CATUR SADHYA-SADHANA
Ditulis oleh :
I Nyoman Kurniawan
CATUR SADHYA-SADHANA
EMPAT INTISARI SADHANA DHARMA
Ada sebagian orang yang menerjemahkan atman sebagai roh. Ini adalah
terjemahan yang bisa dibilang kurang tepat, sebab dalam ajaran Hindu yang
disebut sebagai roh adalah lapisan badan halus kita. Sedangkan Atman tidaklah
berbeda dengan dengan Brahman, keseluruhan keberadaan yang absolut.
“Brahman Atman Aikyam”, Brahman dan atman itu sama adanya [tidak berbeda].
Laksana setetes air dalam samudera yang maha luas.
Para Maharsi, para Mpu, para Danghyang, mengajarkan bahwa kita adalah
jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman,
hidup dalam Brahman dan berkembang menuju kesadaran akan kemanunggalan
dengan Brahman. Kita mencari-cari kebenaran, padahal kita ada dalam
kebenaran. Karena Brahman adalah keseluruhan keberadaan, termasuk diri kita
sendiri, hanya saja kita tidak menyadarinya. Sesungguhnya kita bukanlah badan
kita, kita bukanlah pikiran kita dan kita bukanlah ke-aku-an kita.
Terbebaskan adalah realitas alami kita. Sesungguhnya kita sudah dan selalu
bebas. Ibarat permata yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada
disana. Tapi untuk menemukannya kita perlu menyingkirkan lumpur dan tanah-
tanahnya. Sama dengan kita cukup hanya menyingkirkan samskara [kesan-kesan
pikiran] dan ahamkara [ke-aku-an] yang sudah berumur sangat lama. Ketika
lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya kelihatan.
Ketika atma jnana atau kesadaran tentang realitas diri yang sejati disadari,
kita mengalami Jivan-mukti atau Moksha. Mukti atau moksha dalam bahasa
sansekerta berarti : lepas atau bebas. Kita mengalami pembebasan ketika
tersadar akan hakikat diri yang sejati.
Tugas dharma kita yang utama dalam hidup ini adalah melampaui pengaruh
prakriti. Bebas dari belenggu pikiran, badan fisik, serta yang paling penting adalah
bebas dari belenggu ahamkara [ke-aku-an]. Orang yang bisa bebas dari belenggu
badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah
manusia yang sadar, yang nirahamkarah atau ke-aku-annya [ahamkara] sudah
lenyap. Sadar bahwa semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah
Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun
yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah
Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman. Laksana setetes air
dalam samudera maha luas yang tersadar bahwa realitas yang ada bukanlah
setetes air, melainkan samudera maha luas.
Para Maharsi, para Mpu, para Danghyang dan para Dewa-Dewi
mengajarkan dan mewariskan kita dharma dan berbagai jalan yoga, untuk
membimbing manusia bebas dari belenggu prakriti, berupa belenggu pikiran,
badan fisik, serta yang paling penting adalah bebas dari belenggu ahamkara [ke-
aku-an]. Semakin cepat sadar semakin baik, sebelum kita terperosok semakin jauh
lahir menjadi binatang atau lahir di alam ashura [alam para mahluk bawah atau
bhuta kala] yang penuh dengan kesengsaraan.
Tapi kalaupun itu sulit untuk dicapai, setidaknya dalam hidup ini kita bisa
meningkatkan kesadaran kita berevolusi menuju kesadaran yang lebih tinggi. Dari
rasa takut menuju ketabahan, dari mementingkan diri sendiri menuju penuh
kebaikan, dari prasangka buruk menuju kerelaaan, dari kemarahan menuju belas
kasih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari
kegelapan menuju penerangan.
Seburuk apapun kesadaran kita saat ini, jangan khawatir dan jangan
dijadikan halangan untuk melangkah maju. Seperti contoh terang yang pernah
dialami Maharsi Valmiki, semasih kita ada dalam hidup ini belumlah terlambat,
bahkan manusia yang sudah melakukan kejahatan paling berbahaya sekalipun
masih bisa diselamatkan [Maharsi Valmiki adalah perampok dan pembunuh yang
menyadari semua kesalahannya dan kembali ke jalan dharma, lalu menjadi salah
satu Maharsi penting dalam sejarah Hindu]. Syaratnya cepat-cepat sadar, lalu
masuki jalan dharma. Dan yang paling penting memurnikan samskara [kesan-
kesan pikiran] dengan berlatih, membiasakan dan menggembleng diri dengan
yoga dan catur sadhya-sadhana sepanjang perjalanan kehidupan ini.
Berbagai praktek spiritual serta tehnik dan metode yoga itu penting dan
menentukan dalam proses peningkatan kesadaran kita. Tapi apapun praktek
spiritual serta tehnik dan metode yoga yang kita gunakan sebagai kendaraan,
semuanya adalah wahana yang membantu percepatan peningkatan kesadaran,
yang pasti dan wajib bermuara kepada catur sadhya-sadhana, karena catur
sadhya-sadhana merupakan empat intisari dari kesadaran sempurna.
Dalam buku ini akan dibahas bagaimana cara paling mudah dan sederhana
untuk kita sebagai orang biasa atau orang awam agar dapat melaksanakan catur
sadhya-sadhana, atau “empat upaya paling utama untuk mencapai tujuan hidup
yang tertinggi”.
JNANA YOGA PADA
SADHANA I : ADVAITACITTA
Pikiran yang bebas dari dualitas
Advaitacitta atau pikiran yang bebas dari dualitas adalah jnana yoga yang tertinggi
dan sempurna. Orang yang sudah dapat melampaui dualitas pikiran [advaitacitta]
tidak saja pikirannya akan tenang-seimbang [upeksha], tapi juga menghasilkan
pengetahuan tertinggi yaitu prajna [kesempurnaan kebijaksaan]. Kebijaksanaan,
wawasan serta pemahaman akan diri dan kehidupan yang luas dan mendalam.
Inilah ciri orang yang akar kesadarannya sudah sangat kuat, sudah siap untuk
memasuki gerbang pertumbuhan di jalan dharma.
BAB I : GERBANG DEPAN DHARMA
Simboliknya bisa kita lihat dalam kisah-kisah pertapaan jaman dulu. Dimana
dalam tapa, yang pertama datang adalah bidadari-bidadari cantik telanjang
[simbolik hal-hal yang suci, hal-hal yang baik dan menyenangkan]. Kalau lulus
disini, datanglah hal berikutnya yaitu mahluk-mahluk sangat seram yang jahat
[simbolik hal-hal yang gelap, buruk dan tidak menyenangkan]. Hanya ketika
pikiran-perasaan dapat tetap sama sejuk, damai, tenang-seimbang dan penuh
belas kasih ketika bertemu dengan kedua dualitas, barulah sang yogi pertapa bisa
bertemu dengan kesadaran yang terang. Demikian juga sebenarnya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Tersenyum dan tersenyum dalam pikiran yang tenang-
seimbang.
- Angka 2 merujuk kepada pikiran yang masih dalam dualitas : baik-buruk, suci-
kotor, dst-nya.
- Angka 1 merujuk kepada pikiran yang mulai bebas dari dualitas : baik-baik, suci-
suci, dst-nya. Ini adalah hasil dari pikiran yang selalu berpikir positif. Selalu dan
selalu melihat dan mengambil sisi positif dari semua kejadian. Menyatukan
dualitas menjadi satu : semuanya positif, semuanya baik.
- Angka 0 merujuk kepada pikiran yang sadar, yang bebas sempurna dari dualitas.
Sadar bahwa sesungguhnya pengalaman dan segala hal lainnya adalah
sebagaimana adanya, dia tidak memiliki label baik ataupun buruk, suci maupun
kotor, senang maupun sengsara, dsb-nya.
Misalnya :
- Kaya dan banyak uang itu baik karena membuat kita menikmati hidup dan bisa
banyak menolong orang lain, miskin juga baik karena dengan miskin kita belajar
rendah hati dan belajar mengendalikan banyak keinginan.
- Sehat itu baik karena sehat membuat kita menikmati hidup dan bisa banyak
melakukan hal berguna, sakit juga baik karena dengan sakit kita belajar
memahami hakikat kehidupan dan membayar banyak hutang karma.
- Bertemu orang suci itu baik karena kita bisa menjadikannya teladan dan belajar
cara meraih kesucian, bertemu orang jahat juga baik karena membuat kita belajar
untuk sabar, membayar hutang karma dan jadi mengetahui betapa buruknya
kalau sifat kita sama seperti itu.
Ini kemudian akan kita perdalam lagi dengan melatih diri untuk selalu
tersenyum. Senyuman memiliki nilai penting di dalam upaya untuk menyatukan
dualitas [advaitacitta]. Siapapun orang yang datang muncul dan apapun yang
terjadi dalam perjalanan kehidupan, tugas dharma kita adalah tersenyum. Nanti
sebagai hasilnya adalah keseimbangan pikiran [upeksha].
Coba rasakan beda antara kondisi pikiran kita sedang stress, depresi, sedih
atau marah dibandingkan dengan kondisi pikiran ketika kita tersenyum. Sangat
berbeda. Dalam kondisi pikiran kita sedang stress, depresi, sedih atau marah
semua ingatan akan dharma beserta keluhurannya lenyap, menghilang,
terlupakan. Dalam senyuman yang damai, tulus, penuh kerelaan dan rasa syukur,
pikiran cenderung damai, tenang-seimbang.
Banyak sekali manfaatnya kalau kita bisa mendidik diri untuk selalu
tersenyum dalam setiap keadaan, apapun yang terjadi. Punya uang disambut
dengan senyum damai, tidak punya uang juga disambut dengan senyum damai.
Lagi sehat disambut dengan senyum damai, lagi sakit juga disambut dengan
senyum damai. Dipuji orang disambut dengan senyum damai, difitnah dan dicaci
orang juga disambut dengan senyum damai. Dll.
SADHANA II : DAYADVHAM
Hati yang penuh belas kasih kepada semua
Dayadvham atau hati yang penuh belas kasih kepada semuanya adalah bhakti
yoga yang tertinggi dan sempurna. Dalam bhakti yoga yang tertinggi dan
sempurna, yang ada hanya belas kasih dan kebaikan yang mendalam dan rasa
hormat yang tulus kepada semuanya. Baik ke Svah Loka [Brahman dan Dewa-
Dewi], ke Bvah Loka [sesama mahluk dan alam semesta] dan ke Bhur Loka
[mahluk-mahluk alam bawah]. Karena Sanghyang Acintya adalah segala
keberadaan atau Om bhur bvah svah.
BAB I : RAHASIA PENTING SEMUA JALAN SPIRITUAL
Hati yang penuh belas kasih adalah salah satu rahasia penting semua jalan
spiritual. Karena praktek religius atau spiritual manapun akan dangkal dan tidak
pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati yang penuh belas kasih kepada
semua mahluk. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh ajaran dharma
diminta di-intisarikan menjadi satu saja, maka hal itu adalah belas kasih dan
kebaikan yang tidak terbatas kepada semua mahluk. Mekarkan hati yang penuh
belas kasih dan di jalan religius manapun kita melangkah, kita akan mudah
terhubung dengan kemahasucian.
Satu dari lima unsur dasar pembentuk alam semesta [panca maha bhuta]
yang menjadi simbolik kesadaran sempurna adalah ruang [akasha]. Mudah untuk
bisa penuh belas kasih kepada orang yang baik kepada kita, tapi kalau bisa tetap
penuh belas kasih kepada orang yang jahat kepada kita itulah pikiran yang seluas
ruang. Kalau masih ada merasa dirugikan, merasa sengsara, merasa ketidak-adilan
perlakukan kepada kita, itu hanya tanda bahwa pikiran masih sesempit diri sendiri
[ego]. Semakin besar ego, kejahatan dan ketidakadilan terasa semakin
menyakitkan. Kejahatan dan ketidak-adilan hanya bisa disambut dengan
senyuman dan dibalas dengan belas kasih oleh pikiran manusia yang seluas ruang.
Makna paling inti dari belas kasih dan kebaikan itu adalah memahami
beban pikiran dan perasaan orang lain, lalu bergerak melakukan sesuatu atau
membuatnya terbebas dari hal itu agar dia bahagia.
Wujud kebaikan bisa dalam hal yang sangat kecil, misalnya kita melihat ada
sampah tidak dibuang di tong sampah, kita bantu masukkan ke tong sampah.
Atau ada keran yang airnya sudah penuh dan melimpah, kita bantu matikan. Atau
tersenyum ramah kepada orang lain, itu juga suatu bentuk kebaikan. Kelihatannya
sepele, tapi itu adalah bagian dari mendidik diri untuk penuh dengan kebaikan.
Setiap kali ada yang memerlukan uluran tangan kita atau kita bisa membuat
mereka lebih bahagia atau lebih senang, selalu katakan ke diri sendiri :
“kesempatan membantu itu sedikit, jarang kita bisa memilikinya, jadi lakukanlah
tanpa banyak perhitungan”. Dan selalu harus diingat bahwa praktek religius atau
spiritual manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa
dilandasi hati yang penuh belas kasih kepada semua mahluk.
Matahari adalah sebuah simbolik bhakti yoga yang agung, dia menyinari
semua tanpa memilih-milih : mau orang baik, mau orang jahat, mau bunga yang
harum, mau kotoran sapi, mau tempat suci, mau tempat sampah yang busuk, dll,
semua disinari secara sama tanpa syarat. Dalam bhakti yoga yang tertinggi dan
sempurna, tidak diperlukan banyak pertanyaan dan banyak perdebatan. Apalagi
perdebatan tentang konsep ketuhanan yang sungguh bodoh, sia-sia dan sangat
berbahaya karena menjerumuskan dunia kepada jurang kegelapan. Dalam bhakti
yoga yang tertinggi dan sempurna, yang ada hanya belas kasih dan kebaikan yang
mendalam dan rasa hormat yang tulus kepada semuanya. Baik ke Svah Loka
[Brahman dan Dewa-Dewi], ke Bvah Loka [sesama mahluk dan alam semesta] dan
ke Bhur Loka [mahluk-mahluk alam bawah]. Karena Sanghyang Acintya adalah Om
bhur bvah svah.
BAB II : CARA MEMBANGUNKAN SIFAT BELAS KASIH DI
DALAM DIRI
1. Sadari bahwa seluruh perjalanan hidup kita dipenuhi dengan belas kasih dan
kebaikan orang lain dan mahluk lain.
Dalam setiap tahap di dalam hidup kita, selalu terdapat energi belas kasih
dan kebaikan. Di awal hidup kita, kita sudah disalurkan energi kebaikan. Dimulai
dari dalam kandungan hingga dilahirkan, tidak henti-hentinya orang tua kita
mencurahkan kasih sayang untuk kita. Di awal kehidupan -waktu masih bayi-, kita
tidak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [orang tua
kita]. Tanpa kebaikan orang tua kita, kita akan mati. Kelak di akhir kehidupan, lagi-
lagi kita harus sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [untuk
dibuatkan upakara kremasi / pemakaman].
Kita masih bisa hidup sampai saat anda membaca tulisan ini, juga karena
kebaikan mahluk lain. Para binatang, mereka rela mengorbankan nyawanya hanya
agar kita bisa makan enak [sate kambing, soto ayam, dsb-nya]. Para tumbuh-
tumbuhan juga serupa, mereka rela menanggung rasa sakit hanya agar kita bisa
makan dan bertahan hidup. Para petani mereka rela miskin agar kita bisa makan
beras.
Hidup kita, seluruh eksistensi kita sebagai mahluk, dipenuhi oleh belas kasih
dan kebaikan orang lain dan mahluk lain. Sehingga dalam hidup kita tidak punya
pilihan lain, selain hidup penuh belas kasih kepada semua mahluk dalam setiap
kesempatan yang ada.
Ini adalah tugas hidup kita semua, bagaimana di dalam keseharian kita [di
rumah, di jalan, di kantor, dsb-nya] semuanya secara bijaksana dijadikan
kesempatan-kesempatan untuk melakukan kebaikan. Sekarang tergantung diri
kita sendiri, bagaimana kita membangkitkannya. Akan baik sekali bila mulai
bangun tidur sampai dengan tidur lagi, kita “sadar” dengan segala bentuk
kebaikan yang telah kita terima sejak kita lahir. Sehingga ketemu siapa saja,
gunakan sebagai kesempatan untuk berbuat baik. Lakukan, lakukan dan lakukan
kebaikan setiap saat ada kesempatan.
Sifat belas kasih dan penuh kebaikan sebenarnya adalah salah satu sifat
alamiah kita sendiri, dalam artian sudah ada di dalam diri kita sendiri. Karena
hakikat sejati diri kita adalah atman yang mahasuci. Hanya saja karena faktor
ahamkara [ke-aku-an atau ego] dan sad ripu [enam kegelapan pikiran] kita sering
melupakannya.
Misalnya : kalau [maaf] secara fisik kita kita jelek, terimalah fisik jelek itu
dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan ada rasa minder, malu, rendah diri,
menghindar atau memaksakan diri punya fisik atau penampilan menarik. Kalau
kita hanya mampu punya sepeda motor butut, terimalah sepeda motor butut itu
dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan begitu memaksakan diri punya
mobil. Kebalikan dari ketidakpuasan adalah rasa syukur yang mendalam.
Bersyukurlah dengan segala apa yang kita punya di saat ini. Tidak ada manusia
yang sempurna, semua orang pasti punya sisi-sisi kekurangan. Menerima
kelebihan diri adalah hal yang mudah dilakukan semua orang. Tapi bisa menerima
kekurangan diri, hanya mereka yang pikirannya mulai terang yang bisa bersahabat
dengan kekurangan dirinya. Dalam pikiran yang penuh rasa syukur, apapun yang
dilihat menjadi indah dan kehidupan kita menjadi perjalanan penuh
keberuntungan dan kebahagiaan.
Kalau kita serius mau menumbuhkan sifat belas kasih, seluruh lumpur-
lumpur kekotoran dan kegelapan pikiran selapis demi selapis harus segera kita
bersihkan. Hanya dengan cara demikian sifat belas kasih baru bisa mulai hidup
dan tumbuh subur di dalam hati kita.
BAB II : CARA MENGEMBANGKAN SIFAT BELAS KASIH DI
DALAM DIRI
Dalam orang baik ada Sanghyang Acintya, dalam orang jahat juga ada
Sanghyang Acintya, dengan wajah yang berbeda. Wajah Sanghyang Acintya dalam
orang baik yaitu salah satunya karena mereka membuat kita merasa sejuk,
nyaman dan damai. Wajah Sanghyang Acintya dalam orang jahat yaitu mereka
sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Dan sekaligus
memberi kita acuan yang bagus sekali tentang seberapa jauh pertumbuhan dan
kualitas kesadaran kita sendiri. Kalau "di dalam" masih ada perasaan tidak enak,
apalagi membuat kita marah-marah, artinya pikiran kita masih belum bersih.
Dalam kejadian yang baik ada Sanghyang Acintya, dalam kejadian yang
buruk-pun juga ada Sanghyang Acintya, dengan wajah yang berbeda. Wajah
Sanghyang Acintya dalam kejadian yang baik yaitu salah satunya karena itu
membuat kita bisa menikmati hidup. Wajah Sanghyang Acintya dalam kejadian
yang buruk yaitu karena kejadian yang buruk adalah kesempatan untuk kita
membayar hutang karma. Dan sekaligus mengajak kita untuk merenungkan
kembali makna dan perjalanan kehidupan kita.
Kalau bisa seperti ini, setiap moment, setiap gerakan nafas dalam hidup kita
menjadi bhakti Yoga. Mebakti tidak lagi hanya di pura, tapi sayang kepada istri
atau suami dan anak-anak itu mebakti, menolong orang yang lagi kesusahan itu
mebakti, melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya itu mebakti, dsb-nya.
2. Lihatlah hidup ini seperti pergi bersekolah dan nilai kita harus selalu bagus
setiap hari agar kelak kita bisa naik kelas.
Perjalanan hidup ini, dalam roda samsara, bisa kita ibaratkan seperti pergi
bersekolah. Di tempat kerja, di jalan, di rumah, dimana-mana kita adalah
bersekolah. Seluruh hidup kita adalah bersekolah. Seperti sekolah yang
sebenarnya, kita pasti sering ulangan dan kemudian ada kenaikan kelas. Yang baik
dan terang adalah kita terus menerus bisa punya nilai bagus untuk kemudian naik
kelas.
Misalnya : Kalau kita dihina orang, artinya kita sedang "ulangan”. Kalau kita
difitnah orang, artinya kita sedang "ulangan”. Kalau kita jatuh sakit, artinya kita
sedang "ulangan”, dsb-nya. Kalau kita menghadapinya secara negatif, artinya kita
mendapat nilai buruk dalam ulangan, sehingga nanti kita akan gagal naik kelas.
Kalau kita mampu menyambut dengan senyuman damai dan membalasnya
dengan belas kasih, itu baru mendapat nilai bagus dan kita pasti akan naik kelas.
Karena mudah sekali bisa bersikap damai dan penuh belas kasih, disaat kita dipuji-
puji, dikagumi, tidak kekurangan uang, makan enak dan badan sehat. Tapi yang
yang bisa tetap bersikap damai dan penuh belas kasih disaat dirinya dihina, dicaci-
maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan dan sedang sakit, itu tidak lain adalah
pertanda kesadaran yang mulai bersinar terang, menuju kemahasucian.
BAB III : MELAKSANAKAN KEBAIKAN
Ciri utama yang muncul dari sifat belas kasih yang telah bangun dan
berkembang di dalam diri adalah rasa haus dan lapar untuk melaksanakan
kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Dan inilah beberapa petunjuk di dalam
melaksanakannya :
Tanpa pamrih
Tidak mengatakan kebaikan dengan pamrih itu salah. Tapi bagi yang ingin
"pergi jauh" di dalam perjalanan spiritual, tidak disarankan melakukan kebaikan
dengan pamrih, sebab kebaikan dengan pamrih bisa membuat pikiran kita
menjadi kotor dan mudah berguncang. Kalau pamrihnya tidak kita dapatkan,
ujung-ujungnya kita marah kecewa dan tidak puas.
Lakukan kebaikan, lalu lupakan, itulah kebaikan tanpa pamrih. Dan jenis
kebaikan ini bukan saja membuat orang lain bahagia, tapi juga sekaligus
menerangi pikiran kita sendiri.
Selain itu di dalam melakukan kebaikan, tidak harus ada orang yang tahu
atau mengenalinya. Ketika kita melakukan kebaikan dan tidak ada orang yang
mengetahui atau mengenalinya nya ini disebut “kebaikan tidak berwujud”. Dan
sesungguhnya justru kebaikan tidak berwujud ini memiliki daya angkat yang jauh
lebih besar.
Kebijaksanaan
1. Kebaikan tidak terbatas yang dilakukan oleh orang yang masih dalam avidya
[kebodohan].
Yaitu ketika kita melakukan belas kasih dan kebaikan dalam konteks yang
"tidak terbatas". Sampai-sampai hal ini mengakibatkan kita menjadi bangkrut
atau mengalami kesengsaraan lainnya. Tapi kemudian kita menangisinya, kita
merasa malu atau bahkan menyesal. Itu namanya masih dalam kebodohan. Kalau
kita belum mampu melakukan kebaikan tanpa batas, lakukan dengan bijaksana,
lakukan kebaikan sebatas kita punya, bantu sebatas kita mampu. Bantulah sejauh
tidak membuat diri kita bangkrut atau sengsara. Penting untuk dicatat, ketika kita
tidak mampu untuk melakukan kebaikan, cukup ahimsa [jangan menyakiti].
Yaitu ketika kita melakukan kebaikan dalam konteks yang "tidak terbatas".
Tapi kita sepenuhnya sadar kita sedang mendekati sifat-sifat Brahman yang juga
tidak terbatas. Ada sebagian orang-orang yang memang tingkat kesucian
kesadaran-nya bagus sekali. Tidak takut bangkrut, tidak takut sengsara. Sebab
kesempatan membantu itu sedikit, jarang ada yang memilikinya, jadi dilakukan
saja. Sehingga kalau nanti konsekuensinya bangkrut atau sengsara, tidak apa-apa.
Seperti kisah para yogi yang begitu intens melakukan kebaikan. Karena tekadnya,
kalau saya bangkrut dan kemudian tidak ada yang mau memberi saya makan,
saya akan cari makan seperti tikus, saya akan cari makan seperti burung. Tikus
dan burung tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar dharma, tapi mereka tetap
bisa hidup dan mencari makan sendiri.
Kebaikan yang kita lakukan tidak selalu mendapat respon berupa kebaikan.
Kadang-kadang malah kebaikan dibalas dengan kejahatan. Dan ini adalah hukum
alam. Seperti kalau kita menanam rumput jepang di halaman rumah kita, tidak
semuanya tumbuh rumput jepang, ada juga ikut tumbuh rumput liar dan tanaman
liar. Dan kita musti selalu sadar dengan hukum alam ini. Apapun yang terjadi,
terimalah dengan senyuman damai.
Kebaikan kadang diikuti oleh nasib buruk, tapi nasib buruk bukanlah alasan
untuk menghentikan kebaikan. Terutama karena perjalanan menuju penerangan
dan pembebasan memerlukan dua syarat, tabungan karma baik yang berlimpah
serta kebijaksanaan yang mendalam. Sehingga selalulah ingat dan jangan pernah
ragu, setiap kali ada yang memerlukan uluran tangan kita atau setiap kali kita bisa
membuat orang lain lebih bahagia, lega, terhibur atau senang, lakukanlah tanpa
sedikitpun keraguan.
RAJA YOGA PADA
Citta-suddhi atau pikiran yang bebas dari cengkeraman sad ripu [enam kegelapan
pikiran] adalah raja yoga yang tertinggi dan sempurna. Yoga adalah kegiatan
untuk meniadakan riak-riak pikiran. Membuat pikiran kita kembali hening, sepi,
sunyi. Inilah raja yoga yang tertinggi dan sempurna, pikiran yang hening, bebas
dari enam kegelapan pikiran. Inilah jalan kita mencapai kesadaran atman [atma
jnana, sujatining urip] hakikat sesungguhnya sang diri yang mahasuci.
BAB I : PERTANDA KEBERHASILAN PERJALANAN
SPIRITUAL
Pikiran yang bebas dari cengkeraman enam kegelapan pikiran [citta suddhi]
adalah pertanda atau ciri-ciri atau standar mendasar ukuran keberhasilan kita di
jalan dharma. Berlandaskan advaitacitta [pikiran yang bebas dari dualitas] dan
dayadvham [hati yang penuh belas kasih] yang kokoh, kemudian perlahan kita
bisa membebaskan pikiran, semakin bebas dan semakin bebas dari kegelapan.
Dari pikiran yang liar menjadi semakin jernih dan semakin jernih.
Pikiran yang bebas dari enam kegelapan pikiran adalah raja yoga yang
tertinggi dan sempurna. Maharsi Patanjali dalam Yoga Sutra menulis : "yoga citta
vritti nirodhah" [yoga adalah kegiatan untuk meniadakan riak-riak pikiran].
Artinya ide paling mendasar dari yoga adalah meniadakan riak-riak pikiran.
Membuat pikiran kita kembali hening, sepi, sunyi, laksana samudera tanpa riak-
riak gelombang ombak.
Tidak hanya dalam yoga kita bisa meniadakan riak-riak pikiran, tapi dalam
setiap moment dalam kehidupan kita juga bisa meniadakan riak-riak pikiran. Tidak
hanya asana itu yoga, tapi ketenangan, kedamaian, kesejukan dan kesabaran
tidak terbatas itu juga yoga. Tidak hanya dhyana [meditasi] itu yoga, tapi kerelaan
diri, belas kasih dan kebaikan tidak terbatas itu juga yoga. Inilah raja yoga yang
tertinggi dan sempurna, pikiran yang hening, bebas dari cengkeraman enam
kegelapan pikiran. Inilah jalan kita mencapai kesadaran atman [atma jnana,
sujatining urip] yang sesungguhnya sang diri adalah sempurna dan mahasuci.
BAB II : MATSARYA [IRI HATI, DENGKI, SENTIMEN]
Matsarya adalah jenis kekotoran pikiran yang paling gelap. Artinya kalau
dalam pikiran kita masih ada samskara berupa iri hati, dengki atau sentimen, itu
pertanda kekotoran pikiran kita masih sangat pekat. Apalagi kalau sudah terkena
"penyakit SMS" [susah melihat orang senang, senang melihat orang susah]. Dan
kalau kita tidak mau kehidupan maupun kematian yang juga gelap, matsarya
harus sesegera mungkin kita lenyapkan dari dalam pikiran.
Pahami iri hati, dengki atau sentimen itu sebagai sejenis energi. Misalnya
laksana api. Energi ini tergantung kita, bisa memakainya atau tidak. Di tangan
orang yang pintar memasak, api itu berguna membuat beras menjadi nasi,
sayuran jadi capcay. Tapi di tangan anak-anak yang tidak tahu bagaimana
menggunakan api, api bisa berbahaya dan membuat rumah jadi terbakar. Nah,
dalam hal ini juga sama, sekarang tergantung bagaimana kita menggunakan iri
hati, dengki atau sentimen itu sebagai energi di waktu dan tempat yang tepat.
Orang yang iri hati, dengki atau sentimen itu di dalam dirinya energi-nya
tinggi atau bahkan berlebihan tapi dia tidak punya media dan tempat untuk
menyalurkan dan mengekspresikannya. Ini seperti pisau di dapur, kalau kita tahu
dan bisa memakainya, dia berguna untuk memotong bawang dan bahan masakan
lainnya. Tapi kalau kita tidak tahu dan tidak bisa memakai, bisa jadi berbahaya
dan orang lain kita tusuk.
Sehingga salurkanlah energi ini, gunakan energi berlebihan ini untuk hal
yang baik. Misalnya iri hati pada tetangga yang kaya. Jangan sekali-sekali
memfokuskan diri pada tetangga tersebut, melainkan segera belajar yang keras,
bekerja yang keras, biar kita bisa sama kaya-nya dengan dia. Iri hati pada rekan
kerja yang sukses. Jangan sekali-sekali memfokuskan diri pada rekan kerja itu,
melainkan segera belajar yang keras, bekerja yang keras, kelak waktu yang pasti
akan membawa kita sama suksesnya dengan dia, dsb-nya. Lebih terang dan mulia
lagi kalau kita bisa menggunakan energi berlebihan ini ke arah yang terang.
Misalnya : kerja sosial, membantu orang lain, ngayah di pura, dsb-nya. Itu cara
menggunakan energi matsarya agar positif, biar dia tersalurkan gunakan ke arah
yang tepat dan berguna.
BAB III : KRODA [KEMARAHAN, KEBENCIAN, DENDAM]
Kroda adalah jenis kekotoran pikiran kedua yang paling gelap. Penyebabnya
adalah tidak adanya prajna [kebijaksanaan] dan ahamkara [ke-aku-an].
Prajna [kebijaksanaan]
1. Orang yang menyakiti kita bukan orang jahat, melainkan orang baik yang
sedang memberi kita kesempatan membayar hutang karma. Pengalaman
kehidupan yang buruk bukan hukuman tuhan, melainkan alam semesta sedang
memberi kita kesempatan membayar hutang karma.
Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat yang datang untuk menghancurkan hidup kita,
melainkan orang baik yang sedang memberi kita kesempatan membayar hutang
karma. Karena salah satu sebab utama kita terus-menerus terlahir ke dunia
adalah karena kita harus membayar hutang karma. Kalau kita berharap di semua
masa kehidupan kita hanya bertemu orang-orang baik saja dan tidak bertemu
orang-orang yang menyakiti, kita pasti akan kecewa berat dan kemarahan-pun
muncul. Kita harus paham dan mengerti apa makna dari kehadiran orang-orang
yang mencaci, menghina dan menyakiti kita.
Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
yakinlah bahwa kita sedang membayar hutang karma. Dalam ratusan ribu atau
bahkan jutaan kelahiran kita sebelumnya, mereka pernah menjadi orang-orang di
sekitar kita mungkin menjadi ibu kita, bapak kita, atau bahkan mungkin mereka
pernah kita bunuh di jaman barbar dulu. Semuanya pernah kita sakiti. Dan itu
jumlahnya tidak terhitung, tidak terhingga.
Jatuh sakit, kena musibah, disakiti orang lain dan segala pengalaman
kehidupan yang buruk bukan hukuman tuhan, melainkan kesempatan yang
diberikan alam semesta kepada kita untuk membayar hutang karma. Hutang
karma kita kepada orang lain, mahluk lain, alam semesta dan kesalahan-kesalahan
masa lalu. Siapa saja yg melawannya dengan protes dan kemarahan, tidak saja
akan gagal membayar hutang karma, tapi bisa jadi malah membuat hutang karma
yg baru. Sebaliknya siapa saja yang bisa menyambutnya dengan damai, penuh
belas kasih dan hati yang bersih, ia sedang membayar hutang karma untuk
kemudian bebas.
2. Orang yang menyakiti kita bukan orang jahat, melainkan guru dharma tertinggi
yang sedang mengajar kita mengolah kesadaran. Pengalaman kehidupan yang
buruk bukan hukuman tuhan, melainkan panggilan dari alam semesta kepada kita
untuk memasuki jalan dharma yang mendalam.
Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat yang datang untuk menyakiti kita, melainkan orang
baik yang menyediakan dirinya untuk menjadi guru dharma tertinggi bagi kita
secara gratis. Dengan cara mencaci, menghina dan menyakiti kita, mereka
sesungguhnya sedang mengasah kita menjadi sabar dan bijaksana. Guru yang
sedang mengajarkan kita untuk mengolah kesadaran tertinggi. Tidak mungkin kita
menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan paham dan hafal buku suci. Tidak
mungkin kita menjadi sabar dan bijaksana hanya dengan belajar dari satguru.
Kesabaran dan kebijaksanaan paling mungkin diajarkan oleh orang yang mencaci,
menghina dan menyakiti kita, asalkan kita bisa menyambutnya dengan senyuman
dan membalasnya dengan belas kasih.
Kualitas pikiran kita tidak mungkin bisa bertambah bersih dan terang kalau
kita tidak pernah dicaci, dihina dan disakiti. Sehingga orang yang mencaci,
menghina dan menyakiti kita bukanlah racun dalam kehidupan yang membuat
kita marah benci dan dendam, melainkan kekuatan kebaikan yang membuka dan
menghidupkan cahaya kesadaran di dalam diri kita.
Jatuh sakit, kena musibah, disakiti orang lain dan segala pengalaman
kehidupan yang buruk bukanlah hukuman tuhan, melainkan panggilan dari alam
semesta kepada kita untuk memasuki jalan dharma yang mendalam. Rasa sakit
yang menyengat di dalam pikiran kita adalah pertanda kita sudah “pergi terlalu
jauh” dari kesadaran atman. Melalui pengalaman kehidupan yang buruk kita
sedang dipanggil-panggil oleh alam semesta. Kembalilah anakku, kembalilah
kepada kesadaran dirimu yang sejati, kamu sudah melangkah pergi terlalu jauh,
kembalilah kepada sujatining urip, kepada kesadaran atman.
3. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang baik yang datang untuk menyediakan
barometer gratis untuk mengukur kualitas kebersihan pikiran kita. Kalau kita
belum bisa memancarkan belas kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang
menyakiti kita, itu pertanda pikiran kita masih gelap. Karena pada pikiran yang
bersih sempurna, dia bisa bersikap penuh belas kasih bahkan kepada orang yang
mencaci, menghina dan menyakiti.
4. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang baik yang merelakan dirinya
menanggung karma buruk akibat perbuatannya itu, hanya untuk membuat kita
menjadi sabar dan bijaksana.
5. Kalau bertemu dengan orang yang mencaci, menghina dan menyakiti kita,
mereka bukan orang jahat melainkan orang yang sedang menderita. Karena
keserakahan, ketidak-puasan, kejahatan, kemarahan, kebencian dan dendam itu
suatu bentuk kesengsaraan dalam pikiran.
Disini akan terlihat jelas sekali perbedaan jnana atau cara pandang akan
menghasilkan perbedaan langkah dan sikap.
Kalau jnana kita sempit dan kita melihat orang yang mencaci, menghina dan
menyakiti sebagai orang jahat [tidak ada prajna atau kebijaksanaan], tentu yang
muncul dalam pikiran kita adalah kemarahan dan kebencian. Tapi kalau jnana kita
seluas ruang, artinya kita dapat memahami bahwa mereka sesungguhnya orang
baik yang sedang menderita, tentu yang muncul dalam pikiran kita adalah belas
kasih dan keinginan untuk menyayangi.
Kalau jnana kita sempit dan kita melihat segala pengalaman kehidupan
yang buruk sebagai hukuman tuhan [tidak ada prajna atau kebijaksanaan], tentu
yang muncul dalam pikiran kita adalah rasa tidak mendapatkan keadilan,
keinginan untuk protes atau marah tidak terima. Tapi kalau jnana kita seluas
ruang, artinya kita dapat memahami bahwa ini sesungguhnya adalah panggilan
guru untuk kembali kepada sujatining urip, tentu yang muncul dalam pikiran kita
adalah tekad kuat untuk segera memasuki jalan dharma yang mendalam.
Ketika orang jahat saja bisa kita lihat sebagai orang baik, ketika segala
pengalaman kehidupan yang buruk bisa kita lihat sebagai panggilan guru untuk
kembali kepada sujatining urip, tidak ada tempat di dunia ini yang tidak
menghadirkan kesadaran dan kemahasucian.
1. Suatu hari ada yang memaki kita : ”kamu sialan, bangsat, anjing, setan”. Kita-
pun seketika menjadi marah besar. Mengapa kita marah ? Apa karena kata-
katanya kasar dan menghina ? Lalu bayangkan kalau makian yang sama ditujuan
kepada orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kita tidak marah, padahal kata-
katanya sama kasar dan menghina. Mengapa pada kejadian pertama kita marah ?
Kita marah karena yang dimaki itu AKU.
2. Suatu hari sepeda motor kita yang sedang parkir ditabrak orang sampai rusak.
Kita-pun seketika menjadi marah besar. Mengapa kita marah ? Apa karena sepeda
motor ditabrak dan rusak ? Lalu bayangkan kalau yang ditabrak itu sepeda motor
milik orang lain yang sama sekali tidak kita kenal. Sepeda motor sama ditabrak
sampai rusak, tapi kita tidak marah. Mengapa pada kejadian pertama kita marah ?
Kita marah karena yang ditabrak sampai rusak itu sepeda motor-KU, milik-KU.
Disini terlihat jelas bahwa kita sering demikian tidak sadar ada di dalam
pengaruh ahamkara [ke-aku-an]. Dan ke-aku-an inilah penyebab kita terus-
menerus dilahirkan dalam roda samsara. Ketika ke-aku-an lenyap, roda samsara
berhenti dan kita terbebaskan.
Cara membebaskan kesadaran dari cengkeraman Kroda bagi sadhaka pemula
1. Belajarlah diam sekuat-kuatnya. Kemarahan itu jangan kita ikuti, sebab kalau
kita ikuti kita bisa terseret dan tidak terkendali jadinya.
2. Tutup mulut rapat-rapat. Kalau mulut kita terbuka, kata-kata yang keluar bisa
memanaskan situasi dan keadaan bisa menjadi semakin tidak terkontrol.
3. Sadari bahwa dalam pikiran kita muncul samskara berupa kemarahan. Lakukan
pranayama [tarik nafas keluar-masuk dalam-dalam secara teratur]. Sadari bahwa
kemarahan itu hanya ilusi pikiran saja.
4. Kalau yang nomer 3 belum bisa, boleh ganti dengan terus mengingat guru
kosmik kita [Sanghyang Acintya, Dewa Shiva, Dewi Sarasvati, dsb-nya, boleh siapa
saja]. Serahkan semua pikiran, perasaan dan tubuh kita dengan penuh kerelaan
kepada mereka dengan tingkat kepasrahan yang sempurna.
5. Kalau kita tetap juga masih belum sanggup dan merasa tidak tahan dengan
orang itu, segeralah pergi menjauh. Pergilah ke tempat-tempat yang "sejuk"
[misalnya : sanggah, pura, mata air atau beji, hutan yang sepi, dsb-nya]. Jangan
sekali-sekali pergi ke tempat-tempat yang "panas" [misalnya : pergi ke tempat
orang yang akan malah mengompori dan memanas-manasi kita].
6. Sadari bahwa dalam pikiran kita muncul samskara berupa kemarahan. Lakukan
pranayama [tarik nafas keluar-masuk dalam-dalam secara teratur]. Sadari bahwa
kemarahan itu hanya ilusi pikiran saja.
7. Kalau cara ini belum bisa, boleh ganti dengan terus mengingat guru kosmik kita
[Sanghyang Acintya, Dewa Shiva, Dewi Sarasvati, dsb-nya, boleh siapa saja].
Relakan dan serahkan semua pikiran, perasaan dan tubuh kita kepada mereka
dengan tingkat kepasrahan yang sempurna.
Hidup ini penuh dengan berbagai godaan. Sehingga kapan saja kita digoda
kemarahan, kapan saja kita digoda kesedihan, kapan saja berbagai godaan lainnya
[baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan] datang, cakupkan
tangan dalam anjali mudra dan bisik-kan ke dalam relung pikiran kita yang
terdalam : tidak saja sembahyang itu mebakti, tapi kesabaran dan belas kasih
yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak saja meditasi itu yoga, tapi
kesejukan, kedamaian dan ketenangan pikiran juga adalah yoga. Inilah jalan saya
"kembali pulang" menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi. Atma
jnana, kesadaran atman, sujatining urip.
BAB IV : LOBHA [KETIDAKPUASAN, KESERAKAHAN]
Dualitas
Kita mau hidup senang dan tidak mau hidup susah, mau yang
menyenangkan dan tidak mau yang tidak menyenangkan, mau dihormati orang
dan tidak mau dianggap sepele. Padahal tidak pernah ada hidup yang seperti itu.
Dalam kehidupan ini semua orang melewati bahagia dan sengsara, pernah dipuji
dan direndahkan, melewati sakit dan sehat, pernah sukses dan gagal. Dimana ada
kelebihan disana juga pasti ada kekurangan, dimana ada kekurangan disana pasti
ada kelebihan. Karena demikianlah kehidupan, selalu terpola dalam rwa
bhinneda.
Sebab kedua munculnya lobha adalah karena kita terseret kuat oleh hawa
nafsu keinginan. Keinginan kita liar, tidak pernah puas. Ketika sudah bisa punya
sepeda motor, ingin punya mobil. Ketika sudah bisa punya rumah kecil, ingin
punya rumah mewah. Yang sudah menikah, ingin punya istri atau suami yang
ideal. Ketika bisa punya uang satu juta, ingin punya uang lima juta. Keinginan kita
selalu tidak terpenuhi. Kita seperti berkejaran dengan bayangan sendiri. Kalau
bayangan kita kejar, tentu kita tidak akan pernah ketemu.
Untuk sadhaka pemula atau orang biasa yang pikirannya masih labil dan
goyah, masih sangat diperlukan upaya pencegahan dengan cara menjauh atau
menghindar dari godaan. Karena kalau pikiran kita masih labil dan goyah, lalu
didukung oleh lingkungan yang menggoda, itu hal yang berbahaya. Kalau tidak
perlu, hindari datang ke mall, ke pameran, membaca majalah shopping, dll.
Karena bahayanya hal seperti itu, kita tidak mendesak perlu barang-pun kita bisa
jadi beli, beli dan beli. Termasuk hindari pergaulan yang bisa mendorong kita
untuk korupsi, selingkuh, berfoya-foya, dsb-nya.
Tapi seandainya kita tidak punya pilihan, jalan berikutnya adalah melatih
dan membiasakan diri. Lingkungan hidup kita boleh penuh dengan godaan korupsi
dan ketidakjujuran, godaan selingkuh, godaan jurang kaya-miskin yang jomplang,
godaan biaya hidup mahal, godaan pola hidup konsumtif, dsb-nya. Jangan ikut
terseret atau tergoda, tapi gunakan sebagai kesempatan untuk melatih dan
membiasakan diri mengasah kepolosan, mengasah kejujuran, mengasah
kebaikan, dll. Kalau demikian caranya, godaan-godaan itu bukannya membuat
pikiran kita terbakar, tapi membuat kita bisa mereguk sejuk dan damainya tirta
[air suci] kesadaran.
Landasan dasar terpenting untuk mengikis lobha dari dalam pikiran adalah
dengan melatih dan menggembleng diri untuk “melepas” atau merelakan.
Ini bisa kita latih dengan cara terus-menerus mendidik diri untuk
melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Kebaikan, kerelaan dan pemberian
dapat berupa materi ataupun bukan materi. Yang berupa materi misalnya berupa
pemberian uang, barang, obat-obatan, makanan, dsb-nya. Sedangkan yang
berupa bukan materi bisa berwujud apa saja, misalnya sebuah senyuman,
menjadi pendengar yang baik, kerelaan demi membuat orang lain senang,
memberikan perhatian, dsb-nya.
Dari kebiasaan untuk melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan ini akan
kemudian membuat kita mudah untuk “melepas” dan merelakan. Dari kerelaan
kemudian bisa muncul upaya untuk pengertian. Dan dari keseluruhan kebaikan,
pemberian, kerelaan dan pengertian inilah yang akan membuat kita mudah untuk
membebaskan diri dari ketidakpuasan dan keserakahan.
Belajarlah untuk selalu melihat sisi terang dari setiap kejadian dengan
penuh rasa syukur, karena selalu ada keindahan dalam setiap kejadian. Gaji naik
tentu bersyukur, tapi gaji kena potong juga tetap bersyukur karena kita sedang
diajarkan oleh kehidupan untuk hemat dan mengendalikan nafsu keinginan.
Kantor nyaman bersyukur, kantor tidak nyaman juga tetap bersyukur karena kita
sedang diajarkan oleh kehidupan untuk sabar dan bijaksana. Istri cantik
bersyukur, istri tambah jelek juga bersyukur karena kita sedang diajarkan oleh
kehidupan untuk mengendalikan nafsu seks. Ciri orang yang hidupnya terang,
seluruh arah penuh dengan rasa syukur.
Rasa bingung, putus asa, cemas, resah, gelisah, takut atau bosan
merupakan reaksi pikiran terhadap apa yang dianalisa oleh pikiran kita sebagai
bahaya hidup ataupun juga ketidak-pastian hidup. Sebuah perkawinan yang
membosankan, gangguan kesehatan yang kronis, pengangguran yang
berkepanjangan, masalah keuangan, dsb-nya. Ketika tampaknya keadaan buruk
atau statis yang kita alami, tidak akan pernah membaik.
Penting sekali memupuk rasa belas kasih dalam hidup, karena dengan
demikian pikiran kita selalu lebih rela, terbuka dan lebih jernih. Apapun yang
terjadi dalam kehidupan, sifat belas kasih kita tidak boleh berkurang sedikitpun.
Sayangi, sayangi dan sayangi siapa saja dan apa saja. Menyayangi orang yang baik
kepada kita, itu mudah, tapi bisa menyayangi orang yang jahat dan menyakiti kita,
itu tanda-tanda pikiran yang sadar dan bersinar terang.
Sebab kedua munculnya moha adalah karena kita punya sikap suka
membandingkan dan menilai segala sesuatu dengan untung-rugi sangat dominan.
Dengan kata lain ahamkara [ke-aku-an] masih besar. Sehingga apapun yang kita
lakukan dan apapun yang terjadi dalam hidup, jangan lupa untuk berpikir positif.
Terutama karena semua pemikiran dan perasaan kita berawal dari pikiran.
Misalnya :
- Ketika kita sedang mengalami kegagalan, jangan lihat sebagai kelemahan dan
ketidakmampuan, tapi lihat bahwa hidup sedang memberi kita pembelajaran agar
kita bisa menjadi lebih baik lagi.
- Dsb-nya.
Ketika kita terbiasa berpikir positif pada setiap kejadian, hidup kita akan
banyak diselamatkan dari kejadian-kejadian yang lebih buruk. Sekaligus pikiran
kita akan menjadi bersih dengan sendirinya.
3. Belajar menerima hidup sebagaimana adanya dengan hati sejuk dan damai.
Hidup ini adalah karma yang berputar. Dalam putaran hukum karma, tidak
ada suatu akibat yang akan timbul tanpa adanya sebab yang nyata. Kita
mendapatkan yang baik karena akumulasi karma masa lalu dan karma saat ini kita
juga baik. Demikian juga sebaliknya, kita mendapatkan pengalaman hidup yang
buruk semata karena akumulasi karma masa lalu dan karma saat ini kita juga
buruk.
Dalam putaran karma, hidup ini adalah perubahan yang abadi. Tapi
terkadang kita sulit untuk menerimanya, padahal perubahan tidak bisa dihindari.
Lihatlah kehidupan, setiap pertemuan dengan seseorang pasti akan berakhir
dengan perpisahan, ketika kita memiliki sesuatu cepat atau lambat kita akan
berpisah dengannya, setiap jabatan atau profesi suatu saat juga harus berakhir
[paling tidak karena pensiun], dsb-nya. Lihatlah manusia, semakin tua dia semakin
lemah, jelek dan keriput. Kita harus mampu menerima dengan damai setiap
perubahan dalam hidup, karena memang demikianlah kehidupan. Kita tidak bisa
mengubahnya, yang bisa kita ubah adalah sikap pikiran kita sendiri.
Sukses atau gagal, bahagia atau sedih, bukanlah suatu hal yang akan
menghentikan roda kehidupan untuk berputar. Hadapi setiap permasalahan.
Berhentilah menghujat diri ketika kita gagal atau melakukan kesalahan. Terima
segala kekurangan diri kita dengan riang dan miliki terus kemauan untuk tetap
belajar dan berusaha dengan hati yang damai dan tenang.
Kerja adalah salah satu sarana yang baik untuk memahami sang diri dan
kehidupan. Sebab dengan bekerja kita “berkomunikasi” dengan diri kita sendiri
secara intens. Melarikan diri dari kerja, penolakan akan tugas-tugas kehidupan
kita saat ini akan menjauhkan pikiran kita dari kebahagiaan dan kedamaian.
Hanya melaksanakan kerjalah yang bisa membebaskan kita, bukan menolak untuk
bekerja dan tenggelam dalam rasa frustasi.
- Surupa, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan tubuh fisik seperti misalnya
tampan, cantik, kuat, perkasa.
- Kulina, yaitu mabuk pikiran karena keunggulan status sosial seperti misalnya
garis keturunan, kasta, memiliki jabatan tinggi, jasa-jasa kepahlawanan.
- Sura, yaitu mabuk pikiran karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang
mengganggu kesadaran seperti misalnya mengkonsumsi minuman keras,
narkoba.
Untuk pemula yang pikirannya masih labil dan goyah, selalulah berhati-hati
dan waspada dengan segala hal yang bisa membuat ahamkara, ke-aku-an atau
ego kita naik. Orang yang punya kelebihan-kelebihan, dia sering dipuji dan
dihormati. Yang harus kita waspadai dari dipuji dan dihormati adalah harga diri
kita naik. Dan harga diri yang naik inilah yang selalu menjadi sumber
kesombongan dan banyak keributan. Orang-orang yang cenderung sering bikin
ribut dan rusuh umumnya memberikan harga tinggi terhadap dirinya [baca ego-
nya]. Ketika harga diri tinggi ini tidak terpuaskan, akan mudah tersinggung dan
membuat keributan.
Ego ini macam-macam, ego untuk disebut bergengsi, ego untuk disebut
paling benar, ego untuk disebut baik, ego bahwa kita lebih tinggi dan lebih hebat,
dsb-nya. Dengan kata lain ahamkara [ke-aku-an, ego] masih sangat besar.
Hati-hati dan waspadalah dengan segala hal yang bisa membuat ego kita
naik. Menjadi orang cerdas itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina yang
kurang cerdas, pikiran kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak
musuh. Menjadi orang kaya itu bagus, tapi kalau kita sombong dan menghina,
pikiran kita menjadi kotor dan siap-siaplah kita akan punya banyak musuh. Di
jaman dimana orang-orang isinya hanya bertengkar, bertengkar dan bertengkar,
susah kita menemukan orang rendah hati yang berani mengatakan “saya yang
paling hina di tempat ini”. Kebanyakan orang mengatakan “orang lain hina, saya
yang paling mulia di tempat ini”. Atau “orang lain salah, saya yang paling benar”.
Kalau hari ini kita merasa jujur, janganlah membenci orang yang tidak jujur.
Siapa tahu suatu hari nanti keadaannya terbalik, kita yang tidak jujur. Kalau hari
ini kita tampan dan kaya, janganlah menghina orang yang jelek dan miskin.
Karena itu semua tidak kekal, sebentar lagi akan keriput dan reot. Kalau hari ini
kita menjadi guru yang didengar banyak orang, janganlah sombong kepada orang
yang tidak didengar. Karena kebenaran ada dimana-mana, siapa tahu justru kita
yang salah.
Semua orang punya peran hidup masing-masing. Orang jelek berguna untuk
membuat orang cantik terlihat jadi tambah cantik. Orang bodoh berguna untuk
membuat orang cerdas terlihat jadi tambah cerdas. Orang jahat berguna untuk
mengasah kesabaran orang baik. Sehingga sadari dalam-dalam dengan rendah
hati, kalau semuanya punya peran hidup dan cara pertumbuhan jiwa masing-
masing.
Dan menyangkut kematian ada dua macam kematian : mati yang sengsara
dan mati yang indah dan terang. Dan mati yang indah dan terang adalah dia
seperti gelombang yang mencium bibir pantai, ketika mencium bibir pantai dia
merunduk rendah hati.
Rendah hati-lah di depan kehidupan dan kematian, karena tidak ada yang
kekal abadi. Ketika kita merasa senang berlebihan atau ketika grafik hidup kita
diatas, siap-siap kita akan dibuat sengsara ketika grafik hidup kita turun. Menjadi
pejabat tinggi [bupati, gubernur, dsb-nya] itu bagus, tapi kalau kita senang
berlebihan apalagi sombong, siap-siaplah suatu hari kalau kita pensiun kita akan
dibuat sengsara oleh jabatan masa lalu itu. Menjadi selebritis yang terkenal itu
bagus, tapi hati-hati. Karena seorang selebritis sering dipuja-puji, sering dibilang
menarik, sering dibilangin yang bagus-bagus, karena itu egonya jadi besar. Akibat
ego besar, nanti ketika semuanya berlalu pikiran kita menjadi sengsara, resah-
gelisah.
Selalulah bersikap rendah hati karena tidak ada yang kekal, sehingga ketika
semuanya harus berlalu kita sudah sangat siap dan bisa menyambutnya dengan
damai dan rendah hati. Dan yang terpenting dari sikap rendah hati inilah evolusi
kesadaran kita dapat bergerak menuju penerangan.
BAB VII : KAMA [HAWA NAFSU, KEINGINAN]
1. Sebagai energi pendorong yang berguna untuk menggerakkan diri kita sehingga
bisa mengalami kemajuan dalam kehidupan.
Sebagai orang biasa atau orang awam [bukan orang suci seperti para yogi
pertapa, para maharsi, para mpu, para danghyang], tidak salah dan sangat bisa
dimaklumi kalau kita didorong oleh banyak keinginan, terutama dalam kaitan
melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita sendiri. Yaitu sebagai suami atau
istri, sebagai orang tua, sebagai pelajar, sebagai anggota masyarakat sosial, dsb-
nya. Dengan satu catatan hindari keinginan itu tidak lagi berfungsi sebagai energi
pendorong untuk hal yang baik dan mulia, tapi menjadi jebakan dan perangkap
kehidupan.
Dengan kata lain bagi orang biasa atau orang awam seperti kita, keinginan
tidak salah, jelek atau buruk, asal kitalah yang mengendalikan keinginan itu dan
bukan kita yang dikendalikan oleh keinginan.
Hawa nafsu dan keinginan memiliki beragam bentuk. Ada keinginan untuk
memiliki uang dan benda materi, ada keinginan untuk memuaskan indriya
[badan], ada keinginan untuk bersenang-senang, ada keinginan untuk memiliki
kekuasaan, ada keinginan untuk dihormati orang, ada keinginan untuk dicintai,
dsb-nya. Tapi apapun bentuk keinginan tersebut, kalau kita tidak berhati-hati,
semuanya bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kegelapan pikiran. Coba
perhatikan orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan.
Seks yang se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati semua
orang, dsb-nya. Hidupnya pasti berguncang, tidak tenang, gelisah.
Catur asrama
Sebagai orang biasa kita umumnya melewati empat tahap kehidupan yang
biasa disebut catur asrama. Dalam empat tahap kehidupan ini, idealnya bisa kita
ibaratkan seperti menanak nasi memakai kompor. Di awal menanak nasi kita
perlu api yang besar. Tapi begitu airnya mendidih, airnya mau habis, apinya kita
kecilkan.
Begitu pula dalam hidup ini, ketika kita masih di tahap Brahmacari [tahap
lajang dan belajar di sekolah] dan Grhasta [tahap menikah dan berumah-tangga],
kita masih muda dan kuat, kita perlu api yang besar. Artinya keinginan, harapan,
hasrat, gairah, ambisi atau cita-cita tidak apa-apa masih menyala-nyala, sebagai
pendorong kemajuan, dengan catatan tidak boleh melanggar dharma. Karena kita
punya kebutuhan dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi. Cirinya adalah
kebahagiaan kita ada saat keinginan terpenuhi. Ingin punya motor, kemudian
dapat motor, kita bahagia. Ingin punya rumah, kemudian dapat rumah, kita
bahagia. Ingin gaji naik, kemudian gaji naik, kita bahagia.
Tapi begitu umur kita bertambah dan kita menua [idealnya mulai saat
memasuki umur 45 tahun], di depan gerbang tahap Vanaprastha [tahap belajar
melepas keduniawian], apinya secara bertahap harus mulai kita kecilkan. Cirinya
kita tidak lagi bahagia karena keinginan kita terpenuhi, tapi karena pikiran positif,
rasa syukur yang mendalam dan sikap penuh kerelaan.
Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau menderita, itu adalah hakikat
dasar semua mahluk. Sehingga setiap orang mencari kebahagiaan dengan caranya
masing-masing. Tanpa dualitas baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah,
para maharsi mengajarkan kalau manusia dan mahluk-mahluk lainnya berada
pada tingkat pertumbuhan atau evolusi jiwa-nya masing-masing dalam roda
samsara.
Sebagai orang biasa atau orang awam [bukan orang suci] selama kita masih
memakai badan manusia biasanya cukup sulit untuk melepaskan diri dari hawa
nafsu dan keinginan. Untuk itu kita memerlukan tangga-tangga panduan terhadap
bagaimana kita bersikap terhadap hawa nafsu dan keinginan. Agar kita benar-
benar memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya dan bukan kebahagiaan
palsu, serta agar kita bisa menggunakannya sebagai sarana bagi pertumbuhan
kesadaran kita. Ada empat macam kebahagiaan terkait hawa nafsu dan keinginan,
sesuai dengan tahap pertumbuhan kesadaran, yaitu :
1. Ashanti.
Ini adalah orang yang tunduk serta terseret habis oleh hawa nafsu
keinginan sendiri. Dimana keinginannya liar, tidak pernah puas [lobha]. Akibatnya
tentu saja kesengsaraan yang tidak pernah berakhir.
Misalnya saja :
- Ketika sudah bisa punya mobil Kijang, dia bandingkan dengan mobil BMW.
- Ketika sudah bisa punya rumah, dia bandingkan dengan rumah mewah.
- Sudah menikah punya suami atau istri, dia banding-bandingkan dengan orang
lain yang tampan atau cantik.
- Mampu menghasilkan uang satu juta, dia bandingkan dengan uang lima juta.
Ciri lain orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan :
seks yang bebas se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati
semua orang, dll. Sangat sulit menemukan kebahagiaan atau kedamaian, karena
keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-citanya
selalu tidak terpuaskan. Orang seperti ini cenderung mudah gelisah, sering resah
dan cepat marah. Tidak sadar bahwa dia akan menyakiti dirinya sendiri dan orang
lain.
Misalnya saja :
- Orang yang bahagia bisa beli HP model baru, senangnya paling lama dua bulan,
karena kemudian sudah ingin beli model yang lebih baru lagi.
- Karyawan yang bahagia karena naik gaji, paling lama dua minggu sudah merasa
kurang lagi.
- Damai karena paginya disayang dan dimanja istri, sorenya damainya lenyap
karena istri marah-marah.
- Gembira dan puas karena malamnya menonton lawakan di TV, besok paginya
gembira dan puas lenyap tidak tersisa karena boss di kantor marah-marah.
- Bahagia, puas dan damai karena dipuji serta dihormati orang, tapi berikutnya
bahagia, puas dan damai seketika hilang lenyap karena ketemu orang yang
menghujat - menghina kita.
- Damai karena bisa makan enak di restaurant, besoknya damainya sudah hilang
karena ban mobil pecah di jalan dan sangat sulit mencari bengkel.
Dengan catatan gunakan semua hal itu sebagai energi pendorong kemajuan
kehidupan dan hindari semua hal itu menjadi perangkap kehidupan.
3. Daya Shanti.
Kita damai dan bahagia melalui sifat belas kasih, penuh kebaikan,
melepaskan, merelakan dan memberi. Dengan selalu membahagiakan orang lain,
dengan sering melakukan kebaikan-kebaikan. Dengan demikian kita tidak saja
menumpuk akumulasi karma baik, tapi sekaligus juga menjernihkan pikiran kita
sendiri.
Termasuk juga dengan banyak melepas dengan penuh kerelaan dan pikiran
positif, seperti misalnya :
- Tidak saja ketika istri lagi baik ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika istri lagi
marah-marah juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa
syukur yang mendalam dan penuh kerelaan, karena istri yang lagi marah sedang
menjadi guru tertinggi yang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana.
- Tidak saja ketika sedang sehat ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika lagi sakit
keras juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa syukur
yang mendalam dan penuh kerelaan, karena sakit keras membuat kita banyak
membayar hutang karma.
Kebahagiaan atau kedamaian yang muncul dari sikap belas kasih, penuh
kebaikan, melepaskan, merelakan dan memberi tidak saja sifatnya mulai dalam
dan kokoh. Ini sekaligus adalah tahap kesadaran dimana belas kasih, kebaikan dan
kebijaksanaan mulai mekar bersemi. Tahap kesadaran dimana perjalanan menuju
kesucian dan kesempurnaan kesadaran atman dimulai.
4. Manah Shanti.
Ini adalah tahapan kesadaran tertinggi. Tahapan orang suci. Tahapan jivan-
mukta [orang yang sudah terbebaskan]. Ketika seseorang seluruh kegelapan
pikiran [sad ripu] dan ke-aku-an [ahamkara] dalam dirinya sudah lenyap
sempurna. Dia berhenti digerakkan oleh hawa nafsu dan keinginan dan yang
sepenuhnya bekerja adalah penyatuan dirinya dengan alam semesta.
SADHANA IV : SVADHARMA
Melaksanakan tugas-tugas kehidupan
Karena itu tidak hanya ngayah dan sembahyang ke pura adalah jalan
dharma, tidak hanya meditasi adalah jalan dharma, melaksanakan kerja-pun juga
adalah jalan dharma. Burung-burung bekerja giat mencari makan untuk anak-
anaknya, monyet-monyet bekerja giat mencari kutu dan membersihkan bulu
anak-anaknya. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa protes. Laksanakan
svadharma atau tugas-tugas kehidupan kita masing-masing [menjadi guru,
pegawai, orang tua, gubernur, dsb-nya] dengan sebaik-baiknya, tapi apapun
hasilnya terima dengan pikiran damai. Disana kerja bukan saja wujud nyata belas
kasih dan kebaikan, tapi sekaligus jalan menuju kesadaran terang.
BAB II : MELAKSANAKAN SVADHARMA MASING-
MASING SECARA TEPAT
Hidup ini bisa disimbolikkan seperti mulut. Terdapat bagian yang keras
[gigi] dan terdapat bagian yang lembut [lidah]. Gigi [yang keras] berguna untuk
memotong dan mengunyah, lidah [yang lembut] berguna untuk merasakan.
Keduanya musti dimanfaatkan pada desa, kala, patra [tempat, waktu dan situasi]
yang tepat. Begitu juga halnya dalam melaksanakan svadharma kita di dalam
keseharian, pelaksanaannya disesuaikan dengan panggilan svadharma kita
masing-masing.
Kalau svadharma kita polisi atau tentara, hendaknya pikiran kita laksana
seorang yogi, tapi tindakan kita laksana seorang ksatria. Maksudnya “di dalam”
pikiran kita sesuci dan sebersih mungkin, tapi “diluar” sikap dan tindakan kita
tegas dan menegakkan aturan [hukum]. Sebagai seorang polisi atau tentara, kalau
tiba saatnya kita musti menembak penjahat, tembaklah dengan penuh kesadaran.
2. Ketika pilihan itu [misalnya menembak penjahat] tidak bisa dihindari lagi.
3. Dilakukan dengan kesadaran. Yaitu : tanpa motif atau keinginan pribadi [tapi
untuk menegakkan hukum]. Tanpa dualitas aku dan kamu, menang-kalah, hidup-
mati, benar-salah, sukses-gagal, tapi semata-mata untuk melaksanakan
svadharma. Diluar kita keras tapi di dalam tetap hening sempurna.
Laksana lidah dan gigi, kombinasi keras dan lembut adalah hal yang boleh
digunakan untuk jenis svadharma tertentu. Asal menggunakannya di tempat dan
waktu yang tepat. Tentu akan kacau kalau dalam makan kita memotong dan
mengunyah memakai lidah [yang lembut] terus, begitu juga sebaliknya kalau
dalam makan kita memakai gigi [yang keras] terus menerus. Tapi bukan berarti
kalau begitu kita sedikit-sedikit lalu memakai kekerasan. Karena keras dan lembut
semua ada tempatnya masing-masing. Mulut sebagai simbolik kehidupan, ada
yang lembut dan ada yang keras tidak apa-apa sepanjang digunakan pada tempat
dan waktu yang tepat.
Contoh selain polisi atau tentara misalnya svadharma kita sebagai seorang
atasan di kantor atau orang tua di rumah. Kalau ada tiba saatnya kita harus marah
kepada bawahan atau anak kita, lakukan dengan tiga pagar diatas. Kita marah
karena pilihan itu tidak bisa dihindari lagi. Kita marah sebatas untuk mendidik
[agar tidak berbahaya] bukan untuk menyudutkan atau menjatuhkan. Yang
dimarahi juga hanya sebatas kesalahannya saat itu saja, jangan pernah
mengaitkan dengan kepribadiannya atau kesalahannya di masa lalu. Serta
dilakukan dengan penuh kesadaran, artinya diluar kita memarahi [yang sifatnya
mendidik], tapi di dalam kita tidak tersentuh, tetap hening dan damai.
BAB III : KARMA YOGA SEBAGAI PENYEMPURNA
SELURUH SADHANA DAN YOGA
Kerja adalah salah satu sarana yang baik untuk memahami diri sendiri dan
kehidupan. Sebab saat kita bekerja, kita tidak saja mendapatkan uang dan materi
untuk membiayai kehidupan, tapi dengan bekerja kita juga bisa mendapat banyak
pelajaran baru dalam kehidupan. Kegagalan tidak hanya menghasilkan kesedihan,
tapi juga bisa menghasilkan hadiah yang sangat berharga, yaitu kebijaksanaan dan
kesabaran. Kesuksesan memang menghasilkan pujian dan penghormatan, tapi
juga bisa menghasilkan godaan-godaan kehidupan yang menjerumuskan.
Tidak ada yang salah dengan keinginan dan harapan, sebab kalau dikelola
dengan baik dia adalah energi pendorong yang menggerakkan diri kita sehingga
bisa mengalami kemajuan dalam kehidupan. Tapi kedamaian, kebahagiaan dan
kesadaran menjadi lenyap kalau sebagian besar hidup ini hanya diisi kegiatan
berlari mengejar harapan dan keinginan. Tidak hanya melelahkan dan tidak punya
arah, tapi juga tidak sampai dimana-mana.
Berusaha dan bekerja keras dengan sebaik-baiknya karena itu juga bagian
dari dharma, tapi dengan keterikatan akan hasil yang sangat terkelola. Dengan
bekerja dan ngayah, kita melakukan yoga. Karena melalui langkah-langkah kerja
kita membuat yang mahasuci menjadi nyata. Buah kelapa menjadi santan, batu
dan kayu menjadi rumah, sampah menjadi pupuk, mahasiswa menjadi sarjana,
orang sakit menjadi sembuh, dsb-nya. Itu semua langkah-langkah kerja yang
membuat yang mahasuci menjadi nyata. Diri kita sudah tidak penting lagi, yang
penting adalah mahluk lain. Tidak hanya sebatas di pura, tapi seluruh gerak nafas
dalam kehidupan kita menjadi ngayah.
PENUTUP
Apapun jalan religius atau jalan spiritual yang kita tempuh, catur sadhya-
sadhana adalah empat sadhana yang menjadi intisari dari semua sadhana. Karena
catur sadhya-sadhana yang akan menjadi penjaga, pelindung dan pembimbing
paling menentukan bagi perjalanan spiritual kita menuju kesadaran sempurna dan
kemahasucian.
Misalnya [sebuah contoh] anda seorang praktisi Tantra. Dimana salah satu
landasan praktek seorang praktisi tantra adalah melakukan pengolahan energi
adi-alami [shakti] yang akan membuatnya menjadi siddhi, atau memiliki kekuatan
niskala yang luar biasa. Bila digunakan dengan berlandaskan catur sadhya-
sadhana, maka siddhi akan membuat seorang tantrika [sadhaka tantra]
mengalami kemajuan peningkatan kesadaran yang pesatnya tidak tertandingi.
Tapi bila digunakan secara salah, seperti misalnya dikomersialkan atau digunakan
untuk menyakiti, maka siddhi akan membuat seorang tantrika tenggelam lebih
dalam kepada jeratan hukum karma dan siklus samsara. Shakti adalah energi.
Shakti harus selalu dikendalikan, karena bila tidak dia akan tidak berguna atau
berbahaya. Sebaliknya shakti akan menjadi sangat berharga bila dia dikendalikan.
Dan pengendali shakti yang terbaik adalah empat sadhana utama atau catur
sadhya-sadhana.
Atau sekalipun anda hanya orang biasa atau orang awam, atau bahkan
tidak beragama Hindu sekalipun, bila anda secara sungguh-sungguh
melaksanakan catur sadhya-sadhana dalam kehidupan sehari-hari, anda juga
seorang sadhaka yang sedang menempuh jalan suci menuju kesadaran sempurna
dan kemahasucian.
Selain itu kecerdasan spiritual kita akan jauh meningkat, misalnya kita akan
lebih mudah memilah mana ajaran suci dan mana ajaran agama yang manipulatif
atau dimuati kepentingan. Ketika kita mempelajari ajaran dharma dari alam-alam
suci kita akan lebih mudah tersambung, paham dan mengerti.
Dampak khusus [bagi orang-orang tertentu] bila mata bathin atau mata
ketiga anda sudah terbuka, artinya anda bisa melihat mahluk-mahluk atau alam
niskala, anda akan memiliki kecenderungan untuk tersambung dengan dewa-dewi
tingkat tinggi atau alam niskala yang mahasuci. Mahluk-mahluk alam bawah tidak
akan tertarik untuk berinteraksi terlalu dekat dengan anda karena “frekuensi”-nya
berbeda. Anda juga akan mudah membedakan mana mahluk-mahluk alam
bawah, mana mahluk setengah dewa, mana dewa-dewi alam suci dan mana
dewa-dewi alam-alam mahasuci.
Semua hal ini disebabkan hukum alam semesta, dimana kesucian hanya
bisa terhubung rapi dengan kesucian. Artinya kita hanya bisa terhubung dengan
kesucian kosmik kalau di dalam diri kita juga suci.
Tidak hanya sebatas itu saja, dampak yang tidak terlihat adalah,
sesungguhnya kita sekaligus juga sedang mulai menimbun harta karun kesadaran
dan karma baik, yang akan menjadi sumber keselamatan dan penerangan bagi
kita baik di dalam perjalanan kehidupan maupun di dalam perjalanan kematian.
Satu dari lima unsur alam semesta [panca maha bhuta] yang menjadi
simbolik kesadaran sempurna adalah ruang [akasha]. Kalau dalam kehidupan kita
masih ada merasa tidak puas, merasa dirugikan, merasa sengsara, merasa tidak
adil, itu hanya tanda bahwa pikiran masih sesempit diri sendiri [ego, ke-aku-an,
ahamkara]. Semakin besar ego kita maka kerugian, kesengsaraan dan
ketidakadilan terasa semakin menyakitkan.
Kerugian, kesengsaraan dan ketidak-adilan hanya bisa disambut dengan
senyuman dan dibalas dengan belas kasih oleh pikiran manusia yang seluas ruang,
seluas alam semesta [chittakash]. Ruang merangkul dan menyediakan tempat
bagi apa saja dan siapa saja tanpa membeda-bedakan. Ruang mewakili ke-tidak-
terhinggaan keheningan sekaligus ketidakterbatasan belas kasih. Inilah chittakash,
kesadaran yang seluas ruang [alam semesta], manunggal dengan keseluruhan
alam semesta. Atman Brahman Aikyam.
Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :
tattwahindudharma.blogspot.com
facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Pertemuan dengan guru pertama-nya di tahun 2007 dan pertemuan dengan guru
kedua-nya beberapa tahun setelahnya, kemudian membawa perubahan besar,
dimana dia mulai memberikan komitmen menyeluruh kepada spiritualisme. Dia
juga mulai banyak melakukan tirthayatra penjelajahan ke berbagai pura-pura
pathirtan kuno, sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.