net/publication/357936356
CITATIONS READS
2 54
5 authors, including:
Syamsul Rahman
Universitas Islam Makassar
20 PUBLICATIONS 49 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Syamsul Rahman on 19 January 2022.
Syamsul Rahman
PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
RAHMAN, Syamsul
Membangun Pertanian dan Pangan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan/oleh
Syamsul Rahman.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Agustus 2018.
xii, 221 hlm.; Uk:15.5x23 cm
ISBN 978-602-475-684-0
1. Pertanian I. Judul
630
KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
pg. v
karya ini dapat disusul dengan karya-karya lainnya dari Dr. Syamsul
Rahman, S.TP, M.Si sebagai perwujudan sumbangsih pemikiran
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
pengembangan pertanian dan pangan di Indonesia.
pg. vi
KATA PENGANTAR
pg. vii
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian dan
pangan di Indonesia.
pg. viii
DAFTAR ISI
Bagian Satu
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN ................................. 1
1. Arti Pentingnya Lahan Pertanian bagi Petani .......................... 2
2. Menggenjot Produksi dengan Padi Hibrida .............................. 5
3. Peran Teknologi Pertanian dalam Membangun
Pertanian ........................................................................................... 9
4. Konsep Tripilar dalam Membangun Pertanian
Pedesaan ........................................................................................ 12
5. Menurunnya Minat Generasi Muda masuk PT
Pertanian ........................................................................................ 20
6. Era Kebangkitan Penyuluh Pertanian ...................................... 25
7. Saatnya Inovasi Pertanian Berbasis ICT................................... 29
8. Sulawesi sebagai Kawasan Pengembangan Jagung ............ 32
9. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi
Pangan............................................................................................. 36
10. Menyikapi Kebijakan Impor Beras ............................................ 42
11. Pemimpin yang Pro Petani dan Pertanian .............................. 46
12. Menyikapi Ancaman Krisis Pangan Global .............................. 49
13. Dampak Kenaikan Harga Pangan Dunia.................................. 54
pg. ix
Bagian Kedua
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI ....................... 58
1. Prospek Pengembangan Agroindustri Sawit ......................... 59
2. Potensi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Barat .............. 63
3. Orientasi Pengembangan Agribisnis Sulawesi
Selatan............................................................................................. 68
4. Pengembangan Biofuel Berbasis Agribisnis .......................... 72
5. Potensi Pengembangan Agroindustri Berbasis
Kelapa .............................................................................................. 75
6. Prospek UMKM Bidang Agroindustri ....................................... 79
7. Keunggulan Produk Olahan Kakao bagi Kesehatan............. 83
8. Tingkatkan Konsumsi Coklat melalui Hilirisasi
Industri Kakao................................................................................ 86
9. Bangkitkan Spirit Agroentreprenuership Generasi
Muda ................................................................................................ 89
10. Memacu Ekonomi Kreatif Berbasis Kuliner ........................... 92
Bagian Ketiga
KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN ........................................ 95
1. Menyoal Kebijakan Ketahanan Pangan ................................... 96
2. Diversifikasi Mewujudkan Ketahanan Pangan ...................... 99
3. Urgensi Lahan untuk Mewujudkan Kedaulatan
Pangan........................................................................................... 102
4. Pengembangan Pangan Lokal Mewujudkan
Kadaulatan Pangan .................................................................... 105
5. Momentum Kebangkitan Kedaulatan Pangan .................... 110
6. Percepatan Kedaulatan Pangan melalui
Pemberdayaan Petani ............................................................... 115
7. Percepatan Penganekaragaman Pangan dengan
Sukun ............................................................................................. 122
pg. x
8. Menyiasati Melambungnya Harga Kebutuhan
Pangan........................................................................................... 126
9. Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Minimarket ........... 129
10. Biji Palado sebagai Sumber Karbohidrat Alternatif ........... 133
Bagian Keempat
MUTU DAN KEAMANAN PANGAN ....................................................... 136
1. Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan .......................... 137
2. Standar Mutu dan Tantangan Keberhasilan EPA ................ 142
3. Kesiapan Mutu dan Keamanan Pangan Menghadapi
AEC ................................................................................................. 147
4. Permasalahan Mutu dan Produktivitas Kakao .................... 152
5. Mencermati Mutu Beras yang Beredar di Pasaran ............. 155
6. Ekspor Buah-Buahan Terkendala Mutu dan
Keamanan Pangan ...................................................................... 158
7. Dampak Penggunaan Plastik sebagai Bahan
Kemasan........................................................................................ 161
8. Ancaman di Balik Penggunaan BTP Terlarang .................... 168
9. Keamanan Pangan di Balik Kasus Formalin .......................... 173
10. Bahaya Penggunaan Rhodamin B dan Boraks ...................... 177
Bagian Kelima
ASPEK POLA KONSUMSI PANGAN DAN GIZI .................................... 183
1. Kaitan Gizi Buruk, Pangan dan Kemiskinan .......................... 184
2. Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas ........................ 188
3. Pentingnya Konsumsi Pangan Berserat saat
Berpuasa ....................................................................................... 192
4. Batasi Konsumsi Pangan Berkadar GGL Tinggi.................... 195
5. Sehat dan Produktif Berpuasa dengan Pangan B3A.......... 199
6. Pentingnya Konsumsi Makanan Bergizi Seimbang ............ 203
pg. xi
7. Kaitan Kurban, Asupan Gizi dan Tingkat Konsumsi
Daging ........................................................................................... 206
8. Tingkatkan Konsumsi Susu dengan Aneka
Olahannya..................................................................................... 209
9. Wujudkan Makassar sebagai Tujuan Wisata Kuliner .......... 213
pg. xii
Bagian Satu
pg. 1
1. Arti Pentingnya Lahan Pertanian bagi Petani
pg. 2
Arti lahan bagi Petani
Sumberdaya lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang
terdiri atas iklim, topografi, hidrologi dan vegetasi dimana pada
batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan
lahan (Rayes, 2007). Dengan demikian dalam pengertian lahan,
tanah termasuk didalamnya. Rayes (2007) mendefinisikan istilah
tanah dengan memiliki tiga pengertian. Pertama, tanah sebagai
media tumbuh tanaman. Kedua, tanah sebagai benda alami tiga
dimensi di permukaan bumi yang terbentuk dari interaksi antara
bahan induk, iklim, organisme, dan topografi dalam kurun waktu
tertentu, serta Ketiga, tanah sebagai ruangan atau tempat di
permukaan bumi yang digunakan manusia untuk melakukan segala
macam aktivitasnya.
Lahan memiliki berbagai manfaat, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Iqbal dan Soemaryanto (2007)
menyatakan bahwa lahan difungsikan sebagai tempat manusia
beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang
pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok
tanam (pertanian dan perkebunan), selain itu lahan pertanian juga
bermanfaat baik secara sosial dan ekonomi maupun lingkungan.
Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan
tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya
lainnya. Sedangkan secara ekonomi, lahan pertanian adalah
masukan paling esensial dalam keberlangsungan proses produksi.
Sementara secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya
relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan.
Tantangan utama masyarakat abad 21 adalah bagaimana
mengatasi kesenjangan yang semakin besar antara permintaan
dan ketersediaan sumber daya alam seperti lahan dan air yang
semakin langka. Kedua sumber daya tersebut sangat vital bagi
kehidupan masyarakat, termasuk peranannya untuk mendukung
ketahanan pangan nasional.
pg. 3
Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan ancaman yang serius terhadap
ketahanan pangan nasional, karena dampaknya bersifat
permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain
di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali
menjadi sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah
baru di luar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengonpensasi
kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama
untuk membangun lahan persawahan dengan tingkat
produktivitas yang tinggi.
Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan
penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu
menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan
permanen. Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan
lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul
akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna
tanah. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
tataguna tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi
lahan, khususnya lahan pertanian. Tantangan yang tidak ringan
tentunya bagi pemerintah dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya lahan (agraria). (Dimuat di Harian Fajar, 24
September 2013).
pg. 4
2. Menggenjot Produksi dengan Padi Hibrida
pg. 5
Hal tersebut ditunjang dengan dilepaskannya 29 varietas
padi hibrida oleh pemerintah. Namun dari 11 perusahaan swasta
dan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang menyediakan
benih, baru 5 lembaga yang mencoba memproduksi benihnya di
dalam negeri. Dengan menanam padi hibrida, diharapkan dapat
menjadi solusi untuk menggenjot peningkatan produksi padi di
Indonesia. Dari pengalaman petani yang sudah mencoba menanam
benih padi hibrida berlabel Arize Hibrida Hibrindo R-1, produksinya
cukup tinggi, mencapai 10 – 12 ton per hektar gabah kering panen
(GKP). Sementara produksi rata-rata tingkat nasional cuma 6 ton
GKP per hektar.
pg. 6
mengalihkan subsidi ke lembaga penelitian untuk mendorong
penemuan varietas baru dan riset lain di tiap provinsi. Indonesia
bisa menghemat waktu dalam pengembangan padi hibrida.
Undang saja pakar-pakar hibrida dari Tiongkok dan negara lain
untuk melatih para peneliti lokal di setiap provinsi. Latih petani
dalam budidaya benih padi hibrida karena disinilah salah satu
hambatan yang cukup besar. Bentuklah basis produksi benih pada
areal dan oleh petani terampil yang tetap dalam jangka panjang.
pg. 7
Lain lagi pengalaman Yos N. Wartabone, petani asal
Suwawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalao. Akhir
Oktober 2006 lalu, memanen padi Hibrida Arize Hibrindo R-1,
hasilnya sangat memuaskan. Menurut Pak Yos, baru kali ini
hasilnya lebih dari 11 ton GKP per hektar, dibanding sebelumnya
hanya 4 – 5 ton pada lahan yang sama. Saat ini petani asal
Gorontalo ini telah menyiapkan 25 hektar lahan untuk menanam
Arize Hibrindo R-1. Kepercayaannya terhadap jenis padi hibrida
tersebut, tidak bisa diragukan karena sudah terbukti paling
unggul. Disamping hasilnya tinggi, hama penyakit kurang, serta
rasa nasinya lebih enak, harum, dan tidak keras bila dingin.
Selain itu kebutuhan benihnya cukup 15 kg per hektar,
karena cukup satu bibit perlubang tanam dan anakannya banyak.
Akarnya panjang, dan responsif terhadap pupuk, batang besar
tidak mudah roboh, daun hijau gelap, serta malai panjang terisi
lebih dari 350 butir. Daun bendera panjang tidak disukai hama
burung. Arize pun bisa ditanam pada segala musim asalkan
tersedia air.
Karena itu, wajar bila petani yang berjiwa wirausaha, untuk
beralih dan memilih mengembangkan padi hibrida, terutama
sawah yang telah beririgasi teknis. Pengalaman petani yang telah
lebih dahulu menanamnya, disamping hasilnya jauh lebih
menguntungkan hingga 35 persen dari padi biasa (non-hibrida),
juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan
pada akhirnya dapat mengentaskan petani dari garis kemiskinan.
(Dimuat di Harian Fajar, 26 Pebruari 2007).
pg. 8
3. Peran Teknologi Pertanian dalam Membangun
Pertanian
pg. 9
berpeluang untuk menekan biaya produksi, menekan harga jual,
sehingga akan berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing.
Karena itu, teknologi pertanian yang harus dikembangkan sangat
beragam, dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, dibutuhkan
bioteknologi untuk mengembangkan benih, dan teknologi
budidaya yang tepat sasaran, yaitu teknologi yang sesuai
(appropriate) untuk segmen tertentu, apakah petani dengan skala
kecil, menengah atau besar. Di sektor hilir, teknologi penanganan
bahan, pengolahan dan pengemasan merupakan teknologi yang
dibutuhkan.
Pengembangan teknologi harus berorientasi pada sasaran,
sesuai dengan kebutuhan (client oriented demand). Tak jadi soal
apakah teknologi sederhana bahkan tradisional, menengah atau
modern, yang penting dibutuhkan masyarakat. Salah satu persepsi
yang salah selama ini adalah pangan diidentikkan dengan beras.
Sehingga konsumsi beras digenjot dan segala daya upaya
difokuskan pada peningkatan produksi beras. Sementara
Indonesia sebenarnya memiliki daerah-daerah yang kaya potensi
makanan pokok (staple food) lain, misalnya ubi jalar di Papua, sagu
di Maluku, jagung di Madura dan sebagainya. Padahal pemerintah
pernah mengeluarkan Inpres tentang penganekaragaman pangan,
namun sosialisasi dan implementasinya tidak jalan.
Kasus lain yang berkaitan dengan pentingnya pemanfaatan
dan penguasaan teknologi pertanian adalah kenaikan bobot rata-
rata sapi pedaging Indonesia hanya sebesar 0,5 kg/hari/ekor,
dengan input teknologi yang tepat berpotensi untuk ditingkatkan
mendekati produktivitas ternak sapi di Australia sebesar 1,55
kg/hari/ekor. Demikian pula dengan produktivitas usahatani padi
yang di Indonesia baru sebesar 4,5 ton/ha. Dapat dilipat gandakan
menyamai produktivitas di Vietnam, yaitu sebesar 8 ton/ha
dengan mengaplikasikan teknologi yang tepat.
pg. 10
pembangunan pertanian (agribisnis) yang dapat diandalkan adalah
inovasi teknologi. Inovasi teknologi sangat diperlukan untuk
meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas, sehingga
dapat memacu tidak hanya pertumbuhan produksi, tetapi juga
sekaligus meningkatkan daya saing. Inovasi teknologi juga
diperlukan dalam pengembangan produk (product development)
dalam rangka peningkatan nilai tambah, diversifikasi produk dan
transformasi produk sesuai dengan preferensi konsumen. Dengan
demikian, inovasi teknologi mempunyai peran yang sangat vital
untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang dinamis, efisien, dan berdaya saing tinggi.
Suryana (2008) menjelaskan ada lima syarat mutlak yang
harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat tumbuh-
berkembang secara progresif. Pertama, adanya pasar bagi produk-
produk pertanian (agribisnis). Kedua, teknologi yang senantiasa
berubah. Ketiga, tersedianya sarana dan peralatan produksi secara
lokal. Keempat, adanya perangsang produksi bagi produsen, dan
Kelima, adanya fasilitas transportasi. Terkait dengan teknologi
yang senantiasa berubah adalah inovasi teknologi (inovasi re-
inovasi teknologi), agar sektor pertanian dapat berkembang.
Tanpa adanya inovasi teknologi secara terus menerus,
pembangunan pertanian akan terhambat, walaupun keempat
syarat mutlak lainnya telah terpenuhi.
Tak kalah pentingnya, teknologi yang akan dikembangkan
sebaiknya yang telah berakar di masyarakat. Contohnya Jepang,
negara itu sangat maju di bidang bioteknologi, karena teknologi
fermentasi secara tradisional telah berkembang sejak lama.
Banyak industri berbasis produk biotek, dulunya merupakan
industri fermentasi kecap. Teknologi serupa sebenarnya juga
berakar di Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan.
Misalnya, industri komponen pembangkit citarasa dapat
dikembangkan dari industri kecap, tauco, atau tape. (Dimuat di
Media Online Masalembo.com, 21 Maret 2018).
pg. 11
4. Konsep Tripilar dalam Membangun Pertanian
Pedesaan
pg. 12
kelestarian sumberdaya alam. Lebih jelasnya gambaran penerapan
konsep tripilar tersebut, ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
AGRIBISNIS
(Pilar I)
Pembangunan
Pertanian
Pedesaan
Berkelanjutan
AGROINDUS AGROWISATA
TRI (Pilar II) (Pilar III)
pg. 13
dimiliki agribisnis. Pertama, dalam pembentukan produk domestik
bruto (PDB), sektor agribisnis merupakan penyumbang nilai
tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional,
diperkirakan sebesar 45 persen nilai tambah. Kedua, sektor
agribisnis merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar
diperkirakan sebesar 74 persen total penyerapan tenaga kerja
nasional. Ketiga, sektor agribisnis juga berperan dalam penyediaan
pangan masyarakat. Keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan pokok beras telah berperan secara strategis dalam
penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) yang sangat
erat kaitannya dengan ketahanan sosial (socio security), stabilitas
ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional
(national security). Keempat, kegiatan agribisnis umumnya bersifat
resource based industry. Tidak ada satupun negara di dunia seperti
Indonesia yang kaya dan beraneka sumberdaya pertanian secara
alami (endowment factor).
Kelima, agribinis mempunyai keterkaitan ke depan dan
kebelakang yang sangat besar (backward and forward linkages)
yang sangat besar. Keenam, dalam era globalisasi perubahan
selera konsumen terhadap barang-barang konsumsi pangan
diramalkan akan berubah menjadi cepat saji dan pasar untuk
produksi hasil pertanian diramalkan pula terjadi pergeseran dari
pasar tradisional menjadi model kentucky. Ketujuh, produk
agroindustri umumnya mempunyai elastisitas yang tinggi,
sehingga makin tinggi pendapatan seseorang makin terbuka pasar
bagi produk agroindustri.
Kedelapan, kegiatan agribisnis umumnya menggunakan
input yang bersifat renewable, sehingga pengembangannya
melalui agroindustri tidak hanya memberikan nilai tambah namun
juga dapat menghindari pengurasan sumberdaya sehingga lebih
menjamin sustainability. Kesembilan, teknologi agribisnis sangat
fleksibel yang dapat dikembangkan dalam padat modal ataupun
padat tenaga kerja, dari manajemen sederhana sampai canggih,
dari skala kecil sampai besar. Kesepuluh, Indonesia punya
pg. 14
sumberdaya pertanian yang sangat besar, namun produk
pertanian umumnya mudah busuk, banyak makan tempat, dan
musiman.
Peran Agroindustri
Tujuan pembangunan agroindustri tidak dapat dilepaskan
dari peranan agroindustri itu sendiri. Peranan agroindustri bagi
Indonesia yang saat ini sedang menghadapi masalah pertanian
antara lain adalah: (1) menciptakan nilai tambah hasil pertanian di
dalam negeri, (2) menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya
dapat menarik tenaga kerja dari sektor industri hasil pertanian
(agroindustri), (3) meningkatkan penerimaan devisa melalui
peningkatan ekspor hasil agroindustri, (4) memperbaiki
pembagian pendapatan, dan (5) menarik pembangunan sektor
pertanian.
Hasil analisis Supriyati dkk. (2006) menunjukkan bahwa
pangsa pasar agroindustri dalam menciptakan nilai tambah sektor
industri pada priode 1995 – 2003 relatif tetap sekitar 25 persen,
walau sempat terjadi penurunan pada tahun 1998 akibat adanya
krisis ekonomi. Demikian juga dalam penyerapan tenaga kerja
relatif tetap. Pangsa industri manufaktur meningkat dari 33,24
persen pada tahun 1995 menjadi 34,10 persen pada tahun 2003,
namun peningkatan pangsa pasar nilai tambah tidak diikuti oleh
peningkatan pangsa penyerapan tenaga kerja, yang relatif tetap
sekitar 29 persen.
Analisis Rachmat (2010) mengenai peranan agroindustri
menurut skala usaha menunjukkan adanya ketimpangan
pertumbuhan yang semakin besar antara agroindustri skala rumah
tangga, kecil, sedang, dan besar. Agroindustri skala sedang/besar
yang berjumlah 0,5 persen dari jumlah industri dan hanya
menyerap tenaga kerja 29 persen ternyata memberikan pangsa
output 88 persen dan pangsa nilai tambah 91 persen. Sementara
itu, agroindustri skala rumah tangga yang berjumlah 95 persen
pg. 15
dan menampung 60 persen tenaga kerja, hanya menghasilkan nilai
output 7 persen dan nilai tambah 6 persen saja.
Paparan diatas tidak secara spesifik menunjukkan pada
segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan.
Pengembangan agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu
dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumberdaya,
agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa
serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis
mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah
tropis yang memilki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar.
Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang
tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai
ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10 persen, diantaranya
kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete, dan kakao (Djamhari, 2004).
Selanjutnya, pengembangan agroindustri akan sangat
strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan.
Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir
(backward and linkages), serta pengintegrasian kedua sektor
tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan
konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi
konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga
masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek. Dengan
demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak
yang terkait. Keterpaduan dan keberlanjutan inilah yang
menempatkan usaha kecil menengah (UKM) yang tergabung
dalam sentra-sentra produksi, menjadi variabel penting. Hal ini
memungkinkan karena agroindustri, yang memproduksi
kebutuhan konsumsi masyarakat memilki ‚multiplier effects‛ tinggi
karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat.
pg. 16
produk, menikmati pertunjukan, mengambil bagian aktivitas,
makan suatu makanan atau melewatkan malam bersama di suatu
areal perkebunan atau taman. Sementara definisi lain
mengatakan, agritourism adalah sebuah alternatif untuk
meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali
potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (Rai
Utama, www.geogle.co.id). Selanjutnya Sutjipta (2001)
mendefinisikan agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang
terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata
sekaligus pertanian, dalam kaitannnya dengan pelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.
Secara umum khususnya di Indonesia, agrowisata atau
agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan
pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai
obyek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan,
pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya
lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan
pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta
memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous
knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi
lingkungan alaminya.
Departemen Pertanian (2005) menjelaskan bahwa
agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi
(ecotourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak
merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi
dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di
lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan. Antara
ecotourism dan agritourism berperan pada prinsip yang sama.
Prinsip-prinsip tersebut, menurut Pitana (2002) adalah sebagai
berikut: (1) menekankan serendah-rendahnya dampak negatif
terhadap alam dan kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan
wisata, (2) memberikan pembelajaran kepada wisatawan
mengenai pentingnya suatu pelestarian, (3) menekankan
pg. 17
pentingnya bisnis yang bertanggung jawab, bekerjasama dengan
unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian,
(4) mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk
tujuan pelestarian, manajemen sumberdaya dan kawasan yang
dilindungi, (5) memberi penekanan pada kebutuhan zone
pariwisata regional dan penataan serta pengelolaan tanam-
tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan yang ditetapkan
untuk tujuan wisata, (6) memberikan penekanan pada kegunaan
studi-studi berbasis lingkungan dan sosial, dan program-program
jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan serendah-
rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan, (7)
mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk daerah,
pebisnis, dan masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di
sekitar wilayah yang dilindungi, (8) berusaha untuk meyakinkan
bahwa perkembangan pariwisata tidak melampaui batas-batas
sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan
para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal, dan
(9) mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi
tumbuh-tumbuhan dan binatang liar, dan menyesuaikannya
dengan lingkungan alam dan budaya.
Pentingnya pengembangan agrowisata pada era dewasa
ini, karena manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan,
rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek
pengembangan agrowisata diperkirakan sangat cerah.
Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk
ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau
lanscap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata
ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang
khas dan bernilai sejarah atau naskah dan visualisasi sejarah
penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil pertanian.
Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang
khas dan sesuai dengan kapasitas dan tipologi lahan untuk
mendukung suatu sistem usahatani yang efektif dan
pg. 18
berkelanjutan. Komponen utama pengembangan agrowisata
ruangan terbuka dapat berupa flora dan fauna yang
dibudidayakan maupun liar, teknologi budidaya dan pascapanen
komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi
budaya pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar
belakang pertanian dengan kenyamanan yang dapat dirasakan.
Gunarto A. (1998) menjelaskan basis pengembangan studi
model agrowisata pedesaan terdiri dari dua basis pengembangan,
yaitu konservasi (conservation based tourism) dan masyarakat
(community based tourism). Berbasis konservasi dengan pengertian
tetap mempertahankan keaslian agro-ekosistem dengan
mengupayakan kelestarian sumberdaya alam, lingkungan hidup,
sejarah, nilai budaya dan aspek lain seperti rekreasi dan penelitian.
Sedangkan yang berbasis masyarakat, dengan pengertian bahwa
manfaat agrowisata selain mampu meningkatkan nilai tambah dari
kegiatan pertaniannya, juga mampu menggerakkan kreativitas dan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat pedesaan itu sendiri. (Dimuat di Harian
Fajar, 7 Mei 2013).
pg. 19
5. Menurunnya Minat Generasi Muda masuk PT
Pertanian
pg. 20
disektor pertanian sehingga dapat berdampak positif bagi
kesejahteraan petani.
Pergeseran Paradigma
Terkait dengan memberi pemahaman kepada generasi
muda untuk tertarik memasuki jenjang perguruan tinggi (PT)
berbasis pertanian dan mempunyai keinginan untuk menekuni
profesi di sektor pertanian, ‚pertanian sebagai ilmu‛, harusnya
dikembangkan atas dasar paradigma bahwa pertanian merupakan
sistem sosio-kultural-teknis untuk menghasilkan dan
memanfaatkan biomassa secara berkesinambungan, serta
berkelanjutan dengan memanen energi surya melalui manipulasi
agroekosistem. Dalam artian, sebagai suatu paradigma bahwa
pertanian merupakan sistem sosio-kultural-teknis, maka ilmu
pertanian atau pendidikan pertanian dilandasi konsep efisiensi,
ekonomis, dan efektif sehingga merupakan teknik yang tertib
prosedur, tata laksana, dan tata cara dalam berusahatani.
Untuk itu, perlunya dilakukan perubahan paradigma dalam
sistem pendidikan pertanian Indonesia dari konvensional seperti
saat ini menjadi sistem pendidikan yang berkompetensi pada
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) bagi
pengelolaan dan pembudidayaan alam tropika yang lestari dan
kesejahteraan manusia, serta diselenggarakan dalam suatu sistem
pendidikan yang berorientasi pada mutu. Terkait dengan hal
tersebut, sektor PT pertanian mengembang tugas untuk
mengembangkan SDM Indonesia agar dapat memiliki dan
mengembangkan ipteks, serta mampu mengamalkannya bagi
kesejahteraan manusia, sehingga dapat meningkatkan harkat
bangsa Indonesia di masyarakat dunia sejajar dengan bangsa-
bangsa lain yang berperadaban.
Perlunya Kompetensi
Untuk membangkitkan minat generasi muda, baik yang
masuk ke PT berbasis pertanian, maupun dalam menekuni profesi
di sektor pertanian dengan berbagai level, maka dalam
pg. 21
menentukan kompetensi PT pertanian, paling tidak perlu
memperhatikan tiga pertimbangan dasar (basic consideration),
yaitu (a) kepentingan bangsa dan negara (b) visi akademik
(academic vision), dan (c) kebutuhan pasar kerja yang sangat erat
hubungannya dengan asupan (input) proses PT. Hubungan ketiga
pertimbangan dasar tersebut, merupakan segitiga sama sisi
karena masing-masing merupakan hal yang mempunyai derajat
penting yang sama.
Pertama, kepentingan bangsa dan negara. Sebagai negara
yang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang kaya dan jumlah
penduduk yang banyak, Indonesia memiliki kepentingan yang
besar untuk mengembangkan ketahanan nasional yang berbasis
pada sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal yang terkait dengan
ketahanan nasional tersebut antara lain, penyediaan bahan
pangan dan energi yang berbasis pada SDA, penyediaan lapangan
kerja, dan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan. Oleh karena
itu, diperlukan ipteks untuk memahami karakteristik dan potensi
SDA yang dipakai sebagai dasar untuk merakit atau menentukan
teknologi bagi pengelolaan SDA, terutama yang berkaitan dengan
produksi biomassa. Sehubungan dengan itu, peran lembaga
pendidikan pertanian untuk mendidik calon-calon sarjana, yang
dapat mengelola SDA untuk produksi biomassa yang bermutu
secara lestari bagi pemenuhan kebutuhan bangsa dan negara.
Kedua, visi akademik, PT pertanian harus mempunyai visi
mengembangkan ilmu-ilmu pertanian Indonesia pada khususnya
dan pertanian tropika pada umumnya. Untuk itu, diperlukan
pengembangan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengenalan
karakteristik dan potensi SDA yang dipakai sebagai dasar untuk
menciptakan atau menentukan dan menerapkan teknologi dalam
pengelolaan SDA, teknologi penanganan dan pengolahan hasil
pertanian, sosial ekonomi, serta manajemen yang berfokus pada
pertanian. Ketiga, kebutuhan pasar kerja. Faktor ini harus
dipertimbangkan karena kebutuhan pasar akan menentukan
jumlah dan mutu asupan (input) proses pendidikan dan arah
kegiatan akademik. Tanpa mempertimbangkan aspek pasar,
pg. 22
kompetensi PT akan lemah. Oleh karena itu, arah PT pertanian di
Indonesia perlu mempertimbangkan kondisi masa kini (present
condition) dari setiap lembaga PT pertanian yang ada.
Demikian juga sumber daya daerah tempat lembaga PT
pertanian tersebut berada, perlu turut dipertimbangkan agar
keberadaannya bermanfaat bagi daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian setiap lembaga PT pertanian mempunyai warna
kekhususan yang mendukung pembangunan daerah sebagai
bagian integral dari pengembangan nasional. Dalam rangka
memenuhi kompetensi seperti disebutkan diatas, tantangan PT
pertanian, yaitu harus mampu menghasilkan lulusan minimal
mempunyai tiga kemampuan utama seperti berikut ini, (1)
kompetensi akademik, yaitu kemampuan metodologis keilmuwan
dalam rangka penguasaan dan pengembangan ipteks, (2)
kompetensi profesional, yaitu wawasan, prilaku, dan kemampuan
untuk menerapkan ipteks dalam pembangunan secara profesional,
(3) potensi kecendekiaan, yaitu kepekaan para lulusan PT
pertanian terhadap masalah yang dihadapi dilingkungan
masyarakatnya, serta wawasan, sikap, dan prilaku yang memihak
kepada mereka yang masih lemah.
Disamping itu, perlunya para peserta didik diberi ilmu-ilmu
penunjang proses pembelajaran mereka, karena lulusan PT
pertanian masa kini dan mendatang harus mempunyai wawasan
pertanian modern yang berorientasi kepada globalisasi,
penyeragaman standar-standar, persaingan bebas, kesadaran
lingkungan dan kesehatan (health consciousness). Beberapa ilmu
penunjang yang dibutuhkan diantaranya sebagai berikut; (a)
penjaminan mutu (quality assurance) hasil, yang mempelajari
konsep-konsep pengendalian mutu, terutama komoditas-
komoditas yang menjadi bahan baku makanan, Good
Manufacturing Practices (GMP), standar-standar internasional
seperti ISO dan sebagainya, (b) dampak lingkungan, diantaranya
mempelajari kesadaran lingkungan dan pengertian konsep
sustainable development, analisa dampak lingkungan (ANDAL)
pengadaan berbagai jenis teknologi effluent control dalam
pg. 23
berbagai kegiatan agribisnis, dan (c) perdagangan komoditas
pertanian beserta dasar hukumnya, yaitu mempelajari
perdagangan internasional, peraturan/hukum komoditas
pertanian distribusi dan pemasaran produk pertanian didalam
negeri, future trading, pembiayaan perdagangan (L/C), CDA dan
lain-lain.
Untuk itu, upaya menghasilkan lulusan dengan kompetensi
seperti disebutkan diatas, memerlukan reorientasi dan
pembaharuan dalam sistem pendidikan, khususnya PT pertanian
supaya mampu membawa sektor pertanian menjadi sektor
unggulan (leading sector), dan menjadikan sektor pertanian tulang
punggung dalam perekonomian. Karena banyak peluang yang bisa
kita tangkap dari bidang pertanian. Kalau kita serius dan mau
menekuni, maka inilah potensi besar yang bisa dipakai untuk
membangun negeri ini.
Persoalannya, sadarkah bangsa ini akan potensi yang
dimilikinya? Maukah bangsa ini mengakui bahwa dari pertanian
bangsa ini akan meraih kemajuan? Salah satu solusinya adalah
menganggap sektor pertanian sebagai sebuah bisnis, agar mampu
menarik generasi muda menekuni ilmu-ilmu pertanian dan terjun
ke usaha pertanian. Dengan menganggap pertanian sebagai bisnis,
akan memacu peningkatan produktivitas, daya saing, dan yang
pasti pendapatan petani.
Karena dengan menurunnya minat generasi muda
menekuni pertanian, tentunya menimbulkan keprihatinan
sekaligus kekhawatiran bahwa sektor pertanian bisa menjadi
‚almarhum‛ di negara yang menurut nenek moyang kita adalah
negara yang ‚gemah ripah loh jinawi‛ (melimpah ruah dan kaya),
justru karena sektor pertaniannya pada masa dahulu. Untuk itu,
perlu keseriusan dalam membenahi sektor ini. Adanya sinergi total
antara pemerintah, akademisi, dan pengusaha untuk
membangunkan sektor ini sangatlah diperlukan. Tidak mungkin
pertanian dibangun tanpa keberpihakan. (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 16 Maret 2018).
pg. 24
6. Era Kebangkitan Penyuluh Pertanian
Revitalisasi Penyuluh
Dalam undang-undang (UU) revitalisasi sistem penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan (RSPPPK) yang dicanangkan
pada 2005 lalu. Salah satu agendanya adalah revitalisasi
penyuluhan pertanian. RSPPPK ini mengamanatkan pelaksanaan
program-program pemberdayaan penyuluh, reorientasi dan
restrukturisasi. Dengan payung UU ini, para penyuluh mendapat
kepastian hukum dan mempunyai masa depan yang lebih baik.
Mereka pun diharapkan dapat bekerja secara tenang dan lebih
baik lagi untuk membantu para petani. Untuk itu para penguasa di
daerah diharapkan tunduk terhadap UU itu dan memfasilitasi para
pg. 25
penyuluh yang ada di lapangan, baik dalam pembiayaan maupun
hubungan sarana dan prasarana.
Langkah awal dari revitalisasi penyuluh, melakukan reposisi
aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian. Sehingga pada akhirnya, penyuluh
pertanian sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan penyuluhan
mampu menunjukkan profesionalismenya. Terkait dengan aspek
kelembagaan, di era Menteri Pertanian di jabat Anton Apriantono,
pemerintah melalui kementerian pertanian (kementan) berjanji
dan merencanakan membentuk kelembagaan penyuluh pertanian
yang mandiri. Pada tingkat provinsi, akan dibentuk Badan
Penyuluh Pertanian Provinsi. Di kabupaten/kota akan dibentuk
Badan Penyuluh Pertanian Kabupaten/Kota. Demikian juga pada
tingkat kecamatan, akan dihidupkan kembali balai penyuluhan
pertanian (BPP). Dengan pengaktifan kembali BPP di setiap
kecamatan, dapat menjadi pembangkit semangat petani dan
menumbuhkan percaya diri penyuluh pertanian. Karena BPP akan
dijadikan sebagai petani centre. Disitu berkumpul penyuluh,
kelompok tani, pengamat hama dan benih serta menjadi pos
kesehatan hewan.
Menyangkut aspek penyelenggaraan penyuluhan, setelah
pembentukan badan penyuluhan di tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan. Maka akan terjadi garis
koordinasi dari pusat, tetapi sifatnya hanya koordinatif. Sehingga
memudahkan, baik pusat maupun daerah untuk menjalankan
program-programnya. Pada tingkat petani, penyuluhan pertanian
tidak lagi bersifat instruktif, tapi lebih bersifat partisipatif. Jadi
petani difungsikan sebagai partner, sehingga terjadi dialog. Untuk
itu, forum-forum penyuluhan akan dibangkitkan kembali. Karena
pelaksanaan penyuluhan ke depan semakin menuntut koordinasi
dan kekompakan dari berbagai institusi pemerintah yang terkait.
pg. 26
Tuntutan Profesionalisme
Penyuluh pertanian bukan sekedar tenaga fungsional tapi
di masa depan harus menjadi tenaga profesional. Tanpa penyuluh
pertanian yang profesional akan sulit membangun petani yang
kreatif, inovatif dan kredibel. Karena itu perlu disiapkan atau
dibangunnya kembali lembaga-lembaga pendidikan dengan sarana
dan prasarana yang memadai bagi para penyuluh. Untuk
mendukung keprofesionalan para penyuluh, lembaga-lembaga
penyuluh pertanian harus memiliki akar pada lembaga-lembaga
penelitian pertanian yang benar-benar kredibel. Lembaga-
lembaga pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penelitian harus
ditata menjadi komponen-komponen dari satu sistem yang fungsi
utamanya memberdayakan petani untuk membangun pertanian
secara berkelanjutan.
Profesionalisme penyuluhan pertanian juga memerlukan
reorientasi, yaitu dari pendekatan instansi ke pengembangan
kualitas individu penyuluh. Dari pendekatan top down ke botton
up. Dari hirarkir kerja vertikal ke kerjasama horizontal. Dari
pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis. Serta dari sistem
kerja linier (masing-masing) ke sistem kerja jaringan. Ringkasnya,
wawasan dan keahlian para penyuluh perlu ditingkatkan dan
dikembangkan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi
pengembangan potensi diri secara self development, yaitu
menumbuhkan sikap kemandirian penyuluh dalam
mengembangkan dirinya sebagai penyuluh yang makin
profesional.
Ke depan, penyuluh pertanian tidak hanya dituntut
menguasai teknis pertanian saja, seperti menyangkut proses
produksi, tetapi yang diperlukan oleh pertanian modern adalah
penyuluhan yang mencakup semua aspek dalam sistem agribisnis,
mulai dari pengorganisasian antar petani di bidang produksi, pasca
panen, pengolahan, pemasaran, serta pengetahuan lainnya yang
dapat menunjang kariernya sebagai penyuluh. Sehubungan
dengan itu, kita semua berkeyakinan, kesuksesan pelaksanaan
pg. 27
program yang tercantum dalam UU RPPK yang telah dicanangkan
2005 lalu, tergantung pada keseriusan pemerintah untuk
merevitalisasi penyuluhan pertanian. Karena salah satu program
unggulan revitalisasi pertanian adalah revitalisasi penyuluhan
dengan menempatkan kembali penyuluh sebagai sumber daya
penggerak dan motivator pembangunan pertanian, serta
mengembalikan fungsi dan peran penyuluh ketingkat semula atau
lebih tinggi lagi. (Dimuat di Pedoman Rakyat, 4 September 2006).
pg. 28
7. Saatnya Inovasi Pertanian Berbasis ICT
pg. 29
teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar. Adapun dalam
ayat 1e diamanatkan pula bahwa Balai Penyuluhan bertugas
memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh
swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran
secara berkelanjutan. Dalam situasi saat ini, tugas tersebut
menjadi sulit atau tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada
mekanisme yang terprogram untuk mendukung ketersediaan
informasi inovasi pertanian yang mutakhir dan berkelanjutan.
Petani memerlukan beragam informasi untuk mendukung
usaha pertaniannya. Informasi yang dibutuhkan tidak hanya
informasi praktis tentang teknologi produksi tanaman, tetapi juga
informasi mengenai pascapanen (pengolahan, penyimpanan, dan
penanganan) dan pemasaran. Menurut Hawkins dan Van den Ban
(1999), petani membutuhkan informasi teknologi tepat guna,
manajemen teknologi, termasuk penggunaan input yang optimal,
pilihan berusahatani, sumber pemasok input, tindakan kolektif
dengan petani lainnya, permintaan konsumen dan pasar spesifikasi
kualitas produk, serta harga pasar. Sementara Mulyandari dan
Ananto (2005) menyatakan untuk mengelola usaha pertaniannya
dengan baik, petani memerlukan pengetahuan dan informasi
mengenai hasil penelitian, pengalaman petani lainnya, situasi
mutakhir yang terjadi di pasar input dan produk pertanian, dan
kebijakan pemerintah.
Urgensi ICT
Peningkatan kegunaan jaringan telekomunikasi
memberikan kemampuan lebih teknologi informasi dan
komunikasi (information, communication and technology/ICT) untuk
menjangkau area sampai pedesaan. Perkembangan jaringan
telekomunikasi berkembang dengan pesatnya, handal, dan
pertukaran informasi yang akurat melalui teks, suara, dan aplikasi
yang bisa dilakukan antara petani dan pengguna. Jaringan internet
saat ini sudah masuk ke pedesaan yang memberikan kesempatan
bagi petani untuk berhubungan dengan pengguna yang lebih luas,
pg. 30
pelaku agribisnis, peneliti, dan antar petani. Layanan komputasi
berpotensi besar untuk meningkatkan sistem inovasi pertanian.
Keuntungan dari komputasi adalah bahwa ia menawarkan
penyimpanan sumber daya dikumpulkan dan bisa dimanfaatkan
secara bersama melalui internet. Lebih khusus, komputasi telah
digambarkan sebagai model untuk memungkinkan pengguna, bisa
memanfaatkan secara bersama sesuai permintaan dengan
mengakses jaringan bersama sumber daya lain misalnya, jaringan,
server, penyimpanan, aplikasi, dan layanan yang dapat dengan
cepat ditetapkan dan dirilis dengan upaya manajemen yang
minimal atau interaksi penyedia layanan.
Salah satu manfaat teknologi ICT digunakan untuk inovasi
pertanian bertujuan untuk memberikan peluang bagi petani dalam
mengakses informasi tentang komoditas pertanian. Dari pada
melakukan koleksi data secara manual atau melalui survei, peneliti
bisa mengumpulkan data melalui SMS. Layanan informasi berbasis
ICT diperlukan pada saat petani tidak perlu menunggu begitu lama
untuk mendapatkan informasi tentang komoditas pertanian
seperti persediaan pupuk, harga komoditas di pasar, perkiraan
cuaca, pemasok, ketersediaan pengairan, dan sarana untuk
mengumpulkan kelompok tani. Metode yang sesuai untuk
mendapatkan informasi secara cepat dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dengan perangkat mobile
sesuai dengan kebutuhan petani memerlukan beberapa strategi
dalam bentuk model agar pemanfaatannya bisa optimal. (Dimuat
di Harian Fajar, 2 Maret 2018).
pg. 31
8. Sulawesi sebagai Kawasan Pengembangan Jagung
Pengembangan Jagung
Pencanangan Sulawesi sebagai kawasan pengembangan
jagung, sejalan dengan program Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Sulawesi Selatan (Sulsel) yaitu Gerakan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat (Gerbang Emas). Tujuan utamanya adalah mendorong
perkembangan usaha mikro dan kecil (UMK), mendorong
penguatan struktur perekonomian daerah, menciptakan iklim
pg. 32
investasi yang kondusif, penciptaan lapangan kerja baru,
peningkatan pendapatan perkapita serta peningkatan PDRB.
Tahap pertama pelaksanaan program ini, salah satunya adalah
pengembangan komoditi jagung, dengan pola pendekatan sistem
agribisnis dan membentuk model kemitraan jagung.
Selain akan membuka lapangan pekerjaan, juga membuka
peluang ekspor jagung ke Malaysia sebanyak 3 juta ton dan Korea
Selatan sebesar 7 juta ton setiap tahunnya. Untuk itu, menghadapi
musim kemarau yang diprediksi akan berakhir awal Nopember
nanti, disarankan kepada seluruh petani memanfaatkannya untuk
menanam jagung. Di Sulsel misalnya, tersedia lahan sawah tadah
hujan yang luasnya 260,501 hektar atau sekitar 40,55 persen dari
luas lahan sawah 642,459 hektar yang bisa dimanfaatkan. Itu
artinya, agribisnis jagung bisa jadi solusi jangka pendek yang tepat
dalam memanfaatkan lahan saat musim kekeringan. Karena
tanaman jagung tidak terlalu banyak membutuhkan air dan bisa
memanfaatkan sumber daya air disekitar lahan tersebut.
Pengembangan jagung di kawasan Sulawesi, termasuk di
Sulsel sudah sejak dulu digalakkan. Tapi belum optimal dan
sifatnya masih subsinten. Belum mengarah pada pendekatan
sistem agribisnis. Buktinya, Sulsel tahun 2005 hanya menghasilkan
715,081 ton jagung pipil dengan luas panen 185,201 hektar.
Bandingkan dengan Jatim, pada tahun 2005 menghasilkan 4,2 juta
ton, yang menjadikan provinsi ini sebagai ranking pertama
penghasil jagung terbesar pada tahun 2005. Sentra
pengembangan jagung di Sulsel, terutama dari Kabupaten Selayar,
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai dan Bone.
Sedangkan produksi jagung terbesar yaitu dari Kabupaten
Jeneponto, Bantaeng dan Gowa. Data tahun 2004, dari total
produksi 674,716 ton jagung Sulsel, Jeneponto menghasilkan
129,179 ton, menyusul Bantaeng 127,210 ton, kemudian Gowa
116,937 ton, dan sisanya dari beberapa kabupaten lainnya
Masalah utama yang sangat mendasar mengenai
pengembangan jagung, baik secara nasional maupun skala
pg. 33
regional (daerah), adalah belum tersedianya data statistik dalam
bidang sistem agribisnis jagung yang komprehensif, mencakup on
farm, down steam, dan up stream. Data yang dimaksud adalah data
yang memilah-milah statistik jagung untuk keperluan pakan
ternak, makanan manusia, dan keperluan industri lainnya.
Kemudian untuk makanan manusia juga tidak adanya pemisahan
antara baby corn, sweet corn dan jagung pipilan. Akibatnya, sering
terjadi silang pendapat mengenai cukup atau tidaknya produksi
jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Selain itu, dibutuhkan juga data akurat yang ditatat dengan
benar dan satu-satuan yang konsisten. Data ini harus dibuat selalu
up to date supaya bisa mengetahui perkembangan produksi
terakhir. Dengan belum tersedianya data seperti yang diharapkan,
sehingga sulit untuk merumuskan kebijakan, program, dan
rencana aksi yang relevan dengan keadaan, untuk setiap saat. Dari
sisi petani, data yang kurang akurat menyebabkan mereka sangat
sulit mengambil keputusan untuk menanam atau tidak menanam
pada waktu-waktu tertentu.
Sistem Agribisnis
Suatu hal yang menggembirakan, kita sudah punya Dewan
Jagung Nasional (DJN). Dewan ini diharapkan membantu
pemerintah untuk merumuskan kebijakan nasional yang
komprehensif mengenai pengembangan sistem agribisnis jagung.
Kebijakan dan program DJN harus bersifat nasional. Artinya
mencakup seluruh daerah di tanah air dan mencakup seluruh
subsistem agribisnis jagung yang melibatkan semua stakeholder
mulai dari petani, pengusaha, pemerintah, media, peneliti, hingga
pendidik. Selanjutnya, merumuskan rencana detail yang
menjangkau seluruh wilayah-wilayah produksi. Untuk itu, dalam
rangka mewujudkan keinginan berswasembada dan menjadi
eksportir terbesar jagung di kawasan Asia Tenggara, strategi
utamanya adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung
hibrida.
pg. 34
Saat ini hanya sekitar 30 persen area produksi yang
menggunakan benih hibrida, mestinya ditingkatkan hingga
mencapai 100 persen. Selanjutnya, introduksi benih unggul
menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida,
serta alat dan mesin pertanian (alsintan), yang dibutuhkan dalam
produksi jagung. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di
wilayah produksi yang berada di kawasan Sulawesi, pada waktu
dan jumlah yang tepat. Akhirnya, untuk menjadikan Sulawesi
sebagai kawasan pengembangan jagung. Lebih baik
mengembangkan wilayah jagung yang selama ini sudah
merupakan sentra jagung, kemudian memperbaiki data
agribisnisnya. Termasuk penyediaan infrastruktur seperti fasilitas
pasca panen, gudang, pupuk dan pengairan. Hal ini sudah berhasil
diterapkan pada padi sehingga kita pernah menjadi swasembada
beras. (Dimuat di Pedoman Rakyat, 31 Agustus 2006).
pg. 35
9. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Pangan
pg. 36
menggembirakan karena ada harapan, kerusakan lingkungan yang
terjadi sekarang ini akan dapat diperlambat, meskipun tidak
mungkin dicegah sama sekali.
pg. 37
lahan gandum di Ukraina rusak. Sehingga dengan kondisi seperti
itu, praktis produksi atau pasokan gandum dunia menurun,
sementara permintaan akan kebutuhan gandum, terus meningkat.
Demikian halnya dengan menurunnya produksi susu sapi di
Australia, akibat kelangkaan rumput sebagai akibat kekeringan.
Dampak langsung dari kondisi ini, dirasakan konsumen di
Indonesia adalah naiknya harga susu formula untuk anak-anak
mencapai 10-20 persen. Untuk itu, dalam rangka mensiasati
perubahan iklim global ini, negara yang mengandalkan peternakan
sebagai basis ekspornya, harus berpikir keras bagaimana
memodifikasi pakan ternak agar tidak sepenuhnya bergantung
pada iklim. Misalnya, dengan menekan penggunaan rumput dan
mengkonversinya dengan dedak atau bahan baku lain.
Terkait dengan bidang perikanan, hal yang harus
diperhatikan dalam mengantisipasi isu pemanasan global, yakni
kekayaan alam yang ada di laut, khususnya berkaitan dengan
terumbu karang yang ada di kawasan mulai dari Indonesia, Pilipina,
hingga Kepulauan Solomon. Terumbu karang yang ada di kawasan
itu, terancam rusak apabila terus terjadi pemanasan global.
Rusaknya terumbu karang akan membahayakan ekosistem. Jika
hal itu terjadi, tidak hanya akan merusak potensi ekonomi yang
mencapai 2,3 miliar dolar AS setiap tahunnya bagi Indonesia,
tetapi mempengaruhi ketahanan pangan nasional, karena
mengganggu siklus kehidupan ikan-ikan di laut.
Begitu juga dengan komoditi beras, dampak perubahan
iklim akan berhubungan langsung dengan hajat hidup orang
banyak. Terutama negara-negara yang menjadikan beras sebagai
makanan pokok utama, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan permintaan dan kebutuhan beras dunia. Karena
begitu luas dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim global,
dunia pun berlomba mengamankan produk pertanian strategisnya,
terutama mengamankan stok beras dalam negerinya masing-
masing. Misalnya, pemerintah Vietnam tahun 2008 ini
pg. 38
memutuskan untuk mengurangi ekspor beras atau bahkan akan
menghapus kebijakan ekspor beras di negaranya.
Hal yang sama dilakukan juga oleh Tiongkok dan India, yang
mulai mengamankan betul komoditas beras untuk kebutuhan
konsumsi dalam negerinya. Padahal tidak bisa dipungkiri, untuk
komoditas beras, selama ini dan hampir setiap tahunnya Indonesia
amat bergantung pada impor. Dengan begitu, adanya perubahan
kebijakan pemerintah Vietnam, praktis akan berpengaruh
terhadap pasokan beras dunia. Vietnam kita tau merupakan salah
satu produsen dan pengekspor beras terbesar di dunia.
Persiapkan Petani
Petani di negara-negara berkembang, perlu dipersiapkan
untuk menghadapi ancaman perubahan iklim yang tidak menentu
ini. Pemerintah di setiap negara, diharapkan lebih intensif
memberi informasi tentang kemungkinan terjadinya perubahan
iklim kepada para petani, sehingga petani bisa melakukan
antisipasi terhadap perubahan tersebut. Misalnya, terhindar dari
gagal panen, akibat ketiadaan air, atau serangan hama yang
jumlahnya berlipat, karena tidak serentak dalam melakukan
penanaman. Praktik bercocok tanam perlu diubah. Di wilayah-
wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu
mengganti jenis tanaman atau varietas yang ditanam dengan yang
lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali
padi gogo, dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di
wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas.
Praktik budidaya lain yang dapat diperkenalkan kepada
petani adalah sistem wanatani (agroforestry). Hasil penelitian
menunjukkan, menanam pohon diantara tanaman pangan, mampu
mencegah erosi, mengembalikan kesuburan tanah, dan
menciptakan iklim mikro yang kondusif bagi tanaman, serta
mampu meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Konsep
wanatani juga bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim.
Diperkirakan konsep ini, mampu menyerap karbon hingga 600 juta
pg. 39
meter kubik pada tahun 2040, jika dibandingkan dengan 120 juta
meter kubik saja untuk tanaman pangan. Pertukaran emisi karbon
sebagai bagian mekanisme pembangunan bersih dalam Protokol
Kyoto, menawarkan insentif bagi yang mampu membangkitkan
semangat petani untuk mengubah pola tanamnya.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, bagi
kepentingan petani adalah dengan memberi informasi cuaca
selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara
spesifik. Persoalannya, bukan hanya memperbaiki informasi cuaca,
tetapi juga seberapa komunikatif data yang dimaksud bagi
kepentingan petani. Kelemahan dalam mengantisipasi perubahan
iklim dan kondisi cuaca bagi kepentingan pertanian tampaknya
akan membawa dampak kerugian yang signifikan bagi petani. Oleh
karenanya, sebagai negara kepulauan dengan wilayah luas,
bertopografi kompleks, serta jumlah penduduk besar. Indonesia
merupakan kawasan kunci untuk mengerti masalah iklim di tingkat
global. Dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang kondisi
iklim, Indonesia dinilai akan sangat membantu menekan dampak
negatif pemanasan global yang diindikasikan sedang dan akan
terus terjadi di seluruh bagian dunia.
Pakar iklim dari Universitas Tokyo Jepang, Prof. Toshio
Koike, menyatakan ada tiga komponen yang menjadikan Indonesia
sebagai kawasan kunci yang sangat berpengaruh bagi iklim di
kawasan Asia hingga dunia. Pertama, Indonesia merupakan
sumber panas terbesar di kawasan Asia. Kedua, Indonesia adalah
pusat sirkulasi monsun Asia yang kerap dilanda gejala alam seperti
El nino dan La nina, yang tentu saja sangat berpengaruh bagi
kawasan di sekitarnya. Ketiga, populasi yang besar dan tersebar di
ribuan pulau dengan topografis kompleks menjadikan Indonesia
acuan penanganan berbagai masalah yang terjadi akibat
perubahan iklim ekstrem.
Untuk itu, diperlukan berbagai tindakan dan terobosan
dalam rangka mengantisipasi anjloknya produksi sejumlah
komoditi bahan pangan dunia, dan terus melakukan upaya optimal
pg. 40
dalam meningkatkan produksi. Tanpa adanya upaya kongkrit,
mustahil petani akan mampu meningkatkan produksi sekaligus
produktivitas sesuai target yang ingin dicapai. Khususnya upaya
untuk memperkecil tingkat kerugian petani akibat perubahan iklim
yang senantiasa berubah setiap saat. (Dimuat di Harian Fajar, 16
Oktober 2013).
pg. 41
10. Menyikapi Kebijakan Impor Beras
pg. 42
maupun untuk mengantisipasi jika terjadi bencana yang tidak
diduga, memaksa pemerintah memutuskan untuk mengimpor
beras. Termasuk untuk keperluan operasi pasar bila diperlukan.
Kedua, stabilitas bisa dipandang sebagai kemampuan
meminimalkan kesenjangan kemungkinan konsumsi beras
terhadap permintaan konsumsi beras. Stakeholder perberasan
nasional beralasan bahwa salah satu tujuan impor beras adalah
bertekad untuk mengamankan stabilitas harga. Pemerintah
berdalih, dengan impor beras stabilitas harga tetap terjaga, yaitu
untuk beras kelas medium pada kisaran harga rata-rata Rp. 4.000
hingga Rp. 4.100 per kilogram, agar konsumen tidak kesulitan dan
tidak berakibat terjadinya inflasi.
Hal yang kontradiktif terjadi pada data yang dilansir BPS,
di mana disebutkan bahwa harga beras rata-rata Agustus 2006
mencapai Rp. 5.091 per kilogram atau meningkat 58,23 persen
dibandingkan harga rata-rata Agustus 2005. Perhitungan itu di
ketahui dari 614 transaksi di 16 provinsi. BPS menyebutkan harga
beras yang aman, tidak terlalu tinggi dan tidak merugikan petani,
yaitu Rp.5.000 per kilogram. Ketiga, kemampuan produksi.
Kemampuan produksi padi atau gabah secara nasional, sebenarnya
tidak terlalu mengkhawatirkan Menteri Pertanian, Anton
Apriantono (Kompas, 2/9/06). Hal ini didukung oleh ramalan BPS,
yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 produksi padi sebesar
54,75 juta ton GKG, meningkat 600 ribu ton atau 1,11 persen
dibandingkan dengan produksi tahun 2005 yang hanya mencapai
54,15 juta ton GKG.
Hal inilah yang mengundang reaksi sejumlah daerah
yang surplus beras seperti Jawa Tengah, Lampung, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Atas keputusan yang diambil pemerintah pusat
untuk mengimpor beras, misalnya Jawa Tengah terang-terangan
mengatakan penolakannya atas kebijakan tersebut. Sebagai
daerah penyangga pangan nasional ketiga, untuk tahun 2006 ini
diperkirakan akan mengalami surplus beras 1,9 juta ton. Dengan
mencermati ketiga dimensi persoalan yang setiap tahunnya
pg. 43
dialami perberasan nasional, seperti yang dikemukakan di atas,
kini kita kembalikan pada kebijakan dasar pemerintah tentang
pangan (beras) khususnya dan pertanian umumnya.
pg. 44
mengandalkan impor juga di masa depan akan menimbulkan
banyak masalah dan mahal.
Ketiga, gerakan produksi dan konsumsi beras, serta
program diversifikasi pangan di masa depan akan dipengaruhi pula
oleh seberapa jauh kita berhasil dalam mengembangkan sistem
perdagangan yang canggih pada komoditas pertanian, agar nilai
tambah dari perdagangan ini bisa kita raih sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Pada masa yang akan datang, upaya-upaya
memantapkan swasembada beras dan pencapaian swasembada
pangan lainnya, tampaknya perlu difokuskan kepada terwujudnya
ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan, serta
terjaminnya keamanan pangan.
Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa pakar,
dapat dirumuskan beberapa strategi umum untuk mencapai
ketahanan pangan. Pertama, adalah sangat perlu bagi kita untuk
mengadopsi strategi pembangunan ekonomi makro yang
menciptakan pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan
keberlanjutan (sustainable development). Kedua, merupakan yang
mendesak bagi kita untuk mempercepat pertumbuhan sektor
pertanian dan pangan (beras) serta pembangunan pedesaan
dengan fokus kepentingan golongan miskin (pemberdayaan). Ini
berarti, pertanian (pangan) harus menjadi mainstream dalam
ekonomi nasional.
Ketiga, sudah saatnya kita harus meningkatkan akses
terhadap lahan dan sumber daya pertanian dalam arti luas
(agribisnis) secara lebih bijaksana. Termasuk menciptakan dan
meningkatkan kesempatan kerja, transfer pendapatan,
menstabilkan harga dan pasokan pangan (beras), perbaikan
perencanaan serta pemberian bantuan pangan (beras) dalam
keadaan darurat kepada masyarakat. (Dimuat Harian Fajar, 7
September 2006).
pg. 45
11. Pemimpin yang Pro Petani dan Pertanian
Peran Pemimpin
Pranadji (2006) menyatakan bahwa peran pemimpin dalam
memajukan masyarakat sangatlah menentukan, leadership as a
primer mover. Besarnya pengaruh keberadaan seorang pemimpin
yang mempunyai visi dan kredibilitas yang tinggi di mata
masyarakat terkandung tiga aspek sekaligus, yaitu kharisma dan
integritas sebagai pemimpin, serta kemampuan teknis sebagai
manajer. Bagi masyarakat yang berperadaban agraris ketiga aspek
yaitu kharisma, integritas, dan keahlian teknis memimpin harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Misalnya kemampuan mendekati
masyarakat melalui kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa
agama, menjadikan sosok pemimpin dikenal sebagai orang arif dan
patut dihormati. Selain itu, sikap merakyat yang dapat ditunjukkan
pemimpin merupakan bagian esensial dari penerimaan masyarakat
secara emosional.
pg. 46
Selanjutnya Pranadji (2006) menjelaskankan bahwa paling
tidak ada lima aspek yang sangat menentukan kemajuan
pembangunan pertanian. Pertama, perlunya semangat kolektif
masyarakat untuk mandiri dan merdeka dari segala bentuk
keterbelakangan. Kedua, adanya pemimpin yang kompeten,
kredibel, dan peduli terhadap kemajuan pertanian pada khususnya
dan kemajuan masyarakat pedesaan pada umumnya. Ketiga,
adanya program pembangunan pertanian yang benar, yaitu upaya
dan itikad pemimpin untuk benar-benar membangun pertanian.
Keempat, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang sejalan
dengan semangat good governance, serta penguatan masyarakat
madani (civil society), dan Kelima, pengembangan modal sosial
berbasis kearifan lokal.
pg. 47
bekerja ikhlas, siapa yang mau bersusah-payah menanam,
menyemai, merawat dan memanen padi dan tanaman lainnya.
Bahkan padi merupakan makanan pokok sebagian besar warga
dunia. Bisa jadi, jika tidak ada petani, kita akan mengalami krisis
pangan, dan bahkan tragedi kelaparan akan melanda kita.
Pertanyaannya, mengapa kehidupan para petani yang
bekerja tanpa kenal lelah dan waktu semakin hari semakin miskin?
Jawabannya, karena paradigma kita terhadap pertanian hanya
sebatas budidaya komoditi primer. Sebab arah kebijakan dan
program pembangunan pertanian nasional susah dicerna ditingkat
bawah, belum menyentuh harkat, martabat dan kesejahteraan
para petani. Sejauh ini, pembangunan pertanian nasional hanya
sebatas melihat pertanian sebagai komoditi. Bukan melihat petani
sebagai motor penggeraknya.
Akibatnya petani hanya menjadi obyek dan bukan subyek
pembangunan pertanian. Alhasil, nasib, harkat dan martabat para
petani hanya di ukur dari harga komoditi yang dihasilkan.
Celakanya, komoditi yang dihasilkan oleh para petani selalu
dihargai relatif rendah. Makanya nasib dan kehidupan mereka
terus terpuruk. Untuk itu, problem ini sesungguhnya yang harus
kita jawab bersama demi meningkatkan taraf hidup para petani
demi menuju Indonesia berdaulat pangan. (Dimuat di Media
Online halamanindonesia.com, 16 Maret 2018).
pg. 48
12. Menyikapi Ancaman Krisis Pangan Global
pg. 49
pengembangan bioenergi tersebut, menyebabkan bahan pangan
terbagi antara kebutuhan pangan dan kebutuhan energi. Misalnya
pengembangan bioenergi yang bersumber dari bahan pangan
seperti jagung, kedelai, tebu, singkong, sawit dan lainnya memicu
meningkatnya permintaan komoditas tersebut di pasar
internasional. Membuat Tiongkok dan India membatasi ekspor
pangannya, guna mengamankan ketersediaan bahan pangan
dalam negerinya.
Di awal tahun ini, para pengamat menggambarkan kondisi
pangan Indonesia pada posisi diambang krisis. Bahwa diprediksi
pada tahun 2020, atau lebih cepat Indonesia telah masuk
perangkap ketergantungan impor pangan. Khusus untuk beras,
data menunjukkan saat ini luas panen Indonesia per tahun sebesar
12,5 juta hektar untuk 1 – 3 kali musim tanam. Pada hal kebutuhan
beras nasional pada 2007 saja sekitar 32,96 juta ton, dan
diperkirakan pada 2030 nanti akan mencapai 59 juta ton. Untuk
menutupi kekurangan sekitar 26,04 juta ton, diperlukan areal
sawah seluas 11,8 juta hektar, yang hingga saat ini luas areal baru
mencapai 11,6 juta hektar. Kondisi ini sangat memprihatinkan,
sebab ada ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan
lahan pertanian, laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,3 – 1,5
persen per tahun. Di lain pihak, setiap tahun tidak kurang dari 10
ribu hektar sawah beralih fungsi.
Perluas Lahan
Untuk itu, langkah yang tepat dalam menyikapi ancaman
krisis pangan global (global food crisis) ini, setidaknya ada tiga
jurus jitu yang harus dilakukan untuk menangkal ancaman krisis
pangan global. Upaya itu meliputi perluas areal, peningkatan
produktivitas, dan diversifikasi konsumsi pangan. Pertama, perluas
areal. Solusi alternatif dan persoalan ancaman krisis pangan di
Indonesia adalah menggenjot perluasan areal pertanaman
komoditas bahan pangan, terutama padi (beras). Sekedar
perbandingan, luas sawah yang ada saat ini baru sekitar 11,8 juta
pg. 50
hektar. Tapi bukannya lahan sawah semakin meningkat, mala
setiap tahun terjadi peningkatan konversi lahan pertanian ke non-
pertanian. Alih fungsi lahan tersebut mencapai 33 ribu meter
persegi per hari.
Data BPS menunjukkan selama kurun waktu 1995–2005
lahan sawah mengalami penyusutan perluasan dari 5.464.687
hektar menjadi 7.696.161 hektar atau menurun sekitar 768.526
hektar. Untuk itu, pemerintah dan DPR diharapkan segera
mengesahkan rancangan undang-undang lahan pertanian pangan
abadi (LPPA), guna menjamin ketahanan pangan nasional. Urgensi
lahirnya produk undang-undang ini, untuk menata ruang dan
menetapkan lahan pertanian yang dilindungi di setiap daerah.
Langkah ini diharapkan dapat menjamin penguatan ketahanan
pangan rumah tangga, wilayah, dan nasional yang mantap. Bila laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 -1,5 persen per tahun dengan
luas lahan pertanian tidak bertambah, maka dalam jangka 10–20
tahun ke depan bisa berdampak serius terhadap krisis dan
kerawanan pangan nasional yang bersifat permanen.
Kedua, peningkatan produksi dan produktivitas. Tantangan
Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan produksi
berbagai komoditas pertanian. Sebab bertahan pada kondisi
produksi yang saat ini dicapai, itu artinya siap-siap saja
menghadapi ancaman krisis pangan permanen. Satu-satunya jalan
agar Indonesiia bisa meningkatkan produksi beras dan tanaman
pangan lainnya secara berkelanjutan adalah dengan memperluas
lahan pertanian yang ada sekarang. Terkait dengan hal itu, lahan
ber irigasi kita baru mencapai 7,5 – 8 juta hektar, sehingga
berpengaruh pada tingkat produktivitas yang hanya berkisar 4,7
ton per hektar, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 230
juta jiwa.
Bandingkan dengan Thailand, yang dihuni penduduk hanya
120 juta jiwa namun memiliki 9,5 juta hektar sawah ber irigasi.
Apalagi Indonesia, tidak ada penambahan kawasan irigasi baru
sejak tahun 1990-an, yang ada hanya sekedar perbaikan dan
pg. 51
penambalan irigasi yang rusak. Ditinjau dari aspek teknologi
pertanian juga mengecewakan, karena sejak lima tahun lalu
produktivitas komoditas pangan bisa dibilang stagnan. Salah satu
diantara beberapa faktor penyebab, adalah kelangkaan dan jalur
distribusi pupuk yang tidak optimal.
Ketiga, diversifikasi konsumsi pangan. Program diversifikasi
atau penganekaragaman pangan di Indonesia sudah seharusnya
dilaksanakan dan bukan menjadi sekedar wacana lagi. Hasil
penelitian menunjukkan betapa pentingnya diversifikasi konsumsi
pangan, untuk mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan
bahan pangan impor lainnya. Pencanangan penurunan konsumsi
beras 1 persen per tahun, dengan menggenjot pelaksanaan
program penganekaragaman pangan berbasis karbohidrat
merupakan solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap
beras sebagai bahan makanan pokok. Dengan program ini, beras
nasional bisa dihemat 300 ribu ton setahun, atau setara 500 ribu
ton gabah kering giling (GKG). Idealnya konsumsi beras sebanyak
100 kilogram per kapita per tahun, dari 139 kilogram saat ini.
Dibandingkan program lain, diversifikasi dapat dipilih
sebagai solusi alternatif untuk mengatasi melambungnya harga
beras dunia, mengingat waktu yang diperlukan lebih pendek.
Masyarakat hanya perlu memanfaatkan lahan yang ada untuk
menanam bahan makanan lain disamping padi, seperti jagung,
singkong dan umbi-umbian lainnya. Di tengah berbagai bencana
dan perubahan iklim global, perlu kiranya kita mencermati langkah
yang telah dilakukan pemangku kepentingan di bidang pertanian
dengan program revitalisasinya, untuk menjauhkan ancaman krisis
pangan global ini. Misalnya, sudah seberapa jauh jaringan irigasi
ditambah dan direhabilitasi. seberapa besar peningkatan produksi
pangan yang telah di dapat, seberapa jauh jalan dibangun untuk
menjangkau sentra produksi, seberapa efektif kerja tenaga
penyuluh lapangan, seberapa tertib pupuk dan saprodi disalurkan,
seberapa kesungguhan perbankan dalam menyalurkan kredit
kepada petani, dan seberapa serius program diversifikasi
pg. 52
dilaksanakan dan sosialisasikan di masyarakat. Pertanyaaan ini
tidak perlu dijawab oleh salah satu pihak saja, namun memerlukan
jawaban dari kita semua, apa kontribusi kita terhadap keberhasilan
pembangunan pertanian di Indonesia, supaya kita terbebas dari
krisis pangan yang tengah melanda dunia. (Dimuat di Harian
Tribun Timur, 19 April 2008).
pg. 53
13. Dampak Kenaikan Harga Pangan Dunia
pg. 54
yang menyebabkan harga komoditi pangan meningkat tajam, yaitu
kenaikan harga minyak dunia, perubahan iklim, dan pertumbuhan
ekonomi luar biasa di Tiongkok dan India. Pertama, harga minyak
dunia yang tinggi selama beberapa tahun terakhir dan telah
menembus harga USD 100 per barel pada awal 2008,
menyebabkan dunia mencari energi alternatif. Apalagi dari tahun
ke tahun persediaan minyak terus menurun, sementara kebutuhan
energi manusia kian bertambah.
Batubara yang cadangannya saat ini lebih banyak di
banding minyak bumi, akhirnya menjadi primadona, walhasil
harganya pun ikut naik. Sadar bahwa batubara suatu saat nanti
juga akan habis, program biofuel pun banyak dikembangkan di
hampir setiap negara. Bahan pangan seperti gandum, jagung,
singkong dan tebu kemudian dibidik untuk dijadikan bahan baku
energi. Keempat produk pertanian itu jika diolah bisa
menghasilkan ethanol yang merupakan salah satu bahan baku
biofuel.
Penggunaan komoditi pertanian sebagai sumber energi
(green energy) dewasa ini dinilai sebagai pemicu harga bahan
pangan terus bergerak naik. Permintaan jagung dan minyak sawit
mentah dunia bergeser dari permintaan untuk minyak goreng dan
turunannya, beralih menjadi permintaan untuk energi. Terjadi
konversi produk pangan di negara maju menjadi biofuel sebagai
substitusi minyak alam yang harganya melambung tinggi
belakangan ini. Ringkasnya, pasar pangan dunia sekarang sedang
menghadapi persaingan dari pasar energi. Sebagai gambaran,
Amerika Serikat (AS) sebagai pemasok 40 persen jagung dunia
telah mengalokasikan 10 persen produksi jagungnya untuk biofuel
pada 2006. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 12
persen pada 2008. Kedepan, 2017 sebanyak 20 persen konsumsi
bahan bakar di AS ditargetkan berasal dari biofuel.
Kedua, kenaikan harga komoditi pangan di pasar dunia itu
juga dipicu oleh dampak perubahan iklim yang menyebabkan
kegagalan panen di negara produsen. Di Amerika misalnya, akhir
pg. 55
2006 lalu mengalami gagal panen akibat kekeringan. Produksi
gandum mereka turun hingga 60 persen, dari 24 juta ton menjadi
hanya 9 ton. Sementara di AS, tingginya curah hujan di area
pertanian mengakibatkan panen gandum tertunda dan sejumlah
area rusak parah. Amerika sendiri merupakan negara dengan
produksi gandum hampir 10 persen dari total produksi dunia yang
mencapai sekitar 616,87 juta ton.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara agraris,
tentunya sangat bergantung kepada iklim. Padahal, perubahan
iklim yang tidak dapat diperkirakan lagi merupakan salah satu
akibat dari pemanasan global yang terjadi selama ini. Jangan
heran jika terjadi kelangkaan berbagai jenis komoditas pertanian.
Penyebabnya adalah sulit memperkirakan kapan musim hujan tiba,
sehingga petani sulit menentukan masa tanam dan masa panen
seperti sebelumnya.
Ketiga, kondisi haus pangan dipicu booming ekonomi
Tiongkok dan India yang populasinya hampir sepertiga penduduk
dunia. Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi
Tiongkok mencapai 11,5 persen, sedangkan India 8 persen. Hal
inilah yang mengisyaratkan pemenuhan kebutuhan pangan dan
energi dalam jumlah besar. Dalam analisis Bank Dunia,
peningkatan harga komoditas pangan, karena beberapa negara
pengekspor komoditas seperti Thailand mengurangi ekspor beras
hingga 52 persen bulan lalu. Faktor tingginya permintaan dari
Tiongkok dan India juga membuat harga CPO dunia melambung,
sampai menyentuh USD 1.100 per ton. Hal lain yang memicu
kenaikan harga komoditas bahan pangan, akibat pertumbuhan
ekonomi Tiongkok yang hampir dua digit, adalah berpindahnya
kelas sosial ratusan juta orang ke kelas menengah di negeri itu,
sehingga menaikkan permintaan akan daging. Konsumsi daging
masyarakat Tiongkok meningkat dari 20 kilogram per tahun per
orang pada 1985, jadi lebih dari 50 kilogram pada 2008. Akibatnya,
produk makanan ternak dan produk makanan lainnya semakin
mahal.
pg. 56
Bangkitnya Pertanian Tiongkok
Dari negara yang kekurangan pangan sebelum tahun 1980-
an, Tiongkok kini telah berhasil menjadi produsen hasil pertanian
kedua terbesar setelah AS. Pada awalnya analis ekonomi
memperkirakan Tiongkok tidak akan mampu bersaing dengan AS,
dalam komoditas (bulk commodity) seperti jagung, gandum,
kedelai, dengan alasan Tiongkok tidak memiliki lahan yang cukup
dibandingkan AS. Namun Tiongkok dapat bersaing dalam
menghasilkan komoditas pertanian yang padat tenaga kerja
seperti buah-buahan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi
tidak hanya didasarkan pada input konvensional seperti lahan dan
tenaga kerja, tetapi sebanyak 4,3 persen dari total laju
pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lain, yang terpenting yaitu
landasan institusi dan kebijakan yang dibangun. Menurut Said G.
(2006), hal-hal yang membuat perekonomian Tiongkok dapat
tumbuh dengan pesat adalah sebagai berikut: (1) konsistensi
pemerintah dalam melakukan reformasi atau struktur ekonomi
yang tidak pas, dan mencoba menjaga stabilitas ekonomi, (2)
kebijakan membuka diri terhadap negara-negara luar, (3)
perhatian yang tinggi terhadap sektor pendidikan dengan
meningkatnya pengeluaran pendidikan, dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan
dan pelatihan, dan (4) undang-undang dan peraturan yang dibuat
berperan dalam mengembangkan mekanisme pasar.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya
perkembangan perekonomian dunia yang positif memberi angin
segar bagi perekonomian Indonesia, khususnya sektor pertanian.
Bukankah Presiden SBY pada Januari 2005 telah mencetuskan
Pencanangan Program Revitalisai Pertanian, seharusnya dapat
meredam gejolak harga yang terjadi saat ini. Namun,
implementasinya belum jelas atau revitalisasi tanpa greget.
(Dimuat di Harian Fajar, 19 April 2008).
pg. 57
Bagian Kedua
PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI
pg. 58
1. Prospek Pengembangan Agroindustri Sawit
Indonesia vs Malaysia
Dalam perdagangan minyak sawit mentah crude palm oil
(CPO) Indonesia bersaing dengan Malaysia. Produksi CPO
Indonesia 13,8 juta ton pada 2005, masih di bawah Malaysia
dengan produksi mencapai 15,36 juta ton. Malaysia yang
merupakan produsen dan eksportir terbesar akhir-akhir ini,
berusaha secara konsisten mengolah CPO sehingga volume
ekspornya diperkirakan mulai menurun. Disisi lain, Indonesia yang
pg. 59
sampai saat ini sebagai negara produsen dan eksportir kedua
mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor komoditi ini.
Indonesia dikenal sebagai negara paling efisien dalam
memproduksi CPO, sehingga CPO Indonesia sangat kompetitif di
pasar internasional. Hal ini ditunjang dengan ketersediaan lahan
yang relatif luas. Peluang untuk meningkatkan produksi dan
memacu pertumbuhan ekspor lebih besar.
Proyeksi penggunaan CPO pada beberapa tahun
mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan
diterapkannya kebijakan beberapa negara di dunia untuk
menggunakan renewable energy. Hal inilah yang mendorong
penulis untuk mengungkapkan secara singkat kondisi agroindustri
kelapa sawit atau olahannya (CPO) terhadap kompetisi
kepentingan antara kebutuhan pangan (food) dan bioenergi (fuel).
Kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan (food) yang berbasis CPO, seperti
emulsifer, margarine, minyak goreng, minyak makan merah,
shortening, susu kental manis, confectioneries, es krim, yoghurt,
dan sebagainya. Melihat berbagai kegunaan dan manfaat seperti
diungkap di atas menjadikan agroindustri kelapa sawit, khususnya
CPO memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan ke depan.
Prospek pasar CPO di dukung oleh beberapa pertimbangan. CPO
diyakini mempunyai daya saing yang kuat dalam persaingan
dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, raspeseed,
minyak bunga matahari, dan kopra. CPO dikatakan berdaya saing,
berdasarkan beberapa alasan, di antaranya; (a) produktivitas per
hektar cukup tinggi, (b) merupakan tanaman tahunan yang cukup
handal terhadap berbagai perubahan agroklimat, dan (c) ditinjau
dari aspek gizi, CPO tidak terbukti sebagai penyebab
meningkatnya kadar kolesterol, malah berkhasiat menurunkan
kolesterol dalam darah, selain itu mengandung beta karoten
sebagai pro-vitamin A.
pg. 60
Faktor lainnya, adalah sekitar 80 persen dari penduduk
dunia khususnya di negara berkembang masih berpeluang
meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak.
Dalam hal ini, pilihannya lebih banyak pada CPO. Karena disamping
faktor penduduk, peningkatan konsumsi, juga disebabkan oleh
efek substitusi dan efek pendapatan. Produksi minyak nabati
dunia pada 2005 mencapai 138.808 juta ton atau meningkat 4,01
persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi minyak nabati
dunia juga meningkat. Pada tahun yang sama, kebutuhannya
sebesar 138,1 juta ton atau mengalami peningkatan 4,37 persen.
Kontribusi minyak nabati dunia, dipasok oleh kedelai dan
kelapa sawit. Pada 2005, masing-masing menyumbang 33,491 juta
ton, atau 47,91 persen dari total produksi minyak dunia. Negara
penghasil kedelai terbesar adalah Amerika Serikat, sedangkan
kelapa sawit Indonesia dan Malaysia yang mencapai 80 persen
(29,1 juta ton) dari produksi kelapa sawit dunia. Pertumbuhan
produksi kelapa sawit, mencapai 8,44 persen. Angka itu
menunjukkan kelapa sawit berpotensi besar memasok kebutuhan
minyak nabati dunia. Di Indonesia, salah satu turunan dari minyak
kelapa sawit, yang banyak dibutuhkan adalah minyak goreng.
Selain margarine, shortening, bahan campuran pada es krim, lemak
roti, krim biskuit, coklat dan mi instan.
Produksi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005
sebanyak 6,43 juta ton. Produksi terbesar di Jawa (51,4 persen),
Sumatera (47,6 persen), dan Kalimantan (1,1 persen). Sementara
konsumsi minyak goreng penduduk Indonesia terus meningkat.
Tahun lalu, rata-rata konsumsi perkapitanya 16,5 kilogram. Tak
heran jika produksi minyak goreng hanya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Meskipun banyak beredar minyak goreng
dari bahan nabati lain, seperti minyak jagung, minyak bunga
matahari, atau campuran keduanya dengan minyak sawit, tapi
tampaknya konsumen Indonesia lebih memilih CPO alias minyak
sawit mentah. Pertimbangan harga lebih terjangkau dan
distribusinya luas, sehingga mudah di dapat.
pg. 61
Kebutuhan Bioenergi
Untuk kebutuhan bahan bakar nabati (fuel) atau bioenergi.
CPO menjadi bahan baku utama pembuatan biodiesel dan yang
paling siap dibanding jarak pagar. Biodiesel adalah bahan bakar
cair untuk mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati yang
diperoleh melalui proses methanolisis. Reaksi yang digunakan
adalah transesterifikasi atau esterifikasi dengan metanol sebagai
katalisnya.
Biodiesel sawit terbuat dari CPO yang dihasilkan dari buah
bagian luar (mesokarp). Keunggulan biodiesel sawit antara lain bisa
menekan tingkat polusi sehingga diharapkan bisa melindungi
kelestarian alam. Hasil penelitian Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI) Bogor, jika mobil diesel menggunakan solar biasa,
tingkat konsumsinya mencapai 1 : 13, artinya 1 liter untuk 13 km
jarak tempuh. Tetapi jika dicampur biodiesel dan solar
perbandingan 90 persen : 10 persen, maka tingkat konsumsi bahan
bakar menjadi 1 : 14. (Dimuat Harian Tribun Timur, 10 Januari
2007).
pg. 62
2. Potensi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Barat
pg. 63
pertanaman kakao seluas 296.039 hektar, kelapa sawit 84.248
hektar, kelapa dalam dan hibrida 68.804 hektar, dan berbagai
komoditi perkebunan lainnya. Keempat, Sulbar memiliki potensi
produksi yang tinggi dari tanaman pangan dan hortikultura.
Misalnya, areal persawahan seluas 68.820 hektar, pertanaman
jagung seluas 22.313 hektar dan jeruk seluas 19.552 hektar.
Kelima, pada komoditas peternakan, khususnya sapi, kambing dan
ayam buras, Sulbar berpotensi menjadi produsen terbesar di
Indonesia terutama pengembangan ternak kambing, yang terkenal
dengan kambing asal Majene.
Keenam, di bidang kehutanan, Sulbar memiliki potensi
hutan seluas 1.131.905 hektar. Untuk itu, berpeluang
menghasilkan berbagai jenis kayu, seperti kayu hitam (ebony) dan
berbagai jenis spesies rotan. Ketujuh, dilihat dari segi mata
pencaharian, sebagian besar penduduk Sulbar bekerja di sektor
pertanian, yaitu berjumlah 318.805 orang (2004) atau sekitar 75,17
persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Dengan jumlah
tersebut, sangat bermanfaat sebagai sumber tenaga kerja dengan
upah yang relatif rendah dan sumber inventor serta inovator
wirausahawan yang merupakan pelopor di sektor agribisnis.
Kemudian dari sisi permintaan, prospek pengembangan
agribisnis di Sulbar dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
sampai saat ini, konsumsi per kapita produk pangan di Indonesia,
termasuk Sulbar masih tergolong terendah di dunia. Kecuali
konsumsi beras yang tertinggi di dunia, akan tetapi konsumsi per
kapita ikan, sayuran, buah-buahan, daging, susu, telur, dan lain-lain
masih rendah. Rendahnya konsumsi produk pangan ini antara lain
disebabkan karena masih relatif rendahnya pendapatan per kapita
penduduk. Tetapi di masa yang akan datang, pendapatan per
kapita penduduk di Indonesia diperkirakan di atas 2.500 USD.
Kedua, di pasar internasional, pasar produk-produk
agribisnis masih sangat besar. Terdapat dua fenomena masa
depan yang menyebabkan meningkatnya peluang pasar produk
agribisnis di pasar internasional, yaitu (1) liberalisasi perdagangan
pg. 64
dunia akan meminimumkan atau menghapus kebijakan proteksi
seperti tarif, subsidi dan berbagai non tariff barrier perdagangan
produk-produk agribisnis, dan (2) meningkatnya industrialisasi
yang tidak berbasis pertanian di berbagai negara, khususnya di
negara-negara yang sempit wilayahnya, akan mengakibatkan
mengalirnya sumber daya dari sektor pertanian ke luar sektor
pertanian. Akibatnya produksi pertanian pada negara yang
bersangkutan akan menurun karena tidak kompetitif dengan
sektor lainnya. Kedua fenomena tersebut, akan menciptakan
peluang pasar yang sangat besar bagi produk-produk agribisnis di
pasar internasional. Dengan demikian, daerah-daerah yang masih
memiliki ruang gerak yang luas bagi pengembangan sektor
agribisnis, seperti Sulbar, akan memiliki peluang yang sangat besar
untuk memanfaatkannya.
pg. 65
menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan SDM agribisnis yang mumpuni dan tangguh.
Dengan latar belakang pendidikan formal dan pengalaman
SDM agribisnis di Sulbar yang sangat bervariasi, bahkan data
menunjukkan pelaku agribisnis di Sulbar sekitar 75,17 persen dari
jumlah penduduk yang bekerja rata-rata berpendidikan SLTP ke
bawah. Untuk itu, pengembangan SDM agribisnis yang demikian
diperlukan suatu on the job cross training, selain on the job training
yang telah berlangsung selama ini. Kedua, pembangunan bidang
infrastruktur untuk mendukung pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan sektor agribisnis, diperlukan pembangunan
infrastruktur agribisnis, seperti jaringan jalan dan jembatan,
bandar udara, pelabuhan, jaringan listrik, air dan telepon. Ketiga,
pembangunan ekonomi kerakyatan (PEK). PEK merupakan
perwujudan dari demokrasi ekonomi, yakni dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini mengandung arti bahwa
pertumbuahn ekonomi seharusnya diperoleh dengan
menggunakan sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh sebagian
besar rakyat Indonesia dan dikelola oleh rakyat secara individu
maupun melalui organisasi rakyat seperti koperasi, usaha kecil,
usaha menengah, serta usaha besar yang hasilnya dapat dinikmati
dan diterima oleh rakyat.
Oleh karena itu, PEK harus dititk beratkan pada bagaimana
menggerakkan ekonomi masyarakat, baik yang tinggal di
pedesaan maupun perkotaan sesuai potensi daerah masing-
masing. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan di Sulbar,
dengan menggunakan pendekatan konsep sistem dan usaha
agribisnis, yaitu mencakup tanaman pangan dan hortikultura,
kelautan dan perikanan, perkebunan, kehutanan dan peternakan.
Mengingat potensi SDA Sulbar, yang memiliki wilayah seluas
19.650,93 km persegi, merupakan potensi yang hingga saat ini
masih belum dikelola secara optimal, khususnya di sektor
agribisnis. Bahkan karena keterbatasan jumlah SDM agribisnis,
pg. 66
sehingga masih banyak lahan tidur yang tidak dimanfaatkan, yang
semestinya berpotensi untuk dikembangkan.
Bidang pertanian, yang merupakan mata pencaharian
sebagian besar penduduk Sulbar. Selama ini masih dikerjakan
secara tradisional dan belum menerapkan konsep dan sistem
usaha agribisnis, sehingga hasilnya kurang maksimal. Akibatnya
kehidupan ekonomi petani tetap di bawah garis kemiskinan.
Karena itu, pemimpin Sulbar harus melakukan pendekatan dengan
sentuhan inovasi teknologi modern, seperti perlunya dilakukan
pelatihan kepada petani, bagaimana cara bercocok tanam yang
baik, cara fermentasi biji kakao, dan cara pengolahan virgin
coconut oil (VCO) yang baik. Karena Sulbar termasuk penghasil
kakao dan kelapa dalam terbesar di Sulawesi. (Dimuat Harian
Pedoman Rakyat, 30 Desember 2007).
pg. 67
3. Orientasi Pengembangan Agribisnis Sulawesi Selatan
Reorientasi Pendekatan
Dalam upaya mengoptimalkan berbagai kebijakan di bidang
pembangunan pertanian, baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota, diharapkan dapat melakukan
reorientasi pendekatan pembangunan pertanian dari ‚orientasi
produk‛ ke ‚orientasi agribisnis, yaitu menempatkan pasar sebagai
‚driving force‛ dalam menghela pembangunan di masa depan.
Dalam konsep paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis
pg. 68
pertanian, sektor agribisnis atau sistem agribisnis mencakup
empat subsistem. Pertama, sub sistem agribisnis hulu (up-steeam
agribusiness), yaitu kegiatan industri dan perdagangan yang
menghasilkan sarana pertanian primer, seperti bibit, agrokimia,
agro-otomotif dan sebagainya. Kedua, sub sistem usahatani (on-
farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan
sarana produksi pertanian primer untuk menghasilkan komoditas
primer.
Ketiga, sub sistem agribisnis hilir (down-stream agribisnis),
yaitu kegiatan industri yang mengelolah komoditas primer
menjadi produk olahan (agroindustri), beserta pemasaran dan
perdagangannya. Keempat, sub sistem jasa penunjang (agro-
supporting institutions), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi
pengembangan agribisnis, seperti perbankan, penelitian dan
pengemabangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah, infrastruktur
pertanian di pedesaan dan sebagainya.
Terkait dengan strategi pembangunan pertanian, yang
berorientasi agribisnis merupakan suatu kegiatan lintas sektoral
sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada dukungan
sektor yang terkait. Selain itu, peran sektor agribisnis untuk
mendukung sektor lainnya perlu dilihat dalam konteks dua arah.
Bahwa pertanian hanya akan maju apabila sektor lain yang terkait
memberikan dukungan yang sepadan. Hal inilah yang merupakan
prasyarat utama untuk membangun pertanian ke depan yaitu
dengan pendekatan pembangunan pertanian berwawasan
agribisnis.
pg. 69
produksi yang bersifat technological hose atau capital bace. Oleh
karena itu, kecenderungan produk agribisnis Sulsel dalam
perdagangan internasional dengan melihat perkembangan ekspor
dan spesialisasi perdagangannya dapat dijadikan acuan untuk
memberikan arahan pengembangan agribisnis dan agroindustri
untuk tujuan ekspor di masa mendatang.
Beberapa hal spesifik yang harus diperhatikan ke depan
yaitu bagaimana menghadapi tantangan terutama dalam rangka
meningkatkan daya saing produk agribisnis Sulsel. Pertama,
bagaimana agar produk agribisnis Sulsel dapat memenuhi
persyaratan mutu ketat yang diberlakukan, khususnya oleh
negara-negara maju seperti Jepang, Eropa dan Amerika.
Persyaratan-persyaratan ini di kemas dalam apa yang disebut
‘Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures’, yang sering disebut
sebagai proteksi baru dalam perdagangan komoditi pertanian.
Jepang misalnya, menggunakan tiga macam peraturan yang
berkaitan dengan impor pangan mereka. Food safety law
mengatur maksimum bahan kimia, seperti pemakaian zat aditif
atau pemanis, maksimum pestisida, dan sebagainya. Plant
protection law berkaitan dengan persyaratan SPS, dan Food control
law, yang mengatur pelabelan dalam hal nilai gizi, alamat
produsen, dan importir lokal.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan
sistem HACCP (hazard analysis critical control point) sejak 18
Desember 1997 lalu. Produk-produk perkebunan, pertanian dan
perikanan yang masuk ke AS, ditolak jika tidak memenuhi standar
mereka. Misalnya kakao Indonesia yang di ekspor ke AS, hanya di
hargai dengan standar mutu kelas (grade) III. Kedua, lambatnya
produk agribisnis kita dalam mengantisipasi perubahan pasar. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya Indonesia mengakses peluang-
peluang pasar. Atase-atase kita di luar negeri harusnya dapat
melakukan ini dan bukan hanya melaporkan hal-hal yang bersifat
protokoler belaka. Penggunaan teknologi informasi (IT), seperti
pg. 70
internet belum memasyarakat bagi pengusaha agribisnis, karena
masih pada skala usaha kecil menengah (UKM).
Ketiga, lemahnya pengembangan produk (product
development kita. Seharusnya kebijakan pembangaunan pertanian,
diarahkan pada pembangunan agroindustri, seperti industri hilir
yang mampu mengolah lebih lanjut produk kakao, udang, ikan dan
rumput laut sebelum di ekspor. Keempat, lemahnya promosi kita.
Sesungguhnya banyak negara yang menyukai produk-produk
Indonesia, khususnya produk agribisnis Sulsel, tetapi mereka
belum mengenalnya. Kelima, suplai produk kita yang tidak
kontinyu. Masalah skala usaha agribisnis merupakan faktor
dominan, sehingga produk tidak kontinyu. Keenam, rendahnya
mutu sumber daya manusia (SDM) agribisnis, terutama tingkat
pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang bekerja di sektor
ini, umumnya belum mendukung untuk mendorong percepatan
pengembangan agribisnis di pedesaan.
Terkait dengan hal tersebut, yang harus dan mesti
dilakukan adalah pemecahan persoalan mengenai skala usaha dan
bagaimana meningkatkan profesionalisme pelaku agribisnis,
khususnya di pedesaan. Untuk itu, visi pembangunan pertanian
Sulsel ke depan berlandaskan ‘membangun pertanian moder,
tangguh dan efisien’. Hakikat dari itu, Sulsel harus membangun
pertanian modern yang berbudaya industri dalam rangka
membangun industri pertanian yang berbasis di pedesaan.
(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat, 3 Nopember 2006).
pg. 71
4. Pengembangan Biofuel Berbasis Agribisnis
pg. 72
bensin, telah berdampak positif bagi lingkungan. Uji coba yang
dilakukan BPPT menunjukkan E-10 menghasilkan emisi karbon (CO
dan CO2), sulfur dioksida (SO2) lebih rendah dibandingkan bensin
murni. Termasuk kinerja mobil menjadi lebih baik. Bahkan
campuran hingga kadar bioetanol 25 persen tidak perlu modifikasi
mesin.
pg. 73
mendukung pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan
yang menjadi bahan baku biofuel. Beberapa komoditas pertanian
dan perkebunan, yang menjadi fokus untuk dibiayai adalah kelapa
sawit, kakao, tebu, karet, jarak pagar, jagung, dan singkong.
Namun untuk tahap pertama, prioritas pembiayaan akan dilakukan
untuk komoditi tebu dan kelapa sawit.
Efisiensi Penggunaan
Mengenai efisiensi penggunaan biofuel, khususnya
penggunaan biodiesel pada kapal-kapal ikan nelayan hampir 40
persen. Nelayan biasanya butuhkan solar 30 liter per hari,
sementara dengan biodiesel hanya butuhkan 18 liter per hari.
Harga biodiesel juga lebih murah, yaitu Rp 4.000 per liter,
sedangkan harga solar di SPBU Rp 4.300 per liter. Mengingat
kebutuhan BBM secara nasional semakin meningkat, seiring
peningkatan harga BBM yang semakin melambung di pasaran
dunia, maka solusi terbaik yang harus dilakukan adalah
pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai energi
alternatif.
Bayangkan, kebutuhan BBM secara nasional mencapai 60
juta kilo liter per tahun. Sebanyak 40 juta kilo liter berupa solar
dan minyak tanah. Jika ingin menutupi kebutuhan itu, hanya
diperlukan 5 – 8 ton minyak nabati terutama yang bersumber dari
minyak kelapa sawit. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 15 Agustus
2006).
pg. 74
5. Potensi Pengembangan Agroindustri Berbasis Kelapa
pg. 75
mengupas seputar potensi pengembangan agroindustri berbasis
kelapa.
Terkait dengan pengembangan agroindustri, strategi
pengembangan agroindustri ke depan telah jelas, dengan visinya
yaitu mewujudkan agroindustri berbasis teknologi dan
berwawasan nilai tambah, serta mampu menghasilkan produk
berdaya saing tinggi, baik untuk ekspor, maupun untuk kebutuhan
masyarakat di dalam negeri, sehingga agroindustri dapat menjadi
tulang punggung perekonomian nasional. Sedangkan untuk
mencapai visi itu, maka disusunlah misi pengembangan
agroindustri, yakni mendorong pemanfaatan, pengembangan, dan
penguasaan teknologi agroindustri untuk meningkatkan nilai
tambah komoditas pertanian demi terwujudnya sistem pertanian
yang berkebudayaan industri.
Beragam Produk
Hampir semua bagian pohon kelapa, mulai dari akar,
batang, daun, dan buah memberi peluang usaha yang sangat
menjanjikan. Beragam produk berbasis kelapa, seperti bahan
bangunan, furniture, aksesoris, dekorasi, perabot rumah tangga,
makanan, dan minuman bisa menjadi komoditi usaha. Sabut kelapa
misalnya, dari yang umum hanya dipintal menjadi tali dan keset,
ternyata dapat menjadi produk yang punya nilai tambah lebih
tinggi. Serbuk dan seratnya lebih lanjut dapat diolah menjadi
dinding peredam suara, kayu partikel, media tanam, matras, jok
mobil, dan pelapis tempat tidur pegas (spring bad). Sementara
selama ini industri dalam negeri hanya mengekspor dalam bentuk
serat dan serbuk ke Korea Selatan, Australia, Brasil, dan Jerman.
Produk kelapa lainnya adalah dari daun dan lidi, juga bisa
dibuat kerajinan anyaman untuk tempat buah, aksesoris,
kebutuhan alat rumah tangga seperti sapu. Kalau biasanya sapu
lidi dibuat secara tradisional dan dipasarkan di pasar tradisional,
kini dibuat produk yang lebih baik kemasannya dan daya tahannya
lama dengan bentuk dan daya gunanya yang lebih praktis, akan
pg. 76
memberikan nilai tambah dan menjualnya di supermarket. Selain
itu, briket batok kelapa yang ramah lingkungan menjadi solusi
yang sangat terjangkau di tengah kesulitan bahan bakar minyak
saat ini. Briket batok kelapa, bisa juga di ekspor ke beberapa
negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi,
Jerman, dan Perancis. Keuntungannya cukup menjanjikan.
Keuntungan lain, dari tempurung kelapa adalah untuk
menggantikan formalin sebagai bahan pengawet bahan pangan.
Asap cairan tempurung kelapa yang harganya lebih murah dan
aman bagi kesehatan, yang bisa mengawetkan makanan lebih lama
dari formalin. Begitu juga dengan air kelapa. Minuman dikala haus
dahaga yang banyak dijajakan di pinggir jalan ini mulai banyak
dilirik sebagai minuman isotonik atau pengganti cairan tubuh,
terutama sehabis melakukan kegiatan fisik berat. Air kelapa juga
dapat diolah menjadi kecap dan nata de coco. Sedangkan ampas
kelapa yang kaya galaktomanan dikenal sejak dahulu sebagai
senyawa aktif yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
diabetes mellitus (DM).
Makanya, galaktomanan kerap digunakan sebagai
pengganti gula pada kopi khusus penderita diabetes. Ia juga dapat
mencegah kenaikan kadar kolesterol jahat dalam darah. Andi Nur
Alamsyah, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Hasil Pertanian, Bogor, sukses memurnikan
galaktomanan dari ampas kelapa hingga 61 persen. Sisa ampas
yang terpisah pada emulsi diambil dan dikeringkan dengan oven
pada suhu 500C. Hasilnya berbentuk bubuk, seperti yang banyak di
jual di pasar.
Pangan Fungsional
Produk olahan berbasis kelapa yang sedang berkembang
saat ini adalah virgin coconut oil (VCO) yang merupakan produk
pangan berbasis kelapa yang bisa dijadikan sebagai suplemen
kesehatan. Puluhan tahun minyak kelapa murni didakwa sebagai
biang kerok penyakit maut yaitu jantung dan penyebab kolesterol.
pg. 77
Tapi kebenaran akhirnya datang juga setelah riset sahih
membuktikan bahwa VCO justru menyehatkan lantaran
mengandung 93 persen asam lemak jenuh, tetapi 47 – 53 persen
berupa minyak jenuh berantai sedang. Ia tak dapat tersintesis
menjadi kolesterol, tidak ditimbun dalam tubuh, karena mudah
dicerna dan terbakar.
Minyak perawan ini, merupakan salah satu komoditi hasil
olahan kelapa yang belakangan ini laris manis. Dengan kadar asam
laurat yang tinggi, akan memberi khasiat lebih baik terhadap
penyembuhan berbagai penyakit. Selain khasiatnya, komoditi yang
satu ini mampu memberi keuntungan yang sangat menggiurkan.
Misalnya Teguh Wibowo, seorang pedagang VCO dari Yogyakarta,
bisa meraup keuntungan hingga 100 persen. Namun sayangnya,
VCO produk dalam negeri kualitasnya masih belum memenuhi
tuntutan pasar internasional. Kandungan asam lauratnya yang
dipercaya mampu menjadi obat berbagai penyakit belum bisa
dipenuhi oleh produsen VCO dalam negeri.
Demikianlah sekilas potret beberapa produk, dari 1001
macam manfaat dan kegunaan dari kelapa. Masih banyak lagi
peluang menguntungkan dari produk agroindustri berbasis kelapa
yang terus bermunculan seiring kemajuan teknologi dan tingkat
kreativitas masyarakat. Tapi perlu diingat, agar produk yang
dihasilkan bernilai tambah, diperlukan inovasi, kreativitas, dan
sentuhan teknologi. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 6 September
2006).
pg. 78
6. Prospek UMKM Bidang Agroindustri
pg. 79
akan mengulas prospek pertumbuhan UMKM bidang agroindustri
di tahun 2007 yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Produk Agroindustri
Membahas prospek pertumbuhan bisnis sektor
agroindustri menarik untuk dicermati sebab bidang ini dapat
memberikan peluang usaha yang cukup menjanjikan. Sektor
agroindustri merupakan salah satu bidang usaha yang cukup
banyak digarap para pelaku UMKM. Di banyak gerai supermarket
atau hypermarket, banyak kita jumpai produk makanan dan
minuman yang dihasilkan para pelaku UMKM berbasis
agroindustri. Berbagai produk agroindustri, baik makanan dan
minuman dengan berbagai cita rasa memberikan peluang bisnis
yang menggiurkan, bahkan bila digarap secara serius mampu
mengangkat citra daerah setempat, apalagi kadang-kadang bahan
bakunya mudah dicari, bahkan kadang hanya dianggap sebagai
limbah.
Jika selama ini dendeng dikenal sebagai lauk pelengkap
makan berbahan daging sapi yang dikeringkan, maka di daerah
Cimahi Jawa Barat ada dendeng yang di buat dari jantung pisang.
Rasanya enak, mirip-mirip dengan sapi dan harganya murah,
sehingga laris manis di pasaran. Tak salah jika Bambang Eko Putro,
perintis dendeng jantung pisang (denjapi) mengaku potensi
bisnisnya sangat menjanjikan. Begitu juga kipra seorang wanita
bernama, Nur Anisa. Kalau selama ini banyak orang mengenal lidah
buaya sebagai penyubur rambut, atau kosmetik dan minuman siap
saji, tetapi di tangan Nur Anisa daging lidah buaya dapat
digunakan sebagai bahan baku produk pangan, yaitu menjadi
dodol yang memiliki cita rasa yang unik.
Selain itu, labu yang dikenal selama ini produk dengan nilai
ekonomi terbilang rendah karena hanya dibuat produk olahan
sayur atau makanan penutup seperti kolak, di tangan Rachman S.
Said, dibuat menjadi produk olahan lebih lanjut seperti mi, yang
pg. 80
dapat menjadi bahan pangan alternatif. Mi berbahan baku labu
dapat menjadi alternatif produk pangan kesehatan (health food)
karena mengandung anti oksidan dan anti kanker. Demikianlah,
beberapa contoh entrepreneur bidang agroindustri di berbagai
daerah, dan masih banyak lagi contoh pengusaha dengan berbagai
jenis produk yang patut diteladani.
Potensi pertumbuhan UMKM bidang agroindustri
khususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar)
juga cukup prospektif. Beberapa komoditi andalan di kedua
provinsi ini bisa dikelola menjadi produk agroindustri. Sebut saja,
rumput laut, berbagai jenis ikan laut, jagung, jeruk, mangga,
durian, dan sebagainya. Tinggal kita menunggu entrepreneur
pemula yang memiliki visi bisnis, yang jeli menangkap peluang di
bidang ini.
Kendala Pasar
Prospek usaha di bidang agroindustri menurut Ketua
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI), Thomas Darmawan, sangat bagus. Namun masih
terkendala lemahnya akses pasar dan masih lemahnya
pengemasan (packaging) produk, serta lemahnya desain produk
yang dibuat para pelaku UMKM. Untuk mengatasi hal ini, sangat
diperlukan support dari instansi pemerintah, dengan melakukan
koordinasi antar instansi terkait, misalnya dari pihak departemen
perdagangan, perindustrian, koperasi dan UKM, serta departemen
pertanian, yang masing-masing memiliki divisi berkaitan dengan
pelaku UMKM. Dengan begitu dapat dilakukan pembenahan dari
sisi merek, kemasan, dan promosi, sehingga produk pelaku UMKM
mampu menerobos pasar ritel modern seperti supermarket,
hypermarket, dan bahkan perlu pula diperkenalkan ke pasar
internasional. Untuk itu, dalam mendukung kelancaran usaha,
dibutuhkan campur tangan pemerintah, seperti masalah
penentuan harga bahan baku dan harga jual produk, serta jaminan
pasar.
pg. 81
Hal lain yang dibutuhkan untuk mengembangkan UMKM
lebih pada bantuan kemudahan mendapatkan bantuan dana lunak,
termasuk perlunya pendampingan dalam membagi dan
menerapkan ilmu dan teknologi. Untuk mengaplikasikan apa yang
diharapkan UMKM, seperti mutu dan nilai jenis ekonomis. Bagi
pengusaha pemula di bidang agroindustri, mempelajari produk,
mengerti kegunaan nilai gizi, efek samping, dinamika pasar,
merupakan langkah yang harus diperhatikan saat awal akan
memulai usaha. (Dimuat Harian Tribun Timur, 1 Pebruari 2007).
pg. 82
7. Keunggulan Produk Olahan Kakao bagi Kesehatan
pg. 83
Keunggulan Produk Olahan
Keunggulan produk olahan kakao dan coklat serta
pengaruhnya terhadap kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang
baru sama sekali, karena sudah sejak tahun 1600 – 1700-an
digunakan sebagai perlakuan untuk pengobatan di Amerika
Tengah dan Eropa. Kemudian berkembang konsep bahwa
minuman produk olahan kakao dan coklat mempunyai keunggulan
terhadap kesehatan diterima secara luas hingga kira-kira tahun
1850 – 1900-an (Keen, 2001 dalam Sudibyo, 2012). Dalam kurun
waktu 30 – 40 tahun kemudian, persepsi masyarakat terhadap
kakao dan coklat telah berubah karena diyakini mempunyai peran
yang penting dalam menjaga kesehatan, setelah banyak diteliti
dan ditemukan adanya beberapa zat yang bermanfaat dalam
produk olahan kakao dan coklat. Salah satu zat tersebut di
antaranya adalah senyawa flavonoid yang termasuk dalam sub-
kelompok senyawa polifenol. Dalam sistem antioksidan, senyawa
flavonoid masuk sebagai golongan antioksidan lipofilik yang
berguna untuk memproteksi oksidasi lipid pada membran sel
dalam tubuh.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Jenis
yang pertama diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dalam
laboratorium atau pabrik farmasi. Sedangkan, jenis yang kedua
merupakan senyawa alami yang terdapat dalam buah (anggur,
jeruk, apel), sayuran (brokoli, bawang putih, lada), dan biji-bijian
termasuk biji kakao. Biji kakao hasil panen mempunyai warna ungu
dominan yang mengindikasikan kandungan senyawa polifenol
yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa
polifenol pada kakao dan coklat dapat menghambat terjadinya
kematian oleh apoptoksis, baik disebabkan karena
membengkaknya jaringan sel kanker usus (Carnesecchi et al,. 2002
dalam Sudibyo, 2012) maupun jaringan sel kanker payudara
(Kozikowski et al,. 2003 dalam Sudibyo, 2012).
pg. 84
Coklat Makanan Fungsional
Bagi kalangan masyarakat yang ekonominya sudah mapan,
makan tidak sekedar kenyang tetapi yang lebih utama adalah
untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang prima
(fitness), memperlambat proses penuaan, mempertahankan
vitalitas dan memperpanjang usia. Selain memenuhi fungsi dasar
makanan untuk sumber energi, regenerasi dan regulasi organ-
organ tubuh. Oleh karena itu masyarakat perkotaan yang
memahami betapa pentingnya arti kesehatan mulai
mengutamakan untuk mengonsumsi jenis makanan yang bisa
memenuhi fungsi tersier. Makanan yang demikian harus
mengandung unsur-unsur gizi (senyawa bioaktif alami) yang
memberikan khasiat fisiologis tertentu di dalam tubuh, seperti
untuk menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar
gula darah. Jenis makanan yang bisa memenuhi fungsi tersier
sering disebut sebagai makanan fungsional (functional foods).
Penjelasan sebelumnya, telah dikemukakan bahwa khasiat
makanan berbasis olahan kakao dan coklat untuk kesehatan
terletak pada kandungan senyawa polifenol (flavonoid) yang
secara alami ada di dalam kakao. Sehingga hampir semua kajian
ilmiah tentang manfaat coklat untuk kesehatan hanya didasarkan
pada makanan dan minuman coklat yang mengandung komponen
kakao dalam proporsi yang dominan. Selain itu, bahan makanan
coklat tersebut, selama proses pembuatannya tidak mengalami
perlakuan panas, mekanik dan reaksi kimia yang intensif dan
berlebihan. Sebaliknya turunan makanan coklat yang telah
ditambah bahan lain dalam jumlah yang banyak, bahkan
berlebihan seperti gula, susu, lemak non-kakao, pewarna, pemanis
buatan dan penyedap, dan hanya mengandung senyawa polifenol
yang sangat terbatas.
pg. 85
8. Tingkatkan Konsumsi Coklat melalui Hilirisasi
Industri Kakao
pg. 86
ton per tahun. Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong
hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit
pengolahan di sentra biji kakao yang bertujuan untuk
menumbuhkan para wirausaha berskala kecil dan menengah.
Peningkatan Konsumsi
Konsumsi kakao masyarakat Indonesia rata-rata sekitar 0,4
kg per kapita per tahun. Sedangkan, konsumsi negara-negara
ASEAN seperti Singapura dan Malaysia sudah mencapai 1 kg per
kapita pertahun, bahkan beberapa negara di Eropa konsumsinya
lebih dari 8 kg per kapita per tahun. Salah satu upaya untuk
meningkatkan konsumsi coklat adalah melalui promosi yang
dilaksanakan di dalam maupun luar negeri, termasuk dalam
momen Peringatan Hari Kakao Indonesia. Ajang ini akan
mendorong peningkatan kesejahteraan petani kakao sekaligus
memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional dan
penyerapan tenaga kerja. Selain itu, menjadi ajang
memperkenalkan berbagai macam produk olahan coklat di
Indonesia kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan
konsumsi coklat di dalam negeri.
Peringatan hari kakao Indonesia sudah menjadi tradisi bagi
semua pemangku kepentingan kakao dan coklat Indonesia untuk
dirayakan setiap tahun sejak tahun 2012. Semoga kegiatan ini
dapat dilaksanakan setiap tahun, sehingga konsumsi coklat di
dalam negeri dapat meningkat seiring dengan berkembangnya
industri hilir pengolahan kakao di Indonesia. Makin tinggi tingkat
konsumsi coklat dalam negeri, maka makin besar pula kebutuhan
kakao bagi perusahaan pembuat coklat.
pg. 87
untuk menghambat oksidasi kolesterol LDL (kolesterol jahat) dan
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, sehingga dapat mencegah
risiko penyakit jantung koroner dan kanker.
Studi di Universitas Harvard menunjukkan jika seseorang
mengimbangi konsumsi permen coklat dengan aktivitas fisik yang
cukup dan makan dengan menu seimbang, maka dampak negatif
permen coklat tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Menurut
kepercayaan suku Maya, coklat adalah makanan para dewa. Rasa
asli biji coklat sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi
setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai
makanan yang disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung
lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%. Protein coklat kaya
akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tyrosin.
Meski coklat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak
mudah tengik karena coklat juga mengandung polifenol 6% yang
berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan. Lemak pada
coklat, sering disebut cocoa butter, sebagian besar tersusun dari
lemak jenuh 60% khususnya stearat. Stearat adalah asam lemak
netral yang tidak akan memicu kolesterol darah. Timbul
pertanyaan seberapa banyak kita boleh mengkonsusmi coklat?
Tidak ada anjuran gizi yang pasti untuk ini, namun demikian makan
coklat 2-3 kali seminggu atau minum susu coklat tiap hari kiranya
masih dapat diterima. Makan coklat tidak akan menimbulkan
kecanduan, tetapi bagi sebagian orang rasa coklat yang enak
mungkin menyebabkan kerinduan untuk mengkonsumsinya
kembali. Ini yang disebut chocolate craving. Dampak coklat
terhadap perilaku dan suasana hati (mood) terkait erat dengan
chocolate craving. (Dimuat di Media Online Masalembo.com, 9
Oktober 2017).
pg. 88
9. Bangkitkan Spirit Agroentreprenuership Generasi
Muda
Pentingnya Kewirausahaan
Ciputra (2009) mengemukakan lima alasan pentingnya
mengapa perlu mempromosikan entrepreunership untuk negara
berkembang seperti Indonesia. Pertama, kebanyakan generasi
muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya entrepreneur,
tetapi dalam budaya ‘pegawai’ atau ‘pekerja’ dan ‘pegawai negeri’.
pg. 89
Mereka lahir dari kalangan pegawai negeri, petani, nelayan, buruh,
hingga pegawai serabutan. Entrepreurship tidak ada dalam
pendidikan keluarga. Tidak mengherankan jika setelah dewasa
mereka memiliki pola pikir ‘mencari kerja’, dan tidak dalam pola
pikir ‘mencipta kerja’. Kedua, entrepreneurship tidak eksis diberikan
dalam pendidikan keluarga dan pendidikan formal. Inspirasi dan
latihan entrepreneurship tidak tercermin atau tidak kita lihat dalam
materi ajar kebanyakan sekolah baik di sekolah dasar maupun di
perguruan tinggi. Hanya ada beberapa program studi atau
perguruan tinggi yang mewajibkan mata kuliah kewirausahaan
bagi mahasiswanya.
Ketiga, sudah waktunya untuk menyampaikan fakta kepada
generasi muda sejak di bangku sekolah dasar, bahwa saat ini kita
terlalu banyak memiliki pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta
kerja. Bahkan, kita juga semakin banyak mempunyai
pengangguran terdidik. Dengan fakta ini, kita dapat memberikan
keyakinan kepada generasi muda dua hal penting, yaitu mereka
dapat memikirkan pilihan menjadi entrepreneur secara matang,
dan mereka tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi
entrepreneur. Keempat, kita tidak dapat menyediakan lapangan
kerja bagi generasi muda, yang masih dapat atau menjadi
kewajiban kita adalah mendidik dan melatih generasi muda untuk
memiliki kemampuan menciptakan pekerjaan bagi diri mereka
sendiri. Sehingga diperlukan keterlibatan semua pihak, termasuk
pengusaha dan mereka yang mempunyai pengalaman sebagai
entrepreneur. Kelima, pertumbuhan jumlah entrepreneur bukan
hanya akan mendorong generasi muda, melainkan secara
keseluruhan akan mendorong penciptaan kesejahteraan
masyarakat yang lebih luas.
Entrepreneurship Centre
Menurut Ciputra (2009) perlunya kampus-kampus atau
perguruan tinggi dikembangkan menjadi entrepreneurship centre
karena tiga alasan. Pertama, kampus adalah ‘terminal utama’
pg. 90
generasi muda terdidik untuk masuk menjadi tenaga kerja
terdidik. Kampus adalah pintu terakhir sebelum dunia kerja.
Perguruan tinggi adalah tempat terakhir penggembelengan
entrepreneur untuk memastikan lulusannya menjadi warga negara
yang mampu mengembangkan diri secara mandiri dan akhirnya
sejahtera secara ekonomi. Kedua, kampus adalah tempat terbaik
untuk melaksanakan pembagunan SDM. Setiap orang yang datang
ke kampus telah memiliki mind-set untuk belajar, dan telah
mengonsentrasikan sebagian waktu hidupnya untuk belajar dan
meningkatkan kualitas diri. Ketiga, kampus memiliki kelompok
SDM pendidik, para ahli, para peneliti, yang memiliki kemampuan
dan komitmen untuk mengembangkan potensi generasi muada.
Diperlukan the entrepreneurial academics dan academicians
yang bisa bermunculan jika lembaga pendidikan, terutama
pendidikan tinggi, bersedia mentransformasikan diri menjadi
lembaga pendidikan yang entrepreneurial, ke luar dari arogansi
kemenaragadingannya. Seorang profesor mungkin sangat pandai
dalam bidang teknik, tetapi kalah pandai dengan seorang pebisnis
konstruksi dalam mencari peluang bisnis dan mengembangkan
proyek. Seorang ahli biologi lebih pandai dalam menentukan jenis
sediaan biologi, tetapi kalah dengan tukang daging yang dengan
sekali lihat dapat menentukan kualitas daging.
Oleh karena itu, semangat untuk membangkitkan spirit
agroentrepreneurship generasi muda, tidak sekadar mencipta
lapangan kerja, tetapi lapangan kerja baru dalam arti jenis usaha
baru di bidang pertanian (agribisnis). Sehingga diharapkan
industri-industri kreatif yang menjadi lokomotif kemajuan
ekonomi setiap bangsa di dunia, pada saat ini akan terhela lebih
cepat dengan munculnya beratus ribu dan berjuta new entrance
entrepreneurs. (Dimuat di Harian Fajar, 4 Nopember 2017).
pg. 91
10. Memacu Ekonomi Kreatif Berbasis Kuliner
pg. 92
sebesar 19,4 miliar dolar AS pada tahun 2015, meningkat 6,6
persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor terbesar berasal
dari sub sektor fesyen 56 persen, kerajinan 37 persen dan kuliner
6 persen.
Meski kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia
meningkat, namun masih terdapat banyak hal yang perlu
diperbaiki. Seperti bagaimana memberikan akses-akses terhadap
potensi pasar global untuk para pelaku ekonomi kreatif. Selama ini
selain permasalahan modal, umumnya UMKM sektor ekonomi
kreatif mengalami masalah di sisi pemasaran, kualitas SDM, bahan
baku dan keterbatasan inovasi dan teknologi. Aspek-aspek inilah
yang harus terus ditemukan solusinya agar UMKM bidang ekonomi
kreatif mampu bersaing.
pg. 93
dalam kegiatan rekreasi di luar ruangan, (5) perhatian dan minat
pada wisata kuliner menjangkau pada semua kelompok umur, dan
(6) masakan lokal merupakan salah satu pendorong dalam memilih
suatu destinasi wisata.
Makna yang terkandung pada wisata kuliner sesungguhnya
adalah aktivitas, estetika, tradisi, dan kearifan lokal. Pertama,
kreativitas adalah aspek ide baru yang dapat memberikan nilai
tambah pada sebuah makanan dan minuman. Kreativitas ini dapat
tertuang melalui kreasi resep, kreasi cara pengolahan, dan kreasi
cara penyajian. Kedua, estetika adalah aspek tampilan dari sebuah
makanan dan minuman yang ditata dengan memperhatikan unsur
keindahan sehingga menjadikan produk kuliner tersebut memiliki
nilai lebih dan mampu menggugah selera konsumen untuk
menikmatinya. Ketiga, tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan kebiasaan dalam mengolah
dan mengonsumsi makanan dan minuman. Unsur tradisi ini sangat
penting dalam menjaga warisan budaya kuliner Indonesia.
Keempat, kearifan lokal adalah identitas suatu daerah berupa
kebenaran yang telah tertanam dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara, dan prilaku yang melembaga secara
tradisional. (Dimuat di Harian Fajar, 2 Januari 2018).
pg. 94
Bagian Ketiga
KETAHANAN DAN
KEDAULATAN PANGAN
pg. 95
1. Menyoal Kebijakan Ketahanan Pangan
pg. 96
peningkatan ketahanan pangan itu adalah menyangkut
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Pertama, aspek
ketersediaan. Berarti pangan tersedia cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman. Persoalan yang dihadapi terkait dengan aspek ketersediaan
pangan ini antara lain tingginya laju peningkatan kebutuhan
beberapa komoditas pangan yang lebih cepat dari pada laju
peningkatan produksi karena terbatasnya infrastruktur berupa
irigasi, meningkatnya petani gurem, terbatasnya fasilitas
permodalan di pedesaan, lambatnya penerapan teknologi akibat
kurangnya insentif ekonomi, rendahnya kemampuan mengelola
cadangan pangan, rendahnya produksi pangan domestik karena
dampak anomali, dan menurunnya kualitas lingkungan.
Kedua, aspek distribusi. Artinya pasokan pangan dapat
menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga stabil dan
terjangkau oleh rumah tangga. Beberapa persoalan strategis yang
menyangkut pendistribusian, misalnya; (a) terbatasnya sarana dan
prasarana perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah,
terutama daerah terpencil, (b) keterbatasan sarana dan
kelembagaan pasar, (c) banyaknya pungutan resmi dan tidak
resmi, (d) tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Ketiga,
aspek konsumsi. Setiap rumah tangga dapat mengakses pangan
yang cukup dan mampu mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi
dan kesehatan, serta prefensinya. Persoalan yang dihadapi
hubungannya dengan aspek konsumsi antara lain; (a) besarnya
jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan
akses pangan yang rendah, (b) rendahnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi, (c)
masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang
berasal dari beras, dan (d) rendahnya kesadaran masyarakat
terhadap keamanan pangan.
pg. 97
Pentingnya Diversifikasi
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya diversifikasi pangan sudah terlihat sejak beberapa
dekade yang lalu. Diversifikasi horizontal masih sangat mewarnai
arah pengembangan pertanian. Upaya untuk mengembangkan
komoditas bukan beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu, pisang,
dan ketela pohon sebagai pengganti beras tampaknya kurang di
respon oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan bukan saja
konsumsi beras perkapita kita terus meningkat, bahkan komoditas
pengganti beras tersebut, selain tidak disukai, sering mendapat
label inferior, bila menjadikan komoditi non beras sebagai
makanan pokok. Saat ini, diversifikasi vertikal merupakan arah
yang harus kita tempuh, untuk mengantisipasi ketergantungan
kita terhadap konsumsi beras. Para pakar mensinyalir, kita belum
secara serius menggarapnya. Ini merupakan tantangan yang harus
kita jawab bersama, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Upaya menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan
industri pangan (agroindustri), baik dalam skala kecil, menengah,
dan besar di pedesaan dan diperkotaan, adalah salah satu
prasyarat utama. Jika reposisi dan redefinisi pertanian industrial
abad 21 dapat meluas kepada subsistem di luar konsentrasi aspek
budidaya seperti agroindustri, pemasaran, permodalan, dan
infrastrukturnya, agaknya iklim kondusif lebih muda didekati.
Diversifikasi juga mempunyai dimensi regional, yang
mengutamakan spesialisasi wilayah dalam memproduksi
komoditas unggulan secara efisien, berkelanjutan, dan mampu
diserap pasar. Manakala dimensi regional dan diversifikasi dapat
ditumbuh kembangkan, niscaya ia akan mampu sebagai mesin
yang akan mendorong pertumbuhan dan perdagangan antar
daerah. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 18 Oktober 2006).
pg. 98
2. Diversifikasi Mewujudkan Ketahanan Pangan
pg. 99
rempah-rempah dan bumbu-bumbuan. Semua jenis keragaman
pangan tersebut tersebar di seluruh nusantara dan telah akrab
dengan kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan. Melihat
potensi keragaman pangan tersebut di atas, sudah seharusnya
Indonesia lebih memfokuskan pengembangan pertanian dengan
pola diversifikasi pangan. Indonesia masih memiliki potensi ubi
kayu, jagung, ubi jalar, kentang, dan masih banyak lagi jenis
pangan yang mengandung gizi hampir setara dengan kandungan
gizi pada beras dan gandum.
Sayangnya, pola konsumsi masyarakat yang tergantung
pada beras dan ketika produksi beras tidak mencukupi kebutuhan
konsumen itu ditanggulangi melalui subtitusi dengan gandum
yang bukan merupakan komoditas asli Indonesia. Impor gandum
dari negara lain pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Bahkan mencapai empat juta ton pada tahun 2001. Angka ini jauh
lebih besar dibandingkan dengan jumlah impor beras yang hanya
mencapai 1,35 juta ton pada tahun yang sama. Padahal kebutuhan
pangan untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia telah
bertumpu pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat dan protein
yang pada dasarnya dapat dipenuhi melalui konsumsi umbi-
umbian dan biji-bijian yang bisa didapat dengan mudah di seluruh
Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan di negeri ini seharusnya
tidak dengan cara mengimpor gandum dari negara lain.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan Indonesia
sudah seharusnya dilaksanakan dan bukan menjadi sekadar
wacana lagi. Sudah banyak penelitian dan diskusi yang
menyimpulkan tentang betapa pentingnya diversifikasi pangan
guna mengatasi ketergantungan kepada beras impor dan bahan
pangan impor lainnya. Sejak tahun 2004 telah dibentuk Forum
Kerja Keanekaragaman Pangan yang anggotanya terdiri atas
berbagai unsur masyarakat. Pembentukan forum kerja ini
bertujuan untuk memasyarakatkan program diversifikasi pangan.
Titik kritis program penganekaragaman pangan adalah perubahan
pg. 100
budaya masyarakat, baik budaya pertanian, budaya industri,
budaya perdagangan, dan budaya konsumsi.
pg. 101
3. Urgensi Lahan untuk Mewujudkan Kedaulatan
Pangan
pg. 102
langsung. Iqbal dan Sormaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan
difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk
mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam
(pertanian). Sedangkan lahan pertanian adalah sebidang lahan
yang digunakan untuk usaha pertanian seperti persawahan,
perkebunan dan peternakan. Sumaryanto (2005) menjelaskan
lahan pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan, seperti
pencegah banjir, pengendali keseimbangan air, pencegah erosi,
pengurangan pencemaran lingkungan dan mencegah pencemaran
udara yang berasal dari gas buangan.
pg. 103
Diadopsinya kedaulatan pangan sebagai salah satu tujuan
pembangunan pertanian nasional membutuhkan penyusunan
rencana dan pendekatan pembangunan pangan. Dalam UU No. 18
tahun 2012, berupaya memberikan kewajiban kepada negara
untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas pangan
warga negaranya. Tidak bisa dipungkiri, kedaulatan pangan adalah
konsep yang lahir sebagai respon dari kekecewaan pembangunan
pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.
Tahun 1996 berlangsung pertemuan di Tiaxcala (Mexico),
dalam pertemuan ini berhasil dirumuskan visi, yakni kedaulatan
pangan adalah hak setiap bangsa untuk mempertahankan dan
mengembangkan kemampuannya sendiri untuk menghasilkan
pangan dasar dengan menghormati keragaman budaya dan sistem
produksinya sendiri. Disinilah, kedaulatan pangan diartikan
sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk
mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif serta
menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai
kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-
masing.
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis review
konseptual dari berbagai pemikiran yang berkembang dari
berbagai kalangan, sekaligus memberikan masukan untuk
rumusan yang lebih sesuai bagaimana mestinya kedaulatan
pangan dimaknai dan dijalankan di Indonesia. Karena banyak pihak
yang tidak puas terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan
pangan dunia. Bukti menunjukkan bahwa meskipun ketahanan
pangan tercapai, namun belum mampu menjamin kondisi pangan
lokal dan juga tidak mampu mengangkat martabat petani, karena
berkenaan dengan masalah pemilikan lahan dan segala
permasalahan lahan yang menimpa petani kecil, sehingga dapat
menjadi kendala dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
pg. 104
4. Pengembangan Pangan Lokal Mewujudkan
Kadaulatan Pangan
pg. 105
berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang
budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi. Maka, jalan yang
harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi pangan
lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food sovereignity).
pg. 106
prioritas. Dalam konteks alam, petani perlu perlindungan atas
aneka kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan,
banjir, dan bencana lainnya.
Pemerintah perlu memberi jaminan hukum bila bencana
alam itu menimpa petani, supaya mereka tidak terlalu menderita.
Salah satu solusinya, adalah diperlukan payung hukum berupa UU
yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian
atau konpensasi kerugian bagi petani atas bencana alam. Terkait
dengan hal tersebut, Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian
di era Pemerintahan Megawati, mengatakan bahwa kedaulatan
pangan akan terwujud, jika kita mampu menetapkan kebijakan
yang tepat. Kebijakan yang dimaksud, adalah kebijakan proteksi
sekaligus promosi. Proteksi sangat kita butuhkan dalam
perdagangan internasional yang tidak adil. Karena WTO hanya adil
bagi negara-negara maju, tetapi buat Indonesia tidak adil.
Memang free trade sesuai buat negara maju, tapi tidak buat
negara baru berkembang, seperti Indonesia.
Disamping dibutuhkan adanya proteksi, Indonesia pun
harus all out dalam melakukan promosi. Kalau kita hanya proteksi,
semakin lama proteksinya semakin tinggi, dan tidak bisa kita
pertahankan. Untuk itu, sambil memproteksi, kita juga harus
promosi melalui produktivitas dan kualitas produk yang kita
pasarkan. Misalnya, selama 2000-2004 kita terapkan kebijakan
proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita, terutama
kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan,
melaksanakan dan merevisi bila dirasa itu suatu kebutuhan.
Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di atas 4
persen.
Wujudkan Kedaulatan
Kembali pada persoalan kedaulatan pangan, fenomena
ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat
kebijakan dan proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi
sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah
pg. 107
menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai
dan buah-buahan hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar
bebas, perusahaan menggenjot produksi pangan yang berorientasi
ekspor. Sehingga berakibat, surplus pangan dari negara-negara
maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar
dalam negeri. Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot
produksi hasil perkebunan yang berorientasi ekspor, seperti
terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman pangan di
dalam negeri pun jadi terbengkalai.
Implikasinya, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya
kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi
disektor pangan. Ujung-ujungnya, sektor pangan sangat
bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir
perusahaan raksasa. Kondisi ini diperparah dengan program
privatisasi sektor pangan, yang nota bene merupakan kebutuhan
pokok rakyat. Sebagai contoh, industri hilir pangan hingga
distribusi, baik eksportir maupun importirnya dikuasai perusahaan
asing. Akhirnya mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi
konsumen sehingga pada akhirnya, sektor pangan mengarah ke
sistem monopoli dan oligopoli (kartel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih
disebabkan kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan
pangan pada pasar, yang diawali dengan ditandatanganinya letter
of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas
(1995) melalui agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses
pasar komoditi pertanian Indonesia di buka lebar-lebar, bahkan
hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras (1998).
Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik
menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi,
maupun insentif harga.
Dengan sistem kebijakan dan praktek seperti itu, Indonesia
kini bergantung pada pasar internasional, baik mengenai harga
pg. 108
maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi perubahan pola
produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, negara ini
terkena dampaknya, seperti melambungnya harga sejumlah
komoditas pertanian, akibat tingginya permintaan negara-negara
yang pesat pertumbuhan ekonominya, seperti Tiongkok dan India,
sementara persediaan langka, sehingga terjadilah krisis pangan
global seperti sekarang ini.
Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani
Indonesia, jalan keluar dari krisis pangan adalah menegakkan
kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti memberikan hak
pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata
pertanian di tiap-tiap negara. Untuk itu, mari kita jadikan Hari
Kebangkitan Nasional, sebagai momentum kebangkitan
kedaulatan pangan nasional. Sehingga negara berkewajiban
memproteksi petaninya dari gempuran produk luar, akibat
diberlakukannya CAFTA. Produksi pertanian hasil jeri payah petani
kita sendiri, harus ditujukan pada pemenuhan kebutuhan rakyat,
bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya menguntungkan
perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus
memprioritaskan pemenuhan pasar lokal dan nasional serta
memberdayakan petani di pedesaan (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 16 Mei 2018).
pg. 109
5. Momentum Kebangkitan Kedaulatan Pangan
pg. 110
Bila hal ini dicermati, hampir seluruh komoditas pangan
pokok masih tergantung pada impor, terutama kedelai (61,8 %)
dan gula (19 %), dan hanya kelapa sawit saja yang nol persen.
Terkait hal tersebut Dillon menegaskan, jika Indonesia ingin
mewujudkan kedaulatan bangsa yang tercermin dalam konsep Tri
Sakti, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam
bidang budaya, dan mandiri dalam bidang ekonomi. Maka, jalan
yang harus ditempuh adalah dengan mengandalkan komoditi
pangan lokal tanpa impor, yaitu keberdaulatan pangan (food
sovereignity).
pg. 111
distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai kondisi ekologis,
sosial, ekonomi, serta budaya khas masing-masing.
pg. 112
dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk
pangan bertumbuh di atas 4 persen.
Kembali pada persoalan kedaulatan pangan, fenomena
ketidakmampuan kita berdaulat pada masalah pangan, akibat
kebijakan dan proteksi privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi
sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah
menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas, akibat
tekanan WTO. Konsekuensinya petani padi, jagung, kacang kedelai
dan buah-buahan hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar
bebas, perusahaan menggenjot produksi pangan yang berorientasi
ekspor. Sehingga bekibat, surplus pangan dari negara-negara
maju, berbalik ke pasar nasional, dan merusak mekanisme pasar
dalam negeri. Disaat yang sama, pemerintah malah menggenjot
produksi hasil perkebunan yang berorientasi ekspor, seperti
terjadi pada tata niaga CPO, sehingga produksi tanaman pangan di
dalam negeri pun jadi terbengkalai. Implikasinya, negara dan
rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi disektor pangan. Ujung-
ujungnya, sektor pangan sangat bergantung pada mekanisme
pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa. Kondisi ini
diperparah dengan program privatisasi sektor pangan, yang nota
bene merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sebagai contoh, industri
hilir pangan hingga distribusi, baik eksportir maupun importirnya
dikuasai perusahaan asing. Akhirnya mayoritas rakyat Indonesia
hanya menjadi konsumen sehingga pada akhirnya, sektor pangan
mengarah ke sistem monopoli dan oligopoli (kertel).
Berkenaan dengan itu, terjadinya krisis pangan global lebih
disebabkan kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan
pangan pada pasar, yang diawali dengan ditandatanganinya letter
of intent di bawah komando IMF pada 1998, serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas
(1995) melalui agreement on agriculture (WTO). Sehingga akses
pasar komoditi pertanian Indonesia di buka lebar-lebar, bahkan
hingga 0%, seperti kedelai (1998, dan 2008), serta beras (1998).
pg. 113
Sementara itu subsidi domestik untuk petani terus berkurang, baik
menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi,
maupun insentif harga. Dengan sistem kebijakan dan praktek
seperti itu, Indonesia kini bergantung pada pasar internasional,
baik mengenai harga maupun tren komoditas. Maka, ketika terjadi
perubahan pola produksi – distribusi – konsumsi secara
internasional, negara ini terkena dampaknya, seperti
melambungnya sejumlah komoditas pertanian, akibat tingginya
permintaan negara-negara yang pesat pertumbuhan ekonominya,
seperti Cina dan India, sementara persediaan langka, sehingga
terjadilah krisis pangan global seperti sekarang ini.(Dimuat di
Media online berita-sulsel.com, 20 Mei 2018).
pg. 114
6. Percepatan Kedaulatan Pangan melalui
Pemberdayaan Petani
pg. 115
pangan yang selama ini dipahami ialah segala sesuatu yang erat
kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan pokok
dalam negeri.
Coleman dengan Sovereignty-nya pada tahun 2009
mengatakan bahwa saat ini definisi kedaulatan sering dipoles
dengan berbagai kepentingan investasi lainnya sehingga terlihat
sedikit lebih merakyat. Padahal, konsep kedaulatan pangan
sebenarnya sungguh berpihak pada kemerdekaan dan jati diri
bangsa. Pernyataan Coleman tersebut sesuai dengan kondisi saat
ini dimana definisi dan pengertiannya dibuat menjadi tumpang
tindih dengan ketahanan pangan. Sebagian orang membedakan
keduanya dalam konteks kebutuhan. Sementara makna
kedaulatan pangan tidak hanya mengenai kebutuhan saja
melainkan lebih jauh mencakup ketersediaan stok dan
kesinambungannya, ketidak-tergantungan terhadap produksi
global, harga pasar, dan mempertimbangkan daya beli masyarakat
menengah kebawah. Saat berbicara mengenai kedaulatan pangan
secara tidak langsung pula akan terhubung dengan kemiskinan
dan pengalaman sebelumnya mengenai gizi dan keamanan
pangan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Maxwell
dalam jurnalnya yang berjudul ‚Saucy with the Gods: nutrition and
food security speak to poverty‛ pada 1990-an menyebut kedaulatan
pangan sempat menjadi isu dominan sama seperti isu pengentasan
kemiskinan.
pg. 116
Sovereignty as Responsibility yang pernah ditulis Etzioni tahun
2006 mendefinisikan kedaulatan sebagai tanggung jawab negara
untuk melindungi rakyatnya dari campur tangan pihak lain.
Oleh karena itu, hakikat kedaulatan pangan sebenarnya
adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi
pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem
pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi
dari kekuatan pasar internasional. Terdapat tujuh prasyarat utama
untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah ;
Pertama, pembaruan agraria. Kedua, adanya hak akses rakyat
terhadap pangan. Ketiga, penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan. Keempat, pangan untuk pangan dan tidak sekedar
komoditas yang diperdagangkan. Kelima, pembatasan penguasaan
pangan oleh korporasi. Keenam, melarang penggunaan pangan
sebagai senjata, dan Ketujuh, pemberian akses ke petani kecil
untuk perumusan kebijakan pertanian.
Selain ketujuh syarat tersebut, praktek untuk membangun
kedaulatan pangan harus dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar
sebagaimana yang dicetuskan pada pertemuan World Food Summit
Five Years Later di Roma. Dalam pertemuan tersebut sejumlah
organisasi sosial yang mewakili petani kecil, buruh tani, nelayan,
masyarakat adat bersama sejumlah NGO membentukInternational
Planning Committee for Food Sovereignty (IPC). IPC berperan untuk
memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan FAO dalam
mewujudkan kedaulatan pangan. Konsep kedaulatan pangan pun
semakin dikembangkan dan mendapat dukungan yang meluas.
Pada tahun 2007 diadakanlah konferensi internasional Kedaulatan
Pangan di Nyeleni, Mali. Konferensi ini semakin menguatkan
pemahaman dan perjuangan gerakan sosial mewujudkan
kedaulatan pangan menjadi alternatif menjawab permasalahan
pangan dan pertanian global.
Hal inilah dimanfaatkan gerakan petani dan masyarakat
sipil lainnya untuk memasukkan sebuah alternatif sistem pangan
yang demokratis seperti yang didiskusikan dalam Komisi FAO
pg. 117
untuk Ketahanan Pangan Dunia, yang harus dilaksanakan agar
negara-negara dan masyarakat di sekuruh dunia memiliki hak
untuk melaksanakan kedaulatan pangan.Solusi sejati mengatasi
krisis pangan berarti bahwa petani kecil, dan bukan perusahaan
transnasional, harus mendapatkan kontrol atas sumberdaya
agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah,
air, benih dan pasar lokal.
pg. 118
untuk memahami sebab-sebab terjadinya ketergantungan pangan.
Di tingkat parlemen, ketergantungan pangan dan tak sanggupnya
Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeri dijawab
oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah
konversi lahan pertanian ke non pangan.
Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan
bahwa untuk memperkecil ketergantungan pangan di Indonesia,
harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan. Tidak cukup
hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi,
mengatur soal perdagangan pangan. Atas desakan dari gerakan
rakyat, diantaranya pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah
organisasi tani lainnya, organisasi sosial lain, LSM, hingga para
akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat
Indonesia. Petisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk
memperkuat dan memperluas desakan kepada pemerintah untuk
mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada saat ini demi
melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat
Indonesia.Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga
mulai terlihat dengan adanya respons di tingkat legislasi dengan
perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna menjamin penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap
warga negara.
Pemberdayaan Petani
Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani menjelaskan bahwa Pemberdayaan
petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan
petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,
pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses
ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan
kelembagaan petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
pg. 119
(petani) dalam pembangunan mengandung arti bahwa manusia
ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses
mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama
dalam membentuk dan merubah prilaku masyarakat untuk
mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas.
Di Indonesia, menurut Ravik (2001) perkembangan
pemberdayaan petani dan nelayan kecil dikenal dengan program
penyuluhan, dimulai bersamaan dengan berdirinya Departemen
Pertanian (Van Landbouw) tahun 1905. Pada masa itu, salah satu
tugas departemen tersebut adalah menyalurkan hasil penyelidikan
pertanian kepada petani. Lalu, menjelang dan awal Pelita I, melalui
program Bimbingan Massal – Intensifikasi Massal (Bimas – Inmas)
penyuluhan dilakukan besar-besaran. Walaupun demikian, praktis
sejak perang kemerdekaan orientasi penyuluhan ditujukan untuk
meningkatkan produksi bahan makanan pokok rakyat Indonesia
yaitu beras. Dan puncaknya pengaruh langsung maupun tidak
langsung pelaksanaan penyuluhan adalah keberhasilan Indonesia
mencapai swasembada pangan, yaitu beras yang diakui secara
internasional pada siding FAO 1985 di Roma. Namun, landasan
penyuluhan yang selama ini diketahui hanya sekadar
meningkatkan produksi perlu dikaji kembali. Untuk itu, orientasi
pemberdayaan masyarakat haruslah membantu petani dan
nelayan agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-
inovasi yang ada, dan ditetapkan secara partisipatoris, yang
pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat
sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk
layanan individu maupun kelompok. Sedangkan peran petugas
pemberdayaan masyarakat sebagai outsider people dapat
dibedakan menjadi 3 bagian yaitu peran konsultan, peran
pembimbingan dan peran penyampai informasi.
Penguatan peran serta masyarakat haruslah menjadi
bagian dari agenda demokratisasi lebih-lebih dalam era globalisasi.
pg. 120
Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak
ketimbang sebagai kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan
prioritas agenda pengambilan keputusan atas program-program
pembangunan, khususnya pembangunan pertanian dan pangan
yang ditujukan kepadanya adalah hak masyarakat sebagai
pemegang kata akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam
agenda dan urutan prioritas. Untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat/petani secara umum dapat diwujudkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat
yaitu; Pertama, belajar dari masyarakat. Artinya prinsip yang paling
mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti,
harus dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan
relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan
masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
Kedua, pendamping sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai
pelaku. Artinya konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya
pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya
sebagai pelaku atau guru.
Untuk itu, perlu sikap rendah hati serta kesediaan untuk
belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat
sebagai nara sumber utama dalam memahami keadaan
masyarakat itu. Ketiga, saling belajar dan berbagi pengalaman.
Artinya salah satu prinsip dasar pendampingan untuk
pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman
dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak
berubah.Kenyataan telah membuktikan bahwa dalam banyak hal
perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional
masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang
terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang
berkembang. Namun, sebaliknya, telah terbukti pula bahwa
pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan
oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.
pg. 121
7. Percepatan Penganekaragaman Pangan dengan
Sukun
pg. 122
Upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai
ekonominya dapat dilakukan dengan menganekaragamkan jenis
produk olahan sukun, untuk itu perlu dikembangkan cara
pengolahan lain seperti pembuatan tepung sukun. Produk pangan
olahan yang merupakan hasil olahan langsung dari sukun segar
misalnya keripik sukun, apem sukun, bolu cup sukun, krokit sukun,
prol sukun, dll. Sedangkan olahan sukun sebagai bahan pangan
olahan lebih lanjut antara lain adalah gaplek sukun, tepung sukun,
dan aci sukun. Bahan bahan olahan primer tersebut selanjutnya
dapat digunakan untuk pembuatan berbagai pangan dari sukun
seperti bolu sukun, cake sukun, kukis sukun, tart sukun dll.
Memang tak banyak yang tau, bahwa di beberapa belahan dunia
buah sukun telah biasa dimanfaatkan sebagai bahan makanan
tambahan. Bahkan di Karibia, sukun telah menjadi salah satu
komoditas ekspor.
Untuk itu, pemanfaatan buah ini sebagai sumber
karbohidrat menjadi semakin penting sejak pemerintah mulai
mencanangkan program diversifikasi pangan. Hal ini cukup
beralasan mengingat sukun mengandung zat pemberi tenaga yang
cukup baik. Misalnya, dari 100 gram buah sukun tua dapat
menghasilkan kalori sebesar 108 kal, dan apabila dalam bentuk
tepung kalori yang dihasilkan lebih besar lagi, yakni mencapai 302
kal. Selain mengandung komposisi gizi, juga mengandung 18 – 32
mg Ca, 52 – 88 mg fosfor, 0,4 – 1,5 besi, 26 – 40 UI vitamin A, 17 –
32 mg vitamin C. Dibandingkan dengan beras giling masak atau
nasi, sukun yang lebih tua mengandung kalori yang lebih tinggi.
Prospek Pengembangannya
Pengembangan sukun secara serius di daerah sentra
produksi seperti di Kabupaten Bone, merupakan suatu strategi
percepatan penganekaragaman pangan dalam menunjang
kecukupan pangan nasional. Langkah tersebut nampaknya perlu
mendapat perhatian, mengingat produksi bahan pangan dunia
kian sulit mengimbangi kebutuhan konsumsinya. Indonesia
pg. 123
sebagai salah satu negara penghasil pangan dunia, sangat
membutuhkan kecukupan dan kestabilan ketersediaan pangan,
terutama terkait dengan pertumbuhan penduduk yang masih
diatas 1,6 persen per tahun. Ketergantungan terhadap sumber
karbohidrat dari beras, jelas sulit karena ketersediaan maupun
produktivitas lahan padi yang kian menyusut. Dengan melihat
kondisi tersebut, pengembangan agribisnis sukun menjadi solusi
tepat untuk mendukung diversifikasi pangan. Selain itu, dengan
kandungan karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi pada sukun,
menjadikan tanaman ini berpeluang besar untuk dikembangkan
sebagai komoditi pangan alternatif dalam mendukung program
ketahanan pangan nasional.
Keterbatasan pemanfaatan buah sukun di Indonesia
disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi sukun. Padahal
komoditi ini sangat potensial sebagai usaha menganekaragamkan
makanan pokok, terutama penduduk Indonesia yang makanan
pokoknya beras. Menurut Dimyati (2002), potensi sukun sebagai
bahan pangan alternatif sumber karbohidrat, karena tanaman ini
memiliki daya adaptasi yang luas, baik pada lahan marginal
maupun lahan kering di daerah berbukit dan bergunung. Selain itu,
budidaya sukun tidak memerlukan pengolahan tanah secara
intensif dan berulang layaknya tanaman ubi kayu, ubi jalar, dan
kentang, sehingga tanaman ini lebih sesuai untuk konservasi lahan
kritis. Sedangkan Koswara (2008) potensi hasil sukun mencapai
400 buah per tahun untuk tanaman berumur 5 – 6 tahun dan biasa
berbuah sepanjang tahun, meski ada panen raya. Selain itu, di
musim kemarau ketika bahan pangan lain merosot hasilnya, sukun
justru berbuah lebat. Musim panen juga tidak berbarengan dengan
padi sehingga biasa menjadi bahan pangan subtitusi.
pg. 124
kumpulan pohon sukun kerap ditemukan sumber air. Tajuk lebar
menghasilkan iklim mikro yang sejuk. Daun yang berjatuhan di
tanah menjadi humus. Tajuk yang rindang juga jadi ‚rumah
pelindung‛ dan sumber pakan untuk hewan seperti burung,
kumbang, dan kelelawar. Potensi lain dari tanaman sukun adalah
sebagai tanaman obat. Dari studi literature ditentukan data bahwa
sukun yang berwarna kuning dapat dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit tekanan darah tinggi dan kencing manis. Itu
karena kandungan fenol, quercetin, dan champorol di dalamnya.
Daunnya juga biasa dipakai sebagai obat kulit bengkak dan gatal.
Di India, daun sukun di pakai untuk mengatasi asma dan
seriawan. Jus daun untuk obat tetes telinga. Sementara bubuk
daun yang di panggang sebagai obat pembengkakan limpa. Bunga
yang di panggang lalu di oles ke gusi biasa menyembuhkan sakit
gigi. Selain itu, daun sukun dapat menyembuhkan seorang
penderita jantung dan ginjal. Setelah rutin mengkonsumsi rebusan
daun sukun 2 jam setelah minum obat dari dokter, ia sembuh.
Badannya terasa segar, berurine lancer, dan keluhan dada sakit
tidak ada lagi.
Untuk itu, dengan melihat berbagai macam fungsi dan
manfaat sukun, sudah cukup pantas bila komoditas ini
mendapatkan perhatian pemerintah di masing-masing daerah.
Namun, sejauh mana pengembangannya ke depan tergantung
pada komitmen Indonesia pada amanat Word Trade Summit 2002 .
Dalam Word Trade Summit tersebut, mengamanatkan program
aksi untuk menurunkan angka kekurangan pangan dari 800 juta
jiwa menjadi tinggal 50 persen pada tahun 2015 yang akan datang.
Termasuk komitmen dan konsekuensi masyarakat agribisnis
Indonesia dalam menjalankan Undang- Undang No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
pg. 125
8. Menyiasati Melambungnya Harga Kebutuhan Pangan
Pemicu Inflasi
Gejolak harga bahan pangan bergerak seakan tak
terkendali, sehingga telah menjadi pemicu utama inflasi. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, harga bahan pangan di awal tahun ini
pg. 126
juga mengalami kenaikan. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira
Adhinegara (2017), menjelaskan bahwa laju inflasi akhir tahun
2017 meningkat berkisar 3,5 - 3,67 persen akibat kenaikan harga
bahan pokok terutama beras. Inflasi volatile food di bulan
Desember jadi penyumbang komponen inflasi paling besar. Angka
ini lebih tinggi dari inflasi Desember 2016 sebesar 0,42 persen.
Menurut Bhima, penyebab kenaikan harga beras belakangan ini
dipicu oleh beberapa faktor; Pertama, melonjaknya permintaan.
Hal ini akhirnya menyebabkan harga bahan pokok terus bergerak
naik. Karena kenaikan permintaan secara musiman saat Natal dan
Tahun Baru. Kedua, kenaikan harga ini dipengaruhi faktor cuaca
yang saat ini tengah memasuki musim penghujan. Kondisi ini masih
akan terus berlanjut hingga Maret 2018. Prediksi sampai Maret
2018 curah hujan masih tinggi dan berpotensi mengganggu
produksi di sentra penghasil beras. Selain itu, akhir tahun adalah
berpotensi maraknya penimbunan yang dilakukan oleh para
spekulan nakal. Karena momentum seperti inilah merupakan
waktu yang tepat untuk mengawasi permainan spekulan di
pedagang besar dan pasar tradisional.
pg. 127
Sedangkan mengenai pembentukan harga, pada dasarnya
ada dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap komoditas
pangan, yaitu faktor produksi (harvest disturbance) dan prilaku
penyimpanan (storage/inventory behavior). Faktor lain yang juga
kerap menyebabkan kenaikan harga bahan pangan ini adalah kurs
rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika
Serikat (USD), karena pasokan bahan pangan Indonesia masih
sangat tergantung pada impor. Dengan demikian, penurunan nilai
rupiah tentunya akan berdampak pada kenaikan harga komoditas
impor tersebut.
Untuk itu, dalam mengatasi masalah lonjakan harga bahan
pangan yang tidak menentu, pemerintah perlu meningkatkan
upaya-upaya yang lebih realistis dan praktis. Kenaikan harga yang
tidak menentu terkadang menjadi anomali, karena ketika harga
faktor-faktor produksi turun, bahkan ketika harga bahan pangan
dunia turun, harga bahan pangan nasional malah mengalami
kenaikan yang signifikan. Kondisi ini disebabkan karena tidak
adanya regulasi yang jelas dan pengawasan serta tindakan tegas
pemerintah dalam mengatur pasokan dan perdagangan bahan
pangan. Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan
anomali fluktuasi harga. Pertama, terdapatnya bentuk oligopoli
atau monopoli pasar. Kedua, rantai distribusi yang panjang dan
adanya berbagai pungutan pada rantai distribusi. Ketiga, ula para
spekulan, dan Keempat, rendahnya stok bahan pangan untuk
mengantisipasi penurunan produksi atau pasokan. (Dimuat di
Harian Fajar, 19 April 2008).
pg. 128
9. Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Minimarket
pg. 129
Sedangkan di bidang konsumsi, pasar tradisional menyediakan
kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang cenderung menjual
barang-barang bercorak lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pasar
tradisional tentunya lebih bersifat nasionalis dalam hal
perdagangan dari pada produk yang dijual di minimarket bercorak
produk luar negeri.
pg. 130
masyarakat untuk saling berinteraksi, sedangkan pasar modern
cenderung meningkatkan budaya konsumerisme.
Selain itu, pasar tradisional juga memiliki keunggulan yang
berbeda dengan pasar modern. Adapun keunggulan yang dimiliki
oleh pasar tradisional yaitu memiliki area yang luas, harga yang
rendah, sistem tawar menawar harga barang antara penjual dan
pembeli dimana akan menimbulkan keakraban. Konsumen yang
cenderung berbelanja di pasar tradisional karena harga di pasar
tradisional bisa ditawar, harganya murah, dilayani langsung serta
berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
pg. 131
minimarket di Kota Makassar mengepung keberadaan pasar
tradisional yang telah ada sebelumnya.
Untuk itu, diperlukan sikap yang tegas dalam menegakkan
peraturan sebagai wujud keberpihakan terhadap pelaku usaha
pada pasar tradisional. Misalnya Pasal 9 Perda DKI Nomor 2 Tahun
2002, menyebutkan penyelenggara usaha perpasaran swasta
(dalam hal ini minimarket) harus memenehi ketentuan, harga jual
barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah
dengan yang warung dan toko sekitarnya. Pelanggaran terhadap
ketentuan jarak dan mengenai harga barang-barang yang di jual
diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya 5 juta rupiah (Pasal 22 ayat 1 Perda DKI 2/22).
(Dimuat di Harian Fajar, 6 Maret 2017).
pg. 132
10. Biji Palado sebagai Sumber Karbohidrat Alternatif
pg. 133
Aspek Agronomis dan Penyebarannya
Aglaia sp termasuk dalam famili Meliaceae. Tanaman ini
banyak ditemukan di Sulawesi khususnya di Sulawesi Barat
(Sulbar). Daerah penyebarannya di Sulbar cukup luas, meliputi di
daerah aliran sungai (DAS) seperti Sungai Karama, Sungai Karataun
dan Sungai Bonehau, serta di daerah lembah dan pegunungan
Kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, Majene, Polewali Mandar
(Polman), dan Mamasa. Tanaman palado ini tumbuh subur secara
alami di dataran rendah hingga dataran tinggi. Menurut Praptiwi
et al. (2006) kawasan Malanesia yang mempunyai banyak jenis
Aglaia adalah Borneo (50 jenis), sedangkan di Sumatera ditemukan
38 jenis. Sedangkan pemanfaatan beberapa jenis Aglaia sp yang
telah dikenal antara lain kayunya dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, buahnya dapat dimakan, sedangkan bunga dari Aglaia
odorata dimanfaatkan sebagai teh dan bahan parfum karena
baunya harum (Praptiwi et al., 2006).
pg. 134
guna dan nilai ekonominya dapat dilakukan dengan
menganekaragamkan jenis produk olahan biji palado. Dengan
kadar karbohidrat yang cukup tinggi biji palado berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai tepung. Untuk itu perlu dikembangkan cara
pengolahan lain seperti pembuatan tepung biji palado.
pg. 135
Bagian Keempat
MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
pg. 136
1. Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan
Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu pangan merupakan program atau
kegiatan yang tak terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia
usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran
produk, baik produk segar, bahan mentah maupun produk
olahannya. Dalam industri pangan modern, pengawasan mutu
banyak menggunakan analisa mutu berdasarkan prinsip-prinsip
pg. 137
ilmu dan teknologi yang makin canggih. Namun disamping itu
penilaian secara indrawi (organoleptik) tetap dipertahankan. Jadi
dalam pengawasan mutu pangan di samping berdasarkan pada
penilaian obyektif juga harus mempertimbangkan nilai-nilai
kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya, dan kepercayaan. Untuk
itu, agar pengawasan mutu dapat beroperasi, di perlukan suatu
sistem pengawasan mutu yang diemban oleh kelembagaan yang
kuat dan berwibawa. Ektivitas dan efisiensi sistem pengawasan
mutu akan sangat ditentukan oleh eratnya kerjasama dengan
kelembagaan lain dan hubungannya dengan aspek-aspek lain,
seperti pemerintahan, produksi, dan antar satuan kerja di bidang
pangan dan pertanian.
Hakikat dari pengawasan mutu, sebenarnya berkaitan erat
dengan kehidupan masyarakat konsumen, yaitu dengan melayani
konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen.
Selain itu, dengan pengawasan mutu pangan yang ketat, dapat
melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu,
ketidakadilan mutu, pemalsuan, penipuan mutu dan bahkan juga
menjaga keamanan konsumen terhadap kemungkinan
mengonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, baracun,
atau mengandung penyakit. Dalam menghadapi pasar global
terjadi persaingan yang sangat ketat antar negara-negara
pengekspor. Makin ketat negara pengekspor mengawasi mutu
komoditas ekspornya, makin kuatlah negara-negara itu dalam
bersaing dengan negara-negara lain. Masalah yang dihadapi
negara pengekspor produk pangan termasuk Indonesia yang
berkaitan dengan mutu komoditas, yaitu; (1) persyaratan mutu
yang tinggi yang dikehendaki negara pengimpor, (2) jumlah
dengan mutu yang tidak memenuhi kuota, (3) persaingan global
yang super ketat, (4) perubahan harga yang terlalu cepat, (5)
pemasaran yang tidak langsung, yang dapat merugikan negara
produsen, (6) adanya proteksi di negara pengimpor dan batas
kuota, (7) adanya penolakan komoditas ekspor atau claim oleh
negara pengimpor.
pg. 138
Keamanan Pangan
Sesungguhnya perhatian dunia terhadap pentingnya
keamanan pangan sudah di mulai sejak satu dekade yang lalu,
yaitu pada saat FAO dalam International Conference on Nutrition
tahun 1992 merasa prihatin karena ratusan juta manusia di dunia
menderita penyakit menular karena pangan yang tercemar. Pada
saat itu pula FAO mendeklarasikan bahwa, ‚memperoleh pangan
yang cukup, bergizi, dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang‛.
Terjadinya penyakit karena pangan (food borne disease) di dunia
yang disebabkan oleh infeksi dan intoksikasi bakteri masih sangat
tinggi, demikian juga penyakit karena infeksi virus dan infeksi
protozoa. Selain itu, dari hasil kajian kasus-kasus penyakit karena
pangan, Salmonella nampaknya masih merupakan penyebab
penyakit karena pangan terkontaminasi dengan bakteri ini.
Pangan hewani khususnya daging dan telur adalah yang paling
sering menjadi pembawa bakteri patogen tersebut.
Oleh sebab itu, perhatian dunia dalam hal keamanan
pangan bukan hanya di tujukan terhadap cemaran mikroba
pathogen saja, tetapi juga terhadap kontaminan kimia berbahaya
yang dapat ditransmisikan ke dalam tubuh manusia melalui
pangan yang dikonsumsinya. Sehingga masalah keamanan pangan
ini menjadi tolok ukur yang sangat penting dalam perdagangan
global yang semaikin hari semakin ketat. Terkait dengan hal
tersebut, pada konferensi tingkat tinggi pangan sedunia (FAO
Word Food Summit) tahun 1996 semua negara telah menyatakan
untuk setiap saat menerapkan kebijakan dalam menyediakan
pangan yang cukup, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi serta
dengan pendayagunaannya yang efektif. Selain itu, untuk
menerapkan tolok ukur yang sesuai dengan persetujuan tentang
penerapan sanitary and phytosanitary (SPS), dan persetujuan
internasional terkait hal lainnya yang dapat menjamin mutu dan
keamanan pangan yang dihasilkannya.
Untuk itu, metode pencegahan (preventive control)
dianggap sangat efektif untuk menjamin bahwa pangan yang
pg. 139
diperoleh dari setiap sub sistem mata rantai penanganan pangan
adalah bermutu dan aman untuk di konsumsi. Metode pencegahan
dimaksud adalah penerapan cara-cara proses yang benar dan baik
(good practices) yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari
produksi hingga sampai ke konsumen. Pertama, melalui cara
budidaya yang baik (good agricultural practices), termasuk cara
penangkapan ikan yang baik dan cara penanganan pangan yang
baik (good handling practices), sehingga diharapkan bahan pangan
yang dihasilkan mempunyai mutu segar dan bebas dari cemaran-
cemaran berbahaya seperti pestisida, antibiotik, hormon, toksin
alami, dan mikotoksin, serta cemaran berbahaya lainnya.
Kedua, melalui cara produksi pangan yang baik (good
manufacturing practices), diharapkan produk pangan olahan yang
dihasilkan menjadi bermutu dan memiliki tingkat keamanan yang
tinggi. Ketiga, melalui cara distribusi pangan yang baik (good
distribution practices), diharapkan bahan atau produk pangan yang
sudah bermutu dengan keamanan yang paling tinggi dapat
dipertahankan terus sampai ke tingkat pengecer atau ke
konsumen. Keempat, melalui cara ritel pangan yang baik (good
retailing practices), diharapkan bahan atau produk pangan yang
didistribusikan tidak mengalami penurunan mutu dan keamanan
yang nyata. Kelima, melalui cara jasa boga yang baik (good catering
practices) dan penerapan HACCP, diharapkan bahan atau produk
pangan dapat diolah atau dimasak menjadi makanan siap saji yang
bermutu dan aman untuk dikonsumsi.
Berdasarkan pada kelima metode pencegahan tersebut,
terjaminnya mutu dan keamanan pangan sesungguhnya sangat
bergantung pada peranan dan tanggung jawab pemerintah,
khususnya sektor-sektor yang terkait misalnya fasilitator,
pembimbing dan pengawas, produsen bahan baku, industri
pangan, distributor, pengecer, jasa boga, dan konsumen sebagai
pengguna akhir. Dengan demikian, sinergi di antara semua pihak,
dengan hak dan tanggung jawabnya masing-masing sangat
dibutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu dan keamanan
pg. 140
pangan secara nasional. Oleh karena itulah, maka pendekatan
yang sesuai dalam rangka terwujudnya jaminan mutu dan
keamanan pangan secara total, adalah keterpaduan yang erat
antar sektor dan antar pihak yang berkompeten (integrated inter-
sectoral approach). (Dimuat di Harian Fajar, 10 Pebruari 2007).
pg. 141
2. Standar Mutu dan Tantangan Keberhasilan EPA
pg. 142
protection low; berkaitan dengan persyaratan SPS, yang dititik
beratkan pada bangunan dan peralatan pengolahan pangan.
Ketiga, food control low; yang khusus mengatur pelabelan dalam
hal nilai gizi, alamat produsen dan importir lokal.
pg. 143
mutu yang ditopang dengan sistem pembinaan mutu dan
dikembangkan secara terus menerus. Untuk itu, pembinaan mutu
terhadap komoditas ekspor unggulan, perlu dilakukan secara
menyeluruh dari tingkat produsen pertama sampai tingkat
eksportir, terutama dalam menindaklanjuti kesepakatan EPA.
pg. 144
pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan dari pada
mengandalkan pada pengujian produk akhir. Sistem keamanan
pangan berdasarkan HACCP dapat diterapkan pada rantai
produksi, misalnya produksi pangan, mulai dari produsen utama
bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan,
distribusi, pemasaran hingga konsumen akhir. Jadi proteksi sistem
HACCP dimulai dari bahan baku, produksi, hingga konsumen.
pg. 145
SSOP merupakan prosedur yang dibuat untuk membantu
industri pangan dalam mengembangkan dan menerapkan
prosedur pengawasan sanitasi, melakukan monitoring sanitasi,
serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi. Harapan kita,
dengan penerapan GMP dan SSOP yang tepat terhadap produk
pangan, akan dapat menjamin penerapan HACCP, sebagai salah
satu standar yang diterapkan negara-negara industri maju
termasuk Jepang. (Dimuat di Harian Fajar, 25 Agustus 200)
pg. 146
3. Kesiapan Mutu dan Keamanan Pangan Menghadapi
AEC
pg. 147
Kesiapan Produk Berbasis Agro
Khusus untuk komoditas CPO, kakao, karet, ikan dan
produk olahannya serta makanan dan minuman, masalah utama
yang mesti diantisipasi pelaku usaha dalam menghadapi pasar
tunggal ASEAN adalah mutu dan keamanan pangan. Penulis
mencatat terdapat empat masalah utama mutu dan keamanan
pangan yang sangat berpengaruh terhadap kesepakatan
pemberlakuan AEC 2015 yang tinggal setahun tersebut. Pertama,
produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan pangan bagi produk yang dihasilkan pelaku usaha
(industri), yaitu (a) penggunaan bahan tambahan pangan yang
dilarang atau melebihi ambang batas dalam proses pengolahan
produk pangan (b) ditemukannya cemaran kimia berbahaya
(seperti pestisida, logam berat, dan obat-obatan pertanian) (c)
cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran mikroba pathogen pada
berbagai produk pangan (d) pelabelan dan periklanan produk
pangan yang tidak memenuhi syarat (e) masih beredarnya produk
pangan kadaluarsa (f) pemalsuan produk pangan (g) cara
peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi
syarat (h) mutu dan keamanan produk pangan belum dapat
bersaing di pasar global. Misalnya, kasus yang terkait dengan
penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai
diantaranya adalah (a) penggunaan pewarna berbahaya (seperti
rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan
terutama pada produk sirup, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-
kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng
dan cendol).
Kedua, masih banyak terjadi kasus keracuanan makanan
yang sebagian besar belum dapat dilaporkan dan belum
diidentifikasi apa penyebabnya. Keracunan dan cemaran mikroba
pada bahan pangan umumnya banyak ditemukan pada makanan
jajanan, makanan yang dijual diwarung-warung di pinggir jalan,
makanan catering, bahan pangan hewani (daging, ayam, dan ikan)
yang dijual di pasar serta pada makanan tradisional lainnya.
pg. 148
Demikian juga penggunaan pestisida, ditemukannya logam berat,
hormon, antibiotika dan obat-obatan yang digunakan dalam
kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang
masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur,
buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani lainnya. Ketiga,
masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab
produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Kita bisa
mencermati bahwa masih kurangnya tanggung jawab dan
kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan
tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan
teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum
sepenuhnya diketahui dan dipahami oleh produsen primer,
penerapan Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing
Practice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
yang masih jauh dari standar oleh produsen (pengolah) makanan
berskala kecil dan rumah tangga (home industry).
Keempat, rendahnya pengetahuan dan kepedulian
konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan
pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang
rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan
tingkat yang rendah. Hal ini bisa dilihat bahwa umumnya
distributor pangan belum memahami Good Distribution Practice
(GDP), seperti pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk
pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan,
serta produk yang dijual tidak memenuhi syarat sebagai
distributor makanan.
pg. 149
pangan, perlunya menetapkan kebijakan yang harus ditempuh,
serta menyusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu
dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dalam rangka
menghadapi pemberlakuan AEC 2015 yang tinggal setahun itu,
yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang
aman, serta mengacu pada ISO 9000 untuk menghasilkan produk
yang konsisten dan ISO 14000 untuk menjamin produk pangan
yang berwawasan lingkungan. Olehnya itu, pengembangan sistem
mutu dan keamanan pangan nasional harus menekankan pada
penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam
pengolahan pangan dengan menerapkan pendekatan sistem
GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good
Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP
(Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan
GCP (Good Cathering Practices).
Untuk itu, yang harus segera dilakukan adalah menyusun
langkah strategi yang dapat diimplementasikan secara target
specific agar peluang pasar yang terbuka melalui AEC 2015 yang
akan datang dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama dalam
hal peningkatan mutu dan keamanan produk pangan yang
berbasis agro, ikan dan produk olahannya, serta makanan dan
minuman. Langkah strategis tersebut harus secara terpadu
dilakukan mulai dari hulu hingga hilir di bawah koordinasi suatu
badan yang dibentuk khusus oleh pemerintah. Koordinasi antar
sektor dan industri terkait, terutama dalam menyusun kesamaan
persepsi antara pemerintah dan pelaku usaha, dan harmonisasi
kebijakan di tingkat pusat dan daerah harus terus dilakukan,
terutama dalam menjamin mutu dan keamanan produk pangan
yang dihasilkan di setiap daerah.
Secara garis besarnya, langkah strategis yang harus
dilakukan terkait peningkatan dan pengawasan mutu dan
keamanan produk pangan dalam menghadapi pemberlakuan AEC
2015 nanti, antara lain adalah melakukan ; (a) penyesuaian,
pg. 150
persiapan, dan perbaikan regulasi menyangkut mutu dan
keamanan pangan (b) peningkatan kualitas SDM baik birokrasi
maupun dunia usaha khususnya yang terkait dengan pengolahan
pangan (c) penguatan posisi usaha skala menengah, kecil, dan
usaha pertanian pada umumnya (d) menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi (e) pengembangan
sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi
unggulan yang berbasis agro, dan (f) peningkatan partisipasi
institusi pemerintah maupun swasta untuk mengimplementasikan
AEC Blueprint.
Akhirnya, marilah kita menyongsong pemberlakuan AEC
2015 dengan persiapan yang mantap. Untuk itu, Indonesia harus
dapat melihat dan menyongsong AEC 2015 dengan segala peluang
dan tantangan serta segera mengambil tindakan nyata yang
berdampak positif bagi Indonesia.
pg. 151
4. Permasalahan Mutu dan Produktivitas Kakao
DENGAN produksi sekitar 652.256 ton per tahun, dan luas areal
992.446 hektare, Indonesia merupakan penghasil biji kakao nomor
tiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, di Afrika. Sekitar
350.000 ton dari produksi kakao nasional atau sekitar 30
persennya berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Barat
(Sulbar), Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Kakao di empat
provinsi ini merupakan hasil perkebunan rakyat. Meskipun
demikian, perkembangan produksi kakao seperti disebutkan di
atas, bukan berarti tanpa masalah, terutama menyangkut
rendahnya mutu produksi dan produktivitas lahan. Selain itu,
kualitas kakao Indonesia, terutama dari Sulawesi di nilai rendah.
Buktinya, harga jual kakao kita di pasar internasional lebih rendah
dibandingkan biji kakao dari negara lain.
Masalah Mutu
Kurang dihargainya kakao kita, disebabkan faktor kualitas
(mutu) dan sistem fermentasinya masih jauh dari kriteria Cocoa
Merchant of America (CMA) New York, AS. Pemberian harga
premium berdasarkan pada tingkat kotoran, mutu, lemak dan
fermentasinya. Terkait hal itu, CMA hanya menghargai kakao
Sulawesi dengan harga premium sebesar 12 dolar AS per ton,
karena belum memenuhi standar seperti yang dipersyaratkan
mereka. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah melalui program
revitalisasi perkebunan, khususnya perkebunan kakao, akan
menfokuskan perhatiannya pada pengembangan mutu produksi.
Hal ini sejalan dengan UU Perkebunan No. 18/2004 tentang
tanaman perkebunan.
Masalah peningkatan kualitas (mutu) biji kakao hanya akan
berhasil bila mendapatkan perhatian serius dengan melibatkan
pg. 152
semua stakeholder dalam perkakaoan. Misalnya, keterlibatan
pedagang pengumpul dan eksportir, sangat diharapkan terutama
berperan serta dalam upaya peningkatan mutu kakao.
Menyangkut peningkatan mutu, pengamatan penulis di beberapa
daerah di Sulsel dan Sulbar, melihat bahwa kegiatan pembinaan
peningkatan mutu kakao petani memang belum intensif dilakukan
dan belum tersosialisasi kepada seluruh petani. Contohnya, tidak
semua petani memahami arti pentingnya fermentasi bagi mutu
kakao yang dihasilkannya.
Persoalan yang paling menentukan bermutu tidaknya biji
kakao sangat dipengaruhi oleh perlakuan pada saat proses
pemanenan hingga pasca penennya. Seperti ditentukan mulai dari
kondisi buah kakao siap panen, pemanenan, pemecahan buah,
fermentasi dan pencemurannya. Imbas dari ketidakpahaman
petani terhadap sistem fermentasi, sehingga AS beberapa kali
menolak kakao dari Indonesia, karena mereka menganggap tidak
sesuai dengan standar. Standar yang mereka persyaratkan seperti
kadar airnya harus minimal 7,5 persen, kotoran/benda asing tidak
lebih dari 2,5 persen, demikian juga jamurnya minimal pada kisaran
4 persen. Konsekuensi dari rendahnya mutu kakao yang kita
ekspor, sehingga kakao Sulsel dan Sulbar hanya dihargai pada
kelas (grade) tiga. Untuk memenuhi tuntutan mutu seperti standar
yang dipersyaratkan pihak importir (buyer), maka upaya
peningkatan mutu mutlak adanya. Terutama para eksportir kakao,
berusahalah meningkatkan mutu kakaonya sebelum diekspor. Hal
ini perlu dilakukan supaya kakao yang diekspor bisa berkompetisi
di pasar internasional, baik dari segi mutu maupun harganya.
Produktivitas Rendah
Program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan
pemerintah, menargetkan perluasan kebun kakao seluas 200.000
hektar. Program tersebut mencakup kegiatan peremajaan,
perluasan, dan rehabilitasi lahan. Langkah ini ditempuh, dalam
rangka mendorong peningkatan produksi dan produktivitas lahan
pg. 153
yang selama ini masih tergolong rendah. Rendahnya produktivitas
tanaman kakao di Indonesia disebabkan karena pemeliharaan
belum dilakukan secara intensif. Tanaman kakao diperlakukan
tidak sebagai tanaman utama. Para petani dalam mengelola
usahatani kakaonya terkendala soal permodalan sehinga
pemeliharaan dan peremajaannya pun mengalami kendala.
Terkait menurunnya produktivitas kakao, Ketua Asosiasi
Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel, Halim Razak (Kompas, 16/6/06)
mengungkapkan salah satu penyebabnya adalah usia tanaman
kakao rata-rata sudah lebih dari 18 tahun. Di usia ini sudah sangat
perlu dilakukan peremajaan atau penanaman kembali. Di usia
tanaman yang sudah tua seperti itu, sulit mengharapkan produksi
optimal lagi. Apalagi diperparah dengan serangan PBK. Akibatnya,
menghasilkan biji berukuran kecil dan produktivitasnya kian hari
kian menurun. Saat ini produktivitas kakao hanya 6,6 – 0,7 ton per
hektar. Padahal idealnya 1,5 hingga 2,5 ton per hektar.
Dengan asumsi luas lahan pertanaman kakao di Sulsel dan
Sulbar sekitar 300.000 hektar. Dari jumlah itu, produksi kakao
hanya sekitar 230.000 ton per tahun. Itu artinya, bila produktivitas
kakao diasumsikan mencapai rata-rata 1,5 ton per hektar, maka
produksi paling tidak bisa mencapai 450.000 ton per tahun. Angka
penurunan produktivitas kakao di Sulsel dan Sulbar, dapat dilihat
dari periode Januari – Nopember 2004 yang mencapai 176.909,39
ton, turun menjadi 173.021,44 ton untuk periode Januari –
Nopember 2005. (Dimuat di Harian Pedoman Rakyat, 27
September 2006).
pg. 154
5. Mencermati Mutu Beras yang Beredar di Pasaran
pg. 155
murah dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat kita.
Selain itu beras ini mempunyai ciri fisik tidak bulat tapi cenderung
lonjong, tidak beraroma wangi. Jadi apabila kita menemukan beras
yang lonjong tapi beraroma wangi maka kita harus berhati-hati,
jangan-jangan beras tersebut sudah dicampuri dengan pewangi
kimia.
Keempat, Beras IR 42. Beras jenis ini memiliki bentuk fisik
hampir sama dengan jenis beras IR 64 hanya saja memiliki ukuran
yang lebih kecil. Apabila dimasak beras jenis ini cenderung menjadi
pera tidak bisa pulen. Karena itulah jenis beras IR 42 lebih cocok
jika diolah untuk masakan seperti lontong, nasi goreng, ketupat
dan nasi uduk. Beras jenis ini mempunyai harga lumayan mahal
karena hanya sedikit petani yang mau menanamnya. Kelima, Beras
C4. Beras C4 masih jarang kita jumpai dipasaran, padahal
sebenarnya kalau dimasak nasinya lebih pulen dibandingkan
dengan beras IR 64. Bentuknya juga mirip dengan beras IR 64
hanya lebih kecil dan sedikit lebih bulat.
pg. 156
sudah dijelaskan diatas. Jadi jika dipasaran kita menemui beras
yang tidak bulat tapi cenderung lonjong tapi beraroma wangi
maka dapat dipastikan itu bukan beras pandan wangi asli, tapi
beras jenis lain yang diberi bahan pewangi. Beras pandan wangi
pun memiliki batas wangi. Beras pandan wangi yang masih baru
atau kurang dari 2 bulan jika dicium akan mengeluarkan aroma
yang sangat wangi, namun lama kelamaan atau jika sudah lebih
dari 2 bulan aroma wanginya akan berkurang.
Ketiga, beras dengan bahan pelicin. Tidak jarang kita temui
beras dipasaran yang sangat licin apabila kita remas. Harus kita
waspadai apakah beras tersebut dicampur bahan pelicin atau
tidak. Caranya sangat mudah yaitu kita coba remas-remas beras
tersebut apakah banyak menempel ditelapak tangan atau tidak.
Jika banyak yang menempel maka beras tersebut telah dicampur
dengan bahan pelicin. Dengan demikian, mulai sekarang kita harus
hati-hati dan waspada apabila membeli beras. Utamakan selalu
kesehatan keluarga. Silahkan berbagi informasi dan tips ini untuk
lebih berhati-hati dalam memilih beras yang kita akan konsumsi.
(Dimuat di Harian Fajar, 1 Agustus 2017).
pg. 157
6. Ekspor Buah-Buahan Terkendala Mutu dan
Keamanan Pangan
pg. 158
Meningkatkan Nilai Ekspor
Nilai ekspor buah-buahan mengalami peningkatan sebesar
60,43 persen, dari USD 183,8 juta tahun 2010, menjadi USD 294,9
juta tahun 2012. Sebelumnya buah tropis Indonesia di ekspor ke
Malaysia, Singapura dan Arab Saudi, sekarang sudah meluas
hingga Tiongkok, Australia dan Jepang. Ekspor buah andalan
Indonesia adalah manggis, salak, mangga, semangka dan melon.
Untuk menghadapi era pasar bebas dengan masuknya buah-
buahan impor, Indonesia harus mampu bersaing dengan buah-
buahan impor dengan mengandalkan buah lokal spesifik.
Potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat
mendukung untuk pengembangan buah-buahan tropis menjadi
komoditas unggulan. Varietas buah-buahan Indonesia tidak kalah
dengan varietas buah-buahan dari negara lain. Dalam kaitan
pemasaran Indonesia hanya membeli tidak lebih dari 0,6 persen
ekspor buah dunia. Bahkan negara-negara Asia Tenggara
seluruhnya hanya membeli 2 persen dari ekspor buah dunia.
Negara-negara pengimpor buah terbesar adalah negara-negara
Uni Eropa (43 persen), Amerika Serikat (16 persen), Federasi
Republik Rusia (5 persen), negara tetangga Uni Eropa (6 persen),
Jepang (4 persen), dan negara-negara di Afrika, Asia Barat, Timur
Tengah, Kanada, Tiongkok, Amerika Latin, dan yang lainnya (24
persen). Untuk itu, yang menjadi fokus perhatian dalam mengatasi
masalah produk buah-buahan Indonesia, yaitu kendala terkait
mutu, standarisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman
yang baik, penanganan pascapanen, dan pengembangan pasar.
pg. 159
dan salak Indonesia mengandung logam berat dan organisme
penyakit tanaman (Fajar, 31/5/13). Ada empat masalah utama
mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap
perdagangan pangan baik domestik maupun untuk tujuan ekspor
(Fardiaz, 1996). Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu keamanan. Kedua, masih banyak terjadi kasus
keracunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan
belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya
pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen
pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang
mutu dan keamanan pangan. Keempat, rendahnya kepedulian
konsumen tentang mutu dan keamanan pangan.
Perwujudan dan implementasi sistem mutu dan keamanan
pangan nasional, termasuk produk buah-buahan, telah
menyepakati berbagai kegiatan melalui sub program yang perlu
dilakukan. Program utamanya meliputi pengembangan sumber
daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan
dan pengawasan mutu, keamanan pangan, serta standarisasi mutu
dan keamanan pangan. Sedangkan program penunjang meliputi
pengembangan pengendalian lingkungan, penyuluhan mutu dan
keamanan pangan, pengembangan peraturan perundang-
undangan mutu dan keamanan pangan, dan pengembangan
kelembagaan dan kemitraan bisnis pangan. (Dimuat di Harian
Fajar, 2 Juli 2013).
pg. 160
7. Dampak Penggunaan Plastik sebagai Bahan
Kemasan
pg. 161
dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung
maupun tidak langsung dengan pangan. Selain untuk
mewadahi/membungkus pangan, kemasan pangan juga
mempunyai berbagai fungsi lain, diantaranya untuk menjaga
pangan tetap bersih serta mencegah terjadinya kontaminasi mikro
organisme; menjaga produk dari kerusakan fisik; menjaga produk
dari kerusakan kimiawi (misalnya permeasi gas, kelembaban/uap
air); mempermudah pengangkutan dan distrisbusi; mempermudah
penyimpanan; memberikan informasi mengenai produk pangan
dan instruksi lain pada label; menyeragamkan volume atau berat
produk dan membuat tampilan produk lebih menarik sekaligus
menjadi media promosi.
Bahan yang umum digunakan sebagai kemasan pangan
antara lain adalah kertas, karton, selofan, kaca/gelas, keramik,
logam atau campuran logam dan plastik. Bahan- bahan tersebut
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Plastik
banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, mulai
dari keperluan rumah tangga hingga industri. Sebagai kemasan
pangan, plastik digunakan mulai dari proses pengolahan pangan
hingga pangan siap disantap. Penggunaan plastik sebagai
pengemas pangan terutama karena keunggulannya dalam hal
bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk
pangan yang dikemas; berbobot ringan; tidak mudah pecah;
bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label dan
dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal, harga
relatif murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan dasar
plastik
Walaupun plastik memiliki banyak keunggulan, terdapat
pula kelemahan plastik bila digunakan sebagai kemasan pangan,
yaitu jenis tertentu (misalnya PE, PP, PVC) tidak tahan panas,
berpotensi melepaskan migran berbahaya yang berasal dari sisa
monomer dari polimer dan plastik merupakan bahan yang sulit
terbiodegradasi sehingga dapat mencemari lingkungan. Secara
garis besar terdapat dua macam plastik, yaitu resin termoplastik
pg. 162
dan resin termoset. Resin termoplastik mempunyai sifat dapat
diubah bentuknya jika dipanaskan, sedangkan resin termoset
hanya dapat dibentuk satu kali saja. Beberapa nama plastik yang
umum digunakan adalah HDPE (high density polyethylene), LDPE
(low density polyethylene), PP (poly propylene), PVC (polyvinyl
chloride), PS (pol ystryrene), dan PC (poly carbonate). PE (poly
ethylene) dan PP mempunyai banyak kesamaan dan sering disebut
sebagai polyolefin. Untuk mempermudah proses daur ulang
plastik, telah disetujui pemberian kode plastik secara
internasional. Kode tersebut terutama digunakan pada kemasan
plastik yang disposable atau sekali pakai.
pg. 163
sekitarnya dalam jangka waktu yang lama, termasuk kanker, cacat
lahir, perubahan hormon, penurunan jumlah sperma, infertilitas,
endometriosis dan gangguan sistem imun. Ketiga, polycarbonate.
Yang mengandung Bisphenol A. Studi mengenai Bisphenol A
menunjukkan bahwa paparan bahan ini dalam kadar rendah dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker,
gangguan fungsi imunitas, pubertas yang muncul dini, obesitas,
diabetes, dan hiperaktivitas.
Keempat, polystyrene. Secara akut dapat mengiritasi mata,
hidung, tenggorokan, menyebabkan pusing dan ketidaksadaran.
Jika bermigrasi ke dalam pangan, bahan ini akan terakumulasi
dalam jaringan lemak. Studi menunjukkan adanya peningkatan
kanker limfatik dan hematopoietik bagi pekerja yang terpapar
bahan ini. Kelima, polyethylene. Bahan ini dicurigai sebagai
karsinogen pada manusia. Keenam, polyester. Secara akut dapat
menyebabkan iritasi pada mata dan saluran pernafasan. Ketujuh,
urea-formaldehyde. Melamin palsu biasanya terbuat dari urea
yang mengandung formalin dengan kadar tinggi. Urea
merupakan bahan yang tidak tahan panas dan dapat melepaskan
formalin yang menjadi kontaminan pangan saat terkena panas.
Sehingga menghirup formalin dapat menyebabkan batuk,
pembengkakan tenggorokan, mata berair, gangguan pernapasan,
sakit kepala dan rasa lelah.
Kedelapan, polyurethane foam. Dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan bronchitis, batuk, gangguan kulit dan
mata. Bahan ini dapat melepaskan toluen diisosianat yang
menyebabkan gangguan paru berat. Kesembilan, acrylic. Secara
akut dapat menyebabkan gangguan pernafasan, diare, mual,
lemah, sakit kepala. Kesepuluh, tetra fluoro ethylene. Senyawa ini
secara akut dapat mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan,
serta dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Fakta lainya
yang terkait dengan issu lingkungan adalah kantong plastik yang
sulit untuk diurai oleh tanah hingga membutuhkan waktu antara
100 hingga 500 tahun. Akan memberikan akibat antara lain :
pg. 164
tercemarnya tanah, air tanah dan makhluk bawah tanah. Racun-
racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan
membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing.
PCB yang tidak dapat terurai meskipun termakan oleh binatang
maupun tanaman akan menjadi racun berantai sesuai urutan rantai
makanan.
Kantong plastik akan mengganggu jalur air yang teresap ke
dalam tanah. Menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga
menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak
makhluk bawah tanah yang mampu menyuburkan tanah. Kantong
plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan ringan
akan mudah diterbangkan angin hingga ke laut sekalipun. Hewan-
hewan dapat terjerat dalam tumpukan plastik. Hewan-hewan laut
seperti lumba-lumba, penyu laut dan anjing laut menganggap
kantong-kantong plastik tersebut makanan dan akhirnya mati
karena tidak dapat mencernanya. Ketika hewan mati, kantong
plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak akan hancur
menjadi bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya. Pembuangan
sampah plastik sembarangan di sungai-sungai akan
mengakibatkan pendangkalan sungai dan penyumbatan aliran
sungai yang menyebabkan banjir.
pg. 165
dalam pangan antara lain adalah konsentrasi migran; kekuatan
ikatan/mobilitas bahan kimia dalam pengemas tersebut; ketebalan
kemasan; sifat alami pangan dalam kaitan kontak dengan
pengemas (kering, berair, berlemak, asam, alkoholik); kelarutan
bahan kimia terhadap pangan; lama dan suhu kontak.
Beberapa jenis plastik yang relatif aman digunakan sebagai
kemasan pangan adalah PET, HDPE, PVC, L D P E , P P , P S , O .
Pertama, polyethylene terephthalate (PET). Bahan ini berwarna
bening dan tembus pandang, biasanya digunakan sebagai
kemasan minuman, minyak goreng, sambal, dan sebagainya.
Plastik jenis ini direkomendasikan hanya untuk sekali pakai saja
dan jangan dipakai sebagai wadah air panas. Apabila dipakai
berulang-ulang, apalagi untuk menyimpan air panas, lapisan
polimer pada botol tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat
karsinogen yang dapat menyebabkan kanker. Kedua, high density
polyethylene (HDPE). Biasanya digunakan sebagai bahan
pembuatan botol susu atau jus yang berwarna putih, galon air
minum, plastik belanja, dan sebagainya. Bahan ini memiliki sifat
bahan yang keras, dan merupakan salah satu bahan plastik yang
aman digunakan karena memiliki kemampuan untuk mencegah
reaksi kimia antara makanan atau minuman dengan wadah
plastiknya. Namun untuk pemakaiannya, HDPE direkomendasikan
untuk satu kali pemakaian saja, karena pelepasan senyawa
antimoni trioksida terus meningkat seiring waktu. Senyawa ini
dapat mengakibatkan iritasi kulit, menimbulkan gangguan
pernapasan, gangguan siklus menstruasi dan menyebabkan
keguguran.
Ketiga, polyvinyl chloride (PVC). PVC biasanya digunakan
dalam pembuatan botol deterjen, botol sabun, botol shampo, pipa
saluran, dan sebagainya. Bahan ini tidak boleh digunakan untuk
menyimpan makanan dan minuman, karena mengandung zat
diethyl hydroxyalamine (DEHA) yang dapat merusak ginjal dan hati.
Keempat, low density polyethylene (LDPE). LDPE sering digunakan
sebagai kantong belanja, plastik kemasan, pembungkus makan
pg. 166
segar, dan botol-botol lembek. Bahan ini memiliki daya resistensi
atau perlindungan yang baik terhadap reaksi kimia. Oleh karena
itu, LPDE menjadi salah satu jenis plastik yang dapat digunakan
sebagai pembungkus makanan dan minuman. Kelima,
polypropylene (PP). Polypropylene biasanya digunakan dalam
pembuatan botol minuman, kotak makanan, dan wadah
penyimpanan makanan lainnya yang dapat dipakai berulang-ulang.
Bahan ini merupakan jenis plastik terbaik yang bisa digunakan
sebagai kemasan makanan dan minuman, karena mampu
mencegah terjadinya reaksi kimia dan tahan terhadap panas.
Keenam, polystyrene (PS). Jenis plastik ini banyak digunakan
sebagai bahan pembuatan styrofoam, wadah makanan beku dan
siap saji, piring, garpu, dan sendok plastik. Penggunaan jenis
plastik ini sangat tidak dianjurkan untuk pembungkus makanan.
Karena bahan ini dapat mengeluarkan zat styrene jika bersentuhan
dengan makanan dan minuman, apalagi makanan dan minuman
panas. Zat styrene dapat menimbulkan kerusakan otak,
mengganggu hormon estrogen pada wanita yang berakibat pada
masalah reproduksi, pertumbuhan dan sistem syaraf. Selain itu,
bahan ini juga mengandung benzene yang menjadi salah satu
penyebab timbulnya kanker. Polystyrene juga sulit untuk didaur
ulang, walaupun bisa didaur ulang, akan membutuhkan proses
yang sangat panjang dan waktu yang lama. Ketujuh, other (O).
Terdapat 4 jenis plastik yang tergolong jenis other, antara lain:
styrene acrylonitrile (SAN), acrylonitrile butadiene styrene (ABS),
polycarbonate (PC), dan nylon. Plastik jenis SAN dan ABS
merupakan jenis plastik yang baik digunakan sebagai kemasan
makanan dan minuman, karena memiliki perlindungan yang baik
terhadap reaksi kimia. SAN dan ABS sering digunakan dalam
pembuatan kotak makanan, botol minum, peralatan dapur, sikat
gigi, dan sebagainya.
pg. 167
8. Ancaman di Balik Penggunaan BTP Terlarang
pg. 168
gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.
Sedangkan tujuan penggunaan BTP adalah dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya
simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta
mempermudah preparasi bahan pangan. Secara umum BTP dapat
dibagi menjadi dua golongan besar. Pertama, BTP yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan
mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan
itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
Kedua, BTP yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang
tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan.
Sangat disayangkan, banyak sekali bahan kimia
berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau merupakan
BTP yang justru ditambahkan ke dalam makanan. Kasus
penggunaan rhodamin B dan methanyl yellow sebagai pewarna
penganan buka puasa yang ditemukan Badan POM Makassar
beberapa waktu lalu, merupakan salah satu contoh kasus dari
sekian kasus penggunaan BTP berbahaya yang dilakukan oleh
pengusaha atau pedagang makanan dan minuman yang sampai
saat ini belum terungkap.
Mengapa hal ini terjadi? Banyak hal yang ingin dicapai,
diantaranya pedagang ingin makanannya menjadi menarik dan
mencolok, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai
penggunaan pewarna yang benar. Selain itu, mungkin saja mereka
mengetahuinya bahwa pewarna rhodamin B dan methanyl yellow
berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap
saja dilakukan mengingat harganya yang sangat murah. Di
samping itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen
terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada. Terlebih lagi
pg. 169
konsumen tidak bisa membedakan ciri-ciri makanan yang
mengandung bahan berbahaya.
pg. 170
makanan, menghirup rhodamin B saja dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran
pernafasan. Demikian pula methanyl yellow, umumnya digunakan
sebagai pewarna tekstil dan cat, serta sebagai indikator reaksi
netralisasi asam-basa. Methanyl yellow adalah senyawa kimia azo
aromatik amin yang dapat menimbulkan tumor dalam berbagai
jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan
kulit.
pg. 171
yang ketat terhadap uang saku mereka tetap sangat dibutuhkan
agar mereka tidak terlalu banyak mengonsumsi jajanan anak-anak
yang mengandung BTP, mengingat terkadang pabrik pembuat
makanan dalam mencantumkan label pun tidak sesuai isinya,
misalnya tidak disebutkan mengandung MSG ataupun pewarna
buatan, tetapi nyatanya mengandung MSG ataupun pewarna
buatan. (Dimuat di Media Online Berita-sulsel.com, 20 Mei 2018).
pg. 172
9. Keamanan Pangan di Balik Kasus Formalin
Keamanan Pangan
Keamanan pangan (makanan) telah menjadi salah satu isu
sentral dalam perdagangan produk pangan akhir-akhir ini.
Tuntutan konsumen akan keamanan pangan di lain pihak turut
mendorong kesadaran produsen menuju persaingan sehat yang
berhulu pada jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Hakekat
keamanan pangan sesungguhnya adalah kondisi dan upaya yang
pg. 173
diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang
aman, bermutu, dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan
serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Sistem keamanan
pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, atau pengawasan
terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan
peredarannya sampai siap di konsumsi manusia.
Sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 7/1996 tentang
perlindungan pangan, yang menyatakan bahwa kualitas pangan
yang dikonsumsi harus memenuhi kriteria antara lain aman,
bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau daya beli masyarakat. Hal
ini dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.
28/2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan. Dalam pasal 9
dari peraturan itu disebutkan, bahwa setiap orang yang
memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang, dan wajib
menggunakan BTP yang diizinkan. Tapi sayangnya, masih banyak
diantara produsen yang tidak mengindahkan peraturan ini. Apalagi
konsumen agak sulit mendeteksi keberadaan BTP, seperti
formalin ini jika sudah tercampur dalam makanan. Pasalnya, meski
formalin memiliki bau yang sangat menyengat, tetapi begitu
dicampurkan dalam makanan bau itu akan menguap hingga tidak
tercium lagi.
pg. 174
dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul
CH2O mengandung kira-kira 37 persen gas formaldehid dalam air.
Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100 persen,
atau 40 persen, yang mengandung 40 gram formaldehid dalam
100 ml pelarut. Merupakan cairan jernih dan terkadang berbentuk
tablet dengan berat masing-masing 5 gram, tidak berwarna,
dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lender
hidung dan tenggorokan, serta rasa membakar.
Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang
digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan
pengawet mayat. Bahan ini juga bisa digunakan untuk
mengawetkan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain
itu, formalin juga memiliki fungsi antara lain, sebagai zat
antiseptik, desinfektan, antihidrolik, bahan pencampur pembuatan
kertas tisu untuk toilet, dan sebagai bahan baku industri
pembuatan lem plywood, resin maupun tekstil. Tetapi kesalahan
fatal yang dilakukan oleh sebagian produsen makanan, adalah
menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya informasi tentang formalin dan
bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih
rendah, harga formalin yang sangat murah, dan kemudahannya di
dapat. Termasuk formalin efektif digunakan dalam jumlah sedikit.
Misalnya, formalin dengan harga Rp 7000 per liternya, bisa
mengawetkan ikan basah sebanyak 10 ton, sementara jika
diawetkan dengan menggunakan es batu, butuh sekitar 350
batang es balok dengan harga sekitar Rp 2,6 juta. Disisi lain, boleh
jadi karena ketidaktahuan konsumen sehingga mau menerima
bahan yang mengandung formalin, atau kecenderungan
konsumen untuk mendapatkan makanan yang murah dan awet.
Dampak Formalin
Karakteristik resiko yang membahayakan bagi kesehatan
manusia yang berhubungan dengan formaldehid, adalah
berdasarkan konsentrasi dari substansi formaldehid yang terdapat
pg. 175
di udara dan juga dalam produk-produk pangan (WHO, 2002).
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel
sehingga menekan fungsi sel, yang pada akhirnya akan
menyebabkan keracunan pada tubuh. Memang orang yang
mengonsumsi bahan pangan (makanan) seperti tahu, mi, bakso,
ayam, ikan dan bahkan permen, yang berformalin dalam beberapa
kali saja belum merasakan akibatnya. Tapi efek dari bahan pangan
berformalin baru bisa terasa setelah beberapa tahun kemudian.
Dampak lain dari kandungan formalin yang tinggi, akan
meracuni tubuh, menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat
karsinogenik (menyebabkan kanker), dan bersifat mutagen
(menyebabkan perubahan fungsi sel), dan yang tidak kalah
berbahayanya adalah dapat menyebabkan kegagalan peredaran
darah yang bermuara pada kematian. Untuk itu, mengingat
pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal
menjaga kesehatan, maka pihak produsen pangan harus
menghindarkan penggunaan BTP yang dapat merugikan atau
membahayakan konsumen. Pihak pemerintah dalam hal ini BPOM,
harus lebih sigap dan tanggap dalam menjalankan peran dan
fungsinya yaitu senantiasa melakukan pengawasan terhadap
peredaran dan jual beli makanan dan minuman. Termasuk dalam
hal ini, adalah pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan
BTP, terutama selektif dalam menerima produk pangan dari luar
negeri. Selain itu, BTP hanya boleh diproduksi, diimpor, dan
diedarkan setelah melalui proses penilaian oleh pihak BPOM, yaitu
harus memenuhi persyaratan dan tercantum pada Kodeks Pangan
Indonesia tentang BTP yang telah ditetapkan. (Dimuat di Harian
Fajar, 11 Maret 2008).
pg. 176
10. Bahaya Penggunaan Rhodamin B dan Boraks
pg. 177
Sedangkan Boraks selain sebagai pengawet juga dapat membuat
bahan lebih kenyal, seperti produk nata de coco, kolang-kaling dan
cincau, yang digunakan sebagai bahan baku pada es campur (es
buah) yang sering dikonsumsi pada saat buka puasa. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999
mengisyaratkan bahwa Rhodamin B dan Boraks merupakan zat
kimia yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan
(BTP). Penggunaan BTP diatur lebih khusus dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang
memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang, dan wajib
menggunakan BTP yang diizinkan.
Penggunaan BTP
Dalam pembuatan makanan dan minuman, selain bahan
baku untuk tujuan-tujuan tertentu sering digunakan bahan-bahan
lain sebagai bahan tambahan pangan, yaitu yang secara umum
disebut bahan tambahan pangan (BTP). BTP adalah bahan atau
campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari
bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kepada pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk makanan. Termasuk BTP antara
lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat, dan pengental. Definisi BTP cukup bervariasi tergantung
pada negara pemakai. Di Indonesia BTP diartikan sebagai bahan
yang biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi
(termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu komponen
atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Artinya, BTP
bukan merupakan unsur khas makanan dan tidak selalu memiliki
nilai gizi. Tetapi bahan tersebut dengan sengaja ditambahkan pada
pg. 178
makanan untuk keperluan teknologi dalam rangka mempengaruhi
sifat dan bentuk makanan.
Penambahan BTP ke dalam makanan ditujukan untuk
mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna,
rasa, kekentalan, dan aroma, dan untuk mengawetkan,
mempermudah proses pengolahan. Secara khusus kegunaan BTP
adalah untuk: (1) mengawetkan makanan, dengan mencegah
pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya
reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu makanan, (2)
membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah, dan lebih enak di
mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik
sehingga menarik selera, (4) meningkatkan kualitas makanan, dan
(5) menghemat biaya.
pg. 179
Sedangkan penggunaan boraks sebagai BTP selain
bertujuan untuk mengawetkan makanan juga bertujuan agar
makanan menjadi lebih kompak (kenyal) teksturnya dan
memperbaiki penampakannya, misalnya pada produk nata de coco
dan cincau. Hanya dengan menambahkan dalam jumlah sedikit
saja, telah dapat memberikan pengaruh kekenyalan pada makanan
sehingga menjadi lebih legit, tahan lama, dan terasa enak di mulut.
Boraks, atau lazim disebut asam borat (boric acid) adalah senyawa
kimia turunan dari logam berat boron (B). Asam borat terdiri atas
tiga macam senyawa, yaitu asam ortoborat (H3BO3), asam
metaborat (HBO2), dan asam piroborat (H2B4O7)10. Senyawa kimia
terlarang ini diperdagangkan dalam bentuk balok padat, kristal,
atau tepung berwarna putih kekuningan, atau dalam bentuk cairan
tidak berwarna. Penggunaan boraks yang diizinkan, khususnya
dalam industri digunakan untuk mencegah kutu, lumut, dan jamur.
Boraks juga dapat digunakan sebagai insektisida dengan
mencampurkannya dalam gula untuk membunuh semut, kecoa,
dan lalat.
pg. 180
terserap oleh darah dan disimpan di dalam hati. Boraks di dalam
tubuh dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan.
Gangguan-gangguan umum yang ditimbulkan boraks adalah
sebagai berikut: (1) dapat menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan bayi, terutama mata, (2) menyebabkan gangguan
proses reproduksi, (3) dapat menimbulkan iritasi pada lambung,
kulit merah dan mengelupas, dan (4) menyebabkan gangguan
pada ginjal, dan hati. Gejala-gejala gangguan kesehatan yang
dapat diamati dalam jangka pendek karena menghisap atau
kontak secara langsung dengan boraks antara lain terjadinya iritasi
pada hidung, saluran pernapasan, dan mata. Selain itu, adanya
pencemaran boron dalam waktu panjang dapat menimbulkan
gangguan reproduksi berupa menurunnya jumlah sperma pada
laki-laki.
Untuk itu, sesuai amanat UU Pangan No. 7 tahun 1996,
mengkonsumsi pangan adalah merupakan kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat
Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Sehingga pangan yang kita konsumsi haruslah pangan
yang bebas dari bahaya fisik, kimia, dan mikrobiologi. Penggunaan
BTP dalam pembuatan makanan dan minuman jajanan, terutama
untuk kebutuhan takjil harus sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Pembuat makanan dan minuman jajanan
berkewajiban untuk memiliki pengetahuan tentang higiene,
sanitasi makanan, dan gizi, serta menjaga kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004
tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, disebutkan bahwa
keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, industri pangan dan konsumen. Pemerintah
bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem pengawasan
keamanan pangan melalui pengaturan standarisasi penilaian dan
inspeksi keamanan pangan. Industri pangan bertanggung jawab
menjaga mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya.
Sedangkan konsumen berperan dalam melindungi dirinya sendiri
pg. 181
dari pangan yang tidak bermutu dan aman. Olehnya itu, konsumen
perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keamanan
pangan, diantaranya pengetahuan tentang praktek higiene yang
baik saat menangani, mengolah, menyajikan dan menyimpan
pangan. Sinergi diantara ketiga pihak ini, dengan tanggung jawab
masing-masing sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan
keamanan pangan secara nasional. (Dimuat di Media Online
Masalembo.com, 29 Mei 2018).
pg. 182
Bagian Kelima
ASPEK POLA KONSUMSI
PANGAN DAN GIZI
pg. 183
1. Kaitan Gizi Buruk, Pangan dan Kemiskinan
pg. 184
Kekurangan Energi dan Protein
Energi merupakan ukuran kuantitatif, sedangkan protein
merupakan ukuran kualitatif. Karena alasan itulah, anak balita
yang mengalami gizi kurang atau gizi buruk, yang dalam
terminologi kesehatan digolongkan menjadi anak balita kurang
gizi, lebih dikenal dengan istilah kekurangan energi protein (KEP).
KEP yang gawat pada balita dikenal dengan gejala klinis seperti
kwasiorkor dan marasmus. Kwasiorkor terutama disebabkan oleh
kekurangan protein, sedangkan marasmus disebabkan oleh
kekurangan energi. Kwasiorkor terutama di derita oleh bayi dan
anak kecil pada usia enam bulan sampai tiga tahun. Sementara
marasmus adalah kekurangan pangan secara keseluruhan, baik
energi maupun protein. Gejala marasmus dapat timbul sampai
anak berusia 3,5 tahun. Tetapi lebih sering terjadi pada bayi usia
satu tahun. Marasmus adalah gejala kelaparan, karena bayi tidak
cukup mendapat ASI atau makanan tambahan lain.
Mencermati fenomena gizi kurang dan gizi buruk di
Indonesia lebih disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor,
seperti kemiskinan, kondisi lingkungan, buruknya pelayanan
kesehatan, dan kurangnya pemahaman mengenai gizi. Namun
penyebab paling utama gizi kurang dan gizi buruk adalah
kemiskinan yang tak teratasi. Kemiskinan dan gizi buruk bagaikan
dua sisi mata uang. Angka kemiskinan versi BPS tahun 2006 lalu,
mencapai 39,05 juta atau sekitar 17,75 persen dari jumlah
penduduk yang sudah 220 juta jiwa. Karena faktor kemiskinan
itulah sehingga ketersediaan pangan yang cukup dan bergizi
ditingkat rumah tangga juga rendah.
pg. 185
Pangan dan Gizi, dengan program utama mengoptimalkan peran
dan fungsi posyandu dan memantau kehadiran anak dan ibu balita,
sampai anak berusia lima tahun. Pada saat itu, posyandu memang
dapat menjadi ujung tombak pencegahan gizi kurang dan gizi
buruk, yaitu dengan kartu menuju sehat (KMS) sebagai alat
kontrolnya. Dengan gerakan ini diharapkan, kebijakan dan
perencanaan pangan dan gizi mendapat perhatian dan menjadi
strategi utama dalam mensejahterakan kehidupan bangsa.
Apabila orang tidak cukup pangan yang berkualitas
(bergizi), maka akan terjadi tiga konsekuensi fungsional. Ketiga
konsekuensi yang dimaksud adalah menurunnya kecerdasan,
meningkatnya frekuensi terkena penyakit, dan meningkatnya
angka kematian. Karena keadaan gizi anak-anak banyak sangkut
pautnya dengan bentuk tubuh dan lingkar kepala. Hasil penelitian
terhadap beberapa kelompok anak-anak miskin, disimpulkan
adanya bentuk tubuh yang pendek dengan lingkar kepala di bawah
standar. Dari hasil ini membuktikan bahwa anak yang bergizi buruk
ada kaitannya dengan kecerdasan.
Dampak negatif dari gizi buruk terhadap intelektualitas
atau kecerdasan anak banyak bergantung pada masa
pertumbuhan janin dalam kandungan sampai anak mencapai usia
tiga tahun. Intelektualitas atau kecerdasan manusia dipengaruhi
oleh faktor keturunan, faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan otak, faktor yang
mempengaruhi fungsi otak, dan faktor sosial dan lingkungan
keluarga. Dua dari empat faktor tersebut dipengaruhi oleh asupan
zat gizi, yaitu pertumbuhan dan perkembangan otak serta faktor
fungsi otak.
Sehubungan dengan meningkatnya jumlah anak balita
bergizi buruk seperti yang di ungkap di atas, sangat
memprihatinkan karena hal itu dapat menyebabkan hilangnya satu
generasi (lost generation) dan dikhawatirkan penderita akan
mengalami kerusakan otak yang tidak mungkin lagi diperbaiki.
Akibat dari kerusakan otak itu anak akan bodoh secara permanen.
pg. 186
Ketika di usia sekolah mereka tidak dapat berfikir cerdas karena
sel-sel otaknya tidak tumbuh maksimal. Makanya, jangan berharap
terlahir sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan mampu
bersaing.
Untuk itu, sebelum terjadi konsekuensi fungsional yang
semakin memprihatinkan dan mengkhawatirkan seperti yang
terjadi pada 2,3 juta balita, perlu antisipasi terhadap generasi
berikutnya. Salah satu strategi yang harus dilakukan pemerintah
adalah pemantapan pembangunan pangan dan gizi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk kembali kepada GNSG dengan
program fokus pada revitalisasi posyandu dan pengaktifan
kembali kartu menuju sehat (KMS) bagi anak dan ibu. (Dimuat di
Harian Tribun Timur, 22 Nopember 2006).
pg. 187
2. Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas
pg. 188
budidaya di Indonesia, baik ikan air tawar maupun ikan laut,
semakin berpeluang untuk bersaing dengan ikan hasil budidaya
dari negara lain. Iklim di Indonesia lebih kondusif untuk budidaya
ikan. Sebagai negara yang kaya dengan hasil laut dan mempunyai
berbagai macam produk perikanan, Indonesia berpeluang
membangun kualitas manusia yang sehat dan cerdas melalui
program gerakan masyarakat makan ikan (GEMARIN). Namun,
masyarakat Indonesia kurang banyak mengonsumsi ikan yang kaya
akan protein ini. Budaya mengonsumsi ikan belum menjadi gaya
hidup banyak keluarga di negeri ini.
pg. 189
dengan pola hampir sama dengan asam amino yang terdapat
dalam tubuh manusia. Selain itu, protein ikan juga terdiri atas
asam amino esensial yang tidak mudah rusak selama pemasakan,
dan lebih lengkap dibandingkan dengan sumber protein hewan
lainnya.
pg. 190
Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ikan mengandung
banyak protein. Namun absorpsi protein dari ikan lebih banyak
dibandingkan daging sapi atau ayam. Hal ini disebabkan karena
ikan mempunyai serat protein yang lebih pendek dari pada serat-
serat daging sapi atau ayam yang mempermudah pencernaan. Ikan
juga sangat baik bagi orang yang mengalami kesulitan
pencernaan. Untuk itu, mulailah mengonsumsi ikan hari ini dan
setidaknya makanlah ikan minimal tiga kali seminggu atau setiap
hari dengan menu yang bervariasi. Hal ini akan berimplikasi pada
kesehatan dan kecerdasan kita dan generasi kita di masa akan
datang. (Dimuat di Harian Tribun Timur, 6 Agustus 2007).
pg. 191
3. Pentingnya Konsumsi Pangan Berserat saat Berpuasa
pg. 192
makanan di usus bagian proximal. Melihat kemampuan menunda
pengosongan makanan, atau menahan kenyang lebih lama, maka
tidak mengherankan di saat seseorang yang sedang berpuasa,
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
serat yang cukup. Wirakusumah, Ahli Gizi IPB, mengungkapkan
bahwa dahulu serat dianggap sebagai bahan pangan yang rendah
kualitasnya, sehingga orang menganggap semakin tinggi
kandungan serat semakin jelek nilai gizinya. Namun kini serat
merupakan salah satu komponen penting karena bermanfaat bagi
kesehatan. Bahan pangan sumber serat yang baik terdapat pada
buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan dan serealia. Sementara
produk makanan hewani, seperti daging, ikan, susu dan telur serta
hasil olahannya, mengandung serat dalam jumlah sedikit karena
hampir seluruhnya dapat dicerna tubuh. Itulah sebabnya konsumsi
bahan pangan hewani harus diimbangi dengan konsumsi bahan
pangan berserat. Untuk jumlah konsumsi serat yang dianjurkan
minimal 25 gram/hari.
pg. 193
makanan lain yang kaya akan serat adalah agar-agar yang kerap
disajikan sebagai hidangan pencuci mulut atau untuk berbuka
puasa.
Untuk itu, dalam upaya mempersiapkan stamina tubuh
supaya tetap prima disaat berpuasa, ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan dalam mengatur menu, baik saat sahur
ataupun saat berbuka. Pada saat itulah, diupayakan supaya tubuh
kita mendapatkan asupan zat gizi yang tepat. Perlu diingat bahwa,
bahan pangan berserat terutama saat sahur dan berbuka akan
memberikan beberapa manfaat. Pertama, memberikan rasa
kenyang yang berkepanjangan. Keadaan itu disebabkan serat akan
menyerap cairan, sehingga memberikan volume dan berat kepada
yang lebih besar di dalam saluran pencernaan. Kedua, pada saat
puasa, kadar gula darah menurun. Hal ini disebabkan bahan
pangan berserat lambat dicerna dan diserap oleh tubuh, sehingga
energi yang dihasilkan akan bersifat konstan selama periode yang
cukup lama. Dengan mengetahui manfaat dan pentingnya serat,
penurunan stamina dan kebugaran tubuh, terutama di saat
menjalankan puasa, yang dicirikan dengan penurunan konsentrasi
berpikir, kelesuan, mudah marah, cemas, dan mengantuk, dapat
diantisipasi dengan mempersiapkan menu-menu makanan (bahan
pangan) yang kaya akan serat untuk sahur maupun berbuka.
(Dimuat di Media Online, Hariansulsel.com 4 Juni 2018).
pg. 194
4. Batasi Konsumsi Pangan Berkadar GGL Tinggi
pg. 195
adalah 10 persen dari total energi, setara dengan 50 gram per
orang per hari. Selanjutnya batas konsumsi garam per orang per
hari adalah 2000 mg Natrium atau 5 gram per orang per hari, atau
setara dengan 1 sendok teh. Sedangkan batas konsumsi lemak
total adalah 30 persen dari total energi atau 1,5 – 3 sendok makan
atau setara dengan 78 gram per orang per hari.
pg. 196
risiko kejadian penyakit tidak menular (PTM) dapat dihindari
dengan mengurangi lemak jenuh sampai kurang dari 10 persen
terhadap total energi. Lemak jahat bila dikonsumsi tidak dapat
diserap oleh tubuh sehingga menumpuk pada pembuluh darah
akibatnya terjadi penyempitan pembuluh darah. Apabila
penyempitan terjadi pada pembuluh darah arteri (atherosclerosis)
maka aliran darah ke jantung akan terganggu, sehingga oksigen
yang dibawa darah juga tidak maksimal sampai ke jantung
sehingga kerja jantung menjadi berat.
pg. 197
kemasan rendah garam dan rendah lemak dengan cara membaca
labelnya terlebih dahulu. Kesebelas, teknik pemasakan yang
dianjurkan adalah dengan cara mengukus dan memanggang
sehingga bisa membatasi penggunaan lemak.
Akhirnya, tulisan ini berupaya menginformasikan bahwa
tingkat konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebih di
Indonesia menunjukkan situasi yang berbahaya karena 30 persen
penduduk (setara dengan 77 juta orang) konsumsinya sudah
melebihi dari rekomendasi (Atmarita dkk,. 2016). Untuk itu
kebijakan nasional dalam rangka mengurangi dan membatasi
konsumsi GGL harus segera diimplementasikan untuk antisipasi
semakin melonjaknya penduduk dengan risiko penyakit tidak
menular (PTM). (Dimuat di Media Online Fokus Metro Sulbar, 10
Juli 2017).
pg. 198
5. Sehat dan Produktif Berpuasa dengan Pangan B3A
pg. 199
berimbang. Hal ini dapat diperoleh dari aneka pangan sumber
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral secara
proporsional dan berimbang.
pg. 200
Bergizi, artinya pangan yang dikonsumsi harus mempunyai
gizi. Alasannya, untuk hidup sehat dan produktif diperlukan
konsumsi pangan yang bergizi, sehingga memenuhi angka
kecukupan gizi (AKG) sebesar 2000 kkal/kapita/hari. Berimbang,
artinya pangan yang dikonsumsi harus seimbang dari berbagai
jenis atau kelompok pangan serta sumber karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral sesuai dengan standar pola pangan
harapan (PPH). Aman, artinya pangan yang dikonsumsi bebas dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Alasannya, pangan yang mengalami cemaran biologis melebihi
ambang yang telah ditentukan dapat menyebabkan penyakit.
Misalnya, bakteri E. Coli dan Salmonella dapat menyebabkan diare
atau keracunan. Demikian juga pangan yang mengalami cemaran
residu pestisida dapat menyebabkan keracunan atau
menyebabkan tumor serta kanker.
pg. 201
Regulasi tentang jaminan produk halal menjadi sangat
penting sebagai jaminan ketenteraman umat Islam di Indonesia.
Apabila terjadi pelanggaran atas hukum positif pemerintah
tentang pangan halal, maka hal tersebut akan menjadi ranah
hukum sebagaimana pelanggaran atas Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ada beberapa unsur
yang harus diperhatikan dalam meneliti kehalalan dan ketoyyiban
sebuah produk pangan. Pertama, kehalalan suatu makanan yang
telah dinaskan dalam Alqur’an Surah Al Maidah: 3 yang artinya,
‚Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala, …dst.
Kedua, proses pengolahan atau pembuatan selain binatang
yang dinaskan, kita juga patut mengetahui unsur-unsur lain dalam
makanan, apakah tercampur atau tidak dengan unsur yang
diharamkan sesuai yang disyariatkan oleh agama Islam! Kehalalan
makanan modern saat ini sebenarnya memiliki tingkat kerawanan
yang sangat tinggi karena di produksi secara massal. Ketiga, bersih
dan bebasnya suatu produk makanan dan minuman dari bahan
yang mengandung zat yang membahayakan tubuh. Makanan
toyyib dapat diartikan sebagai makanan yang mengandung zat
yang dibutuhkan oleh tubuh. Tidak mengandung zat yang
membahayakan tubuh dan pikiran. (Dimuat di Harian Fajar, 19
Juni 2015).
pg. 202
6. Pentingnya Konsumsi Makanan Bergizi Seimbang
pg. 203
pun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan
mempertahankan kesehatan, kecuali air susu ibu (ASI) untuk bayi
baru lahir sampai berusia 6 bulan. Kedua, membiasakan perilaku
hidup bersih. Perilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip
gizi seimbang. Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi status gizi seseorang secara
langsung, terutama anak-anak. Misalnya, selalu mencuci tangan
dengan sabun dan air bersih mengalir sebelum makan.
Ketiga, melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang
meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk olahraga
merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara
pengeluaran dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi
dalam tubuh. Keempat, mempertahankan dan memantau berat
badan (BB) normal bagi orang dewasa salah satu indikator yang
menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam
tubuh adalah tercapainya berat badan yang normal, yaitu berat
badan yang sesuai untuk tinggi badannya.
Pesan gizi seimbang berlaku untuk seluruh masyarakat dari
berbagai lapisan. Pesan tersebut menganjurkan lima hal yang
terkait dengan pola konsumsi gizi seimbang. Pertama, makan
anekaragam makanan. Kualitas atau mutu gizi dan kelengkapan
zat gizi dipengaruhi oleh keragaman jenis pangan yang
dikonsumsi. Bahkan semakin beragam pangan yang dikonsumsi
semakin mudah tubuh memperoleh berbagai zat lainnya yang
bermanfaat bagi kesehatan. Kedua, banyak makan sayuran dan
cukup buah-buahan. Secara umum sayuran dan buah-buahan
merupakan sumber berbagai vitamin, mineral, dan serat pangan.
Sebagian vitamin dan mineral yang terkandung dalam sayuran dan
buah-buahan berperan sebagai antioksidan atau penangkal
senyawa jahat dalam tubuh. Mengonsumsi sayuran dan buah-
buahan merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan
gizi seimbang. WHO secara umum menganjurkan konsumsi
pg. 204
sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 g per
orang per hari, yang terdiri dari 250 g sayur dan 150 g buah.
Ketiga, biasakan mengonsumsi lauk pauk yang
mengandung protein tinggi. Lauk pauk terdiri dari pangan sumber
protein hewani dan pangan sumber protein nabati. Dalam
mewujudkan gizi seimbang kedua kelompok pangan ini perlu
dikonsumsi bersama kelompok pangan lainnya setiap hari, agar
jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi lebih baik dan
sempurna. Keempat, biasakan mengonsumsi anekaragam makanan
pokok. Makanan pokok adalah pangan mengandung karbohidrat
yang sering dikonsumsi atau telah menjadi bagian dari budaya
makan berbagai etnik di Indonesia sejak lama. Disamping
mengandung karbohidrat, dalam makanan pokok biasanya juga
terkandung antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin) dan
beberapa mineral. Kelima, batasi konsumsi pangan manis, asin dan
berlemak. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2013
tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam dan
lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan
siap saji menyebutkan bahwa konsumsi gula lebih dari 50 g (4
sendok makan), natrium lebih dari 2000 mg (1 sendok teh) dan
lemak/minyak total lebih dari 67 g (5 sendok makan) per orang per
hari akan meningkatkan risiko hipertensi, stroke, diabetes, dan
serangan jantung.
pg. 205
7. Kaitan Kurban, Asupan Gizi dan Tingkat Konsumsi
Daging
pg. 206
yang larut lemak (A, D, E, dan K) dan mineral serta menjadi
sumber energi dan menunjang fungsi otak.
Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan
tahun 2013, kebutuhan protein dewasa rata-rata 65 gram per
orang per hari. Daging dapat dikonsumsi 2-3 kali dalam
seminggu. Namun cara memasak daging pun perlu diperhatikan.
Sebaiknya daging dimasak secara matang sempurna. Daging yang
digoreng akan menambah kadar lemak dari minyak goreng
sedangkan dibakar akan berisiko menambah zat karsinogenik
penyebab kanker. Untuk itu, sebaiknya daging dimasak dengan
cara direbus dan dikonsumsi bersama dengan sayur dan buah
agar memenuhi aspek keseimbangan. Menyantap daging
kurban pun diharapkan disertai sayur, lalapan dan buah.
pg. 207
seseorang yang pengeluarannya di atas Rp.1 juta per bulan,
kemampuan membeli daging mereka Rp.36.985. Artinya mereka
punya kemampuan bisa membeli atau mengonsumsi daging
sebanyak 3,6 kilogram per tahun. Konsumsi ini masih jauh lebih
rendah dari rata-rata konsumsi daging secara global.
Data Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) bisa bicara banyak soal rendahnya konsumsi
daging orang Indonesia. Untuk konsumsi daging sapi 2015
misalnya, orang Indonesia hanya mampu mengonsumsi 1,9 kg
daging sapi per kapita per tahun. Jauh di bawah rata-rata
konsumsi daging sapi secara global yang berada di angka 6,4 kg
per kapita per tahun. Indonesia memang masih lebih baik dari India
yang hanya 0,5 kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia masih
kalah jauh dari negeri jiran Malaysia yang rata-rata warganya
mampu mengkonsumsi daging sapi 5,7 kg per kapita per tahun,
dan Arab Saudi yang mencapai 3,9 kg per kapita per tahun.
Kemenkes juga merilis angka yang cukup menohok, yaitu sampai
saat ini rata-rata konsumsi jeroan (non-daging) orang Indonesia
mencapai 2,1 gram per hari. Meski masih lebih rendah atau
setengahnya dari konsumsi daging, tapi konsumsi jeroan ini cukup
besar. Ironisnya pemerintah belum lama ini malah mengimpor
jeroan untuk menekan harga daging sapi. Sebuah keputusan
pintas yang makin membawa kalangan bawah justru jauh dengan
keterjangkauan dari daging sapi.
pg. 208
8. Tingkatkan Konsumsi Susu dengan Aneka
Olahannya
pg. 209
segera setelah kelahiran. Susu adalah sekresi yang komposisinya
sangat berbeda dari komposisi darah yang merupakan asal susu.
Misalnya lemak susu, kasein, laktosa yang disintesa oleh alveoli di
dalam kambing, tidak terdapat di tempat lain maupun di dalam
tubuh sapi.
Tingkatkan Konsumsi
Dalam rangka meningkatkan konsumsi susu segar di
Indonesia, secara nasional pemerintah telah dan akan
merealisasikan beberapa program. Pertama, sosialisasi minum
pg. 210
susu segar bagi anak-anak sekolah sampai pada tingkat posyandu.
Kedua, proses pengolahan yang memenuhi kaidah-kaidah good
manufacturing practices (GMP) setelah susu di perah, minimal
dilakukan proses pasteurisasi agar susu yang disajikan dalam
kondisi baik dan aman untuk dikonsumsi. Ketiga, penambahan
jumlah sapi perah agar produksi nasional susu segar bisa
ditingkatkan.
Tahun 2012 menunjukkan Indonesia hanya memiliki
600.000 ekor sapi perah di seluruh wilayah dan produktivitasnya
masih tergolong rendah. Saat ini, kebutuhan susu nasional masih
dicukupi dengan melakukan impor susu sebanyak 70 persen dari
kebutuhan nasional, dan hanya 30 persen yang dihasilkan oleh
peternak nasional. Oleh sebab itu, telah disusun road-map untuk
meningkatkan konsumsi susu di tanah air, yang antara lain dengan
peningkatan capacity building semua stakeholders yang berperan
dalam produksi susu dan penguatan kelembagaannya.
Untuk mewujudkan langkah konkrit dalam mempercepat
peningkatan konsumsi susu segar, perlunya dilakukan. Pertama,
sosialisasi untuk semua masyarakat tentang manfaat susu segar
bagi manusia. Upaya ini merupakan program penyegaran kembali
tentang pola makan 4 sehat 5 sempurna, yang menyarankan
konsumsi susu untuk kesempurnaan asupan gizi. Kedua, kampanye
tentang susu segar sebagai sumber protein hewani yang sangat
dibutuhkan manusia, karena di dalamnya terdapat asam amino
essensial yang hanya terdapat dalam protein hewani tersebut.
Ketiga, peningkatan industri susu nasional. Kegiatan ini bisa
dilakukan dengan membangun sistem industri susu tingkat
nasional dan di daerah, sehingga dengan kenaikan konsumsi susu
segar di masyarakat maka akan meningkatkan permintaan yang
harus dipenuhi oleh peternak susu segar hasil perahan kemudian
dikirimkan ke industri pengolahan susu untuk diproses secara
higienis sehingga siap konsumsi dan aman diminum.
pg. 211
Produk Olahan Susu
Pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh produk
olahan susu yang beranekaragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi
tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran dan transportasi.
Pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan
berkembangnya ilmu di bidang teknologi pangan. Dengan
demikian akan semakin banyak jenis produk susu yang di kenal.
Berbagai jenis produk olahan susu yang sudah dikenal masyarakat
diantaranya es krim, susu bubuk, susu kental, keju, mentega,
yoghurt, tahu susu, dodol susu, permen karamel susu, dadih, susu
sterilisasi, pasteurisasi dan fermantasi.
Selain produk tersebut, di Sulawesi Selatan (Sulsel) di kenal
beberapa produk olahan susu berbasis sumberdaya lokal, yaitu
dangke dan kripik dangke yang berasal dari Kabupaten Enrekang,
serta susu sinjai (SUSIN) yang berasal dari Kabupaten Sinjai. Karena
kedua daerah tersebut merupakan sentra pengembangan ternak
sapi perah di Sulsel. Misalnya, dangke merupakan produk olahan
khas Enrekang. Konon, tercipta karena masyarakat Enrekang
memang tak terbiasa mengonsumsi susu segar, sehingga mereka
membuat produk olahannya. Dangke terbuat dari susu dengan
penambahan getah atau perasan daun pepaya sebagai
penggumpal. Karena getah pepaya mengandung enzim proteinase
sulfuhydril yang berfungsi mengkatalisis reaksi-reaksi biologi
sehingga susu tersebut dapat menggumpal setelah pemanasan.
Selanjutnya untuk kripik dangke, merupakan produk
turunan dari dangke itu sendiri, menggunakan metode proses
fortifikasi karena menggunakan bahan baku tambahan seperti
tepung, kuning telur, gula, garam, ketumbar, dan bawang putih,
dengan proses pengeringan (penjemuran) dan penggorengan.
Sedangkan untuk produk susu yang di kenal dengan nama SUSIN,
merupakan susu olahan berbasis industri kecil di Sinjai dengan
menggunakan metode pasteurisasi atau sterilisasi dengan mesin
dan peralatan sederhana yang terjangkau oleh pengusaha kecil
dan menengah.
pg. 212
9. Wujudkan Makassar sebagai Tujuan Wisata Kuliner
pg. 213
Wisata kuliner mempunyai peranan yang penting, beberapa
alasan diantaranya yaitu: (1) hampir semua wisatawan makan di
luar selama melakukan kegiatan wisata, (2) aktivitas makan
merupakan aktivitas yang digemari wisatawan, (3) tagihan yang
lebih tinggi dari total tagihan wisatawan kemungkinan besar
dihabiskan untuk kebutuhan makan dan minum, (4) wisatawan
sangat senang berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi di luar
ruangan, (5) perhatian atau minat pada wisata kuliner menjangkau
pada semua kelompok umur, (6) masakan lokal merupakan salah
satu pendorong dalam memilih suatu destinasi wisata.
Makna yang terkandung pada wisata kuliner adalah
kreativitas, estetika, tradisi, dan kearifan lokal. Pertama,
kreativitas adalah aspek ide baru yang dapat memberikan nilai
tambah pada sebuah makanan dan minuman. Kreativitas ini dapat
tertuang melalui kreasi resep, kreasi cara pengolahan, dan kreasi
cara penyajian. Kedua, estetika adalah aspek tampilan dari sebuah
makanan dan minuman yang ditata dengan memperhatikan unsur
keindahan sehingga menjadikan produk kuliner tersebut memiliki
nilai lebih dan mampu menggugah selera konsumen untuk
menikmatinya.
Ketiga, tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan kebiasaan dalam mengolah
dan mengonsumsi makanan dan minuman. Unsur tradisi ini sangat
penting dalam menjaga warisan budaya kuliner Indonesia.
Keempat, kearifan lokal adalah identitas suatu daerah berupa
kebenaran yang telah tertanam dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara
tradisional.
pg. 214
dikembangkan sebagai wisata kuliner (culinary tourism). Model
kuliner yang dapat dikembangkan di Kota Makassar yaitu:
makanan pembuka (appetizer) antara lain: rokok-rokok unti, tumpi,
cucur bayao, jalangkote, dokok-dokok cangkuling dan barongko,
makanan utama (main course) diantaranya coto Makassar, sub
saudara, sub konro, pallu basa, songkolo bagadang, nasu palekko,
burasa dan mie titi, makanan penutup (dessert) antara lain: tape
ketan, tape ubi, kolak pisang/ubi dan kue biji nangka, minuman
yaitu: es pallu butung, es pisang ijo dan sarabba, sedangkan untuk
camilan antara lain: keripik singkong/pisang. bipang, benno, baje
bandang, kue karrasa, dan kue dange.
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi permasalahan
seputar kuliner di Kota Makassar meliputi: (1) kuliner apa sajakah
yang dapat dikembangkan di Kota Makassar sebagai identitas
sosial budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan
masyarakat, (2) bagaimanakah klasifikasi kuliner di wilayah Kota
Makassar sebagai identitas sosial budaya yang mampu
meningkatan taraf kehidupan masyarakat, (3) bagaimana analisis
budaya kuliner di wilayah Kota Makassar sebagai identitas sosial
budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan masyarakat,
dan (4) temuan konsep apa yang dapat dijelaskan berkaitan
dengan kuliner di wilayah Kota Makassar sebagai identitas sosial
budaya yang mampu meningkatan taraf kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan kuliner, kearifan lokal akan membentuk
karakter kuliner di Kota Makassar yang harus mampu diangkat dan
dikenalkan kepada masyarakat luas, melalui hadirnya Kawasan
Kuliner Pecinan (KKP) dan Kawasan Kuliner BTP (KKB) dalam
rangka mewujudkan Makassar sebagai kota tujuan wisata kuliner,
dengan menyajikan banyak makanan khas kota ini yang telah
dikenal luas. (Dimuat di Harian Fajar, 19 Desember 2017).
pg. 215
DAFTAR PUSTAKA
pg. 216
FAO. 2006. Rice Market Monitor.Vol 9 No. 1: Maret 2006.
FAO. 2008. The State of Food and Agriculture in Asia and the Pacific
Region 2008.
FAO. 2010. Crop Prospects and Food Situation. No. 4 December
2010.
Fardiaz, Srikandi. 1996. Aplikasi HAACP dalam Industri Pangan.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Gunarto, H. A. 1998. Mempelajari Potensi Sumberdaya Pertanian
sebagai Basis Pengembangan Agrowisata di Kabupaten
Cianjur. Majalah Ilmiah Ilmu dan Wisata. Jakarta: Universitas
Sahid.
Hawkins dan Van den Ban. 1999. Penyuluhan Pertanian.
Yogyakarta: Kanisius.
Hendrayana, H. 2011. Cekungan Air Tanah Yogyakarta – Sleman.
Yogyakarta: Universitas mGadjah Mada.
Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti. 2007. Dampak
Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah
Penduduk Miskin. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diakses
21 Mei 2008. http://www.google.co.id.
Koswara, S. 2008. Kacang-Kacangan. Diakses 19 Agustus 2010.
www.ebookpangan.com
Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi
Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 No.
2, Juni 2007. Hh. 167 – 182.
Mulyandari, R. S. dan E. E. Ananto. 2005. Teknik Implementasi
Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan
Lokal P4MI. Jurnal Informatika.Vol. 14, hh.802-817.
pg. 217
Pitana, I Gede. 2002. Kebijakan dan Strategi Pemerintah Daerah Bali
dalam Pembangunan Pariwisata. Makalah Seminar Nasional
‚Pariwisata Bali the Last or the Lost Paradise‛,
Pembangunan Pariwisata yang Berkelanjutan. Denpasar:
Universitas Udayana.
Pranadji, T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan
Masyarakat Pedesaan dalam Pengendalian Agroekosistem
Lahan Kering. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 24 No. 2, hh.30-39.
Praptiwi, Harapini, M., & Astuti, I. 2006. Nilai Peroksida Aglaia
argentea Blume, A. silvestria (M. Roemer) Merr dan A.
tomentosa Teisjm, & Binn. Biodiversitas, Vol. 7 no. 3, hh. 242
– 244.
Rachmat, M. 2010. Perspektif Pengembangan Industri Pengolahan
Pangan di Indonesia. Diakses 13 September 2011.
http://www.google.co.id.
Rahman, S., Salengke, S., Tawali, A., & Mehendradatta, M. 2017.
The Chemical Content of the Starch of Palado Seed (Aglaia
sp.) with Pregelatinization, Cross-linking, and Acetylation
Modifications. International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research. Vol. 32, No. 3, hh. 305 – 316.
Rahman, Syamsul. 2013. Analisis Proksimat Biji Palado (Aglaia sp)
sebagai Alternatif Sumber Pangan Berbasis Lokal. Prosiding
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI), 26 – 29 Agustus 2013. Jember, Indonesia.
ISBN. 978-602-49-5, hh. 279 – 288.
Ravik, Karsidi. 2001. Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Mediator. Vol 2.
No. 1, hh. 115 – 125.
Rayes, Luthfi. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
pg. 218
Soetomo. 2013. Pemberdayaan Masyarakat; Mungkinkah Muncul
Antitesisnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudibyo, A. 2012. Peran Cokelat sebagai Produk Pangan Derivat
Kakao yang Menyehatkan. Jurnal Riset Industri. Vol 6. No. 1,
hh. 23 – 40.
Sumaryanto dan Sudaryanto, T. 2005. Pemahaman Dampak Negatif
Konversi Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan Strategi
Pengendaliannya. Bogor: Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. ISBN. 979-8637-31-3. hh. 22 – 32.
Supriyati, Setiyanto A., Suryani E., dan Tarigan H. 2006. Analisis
Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengembangan
Agroindustri. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Departemen
Pertanian RI. Diakses 17 April 2008.
http://www.google.co.id.
Suryana, Achmad. 2008. Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan
Pangan, dan Swasembada Beras. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Vol 1. No. 1, hh. 1 – 16.
Sutjipta, I Nyoman. 2001. Agrowisata. Diktat Magister Manajemen
Agribisnis. Denpasar:Universitas Udayana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006
Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (SP3K).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Pangan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
pg. 219
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan.
Wahab, A. 2016. Keberpihakan Kebijakan Pemerintah pada Sektor
Usaha Rakyat Perspektif Ekoonomi Islam (Studi Kasus
Keberlangsungan Pasar Tradisional). Jurnal Peradaban Islam.
Vol 12. No. 1, hh. 167 – 186.
World Health Organization, UNICEF. 2003. Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding. Geneva: WHO, 2003.
Yuharti, Nurhayati. 2009. A to Z Food Suplement. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
pg. 220
RIWAYAT HIDUP PENULIS
pg. 221
View publication stats