Anda di halaman 1dari 232

Dr. Helmawati, M.Pd.I.

Dr. Rudihartono Ismail, M.Pd.

PENDIDIKAN
MENINGKATKAN
KUALITAS MANUSIA
PERAN YAPIS MEMBENTUK SDM TERDIDIK DI TANAH PAPUA

i
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
Pasal 9
(1) Pencipta atau pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
memiliki Hak Ekonomi untuk melakukan:
a. Penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
g. Pengumuman Ciptaan;
(2) Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang
melakukan penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Pasal 113
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau
huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

PERHATIAN
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS Al-Muthaffifin Ayat 1)

Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU


BAJAKAN adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG.
Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra
bangsa, “merampas” dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang
bathil dan kotor. Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup dan
kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh ALLAH
SWT.

(Pesan dari Penerbit ALFABETA)

ii
Dr. Helmawati, M.Pd.I.
Dr. Rudihartono Ismail, M.Pd.

PENDIDIKAN
MENINGKATKAN
KUALITAS MANUSIA
PERAN YAPIS MEMBENTUK SDM TERDIDIK DI TANAH PAPUA

iii
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

© 2018, Penerbit Alfabeta, Bandung


(viii + 224) 16 x 24 cm
Judul Buku : Pendidikan Meningkatkan Kualitas Manusia
Peran YAPIS Membentuk SDM Terdidik
di Tanah Papua
Penulis : Dr. Helmawati, M.Pd.I.
Dr. Rudihartono Ismail, M.Pd.
Penerbit : ALFABETA, cv
Jl. Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung
Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373
Website: www.cvalfabeta.com
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
Cetakan Kesatu : Oktober 2018
ISBN :

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

iv
PENGANTAR PENULIS

Bismillâhirrahmânirrahîm
Assalâmu ’alaikum warahmatullâhi wa barokâtuh

Alhamdulillâhirabbil ’âlamîn. Segala puji dan syukur penulis


panjatkan kepada Allah Swt, karena atas kehendaknya buku ini selesai
disusun. Salam shalawat tak lupa disampaikan kepada nabi akhir
zaman, Nabi Muhammad Saw, keluarga juga para sahabatnya. Âmîn.
Ide penulisan buku berawal dari kegiatan seminar yang
diselenggarakan oleh ASPENSI di Kota Sorong, Papua Barat, dan
diikuti tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kegiatan
seminar selain diakhiri dengan mengunjungi salah satu tempat wisata
dunia, Raja Ampat, juga menyempatkan berkunjung ke salah satu
madrasah yang didirikan di bawah Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS)
di Waisai, Raja Ampat. Lokasi madrasah di tengah pegunungan dan
jauh dari pemukiman masyarakat. Namun berdasarkan hasil
wawancara, jumlah peserta didik madrasah mencapai duaratusan orang.
Dan peserta didik kebanyakan berasal dari anak pulau-pulau kecil yang
ada di sekitar Waisai, Raja Ampat.
Melihat perjuangan rekan-rekan pendidik di sana, terbersit
untuk menuliskan upaya-upaya pendidikan di Tanah Papua yang
berjuang dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Gayung
bersambut, ketika salah satu pejuang pendidikan di Tanah Papua
sekaligus Ketua STISIP Wamena menyatakan kesediaan untuk menulis
bersama dan memberikan data-data yang diperlukan untuk penulisan.
Selain itu, fasilitas juga diberikan saat pengumpulan data dengan
berkunjung langsung ke beberapa tempat di Tanah Papua, khususnya
Jayapura dan Jayawijaya.
Penulis banyak menemukan informasi yang menakjubkan dari
lapangan, mulai dari pendidikan, sosial-ekonomi, budaya,
perkembangan agama, dan kerukunan hidup antar umat beragama yang
harmonis. Kesemuanya bukan hanya cerita satu-dua sumber saja,
kerukunan hidup antar umat beragama dan kemajuan pendidikan bagi
generasi muda masa depan benar-benar diperoleh dari kroscek beberapa

v
sumber melalui beberapa instrumen penelitian yang digunakan.
Sehingga penulis benar-benar yakin bahwa Peran YAPIS di Tanah
Papua membawa kemajuan bagi masyarakat melalui bidang
pendidikan. Keberadaan YAPIS mampu memberikan kontribusi nyata
bagi kesejahteraan, perkembangan dan kemajuan masyarakat di Tanah
Papua, dan bagi pembangunan bangsa serta Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta.
Banyak pihak yang telah membantu dalam usaha penulisan
hingga buku ini diterbitkan. Terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan kepada Ketua Umum YAPIS Pusat Periode 2012-2017, Dr. H.
Mansur M., S.H., M.M., dan Ketua YAPIS Cabang Kabupaten
Jayawijaya, Sanggup Abidin, S.Pd., M.Si. yang telah mendukung
pengumpulan data dan memberikan fasilitas serta informasi yang
diperlukan penulis. Terima kasih yang tak terhingga kepada Sekretaris
I YAPIS Pusat di Tanah Papua, Herry Adi S. Wibowo, S.E. yang sejak
awal memberikan banyak informasi dan data yang diperlukan, hingga
menemani berkeliling mengunjungi UPT-UPT mulai dari jenjang RA
hingga Perguruan Tinggi di Kota Jayapura.
Selanjutnya terima kasih tak lupa kami ucapkan kepada Dekan
Ekonomi UNIYAP, Dr. Abdul Rasyid, S.Pd., M.Si. beserta seluruh
dosen dan mahasiswa, baik orang asli Papua maupun pendatang,
Muslim dan Non-Muslim yang telah memberikan data baik melalui
wawancara dan juga mengisi kuesioner yang telah disediakan penulis.
Ibu Kepala Sekolah SD Hikmah I YAPIS Jayapura, Muchadiyah, S.Pd.,
dan Para Kepala Sekolah yang tidak dapat disebutkan satu-persatu di
Kota Jayapura, terima kasih atas informasinya dan tetap semangat
memimpin menuju sekolah berkualitas.
Kepada para pelaku sejarah dan pendiri YAPIS yang masih ada
dan yang berada di Kabupaten Jayawijaya, khususnya, Drs. H. Abdul
Rahman Djumati, M.M., terima kasih untuk kisah tentang sejarah
perjuangan sebelum hingga pendirian YAPIS di Tanah Papua. Semoga
kisah ini dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi pejuang-pejuang
pendidikan Islam masa datang di daerah-daerah 3T (terpencil,
tertinggal, dan terluar) di wilayah NKRI. Terima kasih banyak kepada
para pemimpin di STISIP Amal Ilmiah YAPIS Wamena, Soltan Takdir,
S.T., M.Si., Nur’ani, S.Sos., M.AP, H. Agus Sumaryadi, S.Pt., M.Si.;
para pemimpin UPT di Kabupaten Wamena, yaitu: Kepala MI Arianti,
S.Pd.I., Kepala Madrasah Diniyah, Ahmad Baidi; Ketua Pondok

vi
Pesantren, Sumadi yang berlokasi di Walesi-Wamena; Kepala Sekolah
SD Athahiriyah YAPIS Wamena, Samsul Muariq, S.Pd.; Kepala SMP
YAPIS Wamena, Sinarwati, S.P., M.Si.; Kepala dan Wakil Kepala
SMK Sidratul Munthaha YAPIS Wamena, Tarsan Yahda, S.E., M.Si.
dan Sutejo, S.Pd., M.Si.; dan seluruh guru serta dosen dan karyawan di
UPT Kabupaten Jayawijaya, terima kasih atas pengalaman yang tak
akan terlupakan seumur hidup dan menjadi pembelajaran yang sangat
berharga bagi penulis dan pembaca, insyaa Allah.
Terima kasih juga dihaturkan kepada Pak Kartim yang telah
memfasilitasi akomodasi dan transportasi selama di Jayapura. Terima
kasih atas kesetiaan Pak Syarif yang sabar mendampingi penulis
mengantar ke berbagai tempat di Jayapura, selain ke UPT juga ke
tempat makan yang menyuguhkan ikan bakar muhajir dan lalapan daun
pepaya dengan sambal rica-rica yang enak rasanya namun harganya
selangit bila dibandingkan dengan di pulau Jawa. Dan tentunya, terima
kasih tak lupa kami sampaikan kepada para pemimpin dan rekan-rekan
karyawan penerbit yang telah memberikan kesempatan sehingga buku
ini berhasil diterbitkan.
Dengan keyakinan yang kuat dan bertawakal untuk selalu
berjuang dalam bidang pendidikan, kami persembahkan buku ini untuk
kemajuan masyarakat Indonesia. Semoga buku dengan judul
Pendidikan Meningkatkan Kualitas Manusia ”Peran Yapis Membentuk
SDM Terdidik di Tanah Papua” ini bermanfaat dan dapat memberikan
pengetahuan serta wawasan bagi para akademisi, penanggung jawab
pendidikan, pemerintah, dan khususnya bagi masyarakat di daerah 3T
(terpencil, tertinggal, terluar) untuk mau maju bersama melalui
pendidikan di wilayahnya. Saran dan kritik sangat dinantikan untuk
memperbaiki kekurangan dan kelemahan dari penulisan buku ini.

Akhirul kalam, wassâlâmu ’alaikum warohmatullâhi wabarokâtuh.

Bandung-Papua, September 2018

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Pengantar Penulis ...................................................................... v


Daftar Isi ..................................................................................... viii
Daftar Gambar dan Tabel ......................................................... x

BAB I
Pendahuluan .............................................................................. 1

BAB II
Education for All .......................................................................... 16
A. Pendidikan bagi Setiap Warga Negara dalam
Undang-Undang Republik Indonesia ...................................... 16
B. Pendidikan untuk Semua dalam Program UNESCO .............. 23
C. Pendidikan Seumur Hidup ...................................................... 27

BAB III
Pendidikan dan Pembangunan Bangsa ................................... 36
A. Pendidikan Meningkatkan SDM ............................................. 36
B. Pembangunan dalam Pendidikan ............................................ 45
C. Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua ............................. 53

BAB IV
YAPIS dan Pendidikan di Tanah Papua ................................. 63
A. Sekilas Tentang Tanah Papua ................................................. 63
B. Sejarah YAPIS ........................................................................ 71
C. Peta Penyebaran YAPIS di Tanah Papua ................................ 77

BAB V
Perkembangan Pendidikan Berkualitas di Tanah Papua ...... 82
A. Pendidikan Berkualitas ............................................................ 82
B. Jenjang dan Jenis Pendidikan .................................................. 86

viii
C. Perkembangan Jenis dan Jenjang Pendidikan
di Tanah Papua ........................................................................ 91
D. Pendidikan Multikultural ......................................................... 105

BAB VI
Kontribusi Pendidikan Membentuk SDM Berkualitas .......... 111
A. SDM Berkualitas ..................................................................... 112
B. Standar Kompetensi dalam Pendidikan ................................... 115
C. Sikap Mental SDM Berkualitas ............................................... 130

BAB VII
Tantangan dan Peluang Menghadapi Era Globalisasi ........... 150
A. Tantangan Pendidikan di Tanah Papua ................................... 152
B. Tantangan YAPIS di Tanah Papua .......................................... 174
C. Peluang Masa Depan Masyarakat di Tanah Papua
Melalui Pendidikan ................................................................. 181
D. Harapan Pengembangan Diri Masyarakat
di Tanah Papua Melalui Pendidikan ........................................ 201
E. Pelatihan yang Diperlukan Masyarakat di Tanah Papua ......... 204
F. Temuan Penting dari Hasil Penelitian ..................................... 205

BAB VIII
Penutup ....................................................................................... 207

Daftar Pustaka ............................................................................ 212


Biografi ........................................................................................ 219

ix
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Daftar Gambar
Gambar 4.1. Peta Pulau Papua .................................................. 63
Gambar 4.2. Kondisi Geografis Jayawijaya ............................. 65
Gambar 4.3. Pengurus Pusat YAPIS Periode 2012-2017 ......... 77
Gambar 4.4. Peta Penyebaran Lembaga Pendidikan Islam
di Tanah Papua di Bawah YAPIS ........................ 78
Gambar 5.1. Lokasi Universitas YAPIS dan UPT-UPT
Jenjang Dikdasmen di Dok V Jayapura ............... 104
Gambar 5.2. Lokasi STISIP Amal Ilmiah YAPIS Wamena ..... 104
Gambar 6.1. Kesenjangan Kemampuan Lulusan ...................... 122
Gambar 6.2. Peningkatan Akuntabilitas Penyelenggaraan
Program ................................................................ 125
Gambar 6.3. Keterampilan Abad 21 ......................................... 146
Gambar 6.4. Target Keterampilan Hidup Abad 21 ................... 147
Gambar 6.5. Hasil Penelitian di Tanah Papua
Tentang Pendidikan 2018 ..................................... 148
Gambar 7.1. Rancangan dan Prioritas Nasional Tahun 2018 ... 170
Gambar 7.2. Pelatihan Budidaya Jamur Tiram
dan Pengelolaannya .............................................. 205

Daftar Tabel
Tabel 4.1. Jumlah UPT di Bawah YAPIS ............................. 81
Tabel 6.1. Kompetensi Abad 21 ............................................ 123
Tabel 6.2. Uraian Kompetensi Jenjang Kualifikasi .............. 126

x
BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan proses yang tidak akan dapat dipisahkan


dalam kehidupan manusia. Pendidikan memiliki peran penting dalam
membantu menumbuhkan potensi individualisnya yang unik dan sifat
kemanusiaannya. Melalui pendidikan itu pula lah manusia mampu
menjadi manusia terdidik dan siap membantu pembangunan
masyarakat, bangsa, dan negara.
Tua-muda; laki-laki maupun perempuan; miskin-kaya; fisik
normal atau difabel; di perkotaan atau di pedesaan; di pusat kota
maupun di daerah terpencil; semua berhak untuk mendapatkan
pendidikan (education for all). Dalam Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Dipertegas dalam Undang-Undang (UU) No.
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal
5 Ayat (1) bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (5) menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyatakan
bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, tidak
hanya pemerintah, masyarakat pun wajib membantu dalam
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu atau berkualitas untuk
generasi yang lebih baik di masa mendatang.
Begitu pula di salah satu pulau di Indonesia, yaitu Papua, peran
masyarakat khususnya di wilayah-wilayah terpencil tampak begitu
tinggi dalam upaya meningkatkan pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Peran masyarakat yang peduli pendidikan ditandai dengan munculnya
yayasan pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua. Tujuan YAPIS di
Tanah Papua ini tidak lain adalah dalam upaya membantu pemerintah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun sumber daya
manusia (SDM) terdidik, khususnya di Tanah Papua.
Pendidikan membantu manusia memaksimalkan potensi yang
dimilikinya. Alat indera yang dimiliki, seperti indera pendengaran,
1
penglihatan, perasa, dan hati, merupakan modal bagi manusia untuk
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Melalui indera
tersebut, manusia dari kondisi belum mengetahui sesuatu menjadi tahu
akan hal-hal baru; dari tidak memiliki ilmu pengetahuan, menjadi
memiliki banyak ilmu pengetahuan; dari yang tidak memiliki
keterampilan menjadi terampil dalam berbagai hal. Dalam
meningkatkan kualitasnya tersebut, manusia perlu orang lain yang lebih
dahulu telah mengembangkan potensi yang dimiliki untuk berbagi
pengetahuan, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan berbagai
pengalaman hidup.
Berdasarkan posisi manusia sebagai makhluk sosial, usaha
pendidikan tentu tidak lepas dari berbagai unsur yang saling
berinteraksi dan interkoneksi antara satu dengan yang lainnya.
Kepekaan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan
orangtua sebagai manusia dewasa untuk membantu perkembangan
pendidikan bagi generasi penerusnya, menjadi suatu keharusan.
Kerjasama antar berbagai pihak baik masyarakat, lingkungan, dan
pemerintah mempercepat terwujudnya proses pendidikan yang
membawa pada kualitas SDM yang diharapkan. Dalam teori sosiologi,
dinyatakan bahwa interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial (Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati,
2017: 55). Dan proses pendidikan merupakan interaksi sosial antara
unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang saling terkait satu sama
lain.
Dewasa ini, kesadaran akan pendidikan tampak cukup tinggi
baik di perkotaan maupun di pedesaan atau di wilayah terpencil di
Indonesia. Indikatornya adalah banyaknya anak-anak yang bersekolah
dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tentu semua
tidak lepas dari peran pemerintah dengan program wajib belajarnya.
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di negara-
negara lain pun pendidikan menjadi sorotan utama, baik pemerintah
maupun masyarakatnya.
Sebagaimana ditegaskan Mahmud dan Ija Suntana dalam
bukunya Antropologi Pendidikan (2014: 127), perkembangan
pendidikan di masyarakat dunia menjadi salah satu ciri yang mencolok
pada dekade terakhir yang ditandai dengan ekspansi yang cepat dan
besar. Indikasinya adalah semakin banyak anak muda yang mendaftar
untuk pendidikan di mana-mana, baik di negara industri yang maju

2
maupun di negara yang sedang berkembang. Pendaftaran masyarakat
dunia untuk pendidikan terjadi pada semua tingkat yaitu tingkat dasar,
menengah, dan tinggi.
Trend yang cukup baik dari tingginya kepedulian masyarakat
terhadap pendidikan perlu diapresiasi, terutama oleh pemerintah.
Lulusan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi perlu diarahkan dan
difasilitasi untuk dapat mengaktualisasikan hasil pendidikan yang
mereka peroleh. Ada dua sisi yang akan timbul dari lulusan yang
memiliki kompetensi yang tinggi. Pertama, lulusan yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan dan mendapat kesempatan
kerja di lapangan kerja yang tersedia akan mampu membantu
pengembangan pembangunan bangsa. Kedua, kelebihan lulusan yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi pun berdampak pada
pengangguran ketika lapangan kerja tidak lagi mampu menampung
mereka. Hal ini tentu akan berdampak pada permasalahan sosial bagi
masyarakat, bangsa, dan negara.
Randall Collins yang dikutip Mahmud dan Ija Suntana (2014:
129-130), menyatakan, masalah kelebihan-pendidikan (over-
education) dengan jumlah orang pada level tertentu, sementara jumlah
pekerjaan yang memerlukan level pendidikan itu tidak meningkat,
dipastikan banyak pemegang sertifikat tidak akan memperoleh
pekerjaan pada level tersebut. Maka pada akhirnya menerima pekerjaan
yang mungkin dilakukan tanpa mempertimbangkan sertifikat mereka.
Apabila tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan sertifikatnya,
mereka akan melanjutkan pendidikan untuk memperoleh sertifikat yang
lebih tinggi. Mereka berharap sertifikat pendidikan yang lebih tinggi
akan menjamin mereka dengan jenis pekerjaan yang mereka inginkan.
Jadi, masalah lebihan pendidikan adalah akibat dari kualifikasionisme.
Kedua, kualitas pendidikan. Apabila kualifikasionisme mencapai
tingkat atas dalam suatu sistem pendidikan, ujian mulai mendominasi
kurikulum. Belajar sekadar rutinitas formal, sedangkan kreativitas tidak
dipentingkan. Pendidikan terorientasikan pada lulus ujian dan
menerima selembar surat bukan ekspansi berpikir dan merangsang
keingintahuan intelektual. Ruang kelas hanya menciptakan kebosanan.
Tingkat kemampuan siswa akan bermasalah besar. Surat kepercayaan
pendidikan mereka bukan mustahil akan menimbulkan sebuah krisis
yang oleh Randall Collins disebut krisis surat kepercayaan. Collins
menyebutkan bahwa hal ini terjadi di masyarakat modern.

3
Permasalahan ini bukan hanya terjadi di negara berkembang
saja. Dalam The Over-educated American (1976: 11-12) Richard
Freeman mengemukakan dua indikator dasar tentang masyarakat
pendidikan berlimpah. Pertama, rendahnya gaji orang-orang yang
berpendidikan tinggi dibandingkan dengan mereka yang pendidikan
menengah. Kedua, kenaikan yang dramatis dalam kesulitan para
lulusan perguruan tinggi untuk menemukan pekerjaan yang sepadan
dengan pendidikan mereka termasuk pekerjaan apa pun (Mahmud dan
Ija Suntana, 2014: 132).
Untuk mampu bersaing di pasar kerja setelah tamat belajar di
lembaga pendidikan formal, masyarakat modern mengubah seluruh
karakter sistem pendidikannya secara radikal. Banyak pengamat tidak
setuju terhadap cara itu, sebab para mahasiswa ditekan untuk belajar
yang fokus pada penguasaan bidang kualifikasi yang dibutuhkan
penyedia lapangan pekerjaan, khususnya di bidang industri. Padahal
lapangan pekerjaan juga dapat diciptakan oleh lulusan yang telah
dibantu mengembangkan potensi individual yang dimilikinya yang
disesuaikan juga dengan kondisi wilayah di mana sumber daya alam
tersedia. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa wilayah
Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan, dan proyeksi untuk
mencetak lulusan yang berorientasi hanya untuk pengembangan
industri tentu kurang relevan dan menjadi tambahan permasalahan lain
yang dihadapi.
Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasarkan data1,
dalam periode lima tahun sekali, UN GEGN (United Nations Group of
Experts on Geographical Names) mengadakan konferensi PBB
mengenai standardisasi nama-nama geografis di dunia. Pada sidang
tahunan 2012, Indonesia telah melaporkan sebanyak 13.466 pulau ke
PBB dan langsung ditetapkan pada sidang tersebut. Tahun 2017 ada
tambahan dari jumlah pulau yang diverifikasi pada 2015 sebanyak 537
pulau dan 749 pulau pada 2016, sehingga saat ini Indonesia memiliki
pulau dengan total sebanyak 14.572 pulau. Dari jumlah tersebut, total
pulau kecil dan terdepan yang sebelumnya berjumlah 92 pulau, pada
tahun 2017 menjadi 111 pulau.
Maju mundurnya suatu masyarakat, wilayah, pulau, bangsa dan
negara sebab peran manusianya. Manusia mampu memaksimalkan
1
http://www.mongabay.co.id/2017/01/12/bukan-13-466-pulau-indonesia-kini-
terdiri-dari/Pulau

4
potensinya melalui pendidikan. Proses pendidikan yang tepat dapat
menghasilkan generasi yang handal dan siap mengelola potensi daerah
yang dimilikinya. Dengan banyaknya jumlah pulau baik besar maupun
kecil, perlu perhatian semua pihak, terutama pemerintah dalam
memberikan pendidikan yang akan mampu menyiapkan generasi yang
terdidik hingga siap berkreasi dan berkompetisi.
Adanya pendatang yang menetap di dalam suatu wilayah atau
daerah terkadang menjadi pro-kontra. Padahal fakta dalam sejarah
mengungkapkan, banyak pendatang yang memiliki kompetensi
bersama-sama penduduk asli berjuang melakukan perubahan untuk
kemajuan masyarakat daerah tersebut. Dalam persaingan di era global,
perubahan mau tidak mau menjadi suatu keniscayaan. Pendatang yang
bermukim atau yang menetap dalam pandangan sosiologi dan sejarah
memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan
masyarakat sekitar, khususnya pendatang yang memiliki kompetensi
dan kualifikasi yang tinggi. Walaupun terkadang mengalami
pergesekan sebab latar belakang daerah dan budaya yang berbeda,
melalui komunikasi yang efektif dan saling pengertian akan mampu
hidup harmonis dan memberikan kontribusi positif terhadap
peningkatan SDM dan perkembangan kemajuan suatu wilayah.
Majunya suatu masyarakat adalah berkat pendidikan. Namun,
Firdaus M. Yunus, (2005: 98) telah mengkritisi, bahwa
keberlangsungan pendidikan sering sekali tidak berakar dari akar
persoalan riil masyarakat atau peserta didik pada suatu daerah.
Misalnya, fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan
yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktik
pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat,
khususnya masyarakat desa. Praktik pendidikan yang demikian
disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal
persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru
banyak produk-produk pendidikan tersebut sering kali malah
melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar, misalnya
sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih banyak “diintervensi”
oleh praktik pendidikan model perkotaan dengan tipikal masyarakat
industrial, sehingga muncul ketidakpercayaan diri peserta didik atas
profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priayi dengan
fenomena rebutan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri
sipil atau minimal bekerja di perkantoran. Kegagalan membentuk hasil
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya sering

5
kali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang
sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi, proses pendidikan yang
tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi
oleh peserta didik dan masyarakat sekitar.
Mengutip Tampubolon, Firdaus M. Yunus, (2005: 104-105),
menyatakan ada lima akar permasalahan pendidikan nasional yang
harus dikikis habis agar pendidikan nasional dapat bangkit kembali dari
keterpurukannya. Lima akar permasalahan tersebut adalah: pertama,
komitmen pemerintah terhadap pendidikan nasional sangat lemah,
terutama dari pihak legislatif dan eksekutif. Kedua, pandangan filosofis
tentang pendidikan ketinggalan, hingga visi dan mutu pendidikan ke
depan kurang mendapat perhatian. Ketiga, sistem pemberdayaan guru
sangat lemah, hal ini terlihat dari pelatihan prajabatan guru dan
pemberian kesejahteraan terhadap guru. Keempat, sistem manajemen
sentralistik-birokratik dan tidak terpadu inilah yang terjadi selama ini.
Dengan pemberlakuan otonomi daerah diharapkan desentralisasi
pendidikan akan terjadi, meskipun kegamangan daerah dalam
melakukannya tetap ada. Oleh karena itu, sistem pendidikan perlu
direformasi menjadi sistem desentralistik-demokratis transparan.
Kelima, masih berlangsungnya sistem pengajaran di sekolah-sekolah
dengan pola pengajaran klasik maupun feudal, sehingga
ketergantungan pada guru sangat tinggi. Akibatnya kreativitas dan
kemandirian peserta didik lambat berkembang, keberagaman sering
tidak terpenuhi, kemudian mutu pendidikan yang tinggi sulit dicapai.
Memperhatikan rumitnya permasalahan pendidikan nasional,
maka upaya melakukan penyegaran terhadap dunia pendidikan
Indonesia merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, agar pendidikan
nasional tidak ketinggalan jauh dari pendidikan negara-negara lain.
Maka transformasi secara menyeluruh terhadap pendidikan nasional
perlu dilakukan segera, seperti: 1) pemberian otonomi kepada sekolah-
sekolah, 2) perbaikan manajemen sistem pendidikan nasional dan
manajemen pendidikan daerah seiring pemberlakuan otonomi daerah,
3) meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan guru agar guru bisa
optimal melakukan tugas sebagai guru, dan 4) hindari komersialisasi
pendidikan agar pendidikan bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa,
bukan untuk sekelompok anak bangsa, karena komersialisasi tanpa
memperhatikan mutu akan merugikan pendidikan Indonesia ke depan.

6
Upaya pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan
nasional menuju prinsip-prinsip desentralisasi harus didukung oleh
semua pihak, karena desentralisasi pendidikan adalah memberikan
kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengelola pendidikan dan
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan
mengangkat guru sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pemerintah pusat
hanya menjadi pengarah dan pengontrol hal-hal yang dianggap pokok
saja. Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan kekhasan daerah
diperhatikan, dan pendidikan dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan
suatu daerah (Suparno, 2002: 19-20). Memahami aspek pendidikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses berlangsungnya
pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu
dikedepankan. Apalagi dalam memasuki otonomi daerah, maka sektor
pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal,
seperti pemenuhan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM),
penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan
sebagainya, semestinya menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa
ditunda-tunda. Selama ini yang terjadi adalah proses pendidikan banyak
yang tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal. Proses
pendidikan terutama pendidikan formal (sekolah) sesungguhnya
diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan
sumber daya manusia yang sanggup menyelesaikan persoalan lokal
yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses pendidikan di
dalamnya harus mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan
lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga hasil
atau output pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan
sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat
(Santoso, 2003: 3).
Dengan demikian, setiap sekolah sudah mempunyai kebebasan
untuk menentukan mata pelajaran dan kurikulum lokal masing-masing
daerah. Sementara mata pelajaran yang ditentukan oleh pusat hanyalah
pelajaran yang sungguh pokok menyangkut keseluruhan, seperti
Pelajaran Pancasila, dan Bahasa Indonesia. Muatan lokal yang
memperhitungkan konteks masyarakat dan latar belakang budaya di
mana sekolah berada perlu diberi perhatian yang lebih banyak
(Suparno, 2002: 71).
Penyelenggaraan pendidikan dengan mengimplementasikan
manajemen berbasis sekolah dapat diterapkan untuk mencapai
kepentingan bersama. Seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan

7
dengan sekolah dapat bersama-sama memikirkan tentang model
pembelajaran dan kurikulum yang hendak diberikan oleh sekolah.
Sehingga diperoleh model pendidikan yang khas, yang berakar atas
kenyataan riil masyarakat. Dalam konteks inilah demokrasi pendidikan
dapat diwujudkan. Perubahan-perubahan dalam pendidikan diupayakan
agar pendidikan nasional tidak tertinggal jauh dari pendidikan negara
lain. Pendidikan nasional suatu bangsa semestinya dikembangkan
berdasarkan sistem filsafat pendidikan bangsa yang bersangkutan.
Karena dalam filsafat pendidikan terkandung nilai-nilai filosofis yang
menjiwai dan memberikan identitas pendidikan nasional suatu bangsa.
Pengaruh globalisasi yang tidak sesuai dengan budaya
masyarakat dan bangsa Indonesia seperti gaya hidup yang hedonis-
liberal dan materialis berdampak pada output pendidikan di Indonesia.
Seiring berputarnya waktu dengan banyaknya budaya asing yang
masuk tanpa filterisasi, nilai-nilai budaya asli masyarakat suatu daerah
semakin memudar bahkan hilang. Hilangnya budaya suatu masyarakat
di suatu daerah mengindikasikan akan segera punahnya peradaban
manusia di daerah tersebut. Padahal banyak nilai-nilai yang harus
dilestarikan dan dijalankan yang memang sesuai dengan kultur
masyarakat setempat dibanding mengikuti budaya asing yang belum
tentu cocok dengan kultur mayoritas masyarakatnya.
Persoalannya adalah apakah setiap nilai-nilai budaya asing yang
dibawa harus selalu diikuti dan apakah setiap budaya dari luar itu baik
bagi masyarakat setempat. Banyak keluarga yang sudah terkena
dampak globalisasi. Misalnya, gaya hidup yang hedonis (inginnya
bersenang-senang tanpa bersusah payah; ingin lulus ujian tanpa harus
belajar), materialis (tujuan tercapai dengan menghalalkan segala
cara/kapitalis), waktu setiap hari ditujukan untuk kesibukan dunia
(bekerja), serta keberadaan media teknologi telah menyita perhatian,
kasih sayang, dan komunikasi antar sesama anggota keluarga.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu ada sisi baik dan
buruknya. Manusia dengan akal sehatnya, ditantang untuk mampu
menggunakan media teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam
rangka meningkatkan taraf hidup dan harkat martabat manusia bukan
untuk merendahkan martabat manusia bahkan hingga menghancurkan
kehidupan manusia itu sendiri (Helmawati, 2014: 248).
Pendidikan di era globalisasi lebih condong menekankan
penguasaan aspek kognitif dan psikomotorik daripada aspek emosional

8
dan spiritual. Sehingga lulusan lembaga pendidikan mungkin memiliki
kecerdasan intelektual dan keterampilan, namun memiliki sikap mental
yang buruk dan rendah. Hal senada ditegaskan pula oleh Abuddin Nata
(2003: 45-46) yang menyatakan, antara penyebab dunia pendidikan
kurang mampu menghasilkan lulusannya yang diharapkan adalah
karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan
intelektual, wawasan, dan keterampilan semata, tanpa diimbangi
dengan membina kecerdasan emosional.
Abuddin Nata (2003: 45) menegaskan, bahwa dunia pendidikan
saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya
sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan yang menunjukkan sikap
kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan
tindakan kriminal, pencurian, penodongan, penyimpangan seksual,
menyalahgunakan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Perbuatan
tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut benar-benar telah
meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat keamanan. Hal
tersebut masih ditambah lagi dengan adanya peningkatan jumlah
penganggur yang pada umumnya adalah tamatan pendidikan.
Gejala kemerosotan moral dewasa ini sudah benar-benar
mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong,
dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan,
penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Banyak terjadi adu
domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka
hati, dan perbuatan maksiat lainnya (Abuddin Nata, 2003: 189).
Sementara faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang,
diantaranya sebagai berikut. Pertama, longgarnya pegangan terhadap
agama. Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan di
rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Ketiga, derasnya arus
budaya materialistis, hedonistis, dan sekularistis. Keempat, belum
adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah (Abuddin
Nata, 2003: 191-195).
Agus Irianto dalam bukunya Pendidikan Sebagai Investasi
Dalam Pembangunan Suatu Bangsa (2011: 11) mengutip Nandika
(2005), Sekretaris Jenderal Depdiknas, mengemukakan bahwa banyak
masalah dan tantangan yang dihadapi bidang pendidikan di Indonesia.
Permasalahan dan tantangan pendidikan di Indonesia antara lain: 1)
tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah; 2) dinamika perubahan
struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam

9
pembangunan pendidikan; 3) kesenjangan tingkat pendidikan; 4) good
governance belum berjalan secara optimal; 5) fasilitas pelayanan
pendidikan yang belum memadai dan merata; 6) kualitas pendidikan
relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik;
7) pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembang-
kan dan menciptakan IPTEK; 8) manajemen pendidikan belum berjalan
secara efektif dan efisien; 9) anggaran pembangunan pendidikan belum
tersedia secara memadai.
Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan permasalahan
yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia.
Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan
kontribusi terhadap pemerintah dan masyarakat jangka panjang ke
depan. Sebab itu diperlukan kesungguhan kebijakan pembangunan
pendidikan dan implementasinya sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran
pendidikan ditekankan pada upaya: 1) perluasan dan pemerataan
pendidikan; 2) mutu dan relevansi pendidikan; 3) governance dan
akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk
pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah
Indonesia. Dengan demikian, ketinggalan di bidang kualitas SDM dapat
ditingkatkan agar tidak tertinggal dengan kemajuan di antara negara-
negara Asia Pasifik. Sampai saat ini, ketiga program tersebut masih
dirasa belum optimal dijalankan. Adanya peningkatan anggaran
pendidikan diharapkan ketiga program ini dapat direalisasikan dalam
jangka waktu yang cepat. Kendala dalam pelaksanaannya terkait
dengan aturan birokrasi yang masih belum direformasi. Pernyataan ini
diperkuat oleh Agus Irianto (2011: 12) yang menyatakan, mekanisme
pengambilan keputusan, mekanisme peluncuran dana dan
pertanggungjawaban keuangan sering menjadi kendala administrasi
yang dapat menghambat jalannya reformasi pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, Sudardja Adiwikarta dalam bukunya Sosiologi
Pendidikan (2016: 5) melihat bahwa di satu pihak ada kebutuhan
masyarakat akan pendidikan yang baik dan maju, sedangkan di pihak
lain, yaitu kalangan pemerintah, ada rasa wajib dan rasa tanggung
jawab yang tinggi untuk memenuhinya. Namun yang terjadi adalah
kepentingan kedua belah pihak itu susah dipertemukan. Senantiasa
terbentang kesenjangan yang luas antara kebutuhan dan kemampuan
memenuhinya. Kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang baik dan

10
mudah dijangkau pada semua jenjang pendidikan belum bisa dipenuhi
seluruhnya oleh pemerintah. Sistem pendidikan di negeri ini pun masih
sangat memprihatinkan. Setiap hari di media komunikasi,
memperdengarkan keluhan masyarakat tentang pendidikan yang
meliputi semua aspeknya, mulai dari bangunan sekolah yang tidak
layak pakai, sekolah yang sulit dijangkau, kekurangan guru dan
rendahnya mutu kemampuan mendidik yang mereka miliki, terbatasnya
ketersediaan alat-alat pendidikan yang diperlukan, rendahnya mutu
penyelenggaraan dan mutu lulusan, mahalnya biaya pendidikan, dan
sebagainya. Pendek kata persoalan pendidikan di negara ini masih
merupakan masalah sosial yang serius.
Selanjutnya Sudardja Adiwikarta menguraikan permasalahan
pendidikan itu dibagi ke dalam dua kategori, yaitu permasalahan
akademik-teoretik dan permasalahan praksis. Pada tataran teoretik
berlangsung perdebatan-perdebatan mengenai dasar filosofis dan
teoretis tentang substansi pendidikan itu sendiri. Misalnya, persoalan
tentang apa yang seharusnya menjadi fokus kegiatan mendidik itu:
apakah pengetahuan, ataukah keterampilan; bagaimana tentang
pendidikan afeksi dan karakter; metode pembelajaran mana yang paling
cocok untuk anak-anak, remaja, dan metode mana yang cocok untuk
orang dewasa; dan bagaimana pula model pendidikan yang
memperhatikan potensi peserta didik yang berlainan.
Sementara itu yang menjadi pokok persoalan pada dimensi
praksis berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri.
Mulai dari penyusunan kebijakan sampai kepada teknis pelaksanaannya
di sekolah atau dalam kelas. Sebagai contoh pertanyaan-pertanyaan
seperti apakah pendidikan harus diselenggarakan secara sentralistik
atau desentralistik; berapa lama setiap jenjang pendidikan berlangsung;
berapa sebaiknya jumlah murid dalam sebuah kelas; apakah ujian
nasional perlu diselenggarakan dan bilamana ujian itu sebaiknya
diselenggarakan; apakah penjurusan di SMA relevan atau tidak dengan
kepentingan siswa dan kepentingan pendidikan; bagaimana pengaturan
keterlibatan orangtua dan masyarakat dalam pendidikan; bagaimana
wajib belajar diselenggarakan; bagaimana membantu orangtua yang
kurang mampu secara ekonomis; dan seterusnya.
Membantu menumbuhkan kompetensi perlu persiapan atau
perencanaan matang, pelaksanaan yang konsisten, dan pengawasan
terpadu untuk peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Tuhan Sang

11
Maha Pencipta melengkapi manusia dengan berbagai potensi dasar
yang multi-talenta. Komitmen tinggi berbagai pihak yang bertanggung
jawab dalam menumbuhkembangkan potensi tersebut akan mampu
menyiapkan kompetensi manusia sebagai sumber daya utama agar siap
bersaing dan siap meraih kemajuan, kesejahteraan, serta kebahagiaan
hidup. Manusia dengan potensi dan kompetensi yang berkualitas
menjadi aset dalam pembangunan suatu negara.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap manusia perlu
pendidikan. Pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi
manusia. Ahmad Tafsir (2008: 33) menegaskan bahwa manusia perlu
dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Dan seseorang dapat
dikatakan telah menjadi manusia apabila telah memiliki nilai (sifat)
kemanusiaan. Pendidikan dapat mengembangkan segenap potensi yang
dimiliki manusia dan melalui pendidikan dapat membawa martabat
manusia menuju tempat yang lebih baik (mulia). Pendidikan yang tepat
dapat menumbuhkan dan mengembangkan tiga ranah potensi yang
dimiliki manusia. Tiga ranah tersebut yaitu ranah jasmani, rohani, dan
akal harus dikembangkan secara maksimal dan seimbang. Dengan
demikian, pendidikan sangat diperlukan oleh setiap manusia.
Hampir semua manusia perlu dibantu untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya sehingga akan tampaklah sifat-sifat
kemanusiaannya. Proses pendidikan perlu dirancang dan diawasi
dengan baik agar potensi jasmani, rohani, dan akalnya berkembang
secara seimbang dan maksimal. Tidaklah mudah membantu manusia
menjadi manusia, sebab perlu usaha sungguh-sungguh membantu agar
manusia menjadi manusiawi (memiliki sifat kemanusiaannya).
Pendidikan agar berhasil sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional, harusnya tidak sekuler dan tidak dikotomi. Tidak bisa manusia
hanya dikembangkan potensi kecerdasan intelektualnya tanpa
diimbangi dengan pengembangan kecerdasan spiritual dan
emosionalnya. Di sisi lain manusia juga perlu pengembangan
keterampilan hingga mampu menjadi individu yang mandiri dan
sejahtera. Dipertegas dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (5), bahwa
pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Selanjutnya
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia No.
20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

12
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Hakikat pendidikan adalah pembentukan karakter. Karakter
yang tumbuh hendaknya didasari pada nilai-nilai yang diyakini
sehingga akan mengakar kuat membentuk kepribadian seseorang.
Dengan demikian, pendidikan yang berhasil adalah merupakan suatu
upaya bagaimana membentuk manusia yang memiliki potensi yang
dibangun atas nilai-nilai yang diyakininya. Keyakinan manusia inilah
yang kemudian mampu membuat perubahan-perubahan baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Manusia yang mampu
membuat perubahan dengan keyakinan dan kemampuan yang
dimilikinya merupakan aset atau modal bagi suatu daerah, bangsa, dan
negara.
Kepribadian yang mengakar kuat akan mampu menghadapi
berbagai tantangan dan persoalan hidup. Sebab berlandaskan
keyakinannya kekuatan akan muncul dan hal ini membuat manusia
mampu bertahan hidup. Sebaliknya, karakter yang tidak dilandasi
dengan keyakinan, tidak mengakar kokoh pada kepribadiannya.
Karakter yang tidak mengakar kokoh ketika dihadapkan pada persoalan
hidup dan tantangan zaman yang selalu berubah cepat dapat
mengakibatkan manusia terbawa arus perubahan yang tidak pasti.
Apabila perubahan zaman yang dihadapi berpengaruh positif tentu akan
menguntungkan. Sedangkan perubahan zaman yang diikuti dan
ternyata berpengaruh negatif tentu akan merugikan bahkan mungkin
dapat menghancurkan atau membinasakan.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata 93% produktivitas
seseorang ditentukan kemampuan asasinya, yaitu: akhlak, sikap,
perilaku, pikiran, fleksibilitas, dan perasaan (Ibrahim Elfiky, 2010: 47).
Pengendalian diri merupakan salah satu dasar pengembangan SDM
(Ibrahim Elfiky, 2010: 65). Dalam rangka pengembangan SDM dan
agar seseorang siap dalam menjalankan profesinya, ia perlu: 1)
pengendalian diri, merupakan salah satu dasar pengembangan sumber
daya manusia, 2) seni berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain, 3) tujuan dan cara mencapainya, 4) tantangan dan bagaimana
menghadapinya, 5) bagaimana menghadapi rintangan, 6) kerja dan
fungsi otak serta proses berpikir.

13
Proses pendidikan tidaklah berhenti hingga jenjang pendidikan
terakhir yang telah dikualifikasikan pemerintah dalam kebijakannya.
Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat yang tidak dapat
diperoleh melalui jenjang pendidikan formal dapat diperoleh melalui
pendidikan nonformal. Selain itu, proses pembelajaran dalam
kehidupan sehari-hari sangat membantu keberhasilan seseorang dalam
hidupnya. Proses pembelajaran seperti ini dikenal dengan nama
pendidikan seumur hidup (lifelong education).
Peningkatan kualitas pendidikan dan penyelenggaraan proses
pendidikan seumur hidup yang penyelenggaraannya didukung oleh
masyarakat tampak di salah satu pulau besar di Indonesia, yaitu Papua.
Pulau Papua sangat luas, dan tampak di beberapa wilayahnya yang
terpencil (sebab kondisi geografis) perkembangan pendidikan masih
tertinggal. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan, sebab di Papua masih
memiliki SDM dan SDA (sumber daya alam) yang sangat potensial.
Apabila SDM ditingkatkan melalui pendidikan, maka SDA yang
berlimpah di wilayah tersebut dapat dikelola oleh masyarakat dan
kemudian dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Di Tanah Papua terdapat lima (5) yayasan utama penyelenggara
pendidikan. Lima yayasan tersebut yaitu: YPK (Yayasan Pendidikan
Kristen), YPPK (Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik), YAPIS
(Yayasan Pendidikan Islam), Advent, dan YPGI (Yayasan Pendidikan
persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Pengelola dari lima yayasan
penyelenggara pendidikan tersebut intensif berkomunikasi dengan
menyelenggarakan pertemuan rutin dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan untuk peningkatan SDM di Tanah Papua. Dari ke-
lima yayasan tersebut, penulis mencoba mengungkapkan dan
menginformasikan bahwa Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS)
berperan aktif dalam membantu masyarakat dan pemerintah di Tanah
Papua meningkatkan kualitas sumber daya manusianya secara intensif
dan berkomitmen tinggi. Indikatornya dapat dilihat dari data-data yang
akan diungkapkan pada pembahasan selanjutnya.
Penulisan menggunakan pendekatan yang bersifat memaparkan
atau deskriptif kualitatif tentang pendidikan, terutama bagaimana peran
YAPIS membangun pendidikan yang berkualitas di Tanah Papua.
Informasi yang berisi data dan fakta yang disajikan pada bahasan-
bahasan dalam buku ini merupakan informasi yang diperoleh

14
berdasarkan sumber utama, seperti para pengurus YAPIS baik Pusat
maupun Cabang, para pengelola lembaga pendidikan (UPT) di bawah
YAPIS, para peserta didik, dan stakeholder pendidikan. Instrumen yang
digunakan untuk mendapatkan informasi adalah observasi, wawancara,
angket, dan studi dokumen. Analisis validitas informasi yang diperoleh
dalam penulisan ini menggunakan metode kroscek atau metode
triangulasi data.
Berdasarkan uraian dan analisis yang disampaikan, besar
harapan bahwa di daerah terpencil yang dipengaruhi kondisi geografis
yang menantang, telah diselenggarakan suatu upaya perjuangan dalam
bidang pendidikan. Proses pendidikan yang diselenggarakan sangat
membantu membentuk masyarakat terdidik dan memiliki kompetensi
serta kualifikasi untuk siap bersaing di era globalisasi. Perjuangan-
perjuangan dalam pendidikan pada beberapa titik di daerah yang
terpencil diharapkan mendapat perhatian lebih dan menjadi
pembelajaran bagi semua pihak, bahwa semua warga negara berhak
mendapatkan pendidikan yang bermutu atau berkualitas.
Ada enam fokus kajian utama dalam buku ini yang diuraikan
dalam pembahasan selanjutnya. Enam kajian tersebut yaitu uraian
mengenai: Education For All; Pendidikan dan Pembangunan Bangsa;
Yapis dan Pendidikan di Tanah Papua; Perkembangan Pendidikan
Berkualitas Di Tanah Papua; Kontribusi Pendidikan Membentuk
Kompetensi SDM Berkualitas; Tantangan dan Peluang Menghadapi
Era Globalisasi.

15
BAB II
EDUCATION FOR ALL

Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga. Esensi dari


pendidikan adalah belajar. Melalui belajar berbagai macam hal
membuat manusia mampu mempertahankan eksistensinya. Belajar
dimulai sejak dalam kandungan hingga menjelang kematian. Oleh
karena itu dikatakan bahwa manusia mengalami proses pembelajaran
seumur hidup (lifelong learning).

A. Pendidikan bagi Setiap Warga Negara dalam


Undang-Undang di Indonesia
Hak setiap warga mendapat pendidikan. Pendidikan berhak
diperoleh sejak usia dini, kemudian pendidikan dasar hingga
pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam menempuh
pendidikannya tersebut, setiap warga negara hak untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu atau berkualitas.
Hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan telah dijamin
dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Legalitas yang dikeluarkan negara bagi warganya menjadi
suatu pijakan kokoh dalam melanjutkan perjuangan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dengan jaminan tersebut, tidak ada suatu keraguan
bagi setiap warga mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang lebih
baik.
Pernyataan yang menjamin bahwa setiap warga negara
memiliki hak mendapatkan pendidikan tertuang dalam Dalam UUD
1945. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan. Dipertegas dan diperinci
dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (1) bahwa setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Ayat (5) menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat. Sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa setiap

16
warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan.
UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan. Pernyataan ini berdampak,
setidaknya bagi dua pihak, yaitu warga negara atau masyarakat dan
pemerintah. Warga negara berhak untuk mendapat fasilitas layanan
pendidikan yang dibutuhkan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuan setiap individu. Proses pembelajaran yang diperoleh warga
negara sebagai peserta didik hendaknya yang menumbuhkembangkan
kompetensi sikap kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan. Selain
itu peserta didik berhak mendapatkan proses pembelajaran yang
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis Peserta Didik.
Bagi pemerintah, hak yang diberikan terhadap warga negaranya
yang tertera dalam UUD Tahun 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi suatu
kewajiban. Pemerintah harus memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan bagi setiap warga negara dengan kualitas yang ditetapkan.
Sebab itu, kemudian dikeluarkan anggaran bagi pendidikan sebesar
20% dari APBN.
Pemerintah juga berkewajiban menetapkan standar nasional
pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai
acuan pengembangan kurikulum untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Kemudian pemerintah berkewajiban untuk menyeleng-
garakan penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan
standar nasional pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan
sertifikasi. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara
terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global. Dan selanjutnya standar-standar
tersebut harus diturunkan kepada langkah teknis sehingga mampu
direalisasikan di lapangan sesuai harapan.

17
Pekerjaan besar bagi semua pihak untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan bermartabat sesuai fungsi pendidikan itu sendiri.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kualitas
sumber daya manusia. Pendidikan memiliki fungsi bagi masyarakat, di
antaranya yaitu meliputi segala upaya yang menyangkut transformasi
budaya yang relevan bagi kelangsungan dan kemajuan manusia dan
untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 telah memuat secara terinci
hak-hak yang dapat diperoleh oleh setiap warga negaranya atas
pendidikan. Ada lima ayat yang tertera pada pasal 5.
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan dijamin dalam undang-undang dan diperuntukkan
pada setiap warga negara, apa dan bagaimana pun kondisinya, di mana
pun berada. Pendidikan yang diberikan juga wajib menjamin kualitas
yang ditetapkan. Dan bagi warga negara yang memiliki potensi dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Selain memenuhi kebutuhan dasar
pendidikan dengan mendapatkan ilmu pengetahuan, pengembangan
kepribadian, dan keterampilan, setiap manusia berhak untuk

18
mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan
diminatinya.
Lantas bagaimanakah pendidikan yang bermutu atau berkualitas
itu? Pendidikan yang bermutu tentu memiliki memiliki standar. Standar
bagi pendidikan yang bermutu tersebut oleh pemerintah dinyatakan
dalam 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan. Lingkup Standar Nasional
Pendidikan meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana
dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar
Penilaian Pendidikan.
Kemudian, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menjamin
pendidikan sepanjang hayat bagi warga negaranya. Pasal 5 ayat 5
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
Sepanjang hayat akan disampaikan pada bahasan selanjutnya.
Sementara itu, agar terwujudkan pendidikan yang bermutu,
penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan. Sebagaimana yang tertuang pada UU Sisdiknas Pasal
4 sebagai berikut.
Pasal 4
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan
yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan

19
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembang-
kan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdaya-
kan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan dalam
penyelenggaraannya agar menjadi pendidikan yang bermutu tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Semua elemen perlu saling
mendukung agar terwujudnya pendidikan yang bermutu. Semua elemen
yang berperan dalam pendidikan selain pemerintah, setiap warga negara
itu sendiri, juga masyarakat dan stakeholder. Seperti yang telah
dinyatakan dalam UU Sisdiknas Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan
bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Hak dan kewajiban, seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian, selain menjadi hak, penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu juga menjadi kewajiban bagi setiap warga
negara. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, termasuk orangtua.
Dalam UU Sisdiknas Pasal 7 dinyatakan bahwa orangtua berhak
berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh
informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Orangtua dari
anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar
kepada anaknya.
Begitu pun dengan masyarakat. Mereka berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber
daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sementara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyeleng-
garaan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya

20
pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa diskriminasi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Jelas lah, pendidikan yang berhasil didukung oleh semua pihak.
Kesungguhan menjalankan standar yang ditetapkan dan kemudahan
prosedur yang dilalui mampu membawa pendidikan Indonesia
mencapai mutu yang diharapkan. Dengan demikian tidak hanya
pemerintah, setiap warga negara dan masyarakat pun wajib membantu
dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas untuk generasi
yang lebih baik di masa mendatang.
Banyak tantangan dalam mewujudkan pendidikan untuk semua,
terutama bagi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Beberapa tantangan dalam upaya mewujudkan pendidikan untuk
semua, telah diidentifikasi dalam Laporan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium Indonesia 2010 sebagai berikut (Onisimus
Amtu, 2014: 87):
a. Menjangkau anak-anak yang belum terlayani oleh sistem
pendidikan karena faktor ekonomi. Kemiskinan adalah faktor utama
anak tidak bersekolah. 70% siswa tidak bersekolah disebabkan oleh
ketidakmampuan keuangan (AIBEP 2008). Keluarga miskin masih
menghadapi kesulitan untuk memenuhi biaya pendidikan seperti
biaya transportasi, buku, dan pakaian seragam (Bappenas, 2009).
b. Meningkatkan kesiapan anak bersekolah (school readiness) dan
meningkatkan kelulusan pada jenjang pendidikan dasar. Belum
semua anak Indonesia antar usia 0-6 tahun yang berjumlah 28 juta
anak dapat ikut serta dalam program PAUD. Selain itu, banyak
anak-anak miskin yang tidak terjangkau oleh program ini,
ditunjukkan oleh jumlah siswa Taman Kanak-Kanak (TK) yang
berasal dari kelompok masyarakat mampu mencapai lebih dari tiga
kali lipat dari jumlah siswa TK yang berasal dari kelompok
masyarakat tidak mampu.
c. Meningkatkan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru.
Pemerintah menyadari bahwa perbaikan kualitas tidak mungkin
dapat dilaksanakan apabila kesejahteraan tenaga pengajar tidak
terjamin. Pada tahun 2009, masih terdapat sekitar 57,4% dari 2,6
juta guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimal D4
atau S1. Selain itu, distribusi guru masih belum merata baik di

21
daerah perkotaan maupun pedesaan. Hal ini mengakibatkan proses
belajar-mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya.
d. Menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai
termasuk buku dan peralatan belajar-mengajar. Masih banyak
ditemukan ruang-ruang kelas SD/MI yang rusak, terutama di daerah
terpencil, terisolir, kepulauan, dan perbatasan. Selain itu, sampai
saat ini belum semua sekolah mampu menyediakan buku mata
pelajaran yang dibutuhkan bagi peserta didik. Pada tahun 2008,
diperkirakan proporsi SD dan SMP yang memiliki perpustakaan
masing-masing baru mencapai sekitar 32% dan 63%.
e. Meningkatkan daya jangkau pendidikan nonformal bagi anak-anak
putus sekolah dan yang tidak mampu mengenyam pendidikan
formal di sekolah. Penyelenggaraan program pendidikan nonformal
yang meliputi antara lain pendidikan Paket A dan Paket B atau
program kesetaraan, terutama untuk anak-anak dari keluarga
miskin, merupakan unsur peluang dalam mempercepat kemajuan
mencapai tujuan Millennium Development Goals (MDG) bidang
pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, penyelenggaraan program ini
masih menghadapi masalah rendahnya kualitas dan cakupan
program.
f. Mengembangkan sistem pembiayaan mekanisme transfer yang
lebih baik. Sejalan dengan makin meningkatnya komitmen
pemerintah dan masyarakat luas akan pentingnya pembangunan
pendidik, anggaran pendidikan telah mengalami peningkatan secara
signifikan dari 11,4% pada tahun 2001 menjadi 20% pada tahun
2009 dari total pengeluaran pemerintah (APBN). Namun demikian,
peningkatan transfer alokasi anggaran pendidikan ke daerah juga
mengakibatkan terjadinya pengurangan anggaran pendidikan
(APBD) di beberapa daerah (efek substitusi).
g. Meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi manajemen pendidikan
dalam era desentralisasi. Dengan desentralisasi pendidikan,
tanggung jawab utama, wewenang, dan pengelolaan sumber daya
pendidikan didelegasikan kepada pemerintah daerah. Namun,
manajemen dan tata kelola pendidikan belum efektif dan optimal.
Pemerintah baik pusat maupun daerah masih mengalami kendala
rendahnya kapasitas untuk melaksanakan tugas dan peran baru
seiring dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan.
(Sumber: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional

22
(BAPPENAS), Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium Indonesia 2010, Jakarta: 37-42).
Pulau Papua termasuk daerah yang memiliki hak sama untuk
mendapat perhatian dalam pemerataan pelayanan pendidikan. Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional secara jelas telah menetapkan visi dan misi
pembangunan nasional untuk kurun waktu 2005-2025 adalah Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan visi sentral
di atas, maka dijabarkan melalui 8 (delapan) misi pembangunan
nasional, yaitu: (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan Falsafah
Pancasila; (2) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing; (3)
Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (4)
Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (5) Mewujudkan
pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) Mewujudkan Indonesia
asri dan lestari; (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; dan
(8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia
internasional. Di antara delapan misi pembangunan yang diuraikan di
atas, maka salah satu misi yang tak kalah penting untuk menjadi
prioritas pemerintah adalah: mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan
nasional (Onisimus Amtu, (2014: 6).

B. Pendidikan untuk Semua dalam Program


UNESCO
Bukan hanya di Indonesia, pendidikan juga menjadi sorotan di
dunia internasional. Pendidikan telah dikenal sebagai suatu hak asasi
manusia sejak diadopsi dari deklarasi universal HAM pada tahun 1948.
Yang kemudian telah dikokohkan oleh UNESCO (United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization) tahun 1960,
konferensi internasional hak ekonomi, sosial dan budaya tahun 1966,
dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan tahun 1981 (UNESCO, 2007, dalam A Human Rights-Based
Approach to Education For All “A Framework for the Realization of
Children’s Right to Education and Rights within Education”).

23
Selanjutnya dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
mempromosikan pengembangan personal, memperkuat penghargaan
terhadap HAM dan kebebasan, memberdayakan setiap individu untuk
berpartisipasi aktif dalam pergaulan yang luas, dan mempromosikan
pengertian, persahabatan, dan toleran. Hak dalam pendidikan telah lama
diketahui bukan hanya untuk mendapat akses mendapatkan pendidikan,
namun juga kewajiban untuk meminimalisir diskriminasi pada semua
jenjang dalam sistem pendidikan, menetapkan standar minimal dan
meningkatkan kualitas. Selain itu pendidikan menjadi penting untuk
menyampaikan hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial.
EFA (Education for All) dalam dalam Forum Pendidikan Dunia
yang diselenggarakan pada tahun 1990 di Jomtien (Thailand) dan
disahkan kembali pada tahun 2000 di Dakar (Senegal) yang
menghasilkan enam tujuan utama, yaitu: 1) memperluas pendidikan dan
pengasuhan anak usia dini; 2) menyediakan pendidikan dasar gratis dan
wajib bagi semua; 3) mengembangkan pembelajaran dan keterampilan
hidup bagi anak muda dan dewasa; 4) meningkatkan 50% literasi bagi
orang dewasa terutama perempuan; 5) mencapai persamaan gender
pada tahun 2005 dan kesetaraan gender pada tahun 2015; 6)
meningkatkan kualitas pendidikan (UNESCO, 2007: xi).
Pendidikan bukanlah suatu hal yang bersifat statis bila
dibandingkan dengan bahasannya yang sangat luas. Pendidikan
merupakan proses berkelanjutan dan memiliki nilai-nilai tersendiri
yang terkandung di dalamnya sebagai suatu hak asasi manusia.
Sekarang orang-orang tidak hanya berhak memperoleh pendidikan
yang berkualitas saja, mereka juga memiliki hak untuk dilengkapi
dengan keterampilan dan pengetahuan yang akan berguna untuk
pengakuan jangka panjang dan penghargaan bagi seluruh hak asasi
manusia. Hak asasi manusia dalam bidang pendidikan tidak dapat
diwujudkan kecuali tiga hal berikut terpenuhi (UNESCO, 2007: xii).
a. Hak atas Akses Pendidikan
Hak setiap anak atas pendidikan sebagai dasar persamaan atas
kesempatan dan tanpa diskriminasi dalam segala hal. Untuk
mencapai tujuan ini, pendidikan harus tersedia, mudah diakses, dan
terjangkau untuk semua anak.

24
b. Hak atas Pendidikan yang Berkualitas
Hak setiap anak atas pendidikan yang berkualitas yang mampu
menumbuhkan potensinya, menyadari kesempatan untuk bekerja
dan mengembangkan keterampilan hidup. Untuk mencapai tujuan
ini, pendidikan hendaknya berpusat pada anak (child-centered),
relevan dan mengandung kurikulum yang luas, dan disertai sumber
dan pengawasan yang cukup.
c. Hak atas Penghargaan dalam Pembelajaran Masyarakat
Hak setiap anak untuk dihormati atas kehormatan diri dan untuk
memiliki penghormatan hak asasi secara menyeluruh dalam sistem
pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini, pendidikan harus disiapkan
sejalan dengan hak asas manusia, termasuk persamaan penghargaan
bagi setiap anak, kesempatan untuk partisipasi yang bermakna,
bebas dari segala bentuk kekerasan, dan menghargai berbahasa,
budaya, dan agama.
Selanjutnya, diuraikan hak dasar pendidikan UNESCO (2007:
27), meliputi:
a. Hak akses atas pendidikan (hak atas pendidikan dasar sejak dini dan
pendidikan yang berkelanjutan, hak mendapat pendidikan yang
gratis, hak mendapat pendidikan berbasis kompetensi yang
diperlukan dalam hidup, hak mendapat informasi vokasi, persamaan
hak dan bebas dari tindakan diskriminasi, fasilitas untuk anak
difabel, standar hidup yang cukup, perlindungan lingkungan dari
eksploitasi anak).
b. Hak atas pendidikan yang berkualitas (pengembangan kemampuan
kepribadian, bakat, minat, fisik, dan mental sebagai pengembangan
potensi secara menyeluruh; mengembangkan penghormatan atas
HAM dan kebebasan serta menyiapkan anak untuk bertanggung
jawab dalam kehidupan yang damai, toleran, persamaan, dan
persahabatan; mengembangkan penghormatan atas budaya, bahasa
dan nilai-nilai yang diyakini anak atau orangtuanya;
mengembangkan lingkungan yang mendukung; mendapatkan akses
dari sumber yang berbeda; memenuhi kebutuhan anak menjadi
prioritas utama)
c. Hak mendapat penghormatan dalam lingkungan pendidikan
(menghormati persamaan hak anak tanpa diskriminasi atas nama
apa pun; ajarkan penghormatan atas HAM dan kebebasan atas

25
perbedaan dan dalam kehidupan bersosial yang didasarkan pada
pengertian, kedamaian, toleran, persamaan hak, dan persahabatan;
menghargai perkembangan kapasitas anak; menghargai privasi
anak; ambil ukuran yang tepat untuk disiplin dan cara
mendisiplinkan anak; menjaga anak dari kekerasan fisik, melukai
atau memaki, menelantarkan anak; salah pengasuhan; eksploitasi,
termasuk kekerasan seksual terhadap anak).
Kewajiban pemerintah dan tanggung jawab negara atas hak
anak dalam pendidikan:
a. Memenuhi hak atas pendidikan.
b. Penghargaan hak atas pendidikan.
c. Melindungi hak atas pendidikan.
d. Menciptakan lingkungan ekonomi dan politik yang mendukung.
e. Menetapkan standar-standar bagi hak anak dalam pendidikan.
UNESCO (2007: 12-13) mengungkapkan bahwa pendidikan
sebagai hak asasi manusia dan dengan pendekatan hak dasar tersebut
berkontribusi signifikan menambah nilai-nilai berikut ini.
a. Promosi ikatan sosial, integrasi, dan stabilitas.
b. Membangun penghormatan untuk perdamaian dan resolusi konflik
tanpa kekerasan.
c. Berkontribusi transformasi sosial yang positif.
d. Lebih efektif biaya dan berkelanjutan.
e. Menghasilkan lulusan yang lebih baik dalam pembangunan
ekonomi.
f. Membangun kompetensi.
Dijelaskan pula bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan
ditemukan kendala-kendala yang dihadapi. Kapasitas pemerintah dan
pemangku kebijakan lainnya dalam menjalankan kewajiban atas hak
pendidikan bagi manusia terkendala pada beberapa aspek, diantaranya:
kurangnya sumber-sumber pendukung pendidikan seperti keuangan
dan kemampuan SDM; lemahnya kewenangan baik secara hukum
moral, spiritual, dan kultural; minimnya tanggung jawab, kurangnya
tanggung jawab seperti penolakan tanggung jawab dan tak adanya
komitmen politik; minimnya koordinasi antara pemerintah dan daerah;
rendahnya pengetahuan seperti orangtua yang buta huruf berdampak

26
pada rendahnya pengetahuan atas kewajiban mengirimkan anak ke
sekolah (UNESCO (2007: 17).
Selanjutnya UNESCO meyakini bahwa penting upaya
monitoring dan evaluasi dalam pendidikan. Keberhasilan pendidikan
dapat ditunjukkan melalui indikator sebagai berikut:
a. Adanya perubahan dalam hidup anak dalam mendapatkan hak
pendidikan.
b. Perubahan kebijakan terhadap hak-hak dalam pendidikan.
c. Perubahan dalam persamaan dan perlakuan tidak diskriminasi
terhadap akses pendidikan, mendapatkan pendidikan yang
berkualitas dan pengalaman dalam memperoleh pendidikannya.
d. Kesempatan anak berpartisipasi dan menjadi warga negara yang
aktif sama dengan yang lainnya.
e. Perubahan dalam kemampuan komunikasi dan pergaulan sosial
dalam mendukung pencapaian hak dasar manusia.

C. Pendidikan Seumur Hidup


Allah Swt menciptakan manusia berikut dengan potensi yang
dimilikinya agar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Potensi yang
dimiliki manusia perlu dikembangkan melalui proses pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan proses berkelanjutan dalam
menumbuhkan potensi yang ada dalam diri manusia. Potensi rohani
(spiritual), keterampilan (jasmani), dan pengetahuan (akal) berkembang
sesuai dengan pengalaman dan pemahaman dalam kehidupannya.
Pengalaman yang tiada henti menjadikan potensi yang dimiliki manusia
bertambah. Kondisi ini akan terus berlangsung sepanjang hidupnya.
Dan ini lah yang akhirnya dipahami bahwa pendidikan berlangsung
sepanjang hayat (lifelong education).

27
Esensi dari pendidikan adalah belajar. Sebab belajar adalah
bagian dari pendidikan, prosesnya pun terjadi seumur hidup manusia
(lifelong learning). Pembelajaran akan berhasil dan efektif, apabila
proses pelaksanaannya terintegrasi antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sebagaimana yang dirumuskan UNESCO, pendidikan
adalah pengajaran teratur dan berkesinambungan yang dirancang untuk
menyampaikan suatu gabungan dari pengetahuan, keterampilan, dan
pemahaman bagi semua kegiatan dalam kehidupan (The Liang Gie &
Andrian The, 1998: 156).
Lebih lanjut diilustrasikan bahwa manusia mengalami
pertumbuhan hidup dari bayi sampai dewasa terutama melalui
rangkaian kegiatan pendidikan yang bersifat budaya. Jadi dapat juga
dikatakan bahwa pendidikan merupakan pengalihan kebudayaan, yaitu
pemindahan berbagai kearifan, keterampilan, nilai, dan pengetahuan
yang terkumpul dalam masyarakat dari suatu angkatan kepada angkatan
penerusnya. Pengalihan kebudayaan ini membuat bayi yang tidak
berdaya dan tidak berpengetahuan lambat laun berubah menjadi orang
dewasa yang secara mandiri mampu memikul tanggung jawab, yang
menyadari kekuatan akal manusia, dan yang bersedia terus-menerus
menambah pengetahuannya. Kondisi ini oleh UNESCO disebut sebagai
lifelong learning (belajar seumur hidup).
Kata “belajar” sendiri didefinisikan sebagai setiap perubahan
tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman. Kata belajar memiliki arti yang penting dalam
pembentukan anak sebagai manusia. Begitu pula dalam pendidikan
bagi manusia, belajar memiliki arti yang sangat penting (Helmawati,
2014: 189).
Ada tiga unsur penting dari belajar berdasarkan definisi di atas,
yaitu: (1) belajar adalah perubahan tingkah laku; (2) perubahan terjadi
akibat latihan atau pengalaman; dan (3) perubahan tingkah laku relatif
permanen atau tetap dan untuk waktu yang cukup lama. Sehingga
berdasarkan definisi kata belajar tersebut didapat arti penting belajar itu
sendiri, yaitu: belajar sebagai ruhnya pendidikan dan belajar sebagai
peningkat derajat manusia di dunia dan di akhirat.
Skinner dalam bukunya Educational Psychology seperti yang
dikutip Barlow (1985) (lihat Helmawati, 2014: 186) berpendapat bahwa
belajar adalah suatu proses adaptasi tingkah laku yang berlangsung
secara progresif. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan

28
mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).
Berdasarkan teori conditioning yang dilakukannya, diduga bahwa
timbulnya tingkah laku itu disebabkan adanya hubungan antara
stimulus dan respons. Teori ini banyak yang menentang karena dibuat
berdasarkan eksperimennya terhadap hewan. Selanjutnya, Hintzman
menyatakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam diri
manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi
tingkah laku manusia tersebut.
Sementara Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi
belajar dengan dua macam rumusan. Pertama, belajar adalah perolehan
perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai akibat praktik dan
pengalaman. Kedua, belajar adalah proses memperoleh respon-respon
sebagai akibat adanya pelatihan khusus. Dan John B. Biggs, seorang
pakar psikologi belajar, menyatakan bahwa pengalaman hidup sehari-
hari dalam bentuk apapun sangat memungkinkan untuk diartikan
sebagai belajar (everyday learning).
Mengutip Aunurrahman (2012: 35), Burton dalam sebuah buku
“The Guidance of Learning Activities” merumuskan pengertian belajar
sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya
interaksi antara individu dengan individu, dan individu dengan
lingkungannya sehingga mereka mampu berinteraksi dengan
lingkungannya. Dalam buku Educational Psychology, H.C.
Witherington, mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di
dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari
reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu
pengertian. Dalam kesimpulan yang dikemukakan Abdillah (2002),
belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam
perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang
menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk
memperoleh tujuan.
Jika disimpulkan dari sejumlah pandangan dan definisi tentang
belajar (Wraag, 1994), dapat ditemukan beberapa ciri umum kegiatan
belajar sebagai berikut: pertama, belajar menunjukkan suatu aktivitas
pada diri seseorang yang disadari atau disengaja. Kedua, belajar
merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. Ketiga, hasil
belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. Keempat, perubahan
hasil belajar juga dapat ditandai dengan perubahan kemampuan
berpikir.

29
Di sisi lain, dipahami pula bahwa pendidikan adalah suatu
proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang
hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan
dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan sebagai
suatu proses pembudayaan. Kebudayaan bukanlah suatu yang statis tapi
suatu proses. Artinya kebudayaan selalu berada di dalam proses
transformasi. Budaya yang tidak mengalami transformasi melalui
proses pendidikan adalah budaya yang mati yang berarti pula suatu
masyarakat yang mati (Selo Soemardjan, 1993: 217-228).
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga dalam penyeleng-
garaan pendidikan tidak bisa diselenggarakan seorang diri atau oleh
salah satu penanggung jawab pendidikan saja. Sebagaimana yang telah
diungkapkan sebelumnya, proses pendidikan akan berhasil apabila
ketiga lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) saling
memfasilitasi, terintegrasi, dan menciptakan kultur pendidikan yang
berkualitas. Tidak bisa pendidikan hanya diselenggarakan di sekolah
tanpa dibekali dan didukung dari hasil pendidikan dalam keluarga dan
dari lingkungan masyarakatnya.
Orangtua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-
anaknya, mulai anak dalam kandungan bahkan hingga anak telah
dewasa atau berumah tangga. Maka pondasi utama pendidikan tentunya
dilakukan dan diberikan dalam keluarga. Pendidikan yang diberikan
diperoleh dari orangtua, saudara-saudaranya, juga anggota keluarga
lainnya, seperti kakek dan nenek atau mungkin asisten rumah tangga.
Jika pendidikan tentang nilai-nilai, keyakinan (agama), akhlak,
serta pengetahuan sudah diterapkan dalam keluarga sejak dini, maka
anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang beriman, berilmu, dan
beramal shaleh. Sebaliknya, jika orangtua tidak menanamkan sejak dini
nilai-nilai, keyakinan (agama), akhlak, dan pengetahuan terhadap anak-
anaknya, maka anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang cacat.
Artinya, anak akan tumbuh menjadi manusia yang kurang bahkan
mungkin tidak mengenal nilai-nilai, agama atau keyakinannya, akhlak
mulia, dan pengetahuan. Tak heran, jika setelah besar anak tersebut
akan menjadi sampah masyarakat.
Dengan demikian, keberhasilan anak tergantung dari seberapa
banyak pengetahuan pendidikan dan ketekunan orangtua membimbing
mereka serta seberapa dalam keyakinan (agama) yang telah ditanamkan
pada anak-anaknya. Melalui ilmu pendidikan yang dimilikinya, tentu

30
orangtua akan lebih mudah untuk membantu anak untuk mencari jati
dirinya. Di kemudian hari, tentu orangtua ingin melihat anak yang
dirawat dan dididiknya menjadi manusia yang berakhlak baik, berilmu,
memiliki keterampilan (life skills) untuk bertahan hidup, dan mampu
mempertanggungjawabkan apa-apa yang diperbuatnya baik di dunia
maupun di akhirat.
H.A.R. Tilaar (1999: 20) berpendapat bahwa pendekatan
filosofis mengenai pendidikan bertolak dari pertentangan mengenai
hakikat manusia dan hakikat anak. Hakikat anak berbeda dengan
hakikat orang dewasa. Anak mempunyai nilai-nilai sendiri yang akan
berkembang menuju kepada nilai-nilai seperti orang dewasa. Oleh
karena itu, proses pendewasaan anak sebagai manusia mempunyai
tingkatan-tingkatan perkembangannya sendiri. Tugas pendidik (orang
dewasa) ialah membantu anak menuju kedewasaannya sehingga anak
itu mampu mengambil keputusannya sendiri pada saat dewasa kelak.
Dengan demikian proses pendidikan akan berakhir. Pandangan ini
tumbuh subur di Eropa sebagai suatu pandangan continental yang
melihat proses pendidikan akan berakhir ketika anak manusia itu
menjadi dewasa. Namun kemudian, pandangan sudah mulai ditinggal-
kan oleh karena ternyata manusia tidak pernah akan berhenti untuk
memperoleh pendidikan. Selain itu, manusia akan terus-menerus
berkembang selama hidupnya. Sebab itu, pendidikan akan berakhir
ketika tidak relevan lagi di era informasi dewasa ini. Pendidikan berlaku
seumur hidup. Pandangan ini menekankan tanggung jawab seorang
manusia terhadap kehidupan dan pendidikannya sendiri. Pendidikan
dengan sengaja akan berakhir tetapi pendidikan diri sendiri akan terus-
menerus berlangsung dalam kehidupannya (lifelong education).
Helmawati (2013: 38-75) menguraikan berbagai fenomena
permasalahan dalam membantu membentuk sumber daya manusia
(SDM) di Indonesia. Adanya konsep pendidikan yang kurang mengakar
pada kepercayaan, nilai, dan budaya masyarakat setempat menjadikan
pembentukan karakter kurang maksimal. Konsepsi moralitas bangsa
Indonesia yang harus dipahami dan diterapkan tentu saja yang
berdasarkan nilai-nilai dan budaya yang diyakini.
Kemudian, dalam proses pendidikan lebih lanjut, ketika peran
orangtua dalam mendidik atau mengajar sudah tidak lagi dapat
diakomodir dalam keluarga, proses pendidikan dapat diserahkan
kepada lembaga pendidikan (formal dan nonformal). Perlu selektif

31
memilih lembaga pendidikan bagi anak sebagai aset masa depan.
Lembaga pendidikan yang dipilih tentu harus mampu mengakomodir
harapan orangtua agar anak-anaknya menjadi manusia yang memiliki
kompetensi yang diperlukan dalam hidupnya. Kompetensi itu yang
akan menjadikan anak hidup mandiri, sejahtera dan bahagia.
Apabila pendidikan masa awal pertumbuhan anak telah
ditanamkan dengan baik dalam keluarga, pendidikan formal dapat
melengkapi pengetahuan dan keterampilan serta penguatan nilai sikap
bagi para peserta didik. Pendidikan formal menyediakan layanan
pendidikan mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah, sampai
perguruan tinggi. Melalui pendidikan formal ini lah nilai sikap
kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan diberikan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disusun dalam
kurikulum yang ditetapkan pemerintah ditambah materi kearifan lokal
khas setiap daerah.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah buku yang diterbitkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003: 8-9), menyatakan bahwa
fungsi dasar pendidikan dalam pembangunan nasional meliputi:
pertama, fungsi pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan amanat yang telah dituangkan dalam perundang-undangan.
Kedua, fungsi pendidikan dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik,
terampil, dan terlatih sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dalam
masyarakat industri. Program pendidikan persiapan kerja harus lentur
dan selalu berwawasan lingkungan agar pendidikan keterampilan dan
keahlian selalu dapat disesuaikan dengan kebutuhan akan jenis-jenis
keterampilan dan keahlian profesi yang selalu berubah. Ketiga, fungsi
pendidikan sebagai sarana untuk menyiapkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Cakupan dari bagian sistem ini ialah semua
program pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada setiap jenjang pendidikan.
Berdasarkan fungsi dasar pendidikan dalam pembangunan
nasional dalam buku yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional
di atas, dapat dilihat bahwa fungsi tersebut ditujukan pada
pengembangan kemampuan peserta didik agar cerdas, memiliki
pengetahuan, keterampilan dan teknologi sehingga mampu bersaing
dan siap pakai di dunia usaha ataupun dunia industri. Namun sayang
sekali, fungsi yang digali hanya pendidikan yang menyangkut

32
kecerdasan kognitif serta keterampilan sedangkan kecerdasan spiritual
dan emosional tidak begitu digali.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan alat
untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan
memiliki fungsi bagi masyarakat, di antaranya yaitu meliputi segala
upaya yang menyangkut transformasi budaya yang relevan bagi
kelangsungan dan kemajuan manusia dan untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia.
Keberhasilan pendidikan pada anak ternyata bukan hanya
pengaruh dari orangtua saja, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh
sekolah, teman sepermainan dan lingkungan masyarakatnya. Secara
garis besar Zakiah Daradjat (2006) mengemukakan bahwa pengaruh
lain selain pendidikan guru agama di sekolah, keberhasilan terbesar
pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh keluarga dan masyarakat
sekitar. Ahmad Tafsir (1994: 158) menitikberatkan peran pendidikan di
keluarga (rumah tangga) dan masyarakat yang pada hakikatnya adalah
kumpulan dari keluarga-keluarga. Maka apabila keluarga-keluarga
kondisinya baik, secara logis lingkungannyapun akan baik untuk
pendidikan anak. Hal ini tentunya akan meningkatkan mutu pendidikan
dan sekaligus dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nonformal di masyarakat menjadi alternatif lain
dalam meningkatkan potensi yang dimiliki manusia dalam proses
pembelajaran seumur hidup. Pendidikan nonformal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.
Dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa
pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan

33
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis ta’lim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan
sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Demikianlah bahwa pendidikan tidak dapat diselenggarakan
hanya oleh salah satu penanggung jawab pendidikan saja. Pendidikan
harus diselenggarakan secara terintegrasi dan holistik sehingga proses
pendidikan memiliki sifat sustainable. Maksudnya proses pendidikan
merupakan proses yang berkesinambungan, berkelanjutan, berlaku
sepanjang hayat (lifelong education). Sebagaimana yang diungkapkan
Tilaar bahwa pendidikan dengan pendekatan holistic terintegratif yaitu
proses pendidikan harus dilihat secara keseluruhan sebab peserta didik
sebagai anak manusia tidak hidup secara terisolasi, tetapi berkembang
dalam suatu masyarakat tertentu yang berbudaya, yang memiliki visi
terhadap kehidupan di masa depan termasuk kehidupan setelah
kematian (H.A.R. Tilaar, 1999: 27).
Nurani Soyomukti (2013: 28-29), melihat makna pendidikan
seumur hidup sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan
adalah hidup. Pengalaman belajar dapat berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hayat. Pendidikan adalah segala sesuatu
dalam kehidupan yang mempengaruhi pembentukan berpikir dan
bertindak individu. Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling
berkaitan dengan perubahan-perubahan cara berpikir masyarakat juga
turut menjadi pembentuk seorang individu.
Selanjutnya Soyomukti menyatakan bahwa pendidikan
merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapa pun,
terutama (sebagai tanggung jawab) negara. Sebagai sebuah upaya untuk
meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada

34
seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Dalam hal ini, letak
pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan
corak sejarah manusia. Sehingga tidak heran apabila R.S. Peters dalam
bukunya The Philosophy of Education menegaskan bahwa pada
hakikatnya pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan
manusia terus meningkat.

35
BAB III
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN
BANGSA

Pemerintah Indonesia mencanangkan terlebih dahulu tentang


masalah pendidikan bagi seluruh warga dibandingkan dengan apa yang
dipropagandakan UNESCO. PBB (termasuk UNESCO sebagai salah
satu bidangnya) didirikan tahun 1948. Program Education For All
(EFA) yang diusung UNESCO baru disahkan dan dilaksanakan pada
tahun 2000. HAM di Indonesia termasuk Hak Pendidikan telah
dituangkan dan diumumkan dalam UUD Tahun 1945 yang kemudian
diuraikan dalam UU dan Peraturan Pemerintah.
Namun memperjuangkan hak bagi setiap warga negara tentu
memiliki tantangan-tantangan dan kendala-kendala yang dihadapi
selain peluang dan kekuatan yang dimiliki. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, Program UNESCO pun menjumpai berbagai kendala dan
tantangan yang dijumpai di lapangan sebagaimana di Indonesia juga
mengalami hal yang sama. Untuk itu, agar pendidikan dirasakan oleh
setiap warga dan menjadi hak bagi warga negara untuk meningkatkan
potensi yang dimilikinya hingga mampu ambil bagian dan turut serta
dalam pembangunan, perlu dukungan semua pihak.

A. Pendidikan Meningkatkan SDM


Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dirumuskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Keberhasilan pendidikan ditandai dengan berkembangnya
seluruh (tiga) aspek yang melekat pada diri manusia, yaitu aspek

36
jasmani, rohani, dan akal. Jika ketiga aspek tersebut terpenuhi, maka
dapat dikatakan pendidikan itu akan menghasilkan manusia yang
manusiawi. Selain sehat jasmani, cerdas akalnya juga memiliki
keterampilan, dan yang paling utama adalah sehat rohaninya. Sehat
rohaninya berimplikasi pada akhlak atau tingkah laku yang mulia.
Esensi dari pendidikan adalah pembentukan karakter. Memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara adalah karakter unggul. Karakter yang
unggul dapat membantu manusia menjadi sumber daya yang sangat
penting dan dibutuhkan. Karakter yang baik dan unggul dapat
membantu manusia siap menghadapi berbagai perubahan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai dampak yang
disebabkannya dalam berbagai sektor kehidupan.
Manusia dengan kepribadian yang mengakar kuat pada nilai-
nilai yang dijunjung tinggi, seperti nilai ajaran agama dan budaya yang
relevan, akan mampu menghadapi berbagai tantangan dan persoalan
hidup. Karakter yang tidak mengakar kokoh pada kepribadiannya dan
tidak dilandasi dengan keyakinan, ketika dihadapkan pada persoalan
hidup dan tantangan zaman yang selalu berubah cepat, dapat
mengakibatkan manusia terbawa arus perubahan yang tiada henti.
Apabila perubahan zaman yang dihadapi berpengaruh positif tentu akan
menguntungkan. Sedangkan perubahan zaman yang diikuti dan
ternyata berpengaruh negatif tentu akan merugikan bahkan mungkin
dapat menghancurkan atau membinasakan manusia itu sendiri.
Sebab itu manusia yang terdidik tentu akan cerdas dan selektif
terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Selektif dalam berbagai
nilai dan gaya hidup; selektif terhadap kebudayaan yang belum tentu
cocok dengan mayoritas budaya daerah dan masyarakatnya. Suatu hal
baru yang masuk dalam lingkungan tidak harus langsung diadopsi
mentah-mentah. Arif, selektif, dan melakukan penyelarasan atau
adaptasi mana yang baik untuk diambil dan mana yang buruk untuk
tidak diikuti membantu manusia hidup lebih baik dalam kondisi zaman
yang serba cepat berubah ini. Di sinilah karakter pengendalian diri atau
mawas diri sangat diperlukan.
Hidup itu dinamis; selalu berubah, baik diri maupun
lingkungan. Hal yang penting dalam menghadapi perubahan adalah
dengan mempersiapkan mental. Sikap mental yang baik dan tepat

37
mampu membantu manusia menghadapi semua persoalan hidupnya.
Sikap mental yang baik ini perlu ditumbuhkembangkan dalam proses
pendidikan. Semua perlu proses, pembelajaran yang paling berharga
adalah yang mampu membawa manusia siap menghadapi berbagai
persoalan untuk melaju pada tingkat perubahan selanjutnya.
Hal senada diperkuat pemerhati pendidikan seperti Thomas
Lickona. Thomas Lickona dalam Character Matters (2013: 8)
menyatakan bahwa kesehatan bangsa kita dalam beberapa abad
mendatang bergantung pada bagaimana keseriusan kita semua untuk
berkomitmen terhadap pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani,
Heraclitus menyatakan bahwa karakter membentuk takdir seseorang
dan takdir tersebut menjadi takdir seluruh masyarakat. Pada karakter
warga negara pun terletak kesejahteraan bangsa.
Fenomena permasalahan di Indonesia, pendidikan masih belum
mampu mencetak lulusan yang terdidik dan terampil. Selain itu, dunia
pendidikan cenderung kurang cukup memberikan bimbingan mental
kepada peserta didiknya, karena pendidikan sendiri pada umumnya
adalah orang-orang yang tidak mengalami adaptasi akan tetapi adopsi.
Alhasil, apa yang diajarkan tidak menjadi darah daging bagi peserta
didik. Sehingga akibatnya, penerimaan dari ilmu yang diajarkan kepada
peserta didik akhirnya hanya menjadi ilmu yang dihafalkan (adopsi)
dan kurang dapat memberikan kemasakan/kedewasaan mental (Jacobus
Ranjabar, 2015: 187).
Di era globalisasi ini, kenyataan yang terjadi adalah pendidikan
di Indonesia selama ini cenderung terlalu menekankan arti penting dari
nilai akademik atau kecerdasan otaknya (IQ) saja; bermuatan
materialisme dan rasionalisme, dan mengesampingkan kecerdasan
emosional (EQ) atau kecerdasan spiritual (SQ). Padahal berdasarkan
hasil penelitian dinyatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya
memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup manusia.
Ibrahim Elfiky (2010: 20) menegaskan pentingnya mengelola
kecerdasan emosional dan spiritual. Sebab berdasarkan penelitian
Universitas Harvard, AS, kecakapan personal memainkan 93%
sedangkan kecakapan profesional hanya 7%.
Lebih lanjut diuraikan bahwa 93% produktivitas seseorang
ditentukan kemampuan asasinya, yaitu akhlak, sikap, perilaku, pikiran,
fleksibilitas, dan perasaan (Ibrahim Elfiky, 2010: 47). Pengendalian diri
merupakan salah satu dasar pengembangan Sumber Daya Manusia

38
(SDM) (Ibrahim Elfiky, 2010: 65). Dalam rangka pengembangan
sumber daya manusia dan agar seseorang siap dalam menjalankan
profesinya, ia perlu: 1) pengendalian diri (merupakan salah satu dasar
pengembangan sumber daya manusia), 2) seni berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain, 3) tujuan dan cara mencapainya, 4)
tantangan dan bagaimana menghadapinya, 5) bagaimana menghadapi
rintangan, 6) kerja dan fungsi otak serta proses berpikir.
Hal senada diungkap Jacobus Ranjabar (2015: 187) bahwa
zaman abad ke-21 ini membawa persoalan yang tidak semuanya dapat
dipecahkan, akan tetapi untuk tidak hanyut sama sekali, maka
sebaiknya mengadakan penyesuaian dengan tuntutan zaman, dan inilah
yang disebut pembangunan mental. Dan dalam problematika yang
semakin kompleks ketika akal sudah tidak lagi mampu memecahkan
persoalan yang ada, di sinilah peran agama untuk membantu umat
manusia agar tidak gelisah dan mengembalikan kepada Tuhan sebagai
Sang Maha Pencipta dan Maha mampu memberikan berbagai solusi
yang tidak terduga oleh akal manusia.
Wina Sanjaya (2010: ii) menguatkan pendapat di atas dengan
menyatakan bahwa peserta didik kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran sering di
arahkan kepada kemampuan peserta didik untuk menghafal informasi.
Peserta didik dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi tersebut dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan para peserta
didik jarang diarahkan untuk berfikir kritis sehingga belum terbiasa
untuk berdiskusi, tanya jawab, dan tukar-menukar informasi yang
memunculkan gagasan baru. Indikator perubahan atau perwujudan
belajar diantaranya adalah berpikir kritis (baca Muhibbin Syah, 2010).
Peserta didik belum bisa untuk mengembangkan analisis dan
menyelesaikan masalah tanpa disertai rasa takut. Proses pembelajaran
sering kali tidak berkembang, karena peserta didik belum terbiasa untuk
berkompetisi secara sehat sehingga proses belajarnya kurang
mengalami peningkatan. Peserta didik jarang dibiasakan untuk
melakukan acara yang kreatif dan inovatif atau proyek seperti pameran,
turnamen, festival, mengenai karya-karya yang dihasilkannya, sehingga
rasa percaya diri peserta didik tidak berkembang secara optimal.
Ahmad Tafsir (2008: 74) menyatakan bahwa kesalahan yang
terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia ini disinyalir karena:

39
pertama, kurang berhasilnya pendidikan agama (keimanan dan
ketakwaan) di sekolah dan di masyarakat. Selain itu, beliau juga
menyatakan bahwa ada yang terputus antara tataran konsep (Pancasila
dan UUD) dengan tataran praktisnya. Sila pertama Pancasila yang
merupakan core atau inti yang seharusnya menjiwai, mewarnai, dan
mendasari serta mengarahkan keempat sila lainnya tidak tampak.
Kenyataan bahwa pengaruh sekulerisme dalam pendidikan tentu
tidaklah dapat dipungkiri.
Kesalahan kedua adalah dalam proses pembelajaran. Keimanan
dan ketakwaan tidak cukup hanya dengan menggunakan metode
learning to know saja, tetapi juga perlu learning to do, dan learning to
be. Misalnya, ketika seorang anak sudah mengetahui apa itu wudhu, dia
tidak cukup hanya tahu saja tetapi juga harus mengetahui bagaimana
wudhu yang benar itu dengan mempraktikkan. Setelah itu, pembiasaan
berwudhu hendaknya dilakukan setiap hari bahkan setiap akan
melakukan shalat lima waktu.
Dengan demikian, penanaman nilai-nilai yang benar dan baik
tidak hanya berupa doktrin, tetapi diberikan juga peneladanan,
pemahaman dan pengamalan yang benar. Pemahaman yang hanya
berupa penghafalan nilai-nilai, hanya akan mengisi akal manusia
dengan jiwa dan pengamalan yang kosong. Pernyataan ini dipertegas
oleh Darmiyati Zuchdi (2009: 6) yang menghendaki agar fungsi
lembaga pendidikan tidak hanya memberikan kesempatan kepada
subyek didik untuk mengembangkan pengetahuan saja. Fungsi penting
lainnya ialah menciptakan setting sosial yang memungkinkan
implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah
yang ada dalam masyarakat. Pendidikan yang mengabaikan masalah-
masalah sosial tidak akan efektif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
seharusnya merupakan contoh kehidupan masyarakat yang ideal.
Kemudian kesalahan yang ketiga, dalam pendidikan yang tidak
kalah penting dan mempunyai andil besar terhadap pembentukan
moralitas peserta didik adalah pendidik itu sendiri. Perilaku moralitas
yang akan diterapkan kepada peserta didik tentu tidak cukup hanya
diucapkan saja tetapi juga harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Maka untuk itu diperlukan keteladanan. Perilaku bermoral
dalam setting kehidupan tidak bisa dibangun secara instan, sejatinya hal
ini merupakan gerakan moral yang bersifat holistic dan sustainable.

40
Apabila keteladanan berhasil ditanamkan sejak dini maka sudah
tentu akan menjadi salah satu solusi dari krisis moral yang kian hari
kian menjadi. Peserta didik yang meniru suri tauladan yang baik dari
para pendidik bukan hanya orangtua, guru, tetapi juga para tokoh
masyarakat (termasuk para pejabat) tentu akan menjadi individu yang
bermoral dan bermartabat. Terwujud lah tujuan pendidikan yang hakiki,
yaitu memanusiakan manusia. Perlu disadari, menjadi tokoh panutan
tidaklah mudah. Walaupun demikian, hal ini tentu saja merupakan
tantangan yang harus dijawab dalam merencanakan perbaikan mutu
pendidikan manusia Indonesia masa depan.
Hampir senada dengan Ahmad Tafsir, Abuddin Nata melihat
bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang di
kalangan remaja, diantaranya karena: pertama, longgarnya pegangan
terhadap agama. Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang
dilakukan oleh rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. Ketiga,
derasnya arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekularistis. Dan
keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari
pemerintah untuk melakukan pembinaan moral. Hal ini diperparah oleh
adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar
kedudukan, peluang, kekayaan dengan cara-cara yang tidak mendidik,
seperti: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Cara-cara yang mereka lakukan
sebagai penguasa tentu saja bukan pendidikan yang baik bagi para calon
generasi penerus bangsa. Tindakan yang tidak terpuji inilah yang
semakin memperparah merosotnya moral bangsa.
Faktor lain yang menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia
adalah banyaknya pendidik yang belum memiliki kompetensi sesuai
harapan. Mengutip E. Mulyasa (2005: 3) salah satu syarat yang dapat
berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM) adalah guru. Meskipun datanya sudah cukup lama, namun perlu
dijadikan sebagai bahan informasi, bahwa pada tahun 2004 sebagian
besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten,
dan tidak profesional. Dan berarti hanya 43% guru yang memenuhi
syarat sebagai pendidik yang kompeten dan profesional.
Ahmadi H. Syukran Nafis (2012: 11), menyoroti permasalahan
atau problem yang dihadapi di lingkungan pendidikan di Indonesia,
diantaranya yaitu masalah sumber daya manusia. Permasalahan sumber
daya manusia menyangkut kuantitas dan kualifikasi akademik para
pendidik dan tenaga kependidikan yang langsung maupun tidak

41
langsung berpengaruh terhadap minat masyarakat terhadap sekolah
atau madrasah.
Agus Irianto (2011: 11) mengutip Nandika (2005), Sekretaris
Jenderal Depdiknas, mengemukakan bahwa banyak masalah dan
tantangan yang dihadapi bidang pendidikan di Indonesia. Permasalahan
dan tantangan pendidikan di Indonesia antara lain: 1) tingkat
pendidikan masyarakat relatif rendah, 2) dinamika perubahan struktur
penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan
pendidikan, 3) kesenjangan tingkat pendidikan, 4) good governance
belum berjalan secara optimal, 5) fasilitas pelayanan pendidikan yang
belum memadai dan merata, 6) kualitas pendidikan relatif rendah dan
belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik, 7) pendidikan
tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan
menciptakan IPTEK, 8) manajemen pendidikan belum berjalan secara
efektif dan efisien, 9) anggaran pembangunan pendidikan belum
tersedia secara memadai.
Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan permasalahan
yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia.
Peranan pendidikan bila dikaji dari sisi pembangunan bangsa, maka
akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan pemerintah dan
masyarakat Indonesia untuk jangka panjang. Keberhasilan pendidikan
tentu juga dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan pendidikan
sebagai dasar pembangunan negara.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam UU Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5, bahwa setiap warga
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus. Dan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Berbagai upaya di tengah permasalahan yang sangat kompleks
terus dilakukan oleh para penanggung jawab pendidikan, termasuk
pemerintah. Program wajib belajar diperuntukkan bagi warga negara
yang telah berusia 6 tahun. Program wajib belajar minimal dibiayai
pemerintah hingga jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) selama 9
tahun. Kemudian, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan program
wajib belajar meningkat hingga jenjang SMA atau setara 12 tahun.
Kesungguhan ini merupakan suatu bukti bahwa pemerintah berupaya

42
untuk mewujudkan isi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ini menunjukkan secara tegas bahwa siapa pun, selama ia adalah
warga Negara Indonesia dan berusia 6 tahun wajib mengikuti program
wajib belajar yang diselenggarakan pemerintah. Dan program ini
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, baik yang berada di kota
maupun daerah terpencil. Sebab setiap warga negara memiliki hak yang
sama untuk hidup sejahtera, memiliki kecerdasan, dan merdeka dalam
menentukan nasib hidupnya untuk mengisi dan melanjutkan perjuangan
para pahlawan. Diantara dampak dari hasil belajar ini, setiap warga
diharapkan mampu membangun dan menyejahterakan daerahnya yang
memiliki kekayaan alam yang beragam dan berlimpah. Dengan
demikian, pemerataan pembangunan di Indonesia dapat terwujud.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam mewujudkan
pendidikan yang bermutu. Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009,
peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya: 1) perluasan dan
pemerataan pendidikan, 2) mutu dan relevansi pendidikan, 3)
governance dan akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan
upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh
wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan di bidang peningkatan mutu
SDM dapat ditingkatkan agar tidak tertinggal dengan kemajuan di
antara negara-negara Asia Pasifik. Sampai saat ini, ketiga program
tersebut masih dirasa belum optimal dijalankan. Dengan peningkatan
anggaran pendidikan diharapkan ketiga program ini dapat
direalisasikan dalam jangka waktu yang cepat. Hanya, kendala dalam
pelaksanaannya terkait dengan aturan birokrasi yang masih belum
direformasi. Mekanisme pengambilan keputusan, mekanisme
peluncuran dana dan pertanggungjawaban keuangan sering menjadi
kendala administrasi yang dapat menghambat jalannya reformasi
pendidikan di Indonesia (Agus Irianto, 2011: 12).
Sebagai contoh, Malaysia merupakan negara yang mengalami
kemajuan yang tinggi di bidang pengembangan SDM karena pada masa
pemerintahan PM Mahathir Mohamad telah mencanangkan
pengembangan SDM ke depan dengan melakukan investasi yang cukup

43
tinggi yaitu 28% dari anggaran belanja negaranya. Dan programnya
terealisasi pada pemerintahan di bawah PM Mahathir Mohamad yang
berjalan selam 17 tahun.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap manusia perlu
pendidikan. Pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi
manusia. Ahmad Tafsir (2008: 33) menegaskan bahwa manusia perlu
dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Dan seseorang dapat
dikatakan telah menjadi manusia apabila telah memiliki nilai (sifat)
kemanusiaan. Berdasarkan orang Yunani ada tiga syarat untuk disebut
manusia, yaitu memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, cinta
tanah air, dan berpengetahuan.
Pendidikan dapat mengembangkan segenap potensi yang
dimiliki manusia dan melalui pendidikan dapat membawa martabat
manusia menuju tempat yang lebih baik (mulia). Pendidikan yang tepat
dapat menumbuhkan dan mengembangkan tiga ranah potensi yang
dimiliki manusia. Tiga ranah tersebut yaitu ranah jasmani, rohani, dan
akal harus dikembangkan secara maksimal serta seimbang. Dengan
demikian, pendidikan sangat diperlukan oleh setiap manusia.
Lebih lanjut diuraikan bahwa berhasilnya pembangunan
manusia melalui pendidikan berpengaruh terhadap pembangunan
bangsa dan negara. Tidak akan mampu suatu negara maju dan
berkembang tanpa sumber daya manusia yang terdidik dan memiliki
kompetensi. Berdasarkan pernyataannya tersebut Stevenson dan
Haberman (2001: 158) menilai Plato sebagai orang pertama yang
melihat pendidikan sebagai kunci utama dalam membangun
masyarakat.
Kegagalan dalam pendidikan akan melahirkan individu yang
cacat. Individu yang cacat ini akan menjadi permasalahan sosial dalam
masyarakat. Dalam konsep pendidikannya Plato menyatakan bahwa
masyarakat yang rusak akan memproduksi individu-individu yang
cacat, dan mereka akan menjadi permasalahan sosial dalam masyarakat.
Esensi dari pendidikan adalah pembentukan karakter dari
berbagai potensi yang dimiliki. Mengembangkan secara aktif potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter yang

44
unggul dapat membantu manusia menjadi sumber daya yang sangat
penting dan dibutuhkan dalam suatu organisasi.
Untuk mendapatkan SDM yang bermutu tentu proses
pendidikan harus diselenggarakan sesuai Standar Nasional Pendidikan
yang telah ditetapkan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun
2013 yang merupakan perubahan dari PP No. 19 Tahun 200 Tentang
SNP, dinyatakan bahwa Standar Kompetensi Lulusan mencakup: sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Proses Pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenang-
kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.
Karakter yang baik dan unggul yang diperoleh selama proses
pendidikan dapat membantu manusia siap menghadapi berbagai
perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai
dampak yang disebabkannya dalam berbagai sektor kehidupan.
Komitmen tinggi berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam
menumbuhkembangkan potensi tersebut akan mampu menyiapkan
kompetensi manusia sebagai sumber daya utama yang siap bersaing dan
siap meraih kemajuan, kesejahteraan, serta kebahagiaan hidup.
Manusia-manusia dengan potensi dan memiliki kompetensi yang
bermutu menjadi aset berharga dalam pembangunan suatu negara.

B. Pembangunan dalam Pendidikan


Pendidikan memiliki korelasi yang erat dengan proses
pembangunan. Pendidikan yang bermutu membentuk lulusan dengan
SDM yang bermutu. Pembangunan yang berhasil tergantung mutu
SDM-nya. Dengan demikian, tidak akan terjadi proses pembangunan
tanpa SDM yang bermutu. Dan SDM yang bermutu tak akan mampu
dibentuk tanpa pembangunan dalam pendidikan itu sendiri.
Adon Nasrullah Jamaludin (2016: 5) mengutip Gunawan
Sumodiningrat (2005: 1) menyatakan bahwa pembangunan adalah
proses yang historikal. Sebuah proses yang bergulir dari waktu ke
waktu, tidak pernah berhenti, dan perubahan itu sendiri tidak pernah
berganti.

45
Selanjutnya ditegaskan bahwa perubahan ke arah perbaikan
memerlukan pengerahan segala budi daya manusia untuk mewujudkan
apa yang dicita-citakan. Dengan sendirinya, pembangunan merupakan
proses penalaran dalam rangka menciptakan kebudayaan dan
peradaban manusia. Pembangunan tidak dapat berhenti atau dihentikan
karena manusia hidup selalu dipenuhi oleh suasana perubahan. Inti
pembangunan bukan hanya terjadinya perubahan struktur fisik atau
material, melainkan juga menyangkut perubahan sikap masyarakat.
Pembangunan harus mampu membawa umat manusia melampaui
pengutamaan aspek-aspek materi dari kehidupan sehari-hari.
Adon Nasrullah Jamaludin lebih lanjut menguraikan bahwa
pembangunan mempunyai pengertian yang sangat luas. secara
sederhana, pembangunan adalah perubahan ke arah yang lebih baik dan
lebih maju dari sebelumnya. Pembangunan dapat diartikan juga sebagai
gagasan untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan. Gagasan
tersebut lahir dalam bentuk usaha untuk mengarahkan dan
melaksanakan pembinaan, pengembangan, serta pembangunan bangsa.
Secara terminologis, pembangunan identik dengan istilah
development, modernization, westernization, empowering,
industrialization, economic growth, europeanization, bahkan istilah
political change. Identifikasi tersebut karena pembangunan memiliki
makna yang multiinterpretable sehingga istilah tersebut sering
disamakan dengan beberapa istilah lain yang berlainan arti (Moeljarto
Tjokrowinoto, 2004: 23 dalam Adon Nasrullah Jamaludin, 2015: 6).
Pembangunan adalah upaya memajukan atau memperbaiki serta
meningkatkan nilai sesuatu yang sudah ada. Pembangunan juga berarti
seperangkat usaha manusia untuk mengarahkan perubahan sosial dan
kebudayaan sesuai dengan tujuan dari kehidupan berbangsa dan
bernegara, yaitu mencapai pertumbuhan peradaban kehidupan sosial
dan kebudayaan atas dasar target-target yang telah ditetapkan.
Ruang lingkup pembangunan berdasarkan Adon Nasrullah
Jamaludin (2015: 10-20) meliputi:
a. Bidang Ekonomi.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi ialah sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia
(SDM), permodalan, lapangan kerja, keahlian atau kewirausahaan,
kestabilan politik, dan kebijakan pemerintah.

46
b. Bidang Politik
Pembangunan di bidang politik agar menyejahterakan masyarakat
hendaknya diarahkan kepada sasaran, diantaranya: mendorong
kesadaran para elite politik agar sejalan dengan anjuran konstitusi,
menciptakan kecerdasan para elite politik, menciptakan
pengetahuan masyarakat agar mampu menetapkan pilihan yang
tepat, memahami hakikat demokrasi.
c. Bidang Sosial
Tujuan utama pembangunan di bidang sosial adalah untuk
mengurangi penderitaan manusia baik yang disebabkan oleh
bencana alam maupun akibat perbuatan manusia itu sendiri, melalui
program yang dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sehingga mereka memiliki kemampuan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
d. Bidang Pendidikan
Pembangunan di bidang pendidikan bertujuan menciptakan
kemampuan dan kecerdasan manusia yang merupakan tanggung
jawab bersama sesuai dengan konstitusi negara yaitu UUD Tahun
1945, yang menyebutkan bahwa tujuan membangun negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa.
e. Bidang Keagamaan
Pengembangan kesadaran keagamaan dilakukan secara evolusi
sehingga mampu menciptakan premis-premis yang kuat dalam
kehidupan manusia terhadap agama yang diyakininya sampai pada
pembentukan keyakinan hakiki. Upaya ini dilakukan agar tidak
terjadi pengingkaran kebenaran keagamaan yang mereka anut.
Beberapa upaya yang dilakukan dalam pembangunan bidang
keagamaan adalah pembangunan sarana dan prasarana keagamaan,
ketaatan beragama, toleransi beragama, dan pembangunan
ketenagaan dalam keagamaan.
f. Bidang Lingkungan
Merupakan pembangunan yang dilakukan secara berkesinam-
bungan serta berkelanjutan dengan jalan mengoptimalkan manfaat
SDA pada satu pihak dan SDM pada lain pihak. Pelaksanaan
pembangunan lingkungan dapat dilakukan dengan cara
menyelaraskan aktivitas manusia dengan kemampuan SDA yang

47
tersedia dengan tidak menciptakan adanya perusakan kondisi alam
lingkungan, baik secara geografis maupun demografis. Kunci
keberhasilan pembangunan lingkungan hidup adalah Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam perspektif sosiologis, pembangunan merupakan suatu
proses yang ditimbulkan demi terciptanya kondisi kemajuan ekonomi
dan sosial. Prasyarat pembangunan agar berhasil dengan baik ialah
faktor ekonomis yang primer seperti sumber alam yang kaya, tenaga
kerja masal, dan modal yang cukup; faktor sosial budaya, seperti faktor
demografis, struktur masyarakat, mental, dan faktor pendidikan
(Jacobus Ranjabar, 2015: 166).
Pembangunan tidak terlepas dari perubahan sosial itu sendiri.
Ciri-ciri perubahan sosial diantaranya, yaitu differential social
organization; kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
mendorong perubahan pemikiran ideologi, politik, dan ekonomi;
mobilitas; culture conflict, perubahan yang direncanakan dan
perubahan yang tidak direncanakan; dan kontroversi atau pertentangan
(Jacobus Ranjabar, 2015: 58).
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial ialah adanya
penemuan-penemuan baru, struktur sosial (perbedaan posisi dan fungsi
dalam masyarakat), inovasi, perubahan lingkungan hidup, ukuran
penduduk dan komposisi penduduk, dan inovasi dalam teknologi
(Jacobus Ranjabar, 2015: 85). Sementara itu faktor-faktor pendorong
perubahan sosial antara lain: toleransi, sistem terbuka lapisan
masyarakat, heterogenitas penduduk, rasa tidak puas, karakter
masyarakat, pendidikan, dan ideologi (Jacobus Ranjabar, 2015: 107).
Selanjutnya, faktor penghambat perubahan sosial, yaitu: kehidupan
masyarakat yang terasing, perkembangan ilmu pengetahuan yang
terlambat, sikap masyarakat yang sangat tradisional, adanya
kepentingan yang tertanam, adanya prasangka, dan adat istiadat atau
kebiasaan (Jacobus Ranjabar, 2015: 111).
Dalam suatu perubahan tentu akan ada hal baru yang dihadapi.
Hal baru tersebut bisa berupa peluang dan resiko. Adapun faktor resiko
dari perubahan sosial, diantaranya: adanya kepentingan individu dan
kelompok, timbulnya masalah sosial, kesenjangan budaya (cultural
lag), dan kehilangan semangat hidup (Jacobus Ranjabar, 2015: 113).

48
Semboyan dari revolusi seluruh dunia adalah pembangunan,
dan semboyan revolusioner lain ini mempunyai berbagai arti bagi
berbagai golongan. Pada beberapa negara berarti pembangunan
industrialisasi, terutama di beberapa negara menekankan pada
kemandirian secara politis dan ekonomi. Di pihak lain, ini meliputi
kesempatan untuk pendidikan, jaringan televisi, atau bahkan
menciptakan dari satu kelompok masyarakat baru di wilayah yang baru
(Agus Irianto, 2011: 21).
Berdasarkan Sri Mulyani (detik.com, 21 Desember 2017)
dinyatakan bahwa kualitas SDM Indonesia masih kalah dibanding
dengan negara-negara ASEAN lain. Indikator rendahnya kualitas SDM
Indonesia dari negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Singapura,
dan Vietnam, dengan tiga tesnya, yaitu membaca, matematika, dan
sains, Indonesia menempati posisi di bawah. Oleh karena itu, 20%
APBN dialokasikan untuk pendidikan.
Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan memiliki
tantangan dalam meningkatkan SDM. Eksistensi orang-orang di
wilayah terpencil, tertinggal, dan terluar menjadi tantangan tersendiri
bagi upaya kemajuan pembangunan manusia Indonesia. UNDP (United
Nations Development Programme) menyatakan bahwa kelompok yang
termarjinalisasi memiliki kesempatan terbatas untuk mempengaruhi
lembaga dan kebijakan yang menentukan hidup mereka. Hal ini lah
yang mendasari UNDP pada sejak tahun 2016 merilis program
“Pembangunan Manusia Untuk Semua”.
Dipertegas dalam berita yang ditulis mediaindonesia.com (15
September 2017) diinformasikan bahwa kualitas SDM Indonesia
semakin baik. Setidaknya tercermin dalam laporan World Economic
Forum (WEF) kualitas SDM di 130 negara berdasarkan sejumlah
indikator yang dipakai, Indonesia berada pada urutan ke-65, naik tujuh
peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, secara rata-rata
kualitas SDM masih berada di bawah Negara ASEAN lainnya, seperti
Singapura (11), Malaysia (33), Thailand (40), dan Filipina (50). Empat
elemen indikator human capital tersebut, yakni capacity (kemampuan
bekerja berdasarkan melek huruf dan edukasi), deployment (tingkat
partisipasi pekerja dan tingkat pengangguran), development (tingkat
dan partisipasi pendidikan), dan know-how (tingkat pengetahuan dan
kemampuan pekerja serta ketersediaan sumber daya) di tiap negara.

49
Pengetahuan untuk menambah wawasan diperoleh melalui
membaca dan/atau mendengarkan. Hasil survey Berdasarkan studi
Most Littered Nation in the World 2016 minat baca di Indonesia
menduduki peringkat terendah, yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara2.
Informasi tersebut berdasarkan penelitian lembaga United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang
merilis hasil survei terhadap minat baca di 61 negara. Hasilnya, minat
baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% atau menempati terendah
kedua dari 61 negara yang disurvei3.
Rendahnya kemampuan masyarakat dalam membaca dan
berhitung membuat pemerintah memberlakukan program
“Wajardikdas” (wajib belajar 9 tahun pada pendidikan dasar, yaitu
jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama). Kemudian
program wajib belajar yang diberlakukan pemerintah bagi masyarakat
Indonesia meningkat menjadi wajib belajar 12 tahun (hingga jenjang
Sekolah Menengah Atas). 20% dana APBN dialokasikan untuk
pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia baik di kota-kota besar
maupun di kota-kota terpencil. Sri Mulyani, menekankan pentingnya
menyediakan SDM berkualitas. Pendidikan yang tepat dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat selalu
berkaitan dengan isu penyerapan tenaga kerja dan itu dialami oleh
semua negara. Oleh karena itu, Indonesia perlu mendongkrak kualitas
SDM serta meningkatkan inovasi melalui riset.
Arus globalisasi yang memasuki era revolusi industri 4.0,
berpengaruh terhadap pembangunan SDM di Indonesia. Perkembangan
teknologi yang semakin canggih, dunia kini yakni menekankan pada
pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan lain
sebagainya atau dikenal dengan fenomena disruptive innovation.
Menghadapi tantangan tersebut, kebijakan pendidikan pun harus
disesuaikan dengan kondisi revolusi industri 4.0. Perlu strategi dan
perubahan kebijakan yang disertai program terkait dengan peningkatan
sumber daya manusia melalui pendidikan.
Strategi pendidikan tidak lepas dari dinamika: demografi
penduduk; kemiskinan dan kelaparan; kedamaian, keamanan dan
demokrasi; informasi dan komunikasi teknologi (ICT/Information and
Communication Technology). Tantangan tetap tampak pada persamaan,
2
http://www.tribunnews.com/regional/2017/05/15
3
http://www.solopos.com/2016/10/10

50
kualitas, dan kompetensi lulusan. Kesenjangan dalam kompetensi
lulusan antara yang kaya dan miskin; antar dua negara, negara maju dan
berkembang, meningkatkan jumlah lulusan yang tidak sesuai dengan
lapangan kerja yang ada.
UNESCO dalam bukunya Education Strategy 2014–2021
(2014: 9) menegaskan bahwa dalam dunia yang berubah cepat hingga
meningkatkan saling ketergantungan di mana pendidikan dan
pembelajaran menjadi sangat penting bagi perkembangan individu,
perkembangan suatu negara dan kualitas manusia di masa depan.
Perkembangan yang demikian cepat akibat ilmu pengetahuan dan
teknologi memberikan kesempatan kepada para penanggung jawab
pendidikan dengan tersedianya informasi dan teknologi komunikasi
(ICT) dan percepatan ilmu pengetahuan meningkatkan kapasitas
inovasi dan kerjasama untuk mengatasi dampak penyebarannya yang
sangat luas.
ICT membantu biaya yang efektif, mempermudah akses
informasi, meningkatkan kualitas dan membantu meningkatkan
profesionalitas dan pelatihan, memainkan peran sentral dalam
menyediakan akses pada sumber pendidikan terbuka untuk
meningkatkan keterampilan abad 21 sebagai kesempatan pembelajaran
seumur hidup dan terbuka secara online. ICT dapat juga menunjang
pembelajaran informal dan nonformal. Penggunaan ICT ini tentu perlu
dipergunakan secara bijak, sebab apabila tidak digunakan secara bijak
akan berdampak pada rusaknya dan gagalnya sistem pendidikan.
UNESCO sendiri menetapkan target dan penegasan bidang
pendidikan setelah tahun 2015, yaitu:
a. Pendidikan dan pengasuhan anak usia dini (Early Childhood Care
and Education/ECCE);
b. Kualitas pendidikan dasar;
c. Literasi remaja dan dewasa;
d. Skill untuk hidup dan bekerja melalui keterampilan dan vokasi bagi
jenjang pendidikan lanjutan;
e. Pengetahuan dan skill dalam kehidupan sosial yang damai dan
berkelanjutan termasuk dalam pendidikan warga negara secara
global dan pendidikan untuk pengembangan secara berkelanjutan;
f. Guru; dan
g. Keuangan.
51
Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin cepat, berbagai upaya dilakukan dalam menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia
pendidikan dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada
dalam pendidikan dengan usaha reformasi ’kosmetik’. Umumnya yang
dilakukan adalah seperti perlunya membangun kelas dan fasilitas baru,
memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang
lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk
menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk
meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien
dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ’learning
by doing’, ’experimental learning’, ataupun Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dan sebagainya (William F. O’neil, 2002: xiv).
Mahmud dan Ija Suntana (2014: 116) membahas tentang sistem
pendidikan di masyarakat modern. Sistem pendidikan industri modern
muncul pada abad ke-19. Ada dua tipe pendidikan modern yang relatif
memiliki perbedaan mencolok waktu itu. Pertama, di seluruh Eropa
Barat berkembang sistem pendidikan yang dikenal dengan istilah
mobilitas yang disponsori (sponsored-mobility). Sistem mobilitas yang
disponsori ini menempatkan para siswa dalam salah satu dari dua jalur
pendidikan sejak dini. Sebagian kecil siswa ditempatkan dalam jalur
universitas dengan penyediaan kesempatan kerja yang relevan dengan
jalur tersebut. Adapun mayoritas ditempatkan ke dalam jalur yang
diakhiri dengan pendidikan vokasional. Kedua, di masyarakat modern,
bahkan pada tingkat tertentu di Uni Soviet dan Jepang, muncul
pendidikan yang dinamai dengan mobilitas kontes (contest-mobility).
Jenis sistem ini tidak mempunyai penyaluran resmi, meskipun terdapat
semacam penelusuran minat secara informal dan tersembunyi, dan
terdapat kompetisi terbuka untuk mencapai pendidikan yang maju.
Perkembangan pendidikan di masyarakat dunia, menjadi salah
satu ciri yang mencolok pada dekade terakhir yang ditandai dengan
ekspansi yang cepat dan besar. Indikasinya adalah semakin banyak
anak muda yang mendaftar untuk pendidikan di mana-mana, baik di
negara industri yang maju maupun di negara yang sedang berkembang.
Pendaftaran masyarakat dunia untuk pendidikan terjadi pada semua
tingkat yaitu tingkat dasar, menengah, dan tinggi (Mahmud dan Ija
Suntana, 2014: 127). Terjadinya ekspansi pendidikan yang luas akhir-
akhir ini disebut sebagai kualifikasionisme. Dikatakan bahwa ekspansi

52
ini merupakan gejala yang signifikan dalam semua atau sebagian besar
masyarakat industri.
Menyikapi tantangan dan peluang pada era revolusi industri 4.0
ini, Samsuniwiyati Mar’at dan Lieke Indieningsih Kartono (2006: 32)
menyatakan bahwa manusia berbuat sebab ada pendorongnya. Dalam
psikologi modern, penyebab perilaku manusia adalah kombinasi kedua
unsur, yakni dipicu atau didorong; faktor internal dan eksternal atau
lingkungan mengarahkan manusia pada perilaku tertentu. Sebagai
kombinasi keduanya digunakanlah istilah motivasi.
Demikianlah, pembangunan tidak terlepas dari peran serta
pendidikan. Dan tanpa disadari, pendidikan formal dan nonformal
tengah mengalami transisi menuju model pendidikan pembangunan, di
mana pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan.
Mansour Fakih dalam William F. O’neil, 2002: xi) menegaskan bahwa
dewasa ini, pendidikan semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan ideologi di era global. Fenomena munculnya gagasan
“Sekolah Unggulan” dan sering terdengar “Link and Match” dalam
aspek pendidikan merupakan dampak dari pengaruh ideologi-ideologi
dalam dunia pendidikan. Yang dimaksud sesungguhnya adalah
bagaimana pendidikan harus memiliki kaitan dan relevansi dengan
dunia industri.
Selain itu pendidikan yang harus memenuhi kualifikasi yang
ditetapkan, standar-standar dalam menunjukkan pelaksanaan
pendidikan yang berkualitas terus digalakan. Monitoring terhadap
pelaksanaan pendidikan yang bermutu dilakukan baik oleh pihak
internal maupun eksternal. Berbagai pendekatan dan strategi
diupayakan untuk membantu dalam peningkatan SDM yang berkorelasi
dengan pembangunan bangsa.

C. Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua


Dengan kondisi wilayah yang sangat luas dan terdiri dari
kepulauan, pendidikan yang desentralistik menjadi sangat efektif bagi
pembangunan pendidikan di Indonesia. Firdaus M. Yunus (2005: 95-
96) mengutip (Jalal, 2001: 99) mengemukakan alasan desentralisasi
pendidikan di Indonesia. Pengaturan perimbangan kewenangan antara
pusat dan daerah merupakan konsekuensi logis dari UU No. 25 Tahun
1999. Keluarnya Undang-Undang tersebut yang disesuaikan dengan PP

53
No. 25 Tahun 2000 mencerminkan adanya kemauan politik pemerintah
pusat untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di masa
lalu. Untuk menghindari akses dan pengaturan baru ini, maka berbagai
pihak perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan operasional otonomi
daerah, khususnya dalam pengelolaan pendidikan, yang meliputi aspek
kelembagaan, kurikulum, sumber daya manusia, pembiayaan, sarana
dan prasarana. Agar efektif, maka implementasi dari kebijakan tersebut
perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
Agenda besar tersebut bagi daerah merupakan beban besar yang
harus dipikul, meskipun ada beberapa daerah yang sudah siap untuk
memikulnya. Desentralisasi pendidikan dengan segala turunannya,
hendaklah tidak diterjemahkan sebagai upaya “cuci tangan” semata dari
orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab. Upaya pemerintah
untuk mereformasi sistem pendidikan nasional menuju prinsip-prinsip
desentralisasi harus didukung oleh semua pihak, karena desentralisasi
pendidikan adalah memberikan kewenangan penuh kepada sekolah
untuk mengelola pendidikan dan memberikan kewenangan kepada
daerah untuk mengatur dan mengangkat guru sesuai dengan kebutuhan
sekolah. Pemerintah pusat hanya menjadi pengarah dan pengontrol hal-
hal yang dianggap pokok saja. Dengan adanya desentralisasi ini
diharapkan kekhasan daerah diperhatikan, dan pendidikan dapat lebih
disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah (Suparno, 2002: 19-20).
Memahami aspek pendidikan sebagai bagian yang tidak
terpusatkan dalam proses berlangsungnya pembangunan nasional
maupun lokal, selayaknya untuk selalu dikedepankan. Apalagi dalam
memasuki otonomi daerah, maka sektor pendidikan sebagai sarana
awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan
kebutuhan sumber daya manusia, penentuan kurikulum yang selaras
dengan kebutuhan lokal dan sebagainya semestinya harus menjadi
agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda. Selama ini yang
terjadi adalah proses pendidikan banyak yang tidak sejalan dengan
agenda pembangunan lokal sehingga proses pendidikan dalam artian
pendidikan formal (sekolah) sesungguhnya diterapkan dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia
yang sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya.
Dalam artian, setiap proses pendidikan di dalamnya arus mengandung
berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan
kebutuhan masyarakat. Sehingga hasil atau output pendidikan adalah

54
manusia yang sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan
masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat (Santoso, 2003: 3).
Firdaus M. Yunus, (2005: 98) menyatakan bahwa
keberlangsungan pendidikan sering sekali tidak berakar dari akar
persoalan riil masyarakat atau siswa pada suatu daerah. Misalnya, fakta
bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene
adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktik pendidikannya hampir
tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat
desa. Praktik pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang
sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang sedang
terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak produk-produk
pendidikan tersebut sering kali malah melecehkan kehidupan dan
pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena
anak didik lebih banyak “diintervensi” oleh praktik pendidikan model
perkotaan dengan tipikal masyarakat industrial sehingga muncul
ketidakpercayaan diri anak didik atas profesi sebagai petani dan
memilih gaya hidup sebagai priayi dengan fenomena rebutan keluaran
pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau minimal bekerja di
perkantoran. Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan lokal sesungguhnya sering kali menghambat
keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah dicanangkan.
Hal ini karena, sekali lagi, proses pendidikan yang tidak bersentuhan
langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik
dan masyarakat sekitar.
Desentralisasi pendidikan berkaitan dengan sebuah keinginan
mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial-kultural
setiap daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu
sistem pendidikan yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut.
Desentralisasi pendidikan pada satu segi sebagai pengurangan
legitimasi pusat terhadap pendidikan di daerah. Sehingga dengan
adanya wewenang penuh terhadap daerah untuk menyelenggarakan
pendidikan pada hakikatnya akan memperkuat legitimasi pemerintah
pusat dengan menghindari terjadinya konflik dengan daerah (Tilaar,
1992: 37). Desentralisasi pendidikan mengisyaratkan adanya sistem
pendidikan yang bersifat lokalitas masyarakat. Hal ini perlu agar
masyarakat atau peserta didik tidak tersingkir dari akar kebudayaannya.
Dengan demikian, relasi antara penyelenggaraan pendidikan dengan
situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan terhadap
pendidikan lokal suatu daerah menjadi lebih komprehensif.

55
Papua, satu dari lima pulau terbesar di Indonesia yang memiliki
pulau-pulau kecil di sekitarnya, perlu didukung untuk memiliki SDM
bermutu sehingga dapat mengelola sendiri SDA berlimpah yang
terkandung di dalamnya. Semua tentu harus diupayakan dan menjadi
tanggung jawab bersama. Untuk merealisasikan pembangunan dalam
bidang pendidikan, Pemerintah Daerah Provinsi Papua telah
mengeluarkan kebijakannya melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pembangunan Pendidikan Di
Provinsi Papua.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006
Tentang Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Papua memuat
informasi bahwa pembangunan pendidikan adalah pembangunan yang
meliputi penyiapan sumber daya manusia dan infra struktur pendidikan
yang berkualitas di Tanah Papua. Pembangunan pendidikan bertujuan
membangun dan menyiapkan orang asli Papua serta penduduk Papua
yang berkualitas dalam ilmu dan iman, serta cakap, kreatif, mandiri,
sehat, demokratis, berbudi pekerti luhur dan bertanggung jawab.
Penyelenggaraan pendidikan di Papua selain menerapkan pola
pendidikan nasional, juga menerapkan pola pendidikan khusus.
Selanjutnya dalam Perda tentang pembangunan pendidikan di
Provinsi Papua ditegaskan bahwa pola pendidikan nasional meliputi
pendidikan formal, nonformal dan informal. Seperti dalam UU
Sisdiknas, dinyatakan pula bahwa pendidikan formal yang
diselenggarakan di Papua meliputi jalur, jenis dan jenjang yang berlaku
secara nasional. Selain jalur, jenis dan jenjang yang berlaku secara
nasional diterapkan pola pendidikan khusus yang meliputi sekolah
unggulan, sekolah khusus, kelas ganjil/genap, plasma induk, kelas
khusus, kelas percepatan dan pendidikan dan latihan untuk
pengembangan dan pembinaan prestasi olah raga dan kesenian.
Dipahami bahwa dengan budaya lokal yang kaya akan kesenian daerah
dan memiliki atlet olah raga tingkat nasional, seperti dalam bidang
sepak bola, menjadikan perlunya pendidikan dan latihan khusus untuk
pengembangan dan pembinaan prestasi olah raga dan kesenian. Ini
menunjukkan bahwa pendidikan harus pula memfasilitasi bakat, minat,
dan budaya lokal di mana masyarakat tersebut berada.
Mengingat kondisi geografis daerah Papua berupa pegunungan
dan lautan di mana alat transportasi masih sangat minim, maka penting
pendidikan nonformal untuk diselenggarakan. Pendidikan nonformal

56
diselenggarakan bagi penduduk Papua yang memerlukan layanan
pendidikan pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan
formal untuk peningkatan taraf hidup, diutamakan pada daerah-daerah
yang terisolasi, terpencil dan terabaikan.
Untuk mengentaskan buta aksara (illiterasi) di pulau yang
terisolasi, terpencil, dan terabaikan, pendidikan keaksaraan dan
pelatihan keterampilan memperoleh perhatian utama dalam
penyelenggaraan pendidikan nonformal di Tanah Papua. Penyeleng-
garaan pendidikan keaksaraan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
dengan sebanyak-banyaknya melibatkan masyarakat.
Untuk pendidikan informal, Perda memuat kebijakan agar
setiap keluarga melaksanakan pendidikan informal yang meliputi nilai-
nilai agama, nilai-nilai adat, budi pekerti, perilaku kerja keras,
kerajinan, keteladanan, disiplin dan norma sosial. Setiap keluarga
melaksanakan pendidikan kearifan lokal sebagai kemampuan dasar
untuk kelangsungan hidup. Pemerintahan kampung dan lembaga adat
berperan serta dalam membina dan mengembangkan pendidikan
kearifan lokal. Kepala kampung dalam melaksanakan pendidikan
kearifan lokal, berperan melakukan pembinaan dan peningkatan peran
laki-laki dalam mengelola keluarga.
Pendidikan di Provinsi Papua diselenggarakan dengan
memberikan prioritas kepada orang asli Papua, secara khusus peserta
didik di daerah-daerah yang terisolasi, terpencil dan terabaikan. Orang
asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras dan/atau orang
yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat
Papua. Pendidikan di Provinsi Papua dilaksanakan untuk membebaskan
orang asli Papua dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan
penindasan.
Kerjasama dengan masyarakat yang memiliki kemampuan dan
kompetensi untuk mewujudkan pembangunan pendidikan di Tanah
Papua menjadi harapan terwujudnya kebijakan tersebut. Sebagaimana
dipahami bersama pendidikan diselenggarakan dalam sebuah
lingkungan sosial. Dan dalam teori sistem, masyarakat merupakan
suatu sistem besar yang terdiri atas sejumlah sub-sistem yang secara
bersama-sama dan terpadu membentuk satu kesatuan dan saling
mempengaruhi.

57
Apabila satu sub-sistem berubah, maka sub-sistem yang lain
bisa terpengaruh dan turut berubah. Masuknya pendatang dengan
beragam kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
kemudian menetap menjadi penduduk di Tanah Papua, termasuk sub-
sistem dalam masyarakat rumpun ras asli Papua. Kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki tersebut memberikan dampak positif
terhadap perkembangan pembangunan pendidikan di Tanah Papua.
Lebih jauh lagi, perkembangan pembangunan Pendidikan di Tanah
Papua telah mampu membentuk masyarakat asli Papua menjadi SDM
yang terdidik dan akhirnya banyak menempati berbagai posisi
pekerjaan di daerahnya.
Melalui pendidikan, masyarakat asli Papua mampu
meningkatkan strata sosial dalam masyarakat. Walau masih banyak
ditemukan masyarakat kelas ekonomi bawah, kurang perhatian akan
pendidikan. Di samping kurang mampu membiayai pendidikan, mereka
tidak melihat pentingnya pendidikan. Anak-anak lebih sering
diharapkan untuk membantu orangtua dalam memenuhi kebutuhan
ekonomi, atau cepat-cepat lepas dari tanggung jawab (Sudardja
Adiwikarta, 2016: 107).
Diuraikan lebih lanjut oleh Sudardja Adiwikarta, akhirnya
pendidikan lebih menguntungkan kelas menengah ke atas ketimbang
kelas sosial rendah. Kemampuan ekonomi kelas menengah dan atas
cukup kuat untuk mendukung kepentingan pendidikan bagi anak-
anaknya. Materi kurikulum dan metode pembelajarannya lebih cocok
dengan situasi kehidupan mereka. Semua hal tersebut mungkin
disebabkan karena penyelenggara pendidikan, termasuk penyusun
kurikulum dan para guru kebanyakan berasal dari lapisan sosial
menengah juga.
Menyiasati persoalan tersebut, pendidikan di Tanah Papua
diselenggarakan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya,
dengan memperhatikan kemampuan orangtua. Selanjutnya pemerintah
provinsi bersama pemerintah kota/kabupaten Papua berkewenangan
memfasilitasi terselenggaranya pendidikan bermutu bagi masyarakat
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan
wilayahnya.
Hasil pendidikan yang baik pada suatu bidang keahlian akan
lebih mudah tercapai apabila didukung oleh bakat. Walau masyarakat
lebih menghargai realitas penampilan daripada mempersoalkan latar

58
belakangnya apakah bakat atau hasil pendidikan. Namun perlu diakui,
untuk mengembangkan bakat itu sendiri diperlukan pendidikan. Orang
berbakat tapi tidak disertai pendidikan yang sesuai, jarang bisa
mencapai puncak tangga sosial. Kebijakan pendidikan dalam bentuk
pemberian beasiswa bagi pelajar berbakat yang orangtuanya kurang
mampu, telah membuka kesempatan bagi pelajar dari lapisan sosial
bawah yang berbakat untuk bermobilitas naik (Sudardja Adiwikarta
(2016: 109).
Uraian di atas membuktikan program atau kebijakan pemerintah
daerah yang tepat dan sesuai dengan perubahan sosial yang begitu
cepat. Pemerintah daerah dengan kebijakannya mendukung setiap
penduduk berhak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang bermutu
sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan yang dimilikinya, sampai
pada tingkat pendidikan tinggi. Kesempatan ini, ditujukan bagi setiap
orang asli Papua, baik laki-laki maupun perempuan yang normal
ataupun yang memiliki kelainan fisik, kejiwaan, dan/atau hambatan
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus yang diselenggarakan
pemerintah daerah dan berhak memperoleh prioritas pelayanan
pendidikan bermutu sesuai dengan bakat dan minat. Termasuk orang
asli Papua yang bermukim di daerah terisolasi terpencil dan terabaikan,
berhak memperoleh pendidikan dengan pola khusus.
Terselenggaranya pembangunan melalui pendidikan dan
pembangunan pendidikan tidak lepas dari peran serta seluruh
masyarakat dalam menjaga keamanan dan kedamaian. Meskipun
terdapat perbedaan namun dengan saling pengertian dan empati yang
tinggi mampu meredam pertikaian. Sikap yang menunjukkan nilai-nilai
luhur dan norma-norma yang berlaku di masyarakat dapat ditanamkan
selain bermula dalam pendidikan informal, juga diperkuat melalui
pendidikan formal, dan non formal. Takkan didapat pembangunan yang
diharapkan terbentuk dalam kondisi lingkungan yang tidak aman atau
kondusif.
Pemerintah daerah juga menuangkan dalam Perda
bahwa masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan
dan dunia usaha di Tanah Papua berhak berperanserta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program. Agar
terwujudnya pendidikan yang bermutu, perlu upaya bersama dari
seluruh pihak. Tidak mungkin suatu daerah maju dalam pembangunan

59
hanya diselenggarakan oleh satu atau dua orang saja, atau hanya satu
kelompok saja.
Pemerintah daerah di Tanah Papua menetapkan kebijakan
dalam kurikulum yang memuat kurikulum pendidikan nasional dan
kurikulum lokal. Kurikulum nasional diberlakukan pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Bahan ajar kurikulum nasional
dipadukan dan disesuaikan dengan keanekaragaman fisik, hayati,
bahasa, dan sosial budaya Papua.
Sementara itu, kurikulum lokal memuat basis kompetensi
minimal pada setiap jenjang. Kurikulum lokal untuk pendidikan dasar
dapat memuat paling sedikit dua mata pelajaran yang meliputi:
a. pengetahuan masyarakat setempat (etnosains);
b. bahasa daerah;
c. sejarah lokal;
d. teknologi lokal;
e. keterampilan.
Kurikulum lokal untuk pendidikan menengah meliputi mata
pelajaran:
a. bahasa asing selain bahasa Inggris;
b. kebudayaan asli Papua;
c. keterampilan komputer;
d. kewirausahaan.
Sedangkan kurikulum lokal untuk pendidikan tinggi meliputi
mata kuliah:
a. bahasa asing selain bahasa Inggris;
b. bahasa daerah;
c. keterampilan komputer;
d. kebudayaan asli Papua;
e. kewirausahaan;
f. mata kuliah lain sesuai kebutuhan.
Pelajaran muatan lokal bahasa dan sastra daerah di provinsi
diselenggarakan untuk melestarikan jati diri dan kearifan tradisi orang
Papua. Pengetahuan kearifan lokal Papua dipelajari sebagai materi

60
muatan lokal yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang terkait.
Materi muatan lokal dapat diajarkan oleh guru mata pelajaran dan atau
tenaga terampil pada bidang dimaksud. Dan kurikulum lokal pada
perguruan tinggi disusun dan dikembangkan oleh masing-masing
perguruan tinggi.
Pemerintah Daerah menyediakan, mengembangkan dan
memelihara prasarana dan sarana pendidikan. Pendanaan untuk
membiayai penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua sendiri
bersumber dari: a. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
penerimaan dalam rangka otonomi khusus yang besarnya setara dengan
2% (dua persen) plafon dana alokasi umum nasional; b. paling sedikit
30% (tiga puluh persen) dari penerimaan bagi hasil sumber daya alam
pertambangan minyak bumi; c. paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari penerimaan bagi hasil pertambangan gas alam.
Pembangunan suatu daerah tidak mungkin diselenggarakan
sendiri oleh pemerintah. Perlu peran serta aktif masyarakat di
dalamnya. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan. Masyarakat sebagai
mitra pemerintah daerah juga berperan serta sebagai penyedia sumber
daya, penyelenggara, pengawas dan pengguna hasil pendidikan.
Masyarakat berperan serta sebagai penyedia sumber daya dengan cara
menyediakan dana, tenaga dan fasilitas pendidikan lainnya. Masyarakat
berperan serta sebagai penyelenggara dalam pelaksanaan pendidikan
dengan cara mendirikan lembaga dan satuan pendidikan. Masyarakat
berperan serta dalam pengawasan pendidikan dengan cara memberikan
usul, saran dan kritik kepada pemerintah daerah dan/atau penyelenggara
pendidikan melalui dewan pendidikan dan/atau komite sekolah.
Masyarakat berperan serta dengan cara memanfaatkan tenaga terampil
dan/atau terdidik hasil satuan pendidikan di daerah.
Lembaga penyelenggara pendidikan swasta merupakan mitra
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dunia usaha
dan dunia kerja wajib memberikan informasi tentang situasi pasar kerja,
uraian kerja dan perilaku kerja di lingkungan usaha dan/atau kerjanya
kepada satuan pendidikan SMK yang relevan. Dunia usaha dan/atau
dunia kerja wajib menerima peserta didik dari satuan pendidikan SMK
yang relevan untuk melakukan program magang. Peran serta dunia
usaha dan dunia kerja dapat berupa pemberian kesempatan praktik
lapangan, praktik laboratorium, bantuan tenaga ahli, bantuan

61
pembangunan fisik dan sarana belajar, pemberian beasiswa, dan hal-hal
lain yang bersifat tidak mengikat.
Pembangunan pendidikan berjalan lancar dengan adanya
kerjasama yang baik antara separuh pihak pemangku kepentingan.
lembaga pendidikan swasta nasional atau yayasan dapat melakukan
kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga kependidikan
maupun non kependidikan yang bertujuan meningkatkan mutu
pendidikan, seperti: pertukaran peserta didik; pendidik dan tenaga
kependidikan; pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan; pertukaran
informasi dan teknologi kependidikan; penggunaan sarana pendidikan;
dan hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu pendidikan.
Pengawasan dalam penyelenggaraan pendidikan juga diatur
dalam Perda untuk terwujudnya pendidikan yang bermutu dan layanan
pendidikan yang maksimal. Pengawasan terdiri atas pengawasan
edukatif dan administratif. Pengawasan edukatif dilakukan oleh
pengawas sekolah. Sementara pengawasan administrasi dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan. Dewan Pendidikan pun turut melakukan
pengawasan atas perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan.
Komite sekolah juga melakukan pengawasan atas pelayanan
pendidikan pada satuan pendidikan.

62
BAB IV
YAPIS DAN PENDIDIKAN DI TANAH
PAPUA

Negara Indonesia adalah negara kepulauan. Banyak pulau besar


dan kecil yang dikelilingi lautan. Pulau Papua merupakan satu pulau
terbesar dari lima pulau terbesar di Indonesia. Papua sendiri sekarang
terdiri dari dua provinsi, yaitu Papua Barat dan Papua. Penulis telah
melakukan observasi ke beberapa daerah di Papua Barat, seperti:
Sorong, Waisai-Raja Ampat; dan Papua, seperti: Jayapura dan
Jayawijaya.

A. Sekilas Tentang Tanah Papua

Gambar 4.1. Peta Pulau Papua


(Sumber: http://desnantara-tamasya.blogspot.com/2011/03/peta-pulau-irian-
papua.html)

63
1. Kondisi Geografis
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di
bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur wilayah Papua
milik Indonesia. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua Bagian barat,
namun sejak tahun 2004 dibagi menjadi dua provinsi dengan bagian
timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai
nama Papua Barat. Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia dan
terbesar pertama di Indonesia4.
Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua
berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber
daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Papua, jumlah penduduk Papua 2016 sebanyak
3.207.444 jiwa, sedangkan pada 2017 meningkat menjadi 3.265.202.5
Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara
Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Papua
merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Lebih dari
71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit
ditembus karena terdiri atas lembah-lembah yang curam dan
pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh
salju. Tidak heran apabila kabupaten Jayawijaya, misalnya, berada pada
ketinggian lebih dari 1.600 meter di atas permukaan laut.
Sebagaimana ditegaskan oleh Rudihartono Ismail (2012: 16-
17), kemiringan daerah Jayawijaya sekitar 65% dengan ketinggian
antara 1.500 - 5.000 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar
terdiri dari gunung-gunung, bukit dan lembah-lembah yang sangat luas
dan subur. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sekitar 80%
dari wilayah Kabupaten Jayawijaya merupakan daerah rawan terhadap
erosi, sedangkan sisanya merupakan daerah datar dan landai (lembah)
yang cukup potensial sebagai lahan usaha pertanian dan pemukiman.
Wilayah yang relatif datar dan merupakan pusat kegiatan pertanian
penduduk adalah wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Baliem.
Kondisi ini menjadi kendala bagi akses transportasi. Provinsi
Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas
wilayahnya lebih tiga kali luas pulau Jawa, ditambah jumlah penduduk
4
https://papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html
5
http://tabloidjubi.com/artikel-11176-jumlah-penduduk-papua-membengkak-.html

64
yang masih sedikit dengan kekayaan alam begitu kaya dan belum digali
seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan
pertambangan.

Gambar 4.2. Kondisi Geografis Jayawijaya


(Sumber: Rudihartono Ismail, 2012: 17)

Kondisi geografis tersebut menjadi kendala bagi akses


transportasi, disebabkan karena belum adanya jaringan jalan yang
memadai yang dapat menghubungkan wilayah-wilayah sentra
produksi. Untuk itu Dinas Pekerjaan umum berupaya melakukan
pembangunan infrastruktur jalan yang baik. Seperti rencana
pembangunan jalan Jayapura-Wamena yang merupakan status jalan
nasional sebagai kegiatan investasi yang besar bagi Pemerintah
Provinsi Papua dan Kabupaten Jayawijaya yang dibangun dengan
tujuan untuk: sarana mengintegrasikan pengembangan potensi daerah
dan perubahan struktur masyarakat; membentuk suatu sistem jaringan
jalan nasional, provinsi, kabupaten dan kota guna mendukung sistem
produksi dan distribusi; membentuk manfaat secara langsung kepada
masyarakat dalam hal kemudahan kegiatan sosial, ekonomi, arus
barang dan jasa, kesempatan kerja dan keterampilan masyarakat. Jika
dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola
kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu Papua pegunungan atau pedalaman, dataran
tinggi dan Papua dataran rendah dan pesisir.

65
Sementara luas wilayah Provinsi Papua Barat sebesar 126.093
2
km dengan jumlah penduduk sebanyak 1.069.498 Jiwa. Ibukota
Provinsi Papua Barat adalah Kota Sorong. Papua Barat berada pada
ketinggian antara 0 hingga 100 meter dari permukaan laut.6

2. Sumber Daya Alam


Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang
sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung
dan taman nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi hutan
yang terbentang di sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya
masih belum tersentuh atau dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi
yang telah dikembangkan sebagai hutan konversi. Selain sumberdaya
hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup
besar dari sungai-sungai yang mengalir di sepanjang perbatasan.
Demikian pula kandungan mineral dan logam yang berada di dalam
tanah yang belum dikembangkan seperti tembaga, emas, dan jenis
logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi.
Taman Nasional Lorentz adalah sebuah taman nasional yang
terletak di provinsi Papua, Indonesia. Dengan luas wilayah sebesar 2,4
juta Ha. Lorentz merupakan taman nasional terbesar di Asia Tenggara.
Taman ini masih belum dipetakan, dijelajahi dan banyak terdapat
tanaman asli, hewan dan budaya. Pada 1999 taman nasional ini diterima
sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Wilayahnya juga terdapat
persediaan mineral, dan operasi pertambangan berskala besar juga aktif
di sekitar taman nasional ini. Ada juga Proyek Konservasi Taman
Nasional Lorentz yang terdiri dari sebuah inisiatif masyarakat untuk
konservasi komunal dan ekologi warisan yang berada di sekitar Taman
Nasional Loretz.
Taman Nasional Wasur merupakan bagian dari lahan basah
terbesar di Papua dan sedikit terganggu oleh aktivitas manusia.
Biodiversitasnya membuat taman ini dijuluki sebagai “Serengeti
Papua”. Sekitar 70% dari luas wilayah ini terdiri dari sabana, sementara
vegetasi lainnya merupakan hutan rawa-rawa, hutan monsoon, hutan
pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan sagu. Taman yang
dominan meliputi Spesies Mangrove, Terminalia dan Melaleuca.Taman
Nasional Wasur ini terletak di Kabupaten Merauke.

6
http://papuabaratprov.go.id/sekilas-papua-barat/

66
Di Provinsi Papua Barat pun mempunyai potensi yang luar
biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata.
Mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat
sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain
Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat
diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain
itu wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti
Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten
Teluk Wondama. Taman Nasional ini membentang dari timur
Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan
panjang garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut
1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha kawasan terumbu karang dan
12.400 ha lautan7.

3. Sosial Ekonomi
Perekonomian Provinsi Papua masih bersifat resourced based,
bertumpu pada dua sektor sumber daya alam yaitu sektor pertambangan
dan pertanian. Papeda adalah makanan khas Papua berupa bubur sagu
berwarna putih dan bertekstur lengket menyerupai lem dengan rasa
yang tawar. Papeda merupakan makanan yang kaya serat, rendah
kolesterol dan cukup bernutrisi. Di Papua juga dikenal adanya Buah
Merah. Makanan lainnya adalah umbi-umbian, termasuk talas. Sebab
banyak barang dan makanan yang dipasok dari luar kota dengan
menggunakan pesawat, tidak heran apabila harga makanan dan ikan di
Papua sangat lah mahal bila dibandingkan dengan daerah lain, seperti
di Pulau Jawa.
Secara fisik kondisi kawasan perbatasan di Papua bergunung
dan berbukit yang sulit ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau
kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang memungkinkan untuk
mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis dan
pesawat helikopter yang sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat dan
aparat pemerintah pusat dan daerah untuk mengunjungi kawasan
tersebut. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat di Papua sebagian
besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta
kurang mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun
pusat.

7
https://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Barat

67
Provinsi Papua Barat mempunyai potensi yang luar biasa, baik
itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara
dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat sedangkan satu-
satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain Timor
dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat
diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain
itu, wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti
Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten
Teluk Wondama.
Masyarakat adat di Tanah Papua memiliki perspektif
pemanfaatan sumberdaya alam sangat bijaksana. Eksploitasi dilakukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan terbatas tanpa mempertimbangkan
nilai benefit ekonomis dari sebuah sumberdaya alam. Untuk itu prinsip-
prinsip yang dimiliki oleh masyarakat asli Papua dalam upaya
pelestarian diawali oleh rasa kesatuan dengan alam, rasa kepemilikan
sumberdaya alam sebagai barang milik ulayat ataupun adat sehingga
benar-benar dijaga dan dilindungi, adanya peraturan tidak tertulis (non
formal)yang mengikat pada masyarakat untuk tidak memanfaatkan
sumberdaya alam secara berlebihan. Umumnya masyarakat adat Papua
sama. Rantai kehidupan berakar kuat pada pola ekonomi subsistem
(petani maupun nelayan) yang bergantung pada sediakan alam dan
belum berorientasi pasar. Infrastruktur layanan pendidikan, kesehatan,
maupun akses komunikasi dan transportasi rata-rata masih sangat
terbatas (Rudihartono Ismail, 2012: 40).
Mata pencaharian utama masyarakat asli Papua ada yang
nelayan ada yang bertani. Untuk daerah pesisir mata pencaharian utama
tentunya adalah nelayan, dengan penghasilan utamanya adalah ikan
yang berlimpah (contoh daerah Sorong-Raja Ampat). Sedangkan untuk
daerah pegunungan, mata pencaharian orang asli Papua adalah bertani
atau berkebun. Sistem pertanian yang dilakukan masih bersifat
tradisional. Makanan pokok masyarakat daerah pegunungan adalah
umbi-umbian (ubi jalar, singkong dan keladi). Jagung dan berbagai
jenis sayuran juga ditanam. Di samping bertani, masyarakat juga
beternak babi yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan
masyarakat adat (Rudihartono Ismail, 2012: 40).
Kondisi geografis di Tanah Papua ini berdampak pada
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat asli Papua. Seiring berlalunya
waktu, pembangunan terus dilakukan. Berdasarkan data terkini BPS,

68
dinyatakan bahwa pembangunan manusia di Papua terus mengalami
kemajuan. Pada tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Papua mencapai 59,09. Angka ini meningkat sebesar 1,04 poin
dibandingkan tahun 2016. Bayi yang lahir pada tahun 2017 memiliki
harapan untuk dapat hidup hingga 65,14 tahun, lebih lama 0,02 tahun
dibandingkan tahun sebelumnya. Anak-anak yang pada tahun 2017
berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama
10,54 tahun, lebih lama 0,31 tahun dibandingkan dengan tahun 2016.
Sementara itu, penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah
menempuh pendidikan selama 6,27 tahun, lebih lama 0,12 tahun
dibandingkan tahun sebelumnya.8
Pembangunan yang tampak melalui laju pertumbuhan IPM
dilakukan dengan meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan
hidup layak. Dalam rancangan Tema dan Prioritas Nasional Tahun
2018, Diperlukan penguatan dan pengembangan ekonomi berbasis
komoditas lokal. Investasi dan pembangunan infrastruktur untuk
percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Investasi dalam
bidang pendidikan dilakukan melalui digalakannya pendidikan vokasi
dan peningkatan kualitas guru.

4. Agama
Berdasarkan data tahun 2010, 83.15% masyarakat Papua
beragama Kristen; 65.48% Protestan dan 17.67% Katolik. 15.88%
Muslim dan kurang dari 1% beragama Budha dan Hindu. Dalam
praktiknya, masyarakat asli Papua masih menganut animisme sebagai
agama tradisi mereka9. Sementara itu, penduduk Provinsi Papua Barat
juga memeluk agama yang berbeda-beda, namun kerukunan hidup
beragama dapat terjaga dengan baik, hal ini terlihat dari tumbuhnya
fasilitas peribadatan bagi semua pemeluk agama dan bertambahnya
rohaniawan dari masing-masing agama. Data Tahun 2006
menunjukkan bahwa prosentase terbesar pemeluk agama adalah
Kristen Protestan (50,70%), kemudian Islam (41,27%), Kristen Katolik
(7,70%), Hindu (0,12%), Budha (0,08%) dan Konghucu (0,01%). Pada
Provinsi Papua Barat terdapat Kabupaten yang mendapat julukan Kota

8
https://papua.bps.go.id/pressrelease/2018/05/07/336/indeks-pembangunan-
manusia-provinsi-papua-tahun-2017.html
9
https://en.wikipedia.org/wiki/Papua_(province)

69
Injil yaitu Kabupaten Manokwari dimana pertama kali Injil datang ke
Tanah Papua di Pulau Mansinam yang merupakan wilayah Kabupaten
Manokwari.
Jumlah tempat peribadatan dipengaruhi jumlah pemeluknya
yang ada dalam suatu daerah tertentu. Sebab mayoritas agama di Tanah
Papua adalah Kristen, wajar apabila ditemukan banyak gereja di Tanah
Papua. Contoh, sarana peribadatan yang tersebar di Kabupaten
Jayawijaya pada Tahun 2010 sebanyak 303 unit dari Gereja Protestan,
Gereja Katolik sebanyak 133 unit, Masjid sebanyak 23 unit, dan Pura
sebanyak 1 unit (Rudihartono Ismail, 2012: 38).

5. Pendidikan
Dengan keadaan geografis yang beberapa pulau kecilnya
dikelilingi lautan dan pegunungan, mengakibatkan kondisi pendidikan
di Tanah Papua perlu mendapat perhatian khusus. Minimnya sarana
prasarana dan tenaga pendidik (SDM) yang berkualitas masih menjadi
permasalahan utama yang juga sama dialami daerah lain. Selain itu
juga, rendahnya alokasi dana untuk pendidikan memperburuk masalah
pendidikan. Rendahnya perhatian terhadap masalah pendidikan
berakibat pada capaian indeks pembangunan manusia (IPM). Sebagai
contoh IPM di Tanah Papua, baik Papua maupun Papua Barat hanya
sekitar 61-63 (metrotvnews.com/read/2018/05/03). Bahkan IPM Papua
pada tahun 2017 hanya mencapai 59,09. Kondisi ini sangat rendah bila
dibandingkan dengan rata-rata IPM Nasional 69,55.
Jumlah sekolah yang didirikan pemerintah tentu sangat sedikit
dibanding dengan sekolah yang didirikan oleh masyarakat. Namun
dalam kondisi geografis yang sulit dijangkau, keberadaan sekolah yang
didirikan masyarakat pun masih sangat jarang, bahkan di beberapa
distrik masih belum memiliki jenjang pendidikan tertentu. Contoh di
Kabupaten Jayawijaya, dari semua distrik di Kabupaten Jayawijaya,
satu distrik yang tercatat belum memiliki SMP, yaitu Distrik Musatfak.
Ada lima distrik yang tercatat belum memiliki SMA, yaitu Distrik
Walelagama, Pelebaga, Musatfak, Wollo, dan Yalengga (Rudihartono
Ismail, 2012: 44-45).

70
B. Sejarah Yapis
Sejarah YAPIS diperoleh penulis melalui hasil observasi dan
wawancara langsung dengan para tokoh sejarah yang masih hidup, para
pendiri, dan stakeholder. Berbagai dokumen dikumpulkan sebagai
bahan penguat kisah dari para pelaku sejarah baik melalui pengumpulan
dokumen yang tersimpan dalam file komputer maupun fotocopy kisah
sejarah dan angket yang disebarkan kepada para responden.
Berdasarkan data-data yang diperoleh, sejarah YAPIS dalam
memajukan pendidikan di Tanah Papua yang diungkapkan dalam buku
ini diharapkan menjadi suatu kisah nyata yang kebenarannya tidak
diragukan lagi.

1. Latar Belakang Terbentuknya YAPIS


Berdirinya YAPIS tidak lepas dari semangat memperjuangkan
pendidikan bagi generasi penerus dan kisah sejarah bahwa Islam berada
di Irian Jaya jauh lebih dulu dari agama lain. Penyebaran Islam
diketahui banyak dilakukan melalui perjalanan laut saat berdagang dan
kemudian ada yang menetap. Seperti itu juga sejarah penyebaran Islam
di Tanah Papua (Sumber: YAPIS Pusat, Data Sejarah: Lahir, Tumbuh
dan Berkembangnya Yayasan Pendidikan Islam di Irian Jaya).
Berdasarkan sejarah, sejalan dengan adanya kekuasaan Sultan
Ternate/Tidore di Maluku Utara, yang paling jelas nampak di Pantai
Selatan, di Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Sorong dan Merauke.
Islitah Raja Ampat di Sorong tiada lain ikatan erat dengan kesultanan
Islam yang disebutkan di atas. Sementara itu juga di Fak-Fak dikenal
dengan Raja-Raja Fatagar, Patipi, Rumbati, Ati-ati, Namatote di
Kaimana, Sekar di Kokas dan banyak lagi.
Raja-raja tadi adalah wakil kekuasaan Sultan dan mengatur
rakyatnya secara adat pula, sementara itu di Pantai Utara, di sekitar
Jayapura, terutama di Abepura umat Islam berasal dari Sulawasi Utara
(Buton), demikian juga di Bonggo, Sarmi, dapat terlihat sampai
sekarang keturunan mereka yang beberapa abad lalu masuk di Irian
Jaya.
Di Bonggo dikenal ada bekas kampung Islam yang kini telah
menjadi semak belukar. Keadaan mereka ini pada masa kekuasaan
penjajah Belanda jelas sangat tertekan, baik sosial ekonomi maupun
dalam kehidupan agamanya, apalagi di bidang pendidikan. Di daerah

71
Fak-Fak banyak terjadi sebuah kampung semuanya Agama Islam,
tetapi madrasah atau sekolah tidak ada, yang ada sekolah di bawah umat
beragama lain, apakah itu Katholik atau Protestan. Adanya kenyataan
tersebut tentu saja tidak terlepas dari dampak kekuasaan penjajah pada
saat itu.
Dalam situasi demikian bukan berarti umat Islam sejak dulu
tidak berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan. Bahwa Irian dengan
Digul/Tanah Merah adalah jelas merupakan tempat pengasingan
pejuang dan perintis kemerdekaan bangsa yang sebagian besar adalah
ulama-ulama dan pemuka-pemuka Islam. Di Kaimana juga dikenal
organisasi lokal Umat Islam yang bernama Persatuan Oemoem Islam
Kaimana, demikian juga di Sorong. Pada pokoknya pemuka-pemuka
Islam waktu itu selain berjuang untuk kebebasan melaksanakan ajaran
agama dengan disertai pengajian-pengajian, juga berjuang untuk
penyatuan Irian ini ke dalam wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya perkembangan Islam di Tanah Papua, khususnya di
Wamena, sebagaimana yang disampaikan Darisman (salah seorang dari
38 Kepala Keluarga Pelopor Pembangunan Irian Barat (PPIB)
menyatakan bahwa tahun 1960, sebanyak 6 orang kepala suku besar
dari Lembah Baliem Wamena menghadap Presiden Soekarno di Jakarta
untuk memohon agar mengirimkan tenaga-tenaga terampil dari pulau
Jawa untuk mendidik masyarakat di Lembah Baliem bercocok tanam
dengan baik, dan melatih di bidang pertukangan untuk membangun
rumah sehat. Setelah melalui tes, diberangkatkan 38 orang yang
semuanya beragama Islam. Di Wamena sudah disiapkan Masjid
“Panggilan Bhakti” bagi para pelopor tersebut. Dari masjid itulah
kemudian berawal proses Pendidikan Islam di Wamena yang
merupakan cikal bakal berdirinya YAPIS (Sumber: Darisman, salah
satu Pelopor 38 KK dalam Resume Hasil Seminar Tentang Islam Masuk
Wamnea, 2006).
Penyebaran Islam bukan hanya di daerah pegunungan namun
juga sangat prospektif di daerah pantai. Dan berawal dari adanya
masyarakat muslim di Tanah Papua tersebut, maka harus ada lembaga
yang memayungi umat. Kemudian dibuatlah masjid dan mulai didirikan
TK, SD, dan SMP di Merauke. Pada saat itu di wilayah pantai sangat
prospektif untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Islam.
Informan, Ketua Umum dan Sekretaris 1 YAPIS Pusat Kota
Jayapura (periode 2012-2017) mengisahkan, sudah diketahui secara

72
umum bahwa YAPIS didirikan berdasarkan keadaan mendesak dari
umat Islam yang ada di Papua saat itu. Para pegawai yang dikirim ke
Papua (saat itu Irian Jaya) baik yang berstatus pegawai negeri maupun
swasta yang beragama Islam bingung ketika akan menyekolahkan
anak-anaknya. Digambarkan dalam sejarah di atas bahwa pada saat
penjajahan Belanda, lembaga pendidikan yang berkembang pada saat
itu adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Yayasan Kristen.
Setelah Irian dibebaskan, umat Islam pertama yang berusaha
mewujudkan pendidikan Islam adalah di Kaimana dengan berusaha
membangun gedung dan untuk pertama kalinya pula pemerintah
Republik Indonesia memberikan bantuan kepada umat Islam di Irian
Jaya. Itu terjadi pada awal tahun 1963, kini bangunan Madrasah itu pula
menjadi SD Yapis di Kaimana dan menjadi milik YAPIS pertama selain
di Merauke. Sementara itu perkembangan terus berjalan, organisasi
yang bernama Muhammadiyah berkembang, diikuti juga dengan
masuknya berbagai aliran politik ke Irian Jaya. Menjadi kenyataan yang
telah diketahui bahwa hampir seluruh pelosok sekolah dimiliki oleh
umat lain baik itu oleh Khatolik (YPPK), Protestan (YPK) atau YPPGI
di pedalaman, sedangkan milik pemerintah hingga saat lahirnya
Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) belum mencapai jumlah seratus
buah.
Berkat sponsor dari Anwar Ilmar, sehingga pada tahun 1967
umat Islam di Merauke lebih maju bertindak, terutama mendirikan
Yayasan Pendidikan Islam disingkat YPI. Sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama Islam didirikan, sedangkan Muhammadiyah
Merauke mendirikan PGA. YPI berusaha, tetapi dalam usaha
memperjuangkan subsidi terbentur oleh kenyataan, bahwa YPI bersifat
lokal, sehingga subsidi Pemerintah tidak bisa didapat.
Dari penjelasan Dinas P & K Propinsi Irian Jaya kepada Anwar
Ilmar dan kemudian menganjurkan agar umat Islam di Irian Jaya
membentuk saja Yayasan yang `meliputi se-Irian Jaya. Anjuran Bapak
Solihin Sumowardoyo yang menjabat Kepala Dinas P & K waktu itu
diapelkan oleh Amwar Ilmar kepada pemuka umat Islam di Jayapura.
Secara kebetulan Anwar Ilmar dipindah tugaskan pemerintah dari
Merauke ke Jayapura, maka dengan bantuan Akmal Yunus, Iskindar,
M. Thaib, M. Soddik, S. Thamrin, Alm. H.D. Rahmat, H. Maftukh
Ikhsan, Ibrahim Bauw, Alm. Saleh Sirun, dan pemuka-pemuka Islam

73
lain, berusaha mewujudkan terbentuknya Yayasan yang bergerak di
bidang Pendidikan formal bagi kepentingan umat Islam di Irian Jaya.
Demikianlah berkat dukungan segenap pihak tidak mengingat
golongan, asal daerah dan tempat tugasnya, baik swasta, sipil maupun
ABRI, maka lahirlah pada tanggal 24 Ramadhan 1388 H bertepatan
tanggal 15 Desember 1968 Yayasan Pendidikan Islam yang disingkat
YAPIS Irian Jaya dengan bertempat kedudukan pusat di ibukota
Propinsi Irian Jaya, Jayapura. Lahir dalam musyawarah umat Islam
pada bulan suci Ramadhan, bulan dimana seluruh hati dan perasaan
Islam hanya mengenal satu pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa.
a. Nama
Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua didirikan pada
Hari Ahad, tanggal 24 bulan Ramadhan tahun 1380 Hijriah atau
bertepatan dengan tanggal 15 Desember 1968 Masehi untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan.
b. Tempat dan Kedudukan
Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua berkedudukan
di pusat, wilayah, cabang, dan ranting.
1) YAPIS Pusat berkedudukan di Kota Jayapura sebagai Ibu Kota
Provinsi Papua;
2) YAPIS Wilayah berkedudukan di Ibu Kota Provinsi-Provinsi di
Tanah Papua;
3) YAPIS Cabang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota;
4) YAPIS Ranting berkedudukan di Ibu Kota Distrik dan/atau
yang dianggap setingkat dengan itu.
c. Visi Misi
Visi
Terwujudnya Manusia di Tanah Papua yang Cerdas, Terampil,
Sehat dan Sejahtera serta Beriman
Misi
1) Mencerdaskan kehidupan bangsa bernuansa Islam dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi berlandaskan
iman dan takwa kepada Allah SWT.

74
2) Menyiapkan sumber daya insani yang cerdas dan terampil serta
mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya secara Islami demi kesejahteraan umat manusia.
3) Mengembangkan potensi sumber daya insani yang mandiri,
berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan mampu mengatasi
permasalahan dalam masyarakat dan lingkungannya.
4) Mewujudkan sikap keseimbangan kehidupan jasmani dan
rohani dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
d. Moto
Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah

2. Perkembangan Susunan Pengurus dan Organisasi


Seperti yang telah disampaikan bahwa pendiri dan pengurus
YAPIS berawal dari para pegawai pemerintah dan swasta yang
ditugaskan di Irian Jaya yang memerlukan lembaga pendidikan Islam
untuk pendidikan anak-anaknya. Adanya kenyataan bahwa Pengurus
Yayasan yang sifatnya rutin seperti di bidang pendidikan haruslah
betul-betul ditangani dan karena keadaan dan kenyataan para
pengurusnya adalah sembilan (part time), maka Pengurus Yayasan
Pendidikan Islam (YAPIS) Pusat pertama dilakukan dalam bentuk
presidium (bergiliran jadi pimpinan harian).
Dan sebagaimana diketahui bersama, bahwa mereka yang
bekerja di pemerintahan ataupun swasta banyak yang tidak berada tetap
di tempat. Pada tahun 1970 sekretaris jendral (sekjen) meninggalkan
Irian Jaya sebab pindah tugas, sedangkan wakil sekjen mengundurkan
diri karena kesibukan tugasnya. Keadaan pengurus yang ada bertahan
sampai tahun 1972, setelah diadakan musyawarah darurat pemuka-
pemuka Islam di Jayapura pada tanggal 11 Januari 1972, lahirlah
susunan pengurus dan formatur baru.
Awal tahun 1974 Ketua Umum yang menjabat pun
meninggalkan tugas di Irian Jaya. Dan pada bulan Agustus tahun 1974,
untuk pertama kali Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Irian Jaya
mengadakan Musyawarah Kerja sebagai pengganti istilah Mu’tamar
dan dihadiri oleh Utusan dari Cabang Perwakilan Yapis dan Peninjau
dari Nabire Kabupaten Paniai. Dalam musyawarah kerja tersebut
susunan pengurus diadakan perubahan pula dengan hasil keputusan

75
perubahan peraturan dasar yang lebih menegaskan YAPIS adalah
Organisasi Sosial, Pendidikan Non Politik. Keputusan musyawarah
kerja pertama tersebut membentuk susunan pengurus periode 1974 –
1978.
Dalam kegiatan rutin sehari-hari penyelenggaraan urusan
Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) dilakukan pegawai Yayasan
Kantor sekretariat yayasan yang berkedudukan di Kompleks SD
Hikmah Yapis Dok V Jayapura. Pada tahun-tahun pertama Kantor
Sekretariat mempergunakan Ruang Kantor SD Hikmah, baru pada
tahun 1974 awal memiliki Kantor Khusus. Fungsi Sekretariat adalah
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh pengurus yayasan,
tidak diperkenankan menandatangani surat-surat, baik keluar Yayasan
maupun dalam Yayasan kecuali surat pengantar kiriman barang cetak
mencetak yang telah ditetapkan oleh pengurus yayasan. Apa yang
dikemukakan di atas adalah perkembangan pengurus organisasi
ditingkat pusat, maka dalam kepengurusan yayasan di tiap kabupaten
diurus oleh cabang atau perwakilan.
Adanya Keputusan Pemerintah untuk tidak mengijinkan
pegawai diperbantukan kepada yayasan berpengaruh terhadap personil
sekretariat yayasan. Kondisi ini menyebabkan berbagai kesulitan dalam
kepengurusan yayasan terutama sekali menyangkut keuangan dan gaji.
Mengenal perkembangan pembentukan pada tahun-tahun
pertama selain di Merauke, Jayapura, adalah di Fak-Fak, Sorong,
Manokwari, Biak, kemudian menyusul Yapen Waropen, Jayawijaya
dan terakhir Paniai. Sesuai dengan keadaan di masing-masing Cabang,
maka kegiatan dan usaha berkembang berdasarkan tuntutan umat
setempat. Hingga saat ini YAPIS telah memberikan perkembangan
yang menggembirakan, sekalipun dalam beberapa hal masih sangat
diperlukan penyempurnaan, baik dalam masalah personalia pengurus,
sekretariat maupun dalam penyelenggaraan administrasi kepegawaian
dan keuangan beserta inventaris milik YAPIS.

76
Gambar 4.3. Pengurus Pusat YAPIS Periode 2012-2017
(Sumber: Pengurus YAPIS Pusat)

C. Peta Penyebaran Yayasan Pendidikan Islam


(YAPIS) di Tanah Papua
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sekretaris I YAPIS
Pusat Periode 2012-2017, menyusun sejarah atau pertumbuhan dan
perkembangan Yayasan Pendidikan Islam merupakan pekerjaan yang
cukup sulit. Pertama karena tidak mengikuti proses kelahirannya,
kecuali bahan dan keterangan yang didapat tertulis atau dari para pelaku
pada proses kelahiran Yayasan Pendidikan Islam.
Dalam pada itu data statistik pertumbuhan sekolah agak sulit
juga secara lengkap disusun tahun pertahunnya, karena ternyata
terdapat Cabang atau Sekolah yang belum mengirim laporan, malah ada
yang dalam setahun belum sama sekali mengirim laporan. Namun
demikian penyusunan pertumbuhan dan perkembangan Yayasan
Pendidikan Islam sejak berdirinya hingga saat ini diusahakan
mendekati data yang sebenarnya. Tentu saja kekurangan tersebut adalah

77
wajar pula karenanya Insya Allah dalam penyusunan Sapta Warsa
YAPIS yang kini sedang disusun dan dipersiapkan dapat
disempurnakan.

Gambar 4.4. Peta Penyebaran Lembaga Pendidikan Islam di Tanah


Papua di Bawah YAPIS
(Sumber: Pengurus YAPIS Pusat)

Dalam acara “Momentum Pertemuan YAPIS Kab/Kota se


Tanah Papua” dituliskan ada 22 YAPIS cabang dan 224 Unit Pelaksana
Teknis (UPT) se-Tanah Papua. Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) di
Tanah Papua sejak lahirnya Tahun 1968 merupakan wahana
penyelenggara pendidikan di seluruh pelosok wilayah Irian Jaya (saat
ini disebut Tanah Papua) yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat dengan motto “Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah”. YAPIS
saat ini telah mengelola 224 sekolah yang tersebar di seluruh pelosok
Kabupaten/Kota Provinsi Papua dan Papua Barat dari Sekolah TK
hingga Perguruan Tinggi. Sebagai sebuah yayasan tertua di Tanah
Papua, dituntut mempunyai peran dan kiprah serta konsistensinya

78
dalam mengembangkan pendidikan di Tanah Papua khususnya dalam
wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Yayasan Pusat membuat “Regulasi” yang kemudian
dilaksanakan di cabang-cabang YAPIS di Tanah Papua. Berdasarkan
data dari seluruh cabang YAPIS tercatat hingga 224 UPT di Tanah
Papua. Namun, dalam perkembangannya terjadi perubahan jumlah
UPT dari berbagai cabang sebab beberapa UPT memisahkan diri.
sehingga sampai saat ini (data tahun 2017) dicatat ada 198 UPT yang
berada di bawah Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua.
Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya belum
optimalnya koordinasi dan komunikasi antara YAPIS Pusat dan UPT-
UPT yang ada di seluruh Kota/Kabupaten di Tanah Papua.
Pendidikan merupakan suatu aspek penting bagi pembangunan
bangsa. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan
pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan
nasional. Sumber daya manusia (SDM) yang bermutu yang merupakan
produk pendidikan adalah kunci keberhasilan pembangunan suatu
negara.
Banyaknya kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pendidikan bermutu, khususnya terkait dengan akses pendidikan yang
masih relatif rendah serta mutu pendidikan dalam hal ini mencakup
tenaga kependidikan, fasilitas, pembiayaan, manajemen, proses dan
prestasi siswa yang juga masih rendah. Sebagai salah satu strategi untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia serta penuntasan wajib
belajar adalah tidak hanya cukup dengan mengupayakan agar anak
masuk ke sekolah saja, akan tetapi sekolah dengan sistem pembelajaran
juga hendaknya berkualitas. Selain itu, rendahnya partisipasi sebagian
kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar sebagai akibat
adanya hambatan geografis, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat
setempat, mengakibatkan program ini terhambat.
Terkait dengan itu semua, sebagai bagian dari Pemerintah
Daerah dan masyarakat yang baik, YAPIS Pusat di Tanah Papua ikut
berpartisipasi atau ikut serta dalam mendukung Wajib Belajar dan
peningkatan Mutu Pendidikan serta Tata Kelola Kelembagaan yang
maju, mandiri dan profesional. Peningkatan kualitas pendidikan di
lingkungan YAPIS di Tanah Papua perlu diimbangi dengan
peningkatan kualitas Tenaga Pendidik (Guru/Dosen) sebagai pelaku
utama dalam menciptakan kualitas SDM secara keseluruhan. Hal

79
tersebut perlu dilakukan berbagai kegiatan yang mengarah pada
peningkatan kualitas guru/dosen.
Sebagai suatu sistem pendidikan, setiap sekolah dalam naungan
YAPIS di Tanah Papua harus memenuhi berbagai komponen yang
sekaligus menjadi sasaran untuk pencapaian tujuan pendidikan itu
sendiri, yaitu terdiri: komponen akreditasi yang meliputi standar
komponen kurikulum, komponen proses pembelajaran, komponen
lulusan, komponen penilaian, komponen tenaga pendidikan dan
kependidikan, komponen sarana dan prasarana, dan komponen
pengelolaan, serta komponen pembiayaan pendidikan. Dalam praktik
penyelenggaraannya, semua komponen tersebut merupakan obyek
penjamin mutu pendidikan. Maksudnya adalah bahwa mutu pendidikan
yang akan dicapai oleh sekolah obyeknya adalah komponen-komponen
pendidikan tersebut (Sumber: Buku Panduan Rapat Kerja Yayasan
Pendidikan Islam Pusat di Tanah Papua Tahun 2017).
Program Komisi Pendidikan YAPIS di Tanah Papua adalah
berupaya dalam peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan
kapasitas dan kompetensi SDM Tenaga Pendidik dan Kependidikan,
penguatan literasi sekolah, peningkatan layanan kesehatan dan
kebersihan sekolah, penguatan keterampilan anak didik, dan pengadaan
unit usaha. Untuk merealisasikannya, YAPIS memiliki Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang menyebar di Tanah Papua. Sebagai contoh,
berdasarkan informasi dari Ketua YAPIS Cabang Kabupaten Di
Kabupaten Jayawijaya disampaikan bahwa di Kabupaten Jayawijaya
sendiri ada 6 UPT, yakini:
1) Pondok Pesantren Al-Istiwomah Walesi
2) MI Merasugun Asso YAPIS Walesi
3) SD Athahiriyah YAPIS Wamena
4) SMP Nurul Haq YAPIS Wamena
5) SMK Sidratul Muntaha YAPIS Wamena
6) STISIP Amal Ilmiah YAPIS Wamena
UPT-UPT tersebut baru yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Di
cabang lain jumlah UPT di bawah YAPIS berdasarkan data terakhir
tahun 2017, ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

80
Tabel 4.1. Jumlah UPT di Bawah YAPIS
(Sumber: Pengurus YAPIS Pusat di Tanah Papua)
PERKEMBANGAN SEKOLAH DI LINGKUNGAN
YAPIS DI TANAH PAPUA

JENJANG PENDIDIKAN
KABUPATEN JUM
NO
/KOTA LAH
TK SD MI SMP MTs SMA MA SMK PT

1 Kota Jayapura 5 6 2 3 1 2 - 1 1 21

2 Kab. Jayapura 14 1 6 - 1 1 - - - 23

3 Biak Numfor 1 2 - 1 - 1 - 1 1 7

4 Fak-Fak 5 3 1 1 - - - 1 - 11

5 Manokwari 7 3 1 1 1 1 - - 1 15

6 Jayawijaya - 1 1 1 - - - 1 1 5

7 Merauke 17 2 2 1 1 - - - 1 24
Yapen
8 2 1 - 1 - - - - - 4
Waropen
9 Nabire 7 1 3 1 1 1 - - - 14

10 Kota Sorong 21 6 3 2 - 1 - - - 33

11 Mimika 1 1 - - 1 - - 1 - 4

12 Asmat 2 1 - 1 - - - - - 4

13 Boven Digul 2 1 - - - - - - - 3

14 Sarmi 1 1 - - - - - - - 2

15 Mappi 2 1 - - - - - - - 3

16 Keerom 5 2 1 - 2 1 - - - 11

17 Kaimana 1 1 1 - - - - - - s

18 Bintuni 1 1 - - - - - - - 2

19 Enarotali 1 1 - - - - - - - 2

20 Raja Ampat 2 - 1 - - - - - - 3

21 Deiyai 1 1 - 1 - - - - - 3

22 Dogiyai 1 1 - - - - - - - 2

JUMLAH 99 37 22 14 8 8 0 5 5 198

81
BAB V
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
BERKUALITAS DI TANAH PAPUA

Selain kuantitas, para pengelola dan penanggung jawab


pendidikan harus memperhatikan kualitas pendidikan agar
menghasilkan lulusan yang berkualitas atau bermutu. Kota besar
maupun daerah terpencil memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu. Baik jenjang dan maupun jenis pendidikan
harus diupayakan dalam menghasilkan lulusan yang bermutu.

A. Pendidikan Berkualitas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan
kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional ditegaskan bahwa gerakan reformasi di Indonesia secara
umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi,
keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada
kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan.
Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat
dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan,
termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut
pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum,
yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi
daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan

82
secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang
berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi
setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan
tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar
pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-
prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan
berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan
pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan
sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola
masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan
pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk
memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional
mempunyai misi sebagai berikut:
1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa
secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka
mewujudkan masyarakat belajar;
3) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan
untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga
pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar
nasional dan global; dan
5) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut,
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

83
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu.
Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini
meliputi:
1) Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2) Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3) Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4) Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang
memberdayakan;
5) Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6) Penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7) Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan
berkeadilan;
8) Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9) Pelaksanaan wajib belajar;
10) Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11) Pemberdayaan peran masyarakat;
12) Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13) Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan
pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan
berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Memberdayakan semua komponen masyarakat
berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat
dalam suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan
memperkuat.

84
Untuk mewujudkan dan menjamin terselenggaranya pendidikan
yang berkualitas perlu dibuat Standar Nasional Pendidikan. UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 35 menegaskan bahwa standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,
dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala. Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan Standar Nasional
Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara
nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.
Papua sebagai daerah yang terpencil, tertinggal, dan terluar
perlu didukung dalam meningkatkan pendidikan yang bermutu.
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua, telah menunjukkan
tanggung jawab pemerintah daerah dalam pembangunan pendidikan di
Tanah Papua. Pembangunan pendidikan adalah pembangunan yang
meliputi penyiapan sumber daya manusia dan infrastruktur pendidikan
yang berkualitas di Tanah Papua. Dan Dewan Pendidikan Anak Papua
untuk akselerasi yang selanjutnya disingkat D-PAPUA adalah suatu
badan yang terdiri atas para ahli pendidikan yang berfungsi
memikirkan, menilai dan menentukan arah kebijakan, serta
mengupayakan sumber daya pendukung bagi pembangunan pendidikan
di Tanah Papua.
Perda Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 12 menguraikan tentang Hak
dan Kewajiban Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga
Keagamaan, dan Dunia Usaha. Masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga keagamaan dan dunia usaha di Provinsi Papua
berhak berperanserta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan evaluasi program pendidikan. Lembaga penyelenggaraan
pendidikan yang dikelola masyarakat, diakui, serta memenuhi syarat
untuk menyelenggarakan pendidikan di Provinsi Papua berhak
mendapat bantuan teknis, subsidi dana, serta sumber daya lainnya
secara adil dan proporsional dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Lembaga penyelenggara pendidikan yang dikelola masyarakat berhak
untuk bekerjasama dan mendapatkan bantuan dari sumber-sumber lain
yang bersifat tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

85
Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga
keagamaan dan dunia usaha yang menyelenggarakan pendidikan di
Provinsi Papua berkewajiban:
a. Menyediakan dan memberikan dukungan sumber daya;
b. Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu;
c. Berorientasi pada pelayanan masyarakat;
d. Tunduk dan melaksanakan peraturan perundang-undangan dalam
bidang pendidikan;
e. Mempertanggungjawabkan penggunaan bantuan teknis, subsidi,
dana serta sumber daya lainnya kepada Pemerintah, Pemerintah
Daerah;
f. Memberikan informasi penyelenggaraan pendidikan secara benar,
transparan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Di Tanah Papua, penyelenggaraan pendidikan selain menerap-
kan pola pendidikan nasional, juga menerapkan pola pendidikan
khusus. Pola pendidikan nasional meliputi pendidikan formal,
nonformal dan informal. Sementara Pola pendidikan khusus adalah
bentuk pendidikan yang dikelola dan dibina sesuai dengan visi, misi
dan tujuan satuan pendidikan. Selain jalur, jenis dan jenjang yang
berlaku secara nasional diterapkan pola pendidikan khusus yang
meliputi sekolah unggulan, sekolah khusus, kelas ganjil/genap, plasma
induk, kelas khusus, kelas percepatan, pendidikan dan latihan untuk
pengembangan dan pembinaan prestasi olah raga dan kesenian. Setiap
penduduk Provinsi yang memiliki kelainan fisik, kejiwaan, dan/atau
hambatan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus yang
diselenggarakan Pemerintah Daerah.

B. Jenjang dan Jenis Pendidikan


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
akhlak mulia, kepribadian luhur, kecerdasan, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara;
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan. Jenjang pendidikan adalah tahapan
86
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan
tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 13 menetapkan bahwa
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya serta
diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau
melalui jarak jauh. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Jalur pendidikan formal terdiri dari
tiga jenjang pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah
dan jenjang pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar terdiri dari
SD/MI atau bentuk lain yang sederajat serta SMP/MTs atau bentuk lain
yang sederajat. Jenjang pendidikan menengah terdiri dari pendidikan
menengah umum (SMA/MA) dan pendidikan menengah kejuruan
(SMK/MAK). Sedangkan pendidikan tinggi terdiri dari jenjang/
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.
Sedangkan bentuk perguruan tinggi terdiri dari akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, dan universitas.
UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 6 menyatakan bahwa setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar. Dan setiap warga negara bertanggung
jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua Pasal 7 menyatakan setiap
penduduk, khususnya orang asli Papua yang berusia tujuh sampai
dengan delapan belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Selanjutnya, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Dalam
pelaksanaannya, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan
dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Dengan demikian,
kepemilikan lembaga pendidikan dapat dibagi menjadi dua bentuk
pengakuan, yaitu milik pemerintah (negeri) dan milik masyarakat
(swasta/yayasan) (lihat juga Helmawati, 2014: 173).
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua menegaskan tentang

87
Pendidikan formal yang diselenggarakan di Papua meliputi jalur, jenis
dan jenjang yang berlaku secara nasional. Selain jalur, jenis dan jenjang
yang berlaku secara nasional diterapkan pola pendidikan khusus yang
meliputi sekolah unggulan, sekolah khusus, kelas ganjil/genap, plasma
induk, kelas khusus, kelas percepatan dan pendidikan dan latihan untuk
pengembangan dan pembinaan prestasi olah raga dan kesenian.
Sementara itu, pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di
luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Pasal 26 diuraikan bahwa
pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis ta’lim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan
sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Dan hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006
Tentang Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua membahas pula
tentang pendidikan nonformal. Pasal 21 menyatakan bahwa pendidikan
nonformal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
pendidikan di Provinsi Papua. Pendidikan nonformal memperoleh
pembiayaan dan dukungan sumber daya secara proporsional, yang

88
dianggarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi penduduk Papua yang memerlukan
layanan pendidikan pengganti, penambah, dan atau pelengkap
pendidikan formal untuk peningkatan taraf hidup, diutamakan pada
daerah-daerah yang terisolasi, terpencil dan terabaikan. Pendidikan
penambah dan/atau pendidikan pelengkap diselenggarakan dalam
bentuk Community College. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui kerjasama dengan instansi
terkait dan perguruan tinggi.
Selanjutnya pada Pasal 22 dinyatakan, pendidikan keaksaraan
dan pelatihan keterampilan memperoleh perhatian utama dalam
penyelenggaraan pendidikan nonformal. Penyelenggaraan pendidikan
keaksaraan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan sebanyak-
banyaknya melibatkan masyarakat. Pasal 23 memuat, pendidikan anak
usia dini dilaksanakan oleh masyarakat dalam bentuk kelompok
bermain, taman penitipan anak dan pendidikan usia dini sejenis.
Pendidikan prasekolah yang dimaksud dapat diselenggarakan melalui
model sekolah minggu.
Dan dijelaskan dalam UU No 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Sementara
itu, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua menegaskan bahwa setiap
keluarga melaksanakan pendidikan informal yang meliputi nilai-nilai
agama, nilai-nilai adat, budi pekerti, perilaku kerja keras, kerajinan,
keteladanan, disiplin dan norma sosial. Setiap keluarga melaksanakan
pendidikan kearifan lokal sebagai kemampuan dasar untuk
kelangsungan hidup. Pemerintahan kampung dan lembaga adat
berperan serta dalam membina dan mengembangkan pendidikan
kearifan lokal. Kepala kampung dalam melaksanakan pendidikan
kearifan lokal berperan melakukan pembinaan dan peningkatan peran
laki-laki dalam mengelola keluarga. Sementara pemerintah
Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pendidikan informal, melakukan
layanan pendidikan keluarga sebagai penguatan kepada pasangan

89
keluarga baru. Layanan pendidikan meliputi pengetahuan dan
keterampilan pengembangan otak anak sejak dini, pola pengasuhan
anak dan pembagian peran atau tugas dalam keluarga.
Helmawati (2014: 50) menyatakan bahwa pendidikan dalam
keluarga juga disebut sebagai lembaga pendidikan informal. Dijelaskan
dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 27 bahwa kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pendidik dalam pendidikan
informal ada di bawah tanggung jawab orangtua. Orangtua merupakan
pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka, karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian
bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak. Di dalam
lingkungan keluarga anak pertama-pertama mendapatkan berbagai
pengaruh (nilai). Karena itu, keluarga merupakan lembaga pendidikan
tertua yang bersifat informal dan kodrati. Ayah dan Ibu di dalam
keluarga sebagai pendidiknya, dan anak sebagai si terdidiknya. Jika
karena suatu hal anak terpaksa tidak tinggal di lingkungan keluarga yang
hidup bahagia, anak tersebut masa depannya akan mengalami kesulitan-
kesulitan baik di sekolah, masyarakat, maupun kelak sebagai suami istri di
dalam lingkungan kehidupan berkeluarga.
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat
berpengaruh dalam membentuk pola kepribadian anak. Di dalam
keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.
Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar,
agama dan kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan pandangan
hidup yang diperlukan anak.
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan
diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau
melalui jarak jauh. Pendidikan Jarak Jauh adalah pendidikan yang
peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya
menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi,
informasi, dan media lainnya.
Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan
tertulis (korespondensi), radio, audio/video, TV, dan/atau berbasis
jaringan komputer. Modus penyelenggaraan pendidikan jarak jauh

90
mencakup pengorganisasian tunggal(single mode), atau bersama tatap
muka (dual mode). Cakupan pendidikan jarak jauh dapat berupa
program pendidikan berbasis matapelajaran/mata kuliah dan/atau
program pendidikan berbasis bidang studi.
Di era digital, pendidikan jarak jauh dengan menggunakan
media teknologi menjadi solusi terutama bagi daerah-daerah yang
terpencil, tertinggal dan terluar. Teknologi membantu mempermudah
proses pembelajaran. Media teknologi membuat proses pendidikan
menjadi lebih efektif, bermakna, menyenangkan. Penggunaan media
sebagai bagian dari metode pembelajaran membantu manusia
mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Penguasaan media
teknologi bagi para pendidik menjadi tantangan dan peluang tersendiri
di era revolusi industri 4.0 ini. Dan ini menjadi tantangan untuk dapat
membantu mewujudkan manusia yang terdidik, terampil dan berdaya
bersaing.

C. Perkembangan Jenis dan Jenjang Pendidikan


di Tanah Papua
Perkembangan jenis dan jenjang pendidikan di Tanah Papua
tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah faktor sosial-ekonomi, keamanan, kondisi
masyarakat, sarana-prasarana penunjang pendidikan, dan kebijakan
pemerintah. Kebijakan dan daya dukung yang kurang dari pemerintah
dapat berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas pendidikan di
suatu daerah.
Begitu pula dengan kondisi sosial-ekonomi dan masyarakatnya.
Masyarakat yang kurang peduli dengan pendidikan dapat menurunkan
tingkat pendidikan di daerah tersebut. Masyarakat dengan ekonomi
yang miskin tidak akan terlalu peduli dengan pendidikan. Kondisi
keamanan di suatu daerah pun berdampak pada maju mundurnya
pendidikan di daerah tersebut.
Agus Irianto (2011: 11) mengutip Nandika (2005), Sekretaris
Jenderal Depdiknas, mengemukakan bahwa banyak masalah dan
tantangan yang dihadapi bidang pendidikan di Indonesia. Permasalahan
dan tantangan pendidikan di Indonesia antara lain: 1) tingkat
pendidikan masyarakat relatif rendah, 2) dinamika perubahan struktur

91
penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan
pendidikan, 3) kesenjangan tingkat pendidikan, 4) good governance
belum berjalan secara optimal, 5) fasilitas pelayanan pendidikan yang
belum memadai dan merata, 6) kualitas pendidikan relatif rendah dan
belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik, 7) pendidikan
tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan
menciptakan IPTEK, 8) manajemen pendidikan belum berjalan secara
efektif dan efisien, 9) anggaran pembangunan pendidikan belum
tersedia secara memadai.
Kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan dan kurang
mendukung seperti yang diuraikan di atas berpengaruh terhadap angka
lulusan, termasuk angka putus sekolah (dropout) dan mengulang.
Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2016/2017 Kementerian Pendidikan
Dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Pusat Data Dan Statistik
Pendidikan Dan Kebudayaan Jakarta, 2017, mengungkapkan data siswa
sekolah di Tanah Papua, yaitu provinsi Papua dan Papua Barat.10
Diinformasikan pada Tahun 2016/2017 di Provinsi Papua
terdapat lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 591
lembaga, dengan jumlah siswa sebanyak 42.519 orang. Dan Provinsi
Papua Barat terdapat lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK)
sebanyak 352 lembaga dengan siswa sebanyak 14.230 orang.
Selanjutnya data pokok pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada
Tahun 2016/2017, untuk provinsi Papua sekolah dasar sebanyak 2.236
lembaga, siswa baru sebanyak 69.571 orang, siswa aktif sebanyak
408.762, dan lulusan sebanyak 48.828 orang. Sementara Papua Barat
Sekolah Dasar sebanyak 966 lembaga, siswa baru sebanyak 21.104
orang, siswa aktif sebanyak 133.002 orang, dan lulusan sebanyak
18.179 orang. Di Papua jumlah siswa yang mengulang sebanyak 12.170
orang atau 3,03% dan jumlah siswa putus sekolah sebanyak 2.356 orang
atau 0,59%. Papua Barat jumlah siswa yang mengulang sebanyak 4.409
orang atau 3,37% dan jumlah siswa putus sekolah sebanyak 494 orang
atau 0,38%. Dibandingkan dengan data daerah lain, siswa SD di Tanah
Papua, angka mengulang peserta didik paling tinggi setelah Kalimantan
Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan angka putus sekolah jenjang SD
paling tinggi se Indonesia.

10
http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_FC1DCA36-A9D8-4688-
8E5F-0FB5ED1DE869_.pdf

92
Kemudian, data pokok pendidikan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) pada Tahun 2016/2017, untuk provinsi Papua SMP sebanyak
596 lembaga, jumlah siswa baru sebanyak 40.690 orang, jumlah siswa
aktif sebanyak 120.260 orang, dan jumlah lulusan sebanyak 33.792
orang. Di Papua Barat jumlah SMP sebanyak 280 lembaga, jumlah
siswa baru sebanyak 16.307 orang, jumlah siswa aktif sebanyak 46.581
orang, dan jumlah lulusan sebanyak 13.464 orang. Dari data tersebut,
di Papua jumlah siswa mengulang sebanyak 917 orang atau 0,80% dan
jumlah siswa putus sekolah sebanyak 809 orang atau 0,71%. Sementara
di Papua Barat jumlah siswa yang mengulang sebanyak 433 orang atau
1,00% dan jumlah siswa putus sekolah sebanyak 214 orang atau 0,49%.
Dibandingkan dengan daerah lain, Provinsi Papua dan Papua Barat
menunjukkan angka mengulang paling tinggi se Indonesia, dan putus
sekolah SMP paling tinggi kedua se Indonesia setelah Nusa Tenggara
Timur.
Data pokok Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada
Tahun 2016/2017, untuk provinsi Papua SMA sebanyak 217 lembaga,
jumlah siswa baru sebanyak 20.042 orang, jumlah siswa aktif sebanyak
58.152 orang, dan jumlah lulusan sebanyak 15.777 orang. Papua Barat
jumlah SMA sebanyak 116 lembaga, jumlah siswa baru sebanyak 7.808
orang, jumlah siswa aktif sebanyak 25.510 orang, dan jumlah lulusan
sebanyak 6.942 orang. Di provinsi Papua, jumlah siswa SMA yang
mengulang sebanyak 382 orang atau 0,74% dan jumlah siswa putus
sekolah sebanyak 391 orang atau 0,75%. Provinsi Papua Barat jumlah
siswa mengulang sebanyak 131 orang atau 0,58% dan jumlah siswa
putus sekolah sebanyak 198 orang atau 0,88%. Dibandingkan daerah
lain angka mengulang sekolah SMA di Tanah Papua paling tinggi se-
Indonesia.
Pamudji Slamet yang mengutip info dari Kepala Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat menyampaikan bahwa
berdasarkan fakta di lapangan (2016), mayoritas pekerja di Papua Barat
adalah lulusan SD.11 Di Manokwari, jumlah pekerja mencapai 40% dari
jumlah pekerja sebanyak 411.692 pada tahun 2016. Untuk tingkat
pengangguran terbuka (TPT), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
berada pada posisi tertinggi mencapai 14,03%, lulusan universitas
10,44%. TPT terendah terdapat pada SD yang hanya 1,41%.

11
http://www.teropongsenayan.com/38585-mayoritas-pekerja-di-papua-barat-
lulusan-sd

93
Penyebab lulusan SD mendominasi lapangan pekerjaan adalah
karena mereka cenderung tidak pilih-pilih mencari pekerjaan, berbeda
dengan lulusan SMK dan lulusan universitas yang pilih-pilih dalam
mencari pekerjaan. Sektor pertanian, menyerap tenaga kerja paling
besar dibanding sektor lainnya. Posisi kedua ditempati oleh sektor jasa
kemasyarakatan dan posisi ketiga pada sektor perdagangan. Untuk
sektor Industri, konstruksi, transportasi, keuangan, dan sektor lain,
jumlah daya serap masih jauh dari sektor pertanian, jasa
kemasyarakatan dan perdagangan. Pengembangan pada tiga sektor
tersebut selain mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak juga
diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi.
Bukan hanya di Provinsi Papua Barat, lulusan SD pun
mendominasi pekerja di Papua. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Papua, Wilpret Siagian dalam detik finance12
memberitakan bahwa di Jayapura jumlah angkatan kerja per Februari
2016 mencapai 1.743.160 orang. Dari jumlah tersebut, penduduk yang
bekerja adalah 1.691.432 orang. Pendidikan pekerja di Papua
didominasi oleh lulusan SD ke bawah mencapai 55,6%. Secara umum
pekerja di Papua berada di sektor industri, perdagangan, rumah makan,
jasa akomodasi, jasa kemasyarakatan serta sektor ekonomi kreatif
lainnya. Pekerja di sektor itu mengalami kenaikan, sebaliknya jumlah
pekerja di sektor pertanian mengalami penurunan.
Berdasarkan informasi di atas, yaitu tingginya angka putus
sekolah dan mengulang di Tanah Papua tentu berdampak pada
pendidikan pekerja yang ternyata mayoritas didominasi oleh jenjang
pendidikan dari sekolah dasar. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan saja.
Rendahnya pendidikan akan berpengaruh terhadap pendapatan atau
penghasilan. Rendahnya pendidikan menjadikan masyarakat tidak
mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia
secara berlimpah secara maksimal. Rendahnya penghasilan berdampak
pada rendahnya kesejahteraan. Rendahnya pendidikan dan
kesejahteraan berpengaruh terhadap rendahnya kesehatan masyarakat.
Kesehatan yang prima diperoleh dari pengetahuan, pengetahuan
didapat dalam proses pendidikan. Ini berarti, apabila ingin sehat maka
perlu pendidikan; ingin sejahtera perlu pendidikan; ingin memiliki
pengetahuan perlu pendidikan dan ingin memiliki kompetensi pun perlu
12
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3204648/pekerja-di-papua-
didominasi-lulusan-sd-ke-bawah

94
pendidikan. Sebab pentingnya bagi masyarakat untuk memperoleh
pendidikan, pemerintah memberikan kebijakan program wajib belajar
bagi warganya.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa pemerintah
mewajibkan warganya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Minimal setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar
berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Selain memiliki hak, setiap warga negara juga memiliki
kewajiban yang harus dijalankan. Begitu pun dengan masyarakat, yang
merupakan kumpulan dari setiap warga memiliki hak dan kewajiban
dalam pendidikan. Dalam UU Sisdiknas dinyatakan bahwa masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan. Dan masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Sementara pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyeleng-
garaan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dan di sisi lain, pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi;
pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana
guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Usia tujuh hingga lima belas tahun berarti menunjukkan bahwa
wajib belajar ditempuh selama 9 tahun. Di Indonesia, jangka waktu
selama 9 tahun berarti peserta didik mampu menyelesaikan pendidikan
hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jenjang SMP masih
masuk dalam kategori jenjang Pendidikan Dasar.
Perlu diketahui, di lapangan, lembaga pendidikan yang
didirikan pemerintah dibandingkan dengan jumlah penduduk tidaklah
memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam
mendukung terselenggaranya pendidikan sangat lah penting. Fenomena
lembaga pendidikan yang didirikan masyarakat (sekolah/madrasah
swasta) jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah
lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah (sekolah/madrasah

95
negeri). Sebab wajib belajar adalah hingga pendidikan dasar (jenjang
SD hingga SMP), banyak masyarakat yang mendirikan lembaga
pendidikan pada jenjang ini. Selain itu, di daerah-daerah terpencil,
tertinggal, dan terluar, hal utama yang paling penting adalah bisa
memiliki kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung
(kemampuan literasi).
Dengan demikian wajar banyak pekerja dengan mayoritas
lulusan pendidikan sekolah dasar atau masuk dalam kategori jenjang
pendidikan dasar. Penyelenggaraan pendidikan tidak akan berhasil
apabila hanya diselenggarakan oleh pemerintah saja. Masyarakat
berkewajiban membantu pemerintah untuk mewujudkan pendidikan
yang berkualitas. Seperti yang telah diuraikan pada bab 3, YAPIS
sebagai bagian dari masyarakat di Tanah Papua telah berperan aktif
membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Data di
bawah ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peran penting
dalam pengembangan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di
daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3T).
Sebagaimana yang telah dimuat dalam Tabel 4.1. Berikut adalah
jumlah UPT di Bawah YAPIS yang telah memberikan kontribusi
signifikan terhadap pembangunan pendidikan di Tanah Papua. sumber
diperoleh dari pengurus YAPIS Pusat di Tanah Papua.
PERKEMBANGAN SEKOLAH DI LINGKUNGAN
YAPIS DI TANAH PAPUA

JENJANG PENDIDIKAN
KABUPATEN JUM
NO
/KOTA LAH
TK SD MI SMP MTs SMA MA SMK PT

1 Kota Jayapura 5 6 2 3 1 2 - 1 1 21

2 Kab. Jayapura 14 1 6 - 1 1 - - - 23

3 Biak Numfor 1 2 - 1 - 1 - 1 1 7

4 Fak-Fak 5 3 1 1 - - - 1 - 11

5 Manokwari 7 3 1 1 1 1 - - 1 15

6 Jayawijaya - 1 1 1 - - - 1 1 5

7 Merauke 17 2 2 1 1 - - - 1 24
Yapen
8 2 1 - 1 - - - - - 4
Waropen

96
9 Nabire 7 1 3 1 1 1 - - - 14

10 Kota Sorong 21 6 3 2 - 1 - - - 33

11 Mimika 1 1 - - 1 - - 1 - 4

12 Asmat 2 1 - 1 - - - - - 4

13 Boven Digul 2 1 - - - - - - - 3

14 Sarmi 1 1 - - - - - - - 2

15 Mappi 2 1 - - - - - - - 3

16 Keerom 5 2 1 - 2 1 - - - 11

17 Kaimana 1 1 1 - - - - - - s

18 Bintuni 1 1 - - - - - - - 2

19 Enarotali 1 1 - - - - - - - 2

20 Raja Ampat 2 - 1 - - - - - - 3

21 Deiyai 1 1 - 1 - - - - - 3

22 Dogiyai 1 1 - - - - - - - 2

JUMLAH 99 37 22 14 8 8 0 5 5 198

Tabel di atas menunjukkan perkembangan lembaga pendidikan


yang didirikan di bawah YAPIS. Program wajib belajar sembilan tahun,
dengan didirikannya lembaga pendidikan mulai jenjang PAUD
(TK/RA) hingga SD, telah diemban YAPIS dalam rangka membantu
pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa. Total jumlah lembaga
pendidikan di bawah YAPIS hingga tahun 2018 sebanyak 198 lembaga
pendidikan yang tersebar di seluruh Tanah Papua, mulai jenjang
pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Di beberapa daerah, yang kondisi geografisnya sulit dijangkau,
jumlah masyarakat yang sedikit dan beragama non-muslim, belum
menjadi target pengembangan pendirian lembaga pendidikan di
wilayah tersebut oleh YAPIS. Tampak hanya di beberapa daerah atau
distrik, jenjang pendidikan menengah pertama dan menengah atas
didirikan. Berdasarkan data di atas, Madrasah Aliyah pun belum
tampak didirikan oleh YAPIS. Hal ini mungkin mengingat bahwa
hampir 80% peserta didik mulai jenjang menengah hingga perguruan
tinggi yang bergabung dengan lembaga pendidikan di bawah YAPIS
beragama non-muslim. Keberadaan sekolah vokasi dan perguruan

97
tinggi (PT) di bawah YAPIS pun jumlahnya baru ada beberapa UPT
(Unit Pelaksana Teknis) yang tersebar di Tanah Papua.
Melihat jumlah yang mendominasi pada jenjang pendidikan
usia dini dan dasar, tentu banyak menghasilkan lulusan pendidikan
dasar dibanding dengan lulusan jenjang menengah dan tinggi. YAPIS
di Tanah Papua merupakan satu diantara 5 Yayasan Penyelenggara
Pendidikan yang bersinergi saling mendukung peningkatan SDM di
Tanah Papua. 5 Yayasan Penyelenggara Pendidikan yang bersinergi
saling mendukung peningkatan SDM di Tanah Papua tersebut, yaitu
YPK, YPPK, YAPIS, Advent, dan YPGI. Kelima yayasan
penyelenggara pendidikan tersebut intensif berkomunikasi melalui
pertemuan-pertemuan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
dalam rangka peningkatan SDM di Tanah Papua.
Melihat data dan fakta tersebut, YAPIS telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap pembangunan SDM di Tanah Papua.
Lulusannya banyak yang telah menjadi pegawai pemerintah dan
pegawai swasta baik di daerah Papua itu sendiri maupun di luar daerah
Papua. Kontribusi signifikan tersebut berasal dari perguruan tinggi
sebagai salah satu UPT (Unit Pelaksana Teknis) di bawah YAPIS. Ini
berarti bahwa output atau lulusan memenuhi kebutuhan masyarakat dan
stakeholder sekitar, seperti menjadi pejabat pemerintah, anggota DPR
(di Raja Ampat-Papua Barat). Pegawai di Freeport dan Amicom
(diawali dari kegiatan praktik kerja lapangan pada jenis pendidikan
vokasi), dan lainnya.
Program YAPIS dalam pengembangan pendidikan sejalan
dengan program pemerintah tentang KKNI. Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia menyatakan, Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan
bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di
berbagai sektor.
Kualifikasi adalah penguasaan capaian pembelajaran yang
menyatakan kedudukannya dalam KKNI. Capaian pembelajaran adalah
kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap,
keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Profesi

98
adalah bidang pekerjaan yang memiliki kompetensi tertentu yang
diakui oleh masyarakat. KKNI terdiri atas 9 (sembilan) jenjang
kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah
sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang
kualifikasi KKNI terdiri atas:
a. Jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan
operator;
b. Jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan
teknisi atau analis;
c. Jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan
ahli.
Berdasarkan narasumber atau informan YAPIS, yaitu: H.
Mansur, selaku Ketua umum YAPIS dan Herry Adi S. Wibowo selaku
Sekretaris 1 YAPIS PUSAT, pendirian YAPIS berawal dari adanya
masyarakat muslim di Tanah Papua, maka harus ada lembaga yang
memayungi umat. Kemudian dibuatlah masjid dan mulai didirikan TK,
SD, dan SMP di Merauke. Pada saat itu di wilayah pantai sangat
prospektif untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Yayasan Pusat membuat “Regulasi” yang kemudian
dilaksanakan di cabang-cabang YAPIS di Tanah Papua. Cabang YAPIS
tercatat hingga 224 UPT di Tanah Papua. Namun setelah beberapa UPT
memisahkan diri, saat ini ada 198 UPT yang berada di bawah Yayasan
Pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua ini. Keberadaan YAPIS
yang mendirikan hingga ratusan lembaga pendidikan mulai jenjang
pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi tentu menjadi aset bagi
pemerintah dan masyarakat dalam rangka membangun sumber daya
manusia yang berkualitas di Tanah Papua.
Berdasarkan observasi dan wawancara di Sorong, Jayapura, dan
Jayawijaya, didapat berbagai perkembangan pendidikan di Tanah
Papua. perkembangan pendidikan bukan hanya formal namun juga
tampak proses pendidikan nonformal dan informal. Selanjutnya hasil
observasi dan wawancara yang akan diuraikan adalah perkembangan
pendidikan formal dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan di bawah
YAPIS.
Walau belum ada data statistik resminya secara pasti, informasi
dari beberapa pejabat pemerintah daerah setempat, diperkirakan
muslim di Papua ada 44% dan di Papua Barat jumlahnya lebih besar

99
lagi. Berdasarkan sejarah, mayoritas muslim di Tanah Papua berasal
dari pendatang yang menetap. Jumlah ini memberi kontribusi terhadap
perkembangan UPT (lembaga pendidikan) mulai dari pendidikan usia
dini hingga perguruan tinggi. Jumlah lembaga pendidikan dan peserta
didik mengalami kemajuan yang signifikan.
Kemajuan YAPIS tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat
termasuk yang non-muslim. Daya tarik lain adalah pemenuhan sarana
dan prasarana pendidikan hingga adanya kegiatan ekstrakurikuler
(ekskul), seperti drumb band. Untuk menjaga mutu pembelajaran
dilaksanakan berbagai upaya dan program. Peningkatan kualitas tenaga
pendidik tak luput dari perhatian para pengelola YAPIS untuk
peningkatan kualitas sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, seperti
guru/dosen yang sekolah lagi; silang guru antar cabang atau UPT, guru
belajar ke guru lain di cabang atau UPT lain yang memiliki kompetensi
lebih atau keunggulan.
Jenjang pendidikan yang didirikan YAPIS dimulai dari
Pendidikan Anak Usia Dini (TK/RA). Sejak TK kurikulum memuat
juga materi membaca Al-Qur’an, Juz Amma atau hafalan surah pendek,
shalat berjamaah (dzuhur). Pagi sebelum belajar membaca surah
pendek dan shalat duha. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas
program pendidikan tersebut menambah kuantitas peserta didik.
Contoh di Dogyai, awal berdiri, jumlah siswa SD hanya 18 orang dalam
kurun waktu tiga (3) tahun meningkat menjadi 100 orang siswa. TK dan
SD mutlak diberikan penguatan PAI. Anak dalam usia ini memiliki
daya hafal yang kuat dan mudah untuk dibentuk, sehingga dibuat
kebijakan bagi siswa di beberapa UPT TK dan SD menerima peserta
didik khusus yang beragama Islam saja. Tidak menerimanya peserta
didik dari keluarga non-muslim menghindari asumsi beberapa persepsi
bahwa YAPIS membawa misi memuslimkan orang-orang Papua.
Padahal, pada prinsipnya YAPIS merupakan lembaga pendidikan yang
membantu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan di
Tanah Papua.
Pengembangan pendidikan terus dilakukan oleh para pengelola
hingga beberapa UPT memiliki standar yang baik dan tidak kalah dari
lembaga pendidikan yang ada di Pulau Jawa. Di SD Hikmah I YAPIS
yang berlokasi di Dok V Kota Papua (Jayapura), telah terakreditasi A.
materi pembelajaran selain yang ditetapkan pemerintah juga menambah
dengan materi mulok. Materi mulok diarahkan untuk mampu berbahasa

100
asing, seperti Bahasa Inggris; dan Iqra. Kegiatan ekstra kurikuler
(ekskul) yang diunggulkan adalah drumb band dan pramuka. Dan tahun
2017 meraih peringkat kedua prestasi dalam Bidang Sains Tingkat
Provinsi. Seni islami seperti musik, drama, tari, suara, tilawah, qasidah
juga diselenggarakan di SD Hikmah I YAPIS ini.
Sekolah Menengah Pertama yang berada di Wamena
(Kabupaten Jayawijaya) berlokasi di Ring 1 atau wilayah kota menjadi
pilihan masyarakat setelah sekolah negeri. Mayoritas peserta didik
adalah orang asli Papua (OAP) dan beragama non-muslim. Peserta
didik banyak yang berasal dari anak gunung. Siswa 93% Kristen.
Jumlah 391 orang dan hanya 28 orang peserta didik yang beragama
Islam. Materi Mulok terdiri dari Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
dan Penanaman Nilai-Nilai Budaya Hidup Bersih, seperti
membersihkan diri atau mandi. Selain itu juga, ada program literasi
sebelum belajar.
Penanaman nilai hidup sehat dan literasi bagi anak gunung ini
menjadi perhatian utama, sebab masih jarangnya OAP membersihkan
diri atau mandi dan banyak yang belum mampu membaca. Oleh karena
itu, penekanan output lembaga pendidikan diarahkan untuk pandai
membaca. Sebab peserta didik kebanyakan anak gunung, dalam kondisi
cuaca yang kurang mendukung, mereka sering terlambat dan jarang
masuk. Tantangan budaya setempat yang minim menjaga kebersihan
(jarang mandi) juga membuat pemangku kebijakan di sekolah
mengajarkan budaya hidup bersih “Mandi” pada para peserta didik.
Ekonomi masyarakat asli yang rendah membuat orangtua
mengharapkan anaknya membantu di ladang, sehingga banyak peserta
didik yang jarang masuk sekolah.
Lembaga pendidikan (sekolah) vokasi di bawah YAPIS yang
tersebar di berbagai UPT di Kota maupun Kabupaten di Tanah Papua
menawarkan jurusan Akuntansi, Manajemen Perkantoran, TIK (di
Timika), Multimedia, dan Keperawatan (di Wamena). Sebagaimana
yang terdapat dalam tabel penyebaran UPT di Tanah Papua, 5 SMK
telah didirikan di beberapa distrik di Tanah Papua. Serapan lulusan ada
yang bekerja di pemerintah daerah dan swasta, seperti Telkom.
Sementara lulusan keperawatan telah banyak yang bekerja di rumah
sakit pemerintah di daerah tersebut.
Untuk jenjang pendidikan SMA, selain materi yang ditetapkan
pemerintah, juga memuat materi muatan lokal (mulok). Mulok yang

101
diprogramkan di SMA YAPIS adalah Bahasa Arab, pendalaman PAI
(khususnya baca Al-Qur’an). Ekskul unggulan selain Pramuka, Drum
Band juga ada Olimpiade Ilmiah Remaja. Integrasi agama dan sains
tampak di setiap UPT di bawah YAPIS. Selain itu materi keterampilan
berupa prakarya dan kewirausahaan juga diberikan. Satu minggu sekali
ada program senam santri (SKJ).
Kendala pada saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
secara umum bagi lembaga pendidikan swasta menjadi pilihan setelah
Sekolah Negeri menutup pendaftaran PPDB-nya. Kondisi ini berlaku di
beberapa daerah. Untuk di beberapa distrik atau daerah lain, lembaga
pendidikan YAPIS termasuk lembaga pendidikan yang memiliki
jumlah peserta didik yang banyak dan menerima peserta didik tidak
selalu setelah penutupan Sekolah Negeri, bahkan sebelum pembukaan
Sekolah Negeri diumumkan, banyak peserta didik langsung
mendaftarkan diri untuk bersekolah di lembaga pendidikan di bawah
YAPIS.
Lima Perguruan Tinggi yang didirikan di bawah YAPIS
memberikan kontribusi besar bagi penyedia tenaga profesi dan ahli.
Contoh, di Universitas YAPIS (UNIYAP) terdapat Fakultas Ekonomi
dengan program studi Manajemen, Akuntansi, Perpajakan; Fakultas
Hukum; Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan (FISIP) dengan Prodi
Ilmu Pemerintahan dan Administrasi Negara; Fakultas Teknik dan
Sistem Informasi (Teknik Sipil dan Sistem Informasi); Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (Budidaya Kelautan); FAI (PAI); dan
Pascasarjana (Magister Manajemen).
Kewirausahaan yang diselenggarakan di setiap UPT
disesuaikan dengan bidang masing-masing. Contoh, Fakultas Ekonomi
bekerjasama dengan Bursa Efek di Papua, Persatuan Advokat
Indonesia, Perikanan dan Pertanian, konsultan “merancang bangun
gedung (maket)”. Sebab YAPIS merupakan yayasan pendidikan yang
didirikan oleh orang-orang Islam, maka PAI di UNIYAP menjadi
materi mulok. Mulok PAI ada pada semester 1 dan 2; Hukum
perkawinan waris dan wakaf; etika dan moral. Selain memenuhi
kompetensi akademik dan pengalaman kerja, pengalaman berprestasi
juga dibudayakan terutama dalam bidang seni, olahraga. Prestasi
Genre, Seni (liga dangdut), Olahraga (sepak bola tingkat Asia/
Persipura), debat konstitusi merupakan prestasi yang diperoleh
mahasiswa UNIYAP.

102
Lain distrik atau wilayah tentu berlainan kebutuhan akan
lulusan yang diharapkan. Di daerah pegunungan, misalnya Kabupaten
Jayawijaya, kebutuhan lulusan selain untuk memenuhi kebutuhan
pegawai instansi pemerintah dan swasta juga disiapkan program studi
lain seperti jurusan pertanian dan diberikan penguatan materi
kewirausahaan. Kompetensi kewirausahaan tentu dibutuhkan di semua
lulusan di semua daerah di era globalisasi ini. STISIP Amal Ilmiah
Wamena merancang program integrasi agama, pendidikan, dan budaya.
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam diajarkan pada semester 1.
Keberadaan STISIP Amal Ilmiah Wamena yang berlokasi di Lembah
Baliem mengalami kemajuan yang signifikan. Indikatornya adalah,
STISIP Amal Ilmiah Wamena pada Tahun 2017 telah mengajukan
peralihan dari Sekolah Tinggi ke Level Universitas. Kegiatan
mahasiswa di luar perkuliahan diisi dengan beragam hasil seni,
kerajinan, dan kreativitas lainnya.
Seperti UPT lain, 80% mahasiswa STISIP Amal Ilmiah YAPIS
Wamena beragama non-muslim dan mereka merupakan orang asli
Papua (OAP). Nilai-nilai toleransi, saling menghargai, kerjasama,
tampak pada komunitas yang beragam suku, agama, dan budaya ini.
Walau lembaga pendidikan yang SMP hingga PT berada di bawah
yayasan Islam, masyarakat asli Papua dan pendatang yang beragama
non-muslim tetap mempercayakan pendidikan anak-anaknya ke
lembaga pendidikan di bawah YAPIS ini.
Tantangan UNIYAP khususnya dan daerah di Tanah Papua
secara umum dalam pengembangan lembaga pendidikan adalah
regulasi. Contoh, untuk pembukaan prodi baru, regulasi pemerintah
mengharuskan universitas memiliki lahan untuk prodi baru sebanyak 2
hektar. Hal ini sulit dilaksanakan di Tanah Papua yang masih
memegang budaya setempat (Hak Ulayat). Sedangkan peluang yang
dimiliki YAPIS adalah SDM berkompeten. Berdasarkan informasi dari
Dekan Ekonomi Universitas YAPIS, Abdul Rasyid, SDM Dosen
ditingkatkan melalui peningkatan jenjang pendidikan. Dosen dengan
jenjang S2 sebanyak 30% dan Dosen dengan jenjang S3 sebanyak 70%.
Selain itu, ada pemekaran daerah (otonomi) memberikan peluang untuk
YAPIS dapat lebih berkembang, demikian pula populasi masyarakat
muslimnya di Tanah Papua.

103
Gambar 5.1. Lokasi Universitas YAPIS dan UPT-UPT Jenjang
Dikdasmen di Dok V Jayapura
(Sumber: Pengelola YAPIS Pusat)

Gambar 5.2. Lokasi STISIP Amal Ilmiah YAPIS Wamena


(Sumber: Dokumen Penulis)

104
D. Pendidikan Multikultural
Indonesia adalah salah satu negara multikultural. Kebenaran
dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini Indonesia
memiliki pulau dengan total sebanyak 14.572 pulau besar dan kecil.
Populasi penduduknya lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku dan
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga
menganut agama dan kepercayaan yang beragam. Keragaman ini diakui
atau tidak dapat menimbulkan berbagai persoalan yang dihadapi. Untuk
itu perlu kiranya strategi khusus dalam memecahkan persoalan melalui
berbagai bidang seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, dan
pendidikan.
Manusia merupakan makhluk yang unik dan spesial. Tidak ada
manusia yang benar-benar sama secara fisik, pemikiran, keinginan,
potensi atau bakat dan minat. Perbedaan ini tentu akan menjadi tampak
jelas ketika terjadi interaksi sosial antara manusia dari keluarga, daerah,
agama, dan bahasa yang berbeda. Perbedaan ini dapat menjadi suatu hal
yang positif dan negatif. Pendidikan multikultural menawarkan satu
alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang
berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat. Tujuan
dari pendidikan multikultural yaitu untuk meningkatkan kesadaran
peserta didik agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Berkaitan dengan itu semua, guru sebagai pendidik tidak hanya
dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan
mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkannya. Lebih dari itu, guru
harus mampu menanamkan nilai-nilai inti, seperti humanis, pluralis,
dan demokratis (Ainul Yaqin, 2005: 3-5).
Kultur dapat berubah dan berkembang melalui dua macam
proses pembelajaran. Kedua macam proses perkembangan kultural ini
adalah inkulturasi dan sosialisasi. Semua orang dalam sebuah
kelompok masyarakat mempunyai kultur sesuai dengan kelompoknya
masing-masing. Ini terjadi karena secara tidak langsung setiap individu
pada tiap-tiap kelompok masyarakat akan menerima kultur yang
diturunkan secara turun-menurun dari generasi ke generasi sehingga
orang tersebut dapat memahami nilai-nilai yang berlaku dalam
kelompoknya. Proses inilah yang disebut “inkulturasi”. Sedangkan
proses pembelajaran secara sosial dalam kehidupan sehari-hari yang

105
menyebabkan seseorang dapat memahami norma-norma kultural yang
berlaku di dalam kelompoknya adalah sebuah proses transfer kultur
yang disebut “sosialisasi” (Ainul Yaqin, 2005: 13).
Perbedaan perlu disikapi dengan bijak. Perbedaan adalah
sunatullah. Sebab itu, sangat penting untuk seseorang bersikap arif dan
tidak mengukur kultur orang lain dengan menggunakan kaca mata
kulurnya sendiri yang cenderung subyektif dan egois. Karena setiap
kultur yang ada tidak terlepas dari yang namanya relativisme kultural.
Maksudnya adalah, tingkah laku dan adat-istiadat yang ada pada kultur
orang lain tidak dapat diukur dan dinilai menggunakan standar yang ada
pada kultur lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
seseorang tidak dapat mengatakan bahwa kultur yang mereka miliki
adalah yang paling baik, paling humanis, dan paling bermoral. Maka
dari itu, di dalam relativisme kultural tidak ada kultur yang superior,
lebih modern atau ukuran-ukuran moral dan etika yang universal karena
masing-masing kultur mempunyai standar moral dan etika bervariasi
(Ainul Yaqin, 2005: 15, baca juga Mahmud dan Ija Suntana, 2014: 47).
Perlu ditegaskan kembali salah satu penyebab tidak
harmonisnya hubungan antara individu atau antara kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya di dalam negara yang
multikultural adalah adanya sikap prejudis dan stereotip. Secara
sosiologis, prejudis adalah sebuah opini, sikap, kepercayaan, dan
perasaan negatif yang tidak fair terhadap seseorang atau kelompok
masyarakat lain. Prejudis biasanya cenderung melakukan generalisasi
dalam melihat dan menilai seseorang atau kelompok lainnya tanpa
memperdulikan kenyataan bahwa setiap individu mempunyai ciri-ciri
dan karakter yang berbeda-beda. Stereotip adalah memberikan
penilaian terhadap sifat-sifat sebagai ciri-ciri khusus yang tipikal dan
identikal yang ada pada seseorang atau golongan masyarakat tertentu.
Dalam masyarakat yang multikultural, stereotip dan prejudis dapat
dengan mudah tumbuh. Hal ini dapat memicu pertentangan antara satu
individu atau kelompok dengan yang lainnya. Sebagai upaya preventif
agar pertentangan tidak terjadi, penting untuk mengetahui beberapa
penyebab stereotip dan prejudis (Ainul Yaqin, 2005: 18). Elliot
Arronson (1992: 312-321, “The Social Animal”) menjelaskan empat
kategori penyebab stereotip dan prejudis. Pertama, adanya kompetisi
ekonomi dan politik. Kedua, scapegoating (kambing hitam atau dengan
memfitnah). Ketiga, kebutuhan personal. Keempat, penyesuaian
terhadap norma-norma yang ada di sekitarnya.

106
AbuddinNata (2005) menegaskan peran pendidik dalam
Pendidikan Islam di Era Global untuk menanamkan pendidikan
multikultural, pendidikan multi iman, pendidikan agama, moral dan
etika agama, moral, etika. Dalam proses pendidikan, para pendidik,
guru khususnya, perlu menanamkan nilai-nilai keimanan, kejujuran,
kemanusiaan, menghargai perbedaan, demokratis, tidak mudah
terprovokasi, adil, bijak, dan tidak berperilaku diskriminasi.
Diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau
kelompok lain. Diskriminasi mempunyai hubungan erat dengan relasi
antara kelompok yang dominan dengan yang minoritas, sebab
perlakuan yang tidak adil biasanya sering berasal dari kelompok
dominan terhadap kelompok minoritas. Perlakuan tidak adil ini dapat
terjadi dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan dan lainnya. Perbedaan kultural seperti
agama, suku, ras, kelas sosial, gender, umur, dan bahasa dapat dijadikan
objek dan alasan untuk melakukan diskriminasi oleh kelompok
dominan terhadap kelompok minoritas.
Pendidikan merupakan sarana dalam proses pembelajaran.
Sehingga para pendidik selain mengajarkan ilmu pengetahuan,
keterampilan, juga menanamkan perilaku yang baik (akhlak mulia)
dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda suku, agama, dan
bahasa. Melalui pendidikan ini lah nilai-nilai kebersamaan, kerjasama,
saling menghargai, keadilan, jujur, tanggung jawab, demokratis, giat
bekerja, dan mandiri dapat terbentuk.
Perbedaan merupakan pelengkap antara individu yang satu
dengan yang lain. Bakat dan kemampuan yang berbeda dan unik dari
setiap individu menjadi suatu spesialisasi dalam memenuhi pekerjaan
di masyarakatnya. Pemahaman yang tepat akan perbedaan menjadi
suatu berkah dalam masyarakat untuk hidup saling mengisi kekurangan
dan berdampingan dengan damai dan harmonis. Pemahaman ini akan
benar-benar melekat apabila diterapkan oleh para pendidik sejak anak
usia dini.
Keberhasilan pendidikan yang dibina oleh para pendidik akan
perbedaan suku bangsa, budaya, agama, dan lainnya membawa
individu menjadi manusia yang shaleh. Peserta didik akan tumbuh
menjadi individu yang shaleh bukan hanya pribadi tetapi juga shaleh
sosialnya. Kesalehan individu berarti berkumpulnya sifat-sifat
kebaikan pada diri seseorang sehingga menyebabkan dirinya

107
terpelihara dari kemudharatan dan kemungkaran. Sedangkan
keshalehan sosial adalah berkumpulnya nilai-nilai kebaikan yang sudah
dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan secara merata
dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. Kedua keshalehan ini saling
berkaitan. Artinya, ketika seseorang shaleh secara individu, ada
tuntutan untuk mewarnai lingkungannya sehingga dia pun shaleh secara
sosialnya (Anwar Sanusi, 2006: 64).
Kegagalan para pendidik dalam menanamkan nilai-nilai
perbedaan yang seharusnya disikapi dengan bijak akan berpengaruh
terhadap perilaku peserta didik ketika berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya yang beragam. Permusuhan, pertikaian, perilaku bullying
tentu akan sering tampak dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan
menanamkan nilai-nilai baik tersebut dapat memicu perpecahan dan
merusak kesatuan bangsa.
Sunaryo Kartadinata (2015: 33) mengutip Fethullah Gulen
mengemukakan bahwa konflik di dunia terjadi karena adanya polarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Solusi yang harus
dilakukan adalah masyarakat harus meningkatkan komunikasi dan
saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik. Di samping
itu, semua pihak harus mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa
saling menerima perbedaan yang ada.
Selain itu juga konflik yang terjadi di dunia, akibat
kesalahpahaman antar budaya (misunderstanding between culture).
Teori ini berasumsi bahwa konflik dan perpecahan disebabkan oleh
adanya ketidakcocokan dengan cara komunikasi di antara berbagai
budaya meliputi: agama, etnis, dan konstruksi sosial masyarakat
tertentu. Maka, ia memberikan jalan keluar agar setiap pihak yang
berkonflik menambah pengetahuan mengenai budaya pihak lain. Ini
bisa dilakukan dengan mengedepankan aspek pendidikan multikultural
yang lebih komprehensif.
H.A.R. Tilaar (1999: 5) menegaskan, seorang filosof politik,
Isaiah Berlin, berpendapat bahwa dewasa ini kita berada dalam krisis
nilai, yaitu konflik dari nilai-nilai yang ada. Dalam masyarakat
demokrasi, konflik nilai akan semakin terasa namun hal ini
menandakan adanya dinamika dalam kehidupan bermasyarakat.
Menyikapi hal ini, Berlin menyatakan bahwa di dalam kehidupan
bersama khususnya di dalam kehidupan demokrasi tidak selalu harus

108
mencapai suatu kesepakatan, namun yang penting ialah adanya saling
pengertian. Di dalam saling pengertian inilah dapat dibangun suatu
masyarakat maju berdasarkan nilai-nilai yang disepakati bersama atau
nilai-nilai yang terbaik tanpa menuntut kesepakatan dari semua.
Pihak yang berkonflik juga disarankan mengurangi stereotip
negatif kepada pihak-pihak lain. Hal yang paling efektif, pihak yang
berkonflik meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya.
Kemudian, disampaikan juga bahwa pendidikan merupakan media
yang sangat penting. Melalui pendidikan, dunia melahirkan generasi
yang lebih baik bahkan kata filsuf menyebutkan bahwa masa depan
negara sangat bergantung pada generasi mudanya. Melalui pendidikan,
generasi muda bisa mendapatkan pendidikan untuk mengetahui hak dan
kewajibannya. Pemuda yang mengetahui kewajibannya akan
menyumbangkan jiwa raganya untuk mewujudkan perdamaian
negaranya dan juga dunia. Pemuda yang memahami haknya akan
menyadarkan diri dan bangsanya akan haknya mendapat hidup
tenteram dan damai, maka dengan pemuda yang terdidik lah,
memungkinkan pembangunan daerah, bangsa dan negaranya terwujud,
hidup damai dan sejahtera.
Nurani Soyomukti (2013: 142) mengungkapkan tentang peran
kaum muda terutama para peserta didik dan mahasiswa dalam gerakan
multikulturalisme sebagai penghormatan atas keberadaan berbagai
macam identitas suku dan agama. Perguruan tinggi dan lembaga
pendidikan adalah tempat persemaian wacana multikulturalisme dan
demokrasi. Strategi pendidikan multikulturalisme diabdikan untuk
menciptakan generasi-generasi yang sadar akan keragaman budaya di
dunia ini.
Memperkuat pernyataan Sunaryo Kartadinata, Soyomukti
(2013: 143) mengutip James A Bank mengungkapkan bahwa
pendidikan multikultural memiliki berbagai dimensi pokok. Pertama,
content integration, yaitu upaya mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan
teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge
construction process, yaitu suatu metode atau cara bagaimana
membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata
pelajaran atau disiplin ilmu. Ketiga, an equity pedagogy, yaitu usaha
untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa
dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik

109
dari segi ras, budaya, ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction,
yaitu mengidentifikasi karakter ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang
berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dan mengutip Merryfield (1997), Soyomukti menekankan
pentingnya peran guru dalam menghadapi era globalisasi. Ada tiga
syarat yang harus dimiliki guru dalam mengembangkan pendidikan
yang beperspektif global. Tiga syarat tersebut, yakni kemampuan
konseptual, pengalaman lintas budaya, dan keterampilan pedagogis
(2013: 145).

110
BAB VI
KONTRIBUSI PENDIDIKAN
MEMBENTUK SDM BERKUALITAS

Potensi yang dimiliki manusia dikembangkan melalui proses


pendidikan. Potensi jasmani, rohani, dan akal memberi modal pada
manusia untuk memiliki performa sikap yang mulia (akhlak mulia),
pengetahuan, dan keterampilan. Semua kemampuan atau kompetensi
tersebut sangat berguna untuk hidup mandiri, berkarya atau berkreasi,
dan memakmurkan daerahnya.
Kompetensi yang dikembangkan melalui pendidikan
merupakan aspek penting bagi pembangunan bangsa. Karena itu,
hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai
prioritas utama dalam program pembangunan. Sumber daya manusia
(SDM) yang bermutu yang merupakan produk pendidikan merupakan
kunci keberhasilan pembangunan suatu negara.
Sebab pendidikan adalah hak dan kewajiban setiap warga
negara, penyelenggaraannya agar menjadi pendidikan yang bermutu
tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Semua elemen perlu
saling mendukung agar terwujudnya pendidikan yang bermutu.
Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan menjamin pendidikan
Indonesia mencapai kualitas yang diharapkan. Penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas menjamin kehidupan bangsa dan negara
yang lebih baik di masa mendatang. Keberhasilan suatu bangsa
tergantung pada keseriusan semua pihak dalam penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas.
Dalam pembukaan UUD 1945 tegas dinyatakan bahwa ada dua
hal yang berkaitan erat yaitu kesejahteraan bangsa dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kesejahteraan amat sulit diwujudkan tanpa
pembangunan ekonomi, dan pembangunan ekonomi sulit diwujudkan
tanpa didukung oleh bangsa yang cerdas, dan bangsa yang cerdas hanya
dapat diciptakan melalui pendidikan. Pendidikan ini juga erat kaitannya

111
dengan falsafah pembangunan manusia Indonesia, yaitu pembangunan
itu oleh manusia dan untuk manusia.
Tujuan pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya.
Manusia seutuhnya diartikan sebagai manusia yang terpenuhinya
berbagai kebutuhannya baik materil maupun spirituil. Untuk
mewujudkan tujuan ini pendidikan amatlah penting karena hanya
melalui pendidikan manusia mempunyai kesempatan lebih untuk
membangun dirinya dan membangun masyarakatnya dalam usaha
memenuhi seluruh kebutuhan dasar hidupnya (Mohammad Fakry
Gaffar, 1987: 11).

A. SDM Berkualitas
Individu yang memiliki kompetensi akan hidup sejahtera dan
bahagia. Kompetensi ini berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Sikap manusia yang positif mampu menumbuhkembangkan beragam
kompetensi yang ada dalam dirinya. Ini lah yang dapat membuat
hidupnya bahagia dan sejahtera. Selain berguna untuk dirinya tentu
orang yang memiliki kompetensi dengan kualitas yang baik dapat
berguna bagi orang lain, organisasi atau institusi, dan lingkungannya.
Rudihartono Ismail (2017: 13) menyatakan, suatu organisasi
atau institusi akan menuntut hasil kerja yang baik. Sehingga untuk
memenuhi hasil kerja yang baik atau yang diharapkan diperlukan
sumber daya yang memadai dan mumpuni. Untuk mendapatkan SDM
yang berkualitas diperlukan pendidikan yang berkualitas atau bermutu.
Penentuan kualitas SDM ditetapkan melalui pendidikan. SDM
berkualitas harus memenuhi persyaratan. Dengan demikian, pendidikan
merupakan suatu proses. Untuk menuju pada kualitas yang baik, perlu
pengembangan dan peningkatan dalam semua komponen pendidikan
itu sendiri secara terencana dan berkesinambungan.
Sumber daya alam (SDA) yang berlimpah tidak mungkin dapat
dimanfaatkan dengan baik tanpa SDM yang berkualitas. SDM yang
berkualitas harus memiliki kompetensi sesuai dengan bakat dan
minatnya. Kekuatan kompetensi inilah yang mampu membantu
memanfaatkan SDA yang ada secara maksimal guna kesejahteraan dan
kebahagiaan bersama. Semua dapat diperoleh melalui pendidikan.

112
Selanjutnya, Rudihartono Ismail (2017: 13) mengutip Chris
Rowley dan Keith Jackson (2012:88) menguraikan tentang
pengembangan sumber daya manusia, merupakan sebuah proses yang
dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan pekerja, demikian juga dengan kompetensi-kompetensi
yang dikembangkan melalui pelatihan dan pengembangan,
pembelajaran organisasi, manajemen kepemimpinan, dan manajemen
pengetahuan untuk kepentingan peningkatan kinerja.
Sedarmayanti (2009: 61) memaparkan, dalam pengembangan
SDM perlu mengenali keterampilan yang diperlukan, mengaudit
keterampilan yang tersedia, mengambil tindakan untuk menyesuaikan
keterampilan dengan kebutuhan bisnis saat ini dan masa yang akan
datang, serta menciptakan proses meningkatkan pembelajaran
organisasi dan individu yang terkait dengan kebutuhan bisnis.
Sementara Soekidjo Notoatmodjo (1992: 2) melihat pengertian
pengembangan karier secara makro adalah suatu proses peningkatan
kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai mutu tugas
pengembangan. Sedangkan pengembangan karier secara mikro adalah
perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau
karyawan untuk mencapai suatu hasil yang optimal.
Dalam konteks manajemen SDM, Hasibuan (2007: 69)
mendefinisikan pengembangan adalah usaha untuk meningkatkan
kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai
kebutuhan pekerjaan atau jabatan melalui pendidikan dan latihan
(diklat).Pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual, dan
moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaannya.
Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan. Agar memenuhi kualifikasi yang
diharapkan dalam menghadapi persaingan di era global, semua perlu
standar. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 menyatakan, standar
kompetensi lulusan merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dinyatakan dalam rumusan capaian pembelajaran
lulusan. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai
dengan standar nasional yang telah disepakati.

113
Oleh karena itu, untuk menuju pada peningkatan kompetensi
lulusan di Indonesia, pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional
yang ditetapkan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya
disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi
yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan
antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman
kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Terdapat capaian-capaian
dalam proses pembelajaran untuk dapat dinyatakan lulusan yang
berkualitas. Lulusan yang berkualitas tentu akan memiliki kompetensi-
kompetensi yang diperlukan bagi pengembangan dirinya untuk masa
depan.
Jelas lah, pendidikan akan berhasil apabila didukung oleh
semua pihak. Kesungguhan menjalankan standar yang ditetapkan dan
kemudahan prosedur yang dilalui mampu membawa pendidikan
Indonesia mencapai mutu yang diharapkan. Dengan demikian tidak
hanya pemerintah, setiap warga negara dan masyarakat pun wajib
membantu dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas untuk
generasi yang lebih baik di masa mendatang.
Pendidikan sejatinya adalah proses pembentukan karakter.
Pembentukan karakter dalam pendidikan tampak pada tujuan
pendidikan nasional. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sementara beberapa pakar pendidikan Islam mendefinisikan
tujuan pendidikan Islam. Muhammad Athahiyah Al-Abrasyi (1984:1-
4) menyatakan, tujuan pendidikan Islam yaitu pembentukan moral yang
tinggi. Hal senada diperkuat pemerhati pendidikan seperti Thomas
Lickona. Thomas Lickona (2013: 8) menyatakan bahwa kesehatan
bangsa kita dalam beberapa abad mendatang bergantung pada
bagaimana keseriusan kita semua untuk berkomitmen terhadap
pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus menyatakan
bahwa karakter membentuk takdir seseorang dan takdir tersebut

114
menjadi takdir seluruh masyarakat. Pada karakter warga negara pun
terletak kesejahteraan bangsa.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah dan budaya yang kurang
mendukung menjadi penghambat suatu daerah mengembangkan SDM
berkualitas. Di beberapa daerah pedalaman yang masih didominasi
budaya penduduk asli, pendidikan belum menjadi target untuk
peningkatan kualitas masyarakatnya. Faktor ekonomi menjadi alasan;
anak-anak diharapkan membantu orangtua bekerja di ladang daripada
belajar di sekolah.
Sebab itu, pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk
meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat tersebut. Pendidikan di
Tanah Papua diselenggarakan dengan beban masyarakat serendah-
rendahnya, dengan memperhatikan kemampuan orang tua. Selanjutnya
pemerintah provinsi bersama pemerintah Kota/Kabupaten Papua
berkewenangan memfasilitasi terselenggaranya pendidikan bermutu
bagi masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan wilayahnya.
Keberadaan pendatang yang memiliki kompetensi dan menetap
menjadi pembaharu dalam peningkatan kualitas pendidikan. Peran
YAPIS, yang mayoritas pengelola adalah pendatang, telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap pembangunan SDM di Tanah Papua.
Lulusannya banyak yang telah menjadi pegawai pemerintah dan
pegawai swasta baik di daerah Papua itu sendiri maupun di luar daerah
Papua. Kontribusi signifikan tersebut berasal dari perguruan tinggi
sebagai salah satu UPT (Unit Pelaksana Teknis) di bawah YAPIS. Ini
berarti bahwa output lembaga pendidikan memenuhi kebutuhan
masyarakat dan stakeholder sekitar, seperti menjadi pejabat
pemerintah, anggota DPR, ilmuwan, pegawai swasta, wirausahawan,
dan lainnya. Dengan demikian, pendidikan menjadi suatu indikator
peningkatan kesejahteraan, status sosial, dan kualitas SDM daerah
tersebut.

B. Standar Kompetensi dalam Pendidikan


Kompetensi (competency) adalah akumulasi kemampuan
seseorang dalam melaksanakan suatu deskripsi kerja secara terukur
melalui asesmen yang terstruktur, mencakup aspek kemandirian dan
tanggung jawab individu pada bidang kerjanya. Secara etimologi,

115
kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi oleh
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Sehingga dapatlah
dirumuskan bahwa kompetensi diartikan sebagai kemampuan
seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau
tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan. Sedangkan
kompetensi kerja dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah kemampuan kerja setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Berdasar pada arti bahasa, standar kompetensi terbentuk atas
kata standar dan kompetensi. Standar diartikan sebagai “ukuran” yang
disepakati; sedangkan kompetensi telah didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan.
Dengan demikian dapatlah disepakati bahwa standar
kompetensi merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang kompetensi
yang diperlukan pada suatu bidang pekerjaan oleh seluruh stakeholder
di bidangnya. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan Standar
Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang didasari
atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan unjuk
kerja yang dipersyaratkan.
Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh
seseorang, maka yang bersangkutan akan mengetahui dan mampu:
a. Bagaimana mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan;
b. Bagaimana mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat
dilaksanakan;
c. Apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda
dengan rencana semula;
d. Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk
memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi
yang berbeda;
e. Bagaimana menyesuaikan kemampuan yang dimiliki bila bekerja
pada kondisi dan lingkungan yang berbeda.

116
Meskipun bersifat generik standar kompetensi harus memiliki
kemampuan ukur yang akurat, untuk itu standar harus:
a. Terfokus pada apa yang diharapkan dapat dilakukan pekerja di
tempat kerja;
b. Memberikan pengarahan yang cukup untuk pelatihan dan penilaian;
c. Diperlihatkan dalam bentuk hasil akhir yang diharapkan;
d. Selaras dengan peraturan perundang-undangan terkait yang
berlaku, standar produk dan jasa yang terkait serta kode etik profesi
bila ada.
Campbell (1990) dalam Mahmudi (2010:20) menyatakan
bahwa hubungan fungsional antara kinerja dengan atribut kinerja
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu knowledge, skill, dan motivasi.
Dimana knowledge mengacu pada pengetahuan yang dimiliki oleh
pegawai, skill mengacu pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan
dan motivasi adalah dorongan dan semangat untuk melakukan kerja,
namun masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang yaitu peran (role perfection).
Rudihartono Ismail (2017: 4) mengutip Wibowo (2014:283),
menyatakan bahwa kompetensi bukan merupakan kemampuan yang
tidak dapat dipengaruhi. Kemudian Michael Zwell (2000) dalam
Wibowo (2014:283) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi kecakapan kompetensi seseorang seperti
keyakinan dan nilai-nilai, keterampilan, pengalaman, karakteristik
kepribadian, motivasi, isu emosional, kemampuan intelektual, dan
budaya organisasi. Wibowo (2014:271) menyatakan bahwa kompetensi
menjadi sangat berguna untuk membantu organisasi menciptakan
budaya kinerja tinggi. Kompetensi sangat diperlukan dalam setiap
proses sumber daya manusia, seleksi karyawan, manajemen kinerja,
perencanaan, sehingga semakin banyak kompetensi yang
dipertimbangkan dalam proses sumber daya manusia akan semakin
meningkatkan budaya organisasi.
Kompetensi merupakan salah satu modal utama yang dimiliki
individu dalam bekerja. Kompetensi seseorang memiliki dampak yang
efektif terhadap kinerjanya. Mc.Clelland (1993) dalam Moeheriono
(2012: 4) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan ternyata menunjukkan bahwa semua jenis kompetensi yang
bersifat non akademik seperti kemampuan menghasilkan ide-ide

117
inovatif, manajemen skill, dan kecepatan bekerja, ternyata hasilnya
tidak ada perbedaannya secara signifikan apabila ditinjau dari ras,
gender, dan sosial ekonominya dengan yang lain. Selanjutnya apa yang
membedakan kompetensi seseorang dengan orang lain dalam
perencanaan dan pengorganisasian adalah hanya dari motivasi dan
berpikir analitik dari orang tersebut.
Wibowo (2014:271-272) berpendapat bahwa kompetensi
adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu
pekerjaan atau tugas dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut.
Kompetensi merupakan landasan dasar karakteristik orang dan
mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, menyamakan situasi,
dan mendukung untuk periode waktu yang cukup lama.
Selanjutnya Rivai (2009:426) dalam Rudihartono Ismail (2017:
45) menyatakan bahwa kompetensi dapat berupa motif, sifat, konsep
diri, sikap, atau nilai-nilai keterampilan kognitif atau perilaku
karakteristik individual apa saja yang dapat diukur atau dihitung dan
yang dapat diperlihatkan untuk membedakan secara signifikan antara
para pengunjuk kerja terbaik dengan yang rata-rata. Terdapat lima tipe
karakteristik kompetensi yaitu sebagai berikut.
a. Motif merupakan kebutuhan dasar atau pola pikir yang
menggerakkan, mengarahkan, dan menyeleksi perilaku individual
seperti untuk berprestasi.
b. Sifat adalah bawaan umum untuk berperilaku atau merespons
dengan cara tertentu seperti kepercayaan diri, kontrol diri, resistensi
stress atau kekerasan.
c. Konsep diri adalah sikap atau nilai yang diukur oleh tes responden
yang menanyakan kepada orang yang mereka ketahui tentang nilai,
apa yang harus mereka lakukan atau mengapa mereka tertarik dalam
melakukan pekerjaan mereka.
d. Pengetahuan adalah berhubungan dengan fakta atau prosedur, baik
secara teknis atau interpersonal yang diukur oleh tes responden.
e. Keterampilan merupakan kemampuan mengerjakan tugas fisik atau
mental tertentu. Kompetensi mental atau keterampilan kognitif
termasuk berpikir analitis dan konseptual.
Sama halnya yang dinyatakan Spencer dalam Moeheriono
(2012:10) bahwa kompetensi mempunyai hubungan sebab akibat jika

118
dikaitkan dengan kinerja seseorang serta kompetensi yang terdiri atas:
motif (motive), sifat (trait), konsep diri (self concept), keterampilan
(skill), dan pengetahuan (knowledge), diharapkan dapat memprediksi
perilaku seseorang sehingga dapat memprediksi kinerja. Dimana
kompetensi selalu mengandung maksud dan tujuan tertentu yang
merupakan dorongan motif yang menyebabkan suatu tindakan
seseorang untuk memperoleh suatu hasil.
Sedangkan Rivai, (2009: 420) menyatakan bahwa tidak semua
aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja itu merupakan kompetensi.
Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya untuk mencapai
kinerja yang superior yang merupakan kompetensi yang dimilikinya.
Selanjutnya Wellance (2007: 54) menguatkan pendapat Rivai, semakin
bagus sikap seseorang dalam pengembangan kompetensi, semakin
memberikan arti penting dari sebuah kualitas sumber daya manusia.
Atau dengan kata lain sikap merupakan bagian dari kompetensi yang
menunjang kualitas sumber daya manusia. Kemudian Elsha (2003: 118)
menyatakan bahwa sikap dari orang yang memiliki kompetensi selalu
menghasilkan nilai tambah artinya selalu berorientasi pada adanya
manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari orang-orang yang
memiliki sikap kompeten. Ini menunjukkan bahwa sikap orang yang
memiliki kompetensi sangat diperlukan untuk memberikan nilai
tambah terhadap sebuah kegiatan pencapaian tujuan.
Beberapa kompetensi yang mencerminkan kemampuan yang
perlu dimiliki manusia sebagai pekerja antara lain adalah sebagai
berikut (Wibowo, 2014:282).
a. Flexibility (fleksibilitas) merupakan kecenderungan untuk melihat
perubahan sebagai peluang yang menarik dari pada sebagai
tantangan.
b. Information-Seeking Motivation and Ability to Learn (motivasi
mencari informasi dan kemampuan belajar) merupakan antusiasme
untuk mencari peluang belajar teknologi baru dan keterampilan
dalam hubungan antar pribadi. Pembelajaran jangka panjang tentang
pengetahuan dan keterampilan baru diperlukan oleh perubahan
persyaratan pekerjaan di masa depan.
c. Achievement Motivation (motivasi berprestasi) merupakan dorongan
untuk inovasi dan “kaizen”, perbaikan terus-menerus dalam kualitas
dan produktivitas yang diperlukan untuk menghadapi meningkatnya
kompetisi.

119
d. Work Motivation Under Time Pressure (motivasi kerja dalam
tekanan waktu) merupakan beberapa kombinasi dari fleksibilitas,
motivasi berprestasi, resistensi terhadap stress dan komitmen
organisasi yang memungkinkan individu bekerja dalam permintaan
yang meningkat atas produk dan jasa baru dalam waktu yang lebih
pendek.
e. Collaborativeness (kesediaan bekerja sama) merupakan kemampuan
untuk bekerja secara kooperatif dalam kelompok yang bersifat
multidisiplin dan rekan kerja yang berbeda.
f. Customer Service Orientation (orientasi pada pelayanan pelanggan)
merupakan keinginan membantu orang lain, pemahaman tentang
hubungan antarpribadi, bersedia untuk mendengarkan kebutuhan
pelanggan dan tahapan emosi, mempunyai cukup inisiatif untuk
mengatasi hambatan dalam organisasi.
Wexley dan Yulk dalam Anwar Prabu (2011: 50)
mengemukakan bahwa pelatihan dan pengembangan merupakan
istilah-istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha berencana, yang
diselenggarakan untuk mencapai penguasaan skill, pengetahuan, dan
sikap-sikap seseorang atau pekerja. Hasibuan (2007:69) berpendapat,
pengembangan adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis,
teoretis, konseptual, dan moral karyawan sesuai kebutuhan pekerjaan
atau jabatan melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan meningkatkan
keahlian teoretis, konseptual, dan moral karyawan, sedangkan latihan
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan
pekerjaan karyawan. Selanjutnya Moehriono (2012:12), menegaskan
analisis kompetensi harus dirancang dengan sebaik-baiknya karena
akan memberikan informasi yang lebih rinci dan akurat perihal suatu
pekerjaan seorang karyawan selain itu akan memudahkan manajemen
dalam penempatan karyawan sesuai dengan the right man on the right
job.
Untuk mampu membantu SDM yang memiliki kompetensi,
lembaga pendidikan memiliki peran penting yang tidak dapat disangkal
lagi. Sebagai contoh, standar jenjang pendidikan tinggi dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi Pasal 4 tertuang fungsi pendidikan tinggi.
Pendidikan Tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; mengembangkan sivitas

120
akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing,
dan kooperatif melalui pelaksanaan tridharma; dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora.
Selanjutnya pada Pasal 5 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan
tinggi untuk berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil,
kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; dihasilkannya
lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi
untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing
bangsa; dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar
bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan terwujudnya pengabdian kepada
masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat
dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip pencarian
kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika; demokratis dan berkeadilan;
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;
pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis
bagi sivitas akademika; pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang
berlangsung sepanjang hayat; keteladanan, kemauan, dan
pengembangan kreativitas mahasiswa dalam pembelajaran;
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa dengan memperhatikan
lingkungan secara selaras dan seimbang; kebebasan dalam memilih
program studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa;
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna;
keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara
ekonomi; dan pemberdayaan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan tinggi.
Semua dilaksanakan dalam rangka melaksanakan fungsi dan
peran perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran mahasiswa dan
masyarakat; wadah pendidikan calon pemimpin bangsa; pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; pusat kajian kebajikan

121
dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan
pusat pengembangan peradaban bangsa. Semua ini apabila dijalankan
dengan baik mengacu pada standar tentu lembaga pendidikan dapat
membantu membentuk kompetensi yang unggul bagi para peserta didik
sebagai bagian dari masyarakat dan calon pekerja.

Gambar 6.1. Kesenjangan Kemampuan Lulusan


(Sumber: Kompetensi KKNI-Kompetensi dan Learning Outcomes.pdf)

Gambar di atas menunjukkan bahwa di lembaga pendidikan


80% difokuskan pada penguasaan ilmu pengetahuan, sementara
penguasaan sikap hanya 20%. Hal ini berbanding terbalik dengan
kondisi untuk menghadapi dunia kerja atau dunia usaha. Dunia kerja
menuntut sikap kerja yang baik sebanyak 80% dan hanya 20%
pengetahuan dan keterampilan dari karyawan.
Proses pendidikan di lembaga pendidikan seperti yang tampak
dalam gambar di atas pada kenyataannya memang lebih mementingkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Padahal semua
ilmu pengetahuan dan teknologi akan berubah dengan cepat seiring
perkembangan IPTEK itu sendiri. Yang mampu bertahan dan
memberikan kesuksesan dan keberhasilan menghadapi berbagai
perubahan adalah kekuatan sikap mental. Oleh karena itu, dalam dunia
kerja, sikap mental dan kemampuan komunikasi memiliki peran yang

122
sangat penting dan dibutuhkan jauh lebih besar daripada penguasaan
IPTEK.
Kemampuan berpikir kritis, bersikap positif dalam menghadapi
persoalan dan berusaha mencari solusi dari permasalahan yang
dihadapi, kreatif dan inovatif, serta kemampuan berkomunikasi
menjadi sangat penting. Tanggap terhadap perkembangan teknologi
dan sikap mental positif lainnya menjadi hal penting yang harus
dimiliki oleh para lulusan. Dengan demikian, kompetensi abad 21 yang
hendaknya dimiliki para lulusan lembaga pendidikan dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
Tabel 6.1. Kompetensi Abad 21
(Sumber: Muhamad Nasir, Power Point SDM Unggul Munas MUI)

Learning and Innovation Digital


Career and Life
(the 4C’s) Literacy
Critical Thinking & Information Flexibility and
Problem Solving Literacy Adaptability
Media Initiative and
Creativity and Innovation
Literacy Self-direction
Social and Cross-
ICT
Communication Cultural
Literacy
Interaction
Productivity and
Collaboration
Accountability
Leadership and
Responsibility

Internalisasi semua unsur dalam pendidikan sangat lah penting.


Tidak bisa manusia memiliki kompetensi pengetahuan saja tanpa
menumbuhkan sikap mental yang baik. Begitu pula sebaliknya, tidak
bisa manusia memiliki kompetensi yang unggul tanpa pengetahuan dan
keterampilan. Semua harus tampak sebagai satu kesatuan dalam
capaian pembelajaran. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
menyatakan, capaian pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh

123
melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi,
dan akumulasi pengalaman kerja.
Tingkat Kompetensi dirumuskan berdasarkan kriteria: 1)
tingkat perkembangan peserta didik; 2) kualifikasi kompetensi
Indonesia; dan 3) penguasaan kompetensi yang berjenjang. Jenjang
penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan
dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas:
a. lulusan Pendidikan Dasar setara dengan jenjang 1;
b. lulusan Pendidikan Menengah paling rendah setara dengan jenjang
2;
b. lulusan Diploma 1 paling rendah setara dengan jenjang 3;
c. lulusan Diploma 2 paling rendah setara dengan jenjang 4;
d. lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan jenjang 5;
e. lulusan Diploma 4 atau Sarjana Terapan dan Sarjana paling rendah
setara dengan jenjang 6;
f. lulusan Magister Terapan dan Magister paling rendah setara
dengan jenjang 8;
g. lulusan Doktor Terapan dan Doktor setara dengan jenjang 9;
h. lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8;
i. lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.

124
Gambar 6.2. Peningkatan Akuntabilitas Penyelenggaraan Program
(Sumber: Penyusunan Learning Outcomes Program Studi.pdf)

Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui


pelatihan kerja dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas:
a. lulusan pelatihan kerja tingkat operator setara dengan jenjang 1,2,
dan 3;
b. lulusan pelatihan kerja tingkat teknisi/analis setara dengan jenjang
4, 5, dan 6;
c. lulusan pelatihan kerja tingkat ahli setara dengan jenjang 7, 8, dan 9.
Selanjutnya deskripsi jenjang KKNI secara umum adalah
sebagai berikut.
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam
menyelesaikan tugasnya.
c. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air
serta mendukung perdamaian dunia.

125
d. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian
yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya.
e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan,
dan agama serta pendapat atau temuan original orang lain.
f. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat
untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.
Dan berikut adalah uraian kompetensi untuk diketahui dan
dikuasai oleh setiap jenjang kualifikasi.

Tabel 6.2. Uraian Kompetensi Jenjang Kualifikasi


Jenjang Uraian
Kualifikasi
Mampu melaksanakan tugas sederhana, terbatas,
bersifat rutin, dengan menggunakan alat, aturan, dan
proses yang telah ditetapkan, serta di bawah
bimbingan, pengawasan, dan tanggung jawab
1
atasannya.
Memiliki pengetahuan faktual.
Bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan tidak
bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain.
Mampu melaksanakan satu tugas spesifik, dengan
menggunakan alat, dan informasi, dan prosedur kerja
yang lazim dilakukan, serta menunjukkan kinerja
dengan mutu yang terukur, di bawah pengawasan
langsung atasannya.
2 Memiliki pengetahuan operasional dasar dan
pengetahuan faktual bidang kerja yang spesifik,
sehingga mampu memilih penyelesaian yang tersedia
terhadap masalah yang lazim timbul.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggungjawab membimbing orang lain.
Mampu melaksanakan serangkaian tugas spesifik,
dengan menerjemahkan informasi dan menggunakan
alat, berdasarkan sejumlah pilihan prosedur kerja, serta
3
mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan
kuantitas yang terukur, yang sebagian merupakan hasil
kerja sendiri dengan pengawasan tidak langsung.

126
Memiliki pengetahuan operasional yang lengkap,
prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan
fakta bidang keahlian tertentu, sehingga mampu
menyelesaikan berbagai masalah yang lazim dengan
metode yang sesuai.
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi
dalam lingkup kerjanya.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggungjawab atas kuantitas dan mutu hasil
kerja orang lain.
Mampu menyelesaikan tugas berlingkup luas dan
kasus spesifik dengan menganalisis informasi secara
terbatas, memilih metode yang sesuai dari beberapa
pilihan yang baku, serta mampu menunjukkan kinerja
dengan mutu dan kuantitas yang terukur.
Menguasai beberapa prinsip dasar bidang keahlian
4 tertentu dan mampu menyelaraskan dengan
permasalahan faktual di bidang kerjanya.
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi,
menyusun laporan tertulis dalam lingkup terbatas, dan
memiliki inisiatif.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggungjawab atas hasil kerja orang lain.
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas,
memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang
sudah maupun belum baku dengan menganalisis data,
serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan
kuantitas yang terukur.
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan
5 tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan
penyelesaian masalah prosedural.
Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun
laporan tertulis secara komprehensif.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja
kelompok.
Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan
6
memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau

127
seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta
mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan
tertentu secara umum dan konsep teoretis bagian
khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara
mendalam, serta mampu memformulasikan
penyelesaian masalah prosedural.
Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan
analisis informasi dan data, dan mampu memberikan
petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi
secara mandiri dan kelompok.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggungjawab atas pencapaian hasil kerja
organisasi.
Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di
bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara
komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni untuk
menghasilkan langkah-langkah pengembangan
strategis organisasi.
7 Mampu memecahkan permasalahan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang
keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner.
Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan
strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab
penuh atas semua aspek yang berada di bawah
tanggung jawab bidang keahliannya.
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya atau
praktik profesionalnya melalui riset, hingga
menghasilkan karya inovatif dan teruji.
Mampu memecahkan permasalahan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang
8
keilmuannya melalui pendekatan inter atau
multidisipliner.
Mampu mengelola riset dan pengembangan yang
bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta
mampu mendapat pengakuan nasional dan
internasional.

128
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau
praktik profesionalnya melalui riset, hingga
menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
Mampu memecahkan permasalahan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang
9
keilmuannya melalui pendekatan inter, multi, dan
transdisipliner.
Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan
riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi
kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat
pengakuan nasional dan internasional.

Perkembangan zaman terus berubah dengan cepat. Pada era


revolusi industri 4.0 atau dikenal dengan era digital seperti sekarang ini
kemampuan seseorang sangat penting untuk tetap dapat bertahan dan
menyesuaikan diri dengan keadaan. Inti dari kemampuan atau
kompetensi yang harus dimiliki dikemas menjadi istilah hard skills dan
soft skills. Dua kompetensi ini menjadi penting untuk dikuasai.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat
ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Hard skills
berkenaan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan
keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmu atau suatu
pekerjaannya. Hard skills lebih berorientasi pada mengembangkan
intelligence quotient (IQ). Sementara soft skills lebih menekankan pada
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain
(interpersonal skills) dan keterampilan menguasai dan mengatur
dirinya sendiri (intrapersonal skills). Soft skills lebih berorientasi pada
mengembangkan emosional quotient (EQ).
Ramayulis (2013: 496) mengelompokkan kompetensi
pedagogik, personal, profesional, dan sosial menjadi dua kompetensi
atau keterampilan, yaitu hard skills dan soft skills. Kompetensi
pedagogik dan profesional dimasukkan dalam kategori hard skills.
Sedangkan kompetensi personal dan sosial dimasukkan dalam kategori
soft skills.

129
C. Sikap Mental SDM Berkualitas
Hasil penelitian mengungkapkan fakta bahwa ternyata
kecerdasan intelektual (IQ) hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam
menentukan keberhasilan hidup (pencapaian prestasi dalam hidup),
sedangkan sisanya 80% ditentukan oleh faktor-faktor lainnya. Diantara
yang terpenting adalah kecerdasan emosi (EQ).
Kenyataan dalam kehidupan ternyata banyak sekali masalah-
masalah yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan menggunakan
kemampuan intelektual manusia. Sederhananya, banyak sekali hal-hal
yang dijumpai di dunia ini yang tidak dapat dipahami hanya oleh akal
saja. Sehingga banyak hal dalam kehidupan harus disikapi dengan
meredam (menata) emosi. Inilah mengapa kecerdasan emosi
mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam mencapai keberhasilan
hidup.
Esensi kecerdasan ini adalah pengembangan kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan suasana hati, temperamen,
motivasi, dan hasrat keinginan orang lain (Uno dan Kudrat, 2009).
Goleman berpendapat bahwa faktor emosi sangat penting dan
memberikan pengayaan warna bagi kecerdasan interpersonal.
Kecerdasan emosi merupakan perwujudan dari soft skill dalam diri
manusia. Kecerdasan emosi dikembangkan oleh Daniel Goleman
(2000). Kecerdasan emosi ini sebenarnya tampak pada kemampuan
atau kecerdasan interpersonal dan intrapersonal seseorang. Kecerdasan
emosi menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan
diri masing-masing dan perasaan orang lain; kemampuan untuk
memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang
muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Penelitian yang dilakukan Daniel Goleman tentang kompetensi-
kompetensi aktual yang mengantarkan kepada kesuksesan dalam
pekerjaan apapun, membuktikan bahwa dalam menentukan pencapaian
prestasi puncak dalam pekerjaan, peran IQ memang hanya menempati
posisi kedua sesudah kecerdasan emosi. Pada kenyataannya, perasaan
(emosi) memberikan informasi penting dan berpotensi menguntungkan
setiap saat. Umpan balik inilah (dari hati bukan kepala) yang
menyalakan kreativitas dan kejujuran pada diri sendiri, membangun
hubungan yang saling mempercayai, memberi panduan nurani bagi

130
hidup dan karir, menuntun kepada kemungkinan yang tidak terduga,
dan malah bisa menyelamatkan diri dan orang lain dari kehancuran.
Pada kenyataannya, di zaman sekarang ternyata semakin
banyak orang yang kurang mampu menahan atau menata emosinya
dengan baik. Banyak orang yang tidak dapat menahan diri terhadap
kedudukan atau jabatan sehingga menghalalkan berbagai macam cara.
Ada juga yang menunjukkan perasaannya secara meluap-luap terhadap
penguasaan materi (uang atau kekayaan) sehingga tidak heran apabila
banyak orang yang melakukan tindakan korupsi. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi banyak anak muda yang hanya tersenggol saja,
mereka akhirnya berkelahi bahkan sampai tega membunuh. Tidak
berhenti sampai di situ, karena kurang cerdas dalam mengendalikan
emosi akhirnya warga antar kampung terlibat tawuran dan korban
banyak berjatuhan.
Banyak anak muda yang mengikuti emosi dengan mengikuti
kemajuan zaman yang serba modern. Mereka menghabiskan waktu
hanya dengan nongkrong di mall bahkan di pinggir jalan, kegiatan
tersebut umumnya tidak memberikan manfaat. Banyak yang nongkrong
di tempat-tempat tersebut akhirnya berujung pada perkelahian dan
merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Gaya hidup yang hedonis
yang diikuti oleh anak muda apalagi anak-anak perempuan, akhirnya
banyak yang membawa diri mereka pada kehancuran.
Demikianlah, emosi adalah suatu keadaan biologis dan
psikologis; suatu rentangan dari kecenderungan untuk bertindak. Emosi
adalah suatu keadaan afektif yang disadari di mana dialami perasaan
seperti kegembiraan (joy), kesedihan, takut, benci, dan cinta. Bilamana
pengendalian diri terhadap emosi (afektif) dapat dilakukan dengan baik,
maka akan sangat membantu seseorang untuk dapat menguasai diri,
yakni kemampuan untuk menghadapi badai emosi terutama berupa
nafsu seperti amarah yang meluap-luap, cemas yang berlebihan, depresi
berat dan gangguan emosional yang berlebihan. Dalam belajar ternyata
tidak hanya menyangkut interaksi antara anak atau peserta didik dengan
buku-buku atau mata pelajaran saja, tetapi juga melibatkan hubungan
manusiawi (emosional) antara anak atau peserta didik dengan para
pendidiknya. Di sinilah pentingnya kecerdasan (mengelola) emosi
dalam belajar.
Ditegaskan kembali bahwa pengembangan proses pendidikan
utamanya potensi yang harus digali adalah bagaimana menumbuhkan

131
kecerdasan emosi. Suyadi (2014: 119) menguraikan bahwa otak
emosional berpusat di dalam sistem limbik. Sistem ini secara evolutif
jauh lebih tua daripada bagian cortex cerebri karena sistem limbik
tumbuh dan berkembang lebih awal dari cortex cerebri. Artinya, pada
awalnya bagian otak yang pertama muncul adalah sistem limbik.
Dalam meningkatkan kecerdasan emosi, perlu diketahui dan
dipahami oleh para pendidik bahwa fungsi sistem limbik adalah sebagai
sarana untuk pengaturan emosi. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan otak manusia dimulai dengan pikiran emosional
sebelum pikiran rasional berfungsi. Oleh karena itu, otak anak-anak
pada dasarnya adalah otak emosional bukan otak rasional. Atas dasar
ini, pembelajaran yang efektif pada anak-anak adalah stimulasi
emosionalitas, seperti memberikan rasa gembira, semangat, antusias,
dan lain-lain.
Walaupun demikian, otak emosional juga tidak dapat bekerja
sendirian tanpa peran otak rasional dan otak spiritual. Emosi, rasio, dan
termasuk spiritual terangkai menjadi satu kesatuan dalam jaringan
neural dari akal sehat. Selanjutnya diuraikan bahwa emosi yang tidak
terkendali atau tidak terarahkan dapat menjadi sumber utama dari
perilaku irasional. Akan tetapi, mengurangi emosi juga menjadi sumber
yang sama pentingnya dalam membentuk perilaku irasional. Dengan
kata lain, emosi yang tidak terkontrol menimbulkan perilaku brutal
yang berujung pada tindakan kriminal, sedangkan rendahnya emosional
akan menimbulkan perilaku malas, lemah berpikir, lemah penglihatan,
dan lain sebagainya. Sebab itu, pendidik perlu mengajarkan dan
membimbing anak sejak usia dini untuk mengelola emosi dengan baik.
Demikianlah, bahwa hasil kerja otak emosional disebut
kecerdasan emosional. Goleman (1997) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan
menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan
berdoa. Oleh karena itu, suasana hati positif seperti perasaan senang dan
santai sebelum dan pada saat belajar akan mempertinggi efektivitas
belajar.
Pengabaian akan pentingnya pengembangan kecerdasan
emosional pada anak atau peserta didik ini tentu akan berdampak
negatif. Pendidik yang tidak mengarahkan anak atau peserta didik agar

132
memiliki kecerdasan emosi dapat menimbulkan perilaku malas atau
berperilaku menyimpang. Agar emosi anak terkendali, pendidik harus
dengan sabar mengarahkan dan membimbing anak dengan penuh
perhatian.
Pendidik perlu memotivasi dan menggunakan pendekatan yang
tepat. Misal, volume dan intonasi suara yang tepat, ekspresi kuat, serta
penuh perhatian mampu membuat anak atau peserta didik dapat
menyimpan materi pelajaran atau nasehat dalam memori jangka
panjangnya. Wilayah-wilayah kecerdasan emosional tersebut yaitu: 1)
mengenali emosi diri; 2) mengelola emosi; 3) memotivasi diri; 4)
mengenali emosi orang lain; dan 5) membina hubungan.
Anak yang sejak usia dini sudah mampu mengendalikan emosi
atau memiliki kecerdasan emosional setelah remaja ternyata lebih
mampu menjalin hubungan sosial, memiliki kepribadian yang lebih
tegas, lebih efektif dalam bertindak, dan lebih mampu menghadapi
kekecewaan hidup. Anak yang memiliki kecerdasan emosi lebih
percaya diri dan lebih siap menghadapi tantangan kehidupan. Ini tentu
menjadi indikator bahwa anak yang mampu mengendalikan emosi akan
hidup bahagia dan sukses mencapai tujuan yang ditetapkannya dalam
hidup.
Sementara anak yang tidak dibantu memiliki kecerdasan
emosional sejak dini, ketika remaja ia cenderung lebih sulit menjalin
hubungan sosial dengan orang lain, lebih mudah kecewa dan frustrasi
atau putus asa, bahkan berperilaku kasar terhadap orang lain. Anak
yang sejak dini tidak mampu mengelola emosi dengan baik ini juga
lebih mudah iri hati dan cemburu. Selain itu mereka akan menanggapi
gangguan dengan cara yang kasar dan berlebihan.
Agar anak dapat dibantu mengendalikan emosinya, maka para
pendidik (orangtua dan guru) perlu memperhatikan pengembangan
semua unsur pembentukan manusia itu sendiri. Beberapa ahli meyakini
bahwa makanan yang bergizi, perhatian dan kasih sayang, serta
penanaman ajaran agama disinyalir dapat menjadi langkah efektif yang
dapat menjadikan otak emosional anak menjadi lebih matang.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang
mengenali perasaan dirinya sendiri dan perasaan orang lain;
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannnya dengan orang

133
lain. Untuk memiliki keterampilan melek emosi (emotional literacy
skills), seseorang perlu dilatih 5 hal. Lima keterampilan melek emosi
tersebut yaitu, 1) keterampilan memahami perasaan; 2) keterampilan
merasakan empati; 3) kemampuan mengelola emosi; 4) keterampilan
memperbaiki kerusakan emosi; 5) mengembangkan keterampilan yang
disebut emotional interactivity (interaktivitas emosional).
Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan
seseorang yang paling dalam dan merupakan suatu kekuatan karena
dengan adanya emosi itu manusia dapat menunjukkan keberadaannya
dalam masalah-masalah manusiawi. Emosi menyebabkan seseorang
memiliki rasa cinta yang sangat dalam sehingga mampu melakukan
pengorbanan yang sangat besar sekalipun.
Demikianlah kenyataannya, terkadang kekuatan emosi
seringkali mengalahkan kekuatan akal. Ada suatu perbuatan yang
secara akal tidak mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan
emosi sesuatu yang mustahil dapat dilakukannya. Emosi merupakan
suatu kekuatan yang dapat mengalahkan akal (nalar), sehingga harus
ada upaya mengendalikan, mengatasi, dan mendisiplinkan kehidupan
emosional. Emosi yang mampu dikendalikan dengan baik akan menjadi
kekuatan seseorang dalam menghadapi persoalan apapun dalam
hidupnya. Sebaliknya, emosi yang tidak dikendalikan dengan baik akan
dapat menimbulkan masalah bahkan dapat membahayakan diri sendiri
dan orang lain.
Selain itu, emosi yang tidak dikendalikan, diatasi, dan
didisiplinkan dapat mempengaruhi metabolisme tubuh, ekspresi wajah,
dan sikap atau perilaku seseorang. Pengaruh rasa takut dan marah yang
bukan pada tempatnya atau porsinya dapat menyebabkan hati dan
jantung berdebar-debar, mulut terasa kering, tekanan darah dan kerja
susunan pencernaan bisa berubah-ubah. Gangguan emosional juga
dapat mengakibatkan kesulitan berbicara. Ketegangan emosional yang
berkepanjangan dapat menyebabkan orang menjadi gagap. Sikap takut
atau agresif juga dapat diakibatkan oleh ketegangan emosional atau
frustrasi. Ketegangan emosional yang terus-menerus muncul akan
menimbulkan konflik emosional dalam diri individu tersebut.
Untuk mampu mengendalikan emosi, manusia perlu pendidikan
spiritual. Kompetensi sikap yang baik diawali dengan pengenalan diri
terhadap sisi spiritual. Kecerdasan spiritual mampu mengendalikan
perasaan dan emosi. Apabila kecerdasan spiritualnya baik, dapat

134
dikatakan bahwa ia memiliki sikap atau akhlak yang baik. Dipertegas
Darmiyati Zuchdi (2009: 110) bahwa kecerdasan rohaniah (spiritual)
dilihat dari akhlak mulia secara individual dan sosial yang dimiliki
seseorang. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari seharusnya
teraktualisasi dalam bentuk amal shaleh berupa segala ucapan dan
tindakan yang baik dan bermanfaat. Dan indikator kecerdasan rohaniah
(spiritual) adalah takwa.
Seperti yang telah dinyatakan di atas, kecerdasan intelektual
(IQ) hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam menentukan
keberhasilan hidup (pencapaian prestasi dalam hidup), sedangkan
sisanya 80% ditentukan oleh faktor-faktor lainnya. Diantara yang
terpenting adalah kecerdasan emosi (EQ). Sebab itu, baik peserta didik
maupun pendidik dalam lingkungan pendidikan selain diarahkan untuk
menguasai hard skills (penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan
teknis dalam suatu ilmu atau pekerjaan) juga perlu memiliki soft skills.
Ramayulis (2013: 495) menegaskan pentingnya kemampuan soft skills
dalam pendidikan.
Kemampuan soft skills terdiri atas kompetensi personal dan
sosial. Ramayulis (2013: 498-503) melihat kemampuan ini
menunjukkan kemampuan mengendalikan diri baik secara emosional
maupun spiritual. Kompetensi kepribadian atau dikenal dengan istilah
intrapersonal skills, yaitu kemampuan mengelola diri, sebagai berikut.
a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum sosial, kebudayaan
Indonesia, dengan indikator: 1) menghargai peserta didik atau
manusia tanpa membedakan status; 2) bersikap sesuai dengan
norma-norma yang berlaku.
b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif
dan berwibawa, dengan indikator: 1) pribadi yang mantap dan
stabil; 2) pribadi yang arif dan bijaksana, bertanggung jawab dan
mempunyai kewibawaan.
c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang beriman, Islam dan ihsan,
berakhlak mulia, bertakwa, menjadi teladan, dengan indikator: 1)
jujur, tegas, manusiawi; 2) bertakwa dan berakhlak mulia; 3)
menjadi teladan bagi peserta didik atau orang lain.
d. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, bangga
menjadi pendidik (guru), percaya diri, mandiri secara profesional,
dengan indikator: 1) mengutamakan kepentingan profesi dan

135
kepentingan lain; 2) bekerja secara profesional; 3) bekerja dengan
niat ikhlas karena Allah.
e. Mampu menjunjung tinggi, memahami, menerapkan dan
berperilaku sesuai kode etik profesi (guru), dengan indikator: 1)
berperilaku sesuai dengan kode etik, 2) mampu melaksanakannya
dalam mendidik.
Sementara kompetensi sosial atau kompetensi interpersonal
skills diuraikan sebagai berikut.
a. Kecakapan berkomunikasi, yaitu keterampilan seseorang
menyampaikan pesan. Dalam berkomunikasi ada beberapa prinsip
yang harus dipahami oleh pendidik, yaitu sikap: 1) respect
(menghargai orang lain); 2) empathy (kemampuan mendengarkan
atau mengerti orang lain); 3) audible (penggunaan media yang dapat
dipahami atau didengar orang lain); 4) clarity (kejelasan pesan:
tidak multitafsir); 5) humble (sikap rendah hati yaitu dengan
melayani, menghargai, mau mendengar, mau menerima kritik, tidak
memandang remeh pihak lain, berani mengakui kesalahan, rela
memaafkan, lemah lembut, pengendalian diri, mengutamakan
kepentingan lebih besar.
Selain memahami prinsip-prinsip berkomunikasi, seorang pendidik
juga harus mampu mempergunakan bahasa yang indah, lemah
lembut, tegas dan menyentuh jiwa, sebagaimana dikemukakan
dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1) Qaulan ma’rufan, berarti ucapan indah, baik, bertujuan baik dan
pantas.
2) Qaulan kariman, berarti ucapan yang mulia, lembut, sopan
santun, dan tenang.
3) Qaulan maysuran, berarti ucapan yang ringan, mudah
dipahami, penawar hati.
4) Qaulan layyinan, berarti ucapan yang halus, simpatik, ramah,
berkesan, dan bermanfaat.
5) Qaulan balighan, berarti ucapan yang menegaskan dan
membekas dalam hati.
6) Qaluan shadidan, berarti perbuatan yang jujur dan benar.
b. Kecakapan memberikan motivasi, yaitu keterampilan memberikan
dorongan terhadap orang lain dalam melakukan sesuatu. Dalam

136
ajaran Islam, motivasi dapat disamakan dengan niat. Niat
memberikan nilai terhadap sesuatu perbuatan. Di dalam amal,
kualitas amal seseorang ditentukan oleh niat (motivasi); dan
motivasi yang paling tinggi adalah ikhlas karena Allah Swt.
Motivasi ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan ektrinsik.
Motivasi intrinsik yaitu suatu daya atau keinginan yang datang atau
ada dalam diri manusia untuk melakukan suatu aktivitas. Motivasi
ektrinsik yaitu segala sesuatu yang datang dari luar yang mendorong
seseorang melakukan aktivitas, seperti adanya ganjaran dan
pekerjaan yang dilakukan, adanya sesuatu yang menarik perhatian.
Motivasi intrinsik lebih penting dari motivasi ektrinsik.
c. Kecakapan bekerjasama, yaitu keterampilan seseorang dalam
bekerja sama atau membangun tim agar dapat membangun tim yang
solid. Bekerjasama yang dimaksudkan di sini adalah bekerjasama
dalam hal yang bersifat positif, sebagaimana Allah memerintahkan
manusia agar bekerjasama dalam kebaikan.
Selain kemampuan mengendalikan diri secara emosional,
manusia perlu dididik menumbuhkan kompetensi spiritualnya. Suyadi
(2014: 139) berpendapat, kecerdasan spiritual adalah kemampuan
seseorang untuk merasakan keberagamaan. Perlu ditegaskan bahwa
merasa beragama tidak sekadar hanya tahu agama. Jika demikian, maka
kemampuan spiritualitasnya tentu tidak akan berkembang. Agar
kecerdasan spiritual (kemampuan dalam keberagamaan) seseorang
muncul, orang tersebut harus benar-benar memahami dan merasakan
keberagamaannya sehingga ia mampu merasakan kehadiran Allah Swt.
Kecerdasan ini tidak hanya merasakan akan kehadiran Allah sebagai
Tuhan Yang Esa Sang Maha Pencipta seluruh sekalian alam, tetapi juga
merasa dirinya selalu dilihat oleh Allah dalam setiap kegiatan baik yang
dinyatakan dalam perbuatan maupun yang tersimpan dalam hati.
Agar manusia memiliki kemampuan menjauhkan diri dari sifat
buruk atau tercela ia harus memiliki keimanan yang kuat. Untuk
menanamkan keimanan pada anak tentulah tidak mudah dan tidak bisa
secara revolusi (cepat, dadakan, atau instan). Untuk membentuk
keimanan seseorang perlu proses. Itulah mengapa pendidikan anak
sejak usia dini menjadi sangat penting dan harus diperhatikan secara
serius oleh para pendidik.

137
Jika sejak dini anak diperhatikan secara serius kebutuhannya
terutama akan keimanan, maka anak akan tumbuh menjadi manusia
yang baik dan benar; manusia yang tidak akan merusak dirinya sendiri,
orang lain, maupun lingkungannya. Ia akan tumbuh menjadi manusia
yang mampu memimpin diri dan orang-orang di sekitarnya dalam
melaksanakan perbuatan baik. Dan selain mampu melaksanakan hal-
hal yang diperintahkan, ia juga akan mampu menjauhi hal-hal yang
dilarang oleh Sang Maha Pencipta Seluruh Sekalian Alam, Sang
Pencipta Yang Tunggal, Allah Swt.
Orang yang beriman akan selalu menjaga dirinya untuk tidak
berlaku curang atau menyakiti orang lain. Orang yang beriman akan
selalu memenuhi dan mendahulukan kewajiban-kewajibannya. Orang
yang beriman akan selalu bertanggung jawab, jujur, kerja keras,
menyenangkan orang lain, dan memberikan rasa aman bagi orang-
orang yang berada di dekatnya. Generasi inilah yang seharusnya
dibentuk untuk menjadi pemimpin masa depan di Indonesia. Generasi
seperti ini akan dapat diwujudkan optimal ketika mereka dibentuk sejak
usia dini.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa Darmiyati
Zuchdi (2009: 110) menyatakan kecerdasan rohaniah (spiritual) dapat
dilihat dari akhlak mulia secara individual dan sosial yang dimiliki
seseorang. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari seharusnya
teraktualisasi dalam bentuk amal shaleh berupa segala ucapan dan
tindakan yang baik dan bermanfaat. Dan indikator kecerdasan rohaniah
(spiritual) adalah takwa.
Tak diragukan lagi, esensi dari pendidikan adalah proses
pembentukan karakter dan menumbuhkan potensi yang ada dalam diri
para peserta didik. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan

138
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan: 1) peningkatan iman dan
takwa; 2) peningkatan akhlak mulia; 3) peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik; 4) keragaman potensi daerah dan
lingkungan; 5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; 6) tuntutan
dunia kerja; 7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8) agama; 9) dinamika perkembangan global; dan 10) persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw dalam rangka
memperbaiki akhlak (karakter) manusia. sementara akal yang
merupakan kelebihan yang diberikan Allah membantu manusia
menentukan apakah dirinya akan menjadi manusia yang berakhlak
mulia dan beradab atau tidak. Pendidikan merupakan suatu proses
membantu anak mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Potensi yang digali ini tentulah potensi yang positif agar manusia
berhasil mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya.
Potensi negatif yang ada dalam diri manusia melalui pendidikan ditekan
agar tidak tumbuh berkembang. Melalui pendidikan inilah karakter
unggul manusia dapat terbentuk. Pendidikan karakter yang diciptakan
dalam lingkungan keluarga maupun sekolah secara konsisten dan terus
menerus mampu membentuk anak memiliki karakter unggul atau
akhlak mulia (Helmawati, 2017: 1-2).
Thomas Lickona (2013: 8) menyatakan bahwa kesehatan
bangsa kita dalam beberapa abad mendatang bergantung pada
bagaimana keseriusan kita semua untuk berkomitmen terhadap
pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus menyatakan
bahwa karakter membentuk takdir seseorang dan takdir tersebut
menjadi takdir seluruh masyarakat. Pada karakter warga negara pun
terletak kesejahteraan bangsa.
Pendidikan adalah proses pengendalian diri dan penumbuhan
potensi positif yang ada dalam diri manusia. Agar mampu
mengendalikan diri dengan baik anak perlu diajarkan mengendalikan
perasaan. Dan yang pertama membantu seseorang mengendalikan
perasaannya adalah keseimbangan rohani. Itulah asas kebahagiaan
abadi. Berdasarkan studi Universitas Harvard AS, kecakapan personal
(mengendalikan perasaan) memainkan peran 93% sedangkan
kecakapan profesional hanya 7% (Ibrahim Elfiky, 2010: 20).

139
Lebih lanjut, Elfiky (2010: 42) menguraikan perasaan menjadi
bahan bakar manusia. Ruh memerlukan rumah sebagai tempat tinggal,
yaitu jasad. Jasad membutuhkan dinamo sebagai penggerak, yaitu akal.
Dan dinamo membutuhkan bahan bakar supaya berfungsi. Bahan bakar
tersebut adalah perasaan. Perasaan melahirkan perilaku. Perhatikan
selalu agar menjauhkan diri dari perasaan negatif. Usahakan agar
perasaan selalu stabil, maka kesehatan, pikiran, dan perilaku akan
membaik. Dan produktivitas juga akan meningkat. 93% produktivitas
seseorang ditentukan kemampuan asasinya, yaitu: akhlak, sikap,
perilaku, pikiran, fleksibilitas, dan perasaan (2010: 49).
Dalam rangka pengembangan sumber daya manusia dan agar
seseorang siap dalam menjalankan profesinya, ia perlu (Ibrahim Elfiky,
2010: 65):
a. Pengendalian diri, merupakan salah satu dasar pengembangan
sumber daya manusia.
b. Seni berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
c. Tujuan dan cara mencapainya.
d. Tantangan dan bagaimana menghadapinya.
e. Bagaimana menghadapi rintangan.
f. Kerja dan fungsi otak serta proses berpikir.
Sumber dan penyebab perasaan yaitu pengetahuan, imajinasi,
dan ingatan. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain.
Pengetahuan tentang perasaan merupakan langkah awal untuk
mengubah perasaan itu sendiri. Semua yang kita katakan pada diri kita
sendiri lebih dari sekali, apalagi diikat dengan perasaan, akan menjadi
keyakinan. Jika diulang-ulang, hal itu akan menjadi program yang
tertanam kuat dan sewaktu-waktu muncul secara spontan. Itulah salah
satu jenis adaptasi syaraf. Itulah mekanisme terbentuknya kebiasaan
seseorang. Semua yang dilakukan semula pasti sulit. Selanjutnya,
menjadi mudah. Jika dilakukan berulang-ulang, ia akan menjadi
spontanitas, lalu berubah menjadi kebiasaan. Inilah teknis pembentukan
karakter (Ibrahim Elfiky, 2010: 101-102).
Sikap dan perilaku yang tidak perlu lagi dipikirkan pada saat
akan bertindak dan menjadi kebiasaan, itu lah gambaran akhlak
seseorang. Akhlak yang baik menjadi ciri sikap mental yang positif.
Sebaliknya akhlak yang buruk menjadi tanda sikap mental negatif
seseorang. Semua itu dipengaruhi oleh kondisi perasaan atau hati.

140
Sehingga dalam ajaran Islam disebutkan, apabila ingin baik, maka
perbaikilah hati, sebab segala sesuatu berawal dari hati.
Untuk dapat hidup bahagia dan sukses tentu sikap mental positif
atau akhlak mulia yang harus dikembangkan. Menghadapi berbagai
kondisi yang dinamis dalam kehidupan akan sukses dengan sikap
mental yang positif dan baik. Menghadapi berbagai perubahan dalam
pekerjaan dengan sikap mental positif. Mempersiapkan dan
mengembangkan atau meningkatkan kompetensi diri akan berhasil
dengan sikap mental positif. Belajar hingga memiliki pengetahuan dan
keterampilan pun, agar berhasil perlu sikap mental positif.
Berdasarkan perspektif neurosains kognitif, kondisi-kondisi
emosional merupakan koneksi-koneksi saraf yang kompleks yang
meliputi emosi, kognisi, dan perilaku (Dale H. Schunk, (2012: 81)
mengutip Jensen (2005). Kondisi akan berubah sesuai dengan situasi.
Ketika segala sesuatu berjalan lancar, manusia akan merasa senang,
sebaliknya, kondisi akan merasa cemas apabila ada permasalahan yang
membebaninya. Kondisi-kondisi emosional yang meliputi emosi,
kognisi, dan perilaku dapat diarahkan untuk pembelajaran dalam
rangka pencapaian kompetensi diri. Para pendidik memperhatikan
kondisi para peserta didiknya sebelum proses pembelajaran atau
kegiatan berlangsung, kemudian berusaha untuk mengubah kondisi
dengan memfokuskan perhatian kepada pembelajaran atau tugas yang
mereka hadapi.
Keterpaduan antara kondisi-kondisi emosional merupakan
koneksi-koneksi saraf yang kompleks yang meliputi emosi, kognisi,
dan perilaku yang dikemukakan neurosains sangatlah penting. Masing-
masing komponen tidak dapat menuntun pada pembelajaran yang
diinginkan jika berdiri sendiri (Dale H. Schunk, (2012: 82). Komponen
inilah yang membantu terwujudnya kompetensi yang diharapkan.
Otak manusia terdiri dari 100 miliar sel neuron. Otak manusia
jauh lebih canggih dibandingkan dengan computer yang paling cerdas
di muka bumi. Dan otak manusia menunjukkan potensi mengagunkan
yang belum sepenuhnya disadari (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl,
2014: 46).
Satu hal yang jelas, jika ingin mengembangkan otak, manusia
membutuhkan latihan terus-menerus setiap hari, mirip dengan orang
yang berfisik bugar mengembangkan dan memelihara kelenturan otot.

141
Apresiasi dan pemahaman terhadap “ruang dalam” dan cara otak
bekerja adalah sangat dasar sekali untuk memahami proses belajar
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2014: 47).
Belajar erat kaitannya dengan mendapatkan ilmu pengetahuan,
dan pembentukan sikap serta perilaku. Pengembangan ilmu sangat erat
kaitannya dengan pembangunan, sebab itu merupakan prasyarat bagi
pembangunan. Ilmu membimbing aktivitas manusia dalam
pembangunan, baik pembangunan fisik maupun nir-fisik (Rizal
Muntasir dan Misnal Munir, 2015: 173).
Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis. Pengetahuan yang
diperoleh melalui indera disebut dengan pengetahuan inderawi. Setelah
diadakan penelitian dan eksperimen, maka ilmu tersebut disebut ilmu
pengetahuan (science) (Juhaya S. Praja, 2014: 9). Dan sebagaimana
yang diketahui bahwa untuk mampu melakukan perubahan pada diri
manusia, ia perlu pengetahuan. Pengetahuan ini mewakili 50%
perubahan. Pengetahuan perlu diikuti pengambilan keputusan untuk
berubah.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa sumber, yakni:
1) pengetahuan wahyu (revealed knowledge), 2 pengetahuan intuitif
(intuitive knowledge), 3) pengetahuan rasional (rational knowledge), 4)
pengetahuan empiris (empirical knowledge), dan 5) pengetahuan
otoritas (authoritative knowledge) (A. Fuad Ihsan: 2015: 92).
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa ilmu adalah sesuatu
kumpulan pengetahuan yang sistematis. Diuraikan lebih lanjut bahwa
definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam
komponen, yaitu: masalah (problem), sikap (attitude), metode
(method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh
(effects) (A. Fuad Ihsan: 2015: 110).
Islam memandang umat manusia sebagai makhluk yang
dilahirkan dalam keadaan kosong, tak berilmu pengetahuan. Namun
demikian, Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi demi kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Potensi tersebut
terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yang berfungsi
sebagai alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar. Ada pun
ragam alat fisio-psikis itu seperti terungkap dalam beberapa firman
Tuhan, adalah sebagai berikut (Muhibbin Syah, 2013: 87).

142
a. Indera penglihat (mata) yakni alat fisik yang berguna untuk
menerima informasi visual.
b. Indera pendengar (telinga) yakni alat fisik yang berguna untuk
menerima informasi verbal atau stimulus suara dan bunyi-bunyian.
c. Akal, yakni potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang
kompleks untuk menyerap, mengolah, menyimpan, dan
memproduksi kembali item-item informasi dan pengetahuan (ranah
kognitif).
Dalam Epistemologi Islam ada tiga jalan untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu panca indera, akal, dan kalbu. Melalui panca indera
seseorang memperoleh pengetahuannya. Akal adalah alat untuk
berpikir rasional, maka kalbu (hati) adalah alat untuk merasakan hal-
hal yang tidak bersifat materi dan tidak tercapai oleh akal. Keduanya
adalah alat untuk mengetahui. Akal memperoleh pengetahuan melalui
pengamatan indera terhadap objek-objek material untuk akhirnya
sampai pada kesimpulan yang abstrak. Kesimpulan itulah yang disebut
pengetahuan akal. Kalbu langsung memperoleh pengetahuan dari
sumber pertama yaitu Tuhan (Ahmad Tafsir, 2008: 56).
Sebab kemampuan akal diperoleh melalui indera, maka
kemampuannya juga terbatas. Para filosof juga mengakui bahwa
kemampuan akal memang terbatas. Kant menyatakan bahwa akal hanya
dapat mengetahui sebatas fenomena, yaitu sesuatu yang empirik. Akal
tidak mungkin mengetahui yang noumena, yaitu sesuatu yang
metafisik. Dalam daerah noumena itu ada alam ghaib. Bila akal
mencoba menembus noumena, maka akal itu akan tersesat dan
mengalami paralogisme, bila indera memasuki daerah noumena ia akan
mengalami antinomi (Ahmad Tafsir, 2008: 53).
Menyelenggarakan pendidikan keimanan dan ketakwaan
merupakan tugas seluruh pihak. Bukan hanya guru PAI, tetapi juga
orangtua, dan guru mata pelajaran lainnya. Lantas bagaimana guru
bukan mata pelajaran agama melaksanakan pendidikan iman dan
takwa? Caranya ialah dengan mengintegrasikan ajaran agama ke dalam
pembelajarannya (dalam istilah kurang lebih disebut tematik). Dalam
pelaksanaannya bisa timbal balik, materi pelajaran agama
diintegrasikan ke dalam materi pelajaran umum, demikian juga
sebaliknya (Ahmad Tafsir, 2008: 85).

143
Pengintegrasian itu dapat dilakukan pada: 1) materi pelajaran,
2) proses, 3) memilih bahan ajar, dan 4) memilih media pengajaran.
Pengintegrasian materi, maksudnya ialah mengintegrasikan konsep
atau ajaran agama ke dalam materi (teori, konsep) yang sedang
diajarkan. Ini terbagi menjadi beberapa kemungkinan (Ahmad Tafsir,
2008: 85-86).
a. Pengintegrasian filosofis, bila tujuan fungsional mata pelajaran
(umum) sama dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama.
Misal, Islam mengajarkan perlunya hidup sehat, sementara ilmu
kesehatan juga mengajarkan perlunya hidup sehat; matematika
mengajarkan ketelitian, Islam juga mengajarkan ketelitian.
b. Pengintegrasian ilmu agama dengan sains. Misal, Ilmu Pengetahuan
Alam harus mengajarkan bahwa turunan manusia adalah dari
manusia bukan dari hewan. Hal ini tentu harus sama dengan
pernyataan agama Islam yang menyatakan bahwa manusia adalah
turunan Nabi Adam.
c. Pengintegrasian konsep yang saling mendukung. Misal, dalam ilmu
kesehatan menyatakan bahwa diet penting untuk kesehatan. Guru
tersebut juga dapat melanjutkan penjelasan bahwa dalam Islam
puasa merupakan diet yang sangat baik.
Pengintegrasian juga diperlukan dalam proses pembelajaran.
Konsepnya, jangan ada proses pembelajaran yang berlawanan dengan
ajaran agama Islam. Misal, guru laki-laki mengajari berenang pada
murid perempuan dewasa. Carilah guru renang perempuan sebagai
gantinya. Dengan demikian proses berjalan sesuai dengan ajaran Islam
(Ahmad Tafsir, 2008: 87).
Pengintegrasian juga diperlukan dalam memilih bahan ajar.
Misalnya, guru Bahasa Indonesia dapat memilih bahan ajar yang
memuat ajaran Islam untuk dibahas, seperti memilih bahan bacaan atau
sajak atau puisi dan sebagainya. Di sini tampak bahwa guru Bahasa
Indonesia memang berniat meningkatkan iman dan takwa siswa melalui
pengajaran Bahasa Indonesia. Guru lainnya juga demikian, dan
seterusnya. Pengintegrasian juga dapat dilakukan dalam memilih
media. Misalnya, tatkala guru Matematika memilih sosok, ia
menggunakan sosok mesjid untuk mengganti rumah. Ia mengajarkan
bahwa satu masjid ditambah dua masjid sama dengan tiga masjid. Atau
menghitung luas bangunan masjid. Pengintegrasian ini dilakukan
secara selintas, seperti tidak sengaja, tidak formal, tidak ditulis dalam

144
lesson plan (persiapan mengajar), tidak dievaluasi baik pada pre-test,
post-test, maupun pada saat ulangan umum dan tidak mengurangi
waktu efektif pengajaran umum (Ahmad Tafsir, 2008: 88).
Usaha pengintegrasian ini merupakan upaya untuk meng-
counter pandangan yang selama ini menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai. Usaha pengintegrasian PAI pada mata
pelajaran lain juga selain dalam rangka mendidik iman dan takwa juga
berdaya dalam menghilangkan pandangan dikotomis yang menganggap
bahwa pengetahuan ilmu, filsafat, dan mistik merupakan pengetahuan
yang bebas nilai. Dapat pula membuang pandangan yang mengatakan
bahwa ajaran agama itu tidak memiliki kaitan dengan pengetahuan itu
sendiri; bahwa keduanya tidak dapat disatukan; bahwa agama dianggap
menghambat perkembangan pengetahuan. Pandangan tersebut
merupakan akibat dari cara pandang yang keliru, baik terhadap agama
maupun terhadap pengetahuan umum. Justru sebaliknya, jika dipahami
dengan seksama, maka pengetahuan agama memandu pengetahuan
umum (Ahmad Tafsir, 2008: 89).
Pengetahuan dari cara perolehannya dibagi menjadi ilmu
pengetahuan dan pengetahuan praktis. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
menyatakan Ilmu Pengetahuan (science) adalah rangkaian pengetahuan
yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan
menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi
ilmiah untuk menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan
tertentu. Sedangkan pengetahuan praktis (know-how) adalah
penguasaan teori dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang
keahlian tertentu atau pemahaman tentang metodologi dan
keterampilan teknis yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau
pendidikan untuk keperluan tertentu.
Sementara itu, keterampilan (skill) adalah kemampuan
psikomotorik (termasuk manual dexterity dan penggunaan metode,
bahan, alat dan instrumen) yang dicapai melalui pelatihan yang terukur
dilandasi oleh pengetahuan (knowledge) atau pemahaman (know-how)
yang dimiliki seseorang mampu menghasilkan produk atau unjuk kerja
yang dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Yang dimaksud
dengan “Pengembangan Keterampilan” yaitu mencakup perwujudan
suasana untuk meletakkan dasar keterampilan dalam konteks belajar
dan berinteraksi sosial.

145
Berdasarkan uraian di atas, berikut keterampilan abad 21
menunjukkan pada sikap positif manusia dalam menghadapi kehidupan
di era global.

Gambar 6.3. Keterampilan Abad 21


(Sumber: Muhamad Nasir, Power Point SDM Unggul Munas MUI)

Yang dimaksud dengan “Pengembangan sikap personal dan


sosial” mencakup perwujudan suasana untuk meletakkan dasar
kematangan sikap personal dan sosial dalam konteks belajar dan
berinteraksi sosial. Afeksi (affection) adalah sikap (attitude) sensitif
seseorang terhadap aspek-aspek di sekitar kehidupannya baik
ditumbuhkan oleh karena proses pembelajarannya maupun lingkungan
kehidupan keluarga atau masyarakat secara luas.
Di bawah ini merupakan sikap atau perilaku atau akhlak yang
diperlukan dalam mempersiapkan diri menjadi manusia yang siap
berkarya, siap menghadapi masalah dan mencari solusi, dan siap
bersaing di era global. Semua sikap positif ini tentu diperoleh dan
ditanam melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Kemampuan atau
kompetensi dalam mengelola sikap mental positif atau akhlak ini
menjadi keahlian (life skills) yang sangat dibutuhkan.

146
Iowa’s Targeting Life Skills Wheel
http://www.extension.iastate.edu/4H/lifeskills/homepage.html

Gambar 6.4. Target Keterampilan Hidup Abad 21


(Sumber: Kompetensi KKNI-Kompetensi dan Learning Outcomes.pdf)

Kemampuan mengendalikan emosi atau perasaan dan bersikap


atau bertindak positif, berdampak pada pengembangan SDM yang
berkualitas. Keharmonisan dari dalam diri akan mewarnai saat
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Keharmonisan, sikap
mental yang baik untuk selalu mengembangkan potensi diri menjadi
modal bagi kemajuan individu, masyarakat, daerah, bangsa, dan negara.
Berdasarkan hasil survei yang disebar kepada mahasiswa
Papua, pendatang dan penduduk asli Papua, beragama muslim dan non-
muslim mengemukakan bahwa interaksi atau komunikasi dalam
kehidupan yang harmonis dan saling pengertian memberikan peluang
untuk mengembangkan diri dalam mencapai kompetensi atau

147
kemampuan sebagai modal hidup di masyarakat. Dan sikap memiliki
harmonisasi dalam keberagaman menempati capaian paling tinggi
daripada sikap memperoleh pengetahuan dan lainnya. Ini menunjukkan
bahwa sikap mental yang baik berpengaruh terhadap keberhasilan
pembangunan dan kesuksesan hidup di manapun berada.

Rata2
80%
70%
60%
50%
40%
30% Rata2
20%
10%
0%
BCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 6.5. Hasil Penelitian di Tanah Papua Tentang Pendidikan


2018
(Sumber: Dokumen Penulis)
Keterangan: Capaian dalam proses pembelajaran di Tanah Papua
1. Jenis (Umum, Vokasi) dan Jenjang Pendidikan (Dasar hingga
Perguruan Tinggi) memenuhi kebutuhan masyarakat di lingkungan
sekitar.
2. Proses Pembelajaran didukung sarana prasarana dan media serta
metode pembelajaran yang sesuai.
3. Interaksi dan integrasi agama yang diyakini, budaya setempat dan
pendidikan terjalin harmonis.
4. Lulusan memiliki penguasaan dalam Ilmu Pengetahuan.
5. Lulusan memiliki penguasaan dalam Pengetahuan.

148
6. Lulusan memiliki penguasaan dalam Pengetahuan Praktis
(pengetahuan yang dapat dipraktikkan langsung dalam kehidupan
sehari-hari).
7. Lulusan memiliki penguasaan dalam keterampilan.
8. Lulusan memiliki penguasaan dalam sikap mental.
9. Lulusan memiliki penguasaan dalam Ilmu Pengetahuan
10. Lulusan memiliki penguasaan dalam kompentesi yang dipilihnya
(jurusan)

149
BAB VII
TANTANGAN DAN PELUANG
MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

Pendidikan adalah usaha untuk menumbuhkan potensi yang ada


dalam diri manusia. Tujuan dari pendidikan selain untuk menjadikan
manusia sebagai individu yang shaleh juga untuk mampu menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai individu yang shaleh
dan sekaligus khalifah di muka bumi, diharapkan manusia mampu
mengelola alam dan segala isinya dengan baik seperti kehendak Sang
Maha Pencipta.
Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, Allah Swt
memberikan banyak potensi dalam diri manusia. Semua potensi
tersebut jumlahnya sebanyak sifat yang dinyatakan dalam nama-nama
Allah (asmaul husna). Beberapa ahli berdasarkan penelitiannya
menemukan dan kemudian merumuskan teori kecerdasan jamak
(multipleintelligences). Dan yang paling penting dari hasil pendidikan
adalah bagaimana menumbuhkan sifat kemanusiaan dalam diri
manusia.
Penanaman nilai-nilai, etika, moral atau akhlak, dan norma
mampu membentuk manusia menjadi makhluk yang memiliki sifat
kemanusiaannya. Sifat inilah yang kemudian hendaknya diimplemen-
tasikan dalam kehidupan. Dengan seperti ini, tumbuh pribadi yang taat
hukum dan memiliki moralitas yang tinggi. Sikap ini lah yang akan
membawa manusia pada peningkatan harkat dan martabatnya.
Darmiyati Zuchdi (2009: 2) menyatakan pendapat tentang
konsepsi moralitas. Konsepsi moralitas kepatuhan pada hukum moral
mengandung tiga hal penting. Pertama, bidang moralitas berkisar pada
tindakan manusia secara sukarela, yaitu tindakan yang merupakan hasil
dari keputusan secara sadar. Kedua, tindakan tersebut selaras dengan
keyakinan seseorang tentang kewajiban yang harus diemban. Ketiga,
kewajiban seseorang atau apa yang benar dan baik adalah yang tidak
melanggar hukum, dalam arti secara universal diatur oleh alam

150
kehidupan manusia dalam masyarakat. Konsepsi ini juga disebut
konsepsi moralitas naturalistik.
Selain penting memiliki konsep moralitas yang tinggi, untuk
menghadapi kemajuan zaman yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan IPTEK, para pendidik dan penanggung jawab
pendidikan perlu memanfaatkan perkembangan IPTEK dalam rangka
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Peradaban akan meningkat
berbanding lurus dengan meningkatnya sifat-sifat kemanusiaan pada
diri manusia. Manusia yang harus mengendalikan dan memanfaatkan
perkembangan zaman sebaik-baiknya, bukan perkembangan zaman
yang menguasai manusia hingga manusia menjadi budak dari
perubahan zaman yang tidak selalu membawa pengaruh baik bagi
kehidupan manusia.
Berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan dan
perkembangan zaman, menjadi peluang dan tantangan tersendiri yang
harus dihadapi. Perlu kecerdasan dan strategi untuk memanfaatkan
situasi perubahan menjadi keuntungan dunia dan akhirat. Kerja keras,
kesungguhan, berpikiran terbuka, tawakal, ikhlas, jujur, kreatif,
inovatif, dan sifat positif lainnya menjadi modal dalam memanfaatkan
semua peluang tantangan menjadi keuntungan. Nilai-nilai dan sikap
moral ini akan membantu manusia bertahan hidup dan siap dalam
menghadapi berbagai permasalahan.
Keuntungan yang diperoleh dari perkembangan dan kemajuan
zaman, bukan hanya harus bermanfaat bagi diri sendiri namun juga
harus bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebab itu, manusia sebagai makhluk sosial perlu saling bekerjasama
dan menjalin persatuan untuk dapat mengelola berbagai peluang dan
sekaligus menghadapi tantangan. Sedangkan sebagai makhluk individu
selain harus bersyukur dan selalu beribadah kepada Tuhan Yang Maha
Esa juga harus menjalankan segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Dengan cara inilah, manusia dan suatu bangsa dapat
merasakan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian hidup.
Membantu manusia mendapatkan pendidikan yang berkualitas
menjadi tantangan dan peluang tersendiri di era revolusi industri 4.0 ini.
Manusia mampu berkembang sempurna melalui pendidikan Islam.
Karena itu perlu suatu upaya sungguh-sungguh dari lembaga
pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan
dalam rangka mencerdaskan seluruh masyarakat. Dan ini menjadi

151
tantangan untuk dapat membantu mewujudkan manusia yang terdidik,
terampil dan siap bersaing.

A. Tantangan Pendidikan di Tanah Papua


Setiap perjuangan ada tantangannya. Begitu pula ketika
manusia ingin maju dan berkembang, tentu ada tantangan yang harus
dihadapi. Semakin banyak tantangan menandakan semakin banyak
peluang manusia bisa lebih maju dalam kehidupanya.
Namun tentu tidak semua manusia selalu bertindak positif.
Dengan demikian, tidak semua manusia melihat tantangan dapat
berubah sebagai peluang. Berbagai sikap mental ditunjukkan manusia
saat menghadapi tantangan dalam hidupnya. Ada yang menarik dirinya
dari lingkungan, mengisolasikan diri, dan juga yang berusaha
mengatasi kecemasan-kecemasannya.
Oleh karena itu, perlu sifat, sikap dan perilaku yang baik dalam
menyikapi tantangan yang datang. Bijak, tegar, bersungguh-sungguh,
kreatif, inovatif, mandiri, saling menghargai dan sifat positif lainnya
menjadi senjata utama dan kekuatan dalam mengolah tantangan
menjadi peluang dan keuntungan dalam hidup. Semua tentu dapat
diperoleh dan dipelajari melalui proses pendidikan.
Pendidikan yang tepat mampu menjadi sarana manusia berubah
menuju ke arah individu yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Tantangan bukan lah musuh. Tantangan adalah peluang yang harus
dihadapi dan disikapi dengan bijak sehingga mampu menjadi
keuntungan dan bermanfaat bagi manusia.

1. Pemikiran Individu yang Sempit


Ada istilah, the map is not the territory. Maksudnya, realitas
subyektif (yang dipahami seseorang) kadang sama atau kadang tidak
sama dengan realitas obyektif (yang sesungguhnya). Ini juga dapat
diartikan bahwa apa yang kita pikirkan belum tentu mencerminkan
dunia luar, atau dunia luar terkadang belum tentu sesuai seperti apa
yang kita persepsikan. Semua dipengaruhi oleh pengetahuan manusia
itu sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia itulah yang mendasari
manusia bertindak.

152
Pengetahuan diperoleh melalui sensasi inderawi. Pendengaran
dan penglihatan menjadi sumber awal manusia memiliki pengetahuan.
Kemampuan atau kekuatan alat indera tersebut tentu berbeda antara
satu orang dengan orang lainnya. Begitu pula kapasitas dan daya
jangkaunya. Setiap indera memiliki daya jangkau dan kapasitas yang
terbatas.
Telinga manusia hanya dapat mendengar bunyi pada frekuensi
antara 20 Hz hingga 20.000 Hz atau 20 KHz. Batasan pendengaran
manusia terhadap bunyi hanya mampu merespon pada rentang
frekuensi audiosonik. Apabila seseorang mendengar suara atau bunyi
melebihi kekuatan yang dapat ditahan telinganya, maka dapat membuat
gendang dan organ dalam telinganya rusak.
Pada dataran normal, manusia hanya dapat melihat sampai 5 km
jauhnya. Manusia dapat melihat sampai sejauh mungkin, tergantung
intensitas cahaya yang diberikan obyek pada mata. Penghalang seperti
tembok atau dinding, pintu, dan lainnya membatasi manusia untuk
melihat benda atau obyek dibalik dinding atau tembok atau pintu
tersebut. Begitu pula dalam kondisi gelap, mata manusia tidak dapat
menangkap atau melihat benda atau obyek yang ada di sekelilingnya.
Namun di era globalisasi seperti sekarang ini, dengan kemajuan
teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia dapat
memperoleh informasi dari seluruh dunia tanpa harus khawatir akan
keterbatasan inderanya. Manusia dapat membaca berbagai pengetahuan
yang belum pernah diketahuinya melalui media cetak. Begitupun
melalui radio atau televisi, manusia dapat mendengar dan bahkan
sekaligus melihat beragam informasi tanpa harus datang dan melihat
langsung ke tempat kejadian.
Beragam informasi melalui indera pendengaran dan penglihatan
mampu memberikan informasi kepada otak untuk direspon. Berpikir
berarti melibatkan semua proses, yaitu: sensasi, persepsi, dan memori.
Ketika seseorang membaca sebuah buku, matanya mulai melihat huruf-
huruf dengan jelas, inilah sensasi. Kemudian ketika huruf demi huruf
dirangkai menjadi kalimat-kalimat dan ia mulai dapat menangkap apa
makna dari yang dibaca, maka terjadilah persepsi (Helmawati, 2014:
114).
Deddy Mulyana (2010) mengutip Robert A. Baron dan Paul B.
Paulus (1992: 34) menyatakan bahwa persepsi adalah proses internal

153
yang memungkinkan seseorang memilih, mengorganisasikan, dan
menafsirkan rangsangan (stimuli) dari lingkungan, dan proses tersebut
mempengaruhi perilakunya. J. Cohen mendefinisikan persepsi sebagai
interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif obyek
eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa
yang ada di luar sana. Persepsi terhadap manusia lebih sulit dan
kompleks, karena manusia bersifat dinamis, manusia juga bereaksi, dan
oleh karena itu, persepsi terhadap manusia dapat berubah dari waktu ke
waktu.
Di dalam otak terdapat 10 milyar sel. Memori menyimpan
stimuli yang mengenai indera, baik direkam secara sadar maupun tidak.
Memori melewati tiga proses: perekaman, penyimpanan, dan
pemanggilan.
Setiap pengalaman memiliki susunan yang terdiri dari
pancaindera, disimpan di otak, dan diberi nama file pikiran. Jika terjadi
perubahan pada susunan itu, pengalaman juga ikut berubah (Ibrahim
Elfiky, 2010: 34). Perilaku seseorang dan reaksinya terhadap sesuatu
menggambarkan kondisi batin, perasaan, dan apa yang sedang
menguasai pikirannya.
Jadi, pengetahuan seseorang tentang sesuatu merupakan awal
segalanya. Pengetahuanlah yang pertama kali menimbulkan perasaan
positif maupun negatif. Ubahlah pikiranmu, niscaya hidupmu berubah.
Ubahlah perasaan dan pengetahuanmu, niscaya hidupmu berubah.
Bagaimana cara mengendalikan diri? Yaitu dengan cara mengendalikan
pikiran. Pikiran anda yang berlebihan menghasilkan perasaan
berlebihan pula (Ibrahim Elfiky, 2010: 100).
Menurut para peneliti di dua perguruan tinggi, San Francisco
dan Harvard, 90% dari file-file itu (memori) memiliki pengaruh negatif.
Sebagai contoh, kedua orangtua tergolong pemarah dan gampang
emosi. Tanpa sadar, si anak mengadopsi sifat-sifat itu dari mereka.
Ketika dewasa, ia pun menghadapi kendala ketika berinteraksi dengan
orang lain. Karena itu, setiap individu harus memperbaiki program
terdahulu (Ibrahim Elfiky, 2010: 55-56).
Begitu pula dengan kebiasaan orangtua yang tidak jarang
bahkan tidak pernah membaca, berpengaruh terhadap anak-anaknya.
Ini berarti anak-anaknya pun akan memiliki perilaku jarang atau tidak

154
pernah membaca. Kebiasaan yang dilakukan orangtua atau para
pendidik menjadi contoh bagi anak-anak atau peserta didik.
Minimnya kebiasaan membaca dan minimnya akses teknologi
sebagai media informasi menyebabkan minimnya pengetahuan yang
dimiliki masyarakat di daerah tersebut. Contoh, di daerah Papua yang
daerahnya merupakan gunung-gunung yang terjal atau terluar dari
pulau (dikelilingi lautan) menjadi faktor minimnya akses untuk
mendapat pengetahuan.
Orang yang minim pengetahuan atau berpikiran sempit akan
memegang teguh kebiasaan atau pengetahuan yang dimilikinya. Orang
yang demikian, sulit untuk berubah atau dirubah. Padahal sesuai dengan
kemampuan dan kekuatan indera manusia yang terbatas dan interes atau
minat yang juga berbeda, tentu pengetahuan yang dimiliki seseorang
akan berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki orang lain. Begitu pun
pengetahuan yang dimiliki orang lain akan berbeda dengan dunia yang
sesungguhnya. Sebab pada saat pengetahuan masuk ke otak, akan
mengalami distorsi (pengurangan atau penambahan) informasi.
Apabila pengetahuan yang diyakininya dianggap yang paling
benar, maka sikap inilah yang akan menghambat komunikasi dan
perubahan. Bukan hanya menghambat komunikasi, sikap ini pula yang
akan menghambat perkembangan dan perubahan dalam kehidupannya.
Bayangkan apa yang terjadi ketika suatu daerah memiliki keyakinan
yang kuat akan budaya atau kebiasaan yang sudah diketahuinya sejak
dahulu dan tidak mau menerima informasi atau pengetahuan baru
(menutup informasi yang masuk). Pikiran mereka tertutup untuk
melakukan suatu perubahan. Ini tentu tidak baik di tengah kondisi
perkembangan dan perubahan di dunia yang sangat cepat.
Daerah-daerah dengan masyarakat yang tidak mau menerima
pengetahuan baru (closed mind) akan tertinggal dari daerah lain baik
dari segi peradaban maupun kesejahteraan dan status sosial. Kondisi ini
menjadi tantangan bagi semua pihak yang bertanggung jawab, seperti
para pendidik, pemerintah, dan tokoh masyarakat setempat.
Lembaga pendidikan dapat menjadi agen untuk perubahan
masyarakat yang memiliki wawasan yang sempit menuju pada
perubahan yang lebih baik. Pengetahuan dapat membantu manusia
mengubah diri dan nasibnya. Dan melalui lembaga pendidikan mampu

155
memberikan banyak pengetahuan dan perubahan bagi manusia dan
masyarakat sekitarnya.

2. Kualitas SDM yang Rendah


Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang
disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan
yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat
tawuran, melakukan tindakan criminal, pencurian, penodongan,
penyimpangan seksual, menyalahgunakan obat-obat terlarang dan lain
sebagainya. Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut
benar-benar telah meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat
keamanan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan adanya
peningkatan jumlah penganggur yang pada umumnya adalah tamatan
pendidikan. Di antara penyebab dunia pendidikan kurang mampu
menghasilkan lulusannya yang diharapkan adalah karena dunia
pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual,
wawasan, dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina
kecerdasan emosional (Abuddin Nata, 2003: 45-46).
Pada kenyataannya, tidak hanya itu. Lulusan pun banyak yang
tidak cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan
untuk menambah wawasan diperoleh melalui membaca dan/atau
mendengarkan. Hasil survey Berdasarkan studi Most Littered Nation In
the World 2016 minat baca di Indonesia menduduki peringkat terendah,
yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara13. Dan banyak di sekolah vokasi,
media praktik, baik itu komputer, mesin otomotif, dan lainnya, masih
menggunakan media lama yang zaman sekarang sudah tidak lagi
relevan digunakan. Hal ini tentu berdampak pada rendahnya tingkat
kemampuan atau kompetensi lulusan lembaga pendidikan.
Apalagi di Tanah Papua, yang jauh dari akses transportasi dan
perkembangan media pembelajaran yang terus berkembang cepat tentu
berdampak sangat besar terhadap lulusan. Dibandingkan dengan daerah
lain, Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan angka mengulang
dan putus sekolah paling tinggi se Indonesia. Tingginya angka putus
sekolah dan mengulang di Tanah Papua tentu berdampak pada
kompetensi tenaga kerja. Seperti yang telah disampaikan bahwa

13
http://www.tribunnews.com/regional/2017/05/15

156
ternyata mayoritas didominasi oleh pekerja dengan lulusan jenjang
pendidikan sekolah dasar.
Berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI),
Tingkat Kompetensi dirumuskan berdasarkan kriteria: 1) tingkat
perkembangan peserta didik; 2) kualifikasi kompetensi Indonesia; dan
3) penguasaan kompetensi yang berjenjang. Dengan demikian, lulusan
pendidikan dasar setara dengan jenjang 1. Jenjang ini merupakan
jenjang terendah dari 9 jenjang yang ada. Sehingga lulusannya hanya
memenuhi kualifikasi untuk bekerja sebagai operator.
Dominasi pekerja dari jenjang pendidikan SD menunjukkan
rendahnya SDM masyarakat di Tanah Papua. Sehingga para pengajar
di beberapa daerah adalah para pendidik yang berasal dari lulusan yang
secara standar tenaga pendidik belum memenuhi syarat. Ditambah
keamanan yang kurang kondusif membuat para pendidik yang berasal
dari daerah lain yang datang untuk mengabdi banyak yang
mengundurkan diri dan kembali ke daerahnya atau pindah ke daerah
lain.
Di dunia ini kurang dari 3% orang yang tahu pasti apa yang
mereka inginkan. Dan berarti 97% orang tidak tahu pasti apa yang
mereka inginkan. Untuk orang 97% ini perlu dibantu untuk mengetahui
apa potensi yang mereka miliki dan mengeluarkannya (perlu
pendidikan). Orang-orang yang tahu pasti apa yang mereka inginkan
dan menggapainya itulah orang yang akan hidup bahagia (Ibrahim
Elfiky, 2010: 238).
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Untuk berubah mereka perlu dibantu dan lembaga pendidikan adalah
tempat membantu manusia yang ingin berubah. Dan pengembangan
sumber daya manusia diawali dengan pengembangan diri melalui
pengetahuan, keterampilan dan pengendalian diri.
Dalam teori Neuro Linguistik Programing (NLP) diberikan cara
untuk mengubah diri (how to change) menjadi lebih baik. Pertama,
ubahlah pengetahuan. Kedua, ikatlah dengan perasaan. Ketiga, lakukan
berulang. Dan keempat, jalankan kebiasaan baru. Selanjutnya
bangunlah konsep diri melalui: pengetahuan, keyakinan, nilai, dan
selalu bergerak (dinamis).

157
3. Sifat Negatif
Sifat negatif seperti: malas, kurang disiplin, tidak tepat waktu
merupakan tantangan yang harus dieliminir atau dikurangi untuk
mencapai perubahan. Sifat-sifat tersebut andai dibiarkan tentu akan
menjadi penghalang kemajuan dan perubahan dalam diri dan
masyarakat. Tentu perlu upaya untuk mengurangi sifat-sifat negatif
tersebut.
Tantangan dalam situasi konkret pendidikan sebagaimana
diuraikan D. Yahya Khan (2010: 7-14) menunjukkan bahwa
konsentrasi peserta didik terpecah selama pembelajaran; berebut
memilih tempat duduk di sudut-sudut belakang dan membiarkan kursi
deretan depan kosong atau duduk bersembunyi di balik punggung
temannya untuk menghindari kontak pandang dengan guru atau dosen
selama pembelajaran berlangsung; suasana hati mereka suntuk terlihat
dari wajah; diam semua apabila dosen meminta mereka untuk
mengajukan pertanyaan, mereka tidak bisa menjawab atau menjawab
dengan lambat dan salah menjawab bila diberi pertanyaan. Kadang-
kadang mereka berbicara sendiri dengan teman sebelahnya atau
memainkan handphone secara sembunyi-sembunyi atau bahkan mereka
mengantuk selama pembelajaran.
Etos belajar peserta didik rendah, mereka menganggap belajar
sebagai beban. Lamban dan tidak cekatan itulah cara kerja mereka.
Mereka lambat mengumpulkan tugas, lambat menjawab pertanyaan;
Satu jawaban yang sering mereka kemukakan jika ditanya adalah lupa;
sebab informasi itu amburadul tidak tertata rapi di otak (memori)
mereka. Berbagai potensi yang dimiliki anak didik terpendam.
Kecerdasan emosional dan intrapersonal rendah.
Sifat-sifat negatif tersebut tentu saja tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut, perlu dikendalikan dan diperbaiki. Pengendalian diri
merupakan kunci dari keberhasilan dan kesuksesan. Tidak ada manusia
yang berhasil sebab ia malas, tidak disiplin, dan selalu membuang-
buang waktu. Berdasarkan universitas Harvard AS., kecakapan
personal (mengendalikan perasaan) memainkan peran 93%, sedangkan
kecakapan profesional hanya 7%.
Perasaan mempengaruhi produktivitas, karena itu manusia
harus belajar mengendalikan perasaannya (Ibrahim Elfiky, 2010: 54).
Pengetahuan tentang perasaan merupakan langkah awal untuk

158
mengubah perasaan itu sendiri. Semua yang dikatakan pada diri sendiri
lebih dari sekali, apalagi diikat dengan perasaan, akan menjadi
keyakinan. Jika diulang-ulang, hal itu akan menjadi program yang
tertanam kuat dan sewaktu-waktu muncul secara spontan. Itulah salah
satu jenis adaptasi syaraf. Itulah mekanisme terbentuknya kebiasaan
seseorang. Semua yang dilakukan semula pasti sulit. Selanjutnya,
menjadi mudah. Jika dilakukan berulang-ulang, ia akan menjadi
spontanitas, lalu berubah menjadi kebiasaan.
Jika seseorang melakukan sesuatu, kemudian akal mengetahui-
nya, lalu dia mengikatnya dengan kebahagiaan, maka otak akan
mendekatkan dia padanya, meskipun perbuatan negatif. Jika seseorang
membayangkan akibat sebuah perbuatan, lalu mengikatnya dengan
perasaan negatif seperti penyesalan, kegagalan, frustrasi, dan
sebagainya, dan akal pun mengetahui hal itu, maka sekalipun dia tidak
benar-benar melakukannya, dia akan menjauhkan orang tersebut
darinya. Perasaan mempengaruhi pikiran, begitu juga sebaliknya
pikiran mempengaruhi perasaan.
Ubahlah pikiranmu, niscaya hidupmu berubah. Ubahlah
perasaan dan pengetahuanmu, niscaya hidupmu berubah. Berubah
harus tumbuh dari dalam diri orang itu sendiri dan disertai dengan nilai-
nilai (keyakinan) yang dianutnya. Selain dari diri sendiri, motivasi dari
eksternal atau orang lain pun penting untuk dapat mengubah sifat,
sikap, dan perilaku negatif seseorang.
Teori motivasi menurut Danang Sunyoto dan Burhanudin
(2011: 27) terdiri dari dua pendekatan, yaitu: pendekatan isi (content
approaches) dan pendekatan proses (process approaches). Pendekatan
isi meliputi Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, Teori ERG,
Teori Dua Faktor, dan Teori Kebutuhan Mc-Clelland. Sedangkan
pendekatan proses terdiri dari Teori Pengharapan, Teori Keadilan, dan
Teori Penetapan Tujuan(untuk penjelasan lebih rinci, lihat Helmawati
(2014: 86, 149).
Melalui pendidikan, para pendidik dapat meminimalisir sifat,
sikap, dan perilaku negatif. Para pendidik dapat melakukan tindakan
atau upaya preventif (pencegahan) dan repressive(menekan) sebagai
bagian dari proses pembelajaran. Tindakan pencegahan dengan
memberikan informasi atau pengetahuan tentang meruginya memiliki
sifat negatif. Dan tindakan menekan dapat dilakukan ketika para peserta

159
didik telah diberi peringatan namun tetap bersifat negatif dan
melakukan hal-hal yang merugikan dirinya dan orang lain.
Orang yang bertanggung jawab atas hidupnya senantiasa belajar
dari kesalahan dan pengalamannya. Ia juga pandai memanfaatkan
waktu, meningkatkan keterampilan dan kemampuan, serta
mengoptimalkan potensi dan peluang. Orang yang sedang mengubah
dirinya dari bersifat, bersikap, dan berperilaku negatif menjadi positif
perlu perjuangan. Ingatlah “3 B” dan hendaknya ditanamkan dalam diri
agar berhasil dalam suatu perubahan, yaitu: Berbuat, Berjuang,
Bersabar.
Dan untuk dapat berubah sifat-sifat negatif perlu pendekatan
dan metode yang tepat. Perubahan pada diri seseorang dapat dilakukan
juga dengan reward (hadiah) dan punishment (hukuman). Sebagaimana
Arthur R. Coben (1964: 81) menyatakan perlunya efek memaksa agar
berubah dari suatu perilaku menyimpang (effects of enforced discrepant
behavior). Efek memaksa agar berubah dapat dilakukan melalui
berbagai metode: a. effects of rewards or incentives (efek hadiah atau
insentif), b. effects of justification (efek pembenaran), dan c. effects of
coercion (efek paksaan).

4. Budaya Daerah
Budaya daerah yang masih dipegang dan masih diyakini dan
dijalankan ada yang masih relevan dengan kondisi saat ini, ada juga
yang sudah tidak relevan, ada juga yang perlu pembauran dengan
budaya baru. Sebagian budaya daerah ada yang memberikan peluang
pada perubahan ada juga yang menghambat perubahan.
Dalam kondisi pengembangan pendidikan di Tanah Papua,
budaya daerah yang cukup menjadi tantangan adalah adanya tuntutan
masyarakat terhadap hak ulayat. Di satu sisi budaya daerah ini menjadi
suatu kearifan lokal. Namun di sisi lain, mampu menjadi penghambat
perkembangan pembangunan pendidikan di daerah tersebut.
Rudihartono Ismail (2012: 36) mengungkapkan, kearifan
kepemilikan tanah ulayat dan/atau tanah adat berlaku bagi seluruh
masyarakat Kabupaten Jayawijaya. Hak ulayat dan yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat (Hak Ulayat) merupakan kewenangan yang
menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk

160
mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam
wilayah tersebut, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA)
mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua)
syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut
kenyataannya masih ada”. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat
dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut
kenyataan masih ada.14 Kondisi ini berbenturan dengan birokrasi
pemerintah untuk pendirian sebuah program studi di perguruan tinggi,
yaitu ada syarat harus memiliki tanah seluas 2 hektar untuk membangun
satu prodi baru. Syarat ini tentu terkendala dengan adanya hak Ulayat
tersebut. Tantangan internal adanya persoalan hibah tanah, setelah
YAPIS berkembang ada yang mengklaim.

5. Kondisi Sosial-Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama daerah gunung
dan pulau yang terpencil seperti di Tanah Papua, berpengaruh terhadap
cara pandang terhadap pendidikan. Bagi mereka, hal utama yang
penting adalah bagaimana mencari penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan primer yaitu makan. Pencaharian penghidupan mereka
mengikuti yang biasa dilakukan orangtua atau nenek moyang mereka,
yaitu bertani atau berkebun dan nelayan.
Mata pencaharian utama masyarakat asli Papua ada yang
nelayan ada yang bertani. Untuk daerah pesisir mata pencaharian utama
tentunya adalah nelayan, dengan penghasilan utamanya adalah ikan
yang berlimpah (contoh daerah Sorong-Raja Ampat). Sedangkan untuk
daerah pegunungan, mata pencaharian orang asli Papua adalah bertani
atau berkebun. Sistem pertanian yang dilakukan masih bersifat
tradisional. Makanan pokok masyarakat daerah pegunungan adalah
umbi-umbian (ubi jalar, singkong dan keladi). Jagung dan berbagai
jenis sayuran juga ditanam. Di samping bertani masyarakat juga
beternak babi yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan
masyarakat adat (Rudihartono Ismail, 2012: 40).

14
(www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6522/tanah-ulayat)

161
Perhatian terhadap pendidikan masih kurang. Sekolah dianggap
menghambat anak-anak berbakti kepada orangtua, terutama untuk
membantu mereka bekerja. Sehingga anak-anak yang harusnya masuk
usia wajib sekolah, banyak yang tidak bersekolah.
Masih banyak ditemukan masyarakat kelas ekonomi bawah,
kurang perhatian akan pendidikan. Di samping kurang mampu
membiayai pendidikan, mereka tidak melihat pentingnya pendidikan.
Anak-anak lebih sering diharapkan untuk membantu orangtua dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi, atau cepat-cepat lepas dari tanggung
jawab (Sudardja Adiwikarta, 2016: 107). Faktor kemiskinan menjadi
faktor utama hingga anak tidak bersekolah. Onisimus Amtu (2014: 87)
menguraikan tantangan dalam mewujudkan pendidikan untuk semua.
Sebanyak 70% siswa tidak bersekolah disebabkan oleh ketidak-
mampuan keuangan (AIBEP 2008). Keluarga miskin masih
menghadapi kesulitan untuk memenuhi biaya pendidikan seperti biaya
transportasi, buku, dan pakaian seragam (Bappenas, 2009).
Kondisi geografis di Tanah Papua ini berdampak pada
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat asli Papua. Berdasarkan data
terkini BPS, dinyatakan bahwa pembangunan manusia di Papua terus
mengalami kemajuan. Pada tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Papua mencapai 59,09. Angka ini meningkat sebesar 1,04 poin
dibandingkan tahun 2016. Bayi yang lahir pada tahun 2017 memiliki
harapan untuk dapat hidup hingga 65,14 tahun, lebih lama 0,02 tahun
dibandingkan tahun sebelumnya. Anak-anak yang pada tahun 2017
berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama
10,54 tahun, lebih lama 0,31 tahun dibandingkan dengan tahun 2016.
Sementara itu, penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah
menempuh pendidikan selama 6,27 tahun, lebih lama 0,12 tahun
dibandingkan tahun sebelumnya.15
Pola pikir masyarakat di daerah-daerah tersebut belum melihat
bahwa pendidikan merupakan bentuk investasi masa depan. Kepedulian
terhadap pendidikan untuk mengembangkan potensi dan keterampilan
belum terintegrasi dalam kehidupan. Akhirnya, dampak dari keluarga
yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi tentu amat terasa. Keluarga yang
berpendidikan memiliki status sosial yang tinggi dibanding dengan
15
https://papua.bps.go.id/pressrelease/2018/05/07/336/indeks-pembangunan-
manusia-provinsi-papua-tahun-2017.html

162
keluarga yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya status pendidikan
berdampak pada kehidupan ekonomi atau mata pencaharian. Sebab
orang yang berpendidikan tinggi tentu akan memiliki peluang untuk
mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Pola pikir masyarakat yang belum melihat pendidikan sebagai
investasi tentu perlu dirubah. Sebab masyarakat yang terdidik dapat
menjadi modal utama dalam pembangunan bangsa dan negara. H.A.R.
Tilaar (1999: 25) menegaskan hakikat pendidikan dari pendekatan
sosiologis. Pada prinsipnya, pandangan ini meletakkan hakikat
pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat. Titik
tolak dari pandangan ini adalah prioritas kepada kebutuhan masyarakat
dan bukan kepada kebutuhan individu. Sebab peserta didik adalah
anggota masyarakat, maka ia harus dipersiapkan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Akhir dari proses pendidikan dalam konteks ini
diarahkan kepada pencapaian tujuan pembangunan. Pandangan ini
sangat popular di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh
suatu keinginan untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan.

6. Kondisi Geografis
Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara
Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Lebih
dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang
sulit ditembus karena terdiri atas lembah-lembah yang curam dan
pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh
salju. Kabupaten Jayawijaya, misalnya, berada pada ketinggian lebih
dari 1.600 meter di atas permukaan laut. Sebagaimana ditegaskan oleh
Rudihartono Ismail (2012: 16-17), kemiringan daerah Jayawijaya
sekitar 65 % dengan ketinggian antara 1500 - 5000 meter di atas
permukaan laut. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sekitar
80% dari wilayah Kabupaten Jayawijaya merupakan daerah rawan
terhadap erosi, sedangkan sisanya merupakan daerah datar dan landai
(lembah) yang cukup potensial sebagai lahan usaha pertanian dan
pemukiman. Wilayah yang relatif datar dan merupakan pusat kegiatan
pertanian penduduk adalah wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS)
Baliem.
Kondisi wilayah Provinsi Papua dan Provinsi lainnya di Tanah
Papua memiliki karakteristik tersendiri yakni memiliki wilayah
pegunungan yang tinggi, lautan/sungai luas yang dalam, rawa-rawa,

163
hutan belantara dan terdapat pulau-pulau kecil/terpencil yang masih
terbatasnya jangkauan pembangunan baik pemerintah maupun lembaga
sosial masyarakat lainnya dengan penduduk yang belum merata dan
terpencar-pencar domisilinya ditambah rendahnya fasilitas sarana
prasarana perhubungan darat/laut dan lainnya. Luas wilayah Provinsi
Papua kurang lebih 421.981 km2, dengan jumlah penduduk kurang
lebih 2.338.704 jiwa. Kondisi riil inilah menjadikan YAPIS di Tanah
Papua ikut serta dalam pembangunan nasional di daerah terutama dari
aspek pembangunan pendidikan nasional guna ikut serta mencerdaskan
kehidupan bangsa di Tanah Papua dengan prinsip dari dan untuk semua
bangsa dan rakyat Indonesia yang berdomisili di Tanah Papua.

7. Keamanan
Kondisi geografis yang dikelilingi lautan dan hutan yang tinggi,
curam, dan minimnya akses transportasi membuat kondisi kurang
mendukung untuk pengembangan pendidikan. Ditambah adanya
informasi gerakan separatis “Organisasi Papua Merdeka” (OPM) yang
memiliki tujuan untuk memisahkan diri dari NKRI. Apabila ada
gerakan dengan melakukan demonstrasi dan aksi lainnya ini
berpengaruh terhadap pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan
di Tanah Papua. Guru-guru yang ditempatkan di daerah atau zona yang
kurang aman, banyak yang mengundurkan diri dengan kembali ke kota
atau pulang ke daerah asalnya.
Berpindahnya atau mengundurkan dirinya guru atau para
pendidik dari daerah atau zona yang kurang aman, tentu menjadi hal
yang sangat disayangkan. Sumber daya manusia (SDM) yang bermutu
merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Bukan
hanya berdampak pada berkurangnya para pendidik, daerah yang
kurang aman membuat para peserta didik juga tidak bersekolah.

8. In-Group vs Out-Group
Dalam suatu kelompok atau masyarakat tentu akan muncul
suatu istilah in-group dan out-group. In-group adalah kelompok “kita”
(kohesi kelompok), sedangkan out-group adalah kelompok “mereka”.
In-group dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Perasaan
in-group diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan
kerjasama. Untuk membedakan in-group atau out-group dapat dilihat
dari siapa yang termasuk orang dalam dan siapa orang luar. Batasan

164
orang dalam atau luar dapat berupa lokasi geografis, suku bangsa,
pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial,
dan kekerabatan (Helmawati, 2014: 97).
Bagi pendatang yang bekerja atau mengabdikan diri bagi
pendidikan di suatu daerah, akan menjadi tantangan tersendiri. Tentu
akan ada proses penerimaan atau penolakan dari masyarakat pribumi.
Ini suatu hal yang wajar dalam teori perubahan. Masyarakat yang sudah
merasa nyaman dengan kondisinya akan merasa terusik dengan
kedatangan para pendatang.
Ini merupakan tantangan. Bagi pendatang yang memiliki
kompetensi yang berkualitas tentu dibutuhkan dalam rangka
meningkatkan kualitas masyarakat tersebut. Penolakan terhadap para
pendatang yang memiliki potensi untuk dapat mengubah dan membawa
kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, tentu membawa
kerugian bagi daerah tersebut.

9. Pengelolaan Lembaga Pendidikan


Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar sekolah
atau madrasah yang ada di Indonesia masih dikelola dengan manajemen
“apa adanya”. Pemerintah telah menetapkan standar-standar untuk
pengelolaan yang baik, namun sedikit sekali pengelola menjalankan
atau mengimplementasikan standar-standar tersebut. Padahal,
manajemen atau pengelolaan yang baik (good governance) dapat
membantu mempermudah penanggung jawab mencapai target-target
dari rencana yang telah disusun sebelumnya.
Ahmadi H. Syukran Nafis (2012: 11) menguatkan dalam
pendapatnya, kendati pemerintah telah mengeluarkan PP No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (sekarang telah dirubah
menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2013); dan Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar
Pengelolaan Pendidikan, banyak lembaga pendidikan belum
mengaplikasikan konsep manajemen fungsional yang modern dan
manajemen strategik yang sudah diketahui sukses diaplikasikan di
kalangan organisasi apapun.
Dikarenakan masih banyak para pengelola pendidikan belum
menggunakan atau mengaplikasikan manajemen secara profesional,
wajar ketika akreditasi dan kualitas lembaga pendidikan di Indonesia

165
masih banyak yang masuk kategori “C” dan “B”. Sangat jarang
lembaga pendidikan yang mendapat nilai akreditasi “A”. Indikator lain
dari belumnya menerapkan manajemen profesional yaitu banyak
lembaga pendidikan yang jumlah peserta didiknya sedikit, dan akhirnya
bangkrut.
Selanjutnya, pengelolaan keuangan dengan baik dan benar juga
akan berimbas pada penggunaan keuangan secara efektif dan efisien.
Pada prinsipnya pengelolaan (manajemen) keuangan atau finansial
suatu lembaga pendidikan berkisar antara bagaimana aktivitas
mendapatkan atau memperoleh sumber dana dan kemudian bagaimana
aktivitas menggunakan atau mengalokasikan dana, serta pengelolaan
terhadap aktiva (Rohmini Hadi dan Parno, 2011: 1).
Minimnya memanfaatkan secara optimal Sistem Informasi
Manajemen (SIM) pendidikan, mengakibatkan pengambilan keputusan
mulai dari perencanaan hingga pengendalian tidak efektif dan efisien.
Perencanaan yang tidak tepat hanya akan membuang banyak waktu dan
biaya. Artinya perencanaan atau pengambilan keputusan yang tidak
didasari dari informasi yang tepat dan akurat akan mubazir. Tidak heran
akhirnya banyak lembaga pendidikan yang dikelola oleh para pengelola
yang tidak dilandasi ilmu manajemen mengalami kemunduran bahkan
tidak sedikit lembaga pendidikan yang akhirnya ditutup.
Tidak hanya itu, pengelolaan pendidikan yang tidak maksimal
berdampak juga pada output pendidikan. Banyak dari output yang jauh
dari harapan tujuan pendidikan nasional atau tujuan pendidikan Islam.
Sistem informasi manajemen lembaga yang seharusnya berfungsi
mengendalikan proses pendidikan, ternyata belum mampu
dioptimalkan para pengelola lembaga pendidikan, khususnya dalam
menyiapkan lulusan yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia,
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan siap bersaing.

10. Ideologi
Ideologi dapat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi
perkembangan dunia pendidikan. Pada era globalisasi seperti sekarang
ini, suatu paham dan nilai-nilai yang diyakini oleh suatu negara dapat
masuk dengan mudah. Paham sekularisme, materialisme, dan
hedonisme secara tidak sadar telah tampak dalam lingkungan kita.

166
Ideologi Barat yang sekuler telah mengakar, termasuk dalam
pendidikan di negara ini. Hingga hal inipun semakin menjauhkan tujuan
pendidikan pada masyarakat Indonesia. Seperti yang ditulis Tilaar
dalam bukunya menyatakan bahwa pendidikan sekuler yang lahir di
Eropa bertepatan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga
pendidikan secara berangsur-angsur menjadi pendidikan sekuler.
Pendidikan agama tinggal menjadi mata pelajaran sedangkan yang
diprioritaskan adalah mata pelajaran-mata pelajaran sekuler. Memang
hasil dari pendidikan sekuler telah membuahkan kemajuan ilmu
pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin telah
meningkatkan kemakmuran manusia moderen. Namun demikian,
kemajuan ilmu pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap
kehidupan yang bermoral.
Sikap dan perilaku kurang percaya diri terhadap ideologi bangsa
Indonesia sendiri tentu akan membawa pada kerugian bahkan
kehancuran. Sedangkan suatu paham yang datang dari luar walau
tampak bagus belum tentu semuanya cocok untuk diimplementasikan
di negara ini. Kultur dan keyakinan yang berbeda ketika dipaksakan
untuk diikuti, malah akan membawa pada kehancuran masyarakat,
bangsa dan negara (baca Helmawati, Pendidikan Keluarga, 2014: Bab
XII).

11. Kebijakan Pendidikan


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mengemukakan
bahwa kebijakan adalah kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan;
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksanaan pekerjaan; kepemimpinan dan cara bertindak oleh
pemerintah, organisasi dan sebagainya sebagai pernyataan cita-cita,
tujuan, prinsip, atau maksud; sebagai pedoman untuk manajemen dalam
mencapai sasaran. Koontz dan O’Donnell (1987) mengemukakan
bahwa kebijakan adalah pernyataan atau pemahaman umum yang
mempedomani pemikiran dalam mengambil keputusan yang memiliki
esensi batas-batas tertentu dalam pengambilan keputusan. Sedangkan
Anderson (1979) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan bagian
dari perencanaan yang mempersiapkan seperangkat keputusan baik
yang berhubungan dengan dana, tenaga, maupun waktu untuk mencapai
tujuan.

167
Syaiful Sagala (2009: 94) mengutip Hough (1984) menyatakan
bahwa dalam dunia pendidikan maupun persekolahan, kebijakan
kadang-kadang digunakan dalam pengertian sempit untuk mengacu
pada tindakan formal yang diikutinya. Kebijakan disamakan dengan
rencana dan program, bahkan sering tidak dibedakan antara perbuatan
kebijakan (policy making) dengan pembuatan kebijakan (decision
making). Kebijakan dianggap sebagai suatu masalah atau isu konflik
dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.
Pentingnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional
Indonesia berpangkal pada aspirasi bangsa pada waktu menyusun UUD
1945. Dalam pembukaan UUD 1945 tegas dinyatakan bahwa ada dua
hal yang berkaitan erat yaitu kesejahteraan bangsa dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kesejahteraan amat sulit diwujudkan tanpa
pembangunan ekonomi, dan pembangunan ekonomi sulit diwujudkan
tanpa didukung oleh bangsa yang cerdas, dan bangsa yang cerdas hanya
dapat diciptakan melalui pendidikan. Pendidikan ini juga erat kaitannya
dengan falsafah pembangunan manusia Indonesia, yaitu pembangunan
itu oleh manusia dan untuk manusia. Tujuan pembangunan adalah
membangun manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya diartikan sebagai
manusia yang terpenuhinya berbagai kebutuhannya baik materil
maupun spiritual. Untuk mewujudkan tujuan ini pendidikan amatlah
penting karena hanya melalui pendidikan manusia mempunyai
kesempatan lebih untuk membangun dirinya dan membangun
masyarakatnya dalam usaha memenuhi seluruh kebutuhan dasar
hidupnya (Mohammad Fakry Gaffar, 1987: 11).
Dalam UU Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar
Nasional Pendidikan, dan Peraturan Daerah telah ditetapkan banyak
kebijakan tentang pendidikan di Indonesia. Kebijakan publik dan
kebijaksanaan untuk pendidikan berkaitan dengan fungsi-fungsi
esensial institusi pendidikan, khususnya satuan pendidikan pada semua
jenjang dan jenis pendidikan. Kebijakan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pengajaran diantaranya, yaitu: (1) standar dan
pengembangan kurikulum; (2) visi, misi, penetapan tujuan dan target
pendidikan; (3) rekrutmen dan pembinaan tenaga kependidikan; (4)
pengelolaan dan pembinaan kesiswaan; (5) penyediaan buku pelajaran;
(6) penyediaan dan pemeliharaan sarana pendidikan; (7) penyediaan
dan perawatan fasilitas pembelajaran; (8) pengadaan, perawatan, dan
penggunaan perpustakaan dan laboratorium sekolah; dan sebagainya
yang dapat memberi dukungan pada kualitas pembelajaran. Sedangkan

168
kebijakan yang berkaitan dengan manajemen institusi pendidikan
antara lain adalah pengalokasian sumber-sumber anggaran dan
penggunaannya, pengelolaan gedung, pengelolaan peralatan dan
perlengkapan, pengelolaan fasilitas, dan sebagainya.
Kebijakan tersebut dalam tataran praktisnya masih menghadapi
berbagai masalah. Sebagaimana yang dijelaskan Nanang Fattah (2000:
78), pendidikan nasional masih dihadapkan pada masalah, antara lain:
peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan kesempatan pendidikan,
keterbatasan anggaran yang tersedia, belum terpenuhinya sumber daya
dari masyarakat secara profesional sesuai dengan prinsip pendidikan
sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan
orangtua. Masalah lainnya yaitu: kecukupan sumber-sumber
pendidikan (jumlah dan mutu guru, buku teks, sarana belajar yang
memadai), kualitas manajemen sekolah yang masih rendah, alokasi
anggaran, adanya ketidakseimbangan antara kompetensi lulusan
dengan kompetensi kebutuhan tenaga kerja.
Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa pendidikan dasar bisa
merupakan tahapan yang kritis dan awal yang baik dalam upaya
pembentukan watak dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sehingga, kebijakan program wajib belajar yang terdiri dari pendidikan
dasar dan menengah pertama ditujukan untuk menjangkau anak-anak
terutama usia 7-15 tahun. Anak-anak usia itu diwajibkan belajar agar
sedikitnya berpendidikan SLTP. Bagi daerah yang letak geografisnya
kurang mendukung, seperti di daerah Papua, program ini belum
maksimal terealisasi. Indikatornya, para pekerja di Tanah Papua
mayoritas adalah lulusan SD.
Keberhasilan pembangunan bangsa sangat ditentukan oleh
faktor manusia. Manusia yang menentukan keberhasilan ini tentunya
haruslah manusia yang mempunyai kemampuan untuk membangun.
Kemampuan membangun ini hanya dapat dibina melalui pendidikan.
Artinya pendidikan yang relevan dengan tugas manusia pembangunan
haruslah berorientasi kepada keseluruhan kebutuhan dan tuntutan
pembangunan (Mohammad Fakry Gaffar, 1987: 2).
Kependudukan merupakan stok sumber daya manusia.
Persoalan yang dihadapi pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Jumlah populasi usia sekolah yang amat besar yang harus menerima
kesempatan pendidikan dan jumlah angkatan kerja yang berada

169
pada sektor angkatan kerja yang memerlukan pembinaan lebih
lanjut untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka.
b. Keterbatasan ekonomi untuk memperluas kesempatan pendidikan
dan untuk meningkatkan jenjang pendidikan angkatan kerja.
c. Relevansi program pendidikan yang tepat dengan tuntutan
pembangunan baik ditinjau dari segi jenjang maupun jenisnya.
d. Keseimbangan antara tuntutan kualitas dan kuantitas terutama bila
dikaitkan dengan nilai ekonomi pendidikan.

Berikut kebijakan pemerintah tahun 2018.

Gambar 7.1. Rancangan dan Prioritas Nasional Tahun 2018


(Sumber: Muhammad Musaad, Bappeda Provinsi Papua, dalam Rancangan Awal
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Papua Tahun 2018)

170
12. Globalisasi
Ideologi yang disebarluaskan secara global telah masuk dalam
berbagai bidang kehidupan manusia, seperti bidang ekonomi, dan
pendidikan. Abuddin Nata (2003: 166) menyatakan, memasuki abad
ke-21 atau millennium ketiga ditandai oleh empat karakteristik: 1)
saling kebergantungan sosial ekonomi, 2) kompetisi antara bangsa yang
semakin keras, 3) semakin beratnya usaha negara berkembang untuk
mencapai posisi menjadi negara maju, dan 4) munculnya masyarakat
hiperindustrial yang akan mengubah budaya bangsa.
Arus globalisasi sudah tidak terbendung masuk ke Indonesia.
Disertai dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia
kini memasuki era revolusi industri 4.0, yakni menekankan pada pola
digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan lain
sebagainya atau dikenal dengan fenomena disruptive innovation.
Menghadapi tantangan tersebut, pengajaran di perguruan tinggi pun
dituntut untuk berubah, termasuk dalam menghasilkan dosen
berkualitas bagi generasi masa depan.16
Keberhasilan pada abad ke-21 akan tergantung terutama pada
sejauh mana para pendidik dan anak-anak mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan,
kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian, yang saling berhubungan
satu sama lain. Semua tergantung pada diri sendiri. Artinya, aset terbaik
manusia adalah kemampuan kolektifnya untuk belajar cepat dan
beradaptasi secara cerdas terhadap situasi yang tidak bisa diramalkan
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2014: 11-12).
Tantangan yang harus dihadapi pada era globalisasi ini adalah:
a. Dunia berubah dengan laju semakin kencang;
b. Kehidupan, masyarakat, dan perekonomian menjadi lebih
kompleks;
c. Sifat dasar pekerjaan berubah sangat pesat;
d. Jenis-jenis pekerjaan menghilang dengan kecepatan yang tak
terbayangkan;
e. Inilah aman ketidakpastian;
f. Masa lalu semakin tidak dapat dijadikan pedoman bagi masa depan.

16
http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/index.php/2018/01/30/era-revolusi-industri-4-
0-saatnya-generasi-millennial-menjadi-dosen-masa-depan

171
Dampak dunia berubah cepat menuntut dan mensyaratkan
kemampuan belajar yang lebih cepat. Kompleksitas dunia yang terus
meningkat juga menuntut kemampuan yang sesuai untuk menganalisis
setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif.
Sehingga pekerjaan yang paling bernilai di masa depan adalah
’pekerjaan otak’ atau pekerjaan yang memerlukan bakat yang besar dan
terlatih. Sementara pekerjaan yang berulang dan mekanis akan diambil
alih oleh mesin-mesin yang dikendalikan komputer, atau diekspor ke
negara-negara berpenduduk padat di mana penduduknya dipersiapkan
untuk bekerja dengan upah rendah dan di mana pemerintahnya
menawarkan insentif-insentif besar bagi dunia bisnis. Itu hanya untuk
menunjukkan bahwa sedikit sekali lapangan pekerjaan yang tersedia
bagi orang yang berpendidikan rendah. Dengan demikian, perlu
diupayakan peningkatan dan perhatian terhadap standar pendidikan
bangsa ini. Sebab capaian pendidikan yang rendah, keterampilan
analitis dan keterampilan pengambilan keputusan yang rendah
mengantarkan kepada ketergantungan ekonomi.
Yang mendesak dan penting yaitu kita harus melakukan
perubahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 50% dari
kapasitas otak seseorang berkembang dalam 5 atau 6 tahun pertama
kehidupannya. Karena itu, dalam tahun-tahun sekolah dasarnya, anak-
anak membutuhkan ukuran kelas yang kecil dan kerja sama aktif antara
orangtua dan sekolah untuk menyediakan sarana dan proyek belajar
yang menarik, menantang, dan relevan, yang merangsang kepenasaran
(keingintahuan) dan pemikiran. Dan di sekolah lanjutan pertama,
pendidik harus menjamin agar siswa mampu belajar secara mandiri
sehingga mereka bisa memanfaatkan peluang-peluang yang memikat
dari alat-alat bantu belajar interaktif yang baru. Mereka juga harus
belajar kerjasama dalam mengatasi berbagai masalah, seperti masalah-
masalah masyarakat yang nyata yang melibatkan kepentingan mereka
dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, para siswa
mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan kritis. Pengetahuan
meningkat dua-tiga kali lipat setiap tahun dalam hampir di setiap
lapangan pekerjaan. Ini berarti bahwa pengetahuan kita pun harus
bertambah dalam kurun waktu tersebut jika ingin bertahan. Orang yang
tidak secara agresif dan terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya maka ia tidak akan bertahan. Dia akan tertinggal
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2014: 14-15).

172
Masa ini adalah masa era persaingan bebas. Dahulu, perbedaan
utama antar setiap orang dalam masyarakat adalah “kaya” dan
“miskin”. Sekarang perbedaan utama adalah antara yang “kaya
pengetahuan” dan yang “miskin pengetahuan”. Selain itu, dalam tata
ekonomi baru, sumber-sumber daya strategis tidak lagi muncul dari
dalam tanah. Sumber-sumber daya strategis adalah ide-ide dan
informasi yang lahir dari pikiran kita. Dengan demikian, para pakar
sependapat bahwa masa depan adalah milik para pekerja otak.
Selanjutnya Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl (2014: 38)
menegaskan bahwa dalam era revolusi pengetahuan seperti sekarang
ini, apa yang sesungguhnya sangat diperlukan adalah revolusi dalam
cara mendidik. Dua keterampilan, yaitu belajar cepat dan berpikir jernih
merupakan keterampilan personal kunci untuk dapat hidup layak di
abad ke-21. Kedua keterampilan itu akan menghasilkan kemandirian
dan kepercayaan diri. Kemandirian merupakan kemampuan untuk
mengelola cara belajar sejak dini; untuk menguasai volume informasi
yang cukup besar, melihat signifikansinya yang sebenarnya, dan untuk
mengetahui bagaimana menggunakan informasi itu untuk melahirkan
produk-produk dan jawaban-jawaban kreatif terhadap berbagai
masalah. Keterampilan tersebut perlu dan penting untuk diajarkan di
setiap rumah, sekolah, dan organisasi.
Semakin banyak dan baik kecerdasan yang dimiliki dan
dikembangkan, akan semakin luwes anda memenuhi tantangan dalam
kehidupan yang luas aspeknya. Maka target khusus dalam pendidikan
adalah pengembangan multiple intelligences, pengembangan
keterampilan dan keseimbangan emosi. Sebab itu, banyak ditemui
berbagai macam pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan
keterampilan dan potensi diri selain melalui pendidikan formal. Dalam
menghadapi era globalisasi, Mansour Fakih dalam William F. O’neil
(2002: xi) mengungkapkan sering terdengar “link and match” dalam
aspek pendidikan merupakan dampak dari pengaruh ideologi-ideologi
dalam dunia pendidikan. Maksudnya adalah bagaimana pendidikan
harus memiliki kaitan dan relevansi dengan dunia industri.
Dan hal penting lainnya sebagai tantangan pada era globalisasi
ini yaitu perlunya menumbuhkan pendidikan dengan berpikir kritis.
Istilah yang sedang booming dan sering dilontarkan berhubungan
dengan berpikir kritis adalah istilah HOTS (High Order Thinking
Skills). Berpikir kritis adalah sebuah skills kognitif yang

173
memungkinkan seseorang menginvestasikan sebuah situasi, masalah,
pertanyaan, atau fenomena agar dapat membuat sebuah penilaian atau
keputusan. Berpikir kritis mengkombinasikan dan mengkoordinasikan
semua aspek kognitif yang dihasilkan oleh persepsi, emosi, intuisi,
mode berpikir linear atau nonlinear, dan juga penalaran induktif
ataupun deduktif (Nurani Soyomukti, 2013: 54).

B. Tantangan YAPIS di Tanah Papua


Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, secara umum
tantangan pendidikan di Tanah Papua hampir sama dengan tantangan
dalam pendidikan dengan di daerah lain. Uraian tantangan di Tanah
Papua menjadi lebih spesifik sebab diperoleh berdasarkan hasil
observasi, wawancara, studi dokumen, dan survei (melalui pertanyaan
terbuka dan tertutup) yang ditujukan kepada mahasiswa di bawah
YAPIS, Pimpinan UPT, Dosen, Guru, Ketua Umum YAPIS, Sekretaris
YAPIS Pusat dan Ketua Cabang Kabupaten Jayawijaya. Mahasiswa
yang diberi kuesioner terdiri dari mahasiswa asli Papua, pendatang,
beragama Muslim dan Non-Muslim.
Jawaban dari hasil survei dalam bentuk pertanyaan terbuka
dikelompokkan menjadi beberapa komponen pendidikan dan beberapa
faktor lainnya, sebagai berikut.

1. Komponen Pendidikan
Komponen pendidikan yang akan dibahas dalam bagian ini
hanya yang disampaikan dalam hasil survei dari mahasiswa di Tanah
Papua. Komponen pendidikan yang disoroti meliputi komponen:
kurikulum, proses, lulusan, tenaga pendidik, sarana prasarana, dan
pembiayaan.
a. Komponen Kurikulum
1) Pengembangan kurikulum perlu difasilitasi untuk mewadahi
bakat, minat, dan potensi dari peserta didik.
Kurikulum di Tanah Papua tentu harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Di dalam intra kurikuler
perlu menambah dengan materi muatan lokal selain materi utama
yang telah ditetapkan pemerintah. Dan kurikulum yang tepat juga
harus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

174
teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
(Munir, 2010: 4). Selain itu, tentu di masa mendatang perlu
pengembangan program pilihan sesuai dengan bakat, minat,
potensi dari peserta didik, dan tuntutan era global. Hal ini menjadi
sorotan para mahasiswa sebab untuk di Wamena, STISIP Amal
Ilmiah baru menyediakan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dengan beberapa program studi. Dan kebanyakan masyarakat
memilih jurusan Ilmu Sosial di STISIP YAPIS dengan alasan
banyak lulusan akhirnya menjadi pegawai dan pejabat.
Kondisi ini di masa mendatang tentu akan berubah seiring dengan
diajukannya STISIP amal Ilmiah menjadi Universitas Amal
Ilmiah YAPIS. Rencana akan dibuka Fakultas Pertanian dan ada
peluang untuk membuka fakultas lainnya yang dibutuhkan
masyarakat.
2) Penguasaan Materi IPTEK, Bahasa Asing, Daerah Wisata.
Di era industri 4.0 dewasa ini, penguasaan IPTEK menjadi suatu
keharusan. Begitu pula dengan bahasa asing dengan tujuan untuk
memudahkan berkomunikasi secara internasional. Papua yang
terkenal dengan daerah-daerah wisatanya yang juga di kenal
hingga dunia internasional, perlu memasukkan Materi
Pengenalan dan Penguasaan Daerah Wisata di Tanah Papua
dalam materi mulok.
b. Proses
Selain proses pembelajaran materi pelajaran atau mata kuliah yang
diberikan, peserta didik/mahasiswa perlu mengembangkan diri di
luar jam perkuliahan. Perlu ada organisasi di kampus untuk
mewadahi potensi-potensi mahasiswa. Dengan demikian, perlu
dibentuk Unit Pengembangan Kegiatan dan Kesejahteraan
Mahasiswa sesuai dengan kebutuhan bakat, minat, dan potensi yang
dimilikinya.
c. Komponen Lulusan
1) Kompetensi lulusan dibandingkan dengan dari luar pulau Papua
masih rendah.
Untuk daerah atau wilayah yang sulit dijangkau akses pendidikan
lulusan pendidikan masih rendah dibanding daerah lain.

175
Mayoritas pekerja di Tanah Papua lulusan SD menjadi indikator
masih rendahnya pendidikan di sana.
2) Membangun sikap mental.
Banyak ahli pendidikan yang menyatakan bahwa hampir semua
lulusan lembaga pendidikan di Indonesia memiliki sikap mental
yang belum sesuai harapan dan tujuan pendidikan. Dan dapat
dibayangkan anak-anak gunung atau anak pulau yang terpencil
sementara akses pendidikan sangat minim dan kondisi ekonomi
yang rendah dapat membentuk sikap mental yang kurang baik.
Tanpa pendidikan yang berkualitas, tentu peserta didik atau anak-
anak akan memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
rendah.
3) Lulusan belum memenuhi standar dengan gelar yang
disandangnya.
Sebab kondisi alam yang ekstrim (bagi anak gunung dan pulau),
kehadiran di sekolah sudah menjadi suatu penghargaan tersendiri.
Tanpa alat transportasi yang memadai dan di tengah cuaca yang
kadang kurang bersahabat mereka perlu berjam-jam untuk sampai
ke sekolah. Dan walaupun masih belum waktu pulang, andai
kondisi sudah gelap mereka akan segera pulang (sebab ada
perjalanan yang harus ditempuh medannya cukup sulit). Kondisi
ini membuat para pendidik belum mampu mencapai target
standar pendidikan dengan kualitas baik. Tujuan utama dalam
pendidikan adalah untuk memenuhi program literasi (baca, tulis,
berhitung). Wajar apabila ada lulusan yang belum memiliki
kompetensi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang
jalaninya.
4) Masih banyak pengangguran akibat tidak mampu bersaing.
Melihat kondisi lulusan banyak yang belum memenuhi standar,
tentu berdampak kepada kemampuan yang dimilikinya.
Minimnya kompetensi dari lulusan berakibat pada sulitnya
bersaing dalam memperoleh pekerjaan. Akibatnya banyak
lulusan, bahkan sarjana sekalipun yang menganggur. Kasus
seperti ini bukan hanya terjadi di Tanah Papua saja, tetapi juga
terjadi di seluruh dunia.

176
5) Belum adanya sifat mandiri yang terbentuk di kalangan
mahasiswa.
Sifat mandiri tentu tidak dapat tumbuh begitu saja. Perlu
pembiasaan dan itu hanya akan didapat ketika lingkungan
pendidikan menekankan sifat mandiri tersebut.
6) Banyak yang belum bisa mengajak masyarakat untuk berubah ke
arah yang lebih baik.
YAPIS didirikan oleh para pegawai pemerintah dan ditugaskan di
Tanah Papua. Kemudian, beberapa masyarakat pendatang baik itu
yang mengabdikan diri di YAPIS atau pun pengusaha bersama-
sama membangun YAPIS dalam rangka untuk memajukan
masyarakat di Tanah Papua melalui pendidikan. Pendidikan
menjadi salah satu media untuk dapat mengubah orang menjadi
lebih baik.
Untuk mengubah masyarakat asli Papua ke arah yang lebih baik,
selain melalui pendidikan tentu perlu peran serta dan teladan dari
ketua suku masing-masing sebagai pemimpin mereka. Seorang
pemimpin memiliki pengaruh besar dalam perubahan individu,
masyarakat, dan lingkungan.
d. Komponen Tenaga Pendidik
1) Guru-gurunya terbatas jumlahnya (kurangnya tenaga pendidik,
khususnya yang di daerah pedalaman/pegunungan).
Berdasarkan sumber analisis SWOT Renstra YAPIS Periode
2012-2017), kualitas guru dan tenaga pendidik kurang memadai
pada UPT dan Cabang yang berada di daerah-daerah. Sebab tidak
semua guru/dosen dan orang-orang yang memiliki kompetensi
siap dikirim ke daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3 T).
Selain, kondisi geografis dan akses yang sulit, keamanan juga
berpengaruh terhadap jumlah para pendidik.
2) Kurangnya pengajar bahasa asing (Inggris)
Minimnya tenaga pendidik yang siap ditempatkan di daerah “3T”,
tentu ketersediaan pendidik dengan beragam keahlian dalam ilmu
pengetahuan dan keterampilan juga sangat kurang.
3) Belum optimal penempatan SDM yayasan
Penempatan SDM belum sesuai dengan job description.

177
4) Kesejahteraan pendidik
Upah/insentif guru dan karyawan masih rendah dan belum
adanya perhatian pemerintah terhadap pengangkatan guru honor
yayasan di daerah 3T.
e. Komponen Sarana dan Prasarana (Sarpras)
1) Sekolah-sekolah yang letaknya di daerah kampung atau
pedalaman kurang media sarpras.
Sekolah-sekolah yang ada di pegunungan atau di pulau masih
minim dalam hal tersedianya sarpras untuk pendidikan, seperti
ruang kelas, lab komputer, lab bahasa, spidol-penghapus, buku
pelajaran atau buku referensi yang sesuai standar, dan alat peraga.
2) Jaringan internet
Dampak perkembangan teknologi dan informasi belum dapat
dirasakan sepenuhnya. Gembar-gembornya penggunaan ICT,
bagi daerah 3T tentunya sebagian besar masih mimpi yang
berharap segera menjadi kenyataan.
f. Komponen Pembiayaan
Faktor ekonomi, yaitu keuangan atau biaya pendidikan yang cukup
tinggi. Masih banyak ditemukan masyarakat kelas ekonomi bawah,
dan kemiskinan menjadi faktor utama hingga anak tidak bersekolah.
Keluarga miskin masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi
biaya pendidikan seperti biaya transportasi, buku, pakaian seragam.
Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja mereka masih kurang,
bagaimana mereka akan mengirimkan anak-anak bersekolah. Walau
telah ada program Wajar Dikdas, tetap saja biaya personal
pendidikan dirasa tinggi. Apalagi jenis dan jenjang pendidikan yang
tidak disubsidi pemerintah, biayanya sangatlah mahal bagi
masyarakat yang ekonominya rendah. Sementara YAPIS belum
memiliki sumber dana yang cukup dan berkelanjutan.

2. Faktor Lainnya
Faktor lainnya dikelompokkan menjadi beberapa kategori,
yaitu: jarak dan waktu, akses transportasi, pemerintah, kesehatan,
budaya, persaingan global, keamanan.

178
a. Jarak dan Waktu
1) Jauhnya jarak tempat pendidikan untuk ditempuh
Tingkat kesulitan geografi; jauhnya jarak dari tempat tinggal
peserta didik yang berada di gunung atau di pulau menjadi faktor
lain dalam menghadapi tantangan pendidikan di Tanah Papua.
2) Waktu
Jarak yang jauh dari tempat tinggal ke sekolah tentu memakan
waktu untuk tiba di tujuan.
b. Akses Transportasi
Transportasi menuju lokasi sekolah yang sulit di jangkau dan jarang.
Di beberapa daerah tidak ada sarana transportasi umum untuk
membantu dan memudahkan anak tiba di sekolah.
c. Pemerintah
Kurang perhatian dari Pemda setempat. Minimnya anggaran dengan
banyaknya program tentu tidak semua dapat terlaksana. Skala
prioritas akan digunakan dalam pembangunan. Sebab itu lah
mungkin tampak beberapa program sepertinya belum mendapat
perhatian dari pemerintah daerah.
d. Kesehatan
Permasalahan narkoba, miras, dan HIV. Gaya hidup yang kurang
sehat, kebiasaan serta pengaruh pihak-pihak yang kurang
bertanggung jawab menjadikan para pemuda dan masyarakat
terjerumus dalam permasalahan narkoba, miras, dan penyakit HIV.
e. Budaya
1) Faktor budaya: Minimnya perhatian orangtua dalam bidang
pendidikan terutama orangtua OAP.
Ekonomi yang rendah menjadikan anak diminta ikut membantu
orangtua bekerja. Dengan kondisi geografis yang terjal, akses
transportasi yang sulit bahkan tidak ada, menjadikan masyarakat
yang ada di daerah tersebut mengesampingkan pendidikan
formal.
2) Adanya sikap mental, yang penting anak lulus jenjang pendidikan
walau kualitas belum cukup baik.

179
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kondisi
alam yang ekstrim (bagi anak gunung dan pulau), dan alat
transportasi yang minim, perlu berjam-jam untuk sampai ke
sekolah. Dan walaupun masih belum waktu pulang, andai kondisi
sudah gelap mereka akan segera pulang (sebab ada perjalanan
yang harus ditempuh medannya cukup sulit). Kondisi ini
membuat para pendidik belum mampu mencapai target standar
pendidikan dengan kualitas baik. Tujuan utama dalam pendidikan
adalah untuk memenuhi program literasi (baca, tulis, berhitung).
Wajar apabila lulusan belum sesuai harapan tujuan pendidikan
nasional.
3) Adanya tuntutan masyarakat terhadap hak ulayat
Adanya tuntutan masyarakat terhadap hak ulayat, menghambat
perkembangan pembangunan. UPT tidak memiliki lahan yang
cukup untuk melakukan pengembangan pembangunan lembaga
sekolah atau perguruan tinggi.
f. Persaingan global
Persaingan global ditandai dengan perdagangan bebas, dan pekerja
asing yang dapat bekerja di negara ini. Lulusan yang tidak memiliki
kompetensi dan standar yang ditetapkan tentu tidak akan mendapat
posisi strategis dalam lapangan pekerjaan. Posisi-posisi strategis
akan dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan
standar tertentu termasuk orang asing.
g. Keamanan
Keamanan tempat pendidikan kurang terjamin atau kurang kondusif
(contoh apabila ada demo). Kondisi keamanan yang rawan
berpengaruh terhadap aktivitas pendidikan. Guru/Dosen dan peserta
didik tentu akan tidak dapat melaksanakan proses belajar mengajar
(tidak sekolah) dalam kondisi yang tidak aman. Yang lebih miris
lagi, banyak guru pendatang yang akhirnya pindah atau
mengundurkan diri dan pulang kembali ke daerah asalnya.
Selain itu juga ada gangguan keamanan terhadap aset dan kegiatan
sekolah oleh oknum-oknum masyarakat. Seringnya aset sekolah atau
perguruan tinggi yang dicuri menghambat proses pendidikan dan
pembelajaran.

180
C. Peluang Masa Depan Masyarakat di Tanah
Papua Melalui Pendidikan
Gambaran peluang masa depan masyarakat Papua dapat diraih
melalui pendidikan yang berkualitas melalui YAPIS. YAPIS sebagai
yayasan pendidikan terbesar di Tanah Papua telah memberikan
kontribusi signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
menyiapkan tenaga terdidik dengan kompetensi yang siap bersaing.
Program-program yang dirancang dalam manajemen strategik YAPIS
menjadi indikator besarnya peran YAPIS membangun masa depan
masyarakat di Tanah Papua yang lebih baik.
Berikut peluang-peluang berdasarkan hasil observasi,
wawancara, studi dokumen, dan survei (melalui pertanyaan terbuka dan
tertutup) yang ditujukan kepada mahasiswa di bawah YAPIS, Pimpinan
UPT, Dosen, Guru, Ketua Umum YAPIS, Sekretaris YAPIS Pusat dan
Ketua Cabang Kabupaten Jayawijaya, terbuka lebar masa depan
masyarakat di Tanah Papua melalui pendidikan yang didirikan YAPIS.

1. Pendidikan Semakin Maju


Kondisi riil Papua yang masih terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan menjadi kesempatan emas bagi Yapis berpartisipasi dalam
peningkatan kualitas SDM. Secara kuantitatif, sebanyak 198 lembaga
pendidikan di bawah YAPIS turut memajukan pendidikan di Tanah
Papua. Lembaga pendidikan yang dikenal dengan istilah Unit
Pelaksana Teknis (UPT) menyediakan layanan jenjang pendidikan
mulai tingkat pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah
hingga perguruan tinggi dan berbagai jenis keahlian (vokasi). Program
pendidikan, sarana dan prasarana di setiap UPT dipenuhi dan
kembangkan sesuai dengan kebutuhan. Jumlah peserta didik hampir
setara dengan Yayasan Pendidikan lainnya dan lembaga pendidikan
negeri.
Keberadaan UPT di bawah YAPIS membantu mensejajarkan
masyarakat di Tanah Papua melalui bidang pendidikan dengan daerah
lain di Indonesia. Bukan hanya kuantitas, kualitas pendidikan pun
menjadi perhatian utama para pengelola. Indikator kualitas yang baik
dari pengelolaan lembaga pendidikan dilihat dari akreditasi yang
dicapai UPT-UPT di bawah YAPIS.

181
Pendidikan semakin maju di Tanah Papua didukung pula oleh
Sumber Daya Manusia dan perlengkapan kerja yang memadai; struktur
organisasi yang lengkap; sistem dan prosedur kerja yang jelas; sarana
dan prasarana yang memadai; letak sekolah strategis; kerjasama,
dukungan dan kepercayaan masyarakat dan stakeholder (dunia usaha
dan industri); tingginya animo masyarakat untuk sekolah di Yapis.
Semua tidak terlepas dari Renstra YAPIS Pusat dengan Visi dan
Misinya di Tanah Papua. Berdasarkan Renstra YAPIS Pusat Periode
2012-2017, visi misi dalam pengembangan pendidikan di Tanah Papua
diuraikan sebagai berikut.
Visi
“Terwujudnya Manusia yang cerdas, terampil, sehat dan sejahtera
serta beriman”
Berdasarkan visi tersebut yang dimaksud manusia yang cerdas adalah
mampu mengoptimalkan pengetahuannya dalam hal menghadapi
masalah-masalah kehidupan. Sedangkan dalam hal sikap manusia harus
jujur, adil, konsekuen, dan tanggung jawab. Keterampilan mampu
mengatasi hal-hal yang bersifat teknis psikomotrik dalam rangka
menuju kesejahteraan.
Misi
Untuk mewujudkan visi di atas, maka ditetapkan misi sebagai berikut:
 Mencerdaskan kehidupan manusia, mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan imtaq;
 Menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mengaplikasikan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh seluruh anak
bangsa Indonesia yang ada di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat);
 Mengembangkan potensi sumber daya manusia yang berbudi pekerti
luhur dan mampu mengatasi permasalahan dalam masyarakat;
 Mewujudkan sikap dan moral guna keseimbangan hidup dan
kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tujuan
1) Mengembangkan SDM dan IPTEK yang berakhlaq mulia
Dengan indikator ketercapaian: terlaksananya peningkatan mutu
pendidik 1.623 orang dan tenaga kependidikan 140 orang dan 500
orang Dosen di seluruh (22) UPT YAPIS DI TANAH PAPUA

182
sampai dengan tahun 2017. Meningkatkan tingkat kelulusan seluruh
jenjang pendidikan hingga 100% dan rata-rata nilai ujian nasional;
terpenuhinya kebutuhan buku paket; tersedianya perpustakaan dan
laboratorium di seluruh jenjang.
2) Menyediakan SDM yang cerdas dan mampu melaksanakan IPTEK
yang Islami
Didukung dengan menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai, melaksanakan pembelajaran yang PAIKEM, menyiapkan
tenaga guru yang profesional (tersertifikasi) dan berkualifikasi
minimal S1, memberikan pembelajaran agama Islam mulai dari
tingkatan PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, menyiapkan
kurikulum muatan lokal YAPIS.
3) Menyediakan SDM yang mandiri
Agar terlaksananya pengembangan kemandirian SDM, diberikan
pelatihan kemandirian bagi siswa di sekolah-sekolah dan pelatihan
kemandirian di PT; pengembangan SDM yang berakhlak mulia dan
budi pekerti untuk siswa, guru/dosen, dan tenaga kependidikan.
4) Mewujudkan pengembangan jasmani dan rohani SDM
Peningkatan jasmani dengan pelaksanaan kegiatan olah raga rutin di
sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi berikut penyediaan
fasilitas olahraga bagi guru dan siswa. Peningkatan rohani melalui
kegiatan pengembangan kerohanian siswa di sekolah-sekolah
hingga perguruan tinggi.
Program 5 (Lima) Tahunan
1) Pelaksanaan
Rencana 5 (lima) tahunan memuat sasaran program/kegiatan yang
akan dilaksanakan selama lima tahun yang sifatnya indikatif.
Pelaksanaan visi, misi, kebijakan YAPIS tahun 2012– 2017 adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh semua unsur YAPIS yang
meliputi YAPIS Pusat, Cabang, Ranting dan seluruh UPT yang ada
di Papua tanpa kecuali sesuai dengan tugas dan kewenangan yang
dimiliki masing-masing dengan mengutamakan koordinasi secara
vertikal dan horizontal dalam pelaksanaan yang konsisten.

183
2) Tata Cara Penanggung Jawaban
Pertanggungjawaban pelaksanaan program kerja YAPIS dilakukan
setiap 5 (lima) tahun atau kurang dari 5 (lima) tahun sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
berlaku.
3) Program Konsolidasi
Sosialisasi Visi dan Misi YAPIS; konsolidasi organisasi dengan
meningkatkan dan menggerakkan fungsi dan keberadaan pengurus
cabang, pengurus ranting dan UPT; meningkatkan kemandirian dan
inisiatif pengurus di tingkat Cabang dalam menghadapi era otonomi
daerah; mempercepat kinerja, efektivitas dan efisiensi kepemim-
pinan dan pengelolaan organisasi; mengembangkan fungsi-fungsi
manajemen organisasi secara efektif dan efisien; mengadakan
penyegaran kepengurusan di tiap tingkatan yang mampu
memadukan komitmen pada visi dan misi, pengalaman berorganisasi
di lingkungan yayasan; meningkatkan efektivitas dan efisiensi
komunikasi dan pelayanan informasi di seluruh jajaran yayasan;
meningkatkan pemberdayaan organisasi sehingga mampu
membangun kemandirian dan menggalang kerjasama kesetaraan;
membentuk Wilayah dan Cabang YAPIS pada daerah pemekaran.
4) Program Biro-biro atau Sektor
a. Pendidikan Tinggi
(1) Meningkatkan pelayanan dalam organisasi pendidikan tinggi
melalui penempatan staf sesuai dengan pengalaman dan
kemampuan kerja, disertai disiplin dan etos kerja. (2)
Meningkatkan kinerja setiap unsur pimpinan sesuai dengan tugas
bidangnya, serta mengadakan kerjasama yang harmonis baik
internal organisasi pendidikan tinggi maupun dengan instansi
terkait. (3) Mengintensifkan kegiatan belajar mengajar dengan
mengoptimalkan volume perkuliahan, serta mendorong
mahasiswa untuk menyusun artikel ilmiah, serta melakukan
kegiatan seminar dan penelitian. (4) Meningkatkan jumlah dosen
untuk memenuhi ketentuan ratio dosen dengan mahasiswa, serta
meningkatkan kualitas dosen melalui pelatihan dan pendidikan
S2 dan S3. (5) Mendorong dan memotivasi dosen agar memiliki
pangkat akademik. (6) Menyiapkan langkah-langkah
kemungkinan dibukanya program baru sesuai kebutuhan pasar,

184
serta menyiapkan langkah-langkah/persiapan peningkatan
sekolah tinggi menjadi institut atau universitas. (7) Menyiapkan
sarana prasarana penunjang sesuai kebutuhan dan kemampuan.
(8) Setiap perguruan tinggi wajib dibentuk BPH (Badan
Pengawas harian).
Pengembangan kelembagaan termasuk Pendidikan Tinggi
dirumuskan dalam program Komisi II YAPIS. Komisi II
merumuskan Strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi di
lingkungan YAPIS melalui program sebagai berikut.
1) Penguatan Kelembagaan
a) Mendorong pendirian perguruan tinggi (PT) di tingkat
YAPIS cabang yang memiliki potensi.
b) Pengembangan program studi baru S1, S2, dan S3 yang
relevan dengan perkembangan IPTEK serta sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
c) Memiliki program-program studi yang berbasis kompetensi
dan diminati masyarakat dengan memperhatikan muatan
lokal.
d) Meningkatkan peringkat akreditasi institusi dan program
studi.
e) Peningkatan fungsi penjaminan mutu sebagai penjaminan
mutu internal.
f) Pengembangan sistem informasi terpadu berbasis teknologi
informasi untuk mendukung proses pembelajaran serta
berbasis web.
g) Kerjasama dengan perusahaan dan lembaga yang
berhubungan erat dengan disiplin ilmu dan penyediaan
ketenagakerjaan lulusan (graduate employability).
h) Meningkatkan kerjasama antara lembaga pemerintah dan
swasta serta perguruan tinggi baik nasional maupun
internasional.
i) Mengembangkan kemandirian perguruan tinggi dengan
menciptakan berbagai unit usaha komersial sebagai tempat
pembinaan berwirausaha mahasiswa sekaligus sebagai
sumber penghasilan lembaga perguruan tinggi.
j) Revitalisasi peran koordinasi lembaga penelitian.

185
k) Melaksanakan kerjasama antar perguruan tinggi di
lingkungan YAPIS.
l) Mengembangkan kurikulum yang memuat mata kuliah
mencirikan YAPIS.
2) Pengembangan SDM
a) Meningkatkan jumlah dosen dengan jenjang S2 dan S3.
b) Meningkatkan perolehan dana penelitian kompetitif.
c) Meningkatkan kemampuan dosen untuk meneliti menulis
artikel ilmiah tingkat nasional terakreditasi dan tingkat
internasional.
d) Meningkatnya publikasi karya ilmiah di kalangan dosen.
e) Mendorong dosen dalam peningkatan jabatan fungsional
asisten ahli, lektor dan lektor kepala terutama dosen untuk
jabatan guru besar.
f) Peningkatan keilmuan dosen melalui seminar/ workshop
nasional dan internasional.
g) Peningkatan pengembangan karakter (character building)
untuk dosen dan tenaga administrasi melalui pelatihan
internal maupun eksternal.
h) Peningkatan kerjasama antara perguruan tinggi, lembaga
pemerintah dan swasta dalam melaksanakan penelitian.
i) Meningkatkan perolehan HKI (Hak Kekayaan Intelektual).
j) Mengadakan workshop dan pelatihan penyusunan proposal
penelitian, publikasi ilmiah nasional dan internasional.
k) Kerjasama antar perguruan tinggi di lingkungan YAPIS
dalam memanfaatkan jurnal terbitan berkala untuk
publikasi ilmiah.
l) Peningkatan kemampuan tenaga kependidikan melalui
pendidikan dan pelatihan.
3) Pengabdian kepada masyarakat
a) Mendorong dosen untuk melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat.
b) Meningkatkan SDM berwawasan entrepreneurship.
c) Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat untuk
mengembangkan konsepsi pembangunan nasional,

186
wilayah, dan atau daerah melalui kerjasama antar perguruan
tinggi dan atau badan lain, baik di dalam dan di luar negeri.
d) Meningkatkan kapasitas dosen dalam kegiatan pengabdian
kepada masyarakat dan penulisan karya-karya pengabdian.
4) Pengembangan sarana dan prasarana
a) Gedung kantor dan kelas yang representatif dalam proses
belajar mengajar yang berbasis multimedia dan teknologi
informasi.
b) Ketersediaan akses internet dalam mendukung proses
pembelajaran.
c) Peningkatan gedung dan fasilitas laboratorium.
5) Kemahasiswaan
a) Revitalisasi organisasi kemahasiswaan.
b) Mengadakan dan mengikuti perlombaan ilmiah yang sesuai
dengan bidang ilmu. Jurusan bekerjasama dengan
himpunan dan bagian terkait membentuk kelompok-
kelompok studi dan mahasiswa binaan.
c) Melibatkan mahasiswa dalam penelitian-penelitian dosen.
d) Mengadakan kegiatan-kegiatan akademik maupun non
akademik yang melibatkan mahasiswa secara aktif.
e) Menciptakan atmosfir akademik dan kebebasan akademik.
b. Pendidikan Pra Sekolah, Sekolah Dasar dan Menengah
(1) Peningkatan hubungan dan kerja sama dengan instansi yang
terkait. (2) Perencanaan, studi kelayakan, dan pengembangan unit
sekolah baru di lokasi-lokasi baru. (3) Membentuk satuan tugas
penyusun kurikulum khas YAPIS yang diintegrasikan dengan
kurikulum wajib di semua jenjang pendidikan yang mengacu
pada pendidikan sains dan teknologi. (4) Meningkatkan
pelaksanaan CBSA ke seluruh persekolahan YAPIS dan
memantau pelaksanaannya. (5) Menentukan bahan serta
kurikulum muatan lokal di semua jenjang pendidikan yang
dikelola YAPIS. (6) Melaksanakan pendidikan dan pengajaran
akhlakul karimah serta materi pendukung yang bersumber pada
ajaran Islam. (7) Meningkatkan minat dan daya nalar siswa
melalui karya ilmiah remaja. (8) Mengawasi pelaksanaan

187
kurikulum pendidikan di persekolahan YAPIS. (9) Meningkatkan
pelaksanaan ibadah melalui sholat berjama’ah di sekolah-
sekolah. (10) Menyusun kalender pendidikan khusus YAPIS
dengan mengacu pada kalender pendidikan yang ditetapkan
pemerintah.
c. Pendidikan Luar Sekolah
(1) Menyelenggarakan pendidikan pada tingkat madrasah
diniyah, pengajian remaja/keluarga tiap cabang. (2) Menyeleng-
garakan kursus-kursus keterampilan bagi remaja yang putus
sekolah melalui kejar paket A dan B, Kejar Usaha, Pendidikan
Latihan Kejuruan dan lain-lain sesuai kemampuan dan kebutuhan
daerah. (3) Mengembangkan koperasi sekolah / pegawai di
lingkungan YAPIS. (4) Mengadakan dan mengembangkan Gugus
Depan Pramuka yang bercirikan Islam di SD/MI, SLTP/MTs,
SMU/MA, dan SMK dan Perguruan Tinggi yang dikelola oleh
YAPIS. (5) Mengintensifkan UKS dan PMR pada persekolahan
YAPIS. (6) Menjajaki kemungkinan untuk didirikannya Pondok
Pesantren Moderen di daerah yang potensial. (7) Merealisasikan
pelaksanaan pesantren kilat pada liburan panjang. (8)
Menyelenggarakan taman pengajian Al Qur'an sesuai dengan
tingkat perbandingan masyarakat.
d. Bidang Kebudayaan, Kesenian, Pemuda dan Olah Raga
Mengembangkan kebudayaan nasional yang bernafaskan Islam
dalam wadah antara lain: Grup Teater, Grup Vokal, Grup Tari,
Grup Beladiri, Drum Band. Qasidah dan lain-lain.
Mendirikan klub-klub olah raga sekolah untuk cabang-cabang
olah raga prioritas dan potensial khususnya sepak bola.
Menyelenggarakan porseni sekolah-sekolah YAPIS.
Membudayakan busana muslim bagi para pengurus YAPIS,
dosen, guru, mahasiswa, dan siswa.
e. Bidang Pembangunan Sarana dan Prasarana
(1) Jangka Pendek
(a) Meningkatkan pelaksanaan 7K dan pemeliharaan sarana
dan prasarana yang ada. (b) Menambah ruang belajar sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan. (c) Membangun

188
laboratorium, ruang keterampilan, perpustakaan dan
melengkapi alatnya sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan. (d) Membangun mushalla di setiap sekolah
YAPIS. (e) Mengusahakan alat-alat peraga bagi
persekolahan YAPIS.
(2) Jangka Panjang
(a) Membangun gedung untuk persekolahan YAPIS yang
baru, baik untuk TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan
SMK serta perguruan tinggi. (b) Mengusahakan tanah untuk
lokasi pengembangan YAPIS. (c) Membangun aula serba
guna yang memadai. (d) Membangun dan menambah kantor
guru dan ruang kepala sekolah sesuai kebutuhan dan
kemampuan. (e) Membangun rumah guru dan dosen sesuai
kemampuan dan kebutuhan. (f) Mengadakan sarana dan
prasarana olah raga di setiap sekolah. (g) Peningkatan mutu
dan kelengkapan fasilitas belajar mengajar, termasuk
laboratorium dan perpustakaan. (h) Perlu dibentuk bidang
monitoring dan evaluasi YAPIS Cabang/Pusat bekerjasama
dengan Departemen Agama dan Dinas Pendidikan &
Pengajaran.
f. Bidang Usaha Dana
(1) Mengintensifkan penerimaan dana dari orangtua
murid/siswa/mahasiswa yang terdiri dari uang sekolah/kuliah,
uang pendaftaran, uang pembangunan, uang ujian dan Infaq/
Shadaqah. (2) Mengusahakan peningkatan bantuan atau subsidi
dari pemerintah. (3) Meningkatkan usaha bantuan dari
masyarakat yang halal dan tidak mengikat antara lain: zakat,
infaq, shadaqah, hibah, wakaf dan lain-lain. (4) Mengusahakan
bantuan dari luar negeri. (5) Melakukan usaha penggalian dana di
bidang jasa-jasa produksi pertanian, perikanan, peternakan,
perkebunan, industri kecil dan penyelenggaraan pagelaran
budaya.
g. Bidang Administrasi dan Keuangan
(1) Menyusun petunjuk pelaksanaan dan teknis pengelolaan
administrasi dan keuangan YAPIS. (2) Peningkatan mutu dan
sistem informasi sesuai dengan hirarki dan mekanisme yang telah
ditetapkan antara lain mengenai kewajiban pengurus pusat untuk

189
melaporkan dan mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan dan
anggaran belanja YAPIS secara berkala, minimal 3 (tiga) bulan
sekali kepada Pembina, begitu pula UPT kepada Pengurus Pusat
YAPIS setiap bulan, disamping laporan insidental yang dirasa
perlu. (3) Peningkatan mutu kelengkapan administrasi pelaporan,
serta sistem pengelolaan sekolah. (4) Peningkatan kelengkapan
sistem informasi dan manajemen seluruh kegiatan YAPIS yang
meliputi administrasi ketatausahaan, keuangan, personalia,
inventarisasi kekayaan yayasan dan lain-lain yang relevan. (5)
Peningkatan efektifitas fungsi dari Pembina dalam membina dan
mengawasi pelaksanaan tugas pengurus YAPIS. (6)
Meningkatkan frekuensi komunikasi dan pertemuan berkala
antara pengurus dengan pengelola UPT atau guru-guru. (7)
Peningkatan jaringan informasi dan komunikasi.
Pendidikan di Lingkungan YAPIS merupakan pendidikan
berciri khas Islam. Maka selain program-program di atas, YAPIS
memiliki Program Unggulan (Khas), yaitu penguatan pemahaman
agama Islam. Penguatan pemahaman agama Islam berlaku mulai dari
pemimpin UPT sampai anak didik. Untuk peserta didik, diberi
tambahan materi Pendidikan Agama Islam. Hasil program unggulan ini
dapat dilihat dari indikator: siswa naik kelas V apabila hafalan Al-
Qur’an 1 Juz; Perguruan Tinggi belajar: Agama 2 dan Hukum Islam 3.
YAPIS memiliki program pengawasan terpadu. Pengawasan
yayasan ditujukan kepada UPT secara keseluruhan yang memantau
kinerja dan aktivitas UPT, guru/dosen, dan anak didik, penataan aset,
LPJ, administrasi keuangan dan masalah pekat.
Selanjutnya, Sistem Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
merupakan bagian tak terpisahkan dari Rencana Strategis YAPIS di
Tanah Papua 2012-2017. Program ini menjadi peluang besar untuk
memajukan pendidikan di UPT-UPT YAPIS. Monitoring dan Evaluasi
bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian dan kesesuaian antara
rencana yang ditetapkan dengan hasil yang dicapai dari program
operasional yang direncanakan. Dengan demikian dapat diketahui hal-
hal yang berkaitan dengan tingkat pencapaian/keberhasilan,
ketidakberhasilan, hambatan, tantangan, dan ancaman dari pelaksanaan
program dan kegiatan yang telah ditetapkan.
Acuan utama dalam mengukur kesesuaian standardisasi yang
tercantum dalam Renstra adalah ketentuan Anggaran Dasar dan Rumah

190
Tangga dan Kebijakan Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan
YAPIS di Tanah Papua serta Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh Yayasan: Badan Pengurus,
Pengawas, Badan Pelaksana di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota,
Tim Supervisor maupun oleh Kepala Sekolah Yayasan dan atau badan
publik lain yang ditugaskan oleh Yayasan. Prinsip pelaksanaan
MONEV adalah prinsip kejelasan tujuan dan hasil, obyektif, konsep-
teori-proses-pengalaman, transparan, partisipatif, akuntabel,
komprehensif, terjadwal, berkala dan berkelanjutan, efektif dan efisien.
MONEV dilaksanakan berdasarkan tiga kebijakan: a) perluasan akses
dan pemerataan pendidikan, b) peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan, c) peningkatan tata kelola dan akuntabilitas.

2. Toleransi Keberagaman dan Keberagamaan yang


Tinggi
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa tempat di Tanah
Papua, hasil penelitian baik dari observasi langsung, wawancara, dan
survei di lingkungan YAPIS termasuk UPT-UPT, menunjukkan
tingginya tingkat toleransi. Kuesioner yang disebar kepada mahasiswa
Papua, pendatang dan penduduk asli Papua, beragama muslim dan non-
muslim menegaskan bahwa interaksi dan integrasi agama yang
diyakini, budaya setempat, dan pendidikan terjalin harmonis.
Gambar berikut sesuai dengan gambar 6.3. yang menunjukkan
hasil penelitian di Tanah Papua tentang pendidikan 2018, dan toleransi
keberagamaan dan keberagaman menunjukkan kategori Baik (No. 3).

Rata2
80%
60%
40%
20% Rata2
0%
BCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCKBCK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

191
Interaksi atau komunikasi dalam kehidupan harmonis dan saling
pengertian memberikan peluang untuk mengembangkan diri dalam
mencapai kompetensi atau kemampuan sebagai modal hidup di
masyarakat. Dan sikap memiliki harmonisasi dalam keberagaman
menempati capaian paling tinggi daripada sikap memperoleh
pengetahuan dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa sikap mental yang
baik berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan dan kesuksesan
hidup di manapun berada. Dan kondisi ini menjadi indikator peluang
baik bagi masyarakat di Tanah Papua untuk maju bersama dalam
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.

3. Kemampuan Berwirausaha
Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan berwirausaha
diperoleh dari mata pelajaran atau mata kuliah yang diberikan. Selain
itu, peserta didik (mahasiswa) yang memiliki jiwa kreatif telah
menjalankan usaha-usaha dengan beberapa rekannya. Ada yang
mengembangkan kreatifitas di bidang kerajinan tangan, makanan, dan
lainnya.
Basrowi dalam bukunya Kewirausahaan untuk Perguruan
Tinggi (2011: 1, 3) menyatakan, wirausaha adalah orang yang pandai
atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru,
menyusun operasi untuk mengadakan produk baru, mengatur
permodalan operasinya serta memasarkannya. Dalam lampiran
keputusan menteri koperasi dan pembinaan pengusaha kecil nomor
961/KEP/M/XI/1995 dinyatakan bahwa wirausaha adalah orang yang
mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan.
Sedangkan kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan
kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara
kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
Pengertian kewirausahaan berdasarkan instruksi presiden RI
No. 4 Tahun 1995 menyatakan bahwa kewirausahaan adalah semangat,
sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau
kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta
menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang

192
lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dapat
disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah sikap mental yang dimiliki
seorang wirausahawan dalam melaksanakan usaha atau kegiatannya.
Selanjutnya kegiatan-kegiatan yang bersifat kewirausahaan,
yaitu sebagai berikut.
a. Menghasilkan produk baru dengan cara-cara baru.
b. Menemukan peluang pasar baru dengan cara-cara baru.
c. Mengkombinasikan faktor-faktor produksi dengan cara baru.
d. Menciptakan struktur organisasi yang bersifat terbuka dan
disentralistis.
e. Mendukung budaya yang mendorong eksperimen yang kreatif.
f. Mendorong perilaku eksperimental.
g. Mengedarkan cerita keberhasilan.
h. Menitikberatkan kepada peran “kampiun”.
i. Toleransi terhadap kegagalan.
j. Menitikberatkan kepada komunikasi yang efektif untuk semua
tingkat.
k. Menyediakan sumber dana untuk prakarsa baru.
l. Menjamin tidak akan membunuh gagasan, dan lain-lain.
Sedangkan karakteristik wirausahawan yang perlu dimiliki dan
dikembangkan, antara lain: berwatak luhur, kerja keras dan disiplin,
mandiri dan realistis. Selain itu juga seorang wirausaha harus memiliki
karakteristik prestatif dan komitmen tinggi, berpikir positif dan
bertanggung jawab, dapat mengendalikan emosi. Tidak ingkar janji,
menepati janji dan waktu, belajar dari pengalaman, memperhitungkan
resiko, merasakan kebutuhan orang lain, bekerjasama dengan orang
lain, menghasilkan sesuatu untuk orang lain, memberi semangat orang
lain, mencari jalan keluar bagi setiap permasalahan, dan merencanakan
sesuatu sebelum bertindak. Berdasarkan By Grave, karakteristik
wirausahawan meliputi 10 D, yakni: dream, decisiveness, doers,
determination, dedication, devotion, details, destiny, dollars, distribute.
Ruang lingkup kewirausahaan sangat luas dan meliputi semua
bidang kehidupan, antara lain sebagai berikut (Basrowi, 2011: 13).
a. Bidang agraris meliputi pertanian dan perkebunan serta perhutanan.

193
b. Bidang perikanan meliputi pemeliharaan, penetasan, makanan, dan
pengangkutan ikan, dan lain-lain.
c. Bidang peternakan.
d. Bidang perindustrian dan kerajinan meliputi industri besar,
menengah, kecil, dan pengrajinan (mengolah hasil pertanian,
perkebunan, perikanan dan peternakan, kehutanan).
e. Bidang pertambangan dan energy.
f. Bidang perdagangan.
g. Bidang jasa, antara lain sebagai pedagang perantara, pemberi kredit
atau perbankan, angkutan, hotel dan restoran, travel perjalanan,
pengusaha asuransi, pergudangan, koperasi, dan lain-lain.
Di Tanah Papua dengan sumber daya alam yang berlimpah
dapat menjadi peluang besar bagi para peserta didik dan masyarakat
untuk dapat berwirausaha di berbagai bidang. Peluang wirausaha
membuka peluang dalam berbisnis sehingga masyarakat di Tanah
Papua dapat mengubah hidupnya lebih maju dan sejahtera.

4. Lulusan yang Berkualitas Siap untuk Berdaya Saing


Lulusan memiliki kompetensi untuk siap bersaing di dunia kerja
pengetahuan yang cukup. Pendidikan telah membentuk kompetensi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap bagi para peserta didik. Dan
YAPIS sebagai yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan telah
memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan SDM di
Tanah Papua.
Lulusannya yang memiliki kompetensi telah banyak yang
memberikan kontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Lulusan
YAPIS banyak yang telah menjadi pegawai pemerintah dan pegawai
swasta baik di daerah Papua itu sendiri maupun di luar daerah Papua.
Kontribusi signifikan tersebut berasal dari peran aktif UPT-UPT (Unit
Pelaksana Teknis) di bawah YAPIS. Ini berarti bahwa lulusan
memenuhi kebutuhan masyarakat dan stakeholder sekitar, seperti
menjadi pejabat pemerintah, anggota DPR (di Raja Ampat-Papua
Barat). Pegawai di Freeport dan Amicom (diawali dari kegiatan praktik
kerja lapangan pada jenis pendidikan vokasi), dan lainnya.
Lembaga pendidikan (sekolah) Vokasi yang tersebar di
berbagai UPT di Kota maupun Kabupaten di Tanah Papua menawarkan
jurusan Akuntansi, Manajemen Perkantoran, TIK (di Timika),

194
Multimedia, dan Keperawatan (di Wamena). Sebagaimana yang
terdapat dalam tabel penyebaran UPT di Tanah Papua, 5 SMK telah
didirikan di beberapa distrik di Tanah Papua. Serapan lulusan ada yang
bekerja di pemerintah daerah dan swasta, seperti Telkom. Dan lulusan
keperawatan telah banyak yang bekerja di rumah sakit pemerintah di
daerahnya.
Dengan demikian lulusan yang dibantu memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental yang baik akan memiliki kualitas yang
baik pula. Banyaknya lulusan yang memiliki kompetensi akan
membantu masyarakat di Tanah Papua menjadi masyarakat yang
Cerdas, Terampil, Maju dan Berkualitas.
Telah diinformasikan bahwa mayoritas peserta didik mulai
tingkat SMP hingga PT 80% lebih merupakan peserta didik dari
masyarakat atau orang asli Papua. Dengan demikian, peluang
masyarakat asli Papua menjadi SDM terdidik sangat lah besar. Lulusan
lembaga pendidikan di bawah YAPIS yang mayoritas orang asli Papua
mendapatkan banyak peluang dalam pekerjaan, baik di pemerintahan,
perusahaan BUMN, perusahaan swasta, politisi, maupun pebisnis.
Melalui pendidikan yang berkualitas, akhirnya banyak masyarakat asli
Papua mampu dan siap bersaing di era globalisasi ini.

5. Memiliki Kecakapan Hidup (Life Skills)


Kecakapan Hidup (Life Skills) adalah kecakapan yang dimiliki
seseorang untuk mampu memecahkan permasalahan hidup secara wajar
dan menjalani kehidupan secara bermartabat tanpa merasa tertekan,
kemudian secara proaktif mencari serta menemukan solusi sehingga
akhirnya mampu mengatasinya. Berdasarkan pengertian tersebut,
pendidikan kecakapan hidup dapat dipahami sebagai usaha untuk
membantu dan membimbing aktualisasi potensi peserta didik untuk
mencapai sejumlah kompetensi, baik berupa pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai, yang mengarah pada kemampuan
memecahkan permasalahan hidup, menjalani kehidupan secara mandiri
dan bermartabat, serta proaktif dalam mengatasi masalah. Dalam UU
No, 20 Tahun 2003 Pasal 26 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup (life skill education)
adalah pendidikan yang memberikan kecakapan vokasional untuk
bekerja atau usaha mandiri.

195
Sesuai dengan visi, misi, dan tujuan, YAPIS telah
mengimplementasikan kecakapan hidup dalam program
pendidikannya. Departemen Agama, Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam (2005: 9) menegaskan pendidikan yang berorientasi pada
kecakapan hidup hendaknya memuat upaya untuk mengembangkan
kemampuan para peserta didik. Pendidikan yang berorientasi pada
kecakapan hidup hendaknya memuat minimal sebagai berikut.
a. Kemampuan mensyukuri nikmat Allah dalam bentuk ungkapan
lisan dan perbuatan dalam menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya.
b. Kemampuan membaca dan menulis secara fungsional baik dalam
bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing.
c. Kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses
melalui pembelajaran berpikir ilmiah, eksploratif, discovery dan
inventory.
d. Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi.
e. Kemampuan memanfaatkan teknologi dalam aneka ragam lapangan
kehidupan seperti teknologi pertanian, perikanan, peternakan,
kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi,
transportasi manufaktur dan industri, perdagangan, kesenian,
olahraga, dan sebagainya.
f. Kemampuan mengolah sumber daya alam, sosial, budaya dan
lingkungan untuk dapat hidup mandiri.
g. Kemampuan bekerja dalam tim yang merupakan tuntutan ekonomi
saat ini, baik dalam sektor informal maupun formal.
h. Kemampuan untuk terus menerus menjadi manusia pembelajar.
i. Kemampuan untuk mengintegrasikan diri dengan sosio-religius
bangsa berlandaskan nilai-nilai Islam dan Pancasila.
Kecakapan hidup dalam dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skills) dan
kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skills). Kecakapan
hidup yang bersifat umum atau general life skills meliputi kecakapan
personal dan kecakapan sosial. Sementara kecakapan hidup yang
bersifat khusus atau specific life skills, meliputi: keterampilan akademik
dan vokasional.

196
a. Kecakapan Personal, meliputi:
1) Kesadaran spiritual;
2) Kesadaran akan potensi;
3) Kecakapan berpikir, yaitu kecakapan: berargumen, menggali dan
mengolah informasi, memecahkan masalah.
b. Kecakapan Sosial, meliputi:
1) Kecakapan komunikasi, yaitu kecakapan: mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis;
2) Kecakapan mengkolaborasi, yaitu kecakapan: bekerja mandiri,
dalam tim, sebagai pemimpin.

6. Proses Pendidikan Berkualitas Membuka Peluang


Masa Depan yang Lebih Baik
Pendidikan adalah investasi masa depan. Kompetensi yang
terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan menjadi modal untuk
masa depan. Daya dukung SDM handal, seperti tenaga pendidik
(guru/dosen) dan kependidikan yang dimiliki UPT-UPT di bawah
YAPIS dari segi kualitas dan kuantitas sama dengan lembaga pengelola
pendidikan lainnya yang didukung dengan jumlah tenaga edukatif
dengan kompetensi disiplin ilmu yang telah dimiliki. Terlebih YAPIS
memberikan dukungan dalam proses peningkatan kualitas tenaga
edukatif seperti memperoleh kesempatan belajar pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Tenaga pendidik yang berkualitas, akan mampu memberikan
proses pembelajaran yang bermutu. Sebagai seorang pendidik yang
handal tentu akan mampu untuk melaksanakan pembelajaran yang
menarik dan bermakna bagi peserta didiknya. Sugiyanto (2010: 1)
menegaskan, daya tarik suatu mata pelajaran (pembelajaran) ditentukan
oleh dua hal: pertama, oleh mata pelajaran itu sendiri, dan kedua, oleh
cara mengajar guru. Oleh karena itu, tugas profesional seorang guru
adalah menjadikan pelajaran yang sebelumnya tidak menarik
menjadikannya menarik, yang dirasakannya sulit menjadi mudah, yang
tadinya tak berarti menjadi bermakna. Jika kondisi tersebut dapat
dilaksanakan oleh para pendidik, tentunya lulusan akan berpeluang
besar memiliki kompetensi yang berkualitas untuk masa depannya.

197
7. Atlet Olahraga, Seniman, Wirausahawan
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, masyarakat di
Tanah Papua, terutama mahasiswa memiliki beragam potensi. Potensi
yang tampak berkembang adalah dalam bidang olah raga, seni, ada juga
kerajinan tangan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung,
motivasi, bimbingan dan arahan dari para pendidik mampu
menumbuhkan atlet olahraga, seniman, dan wirausahawan atau
pebisnis dari Tanah Papua.
Peluang besar menjadi wirausahawan diperkuat Rudihartono
Ismail (2012: 41). Mengembangkan berbagai produk home industry
yang dijadikan souvenir bagi wisatawan dan perlengkapan rumah
tangga. Home industry yang dikembangkan antara lain kerajinan
gerabah/keramik, anyam-anyaman rotan, talimulele dan daun pandan,
tenun bulu domba, jahit menjahit, bengkel otomotif, berbagai jenis
keripik, sirup markisa, jeruk nenas dan pembuatan tepung ubi jalar,
tepung pisang dan kedelai.

8. SDA yang Berlimpah


Di Indonesia sebagian besar penduduk terpusat di wilayah Jawa
Bali, yaitu sekitar 60% dengan luas wilayah hanya 7% dari total
wilayah nasional. Sementara jumlah penduduk di Papua hanya sekitar
2% dengan luas wilayah sekitar 22% dari total nasional. Sebaran
penduduk menunjukkan tingkat kepadatan penduduk terpusat di kota-
kota besar dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (Onisimus
Amtu, 2014: 48).
Wilayah Tanah Papua yang luas memiliki kekayaan alam yang
berlimpah. Kabupaten Jayawijaya, selain Sorong (Raja Ampat) dan
daerah lainnya, merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam yang
berlimpah dan pemandangan alam yang sungguh menakjubkan.
Beragam kekayaan alam dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik
dan bijak oleh seluruh warga. Indahnya pemandangan dan adanya
kebudayaan masyarakat asli (seperti Festival Lembah Baliem) dapat
menjadi daya tarik tersendiri untuk pariwisata. Semua dapat terwujud
apabila dikelola secara optimal dan profesional.
Hasil pertanian berupa sayuran organik yang berasal dari alam
potensial untuk dikelola dan dikembangkan lebih banyak hingga dapat
diolah atau dikirim untuk daerah lain yang tidak memiliki hasil

198
pertanian jenis tersebut. Pengelolaan lahan baik pertanian ataupun laut
secara maksimal dapat menjadikan Kabupaten Jayawijaya, misalnya,
dapat menjadi produsen sayuran organik dan sekaligus dapat menjadi
distributor hasil pertanian bagi daerah lain. Keberhasilan ini tentu akan
terwujud apabila didukung oleh banyak faktor.
Makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sangat baik untuk
kesehatan. Sebagaimana dipertegas seorang ahli bedah asal Jepang
yang menjadi guru besar kedokteran di Albert Einstein College of
Medicine USA, dr. Hiromi Shinya menyatakan bahwa perbandingan
ideal dalam pola konsumsi harian adalah 85-90% makanan nabati
(bersumber dari tumbuh-tumbuhan) dan 10-15% makanan atau protein
hewani yang berasal dari hewan (Tauhid Nur Azhar, 2009: 12). Selain
pertanian, kekayaan laut, batang tambang dan lainnya menjadi sumber
daya alam yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat.
Kepala Bappeda Provinsi Papua, Muhammad Musaad, dalam
Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi
Papua Tahun 2018, menyatakan Provinsi Papua akan mengalami
kesulitan menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2016 jika
struktur perekonomian tidak diperkuat mulai saat ini, sangat bertumpu
pada resources based. Akan diprioritaskan penguatan struktur
perekonomian yang mengarah pada industry based misalkan
agroindustry berbasis komoditas lokal dan smelter industries di
Provinsi Papua
Diungkap kembali, Rudihartono Ismail (2012: 41) menyatakan,
keberadaan daerah Papua yang indah dan asri menunjang Pariwisata
dan sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya bekerjasama dengan LIPI dan BPPT
mengembangkan berbagai produk home industry yang dijadikan
souvenir bagi wisatawan dan perlengkapan rumah tangga. Home
industry yang dikembangkan antara lain kerajinan gerabah/keramik,
anyam-anyaman rotan, talimulele dan daun pandan, tenun bulu domba,
jahit menjahit, bengkel otomotif, berbagai jenis keripik, sirup markisa,
jeruk, nanas dan pembuatan tepung ubi jalar, tepung pisang dan kedelai.
Rudihartono Ismail melihat masyarakat adat Kabupaten
Jayawijaya memiliki perspektif pemanfaatan sumberdaya alam dengan
sangat bijaksana. Eksploitasi dilakukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan terbatas tanpa mempertimbangkan nilai benefit ekonomis

199
dari sebuah sumberdaya alam. Untuk itu prinsip-prinsip yang dimiliki
oleh masyarakat tradisional Kabupaten Jayawijaya dalam upaya
pelestarian diawali oleh rasa kesatuan dengan alam, rasa kepemilikan
sumberdaya alam sebagai barang milik ulayat ataupun adat sehingga
benar-benar dijaga dan dilindungi, adanya peraturan tidak tertulis (non
formal)yang mengikat pada masyarakat untuk tidak memanfaatkan
sumberdaya alam secara berlebihan.
Keberadaan lembaga pendidikan di bawah YAPIS memberikan
peluang bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara untuk
memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal namun tetap
memegang prinsip-prinsip kearifan alam. Ilmu pengetahuan tentang
pertanian, kelautan, dan lainnya yang di dapat di UPT-UPT YAPIS
menjembatani masyarakat untuk dapat berwirausaha, selain beberapa
mampu meraih posisi di pemerintahan dan perusahaan. Demikian pula
teknologi yang disiapkan sebagai prasarana atau media bagi kemajuan
kompetensi dan keterampilan di lingkungan pendidikan dapat
membantu menggali dan mengolah sumber daya alam secara maksimal.

9. Membangun dan Menciptakan Lapangan Kerja di


Tanah Papua
Keberadaan YAPIS menjadi berkah tersendiri di Tanah Papua.
Kiprahnya melalui pendidikan membantu masyarakat dalam
meningkatkan harkat dan martabatnya. YAPIS selain membantu
menyiapkan tenaga yang berpengetahuan dan terampil serta memiliki
sikap mental yang baik untuk masa depan, juga memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk sama-sama berkarya dalam bidang
pendidikan.
Pengembangan dan pendirian UPT di berbagai daerah mampu
membangun daerah di Tanah Papua. Selain itu, juga ratusan UPT telah
menciptakan peluang untuk lapangan kerja di Tanah Papua bagi
masyarakat asli Papua ataupun bagi para pendatang. Sehingga tak
diragukan lagi keberadaan YAPIS dan alumninya memberikan andil
dalam kemajuan dan pembangunan di Tanah Papua.

10. Banyaknya Anak Usia Wajib Belajar


Banyaknya anak usia wajib belajar menjadi keuntungan
tersendiri bagi daerah, bangsa, dan negara tersebut. Banyaknya anak
usia wajib belajar mengindikasikan akan banyak generasi muda masa

200
depan. Ini berarti akan ada banyak jumlah angkatan kerja yang
produktif.
Banyaknya anak usia wajib belajar, tentu harus dijaga dengan
baik. Pendidikan harus diberikan dengan baik. Kompetensi harus
diarahkan agar dikuasai dan mampu diimplementasikan dalam
kehidupan hingga bermanfaat baik untuk dirinya maupun orang lain.
Selain itu, kompetensi yang dipraktikkan akan menjadi keterampilan
tersendiri yang tentu setiap orang akan memiliki keterampilan atau
keahlian yang berbeda.
Keahlian yang berbeda dari setiap manusia ini lah yang akan
membantunya dalam mendapatkan pekerjaan. Keahlian spesifikasinya
menjadikan ia memiliki keunggulan. Dengan keunggulannya tersebut
generasi muda kita akan siap bersaing di era globalisasi.

11. Lokasi Wilayah Dekat Dengan Berbatasan Negara


Lain
Letak Geografis Provinsi Papua dan provinsi-provinsi di tanah
Papua merupakan posisi yang strategis yang terletak dalam wilayah
daerah tertimur Indonesia. Berada pada dua sisi dari benua Australia
dan Lautan Pasifik serta Lautan Arafura; berbatasan langsung dengan
Negara Papua Nugini (PNG) yang dapat dijangkau dengan
perhubungan darat maupun lautan/sungai; ditambah dari berbagai
aspek tantangan dan keterbatasan khususnya di dalam lingkup wilayah
Provinsi Papua itu sendiri.
Lokasi yang dekat dengan perbatasan memberikan peluang
tersendiri bagi masyarakat di Tanah Papua. Lokasi yang dekat ke luar
negeri memudahkan terjalinnya hubungan dan kerjasama di berbagai
bidang. Hubungan dan kerjasama dalam kemajuan masyarakat dapat
dilaksanakan dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.

D. Harapan Pengembangan Diri Masyarakat di


Tanah Papua Melalui Pendidikan
Setiap manusia tentu memiliki harapan-harapan dalam
hidupnya. Tua-muda, si kaya atau si miskin, yang berada di kota
maupun di pegunungan atau di tengah lautan tentu memiliki harapan.

201
Setiap manusia memiliki harapan untuk maju, hidup lebih baik,
sejahtera, dan bahagia.
Berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada mahasiswa dan
wawancara dengan para pengelola UPT maupun YAPIS, terungkap
beberapa harapan mereka sebagai generasi penerus bangsa dan negara
di masa mendatang dan YAPIS sebagai mitra pemerintah dalam bidang
pendidikan. Harapan-harapan ini tentu menjadi suatu usulan yang dapat
dipertimbangkan untuk diupayakan baik oleh pemerintah atau pun
pihak terkait sehingga dapat menjadikan perubahan ke arah yang lebih
baik bagi seluruh warga negara. Keputusan-keputusan yang diambil
pemerintah khususnya, dapat menjadi angin segar bagi kemajuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Harapan-harapan atau usulan yang perlu dipenuhi untuk
pengembangan diri sendiri dan masyarakat melalui lembaga pendidikan
yang ada di Tanah Papua agar siap bersaing di era globalisasi,
berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan survei adalah sebagai
berikut.
1. Pemerintah memperhatikan pendidikan dan ekonomi di daerah
pedalaman agar masyarakat pedalaman bisa maju.
2. Mempunyai kualitas untuk berdaya saing.
3. Pelatihan-pelatihan bertaraf nasional dan internasional.
4. Pengembangan IPTEK.
5. Menyediakan buku-buku pendukung pendidikan dan peningkatan
kualitas SDM.
6. Kemampuan mengembangkan pola berpikir.
7. Memperbanyak akreditasi A.
8. Pembenahan dan pemenuhan sarana-prasarana.
9. Mahasiswa didorong untuk praktik ke lapangan.
10. Membuka jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat peserta
didik (jurusan di Universitas atau Sekolah Tinggi masih minim).
11. Memperbanyak kegiatan-kegiatan yang menyangkut pada
pengembangan diri (UKM/Unit Kegiatan Mahasiswa, contoh club
seni, mapala, dan lainnya).
12. Menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya
ilmu pengetahuan sehingga masyarakat mampu bersaing di era
global.

202
13. Peluang beasiswa diperbanyak.
14. Membuka Pascasarjana di semua program studi.
15. Program pertukaran mahasiswa antar provinsi Papua dan studi
banding ke luar Papua.
16. Tenaga kerja asli Papua diberdayakan.
17. Membangun sekolah agar mampu memfasilitasi usia anak wajib
belajar.
18. Perpustakaan.
19. Harapan ke depan perlu sosialisasi ke masyarakat tentang
kemajuan di luar daerah supaya mereka tergugah untuk mencontoh.
Hasil penelitian di atas perlu diperhatikan dan harapan-harapan
agar suatu daerah dapat berubah menjadi daerah yang lebih baik dan
maju, perlu direalisasikan. Untuk dapat bertahan dalam perubahan
zaman adalah dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan perubahan
itu sendiri. Dengan demikian harapan-harapan dari para generasi muda
daerah dan bangsa untuk pengembangan diri perlu didukung dalam
rangka perubahan ke arah yang lebih baik.
Masyarakat merupakan sistem yang adaptif. Masyarakat
merupakan wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan tentunya
juga untuk dapat bertahan. Di samping itu, masyarakat sendiri juga
mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi agar mereka dapat
berlangsung hidup. Soerjono Soekanto (2017: 23) menguatkan akan
kebutuhan masyarakat seperti harapan-harapan pengembangan diri di
atas.
Kebutuhan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut.
a. Adanya populasi dan population replacement.
b. Informasi.
c. Energi.
d. Materi.
e. Sistem komunikasi.
f. Sistem produksi.
g. Sistem distribusi.
h. Sistem organisasi sosial.
i. Sistem pengendalian sosial.

203
j. Perlindungan warga masyarakat terhadap ancaman-ancaman yang
tertuju pada jiwa dan harta bendanya.

E. Pelatihan yang Diperlukan Masyarakat


di Tanah Papua
Pelatihan, seminar, dan kegiatan yang yang sering dilaksanakan
di lingkungan lembaga pendidikan dan Pemda setempat diantaranya
sebagai berikut.
1. Latihan Dasar kepemimpinan.
2. Bahasa internasional.
3. Sosialisasi (kesehatan masyarakat, HIV, kanker, korupsi, pendidikan
pemilih pemula).
4. Seminar/pelatihan tentang: ekonomi, pemerintahan (etika
pemerintah, otonomi daerah, pemilih pemula), pendidikan dan
teknologi, pertanian, perkebunan, koperasi, kehutanan/penghijauan,
komputer, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
bahaya seks bebas, pajak, penulisan karya ilmiah.
5. Kegiatan pelatihan kewirausahaan.

Gambar 7.2. Pelatihan Budidaya Jamur Tiram dan Pengelolaannya


(Sumber: Dokumen Penulis)

204
Pelatihan dan seminar lain yang perlu diberikan dan diperlukan
ke depan diantaranya pelatihan sebagai berikut ini.
1. Managerial skills.
2. Komunikasi dengan pendekatan neurosains.
3. Pembelajaran berbasis ICT.
4. Seminar-seminar yang dilakukan dikaitkan dengan isu-isu dalam
rangka peningkatan dan pengembangan potensi di Tanah Papua.
Ibrahim Elfiky (2010: 65) menegaskan, dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia dan agar seseorang siap dalam
menjalankan profesinya, ia perlu mengetahui dan menguasai:
1. Pengendalian diri (merupakan salah satu dasar pengembangan
sumber daya manusia);
2. Seni berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain;
3. Tujuan dan cara mencapainya;
4. Tantangan dan bagaimana menghadapinya;
5. Bagaimana menghadapi rintangan;
6. Kerja dan fungsi otak serta proses berpikir.
Semua yang disampaikan Ibrahim Elfiky dapat diperoleh
melalui beragam cara. Pengetahuan dapat diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan atau training, workshop, seminar, dan lainnya.

F. Temuan Penting dari Hasil Penelitian


Ada hal-hal sebagai temuan penting yang dicatat dan dipisahkan
menjadi sub-bab tersendiri. Sebabnya adalah agar sub-bab ini mendapat
perhatian khusus. Dan diharapkan dari temuan penting di lapangan ini
dapat ditindak-lanjuti untuk juga dibuatkan kebijakan dan langkah
teknisnya sebagai solusi di masa mendatang.
Catatan temuan penting ini diantaranya menyoroti tentang
persoalan di lingkungan pendidikan, diantaranya sebagai berikut.
1. Masih banyak mahasiswa, terutama yang berasal dari pedalaman
(OAP) yang belum cukup mahir menulis. Susunan huruf dari kata
atau kalimat yang ditulis banyak yang tidak lengkap.
2. Kalimat atau kata, maknanya tidak mudah dipahami.

205
3. Kurangnya tenaga pendidik di daerah pedalaman/pegunungan,
sebab kebanyakan berpendapat bahwa kerja di pedalaman tidak
enak, kurang penghasilan, kesulitan akses, minim sarpras dan
kebutuhan dasar hidup, dan masalah keamanan.
4. Salah satu mahasiswa UNIYAP menyatakan siap bersaing dengan
wilayah lain melalui pendidikan yang berkualitas, dengan catatan
mengusulkan dukungan sarpras yang memadai, dan kemudian
mahasiswa tersebut memberikan catatan penyemangat atau slogan
“Papua Bisa Smile’”.
5. Melalui pendidikan yang berkualitas, Papua dapat berkembang
menjadi provinsi yang maju dan tidak lagi dianggap sebagai
masyarakat yang terbelakang.
6. Fenomena pada saat USBN/UN anak diberi kunci jawaban agar
lulus, ternyata juga terjadi di Papua.
7. Banyak mahasiswa yang tidak ikut kegiatan organisasi di kampus
hingga berpengaruh saat lulus.
8. Belum meratanya pembangunan, minimnya gedung sekolah, masih
banyak anak-anak belum sekolah.
9. Program studi yang ada belum lengkap memenuhi SDM di
Jayawijaya menuju provinsi baru; perhatian dari Pemda cukup
tinggi dalam proyek pengadaan barang.
10. Penduduk Papua dan Jayawijaya yang heterogen mempunyai
toleransi yang tinggi dan saling menghargai terhadap perbedaan
agama dan keberagaman.
11. Umumnya, masyarakat asli Papua masih terpaku pada tradisi lokal
dan belum sepenuhnya menerima perubahan.
12. Jarang yang menerapkan ilmu yang sudah di dapat; lebih
mengandalkan bantuan pihak ke tiga.
13. Walau kabupaten Jayawijaya berada di tengah gunung, namun tetap
memiliki mahasiswa dengan potensi yang baik. Contohnya, salah
satu mahasiswa STISIP Amal Ilmiah YAPIS di Wamena “Ahmad
Subhan” banyak memberikan rekomendasi yang sangat baik bagi
perkembangan dan kemajuan pendidikan di Tanah Papua.

206
BAB VIII
PENUTUP

Hidup adalah pilihan. Dengan potensinya, manusia dapat


memilih jalan yang baik atau jalan yang merugi. Untuk menempuh jalan
yang tepat dan terbaik dalam kehidupannya, manusia perlu dibantu
melalui pendidikan. Pendidikan membawa dirinya menuju kehormatan
dan kedudukan yang mulia dunia dan akhirat.
Potensi rohani (spiritual), keterampilan (jasmani), dan
pengetahuan (akal) yang daya kerjanya dipengaruhi oleh otak akan
terus bekerja sepanjang hayat. Potensi-potensi tersebut berkembang
sesuai dengan pengalaman dan pemahaman manusia. Pengalaman yang
tiada henti menjadikan kemampuan (kompetensi) yang dimiliki
manusia bertambah. Kondisi ini akan terus berlangsung sepanjang
hidupnya. Dan ini lah yang akhirnya dipahami bahwa pendidikan
berlangsung sepanjang hayat (lifelong education).
Pendidikan berlaku seumur hidup. Pandangan ini menekankan
tanggung jawab seorang manusia terhadap kehidupan dan pendidikan
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Pendidikan yang
diselenggarakan suatu lembaga pendidikan akan berakhir dengan
tuntasnya masa pendidikan di lembaga tersebut. Namun pendidikan diri
sendiri akan terus-menerus berlangsung dalam kehidupannya sepanjang
hayat.
Manusia tidak pernah akan berhenti untuk memperoleh
pendidikan. Setiap tangga dalam kehidupan atau jenjang dalam
pendidikan yang dilalui memberikan pembelajaran tersendiri.
Beralihnya satu masa kepada masa yang lain dan persoalan yang satu
kepada persoalan yang lain, dan ketika dihadapi mampu menjadi suatu
proses pembelajaran dalam kehidupan. Itu menandakan manusia terus-
menerus berkembang selama hidupnya.
Pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan. untuk
mampu menjadi manusia yang sempurna, pembelajaran dalam proses
pendidikan harus bersifat holistic dan sustainable. Manusia harus
belajar berbagai hal, baik yang dilihat, didengar, maupun yang

207
dirasakan. Semua hal yang diketahui menjadi pengetahuan yang bisa
bermanfaat dalam hidup. Banyak kejadian atau permasalahan dalam
hidup manusia yang dilakukan atau dihadapi secara berulang, hingga
pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia
terus meningkat.
Pendidikan yang bermutu membentuk lulusan dengan SDM
yang bermutu. Pendidikan tentu memiliki korelasi erat dengan proses
pembangunan. Pembangunan yang berhasil tergantung mutu SDM-nya.
Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa SDM yang bermutu. Dan
SDM yang bermutu tak akan mampu dibentuk tanpa pembangunan
dalam pendidikan itu sendiri.
Pembangunan tidak dapat berhenti atau dihentikan karena
manusia hidup selalu dipenuhi oleh suasana perubahan. Inti
pembangunan bukan hanya terjadinya perubahan struktur fisik atau
material, melainkan juga merambah pada semua bidang kehidupan.
Pembangunan harus mampu membawa umat manusia melampaui
pengutamaan aspek-aspek materi dari kehidupan sehari-hari.
Pembangunan mengarahkan pada pertumbuhan peradaban dan
kebudayaan atas dasar target-target yang telah ditetapkan. Sebab itu,
pendidikan harus memenuhi kualifikasi yang ditetapkan, standar-
standar dalam menunjukkan pelaksanaan pendidikan yang berkualitas
harus terus digalakkan dan ditingkatkan. Monitoring, pendekatan dan
strategi harus terus diupayakan dalam membantu peningkatan SDM
yang bermutu bagi pembangunan bangsa.
Pendidikan merupakan suatu aspek penting bagi pembangunan
bangsa. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan
pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan
nasional. Sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, yang merupakan
produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu
negara.
YAPIS adalah Yayasan Pendidikan Islam yang bergerak dalam
bidang pendidikan, didirikan oleh para pegawai pemerintah dan
ditugaskan di Tanah Papua pada tahun 1968. YAPIS memiliki Motto
“Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah”. Hingga saat ini, ada 22 YAPIS
cabang dan 198 UPT di Kabupaten/Kota se Tanah Papua.
Lembaga Pendidikan yang didirikan di bawah YAPIS terdiri
dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Ada Pendidikan

208
Keagamaan (madrasah dan pesantren) dan pendidikan umum (PAUD
hingga perguruan tinggi dan sekolah kejuruan/vokasi).Keberadaan
YAPIS memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan
potensi diri dan bersama-sama berjuang meningkatkan pendidikan di
Tanah Papua.
YAPIS merupakan mitra strategis pemerintah dalam rangka
memajukan masyarakat di Tanah Papua melalui pendidikan.
Masyarakat Papua berkontribusi besar dalam pembangunan daerahnya.
Melalui pendidikan yang berkualitas, masyarakat asli Papua akan
mampu dan siap bersaing di era globalisasi ini.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
perkembangan pendidikan di Indonesia, termasuk di daerah terpencil,
tertinggal, dan terluar (3T), seperti di Tanah Papua (walau tidak semua
daerah di Tanah Papua masuk kategori terpencil dan tertinggal). Faktor
tersebut berupa tantangan dan peluang. Apabila dilihat dari sisi
positifnya, semakin banyak tantangan yang dihadapi, berarti
menandakan semakin banyak peluang manusia bisa lebih maju dan
berkembang dalam kehidupanya.
Perubahan dan perkembangan zaman yang sangat cepat, dengan
berbagai tantangan dan peluang tersebut, menuntut kita untuk mampu
berpikir dan menyikapi secara kritis, cepat, tepat, dan bijak. Perlu
kecerdasan dan strategi untuk memanfaatkan situasi perubahan menjadi
keuntungan dunia dan akhirat. Pengetahuan, sikap mental (akhlak
mulia), keterampilan/keahlian, dan kemampuan berkomunikasi
menjadi modal dalam memanfaatkan semua peluang dan tantangan
menjadi keuntungan.
Manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan
makhluk sosial. Jadi, keuntungan yang diperoleh dari perkembangan
dan kemajuan zaman, bukan hanya harus bermanfaat bagi diri sendiri
namun juga harus bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, bangsa, dan
negara. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu bekerjasama dan
menjalin persatuan untuk dapat mengelola berbagai peluang dan
sekaligus menghadapi tantangan. Dengan cara inilah, manusia dan
bangsa ini dapat merasakan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian
hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta.
Membantu manusia mendapatkan pendidikan yang berkualitas
menjadi tantangan dan peluang tersendiri di era revolusi industri 4.0 ini.

209
Manusia mampu berkembang sempurna melalui pendidikan Islam.
Karena itu perlu suatu upaya sungguh-sungguh dari lembaga
pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan
dalam rangka mencerdaskan seluruh masyarakat. Pendidikan Islam
mampu menjawab tantangan dalam membentuk manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
cerdas, memiliki pengetahuan luas, terampil hingga siap bersaing di era
globalisasi.
Peran YAPIS di Tanah Papua memberi warna dan perubahan
tersendiri. Lembaga pendidikan Islam di bawah YAPIS berkembang di
Tanah Papua yang merupakan daerah dengan geografis yang ekstrim
dan beragama mayoritas non muslim. Tentu hal ini menjadi tantangan
dan peluang tersendiri bagi YAPIS di Tanah Papua.
Tantangan yang dihadapi YAPIS dalam mengembangkan
pendidikan di Tanah Papua, diantaranya adalah: pemikiran individu
yang sempit, kualitas SDM yang rendah, sifat negatif (seperti: malas,
kurang disiplin, tidak tepat waktu, mudah menyerah), budaya daerah
seperti tuntutan masyarakat terhadap hak ulayat, kondisi sosial ekonomi
yang rendah, kondisi geografis, keamanan, in-grup vs out-grup,
pengelolaan lembaga pendidikan, ideologi, kebijakan pendidikan, dan
globalisasi.
Lebih spesifik dalam proses pendidikan, tantangan yang harus
dihadapi terdiri dari beberapa komponen pendidikan, meliputi
komponen: kurikulum, proses, lulusan, tenaga pendidik, sarana
prasarana, dan pembiayaan. Tantangan faktor lainnya dikelompokkan
menjadi beberapa kategori, yaitu: jarak dan waktu, akses transportasi,
pemerintah, kesehatan, budaya, persaingan global, dan keamanan.
Besar peluang masa depan masyarakat Papua dapat diraih
melalui terselenggaranya pendidikan yang berkualitas di bawah
YAPIS. Selain meningkatkan pengetahuan, masyarakat yang terdiri
dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Manusia yang terdidik
juga akan memiliki kompetensi untuk dipergunakan dalam
meningkatkan harkat, martabat, dan peradaban.
YAPIS membantu memberikan peluang emas bagi masa depan
masyarakat di Tanah Papua melalui pendidikan. Pertama,
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan yang semakin
maju hingga mampu mengentaskan iliterasi di Tanah Papua. Kedua,

210
menyiapkan tenaga terdidik dengan kompetensi yang siap bersaing.
Ketiga, membekali masyarakat untuk memiliki Kecakapan Hidup (Life
Skills). Keempat, memberikan kemampuan berwirausaha dengan
mengelola sumber daya alam (SDA) yang berlimpah Di Tanah Papua.
Kelima, menciptakan peluang kerja dan membantu masyarakat bekerja
pada status sosial yang lebih baik. Keenam, melalui pendidikan yang
diperoleh dari YAPIS, masyarakat di Tanah Papua mampu
berkontribusi dalam pembangunan di daerahnya. Dan untuk tetap
menjaga agar lembaga pendidikannya memiliki kualitas yang baik,
YAPIS merancang visi, misi, tujuan dan program-program yang
dirancang, melaksanakan program dengan manajemen strategik, serta
melakukan pengendalian, melalui monitoring dan evaluasi.
Keberadaan YAPIS tentu menjadi berkah tersendiri di Tanah
Papua. Kiprahnya melalui pendidikan membantu masyarakat memiliki
status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Melalui tenaga kerja yang
berpengetahuan dan terampil serta memiliki sikap mental yang baik
tentu sangat berguna sebagai modal sumber daya manusia (SDM) bagi
masa depan bangsa yang lebih maju dan lebih baik.
Keberhasilan dalam bidang pendidikan perlu didukung oleh
seluruh pihak. Penyediaan sarana prasarana; pembiayaan; kebijakan
pendidikan; kesempatan mendapatkan peluang pengembangan diri
melalui pendidikan lanjutan yang lebih tinggi, pelatihan, seminar; akses
kemudahan dalam ICT (Information and Communication Technology)
menjadi suatu keharusan bagi perkembangan dan kemajuan dunia
pendidikan.
Indonesia merupakan wilayah kepulauan, merupakan tantangan
tersendiri untuk memajukan dan menyejahterakan seluruh warganya.
Menyikapi daerah yang terpencil, tertinggal, dan terluar, banyak hal
yang masih harus dilakukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Untuk Indonesia yang lebih maju, pemerintah melalui
kebijakannya hendaknya memperhatikan pembangunan SDM secara
serius, memfasilitasi proses pendidikan, melengkapi infrastruktur di
daerah-daerah, pembiayaan yang berbasis pada program yang benar-
benar bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakat, dan melaksanakan manajemen profesional. Dengan
demikian harapan bangsa Indonesia menjadi negara yang adil, makmur,
dan sejahtera benar-benar dapat terwujud.

211
DAFTAR PUSTAKA

Adiwikarta, Sudardja. (2016). Sosiologi Pendidikan “Analisis


Sosiologi Tentang Praksis Pendidikan”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah. (1984). Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam. Terj. Bustani A. Gani dan Djohar Bahry.
Jakarta: Bulan Bintang.
Amtu, Onisimus. (2014). Membenahi Pendidikan di Wilayah
Kepulauan. Bandung: Alfabeta.
Aunurrahman. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Azhar, Tauhid Nur, DNA Cantik, Bandung: Zip Books, 2009.
Basrowi. (2011). Kewirausahaan untuk Perguruan Tinggi. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Cohen, Arthur R. (1964). Attitude Change and Social Influence. New
York: London, Basic Books Inc.
Daradjat, Zakiah, dkk. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama.
Departemen Agama, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
(2005). Pedoman Integrasi Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
Skills) Dalam Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Efendi, Agus, Revolusi Kecerdasan Abad 21 “Kritik MI, EI, SQ, AQ &
Successful, Intelligence Atas IQ”, Bandung: Alfabeta: 2005.
Elfiky, Ibrahim. (2010). Dahsyatnya Berperasaan Positif “Rahasia
Mengelola Kekuatan Perasaan untuk Meningkatkan
Ketenangan dan Kesuksesan. Jakarta: Zaman.

212
Fattah, Nanang. (2000). Ekonomi: Pembiayaan Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Gaffar, Mohammad Fakry. (1987). Perencanaan Pendidikan ’Teori
dan Metodologi’. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Gie, The Liang & Andrian The. (1998). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu.
Yogyakarta: PUBIB dan Andi.
Hadi, Rohmini dan Parno, Manajemen Keuangan “Konsep, Teori, dan
Praktiknya di Sekolah dan Pondok Pesantren, Purwokerto:
STAIN Press, 2011.
Helmawati. (2013).Pendidikan Nasional dan Optimalisasi Majelis
Ta’lim: Peran Aktif Majelis Ta’lim Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Helmawati. (2014). Meningkatkan Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah
melalui Managerial Skills. Jakarta: Rineka Cipta.
Helmawati. (2014). Pendidikan Bagi Keluarga Teoretis dan Praktis.
Bandung: Rosdakarya.
Helmawati. (2017). Pendidikan Karakter Sehari-Hari. Bandung:
Rosdakarya.
Irianto, Agus. (2011). Pendidikan Sebagai Investasi Dalam
Pembangunan Suatu Bangsa. Jakarta: Kencana.
Ihsan, A. Fuad. (2015). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismail, Rudihartono. (2017), Manajemen Sumber Daya Manusia di Era
Otonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ismail, Rudihartono. (2012). Mengenal Nusantara Jayawijaya. Bekasi:
Sari Ilmu Pratama.
Jamaludin, Adon Nasrullah. (2016). Sosiologi Pembangunan.
Bandung: Pustaka Setia.
Kartadinata, Sunaryo, dkk. (2015). Pendidikan Kedamaian. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
(2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
Indonesia. Jakarta.

213
Khan, D. Yahya. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri
“Mendongkrak Kualitas Pendidikan”. Yogyakarta: Pelangi
Publishing.
Langgulung, Hasan. (2004). Manusia dan Pendidikan “Suatu Analisa
Psikologis, Filsafat dan Pendidikan”. Jakarta Pustaka Al Husna
Baru.
Lickona, Thomas. (2013). Character Matters “Persoalan Karakter
Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang
Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya”. Jakarta:
Bumi Aksara.
Mahmud dan Ija Suntana. (2014). Antropologi Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia.
Mar’at, Samsuniwiyati dan Lieke Indieningsih Kartono. (2006).
Perilaku Manusia “Pengantar Singkat Tentang Psikologi”.
Bandung: Refika Aditama.
Mulyana, Deddy. (2010). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Munir. (2010). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Bandung: Alfabeta.
Muntasir, Rizal dan Misnal Munir. (2015). Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nafis, Ahmadi H. Syukran. (2012). Manajemen Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Nata, Abuddin. (2003). Manajemen Pendidikan “Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia”. Bogor: Kencana.
Nata, Abuddin. (2005). Pendidikan Islam di Era Global “Pendidikan
Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama,
Moral dan Etika”. Jakarta: UIN Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. (1992). Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

214
O’neil, William F., Ideologi-ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Pembangunan Pendidikan Di Provinsi Papua, pdf.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, pdf.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.pdf.
Praja, Juhaya S. (2014). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:
Kencana Prenadamedia.
Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Ranjabar, Jacobus. (2015). Perubahan Sosial “Teori-Teori dan Proses
Perubahan Sosial serta Teori Pembangunan”. Bandung:
Alfabeta.
Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. (2014). Accelerated Learning: For
The 21st Century ‘Cara Belajar Cepat Abad XXI’. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Sagala, Syaiful. (2009). Administrasi Pendidikan Kontemporer.
Bandung: Alfa Beta.
Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sanusi, Anwar. (2006). Jalan Kebahagiaan. Jakarta: Gema Insani.
Schunk, Dale H. (2012). Learning Theories “Teori-Teori
Pembelajaran”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.
Bandung: Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. (2017). Sosiologi Suatu
Pengantar. Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers.
Soemardjan, Selo. (1993). “Adat, Modernisasi, dan Pembangunan”
dalam Agama dan Masyarakat (70 Tahun H.A., Mukti Ali).
Sunyoto, Danang dan Bahrudin. (2011). Perilaku Organisasional.
Yogyakarta: CAPS.

215
Soyomukti, Nurani. (2013). Teori-teori Pendidikan: Tradisional, (Neo)
Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Suyadi. (2014). Teori Pembelajaran Anak Usia Dini dalam Kajian
Neurosains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suyono dan Hariyanto. (2015). Implementasi Belajar dan
Pembelajaran. Bandung Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo, 2013.
Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. (1994). Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.
Bandung: Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. (2008). Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani,
Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung:
Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.pdf.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi.pdf.
UNESCO. (2007). A Human Rights-Based Approach to Education For
All “A Framework for the Realization of Children’s Right to
Education and Rights within Education”. New York: United
Nation Children’s Fund, UNESCO.
UNESCO. (2014). Education Strategy 2014–2021. United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Yaqin, Ainul. (2005). Pendidikan Multikultural “Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan”. Yogyakarta:
Pilar Media.

216
Yunus, Firdaus M. (2005). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial.
Jogjakarta: Logung Pustaka.
Zuchdi, Darmiyati. (2009). Humanisasi Pendidikan “Menemukan
Kembali Pendidikan yang Manusiawi”. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber Dokumen Lapangan:


YAPIS Pusat. (2018).Data Sejarah: Lahir, Tumbuh dan
Berkembangnya Yayasan Pendidikan Islam di Irian Jaya.
Jayapura. Jayapura.
YAPIS. (2017). RENSTRA dalam Buku Panduan Rapat Kerja Yayasan
Pendidikan Islam Pusat di Tanah Papua Tahun dalam Rapat
Kerja Tahun 2017. Jayapura.
YAPIS: Darisman. (2006). Salah Satu Pelopor 38 KK dalam Resume
Hasil Seminar Tentang Islam Masuk Wamena. Jayawijaya.

Sumber Power Point:


Nasir, Muhamad. (2015). SDM Unggul dalam Munas MUI.
Kompetensi KKNI-Kompetensi dan Learning Outcomes.pdf
Penyusunan Learning Outcomes Program Studi.pdf
Musaad, Muhammad. (2018).Bappeda Provinsi Papua, dalam
Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Provinsi Papua Tahun.

Sumber Internet:
detik.com. (21 Desember 2017). Kualitas SDM Indonesia masih Kalah
Dibanding dengan Negara-negara ASEAN lain.
https://papua.go.id/view-detail-page-254/Sekilas-Papua-.html.
http://tabloidjubi.com/artikel-11176-jumlah-penduduk-papua-
membengkak-.html.
http://papuabaratprov.go.id/sekilas-papua-barat.
https://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Barat.

217
https://en.wikipedia.org/wiki/Papua_(province).
http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_FC1DCA36-
A9D8-4688-8E5F-0FB5ED1DE869_.pdf.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3204648/pekerja-di-
papua-didominasi-lulusan-sd-ke-bawah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat.
www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6522/tanah-ulayat.
https://papua.bps.go.id/pressrelease/2018/05/07/336/indeks-
pembangunan-manusia-provinsi-papua-tahun-2017.html.
http://rbsrikandi.wordpress.com/2009/03/01/gerakan-pkk-di-masa-
depan.
http://desnantara-tamasya.blogspot.com/2011/03/peta-pulau-irian-
papua.html.
http://underground-paper.blogspot.com/2013/04/feminisme-di-
indonesia.html.
http://www.solopos.com/2016/10/10.
http://www.mongabay.co.id/2017/01/12/bukan-13-466-pulau-
indonesia-kini-terdiri-dari/Pulau.
http://www.tribunnews.com/regional/2017/05/15.
mediaindonesia.com. (15 September 2017). Kualitas SDM Indonesia
Semakin Baik.
http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/index.php/2018/01/30/era-revolusi-
industri-4-0-saatnya-generasi-millennial-menjadi-dosen-masa-
depan.
metrotvnews.com/read/2018/05/03.

218
BIOGRAFI

Helmawati merupakan penulis yang lahir di Sukabumi tanggal 31


Juli 1976. Pendidikan formal dasar hingga menengah diselesaikan di
Kota Sukabumi, sementara jenjang diploma hingga doktoral ditempuh
di Jakarta dan Bogor. Kompetensi akademik yang dipelajari yaitu
dalam bidang Manajemen Pendidikan Islam.
Penulis mulai mengajar pada tahun 1988 di jalur pendidikan
formal jenjang SMA. Saat ini penulis merupakan dosen tetap Prodi
Pascasarjana PAI di Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
Mata kuliah yang biasa diampu yaitu Sistem Informasi Manajemen PAI,
Kepemimpinan dan Komunikasi Pendidikan, Paradigma dan Konsep
Pendidikan Islam, dan Seminar Pengembangan Proposal Tesis. Pada
jenjang S1 juga penulis pernah mengampu mata kuliah: Evaluasi
Pendidikan, Bahasa Inggris, Ilmu Alamiah Dasar, Penelitian Tindakan
Kelas (PTK), Manajemen Keuangan Pendidikan, Analisis Pembiayaan
Pendidikan, Psikologi Pendidikan Islam, Psikologi Pembelajaran,
Akhlak Islamiyah, dan Kapita Selekta Islamiyah.
Buku yang telah ditulis yaitu: 1) Pendidikan Nasional dan
Optimalisasi Majelis Ta’lim: Peran Aktif Majelis Ta’lim Meningkatkan
Mutu Pendidikan, 2) Meningkatkan Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah
melalui Manajerial Skill dan 3) Pengetahuan Pendidikan Bagi
Keluarga, 4) Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Islam, 5)
Mengenal dan Memahami Pendidikan Anak sejak Usia Dini, 6)
Pendidik sebagai Model, 7) Pendidikan bagi Perempuan, dan 8)
Pendidikan Karakter Sehari-hari, 9) Mendidik Anak Berprestasi
melalui Multiple-intelligences. Penulis juga aktif menulis artikel untuk
beberapa jurnal ilmiah di Indonesia.
Beberapa organisasi yang diikuti diantaranya yaitu ADPISI
(Asosiasi Dosen PAI se Indonesia), PERSMAPI (Perkumpulan Sarjana
Manajemen Pendidikan Islam se Indonesia). Selain itu, penulis juga
merupakan penggagas dan pendiri Lembaga Konsultan dan Pelatihan
Pendidikan serta Perkumpulan Pendidikan Islam “Intermedia”
(Intermedia Islamic Education Center/IIEC).

219
Rudihartono Ismail adalah dosen sekaligus Ketua STISIP Amal
Ilmiah Yapis Wamena. Lahir di Bulukumba pada tanggal 08 April 1970
dari pasangan Bapak H. Ismail dan ibu Hj. Hamidah. Pendidikan
formalnya dimulai dari Sekolah Dasar Inpres 185 masuk pada tahun
1977 dan Sekolah Menengah Pertama masuk pada tahun 1983, hingga
Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1989. Pendidikan
Strata Satu di Universitas Cenderawasih Jayapura program studi
Pendidikan Geografi. Penulis melanjutkan S2 jurusan Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) di Universitas Negeri
Makassar. Program Doktoral jurusan Manajemen SDM diselesaikan
dalam waktu kurang dari 4 tahun di Universitas Muslim Makassar.
Selain sebagai Dosen DPK yang ditempatkan pada STISIP
Amal Ilmiah Yapis Wamena, penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan di lingkungan pemerintahan dan organisasi, seperti: 1) Tim
Evaluasi Kinerja Akademik (Eka) di lingkungan LL Dikti Wilayah
XIV; 2) Wakil Ketua II dalam Kesatuan Program Studi Ilmu
Pemerintahan Seluruh Indonesia (KAPSIPI); 3) Tim Penilai Analisis
Dampak Lingkungan (AMDAL) Di Wilayah Kabupaten Jayawijaya; 4)
Fasilitator Nasional Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar; 5)
Instruktur Nafza; 6) Tim Seleksi KPU Kabupaten Lanny Jaya Provinsi
Papua.
Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan pelatihan,
seperti: 1) Kursus AMDAL TIPE B dan Tipe C; 2) Tenaga Fasilitator
Lapangan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sanitasi Lingkungan Berbasis
Masyarakat; 3) Pelatihan Dasar Pengelolaan dan Pengurangan Resiko
Bencana; 4) Pelatihan Unit Penataan Lingkungan dan Unit Kegiatan
Lingkungan; 5) Pelatihan Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KJKS) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT); 6) Pelatihan TOT Standar
Pendidikan Dasar; 7) Konsultasi Publik Rencana Tata Ruang (RTR)
Wilayah Provinsi Papua; 8) Pelatihan Pengajar Mata Kuliah
Pendidikan Anti Korupsi Tingkat Perguruan Tinggi; 9) Workshop
Program Pemberdayaan Kelembagaan dan Peningkatan Tata Kelola
Perguruan Tinggi; 10) Workshop Sistem Penjaminan Mutu Internal;
11) Pelatihan Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik
Instruksional (PEKERTI) dan Pelatihan AA; 12) Musyawarah Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Islam swasta (BKS-PTIS); 13) Seminar
dan Lokakarya Nasional serta Rapat Kerja Nasional Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) Se-Indonesia; 14)
Workshop Pendidikan Karakter bagi Dosen PNS DPK Perguruan
220
Tinggi Swasta di Lingkungan Kopertis Wilayah XIV Papua dan Papua
Barat; 15) Workshop Membangun Budaya Mutu Pendidikan Tinggi di
Indonesia; 16) Konferensi Nasional FRI; 17) Pelatihan Sistem
Akreditasi Perguruan Tinggi Online (SAPTO); 18) Workshop
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Mengacu Pada KKNI
(Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia); 19) Lokakarya Nasional
2018 Bersama Bersinergi Membangun Penguatan Kampus Menuju
Pendidikan Tinggi yang Lebih Baik, Bermutu dan Berdaya Saing
dengan Gotong Royong; 20) International Conference on Education
and Technology for Environmental Sustainability (ICETES) 2018; (21)
Pelatihan Verifikator SINTA.
Seminar-seminar yang telah diikuti, diantaranya: 1) Seminar
Nasional Optimalisasi Manajemen Mutu Pendidikan untuk Pencapaian
Standar Nasional; 2) Seminar Nasional Peningkatan Mutu
Profesionalisme Guru dan Dosen Melalui Sertifikasi; 3) Seminar
Nasional Pengelolaan PTS Berkualitas; 4) Seminar dan Lokakarya
Nasional serta Rapat Kerja Nasional Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) Se-Indonesia; 5) Seminar Nasional
Reformasi dan Inovasi Tata Kelola Pemerintahan dan Pertemuan
Asosiasi Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia; 6) Seminar Nasional
Pengelolaan Organisasi Modern di Papua.
Pengalaman kerja mulai Asisten Dosen, Guru, bekerja di
birokrasi pemerintahan, kemudian kembali menjadi dosen, dan hingga
saat ini menjabat sebagai Ketua STISIP Amal Ilmiah Yapis Wamena.
Tak hanya aktif di kampus, penulis juga aktif pada kegiatan
kemasyarakatan dan menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga
Sulawesi Selatan (KKSS) Kabupaten Jayawijaya Periode 2017-2021,
Ketua ICMI DPD Kabupaten Jayawijaya, dan pengurus Organisasi
Islam.
Penelitian yang ditekuninya yaitu di bidang Ilmu Manajemen
Sumber Daya Manusia Pemerintahan. Buku karya ilmiah yang pernah
ditulisnya, yaitu: 1) Mengenal Nusantara Kabupaten Jayawijaya; dan
2) Manajemen Sumberdaya Manusia di Era Otonomi. Sementara
artikel ilmiah yang telah terbit di beberapa jurnal, diantaranya: 1) Gaya
Kepemimpinan Kepala Distrik di Era Otonomi Khusus pada Daerah 3T
(Terpencil, Terluar, dan Terpencil) Studi Kasus pada Daerah Terpencil
Kantor Distrik Itlay Hisage; 2) Factor Influencing Job Satisfaction A
Conceptual Framework; 3) Kepemimpinan Pemerintahan Dalam

221
Reformasi dan Inovasi Tata kelola Pemerintah di Era Otonomi Khusus
Papua; 4) Build Civilization in Perspective of Islam in the Jayawijaya
Regency (The Development of Islam in the Aspect of Human Resources;
dan 5) The Comparative Analysis of Performance Structural and
Functional Apparatus of Extension and Food Security Agency in
Jayawijaya Regency of Papua Province, Indonesia.

222

Anda mungkin juga menyukai