Anda di halaman 1dari 234

i

La Panga Mpalasi, Hardin, La Selo, Mazhfia Umar, I Wayan Sura, Sofwan,


La Harudin, Sri Indrawati Hafili, Sani Wanti, Anshar, Hasmawati, Edi Kusnadi,
Rahmah Dzulhajjah, I Wayan Puguh, Rasidin Utha, La Ode Abd. Manan,
Syafrida Manuwoto, Supiandi Sabihim, Lala M. Kolopaking, Ervina, Syafriadin,
Ardianto, Meiskyarti Luma, Mayske Rinny Liando, dan Hadirman

PENGEMBANGAN
PERTANIAN DAN PETERNAKAN
“BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN AGROTEKNO-EKOLOGIS”

Editor:

Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum.


Dr. Ir. La Panga Mpalasi, M.Si.
Hardin, S.Pd., M.Si.
ii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 1:
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9:
1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki
hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan
dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian,
pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau
salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi
Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113:
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500. 000. 000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegan g
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1. 000. 000. 000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000 000,- (empat
miliar rupiah).

Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang
dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang
hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
iii

PENGEMBANGAN
PERTANIAN DAN PETERNAKAN
“BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN AGROTEKNO-EKOLOGIS”
iv

PENGEMBANGAN
PERTANIAN DAN PETERNAKAN
“BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN
AGROTEKNO-EKOLOGIS”

Cetakan Pertama: Oktober 2020


Surabaya, Jawa Timur

Penulis: La Panga Mpalasi, Hardin, La Selo, Mazhfia Umar, DKK.


Penata Letak: Kanaka Media
Penata Sampul: Kanaka Media
Ide Sampul : Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum.
Pemeriksa Aksara: Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum.,
Dr. La Panga Mpalasi, M.Si., Hardin, S.Pd., M.Si.
Sumber Gambar: diolah dari pixabay.com, pexel.com dan pinterest.com

Penerbit:
CV. KANAKA MEDIA
Surabaya, Jawa Timur
Email : cv.kanakamedia@gmail.com
IG : katalog_knk
FB : Kanaka Media
Telp/WA: 0895384076090

ISBN: 978-623-258-349-8
Tebal: 234 hlm: 16,5x24 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang.


dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa seizin tertulis
dari penulis dan penerbit.
v

SAMBUTAN
KETUA STIPER KENDARI

Dr. Ir. La Panga Mpalasi, M.Si.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Sudah menjadi pemahaman bersama, bahwa kemajuan suatu


daerah harus digerakkan melalui berbagai daya upaya untuk mewujudkan.
Salah satunya, adalah potensi daerah. Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai
salah satu provinsi di Indonesia berikhtiar untuk menjadikan daerahnya
sebagai salah satu “lumbung padi” di Indonesia. Selain itu, pontensi sumber
daya lokal di provinsi ini terus digalakkan dengan pengembangan potensi
pertanian dan peternakan. Kedua bidang ini dikembangkan berbasis
kearifan lokal dan inovasi agrotekno-ekologis.

Sejarah peradaban umat manusia membuktikan bahwa para


ilmuwan dikenal orang, antara lain karena tulisan-tulisannya. Oleh karena
itu, kampus seharusnya menjadi habitat para dosen untuk menciptakan
karya tulisnya. Gairah menulis para dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
(STIPER) Kendari—ke depan—perlu terus dipacu agar geliat keilmuannya
menyemangati suasana kampus. Sehubungan dengan itu, saya menyambut
baik penerbitan perdana bunga rampai yang berjudul “Pengembangan
Pertanian dan Peternakan Berbasis Kearifan Lokal dan Agrotekno-
Ekologis” ini diharapkan mampu menjadi suatu masukan yang kontruktif-
evaluatif bagi para pemangku kepentingan. Karya ini semoga bermanfaat
dalam pengembangan pertanian dan peternakan di Indonesia pada
umumnya, dan di Sulawesi Tenggara pada khususnya. Selain itu, bunga
rampai ini dapat memperkaya literatur dalam kajian pertanian dan
perikanan dalam lingkup spasial Sulawesi Tenggara, serta dapat menjadi
bahan bagi segenap stakeholder dalam perumusan kebijakan yang terkait
dengan pontensi pertanian dan perikanan di Indonesia.

Saya berharap bahwa terbitnya buku ini bukanlan merupakan


publikasi pertama dan terakhir bagi para penulisnya, tetapi akan terbit
publikasi buku-buku lain untuk menyemarakan budaya menulis di
lingkungan kampus/sekolah tinggi. Selain itu, terbitnya bunga rampai ini
vi

diharapkan dapat menyemangati dosen-dosen lain untuk menulis dan


mempublikasikan tulisannya. Semoga buku ini dapat menarik perhatian
pada cendekiawan, pemikir, peneliti, peminat, masyarakat umum. Harapan
kita agar penerbitan bunga rampai ini benar-benar merupakan sumbangan
kepada masyarakat Indonesia yang haus akan bacaan yang bermanfaat.

Terima kasih

Wasslamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Kendari, Agustus 2020

Ketua,

Dr. Ir. La Panga Mpalasi, M.Si.


vii

PENGANTAR EDITOR

Hadirnya buku berupa kumpulan tulisan para dosen Sekolah Tinggi


Ilmu Pertanian (STIPER) Kendari dan dosen-dosen di luar STIPER Kendari
yang berjudul “Pengembangan Pertanian dan Peternakan Berbasis
Kearifan Lokal dan Agrotekno-Ekologis”” ini memotret segala problema-
tika dan pengembangan terkait dengan pertanian dan peternakan. Tulisan-
tulisan ini diharapkan mampu menjadi suatu masukan yang kontruktif-
evaluatif bagi para pemangku kepentingan yang ada di Indonesia pada
umumnya dan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada khususnya.

Bunga rampai ini, ini tidak saja berisi kumpulan penelitian/hasil


pengamatan yang telah dilakukan para penulis berhubungan dengan
pertanian dan peternakan di Sulawesi Tenggara dan di Indonesia, namun
juga berisi rekomendasi-rekomendasi pembangunan terkait pertanian dan
peternakan dalam berbagai sudut pandang kajian. Dalam konteks inilah,
buku dengan kajian-kajian serta rekomendasi-ekomendasi yang
konstruktif ini, kiranya dapat dimanfaatkan oleh segenap pemangku
kepentingan terkait pengambangan pertanian dan peternakan di Indonesia.

Pembaca dapat mencermati bahwa bunga rampai ini merupakan


kajian lapangan, hasil konteplasi ilmiah “para penulis” sebagai peneliti
sosial-humaniora, pertanian, perternakan, dan lingkungan yang dalam
narasi-narasinya berbeda dengan buku-buku tentang kajian sosial-
humaniora, pertanian, dan grobisnis yang sudah beredar. Oleh karena itu,
bunga rampai ini penting, dan dapat menjadi rujukan bagi dosen, peneliti,
mahasiswa, birokrasi, dan penyuluh pertanian dan peternakan.

Manado, 10 September 2020

Editor,

Hadirman
La Panga Mpalasi
Hardin
viii

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN KETUA STIPER KENDARI .......................................................... v


KATA PENGANTAR EDITOR ........................................................................................... vii

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN DAN


FUNGSINYA TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
DI SULAWESI TENGGARA
La Panga Mpalasi, Hardin, La Selo, dan Hadirman ................................................ 1

KEARIFAN LOKAL DAN EKSPRESI BAHASA DALAM SISTEM


PERTANIAN ETNIK MUNA: PERSPEKTIF ETNOLINGUISTIK
Ardianto, Hadirman, Meiskyarti Luma, dan Mayske Rinny Liando ................ 18

IDENTIFIKASI BENTUK KEARIFAN LOKAL MEMANEN HASIL


HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN:
Studi Kasus Hutan Adat Kaindea Desa Komala, Kecamatan
Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara
Mazhfia Umar dan Syafriadin ......................................................................................... 29

PENYADAPAN DAN PRODUKSI KAMEKO PADA TANAMAN ENAU


(ARENGA PINNATA) DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL BUDAYA
Ervina, La Panga Mpalasi, Hardin ................................................................................. 37

GRAND DESAIN AGROTEKNO-EKOLOGIS USAHA TANI TERPADU


MINAPADI DAN PENGUATAN LUMBUNG PANGAN BERAS PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
La Panga Mpalasi, I Wayan Puguh, dan La Ode Abd. Manan ............................. 63

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HIJAU PADA TANAH BEKAS


TAMBANG NIKEL TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK TANAH DAN
PERTUMBUHAN SERTA PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
La Panga Mpalasi, Hasmawati, dan Sri Indrawati Hafili...................................... 101
ix

BATU BATA TANAH TANPA BAKAR, SALAH SATU SOLUSI


MENGATASI PERAMBAHAN HUTAN, PERUSAKAN LINGKUNGAN,
DAN PENCEMARAN UDARA
Sofwan ..................................................................................................................................... 127

STRATEGI PENGELOLAAN PBK Conopomorpha cramerella


(Gracillariidae: Lepidoptera) PADA TEPIAN HUTAN DI KECAMATAN
LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA TIMUR
Mazhfia U., Syafrida M., Supiandi S, Lala MK ............................................................ 141

“TEH KELOR TE WUNA” SEBUAH PRODUK HASIL INOVASI


PERGURUAN TINGGI
Anshar ...................................................................................................................................... 149

MANAJEMEN PENGELOLAAN VEGETASI TAMAN HUTAN RAYA


NIPA-NIPA BERDASARKAN KANDUNGAN KARBON VEGETASI
TERSIMPAN DI TIAP PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA KENDARI
SULAWESI TENGGARA
Rahmah Dzulhajjah............................................................................................................. 165

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) DI


KELURAHAN WATUBANGGA KECAMATAN BARUGA KOTA KENDARI
Edi Kusnadi, I Wayan Sura, Sani Wanti ....................................................................... 184

KAJIAN MODEL KONSERVASI PLASMA NUTFAH SAPI SAHIWAL


CROSS PENGHASIL DAGING DAN SUSU DI SULAWESI TENGGARA
La Harudin, La Panga Mpalasi, I Wayan Sura, Rasidin Utha, dan Hardin ..... 198

BIODATA PENULIS............................................................................................................ 214


x
1

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMBANGAN


PERTANIAN DAN FUNGSINYA TERHADAP
PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
DI SULAWESI TENGGARA

La Panga Mpalasi, Hardin, La Selo, dan Hadirman

PENDAHULUAN

Kearifan lokal merupakan suatu pandangan hidup yang didasarkan


pada pengetahuan, pengalaman dan keterampilan serta strategi aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Kearifan lokal merupakan salah
satu warisan nenek moyang terdahulu yang terkandung dalam tatanan
kehidupan manusia dan menyatu dalam kebudayaan masyarakat.
Keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki masyarakat akan
mempengaruhi cara pandang dan tatanan kehidupan mereka terhadap diri
dan lingkungannya. Pemenuhan kebutuhan hidup tergantung cara pandang
dan budaya mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di
lingkungannya. Karateristik sumber daya alam ditinjau dari
kemanfaatannya bersifat renewable dan unrenewable.

Sumber daya alam yang dapat dibaharui (renewable) keberada-


annya di alam ini sangat banyak dan mudah dipulihkan seperti bahan
pangan, sandang,dan papan perumahan. Sedangkan, sumber daya alam
yang sulit/tidak dapat dibaharui keberadaannya sangat terbatas dan
memerlukan waktu pemulihannya yang cukup lama: seperti tambang, air,
tanah, iklim, dan sebagainya. Oleh karena itu, semua sumber daya alam
2

yang ada di permukaan bumi dan atau di dalamnya menjadi hajat hidup
orang banyak dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jadi, upaya pemanfaatan sumber daya alam dapat
berfungsi sebagai pelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan
manusia.

Kegiatan pemenuhan kebutuan manusia baik pangan, sandang,


maupun papan perlu dipertahankan dan diwariskan secara turun-temurun
agar menjadi pedoman dalam mengelola lingkungan. Praktik
pengembangan pertanian dalam bentuk usaha tani yang kurang baik
seperti berburu hewan liar untuk bahan pangan, sistem pertanian
berpindah (subsisten), pola monokultur akan memperlihatkan kegiatan
pertanian secara turun-temurun. Hal ini menyebabkan pengurangan
populasi hewan liar, usaha penjinakan hewan, pemanfaatan sumber hara
yang terus-menerus tanpa pengembalian menyebabkan lahan menjadi
lingkungan kritis. Kondisi inilah yang memperlihatkan fenomena
ketidakmantapan lingkungan pertanian yang memiliki keragaman rendah,
produktivitas rendah, penguasaan areal yang tinggi (ekploitasi lahan),
ancaman kelaparan, tenaga kerja lemah (homohomini lupus) dan melilit
kehidupan dalam waktu menahun atau jangka panjang, bagaikan lingkaran
spiral kehidupan berbahaya (Herper, et.al. 1986; La Panga, 2016). Oleh
karena itu, pemberdayaan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat penting
untuk dikaji dan dilestarikan untuk menjawab pemenuhan kebutuhan
pengembangan pertanian yang berkelanjutan dengan pengelolaan dan
pelestarian lingkungan yang mantap.

Sartini (2006) mengatakan bahwa peran dan fungsi kearifan lokal


adalah: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2)
pengembangan sumber daya manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan
ilmu pengetahuan; (4) sebagai sumber petuah/kepercayaan/sastra dan
pantangan; (5) sebagai sarana membentuk membangun intregrasi
komunal; (6) sebagai landasaan etika dan moral; (7) fungsi politik. Kearifan
lokal masyarakat merupakan tata nilai yang memiliki kepercayaan tinggi
dalam lingkungan masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan
kepercayaan yang timbul di tengah masyarakat menyangkut segenap hajat
hidup, gaya hidup, dan tata nilai kealaman serta pelestariannya. Cara
pandang etnik Muna dalam sistem berusaha tani untuk melestarikan
hidupnya di alam memiliki nilai tersendiri dalam konteks sejarah usaha
3

tani Indonesia maupun dunia. Tujuan eksplorasi ini adalah: (1) mengetahui
bentuk kearifan lokal masyarakat Muna dalam sistem usaha tani; (2)
memahami fungsi kearifan lokal etnik Muna dalam sistem pelestarian
lingkungan; dan (3) merumuskan kearifan lokal etnik Muna dalam sistem
usaha tani yang berkelanjutan.

KAJIAN TEORETIS

1. Sejarah Pertanian dan Performa Pengembangannya

Sistem Pertanian adalah cara-cara mengelola alam untuk


menghasilkan makanan bagi manusia. Ada dua tipe utama pertanian yaitu
menanam tanaman pertanian yang disebut bercocok tanam dan
memelihara ternak yang disebut peternak. Jenis-jenis utama pertanian dari
bercocok tanam padi di ladang, di sawah, sampai bercocok tanam gandum
di ladang yang luas dan memeliharan ternak di padang rumput serta
berburu ikan di laut disebut nelayan. Di seluruh dunia metode-metode
pertanian bergeser dari yang paling mudah, yang menggunakan pekerja
tradisional ke metode yang paling rumit yang menggunakan mesin-mesin
yang berteknologi tinggi, dan pupuk kimia, serta pestisida (Martyn
Bramwell, 2004).

Tanpa tanah dan iklim yang tepat, tidak akan ada tanaman yang
tumbuh dan tidak ada kehidupan binatang di bumi. Karena itu kita
mengenal sumber daya pertanian mulai dari tanah, tanaman, ternak dan
iklim menjadi perhatian khusus. Karena di tanah yang subur akan tumbuh
tanaman penghasil makanan, di padang rumput hidup ternak penghasil
daging, susu dan telur. Jadi, sistem pertanian awalnya berlaku sistem
pertanian campuran yakni memelihara baik tanaman pertanian dan hewan
ternak (beternak sekaligus bertani). Jenis paling mendasar ditemukan di
negara berkembang di mana para keluarga dengan tanah yang sempit
menghasilkan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Dasar inilah
lahirnya pertanian tebas bakar atau pertanian ladang berpindah tanpa
memperhatikan keseimbangan alam seperti kerusakan tanah, merusak
hutan, kehilangan air yang sangat berdampak pada kehidupan manusia.
4

2. Kearifan Lokal

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai semua bentuk pengetahuan,


pemahaman dan keyakinan atau wawasan adat istiadat kebiasaan atau
etika yng menuntun perilaku manusia dalam kehidupan dan komunitas
ekologis. Jadi kearifan lokal tidak hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik
antara manusia, melainkan juga menyangkut pngetahuan pemahaman adat
dan kebiasaan manusia tentang alam, dan relasinya dengan semua
penghuni komunitas ekologis.

Seluruh bentuk kearifan lokal ini diterapkan oleh masyarakat


secara generatif/turun-temurun sekaligus membentuk pola perilaku
manusia terhadap alam maupun sesama makhluk hidup dan manusia.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang dikenal antara lain: pertama, kearifan
lokal adalah milik komunitas dan tidak ada pengetahuan atau kearifan yang
bersifat individual. Kedua, Kearifan lokal yang bersifat praktis.
Pengetahuan dari kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan
bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga
menyangkut bagaimana hubungan semua isi alam berlangsung baik. Ketiga,
Kearifan lokal yang bersifat holistik adalah menyangkut semua
pengetahuan dan pemahamaan tentang seluruh kehidupan dengan segala
realasinya dialam semesta. Keempat, berdasarkan moral. masyarakat
memahamai aktivitasnya terhadap alam ini secara moral. Kelima, kearifan
lokal bersifat lokal karena terkait dengan tempat partikular dan konkret.
Tetapi karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan
pengetahuan loka, karena terkait dengan tempat yang partikular dan
dengan tidak di rekayasa pun jadi universal, pada dirinya sendiri Keraf
(2002).

3. Pengetahuan Lokal

Menurut Koentjaraningrat (2005), kearifan lokal memiliki dimensi


sosial dan budaya yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas atau
perlakuan berpola manusiawi dalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal
dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti: ide, gagasan, norma, nilai
dan peraturan dalam ranah kebudayaan. Sedangkan, dalam kehidupan
sosial dapat berupa sistem religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
5

sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi


dan peralatan.

Dalam rangka siklus pengembangan masyarakat, pengetahuan lokal


berperan dalam seluruh langkah dari program pembangunan usahatani di
Kabupaten Muna. Peranan pengetahuan masyarakat dapat dibedakan
dalam langkah-langkah: penilaian, perencanaan, penerapan, monitoring
dan evaluasi. Untuk lebih jelasnya disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Peranan Pengetahuan lokal tukang kebun (pagalu, landbower,


farmer, peternak)

Langkah Peranan Pengetahuan lokal

Penilaian Penilaian secara situsional mencakup masukan dan analisa,


proses serta luaran dari prilaku anggota komunitas lokal.
Bagaimana Presepsi komunitas lokal (informasi secara takson)
dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan agar lebih
jelas peran mereka bila dipandang dari sudut pengetahuan
lokal
Perencanaan Petani merencanakan usaha tani dengan memperhitungkan
ketetapan, ketepatan waktu dalam pelaksanaan, ini harus
disinergikan dengan kalender musim dari komunitas lokal,
bagaimana ketersediaan tenaga kerja lokal, kejadian-kejadian
khusus dan peran dari pranata lokal tentang musim tanam.
Penerapan Dalam penerapan memerlukan partisipasi dari komunitas lokal
khususnya dalam adaptasi dengan peningkatan praktik-praktik
program. Metode-metode lokal kadang dipakai guna ketetapan
dan kesesuaian dengan situasi yang ada.
Monititoring Dampak-dampak terhadap indikator lokal menjadi acuan

Evaluasi Sangat berarti bagi keberhasilan suatu program

Rudito dan Budimanta (2003)

Untuk mengukur kearifan praktik yang ada dalam masyarakat


digunakan nilai-nilai universal kemanusiaan yakni:

1) Freedom (kebebasan) artinya individu-individu dapat menikmati suatu


suasana otonomi yang aman untuk mengejar tujuan-tujuan pilihan
mereka sendiri. Suatu dominan dimana mereka berada dalam
pengendalian keputusan-keputusannya, tetapi tentu dalam gugus
6

pembatas kondisi fisik-teknis dan sosial ekonomi terutama


kelembagaan yang melindungi kebebasan lainnya. Kebebasan tanpa
pembatas dan aturan-aturan akan menjadi izin/lisensi. Lisensi yang
tidak terelakan akan menghancurkan sosial dan kerja sama yang
efektif.
2) Justice (keadilan) berarti bahwa nilai orang dalam lingkungan yang
sama diperlukan cara-cara yang sama dan pengadilan ditempatkan
pada semua ukuran yang sama tanpa memperdulikan kelas sosial
seseorang. Dalam praktek ini sering dihubungkan dengan negara,
norma hukum (the rule of low) dari pada aturan orang sembarangan.
3) Security (keamanan) adalah kepercayaan orang atau masyarakat akan
dapat menikmati kehidupan dan kebebasan tanpa mengalami
kekerasan dan intervensi yang tidak semestinya diharapkan. Kadang
keamanan dimaknai sebagai perlindungan dari posisi-posisi sosial
ekonomi yang diperoleh dalam menghadapi perubahan dan tantangan.
4) Pecae (kedamaian), adalah tidak adanya konflik dan kekerasan yang
diakibatkan agen-agen kuat baik dalam komunitas (keadilan internal)
maupun di luar komunitas ekologis (keadilan eksternal). Kedamaian
berhubungan dengan keamanan dalam pengertian kepercayaan
menikmati kehidupan dan kebebasan.
5) Welfare (kesejahteraan), adalah lebih diarahkan pada perbaikan
ekonomi yang dikenal dengan economic walfare. dan juga
berhubungan dengan aspirasi-aspirasi perbaikan material dan
keamanan material yang diperoleh sepanjang waktu.
6) Concervation (konservasi) adalah nilai yang membayangkan orang
menginginkan pertimbangan keseimbangan lingkungan. Pertimbangan
sampai batasan tertentu sebagai bagian keamanan misalnya
menghindari bencana lingkungan (casthtrope) di masa depan yang
dapat membahayakan kesejahteraan (wellbeing). Upaya pengendalian
(postulate), pengawetan (preservation) lingkungan sebagai tujuan
utama absolut yang harus didahulukan daripada aspirasi-aspirasi
manusia.
7

PEMBAHASAN

1. Sejarah Pertanian dan Petani Pertama di Dunia

Sistem pertanian adalah cara-cara mengolah alam untuk


menghasilkan makanan bagi manusia. Manusia purba hidup mengembara
secara berkelompok, berburu binatang, dan mengumpulkan tanaman liar
sebagai makanan. Namun, antara 6.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, di
Timur Tengah dan Cina beberapa kelompok pengembara mulai bermukim
di satu tempat untuk beternak dan bercocok tanam. Orang-orang inilah
yang menjadi petani pertama di dunia (World Farming, Martyn Bramwell,
2004). Ada dua tipe utama pertanian dunia yakni bercocok tanam dan
memeliharan ternak serta petaninya disebut pengumpul dan pemburu
makanan. Di wilayah semi padang pasir di Australia dan Afrika dan hutan-
hutan di Asia dan Amerika orang-orang masih hidup dengan berburu dan
mengumpulkan makanan di lingkungan mereka menyediakan semua
makanan, tempat tinggal, pakaian, senjata, dan kayu bakar. Peralatan
pertanian pertama menggunakan alat penggali yang terbuat dari tulang-
tulang binantang, dan tanduk rusa, serta sabit primitif dengan pegangan
dari kayu atau tulang dan pisau terbuat dari batu geratan. Alat penggali
dikenal beliung sejenis cangkul yang berat masih digunakan di seluruh
dunia.

Di seluruh dunia metode-metode pertanian bergeser dari yang


paling mudah, menggunakan pekerja dengan peralatan tradisional, ke
metode yang paling rumit yang menggunakan mesin-mesin berteknologi
tinggi. Di Indonesia dikenal masyarakat dunia sebagai negara agraris di
mana pertanian merupakan suatu jenis kegiatan produksi dengan
mendasarkan pada terjadinya pertumbuhan tanaman dan hewan yang
dikaitkan dengan mata pencaharian pokok.

2. Bentuk Kearifan Lokal Ranah Pertanian: Kasus Etnik Muna

Etnik Muna sebagai besar penduduknya adalah petani. Etnik ini


mengembangkan mata pencaharaian dimulai dari mengumpulkan
makanan dan berburu binatang liar di kawasan hutan. Sistem pertanian
bagi etnik Muna diperkenalkan oleh Sugi Patani di zaman kerajaaan
kepemimpinan Sugi Manuru. Pada masa kepemimpinan Sugi Manuru inilah
Kerajaan Muna mengatur sistem pemerintahan dengan meletakkan aturan
8

formal adat istiadat masyarakat Muna. Di bidang pertanian dipercayakan


kepada Sugi Patani, dan untuk bidang perikanan/perairan dipercayakan
kepada Sugi Laende di abad ke-13 (wawancara informan kunci tokoh
masyarakat La Ode Mbuna, 1997). Jadi, pada zaman inilah pertanian
dikembangkan dengan sistem bercocok tanam, berburu dan berternak
serta berburu ikan di laut/perairan.

Ahimsa-Putra dalam (Musafar, 2017), kearifan lokal didefenisikan


sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang berasal dari
generasi ke generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan
dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu
tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan bernar
berbagai persoalan dan atau kesulitan hidup yang dihadapi. Dalam sistem
kearifan lokal usahatani menurut etnik Muna memiliki pengetahuan lokal
dan praktik-praktik secara turun-temurun di dalam mengelola alam dalam
bentuk kegiatan sebagai yakni:

1) dofula, berburu binatang di hutan;


2) detandai, detinda/deseba batang pohon sepanjang jalan berburu;
3) detambori, derunsa tabako/kaempanaha kafeabahano wite
(pembukaan tempat istrahat saat berburu (beskem)
4) dewei/detughori, diawali detandaki kafeabanosau/pohon dan sangku
(kawasan hutan), detaghomi memindahkan makhluk ghaib penghuni
pohon/wilayah hutan;
5) defetoroi dan delolosu, artinya pengukuran dan pemilahan batang yang
lurus dan bengkok yang dipotong sesuai ukuran. Pemilahan ukuran
kayu dan pengangkutan kayu yang dipotong dikenal dengan sortimen
kayu diangkut kepinggiran atau dijual dalam bentuk balok-balok;
6) desula, pembakaran berangkasan pohon, cabang dan ranting
(barning);
7) detotawu, pemebersihan lahan dari berangaksan pohon/land clearing;
8) dekatondo, pemagaran sesuai ukuran kebun (ada tiga tipe pagar
berdiri, vertikal disebut dekatondo, pagar horizontal sejajar disebut
deghala, dan menyusun batu-batu besar seperti tembok disebut
otondo batu;
9) defematai dan kaago-ago, kegiatan permulaan menanam diawali
dengan perhitungan waktu tanam (detoo) dan lokasi kafematai. Bahan
dan alat yang akan digunakan untuk pontasu/detisa. Penanaman
9

kantisa, ditempatkan di-kafematai seperti keranjang benih, alat tugal,


pisau, dan sesajian makanan;
10) pontasu/detisa, pada acara kafematai tadi telah ditugal lima lubang
yang pertama yang diisi benih padi (pontasu), benih jagung atau
komoditas lainnya detisa. Kalau benih dalam bentuk stek deladu,
seperti stek ubi kayu dan pepohonan lainnya atau derawu kalau bibit
stek untuk tanaman merambat ubi jalar dan ubi tatas. Umumnya
depontasu atau detisa hanya padi dan jagung serta kacang-kacangan;
11) derundu ghuse setelah kegiatan menanam bila musim kemarau.

3. Deskripsi Fungsi Masing-Masing Bentuk Kearifan Lokal dalam


Ranah Pertanian

Kearifan lokal dalam ranah pertanian yang dimiliki etnik Muna


mempunyai fungsi pelestarian lingkungan. Hal ini seperti diuraikan pada
table berikut

Tabel 2. Usaha Tani terhadap Pelestarian Lingkungan pada Etnik Muna

No. Bentuk Kearifan Fungsi Pelestarian


1 Dofula/dehamba Berburu hewan di kawasan hutan. Pengertian
sistem pertanian adalah cara mengolah alam
dengan berburu binatang dan mengumpulkan
tanaman untuk menghasilkan makanan bagi
manusia. Tempat berburu diperkirakan sudah
melimpah populasi hewan buruan dengan
interval waktu sekali per tahun.
2 Detandai/deseba Memberi tanda pada batang pohon dan jalur
rintisan berburu dengan cara memotong
cabang/ranting dan atau melukai batang pohon/
takik, di areal perburuan atau kawasan hutan.
3 Detambori via derunsa Menyimpan rokok/atau kapur siri pada
tabako dan kampanaha takik/kaseba, berfungsi sebagai kafeabano wite
untuk mencegah gangguan binatang liar jika
untuk tempat istrahat/beskem. Katambori
dilakukan mulai di tengah lahan dengan membca:
(1) Inahuminal Sulaiman wa inahu bismillahi
rahmanirahim; (2) Alliulazim walakuwata
ilabilahill alilazim.
4 Defeaba katugha/ Defeaba katugha, katandaki dewei/detughori
katanda kino dewei artinya kafeabano sau/pohon sekaligus
/kabelaino katughori, kataghomino sangku dengan maksud
kataghomino sangku memindahkan makhluk gaib yang penghuni
pohon ketempat lain dalam kawasan hutan
10

karena habitatnya berubah fungsi.


5 Detoroi dan delolosu Fetoroi berati mengukur dan menyipat kayu
lurus. Setiap pohon yang telah ditebang dipotong-
potong sesuai ukuran kayu pagar dan atau ukuran
kayu balok/papan (kalolosu) lalu disingkirkan ke
tempat penyimpanan kayu sementra (komersial
/pagar).
6 dekatitia dan desula Peralatan api terdiri dari katitia/pinda, pecahan
piring, baru dari kulit batang enau, dan batang
bambu kering diambil ditempat itu. Jika, digesek
terjadilah pembakaran. sistem Pembakaran
berangkasan kayu, cabang, dan ranting.
7 Detotawu dan Mengumpulkan sisa berangkasan kayu sambil
defekanggela dibakar dan pembersihan lahan untuk areal
penanaman (land clearing).
8 Deghala dan dekatondo Pemagaran secara horizontal (ghala) dan
pemagaran dengan cara pagar berdiri (vertikal)
dikenal katondo, berfungsi untuk keamanan
usaha tani yang di dalamnya.
9 Defematai dan ka ago- Penanda untuk memulai penanaman dengan cara
ago kafematai, terletak di tengah kebun. Deago-ago
dengan peralatan; bakul jagung/benih padi,
tongkat, bambu yang digantungkan telur, ketupat
empat bagian, dan bunga-bungaan kemudian
disimpan pada empat sudut kebun.
10 Detisa/pontasu: jika Ditugal lima titik di sekitar kafematai yaitu
jagung dan kacang- ditugal pada empat sudut (sikua) dan satu di-
kacangan yang kafematai. Kemudian ditugal dengan jalur Timur-
ditanam detisa dan Barat atau Utara-Selatan.
kapontasu jika tanam
padi.
11 Derundu ghuse setelah Transformasi dari pemburuh binatang dan
dofula-dewei-detisa pengumpul tanaman bahan makanan, berubah
merambah hingga diusahakan dalam bentuk
kebun (galu). Setelah penanaman kegiatan debasi
ghuse atau derundu ghuse agar tanaman yang
telah ditanam dikena air hujan pada hari pertama
atau kedua.

4. Bentuk Kearifan Lokal yang Masih Tumbuh dan Lestari dalam


Ranah Pertanian

Bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan lestari dalam ranah


pertanian etnik Muna dapat dilihat pada dua aturan, yakni forman informal
dan formal. Kedua bentuk aturan tersebut diuraikan sebagai berikut.
11

a) Aturan informal. Aturan informal yang berlaku dalam sistem pertanian


masyarakat Muna adalah: (1) kepercayaan yang dianut masyarakat,
bahwa manusia berasal dari tanah, air, udara, dan api. Untuk itu hidup
berasal dari tiga jalan yakni berkebun, mewakili jagung, sayuran, dan
pohon bamboo; enau mewakili sumber air; dan tumbuh-tumbuhan
berkayu diwakili jati yang masih dipertahankan sampai sekarang; dan
(2) keyakninan masyarakat bahwa air sebagai sumber kehidupan dan
hanya tersedia jika kondisi alam baik. Puisi religius yang klasik
mengatakan “kakaeno ghuse” artinya tak ada hutan maka tak ada hujan,
tak ada hujan maka tak ada air. Jika tidak ada air berarti tidak ada
kehidupan. Maka dari itu, masyarakat sangat peduli menjaga hutan
untuk sumber kehidupan. Nilai-nilai tersebut dijadikan aturan dan
keyakinan untuk mempertahankan hutan alam sebagai sumber
kehidupan sebagai berikut:
1) Sebelum berinteraksi dengan alam harus berdoa dan noeregho
kutika (batata/doa);
2) Mencari nafkah melalui pengelolaan sumber daya alam (berburuh
nafkah);
3) Setiap keputusan diambil melalui musyawarah tokok adat (mus);
4) Tidak boleh menebang pohon sembarangan (larangan);
5) Tidak boleh memanfaatkan hutan untuk kepentingan individu
(kd);
6) Pengelolaan hasil bersama dan adil (ba);
7) Sumber daya hutan dan air yang telah dimanfaatkan harus dijaga
konservasi sumber daya alam dengan menanam bambu di sekitar
kali/sungai (ko).
b) Aturan formal. Aturan formal yang menjadi acuan masyarakat Muna
dalam perencanaan usaha tani dengan perambahan kawasan hutan
dapat digunakan UU Lingkungan Hidup, Nomor 4 Tahun 1984 dan UU
Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.

5. Akulturasi Pengetahuan Lokal, Sains, dan Teknologi dalam Ranah


Pertanian

Bionomi pertanian merupakan ilmu yang masih relatif baru sebagai


implementasi dari kajian ciri adaptasi dan evolusi pada makhluk hidup.
Interaksi sains dan teknologi merupakan produk ide (pikiran) manusia
yang bersumber dari fakta-fakta empirik. Nurdin (1986) kemampuan yang
12

mutlak dimiliki manusia adalah kemampuan nalar (reasoning), selain


propagasi dan survival. Pusat nalar manusia terletak pada otak untuk
mengkomunikasikan setiap respons yang diterimanya. Wiriowidagdo
(1987) mengemukakan otak manusia dibedakan atas riga bagian pusat
berpikir yakni: (1) bidang depan, berhubungan dengan motivasi seperti
diperlukan dalam suatu kerja yang terencana; (2) bidang pelipis yang
menyimpan informasi indrawi yang sangat menentukan urutan kata,
peristiwa menjadi kalimat; dan (3) bidang dinding yang memungkinkan
manusia melakukan deretan kegiatan rumit yang tidak langsung
berhubungan dengan fisik atau keputusan indrawi.

Kreasi otak dalam bentuk nalar (reasoning) diimplementasi dengan


kemampuan mengingat (memory), comunication, dan curiocity (rasa ingin
tahu). Rasa ingin tahu inilah yang mendorong manusia mengungkapkan
berbagai fenomena sains melalui rasa ingin bertanya 5W1H (what, where,
when, who, why and how). Kadangkala curiositas tidak mampu menjawab
tahu, maka otak lebih banyak diam dan menyusun intuisi, prasangka
bahkan muncul mitos sebagai pengetahuan baru yang bersifat nonilmiah.
Jika, curiositas terjawab, maka akan menimbulkan sekumpulan
pengetahuan baru (Nurdin, 1986: Wijowidagdo, 1987).

Interaksi sains dan teknologi dapat digambarkan sebagai berikut:

TEKNO  SAINS  Kearifan Pedesaan


1. Kaidah Pengamatan =>Keterampilan
Empirik => Ilmiah =>Trial and Error
2. Alat Ukur =>Alat Ukur => Intuisi/asumsi
3. Eksplorasi/ Kearifan Lokal
Eksperimen

Gambar 1 Interaksi Sains, Teknologi, dan Kearifan Lokal

Perbedaan kearifan lokal, Sains dan teknologi terletak pada


pengambilan keputusan (decession maker). Di dalam teknologi sebagai
langkah strategis rekayasa teknik material. Langkah pengambilan
keputusan dalam teknologi ada empat unsur yakni: (1) Modelling; (2)
penyusunan persyaratan/kriteria; (3) pembatasan; dan (4) usaha optimasi.
13

Tahapan perkembangan sains dan teknologi dalam berbagai bidang


kehidupan dan ciri teknologi terapan digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 3. Tahapan Perkembangan Sains Teknologi dan Bionomika

Tahapan Bidang Teknologi Ciri Sains Penunjang


Perkembangan Konsep Teknologi/
Ekologi/ Bionomika
I. Sampai Tahapan 1. Pertanian Keterampilan mekanik,
Revolusi Industri, Abad 2. Permesinan dan pembuatan peralatan
XVII 3. Kedokteran
II. Sesudah Revolusi 1. Permesinan Mekanika, termodinamika
Industri sampai dengan 2. Konstruksi listrik, magnet (IPA klasik)
Permulaan Abad XX 3. Teknik Listrik
III. Abad XX Teknologi Material Atom, molekul, zat padat,
perubahan kimia, fisika,
biologi (IPA modern)
IV. Abad XXI/Millenium 1.Teknologi Material Sifat mekanik, Listrik,
2.Teknologi Informasi magnet, semi dan super
konduktor, optik, polimer,
alloys, bio-molekuler,
cahaya GEM, digital,
bionomi & ergonomik

Berdasarkan interaksi sains dan teknologi tersebut maka tahapan


revolusi industri 4.0 adalah bentuk produk teknologi Supernova dan
Teknologi Nano berbasis material. Teknologi Material merupakan dasar
pengembangan teknologi diabad revolusi industri 4.0 dan 5.0.
Pengembangan teknologi berbahan baku material dapat dihasilkan jenis
teknologi: teknologi struktural, teknologi energi, teknologi transportasi,
teknologi computer, dan teknologi komunikasi.

6. Dampak Perkembangan Pengetahuan Lokal, Sains, dan Teknologi

Hubungan antara manusia dengan habitatnya terjadi sekitar


ratusan ribu tahun yang lalu. Sejak ditemukannya manusia tertua sekitar
1,8 juta tahun lalu, sudah ada interaksi manusia dengan bumi sebagai
habitat. Peranan sains bagi kehidupan manusia mulai dirasakan sejak
tahun 7.000-6000 tahun SM seperti sistem bercocok tanam di Lembah
Mesopotania dan cara menulis di Cina. Pengaruh perkembangan sains dan
14

teknologi sebagai landasan industri ekonomi secara nasional baru


berkembang sejak 50 tahun yang lalu meskipun sains sendiri telah
mempengaruhi teknologi sejak 300 tahun yang lalu setelah revolusi
industri.

Dampak negatif dari penggunaan sumber daya alam adalah


kemunduran kualitas, kesuburan tanah, erosi, kerusakan lingkungan,
jumlah penduduk dan intensitas penggunaan sumber daya alam semakin
kecil, degradasi sumber daya alam. Penggunaan sumber daya boros, dan
merusak lingkungan hidup adalah beberapa dampak perkembangan
industri dalam kehidupan. Beberapa ciri perkembangan industri dan
penerapan teknologi serta dampaknya pada tabel berikut.

Tabel 4.Perkembangan Industri, ciri dan dampaknya terhadap Kehidupan.*)

Periode Industri Ciri-ciri Umum & Dampak, Pengaruh dan


Profesi Issue
Periode 50-100 tahun Industri baja, industri Boros sumber daya, kurang
sebelum PD II kimia, pertanian padat merusak lingkungan, hidup
karya issue sosial
Periode sesudah PD II Revolusi hijau, plastik, Kurang boros sumber daya,
logam ringan, kurang merusak lingkungan,
elektronika, komputer, issue lingkungan hidup
pesawat jet & aerospace
Periode teknologi Industri kimia, marine Hemat sumber daya,
baru/ modern dan culture, solar energi, hemat energi menggeser
mutakhir reaktor atom, reaktor tenaga kerja,
pembiak, cyclus issue sosial dan moral
celulosa/serat, produk
pangan dan energi, daur
ulang (recycling)

**) Periode teknologi Era disruptif, era new Hemat sumber daya, hemat
informasi dan revolusi challenger; (VUCA) energi, issue media sosial as
industri 4.0. verysable, uncertainty, powers, social distance,
complexity, ambiguity moral VUCA Force (vision,
understanding, clearity &
agility)
*) La Panga, 2014. Basic Natural Science **); Siregar, 2018; Maftuh, 2018; La Panga, 2019
15

Ketidakserasian hubungan antara sistem produksi, sistem teknologi


dan sistem profesi sumber daya manusia di dunia sering menyebabkan
ketegangan antara bangsa di dunia, dan antargolongan pada dasarnya
bersumber dari issue dan masalah berikut.

a. Penggandaan pangan bagi penduduk dunia yang terus berkembang;


b. Kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang kian bertambah di lain
pihak menjadi hambatan bagi industry;
c. Pengadaan dan permintaan bahan-bahan dasar seperti energi kayu,
dan bahan mineral yang terus meningkat;
d. Kepincangan neraca perdagangan nasional dan internasional;
e. Pembiayaan pembangunan sumber daya manusia, pendidkan,
kesehatan, riset, sains, dan perkembangan teknologi; dan
f. Kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam, energi, dan
lingkungan hidup.

KESIMPULAN

Deskripsi historis bentuk-bentuk kearifan lokal etnik Muna


didasarkan konsep pertanian dunia dan kebijakan pemerintahan Sugi
Manuru tenatang adat-istiadat kehidupan manusia di Muna di antaranya:
(1) dofula, berburu di hutan; (2) detandai, detinda/deseba batang pohon
sepanjang jalan berburu; (3) detambori, derunsa tabako/kaempanaha
kafeabahano wite (pembukaan tempat istrahat saat berburu (beskem); (4)
dewei/detughori, diawali detandaki kafeabano sau/pohon, detaghomi
memindahkan makhluk ghaib penghuni pohon/wilayah hutan; (5)
defetoroi dan delolosu, artinya pengukuran dan pemilahan batang yang
lurus dan bengkok yang dipotong sesuai ukuran. Pemilahan ukuran kayu
dan pengangkutan kayu yang dipotong diangkut kepinggiran atau dijual
dalam bentuk balok-balok; (6) desula, pembakaran berangkasan pohon,
cabang dan ranting (barning); (7) detotawu, pembersihan lahan/land
clearing; (8) dekatondo, pemagaran sesuai ukuran kebun; (9) defematai
dan pontasu/tisa penanaman; dan (10) derundu ghuse setelah dofula-dewei-
detisa. Selain itu, kajian ini juga mendeskripsikan fungsi masing-masing
kesepuluh bentuk kearifan lokal masyarakat Muna dalam kaitannya
dengan pelestarian lingkungan dan merumuskan bentuk kearifan lokal
yang masih tumbuh dan lestari dalam pengembangan usaha tani
berkelanjutan yakni: (a) aturan informal (konvensi) yang berlaku dalam
16

sistem pertanian bagi masyarakat Muna dan (b) aturan formal (perundang-
undangan).

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, TT, 2014. Pengantar Ilmu Pertanian, Agraris, Agrobisnis,


Agroindustri dan Agroteknologi. Global Pustaka Utama, Yogyakarta.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas: Jakarta

Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta

La Panga, 1997. Efisiensi Pemasaran Kayu Jati Bulat dan Hasil


pengolahannya dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Perusahaan
dan Daerah di kabupaten Muna. PPS. UNHAS, Ujung Pandang.

La Panga, 2003. Ilmu Alamiah Dasar. An Modern Natural Science Aproach.


Khusus Digunakan di Lingkungan Sendiri. UNSULTRA, Kendari.

La Panga. 2016, Kajian Entrepreneurship Petani Jambu Mete pada Berbagai


Pola Diversifikasi Usahatani. Desertasi Pascasarjana Universitas Halu
Oleo. Kendari

La Panga, Rasidin Utha, I wayan Sura. 2017. Kajian Diversifikasi Usahatani


terpadu jambu mete di Sulawesi Tenggara, Jurnal Formasi Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Kebijakan pembangunan Volume 2.
No.2 Desember 2017 Balitbang Provinsi Sultra, Kendari.

Martyn Bramwell, Corinne Stockley, 2004. World Farming. Pertanian dunia,


Usborne Publishing, Pakar Raya IKAPI, No.052. Bandung.

Musafar. 2017. Kearifan Lokal Tradisi Kamooru pada Masyarakat Muna


(Studi di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna). Tesis
Pascasarjana Universitas Halu Oleo. Kendari

Sartini. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.


http://filsafat.ugm.ac.id, diakses tanggal 19 September 2017
17

Sudikan, Setya Yuwana. 2013. “Pengetahuan dan Kearifan Lokal dalam


Tradisi Lisan Nusantara: Penggalian Nilai-Nilai Kebhinekaan
Indonesia, Kini dan Masa Depan (dalam Mengurai Tradisi Lisan
Merajut Pendidikan Karakter. I Noyam Sukarmini, dkk (ed.). Tabanan:
FKIP Tabanan & ATL.
18

KEARIFAN LOKAL DAN EKSPRESI BAHASA


DALAM SISTEM PERTANIAN ETNIK MUNA:
PERSPEKTIF ETNOLINGUISTIK

Ardianto, Hadirman, Meiskyarti Luma, dan Mayske Rinny Liando

PENDAHULUAN

Budaya lokal merupakan identitas suatu etnik, termasuk etnik


Muna di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Budaya lokal tidak
terlepas dengan bahasa lokal yang mewadahi praktik budaya tersebut.
Salah satu praktik budaya (lokal) tersebut adalah kebiasaan etnik Muna
dalam ranah pertanian (tradisional). Artinya, bahasa yang dipakai suatu
komunitas dalam ranah kebudayaan dapat dikaji dengan pendekatan
etnolinguistik. Pendekatan ini memandang setiap bahasa mewadahi
banyak istilah penduduk asli yang merujuk pada segala sesuatu yang
mereka alami dan lakukan (khususnya dalam sistem pertanian).

Para petani etnik Muna yang hidup dan menetap di Kabupaten


Muna masih menggunakan istilah-istilah lokal dan spesifik terkait dengan
bidang pertanian yang menjadi mata pencaharian hidup mereka. Istilah
khusus ini, sebagaian tidak dipahami lagi penduduk yang tinggal di kota
atau merantau di daerah lain. Pemakaian istilah tersebut dapat
terepresentasi dalam ekspresi verbal berkaitan pembukaan lahan baru
hingga pascapanen.
19

Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukkan adanya ekspresi


bahasa yang berbeda di antara bidang-bidang pekerjaan tertentu. Misalnya,
orang Muna mengenal istilah praktik budaya dan kearifan lokal dalam
sistem pertanian seperti kaago-ago, pokadulu, dewei, detongka, dan
sebagainya. Istilah-istilah tersebut dapat dimaknai dengan jelas rujukannya
karena masyarakat petani dapat menggunakannya dalam praktik budaya
dan tutur yang sesuai dengan kebiasaan mereka. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk mengkaji kearifan lokal dan ekspresi bahasa dalam sistem
pertanian etnik Muna di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Artikel ini membahas kearifan lokal dan ekspresi bahasa dalam


ranah pertanian etnik Muna dengan perspektif etnolinguistik. Kajian
bahasa yang dimaksud dibatasi pada kearifan lokal dan ekspresi bahasa
(Muna) yang digunakan pada satu peristiwa pembukaan lahan baru hingga
pascapanen. Di samping itu, etnik Muna memiliki peristiwa budaya yang
cukup menarik dan dilestarikan sampai saat ini.

KAJIAN TEORETIS

1. Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik.


Etnolinguistik lahir sebagai penggambungan antara pendekatan etnolog/
antropolog budaya dengan pendekatan linguistik. Etnolinguistik dapat
digolongkan menjasi dua yaitu (a) kajian linguistik yang memberikan
sumbangan bagi etnolog dan (2) kajian etnologi memberikan sumbangan
bagi lingusitik (Ahimsa-Putra, 1997:5).

Etnolinguistik adalah istilah yang digunakan sebagai studi khusus


linguistik yang berkaitan dengan ilmu antropologi (Robins, 1981). Ahimsa-
Putra (1997) menyatakan bahwa etnolinguistik merupakan bidang studi
yang dapat menemukan proses terbentuknya kebudayaan dan kaitannya
dengan bahasa, serta kebudayaan yang terbentuk tersebut terus-menerus
mengalami perubahan, baik disadari maupun tidak oleh pendukung
kebudayaan itu, seperti tercermin dalam bahasa mereka gunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan kompentensi yang memadai di bidang
linguistik antropologis, para ahli dapat memahami budaya lewat bahasa
yang dituturkannya (Foley, 2001:3-5).
20

Etnolinguistik erat kaitannya dengan ilmu antropologi. Objek kajian


penelitiannya berupa daftar kata-kata, pelukisan dari ciri-ciri, dan
pelukisan dari tata bahasa dan bahasa-bahasa lokal (Koentjaraningrat,
1982:2). Etnolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang
mempelajari struktur bahasa berdasarkan cara pandang dan budaya yang
dimiliki masyarakat. Duranti (1997:2) mengemukakan bahwa etnolinguis-
tik adalah kajian bahasa dan budaya yang merupakan subbidang utama
antropologi.

2. Kearifan Lokal

Ahimsa-Putra (2005:12) mendefenisikian kearifan lokal sebagai


perangkat pengetahuan dan praktik-praktik, baik yang berasal dari
generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan
dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik komunitas di suatu
tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar
berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi.

Marzali dalam Sumiantarsih (2005:6) konsep tentang kearifan lokal


adalah pengetahuanan yang khas milik suatu masyarakat atau Budaya
tertentu yang telah berkembang sekian lama, sebagai hasil dari proses
hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya.
Pengetahuan adalah inti dari budaya suatu masyarakat yang diperoleh
melalui pengalaman hidup dan digunakan untuk menghadapi sistem
tertentu serta menjawab persoalan-persoalan yang muncul sehingga
indigenous knowledge system tidak lain merupakan budaya lokal atau
kearifan tradisional.

Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga


cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai
watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Kearifan lokal
sebagai produk budaya masa lampau, merupakan kebudayaan spesifik
yang digali dari nilai-nilai luhur atau nilai dasar kebudayaan suatu
masyarakat dan menjadi milik bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kearifan lokal tercipta dari pengalaman hidup dan kebiasaan masyarakat
pada masa lalu, memiliki sifat selektif dan fleksibel sehingga mampu
bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan (Manhintu,
2007:4).
21

Wijaya (2008:2) kearifan lokal merupakan saripati sistem sosial


dan sistem budaya suatu masyarakat yang di dalamnya ada akal dan rasa.
Kearifan lokal tidak hanya dimaksudkan untuk membantu menegakkan
harmoni hidup bersama saat terbentuknya saja, tetapi juga dapat dipakai
sebagai perangkat kehidupan sampai ke masa yang akan datang. Kearifan
lokal kadangkala diidentikan pula sebagai pengetahuan dan kepercayaan
primitif, prakapitalisme, atau pengetahuan lokal, budaya masyarakat lokal
yang dikategorikan sebagai pengetahuan nonkapitalisme.

Sedyawati (2007:328), yang termasuk dalam penjabaran “kearifan


lokal” itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang
lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya.
Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa “kearifan lokal” itu terjabar
ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun intangible.

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami


sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana
wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan
akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah
wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’. Kearifan lokal
adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada
komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana
komunitas itu berada.

Mbete (2006b:7), perangkat kearifan lokal tersebut terkandung di


balik budaya material, dalam mitos, teks-teks dan ungkapan-ungkapan
dalam kemasan verbal dan nonverbal yang diwarisi secara turun-temurun
atau lintas generasi dalam masyarakat mana pun. Lebih lanjut Mbete
(2006a:24), mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan etnik,
masyarakatnya memiliki sistem sosial dan sistem budaya sebagai wadah
pengikat kehidupan dan kebersamaan warganya, dan kearifan lokal pun
berada dalam sistem sosial dan sistem budaya yang terbangun dalam
masyarakat tersebut.
22

Kearifan lokal merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang


berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke
generasi. Sehingga kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang
digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu
lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya
dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka
waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi
lisan dan karya-karya sastra lainya.

3. Sistem Pertanian

Sistem pertanian merupakan upaya mengelola sumber daya alam


untuk menghasilkan kebutuhan (makanan) bagi manusia. Ada dua tipe
utama pertanian yaitu menanam tanaman pertanian dan memelihara
ternak. Jenis-jenis utama pertanian dari bercocok tanam padi di ladang dan
sawah, sampai bercocok tanam ubi-ubian di ladang yang luas dan
memeliharan ternak, serta berburu ikan di laut (band. Martyn Bramwell,
2004).

Sistem pertanian (perladangan) dalam tulisan ini berkaitan cara


dan aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan pertanian. Etnik Muna
memiliki tradisi sistem pertanian berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Apabila lahan sudah tidak subur kembali membuka lahan baru untuk
dijadikan ladang. Ladang lama dibiarkan dengan ditanami tanaman jangka
panjang seperti dhambu ‘jambu mete”, bhe ‘pinang’, kulidawa ‘kayu jati’,
kowala ‘enau’, dan sebagainya.

PEMBAHASAN

Fakta lingual-kultural dalam ranah pertanian yang dimiliki etnik


Muna perlu dikaji secara lebih khusus terutama dalam rangka memperoleh
pemahaman secara lebih kompherensif, realistis, dan terutama
menemukenali dasar nilai-nilai (common core) budaya pertanian etnik
Muna, demikian pula sistem kebahasaan dan sistem penggunaan bahasa
sebagai fenomena kultural yang mewadahinya, diyakini sebagai kesadaran
kolektif etnik Muna di Sulawesi Tenggara.
23

Pemahaman ini menjadi penting dalam rangka memetakan kondisi


nyata fakta lingual dalam sistem pertanian etnik Muna. Selanjutnya, upaya
memahami secara lebih dalam fenomena eskpresi bahasa (verbal) yang
maknawi, khususnya dalam ranah pakai bahasa. Ungkapan yang berkaitan
sistem pertanian tradisional dengan makna kearifan lokal yang dikemas
dalam istilah/kosakata dan wacana, khususnya dalam wujud ungkapan-
ungkapan verbal itu, sesungguhnya masih kaya dan potensial untuk
diberdayakan. Ekspresi bahasa yang digunakan masyarakat petani etnik
Muna dalam sistem pertanian diuraikan sebagai berikut.

1. Ekspresi Bahasa Pembukaan Lahan

Lahan yang dijadikan perkebunan atau pertanian etnik Muna pada


awalnya merupakan hutan belantara yang terdiri atas pohon jati, pohon
beringin, dan jenis pohon tahunan lainnya. Hutan belantara tersebut
sebelum dijadikan lahan pertanian terlebih dahulu dicek oleh tetua adat.
Pengecekkan tersebut untuk memastikan lahan tersebut subur dan aman
dari gangguan roh-roh halus di wilayah hutan belantara tersebut. Sejumlah
istilah yang hidup dan digunakan pada fase ini yakni sebagai berikut.

[1] a. Kapaliki
b. pande solo
c. mie mande
d. Detambori
e. Detaghomi

Ungkapan (1) di atas memiliki makna yakni (a) kapaliki yakni


tradisi pertanian yang dilakukan orang yang ahli dalam pertanian dengan
cara mengelilingi hutan yang hendak dijadikan areal perkebunan; (b)
pande selo yakni orang yang mengetahui ilmu astrologi orang Muna, yakni
berkaitan dengan hari baik dan buruk berkaitan dengan pembukaan lahan
baru dengan memperhitungkan bulan dan bintang di langit; (c) mie mande
yakni yakni orang yang mengetahui segala sesuatu mengenai kehidupan
manusia termasuk memastikan tanah yang hendak dijadikan areal
perkebunan/pertanian pada etnik Muna dalam keadaan subur atau tidak;
(d) detambori yakni pembukaan lahan pertanian baru; dan (e) detaghomi
yakni memindahkan makhluk halus/penunggu pohon di wilayah areal di
dijadikan kebun dipindahkan ke tempat lain.
24

2. Ekspresi Bahasa Pembersihan Lahan

Setelah lahan baru dibuka untuk areal pertanian dan makhluk-


makhluk halus yang diyakini etnik Muna sebagai penunggu hutan belantara
diupacarai yang dikenal dengan tradisi kaago-ago (ritual penyembuhan
penyakit dari gangguan makhluk halus di area pertanian). Langkah
selanjutnya adalah membersihkan lahan. Pembersihan lahan pertanian ini
terdapat pemakaian bahasa yang kaya makna yakni sebagai berikut.

[2] a. dewala sau


b. dewei
c. desula
d Detotawu
e. Degalu

Ungkapan (2) di atas memiliki makna yakni (a) dewalasa sau yakni
membuat takik dari jati dengan melukai kulitnya, dengan maksud untuk
menggugurkan daun-daun jati; (b) dewei yakni aktivitas membabat pohon
dan rerumputan serta tumbuhan liar lainnya; (c) desula yakni pembakaran
berangkasan pohon kayu berupa cabang dan ranting baik besar maupun
kecil; (d) detotawu yakni membersihkan lahan brangkasan sisa
pembakaran desula; dan (e) degalu yaitu aktivitas pemaculan dan
pengemburan tanah yang akan dijadikan sebagai tempat penanaman.

3. Ekspresi Bahasa Pemagaran Lahan

Ladang yang sudah dibersihkan dari kayu-kayu tahunan seperti


kulidawa ‘kayu jati’ dan kayu tahunan lainnya, serta rerumputan langkah
selanjutnya adalah memagari keliling area pertanian. Pagar dalam sistem
pertanian etnik mengenal tiga bentuk pagar yang diuraikan sebagai
berikut.

[3] a. deghala
b. dekatondo
c. Otondo

Ungkapan (3) di atas memiliki makna yakni (a) deghala yakni


membuat pagar keliling dengan model horizontal biasanya dahan jati
ukuran kecil ditancapkan di tanah dengan jarak 50 cm kemudian batang
25

bambu dibelah menjadi tiga lalu dibuat horizontal dengan diikat dengan
bulu-bulu kecil yang dijadikan sebagai pengikat; (e) dekatondo yakni
pemagaran kebun keliling dengan tipe pagar berdiri, biasanya dari hasil
pembalakan ranting-ranting kayu jati dari lahan yang dibuka; dan (c)
ototondo yakni pemagaran kebun dengan keliling berupa susunan batu-
batu besar dan kecil. Tinggi susunan baru sekitar 1 meter.

4. Ekspresi Bahasa Masa Penanaman

Masa menanami lahan yang sudah dibersihkan merupakan waktu


yang ditunggu-tunggu dalam sistem pertanian etnik Muna. Pada saat
aktivitas menaman kahitela ‘jagung’, pae ‘padi ladang’, rapo-rapo ‘kacang
tanah’ dan sebagainya biasanya dilaksanakan dengan sistem pokadulu
‘gorong-royong’. Pemilik ladang akan membantu tetangganya menanam,
demikian pula sebaliknya. Aktivitas menanam ini terdapat sejumlah
ekspresi bahasa yang digunakan petani etnik Muna sebagai berikut.

[4] a. kafematai
b. wine
c. kalogha
d. Tisa

Ungkapan (4) di atas memiliki makna yakni (a) kafematai yakni


ritual memulai menaman dengan dipimpin seorang pande solo yang
dilakukan di tengah-tengah kebun. Ritual ini bertujuan untuk meminta doa
kesuburuan tanaman dan dijauhkan dari gangguan hama; (b) wine yakni
bibit yang ditanama (biasanya jagung dan kacang tanah); dan (c) kalogha
yakni alat yang terbuat dari kayu jati atau kayu lain dengan ukuran
segengaman tangan panjang kira-kira 1,5 meter dengan salah satu
ujungnya diruncingkan. Ujung yang runcing tersebut digunakan untuk
membuat lubang di tanah sesuai jarak tanam jagung dan kacang tanah; dan
(d) tisa yakni kegiatan menaman atau memasukan bibit ke dalam lubang
sesuai jarak tanam (biasanya dilakukan secara gotong-royong).

5. Ekspresi Bahasa Masa Pemanenan

Pemanenan dilakukan pada saat hasil pertanian benar-benar siap


panen. Sistem pertanian etnik Muna pada saat pemanenan dikenal
sejumlah ekspresi bahasa sebagai berikut.
26

[5] a. Detobheha
b. Detongka
c. debuna
d. Deseli

Ungkapan (5) di atas memiliki makna yakni (a) detobhe yakni


kegiatan panen pae wuna ‘padi Muna’; (b) detongka yakni kegiatan
memanen kahitela ‘jagung’; (c) debuna yakni kegiatan memanen mafu sau
‘ubi kayu’ dan rapo-rapo ‘kacang tanah’; dan (d) deseli yakni kegiatan
memanen medawa ‘ubi jalar’ dan tonea ‘ubi talas’.

6. Ekspresi Bahasa Pascapemanenan

Sistem pertanian etnik Muna yang dilakukan petani pada tahap


akhir adalah memilah dan memilih hasil panen yang berkualitas baik untuk
persediaan makanan pada musim paceklik. Terdapat sejumlah istilah yang
berkaitan dengan hal ini diuraikan sebagai berikut.

[6] a. detoto
b. dekolusi
c. debhensi
d. desoria
Ungkapan (5) di atas memiliki makna yakni (a) detoto yakni
memotong ruas jagung. Kegiatan budaya ini dimaksudkan untuk memilah
dan memilih jagung yang akan dikonsumsi dan dijadikan persediaan
pangan keluarga. Biasanya pada saat detoto kahitela jagung yang besar dan
berkualitas baik dipisahkan untuk disimpan sebagai persediaan makanan
saat musim gagal panen (paceklik). Sedangkan, jagung karubu ‘kecil’ dan
bhoka ‘jagung besar yang mengelupas pucuknya’ dipisahkan; (b) dekulusi
yakni membuka kulit jagung untuk dimasak; (c) debhensi yakni membuka
kulit ubi kayu untuk dimasak atau dijemur; dan (d) desoria yakni jagung
yang berkualitas baik biasanya dibuatkan tempat khusus di sudut-sudut
rumah di dapur atau di atas loteng yang diatur sedemikian rupa untuk
persediaan makanan.
27

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai


berikut.

1) Masyarakat Muna masih menggunakan ekspresi bahasa Muna yan


khas terkait dengan kegiatan yang berhubungan dengan masalah
pertanian. Ekspresi bahasa dalam sistem pertanian dimulai pada
saat pembukaan lahan bari hingga pascapanen.
2) Para petani etnik Muna tetap mempertahankan kearifan lokal
ekspresi bahasa (lokal) yang mewadahi sistem pertanian mereka.
Istilah-istilah tradisional bahasa Muna tetap digunakan dan
diwariskan dalam generasi ke generasi melalui pewarisan budaya
dan bahasa (lokal).

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, H.S. 2005. “Kearifan Tradisional dan Lingkungan Fisik”.


Makalah workshop inventarisasi aspek-aspek tradisi. Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata: Bidang Pelestarian dan Pengem-
bangan Kebudayaan.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”


dalam Jurnal Widya Parwa, No, 49 Oktober 1997. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2014. Keragaman Budaya dalam Rangka


Keragaman Bahasa: Ancaman dan Tantangan. Makalah Prosiding
Seminar Tahunan Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia
(Setali), Agustus 2014.

Ardika, I Wayan, 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik


Identitas dalam Refleksi Hubungan Antaretnis antara Kearifan
Lokal dengan Warga Cina di Bali”. Dalam: Jurnal Lembaga
Kebudayaan UMM, Edisi Maret 2007, Tahun 2007b.

Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Jakarta:


Pustaka Jaya
28

Foley, W.A. 2001. Anthropologocal Linguistics. Oxford: Blackwell.

Koentjaraningrat. 1982. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian


Rakyat.

Manhitu, Yohanes, 2007. “Kearifan Lokal: Mutiara yang Ditemukan


Kembali” dalam http://ymanhitu.blogspot.com/html/2007/07/.
Diakses: April 2020.

Martyn Bramwell, Corinne Stockley, 2004. World Farming. Pertanian dunia,


Usborne Publishing, Pakar Raya IKAPI, No.052. Bandung.

Mbete, Aron Meko, 2006b. Khazanah Budaya Lio-Ende. Yogyakarta: Pustaka


Larasan.

Robins, R.H. 1981. “Linguistics and Anthropologi”, General Linguistics: An


Introducttory Survey. London dan New York: Longman.

Spraedly, James P. 1997. Metode Etnografi (Terjemahan Misbah Zulfa


Elizabeth) Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sumintarsih, 2005. Kearifan tradisional masyarakat pedesaan dalam


memelihara lingkungan alam kabupaten Gunung Kidul propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata: Direktorasi Tradisi.

Wijaya, Putu, 2008. “Revitalisasi Kearifan dan Kebijakan Lokal” dalam


http://putuwijaya.wordpress.com/html/2008/03. diakses April
2020.
29

IDENTIFIKASI BENTUK KEARIFAN LOKAL MEMANEN


HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MASYARAKAT
DI SEKITAR HUTAN: STUDI KASUS HUTAN ADAT
KAINDEA DESA KOMALA, KECAMATAN WANGIWANGI,
KABUPATEN WAKATOBI,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Mazhfia Umar dan Syafriadin

PENDAHULUAN

Hutan rakyat dikelola oleh masyarakat sekitar hutan yang


umumnya memiliki kearifan lokal yang terpelihara secara turun-temurun.
Kearifan lokal mengutamakan kelestarian hutan dan pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan. Hutan rakyat di Indonesia termuat dalam
Keputusan Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 bahwa hutan rakyat
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak
lainnya, dengan luas minimum 0,25 ha serta penutupan tajuk tanaman
kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon minimum 500 batang/ha.

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi hutan rakyat yang cukup


luas di Provinsi Sulawesi Tenggara. Masyarakat sekitar hutan masih
berpegang pada kearifan lokal dalam mengelola hasil hutan termasuk hasil
hutan bukan kayu. Kearifan lokal dalam pertanian mampu menyeim-
bangkan kelestarian hutan dan manfaat ekonomi bagi petani (Kelleher
dalam Levis et al. 2017). Dengan demikian perlu diketahui bentuk kearifan
30

lokal pada masyarakat hutan adat di Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini


bertujuan mengetahui bentuk kearifan lokal memanen hasil hutan bukan
kayu di hutan adat Kaindea Desa Komala, Kecamatan Wangiwangi,
Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki


oleh masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan yang
berkenaan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam yang
lestari. Pengetahuan yang dimaksud merupakan citra lingkungan yang
tradisional yang didasarkan pada sistem religi dan memandang manusia
sebagai bagian dari alam lingkungan di mana roh-roh bertugas menjaga
keseimbangannya (Sardjono, 2004). Kearifan lokal merupakan suatu
bentuk pengetahuan turun-temurun yang tetap dipelihara oleh masyarakat
lokal dalam melakukan aktivitas pertanian dan ketahanan pangan. Kearifan
lokal dalam pertanian bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan
ekosistem yaitu keseimbangan kebutuhan manusia dengan kondisi lahan,
topografi, penyakit tanaman, dan ekonomi (Kelleher dalam Levis et al.
2017). Oleh karena itu, masyarakat lokal seringkali selektif terhadap
adopsi teknologi yang memiliki potensi untuk merusak sumber daya.

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang


ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah
(Suhartini, 2009). Bentuk-bentuk kearifan lokal adalah: (a) norma adalah
suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat dalam suatu masyarakat;
(b) nilai adalah suatu tindakan yang dianggap baik oleh masyarakat; (c)
kepercayaan adalah sesuatu yang kebenarannya diyakini; (d) sanksi adalah
sebuah tindakan yang diberikan untuk seseorang apabila melanggar suatu
peraturan, dan (e) aturan-aturan khusus adalah aturan-aturan yang
sengaja dibuat (Oktaviani, 2010).
31

2. Hasil Hutan Nonkayu

Hasil hutan nonkayu adalah produk biologi asli bukan kayu yang
diperoleh dari hutan, lahan perkayuan, atau lahan-lahan di sekitar hutan
(www.fao). Jenis hasil hutan bukan kayu 85 % atau lebih digunakan dalam
bentuk bahan pangan, kayu bakar, alat rumah tangga seperti sapu, dan
sikat. Lebih dari setengahnya juga memanfaatkan, kayu untuk bahan
bangunan, bahan pangan, madu, dan bambu untuk diayam. HHBK
digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangganya. Keuntungan pemanfaatan HHBK belum mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, karena: (a)
masyarakat sekitar hutan belum mampu mengelola pendapatan rumah
tangga dari HHBK dengan baik; (b) pemasaran HHBK sebagian besar
terbatas pada pasar lokal, atau desa tetangga atau kunjungan turis; (c)
masyarakat sekitar hutan mengolah HHBK secara tradisional dan harga
jual yang masih rendah (Shackleton dan Shackleton, 2004).

3. Hutan Adat Kaindea Desa Komala

Terbentuknya Hutan Adat Kaindea berawal dari pemanfaatan lahan


berupa tegal atau kebun dalam suatu hamparan wilayah oleh serumpun
keluarga (marga) atau Adat. Tanaman utama kebun (koranga) adalah ubi
kayu (kau thawa) yang dipadukan dengan tanaman tahunan yang berfungsi
sebagai tanaman pagar seperti pohon kenari (kanari), pohon kelapa
(kaluku), dan pohon berkayu lainnya.

Setelah tanaman kayu tersebut mulai berkembang maka lahan


tersebut mulai ditinggalkan dan mencari lahan baru yang dianggap
produktif. Lahan yang telah ditinggalkan berisi tanaman berkayu
(hotokau). Tanaman berkayu tersebut masih dalam pengawasan oleh
pengelola terdahulu sehingga orang lain mengetahui bahwa lahan tersebut
dengan tanaman berkayu sebagai bukti bahwa lahan tersebut masih berada
dalam pengawasan pihak tertentu. Pada saat lahan tersebut telah dominan
tanaman berkayu (hotokau) maka hutan tersebut yang dinamakan dengan
kaindea. Hingga kini Hutan Kaindea beserta norma dan nilai kearifan
lokalnya yang masih dipertahankan terjaga dan melalui UU No. 41 Tahun
1999 dan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak.
32

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan


studi kasus. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan diskusi
mendalam tentang jenis hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan dan
bentuk kearifan lokal masyarakat sekitar Hutan Adat Kaindea di Desa
Komala, Kecamatan Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi. Informan sebanyak
7 orang yang ditentukan secara snowball.

Tabel 1. Matriks Variabel Penelitian


No Tujuan penelitian Variabel X Variabel Y
1 Mengenal jenis HHBK Jenis HHBK yang bambu, kenari, buah raka dan
yang dimanfaatkan dimanfaatkan komonu, serta aren/enau
2 Mengenal bentuk kearifan Bentuk kearifan lokal norma, nilai, dan sanksi
lokal

Data dikumpul dengan cara identifikasi, tabulasi data, dan


diinterpretasikan data. Kodefikasi dilakukan dengan tabulasi data dan
diinterpretasikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jenis Hasil Hutan Nonkayu yang Dimanfaatkan

Jenis hasil hutan nonkayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat


sekitar hutan adat Kaindea di Desa Komala, Kecamatan Wangiwangi,
Kabupaten Wakatobi adalah bambu (bambosaea), enau/aren (arenga
piñnata), kenari (juglans regia). Bambu dimanfaatkan untuk kebutuhan
sosial masyarakat seperti bahan pembuat rumah atau bahan untuk upacara
adat seperti acara kabuenga atau perbaikan tempat berkumpulnya
masyarakat atau adat (bantea). Bambu tidak diperbolehkan dijual. Buah
kenari digunakan bagian biji sebagai makanan kacang kenari atau bahan
obat. Buah buahan raka dan komonu diperbolehkan dipanen untuk
dikonsumsi atau dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
masyarakat sekitar hutan. Pohon aren/enau dimanfaatkan dalam bentuk
minuman tradisional (konau). Pengolahan aren/enau menjadi minuman
tradisional pada awalnya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga anggota masyarakat yang ditugasi menjaga keamanan hutan.
Sampai saat ini, aren/enau hanya diolah menjadi minuman tradisional.
33

Jenis bahan hasil olahan aren/enau lainnya yang memiliki manfaat


ekonomi lebih tinggi perlu diperkenalkan kepada masyarakat sekitar
seperti pembuatan gula merah atau gula aren.

Tabel 2. Jenis Hasil Hutan Nonkayu yang Dimanfaatkan Masyarakat Sekitar


Hutan Adat Kaindea di Desa Komala Kecamatan Wangiwangi
Kabupaten Wakatobi

No Jenis Tanaman Manfaat


1. Bambu (bambusae) Bahan rumah
Bahan upacara adat
2. Kenari Bahan pangan
Obat-obatan
3. Buah raka komonu bahan makanan
4. Aren/nira (arenga pinnata) Minuman tradisional

2. Bentuk Kearifan Lokal

Bentuk kearifan lokal yang diobservasi meliputi norma, nilai, dan


saksi yang diterapkan oleh masyarakat adat. Norma-norma yang berlaku di
sekitar hutan adat adalah tidak melukai pohon. Luka pada pohon
menyebabkan tanaman sakit sehingga menurunkan ketersediaan pohon di
hutan. Beberapa teknik memanen yang dilakukan untuk menghindari luka
pada pohon adalah menggunakan tangga untuk memanen air enau/aren
dan memungut buah jatuh. Pada tanaman bambu, dipanen jika tanaman
berumur tua.

Tabel 3. Bentuk Kearifan Lokal dalam Memanen Hasil Hutan Nonkayu di


Hutan Adat Kaindea Desa

No Norma Nilai Sanksi


1. Memungut buah kenari Gotong-royong (pora’baa) Dikucilkan
jatuh tanpa menebang atau dan kelestarian pohon
melukai pohon
2. Memetik buah raka dan Gotong-royong (pora’baa) Dikucilkan
komonu dan kelestarian pohon
3. Tebang pilih pohon bambu Gotong-royong (pora’baa) Dikucilkan
dan kelestarian pohon
4. Tidak melukai batang Kelestarian pohon Dikucilkan
pohon enau/aren
34

Pohon kenari dipanen dengan cara memungut biji kenari, dan tidak
diperbolehkan menebang atau melukai pohon kenari. Biji kenari yang
berjatuhan merupakan biji yang telah matang secara alami dan sisa makan
satwa hutan seperti burung pemakan biji. Pohon adalah mahluk hidup
sama halnya manusia. Apabila pohon terluka akibat terkena parang atau
benda lainnya, akan mempengaruhi pertumbuhan pohon, mutu buah atau
biji. Dengan demikian, pohon kenari akan tetap lestari kerana pohon kenari
dianggap salah satu bagian dari masyarakat itu sendiri.

Pohon enau/aren dipanen dengan cara memanjat pohon dari


bagian pucuk pohon menggunakan alat bantu soha (tangga bambu).
Penggunaan alat bantu tangga untuk menghindari luka batang pohon saat
proses panen. Batang pohon enau/aren yang terjaga agar batang pohon
tetap sehat dan bertahan lama.

Pohon bambu (wemba) dipanen secara selektif dan terbatas pada


kebutuhan rumah tangga atau acara-acara adat. Pemanfaatan yang
dilakukan untuk tanaman bambu (wemba). Sebelum menebang pohon
bambu, penjaga hutan terlebih dahulu menentukan lokasi yang dapat
dipanen, dan mementukan jumlah pohon bambu yang akaan dipanen
(ditebang). Kriteria pohon bambu yang dapat dipanen adalah pohon bambu
telah memasuki usia tua yang ditandai dengan batang pohon bambu
berwarna kuning atau daun sebagian besar berwarna cokelat. Bambu yang
telah ditebang dibersihkan di sekitarnya dari sisa-sisa tebangan, agar
anakan bambu yang ada dapat tumbuh dengan baik. Dengan demikian,
kelestarian bambu tetap terjaga.

Nilai-nilai yang diyakini memiliki manfaat bagi masyarakat dalam


proses panen adalah nilai-nilai kegotongroyongan dan kelestarian pohon.
Nilai kegotongroyongan tumbuh karena dalam melakukan proses panen
dilakukan secara bersama-sama pada suatu lahan kemudian secara
bersama-sama pindah ke lokasi berikutnya, demikian seterusnya sampai
proses panen selesai. Gotong-royong dapat menekan tenaga kerja panen.
Nilai kelestarian pohon menjadi tujuan utama pengelolaan hutan adat,
karena masyarakat adat meyakini kehidupannya sangat bergantung pada
keberadaan hutan. Hutan memiliki fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi bagi
masyarakat. .
35

Sanksi-sanksi yang diterapkan oleh masyarakat adat adalah sanksi


sosial. Pelanggar norma-norma yang telah disepakati tidak dilibatkan
dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Sanksi sosial anatara lain setiap
acara keluarga tidak dihadiri oleh masyarakat adat termasuk tidak diurus
oleh adat apabila yang bersangkutan meninggal.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat


disimpulkan sebagai berikut.

1. Jenis hasil hutan nonkayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat


sekitar hutan Adat Kaindea adalah bambu, kenari, dan enau/aren.
2. Bentuk kearifan lokal masyarakat adalah norma-norma memanen
bambu berumur tua, memungut kenari, dan enau/aren tidak
melukai batang pohon. Nilai-nilai yang diterapkan adalah
kegotongroyongan dan kelestarian pohon-pohon. Sanksi bagi
individu yang melanggar adalah dikucilkan dari kehidupan sosial
masyarakat adat.

DAFTAR PUSTAKA

Beer, J.H. dan McDermott, M.J. 1989. The Economic Value of Non-Timber
Forest Product In Southeast Asia with Emphasis on Indonesia,
Malaysia and Thailand. Pp.175pp

Kusters K., Achdiawan R., Belcher B. Dan Perez M.R. 2006. Balancing
Development and Conservation? Am Assessment of Ecology and
Society 11(2): 20.

Levis, L.R., Sukesi, K. Sugiyanto dan Yuliati Y. 2017. Farmer Behaviour


Regarding Food Security by Practicing The ‘Salome’ Farming
System as Local Wisdom in West Timor, East Nusa Tenggara
Province, Indonesia. Tropical and Subtropical Agroecosystems, 20
(2017): 231 - 236
36

Oktaviani T. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


Dikampung Kuta. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, Dan
Ekologi Manusia. Hlm, 345-355. Bogor.

Sardjono, M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal,


Politikus dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta.

Shackleton C. Dan Shackleton S. 2004. The Importance of Non-Timber


Forest Product in Rural Livehood Security and as Safety Nets: a
Review of Evidence From South Africa. South African Journal of
Science 100(11-12). 685-664.

Soemarno. 2010. Model Perencanaan Kawasan Agroforestry Bambu. Bahan


kajian MK. Perencanaan Lingkungan dan Wilayah P.. PSLLP-PPSJB.
http.//bamboeindonesia. wordpress.com. Akses 26 November
2018.

Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan


Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta.

Surtinah. 2008. Waktu Panen yang Tepat Menentukan Kandungan Gula Biji
Jaagung (Zea mays). Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol 4 . No : 2 : 1-7.
37

PENYADAPAN DAN PRODUKSI KAMEKO PADA


TANAMAN ENAU (Arenga Pinnata) DITINJAU
DARI ASPEK SOSIAL BUDAYA

Ervina, La Panga Mpalasi, dan Hardin

PENDAHULUAN

Hutan teramat penting untuk kehidupan di muka bumi ini,


utamanya untuk kehidupan generasi yang akan datang. Apabila salah
dalam mengolah hutan itu artinya menyiksa kehidupan generasi kita yang
akan datang. Hutan merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat
banyak sumber daya alam berupa kayu, dan juga terdapat banyak sumber
daya alam bukan kayu yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat
dengan melakukan budidaya berbagai tanaman pertanian pada wilayah
hutan. Hutan juga merupakan fungsi ekosistem yang sangat berperan
penting dalam banyak hal misalnya menyediakan sumber air, sebagai
wilayah hidup flora dan fauna yang jumlahnya berjuta-juta, dapat
menghasilkan oksigen, dan berperan sebagai penyeimbang lingkungan,
serta dapat menghambat dan mencegah pemanasan global. Fungsi hutan
yang paling penting adalah dapat menyediakan air untuk kehidupan karena
hutan sebagai tempat atau wilayah tumbuhnya beragam jenis tanaman.

Hutan adalah sumber daya alam nasional yang mempunyai arti dan
berperan penting diberbagai segi kehidupan sosial, pembangunan dan
lingkungan hidup. Hutan juga memiliki beragam manfaat untuk kehidupan
dimuka bumi ini, yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung
38

maupun secara tidak langsung. Manfaat hutan dapat diperoleh jika hutan
dapat terjamin keeksistensiannya agar dapat bermanfaat secara optimal
bagi seluruh masyarakat (Fitriah, 2005).

Hutan juga dapat memberi manfaat melalui hasil hutan yang


berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Yang termasuk dalam
hasil hutan bukan kayu adalah hasil hutan hayati baik berupa nabati
maupun hewani serta produk-produk turunannya dan budidaya terkecuali
yang berupa kayu yang berasal dari hutan (Permenhut No. 35 Tahun 2007).

Salah satu tanaman yang merupakan hasil hutan bukan kayu adalah
tanaman enau/aren (Arenga pinnata Merr). Enau adalah sebagai tumbuhan
yang memiliki beragam manfaat yang dapat menghasilkan beragam bahan
industri dan hampir seluruh bagian fisik serta produk dari tumbuhan enau
ini dapat diambil manfaatnya dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Tetapi tumbuhan enau ini tidak mendapatkan perhatian lebih agar dapat
dikembangkan secara optimal, pada akhirnya tanaman enau yang dapat
dimanfaatkan umumnya masih termasuk jenis tanaman yang tumbuh liar
dan hanya berkembang secara alamiah.

Sulawesi Tenggara menjadi salah satu daerah yang mempunyai


banyak tumbuhan aren/enau (Arenga pinnata Merr), khususnya di
Kabupaten Muna dan dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakatnya.
Biasanya hasil produksi dari pohon aren (Arenga pinnata Merr) yang
dihasilkan oleh masyarakat Kabupaten Muna yaitu air nira yang kemudian
diolah untuk menghasilkan produk berupa gula aren dan alkohol. Selain
itu, nira (kameko) ini di manfaatkan oleh masyarakat dalam kegiatan-
kegiatan sosial. Misalnya, pada saat kegiatan pernikahan (kagaa), aqiqah
(kampua), pengislaman (katoba), gotong-royong saat mebangun rumah
(defoereno lambu), membuka kebun baru (kalengkano galu) dan
sebagainya. Di mana dalam kegiatan sosial yang dimaksud di atas,
masyarakat Muna selalu menyertakan kameko untuk diminum bagi
masyarakat yang hadir dan itu sudah menjadi kebiasaan yang diterapkan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi sejak zaman dulu. Dari
beberapa uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai penyadapan dan produksi kameko pada tanaman enau (Arenga
pinnata Merr) ditinjau dari perspektif sosial budaya di Desa Kontunaga,
Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna.
39

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan


masalah didalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana proses penyadapan
dan produksi kameko pada tanaman enau (Arenga pinnata Merr) di Desa
Kontunaga, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna? (2) Bagaimana
perspektif masyarakat Desa Kontunaga terhadap kameko ditinjau dari segi
sosial budaya? Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk
mengetahui proses penyadapan dan produksi kameko pada tanaman enau
(Arenga pinnata Merr) di Desa Kontunaga, Kecamatan Kontunaga,
Kabupaten Muna; (2) untuk mengetahui perspektif masyarakat Desa
Kontunaga terhadap kameko ditinjau dari segi sosial budaya.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Februari sampai Mei di


Desa Kontunaga, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna. Jenis penelitian
tahun 2020 ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat
diartikan sebagai penelitian alamiah sebagai metode dalam penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata baik yang tertulis maupun
lisan dari orang-orang dan juga perilaku yang dapat diamati. Pada
pendekatan ini ditujukan pada latarbelakang dan individu tersebut secara
menyeluruh, lengkap serta tidak bisa dipisah-pisahkan (Bungin, 2009).
Penggunaan pendekatan kualitatif karena untuk mendeskripsikan proses
penyadapan dan produksi kameko ditinjau dari perspektif sosial budaya.
Data kualitatif yang dikumpulkan adalah meliputi pengguna (civity), dan
pemanfaatannya (activity). Data pengguna yang dikumpulkan adalah
jumlah penyadap aren (kameko) dan penjual kameko di Desa Kontunaga,
Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna.
Data dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis yakni sumber
data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang
didapatkan dari sumber utama yang didapatkan dari para informan yang
diperoleh melalui pengamatan langsung dilokasi penelitian. Sedangkan
sumber data sekunder adalah data yang didapatkan dari berbagai referensi
baik berupa buku, jurna, hasil penelitian maupun dokumen resmi dari
pemerintah setempat sebagai pendukung reverensi dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan


dengan cara: (1) observasi yaitu mengumpulkan data-data dengan cara
40

melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian mengenai objek yang


diteliti. (2) wawancara yaitu pengumpulan data melalui sesi tanya-jawab
antara peneliti dengan informan; (3) Dokumentasi yakni melakukan
pendokumentasian dari seluruh proses penyadapan dan produksi kameko
serta serta mendukentasikan kegiatan petani tanaman enau (Arenga
pinnata Merr) sebagai pendukung kelengkapan data peneliti.

Penelitian ini menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif.


Data yang diperoleh dari hasil observasi dikumpulkan kemudian
dikelompokkan selanjutnya diidentifikasi yang pada akhirnya disimpulkan
yakni berupa potensi dan masalah. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara mendalam kepada informan dinarasikan dan diedit agar
menghasilkan kalimat-kalimat yang tertata dengan baik dan benar.
Narasifikasi dari hasil wawancara tersebut kemudian dianalisis
berdasarkan konsep teori yang ada sehingga dapat diperoleh suatu
kesimpulan.

PEMBAHASAN

1. Proses Penyadapan dan produksi Kameko di Kabupaten Muna

Langkah awal yang dilakukan oleh penyadap aren adalah pemilihan


pohon aren yang sekiranya sudah waktunya untuk di sadap. Pohon aren
yang yang mulai produktif/bisa disadap biasanya ditandai dengan
keluarnya bunga jantan (jenah). Setelah dipastikan bunga jantan (jenah)
yang keluar, penyadap mulai melakukan persiapan seperti tangga, parang,
kapak, alat pemukul (peninggur) dan peralatan penyadapan lainnya.

Sebelum melakukan proses atau tahapan penyadapan nira terlebih


dahulu disholawatkan dengan posisi menghadap enau yang hendak
disadap. Berikut sholawat yang dibacakan menurut informan (La Ngkuni
85 Tahun) yaitu:

“Allahuma sholli’alaa sayyidina muhammad wa alaa ali sayyidina


muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (wawancara, 30 April
2020)
41

Tujuan dari salawat adalah meminta kepada yang Maha Kuasa agar
dilimpahkan berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. dan
dilimpahkan pula kepada keluarga dan para sahabatnya, dan semoga
keselamatan tercurah kepada kita semua. Para penyadap memohon agar
mendapatkan keberkahan yang melimpah dan dijauhkan dari marabahaya
ketika hendak melakukan aktivitas menyadap. Doa menjadi lebih mudah
terkabul apabila selalu diiringi dengan salawat.

Setelah itu dimulailah proses penyadapan. Adapun proses


penyadapan adalah sebagai berikut.

1) Defongkora Kamponisa (memasang tangga)

Menurut salah satu informan (La Ngkuni 85 tahun, wawancara 30


April 2020) ketika akan memasang tangga maka penyadap terlebih dahulu
membacakan mantra berikut.

“Amongkora kamponisaku nekowala sokakebhahaku ini, amintara ne


anabi lahataala natumuntu nalumagi sooeno kowalaku ini soapo-
kamokulagho, soakomosirahagho, soakonepoisahagho, soako-
nepoaihagho, soakobhasitiegho maghuleo rangkowine, bisimillah.”

Artinya:

“Saya dudukan/letakkan tangga dipohon aren yang akan saya


sadap ini, saya berpegang kepada Nabi Allah semoga mendapatkan
nira yang banyak, untuk para orang tuaku, untuk kerabatku, untuk
kakak-kakakku, juga adik-adikku dan untuk keluargaku sepanjang
hari, bismillah.”

Makna dari mantra/doa yang diucapkan di atas adalah memohon


kepada yang Maha Kuasa agar selalu ada dalam lindungan-Nya ketika
melakukan kegiatan penyadapan enau dan agar dapat terhindar dari hal-
hal buruk yang tidak diinginkan yang mungkin akan terjadi ketika mereka
sedang menyadap dan berharap agar enau yang hendak disadap akan tetap
produktif dalam waktu yang lama. Mantra merupakan pelaksanaan pikiran
yang menafsirkan keilahian atau kekuatan kosmik, yang menggunakan
pengaruh mereka dengan getaran suara (Khanna, 2003).
42

Adapun gambar defongkora kamponisa (memasang tangga) dapat


dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Defongkora kamponisa (memasang tangga)


(Dokumen Peneliti, 2 April 2020)

Tangga yang biasa digunakan untuk memanjat pohon enau pada saat
menyadap biasanya dari bambu atau kayu yang dianggap kuat dan dibuat
tapak kerja yang aman dan nyaman. Tangga untuk memanjat pohon enau
diletakan sejajar dengan pohon enau, kemudian diikat dengan kuat pada
batang enau agar penyadap tidak terjatuh pada saat naik diatas pohon enau
untuk membersihkan ijuk dan melakukan tahapan penyadapan selanjut-
nya.

Selain memudahkan penyadap untuk memanjat pohon enau, tangga


juga digunakan agar penyadap tidak melukai batang-batang enau karena
biasanya para petani mempunyai cara sendiri membuat tangga untuk
memanjat batang pohon seperti pada kelapa yaitu dengan cara memotong
beberapa bagian batang pohon yang kemudian dijadikan sebagai pijakan
saat memanjat. Hal ini dihindari agar pohon enau tetap sehat dan lestari.
43

2) Detota Lampuga (membuka/membersihkan ijuk)

Setelah memasang tangga, penyadap kemudian membersihkan ijuk


enau yang tumbuh berlapis-lapis dibagian atas batang enau dengan
menggunakan parang tajam atau kapak. Ketika akan membersihkan ijuk
dibacakan doa/mantra berikut berdasarkan hasil wawancara bersama
informan (La Ngkuni 85 Tahun, 30 April 2020).

“Assalamu’alaikum anabi mpuga-mpuga atumotamo lampugamu,


amogampi korokamu konopeta inodia nasumuli newutono kowala,
bisimilah”.

Tujuan dari doa yang dituturkan diatas adalah meminta izin kepada
penunggu (jin) yang menjaga pohon enau agar tidak marah atau merasa
terganggu ketika ijuknya dipotong oleh penyadap. Penyadap meyakini
bahwa disetiap pohon itu pasti ada penjaganya, itulah mereka mengapa
selalu membacakan mantra disetiap tahapan dalam menyadap ini karena
mereka tidak mengetahui dimana letak penunggu (jin) pada pohon enau
tersebut karena tidak bisa dilihat dengan kasatmata. Hal ini dilakukan agar
terhindar dari gangguan makhluk halus (jin) yang menghuni pohon enau
tersebut.

Gambar 2. Detota lampuga (membuka/membersihkan ijuk)


(Dokumen Peneliti, 2 April 2020)
44

Tujuan dari detota lampuga ini adalah untuk membersihkan ijuk


(lampuga) dari batang pokok enau/aren untuk memudahkan membuka
pelepah daun dan membersihkan tandan enau yang hendak disadap.

3) Depolopa Tongkuno (melepas pelepah pohon enau/aren)

Setelah membersihkan ijuk dari enau, penyadap kemudian membuka


pelepah enau. Pelepah enau terdiri dari batang dan daun yang terbentuk
dari lidi dan helaian daun. Tujuan dari proses depolopa tongkuno
(melepas/membuka pelepah pohon enau/aren) agar tidak menghalangi
atau mengganggu penyadap ketika melakukan penyadapan nira aren.
Pelepah daun yang dibersihkan/dilepas adalah pelepah aren yang tumbuh
dan menghalangi pada tandan bunga jantan yang hendak disadap.
Depolopa tongkuno dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Depolopa tongkuno (melepas pelepah pohon aren)


(Dokumen Peneliti, 2 April 2020)

Manfaat lain depolopa tongku pada pohon enau adalah agar pohon
enau dapat terkena sinar matahari langsung. Fungsi energi matahari untuk
tumbuhan adalah untuk membantu dalam proses fotosintesis. Hal ini
sangat berguna untuk kelangsungan hidup enau nanti. Sinar matahari juga
sangat berguna untuk membantu pada pembentukan glukosa terhadap
tumbuh-tumbuhan. Jika tahapan fotosintesis telah selesai maka senyawa
yang telah terbentuk dari glukosa yang telah menjadi lemak dan protein
dialirkan kesemua bagian dari tumbuhan tersebut untuk berkembang biak,
bernapas, dan sebagai cadangan makanan yang selalu disimpan pada umbi,
45

akar, biji, dan buah. Sinar matahari juga memiliki peranan guna menjaga
suhu yang dibutuhkan untuk memindahkan air supaya tetap seimbang dan
stabil (Nafisah, 2020).

4) Dekantai Tobho (menggantung tandan bunga enau)

Sebelum penyadap akan melakukan proses dekantai tobho maka


terlebih dahulu dibacakan mantra agar penyadap terhindar dari bahaya.
Adapun mantra yang dibacakan menurut informan (La Ngkuni 85
Tahun, wawancara 30 April 2020) yaitu :

“Miina akumantaiko inodia, nokantaiko nabino kowala”.

Artinya:

“Bukan saya yang menggantungmu, yang menggantungmu adalah


penjagamu”.

Adapun tujuan dibacakannya mantra di atas oleh penyadap adalah


agar penunggu pohon enau tidak menganggap manusia sedang berbuat
buruk kepada mereka (jin), karena menurut orang tua kita pada zaman
dulu makhluk halus selalu merasa terganggu/terusik dengan kehadiran
manusia di sekitar mereka. Mereka akan sangat marah jika manusia
merusak tempat tinggalnya. Inilah yang selalu menjadi kekhawatiran para
penyadap karena ketika penjaga dari pohon enau merasa terganggu maka
bisa berakibat fatal bagi mereka, misalnya saja bisa terjatuh dari pohon
enau yang diakibatkan oleh makhluk yang tidak bisa terlihat dengan nyata.
Itulah sebabnya juga ketika ada orang yang berkunjung kelokasi/kebun
enau penyadap kadang melarang/mengingatkan pengunjung agar tidak
mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat penjaga enau marah.

Proses dekantai tobho adalah menggantung tandan bunga enau yang


akan disadap, tujuannya adalah agar bunganya tidak terlipat dan
mempermudah pada proses penyadapan atau proses selanjutnya. Agar
lebih jelas, proses dekantai tobho dapat dilihat pada gambar berikut.
46

Gambar 4. Dekantai tobho (menggantung tandan bunga enau/aren)


(Dokumen Peneliti, 2 April 2020)

Cara menggantung tandan bunga enau ini adalah mengikat pangkal


bunga dengan menggunakan tali atau rotan dan diikat pada batang pohon
enau. Dekantai tobho ini dilakukan selama beberapa hari sampai tiba saat
dimana bunga jantan sudah dapat disadap.

5) Dekulusi Tobho (membuka kulit tandan bunga)

Ketika akan membuka kulit tandan bunga, menurut informan (La


Ngkuni 85 Tahun, wawancara 30 April 2020) penyadap akan membacakan
mantra berikut :

“Assalamu’alaikum nabi tobho isilamu bisimilah”.

Artinya:

“Assalamu’alaikum penjaga bunga enau bismillah”.

Ungkapan doa diatas memiliki makna bahwa penyadap meminta


izin/permisi kepada penjaga tobho (bunga enau) ketika akan membuka
kulit tandan bunga enau, tujuannya agar penjaga tobho tidak terganggu.

Tujuan dekulusi tobho adalah untuk memudahkan pada saat penyadap


akan memukul/meninggur tandan enau, dan juga untuk mencegah
47

kerusakan tandan akibat peningguran. Adapun proses dekulusi tobho bisa


dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5. Dekulusi tobho (membuka kulit tandan bunga)


(Dokumen Peneliti, 2 April 2020)

Setelah penyadap melakukan tahapan dekulusi tobho (membuka kulit


tandan bunga) biasanya didiamkan dulu selama 3 hari sebelum melangkah
ke tahapan berikutnya. Tujuannya adalah agar tandan yang telah dibuka
kulitnya menjadi kering dan tidak rusak ketika akan ditinggur/dipukul-
pukul.

6) Dewangku (dipukul-pukul/peningguran)

Menurut informan (La Ngkuni 85 Tahun) pada saat penyadap akan


memulai proses peningguran (dewangku), penyadap akan membacakan
mantra berikut :

“Assalamu’alaikum, mina awangkuko idia nowangkuko nabi tobho


isilamu bisimilah”.

Artinya:

“Assalamu’alaikum, bukan saya yang memukulmu yang memukulmu


adalah yang menjaga bunga enau bismillah”.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa penyadap melakukan


komunikasi kepada yang menjaga enau tujuannya adalah sama seperti
dengan mantra/doa yang dituturkan sebelumnya yaitu agar jin penjaga
48

enau tidak menganggap manusia sedang mengganggu/merusak tempat


tinggal mereka.

Pada proses ini penyadap biasanya memukul/meninggur tandan enau


sampai harum bunganya, dipukul dari bawah keatas, setiap akan dipukul
atau ditinggur, tandannya di usap lalu di ayun-ayunkan kemudian dipukul-
pukul. Proses ini dilakukan 3 hari sekali, sebanyak 5 kali selama 15 hari.
Selanjutnya tandan yang telah dipukul-pukul/ditinggur sudah boleh
ditoreh. Apabila pada torehan itu terdapat cairan nira enau itu artinya enau
tersebut siap untuk disadap, tetapi apabila tandan yang ditoreh belum
mengeluarkan cairan nira maka proses pemukulan/peningguran dan
pengayunan masih harus dilanjutkan lagi.

Adapun proses dewangku yang disertai dengan pengayunan tandan


bunga enau dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 6. Dewangku (dipukul-pukul/peningguran)


dan pengayunan tandan bunga enau
(Dokumen Peneliti, 5 April 2020)

Menurut Kartono, dkk (2014) pada fase dipukul-pukul atau


ditinggur adalah proses pemukulan yang disertai dengan pengayunan
manggar/tangkai bunga jantan, bertujuan untuk membuka aliran air nira
untuk mendapatkan kadar air nira yang tinggi dan berkualitas serta umur
produksi lebih lama.
49

7) Detinda Tobho (memotong tajuk/tandan)

Setelah dilakukan peningguran 3 hari sekali selama kurang lebih 15


hari, maka penyadap selanjutnya akan melakukan tahapan detinda tobho
(memotong tajuk). Tajuk/tandan dipotong pada bagian atasnya yang
bertujuan sebagai tempat keluarnya air nira. Berdasarkan hasil wawancara
terhadap informan (La Ngkuni 85 Tahun) ketika penyadap akan memotong
tajuk terlebih dahulu membacakan mantra berikut :

“Korokokokoko korokokokoko korokokokoko”sambil memukul-mukul


dengan pelan tandan enau dengan menggunakan punggung pisau sadap,
kemudian dilanjutkan dengan mantra berikut :

“Turungkato mempidi kampenalo mensabho oeno awula moni oeno


motonuno oeno gunu rumbia oeno gunu wasabha mpolulu noghonu
netobhoku ini aesalo namisiku nakoefu nakoanto ismina bisimilah”.
(wawancara, 30 April 2020)

Tujuan dari mantra tersebut adalah meminta kepada yang Maha


Kuasa agar enau yang akan disadap menghasilkan nira yang banyak ibarat
air yang mengalir dipancuran dan mengalir seperti air dipegunungan serta
meminta agar nira yang dihasilkan memiliki rasa yang enak. Mantra ini
terus dibacakan sampai pada proses penyadapan. Adapun proses detinda
tobho dapat lihat pada gambar berikut.

Gambar 7. Detinda tobho (memotong tajuk/tandan)


(Dokumen Peneliti, 16 April 2020)
50

Pada saat proses detinda tobho penyadap biasanya menggunakan


salah satu daun muda seperti daun licin/gedi (Abelmoschus manihot) dan
diletakkan pada bagian tempat keluarnya air nira lalu kemudian diikat.
Tujuannya adalah agar bekas torehan pada tandan enau tetap sejuk.
Setelah tahapan detinda tobho ini selesai biasanya enau yang akan disadap
didiamkan dulu selama dua hari lalu kemudian melangkah ketahapan
selanjutnya.

8) Detimbangi (menyeimbangkan tajuk/tandan)

Pada proses ini penyadap juga membacakan mantra, mantra/doa


yang dibacakan sama dengan mantra pada saat tahapan detinda tobho
(memotong tajuk/tandan). Detimbangi artinya tandan bunga enau yang
sudah dipotong sebelumnya ditoreh kembali di tempat yang sama yaitu
pada tajuk/tandan atas kemudian memotong/menoreh tandan bagian
bawahnya sambil mengecek airnya. Adapun gambar detimbangi dapat
terlihat pada gambar berikut.

Gambar 8. Detimbangi (menyeimbangkan tajuk/tandan)


(Dokumen Peneliti, 18 April 2020)

Tujuan dari proses detimbangi ini adalah menyeimbangkan fisik dari


tandan enau yang disadap untuk mencegah nira mengalir ke bunga
sehingga air nira hanya akan mengalir dari tandan enau.
51

9) Degharofi (mengecek air nira)

Setelah tahapan detimbangi penyadap akan melakukan tahapan


degharofi. Pada tahapan ini juga penyadap membacakan mantra yang sama
seperti pada saat tahapan detinda tobho dan detimbangi dengan harapan
yang sama agar enau yang disadap dapat menghasilkan nira yang banyak
dan enak. Pada proses ini penyadap mengecek air sadapannya kalau air
niranya berbagi antara yang berasal dari tandan dan bunga, maka
bunganya belum bisa dibuang/dipotong, jika air niranya hanya berasal dari
tandan maka bunganya sudah bisa dibuang/dipotong dan enau siap untuk
disadap. Adapun gambar proses degharofi dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 9. Degharofi (mengecek air nira)


(Dokumen Peneliti, 20 April 2020)

Pada tahapan ini air nira yang keluar belum bisa ditampung, karena
biasanya nira yang dihasilkan masih sedikit. Sambil menunggu sampai air
niranya banyak, setelah itu tandan enau sudah siap untuk disadap.

10) Dokebha (menyadap)

Pada proses ini penyadap akan mempersiapkan peralatan menyadap


seperti bambu, botol air mineral kosong, jergen dan pisau sadap yang
merupakan pisau tajam yang biasanya hanya digunakan untuk menyadap.
Sebelum penyadap mulai mengiris ujung tandan, terlebih dahulu
membacakan mantra seperti sebelumnya seperti yang dibacakan pada
tahapan detinda, detimbangi dan degharofi dan mantra itu juga akan
52

dibacakan setiap kali akan menyadap. Adapun proses dokebha dapat kita
lihat pada gambar berikut.

Gambar 10. Dokebha (menyadap)


(Dokumen Peneliti, 22 April 2020)

Proses dokebha (penyadapan) ini dikerjakan sebanyak 2 kali dalam


sehari yaitu dipagi hari dan disore hari dengan cara mengiris ujung tandan
enau kemudian membungkusnya dengan dedaunan atau plastik agar tidak
terkena sinar matahari langsung agar tetap sejuk dan tidak kering. Setiap
kali menyadap ujung tandan enau selalu diiris tipis agar dapat melepas
atau membuang jaringan yang keras dan tersumbat pembuluh kapilernya
sehingga nira yang keluar dari tandan akan mengalir dengan lancar.

11) Dotagho (menampung)

Di bawah irisan tandan diletakkan wadah penampungan/bumbung


untuk menampung nira. Tahapan ini yang disebut dengan proses dotagho
(menampung). Air nira hasil sadapan ditampung di dalam bambu, botol air
mineral kosong atau jergen. Proses ini dilakukan dua kali sehari yaitu pagi
dan sore hari yaitu jam 07.00 dan jam 16.00. Wadah penampungan air nira
tersebut berisi buli (kulit kayu bakau) yang sudah digeprek atau yang
belum di isi buli juga. Adapun gambar proses dotagho dapat dilihat pada
gambar berikut.
53

Gambar 11. Dotagho (menampung)


(Dokumen Peneliti, 22 April 2020)

Menampung air nira biasanya dikerjakan sebanyak dua kali


perharinya. Air nira yang ditampung pagi hari diambil pada sore hari,
sementara air nira yang ditampung sore hari akan diambil pada pagi hari.

12) Kakara dan kameko siap dijual dan dikonsumsi

Air nira yang berwarna bening yang dihasilkan dari penyadapan


enau ini masyarakat Muna menyebutnya dengan nama kakara. Kakara ini
hanya bisa bertahan selama dua hari, selanjutnya para penyadap akan
mencampurkan buli (kulit kayu bakau) kedalam wadah berisi kakara.
Kakara (nira) yang telah dicampurkan buli ini disebut dengan kameko. Buli
ini berfungsi untuk mengawetkan nira dan mengubah cita rasa dari rasa
manis menjadi agak pahit tetapi enak menurut para konsumen kameko dan
warnanya menjadi orange. Kameko ini mampu bertahan lama sampai
tahunan. Adapun kakara yang siap dikonsumsi dan kameko yang siap
dikonsumsi dan diperdagangkan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
54

Gambar 12. Air nira yang Gambar 13. Air nira yang telah
disebut kakara menjadi kameko
(Dokumen Peneliti, 22 April 2020) (Dokumen Peneliti, 22 April 2020)

Berikut gambar buli yang


4.13 Air dipakai
nira untuk dicampurkan kedalam air
nira bisa dilihat dibawahyang
ini yaitu pada gambar berikut.
disebut
kakara
(Dokumen,
Ervina, 8 Maret
2020)

Gambar 14. Buli (kulit kayu bakau)


(Dokumentasi Ervina, 14 Maret 2020)

Kameko selain dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan


baku untuk pembuatan arak atau bioetanol, sedangkan kakara dapat
digunakan menjadi bahan dasar/utama untuk membuat gula aren dan gula
semut.
55

2. Penyadapan dan Produksi Kameko Ditinjau dari Aspek Sosial


Budaya

Kegiatan menyadap di Desa Kontunaga yang dilakukan oleh orang


tua zaman dulu sangat kental adat budayanya, berbeda dengan penyadap
sekarang sebagian dari mereka terkadang menyadap sudah tidak
membacakan mantra-mantra lagi. Hal ini disebabkan seiring dengan
perkembangan zaman sehingga masyarakat mengabaikan budaya
khususnya para generasi muda. Generasi muda sekarang mulai melupakan
tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang. Misalnya, upacara adat, bahasa
daerah, kesenian tradisional dan adat tradisi lain sudah hampir punah.

Menurut salah satu informan (Alimudin 53 Tahun, wawancara 12


Maret 2020) zaman dulu di Desa Kontunaga, hanya tetua adat yang bisa
menyadap pohon enau (Arenga pinnata Merr). Pohon enau dipercaya
sebagai roh seorang wanita. Jadi, ketika menyadap mereka akan selalu
membacakan mantra-mantra dengan tujuan meminta kepada yang Maha
Kuasa agar tetap dilindungi dari marabahaya, karena para orang tua dulu
percaya jika penjaga enau (jin) merasa terganggu dengan kehadiran
penyadap maka akan berakibat buruk bagi mereka. Namun, berbeda
dengan sekarang, tidak sedikit penyadap yang mengabaikan hal itu. Tapi
satu hal yang wajib dan masih dilakukan oleh para penyadap dari dulu
sampai sekarang yaitu ketika ada pengguna kameko yang berkunjung ke
lokasi menyadap, maka penyadap wajib menyuguhkan kameko kepada
orang yang berkunjung tanpa dibayar. Seberapa pun hasil sadapannya baik
itu banyak ataupun sedikit penyadap akan menunjukannya. Hal itu mereka
percaya karena menjadi seorang penyadap tidak boleh bersifat kikir,
karena kalau sampai mereka melanggar hal ini dipastikan enau yang
mereka sadap tidak akan menghasilkan nira yang banyak. Berikut kutipan
wawancara bersama informan penyadap terkait masalah mantra/doa
(bhatata) dalam menyadap.

“Katoka nando dhamani wawono, ane dokebha tabea dosalawahiane,


dobhatataane, koana dokobalaane. Okowala ini nokotunggu dadi
tabea daposioghondo koedo kabaru-baru nekafembula rampano
dokebha ini deghondohi sokadadiha” (La Ngkuni 85 tahun,
wawancara 30 April 2020).
56

Artinya:

“Sudah menjadi kebiasaan zaman dulu, kalau menyadap harus


disholawatkan, didoakan, supaya terhindar dari marabahaya.
Pohon enau ini ada penunggunya (jin) jadi kita harus hati-hati tidak
boleh nakal pada tanaman karena kita menyadap ini adalah untuk
mencari nafkah”.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa


seiring berkembangnya zaman maka budaya itu akan hilang sedikit demi
sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ketidak ingin
tahuan generasi baru akan budaya-budaya zaman dulu. Tidak hanya itu,
dulu para penyadap memiliki kebiasaan menampung hasil sadapan mereka
dengan menggunakan wadah yang terbuat bambu atau masyarakat Muna
menyebutnya dengan nama kele. Tetapi sekarang kele itu sudah tidak
digunakan lagi. Penyadap sekarang lebih memilih menggunakan jergen
atau botol air mineral kosong. Begitu juga dengan wadah yang digunakan
untuk meminum kameko. Masyarakat dulu tidak menggunakan gelas untuk
meminum kameko mereka menggunakan wadah yang terbuat dari
tempurung kelapa yang disebut kaghua (gelas terbuat dari tempurung
kelapa). Adapun gambar kele dan gambar kaghua dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 15. Kele


(wadah yang digunakan untuk menampung nira pada zaman dulu)
(Dokumen Peneliti, 11 Mei 2020)
57

Gambar 16. Kaghua (wadah yang digunakan untuk meminum


kameko pada zaman dulu)
(Dokumen Peneliti, 11 Mei 2020)

Perspektif budaya mengemukakan bahwa mantra merupakan


sebagai bentuk tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Di
dalam mantra diyakini mengandung kekuatan gaib yang biasa dituturkan
oleh orang-orang tertentu baik itu dukun maupun pawang untuk meraih
tujuan tertentu bahkan untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam
memandang mantra sebagai sebuah budaya, masyarakat pemilik mantra
cenderung memilih sikap pasif, menerima, tidak skeptis atau
mempertanyakan persoalan bentuk, isi dan ritual mantra.

Menurut (Hardin, 2016) mantra/doa masyarakat Muna menyebut-


nya dengan istilah bhatata yang selalu dituturkan pada setiap tahapan
penyadapan. Hal ini dikaitkan dengan sistem komunikasi transedental
karena adanya komunikasi yang dilakukan oleh penyadap kepada makhluk
tak kasatmata berupa tuturan-tuturan khas yang mengandung hikmad dan
kekuatan gaib dengan tujuan agar ketika menyadap, penyadap tidak
mengalami gangguan dari makhluk halus sehingga dijauhkan dari musibah
yang mungkin saja terjadi pada saat menyadap enau.

Prosesi yang dilewati selama kegiatan menyadap dengan


membacakan mantra mulai dari defongkora kamponisa (memasang tangga)
sampai pada tahapan dotagho (menampung nira) merupakan bagian dari
komunikasi yang disebut komunikasi transedental. Komunikasi
58

transedental ialah percakapan yang terjadi diantara diri kita sendiri


dengan hal-hal gaib, bisa Tuhan (Allah), malaikat, jin maupun iblis.

Para penyadap berkomunikasi secara transedental meskipun


mereka tidak melihat wujud dari penjaga pohon enau yang hendak mereka
sadap. Edmund Husserl mengemukakan pendapatnya nahwa objek dalam
hal ini makhluk halus/jin boleh berwujud, boleh tidak. Perspektif, memori,
harapan, penilaian dan sintesis (makna yang dibuat) memungkinkan
manusia untuk melihat objek, walaupun objek itu tidak terlihat lagi. Jadi,
apa yang telah dilakukan oleh penyadap berbicara kepada makhluk halus
adalah bukan merupakan hal yang tidak mungkin. Orientasi transedental
Edmund Husserl menekankan arti penting kesengajaan, yakni tahapan
internal pada diri manusia dan berinteraksi dengan suatu objek, berwujud
atau tidak.

Kameko merupakan minuman tradisional masyarakat Muna yang


berasal dari hasil sadapan pohon enau atau masyarakat Muna
mengenalnya dengan pohon kowala. Dalam kegiatan sosial masyarakat
Muna khususnya masyarakat di Desa Kontunaga, kameko merupakan salah
satu minuman yang disiapkan/disuguhkan oleh masyarakat, karena
merasa tidak lengkap kalau tidak tersedia kameko, seperti dalam proses
ritual-ritual sosial tertentu misalnya membuka lahan kebun, menanam di
ladang, masa panen, gotong-royong dan lain sebagainya, minuman kameko
selalu menjadi salah satu minuman yang disajikan. Hal ini diungkapkan
oleh informan La Panda (74 tahun) di bawah ini.

“Okatoka nando dhamani wawono okameko ini dofaralue iano


karabu, bhahi delengka galu, detisa, detongka, doporima-rimatai
defowanu lambu, okagaa, pokono nobhari. Aitua rampano okameko
ini nembali kafosulino rea, kaagono kawule. Okamokulahi dhamani
wawono miina daepandehao o te, o kopi, o susu dadi iano bhe
kasukara atawa karabu sigaahano soano kaawu o oe nefolimba
tamaka dua tabea bhe kamekono. Ane miina bhe kameko miina
nabhari mie maino. Ampaitumo kaawu miinamo siaghe damaralue
peda korohanomo ini, hadae rampano anahihi ampaitu
dokosikolahi, dokoagama. Ane korohanomo ini kamokulantoomu
lagi dobisara adumadi bhe kowalaku amate bhe kowalaku”
(wawancara, 1 Mei 2020).
59

Artinya:

“Sudah menjadi kebiasaan pada zaman dulu kameko ini


diperlukan disetiap aktivitas, seperti membuka kebun, menanam,
panen, gotong royong membangun rumah, acara pernikahan dan
masih banyak yang lainnya. Itu karena kameko ini menjadi obat
penambah energi. Orang tua pada zaman dulu tidak mengenal
adanya teh, kopi, susu jadi setiap ada hajatan atau hal lain bukan
saja air putih yang disuguhkan tetapi kameko juga menjadi
minuman yang wajib disuguhkan. Kalau tidak ada kameko dapat
dipastikan tidak banyak yang hadir diacara itu. Tetapi sekarang
kameko sudah tidak diwajibkan untuk disuguhkan seperti dulu
mungkin karena anak-anak sekarang sudah berpendidikan tinggi
dan religius. Para orang tua zaman dulu berprinsip saya hidup
dengan enauku dan saya mati dengan enauku”.

Lebih lanjut, informan Wa Naini (67 Tahun) menambahkan bahwa:

“Okameko ini nonaando ando dhamani wawono. Sakotughuhano


okameko ini okaago, tamaka ane doforoghu saetaahano. Ane
doforogue saetaahano nembali kafosulino kawule, nombakaane
dofuma, nombakaane dolodo, dokosabhangkaaane, nembali dua
kaagono o gola. Tamaka ane doforoghu nobhari nembali
dolowuane bhe dopogira-giraane, nolea fotu, donale, nobhalaane
taghi, bhe domateane” (wawancara, 7 Mei 2020).

Artinya:

“Kameko ini ada sejak zaman dahulu. Sebetulnya kameko ini


adalah obat, tapi ketika diminum dalam jumlah sedang. Diminum
dalam jumlah sedang kameko bisa menjadi obat capek/penambah
stamina, enak makan, enak tidur, meningkatkan keakraban, dan
juga dipercaya menjadi obat diabetes. Tetapi kalau diminum
dalam jumlah banyak bisa mengakibatkan orang mabuk yang
kadang menimbulkan perkelahian, sakit kepala, badan lemas,
perut buncit bahkan dapat menyebabkan kematian”.
60

Kameko ini bisa disebut sebagai sarana komunikasi sosial yang


tidak terucap. Maksudnya adalah dengan kameko tanpa diajak orang lain
bisa datang atau bergabung dengan orang yang sedang minum kameko.
Contohnya pada saat menanam di kebun atau masa panen, orang akan
datang dengan sendirinya tanpa diminta untuk membantu menanam atau
panen. Dengan demikian pekerjaan yang berat bisa menjadi ringan dan itu
telah berlaku sejak manusia mengenal enau (kameko) sampai sekarang
khususnya di desa-desa. Terkecuali di kota telah terjadi perubahan
peradaban yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat pendidikan
masyarakat dan tingkat pemahaman agama.

Berdasarkan kutipan dari informan diatas dapat disimpulkan


bahwa tradisi minum kameko sudah ada dan menjadi budaya Muna sejak
zaman dulu. Tradisi minum kameko menjadi urusan wajib didalam setiap
aktivitas, karena bisa meningkatkan keakraban dan kekeluargaan, serta
membuat pekerjaan yang berat menjadi ringan. Minum kameko dalam
jumlah yang cukup juga baik untuk kesehatan. Kegiatan minum kameko
pada saat setelah warga gotong royong dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 17. Tradisi minum kameko setelah gotong royong


untuk membangun rumah
(Dokumen Peneliti, 11 Mei 2020)
61

Gambar 18. Tradisi minum kameko setelah gotong royong


membongkar tenda acara pernikahan
(Dokumen Peneliti, 28 Februari 2020)

Budaya minum kameko dalam masyarakat Muna tidak terlepas


dari adanya kegiatan sosial budaya yang melatbelakanginya. Sebab,
kegiatan sosial budaya dalam masyarakat Muna sangat sulit dilepaskan
dengan tradisi meminum kameko. Ada sesuatu yang kurang dalam kegiatan
tersebut, kalau tidak ada minuman kameko didalamnya. Hal ini masyarakat
sudah menjadi kebiasaannya dan sudah membudaya di tengah masyarakat.
Pernyataan ini, diperkuat dengan pendapatnya (Rismawati, 2011) alasan
lain mengapa budaya minum minuman yang beralkohol tidak dapat dilepas
dari kehidupan sosial masyarakat karena budaya minum minuman yang
beralkohol sangat erat kaitannya dengan kolektivitas yang terdapat dalam
masyarakat.

PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1) Proses penyadapan dan produksi kameko yaitu defongkora kamponisa


(memasang tangga), detota lampuga (membuka/membersihkan ijuk),
depolopa tongkuno (membersihkan pelepah pohon enau), dekantai
tobho (menggantung tandan bunga aren/enau), dekulusi tobho
(membuka kulit tandan bunga), dewangku (dipukul-pukul/ peni-
ngguran), detinda tobho (memotong tajuk/tandan), detimbangi
62

(menyeimbangkan tajuk/tandan), degharofi (mengecek air nira),


dokebha (menyadap), dan dotagho (menampung).
2) Kameko ditinjau dari segi sosial budaya merupakan minuman untuk
persaudaraan, persahabatan, merayakan kegembiraan dan kameko
banyak digunakan pada saat untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasya-
rakatan.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B.H.M. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana


Predana Media Group.
Dhital, R. Gurung, Y.B, Subedi, G, Hamal, P. 2002. Alcohol and Drug Use
Among Street Children in Nepal, A Study in Six Urban Centers.CWIN
(Child Workers in Nepal) Concerned Centre. 2002 ; 1(3) : 123-177.
Fitriah E. 2015. Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam
Pemanfaatan Tumbuhan Mangrove sebagai Pangan Alternatif
untuk Menghadapi Ketahanan Pangan. Cirebon : IAIN Syekh
Nurjati.
Hardin. 2016 “Komunikasi Transedental dalam Ritual Kapontasu pada
Sistem perladangan Masyarakat Etnik Muna”, https://media.
neliti.com (diakses 11 Juli 2020).
Kartono, Siagian V, Haryani D. 2014. Agribisnis Gula Aren, Penyadapan Air
Nira dan Pengolahan Gula Semut. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Banten : Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian.
Khanna. 2003. “Mantra-Wikipedia bebas Indonesia, Ensiklopedia bebas”,
https://id.m.wikipedia.org (diakses 11 Juli 2020).
Permenhut. 2007. “Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)-Forester act”,
https://foresteract.com (diakses 9 Januari 2020).
Rismawati. 2011. Budaya Minum Sulli Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
Korea. Depok : Universitas Indonesia.
Wahyudi. 2013 “Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu-Research Gate”,
https://www.researchgate.net (diakses 7 Januari 2020).
63

GRAND DESAIN AGROTEKNO-EKOLOGIS USAHA TANI


TERPADU MINAPADI DAN PENGUATAN LUMBUNG
PANGAN BERAS PROVINSI SULAWESI TENGGARA
La Panga Mpalasi, I Wayan Puguh, dan La Ode Abd. Manan

PENDAHULUAN

Grand strategi pembangunan pertanian pada intinya mencakup


empat hal penting: (1) pembangunan pertanian menjadi inti pembangunan
nasional; (2) pembangunan pertanian harus dilakukan melalui pendekatan
agrobisnis; (3) keberhasilan pembangunan agrobisnis kadang sebagian
besar tergantung pada kebijaksanaan di luar jalur Kementrian Pertanian;
dan (4) pengembangan agrobisnis harus mampu meningkatkan daya saing,
ekonomi kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi dalam kerangka
penguatan ekonomi daerah.

Dalam kaitannya dengan penyediaan pangan, pemerintah telah


melaksanakan berbagai kebijakan dan program yang diarahkan kepada
peningkatan dan penganekaragaman dalam penyediaan dan konsumsi
pangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan produksi
beras melalui pelaksanaan program intensifikasi, ekstensifikasi,
rehabilitasi, dan diversifikasi. Erwidodo dkk. (1999) dalam Bulkis (2012)
mengatakan bahwa keberhasilan peningkatan produksi beras, orientasi
pembangunan pangan perlu diperluas, tidak hanya swasembada beras
tetapi swasembada pangan secara keseluruhan melalui reorientasi
64

pembangunan di bidang pangan yang meliputi lima aspek yakni: (1) dari
orientasi swasembada beras menjadi swasembada pangan; (2) dari
orientasi pemenuhan kuantitas menjadi orientasi yang semakin
menekankan kepada kualitas pangan; (3) dari orientasi produksi yang
menekankan kepada upaya mencukupi melalui peningkatan produksi,
menjadi orientasi untuk menghasilkan/memproduksi pangan yang sesuai
dengan permintaan pasar; (4) dari orientasi yang menitikberatkan kepada
komoditas tunggal (single comodity) menjadi orientasi kepada pangan yang
beraneka ragam; dan (5) orientasi yang berupaya untuk mengatasi situasi
yang berlebih melalui mekanisme pasar (dari orientasi protektif kepada
orientasi mekanisme pasar).

Tingkat produktivitas yang dicapai pada tahun 2008 menunjukkan


ketersediaan energi rata-rata penduduk Indonesia mencapai 3.056
kkal/kapita/hari dan angka ketersediaan protein sebanyak 81,20
gr/kapita/hari. Hal ini berarti melampaui kecukupan ketersediaan energi
berdasarkan pola pangan harapan sebanyak 2200 kkal/kapita/hari dan
angka kecukupan protein sebanyak 55 gr/org/hari (LIPI, 2004). Secara
umum konsumsi energi rata-rata semakin mendekati kebutuhan sebesar
2000 kkal/kap/hari dan pada tahun 2007 bahkan telah memenuhi angka
kecukupan dengan rata-rata sebesar 2015kkal/kap/hari atau 100,7 % dari
angka kecukupan energi. Di wilayah pedesaan pda tahun yang sama
konsumsi energi sebesar 2067 kkal/kap/hari (103,3 % AKE) sementara di
perkotaan hanya (99,8 % AKE).

Disparitas ketersediaan dan keanekaragaman konsumsi pangan


antara lain disebabkan oleh beberapa faktor: (1) kondisi wilayah/
ekosistem; (2) sosial budaya: seperti kebiasaan makan, pengetahuan gizi
dan lainnya; (3) dukungan sarana pendukung (transportasi untuk pendis-
tribusian pangan; dan (4) kesenjangan kemampuan dalam memperoleh
bahan pangan/daya beli berbeda.

Kabupaten Konawe merupakan salah satu kabupaten penghasil


beras terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki distribusi wilayah
ekosistem yang beragam dan menyebabkan perbedaan dalam ketersediaan
pangan maupun distribusinya. Karena itu daerah Konawe berpotensi
menjadi daerah lumbung pangan beras regional Sulawesi Tenggara
sehingga kebijakan pembangunan pertaniannya diarahkan pada: (1)
meningkatkan produksi pertanian dalam rangka memantapkan
65

kemandirian dan ketahanan pangan; (2) mendorong tumbuh dan


berkembangnya agrobisnis sebagai pemicu tumbuhnya ekonomi di
perdesaan, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; (3) mendorong tumbuhnya industri hulu, hilir, dan jasa
penunjang dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah sektor
pertanian; dan (4) meningkatkan volume dan keagaman eksport produk
pertanian.

RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan fakta di atas rumusan masalah pertanyaan penelitian


sebagai berikut.
1) Bagaimanakah karateristik usaha tani terpadu minapadi yang
diterapkan petani di Kabupaten Konawe?
2) Bagaimana penanganan pascapanen yang diterapkan petani dalam
upaya pengembangan daerah lumbung pangan beras Provinsi
Sulawesi Tenggara?
3) Bagaimana faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
usaha tani minapadi dan pengembangan daerah lumbung pangan
beras Provinsi Sulawesi Tenggara?
4) Bagaimana strategi kebijakan usaha tani terpadu minapadi dan
pengembangan lumbung pangan beras Provinsi Sulawesi Tenggara di
Kabupaten Konawe?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:


1) Mengidentifikasi karateristik demografi kelompok tani yang mengem-
bangkan usaha tani terpadu minapadi di Kabupaten Konawe.
2) Mempelajari pola usaha tani terpadu minapadi yang diterapkan dan
upaya pengembangan daerah lumbung pangan beras Provinsi
Sulawesi Tenggara di Kabupaten Konawe.
3) Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempe-
ngaruhi usaha tani terpadu minapadi dan pengembangan daerah
lumbung pangan beras Provinsi Sulawesi Tenggara di Kabupaten
Konawe.
66

4) Menentukan prioritas strategi kebijakan usaha tani terpadu minapadi


dan pengembangan daerah lumbung pangan beras Provinsi Sulawesi
Tenggara di Kabupaten Konawe

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat:


(1) Menjadi bahan informasi bagi masyarakat tani dalam meningkatkan
pendapatan usaha tani minapadi.
(2) Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan
pengembangan usaha tani dan pemberdayan petani lokal.
(3) Sebagai bahan referensi dalam pengembangan usaha tani terpadu di
areal persawahan dan peneliti lanjutan.
(4) Sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan pembangunan daerah
lumbung pangan beras Provinsi Sulawesi Tenggara.

TINJAUAN TEORETIK

1. Design Sistem Pengembangan Teknologi Produksi

Grand design pengembangan teknologi produksi merupakan


gambaran menyeluruh dari strategi yang diperlukan dalam membangun
teknologi produksi untuk mendukung ketahanan pangan secara
berkelanjutan. Dalam pengembangan wilayah berbasis pertanian, grand
design ini bertumpu pada pandangan pertanian sebagai ontologi iptek
harus bersifat dinamis sehingga defenisi pertanian tidak selalu identik
dengan tanah dan alam terbuka. Untuk pembangunan pertanian yang
disusun dalam pendekatan iptek dapat menunjukkan suatu design rinci,
cermat dan menuju keberlanjutan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut.

1) Cakupan teknologi produksi yang meliputi: sumber daya lahan,


sarana produksi biologis, sarana produksi sintesis, alsintan, dan
kelestarian lingkungan;
2) Kemampuan teknologi meningkatkan produksi secara signifikan;
3) Kemampuan teknologi mengurangi kerentanan sistem pangan
terhadap perubahan iklim global;
67

4) Pengembangan teknologi berpihak kepada pengguna primer


teknologi;
5) Pengembangan teknologi diwujudkan melalui kerja sama pemerin-
tah, industri, perguruan tinggi/lembaga riset, dan masyarakat;
6) Pengembangan teknologi produksi bersifat demand-driven;
7) Pengembangan teknologi produksi yang mempunyai visi kedepan
untuk mewujudkan pertanian berbasis iptek;
8) Memiliki tolok ukur kerberhasilan pengembangan teknologi
produksi.

2. Usaha Tani Terpadu

Usaha tani padi sawah merupakan kegiatan di bidang pertanian


yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, modal dan manajemen yang
ditujukan untuk produksi padi. Keempat unsur yaitu lahan yang mewakili
untuk alam, tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga tani, dan
modal yang beraneka ragam jenisnya serta unsur pengelolaan atau
manajemen yang peranannya dibawakan oleh seseorang yang disebut
petani, saling terkait satu sama lain karena kedudukannya dalam usaha
tani sama pentingnya sehingga keempat unsur tersebut tidak dapat
dipisahkan (Handayani, 2006).

Lahan merupakan modal utama dalam usaha tani padi sawah selain
tenaga kerja dalam menopang kehidupannya. Meningkatnya jumlah
penduduk mengakibatkan lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian
menjadi semakin berkurang. Berkurangnya lahan pertanian menyebabkan
jumlah usaha tani sempit bertambah.

Sempitnya lahan yang seringkali dimiliki oleh petani dan tuntutan


keadaan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, membuat petani
harus mencari peluang lain untuk meningkatkan pendapatan. Akhirnya,
muncul satu peluang usaha baru yaitu memanfaatkan sawah selain untuk
penanaman padi sekaligus juga untuk pemeliharaan ikan sebagai bentuk
usaha tani terpadu.

Pemanfaatan sawah sebagai tempat penanaman padi sekaligus


sebagai pemeliharaan ikan, dapat diterima karena pemeliharaan kedua
komoditas tersebut bersifat komplementer. Artinya, kegiatan ini dapat
berjalan sekaligus tanpa mengganggu keberhasilan satu sama lain sehingga
68

pada akhirnya diperoleh hasil yang optimal. Selain memperoleh


keberhasilan dari pemanenan padi, petani sekaligus mendapat keuntungan
dari pemanenan ikan. Kalau pun terjadi kegagalan dalam pemanenan padi,
petani ikan tidak perlu berkecil hati karena masih ada hasil pemanenan
ikan yang bisa menutupi kerugian bercocok tanam padi di sawah.

a) Sistem Usaha Tani Terpadu Minapadi

Sistem minapadi ialah sistem pemeliharaan ikan yang dilakukan


bersama padi di sawah (Afrianto dan Liviawaty, 1998). Usaha semacam ini
lebih populer dengan sebutan “Inmindi” atau intensifikasi minapadi.
Umumnya sistem ini hanya digunakan untuk memelihara ikan yang
berukuran kecil (fingerling) atau menumbuhkan benih ikan yang akan
dijual sebagai ikan konsumsi. Ikan mas dan jenis karper lainnya merupakan
jenis ikan yang paling baik dipelihara di sawah, karena ikan tersebut dapat
tumbuh dengan baik meskipun di air yang dangkal, serta lebih tahan
terhadap panas matahari (Suharti, 2003).

Minapadi biasa juga disebut tumpang sari. Istilah mina padi berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu mina (yang berarti ikan). Minapadi dapat
diartikan sebagai sistem pemeliharaan ikan di sawah yang dilakukan
bersamaan dengan penanaman atau pemeliharaan padi. Batas masa
pemeliharaan ikan pada sistem mina padi berkisar 45-65 hari. Batas masa
pemeliharaan ikan ini terkait erat dengan umur padi. Dalam praktiknya,
waktu pemanenan ikan disesuaikan dengan tujuan penanaman ikan, untuk
pendederan atau pembesaran.

b) Jenis-Jenis Padi untuk Minapadi

Menurut Supriadiputra dan Setiawan (2005), padi yang akan


ditanam sebaiknya dipilih yang cocok dengan lahan mina padi. Varietas
padi itu harus memenuhi kriteria berikut.
1) Tahan genangan pada awal pertumbuhan;
2) Ketinggian tanaman sedang;
3) Perakaran dalam. Karena sawah merupakan lahan yang terendam, maka
tanaman padi yang ditanam sebaiknya mempunyai perakaran yang
dalam dan kuat agar tidak mudah roboh;
4) Cepat beranak. Kurang lebih tujuh hari setelah penanaman padi, areal
akan digenang air. Untuk menghindari keterlambatan pertumbuhan
69

tunas akibat genangan tadi, sebaiknya dipilih tanaman padi yang cepat
bertunas banyak;
5) Batang kuat dan tidak mudah rebah. Karena banyak air di sekitar
perakaran, maka kemungkinan air yang diserap tanaman lebih banyak.
Akibatnya, batang tanaman padi menjadi lemah. Untuk mencegah
masalah itu, sebaiknya padi yang ditanam mempunyai batang yang kuat
dan tidak mudah rebah;
6) Tahan hama dan penyakit. Semua tanaman yang akan ditanam harus
mempunyai sifat tahan terhadap hama penyakit;
7) Produksi tinggi dan daun tegak. Untuk memperbanyak sinar matahari
yang dapat diterima oleh permukaan daun, sehingga diharapkan hasil
fotosintesis besar dan hasil padi tentunya akan meningkat; dan
8) Rasanya enak sehingga disukai masyarakat.

c) Jenis-Jenis Ikan untuk Minapadi

Supriadiputra dan Setiawan (2005) agar mendapatkan hasil yang


tinggi, ikan yang akan ditebarkan sebaiknya memenuhi persyaratan
berikut:

1) Warna tidak mencolok. Hal ini untuk menghindari hewan pemangsa


sebab warna yang mencolok akan menarik perhatian hewan
pemangsa. Sebaiknya dihindari warna merah dan kuning keemasan.
Paling baik adalah warna gelap;
2) Tahan hidup di air dangkal dan panas. Ketinggian air pada sistem mina
padi biasanya sekitar 20-30 cm dan bersuhu tinggi. Oleh karena itu,
harus dicari jenis ikan yang tahan terhadap dua kondisi tersebut agar
pertumbuhan ikan tidak terganggu;
3) Dipilih dari induk unggul dan sehat. Apabila ikan yang ditebar berasal
dari induk yang unggul dan sehat, maka diharapkan pertumbuhannya
akan baik. Induk yang unggul dan sehat untuk ikan mas, misalnya,
yaitu yang berasal dari strain majalaya;
4) Disukai oleh masyarakat dan mempunyai harga jual yang memuaskan.
Selain ikan mas dan tawes, jenis ikan lain yang juga baik
dibudidayakan dengan sistem ini yaitu ikan tambakan, mujair, nila,
dan nilem.

Khairuman dan Amri (2002) waktu penebaran benih ikan di sawah


dataran rendah berbeda dengan penebaran di sawah dataran sedang. Di
70

sawah dataran rendah, ikan ditebarkan 5-7 hari setelah tanaman padi,
sedangkan di sawah dataran sedang ikan ditebar 10-12 hari setelah tanam
padi. Hal ini disebabkan kecepatan pertumbuhan padi di sawah dataran
sedang relatif lebih lambat. Jika ikan ditebar lebih awal, risiko
kemungkinan merusak tanaman padi lebih besar.

3. Usaha Tani Padi

Usaha tani menurut Soekartawi (1986) adalah organisasi yang


pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang
atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terikat geneologis
politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Soeharjo dan Patong
(1973) usaha tani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi
yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan
perorangan ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang
dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain di samping motif
mencari keuntungan.

Pada dasarnya usaha tani padi memiliki dua faktor yang akan
mempengaruhi proses produksi, yaitu faktor internal penggunaan lahan,
tenaga kerja dan modal serta faktor-faktor eksternal yang meliputi faktor
produksi yang tidak dapat dikontrol oleh petani seperti iklim, cuaca,
perubahan harga dan sebagainya.

(a) Tanah

Tanah memiliki beberapa sifat antara lain: (1) luas relatif tetap atau
dianggap tetap; (2) tidak dapat dipindahkan; dan (3) dapat dipindah-
tangankan dan atau diperjualbelikan. Dalam usaha tani, lahan didefinisikan
sebagai tempat produksi dan tempat tinggal keluarga petani. Tingkat
kesuburan dan luas lahan mempunyai pengaruh yang nyata dalam
peningkatan produksi padi. Besarnya luas lahan usaha tani mempengaruhi
petani dalam menerapkan cara-cara berproduksi. Luas lahan usaha tani
yang relatif kecil membuat petani sukar mengusahakan cabang usaha yang
bermacam-macam, karena ia tidak dapat memilih kombinasi-kombinasi
cabang usaha yang paling menguntungkan.
71

(b) Tenaga Kerja

Tenaga kerja didefinisikan sebagai sumber daya manusia untuk


melakukan usaha menghasilkan atau memproduksi barang atau jasa.
Angkatan kerja (labour force) ialah bagian dari penduduk yang sanggup
menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dalam usaha tani primitif, alam memegang peranan utama
sebagai penghasil produksi, akan tetapi dengan berkembangnya usaha tani,
alam dan tenaga kerja menjadi sangat berperan dalam proses produksi
usaha tani. Adapun sifat pekerjaan dalam usaha tani adalah: (1) pekerjaan
dalam usaha tani sifatnya tidak kontinyu, banyak dan lamanya waktu kerja
tergantung dari jenis tanaman, waktu dan musim; (2) dalam usaha tani
tidak terdapat spesialis pekerjaan, sehingga seorang petani harus
mengetahui tahap pekerjaan dari awal sampai akhir hingga memperoleh
produksi; dan (3) dalam usaha tani terdapat ikatan yang erat
antarpekerjaan yang diupah dengan petani sebagai pelaksana. Jenis tenaga
kerja dalam usaha tani meliputi manusia, ternak dan mesin. Tenaga kerja
manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga
kerja pria biasanya dapat mengerjakan seluruh pekerjaan. Tenaga kerja
wanita umumnya digunakan untuk menanam, memelihara
tanaman/menyiang dan panen, sedangkan tenaga kerja anak-anak
digunakan untuk menolong pekerjaan pria dan wanita. Beberapa pekerjaan
yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, digantikan dengan tenaga mesin
dan hewan. Kemampuan kerja dari masing-masing tenaga kerja ini
diperhitungkan dengan setara kerja pria atau hari orang kerja (HOK).

Tenaga kerja usaha tani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan
luar keluarga petani. Tenaga luar keluarga dapat diperoleh dengan cara
upahan, di mana upah pekerja pria, wanita dan anak-anak berbeda.
Pembayaran upah dapat harian atau mingguan ataupun setelah usai
pekerjaan, atau bahkan borongan. Tenaga upahan ini ada juga yang dibayar
dengan natura atau hasil panen. Tenaga kerja dalam keluarga umumnya
tidak diperhitungkan karena sulit dalam pengukuran penggunaannya,
biasanya tenaga kerja ini lebih banyak digunakan pada petani yang
menggarap lahan sempit.
72

(c) Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor


produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-
barang baru, yaitu berupa produksi pertanian. Hernanto dalam Handayani
(2006) dalam usaha tani modal meliputi tanah, bangunan-bangunan
(gudang, kandang, lantai jemur, pabrik dan lain-lain), alat-alat pertanian
(traktor, luku, garu, spayer, cangkul, parang, sabit dan lain-lain), tanaman,
ternak, sarana produksi (bibit, benih ikan, pupuk, obatobatan) dan uang
tunai. Modal menurut sifatnya dibedakan menjadi dua yaitu: (1) modal
tetap (fixed capital) yang diartikan sebagai modal yang tidak habis pada
satu periode produksi atau dapat digunakan berkali-kali dalam proses satu
kali produksi, modal tetap ini meliputi tanah dan bangunan dan (2) modal
bergerak (working capital), yaitu jenis modal yang habis terpakai habis
dalam satu periode proses produksi. Modal bergerak ini meliputi alat-alat
pertanian, bibit, pupuk, obat-obatan, dan uang tunai.

METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Konawe, yang


terdistribusi pada 3 (tiga) wilayah BP4K masing sebagai pusat-pusat
pertumbuhan pembangunan pertanian (BP4K Wawotobi, BP4K Wepai,
BP4K Abuki, BP4K Wonggeduku dan dilakukan selama tiga bulan pada
tahun 2015.

2. Populasi dan Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah petani padi sawah, dan petani
tambak/kolam yang mengusahakan sistem usaha tani terpadu minapadi
yang tersebar homogenitas di seluruh wilayah daerah pengeliaran irigasi
Konaweha Kabupaten Konawe.

Sampling frame yang diperlukan dalam penelitian ini adalah


sebanyak 80 responden yang diambil secara purposive sampling yaitu
pengambilan sampel dengan cara disengaja untuk wilayah petani, yang
menerapkan sistem pertanian minapadi.
73

3. Pengumpulan Data

Jenis data yang akan diambil dalam penelitian ini adalah data
kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif adalah jumlah produksi, jumlah
petani Minapadi peternak, dan petani tambak. Sedangkan data kualitatif
meliputi data hasil kajian dengan pertanyaan (what, where, who, when, why
and how) 4 W + 1 H. Sumber data dalam penelitian ini akan diperoleh data
primer dan data sekunder. Data primer dapat dilakukan dengan melakukan
observasi, wawancara, focus grup discusion (FGD). Sedangkan data
sekunder dapat diperoleh melalui pengumpulan data-data pendukung dari
instansi terkait dan RPJM dan dokumentasi.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis pola integrasi usaha tani terpadu minapadi adalah


menggunakan teknis analisis deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi
pola-pola integrasi usaha tani yang berbasis padi yang dikembangkan
petani di Kabupatan Konawe. Analisis faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi usaha tani minapadi dan pembangunan daerah lumbung
beras di Sulawesi Tenggara. Inventarisasi faktor-faktor strategi yang
berpengaruh dan penentuan bobot faktor eksternal dan internal untuk
analisa QSPM. Dari hasil inventarisasi faktor-faktor eksternal dan internal
akan dilakukan pembobotan sebagai bahan untuk analisis QSPM.

a. Matriks Strengths, Weaknesses, Opportunitites, Threats (SWOT)

IFAS STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)


EFAS Tentukan 5-10 faktor- Tentukan 5-10 faktor-
faktor kekuatan internal faktor kelemahan internal
OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO
Tentukan 5-10 faktor- Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
faktor peluang menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
eksternal untuk memanfaatkan untuk memanfaatkan
peluang peluang
TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
Tentukan 5-10 faktor- Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
faktor ancaman menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
eksternal untuk mengatasi dan menghindari ancaman
ancaman
74

b. Analisis Quantitative Strategic Planning Matriks (QSPM)

Langkah-langkah untuk analisis QSPM yang akan dilakukan adalah


sebagai berikut.

1) Mendaftarkan peluang/ancaman lingkungan strategi eksternal dan


kekuatan/kelemahan lingkungan internal dari objek peneliti;
2) Memberikan bobot untuk setiap faktor sukses kritis eksternal dan
internal;
3) Mencocokkan matriks dan mengidentifikasi strategi alternatif yang
harus dipertimbangkan untuk di implementasikan;
4) Menetapkan nilai daya tarik atau attractiveness score (AS), yakni
nilai yang menunjukkan ketertarikan relatif untuk masing-masing
strategi yang akan dipilih. Nilai AS = 1 berarti tidak menarik, nilai 2
agak menarik, dan nilai 3 menarik, serta nilai 4 berarti sangat
menarik;
5) Menghitung total nilai AS yang ditetapkan berdasarkan hasil
perkalian bobot (langkah b) dengan nilai AS (langkah d) dalam
setiap baris. Semakin tinggi nilainya berarti alternatif strategi
tersebut semakin menarik, tetapi pada tahap ini masih didadasrkan
pada faktor sukses kritik baris; dan
6) Menghitung jumlah total nilai AS dengan cara menjumlahkan total
nilai AS dalam kolom strategi. Nilai tertinggi menunjukkan strategi
yang paling menarik dengan telah memperhitungkan semua faktor
sukses kritik eksternal dan internal.
75

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Demografi Respoden

Tabel 5.1. Rekapitulasi data rata-rata umur, pendidikan, pengalaman dan


pendapatan menurut kelompok usaha tani berbasis padi

Jumlah
Jenis kelompok Umur Pendidikan Pengalaman Pendapatan ∑sampel
anggota

Kelompok Sawah 42,35 11,5 14,8 26 3.675.000 10

Kelompok 42.35 12.1 16,25 23.73 3.400.000 40


Sawah-Kolam

Kelompok 39,65 10,25 12,05 27,75 3.350.000 20


Sawah-Tambak

Kelompok 45,05 10,7 15,3 30,00 3.550.000 10


Sawah-Ternak

Sumber: Diolah dari data primer 2015

Berdasarkan tabel (1) menunjukkan pengelompokkan responden


menurut pola usaha tani yang menjadi mitra petani dalam penyediaan
produksi dan sarana produksinya dengan rata-rata umur menurut jenis
kelompok tani-ternak adalah 43,35 %, masih tergolong usia produktif. Jenis
kelompok usaha tani-ternak dimaksudkan adalah pola usaha tani berbasis
padi yang menunjang ketersediaan pangan di Kabuapten Konawe dapat
melakukan berbagai pekerjaan dengan baik, karena sebagian besar
petaninya masih berusia produktif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Santoso (2006) yang menyatakan bahwa umur 20–60 tahun merupakan
umur produktif, di mana manusia mempunyai kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu dengan baik. Selanjutnya, pendidikan anggota
kelompok tani-ternak juga tergolong tinggi, di mana rata-rata pendidikan
formal petani adalah 11,5 atau sejajar dengan setingkat SMA. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat petani memiliki kemampuan untuk
menerima inovasi baru terutama yang berkaitan dengan pengembangan
kelompok dan kemitraan. Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang
mencanangkan bagi petani wajib belajar 9 tahun. Hal ini artinya bahwa
pendidikan formal petani yang ada di Kabupaten Konawe sebagian besar
sudah melewati standar dari pemerintah untuk pendidikan 9 tahun.
76

Hal ini diyakini bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang,


semakin siap seseorang untuk mengelola usaha taninya. Demikian halnya
dengan pengalaman bertani bagi anggota kelompok tani-ternak yang ada di
Kabupaten Konawe. Pengalaman bertani menunjukkan bahwa rata-rata
pengalaman bertani adalah 14,8 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman bertani anggota kelompok sangat tinggi. Oleh karena itu, dapat
mempengaruhi tingkat perkembangan dunia usaha pertanian atau
perikanan. Semakin tinggi pengalaman bertani seseorang, semakin tinggi
pula pengetahuan seseorang terhadap usaha taninya. Rata-rata pendapatan
adalah Rp. 3.675.000,00. Hal ini menunjukkan pendapatan masyarakat
sudah cukup tinggi, perhitungan ini adalah perdapatan kotor bagi petani
berdasarkan asumsi penghasilan kotor petani.

Demikian halnya dengan anggota kelompok tani sawah murni.


Umur anggota kelompok menunjukkan umur yang baik. Hal ini dapat
dilihat bahwa rata-rata umur anggota kelompok adalah 41,36 tahun.
Kondisi ini menunjukkan umur yang produktif. Berdasarkan standar yang
ada bahwa umur 20-65 tahun itu merupakan umur produktif, di mana
seseorang mempunyai kemampuan untuk berkeasi dan berinovasi.
Pengalaman pertanian bagi petani padi sawah merupakan pengalaman
yang baik. Rata-rata pengalaman bertani anggota kelompok adalah 12,23.
Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman bertani anggota kelompok cukup
tinggi. Kondisi ini adalah salah satu faktor pendukung dalam usaha tani,
karena semakin tinggi pengalaman bertani, semakin tinggi pula
pengetahuan tentang pertanian. Selanjutnya, dapat dijadikan rujukan
untuk mengembangkan penguatan kelompok dan pengembangan
kemitraan untuk keberlanjutan usaha tani.

Demikian halnya dengan pendidikan formal petani kelompok padi


sawah. Rata-rata pendidikan formal anggota adalah 10,43 atau setara
dengan SMA kelas satu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan petani
anggota kelompok cukup tinggi, yang mana pendidikan ini sangat
mempengaruhi tingkat pemahaman petani dalam inovasi-inovasi baru.
Semakin tinggi pendidikan sesoerang maka semakin tinggi pulan tingkat
pengetahuannya.
77

2. Karakteristik Usaha Tani Terpadu Berbasis Padi di Kabupaten


Konawe

Berdasarkan karakteristik demografi responden menunjukkan


bahwa karakteristik petani yang baik, mulai dari umur yang produktif,
pengalaman bertani yang tinggi dan pendidikan yang tinggi sehingga
diyakini juga akan meningkatkan usaha taninya. Lebih lanjut, karateristik
petani yang baik cenderung malakukan praktik pertanian yang baik pula
(good agriculture practise) dari bentuk karakteristik usaha tani responden.
Bentuk usaha tani yang berkembang di Kabupaten Konawe sudah
menunjukan bentuk usaha tani terpadu namun masih memerlukan
penerapan teknologi yang efektif dan baik. Bentuk kelompok usaha tani
yang terbentuk cukup beraneka ragam sessuai dengan usaha tani yang
diusahakan. Kelompok usaha tani yang ada di Kabupaten Konawe terdiri
atas:

a) Sistem Usaha Tani Sawah + Hortikultura

Dalam pola usaha tani ini memperlihatkan kegiatan mata


pencaharian petani padi sawah dan dikombinasikan dengan menanam
palawija dan hortikultura lainnya selama semusim tanam atau satu tahun.
Kelembagaan usaha tani ini adalah kelompok petani sawah dan bermitra
dengan kelompok suplayer sarana produksi padi sawah, dan palawija serta
bibit hortikultura lainnya. Dalam perkembangannya kelompok ini
beranggotakan 20 orang. Kelompok ini sudah menerapkan sistem
pengolahan secara kelompok. Ketua kelompok memiliki mesin penggiling
khusus untuk anggota kelompok dengan tarif lebih murah.

Berdasarkan hasil pengamatan beberapa lokasi sampling mem-


punyai potensi untuk budi daya persawahan. Data potensi persawahaan
dapat dilihat pada tabel berikut.
78

Tabel 2. Potensi lahan persawahan berdasarkan area sampel kecamatan

Luas lahan
No Kecamatan Persentase (%)
sawah (Ha)
1 Abuki 5.792 15.48
2 Tongauna 8.782 23.48
3 Uepai 3.015 8.06
4 Lambuya 3165 8.46
5 Wawotobi 2.454 6.56
6 Anggaberi 2.027 5.42
7 Wonggeduku 9.475 25.33
8. Kapoyala/Bondoala 2.694 7.20
Total 37.404 100.00
Sumber: Diolah dari data, 2014

Berdasarkan tabel (2) menunjukkan bahwa Kecamatan Wongge-


duku merupakan kecamatan dengan potensi yang sangat besar. Hal ini
dapat dilihat dari data BPS 2014 dan pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa luas lahan persawahaan yang tertinggi adalah di
Kecamatan Wonggeduku sebesar 9.475 ha atau 27,65 % dari total luas
sawah 8 kecamatan sampel di Kabupaten Konawe. Selanjutnya, Kecamatan
Tongauna dengan luas 8.782 ha atau sekitar 25.63 % dari total luas sawah
sampel kecamatan. Kecamatan Anggaberi dan Wawotobi sekitar 13,08 %
dan Kecamatan Meluhu dan Kapoiala seluas 7,94 % yang menyangga ke
Kabupaten Konawe Utara. Kecamatan Wonggeduku adalah merupakan
lokasi dengan penghasil padi yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari
realisasi hasil panen sawah setiap tahunnya yang ditampilkan pada tabel
berikut ini.

Tabel 3. Realisasi panen padi sawah berdasarkan kecamatan

Luas panen
No Kecamatan Persentase (%)
sawah (Ha)
1 Abuki 5.745 15.31
2 Tongauna 8.905 23.73
3 Wepai 3.408 9.08
4 Lambuya 3.465 9.23
5 Wawotobi 2.732 7.28
6 Anggaberi 1.461 3.89
7 Wonggeduku 9.219 24.57
8 Kopoyala/Bondoala 2.592 6.91
Total 37.527 100.00
Sumber: Diolah dari data 2014
79

Berdasarkan tabel (3) menunjukkan bahwa realisasi panen padi sawah


Kecamatan Wonggeduku adalah sebesar 9.219 ha, atau sekitar 26,75 %
dari total realisasi panen padi sawah daerah sampel kecamatan di
Kabupaten Konawe. Jika dikonversi produksi rata-rata 5-6 ton/ha, maka
jumlah produksi beras pada wilayah sampel tertinggi Kecamatan
Wonggeduku adalah berkisar 46.095–55.314 ton/thn. Hal ini menunjukkan
bahwa kecamatan ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan usaha tani terintegrasi baik untuk minapadi maupun
agropasture. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan menujukan bahwa
kecamatan ini sudah cukup maju dalam bidang pengembangan padi sawah,
akan tetapi masih terkendala pada proses manajemen lahan, multipel
cropping atau mixed culture serta kelembagaan dan mitra distribusi
produksi ke arah lumbung pangan.

b) Sawah + Kolam Ikan (Minapadi)

Pola usaha tani ini memperlihatkan kegiatan mata pencaharian


petani sawah kemudian memanfaatkan lahan sawahnya dengan sistem
pemeliharaan ikan dan atau membuat kolam pada petak sawah. Pola usaha
tani ini merupakan intensifikasi dan diversifikasi usaha tani di areal yang
sama atau terpisah. Kelompok petani sawah dan kolam ini merupakan
kelompok integrasi usaha tani dengan usaha perikanan. Secara umum
sebenarnya kelompok ini sudah menunjukkan kemajuan masyarakat di
Kabupaten Konawe sudah mengadopsi cara-cara baik dalam bertani.
Namun dalam perkembangannya masih ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan terkait dengan penguatan kelompok dan penunmbuhan
kemitraan sehingga usaha tani dapat berkelanjutan. Seperti kelompok
mitra karya lestari adalah salah satu kelompok yang menerapkan sistem
ini, kelompok ini beranggotakan 24 orang yang kesemuanya dikoordinir
oleh satu ketua kelompok. Berdasarkan potensi perikanan terdapat
beberapa kecamatan yang memiliki wilayah yang sangat potensial untuk
pengembangan perikanan baik budidaya kolam maupum budidaya tambak.
Potensi wilayah dapat dilihat tabel berikut.
80

Tabel 4. Potensi usaha tani minapadi (padi sawah + kolam ikan) dan realisasi
penebaran ikan kolam berdasarkan kecamatan

Padi Sawah Potensi Realisasi Kolam Ikan


No Kecamatan (Ha) Budidaya Kolam (m2)
Ikan (Ha)
1 Abuki 5.745 227 43.068 (4,31 ha)
2 Tongauna 8.905 282 79.500 (7,90 ha)
3 Wepai 3.408 281 185.000 (18,50 ha)
4 Lambuya 3.465 288 92.000 (9.20 ha)
5 Wawotobi 2.732 218 106.750 (10,67 ha)
6 Anggaberi 1.461 218 61.000 (6,1 ha)
7 Wonggeduku 9.219 212 9.239 (0,92 ha)
8 Bondoala 2.592 2.227 1.071 (1.07 ha)
Total 37.527 3.953 58,70 ha
Sumber: Diolah dari data perikanan, 2015

Berdarakan tabel (4) menunjukkan bahwa wilayah sampel diambil


pada 7 kecamatan yang merupakan kecamatan yang mempunyai potensi
sangat besar untuk pengembangan padi dan perikanan. Hal ini dapat
dilihat bahwa total sampel yang berpotensi untuk pengembangan usaha
tani minapdi apabila potensi sawah dan potensi budiaya ikan kolam
maupun terintegrasi ke dalam sawah dimana luas sawah seluas 34.137 ha
dan potensi budidaya ikan kolam sebanyak 1.691 ha dan realisasi
pengembang usaha tani minapadi sekitar 39,18 ha atau 0,12 % dari total
sawah wilayah sampel. Jika dikonversi ke total potensi lahan kolam sebagai
lahan pembibitan ikan dan penebaran usaha tani minapadi, maka proporsi
usaha tani minapadi baru menempati sekitar 2,31 % dari luas total potensi
budidaya ikan diareal persawahan masyarakat tani.

Sebaran pengembangan ikan kolam terutama ikan nilam dan ikan


mas yang telah direalisasikan pada setiap kecamatan sampel. Luas wilayah
realisasi budidaya kolam ikan mas dan nilam menurut data yang tertinggi
adalah Kecamatan Wepai dengan potensi kolam sebesar 281,0 ha. Realisasi
18,5 ha atau sekitar 6,57 % terhadap potensi kolam. Selanjutnya, di
Kecamatan Wawotobi juga sudah terbentuk kelompok sebanyak 29
kelompok petani kolam atau sebesar 10.67% dari total potensi di
Kecamatan Wawotobi.
81

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa kelompok yang


terbentuk belum berjalan dengan maksimal untuk usaha tani minapadi
akan tetapi mereka menabur di kolam masing-masing sehingga terbentuk
usaha tani terpadu antara kolam dengan pematang sawah. Sebagian
kelompok struktur organisasinya tidak berjalan dengan baik jika
diintegrasikan menjadi 509 ha dengan realisasi budidaya kolam ikan
sebesar 12,20 %. Berdasarkan hasil wawancara salah satu responden
menyatakan bahwa partisipasi anggota kelompok terhadap kelompok
usaha tani masih sangat kurang. Hal ini disebabkan karena pemahanan
anggota kelompok terhadap kontribusi kelompok terhadap pengembangan
usaha taninya masih rendah.

Kecamatan Anggaberi dan Meluhu akan berpotensi untuk


pengembangan minapadi memiliki potensi wilayah perikanan untuk
budidaya perikanan kolam adalah seluah 218 ha, dan meluhu sebesar 253
ha, dengan realisasi sebesar 6,8 %. Hal ini menunjukkan bahwa di masing-
masing kecamatan memiliki potensi yang sangat besar untuk
pengembangan perikanan terutama di Kecamatan Kapoiala/Bondoala.

c) Usaha Tani Sawah + Budidaya Tambak

Selain bentuk kelompok yang berbasis padi seperti disajikan di


atas, perluasan kemitraan usaha tani dan penguatan kelembagaanya dapat
dilakukan dalam bentuk kelompok lain yang ada di daerah pesisir.
Kelompok ini adalah kelompok yang mengusahakan model budidaya
pesisir seperti karamba, rumput laut, tambak masih dapat dikombinasikan
dengan mengintegrasikan usaha budidaya pesisir dengan usaha ternak.
Kecamatan Kapoiala merupakan lokasi dengan potensi untuk
pengembangan budidaya perikanan khususnya petani tambak yang sangat
besar. Hal ini dapat dilihat sebesar 2.874 ha di Kecamatan Kapoiala
merupakan lokasi untuk pengembangan tambak. Kecamatan Kapoiala juga
didukung dengan keberadaan kelompok tamabak yang sangat besar yakni
memiliki kelompok tambak sebanyak 22 kelompok yang terdiri atas 11
kelompok pemula dan 11 kelompok madya. Dengan demikian, maka
diyakini bahwa pengambangan budidaya perikanan di Kecamatan Kapoiala
potensial untuk dikembangkan, dengan memperkuat keberdaan kelompok
atau kelembagaan sebagai penopang keberlanjutan usaha taninya. Jadi,
berdasarkan wawancara terhadap responden bahwa sepengetahuan
mereka usaha tani minapadi itu adalah penanaman padi di areal sawah dan
82

penanaman ikan areal kolam ikan yang waktunya dapat diusahakan secara
bersamaan baik dalam bentuk kolam maupun tambak dan atau sebahagian
kecil menyebar ikan pada areal sekitar padi sawah tapi belum tertata
dengan baik.

d) Usaha Tani Sawah + Ternak + Tambak Ikan

Selain kelompok petani sawah-kolam ada juga kelompok petani


sawah + ternak + tambak ikan. Bentuk usaha tani ini menunjukkan suatu
kegiatan dapat memperluas mitra petani di mana petani sawah sebagai inti
usahanya dan ternak serta tambak ikan sebagai plasmanya. Berdasarkan
hasil survei di lapangan model kelompok integrasi ini merupakan
kelompok yang banyak diikuti oleh masyarakat dan kompleks. Hal ini
terlihat dari hasil perhitungan responden bahwa terdapat 5 kelompok yang
menerapkan integrasi antara padi sawah dan ternak serta kolam/tambak
yaitu terdiri atas kelompok Karya Sejahtera, kelompok Tirta Sari, kelompok
Tunas Mekar, kelompok Kerta Sari, dan kelompok Dewi Sari. Kesemuanya
itu adalah kelompok yang mengusahakan ternak sebagai integrasi dari
usaha padi sawah dan tambak. Dalam perkembangannya kelompok tani-
ternak-ikan ini terdiri atas dua jenis ternak yang diusahakan yaitu
kelompok tani-ternak besar dan kelompok tani-ternak unggas. Yang lebih
menarik dalam bentuk kelompok ini adalah kelompok tani sawah dan
ternak unggas.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan bahwa mereka


mengusahakan ayam buras sebagai integrasi dari usaha taninya. Model
yang dibangun dalam kelompok ini adalah sistem mitra inti-plasma. Ketua
kelompok memelihara induk ayam buras sebanyak 250 ekor, selanjutnya
memelihara dan membiarkan berteluar dan dibiarkan menetas secara
alami. Setelah kurun waktu 2 bulan setelah menetas, induknya dibiarkan
bertelur lagi dan anaknya dijual ke anggotanya dengan harga murah untuk
diternakkan juga. Selain itu, mereka sudah membuat model breeding house
yang dibangun untuk menyimpan/memisahkan dok dengan induknya
sehingga induknya cepat bertelur kembali. Model kelompok ini adalah
salah satu kelompok yang menjadi kekuatan bagi masyarakat di Kabupaten
Konawe untuk menumbuhkan kemitraan yang dapat membantu
masyarakatnya dalam mengembangkan usahanya dan untuk penguatan
kelompok tani-tenak sehingga tetap berkelanjutan.
83

Tabel 5. Potensi sawah, dan peternak berdasarkan jenis ternaknya

Jenis ternak
No Kecamatan
Sapi Kambing Unggas
1 Abuki 1762 314 47.070
2 Uepai 2416 467 34.539
3 Wonggeduku 992 2398 114.224
4 Wawotobi 291 294 2.835
Total 5.461 3.473 198.668
Sumber: Diolah dari data, 2015

Berdasarkan tabel (5) di atas menunjukkan bahwa empat wilayah


kecamatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat adalah
daerah yang mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan, sawah,
dan kolam. Hal ini dapat dilihat di Kecamatan Uepai terdapat 2416 ekor
ternak sapi, 476 ekor kambing, dan 114.224 ekor ternak unggas. Dengan
demikian untuk menunjang pengembangan peternakan, maka harus
didukung dengan penguatan kelembagaan yang kuat. Data BPS Kabupaten
Konawe menunjukkan bahwa kelompok usaha tani di Kecamatan
Wonggeduku masih didominasi oleh kelompok padi sawah. Untuk
menunjang keberlanjutan usaha ternak harus dapat diintegrasikan antara
kelompok usaha tani padi sawah dengan kelompok ternak.

3. Penguatan Kelompok Usaha Tani Minapadi dan Pengembangan


Daerah Lumbung Pangan Beras Provinsi Sulawesi Tenggara
a) Penguatan Kelompok Usaha Tani Minapadi
Penguatan kelompok usaha tani yang berbasis pangan beras telah
terbentuk di Kabupaten Konawe sejak terbukanya lahan persawahan dan
tersebar seluruh wilayah sampel kecamatan. Pengambilan sampel data
penelitian ini didasarkan pada luas dan jumlah produksi tertinggi areal
persawahan dan kelompok tani yang aktif mengolah sawah dengan
berbagai diviersifikasi usahanya, namun untuk langkah penguatan dalam
pembentukan lumbung pangan beras masih belum terlihat tetapi
diserahkan petani untuk menyalurkan produksi ke pasar secara bebas.
Awalnya kelompok tani membentuk kantong-kantong produksi beras yang
mereka kenal dengan lumbung beras. Untuk meningkatkan pemahaman
petani terhadap lumbung pangan beras itu akan dilakukan peningkatan
84

kelas kemampuan kelompok tani agar dapat menjadi simpul pasar beras
masing-masing dan atau menjembatani Bulog dengan kepentingan petani.
Kelas kemampuan petani awalnya dilakukan pada ketua kelompok
sebagai bentuk upaya pembinaan pemerintah kepada petani agar petani
dapat meningkatkan usaha taninya sekaligus meningkatkan pendapatan-
nya. Penguatan kelas kelompok tani sawah sebagai petani sukses dalam
meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan usaha tani dan
pendistribusiannya melalui Bulog sebagai mitra petani. Akan tetapi, peran
Bulog sekarang ini hanya menyangga harga beras untuk kebutuhan
pemerintah dengan harga standar sehingga mereka enggan menjual gabah
kering giling/beras kepada Bulog.

Tabel 6. Distrbusi jumlah kelompok minapadi dan penguatan kelas


kelompok tani wilayah sampel Abuki-Tongauna

Penguatan kelompok/lembaga petani


Jenis kelompok mitra
No Pemula Lanjut Total
1 Kelompok tambak 11 11 22
2 Kelompok nelayan 4 - 4
3 Kelompok pengasapan 3 1 4
4 Kelompok kehutanan 2 2 4
5 Kelompok perkebunan 8 1 9
6 Tanaman pangan 6 1 7
Total 34 16 50
Sumber: Diolah dari data, 2015

Berdasarkan tabel (6) di atas menunjukkan bahwa jumlah kelompok


yang terbentuk di kecamatan sampel adalah sebanyak 50 kelompok, terdiri
atas 35 kelompok pemula dan 15 kelompok lanjutan. Kelompok yang
terbentuk didominasi oleh kelompok pemula. Artinya, secara kelembagaan
kekutan kelompok masih belum maksimal. Secara garis besar dapat
diasumsikan bahwa hampir semua masyarakat di kecamatan baru
membentuk kelompok dalam menjalankan usaha taninya, padahal dapat
kita ketahui bahwa dengan kelompok yang kuat makan usaha taninya akan
berkembang dengan sangat baik. Hal ini dapat kita lihat juga bahwa
kelompok yang terbentuk terdiri atas: (a) kelompok tambak yaitu
sebanyak 11 kelompok pemula dan 11 kelompok lanjut, kelompok nelayan
sebanyak 4 kelompok pemula; (b) kelompok pengasapan ikan terdiri atas 3
kelompok pemula dan 1 kelompok lanjut; (c) kelompok kehutanan terdiri
atas 2 kelompok pemula dan 2 kelompok lanjut; (d) kelompok perkebunan
85

terdiri atas 8 kelompok pemula dan 1 kelompok lanjut; serta (e) kelompok
tanaman pangan terdiri atas 6 kelompok pemula. Hal ini menunjukkan di
kecamatan seluruh wilayah sampel mempunyai potensi untuk penguatan
kelembagaan dari masing-masing jenis usaha tani sehingga dapat menjadi
daerah lumbung pangan yang baik.

Kemudian selain itu juga di Kecamatan Anggaberi merupakan


daerah dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 60 kelompok,
selanjutnya distribusi masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel
berikut.

Tabel 7. Distrbusi jumlah kelompok berdasarkan kelas kelompok tani di


Kecamatan Anggaberi/Wawotobi

No Jenis kelompok mitra Penguatan kelompok/Lembaga petani


Pemula Lanjut Total
1 Kelompok padi sawah 21 19 40
2 Kelompok perikanan 8 - 8
3 Kelompok kehutanan 8 - 8
4 Kelompok kakao 3 1 4
Total 40 20 60
Sumber: Diolah dari data, 2015

Berdasarkan tabel (7) di atas menunjukkan bahwa Kecamatan


Anggaberi merupakan kecamatan dengan jumlah kelompok padi sawah
yang banyak. Hal ini dapat dilihat sebanyak 40 kelompok yang terdiri atas
21 kelompok pemula dan 19 kelompok lanjut. Kelompok perikanan terdiri
atas 8 kelompok pemula, kelompok kehutanan juga memiliki 8 kelompok
pemula, serta kelompok kakao yang terdiri atas 3 kelompok pemula dan 1
kelompok lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Anggaberi
memiliki potensi untuk pengembangan persawahan melalui penguatan
kelembagaan, sehingga kelompok ini dapat menjadi kelompok madya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa kecamatan ini mempunyai
potensi untuk dikembangkan integrasi usaha tani antara petani sawah
dengan perikanan karena sebagian masyarakatnya juga menggembari
usaha perikanan.

Kecamatan Wonggeduku merupakan kecamatan dengan jumlah


kelompok padi sawah yang terbesar di Kabupaten Konawe. Hal ini dapat
dilihat dari 144 kelompok usaha tani padi sawah kesemuanya adalah
86

kelompok pemula. Hal ini membutuhkan perhatian yang serius dari


pemerintah mengenai strategi-strategi dalam penguatan kelompok,
sehingga daerah ini dapat menjadi sentral penghasil beras di Provinsi
Sulawesi Tenggara dan bahkan Indonesia. Selain itu, Kecamatan Uepai juga
banyak memiliki kelompok-kelompok usaha tani yang sudah terbentuk. Hal
ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Distrbusi jumlah kelompok berdasarkan kelas kelompok


Kecamatan Uepai-Lambuya

Jenis kelompok Mitra Penguatan kelompok/Lembaga Petani


No Pemula Lanjut Total
1 Kelompok padi sawah 28 33 61
2 Kelompok ternak 3 - 3
3 Kelompok hortikultura 3 - 3
4 Kelompok kakao 12 11 23
5 Kelompok jagung 1 - 1
Total 47 44 91
Sumber: Diolah dari data, 2015

Berdasarkan tabel (8) di atas menunjukkan bahwa Kecamatan


Uepai merupakan kecamatan dengan banyak potensi berdasarkan
kelompok usaha taninya. Kelompok yang ada di Kecamatan Uepai adalah
sebanyak 81 kelompok usaha tani. Terdiri atas kelompok padi sawah
sebanyak 61 kelompok, terbagi dari 28 kelompok pemula dan 33 kelompok
lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok padi sawah di Kecamatan
Uepai sudah lama digeluti. Hal ini merupakan kekuatan bagi pemeritah
dalam mengembangkan usaha tani padi sawah di Kecamatan Uepai.
Selanjutnya, kelompok ternak terdiri atas 3 kelompok pemula, kelompok
tanaman holtikultura sebanyak 3 kelompok pemual, kelompok petani
kakao sebnyak 23 kelompok terdiri atas 12 kelompok pemula dan 11
kelompok lanjut, dan kelompok jagung yang terdiri 1 kelompok pemula.
Hal ini menunjukan bahwa di kecamtan uepai dapat dikembangkan
kelompok usaha tani padi sawah terintegrasi dengan peternakan.

Berdasarkan penjelasan di atas makan dapat disimpulkan bahwa


sebagian besar kelompok usaha tani yang terbentuk di kabupaten konawe
adalah kelompok pemula. Hal ini menunjukan bahwa perlunya penguatan
kelembagaan dalam semua jenis usaha. Sehingga bentuk usaha yang
87

dilakukan oleh masyarakat dapat tumbuh dan berkelanjutan dengan di


topang dengan kelembagaan yang kuat.

Penguatan kelas kelompok usaha tani minapadi di atas


diklasifikasikan dalam bentuk usaha tani minapadi. Bentuk usaha tani
minapadi menurut pengamatan di lapangan bahwa ada empat kelompok
minapadi yakni: (1) sawah dan kolam terpisah; (2) minapadi sawah padi
bersama ikan satu areal; (3) minapadi sawah dengan kolam ikan dan
ternak; dan (4) minapadi sawah dan tambak. Semuanya kelompok kelas
pemula minapadi dan sebagian kelas minapadi lanjut.

b) Pengembangan Teknologi Usaha Tani Minapadi

Pengembangan usaha tani terpadu minapadi yang produktif dan


adaptif pada ekosistem sawah memerlukan persyaratan teknis sebagai
berikut.

1) Kriteria varietas padi meliputi: (1) tahan genangan pada awal


pertumbuhan; (2) ketinggian tanaman sedang; (3) perakaran
dalam; (4) cepat beranak/tunas; (5) batang kuat dan tidak mudah
rebah; (6) tahan hama dan penyakit; (7) produksi tinggi; (8) daun
tegak; dan (9) rasanya enak sehingga disukai masyarakat;
2) Kriteria jenis ukan untuk minapadi terdiri atas: (1) warna tidak
mencolok; (2) tahan hidup di air dangkal dan panas; (3) dipilih dari
induk unggul dan sehat; (4) disukai masyarakat dan mempunyai
harga jual yang memuaskan;
3) Desain lahan, pola tanam dan penebaran ikan. Penebaran benih
ikan pada sawah dataran rendah berbeda dengan sawah dataran
sedang. Pada sawah dataran rendah waktu penebaran benih 5-7
hari setelah tanam padi dan pada sawah dataran sedang waktu
penebaran benih ikan dilaksanakan pada umur 10-12 hari setelah
tanam padi. Jenis Ikan yang ditebar oleh petani ikan Mas dan Nilam
pada vaietas padi Mekongga dan cisantana. Jadi Kelas usaha tani di
Kabupaten Konawe hanya di Wilayah BP4K Uepai-Lambuya dan
BP4K Anggaberi- Wawotobi yang telah melaksanakan sistem
Minapadi yang memenuhi syarat Teknologi. Sedangkan BP4K
Abuki–Tongauna baru direncanakan untuk semi teknis karena
Sistem pengariran sawahnya baru tahun 2014 dioperasikan. Jadi
usaha tani minapadi masih terpisah antara padi sawah dengan ikan
88

di Kolam. Begitu juga pada BP4K Wonggeduku yang tertinggi luas


sawah dan rawa ikan air tawar paling tinggi sehingga minapadi
dilakukan sebahagian masih terpisah.

Desain lahan Minapadi yang menurut teoritik adalah


mengembangkan saluran air disepanjang pematang dengan jarak 0,5 m dan
kedalaman 15-20 cm dari permukaan sawah sehingga pada saat mengairi
sawah ketinggian air sekitar 15-20 cm seperti pada gambar berikut :

c) Desain Lumbung Pangan Beras Provinsi

Pengembangan daerah lumbung pangan beras Nasional pada tahun


2014 dialokasikan stok beras pada Bulog sebesar 10 juta ton. Untuk tingkat
Provinsi Sulawesi Tenggara mentargetkan satu juta ton per tahun bukan
standar yang sulit, mengingat hamparan wilayah persawahan di Sulawesi
Tenggara cukup luas. Perkiraan stok pangan beras daerah Sulawesi
Tenggara setelah dikurangi konsumsi diharapkan masih tersimpan stok
beras pada Bulog setiap tahunnya. Oleh karena itu, lembaga penyangga
produksi beras di tingkat petani masih perlu dipikirkan oleh daerah
terutama dalam distribusinya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya capital fly yang terdapat pada sektor distribusi barang dagangan
jika petani diberi kebebasan dalam penjualan berasnya ke pasar domestik
maupun ekspor.

Analisis persediaan produksi beras dipengaruhi oleh luas tanam


dan luas panen serta kondisi budidayanya terutama sumber air irigasi.
Konsep dasar pemikiran usaha tani minapadi adalah petani ingin
mengembangkan usaha tani dan pendapatan dengan memanfaatkan lahan
dan air seefisien mungkin. Oleh karena itu, data luas panen dan tebaran
ikan serta produksi beras pada wilayah pengembangan daerah lumbung
89

pangan beras Provinsi di Kabupaten Konawe dapat dilihat pada tabel


berikut.

Tabel 9. Rata-rata luas panen, luas kolam ikan dan produksi beras pada
lokasi pengembangan lumbung beras provinsi

Luas panen Jumlah tebaran Produksi Presentase


No Lokasi lumbung
(ha) bibit ikan/ha (ton/Thn ) (%)
1. Abuki-Tongauna 14.650 20.000 73.250 39.039
2. Uepai-Lambuya 6.873 20.000-100.000 34.365 18.315
3. Wawotobi- 4.193 20.000- 50.000 20.965 11.173
Anggaberi
4. Wonggeduku- 11.811 20.000 59.055 31.473
Bondoala
Jumlah 24.342 187.635 100,00
Sumber, Diolah dari data Sekunder Dinas Pertanian Konawe, 2014

Berdasarkan tabel (9) jumlah produksi pada empat kawasan


rencana pengembangan lumbung pangan beras provinsi sebesar 187.635
t/th untuk satu musim tanam. Jika dalam satu tahun dapat dilakukan 2-3
kali tanam padi, maka akan tersedia produksi beras setiap tahunnya pada
BP4K sebesar 375.270 ton/th sampai dengan 562.905 ton/th. Dengan
tingkat produktivitas persawahan yang demikian tinggi sangat
memerlukan penanganan serius dan kolektif terutama pada saat
pascapanen dan distribusi beras ke pasaran domestik maupun ekspor.

Total produksi untuk kabupaten dengan luas panen 50.809 ha jika


dirata-ratakan produksi per hektar minimal 5 ton, maka petani
menghasilkan beras pada setiap tahunnya sebesar 254.045 ton/tahun
dalam perhintungan satu musim tanam. Jika musim tanam padi
ditingkatkan menjadi 2-3 kali tanam, maka Kabupaten Konawe dapat
menyiapkan stok pangan beras minimal sebesar 508.090 ton/th sampai
dengan 762.125 ton/th.

4. Inventarisasi dan Pembobotan Faktor-Faktor Strategi Lingkungan


Eksternal

Faktor-faktor strategi lingkungan eksternal yang berpengaruh


terhadap penumbuhan kemitraan dan penguatan kelembagaan petani
dalam mendukung ketahanan pangan di Kabupaten Konawe terdiri atas
peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Pembobotan terhadap
90

faktor-faktor strategi lingkungan eksternal, secara berurutan mulai dengan


skor bobot tertinggi hingga yang terendah disajikan pada tabel berikut.

Tabel 10. Urutan skor bobot fakro-faktor strategi eksternal

No Faktor-faktor strategi lingkungan eksternal Skor bobot


Peluang
1 Kebijakan pemerintah mengenau usaha tani sawah,ternak 0.091
dan perikanan
2 Kesempatan kerja dan berusahatani 0.072
3 Peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah 0.071
4 Permintaan pasar 0.070
5 Terbentuk kelompok usaha tani 0.065
6 Tuntutan standar mutu 0.059
7 Investasi dan peranan swasta (BP4S) 0.052
8 Keberadaan lembaga penelitian dan pengembangan 0.051
pertanian terpadu
Ancaman
9 Partisipasi masyarakat rendah 0.060
10 Hama dan penyakit 0.053
11 Fluktuasi harga hasil pertanian dan peternakan serta 0.064
perikanan (pangan)
12 Berkembangnya lembaga pengkreditan tradisional 0.062
13 perdagangan global 0.063
14 Kelembagaan atau kelompok yang tidak kuat 0.058
15 Degradasi sumberdaya alam 0.055
16 Keberpihakan lembaga bank 0,054

5. Inventarisasi dan Pembobotan Faktor-Faktor Strategi Lingkungan


Internal

Faktor-faktor lingkungan internal yang berpengaruh terhadap


pengembangan pembuatan kelompok usaha tani pertanian, peternakan,
dan perikanan secara terpadu atau terintegrasi di Kabupaten Konawe
terdiri atas keuntungan (strengths) dan kelemahan (weakness).

Hasil perhitungan dan pembobotan terhadap faktor-faktor strategi


internal secara berurutan mulai dari faktor strategi internal dengan bobot
tertinggi hingga yang terendah disajikan pada tabel berikut.
91

Tabel 11. Urutan skor bobot faktor-faktor strategi lingkungan internal

No Faktor-faktor strategi lingkungan internal Skor bobot


Kekuatan
1 Kondisi lahan yang menunjang budidaya padi sawah dan 0,072
perikanan.
2 Kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan yang menunjang 0,068
usaha tani
3 Dukungan ketersediaan tenaga kerja lokal 0,065
4 Sumber daya petani 0,064
5 Minat petani 0,062
6 Potensi hasil pertanian, perikanan dan Peternakan 0,061
Kelemahan
7 Penyediaan/introduksi bibit unggul yang masih rendah 0,070
8 Kemampuan dan akses permodalan 0,067
9 Masih terbatasnya teknologi komoditas spesifik 0,065
dikembangkan
10 Kurangnya seleksi hasil panen dan produksi secara optimal 0,056
11 Kontinuitas dan kualitas produksi tidak stabil/rendah 0,054
12 Belum ada tempat penampungan beras secara terpadu 0,052
13 Pengolahan produk dan bisnis benih yang belum lancar 0,051
14 Pola tataniaga dan distribusi produk beras relatif panjang 0,050
15 Kelembagaan petani yang masih kurang baik 0,049
16 Sistem standarisasi mutu hasil pertanian, dan perikanan 0,048
17 Pelayanan petugas penyuluhan yang tidak optimal 0,046

6. Analisis Strategi Pengembangan Minapadi dan Daerah Lumbung


Pangan Beras

Analisis dan formulasi strategi usaha tani terpadu minapadi dan


lumbung pangan beras Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan dengan
analisis matriks SWOT, sebagaimana diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel.12 Formulasi strategi penembangan usaha tani minapadi dalam


rangka pengembangan daerah lumbung beras/pangan di Kabupaten Konawe

IFAS KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W)


EFAS 1. Kondisi lahan yang 1. Penyediaan/introduksi bibit
menunjang budidaya unggul yang masih rendah
padi sawah dan 2. Kemampuan dan akses
peternakan serta permodalan rendah
perikanan. 3. Masih terbatasnya teknologi
2. Kesesuaian lahan dan dan komoditas yang
daya dukung kawasan dikembangkan
yang menunjang usaha 4. Kurangnya seleksi hasil panen
92

tani dan produksi secara optimal


3. Dukungan 5. Kontinuitas dan kualitas
ketersediaan tenaga produksi tidak stabil/rendah
kerja lokal 6. Belum ada tempat pengolahan
4. Sumber daya petani secara terpadu dan
5. Minat petani berkelanjutan
6. Potensi hasil 7. Pengolahan produk dan
pertanian, peternakan sistem aqua bisbis yang belum
dan perikanan lancar
8. Pola tataniaga dan distribusi
yang dijalankan relatif
panjang
9. Kelembagaan petani yang
masih kurang baik
10. Penentuan standarisasi mutu
hasil pertanian, peternakan
dan perikanan
11. Pelayanan petugas
penyuluhan yang tidak
optimal
PELUANG (O) STRATEGI (SO) STRATEGI (WO)
1. Kebijakan 1. Mengembangkan 1. Mengeluarkan kebijakan
pemerintah kegiatan intensifikasi tentang virietas bibit yang
2. Kesempatan kerja budidaya pertanian, dapat ditanan oleh petani
dan berusaha peternakan dan melalui pengawasan yang
3. Peningkatan perikanan dengan ketat.
pendapatan daerah mempertimbangkan 2. Pemberian bantuan modal dan
dan masyarakat aspek biogeofisik bantuan sarana dan prasarana
4. Permintaan pasar (biologi, kimia, dan pertanian dengan pengawasan
5. Terbentuk fisika) dengan langsung oleh pemerintah
kelompok kesesuaian lahan, serta 3. Memberdayakan kelembagaan
usahatani daya dukung yang dapat perekonomian/keuangan
6. Tuntutan standar menyerap tenaga kerja berbasis masyarakat dengan
mutu trampil yang lebih maju memanfaatkan tenaga kerja
7. Investasi dan dan berkelanjutan. lokal serta mejalin kerja sama
peranan swasta 2. Membuat kebijakan pemasaran lokal dengan
8. Keberadaan tertulis tentang pengusaha swasta melalui
lembaga penelitian pengawasan mutu hasil fasilitator pemerintah.
dan pengembangan pertanian mulai dari 4. Menumbuhkan kemitraan
pertanian terpadu bibit yang akan ditanam antara petani, pemerintah, dan
9. Harga beli dolog dan dipeliharan secra lembaga pendidikan dan
yang tinggi waktu panen yang baik penelitian guna meningkatan
3. Meningkatkan produksi SDM dan pencapaian standar
dan kualitas produk mutu prodak
dengan memperhatikan 5. Optimalisasi peran serta
aspek penanganan dan lembaga penyuluhan BP3K
tekhnis yang lebih maju yang ada di kecamatan dalam
dan berteknologi rangka mengawal dan
melalui pengembangan membimbing setiap item
SDM dan informasi pada kegiatan dan teknologi yang
berbagai pelatihan dari diberikan agar tepat sasaran.
lembaga penelitian
4. Membentuk kembali
93

struktur organisasi
dalam kelompok yang
ada di masing-masing
usaha tani
5. Memberikan insentif
kepada masing-masing
anggota kelompok
berdasarkan jumlah dan
mutu hasil pertanian
yang diperoleh dengan
pengawan langsung
oleh pemerintah
6. Membentuk model
usaha tani kemitraan
yang terintegrasi antara
pertanian, peternakan
dan perikanan dengan
mendatangkan
beberapa inventor/
pemberi modal dengan
perjanjian MoU
sehingga petani bisa
yakin.
ANCAMAN (T) STRATEGI (ST) STRATEGI (WT)
1. Partisipasi 1. Meningkatkan 1. Membangun maindset
masyarakat rendah partisipasi masyarakat masyarakat terkait dengan
2. Hama dan penyakit dalam mengelolah uasahatani untuk
3. Fluktuasi harga kelembagaan uasaha menghasilkan mutu yang baik
hasil pertanian dan tani yang ada dengan dengan pembentukan Perda
peternakan serta memberikan reward untuk baku mutu produk
perikanan kepada petani yang sehingga dapat
4. Berkembangnya berhasil mempersiapakan diri pada era
lembaga 2. Menentukan harga pasar MEA.
pengkreditan dasar dari hasil 2. Membangun maindset
tradisional pertanian, peternakan masyarakat terkait dengan
5. Perdagangan global dan perikanan di pentingnya kelembagaan
6. Kelembagaan yang tingkat petani. dalam usaha tani sehingga
tidak kuat 3. Membangun kawasan mereka dapat terpacu untuk
7. Degradasi pertanian terpadu yang memperbaiki manajemen
sumberdaya alam diawasi oleh usahanya dalam mencapai
8. Keberpihakan pemerintah sehingga swasembada pangan di
lembaga bank dalam pengawasan Kabupaten Konawe
mengenai penyakit 3. Membentuk team yang dapat
dapat tangani dengan menjalin kemitraan/ mencari
cepat mitra baik dengan sistem inti-
4. Menyediakan lembaga plasma untuk permodalan,
pengkreditan dengan pemasaran dan bahkan
suku bungan yang investor yang dapat membantu
rendah dan tanpa masyarakat mengembangkan
agunan dengan usahanya sehingga dapat
kesepakatan yang menghasilkan produk yang
bersama. berkualitas baik
5. Peningkatan 4. Membangun pos pelayanan
94

keterampilan, sikap dan terpadu yang dikelolah oleh


pengetahuan lembaga penyuluhan agan
masyarakat petani masyarakat dapat
tentang pemanfaatan mengaduhkan permasalahan
lahan yang baik dengan yang dihadapi di lapangan
tanpa menggunakan dengan pengawan langsung
pestisida dengan dari pemerintah daerah.
pemberian punishment 5. Mengaktifkan kembali koperasi
dan lebih mengarah unit desa dan bekerja sama
pada pemafaatan dengan pemerintah dengan
bahan-bahan organik pengawasan langsung dari
dalam menjalankan pemerintah daerah.
usaha taninya 6. Melakukan pelatihan terpola
dan terjadwal tiap tahunnya
kepada masyarakat petani
yang mempunyai keterampilan
yang rendah.

7. Prioritas Strategi Kebijakan Pengembangan Minapadi dan Daerah


Lumbung Pangan Beras Provinsi Sulawesi Tenggara di Kabupaten
Konawe

Seluruh formulasi strategi yang dihasilkan dari analisis


menggunakan matriks SWOT pada prinsipnya sangat penting untuk
menunjang pengembangan pertanian dengan model penguatan
kelembagaan dan penumbuhan kemitraan dalam rangka ketahanan pangan
di Kabupaten Konawe. Dari strategi yang ada tersebut saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, karena keterbatasan
sumber daya yang dimiliki untuk melakukan seluruh strategi tersebut
dalam kurung waktu yang bersamaan, maka diperlukan urutan perincian
prioritas dalam pelaksanaannya. Hasil perhitungan menggunakan
Quantitative Strategi Planing Matriks (OSPM) diperoleh nilai total
attractivennes score dari masing-masing strategi, hasil perhitungan
tersebut kami sajikan pada tabel berikut.
95

Tabel 13. Urutan prioritas strategi pengembangan usaha tani minapadi


dalam rangka pembangunan daerah lumbung beras Sulawesi Tenggara di
Kabupaten Konawe

Prioritas Strategi
1 Mengembangkan kegiatan intensifikasi budidaya pertanian,
peternakan dan perikanan dengan mempertimbangkan aspek
biogeofisik (biologi, kimia, dan fisika) dengn kesesuaian lahan, serta
daya dukung yang dapat menyerap tenaga kerja terampil yang lebih
maju dan berkelanjutan.
2 Memberdayakan kelembagaan perekonomian/keuangan berbasis
masyarakat dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal serta mejalin
kerja sama pemasaran lokal dengan pengusaha swasta melalui
fasilitator pemerintah.
3 Membangun maindset masyarakat terkait dengan pentingnya
kelembagaan dalam usaha tani sehingga mereka dapat terpacu untuk
memperbaiki manajemen usahanya dalam mencapai swasembada
pangan di Kabupaten Konawe
4 Melakukan pelatihan terpola dan terjadwal tiap tahunnya kepada
masyarakat petani yang mempunyai keterampilan yang rendah.
5 Optimalisasi peran serta lembaga penyuluhan BP3K yang ada di
kecamatan dalam rangka mengawal dan membimbing setiap item
kegiatan dan teknologi yang diberikan agar tepat sasaran.
6 Membangun pos pelayanan terpadu yang dikelolah oleh lembaga
penyuluhan agan masyarakat dapat mengaduhkan permasalahan
yang dihadapi di lapangan dengan pengawan langsung dari
pemerintah daerah.
7 Membentuk kembali struktur organisasi dalam kelompok yang ada di
masing-masing usaha tani.
8 Membentuk team yang dapat menjalin kemitraan/mencari mitra baik
dengan sistem inti-plasma untuk permodalan, pemasaran dan bahkan
investor yang dapat membantu masyarakat mengembangkan
usahanya sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas baik.
9 Membangun maindset masyarakat terkait dengan uasahatani untuk
menghasilkan mutu yang baik dengan pembentukan perda untuk
baku mutu produk sehingga dapat mempersiapakan diri pada era
pasar MEA.
10 Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola kelembagaan
uasaha tani yang ada dengan memberikan reward kepada petani yang
berhasil
11 Mengaktifkan kembali Koperasi Unit Desa dan bekerja sama dengan
pemerintah dengan pengawasan langsung dari pemerintah daerah.
12 Membuat kebijakan tertulis tentang pengawasan mutu hasil pertanian
mulai dari bibit yang akan ditanam dan dipeliharan secsra waktu
panen yang baik.
13 Pemberian bantuan modal dan bantuan sarana dan prasarana
pertanian dengan pengawasan langsung oleh pemerintah
96

14 Mengeluarkan kebijakan tentang virietas bibit yang dapat ditanan


oleh petani melalui pengawasan yang ketat.
15 Memberikan insentif kepada masing-masing anggota kelompok
berdasarkan jumlah dan mutu hasil pertanian yang diperoleh dengan
pengawan langsung oleh pemerintah
16 Membentuk model usaha tani kemitraan yang terintegrasi antara
pertanian, peternakan dan perikanan dengan mendatangkan
beberapa inventor/pemberi modal dengan perjanjian MoU sehingga
petani bisa yakin.
17 Menumbuhkan kemitraan antara petani, pemerintah, dan lembaga
pendidikan dan penelitian guna meningkatan SDM dan pencapaian
standar mutu produk
18 Meningkatkan produksi dan kualitas produk dengan memperhatikan
aspek penanganan dan tekhnis yang lebih maju dan berteknologi
melalui pengembangan SDM dan informasi pada berbagai pelatihan
dari lembaga penelitian
19 Peningkatan keterampilan, sikap dan pengetahuan masyarakat petani
tentang pemanfaatan lahan yang baik dengan tanpa menggunakan
pestisida dengan pemberian punishment dan lebih mengarah pada
pemafaatan bahan-bahan organic dalam menjalankan usahataninya
20 Membangun kawasan pertanian terpadu yang diawasi oleh
pemerintah sehingga dalam pengawasan mengenai penyakit dapat
tangani dengan cepat
21 Menentukan harga dasar dari hasil pertanian, peternakan dan
perikanan di tingkat petani.
22 Menyediakan lembaga pengkreditan dengan suku bungan yang
rendah dan tanpa agunan dengan kesepakatan yang bersama.

Penentuan kebijakan pengembangan usaha tani secara terpadu atau


terintegrasi melalui penumbuhan kemitraan dan penguatan kelembagaan
dalam rangka ketahanan pangan di Kabupaten Konawe secara
berkelanjutan telah ditentukan berdasarkan pendekatan agroekoteknologi
dan hasil analisis SWOT ada empat dimensi/pilar yaitu: (1) dimensi
ekologis; (2) dimensi teknologi; (3) dimensi sosial ekonomi; dan (4)
dimensi hukum.
97

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai


berikut.

1) Karakteristik demografis petani yang masih produktif dapat


mewujudkan usaha tani terpadu minapadi yang produktif;
2) Penerapan teknologi minapadi berbanding lurus dengan daerah
lumbung beras provinsi dengan indikator integrasi sawah kolam ikan,
sawah dan tambak ikan, sawah dan ternak, sawah-ternak dan ikan,
penguatan kelompok tani minapadi, desain teknik minapadi, dan desain
pengembangan daerah lumbung beras provinsi;
3) Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengembangan pertanian,
peternakan, dan perikanan di Kabupaten Konawe terdiri atas faktor
internal yang meliputi: (1) kondisi lahan yang menunjang budidaya padi
sawah dan peternakan, serta perikanan; (2) kesesuaian lahan dan daya
dukung kawasan yang menunjang usaha tani; (3) dukungan
ketersediaan tenaga kerja lokal; (4) sumber daya petani; (5) minat
petani; (6) potensi hasil pertanian, peternakan, dan perikanan; (7)
penyediaan/introduksi bibit unggul yang masih rendah; (8)
kemampuan dan akses permodalan; (9) masih terbatasnya teknologi
dan komoditas yang dikembangkan; (10) kurangnya seleksi hasil panen
dan produksi secara optimal; (11) kontinuitas dan kualitas produksi
tidak stabil/rendah; (12) belum ada tempat pengolahan secara terpadu
dan berkelanjutan; (13) pengolahan produk dan sistem aqua bisnis yang
belum lancer; (14) pola tataniaga dan distribusi yang dijalankan relatif
Panjang; (15) kelembagaan petani yang masih kurang baik; (16)
penentuan standarisasi mutu hasil pertanian, peternakan dan
perikanan; dan (17) pelayanan petugas penyuluhan yang tidak optimal.
Sedangkan, faktor eksternal meliputi: (1) kebijakan pemerintah; (2)
kesempatan kerja dan berusaha; (3) peningkatan pendapatan daerah
dan masyarakat; (4) permintaan pasar; (5) terbentuk kelompok usaha
tani; (6) tuntutan standar mutu; (7) investasi dan peranan swasta; (8)
keberadaan lembaga penelitian dan pengembangan pertanian terpadu;
(9) partisipasi masyarakat rendah; (10) hama dan penyakit; (11)
fluktuasi harga hasil pertanian dan peternakan, serta perikanan; (12)
bunga kredit bank yang tinggi; (13) perdagangan global; (14)
98

kelembagaan yang tidak kuat; (15) degradasi sumber daya alam; dan
(16) keberpihakan lembaga bank.
4) Prioritas strategi kebijakan pengembangan minapadi dan daerah
lumbung pangan meliputi lima prioritas utama antara lain: (1)
mengembangkan kegiatan intensifikasi budidaya pertanian, peternakan
dan perikanan dengan mempertimbangkan aspek biogeofisik (biologi,
kimia, dan fisika) dengn kesesuaian lahan, serta daya dukung yang
dapat menyerap tenaga kerja terampil yang lebih maju dan
berkelanjutan; (2) memberdayakan kelembagaan perekonomian/
keuangan berbasis masyarakat dengan memanfaatkan tenaga kerja
lokal serta menjalin kerja sama pemasaran lokal dengan pengusaha
swasta melalui fasilitator pemerintah; (3) membangun maindset
masyarakat terkait dengan pentingnya kelembagaan dalam usaha tani
sehingga mereka dapat terpacu untuk memperbaiki manajemen
usahanya dalam mencapai swasembada pangan di Kabupaten Konawe;
(4) melakukan pelatihan terpola dan terjadwal tiap tahunnya kepada
masyarakat petani yang mempunyai keterampilan yang rendah; (5)
optimalisasi peran serta lembaga penyuluhan BP3K yang ada di
kecamatan dalam rangka mengawal dan membimbing setiap item
kegiatan dan teknologi yang diberikan agar tepat sasaran.
5) Kebijakan pengembangan usaha tani minapadi dalam rangka
pembangunan daerah lumbung pangan beras Sulawesi Tenggara di
Kabupaten Konawe, melalui pendekatan agroekoteknopreneur dengan
empat dimensi utama: (1) dimensi ekologis; (2) dimensi teknologi; (3)
dimensi sosial ekonomi/agrobisnis; dan (4) dimensi hukum kemitraan
perdagangan global.

2. Rekomendasi

Rekomendasi dalam tulisan ini diuraikan sebagai berikut.

1) Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan penetapan pilar-


pilar pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan secara
terpadu dalam rangka penumbuhan ekonomi daerah;
2) Petani mengembangkan intensifikasi budidaya pertanian terpadu
seperti minapadi, padi dan ternak, padi, ternak dan perikanan dengan
mempertimbangkan aspek biogeofisik (biologi, kimia, dan fisika) dengn
kesesuaian lahan, serta daya dukung yang dapat menyerap tenaga kerja
trampil yang lebih maju dan berkelanjutan;
99

3) Pemerintah dapat memberdayakan lembaga petani dan peningkatan


lembaga penunjang seperti kelompok-kelompok yang sudah terbentuk;
4) Pemerintah mengembangkan pelatihan SDM dan informasi usaha tani
minapadi oleh lembaga tekhnis guna peningkatan kuantitas dan kualitas
produk pertanian dengan memperhatikan aspek agroekoteknologi;
5) Pemenritah dapat mengatur jalur tataniaga, sistem layanan beras
daerah dalam bentuk lumbung pangan dan pemasaran produk
pertanian dengan standar harga yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
6) Pemerintah menentukan wilayah atau zona pembangunan untuk
pertanian, peternakan dan perikanan secara terintegrasi sehingga dapat
dikontrol dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2004. Konawe Dalam Angka


2003. Deptan.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2014. Konawe Dalam Angka


2013. Deptan.

Baumann, P. 2000. Equity and efficiency in contract farming schemes: The


experience of agricultural tree crops. Working Paper 139, ODI,
London, UK.

Bulkis. 2012. Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan. Arus Timur.


Makassar.

Deptan. 1997. SK. Mentan No. 944/Kpts/OT.210/10/1997 tentang


Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Pemerintah Propinsi Bali.


2004. Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Pembangunan
Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi Bali Tahun
2003. Denpasar.
100

Eaton, C.S. and A.W. Shepherd. 2001. Contract Farming-Partnerships for


Growth. A GS Bulletin No. 145. Food and Agriculture Organization,
Rome.

Erwidodo, DKK. 1999. Pengkajian Diverivikasi Konsumsi Pangan Utama di


Indonesia. Pusat Penelitian Social Ekonomi Pertanian . Deptan.
Bogor.

Haryadi, T. 2002. Study on the Diffusion Process of Agricultural Technology


Innovation. Disertasi.Science of Plantand Animal Production,
Management and Economics of Agricultural and Forestry United
Granduate School of Agricultural Scaince, Tokyo University of
Agricultural and Technology. Tokyo.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan


Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta.

Nazlah, 2008.Evaluasi Pencapaian Program Pengembangan Sapi Potong


Pola Gaduhan Di Kabupaten Mamuju. Tesis. Fakultas Peternakan
Program Pasca Sarjana.UGM.Yogyakarta.

Nugroho, B. 2006. Pengantar Memahami Ekonomi Kelembagaan. Program


Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Pearce, D. dan R.K. TURNER. 1990. Economic of Natural Resourcer and The
Environment. Harvester Wheatsheaf, New York. p. 378.

Saptana 2012. Kelembagaan Kemitraan Usaha Dalam Mendukung


Agrobisnis Unggas Lokal Yang Berkelanjutan. Workshop Nasional
Unggas Lokal 2012.

Santoso, U. 2006. Manajemen Usaha Ternak Sapi Potong. Penebar swadaya.


Jakarta.

Sonbait, L.Y. K.A. Santosa, Panjono. 2011, Evaluasi Program Pengembangan


Sapi Potong Gaduhan Melalui Kelompok Lembaga Mandiri yang
Mengakar di Masyarakat Di Kabupaten Manokwari Papua Barat.
Buletin Peternakan. Vol 35 (3); 208-217.

Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.


101

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HIJAU PADA TANAH


BEKAS TAMBANG NIKEL TERHADAP BEBERAPA SIFAT
FISIK TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA PRODUKSI
TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
La Panga Mpalasi, Hasmawati, dan Sri Indrawati Hafili

PENDAHULUAN

Tanah merupakan tubuh alam tiga dimensi dari pelapukan bahan


induk yang dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor pembentukannya yang
saling berinteraksi. Tanah yang merupakan tubuh alam tiga dimensi
dihasilkan dari berbagai proses dan faktor pembentuk yang berbeda, oleh
karena itu tanah mempunyai karakteristik yang berbeda dari satu tempat
ke tempat yang lain.

Tanah bekas tambang merupakan salah satu lahan marginal yang


dicirikan oleh tingginya tingkat kemasaman (pH tanah rendah) dan
kandungan bahan organik rendah. Sujitno (2007) dalam Safaruddin (2010)
kegiatan penambangan di darat berpengaruh terutama pada sifat fisik dan
kimia tanah. Perubahan struktur tanah telah mengubah topografi dan
komposisi tanah permukaan akibat penggalian top soil pada lahan yang
akan ditambang, pembuatan dam sebagai sarana penimbun.

Akibat pengupasan lapisan atas (top soil) maka lahan bekas


penambangan memiliki tanah yang tidak berprofil dan bercampur antara
bahan induk, top soil dan sub soil. Sifat fisik tanah bekas tambang memiliki
agregat tanah yang tidak mantap dan porositas yang tinggi. Degradasi
struktur tanah sebagai akibat pembongkaran lapisan atas tanah akan
102

mengakibatkan makin rentannya tanah terhadap erosi, menurunnya


kemampuan tanah memegang air dan dapat mempercepat kehilangan hara
di dalam tanah.

Tanah bekas penambangan dapat ditumbuhi tanaman lain apabila


tanah tersebut telah direklamasi. Perbaikan kondisi tanah bekas tambang
(reklamasi) dapat dilakukan dengan menambahkan lapisan tanah yang
baik, bahan amelioran, menanam tanaman penutup tanah jenis legume dan
rumputan serta pemberian pupuk hijau dari tanaman penutup tanah itu
sendiri. Tanaman penutup tanah jenis legume dan rumput dapat
mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Hasil pemangkasan dapat
digunakan sebagai mulsa untuk mengurangi evaporasi, memperbaiki sifat
fisik (Balai Penelitian Tanah, 2006).

Tanaman penutup tanah merupakan tanaman yang sengaja


ditanam untuk melindungi tanah dari erosi, menambah bahan organik
tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas tanah (Suripin, 2004) dan
memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah (Arsyad, 2000). Tanaman
penutup tanah yang dijadikan sebagai pupuk hijau juga berperan dalam
meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Lebih lanjut Endriani dan
Zurhalena (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan bahan
organik semakin rendah berat volume (BV) tanah dan semakin tinggi total
ruang pori (TRP).

Tanaman penutup tanah jenis legume yang dijadikan sebagai pupuk


hijau pada tanah bekas tambang sangat penting artinya untuk mengatur
tata udara tanah. Di samping itu jumlah pori-pori makro dapat ditingkatkan
sebagai akibat kegiatan jasad hidup dalam tanah, maka ketersediaan air
dalam tanah dapat diperbaiki sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik
(Kartasapoetra, 1989).

Kondisi tanah yang baik dapat menumbuhkan tanaman yang


ditanam diatasnya. Jagung (Zea mays. L.) merupakan komoditas palawija
utama di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan penggunaan
hasilnya, yaitu selain sebagai bahan baku pangan dan pakan, juga
merupakan bahan dasar atau bahan olahan untuk minyak goreng, tepung
maizena, ethanol, dan asam organik. Kebutuhan akan konsumsi jagung di
Indonesia terus meningkat didasarkan pada makin meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia dan tingkat konsumsi perkapita per tahun. Seiring
103

dengan berkembangnya tingkat konsumsi masyarakat dan industri yang


membutuhkan bahan pangan tersebut. Disamping itu, tanaman jagung
memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada lahan-lahan marginal
sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tanah bekas tambang nikel.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk


dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian pupuk hijau pada tanah
bekas tambang nikel terhadap beberapa sifat fisik tanah dan pertumbuhan
serta produksi tanaman jagung.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada uraian latar belakang maka dapat dirumuskan


masalah sebagai berikut.
1. Apakah terdapat pengaruh pemberian berbagai jenis pupuk hijau pada
tanah bekas tambang nikel terhadap beberapa sifat fisik tanah dan
pertumbuhan serta produksi tanaman jagung?
2. Perlakuan mana yang memberi pengaruh lebih baik terhadap beberapa
sifat fisik dan pertumbuhan serta produksi tanaman jagung?

TUJUAN DAN KEGUNAAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh


pemberian berbagai jenis pupuk hijau pada tanah bekas tambang nikel
terhadap beberapa sifat fisik tanah dan pertumbuhan serta produksi
tanaman jagung. Kegunaan dari penelitian ini dapat menjadi bahan
informasi dan masukan bagi pemerintah dan pihak yang melaksanakan
penambangan dalam melakukan upaya-upaya reklamasi lahan bekas
tambang serta dapat dijadikan data penunjang bagi penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lahan Bekas Tambang

Lahan bekas tambang merupakan lahan sisa hasil proses


pertambangan. Pada lahan pasca tambang biasanya ditemukan lubang-
104

lubang dari hasil penambangan dengan lapisan tanah yang mempunyai


komposisi dan warna berbeda. Misalnya, ada lapisan tanah berpasir yang
berseling dengan lapisan tanah liat, tanah lempung atau debu. Ada pula
lapisan tanah berwarna kelabu pada lapisan bawah, berwarna merah pada
bagian tengah dan berwarna kehitam-hitaman pada lapisan atas. Degradasi
pada lahan bekas tambang meliputi perubahan sifat fisik dan kimia tanah,
penurunan drastis jumlah spesies baik flora, fauna serta mikroorganisme
tanah, terbentuknya kanopi (area tutupan) yang menyebabkan suatu tanah
cepat kering dan terjadinya perubahan mikroorganisme tanah, sehingga
lingkungan tumbuh menjadi kurang menyenangkan. Dengan kata lain,
bahwa kondisi lahan terdegradasi memiliki tingkat kesuburan yang rendah
dan struktur tanah yang kurang baik (Mursyidin, 2009).

Lahan bekas penambangan nikel di Pomala, kondisinya tidak


memiliki lapisan tanah atas (top soil). Bahkan, lapisan sub soil pun telah
hilang sebagai akibat dari bentuk penambangan yang mengeksploitasi biji
nikel pada lapisan tanah bagian bawah, bukan penambangan pada lapisan
tanah permukaan. Oleh karena nikel merupakan tambang utama yang
dieksploitasi, maka tanah bekas penambangan akan mengandung nikel
dalam konsentrasi yang tinggi dan menghambat pertumbuhan tanaman
(Darwis dan Zaeni, 2009).

Perbaikan kondisi tanah bekas tambang dapat dilakukan dengan


menambahkan lapisan tanah yang baik, bahan amelioran dan pupuk, serta
menanam tanaman penutup tanah jenis legume dan rumputan. Tanaman
penutup tanah jenis legume dan rumput dapat mengendalikan erosi dan
aliran permukaan. Hasil pemangkasan dapat digunakan sebagai mulsa
untuk mengurangi evaporasi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah
(Balai Penelitian Tanah, 2006).

2. Pupuk Hijau

Pupuk hijau adalah tanaman atau bagian-bagian tanaman yang


masih muda yang dibenamkan ke dalam tanah dengan tujuan untuk
menambah bahan organik dan unsur hara terutama nitrogen kedalam
tanah. Jenis tanaman yang banyak digunakan adalah dari jenis
Leguminoceae atau kacang-kacangan. Jenis tersebut dapat menghasilkan
bahan organik lebih banyak, daya serap haranya lebih besar dan
105

mempunyai bintil akar yang membantu mengikat nitrogen dari udara


(Srihartomo, 2010).

Menurut Summary (2009) bahwa pupuk hijau merupakan


pembenaman tanaman/ bagian-bagian tanaman yang masih muda dengan
cara membenamkannya kedalam tanah dengan maksud untuk
menambahkan bahan organik dan unsur hara terutama N ke dalam tanah
yang bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi tanaman. Tanaman
yang dijadikan pupuk hijau adalah tanaman dari berbagai jenis leguminosa
karena memiliki kandungan N lebih tinggi dibandingkan tanaman yang
lain, karena tanaman legum mampu menfiksasi N.

Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari tanaman atau
berupa sisa panen. Bahan tanaman ini dapat dibenamkan pada waktu
masih hijau atau setelah dikomposkan. Manfaat pupuk hijau adalah
meningkatkan kandungan bahan organik dan unsur hara di dalam tanah
sehingga terjadi perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, yang
selanjutnya berdampak pada peningkatan produktivitas tanah dan
ketahanan tanah terhadap erosi (Srihartomo, 2010).

3. Karakteristik Jenis Pupuk Hijau

a. Arachis pintoi

Arachis pintoi merupakan tanaman yang unik karena memiliki


manfaat yang beraneka ragam di antaranya sebagai sumber protein dari
hijauan untuk ternak dengan kandungan protein kasar berkisar 7,82–19%
berdasarkan bahan kering, meningkatkan produktivitas rumput bila
ditanam secara campuran, pupuk hijau untuk lahan yang miskin bahan
organik, menyuburkan tanah yang miskin unsur hara, penutup tanah di
areal perkebunan dan pengendali erosi pada lahan miring. Di samping itu
tanaman ini mampu bersaing dengan gulma sehingga dapat eksis dan
memiliki kemampuan tumbuh yang cukup baik. Hal ini didukung oleh
sistem perakaran (rhizoma) yang kuat. Arachis pintoi berasal dari Amerika
Selatan dan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Tanaman ini dapat
dikembangkan di Indonesia yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi
alam khususnya di daerah kering/tandus (Yuhaeni, 2001).
106

b. Centrosema pubescens

Centrosema pubescens merupakan tanaman tahunan, merambat,


memanjat dan membelit. Batang sedikit berbulu, berkayu ketika tua.
Berdaun tiga helai, helai daun bulat memanjang atau bulat telur. Kelompok
bunga oblong dengan kelompok bunga dari ketiak dengan 3-5 bunga,
berwarna ungu muda atau tua, kadang-kadang putih. Buah polong linier
panjang 4-17 cm dan lebar 8-7 mm, lurus atau sedikit melengkung dan
seperti paruh, coklat tua saat masak dan mengandung sampai 20 biji. Biji
berukuran 4-5 mm x 3-4 mm, hitam kecoklatan, dengan totol-totol gelap,
dimana berat 100 biji kira-kira 2,5 gram (sekitar 40.000 biji/kg) (Fantz,
1996).

Secara umum, tanaman ini membutuhkan tanah berpengairan baik


dengan kesuburan sedang sampai tinggi tetapi beberapa jenis juga dapat
beradaptasi dengan tanah masam dengan kesuburan rendah dan daya
tahan sedang terhadap genangan. Centcrosema pubescens memiliki sistem
perakaran tunggang, mampu untuk bertahan hidup di bawah kondisi
kering dengan 3-5 bulan kering, tahan naungan dan dapat bertahan hidup
di bawah 80% naungan (Keller, et al., 2000).

c. Calopogonium mucunoides
Calopogonium mucunoides adalah tanaman yang tumbuh cepat,
menjalar, membelit atau melata. Panjang hingga beberapa meter,
membentuk sekumpulan daun yang tak beraturan dengan ketebalan 30-50
cm yang memiliki batang padat merona dengan rambut-rambut yang
tersebar. Tanaman ini Berdaun tiga, panjang tangkai daun hingga 16 cm
dan merona. Daun berbentuk bundar telur dengan ukuran 4-10 cm x 2-5
cm, bagian lateral menyerong, kedua permukaan merona. Tanaman ini
memiliki polong memita-melonjong dengan ukuran 2-4 cm x 3.5-5 mm,
lurus atau melengkung, merona halus dengan rambut coklat kemerahan di
antara biji yang berjumlah 3-8. Biji berbentuk persegi padat dengan
panjang 2-3 mm, berwarna kekuningan atau coklat kemerahan (Chen and
Aminah, 1992).
107

4. Sifat Fisik Tanah

a. Berat Volume Tanah/Bobot Isi (Bulk Density)

Berat volume (bulk density) tanah merupakan berat per satuan


volume tanah kering oven, biasanya ditetapkan sebagai gram/cm3.
Pengambilan contoh tanah tidak boleh merusak struktur asli tanah.
Terganggunya struktur tanah dapat mempengaruhi jumlah pori-pori tanah,
demikian pula berat persatuan volume (Hakim et al., 1986). Selanjutnya
Menurut Hardjowigeno (2003), Bulk density merupakan petunjuk
kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah makin tinggi bulk density, yang
berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.

Bulk density digunakan untuk: (a) mendeteksi adanya lapisan padat


dan tingkat perkembangan, tanah makin berkembang makin tinggi bulk
density (b) menunjukkan tingkat pelapukan batuan bulk density turun dari
2,65 g/cc menjadi partikel tanah, (c) evaluasi terhadap kemungkinan akar
menembus tanah. Pada tanah-tanah dengan bulk density tinggi akar
tanaman sulit menembus lapisan tanah tersebut, dan (d) evaluasi
perubahan volume tanah karena proses pembentukan tanah, akibat
penambahan dan pencucian dari horison-horison tertentu (Hardjo-
wigeno,1993).

b. Porositas Tanah

Porositas adalah jumlah pori aerase dan pori kapiler. Porositas


tanah adalah ruang pori tanah (ruang kosong) yang terdapat dalam satu
volume tanah yang ditempati oleh air dan udara sehingga merupakan
indikator kondisi drainase dan aerasi tanah (Hanafia, 2005).

Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah
(terisi oleh udara dan air). Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-
pori kecil dan pori-pori besar. Pori-pori kecil berisi air kapiler atau udara.
Sedang pori-pori besar berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah
hilang karena gaya gravitasi). Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori
besar lebih banyak dari pada tanah liat. Tanah dengan banyak pori-pori
besar lebih sulit menahan air sehingga tanaman mudah kekeringan. Tanah-
tanah liat mempunyai pori-pori total (jumlah pori-pori makro + mikro)
lebih tinggi dari pada tanah pasir (Hardjowigeno, 2003).
108

Subroto dan Yusrani (2005), menjelaskan bahwa pori dalam tanah


terdapat dalam berbagai ukuran. Pori-pori besar (pori makro) dapat terisi
air, tetapi tidak bisa menyimpan atau menahan air. Udara mudah beredar
dalam pori makro. Peredaran udara ini disebut aerasi sehingga pori makro
ini dinamakan pula pori aerasi. Pori-pori berukuran kecil (pori mikro),
memiliki gaya kapiler yang mampu menahan air dan menaikan air dari
permukaan air tanah (ground water table) ke zona perakaran tanaman.
Sehingga berdasarkan fungsinya pori-pori ini dinamakan pori kapiler.

c. Kadar Air Tanah

Kadar air merupakan selisih masukan air dari presipitasi (meliputi


hujan, salju dan kabut) yang menginfiltrasi tanah ditambah hasil
kondensasi (oleh tanaman dan tanah) dan adsorbsi (oleh tanah) dikurangi
air yang hilang lewat evapotranspirasi, aliran permukaan, perkolasi dan
rembesan lateral (Hanafia, 2005).

Konsep air tersedia sering kali diperlukan dalam pendugaan jumlah


air yang dapat disimpan tanah bagi kebutuhan tanaman. Konsep air
tersedia didasarkan pada kenyataan bahwa jumlah maksimum air yang
dapat disimpan tanah adalah air yang ditahan tanah pada kapasitas lapang
dan tanaman hanya dapat menurunkan kandungan air sampai titik layu
permanen. Atas dasar tersebut jumlah air yang dapat disimpan tanah
dalam bentuk tersedia adalah jumlah yang ditahan antara kapasitas lapang
dan titik layu permanen. Kemampuan tanah menyimpan air tersedia
tergantung pada berbagai faktor, tetapi dua faktor yang terpenting adalah
kedalaman dan tekstur tanah. Kedalaman tanah yang penting karena
kedalaman menentukan jumlah seluruh volume tanah dimana air dapat
disimpan. Tekstur tanah penting menentukan kapasitas lapang dan titik
layu permanen (Sarief, 1986).

d. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas merupakan sifat yang menyatakan laju pergerakan


suatu zat cair (air tanah) melalui suatu media yang berpori-pori (tanah).
Permeabilitas menunjukan kemampuan tanah untuk melewatkan udara
dan air. Permeabilitas air di dalam tanah banyak tergantung pada tekstur
dan struktur tanah (Leomo dan Alam, 2008).
109

Permeabilitas tanah secara langsung sangat dipengaruhi oleh


tekstur dan porositas tanah. Sehingga permeabilitas tanah berbanding
lurus terhadap tekstur, struktur dan porositas terutama porositas aerasi.
Semakin kasar tekstur tanah dan semakin gembur struktur tanah serta
semakin besar jumlah pori-pori aerasi tanah maka semakin besar
permebilitas tanah tersebut dan semakin kecil kemampuannya menahan
air (Subroto dan Yusrani, 2005).

Permeabilitas tanah menunjukan kapasitas tanah melalukan air


dalam keadaan jenuh. Permeabilitas ini penting artinya untuk mengetahui
adanya lapisan kedap dalam hubungannya dengan pengelolaan air pada
jumlah berat tanah tertentu dalam keadaan jenuh air (Hardjowigeno,
2003). Selanjutnya, Hakim et al. (1986) menjelaskan permeabilitas adalah
kemampuan tanah untuk mentransfer air dan udara. Permeabilitas
biasanya diukur dengan istilah jumlah air yang mengalir melalui tanah
dalam waktu tertentu.

5. Tanaman Jagung

a. Botani

Tanaman jagung (Zea mays L.) dalam tata nama atau sistematika
(Taksonomi) tumbuh-tumbuhan dimasukan dalam klasifikasi sebagai
berikut.
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Ordo : Graminae (rumput-rumputan)
Classes : Monocotyledone (berkeping satu)
Familia : Gramineae
Geunus : Zea
Spesies : Zea mays L (Warisno, 1998)

Tanaman jagung termasuk dalam famili rumput-rumputan


(gramineae), yang berakar serabut menyebar ke samping dan ke bawah
yang dapat mencapai kedalaman hingga 20 cm dengan bentuk perakaran
yang bervariasi. Pada awal pertumbuhannya, tanaman jagung mempunyai
perakaran yang belum bercabang. Pada perkembangan selanjutnya akan
tumbuh akar sekunder dan akar rambut yang berfungsi menyerap unsur
110

hara dan air karena tanaman mulai berfotosintesis. Perkembangan akar


berlangsung cepat dan fungsi akar primer maupun akar sekunder
digantikan akar permanen (Koeswara, 1992).

Jagung (Zea mays L.) memiliki batang bulat silindris dan tidak
berlubang , berisi berkas-berkas pembuluh, beruas-ruas, tinggi tanaman 1-
3 meter, dengan diameter batangnya 3-4 (Suprapto, 2000). Batang jagung
beruas-ruas dengan jumlah ruas biasanya 8-12 ruas. Ruas batang pendek
dan tebal pada bagian sebelah bawah, kemudian ruasnya lebih panjang dan
tebal dibagian sebelah atau runcing sampai ujung bunga jantan (Effendi,
1985).

Daun jagung muncul dari buku-buku batang, sedangkan pelepah


daun menyelubungi ruas batang dan memperkuat batang. Tanaman
jangung mempunyai jumlah daun yang bervariasi antara 12-18 helai,
dengan panjang antara 30-150 cm dan lebar antara 4-15 cm serta ibu
tulang daun yang sangat keras (Suprapto, 2000). Daun terdiri dari tiga
bagian yaitu kelopak daun, lidah daun dan helaian daun. Kelopak daun
umumnya membungkus batang. Antara kelopak dan helaian terdapat lidah
daun yang disebut ligula. Ligula ini berbulu dan berlemak. Fungsi ligula
adalah mencegah air masuk kedalam kelopak daun dan batang (Purwono
dan Hartono, 2006).

Pada tanaman jagung antara bunga jantan dan bunga betina


terpisah letaknya. Bunga jantan terletak pada bagian ujung batang yang
berwarna putih sampai keunguan, bunga betina terletak pada ketika daun,
biasanya pada helaian daun pertengahan berjumlah antara 1-3 buah dan
umumnya hanya satu yang dibuahi oleh bunga jantan (Effendi, 1984).

Bunga jagung tidak memiliki petala dan sepala sehingga disebut


bunga tidak lengkap. Bunga jagung juga termasuk bunga tidak sempuna
karena bunga jantan dan betina berada pada bunga yang berbeda. Bunga
jantan terdapat di ujung batang. adapun bunga betina terdapat diketiak
daun ke - 6 atau ke - 8 dari bunga jantan (Purwono dan Hartono, 2006).

Buah jagung merupakan buah sejati tunggal dan saling berdekatan


berbasis pada tongkol, Kulit buah berlekatan pada kulit biji (Effendi, 1984).
Biji jagung tersusun rapi pada tongkol. Dalam satu tongkol terdapat 200 –
400 biji. Biji jagung terdiri dari tiga bagian. Bagian paling luar disebut
111

Pericarp. bagian atau lapisan kedua yaitu endosperm yang merupakan


cadangan makanan biji. Sementara bagian paling dalam yaitu embrio atau
lembaga (Purwono dan Hartono, 2006).

b. Syarat Tumbuh

Jagung (Zea mays L.) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah
selama tanah tersebut menunjukkan drainase dan aerasi yang baik serta
banyak mengandung humus. Jagung dapat ditanam pada lokasi dengan
ketinggian tempat 0 - 1300 m dpl serta dapat ditanam pada daerah
beriklim kering dengan curah hujan berkisar 250 mm tahun-1) sampai
beriklim basah dengan curah hujan berkisar 500 mm tahun-1) (Eddy,
2004).

Effendi (1985), menyatakan bahwa tanaman jagung tidak


memerlukan persyaratan tumbuh yang banyak karena tanaman ini dapat
tumbuh diberbagai jenis tanah. Tanah berpasir dapat ditumbuhi tanaman
jagung dengan baik asal cukup air dan hara untuk pertumbuhannya.
Tanah berat seperti gramosol dapat ditanami jagung dengan
pertumbuhan normal asal aerasi dan draenase dapat diperbaiki.

Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah


daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis
basah antara 0-50˚LU hingga 0-40˚LS. Pada lahan yang tidak beririgasi,
pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200
mm/bulan dan harus merata. Pertumbuhan tanaman jagung sangat
membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi,
pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji yang kurang
baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Tanaman jagung mempunyai
kemampuan beradaptasi terhadap tanah, baik jenis tanah lempung
berpasir maupun tanah lempung dengan pH tanah 6-8 serta memiliki
drainase dan aerasi yang baik dan kaya akan bahan organik (Suprapto,
2000).
112

METODOLOGI PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian


Universitas Haluoleo dan analisis sampel tanah dilaksanakan di
Laboratorium Unit Tanah Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari.
Penelitian berlangsung bulan Mei sampai November 2010.

2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman


Jagung (Zea mays L.)) varietas lokal Muna, pupuk hijau (Arachis pintoi,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides), pupuk dasar (urea,
SP-36, KCl), kertas, contoh tanah bekas tambang nikel dan bahan-bahan
untuk keperluan analisis tanah di Laboratorium.

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu cangkul, parang,


pisau lapang, ring sampel, kantong plastik, lakban, kertas label, meteran
rool, tali rafia, kamera, tugal, dan alat tulis menulis serta alat-alat untuk
keperluan analisis tanah di Laboratorium.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak


kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 perlakuan jenis pupuk hijau dan
masing-masing diulang tiga kali sehingga diperoleh 12 petak percobaan
dengan perlakuan sebagai berikut :
A0 = Kontrol (tanpa pupuk hijau)
A1 = Pupuk hijau Aracis (Arachis pintoi)
A2 = Pupuk hijau Sentro (Centrosema pubescens)
A3 = Pupuk hijau Klopogonium (Calopogonium mucunoides)
Perlakuan disusun dalam 4 kelompok dan masing-masing diulang
sebanyak 3 kali sehingga secara keseluruhan terdapat 12 unit percobaan.

4. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian mencakup beberapa tahap pekerjaan,


dimulai dari persiapan, tahap kerja lapang, pemeliharaan, analisis
laboratorium, pengolahan data dan penyajian hasil.
113

1) Persiapan

Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan


semua data penunjang (support data) yang ada hubungannya dengan
penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pengurusan izin penelitian berupa
surat menyurat dan administrasi yang dianggap perlu baik dari lokasi
pengambilan sampel (tanah lahan bekas tambang), maupun pada daerah
penelitian serta persiapan logistik untuk survei lapangan.

2) Tahap Kerja Lapangan

a. Pembersihan Petak Percobaan

Tanah yang ada pada petak percobaan merupakan tanah bekas


tambang nikel yang sudah pernah digunakan pada penelitian sebelumnya,
terlebih dahulu dibersihkan sampai siap untuk digunakan. Tanah
penelitian ini berasal dari Kecamatan Sonae Kabupaten Konawe yang
diletakan pada petak percobaan yang berukuran 2 m x 4 m sebanyak 12
petak. Jarak antar perlakuan 30 cm dan jarak antar kelompok 50 cm. Di
mana pada setiap petak percobaan yang sudah dibuat dengan ketebalan
masing-masing 50 cm. Pengaturan ketebalan petak percobaan dilakukan
dengan dipasangkan patok ke empat sudut petakan lalu diukur 50 cm dari
permukaan tanah kemudian dipasangkan tali rafia. Setelah itu dipasangkan
bambu yang sudah dipotong-potong disekeliling petak percobaan untuk
menahan tanah agar tidak mudah jatuh kemudian dimasukan tanah bekas
tambang nikel kedalam petakan yang dibuat.

b. Pemberian Pupuk Hijau

Pupuk hijau diperoleh dari sisa pemanenan tanaman legume


(Arachis pintoi, Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides) yang
telah ditanam pada tanah bekas tambang nikel pada penelitiaan
sebelumnya, kemudian dipanen. Selanjutnya, dicincang kemudian
ditimbang sebanyak 8 kg petak-1 setara dengan 10 ton ha-1 yang
selanjutnya dibenamkan diatas tanah bekas tambang nikel kemudian
dicampur secara merata di dalam tanah (sedalam mata pacul) pada setiap
petak percobaan yang sama, kemudian didiamkan selama 21 hari (3
minggu) dengan tujuan agar pupuk hijau dapat terurai atau terdekomposisi
dalam tanah.
114

c. Pemberian Pupuk Dasar

Pemberian pupuk dasar dilakukan bersamaan waktu tanam dengan


dosis urea = 120 gr petak-1, SP36 = 60 gr petak-1, KCl = 80 gr petak-1, dengan
cara disebar pada permukaan lubang tanam kemudian ditutup sedikit
dengan tanah agar tidak terjadi penguapan.

d. Penyiapan Benih

Benih jagung Lokal Muna dipilih yang sehat, bebas hama dan
penyakit, tidak pecah dan memiliki berat yang seragam, kemudian
direndam selama 24 jam.

e. Penanaman

Penanaman jagung dilakukan secara serentak pada pagi hari, setiap


lubang tanam dibuat dengan menggunakan tugal dengan jarak tanam 60
cm x 40 cm sehingga diperoleh 35 tanaman, dimana setiap lubang ditanam
2 biji dengan kedalaman kurang lebih 3 cm.

3) Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penjarangan, penyulaman dan penyiraman.


Untuk menyulam dan penjarangan dilakukan 2 minggu setelah tanam.
Penjarangan dilakukan dengan menyisakan 1 tanaman per lubang tanam.
Penyiangan dilakukan apabila terdapat gulma yang tumbuh pada unit-unit
percobaan. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari.

4) Tahap Pengamatan

Pengambilan contoh tanah dilakukan sebelum perlakuan, sesudah


perlakuan dan menjelang panen. Sampel tanah yang diambil pada setiap
perlakuan yang dicobakan digunakan untuk mengidentifikasi:

a. Berat Volume Tanah (BV)

Pengambilan contoh tanah untuk menentukan berat volume tanah


(BV) dilakukan dengan menggunakan ring sampel pada kedalaman 0-30
cm. Sebelum berat volume tanah (BV) tanah ditentukan, terlebih dahulu
tanah diovenkan selama 1 x 24 jam pada suhu 1050C. Penentuan berat
volume tanah (BV).
115

Berat volume tanah dilakukan dengan menggunakan persamaan:

Berat Tanah kering (g)


Berat Volume Tanah (BVT) = .....................................(1)
Volume Tanah (cm3)

b. Porositas Tanah

Pengambilan contoh tanah untuk menentukan porositas tanah


dilakukan dengan menggunakan ring sampel pada kedalaman 0-30 cm.
Penentuan nilai porositas tanah dilakukan dengan menggunakan
persamaan :

Berat volume (g.cm-3)


Porositas tanah = (1- ) x 100%................................(2)
Berat jenis partikel (g.cm-3)

c. Kadar air tanah

Pengambilan contoh tanah untuk menentukan kadar air tanah


dilakukan dengan menggunakan ring sampel pada kedalaman 0-30 cm.
Penentuan nilai kadar air tanah secara gravimetri dengan menggunakan
persamaan :

Berat tanah basa (g) – Berat tanah kering (g)


Kadar Air Tanah = x 100%.........(3)
Berat tanah kering

d. Permeabilitas tanah

Untuk analisis permeabilitas tanah diambil pada kedalaman 0-30 cm.


Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan menggunakan ring sampel
dan menghitung kecepatan air yang meresap kedalam tanah. Pengukuran
permeabilitas tanah dilakukan dengan metode double ring, dengan
menggunakan persamaan berikut

Volume air (cm)/ luas ring sampel (cm2)


Permeabilitas Tanah =
Waktu (jam)
116

e. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur pada umur 14 dan 56 HST. Pengukuran


dimulai dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman.

f. Diameter Batang (cm)

Diameter batang diukur pada umur 14 dan 56 HST, diukur pada


batang ± 5 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong.

g. Bobot 100 Butir (g)

Bobot 100 butir dihitung setelah panen dan dipilih sebanyak 100
butir lalu ditimbang.

h. Produksi Pipilan Kering (g)

Produksi pipilan kering dihitung setelah panen dengan rumus:

H = Rata-rata berat biji pertanaman x jumlah populasi tanaman per petak

5. Analisis Laboratorium

Analisis sampel tanah di laboratorium meliputi beberapa sifat fisik


tanah yaitu berat volume tanah (BV), porositas, kadar air tanah (KAT) dan
permeabilitas tanah.

6. Pengolahan Data
Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode analisis
variansi untuk melihat pengaruh pupuk hijau yang dicobakan terhadap
berat volume tanah (BV), porositas tanah, kadar air tanah (KAT),
permeabilitas tanah, tinggi tanaman umur 14 dan 56 HST, diameter batang
umur 14 dan 56 HST, bobot 100 butir dan produksi pipilan kering terhadap
tanah bekas tambang. Jika F hitung lebih besar dari F tabel maka dilakukan
uji lanjut Duncan.
117

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

Hasil pengamatan dan sidik ragam beberapa sifat fisik tanah,


pertumbuhan dan produksi tanaman. Sidik ragam menunjukkan bahwa
pupuk hijau yang dicobakan berpengaruh tidak nyata terhadap semua
parameter yang diamati. Pengaruh pupuk hijau terhadap beberapa sifat
fisik tanah di daerah penelitian disajikan pada berikut.

Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Nilai KAT, BV, Porositas Tanah dan Permeabilitas
Tanah pada Berbagai Jenis Pupuk Hijau

Perlakuan Parameter
KAT BV Porositas Permeabilitas
(%) (g.cm-3) (%) (cm.jam-1)
Kontrol (A0) 42.33 1.06 59.91 506.52
Arachis (A1) 38.53 1.11 58.19 662.87
Centro (A2) 35.86 1.08 59.45 707.76
Calopogonium (A3) 36.75 1.05 59.60 217.42

Keterangan: KAT = Kadar air tanah; BV = Berat volume (gcm-3)

Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disajikan pada (1) bahwa pada


perlakuan kontrol (A0) mempunyai rata-rata nilai porositas dan KAT lebih
tinggi dan BV lebih rendah dibanding perlakuan pupuk hijau yang
dicobakan Arachis (A1), Centro (A2) dan Calopogonium (A3). Selain itu pula,
kontrol (A0) mempunyai rata-rata nilai kandungan permeabilitas lebih
tinggi dibanding Calopogonium (A3) dan lebih rendah dibanding Arachis
(A1) dan Centro (A2).

Pengaruh pupuk hijau terhadap pertumbuhan dan produksi


tanaman jagung (Zea mays L) di daerah penelitian disajikan pada tabel
berikut.
118

Tabel 2. Hasil Rata-Rata Nilai Tinggi Tanaman, Diameter Batang, Bobot 100
Butir, dan Produksi Pipilan Kering pada Berbagai Jenis Pupuk Hijau

Perlakuan Parameter
Tinggi Tanaman Diameter Batang Bobot Produksi
14 HST 56 HST 14 HST 56 HST 100 Pipilan
(cm) (cm) (cm) (cm) Butir Kering
(g) (g)
Kontrol (A0) 36.11 102.64 0.43 3.75 16.66 529.86
Arachis (A1) 38.61 118.16 0.47 4.21 21.18 708.01
Centro (A2) 40.81 146.22 0.52 4.50 21.39 1406.49
Calopogonium 38.09 134.97 0.57 4.30 19.23 677.99
(A3)

Tabel (2) menunjukkan bahwa tinggi tanaman umur 14 HST, 56


HST dan diameter batang umur 14 HST, 56 HST diperoleh nilai rata-rata
yang tertinggi pada perlakuan pupuk hijau Centro (A2) dan nilai rata-rata
terendah pada perlakuan kontrol (A0). Begitu pula bobot 100 butir dan
berat produksi pipilan kering nilai rata-rata yang tertinggi pada perlakuan
pupuk hijau Centro (A2) dan nilai rata-rata yang terendah pada perlakuan
kontrol (A0).

Berdasarkan sidik ragam perlakuan pupuk hijau yang dicobakan


berpengaruh tidak nyata terhadap BV, porositas, KAT, permeabilitas, tinggi
tanaman, diameter batang, bobot 100 butir dan produksi pipilan kering.
Hal ini diduga karena dengan pemberian pupuk hijau dosis 8 kg. petak -1
yang setara dengan 10 ton.ha-1 tidak mencukupi kebutuhan unsur hara
tanaman sehingga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
beberapa perbaikan sifat fisik tanah pada tanah bekas tambang nikel.
Selain itu, untuk mengubah sifat fisik tanah sangat sulit hanya dengan
waktu 3 bulan saja.

2. Pembahasan

a) Berat Volume Tanah (Bulk density)

Berat volume tanah adalah massa (bobot) suatu unit isi tanah
kering. Dalam hal ini termasuk padatan dan pori-pori (Soepardi, 1983).
Berat volume menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering
dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah (Hardjowigeno,
119

2003). Perbedaan nilai Berat volume tanah (BV) pada setiap perlakuan
disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Hasil Analisis dan Perhitungan Berat Volume Tanah (g.cm -3)

Perlakuan Berat Volume Tanah (g.cm-3)


Kontrol (A0) 1.06
Arachis (A2) 1.11
Centro (A2) 1.08
Calopogonium (A3) 1.05

Berdasarkan tabel (3) hasil sidik ragam menunjukkan bahwa


pupuk hijau arachis, centro dan calopogonium berpengaruh tidak nyata
dalam menurunkan BV. Hal ini diduga karena adanya perbedaan
kandungan bahan organik pada masing-masing perlakuan, dimana tanah
yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi memiliki berat volume
yang rendah dibanding dengan tanah-tanah yang memiliki bahan organik
yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Utomo (1994) dalam
Junaedi (2008) yang menyatakan bahwa nilai berat volume tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kandungan bahan
organik tanah. Selain itu pula, hal ini diduga karena adanya pengaruh
porositas tanah yang sangat tinggi yang terisi oleh udara serta pengaruh
dari pengolahan tanah. Sarief (1986) menyatakan bahwa nilai berat
volume tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya
pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan tanah baik oleh tumbukan air
hujan maupun alat-alat pertanian.

b) Porositas

Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh
udara dan air. Persentase volume ruang pori total disebut porositas (Foth,
1995). Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padatan tanah
(terisi oleh air dan udara) (Hanafia, 2005). Perbedaan nilai porositas pada
setiap perlakuan disajikan pada tabel berikut.
120

Tabel 4. Hasil Analisis dan Perhitungan Porositas (%)

Perlakuan Porositas (%)


Kontrol (A0) 59.91
Arachis (A1) 58.19
Centro (A2) 59.45
Calopogonium (A3) 59.60

Berdasarkan hasil sidik ragam tabel (4) bahwa pupuk hijau arachis,
centro dan calopogonium berpengaruh tidak nyata dalam peningkatan
porositas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kontrol mempunyai
porositas lebih tinggi jika dibanding dengan perlakuan pupuk hijau lainnya.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh banyaknya terdapat kerikil-kerikil
didaerah penelitian sehingga diduga porositasnya tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya Safaruddin (2010), bahwa nilai yang porositas yang
tertinggi pada perlakuan kontrol juga bahkan nilai porositasnya berkisar
65-70 %.

Selain itu perbedaan porositas di daerah penelitian disebabkan


pula oleh kedalaman tanah yang dangkal. Berdasarkan hasil yang diperoleh
pada tabel (4) menunjukkan porositas pada masing-masing perlakuan
tinggi. Hakim et al (1986) menjelaskan bahwa semakin dalam tanah
porositas semakin rendah.

c) Kadar Air Tanah

Air merupakan unsur tanah yang dinamis dan harus tersedia pada
saat tumbuhan memerlukannya untuk pertumbuhan tanaman, karena air
tanah berfungsi sebagai pelarut unsur hara dalam tanah (Hakim et al,
1986). Perbedaan nilai kadar air tanah pada setiap perlakuan lebih jelasnya
disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Hasil Analisis dan Perhitungan Kadar Air Tanah (%)

Perlakuan Kadar Air Tanah (%)


42.33
Kontrol (A0) 38.53
Arachis (A1) 35.86
Centro (A2) 36.75
Calopogonium (A3)
121

Berdasarkan tabel (5) hasil sidik ragam menunjukkan bahwa


pupuk hijau arachis, centro dan calopogonium berpengaruh tidak nyata
dalam meningkatkan kadar air tanah, hal ini diduga karena pemberian
pupuk hijau yang diberikan ke tanah dalam jumlah kurang tersedia
sehingga bahan organik rendah yang menyebabkan kepadatan tanah akibat
terpaan air hujan sehingga kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air rendah.

Selain itu kadar air tanah di daerah penelitian berpengaruh tidak


nyata diduga karena air yang diperlukan oleh tumbuhan untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya, antara lain untuk memenuhi transpirasi, dalam
proses asimilasi untuk pembentukan karbohidrat serta untuk
pengangkutan hasil-hasil fotosintesisnya keseluruh jaringan tumbuhan.

d) Permeabilitas Tanah

Permeabilitas adalah sifat yang menyatakan laju pergerakan suatu


zat cair melalui suatu media yang berpori-pori (Sarief 1986). Perbedaan
nilai permeabilitas pada setiap perlakuan lebih lengkapnya disajikan pada
tabel berikut.

Tabel 6. Hasil Analisis dan Perhitungan Permeabilitas Tanah

Perlakuan Permeabilitas Tanah (%)


Kontrol (A0) 506,52
Arachis (A1) 662.87
Centro (A2) 707.76
Calopogonium (A3) 217.42

Berdasarkan hasil sidik ragam analisis transformasi data tabel (6)


menunjukkan bahwa pupuk hijau arachis, centro dan calopogonium
berpengaruh tidak nyata dalam peningkatan permeabilitas tanah.
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel (6) menunjukkan bahwa laju
permeabilitas tanah pada kontrol cenderung lebih rendah dari pada
perlakuan Arachis dan Centro. Hal ini disebabkan karena di daerah
penelitian memiliki tanah berpasir akibat dari bercampurnya antara bahan
induk top soil dan sub soil yang memiliki daya transfer air dan udara yang
cepat sehingga porositasnya tinggi yang dapat mengikat partikel-partikel
air. Menurut Foth (1994) ruang pori pada tanah berpasir sebagian besar
122

tersusun dari pori-pori yang besar yang sangat efisien untuk pergerakan
air dan udara hal ini menyebabkan rendahnya kapasitas menahan air.

Pada perlakuan pupuk hijau Calopogonium lebih rendah dari pada


kontrol, hal ini disebabkan karena pada penelitian sebelumnya perlakuan
ini tidak tumbuh sehingga perakaran yang terbentuk tidak banyak dan
pori-pori tanah sedikit juga yang dapat membantu mempercepat
permeabilitas tanah.

e) Tinggi Tanaman dan Diameter Batang

Hasil pengamatan dan sidik ragam pada pertumbuhan tanaman


menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hijau Arachis, Centro dan
Calopogonium berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman jagung
pada umur 14 HST dan 56 HST serta diameter batang tanaman jagung pada
umur 14 HST dan 56 HST. Hal ini diduga sumbangan bahan organik berada
dalam jumlah sedikit yang berakibat tanaman sulit memperoleh media
tumbuh yang mampu menyediakan kondisi yang sesuai untuk perakaran
tanaman dan pembesaran batang. Tanaman menjadi sulit untuk menyerap
air dan hara, aerasi terganggu akibat masih tingginya berat volume tanah
yang berperan dalam penyediaan pori untuk air dan udara yang berakibat
pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Hakim et al (1986),
menyatakan bahwa suatu tanaman tidak akan memberikan pertumbuhan
yang baik jika kebutuhan akan unsur hara tidak terpenuhi. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Darwis dan Zaeni (2009) bahwa tanah
bekas penambangan akan mengandung nikel dalam konsentrasi yang tinggi
sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

f) Bobot 100 Butir

Hasil pengamatan dan sidik ragam bobot 100 butir tanaman jagung
disajikan pada Lampiran 14a dan 14b. Sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk hijau Arachis, Centro dan Calopogonium berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot 100 butir tanaman jagung. Hal ini disebabkan
karena apabila pertumbuhan tanaman tidak terpenuhi maka kemungkinan
besar untuk menghasilkan buah dalam jumlah sedikit. Selain itu, diduga
karena pemberian pupuk hijau tidak hanya dimanfaatkan dalam
pembentukan buah tetapi juga dimanfaatkan oleh seluruh bagian
tumbuhan (akar, batang dan daun). Disamping itu juga hasil penelitian
123

Gima (2001) bahwa pupuk hijau dengan dosis 10 ton ha-1 belum mampu
mensuplai kebutuhan unsur hara dalam jumlah yang cukup, seimbang dan
tersedia sesuai kebutuhan tanaman sehingga bobot 100 butir belum
memberikan produksi yang lebih baik kecuali dengan pemberian pupuk
hijau dengan dosis 15 ton ha-1.

g) Produksi Pipilan Kering

Hasil pengamatan dan sidik ragam produksi pipilan kering tanaman


jagung. Sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pupuk hijau Arachis,
Centro dan Calopogonium berpengaruh tidak nyata terhadap produksi
pipilan kering tanaman jagung. Hal ini diduga karena masih tingginya berat
volume tanah dan rendahnya kandungan bahan organik ditempat
penelitian ditambah dengan adanya kandungan nikel di dalam tanah. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang tertinggi pada
perlakuan Centro. Nilai rata-rata yang terendah pada perlakuan kontrol
(A0). Hal ini disebabkan karena pada fase pembuahan, pupuk hijau Centro
yang dicobakan berada dalam jumlah cukup tersedia sehingga memberikan
produksi yang tinggi.

Rendahnya produksi pada perlakuan yang lain disebabkan karena


adanya hama yang telah merusak buah jagung yaitu tikus. Oleh karena itu,
nilai rata-rata produksi pada tiap perlakuan rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan mengenai pengaruh pemberian


pupuk hijau dapat disimpulkan :

1) Pupuk hijau jenis Aracis (Arachis pintoi), Centro (Centrosema


Pubescens) dan Klopogonium (Calopogonium mucunoides) pada tanah
bekas tambang nikel yang dicobakan berpengaruh tidak nyata
terhadap peningkatan KAT, porositas, permeabilitas tanah serta
terhadap penurunan BV.
2) Produksi pipilan kering pada perlakuan centrosema pubescens
memiliki nilai yang tertinggi (1406.49 g) dibanding perlakuan pupuk
124

hijau yang lain serta berpengaruh tidak nyata pula terhadap tinggi
tanaman, diameter batang dan bobot 100 butir.

2. Saran

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pupuk hijau Arachis pintoi,


Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides dengan dosis diatas 8
kg petak-1 dan penentuan waktu tanam yang tepat agar diperoleh informasi
yang lebih detail mengenai pengaruhnya terhadap perbaikan beberapa
sifat fisik tanah

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Balai Penelitian Tanah, 2006. Warta Penelitian dan Pengembangan


Pertanian Vol. 28.No. 2 2006.

Chen, C.P. and Aminah, A. (1992). Calopogonium mucunoides . In: 't


Mannetje, L. and Jones, R.M. (eds) Plant Resources of South-East Asia
No. 4. Forages. pp. 72-74. (Pudoc Scientific Publishers, Wageningen,
the Netherlands).

Darwis dan Zaeni, A. 2009. Remediasi Lahan Ekskavasi Tambang Nikel


(Pomalaa-Sulawesi Tenggara). Lembaga Penelitian Universitas
Haluoleo. Kendari.

Eddy, 2004. Pembudidayaan Tanaman Jagung. PT Malton Putra. Jakarta.

Effendi, S. 1984. Bercocok tanam Jagung. Yasaguna. jakarta.

-------------. 1985. Bercocok tanam Jagung. Yasaguna. Jakarta.

Endriani dan Zurhalena. 2008. Kajian Beberapa Sifat Fisik Tanah Andisol
Pada Beberapa Penggunaan Lahan dan dan Beberapa kelerengan Di
Kecamatan Gunung Kerinci. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi-II 2008. Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
125

Fantz, P.R. (1996). Taxonomic notes on the Centrosema Pubescens Bentham


complex in Central America (Leguminosae: Phaseoleae: Clitoriinae).
SIDA, 17, 321-332.

Foth, H. D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah.. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.

--------------. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Ir. Endang D.B.,MS.


Dkk. Gajah mada University Press. Yogyakarta.

Gima, S. 2001. Pengaruh Pemberian Berbagai Takaran Pupuk Hijau


Calopogonium sp. Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa
Varietas Jagung (Zea mays L). Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo. Kendari.

Hakim, N., Yusuf, M.N., Lubis, A.M., Sutopo, G.N., Rusdi, M.S., Amin, M.D., Go
Ban Hong dan Bailey, H.H., 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit
Universitas Lampung.

Hanafia, K.A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika


Presindo. Jakarta.

---------------------. 2003. Ilmu Tanah. PT. Mediatama Sarana Perkasa Jakarta.

Junaedi, H. 2008. Pemanfaatan Jerami Padi dan Kapur guna Memperbaiki


Permeabilitas Tanah dan Hasil Kedelai Musim Tanam II. Prossiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi – II. Universitas Lampung,
17-18 November 2008.

Kartasapoetra. A. G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk


Merehabilitasi. Hal 237. Bina Aksara. Jakarta.

Keller-Grein, G., Schultze-Kraft, R., Franco, L.H. and Ramírez, G, 2000.


Multilocational agronomic evaluation of selected Centrosema
pubescens germplasm on acid soils. Tropical Grasslands, 34, 65-77.

Koeswara. J, 1992. Ilmu Tanaman Setelah Jagung. Jurusan agronomi


Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
126

Leomo,S. dan Alam, S. 2008. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Fakultas


Pertanian Unhalu. Kendari.

Mursyidin, D. H. 2009. Memperbaiki Lahan Bekas Tambang Dengan


Mikroorganisme. http://agrica.wordpress.com/2009/01/09

Purwono dan Hartono. 2006. Pembudidayaan Tanaman Jagung (Zea mays


L). Kanisius. Jakarta.

Safaruddin, L. 2010. Pengaruh Tanaman Penutup Tanah Jenis Kacang-


Kacangan Terhadap Beberapa Sifat Fisik Tanah Bekas Tambang
Nikel. Skripsi Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Tanah.
Universitas Haluoleo Kendari.

Sarief, E.S., 1986. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor. Press. Bogor.

Srihartomo, N. 2010. Macam-Macam Bahan Organik.


http://lestarimandiri.org/id/macam-macam bahan organik.html

------------------------. 2010. Tanaman Pupuk Hijau. http://lestarimandiri.org


/id/ tanaman pupuk hijau.html

Subroto dan Yusrani, A., 2005. Kesuburan dan Pemanfaatan Tanah.


Penerbit Bayu Media Publishing. Jawa Timur.

Summary, 2009. Pupuk Hijau. http ://jabritanah.wordpress.com. pupuk-


hijau. 2009/04/04. html.

Suprapto, 2000. Bertanam Jagung. Penebar swadaya. Jakarta.

Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Offset.
Yogyakarta.

Warisno, 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Karisius. Yogyakarta.

Yuhaeni, S, 2001. Arachis: Tanaman Unik Hijauan Pakan Ternak. Leaflet,


Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
127

BATU BATA TANAH TANPA BAKAR,


SALAH SATU SOLUSI MENGATASI PERAMBAHAN
HUTAN, PERUSAKAN LINGKUNGAN,
DAN PENCEMARAN UDARA

Sofwan

PENDAHULUAN

Terjadinya kerusakan alam, meningkatnya pencemaran lingkungan,


dan suhu pemanasan global, mendorong munculnya berbagai inovasi
teknologi, tak terkecuali teknologi dunia konstruksi dan penggunaan
bahan-bahan bangunan ramah lingkungan. Batu bata merupakan
komponen yang paling banyak digunakan untuk aplikasi teknik sipil baik
sebagai elemen struktur maupun nonstruktur. Pembuatan batu bata
konvensional yang telah dilakukan turun-temurun yaitu batu bata dari
tanah lempung dengan proses pembakaran menyebabkan antara lain (1)
perusakan lingkungan dengan membuat lobang dimana-mana, bahkan
pengupasan top soil pada lahan sawah akibat penggalian tanah lempung,
(2) perusakan hutan akibat penebangan pohon untuk kayu bakar, (3)
terjadinya polusi udara dan menambah suhu pemanasan global (global
warming) akibat banyaknya gas karbondioksida yang dihasilkan, (4) batu
bata dengan kualitas yang tidak terukur, bahkan tidak memenuhi standar
minimal kualitas bahan bangunan, mengancam keselamatan jiwa manusia
jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi.

Sebuah studi kerja sama antara Britania Raya dengan Indonesia


pada tahun 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40 % dari seluruh
128

kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.
Berdasarkan hasil analisis FWI (Forest Watch Indonesia) dan GFW (Global
Forest Watch), dalam kurun waktu 50 tahun luas tutupan hutan Indonesia
mengalami penurunan sekitar 40 % dari total tutupan hutan di Indonesia
(http://ariestiaayou.wordpress.com). Diperlukan suatu upaya untuk
mengurangi volume penebangan pohon.

“Di tahun 2013 lalu adalah suhu paling panas di Antartika sejak
44000 tahun terakhir (Live Science, Jumat, 25-10-2013), dan efek emisi gas
karbon hasil produksi industri dan polusi menjadi penyebab utama”
(http://techno.okezone.com). “Bumi saat ini terus melepaskan karbon
dioksida sebanyak 54 persen penyebab lapisan ozon berlubang. Hingga
tahun 2011 lalu atmosfer bumi sudah tercemar oleh karbon sebanyak 531
gigaton” (http://techno.okezone.com). “Emisi CO2 dalam proses pembuatan
bata memberi pengaruh signifikan terhadap pemanasan global” (Siram,
2012). Diperlukan upaya untuk mengurangi volume pembakaran.

“Pembuatan biokeramik pada lingkungan suhu laut oleh kerang,


tidak kalah kuatnya dengan teknokeramik yang dibuat oleh manusia pada
suhu sangat tinggi diatas 1000 derajat C, padahal biokeramik dan
teknokeramik memanfaatkan bahan baku yang sama, membuat
teknokeramik pada suhu rendah untuk menghemat energi patut dikaji
caranya” (Habibie, 2010).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan infrastruk-


tur yang terus meningkat menambah jumlah permintaan batu bata. Jika,
batu bata terus diproduksi secara manual, memanfaatkan lempung dan
dengan proses pembakaran, maka kerusakan lingkungan yang diakibat-
kannya akan semakin besar.

PEMBATASAN MASALAH

Masalah yang dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai


berikut.
1) Sejauh mana keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif batu
bata tanah tanpa pembakaran?
129

2) Bagaimana batu bata tanah tanpa pembakaran tidak merusak


lingkungan, mencegah perambahan hutan dan mengurangi laju polusi
udara?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.


1) Mengetahui keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif batu
bata tanah tanpa pembakaran.
2) Menawarkan keunggulan produk untuk mencegah perusakan
lingkungan, perambahan hutan dan pengurnagan laju polusi udara.

TINJAUAN TEORETIS

1. Batu Bata

Persyaratan batu bata menurut SII-0021-78 dan PUBI 1982 adalah


sebagai berikut.
a) Bentuk standar batu bata ialah prisma segi empat panjang, bersudut
tajam dan siku-siku, permukaan rata dan tidak retak-retak seperti
gambar 1 berikut.

Gambar 1. Bentuk Batu Bata Standar

b) Ukuran standar

Modul M-5a : 190 mm x 90 mm x 65 mm


Modul M-5b : 190 mm x 140 mm x 65 mm
Modul M-6 : 230 mm x 110 mm x 55 mm
130

c) Batu bata dibagi menjadi 6 kelas kekuatan berdasarkan kekuatan tekan


yaitu kelas 25, kelas 50, kelas 100, kelas 150, kelas 200 dan kelas 250.
Kelas kekuatan ini menunjukkan kekuatan tekan rata-rata minimal dari
30 buah bata yang diuji.

Dalam pengembangannya, batu bata dimodifikasi dalam berbagai


bentuk dan ukuran untuk berbagai aplikasi, sebagaimana pada gambar 2.

Gambar 2. Bentuk batu bata Interlocking.

2. Karakteristik Batu Bata

Untuk mengetahui karakteristik batu bata, dilakukan berbagai


pengukuran dan pengujian untuk kemudian dibandingkan dengan standar-
standar yang telah ditentukan. Pengukuran dan pengujian dimaksud antara
lain sebagai berikut.

a) Densitas
Densitas adalah perbandingan antara massa dan volume. Nilai
densitas menggambarkan tingkat kepadatan batu bata. Nilai densitas dari
setiap sampel untuk masing-masing bentuk dan masing-masing ukuran
ditentukan melalui perbandingan massa dan volume. Jika, nilai densitas
rendah, maka batu bata cenderung rapuh dan mudah patah. SNI 15-2094-
2000 mensyaratkan nilai densitas minimum batu bata untuk pasangan
dinding sebesar 1,2 gr/cm³ atau 1200 kg/m3.

b) Serapan (Porositas)

Kandungan rongga yang terjadi pada batu bata sangat dipengaruhi


oleh tingkat kekasaran dan kehalusan butiran bahan dasar (tanah) dan
kadar air saat pencampuran. Fungsi serapan pada batu bata diperlukan
untuk pengikatan antar batu bata saat dilakukan pemasangan, baik sebagai
131

elemen struktur maupun non-struktur. Porositas pada suatu material


dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang
ada dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material
bervariasi mulai dari 0 % sampai dengan 90 % tergantung dari jenis dan
aplikasi material. Semakin banyak porositas yang terdapat pada material
maka semakin rendah kekuatannya, begitu pula sebaliknya. Porositas
merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas batu bata. Nilai
porositas didapatkan dari nilai batu bata basah (direndam dalam air) dan
nilai batu bata kering. Porositas dan densitas sangat berhubungan, jika nilai
densitas tinggi, maka nilai porositasnya berkurang. Porositas tinggi
mengakibatkan kualitas batu bata menjadi rendah, menjadi lebih mudah
patah. Penyerapan air merupakan faktor kunci yang mempengaruhi daya
tahan batu bata. Oleh karena itu, struktur internal batu bata harus cukup
intensif untuk menghindari intrusi air (Weng, et.al., 2002). SNI 15-2094-
2000 mensyaratkan penyerapan air maksimum batu bata untuk pasangan
dinding sebesar 20%. Nilai porositas yang ideal untuk batu bata adalah
lebih besar dari 15 % dan tidak lebih dari 20 % (15 % < porositas < 20 %).

c) Kuat Tekan

Kuat tekan suatu material didefenisikan sebagai kemampuan


material dalam menahan beban atau gaya mekanis sampai terjadinya
kegagalan. Aplikasi material sangat dipengaruhi oleh sifat fisis dan
mekanisnya, dan dapat diketahui setelah dilakukan pengujian. Tujuan
pengujian mekanis adalah untuk menentukan respon batu bata pada saat
diberikan pembebanan atau deformasi dari luar. Dengan cara ini dapat
diketahui seberapa jauh perilaku inheren (sifat ketergantungan atas
fenomena atomik maupun mikroskopis, dan bukan karena bentuk atau
ukuran benda uji) batu bata terhadap pembebanan. Tipe pengujian
dilakukan dalam beberapa menit untuk mengetahui bentuk kerja bahan
sampai mengalami kerusakan, spesimen mengalami deformasi dan sampai
patah (Arifin, 2001). Kuat tekan batu bata yang diijinkan menurut SII-
0021-78 dan PUBI 1982 dibagi menjadi 6 kelas kekuatan yaitu kelas 25,
kelas 50, kelas 100, kelas 150, kelas 200 dan kelas 250. Sedangkan SNI 15-
2094-2000 mensyaratkan kuat tekan minimal 50 kg/cm2.
132

d) Kandungan garam

Batu bata dengan kandungan garam yang tinggi berpengaruh


signifikan pada tingkat pengikatan antara batu bata dengan mortar pengisi.
Garam pada permukaan batu bata berupa bercak-bercak putih. Bercak-
bercak putih yang menutup permukaan batu bata tidak diijinkan hingga
mencapai 50% (PUBI 1982).

e) Mikrostruktur

Pengamatan secara ceramografi adalah salah satu cara dalam


melakukan analisis kegagalan pada struktur batu bata, secara mikroskopis
adalah melakukan pengamatan terhadap struktur mikro bahan batu bata.
Keakuratan hasil analisa sangat dipengaruhi oleh jenis instrumen yang
digunakan dalam melakukan pengamatan. Pengamatan mikrostruktur
mempunyai peranan penting dalam pengujian bahan, karena bentuk
struktur menentukan sifat fisis, mekanis, kimia dan termal bahan. Oleh
karena itu, dengan pengamatan terhadap struktur bahan dapat ditentukan
sifat mampu pengerjaan suatu bahan. Dari pengamatan mikroskopis ini
dapat memberikan keterangan tentang bidang patah, pemisahan, inklusi,
pori-pori dan arah retak. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui bentuk
dan ukuran partikel penyusun batu bata, juga mengidentifikasi fasa dan
senyawa.

Berbagai penelitian terdahulu tentang batu bata tanpa pembakaran,


masih menggunakan bahan dasar lempung dan menggunakan semen
Portland sebagi binder, masih menimbulkan masalah kerusakan
lingkungan dan lamanya waktu pengeringan. Penelitian yang dilakukan
Isnandar dkk (1994) tidak menggunakan lempung dan semen, tetapi
menggunakan pasir dan kapur, masih mengalami masalah lamanya waktu
pengeringan dan menurunnya kekuatan setelah dilakukan perendaman 24
jam (tidak komperatif dan tidak kompetitif).
133

PEMBAHASAN

1. Perbandingan antara Batu Bata Konvensional (dengan Pemba-


karan) dan Batu Bata tanpa Pembakaran
a. Batu bata konvensional dengan proses pembakaran

Batu bata konvensional dengan proses pembakaran biasanya dicetak


dengan cetakan manual, tetapi ada juga yang dicetak dengan mesin cetak.
Bahan dasar yang digunakan adalah tanah lempung (clay). Di beberapa
daerah tidak terdapat tanah lempung yang memenuhi syarat untuk
pembuatan batu bata konvensional. Untuk mendapatkan tanah lempung
dengan volume yang banyak, terkadang harus melakukan penggalian
sehingga meninggalkan lubang-lubang bekas galian yang merusak lahan
pertanian potensial. Proses pembuatannya cukup menguras tenaga dan
memerlukan waktu yang relatif lama. Proses pembuatan batu bata tanah
konvensional, sebagai gambaran: (1) tanah lempung dihaluskan dengan
cangkul, kemudian direndam air selama 24 jam agar setiap butiran tanah
menjadi basah; (2) diinjak-injak hingga terasa lekat; (3) didiamkan selama
24 jam; (4) dicetak dengan cetakan manual di halaman terbuka (satu orang
terampil hanya mampu mencetak rata-rata 800 biji per hari, khusus
mencetak), atau dicetak dengan mesin; (5) untuk yang dicetak manual
dijemur rata-rata 2 hari; (6) untuk yang dicetak manual
dibersihkan/dirapikan dengan pisau; (7) baik yang dicetak manual
maupun yang dicetak dengan mesin, diangin-anginkan selama 7 hari
sambil menyiapkan kayu bakar; dan (8) disusun di tungku, kemudian
dibakar selama 2 hari.

Untuk menghasilkan batu 10.000 biji batu bata dibutuhkan waktu


sekitar 20 hari dengan 6 orang tenaga kerja. Di musim hujan proses
produksi terganggu karena batu bata dan kayu bakar harus dikeringkan
sebelum proses pembakaran. Kualitas tidak terukur. Bentuk dan ukuran
tidak seragam karena terjadi perubahan bentuk dan tingkat penyusutan
volume yang berbeda-beda saat proses pembakaran. Menggunakan banyak
air. Volume kayu bakar sekitar 5 m3/10.000 biji batu bata. Menebang
pohon untuk kayu bakar lebih merusak hutan dibandingkan dengan
menebang pohon untuk kayu konstruksi, karena tidak memilih jenis kayu
dan ukuran kayunya. Suhu pembakaran hingga 800 derajat celsius.
Menimbulkan polusi asap akibat karbondioksida yang dihasilkan. Cost
134

produksi semakin tinggi dengan semakin langkanya kayu bakar. Jika kita
hitung dengan baik, maka memproduksi batu bata konvensional dengan
proses pembakaran menimbulkan kerusakan lingkungan, perambahan
hutan, pencemaran udara, secara financial tidak layak untuk sebuah usaha.

b. Batu bata tanpa proses pembakaran

Batu bata tanah tanpa proses pembakaran (unburning soil brick)


memiliki karakteristik yang memenuhi standar kualitas, baik sebagai
elemen struktur maupun non struktur, meski dengan memanfaatkan
limbah dan tanah bukan lempung sebagai bahan dasarnya, dan
menggunakan “alkali batu gamping” (dalam bentuk bubuk alkali) yang
diaplikasikan dengan menambahkan bahan lain sebagai aditif untuk
memberikan kesesuaian terhadap karakteristik bahan dasar yang akan
digunakan. Pemakaian alkali batu gamping sebagai unsur pengikat (binder)
dalam pembuatan batu bata tanah tanpa pembakaran ini memberikan
salah satu harapan dalam desain rekayasa material batu bata ramah
lingkungan. Binder alkali batu gamping akan memiliki keunggulan
komparatif dibanding binder berbahan semen atau flay ash. Alkali batu
gamping, dari substitusi akan memberikan nilai tambah terhadap kekuatan
batu bata, selain kecepatan pengeringan juga kemudahan dalam
pencampuran pada proses pembuatan batu bata. Kondisi ini akan
berpengaruh positif terhadap sifat mekanik (kekuatan tekan dan bending)
pada batu bata.

Untuk menghambat kerusakan lahan akibat penggalian tanah


lempung dan pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah, maka
berbagai jenis limbah dapat digunakan sebagai bahan baku tambahan
dalam pembuatan batu bata tanah tanpa proses pembakaran. Bahan-bahan
dimaksud antara lain sekam padi, ampas tebu, sabut kelapa, serbuk kayu
gergajian, sampah organik, reruntuhan bangunan dan sebagainya, yang
tentunya masing-masing memerlukan analisis tersendiri dalam
penggunaannya, agar kualitas produk tetap terjaga. Tanah lempung identik
dengan tanah subur untuk pertanian, sehingga diupayakan dapat
memanfaatkan tanah bukan lempung dan limbah sebagai bahan dasar.

Karena pembuatannya tanpa proses pembakaran, maka diperlukan


bahan pengikat. Agar kualitas yang akan dihasilkan bisa diukur, maka perlu
diketahui karakteristik masing-masing bahan (bahan dasar dan bahan
135

pengikat) yang akan digunakan, dianalisis dan dicampur dengan komposisi


yang ideal. Untuk dapat mengetahui kualitas produk maka dilakukan
serangkaian pengujian terhadap sampel produk, terutama uji densitas, uji
fungsi serapan, uji fungsi kekuatan, uji kadar garam dan uji mikrostruktur.
Hasil dari setiap tahapan pengujian sampel dibandingkan dengan strandar-
standar yang telah ditentukan.

2. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Setelah melalui serangkaian pengujian fisik, pengujian mekanis dan


pengujian mikrostruktur, batu bata tanah tanpa bakar, yang dibuat dengan
stabilisasi alkali batu gamping memiliki keunggulan komperatif dan
keunggulan kompetitif sebagai berikut.

1. kekuatannya terukur, kekuatan dapat dirancang sesuai kebutuhan.


Untuk batu bata tanah tanpa bakar yang diproduksi di Kendari, hasil uji
laboratorium mencapai K-175 untuk law grade, K-225 untuk medium
grade, K-250 untuk high grade, dan bisa mencapai lebih dari K-300
untuk kelas paving block;
2. berdasarkan hasil uji mikrostruktur, keawetan produk bisa mencapai
200 tahun (permanen);
3. proses produksi lebih cepat. Kapasitas produksi menggunakan mesin
type A dengan 8 orang tenaga kerja menghasilkan 25.000 (dua puluh
lima ribu) biji/hari. Menggunakan mesin type B dengan 6 orang tenaga
kerja menghasilkan 10.000 (sepuluh ribu) biji/hari. (dimulai dari tanah
mentah hingga menjadi batu bata);
4. proses produksi bisa berjalan konstan sepanjang tahun, karena tidak
terhalang dengan adanya musim penghujan;
5. hanya membutuhkan waktu 2 (dua) hari untuk pengeringan dengan
kering angin, dan siap dijual (untuk aplikasi non struktur). Sedangkan
untuk aplikasi struktur (misal untuk pondasi), cukup direndam minimal
7 hari untuk meningkatkan kekuatannya;
6. karena dicetak dengan mesin pres dan tidak dibakar, maka bentuknya
sangat presisi, ukurannya seragam;
7. warna bata dapat dbuat sesuai pesanan;
8. dalam proses pembuatannya, tidak memerlukan penjemuran dan tidak
perlu dioven;
9. ukuran bata yang umum digunakan dalah 5 cm x 10 cm x 20 cm, namun
demikian dapat dibuat dengan ukuran yang lain’
136

10. cantik untuk dinding bata expose (tidak diplester);


11. cost produksi lebih rendah 250/300 dibanding bata merah konven-
sional (yang dibakar);
12. bisa digunakan untuk paving block. Bentuk, ukuran, kuat tekan dapat
disesuaikan dengan standar paving block;
13. bisa dicetak tipis-tipis sebagai batu tempel, dengan memilih tanah yang
memiliki tekstur cantik; dan
14. bisa dibuat genting, tentunya dengan menggunakan cetakan genting.

3. Ramah Lingkungan

Batu bata tanpa proses pembakaran merupakan produk bahan


bangunan ramah lingkungan karena sebagai berikut.
1. Bisa digunakan tanah biasa, tanah sediment, berbagai jenis tanah dan
limbah, termasuk reruntuhan bangunan (tidak harus tanah lempung),
sehingga tidak merusak lingkungan akibat penggalian tanah lempung,
tidak menyebabkan adanya lobang dimana-mana, juga tidak melakukan
pengupasan top soil sawah untuk mencari tanah lempung;
2. Pemakaian air relatif sangat sedikit, karena dicetak dengan mesin pres
bertekanan tinggi.
3. Tidak menyebabkan kerusakan hutan karena tidak menebang pohon
untuk kayu bakar; dan
4. Tidak menimbulkan polusi udara dan tidak menambah suhu pemanasan
global (global warming) karena tanpa melalui proses pembakaran.
137

Gambar 3. Perbandingan Tampilan Batu Bata Konvensional dan


Batu Bata Ramah Lingkungan

4. Aplikasi Produk Batu Bata Tanah tanpa Pembakaran

Batu bata tanah tanpa pembakaran memiliki kekuatan yang terukur


dan cukup kuat, juga tahan dalam berbagai kondisi sehingga dapat
diaplikasikan pada berbagai keperluan, baik untuk aplikasi struktur
maupun aplikasi non struktur, baik di tempat kering seperti dinding
rumah, maupun yang terendam air seperti dinding kolam dan keperluan
lainnya. Bisa juga dicetak dalam versi paving block, ukuran, bentuk dan
kekuatannya disesuaikan dengan standar spesifikasi bahan untuk paving
block.

Untuk dinding bata ekspose dan paving block dari tanah tanpa proses
pembakaran, dapat digunakan untuk keperluan-keperluan sebagaimana
contoh gambar-gambar berikut:
138

Gambar 4. Dinding bata ekspose eksterior

Gambar 5. Dinding bata ekspose interior

Gambar 6. Aplikasi Paving block jalan raya

Gambar 7. Aplikasi Paving block taman


139

PENUTUP

Batu bata tanah tanpa pembakaran, yang dibuat dengan stabilisasi


alkali batu gamping memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan
kompetitif. Memiliki kekuatan yang terukur dan cukup kuat, juga tahan
dalam berbagai kondisi sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai
keperluan, baik untuk aplikasi struktur maupun aplikasi non struktur, baik
di tempat kering seperti dinding rumah, maupun yang terendam air seperti
dinding kolam dan keperluan lainnya. Bisa juga dicetak dalam versi paving
block, ukuran, bentuk dan kekuatannya disesuaikan dengan standar
spesifikasi bahan untuk paving block.

Batu bata tanah tanpa pembakaran ini juga ramah lingkungan, karena
tidak menyebebkan kerusakan alam, tidak merusak lahan pertanian,
pemakaian air relatif sangat sedikit, tidak menyebabkan kerusakan hutan
akibat penebangan pohon untuk kayu bakar, tidak menimbulkan polusi
udara dan tidak menambah suhu pemanasan global (global warming)
akibat banyaknya gas karbondioksida yang dihasilkan.

Disarankan untuk menggunakan batu bata tanah dan atau paving


block dari tanah tanpa proses pembakaran karena lebih kuat, lebih awet,
lebih tahan dari gangguan cuaca dan air. Selain itu, hasilnya lebih seragam,
lebih indah warna warninya, lebih rapih, dan ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, 2013. Polusi Perkotaan Ancam Hidup Manusia & Bumi.


http://techno.okezone.com. Minggu, 20 Oktober 2013 - 08:08 wib.
………, 2013. 2013, Suhu di Antartika Terpanas Sepanjang Sejarah.
http://techno.okezone.com. Jum'at, 25 Oktober 2013 - 18:54 wib.
Arie, 2009. Komposisi kimia dan mineralogi batuan karbonat.
http://earthfactory.wordpres.com. Juni 14, 2009, 4:27 pm.
Aries, 2013. Pembalakan liar. http://ariestiaayou.wordpress.com.
140

Deboucha, 2010. A review on bricks and stabilized compressed earth


blocks. Journal Department of Civil Engineering, Faculty of
Engineering, University of Malaya, Lembah Pantai, 50603 Kuala
Lumpur, Malaysia. Accepted 18 March, 2010.
Habibie, 2010. Filsafat dan Teknologi Untuk Pembangunan. Kuliah Umum
di hadapan Sivitas Akademika Universitas Indonesia, Depok, 12
Maret 2010.
Hanief, 2004. Kajian tentang kuat tekan batu bata tanpa dibakar dengan
menggunakan bahan dasar lempung dan pasir (kadar pasir 0% dan
30%) yang dicampur dengan kapur dan abu sekam padi.
Isnandar,dkk, (1994). Batu bata cetak pasir kapur tanpa pembakaran.
Persyaratan umum bahan bangunan di Indonesia (PUBI-1982) /Direktorat
Penyelidikan Masalah Bangunan.
Primayatma, I. B. G., 1993. Peranan Semen Portland dan Agregat Lain
Terhadap Campuran Tanah Liat Sebagai Bahan Bata Merah Tanpa
Pembakaran.
Siram, 2012. Cellular Light-Weight Concrete Blocks as a Replacement of
Burnt Clay Bricks. International Journal of Engineering and Advanced
Tech-nology (IJEAT) ISSN: 2249 – 8958, Volume-2, Issue-2, December
2012.
SNI 15-2094-2000. Bata merah pejal untuk pasangan dinding.
Sukmanto, 2004. Kajian tentang uji kuat desak terhadap batu bata tanpa
dibakar bahan dasar lempung 70% dan pasir 30% dicampur dengan
kapur dan abu sekam padi.
Wang X, 2010. Environmental Pollution from Rural Brick-making
Operations and Their Health Effects on Workers. Northwestern
University for Nationalities West of China Institute of Environmental
Health. March 15, 2010 - September 15, 2010.
Weng at. al, 2003. Utilization of Sludge as Brick Materials. Advances in
Environmental Research. 7 (2003) 679–685.
Wikipedia bahasa Indonesia, 2009. Identifikasi Batu gamping / batu kapur
(limestone). http://sms-ikhlas.blogspot.com. Juni 14, 2009,11:28:00
AM.
141

STRATEGI PENGELOLAAN PBK CONOPOMORPHA


CRAMERELLA (GRACILLARIIDAE: LEPIDOPTERA)
PADA TEPIAN HUTAN DI KECAMATAN LAMBANDIA
KABUPATEN KOLAKA TIMUR

Mazhfia Umar, Syafrida Manuwoto, Supiandi Sabihim, dan Lala MK.

PENDAHULUAN

Adanya serangan penggerek buah kakao (PBK) mulai diketahui di


Kabupaten Kolaka di Desa Ranomentaa Kecamatan Watubangga pada
tahun 1995. Dalam kurun waktu empat tahun serangan hama PBK
dilaporkan telah menyerang 10 kecamatan di Kabupaten Kolaka
(Sjafaruddin et al. 2000). Pada saat ini PBK telah menjadi hama utama
perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka Timur termasuk di Kecamatan
Lambandia. Untuk menekan penyebaran dan tingkat serangan PBK telah
dilakukan berbagai tindakan pengendalian. Pendekatan pengelolaan yang
telah dilakukan pada saat ini hanya bertumpu pada aspek teknologi
pengendalian, sementara aspek ekologi, sosial ekonomi, infrastruktur,
kelembagaan belum menjadi pertimbangan, sehingga pengendalian PBK
belum dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Penanganan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang


berkelanjutan adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT)1 (Heinrichs,

1
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan tanaman
(Pasal 3) disebutkan Perlindungan tanaman dilaksanakan melakui sistem pengendalian
142

2005). PHT merupakan sistem pengambilan keputusan dan proses


pembelajaran secara terus menerus untuk mengembangkan suatu
teknologi (Pesin et al., 2009), anjuran teknologi, informasi (Pawar 2002)
atau strategi pengendalian OPT (Dhaliwal et al. 2004). Pengambilan
keputusan pengendalian meliputi pengendalian preventif yang didahului
dengan pengamatan dan analisis hasil pengamatan, penentuan teknik
pengendalian, dan evaluasi teknik pengendalian yang diterapkan (Boller et
al., 2004). Dalam pengambilan keputusan sedapat mungkin
dipertimbangkan kondisi sumberdaya, kendala yang dihadapi, tujuan
pengelolaan dan teknologi yang tersedia (Dhaliwal et al., 2004).

Dengan demikian, pengendalian PBK perlu mempertimbangkan


setiap aspek dalam sistem pekebunan terintegrasi dari petani, kelompok
tani selaku pengguna sumberdaya, maupun pengambil kebijakan selaku
pengontrol penggunaan sumberdaya Sumberdaya. Untuk itu, perlukan
suatu strategi pengendalian PBK. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui strategi pengelolaan PBK dengan mempertimbangkan kondisi
internal dan eksternal pekebun.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan September sampai November


2010 di Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan adalah studi
literatur dan penentuan prioritas faktor dan strategi dengan meminta
pendapat pakar. Faktor-faktor internal eksternal disusun dalam matriks
untuk menentukan alternatif strategi pengelolaan PBK. Prioritas strategi
ditentukan dengan analisis prioritas SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, dan Threats). Pengumpulan data dilakukan dengan meminta
pendapat 9 orang pakar yang ditentukan secara purpossive sampling, yaitu
individu yang mewakili kelompok pekebun, kelompok pekebun, dan
pengambil kebijakan.

hama terpadu. Penjelasan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
390/Kpts/Tp.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian
Hama Terpadu. Keputusan Menteri tersebut mengatur Usaha Pokok, Tujuan, Pedoman
dan Tata Kerja, Organisasi, Prinsip-Prinsip penyelenggaraan Program Nasional PHT.
143

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Kecamatan Lambandia terletak di Kabupaten Kolaka Timur


memiliki luas 387.86 km2, terletak sekitar 90 km ibu kota provinsi.
Kecamatan Lambandia dibatasi oleh empat kecamatan yaitu: Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Ladongi, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kecamatan Rumbia, Kabupaten Buton, Sebelah Barat berbatasan
dengan Kecamaan Tanggetada dan Watubangga, serta Sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe. Kecamatan
Lambandia terletak melintang dari selatan tenggara ke barat yaitu antara
2oLS – 5o LS dan membujur dari barat ke tenggara antara 9o45BT – 160oBT.
Luas kecamatan Lambandia 378.53 km2 merupakan kecamatan terluas
(BPS Kabupaten Kolaka, 2007).

Kecamatan Lambandia merupakan salah satu sentra utama kakao


di Kabupaten Kolaka. Luas tanam kakao mencapai 26.769 ha membuat
kakao Lambandia menjadi barometer perkebunan kakao di Kabupaten
Kolaka Timur. Perkebunan kakao menempati area dataran dengan
kemiringan 0-15% dan pegunungan dengan kemiringan > 45 %.
Penanaman kakao pada pegunungan meliputi kawasan hutan produksi,
hutan konversi, dan hutan suaka alam (Dinas Kehutanan, 2007).

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara (2007)


sampai tahun 2006 konversi hutan untuk perkebunan kakao dan
peruntukan lain telah terjadi pada lahan seluas 8 963.26 ha (42.03 %).
Konversi hutan tersebut terjadi pada hutan suaka alam, hutan lindung,
hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan
lain, berturut-turut 5 413.37 ha, 81.54 ha, 958.96 ha, 2 444.79 ha, 58.54 ha
dan 3.09 ha.

Areal kebun kakao yang berbatasan langsung dengan area hutan


membutuhkan input teknologi yang dapat menciptakan keseimbangan
ekosistem dengan area hutan. Teknologi juga diharapkan dapat menekan
pembukaan hutan, dengan mendorong penggunaan sumberdaya secara
efisien terutama pada lahan datar. Ketidakefisienan penggunaan
sumberdaya mendorong pembukaan hutan dengan tujuan untuk mencapai
target produksi dan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan
rumah tangga pekebun.
144

HASIL PENELITIAN

Alternatif strategi diperoleh dengan membuat matriks faktor


internal faktor eksternal, masing-masing diuraikan atas kekuatan,
kelemahan, peluang serta ancaman. Prioritas faktor internal eksternal
menjadi pertimbangan dalam menentukan alternatif strategi. Matriks
alternatif strategi pengelolaan PBK disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Matriks Alternatif Strategi Pengelolaan PBK Menuju Perkebunan


Berkelanjutan di Kecamatan Lambandia

Kekuatan Kelemahan
Faktor Internal a.Insentif pengendalian a.SDM terbatas
b.Alumni SLPHT b.Kelembagaan
c.Kepemilikan lahan pekebun
d.Nilai-nilai gotong-royong c.Pascapanen
Faktor Eksternal e.Musuh alami d.Tanaman naungan
e.Limbah kakao
Peluang  Peningkatan mutu biji  Peningkatan SDM
1.Potensi pasar kakao  Kelembagaan
2.Perusahan benih  Efisiensi rantai pekebun
3.Kebijakan Perlintan pemasaran  Transfer teknologi
4.PT/LP  Transfer teknologi  Peningkatan mutu
5.Peranan LSM biji kakao

Ancaman
1.Subsidi pupuk  Peningkatan SDM  Efisiensi rantai
2.Pestisida ilegal Pengembangan teknologi pemasaran
3.Fluktuasi harga PHT  Pengembangan
4.Suku bunga  Kelembagaan pekebun teknologi
5.Pembukaan hutan PHT

Tabel (1) memaparkan alternatif strategi pengelolaan PBK yang


terdiri atas: (1) peningkatan SDM; (2) transfer dan pengembangan
teknologi PHT; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun; (4)
peningkatan mutu biji kakao dan pengolahan hasil; serta (5) efisiensi pasar.
Peningkatan SDM diharapkan dapat dilakukan dalam hal peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dalam pengumpulan data dan pengolahan
data PBK serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu,
penyuluhan tentang perbanyakan bibit kakao, pengolahan limbah,
pengelolaan naungan, konservasi musuh alami perlu dilakukan.
145

Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan menjalin


kemitraan dengan lembaga penunjang seperti lembaga penelitian/
perguruan tinggi atau lembaga swadaya masyarakat yang dijembatani oleh
petugas pendamping yaitu Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perkebunan.
Kemitraan kelompok pekebun dengan lembaga penunjang diharapkan
dapat mendorong peran kelompok pekebun. Kelompok pekebun
diharapkan tidak hanya berperan di lahan tetapi juga berperan dalam
meningkatkan mutu biji kakao dan menjalin kemitraan dengan pasar
sehingga dapat memberi nilai tambah bagi pendapatan pekebun.

Prioritas strategi pengelolaan PBK adalah SDM pekebun/petugas


(1,101), PHT PBK (0.538), peningkatan kapasitas kelembagaan PHT
(0.310), peningkatan mutu biji kakao (0.180), dan pembenahan mata rantai
pemasaran (0.207). Pelatihan petugas ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan pekebun dalam penggunaan sumber daya
dan pengembangan PHT PBK. SDM pekebun dalam bentuk pelatihan
pekebun untuk meningkatkan pengetahuan terutama dalam menentukan
ambang kendali, perbanyakan benih bermutu, pemanfaatan limbah,
konservasi musuh alami, dan peramalam PBK. Pengembangan PHT PBK
bersifat dinamis karena kondisi sumber daya dan permasalahan yang
dihadapi terus berkembang sejalan dengan dinamika masyarakat dan
dinamika pembangunan. PHT perlu didukung oleh basis data seperti data
iklim, jenis dan dinamika populasi OPT, musuh alami, data lainnya untuk
mendukung peramalan dan penentuan ambang kendali PBK.

Kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan yang berkaitan


dengan kelembagaan sarana produksi dan pemasaran sehingga dapat
mempersingkat mata rantai pemasaran biji kakao. Komunikasi yang
berjalan antara pekebun dan konsumen dalam hal ini perusahan pengolah
biji kakao dan eksportir dapat menyamakan persepsi tentang mutu sehingg
pekebun dapat memiliki kekuatan untuk menentukan harga biji kakao.
Gambaran prioritas secara lebih jelas dikemukakan pada Gambar 1.
146

Rantai pemasaran 0.207


Alternatif Strategi

Mutu biji kakao 0.180

Kelembagaan pekebun 0.310

PHT PBK 0.538

SDM pekebun 1.101


Bobot

Gambar 1. Prioritas Strategi Pengelolaan PBK

Peningkatan sumber daya manusia (SDM) pekebun merupakan


strategi prioritas dalam pengelolaan PBK. Peningkatan SDM dilakukan
melalui pelatihan, demontrasi, kaji tindak on farm serta diseminasi dengan
menggunakan alat-alat komunikasi seperti brosur, radio, atau internet.
Peningkatan SDM yang telah dilakukan adalah dalam bentuk pelatihan
pekebun dan demonstrasi plot pengendalian PBK.

PEMBAHASAN

Prioritas strategi adalah pengelolaan PBK menggunakan prinsip-


prinsip PHT melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara
peningkatan pengetahuan/keterampilan sehingga dapat menghasilkan
kakao yang bermutu dan mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal dan
global. Peningkatan pengetahuan/ keterampilan pekebun dan petugas
merupakan modal dasar dalam mengembangkan PHT PBK dan mendorong
partisipasi aktor dalam suatu wadah kelembagaan. Untuk mencapai misi
perkebunan kakao rakyat, maka strategi pengelolaan PBK adalah
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehinga dapat
memproduksi biji kakao secara optimal dan berorientasi lingkungan, biji
kakao yang mengacu pada standar mutu, dan mata rantai pemasaran yang
efisien, sehingga dapat meningkatkan pendapatan pekebun dan kualitas
hidup pekebun.
147

Peningkatan pengetahuan/keterampilan pekebun tidak hanya


dalam bentuk pengetahuan teknis pengendalian PBK, tetapi juga
pengetahuan agrobisnis seperti manajemen kebun, pengolahan hasil dan
pemasaran. Dengan demikian, diharapkan pekebun dapat beradaptasi
dengan perkembangan lingkungan eksternal sehingga dapat meningkatkan
motivasi pekebun untuk secara bersama-sama mengembangkan PHT PBK.
Terbentuknya PHT PBK merupakan suatu bentuk teknologi yang
diharapkan dapat diterapkan secara terus-menerus. Dalam mendukung
penerapan PHT PBK, maka partisipasi pekebun dalam suatu wadah
kelembagaan diharapkan dapat mendorong penerapan PHT PBK secara
berkelanjutan.

KESIMPULAN

Strategi utama pengelolaan PBK adalah peningkatan SDM pekebun


untuk mampu melakukan pengelolaan perkebunan sebagai suatu kegiatan
bisnis dengan mengintegrasikan kelembagaan pekebun dangan pemasaran
dan mutu biji kakao. Bentuk pengelolaan PBK untuk mencapai keunggulan
kompetitif di pasar global sehingga dapat meningkatkan pendapatan
pekebun dan akhirnya dapat mengurangi tekanan terhadap pembukaan
hutan di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Boller EF et al. 2004. Integrated Production Principles and Technical


Guidelines 3rd Edition, 2004. The IOBC/WPRS Bulletin Vol. 27 (2).
http://www. iobc-wprs.org [Akses 17 Februari 2010].

Dhaliwal GS, Koul O, Arora R. 2004. Integrated Pest Management :


Retrospect and Prospect. Di dalam: Koul O, Dhaliwal GS, Cuperus
GW, editor. Integrated Pest Management : Potential, Constraints and
Challenge. United Kingdom: CABI Publishing.

Dinas Kehutanan. 2007. Peta Neraca Sumberdaya Hutan Tahun Neraca


2006. Kendari: Dinas Kehutanan.
148

[Disbun] Dinas Perkebunan. 2007. Data Luas Tanam dan Produksi Kakao
Kabupaten Kolaka. Kolaka: Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka.

[Disbunhort] Dinas Perkebunan dan Hortikultura. 2008. Data Luas


Serangan OPT Kabupaten Kolaka. Kendari: Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara.

Heinrichs EA. 2005. A New Paradigm for Implementing Ecologically – Based


Participatory IPM in a Global Context: The IPM CRSP Model.
Neotropical Entomology 34(2):143-15.

Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest
Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption.
Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management:
Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands:
Netherlands. 689pp.

Sjafaruddin M et al. 2000. Hasil Kajian Penggerek Buah Kakao dan Status
Hara Areal Pertanaman Kakao di Kabupaten Kolaka. Kendari: Balai
Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
149

“TEH KELOR TE WUNA”


SEBUAH PRODUK HASIL INOVASI PERGURUAN TINGGI

Anshar

1. PENDAHULUAN

Tumbuhan kelor (Moringa oleifera) merupakan merupakan salah


satu spesies tumbuhan dalam family Moringaceae yang tahan tumbuh di
daerah kering tropis dan. Species ini merupakan salah satu tanaman di
dunia yang sangat bermanfaat, karena semua bagian dari tanaman seperti
daun, bunga dan akar dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan baik di
bidang medis maupun industri (Sjofjan, 2008). Tumbuhan ini juga sering
kali dikonsumsi oleh masyarakat dengan cara diolah menjadi sayur,
tanaman ini selain bernilai nutrisi tinggi juga memiliki citarasa yang enak
serta sering pula digunakan sebagai obat-obatan untuk pemanfaatan
komposisi kimia yang terdapat di dalamnya.

Tanaman kelor adalah tanaman yang mempunyai manfaat yang


besar di bidang medis dan industri (Makkar dan Bekker, 1997). Tanaman
ini merupakan salah satu spesies tumbuhan dalam famili Moringaceae.
Spesies ini merupakan salah satu tanaman di dunia yang sangat
bermanfaat, karena semua bagian dari tanaman seperti daun, bunga dan
akar dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan diantaranya adalah
sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Daunnya banyak dikonsumsi
sebagai sayuran hijau dan akarnya bisa digunakan sebagai rempah-
rempah.

Atas dasar kandungan nutrisi dan potensi daun kelor di


Kabupaten Muna Sulawesi Tenggraa maka perlu dilakukan sebuah kajian
150

untuk menhasilkan pruduk pengolahan daun kelor sebagai bahan baku


pembuatan minuman kesehatan yaitu “Teh Kelor Te Wuna”.

2. KLASIFIKASI KELOR

Kelor memiliki Karakteristik khas yang dimiliki oleh tanaman


kelor menyebabkan lebih mudah untuk dikenali dan dibedakan dengan
tanaman lainnya sebagaimana dijelaskan oleh (Donovan, 2007) bahwa
tanaman kelor dikenal sebagai tanaman pakan yang tumbuh hingga
mencapai 7-12 m, mempunyai dahan dan batang yang rapuh, daun kecil-
kecil berbulu berwarna hijau dengan jumlah yang banyak sepanjang 30-60
cm, dengan lebar 0,3-0,6 cm dan panjang 2 cm. Bunga tanaman ini
berwarna putih dengan ukuran diameter 2,5 cm, kelopak bunga
menggantung, dan serbuk sari berwarna putih. Buah kelor berbentuk
memanjang dengan jumlah biji sekitar 20 buah. Adapun Klasifikasi
tanaman kelor menurut Cwayita (2014) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)


Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus :Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lam

3. MORFOLOGI KELOR

Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu yang berbatang dan


termasuk jenis batang berkayu, sehingga batangnya keras dan kuat.
Bentuknya sendiri adalah bulat (teres) dan permukaannya kasar. Arah
tumbuhnya lurus ke atas atau biasa yang disebut dengan tegak lurus
(erectus). Percabangan pada batangnya merupakan cara percabangan
simpodial dimana batang pokok sukar ditentukan, karena dalam
perkembangan selanjutnya, batang pokok menghentikan pertumbuhannya
151

atau mungkin kalah besar dan kalah cepat pertumbuhannya dibandingkan


cabangnya. Arah percabangannya tegak (fastigiatus) karena sudut antara
batang dan cabang amat kecil, sehingga arah tumbuh cabang hanya pada
pangkalnya saja sedikit lebih serong ke atas, tetapi selanjutnya hampir
sejajar dengan batang pokoknya (Krisnadi, 2015). Adapun gambar pohon
kelor dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Pohon kelor (Dokumen Pribadi)

Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling


(alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda
berwarna hijau muda - setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat
telur, panjang 1 - 2 cm, lebar 1 - 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal
tumpul (obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate),
permukaan atas dan bawah halus. Merupakan jenis daun bertangkai karena
hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja. Tangkai daun berbentuk
silinder dengan sisi atas agak pipih, menebal pada pangkalnya dan
permukaannya halus. Bangun daunnya berbentuk bulat atau bundar
(orbicularis), pangkal daunnya tidak bertoreh dan termasuk ke dalam
bentuk bangun bulat telur. Ujung dan pangkal daunnya membulat
(rotundatus) diamana ujungnya tumpul dan tidak membentuk sudut sama
sekali, hingga ujung daun merupakan semacam suatu busur. Susunan
tulang daunnya menyirip (penninervis), dimana daun Kelor mempunyai
satu ibu tulang yang berjalan dari pangkal ke ujung, dan merupakan
terusan tangkai daun (Krisnadi, 2015).
152

4. KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG DAUN KELOR

Tepung daun kelor memiliki beberapa zat hypotensif, antikanker,


dan antibakterial antara lain, niacimicin, pterygospermin. Selain itu daun
kelor juga memiliki zat antioksidan antara lain sitosterol dan
glukopyranoside, daun kelor juga sebagai suplemen yang mempunyai nilai
gizi tinggi dan dianggap sebagai suplemen protein dan kalsium, dari
berbagai penelitian dilaporkan bahwa pada daun kelor terdapat komposisi
vitamin A, B dan kalsium, zat besi dan protein yang tinggi (Sarjono, 2008).
Sebagai sumber protein, daun kelor memiliki kandungan asam amino
esensial seimbang.

Salah satu jenis herbal yang dikenal sebagai pengganti penggunaan


antibiotik pemacu pertumbuhan (growt promoter antibiotic) adalah tepung
daun kelor Antibiotik memiliki khasiat menghentikan pertumbuhan atau
membunuh jasad renik lainnya yang bersifat pathogen yang berakibat
melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran
pencernaan. Adapun kandungan serbuk daun kelor produksi moringa
Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Serbuk Daun Kelor Produksi Moringa Indonesia

No Kandungan Nutrisi Nilai Satuan Lab Penguji


PROKSIMAT
1 Protein (N x 6.25) 26.3 % BBIA
2 Karbohidrat 48.4 % BBIA
3 Lemak 6.57 % BBIA
4 Kadar Air 7.05 % BBIA
5 Energi 358 kal/100 gram BBIA
6 Serat Makanan (Dietary 31.4 % BBIA
Fiber)
7 Staphylococcus aureus Negative Farmasi UNAIR
8 Pseudomonas aeruginosa Negative Farmasi UNAIR
9 Escherichia coli Negative Farmasi UNAIR
10 Salmonella sp Negative Farmasi UNAIR
11 Candida albicans Negative Farmasi UNAIR

VITAMIN
12 Vitamin A 186 IU/100 g BBIA
13 Vitamin B1 45.5 mg/kg BBIA
14 Vitamin B2 100 mg/kg BBIA
15 Vitamin B6 3.32 mg/kg BBIA
16 Vitamin C <2.00 g/kg BBIA
153

17 Vitamin D 2.14 µg/100 g BBIA


18 Vitamin E 87.3 mg/100 g BBIA

ASAM
19 Asam Folat <0.25 mg/kg BBIA
20 Asam Oleat 0.48 % BBIA

MINERAL
21 Kalsium (Ca) 36.7 mg/100 g BBIA
22 Kalium (K) 120 mg/100 g BBIA
23 Natrium (Na) 109 mg/100 g BBIA
24 Magnesium (Mg) 319 mg/100 g BBIA
25 Fospor (P) 227 mg/100 g BBIA
26 Besi (Fe) 60.5 mg/100 g BBIA
27 Tembaga (Cu) 4.95 mg/kg BBIA
28 Seng (Zn) 16.0 mg/kg BBIA
29 Kromium (Cr) <0.006 mg/kg BBIA
30 Mangan (Mn) 68.9 mg/kg BBIA
31 Selenium (Se) 0.10 mg/kg BBIA

ASAM AMINO
32 Aspartat 32006.83 ppm SIG
33 Glutamat 29305.61 ppm SIG
34 Serin 9435.72 ppm SIG
35 Glisin 11906.73 ppm SIG
36 Histidin 6252.59 ppm SIG
37 Arginin 13398.70 ppm SIG
38 Threorin 8605.36 ppm SIG
39 Alanin 15262.89 ppm SIG
40 Prolin 19607.69 ppm SIG
41 Falin 14576.56 ppm SIG
42 Metionin 3687.79 ppm SIG
43 Isoleusin 11327.12 ppm SIG
44 Leusin 18352.47 ppm SIG
45 Phenilalanin 15510.73 ppm SIG
46 Lisin (Lysine HCL) 11509.12 ppm SIG

Kandungan Lainnya
47 Polifenol 24649.44 ppm SIG
48 EGCG 381.25 mg/100 g SIG
Sumber : Krisnadi (2015)

Keterangan:
- BBIA : Balai Besar Industri Agro – Bogor
- SIG : PT. Saraswanti Indo Genetech
- Farmasi UNAIR : Unit Layanan Pengujian Fak. Farmasi Univ. Airlangga
154

5. MANFAAT DAUN KELOR

Menurut Wahyudi Isnan dan Nurhaedah M, 2017 menyatakan


bahwa manfaat daun kelor dalam berbagai bidang sebagai berikut.

a) Pada bidang pangan

Pada bidang pangan, tanaman kelor telah digunakan untuk


mengatasi malnutrisi terutama untuk balita dan ibu menyusui. Daun
tanaman kelor dapat dikonsumsi dalam kondisi dimasak atau disimpan
dalam bentuk tepung. Menurut Dewi, et al., (2016) menyatakan bahwa
proses pengolahan daun kelor menjadi tepung akan meningkatkan nilai
kalori, kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin A. Hal ini
disebabkan karena pada saat proses pengolahan daun kelor menjadi
tepung akan terjadi pengurangan kadar air yang terdapat dalam daun
kelor. Selaian pemanfaatan secara tradisional, daun tanaman kelor hingga
saat ini dikembangkan menjadi produk pangan modern seperti tepung
daun kelor, kerupuk kelor, kue kelor, permen kelor dan teh daun kelor.

Sebagai salah satu bahan pangan, bahan dari tanaman kelor juga
dapat dicampur dengan bahan lain menjadi tepung komposit yang terbuat
dari dari kedelai, kacang hijau, bayem merah, dan daun kelor yang memiliki
kandungan protein dan energi yang memadai untuk dijadikan bahan dasar
produk diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) yaitu diet yang
mengandung energy dan protein diatas kebutuhan normal (Tanuwijaya, et
al., 2016).

b) Bidang Kesehatan

Bidang Kesehatan dan kelor memiliki manfaat sebagai berikut.

1) Menurunkan berat badan: memberikan efek kepada tubuh agar


merangsang dan melancarkan metabolisme sehingga dapat membakar
kalori lebih cepat.
2) Anti diabetes: daun kelor memiliki sifat anti diabetes yang berasal dari
kandungan seng yang tinggi seperti mineral yang sangat di butuhkan
untuk memproduksi insulin, sehingga daun kelor dapat bermanfaat
sebagai anti diabetes yang signifikan.
155

3) Mencegah penyakit jantung: dapat menghasilkan lipid terosidari lebih


rendah serta memberikan perlindungan pada jaringan jantung dari
kerusakan struktural.
4) Menyehatkan rambut: dapat menyehatkan rambut, karena daun kelor
dapat membuat pertumbuhan rambut menjadi hidup dan mengkilap
yang dikarenakan asupan nutrisi yang lengkap dan tepat.
5) Menyehatkan mata: Daun kelor memiliki kandungan vitamin A yang
tinggi sehingga jika kita mengkonsumsinya secara rutin dapat membuat
penglihatan menjadi jernih dan menyehatkan mata. Sedangkan untuk
pengobatan luar dapat menggunakan rebusan dari daun kelor untuk
membasuh mata yang sedang sakit, atau juga dengan cara lain yaitu
siapkan 3 tangkai daun kelor kemudian tumbuklah dan masukan ke
dalam segelas air dan aduklah. Lalu diamkan agar mengendap, jika
sudah mengendap maka air tersebut dapat dijadikan obat tetes untuk
mata.
6) Mengobati rematik: rematik terjadi dikarenakan tulang yang
kekurangan nutrisi. Daun kelor memiliki kandungan kalsium yang
cukup tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalsium di dalam
tulang. Daun kelor juga bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit pada
persendian dikarenakan oleh penumpukan asam urat.
7) Mengobati penyakit dalam seperti luka lambung, luka usus dan batu
ginjal: Batu ginjal merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena
terjadinya penyumbatan pada saluran kemih. Daun kelor dapat
memperlancar pencernaan sehingga dengan mengkonsumsi daun kelor
yang telah dijadikan masakan secara rutin akan meluruhkan batu ginjal.
kelor mengandung antioksidan yang sangat tinggi dan sangat bagus
untuk penyakit yang berhubungan dengan masalah pencernaan.
Selanjutnya beliau menganjurkan agar minum rebusan daun kelor selagi
air masih hangat sebab, efek antioksidan masih kuat dalam keadaan
hangat. Kelor memiliki energi dingin sehingga dapat dimanfaatkan
untuk mengatasi penyakit dengan energi panas atau kelebihan energi
seperti radang atau kanker.
8) Mengobati Kanker: Kandungan antioksidan dan potasium yang tinggi
pada daun kelor bermanfaat untuk mengobati kanker. Antioksidan akan
bermanfaat dalam menghalangi perkembangan sel-sel kanker sedang
potasium berfungsi untuk menyingkirkan sel-sel kanker. Selain itu,
156

asam amino yang terkandung dalam daun kelor dapat meningkatkan


sistem imun.

6. TEH KELOR TE WUNA

Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah di Sulawesi


Tenggara yang memiliki tanaman kelor yang banyak hal ini bisa dilihat dari
populasi tanaman kelor, hampir di setiap pekarangan rumah memiliki
tanmanan kelor minimal 5-10 pohon. Daun kelor merupakan salah satu
makanan khas masyarakat suku Muna. Teh Kelor Te Wuna merupakan
produk teh kelor yang berbahan baku tepung daun kelor dan Te Wuna
merupakan nama Kabupaten Muna, jadi Teh Kelor Te Wuna adalah bahwa
Teh Kelor ada di Kabupaten Muna.

Penggunaan daun kelor pada umunya dijadikan sayur, tanaman


kelor dapat menjadi alternatif sumber protein yang berpotensi untuk
dijadikan tepung dan juga dapat dijadikan sebagai suplemen. Berdasarkan
hal tersebut maka kami membuat produk teh kelor. Daun Kelor di
Kabupaten Muna Menjadi menu makanan sehari-hari dan tanaman kelor di
Kabupaten Muna hampir didaparkan disetiap rumah masyarakat. Oleh
sebab itu dibawah bimbingan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan
Kabupaten Muna kami mengolah daun kelor menjadi produk minuman
kesehatan dengan nama Teh Kelor Te Wuna. Adapun hasil analisis
kandungan tepung daun kelor sebagai bahan dasar pembuatan Teh Kelor
Te Wuna dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi tepung daung kelor untuk pembuatan


Teh Kelor Te Wuna

No Parameter Unit Nilai


1 Protein % 30,02
2 Kadar Air % 12,26
3 Kadar Abu % 11,10
4 Energy Total Kcal/100 g 343,81
5 Energi dan Lemak Kcal/100 g 67,05
6 Karbohidrat % 39,17
7 Lemak Total % 7,45
8 Glisin mg/kg 14145,89
9 L-Alanin mg/kg 15242,11
10 L-Arginin mg/kg 15357,80
157

11 L-Asam Aspartat mg/kg 27494,01


12 L-Asam Glutamat mg/kg 35233,38
13 L-Prolin mg/kg 10564,04
14 L-Tirosin mg/kg 9574,37
15 L-Serin mg/kg 12105,91
16. L-Histisidin mg/kg 17752,19
17 L-Isoleusin mg/kg 1027,17
18 L-Leusin mg/kg 20180,81
19 L-Lysin mg/kg 16895,17
20 L-Threonin mg/kg 12761,09
21 L-Fenilalanin mg/kg 17752,19
22 L-Valin mg/kg 12497,24
Sumber: Laboratrium Saraswanti Indo Genetech Bogor, 2017

Berdasarkan hasil analisis maka kami akan menguariakan manfaat


bagi kesehatan dari masing-masing kandungan tersebut. Adapun manfaat
kandungan hasil analisis Teh Kelor Te Wuna dapat dilihat pada tabel 3
berikut.

Tabel 3. Manfaat Kandungan hasil analisis Teh Kelor Te Wuna

1 Glisin Mempromosikan pelepasan oksigen yang dibutuhkan dalam


proses pembuatan sel, Selain itu juga penting dalam pembuatan
hormon yang bertanggung jawab untuk sistem kekebalan yang
kuat.
2 Alanin Penting untuk membangun energi dalam jaringan otot, otak,
dan sistem saraf pusat. Ini memperkuat sistem kekebalan tubuh
dengan memproduksi antibodi. Alanin juga membantu dalam
metabolisme sehat gula dan asam organik dalam tubuh.
3 Arginin Arginine juga meningkatkan respon kekebalan tubuh terhadap
bakteri, virus, dan sel-sel tumor, serta mendorong
penyembuhan luka pada tubuh
4 Asam Membantu membersihkan tubuh dari ammonia, dapat
Aspartat menurunkan kelelahan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
5 Asam Sumber nutrisi bagi jaringan otak, meningkatkan kapasitas
Glutamat mental, membantu mempercepat penyembuhan luka,
mengurangi kelelahan serta menyeimbangkan gula dalam
darah.
6 Fenilalanin membantu menjaga tingkat waspada, mengurangi rasa lapar,
ditambah meningkatkan memori dan suasana hati
7 Histidin Digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis, alergi, dan
anemia. Kurangnya histidin dapat menyebabkan lemahnya
158

pendengaran.
8 Isoleusin Membangun protein dan enzim serta menyediakan bahan-
bahan yang digunakan untuk membuat komponen biokimia lain
yang penting dalam tubuh, beberapa di antaranya
mempromosikan energi dan merangsang otak untuk membuat
kita selalu waspada.
9 Leusin Bekerja dengan isoleusin untuk membangun protein dan enzim
yang meningkatkan energi tubuh
10 Lisin Lisin membantu dalam produksi antibodi, hormon, dan enzim
11 Prolin Sangat penting untuk fungsi yang tepat dari sendi dan tendon,
serta membantu menjaga dan memperkuat otot-otot jantung.
12 Serin Penting dalam menyimpan glukosa dalam hati dan otot.
Antibodi yang membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh
serta mensintesis selubung asam lemak sekitar serat saraf.
13 Threorin treonin membantu mencegah tertimbunnya lemak dalam hati,
meningkatkan pencernaan tubuh dan kesehatan saluran usus.
14 Tirosin Mengirimkan impuls saraf ke otak, membantu mengatasi
depresi, meningkatkan memori, meningkatkan kewaspadaan
mental, mempromosikan kesehatan fungsi tiroid, adrenal, dan
kelenjar pituitari
15 Valin Penting dalam mempromosikan pikiran yang tajam, koordinasi
otot-otot, dan suasana hati yang tenang
16 Mineral untuk menjaga kesehatan tubuh

Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein dan


berdasarkan esensialnya dibagi adalam dua kelompok yaitu asam amino
esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial tidak dapat
diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk
makanan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi oleh
tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air
namun tidak larut dalam pelarut organik nonpolar (Saulino, 2004).

Homes dan Hooper (2005) ada 10 jenis asam amino esensial, yaitu
histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin
dan tritophan. Berdasarkan hasil uji laboratorium kandungan asam amino
esensian pada tepung daun kelor Teh Kelor Te Wuna ada delapan jenis
yaitu arginin, histidin, threonin, valin, isoleusin, leusin, fenilalanin dan lisin.

Menurut Harli (2008) menyatakan bahwa, histidin merupakan


asam amino yang diperoleh dari hasil hidrolisis protein yang terdapat
159

dalam sperma suatu jenis ikan (kaviar), asam amino ini bermanfaat baik
untuk kesehatan radang sendi dan memperkuat hubungan antar syaraf
khususnya syaraf organ pendengaran. Histidin bermanfaat untuk
perbaikan jaringan, dibutuhkan dalam dalam pengobatan alergi,
rheumatoid arthritis, anemia serta dalam pembentukan sel darah merah
dan sel darah putih.

Arginin adalah asam amino yang dibentuk di hati dan beberapa


diantaranya terdapat dalam ginjal. Arginin bermanfaat untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau produksi limfosit, meningkatkan
pengeluaran hormon pertumbuhan (HGH) (Linder, 1992). Treonin mampu
meningkatkan kemampuan usus dan proses pencernaan. Asam amino ini
bekerja untuk mempertahankan keseimbangan protein dan berperan
dalam pembentukan kolagen dan elastin (Harli, 2008). Valin diperlukan
dalam pertumbuhan dan penampilan, terutama berfungsi dalam sistem
saraf dan pencernaan. Selain itu, valin berfungsi untuk membantu
gangguan saraf otot, mental dan emosional, insomnia, dan keadaan gugup.
Kekurangan valin dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan
tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit, panas dan dingin
(Edison, 2009).

Leusin merupakan asam amino yang bekerja untuk memacu


fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar
gula darah yang berlebihan, serta membantu penyembuhan tulang,
jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka
post - operative) (Harli, 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem
kekebalan tubuh (Edison, 2009). Fenilalanin merupakan asam amino
esensial yang menjadi bahan baku bagi pembentukan katekolamin sebagai
peningkat kewaspadaan penting bagi tranmisi impuls saraf. Fenilalanin
juga berperan sebagai prekursor tirosin dan bersama membentuk hormon
tiroksin dan epinefrin (Almatsier, 2006). Defisiensi fenilalanin dapat
berakibat mata merah (bloodshot eyes), katarak, dan perubahan perilaku
(psychotic dan schizophrenic) (Harli, 2008).

Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan memperkuat


sistim sirkulasi mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal, bersama
prolin dan Vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Lisin mampu
menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih. Lisin memiliki sifat
160

mudah rusak akibat panas. Kekurangan lisin menyebabkan mudah lelah,


sulit konsentrasi, rambut rontok, anemia, pertumbuhan terhambat dan
kelainan reproduksi (Harli, 2008).

7. TEMPAT PRODUKSI TEH KELOR TE WUNA

Produksi Teh Kelor Te Wuna bertempat di Desa Lupia, Kecamatan


Kabangka, Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.

8. PROSES PRODUKSI

Proses produksi “Teh Kelor Te Wuna” adalah sebagai berikut.

1) Pemetikan daun kelor. Daun kelor yang digunakan dalam pembuatan


Teh Kelor Te Wuna adalah daun kelor yang masih muda;
2) Pencucian. Daun kelor mudah yang sudah dipetik kemudian dicuci
dengan menggunakan air bersih, proses pencucian daun kelor yaitu
daun kelor dimasukan dalam keranjang plastik kemudian disiram
dengan air mengalir. Tujuan menggunakan air mengalir yaitu agar
kotoran tidak menempel di daun kelor. Setelah di cuci daun kelor
ditiriskan selama 1 jam. Setelah daun kelor ditiriskan maka proses
selanjutnya adalah Pemisahan daun kelor dengan tangkai;
3) Pemisahan daun kelor dengan tangkai. Proses ini memisahkan antara
daun kelor dengan tangkainya, ini memerlukan ketelitian karena
jangan sampai ada tangkai kelor yang masih keras terikut dalam
tahapan selanjutnya. Proses ini juga bisa disebut proses sortiran.
setelah proses ini maka selanjutnya proses pengovenan atau
pengeringan;
4) Pengovenan atau pengeringan. Proses pengeringan menggunakan
oven kurang lebih 1 jam atau sampai ada tanda bunyu kriuk saat
digenggam dalam oven;
5) Penggilingan dengan menggunakan blender;
6) Pengemasan ke dalam kantong teh celup;
7) Dimasukan dalam karton pembungkus; dan
8) Teh Kelor Te Wuna.
161

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Cwayita W. 2014. Effects of Feeding Moringa Oleifera Leaf Meal as An


Additive on Growth Performance Of Chicken, Physico- Chemical
Shelf-Life Indicators, Fatty Acids Profiles and Lipid Oxidation of
Broiler Meat. Masters Thesis Faculty of Science and Agriculture,
University of Fort Hare, Alice, South Africa

Dewi, F., Latif, S., Ashraf, M and Gilani A. H, 2007, Moringga Oleifera: a Food
Palnt With Multile Medicinal uses. Phytother. Res. 21, 17-25

Donovan P. 2007. Moringa oleifera: The Miracle Tree. www.naturalnews.


com. (diakses tanggal 29-05-2020).

Edison T. 2009. Amino acid: Esensial for our bodies. http://livewell-


naturally.com (diakses 29-05-2020).

Hames D, Hooper N. 2005. Biochemistry, 3th. New York: Taylor and


Francis.

Harli M. 2008. Asam amino esensial. http://www.supamas.com. (29-05-


2020).

Krisnadi A. D. 2015. Kelor Super Nutrisi. Pusat Informasi dan


Pengembangan Tanaman Kelor Indonesia. Blora
Laboratrium Saraswanti Indo Genetech. 2017. Laporan Hasil Uji
Laboratorium Tepung Daun Kelor. Bogor

Linder M. C., 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme.Universitas Indonesia


Press. Jakarta

Makkar, H. P. S. and K. Bekker. 1997. Nutrient and Antiquality Factors in


Different Morphological parts of Moringa oleifera tree. J. Agric. Sci.
128: 311 – 322.

Sarjono H. T. 2008. Efek Penggunaan Tepung Daun Kelor (Moringa


oleifera,Lam) Dalam Pakan Terhadap Persentase Karkas,
Persentase Deposisi Daging Dada, Persentase Lemak Abdominal
162

Dan Kolesterol Daging Ayam Pedaging. Fak. Bioteknologi.


Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Saulino S. 2004. Analisa Asam Amino dalam Tepung Ikan dan Bungkil
Kedelai. Buletin Teknik Pertanian. Volume 4 No. 1 tahun 2004.

Sjofjan O. 2008. Efek Penggunaan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera)


Dalam Pakan Terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedaging.
Universitas Brawijaya. Malang.

Tanuwijaya, L.K., Nawangsasi, A.P.G., Ummi, I.I., Kusuma, I.S dan Ruhana, A.
2016. Potensi Khimelor Sebagai Tepung Komposisi Tinggi Energi
Tinggi Protein Berbasis Pangan Lokal. Indonesian Journal of
Human Nutrition 3 (1) Suplemen : 71-79.

Wahyudi Isnan dan Nurhaedah M, 2017. Ragam Manfaat Tanaman Kelor


(Moringa Oleifera Lamk) Bagi Masyarakat. Info Teknis EBONI
Vol.14 No. 1 Juli 2017:63-75.
163

MANAJEMEN PENGELOLAAN VEGETASI TAMAN HUTAN


RAYA NIPA-NIPA BERDASARKAN KANDUNGAN
KARBON VEGETASI TERSIMPAN DI TIAP PENGGUNAAN
LAHAN DI KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA

Rahmah Dzulhajjah

PENDAHULUAN

Kebutuhan penggunaan lahan semakin meningkat seiring dengan


meningkatnya jumlah penduduk. Penggunaan lahan dibentuk oleh dua
pengaruh utama yaitu kebutuhan manusia, proses dan fitur lingkungan.
Pengaruh tersebut berubah secara terus-menerus yang akan terjadi di
berbagai tingkat spasial dalam berbagai periode waktu dan kadang
memiliki dampak yang menguntungkan dan merugikan (Aklile et al., 2014).
Di negara berkembang perubahan penggunaan lahan sangat cepat (Yuzhe
et al., 2011). Dampak negatif dari pengaruh perubahan penggunaan lahan
karena tekanan arus urbanisasi yang cepat terjadi pada sistem ekologi
lokal dan lingkungan yang akan mempengaruhi stok karbon di daratan
(Hualong et al., 2014 dan Yu et al., 2014), kondisi tersebut dapat
ditunjukkan dengan banyak terjadinya konversi lahan dari lahan yang
bervegetasi menjadi lahan non vegetasi yang akan mengakibatkan
penurunan cadangan karbon pada suatu penggunaan lahan.

Pemanasan global merupakan penyebab terjadinya perubahan


iklim yang diakibatkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dari
kegiatan manusia (IPCC 2007). Salah satu sektor utama penyumbang emisi
164

GRK adalah perubahan penggunaan lahan (IPCC 2006). Di dalam konteks


perubahan iklim perubahan akibat penggunaan lahan dapat berkontribusi
sebagai sumber (sources) dan serapan (sink) karbon tergantung pada tipe
penggunannya (Chuai et al., 2014). Faktor yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan di antaranya interaksi spasial antara aktivitas sosial
ekonomi internal dan eksternal suatu wilayah. Perubahan penggunaan
lahan saat ini cenderung menunjukkan dampak negatif seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan peningkatan emisi
GRK (Liao et al., 2013).

Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam


untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa, yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan tahura memiliki ciri
kekhasan baik scara alami maupun buatan baik pada kawasan yang
ekosistemnya memiliki keindahan alam dan gejala alam yang
memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa
baik jenis asli dan atau bukan asli (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990).
TAHURA Nipa-Nipa secara administrasi terletak di wilayah pemerintahan
Konawe dan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Penunjukkan
TAHURA Nipa-Nipa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI melalui
SK 103/KPTS-II/1999 tanggal 1 Maret 1999. Pengelolaan TAHURA Nipa-
Nipa di bawah pengawasan pemerintah dalam hal ini UPTD TAHURA
(UPTD Balai Tahura Nipa-Nipa, 2012).

TAHURA Nipa-Nipa terdiri atas lima penggunaan lahan, yaitu:


hutan primer seluas 1512 Ha (19,25%), semak dan belukar seluas 2834,73
Ha (36,09%), Tegalan 893,32 Ha (11,29%), kebun campuran seluas 795,05
Ha (10,34%) perkebunan seluas 1182,46 (15,19%) dan pemukiman seluas
628,05 Ha (7,83%) (Badan Informasi Geospasial, 2015).

Tutupan hutan tersusun atas vegetasi tumbuhan tingkat tinggi dan


tumbuhan tingkat rendah. Tumbuhan tingkat tinggi didominasi oleh
beberapa jenis yang penamaannnya berdasarkan nama lokal, yakni eha
(Castanopsis buruana BI.), kayu besi/lara (Metrosideros petiolata), kalapi
(Kalapia Celebica), bolongita (Tetrameles nudiflora R. BR.), ponto
(Buchanania arborescens BL), jambu-jambu (Eugenis sp), bintangur
(Calophillum canum hook. F.), waru (Hibiscus tiliaceus LINN), nipa/Aren
(Arenga pinnata). Tumbuhan tingkat rendah didominasi oleh kelompok
165

paku-pakuan (Pteridophyta), anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), talas


hutan (Alokasia), pohon puspa (Schima walisii), pandan (Pandanus sp),
bambu (Bambusa sp) dan lain-lain (UPTD Balai Tahura Nipa-Nipa, 2012).

Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui


proses fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai
waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon
tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua
komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit
merupakan bagian dari biomassa di atas permukaan tanah. Di bawah
permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon
selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon
mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di
atas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati
dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika
masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. karbon
dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau
hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam
kantong karbon aktif ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari
atmosfer (Sutaryo, D. 2009).

Hutan alam merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila


dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu,
hutan alam dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan
serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi. Bila
hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan
atau ladang pengembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot. Jumlah
C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung pada
keragaman tumbuhan yang ada, serta cara pengelolaannya. Hutan Alam
memiliki jumlah C tersimpan tertinggi sekitar 497Mg ha-1 dibandingkan
sistem penggunaan lahan lainnya, Gangguan Hutan Alam menjadi hutan
sekunder menyebabkan kehilangan sekitar 250 Mg ha-1, kehilangan
penyimpanan C terbesar di atas permukaan tanah terjadi karena hilangnya
vegetasi (Hairiah et al., 2007).

Kawasan TAHURA Nipa-Nipa terdiri atas hutan primer dan hutan


sekunder. Hutan primer sebagian besar berada pada blok perlindungan,
sedangkan hutanNipa sekunder berada pada blok pemanfaatan, blok
166

koleksi tanaman dan blok lainnya. Secara umum data vegetasi Tahura Nipa-
Nipa terdiri dari hutan sebesar 67,69 %, kebun campuran 7,63%, semak
belukar 23,98%, alang-alang 0,57%, dan pemukiman sebesar 0,13%
Berdasarkan hal tersebut perambahan hutan Tahura Nipa-Nipa Kota
Kendari berdasarkan analisis bentuk-bentuk perambahan termasuk dalam
kategori rendah/sedang (Muslianto, 2015).

Berdasarkan data tersebut dapat menggambarkan banyaknya


peralihan penggunaan lahan yang seharusnya peruntukkan kawasan hutan
primer yang ditujukan untuk penelitian dan pariwisata, tetapi banyak
menjadi kawasan perkebunan, kebun campuran, dan pemukiman hal ini
mengakibatkan kawasan hutan didalam kawasan Taman Hutan Raya Nipa-
Nipa menjadi berkurang, sehingga vegetasi menjadi berkurang dalam
menyimpan karbon didalam kawasan tersebut. Maka dari itu penelitian ini
penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
seberapa besar simpanan karbon pada setiap penggunaan lahan TAHURA
Nipa-Nipa di Kota Kendari Sulawesi Tenggara.

METODE PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah Kecamatan Kota Kendari


yang masuk ke dalam Kawasan Lindung TAHURA Nipa-Nipa dengan titik
pengambilan plot secara acak pada daerah Punggaloba, Tipulu, Benua-
Benua dan Alolama. Pemilihan titik pengambilan plot secara acak
berdasarkan daerah yang dominan penggunaan lahannya digunakan
sebagai areal pemukiman hal ini dilakukan untuk adanya penggunaan
lahan sebagai pemukiman membuat banyaknya pengelolaan yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar yang bermukim dengan cara berkebun,
sehingga lahan hutan sebagai penyimpan karbon akan ikut berkurang.

Secara geografis kawasan Tahura Nipa-Nipa terletak antara


03o54’05”-03o58’00” Lintang Selatan dan 122o29’38”-122o04’25” Bujur
Timur. Secara administratif terletak ditiga Kecamatan di Kota Kendari
yakni Kecamatan Kendari Barat dan Mandonga. Penelitian dilaksanakan ± 8
bulan dimulai bulan Oktober tahun 2016 sampai dengan Desember 2016.
167

2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : meteran ukur 5


m, meteran roll, tali raffia, tongkat kayu, patok kayu, gunting stek, spidol,
GPS, Kamera, Kantong plastic, Oven, dan Timbangan. Bahan yang
digunakan yaitu tally sheet dan peta administrasi.

3. Pengukuran Biomassa Pohon

Tahapan pengukuran biomassa pohon dilakukan sebagai berikut:

a. Mengukur diameter setinggi dada (dbh);


b. Mencatat data dbh ke dalam tally sheet;
c. Menghitung biomassa pohon.

Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon di


lapangan dapat mengacu pada Gambar 2 yang dapat dilihat pada lampiran.

4. Analisis Data

Analisis data estimasi biomassa pohon yang terdapat pada


penggunaan lahan di TAHURA Nipa-Nipa Kota Kendari yang terbagi dalam
2 kelompok pohon yaitu pohon bercabang dan pohon tidak bercabang.
Untuk menghitung biomassa pada tanaman digunakan persamaan
allometrik umum bagi pohon.

Persamaan allometrik yang digunakan dalam pendugaan biomassa


pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
168

Jenis pohon Persamaan Allometrik Sumber

Pohon
BK = 0.11 2.62 Ketterings, 2001
bercabang
Pohon tidak
BK = EXP(-2,134)*D2,530 Manuri S et al, 2011
bercabang
𝐵𝐾 𝑆𝑢𝑏 𝑃𝑙𝑜𝑡
Semak Belukar Bb Total = 𝑥 𝐵𝐵 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 Hairiah, 2011
𝐵𝐵 𝑆𝑢𝑏 𝑃𝑙𝑜𝑡

Total Simpanan Total C = C(Sub Plot) X Luas


Hairiah, 2011
Karbon Penggunaan Lahan (100%)

Keterangan: BK= berat kering; BB= Berat Basah, D= diameter pohon, cm;
cm;  = BJ kayu, g/ cm3 Sumber: Hairiah 2011 dan Manuri. S., et al 2011.

Semua data yang diperoleh dari pengukuran dbh (pohon hidup)


dimasukan ke dalam blangko pengamatan, kemudian data tersebut
dibuatkan tabulasi data dalam program Microsoft Excell untuk
penghitungan lebih lanjut. Menghitung biomassa pohon menggunakan
persamaan allometrik yang telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya, kemudian menjumlahkan biomassa semua pohon yang ada
pada suatu lahan, sehingga diperoleh total biomassa pohon perluasan
lahan (ton).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jenis Tanaman

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana


dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang
berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis.
Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang
menjadikan vegetasi tumbuh menjadi semakin besar atau makin tinggi.
Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara
fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan terutama dari
pohon-pohon yang sedang berada pada fase pertumbuhan mampu
menyerap lebih banyak CO2 sedangkan hutan dewasa dengan
169

pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak


menyerap CO2 berlebih (Hairiah, 2011).

Karbon merupakan salah satu unsur utama pembentuk bahan


organic termaksud makhluk hidup. Hamper setengah dari organisme hidup
meruakan karbon. Karenanya secara alami karbon banyak tersimpan di
bumi (darat dan laut) dari pada diatmosfer. Karbon tersimpan dalam
daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan
organik mati ataupun sedimen seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian
besar jumlah karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari
hutan.

Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang
disimpan akan semakin banyak semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan
penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan
yang rusak akan membantu menyerap CO2 di atmosfer (Adinugroho et al.,
2009).

Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan


maupun dikebun campuran merupakan tempat penimbunana atau
penyimpana C (C-sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim.
Oleh karena itu, Hutan Alam dengan keragaman jenis pepohonan berumur
panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon
tertinggi ( baik di atas atau maupu di dalam tanah ). Hutan juga melepaskan
CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi serasah, namun
pelaksanaannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada
pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila
hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan
maka jumlah karbon yang tersimpan akan merosot (Hairiah et al., 2007).

Hairiah et al. (2007), juga menyatakan bahwa jumlah karbon


tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan
kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi besar bila kondisi kesuburan
tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon diatas permukaan
tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon
tersimpan didalam tanah (bahan organik tanah, BOT). untuk itu
pengukuran banyaknya karbon yang ditimbun dalam setiap lahan perlu
170

dilakukan. Konsentrasi C dalam bentuk organik biasanya sekitar 46%, oleh


karena itu estimasi jumlah C tersimpan perkomponen dapat dihitung
dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi C = BK
(ton/ha) x 0,46 (Hairiah, et al. 2007).

Karbon pada tanaman merupakan hasil fotosintesis yang tersimpan


pada bagian tubuh tanaman. Ketika pohon mengalami pertumbuhan,
terjadi penyerapan CO2 dari atmosfir melalui proses fotosintesis dan
hasilnya yang berupa oksigen (O2) yang dilepaskan ke udara serta
biomassa dialokasikan ke ranting, daun, batang dan akar.

Di samping itu, pada masa pertumbuhannya pohon mengeluarkan


emisi CO2 yang berasal dari proses respirasi dan dekomposisi dengan
jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan CO2 yang diserap.
Simpanan karbon pada pengunaan lahan di TAHURA NIPA-NIPA Kota
Kendari disajikan pada tabel 2. Tabel (2) menunjukan bahwa simpanan
karbon pada Penggunaan Lahan Hutan Primer di TAHURA adalah sebesar
8.554,27 ton dengan dengan 13 jenis vegetasi pohon bercabang yakni
Akasia Daun Lebar (Accacia mangium), Angsana (Pterocarpus indica), Kayu
Besi (Metrosideros petiolata), Kulahi (Fragereaera fragrans L.), Kemutun
(Cratoxylum cochinchenense), Matoa (Pometian pinatta), Pulai (Alstonia
scolari L.), Puta (Barringtonia racemosa), Putat/wewu (Planchonia valida
BL), litsea Sp, dan Ruruhi (syzygium sublagaauca) seperti yang terdapat
pada table berikut ini.

Tabel 2. Simpanan Karbon di TAHURA NIPA-NIPA Kota Kendari


Berbasis Pengunaan Lahan Tahun 2016

Luas
Lokasi
Simpanan Keseluruhan
Penelitian Biomassa Simpanan
No Karbon Penggunaan
(Penggunaan ton/ha Karbon (ton)
(ton/ha) Lahan
Lahan)
(ha)
1 Hutan Primer 7,78 3,58 435 1.557,3
2 Kebun Campuran 7,33 3,37 557,08 1.877,36
3 Perkebunan 8,25 3,80 465,4 1.768,52
4 Semak Belukar 6,64 3,05 855,51 2.609,30
5 Pemukiman 2,69 1,24 598,29 741,87
Total 32,69 15,04 2.911,26 8.554,27
171

Tabel 3. Simpanan Karbon di TAHURA Kota Kendari Berbasis Pengunaan


Lahan Tahun 2016

Lokasi Jumlah
Kelurahan No Jenis Tanaman
Penelitian Tanaman
1 Angsana (Pterocarpus indica) 13
Kayu Besi (Metrosideros
2 57
petiolata)
Akasia Daun Lebar (Accacia
3 23
mangium)
4 Eha (Castonopsis buruana) 3
Kulahi (Fragereaera fragrans
5 5
Tipulu, L.)
Punggaloba 6 Matoa (Pometian pinatta) 8
Hutan Primer dan Benu- 7 Pulai (Alstonia scolari L.) 2
Benua 8 Puta (Barringtonia racemosa) 27
Putat/wewu (Planchonia
9 16
valida BL)
Ruruhi (syzygium
10 8
sublagaauca)
Kemutun (Cratoxylum
11 3
cochinchnense)
12 litsea Sp 2
13 Rasmalan (Hamamelidaceae) 4
1 Durian (Durio zibethinus) 2
Jambu Mete (Anacardium
2 14
occidentale)
3 Jati putih (Gmelina arborea) 8
4 Longkida (Nauclea orientalis) 3
5 Mangga (Mangifera indica) 19
Belimbing (Averrhoa
6 2
carombola)
7 Coklat (Theobroma cacao L.) 14
Perkebunan Alolama
8 Jambu Batu (Psidium guajava) 3
9 Jati lokal (Tectona grandis L.) 3
Rambutan (Nephelium
10 15
lappaceum L.)
11 Sawo (Manilkara zapot) 3
Cengkeh (Syzigium
12 3
aromaticum)
13 Gamal (Gliricidia sepium) 2
14 Jeruk (Citrus Sp) 5
Akasia Daun Lebar (Accacia
1
mangium) 30
Tipulu, 2 Angsana (Pterocarpus indica) 38
Punggaloba 3 Asam (Tamarindus indica) 15
pemukiman
dan Benu- 4 Bambu (Bambusa SP) 171
Benua Belimbing (Averrhoa 25
5
carombola)
6 Beringin (Vicus Benjamina) 24
172

7 Bitti (Vitex cofassus) 44


Cengkeh (Syzigium
8
aromaticum) 80
9 Coklat (Theobroma cacao L.) 79
10 Gamal (Gliricidia sepium) 195
11 Jambu Air (Syzigium aquem) 92
Jambu Biji (Presidium
12
guajava) 20
Jambu Mete (Anacardium
13
ocidentale) 43
14 Jati lokal (Tectona grandis L.) 35
15 Jati putih (Gmelina arborea) 96
Jeruk Nipis (Citrus
16
aurantifolia) 14
17 Kapuk (Ceiba petandra) 59
Kapuk Hutan (Gossampinus
18
malabarica) 18
19 Kedondong (Spondias dulcis) 24
20 Kelapa (Cocos nucifera L) 160
21 Kemiri (Aleurites moluccana) 33
Kersen (Muntingia calabura
22
L.) 22
23 Lansat (Lansium domesticum) 51
24 Longkida (Nauclea orientalis) 117
25 Mangga (Mangifera indidica) 183
26 Manggopa (Artocarpus altilis) 168
27 Matoa (Pometian pinatta) 128
Nangka (Artocarpus teysmanii
28
Miq.) 23
Palma (Chrysalidocarpus
29
lutescens) 43
Pandan hutan (Pandanus
30
amaryllifolius) 54
31 Pepaya (Carica Papaya) 128
32 Pinang 46
33 Pisang (Musa Paradisiaca) 62
Rambutan (Naphelium
34
lappaceum L.) 88
Sengon (Paraserianthes
35
falcataria) 69
36 Sukun (Artocarpus altilis) 21
Cengkeh (Syzigium
1 11
aromaticum)
2 Gamal (Gliricidia sepium) 6
Tipulu, Jambu Mete (Anacardium
3 46
Kebun Punggaloba, ocidentale)
Campuran dan Benu- 4 Jati putih (Gmelina arborea) 20
Benua Jeruk Nipis (Citrus
5 15
aurantifolia)
6 Mangga (Mangifera indica) 24
7 Pinang 2
173

Rambutan (Naphelium
8 6
lappaceum L.)
9 Dengi (Dilenia Sp.) 4
10 Eha (Castonopsis buruana) 7
11 Durian (Durio zibethinus) 1

Berdasarkan hasil analisis simpanan karbon pada Penggunaan


Lahan Perkebunan Campuran di TAHURA adalah 1.877,36 ton dengan 11
jenis tanaman yakni Cengkeh (Syzigium aromaticum), Dengi (Dilenia Sp.),
Durian (Durio zibethinus), Eha (Castonopsis buruana), Gamal (Gliricidia
sepium), Jambu Mete (Anacardium ocidentale), Jati putih (Gmelina arborea),
Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia), Mangga (Mangifera indica), Rambutan
(Naphelium lappaceum L.), dan 1 jenis pohon tidak bercabang yaitu Pinang.

Berdasarkan hasil analisis simpanan karbon pada Penggunaan


Lahan Perkebunan di TAHURA adalah sebesar 1.768,52 ton dengan 10 jenis
tanaman yakni Cengkeh (Syzigium aromaticum), Durian (Durio zibethinus),
Eha (Castonopsis buruana), Gamal (Gliricidia sepium), Jambu Mete
(Anacardium ocidentale), Jati putih (Gmelina arborea), Jeruk Nipis (Citrus
aurantifolia), Longkida (Nauclea orientalis), Mangga (Mangifera indica),
Rambutan (Naphelium lappaceum L.),

Hasil analisis simpanan karbon pada Penggunaan Lahan


Pemukiman di TAHURA adalah sebesar 741,87 ton dengan 29 Jenis
tanaman yakni Akasia Daun Lebar (Accacia mangium), Angsana
(Pterocarpus indica), Asam (Tamarindus indica), Belimbing (Averrhoa
carombola), Beringin (Vicus Benjamina), Bitti (Vitex cofassus), Gamal
(Gliricidia sepium), Jambu Air (Syzigium aquem), Jambu Biji (Presidium
guajava), Jambu Mete (Anacardium ocidentale), Jati lokal (Tectona grandis
L.), Jati putih (Gmelina arborea), Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia), Kapuk
(Ceiba petandra), Kapuk Hutan (Gossampinus malabarica), Kedondong
(Spondias dulcis), Kemiri (Aleurites moluccana), Kersen (Muntingia
calabura L.), Lansat (Lansium domesticum), Longkida (Nauclea orientalis),
Mangga (Mangifera indidica), Manggopa (Artocarpus altilis), Matoa
(Pometian pinatta), Nangka (Artocarpus teysmanii Miq.), Rambutan
(Naphelium lappaceum L.), Sengon (Paraserianthes falcataria), Sukun
(Artocarpus altilis) dan jenis pohon tidak bercabang yakni Bambu
(Bambusa SP), Kelapa (Cocos nucifera L), Palma (Chrysalidocarpus
lutescens), Pandan hutan (Pandanus amaryllifolius), Pepaya (Carica
174

Papaya), Pinang dan Pisang (Musa Paradisiaca). Sedangkan pada


penggunaan lahan pada Semak Belukar mengandung karbon sebesar
2.609,30 ton.

Dari hasil penelitian ini dapat pula kita melihat besarnya


persentase dari penggunaan lahan dengan vegetasi semak belukar menjadi
luas penggunaan lahan terbesar pada kawasan TAHIRA Nipa-Nipa, lalu
kebun campuan, perkebunan, Hutan primer selanjutnya adalah
pemukiman. Berdasarkan hal tersebut semak belukar sebesar 30% dari
total luasan tahura yang berada di kota kendari luasnya daerah tersebut
hanya berisi vegetasi semak belukar tidak adanya keragaman vegetasi
khususnya tanaman jangka panjang. Hutan alami dengan keanekaragaman
spesies yang tinggi dan seresah yang melimpah merupakan penyimpan
karbon yang baik (Hairiah dan Rahayu, 2007). Kegiatan perubahan
penggunaan lahan selain me-nyebabkan kehilangan keanekaragaman
hayati juga akan mempengaruhi jumlah karbon ataupun emisi CO2 dari
berbagai tipe penggunaan lahan (Arifanti 2014). Emisi CO2–eq dihasilkan
akibat dari penurunan kuali-tas ataupun konversi suatu lahan menjadi
lahan lainnya yang memiliki simpanan karbon yang lebih kecil. Dengan
menggunakan pendekatan berbasis simpanan karbon maka emisi CO2
dapat dihitung setelah mendapatkan matrik perubahan penggunaan lahan.
Simpanan karbon masing-masing penggunaan lahan berbeda, oleh karena
itu jika terjadi perubahan penggunaan lahan dengan kandungan biomasa
yang tinggi penggunaan lahan dengan kandungan biomasa rendah akan
menghasilkan karbon yang lebih kecil (setiawan et.,al., 2015).

Perbedaan jumlah cadangan karbon pada setiap lokasi penelitian


disebabkan karena perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi
cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh
jumlah jenis dan kerapatan vegetasi, massa jenis, iklim dan manajemen
lahan. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan
spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasa pohonnya
akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies
dengan nilai kerapatan kayu rendah. Oleh karena itu, Hutan Alami dengan
kerapatan spesiesnya yang tinggi dan keragaman spesies yang heterogen
akan menyebabkan penyimpanan karbon di dalamnya menjadi besar
(Rahayu et al, 2007).
175

Kegiatan perubahan penggunaan lahan selain menyebabkan


kehilangan keanekaragaman hayati juga akan mempengaruhi jumlah
karbon ataupun emisi CO2 dari berbagai tipe penggunaan lahan (Arifanti,
2014). Emisi CO2–eq dihasilkan akibat dari penurunan kualitas ataupun
konversi suatu lahan menjadi lahan lainnya yang memiliki simpanan
karbon yang lebih kecil. Dengan menggunakan pendekatan berbasis
simpanan karbon maka emisi CO2 dapat dihitung setelah mendapatkan
matrik perubahan penggunaan lahan. Simpanan karbon masing-masing
penggunaan lahan berbeda, oleh karena itu jika terjadi perubahan
penggunaan lahan dengan kandungan biomasa yang tinggi penggunaan
lahan dengan kandungan biomasa rendah akan menghasilkan karbon yang
lebih kecil (ramadhan et,al., 2016).

Eksploitasi menyebabkan daya tutupan lahan dalam kawasan hutan


berkurang, jika terjadi hujan titik-titik air yang jatuh akan langsung
mengenai tanah sehingga butir-butir air dapat menyebabkan
terbongkarnya humus-humus tanah pada per mukaan dan hanyut saat
terjadi aliran permukaan. Kondisi ini jika dibiarkan tanpa ada unsur
pengelolaan, maka lama-kelamaan lapisan tanah akan berkurang, tingkat
kesuburan tanah menurun sehingga produktivitas pertanian pun akan
menurun. Upaya konservasi akan menjadi mahal dan perbaikan kondisi
alam akan memakan waktu yang panjang.

Akibat dari penggunaan kawasan hutan untuk permukiman dan


perkebun, menyebabkan kondisi lingkungan hutan mengalami kerusakan
hutan. Akibat lain dari eksploitasi adalah berkurangnya spesies flora dan
fauna di dalam tahura sehingga peranan kawasan tahura sebagai kawasan
pelestarian alam dan obyek wisata akan semakin berkurang.

Hal ini menunjukkan bahwa tekanan penduduk yang semakin tinggi


setiap tahunnya di Kota Kendari menyebabkan tanah menjadi hal yang
sangat mahal bagi mereka sehingga kawasan TAHURA yang berdekatan
dengan lapangan kerja mereka merupakan solusi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal maupun budidaya pertanian.

Tingginya tekanan penduduk di kawasan tersebut karena sangat


dekat dengan pusat Kota Kendari atau bersinggungan dengan dengan
wilayah perkotaan. Kepadatan penduduk kota sangat membutuhkan lahan
176

untuk permukiman. TAHURA Nipa-Nipa menjadi sasaran masyarakat


karena kawasan tahura merupakan satu-satunya lokasi yang dapat
digunakan untuk melakukan aktivitasnya. Pilihan masyarakat ini terjadi
karena kondisi geografis Kota. Keadaan ini membuat perkembangan kota
sangat terbatas dan menyebabkan terjadi kepadatan penduduk yang cukup
tinggi pada kawasan tersebut (Muslianto, 2014).

2. Arahan Pengolahan Struktur Keruangan TAHURA Nipa-Nipa


Berdasarkan Kapasitas Menyimpan Karbon Vegetasi

Struktur ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu


wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Ada pun bentuk penggunaan
lahan keruangan berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan yaitu:
(1) kebun campuran dan pemukiman.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan kemudian di tabulasi


diketahui bahwa salah satu bentuk penggunaan lahan yang dilakukan oleh
masyarakat yakni kebun campuran. Hasil analisis tersebut bahwa bentuk
penggunaan lahan dilakukan oleh masyarakat selain kebun campuran
yakni pemukiman. Permukiman merupakan tanah yang tertutup oleh
struktur buatan manusia, bangunan dan hasil aktivitas manusia lainnya
dan digunakan untuk perumahan, industri, pertambangan, rekreasi dan
pariwisata. Variabel perambahan dimensi pemukiman pertanyaan yang
diajukan bardasarkan indikator penyusunnya yakni sebanyak satu hal
menyangkut adanya penduduk/masyarakat yang bermukim didalam
kawasan TAHURA Nipa-Nipa. Selanjutnya, hasil analisis dalam bentuk
diagram sebagai berikut dapat dilihat pada gambar 1.
177

Jenis Pemanfaatan lahan

32% Kebun Campuran


68% bermukim
Bermukim

Gambar 1. Diagram Jenis Pemanfaatan Lahan

Pada diagram di atas menunjukkan bahwa masyarakat sering


melakukan penggunaan lahan dalam bentuk kebun campuran dan
pemukiman di Kawasan TAHURA Nipa-Nipa Kota Kendari dengan skor
total 68% dan 32%.

3. Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan

Pemanfaatan kawasan lindung TAHURA Nipa-Nipa oleh masyarakat


berdasarkan sampel yang diteliti seluruhnya tidak memiliki izin resmi yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Selanjutnya, hasil analisis spasial
berdasarkan hasil analisis peta penggunaan lahan TAHURA Nipa-Nipa Kota
Kendari dan peta pola Ruang TAHURA Kota Kendari, bahwa wilayah
TAHURA Nipa-Nipa memiliki fungsi pemanfaatan ruang selain sebagai
hutan lindung TAHURA Nipa-Nipa juga dimanfaatkan sebagai pemukiman,
kebun campuran, perkebunan, dan belukar yang masuk kedalam blok
pemanfaatan dan blok tanaman lainnya, sehingga dibutuhkan
penanggulangan permasalahan pada pemanfaatan lahan tersebut Berikut
bentuk-bentuk kegiatan yang perlu segera dilakukan untuk menangani
permasalahan Tahura Nipa-Nipa dapat dilihat pada tabel berikut.
178

Tabel 4. Bentuk-Bentuk Kegiatan yang dapat dilakukan untuk


Menangani Permasalahan Tahura Nipa-Nipa

Sumber: Data (diolah), 2017

Kegiatan rehabilitasi mutlak harus dilaksanakan khususnya pada


blok perlindungan (BPI) dengan melakukan reboisasi penanaman jenis
tumbuhan yang sesuai dengan kondisi alaminya. Jenis kayu yang umumya
dimanfaatkan masyarakat adalah jenis kayu besi, eha, ponto, bayam dan
lain-lain. Oleh karenya untuk mengembaikan fungsi alami kawasan maka
jenis-jenis pohon tersebut yang harus ditanama karena sesuai dengan
kondisi habitatnya. Pada blok koleksi tumbuhan dan satwa (BKTS) serta
blok lainnya (BL) juga harus dilakukan reboisasi dengan tujuan
mengembalikan fungsi tegakkan, naungan dan habitat berbagai jenis
tumbuhan lainnya dan satwa. Langkah pertama yang harus diambil adalah
membuat kebun koleksi dan penangkaran hewan, hasilnya dapat kembali
ditanam dan dilepas di habitat alaminya.

Optimasi produktivitas lahan merupakan salah satu solusi untuk


menjawab issu deforestasi Tahura Nipa-Nipa. Kegiatan ini dapat dilakukan
dengan menerapkan sistem agroforestry baik di bawah tegakan tanaman
muda atau di bawah tegakan tanaman yang sudah produktif/tegakan jadi.
Kegiatan ini akan memberi manfaat baik secara ekologi, ekonomi maupun
sosial, yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat
179

tidak hanya mendapatkan manfaat langsung berupa pendapatan uang,


tetapi juga mendapat manfaat tidak langsung seperti tercukupinya pakan
ternak serta air bersih. Pola yang dipilih sebaiknya ditentukan berdasarkan
kondisi biofisik dan sosial budaya setempat. Selain memperhatikan kondisi
dan status lahan, hal lain yang harus menjadi pertimbangan adalah
permintaan pasar dan kebiasaan masyarakat dalam melakukan budidaya
tanaman.

Sistem agroforestri dapat diterapkan khusus pada blok


pemanfaatan yang pada saat ini bentuk penggunaan lahannya cenderung
kearah perkebunan, perkebunan campuran dan pemukiman. Semua
kegiatan budidaya tanaman pertanian maupun perkebunan difokuskan
pada blok pemanfaatan. Masyarakat diarahkan menanam dengan sistem
tumpangsari yaitu menanam jenis pohon seperti jati dan sengon sebagai
naungan dikombinasikan dengan tanaman perkebunan seperti jambu mete,
rambutan, mangga dan lain sebagainya. Selain itu masyarakat dapat
mengkombinasikan dengan tanaman pertanian (semusim) seperti jagung,
ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan dan sayuran, dapat dilihat vegetasi
yang terdapat pada setiap penggunaan lahan, perlu ditemukan kombinasi
vegetasi yang berupa tanaman pohon, tanaman pertanian dan perkebunan
yang tepat agar dapat memaksimalkan dalam menyimpan karbon
kedepannya dan tidak keluar dari fungsi khusus kawasan TAHURA,
sedangkan untuk penggunaan lahan pemukiman pada wilayah Tahura
Kebun Pekarangan dapat menjadi alternative yang dapat dilakukan apabila
pada suatu daerah terbuka dan telah terbangun pemukiman adalah dengan
membuat kebun pekarangan di sekitar perumahan sehingga pada daerah
yang telah terbangun tersebut masih dapat melakukan penerapan karbon
meskipun jumlahnya tidak sebanyak pada jenis pengunaan lahan yang
lainnya.

Persediaan karbon pada praktek agroforestri dibedakan atas


karbon yang berasal dari biomassa pohon hidup, biomassa tumbuhan
bawah (semak, herba, tanaman semusim), serasah kasar (daun kering dan
potongan ranting kayu kering), dan nekromassa (tunggak dan
pohon/batang kayu mati). Jumlah seluruh persediaan karbon tersebut
disebut karbon dari biomassa total bagian atas permukaan tanah, atau
selanjutnya disebut karbon total. Persediaan karbon dinyatakan dalam
satuan yang seluruh karbon biomassa dalam luasan satu hektar.
180

Persediaan karbon dideskripsikan dengan membedakannya menurut umur


tegakan. Pembedaan persediaan karbon menurut umur tegakan diperlukan
untuk mengetahui trend perkembangan persediaan karbon sampai batas
umur tertentu yang dapat dipertahankan. Pembedaan atas umur tegakan
ini sangat relatif, karena secara umum agroforestri tidak mengikuti daur
tanaman yang jelas (seperti halnya hutan tanaman) sehingga jadwal
pengelolaannya tidak bisa diketahui dengan pasti. Untuk pendekatan, umur
tegakan ditentukan dengan melihat umur rata-rata pohon yang ukurannya
dominan saat dilakukan pengukuran dan mencocokkannya dengan
penjelasan petani tentang riwayat pengelola lahan tersebut.

Persediaan karbon total tegakan. Rata-rata persediaan karbon total


tegakan agroforestri berkisar antara 15,4– 80,2 tonC/ha atau rata-rata 45,4
tonC/ha untuk agroforestri pola tegakan murni dan antara 10,4–73,8
tonC/ha atau rata-rata 41,1 tonC/ha untuk agroforestri pola kebun-
campuran. Persediaan karbon pohon. Sumber karbon terbesar dalam
praktek agroforestri berasal dari pohon yang menyusun agroforestri
tersebut, baik pohon yang tajuknya berada di lapisan atas maupun pohon
di bawah tajuk. Persediaankarbon pohon hidup rata-rata mencapai 42,3
tonC/ha dengan kisaran 13,4–76,1 tonC/ha untuk agroforestri tegakan
murni dan rata-rata 38,5 tonC/ha dengan kisaran 8,5–70,8 tonC/ha untuk
agroforestri kebun-campuran. Walaupun persediaan karbon pohon pada
tegakan murni sedikit lebih tinggi dari karbon pada kebun-campuran,
namun kedua praktek agroforestri tersebut belum menunjukan perbedaan
persediaan karbon pohon. Walaupun persediaan karbon pada tegakan
murni dan kebun-campuran sebagaimana disebutkan di atas relatif tidak
berbeda, tetapi dari sisi struktur tegakan (pohon-pohon penyusun) kedua
pola agroforestri di atas relatif berbeda.

Terdapat perbedaan pula dalam intensitas pemanfaatan kayu. Pada


tegakan murni, jenis Jati Lokal dimanfaatkan untuk tanaman pinggir
terhadap jambu mete, sebaliknya pada kebun-campuran pemanfaatan kayu
sedikit lebih tinggi karena banyaknya pilihan pohon yang siap ditebang
dengan daur pendek dan masih adanya pohon daur panjang dan pohon
buah-buahan. Komposisi persediaan karbon yang berasal dari pohon
berdaur pendek, menengah/panjang dan pohon buah-buahan masing-
masing 50%, 32% dan 13%. Dilihat dari pengaruh komposisi jenis dan
bentuk pemanfaatan hasil yang ada di lokasi penelitian, maka agroforestri
181

dengan kebun-campuran secara potensial akan memiliki persediaan


karbon yang lebih besar tetapi dengan laju serapan karbon yang lebih
besar dibandingkan dengan agroforestry dengan tegakan murni. Jenis yang
lebih beragam pada kebun-campuran yang mengkombinasikan hasil kayu
dengan daur pohon yang berbeda dan pohon penghasil buah (non kayu)
akan menunda petani untuk melakukan penebangan pohon dalam waktu
yang lebih singkat. Namun demikian, cadangan karbon yang lebih rendah
saat ini pada kebun-campuran (di Tipulu dan Punggaloba).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

TAHURA Nipa-Nipa didominasi oleh semak belukar yaitu sebesar


855,51 ha, pemukiman 598,29 ha, kebun campuran 557,08 ha, perkebunan
465,4, dan penutupan lahan hutan primer yang terendah yaitu 435 ha.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan semua
penutupan lahan memiliki jumlah simpanan karbon yang berbeda-beda.
Simpanan karbon pada semak belukar lebih banyak karena dihitung
berdasarkan luas keseluruhan penggunaan lahan, yaitu sebesar 2.609,30
ton dan yang laing terendah adalah simpanan karbon pada pemukiman
yaitu sebesar 741,87 ton ha ini disebabkan karena jumlah luasan
pemukiman yang besar, tetapi memiliki vegetasi yang tidak banyak,
sehingga hanya simpanan karbonnya pun relative sedikit dan arahan
pengelolaan struktur keruangan berdasarkan penyimpanan Karbon
vegetasi TAHURA nipa-nipa di Kota Kendari yaitu menggunakan sistem
Agroforestry melihat kondisi penggunaan lahan yang sekarang telah ada.

2. Saran

1) Perlu dilakukan pendugaan simpanan karbon lanjutan untuk


keseluruhan wilayah yang tergabung dalan kawasan TAHURA Nipa-
Nipa.
2) Perlu dilakukan pendugaan simpanan karbon berdasarkan karakteris-
tik fisik lahan lainnya, misalnya topografi dan iklim.
182

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., Syahbani I., Rengku M.T., Arifin Z., Mukhaidil. 2009.
Pendugaan Cadangan Karbon (C-stock) dalam Rangka
PemanfaatanFungsiHutan Sebagai Penyerap Karbon.
http://www.Sith.itb.ac.id/profile/databuendah/publications/12%2
0yayaMAPinsurabaya.pdf

Aklile, Y., B. Fekadu, 2014. Examining drivers of land use change among
pastoralists in Eastern Ethiopia. Journal of Land Science 4(9), pp.
402-413.

Hairiah, K., dan Rahayu, S. 2007. Petunjuk praktis pengukuran karbon


tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. World
Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. Bogor.

Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R.R., dan Rahayu. S., 2011. Pengukuran
Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan Edisi 2.
Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office,
University of Brawijaya (UB), Malang.

IPCC. 2006. IPCC Guildelines for National Greenhouse Gas Inventories,


Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme,
Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. And Tanabe K. (eds).
Published: IGES, Japan.

Ketterings, QM, Richard C, Meine VN, Yakub A, Cheryl AP, 2001. Reducing
Uncertainty in The Use of Allometric Biomass Equations for
Predicting Above-Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forest.
Forest Ecology and Management 146 (2001) 199-209.

Muslianto, 2015. Perambahan Hutan dan Model Pengelolaannya. Tesis,


Universitas Halu Oleo, Kendari.

Rugayah, A Retnowati dan FI Windradi. 2004. Pengumpulan Data


Taksonomi. Dalam: Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman
Flora. Rugayah, EA Widjaya dan Praptiwi (Penyunting), 5-40. Bogor.
Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
183

Ruslandi. 2012. Penyempurnaan Nasional Forest Inventory Untuk


Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat
Provinsi. Kementrian Kehutana Republik Indonesia. Jakarta.
Indonesia.

Setiawan, G., Syaufina, L., Puspaningsih, N., 2015. Estimasi hilangnya


cadangan karbon dari perubahan penggunaan lahan di Kabupaten
Bogor. Pascasarjana IPB. Bogor. e-ISSN: 2460-5824. Vol. 5 No. 2
(Desember 2015): 141-147.

Sutaryo, D., 2009. Penghitungan Biomassa sebuah Pengantar untuk Studi


Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia
Programme. Bogor

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, LNRI
Tahun 1990 Nomor 49

UPTD Balai Tahura Nipa-Nipa, Seksi Pengembangan dan Perlindungan &


Rustam.B.R. 2012. Taman Hutan Raya (Tahura) Nipa-Nipa
Kabupaten Konawe Dan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara,
Statistik Tahun 2011. Kendari : UPTD. Balai Taman Hutan Raya
Nipa-Nipa.

Yuzhe, W., Z. Xiaoling, S. Liyin, 2011. The impact of urbaniza-tion policy on


land use change: a scenario analysis. Cities 28, pp. 147-150.
184

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING


PERANAKAN ETAWA (PE)
DI KELURAHAN WATUBANGGA
KECAMATAN BARUGA KOTA KENDARI

Edi Kusnadi, I Wayan Sura, dan Sani Wanti

PENDAHULUAN

Populasi kambing dengan produk susu yang cukup baik (tipe perah)
di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian masyarakat Indonesia lebih
banyak tahu tentang sapi perah dibandingkan kambing tipe perah tersebut.
Kambing peranakan etawa (PE) memiliki potensi produksi susu cukup baik
yang merupakan bangsa kambing asli Indonesia, merupakan hasil
persilangan antara kambing etawa yang berasal dari India dengan kambing
kacang yang merupakan bangsa kambing asli Indonesia. Kambing ini
dibudidayakan pertama kali oleh masyarakat Kaligesing, Purworejo, Jawa
Tengah. Sejak lama kambing PE sudah menyebar ke berbagai wilayah di
Indonesia dan mendominasi spesies kambing di Indonesia, khususnya di
wilayah Sulawesi Tenggara.

Saat ini kambing perah yang umum dibudidayakan di Indonesia


adalah kambing peranakan etawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan
kambing PE. Hasil persilangan pejantan etawa dengan kambing kacang
dikenal dengan nama peranakan etawa (PE) yang diduga terbentuk dari
persilangan secara grading up. Kambing PE merupakan kambing yang
memiliki karakeristik baik dan khas, baik ditinjau dari fisik (ukuran tubuh,
warna rambut), produksi (susu mencapai 1-2 liter per hari, laju
pertumbuhan yang cepat).
185

Pemeliharaan kambing PE mempunyai nilai sebagai penghasil


daging, susu, kulit, dan serat (bulu, mohair, dan pashima). Sedangkan
kambing Kacang merupakan ternak bertipe pedaging yang memiliki
ukuran lebih kecil dibandingkan dengan PE. Pemeliharaan kambing dapat
menyediakan kebutuhan hewani yang bernilai biologis tinggi, serta mineral
esensial dan vitamin asal lemak yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu
faktor penunjang keberhasilan usaha peternakan kambing adalah bibit
yang baik, pakan yang lengkap kandungan dan jumlahnya, tata cara
pemeliharaan, pencegahan dan pengendalian penyakit, dan manajemen
perkandangan yang meliputi tipe kandang, bentuk kandang, jenis kandang
dan ukuran kandang untuk menghasilkan produksi dan reproduksi yang
maksimal.

Reproduksi merupakan proses perkembangan suatu makhluk hidup


yang dimulai sejak bersatunya sel telur dan sel spermatozoa
menjadiindividu baru yang disebut zigot yang disusul dengan kebuntingan
dan diakhiri dengan kelahiran. Peningkatan populasi secara alamiah sangat
dipengaruhi oleh kinerja reproduksi ternak. Menurut Sodiq A. (2012),
kinerja reproduksi tercermin pada beberapa parameter diantaranya jarak
beranak, litter size, umur pertama kali berahi, dan ketahanan hidup cempe
sampai sapih. Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian
penampilan reproduksi kambing etawa di Kelurahan Watubangga
Kecamatan Baruga Kota Kendari.

METODE

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Mei sampai dengan Juni
Tahun 2019 di Kelurahan Watubangga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode survey dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data
primer diperolehdari hasil wawancara (berpedoman pada daftar
pertanyaan/kuisioner yang telah disiapkan) pada sejumlah peternak
kambing PE. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi
terkait dengan penelitian ini seperti Dinas Peternakan, dan Kantor
Kecamatan.
186

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ternak kambing PE


yang tersebar di Kelurahan Watubangga Kecamatan Baruga Kota Kendari.

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah berupa:

1. Days open

Days open adalah waktu yang dihitung setelah induk melahirkan


sampai bunting kembali, dengan rumus sebagai berikut:

DO = Kebuntingan ke-i – Kelahiran ke (i-1)

2. Service per Conception (S/C)

Perhitungannilai S/C menurut Hafez (2000) yaitu dengan


menggunakan rumus sebagai berikut :

3. Calving Interval (CI)

Calving Interval (CI) adalah jumlah hari/bulan antara kelahiran


yang satu dengan kelahiran berikutnya Perhitungan nilai CI menurut Ball
dan Peters (2004) yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Calving Interval (bulan) = Kelahiran ke-i – Kelahiran ke (i-1)

4. Litter size

Litter size merupakan jumlah anak kambing yang dilahirkan dalam


satu kelahiran, dihitung dengan rumus berikut:

5. Berat Lahir

Berat lahir dihitung dari bobot anak kambing (cempe) dalam setiap
kelahiran.
187

6. Berat Sapih

Parameter Rataan

Days open (hari) 99,36±6,47


Calving Interval (hari) 268,91±8,10
Service per conception (S/C) 1,70±0,24
Litter Size (ekor) 1,82±0,40
Bobot lahir (Kg) 3,40±0,35
Bobot Sapih (Kg) 10,03±1,05

Berat sapih dihitung dari berat anak kambing (cempe) pada saat
berhentinya menyusui terhadap induk baik secara bertahap maupun
secara paksa. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif, yaitu dengan
mengamati sejauhmana potensi reproduksi di daerah penelitian, kemudian
diinterpretasikan sebagai dasar dalam penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil survey pada peternakan kambing PE di


Kelurahan Watubangga Kecamatan Baruga diperoleh data Reproduksi
Kambing PE sebagai berikut.

1. Days open (DO)

Days Open (DO) adalah banyaknya hari saat sesudah induk beranak
ampai dengan bunting. Days Open pada seekor ternak dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya IB yang mencakup teknik inseminasi,
penggunaan semen berkualitas baik, kualitas estrus induk, kesehatan
ternak, fertilitas induk dan manajemen yang meliputi recording, ketepatan
dalam deteksi estrus dan nilai nutrisi yang memadai (Susilawati dan Sri,
2010).

Rata-rata nilai lama waktu kosong (Days Open) induk kambing


peranakan etawa di Kelurahan Watubangga adalah rata-rata 99,36±6,47
188

hari. Berdasarkan hasil survey menunjukan nilai lama waktu kosong


dilokasi penelitian tersebut mempunyai nilai yang baik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Atabany (2001) dalam Sulaksono dll., (2010) melaporkan
kambing PE di peternakan barokah di kawinkan kembali setelah
melahirkan dengan jarak waktu rata-rata 64,20 hari dan rata- rata masa
kosong 3,66 bulan (90 hari ).

Days open (DO) kambing PE di Lokasi penelitian menunjukkan


angka yang tinggi, hal ini di ketahui bahwa penyebab tingginya angka DO
dapat disebabkan oleh banyaknya umur kambing yang tua, Ini sesuai
pernyataan Hastono, dkk. (1997) bahwa semakin tua umur kambing
semakin panjang masa kosong dari kambing tersebut. Menurut Sulaksono,
Sri dan Purnomo (2010) masa kosong (days open) adalah jangka waktu
sejak kambing beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi
kebuntingan. Panjang dan pendeknya masa kosong dipengaruhi oleh waktu
perkawinan induk kambing setelah beranak, tingkat kesuburan induk dan
Service per Conception atau kegagalan dalam fertilitas.

2. Jarak Beranak (Calving Interval)

Jarak beranak dilokasi penelitian diperoleh rata-rata 268,91±8,10


hari, hasil penelitian Calving Interval menunjukkan angka yang normal,
sesuai denagn hasil penelitain Coosly (1984), bahwa selang beranak
kambing di daerah tropis pada kondisi makanan dan tatalaksana yang baik
biasanya selang beranak antara 260 sampai dengan 290 hari (8,7 bulan
sampai 9,6 bulan). Pada kambing PE selang beranak sekitar 269 hari
(Setiadi dan Sitorus, 1983). Nilai koefisien variasi selang beranak induk
kambing PE kecil, yang berarti semakin seragam. Pernyataan itu
menunjukan bahwa lama selang beranak antar induk kambing PE di Lokasi
penelitian tidak jauh berbeda lamanya satu sama lain dan masih dapat
dikatakan baik.

Kidding interval adalah waktu atau periode antara dua kelahiran


(Steele, 1996). Jarak antar kelahiran dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan (Sudewo, et.al.,
2012). Berdasarkan hasil survei dilokasi penelitian maka diperoleh data
jarak beranak kambing yang normal dan masih masuk dalam kategori
angka jarak beranak yang baik untuk kambing PE. Priyanto, et.al., (1992)
menyatakan bahwa kambing yang digembalakan memiliki selang beranak
189

lebih pendek yaitu 249 hari dibandingkan yang dikandang 266 hari.
Normalnya angka rataan jarak beranak yang dicapai kambing PE di
Kelurahan Watubangga dijelaskan, bahwa kambing-kambing PE tersebut
dapat beradaptasi dengan suhu lingkungannya.

3. Service per Conception (S/C)

Service per Conception (S/C) merupakan jumlah perkawinan yang


dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadinya kebuntingan. Dari hasil
penelitian di Kelurahan Watubangga terhadap peternakan kambing PE
diperoleh angka S/C sebesar rata-rata 1,70±0,24 hal ini menunjukkan
kisaran angka yang normal, sesuai dengan laporan Nuryadi dan
Wahjuningsih (2011) bahwa kisaran normal nilai S/C adalah 1,6-2,0. S/C
dalam penelitian ini diukur berdasarkan perkawinan secara alami atau
kawin alam.

Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata service per conception di


lokasi penelitian adalah 1,70±0,24 yang berarti bahwa untuk ternak
kambing PE di Kelurahan Watubangga yang dikawinkan dan terjadinya
kebuntingan membutuhkan S/C 1,70 kali atau untuk memperoleh
kebuntingan 10 ekor betina diperlukan layanan perkawinan sebanyak 17
kali. Nilai S/C dilokasi penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil
penelitian Winarti dan Supriyadi (2010) di Yogyakarta yaitu S/C 2,68 kali
dan lebih tinggi dari penelitian Kasehung et al., (2016) di Kabupaten
Minahasa yaitu S/C 1,44 kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi kesuburan ternak tersebut,
yang berarti bahwa S/C ternak kambing PE di Lokasi penelitian sudah baik.
Hal tersebut selain disebabkan oleh kualitas pejantan yang baik dalam
perkawinan, rendahnya nilai S/C di lokasi penelitian terjadi akibat adanya
kondisi lingkungan dan manajemen yang baik, ketika ternak kambing PE
mengalami birahi pertama dan umur yang tepat untuk perkawinan yang
diberikan, serta peternak di lokasi penelitian ini cukup mampu dalam
mendeteksi siklus birahi ternak dengan tepat. Tinggi rendahnya nilai S/C
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keterampilan peternak
dan pengetahuan peternak dalam mendeteksi birahi (Siagarini et al., 2015).
190

4. Litter size

Rataan litter size kambing PE di Kelurahan Watubangga Kecamatan


Baruga rata-rata 1,82±0,40. Hasil ini mengindikasikan bahwa kambing PE
bibit yang digunakan relatif cukup produktif hasil ini juga lebih tinggi dari
hasil Budiarsana et al. (2003), yang melakukan penelitian di lokasi
penelitian Desa Panulisan Timur yaitu 1,75±0,45 dan 1,29±0,46 di Desa
Cariu. Menurut Atabany (2001), jumlah perkawinan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan kebuntingan ialah 1,85, hal ini berkaitan dengan
manajemen pemeliharaan indukan yang berbeda antar peternak. Peternak
kambing PE di Kelurahan Watubangga menerapkan pola pemisahan anak
dari induk setelah disapih terutama anak kambing yang memiliki
kemampuan pertumbuhan yang cepat. Anak kambing yang memiliki
performa pertumbuhan yang cepat diberi kesempatan menyusui lebih lama
dari induknya agar dapat dijadikan sumber bibit.

Kinerja reproduksi induk merupakan gambaran dari kemampuan


induk bereproduksi, terutama dalam kemampuan induk untuk melahirkan
sejumlah anak. Jumlah anak sekelahiran sangat mentukan laju peningkatan
populasi ternak kambing, karena jumlah anak sekelahiran dapat
mempengaruhi kenaikan populasi. Kinerja reproduksi kambing betina
ditentukan oleh berbagai proses seperti lamanya musim perkawinan,
siklus berahi, laju ovulasi dan tingkat kesuburan (Greyling, 2000).

Davendra dan Burns (1994), bahwa induk kambing dianggap


produktivitas tinggi apabila dapat menghasilkan keturunan yang banyak
atau lebih dari satu ekor per kelahirannya. Hal ini mengindikasikan bahwa
dengan angka litter size sebesar 1,82±0,40 dilokasi penelitian
menunjukkan bahwa penampilan Reproduksi peternakan kambing PE
sangat produktif dan layak untuk dikembangkan, Ditjen Peternakan
(1993), juga menyatakan bahwa induk kambing yang mampu melahirkan
anak kembar pada kelahiran pertama ada kecenderungan mengulanginya
pada setiap melahirkan berikutnya. Nilai koefisien variasi jumlah anak per
kelahiran cukup besar yang menandakan bahwa jumlah anak per kelahiran
bervariatif. Hal ini disebabkan karena perbedaan setiap gen induk kambing
PE yang dimiliki oleh para peternak di Kelurahan Watubangga.
191

5. Bobot Lahir

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir kambing PE di


Kelurahan Watubangga rata-rata seberat 3,40±0,35 Kg. Hal ini
menunjukkan bahwa bobot lahir rata-rata yang di peroleh dari hasil
penelitian menunjukkan angka yang cukup baik, hai ini juga di sebabkan
oleh faktor genetik tetua juga kondisi lingkungan yang cukup baik sehingga
menghasilkan keturuna yang baik pula, sesuai laporan Devendra dan Burns
(1994), yang menyatakan bahwa keragaman dari bobot lahir disebabkan
oleh faktor genetik dan lingkungan, sedangkan terjadinya keragaman bobot
hidup antara lain perbedaan bangsa, jumlah anak sekelahiran, pakan,
persilangan dan interaksi fenotip-genotip nya. Faktor genetik merupakan
potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor
lingkungan merupakan kesempatan yang diperoleh ternak pada tempat
yang berbeda-beda.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ihsan (2010) berat lahir yang tinggi
menunjukkan bahwa pejantan yang digunakan dalam perkawinan ini
memiliki mutu genetik yang tinggi dan juga manajemen pemeliharaan yang
baik. Menurut Alfiansyah (2011) faktor hormon androgen yang terdapat
pada sistem hormonal kambing jantan diduga menyebabkan bobot lahir
jantan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin betina. Hormon
estrogen yang dihasilkan hewan betina akan membatasi pertumbuhan
tulang pipa dalam proses pembentukan tulang pada fase prenatal sudah
berlangsung pada hari ke-50 hari masa kebuntingan, dengan demikian
hormon estrogen yang dihasilkan oleh foetus betina akan menghambat
pertumbuhan tulang pipa sejak hormon estrogen berfungsi, dengan
terhambatnya pertumbuhan tulang pipa, maka tempat tempat melekatnya
daging akan berkurang, sehingga laju pertumbuhan otot terbatas. Bagian
tubuh yang memiliki tulang pipa meliputi tulang paha, tulang hasta, tulang
lengan atas, tulang pengumpil, tulang betis dan tulang kering. Disebut
tulang pipa karena tulang jenis tersebut seperti pipa dengan kedua
ujungnya yang bulat. Ujung tulang berbentuk bulat tersusun atas tulang
rawan yang disebut epifise, sedangkan pada jenis ini bagian tengah tulang
pipa yang berbentuk silindris dan berongga disebut diafase. Tulang pipa
memiliki dua sumsum tulang yakni sumsum tulang merah dan kuning.
Tempat sel-sel darah dibentuk berada di dalam sumsum tulang merah.
192

Adapun tempat pembentukan sel-sel lemak terdapat pada sel-sel tulang


kuning

6. Bobot Sapih

Berat sapih di lokasi penelitian rata-rata sebesar 10,03±1,05 Kg,


berat sapih dapat pula menjadi indikator dari kemampuan induk untuk
menghasilkan susu, kemampuan anak untuk mendapatkan susu dan
tumbuh. Sehingga berat sapih dipengaruhi oleh kondisi induk, jumlah dan
kondisi anak kambing yang dilahirkan, perhitungan pengaruh sistem
perkawinan terhadap bobot sapih hasilnya bahwa sistem perkawinan tidak
menunjukan perbedaan terhadap bobot sapih ternak. Hal ini dikarenakan
berat sapih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu pakan yang
diberikan kepada cempe, semakin tinggi kandungan nutrisi yang diberikan
maka pada saat mencapai umur sapih ternak akan memperoleh bobot
sapih yang maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Maylinda, (2010)
perbedaan berat sapih ini dikarenakan berat sapih banyak dipengaruhi
faktor lingkungan diantaranya manajemen pemeliharaan dan produksi
susu induk. Lu (2002) menambahkan berat sapih bervariasi tergantung
pada pengaruh genetik, umur sapih, kesehatan serta manajemen
pemeliharaan, terutama adalah aspek pemberian pakan yang sangat
berpengaruh terhadap kemampuan induk untuk memproduksi susu
selama masa pertumbuhan pra-sapih anak kambing.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penampilan


reproduksi kambing PE di Kelurahan Watubangga diperoleh Days open
(DO) 99,36±6,47 hari, Calving Interval (CI) 268,91±8,10 hari, Service per
conception (S/C) 1,70±0,24 kali, Litter Size 1,82±0,40 ekor, Bobot lahir
3,40±0,35 Kg, dan Bobot Sapih 10,03±1,05 Kg. Hal ini menunjukkan
karakteristik reproduksi kambing PE di Kelurahan Watubangga
menunjukkan indikator dan potensi yang baik.
193

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi, K. 2007. “Manajemen Pengembangan Bioteknologi Reproduksi


pada Kambing”. Karya Ilmiah. Bagian Reproduksi dan Kebidanan,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian. Bogor.

Alfiansyah, M. 2011. Macam dan jenis tulang berdasarkan bentuknya.


http://www.sentraedukasi.com/20 11/07/ macam jenis tulang
berdasarkan-bentuknya. html Tanggal akses 18 Agustus 2012.Bogor.

Atabany, A., Abdulgani, I.K., Sudono, A., dan Mudikdjo. 2000. Performa
Produksi, Reproduksi Dan Nilai Ekonomis Kambing Peranakan
Etawah Di Peternakan Barokah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak.
FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor. 1(1):1-7.

Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah


dan kambing Saanen pada Peternakan Kambing Barokah dan PT.
Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor, Badan Standarisasi Nasional. 2008. Bibit Kambing Peranakan
Etawa (PE). SNI 7352:2008. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Blakely, J. & D.H. Blade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Budiarsana dan Sutama. 2001. Efisiensi Produksi Susu Kambing Peranakan


Etawah. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Coosly, J.K. 1984. Role in Meeting Supplies. In Extention Goat Handbook.


Printed and Distributed in Cooperation with the Extention Service.
United State Department of Agriculture. Washington D.C. 587-589.

Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik, Jilid Kedua, LP3ES, Jakarta.

Devandra, C. dan M, Bruns,. 1994. Produksi kambing di daerah tropis.


Penerbit ITB. Bandung.

Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Peterbit


Alfabeta.

Greyling, J.P.C. 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Journal of
Small Rum. Res. 36: 171-177.
194

Hastono, Budiarsana, Sianturi, U. Adiati dan I. Sutama. 1997. Pengaruh


Umur Terhadap Kinerja Seksual Pada Kambing Peranakan Etawa.
www.unikassel.de/unpress/online/frei/978-3-89958-074-
7.volltext.frei.pdf. 25 Juli 2013.

Ihsan M.N., 2010. Pengembangan kambing dengan inseminasi buatan


(kendala dan solusinya). Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Iswoyo dan P. Widiyaningrum. 2008. Performans reproduksi sapi


peranakan Simmental (Psm) hasil inseminasi buatan di Kabupaten
Sukoharjo Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 11(3):
125-133.

Kasehung, J., U. Paputungan, S. Adiani, dan J. Paath. 2016. Performans


reproduksi induk sapi lokal Peranakan Ongole yang dikawinkan
dengan teknik inseminasi buatan di Kecamatan Tompaso Barat
Kabupaten Minahasa. Jurnal Zootek. 36 (1) : 167-173.

Kusumawati E D. dan Nugroho A T. 2010. Penampilan Reproduksi Kambing


Peranakan Etawa (PE) (Studi Kasus di Wilayah Desa Jambuwer
Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang). Skripsi. Universitas
Kanjuruhan. Malang.

Lu, C.D. 2002. Boer goat production: Progress and perspective. Vice
Chancellor of Academic Affairs, University if Hawai'i Hilo, Hawai.
http://www.uhh.hawaii.edu/uhh/vc aa/. Tanggal akses 25 Agustus
2012.

Maylinda, S., 2010. Pengantar pemuliaan ternak. Universitas Brawijaya


Press. Malang.

Mulyono S., dan B. Sarwono. 2005. Penggemukan Kambing Potong. Cetakan


Kedua. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Murdjito G, Budisatria IGS, Panjono, Ngadiyono N, Endang B. 2011. Kinerja


kambing bligon yang dipelihara peternak di desa Giri Sekar,
Panggang, Gunung Kidul. Buletin Peternakan 5(2): 86-5.
195

Nuryadi dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi


Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang.
J.Ternak Tropikal 12 (1) : 76-81.

Pamungkas, F. A. Batubara, M. Doloksaribu dan E. Sihite. 2009. Potensi


Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Petunjuk Teknis.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Priyanto, D.S., A, Supriyanto dan T.B, Mardiah. 1992. Potensi Daya Dukung
Wilayah Dalam Usaha Pengembangan ternak domb dan kambing
pada dua kondisi agroekosistem adat ternak. Dalam domba dan
kambing untuk kesejahteraan masyarakat. Pros. Sarasehan Usaha
Ternak domba dan kambing era PJPT II, kerjasama ISPI dan HPDK
Cab. Bogor.

Salerno, A. 1990. The Groos Weight of Hides in Relation to Live


Weight.Animal Breeding Abstract.18:68.

Salisbury RE. dan VandemarkWL. 1985. Fisiologi Reproduksi Dan


Inseminasi Buatan Pada Sapi. Edisi terjemahan oleh R. Djanuar.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sarwono. 2010. Beternak kambing unggul. Penerbit penebar swadaya.


Jakarta

Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian, Yogyakarta. Hal : 64-67

Setiadi, B. dan P. Sitorus. 1983. Penampilan Reproduksi dan Produksi


Kambing Peranakan Etawah. Dalam pertemuan Ilmiah Ruminansia
Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Bogor.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito


Bandung.

Sodiq, A. 2012. Non genetic factors affecting pre-weaning weight and growth
rate of Etawah grade goats. Media Peternakan. 21-27.
196

Steele, M. 1996. The Tropical Agriculturalist: Goat. MacMillan Education


Ltd. London and Basingstoke.

Subandriyo. 1993. Potensi dan Produktivitas Ternak Kambing di Indonesia.


Proceding Lokakarya Potensi dan Pengembangan Ternak Kambing
diWilayah Indonesia Bagian Timur. Dinas Peternakan Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Sudewo A, Setya, A.S, dan Susanto A. 2012. Produktivitas Kambing


Peranakan Etawa Berdasarkan Litter Size, Tipe Kelahiran dan
Mortalitas di Village Breeding Centre Kabupaten Banyumas.
Prosiding Seminar Nasional “Pengembangan Sumberdaya edesaan
dan Kearifan Lokal Berkelanjutan II”. Purwokerto.

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Sugiyono, (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Alfabeta. Bandung.

Sulaksono. A, Sri. S, Purnama. E.S. 2013. Penampilan Reproduksi (Service


per Conception, Lama Kebuntingan dan Selang Beranak) Kambing
Boerawa di Kecamatan Gedong Tataan dan Kecamatan Gisting. www.
Jurnal Fb.Unila.ac.id/ Indek Php/ Jpt/ article/ view/ 39/ eoiz. 25 juli
2013.

Sulastri, Sumadi, dan W. Hardjosubroto. 2002. Estimasi parameter genetik


sifat-sifat pertumbuhan kambing Peranakan Etawa di Unit Pelaksana
Teknis Ternak Singosari, Malang, Jawa Timur. Agrosains 15(3):431 –
442.

Supriyadi, E. W. 2010. Penampilan reproduksi ternak sapi potong betina Di


Daerah Istimewa Yogyakarta.

Susilawati, T. dan Affandi, L. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan


produktivitas sapi potong melalui teknologi reproduksi. Loka
penelitian sapi Potong Grati, Pasuruan. Fakultas Peternakan. UB.
Malang.
197

Susilawati.T, dan W. Sri. 2010. Perbedaan Produktifitas Kambing


Peranakan Etawa (PE) Antara Perkawinan Alam dan Perkawinan
Inseminasi Buatan (IB) di Ampel Gading Kabupaten Malang. www.
elibray.ub.ac.id/bitstream /1234567…/. 25 Juli 2013.

Susilawati, T. 2011.Agribisnis Kambing. Malang : UB Press.

Sutama, I. K dan I. Budiarsana. 2010. Panduan Lengkap Kambing dan


Domba. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Taylor, R.E. & T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production An
Introduction to Animal Science. Pearson Education, Inc., Upper Saddle
River, New Jersey.

Toelihere. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Cetakan Keenam.


Angkasa. Bandung. pp. 97.

Wasiati H. dan E. Faizal. 2018. Peternakan Kambing Peranakan Etawa


Dikabupaten Bantul. Jurnal ABDIMAS Unmer Malang. Vol: 3 (1).
198

KAJIAN MODEL KONSERVASI PLASMA NUTFAH


SAPI SAHIWAL CROSS PENGHASIL DAGING DAN SUSU
DI SULAWESI TENGGARA

La Harudin, La Panga Mpalasi, I Wayan Sura, Rasidin Utha, dan Hardin

PENDAHULUAN

Sapi Sahiwal Cross adalah merupakan sapi tipe dwiguna sebagai


penghasil susu dan juga sebagai sapi penghasil dagi atau sapi potong. Di
Sulawesi Tenggara keberadaan Sapi Sahiwal Cross diawali oleh kegiatan
proyek SESTAD yang didanai oleh Bank Asia/ADB (Asia Depelovment
Bank), dimana kegiatannya di Sulawesi Tenggara kisaran tahun 1982-1990
di proyek SESTAD/ADB dengan sentral kegiatan di Desa Wawolemo
Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Selatan dalam rangka
penyaluran bantuan ternak kepada masyarakat. Pertama kali Sapi Sahiwal
Cross diimport dari India untuk penyebaran ternak pada masyarakat di
Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 1986 sebanyak ± 200 ekor betina dan 20
ekor jantan, dengan wilayah penyebaran proyek SESTAD yaitu di daerah
Kecamatan Konda, Kecamatan Landono, Kecamatan Lainea, dan
Punggaluku. Sapi ini merupakan sapi tipe besar dan mampu beradaptasi
dengan baik di daerah tropis seperti Indonesia

Ciri karakteristik/spesifik ternak Sapi Sahiwal Cross adalah


termasuk sapi tipe bodi besar dengan berat badan betina dewasa mencapai
550 kg dan jantan dewasa mencapai 650 kg, pertulangan kuat dengan
perototan kompak, kulit tipis longgar, bulu tipis halus dengan warna putih
keabu-abuan sampai warna merah kecoklatan, bertanduk dan tidak
199

berpunuk. Ambing besar mencirikan tipe sapi perah dengan produksi susu
cukup tinggi. Adaptasi lingkungan dengan suhu tropis cukup baik, lebih
toleran terhadap serangan ektoparasit, tahan penyakit dan produktivitas
cukup tinggi.

Para petani ternak yang pernah mengelola Sapi Sahiwal Cross


dengan pola intensif adalah peternak di Kecamatan Konda. Para peternak
di Desa Konda dengan memberikan pakan hijauan dalam jumlah yang
cukup, ditambah pemberian limbah industri rumah tangga berupa ampas
tahu secukupnya. Ternak-ternak tersebut sudah bisa melahirkan dengan
baik pula. Di samping menghasilkan anak/pedet, ternaknya juga dapat
diperah untuk menghasilkan susu kelebihan dari kebutuhan anaknya yaitu
± 5-7 liter susu setiap hari selama masa laktasi. Hal ini merupakan
keuntungan peternak yang mempunyai nilai tambah dari pemeliharaan
jenis sapi tipe dwiguna tersebut. Selain itu, juga menguntungkan bagi
peternaknya karena dengan hasil penjualan susu sebagai hasil tambahan
dapat menyokong uang belanja keperluan sehari-hari bagi para
peternaknya.

Pemeliharaan Sapi Sahiwal Cross dengan intensif tersebut di atas


sempat berlangsung dengan baik antar tahun 1990-1998, di mana saat itu
perhatian pemerintah sempat berlangsung dengan baik dari sisi
pembinaan para peternaknya sendiri maupun dari sisi penyaluran
produksinya berupa pemasaran susu segar masih ditangani dengan baik
oleh pemerintah dalam hal ini oleh Bidang Keswan dan Kesmapet Dinas
Peternakan Provinsi pada saat itu.

Kondisi tersebut menjadi berubah keadaannya sejak setelah tahun


1998, semangat petani menurun disebabkan karena perhatian pemerintah
tidak fokus lagi baik pembinaan pada para peternaknya maupun dalam hal
penampungan dan penyaluran hasil produksinya, di suatu saat ada
pembinaan dan saat lain tidak ada, demikian juga penyaluran dan
pemasaran produksi susu menangani dan menampung produksi susu
peternak karena tidak adanya kejelasan kelanjutan program dan dana yang
mendukung kegiatan, sehingga berdampak pada kontinuitas produksi yang
diharapkan. Akhirnya lambat laun dampaknya terhadap perkembangan
populasi dan kualitas mutu genetik ternak khususnya Sapi Sahiwal Cross di
Sulawesi Tenggara dengan dratis. Perkembangan Sapi Sahiwal Cross yang
200

ada di Sulawesi Tenggara cenderung relatif rendah dalam 15 tahun


terakhir (1999-2014), tetapi pemotongan ternak tersebut cenderung
meningkat dalam periode yang sama. Faktor-faktor yang menghambat
perkembangannya adalah sistem pemeliharaannya yang kembali ke sistem
semiintensif karena kegairahannya untuk pemeliharaan oleh petani sangat
menurun, usaha sambilan, pertumbuhan lambat, dan efesiensi
reproduksinya menjadi rendah.

Perlindungan dan pelestarian (konservasi) plasma nutfah Sapi


Sahiwal Cross merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan
populasi dan memperbaiki produktivitas usaha ternak Sapi Sahiwal Cross
di Sulawesi Tenggara. Model konservasi yang tepat dalam melindungi dan
melestarikan plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross yang hidup adalah
Konservasi In-Situ/preservasi in-situ yakni dilakukan pembatasan
persilangan yang ketat dengan bangsa sapi-sapi lokal dan upaya
maksimalisasi pelaksanaan teknologi terapan Inseminasi Buatan (IB)
ternak Sapi Sahiwal Cross dengan sapi FH murni sebanyak dua (2) kali
sehingga Sapi Sahiwal Scross memiliki darah tipe perah sebanyak 75%.

Untuk meningkatkan populasi ternak Sapi Sahiwal Cross sebagai


tipe dwiguna penghasil daging dan susu di Sulawesi Tenggara harus
dilakukan penentuan dan pemetaan kawasan konservasi yang tepat.
Beberapa hal yang dilakukan adalah upaya peningkatan populasi ternak
Sapi Sahiwal Cross, peningkatan kualitas SDM peternak, perluasan kebun
Hijauan Pakan Ternak (HPT) serta peningkatan kwantitas pakan penguat
berupa ampas tahu dan ampas kedelei yang dihasilkan dari limbah industri
rumah tangga.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada


bulan April sampai bulan Agustus tahun 2018. Penentuan lokasi dapat
dilakukan dengan sengaja (purposive) berdasarkan Daerah yang memiliki
ternak Sapi Sahiwal Cross. Lokasi penelitian tersebut adalah Kabupaten
Konawe Selatan, Kabupaten Konawe, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten
Kolaka.
201

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak Sapi Sahiwal


Cross yang ada di masing-masing Kabupaten. Sedangkan teknik penarikan
sampel lokasi penelitian pada setiap kabupaten dapat ditetapkan satu (1)
kecamatan yang terdiri dari dua (2) desa sehingga secara keseluruhan
lokasi penelitian adalah 4 kecamatan dan delapan (8) desa.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, artinya penelitian yang


menggambarkan objek tertentu yang mendeskripsikan tentang Kajian
Model Konservasi Plasma Nutfah Sapi Sahiwal Cross Penghasil Daging dan
Susu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian
ini tergolong dalam kelompok penelitian deskriptif kualitatif, yakni
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk
mengetahui perkembangan ternak Sapi Sahiwal Cross baik dari aspek
peningkatan populasi maupun mutu genetiknya. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis deskriptif kualitatif dan
analisis SWOT, di mana analisis deskriptif kualitatif untuk mengetahui
perkembangan ternak Sapi Sahiwal Cross yang ada di daerah Sulawesi
Tenggara dengan kondisi faktual di lapangan, sedangkan analisis SWOT
digunakan untuk menggetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan dalam mengkaji model konservasi plasma nutfah Sapi Sahiwal
Cross penghasil daging dan susu di Sulawesi Tenggara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Populasi Sapi Sahiwal Cross di Sulawesi Tenggara


a) Kabupaten Kolaka
Berdasarkan hasil survei di lapangan bahwa telah ditemukan jenis
Sapi Sahiwal Cross. Keberadaan ternak ini pada dasarnya sudah tidak
murni atau sudah melalui beberapa perkawinan silang dengan sapi-sapi
lainnya seperti Sapi Bali. Ternak Sapi Sahiwal Cross yang ada di Kabupaten
Kolaka terdapat di Kecamatan Toari yaitu Desa Anawua dan Desa Lamunre.
Adapun jumlah sapi di Kecamatan Toari Kabupaten Kolaka dapat dilihat
pada tabel berikut.
202

Tabel 1. Jumlah Sapi Sahiwal Cros di Kecamatan Toari

Desa Ternak Sapi Total (Ekor)


Jantan Betina
Anawua 2 4 6
Lamunre 1 2 3

Jumlah 9
Sumber: Data Lapangan, 2018

Berdasarkan tabel (1) menunjukkan bahwa penyebaran Sapi


Sahiwal Cross yang ada di Kabupaten Kolaka hingga saat masih ada,
meskipun demikian jumlahnya sedikit. Penyebaran Sapi Sahiwa Cross
terdapat di Desa Anawua dan Desa Lamunre. Sapi Sahiwal Cross yang ada
di kecamatan ini berjumlah 9 ekor di mana 3 ekor sapi jantan dan 6 ekor
sapi betina.

b) Kabupaten Konawe Selatan

Berdasarkan hasil survei di lapangan bahwa telah ditemukan jenis


Sapi Sahiwal Cross. Keberadaan ternak ini pada dasarnya sudah tidak
murni atau sudah melalui beberapa perkawinan silang dengan sapi-sapi
lainnya seperti Sapi Bali. Ternak Sapi Sahiwal Cross yang ada di Kabupaten
Konawe Selatan terdapat di Kecamatan Konda yaitu Desa Alebo dan Desa
Cialam Jaya. Adapun jumlah Sapi di Kecamatan Konda Kabupaten Konawe
Selatan dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 2. Jumlah Sapi Sahiwal Cross Kecamatan Konda

Ternak Sapi Total (Ekor)


Desa
Jantan Betina
Alebo 5 26 31
Cialam Jaya 2 6 8
Jumlah 39
Sumber: Data Lapangan, 2018

Berdasarkan tabel (2) menunjukkan bahwa Sapi Sahiwal Cross


yang ada di Kabupaten Konawe Selatan hingga saat masih ada, jumlah Sapi
Sahiwal Cross terdapat di Desa Alebo dan Desa Cialam Jaya. Sapi Sahiwal
Cross yang ada di lokasi penelitian ini berjumlah 39 ekor di mana 7 ekor
sapi jantan dan 32 ekor sapi betina.
203

c) Kabupaten Konawe

Pengembangan Sapi Sahiwal Cross di Kabupaten Konawe tidak


terlalu banyak jika dibandingkan dengan kabupaten lain di masa dulu saat
pengalokasian ternak Sapi Sahiwal Cross. Pengalokasian Sapi Sahiwal Cross
terdapat di Kecamatan Lambuya Desa Awuliti dan Desa Asaki. Seiring
perjalanan waktu, ternak Sapi Sahiwal Cross mengalami penurunan jumlah
populasi yang disebabkan karena tuntutan ekonomi yang dialami peternak
sehingga ternak-ternak tersebut dijual dan ada juga yang sudah mati. Akan
tetapi, ada beberapa masyarakat yang memiliki ternak Sapi Sahiwal Cross
yang sampai hari ini masih ada. Adapun ternak Sapi Sahiwal Cross di
Kecamatan Lambuya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Pengembangan Sapi Sahiwal Cross di Kecamatan Lambuya

Desa Ternak Sapi Total (Ekor)


Jantan Betina
Awuliti 2 1 3
Asaki 1 3 4
Jumlah 7

Sumber: Data Lapangan, 2018

Berdasarkan Tabel (3) menunjukkan bahwa pengembangan Sapi


Sahiwal Cross yang ada di Kecamatan Lambuya terdapat di Desa Awuliti
dan Desa Asaki. Ternak Sapi Sahiwal Cross di Desa Awuliti berjumlah 3
ekor yaitu 2 ekor jantan dan 1 sapi betina, sedangkan di Desa Asaki
terdapat 4 ekor dengan 1 ekor jantan dan 3 ekor betina. Jumlah ini
memberikan gambaran bahwa Sapi Sahiwal Cross yang ada di Kabupaten
Konawe mengalami penurunan populasi. Kejadian ini tentu memberikan
gambaran bahwa perlu adanya tindak lanjut baik pada peternak maupun
pemerintah dalam mempertahankan atau menambah populasi ternak Sapi
Sahiwal Cross.

d) Kabupaten Bombana

Jumlah populasi ternak yang ada di Sulawesi Tenggara


menempatkan Kabupaten Bombana terdapat pada urutan kedua setelah
Kabupaten Konawe Selatan. Jumlah ini memberikan gambaran bahwa
204

secara umum Kabupaten Bombana memiliki potensi besar untuk


pengembangan ternak sapi. Pengembangan ternak sapi yang ada di daerah
ini tidak hanya pada jenis Sapi Bali. Akan tetapi masih terdapat beberapa
jenis sapi lain diantaranya adalah Sapi Sahiwal Cross. Sapi Sahiwal Cross
sampai hari ini masih ditemukan walaupun sudah mengalami persilangan
dengan sapi-sapi lokal. Adapun Sapi Sahiwal Cross di Kecamatan Poleang
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Pengembangan Sapi Sahiwal Cross Kecamatan Poleang Timur

Desa Ternak Sapi Total (Ekor)


Jantan Betina
Bambae 0 1 1
Biru 0 1 1
Jumlah 2
Sumber: Data Lapangan, 2018

Berdasarkan tabel (4) menunjukkan bahwa pengembangan Sapi


Sahiwal Cross terdapat di Desa Bambae dan Desa Biru Kecamatan Poleang
Timur. Di Desa Bambae terdapat 1 ekor betina Sapi Sahiwal Cross dan di
Desa Biru terdapat pula 1 ekor betina sehingga secara keseluruhan
berjumlah 2 ekor.

2. Model Konservasi Sapi Sahiwal Cross di Sulawesi Tenggara

Defenisi konservasi secara umum adalah pengelolaan manusia


terhadap penggunaan biosphere sehingga menghasilkan keuntungan yang
berkelanjutan terhadap generasi sekarang serta mempertahankan
potensialnya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi kebutuhan
yang akan datang. Sementara itu, konservasi terhadap animal diversity
adalah jumlah total semua kegiatan yang berkaitan dengan manajemen
sumber daya genetik tersebut dapat digunakan dan dikembangkan sebaik-
baiknya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan jangka pendek untuk
pangan dan pertanian, dan tetap menjamin keragamannya guna memenuhi
semua kemungkinan kebutuhan jangka panjang.

Ada beberapa alasan atau pertimbangan dalam mengkonservasi


rumpun ternak ruminansia khususnya Sapi Sahiwal Cross, yaitu
205

pertimbangan ekonomi, ilmu pengetahuan, pertimbangan budaya dan


sejarah.

1) Pertimbangan ekonomi

Pertimbangan ini merupakan pertimbangan praktis yang


didasarkan pada asumsi bahwa preservasi terhadap rumpun atau strain
tertentu akan memberikan kontribusi didalam peningkatan efisiensi dan
atau kualitas produksi bagi ternak komersial pada masa mendatang. Hal ini
merupakan pertimbangan yang beralasan karena telah diketahui bahwa
produksi dan pemasaran akan selalu berubah dari waktu kewaktu.
Keuntungan ekonomi dari konservasi sulit untuk diketahui karena
perubahan untuk masa yang akan datang sulit diprediksi. Dari
pertimbangan ekonomi ini maka rumpun yang menjadi calon untuk
dilakukan konservasi pada ternak Sapi Sahiwal Cross mempunyai kriteria
antara lain:

a) Satu sifat, beberapa sifat atau kombinasi beberapa sifat tertentu


yang mempunyai nilai ekonomi penting;
b) Satu sifat, beberapa sifat atau kombinasi beberapa sifat tertentu
yang saat ini kurang mempunyai nilai ekonomi penting, namun di
masa yang akan datang akan menjadi penting;
c) Terdapatnya frekuensi yang tinggi dari satu gen dengan penngaruh
yang besar dari sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi penting;
d) Terdapatnya frekuensi yang tinggi dari suatu genj yang mempunyai
pengaruh besar sifat-sifat yang saat ini kurang mempunyai nilai
ekonomi penting, tetapi kemungkinan dimasa yang akan datang
menjadi penting; dan
e) Sifat yang dimiliki suatu rumpun yang kurang menonjol, namun
apabila disilangkan dengan rumpun lain niharapkan mempunyai
nilai heterosis yang relatif tinggi.

2) Pertimbangan Keilmuan

Pertimbangan keilmuan untuk mempertahankan sumber daya genetik


ternak adalah berdasarkan alasan bahwa setiap populasi mempunyai
keragaman genetik yang berbeda. Hal ini memegang peranan penting
dalam menjelaskan proses biologi. Sehingga apabila keragaman tersebut
telah punah, maka kesempatan untuk kemajuan ilmu pengetahuan juga
206

akan hilang. Pada beberapa kasus keragaman genetik akan berguna


langsung bagi ternak. Tetapi pada kasus lain maka ternak dapat dipakai
sebagai model untuk spesies lainnya. Berdasarkan pertimbangan keilmuan
maka suatu rumpun perlu dikonservasi apabila memenuhi kriteria antara
lain:

a) Apabila dilakukan seleksi mempunyai resiko yang besar;


b) Mempunyai sifat/karakteristik yang jarang dijumpai pada populasi
lain, meskipun sifat tersebut tidak mempunyai nilai ekonomi
penting; dan
c) Apabila terdapat beberapa pilihan, maka yang dikonservasi adalah
rumpun yang paling sedikit terkontaminasi oleh persilangan
dengan rumpun lain. Prioritas diberikan pada populasi lokal atau
rumpun asli pada umumnya silangkan dengan rumpun introduksi.

3) Pertimbngan Kultur dan Sejarah

Pertimbangan kultur dan sejarah mempunyai peranan yang penting


dalam konservasi terhadap suatu rumpun atau terhadap spesies tertentu.
Konservasi terhadap spesies tertentu dapat memberikan bukti visual
warisan suatu bangsa atau wilayah tertentu. Di samping itu, kemungkinan
suatu rumpun tertentu berkaitan dengan suatu tradisi suku bangsa
tertentu. Pertimbangan kultur dan sejarah terhadap konservasi suatu
rumpun apabila memenuhi salah satu kriteria atau lebih:

a) Mempunyai nilai yang nyata secaranasional maupun regional;


b) Mempunyai kelebihan atau kemampuan dalam mempertahan
keseimbangan lingkungan atau ekologi dimana rumpun ini
dibutuhkan dalam preservasi lingkungan yang rentan.
c) Mempunyai nilai dalam agrowisata karena bentuknya yang khusus,
warna, tingkah laku.
d) Dari uraian tersebut diatasterlihat bahwa pertimbangan konservasi
terhadap suatu rumpun didasarkan pada pertimbangan ekonomi,
keilmuan,serta kultur sejarah

3. Metode Konservasi

Ada tiga metode umum program konservasi sumber daya genetik


ternak yang telah dilaksanakan masyarakat pemulia ternak yaitu:
207

a) Mempertahankan populasi ternak hidup


b) Penyimpanan beku materi genetik berupa haploid berupa gamet
yakni semen.
c) Penyimapanan DNA

Perlindungan dan pelestarian (konservasi) plasma nutfah Sapi


Sahiwal Cross merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan
populasi dan memperbaiki produktivitas usaha ternak Sapi Sahiwal Cross
di Sulawesi Tenggara. Model konservasi yang tepat dalam melindungi dan
melestarikan plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross yang hidup adalah
konservasi in-situ/preservasi in-situ yakni dilakukan pembatasan
persilangan yang ketat dengan bangsa sapi-sapi lokal dan upaya
maksimalisasi pelaksanaan teknologi terapan Inseminasi Buatan (IB)
ternak Sapi Sahiwal Cross dengan sapi FH murni sebanyak dua (2) kali
sehingga Sapi Sahiwal Cross memiliki darah tipe perah sebanyak 75%.

Untuk meningkatkan populasi ternak Sapi Sahiwal Cross sebagai


tipe dwiguna penghasil daging dan susu di Sulawesi Tenggara harus
dilakukan penentuan dan pemetaan kawasan konservasi yang tepat.
Beberapa hal yang dilakukan adalah upaya peningkatan populasi ternak
Sapi Sahiwal Cross, peningkatan kualitas SDM peternak, perluasan kebun
Hijauan Pakan Ternak (HPT) serta peningkatan kwantitas pakan penguat
berupa ampas tahu dan ampas kedelai yang dihasilkan dari limbah industri
rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian ini, yang menjadi sasaran kawasan


konservasi plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross sebagai penghasil susu di
Sulawesi Tenggara adalah Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan
dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut memiliki jumlah populasi
Sapi Sahiwal Cross yang tinggi dibandingkan dengan tiga kabupaten yang
menjadi wilayah penelitian ini. Di samping itu, juga mempunyai kualitas
SDM peternak yang baik dan ketersediaan HPT serta ketersediaan limbah
industri rumah tangga seperti ampas tahu dan ampas kedelai yang dapat
memacuh produksi dan produktivitas daging dan susu pada ternak Sapi
Sahiwal Cross.
208

4. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Sahiwal Cross

Pengembangan usaha ternak Sapi Sahiwal Cross dilakukan dengan


pendekatan analisis SWOT. Analisis SWOT yang dimaksud bertujuan untuk
mengetahui strategi yang dapat diterapkan guna terwujudnya
pengembangan usaha sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam
penentuan strategi, langkah utama yang harus dilakukan adalah mampu
mengidentifikasi segala potensi yang bisa menjadi kekuatan dalam
pengembangan usaha. Demikian pula dengan Berdasarkan hasil tinjauan
lapangan, maka strategi pengembangan usaha ternak Sapi Sahiwal Cross
disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Sahiwal Cross

Strategi Program Tujuan


1. Meningkatkan produksi Aplikasi teknologi Meningkatkan
dan produktivitas Sapi terapan Inseminasi produktivitas usaha
Sahiwal Cross Buatan
2. Memperluas jaringan Penguatan Terbentuknya lembaga
pemasaran susu segar kelembagaan secara kelembagaan yang efektif
untuk mendorong efektif dan efisien
peningkatan
pendapatan peternak
Sapi Sahiwal Cross
3. Peningkatan populasi Model konservasi Peningkatan mutu
ternak ternak Sapi Sahiwal genetic dan pertambahan
Cross jumlah populasi
(konservasi in-situ)
4. Meningkatkan kualitas Perbaikan sistem Terjaganya kualitas
produk manajemen yang produk yang baik
baik
5. Memfasilitasi akses Membangun Terjalinnyan hubungan
masyarakat sebagai kemitraan dengan antara masyarakat
pelaku usaha terhadap Perbankan dan sebagai pelaku usaha
lembaga pembiayaan lembaga keuangan dengan lembaga
untuk menambah lainnya keuangan sebagai
modal usaha penyokong modal usaha
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Berdasarkan tabel (5) menunjukkan bahwa terdapat lima strategi


yang akan dilakukan untuk mengembangkan usaha ternak Sapi Sahiwal
Cross. Strategi ini tentu dianggap mampu untuk menjawab permasalahan-
permasalahn serta tantangan yang akan dihadapi oleh peternak. Dari
209

strategi ini diharapkan dapat meningkatkan produksi, populasi ternak Sapi


Sahiwal Cross serta memberikan pendapatan yang maksimal terhadap para
peternak.

5. Output Penelitian

Luaran penelitian adalah sebagai berikut.

1) Untuk meningkatkan populasi dan mempertahankan mutu genetik


ternak Sapi Sahiwal Cross maka akan dilakukan aspek-aspek yang
dapat mendukung pengembangan Sapi Sahiwal Cross di antaranya
adalah (a) identifikasi ketersediaan pakan hijauan dan sisa limbah
rumah tangga, (b) Perlakuan Inseminasi Buatan (IB), (c) perlakuan
khusus terhadap Sapi Sahiwal Cross yang mengalami birahi yang
ditandai dengan kondisi ternak yang gelisah serta terjadi kemerahan
pada vulva. Tindakan ini dilakukan untuk menjaga perkembangan dan
peningkatan populasi Sapi Sahiwal Cross di Sulawesi Tenggara.
2) Untuk menjaga kelangsungan dan populasi ternak Sapi Sahiwal Cross
di daerah Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe Selatan,
maka dilakukan tahapan-tahapan seperti (a) sistem pemeliharaan dan
manajemen yang terarah, (b) ketersediaan kandang uang efektif, (c)
manajemen reproduksi dan perkawinan, (d) pemilihan bibit unggul
serta (e) larangan terhadap pemotongan sapi-sapi betina yang
bunting. Konsep ini dilakukan atas dasar pengalaman sebagai pelaku
usaha
3) Ternak Sapi Sahiwal Cross sebenarnya memiliki potensi untuk
diusahakan karena memiliki jumlah produksi daging yang tinggi jika
dibandingkan dengan sapi lokal.
4) Sapi Sahiwal Cross tidak hanya memproduksi daging akan tetapi bisa
menghasilkan susu dan pupuk. Kondisi ini memberikan gambaran
bahwa Sapi Sahiwal Cross memiliki sumber-sumber yang dapat
memberikan keuntungan untuk diusahakan.
5) Pengenalan mengenai konsep gen dan pewarisan sapi sahiwall cross
akan memabantu masyarakat selaku peternak dalam melakukan
perbaikan mutu genetik dalam memperoleh sifat-sifat unggul.
6) Perlindungan dan pelestarian (konservasi) plasma nutfah Sapi Sahiwal
Cross merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan populasi
dan memperbaiki produktivitas usaha ternak Sapi Sahiwal Cross di
210

Sulawesi Tenggara. Model konservasi yang tepat dalam melindungi


dan melestarikan plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross yang hidup adalah
Konservasi In-Situ/presrvasi in-situ yakni dilakukan pembatasan
persilangan yang ketat dengan bangsa sapi-sapi lokal dan upaya
maksimalisasi pelaksanaan teknologi terapan Inseminasi Buatan (IB)
ternak Sapi Sahiwal Cross dengan sapi FH murni sebanyak dua (2) kali
sehingga Sapi Sahiwal Cross memiliki darah tipe perah sebanyak 75%.
7) Untuk meningkatkan populasi ternak Sapi Sahiwal Cross sebagai tipe
dwiguna penghasil daging dan susu di Sulawesi Tenggara harus
dilakukan penentuan dan pemetaan kawasan konservasi yang tepat.
Beberapa hal yang dilakukan adalah upaya peningkatan populasi
ternak Sapi Sahiwal Cross, peningkatan kualitas SDM peternak,
perluasan kebun Hijauan Pakan Ternak (HPT) serta peningkatan
kuantitas pakan penguat berupa ampas tahu dan ampas kedelai yang
dihasilkan dari limbah industri rumah tangga.
8) Adanya kesepakatan antar-stakeholder yang terkait dalam penetapan
kawasan konservasi plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross sebagai
penghasil susu di Sulawesi Tenggara adalah Kecamatan Konda
Kabupaten Konawe Selatan dengan Pertimbangan bahwa daerah
tersebut memiliki jumlah populasi sahiwal cross yang tinggi
dibandingkan dengan tiga Kabupaten yang menjadi wilayah penelitian
ini, disamping itu juga mempunyai kualitas SDM peternak yang baik
dan ketersediaan HPT serta ketersediaan limbah industri rumah
tangga seperti ampastahu dan ampas kedele yang dapat memacuh
produksi dan produktivitas daging dan susu pada ternak Sapi Sahiwal
Cross.

PENUTUP

1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari laporan tabulasi data dan analisis data
terhadap kegiatan kajian model konservasi plasma nutfah Sapi Sahiwal
Cross penghasil daging dan susu di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah
sebagai berikut:
1) Perlindungan dan pelestarian (konservasi) plasma nutfah Sapi Sahiwal
Cross merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan populasi
dan memperbaiki produktivitas usaha ternak Sapi Sahiwal Cross di
211

Sulawesi Tenggara. Model konservasi yang tepat dalam melindungi


dan melestarikan plasma nutfah Sapi Sahiwal Cross yang hidup adalah
Konservasi in-situ/preservasi in-situ yakni dilakukan pembatasan
persilangan yang ketat dengan bangsa sapi-sapi lokal dan upaya
maksimalisasi pelaksanaan teknologi terapan Inseminasi Buatan (IB)
ternak Sapi Sahiwal Cross dengan sapi FH murni sebanyak dua (2) kali
sehingga Sapi Sahiwal Cross memiliki darah tipe perah sebanyak 75%.
2) Sapi Sahiwal Cross pada umumnya sudah hampir mengalami
kepunahan.
3) Sapi Sahiwal Cross sudah tidak memiliki kemurnian genetik
disebabkan karena sudah mengalami beberapa kali perkawinan
dengan sapi-sapi lokal lainnya.
4) Pengembangan Sapi Sahiwal Cross masih banyak ditemukan di
Kabupaten Konawe Selatan Kecamatan Konda jika dibandingkan
dengan Kabupaten Bombana, Konawe dan Kabupaten Kolaka.

2. Saran

Adapun saran terhadap kegiatan kajian model konservasi plasma


nutfah Sapi Sahiwal Cross penghasil daging dan susu di Provinsi Sulawesi
Tenggara adalah sebagai berikut.

1. Perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap pembatasan


persilangan Sapi Sahiwal Cross dengan bangsa-bangsa sapi lokal.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap ternak Sapi Sahiwal Cross
untuk mengukur keberhasilan hasil persilangan Sapi Sahiwal Cross
dengan Sapi FH tipe perah.
3. Perlu adanya peningkatan populasi ternak Sapi Sahiwal Cross dengan
melalui perbaikan mutu genetik agar terjaga kelestariannya.
4. Perlu adanya binaan terhadap kesadaran masyarakat dalam menjaga
dan melestarikan Sapi Sahiwal Cross.
5. Perlu adanya dukungan kebijakan dari pemerintah terkait terhadap
pengembangan Sapi Sahiwal Cross di Sulawesi Tenggara.
212

DAFTAR PUSTAKA

Aboenawan, L. 1991. Pertambahan Berat Badan, Konsumsi Ransum, dan


Total Digestible Nutrient (TDN) Pellet Isi Rumen Disbanding Pellet
Rumput Pada Domba Jantan. Laporan penelitian. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Akmal. 2000. Pemanfaatan Wastelage Jerami Padi Sebagai Bahan Pakan


Sapi FH Jantan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

A.S. Sudarmono. Bambang. Y Sugeng. 2008. Sapi Potong. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2017. Direktori Perusahaan Pertanian, Rumah


Potong Hewan (RPH) dan Tempat pemotongan Hewan (TPH). Biro
Pusat Statistik, Jakarta

Budi Purbayu Santosa dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan


Microsoft Axcel dan SPSS. Yogyakarta. :Andi Offset.

Board on Agriculture National Research Council. 1993. Managing Global


Genetic Resources. Livestock. Committee on Managing Global
Genetic Resources: Agricultural Imperatives. National
Academy Press, Washington, D.C., USA.

Castle M, Ajemian E. Hospital Infection Control : Principles and


Practice, 2 ed. Canada: John Wiley & Sons, Inc., 2012.

Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Buku Statistik Peternakan.


Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Ensminger, M.E. 1987. Beef Cattle Science, Ed. The Interstate Printers and
Publishers Inc. Danville. Illinois.

FAO. 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity, SCHERF,
B.D. (Ed). Food and Agriculture Organization of the United
Nations, Rome, Italy.

Gunawan, 1993.Sapi Madura. Cetakan Pertama, Kanisius. Yogyakarta.


213

Halim. 2014. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi 4 Salemba Empat. Jakarta

Ponzoni, J. A. M. van Arendonk, dan H. Bovenhuis. 2006. Heritability


estimates and response to selection for growth of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) in low-input earthen ponds. Aquaculture
261 : 479 – 486.

Prihatman, K. 2000. Tentang Budidaya Pertanian: Kedelai. Deputi


Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.

Rasyaf, M., 1994. Beternak Itik Komersil. Kanisius, Yogyakarta.

Rasyid, A. dan Hartati. 2007. Produktivitas Sapi Potong Dara Hasil


Persilangan F1 (PO x Limousin dan PO x Simmental) di
Peternakan Rakyat. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan
Hal. 96-103

Sabrao. 1980. Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Proc. of a


Workshop of the Society for the Advancement of Breeding
Research in Asia and Oceania (SABRAO) held at University of
Tsukuba, Tsukuba Science City, September 3-7, 1979. Tropical
Agriculture Research Center, Ministry of Agriculture, Forestry
and Fisheries, Yatabe, Tsukuba, Ibaraki 305, Japan.

Wahyu. J. 1992. IImu Nutrisi Ternak Unggas. UGM-Press, Yogyakarta.


214

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Dr. Ir. La Panga Mpalasi, M.Si. lahir di Watumelaa Desa


Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna, 31 Mei
1961. Tamat SDN Watumelaa tahun 1974, tamat SMPN
Lasosodo tahun 1977, tamat SMAN 278 Raha tahun 1981.
Pendidikan tinggi lulus (S-1) Sarjana Pertanian (Budidaya
Pertanian) diraih pada tahun 1987. Gelar Magister Sains
(S-2) bidang Agrobisinis diraih pada Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin tahun 1997. Tahun 1999 melanjutkan Pendidikan Program
Doktor (S-3) Ilmu Pertanian dengan Konsentrasi Kajian Tanaman di
Universitas Hasanuddin (1999-2011), transfer ke Program Pascasarjana
UHO pada S3 Pertanian Konsentrasi Agrobisnis tahun 2013 dan meraih
gelar Doktor Ilmu Pertanian Konsentrasi Agrobisnis tahun 2016. Dalam
pengembangan karier, penulis memulai dari (1) memperkarsai Pendirian
dan Kepala Sekolah pertama Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP-
SUPM) Yayasan Bhineka Eka Bhakti Kendari tahun 1988-1993 dan
sekolahnya berubah nama SMKS YPBEB Kendari; (2) Direktur Cabang PT.
Indemeco Consultant, Tim Ahli Penelitian Lingkungan dan Tata Ruang Desa
dan Kota (1990-995); (3) Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Tinggi SULTRA
pada Fakultas Pertanian Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) tahun
1992 sampai sekarang; (4) Pembantu Ketua (I) Bidang Akademik Sekolah
Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Kendari Tahun 1994-1998; (5) Pendiri
dan Direktur AMIK Yapennas Kendari tahun 1998-2001; (6) Dekan
Fakultas Pertanian Unsultra tahun (2001-2009); (7) Pendiri dan Ketua
STIMIK Bina Bangsa Sultra tahun 2001-2002; (8) Ketua STIPER Kendari
periode transisi tahun 2010-2014; (9) Kepala Pusat Kajian Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian (LP) Unsultra Kendari tahun
2010-2014; (10) Ketua STIPER Kendari Periode I dan II tahun 2014-2018
dan 2018-sekarang; (11) Kepala Pusat Kajian Perikanan, Pesisir, dan
Kelautan LPPM Unsultra tahun 2014-2018; (12) Ketua Gugus Kendali Mutu
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian (THP) Fakultas Pertanian
Unsultra tahun 2018-2022.
Penulis pernah menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan
ilmiah antara lain: (1) Pemateri Workshop Penyusunan Action Plann
Pembangunan KPH dan Formulasi Kebijkaan SDM KPH-MODEL di Sultra
215

tahun 2007; (2) Pemateri pada Forum Ilmiah Konsultasi Publik Draft
Roadmap Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Hasil Hutan Bukan
Kayu (IPHHBK) skala kecil menengah berbasis produk unggulan KPHP Gula
Raya Dishut dan Lingkungan Hidup Provinsi Sultra, 25 Juli 2017; (3)
Pemateri pada Forum Ilmiah Pengendalian Mutu dan Penyusunan Jurnal
Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sultra, 21-23
September 2017. Di bidang publikasi ilmiah, ada beberapa karya yang
dimuat di jurnal lokal, nasional, maupun internasional di antaranya (1)
Analisis Proses Produksi dan Mutu Rotan Asalan Kabupaten Konawe
Provinsi Sulawesi Tenggara (Studi Kasus Industri Pengolahan Rotan CV.
Unaaha Indah), Jurnal Agrokompleks, Juni 2011; (2) Pengaruh Varietas dan
Lama Penyimpanan terhadap Mutu Nasi Tumpeng Kadumina, Jurnal
Bertani, Mei 2012; (3) Korelasi Kebiasaan Makan dan Status Gizi terhadap
Prestasi Belajar Anak SD di Kota Kendari, Jurnal Kesehatan Juni 2012; (4)
Analisis Kolaborasi Multipihak dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kec.
Laeya Kabupaten Konawe Selatan (Studi Kasus Implementasi Program
Sertifikasi Forest Stewardship Council), jurnal Agrokompleks, Desember
2012; (5) Analisis Pola Diversifikasi Teknologi Pangan dan Mutu Makanan
Jajanan Anak Sekolah di Kecamatan Poasia Kota Kendari, Jurnal Bertani,
Januari 2013; (6) Analisis Potensi Pengembangan Budidaya Rumput Laut
melalui Pendekatan Kesesuaian Lahan di Kabupaten Konawe Selatan,
Jurnal Agrokompleks, April 2014; (7) Analisis Dampak Kegiatan
Pertambangan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten
Konawe Selatan, Jurnal Agrokompleks, Agustus, 2014; (8) Analysis of
Diversification Patttern and Income of Integrated Farming Develop Cashew
farmers in the Muna Regency. International Journal of Scientific and
Research Publications. Volume 6, Issue 11. November 2016; (9) Kajian
Diversifikasi Usaha Tani Terpadu Jambu Mete di Provinsi Sulawesi
Tenggara, dimuat dalam Jurnal Formasi, Desember, 2017; (10) Perbaikan
Teknik Pengolahan Mete Gelondong dan Diversifikasi Produk Kacang Mete
di Desa Mabodo Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara, Jurnal Sultra Sains, Agustus 2018; (11) Diseminasi Model
Penerapan Teknologi Usaha Ternak Sapi Terintegrasi dengan Tanaman
Jambu Mete di Sultra, Jurnal Formasi, Desember 2018; dan (12) Kajian
Model Konservasi Plasma Nutfah Sapi Sahiwal Cross Dual Porpose Penghasil
Daging dan Susu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Jurnal Formasi, Desember
2019.
216

Karya buku yang ditulis yakni: (1) Teori dan Praktik Kuliah Kerja
Profesi Banchmarking “Panduan Praktis Mahasiswa dan Dosen
Pembimbing Lapangan” (Penerbit Farha, 2020); (2) Agrobisnis dan
Pemberdayaan Masyarakat (Penerbit Kanaka, 2020); (3) Diversifikasi
Usaha Tani Terpadu (Penerbit Kanaka, 2020); dan (4) Entrepreneurship
dalam Usaha Tani Terpadu (Penerbit Kanaka, 2020).

***

Drs. La Selo, S.H., M.H. lahir di Desa Labunti,


Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, 29 Desember
1954. Pendidikan yang pernah ditempuh di SDN
Labunti (1968), SMP Katolik di Raha (1972), SMA
Negeri I Raha (1975), Sarjana Muna Ekonomi Unhas
(1979), Sarjana Ekononi Umum (S-1) Unhas (1982),
Sarjana Hukum UMI (1992), dan Strata dua (S-2)
LAN-UNHAS (1998). Di bidang pelatihan mengikuti
Diklatpim III (1994) Ujung Pandang, Diklatpim II
(2007) LAN; beberapa di antaranya Trainning of Trainers (TOT): Trainning
of trainers LPTPD (1986) Yogyakarta, Trainning of trainers Perencanaan
Peningkatan Kinerja (1994) Makassar.
Riwayat pekerjaan: PNS dpk. Depdagri Wilayah Indonesia Timur
Makassar (1983-2000) Gol. III/a-IV/a dan pindah di Pemda Provinsi
(2001) IV/b sampai pensiun PNS (2013) dalam pangkat Pembina Utama
Gol. IV/e. Riwayat jabatan Kepala Subbagian Kepegawaian SELAPUTDA
(1984-1985), Kepala Subagian Keuangan dan Kepegawaian Diklatwil. UP.
(1986-2001), Kepala Bidang Pengembangan Pegawai BKD Provinsi (2003-
2008), Wakil Kepala Dinas Sosial Provinsi Sultra (2008), Kepala
BAPEDALDA Provinsi Sultra (2008-2009), Staf Ahli Gubernur Sultra (2009-
2013) dan Ketua Forum Staf Ahli Kepala Daerah (2009-2011). Ketua LPM
STIPER Kendari (2013-2014), Pembantu Ketua Bidang Akademik STIPER
Kendari tahun 2014 hingga sekarang, tim supervisi KKP Benchmaking
2014 – sekarang.
Riwayat mengajar/melatih/dosen: Pelatih Inti Perencanaan dan
Tatalaksana Pembangunan Daerah untuk Wilayah Timur Indonesia (1984-
1998). Dosen/pengajar (ketua tim) Diklat Kepemimpinan di Makassar
hingga di Kendari: SEPADA/ADUM, SEPALA/ADUMLA, SEPADYA/SPAMA,
Diklat Teknis dan Fungsional Kegiatan workshop: pembawa makalah
217

Pengelolaan LH Teluk Bone (1998), pembawa makalah Startegi


Pembangunan Ekonomi yang berwawasan Nusantara Menjaga Ketahanan
Nasional dalam Memperkokoh NKRI (2010) Unhalu. Peserta workshop
krisis ekonomi, letter of inten dan reformasi politik (1998, Unhas).
Kepanitiaan: Sekretaris Gladi Manajemen Bina Praja (1996) Kabupaten
Gowa. Sekretaris panitia program kerja sama Kanada–Indonesia dalam
Pengembangan Wilayah Sulawesi (2006), pembimbing penyusun kerangka
Pembangunan Strategis Kabupaten Gorontalo (1998). Selain itu, pernah
menjadi guru di Pesantren Modern IMMIM Makassar (1978-1982), dosen
FE UMI Makassar (1982-2003), dosen FH UMI (1991), dosen di Akademi
Pelayanan Makassar (1979), dosen Diklat AMDAL UNHALU 2008, dosen
STIPER Kendari mulai 2013 sampai sekarang, Ketua Tim Penyusun Statuta
STIPER Kendari (2019). Buku yang pernah ditulis adalah Teori dan Praktik
Kuliah Kerja Profesi Banchmarking “Panduan Praktis Mahasiswa dan
Dosen Pembimbing Lapangan” (Penerbit Farha, 2020).

***

Hardin, S.Pd., M.Si., Lahir di Desa Latugho, Kecamatan


Lawa, Kabupaten Muna (sekarang Muna Barat) tanggal
27 Januari 1987. Menikah dengan Andi Satriani, S.Pd.
dan dikaruniai 3 orang anak sholeha bernama Wafiqah
Al Firzanah Hardin (7 Tahun), Wazirah Al Fikriyah
Hardin (5 Tahun) dan Wafa Al Firdausy Hardin (1
Tahun). Menamatkan Jenjang Sekolah Dasar Negeri
Watumela Tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Lawa Tahun
2003, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lawa Tahun 2005. Kemudian,
melanjutkan jenjang S-1 pada Program Studi Pendidikan dan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah dengan bantuan beasiswa berprestasi Tahun
2009. Kemudian, mengikuti Pendidikan S-2 pada Program Studi Kajian
Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Bali dengan bantuan
beasiswa KTL-Dikti Tahun 2012. Setelah menyelesaikan pendidikan S2
Tahun 2012, kemudian kembali mengabdi dialmamaternya sebagai Staf
Pengajar di Jurusan Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu
Oleo sampai sekarang. Selain, mengajar di Universitas Halu Oleo, pernah
mengajar sebagai Dosen Luar Biasa diberbagai Perguruan Tinggi Swasta di
Kota Kendari di antaranya di Universitas Muhammadiyah Kendari,
218

Akademi Kebidanan Pelita Ibu kendari dan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
Kendari.
Sejak kuliah S1 dan kuliah S2 sampai sekarang, penulis aktif di
lembaga kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan diantaranya pernah
menjadi Ketua Fraksi Dewan Perwakilan Mahasiswa FKIP Unhalu Tahun
2007-2008, Anggota Majelis Permusyiawaratan Mahasiswa Unhalu Tahun
2009, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiya (IMM) Komisariat
IPS-Bahasa Unhalu Tahun 2006-2007, Wakil Ketua Pimpinan Cabang IMM
Kota Kendari Tahun 2007-2008, Wakil Ketua DPD IMM Bali Tahun 2010-
2012, Sekretaris Umum DPD IMM Bali 2012-2014, Wakil Ketua Pimpinan
Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sultra Tahun 2014-2018, Ketua Umum
Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Kendari 2018-2020, Wakil
Ketua KNPI Sultra 2016-2020, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda
Muhammadiyah Sultra 2018-2022 dan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL) Sulawesi Tenggara Tahun 2016-2020. Selain aktif di organisasi
kepemudaan dan organisasi profesi, penulis aktif juga dalam kegiatan-
kegiatan ilmiah baik sebagai pemakalah/pembicara di tingkat local,
nasional maupun internasional. Kegiatan yang pernah diikuti antara lain;
Pembicara pada Pelatihan “Penerapan Model Pengembangan Usaha Tani
Integrasi Sapi Potong dengan Jambu Mete di Sulawesi Tenggara, pada
tanggal 13-16November 2017, pemakalah pada International Conference
On Islam And Local Wisdom (ICLAW) di Kendari Tahun 2017, pemakalah
pada Simposium Internasional Bahasa-Bahasa Lokal, Nasional dan Global,
di Kendari tahun 2016, pemakalah pada Seminar Antarbangsa Ke-6
Arkeologi, Sejarah dan Budaya Di Alam Melayu, di Johor Baru Malaysia
tahun 2017, pemakalah pada Seminar Nasional NITISASTRA 2 di Malang
tahun 2017, pemakalah pada Seminar Nasional “Implementasi Gerakan
Literasi Menuju Masyarakat Mandiri dan Berkemajuan di Porworejo Jawa
Tengah tahun 2017, pemakalah pada Konferensi Internasional Ikatan
Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI) “Penguatan Budaya Lokal
Sebagai Peneguh Multikulturalisme Melalui Toleransi Budaya” di Makassar
Tahun 2017, pemakalah pada The International Postgraduate Research
Conference Islamic Studies, Sosial Sciences and Multiculturalism, di
Manado tahun 2018, pemakalah pada At the International Seminar on
Globalizing Oral Tradition in the Industrial Revolution Era 4.0 di Manado
tahun 2019, Pemakalah pada in the International Conference on
Sumatera’s Local Wisdom “Local Wisdom For Sustainable Development” di
Universitas Sumatera Utara pada tanggal 24-25 Agustus 2017, Pemakalah
219

Seminar nasional Deseminasi Hasil-Hasil Penelitian Dosen dan Mahasiswa


STIPER Kendari pada tanggal 16 Februari 2020, pemakalah pada Seminar
Nasional Online dengan tema “Relasi Sosio-Kultural, Religiusitas dan
Ekologi di Era New Normal” pada Program Studi sosiologi Agama IAIN
Manado pada tanggal 30 Juni 2020. Selain itu, penulis juga aktif menulis
jurnal diantaranya (1) Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik
Kominfo RI BPPKI Manado “Komunikasi Transendental pada Ritual
Kapontasu dalam Sistem Perladangan Masyarakat Etnik Muna” Vol.20 No. 1
Juni 2016; (2) Jurnal Aqlam IAIN Manado “Pesan Dakwah Islam Dalam
Nyanyian Rakyat (Pemaknaan Atas Teks-Teks Kabhanti Kantola Pada
Masyarakat Muna)” Volume 2, No.2 Tahun 2017; (3) ICFSS 2017 “Religious
Study of Katoba Tradition and Its Function in Character Building of Muna
Society” doi: 10.1088/1755-1315/156/1/012023; (4) Majalah Inspirasi
Media Komunikasi dan Informatika” Kearifan Lokal Kabhekasi dalam
Pembuatan Sarung Adat Muna” Terbit Edisi 22 Tahun 2016.
Selanjutnya, penulis juga aktif melakukan penelitian baik
yang dibiayai di Perguruan Tinggi maupun penelitian yang dibiayai oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) diantaranya (1) Campur Kode Bahasa
Indonesia dan Bahasa Muna di Lingkungan Pasar Lambubalano Kecamatan
Lawa Kabupaten Muna Tahun 2009; (2) Ritual Kapontasu pada Petani Padi
Ladang Etnik Muna di Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna Tahun 2012;
(3) Penerapan Model Pengembangan Usahatani Integrasi Sapi Potong
Dengan Tanaman Jambu Mete Di Sulawesi Tenggara, dibiayai Rp
200.000.000,-Balitbang Sultra Tahun 2017; (4) Pengembangan Konsep
Pariwisata dan Brand Tourisme di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara,
dibiayai Rp 300.000.000,-Balitbang Kabupaten Muna Tahun 2017; (5)
Kajian Model Konservasi Plasma Nutfah Sapi Sahiwal Cross Penghasil
Daging dan Susu di Provinsi Sulawesi Tenggara, dibiayai Rp 246.000.000,-
Balitbang Sultra 2018; (6) Revitalisasi Permainan Tradisional pada Sekolah
Dasar di Lingkup Kelurahan Tobemeita Kecamatan Abeli Kota Kendari,
dibiayai Rp.10.000.000,- Dana DIPA UHO Tahun 2018.
Penulis juga sudah menerbitkan beberapa buku di antaranya (1)
Teori dan Praktik Kuliah Kerja Profesi (KKP) Benchmarking (Panduan
Praktis Mahasiswa dan Dosen Pembimbing Lapangan), Penerbit Farha
Pustaka Tahun 2020; (2) Agrobisnis dan Pemberdayaan Masyarakat,
Penerbit CV Kanaka Media Tahun 2020.
***
220

Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum. lahir 10 Juli 1982 di


Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna (kini
Muna Barat), Provinsi Sulawesi Tenggara.
Menamatkan SD 1 Lawa (1995), SLTP Matakidi (1998),
SMA Negeri 1 Lawa (2001). Menempuh pendidikan
sarjana di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia/Daerah FKIP Halu Oleo (2006). Gelar
magister Linguistik (tamat 2009) dan doktor Kajian Budaya (tamat 2013)
diperoleh dari Universitas Udayana. Peserta Sendwich Like di Universitas
Leiden-Belanda selama 4 bulan (September-Desember tahun 2013).
Perjalanan karier sebagai dosen di IAIN Manado, sejak tahun 2016 s.d.
sekarang. Mengampuh mata kuliah bahasa Indonesia, filologi dan studi
naskah sejarah, arkeologi agama/Islam, dan sejarah lisan. Selain mengajar,
aktif juga menulis dan menyunting naskah buku.

***

Dr. Ardianto, S.Pd., M.Pd terlahir pada tanggal 18


Maret 1976 di desa Ara- Bulukumba, adalah anak
kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak Tola
Marala (alm.) dan Ibu Hj. Sadarang Nyura’.
Pendidikan sekolah dasar (SD) ditamatkan di desa
kelahirannya pada tahun 1988. Tahun 1991, ia
menamatkan sekolah menengah pertama pada SMP
Negeri Ara. Tahun 1994, ia menamatkan jenjang sekolah menengah atas
pada SMAN Negeri Bontobahari. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan
jenjang pendidikan tinggi, S1, pada Pendidikan Bahasa Jerman IKIP Manado
dan diselesaikan pada tahun 1999.
Tahun 2003, ia meraih gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
pada Universitas Negeri Manado (dulu IKIP Manado). Tahun 2012, ia
berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia
dengan fokus bidang ilmu pragmatik. Karya ilmiahnya berupa artikel hasil
penelitian dan pemikiran konseptual, dimuat di berbagai jurnal ilmiah dan
prosiding. Ia juga telah menerbitkan beberapa buku antara lain: Pragmatik
Klinis: Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan Bahasa Secara Klinis
(karya terjemahan bersama, Pustaka Pelajar, 2010), Stilistika Pragmatis
(karya terjemahan bersama, Pustaka Pelajar, 2011), Bahasa Indonesia:
221

Manajemen Bahasa dalam Penulisan Karya Ilmiah (UM Press, 2011), Sikap
Bahasa: Kajian Sosiolinguistik (UM Press, 2012), Seni Berpikir Kreatif:
Tingkatkan Kreativitas Berpikir Anda (karya bersama, STAIN Manado
Press, 2013), Food Culture of Southeast Asia: Perspective of Social Science
and Food Science (Kassel University Press, 2017), Khazanah Islam:
Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial (buku Bunga Rampai, Deepublish,
2018), dan Pesan Moderasi Islam dalam Bingkai Multikulturalisme (buku
Bunga Rampai, FUAD IAIN Manado, 2019). Selain menulis buku, ia juga
menjadi editor dan penyelia bahasa beberapa buku dan mitra bebestari
beberapa jurnal ilmiah. Ia juga aktif melaksanakan kegiatan penelitian
dalam bidang pendidikan dan kebahasaan.

Dosen tetap IAIN Manado ini menikah dengan Agustini Buchari,


S.Pd.,M.Pd., gadis asal Kampung Jawa Tondano di Minahasa (populer
dengan sebutan Kampung Jaton), berasal dari keluarga Jawa-Minahasa
yang cikal bakal keturunannya bermula dari pengasingan Kiyai Modjo dan
pengikutnya oleh Belanda ke tanah Minahasa pada tahun 1883.

***

Meiskyarti Luma, M.Pd. lahir 20 Oktober 1979 di Desa


Iluta, Gorontalo. Menamatkan jenjang Sekolah Dasar
Negeri Iluta (1992), Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Batu Da’a (1995), Sekolah Menengah Umum Negeri 3
Gorontalo (1998). Kemudian melanjutkan jenjang S-1 pada
Jurusan Manajemen Pendidikan (2012), dan Jenjang S-2
pada jurusan yang sama pada tahun 2014. Setelah menamatkan pendidikan
pada jenjang Strata 2, pada tahun 2015 lulus sebagai Dosen pada Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Manado dan mengampu mata kuliah
Manajemen Pendidikan. Beberapa tahun mengabdi di IAIN Manado,
dipercayai mengemban amanah sebagai Ketua Program Studi Sejarah
Peradaban Islam (SPI) pada Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN
Manado pada Tahun 2017. Amanah sebagai Ketua Program SPI inilah
menjadi motivasi untuk terus menelaah, mendiskusikan hingga meneliti
tentang sejarah peradaban Islam di Nusantara. Hasilnya, buku ini
tersajikan sebagai bentuk warisan intelektual minimal bagi pengembangan
Program Studi SPI pada masa mendatang. Setelah meniti karir sebagai
222

Ketua Program SPI, saat ini diamanahi tugas sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Manado semenjak tahun 2019 sampai sekarang. Beberapa
tulisan ilmiah telah dipublikasikan (individu maupun tulisan bersama)
pada beberapa prosiding dan jurnal ilmiah, antara lain: Evaluasi
Implementasi Kurikulum 2013 pada Sekolah Dasar Negeri 2 Tabongo
Kabupaten Gorontalo (Studi Evaluatif Berdasarkan Model CIPP), Hubungan
Lingkungan Kerja dengan Stres Kerja di Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan
Batu Da’a Kabupaten Gorontalo. Buku yang pernah ditulis yakni Budaya
Lokal dan Perkampungan Islam (Komparasi Kota Seribu Gereja dan Seribu
Pura (Penerbit Farha, 2019).

***

Dr. Mayske Rinny Liando, S.Pd., M.Pd. lahir 30 Mei


1972 di Minahasa Selatan. Menempuh pendidikan
sarjana di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di IKIP Manado (tamat, 1997). Gelar magister
Pendidikan dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar (tamat
2008) di Universitas Negeri Malam dan doktor Kajian
Budaya (tamat 2013) diperoleh dari Universitas Udayana. Dosen di
Universitas Negeri Manado. Selain dosen juga aktif meneliti dan menulis
buku/jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional.

***

Anshar, S.Pi., M.Pi. lahir di Latugho, 30 Agustus 1981.


Menyelesaikan pendidikan S-1 di Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Universitas Brawaijaya
Malang (2005) dan Magister Ilmu Perikanan, Universitas
Haluoleo Kendari (2018). Sejak 2019 tercatat sebagai
dosen tetap di Jurusan Akuakultur Bahan Pangan dan
Obat, Fakultas Sains dan Teknologi, Institut Teknologi dan Kesehatan
Avicenna Kendari. Publikasi ilmiah yang sudah dihasilkan “Pengaruh
Substitusi Tepung Kedelai (Glacine Max) dengan Tepung Daun Kelor
(Moringa Oleifera, Lam) terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Ikan Bandeng (Chanos Chanos) (2018). Aktif sebagai “penggiat kelor” di
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
223

Sri Inrawati Hafili lahir di Muna pada 8 Januari 1985.


Menyelesaikan pendidikan S1 pada Program Studi
Manajemen Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas
Kehutanan Universitas Hasanuddin (2008). Magister
Pertanian pada Program Studi Agronomi Universitas Halu
Oleo, Kendari (2015). Mulai tahun 2015 sampai sekarang
tercatat sebagai dosen tetap pada Program Studi
Kehutanan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Kendari. Selain di
STIPER, ia juga menjadi dosen tetap non PNS pada Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo (2016-
2019). Aktif di Organisasi Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)
Sultra (2016-2019).

***

Sani Wanti, lahir di Boro-Boro pada 01 Januari 1991. Menyelesaikan


Pendidikan S1 pada Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas
Halu Oleo (2012), Magister Sains pada Program Studi Agribisnis Minat
Peternakan Universitas Halu Oleo (2014).

Sejak tahun 2015 sampai sekarang tercatat sebagai dosen tetap pada
Program Studi Peternakan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER)
Kendari. Selain sebagai dosen, ia mendapat tugas tambahan sebagai
Sekertaris Program Studi Peternakan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
(STIPER) Kendari (2015-2019). Beberapa publikasi ilmiah yang telah
dihasilkan diantaranya : Studi Residu Antibiotik Daging Broiler yang
Beredar di Pasar Tradisional Kota Kendari (2012), Preferensi Konsumen
Telur Puyuh Kota Kendari (2014) dan Penampilan Reproduksi Kambing
Peranakan Etawa (PE) di Kelurahan Watubangga Kecamatan Baruga Kota
Kendari (2020).
224

Anda mungkin juga menyukai