Anda di halaman 1dari 74

TRI PRAMANA

MENYATUKAN AJARAN SUCI DHARMA DENGAN KESADARAN

Oleh : I Nyoman Kurniawan

Rumah Dharma - Hindu Indonesia


Om Shri Gurubhyo Namaha
Om Dewa-Dewi Mahasiddhi Namo Namah

Saya berlindung kepada Guru


Saya berlindung kepada Dewa-Dewi yang telah mencapai kesadaran suci
TRI PRAMANA
MENYATUKAN AJARAN SUCI DHARMA DENGAN KESADARAN

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan

20 November 2015
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Tahap-tahap perjalanan spiritual dharma sebagai perjalanan untuk
menyatukan ajaran suci dharma dengan kesadaran, untuk mencapai
kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], untuk mencapai sumber
terdalam dari pengetahuan, kebijaksanaan dan kesadaran tertinggi yaitu
kesadaran Atma [Atma Jnana], serta untuk terbebaskan dari siklus samsara,
di dalam ajaran suci dharma disebut dengan Tri Pramana. Yaitu :

- Agama Pramana : Tahap teori.


Tahap memahami ajaran dharma melalui kepintaran secara logika.

- Anumana Pramana : Tahap praktek.


Tahap memahami ajaran dharma melalui melaksanakan.

- Pratyaksa Pramana : Tahap hasil.


Tahap memahami ajaran dharma melalui mengalami sendiri secara
langsung.

Jadi jelas sekali bahwa tahapan-tahapan di dalam memahami ajaran


dharma itu ada 3 [tiga] tahap, yaitu ada tahap teori, ada tahap praktek dan
ada tahap hasil.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hendaknya ada saatnya kita dapat
mengatakan cukup kepada tindakan mengumpulkan, mempelajari,
menganalisa dan mengutak-atik ajaran suci dharma dengan menggunakan
kepintaran secara logika. Selanjutnya kita harus tekun melaksanakan
praktek sadhana [upaya spiritual] yang disampaikan, dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun. Sampai kemudian kelak kita bisa mendapatkan
hasilnya sebagai mengalami sendiri secara langsung.
TAHAP 1. AGAMA PRAMANA

TAHAP TEORI – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui Kepintaran


Secara Logika

Agama pramana adalah tingkatan tahap paling awal. Tahap bagi para
sadhaka pemula yang baru belajar. Yaitu tahap teori, dimana kita
mempelajari pengetahuan, panduan, metode dan tehnik spiritual dharma
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru.

Guru di tahap ini adalah Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran


suci dharma], serta Satguru [ajaran suci dharma seorang Satguru].

Di tahap paling awal kita memerlukan kepintaran secara logika untuk


menyerap dan memahami pengetahuan dharma dari Sastra Guru [kitab-
kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan dari Satguru [ajaran suci dharma
seorang Satguru]. Pengetahuan dharma memberikan kita peta penunjuk
jalan [panduan, metode dan tehnik], memberikan pagar-pagar yang
menjaga kita agar tidak melakukan kesalahan berbahaya, serta memberikan
kita wawasan cara pandang kehidupan yang mendalam dan menyegarkan.

Jika dianalogikan seperti melakukan suatu perjalanan, di tahap paling


awal kita memerlukan peta perjalanan [dalam hal ini kitab-kitab suci, ajaran
suci dharma dan ajaran Satguru]. Tapi sadari sejak awal bahwa peta
perjalanan hanyalah sebatas alat bantu saja, sama sekali bukan mencapai,
mengalami dan memahami tujuan itu sendiri.
Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan Satguru
[ajaran suci dharma seorang Satguru] dapat membawa kita mulai bergerak
mendekat dengan kesadaran Atma, membawa kita mulai bergerak
mendekat kepada kenyataan kosmik. Tetapi hanya sebatas sampai di depan
pintu gerbang saja. Kepintaran secara logika hanya dapat membawa kita
sebatas sampai di depan pintu gerbang. Hanya dengan cara tekun
mempraktekkan sadhana [upaya spiritual] yang disampaikan, barulah kita
bisa masuk ke dalam.

Karena di dalam ajaran dharma jelas sekali disebutkan, bahwa


tahapan-tahapan di dalam memahami ajaran dharma itu ada 3 [tiga] tahap.
Yaitu ada tahap teori [agama pramana], ada tahap praktek [anumana
pramana] dan ada tahap hasilnya yang dialami sendiri sebagai pengalaman
langsung [pratyaksa pramana].
BAGIAN I. EMPAT KENYATAAN HIDUP

Jika kita memperhatikan dan merenungkan rangkaian perjalanan


kehidupan, kita akan menemukan 4 [empat] kenyataan dalam kehidupan,
yaitu sebagai berikut :

1. Dalam Perjalanan Kehidupan Ini Kita Mengalami Berbagai Macam


Kebahagiaan.

Kenyataan hidup pertama adalah bahwa dalam hidup itu kita pernah
mengalami banyak kebahagiaan.

Kita bahagia karena bisa rekreasi jalan-jalan, kita bahagia karena


makan enak di restaurant, kita bahagia karena naik kelas, kita bahagia
karena jadi juara kelas, kita bahagia karena gaji naik, kita bahagia karena
kenaikan jabatan, kita bahagia karena dimanja pacar, kita bahagia karena
disayang pasangan hidup [suami atau istri], kita bahagia karena membeli
sepeda motor baru, kita bahagia karena membeli HP baru, kita bahagia
karena mendapat pujian orang, kita bahagia karena menonton konser
penyanyi idola kita, kita bahagia karena klub sepakbola favorit kita menjadi
juara, dsb-nya. Ada banyak sekali berbagai kebahagiaan yang pernah kita
alami dalam kehidupan.

Pengalaman-pengalaman bahagia tersebut sangat berguna, karena


memberikan kita semangat, gairah dan motivasi di dalam menjalani
kehidupan.

Hanya saja sayang sekali, bahwa pengalaman-pengalaman bahagia


itu cenderung tidak pernah dapat bertahan selamanya, atau tidak dapat
memuaskan kita selamanya, serta tidak ada kepastian tentang apa yang
akan terjadi setelahnya, kebahagiaan itu cepat berakhir akibat muncul
masalah baru.

Misalnya saat ini segala hal berjalan baik sesuai harapan kita, disana
kita merasa bahagia. Tapi sayang sekali bahwa hal itu tidak mungkin abadi
selamanya. Di waktu berikutnya kemudian akan muncul masalah-masalah
yang membuat beberapa hal berjalan buruk. Ketika itu terjadi kita menjadi
cemas atau marah.

Saat ini ada orang yang memberikan kita pujian dan sanjungan, atau
sangat menghormati kita, kita merasa puas dan bahagia. Tapi sayang sekali
bahwa tidak mungkin semua orang akan bersikap sama. Di waktu
berikutnya kita bertemu orang yang mencela, menghina, mengkritik, atau
bahkan mencaci-maki dan menghujat kita. Ketika itu terjadi kita menjadi
kecewa atau marah.

Kita bahagia karena bisa bermesraan romantis dengan pasangan kita,


tapi itu tidak dapat bertahan selamanya. Ada waktunya kemudian kita akan
bertengkar dengan pasangan kita karena perbedaan pendapat, atau kita
merasa sangat cemburu. Kebahagiaan itu tidak pernah dapat bertahan
selamanya, tidak ada kepastian tentang apa yang akan terjadi setelahnya.

Atau mungkin saat ini kita bisa membeli handphone baru, tentu saja
kita merasa sangat senang. Tapi di waktu berikutnya handphone itu
bermasalah, atau rusak, atau kita kehilangan handphone itu. Ketika itu
terjadi kita menjadi tidak puas, galau atau marah.

Dalam kehidupan ini kita menikmati begitu banyak jenis kebahagiaan,


hanya saja sayang sekali tidak bisa dihindari, kebahagiaan itu tidak pernah
dapat bertahan selamanya. Kita akan terus mengalami siklus perputaran
yang naik-turun, kadang segala sesuatu berjalan baik, kadang banyak
masalah. Kadang orang memuji, kadang orang mencela. Kadang kita
memperoleh sesuatu, kadang kita kehilangan sesuatu, dsb-nya. Siklus naik-
turun perputaran kehidupan itu kadang sangat sulit dan menjengkelkan,
membuat kita merasa lelah dan sakit hati.

Selain itu, sifat kebahagiaan itu juga tidak pernah benar-benar dapat
memberikan kita suatu titik kepuasan yang abadi. Selalu hanya
menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan yang hanya bersifat sementara
saja, kemudian kita ingin dan ingin lagi. Di waktu berikutnya kemudian, kita
selalu kehilangan rasa bahagia dan puas tersebut.

Misalnya saat ini kita bisa membeli sepeda motor baru, tentu kita
merasa sangat senang. Tapi suatu saat nanti kita merasa bosan dengan
sepeda motor baru itu, atau kita lagi-lagi ingin membeli sepeda motor baru
yang lebih bagus lagi. Kita kembali merasa tidak puas dan tidak bahagia.
Kebahagiaan membeli sepeda motor baru itu tidak dapat memuaskan kita
selamanya.

Atau mungkin saat ini kita bisa jalan-jalan ke tempat rekreasi atau ke
tempat berlibur lainnya, disana kita merasa bahagia. Tapi di waktu
berikutnya kemudian kita harus pulang ke rumah dan kembali bergelut
dengan tugas-tugas kita beserta semua masalahnya. Ketika itu terjadi kita
kembali menjadi tidak puas dan gelisah. Kebahagiaan rekreasi jalan-jalan
itu tidak dapat memuaskan kita selamanya.

Kita bahagia saat bisa pergi ke restaurant, menyantap makanan yang


lezat dan perasaan kenyang setelahnya. Tapi itu tidak dapat bertahan
selamanya, tidak dapat menghapuskan rasa lapar kita untuk selamanya.
Semakin banyak kita makan malahan kita menjadi sakit.

Kita bahagia saat bisa membeli sepeda motor baru, kita bahagia saat
bisa rekreasi jalan-jalan, kita bahagia saat bisa pergi ke restoran, dsb-nya,
tapi itu tidak dapat bertahan selamanya. Semua kebahagiaan itu tidak
dapat memberikan kita titik kebahagiaan dan kepuasan yang abadi. Suatu
saat kita kembali merasa tidak bahagia karena keinginan-keinginan seperti
kembali muncul lagi dan kembali muncul lagi.
Semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin sengsara.
Akan tetapi semua usaha-usaha yang kita lakukan untuk meraih
kebahagiaan tidak pernah ada akhirnya. Semua kebahagiaan yang kita raih
tidak dapat bertahan selamanya, tidak ada kepastian tentang apa yang
akan terjadi setelahnya, serta tidak dapat memberikan kita suatu titik
kepuasan dan kebahagiaan yang bertahan abadi.

Pengalaman-pengalaman bahagia dalam kehidupan adalah berguna


dan kita butuhkan. Karena dapat memberikan kita energi semangat, gairah
dan motivasi di dalam menjalani kehidupan. Tapi jika kita tidak
berkesadaran, pengalaman-pengalaman bahagia disaat ini, kemudian bisa
membuat kita kecewa dan sengsara di masa waktu berikutnya.

2. Dalam Perjalanan Kehidupan Ini Kita Mengalami Berbagai Macam


Kesulitan, Masalah Dan Kesengsaraan.

Kenyataan hidup kedua adalah bahwa dalam perjalanan kehidupan ini


kita juga pernah mengalami berbagai pengalaman sulit, masalah dan
kesengsaraan.

Semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin sengsara.
Akan tetapi, semua orang, siapapun, di dalam kehidupan ini pasti akan
pernah mengalami berbagai pengalaman sulit, masalah dan kesengsaraan.
Kita pasti akan pernah mengalami kesengsaraan, ketidakbahagiaan dan
rasa sakit, dalam berbagai bentuknya, dalam berbagai jenisnya, serta
berbagai tingkat kesulitannya.

Seringkali kita menghadapi berbagai kesulitan dan masalah yang


berat dan rumit, yang membuat kita sangat terluka atau frustrasi. Kita juga
menghadapi berbagai kesulitan dan masalah yang ringan saja, tapi tetap
saja membuat kita merasa lelah atau sakit hati.
Kita mengalami kesulitan di sekolah, kita mengalami masalah dalam
pekerjaan, kita mengalami kesulitan menghadapi orang tua dan keluarga,
kita mengalami kesulitan menemukan pasangan hidup yang tepat, kita
mengalami kesulitan dalam membina hubungan harmonis dengan
pasangan hidup [suami atau istri], kita mengalami kesulitan mengatasi
kenakalan anak-anak, kita mengalami masalah keuangan, kita merasa tidak
aman dengan hidup kita, kita mengalami perasaan gelisah dan terasing,
kita mengalami kesulitan dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Jika kita
masih berusia muda, kita mengalami kesulitan dalam menentukan
bagaimana menata hidup, bagaimana mempersiapkan masa depan, dsb-
nya. Jika kita sudah berusia tua, kita mengalami masalah menghadapi
penyakit, menghadapi badan fisik yang mengalami kerapuhan, dsb-nya.

Hal ini dapat menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu :

1]. Kesadaran kita dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran [sad ripu].

Seringkali disaat kehidupan memberikan kita berbagai pengalaman


sulit, masalah dan kesengsaraan, disana kesadaran kita dicengkeram oleh
sad ripu [enam kegelapan pikiran].

Sad ripu terdiri dari matsarya [iri hati, dengki, sentimen], kroda
[marah, benci, dendam], kama [terikat dengan hawa nafsu, terikat dengan
keinginan], lobha [keserakahan, ketidakpuasan], mada [kesombongan,
kemabukan terhadap pencapaian] dan moha [kebingungan, kegelisahan,
ketakutan, kesedihan yang terlalu dalam]. Dimana semua cengkeraman sad
ripu tersebut, akan membenamkan kita semakin dalam pada masalah
kehidupan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan.

2. Kita memiliki luka-luka kehidupan, dalam tingkat beban, latar belakang,


situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Berbagai pengalaman sulit, masalah dan kesengsaraan yang kita


hadapi dalam hidup, seringkali menggoreskan luka-luka kehidupan. Ada
banyak sekali ragam luka-luka kehidupan manusia. Seperti misalnya
[contoh], masa kecil yang tidak bahagia, hidup yang serba kekurangan, cita-
cita atau harapan yang gagal tercapai, orang tua yang terlalu otoriter, masa
sekolah yang tegang dan keras, diselingkuhi pacar saat usia muda, pernah
ditipu orang, dsb-nya, itu hanya merupakan sekelumit kecil dari beragam
luka-luka kehidupan manusia.

Tanpa kita sadari, luka-luka kehidupan tersebut terus-menerus


mengejar kita minta untuk disembuhkan. Ini yang membuat kita manusia
sering merasa tidak aman, tidak pernah merasa puas, mengalami
kebingungan dan kegelisahan. Yang kemudian memunculkan berbagai
macam dorongan, kegelapan-kegelapan pikiran [sad ripu] dan ego
[ahamkara] yang tidak kita sadari.

Misalnya dorongan mendambakan sesuatu, yang kita pikir akan


membuat hidup kita aman dan bahagia. Dalam contoh yang umum
misalnya, bahwa jika saya bisa mendapatkan hal ini atau hal itu,
mendapatkan uang yang banyak, mendapatkan harta-benda yang banyak,
memperoleh kekuasaan yang besar, memperoleh pengakuan dan sikap
hormat orang lain, bisa jalan-jalan keliling Eropa, bisa punya motor besar,
mendapat kasih sayang yang cukup, dsb-nya, itu akan membuat hidup saya
aman dan bahagia.

Bisa dipastikan bahwa cara-cara seperti itu tidak akan berhasil.


Walaupun ada saat-saat dimana cara itu kelihatan berhasil, yaitu pada
waktu kita merasa bahwa apa yang kita dambakan sudah cukup, kita
merasa aman dan kita merasa puas. Tapi kemudian di waktu selanjutnya
kita tidak lagi merasa berkecukupan, kita selalu ingin lebih dan kita tidak
puas. Disaat itu, ketika tidak mendapatkannya, kita menjadi gelisah,
sengsara atau marah.

Dalam bentuk yang berbeda, karena rasa tidak aman, karena


kebingungan dan kegelisahan yang tidak disadari di dalam diri, kita
seringkali terjebak dalam sikap mementingkan diri sendiri. Kita melakukan
suatu perbuatan atau perkataan yang egois. Hanya peduli pada diri kita
sendiri dan tidak peduli pada masalah penting orang lain atau yang
menyakiti mereka.

Kita ambil saja contoh-contoh kecil yang umum dalam kehidupan


sehari-hari, misalnya kebut-kebutan di jalan, membuang sampah
sembarangan, melanggar aturan lalu lintas, menyerobot antrean,
menghidupkan musik keras-keras, meledek orang lain, dsb-nya. Itu
tindakan-tindakan yang umum dalam keseharian, yang akan menjadi berat
sekali bobotnya bagi kesadaran jika kita melakukannya dengan riang-
gembira, kita merasa senang atau puas setelah melakukannya, serta tidak
menganggapnya sebagai sebuah kesalahan.

Hal ini akan menguatkan ego bahwa diri kita adalah pusat alam
semesta, bahwa diri kita adalah yang paling penting di alam semesta, serta
bahwa tidak ada masalah orang lain yang penting atau dapat menyakiti
mereka. Semakin kuat ego mencengkeram maka semakin kuat jugalah
kegelapan pikiran. Ini merupakan beban berat bagi kesadaran dan
kedamaian di dalam diri akan terus menjauh.

Selain itu luka-luka kehidupan tersebut tanpa kita sadari membuat


kita mengalami avidya [kebingungan, kegelisahan dan rasa tidak aman
yang tidak disadari] dalam tingkatan tertentu. Sehingga perbuatan dan
perkataan kita ada di bawah pengaruh dorongan rasa tidak aman,
kebingungan dan kegelisahan yang tidak disadari tersebut.

Misalnya dorongan bahwa orang lain harus melakukan hal-hal bukan


dengan cara mereka tapi dengan cara saya, dorongan bahwa kehidupan ini
harus begini atau harus begitu, dorongan untuk mengecam orang-orang
yang kita anggap melakukan kesalahan, atau dorongan menuntut agar
pasangan kita menuruti semua keinginan dan harapan kita, dsb-nya.

Setiap manusia yang pikiran-perasaannya gelisah, terasa sekali


hadirnya banyak kegelapan di dalam diri mereka. Cirinya ini disalahkan dan
itu dikritik, ini dihakimi dan itu direndahkan, dst-nya. Mereka ibarat berjalan
di ruang gelap tanpa cahaya penerang sama sekali.

Ini bahkan terjadi tidak hanya sebatas dalam kehidupan duniawi saja,
tapi di jalan spiritual juga terdapat banyak jebakan sad ripu dan ahamkara
[ego, ke-aku-an] yang tidak disadari. Di dunia spiritual ada banyak pencinta
kebaikan yang sangat bermusuhan dengan kegelapan. Sebagai akibatnya
niat kebaikan yang luhur dan mulia tidak berujung pada kesadaran yang
terang. Tapi malah sebaliknya, niat kebaikan membuat kesadaran
seseorang jadi demikian kotor karena kesombongan atau kebencian.

Misalnya kita tekun melaksanakan dharma, rajin mebanten dan rajin


sembahyang, tapi itu kemudian membuat kita menghakimi orang lain yang
sibuk mencari uang, jarang ke pura dan sering ke mall sebagai orang
duniawi yang salah jalan, cepatlah sadar bahwa kesadaran kita sedang
dicengkeram oleh sad ripu dan ahamkara yang tidak kita sadari.

Atau misalnya jika kita memakai baju sembahyang putih-putih dan


vegetarian, tapi itu kemudian membuat kita menghakimi orang lain yang
berpakaian seksi dan non-vegetarian sebagai salah, buruk, tidak suci atau
kotor, cepatlah sadar bahwa kita sedang berada dalam jebakan sad ripu
dan ahamkara yang tidak kita sadari.

Demikianlah kenyataan hidup kedua, yaitu bahwa dalam perjalanan


kehidupan ini kita pernah melalui berbagai pengalaman sulit, masalah dan
kesengsaraan. Kemudian semua pengalaman tersebut menimbulkan enam
kegelapan pikiran [sad ripu], atau menggoreskan luka-luka kehidupan yang
memunculkan berbagai macam dorongan, kegelapan pikiran dan ego yang
tidak kita sadari. Semua itu akan menjerat kita semakin dalam pada
kebingungan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan.
3. Dalam Perjalanan Kehidupan Ini Kita Pernah Mengalami Perasaan
Hampa Dan Tanpa Tujuan.

Kenyataan hidup ketiga adalah bahwa dalam hidup itu kita juga
pernah merasa bosan, hampa, hambar, datar, atau tanpa tujuan. Dalam
kegiatan rutin yang kita lakukan, tiba-tiba kita merasa hampa dan terasing
dengan kehidupan kita sendiri.

Perasaan kita selalu berubah-ubah. Tidak ada kepastian dalam


perasaan kita. Tiba-tiba saja suasana hati kita berubah. Walaupun disaat itu
tidak ada masalah berarti dalam kehidupan kita.

Bahkan kadang-kadang ketika semua hal berjalan baik, aman dan


lancar, suasana hati kita bisa mendadak berubah. Tanpa sebab-sebab yang
jelas, tiba-tiba kita merasa hambar, hampa, atau tanpa tujuan, padahal
sesungguhnya semua hal berjalan baik-baik saja.

4. Semua Mahluk Pasti Akan Mengalami Kematian.

Kenyataan hidup keempat adalah bahwa suatu saat kita semua pasti
akan mati. Orang suci orang jahat, orang miskin orang kaya, rajin
sembahyang tidak rajin sembahyang, siapapun dan apapun kita, semuanya
pasti akan mati.

Sekalipun kita berhasil menjadi sangat kaya, mencapai jabatan


tertinggi, sangat berkuasa, atau sangat terkenal, tapi suatu saat kita akan
mati. Semua hasil perjuangan hidup kita, suatu saat semuanya akan
direnggut oleh kematian. Kita pasti akan berpisah dengan semua kekayaan,
jabatan, kekuasaan, keternalan. Kita pasti akan berpisah dengan semua hal
yang kita miliki, dengan orang-orang dekat, dengan semua orang yang kita
kenal. Kita pasti akan berpisah dengan semua itu, karena kematian pasti
akan dialami setiap manusia.
Empat kenyataan hidup ini akan terus-menerus menyertai kita setiap
saat dalam siklus samsara. Pengalaman hidup bahagia yang tidak bertahan
selamanya, pengalaman hidup sengsara dan rasa sakit, serta suasana hati
yang tiba-tiba berubah menjadi hambar atau hampa. Yang mungkin terasa
melelahkan dan menggusarkan karena semua kenyataan hidup itu seolah
terus-menerus terjadi berulang-ulang.

Kemudian setelah semua usaha keras dan perjuangan hidup kita,


pada akhirnya kita semua pasti akan mengalami kematian.
BAGIAN II. PUNARBHAWA / SAMSARA

Walaupun kehidupan ini seolah-olah sepertinya hanya sekali saja dan


jangka waktunya sangat singkat, sesungguhnya selama milyaran tahun kita
sudah menempuh perjalanan sangat panjang di alam semesta melewati
berjuta-juta kehidupan dan kematian. Sang Atma terus berkelana dari satu
tubuh ke tubuh lainnya, melewati jutaan kali siklus lahir-hidup-mati, melalui
jutaan kali rangkaian punarbhawa [kelahiran kembali] dalam siklus samsara.

Semua mahluk pasti akan mengalami kematian. Suatu saat kematian


pasti akan dialami setiap manusia. Orang suci orang jahat, orang miskin
orang kaya, rajin sembahyang tidak rajin sembahyang, siapapun dan
apapun kita, semuanya pasti akan mati.

Di alam kematian kita benar-benar sendirian. Dalam kebingungan


dan ketidakberdayaan akan kemana dan apa yang seharusnya dilakukan.
Jika di masa kehidupan ini kita tidak mempersiapkan “bekal kematian”,
maka pada saat kematian, setelah melewati alam antarabhava [alam
kematian], Atma akan bernasib seperti debu yang terhisap vacuum cleaner.
Langsung ditarik terhisap tidak berdaya menuju kelahiran kembali
berikutnya, atau menuju alam-alam yang sesuai dengan akumulasi karma-
karma kita sendiri.

Para Satguru dan sadhaka yang wikan, yang mata spiritualnya terbuka
mengetahui, bahwa di jaman ini ada banyak sekali manusia-manusia yang
hidupnya tersesat. Maraknya terjadi bunuh diri, banyaknya pengguna
narkoba, korupsi yang terjadi dimana-mana, banyaknya perselingkuhan,
dsb-nya, adalah sebagian kecil pertanda banyaknya manusia-manusia yang
tersesat.
Lebih dalam dari itu, mereka yang mata spiritualnya terbuka
mengetahui, bahwa banyak sekali manusia di jaman ini yang setelah
meninggal harus jatuh ke alam-alam bawah [menjadi bhuta cuil, wong
samar, memedi, gregek tunggek, dsb-nya], atau terlahir kembali sebagai
binatang. Dan setelah terlahir di sana, tidak saja akan mengalami
kesengsaraan yang sangat berat, tapi juga sangat sulit untuk bisa naik
menjadi manusia kembali.

Kejatuhan spiritual seperti ini terjadi karena manusia berada dalam


avidya [ketidaktahuan, kebodohan]. Tidak menyadari apa makna dan tujuan
sesungguhnya dari kehidupan ini. Serta sekaligus tidak mengetahui
bagaimana cara yang benar-benar tepat dan memang benar-benar
berguna sebagai upaya untuk mempersiapkan “bekal kematian”.

Perjalanan Atma Yang Buruk Di Alam Kematian

Menyangkut kematian, secara umum setidaknya ada 3 [tiga] cara-cara


perjalanan Atma yang buruk saat meninggalkan badan fisik, yaitu :

1. Bunuh Diri.

Bunuh diri merupakan cara kematian yang sangat buruk dan paling
buruk. Karena tanpa melewati proses apapun Atma akan langsung
meluncur memasuki alam-alam bawah yang penuh kesengsaraan. Sehingga
seberat apapun kehidupan ini terasa, jangan pernah sedikitpun terpikir
untuk melakukan bunuh diri. Karena setelah mati kita justru akan
mengalami kesengsaraan yang jauh lebih berat, keras dan gelap
dibandingkan dengan kesengsaraan apapun selama masa kehidupan
manusia.

Pikiran yang tidak kuat [mudah kena pengaruh tidak baik dari orang
lain], mudah terguncang [emosional, seperti mudah marah, sedih, atau
takut] dan tidak stabil [gampang stres, depresi], merupakan hasil dari
rangkaian karma-karma buruk yang panjang antar kehidupan. Orang yang
di kehidupan-kehidupan sebelumnya sering mengkonsumsi minuman atau
makanan yang melemahkan kesadaran [seperti minuman keras, narkoba,
dsb-nya], maka di kehidupan berikutnya cenderung memiliki pikiran yang
tidak kuat, mudah terguncang dan tidak stabil. Ini merupakan salah satu
sebab mengapa ajaran dharma menyarankan kita untuk tidak
mengkonsumsi minuman keras, narkoba, dsb-nya. Karena tidak saja akan
menciptakan hambatan-hambatan bagi energi spiritual kita, tapi sekaligus
juga akan memberikan masalah besar di kehidupan kita berikutnya.

2. Menghadapi Kematian Secara Kacau.

Bagaimana perjalanan kita di alam kematian sangat ditentukan oleh


energi kebiasaan. Ditentukan oleh kecenderungan pikiran dan kebiasaan
apa yang telah kita biarkan tumbuh dan berkembang di dalam masa
kehidupan. Semua itulah yang sangat menentukan apa yang akan kita
alami di alam kematian.

Karena tidak seperti pada masa kehidupan manusia, di alam kematian


ada kesulitan yang amat sangat di dalam menyatukan pikiran. Karena saat
kematian kita sepenuhnya meninggalkan badan fisik [sthula sarira], dimana
dengan tidak adanya lagi badan fisik sebagai pengatur dan penghalang
pikiran, maka badan pikiran [sukshma sarira] akan bergerak sesuai dengan
energi kebiasaan kita sendiri.

Jika semasa kehidupan kita tekun melaksanakan kebaikan-kebaikan,


tidak egois, sering mengalah, lembut, halus, jarang melakukan kejahatan,
jarang menyakiti, serta kesadaran kita jarang tercengkeram enam
kegelapan pikiran, maka sebagai hasilnya di dalam diri kita yang terdalam
terdapat kekuatan ketenangan, kejernihan dan ingatan-ingatan yang luhur.
Inilah kekuatan yang akan muncul sebagai energi kebiasaan di alam
kematian, yang sangat kita perlukan untuk perjalanan yang baik di alam
kematian.

Sebaliknya jika semasa kehidupan kita terbiasa mementingkan diri


sendiri, egois, keras, kasar, galak, sering melakukan kejahatan, sering
menyakiti, serta kesadaran kita sering tercengkeram sad ripu [enam
kegelapan pikiran], maka ini jugalah yang akan muncul sebagai energi
kebiasaan di alam kematian. Energi kebiasaan seperti ini yang terbentuk
semasa kehidupan, akan membuat kita menghadapi kematian dengan rasa
takut yang amat sangat, dengan pikiran yang kacau dan ingatan-ingatan
yang buruk. Kita akan menjadi korbannya yang tidak berdaya. Setelah
melewati alam antarabhava [alam kematian], Atma akan langsung ditarik
terhisap tidak berdaya menuju arah yang sesuai dengan akumulasi karma
buruk masing-masing. Menuju alam-alam bawah yang sengsara [menjadi
bhuta cuil, wong samar, memedi, gregek tunggek, dsb-nya], atau terlahir
sebagai binatang, atau terlahir kembali sebagai manusia tapi dengan
kehidupan yang sangat berat dan sengsara.

Perjalanan di alam kematian terkait sangat erat dengan kebiasaan


dan kecenderungan kita dalam kehidupan sekarang. Jika kita tidak
memeriksa dan memperbaikinya sekarang juga, maka kelak di alam
kematian perjalanan Atma sangat mungkin akan kacau dan berakhir di
tempat yang sangat buruk. Inilah sebabnya mengapa ajaran dharma sangat
menekankan kita untuk menjalani kehidupan ini secara luhur. Jagalah diri
kita sendiri, jangan melakukan kejahatan, jangan menyakiti, tekunlah
melaksanakan kebaikan-kebaikan. Serta belajarlah untuk meredakan enam
kegelapan pikiran seperti iri hati, sentimen, marah, benci, dendam, tidak
puas, rasa sedih yang terlalu dalam, dsb-nya.

3. Kematian Sebelum Waktunya.

Perjalanan kematian yang cukup berbahaya dan memiliki resiko


adalah kematian sebelum waktunya, seperti misalnya kematian karena
kecelakaan, pembunuhan, meninggal di meja operasi, dsb-nya. Sebagian
besar sebabnya karena di detik-detik menjelang kematian kesadaran kita
cenderung dicengkeram rasa takut, rasa marah, rasa tidak rela, atau karena
kita sama sekali tidak siap. Umumnya kematian dengan cara seperti ini akan
membuat Atma bergentayangan sebagai hantu selama beberapa waktu.
Jika ini tidak segera dapat kita atasi, jika kita tidak dapat mencari jalan yang
terang, maka sangat mungkin pada akhirnya Atma akan meluncur menuju
alam-alam bawah [menjadi bhuta cuil, wong samar, memedi, gregek
tunggek,dsb-nya].

Akan tetapi, jika selama masa kehidupan ini kita jarang melakukan
kejahatan, kesadaran kita jarang tercengkeram enam kegelapan pikiran,
serta memiliki akumulasi karma baik yang berlimpah, maka sekalipun kita
mengalami kematian dengan cara yang mengerikan, ada kemungkinan kita
masih akan dapat terselamatkan.

Orang yang mengalami kematian sebelum waktunya, merupakan


hasil dari rangkaian panjang karma-karma buruk dari kehidupan-kehidupan
sebelumnya. Mereka yang pada kehidupan-kehidupan sebelumnya sering
melakukan kekerasan fisik atau penyiksaan, atau pernah melakukan
pembunuhan, maka di kehidupan saat ini cenderung memiliki umur pendek
atau mengalami kematian sebelum waktunya.

Perjalanan Atma Yang Diharapkan Di Alam Kematian

Secara umum setidaknya ada 3 [tiga] cara-cara perjalanan Atma yang


baik saat meninggalkan badan fisik, yaitu :

1. Atma Dapat Mengusahakan Secara Mandiri Untuk Mencapai


Moksha, Atau Untuk Memasuki Alam-Alam Suci Para Dewa Tingkat
Dimensi Tinggi.

Kemungkinan ini berlandaskan pada kekuatan sadhana [upaya


spiritual] yang sudah kita lakukan semasa kehidupan. Yaitu jika semasa
kehidupan kita telah melatih diri untuk meredakan cengkeraman sad ripu
[enam kegelapan pikiran], meredakan cengkeraman ego atau ke-aku-an
[ahamkara] dan tekun melaksanakan meditasi kesadaran.

Di alam kematian ini merupakan kebiasaan hidup yang amat sangat


berguna. Karena kekuatan sadhana tersebut akan membuka jalan bagi kita
untuk terserap ke dalam keheningan samadhi yang dapat memutus siklus
samsara [moksha], atau setidaknya akan menghantarkan Atma memasuki
alam-alam suci para Dewa tingkat dimensi tinggi.

2. Atma Diselamatkan Oleh Ista Dewata, Untuk Ditarik Memasuki


Alam-Alam Suci Para Dewa Tingkat Dimensi Tinggi.

Kemungkinan ini berlandaskan pada kekuatan sadhana yang kita


lakukan semasa kehidupan, yaitu akumulasi jika semasa kehidupan kita
jarang melakukan kejahatan, tekun melaksanakan kebaikan-kebaikan,
kesadaran kita jarang tercengkeram enam kegelapan pikiran, serta kita
memiliki rasa bhakti dan ketekunan melakukan penjapaan mantra Ista
Dewata [secara khusus dan universal adalah Dewa Shiwa]. Sehingga dari
kebiasaan hidup ini, di alam kematian kita dapat membuka jalan agar Ista
Dewata hadir untuk menolong dan menarik Atma memasuki alam-alam
suci para Dewa tingkat dimensi tinggi.

Di alam kematian, Dewa Shiwa adalah Ista Dewata yang menjadi


pelindung dan penolong universal bagi semua mahluk. Ini bukan
pengetahuan yang sekedar bersumber dari buku-buku suci, melainkan juga
diketahui dari penembusan spiritual ke alam rahasia oleh para Satguru dan
para sadhaka yang wikan. Artinya hal ini telah terbukti kebenarannya dan
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.

Di alam antarabhava [alam kematian], jika kita dapat terus-menerus


tidak henti menjapakan mantra “Om Namah Shivaya” [artinya "saya
berlindung kepada Dewa Shiwa"], kita akan diselamatkan oleh Dewa Shiwa.
Atau kemungkinan lain, kita dapat bernasib seperti anak kecil yang tersesat
tapi kita terus-menerus menyebut alamat rumah kita, sehingga sangat
mungkin kita akan ada yang menyelamatkan.

Akan tetapi hal ini baru bisa kita lakukan jika semasa kehidupan kita
sudah tekun membangun energi kebiasaan yang mendukung. Karena di
alam kematian kita akan mengalami kesulitan di dalam menyatukan pikiran.
Saat kematian kita sepenuhnya meninggalkan badan fisik [sthula sarira],
dimana dengan tidak adanya lagi badan fisik sebagai pengatur dan
penghalang pikiran, maka badan pikiran [sukshma sarira] akan bergerak
sesuai dengan energi kebiasaan kita sendiri.

Energi kebiasaan yang harus kita bangun semasa kehidupan adalah


menahan diri dari melakukan kejahatan, tekun melaksanakan kebaikan-
kebaikan, menahan diri dari cengkeraman enam kegelapan pikiran, serta
tekun menjapakan mantra “Om Namah Shivaya” paling minimal sebanyak 8
[delapan] purascharna [800 ribu kali].

Dengan landasan energi kebiasaan ini, di alam kematian kita akan


dapat memiliki ketenangan dan kejernihan [tidak mengalami kekacauan]
dan kita dapat mengingat [tidak lupa] untuk terus-menerus tidak henti
menjapakan mantra “Om Namah Shivaya”. Sehingga di alam antarabhava
Atma akan diselamatkan oleh Dewa Shiwa. Atau kemungkinan lain, kita
dapat bernasib seperti anak kecil yang tersesat tapi kita terus-menerus
menyebut alamat rumah kita, sehingga sangat mungkin kita akan ada yang
menyelamatkan.

3. Atma Dapat Memasuki Alam-Alam Suci Para Dewa Tingkat Dimensi


Terendah [Alam Suci Dimensi Swarga Loka] Atau Mendapat Kelahiran
Kembali Yang Lebih Baik.

Kemungkinan ini berlandaskan pada kebiasaan hidup kita, jika semasa


kehidupan kita jarang melakukan kejahatan, kesadaran kita jarang
tercengkeram enam kegelapan pikiran, serta kita memiliki akumulasi karma
baik yang sangat berlimpah, maka pada saat kematian, setelah melewati
alam antarabhava [alam kematian], Atma akan dapat menemukan jalan
menuju alam-alam suci dimensi Swarga Loka, atau setidaknya ditarik
menuju kelahiran kembali sebagai manusia yang hidupnya lebih baik secara
duniawi maupun spiritual.
BAGIAN III. KENYATAAN SEJATI SEMUA MAHLUK

Empat kenyataan hidup, yaitu pengalaman hidup bahagia yang tidak


bertahan selamanya, pengalaman hidup sengsara, suasana hati yang tiba-
tiba berubah menjadi hampa, serta kematian pasti akan dialami semua
mahluk, semua itu kemunculannya datang dari suatu sebab. Pada dasarnya,
semua pengalaman hidup tersebut muncul dari karma-karma kita sendiri.

Tapi jika kita menggalinya lebih dalam lagi, kita akan menemukan
bahwa semua itu tidak muncul dari faktor-faktor luar. Semua
ketidakpuasan, kesengsaraan, rasa sakit dan rasa hampa itu datangnya dari
dalam diri kita sendiri. Bagaimana kesadaran kita dicengkeram oleh
berbagai pikiran-perasaan yang muncul. Bagaimana kesadaran kita
dicengkeram oleh sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego].
Itulah masalah sesungguhnya.

Bukan hanya sekedar masalah "aku ingin HP baru", atau "aku ingin
rekreasi jalan-jalan", atau “aku tidak punya pekerjaan”, atau “aku dicaci-
maki orang”, atau “mertuaku membenciku”, atau "aku punya masalah yang
sangat berat", atau "aku merasa bosan dan hampa", dsb-nya. Sangat
penting untuk menyadari bahwa kita bicara tentang seluruh eksistensi
keberadaan kita milyaran tahun dalam siklus samsara. Bukan hanya sekadar
masalah-masalah kehidupan yang sementara, yang datang dan pergi,
datang dan pergi.

Di tataran terdalam, masalah sesungguhnya tidak muncul dari situasi-


situasi luar, melainkan karena besarnya cengkeraman kegelapan pikiran dan
ego di dalam diri. Yang merupakan pertanda jelas bahwa kita masih
memiliki banyak kegelapan di dalam diri. Semua itu terkait dengan
kegelapan pikiran-perasaan dan ego kita sendiri, terutama rasa tidak aman,
gelisah dan kebingungan kita sendiri. Cengkeraman enam kegelapan
pikiran dan ego hanya merupakan sebuah masukan kalau kondisi pikiran
kita masih gelap dan sempit, serta kesadaran kita masih berada dalam
tingkat dimensi kesadaran yang rendah. Di tataran terdalam sesungguhnya
kita tidak berurusan dengan orang lain, tapi berhadapan dengan diri kita
sendiri.

Di tataran terdalam, masalah sesungguhnya bukanlah keadaan-


keadaan hidup yang kita alami, melainkan avidya, atau kebingungan dan
ketidaktahuan kita tentang kenyataan kosmik. Kenyataan sejati kita adalah
Atma, keheningan sempurna. Ini berarti kedamaian sejati selalu ada di
dalam diri kita, pada setiap hembusan nafas, pada setiap detik, hanya saja
kita tidak menyadarinya. Masalah sesungguhnya adalah cengkeraman sad
ripu [enam kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego, ke-aku-an] kita sendiri,
yang menghalangi kita menyadari kedamaian ini.

Sehingga berarti, penghentian kesengsaraan yang sesungguhnya


adalah penghentian kesadaran kita dicengkeram oleh sad ripu [enam
kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego, ke-aku-an]. Penghentian kesadaran
Atma terseret oleh arus siklus samsara.

Intisari terdalam semua mahluk adalah kesadaran Atma. Sayangnya,


avidya [ketidaktahuan, kebodohan] membuat nyaris semua mahluk
mengidentikkan dirinya dengan empat hal yang tidak kekal, yaitu tubuh
fisik, pikiran, perasaan, serta kepintaran secara logika [gagasan].

Kenyataan sejati semua manusia adalah kesadaran Atma. Ini berarti


sesungguhnya kita tidak pernah “mencapai” kesadaran Atma. Kita hanya
perlu menyadarinya kembali. Itu bukanlah sebuah pencapaian, sebab kita
hanya perlu melenyapkan penghalang-penghalangnya saja, yaitu sad ripu
dan ahamkara, dan disanalah kesadaran Atma akan hadir dengan
sendirinya.
Skema dalam gambar diatas merupakan skema Samkhya-Yoga yang
dibuat sendiri secara langsung oleh Maharsi Kapila. Skema tersebut
memaparkan skema tentang kenyataan kosmik alam semesta [bhuwana
agung atau makrokosmos] dan skema tentang kenyataan sejati manusia
[bhuwana alit atau mikrokosmos] di dalam dirinya sendiri.

Kenyataan sejati kita adalah kesadaran Atma [kesadaran kosmik]. Tapi


cengkeraman ahamkara [ego, ke-aku-an] membuat nyaris semua mahluk
tenggelam dalam avidya [ketidaktahuan, kebodohan]. Membuat nyaris
semua mahluk melabeli dirinya dengan suatu identitas “aku”. Dengan kata
lain mengidentikkan dirinya sebagai tubuh fisik, pikiran, perasaan dan
kepintaran secara logika [gagasan].

Intisari ajaran suci dharma adalah langkah-langkah untuk mengenal


diri [bhuwana alit atau mikrokosmos], di dalam diri sendiri yang terdalam.
Dengan cara penembusan langsung secara sangat mendalam ke dalam diri
kita sendiri. Suatu upaya spiritual [sadhana] untuk melampaui tubuh fisik,
pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan].

Kenyataan sejati diri kita [kesadaran Atma] laksana permata berkilau


yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada disana, tapi tidak
kita sadari karena tertutup lumpur dan tanah. Untuk menemukannya kita
hanya perlu menyingkirkan lumpur dan tanahnya. Sama dengan kita hanya
perlu menyingkirkan cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan
ahamkara [ego atau ke-aku-an] yang sudah berumur sangat lama.
Melampaui tubuh fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika
[gagasan]. Terus menggali dan menggali ke dalam diri, sampai di
kedalaman diri yang terdalam kita menemukan diri kita yang suci. Ketika
lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya seketika terlihat.

Menyatukan ajaran suci dharma dengan kesadaran, itulah perintisan


jalan untuk penghentian yang sebenarnya. Ketika kelak kesadaran kita tidak
lagi dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran dan ego, secara alamiah itu
akan mengangkat naik tingkat dimensi kesadaran kita. Akan memberikan
kita kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], membangkitkan
kesadaran Atma [Atma Jnana], serta sekaligus mengakhiri semua
kesengsaraan kita dalam siklus samsara [mencapai Moksha].
BAGIAN IV. METODE / TEHNIK

Dengan tujuan untuk memperdalam dan memperkuat pelaksanaan


praktek, sebaiknya kita langsung saja mempelajari intisari-intisari dari
metode / tehnik praktek dharma. Ini disebut 4 [empat] intisari dari upaya
spiritual dharma [Catur Sadhya-Sadhana], atau intisari keseluruhan praktek
dharma yang disebut Catur Yoga, yaitu sebagai berikut :

1. Karma Yoga

Intisari terdalam dari karma-yoga adalah upaya spiritual [sadhana]


dalam bentuk ketekunan melaksanakan tugas-tugas kehidupan.

Menapaki jalan dharma tidak berarti kita harus menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi. Misalnya mengurung diri di sebuah gua meditasi yang
sepi, atau terus melakukan tirtayatra dari satu parahyangan suci ke
parahyangan suci lainnya, atau tinggal menetap di sebuah pesraman, dsb-
nya, yang dilakukan untuk lari dari urusan-urusan kehidupan
duniawi. Melarikan diri dari urusan kehidupan duniawi bukan maksud
tujuan dari ajaran dharma. Ketika kita pergi ke sebuah gua meditasi yang
sepi, atau sering melakukan tirtayatra, atau tinggal di sebuah pesraman,
dsb-nya, hendaknya itu menjadi masa penjernihan yang bersifat sementara
waktu saja. Kita melakukan itu dengan tujuan untuk menghimpun kekuatan
kejernihan dan ketenangan, yang nantinya sangat kita perlukan dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan duniawi. Sasaran utamanya
adalah perjalanan hidup kita sendiri.

Setiap manusia lahir ke dunia dengan membawa swadharma [tugas


kehidupan] masing-masing sesuai dengan karmanya sendiri. Seperti
menjadi guru, pegawai, orang tua, gubernur, pengusaha, pemuka agama,
dsb-nya. Laksanakanlah tugas-tugas kehidupan kita masing-masing dengan
tulus, jujur dan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan
senyuman damai. Terutama karena masalah hasil sudah diatur oleh hukum
alam semesta yang sempurna.

Kalau kita seorang pekerja, bekerjalah dengan tekun dan penuh


pelayanan [sewaka dharma] di tempat kerja. Kalau kita seorang pengusaha,
berikanlah yang terbaik bagi klien kita, serta jujurlah dan penuh pelayanan.
Kalau kita seorang guru di sekolah, berikan pelajaran dan tuntunan yang
terbaik kepada murid-murid kita, serta sekaligus penuh pengertian dan
kasih sayang. Kalau kita seorang pelajar, belajarlah dengan rajin. Sehingga
orang tua senang dan tenang, tidak rugi mengeluarkan biaya dan kelak di
masa depan kita bisa berguna bagi orang lain.

Kalau kita bekerja di hotel sebagai receptionist. Sambutlah setiap


tamu yang datang dengan senyuman, keramahan, kesabaran dan tekad
untuk memberikan pelayanan terbaik. Kalau tamu sedang sepi, bersihkan
tempat kerja kita, rapikan berkas-berkas file, dsb-nya. Jangan lupa untuk
bekerja dengan jujur dan jangan bermalas-malasan.

Atau misalnya kita membuka usaha bengkel motor. Sambutlah setiap


pelanggan yang datang dengan ramah, sabar dan tekad untuk memberikan
yang terbaik. Jujurlah dan penuh pelayanan dalam usaha kita, jangan
menipu pelanggan dengan mengatakan onderdil yang masih baik
mengalami kerusakan. Jika pelanggan memiliki uang yang terbatas jangan
bersikap meremehkan atau enggan melayani, tapi berikan dia jalan keluar
terbaik. Ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari nafkah atau
memperoleh laba, tapi intinya adalah kita tulus, penuh pelayanan dan tidak
serakah dalam menjalankan usaha kita.

Harta benda yang kita peroleh melalui ketekunan kerja, kejujuran,


kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan, akan membuat kita
mengalami sukses dua kali, yaitu di dunia dan di alam kematian.
Di rumah kita kerjakan tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Kalau
ada piring kotor segeralah kita cuci bersih, kalau rumah kotor ambil sapu
dan pel lalu bersihkan. Kita lakukan dengan sikap penuh pelayanan, dengan
rasa sukhacitta dan meneng [diam], tidak usah mengeluh siapa yang
seharusnya punya tugas mencuci piring atau membersihkan rumah.
Hormati dan bahagiakan orang tua, melayani suami, memeluk istri dengan
mesra, bermain dengan anak-anak di rumah.

Kita perlu mengingat hal ini secara mendalam, bahwa kejujuran,


kebaikan dan ketulusan untuk melakukan pelayanan [sewaka dharma]
merupakan praktek spiritual yang sederhana tapi mendalam. Jika kita
menjalani kehidupan duniawi dengan giat, disertai dengan kejujuran,
kebaikan, ketulusan dan penuh pelayanan, kita akan mendapatkan dua
kekayaan sekaligus, yaitu kekayaan duniawi dan kekayaan spiritual.

Semua tugas-tugas kehidupan kita berusaha laksanakan dengan


tulus, jujur dan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan
senyuman damai. Kesempurnaan melaksanakan tugas kehidupan tidak
terletak pada hasil [terutama karena masalah hasil sudah diatur oleh hukum
alam semesta yang sempurna], melainkan pada segala upaya dan proses
yang kita lakukan.

Jika memungkinkan kita lakukan secara lebih luas lagi. Kita


laksanakan pelayanan kepada yang tidak terkait atau tidak dikenal.
Misalnya [contoh], kalau tirtayatra ke pura ambil sapu kita bantu bersih-
bersihkan sampah, kalau di jalan melihat ada paku yang membahayakan
kita pungut dan amankan, kalau di toilet umum kita melihat keran air
mengalir sia-sia kita bantu matikan, dsb-nya. Jalan pelayanan [sewaka
dharma] adalah jalan spiritual yang sederhana tapi mendalam, yang dapat
perlahan-lahan tapi pasti menyalakan cahaya suci di dalam diri kita.

Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang sudah kita lakukan cepat
sekali dilupakan, tetap yang terus diingat orang adalah apa yang mereka
anggap sebagai kekurangan atau kesalahan kita. Analoginya jalan
pelayanan dapat membuat kita bernasib seperti keset, sudah diinjak-injak
orang kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita. Tapi jika kita
dapat menerimanya dengan rela, tenang, damai dan tetap tulus melakukan
pelayanan, itulah jalan menuju ke dalam diri yang bercahaya.

Jalan pelayanan bertujuan untuk pemurnian mendasar bagi diri kita,


serta untuk meredakan ahamkara [ego, ke-aku-an] dan sifat egois
mementingkan diri sendiri di dalam diri. Ini merupakan sadhana [upaya
spiritual] yang bisa kita lakukan sambil kita melaksanakan kehidupan
duniawi.

Banyak orang yang menunggu ini dan itu agar bisa damai dan
bahagia. Ada yang menunggu jam pulang kerja, ada yang menunggu
atasan dimutasi, ada yang menunggu masa liburan dan rekreasi, ada yang
menunggu agar anak-anak besar, ada yang menunggu agar sukses dan
kaya, dsb-nya. Para sadhaka di jalan dharma hendaknya tidak menunggu ini
dan itu agar bisa damai. Belajarlah menjadi damai dan bahagia di setiap
gerak langkah kehidupan, dengan cara tersenyum dan menyatu damai
dengan apapun yang sedang kita lakukan. Salah satu aspek jalan kesadaran
adalah membiasakan diri. Dengan membiasakan diri menyatu damai
dengan apapun kegiatan kita, kedamaian tidak menjadi suatu tujuan yang
jauh disana, melainkan setiap gerak langkah kita menjadi satu dengan
kedamaian.

Siapapun kita, dimanapun kita, spiritual tidak spiritual, kehidupan kita


tidak dapat lepas dari kerja dan tugas kehidupan. Bagaimana jalan kerja
dan tugas kehidupan dapat menjadi jalan pelaksanaan dharma yang
mendalam, adalah jika kita menyatu damai dengan apapun yang sedang
kita lakukan, serta berusaha melaksanakan kerja dengan tulus, jujur dan
sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan senyuman damai [tidak
terikat dengan hasil].

Porsi tugas kita manusia hanya berusaha dan berusaha. Terkait


hasilnya, kerelaan, senyuman damai dan rasa syukur merupakan penjaga
kedamaian dan kesadaran di dalam diri. Terutama karena masalah hasil
sudah diatur oleh hukum alam semesta yang sempurna.

Selain itu kita harus ingat bahwa menelusuri perjalanan kehidupan


merupakan perjalanan yang sangat panjang, dimana kita tidak pernah tahu
apa yang akan kita temui sepanjang perjalanan dan di mana ujungnya.
Sehingga tugas kita manusia adalah memberikan usaha yang terbaik, serta
sekaligus melangkah dengan penuh kesadaran di sepanjang perjalanan.

Jika dalam jangka waktu bertahun-tahun yang panjang kita terus


tekun melaksanakannya, maka melaksanakan kerja dan tugas kehidupan
akan menjadi praktek dharma yang mendalam, menjadi jalan keheningan,
serta sekaligus menjadi jalan menuju kesadaran Atma. Sehingga kehidupan
kita sebagai manusia dapat berjalan, karma-karma kita dapat mengalir,
serta sekaligus membuat melaksanakan kerja dan tugas kehidupan
membantu mengangkat naik dimensi kesadaran kita ke tingkat yang lebih
tinggi.

2. Bhakti Yoga

Intisari terdalam dari bhakti-yoga adalah upaya spiritual [sadhana]


untuk mengembangkan hati penuh belas kasih, serta ketekunan
melaksanakan kebaikan untuk melayani, menolong, menyelamatkan dan
membahagiakan mahluk lain.

Ada 3 [tiga] jenis belas kasih dan kebaikan yang perlu kita
kembangkan secara mendalam, yaitu :

I. Belas Kasih Dan Kebaikan Untuk Diri Sendiri.

Yang dimaksud dengan belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri,
adalah menerima diri kita sendiri seperti apa adanya, menerima garis nasib
kehidupan kita seperti apa adanya, serta tidak larut dalam rasa bersalah
dari kesalahan kita di masa lalu.

Salah satu langkah sangat penting di jalan spiritual mendalam adalah


berhenti menghakimi diri sendiri dan kehidupan kita, serta berhenti menilai
buruk diri sendiri dan kehidupan kita. Belajarlah menerima diri kita sendiri
seperti apa adanya, serta menerima garis nasib [garis karma] kehidupan kita
seperti apa adanya. Belajarlah selalu berpandangan positif dan penuh rasa
syukur kepada diri sendiri dan kehidupan kita. Inilah belas kasih dan
kebaikan untuk diri sendiri. Inilah benih-benih kejernihan sebagai akar
kedamaian dan kesadaran.

Ciri utama pikiran yang bingung dan gelisah, selalu menyangka


bahwa kebahagiaan mendalam bisa ditemukan dengan mendapatkan apa
yang ingin didapatkan. Akibatnya kita bernasib seperti kucing yang
mengejar ekornya, terus-menerus berkejaran dengan keinginan, yang tidak
pernah ada akhirnya.

Gerbang kedamaian baru terbuka jika kita berani mengatakan cukup,


serta berterimakasih dengan keadaan diri sendiri dan kehidupan kita.
Karena tanpa pandangan positif dan penuh rasa syukur kepada diri sendiri
dan kehidupan kita seperti apa adanya, tidak ada satupun jalan spiritual
yang bisa membimbing kita menuju kedamaian mendalam.

Semua perjalanan spiritual mendalam dimulai dari menerima diri


sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya. Berpandangan positif dan
penuh rasa syukur kepada diri sendiri dan kehidupan kita. Inilah belas kasih
dan kebaikan untuk diri sendiri. Karena itu akan membuat kita berhenti
berkonflik dengan diri sendiri, serta pada saat yang sama kita juga
mengirimkan energi pemurnian ke dalam diri.

Selain itu, langkah belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri yang
berikutnya, adalah tidak tidak larut dalam rasa bersalah dari kesalahan kita
di masa lalu. Karena pada dasarnya sebagai manusia kita tidak sempurna.
Melakukan kesalahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Terimalah dengan
penuh kerelaan. Yang terpenting adalah jika kita melakukan kesalahan,
segera sadari kesalahan kita, kemudian berusahalah memperbaiki diri.

Di jalan dharma yang penting bukanlah berapa kali kita melakukan


kesalahan, tapi berapa kali kita bersedia bangkit memperbaiki diri dari
kesalahan. Kita menyadari kesalahan kita, berusaha memperbaiki diri, serta
sekaligus memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang kita lakukan. Inilah
belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri. Jika kita larut dalam rasa
bersalah, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti diri sendiri, yang
membuat keruh kejernihan kesadaran kita.

Para Satguru dan para sadhaka, yang sudah memahami kehidupan


secara sangat mendalam akan mengetahui, bahwa melakukan kesalahan
dan rasa bersalah bukanlah hukuman, bukanlah noda. Tapi rasa bersalah
adalah cahaya penerang agar kita manusia bergerak melangkah memasuki
jalan dharma.

Langkah spiritual yang bisa membawa kita menuju kejernihan


kesadaran adalah menggunakan semua apapun yang terjadi [tanpa merasa
bersalah] menjadi jalan untuk mencapai kenyataan sejati di dalam diri
[kesadaran Atma].

II. Belas Kasih Dan Kebaikan Untuk Semua Mahluk.

Sesungguhnya intisari terdalam dari bhakti-yoga bukanlah


menghormati Tuhan, melainkan belas kasih dan kebaikan untuk semua
mahluk. Karena Tuhan [Brahman] ada di dalam diri semua mahluk [Atman].
Jika kita gagal bersikap hormat, penuh belas kasih dan kebaikan kepada
semua mahluk, kita pasti akan gagal menghormati Tuhan yang ada di
tempat-tempat suci.
Sebagaimana penjelasan Tuhan dalam ajaran Upanishad yang sangat
terang dan adiluhung, yaitu bahwa Tuhan adalah “esensi segala sesuatu”.
Artinya jika Tuhan adalah esensi dari segala sesuatu, maka Tuhan juga ada
pada segala sesuatu. Ini berarti Tuhan juga ada di dalam diri setiap mahluk.
Dari pengertian mendalam seperti itulah maka dari Upanishad lahir ajaran
dharma yang sangat menekankan pelaksanaan belas kasih dan kebaikan
sebagai tehnik [metode] untuk mengenal Tuhan. Bukan karena tidak
percaya Tuhan. Tapi memahami Tuhan secara langsung melalui tindakan
belas kasih dan kebaikan, yang sangat mendalam.

Intisari terdalam dari bhakti-yoga adalah upaya spiritual [sadhana]


untuk mengembangkan hati penuh belas kasih, serta ketekunan
melaksanakan kebaikan untuk melayani, menolong, menyelamatkan dan
membahagiakan mahluk lain.

Mengapa kita terus berputar-putar tanpa henti dalam siklus samsara,


jatuh bangun dalam kurun waktu yang tidak terhingga panjangnya,
terutama sekali disebabkan oleh sifat kita yang mementingkan diri sendiri
[ego, ke-aku-an]. Dengan hati yang penuh belas kasih dan ketekunan
melaksanakan kebaikan, sangat membantu meredakan sifat kita yang
mementingkan diri sendiri. Langkah ini sangat membantu memurnikan
kesadaran kita, sangat membantu upaya spiritual kita, akan memberikan
kita lompatan kesadaran yang jauh tinggi.

Sadhana [praktek spiritual] sehari-hari yang sederhana tapi mendalam


adalah selalu memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan yang
menyelamatkan, membantu, atau membahagiakan sebanyak mungkin
mahluk. Dengan catatan dalam melaksanakannya jangan berharap
diketahui orang, jangan memikirkan pujian atau penghargaan, apalagi
mengharapkan balasan atau imbalan, yang penting adalah besarnya
kerelaan dan ketulusan diri kita sendiri.

Semua kebaikan-kebaikan tulus yang kita lakukan akan meringankan


beban mahluk lain, akan menciptakan harmoni antara kita dengan sesama
mahluk, akan membuat kita memiliki banyak akumulasi karma baik, akan
menjernihkan pikiran-perasaan kita, serta sekaligus juga membangkitkan
terang cahaya kesadaran Atma di dalam diri kita.

Orang awam tidak dapat melihat keindahan di balik melaksanakan


kebaikan-kebaikan yang tulus. Para sadhaka yang sudah tekun
melaksanakannya, sehingga kesadaran Atma-nya sudah bercahaya, akan
dapat melihat banyak sekali keindahan di balik melaksanakan kebaikan-
kebaikan.

Melaksanakan kebaikan-kebaikan tidak hanya membahagiakan


mahluk lain, tapi sekaligus juga mengirimkan energi kebahagiaan ke dalam
diri kita sendiri. Melaksanakan kebaikan-kebaikan tidak hanya menyegarkan
hati mahluk lain, tapi sekaligus juga mengirimkan energi pemurnian dan
energi kedamaian ke dalam diri kita sendiri. Melaksanakan kebaikan-
kebaikan tidak hanya membantu, menolong, menyelamatkan mahluk lain,
tapi sekaligus juga mengirimkan jalan terang [akumulasi karma baik] bagi
kita di masa depan. Dengan kata lain, ketekunan melaksanakan kebaikan-
kebaikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi terutama sekali sangat
berguna untuk diri kita sendiri.

Jalan spiritual yang sesungguhnya bukan untuk mencapai yang tinggi,


hebat, besar atau megah, tapi fokus melakukan upaya membangkitkan
cahaya kesadaran Atma. Hati yang penuh belas kasih dan kebaikan
merupakan bagian awal, bagian tengah dan bagian puncak dari perjalanan
spiritual dharma. Jalan spiritual dharma selalu kita mulai dengan memiliki
pikiran, perkataan dan perbuatan yang menyelamatkan, membantu, atau
membahagiakan sebanyak mungkin mahluk. Mereka yang tekun
melaksanakannya hanya masalah waktu kelak kesadaran Atma-nya akan
mulai bercahaya.

Melakukan kebaikan-kebaikan kelihatannya sederhana, tapi


sesungguhnya memberikan dampak sangat besar bagi kemajuan kesadaran
kita. Mungkin awal-awalnya melakukan kebaikan seperti berat sekali untuk
dilakukan, tapi itu hanya merupakan pertanda masih besarnya ego di dalam
diri kita. Ketika kita terus dengan tekun melakukannya, rasa berat itu
semakin lama semakin memudar. Ini merupakan tanda kalau ego kita terus
mengecil dan kesadaran Atma di dalam diri kita mulai bangkit. Teruslah
melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Suatu hari kita akan
menemukan bagian terdalam diri kita yang suci.

Bagi orang awam, ketika bertemu orang lain dia cenderung akan
memikirkan apa yang bisa dia dapatkan dari orang tersebut. Bagi orang
yang kesadaran Atma-nya mulai bercahaya, ketika bertemu orang lain dia
akan memikirkan apa yang bisa dia berikan untuk orang tersebut.

III. Belas Kasih Dan Kebaikan Dalam Bentuk Doa Atau Ritual.

Jika dalam suatu situasi keadaan kita belum mampu untuk melakukan
kebaikan bagi mahluk lain, atau kita tidak mampu untuk memberikan
pertolongan langsung bagi mahluk lain, setidaknya kita dapat berdoa, atau
melakukan suatu sadhana ritual, untuk mendoakan keselamatan dan
kebahagiaan mereka.

3. Raja Yoga

Intisari terdalam dari raja-yoga adalah upaya spiritual [sadhana] untuk


meredakan cengkeraman sad ripu [enam kegelapan pikiran] pada
kesadaran, serta ketekunan menahan diri dari perbuatan dan perkataan
yang berdampak dhukacitta [merugikan, menyengsarakan atau menyakiti
mahluk lain].

Dalam kehidupan manusia tidak pernah ada kehidupan yang selalu


aman, nyaman dan bebas dari masalah. Jika kesulitan, kesialan atau
masalah sudah saatnya datang dalam kehidupan akibat akumulasi karma
buruk kita di masa lalu, hal itu akan datang dengan tidak bisa dibendung.
Jika disaat-saat seperti itu pikiran kita dicengkeram oleh enam kegelapan
pikiran seperti perasaan iri hati, sentimen, marah, benci, dendam, tidak
puas, rasa sedih yang terlalu dalam, dsb-nya, itu hanya merupakan sebuah
masukan kalau kondisi pikiran kita masih gelap dan sempit, serta kesadaran
kita masih berada dalam tingkat dimensi kesadaran yang rendah.

Sebagai manusia, enam kegelapan pikiran merupakan bagian tidak


terpisahkan dari diri kita sendiri, yang tidak mungkin dapat kita lenyapkan
sempurna semasih kita berbadan manusia. Karena enam kegelapan pikiran
merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur panca
mahabhuta pembentuk badan fisik kita.

Sehingga perjuangan spiritual yang kita lakukan bukanlah


melenyapkan enam kegelapan pikiran, melainkan memperkuat energi
kesadaran sehingga pikiran kita tidak lagi dicengkeram oleh enam
kegelapan pikiran. Sebagai hasilnya, sekalipun enam kegelapan pikiran
masih tetap muncul di dalam diri kita [sebagai bagian utuh dari diri kita],
kita tidak sampai melakukan perbuatan atau perkataan dibawah
pengaruh enam kegelapan pikiran. Kita tidak melakukan perbuatan dan
perkataan yang berdampak merugikan, menyengsarakan atau menyakiti
mahluk lain.

Ketika kita bertemu dengan orang-orang yang menyakiti, atau situasi


yang menjengkelkan, atau sejenisnya, disaat itu kita tidak saja sedang
bertemu dengan ketidaksempurnaan orang lain, tapi kita juga sedang
bertemu dengan benih-benih kegelapan di dalam diri kita sendiri.
Berusahalah menahan diri sekuatnya agar kita tidak melakukan perbuatan
dan perkataan yang berdampak dhukacitta [merugikan, menyengsarakan
atau menyakiti mahluk lain].

Ada banyak cara untuk mengatasi cengkeraman enam kegelapan


pikiran ketika dalam kehidupan kita mengalami kesulitan, kesialan atau
masalah.

Misalnya [contoh], suatu saat sepeda motor kita ditabrak orang di


jalan. Kita sadari bahwa jika disaat itu kita berkata-kata atau bertindak di
bawah pengaruh energi marah, seperti membentak atau mencaci-maki
orang itu untuk kesalahannya, kita sadari bahwa hal itu hanya akan
memperkeruh keadaan. Kita mungkin harus tetap ke bengkel memperbaiki
sepeda motor dan bentakan atau caci-maki tidak akan membuat keadaan
menjadi tambah baik. Kita menyadari sesegera mungkin sebelum kita
melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta
[merugikan, menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain], sebelum kita
gelap mata hilang kendali, bahwa di dalam diri kita muncul desakan untuk
melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta yang
didorong oleh energi marah, dan kita mengenali desakan itu dengan jernih,
bahwa perbuatan atau perkataan berdampak dhukacitta tersebut tidak
akan membuat keadaan menjadi tambah baik dan hanya akan
memperkeruh keadaan. Sehingga kita bisa menahan diri untuk tidak
berkata-kata atau bertindak berdasarkan desakan itu. Lebih dalam lagi jika
kita bisa menyadari bahwa kesialan dan masalah tidak terduga ini tidak
lepas dari karma-karma masa lalu kita. Sehingga kita bisa menerimanya
dengan tersenyum damai.

Atau suatu saat kita terjebak dalam kemacetan jalan yang parah
dalam perjalanan ke tempat kerja. Ada kemungkinan kita akan terlambat
masuk kerja. Jika kita panik, marah-marah, mengebel-ngebel, dsb-nya, kita
sadari bahwa semua itu tidak akan menghentikan kemacetan jalan, tidak
ada pengaruhnya. Lebih baik kita menelpon ke tempat kerja, menjelaskan
bahwa kita akan terlambat masuk kerja karena jalan macet. Sambil
menunggu kemacetan kita bisa menyanyikan lagu-lagu mantra dalam hati,
yang menyejukkan hati kita. Kemudian cobalah besok-besok berusaha
untuk berangkat kerja lebih pagi lagi.

Atau ketika kita berbeda pendapat dengan seseorang, dan tiba-tiba


selisih pendapat mencapai titik terpanasnya. Kita sadari bahwa jika disaat
itu kita berkata-kata atau bertindak di bawah pengaruh energi marah,
seperti bertengkar, kita sadari bahwa itu tidak akan membuat keadaan
menjadi tambah baik. Kita sadari dalam keadaan seperti itu, orang itu tidak
lagi mendengarkan kita dan kita juga sudah tidak benar-benar
mendengarkannya. Melanjutkannya hanya akan memperkeruh keadaan.
Jadi lebih baik kita mengalah, atau menjauh, atau percakapan kita hentikan
dulu dan dibicarakan lagi nanti setelah berdua tenang. Kemudian lakukan
hal-hal yang menenangkan diri kita.

Atau ketika ada orang lain marah-marah dan mencaci-maki kita. Kita
sadari bahwa jika disaat itu kita berkata-kata atau bertindak di bawah
pengaruh energi marah, seperti balik mencaci-maki orang itu, kita sadari
bahwa hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Lebih baik kita diam, atau
kita pergi menjauh. Kita sadari hal itu sebagai kenyataan rwa bhinneda,
bahwa di dunia ini tidak hanya ada orang baik saja, tapi banyak juga orang
seperti itu. Dalam ajaran dharma kita tidak menghakimi mereka sebagai
penjahat, kita hanya menyadari bahwa mereka dalam avidya [sedang
bingung dan sengsara]. Mereka bingung dan tidak paham bahwa kelakuan
seperti itu hanya akan mendatangkan lebih banyak masalah bagi mereka.
Mereka sengsara karena tidak sanggup menahan diri sendiri dari energi
marah. Dengan demikian kita tidak akan menilai mereka secara negatif atau
membenci mereka, melainkan memandang mereka dengan pandangan
belas kasih. Kita dapat bersabar terhadap mereka, kita tidak sengsara secara
emosional dengan kelakuan mereka dan untuk selanjutnya kita dapat lebih
berhati-hati menjaga diri agar kita tidak lagi mengalami masalah dengan
mereka.

Lebih dari itu, hendaknya kita mengetahui bahwa pentingnya kita


belajar menahan diri, adalah karena sesungguhnya apapun perbuatan dan
perkataan kita, tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kecenderungan pikiran kita
sendiri. Melakukan perbuatan dan perkataan yang berdampak merugikan,
menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain, akan menghasilkan karma
buruk, akan memantul balik mengotori pikiran kita, serta sekaligus menodai
ketenangan dan kejernihan di dalam pikiran kita sendiri.

Jika kita mau tekun terus-menerus belajar menahan diri dan


meredakan cengkeraman enam kegelapan pikiran, maka lama kelamaan
benih-benih kegelapan di dalam diri kita akan menjadi semakin melemah
dan sebaliknya energi kesadaran kita menjadi semakin kuat. Dalam
pencapaian seperti itulah pikiran-perasaan kita akan menjadi lebih jernih
dan lebih tenang.

Sebagai hasilnya, kesadaran kita tidak mudah goyah akibat kesulitan,


kesialan, atau masalah-masalah kehidupan. Kita dapat menahan diri tidak
sampai melakukan perbuatan dan perkataan di bawah pengaruh enam
kegelapan pikiran. Sekalipun enam kegelapan pikiran itu masih tetap
muncul di dalam diri kita [sebagai bagian utuh dari diri kita], munculnya
hanya sebentar saja dan kesadaran kita tidak dicengkeram oleh enam
kegelapan pikiran. Kemudian perlahan kegelapan pikiran itu lenyap dan
pikiran kita kembali tenang dan jernih.

Sehingga setiap karma-karma buruk kita yang datang dapat mengalir


tanpa hambatan [artinya kita dapat menghadapinya dengan kerelaan,
tabah dan tahan menderita], untuk kemudian karma-karma buruk itu
terselesaikan [terhapus]. Kita akan terhindar dari kemungkinan membuat
karma buruk yang baru. Kita akan terhindar dari jalur kehidupan yang lebih
kacau atau berbahaya. Kita akan membuat kehidupan kita menjadi lebih
tenang dan damai. Serta sekaligus kesadaran kita terangkat naik pada
tingkat dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran Atma di dalam diri
kita akan mulai bercahaya.

Upaya spiritual [sadhana] untuk meredakan cengkeraman kegelapan


pikiran umumnya merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu.
Terutama karena kegelapan pikiran sudah pekat melekat dalam kesadaran
kita dalam jangka waktu yang tidak terhingga panjangnya. Akan terjadi
siklus naik-turun dalam kemajuan kita dan itu suatu hal yang sangat
manusiawi. Cara yang realistis untuk mengukur kemajuan kita adalah
melihat dalam rentang waktu setiap setahun atau 2 [dua] tahun. Jika kita
sudah menjadi orang yang lebih sabar, lebih tenang, lebih mudah
memaafkan, lebih mudah merelakan, tidak mudah larut dalam kesedihan,
dsb-nya, itu berarti kita sudah mengalami kemajuan.

Energi kesadaran yang kuat membuat kita tidak mengalami kesulitan


untuk bersikap sabar, merelakan, mengalah dan memaafkan. Sebagai
hasilnya, tidak saja setiap karma-karma buruk kita yang datang dapat
mengalir tanpa hambatan [artinya kita dapat menghadapinya dengan
kerelaan, tabah dan tahan menderita], untuk kemudian karma-karma buruk
itu terselesaikan [terhapus]. Serta sekaligus juga menghindarkan kita dari
kemungkinan jalur kehidupan yang lebih kacau atau berbahaya, sehingga
hidup kita sendiri juga cenderung menjadi lebih tenang dan damai.

Hal ini sesungguhnya adalah untuk menolong diri kita sendiri. Kita
hendaknya menyadari hal ini, untuk kemudian menciptakan keberkahan
bagi diri kita sendiri dan sekaligus menciptakan keberkahan bagi orang-
orang lain disekitar kita.

4. Jnana Yoga

Intisari terdalam dari jnana-yoga adalah upaya spiritual [sadhana]


untuk memurnikan samskara [kesan-kesan pikiran]. Caranya adalah dengan
meredakan cengkeraman dualitas pikiran dari kesadaran. Dimana ini hanya
dapat dicapai dengan ketekunan melaksanakan praktek meditasi kesadaran
[meditasi non-dualitas].

Memurnikan samskara [meredakan cengkeraman dualitas pikiran]


sangat membantu upaya spiritual kita, akan memberikan kita lompatan
spiritual yang jauh tinggi. Karena dengan samskara yang termurnikan
sangat membantu memudahkan perjuangan spiritual kita untuk meredakan
cengkeraman sad ripu dan ahamkara dari kesadaran kita.
1. Tehnik Meditasi.

- Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Kita bebas memilih duduk
bersila dalam posisi padmasana, ardha-padmasana, siddhasana, atau
sukhasana. Pilihlah posisi duduk bersila mana yang paling sesuai untuk diri
kita sendiri. Bagi wanita boleh memilih untuk duduk dalam posisi
bersimpuh [vajrasana].

- Punggung dalam posisi tegak lurus tapi santai.

- Letakkan telapak tangan di pangkuan membentuk dhyana mudra, atau


bisa juga letakkan telapak tangan di ujung lutut membentuk jnana mudra.
Silahkan bebas memilih mudra mana yang sesuai untuk diri kita sendiri.
Yang terpenting bahu dalam keadaan santai [tidak tegang].

- Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut.

- Pejamkan mata.

- Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas.

- Konsentrasilah kepada sentuhan keluar-masuk nafas di rongga hidung.

Duduk dengan santai dalam sikap meditasi. Konsentrasi kepada


sentuhan keluar-masuk nafas di rongga hidung.

Ketika pikiran kita berkeliaran, itu bukanlah suatu masalah atau suatu
kesalahan dalam meditasi, karena itu memang sifat alami dari pikiran kita.

Sadari dengan penuh belas kasih bahwa pikiran yang berkeliaran


memang sifat alami dari pikiran kita. Jangan berusaha dikendalikan, jangan
ditanggapi. Jika kita berusaha mengendalikan disana ada ketidaksukaan
dan penolakan [kebencian]. Jika kita menanggapi kita akan larut ke dalam
arus aliran pikiran tersebut. Jadi pikiran-pikiran yang muncul disadari saja.
Ketika kita sadar, saksikan saja pikiran-pikiran yang muncul dengan senyum
penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-
kotor [dualitas pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas. Kembali konsentrasi
kepada sentuhan keluar-masuk nafas di rongga hidung. Demikianlah
seterusnya dan seterusnya. Inilah yang disebut meditasi kesadaran.

Terus lakukan meditasi ini. Konsentrasi kepada sentuhan keluar-


masuk nafas di rongga hidung. Ketika pikiran berkeliaran, jangan berusaha
dikendalikan dan jangan ditanggapi, tapi disadari, kemudian disaksikan saja
dengan senyum penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar,
baik-buruk, suci-kotor [dualitas pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas.
Demikianlah seterusnya dan seterusnya.

Jika kita seorang sadhaka yang baru belajar meditasi, setelah selesai
meditasi silahkan periksa pikiran kita sendiri, bagaimana antara sebelum
sadar dan sesudah sadar dalam meditasi. Tentunya pikiran kita akan
menjadi lebih tenang, lebih damai. Inilah jalan meditasi yang memurnikan
kesadaran. Jika kita mau tekun mempraktekkannya setiap hari, dalam
jangka waktu panjang bertahun-tahun, perlahan-lahan tapi pasti ruang
pikiran kita akan terus menjadi semakin luas dan kesadaran kita akan terus
menjadi semakin murni.

2. Penjelasan.

Dalam kitab suci ajaran Tantra Shiwa, kesadaran Atma disimbolikkan


sebagai langit biru dan pikiran-perasaan disimbolikkan sebagai awan-awan
yang lewat mengalir di langit biru. Pikiran positif dan bersih, perasaan
positif, serta pengalaman hidup bahagia, laksana awan-awan putih yang
lewat mengalir. Pikiran negatif dan kotor, perasaan negatif, serta
pengalaman hidup sengsara, laksana awan-awan hitam yang lewat
mengalir. Baik awan-awan putih maupun awan-awan hitam selalu datang
dan pergi, datang dan pergi. Tidak kekal. Kesadaran Atma laksana langit
biru sebagai saksi abadi yang tidak berubah.
Jika kita tekun melaksanakan meditasi ini, lama-lama kesadaran kita
akan menjadi langit biru abadi yang luas tidak terbatas [kesadaran Atma].
Awan-awan putih tidak membuat langit biru menjadi putih, awan-awan
hitam tidak membuat langit biru menjadi hitam. Apapun awan-awan
pikiran-perasaan yang lewat mengalir, langit tetap biru, abadi luas tidak
terbatas.

Meditasi bukanlah suatu sadhana [upaya spiritual] untuk


melenyapkan pikiran negatif dan kotor. Meditasi tidak dapat membuat
pikiran kita positif dan bersih untuk selama-lamanya. Karena baik pikiran
positif dan bersih, maupun pikiran negatif dan kotor, merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur panca mahabhuta pembentuk
badan fisik kita. Selama kita masih berbadan manusia, baik pikiran positif
dan bersih, maupun pikiran negatif dan kotor, akan selalu muncul sebagai
aliran-aliran di dalam diri.

Meditasi adalah sadhana untuk meredakan cengkeraman dualitas


pikiran dari kesadaran. Dalam meditasi kita memandang pikiran-pikiran
yang muncul laksana awan-awan yang lewat mengalir di langit biru. Kadang
yang lewat awan putih [pikiran positif dan bersih], kadang yang lewat awan
hitam [pikiran negatif dan kotor]. Tugas meditasi adalah menjadi saksi yang
tersenyum penuh belas kasih terhadap awan-awan yang lewat mengalir di
langit biru, tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor.
Karena pikiran hanyalah pikiran, bukan kenyataan diri kita yang sejati. Jika
kita tekun mempraktekkan meditasi ini suatu hari kesadaran kita akan
terbebaskan dari cengkeraman dualitas pikiran. Kita akan menjadi langit
biru yang abadi luas tidak terbatas [kesadaran Atma]. Sehingga tersenyum
damai tidak terpengaruh apapun pikiran-pikiran yang muncul, karena
kesadaran sudah seluas ruang.

Meditasi juga bukan suatu sadhana untuk melenyapkan perasaan


negatif, seperti marah, sedih, galau, gelisah, takut, dsb-nya. Meditasi tidak
dapat membuat perasaan kita damai dan bahagia untuk selama-lamanya,
karena hal itu tidak mungkin. Baik perasaan positif maupun perasaan
negatif merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengaruh unsur-unsur
panca mahabhuta pembentuk badan fisik kita. Selama kita masih berbadan
manusia, baik perasaan positif maupun perasaan negatif akan selalu
muncul sebagai aliran-aliran di dalam diri.

Meditasi adalah sadhana untuk meredakan cengkeraman dualitas


perasaan dari kesadaran. Kita secara meditatif memandang aliran-aliran
perasaan negatif, seperti marah, sedih, galau, gelisah, takut, dsb-nya, hanya
seperti awan-awan yang lewat mengalir di langit biru. Kenyataan diri kita
yang sejati adalah langit biru yang abadi luas tidak terbatas. Perasaan
hanyalah perasaan, bukan kenyataan diri kita yang sejati. Kita hanya perlu
menjadi saksi kepada setiap aliran-aliran perasaan. Tersenyum penuh belas
kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor.
Sehingga walaupun perasaan itu datang tapi kemudian segera lewat.
Tersenyum damai apapun perasaan-perasaan yang muncul.

Meditasi kesadaran [meditasi non-dualitas] juga bukan suatu sadhana


yang bisa menghapus karma-karma buruk kita seperti nasib sial, musibah,
jatuh sakit, dsb-nya. Meditasi kesadaran tidak dapat menghentikan karma
buruk. Jika waktunya sudah tiba maka karma buruk akan datang dengan
tidak bisa dibendung. Yang tepat adalah meditasi kesadaran dapat
membantu kita menahan diri dari membuat karma buruk yang baru, serta
membantu kita menahan diri dari perbuatan atau perkataan yang bisa
memperberat karma buruk yang sedang datang dalam kehidupan.

Meditasi melalui kegiatan menjadi saksi yang tersenyum penuh belas


kasih, tanpa penilaian salah-benar, baik-buruk, suci-kotor, secara perlahan
tapi pasti akan membuat ruang pikiran-perasaan semakin luas dari hari ke
hari. Sehingga kita bisa menjaga jarak dengan dualitas pikiran dan
perasaan. Meditasi memperbesar kemampuan kita untuk menerima setiap
karma buruk yang datang. Tetap tersenyum damai apapun kejadian yang
datang dan terjadi dalam kehidupan. Itulah sebabnya para sadhaka yang
praktek meditasinya sudah mendalam, senyuman dan pancaran energinya
penuh kedamaian.

Inilah yang membedakan antara sadhaka yang tekun praktek meditasi


dengan orang awam yang tidak meditasi. Orang awam yang tidak meditasi,
kesadarannya dicengkeram oleh dualitas pikiran dan perasaan. Sehingga
sedikit saja ada masalah, gangguan, kesulitan atau godaaan datang dalam
kehidupannya maka dia akan terseret arus pikiran dan emosi, atau bahkan
sampai melakukan perbuatan dan perkataan yang berdampak dhukacitta
[merugikan, menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain]. Sedangkan
sadhaka yang tekun praktek meditasinya hanya tersenyum dan tersenyum
saja tidak terpengaruh.

Ini merupakan suatu keahlian mengelola kesadaran yang tidak akan


dapat dicapai dengan membaca kitab-kitab suci atau mendengarkan
dharma wacana. Kita harus tekun dalam jangka waktu panjang melakukan
praktek nyata 4 [empat] intisari upaya spiritual [Catur Sadhya-Sadhana]
atau Catur Yoga. Berupa ketekunan praktek meditasi kesadaran, yang
disertai dengan ketekunan praktek menahan diri dari enam kegelapan
pikiran dan ego, serta banyak melakukan kebaikan-kebaikan.

Perlu diberikan sebuah catatan, bahwa jika kita hanya tekun


melaksanakan praktek meditasi [jnana-yoga], tapi tidak disertai dengan
ketekunan melaksanakan ketiga praktek dharma lainnya [bhakti-yoga, raja-
yoga, karma-yoga], maka kemungkinan perkembangan meditasi kita akan
berjalan sangat lambat. Karena 4 [empat] intisari upaya spiritual [Catur
Sadhya-Sadhana] atau Catur Yoga ini bersifat saling menguatkan dan
menyempurnakan satu sama lain.

Demikian juga sebaliknya, bahwa jika kita hanya melaksanakan ketiga


praktek praktek dharma lainnya [bhakti-yoga, raja-yoga, karma-yoga], tapi
tanpa disertai dengan praktek meditasi [jnana-yoga], maka kemungkinan
besar pelaksanaan ketiga praktek dharma tersebut cenderung tidak bisa
mendalam, mudah goyah dan tidak kokoh. Meditasi merupakan kekuatan
utama yang akan menyatukan, menguatkan, memperdalam dan
menyempurnakan ketiga praktek dharma lainnya tersebut, serta sekaligus
menyempurnakan kesadaran Atma.

3. Keberhasilan Meditasi : Niat Yang Kuat, Ketekunan Dan Konsistensi.

Meditasi bukanlah sadhana [upaya spiritual] harian atau bulanan,


melainkan sadhana yang harus tekun dilakukan selama bertahun-tahun.
Untuk dapat menyatukan meditasi dengan kesadaran memerlukan
ketekunan dan kesabaran praktek meditasi dalam jangka waktu panjang
selama bertahun-tahun. Karena dalam siklus samsara, selama milyaran
tahun kesadaran kita sudah dicengkeram kuat oleh enam kegelapan pikiran
dan ego. Sehingga praktek meditasi ibarat menetesi batu dengan air yang
jika dilaksanakan harian atau bulanan hanya sedikit saja hasilnya. Tapi jika
terus dilaksanakan selama bertahun-tahun maka batu pasti akan berlubang.

Artinya kita sangat perlu menjadwalkan meditasi sebagai kegiatan


wajib dalam kehidupan sehari-hari, dengan berlandaskan pada niat yang
kuat, ketekunan dan konsistensi.

- Laksanakan meditasi setidaknya 30 menit di pagi hari sebelum melakukan


kegiatan harian.

- Dalam melakukan kegiatan harian, selingi dengan melaksakan meditasi-


meditasi singkat tapi sering. Cukup selama 1 menit saja. Terutama disaat
pikiran atau perasaan kita mulai kehilangan ketenangannya. Singkat-singkat
saja cukup 1 menit tapi sering.

- Laksanakan meditasi minimal 30 menit di malam hari.

- Serta sebagai suatu tambahan, dalam melakukan kegiatan harian, kapan


saja kehidupan terlihat sangat rumit, sulit, atau penuh emosi [marah, sedih,
bosan, galau, bingung, dsb-nya], cobalah untuk tidak melarikan diri ke
curhat, mendengarkan lagu, menyanyi, merokok, minum minuman keras,
dsb-nya, tapi lakukan meditasi. Letakkan dualitas pikiran-perasaan dan
biarkan kejernihan di dalam diri yang mengambil alih.

Ibarat melakukan sebuah perjalanan yang panjang, kadang-kadang


kita akan salah jalan, kadang-kadang akan membingungkan, tapi
pengalaman salah jalan dan bingung ini kelak akan sangat berguna.
Laksanakan terus praktek meditasi.

Para sadhaka yang tekun praktek meditasinya selama bertahun-


tahun, suatu hari cengkeraman dualitas pikiran-perasaan di dalam dirinya
akan mengalami keruntuhan. Pada saat bersamaan, enam kegelapan
pikiran dan ego juga akan kehilangan cengkeramannya pada kesadaran.
Sebagai hasilnya, kesadarannya menjadi seluas ruang yang tidak terbatas.

Selama kita masih berbadan manusia, enam kegelapan pikiran dan


ego masih akan tetap selalu muncul sebagai aliran-aliran di dalam diri. Tapi
jika sadhaka tekun praktek meditasinya, enam kegelapan pikiran dan ego
tidak lagi dapat mencengkeram kesadaran sang sadhaka. Sehingga sang
sadhaka bisa tersenyum damai penuh belas kasih kepada setiap aliran
pikiran-perasaan dan ego yang muncul di dalam dirinya. Serta bisa
tersenyum damai kepada setiap karma-karma buruk yang sedang datang
dalam kehidupannya. Inilah manah shanti [kedamaian di dalam diri].

Bagaimana pengaruh langsung praktek meditasi terhadap


kebahagiaan, kedamaian dan keheningan, sudah dibuktikan sendiri oleh
milyaran sadhaka selama beribu-ribu tahun. Bagi para sadhaka yang sudah
tekun melaksanakan praktek meditasi, sehingga meditasinya sudah
mendalam, akan dapat memahami, mengetahui dan mengalami sendiri
secara langsung bahwa kesedihan, kesengsaraan, ketakutan, kebingungan,
kegelisahan, kesombongan, kebodohan [avidya], dsb-nya, hanyalah akibat
dari pikiran yang masih dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran dan ego.
TAHAP 2. ANUMANA PRAMANA

TAHAP PRAKTEK – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui


Ketekunan Melaksanakan Catur Yoga Dalam Jangka Waktu Panjang

Di tahap baru belajar sudah tentu agama pramana kita perlukan. Di


tahap awal kita perlu mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual
dharma melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci
dharma, atau mendengarkan dharma wacana dari Guru. Hasil dari tahap
awal agama pramana adalah kepintaran secara logika.

Akan tetapi mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan


kepintaran secara logika saja sudah pasti sangat jauh dari cukup.
Mempelajari ajaran suci dharma sudah tentu baik, tetapi hanya mereka
yang melaksanakannya dan terus tekun melaksanakannya yang akan bisa
memahami ajaran suci dharma secara luas dan mendalam, serta sekaligus
mencapai dan mengalaminya sendiri secara langsung.

Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan Satguru


[ajaran suci dharma seorang Satguru] dapat membawa kita mulai bergerak
mendekat dengan kesadaran Atma, membawa kita mulai bergerak
mendekat kepada kenyataan kosmik. Tetapi hanya sebatas sampai di depan
pintu gerbang saja. Hanya dengan cara tekun mempraktekkan Catur Yoga,
barulah dapat membawa kita masuk ke dalam.
BAGIAN I. KELEMAHAN MEMAHAMI AJARAN
DHARMA MELALUI KEPINTARAN SECARA LOGIKA

Mentok mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan


kepintaran secara logika saja sudah tentu adalah dangkal, serta banyak
sekali memiliki kelemahan dan kekurangan. Sehingga jangan pernah
berhenti di tahap agama pramana [tahap memahami ajaran dharma melalui
kepintaran secara logika] saja. Jangan terjebak disini. Segeralah tekun
melaksanakan praktek Catur Yoga.

Kelemahan Kepintaran Secara Logika

Sebagian dari kelemahan mempelajari ajaran suci dharma sebatas


menggunakan kepintaran secara logika saja, sebagai berikut ini, yaitu :

1. Tidak Dapat Memberikan Pemahaman Dharma Yang Mendalam.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja cenderung hanya dapat memberikan kita pemahaman
dharma hanya sebatas yang sempit dan dangkal saja. Semakin banyak kita
mengumpulkan, mempelajari, menganalisa dan mengutak-atik ajaran suci
dharma dengan sebatas menggunakan kepintaran secara logika saja, maka
sangat mungkin justru akan semakin kacaulah pemahaman kita tentang
ajaran suci dharma.

Tanpa langkah-langkah untuk mengenal diri [ketekunan praktek


melaksanakan Catur Yoga], semua kepintaran secara logika akan
menyesatkan.
2. Tidak Dapat Memberikan Lompatan Kesadaran Yang Tinggi.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja tidak dapat menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran kita, sehingga kesadaran kita masih tetap berada dalam
cengkeraman sad ripu dan ahamkara.

Ajaran suci dharma belum menyatu dengan kesadaran, sehingga


belum memurnikan pikiran-perasaan [manas] dan ego [ahamkara] dalam
diri sendiri. Kita masih mudah marah, masih gelisah, masih bingung, masih
sombong, masih serakah, dsb-nya. Kita juga masih belum tersembuhkan
dari luka-luka kehidupan kita, dari kebingungan dan kegelisahan kita, yang
memunculkan berbagai macam dorongan, kegelapan pikiran dan ego yang
tidak kita sadari.

3. Tidak Dapat Meredakan Ego [Ahamkara].

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja seringkali terjebak dalam kedangkalan dan
kesempitannya sendiri, yang menimbulkan ego [ahamkara], membuat kita
tetap suka menghakimi, tetap suka mencela dan mengkritik, yang justru
sebenarnya akan mengotori dan menjatuhkan kesadaran kita.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia spiritual ada banyak


pencinta kebaikan yang sangat bermusuhan dengan kegelapan. Sebagai
akibatnya niat kebaikan yang luhur dan mulia tidak berujung pada
kesadaran yang terang. Sebaliknya niat kebaikan membuat kesadaran
seseorang jadi demikian kotor karena kesombongan atau kebencian.
4. Tidak Dapat Memberikan Harmoni Kedamaian [Jagadhita].

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja, dalam kegelapan dan kesempitannya sendiri, seringkali
cenderung membuat kita terlibat banyak perdebatan pendapat, konflik,
atau perselisihan pendapat dengan orang-orang lainnya menyangkut
ajaran dharma atau ajaran agama.

Bahkan dalam kasus yang ekstrim, dapat mendorong kita untuk


menjatuhkan, menjelek-jelekkan dan menghina ajaran dharma atau ajaran
agama lainnya yang berbeda.

5. Tidak Dapat Menyelamatkan Kita Dari Mengalami Kejatuhan


Spiritual Dalam Samsara.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja, tidak dapat mencegah diri kita sendiri mengalami
kejatuhan spiritual dalam samsara. Tidak dapat mencegah diri kita sendiri
pada saat kematian ditarik menuju alam-alam bawah atau terlahir kembali
sebagai binatang. Tidak dapat mencegah diri kita sendiri mengalami dhuka
punarbhawa, yaitu dari kehidupan sebagai manusia, terlahir kembali “turun
tingkat” menjadi binatang atau mahluk-mahluk alam bawah.

Karena bagaimana perjalanan kita di alam kematian sangat terkait


erat dengan tingkat dimensi kesadaran kita. Jika dalam masa kehidupan
kita tidak meningkatkan kesadaran dengan cara tekun melaksanakan
praktek Catur Yoga, maka ada kemungkinan kelak di alam kematian
perjalanan Atma akan kacau dan berakhir di tempat yang sangat buruk.

6. Tidak Dapat Menghantar Kita Mencapai Yang Tidak Terbatas.

Mempelajari ajaran suci dharma sebatas menggunakan kepintaran


secara logika saja sifatnya sangat terbatas. Yang terbatas sudah tentu tidak
akan dapat mencapai yang tidak terbatas [kesadaran Atma / Moksha].

Menyatukan Ajaran Suci Dharma Dengan Kesadaran :


Laksanakan Praktek Catur Yoga Dengan Tekun Dalam Jangka
Waktu Panjang

Kita boleh membaca banyak kitab-kitab suci, membaca banyak


ajaran-ajaran suci dharma, atau sering mendengarkan dharma wacana dari
Guru, tapi jangan lupa tekun melaksanakan praktek Catur Yoga sebagai
langkah-langkah untuk mengenal diri [Atma Jnana]. Karena tanpa
mengenal diri semua kepintaran secara logika akan menyesatkan.

Kepintaran secara logika sudah tentu bukan sesuatu yang salah atau
buruk. Kepintaran secara logika itu berguna jika kita gunakan di tempat
yang tepat. Seperti di sekolah atau di dunia pendidikan modern, atau di
tempat kerja, kepintaran secara logika itu berguna.

Tapi di jalan spiritual mendalam, kepintaran secara logika merupakan


penghalang dan beban berat. Terutama karena kepintaran secara logika
seperti kaca mata kuda yang membuat kita gagal memandang secara luas
dan mendalam. Sebagian orang pintar bahkan hidupnya sangat berbahaya
[secara karma], karena kepintaran secara logika digunakan untuk mencela,
menjatuhkan atau menyerang pihak lain. Kepintaran secara logika tanpa
kebaikan hati yang tulus dan kebijaksanaan mendalam, akan membuat kita
seperti anak kecil yang memegang pedang.

Jika di sekolah atau di dunia pendidikan modern, atau di tempat


kerja, kepintaran secara logika diberi nilai tinggi, tapi di jalan kesadaran
Atma [jalan mengenal diri] berlaku sebaliknya. Di jalan kesadaran Atma,
kepintaran secara logika adalah penghalang dan beban berat.

Itu sebabnya meditasi melatih kita untuk melampaui pikiran, perasaan


dan gagasan [kepintaran secara logika], dengan cara menjadi saksi. Pikiran
baik disaksikan, pikiran buruk juga disaksikan. Karena pikiran hanyalah
pikiran, bukan kenyataan diri kita yang sejati. Perasaan bahagia disaksikan,
perasaan sedih juga disaksikan. Karena perasaan hanyalah perasaan, bukan
kenyataan diri kita yang sejati.

Hanya jika kita mau tekun melaksanakan Catur Yoga dalam jangka
waktu panjang, barulah suatu saat kita akan bisa mengenal diri kita sendiri.
Menyadari bahwa kenyataan diri yang sejati adalah kesadaran Atma.
Kesadaran kosmik dan kecerdasan kosmik yang melampaui tubuh fisik,
pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan].

Sehingga sadari sejak awal bahwa tahap agama pramana, yaitu tahap
mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma melalui
membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma, atau
mendengarkan dharma wacana dari Guru, hanyalah sebatas alat bantu di
awal saja. Sama sekali bukan memahami secara mendalam, mencapai dan
mengalami tujuan itu sendiri.

Analoginya seperti orang yang bertahun-tahun pekerjaannya hanya


melihat, mempelajari, menganalisa dan mengutak-atik peta penunjuk jalan
Kota Denpasar. Tentu saja kedalaman pemahamannya akan jauh berbeda
dengan orang yang bertahun-tahun tinggal menetap di Kota Denpasar dan
tekun berkeliling untuk memahami seluk-beluk wilayahnya.

Mempelajari peta penunjuk jalan dari Sastra Guru [kitab-kitab suci,


ajaran-ajaran suci dharma] dan dari Satguru [ajaran suci dharma seorang
Satguru], tentu saja baik dan berguna, terutama di tahap baru belajar. Akan
tetapi jika kita mentok disana, kita mempelajari ajaran suci dharma hanya
sebatas kepintaran secara logika saja, kita hanya akan memahami
serangkaian kenyataan semesta secara dangkal dan sangat terbatas.

Kepintaran secara logika adalah titik terjauh dari pusat kedamaian


sejati dan kebijaksanaan terdalam, yaitu kesadaran Atma [Atma Jnana]. Jika
pengetahuan dharma mentok sebatas pada kepintaran secara logika saja,
kita masih tetap mudah tersinggung, mudah bersaing, mudah berdebat,
mudah menghakimi, mudah memvonis buruk orang lain, mudah menjelek-
jelekkan, mudah menyalahkan, mudah serakah, mudah tidak puas, mudah
melakukan kejahatan, dsb-nya.

Tidak ada perubahan berarti dalam tingkat dimensi kesadaran kita.


Tidak ada perubahan berarti dalam tingkat kebijaksanaan kita. Tidak ada
perubahan berarti dalam tingkat kecerdasan kosmik kita. Karena
pengetahuan dharma baru sebatas kepintaran secara logika saja, yang
sifatnya dangkal serta memiliki banyak sekali kelemahan dan kekurangan.
Ajaran suci dharma belum bisa menyatu dengan kesadaran kita. Kesadaran
kita masih tetap dicengkeram kuat oleh enam kegelapan pikiran dan ego.

Sastra Guru [kitab-kitab suci, ajaran-ajaran suci dharma] dan Satguru


[ajaran suci dharma seorang Satguru] membawa kita mulai bergerak
mendekat dengan kesadaran Atma, tetapi hanya sebatas sampai di depan
gerbang saja. Kepintaran secara logika hanya dapat membawa kita sebatas
sampai di depan gerbang saja. Hanya dengan cara tekun mempraktekkan
Catur Yoga barulah kita bisa masuk ke dalam.

Ketahuilah sejak awal bahwa intisari utama dari ajaran suci dharma,
yaitu kesadaran Atma, tidak pernah dapat dipelajari dengan kepintaran
secara logika. Kesadaran Atma tidak pernah dapat dipahami dan diketahui
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru. Kesadaran Atma dan
kenyataan semesta hanya dapat dipahami, diketahui dan dicapai secara
mendalam melalui praktek, melalui penembusan langsung secara sangat
mendalam ke dalam pikiran dan perasaan kita sendiri. Sehingga kita harus
melangkah ke tahap berikutnya, yaitu tahap anumana pramana.

Anumana pramana adalah tingkatan tahap menengah, yaitu tahap


praktek dan proses pemahaman mendalam. Tahap dimana para sadhaka
mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma tidak melalui
kepintaran secara logika, tapi melalui ketekunan melaksanakan praktek,
melalui penembusan langsung secara sangat mendalam ke dalam pikiran
dan perasaan kita sendiri.

Pahami dengan cara mempelajari teori, pahami dengan cara


melaksanakan dengan tekun, kemudian lihat dan pahami sebagai
pengalaman sendiri secara langsung, itulah langkah-langkah tri pramana
yang dilakukan oleh setiap sadhaka yang ingin mengenal diri dan
memahami kenyataan semesta secara luas dan mendalam.

Para sadhaka yang ingin memahami dan mengetahui ajaran suci


dharma secara mendalam, menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran, mencapai kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], serta
mencapai sumber terdalam dari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi
yaitu kesadaran Atma [Atma Jnana], tidak ada pilihan lain selain dia harus
tekun melaksanakan praktek Catur Yoga dalam jangka waktu panjang.
BAGIAN II. PERTANDA BAHWA PRAKTEK CATUR
YOGA SUDAH MULAI MEMBERIKAN HASIL

Ketika ajaran suci dharma sudah kita pelajari [tahap agama pramana],
tahap selanjutnya adalah mempraktekkannya secara tekun dalam jangka
waktu panjang [tahap anumana pramana]. Kemudian dari ketekunan
melaksanakan praktek inilah kemudian dapat mulai memberikan hasil. Hal
ini ditandai dengan munculnya 4 [empat] pertanda bahwa praktek Catur
Yoga sudah mulai memberikan hasil.

Tanpa ada kemunculan 4 [empat] pertanda ini, merupakan petunjuk


jelas bahwa pemahaman dharma dan pencapaian kesadaran kita belum
mendalam, masih sebatas kepintaran secara logika saja. Mungkin karena
praktek kita kurang tekun, atau kurang mendalam, atau jangka waktunya
belum lama kita lakukan. Sehingga ajaran suci dharma belum menyatu
dengan kesadaran kita.

Pertanda bahwa praktek Catur Yoga sudah mulai memberikan hasil,


yaitu sebagai berikut :

1. Mulai Munculnya Manah Shanti [Kedamaian Di Dalam Diri]

Perjalanan kehidupan kita tidak dapat lepas dari pengaruh garis


karma. Tidak peduli siapapun kita, orang suci orang jahat, orang miskin
orang kaya, rajin sembahyang tidak rajin sembahyang, siapapun dan
apapun kita, garis karma akan datang dengan tidak bisa dibendung.

Sehingga dalam kehidupan ini kita tidak hanya mengalami


pengalaman-pengalaman hidup yang bahagia. Tapi dalam kehidupan ini
kita juga memiliki masalah-masalah. Ada banyak sekali ragam dan jenis
masalah-masalah yang kita hadapi dalam perjalanan kehidupan.

Kita mengalami kesulitan di sekolah, kita mengalami masalah dalam


pekerjaan, kita mengalami kesulitan menghadapi orang tua dan keluarga,
kita mengalami kesulitan menemukan pasangan hidup yang tepat, kita
mengalami kesulitan dalam membina hubungan harmonis dengan
pasangan hidup [suami atau istri], kita mengalami kesulitan mengatasi
kenakalan anak-anak, kita mengalami masalah keuangan, kita merasa tidak
aman dengan hidup kita, kita mengalami perasaan gelisah dan terasing,
kita mengalami kesulitan dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Jika kita
masih berusia muda, kita mengalami kesulitan dalam menentukan
bagaimana menata hidup, bagaimana mempersiapkan masa depan, dsb-
nya. Jika kita sudah berusia tua, kita mengalami masalah menghadapi
penyakit, menghadapi badan fisik yang mengalami kerapuhan, dsb-nya.

Salah satu tujuan ketekunan melaksanakan praktek Catur Yoga,


adalah untuk membantu kita agar kita dapat menghadapi masalah-masalah
kehidupan secara lebih baik, lebih positif, lebih tabah, lebih damai, lebih
tahan menderita, serta lebih penuh belas kasih dan kebaikan. Sehingga
tidak saja di dalam diri kita damai, tapi kita juga dapat menjadi sumber
kedamaian dan pertolongan terbaik bagi semua mahluk.

Jika secara garis karma masalah dan kesulitan dalam perjalanan


kehidupan sudah saatnya harus datang, maka itu akan datang dengan tidak
bisa dibendung. Bedanya adalah jika orang awam dicengkeram oleh rasa
sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya, para sadhaka yang
sudah tekun melaksanakan praktek Catur Yoga kesadarannya tidak lagi
dapat dicengkeram oleh rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau,
dsb-nya, tersebut.

Sesungguhnya kedamaian sejati selalu hadir di dalam diri, setiap saat,


setiap detik, pada sepanjang perjalanan kehidupan kita. Tapi cengkeraman
kuat enam kegelapan pikiran dan ego pada kesadaran, membuat kita tidak
dapat menyadarinya.

Biasanya di tahun-tahun awal ketika kita mulai tekun melaksanakan


praktek Catur Yoga, mungkin saja akan terasa sangat tidak enak, serta tidak
menyenangkan, karena kegelapan pikiran dan ego kita akan seringkali
dihantam habis oleh rasa sakit. Akan tetapi walaupun di permukaan seperti
penuh dengan beban berat, tapi di kedalaman yang terdalam, ketekunan
melaksanakan praktek Catur Yoga membuat kita membangkitkan kekuatan
kesadaran Atma yang mahasuci di dalam diri. Perlahan-lahan enam
kegelapan pikiran dan ego di dalam diri dikikis habis oleh ketekunan
melaksanakan praktek Catur Yoga.

Cengkeraman kegelapan pikiran seperti kemarahan, iri hati,


kegelisahan, kesombongan, keserakahan, iri hati, dsb-nya, akan semakin
longgar dari kesadaran kita. Ketekunan melaksanakan praktek Catur Yoga
akan mendamaikan pikiran dan menjernihkan kesadaran. Memberikan kita
kesabaran, ketabahan dan ketenangan di dalam menghadapi kesengsaraan,
masalah dan kesulitan dalam perjalanan kehidupan.

Artinya rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya,
tersebut masih tetap muncul sebagai bagian utuh dari diri kita. Tapi para
sadhaka yang sudah tekun melaksanakan praktek Catur Yoga,
kesadarannya tidak lagi dapat dicengkeram oleh rasa sedih, rasa marah,
rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya. Karena kesadaran sudah seluas ruang
tidak terhingga, rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya,
tersebut itu tidak lagi menimbulkan kesengsaraan. Perasaan itu datang,
muncul beberapa saat dan kemudian berlalu. Sehingga sang sadhaka hanya
tersenyum damai, sekaligus dapat bersikap penuh belas kasih secara
sempurna kepada rasa sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.

Kita dapat menyadari secara mendalam bahwa segala kejadian-


kejadian dalam hidup sesungguhnya tidak membawa kebahagiaan-
kesengsaraan, kebaikan-keburukan, kebenaran-kesalahan, kesucian-
kegelapan, dsb-nya. Semuanya hanya merupakan hasil dari cengkeraman
dualitas pikiran, kegelapan pikiran dan ego kita sendiri. Di dalam diri yang
terdalam tersedia kedamaian sejati yang berkelimpahan.

Inilah manah shanti [kedamaian sejati di dalam diri]. Kita dapat


tersenyum damai kepada rasa sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.
Kita dapat tersenyum damai pada setiap kemungkinan dalam perjalanan
hidup, pada setiap keadaan. Sehingga apapun yang terjadi akan menjadi
karma-karma kehidupan yang mengalir saja. Di dalam diri kita kejernihan
dan kedamaian selalu hadir.

2. Mulai Munculnya Keterhubungan Kosmik

Umumnya kita pasti pernah mendengar mahavakya [slogan dharma


yang agung] yang sangat terkenal dari buku suci Chandogya Upanishad
yaitu “tat twam asi”. Arti sebenarnya dari tat twam asi dalam bahasa
sansekerta adalah “engkau adalah itu" [semua hal, semua keberadaan]. Apa
yang ingin disampaikan dalam mahavakya ini adalah mengenai Moksha,
mengenai kemanunggalan kosmik antara Atman dengan Brahman.

Tapi bagi sebagian besar masyarakat, umumnya ajaran tentang


kemanunggalan kosmik sangat sulit dimengerti. Hal ini wajar karena ajaran
ini sangat dalam, tidak akan pernah bisa dimengerti melalui sebatas
membaca buku-buku suci, atau sebatas mendengarkan dharma wacana
dari Guru. Kemanunggalan kosmik hanya bisa dimengerti melalui
pengalaman langsung [pratyaksa pramana], melalui ketekunan praktek
sadhana dan meditasi selama bertahun-tahun. Tidak melalui bacaan atau
mendengar ajaran dharma, tapi melalui praktek Catur Yoga, secara
langsung mengarah sangat dalam kepada pikiran-perasaan, ego dan
kesadaran diri sendiri.

Sehingga bagi masyarakat luas tatarannya perlu diturunkan agar


semua orang bisa mengerti. Sehingga tat twam asi kemudian juga
diterjemahkan sebagai “engkau adalah aku, aku adalah engkau”. Ini berarti
dari kemanunggalan kosmik kemudian tatarannya diturunkan menjadi
keterhubungan kosmik.

Ketekunan dan ketulusan untuk terus tekun melaksanakan praktek


Catur Yoga kemudian akan meredakan cengkeraman enam kegelapan
pikiran [sad ripu] dan ego [ahamkara] dalam kesadaran kita. Sehingga kita
dapat mengatasi rasa sakit, marah, sedih, kecewa, dsb-nya, di dalam diri,
dengan ketenangan, kedamaian dan kebebasan. Ketika enam kegelapan
pikiran dan ego mereda, dari garbha-nya kemudian melahirkan
keterhubungan kosmik yang mendalam.

Pertanda seorang sadhaka sudah mulai mencapai tingkat kesadaran


keterhubungan kosmik ditandai dengan adanya pertanda dalam dan
pertanda luar. Adanya pertanda dalam dan pertanda luar di dalam diri kita
inilah merupakan ciri-ciri mulai adanya keterhubungan kosmik.

1. Pertanda Dalam.

Pertanda dalam adalah kita tidak tertarik menyakiti orang lain, tidak
tertarik menjelek-jelekkan orang lain, tidak tertarik membenci orang lain,
tidak tertarik menghakimi orang lain, tidak tertarik mencela dan mengkritik
orang lain, tidak tertarik bersaing dengan orang lain, tidak tertarik menjahili
orang lain, tidak tertarik memanfaatkan orang lain, tidak tertarik merugikan
orang lain, tidak tertarik korupsi, tidak tertarik selingkuh, tidak tertarik
melakukan kejahatan, dsb-nya.

Selain itu kita dapat berdamai sempurna dengan garis karma kita
sendiri. Kaya kita damai, miskin kita juga damai. Ganteng atau cantik kita
damai, jelek kita juga damai. Sehat kita damai, sakit kita juga damai. Dipuji
kita damai, dicaci-maki kita juga damai. Dsb-nya.
2. Pertanda Luar.

Pertanda luar adalah kita selalu tergerak untuk menolong dan


membantu orang lain dan mahluk lain, penuh belas kasih dan kebaikan
kepada semua, tidak mementingkan diri sendiri, serta penuh pengertian
dan belas kasih kepada kesengsaraan dan kegelapan orang lain.

3. Mulai Bangkitnya Empat Sifat Luhur

Selain itu, setiap sadhaka yang dalam jangka waktu panjang


bertahun-tahun tekun melaksanakan praktek Catur Yoga, akan mencapai
kekokohan pada 4 [empat] landasan kekuatan kesadaran yang disebut
sebagai Catur Paramita [empat sifat luhur], yaitu :

1. Maitri - memberikan kebahagiaan bagi mahluk lain.

2. Karuna - mengorbankan diri bagi kebahagiaan mahluk lain.

3. Mudita - bahagia melihat mahluk lain bahagia.

4. Upeksha - pikiran-perasaan yang tenang-seimbang.

Kita bahkan dapat tersenyum bahagia melihat orang-orang yang


melukai dan menyakiti kita mengalami kebahagiaan. Kita bisa tersenyum
tanpa rasa iri dan sentimen ketika orang yang dulu membully kita sukses
menjadi pengusaha. Kita bisa tersenyum tanpa rasa iri dan sentimen ketika
mantan pacar yang dulu menyelingkuhi kita memiliki keluarga bahagia. Kita
bisa tersenyum tanpa rasa iri dan sentimen ketika orang yang dulu nyontek
saat sekolah memiliki gelar akademis yang lebih tinggi dari kita. Karena
dengan tiadanya cengkeraman rasa iri dan sentimen [matsarya] dalam
kesadaran, sekaligus kita dapat tetap bersikap penuh belas kasih dan
kebaikan, itulah sebagian pertanda kesadaran Atma mulai bercahaya.
Serta sang sadhaka akan dapat memahami, mengetahui dan
mengalami sendiri secara langsung bahwa kesedihan, kesengsaraan,
ketakutan, kebingungan, kegelisahan dan kebodohan [avidya] hanyalah
akibat dari pikiran yang masih dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran
dan ego.

Disini kita mulai dapat memahami secara langsung dan secara


mendalam, bahwa sesungguhnya menapaki jalan spiritual itu adalah untuk
menjadi baik hati, menjadi rendah hati, menjadi sangat sabar, menjadi
mudah memaafkan, menjadi mudah merelakan, menjadi bebas dari
penghakiman, menjadi penuh pengertian, dsb-nya.

Karena ukuran utama kemajuan spiritual yang sesungguhnya adalah


membesarnya sifat belas kasih dan kebaikan, mengecilnya ego, meredanya
kegelapan pikiran, meredanya dualitas pikiran dan membesarnya
kebijaksanaan. Singkatnya kita mulai memahami secara langsung dan
secara mendalam, bahwa sesungguhnya menapaki jalan spiritual itu adalah
untuk membangunkan semua sifat-sifat luhur, terang dan mulia di dalam
diri kita.

4. Meningkatnya Kecerdasan Spiritual Dan Perubahan Guru

Jika para sadhaka tingkat pemula [baru belajar] belum beranjak dari
tahap agama pramana, sehingga masih amat sangat tergantung kepada
Sastra Guru [kitab-kitab suci] atau Satguru [dharma wacana dan tafsiran
kitab suci dari seorang Guru]. Para sadhaka yang sudah melangkah jauh
memasuki tahap anumana pramana [tekun melaksanakan praktek Catur
Yoga], mulai dapat melangkah jauh lebih maju ke depan, mulai dapat
belajar kepada Jagad Guru [alam semesta sebagai Guru] dan Anthra Guru
[Guru di dalam diri].

Karena jika dalam jangka waktu panjang bertahun-tahun kita tekun


melaksanakan praktek Catur Yoga, sebagai hasilnya adalah meningkatnya
kecerdasan spiritual secara sangat pesat. Dari sini kita akan menemukan
dan menyadari bahwa alam semesta dan diri kita sendiri sebenarnya adalah
sebuah perpustakaan agung ajaran suci dharma. Kita akan menyadari
bahwa pada alam semesta dan di dalam diri kita sendiri terdapat sangat
berlimpah pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam. Sehingga kita tidak
saja akan dapat memahami kitab-kitab suci dan dharma wacana dari
seorang Guru secara jauh lebih luas dan mendalam [tidak dangkal dan
sempit], tapi kita juga mulai dapat belajar kepada Jagad Guru [alam
semesta sebagai Guru] dan Anthra Guru [Guru di dalam diri].

Di tahap ini kita mulai dapat membaca alam semesta [bhuwana


agung], melihat kebenaran kosmik di balik alam semesta, untuk kemudian
menjalani kehidupan selaras dengan hukum dan prinsip-prinsip alam
semesta.

Di tahap ini kita juga mulai dapat membaca diri sendiri [bhuwana alit],
melihat kebenaran kosmik di dalam diri kita sendiri, untuk kemudian
mengenal kenyataan diri sejati secara lebih mendalam.

Inilah tahap pencapaian spiritual yang disebut oleh leluhur kita di Bali
sebagai "agama tanpa sastra" [agama tanpa buku suci] atau "lontar tanpa
tulis" [buku suci yang tidak berisi tulisan]. Karena ajaran suci dharma yang
dipelajari tidak lagi berupa buku-buku yang berisi tulisan, melainkan sudah
dapat melihat dan membaca ajaran suci dharma tidak tertulis yang terdapat
berlimpah di alam semesta dan di dalam diri kita sendiri.

Sebagai hasilnya setiap gerak tindakan kita dapat menyatu selaras


dengan putaran alam dan kita dapat mengalami keterhubungan kosmik
dengan semua mahluk. Serta sekaligus membuat kita dapat memahami isi
kitab-kitab suci dan ajaran suci dharma secara jauh lebih mendalam [tidak
sempit dan dangkal].

Melalui ketekunan melaksanakan Catur Yoga, di dalam diri kita mulai


berkembang kecerdasan spiritual, kebijaksanaan, kejernihan dan kesadaran
yang lebih mendalam. Sehingga segala pemahaman ajaran suci dharma
yang telah kita peroleh dapat menjadi lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Segala kekuatan suci yang telah terbangun oleh ketekunan kita
melaksanakan Catur Yoga dapat bertumbuh lebih kuat dan lebih kuat lagi.
Yang perlahan-lahan tapi pasti akan terus melonggarkan cengkeraman sad
ripu dan ahamkara dari kesadaran kita, sehingga kita dapat menjadi sumber
kedamaian dan pertolongan terbaik bagi diri sendiri dan semua mahluk.

Tentu saja ini akan menjadi perjalanan spiritual yang panjang. Dalam
prosesnya akan ada siklus naik-turun, kadang-kadang kita melakukan
kesalahan, kadang-kadang kita terjerembab dalam kebingungan. Hal itu
sangat wajar dan manusiawi. Yang terpenting adalah kita tetap memiliki
niat yang kuat, ketekunan dan konsistensi, sehingga secara pasti kita sudah
mengarahkan diri ke arah yang benar dan sangat terang.

Teruskan, teruskan dan teruskanlah dengan tekun praktek Catur Yoga.


Kelak dari garbha-nya suatu saat akan menghasilkan pencapaian kesadaran
Atma [Atma Jnana].
TAHAP 3. PRATYAKSA PRAMANA

TAHAP HASIL – Tahap Memahami Ajaran Dharma Melalui Mengalami


Sendiri Secara Langsung

Para sadhaka setelah melewati tahap memahami ajaran suci dharma


dengan cara mempelajari teori [agama pramana], selanjutnya dia memasuki
tahap memahami ajaran suci dharma dengan cara melaksanakan Catur
Yoga dengan tekun selama bertahun-tahun [anumana pramana].

Jika praktek meditasi kita sudah mendalam, kemudian menyatu


dengan pikiran-perasaan yang jernih tenang-seimbang sebagai hasil dari
meredanya cengkeraman enam kegelapan pikiran dan ego, serta menyatu
dengan akumulasi karma baik yang berlimpah, maka disana barulah sangat
terbuka kemungkinan tercapainya kesadaran Atma.

Hanya masalah waktu sang sadhaka akan mencapai tahap pratyaksa


pramana, yaitu tahap mengetahui, mengalami dan mencapai kesadaran
Atma dan kenyataan semesta dengan cara mengalami sendiri secara
langsung.

Perjalanan spiritual yang sesungguhnya adalah perjalanan mengenal


diri. Sebelum tekun mempraktekkan Catur Yoga dalam jangka waktu
panjang, kita semua menyangka bahwa tubuh fisik, pikiran, perasaan dan
kepintaran secara logika [gagasan] adalah diri kita. Itu sebabnya sebagian
manusia secara menyedihkan berusaha habis-habisan untuk
melindunginya.
Jika suatu saat kita berhasil mencapai kesadaran Atma, keheningan
yang dilimpahi oleh belas kasih dan kebaikan tidak terbatas, pada titik
kesadaran tersebut kita akan menyadari bahwa sesungguhnya manusia
adalah Tuhan [Brahman/Atman] yang dibungkus oleh beberapa lapisan.
Tubuh fisik, pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan]
merupakan lapisan-lapisan pembungkusnya. Lem perekat lapisan-lapisan
pembungkus tersebut adalah sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan
ahamkara [ego, ke-aku-an].

Dengan ketekunan mempraktekkan Catur Yoga dalam jangka waktu


panjang, lem perekat lapisan-lapisan pembungkus tersebut [yaitu enam
kegelapan pikiran dan ego] akan semakin kehilangan cengkeramannya
pada kesadaran. Kehilangan kekuatan pelekatnya pada kesadaran. Ketika
semua lapisan-lapisan pembungkus tersebut terlepas, disanalah kita
mencapai bagian terdalam dari diri kita yang suci.

Tercapainya kesadaran Atma, keheningan yang dilimpahi oleh belas


kasih dan kebaikan tidak terbatas. Mengetahui, mengalami dan mencapai
kesadaran Atma sebagai mengalami sendiri secara langsung.

Bagi orang awam, kebahagiaan adalah terpenuhinya keinginan,


harapan atau ambisi mereka. Bagi sadhaka yang kesadaran Atma-nya sudah
bercahaya, kebahagiaan datang dari perbuatan atau perkataan yang
menyelamatkan, membantu, atau membahagiakan mahluk lain. Bagi
sadhaka yang kesadaran Atma-nya sudah kembali sempurna, kebahagiaan
adalah mengalami sendiri secara langsung [pratyaksa pramana] bahwa
kenyataan diri yang sejati adalah keheningan yang dilimpahi oleh belas
kasih dan kebaikan tidak terbatas.

Dalam kedalaman keheningan yang dilimpahi oleh belas kasih dan


kebaikan tidak terbatas, kita akan menyadari sebagai pengalaman langsung
bahwa diri kita dan semua mahluk adalah laksana gelombang-gelombang
ombak yang berbeda-beda di samudera yang sama. Di permukaan
samudera, gelombang ombak banyak sekali memiliki identitas dan
perbedaan. Ada gelombang yang besar, ada yang kecil, ada yang panjang,
ada yang pendek, ada yang berbuih, dsb-nya, banyak sekali perbedaannya.
Tapi di kedalaman samudera, semua sekat-sekat perbedaan, nama dan
identitas lenyap. Yang ada hanya samudera luas tidak terbatas. Dalam
kedalaman keheningan kita tersadarkan bahwa kenyataan sejati kita adalah
samudera. Inilah yang dimaksud dengan penyatuan kosmik antara Atman
dengan Brahman [Moksha].

Selain itu, dengan menyadari kembali kenyataan sejati Atma, kita


akan memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang
terdalam. Kesadaran seperti ini memberikan kita kesempatan untuk
memahami kenyataan diri sendiri dan pengetahuan rahasia yang tertinggi,
pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak
berawal. Di kedalaman kesadaran kita akan menemukan ada kecerdasan
kosmik dan kebijaksanaan tidak terhingga di dalam diri. Rasa iri hati,
sentimen, marah, benci, dendam, tidak puas, serakah, sombong, bingung,
gelisah dan sifat mementingkan diri sendiri adalah tumpukan-tumpukan
lumpur yang menutupi kecerdasan kosmik dan kebijaksanaan tidak
terhingga, sehingga kita gagal mengetahuinya.

Kita akan sepenuhnya menyadari bahwa kitab-kitab suci dan ajaran


suci dharma yang ada "diluar" hanyalah sebatas alat bantu di tahap-tahap
awal saja. Karena sesungguhnya "di dalam" diri kita sendiri adalah kitab suci
yang hidup dan berjalan. Inilah tahap pencapaian spiritual yang disebut
oleh leluhur kita di Bali sebagai "dharma sunia" [ajaran suci dharma yang
ditemukan di kedalaman keheningan].

Tapi sekali lagi [sangat penting untuk ditekankan] kita tidak akan
pernah bisa mengetahui, mengenali dan mencapai semua kebenaran
kosmik ini hanya sebatas dengan menggunakan kepintaran secara logika
saja. Kita baru bisa mengetahui, mengenali dan mengalami sendiri
kenyataan kosmik ini jika kita menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran. Caranya adalah kita benar-benar tekun dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun mempraktekkan Catur Yoga.

Semoga kita semua memiliki niat yang kuat, ketekunan dan


konsistensi dalam melaksanakan praktek Catur Yoga [upaya menyatukan
ajaran suci dharma dengan kesadaran]. Semoga perlahan-lahan kita dapat
melonggarkan cengkeraman sad ripu dan ahamkara dari kesadaran kita,
sehingga kita dapat menjadi sumber kedamaian dan pertolongan terbaik
bagi semua mahluk. Semoga segala kekuatan suci yang telah terbangun
dari ketekunan kita melaksanakan Catur Yoga dapat bertumbuh lebih kuat
dan lebih kuat lagi. Semoga semua pemahaman dharma, semua
pemahaman tentang diri, serta semua pemahaman tentang kenyataan
semesta yang telah kita peroleh, dapat menjadi lebih dalam dan lebih
dalam lagi.

Semoga perjalanan semua mahluk milyaran tahun dalam siklus


samsara dapat berakhir di tempat yang sangat terang dan mahasuci.

Om shanti shanti shanti !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :

tattwahindudharma.blogspot.com

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :

facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan


penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah


Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebajikan yang


bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebajikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran


dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.


2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Matur suksma, dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami !


TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari kakeknya,
Pan Siki, seorang balian usadha dari Br. Tegallinggah
Kota Denpasar.

Akan tetapi dia sendiri baru memulai menapaki jalur


spiritual pada tahun 2002, pada usia 26 tahun. Pada
saat yang bersamaan, pekerjaannya sebagai
Produser Program acara Ista Dewata di Bali TV,
sebuah acara liputan khusus pura, memberinya kesempatan untuk melakukan
perjalanan ke berbagai pura, mendalami kekayaan spiritual Hindu Bali, serta
bertemu dengan para Jro Mangku dan beragam praktisi spiritual. Walaupun dia
sudah mengundurkan diri dari Bali TV di tahun 2003, pengalaman ini tetaplah
kelak menjadi bagian dari dasar-dasar spiritualnya.

Pertemuan dengan guru pertama-nya di tahun 2007 dan pertemuan dengan guru
kedua-nya beberapa tahun setelahnya, kemudian membawa perubahan besar,
dimana dia mulai memberikan komitmen menyeluruh kepada spiritualisme. Dia
juga mulai banyak melakukan tirthayatra penjelajahan ke berbagai pura-pura
pathirtan kuno, sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.

Inspirasi dharma yang didapatnya dari perjalanan tirthayatra ke pura-pura


pathirtan kuno, dikombinasikan dengan ajaran-ajaran dari kedua gurunya, praktek
meditasi, membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan
banyak satguru dan yogi, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.

Anda mungkin juga menyukai