Anda di halaman 1dari 236

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357936356

Buku Membangun Pertanian dan Pangan Untuk Mewujudkan Kedaulatan


Pangan

Book · January 2022

CITATIONS READS

2 54

5 authors, including:

Syamsul Rahman
Universitas Islam Makassar
20 PUBLICATIONS   49 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Procurement of books on traditional food View project

Procurement of agricultural and food books View project

All content following this page was uploaded by Syamsul Rahman on 19 January 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEMBANGUN PERTANIAN DAN
PANGAN UNTUK MEWUJUDKAN
KEDAULATAN PANGAN
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
MEMBANGUN PERTANIAN DAN
PANGAN UNTUK MEWUJUDKAN
KEDAULATAN PANGAN

Dr. Syamsul Rahman, S.TP, M.Si.


MEMBANGUN PERTANIAN DAN PANGAN UNTUK MEWUJUDKAN
KEDAULATAN PANGAN

Syamsul Rahman

Desain Cover : Dwi Novidiantoko


Tata Letak Isi : Ika Fatria
Sumber Gambar : www.pexels.com

Cetakan Pertama: Agustus 2018

Hak Cipta 2018, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2018 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

RAHMAN, Syamsul
Membangun Pertanian dan Pangan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan/oleh
Syamsul Rahman.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Agustus 2018.
xii, 221 hlm.; Uk:15.5x23 cm

ISBN 978-602-475-684-0

1. Pertanian I. Judul
630
KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.


Buku yang berjudul Membangun Pertanian dan Pangan
untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan yang ditulis Dr. Syamsul
Rahman, S.TP, M.Si ini cukup komprehensif dan menarik serta
memiliki keunikan. Dikatakan komprehensif karena buku ini
mengupas hal yang konseptual dan menawarkan ide-ide kreatif
dalam rangka pembangunan pertanian dan pangan secara
lengkap. Sedangkan dikatakan unik, karena tidak hanya membahas
pertanian dan pangan dari aspek hulu sampai hilirnya, namun juga
membahasnya dari aspek pola konsumsi pangan dan gizinya.
Dengan mengulas data dan kajian yang faktual membuat
buku ini enak dibaca, selain berisi ulasan global tentang
perkembangan pertanian dan pangan dunia, terkadang juga
berbicara mengenai muatan-muatan lokal yang dilakukan
masyarakat dalam pengembangan pertanian dan pangan baik
dimasa lalu, dimasa sekarang, maupun dimasa yang akan datang.
Menariknya, dengan membaca buku ini tidak saja memperoleh
pengetahuan teoritik, namun juga bisa langsung menerapkannya
dalam dunia usaha dengan pendekatan konsep agribisnis dan
agroindustri.
Untuk itu, buku ini menjadi bagus bukan saja menjadi buku
referensi untuk mata kuliah Pembangunan Pertanian dan mata
kuliah Pangan dan Gizi, namun bisa juga menjadi referensi untuk
mata kuliah lainnya seperti mata kuliah Pengantar Kewirausahaan,
Manajemen Agribisnis, dan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian.
Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi usaha dan kerja keras
yang dilakukan penulis, dengan diterbitkannya buku ini. Semoga

pg. v
karya ini dapat disusul dengan karya-karya lainnya dari Dr. Syamsul
Rahman, S.TP, M.Si sebagai perwujudan sumbangsih pemikiran
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
pengembangan pertanian dan pangan di Indonesia.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Dr. Ir. La Sumange, M.Si


Dekan Fakultas Pertanian UIM

pg. vi
KATA PENGANTAR

Ide awal penulisan buku ini berasal dari keprihatinan


penulis akan minimnya buku referensi tentang Pertanian dan
Pangan secara komprehensif. Karena ketersediaan buku referensi
akan memperlancar proses pembelajaran khususnya membantu
mahasiswa dan siapa saja yang ingin belajar dan berminat
memahami seluk beluk pertanian dan pangan. Selain itu saran dari
rekan-rekan sesama dosen yang menyatakan kenapa karya-karya
dalam bentuk artikel yang telah dimuat dibeberapa media massa
tidak diterbitkan dalam bentuk buku, supaya dapat dijadikan
sebagai bahan referensi.
Sehingga buku ini merupakan kumpulan artikel tentang
pertanian dan pangan yang telah dimuat di berbagai media massa
seperti Harian Fajar, Tribun Timur, Pedoman Rakyat, Radar Sulbar,
dan lain-lain. Penulis membagi tulisan dalam buku ini menjadi 5
bagian, yaitu: 1) Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian, 2)
Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri, 3) Ketahanan dan
Kedaulatan Pangan, 4) Mutu dan Keamanan Pangan, dan 5) Aspek
Pola Konsumsi Pangan dan Gizi.
Buku ini dapat digunakan terutama oleh mahasiswa strata
satu yang menekuni bidang pertanian, agribisnis dan agroindustri,
pangan, dan gizi, serta teknologi pengolahan hasil pertanian.
Selain itu, buku ini dapat juga dimanfaatkan oleh para praktisi
yang berkecimpung di bidang industri pangan, jasa boga,
laboratorium uji mutu pangan, dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bergerak di bidang pertanian dan pangan.
Untuk itu, berbagai sumbangsaran yang bertujuan untuk
penyempurnaan isi buku ini dengan ikhlas akan diterima sebagai
umpan balik untuk bahan evaluasi manfaat buku bagi pembaca.
Semoga buku ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran positif

pg. vii
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian dan
pangan di Indonesia.

Makassar, Juli 2018

Dr. Syamsul Rahman, S.TP, M.Si.

pg. viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR ............................................................ v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

Bagian Satu
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN ................................. 1
1. Arti Pentingnya Lahan Pertanian bagi Petani .......................... 2
2. Menggenjot Produksi dengan Padi Hibrida .............................. 5
3. Peran Teknologi Pertanian dalam Membangun
Pertanian ........................................................................................... 9
4. Konsep Tripilar dalam Membangun Pertanian
Pedesaan ........................................................................................ 12
5. Menurunnya Minat Generasi Muda masuk PT
Pertanian ........................................................................................ 20
6. Era Kebangkitan Penyuluh Pertanian ...................................... 25
7. Saatnya Inovasi Pertanian Berbasis ICT................................... 29
8. Sulawesi sebagai Kawasan Pengembangan Jagung ............ 32
9. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi
Pangan............................................................................................. 36
10. Menyikapi Kebijakan Impor Beras ............................................ 42
11. Pemimpin yang Pro Petani dan Pertanian .............................. 46
12. Menyikapi Ancaman Krisis Pangan Global .............................. 49
13. Dampak Kenaikan Harga Pangan Dunia.................................. 54

pg. ix
Bagian Kedua
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI ....................... 58
1. Prospek Pengembangan Agroindustri Sawit ......................... 59
2. Potensi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Barat .............. 63
3. Orientasi Pengembangan Agribisnis Sulawesi
Selatan............................................................................................. 68
4. Pengembangan Biofuel Berbasis Agribisnis .......................... 72
5. Potensi Pengembangan Agroindustri Berbasis
Kelapa .............................................................................................. 75
6. Prospek UMKM Bidang Agroindustri ....................................... 79
7. Keunggulan Produk Olahan Kakao bagi Kesehatan............. 83
8. Tingkatkan Konsumsi Coklat melalui Hilirisasi
Industri Kakao................................................................................ 86
9. Bangkitkan Spirit Agroentreprenuership Generasi
Muda ................................................................................................ 89
10. Memacu Ekonomi Kreatif Berbasis Kuliner ........................... 92

Bagian Ketiga
KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN ........................................ 95
1. Menyoal Kebijakan Ketahanan Pangan ................................... 96
2. Diversifikasi Mewujudkan Ketahanan Pangan ...................... 99
3. Urgensi Lahan untuk Mewujudkan Kedaulatan
Pangan........................................................................................... 102
4. Pengembangan Pangan Lokal Mewujudkan
Kadaulatan Pangan .................................................................... 105
5. Momentum Kebangkitan Kedaulatan Pangan .................... 110
6. Percepatan Kedaulatan Pangan melalui
Pemberdayaan Petani ............................................................... 115
7. Percepatan Penganekaragaman Pangan dengan
Sukun ............................................................................................. 122

pg. x
8. Menyiasati Melambungnya Harga Kebutuhan
Pangan........................................................................................... 126
9. Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Minimarket ........... 129
10. Biji Palado sebagai Sumber Karbohidrat Alternatif ........... 133

Bagian Keempat
MUTU DAN KEAMANAN PANGAN ....................................................... 136
1. Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan .......................... 137
2. Standar Mutu dan Tantangan Keberhasilan EPA ................ 142
3. Kesiapan Mutu dan Keamanan Pangan Menghadapi
AEC ................................................................................................. 147
4. Permasalahan Mutu dan Produktivitas Kakao .................... 152
5. Mencermati Mutu Beras yang Beredar di Pasaran ............. 155
6. Ekspor Buah-Buahan Terkendala Mutu dan
Keamanan Pangan ...................................................................... 158
7. Dampak Penggunaan Plastik sebagai Bahan
Kemasan........................................................................................ 161
8. Ancaman di Balik Penggunaan BTP Terlarang .................... 168
9. Keamanan Pangan di Balik Kasus Formalin .......................... 173
10. Bahaya Penggunaan Rhodamin B dan Boraks ...................... 177

Bagian Kelima
ASPEK POLA KONSUMSI PANGAN DAN GIZI .................................... 183
1. Kaitan Gizi Buruk, Pangan dan Kemiskinan .......................... 184
2. Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas ........................ 188
3. Pentingnya Konsumsi Pangan Berserat saat
Berpuasa ....................................................................................... 192
4. Batasi Konsumsi Pangan Berkadar GGL Tinggi.................... 195
5. Sehat dan Produktif Berpuasa dengan Pangan B3A.......... 199
6. Pentingnya Konsumsi Makanan Bergizi Seimbang ............ 203

pg. xi
7. Kaitan Kurban, Asupan Gizi dan Tingkat Konsumsi
Daging ........................................................................................... 206
8. Tingkatkan Konsumsi Susu dengan Aneka
Olahannya..................................................................................... 209
9. Wujudkan Makassar sebagai Tujuan Wisata Kuliner .......... 213

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 216


RIWAYAT HIDUP PENULIS...................................................................... 221

pg. xii
Bagian Satu

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN


PERTANIAN

pg. 1
1. Arti Pentingnya Lahan Pertanian bagi Petani

24 SEPTEMBER inilah lahirnya petani Indonesia. Sebab, pada hari


yang sama 1960 lalu, dibuat satu kebijakan Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang hak-
hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas sumber-sumber
agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran petani dan bangsa. Penetapan Hari Tani Nasional
berdasarkan keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus
1963 Nomor 169/1993, menandakan pentingnya peran dan posisi
petani sebagai entitas bangsa.
Indonesia yang dikenal memiliki tanah yang subur, bakal
terancam menjadi salah satu negara pengimpor bahan pangan
dunia jika lahan pertaniannya secara perlahan namun pasti terus
berkurang dan beralih fungsi. Sebab berkurangnya lahan pertanian
membawa pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan dalam
negeri. Konversi atau perubahan fungsi lahan pertanian di
Indonesia yang tiap tahun mencapai 100 ribu hektar sangat
mengkhawatirkan yang tidak sebanding dengan pencetakan
sawah baru pemerintah yang hanya mencapai 60 hektar. Hal ini
berdampak pada persoalan ketahanan pangan yang mau tidak
mau harus didukung lahan yang produktif.
Secara harfiah lahan pertanian adalah bidang lahan yang
digunakan untuk usaha pertanian. Sedangkan lahan itu sendiri
adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang
mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi,
dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat
pengaruh manusia. Sementara pengertian petani adalah setiap
warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan
lahan untuk komoditas pertanian di lahan pertanian.

pg. 2
Arti lahan bagi Petani
Sumberdaya lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang
terdiri atas iklim, topografi, hidrologi dan vegetasi dimana pada
batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan
lahan (Rayes, 2007). Dengan demikian dalam pengertian lahan,
tanah termasuk didalamnya. Rayes (2007) mendefinisikan istilah
tanah dengan memiliki tiga pengertian. Pertama, tanah sebagai
media tumbuh tanaman. Kedua, tanah sebagai benda alami tiga
dimensi di permukaan bumi yang terbentuk dari interaksi antara
bahan induk, iklim, organisme, dan topografi dalam kurun waktu
tertentu, serta Ketiga, tanah sebagai ruangan atau tempat di
permukaan bumi yang digunakan manusia untuk melakukan segala
macam aktivitasnya.
Lahan memiliki berbagai manfaat, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Iqbal dan Soemaryanto (2007)
menyatakan bahwa lahan difungsikan sebagai tempat manusia
beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang
pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok
tanam (pertanian dan perkebunan), selain itu lahan pertanian juga
bermanfaat baik secara sosial dan ekonomi maupun lingkungan.
Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan
tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya
lainnya. Sedangkan secara ekonomi, lahan pertanian adalah
masukan paling esensial dalam keberlangsungan proses produksi.
Sementara secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya
relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan.
Tantangan utama masyarakat abad 21 adalah bagaimana
mengatasi kesenjangan yang semakin besar antara permintaan
dan ketersediaan sumber daya alam seperti lahan dan air yang
semakin langka. Kedua sumber daya tersebut sangat vital bagi
kehidupan masyarakat, termasuk peranannya untuk mendukung
ketahanan pangan nasional.

pg. 3
Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan ancaman yang serius terhadap
ketahanan pangan nasional, karena dampaknya bersifat
permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain
di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali
menjadi sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah
baru di luar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengonpensasi
kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama
untuk membangun lahan persawahan dengan tingkat
produktivitas yang tinggi.
Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan
penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu
menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan
permanen. Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan
lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul
akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna
tanah. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
tataguna tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi
lahan, khususnya lahan pertanian. Tantangan yang tidak ringan
tentunya bagi pemerintah dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya lahan (agraria). (Dimuat di Harian Fajar, 24
September 2013).

pg. 4
2. Menggenjot Produksi dengan Padi Hibrida

PENCANANGAN gerakan peningkatan produksi padi dua juta ton


pada tahun 2007, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
telah dilakukan di Gorontalo. Presiden mengajak para petani di
beberapa provinsi, khususnya provinsi yang selama ini menjadi
daerah lumbung padi dan surplus beras, seperti Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo sendiri
untuk menggenjot dan meningkatkan produksi pangan, terutama
padi.
Peningkatan produksi dengan target 2 juta ton padi, di
pandang perlu karena pengalaman beberapa tahun terakhir ini,
terjadi ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan,
serta faktor musim yang berpengaruh pada hasil panen dan
produksi tiap tahunnya. Salah satu hal yang penting, dalam rangka
memenuhi target yang telah dicanangkan tersebut adalah
mengadopsi teknologi dan inovasi baru, terutama pemanfaatan
benih unggul. Direktur Ekonomi Politik Brighten Institute,
Hermanto Siregar (2007), mengingatkan perlunya mengintroduksi
benih baru bagi komoditi pangan, khususnya beras. Selama 20
tahun terakhir, sejak swasembada beras tahun 1984, kenaikan
produktivitas beras kita kurang dari 0,5 ton per hektar.
Untuk itu diperlukan terobosan baru untuk menggenjot
dan meningkatkan produksi. Negara-negara konsumen beras
lainnya, seperti India dan Tiongkok telah lama menyadari besarnya
kebutuhan beras. Mereka terus mencari jenis padi
berproduktivitas tinggi, dan jawaban yang mereka peroleh adalah
pemanfaatan padi hibrida. Terkait dengan hal tersebut, program
jangka panjang yang mesti kita lakukan untuk mengamankan
produksi beras dalam negeri, salah satunya dengan memanfaatkan
padi hibrida, menggantikan padi non-hibrida.

pg. 5
Hal tersebut ditunjang dengan dilepaskannya 29 varietas
padi hibrida oleh pemerintah. Namun dari 11 perusahaan swasta
dan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang menyediakan
benih, baru 5 lembaga yang mencoba memproduksi benihnya di
dalam negeri. Dengan menanam padi hibrida, diharapkan dapat
menjadi solusi untuk menggenjot peningkatan produksi padi di
Indonesia. Dari pengalaman petani yang sudah mencoba menanam
benih padi hibrida berlabel Arize Hibrida Hibrindo R-1, produksinya
cukup tinggi, mencapai 10 – 12 ton per hektar gabah kering panen
(GKP). Sementara produksi rata-rata tingkat nasional cuma 6 ton
GKP per hektar.

Belajar dari Tiongkok


Sebanyak 60 persen lahan padi di Tiongkok telah ditanami
padi hibrida, sehingga produktivitas rata-ratanya 10 ton per
hektar. Meskipun demikian, pemerintah Tiongkok hingga kini
tetap memberikan subsidi untuk mendorong penemuan hibrida
baru. Di Tiongkok produksi benih padi hibrida telah membentuk
suatu sistem. Tetua benih disediakan lembaga penelitian tiap
provinsi. Sedangkan proses produksi benihnya sendiri dikelola
perusahaan benih yang memang mempunyai basis produksi benih.
Perusahan-perusahaan ini mengikat kerjasama dengan petani-
petani terampil untuk memproduksi dari musim ke musim.
Perencanaan produksi dan pemasarannya di lakukan para
produsen benih tersebut. Sesudah produksi benih secara
komersial dimulai, pemerintah pusat (Tiongkok) memberikan
subsidi khusus bagi petani benih untuk menutup biaya benih dan
pupuk yang masih tinggi. Tujuannya merangsang pemanfaatan
benih padi hibrida oleh petani dan membuat petani terbiasa
menanamnya. Akselerasi produksi benih juga dilakukan melalui
subsidi.
Setelah beberapa tahun subsidi berjalan, perusahaan benih
makin banyak hingga sekarang tak kurang 10.000 perusahaan dan
harga benih tak lagi mahal. Kemudian pemerintah Tiongkok

pg. 6
mengalihkan subsidi ke lembaga penelitian untuk mendorong
penemuan varietas baru dan riset lain di tiap provinsi. Indonesia
bisa menghemat waktu dalam pengembangan padi hibrida.
Undang saja pakar-pakar hibrida dari Tiongkok dan negara lain
untuk melatih para peneliti lokal di setiap provinsi. Latih petani
dalam budidaya benih padi hibrida karena disinilah salah satu
hambatan yang cukup besar. Bentuklah basis produksi benih pada
areal dan oleh petani terampil yang tetap dalam jangka panjang.

Saatnya beralih ke Hibrida


Menanam padi hibrida tidak jauh beda dengan IR 64 atau
padi unggul lainnya. Satu yang paling menarik, padi hibrida itu
benihnya irit yang hanya 15 kg per hektar, tapi menawarkan
keuntungan lebih. Di banding padi biasa, produktivitas padi hibrida
25 – 30 persen lebih tinggi, sehingga peningkatan keuntungan
petani juga akan naik. Untuk itu, bertanam padi hibrida bisa jadi
pilihan bagi petani. Hasil lebih banyak, rasa lebih enak,
budidayanya mudah, tahan penyakit, dan yang terpenting harga
jualnya bagus. Begitulah yang dirasakan Muryadi, petani padi
hibrida di Dusun Kebonsari Desa Ngabruk Kecamatan
Sumberpucung Kabupaten Malang Jawa Timur.
Hasil yang di dapat Muryadi sekitar 10 ton per hektar.
Sementara padi biasa paling hanya 7 – 8 ton per hektar. Ia
mengaku mulai menanam padi hibrida pada September 2005 atas
tawaran Bayer CropScience, produsen padi hibrida. Waktu itu ia
diberi contoh benih padi hibrida Arize Hibrida Hibrindo R-1.
Kerjasama penanaman lalu dilakukan di lahan milik Muryadi seluas
1 hektar. Sementara bibit dan pupuk serta obat-obatan di pasok
pihak Bayer CropScience. Menurut Muryadi, walau bibit harganya
Rp 30.000 per kg, tapi dia mau karena hasilnya menguntungkan
lebih banyak. Dalam satu hektar butuh 15 kg, jadi kebutuhan bibit
Rp 450.000. Sehingga dengan hasil 10 ton GKP, berarti masih
menguntungkan.

pg. 7
Lain lagi pengalaman Yos N. Wartabone, petani asal
Suwawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalao. Akhir
Oktober 2006 lalu, memanen padi Hibrida Arize Hibrindo R-1,
hasilnya sangat memuaskan. Menurut Pak Yos, baru kali ini
hasilnya lebih dari 11 ton GKP per hektar, dibanding sebelumnya
hanya 4 – 5 ton pada lahan yang sama. Saat ini petani asal
Gorontalo ini telah menyiapkan 25 hektar lahan untuk menanam
Arize Hibrindo R-1. Kepercayaannya terhadap jenis padi hibrida
tersebut, tidak bisa diragukan karena sudah terbukti paling
unggul. Disamping hasilnya tinggi, hama penyakit kurang, serta
rasa nasinya lebih enak, harum, dan tidak keras bila dingin.
Selain itu kebutuhan benihnya cukup 15 kg per hektar,
karena cukup satu bibit perlubang tanam dan anakannya banyak.
Akarnya panjang, dan responsif terhadap pupuk, batang besar
tidak mudah roboh, daun hijau gelap, serta malai panjang terisi
lebih dari 350 butir. Daun bendera panjang tidak disukai hama
burung. Arize pun bisa ditanam pada segala musim asalkan
tersedia air.
Karena itu, wajar bila petani yang berjiwa wirausaha, untuk
beralih dan memilih mengembangkan padi hibrida, terutama
sawah yang telah beririgasi teknis. Pengalaman petani yang telah
lebih dahulu menanamnya, disamping hasilnya jauh lebih
menguntungkan hingga 35 persen dari padi biasa (non-hibrida),
juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan
pada akhirnya dapat mengentaskan petani dari garis kemiskinan.
(Dimuat di Harian Fajar, 26 Pebruari 2007).

pg. 8
3. Peran Teknologi Pertanian dalam Membangun
Pertanian

PERTANIAN telah membuktikan dirinya sebagai salah satu sektor


pembangunan yang berperan sangat menonjol menghantar
Indonesia menjalani dan melewati masa krisis. Hal ini perlu
disosialisasikan dan dipelihara dengan baik, terutama untuk
menimbulkan kesadaran nasional bahwa sektor pertanian adalah
sektor strategis unggulan dalam pembangunan nasional.
Pemanfaatan dan penguasaan teknologi pertanian berkaitan
langsung dengan peningkatan produktivitas dan penciptaan nilai
tambah. Teknologi dan kualitas sumber daya manusia merupakan
faktor penentu utama daya saing nasional suatu negara.
Lantas seperti apa teknologi yang tersedia dan dibutuhkan
sektor pertanian Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan
nilai tambah?. Faktor utama menentukan keberhasilan
pembangunan di bidang pertanian adalah keterkaitan mata rantai
kegiatan dari hulu sampai hilir dengan penerapan teknologi. Tanpa
keterkaitan erat, setiap kegiatan akan berjalan sendiri-sendiri dan
terkotak-kotak yang pada gilirannya akan menghambat kegiatan
pembangunan pertanian secara keseluruhan.

Peran Teknologi Pertanian


Peranan teknologi pertanian cukup menonjol untuk bisa
memberikan driving force bagi pembangunan pertanian, khususnya
untuk menahan ancaman-ancaman sekaligus memanfaatkan
peluang-peluang yang ditimbulkan oleh fenomena globalisasi.
Peranan teknologi pertanian antara lain adalah dalam usaha
peningkatan dan penjaminan mutu, baik mutu produk, kemasan,
dan penampilan produk secara keseluruhan. Disamping itu,
pemilihan dan penggunaan teknologi secara tepat akan

pg. 9
berpeluang untuk menekan biaya produksi, menekan harga jual,
sehingga akan berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing.
Karena itu, teknologi pertanian yang harus dikembangkan sangat
beragam, dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, dibutuhkan
bioteknologi untuk mengembangkan benih, dan teknologi
budidaya yang tepat sasaran, yaitu teknologi yang sesuai
(appropriate) untuk segmen tertentu, apakah petani dengan skala
kecil, menengah atau besar. Di sektor hilir, teknologi penanganan
bahan, pengolahan dan pengemasan merupakan teknologi yang
dibutuhkan.
Pengembangan teknologi harus berorientasi pada sasaran,
sesuai dengan kebutuhan (client oriented demand). Tak jadi soal
apakah teknologi sederhana bahkan tradisional, menengah atau
modern, yang penting dibutuhkan masyarakat. Salah satu persepsi
yang salah selama ini adalah pangan diidentikkan dengan beras.
Sehingga konsumsi beras digenjot dan segala daya upaya
difokuskan pada peningkatan produksi beras. Sementara
Indonesia sebenarnya memiliki daerah-daerah yang kaya potensi
makanan pokok (staple food) lain, misalnya ubi jalar di Papua, sagu
di Maluku, jagung di Madura dan sebagainya. Padahal pemerintah
pernah mengeluarkan Inpres tentang penganekaragaman pangan,
namun sosialisasi dan implementasinya tidak jalan.
Kasus lain yang berkaitan dengan pentingnya pemanfaatan
dan penguasaan teknologi pertanian adalah kenaikan bobot rata-
rata sapi pedaging Indonesia hanya sebesar 0,5 kg/hari/ekor,
dengan input teknologi yang tepat berpotensi untuk ditingkatkan
mendekati produktivitas ternak sapi di Australia sebesar 1,55
kg/hari/ekor. Demikian pula dengan produktivitas usahatani padi
yang di Indonesia baru sebesar 4,5 ton/ha. Dapat dilipat gandakan
menyamai produktivitas di Vietnam, yaitu sebesar 8 ton/ha
dengan mengaplikasikan teknologi yang tepat.

Urgensi Inovasi Teknologi


Dengan sumberdaya yang sangat terbatas dan dalam
tatanan pasar yang sangat kompetitif, sumber pertumbuhan dan

pg. 10
pembangunan pertanian (agribisnis) yang dapat diandalkan adalah
inovasi teknologi. Inovasi teknologi sangat diperlukan untuk
meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas, sehingga
dapat memacu tidak hanya pertumbuhan produksi, tetapi juga
sekaligus meningkatkan daya saing. Inovasi teknologi juga
diperlukan dalam pengembangan produk (product development)
dalam rangka peningkatan nilai tambah, diversifikasi produk dan
transformasi produk sesuai dengan preferensi konsumen. Dengan
demikian, inovasi teknologi mempunyai peran yang sangat vital
untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang dinamis, efisien, dan berdaya saing tinggi.
Suryana (2008) menjelaskan ada lima syarat mutlak yang
harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat tumbuh-
berkembang secara progresif. Pertama, adanya pasar bagi produk-
produk pertanian (agribisnis). Kedua, teknologi yang senantiasa
berubah. Ketiga, tersedianya sarana dan peralatan produksi secara
lokal. Keempat, adanya perangsang produksi bagi produsen, dan
Kelima, adanya fasilitas transportasi. Terkait dengan teknologi
yang senantiasa berubah adalah inovasi teknologi (inovasi re-
inovasi teknologi), agar sektor pertanian dapat berkembang.
Tanpa adanya inovasi teknologi secara terus menerus,
pembangunan pertanian akan terhambat, walaupun keempat
syarat mutlak lainnya telah terpenuhi.
Tak kalah pentingnya, teknologi yang akan dikembangkan
sebaiknya yang telah berakar di masyarakat. Contohnya Jepang,
negara itu sangat maju di bidang bioteknologi, karena teknologi
fermentasi secara tradisional telah berkembang sejak lama.
Banyak industri berbasis produk biotek, dulunya merupakan
industri fermentasi kecap. Teknologi serupa sebenarnya juga
berakar di Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan.
Misalnya, industri komponen pembangkit citarasa dapat
dikembangkan dari industri kecap, tauco, atau tape. (Dimuat di
Media Online Masalembo.com, 21 Maret 2018).

pg. 11
4. Konsep Tripilar dalam Membangun Pertanian
Pedesaan

PEMBANGUNAN pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting


dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor
pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena
justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain
pertumbuhannya negatif. Beberapa alasan yang mendasari
pentingnya pertanian di Indonesia: (1) potensi sumberdayanya
yang besar dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan
nasional cukup besar, (3) besarnya penduduk yang
menggantungkan hidupnya pada sektor ini, dan (4) menjadi basis
pertumbuhan di pedesaan.
Berdasarkan pada fakta dan kenyataan dilapangan, justru
kuatnya aksesibilitas pada investor asing/swasta nasional
dibandingkan0 dengan petani kecil dalam pemanfaatan
sumberdaya pertanian di Indonesia, untuk itu dipandang perlu
adanya grand strategy dalam membangun pertanian pedesaan
melalui pendekatan konsep sistem agribisnis – agroindusti – dan
agrowisata (tripilar). Melalui konsepsi ini, maka diharapkan mampu
menumbuhkan sektor pertanian pedesaan, sehingga pada
gilirannya mampu menjadi sumber pertumbuhan baru bagi
perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pencapaian
sasaran, antara lain : (1) mensejahterakan petani, (2) menyediakan
pangan, (3) sebagai wahana pemerataan pembangunan untuk
mengatasi kesenjangan pendapatan antar masyarakat maupun
kesenjangan antar wilayah, (4) merupakan pasar input bagi
pengembangan agroindustri dan agrowisata, (5) menghasilkan
devisa, (6) menyediakan lapangan pekerjaan di pedesaan, (7)
peningkatan pendapatan nasional, dan (8) tetap mempertahankan

pg. 12
kelestarian sumberdaya alam. Lebih jelasnya gambaran penerapan
konsep tripilar tersebut, ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

AGRIBISNIS
(Pilar I)

Pembangunan
Pertanian
Pedesaan
Berkelanjutan

AGROINDUS AGROWISATA
TRI (Pilar II) (Pilar III)

Gambar 1. Konsep Pendekatan Sistem Tripilar dalam Membangun


Pertanian Pedesaan Berkelanjutan

Potensi Agribisnis di Indonesia


Sistem agribisnis mempunyai empat subsistem yaitu: 1)
penyediaan sarana produksi, 2) proses produksi (usahatani), 3)
pascapanen dan pengolahan, serta 4) pemasaran. Keempat
subsistem ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir. Oleh karena itu,
keberhasilan sistem ini sangat tergantung pada kemajuan yang
dicapai oleh tiap subsistem sebagai mata rantainya (Heriyanto dkk,
2001).
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam
pengembangan agribisnis bahkan dimungkinkan akan menjadi
leading sektor dalam pembangunan nasional ke depan. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan sedikitnya sepuluh potensi yang

pg. 13
dimiliki agribisnis. Pertama, dalam pembentukan produk domestik
bruto (PDB), sektor agribisnis merupakan penyumbang nilai
tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional,
diperkirakan sebesar 45 persen nilai tambah. Kedua, sektor
agribisnis merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar
diperkirakan sebesar 74 persen total penyerapan tenaga kerja
nasional. Ketiga, sektor agribisnis juga berperan dalam penyediaan
pangan masyarakat. Keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan pokok beras telah berperan secara strategis dalam
penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) yang sangat
erat kaitannya dengan ketahanan sosial (socio security), stabilitas
ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional
(national security). Keempat, kegiatan agribisnis umumnya bersifat
resource based industry. Tidak ada satupun negara di dunia seperti
Indonesia yang kaya dan beraneka sumberdaya pertanian secara
alami (endowment factor).
Kelima, agribinis mempunyai keterkaitan ke depan dan
kebelakang yang sangat besar (backward and forward linkages)
yang sangat besar. Keenam, dalam era globalisasi perubahan
selera konsumen terhadap barang-barang konsumsi pangan
diramalkan akan berubah menjadi cepat saji dan pasar untuk
produksi hasil pertanian diramalkan pula terjadi pergeseran dari
pasar tradisional menjadi model kentucky. Ketujuh, produk
agroindustri umumnya mempunyai elastisitas yang tinggi,
sehingga makin tinggi pendapatan seseorang makin terbuka pasar
bagi produk agroindustri.
Kedelapan, kegiatan agribisnis umumnya menggunakan
input yang bersifat renewable, sehingga pengembangannya
melalui agroindustri tidak hanya memberikan nilai tambah namun
juga dapat menghindari pengurasan sumberdaya sehingga lebih
menjamin sustainability. Kesembilan, teknologi agribisnis sangat
fleksibel yang dapat dikembangkan dalam padat modal ataupun
padat tenaga kerja, dari manajemen sederhana sampai canggih,
dari skala kecil sampai besar. Kesepuluh, Indonesia punya

pg. 14
sumberdaya pertanian yang sangat besar, namun produk
pertanian umumnya mudah busuk, banyak makan tempat, dan
musiman.

Peran Agroindustri
Tujuan pembangunan agroindustri tidak dapat dilepaskan
dari peranan agroindustri itu sendiri. Peranan agroindustri bagi
Indonesia yang saat ini sedang menghadapi masalah pertanian
antara lain adalah: (1) menciptakan nilai tambah hasil pertanian di
dalam negeri, (2) menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya
dapat menarik tenaga kerja dari sektor industri hasil pertanian
(agroindustri), (3) meningkatkan penerimaan devisa melalui
peningkatan ekspor hasil agroindustri, (4) memperbaiki
pembagian pendapatan, dan (5) menarik pembangunan sektor
pertanian.
Hasil analisis Supriyati dkk. (2006) menunjukkan bahwa
pangsa pasar agroindustri dalam menciptakan nilai tambah sektor
industri pada priode 1995 – 2003 relatif tetap sekitar 25 persen,
walau sempat terjadi penurunan pada tahun 1998 akibat adanya
krisis ekonomi. Demikian juga dalam penyerapan tenaga kerja
relatif tetap. Pangsa industri manufaktur meningkat dari 33,24
persen pada tahun 1995 menjadi 34,10 persen pada tahun 2003,
namun peningkatan pangsa pasar nilai tambah tidak diikuti oleh
peningkatan pangsa penyerapan tenaga kerja, yang relatif tetap
sekitar 29 persen.
Analisis Rachmat (2010) mengenai peranan agroindustri
menurut skala usaha menunjukkan adanya ketimpangan
pertumbuhan yang semakin besar antara agroindustri skala rumah
tangga, kecil, sedang, dan besar. Agroindustri skala sedang/besar
yang berjumlah 0,5 persen dari jumlah industri dan hanya
menyerap tenaga kerja 29 persen ternyata memberikan pangsa
output 88 persen dan pangsa nilai tambah 91 persen. Sementara
itu, agroindustri skala rumah tangga yang berjumlah 95 persen

pg. 15
dan menampung 60 persen tenaga kerja, hanya menghasilkan nilai
output 7 persen dan nilai tambah 6 persen saja.
Paparan diatas tidak secara spesifik menunjukkan pada
segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan.
Pengembangan agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu
dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumberdaya,
agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa
serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis
mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah
tropis yang memilki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar.
Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang
tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai
ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10 persen, diantaranya
kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete, dan kakao (Djamhari, 2004).
Selanjutnya, pengembangan agroindustri akan sangat
strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan.
Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir
(backward and linkages), serta pengintegrasian kedua sektor
tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan
konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi
konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga
masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek. Dengan
demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak
yang terkait. Keterpaduan dan keberlanjutan inilah yang
menempatkan usaha kecil menengah (UKM) yang tergabung
dalam sentra-sentra produksi, menjadi variabel penting. Hal ini
memungkinkan karena agroindustri, yang memproduksi
kebutuhan konsumsi masyarakat memilki ‚multiplier effects‛ tinggi
karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat.

Pengembangan Kawasan Agrowisata


Agrowisata (agritourism) didefinisikan sebagai perpaduan
antara pariwisata dan pertanian, dimana pengunjung dapat
mengunjungi kebun, peternakan, perikanan, dan atau membeli

pg. 16
produk, menikmati pertunjukan, mengambil bagian aktivitas,
makan suatu makanan atau melewatkan malam bersama di suatu
areal perkebunan atau taman. Sementara definisi lain
mengatakan, agritourism adalah sebuah alternatif untuk
meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali
potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (Rai
Utama, www.geogle.co.id). Selanjutnya Sutjipta (2001)
mendefinisikan agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang
terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata
sekaligus pertanian, dalam kaitannnya dengan pelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.
Secara umum khususnya di Indonesia, agrowisata atau
agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan
pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai
obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan,
pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya
lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan
pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta
memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous
knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi
lingkungan alaminya.
Departemen Pertanian (2005) menjelaskan bahwa
agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi
(ecotourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak
merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi
dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di
lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan. Antara
ecotourism dan agritourism berperan pada prinsip yang sama.
Prinsip-prinsip tersebut, menurut Pitana (2002) adalah sebagai
berikut: (1) menekankan serendah-rendahnya dampak negatif
terhadap alam dan kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan
wisata, (2) memberikan pembelajaran kepada wisatawan
mengenai pentingnya suatu pelestarian, (3) menekankan

pg. 17
pentingnya bisnis yang bertanggung jawab, bekerjasama dengan
unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian,
(4) mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk
tujuan pelestarian, manajemen sumberdaya dan kawasan yang
dilindungi, (5) memberi penekanan pada kebutuhan zone
pariwisata regional dan penataan serta pengelolaan tanam-
tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan yang ditetapkan
untuk tujuan wisata, (6) memberikan penekanan pada kegunaan
studi-studi berbasis lingkungan dan sosial, dan program-program
jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan serendah-
rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan, (7)
mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk daerah,
pebisnis, dan masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di
sekitar wilayah yang dilindungi, (8) berusaha untuk meyakinkan
bahwa perkembangan pariwisata tidak melampaui batas-batas
sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan
para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal, dan
(9) mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi
tumbuh-tumbuhan dan binatang liar, dan menyesuaikannya
dengan lingkungan alam dan budaya.
Pentingnya pengembangan agrowisata pada era dewasa
ini, karena manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan,
rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek
pengembangan agrowisata diperkirakan sangat cerah.
Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk
ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau
lanscap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata
ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang
khas dan bernilai sejarah atau naskah dan visualisasi sejarah
penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil pertanian.
Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang
khas dan sesuai dengan kapasitas dan tipologi lahan untuk
mendukung suatu sistem usahatani yang efektif dan

pg. 18
berkelanjutan. Komponen utama pengembangan agrowisata
ruangan terbuka dapat berupa flora dan fauna yang
dibudidayakan maupun liar, teknologi budidaya dan pascapanen
komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi
budaya pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar
belakang pertanian dengan kenyamanan yang dapat dirasakan.
Gunarto A. (1998) menjelaskan basis pengembangan studi
model agrowisata pedesaan terdiri dari dua basis pengembangan,
yaitu konservasi (conservation based tourism) dan masyarakat
(community based tourism). Berbasis konservasi dengan pengertian
tetap mempertahankan keaslian agro-ekosistem dengan
mengupayakan kelestarian sumberdaya alam, lingkungan hidup,
sejarah, nilai budaya dan aspek lain seperti rekreasi dan penelitian.
Sedangkan yang berbasis masyarakat, dengan pengertian bahwa
manfaat agrowisata selain mampu meningkatkan nilai tambah dari
kegiatan pertaniannya, juga mampu menggerakkan kreativitas dan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat pedesaan itu sendiri. (Dimuat di Harian
Fajar, 7 Mei 2013).

pg. 19
5. Menurunnya Minat Generasi Muda masuk PT
Pertanian

SURVEI BPS (2001), sekitar 75 persen petani di pulau Jawa telah


berusia diatas 50 tahun, dan hanya 12 persen yang berusia
dibawah 30 tahun. Hal ini berarti masa depan pertanian kita sudah
‚lampu merah‛, dan bila tidak ada terobosan baru, upaya memberi
makan penduduk sekitar 215 juta orang akan menjadi masalah
besar ke depan. Kondisi seperti diatas mungkin berkaitan dengan
kurungnya pemahaman dan kesadaran generasi muda untuk
mengembangkan dan menghargai sektor pertanian dalam arti
luas, sebagai suatu sektor vital bagi bangsa besar seperti
Indonesia.
Sektor pertanian dalam arti seluas-luasnya merupakan
sektor andalan (basic sector) bagi suatu bangsa. Sebab kebutuhan
akan bahan pangan, serat, obat-obatan, dan energi, serta
sebagian dari bahan baku industri dipasok oleh kegiatan sektor
pertanian. Disamping itu, sektor ini merupakan sektor yang dapat
menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan berbagai
tingkat kemahiran (skill levels).
Sementara Indonesia, yang saat ini merupakan negara
dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia, dituntut
untuk menyediakan pangan, sandang, obat-obatan, dan lapangan
kerja bagi penduduknya. Tantangan yang dihadapi dalam
pembangunan sektor pertanian, tidak hanya terbatas pada cara
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi juga cara
memperluas keanekaragaman produk pertanian untuk
mewujudkan ketahanan pangan (food security), memperkokoh
keterkaitan pertanian dengan industri, dan meningkatkan nilai
tambah hasil pertanian, serta memperluas kesempatan kerja

pg. 20
disektor pertanian sehingga dapat berdampak positif bagi
kesejahteraan petani.

Pergeseran Paradigma
Terkait dengan memberi pemahaman kepada generasi
muda untuk tertarik memasuki jenjang perguruan tinggi (PT)
berbasis pertanian dan mempunyai keinginan untuk menekuni
profesi di sektor pertanian, ‚pertanian sebagai ilmu‛, harusnya
dikembangkan atas dasar paradigma bahwa pertanian merupakan
sistem sosio-kultural-teknis untuk menghasilkan dan
memanfaatkan biomassa secara berkesinambungan, serta
berkelanjutan dengan memanen energi surya melalui manipulasi
agroekosistem. Dalam artian, sebagai suatu paradigma bahwa
pertanian merupakan sistem sosio-kultural-teknis, maka ilmu
pertanian atau pendidikan pertanian dilandasi konsep efisiensi,
ekonomis, dan efektif sehingga merupakan teknik yang tertib
prosedur, tata laksana, dan tata cara dalam berusahatani.
Untuk itu, perlunya dilakukan perubahan paradigma dalam
sistem pendidikan pertanian Indonesia dari konvensional seperti
saat ini menjadi sistem pendidikan yang berkompetensi pada
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) bagi
pengelolaan dan pembudidayaan alam tropika yang lestari dan
kesejahteraan manusia, serta diselenggarakan dalam suatu sistem
pendidikan yang berorientasi pada mutu. Terkait dengan hal
tersebut, sektor PT pertanian mengembang tugas untuk
mengembangkan SDM Indonesia agar dapat memiliki dan
mengembangkan ipteks, serta mampu mengamalkannya bagi
kesejahteraan manusia, sehingga dapat meningkatkan harkat
bangsa Indonesia di masyarakat dunia sejajar dengan bangsa-
bangsa lain yang berperadaban.

Perlunya Kompetensi
Untuk membangkitkan minat generasi muda, baik yang
masuk ke PT berbasis pertanian, maupun dalam menekuni profesi
di sektor pertanian dengan berbagai level, maka dalam

pg. 21
menentukan kompetensi PT pertanian, paling tidak perlu
memperhatikan tiga pertimbangan dasar (basic consideration),
yaitu (a) kepentingan bangsa dan negara (b) visi akademik
(academic vision), dan (c) kebutuhan pasar kerja yang sangat erat
hubungannya dengan asupan (input) proses PT. Hubungan ketiga
pertimbangan dasar tersebut, merupakan segitiga sama sisi
karena masing-masing merupakan hal yang mempunyai derajat
penting yang sama.
Pertama, kepentingan bangsa dan negara. Sebagai negara
yang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang kaya dan jumlah
penduduk yang banyak, Indonesia memiliki kepentingan yang
besar untuk mengembangkan ketahanan nasional yang berbasis
pada sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal yang terkait dengan
ketahanan nasional tersebut antara lain, penyediaan bahan
pangan dan energi yang berbasis pada SDA, penyediaan lapangan
kerja, dan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan. Oleh karena
itu, diperlukan ipteks untuk memahami karakteristik dan potensi
SDA yang dipakai sebagai dasar untuk merakit atau menentukan
teknologi bagi pengelolaan SDA, terutama yang berkaitan dengan
produksi biomassa. Sehubungan dengan itu, peran lembaga
pendidikan pertanian untuk mendidik calon-calon sarjana, yang
dapat mengelola SDA untuk produksi biomassa yang bermutu
secara lestari bagi pemenuhan kebutuhan bangsa dan negara.
Kedua, visi akademik, PT pertanian harus mempunyai visi
mengembangkan ilmu-ilmu pertanian Indonesia pada khususnya
dan pertanian tropika pada umumnya. Untuk itu, diperlukan
pengembangan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengenalan
karakteristik dan potensi SDA yang dipakai sebagai dasar untuk
menciptakan atau menentukan dan menerapkan teknologi dalam
pengelolaan SDA, teknologi penanganan dan pengolahan hasil
pertanian, sosial ekonomi, serta manajemen yang berfokus pada
pertanian. Ketiga, kebutuhan pasar kerja. Faktor ini harus
dipertimbangkan karena kebutuhan pasar akan menentukan
jumlah dan mutu asupan (input) proses pendidikan dan arah
kegiatan akademik. Tanpa mempertimbangkan aspek pasar,

pg. 22
kompetensi PT akan lemah. Oleh karena itu, arah PT pertanian di
Indonesia perlu mempertimbangkan kondisi masa kini (present
condition) dari setiap lembaga PT pertanian yang ada.
Demikian juga sumber daya daerah tempat lembaga PT
pertanian tersebut berada, perlu turut dipertimbangkan agar
keberadaannya bermanfaat bagi daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian setiap lembaga PT pertanian mempunyai warna
kekhususan yang mendukung pembangunan daerah sebagai
bagian integral dari pengembangan nasional. Dalam rangka
memenuhi kompetensi seperti disebutkan diatas, tantangan PT
pertanian, yaitu harus mampu menghasilkan lulusan minimal
mempunyai tiga kemampuan utama seperti berikut ini, (1)
kompetensi akademik, yaitu kemampuan metodologis keilmuwan
dalam rangka penguasaan dan pengembangan ipteks, (2)
kompetensi profesional, yaitu wawasan, prilaku, dan kemampuan
untuk menerapkan ipteks dalam pembangunan secara profesional,
(3) potensi kecendekiaan, yaitu kepekaan para lulusan PT
pertanian terhadap masalah yang dihadapi dilingkungan
masyarakatnya, serta wawasan, sikap, dan prilaku yang memihak
kepada mereka yang masih lemah.
Disamping itu, perlunya para peserta didik diberi ilmu-ilmu
penunjang proses pembelajaran mereka, karena lulusan PT
pertanian masa kini dan mendatang harus mempunyai wawasan
pertanian modern yang berorientasi kepada globalisasi,
penyeragaman standar-standar, persaingan bebas, kesadaran
lingkungan dan kesehatan (health consciousness). Beberapa ilmu
penunjang yang dibutuhkan diantaranya sebagai berikut; (a)
penjaminan mutu (quality assurance) hasil, yang mempelajari
konsep-konsep pengendalian mutu, terutama komoditas-
komoditas yang menjadi bahan baku makanan, Good
Manufacturing Practices (GMP), standar-standar internasional
seperti ISO dan sebagainya, (b) dampak lingkungan, diantaranya
mempelajari kesadaran lingkungan dan pengertian konsep
sustainable development, analisa dampak lingkungan (ANDAL)
pengadaan berbagai jenis teknologi effluent control dalam

pg. 23
berbagai kegiatan agribisnis, dan (c) perdagangan komoditas
pertanian beserta dasar hukumnya, yaitu mempelajari
perdagangan internasional, peraturan/hukum komoditas
pertanian distribusi dan pemasaran produk pertanian didalam
negeri, future trading, pembiayaan perdagangan (L/C), CDA dan
lain-lain.
Untuk itu, upaya menghasilkan lulusan dengan kompetensi
seperti disebutkan diatas, memerlukan reorientasi dan
pembaharuan dalam sistem pendidikan, khususnya PT pertanian
supaya mampu membawa sektor pertanian menjadi sektor
unggulan (leading sector), dan menjadikan sektor pertanian tulang
punggung dalam perekonomian. Karena banyak peluang yang bisa
kita tangkap dari bidang pertanian. Kalau kita serius dan mau
menekuni, maka inilah potensi besar yang bisa dipakai untuk
membangun negeri ini.
Persoalannya, sadarkah bangsa ini akan potensi yang
dimilikinya? Maukah bangsa ini mengakui bahwa dari pertanian
bangsa ini akan meraih kemajuan? Salah satu solusinya adalah
menganggap sektor pertanian sebagai sebuah bisnis, agar mampu
menarik generasi muda menekuni ilmu-ilmu pertanian dan terjun
ke usaha pertanian. Dengan menganggap pertanian sebagai bisnis,
akan memacu peningkatan produktivitas, daya saing, dan yang
pasti pendapatan petani.
Karena dengan menurunnya minat generasi muda
menekuni pertanian, tentunya menimbulkan keprihatinan
sekaligus kekhawatiran bahwa sektor pertanian bisa menjadi
‚almarhum‛ di negara yang menurut nenek moyang kita adalah
negara yang ‚gemah ripah loh jinawi‛ (melimpah ruah dan kaya),
justru karena sektor pertaniannya pada masa dahulu. Untuk itu,
perlu keseriusan dalam membenahi sektor ini. Adanya sinergi total
antara pemerintah, akademisi, dan pengusaha untuk
membangunkan sektor ini sangatlah diperlukan. Tidak mungkin
pertanian dibangun tanpa keberpihakan. (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 16 Maret 2018).

pg. 24
6. Era Kebangkitan Penyuluh Pertanian

DI ERA otonomi daerah (otoda), tanggung jawab penyuluhan


pertanian diserahkan kepada daerah. Namun kelihatannya banyak
daerah yang belum siap untuk menerimanya. Terbukti, tidak
adanya jaminan atas penyelenggaraan penyuluhan itu dengan
semestinya. Penyelenggaraan penyuluhan saat ini belum
memberikan dukungan yang optimal dalam upaya peningkatan
kesejahteraan petani. Hal itu antara lain terjadi karena belum
adanya kesatuan persepsi dan kesatuan gerak di antara
penyelenggara penyuluhan pertanian di pusat dan daerah. Ditinjau
dari aspek kelembagaan kondisi penyuluhan pertanian juga sangat
memprihatinkan lantaran lembaga di tingkat provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan sudah tidak berfungsi. Banyak
pihak yang tidak memahami arti pentingnya kelembagaan
penyuluhan pertanian dalam pemberdayaan petani terutama
dalam menciptakan dan meraih peluang serta mengatasi segala
ancaman, hambatan dan gangguan yang dihadapi petani.

Revitalisasi Penyuluh
Dalam undang-undang (UU) revitalisasi sistem penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan (RSPPPK) yang dicanangkan
pada 2005 lalu. Salah satu agendanya adalah revitalisasi
penyuluhan pertanian. RSPPPK ini mengamanatkan pelaksanaan
program-program pemberdayaan penyuluh, reorientasi dan
restrukturisasi. Dengan payung UU ini, para penyuluh mendapat
kepastian hukum dan mempunyai masa depan yang lebih baik.
Mereka pun diharapkan dapat bekerja secara tenang dan lebih
baik lagi untuk membantu para petani. Untuk itu para penguasa di
daerah diharapkan tunduk terhadap UU itu dan memfasilitasi para

pg. 25
penyuluh yang ada di lapangan, baik dalam pembiayaan maupun
hubungan sarana dan prasarana.
Langkah awal dari revitalisasi penyuluh, melakukan reposisi
aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian. Sehingga pada akhirnya, penyuluh
pertanian sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan penyuluhan
mampu menunjukkan profesionalismenya. Terkait dengan aspek
kelembagaan, di era Menteri Pertanian di jabat Anton Apriantono,
pemerintah melalui kementerian pertanian (kementan) berjanji
dan merencanakan membentuk kelembagaan penyuluh pertanian
yang mandiri. Pada tingkat provinsi, akan dibentuk Badan
Penyuluh Pertanian Provinsi. Di kabupaten/kota akan dibentuk
Badan Penyuluh Pertanian Kabupaten/Kota. Demikian juga pada
tingkat kecamatan, akan dihidupkan kembali balai penyuluhan
pertanian (BPP). Dengan pengaktifan kembali BPP di setiap
kecamatan, dapat menjadi pembangkit semangat petani dan
menumbuhkan percaya diri penyuluh pertanian. Karena BPP akan
dijadikan sebagai petani centre. Disitu berkumpul penyuluh,
kelompok tani, pengamat hama dan benih serta menjadi pos
kesehatan hewan.
Menyangkut aspek penyelenggaraan penyuluhan, setelah
pembentukan badan penyuluhan di tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan. Maka akan terjadi garis
koordinasi dari pusat, tetapi sifatnya hanya koordinatif. Sehingga
memudahkan, baik pusat maupun daerah untuk menjalankan
program-programnya. Pada tingkat petani, penyuluhan pertanian
tidak lagi bersifat instruktif, tapi lebih bersifat partisipatif. Jadi
petani difungsikan sebagai partner, sehingga terjadi dialog. Untuk
itu, forum-forum penyuluhan akan dibangkitkan kembali. Karena
pelaksanaan penyuluhan ke depan semakin menuntut koordinasi
dan kekompakan dari berbagai institusi pemerintah yang terkait.

pg. 26
Tuntutan Profesionalisme
Penyuluh pertanian bukan sekedar tenaga fungsional tapi
di masa depan harus menjadi tenaga profesional. Tanpa penyuluh
pertanian yang profesional akan sulit membangun petani yang
kreatif, inovatif dan kredibel. Karena itu perlu disiapkan atau
dibangunnya kembali lembaga-lembaga pendidikan dengan sarana
dan prasarana yang memadai bagi para penyuluh. Untuk
mendukung keprofesionalan para penyuluh, lembaga-lembaga
penyuluh pertanian harus memiliki akar pada lembaga-lembaga
penelitian pertanian yang benar-benar kredibel. Lembaga-
lembaga pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penelitian harus
ditata menjadi komponen-komponen dari satu sistem yang fungsi
utamanya memberdayakan petani untuk membangun pertanian
secara berkelanjutan.
Profesionalisme penyuluhan pertanian juga memerlukan
reorientasi, yaitu dari pendekatan instansi ke pengembangan
kualitas individu penyuluh. Dari pendekatan top down ke botton
up. Dari hirarkir kerja vertikal ke kerjasama horizontal. Dari
pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis. Serta dari sistem
kerja linier (masing-masing) ke sistem kerja jaringan. Ringkasnya,
wawasan dan keahlian para penyuluh perlu ditingkatkan dan
dikembangkan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi
pengembangan potensi diri secara self development, yaitu
menumbuhkan sikap kemandirian penyuluh dalam
mengembangkan dirinya sebagai penyuluh yang makin
profesional.
Ke depan, penyuluh pertanian tidak hanya dituntut
menguasai teknis pertanian saja, seperti menyangkut proses
produksi, tetapi yang diperlukan oleh pertanian modern adalah
penyuluhan yang mencakup semua aspek dalam sistem agribisnis,
mulai dari pengorganisasian antar petani di bidang produksi, pasca
panen, pengolahan, pemasaran, serta pengetahuan lainnya yang
dapat menunjang kariernya sebagai penyuluh. Sehubungan
dengan itu, kita semua berkeyakinan, kesuksesan pelaksanaan

pg. 27
program yang tercantum dalam UU RPPK yang telah dicanangkan
2005 lalu, tergantung pada keseriusan pemerintah untuk
merevitalisasi penyuluhan pertanian. Karena salah satu program
unggulan revitalisasi pertanian adalah revitalisasi penyuluhan
dengan menempatkan kembali penyuluh sebagai sumber daya
penggerak dan motivator pembangunan pertanian, serta
mengembalikan fungsi dan peran penyuluh ketingkat semula atau
lebih tinggi lagi. (Dimuat di Pedoman Rakyat, 4 September 2006).

pg. 28
7. Saatnya Inovasi Pertanian Berbasis ICT

PERTANIAN di Indonesia dikuasai oleh petani kecil dengan produk


pertanian dan mutu yang bervariasi. Keterbatasan-keterbatasan
petani, antara lain dalam bentuk permodalan, penguasaan lahan,
keterampilan, pengetahuan, aksesibilitas akan informasi pasar dan
teknologi pertanian, serta bergaining posisi akan berpengaruh
terhadap proses pengambilan keputusan dalam penentuan
komoditas yang akan diusahakan dan teknologi yang akan
diterapkan petani. Rendahnya tingkat kemampuan petani untuk
membuka diri terhadap suatu pembaharuan dan atau informasi
yang berkaitan dengan unsur pembaharuan juga semakin
memperburuk kondisi petani dalam membuat keputusan untuk
menolak atau menerima inovasi. Hal ini akan bermuara pada
rendahnya pendapatan dan keadaan yang sulit berkembang.
Dengan demikian, dalam bidang pengembangan pertanian, akses
terhadap inovasi pertanian menjadi hal yang sangat penting demi
kelangsungan usahatani yang dilaksanakan. Inovasi pertanian yang
memadai dan tepat waktu didukung informasi pertanian terkait
yang dapat digunakan sebagai dasar strategi penguasaan pasar
dan dasar perencanaan untuk pengembangan usahatani lebih
lanjut (Mulyandari dan Ananto, 2005).

Peran Inovasi Pertanian


Dewasa ini pelaku pengembangan pertanian di Indonesia
masih mengeluhkan minimnya inovasi pertanian tepat guna yang
dapat disediakan oleh pemerintah. Kementerian Pertanian
memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi pertanian bagi
pelaku agribisnis. Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2006 pasal
15 ayat 1c telah diamanatkan bahwa Balai Penyuluhan
berkewajiban menyediakan dan menyebarkan informasi tentang

pg. 29
teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar. Adapun dalam
ayat 1e diamanatkan pula bahwa Balai Penyuluhan bertugas
memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh
swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran
secara berkelanjutan. Dalam situasi saat ini, tugas tersebut
menjadi sulit atau tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada
mekanisme yang terprogram untuk mendukung ketersediaan
informasi inovasi pertanian yang mutakhir dan berkelanjutan.
Petani memerlukan beragam informasi untuk mendukung
usaha pertaniannya. Informasi yang dibutuhkan tidak hanya
informasi praktis tentang teknologi produksi tanaman, tetapi juga
informasi mengenai pascapanen (pengolahan, penyimpanan, dan
penanganan) dan pemasaran. Menurut Hawkins dan Van den Ban
(1999), petani membutuhkan informasi teknologi tepat guna,
manajemen teknologi, termasuk penggunaan input yang optimal,
pilihan berusahatani, sumber pemasok input, tindakan kolektif
dengan petani lainnya, permintaan konsumen dan pasar spesifikasi
kualitas produk, serta harga pasar. Sementara Mulyandari dan
Ananto (2005) menyatakan untuk mengelola usaha pertaniannya
dengan baik, petani memerlukan pengetahuan dan informasi
mengenai hasil penelitian, pengalaman petani lainnya, situasi
mutakhir yang terjadi di pasar input dan produk pertanian, dan
kebijakan pemerintah.

Urgensi ICT
Peningkatan kegunaan jaringan telekomunikasi
memberikan kemampuan lebih teknologi informasi dan
komunikasi (information, communication and technology/ICT) untuk
menjangkau area sampai pedesaan. Perkembangan jaringan
telekomunikasi berkembang dengan pesatnya, handal, dan
pertukaran informasi yang akurat melalui teks, suara, dan aplikasi
yang bisa dilakukan antara petani dan pengguna. Jaringan internet
saat ini sudah masuk ke pedesaan yang memberikan kesempatan
bagi petani untuk berhubungan dengan pengguna yang lebih luas,

pg. 30
pelaku agribisnis, peneliti, dan antar petani. Layanan komputasi
berpotensi besar untuk meningkatkan sistem inovasi pertanian.
Keuntungan dari komputasi adalah bahwa ia menawarkan
penyimpanan sumber daya dikumpulkan dan bisa dimanfaatkan
secara bersama melalui internet. Lebih khusus, komputasi telah
digambarkan sebagai model untuk memungkinkan pengguna, bisa
memanfaatkan secara bersama sesuai permintaan dengan
mengakses jaringan bersama sumber daya lain misalnya, jaringan,
server, penyimpanan, aplikasi, dan layanan yang dapat dengan
cepat ditetapkan dan dirilis dengan upaya manajemen yang
minimal atau interaksi penyedia layanan.
Salah satu manfaat teknologi ICT digunakan untuk inovasi
pertanian bertujuan untuk memberikan peluang bagi petani dalam
mengakses informasi tentang komoditas pertanian. Dari pada
melakukan koleksi data secara manual atau melalui survei, peneliti
bisa mengumpulkan data melalui SMS. Layanan informasi berbasis
ICT diperlukan pada saat petani tidak perlu menunggu begitu lama
untuk mendapatkan informasi tentang komoditas pertanian
seperti persediaan pupuk, harga komoditas di pasar, perkiraan
cuaca, pemasok, ketersediaan pengairan, dan sarana untuk
mengumpulkan kelompok tani. Metode yang sesuai untuk
mendapatkan informasi secara cepat dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dengan perangkat mobile
sesuai dengan kebutuhan petani memerlukan beberapa strategi
dalam bentuk model agar pemanfaatannya bisa optimal. (Dimuat
di Harian Fajar, 2 Maret 2018).

pg. 31
8. Sulawesi sebagai Kawasan Pengembangan Jagung

KEBUTUHAN jagung terus bertambah sejalan dengan kenaikan


laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan industri,
seperti industri pengolahan, industri makanan, industri obat dan
kosmetik, industri pakan ternak serta dijadikannya jagung sebagai
sumber energi alternatif (bioenergi). Dengan pertimbangan
kebutuhan jagung yang kian meningkat setiap tahunnya, di
Kabupaten Konawe Selatan, awal Agustus 2006 lalu Wakil
Presiden (Wapres) Jusuf Kalla telah mencanangkan gerakan
penanaman jagung Kawasan Sulawesi Tenggara (Sultra), seluas 30
hektar dari total lahan 245 hektar yang disediakan.
Pencanangan ini merupakan realisasi dari keputusan yang
diambil dari hasil rapat Wapres dengan sejumlah instansi. Pada
pertemuan itu, ada dua program yang dibicarakan. Pertama,
revitalisasi perkebunan khususnya kelapa sawit, kakao, dan karet.
Kedua, pengembangan kawasan jagung di Sulawesi. Khusus untuk
kawasan jagung, karena sifatnya tanaman semusim, maka akan
difokuskan pada pengembangan kawasan-kawasan jagung yang
terintegrasi. Untuk itu BRI akan mengucurkan dana sebesar Rp. 2
triliun. Tidak hanya itu, pemerintah juga memberi dukungan
kepada petani dalam bentuk share (pembagian) yaitu ikut
menanggung sebagian dari biaya bunga kredit untuk petani.

Pengembangan Jagung
Pencanangan Sulawesi sebagai kawasan pengembangan
jagung, sejalan dengan program Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Sulawesi Selatan (Sulsel) yaitu Gerakan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat (Gerbang Emas). Tujuan utamanya adalah mendorong
perkembangan usaha mikro dan kecil (UMK), mendorong
penguatan struktur perekonomian daerah, menciptakan iklim

pg. 32
investasi yang kondusif, penciptaan lapangan kerja baru,
peningkatan pendapatan perkapita serta peningkatan PDRB.
Tahap pertama pelaksanaan program ini, salah satunya adalah
pengembangan komoditi jagung, dengan pola pendekatan sistem
agribisnis dan membentuk model kemitraan jagung.
Selain akan membuka lapangan pekerjaan, juga membuka
peluang ekspor jagung ke Malaysia sebanyak 3 juta ton dan Korea
Selatan sebesar 7 juta ton setiap tahunnya. Untuk itu, menghadapi
musim kemarau yang diprediksi akan berakhir awal Nopember
nanti, disarankan kepada seluruh petani memanfaatkannya untuk
menanam jagung. Di Sulsel misalnya, tersedia lahan sawah tadah
hujan yang luasnya 260,501 hektar atau sekitar 40,55 persen dari
luas lahan sawah 642,459 hektar yang bisa dimanfaatkan. Itu
artinya, agribisnis jagung bisa jadi solusi jangka pendek yang tepat
dalam memanfaatkan lahan saat musim kekeringan. Karena
tanaman jagung tidak terlalu banyak membutuhkan air dan bisa
memanfaatkan sumber daya air disekitar lahan tersebut.
Pengembangan jagung di kawasan Sulawesi, termasuk di
Sulsel sudah sejak dulu digalakkan. Tapi belum optimal dan
sifatnya masih subsinten. Belum mengarah pada pendekatan
sistem agribisnis. Buktinya, Sulsel tahun 2005 hanya menghasilkan
715,081 ton jagung pipil dengan luas panen 185,201 hektar.
Bandingkan dengan Jatim, pada tahun 2005 menghasilkan 4,2 juta
ton, yang menjadikan provinsi ini sebagai ranking pertama
penghasil jagung terbesar pada tahun 2005. Sentra
pengembangan jagung di Sulsel, terutama dari Kabupaten Selayar,
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai dan Bone.
Sedangkan produksi jagung terbesar yaitu dari Kabupaten
Jeneponto, Bantaeng dan Gowa. Data tahun 2004, dari total
produksi 674,716 ton jagung Sulsel, Jeneponto menghasilkan
129,179 ton, menyusul Bantaeng 127,210 ton, kemudian Gowa
116,937 ton, dan sisanya dari beberapa kabupaten lainnya
Masalah utama yang sangat mendasar mengenai
pengembangan jagung, baik secara nasional maupun skala

pg. 33
regional (daerah), adalah belum tersedianya data statistik dalam
bidang sistem agribisnis jagung yang komprehensif, mencakup on
farm, down steam, dan up stream. Data yang dimaksud adalah data
yang memilah-milah statistik jagung untuk keperluan pakan
ternak, makanan manusia, dan keperluan industri lainnya.
Kemudian untuk makanan manusia juga tidak adanya pemisahan
antara baby corn, sweet corn dan jagung pipilan. Akibatnya, sering
terjadi silang pendapat mengenai cukup atau tidaknya produksi
jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Selain itu, dibutuhkan juga data akurat yang ditatat dengan
benar dan satu-satuan yang konsisten. Data ini harus dibuat selalu
up to date supaya bisa mengetahui perkembangan produksi
terakhir. Dengan belum tersedianya data seperti yang diharapkan,
sehingga sulit untuk merumuskan kebijakan, program, dan
rencana aksi yang relevan dengan keadaan, untuk setiap saat. Dari
sisi petani, data yang kurang akurat menyebabkan mereka sangat
sulit mengambil keputusan untuk menanam atau tidak menanam
pada waktu-waktu tertentu.

Sistem Agribisnis
Suatu hal yang menggembirakan, kita sudah punya Dewan
Jagung Nasional (DJN). Dewan ini diharapkan membantu
pemerintah untuk merumuskan kebijakan nasional yang
komprehensif mengenai pengembangan sistem agribisnis jagung.
Kebijakan dan program DJN harus bersifat nasional. Artinya
mencakup seluruh daerah di tanah air dan mencakup seluruh
subsistem agribisnis jagung yang melibatkan semua stakeholder
mulai dari petani, pengusaha, pemerintah, media, peneliti, hingga
pendidik. Selanjutnya, merumuskan rencana detail yang
menjangkau seluruh wilayah-wilayah produksi. Untuk itu, dalam
rangka mewujudkan keinginan berswasembada dan menjadi
eksportir terbesar jagung di kawasan Asia Tenggara, strategi
utamanya adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung
hibrida.

pg. 34
Saat ini hanya sekitar 30 persen area produksi yang
menggunakan benih hibrida, mestinya ditingkatkan hingga
mencapai 100 persen. Selanjutnya, introduksi benih unggul
menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida,
serta alat dan mesin pertanian (alsintan), yang dibutuhkan dalam
produksi jagung. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di
wilayah produksi yang berada di kawasan Sulawesi, pada waktu
dan jumlah yang tepat. Akhirnya, untuk menjadikan Sulawesi
sebagai kawasan pengembangan jagung. Lebih baik
mengembangkan wilayah jagung yang selama ini sudah
merupakan sentra jagung, kemudian memperbaiki data
agribisnisnya. Termasuk penyediaan infrastruktur seperti fasilitas
pasca panen, gudang, pupuk dan pengairan. Hal ini sudah berhasil
diterapkan pada padi sehingga kita pernah menjadi swasembada
beras. (Dimuat di Pedoman Rakyat, 31 Agustus 2006).

pg. 35
9. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Pangan

TANGGAL 22 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bumi


(earth day). Inisiatif yang dimulai sejak tahun 1970 ini dimaksudkan
untuk menjadikan bumi sebagai tempat yang lebih baik untuk
ditinggali. Mengapa demikian? Faktanya, dewasa ini bumi terasa
kian tidak nyaman dihuni. Salah satu yang paling mengemuka
adalah masalah perubahan iklim. Secara singkat, perubahan iklim
sebagai akibat dari pemanasan global, merupakan dampak atas
terperangkapnya panas matahari di dalam atmosfir bumi.
Fenomena ini biasa disebut sebagai efek rumah kaca, yaitu
selubung karbon dioksida (CO2) yang membiarkan radiasi cahaya
matahari masuk, akan tetapi menghalangi radiasi panasnya
kembali ke luar. Akibatnya suhu permukaan bumi mengalami
peningkatan dan berdampak pada banyak hal, mulai dari
mencairnya lapisan es di kutub hingga perubahan iklim.
Isu pemanasan global, bukanlah hal yang baru mencuat.
Svante Arrhenius, seorang ilmuwan asal Swedia pada tahun 1800-
an telah mengemukakan hal serupa. Kendati demikian, perhatian
dunia saat itu tampaknya belum banyak terfokus pada upaya
menghindari efek rumah kaca, karena semakin hari kondisi di
permukaan bumi semakin memburuk. Namun seiring dengan
banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan bergerak ke arah yang memprihatinkan membuat mata
dunia mulai mengarah pada isu pemanasan global. Salah satunya
lewat Protokol Kyoto yang di dalamnya disepakati pengurangan
emisi gas buang secara bertahap, hingga kemudian berlanjut
dalam pertemuan PBB di Bali, yang diikuti puluhan negara di dunia
Desember 2007 lalu. Dalam pertemuan yang membahas tentang
perubahan iklim tersebut, di capai kesepakatan untuk mengurangi
emisi karbon. Dengan adanya kesepakatan itu, tentu amat

pg. 36
menggembirakan karena ada harapan, kerusakan lingkungan yang
terjadi sekarang ini akan dapat diperlambat, meskipun tidak
mungkin dicegah sama sekali.

Berdampak pada Produksi Pangan


Konferensi perubahan iklim PBB, yang diberi nama
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC),
yang di gelar di Bali, walau telah beberapa tahun berlalu, tetapi
gaungnya masih terasa hingga kini. Perubahan iklim yang ekstrem,
yang merupakan cerminan dari meningkatnya pemanasan global,
dituding sebagai penyebab kelangkaan dan kenaikan harga
sejumlah komoditi bahan pangan sekarang ini. Akibat perubahan
iklim yang ekstrem seperti kekeringan berkepanjangan, badai
hebat, dan banjir besar, membuat produksi komoditi bahan
pangan di beberapa negara produsen utama anjlok dan gagal
panen.
Komoditi gandum misalnya, banyak negara produsen
utama seperti Australia, Amerika Serikat (AS), dan Ukraina
mengalami gagal panen. Alhasil, harga gandum pun melonjak
tajam yang hampir mencapai 100 persen, yaitu dari 265 dolar AS
per ton menjadi 500 dolar AS per ton. Hal ini terjadi akibat
kekeringan yang berkepanjangan di Australia pada 2006 lalu,
sehingga gandum mengalami gagal panen. Produksi gandum
Australia turun hingga 60 persen, dari 24 juta ton menjadi hanya 9
juta ton.
Lain lagi yang terjadi di AS, akibat tingginya curah hujan di
area pertaniannya, sehingga panen gandum tertunda dan
sejumlah area rusak parah di terjang banjir besar. Amerika sendiri
merupakan negara dengan produksi hampir 10 persen dari total
produksi gandum dunia, yang mencapai sekitar 616,87 juta ton.
Sementara Ukraina, sebagai eksportir gandum terbesar keenam
dunia, yang selama ini memproduksi gandum sebanyak 14 juta ton
per tahun, juga mengalami nasib seperti yang di alami Australia,
yaitu gagal panen akibat musim kemarau. Sekitar 650 ribu hektar

pg. 37
lahan gandum di Ukraina rusak. Sehingga dengan kondisi seperti
itu, praktis produksi atau pasokan gandum dunia menurun,
sementara permintaan akan kebutuhan gandum, terus meningkat.
Demikian halnya dengan menurunnya produksi susu sapi di
Australia, akibat kelangkaan rumput sebagai akibat kekeringan.
Dampak langsung dari kondisi ini, dirasakan konsumen di
Indonesia adalah naiknya harga susu formula untuk anak-anak
mencapai 10-20 persen. Untuk itu, dalam rangka mensiasati
perubahan iklim global ini, negara yang mengandalkan peternakan
sebagai basis ekspornya, harus berpikir keras bagaimana
memodifikasi pakan ternak agar tidak sepenuhnya bergantung
pada iklim. Misalnya, dengan menekan penggunaan rumput dan
mengkonversinya dengan dedak atau bahan baku lain.
Terkait dengan bidang perikanan, hal yang harus
diperhatikan dalam mengantisipasi isu pemanasan global, yakni
kekayaan alam yang ada di laut, khususnya berkaitan dengan
terumbu karang yang ada di kawasan mulai dari Indonesia, Pilipina,
hingga Kepulauan Solomon. Terumbu karang yang ada di kawasan
itu, terancam rusak apabila terus terjadi pemanasan global.
Rusaknya terumbu karang akan membahayakan ekosistem. Jika
hal itu terjadi, tidak hanya akan merusak potensi ekonomi yang
mencapai 2,3 miliar dolar AS setiap tahunnya bagi Indonesia,
tetapi mempengaruhi ketahanan pangan nasional, karena
mengganggu siklus kehidupan ikan-ikan di laut.
Begitu juga dengan komoditi beras, dampak perubahan
iklim akan berhubungan langsung dengan hajat hidup orang
banyak. Terutama negara-negara yang menjadikan beras sebagai
makanan pokok utama, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan permintaan dan kebutuhan beras dunia. Karena
begitu luas dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim global,
dunia pun berlomba mengamankan produk pertanian strategisnya,
terutama mengamankan stok beras dalam negerinya masing-
masing. Misalnya, pemerintah Vietnam tahun 2008 ini

pg. 38
memutuskan untuk mengurangi ekspor beras atau bahkan akan
menghapus kebijakan ekspor beras di negaranya.
Hal yang sama dilakukan juga oleh Tiongkok dan India, yang
mulai mengamankan betul komoditas beras untuk kebutuhan
konsumsi dalam negerinya. Padahal tidak bisa dipungkiri, untuk
komoditas beras, selama ini dan hampir setiap tahunnya Indonesia
amat bergantung pada impor. Dengan begitu, adanya perubahan
kebijakan pemerintah Vietnam, praktis akan berpengaruh
terhadap pasokan beras dunia. Vietnam kita tau merupakan salah
satu produsen dan pengekspor beras terbesar di dunia.

Persiapkan Petani
Petani di negara-negara berkembang, perlu dipersiapkan
untuk menghadapi ancaman perubahan iklim yang tidak menentu
ini. Pemerintah di setiap negara, diharapkan lebih intensif
memberi informasi tentang kemungkinan terjadinya perubahan
iklim kepada para petani, sehingga petani bisa melakukan
antisipasi terhadap perubahan tersebut. Misalnya, terhindar dari
gagal panen, akibat ketiadaan air, atau serangan hama yang
jumlahnya berlipat, karena tidak serentak dalam melakukan
penanaman. Praktik bercocok tanam perlu diubah. Di wilayah-
wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu
mengganti jenis tanaman atau varietas yang ditanam dengan yang
lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali
padi gogo, dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di
wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas.
Praktik budidaya lain yang dapat diperkenalkan kepada
petani adalah sistem wanatani (agroforestry). Hasil penelitian
menunjukkan, menanam pohon diantara tanaman pangan, mampu
mencegah erosi, mengembalikan kesuburan tanah, dan
menciptakan iklim mikro yang kondusif bagi tanaman, serta
mampu meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Konsep
wanatani juga bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim.
Diperkirakan konsep ini, mampu menyerap karbon hingga 600 juta

pg. 39
meter kubik pada tahun 2040, jika dibandingkan dengan 120 juta
meter kubik saja untuk tanaman pangan. Pertukaran emisi karbon
sebagai bagian mekanisme pembangunan bersih dalam Protokol
Kyoto, menawarkan insentif bagi yang mampu membangkitkan
semangat petani untuk mengubah pola tanamnya.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, bagi
kepentingan petani adalah dengan memberi informasi cuaca
selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara
spesifik. Persoalannya, bukan hanya memperbaiki informasi cuaca,
tetapi juga seberapa komunikatif data yang dimaksud bagi
kepentingan petani. Kelemahan dalam mengantisipasi perubahan
iklim dan kondisi cuaca bagi kepentingan pertanian tampaknya
akan membawa dampak kerugian yang signifikan bagi petani. Oleh
karenanya, sebagai negara kepulauan dengan wilayah luas,
bertopografi kompleks, serta jumlah penduduk besar. Indonesia
merupakan kawasan kunci untuk mengerti masalah iklim di tingkat
global. Dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang kondisi
iklim, Indonesia dinilai akan sangat membantu menekan dampak
negatif pemanasan global yang diindikasikan sedang dan akan
terus terjadi di seluruh bagian dunia.
Pakar iklim dari Universitas Tokyo Jepang, Prof. Toshio
Koike, menyatakan ada tiga komponen yang menjadikan Indonesia
sebagai kawasan kunci yang sangat berpengaruh bagi iklim di
kawasan Asia hingga dunia. Pertama, Indonesia merupakan
sumber panas terbesar di kawasan Asia. Kedua, Indonesia adalah
pusat sirkulasi monsun Asia yang kerap dilanda gejala alam seperti
El nino dan La nina, yang tentu saja sangat berpengaruh bagi
kawasan di sekitarnya. Ketiga, populasi yang besar dan tersebar di
ribuan pulau dengan topografis kompleks menjadikan Indonesia
acuan penanganan berbagai masalah yang terjadi akibat
perubahan iklim ekstrem.
Untuk itu, diperlukan berbagai tindakan dan terobosan
dalam rangka mengantisipasi anjloknya produksi sejumlah
komoditi bahan pangan dunia, dan terus melakukan upaya optimal

pg. 40
dalam meningkatkan produksi. Tanpa adanya upaya kongkrit,
mustahil petani akan mampu meningkatkan produksi sekaligus
produktivitas sesuai target yang ingin dicapai. Khususnya upaya
untuk memperkecil tingkat kerugian petani akibat perubahan iklim
yang senantiasa berubah setiap saat. (Dimuat di Harian Fajar, 16
Oktober 2013).

pg. 41
10. Menyikapi Kebijakan Impor Beras

PERSOALAN beras terkait langsung dengan kebutuhan hidup


orang banyak. Sekitar 95 persen penduduk Indonesia
mengonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Dalam
struktur pengeluaran rumah tangga, sekitar 34 persen dari total
pengeluarannya dibelanjakan untuk beras. Karena beras
merupakan kebutuhan pokok sebagian besar penduduk Indonesia,
maka kedudukannya dalam pembangunan nasional mempunyai
peranan strategis. Dikatakan strategis karena berperan sangat
besar dalam mewujudkan stabilitas nasional. Oleh karena itu,
perberasan akan selalu menjadi sorotan dan pembicaraan yang
penting dan menarik untuk dicermati dan disikapi.
Setidaknya, untuk membicarakan tentang perberasan
nasional ada tiga dimensi yang secara implisit terkandung
didalamnya, yaitu ketersediaan, stabilitas, dan kemampuan
produksi. Pertama, ketersediaan mengisyaratkan adanya rata-rata
pasokan beras yang cukup dan tersedia setiap saat. Pertimbangan
inilah yang mendorong pemerintah untuk membuka keran impor
beras. Keputusan ini diambil berdasarkan evaluasi cadangan beras
yang kita miliki semakin menipis. Misalnya, bila cadangan beras
pemerintah di Perum Bulog sebesar 350 ribu ton, jumlah itu masih
di bawah standar Organisasi Pangan Dunia (FAO), yakni 2,5 persen
hingga 3,5 persen dari total konsumsi nasional yang antara 800
ribu ton dan 1,2 juta ton.
Keputusan untuk mengimpor beras sebanyak 210 ribu
ton, didorong oleh anjloknya persediaan cadangan beras
pemerintah akibat pasokan ke berbagai daerah yang dilanda
bencana, yang telah menghabiskan 100 ribu ton. Apalagi dalam
menghadapi puasa, hari keagamaan, dan terjadinya kekeringan di
berbagai daerah. Karena itu, supaya tidak terjadi kekurangan stok

pg. 42
maupun untuk mengantisipasi jika terjadi bencana yang tidak
diduga, memaksa pemerintah memutuskan untuk mengimpor
beras. Termasuk untuk keperluan operasi pasar bila diperlukan.
Kedua, stabilitas bisa dipandang sebagai kemampuan
meminimalkan kesenjangan kemungkinan konsumsi beras
terhadap permintaan konsumsi beras. Stakeholder perberasan
nasional beralasan bahwa salah satu tujuan impor beras adalah
bertekad untuk mengamankan stabilitas harga. Pemerintah
berdalih, dengan impor beras stabilitas harga tetap terjaga, yaitu
untuk beras kelas medium pada kisaran harga rata-rata Rp. 4.000
hingga Rp. 4.100 per kilogram, agar konsumen tidak kesulitan dan
tidak berakibat terjadinya inflasi.
Hal yang kontradiktif terjadi pada data yang dilansir BPS,
di mana disebutkan bahwa harga beras rata-rata Agustus 2006
mencapai Rp. 5.091 per kilogram atau meningkat 58,23 persen
dibandingkan harga rata-rata Agustus 2005. Perhitungan itu di
ketahui dari 614 transaksi di 16 provinsi. BPS menyebutkan harga
beras yang aman, tidak terlalu tinggi dan tidak merugikan petani,
yaitu Rp.5.000 per kilogram. Ketiga, kemampuan produksi.
Kemampuan produksi padi atau gabah secara nasional, sebenarnya
tidak terlalu mengkhawatirkan Menteri Pertanian, Anton
Apriantono (Kompas, 2/9/06). Hal ini didukung oleh ramalan BPS,
yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 produksi padi sebesar
54,75 juta ton GKG, meningkat 600 ribu ton atau 1,11 persen
dibandingkan dengan produksi tahun 2005 yang hanya mencapai
54,15 juta ton GKG.
Hal inilah yang mengundang reaksi sejumlah daerah
yang surplus beras seperti Jawa Tengah, Lampung, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Atas keputusan yang diambil pemerintah pusat
untuk mengimpor beras, misalnya Jawa Tengah terang-terangan
mengatakan penolakannya atas kebijakan tersebut. Sebagai
daerah penyangga pangan nasional ketiga, untuk tahun 2006 ini
diperkirakan akan mengalami surplus beras 1,9 juta ton. Dengan
mencermati ketiga dimensi persoalan yang setiap tahunnya

pg. 43
dialami perberasan nasional, seperti yang dikemukakan di atas,
kini kita kembalikan pada kebijakan dasar pemerintah tentang
pangan (beras) khususnya dan pertanian umumnya.

Kebijakan Jangka Panjang


Jika kita ingin menjadi bangsa yang mandiri, kita harus
menggenjot produksi beras agar bisa berswasembada.
Kemandirian sebuah bangsa, akan tercermin dalam kedaulatan di
tiga sektor, yakni pangan, energi dan finansial. Dalam kemandirian
pangan harus ada kebijakan jangka menengah dan panjang yang
secara sistematis dilakukan pemerintah pusat untuk meningkatkan
produksi beras, usahatani beras harus menguntungkan. Jika tidak,
harus ada insentif bagi petani untuk berproduksi. Untuk menjaga
harga beras tetap terkendali, produksi nasional harus tetap
seimbang dengan konsumsi nasional. Karena itu, dalam jangka
panjang semakin besar ketergantungan terhadap impor, kian tidak
terjaminnya pasokan beras secara murah. Intinya, kebijakan impor
hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek
tetapi amat riskan dalam jangka menengah dan panjang.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan
beras sebagai konsekuensi logis dari meningkatnya kebutuhan
konsumsi penduduk, pakan dan kebutuhan industri, maka upaya-
upaya menuju tercapainya kembali swasembada beras perlu
dilakukan secara dinamis. Dalam rangka itulah maka ada beberapa
faktor yang patut diperhitungkan yang akan mempengaruhi
produksi beras. Pertama, pengaruh dari sisi permintaan, terutama
yang berkaitan dengan selera. Dengan membaiknya ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia, akan ada perubahan yang
amat berarti dalam pola konsumsi beras, baik dalam jumlah
maupun mutu. Kedua, faktor kemampuan alamiah juga patut kita
pertimbangkan. Tidak banyak lagi lahan tersedia untuk
dikembangkan menjadi lahan sawah ber irigasi yang produktif.
Potensi yang tersisa hanya sekitar 500 ribu hektar. Jika hendak

pg. 44
mengandalkan impor juga di masa depan akan menimbulkan
banyak masalah dan mahal.
Ketiga, gerakan produksi dan konsumsi beras, serta
program diversifikasi pangan di masa depan akan dipengaruhi pula
oleh seberapa jauh kita berhasil dalam mengembangkan sistem
perdagangan yang canggih pada komoditas pertanian, agar nilai
tambah dari perdagangan ini bisa kita raih sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Pada masa yang akan datang, upaya-upaya
memantapkan swasembada beras dan pencapaian swasembada
pangan lainnya, tampaknya perlu difokuskan kepada terwujudnya
ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan, serta
terjaminnya keamanan pangan.
Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa pakar,
dapat dirumuskan beberapa strategi umum untuk mencapai
ketahanan pangan. Pertama, adalah sangat perlu bagi kita untuk
mengadopsi strategi pembangunan ekonomi makro yang
menciptakan pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan
keberlanjutan (sustainable development). Kedua, merupakan yang
mendesak bagi kita untuk mempercepat pertumbuhan sektor
pertanian dan pangan (beras) serta pembangunan pedesaan
dengan fokus kepentingan golongan miskin (pemberdayaan). Ini
berarti, pertanian (pangan) harus menjadi mainstream dalam
ekonomi nasional.
Ketiga, sudah saatnya kita harus meningkatkan akses
terhadap lahan dan sumber daya pertanian dalam arti luas
(agribisnis) secara lebih bijaksana. Termasuk menciptakan dan
meningkatkan kesempatan kerja, transfer pendapatan,
menstabilkan harga dan pasokan pangan (beras), perbaikan
perencanaan serta pemberian bantuan pangan (beras) dalam
keadaan darurat kepada masyarakat. (Dimuat Harian Fajar, 7
September 2006).

pg. 45
11. Pemimpin yang Pro Petani dan Pertanian

KETUA Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko,


menghimbau masyarakat untuk memilih calon pemimpin daerah
yang berpihak pada petani. Karena 60 persen masyarakat
Indonesia berbasis pertanian, namun masih banyak pemimpin
daerah yang dianggap tidak berpihak pada petani kecil. Fakta di
lapangan masih banyak kepala daerah yang tidak peduli petani
kecil. Menurut Moeldoko, kita berharap pemimpin yang nanti
terpilih dalam kontestasi Pilkada serentak, memiliki komitmen
kuat untuk memajukan sektor pertanian. Masa depan pertanian
daerah bergantung pada kepala daerahnya sendiri. Karena nasib
petani memang tergantung pada kebijakan-kebijakan pemimpin
daerah. Kalau pemimpinnya tidak pro petani, maka petani akan
makin jauh dari kesejahteraan.

Peran Pemimpin
Pranadji (2006) menyatakan bahwa peran pemimpin dalam
memajukan masyarakat sangatlah menentukan, leadership as a
primer mover. Besarnya pengaruh keberadaan seorang pemimpin
yang mempunyai visi dan kredibilitas yang tinggi di mata
masyarakat terkandung tiga aspek sekaligus, yaitu kharisma dan
integritas sebagai pemimpin, serta kemampuan teknis sebagai
manajer. Bagi masyarakat yang berperadaban agraris ketiga aspek
yaitu kharisma, integritas, dan keahlian teknis memimpin harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Misalnya kemampuan mendekati
masyarakat melalui kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa
agama, menjadikan sosok pemimpin dikenal sebagai orang arif dan
patut dihormati. Selain itu, sikap merakyat yang dapat ditunjukkan
pemimpin merupakan bagian esensial dari penerimaan masyarakat
secara emosional.

pg. 46
Selanjutnya Pranadji (2006) menjelaskankan bahwa paling
tidak ada lima aspek yang sangat menentukan kemajuan
pembangunan pertanian. Pertama, perlunya semangat kolektif
masyarakat untuk mandiri dan merdeka dari segala bentuk
keterbelakangan. Kedua, adanya pemimpin yang kompeten,
kredibel, dan peduli terhadap kemajuan pertanian pada khususnya
dan kemajuan masyarakat pedesaan pada umumnya. Ketiga,
adanya program pembangunan pertanian yang benar, yaitu upaya
dan itikad pemimpin untuk benar-benar membangun pertanian.
Keempat, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang sejalan
dengan semangat good governance, serta penguatan masyarakat
madani (civil society), dan Kelima, pengembangan modal sosial
berbasis kearifan lokal.

Pro Petani Kecil


Gambaran umum petani di Indonesia adalah petani kecil
(gurem) yang sederhana, miskin modal, berlahan sempit serta
kurang terdidik, cenderung bersikap diam, mengeluh dan tak
berdaya. Situasi ketidakberdayaan tersebut, menurut Soetomo
(2013) berakar dari persoalan struktural (sistemik). Dalam sistem
sosial misalnya, petani cenderung menjadi elemen yang dibuat
bergantung tak berdaya sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di
luar dirinya. Sementara esensi kemerdekaan sesungguhnya adalah
terbebas dari kemiskinan, mengangkat harkat dan martabat,
sebagai instrumen menuju kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Tidak terkecuali derajat dan kesejahteraan petani, yang umumnya
tinggal dipedesaan, dengan mata pencaharian terbesar adalah
bertani, yang merupakan pemain atau pelaku utama dalam
pembangunan pertanian.
Namun, hingga sekarang ini posisi petani masih lemah dan
termarjinalkan. Padahal, petani adalah soko guru swasembada,
ketahanan dan kedaulatan pangan. Dalam arti luas, petani
merupakan soko guru perekonomian nasional. Bisa dibayangkan
seandainya tidak ada petani yang bekerja keras, bekerja sabar,

pg. 47
bekerja ikhlas, siapa yang mau bersusah-payah menanam,
menyemai, merawat dan memanen padi dan tanaman lainnya.
Bahkan padi merupakan makanan pokok sebagian besar warga
dunia. Bisa jadi, jika tidak ada petani, kita akan mengalami krisis
pangan, dan bahkan tragedi kelaparan akan melanda kita.
Pertanyaannya, mengapa kehidupan para petani yang
bekerja tanpa kenal lelah dan waktu semakin hari semakin miskin?
Jawabannya, karena paradigma kita terhadap pertanian hanya
sebatas budidaya komoditi primer. Sebab arah kebijakan dan
program pembangunan pertanian nasional susah dicerna ditingkat
bawah, belum menyentuh harkat, martabat dan kesejahteraan
para petani. Sejauh ini, pembangunan pertanian nasional hanya
sebatas melihat pertanian sebagai komoditi. Bukan melihat petani
sebagai motor penggeraknya.
Akibatnya petani hanya menjadi obyek dan bukan subyek
pembangunan pertanian. Alhasil, nasib, harkat dan martabat para
petani hanya di ukur dari harga komoditi yang dihasilkan.
Celakanya, komoditi yang dihasilkan oleh para petani selalu
dihargai relatif rendah. Makanya nasib dan kehidupan mereka
terus terpuruk. Untuk itu, problem ini sesungguhnya yang harus
kita jawab bersama demi meningkatkan taraf hidup para petani
demi menuju Indonesia berdaulat pangan. (Dimuat di Media
Online halamanindonesia.com, 16 Maret 2018).

pg. 48
12. Menyikapi Ancaman Krisis Pangan Global

PERSERIKAN Bangsa-Bangsa (PBB) jauh hari sebelumnya, melalui


organisasi pangan dan pertaniannya (FAO) menyatakan, 37 negara
dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), Asia (9), Amerika
Latin ((6), dan Eropa Timur (2), termasuk Indonesia mulai tahun ini
menghadapi ancaman krisis pangan global, karena perubahan iklim
dan bencana alam. FAO menegaskan, kebutuhan biji-bijian dunia
pada 2007–2008 diperkirakan meningkat dibandingkan priode
sebelumnya. Sebaliknya, stok pangan dunia yang diperhitungkan
hingga akhir musim tanam 2008, justru diperkirakan turun sekitar
420 juta ton dari stok sebelumnya. Hal ini berimplikasi pada
melonjaknya komoditas biji-bijian di tingkat internasional, karena
pasokannya seret, sementara permintaannya naik. Harga beras di
tingkat internasional misalnya, mencapai 700 dolar AS per ton,
sedangkan beras domestik 400 dolar AS per ton.
Negara-negara ASEAN misalnya, terancam mengalami krisis
pangan, karena meningkatnya permintaan beras dari negara-
negara Timur Tengah atau Afrika, turut mempengaruhi harga dan
kekurangan beras di Vietnam dan Thailand, yang nota bene kedua
negara tersebut merupakan pengekspor beras terbesar. Namun
ancaman krisis pangan ini merupakan gejala global, yang tidak
hanya dirasakan oleh 37 negara seperti dijelaskan di atas, tapi
dampaknya juga dirasakan masyarakat di negara maju. Gejalanya
sudah terasa mulai 2007 dan bakal menjadi-jadi pada tahun-tahun
berikutnya.
Fenomena meroketnya harga pangan terjadi secara global
akibat bencana alam dan konversi lahan pangan ke bioenergi
(biofuel). Konversi secara besar-besaran terjadi di negara eksportir
pangan, terutama Amerika Serikat yang mengonversi 23 persen
jagungnya untuk dijadikan bioetanol. Dampak dari kebijakan

pg. 49
pengembangan bioenergi tersebut, menyebabkan bahan pangan
terbagi antara kebutuhan pangan dan kebutuhan energi. Misalnya
pengembangan bioenergi yang bersumber dari bahan pangan
seperti jagung, kedelai, tebu, singkong, sawit dan lainnya memicu
meningkatnya permintaan komoditas tersebut di pasar
internasional. Membuat Tiongkok dan India membatasi ekspor
pangannya, guna mengamankan ketersediaan bahan pangan
dalam negerinya.
Di awal tahun ini, para pengamat menggambarkan kondisi
pangan Indonesia pada posisi diambang krisis. Bahwa diprediksi
pada tahun 2020, atau lebih cepat Indonesia telah masuk
perangkap ketergantungan impor pangan. Khusus untuk beras,
data menunjukkan saat ini luas panen Indonesia per tahun sebesar
12,5 juta hektar untuk 1 – 3 kali musim tanam. Pada hal kebutuhan
beras nasional pada 2007 saja sekitar 32,96 juta ton, dan
diperkirakan pada 2030 nanti akan mencapai 59 juta ton. Untuk
menutupi kekurangan sekitar 26,04 juta ton, diperlukan areal
sawah seluas 11,8 juta hektar, yang hingga saat ini luas areal baru
mencapai 11,6 juta hektar. Kondisi ini sangat memprihatinkan,
sebab ada ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan
lahan pertanian, laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,3 – 1,5
persen per tahun. Di lain pihak, setiap tahun tidak kurang dari 10
ribu hektar sawah beralih fungsi.

Perluas Lahan
Untuk itu, langkah yang tepat dalam menyikapi ancaman
krisis pangan global (global food crisis) ini, setidaknya ada tiga
jurus jitu yang harus dilakukan untuk menangkal ancaman krisis
pangan global. Upaya itu meliputi perluas areal, peningkatan
produktivitas, dan diversifikasi konsumsi pangan. Pertama, perluas
areal. Solusi alternatif dan persoalan ancaman krisis pangan di
Indonesia adalah menggenjot perluasan areal pertanaman
komoditas bahan pangan, terutama padi (beras). Sekedar
perbandingan, luas sawah yang ada saat ini baru sekitar 11,8 juta

pg. 50
hektar. Tapi bukannya lahan sawah semakin meningkat, mala
setiap tahun terjadi peningkatan konversi lahan pertanian ke non-
pertanian. Alih fungsi lahan tersebut mencapai 33 ribu meter
persegi per hari.
Data BPS menunjukkan selama kurun waktu 1995–2005
lahan sawah mengalami penyusutan perluasan dari 5.464.687
hektar menjadi 7.696.161 hektar atau menurun sekitar 768.526
hektar. Untuk itu, pemerintah dan DPR diharapkan segera
mengesahkan rancangan undang-undang lahan pertanian pangan
abadi (LPPA), guna menjamin ketahanan pangan nasional. Urgensi
lahirnya produk undang-undang ini, untuk menata ruang dan
menetapkan lahan pertanian yang dilindungi di setiap daerah.
Langkah ini diharapkan dapat menjamin penguatan ketahanan
pangan rumah tangga, wilayah, dan nasional yang mantap. Bila laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 -1,5 persen per tahun dengan
luas lahan pertanian tidak bertambah, maka dalam jangka 10–20
tahun ke depan bisa berdampak serius terhadap krisis dan
kerawanan pangan nasional yang bersifat permanen.
Kedua, peningkatan produksi dan produktivitas. Tantangan
Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan produksi
berbagai komoditas pertanian. Sebab bertahan pada kondisi
produksi yang saat ini dicapai, itu artinya siap-siap saja
menghadapi ancaman krisis pangan permanen. Satu-satunya jalan
agar Indonesiia bisa meningkatkan produksi beras dan tanaman
pangan lainnya secara berkelanjutan adalah dengan memperluas
lahan pertanian yang ada sekarang. Terkait dengan hal itu, lahan
ber irigasi kita baru mencapai 7,5 – 8 juta hektar, sehingga
berpengaruh pada tingkat produktivitas yang hanya berkisar 4,7
ton per hektar, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 230
juta jiwa.
Bandingkan dengan Thailand, yang dihuni penduduk hanya
120 juta jiwa namun memiliki 9,5 juta hektar sawah ber irigasi.
Apalagi Indonesia, tidak ada penambahan kawasan irigasi baru
sejak tahun 1990-an, yang ada hanya sekedar perbaikan dan

pg. 51
penambalan irigasi yang rusak. Ditinjau dari aspek teknologi
pertanian juga mengecewakan, karena sejak lima tahun lalu
produktivitas komoditas pangan bisa dibilang stagnan. Salah satu
diantara beberapa faktor penyebab, adalah kelangkaan dan jalur
distribusi pupuk yang tidak optimal.
Ketiga, diversifikasi konsumsi pangan. Program diversifikasi
atau penganekaragaman pangan di Indonesia sudah seharusnya
dilaksanakan dan bukan menjadi sekedar wacana lagi. Hasil
penelitian menunjukkan betapa pentingnya diversifikasi konsumsi
pangan, untuk mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan
bahan pangan impor lainnya. Pencanangan penurunan konsumsi
beras 1 persen per tahun, dengan menggenjot pelaksanaan
program penganekaragaman pangan berbasis karbohidrat
merupakan solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap
beras sebagai bahan makanan pokok. Dengan program ini, beras
nasional bisa dihemat 300 ribu ton setahun, atau setara 500 ribu
ton gabah kering giling (GKG). Idealnya konsumsi beras sebanyak
100 kilogram per kapita per tahun, dari 139 kilogram saat ini.
Dibandingkan program lain, diversifikasi dapat dipilih
sebagai solusi alternatif untuk mengatasi melambungnya harga
beras dunia, mengingat waktu yang diperlukan lebih pendek.
Masyarakat hanya perlu memanfaatkan lahan yang ada untuk
menanam bahan makanan lain disamping padi, seperti jagung,
singkong dan umbi-umbian lainnya. Di tengah berbagai bencana
dan perubahan iklim global, perlu kiranya kita mencermati langkah
yang telah dilakukan pemangku kepentingan di bidang pertanian
dengan program revitalisasinya, untuk menjauhkan ancaman krisis
pangan global ini. Misalnya, sudah seberapa jauh jaringan irigasi
ditambah dan direhabilitasi. seberapa besar peningkatan produksi
pangan yang telah di dapat, seberapa jauh jalan dibangun untuk
menjangkau sentra produksi, seberapa efektif kerja tenaga
penyuluh lapangan, seberapa tertib pupuk dan saprodi disalurkan,
seberapa kesungguhan perbankan dalam menyalurkan kredit
kepada petani, dan seberapa serius program diversifikasi

pg. 52
dilaksanakan dan sosialisasikan di masyarakat. Pertanyaaan ini
tidak perlu dijawab oleh salah satu pihak saja, namun memerlukan
jawaban dari kita semua, apa kontribusi kita terhadap keberhasilan
pembangunan pertanian di Indonesia, supaya kita terbebas dari
krisis pangan yang tengah melanda dunia. (Dimuat di Harian
Tribun Timur, 19 April 2008).

pg. 53
13. Dampak Kenaikan Harga Pangan Dunia

PARA pemimpin dunia sedang diingatkan untuk senantiasa


mewaspadai dampak dari kenaikan harga pangan yang terus
meroket. John Holmes, Wakil Sekjen PBB Urusan Kemanusiaan
dan Bantuan Darurat, mengingatkan bahwa kenaikan harga
pangan bisa memicu kerusuhan dan ketidakpastian politik secara
global. Pernyataan Holmes ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi
untuk merangsang para pemimpin dunia dalam pencarian solusi.
Karena kenyataannya, hampir semua negara di dunia sedang
dilanda kegalauan akibat kenaikan harga pangan sejak
pertengahan 2007, karena harga-harga pangan sudah naik 42
persen.
Demikian pula Direktur Pelaksana Dana Moneter
Internasional (IMF), Dominique Strauss-Khan, menyatakan naiknya
harga pangan telah menimbulkan konsekuensi yang mengerikan
bagi dunia, termasuk kerusuhan massal dan resiko perang. Bila
kondisi ini terus berlangsung, konsekuensinya akan sangat
mengerikan. Peringatan Strauss-Khan itu sebenarnya sudah
terjadi. Misalnya, di Vietnam aksi protes ekskalasinya meningkat.
Masalahnya, kenaikan harga pangan telah meresahkan banyak
orang. Demikian pula yang terjadi di Bangladesh, sekitar 20.000
pekerja melakukan kerusuhan akibat mahalnya harga pangan dan
rendahnya upah buruh. Termasuk kerusuhan yang terjadi di Haiti,
Mesir, dan beberapa negara Afrika lainnya, yang dipicu kelangkaan
dan mahalnya harga pangan.

Dipicu Tiga Faktor


Dalam sebuah diskusi yang diselenggarkan Warta Ekonomi,
dengan menghadirkan stakeholder dan pelaku utama bisnis
komoditi pangan, dirumuskan setidaknya ada tiga faktor utama

pg. 54
yang menyebabkan harga komoditi pangan meningkat tajam, yaitu
kenaikan harga minyak dunia, perubahan iklim, dan pertumbuhan
ekonomi luar biasa di Tiongkok dan India. Pertama, harga minyak
dunia yang tinggi selama beberapa tahun terakhir dan telah
menembus harga USD 100 per barel pada awal 2008,
menyebabkan dunia mencari energi alternatif. Apalagi dari tahun
ke tahun persediaan minyak terus menurun, sementara kebutuhan
energi manusia kian bertambah.
Batubara yang cadangannya saat ini lebih banyak di
banding minyak bumi, akhirnya menjadi primadona, walhasil
harganya pun ikut naik. Sadar bahwa batubara suatu saat nanti
juga akan habis, program biofuel pun banyak dikembangkan di
hampir setiap negara. Bahan pangan seperti gandum, jagung,
singkong dan tebu kemudian dibidik untuk dijadikan bahan baku
energi. Keempat produk pertanian itu jika diolah bisa
menghasilkan ethanol yang merupakan salah satu bahan baku
biofuel.
Penggunaan komoditi pertanian sebagai sumber energi
(green energy) dewasa ini dinilai sebagai pemicu harga bahan
pangan terus bergerak naik. Permintaan jagung dan minyak sawit
mentah dunia bergeser dari permintaan untuk minyak goreng dan
turunannya, beralih menjadi permintaan untuk energi. Terjadi
konversi produk pangan di negara maju menjadi biofuel sebagai
substitusi minyak alam yang harganya melambung tinggi
belakangan ini. Ringkasnya, pasar pangan dunia sekarang sedang
menghadapi persaingan dari pasar energi. Sebagai gambaran,
Amerika Serikat (AS) sebagai pemasok 40 persen jagung dunia
telah mengalokasikan 10 persen produksi jagungnya untuk biofuel
pada 2006. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 12
persen pada 2008. Kedepan, 2017 sebanyak 20 persen konsumsi
bahan bakar di AS ditargetkan berasal dari biofuel.
Kedua, kenaikan harga komoditi pangan di pasar dunia itu
juga dipicu oleh dampak perubahan iklim yang menyebabkan
kegagalan panen di negara produsen. Di Amerika misalnya, akhir

pg. 55
2006 lalu mengalami gagal panen akibat kekeringan. Produksi
gandum mereka turun hingga 60 persen, dari 24 juta ton menjadi
hanya 9 ton. Sementara di AS, tingginya curah hujan di area
pertanian mengakibatkan panen gandum tertunda dan sejumlah
area rusak parah. Amerika sendiri merupakan negara dengan
produksi gandum hampir 10 persen dari total produksi dunia yang
mencapai sekitar 616,87 juta ton.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara agraris,
tentunya sangat bergantung kepada iklim. Padahal, perubahan
iklim yang tidak dapat diperkirakan lagi merupakan salah satu
akibat dari pemanasan global yang terjadi selama ini. Jangan
heran jika terjadi kelangkaan berbagai jenis komoditas pertanian.
Penyebabnya adalah sulit memperkirakan kapan musim hujan tiba,
sehingga petani sulit menentukan masa tanam dan masa panen
seperti sebelumnya.
Ketiga, kondisi haus pangan dipicu booming ekonomi
Tiongkok dan India yang populasinya hampir sepertiga penduduk
dunia. Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi
Tiongkok mencapai 11,5 persen, sedangkan India 8 persen. Hal
inilah yang mengisyaratkan pemenuhan kebutuhan pangan dan
energi dalam jumlah besar. Dalam analisis Bank Dunia,
peningkatan harga komoditas pangan, karena beberapa negara
pengekspor komoditas seperti Thailand mengurangi ekspor beras
hingga 52 persen bulan lalu. Faktor tingginya permintaan dari
Tiongkok dan India juga membuat harga CPO dunia melambung,
sampai menyentuh USD 1.100 per ton. Hal lain yang memicu
kenaikan harga komoditas bahan pangan, akibat pertumbuhan
ekonomi Tiongkok yang hampir dua digit, adalah berpindahnya
kelas sosial ratusan juta orang ke kelas menengah di negeri itu,
sehingga menaikkan permintaan akan daging. Konsumsi daging
masyarakat Tiongkok meningkat dari 20 kilogram per tahun per
orang pada 1985, jadi lebih dari 50 kilogram pada 2008. Akibatnya,
produk makanan ternak dan produk makanan lainnya semakin
mahal.

pg. 56
Bangkitnya Pertanian Tiongkok
Dari negara yang kekurangan pangan sebelum tahun 1980-
an, Tiongkok kini telah berhasil menjadi produsen hasil pertanian
kedua terbesar setelah AS. Pada awalnya analis ekonomi
memperkirakan Tiongkok tidak akan mampu bersaing dengan AS,
dalam komoditas (bulk commodity) seperti jagung, gandum,
kedelai, dengan alasan Tiongkok tidak memiliki lahan yang cukup
dibandingkan AS. Namun Tiongkok dapat bersaing dalam
menghasilkan komoditas pertanian yang padat tenaga kerja
seperti buah-buahan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi
tidak hanya didasarkan pada input konvensional seperti lahan dan
tenaga kerja, tetapi sebanyak 4,3 persen dari total laju
pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lain, yang terpenting yaitu
landasan institusi dan kebijakan yang dibangun. Menurut Said G.
(2006), hal-hal yang membuat perekonomian Tiongkok dapat
tumbuh dengan pesat adalah sebagai berikut: (1) konsistensi
pemerintah dalam melakukan reformasi atau struktur ekonomi
yang tidak pas, dan mencoba menjaga stabilitas ekonomi, (2)
kebijakan membuka diri terhadap negara-negara luar, (3)
perhatian yang tinggi terhadap sektor pendidikan dengan
meningkatnya pengeluaran pendidikan, dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan
dan pelatihan, dan (4) undang-undang dan peraturan yang dibuat
berperan dalam mengembangkan mekanisme pasar.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya
perkembangan perekonomian dunia yang positif memberi angin
segar bagi perekonomian Indonesia, khususnya sektor pertanian.
Bukankah Presiden SBY pada Januari 2005 telah mencetuskan
Pencanangan Program Revitalisai Pertanian, seharusnya dapat
meredam gejolak harga yang terjadi saat ini. Namun,
implementasinya belum jelas atau revitalisasi tanpa greget.
(Dimuat di Harian Fajar, 19 April 2008).

pg. 57
Bagian Kedua
PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

pg. 58
1. Prospek Pengembangan Agroindustri Sawit

SEBAGAI minyak makan dunia, sawit menduduki peringkat


pertama, mengalahkan minyak kedelai. Tahun 2005 produksinya
mencapai 33.490 ribu ton atau meraih pangsa pasar 23,96 persen.
Laju pertumbuhan mencapai 8,44 persen per tahun. Proyeksi pada
2020 permintaan dunia terhadap minyak olahan (agroindustri)
kelapa sawit dan turunannya akan meningkat dua kali lipat.
Lonjakan permintaan itu, dipicu oleh munculnya fenomena perang
kepentingan, antara dua miliar orang yang berharap komoditas ini
untuk memenuhi kebutuhan pangan (food) dan 800 juta orang
konsumen membutuhkan bahan bakar nabati (biofuel).
Pertempuran ini membuat prospek pengembangan agribisnis dan
agroindustri kelapa sawit semakin cerah.
Mengingat dari 11 juta hektar kebun sawit di dunia, seluas
5,6 juta hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Jika kondisi
ekonomi dan politik di negeri ini kondusif, bukan mustahil
perluasan kebun sawit akan terus bertambah, sehingga mencapai
sekitar 300 ribu hektar per tahun. Pemerintah melalui program
revitalisasi perkebunan, menargetkan perluasan kebun sawit
seluas 1,5 juta hektar untuk perkebunan rakyat.

Indonesia vs Malaysia
Dalam perdagangan minyak sawit mentah crude palm oil
(CPO) Indonesia bersaing dengan Malaysia. Produksi CPO
Indonesia 13,8 juta ton pada 2005, masih di bawah Malaysia
dengan produksi mencapai 15,36 juta ton. Malaysia yang
merupakan produsen dan eksportir terbesar akhir-akhir ini,
berusaha secara konsisten mengolah CPO sehingga volume
ekspornya diperkirakan mulai menurun. Disisi lain, Indonesia yang

pg. 59
sampai saat ini sebagai negara produsen dan eksportir kedua
mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor komoditi ini.
Indonesia dikenal sebagai negara paling efisien dalam
memproduksi CPO, sehingga CPO Indonesia sangat kompetitif di
pasar internasional. Hal ini ditunjang dengan ketersediaan lahan
yang relatif luas. Peluang untuk meningkatkan produksi dan
memacu pertumbuhan ekspor lebih besar.
Proyeksi penggunaan CPO pada beberapa tahun
mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan
diterapkannya kebijakan beberapa negara di dunia untuk
menggunakan renewable energy. Hal inilah yang mendorong
penulis untuk mengungkapkan secara singkat kondisi agroindustri
kelapa sawit atau olahannya (CPO) terhadap kompetisi
kepentingan antara kebutuhan pangan (food) dan bioenergi (fuel).

Kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan (food) yang berbasis CPO, seperti
emulsifer, margarine, minyak goreng, minyak makan merah,
shortening, susu kental manis, confectioneries, es krim, yoghurt,
dan sebagainya. Melihat berbagai kegunaan dan manfaat seperti
diungkap di atas menjadikan agroindustri kelapa sawit, khususnya
CPO memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan ke depan.
Prospek pasar CPO di dukung oleh beberapa pertimbangan. CPO
diyakini mempunyai daya saing yang kuat dalam persaingan
dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, raspeseed,
minyak bunga matahari, dan kopra. CPO dikatakan berdaya saing,
berdasarkan beberapa alasan, di antaranya; (a) produktivitas per
hektar cukup tinggi, (b) merupakan tanaman tahunan yang cukup
handal terhadap berbagai perubahan agroklimat, dan (c) ditinjau
dari aspek gizi, CPO tidak terbukti sebagai penyebab
meningkatnya kadar kolesterol, malah berkhasiat menurunkan
kolesterol dalam darah, selain itu mengandung beta karoten
sebagai pro-vitamin A.

pg. 60
Faktor lainnya, adalah sekitar 80 persen dari penduduk
dunia khususnya di negara berkembang masih berpeluang
meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak.
Dalam hal ini, pilihannya lebih banyak pada CPO. Karena disamping
faktor penduduk, peningkatan konsumsi, juga disebabkan oleh
efek substitusi dan efek pendapatan. Produksi minyak nabati
dunia pada 2005 mencapai 138.808 juta ton atau meningkat 4,01
persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi minyak nabati
dunia juga meningkat. Pada tahun yang sama, kebutuhannya
sebesar 138,1 juta ton atau mengalami peningkatan 4,37 persen.
Kontribusi minyak nabati dunia, dipasok oleh kedelai dan
kelapa sawit. Pada 2005, masing-masing menyumbang 33,491 juta
ton, atau 47,91 persen dari total produksi minyak dunia. Negara
penghasil kedelai terbesar adalah Amerika Serikat, sedangkan
kelapa sawit Indonesia dan Malaysia yang mencapai 80 persen
(29,1 juta ton) dari produksi kelapa sawit dunia. Pertumbuhan
produksi kelapa sawit, mencapai 8,44 persen. Angka itu
menunjukkan kelapa sawit berpotensi besar memasok kebutuhan
minyak nabati dunia. Di Indonesia, salah satu turunan dari minyak
kelapa sawit, yang banyak dibutuhkan adalah minyak goreng.
Selain margarine, shortening, bahan campuran pada es krim, lemak
roti, krim biskuit, coklat dan mi instan.
Produksi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005
sebanyak 6,43 juta ton. Produksi terbesar di Jawa (51,4 persen),
Sumatera (47,6 persen), dan Kalimantan (1,1 persen). Sementara
konsumsi minyak goreng penduduk Indonesia terus meningkat.
Tahun lalu, rata-rata konsumsi perkapitanya 16,5 kilogram. Tak
heran jika produksi minyak goreng hanya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Meskipun banyak beredar minyak goreng
dari bahan nabati lain, seperti minyak jagung, minyak bunga
matahari, atau campuran keduanya dengan minyak sawit, tapi
tampaknya konsumen Indonesia lebih memilih CPO alias minyak
sawit mentah. Pertimbangan harga lebih terjangkau dan
distribusinya luas, sehingga mudah di dapat.

pg. 61
Kebutuhan Bioenergi
Untuk kebutuhan bahan bakar nabati (fuel) atau bioenergi.
CPO menjadi bahan baku utama pembuatan biodiesel dan yang
paling siap dibanding jarak pagar. Biodiesel adalah bahan bakar
cair untuk mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati yang
diperoleh melalui proses methanolisis. Reaksi yang digunakan
adalah transesterifikasi atau esterifikasi dengan metanol sebagai
katalisnya.
Biodiesel sawit terbuat dari CPO yang dihasilkan dari buah
bagian luar (mesokarp). Keunggulan biodiesel sawit antara lain bisa
menekan tingkat polusi sehingga diharapkan bisa melindungi
kelestarian alam. Hasil penelitian Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI) Bogor, jika mobil diesel menggunakan solar biasa,
tingkat konsumsinya mencapai 1 : 13, artinya 1 liter untuk 13 km
jarak tempuh. Tetapi jika dicampur biodiesel dan solar
perbandingan 90 persen : 10 persen, maka tingkat konsumsi bahan
bakar menjadi 1 : 14. (Dimuat Harian Tribun Timur, 10 Januari
2007).

pg. 62
2. Potensi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Barat

PROVINSI Sulawesi Barat (Sulbar) yang luas wilayahnya sekitar


19.650,93 km persegi, memiliki sejumlah potensi sumber daya
alam (SDA) yang potensial untuk dikembangkan. Potensi SDA yang
beranekaragam tersebut, tersebar di enam wilayah kabupaten,
yakni Polewali Mandar, Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju
Tengah, dan Mamuju Utara. Potensi tersebut, mulai dari bidang
perkebunan, perikanan, pertanian, kehutanan, pertambangan,
pariwisata, dan budaya. Di lihat dari potensi yang dimiliki Sulbar,
sektor agribisnis masih memiliki ruang gerak pengembangan yang
cukup luas dan dukungan pasar yang cukup potensil. Dan hal inilah
merupakan tugas berat yang harus dilakukan oleh para pemimpin
Sulbar ke depan, yaitu berupaya mendatangkan investor sebanyak
mungkin untuk berinvestasi di sektor agribisnis, agar
pembangunan dan roda perekonomian di daerah ini bisa segera
dipacu.

Sisi Penawaran dan Permintaan


Dari sisi penawaran, sumber daya agribisnis di Sulbar dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Sulbar memiliki SDA yang
beranekaragam dengan luas wilayah 19.650,93 km persegi, yang
mempunyai kekayaan keanekaraman hayati yang dimiliki Sulbar
dapat menghasilkan komoditi dan produk agribisnis yang besar
jumlahnya. Kedua, Sulbar memiliki sumber daya kelautan dan
perikanan, berupa sumber daya perairan dengan panjang pantai
sekitar 750,72 km, dengan perairan sekitar 5.580,35 km persegi,
dan potensi air payau seluas 13.584,6 hektar.
Ketiga, Sulbar memiliki komoditas perkebunan, dimana
beberapa komoditas tersebut menjadi komoditi andalan dan
merupakan produsen terbesar di Sulawesi, seperti potensi

pg. 63
pertanaman kakao seluas 296.039 hektar, kelapa sawit 84.248
hektar, kelapa dalam dan hibrida 68.804 hektar, dan berbagai
komoditi perkebunan lainnya. Keempat, Sulbar memiliki potensi
produksi yang tinggi dari tanaman pangan dan hortikultura.
Misalnya, areal persawahan seluas 68.820 hektar, pertanaman
jagung seluas 22.313 hektar dan jeruk seluas 19.552 hektar.
Kelima, pada komoditas peternakan, khususnya sapi, kambing dan
ayam buras, Sulbar berpotensi menjadi produsen terbesar di
Indonesia terutama pengembangan ternak kambing, yang terkenal
dengan kambing asal Majene.
Keenam, di bidang kehutanan, Sulbar memiliki potensi
hutan seluas 1.131.905 hektar. Untuk itu, berpeluang
menghasilkan berbagai jenis kayu, seperti kayu hitam (ebony) dan
berbagai jenis spesies rotan. Ketujuh, dilihat dari segi mata
pencaharian, sebagian besar penduduk Sulbar bekerja di sektor
pertanian, yaitu berjumlah 318.805 orang (2004) atau sekitar 75,17
persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Dengan jumlah
tersebut, sangat bermanfaat sebagai sumber tenaga kerja dengan
upah yang relatif rendah dan sumber inventor serta inovator
wirausahawan yang merupakan pelopor di sektor agribisnis.
Kemudian dari sisi permintaan, prospek pengembangan
agribisnis di Sulbar dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
sampai saat ini, konsumsi per kapita produk pangan di Indonesia,
termasuk Sulbar masih tergolong terendah di dunia. Kecuali
konsumsi beras yang tertinggi di dunia, akan tetapi konsumsi per
kapita ikan, sayuran, buah-buahan, daging, susu, telur, dan lain-lain
masih rendah. Rendahnya konsumsi produk pangan ini antara lain
disebabkan karena masih relatif rendahnya pendapatan per kapita
penduduk. Tetapi di masa yang akan datang, pendapatan per
kapita penduduk di Indonesia diperkirakan di atas 2.500 USD.
Kedua, di pasar internasional, pasar produk-produk
agribisnis masih sangat besar. Terdapat dua fenomena masa
depan yang menyebabkan meningkatnya peluang pasar produk
agribisnis di pasar internasional, yaitu (1) liberalisasi perdagangan

pg. 64
dunia akan meminimumkan atau menghapus kebijakan proteksi
seperti tarif, subsidi dan berbagai non tariff barrier perdagangan
produk-produk agribisnis, dan (2) meningkatnya industrialisasi
yang tidak berbasis pertanian di berbagai negara, khususnya di
negara-negara yang sempit wilayahnya, akan mengakibatkan
mengalirnya sumber daya dari sektor pertanian ke luar sektor
pertanian. Akibatnya produksi pertanian pada negara yang
bersangkutan akan menurun karena tidak kompetitif dengan
sektor lainnya. Kedua fenomena tersebut, akan menciptakan
peluang pasar yang sangat besar bagi produk-produk agribisnis di
pasar internasional. Dengan demikian, daerah-daerah yang masih
memiliki ruang gerak yang luas bagi pengembangan sektor
agribisnis, seperti Sulbar, akan memiliki peluang yang sangat besar
untuk memanfaatkannya.

Prioritas pada Tiga Bidang


Dalam rangka menarik dan mendatangkan investor untuk
berinvestasi di sektor agribisnis. Setidaknya ada tiga bidang atau
sektor pembangunan yang mesti segera mendapatkan skala
prioritas untuk dibenahi. Ketiga bidang yang dimaksud yaitu
pengembangan sumber daya manusia (SDM) agribisnis,
pembangunan infrastruktur, dan pembangunan ekonomi
kerakyatan. Pertama, pengembangan SDM agribisnis untuk
memampukan sektor agribisnis menyesuaikan diri terhadap
perubahan pasar, diperlukan pengembangan SDM agribisnis,
khususnya pemanfaatan pengembangan teknologi, serta
pembangunan kemampuan SDM agribisnis sebagai aktor dan
pelaku pengembangan sektor agribisnis. Dalam menghadapi
tantangan dimasa yang akan datang diperlukan pengembangan
teknologi dengan aspek-aspek meliputi bioteknologi, teknologi
ecofarming, teknologi proses, teknologi produksi, dan teknologi
informasi. Pengembangan teknologi tersebut, untuk
memampukan sektor agribisnis secara keseluruhan dalam

pg. 65
menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan SDM agribisnis yang mumpuni dan tangguh.
Dengan latar belakang pendidikan formal dan pengalaman
SDM agribisnis di Sulbar yang sangat bervariasi, bahkan data
menunjukkan pelaku agribisnis di Sulbar sekitar 75,17 persen dari
jumlah penduduk yang bekerja rata-rata berpendidikan SLTP ke
bawah. Untuk itu, pengembangan SDM agribisnis yang demikian
diperlukan suatu on the job cross training, selain on the job training
yang telah berlangsung selama ini. Kedua, pembangunan bidang
infrastruktur untuk mendukung pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan sektor agribisnis, diperlukan pembangunan
infrastruktur agribisnis, seperti jaringan jalan dan jembatan,
bandar udara, pelabuhan, jaringan listrik, air dan telepon. Ketiga,
pembangunan ekonomi kerakyatan (PEK). PEK merupakan
perwujudan dari demokrasi ekonomi, yakni dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini mengandung arti bahwa
pertumbuahn ekonomi seharusnya diperoleh dengan
menggunakan sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh sebagian
besar rakyat Indonesia dan dikelola oleh rakyat secara individu
maupun melalui organisasi rakyat seperti koperasi, usaha kecil,
usaha menengah, serta usaha besar yang hasilnya dapat dinikmati
dan diterima oleh rakyat.
Oleh karena itu, PEK harus dititk beratkan pada bagaimana
menggerakkan ekonomi masyarakat, baik yang tinggal di
pedesaan maupun perkotaan sesuai potensi daerah masing-
masing. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan di Sulbar,
dengan menggunakan pendekatan konsep sistem dan usaha
agribisnis, yaitu mencakup tanaman pangan dan hortikultura,
kelautan dan perikanan, perkebunan, kehutanan dan peternakan.
Mengingat potensi SDA Sulbar, yang memiliki wilayah seluas
19.650,93 km persegi, merupakan potensi yang hingga saat ini
masih belum dikelola secara optimal, khususnya di sektor
agribisnis. Bahkan karena keterbatasan jumlah SDM agribisnis,

pg. 66
sehingga masih banyak lahan tidur yang tidak dimanfaatkan, yang
semestinya berpotensi untuk dikembangkan.
Bidang pertanian, yang merupakan mata pencaharian
sebagian besar penduduk Sulbar. Selama ini masih dikerjakan
secara tradisional dan belum menerapkan konsep dan sistem
usaha agribisnis, sehingga hasilnya kurang maksimal. Akibatnya
kehidupan ekonomi petani tetap di bawah garis kemiskinan.
Karena itu, pemimpin Sulbar harus melakukan pendekatan dengan
sentuhan inovasi teknologi modern, seperti perlunya dilakukan
pelatihan kepada petani, bagaimana cara bercocok tanam yang
baik, cara fermentasi biji kakao, dan cara pengolahan virgin
coconut oil (VCO) yang baik. Karena Sulbar termasuk penghasil
kakao dan kelapa dalam terbesar di Sulawesi. (Dimuat Harian
Pedoman Rakyat, 30 Desember 2007).

pg. 67
3. Orientasi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Selatan

PERTANIAN bagi Sulawesi Selatan (Sulsel), sejak dahulu


merupakan sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap
pembangunan. Pada 2005 lalu, pertanian menyumbang 33,69
persen terhadap total PDRB dan 57,32 persen terhadap lapangan
kerja. Terkait dengan hal tersebut, terutama dalam menghadapi
peluang dan tantangan terhadap kelangsungan pembangunan
pertanian. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan pemerintah dalam
hal ini pemimpin daerah yang memiliki komitmen tinggi, terhadap
pengembangan sektor agribisnis, agar betul-betul dapat dirasakan
oleh seluruh masyarakat Sulsel.
Menyinggung komitmen pada pengembangan sektor
agribisnis, Sulsel telah menelorkan beberapa kebijakan dan
strategi yang berfokus pada pembangunan pertanian. Namun
sejumlah kebijakan itu belum optimal dan berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Contoh kebijakan yang dimaksud adalah Gerakan
Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas), yang
berfokus pada pengembangan 11 komoditas unggulan Sulsel, dan
Gerakan Optimalisasi Jagung (Gong 2005). Tapi ironisnya
kebijakan itu, belum optimal dapat mengangkat harkat dan
martabat petani di Sulsel.

Reorientasi Pendekatan
Dalam upaya mengoptimalkan berbagai kebijakan di bidang
pembangunan pertanian, baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota, diharapkan dapat melakukan
reorientasi pendekatan pembangunan pertanian dari ‚orientasi
produk‛ ke ‚orientasi agribisnis, yaitu menempatkan pasar sebagai
‚driving force‛ dalam menghela pembangunan di masa depan.
Dalam konsep paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis

pg. 68
pertanian, sektor agribisnis atau sistem agribisnis mencakup
empat subsistem. Pertama, sub sistem agribisnis hulu (up-steeam
agribusiness), yaitu kegiatan industri dan perdagangan yang
menghasilkan sarana pertanian primer, seperti bibit, agrokimia,
agro-otomotif dan sebagainya. Kedua, sub sistem usahatani (on-
farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian primer untuk menghasilkan komoditas
primer.
Ketiga, sub sistem agribisnis hilir (down-stream agribisnis),
yaitu kegiatan industri yang mengelolah komoditas primer
menjadi produk olahan (agroindustri), beserta pemasaran dan
perdagangannya. Keempat, sub sistem jasa penunjang (agro-
supporting institutions), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi
pengembangan agribisnis, seperti perbankan, penelitian dan
pengemabangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah, infrastruktur
pertanian di pedesaan dan sebagainya.
Terkait dengan strategi pembangunan pertanian, yang
berorientasi agribisnis merupakan suatu kegiatan lintas sektoral
sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada dukungan
sektor yang terkait. Selain itu, peran sektor agribisnis untuk
mendukung sektor lainnya perlu dilihat dalam konteks dua arah.
Bahwa pertanian hanya akan maju apabila sektor lain yang terkait
memberikan dukungan yang sepadan. Hal inilah yang merupakan
prasyarat utama untuk membangun pertanian ke depan yaitu
dengan pendekatan pembangunan pertanian berwawasan
agribisnis.

Produk Berdaya Saing


Dalam menghadapi persaingan dengan negara lain,
komoditas unggulan yang merupakan komoditi ekspor utama
Sulsel, seperti kakao, rumput laut, udang dan hasil perikanan
lainnya, harus memiliki daya saing tinggi. Sejauh ini keunggulan
komparatif dan kompetitif yang dimiliki Sulsel lebih banyak pada
kegiatan produksi yang bersifat resource base dari pada kegiatan

pg. 69
produksi yang bersifat technological hose atau capital bace. Oleh
karena itu, kecenderungan produk agribisnis Sulsel dalam
perdagangan internasional dengan melihat perkembangan ekspor
dan spesialisasi perdagangannya dapat dijadikan acuan untuk
memberikan arahan pengembangan agribisnis dan agroindustri
untuk tujuan ekspor di masa mendatang.
Beberapa hal spesifik yang harus diperhatikan ke depan
yaitu bagaimana menghadapi tantangan terutama dalam rangka
meningkatkan daya saing produk agribisnis Sulsel. Pertama,
bagaimana agar produk agribisnis Sulsel dapat memenuhi
persyaratan mutu ketat yang diberlakukan, khususnya oleh
negara-negara maju seperti Jepang, Eropa dan Amerika.
Persyaratan-persyaratan ini di kemas dalam apa yang disebut
‘Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures’, yang sering disebut
sebagai proteksi baru dalam perdagangan komoditi pertanian.
Jepang misalnya, menggunakan tiga macam peraturan yang
berkaitan dengan impor pangan mereka. Food safety law
mengatur maksimum bahan kimia, seperti pemakaian zat aditif
atau pemanis, maksimum pestisida, dan sebagainya. Plant
protection law berkaitan dengan persyaratan SPS, dan Food control
law, yang mengatur pelabelan dalam hal nilai gizi, alamat
produsen, dan importir lokal.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan
sistem HACCP (hazard analysis critical control point) sejak 18
Desember 1997 lalu. Produk-produk perkebunan, pertanian dan
perikanan yang masuk ke AS, ditolak jika tidak memenuhi standar
mereka. Misalnya kakao Indonesia yang di ekspor ke AS, hanya di
hargai dengan standar mutu kelas (grade) III. Kedua, lambatnya
produk agribisnis kita dalam mengantisipasi perubahan pasar. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya Indonesia mengakses peluang-
peluang pasar. Atase-atase kita di luar negeri harusnya dapat
melakukan ini dan bukan hanya melaporkan hal-hal yang bersifat
protokoler belaka. Penggunaan teknologi informasi (IT), seperti

pg. 70
internet belum memasyarakat bagi pengusaha agribisnis, karena
masih pada skala usaha kecil menengah (UKM).
Ketiga, lemahnya pengembangan produk (product
development kita. Seharusnya kebijakan pembangaunan pertanian,
diarahkan pada pembangunan agroindustri, seperti industri hilir
yang mampu mengolah lebih lanjut produk kakao, udang, ikan dan
rumput laut sebelum di ekspor. Keempat, lemahnya promosi kita.
Sesungguhnya banyak negara yang menyukai produk-produk
Indonesia, khususnya produk agribisnis Sulsel, tetapi mereka
belum mengenalnya. Kelima, suplai produk kita yang tidak
kontinyu. Masalah skala usaha agribisnis merupakan faktor
dominan, sehingga produk tidak kontinyu. Keenam, rendahnya
mutu sumber daya manusia (SDM) agribisnis, terutama tingkat
pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang bekerja di sektor
ini, umumnya belum mendukung untuk mendorong percepatan
pengembangan agribisnis di pedesaan.
Terkait dengan hal tersebut, yang harus dan mesti
dilakukan adalah pemecahan persoalan mengenai skala usaha dan
bagaimana meningkatkan profesionalisme pelaku agribisnis,
khususnya di pedesaan. Untuk itu, visi pembangunan pertanian
Sulsel ke depan berlandaskan ‘membangun pertanian moder,
tangguh dan efisien’. Hakikat dari itu, Sulsel harus membangun
pertanian modern yang berbudaya industri dalam rangka
membangun industri pertanian yang berbasis di pedesaan.
(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat, 3 Nopember 2006).

pg. 71
4. Pengembangan Biofuel Berbasis Agribisnis

PENGEMBANGAN bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel sebagai


energi alternatif semakin mendesak dilakukan karena dua alasan
yang mendasar yakni meningkatnya harga minyak bumi di pasaran
dunia dan subsidi bahan bakar minya (BBM) yang secara perlahan
akan dihentikan. Ini mengakibatkan harga minyak menjadi mahal
sehingga penggunaan energi terbarukan sebagai implementasi
Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
BBN sebagai bahan bakar alternatif, mutlak adanya.
Membahas biofuel sebagai energi terbarukan tentu terkait
dengan bodiesel dan bioetanol yang merupakan energi alternatif
berbasis agribisnis, khususnya sub sektor pertanian dan
perkebunan, seperti tebu, singkong, jagung, jarak pagar, dan
kelapa sawit. Biodiesel yang bersumber dari jarak pagar dan
kelapa sawit dapat menggantikan minyak tanah dan solar.
Sedangkan bioetanol yang terutama bersumber dari tebu,
singkong, dan jagung dapat mensubtitusi penggunaan premium
(bensin). Biodiesel termasuk golongan alkohol dengan nama kimia
alkil ester, bersifat sama dengan solar, bahkan lebih baik nilai
cetananya. Biodiesel dapat digunakan pada mesin tanpa
modifikasi. Keuntungan lain penggunaan biodiesel adalah
menghemat sumber energi yang tidak terbarukan dan mengurangi
biaya kesehatan akibat pencemaran udara.
Sedangkan bioetanol memiliki senyawa kimia alkohol sama
dengan yang ditemukan pada bir dan anggur. Pembuatannya juga
melalui fermentasi biomassa yang berkandungan karbohidrat
tinggi, seperti yang bersumber dari tepung singkong, tebu, dan
jagung. Penggunaan bioetanol dicampur bensin untuk kendaraan
disebut gasohol. Penggunaannya, bioetanol dicampur dengan
bensin dengan komposisi 10 persen bioetanol dan 90 persen

pg. 72
bensin, telah berdampak positif bagi lingkungan. Uji coba yang
dilakukan BPPT menunjukkan E-10 menghasilkan emisi karbon (CO
dan CO2), sulfur dioksida (SO2) lebih rendah dibandingkan bensin
murni. Termasuk kinerja mobil menjadi lebih baik. Bahkan
campuran hingga kadar bioetanol 25 persen tidak perlu modifikasi
mesin.

Dapat Menghemat Devisa


Pengembangan biofuel mendapat perhatian khusus karena
memiliki dampak ekonomi luas, akan membuka peluang kerja bagi
petani, serta dapat melibatkan seluruh daerah di tanah air. Dengan
pengembangan energi yang terbarukan ini, pemerintah
menargetkan dapat mengisi 10 persen bahan bakar pada tahun
2007 dengan biofuel dan dapat menyerap 3,5 juta tenaga kerja.
Penggunaan biofuel dapat menghemat devisa yang terkuras untuk
membeli BBM dari luar negeri. Menurut kebijakan umum di sektor
energi, cetak biru Pengelolaan Energi Nasional (PEN),
pemanfaatan biodiesel dan bioetanol ditetapkan dua persen
tahun 2010 dan lima persen pada tahun 2025.
Berdasarkan perhitungan, jika dua persen konsumsi solar
tahun 2010 disubtitusi dengan biodiesel, dibutuhkan 720 ribu kilo
liter biodiesel. Untuk menghasilkan biodiesel sebanyak itu, perlu
720 ribu ton minyak jarak pagar dan cruide palm oil (CPO) yang
berasal dari sedikitnya 200 ribu hektar perkebunan, yang bakal
menyerap tenaga kerja sebanyak 65 ribu orang diperkebunan dan
5.000 orang di pabrik. Jika dua persen konsumsi bensin disubtitusi
oleh bioetanol, dibutuhkan sekitar 420 ribu kilo liter bioetanol
yang berarti diperlukan 2,5 juta ton tebu, singkong, dan jagung
yang dihasilkan dari 90 ribu hektar kebun yang membutuhkan 650
ribu tenaga kerja di perkebunan dan 1.000 orang di pabrik.
Ketua Tim Pengembangan Biofuel Nasional, Al Hilal Hamdi
mengatakan, pengembangan biofuel di Indonesia di dukung
kebijakan fiskal dan perbankan nasional. Buktinya, roadmap energi
terbarukan direspon kalangan perbankan. Contohnya BRI yang

pg. 73
mendukung pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan
yang menjadi bahan baku biofuel. Beberapa komoditas pertanian
dan perkebunan, yang menjadi fokus untuk dibiayai adalah kelapa
sawit, kakao, tebu, karet, jarak pagar, jagung, dan singkong.
Namun untuk tahap pertama, prioritas pembiayaan akan dilakukan
untuk komoditi tebu dan kelapa sawit.

Efisiensi Penggunaan
Mengenai efisiensi penggunaan biofuel, khususnya
penggunaan biodiesel pada kapal-kapal ikan nelayan hampir 40
persen. Nelayan biasanya butuhkan solar 30 liter per hari,
sementara dengan biodiesel hanya butuhkan 18 liter per hari.
Harga biodiesel juga lebih murah, yaitu Rp 4.000 per liter,
sedangkan harga solar di SPBU Rp 4.300 per liter. Mengingat
kebutuhan BBM secara nasional semakin meningkat, seiring
peningkatan harga BBM yang semakin melambung di pasaran
dunia, maka solusi terbaik yang harus dilakukan adalah
pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai energi
alternatif.
Bayangkan, kebutuhan BBM secara nasional mencapai 60
juta kilo liter per tahun. Sebanyak 40 juta kilo liter berupa solar
dan minyak tanah. Jika ingin menutupi kebutuhan itu, hanya
diperlukan 5 – 8 ton minyak nabati terutama yang bersumber dari
minyak kelapa sawit. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 15 Agustus
2006).

pg. 74
5. Potensi Pengembangan Agroindustri Berbasis Kelapa

KELAPA dikenal sebagai tanaman kehidupan karena seluruh


bagiannya bermanfaat bagi manusia, terutama buahnya yang
selama berabad-abad digunakan untuk berbagai keperluan. Pohon
kelapa (coconut nucifera) yang bisa tumbuh di mana dan kapan
saja, menyimpan potensi yang luar biasa besar, mulai dari akar
sampai daunnya. Bahkan hanya dengan sedikit saja sentuhan,
keuntungan dari bisnis yang berbasis bahan baku kelapa ini
untungnya bisa mencapai 100 persen. Bukan itu saja, bila kita
mempelajari seluk beluk ekspor, maka barang atau produk ini
mempunyai pasar potensial di luar negeri.
Hal ini didukung potensi tanaman kelapa di Indonesia
seluas 3,8 juta hektar. Seluruh areal mulai dari pantai dan dataran
rendah di penuhi oleh tanaman kelapa yang lebih dari 98 persen
diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dan dimiliki oleh
sekitar 6,5 juta keluarga petani. Dengan luas lahan perkebunan itu,
kita merupakan pemilik areal tanaman kelapa kedua terbesar di
dunia setelah Filipina. Luas areal kelapa di seluruh dunia saat ini
hanya sekitar 12 juta hektar.
Produsen kelapa terbesar di Indonesia saat ini, antara lain
di pulau Sabang, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan
(Sulsel), dan Sulawesi Barat (Sulbar). Data BPS menunjukkan,
tahun 2004 Sulsel memiliki areal tanaman kelapa dalam 97.569
hektar, yang diusahakan sekitar 195.266 keluarga petani dan
kelapa hibrida seluas 18.524 hektar, yang juga diusahakan sekitar
36.468 keluarga petani. Dengan produksi masing-masing 92.119
ton untuk kelapa dalam, dan 19.705 ton untuk kelapa hibrida.
Berdasarkan pada berbagai manfaat, kegunaan, dan potensi
pertanaman kelapa yang kita miliki, penulis terinspirasi untuk

pg. 75
mengupas seputar potensi pengembangan agroindustri berbasis
kelapa.
Terkait dengan pengembangan agroindustri, strategi
pengembangan agroindustri ke depan telah jelas, dengan visinya
yaitu mewujudkan agroindustri berbasis teknologi dan
berwawasan nilai tambah, serta mampu menghasilkan produk
berdaya saing tinggi, baik untuk ekspor, maupun untuk kebutuhan
masyarakat di dalam negeri, sehingga agroindustri dapat menjadi
tulang punggung perekonomian nasional. Sedangkan untuk
mencapai visi itu, maka disusunlah misi pengembangan
agroindustri, yakni mendorong pemanfaatan, pengembangan, dan
penguasaan teknologi agroindustri untuk meningkatkan nilai
tambah komoditas pertanian demi terwujudnya sistem pertanian
yang berkebudayaan industri.

Beragam Produk
Hampir semua bagian pohon kelapa, mulai dari akar,
batang, daun, dan buah memberi peluang usaha yang sangat
menjanjikan. Beragam produk berbasis kelapa, seperti bahan
bangunan, furniture, aksesoris, dekorasi, perabot rumah tangga,
makanan, dan minuman bisa menjadi komoditi usaha. Sabut kelapa
misalnya, dari yang umum hanya dipintal menjadi tali dan keset,
ternyata dapat menjadi produk yang punya nilai tambah lebih
tinggi. Serbuk dan seratnya lebih lanjut dapat diolah menjadi
dinding peredam suara, kayu partikel, media tanam, matras, jok
mobil, dan pelapis tempat tidur pegas (spring bad). Sementara
selama ini industri dalam negeri hanya mengekspor dalam bentuk
serat dan serbuk ke Korea Selatan, Australia, Brasil, dan Jerman.
Produk kelapa lainnya adalah dari daun dan lidi, juga bisa
dibuat kerajinan anyaman untuk tempat buah, aksesoris,
kebutuhan alat rumah tangga seperti sapu. Kalau biasanya sapu
lidi dibuat secara tradisional dan dipasarkan di pasar tradisional,
kini dibuat produk yang lebih baik kemasannya dan daya tahannya
lama dengan bentuk dan daya gunanya yang lebih praktis, akan

pg. 76
memberikan nilai tambah dan menjualnya di supermarket. Selain
itu, briket batok kelapa yang ramah lingkungan menjadi solusi
yang sangat terjangkau di tengah kesulitan bahan bakar minyak
saat ini. Briket batok kelapa, bisa juga di ekspor ke beberapa
negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi,
Jerman, dan Perancis. Keuntungannya cukup menjanjikan.
Keuntungan lain, dari tempurung kelapa adalah untuk
menggantikan formalin sebagai bahan pengawet bahan pangan.
Asap cairan tempurung kelapa yang harganya lebih murah dan
aman bagi kesehatan, yang bisa mengawetkan makanan lebih lama
dari formalin. Begitu juga dengan air kelapa. Minuman dikala haus
dahaga yang banyak dijajakan di pinggir jalan ini mulai banyak
dilirik sebagai minuman isotonik atau pengganti cairan tubuh,
terutama sehabis melakukan kegiatan fisik berat. Air kelapa juga
dapat diolah menjadi kecap dan nata de coco. Sedangkan ampas
kelapa yang kaya galaktomanan dikenal sejak dahulu sebagai
senyawa aktif yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
diabetes mellitus (DM).
Makanya, galaktomanan kerap digunakan sebagai
pengganti gula pada kopi khusus penderita diabetes. Ia juga dapat
mencegah kenaikan kadar kolesterol jahat dalam darah. Andi Nur
Alamsyah, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Hasil Pertanian, Bogor, sukses memurnikan
galaktomanan dari ampas kelapa hingga 61 persen. Sisa ampas
yang terpisah pada emulsi diambil dan dikeringkan dengan oven
pada suhu 500C. Hasilnya berbentuk bubuk, seperti yang banyak di
jual di pasar.

Pangan Fungsional
Produk olahan berbasis kelapa yang sedang berkembang
saat ini adalah virgin coconut oil (VCO) yang merupakan produk
pangan berbasis kelapa yang bisa dijadikan sebagai suplemen
kesehatan. Puluhan tahun minyak kelapa murni didakwa sebagai
biang kerok penyakit maut yaitu jantung dan penyebab kolesterol.

pg. 77
Tapi kebenaran akhirnya datang juga setelah riset sahih
membuktikan bahwa VCO justru menyehatkan lantaran
mengandung 93 persen asam lemak jenuh, tetapi 47 – 53 persen
berupa minyak jenuh berantai sedang. Ia tak dapat tersintesis
menjadi kolesterol, tidak ditimbun dalam tubuh, karena mudah
dicerna dan terbakar.
Minyak perawan ini, merupakan salah satu komoditi hasil
olahan kelapa yang belakangan ini laris manis. Dengan kadar asam
laurat yang tinggi, akan memberi khasiat lebih baik terhadap
penyembuhan berbagai penyakit. Selain khasiatnya, komoditi yang
satu ini mampu memberi keuntungan yang sangat menggiurkan.
Misalnya Teguh Wibowo, seorang pedagang VCO dari Yogyakarta,
bisa meraup keuntungan hingga 100 persen. Namun sayangnya,
VCO produk dalam negeri kualitasnya masih belum memenuhi
tuntutan pasar internasional. Kandungan asam lauratnya yang
dipercaya mampu menjadi obat berbagai penyakit belum bisa
dipenuhi oleh produsen VCO dalam negeri.
Demikianlah sekilas potret beberapa produk, dari 1001
macam manfaat dan kegunaan dari kelapa. Masih banyak lagi
peluang menguntungkan dari produk agroindustri berbasis kelapa
yang terus bermunculan seiring kemajuan teknologi dan tingkat
kreativitas masyarakat. Tapi perlu diingat, agar produk yang
dihasilkan bernilai tambah, diperlukan inovasi, kreativitas, dan
sentuhan teknologi. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 6 September
2006).

pg. 78
6. Prospek UMKM Bidang Agroindustri

PERAN sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam


memutar roda perekonomian nasional tak bisa diremehkan.
Puluhan juta penduduk Indonesia hidup di sektor ini. Sektor usaha
mikro misalnya, mulai dari penjual bakso keliling, penjual nasi
goreng, mi ayam, pengecer barang kelontong, pengelola salon rias
pengantin, tukang cukur di pinggir jalan, dan lain sebagainya.
Keberadaan UMKM dinilai sangat penting, karena selain
menciptakan lapangan kerja, juga menjadi penopang utama
perekonomian. Dari sisi ekonomi politik, UMKM sebagai cikal bakal
munculnya entrepreneur berskala nasional maupun internasional
untuk menghadapi persaingan global.
Data yang dirilis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UMK) menyebutkan pelaku usaha di Indonesia yang
tergolong UMKM sebesar 44,69 juta unit usaha, dan menyerap
tenaga kerja terbanyak sekitar 77,68 juta orang atau 76,7 persen.
Pada 2005 misalnya, kontribusi UMKM terhadap produk domestik
bruto (PDB) nasional mencapai 54,22 persen atau Rp 1,480 triliun.
Dengan kontribusi UMKM sebesar itu, pemerintah memandang
perlu segera menerbitkan paket kebijakan yang menyangkut
sektor ini. Dalam paket tersebut, nantinya akan dimasukkan
berbagai aspek strategis dari masalah yang dihadapi UMKM,
seperti akses pembiayaan, akses terhadap perizinan dan sejumlah
regulasi lain, termasuk peraturan yang menghambat UMKM
selama ini dan masalah SDM.
Kontribusi UMKM sektor pertanian, perikanan, peternakan,
dan kehutanan, pada tahun 2005 mencapai Rp 347,7 triliun.
Sementara pertumbuhan omset pelaku UMKM bidang agroindustri
meningkat dari tahun 2004 sebesar Rp 19 triliun menjadi Rp 20
triliun di tahun 2005. Terkait dengan hal tersebut di atas, penulis

pg. 79
akan mengulas prospek pertumbuhan UMKM bidang agroindustri
di tahun 2007 yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

Produk Agroindustri
Membahas prospek pertumbuhan bisnis sektor
agroindustri menarik untuk dicermati sebab bidang ini dapat
memberikan peluang usaha yang cukup menjanjikan. Sektor
agroindustri merupakan salah satu bidang usaha yang cukup
banyak digarap para pelaku UMKM. Di banyak gerai supermarket
atau hypermarket, banyak kita jumpai produk makanan dan
minuman yang dihasilkan para pelaku UMKM berbasis
agroindustri. Berbagai produk agroindustri, baik makanan dan
minuman dengan berbagai cita rasa memberikan peluang bisnis
yang menggiurkan, bahkan bila digarap secara serius mampu
mengangkat citra daerah setempat, apalagi kadang-kadang bahan
bakunya mudah dicari, bahkan kadang hanya dianggap sebagai
limbah.
Jika selama ini dendeng dikenal sebagai lauk pelengkap
makan berbahan daging sapi yang dikeringkan, maka di daerah
Cimahi Jawa Barat ada dendeng yang di buat dari jantung pisang.
Rasanya enak, mirip-mirip dengan sapi dan harganya murah,
sehingga laris manis di pasaran. Tak salah jika Bambang Eko Putro,
perintis dendeng jantung pisang (denjapi) mengaku potensi
bisnisnya sangat menjanjikan. Begitu juga kipra seorang wanita
bernama, Nur Anisa. Kalau selama ini banyak orang mengenal lidah
buaya sebagai penyubur rambut, atau kosmetik dan minuman siap
saji, tetapi di tangan Nur Anisa daging lidah buaya dapat
digunakan sebagai bahan baku produk pangan, yaitu menjadi
dodol yang memiliki cita rasa yang unik.
Selain itu, labu yang dikenal selama ini produk dengan nilai
ekonomi terbilang rendah karena hanya dibuat produk olahan
sayur atau makanan penutup seperti kolak, di tangan Rachman S.
Said, dibuat menjadi produk olahan lebih lanjut seperti mi, yang

pg. 80
dapat menjadi bahan pangan alternatif. Mi berbahan baku labu
dapat menjadi alternatif produk pangan kesehatan (health food)
karena mengandung anti oksidan dan anti kanker. Demikianlah,
beberapa contoh entrepreneur bidang agroindustri di berbagai
daerah, dan masih banyak lagi contoh pengusaha dengan berbagai
jenis produk yang patut diteladani.
Potensi pertumbuhan UMKM bidang agroindustri
khususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar)
juga cukup prospektif. Beberapa komoditi andalan di kedua
provinsi ini bisa dikelola menjadi produk agroindustri. Sebut saja,
rumput laut, berbagai jenis ikan laut, jagung, jeruk, mangga,
durian, dan sebagainya. Tinggal kita menunggu entrepreneur
pemula yang memiliki visi bisnis, yang jeli menangkap peluang di
bidang ini.

Kendala Pasar
Prospek usaha di bidang agroindustri menurut Ketua
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI), Thomas Darmawan, sangat bagus. Namun masih
terkendala lemahnya akses pasar dan masih lemahnya
pengemasan (packaging) produk, serta lemahnya desain produk
yang dibuat para pelaku UMKM. Untuk mengatasi hal ini, sangat
diperlukan support dari instansi pemerintah, dengan melakukan
koordinasi antar instansi terkait, misalnya dari pihak departemen
perdagangan, perindustrian, koperasi dan UKM, serta departemen
pertanian, yang masing-masing memiliki divisi berkaitan dengan
pelaku UMKM. Dengan begitu dapat dilakukan pembenahan dari
sisi merek, kemasan, dan promosi, sehingga produk pelaku UMKM
mampu menerobos pasar ritel modern seperti supermarket,
hypermarket, dan bahkan perlu pula diperkenalkan ke pasar
internasional. Untuk itu, dalam mendukung kelancaran usaha,
dibutuhkan campur tangan pemerintah, seperti masalah
penentuan harga bahan baku dan harga jual produk, serta jaminan
pasar.

pg. 81
Hal lain yang dibutuhkan untuk mengembangkan UMKM
lebih pada bantuan kemudahan mendapatkan bantuan dana lunak,
termasuk perlunya pendampingan dalam membagi dan
menerapkan ilmu dan teknologi. Untuk mengaplikasikan apa yang
diharapkan UMKM, seperti mutu dan nilai jenis ekonomis. Bagi
pengusaha pemula di bidang agroindustri, mempelajari produk,
mengerti kegunaan nilai gizi, efek samping, dinamika pasar,
merupakan langkah yang harus diperhatikan saat awal akan
memulai usaha. (Dimuat Harian Tribun Timur, 1 Pebruari 2007).

pg. 82
7. Keunggulan Produk Olahan Kakao bagi Kesehatan

HARI Kakao Nasional diperingati setiap tanggal 16 September, dan


khusus tahun 2012 dengan tema Hari Kakao Nasional yaitu
Coklatku, Budayaku, Indonesiaku, yang bertujuan untuk
membangun citra Indonesia sebagai produsen kakao dan produk
makanan dan minuman berbahan dasar coklat berkualitas. Hal ini
dilakukan dalam rangka meningkatkan konsumsi coklat di dalam
negeri serta meningkatkan mutu dan produksi kakao dan coklat
dari hulu ke hilir. Data menunjukkan tingkat konsumsi kakao
nasional saat ini, baru mencapai 0,2 kg per kapita per tahun
sementara Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga
setelah Pantai Gading dan Gana. Untuk itu ditargetkan tingkat
konsumsi bisa naik hingga 1 kg per kapita dalam 5 – 10 tahun ke
depan.
Mengonsumsi coklat termasuk jenis makanan camilan yang
sangat populer karena selain memberikan kelezatan, energi dan
juga manfaat bagi kesehatan. Makanan coklat dengan kandungan
komponen biji kakao murni yang tinggi diyakini memberikan
manfaat kesehatan yang tinggi. Sebaliknya, manfaat kesehatan
makanan coklat dengan tambahan bahan non-kakao seperti gula,
susu, pewarna dan lemak nabati non-kakao yang tinggi, akan
semakin menurun. Jenis makanan coklat yang demikian ini sering
menimbulkan keraguan, persepsi dan mitos yang keliru dari
masyarakat bahwa makanan coklat kurang baik bagi kesehatan.
Secara alami biji kakao mengandung senyawa-senyawa nutrisi
yang sangat diperlukan untuk kesehatan tubuh manusia terdiri
atas lemak, karbohidrat, protein, senyawa antioksidan, senyawa
penyegar dan mineral.

pg. 83
Keunggulan Produk Olahan
Keunggulan produk olahan kakao dan coklat serta
pengaruhnya terhadap kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang
baru sama sekali, karena sudah sejak tahun 1600 – 1700-an
digunakan sebagai perlakuan untuk pengobatan di Amerika
Tengah dan Eropa. Kemudian berkembang konsep bahwa
minuman produk olahan kakao dan coklat mempunyai keunggulan
terhadap kesehatan diterima secara luas hingga kira-kira tahun
1850 – 1900-an (Keen, 2001 dalam Sudibyo, 2012). Dalam kurun
waktu 30 – 40 tahun kemudian, persepsi masyarakat terhadap
kakao dan coklat telah berubah karena diyakini mempunyai peran
yang penting dalam menjaga kesehatan, setelah banyak diteliti
dan ditemukan adanya beberapa zat yang bermanfaat dalam
produk olahan kakao dan coklat. Salah satu zat tersebut di
antaranya adalah senyawa flavonoid yang termasuk dalam sub-
kelompok senyawa polifenol. Dalam sistem antioksidan, senyawa
flavonoid masuk sebagai golongan antioksidan lipofilik yang
berguna untuk memproteksi oksidasi lipid pada membran sel
dalam tubuh.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Jenis
yang pertama diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dalam
laboratorium atau pabrik farmasi. Sedangkan, jenis yang kedua
merupakan senyawa alami yang terdapat dalam buah (anggur,
jeruk, apel), sayuran (brokoli, bawang putih, lada), dan biji-bijian
termasuk biji kakao. Biji kakao hasil panen mempunyai warna ungu
dominan yang mengindikasikan kandungan senyawa polifenol
yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa
polifenol pada kakao dan coklat dapat menghambat terjadinya
kematian oleh apoptoksis, baik disebabkan karena
membengkaknya jaringan sel kanker usus (Carnesecchi et al,. 2002
dalam Sudibyo, 2012) maupun jaringan sel kanker payudara
(Kozikowski et al,. 2003 dalam Sudibyo, 2012).

pg. 84
Coklat Makanan Fungsional
Bagi kalangan masyarakat yang ekonominya sudah mapan,
makan tidak sekedar kenyang tetapi yang lebih utama adalah
untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang prima
(fitness), memperlambat proses penuaan, mempertahankan
vitalitas dan memperpanjang usia. Selain memenuhi fungsi dasar
makanan untuk sumber energi, regenerasi dan regulasi organ-
organ tubuh. Oleh karena itu masyarakat perkotaan yang
memahami betapa pentingnya arti kesehatan mulai
mengutamakan untuk mengonsumsi jenis makanan yang bisa
memenuhi fungsi tersier. Makanan yang demikian harus
mengandung unsur-unsur gizi (senyawa bioaktif alami) yang
memberikan khasiat fisiologis tertentu di dalam tubuh, seperti
untuk menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar
gula darah. Jenis makanan yang bisa memenuhi fungsi tersier
sering disebut sebagai makanan fungsional (functional foods).
Penjelasan sebelumnya, telah dikemukakan bahwa khasiat
makanan berbasis olahan kakao dan coklat untuk kesehatan
terletak pada kandungan senyawa polifenol (flavonoid) yang
secara alami ada di dalam kakao. Sehingga hampir semua kajian
ilmiah tentang manfaat coklat untuk kesehatan hanya didasarkan
pada makanan dan minuman coklat yang mengandung komponen
kakao dalam proporsi yang dominan. Selain itu, bahan makanan
coklat tersebut, selama proses pembuatannya tidak mengalami
perlakuan panas, mekanik dan reaksi kimia yang intensif dan
berlebihan. Sebaliknya turunan makanan coklat yang telah
ditambah bahan lain dalam jumlah yang banyak, bahkan
berlebihan seperti gula, susu, lemak non-kakao, pewarna, pemanis
buatan dan penyedap, dan hanya mengandung senyawa polifenol
yang sangat terbatas.

pg. 85
8. Tingkatkan Konsumsi Coklat melalui Hilirisasi
Industri Kakao

PENTINGNYA Hari Kakao Indonesia, karena seluruh pemangku


kepentingan disektor kakao telah sepakat untuk menetapkan
tanggal 16 September sebagai Hari Kakao Indonesia. Kakao
merupakan komoditas andalan perkebunan, mempunyai peran
strategis dalam perekonomian Indonesia, pemasok peringkat
ketiga devisa negara di sektor perkebunan, sumber pendapatan
dan penciptaan lapangan kerja baru 1,6 juta petani. Sebagai
negara produsen kakao terbesar ketiga dunia, Indonesia dinilai
memiliki peluang besar dalam mengisi kebutuhan pasar dunia
disamping peluang pasar domestik untuk 250 juta penduduk
Indonesia.

Hilirisasi Industri Kakao


Perlunya pengembangan hilirisasi industri pengolahan
kakao di dalam negeri karena akan meningkatkan nilai tambah,
struktur industri, dan kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi,
industri ini termasuk salah satu sektor prioritas yang harus
dikembangkan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035. Pengembangan hilirisasi
industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk
coklat, lemak coklat, makanan dan minuman dari coklat, serta
suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao. Peluang hiliriasi
industri ini didukung oleh potensi Indonesia sebagai produsen biji
kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana,
dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton pada
tahun 2015. Industri olahan kakao di dalam negeri saat ini sekitar
40 perusahaan dengan total kapasitas produksi hingga 800 ribu

pg. 86
ton per tahun. Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong
hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit
pengolahan di sentra biji kakao yang bertujuan untuk
menumbuhkan para wirausaha berskala kecil dan menengah.

Peningkatan Konsumsi
Konsumsi kakao masyarakat Indonesia rata-rata sekitar 0,4
kg per kapita per tahun. Sedangkan, konsumsi negara-negara
ASEAN seperti Singapura dan Malaysia sudah mencapai 1 kg per
kapita pertahun, bahkan beberapa negara di Eropa konsumsinya
lebih dari 8 kg per kapita per tahun. Salah satu upaya untuk
meningkatkan konsumsi coklat adalah melalui promosi yang
dilaksanakan di dalam maupun luar negeri, termasuk dalam
momen Peringatan Hari Kakao Indonesia. Ajang ini akan
mendorong peningkatan kesejahteraan petani kakao sekaligus
memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional dan
penyerapan tenaga kerja. Selain itu, menjadi ajang
memperkenalkan berbagai macam produk olahan coklat di
Indonesia kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan
konsumsi coklat di dalam negeri.
Peringatan hari kakao Indonesia sudah menjadi tradisi bagi
semua pemangku kepentingan kakao dan coklat Indonesia untuk
dirayakan setiap tahun sejak tahun 2012. Semoga kegiatan ini
dapat dilaksanakan setiap tahun, sehingga konsumsi coklat di
dalam negeri dapat meningkat seiring dengan berkembangnya
industri hilir pengolahan kakao di Indonesia. Makin tinggi tingkat
konsumsi coklat dalam negeri, maka makin besar pula kebutuhan
kakao bagi perusahaan pembuat coklat.

Manfaat Coklat bagi Kesehatan


Coklat tidak hanya menjadi minuman tetapi juga menjadi
snack yang disukai anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.
Selain rasanya enak, coklat ternyata berkhasiat membuat umur
seseorang menjadi lebih panjang. Coklat mempunyai kemampuan

pg. 87
untuk menghambat oksidasi kolesterol LDL (kolesterol jahat) dan
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, sehingga dapat mencegah
risiko penyakit jantung koroner dan kanker.
Studi di Universitas Harvard menunjukkan jika seseorang
mengimbangi konsumsi permen coklat dengan aktivitas fisik yang
cukup dan makan dengan menu seimbang, maka dampak negatif
permen coklat tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Menurut
kepercayaan suku Maya, coklat adalah makanan para dewa. Rasa
asli biji coklat sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi
setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai
makanan yang disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung
lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%. Protein coklat kaya
akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tyrosin.
Meski coklat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak
mudah tengik karena coklat juga mengandung polifenol 6% yang
berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan. Lemak pada
coklat, sering disebut cocoa butter, sebagian besar tersusun dari
lemak jenuh 60% khususnya stearat. Stearat adalah asam lemak
netral yang tidak akan memicu kolesterol darah. Timbul
pertanyaan seberapa banyak kita boleh mengkonsusmi coklat?
Tidak ada anjuran gizi yang pasti untuk ini, namun demikian makan
coklat 2-3 kali seminggu atau minum susu coklat tiap hari kiranya
masih dapat diterima. Makan coklat tidak akan menimbulkan
kecanduan, tetapi bagi sebagian orang rasa coklat yang enak
mungkin menyebabkan kerinduan untuk mengkonsumsinya
kembali. Ini yang disebut chocolate craving. Dampak coklat
terhadap perilaku dan suasana hati (mood) terkait erat dengan
chocolate craving. (Dimuat di Media Online Masalembo.com, 9
Oktober 2017).

pg. 88
9. Bangkitkan Spirit Agroentreprenuership Generasi
Muda

AGROENTREPRENEUR atau wirausahawan baru khususnya di


bidang pertanian (agribisnis) sangat penting untuk masa depan
Indonesia. Transformasi pertanian menuju modernisasi ditandai
oleh tahapan masyarakat industri dengan ciri produktivitas tinggi,
efisien dalam penggunaan sumber daya alam dan teknologi, serta
mampu berproduksi dengan menghasilkan output yang
berkualitas dan bernilai tambah tinggi. Wirausahawan bidang
agribisnis harus mampu mengubah Indonesia, bahkan mengubah
dunia yang penuh kemelaratan, di tengah kesuburan tanah dan
lahan yang luas. Betapa ironisnya Indonesia yang punya kekayaan
alam, tetapi rakyatnya miskin. Setiap tahun kita melahirkan 750
lebih sarjana menganggur, setiap tahun sekolah hanya
menciptakan pengangguran intelektual sementara jumlah
wirausahawannya hanya 0,08 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. PBB melansir bahwa suatu negara akan mampu
membangun secara mandiri, apabila memiliki 2 persen
wirausahawan dari jumlah penduduknya. Artinya jika penduduk
Indonesia 250 juta, harusnya kita memiliki 5 juta wirausaha baik
dalam skala kecil, menengah, dan besar khususnya
agroentrepreurship.

Pentingnya Kewirausahaan
Ciputra (2009) mengemukakan lima alasan pentingnya
mengapa perlu mempromosikan entrepreunership untuk negara
berkembang seperti Indonesia. Pertama, kebanyakan generasi
muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya entrepreneur,
tetapi dalam budaya ‘pegawai’ atau ‘pekerja’ dan ‘pegawai negeri’.

pg. 89
Mereka lahir dari kalangan pegawai negeri, petani, nelayan, buruh,
hingga pegawai serabutan. Entrepreurship tidak ada dalam
pendidikan keluarga. Tidak mengherankan jika setelah dewasa
mereka memiliki pola pikir ‘mencari kerja’, dan tidak dalam pola
pikir ‘mencipta kerja’. Kedua, entrepreneurship tidak eksis diberikan
dalam pendidikan keluarga dan pendidikan formal. Inspirasi dan
latihan entrepreneurship tidak tercermin atau tidak kita lihat dalam
materi ajar kebanyakan sekolah baik di sekolah dasar maupun di
perguruan tinggi. Hanya ada beberapa program studi atau
perguruan tinggi yang mewajibkan mata kuliah kewirausahaan
bagi mahasiswanya.
Ketiga, sudah waktunya untuk menyampaikan fakta kepada
generasi muda sejak di bangku sekolah dasar, bahwa saat ini kita
terlalu banyak memiliki pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta
kerja. Bahkan, kita juga semakin banyak mempunyai
pengangguran terdidik. Dengan fakta ini, kita dapat memberikan
keyakinan kepada generasi muda dua hal penting, yaitu mereka
dapat memikirkan pilihan menjadi entrepreneur secara matang,
dan mereka tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi
entrepreneur. Keempat, kita tidak dapat menyediakan lapangan
kerja bagi generasi muda, yang masih dapat atau menjadi
kewajiban kita adalah mendidik dan melatih generasi muda untuk
memiliki kemampuan menciptakan pekerjaan bagi diri mereka
sendiri. Sehingga diperlukan keterlibatan semua pihak, termasuk
pengusaha dan mereka yang mempunyai pengalaman sebagai
entrepreneur. Kelima, pertumbuhan jumlah entrepreneur bukan
hanya akan mendorong generasi muda, melainkan secara
keseluruhan akan mendorong penciptaan kesejahteraan
masyarakat yang lebih luas.

Entrepreneurship Centre
Menurut Ciputra (2009) perlunya kampus-kampus atau
perguruan tinggi dikembangkan menjadi entrepreneurship centre
karena tiga alasan. Pertama, kampus adalah ‘terminal utama’

pg. 90
generasi muda terdidik untuk masuk menjadi tenaga kerja
terdidik. Kampus adalah pintu terakhir sebelum dunia kerja.
Perguruan tinggi adalah tempat terakhir penggembelengan
entrepreneur untuk memastikan lulusannya menjadi warga negara
yang mampu mengembangkan diri secara mandiri dan akhirnya
sejahtera secara ekonomi. Kedua, kampus adalah tempat terbaik
untuk melaksanakan pembagunan SDM. Setiap orang yang datang
ke kampus telah memiliki mind-set untuk belajar, dan telah
mengonsentrasikan sebagian waktu hidupnya untuk belajar dan
meningkatkan kualitas diri. Ketiga, kampus memiliki kelompok
SDM pendidik, para ahli, para peneliti, yang memiliki kemampuan
dan komitmen untuk mengembangkan potensi generasi muada.
Diperlukan the entrepreneurial academics dan academicians
yang bisa bermunculan jika lembaga pendidikan, terutama
pendidikan tinggi, bersedia mentransformasikan diri menjadi
lembaga pendidikan yang entrepreneurial, ke luar dari arogansi
kemenaragadingannya. Seorang profesor mungkin sangat pandai
dalam bidang teknik, tetapi kalah pandai dengan seorang pebisnis
konstruksi dalam mencari peluang bisnis dan mengembangkan
proyek. Seorang ahli biologi lebih pandai dalam menentukan jenis
sediaan biologi, tetapi kalah dengan tukang daging yang dengan
sekali lihat dapat menentukan kualitas daging.
Oleh karena itu, semangat untuk membangkitkan spirit
agroentrepreneurship generasi muda, tidak sekadar mencipta
lapangan kerja, tetapi lapangan kerja baru dalam arti jenis usaha
baru di bidang pertanian (agribisnis). Sehingga diharapkan
industri-industri kreatif yang menjadi lokomotif kemajuan
ekonomi setiap bangsa di dunia, pada saat ini akan terhela lebih
cepat dengan munculnya beratus ribu dan berjuta new entrance
entrepreneurs. (Dimuat di Harian Fajar, 4 Nopember 2017).

pg. 91
10. Memacu Ekonomi Kreatif Berbasis Kuliner

BADAN ekonomi kreatif (Bekraf) memprediksikan pendapatan


domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif tahun 2018 bisa mencapai
6,25 persen. Pertumbuhan sebesar itu akan mampu menyerap
tenaga kerja hingga 16,70 juta orang yang berasal dari skala usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai tumpuan
perekonomian suatu negara. Tanpa adanya UMKM, roda
perekonomian akan macet dan akan banyak memberikan dampak
pada usaha skala besar. Selain itu, sifat dari UMKM yang mudah
dan gesit membuat banyak ruang bagi pencari lowongan kerja. Itu
sebabnya, perhatian pada UMKM semakin besar dilakukan untuk
menjaga kondisi ekonomi Indonesia di masa datang.

Penyumbang PDB dan Ekspor


Peran UMKM mendominasi kontribusi terhadap PDB dalam
lima tahun terakhir. Kontribusi UMKM meningkat cukup tinggi dari
57,84 persen tahun 2014 menjadi 60,34 persen tahun 2015.
Serapan tenaga kerja sektor UMKM juga meningkat dari 96,99
persen menjadi 97,22 persen. Hal ini membuktikan bahwa sektor
UMKM menjadi tumpuan utama bagi ekonomi Indonesia. Salah
satu sektor ekonomi (industri) kreatif yang berkontribusi terhadap
PDB adalah usaha kuliner.
Ekonomi (industri) kreatif yang memiliki 16 sub sektor, tiga
diantaranya telah menyumbang nilai ekonomi sebesar ratusan
triliun rupiah pada 2016. Ketiga sub sektor tersebut adalah kuliner
dengan angka sebesar Rp 209 triliun, fesyen yang mencapai Rp 182
triliun, dan kerajinan sebesar Rp 93 triliun. Peran ketiga sub sektor
ekonomi kreatif tersebut juga berkontribusi besar terhadap PDB
yaitu kuliner sebesar 43 persen, fesyen 18 persen, dan kerajinan 16
persen. Selain itu, ekonomi kreatif juga menyumbang nilai ekspor

pg. 92
sebesar 19,4 miliar dolar AS pada tahun 2015, meningkat 6,6
persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor terbesar berasal
dari sub sektor fesyen 56 persen, kerajinan 37 persen dan kuliner
6 persen.
Meski kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia
meningkat, namun masih terdapat banyak hal yang perlu
diperbaiki. Seperti bagaimana memberikan akses-akses terhadap
potensi pasar global untuk para pelaku ekonomi kreatif. Selama ini
selain permasalahan modal, umumnya UMKM sektor ekonomi
kreatif mengalami masalah di sisi pemasaran, kualitas SDM, bahan
baku dan keterbatasan inovasi dan teknologi. Aspek-aspek inilah
yang harus terus ditemukan solusinya agar UMKM bidang ekonomi
kreatif mampu bersaing.

Pengembangan Wisata Kuliner


Menurut Hendrayana (2011) bahwa daya tarik wisata
kuliner tergantung pada keragaman aktivitas kuliner, makanan
khas, lokasi yang nyaman dan bersih, desain ruangan (venue) yang
unik dan menarik, pelayanan yang baik, pasar yang kompetitif,
harga dan proporsi nilai, peluang bersosialisasi, interaksi budaya
kuliner, suasana kekeluargaan dan lingkungan yang menarik.
Wisata kuliner merupakan perjalanan dengan tujuan utamanya
adalah menikmati makanan dan minuman, dan atau mengunjungi
suatu kegiatan kuliner, seperti mengunjungi pusat industri
makanan dan minuman, serta untuk mendapatkan pengalaman
yang berbeda ketika mengonsumsi makanan dan minuman
tertentu di suatu daerah.
Wisata kuliner mempunyai peran penting, beberapa
alasannya menurut Hendrayana (2011) diantaranya; (1) hampir
semua wisatawan makan di luar selama melakukan kegiatan
wisata, (2) aktivitas makan merupakan aktivitas yang digemari
wisatawan, (3) tagihan yang lebih tinggi dari total tagihan
wisatawan kemungkinan besar dihabiskan untuk kebutuhan
makan dan minum, (4) wisatawan sangat senang berpartisipasi

pg. 93
dalam kegiatan rekreasi di luar ruangan, (5) perhatian dan minat
pada wisata kuliner menjangkau pada semua kelompok umur, dan
(6) masakan lokal merupakan salah satu pendorong dalam memilih
suatu destinasi wisata.
Makna yang terkandung pada wisata kuliner sesungguhnya
adalah aktivitas, estetika, tradisi, dan kearifan lokal. Pertama,
kreativitas adalah aspek ide baru yang dapat memberikan nilai
tambah pada sebuah makanan dan minuman. Kreativitas ini dapat
tertuang melalui kreasi resep, kreasi cara pengolahan, dan kreasi
cara penyajian. Kedua, estetika adalah aspek tampilan dari sebuah
makanan dan minuman yang ditata dengan memperhatikan unsur
keindahan sehingga menjadikan produk kuliner tersebut memiliki
nilai lebih dan mampu menggugah selera konsumen untuk
menikmatinya. Ketiga, tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan kebiasaan dalam mengolah
dan mengonsumsi makanan dan minuman. Unsur tradisi ini sangat
penting dalam menjaga warisan budaya kuliner Indonesia.
Keempat, kearifan lokal adalah identitas suatu daerah berupa
kebenaran yang telah tertanam dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara, dan prilaku yang melembaga secara
tradisional. (Dimuat di Harian Fajar, 2 Januari 2018).

pg. 94
Bagian Ketiga
KETAHANAN DAN
KEDAULATAN PANGAN

pg. 95
1. Menyoal Kebijakan Ketahanan Pangan

INDONESIA yang di proyeksi berpenduduk sekitar 270 juta pada


tahun 2025, dengan makanan pokok diperkirakan masih bertumpu
pada beras, memaksa aspek kebutuhan pangan harus menjadi
program strategis pembangunan sektor pertanian ke depan.
Pangan merupakan istilah yang teramat penting bagi pertanian,
karena secara hakiki pangan adalah suatu kebutuhan dasar dalam
pemenuhan aspirasi humanistik. Oleh karenanya, mendiskusikan
topik ketahanan pangan akan menjadi sangat penting dan
menarik.
Jaminan ketahanan pangan bagi setiap penduduk
mempunyai landasan legalitas yang universal dan mempunyai
makna strategis bagi setiap bangsa dan penguasa. Kekurangan
pangan dan gizi buruk pada penduduk berarti pelanggaran hak
azasi manusia (HAM) yang dilakukan penguasa. Dalam Human
Right Declaration 1948 dan Word Conference on Human Right 1993
disepakati, setiap individu berhak memperoleh pangan yang
cukup. Di Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 34 UUD
1945 berbunyi negara bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan pangan bagi fakir miskin,
penyandang cacat, dan anak terlantar. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang pangan, mendefinisikan ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah,
mutu, aman, merata, dan terjangkau.

Ketahanan terkait Tiga Aspek


Terkait dengan konsep ketahanan pangan, setidaknya ada
tiga aspek penting yang menjadi persoalan dalam memahaminya.
Ketiga aspek tersebut merupakan indikator dari keberhasilan

pg. 96
peningkatan ketahanan pangan itu adalah menyangkut
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Pertama, aspek
ketersediaan. Berarti pangan tersedia cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman. Persoalan yang dihadapi terkait dengan aspek ketersediaan
pangan ini antara lain tingginya laju peningkatan kebutuhan
beberapa komoditas pangan yang lebih cepat dari pada laju
peningkatan produksi karena terbatasnya infrastruktur berupa
irigasi, meningkatnya petani gurem, terbatasnya fasilitas
permodalan di pedesaan, lambatnya penerapan teknologi akibat
kurangnya insentif ekonomi, rendahnya kemampuan mengelola
cadangan pangan, rendahnya produksi pangan domestik karena
dampak anomali, dan menurunnya kualitas lingkungan.
Kedua, aspek distribusi. Artinya pasokan pangan dapat
menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga stabil dan
terjangkau oleh rumah tangga. Beberapa persoalan strategis yang
menyangkut pendistribusian, misalnya; (a) terbatasnya sarana dan
prasarana perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah,
terutama daerah terpencil, (b) keterbatasan sarana dan
kelembagaan pasar, (c) banyaknya pungutan resmi dan tidak
resmi, (d) tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Ketiga,
aspek konsumsi. Setiap rumah tangga dapat mengakses pangan
yang cukup dan mampu mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi
dan kesehatan, serta prefensinya. Persoalan yang dihadapi
hubungannya dengan aspek konsumsi antara lain; (a) besarnya
jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan
akses pangan yang rendah, (b) rendahnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi, (c)
masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang
berasal dari beras, dan (d) rendahnya kesadaran masyarakat
terhadap keamanan pangan.

pg. 97
Pentingnya Diversifikasi
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya diversifikasi pangan sudah terlihat sejak beberapa
dekade yang lalu. Diversifikasi horizontal masih sangat mewarnai
arah pengembangan pertanian. Upaya untuk mengembangkan
komoditas bukan beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu, pisang,
dan ketela pohon sebagai pengganti beras tampaknya kurang di
respon oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan bukan saja
konsumsi beras perkapita kita terus meningkat, bahkan komoditas
pengganti beras tersebut, selain tidak disukai, sering mendapat
label inferior, bila menjadikan komoditi non beras sebagai
makanan pokok. Saat ini, diversifikasi vertikal merupakan arah
yang harus kita tempuh, untuk mengantisipasi ketergantungan
kita terhadap konsumsi beras. Para pakar mensinyalir, kita belum
secara serius menggarapnya. Ini merupakan tantangan yang harus
kita jawab bersama, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Upaya menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan
industri pangan (agroindustri), baik dalam skala kecil, menengah,
dan besar di pedesaan dan diperkotaan, adalah salah satu
prasyarat utama. Jika reposisi dan redefinisi pertanian industrial
abad 21 dapat meluas kepada subsistem di luar konsentrasi aspek
budidaya seperti agroindustri, pemasaran, permodalan, dan
infrastrukturnya, agaknya iklim kondusif lebih muda didekati.
Diversifikasi juga mempunyai dimensi regional, yang
mengutamakan spesialisasi wilayah dalam memproduksi
komoditas unggulan secara efisien, berkelanjutan, dan mampu
diserap pasar. Manakala dimensi regional dan diversifikasi dapat
ditumbuh kembangkan, niscaya ia akan mampu sebagai mesin
yang akan mendorong pertumbuhan dan perdagangan antar
daerah. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 18 Oktober 2006).

pg. 98
2. Diversifikasi Mewujudkan Ketahanan Pangan

PANGAN merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia,


setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu,
rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia
(HAM). Konsep ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan
keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu.
Sedangkan kemandirian pangan diartikan sebagai kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap rumah tangga, baik
dari segi kecukupan, mutu, aman, merata, dan terjangkau, yang
didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan keragaman sumber
daya domestik. Pengertian pangan memiliki dimensi yang luas,
mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang
sehat dan produktif, termasuk pangan yang dikonsumsi atas
kepentingan sosial dan budaya, seperti untuk kesenangan,
kebugaran, dan kecantikan.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan dan kemandirian
pangan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan rakyat
banyak, terutama rakyat miskin, dilihat dari aspek ketersediaan
jumlah, mutu, harga, keterjangkauan, dan stabilitas. Fenomena
yang ada menunjukkan pertanyaan tersebut masih belum dijawab.
Berdasarkan berbagai pengalaman dalam aspek pangan di masa
lalu, yang paling mendesak untuk dilakukan dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan adalah
melakukan diversifikasi atau keragaman jenis pangan.

Berbagai Potensi Bahan Pangan


Terkait dengan potensi diversifikasi pangan, Indonesia
memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis
sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan,
228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, serta 110 jenis

pg. 99
rempah-rempah dan bumbu-bumbuan. Semua jenis keragaman
pangan tersebut tersebar di seluruh nusantara dan telah akrab
dengan kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan. Melihat
potensi keragaman pangan tersebut di atas, sudah seharusnya
Indonesia lebih memfokuskan pengembangan pertanian dengan
pola diversifikasi pangan. Indonesia masih memiliki potensi ubi
kayu, jagung, ubi jalar, kentang, dan masih banyak lagi jenis
pangan yang mengandung gizi hampir setara dengan kandungan
gizi pada beras dan gandum.
Sayangnya, pola konsumsi masyarakat yang tergantung
pada beras dan ketika produksi beras tidak mencukupi kebutuhan
konsumen itu ditanggulangi melalui subtitusi dengan gandum
yang bukan merupakan komoditas asli Indonesia. Impor gandum
dari negara lain pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Bahkan mencapai empat juta ton pada tahun 2001. Angka ini jauh
lebih besar dibandingkan dengan jumlah impor beras yang hanya
mencapai 1,35 juta ton pada tahun yang sama. Padahal kebutuhan
pangan untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia telah
bertumpu pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat dan protein
yang pada dasarnya dapat dipenuhi melalui konsumsi umbi-
umbian dan biji-bijian yang bisa didapat dengan mudah di seluruh
Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan di negeri ini seharusnya
tidak dengan cara mengimpor gandum dari negara lain.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan Indonesia
sudah seharusnya dilaksanakan dan bukan menjadi sekadar
wacana lagi. Sudah banyak penelitian dan diskusi yang
menyimpulkan tentang betapa pentingnya diversifikasi pangan
guna mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan bahan
pangan impor lainnya. Sejak tahun 2004 telah dibentuk Forum
Kerja Keanekaragaman Pangan yang anggotanya terdiri atas
berbagai unsur masyarakat. Pembentukan forum kerja ini
bertujuan untuk memasyarakatkan program diversifikasi pangan.
Titik kritis program penganekaragaman pangan adalah perubahan

pg. 100
budaya masyarakat, baik budaya pertanian, budaya industri,
budaya perdagangan, dan budaya konsumsi.

Pengembangan Produk Lokal


Peran teknologi pengolahan pangan bisa memberikan kontribusi
nyata agar dapat meningkatkan citra, baik rasa, komposisi, kualitas
gizi, maupun penampilan produk-produk pangan selain komoditas
beras. Perlunya teknologi pangan itu agar harga jual produk sesuai
dengan daya beli masyarakat serta didukung dengan sistem
promosi yang mengarah kepada sasaran program. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan waktu untuk berproses. Akan tetapi,
untuk mengukur dan memperkirakan tingkat keberhasilan
program, diversifikasi pangan, kita bisa melihat contoh penerapan
teknologi sederhana, khususnya pangan lokal Indonesia yang telah
banyak dilakukan masyarakat meskipun masih dalam skala kecil.
Perberdayaan potensi tanaman pangan lokal yang tersebar
di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki kekhasan masing-
masing akan menghilangkan ketergantungan bangsa Indonesia
terhadap produk pangan impor. Selain itu, sistem distribusi produk
pangan lokal jauh lebih mudah dibandingkan pola distribusi bahan
konsumsi masyarakat yang bersifat seragam seperti beras. Jalur
distribusi bahan pangan lokal dapat dilakukan lebih cepat dan
lebih efisien karena bahan pangan ada di daerah dan tersebar di
nusantara. Hal ini mendorong perdagangan antar daerah yang
efisien dan aman serta menjamin suatu kondisi yang harus
dipenuhi dalam rangka diversifikasi pangan yang dikelola untuk
mendorong terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan.
(Dimuat di Harian Tribun Timur, 29 Nopember 2006).

pg. 101
3. Urgensi Lahan untuk Mewujudkan Kedaulatan
Pangan

LAHAN mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang


memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat
tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan
merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan
hidup. Hal inilah yang mendorong para petani pegunungan
Kendeng beberapa waktu lalu mengecor kakinya di depan istana
negara sebagai aksi protes dan penolakan terhadap keberlanjutan
pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Kabupaten
Rembang Jawa Tengah, karena pabrik tersebut dapat merusak
fungsi ekologis dan resapan air, yang akan berdampak terhadap
kerusakan lahan pertanian mereka. Tuntutan mereka beralasan
karena dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
No.5 Tahun 1960 yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban
kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber
agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran petani.

Urgensi Lahan Pertanian


Secara harfiah lahan adalah bagian daratan dari permukaan
bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta
segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim,
relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami
maupun akibat pengaruh manusia. Rayes (2007) menjelaskan
lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim,
topografi, hidrologi dan vegetasi di mana pada batas-batas
tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Lahan
memiliki berbagai manfaat, baik secara langsung maupun tidak

pg. 102
langsung. Iqbal dan Sormaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan
difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk
mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam
(pertanian). Sedangkan lahan pertanian adalah sebidang lahan
yang digunakan untuk usaha pertanian seperti persawahan,
perkebunan dan peternakan. Sumaryanto (2005) menjelaskan
lahan pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan, seperti
pencegah banjir, pengendali keseimbangan air, pencegah erosi,
pengurangan pencemaran lingkungan dan mencegah pencemaran
udara yang berasal dari gas buangan.

Kedaulatan Amanah Konstitusi


Indonesia yang dikenal memiliki tanah yang subur bakal
terancam menjadi salah satu negara pengimpor pangan dunia jika
lahan pertaniannya secara perlahan namun pasti, terus berkurang
dan beralih fungsi. Sebab berkurangnya lahan pertanian membawa
pengaruh signifikan terhadap kedaulatan pangan. Hal ini pula
disebutkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yaitu kondisi
dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga baik secara
kuantitas maupun kualitas. Adanya peningkatan impor berbagai
kebutuhan bahan pangan menandakan bahwa secara kuantitas
Indonesia mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
pangan bagi penduduknya.
Selanjutnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang
pangan telah mencantumkan aspek kedaulatan pangan sebagai
konsekuensi bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan
International tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights (ECOSOC Rights). Dengan
kedaulatan pangan, diharapkan tidak lagi dijumpai persoalan-
persoalan dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan,
rawan pangan, dan sebagainya.

pg. 103
Diadopsinya kedaulatan pangan sebagai salah satu tujuan
pembangunan pertanian nasional membutuhkan penyusunan
rencana dan pendekatan pembangunan pangan. Dalam UU No. 18
tahun 2012, berupaya memberikan kewajiban kepada negara
untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas pangan
warga negaranya. Tidak bisa dipungkiri, kedaulatan pangan adalah
konsep yang lahir sebagai respon dari kekecewaan pembangunan
pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.
Tahun 1996 berlangsung pertemuan di Tiaxcala (Mexico),
dalam pertemuan ini berhasil dirumuskan visi, yakni kedaulatan
pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan
mengembangkan kemampuannya sendiri untuk menghasilkan
pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem
produksinya sendiri. Disinilah, kedaulatan pangan diartikan
sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk
mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif serta
menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai
kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-
masing.
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis review
konseptual dari berbagai pemikiran yang berkembang dari
berbagai kalangan, sekaligus memberikan masukan untuk
rumusan yang lebih sesuai bagaimana mestinya kedaulatan
pangan dimaknai dan dijalankan di Indonesia. Karena banyak pihak
yang tidak puas terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan
pangan dunia. Bukti menunjukkan bahwa meskipun ketahanan
pangan tercapai, namun belum mampu menjamin kondisi pangan
lokal dan juga tidak mampu mengangkat martabat petani, karena
berkenaan dengan masalah pemilikan lahan dan segala
permasalahan lahan yang menimpa petani kecil, sehingga dapat
menjadi kendala dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

pg. 104
4. Pengembangan Pangan Lokal Mewujudkan
Kadaulatan Pangan

SEJAUH ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah.


Dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang pangan Bab I pasal 1 point 4
yang khusus menjelaskan pembangunan pangan diletakkan dalam
konsep ketahanan pangan (food security). Konsep yang diadopsi
dari FAO itu, didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi
kebutuhan pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada kondisi
terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga, tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman,
merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari
mana pangan diperoleh, dan bagaimana pangan tersedia. Yang
penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO bahkan
menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di
pasar (availability of food inthe market), pangan yang mengabdi
kepada pasar. Intinya diwujudkan melalui pasar, atau ‘memanen
pangan dipasar impor’, ketimbang ‘memanen dilahan sendiri’. Di sisi
lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir ekonom
neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi terhadap
konsep ketahanan pangan (food security). Dillon menilai, konsep
tersebut pada dasarnya tidak menjamin kedaulatan pangan,
karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi pangan
utama dalam menjamin stok pangan .
Hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan pokok
masih tergantung pada impor, terutama kedelai (61,8 %) dan gula
(19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol persen. Terkait hal
tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin mewujudkan
kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep tri sakti, yaitu

pg. 105
berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang
budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi. Maka, jalan yang
harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi pangan
lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).

Syarat Keberdaulatan Pangan


Kedaulatan pangan merupakan prasyarat ketahanan.
Ketahanan pangan baru tercipta jika kedaulatan pangan dimiliki
rakyat (petani). Dengan demikian, masing-masing negara bisa
memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan tidak perlu
bergantung pada negara lain. Dari perspektif ini, pangan dan
pertanian seharusnya tak ditaruh di pasar yang rentan, tetapi
ditumpuhkan pada kemampuan sendiri. Telah menjadi suatu hal
yang mendesak, kebutuhan untuk menyosialisasikan pola pikir dan
pandangan kedaulatan pangan kepada seluruh stakeholder
(pemangku kepentingan), hingga ke masyarakat paling bawah.
Masalah pangan dan pertanian, tidak boleh dilepaskan pada pasar
global, tetapi pemerintah seharusnya mampu memberdayakan
potensi rakyat sendiri. Sejarah mencatat, unsur yang mampu
menjamin keberlangsungan pangan dan pertanian adalah kearifan
lokal dan keanekaragaman hayati yang mampu dikelola dengan
memberdayakan masyarakat.
Pada tataran praktis, banyak pakar merekomendasikan
pentingnya penggalian potensi pangan lokal untuk menjawab
masalah keberdaulatan pangan. Untuk itu, urgensi dari kedaulatan
pangan karena merupakan hak setiap orang, masyarakat, dan
negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya
produktif, serta menentukan dan mengendalikan sistem produksi,
distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai kondisi ekologis,
sosial, ekonomi, serta budaya khas masing-masing. Untuk
menciptakan atau menuju kedaulatan pangan, pemerintah harus
menjamin akses petani atas tanah, air, bibit, dan kredit. Ditingkat
nasional, kebijakan reformasi agraria, air untuk pertanian, aneka
varietas lokal unggul, dan kredit berbunga rendah harus jadi

pg. 106
prioritas. Dalam konteks alam, petani perlu perlindungan atas
aneka kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan,
banjir, dan bencana lainnya.
Pemerintah perlu memberi jaminan hukum bila bencana
alam itu menimpa petani, supaya mereka tidak terlalu menderita.
Salah satu solusinya, adalah diperlukan payung hukum berupa UU
yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian
atau konpensasi kerugian bagi petani atas bencana alam. Terkait
dengan hal tersebut, Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian
di era Pemerintahan Megawati, mengatakan bahwa kedaulatan
pangan akan terwujud, jika kita mampu menetapkan kebijakan
yang tepat. Kebijakan yang dimaksud, adalah kebijakan proteksi
sekaligus promosi. Proteksi sangat kita butuhkan dalam
perdagangan internasional yang tidak adil. Karena WTO hanya adil
bagi negara-negara maju, tetapi buat Indonesia tidak adil.
Memang free trade sesuai buat negara maju, tapi tidak buat
negara baru berkembang, seperti Indonesia.
Disamping dibutuhkan adanya proteksi, Indonesia pun
harus all out dalam melakukan promosi. Kalau kita hanya proteksi,
semakin lama proteksinya semakin tinggi, dan tidak bisa kita
pertahankan. Untuk itu, sambil memproteksi, kita juga harus
promosi melalui produktivitas dan kualitas produk yang kita
pasarkan. Misalnya, selama 2000-2004 kita terapkan kebijakan
proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita, terutama
kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan,
melaksanakan dan merevisi bila dirasa itu suatu kebutuhan.
Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di atas 4
persen.

Wujudkan Kedaulatan
Kembali pada persoalan kedaulatan pangan, fenomena
ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat
kebijakan dan proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi
sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah

pg. 107
menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai
dan buah-buahan hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar
bebas, perusahaan menggenjot produksi pangan yang berorientasi
ekspor. Sehingga berakibat, surplus pangan dari negara-negara
maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar
dalam negeri. Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot
produksi hasil perkebunan yang berorientasi ekspor, seperti
terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman pangan di
dalam negeri pun jadi terbengkalai.
Implikasinya, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya
kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi
disektor pangan. Ujung-ujungnya, sektor pangan sangat
bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir
perusahaan raksasa. Kondisi ini diperparah dengan program
privatisasi sektor pangan, yang nota bene merupakan kebutuhan
pokok rakyat. Sebagai contoh, industri hilir pangan hingga
distribusi, baik eksportir maupun importirnya dikuasai perusahaan
asing. Akhirnya mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi
konsumen sehingga pada akhirnya, sektor pangan mengarah ke
sistem monopoli dan oligopoli (kartel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih
disebabkan kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan
pangan pada pasar, yang diawali dengan ditandatanganinya letter
of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas
(1995) melalui agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses
pasar komoditi pertanian Indonesia di buka lebar-lebar, bahkan
hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras (1998).
Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik
menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi,
maupun insentif harga.
Dengan sistem kebijakan dan praktek seperti itu, Indonesia
kini bergantung pada pasar internasional, baik mengenai harga

pg. 108
maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi perubahan pola
produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, negara ini
terkena dampaknya, seperti melambungnya harga sejumlah
komoditas pertanian, akibat tingginya permintaan negara-negara
yang pesat pertumbuhan ekonominya, seperti Tiongkok dan India,
sementara persediaan langka, sehingga terjadilah krisis pangan
global seperti sekarang ini.
Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani
Indonesia, jalan keluar dari krisis pangan adalah menegakkan
kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti memberikan hak
pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata
pertanian di tiap-tiap negara. Untuk itu, mari kita jadikan Hari
Kebangkitan Nasional, sebagai momentum kebangkitan
kedaulatan pangan nasional. Sehingga negara berkewajiban
memproteksi petaninya dari gempuran produk luar, akibat
diberlakukannya CAFTA. Produksi pertanian hasil jeri payah petani
kita sendiri, harus ditujukan pada pemenuhan kebutuhan rakyat,
bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya menguntungkan
perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus
memprioritaskan pemenuhan pasar lokal dan nasional serta
memberdayakan petani di pedesaan (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 16 Mei 2018).

pg. 109
5. Momentum Kebangkitan Kedaulatan Pangan

SETIAP tanggal 20 Mei bangsa Indonesia merayakan Hari


Kebangkitan Nasional. Peringatan ini dapat menjadi momentum
yang tepat untuk menumbuhkan rasa kebangsaan, termasuk
dalam hal memacu dan menggenjot sektor pertanian supaya
mampu menciptakan kedaulatan pangan yang sejati bagi bangsa
yang nota bene ‚ripah loh jinawe‛ ini. Sejauh ini kedaulatan pangan
belum menjadi visi pemerintah. Selama ini, visi pemerintah seputar
persoalan pangan seperti tertuang dalam UU No.7/1996 tentang
pangan. Dalam UU itu, pembangunan pangan diletakkan dalam
konsep ketahanan pangan (food security). Konsep yang diadopsi
dari FAO itu, didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi
kebutuhan pangan warganya. Istilah ini menunjuk pada kondisi
terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga, tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu, aman,
merata, dan terjangkau.
Konsep ini, tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari
mana pangan diperoleh, dan bagaimana pangan tersedia. Yang
penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO bahkan
menyebutkan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di
pasar (availability of food in the market), pangan yang mengabdi
kepada pasar. Intinya diwujudkan melalui pasar, atau ‚memanen
pangan dipasar impor‛, ketimbang ‚memanen dilahan sendiri‛. Di
sisi lain, Pengamat Pertanian HS Dillon, mengkritik pola pikir
ekonom neo-klasik di Indonesia yang banyak memberi kontribusi
terhadap konsep ketahanan pangan (food security). Dillon menilai,
konsep tersebut pada dasarnya tidak menjamin kedaulatan
pangan, karena masih menerima konsep impor untuk memenuhi
pangan utama dalam menjamin stok pangan .

pg. 110
Bila hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan
pokok masih tergantung pada impor, terutama kedelai (61,8 %)
dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol persen.
Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin
mewujudkan kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep Tri
Sakti, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam
bidang budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi. Maka, jalan
yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi
pangan lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food
sovereignity).

Kedaulatan Prasyarat Ketahanan


Kedaulatan pangan merupakan prasyarat ketahanan.
Ketahanan pangan baru tercipta jika kedaulatan pangan dimiliki
rakyat (petani). Dengan demikian, masing-masing negara bisa
memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan tidak perlu
bergantung pada negara lain. Dari perspektif ini, pangan dan
pertanian seharusnya tak ditaruh di pasar yang rentan, tetapi
ditumpuhkan pada kemampuan sendiri. Telah menjadi suatu hal
yang mendesak, kebutuhan untuk menyosialisasikan pola pikir dan
pandangan kedaulatan pangan kepada seluruh stakeholder
(pemangku kepentingan), hingga ke masyarakat paling bawah.
Masalah pangan dan pertanian, tidak boleh dilepaskan pada pasar
global, tetapi pemerintah seharusnya mampu memberdayakan
potensi rakyat sendiri. Sejarah mencatat, unsur yang mampu
menjamin keberlangsungan pangan dan pertanian adalah kearifan
lokal dan keanekaragaman hayati yang mampu dikelola dengan
memberdayakan masyarakat.
Pada tataran praktis, banyak pakar merekomendasikan
pentingnya penggalian potensi pangan lokal untuk menjawab
masalah keberdaulatan pangan. Untuk itu, urgensi dari kedaulatan
pangan karena merupakan hak setiap orang, masyarakat, dan
negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya
produktif, serta menentukan dan mengendalikan sistem produksi,

pg. 111
distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai kondisi ekologis,
sosial, ekonomi, serta budaya khas masing-masing.

Menuju Kedaulatan Pangan


Untuk menciptakan atau menuju kedaulatan pangan,
pemerintah harus menjamin akses petani atas tanah, air, bibit, dan
kredit. Ditingkat nasional, kebijakan reformasi agraria, air untuk
pertanian, aneka varietas lokal unggul, dan kredit berbunga
rendah harus jadi prioritas. Dalam konteks alam, petani perlu
perlindungan atas aneka kemungkinan kerugian bencana alam,
seperti kekeringan, banjir, dan bencana lainnya. Pemerintah perlu
memberi jaminan hukum bila bencana alam itu menimpa petani,
supaya mereka tidak terlalu menderita. Salah satu solusinya,
adalah diperlukan payung hukum berupa UU yang mewajibkan
pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau konpensasi
kerugian bagi petani atas bencana alam.
Terkait dengan hal tersebut, Bungaran Saragih, mantan
Menteri Pertanian di Era Pemerintahan Megawati, mengatakan
bahwa kedaulatan pangan akan terwujud, jika kita mampu
menetapkan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang dimaksud,
adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi sangat kita
butuhkan dalam perdagangan internasional yang tidak adil.
Karena WTO hanya adil bagi negara-negara maju, tetapi buat
Indonesia tidak adil. Memang free trade sesuai buat negara maju,
tapi tidak buat negara baru berkembang, seperti Indonesia.
Disamping dibutuhkan adanya proteksi, Indonesia pun harus all
out dalam melakukan promosi. Kalau kita hanya proteksi, semakin
lama proteksinya semakin tinggi, dan tidak bisa kita pertahankan.
Untuk itu, sambil memproteksi, kita juga harus promosi melalui
produktivitas dan kualitas produk yang kita pasarkan. Misalnya,
selama 2000-2004 kita terapkan kebijakan proteksi dan promosi
sebagai bentuk kedaulatan kita, terutama kedaulatan dalam
membuat kebijakan, merumuskan, melaksanakan dan merevisi bila

pg. 112
dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk
pangan bertumbuh di atas 4 persen.
Kembali pada persoalan kedaulatan pangan, fenomena
ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat
kebijakan dan proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi
sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah
menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai
dan buah-buahan hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar
bebas, perusahaan menggenjot produksi pangan yang berorientasi
ekspor. Sehingga bekibat, surplus pangan dari negara-negara
maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar
dalam negeri. Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot
produksi hasil perkebunan yang berorientasi ekspor, seperti
terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman pangan di
dalam negeri pun jadi terbengkalai. Implikasinya, negara dan
rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi disektor pangan. Ujung-
ujungnya, sektor pangan sangat bergantung pada mekanisme
pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa. Kondisi ini
diperparah dengan program privatisasi sektor pangan, yang nota
bene merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sebagai contoh, industri
hilir pangan hingga distribusi, baik eksportir maupun importirnya
dikuasai perusahaan asing. Akhirnya mayoritas rakyat Indonesia
hanya menjadi konsumen sehingga pada akhirnya, sektor pangan
mengarah ke sistem monopoli dan oligopoli (kertel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih
disebabkan kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan
pangan pada pasar, yang diawali dengan ditandatanganinya letter
of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas
(1995) melalui agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses
pasar komoditi pertanian Indonesia di buka lebar-lebar, bahkan
hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras (1998).

pg. 113
Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik
menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi,
maupun insentif harga. Dengan sistem kebijakan dan praktek
seperti itu, Indonesia kini bergantung pada pasar internasional,
baik mengenai harga maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi
perubahan pola produksi – distribusi – konsumsi secara
internasional, negara ini terkena dampaknya, seperti
melambungnya sejumlah komoditas pertanian, akibat tingginya
permintaan negara-negara yang pesat pertumbuhan ekonominya,
seperti Cina dan India, sementara persediaan langka, sehingga
terjadilah krisis pangan global seperti sekarang ini.(Dimuat di
Media online berita-sulsel.com, 20 Mei 2018).

pg. 114
6. Percepatan Kedaulatan Pangan melalui
Pemberdayaan Petani

PERSOALAN pangan bagi bangsa Indonesia, dan juga bangsa-


bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang
sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu
bangsa. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya
kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik
negara lain maupun kekuatan–kekuatan ekonomi lainnya. La Via
Campesina (Organisasi Perjuangan Petani Internasional) sebagai
organisasi payung Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat
Internasional telah memperkenalkan konsep kedaulatan pangan
(Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini pada World Food
Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di
Roma, Italia. Sehingga, tepatlah kiranya Hari Pangan Sedunia (HPS)
XXXV 2015 tingkat nasional yang dipusatkan di Jakabaring Sport
City, Palembang yang pelaksanaannya mulai 17 – 20 Oktober 2015
mengambil tema, ‚Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak
Ekonomi menuju Kedaulatan Pangan‛.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan
melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep
pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai
secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan
sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai
dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga
merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem
pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada
pertanian berbasiskan keluarga yang berdasarkan pada prinsip
solidaritas. Tapi sampai saat ini masyarakat pada umumnya belum
memahami secara jelas apa makna kedaulatan pangan. Kedaulatan

pg. 115
pangan yang selama ini dipahami ialah segala sesuatu yang erat
kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan pokok
dalam negeri.
Coleman dengan Sovereignty-nya pada tahun 2009
mengatakan bahwa saat ini definisi kedaulatan sering dipoles
dengan berbagai kepentingan investasi lainnya sehingga terlihat
sedikit lebih merakyat. Padahal, konsep kedaulatan pangan
sebenarnya sungguh berpihak pada kemerdekaan dan jati diri
bangsa. Pernyataan Coleman tersebut sesuai dengan kondisi saat
ini dimana definisi dan pengertiannya dibuat menjadi tumpang
tindih dengan ketahanan pangan. Sebagian orang membedakan
keduanya dalam konteks kebutuhan. Sementara makna
kedaulatan pangan tidak hanya mengenai kebutuhan saja
melainkan lebih jauh mencakup ketersediaan stok dan
kesinambungannya, ketidak-tergantungan terhadap produksi
global, harga pasar, dan mempertimbangkan daya beli masyarakat
menengah kebawah. Saat berbicara mengenai kedaulatan pangan
secara tidak langsung pula akan terhubung dengan kemiskinan
dan pengalaman sebelumnya mengenai gizi dan keamanan
pangan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Maxwell
dalam jurnalnya yang berjudul ‚Saucy with the Gods: nutrition and
food security speak to poverty‛ pada 1990-an menyebut kedaulatan
pangan sempat menjadi isu dominan sama seperti isu pengentasan
kemiskinan.

Konsep Kedaulatan Pangan


Berbeda dengan konsep ketahanan pangan, kedaulatan
pangan yang dimaksud lebih dari sekedar mampu
mempertahankan stok bahan makanan pokok. Konsep kedaulatan
pangan menjamin bahwa keragaman bahan makanan tersebut
terjaga dan menghindari diri dari ketergantungan yang lebih buruk
dari pihak lain. Inti konsep kedaulatan pangan ialah masyarakat
mampu mandiri memenuhi kebutuhan pangannya dengan tidak
mengabaikan hak-hak untuk mendapatkannya. Sebagaimana

pg. 116
Sovereignty as Responsibility yang pernah ditulis Etzioni tahun
2006 mendefinisikan kedaulatan sebagai tanggung jawab negara
untuk melindungi rakyatnya dari campur tangan pihak lain.
Oleh karena itu, hakikat kedaulatan pangan sebenarnya
adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi
pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem
pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi
dari kekuatan pasar internasional. Terdapat tujuh prasyarat utama
untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah ;
Pertama, pembaruan agraria. Kedua, adanya hak akses rakyat
terhadap pangan. Ketiga, penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan. Keempat, pangan untuk pangan dan tidak sekedar
komoditas yang diperdagangkan. Kelima, pembatasan penguasaan
pangan oleh korporasi. Keenam, melarang penggunaan pangan
sebagai senjata, dan Ketujuh, pemberian akses ke petani kecil
untuk perumusan kebijakan pertanian.
Selain ketujuh syarat tersebut, praktek untuk membangun
kedaulatan pangan harus dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar
sebagaimana yang dicetuskan pada pertemuan World Food Summit
Five Years Later di Roma. Dalam pertemuan tersebut sejumlah
organisasi sosial yang mewakili petani kecil, buruh tani, nelayan,
masyarakat adat bersama sejumlah NGO membentukInternational
Planning Committee for Food Sovereignty (IPC). IPC berperan untuk
memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan FAO dalam
mewujudkan kedaulatan pangan. Konsep kedaulatan pangan pun
semakin dikembangkan dan mendapat dukungan yang meluas.
Pada tahun 2007 diadakanlah konferensi internasional Kedaulatan
Pangan di Nyeleni, Mali. Konferensi ini semakin menguatkan
pemahaman dan perjuangan gerakan sosial mewujudkan
kedaulatan pangan menjadi alternatif menjawab permasalahan
pangan dan pertanian global.
Hal inilah dimanfaatkan gerakan petani dan masyarakat
sipil lainnya untuk memasukkan sebuah alternatif sistem pangan
yang demokratis seperti yang didiskusikan dalam Komisi FAO

pg. 117
untuk Ketahanan Pangan Dunia, yang harus dilaksanakan agar
negara-negara dan masyarakat di sekuruh dunia memiliki hak
untuk melaksanakan kedaulatan pangan.Solusi sejati mengatasi
krisis pangan berarti bahwa petani kecil, dan bukan perusahaan
transnasional, harus mendapatkan kontrol atas sumberdaya
agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah,
air, benih dan pasar lokal.

Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan


Di tingkat nasional perjuangan kedaulatan pangan pun
mulai semakin masif. Pendidikan di tingkat organisasi tani menjadi
hal yang signifikan untuk memperkuat perjuangan kedaulatan
pangan. Hal ini penting untuk memperkuat tekanan rakyat dalam
perubahan kebijakan pangan dan pertanian di tingkat nasional
hingga daerah. Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan
tercapai apabila petani sebagai penghasil pangan memiliki,
menguasai dan mengontrol alat-alat produksi pangan seperti
tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang
mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria.
Hal ini perlu disertai dengan melaksanakan pertanian rakyat yang
berkelanjutan bukan saja untuk memperbaiki kualitas tanah,
lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia.
Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh
sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap
perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian.
Gerakan kedaulatan pangan mulai meluas di Indonesia
terutama sejak tahun 2002. Karena meskipun krisis pangan belum
terjadi, namun tanda-tanda kegagalan konsep ketahanan pangan
yang dijalankan FAO sudah mulai terlihat. Karena itu berbagai
inisiatif sudah dilakukan seperti gerakan rakyat seperti
membangun koalisi penegakan kedaulatan pangan. Pergerakan ini
mendapat respons positif dari kalangan partai, dengan adanya aksi
di ruang parlemen untuk penolakan atas impor beras di Indonesia.
Kemudian berbagai seminar juga dilakukan oleh kalangan partai

pg. 118
untuk memahami sebab-sebab terjadinya ketergantungan pangan.
Di tingkat parlemen, ketergantungan pangan dan tak sanggupnya
Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeri dijawab
oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah
konversi lahan pertanian ke non pangan.
Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan
bahwa untuk memperkecil ketergantungan pangan di Indonesia,
harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan. Tidak cukup
hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi,
mengatur soal perdagangan pangan. Atas desakan dari gerakan
rakyat, diantaranya pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah
organisasi tani lainnya, organisasi sosial lain, LSM, hingga para
akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat
Indonesia. Petisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk
memperkuat dan memperluas desakan kepada pemerintah untuk
mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada saat ini demi
melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat
Indonesia.Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga
mulai terlihat dengan adanya respons di tingkat legislasi dengan
perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna menjamin penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap
warga negara.

Pemberdayaan Petani
Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani menjelaskan bahwa Pemberdayaan
petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan
petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,
pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses
ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan
kelembagaan petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat

pg. 119
(petani) dalam pembangunan mengandung arti bahwa manusia
ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses
mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama
dalam membentuk dan merubah prilaku masyarakat untuk
mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas.
Di Indonesia, menurut Ravik (2001) perkembangan
pemberdayaan petani dan nelayan kecil dikenal dengan program
penyuluhan, dimulai bersamaan dengan berdirinya Departemen
Pertanian (Van Landbouw) tahun 1905. Pada masa itu, salah satu
tugas departemen tersebut adalah menyalurkan hasil penyelidikan
pertanian kepada petani. Lalu, menjelang dan awal Pelita I, melalui
program Bimbingan Massal – Intensifikasi Massal (Bimas – Inmas)
penyuluhan dilakukan besar-besaran. Walaupun demikian, praktis
sejak perang kemerdekaan orientasi penyuluhan ditujukan untuk
meningkatkan produksi bahan makanan pokok rakyat Indonesia
yaitu beras. Dan puncaknya pengaruh langsung maupun tidak
langsung pelaksanaan penyuluhan adalah keberhasilan Indonesia
mencapai swasembada pangan, yaitu beras yang diakui secara
internasional pada siding FAO 1985 di Roma. Namun, landasan
penyuluhan yang selama ini diketahui hanya sekadar
meningkatkan produksi perlu dikaji kembali. Untuk itu, orientasi
pemberdayaan masyarakat haruslah membantu petani dan
nelayan agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-
inovasi yang ada, dan ditetapkan secara partisipatoris, yang
pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat
sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk
layanan individu maupun kelompok. Sedangkan peran petugas
pemberdayaan masyarakat sebagai outsider people dapat
dibedakan menjadi 3 bagian yaitu peran konsultan, peran
pembimbingan dan peran penyampai informasi.
Penguatan peran serta masyarakat haruslah menjadi
bagian dari agenda demokratisasi lebih-lebih dalam era globalisasi.

pg. 120
Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak
ketimbang sebagai kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan
prioritas agenda pengambilan keputusan atas program-program
pembangunan, khususnya pembangunan pertanian dan pangan
yang ditujukan kepadanya adalah hak masyarakat sebagai
pemegang kata akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam
agenda dan urutan prioritas. Untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat/petani secara umum dapat diwujudkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat
yaitu; Pertama, belajar dari masyarakat. Artinya prinsip yang paling
mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti,
harus dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan
relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan
masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
Kedua, pendamping sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai
pelaku. Artinya konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya
pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya
sebagai pelaku atau guru.
Untuk itu, perlu sikap rendah hati serta kesediaan untuk
belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat
sebagai nara sumber utama dalam memahami keadaan
masyarakat itu. Ketiga, saling belajar dan berbagi pengalaman.
Artinya salah satu prinsip dasar pendampingan untuk
pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman
dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak
berubah.Kenyataan telah membuktikan bahwa dalam banyak hal
perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional
masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang
terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang
berkembang. Namun, sebaliknya, telah terbukti pula bahwa
pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan
oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.

pg. 121
7. Percepatan Penganekaragaman Pangan dengan
Sukun

KEBIJAKAN Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan


Berbasis Sumberdaya Lokal diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 22 Tahun 2009, salah satu komoditi yang
berpotensi untuk dijadikan sebagai pangan alternatif adalah sukun
dengan berbagai olahannya. Sebab sukun dapat dijadikan sebagai
pangan alternatif karena keberadaannya tidak seiring dengan
pangan konvensional (beras). Artinya keberadaan pangan ini dapat
menutupi kekosongan produksi pangan konvensional. Sukun
dapat dipakai sebagai pangan alternatif pada bulan Januari,
Pebruari, dan September, bila pada bulan-bulan tersebut terjadi
paceklik padi. Karena dimusim kering, saat tanaman lain tidak
dapat atau merosot produksinya justru sukun dapat tumbuh dan
berbuah dengan hebat. Tidak heran, jika sukun dijadikan sebagai
salah satu cadangan pangan nasional.
Tak ada beras sukun pun jadi. Ungkapan ini mungkin tak
berlebihan, apalagi di tengah isu krisis pangan global, sukun
memang berpotensi sebagai bahan pangan alternatif sebagai
sumber penghasil karbohidrat selain beras. Kandungan
karbohidratnya pun relatif lebih tinggi di banding bahan pangan
lainnya seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar atau kentang. Sukun
(Artocarpus altilis Park.) di Indonesia kebanyakan dikonsumsi
dalam bentuk olahan baik digoreng maupun direbus dari buah
yang masih mentah. Memang penganekaragaman produk dari
sukun masih sangat terbatas, padahal sukun merupakan salah satu
komoditas yang mudah rusak, sehingga harga sukun relatif murah,
sehingga memerlukan penanganan khusus supaya bisa dibuat
menjadi anekaragam produk yang mempunyai nilai tambah.

pg. 122
Upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai
ekonominya dapat dilakukan dengan menganekaragamkan jenis
produk olahan sukun, untuk itu perlu dikembangkan cara
pengolahan lain seperti pembuatan tepung sukun. Produk pangan
olahan yang merupakan hasil olahan langsung dari sukun segar
misalnya keripik sukun, apem sukun, bolu cup sukun, krokit sukun,
prol sukun, dll. Sedangkan olahan sukun sebagai bahan pangan
olahan lebih lanjut antara lain adalah gaplek sukun, tepung sukun,
dan aci sukun. Bahan bahan olahan primer tersebut selanjutnya
dapat digunakan untuk pembuatan berbagai pangan dari sukun
seperti bolu sukun, cake sukun, kukis sukun, tart sukun dll.
Memang tak banyak yang tau, bahwa di beberapa belahan dunia
buah sukun telah biasa dimanfaatkan sebagai bahan makanan
tambahan. Bahkan di Karibia, sukun telah menjadi salah satu
komoditas ekspor.
Untuk itu, pemanfaatan buah ini sebagai sumber
karbohidrat menjadi semakin penting sejak pemerintah mulai
mencanangkan program diversifikasi pangan. Hal ini cukup
beralasan mengingat sukun mengandung zat pemberi tenaga yang
cukup baik. Misalnya, dari 100 gram buah sukun tua dapat
menghasilkan kalori sebesar 108 kal, dan apabila dalam bentuk
tepung kalori yang dihasilkan lebih besar lagi, yakni mencapai 302
kal. Selain mengandung komposisi gizi, juga mengandung 18 – 32
mg Ca, 52 – 88 mg fosfor, 0,4 – 1,5 besi, 26 – 40 UI vitamin A, 17 –
32 mg vitamin C. Dibandingkan dengan beras giling masak atau
nasi, sukun yang lebih tua mengandung kalori yang lebih tinggi.

Prospek Pengembangannya
Pengembangan sukun secara serius di daerah sentra
produksi seperti di Kabupaten Bone, merupakan suatu strategi
percepatan penganekaragaman pangan dalam menunjang
kecukupan pangan nasional. Langkah tersebut nampaknya perlu
mendapat perhatian, mengingat produksi bahan pangan dunia
kian sulit mengimbangi kebutuhan konsumsinya. Indonesia

pg. 123
sebagai salah satu negara penghasil pangan dunia, sangat
membutuhkan kecukupan dan kestabilan ketersediaan pangan,
terutama terkait dengan pertumbuhan penduduk yang masih
diatas 1,6 persen per tahun. Ketergantungan terhadap sumber
karbohidrat dari beras, jelas sulit karena ketersediaan maupun
produktivitas lahan padi yang kian menyusut. Dengan melihat
kondisi tersebut, pengembangan agribisnis sukun menjadi solusi
tepat untuk mendukung diversifikasi pangan. Selain itu, dengan
kandungan karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi pada sukun,
menjadikan tanaman ini berpeluang besar untuk dikembangkan
sebagai komoditi pangan alternatif dalam mendukung program
ketahanan pangan nasional.
Keterbatasan pemanfaatan buah sukun di Indonesia
disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi sukun. Padahal
komoditi ini sangat potensial sebagai usaha menganekaragamkan
makanan pokok, terutama penduduk Indonesia yang makanan
pokoknya beras. Menurut Dimyati (2002), potensi sukun sebagai
bahan pangan alternatif sumber karbohidrat, karena tanaman ini
memiliki daya adaptasi yang luas, baik pada lahan marginal
maupun lahan kering di daerah berbukit dan bergunung. Selain itu,
budidaya sukun tidak memerlukan pengolahan tanah secara
intensif dan berulang layaknya tanaman ubi kayu, ubi jalar, dan
kentang, sehingga tanaman ini lebih sesuai untuk konservasi lahan
kritis. Sedangkan Koswara (2008) potensi hasil sukun mencapai
400 buah per tahun untuk tanaman berumur 5 – 6 tahun dan biasa
berbuah sepanjang tahun, meski ada panen raya. Selain itu, di
musim kemarau ketika bahan pangan lain merosot hasilnya, sukun
justru berbuah lebat. Musim panen juga tidak berbarengan dengan
padi sehingga biasa menjadi bahan pangan subtitusi.

Aspek Lingkungan dan Kesehatan


Manfaat lain sukun adalah sebagai penyelamat lingkungan.
Akar yang kuat menghujam tanah dapat mengurangi laju erosi.
Akarnya mampu menyimpan air tanah, sehingga di dekat

pg. 124
kumpulan pohon sukun kerap ditemukan sumber air. Tajuk lebar
menghasilkan iklim mikro yang sejuk. Daun yang berjatuhan di
tanah menjadi humus. Tajuk yang rindang juga jadi ‚rumah
pelindung‛ dan sumber pakan untuk hewan seperti burung,
kumbang, dan kelelawar. Potensi lain dari tanaman sukun adalah
sebagai tanaman obat. Dari studi literature ditentukan data bahwa
sukun yang berwarna kuning dapat dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit tekanan darah tinggi dan kencing manis. Itu
karena kandungan fenol, quercetin, dan champorol di dalamnya.
Daunnya juga biasa dipakai sebagai obat kulit bengkak dan gatal.
Di India, daun sukun di pakai untuk mengatasi asma dan
seriawan. Jus daun untuk obat tetes telinga. Sementara bubuk
daun yang di panggang sebagai obat pembengkakan limpa. Bunga
yang di panggang lalu di oles ke gusi biasa menyembuhkan sakit
gigi. Selain itu, daun sukun dapat menyembuhkan seorang
penderita jantung dan ginjal. Setelah rutin mengkonsumsi rebusan
daun sukun 2 jam setelah minum obat dari dokter, ia sembuh.
Badannya terasa segar, berurine lancer, dan keluhan dada sakit
tidak ada lagi.
Untuk itu, dengan melihat berbagai macam fungsi dan
manfaat sukun, sudah cukup pantas bila komoditas ini
mendapatkan perhatian pemerintah di masing-masing daerah.
Namun, sejauh mana pengembangannya ke depan tergantung
pada komitmen Indonesia pada amanat Word Trade Summit 2002 .
Dalam Word Trade Summit tersebut, mengamanatkan program
aksi untuk menurunkan angka kekurangan pangan dari 800 juta
jiwa menjadi tinggal 50 persen pada tahun 2015 yang akan datang.
Termasuk komitmen dan konsekuensi masyarakat agribisnis
Indonesia dalam menjalankan Undang- Undang No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan.

pg. 125
8. Menyiasati Melambungnya Harga Kebutuhan Pangan

MEMASUKI awal tahun 2018, sejumlah harga bahan pokok


masyarakat mengalami kenaikan. Kondisi itu disebabkan oleh
beberapa hal, mulai dari cuaca buruk, kelangkaan barang
dagangan dan kebijakan pihak tengkulak. Kenaikan ini meski hanya
beberapa persen, namun kenaikan diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan. Hal ini diakui oleh salah seorang
pedagang yang sempat ditemui di Pasar Daya Kota Makassar
mengatakan, beberapa kebutuhan masyarakat yang mengalami
kenaikan adalah daging ayam, telur, sayuran, dan bumbu dapur.
Naiknya harga sejumlah bahan pangan sangat mempengaruhi
persentase kegiatan jual beli sehingga kenaikan tersebut
berdampak pada menurunnya daya beli dan jumlah pembeli.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin
Nasution, jelang dan selama tahun baru, beberapa bahan pangan
memang mengalami kenaikan harga apabila dibandingkan dengan
bulan sebelum penutupan tahun. Kenaikan harga beras dan
beberapa bahan pokok lainnya di awal tahun 2018 diperkirakan
akan berdampak pada laju inflasi. Beberapa bahan pangan yang
mengalami kenaikan harga yaitu ayam, telur dan beras.
Contohnya, beras jenis medium di Pasar Induk Cipinang, Jakarta
Timur, rata-rata dijual Rp 9.800 hingga Rp 10.600 per kilogram.
Harga beras jenis medium tersebut telah melampaui Harga Eceran
Tertinggi yang ditetapkan Kementerian Perdagangan yakni Rp
9.450 per kilogram.

Pemicu Inflasi
Gejolak harga bahan pangan bergerak seakan tak
terkendali, sehingga telah menjadi pemicu utama inflasi. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, harga bahan pangan di awal tahun ini

pg. 126
juga mengalami kenaikan. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira
Adhinegara (2017), menjelaskan bahwa laju inflasi akhir tahun
2017 meningkat berkisar 3,5 - 3,67 persen akibat kenaikan harga
bahan pokok terutama beras. Inflasi volatile food di bulan
Desember jadi penyumbang komponen inflasi paling besar. Angka
ini lebih tinggi dari inflasi Desember 2016 sebesar 0,42 persen.
Menurut Bhima, penyebab kenaikan harga beras belakangan ini
dipicu oleh beberapa faktor; Pertama, melonjaknya permintaan.
Hal ini akhirnya menyebabkan harga bahan pokok terus bergerak
naik. Karena kenaikan permintaan secara musiman saat Natal dan
Tahun Baru. Kedua, kenaikan harga ini dipengaruhi faktor cuaca
yang saat ini tengah memasuki musim penghujan. Kondisi ini masih
akan terus berlanjut hingga Maret 2018. Prediksi sampai Maret
2018 curah hujan masih tinggi dan berpotensi mengganggu
produksi di sentra penghasil beras. Selain itu, akhir tahun adalah
berpotensi maraknya penimbunan yang dilakukan oleh para
spekulan nakal. Karena momentum seperti inilah merupakan
waktu yang tepat untuk mengawasi permainan spekulan di
pedagang besar dan pasar tradisional.

Anomali Fluktuasi Harga


Anomali fluktuasi harga bahan pangan disebabkan karena
bentuk pasar bahan pangan di Indonesia bukan pasar persaingan
sempurna akan tetapi cenderung oligopoli atau bahkan monopoli.
Struktur pasar di Indonesia masih sangat berkaitan dengan faktor-
faktor lain yang menjadikan harga pangan yang efisien masih sulit
dicapai. Selain itu, kenaikan harga bahan pangan yang terjadi
sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan.
Dari sisi pembeli, semakin banyak barang yang ingin dibeli akan
meningkatkan harga, sedangkan dari sisi penjual semakin banyak
barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Untuk komoditas
pangan, pembentukan harga lebih dipengaruhi oleh sisi
penawaran karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti
perkembangan trennya.

pg. 127
Sedangkan mengenai pembentukan harga, pada dasarnya
ada dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap komoditas
pangan, yaitu faktor produksi (harvest disturbance) dan prilaku
penyimpanan (storage/inventory behavior). Faktor lain yang juga
kerap menyebabkan kenaikan harga bahan pangan ini adalah kurs
rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika
Serikat (USD), karena pasokan bahan pangan Indonesia masih
sangat tergantung pada impor. Dengan demikian, penurunan nilai
rupiah tentunya akan berdampak pada kenaikan harga komoditas
impor tersebut.
Untuk itu, dalam mengatasi masalah lonjakan harga bahan
pangan yang tidak menentu, pemerintah perlu meningkatkan
upaya-upaya yang lebih realistis dan praktis. Kenaikan harga yang
tidak menentu terkadang menjadi anomali, karena ketika harga
faktor-faktor produksi turun, bahkan ketika harga bahan pangan
dunia turun, harga bahan pangan nasional malah mengalami
kenaikan yang signifikan. Kondisi ini disebabkan karena tidak
adanya regulasi yang jelas dan pengawasan serta tindakan tegas
pemerintah dalam mengatur pasokan dan perdagangan bahan
pangan. Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan
anomali fluktuasi harga. Pertama, terdapatnya bentuk oligopoli
atau monopoli pasar. Kedua, rantai distribusi yang panjang dan
adanya berbagai pungutan pada rantai distribusi. Ketiga, ula para
spekulan, dan Keempat, rendahnya stok bahan pangan untuk
mengantisipasi penurunan produksi atau pasokan. (Dimuat di
Harian Fajar, 19 April 2008).

pg. 128
9. Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Minimarket

PASAR tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh


Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan
swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda
yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah,
swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil,
modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui
tawar menawar (Perpres No. 112 Tahun 2007). Akhir Pebruari lalu
(21/2) Harian Fajar merilis 456 buah minimarket yang ada di Kota
Makassar, tetapi hanya 380 minimarket yang memiliki izin,
sehingga terdapat 76 buah minimarket yang tidak memiliki izin,
baik berupa SITU, SIUP, TDP, IMB, dan Izin Usaha Toko Modern
(IUTK). Hal ini tentu meresahkan sektor usaha rakyat, terutama
pelaku usaha pada pasar tradisional yang berciri Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM) yang terkepung dengan keberadaan
minimarket tersebut. Misalnya, keberadaan minimarket yang
mengepung pasar tradisional terlihat di sekitar Pasar Tamamaung,
Pasar Pajjaiang, dan Pasar Daya (Fajar, 24/2). Demikian pula
beberapa pasar tradisional swadaya masyarakat di Kompleks Bumi
Tamalanrea Permai (BTP) sudah terkepung oleh beberapa
minimarket.
Keberadaan pasar tradisional pada masyarakat mempunyai
peranan penting yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pusat
kebudayaan.Sebagai pusat kegiatan ekonomi, pasar tradisional
merupakan tempat bertemunya produsen dan konsumen yang
umumnya melalui tawar menawar dan pembayaran dilakukan
tunai. Di bidang distribusi, pasar tradisional mempunyai peranan
dalam menyebarluaskan barang-barang hasil produksi khususnya
kebutuhan bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat.

pg. 129
Sedangkan di bidang konsumsi, pasar tradisional menyediakan
kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang cenderung menjual
barang-barang bercorak lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pasar
tradisional tentunya lebih bersifat nasionalis dalam hal
perdagangan dari pada produk yang dijual di minimarket bercorak
produk luar negeri.

Peran Penting Pasar Tradisional


Perbandingan perkembangan pasar tradisional dan pasar
modern (minimarket), dalam kurung waktu yang cukup singkat
minimarket berkembang begitu pesat. Imbasnya adalah pasar
tradisonal yang sedikit demi sedikit mulai tergerus
keberadaannya. Pertumbuhan pasar tradisional terus menurun
hingga di bawah angka 10 persen pertahun, sedangkan
pertumbuhan minimarket terus merangkak naik hingga di atas 30
persen. Menurut Wahab (2016) pasar modern (minimarket) telah
menguasai 31 persen ritel dengan omzet satu ritel modern
mencapa Rp 2,5 triliun/tahun, kontras bila dibandingkan dengan
ritel dan pasar tradisional yang hanya mampu meraup omzet
sebesar Rp 9,1 juta/tahun.
Namun kondisi-kondisi tersebut patut disayangkan
mengingat sebenarnya pasar tradisional memiliki peranan penting
dalam kehidupan perekonomian (Wahab, 2016). Pertama, pasar
tradisional merupakan wujud riil perputaran ekonomi masyarakat.
Di sini uang beredar di banyak tangan, tertuju dan tersimpan di
banyak saku, rantai perpindahannya lebih panjang, sehingga
kelipatan perputarannya lebih panjang dan akan terus berputar di
masyarakat. Sebaliknya, pasar modern (minimarket) hanya menjadi
perputaran uang para pemilik modal. Kedua, pasar tradisional
sebagai usaha ekonomi rakyat menjadi pendorong masyarakat
menjadi pelaku ekonomi yang mandiri dan kreatif. Sebaliknya,
minimarket hanya memberikan kesempatan masyarakat sebagai
pencari kerja. Ketiga, pasar tradisional memberikan ruang

pg. 130
masyarakat untuk saling berinteraksi, sedangkan pasar modern
cenderung meningkatkan budaya konsumerisme.
Selain itu, pasar tradisional juga memiliki keunggulan yang
berbeda dengan pasar modern. Adapun keunggulan yang dimiliki
oleh pasar tradisional yaitu memiliki area yang luas, harga yang
rendah, sistem tawar menawar harga barang antara penjual dan
pembeli dimana akan menimbulkan keakraban. Konsumen yang
cenderung berbelanja di pasar tradisional karena harga di pasar
tradisional bisa ditawar, harganya murah, dilayani langsung serta
berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keberpihakan pada Pasar Tradisioanal


Keberpihakan pemerintah terhadap sektor usaha rakyat
harus diimplementasikan dalam kebijakan riil yang mendorong
sektor usaha rakyat dapat berkompetisi dengan sektor usaha
besar yang biasanya terkesan modern dan elegan. Salah satunya
dengan mendorong kebijakan revitalisasi sektor perpasaran
tradisional dan membatasi secara ketat berdirinya pasar modern
(minimarket). Karena saat ini pertumbuhan pasar modern begitu
cepat dan masif. Jika tidak ada keberpihakan pemerintah terhadap
pasar tradisional, maka lambat laun sektor usaha rakyat yang
beraktivitas di pasar tradisional akan ketinggalan dengan pasar
modern.
Salah satu kebijakan sebagai wujud keberpikahan
pemerintah untuk melindungi pasar tradisional adalah Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan dan Toko
Modern. Sebagai contoh Pasal 14 Perpres tersebut berisi tentang
kewajiban Pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yaitu
memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan
pasar tradisional, dan memperhatikan jarak antara pasar modern
(minimarket) dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya.
Aturan inilah yang banyak dilanggar sehingga pertumbuhan

pg. 131
minimarket di Kota Makassar mengepung keberadaan pasar
tradisional yang telah ada sebelumnya.
Untuk itu, diperlukan sikap yang tegas dalam menegakkan
peraturan sebagai wujud keberpihakan terhadap pelaku usaha
pada pasar tradisional. Misalnya Pasal 9 Perda DKI Nomor 2 Tahun
2002, menyebutkan penyelenggara usaha perpasaran swasta
(dalam hal ini minimarket) harus memenehi ketentuan, harga jual
barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah
dengan yang warung dan toko sekitarnya. Pelanggaran terhadap
ketentuan jarak dan mengenai harga barang-barang yang di jual
diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya 5 juta rupiah (Pasal 22 ayat 1 Perda DKI 2/22).
(Dimuat di Harian Fajar, 6 Maret 2017).

pg. 132
10. Biji Palado sebagai Sumber Karbohidrat Alternatif

DIVERSIFIKASI pangan sumber karbohidrat yang merupakan


bagian terbesar pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia
masih sukar dilaksanakan. Masyarakat yang biasa makan nasi tidak
merasa kenyang sebelum makan nasi sebagai sumber karbohidrat.
Masyarakat yang biasa makan jagung, ubi kayu, sagu atau ubi jalar,
secara psikologis dan kultural sebenarnya masih menikmati dan
ingin meneruskan mengonsumsi jenis makanan tersebut, namun
mengalami perubahan terdorong oleh pergeseran status sosial
dan status bahan pangan yang menuju kepada pemilihan bahan
pangan beras. Untuk mengatasi hal itu dipandang perlu untuk
segera melakukan diversifikasi pangan dengan bahan pangan
alternatif.
Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan bahan pangan
berbasis sumber daya lokal yang potensial namun belum
termanfaatkan secara maksimal yaitu biji palado (Aglaia sp) yang
mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi. Selain
kandungan karbohidratnya yang tinggi tanaman ini merupakan
tanaman liar yang tumbuh dihutan yang kondisi tanahnya lembab,
berumur hingga ratusan tahun dan tinggi pohonnya antara 30 – 50
m. Rata-rata per pohon tanaman yang sudah berumur lebih dari 10
tahun, dapat menghasilkan 250 – 500 kg buah palado basah. Biji
dari buah palado mengandung karbohidrat antara 64,04 – 64.91%,
sehingga berpotensi sebagai sumber pangan alternatif (Rahman,
2013). Selain karbohidrat, biji palado juga mengandung lemak
14,75 – 14,88%, protein 8,94 – 8,95%, kadar air 4,87 – 5,59%, abu
3,66 – 3,71%, dan serta kasar 3,74 – 3,77% (Rahman, 2013).

pg. 133
Aspek Agronomis dan Penyebarannya
Aglaia sp termasuk dalam famili Meliaceae. Tanaman ini
banyak ditemukan di Sulawesi khususnya di Sulawesi Barat
(Sulbar). Daerah penyebarannya di Sulbar cukup luas, meliputi di
daerah aliran sungai (DAS) seperti Sungai Karama, Sungai Karataun
dan Sungai Bonehau, serta di daerah lembah dan pegunungan
Kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, Majene, Polewali Mandar
(Polman), dan Mamasa. Tanaman palado ini tumbuh subur secara
alami di dataran rendah hingga dataran tinggi. Menurut Praptiwi
et al. (2006) kawasan Malanesia yang mempunyai banyak jenis
Aglaia adalah Borneo (50 jenis), sedangkan di Sumatera ditemukan
38 jenis. Sedangkan pemanfaatan beberapa jenis Aglaia sp yang
telah dikenal antara lain kayunya dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, buahnya dapat dimakan, sedangkan bunga dari Aglaia
odorata dimanfaatkan sebagai teh dan bahan parfum karena
baunya harum (Praptiwi et al., 2006).

Gambar 1. Biji dan tepung biji palado (Aglaia sp)

Biji palado (Aglaia sp) merupakan bahan pangan alternatif


yang belum banyak dikenal dan tidak sepopuler dengan biji-bijian
lainnya. Biji palado umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
setempat dengan cara direbus dan adakalanya di
sangrai/digoreng. Salah satu upaya untuk meningkatkan daya

pg. 134
guna dan nilai ekonominya dapat dilakukan dengan
menganekaragamkan jenis produk olahan biji palado. Dengan
kadar karbohidrat yang cukup tinggi biji palado berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai tepung. Untuk itu perlu dikembangkan cara
pengolahan lain seperti pembuatan tepung biji palado.

Kandungan Kimia Tepung Biji Palado


Palado merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan yang
berpotensi sebagai bahan pangan alternatif dalam program
diiversifikasi pangan karena efisien dalam menghasilkan energi,
protein, lemak, dan mineral. Sehingga dari segi nutrisi, tepung biji
palado (Aglaia sp) merupakan sumber energi yang baik. Hasil
penelitian Rahman (2017) menunjukkan bahwa kandungan kimia
tepung biji palado (Aglaia sp) yang dimodifikasi dengan metode
asetilasi mengandung kadar air 6,72%, kadar abu 1,25%, kadar
lemak 9,75%, kadar protein 8,97%, kadar karbohidrat 73,31%,
kadar energi 417 kkal, dan kadar pati 57,99%. Hal ini menunjukkan
tepung biji palado relevan dengan konsep diversifikasi pangan.
Karena hakekat diversifikasi pangan adalah untuk memperoleh
keragaman zat gizi, sekaligus melepas ketergantungan masyarakat
atau satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras.
Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika
pasokan terganggu dan sebaliknya, jika masyarakat menyukai
pangan alternatif seperti biji palado atau tepung palado maka
ketidakstabilan akan dapat dijaga.
Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memilih bahan
pangan alternatif seperti biji palado dan tepung palado dengan
kandungan gizi yang seimbang merupakan momentum yang tepat
bagi pengembangan diversifikasi pangan. Pangan yang beragam
menjadi penting mengingat tidak ada satu jenis pangan yang
dapat menyediakan gizi yang lengkap bagi seseorang. (Dimuat di
Media Online Fokus Metro Sulbar, 2 Agustus 2017).

pg. 135
Bagian Keempat
MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

pg. 136
1. Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan

MASALAH mutu dan keamanan pangan menjadi sangat penting


dengan meningkatnya teknologi, proses pengolahan pangan,
pemakaian bahan tambahan pangan, dan bahan pengawet, serta
terbukanya perdagangan pangan dari luar negeri. Kesadaran
konsumen di dalam dan di luar negeri akan mutu dan keamanan
pangan, serta kesadaran akan kesehatan telah mengubah selera
preferensi konsumen sehingga industri pangan harus
memperhatikan standar-standar kualitas bahan baku dan bahan
tambahan, proses dan manajemen proses, seperti ISO 9000, total
quality management (TQM), hazard analysis critical control point
(HACCP), good manufacturing practices (GMP), persyaratan halal,
dan lainnya.
Dalam standar produk pangan, bersamaan
ditandatanganinya perjanjian mengenai produk pertanian, juga
disepakati mengenai sanitary phytosanitary agreement (SPSA) yang
memperbolehkan suatu negara untuk menetapkan standar mutu
nasionalnya dengan tujuan keamanan dan kesehatan produk
pangan yang di perdagangkan di pasar domestik. Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas, maka tulisan ini mencoba memberi
gambaran singkat pada dua aspek, yaitu tentang pengawasan
mutu dan keamanan pangan.

Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu pangan merupakan program atau
kegiatan yang tak terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia
usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran
produk, baik produk segar, bahan mentah maupun produk
olahannya. Dalam industri pangan modern, pengawasan mutu
banyak menggunakan analisa mutu berdasarkan prinsip-prinsip

pg. 137
ilmu dan teknologi yang makin canggih. Namun disamping itu
penilaian secara indrawi (organoleptik) tetap dipertahankan. Jadi
dalam pengawasan mutu pangan di samping berdasarkan pada
penilaian obyektif juga harus mempertimbangkan nilai-nilai
kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya, dan kepercayaan. Untuk
itu, agar pengawasan mutu dapat beroperasi, di perlukan suatu
sistem pengawasan mutu yang diemban oleh kelembagaan yang
kuat dan berwibawa. Ektivitas dan efisiensi sistem pengawasan
mutu akan sangat ditentukan oleh eratnya kerjasama dengan
kelembagaan lain dan hubungannya dengan aspek-aspek lain,
seperti pemerintahan, produksi, dan antar satuan kerja di bidang
pangan dan pertanian.
Hakikat dari pengawasan mutu, sebenarnya berkaitan erat
dengan kehidupan masyarakat konsumen, yaitu dengan melayani
konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen.
Selain itu, dengan pengawasan mutu pangan yang ketat, dapat
melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu,
ketidakadilan mutu, pemalsuan, penipuan mutu dan bahkan juga
menjaga keamanan konsumen terhadap kemungkinan
mengonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, baracun,
atau mengandung penyakit. Dalam menghadapi pasar global
terjadi persaingan yang sangat ketat antar negara-negara
pengekspor. Makin ketat negara pengekspor mengawasi mutu
komoditas ekspornya, makin kuatlah negara-negara itu dalam
bersaing dengan negara-negara lain. Masalah yang dihadapi
negara pengekspor produk pangan termasuk Indonesia yang
berkaitan dengan mutu komoditas, yaitu; (1) persyaratan mutu
yang tinggi yang dikehendaki negara pengimpor, (2) jumlah
dengan mutu yang tidak memenuhi kuota, (3) persaingan global
yang super ketat, (4) perubahan harga yang terlalu cepat, (5)
pemasaran yang tidak langsung, yang dapat merugikan negara
produsen, (6) adanya proteksi di negara pengimpor dan batas
kuota, (7) adanya penolakan komoditas ekspor atau claim oleh
negara pengimpor.

pg. 138
Keamanan Pangan
Sesungguhnya perhatian dunia terhadap pentingnya
keamanan pangan sudah di mulai sejak satu dekade yang lalu,
yaitu pada saat FAO dalam International Conference on Nutrition
tahun 1992 merasa prihatin karena ratusan juta manusia di dunia
menderita penyakit menular karena pangan yang tercemar. Pada
saat itu pula FAO mendeklarasikan bahwa, ‚memperoleh pangan
yang cukup, bergizi, dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang‛.
Terjadinya penyakit karena pangan (food borne disease) di dunia
yang disebabkan oleh infeksi dan intoksikasi bakteri masih sangat
tinggi, demikian juga penyakit karena infeksi virus dan infeksi
protozoa. Selain itu, dari hasil kajian kasus-kasus penyakit karena
pangan, Salmonella nampaknya masih merupakan penyebab
penyakit karena pangan terkontaminasi dengan bakteri ini.
Pangan hewani khususnya daging dan telur adalah yang paling
sering menjadi pembawa bakteri patogen tersebut.
Oleh sebab itu, perhatian dunia dalam hal keamanan
pangan bukan hanya di tujukan terhadap cemaran mikroba
pathogen saja, tetapi juga terhadap kontaminan kimia berbahaya
yang dapat ditransmisikan ke dalam tubuh manusia melalui
pangan yang dikonsumsinya. Sehingga masalah keamanan pangan
ini menjadi tolok ukur yang sangat penting dalam perdagangan
global yang semaikin hari semakin ketat. Terkait dengan hal
tersebut, pada konferensi tingkat tinggi pangan sedunia (FAO
Word Food Summit) tahun 1996 semua negara telah menyatakan
untuk setiap saat menerapkan kebijakan dalam menyediakan
pangan yang cukup, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi serta
dengan pendayagunaannya yang efektif. Selain itu, untuk
menerapkan tolok ukur yang sesuai dengan persetujuan tentang
penerapan sanitary and phytosanitary (SPS), dan persetujuan
internasional terkait hal lainnya yang dapat menjamin mutu dan
keamanan pangan yang dihasilkannya.
Untuk itu, metode pencegahan (preventive control)
dianggap sangat efektif untuk menjamin bahwa pangan yang

pg. 139
diperoleh dari setiap sub sistem mata rantai penanganan pangan
adalah bermutu dan aman untuk di konsumsi. Metode pencegahan
dimaksud adalah penerapan cara-cara proses yang benar dan baik
(good practices) yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari
produksi hingga sampai ke konsumen. Pertama, melalui cara
budidaya yang baik (good agricultural practices), termasuk cara
penangkapan ikan yang baik dan cara penanganan pangan yang
baik (good handling practices), sehingga diharapkan bahan pangan
yang dihasilkan mempunyai mutu segar dan bebas dari cemaran-
cemaran berbahaya seperti pestisida, antibiotik, hormon, toksin
alami, dan mikotoksin, serta cemaran berbahaya lainnya.
Kedua, melalui cara produksi pangan yang baik (good
manufacturing practices), diharapkan produk pangan olahan yang
dihasilkan menjadi bermutu dan memiliki tingkat keamanan yang
tinggi. Ketiga, melalui cara distribusi pangan yang baik (good
distribution practices), diharapkan bahan atau produk pangan yang
sudah bermutu dengan keamanan yang paling tinggi dapat
dipertahankan terus sampai ke tingkat pengecer atau ke
konsumen. Keempat, melalui cara ritel pangan yang baik (good
retailing practices), diharapkan bahan atau produk pangan yang
didistribusikan tidak mengalami penurunan mutu dan keamanan
yang nyata. Kelima, melalui cara jasa boga yang baik (good catering
practices) dan penerapan HACCP, diharapkan bahan atau produk
pangan dapat diolah atau dimasak menjadi makanan siap saji yang
bermutu dan aman untuk dikonsumsi.
Berdasarkan pada kelima metode pencegahan tersebut,
terjaminnya mutu dan keamanan pangan sesungguhnya sangat
bergantung pada peranan dan tanggung jawab pemerintah,
khususnya sektor-sektor yang terkait misalnya fasilitator,
pembimbing dan pengawas, produsen bahan baku, industri
pangan, distributor, pengecer, jasa boga, dan konsumen sebagai
pengguna akhir. Dengan demikian, sinergi di antara semua pihak,
dengan hak dan tanggung jawabnya masing-masing sangat
dibutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu dan keamanan

pg. 140
pangan secara nasional. Oleh karena itulah, maka pendekatan
yang sesuai dalam rangka terwujudnya jaminan mutu dan
keamanan pangan secara total, adalah keterpaduan yang erat
antar sektor dan antar pihak yang berkompeten (integrated inter-
sectoral approach). (Dimuat di Harian Fajar, 10 Pebruari 2007).

pg. 141
2. Standar Mutu dan Tantangan Keberhasilan EPA

TANTANGAN terberat dengan ditandatanganinya Kesepakatan


Kemitraan Ekonomi (Economic Patnership Agreement/EPA)
Indonesia – Jepang, 20 Agustus 2007 lalu adalah bagaimana
produk-produk pertanian, kehutanan, dan perikanan kita dapat
memenuhi persyaratan mutu yang sangat ketat yang diberlakukan
di pasar Jepang. Memang dalam kesepakatan tersebut Jepang
menyepakati proyek-proyek Capacity Building untuk meningkatkan
daya saing Indonesia mencapai standar yang diinginkan untuk bisa
masuk ke pasar Jepang, namun tidak ada salahnya bila para pelaku
usaha di Indonesia memahami standar mutu yang dipersyaratkan
tersebut. Kenapa begitu? Karena hasil kesepakatan ini, diharapkan
dapat meningkatkan total ekspor Indonesia sekira 4,68 persen dari
total ekspor sebelumnya. Jepang pun menyepakati penghapusan
bea tarif sebesar 9.275 item tarif dalam perdagangan barang dan
jasa. Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, mutlak kiranya
komoditas-komoditas unggulan ekspor Indonesia harus memiliki
daya saing tinggi.
Hal spesifik yang harus diperhatikan dan merupakan
tantangan kita dalam ranka peningkatkan daya saing khususnya
produk pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah persyaratan
mutu yang diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Eropa,
Amerika dan yang terpenting dalam rangka EPA, yaitu Jepang.
Persyaratan-persyaratan itu dikemas dalam apa yang disebut
sanitary and phytosanitary (SPS), atau sering disebut sebagai
proteksi baru dalam perdagangan komoditi pertanian. Jepang
sendiri menggunakan tiga macam peraturan yang berkaitan
dengan impor pangan mereka. Pertama, food safety low; yang
mengatur maksimum penggunaan bahan kimia seperti zat aditif
pemanis, maksimum pestisida, dan sebagainya. Kedua, plant

pg. 142
protection low; berkaitan dengan persyaratan SPS, yang dititik
beratkan pada bangunan dan peralatan pengolahan pangan.
Ketiga, food control low; yang khusus mengatur pelabelan dalam
hal nilai gizi, alamat produsen dan importir lokal.

Ciri Pasar Bebas


Era pasar bebas telah memberikan warna di dalam
pergerakan produk perdagangan dewasa ini. Hambatan yang
bertalian dengan tarif menjadi tidak populer lagi, bahkan
hambatan non tarif yang tidak didasarkan kepada rasionalitas dan
bersifat diskriminatif tidak mudah untuk diterima masyarakat
internasional. Berbagai regulasi, baik tumbuh secara sukarela
maupun secara wajib, di kembangkan sebagai salah satu piranti
pengendali perdagangan. Salah satu diantaranya menjadi
instrumen hambatan teknis dalam perdagangan adalah
diterapkannya berbagai macam standarisasi mutu.
Mutu merupakan masalah yang sangat penting pada
komoditas ekspor karena suatu negara memproduksi jenis barang
yang diperlukan oleh negara-negara lain yang kurang atau tidak
memproduksinya. Umumnya, negara pengimpor hanya menerima
produk bermutu tinggi. Ini berarti negara pengekspor dituntut
menghasilkan produk dengan mutu yang tinggi dan jumlah yang
cukup. Karena salah satu ciri pemasaran global atau pasar bebas,
yaitu terjadinya persaingan yang sangat ketat antar negara-negara
pengekspor. Makin ketat suatu negara pengekspor mengawasi
mutu komoditas ekspornya, makin kuatlah negara-negara itu
dalam bersaing dengan negara-negara lainnya.
Sebagai gambaran, komoditas ekspor hasil pertanian dari
Indonesia pernah di tolak di Jepang, khususnya komoditas udang
beku karena ada indikasi terkontaminasi mikroba berbahaya, yaitu
Salmonella. Begitu juga Tiongkok mengklaim bahwa produk hasil
perikanan Indonesia mengandung logam berat, yaitu merkuri.
Untuk mencegah terjadinya penolakan (claim) atas komoditas
ekspor yang sangat merugikan itu, diperlukan upaya peningkatan

pg. 143
mutu yang ditopang dengan sistem pembinaan mutu dan
dikembangkan secara terus menerus. Untuk itu, pembinaan mutu
terhadap komoditas ekspor unggulan, perlu dilakukan secara
menyeluruh dari tingkat produsen pertama sampai tingkat
eksportir, terutama dalam menindaklanjuti kesepakatan EPA.

Standar Keamanan Pangan


Standar mutu produk pangan (makanan) dan pertanian
telah banyak dikeluarkan, meskipun belum semuanya diterapkan
dalam dunia perdagangan. Beberapa indikator mutu yang
digunakan yaitu sifat barang, tolok ukur, dan faktor mutu.
Sementara persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan,
keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada
standar terpisah. Produk pangan dan beberapa komoditas
pertanian yang dimakan, karakteristik keberterimaannya tidak
cukup hanya dinilai melalui konsepsi mutu konvensional, tetapi
terkait erat dengan jaminan keamanannya dari cemaran fisik,
kimia, dan biologis. Dengan begitu, jaminan mutu dan
keberterimaan produk pangan serta komoditas pertanian yang
dimakan tidaklah cukup hanya dari salah satu standar produk
semata, tetapi harus melalui suatu sistem jaminan mutu yang
terintegrasi.
Kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi dari dalam, maupun
dari luar negeri. Apabila kita mengonsumsi pangan yang berasal
dari hasil produksi sendiri, maka kebersihan dan keamanannya bisa
dijaga. Tetapi apabila konsumsi itu berasal dari luar negeri, maka
tidak dapat dijamin keamanan pangannya. Oleh karena itu, aspek
keamanan pangan sangatlah penting untuk diperhatikan seperti
yang dilakukan Jepang. Salah satu cara untuk menjaga keamanan
pangan dari produsen pangan diantaranya dengan menerapkan
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis/Hazard Analysis
Critical Control Points (HACCP). HACCP merupakan sistem yang
dapat menjamin keamanan pangan. Sistem ini bekerja secara
proaktif, yaitu mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik

pg. 144
pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan dari pada
mengandalkan pada pengujian produk akhir. Sistem keamanan
pangan berdasarkan HACCP dapat diterapkan pada rantai
produksi, misalnya produksi pangan, mulai dari produsen utama
bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan,
distribusi, pemasaran hingga konsumen akhir. Jadi proteksi sistem
HACCP dimulai dari bahan baku, produksi, hingga konsumen.

Penerapan GMP dan SSOP


Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan sistem ini dibangun melalui penerapan
persyaratan dasar berupa Cara Produksi Makanan yang Baik (Good
manufacturing Practices/GMP) dan Prosedur Standar untuk
Sanitasi (Sanitation Standard Operating Prosedure/SSOP). Kedua
persyaratan dasar ini akan memudahkan implementasi penerapan
sistem HACCP yang efektif dan efisien. Dengan penerapan GMP
dan SSOP yang baik, tidak akan ditemukan terlalu banyak titik
kendali kritis dalam sistem HACCP karena sudah dikendalikan oleh
penerapan GMP dan SSOP yang baik.
Bagi produk pangan (makanan), sistem pengendalian mutu
diawali dengan prinsip penerapan GMP, yakni mendefinisikan dan
mendokumentasikan semua persyaratan yang diperlukan agar
produk pangan dapat diterima mutunya. Pusat perhatian GMP
ditujukan pada keamanan mikrobiologis dan persyaratan mutu
pangan. Selain itu, GMP merupakan suatu pedoman cara
memproduksi pangan dengan tujuan agar produsen memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk pangan bermutu sesuai dengan tuntutan
konsumen. Sementara pelaksanaan proses sanitasi, di sinilah
diperlukannya penerapan SSOP, yang mencakup seluruh area
dalam memproduksi suatu produk pangan, mulai dari kebijakan
perusahaan, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung
jawab melakukan sanitasi, cara pemantauan sampai cara
pendokumentasiannya.

pg. 145
SSOP merupakan prosedur yang dibuat untuk membantu
industri pangan dalam mengembangkan dan menerapkan
prosedur pengawasan sanitasi, melakukan monitoring sanitasi,
serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi. Harapan kita,
dengan penerapan GMP dan SSOP yang tepat terhadap produk
pangan, akan dapat menjamin penerapan HACCP, sebagai salah
satu standar yang diterapkan negara-negara industri maju
termasuk Jepang. (Dimuat di Harian Fajar, 25 Agustus 200)

pg. 146
3. Kesiapan Mutu dan Keamanan Pangan Menghadapi
AEC

BAGAIMANA menakar kesiapan mutu dan keamanan pangan


produk pertanian kita dalam menghadapi pemberlakuan Asean
Economic Community (AEC) 2015? Apakah produk primer dan
olahan hasil pertanian kita sudah siap berkompetisi dengan
produk-produk pertanian baik produk primer maupun produk
olahan dari negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia,
Thailand, dan Singapura. Memang banyak pro-kontra dari berbagai
kalangan merespons upaya penyatuan kegiatan ekonomi di
kawasan Asia Tenggara itu. Sebagian kalangan ada yang
mengangkap kita sudah siap, tetapi tidak sedikit pula ada
beberapa kalangan yang merasa pesimis terutama dalam
mengahadapi serbuan produk pertanian dari negara lain, terutama
produk primer maupun produk olahan berbasis agro seperti, CPO,
kakao, karet, ikan dan produk olahnnya, serta makanan dan
minuman.
Kementerian Perindustrian RI telah merilis ada sembilan
komoditas industri nasional yang menjadi prioritas untuk
memasuki AEC 2015 yang daya saingnya masih relatif lebih tinggi
dari negara-negara lainnya. Kesembilan komoditas tersebut
diantaranya produk berbasis agro seperti (CPO, kakao, karet), ikan
dan produk olahannya, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit
dan barang kulit, furniture, makanan dan minuman, pupuk dan
petrokimia, mesin dan peralatannya, serta logam dasar, besi dan
baja.

pg. 147
Kesiapan Produk Berbasis Agro
Khusus untuk komoditas CPO, kakao, karet, ikan dan
produk olahannya serta makanan dan minuman, masalah utama
yang mesti diantisipasi pelaku usaha dalam menghadapi pasar
tunggal ASEAN adalah mutu dan keamanan pangan. Penulis
mencatat terdapat empat masalah utama mutu dan keamanan
pangan yang sangat berpengaruh terhadap kesepakatan
pemberlakuan AEC 2015 yang tinggal setahun tersebut. Pertama,
produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan pangan bagi produk yang dihasilkan pelaku usaha
(industri), yaitu (a) penggunaan bahan tambahan pangan yang
dilarang atau melebihi ambang batas dalam proses pengolahan
produk pangan (b) ditemukannya cemaran kimia berbahaya
(seperti pestisida, logam berat, dan obat-obatan pertanian) (c)
cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran mikroba pathogen pada
berbagai produk pangan (d) pelabelan dan periklanan produk
pangan yang tidak memenuhi syarat (e) masih beredarnya produk
pangan kadaluarsa (f) pemalsuan produk pangan (g) cara
peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi
syarat (h) mutu dan keamanan produk pangan belum dapat
bersaing di pasar global. Misalnya, kasus yang terkait dengan
penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai
diantaranya adalah (a) penggunaan pewarna berbahaya (seperti
rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan
terutama pada produk sirup, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-
kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng
dan cendol).
Kedua, masih banyak terjadi kasus keracuanan makanan
yang sebagian besar belum dapat dilaporkan dan belum
diidentifikasi apa penyebabnya. Keracunan dan cemaran mikroba
pada bahan pangan umumnya banyak ditemukan pada makanan
jajanan, makanan yang dijual diwarung-warung di pinggir jalan,
makanan catering, bahan pangan hewani (daging, ayam, dan ikan)
yang dijual di pasar serta pada makanan tradisional lainnya.

pg. 148
Demikian juga penggunaan pestisida, ditemukannya logam berat,
hormon, antibiotika dan obat-obatan yang digunakan dalam
kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang
masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur,
buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani lainnya. Ketiga,
masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab
produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Kita bisa
mencermati bahwa masih kurangnya tanggung jawab dan
kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan
tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan
teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum
sepenuhnya diketahui dan dipahami oleh produsen primer,
penerapan Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing
Practice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
yang masih jauh dari standar oleh produsen (pengolah) makanan
berskala kecil dan rumah tangga (home industry).
Keempat, rendahnya pengetahuan dan kepedulian
konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan
pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang
rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan
tingkat yang rendah. Hal ini bisa dilihat bahwa umumnya
distributor pangan belum memahami Good Distribution Practice
(GDP), seperti pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk
pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan,
serta produk yang dijual tidak memenuhi syarat sebagai
distributor makanan.

Implementasi dan Strategi Menuju AEC


Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai
dampak terhadap pemerintah, kalangan dunia usaha (industri) dan
konsumen. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga sektor
tersebut untuk dapat menjamin mutu dan keamanan pangan,
terutama menghadapi pasar tunggal ASEAN 2015. Upaya
mengimplementasikan sistem/jaminan mutu dan keamanan

pg. 149
pangan, perlunya menetapkan kebijakan yang harus ditempuh,
serta menyusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu
dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dalam rangka
menghadapi pemberlakuan AEC 2015 yang tinggal setahun itu,
yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang
aman, serta mengacu pada ISO 9000 untuk menghasilkan produk
yang konsisten dan ISO 14000 untuk menjamin produk pangan
yang berwawasan lingkungan. Olehnya itu, pengembangan sistem
mutu dan keamanan pangan nasional harus menekankan pada
penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam
pengolahan pangan dengan menerapkan pendekatan sistem
GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good
Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP
(Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan
GCP (Good Cathering Practices).
Untuk itu, yang harus segera dilakukan adalah menyusun
langkah strategi yang dapat diimplementasikan secara target
specific agar peluang pasar yang terbuka melalui AEC 2015 yang
akan datang dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama dalam
hal peningkatan mutu dan keamanan produk pangan yang
berbasis agro, ikan dan produk olahannya, serta makanan dan
minuman. Langkah strategis tersebut harus secara terpadu
dilakukan mulai dari hulu hingga hilir di bawah koordinasi suatu
badan yang dibentuk khusus oleh pemerintah. Koordinasi antar
sektor dan industri terkait, terutama dalam menyusun kesamaan
persepsi antara pemerintah dan pelaku usaha, dan harmonisasi
kebijakan di tingkat pusat dan daerah harus terus dilakukan,
terutama dalam menjamin mutu dan keamanan produk pangan
yang dihasilkan di setiap daerah.
Secara garis besarnya, langkah strategis yang harus
dilakukan terkait peningkatan dan pengawasan mutu dan
keamanan produk pangan dalam menghadapi pemberlakuan AEC
2015 nanti, antara lain adalah melakukan ; (a) penyesuaian,

pg. 150
persiapan, dan perbaikan regulasi menyangkut mutu dan
keamanan pangan (b) peningkatan kualitas SDM baik birokrasi
maupun dunia usaha khususnya yang terkait dengan pengolahan
pangan (c) penguatan posisi usaha skala menengah, kecil, dan
usaha pertanian pada umumnya (d) menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi (e) pengembangan
sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi
unggulan yang berbasis agro, dan (f) peningkatan partisipasi
institusi pemerintah maupun swasta untuk mengimplementasikan
AEC Blueprint.
Akhirnya, marilah kita menyongsong pemberlakuan AEC
2015 dengan persiapan yang mantap. Untuk itu, Indonesia harus
dapat melihat dan menyongsong AEC 2015 dengan segala peluang
dan tantangan serta segera mengambil tindakan nyata yang
berdampak positif bagi Indonesia.

pg. 151
4. Permasalahan Mutu dan Produktivitas Kakao

DENGAN produksi sekitar 652.256 ton per tahun, dan luas areal
992.446 hektare, Indonesia merupakan penghasil biji kakao nomor
tiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, di Afrika. Sekitar
350.000 ton dari produksi kakao nasional atau sekitar 30
persennya berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Barat
(Sulbar), Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Kakao di empat
provinsi ini merupakan hasil perkebunan rakyat. Meskipun
demikian, perkembangan produksi kakao seperti disebutkan di
atas, bukan berarti tanpa masalah, terutama menyangkut
rendahnya mutu produksi dan produktivitas lahan. Selain itu,
kualitas kakao Indonesia, terutama dari Sulawesi di nilai rendah.
Buktinya, harga jual kakao kita di pasar internasional lebih rendah
dibandingkan biji kakao dari negara lain.

Masalah Mutu
Kurang dihargainya kakao kita, disebabkan faktor kualitas
(mutu) dan sistem fermentasinya masih jauh dari kriteria Cocoa
Merchant of America (CMA) New York, AS. Pemberian harga
premium berdasarkan pada tingkat kotoran, mutu, lemak dan
fermentasinya. Terkait hal itu, CMA hanya menghargai kakao
Sulawesi dengan harga premium sebesar 12 dolar AS per ton,
karena belum memenuhi standar seperti yang dipersyaratkan
mereka. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah melalui program
revitalisasi perkebunan, khususnya perkebunan kakao, akan
menfokuskan perhatiannya pada pengembangan mutu produksi.
Hal ini sejalan dengan UU Perkebunan No. 18/2004 tentang
tanaman perkebunan.
Masalah peningkatan kualitas (mutu) biji kakao hanya akan
berhasil bila mendapatkan perhatian serius dengan melibatkan

pg. 152
semua stakeholder dalam perkakaoan. Misalnya, keterlibatan
pedagang pengumpul dan eksportir, sangat diharapkan terutama
berperan serta dalam upaya peningkatan mutu kakao.
Menyangkut peningkatan mutu, pengamatan penulis di beberapa
daerah di Sulsel dan Sulbar, melihat bahwa kegiatan pembinaan
peningkatan mutu kakao petani memang belum intensif dilakukan
dan belum tersosialisasi kepada seluruh petani. Contohnya, tidak
semua petani memahami arti pentingnya fermentasi bagi mutu
kakao yang dihasilkannya.
Persoalan yang paling menentukan bermutu tidaknya biji
kakao sangat dipengaruhi oleh perlakuan pada saat proses
pemanenan hingga pasca penennya. Seperti ditentukan mulai dari
kondisi buah kakao siap panen, pemanenan, pemecahan buah,
fermentasi dan pencemurannya. Imbas dari ketidakpahaman
petani terhadap sistem fermentasi, sehingga AS beberapa kali
menolak kakao dari Indonesia, karena mereka menganggap tidak
sesuai dengan standar. Standar yang mereka persyaratkan seperti
kadar airnya harus minimal 7,5 persen, kotoran/benda asing tidak
lebih dari 2,5 persen, demikian juga jamurnya minimal pada kisaran
4 persen. Konsekuensi dari rendahnya mutu kakao yang kita
ekspor, sehingga kakao Sulsel dan Sulbar hanya dihargai pada
kelas (grade) tiga. Untuk memenuhi tuntutan mutu seperti standar
yang dipersyaratkan pihak importir (buyer), maka upaya
peningkatan mutu mutlak adanya. Terutama para eksportir kakao,
berusahalah meningkatkan mutu kakaonya sebelum diekspor. Hal
ini perlu dilakukan supaya kakao yang diekspor bisa berkompetisi
di pasar internasional, baik dari segi mutu maupun harganya.

Produktivitas Rendah
Program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan
pemerintah, menargetkan perluasan kebun kakao seluas 200.000
hektar. Program tersebut mencakup kegiatan peremajaan,
perluasan, dan rehabilitasi lahan. Langkah ini ditempuh, dalam
rangka mendorong peningkatan produksi dan produktivitas lahan

pg. 153
yang selama ini masih tergolong rendah. Rendahnya produktivitas
tanaman kakao di Indonesia disebabkan karena pemeliharaan
belum dilakukan secara intensif. Tanaman kakao diperlakukan
tidak sebagai tanaman utama. Para petani dalam mengelola
usahatani kakaonya terkendala soal permodalan sehinga
pemeliharaan dan peremajaannya pun mengalami kendala.
Terkait menurunnya produktivitas kakao, Ketua Asosiasi
Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel, Halim Razak (Kompas, 16/6/06)
mengungkapkan salah satu penyebabnya adalah usia tanaman
kakao rata-rata sudah lebih dari 18 tahun. Di usia ini sudah sangat
perlu dilakukan peremajaan atau penanaman kembali. Di usia
tanaman yang sudah tua seperti itu, sulit mengharapkan produksi
optimal lagi. Apalagi diperparah dengan serangan PBK. Akibatnya,
menghasilkan biji berukuran kecil dan produktivitasnya kian hari
kian menurun. Saat ini produktivitas kakao hanya 6,6 – 0,7 ton per
hektar. Padahal idealnya 1,5 hingga 2,5 ton per hektar.
Dengan asumsi luas lahan pertanaman kakao di Sulsel dan
Sulbar sekitar 300.000 hektar. Dari jumlah itu, produksi kakao
hanya sekitar 230.000 ton per tahun. Itu artinya, bila produktivitas
kakao diasumsikan mencapai rata-rata 1,5 ton per hektar, maka
produksi paling tidak bisa mencapai 450.000 ton per tahun. Angka
penurunan produktivitas kakao di Sulsel dan Sulbar, dapat dilihat
dari periode Januari – Nopember 2004 yang mencapai 176.909,39
ton, turun menjadi 173.021,44 ton untuk periode Januari –
Nopember 2005. (Dimuat di Harian Pedoman Rakyat, 27
September 2006).

pg. 154
5. Mencermati Mutu Beras yang Beredar di Pasaran

HEADLINE Fajar Senin (24/7/18) mengulas praktik pengoplosan


beras biasa yang diberi pengharum, dikemas dengan kemasan
seolah-olah beras yang berkualitas, kemudian dijual mahal di
supermarket. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas tentang
bagaimana mencermati mutu beras khususnya mengenal jenis-
jenis dan ciri beras yang ada di Indonesia, serta dapat mengenal
ciri-ciri beras yang bebas dari bahan kimia. Masalah beras
merupakan hal urgen bagi kehidupan, karena beras merupakan
makanan pokok sebagian besar penduduk dunia. Mutu beras
dapat diklasifikasikan berdasarkan mutu pasar terdiri atas mutu
fisik dan mutu giling. Mutu fisik meliputi panjang dan bentuk biji,
kadar air, penampakan biji, derajad putih, dan butir pengapuran.
Mutu giling meliputi derajad sosoh, beras kepala, beras utuh,
beras pecah, rendemen giling, butir berwarna, dan benda asing
(Damardjati, 1987).

Jenis dan Ciri Beras di Indonesia


Untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh jenis dan ciri
beras yang beredar di Indonesia; Pertama, beras Rojolele. Ciri dari
beras rojolele adalah memiliki bentuk buliran bulat, memiliki
warna putih susu, tidak beraroma. Beras ini berasal dari Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Kedua, Beras pandan wangi. Disebut
pandan wangi karena memang jenis beras ini memiliki aroma
wangi seperti pandan. Namun jangan sampai terkecoh dengan
beras yang dicampur pewangi kimia. Untuk itu kita harus bisa
membedakannya. Beras pandan wangi yang asli memiliki bentuk
cenderung bulat bukan panjang. Ketiga, Beras IR 64/Setra Ramos.
Jenis beras ini merupakan jenis beras yang paling banyak beredar
di kalangan masyarakat kita. Karena memiliki harga yang lumayan

pg. 155
murah dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat kita.
Selain itu beras ini mempunyai ciri fisik tidak bulat tapi cenderung
lonjong, tidak beraroma wangi. Jadi apabila kita menemukan beras
yang lonjong tapi beraroma wangi maka kita harus berhati-hati,
jangan-jangan beras tersebut sudah dicampuri dengan pewangi
kimia.
Keempat, Beras IR 42. Beras jenis ini memiliki bentuk fisik
hampir sama dengan jenis beras IR 64 hanya saja memiliki ukuran
yang lebih kecil. Apabila dimasak beras jenis ini cenderung menjadi
pera tidak bisa pulen. Karena itulah jenis beras IR 42 lebih cocok
jika diolah untuk masakan seperti lontong, nasi goreng, ketupat
dan nasi uduk. Beras jenis ini mempunyai harga lumayan mahal
karena hanya sedikit petani yang mau menanamnya. Kelima, Beras
C4. Beras C4 masih jarang kita jumpai dipasaran, padahal
sebenarnya kalau dimasak nasinya lebih pulen dibandingkan
dengan beras IR 64. Bentuknya juga mirip dengan beras IR 64
hanya lebih kecil dan sedikit lebih bulat.

Ciri Beras Bebas Bahan Kimia


Selain mengetahui jenis-jenis beras kita juga harus
mengetahui ciri-ciri beras bebas bahan kimia. Karena tidak jarang
para pedagang nakal menggunakan kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan lebih besar. Berikut ini tips untuk
mengetahui ciri-ciri beras bebas bahan kimia. Pertama, beras
dengan bahan pemutih. Seringkali kita temui dipasaran beras yang
memiliki warna yang putih, kalau dilihat sangat menarik. Tetapi
anda harus mewaspadai apakah beras tersebut dicampuri bahan
pemutih atau tidak. Bahan pemutih yang biasanya digunakan oleh
pengusaha beras nakal adalah kaporit, tawas, bahkan deterjen dan
pemutih pakaian. Namun ada cara mudah mengetahuinya yaitu
jika beras terlihat sangat putih tidak kekuning-kuningan seperti
halnya beras-beras biasanya maka anda harus menghindarinya.
Kedua, beras dengan bahan pewangi. Beras yang memiliki
aroma wangi adalah beras pandan wangi. Dan ciri-ciri berasnya

pg. 156
sudah dijelaskan diatas. Jadi jika dipasaran kita menemui beras
yang tidak bulat tapi cenderung lonjong tapi beraroma wangi
maka dapat dipastikan itu bukan beras pandan wangi asli, tapi
beras jenis lain yang diberi bahan pewangi. Beras pandan wangi
pun memiliki batas wangi. Beras pandan wangi yang masih baru
atau kurang dari 2 bulan jika dicium akan mengeluarkan aroma
yang sangat wangi, namun lama kelamaan atau jika sudah lebih
dari 2 bulan aroma wanginya akan berkurang.
Ketiga, beras dengan bahan pelicin. Tidak jarang kita temui
beras dipasaran yang sangat licin apabila kita remas. Harus kita
waspadai apakah beras tersebut dicampur bahan pelicin atau
tidak. Caranya sangat mudah yaitu kita coba remas-remas beras
tersebut apakah banyak menempel ditelapak tangan atau tidak.
Jika banyak yang menempel maka beras tersebut telah dicampur
dengan bahan pelicin. Dengan demikian, mulai sekarang kita harus
hati-hati dan waspada apabila membeli beras. Utamakan selalu
kesehatan keluarga. Silahkan berbagi informasi dan tips ini untuk
lebih berhati-hati dalam memilih beras yang kita akan konsumsi.
(Dimuat di Harian Fajar, 1 Agustus 2017).

pg. 157
6. Ekspor Buah-Buahan Terkendala Mutu dan
Keamanan Pangan

KEBERHASILAN agribisnis hortikultura membutuhkan


pengetahuan tentang ciri produk hortikultura, karena akan
menentukan keputusan bisnis yang akan diambil oleh pelaku
agribisnis hortikultura, baik petani produsen, maupun pihak lain
yang bergerak dalam bidang hortikultura. Secara umum, ciri
produk hortikultura adalah; (1) nilai kesegarannya tergantung
kesegarannya, (2) produknya mudah rusak, (3) produknya meruah
dan musiman, (4) bukan merupakan sumber karbohidrat utama,
tetapi merupakan sumber vitamin, serat dan mineral, dan (5)
sangat intensif dalam perawatan, baik dalam proses produksi,
maupun dalam penanganannya. Sifat dan karakteristik ini juga
mempengaruhi kebijakan penyediaan konsumsi, baik untuk
konsumen domestik (lokal) maupun untuk kebutuhan ekspor.
Indonesia merupakan penghasil buah-buahan yang sangat kaya
akan nutrisi dan beragam jenisnya. Produksi dan luas pertanaman
buah-buahan cenderung meningkat. Pengembangan potensi
ekspor buah sangat besar sebagai negara tropis yang
memungkinkan beragam jenis buah dapat tumbuh dan
berkembang. Sehingga potensi pengembangan ekspor buah-
buahan Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan. Hal ini
didukung oleh data Biro Pusat Statistik (BPS) yang menjelaskan
bahwa volume ekspor buah per Januari – September 2011
mencapai 309.981 ton, naik 68,59 persen dibandingkan periode
yang sama tahun lalu yang mencapai 183.871 ton.

pg. 158
Meningkatkan Nilai Ekspor
Nilai ekspor buah-buahan mengalami peningkatan sebesar
60,43 persen, dari USD 183,8 juta tahun 2010, menjadi USD 294,9
juta tahun 2012. Sebelumnya buah tropis Indonesia di ekspor ke
Malaysia, Singapura dan Arab Saudi, sekarang sudah meluas
hingga Tiongkok, Australia dan Jepang. Ekspor buah andalan
Indonesia adalah manggis, salak, mangga, semangka dan melon.
Untuk menghadapi era pasar bebas dengan masuknya buah-
buahan impor, Indonesia harus mampu bersaing dengan buah-
buahan impor dengan mengandalkan buah lokal spesifik.
Potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat
mendukung untuk pengembangan buah-buahan tropis menjadi
komoditas unggulan. Varietas buah-buahan Indonesia tidak kalah
dengan varietas buah-buahan dari negara lain. Dalam kaitan
pemasaran Indonesia hanya membeli tidak lebih dari 0,6 persen
ekspor buah dunia. Bahkan negara-negara Asia Tenggara
seluruhnya hanya membeli 2 persen dari ekspor buah dunia.
Negara-negara pengimpor buah terbesar adalah negara-negara
Uni Eropa (43 persen), Amerika Serikat (16 persen), Federasi
Republik Rusia (5 persen), negara tetangga Uni Eropa (6 persen),
Jepang (4 persen), dan negara-negara di Afrika, Asia Barat, Timur
Tengah, Kanada, Tiongkok, Amerika Latin, dan yang lainnya (24
persen). Untuk itu, yang menjadi fokus perhatian dalam mengatasi
masalah produk buah-buahan Indonesia, yaitu kendala terkait
mutu, standarisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman
yang baik, penanganan pascapanen, dan pengembangan pasar.

Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan


Rendahnya mutu buah terutama disebabkan oleh tingginya
kontaminasi residu pestisida, logam berat, mikroba, dan
sebagainya. Contoh kasus, di akhir Mei 2013 lalu beberapa buah
asal Indonesia seperti manggis, salak, dan alpukat dilarang masuk
ke Tiongkok, karena negara tirai bambu itu meragukan kualitas
buah asal Indonesia. Negara tersebut, menuding manggis, alpukat,

pg. 159
dan salak Indonesia mengandung logam berat dan organisme
penyakit tanaman (Fajar, 31/5/13). Ada empat masalah utama
mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap
perdagangan pangan baik domestik maupun untuk tujuan ekspor
(Fardiaz, 1996). Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu keamanan. Kedua, masih banyak terjadi kasus
keracunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan
belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya
pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen
pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang
mutu dan keamanan pangan. Keempat, rendahnya kepedulian
konsumen tentang mutu dan keamanan pangan.
Perwujudan dan implementasi sistem mutu dan keamanan
pangan nasional, termasuk produk buah-buahan, telah
menyepakati berbagai kegiatan melalui sub program yang perlu
dilakukan. Program utamanya meliputi pengembangan sumber
daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan
dan pengawasan mutu, keamanan pangan, serta standarisasi mutu
dan keamanan pangan. Sedangkan program penunjang meliputi
pengembangan pengendalian lingkungan, penyuluhan mutu dan
keamanan pangan, pengembangan peraturan perundang-
undangan mutu dan keamanan pangan, dan pengembangan
kelembagaan dan kemitraan bisnis pangan. (Dimuat di Harian
Fajar, 2 Juli 2013).

pg. 160
7. Dampak Penggunaan Plastik sebagai Bahan
Kemasan

Plastik banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan


manusia, mulai dari keperluan rumah tangga hingga industri.
Sebagai kemasan pangan, plastik digunakan mulai dari proses
pengolahan pangan hingga pangan siap disantap. Penggunaan
plastik sebagai pengemas pangan terutama karena keunggulannya
dalam hal bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti
bentuk pangan yang dikemas; berbobot ringan; tidak mudah
pecah; bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label
dan dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal,
harga relatif murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan
dasar plastik.
Tanggal 21 Pebruari 2016, sebagai awal pencanangan
penggunaan plastik berbayar baik sebagai kemasan pangan (food
grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade) sebesar
Rp200 per lembar, sudah dimulai di beberapa Provinsi dan
beberapa daerah khususnya supermarket dan hypermarket di
seluruh Indonesia. Terkait dengan penggunaan plastik sebagai
bahan kemasan pangan, yang merupakan salah satu kebutuhan
primer manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, produk
pangan pun mengalami perkembangan, antara lain dari segi teknik
pengolahan, pengawetan, pengemasan dan distribusinya. Hal
tersebut memungkinkan suatu produk pangan yang dihasilkan di
suatu tempat dapat di peroleh di tempat lain.
Kebanyakan produk pangan yang ada di pasaran telah
dikemas sedemikian rupa sehingga mempermudah konsumen
untuk mengenali serta membawanya. Secara umum, kemasan
pangan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi

pg. 161
dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung
maupun tidak langsung dengan pangan. Selain untuk
mewadahi/membungkus pangan, kemasan pangan juga
mempunyai berbagai fungsi lain, diantaranya untuk menjaga
pangan tetap bersih serta mencegah terjadinya kontaminasi mikro
organisme; menjaga produk dari kerusakan fisik; menjaga produk
dari kerusakan kimiawi (misalnya permeasi gas, kelembaban/uap
air); mempermudah pengangkutan dan distrisbusi; mempermudah
penyimpanan; memberikan informasi mengenai produk pangan
dan instruksi lain pada label; menyeragamkan volume atau berat
produk dan membuat tampilan produk lebih menarik sekaligus
menjadi media promosi.
Bahan yang umum digunakan sebagai kemasan pangan
antara lain adalah kertas, karton, selofan, kaca/gelas, keramik,
logam atau campuran logam dan plastik. Bahan- bahan tersebut
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Plastik
banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, mulai
dari keperluan rumah tangga hingga industri. Sebagai kemasan
pangan, plastik digunakan mulai dari proses pengolahan pangan
hingga pangan siap disantap. Penggunaan plastik sebagai
pengemas pangan terutama karena keunggulannya dalam hal
bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk
pangan yang dikemas; berbobot ringan; tidak mudah pecah;
bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label dan
dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal, harga
relatif murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan dasar
plastik
Walaupun plastik memiliki banyak keunggulan, terdapat
pula kelemahan plastik bila digunakan sebagai kemasan pangan,
yaitu jenis tertentu (misalnya PE, PP, PVC) tidak tahan panas,
berpotensi melepaskan migran berbahaya yang berasal dari sisa
monomer dari polimer dan plastik merupakan bahan yang sulit
terbiodegradasi sehingga dapat mencemari lingkungan. Secara
garis besar terdapat dua macam plastik, yaitu resin termoplastik

pg. 162
dan resin termoset. Resin termoplastik mempunyai sifat dapat
diubah bentuknya jika dipanaskan, sedangkan resin termoset
hanya dapat dibentuk satu kali saja. Beberapa nama plastik yang
umum digunakan adalah HDPE (high density polyethylene), LDPE
(low density polyethylene), PP (poly propylene), PVC (polyvinyl
chloride), PS (pol ystryrene), dan PC (poly carbonate). PE (poly
ethylene) dan PP mempunyai banyak kesamaan dan sering disebut
sebagai polyolefin. Untuk mempermudah proses daur ulang
plastik, telah disetujui pemberian kode plastik secara
internasional. Kode tersebut terutama digunakan pada kemasan
plastik yang disposable atau sekali pakai.

Dampaknya terhadapKesehatandan Lingkungan


Sebagian besar bahan baku plastik berasal dari gas alam
dan minyak bumi. Melalui proses polimerisasi, gas dan minyak
bumi diubah menjadi plastik. Agar plastik memiliki sifat yang
optimal, maka ditambahkan beberapa zat aditif, seperti plasticizer,
penstabil/stabilizer, pewarna, pelumas, pengawet, antioksidan,
bahan anti statik dan lain sebagainya. Selain memberikan sifat
yang diinginkan, zat aditif tersebut juga dapat menimbulkan efek
negatif bagi manusia dan lingkungan. Bahan kimia yang dapat
bermigrasi dari kemasan plastik ke dalam pangan dan berpotensi
menimbulkan efek terhadap kesehatan. Pe rt ama, poly vinyl
chloride (PVC). Efek terhadap kesehatan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan kanker, cacat lahir, perubahan genetik,
bronchitis kronik, ulcer, penyakit kulit, tuli, gangguan penglihatan,
gangguan pencernaan, disfungsi hati.
Kedua, phythalates. Merupakan bahan yang memberikan
sifat lembut dan fleksibel pada polimer PVC. Efek terhadap
kesehatannya dalam jangka waktu yang lama antara lain adalah
endocrine disruption, terkait dengan asma, efek terhadap
perkembangan dan reproduktif. Limbah medis yang mengandung
PVC dan phthalates yang dibakar dapat melepaskan dioksin dan
merkuri sehingga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat

pg. 163
sekitarnya dalam jangka waktu yang lama, termasuk kanker, cacat
lahir, perubahan hormon, penurunan jumlah sperma, infertilitas,
endometriosis dan gangguan sistem imun. Ketiga, polycarbonate.
Yang mengandung Bisphenol A. Studi mengenai Bisphenol A
menunjukkan bahwa paparan bahan ini dalam kadar rendah dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker,
gangguan fungsi imunitas, pubertas yang muncul dini, obesitas,
diabetes, dan hiperaktivitas.
Keempat, polystyrene. Secara akut dapat mengiritasi mata,
hidung, tenggorokan, menyebabkan pusing dan ketidaksadaran.
Jika bermigrasi ke dalam pangan, bahan ini akan terakumulasi
dalam jaringan lemak. Studi menunjukkan adanya peningkatan
kanker limfatik dan hematopoietik bagi pekerja yang terpapar
bahan ini. Kelima, polyethylene. Bahan ini dicurigai sebagai
karsinogen pada manusia. Keenam, polyester. Secara akut dapat
menyebabkan iritasi pada mata dan saluran pernafasan. Ketujuh,
urea-formaldehyde. Melamin palsu biasanya terbuat dari urea
yang mengandung formalin dengan kadar tinggi. Urea
merupakan bahan yang tidak tahan panas dan dapat melepaskan
formalin yang menjadi kontaminan pangan saat terkena panas.
Sehingga menghirup formalin dapat menyebabkan batuk,
pembengkakan tenggorokan, mata berair, gangguan pernapasan,
sakit kepala dan rasa lelah.
Kedelapan, polyurethane foam. Dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan bronchitis, batuk, gangguan kulit dan
mata. Bahan ini dapat melepaskan toluen diisosianat yang
menyebabkan gangguan paru berat. Kesembilan, acrylic. Secara
akut dapat menyebabkan gangguan pernafasan, diare, mual,
lemah, sakit kepala. Kesepuluh, tetra fluoro ethylene. Senyawa ini
secara akut dapat mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan,
serta dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Fakta lainya
yang terkait dengan issu lingkungan adalah kantong plastik yang
sulit untuk diurai oleh tanah hingga membutuhkan waktu antara
100 hingga 500 tahun. Akan memberikan akibat antara lain :

pg. 164
tercemarnya tanah, air tanah dan makhluk bawah tanah. Racun-
racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan
membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing.
PCB yang tidak dapat terurai meskipun termakan oleh binatang
maupun tanaman akan menjadi racun berantai sesuai urutan rantai
makanan.
Kantong plastik akan mengganggu jalur air yang teresap ke
dalam tanah. Menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga
menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak
makhluk bawah tanah yang mampu menyuburkan tanah. Kantong
plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan ringan
akan mudah diterbangkan angin hingga ke laut sekalipun. Hewan-
hewan dapat terjerat dalam tumpukan plastik. Hewan-hewan laut
seperti lumba-lumba, penyu laut dan anjing laut menganggap
kantong-kantong plastik tersebut makanan dan akhirnya mati
karena tidak dapat mencernanya. Ketika hewan mati, kantong
plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak akan hancur
menjadi bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya. Pembuangan
sampah plastik sembarangan di sungai-sungai akan
mengakibatkan pendangkalan sungai dan penyumbatan aliran
sungai yang menyebabkan banjir.

Penggunaan Plastik yang Aman


Penggunaan plastik sebagai kemasan pangan semakin
meningkat seiring dengan perkembangan industri plastik. Namun
demikian, adanya berbagai kajian mengenai plastik, terutama
dampaknya terhadap kesehatan, telah membuka wawasan para
konsumen untuk lebih bijak dalam penggunaan plastik sebagai
kemasan pangan. Pada prinsipnya, tidak ada satupun jenis plastik
yang mutlak aman untuk kemasan pangan. Keamanan
penggunaan plastik sebagai kemasan pangan didasarkan pada
jumlah migran/monomer plastik (bahan-bahan kimia yang
membentuk plastik) yang bermigrasi kedalam pangan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi jumlah migran dari pengemas ke

pg. 165
dalam pangan antara lain adalah konsentrasi migran; kekuatan
ikatan/mobilitas bahan kimia dalam pengemas tersebut; ketebalan
kemasan; sifat alami pangan dalam kaitan kontak dengan
pengemas (kering, berair, berlemak, asam, alkoholik); kelarutan
bahan kimia terhadap pangan; lama dan suhu kontak.
Beberapa jenis plastik yang relatif aman digunakan sebagai
kemasan pangan adalah PET, HDPE, PVC, L D P E , P P , P S , O .
Pertama, polyethylene terephthalate (PET). Bahan ini berwarna
bening dan tembus pandang, biasanya digunakan sebagai
kemasan minuman, minyak goreng, sambal, dan sebagainya.
Plastik jenis ini direkomendasikan hanya untuk sekali pakai saja
dan jangan dipakai sebagai wadah air panas. Apabila dipakai
berulang-ulang, apalagi untuk menyimpan air panas, lapisan
polimer pada botol tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat
karsinogen yang dapat menyebabkan kanker. Kedua, high density
polyethylene (HDPE). Biasanya digunakan sebagai bahan
pembuatan botol susu atau jus yang berwarna putih, galon air
minum, plastik belanja, dan sebagainya. Bahan ini memiliki sifat
bahan yang keras, dan merupakan salah satu bahan plastik yang
aman digunakan karena memiliki kemampuan untuk mencegah
reaksi kimia antara makanan atau minuman dengan wadah
plastiknya. Namun untuk pemakaiannya, HDPE direkomendasikan
untuk satu kali pemakaian saja, karena pelepasan senyawa
antimoni trioksida terus meningkat seiring waktu. Senyawa ini
dapat mengakibatkan iritasi kulit, menimbulkan gangguan
pernapasan, gangguan siklus menstruasi dan menyebabkan
keguguran.
Ketiga, polyvinyl chloride (PVC). PVC biasanya digunakan
dalam pembuatan botol deterjen, botol sabun, botol shampo, pipa
saluran, dan sebagainya. Bahan ini tidak boleh digunakan untuk
menyimpan makanan dan minuman, karena mengandung zat
diethyl hydroxyalamine (DEHA) yang dapat merusak ginjal dan hati.
Keempat, low density polyethylene (LDPE). LDPE sering digunakan
sebagai kantong belanja, plastik kemasan, pembungkus makan

pg. 166
segar, dan botol-botol lembek. Bahan ini memiliki daya resistensi
atau perlindungan yang baik terhadap reaksi kimia. Oleh karena
itu, LPDE menjadi salah satu jenis plastik yang dapat digunakan
sebagai pembungkus makanan dan minuman. Kelima,
polypropylene (PP). Polypropylene biasanya digunakan dalam
pembuatan botol minuman, kotak makanan, dan wadah
penyimpanan makanan lainnya yang dapat dipakai berulang-ulang.
Bahan ini merupakan jenis plastik terbaik yang bisa digunakan
sebagai kemasan makanan dan minuman, karena mampu
mencegah terjadinya reaksi kimia dan tahan terhadap panas.
Keenam, polystyrene (PS). Jenis plastik ini banyak digunakan
sebagai bahan pembuatan styrofoam, wadah makanan beku dan
siap saji, piring, garpu, dan sendok plastik. Penggunaan jenis
plastik ini sangat tidak dianjurkan untuk pembungkus makanan.
Karena bahan ini dapat mengeluarkan zat styrene jika bersentuhan
dengan makanan dan minuman, apalagi makanan dan minuman
panas. Zat styrene dapat menimbulkan kerusakan otak,
mengganggu hormon estrogen pada wanita yang berakibat pada
masalah reproduksi, pertumbuhan dan sistem syaraf. Selain itu,
bahan ini juga mengandung benzene yang menjadi salah satu
penyebab timbulnya kanker. Polystyrene juga sulit untuk didaur
ulang, walaupun bisa didaur ulang, akan membutuhkan proses
yang sangat panjang dan waktu yang lama. Ketujuh, other (O).
Terdapat 4 jenis plastik yang tergolong jenis other, antara lain:
styrene acrylonitrile (SAN), acrylonitrile butadiene styrene (ABS),
polycarbonate (PC), dan nylon. Plastik jenis SAN dan ABS
merupakan jenis plastik yang baik digunakan sebagai kemasan
makanan dan minuman, karena memiliki perlindungan yang baik
terhadap reaksi kimia. SAN dan ABS sering digunakan dalam
pembuatan kotak makanan, botol minum, peralatan dapur, sikat
gigi, dan sebagainya.

pg. 167
8. Ancaman di Balik Penggunaan BTP Terlarang

PEMBERIATAAN terkait kasus penggunaan pewarna yang tidak


diizinkan terhadap makanan penganan berbuka puasa dan
ditemukannya beberapa bahan pangan kadaluarsa di pasar
tradisional oleh Badan POM Makassar, nampaknya bukan hanya
terjadi di saat Bulan Suci Ramadhan saja, tetapi pemberitaan kasus-
kasus menyedihkan tentang pencemaran makanan dengan
penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang berbahaya, di
berbagai media cetak maupun elektronik seakan tak henti-
hentinya muncul sepanjang tahun. Di suatu waktu pemberitaan
mereda, tetapi di lain waktu pemberitaan tersebut kembali
muncul dengan kasus yang lebih menyedihkan. Patut menjadi
perhatian, bahwa bahaya terhadap kesehatan akibat pencemaran
makanan sering tidak disadari oleh konsumen mengingat efek
bahan berbahaya pada makanan umumnya tidak langsung
dirasakan, melainkan baru dirasakan setelah bertahun-tahun
lamanya. Posisi konsumen yang lemah membuat konsumen tidak
bisa berbuat banyak untuk menuntut pihak yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap pencemaran pada bahan makanan
yang di konsumsi.

Bahan Tambahan Pangan


Berbeda dengan racun, bahan tambahan pangan (BTP)
adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Penggunaan BTP
itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Peraturan Menteri
Kesehatan No.772/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan
pangan (BTP) menjelaskan bahwa BTP adalah bahan yang biasanya
tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai

pg. 168
gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.
Sedangkan tujuan penggunaan BTP adalah dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya
simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta
mempermudah preparasi bahan pangan. Secara umum BTP dapat
dibagi menjadi dua golongan besar. Pertama, BTP yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan
mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan
itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
Kedua, BTP yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang
tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan.
Sangat disayangkan, banyak sekali bahan kimia
berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau merupakan
BTP yang justru ditambahkan ke dalam makanan. Kasus
penggunaan rhodamin B dan methanyl yellow sebagai pewarna
penganan buka puasa yang ditemukan Badan POM Makassar
beberapa waktu lalu, merupakan salah satu contoh kasus dari
sekian kasus penggunaan BTP berbahaya yang dilakukan oleh
pengusaha atau pedagang makanan dan minuman yang sampai
saat ini belum terungkap.
Mengapa hal ini terjadi? Banyak hal yang ingin dicapai,
diantaranya pedagang ingin makanannya menjadi menarik dan
mencolok, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai
penggunaan pewarna yang benar. Selain itu, mungkin saja mereka
mengetahuinya bahwa pewarna rhodamin B dan methanyl yellow
berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap
saja dilakukan mengingat harganya yang sangat murah. Di
samping itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen
terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada. Terlebih lagi

pg. 169
konsumen tidak bisa membedakan ciri-ciri makanan yang
mengandung bahan berbahaya.

Pewarna Bahan Pangan


Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat
tergantung pada beberapa faktor seperti cita rasa, tekstur, dan
nilai gizinya, juga sifat mikrobiologisnya. Tetapi sebelum faktor-
faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil
lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Pewarna
makanan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan,
terutama berbagai produk jajanan yang dijajakan di pasar-pasar
tradisional, serta berbagai makanan olahan yang dibuat oleh
industri kecil atau industri rumah tangga, meskipun pewarna
buatan juga ditemukan pada berbagai jenis makanan yang dibuat
oleh industri besar.
Penggunaan pewarna sebenarnya sah-sah saja selama
dalam jumlah terbatas. Namun demikian, apabila pewarna yang
digunakan adalah pewarna nonpangan, misalnya pewarna tekstil
ataupun pewarna makanan, tetapi dalam jumlah yang berlebihan,
tentulah akan membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa
pewarna sintetis yang dilarang telah banyak digunakan di
Indonesia. Dari berbagai jenis pewarna tekstil yang
disalahgunakan sebagai pewarna makanan, dan minuman yang
paling banyak digunakan adalah rhodamin B (untuk warna merah)
dan methanyl yellow (untuk warna kuning). Padahal keduanya
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang mungkin baru
muncul bertahun-tahun setelah kita mengonsumsinya. Tidak ada
salahnya kita sedikit mengenal kedua jenis pewarna tersebut.
Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu yang
lama (kronis) akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati
maupun kanker. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan
maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan
mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang
berwarna merah ataupun merah mudah. Jangankan lewat

pg. 170
makanan, menghirup rhodamin B saja dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran
pernafasan. Demikian pula methanyl yellow, umumnya digunakan
sebagai pewarna tekstil dan cat, serta sebagai indikator reaksi
netralisasi asam-basa. Methanyl yellow adalah senyawa kimia azo
aromatik amin yang dapat menimbulkan tumor dalam berbagai
jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan
kulit.

Dampak Pewarna Sintetis


Kita hendaknya berhati-hati dalam mengonsumsi makanan.
Tidak semua pewarna sintetis baik untuk kesehatan. Hasil
penelitian di sejumlah sekolah di New York Amarika Serikat
menunjukkan bahwa makanan katering sekolah yang banyak
mengandung BTP akan mengakibatkan penurunan prestasi
akademik anak di sekolah dan mengakibatkan hiperaktivitas pada
anak, asma dan eksim.
Untuk itu, tindakan selektif dalam memilih makanan
dengan mengenal berbagai pewarna yang mungkin ditambahkan
oleh produsen sangat kita perlukan. Yang tidak boleh kita lupakan,
adalah dampingi buah hati kita saat membeli makanan karena
jajanan anak-anak seringkali mengandung bahan-bahan berbahaya
bagi kesehatan, termasuk pewarna sintetis berbahaya. Karena
tabiat anak-anak sangat menyukai jajanan dengan warna yang
menarik dan aroma yang menyengat, terlebih bila itu diiklankan di
televisi yang mereka tonton setiap hari. Sayangnya, mereka tidak
tahu bahwa konsumsi jajanan yang mengandung BTP secara
berlebihan, sekalipun diizinkan penggunaannya akan berakibat
buruk bagi kesehatan mereka.
Namun, bila kita terpaksa harus mengizinkan mereka
membeli jajanan karena tidak sempat memberikan bekal makanan
dan minuman, maka ajarilah mereka memilih makanan yang benar
mulai dari membaca label, memilih merek yang terpercaya, dan
membaca tanggal kadaluarsanya. Walau demikian, pembatasan

pg. 171
yang ketat terhadap uang saku mereka tetap sangat dibutuhkan
agar mereka tidak terlalu banyak mengonsumsi jajanan anak-anak
yang mengandung BTP, mengingat terkadang pabrik pembuat
makanan dalam mencantumkan label pun tidak sesuai isinya,
misalnya tidak disebutkan mengandung MSG ataupun pewarna
buatan, tetapi nyatanya mengandung MSG ataupun pewarna
buatan. (Dimuat di Media Online Berita-sulsel.com, 20 Mei 2018).

pg. 172
9. Keamanan Pangan di Balik Kasus Formalin

AKHIR 2006 lalu isu makanan berformalin sempat menjadi buah


bibir dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dan sempat
menjadi berita hangat di beberapa media sehingga masyarakat
untuk beberapa saat sempat menghindari makanan yang dianggap
mengandung formalin, seperti tahu, ikan asin, dan mi basah.
Tetapi beberapa pekan terakhir ini, isu penggunaan formalin
kembali marak di perbincangkan. Penggunaan formalin tidak saja
digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP), melainkan juga
digunakan pada obat-obatan dan non pangan lainnya. Misalnya
beberapa produk permen, obat batuk dan pasta gigi diduga
mengandung zat kimia berbahaya, yang notabene merupakan
komoditi impor yang berasal dari Tiongkok.
Setidaknya, kasus formalin yang kembali marak
mengindikasikan sistem keamanan pangan belum berfungsi
sebagaimana mestinya. Karena hakekatnya keamanan pangan
merupakan sebuah sistem yang digunakan untuk menjamin agar
penyakit atau bahan berbahaya tidak turut dikonsumsi oleh
manusia. Rangkaian tahapan proses mulai dari lahan pertanian (on-
farm) sampai dengan pangan terhidang di meja makan, merupakan
tahapan penting dalam menjamin keamanan produk yang akan
dikonsumsi.

Keamanan Pangan
Keamanan pangan (makanan) telah menjadi salah satu isu
sentral dalam perdagangan produk pangan akhir-akhir ini.
Tuntutan konsumen akan keamanan pangan di lain pihak turut
mendorong kesadaran produsen menuju persaingan sehat yang
berhulu pada jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Hakekat
keamanan pangan sesungguhnya adalah kondisi dan upaya yang

pg. 173
diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang
aman, bermutu, dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan
serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Sistem keamanan
pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, atau pengawasan
terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan
peredarannya sampai siap di konsumsi manusia.
Sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 7/1996 tentang
perlindungan pangan, yang menyatakan bahwa kualitas pangan
yang dikonsumsi harus memenuhi kriteria antara lain aman,
bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau daya beli masyarakat. Hal
ini dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.
28/2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan. Dalam pasal 9
dari peraturan itu disebutkan, bahwa setiap orang yang
memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang, dan wajib
menggunakan BTP yang diizinkan. Tapi sayangnya, masih banyak
diantara produsen yang tidak mengindahkan peraturan ini. Apalagi
konsumen agak sulit mendeteksi keberadaan BTP, seperti
formalin ini jika sudah tercampur dalam makanan. Pasalnya, meski
formalin memiliki bau yang sangat menyengat, tetapi begitu
dicampurkan dalam makanan bau itu akan menguap hingga tidak
tercium lagi.

Apa itu Formalin?


Senyawa ini dipasaran dikenal dengan nama formalin
(formaldehid). Formaldehid merupakan bahan makanan tambahan
kimia yang efisien, tetapi dilarang ditambahkan pada bahan
pangan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP).
Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama

pg. 174
dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul
CH2O mengandung kira-kira 37 persen gas formaldehid dalam air.
Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100 persen,
atau 40 persen, yang mengandung 40 gram formaldehid dalam
100 ml pelarut. Merupakan cairan jernih dan terkadang berbentuk
tablet dengan berat masing-masing 5 gram, tidak berwarna,
dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lender
hidung dan tenggorokan, serta rasa membakar.
Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang
digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan
pengawet mayat. Bahan ini juga bisa digunakan untuk
mengawetkan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain
itu, formalin juga memiliki fungsi antara lain, sebagai zat
antiseptik, desinfektan, antihidrolik, bahan pencampur pembuatan
kertas tisu untuk toilet, dan sebagai bahan baku industri
pembuatan lem plywood, resin maupun tekstil. Tetapi kesalahan
fatal yang dilakukan oleh sebagian produsen makanan, adalah
menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya informasi tentang formalin dan
bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih
rendah, harga formalin yang sangat murah, dan kemudahannya di
dapat. Termasuk formalin efektif digunakan dalam jumlah sedikit.
Misalnya, formalin dengan harga Rp 7000 per liternya, bisa
mengawetkan ikan basah sebanyak 10 ton, sementara jika
diawetkan dengan menggunakan es batu, butuh sekitar 350
batang es balok dengan harga sekitar Rp 2,6 juta. Disisi lain, boleh
jadi karena ketidaktahuan konsumen sehingga mau menerima
bahan yang mengandung formalin, atau kecenderungan
konsumen untuk mendapatkan makanan yang murah dan awet.

Dampak Formalin
Karakteristik resiko yang membahayakan bagi kesehatan
manusia yang berhubungan dengan formaldehid, adalah
berdasarkan konsentrasi dari substansi formaldehid yang terdapat

pg. 175
di udara dan juga dalam produk-produk pangan (WHO, 2002).
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel
sehingga menekan fungsi sel, yang pada akhirnya akan
menyebabkan keracunan pada tubuh. Memang orang yang
mengonsumsi bahan pangan (makanan) seperti tahu, mi, bakso,
ayam, ikan dan bahkan permen, yang berformalin dalam beberapa
kali saja belum merasakan akibatnya. Tapi efek dari bahan pangan
berformalin baru bisa terasa setelah beberapa tahun kemudian.
Dampak lain dari kandungan formalin yang tinggi, akan
meracuni tubuh, menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker), dan bersifat mutagen
(menyebabkan perubahan fungsi sel), dan yang tidak kalah
berbahayanya adalah dapat menyebabkan kegagalan peredaran
darah yang bermuara pada kematian. Untuk itu, mengingat
pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal
menjaga kesehatan, maka pihak produsen pangan harus
menghindarkan penggunaan BTP yang dapat merugikan atau
membahayakan konsumen. Pihak pemerintah dalam hal ini BPOM,
harus lebih sigap dan tanggap dalam menjalankan peran dan
fungsinya yaitu senantiasa melakukan pengawasan terhadap
peredaran dan jual beli makanan dan minuman. Termasuk dalam
hal ini, adalah pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan
BTP, terutama selektif dalam menerima produk pangan dari luar
negeri. Selain itu, BTP hanya boleh diproduksi, diimpor, dan
diedarkan setelah melalui proses penilaian oleh pihak BPOM, yaitu
harus memenuhi persyaratan dan tercantum pada Kodeks Pangan
Indonesia tentang BTP yang telah ditetapkan. (Dimuat di Harian
Fajar, 11 Maret 2008).

pg. 176
10. Bahaya Penggunaan Rhodamin B dan Boraks

SAAT memasuki bulan ramadhan, pasar-pasar tradisional dan


dipinggir jalan berjejeran puluhan dan bahkan ratusan pedagang
kaki lima menjajakan makanan dan minumannya sejak siang hari
hingga seusai bedug magrib. Makanan dan minuman yang
ditawarkan pun beragam, mulai dari makanan kecil buka puasa
(takjil) seperti kue-kue dari berbagai jenis dan bentuk, es campur
(es buah), es cendol, es kelapa, es sirup, es nata de coco, kolang-
kaling, dan cincau. Makanan jajanan takjil yang dijual oleh
pedagang kaki lima, atau di dalam bahasa Inggris disebut street
food menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman
yang dipersiapkan dan dijual di pasar-pasar tradisional, di jalanan,
dan ditempat keramaian umum lainnya, yang dimakan dan
dikonsumsi tanpa persiapan dan pengolahan lebih lanjut.
Masalahnya kemudian amankah makanan jajanan takjil buka puasa
yang dari pasar tradisional dan dijajakan dipinggir jalan kita
konsumsi di saat berbuka puasa? Kepala BPOM Makassar
Muhammad Guntur mengingatkan warga agar berhati-hati dalam
membeli produk makanan khususnya jajanan untuk buka puasa.
Beliau mensinyalir tidak sedikit jajanan baik makanan maupun
minuman menggunakan zat pewarna, pemanis, dan pengawet
yang berlebihan seperti penggunaan Rhodamin B dan Boraks pada
makanan yang dijajakan tersebut (Fajar, Rabu 18 Juli 2012).
Tulisan ini hanya memberi pencerahan seputar penggunaan
Rhodamin B dan Boraks yang lazim dipakai oleh pengrajin dan
pedagang makanan dan minuman untuk dijual dan disajikan
sebagai makanan siap santap bagi kalangan umum, khususnya
untuk penganan berbuka puasa. Rhodamin B sering digunakan
sebagai pewarna yang cerah pada proses pembuatan es campur,
es cendol, es kelapa, es sirup, es nata de coco, dan es cincau.

pg. 177
Sedangkan Boraks selain sebagai pengawet juga dapat membuat
bahan lebih kenyal, seperti produk nata de coco, kolang-kaling dan
cincau, yang digunakan sebagai bahan baku pada es campur (es
buah) yang sering dikonsumsi pada saat buka puasa. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999
mengisyaratkan bahwa Rhodamin B dan Boraks merupakan zat
kimia yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan
(BTP). Penggunaan BTP diatur lebih khusus dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang
memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang, dan wajib
menggunakan BTP yang diizinkan.

Penggunaan BTP
Dalam pembuatan makanan dan minuman, selain bahan
baku untuk tujuan-tujuan tertentu sering digunakan bahan-bahan
lain sebagai bahan tambahan pangan, yaitu yang secara umum
disebut bahan tambahan pangan (BTP). BTP adalah bahan atau
campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari
bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kepada pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk makanan. Termasuk BTP antara
lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat, dan pengental. Definisi BTP cukup bervariasi tergantung
pada negara pemakai. Di Indonesia BTP diartikan sebagai bahan
yang biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi
(termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu komponen
atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Artinya, BTP
bukan merupakan unsur khas makanan dan tidak selalu memiliki
nilai gizi. Tetapi bahan tersebut dengan sengaja ditambahkan pada

pg. 178
makanan untuk keperluan teknologi dalam rangka mempengaruhi
sifat dan bentuk makanan.
Penambahan BTP ke dalam makanan ditujukan untuk
mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna,
rasa, kekentalan, dan aroma, dan untuk mengawetkan,
mempermudah proses pengolahan. Secara khusus kegunaan BTP
adalah untuk: (1) mengawetkan makanan, dengan mencegah
pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya
reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu makanan, (2)
membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah, dan lebih enak di
mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik
sehingga menarik selera, (4) meningkatkan kualitas makanan, dan
(5) menghemat biaya.

Rhodamin B dan Boraks


Rhodamin B adalah zat warna sintetik berbentuk serbuk
kristal berwarna kehijauan, berwarna merah keunguan dalam
bentuk terlarut pada konsentrasi tinggi dan berwarna terang pada
konsentrasi rendah, yang termasuk golongan pewarna xanthene
basa. Rhodamin B dibuat dari meta-dietilaminofenol dan ftalik
anhidrid. Kedua bahan baku ini bukanlah bahan yang boleh
dimakan, melainkan hanya dapat digunakan untuk pewarna kulit,
kapas, wol, serat kulit kayu, nilon, serat asetat, kertas, tinta, vernis,
sabun, dan bulu. Penggunaan bahan pewarna yang dilarang pada
pembuatan makanan jajanan oleh pengrajin dan pedagang,
terutama untuk takjil di bulan ramadhan, pada umumnya
dimaksudkan untuk memberikan warna yang mencolok pada
makanan dan minuman sehingga menarik, maka digunakanlah
Rhodamin B (merah) dan Methanyl Yellow (kuning). Tetapi pada
umumnya para pembuat makanan dan minuman jajanan tidak
menyadari bahaya penggunaan BTP yang dilarang. Hal ini
terutama disebabkan ketidaktahuan baik mengenai sifat-sifat
maupun bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan
peraturan.

pg. 179
Sedangkan penggunaan boraks sebagai BTP selain
bertujuan untuk mengawetkan makanan juga bertujuan agar
makanan menjadi lebih kompak (kenyal) teksturnya dan
memperbaiki penampakannya, misalnya pada produk nata de coco
dan cincau. Hanya dengan menambahkan dalam jumlah sedikit
saja, telah dapat memberikan pengaruh kekenyalan pada makanan
sehingga menjadi lebih legit, tahan lama, dan terasa enak di mulut.
Boraks, atau lazim disebut asam borat (boric acid) adalah senyawa
kimia turunan dari logam berat boron (B). Asam borat terdiri atas
tiga macam senyawa, yaitu asam ortoborat (H3BO3), asam
metaborat (HBO2), dan asam piroborat (H2B4O7)10. Senyawa kimia
terlarang ini diperdagangkan dalam bentuk balok padat, kristal,
atau tepung berwarna putih kekuningan, atau dalam bentuk cairan
tidak berwarna. Penggunaan boraks yang diizinkan, khususnya
dalam industri digunakan untuk mencegah kutu, lumut, dan jamur.
Boraks juga dapat digunakan sebagai insektisida dengan
mencampurkannya dalam gula untuk membunuh semut, kecoa,
dan lalat.

Dampak Rhodamin B dan Boraks


Di Indonesia ada 30 jenis pewarna yang dinyatakan sebagai
bahan berbahaya dan beracun, sehingga dilarang penggunaannya
dalam makanan. Salah satu diantaranya adalah Rhodamin B, karena
sifat kimianya bersifat sangat toksis sehingga membahayakan bagi
kesehatan. Zat kimia tersebut diketahui merupakan penyebab
kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat secara langsung setelah
mengkonsumsinya. Karena itu, bahan pewarna tersebut dilarang
untuk digunakan dalam makanan meskipun dalam jumlah sedikit.
Konsumsi Rhodamin B yang berlebihan atau terus menerus dapat
menyebabkan kerusakan hati atau kanker hati dan kerusakan
ginjal.
Sedangkan boraks dinyatakan sebagai bahan berbahaya
bagi kesehatan karena dari hasil penelitian dengan menggunakan
tikus menunjukkan sifat karsinogenik. Dalam makanan boraks akan

pg. 180
terserap oleh darah dan disimpan di dalam hati. Boraks di dalam
tubuh dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan.
Gangguan-gangguan umum yang ditimbulkan boraks adalah
sebagai berikut: (1) dapat menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan bayi, terutama mata, (2) menyebabkan gangguan
proses reproduksi, (3) dapat menimbulkan iritasi pada lambung,
kulit merah dan mengelupas, dan (4) menyebabkan gangguan
pada ginjal, dan hati. Gejala-gejala gangguan kesehatan yang
dapat diamati dalam jangka pendek karena menghisap atau
kontak secara langsung dengan boraks antara lain terjadinya iritasi
pada hidung, saluran pernapasan, dan mata. Selain itu, adanya
pencemaran boron dalam waktu panjang dapat menimbulkan
gangguan reproduksi berupa menurunnya jumlah sperma pada
laki-laki.
Untuk itu, sesuai amanat UU Pangan No. 7 tahun 1996,
mengkonsumsi pangan adalah merupakan kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat
Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Sehingga pangan yang kita konsumsi haruslah pangan
yang bebas dari bahaya fisik, kimia, dan mikrobiologi. Penggunaan
BTP dalam pembuatan makanan dan minuman jajanan, terutama
untuk kebutuhan takjil harus sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Pembuat makanan dan minuman jajanan
berkewajiban untuk memiliki pengetahuan tentang higiene,
sanitasi makanan, dan gizi, serta menjaga kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004
tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, disebutkan bahwa
keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, industri pangan dan konsumen. Pemerintah
bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem pengawasan
keamanan pangan melalui pengaturan standarisasi penilaian dan
inspeksi keamanan pangan. Industri pangan bertanggung jawab
menjaga mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya.
Sedangkan konsumen berperan dalam melindungi dirinya sendiri

pg. 181
dari pangan yang tidak bermutu dan aman. Olehnya itu, konsumen
perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keamanan
pangan, diantaranya pengetahuan tentang praktek higiene yang
baik saat menangani, mengolah, menyajikan dan menyimpan
pangan. Sinergi diantara ketiga pihak ini, dengan tanggung jawab
masing-masing sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan
keamanan pangan secara nasional. (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 29 Mei 2018).

pg. 182
Bagian Kelima
ASPEK POLA KONSUMSI
PANGAN DAN GIZI

pg. 183
1. Kaitan Gizi Buruk, Pangan dan Kemiskinan

GIZI buruk (malnutrition) atau anemia gizi menjadi pusat perhatian


setelah Harian Kompas (27/9/06) menurunkan berita tentang
laporan Unicef yang melansir bahwa tahun 2006 lalu, jumlah anak
di bawah usia lima tahun atau balita yang bergizi buruk di
Indonesia mencapai 2,3 juta jiwa. Laporan itu menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan sekitar 500 ribu jiwa anak penderita gizi buruk
dibandingkan tahun 2005, yang hanya sebesar 1,5 juta jiwa. Di luar
2,3 juta anak balita bergizi buruk tersebut, masih ada sekitar lima
juta yang mengalami gizi kurang (setingkat lebih baik dari gizi
buruk). Sehingga jumlah bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang
sekitar 28 persen dari total bayi di Indonesia.
Masalah gizi, pangan, dan kemiskinan merupakan tiga
serangkai yang tidak terpisahkan satu sama lain. Gizi seseorang
sangat bergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya.
Masalah pangan antara lain menyangkut ketersediaan pangan dan
kerawanan konsumsi pangan, yang salah satu faktor penyebabnya
adalah kemiskinan. Kemiskinan inilah yang menjadi akar
permasalahan dari ketidakmampuan rumah tangga untuk
menyediakan pangan dalam jumlah, mutu, dan ragam yang sesuai
dengan kebutuhan setiap individu. Gizi buruk adalah gangguan
pada beberapa segi kesejahteraan per orangan dan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan
akan zat gizi yang diperoleh dari bahan pangan (makanan). Dari
pangan yang kita makan, menyediakan unsur-unsur kimia tubuh
yang dikenal sebagai zat gizi. Dua kriteria yang digunakan untuk
menilai kualitas atau gizi suatu bahan pangan yang dikonsumsi
manusia adalah jumlah energi dan protein.

pg. 184
Kekurangan Energi dan Protein
Energi merupakan ukuran kuantitatif, sedangkan protein
merupakan ukuran kualitatif. Karena alasan itulah, anak balita
yang mengalami gizi kurang atau gizi buruk, yang dalam
terminologi kesehatan digolongkan menjadi anak balita kurang
gizi, lebih dikenal dengan istilah kekurangan energi protein (KEP).
KEP yang gawat pada balita dikenal dengan gejala klinis seperti
kwasiorkor dan marasmus. Kwasiorkor terutama disebabkan oleh
kekurangan protein, sedangkan marasmus disebabkan oleh
kekurangan energi. Kwasiorkor terutama di derita oleh bayi dan
anak kecil pada usia enam bulan sampai tiga tahun. Sementara
marasmus adalah kekurangan pangan secara keseluruhan, baik
energi maupun protein. Gejala marasmus dapat timbul sampai
anak berusia 3,5 tahun. Tetapi lebih sering terjadi pada bayi usia
satu tahun. Marasmus adalah gejala kelaparan, karena bayi tidak
cukup mendapat ASI atau makanan tambahan lain.
Mencermati fenomena gizi kurang dan gizi buruk di
Indonesia lebih disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor,
seperti kemiskinan, kondisi lingkungan, buruknya pelayanan
kesehatan, dan kurangnya pemahaman mengenai gizi. Namun
penyebab paling utama gizi kurang dan gizi buruk adalah
kemiskinan yang tak teratasi. Kemiskinan dan gizi buruk bagaikan
dua sisi mata uang. Angka kemiskinan versi BPS tahun 2006 lalu,
mencapai 39,05 juta atau sekitar 17,75 persen dari jumlah
penduduk yang sudah 220 juta jiwa. Karena faktor kemiskinan
itulah sehingga ketersediaan pangan yang cukup dan bergizi
ditingkat rumah tangga juga rendah.

Perlunya Sadar Gizi


Keinginan berbagai pihak dan kalangan agar kita segera
mencanangkan Gerakan Nasional Sadar Gizi (GNSG) harus
direspons secara positif dan didukung sepenuhnya. Terlepas dari
kekurangannya, hal serupa pernah dilakukan oleh Presiden
Soeharto pada tahun 1989, dengan mencanangkan Gerakan Sadar

pg. 185
Pangan dan Gizi, dengan program utama mengoptimalkan peran
dan fungsi posyandu dan memantau kehadiran anak dan ibu balita,
sampai anak berusia lima tahun. Pada saat itu, posyandu memang
dapat menjadi ujung tombak pencegahan gizi kurang dan gizi
buruk, yaitu dengan kartu menuju sehat (KMS) sebagai alat
kontrolnya. Dengan gerakan ini diharapkan, kebijakan dan
perencanaan pangan dan gizi mendapat perhatian dan menjadi
strategi utama dalam mensejahterakan kehidupan bangsa.
Apabila orang tidak cukup pangan yang berkualitas
(bergizi), maka akan terjadi tiga konsekuensi fungsional. Ketiga
konsekuensi yang dimaksud adalah menurunnya kecerdasan,
meningkatnya frekuensi terkena penyakit, dan meningkatnya
angka kematian. Karena keadaan gizi anak-anak banyak sangkut
pautnya dengan bentuk tubuh dan lingkar kepala. Hasil penelitian
terhadap beberapa kelompok anak-anak miskin, disimpulkan
adanya bentuk tubuh yang pendek dengan lingkar kepala di bawah
standar. Dari hasil ini membuktikan bahwa anak yang bergizi buruk
ada kaitannya dengan kecerdasan.
Dampak negatif dari gizi buruk terhadap intelektualitas
atau kecerdasan anak banyak bergantung pada masa
pertumbuhan janin dalam kandungan sampai anak mencapai usia
tiga tahun. Intelektualitas atau kecerdasan manusia dipengaruhi
oleh faktor keturunan, faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan otak, faktor yang
mempengaruhi fungsi otak, dan faktor sosial dan lingkungan
keluarga. Dua dari empat faktor tersebut dipengaruhi oleh asupan
zat gizi, yaitu pertumbuhan dan perkembangan otak serta faktor
fungsi otak.
Sehubungan dengan meningkatnya jumlah anak balita
bergizi buruk seperti yang di ungkap di atas, sangat
memprihatinkan karena hal itu dapat menyebabkan hilangnya satu
generasi (lost generation) dan dikhawatirkan penderita akan
mengalami kerusakan otak yang tidak mungkin lagi diperbaiki.
Akibat dari kerusakan otak itu anak akan bodoh secara permanen.

pg. 186
Ketika di usia sekolah mereka tidak dapat berfikir cerdas karena
sel-sel otaknya tidak tumbuh maksimal. Makanya, jangan berharap
terlahir sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan mampu
bersaing.
Untuk itu, sebelum terjadi konsekuensi fungsional yang
semakin memprihatinkan dan mengkhawatirkan seperti yang
terjadi pada 2,3 juta balita, perlu antisipasi terhadap generasi
berikutnya. Salah satu strategi yang harus dilakukan pemerintah
adalah pemantapan pembangunan pangan dan gizi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk kembali kepada GNSG dengan
program fokus pada revitalisasi posyandu dan pengaktifan
kembali kartu menuju sehat (KMS) bagi anak dan ibu. (Dimuat di
Harian Tribun Timur, 22 Nopember 2006).

pg. 187
2. Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas

INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan


jumlah pulau sekitar 17 ribu, memiliki panjang pantai terpanjang
kedua di dunia, setelah Australia yang mencapai panjang pantai
sekitar 81 ribu km. Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut,
Indonesia mempunyai sumber daya laut yang besar, baik sumber
daya hayati maupun non-hayati. Selain perairan laut, luas daratan
Indonesia juga ‚menyimpan‛ perairan tawar yang cukup luas.
Sebagaimana perairan laut, perairan tawar pun menyimpan
potensi sumber daya alam yang tidak sedikit, yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Melihat potensi perairan dan sumber daya ikan yang ada,
maka budidaya ikan di Indonesia cukup prospektif, baik untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk
ekspor. Prospektifnya pasar ikan dapat dilihat dari terus
meningkatnya jumlah penduduk dan makin sadarnya konsumen
untuk mengonsumsi ikan. Mengonsumsi ikan dapat meningkatkan
kesehatan dan kecerdasan bagi seseorang, sesuai standar yang
dipersyaratkan. Potensi sumber daya ikan budidaya secara
nasional diperkirakan sebesar 15,93 juta hektar, terdiri atas
potensi air tawar 2,23 juta hektar, air payau 1,22 juta hektar dan
budidaya laut 12,14 juta hektar. Sedangkan pemanfaatan potensi
sumber daya itu hingga kini masing-masing baru mencapai sekitar
10,1 persen untuk budidaya air tawar, 40 persen budidaya air
payau, dan 0.01 budidaya laut.
Angka sementara produksi total perikanan budidaya secara
nasional pada 2005 sebesar 1,8 juta ton. Mengingat pemanfaatan
potensi perikanan budidaya yang masih demikian rendah, maka
diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan
produksi ikan yang permintaan pasarnya sangat besar. Ikan hasil

pg. 188
budidaya di Indonesia, baik ikan air tawar maupun ikan laut,
semakin berpeluang untuk bersaing dengan ikan hasil budidaya
dari negara lain. Iklim di Indonesia lebih kondusif untuk budidaya
ikan. Sebagai negara yang kaya dengan hasil laut dan mempunyai
berbagai macam produk perikanan, Indonesia berpeluang
membangun kualitas manusia yang sehat dan cerdas melalui
program gerakan masyarakat makan ikan (GEMARIN). Namun,
masyarakat Indonesia kurang banyak mengonsumsi ikan yang kaya
akan protein ini. Budaya mengonsumsi ikan belum menjadi gaya
hidup banyak keluarga di negeri ini.

Tingkatkan Konsumsi Ikan


Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang saat
ini diperkirakan telah mencapai 215 juta jiwa, maka meningkat
pula kebutuhan pangan. Itu berarti luasnya laut dan perairan
umum Indonesia merupakan sebuah ‚lumbung‛ pangan nasional
yang setiap saat siap dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya
ikan di Indonesia diperkirakan 6,7 juta ton per tahun atau sekitar
tujuh persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Akan tetapi
tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih rendah. Hingga tahun
2005, rata-rata hanya mencapai 25,03 kg per kapita per tahun.
Tetapi meskipun meningkat 4,5 persen dari tahun sebelumnya,
yaitu sebesar 23,95 kg, jumlah ini belum mencapai standar yang
dipersyaratkan oleh organisasi pangan dunia (FAO), yaitu 30 kg
per kapita per tahun. Dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih jauh ketinggalan.
Misalnya, Jepang mencapai 110 kg per kapita per tahun, Korea
Selatan 85 kg, Malaysia 45 kg, dan Thailand 35 kg.
Rendahnya tingkat konsumsi ikan tersebut diakibatkan
karena masih adanya anggapan sebagian masyarakat yang
menyatakan, mengonsumsi ikan terlalu banyak akan
mengakibatkan cacingan atau menyebabkan alergi. Padahal
protein yang terdapat dalam ikan sangat diperlukan manusia
karena lebih mudah dicerna, juga mengandung asam amino

pg. 189
dengan pola hampir sama dengan asam amino yang terdapat
dalam tubuh manusia. Selain itu, protein ikan juga terdiri atas
asam amino esensial yang tidak mudah rusak selama pemasakan,
dan lebih lengkap dibandingkan dengan sumber protein hewan
lainnya.

Sehat dan Cerdas dengan Ikan


Negara Jepang adalah salah satu penghasil ikan di dunia
dan ikan telah menjadi makanan utama, seperti halnya nasi di
Indonesia. Ikan telah menjadi bagian dari menu sehari-hari
masyarakat Indonesia, namun hanya sekedar sebagai pelengkap
menu hidangan. Banyak di antara kita hanya tau, bahwa ikan itu
baik bagi kesehatan dan enak rasanya. Namun, kita tidak mengerti
kandungan apa di dalam ikan yang dapat membuat badan menjadi
sehat dan cerdas, seperti yang dialami oleh orang-orang Jepang.
Ikan kaya akan asam lemak yang disebut asam lemak omega 3,
yang berfungsi membantu untuk membersihkan racun di dalam
jantung dan tubuh, dengan meningkatkan proses anti
penggumpalan darah.
Omega 3 mampu mencegah dan mengurangi terjadinya
penumpukan kolesterol dan melekatnya bintik-bintik darah dalam
pembuluh darah. Orang yang banyak mengonsumsi ikan
mempunyai resiko lebih kecil terkena penyakit jantung dan stroke.
Selain dapat mencegah penyakit jantung dan stroke, omega 3
dapat mencegah penyakit kanker, diabetes, asam urat, rematik,
bahkan dapat mengatasi jerawat. Pada ibu hamil, sangat
dianjurkan untuk mengonsumsi banyak ikan kerena dapat
membantu pertumbuhan otak bayi, selain meningkatkan
kecerdasan dan daya pikirnya. Selain itu, mengonsumsi banyak
ikan bagi ibu hamil dapat menghindari bayi prematur atau berat
badannya di bawah standar. Sampai bayi beranjak dewasa pun,
pengenalan terhadap konsumsi ikan harus tetap dilanjutkan. Ikan
memang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan, meningkatkan
daya tahan tubuh, dan sebagai sumber energi.

pg. 190
Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ikan mengandung
banyak protein. Namun absorpsi protein dari ikan lebih banyak
dibandingkan daging sapi atau ayam. Hal ini disebabkan karena
ikan mempunyai serat protein yang lebih pendek dari pada serat-
serat daging sapi atau ayam yang mempermudah pencernaan. Ikan
juga sangat baik bagi orang yang mengalami kesulitan
pencernaan. Untuk itu, mulailah mengonsumsi ikan hari ini dan
setidaknya makanlah ikan minimal tiga kali seminggu atau setiap
hari dengan menu yang bervariasi. Hal ini akan berimplikasi pada
kesehatan dan kecerdasan kita dan generasi kita di masa akan
datang. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 6 Agustus 2007).

pg. 191
3. Pentingnya Konsumsi Pangan Berserat saat Berpuasa

PADA saat menjalankan puasa, seseorang tidak makan dan minum


selama sekitar 14 jam. Selama itu, sistem pencernaan
diistirahatkan. Meski demikian, sebenarnya tidak otomatis asupan
makanan berkurang karena saat berpuasa yang dilakukan
sebenarnya adalah mengubah pola makan dengan menggeser jam
makan. Terkait dengan hal tersebut, kecukupan gizi selama bulan
puasa harus menjadi perhatian. Yang penting bukan kuantitas atau
banyaknya makanan yang dikonsumsi, melainkan apakah zat-zat
gizi yang dibutuhkan telah cukup tersedia. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan adalah dengan mengonsumsi bahan pangan yang
kaya akan serat. Berdasarkan kelarutannya, serat terbagi menjadi
dua jenis, yaitu serat yang tidak larut air (crude fiber) atau serat
kasar dan serat yang larut air (dietary fiber) atau serat makanan.
Pertama, serat yang tidak larut umumnya terdiri dari selulosa yang
tidak larut dalam air. Namun mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan air. Kemampuan ini menguntungkan, karena
dapat mempengaruhi ukuran, berat, dan melunaknya feses
sehingga mudah dikeluarkan. Kedua, serat yang larut air. Serat ini
adalah serat yang bisa larut dalam air, sebagian besar merupakan
dinding-dinding sel tanaman. Serat jenis ini dapat membentuk gel
sehingga lambung akan cepat penuh, menyebabkan perut akan
cepat merasa kenyang, karena volume makanan menjadi besar.

Apa Pentingnya Serat


Serat sendiri memegang peranan penting di dalam tubuh.
Salah satunya adalah kemampuan serat larut menahan air,
sehingga dapat menunda pengosongan makanan di dalam
lambung, menghambat pencampuran isi saluran cerna dengan
enzim-enzim pencernaan, sehingga mengurangi penyerapan zat

pg. 192
makanan di usus bagian proximal. Melihat kemampuan menunda
pengosongan makanan, atau menahan kenyang lebih lama, maka
tidak mengherankan di saat seseorang yang sedang berpuasa,
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
serat yang cukup. Wirakusumah, Ahli Gizi IPB, mengungkapkan
bahwa dahulu serat dianggap sebagai bahan pangan yang rendah
kualitasnya, sehingga orang menganggap semakin tinggi
kandungan serat semakin jelek nilai gizinya. Namun kini serat
merupakan salah satu komponen penting karena bermanfaat bagi
kesehatan. Bahan pangan sumber serat yang baik terdapat pada
buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan dan serealia. Sementara
produk makanan hewani, seperti daging, ikan, susu dan telur serta
hasil olahannya, mengandung serat dalam jumlah sedikit karena
hampir seluruhnya dapat dicerna tubuh. Itulah sebabnya konsumsi
bahan pangan hewani harus diimbangi dengan konsumsi bahan
pangan berserat. Untuk jumlah konsumsi serat yang dianjurkan
minimal 25 gram/hari.

Pangan Sumber Serat


Dengan merujuk pada kelarutannya, sumber serat dibagi
juga menjadi dua bagian. Sumber serat yang tidak larut air yaitu
kulit padi, kacang polong, kubis, apel, wortel, gandum dan arbei.
Sedangkan sumber serat yang larut air dapat bersumber dari apel,
arbei, jeruk, gum, serealia (oats) dan kacang-kacangan. Untuk
serealia dan kacang-kacangan sebaiknya dikukus sebentar, direbus
dengan sedikit air atau ditumis agar zat-zat anti gizi (antitripsin)
yang dapat menghambat pencernaan menjadi tidak aktif atau
mati. Sementara untuk sayuran dan buah-buahan dapat diolah
menjadi berbagai macam makanan. Namun cara terbaik
mengkonsumsi makanan untuk mendapatkan serat dalam jumlah
yang lebih banyak yaitu dikonsumsi mentah atau langsung tanpa
pengolahan. Misalnya dalam memasak sayuran seharusnya
setengah matang, sedangkan untuk buah-buahan diolah terlebih
dahulu dalam bentuk jus, jadi tidak perlu dimasak. Selain itu, jenis

pg. 193
makanan lain yang kaya akan serat adalah agar-agar yang kerap
disajikan sebagai hidangan pencuci mulut atau untuk berbuka
puasa.
Untuk itu, dalam upaya mempersiapkan stamina tubuh
supaya tetap prima disaat berpuasa, ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan dalam mengatur menu, baik saat sahur
ataupun saat berbuka. Pada saat itulah, diupayakan supaya tubuh
kita mendapatkan asupan zat gizi yang tepat. Perlu diingat bahwa,
bahan pangan berserat terutama saat sahur dan berbuka akan
memberikan beberapa manfaat. Pertama, memberikan rasa
kenyang yang berkepanjangan. Keadaan itu disebabkan serat akan
menyerap cairan, sehingga memberikan volume dan berat kepada
yang lebih besar di dalam saluran pencernaan. Kedua, pada saat
puasa, kadar gula darah menurun. Hal ini disebabkan bahan
pangan berserat lambat dicerna dan diserap oleh tubuh, sehingga
energi yang dihasilkan akan bersifat konstan selama periode yang
cukup lama. Dengan mengetahui manfaat dan pentingnya serat,
penurunan stamina dan kebugaran tubuh, terutama di saat
menjalankan puasa, yang dicirikan dengan penurunan konsentrasi
berpikir, kelesuan, mudah marah, cemas, dan mengantuk, dapat
diantisipasi dengan mempersiapkan menu-menu makanan (bahan
pangan) yang kaya akan serat untuk sahur maupun berbuka.
(Dimuat di Media Online, Hariansulsel.com 4 Juni 2018).

pg. 194
4. Batasi Konsumsi Pangan Berkadar GGL Tinggi

APA yang kita makan sehari-hari sebenarnya akan membentuk


sebuah pola konsumsi, yaitu susunan makanan yang mencakup
jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang
umum dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Di Indonesia, pola
konsumsi masih belum sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Masih banyak ditemukan masyarakat yang mengonsumsi makanan
beresiko lebih dari satu kali dalam sehari. Dalam hal ini, konsumsi
makanan beresiko adalah seperti makanan tinggi gula, garam, dan
lemak. Pola makan yang sehat dan seimbang dapat menunjang
kesehatan seseorang secara optimal sehingga kita dapat terhindar
dari berbagai macam penyakit.
Perkembangan zaman yang semakin canggih tidak hanya
memberi dampak positif bagi kelangsungan hidup manusia, tetapi
juga menyisakan banyak dampak negatif khususnya masalah
kesehatan. Gaya hidup modern yang tidak sehat, dan diikuti
dengan tidak teraturnya pola makan, mengakibatkan tingkat
kesehatan manusia semakin merosot. Menjamurnya masakan siap
saji hingga penambahan bahan pengawet, pewarna dan perasa
buatan pada makanan (pangan), juga kerap menjadi pemicu
berkembangnya penyakit degeneratif, seperti tekanan darah
tinggi, gangguan jantung, stroke, kanker, diabetes melitus dan
penyakit lainnya (Yuliarti, 2009).
Faktor penyebabnya antara lain adalah tidak seimbangnya
asupan zat gizi yang dibutuhkan sehari-hari. Kelebihan berat
badan sangat erat kaitannya dengan konsumsi makanan sehari-
hari, terutama penyumbang kalori, seperti gula dan lemak, selain
asupan garam yang cenderung membuat orang untuk
mengonsumsi makanan lebih banyak. Berdasarkan rekomendasi
WHO (2003) batas maksimum konsumsi gula per orang perhari

pg. 195
adalah 10 persen dari total energi, setara dengan 50 gram per
orang per hari. Selanjutnya batas konsumsi garam per orang per
hari adalah 2000 mg Natrium atau 5 gram per orang per hari, atau
setara dengan 1 sendok teh. Sedangkan batas konsumsi lemak
total adalah 30 persen dari total energi atau 1,5 – 3 sendok makan
atau setara dengan 78 gram per orang per hari.

Akibat Konsumsi GGL berlebih


Gula yang dikonsumsi sehari-hari akan meningkatkan kalori
tanpa zat gizi lainnya. Ada dua macam gula yang dikonsumsi yaitu,
gula yang berasal dari buah-buahan seperti fruktosa, atau berasal
dari susu (laktosa), dan gula yang ditambahkan pada makanan dan
minuman, seperti gula pasir (sukrosa). Jenis kedua ini, yang dikenal
sebagai ‘added sugar’ yang kemungkinan berkontribusi terhadap
kejadian obesitas, dan penyakit kronis lainnya. Dalam kondisi
normal pankreas hanya mampu mengubah 0,5 sendok makan gula
pasir menjadi energi setiap hari. Bila mengonsumsi lebih dari 0,5
sendok makan (5 gram) gula pasir, maka sisanya akan mmenjadi
gula darah dan lemak tubuh. Akibatnya adalah obesitas dan lama-
kelamaan menjadi diabetes. Diabetes yang tidak terkontrol akan
berisiko mengganggu organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal
dll.
WHO merekomendasikan mengurangi asupan natrium
untuk upaya menurunkan tekanan darah dan resiko penyakit
kardiovaskular, stroke dan penyakit jantung koroner pada orang
dewasa. Asupan garam berlebihan dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan cairan tubuh sehingga menyebabkan penumpukan
cairan dalam tubuh (edema dan atau ascites), hipertensi serta
dapat mengecilkan diameter pembuluh darah arteri sehingga
jantung harus memompa darah lebih kuat, akibatnya kerja jantung
menjadi berat.
Selanjutnya WHO merekomendasikan asupam lemak
sebaiknya tidak melebihi 30 persen dari total energi untuk
menghindari pertambahan berat badan yang tidak sehat, selain itu

pg. 196
risiko kejadian penyakit tidak menular (PTM) dapat dihindari
dengan mengurangi lemak jenuh sampai kurang dari 10 persen
terhadap total energi. Lemak jahat bila dikonsumsi tidak dapat
diserap oleh tubuh sehingga menumpuk pada pembuluh darah
akibatnya terjadi penyempitan pembuluh darah. Apabila
penyempitan terjadi pada pembuluh darah arteri (atherosclerosis)
maka aliran darah ke jantung akan terganggu, sehingga oksigen
yang dibawa darah juga tidak maksimal sampai ke jantung
sehingga kerja jantung menjadi berat.

Tips Aman Konsumsi GGL


Dalam mengantisipasi timbulnya berbagai penyakit akibat
mengonsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebih, berikut
disajikan tips sehat untuk konsumsi gula, garam dan lemak yang
aman sebagai berikut. Pertama, hindari makanan dan minuman
dengan pemanis buatan yang berlebihan. Kedua, gunakan bahan
makanan segar dari pada bahan makanan yang diawetkan atau
dikalengkan. Ketiga, pililah buah segar sebagai snack dari pada
camilan yang berupa makanan olahan seperti, roti, biskuit, keripik,
dan lain-lain. Keempat, batasi konsumsi makanan yang diasinkan
seperti, acar, asinan, dan lain-lain. Kelima, batasi konsumsi
makanan berlemak hanya 6 kali per hari yaitu makanan yang
digoreng, bersantan atau dengan olesan margarin atau mentega.
Keenam, batasi penggunaan bumbu-bumbu penyedap seperti MSG
(mono sodium gulamat), kecap, saos, sambal botol, terasi, dan
tauco.
Ketujuh, batasi makanan yang mengandung lemak jenuh
(kolesterol) yaitu dengan memilih daging tanpa gajih, ayam tanpa
kulit, putih telur, santan encer, susu skim, ikan laut dan ikan air
tawar. Kedelapan, sebagai penguat rasa pada makanan perkaya
dengan penggunaan bumbu alami seperti, bawang merah, bawang
putih, daun bawang, daun salam dan tomat. Kesembilan, batasi
konsumsi makanan yang diolah dengan menggunakan soda kue,
baking powder dan natrium benzoate. Kesepuluh, pilih makanan

pg. 197
kemasan rendah garam dan rendah lemak dengan cara membaca
labelnya terlebih dahulu. Kesebelas, teknik pemasakan yang
dianjurkan adalah dengan cara mengukus dan memanggang
sehingga bisa membatasi penggunaan lemak.
Akhirnya, tulisan ini berupaya menginformasikan bahwa
tingkat konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebih di
Indonesia menunjukkan situasi yang berbahaya karena 30 persen
penduduk (setara dengan 77 juta orang) konsumsinya sudah
melebihi dari rekomendasi (Atmarita dkk,. 2016). Untuk itu
kebijakan nasional dalam rangka mengurangi dan membatasi
konsumsi GGL harus segera diimplementasikan untuk antisipasi
semakin melonjaknya penduduk dengan risiko penyakit tidak
menular (PTM). (Dimuat di Media Online Fokus Metro Sulbar, 10
Juli 2017).

pg. 198
5. Sehat dan Produktif Berpuasa dengan Pangan B3A

ALLAH SWT berfirman: ‚Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan


atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu‛ (QS, 2: 183), ‚…dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui‛ (QS, 2: 184). Dilanjutkan dengan sabda Nabi
Muhammad SAW bahwa: ‚Berpuasalah niscaya kamu sehat‛.
Berpuasa (fasting) berarti menahan tidak makan dan
minum kurang lebih 14 jam setelah makan sahur. Hal ini
menunjukkan bahwa saluran pencernaan sama sekali tidak
menerima asupan pangan dan gizi selama rentang waktu tersebut.
Beberapa organ tubuh ‘istirahat’ seperti lambung, usus, hati,
pancreas, dan ginjal. Organ-organ tersebut tidak bekerja berat
akibat mencerna, menyerap, mengangkut, dan memetabolisme
serta menyimpan zat-zat gizi. Sebaliknya pada saat tidak berpuasa
(fed state), pangan dan zat gizi tersebut boleh jadi jumlahnya tidak
proporsional dengan kebutuhan gizi dan energi seseorang. Dari
mana tubuh memperoleh energi dan zat gizi pada saat berpuasa?
Tentunya hanya bahan pangan yang telah dikonsumsi pada saat
sahur (dalam lambung). Makanan di lambung akan dicerna hingga
4 – 6 jam, kemudian zat gizi akan diserap di usus halus sampai
diserap ke dalam darah hingga berkisar 4 jam. Hal ini
mengakibatkan 8 – 10 jam setelah sahur, kita akan terasa lapar
karena lambung sudah mulai ‘kosong’.
Pertanyaannya, apakah makanan yang kita konsumsi saat
sahur dan berbuka puasa sudah memenuhi konsep dasar pangan
beragam, bergizi, berimbang, dan aman (B3A)? Untuk mencapai
dan memelihara kesehatan, status gizi maupun produktivitas
optimal saat berpuasa, maka seseorang perlu mengonsumsi
pangan yang mengandung zat gizi sesuai triguna makanan, yaitu
sebagai sumber zat tenaga, pembangun, dan pengatur secara

pg. 199
berimbang. Hal ini dapat diperoleh dari aneka pangan sumber
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral secara
proporsional dan berimbang.

Konsumsi Pangan Berbasis B3A


Setiap orang memerlukan aneka zat gizi yaitu karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah cukup, tidak
berlebihan dan tidak juga kekurangan. Karbohidrat berfungsi
sebagai sumber energi, lemak berfungsi sebagai sumber energi
cadangan dan juga pertumbuhan serta mempertahankan jaringan.
Protein berfungsi untuk sumber energi, pertumbuhan dan
mempertahankan jaringan, juga dalam proses regulasi dalam
tubuh. Mineral berfungsi untuk pertumbuhan dan
mempertahankan jaringan, juga dalam proses regulasi tubuh,
sedangkan untuk vitamin dan air berfungsi untuk regulasi dalam
tubuh.
Secara alami, komposisi zat gizi setiap jenis pangan
memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Misalnya, pangan
tertentu mengandung karbohidrat tetapi kurang vitamin dan
mineral. Jenis pangan yang lain kaya vitamin C tetapi miskin
vitamin A. Oleh karena itu, apabila konsumsi makanan sehari-hari
kurang beranekaragam, maka akan timbul ketidakseimbangan
antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk
hidup sehat dan produktif, serta akan menimbulkan berbagai
penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa untuk
mencegah penyakit perlu makan-makanan yang berbasis B3A.
Beragam, artinya pangan yang dikonsumsi berbagai macam baik
hewani maupun nabati, baik sumber karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, maupun mineral. Alasannya, karena setiap jenis atau
kelompok pangan mempunyai kelebihan dan atau kekurangan
nutrisi atau gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi pangan
yang beragam maka nutrisi atau gizi dari berbagai jenis pangan
saling menutupi sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.

pg. 200
Bergizi, artinya pangan yang dikonsumsi harus mempunyai
gizi. Alasannya, untuk hidup sehat dan produktif diperlukan
konsumsi pangan yang bergizi, sehingga memenuhi angka
kecukupan gizi (AKG) sebesar 2000 kkal/kapita/hari. Berimbang,
artinya pangan yang dikonsumsi harus seimbang dari berbagai
jenis atau kelompok pangan serta sumber karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral sesuai dengan standar pola pangan
harapan (PPH). Aman, artinya pangan yang dikonsumsi bebas dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Alasannya, pangan yang mengalami cemaran biologis melebihi
ambang yang telah ditentukan dapat menyebabkan penyakit.
Misalnya, bakteri E. Coli dan Salmonella dapat menyebabkan diare
atau keracunan. Demikian juga pangan yang mengalami cemaran
residu pestisida dapat menyebabkan keracunan atau
menyebabkan tumor serta kanker.

Pangan Halalan Toyyiban


Selain pangan harus berbasis B3A ketika berpuasa, yang
tidak kalah pentingnya adalah makanan harus mengandung unsur
halalan toyyiban menurut agama Islam, seperti disebutkan dalam
Alqur’an Surah Al Baqarah: 168, ‚Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan: Karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛. Ayat ini merupakan
seruan kepada manusia untuk mengonsumsi makanan yang
halalan toyyiban. Halal dalam pandangan agama sebagaimana
dinaskan dalam Alqur’an, sedangkan makanan yang toyyiban atau
yang baik adalah makanan yang mengandung unsur-unsur yang
diperlukan oleh tubuh. Artinya selain baik dari sudut pemenuhan
kebutuhan gizi sesuai dengan kecukupan kebutuhan gizi, juga
mengandung arti makanan yang diolah secara baik dengan media
baik, serta dengan bahan campuran yang baik, serta menggunakan
bahan penolong yang juga baik.

pg. 201
Regulasi tentang jaminan produk halal menjadi sangat
penting sebagai jaminan ketenteraman umat Islam di Indonesia.
Apabila terjadi pelanggaran atas hukum positif pemerintah
tentang pangan halal, maka hal tersebut akan menjadi ranah
hukum sebagaimana pelanggaran atas Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ada beberapa unsur
yang harus diperhatikan dalam meneliti kehalalan dan ketoyyiban
sebuah produk pangan. Pertama, kehalalan suatu makanan yang
telah dinaskan dalam Alqur’an Surah Al Maidah: 3 yang artinya,
‚Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala, …dst.
Kedua, proses pengolahan atau pembuatan selain binatang
yang dinaskan, kita juga patut mengetahui unsur-unsur lain dalam
makanan, apakah tercampur atau tidak dengan unsur yang
diharamkan sesuai yang disyariatkan oleh agama Islam! Kehalalan
makanan modern saat ini sebenarnya memiliki tingkat kerawanan
yang sangat tinggi karena di produksi secara massal. Ketiga, bersih
dan bebasnya suatu produk makanan dan minuman dari bahan
yang mengandung zat yang membahayakan tubuh. Makanan
toyyib dapat diartikan sebagai makanan yang mengandung zat
yang dibutuhkan oleh tubuh. Tidak mengandung zat yang
membahayakan tubuh dan pikiran. (Dimuat di Harian Fajar, 19
Juni 2015).

pg. 202
6. Pentingnya Konsumsi Makanan Bergizi Seimbang

POLA makan merupakan perilaku paling penting yang dapat


mempengaruhi keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena kuantitas
dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan
mempengaruhi tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Agar
tubuh tetap sehat dan terhindar dari berbagai penyakit kronis atau
penyakit tidak menular sangat terkait dengan gizi dan pola makan
yang mengarah ke pola konsumsi gizi seimbang yaitu makanan
yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan
mineral.
Terkait dengan pola makan gizi seimbang di Indonesia
Penelitian Riskesdas (2010) menjelaskan. Pertama, konsumsi
sayuran dan buah-buahan pada kelompok usia di atas 10 tahun
masih rendah, yaitu masing-masing sebesar 36,7 dan 37,9 persen.
Kedua, kualitas protein yang dikonsumsi rata-rata per orang per
hari masih rendah karena sebagian besar berasal dari protein
nabati seperti serealia dan kacang-kacangan. Ketiga, konsumsi
makanan dan minuman berkadar gula tinggi, garam tinggi dan
lemak tinggi, baik pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan,
masih cukup tinggi. Keempat, konsumsi cairan pada remaja masih
rendah. Kelima, cakupan pemberian air susu ibu eksklusif (ASI
eksklusif) pada bayi 0-6 bulan masih rendah, hanya sekitar 61,5.
persen

Pilar Gizi Seimbang


Prinsip gizi seimbang terdiri dari 4 (empat) pilar yang pada
dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk menyeimbangkan
antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk dengan
memonitor berat badan secara teratur. Empat pilar tersebut
adalah: Pertama, mengonsumsi makanan beragam. Tidak ada satu

pg. 203
pun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan
mempertahankan kesehatan, kecuali air susu ibu (ASI) untuk bayi
baru lahir sampai berusia 6 bulan. Kedua, membiasakan perilaku
hidup bersih. Perilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip
gizi seimbang. Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi status gizi seseorang secara
langsung, terutama anak-anak. Misalnya, selalu mencuci tangan
dengan sabun dan air bersih mengalir sebelum makan.
Ketiga, melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang
meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk olahraga
merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara
pengeluaran dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi
dalam tubuh. Keempat, mempertahankan dan memantau berat
badan (BB) normal bagi orang dewasa salah satu indikator yang
menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam
tubuh adalah tercapainya berat badan yang normal, yaitu berat
badan yang sesuai untuk tinggi badannya.
Pesan gizi seimbang berlaku untuk seluruh masyarakat dari
berbagai lapisan. Pesan tersebut menganjurkan lima hal yang
terkait dengan pola konsumsi gizi seimbang. Pertama, makan
anekaragam makanan. Kualitas atau mutu gizi dan kelengkapan
zat gizi dipengaruhi oleh keragaman jenis pangan yang
dikonsumsi. Bahkan semakin beragam pangan yang dikonsumsi
semakin mudah tubuh memperoleh berbagai zat lainnya yang
bermanfaat bagi kesehatan. Kedua, banyak makan sayuran dan
cukup buah-buahan. Secara umum sayuran dan buah-buahan
merupakan sumber berbagai vitamin, mineral, dan serat pangan.
Sebagian vitamin dan mineral yang terkandung dalam sayuran dan
buah-buahan berperan sebagai antioksidan atau penangkal
senyawa jahat dalam tubuh. Mengonsumsi sayuran dan buah-
buahan merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan
gizi seimbang. WHO secara umum menganjurkan konsumsi

pg. 204
sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 g per
orang per hari, yang terdiri dari 250 g sayur dan 150 g buah.
Ketiga, biasakan mengonsumsi lauk pauk yang
mengandung protein tinggi. Lauk pauk terdiri dari pangan sumber
protein hewani dan pangan sumber protein nabati. Dalam
mewujudkan gizi seimbang kedua kelompok pangan ini perlu
dikonsumsi bersama kelompok pangan lainnya setiap hari, agar
jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi lebih baik dan
sempurna. Keempat, biasakan mengonsumsi anekaragam makanan
pokok. Makanan pokok adalah pangan mengandung karbohidrat
yang sering dikonsumsi atau telah menjadi bagian dari budaya
makan berbagai etnik di Indonesia sejak lama. Disamping
mengandung karbohidrat, dalam makanan pokok biasanya juga
terkandung antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin) dan
beberapa mineral. Kelima, batasi konsumsi pangan manis, asin dan
berlemak. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2013
tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam dan
lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan
siap saji menyebutkan bahwa konsumsi gula lebih dari 50 g (4
sendok makan), natrium lebih dari 2000 mg (1 sendok teh) dan
lemak/minyak total lebih dari 67 g (5 sendok makan) per orang per
hari akan meningkatkan risiko hipertensi, stroke, diabetes, dan
serangan jantung.

pg. 205
7. Kaitan Kurban, Asupan Gizi dan Tingkat Konsumsi
Daging

KURBAN adalah bentuk paling nyata dari keimanan seorang


Muslim untuk mengajak saudara yang lain turut bahagia dalam
menapaki hidup dengan berpegang teguh kepada tali Allah,
sehingga tercipta ukhuwah Islamiyah yang kuat dan kokoh. Karena
pada kurban, mewujudkan keimanan dan ketakwaan yang nyata
dari seorang hamba. Hari raya Idul Adha menjadi momen penting
untuk saling peduli dan menjunjung kebersamaan. Di hari itu pula
dimaknai sebagai ungkapan simpati kepada sesama manusia
terutama bagi yang tidak mampu. Hal itu diwujudkan melalui
pembagian daging kurban, seperti sapi dan kambing untuk
kemudian dibagikan kepada masyarakat secara merata. Pada saat
itu pula masyarakat berkesempatan mengonsumsi daging lebih
banyak dari hari biasanya.

Komposisi Gizi Daging


Daging merupakan bahan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi, karena daging mengandung protein yang cukup
tinggi, dengan kandungan asam amino esensial yang lengkap.
Selain itu, daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan (kemenkes), daging kambing dan sapi
(per 100 gram) mengandung 0,0 gram karbohidrat, 18,0 gram
lemak, 24,9 gram protein, dan 268,9 kalori. Protein dalam daging
berfungsi membangun dan memperbaiki jaringan tubuh,
memproduksi hormon, enzim dan zat kimia lain dalam tubuh. Zat
ini pun bertugas membentuk otot, tulang, kulit, dan darah, serta
sumber tenaga. Lemak berfungsi membantu penyerapan vitamin

pg. 206
yang larut lemak (A, D, E, dan K) dan mineral serta menjadi
sumber energi dan menunjang fungsi otak.
Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan
tahun 2013, kebutuhan protein dewasa rata-rata 65 gram per
orang per hari. Daging dapat dikonsumsi 2-3 kali dalam
seminggu. Namun cara memasak daging pun perlu diperhatikan.
Sebaiknya daging dimasak secara matang sempurna. Daging yang
digoreng akan menambah kadar lemak dari minyak goreng
sedangkan dibakar akan berisiko menambah zat karsinogenik
penyebab kanker. Untuk itu, sebaiknya daging dimasak dengan
cara direbus dan dikonsumsi bersama dengan sayur dan buah
agar memenuhi aspek keseimbangan. Menyantap daging
kurban pun diharapkan disertai sayur, lalapan dan buah.

Tingkat Konsumsi Daging


Konsumsi daging sapi Indonesia salah satu yang terendah
di ASEAN. Hari raya Idul Adha adalah salah satu momen bagi orang
yang tidak mampu untuk bisa mencicipi daging kurban. Daging
sapi masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Dengan harga mencapai Rp.120.000 per kilogram,
daging merupakan pilihan terakhir dalam hidangan kebanyakan
masyarakat Indonesia. Sebuah survei mencatat ada 30 persen
penduduk Indonesia yang status kesejahteraannya terendah,
berjumlah hingga 75,48 juta orang atau sekitar 30 persen dari
total penduduk. Kelompok masyarakat semacam ini punya
kemampuan pengeluaran yang rendah dan konsumsi daging yang
juga rendah.
Berdasarkan pengeluaran per kapita sebulan untuk daging
di daerah perkotaan dan pedesaan yang dirilis BPS 2013,
seseorang yang pengeluarannya Rp.100.000 – Rp.149.999 per
bulan maka porsi kemampuan membeli untuk daging hanya
Rp.193 per bulan. Artinya, sangat mustahil seseorang dengan
kemampuan pengeluaran sebesar itu bisa membeli daging yang
harganya sudah Rp.120.000 per kilogram. Bandingkan dengan

pg. 207
seseorang yang pengeluarannya di atas Rp.1 juta per bulan,
kemampuan membeli daging mereka Rp.36.985. Artinya mereka
punya kemampuan bisa membeli atau mengonsumsi daging
sebanyak 3,6 kilogram per tahun. Konsumsi ini masih jauh lebih
rendah dari rata-rata konsumsi daging secara global.
Data Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) bisa bicara banyak soal rendahnya konsumsi
daging orang Indonesia. Untuk konsumsi daging sapi 2015
misalnya, orang Indonesia hanya mampu mengonsumsi 1,9 kg
daging sapi per kapita per tahun. Jauh di bawah rata-rata
konsumsi daging sapi secara global yang berada di angka 6,4 kg
per kapita per tahun. Indonesia memang masih lebih baik dari India
yang hanya 0,5 kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia masih
kalah jauh dari negeri jiran Malaysia yang rata-rata warganya
mampu mengkonsumsi daging sapi 5,7 kg per kapita per tahun,
dan Arab Saudi yang mencapai 3,9 kg per kapita per tahun.
Kemenkes juga merilis angka yang cukup menohok, yaitu sampai
saat ini rata-rata konsumsi jeroan (non-daging) orang Indonesia
mencapai 2,1 gram per hari. Meski masih lebih rendah atau
setengahnya dari konsumsi daging, tapi konsumsi jeroan ini cukup
besar. Ironisnya pemerintah belum lama ini malah mengimpor
jeroan untuk menekan harga daging sapi. Sebuah keputusan
pintas yang makin membawa kalangan bawah justru jauh dengan
keterjangkauan dari daging sapi.

pg. 208
8. Tingkatkan Konsumsi Susu dengan Aneka
Olahannya

TINGKAT konsumsi susu segar nasional masih sangat rendah, yaitu


11,9 liter/orang/tahun, dibandingkan dengan tingkat konsumsi
internasional bahkan di tingkat ASEAN. Kondisi ini sangat
memprihatinkan mengingat susu segar merupakan sumber protein
dan gizi yang lengkap, sehingga di kenal sebagai 4 sehat 5
sempurna setelah kita mengonsumsi susu segar. Pertumbuhan
penduduk Indonesia yang mencapai 1,48 persen dengan jumlah
penduduk di bawah 30 tahun, membuat Indonesia menjadi pasar
potensial untuk produk susu. Kenyataannya, konsumsi susu dan
produk-produk olahan susu di Indonesia masih tergolong rendah.
Sehingga Peringatan Hari Susu Nusantara yang setiap 1 Juni
diperingati dan merupakan yang kelima kalinya diperingati pada
tahun 2015 ini, oleh pemerintah antara lain bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan industri dan konsumsi susu beserta
aneka ragam produk olahannya. Selain itu, bertujuan untuk
memperkuat sosialisasi konsumsi susu segar dan memperkenalkan
produk-produk olahan susu maupun peralatan proses
pengolahannya.
Dari sudut kesehatan, susu mengandung zat gizi yang
penting untuk tubuh. Susu mengandung protein, lemak, laktosa,
mineral, vitamin, dan sejumlah enzim. Kandungan protein, kalsium,
dan mineral di dalamnya, penting untuk proses pembentukan
tulang, gigi, dan otot. Susu juga berkhasiat mengatasi insomnia
dan gangguan pencernaan. Selain dari aspek gizi, susu merupakan
bahan makanan yang hampir sempurna dan merupakan makanan
alamiah bagi binatang menyusui yang baru lahir, dimana susu
merupakan satu-satunya sumber makanan pemberi kehidupan

pg. 209
segera setelah kelahiran. Susu adalah sekresi yang komposisinya
sangat berbeda dari komposisi darah yang merupakan asal susu.
Misalnya lemak susu, kasein, laktosa yang disintesa oleh alveoli di
dalam kambing, tidak terdapat di tempat lain maupun di dalam
tubuh sapi.

Komposisi Nilai Gizi


Air susu sebagai salah satu makanan yang tinggi nilai
gizinya, mempunyai sifat-sifat baik untuk menunjang kesehatan
manusia tetapi mempunyai sifat baik pula untuk media
pertumbuhan mikroorganisme. Ditinjau dari aspek komposisi nilai
gizinya, komposisi susu bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Normalnya rata-rata susu mengandung lemak 3,8 persen,
protein 3,2 persen, laktosa 4,7 persen, abu 0,85 persen, air 87,25
persen serta bahan kering 12,75 persen. Terkhusus kepada ternak
sapi sebagai sumber utama susu segar dan berbagai produk
olahan lainnya, mengandung asam lemak omega-3 (alfa linolenic
acid/ALA) dan omega-6 (linoleic acid/LA).
ALA dan LA adalah asam lemak esensial yang tidak bisa di
produksi oleh tubuh, sehingga mutlak harus diperoleh dari
makanan. Di dalam tubuh, ALA akan disintesis menjadi omega-3
lainnya yaitu asam dokosaheksaenoat/DHA dan asam
eikosapentaenoat/EPA. Sementara itu LA disintesis menjadi
omega-6 yakni asam amino (AA). AA dan DHA berperan penting
dalam pembentukan sel-sel otak dan proses penglihatan.
Sedangkan kandungan protein dalam susu sapi juga sangat
penting dalam proses pembentukan otot, dan adanya kalsium
dalam susu penting bagi proses pembentukan tulang agar tulang
tidak lekas mengalami pengeroposan.

Tingkatkan Konsumsi
Dalam rangka meningkatkan konsumsi susu segar di
Indonesia, secara nasional pemerintah telah dan akan
merealisasikan beberapa program. Pertama, sosialisasi minum

pg. 210
susu segar bagi anak-anak sekolah sampai pada tingkat posyandu.
Kedua, proses pengolahan yang memenuhi kaidah-kaidah good
manufacturing practices (GMP) setelah susu di perah, minimal
dilakukan proses pasteurisasi agar susu yang disajikan dalam
kondisi baik dan aman untuk dikonsumsi. Ketiga, penambahan
jumlah sapi perah agar produksi nasional susu segar bisa
ditingkatkan.
Tahun 2012 menunjukkan Indonesia hanya memiliki
600.000 ekor sapi perah di seluruh wilayah dan produktivitasnya
masih tergolong rendah. Saat ini, kebutuhan susu nasional masih
dicukupi dengan melakukan impor susu sebanyak 70 persen dari
kebutuhan nasional, dan hanya 30 persen yang dihasilkan oleh
peternak nasional. Oleh sebab itu, telah disusun road-map untuk
meningkatkan konsumsi susu di tanah air, yang antara lain dengan
peningkatan capacity building semua stakeholders yang berperan
dalam produksi susu dan penguatan kelembagaannya.
Untuk mewujudkan langkah konkrit dalam mempercepat
peningkatan konsumsi susu segar, perlunya dilakukan. Pertama,
sosialisasi untuk semua masyarakat tentang manfaat susu segar
bagi manusia. Upaya ini merupakan program penyegaran kembali
tentang pola makan 4 sehat 5 sempurna, yang menyarankan
konsumsi susu untuk kesempurnaan asupan gizi. Kedua, kampanye
tentang susu segar sebagai sumber protein hewani yang sangat
dibutuhkan manusia, karena di dalamnya terdapat asam amino
essensial yang hanya terdapat dalam protein hewani tersebut.
Ketiga, peningkatan industri susu nasional. Kegiatan ini bisa
dilakukan dengan membangun sistem industri susu tingkat
nasional dan di daerah, sehingga dengan kenaikan konsumsi susu
segar di masyarakat maka akan meningkatkan permintaan yang
harus dipenuhi oleh peternak susu segar hasil perahan kemudian
dikirimkan ke industri pengolahan susu untuk diproses secara
higienis sehingga siap konsumsi dan aman diminum.

pg. 211
Produk Olahan Susu
Pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh produk
olahan susu yang beranekaragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi
tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran dan transportasi.
Pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan
berkembangnya ilmu di bidang teknologi pangan. Dengan
demikian akan semakin banyak jenis produk susu yang di kenal.
Berbagai jenis produk olahan susu yang sudah dikenal masyarakat
diantaranya es krim, susu bubuk, susu kental, keju, mentega,
yoghurt, tahu susu, dodol susu, permen karamel susu, dadih, susu
sterilisasi, pasteurisasi dan fermantasi.
Selain produk tersebut, di Sulawesi Selatan (Sulsel) di kenal
beberapa produk olahan susu berbasis sumberdaya lokal, yaitu
dangke dan kripik dangke yang berasal dari Kabupaten Enrekang,
serta susu sinjai (SUSIN) yang berasal dari Kabupaten Sinjai. Karena
kedua daerah tersebut merupakan sentra pengembangan ternak
sapi perah di Sulsel. Misalnya, dangke merupakan produk olahan
khas Enrekang. Konon, tercipta karena masyarakat Enrekang
memang tak terbiasa mengonsumsi susu segar, sehingga mereka
membuat produk olahannya. Dangke terbuat dari susu dengan
penambahan getah atau perasan daun pepaya sebagai
penggumpal. Karena getah pepaya mengandung enzim proteinase
sulfuhydril yang berfungsi mengkatalisis reaksi-reaksi biologi
sehingga susu tersebut dapat menggumpal setelah pemanasan.
Selanjutnya untuk kripik dangke, merupakan produk
turunan dari dangke itu sendiri, menggunakan metode proses
fortifikasi karena menggunakan bahan baku tambahan seperti
tepung, kuning telur, gula, garam, ketumbar, dan bawang putih,
dengan proses pengeringan (penjemuran) dan penggorengan.
Sedangkan untuk produk susu yang di kenal dengan nama SUSIN,
merupakan susu olahan berbasis industri kecil di Sinjai dengan
menggunakan metode pasteurisasi atau sterilisasi dengan mesin
dan peralatan sederhana yang terjangkau oleh pengusaha kecil
dan menengah.

pg. 212
9. Wujudkan Makassar sebagai Tujuan Wisata Kuliner

WISATA kuliner didefinisikan sebagai wisata yang menyediakan


berbagai fasilitas pelayanan dan aktivitas kuliner yang terpadu
untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan wisatawan yang dibangun
untuk rekreasi, relaksasi, pendidikan dan kesehatan. Menurut
Hendrayana (2011) bahwa daya tarik wisata kuliner tergantung
pada keragaman aktivitas kuliner, makanan khas, lokasi yang
nyaman dan bersih, desain ruangan (venue) yang unik dan menarik,
pelayanan yang baik, pasar yang kompetitif, harga dan proporsi
nilai, peluang bersosialisasi, interaksi budaya kuliner, suasana
kekeluargaan, dan lingkungan yang menarik. Produk kuliner tidak
hanya menampilkan ‛makanan khas‛ akan tetapi dapat
berkembang menjadi suatu media interpretasi yang memperluas
wawasan wisatawan. Wawasan ini tidak hanya berkutat seputar
cita rasa atau bumbu apa yang dipakai dalam hidangan, namun
juga menambah pengetahuan tentang cara makan, gaya hidup,
tradisi, kebudayaan, kesejarahan, sampai unsur geografis yang
direpresentasikan lewat penyajian dan cita rasa hidangan
tersebut.

Peran Wisata Kuliner


Wisata kuliner adalah suatu perjalanan yang di dalamnya
meliputi kegiatan mengonsumsi makanan lokal dari suatu daerah.
Wisata kuliner juga merupakan perjalanan dengan tujuan
utamanya adalah menikmati makanan dan minuman dan atau
mengunjungi suatu kegiatan kuliner, seperti mengunjungi pusat
industri makanan dan minuman, serta untuk mendapatkan
pengalaman yang berbeda ketika mengonsumsi makanan dan
minuman.

pg. 213
Wisata kuliner mempunyai peranan yang penting, beberapa
alasan diantaranya yaitu: (1) hampir semua wisatawan makan di
luar selama melakukan kegiatan wisata, (2) aktivitas makan
merupakan aktivitas yang digemari wisatawan, (3) tagihan yang
lebih tinggi dari total tagihan wisatawan kemungkinan besar
dihabiskan untuk kebutuhan makan dan minum, (4) wisatawan
sangat senang berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi di luar
ruangan, (5) perhatian atau minat pada wisata kuliner menjangkau
pada semua kelompok umur, (6) masakan lokal merupakan salah
satu pendorong dalam memilih suatu destinasi wisata.
Makna yang terkandung pada wisata kuliner adalah
kreativitas, estetika, tradisi, dan kearifan lokal. Pertama,
kreativitas adalah aspek ide baru yang dapat memberikan nilai
tambah pada sebuah makanan dan minuman. Kreativitas ini dapat
tertuang melalui kreasi resep, kreasi cara pengolahan, dan kreasi
cara penyajian. Kedua, estetika adalah aspek tampilan dari sebuah
makanan dan minuman yang ditata dengan memperhatikan unsur
keindahan sehingga menjadikan produk kuliner tersebut memiliki
nilai lebih dan mampu menggugah selera konsumen untuk
menikmatinya.
Ketiga, tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan kebiasaan dalam mengolah
dan mengonsumsi makanan dan minuman. Unsur tradisi ini sangat
penting dalam menjaga warisan budaya kuliner Indonesia.
Keempat, kearifan lokal adalah identitas suatu daerah berupa
kebenaran yang telah tertanam dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara
tradisional.

Kesiapan Kota Makassar


Makassar mempunyai potensi dalam hal pengembangan
makanan dan minuman tradisional yang khas, yang dapat

pg. 214
dikembangkan sebagai wisata kuliner (culinary tourism). Model
kuliner yang dapat dikembangkan di Kota Makassar yaitu:
makanan pembuka (appetizer) antara lain: rokok-rokok unti, tumpi,
cucur bayao, jalangkote, dokok-dokok cangkuling dan barongko,
makanan utama (main course) diantaranya coto Makassar, sub
saudara, sub konro, pallu basa, songkolo bagadang, nasu palekko,
burasa dan mie titi, makanan penutup (dessert) antara lain: tape
ketan, tape ubi, kolak pisang/ubi dan kue biji nangka, minuman
yaitu: es pallu butung, es pisang ijo dan sarabba, sedangkan untuk
camilan antara lain: keripik singkong/pisang. bipang, benno, baje
bandang, kue karrasa, dan kue dange.
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi permasalahan
seputar kuliner di Kota Makassar meliputi: (1) kuliner apa sajakah
yang dapat dikembangkan di Kota Makassar sebagai identitas
sosial budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan
masyarakat, (2) bagaimanakah klasifikasi kuliner di wilayah Kota
Makassar sebagai identitas sosial budaya yang mampu
meningkatan taraf kehidupan masyarakat, (3) bagaimana analisis
budaya kuliner di wilayah Kota Makassar sebagai identitas sosial
budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan masyarakat,
dan (4) temuan konsep apa yang dapat dijelaskan berkaitan
dengan kuliner di wilayah Kota Makassar sebagai identitas sosial
budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan kuliner, kearifan lokal akan membentuk
karakter kuliner di Kota Makassar yang harus mampu diangkat dan
dikenalkan kepada masyarakat luas, melalui hadirnya Kawasan
Kuliner Pecinan (KKP) dan Kawasan Kuliner BTP (KKB) dalam
rangka mewujudkan Makassar sebagai kota tujuan wisata kuliner,
dengan menyajikan banyak makanan khas kota ini yang telah
dikenal luas. (Dimuat di Harian Fajar, 19 Desember 2017).

pg. 215
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.
Asean Economic Community Blueprint. 2008. Association of
Southeast Asian Nations. Badan Pusat Statistik. 2013.
Indikator Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Jakarta: Biro
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2001. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota 1998-2001. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Ciputra. 2009. Quantum Leap Entrepreneurship; Mengubah Masa
Depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Jakarta: PT. Alex
Media Komputindo.
Damardjati, D. S. 1987. Prospek Peningkatan Mutu Beras di
Indonesia. Jurnal dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Departemen Pertanian RI. 2005. Agrowisata Meningkatkan
Pendapatan Petani. Diakses 17 April 2006:
http://www.database.deptan.go.id.
Dimyati, A. 2002. Dukungan Penelitian dalam Pengembangan
Hortikultura Organik. Prosiding Seminar Nasional dan
Pameran Pertanian Organik. Jakarta: hh. 109-128.
Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil
dan Menengah; Rangkuman Pemikiran. Buletin Infokop, No.
25 Tahun XX, hh. 121 – 132.
E. Gumbira Said. 2009. Review Kajian, Penelitian dan
Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional: Kelapa
Sawit, Kakao dan Gambir. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian, Vol 19 No. 1. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

pg. 216
FAO. 2006. Rice Market Monitor.Vol 9 No. 1: Maret 2006.
FAO. 2008. The State of Food and Agriculture in Asia and the Pacific
Region 2008.
FAO. 2010. Crop Prospects and Food Situation. No. 4 December
2010.
Fardiaz, Srikandi. 1996. Aplikasi HAACP dalam Industri Pangan.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Gunarto, H. A. 1998. Mempelajari Potensi Sumberdaya Pertanian
sebagai Basis Pengembangan Agrowisata di Kabupaten
Cianjur. Majalah Ilmiah Ilmu dan Wisata. Jakarta: Universitas
Sahid.
Hawkins dan Van den Ban. 1999. Penyuluhan Pertanian.
Yogyakarta: Kanisius.
Hendrayana, H. 2011. Cekungan Air Tanah Yogyakarta – Sleman.
Yogyakarta: Universitas mGadjah Mada.
Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti. 2007. Dampak
Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah
Penduduk Miskin. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diakses
21 Mei 2008. http://www.google.co.id.
Koswara, S. 2008. Kacang-Kacangan. Diakses 19 Agustus 2010.
www.ebookpangan.com
Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi
Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 No.
2, Juni 2007. Hh. 167 – 182.
Mulyandari, R. S. dan E. E. Ananto. 2005. Teknik Implementasi
Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan
Lokal P4MI. Jurnal Informatika.Vol. 14, hh.802-817.

pg. 217
Pitana, I Gede. 2002. Kebijakan dan Strategi Pemerintah Daerah Bali
dalam Pembangunan Pariwisata. Makalah Seminar Nasional
‚Pariwisata Bali the Last or the Lost Paradise‛,
Pembangunan Pariwisata yang Berkelanjutan. Denpasar:
Universitas Udayana.
Pranadji, T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan
Masyarakat Pedesaan dalam Pengendalian Agroekosistem
Lahan Kering. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 24 No. 2, hh.30-39.
Praptiwi, Harapini, M., & Astuti, I. 2006. Nilai Peroksida Aglaia
argentea Blume, A. silvestria (M. Roemer) Merr dan A.
tomentosa Teisjm, & Binn. Biodiversitas, Vol. 7 no. 3, hh. 242
– 244.
Rachmat, M. 2010. Perspektif Pengembangan Industri Pengolahan
Pangan di Indonesia. Diakses 13 September 2011.
http://www.google.co.id.
Rahman, S., Salengke, S., Tawali, A., & Mehendradatta, M. 2017.
The Chemical Content of the Starch of Palado Seed (Aglaia
sp.) with Pregelatinization, Cross-linking, and Acetylation
Modifications. International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research. Vol. 32, No. 3, hh. 305 – 316.
Rahman, Syamsul. 2013. Analisis Proksimat Biji Palado (Aglaia sp)
sebagai Alternatif Sumber Pangan Berbasis Lokal. Prosiding
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI), 26 – 29 Agustus 2013. Jember, Indonesia.
ISBN. 978-602-49-5, hh. 279 – 288.
Ravik, Karsidi. 2001. Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Mediator. Vol 2.
No. 1, hh. 115 – 125.
Rayes, Luthfi. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan.
Yogyakarta: Penerbit Andi.

pg. 218
Soetomo. 2013. Pemberdayaan Masyarakat; Mungkinkah Muncul
Antitesisnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudibyo, A. 2012. Peran Cokelat sebagai Produk Pangan Derivat
Kakao yang Menyehatkan. Jurnal Riset Industri. Vol 6. No. 1,
hh. 23 – 40.
Sumaryanto dan Sudaryanto, T. 2005. Pemahaman Dampak Negatif
Konversi Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan Strategi
Pengendaliannya. Bogor: Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. ISBN. 979-8637-31-3. hh. 22 – 32.
Supriyati, Setiyanto A., Suryani E., dan Tarigan H. 2006. Analisis
Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengembangan
Agroindustri. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Departemen
Pertanian RI. Diakses 17 April 2008.
http://www.google.co.id.
Suryana, Achmad. 2008. Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan
Pangan, dan Swasembada Beras. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Vol 1. No. 1, hh. 1 – 16.
Sutjipta, I Nyoman. 2001. Agrowisata. Diktat Magister Manajemen
Agribisnis. Denpasar:Universitas Udayana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006
Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (SP3K).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Pangan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

pg. 219
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan.
Wahab, A. 2016. Keberpihakan Kebijakan Pemerintah pada Sektor
Usaha Rakyat Perspektif Ekoonomi Islam (Studi Kasus
Keberlangsungan Pasar Tradisional). Jurnal Peradaban Islam.
Vol 12. No. 1, hh. 167 – 186.
World Health Organization, UNICEF. 2003. Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding. Geneva: WHO, 2003.
Yuharti, Nurhayati. 2009. A to Z Food Suplement. Yogyakarta:
Penerbit Andi.

pg. 220
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Dr. Syamsul Rahman, S.TP, M.Si


dilahirkan di Talondo-Mamuju pada
tanggal 31 Desember 1968. Setelah lulus
dari Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta)
Universitas Pancasakti (UNPACTI) 1994,
penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fateta UNPACTI.
Pada tahun 2001 penulis memperoleh
gelar Magister Sains dari Program Studi
Agribisnis, Pascasarjana UNHAS. Tahun
2002 pindah mengajar dan menjadi dosen di Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar (UIM).
Penulis melanjutkan studi di UNHAS untuk program doktor bidang
ilmu dan teknologi pangan. Gelar doktor diperoleh pada tahun
2017, setelah itu kembali aktif mengajar, meneliti, dan
membimbing mahasiswa baik program strata satu (S1) maupun
program magister (S2) di UIM dengan mata kuliah Teknologi
Penanganan dan Pengolahan Hasil Pertanian, Pangan dan Gizi,
Manajemen Agribisnis, Agroentrepreneurship, Agribisnis dan
Ekonomi Kreatif. Dalam perjalanan karir, penulis banyak
melakukan penelitian yang berfokus pada penelitian ilmu dan
teknologi pangan khususnya teknologi tepung dan pati sejak 2011
- 2018. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 11 publikasi di
jurnal ilmiah nasional dan internasional. Menghasilkan sekitar 65
artikel ilmiah populer, opini, dan artikel ringan lainnya, khususnya
di bidang pertanian dan pangan yang telah dipublikasi di berbagai
media cetak dan online. Penulis juga terlibat sebagai anggota
organisasi profesi yaitu Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI) dan Indonesian Food Technologists (IFT) sampai
sekarang.

pg. 221
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai