

Hukum Karma menjelaskan bahwa diri kita


sendirilah yang menentukan garis nasib kita. Jika
dalam kehidupan sebelumnya kita banyak membuat
karma buruk, maka hidup kita disaat ini akan berat
dan sengsara. Jika dalam kehidupan sebelumnya
kita banyak membuat karma baik, maka hidup kita
disaat ini akan banyak kemudahan dan bahagia.

Hanya orang yang mengenali, sadar dan


memahami dalam-dalam tentang hukum semesta
ini [hukum karma] akan menerima setiap kejadian
buruk dengan pikiran damai, karena dia sadar
sedang membayar hutang karma, serta secara
bersamaan berupaya menghentikan sebab yang
akan menghasilkan akibat buruk.

Disinilah pentingnya terus-menerus banyak-


banyak melakukan kebaikan, kebaikan dan
kebaikan, karena karma baik akan membantu
meringankan karma buruk kita. Disinilah pentingnya
terus-menerus berupaya melenyapkan berbagai
kebiasaan-kebiasaan yang menghasilkan karma
buruk, seperti menyakiti dan tidak melakukan
pengendalian diri.

Apa yang tekun kita lakukan dalam kehidupan


sehari-hari akan menjadi kebiasaan. Dimana
kebiasaan-kebiasaan ini bahkan akan dapat terus
berlanjut antar kehidupan. Bila pada kehidupan
sebelumnya kita adalah orang yang bersifat penuh
kebaikan, sabar dan penyayang, maka
kecenderungan tersebut akan muncul dan berlanjut
kembali pada kehidupan kita yang sekarang. Bila
sifat-sifat dharma tersebut terus-menerus diperkuat
dan dikembangkan pada kehidupan saat ini, hal itu
akan semakin kuat dan menonjol pada kehidupan
kita selanjutnya.

Sebaliknya bila dalam kehidupan sekarang kita


enggan dan lalai untuk mengembangkan sifat-sifat
dharma tersebut, sifat mulia tersebut akan
berangsur melemah dan salah-salah akan pudar
baik dalam kehidupan saat ini maupun dalam
kehidupan mendatang. Hal ini akan membuka
kemungkinan bangkitnya kegelapan pikiran dalam
diri kita, menghasilkan karma-karma buruk, yang
sekaligus akan mengakibatkan pengalaman-
pengalaman hidup yang menyengsarakan dan jauh
dari jalan kesadaran.

Berdasarkan hal inilah kemudian para para


Maharsi, Mahayogi, Mahasiddha, Danghyang dan
para Guru suci sangat menekankan bahwa dalam
kehidupan manusia ini kita harus secara tekun
terus-menerus secara serius melaksanakan dharma.
Terutama karena melaksanakan dharma tidak saja
merupakan satu-satunya sumber keselamatan kita
dalam siklus kehidupan dan kematian [roda
samsara], tapi juga sekaligus adalah landasan dasar
yang sangat menentukan di dalam upaya sadhana
untuk memurnikan pikiran [citta-suddhi] dan
melenyapkan ke-aku-an [nirahamkarah], dalam
rangka upaya mencapai Moksha atau pembebasan
sempurna.

Tekun melaksanakan ajaran dharma, tidak saja


akan menjadi penjaga, pelindung dan pembimbing
kita yang abadi dalam mengarungi roda samsara,
tapi juga akan menjadi pondasi dasar pikiran bersih
dan kesadaran terang, yang menjadi pintu gerbang
yang sangat menentukan bagi setiap aktifitas
religius kita. Artinya ketika kita sembahyang atau
japa mantra pikiran kita jadi lebih mudah terhubung
dengan vibrasi kemahasucian dari alam-alam luhur,
ketika kita meditasi kita menjadi lebih mudah
mencapai samadhi, ketika kita mempelajari dharma
kita akan lebih mudah paham dan mengerti, ketika
kita melaksanakan kerja kita akan berbahagia
melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita.
Karena kesucian hanya bisa terhubung dengan
kesucian. Itulah sebabnya juga disebut "gerbang
depan" atau titik berangkat yang terpenting untuk
memasuki dunia spiritual yang mendalam, karena ini
adalah pondasi dasar yang sangat menentukan
keberhasilan semua bentuk jalan spiritual.

Sayangnya, walaupun banyak manusia


sesungguhnya lahir dalam keberuntungan yang
agung, yaitu terlahir di sebuah tempat yang damai,
aman, makmur, serta ada ajaran suci dharma, tapi
dia tidak memahaminya, tidak menghargainya dan
tidak melaksanakannya. Padahal, jika dalam hidup
ini kita tidak melaksanakan dharma dan
melaksanakan sadhana, maka sekali saja kita
terpeleset jatuh, yang artinya dalam hidup ini kita
ada melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya
secara karma, maka perjalanan kita dalam siklus
samsara ini akan terus bergerak menuju arah yang
gelap dan terus semakin gelap.

Artinya dalam perjalanan selanjutnya pada


siklus samsara ini, kita mungkin saja masih akan
dapat terlahir kembali sebagai manusia, tapi dengan
jalan kehidupan yang gelap [tidak ada jalan
dharma], serta mengalami pengalaman hidup yang
berat dan sengsara, seperti misalnya hidup yang
sangat miskin dan sengsara, terlahir di tempat yang
penuh konflik dan peperangan, dsb-nya. Maka hal
itu berarti, perjalanan kita dalam siklus samsara ini
kemungkinan besar akan terus bergerak menuju
arah yang gelap dan terus semakin gelap.

Apalagi jika kita terjerumus ke salah satu dari


4 [empat] jalur perjalanan Atma yang sangat buruk,
yaitu sebagai berikut :

1]. Menjadi hantu gentayangan, atau terjebak di


alam mrtya loka dan alam antarabhava.
2]. Masuk ke alam-alam bawah.
3]. Terlahir kembali sebagai binatang.
4]. Masuk ke alam neraka.

Jika hal tersebut terjadi, maka tidak saja kita


akan terhimpit oleh keadaan sengsara yang sangat
berat, tapi kita juga akan mengalami terlalu banyak
kebodohan, tidak ada ajaran dharma dan tidak
dapat mengerti ajaran dharma.

Dalam keadaan yang seperti itu kita akan


semakin tenggelam di dalam kesengsaraan pada
siklus samsara. Sangat sulit untuk dapat keluar.
Sekaligus bahwa hal itu berarti kita harus
mengulangi lagi dari awal perjuangan sangat berat
untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia. Kita
harus mengumpulkan lagi akumulasi karma baik
yang sangat banyak, dalam jangka waktu sangat
panjang, agar kita dapat terlahir kembali sebagai
manusia.

Dalam kehidupan sebagai manusia ini, adalah


merupakan suatu kebodohan [avidya] untuk
membuang-buang energi kita dalam kesedihan,
dalam kemarahan, dalam dendam, dalam
kebencian, dalam sakit hati, dalam iri hati, dalam
kecemburuan, dalam ketidakpuasan, dalam
keserakahan, dalam kesombongan, atau dalam
pengumbaran hawa nafsu. Lebih baik kita
melakukan sesuatu dengan energi kita yang akan
membawa kita menuju dimensi kesadaran yang
lebih tinggi. Gunakanlah energi kita untuk
melaksanakan kebaikan, untuk menolong mahluk
lain, untuk melaksanakan praktek meditasi, untuk
rajin sembahyang, untuk melaksanakan dharma,
untuk membersihkan diri dengan cara melukat.

Sekalipun dalam hal itu kita mengalami proses


siklus sukses-gagal, naik-turun, jatuh-bangun, itu
suatu hal yang biasa. Yang penting kita tekun, tidak
mudah menyerah dan terus berusaha
melaksanakannya.

Dalam perjalanan kehidupan ini manusia itu


“svatantra katah”, yaitu mahluk yang sepenuhnya
bebas, memiliki kehendak bebas dan sekaligus
bertanggung jawab atas semua pilihan
perbuatannya sendiri. Diri kita sendiri-lah yang
sepenuhnya merancang dan menentukan jalan
kehidupan kita sendiri. Kita memiliki peluang yang
sangat besar untuk memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan hidup.

Tergantung pilihan kita sendiri, bagaimana


pilihan kita untuk bersikap dan bertindak dalam
hidup ini adalah yang pada akhirnya akan
menentukan kita memperoleh kebahagiaan,
kedamaian dan ketenangan hidup atau sebaliknya
bertemu dengan kesengsaraan.

Agar kita tidak salah di dalam mengarahkan


hidup ini kita memerlukan petunjuk jalan yang
terang melalui ajaran Hindu Dharma. Karena hanya
dengan begitu kelak seluruh kesengsaraan bisa
dilenyapkan.

Seluruh alasan kita untuk mempelajari dan


melaksanakan dharma adalah untuk mengetahui
bagaimana cara mengatasi kesengsaraan, serta
bagaimana cara mencapai kedamaian dan
kebahagiaan tertinggi. Apapun bentuk
kesengsaraan yang kita alami, hal itu mempunyai
sebab-sebab dan kondisi bagi keberadaannya.
Hanya jika kita menjadikan pembebasan dari
kesengsaraan [pencerahan kesadaran Atma] sebagai
tujuan-utama, maka itu berarti kita berada di jalur
kehidupan yang benar.
BAGIAN 3
Menemukan Kembali Intisari Diri
Yang Sejati

Intisari terdalam semua mahluk adalah


kesadaran Atma. Sayangnya, ketidaktahuan [avidya]
membuat nyaris semua mahluk mengidentikkan
dirinya dengan hal-hal tidak kekal seperti tubuh,
pikiran dan perasaan. Melalui pelaksanaan sadhana
dharma kita sedang diajak meninggalkan tubuh,
pikiran dan perasaan, untuk kemudian berjumpa
intisari terdalam semua mahluk yaitu kesadaran
Atma.

Kenyataan sejati manusia adalah kesadaran


Atma. Ini berarti sesungguhnya kita tidak pernah
“mencapai” kesadaran Atma. Kita hanya perlu
menyadarinya kembali. Itu bukanlah sebuah
pencapaian, sebab kita hanya perlu melenyapkan
penghalang-penghalangnya saja dan kesadaran
Atma akan hadir dengan sendirinya.
Kesadaran Atma laksana permata berkilau
yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu
selalu ada disana, tapi tidak disadari karena tertutup
lumpur dan tanah. Untuk menemukannya kita hanya
perlu menyingkirkan lumpur dan tanahnya. Sama
dengan kita cukup hanya menyingkirkan samskara
[kesan-kesan pikiran atau pikiran konseptual] dan
ahamkara [ego atau ke-aku-an] yang sudah
berumur sangat lama. Ketika lumpur dan tanahnya
disingkirkan permatanya kelihatan.

Tapi tidaklah mudah untuk melenyapkan


penghalang-penghalangnya. Tidak cukup hanya
dengan meditasi saja, karena pikiran [manas] dan
ego [ahamkara] sangatlah sulit untuk dikuasai.
Sehingga kita memerlukan sebuah sistem sadhana
sebagai jalan yoga yang menyeluruh. Artinya selain
meditasi kita juga memerlukan ruas-ruas landasan
kesadaran yang menghasilkan dasar kejernihan
pikiran. Landasan seperti itu adalah sangat penting,
karena akan sulit membuat meditasi menjadi
mendalam tanpa disertai dasar kejernihan pikiran.
Bermeditasi tanpa melaksanakan ruas-ruas landasan
pada kehidupan sehari-hari adalah mengabaikan
bagian pokok dari jalan.
Dalam buku ini, akan dijelaskan tentang
sistem sadhana berupa 4 [empat] landasan
kesadaran sebagai praktek dalam kehidupan sehari-
hari, sebagai upaya mencapai kejernihan pikiran.
Disertai 1 [satu] ruas praktek meditasi sebagai titik
pusat yang akan menyatukan dan memperdalam
semuanya, sekaligus sebagai jalan kesadaran Atma.
Semuanya ke-5 [lima] ruas ini saling berkait-kaitan,
saling melengkapi dan saling menyempurnakan,
sebagai jalan kesadaran Atma.

Menjaga Bibit
Kekuatan Positif
Di Dalam Diri

Tekun Pandangan
Melakukan Meditasi Positif Dan
Kebaikan Lembut

Melatih Diri
Tidak Menyakiti

Hal ini adalah sebagaimana dalam ajaran suci


Hindu Dharma terdapat berbagai macam sistem
sadhana sebagai jalan yoga. Misalnya Ashtanga
Yoga dalam Yoga Sutra, Dasa Yama Brata dan Dasa
Niyama Brata dalam Sarasamuscaya, Sadangga
Yoga dalam Wrhaspati Tattwa dan Ganapati Tattwa,
dsb-nya. Semuanya secara sistematis mengarahkan
sadhaka mencapai kesempurnaan kesadaran Atma.

Dengan menyadari kembali kenyataan sejati


Atma, kita akan memiliki energi luar biasa untuk
dapat menyelam ke dasar yang terdalam. Kesadaran
seperti ini memberikan kita kesempatan untuk
memahami kenyataan diri sendiri dan pengetahuan
rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada
di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Serta mencapai kedamaian pikiran tertinggi,
sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.
RUAS KE-1

Menjaga Bibit Kekuatan Positif Di Dalam


Diri

Pagar terdepan untuk menjaga kesadaran


bagi para sadhaka pemula, adalah bagaimana
dalam kehidupan sehari-hari kita menjaga bibit
kekuatan positif di dalam diri kita sendiri.

Secara pokok ada 4 [empat] saja, yaitu


bagaimana kita memilah pergaulan, apa yang kita
masukkan ke dalam pikiran kita, melakukan upaya
pengendalian diri, bagaimana upaya kita
menyeimbangkan energi negatif di dalam diri
dengan kekuatan energi positif, serta tidak
mengkonsumsi makanan atau minuman yang
melemahkan kesadaran.
1. SADHU SANGGA - MEMILAH PERGAULAN

Pertama, pilihlah pergaulan secara selektif


terbatas hanya dengan orang-orang yang akan
mendukung perkembangan dan kemajuan
kesadaran kita saja.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja


dengan orang-orang yang tidak berada di jalan
dharma, seperti teman-teman yang suka mabuk-
mabukan, suka mengkonsumsi narkoba, sering
melakukan kejahatan-kejahatan, suka berjudi, suka
menipu, suka berbuat curang [licik], suka seks
bebas, suka korupsi, suka selingkuh, suka dugem,
suka hidup berfoya-foya, suka pesta makan, dsb-
nya. Karena jika kita bergaul dekat dengan mereka,
hanya masalah waktu kita pasti akan terseret dan
terpengaruh.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja


dengan orang-orang yang iri hati dan sentimen
kepada kita, atau mereka yang terlalu sering marah-
marah kepada kita, atau mereka yang terlalu sering
selalu melihat kita salah, atau mereka yang memiliki
pandangan buruk kepada kita. Karena jika kita
bergaul dekat dengan mereka, hal itu secara pasti
akan membuat kesadaran kita gagal untuk mekar.
Sehingga, kelilingilah diri kita dengan orang yang
bisa melihat kebaikan-kebaikan di dalam diri kita,
menghargai kita dan tidak menyimpan pandangan
buruk tentang kita. Cara ini tidak saja menyejukkan
diri kita sendiri, tapi juga menyejukkan lingkungan.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja


dengan orang-orang yang bisa membuat ego kita
naik. Ego ini macam-macam, ego untuk disebut
paling benar, ego untuk disebut paling baik, ego
untuk disebut paling modis mengikuti trend, ego
bahwa kita lebih suci, lebih tinggi atau lebih hebat,
ego untuk disebut paling sukses, ego untuk disebut
paling kaya, ego untuk disebut paling bergengsi,
dsb-nya. Dalam hal ini yang harus diwaspadai
adalah ego dan harga diri yang naik meninggi.
Kemudian, ego dan harga diri yang meninggi inilah
yang selalu menjadi sumber banyak konflik. Sumber
konflik di dalam diri maupun dengan orang lain.
Ketika ego dan harga diri tinggi ini tidak terpuaskan,
maka akan mudah tersinggung dan membuat
keributan.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja


dengan orang-orang yang fanatik atau kaku dalam
ajaran agama, spiritual atau ideologi. Karena
jangankan dalam hal duniawi, bahkan ajaran agama,
memakai baju suci, atau jalan suci-pun juga bisa
menjadi sumber kegelapan pikiran yang bernama
kesombongan dan keserakahan. Hal ini terbukti dari
adanya sejumlah Guru spiritual yang kesana-kemari
berkata bahwa hanya ajarannya saja yang paling
bagus dan benar, atau hanya metode-nya saja yang
paling bagus dan benar. Jika kita bertemu dengan
Guru spiritual seperti itu jangan mencela dan
menghinanya, tapi cukup segera menghindarkan
diri jauh-jauh. Karena kalau kita ikut terpengaruh
menjadi orang fanatik, kita tidak saja akan merusak
diri kita sendiri, tapi kita juga akan merusak tatanan
dan keseimbangan dunia. Sehingga mendekatlah
hanya kepada seorang Guru suci dharma yang
sejati.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja


dengan orang-orang yang membawa kemerosotan
pada wawasan dan kebijaksanaan kita. Misalnya
orang yang memiliki cara pandang pikiran yang
negatif, orang yang suka mengkritik orang lain,
orang yang terlalu melekat dengan pandangannya
sendiri, orang yang suka berdebat, orang yang suka
menghakimi [memvonis buruk] orang lain, orang
yang tidak memiliki toleransi, dsb-nya.
Tidak untuk memvonis [menghakimi] mereka
semua sebagai negatif atau buruk, tapi semata-
mata untuk menjaga bibit kekuatan positif di dalam
diri kita. Karena lingkungan sangat membentuk kita.
Pergaulan menentukan bagaimana diri kita
nantinya. Teman-teman di sekeliling kita akan
memberi pengaruh besar pada perkembangan dan
kemajuan kesadaran kita. Terutama jika kesadaran
dan kemampuan pengendalian diri kita masih
belum kokoh [masih mudah terpengaruh].

Jangankan orang biasa seperti kita, bahkan


para orang-orang suci-pun juga mengelilingi dirinya
dengan keluarga dharma [keluarga spiritual]. Tanpa
penghakiman bahwa orang-orang tidak di jalur
dharma itu buruk, tapi semata dengan tujuan untuk
menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri.
2. SATVIKA VIDYA - MEMILAH APA YANG
KITA MASUKKAN KE DALAM PIKIRAN

Kedua, hati-hatilah memasukkan berbagai hal


ke dalam pikiran kita. Karena apa yang kita lihat, apa
yang kita dengar, serta apa yang kita rasakan,
semuanya memberikan pengaruh pada
perkembangan kesadaran kita.

Jika kemampuan pengendalian diri kita masih


goyah, penting sekali untuk kita hati-hati membaca
koran, hati-hati mendengarkan radio, hati-hati
menonton tv dan hati-hati membaca buku. Karena
itu yang menentukan apa yang kita masukkan ke
dalam pikiran kita. Apa yang kita baca, lihat, dengar
serta apa yang kita rasakan, semuanya berpengaruh
kepada pikiran yang muncul dan berkembang di
dalam diri kita.

Coba saja kita mengkonsumsi pikiran kita


dengan berita kriminal, korupsi, konflik, penipuan,
perceraian, perselingkuhan atau gosip infotainment.
Atau coba dengarkan musik-musik yang bertema
perselingkuhan atau kebencian. Rasakan sendiri
bagaimana dampaknya pada emosi dan jalan
pikiran kita sendiri. Sadar ataupun tidak sadar,
semuanya berpengaruh pada diri kita.

Hal ini juga bahkan termasuk di dalam belajar


agama dan membaca-baca buku suci, khususnya
membaca ajaran agama atau buku-buku suci yang
bisa membuat kita menjadi fanatik. Ingat, bahwa
bahkan kesucian-pun bisa menjerumuskan kita ke
dalam jurang kesombongan dan konflik dengan
orang lain, kalau kita menyebut diri kita benar dan
orang lain salah, kalau kita menyebut praktek atau
metode religius kita lebih bagus dan orang lain
lebih jelek, kalau kita menyebut diri kita suci dan
orang lain kotor.

Karena itu, baca, lihat dan dengarkan hanya


hal-hal yang menyejukkan saja. Perbanyaklah
berinteraksi dengan informasi dan pengetahuan
yang bisa membimbing kita menuju kesadaran yang
terang dan suci. Misalnya hal-hal yang berkaitan
dengan belas kasih, kebaikan, rendah hati,
kesadaran, saling tolong-menolong, dsb-nya.
Pilihlah bacaan, tontonan, serta dengarkan, hanya
yang baik, lembut dan menyejukkan saja.

Sebaliknya hindari menonton berita atau


sinetron yang penuh konflik atau kekerasan. Hindari
membaca berita di medsos yang berisi konflik,
kebencian, atau kekerasan. Hindari membaca koran
yang berisi berita kriminal dan kerusuhan. Hindari
menonton film porno, dsb-nya. Hindari membaca
buku yang berisi ajaran agama atau ideologi yang
fanatik. Hindari menonton sinetron atau berita tv
yang berisi konflik, penipuan, perceraian, berita
kriminal, korupsi atau gosip infotainment. Hindari
mendengarkan lagu-lagu atau berita yang bertema
perselingkuhan atau kebencian. Terutama karena
hal-hal semacam itu membawa energi dari manusia-
manusia yang pikirannya kacau dan gelisah. Hindari
segala bentuk hal-hal semacam itu, dengan tujuan
untuk menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri
kita.

Bacaan, tontonan, serta apa yang kita


dengarkan menentukan energi apa yang kita
masukkan ke dalam pikiran kita. Sadar ataupun
tidak sadar, semuanya berpengaruh pada diri kita.
Apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, akan
memberikan pengaruh pada perkembangan
kesadaran kita. Sehingga belajarlah untuk selektif di
dalam memilih bacaan, tontonan, serta apa yang
kita dengarkan. Pilihlah hanya apa yang bisa
membimbing kita menuju pemikiran serta
kesadaran yang terang dan universal. Misalnya yang
berkaitan dengan kehidupan antar sesama mahluk
yang harmonis, saling tolong-menolong, rendah
hati, kesadaran, belas kasih dan kebaikan.

3. TIDAK MENGKONSUMSI MAKANAN


SERTA MINUMAN YANG MELEMAHKAN
KESADARAN

Ketiga adalah, tidak mengkonsumsi makanan


atau minuman yang mengganggu kesadaran.
Dimana hal ini bisa memiliki dua arti.

Arti pertama, seorang sadhaka yang serius


melatih diri dalam penembusan kesadaran Atma,
akan mengerti bahwa makanan dan minuman
hanyalah penunjang kebugaran dan kelangsungan
hidup. Tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu
ia tidak akan terlalu memilih-milih dan menilai
kelezatan makanan atau minuman, artinya
memburu makanan atau minuman ini karena enak
dan tidak suka dengan makanan atau minuman itu
karena kurang enak.

Arti kedua yang lebih mendalam, karena


makanan dan minuman adalah penunjang
kebugaran dan kelangsungan hidup, maka kita
harus bijaksana dalam memilih makanan dan
minuman apa yang kita konsumsi. Makanan dan
minuman tentu saja hanya sebagian dari banyak
faktor yang mengkondisikan kesadaran kita. Tapi
secara khusus mengkonsumsi minuman keras dan
narkoba adalah yang benar-benar harus dihindari.
Karena tidak saja mengakibatkan tumpukan energi
yang tidak baik di dalam tubuh kita, tapi juga bisa
mengakibatkan melemahnya kesadaran. Ketika
kesadaran melemah, konsentrasi dan perhatian akan
menurun. Ketika konsentrasi dan perhatian
menurun, maka moralitas dan kebijaksanaan akan
sulit untuk dikembangkan.

4. SATTVAVAJAYA - MENYEIMBANGKAN
ENERGI NEGATIF DENGAN ENERGI POSITIF

Ke-empat, lakukan upaya-upaya untuk


menyeimbangkan kekuatan energi negatif di dalam
diri kita dengan kekuatan energi positif. Ada banyak
ragam caranya, yang caranya bisa kita pilih serta kita
padu-padankan sesuai dengan kondisi kita sendiri
yang memungkinkan.

Setiap pelaksanaan swadharma [tugas-tugas


kehidupan] dan sebagian dari kejadian-kejadian
yang kita alami dalam kehidupan, mengandung
bibit-bibit stres, kegelisahan dan ketegangan. Akan
tetapi stres, kegelisahan dan ketegangan,
cengkeramannya pada kesadaran kita akan lebih
melemah, jika kita tekun menyeimbangkan kekuatan
energi negatif di dalam diri kita dengan kekuatan
energi positif.

Ada banyak sekali pilihan cara untuk


menyeimbangkan kekuatan energi negatif di dalam
diri kita dengan kekuatan energi positif.

Misalnya seperti dalam beberapa contoh di


bawah ini :

== 1]. Melakukan Tirtayatra.

Jika kesadaran dan kemampuan pengendalian


diri kita masih belum kokoh [masih mudah
terpengaruh], menjauhlah atau menghindar untuk
mendatangi tempat-tempat yang bisa menggoda
dan mengganggu kesadaran kita.

Misalnya hindari datang ke tempat judi,


hindari datang ke tempat dugem, kalau tidak perlu
hindari datang ke mall atau pameran, hindari terlalu
sering datang ke tempat makan enak, hindari
datang ke tempat pusat permainan video game,
hindari datang ke tempat berkumpulnya orang-
orang yang bisa menggoda kesadaran
pengendalian diri kita, atau orang-orang yang suka
bergossip atau menjelekkan orang lain, dsb-nya.
Karena bahayanya hal seperti itu, terutama kalau
kesadaran masih labil dan goyah, kita tidak
mendesak perlu seperti itu kita bisa terpengaruh.

Sebaliknya, kalau kita memiliki waktu luang


alangkah baiknya kalau kita sering-sering
mendatangi tempat-tempat suci yang sakral.
Lakukan perjalanan ke tempat suci yang paling kita
suka, atau tempat suci yang memiliki hubungan
karma kuat dengan kita, atau tempat suci yang kita
rasakan memberikan banyak kesejukan di dalam diri
kita. Dengan tirtayatra ke tempat-tempat suci
seperti itu, kalau pikiran kita dapat tersambung
dengan getaran energi kesucian di tempat tersebut,
hal itu akan mempengaruhi pikiran kita menjadi
sejuk, damai dan sekaligus mengangkat kesadaran
kita.

== 2]. Melakukan Kegiatan Spiritual.

Kegiatan spiritual dapat membantu kita


menghidupkan kekuatan positif di dalam diri, dapat
menghidupkan kesadaran di dalam diri, dapat
membantu mengumpulkan akumulasi karma baik,
dapat membantu mengikis karma buruk, dapat
membantu memurnikan energi di dalam diri, serta
dapat memberikan kita perlindungan niskala.
Sehingga lakukan kegiatan spiritual apa saja yang
mungkin kita suka.

Cara yang paling praktis dan efektif adalah


dengan tekun melukat di parahyangan suci. Karena
air adalah penghantar terbaik bagi energi kosmis
suci dari para Ista Dewata dan alam semesta. Tapi
dengan suatu syarat, asalkan dilakukan dengan
memenuhi ketentuan tata cara melukat yang tepat.
Sehingga melukat dapat memberikan manfaat
sangat besar secara spiritual, yaitu
menyeimbangkan kekuatan energi negatif di dalam
diri [marah, sedih, takut, penyakit, dsb-nya] dengan
kekuatan energi positif, pemurnian diri, peningkatan
kesadaran dan pembersihan energi karma buruk.

Cara lainnya adalah dengan tekun melakukan


penjapaan mantra Ista Dewata. Kekuatan suci
mantra Ista Dewata melalui penjapaan mantra akan
terserap masuk ke dalam diri kita. Yang
memurnikan, menyembuhkan dan menanamkan
benih-benih kesadaran di dalam diri kita. Atau
dalam spirit yang sama, ini juga bisa kita lakukan
dengan cara kita rajin sembahyang Panca Sembah
tiga kali sehari [Tri Sandhya].

Cara lainnya adalah dengan melakukan


praktek yoga-asana. Manfaat praktek yoga-asana
sangatlah banyak. Selain memberikan manfaat fisik
berupa perbaikan kesehatan yang meyakinkan,
praktek yoga asana juga memberikan manfaat
secara mental, yaitu meringankan depresi,
meningkatkan kebahagiaan, meningkatkan
kecerdasan dan meningkatkan daya ingat. Yang
terpenting adalah praktek yoga-asana membantu
melancarkan dan menyeimbangkan sirkulasi energi
di dalam diri kita, serta membantu meningkatkan
kekuatan energi positif di dalam diri kita melalui
masuknya energi prana yang segar.
RUAS KE-2

Memandang Setiap Hal dan Setiap


Kejadian Dari Sudut Pandang Positif Dan
Lembut

Munculnya landasan dasar kebijaksanaan,


kejernihan dan kedamaian di dalam diri
sesungguhnya hanya persoalan mengambil sudut
pandang yang tepat. Setiap hal dan setiap
pengalaman dalam kehidupan ini dapat dipandang
dengan cara apa saja. Jika sudut pandang kita gelap
dan keras, maka kesengsaraan dan kekacauan yang
akan muncul di dalam diri, sekaligus menjadikan
kehidupan kita juga keras dan kacau. Sebaliknya jika
sudut pandang kita positif dan lembut, maka
kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian-lah yang
muncul di dalam diri.
Setiap ada masalah, gangguan serta godaan,
atau apa saja yang muncul dalam perjalanan
kehidupan kita, belajarlah untuk memandangnya
dengan sudut pandang positif dan lembut.
Buanglah setiap sudut pandang yang gelap dan
keras.

Secara pokok ada tiga saja, yaitu memandang


diri sendiri secara positif dan lembut, memandang
orang lain secara positif dan lembut, serta
memandang perjalanan kehidupan secara positif
dan lembut.

1. MEMANDANG DIRI SENDIRI SECARA


POSITIF DAN LEMBUT

Pertama, belajar memandang diri sendiri


sebagaimana adanya secara positif dan lembut.
Karena keresahan dan kegelisahan pikiran selalu
berawal dari ketidakpuasan atau kekecewaan kita
akan diri kita sendiri. Ketidakpuasan atau
kekecewaan akan keadaan diri sendiri akan
menimbulkan konflik di dalam diri. Yang
menghalangi perkembangan dan kemajuan
kesadaran kita. Sehingga jadilah diri sendiri seperti
apa adanya dengan damai dan bahagia.
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri
sendiri seringkali muncul dari membandingkan diri
sendiri dengan orang lain. Yang menimbulkan salah
satu ilusi dalam kehidupan ini, yaitu ilusi akan
adanya kehidupan yang enak, nyaman, mudah,
bebas dari masalah, atau bahkan sepenuhnya
bahagia. Itu hanya ilusi dalam pikiran kita saja.
Sesungguhnya tidak pernah ada kehidupan seperti
itu. Walaupun menjadi orang cantik atau ganteng,
orang cerdas, orang keren, orang kaya, dihormati,
dipercaya, dsb-nya, tetap saja perjalanan kehidupan
tidak dapat sepenuhnya enak, nyaman, mudah dan
bebas dari masalah. Dibalik setiap kelebihan atau
kesuksesan pasti selalu ada sisi-sisi kesulitan dan
kesengsaraan dalam kehidupan. Semua orang di
dunia ini punya kesengsaraan, kesulitan dan
masalahnya masing-masing.

Memandang kelebihan atau keberhasilan


orang lain sebagai standar perbandingan dengan
diri sendiri, disebut dengan cara pandang
persaingan. Dampaknya adalah akan membuat kita
tidak puas dan kecewa dengan diri sendiri, atau
dengan kata lain menimbulkan konflik pikiran,
membuat kita berperang dengan diri kita sendiri.
Misalnya membuat kita merasa diri kurang cantik
atau ganteng, merasa kurang cerdas, merasa kurang
keren, merasa tidak cukup kaya, dsb-nya. Tanpa
sadar di satu sisi kita akan kehilangan diri kita
sendiri yang unik dan berbeda dari orang lain,
sekaligus di sisi lain kita pasti akan gagal menjadi
orang lain. Ini akan membuat pikiran kita terasa
lelah, hampa atau terasing. Yang merupakan awal
dari banyak kemarahan dan kesengsaraan di dalam
diri.

Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri


sendiri juga dapat muncul karena kita terlalu
memikirkan pendapat orang lain. Sehingga kita
mengukur diri kita sendiri dengan ukuran orang lain.
Sekali lagi, itu akan menimbulkan ketidakpuasan
atau kekecewaan akan diri kita sendiri. Hanya
masalah waktu kita akan kelelahan, merasa terasing
atau tersesat dalam perjalanan kehidupan kita
sendiri.

Sehingga dengarkan pendapat orang sebatas


secukupnya saja, kemudian belajar untuk bersyukur
dan berterimakasih dengan keadaan diri kita sendiri
sebagaimana adanya. Jangan terlalu menghiraukan
pendapat orang lain yang menilai kita begini dan
begitu. Jangan menilai diri kita sendiri melalui
penilaian orang lain, karena hampir semua penilaian
bahkan datang dari orang-orang yang tidak
mengenal dirinya siapa.

Selalulah memilah dengan baik, mana


pendapat orang yang layak didengarkan dan mana
yang harus dibuang. Karena jika kita mendengarkan
semua komentar atau pendapat orang lain akan
membuat pikiran kita mirip tong sampah. Persoalan
waktu akan menjadi busuk dan menjadi sumber
penyakit. Sehingga, kenalilah diri kita sendiri,
kenalilah putaran karma kita sendiri, kenalilah
kebutuhan diri kita sendiri, untuk kemudian
berkembang dan mengambil jalan yang paling
sesuai dengan diri kita sendiri. Jadilah diri sendiri.

Di jaman ini terlalu banyak manusia yang tidak


mengenali dirinya sendiri, untuk kemudian
diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain.
Terutama disebabkan karena kebanyakan manusia
membutuhkan pengakuan. Di jalan dharma
diajarkan, pengakuan adalah makanan dari ego
[ahamkara]. Selain itu, kejernihan, kedamaian dan
kebijaksanaan tidak pernah bisa dicapai dengan
pengakuan, melainkan dengan cara menerima diri
kita sendiri sebagaimana adanya, dengan rasa
syukur dan rasa terimakasih. Kemudian berkembang
dan mengambil jalan yang paling sesuai untuk diri
kita sendiri.

Benih kejernihan sebagai akar kedamaian dan


kesadaran baru dapat mulai bersemi di dalam diri,
ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih
dengan keadaan diri kita sendiri sebagaimana
adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik dan
berbeda dari orang lain. Tidak bersaing atau
membanding-bandingkan diri kita sendiri dengan
orang lain.

Untuk itu, sudah selayaknya kita memandang


diri sendiri sebagaimana adanya secara positif dan
lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan
kejernihan dan kedamaian dengan pikiran yang
positif dan lembut terhadap diri sendiri. Jangan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Bahagialah dengan diri sendiri. Jadilah diri sendiri
sebagaimana adanya. Setiap manusia itu unik dan
berbeda dari orang lain. Bersyukurlah dengan
kondisi dan keadaan diri kita, serta apa yang kita
miliki. Semakin kita dapat menerima diri
sebagaimana adanya, maka semakin mekarlah
kesadaran kita. Karena penerimaan seperti ini yang
akan menghentikan konflik dan benturan pikiran,
sehingga kejernihan dapat bersemi di dalam diri
kita.

2. MEMANDANG ORANG LAIN SECARA


POSITIF DAN LEMBUT

Kedua, belajar memandang orang lain secara


positif dan lembut. Karena jika kita memandang
orang lain dengan sudut pandang yang gelap dan
keras, maka itu sama dengan menyalakan api di
dalam diri kita. Yang pertama terbakar dan
kehilangan kejernihan kesadaran adalah diri kita
sendiri. Selain itu juga, akan seketika membuat kita
kehilangan kebijaksanaan dan sifat belas kasih.

Misalnya [sebuah contoh] disaat kita bertemu


dengan orang-orang yang menyakiti dalam
kehidupan keseharian.
Melihat dari sudut pandang positif berarti
melihat mereka bukan sebagai orang jahat,
melainkan sebagai guru dharma yang sedang
membimbing kita menuju kesadaran sempurna.
Sebab orang-orang yang menyakiti akan memaksa
kita melihat “ke dalam diri”. Tanpa bertemu orang-
orang yang menyakiti, kita tidak akan mau melihat
“ke dalam diri”. Kita akan terseret ke dalam arus
kehidupan duniawi yang gelap. Sehingga orang-
orang yang menyakiti sesungguhnya adalah guru
dharma yang sedang mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.

Melihat dari sudut pandang lembut berarti


melihat orang-orang yang menyakiti kita bukan
sebagai orang jahat, melainkan sebagai korban.
Masalah sesungguhnya adalah adanya avidya
[ketidaktahuan atau kesalahpahaman] di dalam diri
mereka, yang berasal dari dari seluruhan
pengalaman hidup mereka. Dari keluarga di rumah
yang mengalami kekacauan, keteladanan para
tokoh yang tidak baik, ketidakadilan hirarki dunia,
berita media yang penuh dengan kekerasan,
pemerintah yang tidak terkelola dengan baik,
sekolah yang terlalu menekan dan tidak mendidik,
ajaran agama yang disampaikan dengan tidak
benar, iklan-iklan yang demikian menggoda
ketidakpuasan manusia, dsb-nya. Itu semua adalah
pengalaman kehidupan yang rumit, yang
menjerumuskan mereka ke dalam jurang gelap
avidya.

Melihat dari sudut pandang lembut juga


berarti kita dapat melihat bahwa setiap perkataan,
perbuatan atau reaksi [respon] dari orang lain
kepada kita semata-mata merupakan hasil
akumulasi dari keseluruhan pengalaman hidup
mereka sendiri. Ketika kita bertemu orang yang
mengganggu di jalan, bertemu kasir supermarket
yang kasar, disakiti orang, dsb-nya, itu
sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan diri
kita. Artinya apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan manusia di dunia ini berasal dari
kecenderungan pikiran, pengalaman buruk, rasa
takut dan upaya pertahanan diri mereka sendiri,
yang bersumber dari pengalaman hidup mereka.
Sekalipun hal tersebut langsung ditujukan kepada
kita, sesungguhnya itu tidak ada kaitannya dengan
diri kita. Melainkan terkait dengan konflik dan
pertempuran pikiran di dalam diri mereka sendiri.

Sehingga ketika kita bertemu dengan orang-


orang yang menyakiti, lihatlah dengan positif bahwa
mereka sedang membimbing kita ke jalan dharma,
menghaluskan kesadaran kita dan memurnikan
karma kita. Lihatlah dengan lembut bahwa di dalam
pikiran mereka sedang bergejolak konflik dan
pertempuran. Serta lihatlah kesengsaraan yang ada
dibalik perbuatan mereka. Mungkin mereka dimaki
atasannya di kantor, diteriaki istrinya di rumah,
anak-anaknya sangat nakal, dsb-nya. Ketika kita
dapat melihat kesengsaraan di balik perbuatan
mereka, kita tidak akan lagi melihat mereka sebagai
orang jahat, melainkan sebagai korban. Itulah
memandang dari sudut pandang yang positif dan
lembut. Kebijaksanaan, belas kasih dan kebaikan
akan mekar di hati kita.

Selain itu perlu diwaspadai, bahwa salah satu


jebakan ego [ahamkara] yang sering muncul ketika
kita merasa diri kita sudah baik atau sudah benar,
adalah kita mulai menjadi terlalu kritis dan banyak
memberi penilaian buruk terhadap kekurangan
orang lain. Ketika kita melihat kesalahan,
kekurangan, keserakahan dan kegelapan pada
orang lain, kita sering tergoda untuk secara agresif
memvonis buruk [menghakimi] orang tersebut. Ini
tidak lain muncul dari ego kita sendiri. Sebuah
jebakan ego [ahamkara]. Ketika kita memvonis
buruk atau menyentil orang lain, tanpa disadari
benih-benih kebencian, kemarahan, kesombongan
atau avidya [ketidak-tahuan] sudah muncul di dalam
diri kita.

Jika kita mudah mengkritik, mudah


menyalahkan dan mudah memvonis buruk
[menghakimi] orang lain, secara pasti kita akan
mengotori pikiran kita sendiri. Kita akan kehilangan
kejernihan dan kedamaian. Pikiran penuh
penghakiman membuat kejernihan dan kedamaian
di dalam diri seketika menghilang. Lebih jauh lagi,
ketika kita mengkritik, menyalahkan atau memvonis
orang lain secara negatif, disaat itu kita sedang
menghidupkan kegelapan di dalam diri kita sendiri,
sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri
orang lain. Kita tidak saja sedang menanam bibit
kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi juga sedang
menanam bibit kekerasan pada orang lain.

Mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan


mudah memvonis buruk [menghakimi] orang lain,
lebih mencerminkan bagaimana diri kita
dibandingkan bagaimana orang lain tersebut.
Kenapa kita kelihatan benar, karena kita mengukur
diri sendiri dengan ukuran diri kita sendiri. Kenapa
orang lain kelihatan salah, karena kita mengukur
orang lain dengan ukuran diri kita sendiri. Itu
sebabnya para orang-orang suci melatih dirinya
untuk tidak mengukur orang lain dengan ukuran diri
sendiri, tapi memandang dari ukuran, sudut
pandang dan latar belakang orang tersebut seperti
apa adanya. Laksana memandang ikan sebagai ikan,
memandang burung sebagai burung, dsb-nya.
Sehingga semuanya dapat terlihat alami di
tempatnya masing-masing.

Dengan memiliki pandangan meditatif seperti


itu, akan memunculkan pengertian yang bijaksana.
Pandanglah orang lain dari sudut pandang positif
dan lembut. Inilah jalan pemurnian kesadaran.
Sebab disaat itu juga kebencian, kemarahan,
kesombongan dan avidya [ketidak-tahuan] lenyap
memudar dari pikiran kita. Untuk kemudian
memberikan ruang pada belas kasih dan kebaikan
di dalam pikiran kita.

Tidak hanya sebatas memurnikan kesadaran


saja, tapi sekaligus juga akan mengirimkan pancaran
energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain.
Sudah sering terbukti jika kita dapat memandang
orang lain siapa saja, atau mahluk apa saja, dengan
sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka
waktu tertentu sifat orang atau mahluk tersebut
lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi
kesejukan dan kedamaian yang terus kita kirimkan.
Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri
tapi juga menyelamatkan orang lain. Ini juga yang
kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan
sengsara.

3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA


POSITIF DAN LEMBUT

Ketiga, belajar memandang perjalanan


kehidupan kita secara positif dan lembut. Karena
dengan cara demikian akan melenyapkan
ketidakpuasan, kemarahan dan kegelapan pikiran,
sekaligus memunculkan kebijaksanaan, kejernihan
dan kedamaian di dalam diri. Itu semua hanyalah
persoalan bagaimana kita bersedia melatih diri
untuk memiliki keterampilan agar dapat
memandang setiap hal dan setiap kejadian dalam
kehidupan dengan sudut pandang yang tepat.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan


merupakan pembayaran hutang-hutang karma
buruk kita di masa lalu. Jika kita dapat menerimanya
dengan lascarya [penuh kerelaan], tidak saja akan
memurnikan hati kita, tapi juga membuat hutang-
hutang karma buruk kita terselesaikan [terbayar
lunas], sekaligus membuka jalan kehidupan yang
lebih terang di masa depan.

Tapi tidak hanya sebatas itu saja, setiap


pengalaman hidup yang menyakitkan, jika kita
merenungkannya dalam-dalam, kita akan dapat
menyadari bahwa kejadian-kejadian yang buruk
tersebut bukanlah sesuatu yang negatif atau buruk.
Justru sebaliknya ! Kita akan dapat memahami
bahwa dibalik semua kejadian-kejadian buruk
tersebut, sesungguhnya alam semesta sedang
menghadirkan cahaya terang di dalam kehidupan
kita. Karena kejadian buruk adalah konsekuensi
bayangan dari kebenderangan. Setiap kejadian
buruk yang muncul dalam kehidupan adalah cara
alam semesta mengarahkan kita membangunkan
kesadaran Atma.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan


adalah cara alam semesta mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma. Setiap
pengalaman hidup yang menyakitkan pikiran-
perasaan, akan memaksa kita melihat “ke dalam
diri”. Memaksa kita memasuki jalan dharma.
Memaksa kita melaksanakan sadhana. Sehingga kita
tidak terus larut dan terseret oleh arus siklus
samsara. Asalkan kita mau memasuki jalan dharma,
melaksanakan sadhana, serta belajar untuk cerdas
dan bijaksana melihat sisi baik, sisi positif dan sisi
lembut pada setiap pengalaman kehidupan.
Disanalah kita sedang membangunkan kesadaran
Atma.

Penghalang utama untuk dapat memandang


perjalanan kehidupan secara positif dan lembut
disebabkan karena kecenderungan pikiran yang
kaku dan keras. Memaksa diri sendiri harus begini
dan begitu. Memaksa kehidupan harus berjalan
begini dan harus begitu. Ketika keinginan tidak
sesuai dengan kenyataan, pikiran kita menolak
dengan keras. Sehingga pikiran menjadi marah,
resah, tegang dan mengalami konflik internal.

Setiap saat hidup ini membawa kita kepada


pilihan. Tersedia pilihan tanpa batas yang kemudian
akan menentukan garis nasib kita. Setiap peristiwa
dan setiap pilihan sikap cara pandang, akan
bermanifestasi menjadi riak-riak berikutnya dalam
aliran perjalanan kehidupan.

Jika kita sudut pandangnya gelap dan keras,


maka pikiran kita juga akan menjadi gelap seperti
dikuasai ketidakpuasan, kemarahan, protes, dsb-
nya. Kita tidak saja akan merasakan sakit dan
kesengsaraan di dalam diri, tapi sekaligus juga
sangat mungkin kita akan menyakiti orang lain. Ini
juga yang kemudian akan membawa garis nasib kita
menjadi lebih panas dan sengsara. Sudut pandang
yang tidak tepat seperti ini akan membuat kita
menghantar diri kita sendiri tenggelam ke dalam
lumpur kegelapan.

Sebaliknya jika kita sudut pandangnya positif


dan lembut, maka tidak saja pikiran kita menjadi
lebih tenang dan damai di dalam diri, tapi sekaligus
juga membuat kita terhindar dari menyakiti orang
lain. Ini juga yang kemudian akan membawa garis
nasib kita menjadi lebih aman, tenang dan damai.

Karena itu mengalirlah dengan keadaan diri


kita dan kehidupan kita sendiri sebagaimana
adanya. Sudah selayaknya kita memiliki pandangan
yang positif dan lembut. Karena lebih mudah untuk
menemukan kejernihan dan kedamaian dengan
pikiran yang positif dan lembut, pada setiap
kemungkinan dalam perjalanan, pada setiap
keadaan. Apapun yang terjadi hanya akan menjadi
karma-karma kita sendiri yang mengalir di sungai
kejernihan dan kedamaian.
Memandang semua hal dan semua bentuk
pengalaman kehidupan dari sudut pandang yang
positif dan lembut, adalah cara agar kesadaran kita
akan dapat bertransformasi menjadi jernih dan
indah. Sebagaimana isi yang termuat di dalam
berbagai buku-buku suci dharma, pikiran yang
memandang dari sudut pandang yang positif dan
lembut adalah jalur cepat menuju kebijaksanaan,
kejernihan dan kedamaian di dalam diri.

Jika semua bentuk pengalaman kehidupan


sudah terlihat positif dan lembut, itu pertanda kita
sudah mengalami pandangan jernih. Pemahaman
mendalam seperti inilah yang menghasilkan prajna
[kebijaksanaan], yang akan membebaskan kita dari
keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.
RUAS KE-3

Melatih Diri Tidak Menyakiti

Dalam membentuk dasar kesadaran, salah


satu hal yang penting untuk dilakukan adalah
menjaga diri kita agar tidak menyakiti, karena itu
semua terkait erat dengan bagaimana terbentuknya
kecenderungan pikiran kita sendiri.

Secara pokok tidak menyakiti ada dua saja,


yaitu tidak menyakiti diri sendiri, serta tidak
menyakiti orang lain dan mahluk lain.

1. TIDAK MENYAKITI DIRI SENDIRI

Ada berbagai cara untuk menyakiti diri kita


sendiri. Sayangnya seringkali kita tidak
menyadarinya. Disini kita cukup memfokuskan
kepada dua saja, yaitu terlalu menekan diri dan
tenggelam dalam rasa bersalah dari masa lalu.

=== I]. TERLALU MENEKAN DIRI SENDIRI

Untuk membentuk dasar-dasar kejernihan


pikiran, kita memerlukan kombinasi yang tepat
antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Karena di dalam diri kita masing-masing terdapat
sisi-sisi energi alamiah, dimana hal tersebut
merupakan hal yang alami dan manusiawi. Jika kita
menekan diri secara berlebihan kita akan melukai
pikiran kita sendiri. Sebaliknya jika kita
mengekspresikan diri secara berlebihan
kemungkinan kita akan melukai orang lain. Dan
keduanya menghasilkan luka-luka yang akan
menyakiti diri kita sendiri.

Terlalu menekan sisi-sisi alamiah di dalam diri


kita sendiri, akan memantul balik dalam bentuk
kekacauan di dalam pikiran kita. Setiap bentuk
pikiran dan dorongan energi alamiah yang ditekan
dan dilarang secara berlebihan kemudian akan
terlempar ke “gudang” bernama alam bawah sadar.
Begitu “gudang” itu penuh, dia kemudian akan
memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk
galau, kesedihan tanpa sebab, dsb-nya. Ini jika terus
berlanjut, maka dalam jangka panjang kemudian
dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat
perilaku yang bersifat merusak diri sendiri dan
orang lain. Seperti misalnya kebencian, kekerasan
dan berbagai bentuk penyimpangan. Inilah yang
disebut oleh para Guru suci dharma sebagai norma
sosial masyarakat, aturan agama dan pandangan
orang lain dapat membuat pikiran manusia menjadi
gelisah, rusak dan terbelah.

Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita


sendiri. Kenali keadaan diri kita sendiri, agar kita
bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita
sendiri yang unik dan berbeda dengan orang lain.
Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Artinya memilih kombinasi yang tepat
untuk diri kita sendiri, kombinasi yang unik dan
tepat antara menekan diri dan mengekspresikan
diri. Karena itulah cara untuk meraih dasar-dasar
kejernihan pikiran.

Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda


satu sama lain. Setiap manusia ada satu sisi dirinya
memerlukan perkembangan kemajuan kesadaran
harus dengan cara mengekspresikan diri, serta ada
sisi lain dirinya memerlukan perkembangan
kemajuan kesadaran harus dengan cara menekan.
Jika satu sisi unik manusia perkembangan kemajuan
kesadarannya yang tepat harus dengan cara
mengekspresikan diri, tapi dia memilih cara
menekan, maka dia akan seperti menyimpan api
membara di dalam dirinya. Cara terlalu menekan
seperti ini akan menyakiti diri sendiri. Menimbulkan
banyak luka-luka pikiran. Persoalan waktu
pikirannya akan menjadi kering dan gelisah.
Demikian juga sebaliknya, jika satu sisi unik manusia
perkembangan kemajuan kesadarannya yang tepat
harus dengan cara menekan, tapi dia memilih cara
mengekspresikan diri, maka dia akan banyak
melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya.

Sehingga ekspresikanlah energi di dalam diri


kita secara sehat dan alamiah, sesuai dengan
panggilan alamiah diri kita. Kurangilah menekan-
nekan diri dengan larangan begini dan begitu.
Tanpa pelabelan dualitas pikiran seperti baik-buruk,
salah-benar, sukses-gagal, dsb-nya. Sebab jika kita
terlalu menekan diri dengan larangan yang tidak
sesuai dengan panggilan alami diri kita, itu berarti
kita melawan arus kekuatan alam, sehingga pikiran
kita akan penuh dengan konflik dan
ketidakharmonisan. Tapi dalam mengekspresikan
diri tetaplah dengan berpegang kepada pedoman
utama yang penting, yaitu kita tidak melakukan
perkataan atau perbuatan yang menyakiti orang lain
atau merugikan orang lain. Artinya ekspresikan diri
sesuai dengan panggilan alami diri kita, tapi dengan
tidak menyakiti atau merugikan orang lain.
Terutama karena di alam semesta ada hukum karma
yang tidak bisa dibendung.

Dalam hal mengekspresikan diri ini seringkali


sebagian dari norma sosial masyarakat dan aturan
agama menjadi halangan yang mengganggu
perkembangan dan kemajuan kesadaran manusia,
dengan cara terlalu banyak menekan dan melarang,
yang bersifat kaku dan dualistik [baik-buruk, benar-
salah, suci-gelap, dsb-nya]. Padahal setiap manusia
itu memiliki jalan perkembangan dan kemajuan
kesadaran yang unik dan berbeda-beda satu sama
lain. Tidak bisa disamakan. Dampak dari tekanan
dan larangan yang bersifat kaku dan dualistik
adalah menekan panggilan alamiah dalam diri
manusia sehingga menimbulkan kegelisahan pikiran
melalui konflik di dalam pikiran, yang muncul dari
dualitas pikiran, seperti buruk melawan baik, kotor
melawan suci, dsb-nya.

Tentu saja norma sosial masyarakat dan


aturan agama bukan sesuatu yang buruk. Norma
sosial masyarakat dan aturan agama berisi banyak
larangan-larangan, dengan tujuan mulia untuk
menjaga manusia agar tidak melakukan kesalahan-
kesalahan berbahaya. Ini tentu tidak salah, karena
norma sosial, aturan dan larangan diperlukan
terutama sekali bagi manusia-manusia yang
kesadarannya baru mulai berkembang, yang masih
kasar dan kuat sifat binatangnya. Semata-mata
untuk menjaga agar manusia tidak
mengekspresikan diri secara berlebihan untuk
kemudian terjerumus ke dalam melakukan
kesalahan berbahaya.

Tapi masalahnya adalah bahwa segala hal


tidak sesederhana dualitas hal ini baik dan hal itu
buruk. Setiap manusia itu masing-masing unik dan
berbeda dari orang lain. Setiap orang memiliki
panggilan alamiah, jalan perkembangan kemajuan,
cara belajar, bakat dan tugasnya masing-masing di
dunia, sesuai dengan putaran karmanya sendiri.
Setiap orang berbeda tidak bisa disamakan. Ada
jejaring kosmik yang rumit di balik semua hal.

Selain itu dualitas pikiran hanyalah sebatas


cara pikiran mengerti dan sama sekali bukan
kebenaran itu sendiri. Artinya kebenaran sangatlah
relatif, sesungguhnya kita bisa memandang apa saja
dengan cara apa saja. Leluhur kita di Bali
mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang
mutlak, tapi kebenaran yang lebih mendekati adalah
kebenaran yang berlandaskan desa, kala, patra
[tempat, waktu, kondisi keadaan].

Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda


satu sama lain. Jujurlah kepada diri kita menyangkut
diri kita sendiri, apa yang terbaik untuk diri kita
sendiri dan bukan melakukan apa yang diharapkan
atau dinilai orang lain. Kita harus percaya diri karena
ini hidup kita sendiri. Tidak ada orang lain yang
dapat benar-benar mengetahui, hanya diri kita
sendirilah yang paling tahu tentang diri kita sendiri,
apa yang terbaik bagi diri kita sendiri dan kita
sendiri juga yang akan mendapatkan hasilnya yang
positif bagi diri kita sendiri.
Sebagian manusia hidupnya gelisah dan
berputar-putar tanpa arah karena terlalu berpegang
kepada pendapat dan sudut pandang pikiran orang
lain, termasuk kepada norma sosial masyarakat dan
aturan agama yang sifatnya terlalu menekan.
Sehingga dengarkan pendapat dari luar sebatas
secukupnya saja, kemudian belajarlah untuk
menjadi diri sendiri. Berpeganglah kepada prinsip
apa-apa yang baik untuk diri kita. Karena jika kita
tidak memiliki pegangan tersebut, maka kejernihan
pikiran kita akan mudah dibuat jatuh oleh hal-hal
sepele yang datang dari sudut pandang dari luar
yang belum tentu tepat dan sesuai untuk kondisi
unik diri kita sendiri.

Kenalilah fenomena tubuh kita sendiri, kenali


fenomena pikiran kita sendiri dan kenali putaran
karma-karma kita sendiri. Intinya adalah mengenali
diri kita sendiri. Pelajari secara seksama diri kita dan
kehidupan kita sendiri. Yang terpenting bukanlah
dualitas salah-benar atau baik-buruk, tapi apa
kebutuhan diri kita sendiri, bagaimana putaran
karma kita sendiri, serta kita memerlukan
perkembangan dan kemajuan kesadaran dengan
jalan apa ?
Di dalam diri kita masing-masing terdapat
kontur-kontur energi yang sifatnya alamiah sesuai
dengan hukumnya, sebagaimana leluhur kita di Bali
mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya bhuta
ya”. Kontur-kontur energi ini ada yang perlu
diekspresikan dan ada juga yang perlu ditekan.

Kontur-kontur energi ini unik dan berbeda-


berbeda pada setiap orang. Tidak ada manusia yang
sama. Jadi jangan mengambil acuan dari orang lain,
melainkan kita harus menggalinya ke dalam diri kita
sendiri. Dalam upaya mengenal kontur-kontur
energi diri kita sendiri yang unik dan otentik, kita
harus dewasa secara spiritual. Artinya kita tidak
diombang-ambingkan pendapat orang lain, kita
tidak mencari acuan dari ajaran agama, serta
standar norma dan moralitas masyarakat, kita tidak
mencari acuan dari orang lain. Kita mandiri dalam
pandangan, sikap dan langkah. Kita tidak
terpengaruh oleh orang lain dan lingkungan. Karena
ini menyangkut diri kita sendiri dan yang paling
mengetahuinya adalah diri kita sendiri, bukan orang
lain.

Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita


sendiri. Kenali keadaan diri kita sendiri, agar kita
bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita
sendiri yang unik dan berbeda dengan orang lain.
Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Pilihlah kombinasi yang tepat untuk diri
kita sendiri, yaitu kombinasi yang unik dan tepat
antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Jadilah diri kita sendiri sebagaimana adanya.

Belajar dari cerita banyak Guru suci dharma,


terdapat banyak murid-murid yang datang untuk
belajar dharma dan meditasi, kegelisahan dan
kelabilan pikirannya berakar dari kehidupan yang
melompat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim
lainnya. Misalnya sebagai contoh, awalnya mereka
memuaskan hidupnya secara berlebihan [seks
bebas, hura-hura, dugem, minum miras, dsb-nya],
setelah dia tidak menemukan apa-apa dalam titik
ekstrim kiri tersebut, mereka memasuki dunia
spiritual. Tapi di dunia spiritual mereka melompat ke
titik ekstrim kanan, dalam bentuk kehidupan asketik
[seperti puasa, pengendalian diri, dsb-nya] yang
menekan diri secara berlebihan. Akhirnya kemudian
pikirannya menjadi gelisah dan labil.

Para Guru suci dharma yang mata spiritualnya


sudah terbuka mengetahui, bahwa orang yang
memuaskan dirinya secara berlebihan dengan orang
yang terlalu banyak menekan dirinya, energi pikiran
di dalam dirinya sama. Keduanya sama-sama
memendam api berbahaya di dalam. Mereka yang
terlalu memuaskan dirinya mirip dengan api
kebakaran yang siap menghabiskan semuanya.
Mereka yang terlalu menekan dirinya mirip dengan
gunung api yang siap meletus.

Dalam simbolik berupa lingkaran sempurna,


kontur-kontur energi di dalam diri kita hanyalah
rangkaian perputaran energi-energi yang mengalir.
Semua itu sesungguhnya demikian sederhana dan
alami saja.

Laksana malam yang berganti siang, atau


musim kemarau yang berganti musim hujan, atau
bunga yang menjadi sampah, demikianlah siklus
perputarannya. Kekacauan dan kelelahan mental
terjadi karena kita gagal mengalir dalam perputaran
tersebut. Menggalilah ke dalam diri sendiri dan
kenalilah diri sendiri, kemudian memilih kombinasi
yang tepat antara mengekspresikan diri dan
menekan diri. Ini akan menyelamatkan kita dengan
cara mengalir dalam perputaran.

Jadi kenali diri kita sendiri, kemudian


ekspresikan diri kita secara tepat dan bijaksana.
Kembali kepada ajaran leluhur kita di Bali bahwa
tidak ada kebenaran yang mutlak, tapi kebenaran
yang lebih mendekati adalah kebenaran yang
berlandaskan desa, kala, patra [tempat, waktu,
kondisi keadaan].

Hanya satu itu saja catatannya yang penting,


bahwa kita perlu memiliki sedikit kehati-hatian di
dalam mengekspresikan diri agar tidak berbahaya.
Ekspresikanlah diri berlandaskan desa, kala, patra.
Ekspresikanlah diri tapi jangan sampai perkataan
dan perbuatan kita menyakiti orang lain, merugikan
orang lain atau menyakiti diri kita sendiri, karena jika
demikian, kemungkinan kita akan melukai diri kita
sendiri dan orang lain. Hasilnya sama saja akan
menimbulkan luka-luka pikiran di dalam diri.

Sehingga ekspresikanlah diri kita berlandaskan


pada desa, kala, patra [tempat, waktu, kondisi
keadaan masing-masing], yang membuat diri kita
sendiri dan orang lain sama-sama damai dan
bahagia.

=== II]. TENGGELAM DALAM CENGKERAMAN


RASA BERSALAH DARI MASA LALU

Untuk membentuk dasar-dasar kejernihan


pikiran, kita juga memerlukan kombinasi yang tepat
antara tidak terlalu tenggelam dalam rasa bersalah,
serta menerima kesalahan kita dan segera
memperbaiki diri.

Disebabkan karena ketidak-sempurnaan diri


kita sebagai manusia, kadang-kadang dalam
perjalanan kehidupan kita tidak dapat melepaskan
diri dari melakukan kesalahan. Kita harus mengerti
bahwa melakukan kesalahan adalah hal yang
manusiawi. Terimalah dengan hati jernih. Yang
terpenting adalah jika kita melakukan kesalahan,
segeralah menerima kesalahan kita dan kemudian
berusaha memperbaiki diri.

Jika kita melakukan kesalahan, kemudian tidak


bersedia menerima kesalahan kita, itu adalah
kesalahan yang lebih besar. Karena jika kebiasaan
seperti ini terakumulasi, kita akan menciptakan
penghalang mental bagi kejernihan pikiran kita.
Melakukan penolakan terhadap kesalahan yang
pernah kita buat akan membuat diri kita tenggelam
ke dalam kegelapan pikiran, yang tidak saja akan
menghalangi perkembangan dan kemajuan
kesadaran kita, menciptakan penghalang mental
bagi kejernihan pikiran kita, sekaligus membuat kita
kehilangan pelajaran berharga dari kehidupan yang
mencegah kita mengulangi melakukan kesalahan
yang sama di masa depan.

Selain itu, jika kita terlalu menyalahkan dan


memvonis buruk diri kita sendiri saat melakukan
kesalahan, itu merupakan sebuah tindakan
menyakiti diri sendiri. Memvonis buruk diri sendiri
atau terlalu tenggelam dalam rasa bersalah tidak
sehat bagi perkembangan dan kemajuan kesadaran
kita. Memvonis buruk diri sendiri akan berdampak
membuat pikiran kita mudah terluka, sekaligus kita
akan sulit tersembuhkan dari luka-luka hati. Pikiran
kita akan menjadi keras-kaku, kita akan mudah
sekali menyalahkan orang lain dan kita akan sulit
memaafkan kesalahan orang lain. Ini tentu saja
dapat membuat kita mudah terjerat ke dalam
kegelapan pikiran.

Di jalan dharma yang penting bukanlah


berapa kali kita melakukan kesalahan, tapi berapa
kali kita bersedia bangkit memperbaiki diri dari
kesalahan. Beranilah mengakui kesalahan kita,
menerima kesalahan kita, memaafkan diri sendiri
atas kesalahan yang kita lakukan, serta sekaligus
berusaha memperbaiki diri agar tidak mengulangi
kesalahan yang sama.
Cobalah belajar untuk menjauh dari sifat
terlalu perfeksionis dalam menuntut diri dan
kehidupan, serta menjauh dari sifat terlalu
menyalahkan diri sendiri. Lupakan kesempurnaan.
Lihatlah ketidaksempurnaan hanya sebagai bagian
dari cara perkembangan kemajuan kesadaran kita.
Mengalirlah seperti apa adanya diri kita dan
kehidupan kita sendiri. Belajarlah untuk terus-
menerus menerima, tersenyum, mengalir dan tidak
memvonis buruk kepada ketidak-sempurnaan diri
atau kepada kesalahan-kesalahan kita.

Di sisi lain belajarlah untuk tidak melakukan


penyangkalan terhadap kesalahan kita. Ketahui
kesalahan dari diri kita. Kalau ada orang yang
tersakiti, jangan ragu meminta maaf. Di lain
sebaliknya kita juga jangan memvonis buruk diri
sendiri dan tenggelam dalam penyesalan akan
kesalahan kita. Karena kita manusia pada dasarnya
tidak sempurna dan melakukan kesalahan itu
sesuatu yang manusiawi. Aliran kehidupan ini
adalah tempat kita belajar. Selalulah melihat
kesalahan sebagai pelajaran berharga kehidupan,
sebagai titik balik bagi perkembangan dan
kemajuan kesadaran kita. Yang terpenting ambil
pelajarannya dan bukannya melekat kepada
kesalahannya.
Dengan mengakui kesalahan diri kita, berani
meminta maaf dan sekaligus memaafkan diri kita
sendiri, pikiran kita akan menjadi lebih jernih. Kita
akan dapat memperbaiki diri sendiri, kita tidak akan
menyakiti diri sendiri, kita tidak akan mudah terluka,
kita mudah tersembuhkan dan kita akan mudah
memaafkan kesalahan orang lain. Kita tidak akan
mudah terjerat ke dalam kegelapan pikiran.

2. TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN DAN


MAHLUK LAIN

Praktek tidak menyakiti orang lain dan mahluk


lain bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan dan
diremehkan dalam perjalanan kehidupan ini. Karena
hal ini tidak saja menyangkut pencegahan kita
membuat karma buruk, tapi juga sekaligus
menyangkut kejernihan pikiran kita, serta pondasi
dasar yang menentukan bagi upaya kita
membangunkan kembali kesadaran Atma.

Di dalam berbagai buku-buku suci Hindu,


banyak sekali dipaparkan secara sangat jelas
mengenai pentingnya melatih diri untuk tidak
menyakiti.
Misalnya sebagai sebuah contoh, yaitu kutipan
dari Vana Parwa sebagai berikut :

Ahimsā satyavacanam sarvabhūtahitam param


Ahimsā paramo-dharmah sa ca satye pratisthitah
Aatye krtvā pratisthām tu pravartante pravrttayah

Artinya :

Mereka yang pikirannya mulia tidak pernah


menyakiti dan penuh kebaikan kepada semua
mahluk. Ahimsa [tidak menyakiti] adalah
dharma yang tertinggi, mereka yang paham
tidak akan pernah menyakiti dalam perbuatan,
perkataan dan pikiran. Mereka sepenuhnya sadar
kepada sebab dan akibat dari perbuatan [hukum
karma], sekaligus menuju kepada pemurnian
pikiran.

Disini dijelaskan mengapa tindakan menyakiti


harus segera dihentikan. Karena menyakiti tidak saja
sumber utama karma buruk, tapi sekaligus juga
salah satu sumber utama pengkondisian pikiran
yang gelap.

Hanya orang yang memahami dalam-dalam


tentang hukum karma dan sekaligus tahu mengenai
hakikat kesadaran Atma, akan berupaya
menghentikan sebab yang akan menghasilkan
karma buruk dan kegelapan pikiran.

Sehingga walaupun dalam hidup ini kita tidak


mungkin bisa sepenuhnya 100% tidak menyakiti,
tapi kita juga harus terus melakukan upaya sebisa
mungkin untuk tidak menyakiti. Kita bisa banyak-
banyak menguranginya dengan kesadaran
sepanjang waktu, tekad kuat dan disiplin untuk
merubah diri.

=== MENJAGA KEJERNIHAN KESADARAN DI


DALAM DIRI

Selalulah ingat di setiap saat, di setiap tempat


dan di setiap keadaan, berusahalah jangan
menyakiti perasaan mahluk lain, jangan
mengganggu mahluk lain, jangan merugikan
mahluk lain, jangan memanfaatkan kesulitan-
kesusahan mahluk lain untuk mengeruk
keuntungan, jangan menipu mahluk lain, jangan
memanfaatkan atau mengeksploitasi mahluk lain,
dsb-nya.
Landasan utamanya adalah praktek melatih
diri untuk menjaga perkataan dan perbuatan kita
agar tidak menyakiti.

== 1]. Menjaga perkataan kita agar tidak menyakiti.

Apapun perkataan yang kita ucapkan, hal itu


tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus
juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.

Jika apa yang kita ucapkan berakibat


membahagiakan orang lain, maka hal itu tidak saja
akan menghasilkan karma baik, tapi juga sekaligus
secara pasti [entah kita sadari atau tidak] akan
mendatangkan energi kejernihan dan kebahagiaan
di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya jika apa
yang kita ucapkan berakibat menyengsarakan orang
lain, maka hal itu tidak saja akan menghasilkan
karma buruk, tapi juga sekaligus secara pasti [entah
kita sadari atau tidak] akan berdampak
mengganggu energi kejernihan, kesejukan dan
kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.

Berhati-hatilah dengan perkataan kita. Jangan


memfitnah. Jangan mengkritik orang lain atau
menjadi sinis tentang mereka. Jangan menghina
mereka yang bodoh, menekan atau meninggalkan
mereka dengan keangkuhan. Jangan membicarakan
keburukan, kekurangan dan kelemahan orang lain.
Singkirkanlah setiap perasaan iri, ketidakpuasan
atau rasa persaingan dalam diri kita. Lepaskanlah
kebanggaan kita. Lepaskanlah merasa penting,
merasa lebih baik, atau merasa lebih benar.

Pertanda jelas dari pikiran yang resah-gelisah


adalah menyelesaikan masalah dengan pikiran yang
kritis, dengan cara mengkritik, memvonis
[menghakimi], menyalahkan atau menghina.
Semakin keras usahanya menyelesaikan masalah
dengan pikiran kritis, semakin resah-gelisah
pikirannya. Tidak saja pikirannya sendiri gelisah, tapi
sekaligus juga akan menyebarkan kegelisahannya
kepada orang lain. Kehilangan kualitas kejernihan
dan kebijaksanaan di dalam diri sendiri, kemudian
kemungkinan juga mencemari pikiran orang lain.

Menjadilah terampil untuk tidak menghina


orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak
menyalahkan atau memvonis buruk orang lain.
Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan
kata-kata sinis terhadap orang lain. Menjadilah
terampil untuk tidak memfitnah orang lain.
Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan
kata-kata yang tidak sebenarnya [berbohong].
Menjadilah terampil untuk tidak membuat janji
terhadap sesuatu yang tidak bisa kita penuhi.

Sangatlah banyak manfaatnya jika kita selalu


waspada dan tekun berlatih menjaga perkataan kita
agar tidak menyakiti. Kita akan terhindar dari
membuat karma buruk, kita akan mencegah diri kita
sendiri dan orang lain mengalami kesengsaraan,
kehidupan kita juga menjadi lebih damai dan
bahagia, serta sekaligus pikiran kita akan cenderung
didominasi oleh kejernihan kesadaran dan energi
pikiran positif.

== 2]. Menjaga perbuatan kita agar tidak menyakiti.

Apapun perbuatan yang kita lakukan, hal itu


tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus
juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.

Jika perbuatan yang kita lakukan berakibat


membahagiakan orang lain, maka hal itu tidak saja
akan menghasilkan karma baik, tapi juga sekaligus
secara pasti akan mendatangkan energi kejernihan
dan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.
Sebaliknya jika perbuatan yang kita lakukan
berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu
tidak saja akan menghasilkan karma buruk, tapi juga
sekaligus secara pasti akan berdampak
mengganggu energi kejernihan, kesejukan dan
kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.

Berhati-hatilah dengan perbuatan kita.


Berpikirlah secara matang dan pelajari situasi dari
segala sudut pandang secara hati-hati. Jangan
melakukan kekerasan secara fisik, apalagi sampai
melakukan pembunuhan. Jangan melakukan
pelecehan seksual. Jangan mengganggu atau
merusak ketertiban umum. Jangan mencuri,
mengambil, mengklaim atau merusak sesuatu yang
bukan milik kita. Jangan punya mata pencaharian
yang menjerumuskan atau merugikan orang lain.

Sangatlah banyak manfaatnya jika kita selalu


waspada dan tekun berlatih menjaga perbuatan kita
agar tidak menyakiti. Kita akan terhindar dari
membuat karma buruk, kita akan mencegah diri kita
sendiri dan orang lain mengalami kesengsaraan,
kehidupan kita juga menjadi lebih damai dan
bahagia, serta sekaligus pikiran kita akan cenderung
didominasi oleh kejernihan kesadaran dan energi
pikiran positif.
=== BELAS KASIH DAN KEBIJAKSANAAN

Tindakan menyakiti hanya menghasilkan


kepuasan atau kesenangan semu, yang sifatnya
sementara, yang tidak ada apa-apanya
dibandingkan kehidupan tenang dan kebahagiaan
di dalam diri yang akan kita dapatkan dengan tidak
menyakiti. Dengan tidak menyakiti kelak kita tidak
akan tersakiti, serta sekaligus tidak akan membawa
kegelapan di dalam pikiran-perasaan kita.

Cobalah direnungkan sejenak, apakah kita


seringkali tanpa sadar mengucapkan perkataan dan
melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain.
Seperti misalnya menjadikan orang lain bahan olok-
olokan, menggosip, memprotes, merendahkan
orang lain, ngebut di jalan, ngebel-ngebel tidak
sabar di jalan, buang sampah sembarangan, ada
wanita lewat kita lecehkan dengan menyiuli cuit-
cuitin, menyerobot antrean, melanggar lampu lalu-
lintas, menghidupkan musik keras-keras, korupsi,
tidak menepati janji, dsb-nya. Mungkin saja ada
banyak sekali, jika kita bersedia merenungkan dan
memperhatikan baik-baik dalam kehidupan.

Agar dapat menumbuhkan hati belas kasih


kepada orang atau mahluk lain, yang dapat
mencegah kita untuk menyakiti, kita perlu mendidik
diri untuk melihat kesamaan-kesamaan diantara kita
semua. Lupakanlah perbedaan, karena jika kita
melihat perbedaan-perbedaan pasti akan
menimbulkan tembok pemisah antara diri kita
dengan yang lainnya. Antara yang dianggap benar
dan yang dianggap salah, antara yang dianggap
baik dan yang dianggap buruk, dsb-nya. Sebaliknya
dengan melihat kesamaan diantara kita semua akan
menimbulkan keterhubungan yang sakral. Sehingga
belajarlah memandang kesamaan-kesamaan
diantara kita semua, yaitu :

== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga


mencari kebahagiaan di dalam hidupnya.
== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga
tidak mau disakiti dan berusaha menghindari
kesusahan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.
== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga
pernah menjalani hari-hari buruk yang berat.
== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga
pernah mengalami kesusahan, kesengsaraan,
kesedihan, keputus-asaan dan kesepian di dalam
hidupnya.
== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga
berusaha memenuhi apa kebutuhan atau keperluan
hidupnya.
== Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga
sedang sama-sama dalam proses belajar di dalam
perjalanan kehidupan.

Lihatlah orang lain dan mahluk lain dengan


senyuman belas kasih, karena dalam samudera
samsara ini mereka semua sama seperti diri kita.
Terima mereka seperti sebagaimana adanya, karena
kita semua sama dan kita semua sedang sama-sama
dalam proses belajar di dalam perjalanan kehidupan
dengan jalan serta cara kita masing-masing.

Jangan pernah mengecilkan peran perkataan


dan perbuatan yang tidak menyakiti orang lain atau
mahluk lain. Berbicaralah kalau kita yakin
mengeluarkan kata-kata yang baik. Berbuatlah kalau
kita yakin melakukan suatu perbuatan kebaikan.
Dengan cara ini kita membuat hati kita menjadi
jernih dan lapang, serta sekaligus kita juga sedang
membuat dunia lebih indah dari hari ke hari.

Tidak menyakiti sepertinya terkait erat dengan


orang lain dan mahluk lain. Tapi sesungguhnya diri
kita sendirilah yang akan paling merasakan
dampaknya. Dengan tidak menyakiti, hari demi hari
pikiran kita akan semakin dimurnikan, sehingga
memunculkan kejernihan, kesejukan dan kedamaian
di dalam diri.

=== PEMAHAMAN DAN PANDANGAN BENAR

Dalam kenyataan kehidupan keseharian tentu


saja akan ada yang berkata, “saya tidak pernah
berniat menyakiti, saya menyakiti hanya karena saya
terlebih dahulu disakiti”. Ini dapat dianggap sebagai
sebuah pandangan salah, tetapi manusiawi. Karena
di jalan dharma cita-cita luhur tertinggi kita adalah
mencapai kesadaran Atma. Tercapainya kesadaran
sempurna, yang sekaligus akan membebaskan Atma
dari siklus samsara. Kalau demikian adanya tentu
kita harus terlebih dahulu membina diri kita sendiri,
untuk dapat melampaui sifat-sifat ashura [ashuri
sampad] untuk berubah menjadi sifat dewata [daiwi
sampad].

Tapi kita dapat mengubah pandangan salah


kita yang manusiawi tersebut, menjadi pandangan
benar dalam kenyataan absolut alam semesta. Yaitu
jika seandainya kita bertemu dengan orang yang
menyakiti, sadari dalam-dalam tentang fenomena
semesta berikut ini sebagai pandangan benar :
== 1]. Orang yang menyakiti, adalah kekuatan
kebaikan yang sedang membebaskan kita dari
hutang karma buruk.

Berterimakasihlah kepada orang yang


menyakiti, karena orang yang menyakiti
sesungguhnya bukanlah kekuatan jahat yang
meracuni kehidupan kita, tapi kekuatan kebaikan
yang sedang memberikan kita kesempatan
membebaskan diri dari hutang-hutang karma buruk
kita sendiri.

Salah satu sebab kita lahir kembali ke dunia


adalah karena adanya karma avarana atau karma
bhanda [belenggu karma] dan kita harus membayar
hutang-hutang karma tersebut. Sehingga kalau kita
berharap setiap saat kita hanya bertemu orang baik
saja dan tidak pernah bertemu orang-orang yang
menyakiti, kita pasti akan kecewa.

Dalam jutaan kelahiran kita sebelumnya, kita


pasti pernah menyakiti orang lain atau bahkan kita
mungkin saja pernah membunuh orang lain di
jaman barbar dulu dan itu jumlahnya tidak
terhitung, bertumpuk tidak terhingga. Sehingga
alih-alih marah dan balas menyakiti, kita seharusnya
malah berterimakasih. Karena berbagai fenomena
yang kita pandang tidak menyenangkan seperti
bertemu dengan orang yang menyakiti, jatuh sakit,
kena musibah, dsb-nya, sesungguhnya adalah
kesempatan untuk membayar dan melunasi hutang
karma buruk dari masa lalu, untuk kemudian bebas.

Itu semua adalah kesempatan yang sangat


baik untuk membayar hutang-hutang karma buruk
kita kepada orang lain, mahluk lain, alam semesta
dan kesalahan-kesalahan masa lalu. Siapa saja yang
melawannya dengan protes, kemarahan dan balas
menyakiti, tidak saja akan gagal membayar hutang
karma buruk, tapi malah membuat hutang karma
buruk yang baru. Sebaliknya siapa saja yang bisa
menyambutnya dengan pikiran damai, penuh belas
kasih dan tidak balas menyakiti, ia sedang
membayar hutang karma buruk untuk kemudian
terbebaskan. Hutang karma buruknya terselesaikan
dan terhapuskan.

== 2]. Orang yang menyakiti adalah Guru spiritual


terbaik yang sedang menggembleng kita untuk
memurnikan kesadaran.

Berterimakasihlah kepada orang yang


menyakiti, karena orang yang menyakiti
sesungguhnya bukanlah kekuatan jahat yang
meracuni kehidupan kita, tapi mereka
sesungguhnya adalah Guru spiritual terbaik yang
sedang menggembleng kita untuk memurnikan
pikiran kita dan menghidupkan cahaya kesadaran di
dalam diri kita. Sehingga alih-alih marah dan balas
menyakiti, kita seharusnya malah berterimakasih.

Orang yang menyakiti kita, mereka


sesungguhnya sedang melatih kita untuk menjadi
menjadi sabar dan bijaksana, serta sekaligus
memurnikan kesadaran kita. Sangat tidak mungkin
kita menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan
belajar dari dharma wacana atau membaca buku
suci. Kesabaran dan kebijaksanaan paling mungkin
diajarkan [sebagai Guru spiritual terbaik] oleh orang
yang menyakiti kita, dengan syarat kita tidak marah,
diam tenang, tersenyum dengan tingkat kerelaan
yang tinggi dan tidak balas menyakiti.

== 3]. Orang yang menyakiti adalah kekuatan


kebaikan yang sedang memberikan kita kesempatan
untuk mengembangkan kebijaksanaan dan hati
penuh belas kasih.

Berterimakasihlah kepada orang yang


menyakiti, karena orang yang menyakiti kita
sesungguhnya bukanlah orang jahat, tapi orang
yang sedang memberi kita kesempatan untuk
mengembangkan kebijaksanaan dan hati penuh
belas kasih. Terutama karena di balik tindakan
mereka yang menyakiti tersebut, mereka
sesungguhnya mereka di dalam dirinya sedang
tenggelam dalam kesengsaraan.

Setiap orang yang melakukan kejahatan


merupakan korban dari avidya [ketidaktahuan,
kebodohan] dan sekaligus korban dari masyarakat
yang banyak menanamkan bibit-bibit kekerasan ke
dalam diri mereka. Dari keluarga di rumah yang
mengalami kekacauan, keteladanan para tokoh
yang tidak baik, ketidakadilan hirarki dunia, berita
media yang penuh dengan kekerasan, pemerintah
yang tidak terkelola dengan baik, sekolah yang
terlalu menekan dan tidak mendidik, ajaran agama
yang disampaikan dengan tidak benar, iklan-iklan
yang demikian menggoda ketidakpuasan manusia,
dsb-nya. Itu semua adalah pengalaman kehidupan
yang rumit, yang menjerumuskan mereka ke dalam
jurang kegelapan pikiran dan perilaku adharma.

Perilaku adharma yang buruk berasal dari


avidya [ketidaktahuan atau kesalahpahaman] di
dalam diri mereka, berasal dari kesadaran yang
tenggelam dalam cengkeraman sad ripu [enam
kegelapan pikiran], serta berasal dari bibit-bibit
kekerasan yang ditanamkan ke dalam diri mereka
dari seluruh pengalaman hidup mereka. Semua ini
akan bermuara kepada pikiran yang gelisah,
sengsara, bingung dan tenggelam dalam kegelapan,
yang memicu perilaku adharma yang buruk.

Jika kita memandang orang yang menyakiti


sebagai orang jahat, yang muncul dari pikiran kita
adalah kemarahan dan ingin balas menyakiti. Tapi
jika kita memahami secara mendalam bahwa
mereka adalah orang yang sedang sengsara, yang
sangat memerlukan belas kasih kita, yang muncul
dari pikiran kita adalah cahaya terang belas kasih
dan keinginan untuk bersikap baik hati.

Sehingga kapan saja kita bertemu dengan


orang-orang yang menyakiti, kita jangan marah dan
benci kepada mereka, apalagi balas menyakiti. Tapi
lihatlah mereka dengan pandangan benar
kebijaksaan, dengan kesadaran bahwa mereka
adalah mahluk yang sedang sengsara, yang sangat
memerlukan belas kasih kita. Jika kita dapat
bersikap belas kasih dan baik hati kepada mereka,
kelak di masa depan akan ada putaran waktunya
sendiri mereka juga akan melaksanakan dharma.
=== ORANG YANG MENYAKITI ATAU KEJADIAN
YANG MENYAKITI ADALAH PINTU GERBANG BAGI
KEBANGKITAN SPIRITUAL DAN LOMPATAN
KESADARAN

Berterimakasihlah kepada orang yang


menyakiti atau kejadian yang menyakiti. Terutama
karena hampir semua kebangkitan spiritual dan
lompatan kesadaran manusia, dimulai dengan
mengalami kesukaran, masalah, rasa sakit dan
kesengsaraan dalam kehidupan.

Sayangnya ada sebagian manusia, yang ketika


mengalami kesukaran, masalah, rasa sakit dan
kesengsaraan dalam kehidupan, kemudian menolak
dan melawan seperti dengan cara mengumbar
kemarahan, bertengkar, berkelahi, bercerai, dsb-nya.
Sebagian lagi manusia melarikan diri ke jalan yang
berbahaya, seperti mabuk minuman keras, narkoba,
selingkuh, dsb-nya. Atau ada juga yang malah
menjadi bergabung dengan kelompok agama yang
keras dan fanatik. Semua itu bukanlah jalan keluar.
Justru hal-hal seperti itu akan semakin dalam
menjerumuskan kita ke dalam jurang kesedihan,
kesukaran, masalah, rasa sakit dan kesengsaraan,
bukannya menyelamatkan kita. Sekaligus akan
membuat kita kehilangan kesempatan untuk
mengalami kebangkitan spiritual dan lompatan
kesadaran.

Kita sering salah mengerti tentang kesukaran,


masalah, rasa sakit dan kesengsaraan dalam
kehidupan. Sebagian manusia memandangnya
datang untuk menghancurkan dan menyengsarakan
dirinya. Sebagian lagi manusia memandangnya
sebagai hukuman Tuhan, kesalahan, dosa, kualat,
dsb-nya, intinya serba negatif.

Sesungguhnya sama sekali tidak seperti itu.


Tapi kesukaran, masalah, rasa sakit dan
kesengsaraan datang dalam kehidupan untuk
membangunkan kita, untuk membuat kita menjadi
terjaga tentang kenyataan kehidupan ini.

Sejak jaman yang sangat kuno hingga sampai


jaman sekarang ini, para orang suci dengan
kekuatan mata spiritual beliau telah dapat
mengetahui adanya fenomena samsara, hukum
karma dan pencerahan Kesadaran Atma [Moksha].
Walaupun kehidupan ini sepertinya hanya sekali saja
dan jangka waktunya sangat singkat, sesungguhnya
selama milyaran tahun Atma telah menempuh
perjalanan di alam semesta melewati jutaan
kehidupan dan kematian. Kita adalah pengembara
samsara yang terus berkelana dari satu tubuh ke
tubuh lainnya melalui rangkaian punarbhawa
[kelahiran kembali] dalam siklus samsara.

Datangnya kesukaran, masalah, rasa sakit dan


kesengsaraan datang dalam kehidupan, akan
membuat kita terjaga tentang adanya hukum karma,
tentang adanya siklus samsara, tentang jalan
dharma, tentang sadhana [praktek spiritual], tentang
pencerahan kesadaran Atma. Tanpa adanya
kesukaran, masalah, rasa sakit dan kesengsaraan,
kita tidak akan terjaga. Kita menjadi tidak peduli.
Terutama ketika hidup cenderung mudah, nyaman,
tenang, lancar, enak, bahagia, kita tidak akan peduli.
Biasanya kita baru menjadi terjaga, ketika rasa sakit
dan luka-luka hati menusuk jauh ke dalam lubuk
pikiran dan perasaan kita. Disanalah kita menjadi
terjaga.

Ketika kita menjadi terjaga tentang kenyataan


kehidupan ini, terjaga tentang adanya hukum
karma, tentang adanya siklus samsara, tentang jalan
dharma, tentang sadhana [praktek spiritual], tentang
pencerahan kesadaran Atma, disanalah mulai
terbuka jalan agar seluruh kesengsaraan di dalam
diri kita lenyap menghilang. Mulai terbuka jalan
untuk mengalami kebangkitan spiritual. Yaitu
dengan cara memasuki jalan dharma, untuk
menemukan kedamaian sejati di dalam diri, untuk
menemukan cahaya kesadaran di dalam diri.

Lebih dalam dari itu, datangnya kesukaran,


masalah, rasa sakit dan kesengsaraan dalam
kehidupan kita, bertujuan untuk membuat kita
mengalami lompatan kesadaran menuju dimensi
kesadaran yang lebih tinggi. Sejarah panjang
spiritual dharma membuktikan, hampir semua orang
suci yang mencapai kesadaran sempurna selalu
diawali dengan melewati serangkaian rasa sakit dan
kesengsaraan. Mereka yang dalam perjalanan
kehidupannya mengalami kejatuhan, kekalahan,
kehilangan semua yang berharga, kehilangan
seseorang yang mereka cintai, dsb-nya, dan di jalan
dharma-lah mereka menemukan jalan keluar dari
kesedihan mereka. Mereka mengalami banyak siklus
naik-turun dalam kehidupan, dan melalui jalan
dharma mereka menghargai dan memahami
berharganya kehidupan manusia. Mereka tekun
melakukan meditasi, mengisi hati mereka dengan
kebijaksanaan, belas kasih dan kebaikan. Mereka
tidak seketika dilahirkan menjadi orang suci, tapi
berkembang secara perlahan seiring waktu.
Sesungguhnya, jika kita penuh kesabaran,
ketabahan dan memaafkan di dalam menghadapi
kesukaran, masalah, rasa sakit dan kesengsaraan, hal
itu sangat memurnikan dan menyempurnakan.
Memurnikan diri kita dari kesalahan-kesalahan yang
dilakukan di masa lalu [memurnikan karma buruk
masa lalu], memurnikan diri dari segala bentuk ego
[ahamkara, keakuan], memurnikan diri dari
kegelapan pikiran, menghaluskan perasaan, serta
menyempurnakan kesadaran.

Kita akan dapat mengalami kebangkitan


spiritual dan lompatan kesadaran, jika disaat
mengalami kesukaran, masalah, rasa sakit dan
kesengsaraan dalam kehidupan, kita membawa diri
kita ke jalan-jalan yang aman dan disarankan, yaitu
memasuki jalan dharma dan tekun melaksanakan
ajaran dharma. Mereka yang menempuh jalan inilah
yang sangat mungkin terselamatkan. Karena dengan
jalan ini secara perlahan-lahan bertahap kita akan
menemukan kedamaian sejati di dalam diri,
sekaligus terhindarkan dari bahaya kehidupan yang
lebih besar.

Akan tetapi perlu diingat bahwa tujuan kita


untuk memasuki jalan dharma dan tekun
melaksanakan ajaran dharma, bukanlah bertujuan
untuk merubah hidup kita agar selalu lancar, aman,
bahagia dan tanpa gangguan masalah untuk
selama-lamanya. Hal itu berarti kita sudah salah
paham. Terutama karena di alam semesta ini ada
hukum karma yang bekerja. Mengalami
kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit,
keberuntungan, masalah, kesulitan, dsb-nya,
masing-masing pasti akan datang dalam kehidupan
kita tepat pada waktunya, sesuai dengan akumulasi
karma kita sendiri.

Tidak pernah ada kehidupan manusia yang


terus-menerus hanya mengalami keadaan bahagia,
senang, dihormati, dipuji, sukses, dsb-nya. Demikian
juga sebaliknya, tidak pernah ada kehidupan
manusia yang selalu terus-menerus hanya
mengalami keadaan sedih, sengsara, direndahkan,
dihina, gagal, dsb-nya. Karena hidup ini selalu akan
bergerak dalam siklus naik-turun. Keadaan
perjalanan kehidupan selalu berubah-ubah.
Pengalaman baik dan pengalaman buruk pasti akan
selalu silih-berganti datang dalam perjalanan
kehidupan.

Mengalami pengalaman baik dan pengalaman


buruk dalam perjalanan kehidupan, keduanya
memiliki tujuan yang sama, yaitu menuntun kita
untuk menemukan kembali Kesadaran Atma.
Pengalaman baik dalam kehidupan, seperti
mengalami kebahagiaan, kesenangan, kesuksesan,
dihormati, dipuji, dsb-nya, bertujuan membawa
kesadaran kita menuju ketinggian yang ringan.
Pengalaman buruk dalam kehidupan, seperti
mengalami kesedihan, kesengsaraan, kegagalan,
direndahkan, dihina, dsb-nya, bertujuan membawa
kesadaran kita menuju kedalaman yang sangat
dalam. Keduanya saling melengkapi dan saling
memperkaya perjalanan kita untuk menemukan
kembali Kesadaran Atma di dalam diri.

Mengalami pengalaman-pengalaman buruk


dalam kehidupan seperti dipermalukan, dihina,
dihakimi, difitnah, dirugikan, direndahkan, dijauhi,
disingkirkan, dsb-nya, merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjalanan kehidupan manusia.
Disebabkan karena akumulasi perbuatan-perbuatan
[karma] buruk dari masa lalu kita akan selalu
kembali pada diri kita. Kebanyakan manusia kalau
mengalaminya akan marah, berontak, atau
melawan, untuk kemudian kehilangan kesempatan
untuk dapat mengalami kebangkitan spiritual.

Tapi jika kita belajar untuk melakukan


perenungan dan membaca pesan simbolik yang
dibawa oleh pengalaman buruk kita sendiri, maka
kesukaran, masalah, rasa sakit dan kesengsaraan
sekalipun akan menjadi Guru spiritual kita. Ia akan
menjadi Guru spiritual yang keras, tapi juga Guru
spiritual yang penuh kebenaran dan berniat baik
yang mengajarkan kita pelajaran spiritual yang
paling sulit, serta memperingatkan kita terhadap
jurang kesengsaraan yang sedang terbuka lebar di
hadapan kita jika menghadapinya dengan cara yang
salah.

Kita selalu dapat memilih untuk sadar bahwa


kesukaran, masalah, rasa sakit dan kesengsaraan
merupakan Guru spiritual yang terbaik. Guru
spiritual yang melatih kita untuk mengolah berbagai
pengalaman buruk dalam kehidupan tersebut
menjadi kekuatan besar untuk menumbuhkan
kekuatan suci di dalam diri, seperti kesabaran,
ketabahan, ketenangan dan kebijaksanaan.

Situasi buruk pasti akan berlalu. Situasi buruk


selalu memiliki kemungkinan untuk dapat dirubah.
Tapi kita perlu melakukan sesuatu untuk
merubahnya, karena sangat jarang suatu keadaan
dapat berubah tanpa kita sendiri bergerak
melakukan perubahan. Tidak ada yang tidak
mungkin. Segala kemungkinan bisa terjadi. Jadi
tetaplah berusaha. Jika kita dapat memperbaiki
situasi keadaan dan melakukan perubahan,
lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Tapi jika kita
tidak dapat memperbaiki situasi keadaan dan
melakukan perubahan, terimalah dengan hati damai
dan penuh kerelaan. Jangan meresponnya dengan
melakukan perbuatan dan mengucapkan perkataan
yang buruk atau melanggar dharma. Karena hal itu
tidak saja akan membuat situasi menjadi semakin
buruk, tapi sekaligus juga membuat kesadaran di
dalam diri kita menjadi semakin gelap.

Jika kita dapat menghadapi kesukaran,


masalah, rasa sakit dan kesengsaraan dalam
perjalanan kehidupan, dengan penuh kesabaran,
ketabahan, memaafkan, ketenangan dan bijaksana,
hal itu sangat memurnikan dan menyempurnakan.
Memurnikan diri kita dari kesalahan-kesalahan yang
dilakukan di masa lalu [memurnikan karma buruk
masa lalu], memurnikan diri dari segala bentuk ego
[ahamkara, keakuan], memurnikan diri dari segala
bentuk kegelapan pikiran, menghaluskan hati, serta
menyempurnakan kesadaran. Hanya dengan cara
inilah cahaya kesadaran kita akan dapat memancar
terang.
Sehingga berdasarkan seluruh sebab-sebab
yang telah dipaparkan diatas, sesungguhnya tidak
ada sedikitpun alasan bagi kita untuk tidak
melaksanakan ahimsa atau tidak menyakiti.
Termasuk ketika kita disakiti, hendaknya kita tidak
membalas menyakiti, tanpa menyisakan sedikitpun
noda kemarahan, kebencian dan dendam.

Dengan tidak marah dan benci kita lebih


sedikit melukai hati dan perasaan mahluk lain.
Dengan sikap rendah hati kita bisa menghormati
orang lain. Dengan tidak serakah kita lebih sedikit
membuat orang lain menderita. Dengan belas kasih
kita tidak membalas bentakan orang tua, tidak balas
marah pada suami atau istri yang marah, tidak
menyakiti anak yang nakal, tidak memaki pada
orang yang merendahkan kita. Itu semua sudah
mengurangi kesengsaraan orang lain. Itulah ahimsa
paramo-dharmah [tidak menyakiti adalah dharma
yang tertinggi].

Kehidupan tanpa menyakiti [ahimsa] bukanlah


satu pilihan hidup bagi orang-orang yang berhati
lemah, melainkan bagi para pemberani. Kalau bisa
damai, sejuk dan tidak menyakiti saat dipuji dan
dihormati itu anak kecil juga bisa melakukannya.
Tapi kalau bisa tetap damai, sejuk, belas kasih dan
tidak menyakiti saat dihina, dimaki atau disepelekan,
itulah orang yang memiliki sifat dewata atau
kesadaran dewa [daiwa sampad], pikirannya sekuat
batu karang dan sejernih mata air.
RUAS KE-4

Tekun Melakukan Kebaikan-Kebaikan

Salah satu rahasia penting semua jalan


spiritual adalah hati yang penuh belas kasih dan
kebaikan.

Pertama, karena praktek agama, praktek


spiritual, atau praktek religius manapun akan
dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa
dilandasi hati yang penuh belas kasih dan kebaikan
kepada semua mahluk.

Kedua, karena belas kasih dan kebaikan


adalah awal dan akhir semua jalan spiritual. Di awal
menjadi pondasi sangat penting dan di akhir ketika
mencapai kesadaran Atma yang sempurna, sebagai
hasilnya adalah keheningan pikiran, serta hati yang
penuh belas kasih dan kebaikan. Demikian
menentukannya, sehingga kalau seluruh ajaran
dharma di-intisarikan menjadi satu ajaran saja, maka
hal itu adalah belas kasih dan kebaikan tanpa batas
kepada semua mahluk.

Yang dimaksud dengan hati yang penuh belas


kasih adalah kemampuan dan kepekaan untuk ikut
merasakan kesedihan, kesengsaraan atau harapan
terpendam mahluk lain, yang diikuti dengan
dorongan alami di dalam diri untuk membebaskan
mereka dari hal-hal tersebut. Memberikan mereka
kebahagiaan tersebut atau membantu mereka
menemukan kebahagiaan.

Yang dimaksud dengan melakukan kebaikan


adalah upaya untuk membantu orang lain dari
kesulitan yang mereka alami, atau upaya untuk
membuat orang lain merasa lebih cerah, lebih
bahagia atau lebih senang, atau upaya untuk
menolong orang lain dari bahaya atau malapetaka,
dsb-nya.

Selalulah ingat, setiap kali ada yang


memerlukan bantuan kita atau mungkin kita bisa
membuat mereka sedikit lebih bahagia atau senang,
segeralah lakukan kebaikan itu. Katakan ke diri
sendiri bahwa kesempatan membantu itu sedikit,
jarang kita bisa memilikinya, jadi lakukanlah.
Termasuk melakukan kebaikan yang kelihatannya
sepele dan mungkin jarang kita perhatikan. Tapi ini
sebenarnya sangat penting. Karena itu tidak saja
akan mengumpulkan akumulasi karma baik, tapi
sekaligus juga bagian dari mendidik diri untuk
mengembangkan hati penuh belas kasih dan
kebaikan.

Bentuk-bentuk belas kasih dan kebaikan yang


bisa kita lakukan sangatlah banyak dan beragam.
Bisa berupa pemberian material berupa uang,
barang, pakaian, makanan, dsb-nya. Bisa berupa
pemberian non-material seperti menghibur orang
yang sedang kesusahan hati, membantu menyapu,
memberikan kesempatan lebih dahulu dalam
antrean, memberikan kesempatan orang lain
menyeberang jalan, meminggirkan kendaraan saat
ada ambulans lewat, dsb-nya. Atau dengan hanya
tersenyum ramah kepada orang lain itu juga
merupakan suatu bentuk kebaikan. Atau misalnya
kita melihat ada sampah tidak dibuang di tong
sampah, kita bantu masukkan ke tong sampah, ada
keran yang airnya sudah penuh dan melimpah, kita
bantu matikan, dsb-nya.
Di dalam melakukan kebaikan, kita harus
memiliki ketulusan, yaitu menerima dan merelakan
apapun hasilnya, serta tidak pernah mengharapkan
balasan atau imbalan. Pertama karena itu akan
menjaga kemurnian pikiran kita. Kedua karena kita
juga harus sadar bahwa kebaikan yang kita lakukan
tidak akan selalu mendapat respon berupa
kebaikan. Kadang-kadang malah kebaikan kita
dibalas dengan kejahatan. Ini adalah bagian dari
hukum alam semesta dan kita musti selalu sadar
dengan hukum alam ini. Apapun yang terjadi,
terimalah dengan senyuman damai.

Bahkan kadang-kadang kebaikan-kebaikan


yang kita lakukan justru malah diikuti oleh nasib
buruk. Tapi nasib buruk bukan alasan untuk
menghentikan hati penuh belas kasih dan kebaikan.
Terutama karena perjalanan menuju kejernihan
kesadaran dan pencapaian Moksha memerlukan
dua syarat, yaitu tabungan karma baik yang
berlimpah serta kebijaksanaan yang mendalam.
Sehingga selalulah ingat dan jangan pernah ragu,
setiap kali ada kesempatan membantu, setiap kali
ada yang memerlukan pertolongan kita dan setiap
kali kita bisa membuat orang lain lebih bahagia,
lega, terhibur atau senang, lakukanlah tanpa
sedikitpun keragu-raguan.
Di dalam berbagai buku-buku suci Hindu,
dipaparkan secara sangat jelas mengenai
pentingnya mengembangkan hati penuh belas kasih
dan banyak-banyak melakukan kebaikan. Di bawah
ini akan diberikan beberapa contoh kutipan-kutipan
buku suci dalam bentuk ringkasan :

I. Atharva Veda

Tapas caiva-astam karma ca


Antar mahati-arna ve
[Atharva Veda XI.8.2]

Artinya :

Keteguhan Tapa [pengendalian diri] dan


ketekunan melaksanakan karma baik [terus-
menerus banyak-banyak melakukan kebaikan]
adalah satu-satunya sumber keselamatan di
dunia yang mengerikan ini.

Atharva Veda menjelaskan bahwa dalam


keberadaan kita sebagai mahluk, sumber
keselamatan kita sangat terbatas dan itupun
sepenuhnya tergantung kepada diri kita sendiri.
Sangat penting dalam hidup ini untuk terus-
menerus secara tekun banyak-banyak melakukan
kebaikan, karena dampaknya yang sangat terang
dan mulia, yang dijelaskan sebagai berikut :

== 1]. Memberikan keselamatan.

Kita bisa mengamati sendiri melalui fakta


sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Kalau
dalam kehidupan keseharian kita selalu sabar, tidak
pernah marah, selalu memaafkan, baik hati,
penyayang, suka menolong, suka menyenangkan
hati orang, dsb-nya, orang-orang akan cenderung
menyukai kita, musuh kita sedikit dan kita terhindar
dari konflik-konflik berbahaya. Tentu saja kemudian
akibatnya adalah pengalaman-pengalaman hidup
kita akan lebih membahagiakan dan terhindar dari
bahaya.

== 2]. Karma baik akan membantu meringankan


beban karma buruk kita.

Orang yang harus mengalami karma buruk


akan bisa mendapat keringanan kalau sikap dan
perilaku-nya penuh belas kasih dan banyak-banyak
melakukan kebaikan di saat ini.
Misalnya orang yang marah, dendam dan
membenci akan bisa jadi akan berubah pikiran,
sehingga kejahatan yang dia lakukan tidak akan
seberat niatnya semula. Atau disaat kita mengalami
kesialan akan ada yang datang untuk menolong.

== 3]. Mendapatkan pertolongan dari alam-alam


suci.

Dengan banyak-banyak melakukan tindakan


karma baik, dewa penolong kita akan “turun”.
Mungkin tanpa kita ketahui, kita akan selalu dijaga
dan dibantu oleh kekuatan-kekuatan suci dari alam-
alam luhur yang tidak terlihat tersebut.

== 4]. Mendapatkan perjalanan yang terang di alam


kematian.

Dalam roda samsara, seseorang yang dalam


kehidupannya banyak karma baik [banyak
melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan], ketika
meninggal dia akan pergi ke alam-alam suci [Svah
Loka] atau kemudian terlahir kembali sebagai
manusia yang hidupnya menyenangkan dan
didominasi oleh kebahagiaan dan kemudahan
hidup.
II. Brhadaranyaka Upanishad

Dalam kisah tentang pesamuhan agung


para mahluk, Brhadaranyaka Upanishad
menyebutkan bahwa ada tiga landasan spiritual
yang terpenting bagi para dewa, manusia dan
ashura, yaitu : DAYADHVAM [hati yang penuh
belas kasih], DATTA [tekun dan banyak
melakukan kebaikan] dan DAMYATA [menjaga
jarak dengan seluruh kecenderungan yang
muncul dari badan, pikiran dan perasaan, atau
dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti
yaitu melakukan pengendalian diri].

Dengan tekun berlatih mengembangkan hati


yang penuh belas kasih [Dayadhvam], kita tidak saja
akan membangkitkan sifat tidak kejam, tidak
membenci, tidak marah, sangat memaafkan, tidak iri
hati dan berhati lembut di dalam diri kita, tapi
sekaligus juga melenyapkan bentuk-bentuk
kegelapan pikiran yang paling gelap berupa
matsarya [iri hati] dan kroda [kemarahan, kebencian,
dendam].

Dengan tekun mempraktekkan sikap dan


perilaku keseharian yang penuh kebaikan-kebaikan
[Datta], tidak saja akan melenyapkan bentuk-bentuk
kegelapan pikiran berupa lobha [ketidakpuasan,
keserakahan] dan moha [kegelisahan, kebingungan],
tapi sekaligus juga mendidik diri kita sendiri untuk
melenyapkan ego atau ke-aku-an [ahamkara], baik
berupa ke-aku-an [kepemilikan] benda-benda
duniawi, hal-hal duniawi, maupun ke-aku-an yang
muncul dalam pikiran dan perasaan kita.

Dengan tekun melakukan praktek menjaga


jarak dengan seluruh kecenderungan yang muncul
dari badan, pikiran dan perasaan [Damyata], atau
dalam bahasa sederhana yaitu melakukan
pengendalian diri, kita terhindar dari mengambil
jalan-jalan adharma dalam kehidupan yang
membahayakan diri kita sendiri dan orang lain, atau
yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang
kegelapan kehidupan dan karma buruk.

Hasil dari ketekunan melaksanakan ketiga


praktek ini adalah pikiran yang tenang-seimbang
[upeksha] dan kondisi pikiran yang murni [citta
suddhi].

Dengan kata lain mencapai tingkat kesadaran


Atma yang mengagumkan. Sebagai contoh, mudah
sekali bersikap damai dan penuh belas kasih disaat
kita dipuji-puji, dikagumi, tidak kekurangan uang,
makan enak dan badan sehat. Tapi mereka yang
bisa tetap bisa bersikap damai dan penuh belas
kasih disaat dirinya dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak
punya uang, kelaparan dan sedang sakit, itu tidak
lain pertanda kesadaran Atma yang cahayanya
sudah bersinar terang benderang.

III. Rig Veda

Rtasya nah patha naya


Ati visvani durita
[Rig Veda I.33.6]

Artinya :

Semoga Engkau menuntun kami ke jalan


hidup yang penuh perbuatan kebaikan-kebaikan,
sehingga dengan demikian kami bisa
meniadakan semua kekalutan pikiran.

Dalam sloka Rig Veda ini dijelaskan tentang


pentingnya mengembangkan hati belas kasih dan
perilaku penuh kebaikan. Karena itu secara pasti
akan dapat meniadakan berbagai bentuk kegelapan
pikiran.
IV. Yoga Sutra

Maitri karuna muditopeksanam


Sukha duhkha punyapunya visayanam
Bhavanatas citta prasadanam
[Yoga Sutra 1.33]

Artinya :

Dalam kehidupan sehari-hari, pikiran dapat


dimurnikan dengan keramahan dan kehangatan
kepada orang yang sedang bahagia, dengan
belas kasih dan kebaikan kepada orang yang
sedang sengsara, dengan mendukung dan
membantu orang yang baik hati, serta dengan
tidak menghakimi dan menilai [bersikap netral]
kepada orang yang kita rasa jahat atau salah.

Dalam Yoga Sutra dipaparkan secara jelas


tentang pentingnya mengembangkan hati yang
penuh belas kasih dan perilaku penuh kebaikan.
Karena hal itu akan memurnikan samskara [kesan-
kesan pikiran], yang memberikan kita kedamaian
pikiran dan jalan yang terang.

Dengan melakukan kebaikan-kebaikan, kita


mungkin belum tentu tahu bagaimana perasaan
orang lain yang kita berikan kebaikan, tapi satu hal
yang pasti adalah pikiran kita akan banyak
mengalami pembersihan-pembersihan. Pikiran kita
dihantarkan menuju ketenangan, tidak mudah
marah, tidak mudah terganggu oleh orang lain,
tidak mendendam, bebas dari rasa iri hati, dsb-nya.
Artinya jika kita tekun melakukan kebaikan, sudah
pasti yang pertama kali mengalami kesejukan dan
kedamaian pikiran itu adalah diri kita sendiri.
Kemudian kita juga menjadi sumber kedamaian dan
harmoni bagi lingkungan kita.

Tidak terhitung banyaknya lagi sloka-sloka


dalam berbagai buku-buku suci Hindu yang
menjelaskan tentang keluhuran hati yang penuh
belas kasih dan kebaikan. Tapi dengan tujuan agar
tulisan ini ringkas, tidak semuanya akan dibahas dan
dipaparkan disini.

Belas kasih dan kebaikan tidak hanya berguna


bagi mahluk lain, tapi terutama sekali sangat
berguna untuk diri kita sendiri. Apapun yang kita
ucapkan dan lakukan sesungguhnya tidak saja
menghasilkan karma, tapi sekaligus juga secara
pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran
kita sendiri. Kalau apa yang kita ucapkan dan
lakukan berakibat membahagiakan orang lain atau
mahluk lain, maka hal itu [entah kita sadari atau
tidak] pasti akan mendatangkan kejernihan dan
kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.

Belas kasih dan kebaikan tidak saja


membahagiakan hati mahluk lain, tapi terlebih juga
akan membahagiakan hati kita sendiri. Belas kasih
dan kebaikan tidak saja menyegarkan pikiran
mahluk lain, tapi terlebih juga akan menyegarkan
pikiran kita sendiri. Belas kasih dan kebaikan tidak
saja menjernihkan pikiran mahluk lain, tapi terlebih
juga akan menjernihkan pikiran kita sendiri.

Jika kita peka dan peduli dengan kebahagiaan


mahluk lain, jika kita tekun melakukan kebaikan-
kebaikan, maka akan semakin berkembanglah
kesegaran dan kesejukan di dalam pikiran kita
sendiri. Ini adalah hukum alam. Ketekunan
melaksanakan belas kasih dan kebaikan membuat
seseorang terus-menerus mengikis kegelapan
pikirannya [sad ripu] dan ego-nya [ke-aku-an,
ahamkara] dari hari ke hari.

Sehingga berdasarkan seluruh sebab-sebab


yang telah dipaparkan diatas, sesungguhnya tidak
ada sedikitpun alasan bagi kita untuk tidak
mengembangkan hati yang penuh belas kasih dan
tekun melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan,
setiap saat dalam kehidupan kita sehari-hari.

Secara pokok belas kasih dan kebaikan ada


dua, yaitu kebaikan terdekat [melaksanakan
swadharma], serta kebaikan kepada semua.

1. KEBAIKAN TERDEKAT [MELAKSANAKAN


SWADHARMA]

Dalam perjalanan kehidupan ini setiap


manusia membawa swadharma, atau tugas dharma-
nya [tugas kehidupan] masing-masing sesuai
dengan putaran karma-nya sendiri. Inilah kebaikan
terdekat yang pertama-tama, secara mendasar,
wajib kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.
Sebagai landasan dasar kebaikan. Menolak
melaksanakan swadharma yang kita emban dalam
perjalanan kehidupan ini justru akan menjauhkan
kita dari jalan dharma yang sebenarnya. Hanya
melaksanakan kerja yang menjadi tugas-kewajiban
kita yang akan membebaskan kita, bukan menolak
untuk bekerja.

Yang dimaksud dengan melaksanakan tugas-


tugas kehidupan [swadharma] adalah dengan fokus
mengerjakan tugas-kewajiban hidup kita dengan
giat, baik dan jujur, misalnya menjadi orang tua di
rumah, menjadi guru sekolah, pegawai, gubernur,
petani, pedagang, dsb-nya. Serta menyayangi
orang-orang terdekat yang ada di sekitar kita,
misalnya kepada orang tua, saudara, pasangan
[suami atau istri], anak, teman-teman, dsb-nya.
Karena sebelum melaksanakan kebaikan ”keluar”,
sebaiknya kebaikan dilaksanakan ”ke dalam”
terlebih dulu. Yaitu yang terkait dengan pekerjaan
kita dan keluarga kita.

Kita harus mengetahui dan memiliki


kesadaran bahwa salah satu tugas utama kita yang
paling mendasar dalam kehidupan ini adalah
bekerja mencari nafkah. Karena ini adalah titik tolak
yang memudahkan kaki kita melangkah secara lebih
luas kemana-mana. Secara umum, tanpa memiliki
nafkah penghasilan gerak kita untuk kegiatan lain
akan sulit dan terbatas. Tapi juga bukan sekedar
bekerja mencari nafkah, fokuslah mengerjakan
pekerjaan kita dengan giat, baik dan jujur, sehingga
secara mendalam bekerja mencari nafkah juga
menjadi pelaksanaan kebaikan dalam kehidupan.

Kerja apapun juga, asalkan tidak melanggar


dharma, baik dan layak untuk dilakukan. Kerjakan
dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil kita terima
dengan damai dan penuh kerelaan. Belajarlah
dengan rajin di sekolah kalau kita masih pelajar.
Kalau kita sudah bekerja, kita bekerjalah dengan
tekun dalam upaya mencari nafkah. Sumber mata
pencaharian harus benar dan tidak melanggar
dharma.

Laksanakan kebaikan kepada orang-orang


terdekat di sekeliling kita, seperti misalnya orang
tua, saudara, pasangan [suami atau istri], anak,
teman-teman, dsb-nya. Hormati dan bahagiakan
orang tua. Sayangi dan setia kepada pasangan.
Sayangi anak-anak. Sayangi saudara. Serta kerjakan
tugas-tugas rumah tangga dengan giat dan baik.

Agar dapat melaksanakan swadharma dengan


baik sebagai kebaikan mendasar, kita sangat
memerlukan kepekaan. Peka terhadap apa
kebutuhan orang di sekeliling kita merupakan awal
yang sangat baik. Misalnya peka terhadap apa
kebutuhan istri, anak-anak, klien perusahaan,
karyawan perusahaan, atasan di kantor, dsb-nya.
Lebih lanjut lagi, bukan hanya sebatas kepekaan
terhadap kebutuhan materi, tapi juga kepekaan
terhadap kebutuhan emosional.

Secara mendalam kita memerlukan kepekaan


untuk terus-menerus merawat orang-orang di
sekeliling kita dengan cara yang tepat. Terutama
karena dengan kepekaan untuk terus merawat
mereka dengan cara yang tepat, kita bisa membuat
mereka terus menjadi semakin baik.

Seperti kisah seseorang yang mendapatkan


bibit bunga yang indah sekali. Tapi karena
kurangnya kepekaan, dia meletakkan tanaman
tersebut di bawah cahaya matahari yang terik,
padahal sebenarnya tanaman tersebut memerlukan
sedikit saja sinar matahari. Hasilnya adalah bibit
bunga yang indah ini melayu. Demikian juga
dengan kesadaran manusia. Sebaik apapun bibit
kesadaran seseorang di dalam, jika keliru dalam
memperlakukan mereka, maka yang baik bisa jadi
jahat dan yang jahat bisa menjadi tambah jahat.
Yang terpenting sebenarnya bukan sifat
pembawaan mereka, tapi adanya kepekaan untuk
terus menerus merawat mereka dengan cara yang
tepat. Inilah kebaikan yang terdekat untuk
dilaksanakan.

Laksanakan swadharma atau tugas-tugas


kehidupan kita masing-masing dengan sebaik-
baiknya, menjadi orang tua, guru, pegawai,
gubernur, dsb-nya. Tapi apapun hasilnya terima
dengan hati jernih dan damai. Sehingga bekerja
tidak saja akan menjadi wujud nyata belas kasih dan
kebaikan, tapi sekaligus juga secara bertahap akan
memurnikan kesadaran kita. Tidak saja akan
merubah kesadaran kita, tapi juga akan merubah
perjalanan hidup kita.

2. KEBAIKAN KEPADA SEMUA MAHLUK

Biasakanlah diri dalam kehidupan sehari-hari


melaksanakan segala jenis kebaikan kepada semua.
Lakukan segala jenis kebaikan dalam kehidupan
sehari-hari setiap kali kita mendapat kesempatan
melaksanakannya. Mulai dari kebaikan kecil sampai
dengan kebaikan besar. Ini tujuannya ada tiga, yaitu
pertama untuk mengumpulkan banyak akumulasi
karma baik, yang membantu membuka jalan
spiritual lebih lapang bagi kita. Kedua untuk
membantu memurnikan pikiran. Dan ketiga sebagai
bagian dari mendidik diri kita sendiri agar penuh
dengan kebaikan dan memiliki kesungguhan hati di
dalam melakukan kebaikan. Ini adalah landasan
dasar spiritual terpenting.

Perlu disadari bahwa jauh lebih penting untuk


melakukan kebaikan dibandingkan untuk menjadi
benar. Lihatlah betapa banyaknya konflik dan
orang-orang bertikai semata karena semuanya
merasa dirinya benar. Padahal apa yang disebut
benar itu hanya berasal dari pikiran yang dualistik.
Semua bentuk kebenaran itu sangat relatif. Dualitas
pikiran hanyalah sebatas cara pikiran mengerti dan
sama sekali bukan kebenaran itu sendiri. Sedangkan
belas kasih dan kebaikan secara pasti akan memutar
karma baik yang membimbing kita menuju jalan
terang. Sekalipun tindakan kita dalam norma sosial
masyarakat disebut “salah” [tanda kutip, karena
sifatnya dualistik, konseptual dan sangat relatif], tapi
kalau tindakan kita didasari oleh aspirasi belas kasih
dan kebaikan kepada semua, maka kita pasti akan
terbebas dari kesalahan malah sebaliknya dibawa
menuju kejernihan pikiran, kebahagiaan, kemuliaan
dan penerangan kesadaran.

Jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai


lahan subur bagi kita untuk melakukan kebaikan-
kebaikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati
yang penuh belas kasih dan kebaikan. Karena
dengan ketekunan melakukan kebaikan-kebaikan,
secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan
banyak diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita
akan banyak mengalami pembersihan. Pikiran kita
dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta
dibebaskan dari kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan
spiritual apapun kita melangkah, disana kita akan
mudah terhubung dengan kemahasucian.

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa tidak jarang


juga terjadi, kebaikan yang kita lakukan dibalas
dengan kejahatan, atau kebaikan yang kita lakukan
berujung kepada nasib buruk atau luka-luka hati.
Disinilah kita memerlukan pengetahuan dharma
mencakup dinamika kosmik alam semesta. Hukum
karma yang mutlak dan tidak bisa dibendung,
sehingga muncul pandangan benar dan
kebijaksanaan di dalam diri. Bahwa ini bukanlah
kesalahan orang lain, atau ini juga bukanlah
hukuman alam semesta kepada kita, melainkan
hanya akumulasi karma-karma buruk masa lalu kita
sendiri yang datang untuk kita lunasi. Sehingga
jangan kapok atau berhenti, teruslah melakukan
kebaikan dan kebaikan.

Tidak jarang terjadi, ketulusan hati dan


kebaikan kita dianggap sebagai kebodohan oleh
orang yang masih tenggelam dalam avidya
[ketidaktahuan]. Tapi teruslah tulus dan melakukan
kebaikan-kebaikan dalam kehidupan. Mungkin
setiap hari di sekeliling kita melihat tindakan-
tindakan kejahatan dan ketidakjujuran seperti
sedang menghina kebaikan. Tapi teruskanlah
kebaikan-kebaikan kita. Karena pada akhirnya bukan
tentang kita dengan orang-orang lain, tapi tentang
diri kita dengan hukum karma dan tentang diri kita
menyangkut kejernihan-kedamaian di dalam diri
sendiri.
RUAS KE-5

Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas


[Meditasi Kesadaran]

Praktek meditasi adalah mengenai upaya


mengembalikan kesempurnaan kesadaran Atma.
Akan tetapi karena pikiran [manas] dan ego
[ahamkara] sangatlah sulit dikuasai, kita
memerlukan praktek 4 [empat] ruas landasan
kesadaran yang sudah dijelaskan sebelumnya, yang
akan menghasilkan pondasi dasar yang penting
bagi kejernihan pikiran. Dimana dalam buku ini
telah dijelaskan mengenai 4 [empat] ruas landasan
kesadaran sebagai praktek dalam kehidupan sehari-
hari, yang menghasilkan dasar kejernihan pikiran.
Semuanya ke-5 [lima] ruas ini harus saling
melengkapi dan saling mendukung. Tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Kejernihan pikiran sebagai hasil dari praktek 4
[empat] ruas landasan kesadaran, akan menjadi
landasan yang menentukan bagi praktek meditasi.
Jika kita tidak melaksanakan 4 [empat] ruas
landasan kesadaran pada kehidupan sehari-hari, kita
akan mengalami kesulitan dalam meditasi.
Semuanya ke-5 [lima] ruas ini merupakan satu
kesatuan sadhana [upaya spiritual] yang akan
menghasilkan pencapaian sempurna, untuk
melenyapkan penghalang-penghalang dari
kesadaran Atma, kenyataan diri yang sejati.

Dalam khasanah ajaran Hindu Dharma


tersedia banyak sekali berbagai tehnik-tehnik
meditasi. Mulai dari meditasi yang sederhana dan
mudah dilakukan, sampai dengan meditasi yang
lebih rumit seperti dengan cara tehnik mengolah
energi, menggunakan aksara-aksara suci, melakukan
visualisasi, dsb-nya. Meditasi yang akan kita pelajari
dalam buku ini adalah meditasi non-dualitas, salah
satu tehnik meditasi Hindu yang paling tua. Secara
tradisi dalam Hindu Dharma biasa disebut sebagai
Pranayama Dhyana, atau disebut juga Advaita-Citta
Yoga. Dalam ajaran Tantra termasuk dalam meditasi
kesadaran. Ini adalah metode meditasi yang bisa
dipelajari sendiri secara mandiri karena standar dan
sederhana. Tapi walaupun sederhana, asalkan
dipraktekkan dengan tekun dan sungguh-sungguh,
metode ini dapat mengantar kita mencapai tingkat
kedalaman meditasi dan pencapaian kesadaran
yang sangat terang.

Petunjuk penting dalam praktek meditasi non-


dualitas [advaita-citta] adalah kesadaran selalu
dibawa ke tengah-tengah dan hindari pikiran atau
perasaan terbawa ekstrim ke kiri atau ekstrim ke
kanan. Terlalu sedih, terlalu marah, terlalu melekat
dengan kenikmatan, itu pikiran terbawa ekstrim ke
kiri. Terlalu bahagia, terlalu damai, terlalu melekat
dengan kesucian, terlalu melekat dengan
kesempurnaan, itu pikiran terbawa ekstrim ke kanan.
Keduanya sesungguhnya akan sama-sama membuat
pikiran mengalami kekacauan. Karena pikiran
bergerak laksana bandul. Setiap kali bandul pikiran
ditarik ke sebuah titik ekstrim, ia pasti akan
memantul balik ke titik ekstrim yang lain.

Itulah sebabnya meditasi non-dualitas


menekankan pentingnya membawa kesadaran ke
tengah-tengah. Dengan cara secara meditatif
menjadi saksi yang penuh senyuman terhadap
apapun pikiran yang muncul disaat ini. Saksi yang
memberi senyuman damai dan belas kasih yang
sama terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara,
baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya.
Hasilnya adalah semakin lama gerakan bandul
pikiran semakin lembut. Ketika bandulnya istirahat
di titik tengah, itulah kesadaran Atma, keheningan
sempurna yang mahasuci.

1. PRAKTEK MEDITASI NON-DUALITAS


[MEDITASI KESADARAN]

Panduan untuk melaksanakan praktek


meditasi non-dualitas sebagai berikut di bawah ini :

== 1]. Sarana meditasi.

I. Alas duduk

Pakailah alas duduk atau bantalan yang cukup


tebal [sekitar 3 s/d 5 cm], tujuannya untuk
menghindari tubuh fisik kontak langsung dengan
energi gravitasi bumi. Tapi seandainya tidak ada
juga tidak apa-apa, jangan dijadikan halangan.

II. Pakaian

Gunakan pakaian yang longgar [tidak ketat],


tipis dan terbuka, agar pakaian kita tidak
mengganggu kelancaran sirkulasi saluran nadi dan
energi tubuh selama meditasi. Selain itu juga, jika
kita duduk meditasi untuk waktu yang lama tidak
akan menyebabkan darah tidak lancar sehingga
menyebabkan kesemutan. Pakaian semakin bebas
atau terbuka semakin baik.

Akan tetapi jika kita tinggal di daerah dingin


[misalnya di pegunungan] dimana memakai pakaian
tipis dan terbuka tidak memungkinkan, selain juga
tidak baik untuk kesehatan, disebabkan karena
karena suhu dingin. Untuk itu, selimutilah tubuh
dengan kain tebal, yang penting pakaian tetap
longgar. Tapi seandainya tidak bisa juga tidak apa-
apa, jangan dijadikan halangan.

== 2]. Lokasi.

Meditasi bisa dilakukan dimana saja. Tapi


khusus bagi para pemula, baik kalau kita
melakukannya di tempat yang memiliki getaran
energi yang baik, seperti di sanggah atau merajan di
rumah, di kamar suci [gedong suci] atau di depan
pelangkiran di kamar, atau di sebuah pura. Karena
getaran energi positif tempat-tempat itu bisa
membantu kita dalam meditasi.
== 3]. Waktu.

Meditasi baik dilakukan kapan saja. Tapi


khusus bagi para pemula, paling baik kalau kita
melakukannya pada waktu dinihari antara jam 04.00
pagi s/d saat matahari terbit. Periode waktu ini
disebut Brahma Muhurta, sebuah periode waktu
dimana alam menyediakan berlimpah energi baik
untuk diserap oleh tubuh kita.

Jika kita sudah lama tekun dan rutin


melakukan meditasi, lakukanlah meditasi setidaknya
2 kali setiap hari secara rutin. Yaitu di pagi hari dan
di malam hari saat sebelum tidur.

== 4]. Asana [sikap badan].

I. Badan

Badan mengambil sikap asana [sikap badan]


duduk bersila dengan padma-asana [padmasana],
posisi duduk bersila laksana bunga padma [teratai],
yaitu duduk bersila dengan kedua kaki disilangkan
satu sama lain. Posisi duduk ini dapat membantu
kita duduk meditasi dengan tegak-santai dalam
waktu cukup lama.
Atau jika kita mengalami kesulitan dengan
padma-asana [padmasana], boleh juga mengambil
sikap asana dengan posisi sukha-asana, yaitu posisi
duduk bersila biasa yang santai.

Bagi wanita yang memiliki kesulitan untuk


duduk bersila, boleh untuk memilih duduk dalam
posisi bersimpuh [vajrasana].

Pada dasarnya, intinya adalah kita duduk


dengan kaki terlipat, yang tujuannya adalah agar
energi kita naik keatas dan kita tidak mengalami
aliran kebocoran energi ke bawah. Sikap tubuh
terbaik adalah yang mana yang paling dapat
membuat kita duduk dengan kaki dilipat yang santai
dan nyaman. Silahkan bebas memilih yang mana
yang membuat kita paling merasa nyaman.

II. Bahu

Posisi bahu sebaiknya sejajar, tidak


membungkuk, tapi dengan santai. Jangan kaku atau
tegang. Jika bahu terasa kaku atau tegang ini harus
dikendurkan terlebih dahulu. Dibuat santai dan
dikendurkan. Posisi bahu sejajar, tidak
membungkuk, tapi relaks dan santai.
III. Punggung

Keadaan tulang punggung sebaiknya tegak


lurus. Tegak tetapi santai dan nyaman, tidak kaku
atau tegang. Jika kita belum terbiasa dengan posisi
punggung tegak lurus ini, kita bisa mula-mula
melatihnya dengan bersandar pada dinding.

Posisi tegaknya punggung ini berguna untuk


melapangkan rongga dada yang bertujuan untuk
memaksimalkan nafas, sehingga distribusi dari aliran
energi prana vayu terjadi secara menyeluruh dan
sistematis. Selain itu jika ada gerakan energi
[kundalini] naik ke atas, dengan punggung tegak
lurus, maka energi itu dapat bergerak dengan
lancar, terus naik keatas, sampai di chakra mahkota
dan mekar disana.

== 5]. Lidah.

Mulut harus dalam keadaan tertutup.


Kemudian tekuk ujung lidah keatas agar menyentuh
langit-langit mulut. Ini terkait dengan sirkulasi
energi dalam tubuh kita, yang disebut dengan
penyatuan energi bumi [pertiwi] dan energi langit
[akasha].
== 6]. Doa permohonan kepada para Guru suci dan
para Ista Dewata sebelum meditasi.

Meditasi kita dahului dengan sikap namaskara


atau anjali mudra [kedua telapak tangan dicakupkan
di dada]. Kemudian kita ucapkan doa permohonan
kepada para Guru suci dan para Ista Dewata agar
kita dibimbing dalam melakukan meditasi.
Sampaikan bahwa kita melakukan meditasi tidak
hanya untuk diri kita sendiri, tapi kita melakukan
meditasi untuk semua mahluk. Mohon dituntun
agar dengan melakukan meditasi, maka pikiran kita
menjadi damai dan tenang-seimbang, serta
kegelapan pikiran seperti kemarahan,
kesombongan, keserakahan, dsb-nya, memudar dari
pikiran kita. Dengan lebih sedikit marah dan benci,
kita dapat lebih sedikit melukai hati dan perasaan
mahluk lain. Dengan lebih rendah hati, kita dapat
lebih menghormati orang lain. Dengan tidak
serakah, kita dapat lebih sedikit membuat orang lain
menderita.

Memanjatkan doa permohonan kepada para


Guru suci dan para Ista Dewata ini selayaknya kita
sertai dengan suatu tekad penuh belas kasih yang
sungguh-sungguh dalam hati kita, bahwa kita
melaksanakan meditasi tidak hanya untuk diri kita
sendiri, tapi kita melaksanakan meditasi untuk
semua mahluk. Dengan memanjatkan doa
permohonan dengan tekad penuh belas kasih ini,
kita melakukan meditasi untuk kebahagiaan semua
mahluk, maka daya angkat meditasi terhadap
kesadaran kita akan jauh lebih besar, dibandingkan
dengan jika meditasi hanya untuk diri sendiri saja.

== 7]. Mudra.

Dalam khasanah ajaran Hindu Dharma kita


mengenal adanya ratusan jenis mudra dengan
fungsinya masing-masing. Tapi dalam meditasi ini
kita cukup gunakan dua pilihan mudra saja.

Bagi para sadhaka pemula, disarankan


memakai dhyani mudra. Telapak tangan ditumpuk
di pangkuan dan ujung kedua ibu jari bertemu,
seolah membentuk lingkaran. Tangan yang
dominan dipakai diletakkan di bagian atas. Artinya
kalau kita tidak kidal tangan kanan yang diatas,
kalau kidal tangan kiri yang diatas. Fungsi mudra ini
adalah untuk membantu terbentuknya konsentrasi
dalam meditasi.

Sedangkan bagi para sadhaka yang


konsentrasinya sudah cukup kuat dan stabil, bisa
menggunakan jnana mudra. Letakkan kedua tangan
diatas lutut [kaki] dan gunakan jnana mudra. Tiga
jari menghadap keluar [melepas], sebagai segel
untuk melepaskan [melampaui] tri guna yaitu
sattvam, rajas dan tamas, melalui ketiga jari. Ujung
ibu jari bertemu dengan ujung telunjuk
[membentuk lingkaran atau angka nol], sebagai
segel keheningan sempurna. Mudra ini adalah
mudra kosmik penyatuan kesadaran individu
[bhuwana alit] dengan kesadaran universal
[bhuwana agung].

== 8]. Memulai meditasi : sentuhan aliran nafas


pada hidung sebagai titik pusat konsentrasi

Setelah melakukan semua hal yang diuraikan


diatas, kemudian pejamkanlah mata. Pusatkan
seluruh konsentrasi kita merasakan sentuhan aliran
nafas [aliran keluar-masuk nafas] pada hidung.

Kita tidak perlu mengatur panjang atau


pendeknya nafas. Biarkan nafas berjalan secara
alami saja, sehingga konsentrasi merasakan
sentuhan aliran nafas pada hidung juga dapat
berlangsung secara wajar dan alamiah. Kemudian
tubuh kita sendiri yang nanti akan melakukan
mekanisme alami membuat nafas menjadi teratur
dengan sendirinya, tanpa kita perlu melakukan
suatu upaya.

Selama meditasi hanya itu saja yang fokus kita


lakukan, yaitu konsentrasi merasakan sentuhan
aliran nafas pada hidung.

Jika seandainya untuk beberapa saat kita


kehilangan konsentrasi, karena kita larut di dalam
arus emosi atau perasaan yang muncul, disaat kita
tersadar akan keadaan itu, tersenyumlah saja tanpa
penilaian [baik-buruk, salah-benar] sama sekali.
Kemudian, kembalilah untuk berkonsentrasi
merasakan sentuhan keluar-masuk nafas pada
hidung.

Jika konsentrasi kita sudah mulai stabil dan


kuat, disana akan muncul ketenangan di dalam
pikiran kita.

Inilah yang disebut dengan meditasi non-


dualitas. Lakukanlah semua petunjuk meditasi ini
secara tekun. Efek paling cepat yang dihasilkan dari
meditasi ini adalah memberikan ketenangan pikiran.
Karena meditasi ini menyehatkan otak kita,
menyegarkan pikiran kita dan menjernihkan
kesadaran kita.
Meditasi bisa kita lakukan dengan panjang
durasi secara bertahap demi tahap. Misalnya bagi
para sadhaka pemula diatur minggu pertama
panjang durasi cukup 15 menit. Minggu berikutnya
tingkatkan jadi 20 menit. Terus demikian sampai
menjadi kebiasaan. Kemudian panjang durasinya
kita tingkatkan, sampai kita bisa rutin dan tekun
melakukan meditasi ini 2 kali setiap hari, dengan
panjang durasi antara 30 menit s/d 2 jam.

Meditasi ini tidak sulit. Yang diperlukan hanya


tekad dan kemauan kuat untuk berkonsentrasi
merasakan sentuhan aliran masuk dan keluarnya
nafas pada hidung, serta ketekunan luar biasa untuk
terus melakukannya secara rutin setiap hari.

Bagi para sadhaka pemula biasanya meditasi


penuh halangan. Itu hal yang umum dan biasa.
Halangan tersebut mulai dari halangan fisik [badan
yang lelah, kaki sakit karena lama duduk bersila,
dsb-nya], halangan mental [malas, ragu-ragu, dsb-
nya], sampai dengan halangan konsep [bahwa
meditasi harus begini dan begitu, meditasi harus
selalu mendamaikan, dsb-nya, padahal meditasi
juga mengalami siklus naik-turun]. Yang terpenting
dalam meditasi bukan hasilnya, tapi membiasakan
diri. Lakukan terus meditasi agar menjadi kebiasaan.
Meditasi bukanlah sadhana yang bisa diselesaikan
harian, tidak juga bulanan, melainkan sadhana yang
harus terus dilakukan secara konsisten selama
bertahun-tahun.

2. LIMA TAHAPAN MEDITASI NON-


DUALITAS

Obyek meditasi dalam meditasi non-dualitas


adalah konsentrasi merasakan sentuhan aliran nafas
pada hidung. Terus melakukan konsentrasi kepada
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung. Ketika
pikiran kita berkeliaran, jangan berusaha
dikendalikan dan jangan ditanggapi, tapi disadari
kemunculannya, kemudian disaksikan saja dengan
senyum penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai
salah-benar, baik-buruk, suci-kotor [dualitas
pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas. Demikianlah
seterusnya dan seterusnya.

Apapun pikiran-perasaan yang muncul di


dalam diri disaat ini, jangan ditolak atau dilawan
dan juga jangan diikuti. Walaupun yang muncul
pikiran paling buruk sekalipun. Lepaskan semua
konsep pikiran kita tentang bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap, mulia-hina, dsb-nya
[dualitas pikiran]. Saksikan saja dengan senyum
damai dan belas kasih munculnya pikiran tersebut.
Jangan divonis [dihakimi] sebagai salah-benar atau
baik-buruk, dsb-nya. Saksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih, tanpa
dinilai apapun. Kemudian kembalilah konsentrasi
kepada merasakan sentuhan keluar-masuk nafas
pada hidung.

Dalam meditasi non-dualitas, apapun pikiran-


perasaan yang muncul tidak ditolak dan sebaliknya
juga tidak diikuti, tapi bandulnya dibawa ke tengah-
tengah. Apapun pikiran-perasaan yang muncul tidak
dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya
[dualitas pikiran]. Tapi hanya disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.

Misalnya jika muncul perasaan marah, jangan


dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa bersalah
[ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak
terpisahkan dari diri kita, serta jangan juga diikuti
[ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke tengah,
caranya perasaan marah yang muncul itu disaksikan
saja dengan senyuman damai dan penuh belas
kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar,
dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Jika muncul pikiran jahat, jangan dilawan,


jangan ditolak dan jangan merasa bersalah [ekstrim
kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari
diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi
bawalah bandulnya ke tengah, caranya pikiran jahat
yang muncul itu disaksikan saja dengan senyuman
damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai
baik-buruk, salah-benar, dsb-nya. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.

Jika muncul perasaan sedih dan kecewa,


jangan dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa
bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang
tidak terpisahkan dari diri kita, serta jangan juga
diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan sedih dan kecewa yang
muncul itu disaksikan saja dengan senyuman damai
dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-
buruk, salah-benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah
konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas
pada hidung.

Jika muncul perasaan damai dan bahagia,


jangan melekat kepada perasaan tersebut [ekstrim
kanan], serta jangan dilawan atau ditolak [ekstrim
kiri] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari
diri kita. Tapi bawalah bandulnya ke tengah, caranya
perasaan damai dan bahagia yang muncul itu
disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi
kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Sifat alamiah dari pikiran-perasaan kita


sebagai manusia adalah “dewa ya bhuta ya”. Artinya
di dalam diri kita manusia ada sisi terang dan luhur
[dewa] dan juga ada sisi gelap dan buruk [bhuta].
Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita.
Tidak bisa kita lenyapkan salah satunya. Tapi karena
kita sudah terlalu lama direcoki oleh norma sosial
masyarakat dan aturan agama, sehingga membuat
pikiran kita menjadi dualistik. Kita menjadi
cenderung menolak atau membenci pikiran-
perasaan negatif di dalam diri, serta sebaliknya
menjadi terlalu melekat dengan pikiran-perasaan
positif. Dari dualitas pikiran ini menimbulkan gejolak
konflik atau benturan pikiran, seperti buruk
melawan baik, kotor melawan suci, dsb-nya, yang
kemudian berakhir menjadi kegelisahan pikiran.
Sifat alami dari pikiran-perasaan kita manusia
adalah sama dengan sifat alamiah dari samudera
yang bergelombang. Jika kita melawan, menolak
atau berusaha membuang pikiran-perasaan yang
muncul, itu sama dengan menolak gelombang
samudera. Sama dengan melawan kekuatan alam.
Tidak bisa dan justru akan menimbulkan gejolak
kekacauan di dalam diri.

Jangan berpegang kepada pemahaman


konseptual dualistik umum dari orang yang
kesadarannya tidak terasah oleh meditasi, yang
berpikir untuk mencapai kesempurnaan dengan
cara melawan, menolak atau berusaha membuang
bagian-bagian negatif atau buruk di dalam diri. Jika
kita berpikir untuk mencapai kesempurnaan dengan
cara melawan, menolak atau berusaha membuang
bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita, kita
hanya akan menciptakan belenggu kesadaran
melalui pikiran konseptual yang dualistik, untuk
kemudian mengalami gejolak kekacauan di dalam
diri.

Semakin banyak kita melawan, menekan,


menolak atau membenci pikiran-perasaan negatif di
dalam diri, semakin banyak juga kita akan
menghadapi kekacauan di dalam pikiran kita. Setiap
bentuk pikiran-perasaan negatif yang dilawan,
ditekan, ditolak dan dilarang secara berlebihan
kemudian akan terlempar ke “gudang” bernama
alam bawah sadar. Begitu gudang itu penuh, dia
kemudian akan memberikan tanda ke permukaan
dalam bentuk galau, kesedihan tanpa sebab,
kegelisahan, pikiran yang kering dan pemarah, dsb-
nya. Inilah yang disebut oleh para sadhaka jivan-
mukta sebagai norma sosial masyarakat dan aturan
agama dapat membuat pikiran manusia menjadi
rusak dan gelisah. Jika terus berlanjut dalam jangka
panjang dapat bermanifestasi menjadi berbagai
jenis sifat perilaku yang bersifat merusak diri sendiri
dan orang lain. Manusia itu “dewa ya bhuta ya”,
apapun bentuk-bentuk pikiran-perasaan yang
muncul itu adalah manusiawi dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita sendiri.
Berusaha menolak atau membuang bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita akan
menimbulkan gejolak konflik pikiran luar biasa.
Sebaliknya terseret ke dalam arusnya juga pasti
akan menimbulkan gejolak konflik pikiran. Sehingga
dalam meditasi non-dualitas, tersenyumlah dengan
damai dan penuh belas kasih kepada segala bentuk
apapun pikiran-perasaan yang muncul, termasuk
juga kepada apa yang disebut oleh norma sosial
masyarakat dan aturan agama sebagai noda-noda
pikiran. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya. Laksana air yang keruh, jika
semuanya diterima dengan damai, mengalir dan
tersenyum penuh belas kasih, airnya akan diam
dengan sendirinya, kotorannya akan mengendap
dengan sendirinya sehingga airnya menjadi tenang
dan jernih.

Konsentrasi merasakan sentuhan aliran nafas


pada hidung dalam meditasi non-dualitas, seperti
energi yang terpusat. Kalau pikiran kita sering
terkonsentrasi pada sentuhan aliran nafas pada
hidung, serta sering menjadi saksi yang tersenyum
penuh belas kasih kepada setiap bentuk pikiran-
perasaan yang muncul, maka di suatu titik ada
kemungkinan kita mengalami samadhi. Samadhi
tidak saja menghancurkan dualitas pikiran seperti
baik-buruk, salah-benar, yang sempit dan picik, tapi
sekaligus juga membawa kesadaran kita mulai
terserap ke dalam dimensi kesadaran Atma yang
tenang, jernih dan terang-benderang.

Di bawah ini adalah serangkaian tahapan


dalam perjalanan memasuki kedalaman meditasi
non-dualitas :

== 1]. Pratyahara - konsentrasi pada sentuhan aliran


nafas.

Pratyahara berarti penarikan indriya-indriya


dan pikiran dari obyek-obyek diluar. Caranya adalah
dengan duduk meditasi dan terus-menerus
konsentrasi merasakan sentuhan aliran nafas pada
hidung.

Jika konsentrasi kita sudah mulai kuat, secara


alami nafas kita semakin lama akan semakin halus.
Disaat kita dapat memusatkan konsentrasi kita
sepenuhnya pada aliran nafas, disana akan muncul
ketenangan di dalam pikiran kita. Ketenangan
pikiran ini merupakan hasil dari penarikan indriya-
indriya dan pikiran dari obyek-obyek diluar.
Jika kita terus rutin melakukan meditasi ini
setiap hari, maka dalam jangka waktu tertentu
[masing-masing orang berbeda jangka waktunya]
tahap pertama ini akan terlewati. Artinya setiap
melakukan meditasi kita sudah bisa berkonsentrasi
dengan baik dan ketenangan pikiran sudah mulai
muncul.

== 2]. Dharana - konsentrasi sudah terbentuk.

Dharana berarti konsentrasi telah terbentuk


atau kita sudah bisa berkonsentrasi dengan baik.
Artinya disaat melakukan meditasi kita tidak mudah
larut atau terhanyut oleh pikiran apapun yang
muncul. Kalaupun ada bentuk-bentuk pikiran yang
muncul, kita dapat dengan mudah mengembalikan
konsentrasi merasakan sentuhan aliran nafas pada
hidung.

Pada tahap selanjutnya dimana konsentrasi


semakin kuat, sehingga pikiran sangat tenang,
disana secara alamiah nafas kita terus semakin halus
sampai tidak terasa lagi, sehingga seolah-olah nafas
itu lenyap. Para sadhaka pemula yang mengalami
hal ini mungkin akan merasa terkejut, karena
mengira dirinya tidak bernafas lagi. Sebenarnya
tidaklah demikian. Nafas masih tetap terus berjalan,
tetapi karena sedemikian halusnya sehingga tidak
terasa lagi, seolah-olah nafas itu lenyap.

Kenyataan sebenarnya bahwa nafas tidak akan


pernah lenyap sepanjang hidup kita, hanya saja
sekarang sangat halus sehingga tidak terasa. Disini
kita harus tetap fokus konsentrasi merasakan
sentuhan aliran nafas pada hidung. Betapapun
halusnya nafas itu, sesungguhnya sentuhan aliran
nafas masih akan tetap terasa. Di tahap ini jika kita
tidak dapat merasakan sentuhan aliran nafas, berarti
konsentrasi kita masih kurang kuat. Tetaplah
berusaha konsentrasi merasakan sentuhan aliran
nafas. Sehingga kita dapat tetap terus merasakan
sentuhan aliran nafas, tanpa pernah kehilangan
jejak.

== 3]. Dhyana - memasuki meditasi.

Dhyana berarti tahap memasuki meditasi. Jika


konsentrasi kita sudah sangat kuat, maka saluran-
saluran energi positif dalam tubuh kita akan mulai
terbuka, mengalir dan berkembang. Inilah tahap
memasuki meditasi.

Bagi yang dapat memasuki tahap ini akan


mengalami sensasi yang bermacam-macam, sebagai
suatu pertanda bahwa kita berhasil mencapai
konsentrasi, serta saluran-saluran energi positif di
dalam tubuh kita mulai terbuka, mengalir dan
berkembang.

Sensasi yang muncul biasanya bermacam-


macam, misalnya ada yang merasakan ujung
hidungnya seperti dielus dengan kapas yang sangat
lembut, ada yang melihat pendaran cahaya, ada
yang melihat cahaya terang dari langit turun masuk
ke badannya, ada yang melihat cahaya warna-warni
yang indah, ada yang melihat bintang-bintang atau
planet, ada yang melihat pohon dan pegunungan,
ada yang merasa tubuhnya ringan seperti terbang,
ada yang merasa terangkat dari tempat duduknya,
ada yang merasa tubuhnya membesar atau
sebaliknya tubuhnya mengecil, dsb-nya. Ada banyak
sekali bermacam-macam sensasi yang bisa muncul.

Walaupun sensasi ini menakjubkan, kita


jangan larut atau terlena, tetaplah konsentrasi
merasakan sentuhan aliran nafas dengan mantap
tidak teralihkan. Karena segala macam sensasi ini
merupakan suatu pertanda bahwa kita berhasil
mencapai konsentrasi, serta saluran-saluran energi
positif di dalam tubuh kita mulai terbuka, mengalir
dan berkembang. Tahap ini merupakan pertanda
kita berhasil mencapai pintu gerbang samadhi, tapi
sama sekali belum memasuki samadhi.

Dengan terus melanjutkan konsentrasi


merasakan sentuhan aliran nafas pada hidung
dengan mantap tidak teralihkan, maka secara
bertahap kita akan dapat memasuki tahap
kesadaran yang disebut sebagai savikalpa samadhi
[sabija samadhi] dan terus sampai mencapai
nirvikalpa samadhi [nirbija samadhi].

== 4]. Savikalpa samadhi / sabija samadhi.

Ketika konsentrasi mencapai titik puncaknya


yang pertama, kita akan mengalami kemunculan
parama-jyotir, cahaya putih terang-benderang
laksana matahari, tapi sangat sejuk tidak
menyilaukan. Kita akan merasakan ketenangan dan
kedamaian yang luar biasa, yang sulit untuk
dijelaskan.

Bagi para sadhaka yang sudah sangat terlatih,


yang konsentrasinya mantap tidak teralihkan,
kemunculan parama-jyotir ini dapat dipertahankan
dengan durasi waktu panjang dan lama. Sedangkan
bagi para sadhaka pemula kemunculan parama-
jyotir ini biasanya berlangsung hanya sekitar 1-3
detik saja, kemudian kita tersadar dari keadaan
samadhi. Selepas ini pikiran kita plong sekali, ringan
bagaikan kapas. Kita merasa sangat damai dan
bahagia. Tidak ada beban lagi, tidak ada
penderitaan, pikiran benar-benar bebas lepas.

Akan tetapi, walaupun pengalaman ini sangat


mengesankan dan menakjubkan, ketika kita sadar
dari meditasi jangan berhenti sampai disini, segera
kembalilah untuk konsentrasi merasakan sentuhan
aliran nafas pada hidung dengan mantap tidak
teralihkan.

Ini merupakan titik dimana kesadaran kita


memasuki tahap awal kesadaran Atma, berupa
cahaya suci Atma yang berkelimpahan energi
cahaya suci yang menyegarkan pikiran kita. Pikiran
kita dalam keadaan demikian jernih, sehingga
ringan bagaikan kapas dan sangat damai. Semua
sad ripu [enam kegelapan pikiran] seolah lenyap
dan kita benar-benar bebas lepas.

Walaupun pengalaman savikalpa samadhi


[sabija samadhi] ini sangat indah dan mengesankan,
kita jangan larut atau terlena, jangan berhenti disini,
teruskanlah konsentrasi merasakan sentuhan aliran
nafas pada hidung dengan mantap tidak teralihkan.
Dengan melanjutkan konsentrasi merasakan
sentuhan aliran nafas pada hidung dengan mantap
tidak teralihkan, maka secara bertahap kita akan
dapat memasuki tahap nirvikalpa samadhi [nirbija
samadhi].

Kadang-kadang, para sadhaka yang berhasil


mencapai tahap savikalpa samadhi [sabija samadhi]
dengan kemunculan cahaya suci parama-jyotir akan
merasakan ketenangan dan kedamaian mendalam,
serta mungkin dapat merasakan kecerdasannya
berlipat ganda dan banyak masalah yang
sebelumnya tidak dapat dipikirkan jalan keluarnya
sekarang tampak mudah, sehingga dia akan merasa
berpuas diri atau bangga dan tidak memiliki tekad
untuk melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap
nirvikalpa samadhi [nirbija samadhi]. Ini dapat saja
dianggap sebagai sebuah “jebakan” karena
mengikatnya untuk berpuas diri dan tidak tekun
melanjutkan ke tahap selanjutnya.

Untuk melepaskan diri dari “jebakan” ini, kita


harus memahami bahwa pengalaman ini bukanlah
keadaan samadhi yang utama, tapi baru tahap awal
saja. Dengan tidak menanggapi atau menilai tahap
savikalpa samadhi [sabija samadhi] ini,
kembalikanlah konsentrasi merasakan sentuhan
aliran nafas pada hidung dengan mantap tidak
teralihkan. Sehingga akhirnya dapat mencapai
kedamaian samadhi yang sesungguhnya, yaitu
nirvikalpa samadhi [nirbija samadhi].

== 5]. Nirvikalpa samadhi / nirbija samadhi.

Setelah melewati semua tahap dalam


meditasi, kesadaran kita akan mulai masuk ke dalam
kondisi upeksha [pikiran yang tenang-
seimbang]. Dari kondisi upeksha ini, kemudian
kesadaran akan dapat mulai memasuki intisarinya
yang terdalam, yaitu keadaan yang sepenuhnya
hening. Tidak ada gejolak. Ibarat air laut, tidak ada
riak-riak gelombang lagi. Pikiran sangat hening
tenang-seimbang. Waktu seolah-olah berhenti.

Kita berada di dalam lautan keheningan


dimana semuanya satu manunggal.

Ini merupakan pengalaman samadhi yang sulit


untuk dijelaskan dengan kata-kata. Hal ini hanya
bisa dipaparkan secara simbolik dengan bahasa
yang puitis.
Hal ini sebagaimana yang dipaparkan di
dalam Kakawin Dharma Sunia yang ditulis oleh
Danghyang Nirartha pada abad ke 15 Masehi :

Ambek sang wiku siddha tan pahingan tamutuga ri


kamurtining taya
Tang linggar humeneng licin mamepekin bhuwana
sehananing jagat raya
Norang lor kiduling kidul telas hane sira juga
pamekas nirarsraya
Kewat kewala sunya nirbana lengong luput inangen-
angen winarna ya

Artinya :

Kesadaran sang pertapa siddha yang menyatu


dengan taya [keheningan]
Tiada gerak, diam, halus dan memenuhi seluruh
alam semesta
Tidak ada utara, tidak ada selatan, semuanya
telah menyatu di dalam dirinya, itulah hakikat
nirarsraya
Dalam keheningan yang keindahannya tidak
dapat dilukiskan dengan kata-kata

Kita akan mendapati adanya suatu ruang luar


biasa di dalam diri, yaitu kebebasan yang maha luas.
Sesuatu yang tidak pernah disadari, yang tidak
punya kedalaman, tidak ada ketinggian, tidak ada
ukuran, tidak ada waktu, yang tidak dapat dijelaskan
dengan kata-kata, di mana kita adalah bagian
manunggal dari segala sesuatu di keseluruhan alam
semesta.

3. MEMPRAKTEKKAN MEDITASI TANPA


TARGET DAN TANPA TUJUAN, HANYA
ISTIRAHAT DALAM KESADARAN

Sekalipun secara teknis, meditasi memiliki


tahapan-tahapannya, tapi sangat penting juga
untuk ditekankan bahwa meditasi adalah sebuah
“perjalanan tanpa tujuan”. Laksanakan meditasi
dengan mengalir secara alami, tanpa target dan
tanpa tujuan sama sekali. Karena memiliki suatu
tujuan dan target pencapaian akan membangunkan
dualitas pikiran dan dapat menimbulkan konflik
pikiran di dalam diri. Sehingga harus kita tekankan
ke diri sendiri "meditasi ya meditasi, tidak ada
target, tidak ada hasil dan tidak ada tujuan".
Laksanakan saja dengan mengalir secara alami,
dengan tekad dan ketekunan luar biasa.

Karena inti meditasi adalah “istirahat” dari


segala bentuk konflik pertempuran dualitas pikiran
di dalam diri. Tujuan meditasi adalah terus-menerus
berlatih untuk istirahat dari konflik pertempuran
dualitas pikiran.

Pikiran yang dipenuhi kontradiksi [dualitas],


adalah pikiran penuh penghakiman yang tidak
pernah istirahat. Bagus melawan jelek, baik melawan
buruk, benar melawan salah, suci melawan kotor,
bahagia melawan sengsara, untung melawan rugi,
berani melawan takut, rasa lepas melawan rasa
malu, agama melawan ilmu pengetahuan, damai
melawan kacau, ekspresi diri melawan norma sosial,
logika melawan rasa, menyenangkan melawan
menyakitkan, pendapat saya benar melawan
pendapat orang lain salah, dsb-nya. Kebiasaan
pikiran yang penuh penghakiman [tidak pernah
istirahat] inilah yang menyebabkan pikiran kita
penuh kontradiksi [dualitas].

Orang yang tekun dan konsisten melakukan


praktek meditasi kesadaran, adalah orang yang
sudah sering-sering “mengistirahatkan pikiran“ dari
konflik pertempuran dualitas pikiran. Siapa saja
yang dalam jangka waktu lama bertahun-tahun
tekun dan konsisten melatih pikirannya sering-
sering “istirahat” dari kontradiksi-kontradiksi di
dalam diri, hanya masalah waktu saja kesadarannya
akan bertransformasi menjadi kesadaran yang jernih
dan hening.

Faktor penting dalam meditasi adalah tekad


dan ketekunan luar biasa untuk terus melakukannya
secara rutin setiap hari. Hanya itu dan itu saja.
Lakukanlah meditasi non-dualitas ini setiap hari
dengan tekun sampai menjadi suatu kebiasaan rutin
dalam keseharian.

Disebutkan di dalam buku suci Yoga Sutra, jika


kita sering dan tekun melaksanakan meditasi maka
kesadaran Atma akan terus semakin menguat dan
menguat. Meditasi yang dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, dengan dengan tekad dan
ketekunan luar biasa, akan melonggarkan
cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran]
pada kesadaran kita. Kegelapan-kegelapan pikiran
seperti iri hati, marah, benci, resah, gelisah, bingung,
serakah, tidak puas, dsb-nya, akan kehilangan
cengkeramannya dari kesadaran kita. Sehingga para
sadhaka akan memiliki pikiran yang damai dan
kesadaran yang jernih.

Para sadhaka yang tekun melaksanakan


meditasi selama jangka waktu bertahun-tahun yang
panjang, akan memiliki sikap hidup yang positif,
memiliki kesabaran dan ketabahan dalam
menghadapi masalah dan kesulitan hidup, memiliki
konsentrasi yang kuat dalam belajar atau bekerja,
memiliki belas kasih kepada mahluk lain, memiliki
daya tahan tubuh alami dari sakit, dsb-nya.

Selain itu juga, ketekunan meditasi dalam


jangka waktu panjang bertahun-tahun akan
membuat kecerdasan kita meningkat, kebijaksanaan
kita meningkat, belas kasih dan kebaikan kita
meningkat, serta akan membuat kita memiliki intuisi
yang kuat, memiliki kepekaan spiritual dan bahkan
dapat membuat mata spiritual kita menjadi terbuka.

4. KESULITAN DAN KESALAHPAHAMAN


UMUM DALAM MEDITASI

Dalam bagian ini akan dibahas beberapa


panduan terkait kesulitan dan kesalahpahaman
yang umum terjadi di dalam melakukan meditasi
bagi para sadhaka pemula.

== 1]. Kesulitan di dalam melakukan konsentrasi.

Umumnya sebagian dari para sadhaka tingkat


pemula ada yang mengalami kesulitan di dalam
melakukan konsentrasi merasakan sentuhan aliran
nafas pada hidung. Bagi para sadhaka tingkat
pemula hal ini merupakan suatu hal yang wajar.
Lakukan saja semampu kita. Tidak usah terburu-
buru untuk mencapai konsentrasi. Yang penting kita
melakukan praktek meditasi.

Jika kita rutin dan tekun setiap hari praktek


meditasi, nanti akan ada waktunya sendiri dimana
konsentrasi kita sudah mulai dapat terpusat pada
merasakan sentuhan aliran nafas pada hidung.

Akan tetapi ada juga beberapa diantara para


sadhaka yang tetap merasa sangat sulit untuk
melakukan konsentrasi. Walaupun sudah rutin dan
tekun setiap hari dalam jangka waktu berminggu-
minggu melakukan praktek meditasi. Jika terjadi
demikian, maka mereka perlu merenungkan kembali
kehidupan sehari-hari, apakah mereka sudah tekun
melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran
dalam kehidupan sehari-hari.

Meditasi sulit mengalami kemajuan, karena


konsentrasi sulit dilakukan. Konsentrasi sulit
dilakukan karena landasan dasarnya lemah.
Landasan dasar ini tidak lain adalah melaksanakan 4
[empat] ruas landasan kesadaran dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan prinsip ini, hendaknya jika
kita sangat sulit untuk melakukan konsentrasi, maka
kita perlu lebih tekun melatih diri untuk
melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran
dalam kehidupan sehari-hari.

== 2]. Menolak pikiran yang berkeliaran kesana-


kemari.

Seorang sadhaka pemula umumnya menolak


atau membenci pikiran yang berkeliaran kesana-
kemari disaat meditasi. Sehingga dalam meditasinya
dia mencoba melawan atau mengendalikan pikiran
yang berkeliaran kesana-kemari. Karena dalam
pandangannya pikiran yang berkeliaran adalah
salah. Atau bahkan kemudian beranggapan dirinya
tidak berbakat untuk meditasi. Sebenarnya tidak
seperti itu.

Sifat dasar pikiran sebelum kita mencapai


kesadaran Atma memang punya kecenderungan
untuk berkeliaran kesana-kemari. Hal ini sama
dengan sifat dasar air yang basah, sifat dasar api
yang panas, atau sifat dasar dari samudera yang
bergelombang. Mereka yang mencoba melawan
atau mengendalikan pikiran yang berkeliaran
kesana-kemari, sama dengan menolak basahnya air,
menolak panasnya api, atau menolak gelombang
samudera. Tidak bisa.

Disaat kita mulai berlatih meditasi pikiran kita


kelihatan liar berkeliaran kesana-kemari, ini semata-
mata disebabkan karena kita sebelumnya tidak
pernah memperhatikan dan mengarahkan pikiran
kita konsentrasi sepenuhnya kepada satu titik
tertentu. Sebelumnya pikiran kita demikian
bebasnya berkeliaran kesana-kemari. Sehingga
ketika kita mulai berlatih meditasi, disanalah kita
mulai memperhatikan dan menyadari keliaran
pikiran kita.

Semakin keras kita berusaha mengendalikan


pikiran atau membuatnya tidak berkeliaran kesana-
kemari, maka akan semakin frustasi perjalanan
meditasi kita. Tindakan yang tepat adalah, teruslah
melakukan konsentrasi merasakan sentuhan aliran
nafas pada hidung. Jangan mencoba melawan atau
mengendalikan pikiran yang berkeliaran kesana-
kemari. Apapun bentuk-bentuk pikiran yang muncul
jangan dinilai sebagai baik atau buruk, salah atau
benar, tapi diterima dan disaksikan saja dengan
senyuman damai penuh belas kasih, kemudian
biarkan dia lewat dengan sendirinya. Lalu kita
kembalikan konsentrasi merasakan sentuhan aliran
nafas pada hidung.

== 3]. Tubuh bergoyang-goyang atau terasa


bergerak sendiri.

Fenomena ini muncul karena ketika kita


berlatih meditasi, saluran-saluran energi positif di
dalam tubuh kita mulai terbuka, mengalir dan
berkembang. Disaat itu juga energi-energi negatif di
dalam tubuh kita mengalami pembersihan, yang
mengakibatkan tubuh bergoyang-goyang atau
terasa bergerak sendiri.

Jadi ini adalah fenomena yang wajar dan


alami. Kita harus mengabaikannya dan terus dengan
tekun melakukan konsentrasi merasakan aliran nafas
pada hidung.

== 4]. Meditasi terlalu lama membuat kaki sakit


atau kesemutan.

Ini adalah keluhan yang sangat umum terjadi,


yaitu kaki terasa sakit atau kesemutan akibat
meditasi. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini
adalah sering-seringlah melakukan olahraga lari
atau berjalan kaki. Lakukan olahraga ini secara rutin
dan teratur, dimana latihan ini akan membuat daya
tahan dan kekuatan kaki akan jauh lebih baik ketika
kita meditasi.

Lebih baik lagi jika kita tekun melakukan


latihan yoga-asana. Yang akan menyebabkan daya
tahan dan kekuatan tubuh fisik kita akan mantap di
dalam melakukan meditasi.

== 5]. Merasa mengantuk atau kepala sedikit


berkunang-kunang saat membuka mata setelah
selesai meditasi.

Ada sebagian dari para sadhaka tingkat


pemula yang mengalami rasa mengantuk atau
kepala sedikit berkunang-kunang saat membuka
mata setelah selesai meditasi. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar dan alami. Rasa mengantuk atau
kepala sedikit berkunang-kunang adalah hasil dari
adaptasi tubuh kita terhadap pembersihan energi-
energi negatif di dalam tubuh kita.

Sekali lagi bahwa ketika kita berlatih meditasi,


saluran-saluran energi positif di dalam tubuh kita
mulai terbuka, mengalir dan berkembang, serta
disaat itu juga energi-energi negatif di dalam tubuh
kita mengalami pembersihan.
Dengan cara kita tekun dan rutin melakukan
meditasi, maka semakin lama tubuh kita semakin
bersih dan semakin beradaptasi, sehingga rasa
mengantuk atau kepala sedikit berkunang-kunang
itu tidak akan dialami lagi.

== 6]. Terikat dengan hasil.

Seorang sadhaka pemula, ketika dalam


meditasinya mengalami sensasi yang menakjubkan
dalam tahap dhyana, atau berhasil mencapai
samadhi, umumnya dia akan senang sekali.
Kemudian cenderung punya keinginan kuat agar
meditasi di hari-hari berikutnya juga mengalami hal
yang sama. Padahal hal ini sesungguhnya tidak bisa.
Meditasi hari ini adalah meditasi hari ini dan
meditasi hari kemarin adalah meditasi kemarin. Jika
kita terikat dengan hasil, artinya berharap meditasi
hari ini harus mengalami pengalaman yang sama
dengan meditasi hari kemarin, maka kita akan
kecewa.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima,


terbuka dan mengalir kepada setiap kondisi
keadaan. Melakukan meditasi tanpa harapan bahwa
meditasi harus seperti ini atau meditasi harus
seperti itu. Melaksanakan meditasi tanpa konsep ini
dan tanpa konsep itu. Melaksanakan meditasi tanpa
tujuan ini dan tanpa target itu. Menyadari bahwa
semua itu akan menciptakan ketegangan dan
belenggu baru bagi pikiran.

Banyak orang yang frustrasi dengan meditasi


karena berharap setelah sekian tahun berlatih
meditasi, maka pikiran akan bisa dikendalikan atau
dibuat menjadi tidak berkeliaran kesana-kemari,
atau dapat mencapai samadhi yang mendalam.
Tidak bisa seperti itu. Semakin keras kita berusaha
mengendalikan pikiran atau membuatnya tidak
berkeliaran kesana-kemari, maka akan semakin
frustasi perjalanan meditasi kita. Semakin keras kita
berusaha mencapai samadhi, maka kita akan
semakin gagal untuk dapat mencapainya.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima


dengan terbuka semua kondisi keadaan seperti apa
adanya. Tidak ada yang perlu dirubah dalam
meditasi. Satu-satunya hal yang perlu dirubah
adalah kualitas kesadaran kita terhadap apapun
yang sedang terjadi. Menyaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih apapun
yang sedang terjadi seperti apa adanya.
Karena inti dari meditasi adalah “istirahat” dari
segala bentuk konflik pertempuran dualitas pikiran
di dalam diri. Tujuan meditasi adalah terus-menerus
berlatih untuk istirahat dari konflik pertempuran
dualitas pikiran. Siapa saja yang dalam jangka waktu
lama bertahun-tahun tekun dan konsisten melatih
pikirannya sering-sering “istirahat” dari kontradiksi-
kontradiksi di dalam diri, hanya masalah waktu saja
kesadarannya akan bertransformasi menjadi
kesadaran yang jernih dan hening.

Tidak lagi sibuk dengan cara terikat pada hal-


hal positif dan menolak hal-hal negatif. Tidak lagi
sibuk terikat pada kesuksesan dan menolak
kegagalan. Tidak lagi sibuk terikat pada kedamaian
dan menolak kekacauan. Tidak lagi sibuk terikat
pada kedamaian dan menolak kesengsaraan. Hanya
dengan cara penerimaan, keterbukaan dan mengalir
pada setiap kondisi keadaan seperti apa adanya,
itulah yang dimaksud kita membawa kesadaran ke
titik tengah.

Meninggalkan pikiran yang terkonsep dalam


dualitas sungguh tidak mudah. Sehingga di titik
inilah diperlukan keberanian dan keteguhan untuk
melampauinya. Dalam meditasi kita belajar
menyaksikan rwa bhinneda seperti awan-awan di
langit yang datang dan pergi. Yang positif, bahagia
dan damai adalah awan putih, yang negatif,
sengsara dan kacau adalah awan hitam, keduanya
datang dan pergi secara tidak kekal.

Jangan terikat dengan apapun hasil meditasi.


Jangan terikat dengan hasil meditasi di hari ini,
untuk kemudian kecewa di hari-hari berikutnya.
Kalau meditasi hari ini sangat tenang, terimalah
dengan damai. Kalau meditasi hari ini kacau,
terimalah dengan damai. Kalau meditasi hari ini
mencapai samadhi, terimalah dengan damai. Jangan
kemudian berharap besok kita harus kembali dapat
mencapai samadhi. Itu akan membuat kita kecewa
dan itu juga bertentangan dengan tujuan meditasi,
karena kita terikat dengan keinginan dan hasil.
Memiliki suatu target pencapaian akan
membangunkan dualitas pikiran dan kemudian
menimbulkan konflik pikiran.

Sangat penting untuk ditekankan


bahwa meditasi adalah sebuah “perjalanan tanpa
tujuan”. Harus kita tekankan ke diri sendiri "meditasi
ya meditasi, tidak ada hasil, tidak ada target dan
tidak ada tujuan". Laksanakan saja dengan mengalir
secara alami, dengan tekad dan ketekunan luar
biasa. Meditasi sama dengan perjalanan kehidupan
yang penuh warna-warni, dimana warna-warninya
selalu berbeda setiap hari. Di waktu yang berbeda,
pengalaman juga selalu berbeda. Meditasi kita baru
akan bisa mendalam jika kita mengukur hari ini
dengan ukuran hari ini.

== 7]. Meditasi dapat merubah hidup kita agar


selalu lancar, aman dan bahagia tanpa gangguan
masalah untuk selama-lamanya.

Jika kita melakukan meditasi dengan harapan


agar hidup kita selalu lancar, aman dan bahagia
tanpa gangguan masalah untuk selama-lamanya, itu
berarti kita sudah datang ke tempat yang salah.
Meditasi tidak dapat membuat hidup kita selalu
lancar, aman dan bahagia tanpa gangguan masalah
untuk selama-lamanya. Kebahagiaan dan
kesengsaraan, masalah dan kesulitan, dia akan
datang pada waktunya masing-masing karena ada
hukum karma yang bekerja.

Setiap orang yang meditasinya mendalam


tahu, meditasi tidak menghentikan karma. Jika
waktunya datang maka karma akan datang dengan
tidak bisa dibendung. Karma bisa datang dalam
bentuk kejadian, pikiran dan perasaan. Meditasi
tidak meditasi, sembahyang tidak sembahyang,
karma tetap akan datang, karena demikianlah
hukumnya di alam semesta ini.

Meditasi tidak dapat merubah jalan kehidupan


agar selalu lancar, aman dan bahagia tanpa
gangguan masalah untuk selama-lamanya, karena
di alam semesta ini ada hukum karma yang bekerja.
Meditasi adalah tentang upaya terserap ke dalam
kesadaran Atma pada setiap kejadian dalam
perjalanan kehidupan.

Jika kita tekun dan rutin melakukan meditasi,


cengkeraman kegelapan pikiran seperti kemarahan,
kegundahan, keserakahan, iri hati, dsb-nya, akan
semakin longgar dari kesadaran kita. Meditasi
mendamaikan pikiran dan menjernihkan kesadaran.
Meditasi akan memberikan kita kesabaran,
ketabahan dan ketenangan di dalam menghadapi
kesengsaraan, masalah dan kesulitan dalam
perjalanan kehidupan.

== 8]. Meditasi dapat merubah pikiran dan


perasaan kita menjadi selalu positif untuk selama-
lamanya.

Ada sebagian orang yang menyangka bahwa


meditasi dapat membuat pikiran selalu positif dan
bijaksana. Pandangan ini perlu dikoreksi. Pikiran
positif dan pikiran negatif datang dan pergi sesuai
dengan hukumnya. Orang yang tidak berlatih
meditasi akan mudah sekali terseret arus pikiran.
Sedangkan jika kita sudah mendalam meditasinya
maka kita tidak mudah tercengkeram dan terseret
oleh arus pikiran. Pikiran itu datang dan kemudian
lewat.

Demikian juga dengan perasaan. Ada


sebagian orang yang menyangka bahwa meditasi
dapat membuat perasaan selalu bahagia dan damai
selama-lamanya. Pandangan ini juga perlu dikoreksi.
Jangankan orang kebanyakan, bahkan para sadhaka
yang sudah mendalam meditasinya juga mengalami
perasaan sedih dan gundah. Bedanya orang
kebanyakan akan cepat sekali terseret arus
kesedihan dan kegundahan, sedangkan para
sadhaka yang sudah mendalam meditasinya tidak
tercengkeram dan terseret oleh arus perasaan sedih
dan gundah. Perasaan itu datang dan kemudian
berlalu.

Meditasi tidak meditasi, pikiran positif dan


pikiran negatif tetap datang dan pergi. Demikian
juga halnya dengan perasaan positif dan perasaan
negatif tetap akan datang dan pergi. Karena
demikianlah hukumnya. Tapi praktek meditasi
secara pelan tapi pasti membuat ruang-ruang
pikiran semakin luas dari hari ke hari. Meditasi
membuat kita bisa menjaga jarak dan tidak terseret
dan dicengkeram arus pikiran dan perasaan. Tetap
tenang-seimbang dan tersenyum, apapun pikiran
dan perasaan yang muncul.

5. MENYATUKAN MEDITASI DENGAN


DINAMIKA KEHIDUPAN

Ketika melakukan praktek meditasi, seringkali


akan membuat hati kita menjadi terbuka dan luas.
Tapi disaat ketika kita kembali pada permasalahan
hidup sehari-hari, dengan mudah kita kehilangan
hal itu. Interaksi kita dengan orang-orang atau
masalah kehidupan yang muncul dengan cepat
dapat memancing emosi kita, menyebabkan pikiran
kita terbenam dalam kegelapan. Kita semua pernah
mengalami hal seperti ini.

Karena ketika melakukan praktek meditasi,


dalam proses tersebut kita menjadi mendekat
dengan kesadaran Atma. Tapi ketika kemudian kita
kembali ke kehidupan sehari-hari, seringkali pikiran
dan perasaan kita juga akan kembali pada
kecenderungan pikiran [vasana] kita sendiri. Itulah
sebabnya dengan mudah kegelapan pikiran kembali
mendominasi.

Ujian sesungguhnya bagi setiap sadhaka


bukanlah saat duduk meditasi, tapi saat kita
dihadang guncangan-guncangan dalam hidup
keseharian. Saat duduk meditasi kita berhadapan
dengan pikiran-perasaan kita sendiri saja, tapi
dalam keseharian kita berhadapan dengan interaksi
yang sangat rumit dan kompleks. Latihan kesadaran
tertinggi bagi setiap sadhaka adalah saat kita
dihadang guncangan-guncangan kesengsaraan,
masalah dan kesulitan dalam hidup keseharian. Saat
duduk meditasi kita hanya berhadapan dengan
pikiran-perasaan kita sendiri saja, tapi dalam hidup
keseharian kita akan berhadapan dengan interaksi
yang sangat rumit dan kompleks.

Perjalanan kehidupan ini penuh dengan


dinamika berbagai macam kejadian-kejadian, baik
kejadian tidak menyenangkan maupun kejadian
menyenangkan. Kita menghadapi interaksi yang
rumit dan kompleks dengan berbagai macam
manusia dengan sifatnya masing-masing. Kita
menghadapi interaksi yang rumit dan kompleks
dengan berbagai macam masalah dan kesulitan
hidup. Sehingga latihan kesadaran tertinggi bagi
para sadhaka adalah mengembangkan dan
meluaskan intisari meditasi [samadhi] ke dalam
kehidupan sehari-hari.

Ketika sedang mengerjakan pekerjaan,


fokuslah hanya pada apa yang kita kerjakan.
Temukan kebahagiaan dan kedamaian disana.
Termasuk ketika berbagai halangan, hambatan
gangguan dan tekanan menghadang. Apapun
pikiran dan perasaan yang muncul, belajarlah
melatih diri untuk tetap bekerja dengan mantap,
bersikap sadar, menerima dengan damai dan penuh
belas kasih. Inilah yang disebut melatih diri selalu
terserap dalam samadhi.

Dalam hidup ini, kita bertemu dan terhubung


dengan banyak orang. Dan tentu saja tidak
semuanya akan bersikap baik dan manis dengan
kita. Seringkali ada perbedaan pendapat, ada
perselisihan, ada ketidakcocokan, benturan, konflik
dan ini adalah hal yang biasa dalam perjalanan
kehidupan. Belajarlah untuk bersikap menerima
dengan tenang dan lapang dada ketika hal-hal
buruk terjadi dalam kehidupan kita. Mungkin
pasangan hidup kita memperlakukan kita dengan
buruk, atau kita kena tipu, atau kita dimarahi atasan
di kantor, dsb-nya. Apapun pikiran dan perasaan
yang muncul, belajarlah melatih diri untuk tetap
bersikap sadar, menerima dengan damai dan penuh
belas kasih. Ini yang disebut melatih diri selalu
terserap dalam samadhi.

Ketika kita meledak dalam kemarahan, itu


berarti kesadaran Atma sudah diambil alih oleh
kemarahan. Ketika kita larut tenggelam dalam
kesedihan, itu berarti kesadaran Atma sudah diambil
alih oleh kesedihan. Ketika kita histeris dalam
kebahagiaan, itu berarti kesadaran Atma sudah
diambil alih oleh kebahagiaan. Sehingga yang perlu
kita lakukan adalah tekun membawa meditasi non-
dualitas setiap saat ke dalam dinamika kehidupan.
Dengan cara demikian, kita terus melakukan
meditasi selama saat kita terjaga. Kita terus
melakukan upaya terhubung dengan kesadaran
Atma di dalam diri. Kembalikan kesadaran kita
kepada nafas.

Di dalam ajaran Hindu Dharma, demikian


inilah yang disebut sebagai melatih diri selalu
terserap dalam samadhi, selalu terserap dalam
kesadaran.

Cara untuk melaksanakannya adalah seperti


beberapa contoh di bawah ini :
== Kalau kita diberi kata-kata menyakitkan atau
dihina orang, jangan fokus kepada orang tersebut.
Tarik nafas dalam-dalam, kemudian fokus pada
perasaan marah atau sakit hati di dalam diri, sambil
mengatakan ke diri sendiri “karma-karma buruk
saya sudah dihapuskan dan kegelapan pikiran saya
sedang dimurnikan”.

== Kalau kita harus menanggung malu, jangan


fokus kepada kejadiannya. Tarik nafas dalam-dalam,
kemudian fokus pada perasaan malu atau kecewa di
dalam diri, sambil mengatakan ke diri sendiri
“karma-karma buruk saya sudah dihapuskan dan
kegelapan pikiran saya sedang dimurnikan”.

== Kalau kita bertemu orang yang menyakiti,


jangan fokuskan perhatian kepada orang yang
menyakiti, tapi pertama-tama kembalikan kesadaran
kita kepada nafas. Tarik nafas agak panjang.
Kemudian sadari kehadiran luka-luka rasa sakit atau
api kemarahan yang membakar di dalam diri.
Terima kehadiran luka-luka rasa sakit atau api
kemarahan dengan belas kasih [mengerti
kemunculannya tanpa penghakiman sama sekali]
dan saksikan dengan senyum kesadaran [sadar
kalau sifat pikiran-perasaan tidak kekal, muncul dan
lenyap]. Disaksikan saja dengan senyuman damai
dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-
buruk, salah-benar, dsb-nya.

== Ketika kita mengalami kesialan, seperti


mengalami pecah ban di jalan, atau mengalami
ketidakberuntungan lainnya, jangan fokus kepada
kejadiannya, tapi pertama-tama kembalikan
kesadaran kita kepada nafas. Tarik nafas agak
panjang. Kemudian sadari kehadiran gerakan
pikiran-perasaan di dalam diri. Misalnya muncul rasa
sedih atau rasa kecewa. Sadari kehadiran rasa sedih
atau rasa kecewa yang muncul di dalam diri. Terima
kehadirannya di dalam diri dengan belas kasih dan
saksikan dengan senyum kesadaran. Disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih.
Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-
nya.

== Ketika dalam pikiran kita muncul pikiran-


perasaan seperti galau, keresahan, nafsu seks,
ketidakpuasan, dsb-nya. Pertama-tama kembalikan
kesadaran kita kepada nafas. Tarik nafas agak
panjang. Kemudian sadari kehadiran gerakan
pikiran-perasaan tersebut di dalam diri, terima
kehadirannya di dalam diri dengan belas kasih dan
saksikan dengan senyum kesadaran. Disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih.
Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-
nya.

Pencapaian meditasi kita akan jauh lebih


tinggi dan terang kalau kita melatih diri tidak hanya
dengan duduk meditasi saja, tapi juga dalam setiap
moment dalam kehidupan kita melatih diri selalu
terserap dalam keadaaan yang meditatif.

Pusat pertapaan bagi para sadhaka tidak


selalu adalah di suatu pesraman atau di tengah
hutan yang sepi, tapi kehidupan berumah tangga,
kantor tempat bekerja, jalanan yang macet dan
banjir, ngayah di banjar, dsb-nya, juga adalah pusat
pertapaan. Di dalam pikiran kita tenang-seimbang,
sikap keluar kita penuh dengan belas kasih kepada
semua mahluk. Inilah selalu terserap dalam samadhi.

Akan tetapi tentu saja cara ini tidak selalu


berhasil untuk setiap orang. Sehingga, ketika
godaan dan gangguan dalam kehidupan sudah
demikian berat, segeralah melakukan meditasi non-
dualitas cukup selama 1 menit saja. Kapan saja
kehidupan terlihat sangat rumit, sulit, atau penuh
emosi [marah, sedih, bosan, galau, bingung, dsb-
nya], cobalah untuk tidak melarikan diri ke curhat,
mendengarkan lagu, menyanyi, merokok, minum
minuman keras, dsb-nya, tapi lakukan meditasi.
Duduklah dalam posisi meditasi. Konsentrasi kepada
sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung. Cukup
selama 1 menit saja. Singkat-singkat saja [cukup 1
menit] tapi sering, terutama disaat pikiran atau
perasaan kita mulai kehilangan ketenangannya.
Letakkan dualitas pikiran-perasaan dan biarkan
kejernihan di dalam diri yang mengambil alih.

Sadari pikiran hanya sebagai pikiran, bukan


sebagai kebenaran, juga bukan sebagai kenyataan
sejati diri kita. Sadari perasaan hanya sebagai
perasaan, bukan sebagai kebenaran, juga bukan
sebagai kenyataan sejati diri kita. Jika kita tekun
berlatih meditasi seperti ini, suatu saat semua
bentuk pikiran-perasaan yang ekstrim hanya akan
menimbulkan riak-riak sebentar saja, untuk
kemudian menghilang.

Kemarahan, kebencian, ketidakpuasan,


kesedihan, dsb-nya, terjadi karena kekuatan pikiran
ekstrim kiri di dalam diri kita lebih mendominasi
dibandingkan dengan kekuatan kesadaran Atma.
Demikian juga sebaliknya, kesenangan berlebihan,
kenikmatan, kebahagiaan, dsb-nya, terjadi karena
kekuatan pikiran ekstrim kanan di dalam diri kita
lebih mendominasi dibandingkan dengan kekuatan
kesadaran Atma. Dengan melaksanakan praktek
meditasi non-dualitas setiap saat dalam dinamika
kehidupan sehari-hari, singkat-singkat saja [cukup 1
menit] tapi sering, maka kekuatan kesadaran Atma
di dalam diri kita akan terus-menerus diperkuat.
Sehingga nantinya kekuatan kesadaran Atma yang
akan lebih mendominasi dibandingkan kekuatan
pikiran. Caranya adalah, apapun yang terjadi dalam
perjalanan kehidupan kita gunakan sebagai titik
untuk kembali terhubung dengan kesadaran Atma
di dalam diri.

Setiap kesempatan, usahakan untuk kembali


“membawa kesadaran ke titik tengah” pada apa saja
yang sedang terjadi di saat ini. Lakukan meditasi
non-dualitas pendek-pendek waktunya cukup 1
menit, tetapi sering-sering dilakukan. Jika dilakukan
lebih lama, apa lagi terlalu lama, cenderung akan
didikte oleh konsep.

Jika kita dalam kegiatan kehidupan keseharian


kita tekun melakukan meditasi non-dualitas
pendek-pendek cukup 1 menit tapi sering, lama-
lama kesadaran akan seperti langit biru. Awan putih
tidak membuat langit menjadi putih, awan hitam
tidak membuat langit menjadi hitam. Apa pun yang
terjadi langit tetap biru, luas tidak terbatas. Di tahap
ini, semua dualitas pikiran, kecenderungan pikiran
dan konsep lenyap. Tidak ada lagi yang perlu digali,
tidak ada lagi yang perlu dicapai. Semuanya menjadi
meditasi. Terutama dengan mempertahankan
keadaan pikiran yang kembali ke titik tengah.
Pendek-pendek waktunya tetapi sering dilakukan.
BAGIAN 4
Kesadaran Atma : Kenyataan Sejati
Manusia

Meditasi tidaklah sama dengan


mengosongkan pikiran. Meditasi tidaklah sama
dengan melenyapkan pikiran. Meditasi tidaklah
sama dengan membunuh pikiran. Meditasi lebih
dekat dengan latihan untuk selalu "istirahat" di saat
ini seperti apa adanya.

Keheningan tidak sama dengan keadaan


pikiran yang kosong, atau pikiran yang lenyap, atau
pikiran yang terbunuh. Keheningan juga bukan
keadaan pikiran-perasaan yang selalu konstan
terus-menerus damai tenang-seimbang. Dari jaman
dulu sampai ke masa depan tidak pernah ada
pencapaian seperti itu.

Karena sifat alami pikiran-perasaan manusia


mirip dengan gelombang samudera. Ada saat
gelombang naik dengan perasaan senangnya, ada
saat gelombang turun dengan perasaan sedihnya,
ada saat gelombang datar dengan perasaan galau-
nya. Ada saat gelombang naik dengan pikiran
tenang-jernihnya, ada saat gelombang turun
dengan pikiran kacaunya, ada saat gelombang datar
dengan pikiran bingungnya. Demikianlah sifat alami
pikiran-perasaan manusia.

Keheningan adalah kesadaran, yaitu


kemampuan untuk memberikan jarak yang sama
kepada pikiran-perasaan. Entah pikiran-perasaan
kita saat ini sedang mengalami kemarahan, atau
kesedihan, atau kebahagiaan, atau datar, hambar,
galau, atau tenang, atau kacau, tapi kita bisa
tersenyum damai, berjarak dan merasa nyaman
seperti apapun pikiran-perasaan yang muncul.

Meditasi non-dualitas [advaitta-citta, meditasi


kesadaran] tidak dapat menghentikan gelombang
pikiran-perasaan. Sekali lagi tidak. Karena sifat alami
pikiran-perasaan manusia mirip dengan gelombang
samudera. Tapi melalui ketekunan praktek meditasi
kesadaran akan membuat kita mengalami
perubahan kesadaran. Dari diri yang diseret arus
gelombang [menangis kalau sedih, marah jika
tersinggung, murung jika galau, merasa bersalah
jika pikiran kacau, dst-nya], menjadi diri yang duduk
tenang tersenyum di atas semua bentuk riak-riak
gelombang. Dapat memberikan jarak yang sama
kepada apapun pikiran-perasaan yang muncul.

Meditasi non-dualitas adalah praktek upaya


untuk mengistirahatkan pikiran dan perasaan kita
dalam kesadaran. Jadi bukan upaya untuk
menyempurnakan pikiran dan perasaan kita agar
selalu baik dan positif, tapi untuk
mengistirahatkannya dalam kesadaran. Kita tidak
akan pernah bisa membuat pikiran dan perasaan
kita menjadi baik dan positif secara sempurna.
Semata-mata karena secara alami di dalam tubuh
fisik, pikiran dan perasaan kita terdapat sangat
banyak kontradiksi. Jika kita berusaha untuk
membuat pikiran dan perasaan kita menjadi baik
dan positif secara sempurna, pada akhirnya hanya
akan membuat kita frustasi, penuh konflik, kelelahan
dan putus asa.

Meditasi non-dualitas adalah praktek


membangunkan kesadaran Atma dengan cara
menjadi saksi yang penuh belas kasih. Ketika
mengalami perasaan sedih, perasaan sedih itu
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. Ketika mengalami perasaan senang, perasaan
senang itu disaksikan saja dengan senyuman penuh
belas kasih. Ketika mengalami perasaan galau dan
hambar, perasaan galau dan hambar itu disaksikan
saja dengan senyuman penuh belas kasih. Ketika
pikiran tenang, pikiran tenang itu disaksikan saja
dengan senyuman penuh belas kasih. Ketika pikiran
kacau atau buruk, pikiran yang kacau atau buruk itu
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. Sebagaimana yang tertulis dalam Upanishad
sebagai “neti, neti”. Ini bukan dan itu bukan.
Kenyataan sejati diri kita bukanlah tubuh, pikiran
atau perasaan. Kenyataan sejati diri kita adalah
kesadaran Atma [Atma Jnana], keheningan yang
berlimpah belas kasih dan kebaikan.

Bagi para sadhaka pemula, biasanya


melakukan praktek meditasi penuh halangan. Itu
merupakan suatu hal yang wajar dan biasa.
Halangan tersebut secara umum adalah :

1] Halangan tubuh fisik -- tubuh yang lelah, kaki


terasa sakit karena lama duduk bersila, dsb-nya.
2] Halangan mental -- malas, ragu-ragu, dsb-nya.
3] Halangan konsep dan gagasan -- bahwa meditasi
harus mencapai begini dan begitu, meditasi harus
selalu mendamaikan [padahal meditasi juga
mengalami siklus naik-turun], dsb-nya.
Sesungguhnya yang terpenting dalam praktek
meditasi non-dualitas bukanlah hasilnya, tapi
membiasakan diri melakukan praktek meditasi.
Lakukan terus meditasi agar menjadi kebiasaan.
Meditasi adalah sadhana yang harus terus dilakukan
secara konsisten selama bertahun-tahun.

Melatih kesadaran membutuhkan waktu,


ketekunan dan kesabaran. Serta tidak cukup hanya
dengan satu sadhana tunggal saja, yaitu tidak cukup
hanya dengan meditasi non-dualitas saja. Kita juga
harus melaksanakan sadhana-sadhana lainnya.

Kita memerlukan sebuah sistem sadhana yang


saling berkait-kaitan satu sama lain, yang bekerja
bersama-sama secara sistematis untuk
mengarahkan sadhaka mencapai kesempurnaan
kesadaran Atma. Yaitu 4 landasan kesadaran
sebagai praktek dalam kehidupan sehari-hari,
sebagai upaya mencapai kejernihan pikiran. Disertai
1 ruas praktek meditasi sebagai titik pusat yang
akan menyatukan dan memperdalam semuanya,
sekaligus sebagai jalan kesadaran Atma. Semuanya
ke-5 [lima] ruas ini saling berkait-kaitan, saling
melengkapi dan saling menyempurnakan, sebagai
jalan kesadaran Atma.
MARGA SUNIA / JALAN KEHENINGAN

Keheningan adalah kesadaran. Keheningan


adalah kemampuan untuk memberikan jarak yang
sama kepada semua bentuk pikiran-perasaan yang
muncul. Kesedihan, kesengsaraan, ketidakpuasan,
keserakahan, kemarahan, kebosanan,
ketersinggungan, kesedihan, kesenangan, dsb-nya,
adalah ilusi yang muncul dari dalam diri kita, tapi
tidak kita sadari keberadaannya sebagai ilusi. Karena
kita tidak mengenal kesadaran Atma yang ada
didalam diri. Kita tidak mengenal kenyataan diri
yang sejati.

Pikiran yang hening itu sesungguhnya sangat


sederhana. Yaitu pikiran yang "istirahat" disaat ini
seperti apa adanya. Istirahat dari segala bentuk
kontradiksi [dualitas pikiran].

Secara alami di dalam tubuh fisik, pikiran dan


perasaan kita terdapat banyak kontradiksi [dualitas].
Misalnya baik melawan buruk, benar melawan salah,
suci melawan kotor, bahagia melawan sengsara,
untung melawan rugi, sukses melawan gagal, berani
melawan takut, rasa lepas melawan rasa malu,
agama melawan ilmu pengetahuan, damai melawan
kacau, ekspresi diri melawan norma sosial, logika
melawan rasa, menyenangkan melawan
menyakitkan, pendapat saya benar melawan
pendapat orang lain salah, dsb-nya. Serta masih
banyak sekali ada berbagai kontradiksi-kontradiksi
lainnya di dalam diri kita.

Semakin keras kesadaran kita dicengkeram


oleh kontradiksi-kontradiksi [dualitas], apalagi jika
kita menilai atau menghakimi sebagai salah, jelek,
buruk, atau dosa, berdasarkan pikiran yang
terkondisi oleh ajaran agama, norma sosial,
pengetahuan, atau gagasan, maka semakin hiruk-
pikuk dan ramailah guncangan konflik kontradiksi di
dalam diri.

Hampir semua kekacauan mental, gangguan


kejiwaan dan kesadaran, berasal dari guncangan-
benturan konflik kontradiksi di dalam diri. Lebih
jauh dari itu, dalam ajaran Tantra disebutkan bahwa,
kebiasaan pikiran yang diguncang kontradiksi
[dualitas] inilah yang menarik kita untuk kembali
lagi dan kembali lagi ke alam samsara yang penuh
kesengsaraan ini. Hal itu sesederhana lalat yang
mencari sampah atau katak yang mencari kolam.
Selain itu dalam ajaran Tantra juga disebutkan
bahwa hukum karma bekerja lebih keras pada
manusia yang kesadarannya diguncang kontradiksi
[dualitas].

Mencapai pikiran yang hening atau tidak, kita


manusia masih akan tetap dan selalu memiliki
banyak kontradiksi [dualitas] di dalam diri. Semata-
mata karena sifat alami tubuh fisik, pikiran dan
perasaan kita memang penuh kontradiksi. Bedanya
pikiran yang hening "istirahat" disaat ini seperti apa
adanya. Istirahat dari pembandingan, istirahat dari
penghakiman, istirahat dari persaingan, istirahat dari
ketidakpuasan, dsb-nya. Istirahat dari segala
kontradiksi yang muncul di dalam diri. Apapun
bentuk kontradiksi yang muncul di dalam diri hanya
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. ISTIRAHAT. Inilah yang disebut sebagai jalan
hening atau marga sunia.

Pikiran hanyalah pikiran, bukan diri kita.


Perasaan hanyalah perasaan, bukan diri kita.
Gagasan hanyalah gagasan, bukan diri kita.
Kemunculan pikiran, perasaan dan gagasan hanya
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. Kemunculan segala kontradiksi-kontradiksi di
dalam diri hanya disaksikan saja dengan senyuman
penuh belas kasih. ISTIRAHAT.
Salah satu pertanda penting tercapainya
keheningan [Kesadaran Atma] adalah saat kita
merasa tenang, nyaman, aman dan damai, terhadap
semua kemunculan kontradiksi-kontradiksi
[dualitas] pikiran dan perasaan di dalam diri.
Kemunculannya hanya disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih tanpa penghakiman
sama sekali. Pikiran yang ISTIRAHAT. Istirahat dalam
keheningan.

Kita baru bisa menemukan kesempurnaan


dengan beristirahat dalam kesadaran. Menyatu
dengan keheningan.

Segala bentuk pikiran, perasaan dan gagasan,


hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh
belas kasih. Istirahat dalam kesadaran. Menyatu
dengan keheningan.

Mereka yang akan mengalami kesulitan besar


untuk beristirahat dalam kesadaran, untuk menyatu
dengan keheningan, adalah mereka yang punya
kecenderungan kuat untuk menolak dan melawan.
Yaitu mereka yang pikirannya terlalu kuat dengan
salah-benar, baik-buruk, bahagia-sengsara, dsb-nya,
atau mereka yang perasaannya terlalu kuat diseret
oleh rasa sedih-bahagia, marah-damai, dsb-nya,
serta mereka yang terlalu lama tenggelam dalam
dogma agama atau spiritual.

Tapi sesulit apapun hal ini, kita tekunlah


belajar untuk menjadi saksi yang tersenyum tenang
dan penuh belas kasih. Semua hal yang oleh pikiran
dianggap salah-benar, baik-buruk, bahagia-
sengsara, dsb-nya, adalah tarian kosmik Shiwa
[Shiwa Nataraja] yang sama. Semua jenis perasaan
seperti sedih-bahagia, marah-damai, dsb-nya,
adalah tarian kosmik Shiwa yang sama. Pikiran
hanya pikiran bukan diri kita. Perasaan hanya
perasaan bukan diri kita. Gagasan hanya gagasan
bukan diri kita.

Ketika kita mulai dapat istirahat dalam


kesadaran, disana kita mulai termurnikan, tapi
belum tersempurnakan. Di tahap ini kesadaran Atma
sudah sangat dekat, tapi belum mencapai
kesempurnaan kesadaran yang sempurna. Sudah
sangat dekat tapi belum sempurna. Kesadaran Atma
baru sempurna, jika dari keheningan kemudian
melahirkan belas kasih dan kebaikan yang sangat
mendalam kepada semua mahluk [keterhubungan
kosmik yang sempurna]. Disana kegelapan di dalam
diri akan sepenuhnya menghilang dan kehidupan
berubah menjadi samudera senyuman penuh
cahaya.

PERJALANAN DI ALAM MARCAPADA

Kehidupan kita di alam marcapada berjalan


laksana roda lingkaran sempurna yang terus
berputar tidak berhenti. Alam berputar siang, malam
dan siang lagi. Cuaca berputar hujan, kemarau dan
hujan lagi. Hubungan dengan orang lain juga
berputar, suatu saat seseorang menjadi sahabat, di
waktu lain dia menjadi musuh. Suatu saat seseorang
memuji, di waktu lain dia menghujat atau menghina.
Taman yang indah juga berputar, sekarang taman
disapu dan dibersihkan, nantinya daun berguguran
kembali berserakan. Tubuh fisik ini, di hari tertentu
memberi kenikmatan melalui makanan enak, di hari
lain memberi rasa sakit melalui penyakit. Segala
sesuatu selalu berubah, tidak ada yang kekal.

Manusia hidupnya penuh dengan gejolak dan


konflik pikiran, karena pikirannya diseret arus riak-
riak gelombang kehidupan. Melalui ketekunan
melaksanakan meditasi non-dualitas kita perlahan-
lahan mendekati titik pusat kesadaran di dalam diri.
Menjadi saksi abadi penuh belas kasih di titik pusat
kesadaran. Disanalah seluruh gejolak dan konflik
pikiran berhenti.

Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan


antara mendapat pujian dengan mendapat
penghinaan. Keduanya hanya didengar dengan
penuh belas kasih. Menjadi sadar bahwa tidak ada
perbedaan antara mendapat kebahagiaan dengan
mendapat kesengsaraan. Keduanya hanya dijalani
dengan penuh belas kasih. Mereka yang tekun
berlatih seperti ini akan membawa kesadarannya
mencapai pusat kesadaran Atma. Disana kehidupan
akan berubah menjadi senyuman kejernihan.

Kebahagiaan dan kesengsaraan, kebaikan dan


keburukan, kebenaran dan kesalahan, kesucian dan
kegelapan, selalu datang silih berganti, tapi
semuanya hanya dilihat sebagai awan-awan hitam
dan awan-awan putih yang datang dan pergi oleh
sang Atma. Sang Atma hanya menyaksikan saja,
laksana langit biru yang kekal tidak berubah. Tidak
memvonisnya [menghakiminya] sebagai bahagia-
sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-gelap.
Hanya disaksikan saja dengan penuh belas kasih.

Simbolik kesadaran Atma adalah bunga


padma [teratai, sekar tunjung], yang tidak basah
oleh air, tidak kotor oleh lumpur. Simbolik bunga
padma merupakan simbolik pikiran yang melampaui
dualitas. Tidak basah oleh air [pikiran tidak terbawa
ekstrim ke kanan], tidak kotor oleh lumpur [pikiran
tidak terbawa ekstrim ke kiri]. Yang baik atau bagus
tidak menjadi akar kesombongan, yang jelek atau
buruk tidak menjadi akar kemarahan dan
permusuhan. Dalam keheningan yang muncul
adalah kebijaksanaan mendalam.

Seburuk apapun perjalanan kehidupan kita,


segagal apapun perjalanan kehidupan kita,
semuanya hanya karma-karma yang mengalir,
semata-mata karena di alam semesta ini berlaku
hukum karma yang tidak bisa dibendung. Akan
tetapi kenyataan sejati diri kita dari awal yang tidak
berawal tetaplah selalu Atma yang sempurna.

Jalan menyadari kembali kesempurnaan


bukanlah dengan cara melenyapkan noda-noda
pikiran atau melenyapkan ketidaksempurnaan. Jalan
menyadari kembali kesempurnaan adalah menjadi
saksi dengan senyuman damai dan penuh belas
kasih yang sama terhadap apapun yang terjadi,
serta apapun bentuk pikiran-perasaan yang muncul,
bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya.
Kita akan menyadari secara mendalam bahwa
segala kejadian sesungguhnya tidak membawa
kebahagiaan-kesengsaraan, kebaikan-keburukan,
kebenaran-kesalahan, kesucian-kegelapan, dsb-nya.
Semuanya merupakan hasil dari dualitas pikiran kita
sendiri. Sehingga menyadari pikiran kita hanya
sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran, bukan
sebagai kenyataan sejati diri kita. Menyadari
perasaan kita hanya sebagai perasaan, bukan
sebagai kebenaran, bukan sebagai kenyataan sejati
diri kita.

Ketika semua dualitas pikiran-perasaan


terlampaui, kita langsung sampai di puncak
keheningan. Sadar bahwa sejak awal yang tidak
berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya.
Sehingga kehidupan menjadi mengalir sempurna
dan tanpa memilih, karena semuanya sempurna
sebagaimana adanya.

Sebagaimana ajaran rahasia yang tertulis


dalam sloka pertama dari Ishavasya Upanishad :

Purnamadah Purnamidam
Purnat Purnamudachyate
Purnasya Purnamadaya Purnameva Vashishyate

Artinya :

Itu sempurna ini sempurna


Dari yang sempurna itu datangnya
kesempurnaan ini
Jika kesempurnaan tersebut dihilangkan yang
tersisa tetaplah kesempurnaan

Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir


yang tidak ada akhirnya, semuanya sempurna
sebagaimana adanya.

Akan tetapi hal ini bukanlah hal yang dapat


dipahami dengan logika atau pikiran.
Kesempurnaan tidak akan pernah dapat dipahami
melalui logika atau pikiran. Kesempurnaan hanya
bisa disadari melalui keheningan. Cara untuk dapat
menyadarinya adalah dengan tekun melaksanakan
meditasi non-dualitas beserta 4 [empat] ruas
landasan kesadaran. Sampai suatu hari kita akan
mengalami sendiri [bukan memahami melalui logika
atau pikiran, karena tidak bisa] keheningan sebagai
pusat kesadaran Atma. Dalam keheningan itulah
disembunyikan rahasia kesempurnaan.

Pertanda kekuatan kesadaran sudah lebih


mendominasi dibandingkan kekuatan-kekuatan lain
di dalam diri, adalah kita bisa berjarak sama pada
semua bentuk dualitas pikiran seperti bahagia-
sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-
nya. Ketika dualitas pikiran berhenti, maka berhenti
juga baik kebahagiaan maupun kesedihan,
kebenaran maupun kesalahan, kesucian maupun
kegelapan, dsb-nya. Bukan berarti tidak berpikir
atau pikiran menjadi kosong, tapi kesadaran kita
berhenti didikte oleh pikiran. Kondisi dimana pikiran
kita sudah melampaui dualitas pikiran, sehingga
mirip dengan air yang tenang dan jernih.

Salah satu kesalahan konseptual dalam dunia


spiritual dharma yang banyak terjadi adalah berpikir
adanya suatu tujuan pencapaian yang menetap.
Misalnya tercapainya suatu kondisi kedamaian
pikiran yang statis [tidak berubah] untuk selama-
lamanya. Itu adalah suatu hal yang tidak mungkin
karena bertentangan dengan hukum alam. Pikiran
adalah energi dan energi tidak statis. Sifat energi
adalah dinamis, atau terus bergerak dalam aliran
perubahan.

Jika pengertian kedamaian pikiran adalah


perasaan yang selalu konstan damai tenang-
seimbang, tidak pernah ada pencapaian seperti itu.
Karena pikiran-perasaan mirip dengan gelombang
samudera. Ada saatnya gelombang naik dengan
perasaan senangnya, ada saatnya gelombang turun
dengan perasaan sedihnya dan ada saatnya
gelombang datar dengan galau-nya. Tapi jika
pengertian kedamaian pikiran adalah kemampuan
untuk memberikan jarak yang sama kepada pikiran-
perasaan, maka meditasi non-dualitas beserta 4
[empat] sadhana pendukungnya merupakan jalan
untuk mencapai kedamaian seperti ini.

Meditasi tidak dapat menghentikan


gelombang pikiran-perasaan seperti sedih, marah,
senang atau galau. Sekali lagi tidak. Karena jika
perasaan sedih, marah atau galau sudah saatnya
datang, itu akan datang dengan tidak bisa
dibendung. Tapi melalui ketekunan bermeditasi
akan membuat kita bertransformasi dari diri yang
diseret arus gelombang [menangis kalau sedih,
marah jika tersinggung, melompat kalau gembira,
murung jika galau], menjadi diri yang duduk tenang
di atas aliran gelombang, yaitu mampu untuk
berjarak sama kepada pikiran-perasaan [sedih
damai, marah damai, senang damai, galau juga
damai]. Caranya ketika kesedihan datang, kesedihan
itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan
penuh belas kasih. Ketika kemarahan datang,
kemarahan itu disaksikan saja dengan senyuman
damai dan penuh belas kasih. Ketika kesenangan
datang, kesenangan itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Ketika
galau datang, galau itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih.

Meditasi selama ini identik dengan duduk


bersila memejamkan mata. Tapi dalam meditasi
non-dualitas, yang dimaksud meditasi adalah cara
hidup yang meditatif, hidup itu sendiri sebuah
meditasi. Keheningan meditasi kita lanjutkan dalam
kehidupan sehari-hari. Hidup selalu dalam
kesadaran. Jika tidak, maka saat duduk meditasi
bersila saja kita heningnya, setelah keluar darisana
kesadaran kembali kacau. Meditasi non-dualitas
adalah sepanjang waktu. Bukan berarti duduk
meditasi bersila sepanjang waktu, tetapi hadirnya
kesadaran sepanjang waktu ketika kita dimanapun
dan melakukan kegiatan apapun.

Hidup meditatif berarti hidup yang senantiasa


dalam kesadaran sepanjang waktu, saat dimanapun
dan sedang apapun, misalnya di rumah, di jalan, di
kantor, saat bekerja, saat istirahat, saat menari, saat
membaca, saat berdiskusi, dsb-nya. Meditasi non-
dualitas adalah hidup yang disiplin dalam
kesadaran. Dimana dan sedang apa, disitu hadir
kesadaran, dalam arti menjadi saksi yang penuh
belas kasih terhadap setiap bentuk pikiran yang
datang, setiap emosi yang datang, setiap kegiatan
yang dilakukan, tanpa menilainya sebagai baik-
buruk atau salah-benar.

Itulah apa yang diajarkan oleh leluhur kita di


Bali dengan tehnik yang disebut sebagai "maulu ke
tengah". Pada prinsipnya adalah senantiasa sadar
dengan pikiran-perasaan kita sendiri setiap saat,
setiap detik, setiap menit, setiap jam, untuk menjadi
saksi yang penuh belas kasih, tanpa menilainya
sebagai baik-buruk atau salah-benar.
Meditasi dimulai ketika kita sadar dengan apa
yang kita pikirkan, sadar dengan apa yang kita
rasakan, untuk kemudian menjadi saksi yang penuh
belas kasih, tanpa menilainya sebagai baik-buruk
atau salah-benar.

Mungkin saat ini pikiran kita sangat kotor, tapi


ketika kita sadar dengan pikiran kotor itu,
menyaksikannya dengan penuh belas kasih tanpa
menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar, itu
berarti meditasi dimulai. Pemurnian diri dimulai.

Jadi pada intinya meditasi non-dualitas adalah


menjadi saksi yang penuh belas kasih terhadap
pikiran-perasaan kita sendiri, tanpa menilainya
sebagai baik-buruk atau salah-benar. Meditasi non-
dualitas adalah menyadari apa yang kita pikirkan,
atau rasakan, setiap saat. Menyadari dengan “maulu
ke tengah”, tanpa menyalahkan, juga tanpa
membenarkan. Jika kita menyalahkan itu bukan
meditasi, jika kita membenarkan itupun juga bukan
meditasi. Meditasi adalah menyaksikan
sebagaimana adanya, tanpa menilai, tanpa
menghakimi, tanpa membandingkan. Pikiran
beristirahat dalam kesadaran.
Pikiran yang sering beristirahat dalam
kesadaran, membuat ruang-ruang pikiran semakin
lebar dari hari ke hari. Ruang-ruang pikiran yang
lebar akan melahirkan keheningan. Dari keheningan
seperti inilah akan melahirkan moralitas secara
alami. Karena orang yang sering mengistirahatkan
pikirannya dalam kesadaran, memiliki ruang-ruang
pikiran yang lebar, sehingga secara alami tidak lagi
tertarik melakukan hal-hal yang melanggar
moralitas.

Ini adalah moralitas yang muncul secara alami


dan bukan moralitas yang diperjuangkan atau
dipaksakan. Tidak seperti orang biasa yang tidak
terlatih meditasi, dia harus berjuang atau
memaksakan diri agar dapat memiliki moralitas.

Terdapat satu kesalahpahaman teknis yang


diyakini banyak orang dalam memperjuangkan
moralitas, yaitu meyakini upaya mengendalikan
pikiran-pikiran negatif sebagai poros utama
pengendalian diri, yang akan menghasilkan
moralitas. Sehingga banyak muncul jargon religius
seperti “mengendalikan pikiran”, “mengendalikan
rasa marah”, atau “melawan hawa nafsu”, dsb-nya.
Karena dalam pandangan banyak orang munculnya
pikiran negatif adalah salah. Sehingga mereka
membenci kemunculan pikiran negatif tersebut dan
kemudian berusaha melawan atau mengendalikan
setiap pikiran negatif yang buruk. Banyak praktisi
spiritual terjebak disini.

Sesungguhnya sifat dasar pikiran memang


punya kecenderungan untuk berkeliaran, dimana
pikiran positif dan buruk datang dan pergi. Jadi kita
harus mengetahui bahwa sifat dasar pikiran adalah
berkeliaran kesana-kemari. Hal ini sama dengan
sifat dasar air yang basah, sifat dasar api yang
panas, atau sifat dasar dari samudera yang
bergelombang. Mereka yang mencoba melawan
atau mengendalikan pikiran yang berkeliaran
kesana-kemari, sama dengan menolak basahnya air,
menolak panasnya api, atau menolak gelombang
samudera. Tidak bisa.

Semakin keras kita berusaha melawan atau


mengendalikan pikiran negatif, maka tidak saja
pikiran kita akan semakin penuh benturan konflik,
tidak saja kita menjadi frustasi, tapi sekaligus juga
kita akan melukai pikiran kita sendiri.

Cara kerja pikiran itu seperti per. Berusaha


melawan atau mengendalikan kemunculan pikiran
yang negatif seperti “mengendalikan pikiran”,
“mengendalikan rasa marah”, atau “melawan hawa
nafsu”, dsb-nya, itu sama seperti menekan per.
Semakin ditekan semakin besar energi yang
disimpan, yang akan terus mengembang dan siap
kapan saja menghantam balik. Sudah menjadi
hukum alam bahwa pikiran tidak bisa ditekan,
karena dia sudah pasti akan mencari jalan keluar.

Jadi tidak heran orang yang berusaha


melawan atau mengendalikan pikiran negatifnya,
maka akan semakin besarlah pikiran negatifnya.
Orang yang berusaha menekan rasa marahnya
maka akan semakin besarlah rasa marahnya. Orang
yang berusaha menekan hawa nafsunya maka akan
semakin besarlah hawa nafsunya. Atau
kemungkinan lain, upaya melawan atau
mengendalikan pikiran-pikiran negatif itu akan
meledak dalam bentuk-bentuk yang lain. Artinya
orang yang sering berusaha menekan pikiran-
pikiran negatifnya akan menjadi mudah marah,
minta dihormati, mudah tersinggung, suka
menghakimi, sombong, dsb-nya, sebagai
kompensasi dari menekan pikiran-pikiran
negatifnya. Sebagai akibat dari menekan energi
yang sudah pasti energi itu akan mencari jalan
keluar.
Pikiran yang berkeliaran, dimana pikiran
positif dan pikiran negatif datang dan pergi, adalah
hal yang alami berdasarkan hukum alam. Terlalu
menekan [melawan atau mengendalikan] pikiran
negatif di dalam diri kita sendiri [yang sifatnya alami
sesuai hukum alam] akan memantul balik dalam
bentuk kekacauan di dalam pikiran kita. Setiap
bentuk pikiran-pikiran yang ditekan dan dilarang
secara berlebihan kemudian akan terlempar ke
“gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu
“gudang” itu penuh, kelak dia akan muncul ke
permukaan dalam bentuk galau, kesedihan tanpa
sebab, keinginan untuk dihormati, suka
menghakimi, keangkuhan, dsb-nya.

Artinya upaya melawan atau mengendalikan


pikiran-pikiran negatif dalam jangka panjang dapat
bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku
yang bersifat merusak diri sendiri dan orang lain.
Inilah sebabnya para Guru suci dharma yang sudah
melakukan meditasi sangat mendalam ke alam
pikiran, akan mengatakan bahwa ajaran agama,
serta standar norma dan moralitas masyarakat [yang
salah secara teknis seperti “mengendalikan pikiran”,
“mengendalikan rasa marah”, “melawan hawa
nafsu”, dsb-nya] membuat pikiran manusia menjadi
gelisah, rusak dan terbelah.
Karena semua rasa sakit di dalam diri, semua
kekacauan mental dan kekacauan spiritual, berakar
dari kegagalan untuk mengalir menerima diri sendiri
dan kehidupan seperti apa adanya. Semua hal akan
cenderung mudah terlihat salah dan menyakitkan.
Bahkan ajaran-ajaran agama akan sulit dilaksanakan,
karena dengan diri kita sendiri saja kita masih terus-
menerus bertempur. Sehingga ajaran agama tidak
digunakan untuk menciptakan pondasi ketenangan
yang kita butuhkan, tapi malah untuk menciptakan
pertempuran baru dengan diri sendiri.

Kebanyakan manusia mengalami kesulitan


untuk dapat menerima diri dan kehidupan seperti
apa adanya, disebabkan pengkondisian pikiran yang
sudah berumur sangat lama. Pikiran dikondisikan
oleh pendidikan orang tua, pendidikan di sekolah,
ajaran agama, standar sosial lingkungan, standar
norma dan moralitas masyarakat, dsb-nya. Semua
pengkondisian ini menyebabkan manusia
mencengkeram erat dualitas pikiran.

Walaupun hal ini sebenarnya juga dapat


dimengerti. Sebab cara kerja pikiran agar mengerti
hanya bisa dengan menilai dan memilah ke dalam
dualitas. Pikiran hanya bisa mengerti tentang baik
jika ada yang buruk. Pikiran hanya bisa mengerti
tentang kesucian jika ada yang kekotoran. Pikiran
hanya bisa mengerti tentang keindahan jika ada
yang jelek. Pikiran hanya bisa mengerti tentang
bahagia jika ada sengsara. Pikiran hanya bisa
mengerti tentang kehormatan jika ada kehinaan.
Tanpa dualitas, pikiran tidak akan dapat bekerja
secara aktif.

Artinya, dualitas pikiran sesungguhnya


hanyalah tembok ilusi pemisah imajiner untuk
membantu mempermudah pikiran mengerti. Tapi
sayangnya dari sinilah keutuhan sempurna diri kita
kemudian terpecah-belah, karena seolah-olah benar
dipisahkan oleh tembok imajiner. Pikiran manusia
kemudian mengganggap bahwa tembok imajiner
itu benar-benar ada. Membuat manusia menjadi
bernafsu hanya ada benar tanpa ada salah, hanya
ada suci tanpa ada kotor, hanya ada bahagia tanpa
ada sengsara, hanya ada keindahan tanpa ada jelek,
hanya ada kehormatan tanpa ada kehinaan, dsb-
nya. Ini tidak bisa, karena melawan hukum-hukum
alam.

Nafsu dan kesalahpahaman seperti inilah yang


menjadi awal kekacauan pikiran, kelelahan mental,
sekaligus kejatuhan spiritual manusia. Manusia
bernafsu ingin hidup hanya dalam kebenaran, tapi
dia tetap saja melakukan kesalahan demi kesalahan.
Manusia bernafsu ingin hidup hanya dalam pikiran
suci, tapi dia tetap saja tidak dapat lepas dari pikiran
buruk dan kotor. Manusia bernafsu ingin hidup
selalu dalam kebahagiaan, tapi dia tetap saja
mengalami kesengsaraan. Manusia bernafsu ingin
hidup selalu dalam kehormatan, tapi dia tetap saja
mengalami kehinaan. Sebagaimana sudah dialami
banyak orang, semua orang harus sangat kecewa
pada akhirnya. Karena itu tidak bisa, sebab itu sama
dengan melawan hukum-hukum alam.

Nafsu tentang mengalami keadaan yang


sepenuhnya positif sesungguhnya adalah melawan
hukum alam. Jika kita melawan hukum alam
akibatnya adalah pikiran kita akan menjadi penuh
dengan luka-luka. Ide tentang mengalami keadaan
yang sepenuhnya positif, tidak saja sangat naif, tapi
juga menjadi penghalang besar bagi perkembangan
dan kemajuan kesadaran.

Kekacauan dan kelelahan mental manusia


terjadi karena manusia mengalami banyak
“kebocoran energi” dengan cara naik dan turun
bersama dualitas pikiran dan gelombang pikiran-
perasaan. Ketika pengalaman hidup dipandang baik,
benar, positif, suci, mulia, indah, atau sukses,
manusia membuang banyak energinya dengan cara
larut dalam rasa senang. Ketika pengalaman hidup
dipandang buruk, salah, negatif, kotor, hina, jelek,
atau gagal, manusia membuang banyak energinya
dengan cara marah-marah, kecewa, atau merasa
sedih, merasa bersalah, merasa hina, merasa
berdosa, atau merasa gagal.

Manusia dengan kebocoran energi seperti itu


energinya akan banyak habis. Di alam ini terdapat
suatu pola. Polanya adalah dia akan membutuhkan
kompensasi dari “kebocoran energi”-nya tersebut.
Kehabisan energi ini akan berusaha diisi ulang
dengan cara memarahi orang, menyalahkan orang,
atau sibuk mengkritik dan menghakimi ini dan itu.
Memuliakan dirinya dan merendahkan yang lain.
Saya benar, orang lain salah. Saya baik, orang lain
buruk. Kelompok spiritual saya bagus, kelompok
yang berbeda menyimpang. Hal-hal seperti itu.

Semakin tinggi dan tebal tembok imajiner


dualitas pikiran, maka semakin keras konflik akan
menjerat di dalam diri [pikiran] dan diluar [dengan
orang lain].
Intinya seni meditasi non-dualitas adalah seni
mengalir. Alam mengalir dengan siang dan
malamnya. Demikian juga dengan badan, pikiran
dan perasaan. Pikiran mengalir dengan salah-
benarnya. Perasaan mengalir dengan sedih-
senangnya. Semuanya mengalir tanpa ada yang bisa
menghentikannya. Sehingga tidak ada pilihan lain
selain mengalir. Meditasi non-dualitas mengajarkan,
rahasia keheningan ada di dalam aliran itu sendiri.

Meditasi non-dualitas diajarkan oleh leluhur


kita di Bali dengan tehnik yang disebut sebagai
"maulu ke tengah". Mereka yang ingin bertemu
kejernihan pikiran disarankan kembali ke tengah.
Tidak mengikuti bentuk-bentuk pikiran-perasaan,
sekaligus tidak berusaha mengendalikan atau
melawannya. Tapi menjadi saksi yang penuh belas
kasih terhadap setiap bentuk pikiran-perasaan yang
datang, tanpa menilainya sebagai baik-buruk atau
salah-benar. Itulah maulu ke tengah. Menjadi saksi
yang tersenyum penuh belas kasih secara sama baik
kepada “unsur dewa” maupun “unsur bhuta” di
dalam diri, dengan tanpa penilaian, tanpa
penghakiman.

Meditasi non-dualitas membebaskan kita dari


kekacauan dan kelelahan mental yang berakar dari
dualitas pikiran, dengan cara membuat kita
seutuhnya menerima diri sendiri dan kehidupan kita
seperti apa adanya. Jangankan kebenaran, kesucian,
kebahagiaan dan kehormatan, bahkan kesalahan,
kekotoran, kesengsaraan dan kehinaan juga
diterima apa adanya dalam meditasi. Apapun
bentuk-bentuk perasaan [bahagia-sengsara],
persepsi pikiran [benar-salah, kehormatan-
kehinaan], formasi mental [suci-kotor, disayangi-
disakiti, sukses-gagal], semuanya diterima apa
adanya, diberikan jarak yang sama, semuanya dilihat
tanpa penilaian dan penghakiman, semuanya
disambut dengan senyuman penuh belas kasih yang
sama.

Meditasi non-dualitas menyelamatkan kita


dengan cara seperti itu. Sebelum praktek meditasi,
pikiran kita dicengkeram kuat oleh dualitas pikiran,
untuk kemudian kita mengalami banyak kekacauan
dan kesengsaraan pikiran. Meditasi non-dualitas
hanya menyaksikan saja dengan penuh belas kasih.
Sedih-bahagia, kebenaran-kesalahan, tragedi-
komedi, dihina-dipuji, disakiti-disayangi, pikiran
suci-pikiran buruk, semuanya hanya disaksikan
dengan senyuman penuh belas kasih, dengan tanpa
penilaian, tanpa penghakiman.
Setiap orang yang meditasinya mendalam
tahu, meditasi tidak dapat menghentikan karma.
Jika waktunya datang maka karma akan datang
dengan tidak bisa dibendung. Karma bisa datang
dalam bentuk kejadian, pikiran, perasaan dan
formasi mental. Meditasi tidak meditasi,
sembahyang tidak sembahyang, karma tetap akan
datang tanpa bisa dibendung, karena demikianlah
hukumnya.

Ada orang yang mengira meditasi bisa


membuat perasaan kita selalu bahagia dan damai
selama-lamanya. Hal itu tidak benar. Karena
jangankan manusia biasa, bahkan para sadhaka
agung seperti para Maharsi, Mahayogi, Mahasiddha,
Danghyang, Guru suci, dsb-nya, yang sudah
mencapai kesadaran Atma yang sempurna, juga
masih mengalami perasaan sedih, marah dan galau.
Bedanya kalau orang biasa diseret oleh kesedihan,
para sadhaka agung melihat rasa sedih, rasa marah
atau rasa galau, hanya seperti sampah yang lewat
mengalir di sungai. Ia datang kemudian lewat dan
menghilang. Pikiran juga tidak berbeda. Sejumlah
orang mengira kalau meditasi bisa membuat pikiran
selalu positif dan bijaksana. Lagi-lagi pandangan ini
perlu dikoreksi. Mirip dengan awan di langit, pikiran
positif dan negatif datang dan pergi sesuai dengan
hukumnya. Tugas meditasi hanya menyaksikan
awan-awan ini, sehingga suatu hari bisa menjadi
langit biru yang tidak berhingga.

Meditasi tidak dapat membuat pikiran selalu


positif dan bijaksana. Karena sebagaimana leluhur
kita di Bali mengajarkan bahwa manusia itu “dewa
ya bhuta ya”, semasih kita mengenakan tubuh
manusia pikiran positif dan negatif datang dan pergi
secara alami. Tugas meditasi hanya menyaksikan
awan-awan pikiran ini, sehingga suatu hari bisa
menjadi langit biru yang luas tidak terhingga.
Meditasi tidak dapat membuat perasaan kita selalu
bahagia dan damai selama-lamanya. Karena
perasaan positif dan negatif datang dan pergi sesuai
dengan hukum karma. Tapi meditasi membuat kita
dapat melihat kesedihan dan kegundahan hanya
seperti sampah yang mengalir lewat di sungai. Ia
datang kemudian lewat dan menghilang.

Meditasi hanya memperbesar kemampuan


seseorang untuk menerima dan mengalir sempurna
dengan setiap aliran pikiran, perasaan dan karma-
karma yang datang sesuai hukum alam. Meditasi
melalui kegiatan menjadi saksi yang tersenyum
penuh belas kasih, secara pelan tapi pasti membuat
ruang-ruang pikiran semakin lebar dari hari ke hari.
Sehingga kita bisa menjaga jarak dengan pikiran
dan perasaan. Tetap tenang-seimbang dan
tersenyum apapun pikiran dan perasaan yang
muncul. Itu sebabnya, ada yang menulis kalau
puncak meditasi adalah kemampuan untuk
menderita secara tidak terbatas. Apapun yang
terjadi dalam kehidupan, terima, mengalir,
tersenyum.

Walaupun sudah mencapai tingkat


kesempurnaan kesadaran yang sempurna, tapi
sesempurna apapun pencapaian spiritual kita,
pengalaman-pengalaman hidup yang sengsara dan
menyakitkan pasti masih tetap selalu ada, karena di
alam semesta ini ada hukum karma yang bekerja.
Demikian juga pikiran dan emosi negatif juga pasti
masih tetap ada, sebagai fenomena hukum alam
sebagaimana adanya.

Bahkan para sadhaka agung yang sudah


mencapai kesadaran sempurna juga emosinya
masih tetap ada. Karena sebagaimana leluhur kita di
Bali mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya
bhuta ya”, semasih kita mengenakan tubuh
manusia, adanya emosi merupakan pola yang
sangat alami. Tapi bedanya oleh para sadhaka
agung emosi hanya disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih, tanpa penilaian, tanpa
penghakiman. Sehingga emosi itu akan lewat
dengan sendirinya. Laksana batu yang jatuh ke
kolam, menimbulkan riak sebentar, kemudian
lenyap. Karena pikiran sudah seluas ruang tidak
terhingga, hal itu tidak lagi menimbulkan
kesengsaraan. Sekaligus bisa bersikap penuh belas
kasih secara sempurna kepada rasa sakit, penyakit
dan orang yang menyakiti.

Ini yang menjelaskan kenapa para sadhaka


dengan praktek meditasi yang mendalam pikirannya
damai dan senyumannya damai. Satu-satunya sebab
karena di setiap detik pengalaman kehidupan
memandang dan mengalir sebagaimana adanya,
dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman.
Memandang segala sesuatu sebagai fenomena alam
sebagaimana adanya.

Leluhur kita di Bali menyebutnya dengan


pesan spiritual yang sangat mengagumkan, yaitu
“nak mula keto”. Bagi orang biasa yang tidak
praktek meditasi dan pikirannya dicengkeram kuat
oleh dualitas pikiran [haus akan jawaban, haus
dengan perdebatan, merasa senang dengan
perselisihan], pesan spiritual leluhur kita di Bali ini
akan terasa sangat mengecewakan. Bodoh, tolol,
goblok, malas berpikir, kuno, itulah penilaian yang
mungkin muncul. Tapi bagi para praktisi meditasi
mendalam akan tersenyum-senyum kagum. Dimana
leluhur kita di Bali dapat menemukan jawaban
sesempurna ini, kalau bukan dengan jalan beryoga
[meditasi].

“Nak mula keto” memiliki makna bahwa


segala sesuatu bukan salah, bukan benar, bukan
netral. Bukan sedih, bukan senang, bukan datar.
Segala sesuatu adalah fenomena alam sebagaimana
adanya, “nak mula keto”, tidak ada yang perlu
dijelaskan. Semua bentuk fenomena adalah
kesempurnaan tarian kosmik Shiwa [Shiwa Nataraja]
yang sama, tarian energi-energi semesta yang
mengalir dan menari sempurna sesuai dengan
hukum-hukum kosmik, yaitu hukum Karma dan
hukum Rta.

Di dalam ajaran dharma kuno ada ungkapan


seperti ini : "begitu baju luar dilepaskan dengan
penuh keikhlasan, maka tubuh cahaya di dalam
langsung kelihatan". Maknanya sederhana,
berlatihlah untuk melepaskan, yaitu melepaskan
semua fenomena diluar dan di dalam diri.
Ini sering disebut sebagai jalan yang ke
empat. Bukan salah, bukan benar, bukan netral.
Bukan sedih, bukan senang, bukan datar. Jalan ke-
empat adalah jalan menyaksikan. Menjadi saksi
yang penuh belas kasih kepada semua fenomena,
dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman. Siapa
saja yang sudah lama mempraktekkannya akan
mengerti, inilah jalan kembalinya kesadaran Atma.
Kembali ke sifat alami Atma. Keheningan sempurna
yang berlimpah belas kasih dan kebaikan kepada
semua.

Intisari terdalam semua mahluk adalah


kesadaran Atma. Sayangnya, ketidaktahuan [avidya]
membuat nyaris semua mahluk mengidentikkan
dirinya dengan hal-hal tidak kekal seperti tubuh,
pikiran dan perasaan. Tujuan meditasi adalah upaya
untuk membuat pikiran-perasaan kita agar polos
tanpa dualitas pikiran. Sepolos pikiran anak-anak.
Dari pikiran polos anak-anak inilah kemudian lahir
keheningan yang sangat menerangi kesadaran.
Pencapaian kesadaran Atma suatu hari akan
membuat kita menjadi samudera yang tidak
terhingga. Di permukaan samudera tetap ada
gelombang, tapi gelombang hanya bagian sangat
permukaan dari samudera luas tidak terbatas.
Pada puncaknya seorang praktisi akan
mengalami keheningan sempurna [sepi, hening,
sunyi], sekaligus menyadari bahwa diri kita
sesungguhnya utuh dan sempurna dari sejak awal
yang tidak berawal.

Di tahap ini pikiran sudah dimurnikan, tapi


kesadaran Atma belum disempurnakan. Sudah
sangat dekat tapi belum sempurna. Kesadaran Atma
baru tercapai sempurna, jika dari keheningan
kemudian melahirkan belas kasih dan kebaikan yang
sangat mendalam kepada semua mahluk
[keterhubungan kosmik yang sempurna]. Jika itu
sudah tercapai, disanalah ”sesuatu yang lain” akan
bangkit, yang disebut sebagai Atma Jnana atau
Atma Tattwa [kesadaran Atma]. Keheningan pikiran
yang berpasangan dengan belas kasih dan kebaikan
sempurna kepada semua.

Keheningan menjadi sempurna, jika


keheningan melahirkan belas kasih dan kebaikan
mendalam kepada semua mahluk. Seseorang yang
sudah mencapai kesadaran Atma yang sempurna,
akan memiliki keduanya, yaitu keheningan serta
belas kasih dan kebaikan mendalam. Jika kita tidak
memiliki belas kasih dan kebaikan mendalam, itu
berarti kita masih mementingkan diri sendiri, yang
berarti ahamkara [ego, ke-aku-an] masih ada di
dalam diri. Keheningan melenyapkan setengah dari
ahamkara [ego], setengah lainnya dilenyapkan oleh
belas kasih dan kebaikan. Diantara keduanya
[keheningan, serta belas kasih dan kebaikan], ego
benar-benar dilenyapkan, kemudian disanalah
tercapai kesadaran Atma yang sempurna. Ketika
seorang sadhaka telah menjadi tanpa ego
[nirahamkarah], telah menjadi tanpa diri, dia
mengalami kebersatuan kosmik dengan seluruh
keberadaan semesta.

Mereka yang tekun berlatih seperti ini suatu


hari akan mengerti di dalam diri kita sendiri
terdapat kekuatan suci yang maha-agung, yaitu
kesadaran Atma yang sudah ada di dalam diri sejak
dari awal yang tidak berawal. Kesadaran ini
membuat kita memahami kenyataan diri tertinggi,
pengetahuan rahasia tertinggi dan sekaligus
mengalami kebersatuan kosmik dengan seluruh
keberadaan semesta.
BAGIAN 5
Tercapainya Atma Jnana
[Kesadaran Atma]

Kita pasti sering mendengar istilah Moksha,


sebagai tujuan hidup tertinggi dalam ajaran Hindu.
Tapi mungkin ada sebagian penganut Hindu yang
tidak sepenuhnya paham apa itu Moksha.

Moksha dalam bahasa sansekerta secara literal


berarti “lepas” atau “bebas”. Sedangkan Moksha
dalam ajaran Hindu Dharma berarti tercapainya
Atma Jnana atau kesadaran Atma. Yang berarti
penyatuan kosmik dengan keseluruhan keberadaan,
serta terbebasnya Atma dari siklus samsara [siklus
kelahiran-kematian yang berulang-ulang] beserta
seluruh kesengsaraan yang diakibatkan oleh avidya
[kebodohan, ketidaktahuan] di dalamnya.
Untuk memudahkan pemahaman bagi semua
orang pada semua tingkatan, dalam bagian ini akan
diberikan beberapa penjelasan mengenai Moksha.

PENJELASAN BUKU SUCI DAN SECARA


SIMBOLIK

Dalam buku suci Hindu tertua, yaitu Rig Veda,


pada sloka 1.164.20 tertulis sebagai berikut :

Dva suparna sayuja sakhaya,


samanam vrksam pari sasvajate
Tayor anyah pippalam svadu-atti,
anasnan anyo abhi cakasiti

Artinya :

Ada dua ekor burung yang dipersatukan


dengan ikatan persahabatan, bertempat tinggal
di atas pohon yang sama. Salah satu dari mereka
menikmati buah matang yang manis, sedangkan
yang lainnya menjadi saksi tanpa menikmati
buah-buahnya.

Makna sloka 1.164.20 Rig Veda yang ditulis


dalam bentuk prosa yang puitis ini adalah sebuah
analogi. Maksud analogi “ada dua ekor burung yang
tinggal di pohon yang sama” adalah terdapat dua
jenis kesadaran yang tinggal di tubuh yang sama [di
dalam diri kita manusia]. Satu kesadaran adalah ego
[ahamkara] yang larut ke dalam arus kehidupan
duniawi. Satu kesadaran lainnya adalah kesadaran
Atma yang hanya menjadi saksi dari arus kehidupan.

Rig Veda mengajarkan untuk secara meditatif


menjadi saksi terhadap setiap bentuk-bentuk pikiran
dan pengalaman kehidupan, melalui meditasi non-
dualitas [advaita-citta]. Karena dualitas pikiran
hanyalah cara pikiran mengerti dan sama sekali
bukan kebenaran sejati itu sendiri.

Rahasia kesempurnaan kesadaran Atma


bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan di
dalam diri kita. Jalan kesempurnaan kesadaran Atma
adalah senyuman damai dan belas kasih yang sama
terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya, atau
dengan kata lain melampaui semua dualitas.

Dalam buku suci Ashtavakara Gita, dipaparkan


bahwa Maharsi Ashtavakara [seorang yogi yang
sudah sadar] mengajarkan dan menjelaskan kepada
Raja Janaka [Raja Kerajaan Mithila], mengenai
kesadaran Atma dan kenyataan semesta, yaitu
sebagai berikut :

Wahai yang tersayang, jika kau ingin


terbebaskan dari racun kesengsaraan yang
disebabkan oleh berbagai nafsu, maka minumlah
madu yang terbuat dari memaafkan, kepolosan,
belas kasih, kebaikan, rasa syukur, kejujuran dan
kebenaran. Kau bukanlah bumi atau unsur padat
[prthivi], bukan udara [vayu], bukan api [agni],
bukan air [apah] dan bukan juga ruang [akasha].
Untuk mencapai kesadaran Atma dan
pembebasan sempurna, maka sadarilah dirimu
sebagai "sang saksi", yang selalu menyadari
segala sesuatu tanpa terikat olehnya.

Agama dan tidak beragama, kebahagiaan


dan penderitaan, semuanya itu berasal dari
pikiran. Semua hal itu bukanlah dirimu. Kau
bukanlah subjek atau objek. Sejak semula kau
telah berada dalam keadaan terbebaskan. Kau
adalah "sang saksi" yang menyaksikan segala
sesuatu. Dan pada hakekatnya kau selalu bebas.
Kau menjadi terikat karena kau selalu melihat
bahwa "sang saksi" itu berada di luar dirimu,
bukan di dalam dirimu sendiri.
Jika kau berkata : "aku adalah sang
pelaku", maka berarti kau telah membiarkan ular
hitam ego atau ke-aku-an [ahamkara] mematuk
dirimu. Dan jika kau sadar hakikat bahwa : "aku
bukanlah sang pelaku" dan menjadi saksi, maka
berarti kau telah meminum madu
keheningan serta selalu hidup dalam kesadaran.

Jangan memandang : "aku adalah individu


yang diproyeksikan oleh kehidupan". Letakkan
ilusi ini, letakkan juga perasaan berada di
dalam dan di luar dan bangunlah ke dalam
pemikiranmu bahwa kau adalah yang abadi tidak
berubah, kesadaran-murni tanpa dualitas.

Alam semesta ini meluas ke segenap


penjuru oleh dirimu. Alam semesta ini terus
meluas di dalam dirimu. Pada kenyataan yang
sejati kau adalah kesadaran-murni. Maka
janganlah kau berpandangan sempit. Kau
tidaklah terikat, tak berubah, tanpa bentuk, tak
terpecah dalam pasangan yang saling
bertentangan, tak dapat diduga, bijaksana, dan
tak pernah gelisah. Maka cukuplah kau hanya
sadar kepada kesadaran-murni yang ada di
dalam dirimu.
Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk
adalah ilusi dan ketahuilah pula yang tanpa
bentuk, yang tidak berubah dan abadi.
Mengetahui kebenaran dari ajaran ini akan
mengakhiri siklus samsara. Laksana bayangan
dari sebuah cermin, Atma yang terbayang di
dalam cermin dengan Brahman di luar cermin
adalah sama. Brahman yang sama ada di dalam
dan di luar badan ini, Brahman meliputi semua
yang ada di langit dan juga meliputi benda-
benda di bumi, Brahman yang kekal abadi
meliputi segala sesuatu.

Dalam buku suci ajaran Shiva Tantra,


kesadaran Atma disimbolikkan sebagai langit biru
dan dan pikiran disimbolikkan sebagai awan-awan.
Kebahagiaan, kebenaran dan kesucian, laksana
awan-awan putih. Kesedihan, kesalahan dan
kegelapan, laksana awan-awan hitam. Baik awan-
awan putih maupun awan-awan hitam selalu datang
dan pergi, tidak kekal. Dan kesadaran Atma laksana
langit biru sebagai saksi yang kekal tidak berubah.
Ini disebut meditasi non-dualitas [advaita-citta],
yaitu secara meditatif menjadi saksi terhadap setiap
bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan.
Leluhur kita di Bali yang wikan sejak jaman
kuno dahulu sangat mengerti tentang kesadaran
Atma, sehingga menyebut manusia itu “dewa ya
bhuta ya”. Artinya di dalam diri manusia ada sisi
terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi gelap dan
buruk [bhuta]. Yang berarti bahwa semasih kita
mengenakan tubuh manusia di dalam diri kita pasti
terdapat “unsur dewa” dan “unsur bhuta”. Karena
melalui meditasi yang mendalam terungkap
rahasianya, kita semua manusia adalah ramuan
antara “unsur dewa” dan “unsur bhuta” yang sangat
unik. Dari sisi biologi tubuh manusia kita ini terbuat
dari unsur panca maha bhuta [bumi atau unsur
padat, air, api, udara dan ruang]. Setiap unsur ini
memiliki padanan dalam tubuh kita, seperti
misalnya emosi. Artinya selama kita masih
mengenakan tubuh manusia, selama itu juga emosi
pasti masih tetap ada. Sebagai contoh unsur api,
padanan dalam bentuk emosinya adalah
kemarahan. Sehingga tidak pernah ada manusia
yang dapat sempurna bebas dari kemarahan. Baik
“unsur dewa” dan “unsur bhuta”, keduanya bagian
utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa
sempurna kita lenyapkan salah satunya.

Laksana bulan yang memiliki sisi terang dan


sisi gelap, disadari bahwa sesungguhnya baik sisi
terang maupun sisi gelap dari bulan adalah
keutuhan sempurna bulan yang sama.

Jika kita perhatikan diri kita atau pikiran kita


[bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana agung],
semuanya memiliki pola dalam rwa bhinneda atau
dua kutub yang berseberangan. Artinya dimana ada
siang disana pasti ada malam. Dimana ada
kebenaran disana pasti ada kesalahan. Dimana ada
kesucian disana pasti ada kekotoran. Dimana ada
kebahagiaan disana pasti ada kesengsaraan. Dimana
ada keindahan disana pasti ada kejelekan. Dimana
ada kehormatan disana pasti ada kehinaan. Dalam
ajaran dharma mengenai rwa bhinneda, semua pola
dualitas merupakan manifestasi dari satu kenyataan
absolut yang tunggal, yaitu Sanghyang Embang
[yang mahasuci keheningan sempurna] atau
Sanghyang Acintya [yang mahasuci tidak
terpikirkan].

Artinya semua pola dualitas pikiran hanyalah


manifestasi belaka dan bukan kenyataan absolut.
Cahaya terlihat ada, karena adanya kegelapan.
Orang baik terlihat ada, karena adanya orang jahat.
Kebahagiaan terlihat ada, karena adanya
kesengsaraan.
Ketika kita tersadar bahwa kenyataan absolut
diri kita atau pikiran kita [bhuwana alit] dan alam
semesta [bhuwana agung] adalah melampaui
dualitas pikiran, disana tercapailah keheningan
sempurna yang tidak terpikirkan, manunggal
dengan kenyataan absolut.

Moksha sebagai puncak pencapaian


kesadaran Atma, oleh tetua kita di Bali
diterjemahkan sebagai keheningan, sunyi, sepi. Ini
bisa kita temukan dalam berbagai lontar-lontar
kuno. Bahkan hal ini juga diwujudkan sebagai ajaran
secara sekala dalam simbolik berbagai parahyangan
suci dan putaran waktu sakral bagi orang Bali. Di
Tampaksiring di abad ke-10 Masehi didirikan pura
bernama Pura Mangening [maha-hening]. Tahun
baru dirayakan oleh orang Bali dengan Nyepi.
Keheningan yang dicapai dengan melampaui
dualitas.

Di bagian puncak dari Penataran Agung Pura


Besakih, disanalah juga oleh leluhur orang Bali yang
wikan disembunyikan ajaran rahasia tentang
kesadaran Atma. Tepat sebelum pelataran tertinggi,
disana terdapat dua palinggih rwa bhinneda, yaitu
Palinggih Kiwa [kiri, gelap dan buruk] dan Palinggih
Tengen [kanan, terang dan luhur]. Keduanya
diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik ajaran
bahwa keduanya merupakan bagian utuh yang
sama, baik di dalam diri kita sendiri, maupun di alam
semesta ini. Di tengah-tengahnya, di pelataran
puncak yang tertinggi, terdapat Palinggih
Sanghyang Embang [keheningan sempurna yang
mahasuci], yang juga disebut sebagai sesarining
dharma atau intisari dharma. Sebuah simbolik ajaran
rahasia bahwa dengan melampaui dualitas
konseptual pikiran membuat kita mencapai
keheningan sempurna.

Seorang sadhaka yang sudah mengalami


keheningan sempurna, sudah mengalami kesadaran
Atma yang sempurna seperti ini, dia akan
mengalami sendiri dan merasakan langsung bukan
saja keheningan kesadaran yang luar biasa, tapi juga
keheningan alam semesta. Serta melihat segala
sesuatu yang berbeda tetapi secara keseluruhan
adalah satu kesatuan.

Tidak ada lagi aku dan kamu. Semuanya


ternyata manunggal dalam satu tubuh kosmik yang
sama. Dalam istilah Hindu Jawa disebut
"manunggaling kawulo lan gusti" atau “sangkan
paraning dumadi”, dalam istilah buku-buku suci
Hindu disebutkan sebagai menyatunya Atman
dengan Brahman [megalami kebersatuan kosmik].

Sarvam khalvidam Brahman - segalanya adalah


Brahman.
Aham Brahmasmi - aku adalah Brahman.
Atma Brahman Aikyam - Atma dan Brahman
tiadalah berbeda.
Omityetadaksharamidam sarvam - Om adalah
keseluruhan alam semesta.

Setiap lembar daun, setiap tetes air, seluruh


awan di langit, semua obyek, hidup dan tidak hidup,
semuanya Brahman. Apapun yang kita persepsikan
melalui indriya dan pikiran, kapanpun dimanapun,
semuanya Brahman dan tiada yang lain selain
Brahman.

Karena ketika ego atau ke-akuan lenyap


[nirahamkarah], terjadi kemanunggalan atau
penyatuan rapi dengan keseluruhan alam semesta.
Analoginya laksana setetes air [Atma] di dalam
samudera yang maha luas [Brahman], ketika ke-aku-
an setetes air lenyap, yang ada hanya samudera
yang maha luas. Kesadaran sempurna seperti inilah
yang disebut sebagai Moksha.
Tidak ada aku dan kamu, tidak ada baik-buruk,
tidak ada benar-salah, tidak ada suci-kotor. Semua
mahluk dan segala keberadaan yang ada di alam
semesta, disadari sempurna sebagai satu
kemanunggalan dalam tarian kosmik Brahman.

Dengan catatan bagi orang kebanyakan,


penjelasan sangat mendalam seperti ini hanya untuk
diketahui saja. Karena penjelasan seperti ini
mungkin akan amat sangat sulit untuk dipahami
oleh orang kebanyakan. Sehingga penjelasan
mendalam seperti ini lebih tepat untuk konsumsi
para sadhaka saja.

PERTANDA MULAI TERCAPAINYA ATMA


JNANA ATAU KESADARAN ATMA

Dari awal yang tidak berawal, kenyataan sejati


dan absolut semua mahluk adalah Atma. Akan
tetapi karena avidya [kebodohan, ketidaktahuan]
membuat semua mahluk mengidentikkan dirinya
dengan hal-hal tidak kekal seperti tubuh, pikiran
dan perasaan. Melalui ketekunan melaksanakan 4
[empat] ruas landasan kesadaran, praktek meditasi
non-dualitas, serta melatih diri selalu terserap dalam
samadhi, para sadhaka sedang dibimbing untuk
melampaui tubuh, pikiran dan perasaan, untuk
kemudian menyadari kembali kenyataan sejati diri
yaitu Atma.

Makna dari menemukan kembali Atma Jnana


atau kesadaran Atma di dalam diri, tidaklah berarti
membuat pikiran-perasaan kita agar selalu baik,
positif, tenang dan damai untuk selama-lamanya.
Sama sekali tidak seperti itu. Karena hal itu tidak
mungkin terjadi. Selama kita masih ada di dunia ini
berbadan manusia, maka perasaan marah, perasaan
kecewa, perasaan sedih, perasaan galau, perasaan
takut, perasaan malu, pikiran angkuh [sombong],
pikiran serakah [tidak puas], pikiran buruk, nafsu
seks, dsb-nya, masih tetap akan ada dan muncul di
dalam diri kita.

Bahkan para Mahayogi dan Maharsi paling


agung, paling suci, paling tercerahkan sekalipun
juga masih memiliki pikiran-perasaan yang buruk,
negatif dan kacau di dalam diri mereka. Bedanya
pada mereka, pikiran-perasaan yang buruk, negatif
dan kacau tidak lagi dapat mencengkeram
kesadaran.

Jadi jangan pernah berangan-angan untuk


dapat memiliki pikiran-perasaan yang sepenuhnya
hanya baik, positif, tenang dan damai saja. Apalagi
berangan-angan untuk melenyapkan atau
membunuh pikiran. Karena hal itu sama sekali tidak
mungkin terjadi dan sekaligus akan menjerumuskan
kita ke jurang kekacauan pikiran.

Menggunakan teori yang benar sebagai


landasan sangat penting dalam perjalanan spiritual
kita. Dalam buku suci ajaran Tantra Shiwa [Vijnana
Bhairawa Tantra] disebutkan, bahwa selama kita
masih ada di dunia ini berbadan manusia, maka
secara alami sifat pikiran-perasaan kita manusia
laksana awan-awan di langit. Ada saatnya yang
lewat awan putih dengan kemunculan pikiran-
perasaan yang baik, positif, tenang dan damai. Ada
saatnya yang lewat awan gelap dengan kemunculan
pikiran-perasaan yang buruk, negatif dan kacau.
Seperti itulah sifat alami pikiran-perasaan manusia.
Sedangkan Kesadaran Atma adalah laksana langit
biru abadi yang tidak berubah. Artinya kesadaran
kita tidak lagi dapat dicengkeram oleh apapun
pikiran-perasaan [awan putih dan awan hitam] yang
muncul.

Perhatikan orang biasa, yang kesadarannya


masih dicengkeram kuat oleh pikiran-perasaan. Saat
di dalam dirinya muncul perasaan marah, maka dia
akan marah-marah, atau mengeluarkan perkataan
tidak sedap, atau mengamuk. Saat di dalam dirinya
muncul perasaan sedih dan kecewa, maka dia akan
menangis atau ngambek [ngambul]. Saat di dalam
dirinya muncul pikiran angkuh [sombong], maka dia
akan meninggikan dirinya atau menghina orang
lain. Saat di dalam dirinya muncul pikiran serakah
[tidak puas], maka dia akan korupsi atau mencuri.
Dsb-nya. Itulah beberapa contoh dari orang biasa,
yang kesadarannya masih dicengkeram kuat oleh
pikiran-perasaan.

Yang dimaksud dengan Atma Jnana atau


pencerahan Kesadaran Atma, adalah laksana
menjadi langit biru abadi yang tidak berubah.
Artinya kesadaran kita tidak lagi dapat dicengkeram
oleh apapun pikiran-perasaan yang muncul. Saat di
dalam diri kita muncul perasaan marah, kita bisa
tersenyum saja menyaksikannya dengan penuh
belas kasih. Saat di dalam diri kita muncul perasaan
sedih dan kecewa, kita bisa tersenyum saja
menyaksikannya dengan penuh belas kasih. Saat di
dalam diri kita muncul pikiran angkuh [sombong],
kita bisa tersenyum saja menyaksikannya dengan
penuh belas kasih. Saat di dalam diri kita muncul
pikiran serakah [tidak puas], kita bisa tersenyum saja
menyaksikannya dengan penuh belas kasih. Dsb-
nya. Yang menyaksikan itu bukanlah pikiran.
Menjadi sadar akan saksi ini adalah yang telah
menemukan intisari, titik pusat, yang absolut, yang
tidak berubah.

Dalam bahasa sederhana yang mudah


dimengerti, artinya bahwa pikiran-perasaan yang
buruk, negatif dan kacau masih akan tetap muncul
di dalam diri kita, tapi kesadaran kita tidak lagi
dapat dicengkeram oleh pikiran-perasaan yang
muncul tersebut. Walaupun perasaan marah,
perasaan kecewa, perasaan sedih, perasaan galau,
perasaan takut, perasaan malu, pikiran angkuh
[sombong], pikiran serakah [tidak puas], pikiran
buruk, nafsu seks, dsb-nya, muncul di dalam diri
kita, tapi kita bisa diam tenang dan tersenyum.

Itulah pertanda awal dari para sadhaka agung


yang sudah mulai menemukan kembali keheningan
di dalam diri, sudah mulai menemukan kembali
Atma Jnana atau pencerahan Kesadaran Atma di
dalam diri.

PERTANDA SUDAH TERCAPAINYA ATMA


JNANA ATAU KESADARAN ATMA

Ketika kita mulai menemukan kembali


keheningan di dalam diri, disana kesadaran kita
mulai termurnikan, tapi belum tersempurnakan.
Keheningan baru menjadi sempurna, jika
keheningan kemudian melahirkan belas kasih dan
kebaikan mendalam kepada semua mahluk. Jika kita
tidak memiliki belas kasih dan kebaikan mendalam,
itu berarti kita masih mementingkan diri sendiri,
yang berarti ahamkara [ego, ke-aku-an] masih ada
di dalam diri.

Para sadhaka agung yang sudah mencapai


kesadaran Atma yang sempurna, akan memiliki
keduanya, yaitu keheningan serta belas kasih dan
kebaikan mendalam. Seseorang yang sudah
mencapai kesadaran Atma yang sempurna, akan
memiliki keduanya, yaitu keheningan serta belas
kasih dan kebaikan mendalam. Jika kita tidak
memiliki belas kasih dan kebaikan mendalam, itu
berarti kita masih mementingkan diri sendiri, yang
berarti ahamkara [ego, ke-aku-an] masih ada di
dalam diri. Keheningan melenyapkan setengah dari
ahamkara [ego], setengah lainnya dilenyapkan oleh
belas kasih dan kebaikan.

Diantara keduanya [keheningan, serta belas


kasih dan kebaikan], ego benar-benar dilenyapkan,
kemudian disanalah tercapai kesadaran Atma yang
sempurna. Ketika seorang sadhaka telah menjadi
tanpa ego [nirahamkarah], telah menjadi tanpa diri,
dia mengalami kebersatuan kosmik dengan seluruh
keberadaan semesta [Moksha]. Dimana antara yang
memberikan belas kasih dan kebaikan, serta yang
diberikan belas kasih dan kebaikan menjadi satu.

CIRI-CIRI KEHIDUPAN SADHAKA YANG


SUDAH MENCAPAI MOKSHA

Pertanda seorang sadhaka agung sudah


mencapai Moksha, adalah ketika dia sudah dapat
melenyapkan cengkeraman seluruh dualitas pikiran
dan kegelapan pikiran dari kesadaran, yang disertai
dengan berkelimpahan sifat belas kasih dan
kebaikan yang tidak terbatas kepada semua mahluk.
Ketika kesadaran mencapai keadaan hening, sunyi,
sepi, serta semua tindakannya didorong oleh sifat
belas kasih tanpa syarat.

Di jalan yoga, para sadhaka agung sudah


mencapai Moksha sering disimbolikkan sebagai
pohon. Dalam keheningannya yang sempurna,
pohon bekerja dua puluh empat jam sehari. Dan
semua bunga, buah dan oksigen yang dihasilkannya
dipersembahkan bagi mahluk lain.
Para sadhaka agung sudah mencapai Moksha
mewakili unsur akasha [ruang] dari alam semesta.
Ruang sepertinya tidak ada. Tapi sesungguhnya
karena ada ruang-lah maka cahaya matahari bisa
menyinari alam dan memberi kehidupan, pohon
bermekaran, sungai mengalir, manusia bisa tumbuh
menjadi dewasa, dsb-nya. Ruang merangkul dan
menyediakan tempat bagi apa saja dan siapa saja
tanpa membeda-bedakan. Ruang mewakili tidak
terhingga dan tidak terbatas.

Ke-tidak-terhinggaan keheningan, sekaligus


ketidakterbatasan kasih sayang.

Atmaupamyena sarvatra samam pasyati,


sukham va yadi duhkham sa yogi paramo matah -
mereka yang mengidentifikasikan dirinya dengan
semua yang ada di alam semesta dan
mengidentifikasikan kesenangan dan
penderitaannya sendiri dengan kesenangan dan
penderitaan semua makhluk, dialah seorang yogi
yang sempurna.

Udara caritanam tu vasudaiva kutumbakam -


mereka yang hatinya penuh dengan belas kasih
yang tidak terbatas, merangkul seluruh alam
semesta sebagai keluarganya.
Tidak pernah ada buku-buku suci Hindu yang
menjelaskan tentang Moksha, atau Atma Jnana,
yang tanpa diikuti oleh kesempurnaan belas kasih
dan kebaikan. Sehingga ciri utama kehidupan orang
yang sudah mengalami Moksha, adalah belas kasih
dan kebaikan yang demikian sempurna.

Dengan kualitas kesadaran yang dimiliki orang


kebanyakan [belum mencapai Moksha], kualitas
belas kasih dan kebaikannya pasti juga sifatnya
terbatas. Paling banyak hanya bisa menyumbang
uang, bisa menyumbangkan tenaga, bisa
menyekolahkan anak-anak kurang mampu, bisa
menolong orang-orang sakit, bisa membangun
panti asuhan atau panti jompo, bisa membangun
pura, dsb-nya. Kualitas belas kasih dan kebaikan kita
baru bisa sempurna tanpa syarat kepada semua
mahluk kalau kita sudah mencapai Moksha.

Bagi seorang sadhaka agung yang sudah


mencapai Moksha, setiap hal, setiap langkah dan
setiap tarikan nafasnya menjadi tindakan belas kasih
dan kebaikan. Dia mengambil beban penderitaan
orang lain dan menjadi sumber kebahagiaan orang
lain. Karena ego atau ke-aku-annya sudah lenyap
dan karena kesadarannya manunggal sempurna
dengan seluruh keberadaan.

Terang cahaya kesadarannya laksana matahari


yang bersinar, dimana matahari bersinar menerangi
semuanya tanpa memilih. Tidak memilih orang
harus agamanya apa, atau tidak beragama
sekalipun, tidak membedakan orang baik atau
orang jahat, cantik atau jelek, bodoh atau cerdas,
kaya atau miskin, dsb-nya. Semuanya diberikan
cahaya terang dan semua diberikan secara sama,
tanpa syarat. Kepada orang yang memuji ataupun
menghina, kepada yang baik maupun jahat, kepada
yang menolong maupun yang menyakiti.

Para sadhaka agung yang sudah mencapai


Moksha, secara alami dia akan memiliki sifat yang
demikian agung dan mulia. Secara alami orang yang
sudah mencapai Moksha, akan memiliki sifat maha-
agung untuk mengurangi penderitaan para mahluk.

Dalam penjelasan paling sederhana yang


mudah dimengerti, misalnya tidak membalas caci-
maki dan hinaan orang lain, tidak marah pada orang
yang memarahi, tidak menyakiti orang yang jahat,
tidak melawan pada yang merendahkan, mengalah,
dsb-nya. Artinya ketika ada yang menghujat,
menyakiti, merugikan, dan yang jelek-jelek lainnya,
dia tidak bereaksi apapun kecuali diam, tersenyum
dan selalu memancarkan belas kasih dan kebaikan.
Karena itu semua sudah mengurangi penderitaan
orang lain.

Lebih dari itu, para sadhaka agung yang sudah


mencapai Moksha, tidak saja akan mengurangi
penderitaan orang lain, tapi dia malah akan
memberikan lebih untuk membuat mereka
berbahagia. Seorang sadhaka agung yang sudah
mencapai Moksha memiliki sifat maha-agung untuk
menjadikan dirinya yadnya [persembahan suci] bagi
kebahagiaan para mahluk lain.

Selain itu terdapat ciri-ciri lain dari para


sadhaka agung yang sudah mencapai Moksha, yaitu
sebagai berikut :

== Jika sebagian besar manusia tidak menyakiti


dan tidak melakukan kejahatan karena takut dosa,
karma buruk, atau masuk alam bawah, para sadhaka
agung yang sudah mencapai Moksha hal itu secara
sangat alami dari dalam dirinya dia tidak tertarik
untuk menyakiti dan melakukan kejahatan.
== Jika sebagian besar manusia mencintai hura-
hura, keramaian, gemerlap dunia hiburan dan
perayaan, para sadhaka agung yang sudah
mencapai Moksha lebih memilih berdiam di tempat-
tempat yang sepi, sunyi dan alami seperti
keheningan hutan, puncak gunung, atau tepi
campuhan sungai yang sepi. Ada juga yang
mengembara, langit laksana atap rumah dan bumi
laksana lantai.

== Jika sebagian besar manusia mencintai


kekayaan, kemewahan dan kehormatan, para
sadhaka agung yang sudah mencapai Moksha
memilih kesederhanaan. Ada diantara mereka yang
semua miliknya dijadikan yadnya bagi orang lain
yang memerlukan. Ada juga karena pikirannya
demikian polos tidak terkondisi dia tidak memakai
busana [telanjang bulat] dan tidak memiliki harta
benda apapun, disebut dengan memakai langit dan
ruang sebagai pakaiannya [avadhuta digambara].

== Jika sebagian besar manusia berdoa agar dirinya


yang mendapatkan kebahagiaan, para sadhaka
agung yang sudah mencapai Moksha berdoa agar
dirinya-lah yang menampung penderitaan para
mahluk. Karena alam semesta ini harus seimbang,
diantara milyaran mahluk yang ingin bahagia, harus
ada yang mengambil penderitaan. Tidak ada siang
tanpa malam, tidak ada kebahagiaan tanpa
penderitaan. Sehingga mantra rahasia para sadhaka
agung yang sudah mencapai Moksha adalah
“semoga semua penderitaan datang kepada saya,
semoga semua kebahagiaan datang kepada mahluk
lain".

Tentunya bagi orang biasa [orang


kebanyakan] yang pikirannya masih sempit dan
kualitas kesadarannya masih sangat rendah, sangat
mungkin mereka salah paham. Sehingga para
sadhaka agung yang sudah mencapai Moksha
seringkali dicurigai sebagai orang aneh,
menyimpang, tidak wajar, lemah atau belog polos
[bodoh dan lugu]. Hanya orang yang tingkat
dimensi kesadarannya tingkat menengah keatas
saja, yang akan mengerti bahwa sang sadhaka
sudah berhasil mencapai kesadaran kosmik yang
tertinggi.

Para sadhaka agung yang sudah mencapai


Moksha adalah orang yang sudah sepenuhnya sadar
bahwa sesungguhnya alam semesta beserta seluruh
mahluk di dalamnya adalah bagian dari jejaring
kosmik yang saling terhubung rapi dan tidak
terpisahkan satu sama lain. Dalam keheningan
sempurna, hakikat seluruh keberadaan alam
semesta ini adalah manunggal.

Sesungguhnya tidak ada mahluk lain, tidak


ada orang asing, semua mahluk dan seluruh alam
semesta adalah dirinya sendiri.

Om shanti shanti shanti Om !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


facebook.com/rumahdharma
[Rumah Dharma - Hindu Indonesia]

Website Rumah Dharma - Hindu Indonesia :


rumahdharma.com

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu


Indonesia bisa di-download secara gratis tanpa dipungut
biaya apapun di :

rumahdharma.com/download
tattwahindudharma.blogspot.com
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus


melakukan penerbitan buku-buku dharma berkualitas,
baik berupa e-book maupun buku cetak, untuk dibagi-
bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma


berkualitas, Rumah Dharma - Hindu Indonesia
memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran
masyarakat. Semakin banyak dharma dana yang
terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku
dharma yang dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang


kebaikan yang bernilai sangat utama, salah satunya
adalah ber-dharma dana untuk penyebaran ajaran
dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia
dengan karma baik berlimpah, tetapi juga adalah sebuah
sadhana nirjara, sadhana penghapusan karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi


penyebarluasan ajaran dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai


karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan
berjodoh dengan ajaran dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma,
tidak mudah terseret dendam kebencian, pikirannya
lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan
masyarakat luas, donatur akan mendapatkan
perlindungan dari para Ista Dewata.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur


mendapat kerahayuan.
TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari kakeknya, Pan
Siki, yang merupakan seorang balian usadha terkenal
dari Banjar Tegallinggah, Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


yang menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno, sebagai
bagian dari arahan Gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang kedua, mendalami kekayaan spiritual
Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin
pertemanan dengan banyak Guru dan praktisi spiritual,
serta tetap meneruskan melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan


dharma untuk umum di halaman facebook “Rumah
Dharma - Hindu Indonesia”, serta mulai memberikan
tuntunan dan berbagi ajaran kepada adik-adik
dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis
buku. Inspirasi dharma yang didapatnya dari perjalanan
ke berbagai pura pathirtan kuno, dikombinasikan
dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi
panjang dengan banyak praktisi spiritual, kemudian
ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru


dharma-nya yang ketiga, serta tetap meneruskan
melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai