Anda di halaman 1dari 57

NITI SHASTRA 5.

0
Dharmaning Ksatrya Dalem Amangku Bhumi

I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa


Niti shastra 5.0
Dharmaning Ksatrya Dalem Amangku Bhumi
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimaksud dalam Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Penerbit:

PT. Japa Widya Duta

Jl. Sedap Malam No. 16, Sanur Kaja, Denpasar

Telp. 0819 - 1300 - 8000


Hak cipta dilindungi undang-undang.



Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh 

isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis atau penerbit
Buku Ini dipersembahkan Kepada

Semoga Senantiasa Sehat & Bahagia

Salam Hormat

dr.I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa


Niti shastra 5.0
Dharmaning Ksatrya Dalem Amangku Bhumi

Penulis:

dr. I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa

Penyunting:

dr. Ni Putu Dewi Indriyani,M.Biomed,Sp.PD

Desain & Cover:


I Komang Ade Verawan
ISBN : dalam proses

Cetakan I: Januari 2020
KATA PENGANTAR
Ida dalem smaraputra Shri coma kepakisan

Om Swastyastu

Mendengar paparan serta membaca naskah buku Niti


Shastra 5.0 ini, saya merasa bahagia dan haru atas buah karya
dari dokter yang begitu mengakar kepada budaya. Saat ini
dibutuhkan lebih banyak tulisan populer seperti ini, sebagai
“jembatan” antara generasi tua dengan generasi muda, yang
mungkin merasa terlalu berat bila membaca naskah asli Niti
Shastra.

Tulisan ini tidak saja mencerminkan esensi dari ajaran Niti


Shastra namun lebih dari itu, bagaimana transfer knowladge
dilakukan di tingkat keluarga, hingga kemudian ajaran Niti
Shastra diaktulisasikan di kehidupan sehari-hari. Tulisan ini
mengangkat Niti Shastra tidak saja sebagai bahan renungan
dan bacaan, namun sebuah pedoman hidup yang dapat
diterapkan di era industri 4.0 dan society 5.0

I
Penulis tidak saja menunjukkan bahwa ajaran leluhur kita di
Bali, masih relevan untuk dipelajari, namun berani memberi
jawaban tegas atas ambiguitas seputar dunia leyak, yang
tidak jarang menjadi kambing hitam atas suatu musibah yang
dialami manusia Bali.

Besar harapan saya kepada penulis untuk tetap menjaga


konsistensi dalam mengangkat shastra-shastra peninggalan
leluhur sebagaimana Ida Lelangit Shri Arya Sentong, oleh
kedalaman shastra dan laku kasampurnan yang dikuasai di
jamannya hingga dianugrahi gelar kehormatan sebagai
Ksatrya Dalem Amangku Bhumi. Memelajari shastra tidak
cukup dibaca atau dinyanyikan saja, namun bagaimana
menjadikannya pedoman hidup dalam menjalankan swadarma
sebagai manusia Bali yang berbudi pekerti luhur, dapat
mengasihi setiap makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.

Sebagai seorang yang dituakan, saya mengucapkan selamat


sekaligus memberi restu, semoga buku ini menjadi sebuah
undangan kepada para ksatrya-ksatrya yang memiliki
kecintaan dalam melestarikan nilai-nilai luhur dalam pelbagai
s h a s t r a peninggalan leluhur. Semoga Sang Hyang Parama
K awi ser ta mer ta melindungi dan
memberkahi kita semua dengan sinar
sucinya.

Om Shanti-Shanti-Shanti Om

Ida Dalem Smaraputra Shri Coma Kepakisan


Abiseka Ratu ke-22
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadapan Ida Hyang Parama Kawi, yang


menjadikan semua kehampaan mengadakan diri dalam
berbagai wujud dan nama terbaik yang diketahui oleh
shastra yang diturunkan diberbagai jaman. Terima Kasih
kepada Hyang Parama Kawi menjadikan DIRI sebagai
sumber shastra DIA disebut sebagai Hyang Aji Saraswati,
mengalirkan pengetahuan suci bagai aliran air dari
sumber mata air dipegunungan menuju ke lautan.

Terima kasih kepada dr. Ni Putu Dewi Indriyani,


M.Biomed, Sp. PD atas suport penuh terhadap kegiatan
“nyastra” yang menyita sebagian waktu untuk keluarga.
Terima kasih kepada kedua putra dan putri yang
memunculkan berbagai inspirasi dalam doa terbaik dalam
menyiapkan kalian menjadi manusia Bali yang berbudi
pekerti luhur. I Gusti Ngurah Agung Adi Mahayasa &
I Gusti Ayu Alisya Devya

III
Penulis bersama istri dan anak-anak

Terima Kasih kepada kedua orang tua sebagai Guru


Rupaka, I Gusti Ngurah Putu Abdi dan Mekel Sari telah
memberikan pendidikan terbaik selama ini. Terima kasih
kepada para kakek, Alm. I Gusti Ngurah Temaja, Alm. I
Gusti Ngurah Dilla, I Gusti Ngurah Putra AS, I Gusti
Ngurah Windya dan Keluarga Besar Pasemetonan
Ageng Trah Shri Arya Sentong.

Terima Kasih yang tidak terhingga diucapkan kepada Ida


Dalem Semaraputra Coma Kepakisan dan Ibu Putu
Putri Suastini Koster atas kesediaannya memberi
pengantar pada tulisan ini. Terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak I Nyoman Suwirta, Alm. I Ketut Pesta, I
Wayan Sukadana atas pembelajaran politik & sosial
selama ini di bumi srombotan.

IV
Penulis bersama pengurus pusat Pasemetonan Ageng Trah Shri Arya Sentong

Terima Kasih juga diucapkan kepada Bapak Komang


Ade Verawan, yang membantu penulis dalam menyiapkan
grafis dalam karya ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kepada para pembaca yang senantiasa menjadi sahabat
diskusi dan tentu besar harapan penulis dalam mendapat
berbagai masukan yang menbangun dalam menulis karya
selanjutnya.

Penulis membayangkan dapat berkorespodensi secara


langsung dengan Anda sebagai pembaca budiman, yang
senantiasa memiliki kecintaan yang sama terhadap
warisan budaya Bali. Namun ruang dan waktu dalam era
industri 4.0 dan society 5.0 ini bukanlah suatu hambatan,
penulis biasa berkorespodensi melalui media sosial,
yakni ;

FBpage @ekasanthosa,
IG @ekasanthosa,
Email : ekasanthosa@gmail.com
Web. : www.ekasanthosa.com

Semoga tulisan ini senantiasa bermanfaat untuk kita


semua. Rahayu
V
DAFTAR ISI

Kata Pengantar I
Ucapan Terima Kasih III
Daftar Isi VI
Prolog VII
Bagian I
Bab I : Setiap Rumah Adalah Sekolah
Bab II : Bahasa Hati
Bab III : Niti Shastra dalam Kehidupan

Bagian II
Bab IV : Mengenal Leyak
Bab V : Ilmu Hitam VS Ilmu Putih
Bab VI : Pesan Dari Lemah Tulis

Bagian III
Bab VII : Psikodinamika Leyak
Bab VIII : Teknik Pelepasan
Bab IX : Meditasi Tantra
Penutup

VI
PROLOG

Kitab Niti Shastra merupakan kitab kuno yang ditulis di


zaman pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15. Teks
Kakawin Nitisastra merupakan salah satu warisan budaya
bangsa Indonesia yang menyimpan informasi dan
pengetahuan tradisional tentang norma, budi pekerti,
pendidikan, ilmu politik serta kepemimpinan. Naskah ini
dipandang sangat penting untuk membina mental dan
meningkatkan keyakinan.

Banyak para tokoh yang mengatakan bahwa Artha Sastra,


Niti Sastra, Raja Dharma, Raja Niti, dan Dhanda Niti itu
adalah sama. Padahal ajaran ini hanya beda nama dan
penyebutan saja. Satu sisi, orang awam menganggap Niti
Sastra adalah hanya pedoman yang isinya tentang petuah
untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang pemimpin
yang dalam hal ini disejajarkan dengan ilmu ‘politik’.

VII
Dilain hal, Kakawin Nitisastra ternyata dapat dipandang
sebagai model pola asuh anak menurut perspektif
budaya Bali. Dimana proses perlakuan anak dianggap
sebagai kewajiban agama di samping kewajiban biologis.
Hak anak yang dijelaskan dalam teks Kakawin Nitisastra
meliputi hak anak untuk tumbuh dan berkembang, hak
untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan
perhatian, kasih sayang, dan perlindungan dari berbagai
tindakan kekerasan.

Kakawin Nitisastra seolah-olah mengajak para orang tua


agar berbuat melebihi induk burung dalam hal
memperhatikan, memelihara, dan memberi kasih
sayang kepada anak-anak. Perumpamaan tersebut dapat
dipahami sebagai bentuk penyadaran bagi manusia
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang lebih tinggi daripada
hewan karena memiliki tiga pramana, yaitu bayu (daya
gerak), sabda (daya suara), dan Idep/Wiweka (daya
pikir).

Disebutkan bahwa pada usia lima tahun, orang tua patut


memperlakukan anaknya sebagai PANGERAN yang
disayang dan dimanjakan. Ada kemungkinan hal yang
melatarbelakangi pola asuh anak semacam itu didasari
pandangan bahwa anak yang berusia nol sampai lima
tahun dipandang masih dalam masa pertumbuhan dan
belum memiliki nalar yang kuat. Pada usia 10 tahun,
menurut teks Kakawin Nitisastra merupakan masa ideal
bagi orang tua untuk memberikan pendidikan dan
pelatihan kepada anak khususnya tentang budi pekerti.

VIII
I Gusti Ngurah Putra AS, Dalang Senior dari Jro Bebalang Perean sedang
menuturkan kisah wayang kepada penulis

Lebih jauh, teks Kakawin Nitisastra menjelaskan bahwa


pada usia 16 tahun, orang tua patut memperlakukan
anak sebagai SAHABAT. Pada usia inilah, anak sudah
menuju kematangan fisik dan mental, tumbuh menjadi
remaja dengan dimensi interpersonal yang muncul dalam
tegangan antara ego identity dengan role confusion. Setelah
berusia 20 tahun, seorang anak sudah dianggap memiliki
kematangan dalam asmara dan teks Kakawin Nitisastra
meng anjurkan anak mendapatkan pendidikan
kepemimpinan dari tingkat keluarga.

Setiap Rumah adalah Sekolah


Sebagaimana anak-anak Bali lainnya, penulis tidak
langsung membaca teks Niti Shastra, namun dituturkan
secara langsung oleh para kakek, melalui berbagai kisah
wayang, baik itu dipetik dari kisah Ramayana, Mahabrata,
Arjuna Wiwaha atau kisah perjuangan pasukan Ciung
Wanara dibawah komando Alm. I Gusti Ngurah Rai,
yang jika ditarik garis keatas, maka kami bertemu pada
satu ‘hulu” yang sama, yakni sama-sama Trah Ida Lelangit
Shri Arya Sentong.
IX
Sejak usia lima tahun, penulis sering terpapar berbagai
kisah yang dituturkan oleh Tukak Dalang dan Tukak
Topeng, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Topeng
Tugek Carangsari. Hingga kemudian saat menempuh
pendidikan kedokteran di Surabaya, Tukak Dilla (kakak
sulung dari Topeng Tugek Carangsari) melanjutkan
pendidikan keluarga dengan menjerusmuskan penulis ke
dalam Keluarga Silat Nasional Perisai Diri.

Materi tidak lagi disampaikan dalam bentuk wiracerita,


namun dituangkan dalam gerak silat dalam praktek serang
hindar. Dalam serang hindar, pesilat dituntun untuk
menata sikap sebagai fondasi dari pertahanan dan
serangan, pun sebagai sebuah state of mind dari kondisi
mental. Materi diberikan dengan menggerakkan sikap
kuntul, meliwis, harimau, garuda, naga, pendeta,
kastria, putri hingga teratai. Masing - masing sikap
terdiri dari beberapa kedalaman, dari mengetahui,
mengerti, memahami, menghayati hingga kemudian
mengamalkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Awalnya penulis selalu mengalami kesulitan dalam


menghubungkan nilai-nilai dari masa lalu yang
disampaikan dalam cerita wayang, apalagi kemudian
diterjemahkan dalam gerak silat, hingga kemudian oleh
berbagai pengalaman berorganisasi semua bertautan
dalam ruang dan waktu. Yang pada kesimpulannya,
bahwa kebijaksanaan masa lampau dalam Niti Shastra
masih sangat relevan di revolusi industri 4.0 dan society
5.0.

XI
I Gusti Ngurah Windya ,Penari Topeng Tugek Carangsari dari Jro Dauh Bebalang
Carangsari sedang menuturkan kisah topeng kepada penulis

Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang


mengkolaborasikan teknologi cyber dan teknologi
otomatisasi. Konsep penerapannya berpusat pada konsep
otomatisasi yang dilakukan oleh teknologi tanpa
memerlukan tenaga kerja manusia dalam proses
pengaplikasiannya.

Hal tersebut tentunya menambah nilai efisiensi pada


suatu lingkungan kerja di mana manajemen waktu
dianggap sebagai sesuatu yang vital dan sangat
dibutuhkan oleh para pemain industri. Selain itu,
manajemen waktu yang baik secara eksponensial akan
berdampak pada kualitas tenaga kerja dan biaya produksi.

Sedangkan Perdana Mentri Jepang belum lama ini


mengemukakan konsep "Society 5.0". Ini merupakan
konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-
centered) dan berbasis teknologi (technology based).

XII
Di dalam konsep "Society 5.0" ini, manusia akan
berperan lebih besar dengan mentransformasi big data
menjadi suatu kearifan baru yang pada akhirnya
meningkatkan kemampuan manusia untuk membuka
peluang -peluang bagi kemanusian demi tercapainya
kehidupan bermakna.

Kekuatan Memilih adalah Kekuatan


Untuk Berubah

Waktu terus berubah demikian juga dengan trend, namun


semua memiliki persenyawaan, yakni SIKAP (Attitude)
dalam menyikapi situasi kondisi yang dihadapi.
Kebijaksanaan kuno dalam Niti Shastra ternyata
melampaui jamannya, kaidah-kaidah dalam kitab ini
masih sangat layak dipergunakan di era revolusi industri
4.0 dan society 5.0.

Niat untuk menulis buku ini berawal dari pertanyaan


seorang kawan di sebuah kedai kopi. Pertanyaannya
sederhana, namun membuat geram, sekaligus takut bila
pertanyaan yang sama dilemparkan ke anak-anak penulis
kelak. Apa mereka juga bisa menjawab? . Pertanyaannya
seperti ini; “Di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0
ini apakah ajaran kuno Bali masih relevan untuk
dipelajari?. Kedua, “Jika ada ajaran kuno yang masih
relevan, yang mana itu? Dan apakah itu memengaruhi
karier Anda selama ini?. Ketiga, “Orang Bali
cenderung memiliki rasa iri hati dengan sesamanya,
jika ada saudara yang sukses, mulai deh “ngeleakin”
sehingga menjadi sakit, apa betul demikian”
XIII
Jujur saja, pertanyaan itu sifatnya netral, namun saat
pertanyaan ini muncul setelah diskusi tentang banyaknya
kadal gurun yang mengambil berbagai kesempatan
ekonomi di Bali, pertanyaan ini menjadi memiliki nuasa
“emosi” yang berbeda.

Sebagai salah satu orang Bali, penulis merasa memiliki


kewajiban untuk menjawabnya dengan tuntas, bukan
dengan pembenaran namun dengan realitas yang
penulis alami sendiri. Zaman memang berubah namun
masih banyak orang Bali yang melanjutkan ajaran
leluhurnya dan mampu berkompetisi di era kekinian,
apapun sebutannya nanti.

Buku ini hadir sebagai sebuah jawaban sekaligus


pelurusan terhadap beberapa paradigma yang muncul
dan tersebar luas di masyarakat tanpa ada upaya
pelurusan secara masif. Karya ini bukan karya final,
namun setidaknya memulai tradisi baru dalam menyikapi
pelbagai pertanyaan sensitif dan ambigu seperti diatas.
Paling tidak catatan ini disiapkan untuk anak-anak dan
adik-adik yang mencintai Bali dengan segala tradisnya.

Buku ini terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut ;


Bagian I : Menjawab pertanyaan pertama dan kedua
dengan memberikan suatu gambaran nyata
dari pengalaman penulis bagaimana ajaran
kuno ini diajarkan dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.

XIV
Bagian II : Menjawab pertanyaan tentang Leyak;
bagaimana serta psokodinamika ilmu ini
bekerja, serta pelbagai mitos dan fakta
tentang leyak

Bagian III : Kajian saint tentang berbagai ilmu


kediatmikan Bali serta aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari. Dilengkapi dengan
teknik pelepasan dan pengantar meditasi
kesehatan.

Sebaiknya buku ini dibaca runut dari depan ke belakang


untuk mendapat manfaat optimal. Beberapa teknik yang
dibagikan telah teruji aman dan ampuh dalam melewati
pelbagai konflik yang sering dihadapi sehari-hari, baik
konflik di dalam diri maupun konflik dengan orang lain.
Namun yang lebih penting teknik yang “dibocorkan”
pada bagian III merupakan teknik yang biasa penulis
berikan di pelatihan, khususnya untuk “ngarad” atau
menarik berbagai keinginan dan harapan di berbagai
aspek kehidupan, berdasarkan nilai-nilai luhur shatra yang
kita wariskan, khususnya di Bali.

Akhir kata, penulis mohon maaf atas kesalahan atau


ketidaksempurnaan dalam penulisan buku ini. Semoga
senantiasa kita selalu dalam lindungan dan kasihNYA.

Demikianlah Adanya

XV
BAGIAN I

NITI SHASTRA 5.0


Dharmaning Ksatrya Dalem Amangku Bhumi
BAB I
SETIAP RUMAH ADALAH SEKOLAH

Ring janmādhika meta citta rêsêping sarwa prajāngenaka.


Ring strī-madhya manohara priya wuwustangde manah kūng lulut.
Yang ring madhyani sang pinandita mucap tatwopadeça prihên.
Yang ring madhyanikāng musuh mucapakên wāk-çūra singhākrêti.
Niti Shastra, Bait 4

Orang yang terkemuka harus bisa mengambil hati dan menyenangkan hati
orang; jika berkumpul dengan wanita, harus dapat mempergunakan
perkataan-perkataan manis yang menimbulkan rasa cinta; jika berkumul
dengan pendeta, harus dapat membicarakan pelajaran-pelajaran yang baik;
jika berhadapan dengan musuh, harus dapat mengucapkan kata-kata yang
menunjukkan keberaniannya seperti seekor singa.
Lahir dari keluarga yang mewarisi gelar “I Gusti Ngurah”
penulis aggap sebagai sebuah siksa dunia. Kenapa
demikian? Memegang tradisi sebagai anak pertama Ajik
diwajibkan menjadi contoh untuk adik-adik dengan
menikah dengan sesama wangsa yang akhirnya berujung
pada perpisahan. Namun garis tangan berkata lain,
menempuh pendidikan di Malang pada sekolah keguruan,
Ajik dan Ibu bertemu dengan latar belakang yang sama.
Sama-sama lari dari sistem perjodohan. Keduanya telah
memiliki putri dan sampai saat ini menjadi kakak yang
sangat baik dan menyenangkan.

Sebagai orang Jawa, keturunan seorang demang, Ibu tidak


lebih dari orang asing yang dicap sebagai “nak jawa”,
yang mendapat nama Mekel Sari setelah menikah Dengan
Ajik. Berasal dari Sendang, Tulungagung, keluarga Ibu
termasuk abdi dalem pada jaman pemerintahan kerajaan
Kediri. Sampai saat ini masih banyak peninggalan berupa
keris, peti kayu besar, tanah, dan yang paling penting
adalah kearifan leluhur yang oleh kebaikan hati paman
Ranianto, disaat kami kecil senang mengisahkannya
kepada kami. Sampai kemudian setelah dewasa, Buku
Sangkan Paraning Dumodi yang menjadi pegangan
hidup keluarga Ibu di Jawa diwariskan kepada penulis.

Beda lagi dengan keluarga di Bali, hidup di dalam tradisi


desa yang masih ortodok semua masih mengunakan
pakem kekunoan, hingga kemudian perbedaaan velue dan
strata pendidikan membuat Ajik memutuskan untuk
memboyong keluarga “ngekos” tidak jauh dari rumah
induk.
2
Bekerja sebagai Guru PNS keduanya bahu membahu
membangun perekonomian keluarga, ditengah proses
“adaptasi” dengan keluarga besar yang bisa dikatakan
tidak mudah. Penulis menuliskan kusah ini, bukan untuk
“mekecuh melet menek” (meludah keatas) namun karena
kisah yang akan penulis tulis nanti sangat erat kaitannya
dengan nilai-nilai pengalaman Niti Shastra yang
dicontohkan oleh Ajik sebagai Guru Rupaka.

Banyak keributan dengan tema besar tidak menerima


keberadaan Ibu yang nota bene,”orang Jawa” dengan
perbedaan budaya dan nilai yang kentara tentunya. Suatu
ketika Ini dituduh melakukan Ilmu Hitam kepada seorang
ipar yang kemudian sakit hepatitis dan kemudian
meninggal. Saat itu, keluarga melakukan “framing”
bawasannya Ajik menikahi janda dari Jawa yang sakti.
Mungkin diakitkan dengan kisah Walu Nateng Dirah
yang kebetulan berasal dari Kediri, Jawa Timur, tidak jauh
dari Tulungagung.

Sampai kemudian, Ajik pelan-pelan tanya ke Ibu,”Apa


benar belajar ilmu hitam”. Ibu hanya menjawab, “Saya
tidak paham ilmu hitam, namun orang tua mengajarkan
ilmu pasrah dan iklas”. Pada kenyataannya banyak yang
mencoba melukai Ajik dan Ibu namun entah karena apa
semua “serangan” berbalik begitu saja. Jadi 35 tahun yang
lalu, Marga masih banyak yang yakin dan percaya bahwa
ilmu leak itu digunakan untuk menyakiti lawan. Hal ini
juga yang mendorong penulis belajar Kedokteran dan
secara intensif belajar Shastra di Mangku Teja Kandel.

3
Saat tuduhan datang kepada istrinya, Ajik tidak
membantah apalagi menyangga, Ia mengumpulkan
informasi dan bukti dan kemudian menayakan langsung.
Ajik mengajarkan kepada penulis saat itu, ”Kita diberikan
dua telinga, dua mata, dan satu mulut, usahakan mendengar dari
dua sisi berbeda, dua sudut pandang yang berbeda sebelum
mengambil kesimpulan”

Dari kejadian yang kami alami saja, Ajik perlahan


menyusupkan kaidah-kaidah Niti Shastra melalui sikap
dan perilaku sehari-hari.

Pernah suatu ketika saat penulis duduk di SMA, seorang


paman membawa parang ke rumah, dan marah-marah
menuduh ibu menyebar gosip bahwa istrinya selingkuh.
Apa yang dilakukan Ajik?

“Sebentar ada apa ini, Wah tidak paham?” Kata Ajik


dengan sangat tenang (sampai saat ini saya selalu heran
kenapa Beliau bisa setenang itu)

Dengan mata melotot, Paman berteriak,”Mbokeee…mileh


ngorte kemu mai kurenan yange orange memitra, yang sing
trima…!” (istrimu kemana-mana cerita kalo istri saya
selingkuh, saya tidak terima)

Ajik mempersilahkan paman masuk dan duduk di kursi,


menepuk pahanya dan berkata,”kene gen, coba orang ajak
Wah, yen gen ngorang keto? Kasi wah waktu, yen seken mbok
Sari pelih, wah kel ngidih pelih”

4
Begini saja, coba kamu sebutkan siapa saja yang bilang
demikian, jika nanti memang istri saya salah, saya sendiri
yang akan minta maaf).

Tidak sampai dua hari, semua nama ditelfon dan diminta


datang untuk melakukan klarifikasi. Dihadapan semua
saudara dan disaksikan klien Banjar memang terbukti
yang bersangkutan (istri paman) melakukan
perselingkuhan. Kemudian Ajik meminta paman meminta
maaf kepada Ibu.

Saat itu saya fikir bisa saja Ajik membawa kasus ini ke
ranah hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik
dan percobaan pembunuhan namun sama sekali tidak
dilakukan, malah diselesaikan dengan perundingan.

Pesan moral yang saat itu Beliau tekankankah adalah;

S e b e s a r- b e s a r n ya m a s a l a h j i k a m a s i h
memungkinkan, selesaikanlah dengan cara
musyawarah dan saling memaafkan.

Terdapat dua Jenis Wanita dalam budaya Bali,


yakni Luh Luu (sampah) dan Luh Luung,
usahakan nanti ketika memilih wanita pilih
dengan cermat sehingga mendapat Luh Luung

5
Memberi banyak & menerima banyak

Selain sebagai seorang guru yang mengajar matematika di


SMPN 1 Marga, Ajik juga seorang pengusaha & peternak
babi. Sebagai peternak Babi, seringkali penulis bingung
dengan kebijakan yang Beliau lakukan. Contohnya saja,
jika ada pengurus Pura yang datang mencari kucit untuk
upacara (sambleh) Beliau selalu menyumbang satu,
sehingga pengurus Pura bayar satu namun dapat dua.
Tidak jarang malah diberikan cuma-cuma.

Demikian juga dengan tindakan korupsi pakan ternak


yang dilakukan oleh staf di peternakan, Beliau tidak
pernah marah, justru mendoakan agar disegerakan
mengalami hidup yang berkecukupan. Hingga kemudian
penulis bertanya, bagaimana matematika-nya melakukan
demikian banyak pemberian?. Beliau hanya tersenyum
dan mengatakan, bahwa usaha tidak hanya perihal
untung-rugi, namun sejauh mana usaha yang dilakukan
dapat berdampak kepada masyarakat sekitar.

Dan pada kenyataannya, hanya berbekal sepotong baju


dan tekad yang kuat, Beliau berhasil membangun usaha
dan lebih dari cukup untuk membiayai adik-adiknya
menikah, menyekolahkan anak, serta meninggalkan aset
tidak bergerak sebagai sisa hasil usaha selama menjadi
pengusaha. Sebagai pengusaha Beliau memahami kata
cukup, sehingga dari jauh hari Beliau bertekad untuk
pensiun menjadi pengusaha & peternak setelah kedua
putranya lulus sekolah.

6
Beliau mengajarkan bagaimana memberi banyak dan
menerima banyak bukan dengan teori belaka, namun
dengan integritas yang diperagakan dalam sikap sehari-
hari, sehingga bila penulis simpulkan ada beberapa
pembelajaran yang dapat penulis dapatkan dari Ajik
sebagai seorang pengusaha, yakni;

Usaha tidak hanya perihal untung-rugi, namun


sejauh mana usaha yang dilakukan dapat
berdampak kepada masyarakat sekitar

Belajar untuk merasa cukup. Merasa cukup


merupakan wujud rasa syukur kehadapan Hyang
Parama Kawi

Sedangkan dari Ibu, penulis belajar apa yang disebut ulet,


tekun dan pantang menyerah. Penulis ingat betul, Ibu
menjarit pakaian yang sudah robek, padahal saat itu ia
mampu membeli yang baru. Ibu mengatakan selama
masih bisa diperbaiki dan enak dipakai lebih baik
diupayakan untuk dipakai, jadi uangnya bisa dipakai untuk
yang lain. Walau lahir dijawa, keinginannya untuk
membuat banten tidak bisa dikatakan main-main. Pola
potongan pada canang di sket di atas kertas, untuk
kemudian diikuti polanya dalam membuat bebantenan.
Alhasil, Ibu termasuk fasih membuat bebantenan
khususnya yang sering dipakai sehari-hari.
7
Pilih Kapal apa Ilmu Membuat Kapal

Memang benar kata shatra bahwa setiap rumah adalah


sekolah. Kini pendidikan dari Kakek Dalang, selaian
mengisahkan cerita kakek sering menguji pemikiran
cucunya, diantaranya dengan melontarkan pertanyaannya
sebagai berikut. Saat akan merantau ke Surabaya, Kakek
bertanya, “Mau dibekali dengan kapal atau ilmu membuat
kapal”. Kapal disini maksudnya barang jadi seperti
perkakas, sesabukan, lekesan atau sejenisnya sebagai
“bekal” selama merantau. Setelah berfikir penulis memilih
“ilmu membuat kapal saja”, konsekuensi dari pilihan ini,
Kakek memberikan setumpuk buku dan penulis harus
melakukan ritual pengelukatan di hadapan kemulan untuk
memohon restu dari leluhur dalam memelajari shastra
yang tertuang dalam buku-buku yang berasal dari salinan
lontar tersebut.

Ada pantangannya dalam belajar shastra ini, yakni; tidak


makan bila tidak lapar, tidak minum bila haus dan
yang tidak melakukan hubungan seksual kepada
wanita yang bukan istri. Jika direnungkan secara
mendalam aturan ini justru sebagai “geguat” atau batasan
dalam melaksanakan pergaulan diluar rumah. Filosofi dari
ilmu membuat kapal adalah sebaik-baiknya produk jadi
lebih utama belajar dan menguasai filosofi dan ilmu
membuat kapal karena ilmu bisa diterapkan dimana saja
dan tentu tidak berat Bawa “kapal” kemana-mana.

8
Dari pengamalan ilmu membuat “kapal” itu, ada
beberapa hal yang selalu diingatkan Kakek Dalang dalam
menjalankan swadarma sebagai pelajar saat itu, yakni;

Ilmu pengetahuan sifatnya seperti air, ia akan mengalir


dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Jadi
saat akan memulai belajar apa saja, rendahkan hati,
buka diri untuk menerima aliranNYA.

Sebagaimana air, ilmu pengetahuan yang sifatnya suci


akan menyesuaikan tempat (wadah) dimana ia berada.
Jika berada di dalam ember, maka nilai dari ilmu itu
sebatas nilai sebuah ember. Namun jika air itu
ditempatkan di botol kaca, maka nilai air itu akan
menjadi tinggi. Jadi pandai-pandailah mempertontonkan
“ilmu” yang dipahami sesuai dengan tempat, waktu dan
ruang yang baik.

Demikian Beliau mengingatkan seni dalam belajar,


sehingga dengan memegang tetuek (pesan orang tua) ini,
penulis dapat menyelesaikan kuliah kedokteran tanpa
hambatan berarti.

9
BAB II
Bahasa hati

Singhā raksakaning halas, halas ikangrakseng hari nityaça.


Singhā mwang wana tan patūt pada wirodhāngdoh tikang keçari.
Rug brāsta ng wana denikang jana tinor wrêksanya çirnapadang.
Singhānghöt ri jurangnikang têgal ayūn sāmpun dinon durbala.
Niti Shastra, Ayat 10

Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh
hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu
singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak binasakan
orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang. Singa
yang lari bersembunyi di dalam curah, di tengah-tengah ladang,
diserbu orang dan dibinasakan.
Pendidikan keluarga kini berlanjut di Surabaya, dimana
Kakek Dilla yang merantau sejak tahun 80-an ke kota
perjuangan ini, berjodoh dengan Keluarga Silat Nasional
Perisasi Diri. Saat penulis bertemu, Beliau menyandang
gelar Pendekar Historis dengan subspesialis kerohanian,
yang dimandatkan langsung oleh Guru besar, RMS
Dirjoatmojo.

Fondasi awal yang Beliau tekankan adalah pada


BAHASA, dalam memahami semesta beserta isinya.
Tahukah Anda bahasa apa yang Beliau kuasai? Iya Anda
benar, bahasa SILAT. Sehingga sebagai syarat untuk
mendapatkan tuntunan kerohanian, penulis harus berlatih
silat Perisasi Diri. Penulis dititipkan di unit UNESA,
dibawah pelatih Bapak Satiman. Kurang lebih selama satu
setengah tahun lamanya berlatih dasar-dasar silat hingga
kemudian menyandang tingkat Calon Keluarga. Setelah
memelajari bahasa Silat selama itu barulah kemudian
Beliau memberitakan tuntunan dalam menyikap rahasia
semesta. Karena memiliki pertautan darah, maka hal
pertama yang diberikan kepada penulis adalah lima
hakekat utama dalam memelajari sifat mistik semesta,
yakni ;

Satu Tuhan, Beliau ada dimana-mana dan disebut dengan


berbagai nama terbaik
Satu Agama, yakni Agama kasih sayang
Satu Kasta, yakni kasta kemanusian
Satu Hukum, yakni hukum kerja (karma)
Satu Bahasa, yakni bahasa hati

11
Peragaan gerak silat dengan senjata toya

Lalu kenapa mesti Bahasa silat? Beliau menjelaskan


pikiran manusia cenderung meloncat ke masa lalu dan ke
masa depan. Saat memeragakan sikap silat, pikiran
dituntun berada di masa “kini” (present). Karena pikiran
cenderung berubah cepat (digital) sedangkan tubuh
sifatnya lebih lambat (analog), maka menselaraskan
keduanya menjadi fondasi dalam perjalanan rohani.

Perjalanan rohani dilakukan dengan meditasi. Namun


meditasi sendiri sering dihambat oleh batasan fisik, maka
dengan melatih fisik dengan kaidah-kaidah pandai silat
tanpa cedera menjadi hal yang sangat perlu dilakukan
dalam menapak ke dalam keheningan. Silat Perisai Diri
mengajarkan sikap meliwis dan kuntul sebagai archetype
dari hewan yang sifatnya jinak. Kemudian harimau,
garuda, dan naga sebagai archetype binatang buas.
Kemudian meningkat kepada sikap satrya, pendeta dan
putri sebagai archetype sifat manusia. Dengan menyelami
sifat-sifat dari binatang paling jinak, buas hingga karakter
manusia sebagai seorang ksatrya, pendeta dan putri,
seseorang dituntun dalam mengenal diri lebih dalam.
12
Latihan gerak silat melatih pikiran sadar diam di masa
sekarang. Tubuh merupakan satu kesatuan system yang
tidak dapat dipisahkan. Beliau sering memberi metafora,
tubuh seperti kereta kuda, kusirnya adalah pikiran
sadar, kudanya adalah pikiran bawah sadar, sedangkan
penumpangnya ada dua, yakni memory dan perasaan.

Seringkali memory dan perasaan menganggu sang kusir


(pikiran sadar) sehingga tidak dapat sejalan dengan kuda
(pikiran bawah sadar), dengan demikian kereta melaju
dengan “oleng”. Demikian gambaran manusia yang tidak
serasi antara tubuh, pikiran, perasaan dan memory.
Dengan berlatih silat, empat aspek tersebut akan
berangsur - angsur selaras, sehingga pada saatnya nanti
siap untuk melakukan perjalanan ke dalam diri dengan
aman dan matang.

KOSONG & ISI

Bahasa silat sangatlah sederhana, mau menggunakan


jurus apa saja, secara filosofis semua akan bermuara pada
suatu kondisi apakah sikap itu mengandung perlengkapan
(isi) atau terlepas dari perlengkapan (isi). Jika kita bawa
dalam Bahasa komputer, seberapa pun canggihnya, semua
komputer mengunakan bahasa sederhana dalam
memecahkan sesuatu masalah.

Bahasa yang digunakan adalah pola-pola angka yang


disebut bit, singkatan dari binary digit (bilangan biner).
Dalam Binary Digit pola informasi dikodekan dalam pola
1 dan 0, on dan off.
13
1 dan 0 mewakili polaritas - polaritas mendasar dari suatu
keberadaan. Dalam cara berfikir yang paling sederhana
tentang materi dan energi, kode ini mewakili segalanya.
Namun dari kesederhanaan pola dasar ini mengandung
daya yang luar biasa di alam semesta. Bahasa biner-lah
yang mempresentasikan segala sesuatu di alam semesta,
apa sesuatu ada atau tiada. Bahasa ini bersifat universal.
Semua komputer dari laptop sederhana hingga komputer
canggih yang memandu astronot ke bulan, tercipta dari
barisan kombinasi kode 1 dan 0 .

Dalam konteks mistis, bilangan biner merepresentasikan;


1 0

Isi Kosong
Ada Tiada
Merah Putih
Sekala Niskala
Purusa Predana
Awal Akhir
Kuat Lemah
Dst Dst

Kembali kepada topik awal, jika komputer menggunakan


bahasa biner untuk mengadakan segala sesuatu, lalu
bagaimana dengan manusia? Shastra mengungkap bahasa
paling purba yang menjadi kode pembentuk suatu
keberadaan adalah Bahasa Hati.

Dalam buku Power VS Force, karya David R.


Hawkins,M.D.,Ph.D menyajikan hasil penelitian
14
Yang boleh dikatakan sejalan dengan pembahasa kita
dalam subbab ini. Menggunakan metode applied
kinesiology, Beliau kemudian meneliti perilaku manusia
kemudian diskalakan dalam level kesadaran manusia.
Dengan konsep bilangan biner, otot lengan di tekan
dengan tekanan yang sama dan konsisten, kemudian
diajukan pertanyaan tertutup dengan jawaban “iya” dan
“tidak”, maka otot akan merespon kuat bila “iya” dan
lemah bila “tidak”. Dari sini saja kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa tubuh merupakan bagian dari semesta
yang dibangun dari kode energi yang sama, yakni 1 dan 0.

Map Of Conciousnes, dikutip dan dialihbahasakan dari Power VS Force,


karya David R. Hawkins,M.D.,Ph.D

Tingkat kesadaran memancarkan energi yang diukur


dengan algoritma log 1 (sampai dengan minus tidak
terhingga). Energi yang dipancarkan oleh kesadaran
manusia dalam hitungan menit dapat diukur. Nilai
20-1000 yang Anda lihat pada tabel bermakna;
20 - 1000
Log 10 microwatt
15
Bagaimana membaca keseluruhan tabel, akan sangat
panjang bila ditulis disini, biasanya penulis berbagi dalam
ajang sharing atas undangan dari komunitas yang sifatnya
sosial. Namun pada intinya begini, hasil penelitian
Hawkins menemukan bahwa perasaan berani merupakan
perbatasan antara power dan force. Perasaan malu
merupakan titik terbawah dari Force (kekuatan) sedangkan
pencerahan merupakan level tertinggi dari Power (daya).

Jika disandingkan atau dihadapkan seseorang yang


memancarkan vibrasi force selalu bertekuk lutut dihadapan
seseorang yang memancarkan power. Dengan demikian
sikap atau state awal sangat menentukan outcome dari suatu
upaya dalam bidang apapun yang Anda lakukan.

Misalkan saja, saat penulis menyerang Tukak Dilla dengan


vibrasi angkuh dan merasa lebih kuat, Beliau dengan
penuh kasih, menghindar dan berhasil mengunci gerak
penulis sehingga menjadi mati langkah dalam serang
hindar. Pesan moril yang selalu ditanamkan Beliau adalah
sebagai berikut;

Kekuatan (force) adalah kelemahan, sedangkan


kelembutan (power) adalah kekuatan.

Cinta kasih selalu berhasil menundukkan lawan dan


menghindarkan kita dari berbagai serangan.

16
Sehingga dalam pertarungan di matras kehidupan nyata,
Beliau mengingatkan untuk selalu menjaga hati, agar
senantiasa penuh dengan cinta kasih. Dan memang
kenyataannya hal ini sangat efektik dalam
menyelesaikan pelbagai tantangan yang
penulis hadapi.

Melatih sikap silat setiap saat


membuat tubuh menjadi lebih tenang.
Bersikap tenang dengan tidak berbuat
apa-apa adalah dua hal yang berbeda,
wa l a u ke d u a n y a t a m p a k t i d a k
melakukan apa-apa namun
keduanya berada pada level
energi yang sangat berbeda.

Sekarang apakah Anda


menangkap pesan dari
bab ini? Baik izinkan saya
menegaskannya untuk
Anda, bawasannya
penting sekali
memperhatikan suasana
hati Anda. Karena
Suasana hati merupakan
kekuatan diri Anda yang
sejati dalam menyikapi
berbagai hal dalam hidup.

Pendekar Historis Kelatnas Perisai Diri Indonesia


Alm. I Gusti Ngurah Dilla
Jro Dauh Bebelang carangsari 17
Esensi lain dalam silat yang juga menitik beratkan
bagaimana belajar membangun keluarga. Penulis ingat
betul nasehat Beliau,”Apakah pernah punya teman
seperti saudara? Jika bisa belajarlah menjadikan
saudara sebagai SAUDARA”

Pesan ini begitu mendalam dan menjadi pedoman hidup


penulis dalam memperlakukan diri dan orang lain. Di
tingkat pribadi saudara yang dimaksud adalah berbagai
bagian diri atau ego personality yang oleh Bahasa
tradisional dikenal dengan TOPENG. Misalkan saja,
pada pagi hari, ada bagian diri kita yang ingin bangun
pagi, yang satunya ingin melanjutkan tidur. Jika kita teliti
dan mengamati diri, sejatinya diri ini adalah sebuah
Komunitas setingkat desa. Hal ini ditegaskan oleh Bruce
Lipton dalam bukunya Biology of Belief.

Bahasan tentang ego personality atau topeng dapat Anda


baca di buku yang penulis tulis di tahun 2019, The Secret
Message Of Dalem Sidhakarya.

Bagaimana memperlakukan saudara di dalam diri dengan


saudara di luar diri, diurai dalam perpektif Tari Wali
Dalem Sidhakarya. Ajaran dari Tukak Dilla tentang
bagaimana memperlakukan setiap makhluk sebagai
saudara sejalan dengan ajaran Vaideva Kutumbakam dan
tentunya Niti Shastra.
18
BAB III
Niti shastra dalam kehidupan

Nora ‘na mitra manglêwihane wara-guna maruhur.


Nora ‘na çatru manglêwihane gêlêng ana ri hati.
Nora ‘na sih mahānglewihane sihikang atanaya.
Nora ‘na çakti daiwa juga çakti tan ana manahên.
Niti Shastra, Sargah II, Ayat 5

Tidak ada sahabat yang dapat melebihi pengetahuan yang tinggi


faedahnya. Tidak ada musuh yang berbahaya dari pada nafsu
jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta
orang tua kepada anak-anaknya. Tidak ada kekuatan yang
menyamai nasib, karena kekuatan nasib itu tidak tertahan oleh
siapapun jua.
Lulus dari Surabaya, penulis pulang ke Bali untuk belajar
kerja dan memenuhi janji menikahi pacar yang telah
terjalin selama 11 tahun lamanya. Atas kebaikan Bapak
Yamadhiputra, penulis diberi kesempatan untuk belajar
praktek di Kediri, Tabanan. Sambil belajar penulis bekerja
sebagai asisten pelayanan medis di sebuah Rumah Sakit
Swasta di Denpasar. Namun karena istri ditugaskan di
Klungkung, penulis merelakan melepas pekerjaan di
Rumah Sakit.

Babak baru dimulai di kota semarapura, kota yang dikenal


dengan bumi srombotan. Penulis mengawali membuka
praktek di desa Dawan. Yang menjadi daya tariknya
adalah, desa ini dilewati oleh sungai yang arah alirannya
ke utara (hulu), banyak bukit kecil, yang bila dilihat dari
atas sungguh indah sekali. Setahun praktek, penulis
berkenalan dengan Bapak Nyoman Suwirta, yang saat itu
masih menjadi Manager Kopas Srinadi.

Mungkin sudah suratan takdir, kami memiliki banyak


persamaan terutama pemikiran, oleh karena penulis
menjadi dokter keluarga bagi keluarga besar Kopas
Srinadi hingga saat ini. Hingga pada suatu ketika Bapak
Nyoman datang ke Klinik dan melihat pemangku yang
keluar dari klinik tidak dikenakan biaya. Maka, secara
reflek Beliau bertanya, kok bisa pemangku tidak bayar?
“Penulis katakan itu Sudah menjadi komitmen, tidak saja
pemangku, semua rohaniawan dilayani dengan tidak
dikenakan biaya”. Dari sana kami sepakat, untuk
bekerjasama memberikan pelayanan home care ke grya-
grya khususnya yang berada di Klungkung.
20
SUWASTA JILID I

Pada periode pertama penulis mendampingi Bapak


Nyoman Suwirta, menjalani proses dari bagaimana Beliau
bergulat dengan zona nyaman, bila kemudian
memutuskan untuk melangkah maju dalam pilkada.
Proses di keluarga kecil, keluarga besar, keluarga yang
lebih besar di Kopas Srinadi, keluarga baru di partai
pengusung dan pendukung. Pemilihan wakil, serta
bagaimana melakukan penetrasi ke ceruk-ceruk suara
yang memiliki resistensi yang tinggi. Saat itu penulis,
masuk ke kalangan muslim dengan buku Hitam Putih di
Balik Puasa yang Sehat. Melalui kebaikan hati seorang
kawan di kampung Jawa, penulis Diberi kesempatan
untuk dakwah kesehatan di majelis taklim yang ada di
Klungkung daratan dan di Nusa. Buku inilah kemudian
yang menjadi jembatan silahturahmi pasangan
SUWASTA (SUWIRTA-KASTA) dengan masyarakat
muslim yang ewuh pakewuh dengan tokoh Puri yang
juga maju dalma Pilkada.
Di periode kedua, kerja lebih
ringan mengingat masyarakat
puas dengan kinerja paket
SUWASTA dengan peroleh
suara 78% head to head
dengan calon dari PDIP. Janji
Bansos miliran dan jargon
SATU JALUR tidak laku di
masyarakat Klungkung yang
telah melek terhadap politik.
Anda dapat mendapatkan ebook SUWIRTA UNDERCOVER dengan
mengunjungi link https://ekasanthosa.com/ebook/suwirta-undercover
SUWASTA JILID II

Perjuangan membangun Klungkung dari Kota Mati


menjadi kota yang penuh cahaya dan berbagai
pertunjukan budaya. Dari JALAN RUSAK PARAH
khususnya di Nusa Penida, bertahap namun pasti
berubah menjadi jalan yang nyaman, hingga sekarang
penuh sesak dengan kendaraan.

Ditangan seorang pemimpin yang menyerahkan dirinya


dengan penuh, bekerja tulus dan Iklas menjadikan
Klungkung bertransformasi menjadi sebuah Kabupaten
yang digdaya. Penulis merasa bersyukur selama tujuh
tahun ini dapat belajar banyak dari salah satu sosok
pemimpin terbaik di Bali ini.

Jika Bapak Jokowi mempercayakan staf khusus kepada


milenial dengan rata-rata usia 30-35 tahun, Bapak
Nyoman Suwirta telah melakukannya sejak tahun 2014.
Saat itu penulis baru berusia 30 tahun dan mendapat
kepercayaan sebagai Dewan Pengawas di BLUD RSU
Klungkung.

Dalam 8 tahun BLUD yang dirayakan 31 Desember


2019, banyak hal yang telah berubah. Saat ini BLUD
RSU Klungkung menjadi salah satu fasiltas terbaik di Bali
Timur.
22
Hal ini membuktikan bahwa sinergitas antara midle age
dengan milleneal efektif dalam melakukan perubahan-
perubahan.

Pelayanan yang dilakukan secara personal kepada


Pendeta, kini disistemkan melalui loket khusus Sulinggih
dari lintas Agama di RSUD Klungkung. Sehingga tidak
lagi para Pendeta mengantri terlalu lama. Layanan juga
didukung dengan program KRIS (Kring Sehat), yakni
layanan ambulance 24 jam, melayani pasien dimana saja
yang sifatnya darurat.

Dengan menjadi seorang Bupati, Bapak Nyoman


menjadikan upaya kesehatan yang semula sifatnya
personal menjadi lebih luas kepada seluruh masyarakat.
Itikad ini bukan suatu pencitraan semata, terbukti dengan
PAD yang tidak terlalu besar, Klungkung Adalah
Kabupaten Kedua di Bali setelah Badung yang
memberlakukan UHC (Universal Health Coverage).
Seluruh warga Klungkung tercover jaminan kesehatan.

Bahkan 2020 nanti, rencana ambulance laut yang penulis


usulkan dari tahun 2014, telah masuk dalam tahap
eksekusi oleh kawan-kawan di Dinas Kesehatan
Kabupaten Klungkung.
23
Penulis belajar, jika kapan masyarakat siap berubah, disaat
itu akan muncul pemimpin - pemimpin revolusioner.
Penulis sering berdoa, semoga ada sosok seperti Bapak
Nyoman Suwirta di setiap Kabupaten di Bali, khususnya
Tabanan tempat kelahiran penulis.

Dengan berbagai pesona alam dan sumaber daya alam,


jika masyarakat Tabanan memutuskan untuk keluar dari
kungkungan, penulis rasa pemimpin muda akan muncul
dengan wajah baru, paradigma baru, dan tentunya
outcome yang berbeda.

Pemimpin yang berakar kuat pada budaya, menghormati


para pendeta, wanita dan kaum yang termaginalkan,
merupakan salah satu ajaran penting dalam Niti Shastra.
Dengan Gema Santi, Bapak Nyoman Suwirta membawa
Klungkung melaju cepat menuju gerbang masyarakat
yang sehat & sejahtera. Harapan yang sama penulis
panjatkan untuk Bali & Indonesia.

MEMBANGUN KELUARGA

Setahun mendampingi perjalanan Bapak Nyoman


Suwirta, Tukak Dalang & Tukak Topeng menyampaikan
suatu permintaan yang penulis tidak bisa bayangkan
sebelumnya. Intinya keduanya, meminta kepada penulis
untuk menata keluarga besar dengan membuat Paiketan
Pasemetonan. Kemudian penulis bertanya, “Apa arti
penting sebuah paiketan, bukankah kita memang keluarga?” Apa
perlu diseret keranah organisasi?

24
Pengarahan dari Dewan Pembina, Bapak I Gusti Ngurah Alit Yuda di
kediamannya di Carangsari

Tukak menyampaikan kegelisahnnya, sebagai seorang penari


topeng yang telah banyak makan asam garam, telah banyak
semeton trah lain “metangi”, membangun bangsa melalui
keluarga. Beliau berharap di sisa hidupnya dapat menyaksikan
Paiketan Pasemetonan dapat terwujud. Esensi membentuk
Paiketan selain sebagai srada bhakti kepada leluhur, juga
merupakan dharma kulawarga untuk mengangkat suadara
yang sedang kesusahan, memberikan sinar kepada yang saudara
yang sedang berada di “kegelapan” serta mengembangkan asah,
asih, asuh sesama Trah Ida Lelangit Shri Arya Sentong.

Dikisahkan pula bahwa upaya membentuk Paiketan sudah


dimulai dari 50 tahun yang lalu, baik upaya yang dilakukan oleh
Angga Puri Carangsari ataupun Puri Perean, namun belum
membuahkan hasil.

Berbekal mandat tersebut, penulis mulai perjalanan dengan


berkumpul di sebuah tempat untuk membentuk formatur, 15
Februari 2015. Kemudian, mohon arahan kepada kakek di Puri
Ageng Carangsari, I Gusti Ngurah Alit Yudha, Putra
Pahlawan Brigen I Gusti Ngurah Rai (Dalam garis Trah,
penulis Mekompyang/Buyut).
25
Formatur Mulai Bergerak untuk melakukan pendekatan ke Puri
Carangsari, Puri Perean, Puri Marga, Puri Belayu, Serta
kantong-kantong seluruh Bali. Kisah pembentukan Serta lika-
likunya kami dokumentasikan dalam buku, “Dua tahun
Perjalanan Paiketan Pasemetonan Ageng Trah Shri Arya
Sentong” dapat diakses di FBpage @AryaSentongOfficial.

Singkat cerita penulis bersama formatur pada tangal 17


Agustus 2015 berhasil melaksankan Mahasabha I di TMP
Margarana, Marga, Tabanan. Tidak tanggung-tanggung, 1500
semeton dari berbagai wilayah di Bali hadir di wantilan TMP
Margarana. Tempat ini kami pilih untuk mengenang
perjuangan salah satu Trah Ida Lelangit yang menjadi Pahlawan
Nasional dari Bali, yakni I Gusti Ngurah Rai, disamping itu
pengurus Yayasan YKP adalah putra-putra Beliau.

Secara aklamasi penulis didaulat sebagai Ketua Umum Paiketan


Pasemetonan Trah Shri Arya Sentong yang pertama.
Kemudian, pada Mahasabha ke II, di tempat yang sama, 17
Agustus 2019. Penulis didaulat kembali untuk kedua kalinya,
menahkodai Paiketan periode tahun 2019-2024.

26
Pada periode kedua, Paiketan telah usai melakukan konsolidasi
ke dalam, walau belum 100%, oleh karena beberapa semeton
belum dalam move on dengan masa lalunya. Paiketan
mengembangkan Pasemetonan lebih luas, kepada para Arya
lainnya. Dalam Mahasabha kedua, komunikasi antar Trah
dilakukan dan ditempat yang sama hampir seluruh Puri di Bali
datang dalam Mahasabha II Pasemetonan Ageng Trah Shri
Arya Sentong. Banyak hal telah dilakukan Pasemetonan Ageng,
salah satunya adalah memfasilitasi semeton yang sedang
mengalami kesusahan di Singapura. Hal inilah yang kemudian
menjadi kisah menarik selanjutnya.

27
KISAH TERSEMBUNYI DI BALIK KEMBALINYA IBU
PUSPITAWATI KE PANGKUAN IBU PERTIWI

2 Desember sore hari, berawal dari pesan singkat dari seorang


kolega yang mewartakan kondisi salah seorang adik
perempuannya yang pergi merantau ke Turky, membanting
tulang untuk memastikan putra dan putri dapat menyelesaikan
perguruan tinggi, selengkapnya https://bit.ly/2s1snFy
Pesan di dalam link itu disebar diberbagai media, khususnya
FB dan group WA. Kemudian mendapat respons cepat dari
Kawan-Kawan Pengurus KONI Provinsi Bali. Bapak I Ketut
Teneng menghubungkan kami dengan Bapak Kadisnaker
Provinsi Bali, Ida Bagus Arda yang dengan cepat
berkomunikasi dengan BP3TKI, berlanjut ke KBRI melalui
jalur resmi. Ini dilakukan pukul 21.00 Wita.
Kemudian dr. Lakmi Duarsa, melalui tangan AKP dr.LAURA
CRISTIE & MAYANG ANGGRAINI R. menjalin
komunikasi dengan Dubes RI Singapura melalui jalur
informil.
Keesokan hari 3 Desember 2019, unggahan kedua, yang
mewartakan kondisi Ibu Puspitawati lengkap dengan tagihan
RS yang merawat Ibu Puspitawati diunggah. Jadi kami AGAK
HERAN & TERLUKA bila salah satu harian di Bali,
mengaku mendengar informasi dari Bapak Kadisnaker
Tabanan menyatakan tagihan sebesar 500 juta ini HOAK.
Sudahlah biarkan saja KARMA yang nanti menghakimi, bagi
kami saat ini, mensyukuri saja semua yang telah terlewati.
Selengkapnya unggahan kedua kami dokumentasikan
di https://bit.ly/2qpfK75
Unggahan inilah yang kemudian mempertemukan kami
dengan Ibu Putri Koster sebagaimana yang terjadi saat ini.

28
Belum setengah hari, KBRI memberi informasi bahwa
Jenazah sudah dapat dipulangkan dini hari nanti. Hingga
pagi hari sampai di Pulau Bali https://bit.ly/2YifHqd
4 Desember 2019, KBRI, Kadisnaker Provinsi Bali,
BP3TKI, dr. Laksmi Duarsa, Sp.KK, jajaran Garda Puri
Sejebag Tabanan (GPST) dibawah koordinasi A.A Ngurah
Panji Astika. Pengurus Pusat Pesemetonan Ageng Trah
Shri Arya Sentong dan keluarga Jro Tinungan menyambut
kedatangan jenazah tiba di pangkuan Ibu Pertiwi. https://
youtu.be/EFdaELrF1qw
Dihari yang sama, langsung dilaksanakan upacara
"mekingsan ring gni" disaksikan oleh semeton
Br.Tinungan hingga selesai petang hari 19.00 Wita.
5 Desember 2019, sebagai pengampu keluarga, kami soan
ke Ibu Putri di Jayasabha. Kami mengucapkan terima
kasih dengan menghaturkan sepucuk puisi dengan judul
"SURAT UNTUK IBU PERI" begini narasinya :

29
SEBUAH PUISI UNTUK IBU PERI

1 Desember Dini Hari



Aku memutuskan pulang dari Turky ke Bali

Siapa yang lahir pasti divonis Mati, hanya saja tidak ada yang
tahu kapan vonis itu datang kemari

Atas kehendak Hyang Widhi, nafasku berhenti selangkah
sebelum sampai di Ibu Pertiwi
Aku kirim merpati kepada Sang Ibu Peri

Untuk melihat si buah hati

Yang mungkin saat tubuh ini di dalam peti

Sedang bingung dan resah hati
Syukur ada saudara Tua

Lahir di Marga kini tinggal Semarapura

Berbakal Aksara dan Rasa,

Menebar Shastra di dunia Maya
Selasa pagi hari

Ibu Peri tergerak hati bertanya kepada Saudara Tua

Hai...apakah berita ini benar dan dapat dipercayai?

Demikian tanya Ibu Peri
Siapa tahu masih ada wanita Bali yang memiliki cukup rejeki

Untuk membantu mengurus jenasah Ibu Puspitawati

Pulang ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Demikian Kata Ibu Peri
Tidak sampai setengah Hari

KBRI memberi informasi

Ibu Puspitawati diterbangkan diri hari ke Ibu Kota, kemudian
esok pagi, berlanjut ke Bali
Oh Hyang Widhi

Kami ini hanya kuli aksara dan penyembah Dewi Saraswati
Tampak A>A Ngurah Panji Astika sebagai perwakilan GPST tutut serta
berbelasungkawa kepada ketua putra putri Ibu Puspitawati

Tanpa Ibu Peri, jenasah Ibu Puspitawati tidak mungkin sampai


di Bali
Berkat donasi dan partisipasi warga Bali
Semua bisa terlaluiSungguh kami tidak memiliki kata lagi

Untuk membalas kebaikan Sang Pendekar Wanita Bali

Hanya doa dan harapan, Bapak dan Ibu Peri diberi kesehatan
dan kelancaran rizki
Terima kasih kami untuk Ibu Peri
Jayasabha, 5 Desember 2019
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Demikian sekiranya kami sekeluarga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah mengirimkan DONASI, DOA,
serta JEJARING INFORMASI.
Sungguh kami bukan apa apa tanpa SEMETON SAMI. Kini
kami semakin paham akan pesan LELUHUR, kira-kiranya
bunyinya begini,"Melajah Menyama, apang bisa Ngelah
Timpal Cara Menyame, edee pesan Ngelah Nyama Cara
Metimpal" (Belajarlah memupuk persaudaraan, Anda bisa
Memiliki Kawan Bagai Saudara Sendiri, Jangan Sampai Memiliki
Saudara Malah Seperti Kawan).
30
Bayangkan saja jika seandainya infratuktur komunikasi tidak
dijalin melalui pembentukan Paiketan Pasemetonan, entah
bagaimana kisah akhir dari Ibu Puspitawati. Kejadian ini
memberi penulis hikmah bahwa mungkin saat ini kita
membutuhkan persaudaraan, dan pempertahankan
eksklusifitas di dalam Puri. Namun jika kesusahan datang,
siapa yang akan menolong?

Melalui buku ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada


Bapak dan Ibu Gurbenur, atas bantuan yang mencerminkan
sifat “Dalem Amangku Bhumi” sebagai Ayah dan Ibu jagat
Bali. Penulis juga bersyukur melalui kejadian ini, penulis
bertemu dengan semeton Puri di Tabanan yang tergabung
dalam Garda Puri Sejebag Tabanan (GPST), terima kasih atas
solidaritas dan pendampingannya dalam melalui masa-masa
kritis ini.

Dengan demikian penulis “menangkap” kita harusnya sudah


mulai untuk membina pasemetonan yang lebih luas lagi. Lagi-
lagi semesta menunjukkan kedigdayaannya, tidak sampai satu
minggu penulis dipertemukan kepada Prof.DR.dr.Tjok
Raka Putra,Sp.PD-KR dari Puri Ageng Saraswati
Klungkung, sebagai Mandala Laksana Puri Ageng Klungkung
Beliau telah menyelesaikan buku “Babad Wong Bali”.
Dengan pesan utama, yakni bahwa sejatinya kita yang berada
di Bali saat ini memiliki Hulu Pada, yakni sama-sama lahir
dari kehendak Hyang Aji Pasupati. Rencananya buku ini akan
di sosialisasikan pada tahun 2020. Dengan adanya karya ini,
kita semua akan masuk pada suatu Era Bali Baru, yang
berasarkan konsep Vaisudeva Kutumbakam, membangun
Bali dengan kaidah Sat Kerthi Loka Bali. Semua kisah diatas
merupakan implementasi dari Niti Shastra.

Sebagaimana kebiasaan orang Bali, lebih suka melakukan


daripada membebani anak-anaknya dengan hafalan. Niti
Shastra tidak untuk dihafalkan namun lebih utamanya
diimplementasikan sebagai dalam pengamalan langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Demikianlah sekiranya Bagian I dari
buku ini.

32
BAGIAN II

NITI SHASTRA 5.0


Dharmaning Ksatrya Dalem Amangku Bhumi
Bagian II buku ini mengisahkan bagaimana “leyak” dengan
berbagai mitos didalamnya. Penulis melakukan penelitian dan
pengamatan langsung kepada Jro Mangku Teja Kandel sebagai
salah satu praktisi tertua di Bali. Saat ini usia Beliau
diperkirakan 104 tahun, masih sehat di kediamannya di
Tembuku Bangli.

Bab II akan memaparkan bagaiman sejatinya ilmu ini bekerja,


dan kenapa sampai “leyak” sering dijadiakan kambing hitam
atas kesakitan yang di derita olah seseorang. Dan jika benar
kerena ulah Leyak, bagaimana memagari diri agar terhindar
dari dampak buruk praktek Leyak.

Bagian II & III buku ini akan dibagikan dalam versi cetak, yang
rencananya di laouncing akhir Januari 2020.
Pada bagian ketiga penulis, atas izin Kak Mangku Teja,
membagikan metode sederhana teknik Pelepasan Tradisional
untuk digunakan dalam menangkal hal-hal buruk yang
diasumsikan berasal dari praktek Leyak.

Buku dapat dipesan dengan menghubungi


Nomor WA: 081338432727

Segera Terbit, 27 Januari 2020


NITI SHASTRA 5.0
Niti Shastra merupakan salah satu kitab kuno yang menulis
tentang pedoman hidup dalam mencapai kehidupan jaya, shanti &
jagathita. Niti identik dengan kata “noto” yang berarti tatanan,
Niti juga dikaitkan dengan “nata” yang bermakna kepemimpinan.
Kitab ini ditulis pada jaman pemerintahan Majapahit, sekitar
abad ke-15

Bagaimana kitab ini diaplikasikan dalam era industri 4.0 dan


society 5.0? Tulisan ini akan berbagi kisah kebijaksanaan masa lalu
yang diterapkan pada masa kini sebagai sebuah “astra” yang
mampu membawa tuannya memperoleh apa saja yang diinginkan.

Seseorang yang telah melaksanakan pedoman hidup Niti Shastra


dikatakan telah melaksanakan Dharmaning Ksatrya Dalem
Amangku Bhumi. Kstrya Dalem adalah seorang ksatrya yang
memiliki watak seorang Raja, sebagai pengayom masyarakat,
menjaga bhumi dimana “Ia” dilahirkan
(amangku bhumi). Dilahirkan disetiap
zaman sebagai penggerak dan
pengingat untuk kembali ke jalan
kesejatian

dr.I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa.


Seorang dokter kelahiran Bali, yang
mendedikasikan diri kepada dunia Shastra.
Setelah sukses menulis Buku The Secret
Message Of Dalem Sidhakarya, pada tahun
2019. Kini kembali mengangkat
kebijaksanaan kuno yang dituangkan
dalam buku ini. Informasi lebih dalam
tentang Beliau dapat di lihat di
www.ekasanthosa.com

Anda mungkin juga menyukai