20 November 2015
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Tahap-tahap perjalanan spiritual dharma sebagai perjalanan untuk
menyatukan ajaran suci dharma dengan kesadaran, untuk mencapai
kedamaian sejati di dalam diri [manah shanti], untuk mencapai sumber
terdalam dari pengetahuan, kebijaksanaan dan kesadaran tertinggi yaitu
kesadaran Atma [Atma Jnana], serta untuk terbebaskan dari siklus samsara,
di dalam ajaran suci dharma disebut dengan Tri Pramana. Yaitu :
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hendaknya ada saatnya kita dapat
mengatakan cukup kepada tindakan mengumpulkan, mempelajari,
menganalisa dan mengutak-atik ajaran suci dharma dengan menggunakan
kepintaran secara logika. Selanjutnya kita harus tekun melaksanakan
praktek sadhana [upaya spiritual] yang disampaikan, dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun. Sampai kemudian kelak kita bisa mendapatkan
hasilnya sebagai mengalami sendiri secara langsung.
TAHAP 1. AGAMA PRAMANA
Agama pramana adalah tingkatan tahap paling awal. Tahap bagi para
sadhaka pemula yang baru belajar. Yaitu tahap teori, dimana kita
mempelajari pengetahuan, panduan, metode dan tehnik spiritual dharma
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru.
Kenyataan hidup pertama adalah bahwa dalam hidup itu kita pernah
mengalami banyak kebahagiaan.
Misalnya saat ini segala hal berjalan baik sesuai harapan kita, disana
kita merasa bahagia. Tapi sayang sekali bahwa hal itu tidak mungkin abadi
selamanya. Di waktu berikutnya kemudian akan muncul masalah-masalah
yang membuat beberapa hal berjalan buruk. Ketika itu terjadi kita menjadi
cemas atau marah.
Saat ini ada orang yang memberikan kita pujian dan sanjungan, atau
sangat menghormati kita, kita merasa puas dan bahagia. Tapi sayang sekali
bahwa tidak mungkin semua orang akan bersikap sama. Di waktu
berikutnya kita bertemu orang yang mencela, menghina, mengkritik, atau
bahkan mencaci-maki dan menghujat kita. Ketika itu terjadi kita menjadi
kecewa atau marah.
Atau mungkin saat ini kita bisa membeli handphone baru, tentu saja
kita merasa sangat senang. Tapi di waktu berikutnya handphone itu
bermasalah, atau rusak, atau kita kehilangan handphone itu. Ketika itu
terjadi kita menjadi tidak puas, galau atau marah.
Selain itu, sifat kebahagiaan itu juga tidak pernah benar-benar dapat
memberikan kita suatu titik kepuasan yang abadi. Selalu hanya
menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan yang hanya bersifat sementara
saja, kemudian kita ingin dan ingin lagi. Di waktu berikutnya kemudian, kita
selalu kehilangan rasa bahagia dan puas tersebut.
Misalnya saat ini kita bisa membeli sepeda motor baru, tentu kita
merasa sangat senang. Tapi suatu saat nanti kita merasa bosan dengan
sepeda motor baru itu, atau kita lagi-lagi ingin membeli sepeda motor baru
yang lebih bagus lagi. Kita kembali merasa tidak puas dan tidak bahagia.
Kebahagiaan membeli sepeda motor baru itu tidak dapat memuaskan kita
selamanya.
Atau mungkin saat ini kita bisa jalan-jalan ke tempat rekreasi atau ke
tempat berlibur lainnya, disana kita merasa bahagia. Tapi di waktu
berikutnya kemudian kita harus pulang ke rumah dan kembali bergelut
dengan tugas-tugas kita beserta semua masalahnya. Ketika itu terjadi kita
kembali menjadi tidak puas dan gelisah. Kebahagiaan rekreasi jalan-jalan
itu tidak dapat memuaskan kita selamanya.
Kita bahagia saat bisa membeli sepeda motor baru, kita bahagia saat
bisa rekreasi jalan-jalan, kita bahagia saat bisa pergi ke restoran, dsb-nya,
tapi itu tidak dapat bertahan selamanya. Semua kebahagiaan itu tidak
dapat memberikan kita titik kebahagiaan dan kepuasan yang abadi. Suatu
saat kita kembali merasa tidak bahagia karena keinginan-keinginan seperti
kembali muncul lagi dan kembali muncul lagi.
Semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin sengsara.
Akan tetapi semua usaha-usaha yang kita lakukan untuk meraih
kebahagiaan tidak pernah ada akhirnya. Semua kebahagiaan yang kita raih
tidak dapat bertahan selamanya, tidak ada kepastian tentang apa yang
akan terjadi setelahnya, serta tidak dapat memberikan kita suatu titik
kepuasan dan kebahagiaan yang bertahan abadi.
Semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin sengsara.
Akan tetapi, semua orang, siapapun, di dalam kehidupan ini pasti akan
pernah mengalami berbagai pengalaman sulit, masalah dan kesengsaraan.
Kita pasti akan pernah mengalami kesengsaraan, ketidakbahagiaan dan
rasa sakit, dalam berbagai bentuknya, dalam berbagai jenisnya, serta
berbagai tingkat kesulitannya.
1]. Kesadaran kita dicengkeram oleh enam kegelapan pikiran [sad ripu].
Sad ripu terdiri dari matsarya [iri hati, dengki, sentimen], kroda
[marah, benci, dendam], kama [terikat dengan hawa nafsu, terikat dengan
keinginan], lobha [keserakahan, ketidakpuasan], mada [kesombongan,
kemabukan terhadap pencapaian] dan moha [kebingungan, kegelisahan,
ketakutan, kesedihan yang terlalu dalam]. Dimana semua cengkeraman sad
ripu tersebut, akan membenamkan kita semakin dalam pada masalah
kehidupan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan.
Hal ini akan menguatkan ego bahwa diri kita adalah pusat alam
semesta, bahwa diri kita adalah yang paling penting di alam semesta, serta
bahwa tidak ada masalah orang lain yang penting atau dapat menyakiti
mereka. Semakin kuat ego mencengkeram maka semakin kuat jugalah
kegelapan pikiran. Ini merupakan beban berat bagi kesadaran dan
kedamaian di dalam diri akan terus menjauh.
Ini bahkan terjadi tidak hanya sebatas dalam kehidupan duniawi saja,
tapi di jalan spiritual juga terdapat banyak jebakan sad ripu dan ahamkara
[ego, ke-aku-an] yang tidak disadari. Di dunia spiritual ada banyak pencinta
kebaikan yang sangat bermusuhan dengan kegelapan. Sebagai akibatnya
niat kebaikan yang luhur dan mulia tidak berujung pada kesadaran yang
terang. Tapi malah sebaliknya, niat kebaikan membuat kesadaran
seseorang jadi demikian kotor karena kesombongan atau kebencian.
Kenyataan hidup ketiga adalah bahwa dalam hidup itu kita juga
pernah merasa bosan, hampa, hambar, datar, atau tanpa tujuan. Dalam
kegiatan rutin yang kita lakukan, tiba-tiba kita merasa hampa dan terasing
dengan kehidupan kita sendiri.
Kenyataan hidup keempat adalah bahwa suatu saat kita semua pasti
akan mati. Orang suci orang jahat, orang miskin orang kaya, rajin
sembahyang tidak rajin sembahyang, siapapun dan apapun kita, semuanya
pasti akan mati.
Para Satguru dan sadhaka yang wikan, yang mata spiritualnya terbuka
mengetahui, bahwa di jaman ini ada banyak sekali manusia-manusia yang
hidupnya tersesat. Maraknya terjadi bunuh diri, banyaknya pengguna
narkoba, korupsi yang terjadi dimana-mana, banyaknya perselingkuhan,
dsb-nya, adalah sebagian kecil pertanda banyaknya manusia-manusia yang
tersesat.
Lebih dalam dari itu, mereka yang mata spiritualnya terbuka
mengetahui, bahwa banyak sekali manusia di jaman ini yang setelah
meninggal harus jatuh ke alam-alam bawah [menjadi bhuta cuil, wong
samar, memedi, gregek tunggek, dsb-nya], atau terlahir kembali sebagai
binatang. Dan setelah terlahir di sana, tidak saja akan mengalami
kesengsaraan yang sangat berat, tapi juga sangat sulit untuk bisa naik
menjadi manusia kembali.
1. Bunuh Diri.
Bunuh diri merupakan cara kematian yang sangat buruk dan paling
buruk. Karena tanpa melewati proses apapun Atma akan langsung
meluncur memasuki alam-alam bawah yang penuh kesengsaraan. Sehingga
seberat apapun kehidupan ini terasa, jangan pernah sedikitpun terpikir
untuk melakukan bunuh diri. Karena setelah mati kita justru akan
mengalami kesengsaraan yang jauh lebih berat, keras dan gelap
dibandingkan dengan kesengsaraan apapun selama masa kehidupan
manusia.
Pikiran yang tidak kuat [mudah kena pengaruh tidak baik dari orang
lain], mudah terguncang [emosional, seperti mudah marah, sedih, atau
takut] dan tidak stabil [gampang stres, depresi], merupakan hasil dari
rangkaian karma-karma buruk yang panjang antar kehidupan. Orang yang
di kehidupan-kehidupan sebelumnya sering mengkonsumsi minuman atau
makanan yang melemahkan kesadaran [seperti minuman keras, narkoba,
dsb-nya], maka di kehidupan berikutnya cenderung memiliki pikiran yang
tidak kuat, mudah terguncang dan tidak stabil. Ini merupakan salah satu
sebab mengapa ajaran dharma menyarankan kita untuk tidak
mengkonsumsi minuman keras, narkoba, dsb-nya. Karena tidak saja akan
menciptakan hambatan-hambatan bagi energi spiritual kita, tapi sekaligus
juga akan memberikan masalah besar di kehidupan kita berikutnya.
Akan tetapi, jika selama masa kehidupan ini kita jarang melakukan
kejahatan, kesadaran kita jarang tercengkeram enam kegelapan pikiran,
serta memiliki akumulasi karma baik yang berlimpah, maka sekalipun kita
mengalami kematian dengan cara yang mengerikan, ada kemungkinan kita
masih akan dapat terselamatkan.
Akan tetapi hal ini baru bisa kita lakukan jika semasa kehidupan kita
sudah tekun membangun energi kebiasaan yang mendukung. Karena di
alam kematian kita akan mengalami kesulitan di dalam menyatukan pikiran.
Saat kematian kita sepenuhnya meninggalkan badan fisik [sthula sarira],
dimana dengan tidak adanya lagi badan fisik sebagai pengatur dan
penghalang pikiran, maka badan pikiran [sukshma sarira] akan bergerak
sesuai dengan energi kebiasaan kita sendiri.
Tapi jika kita menggalinya lebih dalam lagi, kita akan menemukan
bahwa semua itu tidak muncul dari faktor-faktor luar. Semua
ketidakpuasan, kesengsaraan, rasa sakit dan rasa hampa itu datangnya dari
dalam diri kita sendiri. Bagaimana kesadaran kita dicengkeram oleh
berbagai pikiran-perasaan yang muncul. Bagaimana kesadaran kita
dicengkeram oleh sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan ahamkara [ego].
Itulah masalah sesungguhnya.
Bukan hanya sekedar masalah "aku ingin HP baru", atau "aku ingin
rekreasi jalan-jalan", atau “aku tidak punya pekerjaan”, atau “aku dicaci-
maki orang”, atau “mertuaku membenciku”, atau "aku punya masalah yang
sangat berat", atau "aku merasa bosan dan hampa", dsb-nya. Sangat
penting untuk menyadari bahwa kita bicara tentang seluruh eksistensi
keberadaan kita milyaran tahun dalam siklus samsara. Bukan hanya sekadar
masalah-masalah kehidupan yang sementara, yang datang dan pergi,
datang dan pergi.
1. Karma Yoga
Menapaki jalan dharma tidak berarti kita harus menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi. Misalnya mengurung diri di sebuah gua meditasi yang
sepi, atau terus melakukan tirtayatra dari satu parahyangan suci ke
parahyangan suci lainnya, atau tinggal menetap di sebuah pesraman, dsb-
nya, yang dilakukan untuk lari dari urusan-urusan kehidupan
duniawi. Melarikan diri dari urusan kehidupan duniawi bukan maksud
tujuan dari ajaran dharma. Ketika kita pergi ke sebuah gua meditasi yang
sepi, atau sering melakukan tirtayatra, atau tinggal di sebuah pesraman,
dsb-nya, hendaknya itu menjadi masa penjernihan yang bersifat sementara
waktu saja. Kita melakukan itu dengan tujuan untuk menghimpun kekuatan
kejernihan dan ketenangan, yang nantinya sangat kita perlukan dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan duniawi. Sasaran utamanya
adalah perjalanan hidup kita sendiri.
Seringkali terjadi segala pelayanan apa yang sudah kita lakukan cepat
sekali dilupakan, tetap yang terus diingat orang adalah apa yang mereka
anggap sebagai kekurangan atau kesalahan kita. Analoginya jalan
pelayanan dapat membuat kita bernasib seperti keset, sudah diinjak-injak
orang kemudian tahi dan kotorannya disisakan untuk kita. Tapi jika kita
dapat menerimanya dengan rela, tenang, damai dan tetap tulus melakukan
pelayanan, itulah jalan menuju ke dalam diri yang bercahaya.
Banyak orang yang menunggu ini dan itu agar bisa damai dan
bahagia. Ada yang menunggu jam pulang kerja, ada yang menunggu
atasan dimutasi, ada yang menunggu masa liburan dan rekreasi, ada yang
menunggu agar anak-anak besar, ada yang menunggu agar sukses dan
kaya, dsb-nya. Para sadhaka di jalan dharma hendaknya tidak menunggu ini
dan itu agar bisa damai. Belajarlah menjadi damai dan bahagia di setiap
gerak langkah kehidupan, dengan cara tersenyum dan menyatu damai
dengan apapun yang sedang kita lakukan. Salah satu aspek jalan kesadaran
adalah membiasakan diri. Dengan membiasakan diri menyatu damai
dengan apapun kegiatan kita, kedamaian tidak menjadi suatu tujuan yang
jauh disana, melainkan setiap gerak langkah kita menjadi satu dengan
kedamaian.
2. Bhakti Yoga
Ada 3 [tiga] jenis belas kasih dan kebaikan yang perlu kita
kembangkan secara mendalam, yaitu :
Yang dimaksud dengan belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri,
adalah menerima diri kita sendiri seperti apa adanya, menerima garis nasib
kehidupan kita seperti apa adanya, serta tidak larut dalam rasa bersalah
dari kesalahan kita di masa lalu.
Selain itu, langkah belas kasih dan kebaikan untuk diri sendiri yang
berikutnya, adalah tidak tidak larut dalam rasa bersalah dari kesalahan kita
di masa lalu. Karena pada dasarnya sebagai manusia kita tidak sempurna.
Melakukan kesalahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Terimalah dengan
penuh kerelaan. Yang terpenting adalah jika kita melakukan kesalahan,
segera sadari kesalahan kita, kemudian berusahalah memperbaiki diri.
Bagi orang awam, ketika bertemu orang lain dia cenderung akan
memikirkan apa yang bisa dia dapatkan dari orang tersebut. Bagi orang
yang kesadaran Atma-nya mulai bercahaya, ketika bertemu orang lain dia
akan memikirkan apa yang bisa dia berikan untuk orang tersebut.
III. Belas Kasih Dan Kebaikan Dalam Bentuk Doa Atau Ritual.
Jika dalam suatu situasi keadaan kita belum mampu untuk melakukan
kebaikan bagi mahluk lain, atau kita tidak mampu untuk memberikan
pertolongan langsung bagi mahluk lain, setidaknya kita dapat berdoa, atau
melakukan suatu sadhana ritual, untuk mendoakan keselamatan dan
kebahagiaan mereka.
3. Raja Yoga
Atau suatu saat kita terjebak dalam kemacetan jalan yang parah
dalam perjalanan ke tempat kerja. Ada kemungkinan kita akan terlambat
masuk kerja. Jika kita panik, marah-marah, mengebel-ngebel, dsb-nya, kita
sadari bahwa semua itu tidak akan menghentikan kemacetan jalan, tidak
ada pengaruhnya. Lebih baik kita menelpon ke tempat kerja, menjelaskan
bahwa kita akan terlambat masuk kerja karena jalan macet. Sambil
menunggu kemacetan kita bisa menyanyikan lagu-lagu mantra dalam hati,
yang menyejukkan hati kita. Kemudian cobalah besok-besok berusaha
untuk berangkat kerja lebih pagi lagi.
Atau ketika ada orang lain marah-marah dan mencaci-maki kita. Kita
sadari bahwa jika disaat itu kita berkata-kata atau bertindak di bawah
pengaruh energi marah, seperti balik mencaci-maki orang itu, kita sadari
bahwa hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Lebih baik kita diam, atau
kita pergi menjauh. Kita sadari hal itu sebagai kenyataan rwa bhinneda,
bahwa di dunia ini tidak hanya ada orang baik saja, tapi banyak juga orang
seperti itu. Dalam ajaran dharma kita tidak menghakimi mereka sebagai
penjahat, kita hanya menyadari bahwa mereka dalam avidya [sedang
bingung dan sengsara]. Mereka bingung dan tidak paham bahwa kelakuan
seperti itu hanya akan mendatangkan lebih banyak masalah bagi mereka.
Mereka sengsara karena tidak sanggup menahan diri sendiri dari energi
marah. Dengan demikian kita tidak akan menilai mereka secara negatif atau
membenci mereka, melainkan memandang mereka dengan pandangan
belas kasih. Kita dapat bersabar terhadap mereka, kita tidak sengsara secara
emosional dengan kelakuan mereka dan untuk selanjutnya kita dapat lebih
berhati-hati menjaga diri agar kita tidak lagi mengalami masalah dengan
mereka.
Hal ini sesungguhnya adalah untuk menolong diri kita sendiri. Kita
hendaknya menyadari hal ini, untuk kemudian menciptakan keberkahan
bagi diri kita sendiri dan sekaligus menciptakan keberkahan bagi orang-
orang lain disekitar kita.
4. Jnana Yoga
- Duduklah bersila dengan santai dan tenang. Kita bebas memilih duduk
bersila dalam posisi padmasana, ardha-padmasana, siddhasana, atau
sukhasana. Pilihlah posisi duduk bersila mana yang paling sesuai untuk diri
kita sendiri. Bagi wanita boleh memilih untuk duduk dalam posisi
bersimpuh [vajrasana].
- Pejamkan mata.
Ketika pikiran kita berkeliaran, itu bukanlah suatu masalah atau suatu
kesalahan dalam meditasi, karena itu memang sifat alami dari pikiran kita.
Jika kita seorang sadhaka yang baru belajar meditasi, setelah selesai
meditasi silahkan periksa pikiran kita sendiri, bagaimana antara sebelum
sadar dan sesudah sadar dalam meditasi. Tentunya pikiran kita akan
menjadi lebih tenang, lebih damai. Inilah jalan meditasi yang memurnikan
kesadaran. Jika kita mau tekun mempraktekkannya setiap hari, dalam
jangka waktu panjang bertahun-tahun, perlahan-lahan tapi pasti ruang
pikiran kita akan terus menjadi semakin luas dan kesadaran kita akan terus
menjadi semakin murni.
2. Penjelasan.
Kepintaran secara logika sudah tentu bukan sesuatu yang salah atau
buruk. Kepintaran secara logika itu berguna jika kita gunakan di tempat
yang tepat. Seperti di sekolah atau di dunia pendidikan modern, atau di
tempat kerja, kepintaran secara logika itu berguna.
Hanya jika kita mau tekun melaksanakan Catur Yoga dalam jangka
waktu panjang, barulah suatu saat kita akan bisa mengenal diri kita sendiri.
Menyadari bahwa kenyataan diri yang sejati adalah kesadaran Atma.
Kesadaran kosmik dan kecerdasan kosmik yang melampaui tubuh fisik,
pikiran, perasaan dan kepintaran secara logika [gagasan].
Sehingga sadari sejak awal bahwa tahap agama pramana, yaitu tahap
mempelajari panduan, metode dan tehnik spiritual dharma melalui
membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma, atau
mendengarkan dharma wacana dari Guru, hanyalah sebatas alat bantu di
awal saja. Sama sekali bukan memahami secara mendalam, mencapai dan
mengalami tujuan itu sendiri.
Ketahuilah sejak awal bahwa intisari utama dari ajaran suci dharma,
yaitu kesadaran Atma, tidak pernah dapat dipelajari dengan kepintaran
secara logika. Kesadaran Atma tidak pernah dapat dipahami dan diketahui
melalui membaca kitab-kitab suci, membaca ajaran-ajaran suci dharma,
atau mendengarkan dharma wacana dari Guru. Kesadaran Atma dan
kenyataan semesta hanya dapat dipahami, diketahui dan dicapai secara
mendalam melalui praktek, melalui penembusan langsung secara sangat
mendalam ke dalam pikiran dan perasaan kita sendiri. Sehingga kita harus
melangkah ke tahap berikutnya, yaitu tahap anumana pramana.
Ketika ajaran suci dharma sudah kita pelajari [tahap agama pramana],
tahap selanjutnya adalah mempraktekkannya secara tekun dalam jangka
waktu panjang [tahap anumana pramana]. Kemudian dari ketekunan
melaksanakan praktek inilah kemudian dapat mulai memberikan hasil. Hal
ini ditandai dengan munculnya 4 [empat] pertanda bahwa praktek Catur
Yoga sudah mulai memberikan hasil.
Artinya rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya,
tersebut masih tetap muncul sebagai bagian utuh dari diri kita. Tapi para
sadhaka yang sudah tekun melaksanakan praktek Catur Yoga,
kesadarannya tidak lagi dapat dicengkeram oleh rasa sedih, rasa marah,
rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya. Karena kesadaran sudah seluas ruang
tidak terhingga, rasa sedih, rasa marah, rasa tidak puas, rasa galau, dsb-nya,
tersebut itu tidak lagi menimbulkan kesengsaraan. Perasaan itu datang,
muncul beberapa saat dan kemudian berlalu. Sehingga sang sadhaka hanya
tersenyum damai, sekaligus dapat bersikap penuh belas kasih secara
sempurna kepada rasa sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.
1. Pertanda Dalam.
Pertanda dalam adalah kita tidak tertarik menyakiti orang lain, tidak
tertarik menjelek-jelekkan orang lain, tidak tertarik membenci orang lain,
tidak tertarik menghakimi orang lain, tidak tertarik mencela dan mengkritik
orang lain, tidak tertarik bersaing dengan orang lain, tidak tertarik menjahili
orang lain, tidak tertarik memanfaatkan orang lain, tidak tertarik merugikan
orang lain, tidak tertarik korupsi, tidak tertarik selingkuh, tidak tertarik
melakukan kejahatan, dsb-nya.
Selain itu kita dapat berdamai sempurna dengan garis karma kita
sendiri. Kaya kita damai, miskin kita juga damai. Ganteng atau cantik kita
damai, jelek kita juga damai. Sehat kita damai, sakit kita juga damai. Dipuji
kita damai, dicaci-maki kita juga damai. Dsb-nya.
2. Pertanda Luar.
Jika para sadhaka tingkat pemula [baru belajar] belum beranjak dari
tahap agama pramana, sehingga masih amat sangat tergantung kepada
Sastra Guru [kitab-kitab suci] atau Satguru [dharma wacana dan tafsiran
kitab suci dari seorang Guru]. Para sadhaka yang sudah melangkah jauh
memasuki tahap anumana pramana [tekun melaksanakan praktek Catur
Yoga], mulai dapat melangkah jauh lebih maju ke depan, mulai dapat
belajar kepada Jagad Guru [alam semesta sebagai Guru] dan Anthra Guru
[Guru di dalam diri].
Di tahap ini kita juga mulai dapat membaca diri sendiri [bhuwana alit],
melihat kebenaran kosmik di dalam diri kita sendiri, untuk kemudian
mengenal kenyataan diri sejati secara lebih mendalam.
Inilah tahap pencapaian spiritual yang disebut oleh leluhur kita di Bali
sebagai "agama tanpa sastra" [agama tanpa buku suci] atau "lontar tanpa
tulis" [buku suci yang tidak berisi tulisan]. Karena ajaran suci dharma yang
dipelajari tidak lagi berupa buku-buku yang berisi tulisan, melainkan sudah
dapat melihat dan membaca ajaran suci dharma tidak tertulis yang terdapat
berlimpah di alam semesta dan di dalam diri kita sendiri.
Tentu saja ini akan menjadi perjalanan spiritual yang panjang. Dalam
prosesnya akan ada siklus naik-turun, kadang-kadang kita melakukan
kesalahan, kadang-kadang kita terjerembab dalam kebingungan. Hal itu
sangat wajar dan manusiawi. Yang terpenting adalah kita tetap memiliki
niat yang kuat, ketekunan dan konsistensi, sehingga secara pasti kita sudah
mengarahkan diri ke arah yang benar dan sangat terang.
Tapi sekali lagi [sangat penting untuk ditekankan] kita tidak akan
pernah bisa mengetahui, mengenali dan mencapai semua kebenaran
kosmik ini hanya sebatas dengan menggunakan kepintaran secara logika
saja. Kita baru bisa mengetahui, mengenali dan mengalami sendiri
kenyataan kosmik ini jika kita menyatukan ajaran suci dharma dengan
kesadaran. Caranya adalah kita benar-benar tekun dalam jangka waktu
panjang bertahun-tahun mempraktekkan Catur Yoga.
Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :
tattwahindudharma.blogspot.com
facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Pertemuan dengan guru pertama-nya di tahun 2007 dan pertemuan dengan guru
kedua-nya beberapa tahun setelahnya, kemudian membawa perubahan besar,
dimana dia mulai memberikan komitmen menyeluruh kepada spiritualisme. Dia
juga mulai banyak melakukan tirthayatra penjelajahan ke berbagai pura-pura
pathirtan kuno, sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.