Anda di halaman 1dari 314

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

SEBUAH BANGUNAN ILMU ISLAMIC STUDIES


UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
SEBUAH BANGUNAN ILMU ISLAMIC STUDIES

Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.


FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
SEBUAH BANGUNAN ILMU ISLAMIC STUDIES

Sehat Sultoni Dalimunthe

Desain Cover : Dwi Novidiantoko


Tata Letak Isi : Nurul Fatma Subekti
Sumber Gambar : www.pxhere.com

Cetakan Pertama: Maret 2018

Hak Cipta 2018, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2018 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

DALIMUNTHE, Sehat Sultoni


Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Bangunan Ilmu Islamic Studies/oleh Sehat
Sultoni Dalimunthe.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Maret-2018.
x, 303 hlm.; Uk:15.5x23 cm

ISBN 978-602-453-839-2

1. Filsafat Pendidikan Islam I. Judul


297.01
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kata yang selalu pantas diucapkan dalam keadaan


dan situasi apapun, termasuk atas selesainya buku Filsafat Pendidikan
Islam: Sebuah Bangunan Ilmu Islamic Studies yang sedang Saudara baca
ini. Salawat dan salam saya ucapkan kepada sosok teladan umat,
Muhammad Saw. sebagai salah satu bukti cinta dan adab kepada sosok
yang sangat penting dalam perjalanan sejarah hidup manusia.
Filsafat Pendidikan Islam adalah mata kuliah yang saya asuh sejak
tahun 2003 sampai sekarang, khususnya di STAIN Malikussaleh yang
sekarang menjadi IAIN Lhokseumawe dan di IAIN Padangsidimpuan baik
di S1 maupun di S2. Dari sisi niat dan usaha, karya ini tergolong terlambat
penerbitannya. Karya ini saya harapkan terbit sebelum mutasi kerja dari
STAIN Malikussaleh ke IAIN Padangsidimpuan.
Pentingnya penerbitan buku Filsafat Pendidikan Islam bagi saya,
karena disiplin ilmu ini menjadi konsentrasi keilmuan dan fungsional saya
sebagai dosen yang disertifikasi oleh negara. Selain itu, penerbitan buku
ini, sebagian arsip pemahaman saya terhadap Filsafat Pendidikan Islam.
Siapa pun dia, hemat saya tidak bisa mengarsipkan pemahamannya secara
utuh dalam sebuah tulisan. Pertama, karena orang yang selalu membaca,
sangat memungkinkan terjadi dinamika pemahaman. Kedua, adakalanya
pemahaman itu tidak cocok untuk ditulis, tapi bisa diungkapkan. Ketiga,
ketebalan buku juga menjadi pertimbangan marketing, dll.
Karya Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Bangunan Ilmu Islamic
Studies ini sebagai “utang ilmiah” saya kepada khususnya mahasiswa S1
dan S2 IAIN Lhokseumawe. Dengan terbitnya karya ini, saya merasa lega
karena “utang ilmiah” ini saya anggap lunas. Saya ucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua pihak civitas akademik IAIN
Lhokseumawe yang dulu memberi penugasan untuk mengajar mata kuliah
filsafat pendidikan Islam. Tidak kalah pentingnya, saya berterima kasih
“‫ ”أٌف شىش‬kepada semua mahasiswa yang pernah belajar filsafat pendidikan
Islam di STAIN Malikussaleh dan STAI al-Muslim dan mata kuliah

vi
Filsafat Pendidikan di Universitas al-Muslim Matang. Setidaknya, saya
menganggap bahwa buku ini sebagai salah satu bukti hubungan intelektual
antara kita.
Karya ini juga saya anggap sebagai “perkenalan” dengan mahasiswa
IAIN Padangsidimpuan baik S1 dan S2 dalam mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam. Sejak 1 Februari 2017 saya bertugas di IAIN
Padangsidimpuan, ini karya tulis kedua setelah Menutur Agama Dari Atas
Mimbar. Mudah-mudahan Allah Swt. masih mencurahkan kasih
sayangnya, sehingga masih menyusul karya-karya berikutnya. Amin.
Tidak lupa saya berharap jika karya ini memiliki nilai “pahala”,
dihadiahkan oleh Allah Swt. kepada almarhumah ibunda tercinta Hj.
Robiah Harahap. Katanya, beliau mengharapkan kami anak-anaknya
berilmu. Terima kasih yang tak terhingga juga saya ucapkan kepada
ayahanda H. Abdul Rahman Muda Dalimunthe. Saya berharap ayahanda,
“ٍّٗ‫حضٓ ػ‬ٚ ٖ‫طبي ػّش‬: panjang umur dan bertambah kebaikannya.” Ucapan
terima kasih juga saya ucapkan untuk semua keluarga, khususnya kepada
istriku tercinta Habibah, S.Ag. dan anak-anakku Farhan Fazlul Rahman
Dalimunthe, Arif Rahman Dalimunthe, Qorinah Rahman Dalimunthe, dan
Taufik Hidayah Rahman Dalimunthe. Terakhir terima kasih kepada semua
guru-guruku dan juga dosen-dosenku dari SD sampai S3.
Karya ini pastilah tidak sempurna dan tidak diterima oleh semua
orang. Mudah-mudahan atas ketidaksempurnaannya, ada pembaca yang
bersedia mengkritik karya ini. Mudah-mudahan yang tidak menerimanya,
dapat memahami bahwa secara teoretis, mungkin ada sedikit yang Anda
butuhkan dari isinya, ambil yang Anda setujui saja. Dari rekan-rekan
akademisi, jika karya ini tidak bisa menjadi aspirasi, mudah-mudahan
karya ini bisa menjadi inspirasi. Setidaknya karya ini, bisa menjadi
motivasi bagi kolega saya untuk menulis yang lebih baik. Selamat
membaca.

Salambue, 22 Oktober 2017

S2D

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................ viii

SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN


ISLAM ............................................................................................ 1
A. Pendidikan ................................................................................ 2
B. Pendidikan Islam ....................................................................... 5
C. Sejarah Filsafat Pendidikan ..................................................... 30
D. Filsafat Pendidikan Islam ........................................................ 34
E. Upaya Mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam..................... 42

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM ................................................ 49


A. Filsafat Tujuan dalam al-Qur‟an .............................................. 50
B. Tujuan Pendidikan Islam ......................................................... 55
C. Hirarki Tujuan Pendidikan Islam ............................................. 60
D. Teori Pendidikan dan Filsafat Pendidikan ................................ 65

ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM........................................... 71


A. Hakekat Manusia ..................................................................... 71
B. Hakekat Masyarakat ................................................................ 83
C. Hakekat Ilmu........................................................................... 90
D. Hakekat Akhlak....................................................................... 97

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM................................ 122


A. Langkah Merumuskan Filsafat Pendidikan Islam ................... 122
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam.............................. 130
C. Syarat-syarat Filsafat Pendidikan Islam ................................. 134

AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM ....................................... 142


A. Ilustrasi ................................................................................. 142
B. Konsep Nilai dalam Islam ..................................................... 143

viii
C. Teori Dasar Akhlak ................................................................ 154

PEMIKIRAN PENDIDIKAN UMAR BIN KHATTAB............. 165


A. Pendahuluan .......................................................................... 165
B. Perhatian Umar bin Khattab terhadap Pendidikan ................... 166

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM ABU HANIFAH ............. 195


A. Biografi Singkat ..................................................................... 195
B. Pendidikan Akhlak kepada Orang Tua .................................... 198
C. Pendidikan Akhlak Menghormati Guru .................................. 202

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM JA`FAR AL-


SHADIQ ...................................................................................... 211
A. Biografi Singkat ..................................................................... 211
B. Pemikiran Pendidikan Imam Jakfar al-Shadiq......................... 213

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM SYAFI`I .......................... 223


A. Biografi Singkat ..................................................................... 223
B. Pemikiran Pendidikan Islam Imam Syafi`i .............................. 229
C. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Syafi`i ............................. 235
D. Menuntut Ilmu ....................................................................... 240
E. Syafi` Belajar kepada Gurunya ............................................... 245

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


MUHAMMAD ABDUH .............................................................. 248
A. Pendahuluan .......................................................................... 248
B. Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh............................ 250
C. Filsafat Manusia Menurut Muhammad Abduh ........................ 255
D. Filsafat Masyarakat Menurut Muhammad Abduh ................... 257
E. Filsafat Ilmu Pengetahuan Menurut Muhammad
Abduh .................................................................................... 262
F. Filsafat Akhlak ...................................................................... 269
G. Kesimpulan ............................................................................ 274

ix
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM FAZLUL
RAHMAN ................................................................................... 276
A. Pendahuluan .......................................................................... 276
B. Biografi Fazlul Rahman......................................................... 277
C. Pemikiran Pendidikan Islam Fazlul Rahman .......................... 281
D. Penutup ................................................................................. 296
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 297

x
SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Apakah filsafat pendidikan Islam itu wacana, opini, atau konsep? Ini
bagi sebagian orang perlu diperjelas. Wacana adalah sesuatu yang belum
matang dan masih diperdebatkan sementara opini adalah sesuatu yang bisa
benar dan bisa juga salah. Terlalu mahal biaya pemilihan kepala daerah
yang diadakan secara langsung oleh rakyat menurut sebagian orang, maka
sistem pemilihan kepala daerah ada baiknya dikembalikan ke lembaga
legislatif. Pendapat seperti itu masih disebut wacana. Melihat rendahnya
kualitas guru saat ini, diduga oleh sebagian orang karena dihapuskannya
SPG dan PGA, untuk itu mestinya kembali dibuka SPG dan PGA. Itu juga
masih termasuk wacana. Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat itu
baik untuk demokratisasi. Hal ini sedang berlangsung di Indonesia, tapi itu
opini, karena ada orang melihat sebaliknya. Pemilihan kepala daerah
langsung oleh rakyat, selain biaya mahal juga bisa saja yang terpilih bukan
orang terbaik, karena factor dukungan rakyat berdasarkan money politic.
Untuk itu, opini kebenarannya relative. Dalam bahasa Indonesia, opini ini
disebut dengan pendapat, pikiran, dan atau pendirian. 1 Mulyadhi
Kartanegara dalam Pengantar Epistemologi Islam menyebut opini padanan
kata ra‟y yang berbeda dengan ilmu. Ilmu itu bersifat objektif,
pengetahuan sebagaimana adanya dan telah diuji kebenarannya. Sementara
opini spekulatif yang tidak objektif.
Berikut ini bukan opini, tapi fakta dan data. Indonesia merdeka 17
Agustus 1945. Presiden pertama Republik Indonesia adalah Soekarno.
Ibukota Padang Lawas Utara tahun 2013 adalah Gunung Tua. Data dan
fakta itu objektif, sehingga tidak untuk diperdebatkan.
Definisi dan pemahaman tentang apa itu pendidikan sesungguhnya
masih termasuk opini. Para ahli tidak secara ittifâq mendefinisikan apa itu
pendidikan dan apa saja batasan-batasan atau ruang lingkupnya. Untuk itu
di bawah ini akan dibicarakan kembali sebagai upaya untuk mempermudah

1
Pusat Bahasa Dept. Pend. Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Dept. Pend. Nasional, 2008), h. 1091

1
pembaca memahami apa itu pendidikan dan juga pendidikan Islam. Selain
itu akan juga dibicarakan Filsafat Pendidikan Islam sebagai wacana Filsa-
fat tentang pendidikan Islam dan atau Filsafat pendidikan menurut Islam.

A. Pendidikan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mendefinisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara.2
Jika kita amati definisi itu, maka ada yang harus digarisbawahi,
yaitu usaha sadar dan terencana. Sementara redaksi untuk mewujudkan
suasana belajar dan seterusnya bisa disebutkan berupa tujuan pendidikan.
Dari definisi itu, secara teknis dipahami bahwa definisi pendidikan ini
harus satu paket dengan tujuannya, jika keluar dari definisi dan tujuan itu,
maka tidak disebutkan pendidikan versi UU Nomor 20 tahun 2003.
Definisi ini terkesan berbicara tentang pendidikan dalam arti sekolah dan
bisa juga dalam bentuk pendidikan nonformal, karena usaha sadar dan
terencana itu jelas kelihatan di dalamnya. Sementara dalam pendidikan
informal, bisa jadi ada unsur usaha sadar, tetapi boleh jadi tidak terencana.
Boleh jadi dalam pendidikan informal ada rencana, tetapi tidak terstruktur
atau rencana dadakan. Walaupun demikian dalam versi Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 sudah ada pengertian teknis dari pendidikan.
Hasbullah mendefinisikan pendidikan dalam makna sederhana,
sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. 3 Definisi ini menekankan
usaha manusia. Sementara kalimat untuk membina kepribadiannya dan
seterusnya merupakan tujuan pendidikan itu. Definisi pendidikan dan
tujuannya juga dijadikan sebagai satu paket. Mungkin perlu diperdalam

2
UU Nomor 20 Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, Pasal 1, ayat 1.
3
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),
h. 1

2
apakah semua yang dilakukan manusia bisa disebut sebagai usaha atau
hanya perilaku yang sungguh-sungguh saja baru disebutkan usaha. Penulis
berpendapat usaha manusia yang dimaksud dalam pendidikan itu berupa
perilaku dan perlakuan yang sungguh-sungguh. Penekanan tujuan
pendidikan yang dikemukakan oleh Hasbullah membina kepribadian yang
sesuai dengan nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan, membuat
pendidikan itu sangat spesifik lagi. Nilai-nilai di dalam masyarakat
biasanya terstruktur dalam adat istiadat dan karena dihubungkan dengan
kebudayaan, maka dapat dipahami bahwa adat istiadat itu juga disebut
dengan budaya.
Karena pendidikan dalam makna sederhana yang dikemukakan
Hasbullah menghubungkan dengan adat istiadat masyarakat, maka
cenderung dapat dipahami dalam makna pendidikan jalur nonformal dan
informal, sementara pendidikan formal yang bersifat universal atau bahkan
yang bersifat nasional pun tidak tercakup.
Sekedar mencoba memahami nilai-nilai di dalam masyarakat,
penulis beri contoh masyarakat Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas
Utara Sumatera Utara. Kalau seseorang ingin menikah, maka menikah
dengan keluarga dekat, yaitu tradisi manyunduti4 dianggap baik.
Lebih lanjut Hasbullah mendefinisikan pendidikan atau paedagogie
sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa agar ia menjadi dewasa.5 Definisi ini juga hanya mencakup
pendidikan formal untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebab
pendidikan tinggi, peserta didiknya sudah dewasa dan untuk kasus tertentu,
pendidiknya atau dosennya lebih muda dari peserta didiknya (mahasiswa).
Tujuan pendidikan dalam definisi selanjutnya disebutkan oleh Hasbullah
untuk mencapai tingkat hidup atau yang penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental.6 Kedewasaan di sini ditafsirkan dalam pengertian
mental bukan pengetahuan.

4
Manyunduti adalah seorang lelaki menikah dengan putri pamannya dari pihak
ibunya (tulang) dan sebaliknya perempuan menikah dengan putra bibinya dari bapaknya
(namboru)
5
Ibid
6
Ibid

3
Hasbullah menggarisbawahi bahwa pengertian pendidikan selalu
mengalami perkembangan, namun esensinya tidak jauh berbeda. Di
antaranya:
Langeveld mendefinisikan pendidikan, setiap usaha, pengaruh,
perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang
dewasa (atau orang yang diciptakan orang dewasa seperti sekolah, buku,
putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya), dan ditujukan kepada yang
belum dewasa.7
Kata kunci definisi di atas usaha. Usaha itu berupa pengaruh,
perlindungan, dan bantuan. Tujuannya pendewasaan hidup. Aktornya
orang dewasa, bisa juga sekolah, buku, dan kehidupan. Ditekankan
pendidikan itu bagi orang yang belum dewasa.
Jhon Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan
sesama manusia.8
Definisi ini memberi kata kunci proses pembentukan kecakapan
intelektual dan emosional. Selain itu yang memberikan pendidikan itu bisa
alam semesta bisa juga manusia.
J. J. Rousseau, pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang
tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada
waktu dewasa.
Definisi ini menekankan materi pendidikan itu untuk orang dewasa,
sedangkan untuk kanak-kanak tidak dipersiapkan pendidikan.
Driyarkara, pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda atau
pengangkatan manusia muda ke taraf insan. Definisi ini pun terkesan
pendidikan sebagai pendewasaan. Dewasa menjadi potret manusia
berpendidikan.
Carter V. Good berpendapat pendidikan sebagai seni, praktek, atau
profesi pengajar; ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan

7
Ibid, h. 2
8
Ibid

4
dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan, dan bimbingan
murid dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan. 9
Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas dapat dianggap
pasti masing-masing memiliki kekurangan, tetapi saling melengkapi, dan
sebagai bukti begitu luasnya arti pendidikan itu. Penulis sendiri cenderung
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan proses pembentukan
manusia menuju arah yang lebih positif.

B. Pendidikan Islam
Istilah pendidikan Islam dalam rekomendasi Konferensi Dunia
tentang Pendidikan Islam tahun 1977 Jeddah ada tiga, yaitu al-tarbiyah,
al-ta‟lim, dan al-ta‟dib. Muhammad Naquib al-Attas telah membahas
perbedaan ketiga istilah itu secara mendalam dan kemudian ia menyim-
pulkan bahwa istilah al-ta‟dib adalah yang paling cocok untuk pendidikan
Islam. al-Ta‟dib istilah yang khusus untuk manusia dan menghormati
manusia secara intelektual. Adapun tarbiyah tidak secara khusus untuk
manusia, ia bisa mengacu pada spesies lain seperti mineral, tanaman, dan
hewan.10 Selain itu, tarbiyah juga mengacu pada “kepemilikan” seperti
kepemilikan orang tua terhadap anaknya, maka orang tua melaksanakan
tarbiyah. 11 Tujuan tarbiyah secara normal bersifat fisik dan material serta
berwatak kuantitatif.12 Kata tarbiyah juga tidak melibatkan pengetahuan. 13
Tarbiyah dalam makna sederhana membesarkan tanpa mencakup
penanaman pengetahuan dalam proses itu. 14 Adapun ta‟lim maknanya
pengajaran dan pengajaran itu juga berlaku selain untuk manusia. Ta‟lim
menurut Naquib adalah bagian dari pendidikan. 15 Perbedaan antara

9
Ibid, h. 3
10
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan Haidar
Bagir, cet. 7, (Bandung: Mizan, 1996), h. 66
11
Ibid., h. 67
12
Ibid., h. 68
13
Ibid., h. 71
14
Ibid., h. 72
15
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: al-Husna Zikrah.
2000), h. 4.

5
tarbiyah dan ta‟lim sangat jelas dalam konsep Mahmud Yunus dengan
menyebut bukunya al-tarbiyah wa al-ta‟lim.
Menurut al-Ashfahani dalam al-Mufradât bahwa tarbiyah berasal
dari kata “rabba” yang berarti membentuk sesuatu secara perlahan menuju
kesempurnaan (al-tamâm). Al-Ashfahani menggunakan istilah al-tamâm
bukan al-kamâl. Kedua istilah itu digunakan oleh Allah dalam Q.S. al-
Maidah/5:3. Al-kamâl menurut al-Ashfahani sempurna karena tercapainya
suatu tujuan. Al-Ashfahani mencontohkan Q.S. al-Baqarah/2: 233 dimana
Allah menyebutkan bahwa menyusui anak sampai dua tahun telah
sempurna. Sempurna di sini bermakna sampai batas akhir. Dengan
demikian al-kamâl bersifat kuantitif. Saat ini mereka yang sudah selesai
sekolah S3, pendidikan formalnya telah sempurna (al-kamâl). Dalam
konteks Q.S. al-Maidah/5:3 Allah menyempurnakan Islam sebagai agama
dan ajaran Allah. Artinya, tidak ada lagi agama yang akan diturunkan oleh
Allah dan juga ajaranNya sudah sempurna dengan Islam dan tidak
membutuhkan ajaran lain sebagai pedoman manusia menuju akhirat.
Adapun al-tamâm menurut al-Ashfahani sampai pada batas yang
tidak membutuhkan tambahan. Al-naqish adalah lawan kata dari al-tamâm
yang berarti membutuhkan tambahan untuk kesempurnaan. Contohnya
jumlah yang sempurna (al-tamâm) dan malam yang sempurna (al-tamâm).
Menurut Zamaksyari ketika menafsirkan Q.S. al-Maidah/5:3 Islam
adalah nikmat penyempurna. Manusia tidak lagi membutuhkan nikmat lain
selain Islam. Nikmat-nikmat lainnya sempurna dengan adanya nikmat
Islam. Kata al-tamâm sepertinya sempurna berdasarkan kebutuhan dan
bukan batas akhir. Sebuah sekolah yang menargetkan murid 100 orang,
ketika muridnya sampai batas 100 orang, menyelesaikan pendidikan SD,
maka dia bisa mengatakan, “atmamtu dirâsatî fî al-madrasati al-
ibtidâiyyah: saya telah menyelesaikan pendidikan saya pada tinggat SD”
dan tidak menyebut, “akmaltu dirâsatî fî al-madrasati al-ibtidâiyyah”
karena masih ada jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi orang boleh
berkata, “akmaltu dirâsatî fî al-duktûrah: saya telah menyempurnakan
pendidikanku pada program Doktor”
Jika melihat penekanaan al-kamâl dan al-tamâm, maka secara
filosofis al-insân al-kâmil adalah konsep kesempurnaan dalam hal usaha

6
karena al-kamâl itu sendiri boleh jadi tidak tercapai (utopis) kecuali dalam
waktu tertentu atau dalam bahasa tasawuf al-kamâl sebagai hâl bukan
sebagai maqâm. Hâl yang bisa berubah-ubah bukan maqâm kedudukan
yang tetap. Orang muslim bisa jadi al-insân al-kâmil pada bulan
Ramadhan dan 11 bulan lainnya tidak lagi. Bisa jadi orang muslim pada
hari Jum`at al-insân al-kâmil sedangkan enam hari lainnya tidak lagi.
Orang muslim bisa jadi pada waktu haji al-insân al-kâmil, setelah itu tidak
lagi. Bisa jadi orang muslim al-insân al-kâmil pada waktu santri, setelah
itu tidak lagi.
Pendidikan itu sebagaimana disebutkan al-Ashfahani penyempurna-
an kebutuhan secara perlahan. Untuk itu mengajarkan materi pelajaran
yang tidak sesuai dengan perkembangan peserta didik tidak lah mendidik.
Dalam konteks ini Muhammad Abduh mengatakan jangan mengajarkan
Ilmu Kalam kepada murid SD. Ilmu Kalam bukanlah kebutuhan murid SD.
Dalam makna kebutuhan, jangan lagi mengajarkan tajwid pada program
Magister apalagi Doktor. Tajwid dalam pengertian yang sederhana lay-
aknya kebutuhan murid-murid TK atau SD, bisa juga sampai tingkat SMP.
Mendidik dengan tarbiyah menurut al-Attas tidak khusus untuk
manusia. Itulah salah satu alasan keberatannya untuk menggunakan kata
tarbiyah ini untuk pendidikan. Binatang pun bisa dididik dalam pengertian
al-tarbiyah, yaitu menyempunakan kebutuhan-kebutuhannya secara
perlahan, seperti mendidik anjing untuk berburu, mendidik merpati untuk
menyampaikan surat seperti kisah orang dulu, mendidik gajah bisa
bermain bola, dsb.
Allah Swt. memiliki banyak nama, salah satunya “rabb”. Penulis
berpendapat bahwa untuk memahami pendidikan dalam makna tarbiyah
perlu memahami konsep “rabb”. Dalam berdoa sering disebutkan frase
“rabbanâ”. Rabb adalah Tuhan yang selalu hadir dalam urusan manusia
bahkan urusan semua makhlukNya. Tanpa bantuan Rabb, manusia
mustahil bisa hidup. Itulah filosofi manusia harus selalu bermohon dan
bergantung kepadaNya. Untuk memiliki anak, tidak cukup hanya suami-
istri yang normal secara biologis, tetapi kedua insan itu membutuhkan
bantuan Allah, agar hubungan mereka menghasilkan anak. Tidak sedikit
pasangan yang tidak memiliki anak, padahal mereka dinilai normal secara

7
medis. Tidak juga semua pasangan yang telah lama tidak memiliki anak
dan diduga mereka ada yang mandul, ternyata setelah mereka berpisah dan
masing-masing menikah kembali, kemudian memiliki masing-masing juga
memiliki anak. Siapa dibelakang karunia anak itu kalau bukan Tuhan yang
selalu hadir dalam kebutuhan hambaNya. Untuk itulah manusia selalu
membutuhkan bantuan Allah tanpa terkecuali (iyyâka nasta`în).
Para pendidik yang disebut dengan murabbî adalah mereka yang
selalu hadir dalam kebutuhan peserta didiknya. Mereka tidak cukup hanya
perduli, tapi berusaha memenuhi hajat peserta didiknya. Seperti hadirnya
seorang ibu terhadap semua kebutuhan anaknya khususnya mereka yang
lemah seperti pada masa kanak-kanak. Seorang ibu yang murabbî hadir
dalam memberi ASI anaknya, hadir dalam memandikannya, hadir dalam
memberi makan, hadir dalam membersihkan mereka, hadir dalam memberi
pendidikan, dsb. Semakin besar seorang anak, maka ketergantungannya
semakin sedikit terhadap orang tuanya. Hal ini berbeda dengan
ketergantungan kepada Allah Swt., semakin lama manusia hidup, semakin
banyak pula hajat kepadaNya. Potret pendidik sebagai murabbî hendaknya
menjadi orang yang selalu dibutuhkan oleh peserta didik, tidak berkurang
bahkan terputus dengan bertambahnya tingkat pendidikan mereka. Bahkan
sekalipun peserta didiknya kelak menjadi Profesor, mereka tetap
membutuhkan murabbî mereka di setiap tingkatan, baik di TK, SD, SMP
dst. Agar bisa demikian, maka para murabbî hendaknya menjadi teladan
yang abadi. Teladan dalam perilaku, teladan dalam mendoakan para
peserta didiknya, walaupun secara formal mereka telah lulus dan bahkan
tingkat pendidikan dan profesi mereka bisa lebih “bergengsi” dari para
murabbî.
Dalam konsep filsafat ketuhanan, Rabb itu ghanîy (kaya) tidak
membutuhkan hambaNya. Karena kalau Rabb membutuhkan, maka Ia
bukan Tuhan. Namun dalam konsep tasauf, Rabb membutuhkan hamba-
Nya. Tanpa hambaNya, maka Rabb tidak dikenal keagunganNya,
kemuliaanNya, kasihNya, dsb.
Dalam bidang pendidikan, antara pendidik sebagai murabbî dan
peserta didik sebagai murabbâ dapat dilihat dari perspektif tasauf. Murabbi
membutuhkan murabba dalam konsep “cipta” atau hasil karyanya.

8
Kesuksesan murabbi harus dilihat dari kesuksesan murabbanya. Sering
orang bertanya ketika seseorang berhasil, ditanya, “ia anak siapa?”, “ia
sekolah dimana?” “ia orang mana?” dsb. Sebagai orang sukses, orang pun
bertanya, “apa karyanya”, apa kebaikan yang telah ia lakukan. Sementara
murabba membutuhkan murabbi dalam konsep “ketergantungan”.
Murabba membutuhkan murabbi sebagai sumber pengetahuan, sumber
inspirasi, sumber teladan, dsb. Jika para murabbi hanya sebagai sumber
pengetahuan, apalagi dalam konteks zaman teknologi dan informasi
sekarang ini, boleh jadi para murabba lebih tergantung pada buku, televisi,
radio, dan atau pada google. Menciptakan “ketergantungan” yang abadi
dapat dilakukan peran-peran lain, di antaranya sumber inspsirasi dan “guru
spiritual”
Abuddin Nata mengidentifikasi terminologi lain untuk pendidikan
Islam, yaitu al-tazkiyah, al-muwa‟izhah, al-tafaqquh, al-tahdzib, al-irsyad,
al-tabyin, al-tafakkur, al-ta‟aqqul, dan al-tadabbur.16
Pendidikan Islam secara istilah didefinisikan oleh banyak ahli di
antaranya: Menurut Muhammad Naquib al-Attas, suatu proses penanaman
sesuatu ke dalam manusia.17 Atau pendidikan adalah sesuatu yang secara
bertahap ditanamkan ke dalam manusia. 18
Naquib al-Attas menyebutkan ada tiga unsur dalam pendidikan
Islam, yaitu proses, kandungan, dan yang menerima. Omar Muhammad al-
Toumy al-Syaibani menyebutkan pendidikan Islam adalah proses
mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.19
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses
yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan
pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang
didik. 20

16
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 7
17
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, h. 35
18
Ibid., h. 36
19
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 28
20
Ibid., h. 28

9
Ahmad Fuad al-Ahwani dalam al-Tarbiyah fi al-Islam menyebutkan
bahwa pendidikan adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari
pandangan hidup tiap masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan
pandangan falsafah hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada
hakikatnya mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata.21
Marimba menyebutkan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.22
Dari sekian banyak definisi pendidikan Islam yang ditawarkan
menurut Ahmad Tafsir, kita bebas memilih mana yang kita sukai. Dalam
pengertian luas, kehidupan ini adalah pendidikan dan pendidikan adalah
kehidupan. Dalam pengertian sempit sebagaimana yang didefinisikan oleh
para ahli.23 Dalam pengertian luas, Ahmad Tafsir mendefinisikan
pendidikan sebagai pengembangan pribadi dalam semua aspeknya.
Pengembangan pribadi itu mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain yang
mencakup jasmani, akal, dan hati.24
Definisi Ahmad Tafsir dapat dilihat dari siapa yang mendidik itu
dan apa yang dididik atau tujuan dari pendidikan itu yang terdiri dari
pendidikan jasmani, akal, dan hati. Kata Islam dalam pendidikan Islam
hanya sebagai warna, yaitu pendidikan islami. Dengan kata lain,
pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan menurut Islam. 25
Sementara itu, Abuddin Nata mengatakan bahwa terdapat beberapa
persamaan dari definisi yang dikemukakan para ahli. Di antaranya: semua
rumusan itu objek dan sasaran manusia, menjadikan pendidikan sarana
strategis untuk melahirkan manusia yang terbina seluruh potensi dirinya,
selalu melihat kebutuhan masyarakat dan budaya.26

21
Ibid., h. 29
22
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. IV, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001 ), h. 24
23
Ibid., h. 25
24
Ibid., h. 26
25
Ibid, h. 24
26
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 31

10
Al-Tarbiyyah
Ketika ditelusuri dalam Al-Qur‟an, kata yang berasal dari “ra-ba-
ba” ternyata sangat banyak, disebutkan 1241 kali. Hal ini dapat dipahami,
mengingat salah satu nama Allah adalah “rabbun”, yaitu Tuhan yang
selalu berperan dalam segala hajat manusia. Ketika seorang pasangan
suami-istri mengharapkan Allah memberi rezeki anak kepada mereka,
maka mereka pun berdoa kepadaNya sebagai “rabbun”. Ketika orang tua
yang berusaha mencari nafkah memohon kepada Allah agar diberkahi
rezeki yang halal untuk bisa menghidupi keluarganya, maka mereka pun
memohon kepadaNya dengan panggilan “rabbun”. Ketika seorang anak
yang akan menghadapi ujian pun, berdoa kepada Allah dengan panggilan
“rabbun”. Demikian dan seterusnya bahwa rabbun selalu hadir dalam
setiap kepentingan manusia. Bukan seperti pandangan kaum Deisme yang
menganggap Tuhan tidak lagi berperan dalam hidup manusia, setelah Ia
menciptakan sistem hidup.
Al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradât, kata rabbun
sesungguhnya yang membentuk kata al-tarbiyah, “ ‫ئٔشبء اٌشيئ حبال فحبال ئٌي حذ‬
َ‫اٌزّب‬: mengupayakan sesuatu perlahan-lahan menuju kesempurnaan”.
Menarik didalami apa yang membedakan kesempurnaan dengan
menggunakan al-tamâm dan al-kamâl.
Dalam Mu`jam al-Furûq al-`Lughawiyah disebutkan bahwa al-
kamâl adalah menyempurnakan yang sesungguhnya sudah cukup,
bagaikan nilai sekala 1-10, maka nilai 9 sudah dinilai cukup, tetapi jika
disempurnakan menjadi 10, maka itu menjadi (al-kamâl). Sementara al-
tamâm adalah menyempurnakan sesuatu yang kurang. Jika nilai 4 masih
kurang, tetapi jika dilengkapi dengan nilai 7, maka itu cukup (tamâm).
Dalam konteks pendidikan, jenjang S2 (Master) bisa disebut
(tamâm), tetapi kalau S3 (Doktor) itu (kamâl). Hanya jika punya istri satu
itu tamâm, kalau menambahi sampai empat itu kamâl, itu saya ragu
penempatannya benar.
Dalam Q.S. al-Maidah/5:3, kedua kata al-kamâl dan al-tamâm
disebutkan. Pertama ada proses takmîl (penyempurnaan) agama. Menurut
Zamaksyari dalam al-Kasysyaf, agama itu disempurnakan dengan
persoalan halal dan haram. Kalau sudah ada pedoman mana yang boleh

11
dan mana yang dilarang, pedoman agama dinilai al-Qur‟an sudah
sempurna. Persoalan halal dan haram adalah persoalan Islam yang
menjadikan agama itu, lebih dari cukup (sempurna al-kamâl ). Untuk itu
dapat dipahami bahwa nikmat Allah itu terus menerus akan mengalir tanpa
batas al-kamâl, tetapi batasnya adalah al-tamâm. Demikian juga sekolah
ada batas kamâl-nya, tetapi belajar hanya punya batas al-tamâm.

ُ‫اْلِْن ِزي ِر َوَما أ ُِى َّل لِغَ ِْْي اللّ ِو بِِو َوالْ ُمْن َخنِ َقةُ َوالْ َم ْوقُوذَة‬
ْ ‫َّـ َو ََلْ ُم‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةُ َوالْد‬ْ ‫ُحّْرَم‬
ِ ِ
‫ب َوأَف‬ ُ ‫السبُ ُع إِالَّ َما ذَ َّكْيتُ ْم َوَما ذُب َح َعلَى الن‬
ِ ‫ُّص‬ َّ ‫يحةُ َوَما أَ َك َل‬ َ ‫َوالْ ُمتَػَرّْديَةُ َوالنَّط‬
‫ين َك َف ُرواْ ِمن ِدينِ ُك ْم فَالَ ََتْ َش ْوُى ْم‬ ِ َّ ِ‫تَستػ ْق ِسمواْ بِاأل َْزالَِـ ذَلِ ُكم فِسق الْيػوـ يئ‬
َ ‫س الذ‬ َ َ ََْ ٌ ْ ْ ُ َْ
‫يت لَ ُك ُم ا ِإل ْسالَ َـ‬ ِ ِ ِ ِ ْ‫و‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم‬ ُ ‫اخ َش ْوف اْليَػ ْوَـ أَ ْك َم ْل‬ َ
‫يم‬ ِ ‫ف ِّْإل ٍْْث فَِإ َّف اللّو َغ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬ ٌ َ
ٍ ِ‫اضطَُّر ِِف ََْممص ٍة َغْيػر متَجان‬
َ ُ َ َ َ ْ ‫ِدينًا فَ َم ِن‬
Artinya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu)
adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Maidah/5:3).
Kesempatan ini, kita tidak sedang menafsirkan ayat ini secara
keseluruhan, tetapi memperhatikan kata al-kamâl dan al-tamâm yang
digunakan. Agama tanpa persoalan halal dan haram tetap saja cukup, tetapi
tidak sempurna. Selanjutnya nikmat Allah itu tidak pernah selesai menuju
sempurna. Untuk itu kita tidak bisa menghitung jumlah nikmat Allah,

12
karena selalu bertambah.27 Jika nikmat Allah punya hadd al-kamâl,
niscaya bisa dihitung. Namun tidak lantas berpikir bahwa konsep al-insan
al-kamil dalam perspektif kuantitatif, tetapi itu persoalan kualitatif. Nikmat
Allah juga bisa juga dilihat dari perspektif kualitatif, tetapi secara
kuantitatif tidak berakhir datangnya nikmat dari Allah membuat nikmat itu
tidak akan bisa dihitung.
Kembali pada istilah al-tarbiyah yang disebutkan oleh al-Raghib al-
Ashfahani, memang betul bahwa pendidikan adalah sesuatu yang never
ending process, karena itu ia tidak pernah sempurna, ia hanya mempunyai
hadd al-tamâm. Untuk itulah proses pendidikan tidak boleh berakhir dan
harus berkelanjutan. Bukan berarti kalau sudah Profesor berhenti
menjalani proses pendidikan. Lihatlah bahwa Profesor itu pun punya tugas
sampai mati. Tugasnya untuk mengembangkan ilmu sesuai bidangnya
masing-masing. Kemudian pendidikan tidak berarti schooling berakhir
pada program Doktor (S3). Profesor itu pun ada kalanya “diajari” oleh ,
keadaan, diajari oleh kenyataan, diajari oleh kesadaran, seperti Sultan
Takdir Ali Syahbana yang diajari oleh peristiswa jatuhnya pesawat yang ia
tumpangi di Itali, orang lain pada meninggal, sementara dia selamat. Pada
saat itu, ia percaya adanya Tuhan dan Ia begitu perlu dalam kehidupan.
Nurcholish Madjid menyebutkan kisah itu “lailatul qadar” bagi Sultan
Takdir Ali Syahbana yang sebelumnya ia bertuhan “akal”, setelah kejadian
itu, ia benar bertuhan Tuhan. Dalam pembicaraannya dimana-mana
kemudian, STA tidak lupa menyebutkan peran Tuhan yang terkadang
“tidak bisa dipahami” tetapi bisa dirasakan peranNya dalam hidup ini.
Selain al-Ashfani yang mengatakan bahwa al-tarbiyyah aslinya dari
ar-rabb, juga disebutkan oleh al-Baidhawi. Hanya saja al-Baidhawi
menyebutkan ‫( رجٍيغ اٌشيئ ئٌي وّبٌٗ شيئب فشيئب‬menyampaikan sesuatu menuju
kesempurnaan secara perlahan-lahan atau bertahap). Bahasa Baidhawi ini
selain lebih sempit menggunakan tablîgh, juga menggunakan al-kamâl
yang bisa bermakna berakhir (ending). Walaupun demikian saya ber-husn
al-zhan bahwa antara Baidhawi dan Ashfahani saling melengkapi. Artinya
Ashfahani melengkapi konsep Baidhawi terlepas dari siapa yang duluan

27
Baca Q.S. al-Nahl/16: 18.

13
menyebutkan konsepnya. Khalid Ibn Hamid al-Hazimi sepertinya
mencoba melengkapi definisi al-tarbiyyah lebih rinci,

‫ وفق املنهج‬,‫ إبتغاء سعادة الدارين‬,‫تنشئة اإلنساف شيئا فشيئا ِف مجيع جوانبو‬
‫اإلسالمي‬
Artinya, “Membentuk manusia secara bertahap di setiap aspeknya, dengan
tujuan mencari kebahagiaan dunia akhirat, yang sesuai dengan pedoman
yang islami.”
Al-Hazimi menjelaskan kata yang dipilih untuk tarbiyah, yaitu
“tansyi‟ah” kata yang cocok untuk tarbiyah bukan insya‟ yang bisa berlaku
untuk selain manusia. Kata al-insan bukan al-insan al-muslim karena yang
diharapkan pendidikan ini bersifat universal untuk semua manusia.
Sementara aspek yang akan dibangun itu adalah aspek kemanusiaan,
seperti aspek mu`amalah (al-`aqdî) dan ibadah (al-ta`abbudî), aspek
akhlak, sosial, akal, dsb. Selain itu pendidikan harus berlandaskan ajaran
Islam bukan ajaran Yahudi, bukan juga berdasarkan ajaran kapitalis dan
sosialis komunis.
Dari sisi negatif konsep al-tarbiyyah dalam al-Mufradât bisa
berpihak, tidak netral. Jika ada dosen lebih suka mengajar mahasiswi yang
cantik daripada mahasiswa yang jelek, itu memang al-tarbiyah. Guru lebih
suka mengajar “kelas unggulan” daripada kelas non unggulan, itu juga al-
tarbiyah. Dalam konsep al-tarbiyah, terlihat hadirnya peran emosi baik
bagi pendidik (murabbî) dan peserta didik (murabbâ: thâlib, tilmîdz,
murîd, dan dâris).
Kehadiran emosi dalam pengertian negatif itulah keberatan Naquib
al-Attas tidak cocoknya al-tarbiyah sebagai istilah pendidikan Islam.
Emosi orang tua terhadap anaknya yang walaupun berbuat salah, tentulah
mereka tidak rela jika anaknya dihukum. Contohnya orang tua tidak akan
rela secara emosional menerima hukuman qishash kepada anaknya yang
membunuh. Demikian juga tua tidak rela secara emosional menerima
hukuman jilid atau rajam bagi anaknya yang berzinah. Keterikatan biologis
dan psikologis orang tua diduga besar akan mempengaruhi netralitas

14
terhadap pendidikan anak. Dalam bahasa sederhana, itu akibat dari kasih
sayang yang berlebihan. Dalam bahasa filsafat pendidikan Akhlak itu
adalah akibat dari al-jubn.
Ayat al-Qur‟an yang secara tekstual menyebutkan kata “rabba”
dalam makna pendidikan, yaitu pendidikan orang tua terhadap anaknya
dalam Q.S. al-Isrâ/17:24.

‫صغِ ًْيا‬ ّْ ‫الر ْْحَِة َوقُل َّر‬


َّ ‫الذ ّْؿ ِم َن‬ ِ ‫و‬
َ ‫ب ْارْحَْ ُه َما َك َما َربػَّيَ ِاِن‬ ُّ ‫اح‬
َ َ‫ض ََلَُما َجن‬
ْ ‫اخف‬
َْ
Artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Munasabah kata rahmah dengan “al-tarbiyah” dalam konteks
pendidikan bisa bernilai positif dan bisa juga bernilai negatif. Positif, jika
dalam proses pendidikan dipenuhi dengan nuansa kasih sayang, sehingga
sentuhan psikologis tersebut dapat berakibat positif dalam pendidikan.
Negatif, jika dalam proses pendidikan dibumbui dengan nuansa
permisifivitas atas faktor keterikatan psikologis.
Bisa kita perhatikan ada siswa yang tidak suka dengan pelajaran
matematika, sehingga setiap ada pelajaran matematika, hatinya benci (al-
karhu). Menurut al-Ashfahani, membenci karena faktor al-masyaqqah
(beban) itu adalah karhun. Kalau membenci karena melihat akibat yang
akan dilahirkannya, tetapi faktor pertimbangan akal dan syariat, ia harus
mau melaksanakannya, itu namanya kurhun. Dalam kehidupan, kita
rasakan bahwa sesuatu yang tidak kita sukai belum tentu kita
membencinya dan yang kita lakukan bukan juga berarti kita sukai (karhun
wa kurhun). Ada juga di dalam al-Qur‟an membenci dengan kata al-
baghdh. Kebencian itu lahir dari implikasi suatu perbuatan. Dalam Q.S. al-
Maidah/5:91 disebutkan bahwa judi melahirkan kebencian. Kebencian
bukanlah akibat (al-musabbab al-awwal) dari perilaku judi, tetapi bisa jadi
implikasinya (al-musabbab al-tsânî dst.).
Dalam permainan judi tentu ada yang menang dan yang kalah. Yang
menang tentu “senang”, sedangkan yang kalah tentu “sedih”. Dengan

15
godaan setan yang terampil “membakar” cemburu, bisa jadi kesedihan
akan melahirkan kebencian terhadap orang yang sedang menikmati
kemenangan. Bisa juga yang menang dengan tipu muslihat setan
“menggosok” kegembiraannya secara berlebihan, sehingga terjerumus
pada olokan atau cacian terhadap yang kalah. Cacian atau olokan menjadi
(al-sabab al-tsâni) dari permainan judi dan kebencian menjadi al-
musabbab al-tsâni dari kesedihan. 28
Jika kita hubungkan dengan konteks proses pendidikan yang tidak
“mengantongi” modal al-rahmah, maka prosesnya bermasalah dan tentu
secara teoretis hasilnya pun akan bermasalah. Lain halnya proses
pendidikan itu tidak mengandalkan interaksi dengan faktor eksternal,
dimana faktor internal peserta didik menjadi dominan.
Di lingkungan perguruan tinggi, hemat saya dosen itu tidak begitu
banyak menjadi as-sabab dari berilmunya mahasiswa. Terkadang
minusnya ar-rahmah dari seorang dosen, tetap bisa membuat sebagian
mahasiswa “pintar”. Adakalanya as-sabab al-tsâni, yaitu pemberian tugas
dapat mendorong lahirnya al-musabbab al-awwal, yaitu ilmu. Dosen ada
yang membiarkan mahasiswa “capek” mencari bahan kuliah, sementara ia
memilikinya. Dosen itu enggan meminjamkannya, bisa jadi untuk tujuan
mendidik, bisa juga bertujuan “ngerjain”, bisa juga karena “pelit”.
Dalam perspektif filsafat pendidikan akhlak, tujuan pendidikan
akhlak paling rendah adalah “menghadirkan kasih sayang”. Orang yang
berakhlak mulia, paling rendah, dalam dirinya memiliki rasa kasih sayang
(ar-rahmah). Kasih sayang ini adalah bagian yang penting dan positif
dalam pendidikan (tarbiyah).
Khalid ibn Hamid al-Hazimi dalam Ushûl al-Tarbiyyah al-
Islāmiyyah menyebutkan bahwa dalam al-Qur‟an kata al-tarbiyyah
maknanya ada dua, yaitu sinergi dari al-hikmah, al-`ilm, dan al-ta`lîm. Al-
Hazimi menyandarkan pendapatnya berdasarkan Q.S. Ali Imran/3:79.

‫اب َوِِبَا ُكنتُ ْم تَ ْد ُر ُسو َف‬ ِ ِ ّْ‫ػكن ُكونُواْ ربَّانِي‬


ِ َ‫ول‬
َ َ‫ني ِبَا ُكنتُ ْم تػُ َعلّْ ُمو َف الْكت‬
َ َ َ
28
Baca Q.S. al-Maidah/5:91.

16
Artinya, “…Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-
orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.”
Ibn Abbas sebagaimana dikutip al-Hazimi menyebutkan al-hukamâ‟
(ahli hikmah), `ulamâ‟, dan hulamâ‟ (orang-orang yang lembut hatinya).
Al-Dhahhaq menurut al-Hazimi menafsirkan “tu`allimûna” berarti
“tufahhimûna”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan dalam
pengertian pendidikan berusaha menghasilkan orang-orang bijaksana (al-
hikmah), orang-orang berilmu, dan orang-orang yang lembut hatinya. Di
sini terlihat kecenderungan kecerdasan emosional daripada kecerdasan
intelektual. Kecerdasan emosional itu diwakili al-hikmah dan al-hilm.
Sementara kecerdasan intelektual diwakili al-`ilm. Kemudian yang disebut
berilmu, tidak sekedar hapal, tetapi harus paham. Sampai tidaknya target
pengajaran, peserta didik harus paham pelajaran.
Al-Hazimi menyebut indikasi dari al-tarbiyyah yang kedua adalah
al-ri`âyah (pengasuhan) dan al-`inâyah. Pendapatnya ini disandarkan pada
Q.S. al-Isra/17:24. Ayat lah yang paling sering dan dominan dijadikan para
ahli sebagai landasan pendidikan dalam makna al-tarbiyyah. Fir`aun juga
menyebutkan kata “al-tarbiyyah” atas jasanya mengasuh Nabi Musa a.s. .
dalam Q.S. al-Syu`ara/26:18. Apa sebenarnya makna filosofis dibalik kata
al-ri`âyah ini? Karena terhadap binatang atau hewan pun disebut dengan
al-ri`âyah. Ri`âyah al-ghanam berarti beternak kambing. Inilah keberatan
Naquib al-Attas pendidikan manusia disamakan dengan istilah untuk
pendidikan hewan.
Al-ri`âyah aslinya menurut al-Ashfahani digunakan untuk
pengasuhan hewan baik untuk memberinya makan atu menjaganya dari
musuh atau bahaya. Ketika digunakan untuk manusia, maknanya
mendampingi “seseorang” ingin mencapai cita-citanya dan apa akibat yang
dilakukan dengan cita-citanya itu. Pendidikan dalam makna al-ri`âyah
“ْٛ‫ ِبرا ِٕٗ يى‬ٚ ‫”ِشالجزٗ ئٌي ِبرا يصيش‬, yaitu memperhatikan out put dan out
come. Out put sebagai hasil dari pendidikan itu, sedangkan out come,
sebagai akibat dari hasil yang dicapai.

17
Banyak fenomena dalam dunia pendidikan, ketika sekolah berhasil
mengantarkan “manusia-manusia pintar” dengan indikator prestasi
akademiknya mencapai summa cumlaud atau dalam bahasa anak Gontor
kelulusannya Mumtâz dan kelasnya selalu “B”, sebagai simbol kelas
orang-orang berprestasi tinggi. Tetapi perannya dalam hidup ketika alumni
tidak seharum prestasinya. Ini artinya out put tidak selalu linier dengan out
come. Sebaliknya, prestasi akademiknya tidak tergolong istimewa (out
put), tetapi kiprahnya di masyarakat dan juga pemerintah, cukup gemilang
(out come). Untuk itu, lembaga pendidikan yang masih memiliki
keterikatan dengan alumninya salah satu jenis dari ri`âyah.
Doktor dari perguruan tinggi tertentu contohnya, ketika menjabat di
Negara ia, kemudian ia korupsi, maka lembaga itu menjatuhkan sanksi
dengan mencabut gelas Doktornya, ini bagian dari “wa madzâa minhu
yakân”, yaitu perhatian terhadap apa yang akan dilakukan setelah
seseorang menjadi Doktor (out come).
Selain itu al-tarbiyyah juga bermakna `inâyah yang berarti
menolong, tidak menuntun peserta didik itu mencapai tujuannya. Di sinilah
barangkali perubahan peran pendidik dalam konteks pendidikan modern
sekarang yang berubah dari fungsi mengajar dengan membimbing,
mengarahkan, mengatur dsb. Pendidik dituntut sebagai penolong bukan
pengantar menuju cita-cita pendidikan. Di sini peserta didik diberdayakan
(empowerment) untuk berperan aktif untuk menuju cita-cita pendidikan itu.

Ta`lim
Kata yang berasal dari “`ain-lam-mim” disebutkan 582 kali dalam
al-Qur‟an. Penyebutan ini pun berhubungan dengan ilmu yang berarti
pengetahuan, juga Allah salah satu namanya al-`alīm.
Dibandingkan dengan istilah tarbiyah, ta‟dīb, dan tadrīs, istilah
ta`līm lebih banyak dan jelas di dalam al-Qur‟an. Kata kerja “ta`līm”, yaitu
“yu`allimukum, `allamakum, `allamahu allāhu, `allam rabbi, `allamtum,
tu`allimunahu, `allamakumu allāh, `allamukum al-sihra, dan yu`allimuna
al-nas as-sihra.
Yang mengajar atau yang melakukan pekerjaan ta`līm itu Allah,
seperti jelas disebutkan oleh Nabi Yusuf dalam Q.S. Yusuf/12: 37 bahwa

18
Allah yang mengajarkannya menafsirkan mimpi. Dalam Q.S. al-
Baqarah/2:239 disebutkan bahwa Allah mengajarkan salat dalam keadaan
tidak aman (khauf) dan juga dalam keadaan aman. Dalam Q.S. al-
Baqarah/2:282 disebutkan bahwa Allah telah mengajarkan cara berutang
piutang. Dalam Q.S. al-Maidah/5:4 disebutkan bahwa Allah telah
mengajarkan bagaimana makan binatang buruan.
Di dalam Q.S. al-Baqarah/2:151 disebutkan dengan jelas bahwa
yang melakukan pekerjaan ta`līm itu nabi, dalam hal ini, nabi Muhammad
Saw. yang mengajarkan al-kitab dan al-hikmah (as-sunnah) ataupun al-
hadis. Kemudian dalam Q.S. Taha/20:71 dan asy-Syu`ara/26:49 ditafsirkan
bahwa Fir`aun menuduh Musa mengajarkan sihir kepada pengikutnya.
Yang melakukan tugas ta`lim itu juga manusia. Dalam hal ini
manusia bisa mengajar binatang seperti anjing untuk pandai berburu dan
hasil buruannya halal dimakan sebagaimana yang diajarkan oleh Allah
dalam Q.S. al-Maidah/5:4. Di sinilah letak keberatan al-Attas
menggunakan istilah ta`līm sebagai makna pendidikan, karena tidak
khusus digunakan untuk manusia.
Terakhir dalam Q.S. al-Baqarah/2:102 secara tegas disebutkan
bahwa setan mengajarkan manusia sihir. Dalam Tafsīr al-Manār
disebutkan bahwa setan mengajarkan sihir kepada manusia dengan
menyebarkan “fitnah” untuk menyesatkan mereka dalam mencari sesuatu,
sehingga sampai sekarang umat ada yang mempercayai “cincin Sulaiman”
yang menjanjikan kekayaan.
Dari uraian di atas di dalam al-Qur‟an pekerjaan ta`lim tidak
selamanya positif ada juga yang negatif dengan tujuan mengelabui,
menyesatkan, mendatangkan dosa. Ilmu yang diajarkan untuk tujuan tidak
baik dan yang diajarkan tertarik untuk melakukannya adalah “sihir setan”.
Ini yang tidak boleh diajarkan.
Para nabi mendapatkan pengajaran dari Allah lewat wahyu,
sementara manusia biasa mendapatkan pengajaran dari Allah melalui al-
Qur‟an, hadis, dan juga lewat ilham. Dalam Mu`jam al-Furuq al-
Lugawiyah, Abi Hilal al-Askari mengatakan bahwa wahyu berhubungan
dengan kerasulan dan syariat, sementara ilham didapat langsung dari Allah
tanpa melalui perantara malaikat dan lebih khusus berhubungan dengan

19
kewalian. Jika bisa dilonggarkan pemahamannya, ilham galibnya sangat
berhubungan dengan kedekatan hamba dengan Allah.
Pengetahuan yang didapatkan langsung dari Allah dikenal dengan “
`ilmu huduri”. Ilmu huduri datangnya dari Allah. Ilmu yang datang
dariNya tentulah kualitas kebenarannya paling tinggi dan tidak mungkin
salah. Secara epistemologis, `ilmu huduri yang didapatkan oleh manusia
biasa lewat ilham, harus bisa diuji kebenarannya secara ilmiah. Karena
kebenaran ilham itu pastilah tidak bertentangan dengan ilmu husūlī. Jika
ada yang mengaku atau menduga bahwa seseorang mendapatkan ilmu
huduri, sementara tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka
hal itu masih bisa diperdebatkan. Namun lain halnya dengan wahyu yang
diterima oleh para nabi sebagai ilmu huduri, walaupun belum teruji secara
ilmiah kebenarannya, ilmu itu pastilah benar. Hanya saja secara
epistemologis perlu dipersoalkan kesahihannya. Untuk itulah dalam ilmu
hadis dikenal ilmu takhrij al-hadis. Ilmu itu bukanlah meragukan
kebenaran wahyu, tetapi ilmu yang meneliti kesahihan hadis.
Di dalam al-Qur‟an orang yang belajar itu disebut mu`allam, yaitu
yang menerima pelajaran dalam Q.S. al-Dukhan/44:14. Dalam ayat
tersebut, Nabi Muhammad Saw. yang menjadi mu`allam. Dalam istilah
pendidikan tidak populer istilah itu. Yang terkenal adalah tilmîdz, thâlib,
dan al-muta`allim.
Ilmu dalam Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata disebutkan
beberapa definisi. Pertama menurut Ibn Faris menyebut “bekas sesuatu
yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.” Di
sini, ilmu berfungsi membedakan. Contohnya, seseorang dikatakan
memiliki ilmu tentang shalat fard, ia dituntut bisa membedakannya dengan
shalat sunat. Seseorang yang dikatakan memiliki ilmu tentang ibadah haji,
ia dituntut membedakannya dengan `umrah. Singkatnya, bisa membedakan
bukti dari adanya ilmu. Menurut Ibn Manzhur, ilmu itu adalah antonim
atau lawan kata dari jahl. Pengertian ini jauh lebih ringan, yaitu setiap
orang yang mengetahui disebut berilmu. Tidak mengetahui dengan
sendirinya tidak berilmu. Pengertian yang lebih dalam lagi disebutkan oleh
al-Asfahani dan al-Anbari bahwa ilmu ٗ‫( ئدسان اٌشيئ ثحميمز‬mengetahui secara

20
mendalam hakikat sesuatu). Di sini terlihat bahwa ilmu bukan sekedar
pengetahuan biasa, tetapi pengetahuan yang sudah diverifikasi.
`Allama juga menurut Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata
berarti “mengetahui, biasanya ditentukan oleh akal atau setidaknya
dibutuhkan akal untuk mencapainya”. Definisi ini lebih spesifik lagi, yaitu
pengetahuan melalui akal, bukan pengetahuan dengan indra dan intuisi.
Kesannya `allama ini pengajaran filsafat. Perhatian ayat berikut!

ِ ِ ِ
َ َ‫َك َما أ َْر َس ْلنَا في ُك ْم َر ُسوالً ّْمن ُك ْم يَػْتػلُو َعلَْي ُك ْم آيَاتنَا َويػَُزّْكي ُك ْم َويػُ َعلّْ ُم ُك ُم اْلكت‬
‫اب‬
‫ْمةَ َويػُ َعلّْ ُم ُكم َّما ََلْ تَ ُكونُواْ تَػ ْعلَ ُمو َف‬ ِْ ‫و‬
َ ‫اَلك‬ َ
Artinya, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(Q.S. al-
Baqarah/2:151)
“Mengajarkan al-kitâb dan al-hikmah” membutuhkan pemahaman
akal. Tidak sama dengan mengajarkan “memasak nasi” yang membutuh-
kan indra dan juga keterampilan melalui latihan-latihan.

ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫ب‬ ٌ ‫َج ٍل ُّم َس ِّمى فَا ْكتُبُوهُ َولْيَكْتُب بػَّْيػنَ ُك ْم َكات‬ َ ‫آمنُواْ إذَا تَ َدايَنتُم ب َديْ ٍن إ ََل أ‬
َ ‫ين‬ َ ‫يَا أَيػُّ َها الذ‬
ْ ‫ب َولْيُ ْملِ ِل الَّ ِذي َعلَْي ِو‬
‫اَلَ ُّق‬ َّ
ْ ُ‫ب َك َما َعل َمهُ اللّهُ فَػ ْليَكْت‬ َ ُ‫ب أَ ْف يَكْت‬
ِ
ٌ ‫ب َكات‬
ِ ِ
َ ْ‫بالْ َع ْدؿ َوالَ يَأ‬
َ‫ضعِي ًفا أ َْو ال‬ ِ ِ ِ ِ ‫ولْيتَّ ِق اللّو ربَّو والَ يػبخ‬
َ ‫س منْوُ َشْيئًا فَإف َكا َف الَّذي َعلَْيو ا َْلَ ُّق َسف ًيها أ َْو‬ ْ َ َْ َ ُ َ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ‫استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه َيديْ ِن من ّْر َجال ُك ْم فَِإف ََّل‬ ْ ‫يع أَف ُُي َّل ُى َو فَػ ْليُ ْمل ْل َوليُّوُ بِالْ َع ْدؿ َو‬ ُ ‫يَ ْستَط‬
‫اَمَا فَػتُ َذ ّْكَر‬
ُ ‫ل َّل إْ ْح َد‬ِ َ‫اف َِّمَّن تَػرضو َف ِمن الشُّه َداء أَف ت‬ ِ َ‫ني فَػرجل وامرأَت‬ ِ
َ َ َْ ْ َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َ‫يَ ُكونَا َر ُجل‬
‫صغِ ًْيا أَو َكبِْيًا‬ َ ُ‫ُّه َداء إِ َذا َما ُد ُعواْ َوالَ تَ ْسأ َُم ْواْ أَف تَكْتُبُػ ْوه‬
َ ‫ب الش‬ َ ْ‫ُخَرى َوالَ يَأ‬ ُ ‫إِ ْح َد‬
ْ ‫اَمَا األ‬

21
‫َّه َادةِ َوأ َْد ََن أَالَّ تَػ ْرتَابُواْ إِالَّ أَف تَ ُكو َف ِِتَ َارًة‬ ِ ‫ط ِع َند اللّ ِو وأَْق‬
َ ‫وـ للش‬ُ َ ُ ‫َجلِ ِو َذلِ ُك ْم أَْق َس‬ ِ
َ ‫إ ََل أ‬
َ‫وىا َوأَ ْش ِه ُد ْواْ إِ َذا تَػبَايػَ ْعتُ ْم َوال‬ ِ ِ
َ ُ‫اح أَالَّ تَكْتُب‬ ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫َحاضَرًة تُد ُيرونَػ َها بَػْيػنَ ُك ْم فَػلَْي‬
ِ
ُ‫وؽ بِ ُك ْم َواتَّػ ُقواْ اللّوَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم اللّهُ َواللّو‬ ٌ ‫ب َوالَ َش ِهي ٌد َوإِف تَػ ْف َعلُواْ فَِإنَّوُ فُ ُس‬ ٌ ‫ل َّآر َكات‬َ ُ‫ي‬
‫يم‬ ِ ٍ ِ
ٌ ‫ب ُك ّْل َش ْيء َعل‬
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulis-
kannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis,
dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang
berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual-beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. al-Baqarah/2:282)
Allah mengajarkan dengan tidak melalukan perintah mengindera
untuk mengetahuinya. Kata terakhir “wayu`allimukum” mengisyaratkan
bahwa dengan bertakwa, manusia juga bisa mendapatkan ilmu. Ini yang

22
disebut dengan ilmu hudhûri (yang tidak diusahakan: dituntut), tetapi
datang dari Allah. Dengan demikian, ilmu yang dihasilkan dari ta`lim
bukan saja bersifat filosofis, tetapi bersifat mistik. “Kedekatan dengan
Allah” bisa juga menghasilkan ilmu. Makna ta`lîm sampai batas ini
ternyata sangat dalam dan sangat berbeda dengan keberatan Naquib al-
Attas. Catatan penting bahwa ta`lîm itu proses penyampaian sesuatu.
Dengan demikian, dalam konsep ta`lîm ada yang menyampaikan, ada
pesan, dan ada orang yang akan menerima pesan itu. Pesan yang
disampaikan tidak bersifat empirik, tetapi bersifat filosofis dan mistik.
Pada masa jahiliyah menurut Izutsu, kata `ilm pengetahuan tentang
susuatu yang ditimbulkan oleh pengalaman personal. Makna `ilm ini
dipertentangkan dengan zhann yang berupa hasil pemikiran subjektif
semata.29 Artinya, kata `ilm dalam Arab jahiliyah bermakna pengetahuan
empirik, bukan pengetahuan filosofis maupun mistik. Tetapi makna `ilm
itu dalam bahasa Al-Qur‟an berubah secara epistemologis bahwa
pengetahuan itu berasal dari wahyu Tuhan. 30 Pengetahuan `ilm itu
memiliki keabsahan objektif yang mutlak karena berasal dari al-haqq.
Dengan demikian, pengetahuan yang berasal dari wahyu itulah yang
ilmiah menurut Izutsu.
`Ilm yang berasal dari Allah adalah ilmiah, sementara yang tidak
berasal dariNya tidak ilmiah. Contohnya Q.S. al-Jasyiyah/45:24

‫ك ِم ْن‬ ِ ِ ُّ ‫َوقَالُوا َما ِىي إَِّال َحيَاتُػنَا‬


َ ‫َّى ُر َوَما ََلُم بِ َذل‬
ْ ‫وت َوََْنيَا َوَما يػُ ْهل ُكنَا إَِّال الد‬
ُ ُ‫الدنْػيَا ََن‬ َ
‫ِع ْل ٍم إِ ْف ُى ْم إَِّال يَظُنُّو َف‬
Artinya, Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang
membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

29
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Terjemahanj. Agus Fahri, dll, cet.
2 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003 ), h. 57.
30
Ibid., h. 59.

23
Ayat di atas dengan jelas, mempertentangkan `ilm dengan zhann.
Orang kafir hanya menduga bahwa tidak akan ada kehidupan lagi setelah
mati. Kata Allah, mereka tidak memiliki ilm tentang itu. Al-Qur‟an lebih
dalam membuka rahasia bahwa sumber dari zhann itu adalah “hawā”,
yaitu kecenderungan naluriah manusia yang bersifat impulsif dan jahat
pada jiwa manusia. Kecenderungan “hawa” yang membabi buta itulah
yang melahirkan zhann. Pantaslah kalau zhann dalam bahasa Al-Qur‟an
tidak dapat dinilai benar. Tidak sama dengan zhann dalam bahasa Usul
Fiqh yang biasa disebutkan kebenarannya di atas asy-syakk (keraguan).
Tingkat kebenaran zhann dalam Usul Fiqh sering disebut 75 %. Istilah
zhann dalam Al-Qur‟an ini sama sekali berbeda, karena tidak mengandung
kebenaran.
Di dalam Al-Qur‟an sering dijumpai kalimat “ittibāu`u al-hawā”
yang artinya mengikuti pikiran sendiri, tidak mengikuti bimbingan ilahi
dan wahyu sebagaimana `ilm.31 Hal ini dapat dilihat dalam Q.S. ar-
Rūm/30:29.

ِ ِ ِ َّ
َ ‫اءىم بِغَ ِْْي ع ْل ٍم فَ َمن يَػ ْهدي َم ْن أ‬
‫َض َّل اللَّوُ َوَما ََلُم ّْمن‬ َ ‫بَ ِل اتػَّبَ َع الذ‬
ُ ‫ين ظَلَ ُموا أ َْى َو‬
ِ
َ ‫نَّاص ِر‬
‫ين‬
Artinya, “Tetapi orang-orang yang lalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa
ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah
disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolong pun.”32
Izutsu menyebutkan bahwa ayat di atas mengatakan bahwa orang
yang berbuat kejahatan sadar terhadap perbuatan buruknya, bukan tanpa
disengaja.33

31
Ibid., h. 60.
32
Ayat-ayat yang menyebutkan ẓann dan dihubungkan dengan ilmu banyak di
dalamAl-Qur‟an. Contohnya, Q.S. al-Baqarah/2:120,145, al-Māidah/5:48,49,77, al-
An`ām/6:56,150, ar-Ra`d/13:37, al-Mu‟minūn/23:71, al-Qasas/28:50, asy-Syurā/42:15, al-
Jāṡiyah/45:18, Muḥammad/47:14,16, al-Qamar/45:3.
33
Ibid., h.61.

24
Ta`allam dalam Al-Qur‟an bisa bermakna “mengajarkan secara
perlahan-lahan (berulang-ulang dalam jumlah yang banyak), sehingga
dapat membekas dalam jiwa pelajarannya”. Hal ini dapat dilihat dalam
Q.S. al-Māidah/5:4 dan 110.

ِ ِ
َ ِ‫اْلََوارِِح ُم َكلّْب‬
‫ني‬ ْ ‫ات َوَما َعلَّ ْمتُم ّْم َن‬ُ َ‫ك َماذَا أُح َّل ََلُ ْم قُ ْل أُح َّل لَ ُك ُم الطَّيّْب‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ْ‫اللّ ِو َعلَْي ِو َواتػَّ ُقوا‬ ِ ِ
‫اس َم‬ َ ‫تُػ َعلّْ ُمونػَ ُه َّن َّمَّا َعلَّ َم ُك ُم اللّوُ فَ ُكلُواْ َّمَّا أ َْم َسك‬
ْ ْ‫ْن َعلَْي ُك ْم َواذْ ُك ُروا‬
ِ ‫اللّوَ إِ َّف اللّوَ س ِريع ا َْلِس‬
‫اب‬ َ ُ َ
Artinya, Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan
yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
cepat hisab-Nya".
Mengajar binatang buas seperti mengajar anjing untuk berburu yang
memerlukan latihan-latihan. Latihan-latihan itu perlu bertahap dan
berulang-ulang agar terbiasa. Terlepas dari pro kontra tentang istilah at-
ta`līm, tetapi kriterianya dilakukan secara bertahap dan berulang-ulang. 34
Demikian juga dalam Q.S. al-Māidah/5: 10 ketika Allah mengajarkan
menulis, al-hikmah, Taurat, dan Injil kepada Nabi Isa a.s. tentu
membutuhkan tahapan dan pengulangan-pengulangan. Karakter at-ta`līm
yang membutuhkan tahapan dan pengulangan nyata dapat dilihat dari
kurikulum dan sistem evaluasi. Dalam mengajarkan pelajaran tidak semua
peserta didik dapat dipahamkan tanpa adanya pengulangan-pengulangan.
Untuk mengecek pemahaman peserta didik dikenal juga ada tahapan
ulangan. Dari ulangan itu, pendidik dapat mengetahui sejauh mana
penguasaan mereka terhadap materi yang telah diajarkan.

34
Quraish Shihab, dkk (Ed.), Ensiklopedi al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata, Jilid I,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 329.

25
Dalam Q.S. Yusuf/12: 89, kata `alima berarti mengetahui tanpa
membutuhkan kekuatan rasio,35 tetapi membutuhkan ingatan terhadap
yang telah dilakukan. Mengingat sesuatu yang pernah dilakukan tidak
membutuhkan kekuatan mengolah informasi dengan logika. Di sini ilmu
seperti posisi pengetahuan yang “mentah” yang tidak membutuhkan
verifikasi. Dalam bahasa filsafat ilmu, di sini ilmu bermakna pengetahuan.
Ilmu dalam pengertian pengetahuan yang belum “matang”, sehingga
menghasilkan pemahaman yang dangkal dan bahkan salah, juga bisa
dipahami dari Q.S. al-Jāṡiyah/45:9. Adakalanya kata ilmu itu memang
tidak membutuhkan hubungan logis, tetapi ayat itu sendiri yang menyebut
hubungan logisnya. Contohnya dalam Q.S. aṣ-ṣaffāt/37:158, jin
menyamakan dirinya dan malaikat satu nasab. Menurut Jama`syari,
malaikat dan jin satu jenis. Yang taat kepada Allah disebut malaikat,
sedangkan yang ingkar kepadaNya, namanya syaitan. 36 Walaupun mereka
satu nasab, tetapi syaitan itu akan diazab dengan neraka.
`Allama, mengetahui yang biasanya ditentukan oleh akal atau
setidaknya dibutuhkan akal untuk mengetahuinya. 37 Contohnya, Allah
mengajarkan kepada Nabi Adam a.s. nama benda-benda seluruhnya dalam
Q.S. al-Baqarah/2:31. Mengajarkan Adam a.s. benda-benda itu dengan
cara memberikan kemampuan akal.38

Ta`dib
Di dalam al-Qur‟an tidak ada kata yang asal katanya dari “a-dal-
ba”. Tapi yang diusung Naquib al-Attas dasar dari ta‟dib adalah sebuah
hadits yang menurut Nurcholis Majid kualitasnya dha`if,

‫أدبين ريب فأحسن تأدييب‬


Artinya, “Tuhanku mendidikku dan kemudian mendidikku dengan baik”.

35
Ibid.
36
Jama`syari, al-Kasysyâf, Jilid V, (Riyad: Maktabah Abikan, 1998), h. 233.
37
Quraish Shihab, dkk (Ed.), Ensiklopedi al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata, Jilid I, h.
329.
38
Ibid.

26
Istilah adab dikenal dalam peradaban Arab sejak pra Islam,
terkadang diartikan dengan etika. Ta`dīb bisa disebut proses menjadikan
sesorang beradab dalam pengertian berakhlak mulia. Jika dipahami adab
sinonim dari akhlak dan tujuan akhir (aims) pendidikan adalah akhlak,
maka tidak sepenuhnya salah walaupun tetap tidak juga mencakup unsur-
unsur pendidikan lainnya seperti pendidikan akal.
Arti adab berkembang seiring dengan evolusi kultural bangsa Arab
dan tidak pernah memiliki arti yang baku. Pemaknaannya yang paling
awal, disebutkan adab adalah mengimplementasikan suatu kebiasaan,
suatu norma tingkah laku praktis yang dipandang terpuji dan diwariskan
dari generasi ke generasi.39 Dalam perkembangannya kata adab dalam
pendidikan bermakna dua, yaitu pendidikan anak-anak, sehingga gurunya
disebut muaddib dan yang kedua pendidikan untuk orang dewasa yang
bermakna aturan tingkah laku praktis yang dipandang menentukan
kesempurnaan kualitas proses pendidikan. 40
Kata adab juga terkadang diterjemahkan menjadi moral. Amin Rais
contohnya menerjemahkan adab al-„ilmi dengan moral keilmuan. 41 Dalam
bahasa Inggris, moral diartikan, yang memperhatikan prinsip-prinsip
benar-salah.42 Pengertian ini dalam filsafat sama dengan logika. 43Memang
hal-hal yang benar itu akan dinilai baik, sementara yang salah itu menjadi
buruk. Sementara dalam bahasa Indonesia, moral itu sama dengan akhlak
dan juga budi pekerti. 44

39
Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h.
1.
40
Ibid., h. 2. Dalam bahasa Indonesia, adab itu budi pekerti yang halus, akhlak
yang baik, budi bahasa, kesopanan. Baca. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008),
h. 27.
41
Amin Rais, “Menempatkan Moral di Atas Ilmu” dalam Syahrin Harahap,
Menegakkan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005), h. xv.
42
Hornby, Oxford Advanced Dictionary, 548.
43
Dalam filsafat yang berbicara tentang teori baik dan buruk itu namanya etika.
Baca Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Cet. XV, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 40
44
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia, h.
1041.

27
Menurut al-Attas, ta‟dīb artinya luas sekali mencakup mendidik,
undangan perjamuan, kebudayaan, tata tertib sosial, kehalusan budi,
kebiasaan yang baik, menghias, ketertiban, kepantasan, kemanusiaan, dan
kesusastraan. Para ulama juga ada yang mengartikan dengan kepintaran,
kecerdasan, dan kecerdikan. Untuk itu dalam bahasa Arab sastrawan itu
disebut dengan adīb. Selanjutnya menurut al-Attas ta‟dīb juga mencakup
unsur `ilm, ta`līm, dan tarbiyyah.
Apa yang disebut oleh al-Attas di atas tidak terkonfirmasi dengan
konsep al-Qur‟an karena al-Qur‟an sama sekali tidak memuat kata itu dan
kata yang berakar darinya, sehingga konsep itu dalam perspektif al-Qur‟an
tidak mendapat posisi.

Tadris
Kata tadrīs tidak menjadi perhatian para ilmuan pendidikan Muslim
dalam Konferensi Dunia Tentang Pendidikan Islam di Jeddah tahun 1977.
Kata tadrīs justru dipakai di Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai nama
jurusan dari Fakultas Tarbiyah. Contohnya Jurusan Tadris Matematika,
Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Jurusan Tadris IPA, dsb. Apakah
penggunaan konsep “tadrīs” yang berbeda dengan “at-tarbiyyah” dengan
sengaja dibedakan secara filosofis atau sekedar adanya pemahaman bahwa
mata pelajaran itu atau mata kuliah dikenal dengan sebutan “darsun”,
sehingga disebut jurusannya tadrīs? Berikut ini akan dilihat bagaimana al-
Qur‟an berbicara tentang tadrīs.
Dalam al-Qur‟an dijumpai kata yang asal katanya dari “da-ra-sa”
dalam bentuk, “tadrusūn” dalam Q.S. Ali Imran/3:79 dan al-Qalam/68:37,
“darasta” dalam Q.S. al-An`am/6:105, “darasū” dalam Q.S. al-
A`raf/7:169,dan “yadrusuna” dalam Q.S. Saba/34:44.
Al-Asfahani menyebutkan kata tadrīs harus meninggalkan bekas
(baqāu al-atsar). Dari yang dipelajari ada yang membekas dengan
hapalan. Pelajaran membekas bisa juga dengan pemahaman dan
pengamalan. Dus, penekanan tadris tertanamnya pelajaran baik melalui
hapalan atau pemahaman, dan atau pengamalan. Tidak setiap orang yang
belajar dengan “yata`allam” dengan sendirinya dia “yadrus”. Sebaliknya

28
tidak juga setiap orang yang belajar dengan “yadrus” dengan sendirinya
“yata`allam”.
Dari uraian di atas, al-Qur‟an menyebutkan kata ta`lim untuk
pengajaran, dimana kata kerja `allam ditemukan banyak di dalam al-
Qur‟an, sehingga jika guru disebut sebagai “mu`allim” ada dasarnya di
dalam al-Qur‟an. Mu`allim adalah guru yang memperhatikan “kebaruan:
nobelty” tidak sering mengulang-ulang karena membuat peserta didik
bosan dengan pengulangan-pengulangan. Sementara bagi mereka yang
belajar, al-Qur‟an menyebut dengan kata tadrîs. Dengan kata lain, peserta
didik itu disebut dengan al-dâris. Kata ini walaupun diketahui oleh para
para ahli pendidikan, tetapi tidak digunakan dalam prakteknya. Yang
banyak dipakai justru tilmîdz. Sedangkan untuk guru selain dikenal istilah
mu`allim dikenal juga istilah mudarris. Penggunaan mu`allim itu dalam
perspektif al-Qur‟an telah tepat. Sementara penggunaan istilah mudarris
itu kurang tepat karena al-Qur‟an memberi pesan konsep “students active
learning.” Jika menggunakan istilah mudarris, maka konsepnya, “teacher
active learning”. Sepertinya sebutan yang terakhir ini cocok untuk praktek
pendidikan di Pondok Modern Gontor sampai saat ini. Untuk lebih
tepatnya lagi, sepertinya praktek pendidikan di Pondok Modern Gontor
menggunakan pola “students and teachers active learning”. Di sini tepat
digunakan ‫ اٌّذسس‬ٚ ‫اٌذاسس‬. Adapun al-Qur‟an menggunakan konsep ٚ ‫اٌذاسس‬
ٍُ‫اٌّؼ‬.
Al-Qur‟an hanya dalam Q.S. al-Baqarah/2:102 yang menyebutkan
kata ٍّْٛ‫ يزؼ‬yang berarti belajar. Hanya saja belajar dalam konteks ayat ini
bernilai negatif karena belajar ilmu sihir yang diharamkan oleh sebagian
ulama. Bagi mereka yang membolehkan mempelajari ilmu sihir, tidak
boleh mengamalkannya. Semua ilmu menuntut pengamalan, kecuali ilmu
sihir yang diharamkan mengamalkannya.

ِ ِ ِ ِ
‫ني‬
َ ‫ني َعلَى ُم ْلك ُسلَْي َما َف َوَما َك َفَر ُسلَْي َما ُف َولَػك َّن الشَّْياط‬ُ ‫َواتَّػبَػ ُعواْ َما تَػْتػلُواْ الشَّيَاط‬
‫وت َوَما‬ َ ‫ني بِبَابِ َل َى ُار‬
َ ‫وت َوَم ُار‬ ِ ْ ‫الس ْحر وَما أُن ِزَؿ َعلَى الْملَ َك‬
َ َ َ ّْ ‫َّاس‬ ّْ
َ ‫َك َف ُرواْ يػُ َعل ُمو َف الن‬

29
‫َح ٍد َح ََّّت يَػ ُقوالَ إََِّنَا ََْن ُن فِْتػنَةٌ فَالَ تَ ْك ُف ْر فَػيَتَػ َعلَّ ُمو َف ِمْنػ ُه َما َما يػُ َفّْرقُو َف بِِو‬ ِ ِ
َ ‫يػُ َعلّْ َماف م ْن أ‬
ِ ٍ ‫بػني الْمرِء وزوِج ِو وما ىم بِل ّْآرين بِِو ِمن أ‬
َ‫لُّرُى ْم َوال‬ ُ َ‫َحد إِالَّ بِِإ ْذ ِف اللّو َويَػتَػ َعلَّ ُمو َف َما ي‬ َ ْ َ َ ُ َ َ ََْ ْ َ َ ْ َ
‫س َما َشَرْواْ بِِو‬ ِ ٍ ِِِ ِ ِ ِ
َ ‫يَن َف ُع ُه ْم َولَ َق ْد َعل ُمواْ لَ َمن ا ْشتَػَراهُ َما لَوُ ِف اآلخَرة م ْن َخالَؽ َولَبْئ‬
‫أَن ُف َس ُه ْم لَ ْو َكانُواْ يَػ ْعلَ ُمو َف‬
Artinya, Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:
"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang de-
ngan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihir-
nya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempe-
lajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi
manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa
yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Q.S. al-Baqarah/2:102).

C. Sejarah Filsafat Pendidikan


Sebagaimana dipahami oleh Toto Suharto bahwa para penulis
filsafat pendidikan Islam terbagi dua dalam memahami filsafat pendidikan
Islam. Pertama mereka yang cenderung berpendapat bahwa filsafat
pendidikan Islam adalah filsafat tentang pendidikan Islam. Kedua, filsafat
pendidikan menurut Islam. Pendapat pertama dapat dipahami bahwa
kelahiran filsafat pendidikan Islam dari teori-toeri pendidikan Islam.
Pendidikan Islam ingin dilihat atau dinilai dari sisi filsafat. Sedangkan
pendapat yang kedua dapat dipahami bahwa filsafat pendidikan Islam lahir
dari filsafat pendidikan itu sendiri. Filsafat pendidikan Islam ingin melihat

30
filsafat pendidikan dari sisi Islam. Toto Suharto setuju dengan dua
pendapat itu.45 Sebenarnya ada lagi orang yang mempertanyakan apakah
filsafat pendidikan Islam bagian dari filsafat atau bagian dari filsafat ilmu?
Perlu diketahui menurut Imam Barnadib, filsafat pendidikan lahir
dari usaha proaktifnya filsafat bukan usaha proaktifnya pendidikan. Arti-
nya filsafat itu sendiri yang melahirkan pemikiran teoretis tentang pendi-
dikan, sehingga pemikiran filsafat tentang teori pendidikan “dimekarkan”
menjadi filsafat pendidikan sebagai disiplin ilmu tersendiri. 46 Sayangnya
tulisan tentang filsafat pendidikan Islam tidak secara rinci menulis sejarah
kelahirannya, tetapi hemat penulis Abuddin Nata memahami bagaimana
pendidikan Islam menurut filsafat.47 Pemahaman seperti itu tidak berarti
filsafat melahirkan pendidikan Islam, tetapi pendidikan Islam yang
proaktif untuk melahirkan filsafat pendidikan Islam. Jika demikian, maka
secara rumusannya bisa disebutkan Pendidikan Islam menurut Filsafat.
Redaksi itu tidak umum, maka lebih popular disebut filsafat pendidikan
Islam. Pendapat Muzayyin Arifin lebih jelas lagi tentang filsafat
pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
bagian dari ilmu filsafat.48 Artinya, filsafat pendidikan Islam adalah yang
dilahirkan dari filsafat. Pendapat ini sejalan dengan apa yang disebut Imam
Barnadib bahwa filsafat pendidikan bagian dari pendidikan. Hanya saja
pendapat Muzayyin Arifin itu tidak begitu jelas historitas dari pendidikan
Islam dan sepertinya menyamakan pendidikan dan pendidikan Islam,
sehingga diduga filsafat pendidikan Islam itu adalah filsafat pendidikan
dilihat dari sisi Islam.
Muhammad Labib al-Najihi dari Fakultas Tarbiyah Universitas `Ain
al-Syams Mesir, tahun 1963 menulis buku Falsafatu al-Tarbiyah. Dalam
buku itu disebutkan bahwa filsafat pendidikan itu baru lahir di Amerika
abad ke-20. Filsafat pendidikan lahir sebagai respon atas perkembangan

45
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.
28-29
46
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1990), h. 7
47
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
h. 15
48
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), h. 3

31
dunia dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Dari sisi politik lahir
konsep demokrasi modern di Amerika dengan jargon kebebasan (al-
hurriyah). Untuk merespon ini lahirlah karya-karya filsafat pendidikan,
yang termasyhur Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education yang ditulis oleh Jhon Dewey, terbit tahun 1916.
Demikian juga di Eropa ada paham kapitalisme di Inggris dalam bidang
ekonomi, dimana buruh dan tani dianggap sebagai alat produksi. Paham ini
melatarbelakangi lahirnya komunisme di Rusia. Pandangan demokrasi,
kapitalisme, dan komunisme membutuhkan penyesuaian dengan dunia
pendidikan, sehingga para ahli melahirkan filsafat pendidikan yang
disesuaikan dengan filsafat demokrasi, kapitalisme, dan komunisme.
Menurut Samuel P. Huntington dalam penelitian Disertasi Masykuri
Abdillah dan kemudian dibukukan dengan judul Demokrasi di
Persimpangan Makna, ada tiga gelombang demokrasi. Pertama dari 1820-
an-1926, menghasilkan 29 negara demokratis. Kekuasaan Mussolini di
Itali menjadi pertanda kemunduran gelombang pertama demokrasi dunia
tahun 1942, sehingga jumlah Negara demokratis menjadi 12 negara.
Kemenangan sekutu dalam perang Dunia Kedua memulai
gelombang kedua demokrasi, puncaknya tahun 1962 dengan 36 negara
demokrasi. Gelombang kedua demokrasi ini mengalami kemunduran
antara tahun 1960-1975, sehinggga Negara demokratis menjadi 30 negara.
Pada akhir tahun 1980-an-1990-an menurut Huntington adalah
gelombang ketiga demokrasi, ditandai dengan banyaknya sarjana-sarjana
Muslim melihat bahwa Islam dan demokrasi ada kesesuaian walaupun ada
juga yang terang-terangan menolak domokrasi Barat seperti yang
dilakukan oleh Raja Fath dari Arab Saudi karena melihat akar domokrasi
itu adalah sekularisme.
Egalitarianisme (kesamaan hak) dan voluntarisme (bebas
berkendak) menurut Huntington adalah tema pokok dari demokrasi.
Menurut Ernest Gellner yang dikutip oleh Masykuri Abdillah,
unitarianisme, aturan etik, individualism, skriptularisme adalah merupakan
high culture Islam yang dalam prakteknya bisa saja tidak sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi.

32
Kapitalisme adalah suatu paham dimana kaum pemodal yang
mengarahkan kehidupan manusia, sehingga mereka melakukan
perbudakan, dan menjadikan tenaga kerja sebagai komoditi. Dalam paham
kapitaslime, orang-orang kaya itulah yang dimuliakan. Mereka yang
bermodal besar berhak mematikan ekonomi orang-orang miskin.
Karena kaum kapitalis berkuasa, maka aturan-aturan pemerintahan
pun termasuk dalam bidang pendidikan pun disesuaikan dengan paham itu.
Untuk itu kekuasaan kapitalis pertama di dunia ini, yaitu Inggris menyusun
filsafat pendidikan mereka berdasarkan ajaran kapitalisme.
Kelahiran komunisme dilatarbelakangi oleh paham kapitalisme yang
merendahkan martabat buruh. Inti ajaran komunisme adalah
mementingkan kesejahteraan ekonomi. Paham ini ingin melahirkan
masyarakat sosialis. Dalam perkembangannya komunisme ini memiliki
faksi, yaitu komunis teoretis dan komunis revolusioner.
Salah satu yang sangat fatal dari paham komunisme ini, sehingga
banyak ditolak dunia adalah tentang tidak mempercayai adanya Tuhan.
Komunisme dalam mencapai kesejahteraan ekonominya berpaham ateis.
Dengan dasar ajaran ketuhanan komunisme ini tentu bertentangan dengan
Negara beragama yang mayoritas dianut oleh masyarakat dunia ini.
Ajaran komunisme erat hubungannya dengan marxisme dan
leninisme. Ajaran Marxisme adalah kelanjutan dari pemikiran besar
filsafat klasik Jerman, filsafat ekonomi dan politik Inggris, dan sosialisme
Prancis abad ke-19. Pokok ajaran Marxisme adalah materialism,
khususnya membekali kelas pekerja dengan alat-alat pengetahuan yang
ampuh. Marxis melihat dalam paham kapitalisme tenaga kerja manusia
dijadikan sebagai komoditi, dimana sumber kemakmuran hanya bagi para
pemilik modal. Kapitalisme melahirkan penindasan dan eksploitasi
golongan pekerja.
Karl Marx si Jenius kata orang mengkritik dan mengutuk kapitalis,
dan sekaligus mengharapkan keruntuhannya. Ia membuktikan kepada
orang-orang kaya bahwa kapitalisme itu tidak bermoral. Pada tahap ini
disebut dengan gerakan sosialisme utopis.
Pandangan keliru besar dari Marxisme dan leninisme (komunisme)
menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan

33
rakyatnya. Komunisme menganggap agama adalah pendukung dari
kapitalisme, maka agama pun harus dibasmi. Komunisme berusaha
mengatur kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan wawasan
rasional saja. Di sinilah kenapa disebut komunisme anti agama (ateis).

D. Filsafat Pendidikan Islam


Filsafat pendidikan Islam dari sisi materinya telah lahir jauh hari
sebelum kelahiran filsafat pendidikan. Jika filsafat pendidikan menurut
Muhammad Labib al-Najihi lahir pada abad ke-20, maka filsafat
pendidikan Islam telah lahir pada abad ke-3 Hijriyah atau abad ke-9
Masehi. Hal itu ditandai dengan lahirnya karya Ibn Sahnun (w. 256 H)
yang berjudul, “Adabu al-Mu`allimin”. Kemudian lahir juga karya al-
Qabisi (324-403 H/ 936-1012 M)dengan judul, ٚ ٓ‫ أحىبَ اٌّؼٍّي‬ٚ ٓ‫اي اٌّزؼٍّي‬ٛ‫أح‬
ٓ‫اٌّزؼٍّي‬. Berikutnya, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, al-Zarnuji, Ibn Khaldun,
dst. juga menulis bukut tentang pendidikan.
Kitab Adab al-Mu`allimin lebih banyak bersumber dari hadits-hadits
dan sebagian pendapat para ulama. Buku ini berbicara tentang bagaimana
pengajaran al-Qur‟an. Dari beberapa hadits yang dikutip oleh Ibn Sahnun
disebutkan bahwa orang-orang yang paling mulia, yang paling baik adalah
orang yang belajar al-Qur‟an kemudian ia mengajarkannya. Selain itu
disebutkan juga bahwa dengan al-Qur‟an suatu kaum akan diangkat
derajatnya. Al-Qur‟an juga bisa menghilangkan kemunafikan,
sebagaimana api bisa menghilangkan karat besi. Selain itu juga dikatakan
bahwa orang yang senantiasa membawa al-Qur‟an adalah keluarga Allah
yang khusus.
Bahasa al-Qur‟an disebutkan dalam al-Mabahits fi `Ulum al-
Qur‟an, Manna Khalil al-Qathtan adalah bahasa Arab, terdiri dari tujuh
macam, yaitu Arab Quraish, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinananah, Tamim,
dan Yaman. Menurut salah satu pendapat, bahwa berdasarkan hadits, boleh
dibaca al-Qur‟an dengan salah satu bahasa Arab yang tujuh itu dengan
mempertimbangkan kemudahannya. Memang ada juga ulama yang
berpendapat bahwa al-Qur‟an yang tujuh huruf itu adalah amr, nahy, wa`d,
wa`id, jadal, qashash, dan matsal (perumpamaan).

34
Dari sekian banyak kutipan hadits tentang perlunya belajar dan
mengajar al-Qur‟an, ini mengindikasi bahwa semua pelajar hendaknya
sekaligus menjadi pengajar dalam pengertian menyampaikan apa yang
dipelajarinya. Cara menyampaikan apa yang dipelajari ada yang lewat
perilaku, lewat tulisan, dan lewat penyampaian lisan. Dalam ilmu
pendidikan disebut manusia homo educandum dan homo educandus,
peserta didik sekaligus pendidik.
Ibn Sahnun juga banyak membahas tentang bagaimana guru
mendidik dengan memperhatikan sifat kasih sayang, khususnya terhadap
anak-anak yatim dan tidak berbuat kasar terhadap orang miskin.
Kemudian, ia juga menyebut batasan-batasan hukuman terhadap anak
dalam pendidikan. Ibn Sahnun juga berbicara tentang waktu-waktu libur
termasuk jumlah harinya. Hari Raya Idul Fitri liburnya satu hari. Hari
Raya Idul Adha tiga hari atau lima hari.
Ibn Sahnun juga menyebutkan bahwa tidak boleh mengajarkan al-
Qur‟an dan mengajarkan cara menulis terhadap orang-orang Kristen, tetapi
ada juga ulama yang membolehkannya, termasuk Abu Hanifah. Anak-anak
tidak boleh belajar di Mesjid kata Malik ibn Anas karena mereka tidak bisa
menjaga najis.
Membaca al-Qur‟an menurut Imam Malik tidak boleh dalam
keadaan berjalan, kecuali sedang belajar. Demikian juga di dalam kamar
mandi tidak boleh membaca al-Qur‟an. Ibn Sahnun juga banyak berbicara
tentang kebolehan mendapat upah dari mengajar al-Qur‟an atau mengajar
secara umum.
Secara keseluruhan, apa yang ditulis oleh Ibn Sahnun cenderung
bersifat ilmu pendidikan Islam, dan sebagian kecil sebagai filsafat
pendidikan. Memang dalam sebuah ilmu pendidikan Islam, tentu ada juga
memuat filsafat pendidikan Islam. Sebaliknya dalam sebuah filsafat
pendidikan Islam, terdapat juga di dalamnya ilmu pendidikan Islam. Jika
dalam ilmu pendidikan Islam terdapat filsafat pendidikan Islam, filsafat
pendidikan Islam sebagai tambahan untuk menguatkan ilmu pendidikan
Islam. Sementara jika dalam filsafat pendidikan Islam terdapat ilmu
pendidikan Islam, ilmu pendidikan Islam membantu memahami filsafat
pendidikan Islam.

35
Al-Qabisi adalah ahli pendidikan Islam abad ke-4 setelah Ibn
Sahnun. Dalam menulis bukunya ٚ ٓ‫ أحىبَ اٌّؼٍّي‬ٚ ٓ‫اي اٌّؼٍّي‬ٛ‫اٌشصبٌخ اٌّفصٍخ ألح‬
ٓ‫اٌّزؼٍّي‬, ia mengutip dari Ibn Sahnun, ٓ‫ ادة اٌّؼٍّي‬dengan memperdalamnya.
Keduanya masih konsentrasi dalam ْ‫رؼٍيُ اٌصجيب‬. Kitab al-Qabisi memang 4
kali lebih tebal dari karya Ibn Sahnun bahkan lebih, di antaranya
membicarakan kapan seseorang mulai masuk ke sekolah (Kuttab).
Umumnya disebut pada umur 7 tahun, tetapi bisa juga kurang darinya,
yaitu umur 5 tahun atau 6 tahun. Pendidikan dasar ini selesai sampai umur
anak-anak baligh. Pada saat baligh mereka itu sudah hapal al-Qur‟an.
Untuk itu, selesai pendidikan Kuttab antara 10-13 tahun. Anak-anak butuh
menghapal al-Qur‟an 4 atau 5 tahun.
Dari uraian di atas, karya Ibn Sahnun dan al-Qabisi telah
membuktikan bahwa sejak abad ke-4 H., ulama telah menulis karya
pendidikan Islam, di dalamnya termasuk filsafat pendidikan Islam, hanya
saja belum disebut nama filsafat pendidikan Islam.
Pada tahun 1963, Dr. Muhammad Labib al-Najihi, Dosen Fakultas
Tarbiyah Universitas Ain al-Syams (sebuah Perguruan Tinggi Islam
Negeri di Mesir) telah menulis buku yang berjudul Falsafatu al-Tarbiyah.
Al-Najihi dalam menulis bukunya telah merujuk satu buku ‫ اٌزشثيخ‬ٚ ‫اٌفٍضفخ‬
karya Zaki Najib Mahmud, terbit pertama kali di Mesir tahun 1958.
Selebihnya al-Najihi mengutip dari karya-karya filsafat pendidikan orang
Barat seperti Jhon Dewey.
Labib al-Najihi dalam penelusuran penulis adalah ilmuan
pendidikan Islam pertama yang menggunakan istilah Falsafatu al-
Tarbiyah. Al-Najihi menulis sembilan bab dari buku itu, yaitu bab
pertama, filsafat, pendidikan, dan filsafat pendidikan. Bab dua, kebutuhan
terhadap filsafat pengalaman kependidikan. Bab tiga, pengalaman tenaga
kependidikan. Bab keempat, konsep tabiat kemanusiaan. Bab kelima,
filsafat tujuan pendidikan. Bab keenam, filsafat pemikiran. Bab ketujuh,
pengetahuan, akal, dan kecerdasan. Bab kedelapan, unsur akhlak dalam
filsafat pendidikan. Bab terakhir, nilai-nilai keindahan.
Dilihat dari apa yang dibahas oleh al-Najihi, dia belum masuk
berbicara tentang pemikiran para ahli pendidikan baik Ibn Sahnun atau al-
Qabisi atau Ibn Miskawaih, dsb. al-Najihi dengan panjang lebar

36
membicarakan hubungan filsafat dengan pendidikan dan filsafat
pendidikan itu yang bersumber dari sumber-sumber rujukan dari Barat.
Konsep filsafatnya pun didominasi pandangan filsafat Yunani seperti Plato
dan Aristoteles. Al-Najihi hampir tidak masuk dalam perspektif Islamnya.
Ia hanya mengutip dari Sodiq Sam`an49 tentang hubungan filsafat dengan
pendidikan dan itu pun berdasarkan teori sosial, yaitu eratnya hubungan
pendidikan dengan peradaban manusia.
Dr. Ahmad Fuad Ahwani, guru besar filsafat pada Fakultas Adab
Universitas Kairo, tahun 1967 menerbitkan buku َ‫اٌزشثيخ في اإلصال‬. Di
dalamnya, ia telah membahas pemikiran pendidikan Ibn Sahnun, al-Qabisi,
Ikhwanu al-Sofa, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Zarnuzi, Ibn
`Abd al-Barr, dan Ibn Khaldun.
Walaupun Fuad Ahwani tidak menulis secara khusus buku filsafat
pendidikan Islam, tetapi dari isinya bisa dikatakan bahwa Ahmad Fuad
Ahwani adalah orang pertama yang telah menulis materi filsafat
pendidikan Islam. Buku َ‫ اٌزشثيخ في اإلصال‬memuat bukan saja materi filsafat
pendidikan Islam, tapi juga menulis pendidikan dalam Islam secara umum,
termasuk sejarah sekolah-sekolah dalam Islam, hubungan agama dan
pendidikan, pendidikan akhlak, sanksi dalam pendidikan, kurikulum dan
metode pengajaran, dll.
Muhammad `Atiyah al-Abrasyi menulis buku ‫ب‬ٙ‫فالصفز‬ٚ ‫اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬,
tidak begitu jelas tahun berapa diterbitkan, hanya saja dalam edisi cetakan
kedua, tertulis tahun 1969. Apakah cetakan pertamanya juga tahun yang
sama, tidak penulis temukan. Ketika dilihat Daftar Pustakanya, Ahmad
Fuad Ahwani tidak merujuk buku al-Abrasyi. Sementara al-Abrasyi, tidak
mencantumkan daftar pustaka, sehingga tidak jelas dapat diketahui mana
buku yang duluan diterbitkan.
Dalam buku ini al-Abrasyi dengan jelas membuat satu bab, yaitu
bab ke-18-20, َ‫( فالصفخ اٌزشثيخ في اإلصال‬Filsafat Pendidikan dalam Islam).
Buku ini, seperti dalam Fuad Ahwani telah memuat pemikiran pendidikan
seperti Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Khaldun. Dengan demikian, al-
Abrasyi sudah lebih jelas menggunakan kata filsafat pendidikan Islam
walaupun redaksinya filsafat pendidikan dalam Islam.
49
Buku Sadiq Sam`am al-Falsafah wa al-Tarbiyah terbit tahun 1962.

37
Baik Ahmad Fuad Ahwani maupun Muhammad Atiyah al-Abrasyi
telah merujuk buku sumber-sumber dari ulama, sehingga nuansa perspektif
Islamnya lebih nyata kelihatan.
Pada tahun 1979, Omar Muhammad al-Taumi al-Syaibani dari
Tripoli Libya menulis buku yang berjudul ‫فٍضفخ اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬. Inilah buku
pertama yang menamakan diri dengan filsafat pendidikan Islam. Al-
Syaibani tidak menulis filsafat pendidikan Islam seperti Ahmad Fuad
Ahwani dan al-Abrasyi dengan merujuk pada pemikiran pendidikan ulama,
tetapi membahas filsafat pendidikan Islam secara orisinal lewat
metodologi filsafat. Al-Syaibani membahas filsafat alam, Tuhan, dan
manusia. Tiga topic ini menjadi metode dasar ajaran filsafat. Selain itu,
hubunganya dengan filsafat pendidikan al-Syaibani membahas juga filsafat
ilmu pengetahuan dan filsafat akhlak. Kelima pandangan filsafat itulah
dijadikan oleh al-Syaibani dasar merumuskan filsafat pendidikan Islam.
Al-Syaibani adalah orang pertama yang memberi nama filsafat pendidikan
Islam yang menggunakan metode filsafat, tanpa terikat dengan pemikiran
pendidikan ulama terdahulu. Al-Syaibani banyak mengutip ayat-ayat al-
Qur‟an dalam membahas filsafat pendidikan Islam.
Pada tahun 2000, Dr. Sa`id Ismail Ali dari Fakultas Tarbiyah
Universitas Ain al-Syams Mesir menulis secara komprehensif :ُ‫اٌمشاْ اٌىشي‬
‫يخ‬ٛ‫سؤيخ رشث‬, (al-Qur‟an al-Karim Sebagai Pemikiran Pendidikan). Buku ini
dalam edisi cetaknya setebal 500 halaman. Buku ini tidak secara eksklusif
tentang filsafat pendidikan Islam, tetapi prinsipnya. Ismail Ali telah
menjadikan al-Qur‟an secara komprehensif menjadi rujukan dari al-
tarbiyah termasuk filsafat pendidikan Islam. Sebelumnya tahun 1981,
Ismail Ali juga telah menulis dengan kawannya buku ‫دساصخ فٍضفخ اٌزشثيخ‬.
Dari uraian sejarah perkembangan penulisan literatur tarbiyah dan
lebih khusus filsafat pendidikan Islam, dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Pertama bahwa pada mulanya filsafat pendidikan Islam itu ditulis tidak
berbeda dengan filsafat pendidikan, itulah yang dilakukan oleh
Muhammad Labib al-Najihi. Selanjutnya, filsafat pendidikan Islam ditulis
dengan merujuk pemikiran-pemikiran pendidikan ulama dan sebagaiannya
dari filosof Muslim. Itulah yang dilakukan oleh Ahmad Fuad Ahwani dan
Muhammad Atiyah al-Abrasyi. Terakhir dan terkini, teori-teori tarbiyah

38
langsung dikembangkan dari al-Qur‟an dan hadits, itu diantaranya yang
dilakukan oleh Dr. Sa‟id Ismail Ali. Nampaknya periode filsafat
pendidikan Islam merujuk ke al-Qur‟an dan hadits jauh lebih menarik dan
orisinal, pertama al-Qur‟an menyebutkan dirinya sebagai petunjuk.
Dengan demikian, al-Qur‟an memuat petunjuk tentang filsafat pendidikan
Islam. Al-Hadits adalah penjelas dari al-Qur‟an, untuk itu studi filsafat
pendidikan Islam akan lebih orisinal dan menarik jika dirujuk dari dua
sumber ini. Hanya saja dibutuhkan profesinalisme dan religiusitas, karena
sumber ilmu yang hakiki adalah Allah al-`alîm. Seperti kata M. Quraish
Shihab, takwa dapat mendatangkan ilmu yang mendalam. Hasil pemikiran
yang mendalam oleh para ahli dan sekaligus mereka berusaha keras untuk
mendekat dengan Allah diyakini dapat melahirkan teori-teori filsafat
pendidikan Islam.
Untuk kemajuan teori filsafat pendidikan Islam dibutuhkan usaha
keras dan keberanian para Profesor dan Doktor di bidang Pendidikan Islam
secara umum dan Profesor dan Doktor di bidang Filsafat Pendidikan Islam
secara khusus untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
berijtihad dengan baik. Itulah barangkali tafsiran dari jihad intelektual
yang disebutkan Sayid Husein Nasr. Nasr menyarankan pemikir Muslim
agar tidak sekedar setuju atau sekedar mengecam dan menolak berbagai
struktur ilmu, tetapi harus memahami dan dapat mengintegrasikan
berbagai bentuk ilmu. 50
Mulyadhi Kartanegara dalam Gerbang Kearifan menulis salah satu
bab bukunya, “Adakah Yang Disebut „Filsafat Islam‟ “? Para penulis Barat
menurut Majid Fakhri sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara
melihat Filsafat Islam sebagai “jembatan emas” atara Eropa Kuno
(Yunani) dan Eropa Modern. Umumnya orang Barat melihat bahwa filsa-
fat Islam telah mati dengan matinya filosof Muslim Spanyol Ibn Rusyd (w.
1196). Lewat Ibn Rusyd lah filsafat Yunani sampai ke dunia Eropa.
Banyak penulis Barat sebagaimana ditulis Mulyadhi Kartanegara
mengatakan bahwa Islam tidak benar-benar punya filsafat. Filsafat yang

50
Sayed Husein Nars “Prakata” dalam Ali Ashraf, Horizon Pendidikan Islam,
Terjemahan Sori Siregar, cet. 3, (t.k: Pustaka Firdaus, 1996), h. viii

39
dikembangkan dalam Islam selama ini berasal dari filsafat Yunani.
Walaupun demikian, ada juga orang Barat seperti Henry Corbin yang
menilai bahwa Islam benar-benar punya filsafat, khususnya filsafat Isyraqi
dan Louis Massignon menilai bahwa tasawuf Hallaj (w. 922) juga sebagai
filsafat. Lewat kedua tokoh inilah menurut Mulyadhi perlahan filsafat
Islam memiliki eksistensi di dunia Barat.
Sebutan filsafat Islam, istilah yang tidak disepakati oleh pengkaji
filsafat, karena keduanya memiliki entitas yang berbeda. Banyak ajaran
filsafat menurut mereka yang bertentangan dengan Islam, contohnya
tentang keabadian alam. Untuk itu ada yang menyebutkan istilah filsafat
Muslim, karena filosofnya beragama Islam. Ada juga yang menyebut nama
lain untuk filsafat Islam, yaitu filsafat Arab, termasuk Majid Fakhri yang
telah menulis buku Islamic Philosophy cenderung menggunakan istilah
itu.51 Mulyadhi sendiri cenderung memilih istilah filsafat Islam, setidaknya
karena tiga alasan berikut:
1. Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah
memiliki system teologi. Filsafat Yunani ada yang mengalami
proses “islamisasi”.
2. Para filosof Muslim membaca filsafat Yunani secara kritis tidak
menerima begitu saja (taken for granted)
3. Filsafat Islam telah berkembang, buktinya para filosof Muslim telah
melahirkan filsafat yang sebelumnya tidak ada, contohnya filsafat
kenabian (nubuwwah)
Melihat kenyataan di atas, penulis berpendapat bahwa filsafat Islam
berkembang lebih cepat karena persentuhannya dengan “dunia Yunani”
yang banyak disetujui oleh para ahli yang melahirkan filsafat itu sendiri.
Tanpa persentuhannya dengan dunia Yunani, diduga kuat filsafat Islam
akan lahir juga karena teks al-Qur‟an banyak memberikan inspirasi untuk
lahirnya semua bidang ilmu karena ia petunjuk bagi manusia (hudan) yang
bisa menjelaskan segala sesuatu (tibyânan likulli sya‟i).
Jika filsafat Islam diyakini ada, lantas apakah filsafat pendidikan
Islam itu lahir dari filsafat Islam? Jika lahirnya dari filsafat Islam, maka

51
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20.

40
tentulah filsafat pendidikan Islam dirujuk dari filosof-filosof Muslim
seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi, Ibn Tufail, dan
sebagainya. Lebih lanjut pada pembahasan “sumber filsafat pendidikan
Islam” akan diuraikan secara mendalam.
Mulyadhi Kartanegara mengatakan, ada tiga tema utama filsafat
Islam, yaitu Tuhan, Alam, dan Manusia. Tuhan sebagai sebab pertama (al-
`llatu al-ûlâ), sebagai al-Haqq, sebagai Wâjib al-Wujûd, sebagai Misykatu
al-Anwâr, sebagai Nûr al-Anwâr, dan sebagai Wujud Murni (pure being).
Tuhan telah lama dipersepsi sebagai al`illatu al-ûlâ (asbâb al-
asbâb: cause prima) oleh filosof Yunani, khususnya Aristoteles dan filosof
Muslim al-Kindi (w.866). Ketika yang disebabkan oleh sebab itu disebut
akibat atau musabbab, musabbab itu juga bisa sekaligus sebagai sebab
yang memiliki akibat atau musabbab, begitu terus menerus berantai
(tasalsul). Para filosof sejak masa filsafat Yunani sudah berpikir pastilah
ada akhir dari sebab yang tidak jadi musabbab (the uncause cause). Inilah
yang disebut Aristoteles dengan argument kosmologis yang didukung oleh
filosof pertama al-Kindi.52 Sufi Husain ibn Mansur al-Hallaj (w.922)
mengkonsepsi Tuhan sebagai al-Haqq.
Ibn Sina (w.1037) memandang konsep al-mutaharrik lâ yataharrak
tidak memadai sebagai bukti bahwa Tuhan yang menciptakan alam. Untuk
itu, Ibn Sina mengkonsepsi bahwa Tuhan sebagai Wâjib al-Wujûd,
sementara alam sebagai mumkin al-wujûd.
Suhrawardi al-Maqtûl (w 1191) mengkonsep Tuhan bukan al-muta-
harrik lâ yataharrak dan bukan juga Wâjib al-Wujûd, tetapi sebagai Caha-
ya dari Cahaya (Nûr al-Anwâr). Al-Ghazali juga mengkonsepsi Tuhan se-
bagai Cahaya (Misykâtu al-Anwâr). Mulla Shadra (w 1640) mengkonsepsi
Tuhan dengan Wujud Murni (Pure Being). Wujud lainnya selalu bercam-
pur dengan esensinya (mâhiyah), sementara Tuhan tidak punya esensi.
Alam adalah ciptaan Allah sebagai al-insân al-kabîr, sementara
manusia sebagai al-`âlam al-shagîr. Untuk memahami alam yang besar
ini, bisa mempelajarinya dari manusia, karena pada diri manusia semua
terdapat unsur-unsur alam ini. Demikian juga, untuk mempelajari manusia

52
Ibid., h. 80-81.

41
dapat dipelajari dari alam ini. Alam dan manusia konsepnya saling
membutuhkan dan saling memberi.
Manusia adalah makhluk dua dimensi, fisik dan non fisik. Sebagai
makhluk fisik ia memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis dan sebagai
makhluk non fisik, ia memiliki kebutuhan psikologis, dan spiritual.
Kebutuhan psikologisnya terdiri dari kebutuhan intelektual dan emosional.
Kebutuhan spritualnya membuat dia berhubungan secara intuitif dengan
Sang Pencipta Yang Mengatur semua urusannya.

E. Upaya Mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam


Kata Islam dalam filsafat pendidikan Islam, dengan meminjam
istilah Hasan Langgulung, apakah merupakan adopsi dari filsafat
pendidikan Barat atau assimilasi, akulturasi, akomodasi, atau adaptasi? 53
Yang lebih lumrah lagi disebut apakah Islam dalam filsafat pendidikan
Islam merupakan islamisasi ilmu? atau istilah lain yang dipopulerkan oleh
Mulyadi Kartanegara dengan istilah naturalisasi ilmu?54 Pertanyaan ini
menjadi perlu, mengingat seperti yang dikemukakan oleh Farid Fadjwani
pada permulaan Islam (abad klasik dan pertengahan) kata “Islam” tidak
dinisbatkan dalam berbagai disiplin ilmu. 55
Untuk melihat sejauhmana para ahli mendefinisikan atau memberi
arti filsafat pendidikan Islam, di bawah ini akan dikutip beberapa pendapat
mereka. Akan diutarakan berdasarkan tahun terbitnya yang lebih awal.
Umar Muhammad al-Taumi al-Syaibani dalam falsafat pendidikan
Islam tidak secara jelas memberi definisi filsafat pendidikan Islam. Ia
hanya memberi beberapa pengertian tentang filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan menurutnya sama dengan filsafat umum mencari yang hal dan
hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. 56 Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa filsafat pendidikan berusaha sungguh-sungguh
53
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains
Sosial, (Jakarta: GMP, 2002), h. 287-289
54
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 111
55
Farid Panjwani, “The Islamic in Islamic Education: Assesing the Discourse”,
Current Issue in Comparative Education, Columbia University, Vol 7 (1), 2004, h. 19.
56
Umar Muhammad al-Taumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan
Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 28.

42
untuk membangun konsep-konsep pendidikan serta mencari sebab-sebab
yang hakiki dari masalah pendidikan. 57 Selain itu, filsafat pendidikan harus
memiliki pandangan yang jelas tentang pendidikan dengan segala
aspeknya.58 Di tempat lain dalam buku itu, al-Syaibani mengatakan bahwa
filsafat pendidikan adalah kaidah filsafat dalam memandang pendidikan. 59
Dari uraian al-Syaibani di atas, sama sekali tidak kelihatan
perbedaan filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam dan berulang-
ulang ia hanya menggunakan filsafat pendidikan. Dari situ jelas tidak kita
menangkap makna adopsi, adaptasi, assimilasi, maupun akomodasi
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Istilah islamisasi
dan naturalisasi ilmu juga tidak ditemukan secara eksplisit maupun
implisit. Walaupun dalam isi bukunya tidak dipungkiri banyak
menggunakan sumber-sumber normative seperti ayat al-Qur‟an dalam
membahas persoalan pendidikan.
Muzayyin Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam lebih
tegas memberikan arti dari filsafat pendidikan Islam dari sisi sumbernya.
Definisi itu kesannya bercampur sekaligus dengan ruang lingkup
pembahasannya, Ia mengatakan,
“Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir
tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama
Islam, tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina
menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya
apa sajakah yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan
sebagainya.”60
Dilihat dari fungsinya filsafat pendidikan Islam menurut M. Arifin
sebagai pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses
pelaksanaan pendidikan Islam.61 Filsafat pendidikan Islam juga berfungsi

57
Ibid
58
Ibid, hal. 29
59
Ibid, hal. 30
60
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 1
61
Ibid

43
mengkritik metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan
Islam.62
Meskipun M. Arifin dengan jelas menyebutkan sumbernya ajaran
agama Islam, tetapi dia tidak jelas mengomentari teori filsafat pendidikan.
Pada pelaksanaannya juga ia mengambil dasar-dasar teorinya dari teori
filsafat pendidikan, kemudian mencari justifikasi dari sumber normative
Islam. Seperti inilah kesan sebagaian orang islamisasi ilmu dengan
“stampel” ayat-ayat sebagai justifikasinya. Sebagai langkah awal kata
Mulyadi Kartanegara hal ini boleh-boleh saja, tetapi tidak berhenti di situ.
Zuhairini dan kawan-kawan dalam Filsafat Pendidikan Islam tidak
memberi ruang secara khusus untuk mendefinisikan filsafat pendidikan
Islam. Tetapi dalam pembahasannya, mereka banyak mengadopsi teori
filsafat pendidikan Islam dan terkadang mereka “bumbui” dengan sumber-
sumber normative, sebagaimanya yang dilakukan oleh M. Arifin.
Fakhrur Razi Dalimunthe dan kawan-kawan dalam Filsafat
Pendidikan Islam juga tidak memberikan definisi khusus tentang filsafat
pendidikan Islam. Mereka mengutip definisi filsafat pendidikan dari Jhon
Dewey yang mengatakan teori umum tentang pendidikan. Mereka juga
mengutip pendapat Hasan Langgulung yang mengatakan bahwa filsafat
pendidikan mencari kebenaran dan hakikat, masalah-masalah, problem-
problem yang berhubungan dengan proses pendidikan. 63
Abuddin Nata dalam Filsafat Pendidikan Islam menyimpulkan
bahwa filsafat pendidikan Islam, “merupakan kajian filosofis mengenai
berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang
didasarkan pada al-Qur‟an dan hadits sebagai sumber primer, dan pendapat
para ahli, khususnya para filosof muslim sebagai sumber sekunder.”64 Ia
juga menyebutkan bahwa filsafat pendidikan Islam suatu upaya
menggunakan jasa filsafat, yakni berpikir yang mendalam, sistematik,
radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti
masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, dan lingkungan

62
Ibid, h. 2
63
Fakhrur Razi Dalimunthe, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Medan: IAIN Press,
1996)), h. 26
64
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 15

44
dengan menggunakan al-Qur‟an dan hadits sebagai dasar acuannya.” Lebih
jelasnya lagi dia sebutkan filsafat pendidikan Islam acuannya ajaran Islam
atau yang dijiwai oleh ajaran Islam. 65
Definisi yang dikemukakan oleh Abuddin Nata di atas substansinya
sama dengan yang dikemukakan oleh M. Arifin, hanya saja Abuddin Nata
menyebutkan selain sumber normative al-Qur‟an hadits, juga sumber
historis yang ia prioritaskan dari filosof Muslim dengan tidak menafikan
sumber lain jika hal itu dijiwai dari ajaran Islam.
Ahmad Tafsir sendiri yang rajin dan sungguh-sungguh membedakan
antara filsafat dan ilmu di berbagai karayanya, tetapi ketika menulis
Filsafat Pendidikan Islam, ia tidak mendefinisikan filsafat pendidikan
Islami itu sendiri. Ia tetap mengulangi pembahasan bedanya filsafat dan
ilmu, dimana filsafat diukur secara rasional, sementara ilmu katanya diu-
kur secara rasional dan empiris. 66 Ada perbedaan istilah yang digunakan
Ahmad Tafsir sebelum ia menulis Filsafat Ilmu. Pada bukunya Filsafat
Umum, 67 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,68 Epistemologi untuk
Ilmu Pendidikan Islam, 69 filsafat disebutkan logis sedangkan ilmu disebut
logis dan empirik masih digunakan. 70 Sejak Juni 2004 dalam terbitan
Filsafat Ilmu, ia merubah istilah logis menjadi rasional untuk kriteria
filsafat dan rasional dan empirik untuk kriteria ilmu. Hal itu barangkali
setelah ia memahami berbeda antara logis dan rasional sejak tahun 2001
dari tulisan Kant. Menurut pemahamannya, rasional itu masuk akal
berdasarkan hukum alam saja.71 Sementara logis tentu masuk akal secara
umum.
Kalau diperhatikan evolusi pemahaman Ahmad Tafsir tentang
makna logis dan rasional, mestinya filsafat itu kriterianya bukan rasional

65
Ibid, hal. 16
66
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), h. 5.
67
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, h. 18.
68
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 7.
69
Ahmad Tafsir, “Model-Model Penelitian Pendidikan Islam” dalam Ahmad Tafsir
(Ed.), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: IAIN Press, 1995), h. 79.
70
Ibid
71
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 12

45
tetapi logis sementara ilmu rasional dan empirik. Karena ilmu yang
dimaksudkan Ahmad Tafsir tidak termasuk dalam klasifikasi ilmu fisik,
ilmu imaginal, dan ilmu metafisika sebagaimana sering ditulis oleh
Mulyadi Kartanegara dari pemikiran Ibn Khaldun. Ketika Ahmad Tafsir
mencetak ulang buku Filsafat Umum-Nya tahun 2007 untuk cetakan ke-
15, demi konsistensi mestinya tetap digunakan istilah rasional untuk
menggantikan logis. Mungkin saja ia lupa mengeditnya, sehingga tetap
tertulis kriteria filsafat itu logis dan ilmu logis dan empiris.
Jalaluddin dalam Filsafat Pendidikan Islam juga tidak memberikan
kontribusi dalam mendefinisikan filsafat pendidikan Islam. Ia di antaranya
hanya mengatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai produk pemikiran
filosofis terhadap masalah pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari
rujukan sumber ajaran Islam. 72 Sama halnya dengan Ramyulis dan Samsul
Nizar dalam Filsafat Pendidikan Islam juga tidak memberikan kontribusi
dalam mendefinisikan filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam
menurut mereka mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran berdasarkan
tuntutan ajaran Islam.73
Abd. Rachman Assegaf dalam Filsafat Pendidikan Islam juga tidak
memberi ruang khusus dalam mendefinisikan apa itu filsafat pendidikan
Islam. Hanya saja dengan gagasan pendidikan hadhari, suatu interpretasi
dari gagasan segitiga metodologis UIN Sunan Kali Djaga, hadharat al-nash
(agama), hadharat al-„ilmu (sains), dan hadharat al-falsafah (filsafat) yang
mereka sebut dengan pola jaring laba-laba yang berbasis integratif-
interkonektif. Dapat ditangkap bahwa pemikirannya tentang filsafat
pendidikan Islam berupa islamisasi ilmu dengan pola assimilasi, dimana ia
tetap membiarkan hidup teori filsafat pendidikan menurut Barat dengan
sedikit kritikan sambil memasukkan teori itu dalam filsafat pendidikan
Islam. Ia juga membahas filsafat pendidikan Islam dari sumber normative
dan historis. Kecenderungan itu dapat dilihat dari pendidikan hadhari yang
ia inginkan, yaitu “pendidikan Islam yang visioner, integrative-

72
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 46.
73
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2010), h. 4.

46
interkonektif, non dikotomis, dan mampu menjawab isu-isu
kontemporer.”74
Toto Suharto dalam Filsafat Pendidikan Islam tidak memberikan
definisi khusus tenang filsafat pendidikan Islam. Hanya saja melihat
definisi para ahli pendidikan dan ahli pendidikan Islam tentang filsafat
pendidikan dan filsafat pendidikan Islam, ia berkesimpulan bahwa mereka
melihat filsafat pendidikan Islam dalam dua wajah. Wajah yang pertama
melihat bahwa filsafat pendidikan Islam adalah filsafat tentang pendidikan
Islam. Sementara wajah yang kedua memandang filsafat pendidikan Islam
adalah filsafat pendidikan dalam perspektif Islam. 75
Konsekuensi dua pemikiran itu adalah jika filsafat pendidikan Islam
dipandang sebagai filsafat tentang pendidikan Islam, maka tidak terdapat
islamisasi ilmu. Sementara filsafat pendidikan dalam perspektif Islam
berarti ada unsur islamisasi ilmu, dimana filsafat pendidikan sedang dinilai
apakah sesuai dengan ajaran Islam atau dengan nilai-nilai Islam. Dalam hal
ini penulis berpihak pada pendapat yang kedua dengan asumsi bahwa
setelah lahirnya filsafat pendidikan, maka muncullah kajian islamisasi ilmu
untuk melihat apakah sesuai filsafat pendidikan Barat itu dengan filsafat
pendidikan Islam dan melihat apakah filsafat pendidikan Islam memiliki
teori yang justru lebih mapan dari teori filsafat pendidikan itu sendiri. Hal
itu juga yang kita temukan dalam buku-buku filsafat pendidikan Islam
terdapat sumber-sumber literatur Islam dalam pembahasan mereka,
walaupun masih lebih didominasi oleh penyebutan ayat al-Qur‟an dan
matan hadits dan juga pemikiran para ahli pendidikan Muslim.
Al Rasyidin dalam Falsafah Pendidikan Islami juga secara khusus
tidak membahas definisi filsafat pendidikan Islam, tetapi dalam kata
pengantar yang ia tulis ditemukan kalimat, “falsafah pendidikan islami
adalah aplikasi pandangan falsafah dan kaidah Islam dalam bidang
kehidupan manusia Muslim yang disebut pendidikan.”76 Kalimat itu
kesannya berpihak pada pandangan filsafat pendidikan Islam sebagai

74
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 31.
75
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 28.
76
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, (Bandung: Cita Pustaka, 2008), h. ix

47
filsafat tentang pendidikan Islam, walaupun dalam pembahasannya tidak
banyak jauh dari para penulis pendahulunya banyak mengutip ayat dan
pemikiran sebagian ahli pendidikan Muslim.
Filsafat pendidikan Islam dalam tulisan ini bukan sekedar bermakna
filsafat pendidikan dalam perspektif Islam dengan merujuk dalam segala
pembahasannya dengan al-Qur‟an dan hadits, serta pemikiran para tokoh
pendidikan Islam, tetapi mencoba melakukan analisis terhadap
penggunaan hadharat al-nash dalam bahasa UIN Sunan Kali Djaga yang
digunakan oleh para ahli pendidikan Islam dan menyesuaikannya dengan
perangkat epistemologi Islam sebagai bahan acuan islamisasinya. Hal itu
dilakukan karena tidak semua ahli pendidikan Islam setuju dengan ide
islamisasi ilmu, sehingga mereka pun tidak menggunakan epistemologi
Islam dengan berdalih bahwa semua ilmu itu universal.
Bangungan filsafat pendidikan Islam selain merujuk pada teks al-
Qur‟an dan hadits juga bisa merujuk pada non teks berupa renungan yang
mendalam terhadap Tuhan, Alam, dan manusia sebagai tema utama dari
filsafat Islam.
Penulis sependapat dengan Amin Abdullah dalam pembaharuan
filsafat lebih menekankan aspek logika dalam pemikiran keislaman.
Terhadap teks al-Qur‟an dan hadits, filsafat berangkat dari premis-premis
logis yang ada di balik teks. Dengan demikian, filsafat lebih menekankan
pencarian makna, substansi, dan esensi dari pesan-pesan teks-teks yang
tersurat melalui proses interpretasi. Untuk itu filsafat pendidikan Islam
ketika menjadikan teks sebagai sumber, maka harus berangkat dari premis-
premis logis, mencari makna di belakang teks. Ayat al-Qur‟an yang
digunakan sebagai sumber filsafat pendidikan Islam tidak menekankan
teksnya (mantûq-nya) sebagaimana yang dilakukan dalam pemikiran
kalam atau teologi.

48
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Hasan Langgulung dengan sistematis telah berteori tentang hierarki


tujuan pendidikan Islam. Tujuan yang paling tinggi disebut dengan
ultimate aims. Tujuan akhirnya disebut dengan aims. Tujuan menengahnya
disebut dengan goals. Sementara tujuan jangka pendeknya disebut dengan
objective. Azyumardi pernah mengatakan bahwa tujuan paling tinggi atau
paling akhir itu disebutkan dengan ultimate goals.
Dalam bahasa Arab Muhammad Ali al-Khauli dalam Qamus al-
Tarbiyah menyebut aims, b. arabnya‫ ٘ذف‬dan ‫لصذ‬.Goal b. Arabnya ٚ‫٘ذف أ‬
‫غبيخ‬. Objective b. Arabnya ‫ غشض‬ٚ‫٘ذف أ‬. Ultimate, b. Arabnya ‫بئي‬ٙٔ.
Ultimate goal, b. Arabnya ‫بئي‬ٙٔ ‫٘ذف‬. Istilah tujuan sebagaimana disebutkan
oleh Muhammad Ali al-Khauli, nampak tidak konsisten, dan tidak terlihat
jelas bedanya antara satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan
Syauqi Sayyid Syarifi dalam Mu`jam Mushthalahat al-`Ulum al-
Tarbawiyah menyebutkan aims, b. Arabnya ‫غبيخ‬, goal b. Arabnya ‫٘ذف‬, dan
objective juga ‫٘ذف‬. Istilah tujuan dalam pendidikan Islam justru lebih kaya
dari apa yang disebutkan oleh Ali al-Khauli daripada al-Syarifi. Dari
semua istilah itu al-Qur‟an hanya menyebut dua istilah ‫ لصذ‬dan ‫ي‬ٙ‫ ِٕز‬yang
satu akar kata dengan ‫بئي‬ٙٔ.
Terlepas dari hirarki yang disebutkan oleh Langgulung, literatur
berbahasa Arab dalam bidang pendidikan lebih populer menggunakan kata
‫ ٘ذف‬dan ‫غشض‬. Majid Arsan al-Kailani dengan jelas memberi judul
bukunya ‫أ٘ذاف اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬. Khalid Ibn Hamid al-Hazimi dalam ‫ي‬ٛ‫ئص‬
‫ اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬juga menyebut istilah ‫أ٘ذاف اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬. Muhammad Fadhil
Jamali juga dalam ْ‫يخ في اٌمشا‬ٛ‫ اٌفٍضفخ اٌزشث‬menyebut ْ‫أ٘ذاف اٌزشثيخ في اٌمشا‬. Lain
halnya dengan Muhammad `Athiah al-Abrasyi dalam ٚ ‫اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬
‫ب‬ٙ‫ فالصفز‬menyebut ‫أغشاض اٌزشثيخ اإلصالِيخ‬. Demikian juga Mahmud Yunus
dalam ُ‫ اٌزؼٍي‬ٚ ‫اٌزشثيخ‬menyebut istilah ‫غشض‬. Istilah ‫ غشض‬dipakai untuk
tujuan yang lebih teknis yang dalam bahasa Inggrisnya objektif.
Lain halnya dengan pendapat Fathul al-Bab Abdul Halim Sayyid,
Guru Besar Tarbiyah di Universitas Hulwan Kairo. Ia berpendapat tujuan

49
tertinggi itu disebut ‫ غبيخ‬sebagai ‫ذف ِٓ وً األ٘ذاف‬ٌٙ‫( ا‬tujuan dari segala
tujuan). Inilah yang disebut Hasan Langgulung dengan ultimate aims. Ia
mendefinisikan
1
‫الغاية ىي الشيئ ذو القيمة ينتهي إليو كل سعي‬
Artinya, “Ghayah adalah sesuatu yang memiliki nilai yang diupayakan
mencapainya dengan segala usaha.”
Bagaimana al-Qur‟an menggunakan kata ‫ لصذ‬sebagai istilah tujuan?
Berikut akan diuraikan secara rinci.

A. Filsafat Tujuan dalam al-Qur’an


Said Ismail Ali, Guru Besar Usul al-Tarbiyah Universitas Ain al-
Syams mengatakan kalau ditanya tentang tujuan pendidikan Islam akan
terjadi sedikit perbedaan pendapat, tetapi jika ditanya tentang sumber
filsafat pendidikan Islam akan terjadi perbedaan pendapat antara saintis
Islam (ٓ‫ )ػٍّبٔيي‬dan agamawan (ٓ‫)ئصالِيي‬. Yang pertama menerima Islam
sebagai salah satu sumber, sementara sumber utamanya ( ‫)اٌّصذس اٌشئيضي‬
adalah fenomena di dunia ini. 2 Sumber Islam yang dimaksud adalah al-
Qur‟an. Terlepas dari kontroversi itu, penulis tertarik melihat segala
sesuatu dari al-Qur‟an.
Istilah-istilah tujuan yang disebutkan di atas akan didalami dari ayat
al-Qur‟an. Ternyata di dalam al-Qur‟an hanya ada kata ‫ لصذ‬dalam Q.S. al-
Nahl/16:9 dan Luqman/31:19. Ada juga kata‫ ِمزصذ‬dalam Q.S. al-
Maidah/5:66, Lukman/31:32, dan Fatir/35:32. Kemudian ada kata ‫بء‬ٙ‫أز‬
dengan berbagai derivasinya disebutkan empat kali. Dalam Q.S. al-
Maidah/51:91 dengan redaksi ْٛٙ‫ِٕز‬, al-Najm/53:14 dan dengan redaksi
‫ي‬ٙ‫إٌّز‬, serta al-Nazia`at/79:44 dengan redaksi ‫ي‬ٙ‫ ِٕز‬juga.

1
Fathu al-Bab Abdul Halim Sayyid, “al-Ghazah wa al-Ahdafal-Tarbawiyah fi al-
Qur‟an wa al-Sunnah” dalam Fathi Hasan Milkawi (ed.), Buhuts al-Mu`tamar al-Tarbawi,
Jilid II, (Amman: al-Syirkatu al-Jadidah, 1991), h. 130.
2
Said Ismail Ali, “Ahdaf al-Madaris al-Islamiyah” dalam Abhats mu‟tamar al-
manhij al-Tarbawiyah wa al-Ta`limiyah fi Zhill al-Falsafah al-Islamiyah wa al-Falsafah
al-Haditsah 29-31 Juli 1990 di Kairo yang diterbitkan tahun 1994, h. 184.

50
Di dalam al-Qur‟an al-qashd kata al-Asfahani dalam al-Mufradat fi
Garib al-Qur‟an ada dua makna. Pertama sikap yang terpuji karena
mengambil posisi antara dua kutub yang ekstrim seperti sikap hemat (al-
jaud) di antara sikap boros dan pelit, sikap pemberani antara pengecut dan
nekat. Kedua, sikap antara yang terpuji dan tercela seperti dalam Q.S.
Fatir/35:32 bahwa ada manusia yang zhalim ada yang muqtashid dan ada
‫صبثك ثبٌخيشا‬. Dalam pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala
daerah yang golput atau abstain atau netral tidak memihak kepada yang
baik maupun yang buruk, temasuk muqtashid.
Dari pengertian tujuan yang menggunakan istilah al-qasadh di atas
dapat dipahami bahwa tujuan itu idealnya “tidak ekstrim kanan dan juga
tidak ekstrim kiri”, ia berada pada posisi seimbang. Jika ditarik pada
orientasi dunia dan akhirat, maka tujuan pendidikan Islam hendaknya
memperhatikan keseimbangan dunia dan akhirat. Orientasi yang terlalu
ukharawi (theopan) tidak bagus, demikian juga yang terlalu duniawi
(propan) tidak bagus. Yang bagus itu terjadi keseimbangan antara dunia
dan ukhrawi. Keseimbangan itu tidak berarti membagi waktu 24 jam,
masing-masing 12 jam untuk duniawi dan 12 jam untuk ukhrawi, tetapi
menjalankan kegiatan duniawi dan ukhrawi sesuai dengan ketentuan Allah
Swt. itulah yang seimbang.
Konsep keseimbangan atau sekarang sering disebut dengan moderat
dilihat dari unsur diri yang bersifat lahir dan batin, maka filsafat
pendidikan Islam merekomendasikan ada perpaduan yang seimbang dari
aliran zhahiriyah dan batiniyah. Dalam pendidikan Islam terjadi
keseimbangan al-tarbiyatu al-jismiyah dan al-tarbiyatu al-`aqliyah dan al-
tarbiyatu al-ruhiyah. Barangkali dalam bahasa Indonesia bisa disebut
keseimbangan pendidikan jasmani dan rohani.
Pendidikan jasmani bisa lagi “dimekarkan” dengan spesialisasi
dokter sekarang ini. Ada dokter spesialis mata, maka perlu ada pendidikan
mata. Ada dokter sepesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT),
maka disebut pendidikan THT. Ada dokter spesialis kulit, maka
pendidikan kulit. Ada dokter spesialis kandungan, maka pendidikan
kandungan. Ada dokter spesialis gigi, maka pendidikan gigi. Ada dokter
spesialis penyakit dalam, maka pendidikan kesehatan dalam. Kesehatan

51
dalam juga dimekarkan lagi dengan kesehatan jantung, maka pendidikan
jantung. Untuk itu ada dokter spesialis jantung. Ada dokter spesialis paru,
maka pendidikan paru-paru. Tidak tertutup kemungkinan pemekaran-
pemekaran dari unsur-unsur lahir atau fisik lainnya.
Pendidikan jasmani yang dalam bahasa Arabnya al-tarbiyah al-
jismiyah adalah hal-hal yang empirik, dimana ada wujud fisiknya. Untuk
itu ada unsur-unsur fisik yang letaknya di dalam tubuh manusia tidak
kelihatan, tetapi ketika digunakan alat teknologi kesehatan hal itu bisa
dilihat ataupun ketika dibedah, dapat dilihat secara empirik.
Rohani yang dimaksud adalah unsur-unsur batin yang tidak
berbentuk fisik, tetapi dinyatakan ada fungsinya secara nyata. Dalam Islam
termasuk akal, maka disebut al-tarbiyatu al-`aqliyah. Otak adalah
berbentuk fisik, sedangkan akal berbentuk non fisik, tetapi dinyatakan akal
itu ada. Kemudian termasuk juga ruh, maka disebut al-tarbiyatu al-ruhiyah.
Ruh di sini bukan lah yang dimaksud yang ditiupkan oleh Allah Swt. ke
dalam janin yang berumur 4 bulan dalam kandungan, sehingga ia berubah
nama menjadi manusia, tetapi ia adalah unsur-unsur ketuhanan yang halus
atau yang lebih tajam daya tangkap kebaikannya dibandingkan dengan
akal dan juga hati yang halus (qalb).
Pendidikan rohani bisa dikembangkan lagi dengan al-tarbiyatu al-
qalbiyah dan al-tarbiyatu al-fuadiyah. Jika diterjemahkan keduanya
dengan hati, maka disebut pendidikan hati. Hati di sini bukan yang kadang
baik dan kadang jahat, kadang bahagia dan kadang sedih, tetapi hati yang
cenderung pada kebaikan.
Perbedaan al-qalb dengan al-fuad terletak pada daya tangkap, bisa
juga disebut dengan sinyal. Sinyal al-fuad lebih kuat daripada al-qalb
dalam menangkap kebaikan.

‫ني‬ِ ْ ‫السبِ ِيل وِمْنػها جآئِر ولَو َشاء ََل َدا ُكم أ‬ ِ
َ ‫َمجَع‬ ْ َ ْ َ ٌ َ َ َ َّ ‫ص ُد‬ ْ َ‫َو َعلَى اللّو ق‬
Artinya, “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di
antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jika Dia menghendaki, tentulah
Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar)”. (Q.S. al-
Nahl/16:9)

52
Zamaksyari ketika menafsirkan ayat di atas menyebut bahwa
petunjuk jalan yang menghubungkan pada kebenaran adalah wajib
dariNya.3 Pendapat ini seakan-akan tidak memberi peluang pada usaha
manusia yang punya akal dan hati untuk menemukan jalan yang benar.
Manusia tentunya dengan segala potensi yang diberikan oleh Allah
Swt. dapat juga mengetahui jalan yang benar itu. Tentunya diskursus
tentang ini dalam teologi Islam, yaitu Ilmu Kalam sudah sangat masyhur,
khususnya kaum Mu`tazilah sangat meyakini kemampuan akal manusia
untuk dapat mengetahui yang benar itu. Namun perlu diketahui,
seandainya akal manusia menemukan kebenaran itu, tentu dengan
meyakinkan bahwa potensi yang dimiliki oleh manusia juga pemberian
Allah Swt. Dengan demikian, pada dasarnya kebenaran itu bisa disebutkan
tetap dari Allah Swt. Dalam filsafat bisa disebutkan akal manusia sebagai
al-sabab al-tsani, sedangkan al-sabab al-awwal pastilah Allah Swt.
Kenapa harus ditunjukkan jalan yang benar itu, ayat itu menyebut
bahwa ada jalan yang bengkok, sementara jalan menuju kebenaran itu
dalam konsepnya lurus. Ketika seorang keluar dari jalur yang benar, maka
dia akan tersesat. Jika seseorang membawa mobil dari Padangsidimpuan
menuju Gunung Tua, maka ketika sampai di Palsabolas, bagi sopir yang
belum mengetahui jalan menuju Gunung Tua, tentu dia harus bertanya atau
jika ada pemandunya, hendaknya pemandu itu harus memberi petunjuk
apakah mobil belok kanan atau kiri. Jalan ke kiri menuju Sipirok dan
kanan menuju Gunung Tua.
Akal manusia boleh saja berijtihad dan memang itu tugas akal,
tetapi kebenarannya harus dikonfirmasi pada wahyu Allah Swt. Akal tidak
selamanya bisa menangkap kebenaran, sementara wahyu adalah informasi
kebenaran yang tidak pernah salah. Ketika memahami wahyu, akal bisa
juga benar dan bisa juga salah, tetapi wahyu itu sendiri pasti benar. Di
sinilah manusia dalam mencapai kebenaran tetap saja membutuhkan
hidayah dari Allah berupa wahyu sebagai informasi kebenaran maupun
sebagai alat konfirmasi kebenaran yang dicapai oleh akal.

3
Abi al-Qasim Mahmud ibn `Umar al-Zamaksyari, al-Kasysyaf, Juz 3, (Riyadh:
Maktabah Abikan, 1998), h.426.

53
Dari kata ‫بء‬ٙ‫ أز‬Q.S. al-Maidah/51:91 dengan redaksi ْٛٙ‫ ِٕز‬berbicara
tentang syaitan yang menciptakan permusuhan dan kebencian bagi
manusia lewat minuman keras dan judi. Minuman keras menciptakan
permusuhan karena hilangnya fungsi akal dengan judi menciptakan
kebencian karena kalah-menang dapat memicu kebencian. Yang kalah
membenci yang menang dan yang menang berpotensi mengolok-olok yang
kalah. Kedua penyakit di atas ternyata dapat diobati oleh dua hal juga,
yaitu dengan dzikir dan shalat. Sepertinya, silogismenya minuman keras
melahirkan permusuhan karena hilangnya fungsi akal dan untuk
mengakhiri permusuhan itu dengan dzikir. Dengan dzikir kepada Allah
Swt. akal kembali normal dan bahkan akal budi pun semakin bagus.
Kemudian, judi menciptakan kebencian, kebencian itu penawarnya shalat.
Shalat melahirkan kesadaran akan yang benar. Allah menyebutkan bahwa
shalat dapat mencegah yang keji dan yang munkar. 4
Di akhir ayat Q.S. al-Maidah/5:91 ada kalimat ْٛٙ‫ً أرُٕ ِٕز‬ٙ‫“ ف‬maka
berhentilah kamu melakukan itu”. Ahmad Mushthafa al-Maraghi mengutip
riwayat dari Musnad Ahmad, Musnad Abu Daud, dan Tirmdzi bahwa
Umar berdoa agar Allah menjelaskan tentang khamr. Tatkala ayat khamr
dalam al-Baqarah turun, Rasulullah membacakannya kepada Umar. Umar
pun tetap berdoa yang sama. Kemudian turun ayat khamr pada Surah al-
Nisa, Rasulullah pun membacakannya kepada Umar. Umar pun tetap
berdoa yang sama. Kemudian turunlah ayat tentang khamr pada Surah al-
Maidah, nabi pun membacakannya kepada Umar, ketika sampai pada
kalimat ْٛٙ‫ً أرُٕ ِٕز‬ٙ‫ف‬, Umar berkata, ‫يٕب‬ٙ‫يٕبأز‬ٙ‫( أز‬kami telah berhenti, kami
telah berhenti).5
Q.S. al-Najm/53:14 kata al-muntahâ, adalah tempat terakhir
menurut beberapa riwayat menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
berada di langit ketujuh yang disebut Sidratul Muntaha. Ayat ini
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. melihat wujud asli Malaikat
Jibril dua kali, pertama di Gua Hiro, terakhir di Sidratul Muntaha.

4
Baca Q.S. al-Ankabut/29:45.
5
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan K. Anshari Umar
Sitanggal, Cet. 2, Jilid 7, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 33

54
Sidrah adalah sejenis pohon kata Quraish Shihab yang memiliki tiga
keistimewaan, yaitu rindang, lezat, dan harum. Ada ulama yang
menerjemahkan dengan Pohon Bidara. Di sini muntaha berarti akhir dari
segalanya dan tidak lagi ada di atasnya. Maka tujuan paling akhir sangat
cocok untuk istilah tujuan paling akhir.
Q.S.al-Naziat/79:44 menyebut kata “muntaha”. Ayat ini kata Ahmad
Mushthafa al-Maraghi bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadi
kiamat itu, kepada nabi sekalipun, hanya Allah Swt. yang mengetahui hal
tersebut.
Dari uraian di atas tentang al-intiha nampaknya bermakna akhir
secara kuantitatif dan kualitatif. Kalau manusia berperkara secara hukum,
muntaha nya pada hakim. Jika sudah diputuskan oleh hakim, maka selesai
lah urusan hukumnya. Urusan kampus bisa saja muntaha-nya di tangan
rektor. Urusan rumah tangga muntahanya di tangan seorang bapak.

B. Tujuan Pendidikan Islam


Muhammad Fadhil Jamali berdasarkan al-Qur‟an merangkum ada
empat tujuan pendidikan Islam, yaitu
1. Memberitahukan kepada manusia posisinya antara ciptaan dan
tanggungjawabnya sebagai individu dalam hidup ini;
2. Memberitahukan hubungan manusia dengan masyarakatnya dan
tanggungjawabnya berlandaskan aturan sosial.
3. Memberitahukan manusia dengan ciptaan dan mendorong mereka
untuk memahami secara mendalam hikmah dari penciptaan dan
memungkinkan manusia untuk menuai hasilnya.
4. Memberitahukan manusia penciptaan tabiat dan untuk beribadah
kepadaNya.
Menurut Fadhil Jamali keempat tujuan itu saling berhubungan satu
sama lain, hanya saja diakui bahwa tiga tujuan pertama yang menyebabkan
tercapainya tujuan keempat.6

6
Muhammad Fadhil Jamali, al-Falsafah al-Tarbawiyah fi al-Qur‟an, (Beirut: Dar
al-Kitab al-Jadid, 1980), h. 13

55
Keempat tujuan yang disebutkan Fadhil Jamali secara singkat bahwa
pendidikan untuk mengenal diri, menyadari dirinya sebagai anggota
masyarakat, terakhir untuk beribadah kepada Allah Swt. Hal itu lebih jelas
ketika Fadhil Jamali bahwa tujuan pendidikan yang paling tinggi adalah
untuk mengenal Allah dan bertakwa kepadaNya.
Berbeda dengan Khalid Ibn Hamid al-Hazimi, tujuan pendidikan
Islam menurutnya: pembangunan ilmu, pembangunan akidah,
pembangunan ibadah, pembangunan akhlak, pembangunan pekerjaan, dan
pembangunan jasmani. 7
Yang menarik dari konsep kata yang digunakan oleh al-Hazimi,
yaitu ‫ ثٕبء‬yang bisa diterjemahkan “membangun”. Membangun
membutuhkan beberapa unsur yang bersinergi seperti membangun rumah
membutuhkan pasir, batu bata, semen, dan air. Pembangun ilmu,
membutuhkan komponen-komponen yang saling mendukung, begitu dan
seterusnya.Berbeda dengan bahasa Fadhil Jamali menggunakan kata ‫رؼشيف‬
(menjadikan orang lain tahu) cenderung relatif lebih sederhana. Bahasa
yang digunakan al-Hazimi lebih holistic.
Majid Arsan al-Kailani, guru besar Filsafat Pendidikan Universiatas
Ummul Qura Mekah, menjelaskan tujuan pendidikan lebih sistematis
dengan membedakan ‫ األ٘ذاف األغشاض‬dan ً‫صبئ‬ٌٛ‫األ٘ذاف ا‬. Yang pertama itu
sebagai tujuan akhir, sementara yang kedua, upaya-upaya agar tercapai
tujuan kedua. Lebih lanjut Arsan al-Kailani menyebutkan bahwa
pendidikan modern berhenti pada tujuan yang kedua dan adakalanya
mengingkari tujuan yang pertama.8
Tujuan akhir ( ‫ )األ٘ذاف األغشاض‬pendidikan Islam kata Arsan al-
Kailani mencapai kebahagiaan atau Ridha Allah. Lebih lanjut ia memberi
contoh dari al-Qur‟an.

7
Khalid Ibn Hamid al-Hazimi, Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Riyadh: Dar `Alim
al-Kutub, 2000), h. 73.
8
Majid Arsan al-Kailani, Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyah, (USA, IIIT, 1996), h.
25.

56
‫للِ ِو َولَ َعلَّ ُك ْم‬ ِ
ْ َ‫ك فِ ِيو بِأ َْم ِرِه َولتَْبتَػغُوا ِمن ف‬
ُ ‫ي اْل ُف ْل‬ ِ ِ َّ ‫اللَّوُ الَّ ِذي‬
َ ‫سخَر لَ ُك ُم اْلبَ ْحَر لتَ ْجر‬
‫تَ ْش ُك ُرو َف‬
Artinya, “Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-
kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat
mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.”
(Q.S. al-Jatsiyah/45:12).
Dari ayat itu dapat diketahui tahapan-tahapan tujuan. Allah Swt.
menundukkan laut, menjadikannya tenang tidak tsunami, tidak terjadi
pasang besar, tidak terjadi ombak yang ekstrim, tujuannya agar orang bisa
berlayar. Selain berlayar, jika laut telah ditundukkan Allah, maka nelayan
bisa menangkap ikan, para penyelam bisa menyelam, orang yang berwisata
bisa berwisata, dan sebagainya. Jika tercapai tujuan-tujuan pada tahap
pertama, maka tujuan tersebut diharapkan menjadi sebab tercapainya
tujuan kedua, yaitu bersyukur kepada Allah. Tujuan bersyukur kepada
Allah itulah yang disebut Arsan al-Kailani dengan ‫األ٘ذاف األغشاض‬.
Sementara untuk berlayar, untuk menangkap ikan, untuk berwisata, untuk
menyelam atau untuk mencari nafkah secara umum sebagai ً‫صبئ‬ٌٛ‫األ٘ذاف ا‬.
Tujuan yang terakhir ini bertindak sebagai akibat dan sebab untuk akibat
berikutnya. Sebab dari segala sebab (‫ )أصجبة األصجبة‬dari segalanya adalah
Allah Swt. Tunduknya lautpun adalah akibat dari kekuasaan Allah Swt.
dan sebab untuk yang lainnya.
Arsan al-Kailani memberi contoh dimana ً‫صبئ‬ٌٛ‫األ٘ذاف ا‬l lebih dari
satu dalam Q.S. al-Nahl/16:14.

‫َوُى َو الَّ ِذي َس َّخَر الْبَ ْحَر لِتَأْ ُكلُواْ ِمْنوُ ََلْ ًما طَ ِريِّا َوتَ ْستَ ْخ ِر ُجواْ ِمْنوُ ِح ْليَةً تَػ ْلبَ ُسونَػ َها َوتَػَرى‬
‫للِ ِو َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َف‬ ِ
ْ َ‫اخَر فِ ِيو َولتَْبتَػغُواْ ِمن ف‬
ِ ‫الْ ُف ْلك مو‬
ََ َ
Artinya, “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar
kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu

57
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
Demikian juga pendidikan Islam menurut Arsan al-Kailani
tujuannya akan berakhir ( ‫ )األ٘ذاف األغشاض‬pada syukur kepada Allah,
ibadah kepadaNya atau mencintaiNya atau mentaatiNya.9
Dalam filsafat pendidikan Barat dibedakan ‫يخ‬ٛ‫األ٘ذاف اٌزشث‬sebagai
educational aims dan sebagaian menyebut educational goals, sementara
‫ األ٘ذاف اٌزؼٍيّيخ‬disebut teaching objective atau learning objective yang
tujuannya berhenti pada aspek learning atau teaching tertentu. ‫األ٘ذاف‬
‫يخ‬ٛ‫ اٌزشث‬dan ‫ األ٘ذاف اٌزؼٍيّيخ‬saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Dalam menentukan atau membatasi ‫( األ٘ذاف اٌؼبِخ‬aims) terdapat
kesusahan karena faktor perbedaan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan
sangat berhubungan dengan pemahaman komprehensif tentang kehidupan
dan manusia. Hal itu terjadi pada wilayah Amerika tahun 1980. Akhirnya
panitia memfokuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum ada 10,
yaitu:
1. Kecerdasan dasar (‫بسح األصبصيخ‬ٌّٙ‫)ا‬
2. Membatasi konsep diri (‫َ راد اٌفشد‬ٛٙ‫)رحذيذ ِف‬
3. Memahami orang lain (ٓ‫ُ األخشي‬ٙ‫)ف‬
4. Menggunakan seluruh pengetahuan untuk menafsirkan apa yang
terjadi di alam
5. Belajar berkelanjutan (‫)اٌزؼٍُ اٌّضزّش‬
6. Kebahagiaan akal dan jiwa (‫ إٌفضيخ‬ٚ ‫) اٌضؼبدح اٌؼمٍيخ‬
7. Berpartisipasi dalam dunia ekonomi
8. Menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab.
9. Kreasi
10. Dinamis serta berkembang.
Tujuan pendidikan Islam ini diuraikan secara berbeda oleh para ahli.
Tetapi satu sama lain saling melengkapi. Muhammad `Atiah al-Abrasyi
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan yang hakiki adalah pembentukan
akhlak. Menurutnya bahwa ulama telah sepakat bahwa pendidikan akhlak
menjadi inti dari pendidikan Islam. Al-Ghazali menurut al-Abrasyi
9
Ibid., h. 27.

58
menyebutkan tujuan pendidikan Islam untuk mendekatkan diri kepada
Allah ( ‫)اٌزمشة ئٌي هللا‬. Jangan sampai ada orang belajar menurut al-Ghazali
dengan tujuan untuk mencapai kekuasan, untuk mencari harta dan
kehormatan. Berbeda dengan Fathu al-Bab Abdul Halim Sayyid,
menurutnya ghayah dari pendidikan itu adalah ‫( اٌحشيخ‬kemerdekaan).
Merdeka dari segala ikatan berpikir dan berbuat.
Tujuan pendidikan Islam dikemukakan oleh Hasan Langgulung
secara sistematis, hanya saja ia tidak menyebutkan landasannya. Tujuan
paling tinggi (ultimate aims) pendidikan Islam menurutnya untuk
membentuk manusia berkepribadian khalifah. Ini yang disebut oleh Arsan
al-Kailani dengan istilah ‫األ٘ذاف األغشاض‬.
Tujuan yang lebih rendah sebagai turunan langsung dari ultimate
aims disebut aims. Ini bisa disebut tujuan akhir pendidikan Islam. Pada
tahap ini, tujuan pendidikan Islam ada dua, yaitu ‫ ػجبدح‬dan ‫صيبدح‬. Ibadah ini
sejajar atau sebanding dengan konsep takwa dan juga akhlak. Sementara
siyadah sejajar atau sebanding dengan ilmu. Ini masih disebutkan oleh
Arsan al-Kailani dengan ً‫صبئ‬ٌٛ‫األ٘ذاف ا‬.
Tujuan pendidikan Islam yang diturunkan oleh tujuan akhir ini
disebut langgulung dengan goals. Semua yang diakibatkan oleh ibadah dan
siyadah semua termasuk goals. Tahap bisa disebutkan tujuan menengah.
Contohnya, Hasan Langgulung menyebut goals dari pendiddikan Islam
untuk melaksanakan ibadah shalat. Ibadah shalat turunan dari ibadah.
Sedangkan contoh turunan dari siyadah, Hasan Langgulung menyebut
goals pendidikan Islam untuk menguasai matematika.
Tujuan yang diturunkan oleh ibadah bukan saja ibadah shalat, bisa
juga ibadah puasa, ibadah zakat, haji, sedekah, dan sebagainya. Tujuan
yang diturunkan oleh siyadah bukan saja matematika, ada fisika, kimia,
biologi, sosiologi, dan sebagainya. Ibadah sebagai garis representasi dari
pengamalan, sedangkan ilmu garis representasi dari teori. Tahap ini jika
disesuaikan dengan pendapat Arsan al-Kailani dengan ً‫صبئ‬ٌٛ‫األ٘ذاف ا‬.
Bagian terkecil dari goals itu disebut Hasan Langgulung dengan
objective. Bisa disebutkan objective sebagai tujuan terdekat. Tujuan
terdekat ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang
umum itu disebut general objective, sedangkan yang khusus itu specific

59
objective. Jika dikonfirmasi dengan istilah Arsan al-Kailani disebut ‫األ٘ذاف‬
‫ويخ‬ٍٛ‫اٌض‬.
Contoh dari general objective yang diturunkan ibadah shalat, untuk
belajar thaharah. Sementara dari matematika diturunkan untuk belajar
penjumlahan. Semakin dekat suatu tujuan, maka turunannya semakin
banyak. Seperti jika diibaratkan kakek dan nenek menurunkan ayah dan
ibu, uak, paman, dan bibi. Dalam Islam ‫ جذح‬ٚ ‫ جذ‬menurunkan‫ ػّخأة‬,ُ‫ ػ‬,.
‫أة‬menurutkan ‫أخذ‬,‫أخ‬,‫أٔب‬. ‫ أٔب‬menurutnkan ‫ ثٕذ‬ٚ ٓ‫ئث‬. ٓ‫ ئث‬menurunkan ٚ ٓ‫أثٓ اإلث‬
ٓ‫ثٕذ اإلث‬.

C. Hirarki Tujuan Pendidikan Islam


Ultimate aims pendidikan Islam yang disebut Hasan Langgulung
atau ‫ األ٘ذاف األغشاض‬yang disebut Majid Arsan al-Kailani atau ‫ اٌغبيخ‬yang
disebut oleh Fath al-Bab Abdul Halim Sayyid dan disebut oleh Azyumardi
Azra dengan ultimate goals, untuk menciptakan manusia yang
berkepribadian khalifah.
Khalifah adalah yang menggantikan posisi Tuhan dalam mengatur
bumi ini. Dengan demikian, khalifah memiliki sifat-sifat yang dimiliki
oleh Allah dan dengan sendirinya ia mempresentasikan aturan yang
ditentukan oleh Allah dalam al-Qur‟an. Ia berakhlak dengan akhlak al-
Qur‟an. Ia sosok sempurna seperti Rasulullah Saw. Dengan demikian
khalifah itu adalah al-insan al-kamil. Karena ia sosok sempurna dengan
sendirinya ia manusia bertakwa. Karena ia adalah khalifah sosok
sempurna, tentu juga ia sosok yang berilmu kerena memimpin dan
mengatur bumi ini tidak cukup dengan kesalehan semata, tetapi harus
diimbangi dengan kemampuan atau kecerdasan.
Tidak salah jika manusia semua dianggap sebagai khalifah,
setidaknya berusaha menjadi pribadi khalifah, tetapi al-Qur‟an secara
letterlek menyebutkan khalifah hanya bagi Nabi Daud a.s. dalam Q.S.
Ṣad/38: 26.
Nabi Daud a.s. adalah pribadi yang dipuji oleh Rasulullah Saw.
sebagai ahli ibadah yang banyak melakukan shalat lail (tahajjud) dan
puasa. Dalam setahun, Nabi Daud a.s. 6 bulan berpuasa, minus dua hari `id
dan hari Tasyrik. Jika ummat Muhammad Saw. mengikuti jejak Nabi Daud

60
dalam berpuasa, maka lebih dari 6 bulan mereka berpuasa sepanjang
tahun, karena diwajibkannya puasa Ramadhan.
Ibn Kasir menyebut Nabi Daud a.s. menjadi manusia termulia
(akramu an-nās), karena ia disebut sebagai khalifah karena faktor
nubuwah dan khilāfah.10 Al-Biqa‟i menyebutkan beberapa nabi selain Nabi
Daud a.s. sebagai khalifah, yaitu Nabi Sulaiman a.s., Nabi Isa a.s., dan
Nabi Muhammad Saw. Dikatakan sebagai khalifah di seluruh bumi,
mereka memimpin dengan perbuatan.11
Khalifah mengandung arti pemegang amanah Allah. Sebagai
pemegang amanah Allah, ia harus bekerja keras dan termasuk siap
mengahadapi cobaan dan ujian. 12 Inti dari konsep khalifah tersebut adalah
manusia sebagai pemegang amanah Allah. Tentu khalifah adalah konsep
yang ideal yang dipikulkan kepada manusia yang tidak saja
mananggungjawabi dirinya sendiri, tetapi mananggungjawabi orang lain.
Ia bertindak sebagai “kaki tangan” Tuhan. Hal ini sesuai dengan yang
disebutkan oleh Langgulung di atas bahwa siyādah sebagai salah satu
aspek dari khalifah intinya adalah kekuasaan dan kekuasaan itu didapatkan
dengan ilmu. Untuk itu jelas bahwa Nabi Daud a.s. dipercaya Allah
sebagai pemimpin karena ia memiliki keistimewaan ilmu.
Jika ada orang yang berpendapat bahwa tujuan ini “terlalu melangit”
yang tidak terjangkau, itulah sebabnya bahwa pendidikan never ending
process. Itulah sebabnya pendidikan itu berakhir hingga datangnya
kematian. Upaya menuju kesempurnaan itu adalah sebuah tekat yang tidak
boleh berhenti di jalan. Itu lah sebabnya ada yang menyebutkan bahwa
dunia ini adalah lapangan perjuangan bukan tempat bersantai-santai.

ِ ‫َّخ ُذو َف ِمن سه‬


‫وَلَا‬ ِ ‫ض تَػت‬ ِ ‫َواذْ ُك ُرواْ إِ ْذ َج َعلَ ُك ْم ُخلَ َفاء ِمن بَػ ْع ِد َع ٍاد َوبَػ َّوأَ ُك ْم ِِف األ َْر‬
ُُ
‫ين‬ ِ ِ ِ ‫اؿ بػيوتًا فَاذْ ُكرواْ آالء اللّ ِو والَ تَػعثػوا ِِف األَر‬ ِْ ‫قُصورا وتَػْن ِحتو َف‬
َ ‫ض ُم ْفسد‬ ْ ْ َْ َ ُ ُُ َ َ‫اْلب‬ ُ َ ًُ
10
Ibn Kaṡir, Tafsīr ibn Kaṡīr (Cairo: Maktabah Aulad al-Syeikh li al-Turas, 2000),
Jilid XII, h. 85-86.
11
Burhanuddin Abi al-Husin Ibrahim Umar al-Biqa‟i, Naẓmu ad-Durar fi Tanāsub
al-Ayāt wa as-Suwar (Cairo: Dar al-Kitab al-Islami, t.t.), Jilid XVI, h. 366-367.
12
Ibid, h. 55.

61
Artinya, “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Ad dan memberikan
tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya
yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah;
maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di
muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S. al-A„rāf/7: 74).

ِ ُ ‫ض فَمن َك َفر فَػعلَي ِو ُك ْفره وَال ي ِز‬ ِ ِ


َ ‫يد الْ َكاف ِر‬
‫ين ُك ْف ُرُى ْم‬ َ َ ُُ ْ َ َ َ ِ ‫ف ِِف ْاأل َْر‬ َ ‫ُى َو الَّذي َج َعلَ ُك ْم َخ َالئ‬
‫ين ُك ْف ُرُى ْم إَِّال َخ َس ًارا‬ ِ ُ ‫ِع َند رِّّْبِم إَِّال م ْقتا وَال ي ِز‬
َ ‫يد اْل َكاف ِر‬ َ َ ًَ ْ َ
Artinya, “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah
akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.” (Q.S. Fāṭir/35: 39).
Ayat di atas menyebut khulafā‟ sebagai jama‟ dari khalifah. Jika ada
kata khulafā‟, maka maksudnya adalah negatif. Dalam hal ini, orang-orang
musyrik yang berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan penyakit mereka
dan mengeluarkan mereka dari kesusahan, dan juga yang menjadikan
mereka penguasa bumi adalah selain Allah, padahal itu adalah batil. 13

‫ف تَػ ْع َملُو َف‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ُْثَّ جع ْلنا ُكم خالَئِف ِِف األَر‬


َ ‫ض من بَػ ْعدىم لنَنظَُر َكْي‬ ْ َ َ ْ َ ََ
Artinya, “Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di
muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana
kamu berbuat.” (Q.S. Yūnus/10: 14).
Kembali kata khalāif disebutkan sebagai jama‟ dari khalifah. Ketika
kata itu disebut, maka yang dimaksud adalah positif. Rasyid Rida

13
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsīr al-Marāgī (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halbi wa
Auladuhu, 1946), Jilid XX, h. 9.

62
menyebutkan bahwa mukhātab dari ayat ini adalah umat Muhammad yang
tinggal di Mekah. 14

ٍ ‫ض درج‬
‫ات لّْيَْبػلُ َوُك ْم ِِف‬ ِ ِ
َ َ َ ٍ ‫ل ُك ْم فَػ ْو َؽ بَػ ْع‬ َ ‫َوُى َو الَّذي َج َعلَ ُك ْم َخالَئ‬
ِ ‫ف األ َْر‬
َ ‫ض َوَرفَ َع بَػ ْع‬
ِ ‫اب وإِنَّو لَغَ ُف‬ ِ ِ ‫ك س ِر‬ ِ
‫يم‬
ٌ ‫ور َّرح‬ ٌ ُ َ ‫يع الْع َق‬ ُ َ َ َّ‫َمآ آتَا ُك ْم إ َّف َرب‬
Artinya, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-
An„ām/6: 165)
Kembali kata khalāif disebutkan sebagai jama‟ dari khalifah. Ketika
kata itu disebut, maka yang dimaksud adalah positif. Rasyid Rida
menyebut bahwa mukhatab ayat ini manusia secara umum. Khalifah di sini
siapa saja yang menggantikan seseorang, baik tempat, pekerjaan, maupun
kedudukannya.15
Tujuan akhir (aims) pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung
ada dua, yaitu ‫ صيبدح‬ٚ ‫ػجبدح‬. Ibadah sangat umum dikenal baik dalam bahasa
Indonesia dan apalagi dalam bahasa Arab. Di dalam al-Qur‟an dengan
lafazh masdar disebutkan satu kali dalam Q.S. al-Kahfi/18:110.

‫اح ٌد فَ َمن َكا َف يَػ ْر ُجو لَِقاء َربِّْو‬


ِ ‫َل أَََّنَا إِ ََل ُكم إِلَو و‬
ٌَ ْ ُ ََّ ِ‫وحى إ‬ ِ
َ ُ‫قُ ْل إََّنَا أَنَا بَ َشٌر ّْمثْػلُ ُك ْم ي‬
ِ ِ ِِ ِ ‫فَػ ْليػعمل عم ًال‬
َ ‫صاَلًا َوَال يُ ْش ِرْؾ بعبَ َادة َربّْو أ‬
‫َح ًدا‬ َ ََ ْ ََْ
Artinya, Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan

14
Muhammad Rasid Rida, Tafsīr al-Manār, cet. 3(Cairo: Dar al-Manar, 1367 H),
Jilid XI, h. 315.
15
Muhammad Rasid Rida, Tafsīr al-Manār, cet. 3(Cairo: Dar al-Manar, 1367 H),
Jilid VIII, h. 249.

63
dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya".
Kata ibadah jika diterjemahkan dengan ibadah hal itu tidak menuai
protes ilmiah, tetapi dalam bentuk fi`il seperti kata “ ْٚ‫ ”ٌيؼجذ‬dalam Q.S. al-
Dzariyat/51:56 yang banyak diterjemahkan orang “untuk menyembah”
mendapat protes dari Harun Nasution. Menurutnya yang disembah itu
konotasinya karena ditakuti. Sementara Allah bukan yang ditakuti, tetapi
yang disukai. Kedua-duanya dituruti, tetapi motifnya berbeda. Mungkin
sama halnya menerjemahkan ‫ هلل‬karena Allah dengan untuk Allah yang
disebutkan oleh Jalaluddin Rakhmat. Terjemahan kedua lebih tulus
dibandingkan yang pertama.
Al-Raghib al-Asfahani menyebutkan ‫ديخ‬ٛ‫ ػج‬menampakkan
ketundukan dan ‫ ػجبدح‬adalah puncak ketundukan. Menunjukkan dirinya
tidak berharga di hadapan ‫د‬ٛ‫ِؼج‬. Walaupun tidak dalam makna yang tepat,
bisa dilihat adat sebagian kerajaan bahwa ketika menghadap seorang raja,
dari jarak tertentu tidak boleh lagi berdiri, tapi merendah dalam makna
fisik, sehingga dia berjalan dengan “lututnya” (ngesot, mosor-rosor).
Ibadah kepada Allah adalah tunduk setunduk-tunduknya tanpa syarat.
Tidak ada celah berdebat atas perintah Allah. Sikap ‫ اطؼٕب‬ٚ ‫“ صّؼٕب‬kami
dengar dan kami taat” adalah dikedepankan untuk perintah Allah dan
laranganNya.
Doktrin “ibadah” terbudayakan dengan baik dalam dunia militer.
Budaya patuh pada atasan tanpa syarat terlihat sekali pada dunia militer.
Terhadap perintah Allah dan laranganNya sudah tepat harus dituruti dan
dihindari dengan segera karena tidak ada perintah dan laranganNya yang
tidak baik. Jika diperintahkan, itu untuk kebaikan yang disuruh, jika
dilarang, menghindarinya juga untuk kebaikan, karena Dia Maha Benar
dan Maha Baik. Sementara manusia tidak ada jaminan perintah dan
larangannya baik.
Apakah kemungkinan akibat yang dilahirkan oleh ibadah?
Ketundukan, ketaatan, keikhlasan, syukur, sabar, kesegaran merespon
perintah dan larangan, tawadu`, `iffah, malu tidak berbuat baik, dan takut
melakukan kesalahan. Bisa juga keberanian dilahirkan dari akibat ibadah.

64
Contohnya, Allah memerintahkan jihad fisabillah, karena ketundukannya,
ia menjadi berani menghadapi musuh. Namun ada kalanya keberanian
dilahirkan dari siyadah, yaitu sikap logis dan ilmiah seperti yang dikatakan
oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada prajuritnya, “air laut di depanmu, musuh
di belakangmu, mau lari ke mana?”. Pikiran logis prajurit, maju
tenggelam, menghadapi musuh mungkin menang, bisa juga kalah, agar
tidak kalah, maka sikap militansi harus dilahirkan, sehingga mereka
dengan gagah berani melawan musuh. Ketika seseorang akan menghadapi
ujian dengan persaingan yang ketat, sikap tidak belajar, dia tidak akan
lulus, kalau belajar dengan sungguh-sungguh, mungkin lulus, bisa juga
gagal, sehingga lahir semangat, ini akibat dari siyadah bukan ibadah.
Semua proses yang lahirnya dari puncak ketundukan adalah turunan
dari ibadah, sementara yang lahir dari segala macam ilmu yang diwakili
aktivasi akal dan perangkat daya tanggap batiniyah seperti qalb, fuad, ruh,
dan sir termasuk turunan dari siyadah.
Sesuatu yang dipengaruhi langsung atau tidak oleh ibadah dan
siyadah, tetapi belum bersifat teknis, maka itu termasuk goals atau tujuan
menengah. Goals itu bisa disebut sebagai ‫ي‬ٛ‫ اٌّفؼ‬ٚ‫ي اٌثبٔي أ‬ٛ‫ اٌّفؼ‬ٚ‫ي أ‬ٚ‫ي األ‬ٛ‫اٌّفؼ‬
‫اٌثبٌث‬dan seterusnya, tetapi belum bersifat teknis.
Sesuatu yang bersifat teknis, itu sudah termasuk objektif atau ‫األ٘ذاف‬
‫ويخ‬ٍٛ‫ اٌض‬yang disebutkan Arsan al-Kailani. Contoh dari ibadah melahirkan
ikhlas, ikhlas melahirkan sikap menderma. Menderma itu termasuk
objective. Menderma bisa saja masih general objective, sementara yang
diturunkan darinya sebagai specific objective menderma kepada anak
yatim.

D. Teori Pendidikan dan Filsafat Pendidikan


Jhon Dewey tidak membedakan antara teori pendidikan ( ‫إٌظشيخ‬
‫يخ‬ٛ‫ )اٌزشث‬dan filsafat pendidikan ‫فٍضفخ اٌزشثيخ‬. Basyir al-Haj al-Taumi, guru
besar dari Universitas Ummul Quro Mekah mengatakan bahwa di
kemudian hari di dunia Barat, filsafat pendidikan dijadikan sumber dari
prinsip-prinsip pendidikan. Dalam Mu`jam al-Wasith karya Ibrahim
Mushthafa dkk menyebutkan bahwa teori adalah aturan-aturan yang
ditetapkan berdasarkan argumentasi logis (al-burhan). Teori (nazhari)

65
lawannya praktek (tathbiqi). Teori pada dasarnya berupa pandangan akal.
Lebih lanjut Basyir al-Hajj al-Taumi menyebutkan bahwa teori adalah
berbagai hal yang bisa dijelaskan hubungannya dengan logika untuk
menentukan yang benar. Ini yang disebut dengan teori tafsir (al-nazhariyah
al-tafsiriyah). Teori juga kumpulan dari prinsip-dalil-dalil, dan konsep
yang saling berhubungan dalam berbagai perbuatan. Ini yang disebut
dengan teori praktis (al-nazhariyah al-`amaliyah).
Di dunia Barat menurut Basyir al-Hajj al-Taumi dalam teori tafsir
hanya menggunakan metode tajribi (eksperimen), mereka tidak menjadi
wahyu dan akal sebagai sumber kebenarannya. Ini lah yang disebut oleh
Mulyadhi Kartanegara bahwa dunia Barat hanya mengakui kebenaran ilmu
dan mengingkari kebenaran filsafat dan agama. Dengan kata lain,
kebenaran itu hanya bersifat empirik dan tidak ada kebenaran filosofis dan
mistik. Padahal temuan empirik juga tidak luput dari kelemahan.
Perhatikanlah secara sederhana, bintang yang kelihatan dengan kasat mata
kecil ternyata ia jauh lebih besar dari bulan.
Benda secara empirik berbeda dinilai karena faktor jarak. Sebuah
bola kaki di lapangan, jika dilihat dari jarak 300 M, sangat kecil.
Sebaliknya jika dilihat dari jarak 2 cm justru tidak terlihat sebagai bola.
Jika menggunakan alat bantu teropong, masih juga tergantung dari kualitas
teropongnya. Bagaimana bisa konsisten menyebut segelas sirup warna
orange dalam satu gelas, ketika dipindahkan dalam sebuah air dalam
ember, warna orangenya tidak kelihatan lagi. Belum lagi bahwa tidak
semua bisa diindera, disentuh, dan bisa diuji. Bagaimana menilai
keyakinan yang tidak empirik. Bagaimana menilai sesuatu yang ghaib dan
tidak empirik. Secara ilmiah tidak bisa memahami ada tidaknya azab
kubur. Dengan pendekatan filsafat saja tidak bisa memahami kenapa
sedekah yang ikhlas yang nyatanya mengurangi kepemilikan justru dapat
menambah kepemilikan.
Orang-orang Barat memperlakukan teori pendidikan seperti teori
ilmu alam yang bisa didekati dengan metode eksperimen, sedangkan

66
pengetahuan yang ghaib dan akhlak itu tidak ilmiah. 16 Untuk itulah, ilmu
pendidikan di abad ke 20 mirip dengan Ilmu Geometri dan Ilmu
Kedokteran abad ke 17.
Teori pendidikan tafsir memberikan sifat-sifat dan tafsiran-tafsiran.
Teori ini akan melahirkan ilmu jiwa dan sosiologi. Teori pendidikan tafsir
melahirkan sesuatu yang baru setelah melakukan percobaan-percobaan,
sementara teori pendidikan praktis tidak melahirkan sesuatu yang baru
yang sebelumnya belum ada.
Teori pendidikan Islam bukanlah teori pendidikan tafsir yang
didapatkan lewat metode eksperimen dan survey dan bukan juga teori
pendidikan praktis yang berasal dari berbagai prinsip dan kaidah-kaidah
yang saling berhubungan. Teori pendidikan Islam kumpulan semua yang
bersumber dari prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan konsep bersandarkan
pada al-Qur‟an dan Sunnah.17 Perbedaannya teori pendidikan dan teori
pendidikan Islam kata Basyir al-Hajj al-Taumi seperti berbedanya syariah
dengan fiqh. Syariah dari Allah, sementara fiqh ijtihad manusia. 18 Boleh
saja menegakkan bangunan pendidikan yang sesuai dengan zaman, tetapi
jangan sampai bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
al-Qur‟an dan Sunnah. Bukan berarti teori pendidikan Islam tidak boleh
merujuk sumber lain selain al-Qur‟an dan Sunnah, tapi sebagai sumber
sekunder dan tidak ditempatkan sama dengan dua sumber utama (primer).
Abdul Rahman Saleh telah menjelaskan bahwa sumber lain yang sekunder
itu pendapat para ilmuan Muslim seperti Ibn Khaldun, al-Ghazali, Ibn
Taimiyah, dsb.
Posisi filsafat pendidikan dalam teori pendidikan tafsir hanya
sebagai alat analisis bahasa untuk memperjelas dan menghilangkan
kekakuan saja. Ada yang menyamakan teori pendidikan dengan filsafat
pendidikan seperti Plato dan Jhon Dewey. Ada juga yang membedakan
keduanya, karena filsafat bagi mereka satu bagian dari bagian teori

16
Basyir al-Hajj al-Taumi, “Makanatu Falsafatu al-Tarbiyah fi Nazhariati al-
Tarbawiyah al-Islamiyah” dalam Fathi Hasan Milkawi (Ed.). Buhuts al-Mu`tamar al-
Tarbawi di Aman 24-27 Juli 1990, (Amman: t.p., Fath Hasan Milkawi, t.p., 1991), h. 322.
17
Ibid., h. 329.
18
Ibid.,h. 330.

67
pendidikan. Bagi yang berpendapat sama teori pendidikan dengan filsafat
pendidikan mengatakan bahwa pendidikan bersandar di atas filsafat.
Para ahli pendidikan menurut Basyir al-Hajj masih berbeda
pendapat apakah pendidikan ilmu yang berdiri sendiri (ilmu murni: pure
science) seperti fisika atau ilmu yang dibentuk dari berbagai ilmu lainnya
(ilmu terapan: applied science) termasuk dibangun dari filsafat. Jhon
Wilton berpendapat bahwa pendidikan adalah ilmu yang berdiri sendiri,
sementara Bitrus menyebut bahwa pendidikan adalah ilmu yang dibangun
dari berbagai disiplin ilmu termasuk filsafat pendidikan, psikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, dan sejarah pendidikan. Zaman dulu,
Plato, Rosseu, Jhon Dewey disebut sebagai filosof pendidikan. Sebetulnya
mereka bukanlah filosof pendidikan kata Basyir, mereka berteori tentang
pendidikan, hukum, politik, dan akhlak, dan metafisika agama. Filosof
modern, khususnya yang berbahasa Inggris tidak memperhatikan pendapat
dari mereka itu. Mereka itu hanya memperhatikan analisis dan konsep-
konsep yang digunakan dalam pendidikan seperti pendidikan (tarbiyah),
pengajaran (tadris), perkembangan (numu‟, bermain (la`b), dan semacam
itu. Mereka juga memperhatikan persoalan test dan ujian. Mereka itu
mengedepankan berteori dengan aktivitas pendidikan. 19
Teori pendidikan tafsir tidak mempercayai hal yang ghaib dan
menjauhkan agama, sementara teori pendidikan praktis masih
memperhatikan agama dalam membangun teorinya.
Al-Syaibani berpendapat apa yang dirujuk dari al-Qur‟an dan
Sunnah bisa disebut filsafat atau filsafat pendidikan. Berbeda dengan
Basyir al-Hajj al-Taumi bahwa apa yang dirujuk dari al-Quran dan Sunnah
tidak bisa disebut sebagai filsafat karena al-Qur‟an itu adalah wahyu.
Filsafat pendidikan itu menurut Majid al-Kailani sebagaimana
dikatakan Basyir al-Hajj al-Taumi yang melahirkan tujuan pendidikan dan
kurikulumnya. Ia bagaikan akar yang tertanam dalam pohon, ia menjadi
kekuatan tegaknya batang, cabang, dahan, dan daun. Gambarannya,
konsepnya, prinsip-prinsipnya dirujuk dari al-Qur‟an dan Sunnah.

19
Ibid., h. 338.

68
Jika diperhatikan apa yang disebutkan Basyir al-Hajj tentang
memperlakukan ayat al-Qur‟an dan Sunnah, Majid al-Kailani tidak
menyebutkan ayat al-Qur‟an dan Sunnah sebagai filsafat pendidikan,
hanya saja prinsip-prinsip dan konsepnya dibangun atau dirumuskan dari
al-Qur‟an dan Sunnah. Sementara al-Syaibani menyebutkan ayat al-Qur‟an
dan Sunnah yang dirujuk itulah filsafat pendidikan itu.
Basyir al-Hajj al-Taumi berpendapat bahwa ‫ي اإلصالِيخ ٌٍزشثيخ‬ٛ‫أص‬
adalah disiplin ilmu tersendiri, dimana ilmu ini merumuskan prinsip-
prinsip dan konsep pendidikan Islam yang dirujuk dari al-Qur‟an dan
Sunnah. Ahli di bidang ini harus seorang ahli dalam bidang bahasa Arab,
menguasai al-Qur‟an dan Sunnah, serta menguasai literatur pendidikan
secara umum. Jika tidak menguasai tiga kekhususan itu, maka seseorang
akan lemah dalam merumuskan prinsip-prinsip pendidikan.
Seorang filosof pendidikan setidaknya memiliki dua kriteria.
Pertama, menguasai dengan baik prinsip-prinsip pendidikan yang dirujuk
dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta mengamalkannya. Kedua, memiliki
hikmah yang diberikan oleh Allah, yaitu:
1. Memahami secara mendalam manusia dan alam, hubungan
keduanya dengan Allah Swt. Hal ini agar tidak terjadi pada para
kebanyakan filosof pendidikan yang berangkat dari pemikiran
filosof dan ideologi lainnya;
2. Menetapkan tujuan pendidikan secara umum dari al-Qur‟an dan
Sunnah. Kemudian menjelaskan dan menjaga ketetapannya;
3. Membangun teori pendidikan yang dasarnya dari al-Qur‟an dan
Sunnah;
4. Membangun teori akhlak berdasarkan prinsip-prinsip akhlak yang
ditetapkan oleh al-Qur‟an dan Sunnah dengan berorientasi pada
pendidikan;
5. Tampil sebagai pendidik di setiap jenjang pendidikan, dan
6. Mendiskusikan masalah-masalah pendidikan dari sisi filsafat
pendidikan dengan nuansa Islam.
Basyir al-Hajj menyimpulkan bahwa filsafat bukanlah ideologi yang
mengatur kehidupan bagi Islam termasuk bagi pendidikan Islam. Filsafat

69
pendidikan hanyalah salah satu unsur yang membentuk teori-teori
pendidikan. Untuk itulah Basyir al-Hajj menyebut al-Ushulul al-Islamiyah
li al-Tarbiyah bukan filsafat pendidikan Islam yang disebut oleh banyak
ahli pendidikan Muslim.

70
ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Mengingat pembahasan filsafat ontologi sangat penting dalam


pembahasan Filsafat Pendidikan Islam, maka bab ini dirasakan perlu untuk
dimuat. Isi bab ini secara umum adalah hasil rangkuman dari buku saya
yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam: Mengupas Hakikat Pendidikan
Islam yang terbit Maret 2015.

A. Hakikat Manusia
Menurut Hasan Langgulung filsafat pendidikan secara ontologis
membicarakan hakikat manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, filsafat
pendidikan akan menjawab manusia dan masyarakat seperti apakah yang
ingin dicapai oleh pendidikan itu.1
Dari landasan pemikiran di atas, tulisan ini akan mencoba meng-
uraikan serinci mungkin hakikat manusia itu dan berikutnya juga akan
dibahas hakikat masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam.
Ilmu yang membahas hakikat manusia sebagaimana ditulis oleh
Jalaluddin dan Abdullah Idi disebut antropologi filsafat.2 Sementara ditulis
oleh Umar dan Sulo dengan filsafat antropologi. 3 Malah Poedjawijatna
hanya menyebutnya dengan antropologia.4
Membicarakan hakikat manusia bukanlah hal yang mudah. Kesan
seperti inilah yang ditulis oleh Alexis Carrel, ahli bedah dan fisika,
kelahiran Prancis yang mendapat hadiah nobel5 dalam Man the Unknown
yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur‟an.6 Kesan yang

1
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains
Sosial, (Jakarta: GMP, 2002), h. 99.
2
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: GMP, 1997), h. 107.
3
Umar Tirtarahardja dan S.S. La Sulo, Pengantar Pendidikan, Edisi Revisi
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 2.
4
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Cet. X,(Jakarta: Rineka Cipta,
1997), h. 164.
5
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Cet. XVII,(Bandung: Mizan, 1998), h.
68.
6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Cet. V, (Bandung: Mizan, 1997), h.
277.

71
sama juga dikemukakan oleh Fuad Zakaria. Menurutnya, terdapat
kesusahan dalam menentukan hakikat manusia karena seringkali keluar
dari tabiatnya atau tabiatnya merupakan hasil bentukan. 7 Menurut
Poedjawijatna penyebabnya adalah bervariasinya sistem dalam aliran-
aliran antropologi. 8
Ada empat aliran yang membicarakan hakikat manusia dalam
antropologi filsafat, yaitu: aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, dan aliran eksistensialisme. 9
Menurut aliran yang serba zat, mereka berpendapat bahwa manusia
berasal dari unsur alam saja yang bersifat materi. Materi yang mereka
maksud, manusia berasal dari campuran sperma laki-laki dan sel telur wa-
nita untuk tidak mengatakan perempuan. Janin itu berkembang, sehingga
menjadi manusia. Adapun ruh, jiwa, akal, perasaan, dan sebagainya bagi
mereka merupakan sel-sel tubuh. Mereka itulah kaum materialistik. 10
Bagi aliran serba ruh, hakikat manusia ini memang hanya ruh,
sedangkan jasad bagi mereka merupakan manifestasi dari ruh. 11 Pandangan
ini ada kemiripan dengan pendapat kaum Batiniyun. Mereka juga
berpendapat bahwa hakikat manusia adalah ruh.12 Hanya saja jasad bagi
kaum Batiniyun adalah sebagai kendaraan penyempurnaan ruh yang sudah
kotor karena bercampurnya dengan jasad yang bersifat tidak suci. Apabila
roh kembali suci dalam pengalaman baiknya dengan jasad, maka ia ingin
berpisah. Untuk itulah sebagai penganut aliran tasawuf ini, jika kematian
datang, maka mereka bergembira.13 Manusia pada umumnya menangis
termasuk Nabi Muhammad Saw, jika keluarganya meninggal dunia, tetapi
bagi kaum Batiniyun mereka bergembira. Barangkali ucapan pertama

7
Fuad Zakariah, Alam al-Ma‟rifah: al-Wujudiyah,e-book, h. 227.
8
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, h. 165.
9
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, h. 107
10
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
h. 72.
11
Ibid.
12
Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 3.
13
Al-Fudhail ibn „Iyadh menurut pengakuan muridnya al-Razi heran melihat sikap
gurunya yang ia temani selam 30 tahun tidak pernah kelihatan tertawa dan tersenyum,
kecuali pada saat putranya meninggal dunia. Baca Alwi Shihab, Islam Sufistik, Cet. II,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 103.

72
ketika mendengarkan berita duka, mereka mengatakan alhamdulillah
bukan innalilahiwainnailahirajiun.
Aliran dualisme berpendapat bahwa hakikat manusia terdiri dari
jasad dan rohani. Salah satu tidak tergantung dari yang lainnya, karena
sumbernya yang bebeda. Keduanya memiliki hubungan kausal yang saling
mempengaruhi. Contohnya, orang yang cacat jasmaninya akan berpenga-
ruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang cacat jiwanya,
akan berpengaruh pada fisiknya.14
Sementara ada aliran yang tidak terakomodir pemahamannya
tentang hakikat manusia, baik aliran zat, ruh, maupun aliran dualisme.
Aliran ini justru menitikberatkan eksistensi manusia sebagai hakikatnya.
Aliran inipun disebut dengan eksistensialisme. 15
Kaum eksistensialis mengemukakan pandangannya tentang hakikat
manusia. Menurut mereka, hakikat manusia ada delapan, yaitu:
1. Kemampuan menyadari diri
2. Kemampuan bereksistensi
3. Pemilikan kata hati
4. Moral
5. Kemampuan bertanggung jawab
6. Rasa kebebasan
7. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
8. Kemampuan menghayati kebahagiaan.16
Selanjutnya dalam memahami jasmani berkembang kemudian
menjadi empat aliran. Pertama, aliran idealisme yang berpandangan bahwa
jasmani merupakan manifestasi dari roh. Kedua, aliran materialistis yang
berpandangan bahwa badan ya badan, tidak memiliki hubungan dengan
ruh. Dalam pandangan mereka, manusia itu adalah jasmani. Ketiga, aliran
yang berpandangan bahwa badan merupakan musuh bagi roh. Terakhir,
aliran yang berpandangan bahwa manusia sebagai jasmani yang

14
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, h. 73.
15
Ibid, h. 73-74
16
Tirtarahardja dan S.S. La Sulo, Pengantar…, h. 3-4

73
dirohanikan atau rohani yang dijasmanikan. Aliran keempat ini
berpendapat hewan jasmaninya tidak dirohanikan seperti manusia. 17
Dari uraian di atas, secara umum telah diuraikan berbagai aliran
dalam memandang hakikat manusia dan juga aliran yang memandang
jasmani. Nampaknya aliran itu ada yang mirip dengan pandangan Islam
seperti aliran ruh dan aliran dualisme walaupun dengan konsep yang
berbeda. Selanjutnya akan diuraikan pandangan Islam tentang hakikat
manusia itu.
Dalam membahas hakikat manusia, para ahli banyak mengutip ayat
yang menjelaskan proses penciptaan manusia, di antaranya:

‫اإلنْ َسا َف ِم ْن ُس َاللَ ٍة ِم ْن ِطينٍثُ َّم َج َع ْلنَاهُ نُطْ َفةً ِِف قَػَرا ٍر َم ِكينٍثُ َّم َخلَ ْقنَا‬ ِْ ‫َولَ َق ْد َخلَ ْقنَا‬
َّ‫لغَةَ ِعظَ ًاما فَ َك َس ْونَا الْعِظَ َاـ ََلْ ًما ُْث‬ ْ ‫لغَةً فَ َخلَ ْقنَا الْ ُم‬
ْ ‫النُّطْ َفةَ َعلَ َقةً فَ َخلَ ْقنَا الْ َعلَ َقةَ ُم‬
‫ني‬ ِِ ْ ‫أَنْشأْنَاه خ ْل ًقا آخر فَػتبارَؾ اللَّو أَحسن‬
َ ‫اْلَالق‬ ُ َ ْ ُ َ ََ َ َ َ ُ َ
Artinya, Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik. (Q.S. al-Mu‟minun/23: 12-14)
Proses jasadiyah manusia mulai dari saripati tanah sampai sempurna
secara jasmani jelas termaktub pada ayat di atas. Namun jasad itu
ditiupkan roh ke dalamnya, sehingga ia menjadi manusia.
Dalam menjelaskan proses penciptaan manusia sebagaimana
diungkapkan ayat di atas, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari juga
menjelaskan.18

17
Ibid, h. 74-75
18
Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, h. 111, hadits. Nomor.
3208

74
:‫اؿ‬ َ َ‫ ق‬،‫وؽ‬ ُ ‫ص ُد‬ ِ َّ ‫وؿ اللَّ ِو صلَّى اهلل علَي ِو وسلَّم وىو‬ ُ ‫ َح َّدثَػنَا َر ُس‬:‫اؿ َعْب ُد اللَّ ِو‬
ْ َ‫الصاد ُؽ امل‬ ََُ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َّ‫ ُْث‬،‫ك‬ َ ‫ ُْثَّ يَ ُكو ُف َعلَ َقةً مثْ َل َذل‬،‫ني يػَ ْوًما‬ َ ‫َح َد ُك ْم ُُْي َم ُع َخ ْل ُقوُ ِِف بَطْ ِن أ ُّْمو أ َْربَع‬ َ ‫" إ َّف أ‬
‫ب‬ ٍ ‫ث اللَّو ملَ ًكا فَػيػ ْؤمر بِأَرب ِع َكلِم‬ ِ ِ ْ ‫ي ُكو ُف م‬
ْ ُ‫ ا ْكت‬:ُ‫اؿ لَو‬ ُ ‫ َويػُ َق‬،‫ات‬ َ َ ْ ُ َ ُ َ ُ ُ ‫ ُْثَّ يَػْبػ َع‬،‫ك‬ َ ‫لغَةً مثْ َل َذل‬ ُ َ
ِ َّ ‫ فَإِ َّف‬،‫الروح‬ ِِ ِ ِ
ُ‫الر ُج َل مْن ُك ْم لَيَػ ْع َمل‬ ُ ُّ ‫ ُْثَّ يػُْنػ َف ُخ فيو‬،‫ َو َشق ّّي أ َْو َسعي ٌد‬،ُ‫َجلَو‬ َ ‫ َوأ‬،ُ‫ َوِرْزقَو‬،ُ‫َع َملَو‬
‫ فَػيَػ ْع َم ُل بِ َع َم ِل أ َْى ِل‬،ُ‫ فَػيَ ْسبِ ُق َعلَْي ِو كِتَابُو‬،ٌ‫ني اْلَن َِّة إَِّال ِذ َراع‬ َ ْ ‫َح ََّّت َما يَ ُكو ُف بَػْيػنَوُ َوبَػ‬
ِ ِ ِ
ُ َ‫ فَػيَ ْسبِ ُق َعلَْيو الكت‬،ٌ‫ني النَّا ِر إَِّال ذ َراع‬
‫ فَػيَػ ْع َم ُل‬،‫اب‬ َ ْ ‫ َويَػ ْع َم ُل َح ََّّت َما يَ ُكو ُف بَػْيػنَوُ َوبَػ‬،‫النَّا ِر‬
"ِ‫بِ َع َم ِل أ َْى ِل اْلَنَّة‬
Artinya, Abdulah berkata, “Rasulullah Saw. menyampaikan hadits kepada
kami dan dia adalah yang jujur dan dipercaya. Ia bersabda, “sesungguhnya
kalian diciptakan di rahim ibunya 40 hari sebagai air mani. 40 hari
kemudian dijadikan segumpal darah. 40 hari kemudian menjadi tulang-
belulang. Kemudian Allah mengutus Malaikat. Ia disuruh tentang empat
kalimat: tulis amal, rezeki, ajal, menderita atau berbahagia. Kemudian
ditiupkan ruh ke dalamnya. Maka sesungguhnya lelaki dari kalian
hendaknya beramal sampai antara dia dan surga satu hasta, maka
hendaklah Malaikat bersegera menuliskannya. Dan lelaki yang berbuat
perbuatan ahli neraka, selama ia berbuat demikian, maka jaraknya dengan
neraka satu hasta, dan Malaikat segera mencatatnya. Maka hendaklah ia
melakukan pekerjaan ahli surga.
Dari ayat dan hadits di atas sudah meyakinkan kita sebagai sumber
otoritatif proses penciptaan manusia berawal dari unsur-unsur jasmaniah.
Ketika unsur itu sempurna, maka ruh ditiupkan ke dalam jasad, maka ia
berubah sebutannya dengan manusia. Ruh yang ditiup itu menjadi unsur
istimewa dan pembeda antara manusia dengan hewan. Untuk itu menurut
Zuhairini dan kawan-kawan, yang menjadi hakikat manusia itu adalah ruh
bukan jasad maupun dua-duanya.19 Jasad bagi ruh adalah sebagai alat
untuk menjalankan kehidupan materilnya. Malaikat makhluk ruhaniyah
19
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, h. 77.

75
tidak membutuhkan jasad. Sedangkan hewan makhluk jasadiyah yang
tidak memiliki ruh. Dengan demikian lanjut Zuhairini dan kawan-kawan,
“manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan”. 20 Tanpa ruh, manusia tidak
memiliki hakikat. Hal itu sebanding dengan kedudukan jantung dalam
jasad yang dikemukakan oleh sebuah hadits. Tanpa keberadaan jantung,
jasad tidak memiliki hakikat.

ْ ‫ َوإِذَا فَ َس َد‬،ُ‫صلَ َح اْلَ َس ُد ُكلُّو‬


‫ت فَ َس َد اْلَ َس ُد‬ َ ‫ت‬
ْ ‫صلَ َح‬ ْ ‫أَالَ َوإِ َّف ِِف اْلَ َس ِد ُم‬
َ ‫ إِذَا‬:ً‫لغَة‬
"‫ب‬ ِ ُّ
ُ ‫ أَالَ َوى َي ال َق ْل‬،ُ‫ُكلو‬
Artinya, “Sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia
baik, maka baiklah semua jasad itu, dan jika hancur, maka hancur juga
jasad itu, ia adalah jantung.”21
Karena manusia memiliki ruh dan jasad, maka ia lebih mulia dari
Malaikat yang sekedar memiliki ruh. Dengan keistimewaannya itulah, ma-
nusia diangkat menjadi khalifah. Dalam memahami khalifah ini terdapat
dua golongan pemahaman. Pertama mereka memahami secara passif yang
mengibaratkan manusia dalam menjalankan tugas Allah sebagai “robot”.
Kelompok lainnya memahami bahwa sebagai khalifah, manusia penerima
kuasa. Dengan kuasa Tuhan, ia bebas berbuat, tetapi ia harus memper-
tanggungjawabkannya kepada Yang Memberi Kuasa, yaitu Allah. 22
Dari uraian Zuhairini dan kawan-kawan, hakikat manusia bisa
disebut ruh dan bisa juga disebut khalifah. Berikutnya akan diuraikan
pendapat ahli yang lain tentang hakikat manusia.
Terhadap keseimbangan jiwa dan raga manusia, Muhammad Abduh
punya penjelasan yang detail. Kesesuaian atau keseimbangan antara jasad
hidup dengan roh hidup manusia (al-nafs al-nabatiyah, al-nafs al-
hayawaniayh, dan al-nafs al-insaniayah). Keseimbangan yang dimaksud
disebut oleh Jamaluddin al-Afghani dengan istilah (al-muzâh al-

20
Ibid.
21
Bukhari, Maktabah Syamilah: Shahih Bukhari, Juz I, h. 20, nomor 52.
22
Ibid, h. 78-79

76
mu‟tadhi).23 Jika salah salah satu unsur jiwa itu menang atas yang lainnya,
maka muzah itu akan timpang atau tidak seimbang dan kemudian akan
datang penyakit pada jasad.24.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Muhammad Abduh
menganggap bahwa keseimbangan jiwa nabatiyah, hayawaniyah, dan
insâniyah murupakan suatu kebahagiaan hidup manusia sebab tidak
mungkin seseorang dapat bersenda gurau kalau ia tidak berbahagia. Senda
gurau itu adalah lambang kebahagiaan hidup di dunia. Kemudian ketim-
pangan antara jiwa-jiwa itu akan mengakibatkan pada kesengsaraan jasad.
Lebih lanjut Muhammad Abduh berpendapat bahwa pembentukan
hidup yang seimbang tidak tercipta ketika salah satu unsur jiwa itu
memenangkan dua unsur lainnya. Ketimpangan itu bagaikan rasa dingin
yang melampaui ketika manusia berada pada rasa panas yang melampaui
dan rasa panas itu seperti dapat membakar sesuatu. Kondisi seperti itu
mendatangkan kematian dan kepunahan. 25
Kehidupan jasad membutuhkan perpaduan prinsip-prinsip hidup
nabati, hayawani, dan insani. Keselarasan ketiga prinsip itu akan
menghasilkan suatu kebahagiaan yang seimbang. Jika salah satu tiga jiwa
itu melebihi (menang) atas yang lainnya, maka ruh kehidupan akan hilang
yang dulu ada.
Sesungguhnya roh manusiawi yang sempurna terwujud ketika
berkumpulnya akhlak-akhlak yang bertentangan dan sifat-sifat yang saling
berkuasa. Pertentangan prinsip-prinsip hidup itu (jiwa nabatiyah,
hayawaniah, dan insaniyah) dan keberkuasaannya satu sama lain
merupakan kemuliaan yang hakiki dan seimbang. Ia termasuk rukun yang

23
Muzah dalam bahasa Arab artinya gurau, senda. Lihat Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qurian,
1989). h. 418. sedangkan al-mu‟tadil berasal dari kata dasari'tadala yang berarti lurus,
sedang, pertengahan, adil. Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid 1 (Cairo: Dar al-
Manar, 1365 H), h. 257. Dengan demikian al-muzah al-mu‟tadil dapat diartikan senda gurau
sederhana, tidak melewati batas. Tentang berbuat Adil, Muhammad Abduh di tempat lain
mengatakan bahwa bahwa “kaum muslimin diperintahkan untuk berlaku adil dalam
hukum, perkataan, perbuatan dan akhlak. Baca Rasyid Ridha. Tafsîr al-Manâr, Jilid V
(Cairo: Dar al-Manar, 1365), h. 179.
24
Ibid, h. 716.
25
Ibid.

77
tidak bisa ditawar-tawar dalam kebahagiaan manusia. Jika salah satu di
antara tiga jiwa itu melebihi atau berkuasa atas dua yang lainnya, maka
kemuliaan manusia akan rusak. Ia akan masuk pada suatu kehinaan dan
terjerumus pada kerusakan.26
Uraian di atas menunjukkan bahwa Muhammad Abduh
menginginkan nafs nabâtiyah harus ditingkatkan pada nafs hayâwaniyah
dan nafshayâwaniyah ditingkatkan pada nafs insaniyah agar ia hidup
tumbuh subur dan hidup yang terarah pada akhlak yang mulia.
Tidakkah kamu melihat kata Muhammad Abduh bahwa jiwa
kemanusiaan (nafs insaniyah) harus mencakup keberanian dan ketakutan.
Bukankah keduanya saling bertentangan? Sesungguhnya keberadaan
keduanya secara seimbang menjadi suatu kemuliaan. Jika keberanian
(jara'ah atau syaja‟dah) berkuasa atas ketakutan (makhâfah), maka
terkumpulah bagi orang tersebut jiwa kebinatangan (nafs al-hayâwaniyah)
yang setiap saat tidak bisa dikendalikan dan sangat membahayakan.
Seandainya jarâ'ah menguasai makhâfah, maka akan berpengaruh
pada marabahaya dan kerusakan. Pada saat itulah tidak ada hati nurani dan
saat itu juga akan hilang suatu hikmah. Pada diri manusia juga harus
tercipta al-imsâk (menahan diri) dan al-bazdlu (berkreasi). Keduanya
saling menguasai dan saling bertentangan. Jika terdapat keseimbangan
antara keduanya, maka akan menghasilkan kemuliaan. Jika al-imsâk
menguasai lawannya, maka bisa seorang suami tidak membelanjai istrinya
dan anaknya, ia tidak memperdulikan pakaian atau busana karena pada
dirinya terdapat sifat al-bukhl yang berlebihan. Sebaliknya jika al-badzl
menguasai lawannya, maka orang itu akan jatuh miskin karena dia akan
membelanjakan sesuatu yang perlu dan yang tidak perlu sampai habis apa
yang ada padanya.
Demikianlah sifat manusia yang saling bertentangan itu dan
hendaknya ditempuh pada jalan tengah, yaitu keseimbangan.
Keseimbangan al-nafsu al-nabatiyah, hayawaniayah, dan insaniyah atau
keseimbangan antara al-imsak dan al-badzlu. Dalam kehidupan manusia
juga harus ada keseimbangan antara unsur dunyawiyah dan ukhrawiyah.

26
Ibid.

78
Pembinaan keseimbangan hidup ini hanya bisa ditempuh melalui
pendidikan dan pendidikan yang dimaksud tidak bisa berhasil kecuali
dengan pembinaan akhlak yang mulia bukan akhlak yang mengarah
kepada kerusakan hidup dan kesengsaraannya.27
Sebagaimana dokter wajib memiliki sifat pengasih, lembut, jujur,
dipercaya, dan tidak berpikiran yang tercela. Para pemberi nasehat dan
bimbingan juga harus istiqamah tidak berorientasi duniawi saja, tidak
sombong. Jika ada anggota masyarakat yang bersedih, maka ia harus
membahagiakannya. Sesungguhnya rohaniawan dan rohaniawati yang
tercela adalah mereka penasehat yang bodoh yang meresahkan jiwa
dengan mengajarkan akhlak-akhlak yang tidak terpuji atas nama
kemuliaan yang sesungguhnya tercela.28
Pada dasarnya semua manusia baik tanpa terkecuali. Manusia baik
ketika jiwa mereka diliputi oleh sifat qanâ‟ah (merasa cukup dengan apa
yang ada, meskipun sedikit). Hati manusia sangat peka dalam
memperhatikan kebutuhan setiap pribadi selain diri mereka sendiri).
Setelah manusia itu melewati masa kanak-kanak, maka mereka mulai
dikuasai oleh syahwat hawa nafsu dan saling berbenturan dengan
keinginan masing-masing mereka, maka semenjak itu timbullah perasaan
iri hati dan dendam yang diikuti oleh rasa saling mendendam dan
membunuh. Semenjak itu juga meluas kerusakan moral, dan jadilah
kejujuran sebagian hewan lebih baik daripada kejujuran manusia. Sebagai
akibatnya turunlah derajat mereka dari kedudukan yang tinggi.

﴾٥﴿ ‫ني‬ِِ
َ ‫َس َف َل َسافل‬
ْ ‫ُْثَّ َرَد ْدنَاهُ أ‬
Artinya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka (QS. Al-Thin: 5)
Dari uraian Muhammad Abduh secara panjang lebar tentang jiwa
yang seimbang itu, mengindikasikan perlunya pendidikan jiwa manusia
untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Konsep keserasian dan

27
Ibid, h. 719.
28
Ibid, h. 720.

79
keseimbangan Muhammad Abduh tentang manusia mirip dengan
keserasian dan keseimbangan alam yang banyak dikupas tuntas Harun
Yahya. Kemiripan konsep ini tentu semakin mendukung teori ”dunia
kecil” dan ”manusia besar” atau microcosmos dan makrocosmos. Hanya
saja konsep keseimbangan alam terukur secara ilmiah sementara konsep
keseimbangan manusia bersifat abstrak filosofis.
Lain halnya dengan Ahmad Tafsir, ia tidak membahas substansi
jasmani dan ruhani manusia, tetapi pertama ia mengemukakan hakikat
manusia yang dikemukan oleh al-Syaibani dalam Falsafah Tarbiyah al-
Islamiyah yang terdiri dari jasmani, akal, dan ruh. Selanjutnya al-Syaibani
menurut Ahmad Tafsir memahami tiga hakikat itu hendaknya berjalan
secara seimbang bagaikan segi tiga sama kaki. Namun mengukur
keseimbangan itu juga susah.29
Apa yang mengkombinasikan antara jasmani, akal, dan ruhani?
Menurut Ahmad Tafsir, al-Syaibani belum menjawabnya, sementara
menurut Tafsir itulah yang paling inti. Untuk itulah Ahmad Tafsir
menjawabnya dengan iman.
Iman menjadi esensi manusia. Iman menjadi hakikat manusia, Iman
menjadi inti manusia menurut Ahmad Tafsir.30 Karena iman ada di kalbu,
maka bisa dikatakan esensi manusia, hakikat manusia, inti manusia itu ada
di dalam kalbu.31
Ahmad Tafsir dalam mendukung pendapatnya mengutip sebuah
hadits yang artinya, “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qasr), di
dalam istana itu ada dada (sadr), di dalam shadr itu ada kalbu (qalb), di
dalam qalb itu ada fuad, di dalam fua‟ad ada syaghaf, di dalam syaghaf itu
ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, dan di dalam sirr itu ada Aku (ana)”. 32
Inti yang di dalam hadits itu disebut Aku (ana). Aku itu adalah
Allah. Jadi inti manusia adalah bersifat ilahiyah. 33 Tafsir dengan begitu
memberikan beberapa opsi hakikat manusia, bisa iman, bisa yang ada

29
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, h. 26-27.
30
Ibid, h. 28.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid,h. 29.

80
dalam kalbu, dan bisa juga yang bersifat ketuhanan. Ketiga istilah itu
substansinya bersifat ruhani bukan jasmani.
Dalam literatur tasawuf kosa kata hadits tentang hakikat manusia
yang disebut Ahmad Tafsir ada juga disebutkan di antaranya, sirr, ruh, dan
qalb. Tiga alat itu menurut al-Qusyairi dipergunakan oleh para sufi untuk
mengenal Allah (al-ma‟rifah). Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Qalb juga alat untuk berpikir. Qalb di sini bukanlah jantung atau heart
dalam bahasa Inggris. Qalb berbeda dengan akal. Qalb bisa mengetahui
hakikat Tuhan, sementara ‟aql tidak bisa memperoleh pengetahuan yang
sesungguhya tentang Tuhan. Ruh untuk mencintai Tuhan, sedangkan sirr
untuk melihat Tuhan. Kata Harun Nasution, sepertinya sirr berada dalam
ruh, dan ruh berada di qalb.34
Teori hadits tentang esensi manusia dengan teori ma‟rifat yang
dikemukakan al-Qusyairi ada kesamaan, yaitu yang paling inti dari
manusia itu adalah sirr. Rumah besar sirr itu adalah qalb, sementara
rumah kecilnya adalah ruh. Dengan demikian, jika Ahmad Tafsir
menyimpulkan bahwa esensi manusia itu adalah yang ada dalam qalb, bisa
juga disebutkan bahwa esensi manusia itu adalah sirr. Sirr itu bersifat
ilahiyah tingkat tinggi, sehingga bisa mencapai ma‟rifatullah menurut
sebagian sufi.
Alwi Shihab dalam Islam Sufistik, menerjemahkan sirr dengan
lubuk hati yang paling dalam. Sirr adalah tempat terjadinya musyahadah.35
Musyahadah itu adalah puncak kesucian manusia yang menjadi standard
kebahagiaan tertinggi bagi manusia. Diriwayatkan dalam sebuah hadits

" ‫ َوفَػ ْر َحةٌ ِعْن َد لَِق ِاء َربِّْو‬،ِ‫ فَػ ْر َحةٌ ِعْن َد فِطْ ِره‬:‫اف‬
ِ َ‫لصائِ ِم فَػرحت‬
َ ْ َّ ‫ل‬
ِ

Artinya: “bagi yang berpuasa dua kegembiraan. Kegembiraan sewaktu


berbuka dan kegembiraan sewaktu bertemu dengan Tuhannya.”36

34
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 77.
35
Alwi Shihab,Islam Sufistik, h. 87.
36
Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Maktabah Syamilah, h. 807, nomor hadits 1151.

81
Tulisan Zuhairini dan kawan-kawan sesuai dengan pendapat al-
Ghazali yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari jasad dan ruh.
Ruh itu mendahului segenap makhluk dan menurut al-Palembani sebelum
ia bersatu dengan jasad, ia sudah mengenal Allah. Setelah ia bersatu
dengan jasad, maka ia tidak mengenal Allah karena gangguan hawa nafsu.
Untuk dapat kembali mengenal Allah, maka ia mempergunakan hakikat
ruh.37 Hakikat ruh inilah yang disebut dengan sirr.
Menurut Syeikh Yusuf sebagaimana dikutip oleh Alwi Shihab
bahwa mengukur seseorang sudah sampai pada sirr, ketika ia sadar bahwa
ia lebih dekat dengan Allah daripada jiwanya. Indikatornya, ia berpegang
teguh pada tali Allah yang kuat, sesuai dengan firman Allah

ُ‫ك بِالْ ُع ْرَوةِ الْ ُوثْػ َقى َوإِ ََل اللَّ ِو َعاقِبَة‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫َوَمن يُ ْسل ْم َو ْج َهوُ إِ ََل اللَّو َوُى َو ُُْمس ٌن فَػ َقد‬
َ ‫استَ ْم َس‬
‫ْاأل ُُموِر‬
Artinya, “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman/31:22)
Sementara menurut Imam al-Sya‟rani, seseorang telah
menggunakan sirrnya ditandai dengan tidak pernah lupa kepada Allah
Swt. meskipun dalam keadaan hubungan intim. Dalam tradisi tasawuf
seperti ini disebut dengan jam‟ al-jam.
Dengan pendekatan istilah yang berbeda, tetapi substansinya hampir
sama, dalam hal hakikat manusia, Mulyadi Kartanegara mengutip
pandangan al-Ghazali yang terdiri dari indra, akal, dan hati. Hati
dianalogikan sebagai raja, akal sebagai wazir, dimana nafsu syahwat
sebagai pegumpul pajak dan nafsu ghadhabiyah sebagai polisi. Indra
menurut al-Ghazali memiliki keterbatasan demikian juga dengan akal.
Sementara hati menurutnya sebagai alat yang paling tinggi dan

37
Shihab, Islam Sufistik, h. 87.

82
meyakinkan dalam pengetahuan kita tentang yang ghaib. Kemudian
melalui hatilah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.38
Kalau pada pembahasan sebelumnya yang dikutip oleh Alwi Shihab,
al-Ghazali tidak menyebut hakikat manusia. Alwi Shihab mengutip
pendapat al-Ghazali yang melihat substansi manusia, terdiri dari jasmani
dan rohani. Sedangkan yang dikemukakan oleh Mulyadi Kartanegara di
atas, ia sebut dengan deskripsi ontologis manusia.
Abbas Mahmud Aqqad dalam al-Insan fi al-Qur‟an yang telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya menyebutkan bahwa hakikat
manusia adalah jasad dan roh. Keduanya harus berjalan secara serasi dan
tidak timpang. Ketimpangan antara keduanya suatu sikap yang tercela.
Untuk mendukung pendapatnya, Aqqad mengutip Surah al-Maidah, ayat
87-88.39 Pendapat ini sesuai dengan pendapat Muhammad Abduh.
Jalaluddin dalam Teologi Pendidikan “Manusia Menurut Filsafat
Pendidikan Islam” menyebut bahwa hakikat penciptaan manusia adalah
„abd al-llahu (hamba allah). Sementara untuk bisa menjadi hamba Allah,
mereka dikarunia tiga potensi dasar, yaitu jasmani, rohani,dan ruh. 40
Sepertinya kedudukan hamba Allah ini sama dengan khalifatullah, dimana
hakikat manusianya tetap ruh atau yang bersifat ruhaniyah. Karena ia
bersifat ruhaniyah, maka ia bekerja sebagai hamba Allah.

B. Hakikat Masyarakat
Tidak ada satu individupun yang bisa hidup tanpa masyarakat.
Untuk itu manusia harus hidup bermasyarakat, tujuan utama al-Qur‟an
kata Fazlul Rahman menegakkan tata masyarakat yang adil. 41 Masyarakat
yang adil itu sebuah masyarakat yang etis dan egalitarian. 42 Dengan nada
yang serupa Muhammad Abduh mengatakan bahwa Allah menciptakan

38
Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, h. 84-89.
39
Abbas Mahmud Aqqad, al-Insan fi al-Qur;an, Cet. IV, (Cairo: Nahdhah Misr,
2005), h. 23.
40
Jalalaluddin,Teologi Pendiddikan, Cet. II,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002),
h.32.
41
Fazlul Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur‟an, Cet. II, (Bandung: Pustaka, 1996),
h. 54.
42
Ibid, h. 55.

83
manusia untuk bermasyarakat.43Sifat bermasyarakat kata Muhammad
Abduh tidak diberikan oleh Allah pada lebah dan semut. Allah
memberikan akal kepada manusia untuk dapat bermasyarakat.44
Bermasyarakat yang dimaksud Abduh berakal dan dengan akalnya
ia berkreasi secara dinamis. Kalau dilihat dari cara hidup lebah, mereka
hidup tidak egois, tetapi mereka hidup bermasyarakat dan kata Harun
Yahya mereka memiliki organisasi luar biasa.
Lebah memiliki banyak tugas, mengatur kelembaban dan ventilasi
sarang untuk menjaga kualitas madu. Mereka mengatur suhu sarang 35
derajat celcius selama sepuluah bulan. Ada kelompok lebah yang bertugas
menjaga ventilasi. Mereka ada yang bertugas menjadi Satpam menjaga
sarang dari gangguan apapun agar security higinitas madu terjaga. Lebah
memproduksi madu bukan saja untuk kepentingan mereka, tetapi
sebagiannya untuk manusia. Oleh sebab itulah Harun Yahya mengatakan
“lebah” makhluk sosial. Namun, itu semua dalam pandangan Abduh
berjalan secara alami dengan insting pemberian Allah Swt. Tentu sifat-
sifat lebah itu cocok untuk dicontoh oleh manusia dalam bermasyarakat,
tetapi menurut Abduh bukanlah lebah itu bermasyarakat karena mereka
tidak punya akal kreatif yang bisa membuat perubahan baik positf atau
negatif seperti manusia.
Dalam hal berakal, binatang kata Andi Hakim Nasution berakal dan
bahkan menurut Jujun Sriasumantri binatangpun berpikir, tetapi binatang
tidak bisa berpikir ilmiah. Kucing tahu makanan yang enak dengan yang
tidak enak. Tikus tahu kalau kucing itu musuhnya yang berbahaya. Tapi
pengetahuan semua binatang itu hanya untuk kelangsungan hidup (survive)
dan yang disebut Abduh dengan insting.
Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai manusia harus
bermanfaat untuk masyarakat. Masyarakat adalah termasuk juga pada
pembahasan alam manusia. Masyarakat dengan perbedaan bahasa dan kulit
berasal dari satu sumber (min nafsin wahidah).

43
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz I, h. 63.
44
Ibid.

84
            

              

  

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Pertama kali datangnya Islam, masyarakat Mekah ketika itu berada
pada zaman jahiliyah yang tidak bermoral. Mereka menyembah berhala-
berhala, suatu perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Mereka
berperilaku yang buruk menuju yang lebih buruk lagi. Manusia di Mekah
ketika itu berbuat yang jelek menuju yang lebih jelek lagi. Allah ingin
merubah masyarakat yang tidak bermoral itu dengan mendatangkan Nabi
Muhammad Saw. Ia membawa petunjuk dan agama yang benar. Dalam
merubah perilaku jahiliyah manusia, Islam datang dengan cara-cara yang
"keras". Agama yang dibawa Muhammad Saw. memadukan urusan agama
dan urusan duniawi, baik dalam syari'atnya maupun caranya. Tujuan Islam
adalah menyatukan alam bumi dan alam langit untuk bermasyarakat.45
Masyarakat Muslim membangun penghambaan yang Esa, ketaatan
yang Esa, bukan ketaatan kepada para penguasa atau ke manusia lainnya. 46

45
Kitab suci Al-Qur'an menurut Quraish Shihab banyak berbicara tentang
masyarakat karena memang fungsi utamanya untuk mendorong terjadinya perubahan-
perubahan positif dalam masyarakat yang dalam bahasa al-Qur'an litukhrija al-nâsa min al-
zhulumât ila al-nûr (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang
benderang). Tidaklah berlebihan kata Quraish Shihab bahwa al-Qur'an merupakan buku
pertama yang memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan. Baca Quraish Shihab,
Wawasanal-Our'an., h. 319.
46
Baca kandungan Surat al-lkhlas pada Muhammad Abduh, Juz 'Amma,
Terjemahan Muhammad Bagir, Cet.V,(Bandung: Mizan, 1999), h. 363-369.

85
Ketika penghambaan menyatu kepada Allah, maka derajat manusia
kembali meningkat dan keadilan mulai ditegakkan. Dengan membangun
masyarakat yang bertauhid Islam dapat membangun masyarakat yang
besar, yaitu masyarakat yang menjungjung tinggi persamaan derajat.
Masyarakat Muslim dengan segala usahanya membangun masyarakat yang
diidam-idamkan oleh orang banyak. 47.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa Muhammad Abduh
melihat manusia wajib bermasyarakat. Dalam bermasyarakat ada misi-misi
yang diperjuangkan agar hidup dapat tenteram dan aman, yaitu penegakan
keadilan, persamaan derajat, yang pada gilirannya penghambaan hanya
kepada Tuhan.48
Islam membangun masyarakat yang berlandaskan kebersamaan.
Islam menentukan prinsip-prinsip kerja sama dari segala unsur dan bentuk.
Ada aturan kerjasama individual, kerjasama individu dengan keluarganya,
kerjasama individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, suku
dengan suku. Kerjasama individual membuat manusia tidak berbuat
sewenang-wenang. Semua orang mendapatkan apa yang mereka perbuat
sesuai dengan usaha mereka.
Untuk mencapai keteraturan hidup masyarakat, maka harus diatur
47
Abd Al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Qarni al-Râbi‟ al-Hijri, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), h. 46. Baca kandungan (Q.S. al-Nisa: 1). Tujuan al-Qur'an adalah
menegakkan sebuah tata masyarakat yang ethis dan egalitarian. Baca Fazlul Rahman,
Tema-tema..., h. 55. Lihatlah ketika kota Mekah menjadi kota dagang yang ramai, di sana
dijumpai ekspolitasi dan berbagai kecurangan dalam praktek perdagangan dan keuangan.
Al-Qur'an dengan jelas menggambarkan situasi yang bercirikan kikir yang keterlaluan,
sikap mementingkan diri sendiri, dan kemewahan di samping kemiskinan dan
ketidakberdayaan orang lain. (Baca (Q.S. 104: 14)
48
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur'an adalah menegakkan
sebuah rata masyarakat yang adil, berdasarkan etika, dan dapat bertahan di muka bumi.
Apakah individu yang lebih penting sedang masyarakat adalah instrumen yang diperlukan
di dalam penciptaannya atau sebaliknya, itu hanya merupakan sebuah masalah akademis,
karena tampaknya individu dan masyarakat tidak dapat dipisahakan. Tidak ada individu
yang hidup tanpa masyarakat. Baca Rahman, Fazalul, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, h. 54.
Menur u*t Quraish Shihab manusia adalah makhluk sosial. Ayat kedua dari surah al-Alaq
"khalaqa al-insân min `alaq" bukan saja ditafsirkan dari sudut pandang materi dan
penciptaan manusia, tetapi harus juga ditafsirkan menurut perspektif sosial. Al-`alaq itu
menempel di dinding rahim. Dinding rahim dimana al-alaq menempel adalah simbol
ketergantungan. Dalani hal ini dapat dikatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, dia
pasti tergantung dengan orang lain. Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an,h. 320

86
berbagai peraturan-peraturannya. Di antaranya, Muhammad Abduh
menulis aturan-aturan kerjasama antara individu dan kelompok, kerjasama
kelompok dan kelompok masyarakat, dan aturan kepemilikan individu dan
kelompok masyarakat.
Kerjasama individu dengan kelompok mengikuti aturan-aturan:49
1. Amal Shaleh. Perbuatan yang baik adalah ibadah kepada Allah
karena hasil perbuatan yang khusus adalah milik kelompok,
2. Hendaknya individu-individu bekerjasama dengan kelompok
masyarakat untuk kepentingan orang banyak dengan batasan-
batasan yang baik (al-birr wa al- ma‟ruf).
3. Setiap orang bertanggung-jawab terhadap urusan kebaikan. Jika
tidak, maka ia berbuat dosa dan seakan-akan setiap individu
dibebankan untuk menghilangkan kemungkaran-kemungkaran yang
mereka lihat. Setiap individu yang melihat kemungkaran dan
membiarkannya, maka ia akan mendapat hukuman.
4. Setiap individu bertanggung-jawab untuk menjaga kepentingan
masyarakat. Seakan-akan ia menjadi penjaga kepentingan
masyarakat dan beban itu diwakilkan kepadanya.
Kewajiban kelompok terhadap individu:50
1. Sesungguhnya masyarakat bertanggung jawab atas masyarakat yang
lemah. Menjaga kepentingan masyarakat miskin baik laki-laki,
perempuan, maupun orang tua.
2. Masyarakat bertanggung-jawab atas orang-orang fakir. Mereka
memberi sebagian harta mereka untuk keperluan masyarakat yang
fakir. Mereka kaum yang lapar mungkin merupakan azab Tuhan.
3. Masyarakat wajib menjaga kebersamaan dengan ikatan iman kepada
Allah dan rasul-Nya Muhammad Saw. jika mereka berselisih, maka
kembalikanlah hukumnya kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Adapun yang memimpin masyarakat Islam harus berdasarkan
syari'at Allah dengan tetap menjaga keadilan.

49
Abd. Hasan, al-Tarbiyah...., h. 47. Baca juga Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,
Jilid I. (Cairo: Dar al-Manar, 1365 H), h. 369.
50
ibid, h. 48.

87
Prinsip-prinsip kepemilikan baik individu dan kelompok adalah:
1. Setiap individu bekerja untuk hartanya. Sesungguhnya secara umum
kepemilikan adalah milik masyarakat. Masyarakat juga bertanggung
jawab kepada Allah tentang kepemilikan itu. 51.
2. Tidak ada individu yang dibolehkan untuk memonopoli harta atau
barang tanpa diikutsertakan orang lain, agar harta itu berputar tidak
saja pada orang kaya.
3. Ada harta benda yang tidak boleh dimilik oleh individu, yaitu; air,
udara, dan api karena tiga unsur itu sangat penting bagi kehidupan
manusia.
4. Bagi setiap orang Muslim memiliki kewajiban atas Muslim lainnya.
Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan, ”inilah gambaran
masyarakat Islam”. Masyarakat yang dibangun atas akidah Islam, syari'at
Islam, perundang-undangan Islam yang tidak boleh menindas orang lain
untuk kepentingan mereka. Masyarakat hendaknya didorong untuk tumbuh
dan berkembang. Masyarakat didorong dengan sekuat tenaga agar mereka
berhasil dalam menciptakan masyarakat yang bemoral baik dan
demokratis. Masyarakat harus didorong untuk berilmu yang benar dan
membukakan bagi mereka kebudayaan dan peradaban yang maju terhadap
apa-apa yang benar dan baik. Masyarakat yang diinginkan Islam adalah
masyarakat yang jenius mencakup peradaban. Peradaban itu harus
menghasilkan jiwa-jiwa yang bermoral baik dalam bidang industri dan
perdagangan. Inilah filsafat bermasyarakat menurut Islam. 52
Dalam rangka menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat
yang berorientasi pada kemuliaan menurut Muhammad Abduh diperlukan
pendidikan. Pentingnya pendidikan itu bagi keseimbangan hidup, bagaikan
pentingnya dokter untuk menjaga kesehatan badan. 53
Untuk mencapai ketenteraman hidup bermasyarakat, para
penyelenggara negara yang mengurusi pendidikan hendaknya
mengarahkan pendidikan tersebut pada pembinaan akhlak yang baik.

51
Baca kandungan (Q.S. Al-Hadid: 6)
52
Abd. Hasan, al-Tarbiyah…,, h. 49-50.
53
Ibid. h. 50.

88
Memberi pendidikan akan bahaya perilaku-perilaku yang tercela dan
manfaatnya perilaku-perilaku yang terpuji, sehingga manusia menuju
kemuliaan dan kesempurnaan bagaikan dokter yang menguasai ilmu
tentang perilaku manusia, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
Selain itu dokter juga mengetahui serta penyebab suatu penyakit dan
mendiagnosa kualitas suatu penyakit antara yang ringan dan kronis. Para
rohaniawan dan rohaniawati juga wajib menguasai ilmu-ilmu tentang jiwa,
sehingga manusia dapat berkonsultasi untuk mendapatkan ketenangan jiwa
dan batin (al-ruh).54Selain itu rohaniawan dan rohawaniawati juga harus
menguasai ilmu-ilmu sosial dan sejarah kebudayaan masyarakat. Mereka
juga hendaknya bisa mendiagnosa penyakit jiwa dan bukan meresahkan
jiwa.
Dari uraian tentang masyarakat di atas jelaslah bahwa Muhammad
Abduh memiliki pemikiran akan pentingnya kehidupan bermasyarakat dan
tidak bisa hidup menyendiri. Bermasyarakat bagi manusia adalah
kebutuhan hidup. Dalam teori bermasyarakat, sepertinya Muhammad
Abduh lebih dekat dengan teori integralistik daripada teori organisme dan
atomistik.55

54
Menurut al-Ghazali nafs atau jiwa itu memilki beberapa makna, dua diantaranya
tumpat tumpukan sifat marah dan syahwat. Nafsu ini yang lazim dipakai oleh para stiff.
Nafsu dalam, arti kedua mempunyai sifat yang beraneka ragam sesuai dengan keadaanya,
nafsu muthmainnah ketika nafs itu tenang terhindar dari gangguan syahwat, nafs al-
ammarah bi al-su' jika nafs itu patilli pada syahwat, dan nafs lawwamalijika nafs itu selalu
menentang nafs syahwat sehingga ketenangan nafs tidak sernpurna. Baca M-Ghazali,
Keajaiban Hati, (Jakarta: Tintamas, 1984), h. 34. Roll juga memiliki dua arti, roh jenis
yang halus bersumber dari rongga hati jasmani dan roh yang halus pada manusia yang
dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian. Roh dalam
artinya yang kedua inilah yang terkandung dalam ayat "qul al-rûh min amri rabbi".
Baca ibid.. him. 2-3. Menunit Quraish Shihab nafs terkadang diartikan totalitas manusia
yang menghasilkan tingkah laku manusia seperti yang terkandung dalam (13:11), terkadang
nafs diartikan untuk menunjukkan diri Tuhan seperti (6: 12). Tetapi secara umum dapat
dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi
dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an,
h. 285-286.
55
Teori Atomistik Teori Atom adalah individu adalah bagaikan atom, bagian kecil
yang penting dalam masyarakat. Menurut teori ini manusia adalah pribadi yang independen.
Kebebasan dan kemerdekaan itu sebagai anugrah Tuhan. Dengan kebebasan itulah
manusia dengan sukarla membentuk masyarakat sebagai suatu kehidupan bersama.
Pembangunan masyarakat atas dasar kehendak bersama dan tujuan bersama. Baca

89
C. Hakikat Ilmu
Abdurrahman Saleh mengatakan bahwa kata “ilm” dalam al-Qur‟an
salah satu istilah yang menunjukkan pada pengetahuan. Rosental mencatat
Frekuensi munculnya ushlub kata „alima‟ dipertimbangkan dengan segala
kecermatannya. Pentingnya ilmu pengetahuan juga ditemukan dalam al-
Qur‟an. Ayat-ayat ini beriring untuk menunjukkan peranan pentingnya
ilmu pengetahuan yang bisa membuat seseorang mencapai derajat yang
tinggi. Baca (Q.S. al-Mujadalah: 11). Ibn Mas‟ud mengatakan bahwa
orang yang diberikan ilmu mempunyai derajat yang tinggi ketimbang
orang yang mempunyai iman tapi tidak berilmu.56
Menurut pandangan Al-Qur‟an seperti diisyaratkan oleh wahyu
pertama, ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa
usaha manusia dan kemudian disebut ilmu laduni.57 . Kedua, ilmu yang
diperoleh dengan usaha manusia dan kemudian disebut ilmu kasb.
Menurut Quraish Shihab,58 ayat-ayat al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa

Mohammad Noorsyam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila,


(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h1m. 190 Murtadha Muthari menyebut alanusiWsebagai
individu yang bersifat kemasyarakatan. Jiwa kemasyarakatan ini melekat pada fitrah
manusia. Murtadlia Muthahari, Masvarakat dan sejarah: Kritik Islam atas Marxisine dan
teori Lainnya (terj.), (Bandung: Mizan, 1995), h.17. Dengan demikian secara alami
manusia ingin bermasyarakat yang dibutuhkan setiap individu-individu. Manusia memiliki
fitrah untuk bermasyarakat terkandung dalam (al-Hujrat: 13.Teori Organisme.Menurut teori
ini, setiap individu yang dilahirkan berkembang didalam masyarakat. Murtadha Murthahari
menyebutnya terpaksa bermasyarakat. Murtada Murthahari, ibid. Kehidupan masyarakat
bersifat interdependensi (saling ketergantungan), dimana manusia saling membutuhkan
sesama demi kelanjutan hidup dan kesejahteraannya. Realitas masyarakat hanya
berlangsung dalam wujud dan kondisi kebersamaan interdepedensif. Muhammad
Noorsyam, Filsafat..., hal 190. Teori Integralistik. Menurut teori ini, meskipun masyarakat
suatu lembaga yang mencerminkan kebersamaan, tetapi tidak bisa dihindari realita manusia
sebagai pribadi. Sebaliknya, manusia sebagai “macro” tidaklah kontradiktif dengan realitas
pribadi sebagai “macro”, bahkan antara keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi.
Ibid., h.191-2
56
Baca Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-
Quran, Diterjemahkan oleh M. Arifin dan Zainuddin, Cet. II,(Jakarta: Rineka Cipta, 1994),
h. 89-90
57
Mengetahui ilmu laduni ini terkandung dalam al-Qur‟an (QS, al-Kahfi: 65)
58
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Selawesi Selatan, 16 February
1994. ia memperoleh gelar Doktor di Universitas al-Azhar dengan yudisium summa cum
laude tahun 1982

90
ilmu kasb lebih banyak jumlahnya daripada ilmu laduni.59 Dalam
pembahasan ini, ilmu yang dibicarakan adalah ilmu kasb.
Ilmu pengetahuan ditinjau dari epistemologinya menurut
Muhammad Abduh terbagi dua, akal dan wahyu. Akal digunakan untuk
memahami wahyu dan meminta konfirmasi kepada wahyu untuk
memperkuat pendapatnya (akal).
Sementara wahyu selain memberi informasi dan memperkuat
pendapat akal, ia (wahyu) juga berfungsi untuk meluruskan pemikiran akal
yang salah.60
1. Akal
Keharusan berpikir bukan saja naluri kemanusiaan, tetapi terdapat
juga perintah dalam al-Qur‟an untuk mendorong berpikir dan melarang
manusia untuk bertaklid. 61 Ayat-ayat al-Qur‟an menyebut sifat-sifat Tuhan
kata Muhammad Abduh, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu
saja.62
Falsafah wujud menurut Muhammad Abduh bukanlah bersumber
dari wahyu saja tetapi juga akal. Akal, dengan kekuatan yang ada pada
dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang tuhan dan wahyu.
Muhammad Abduh kata Harun Nasution kelihatannya penganut falsafah
emanasi yang mengatakan bahwa jiwa manusia dapat mengadakan
komunikasi dengan alam abstrak (intelliggibles).63 Allah menurut
Muhammad Abduh memilih manusia tertentu yang jiwanya mencampai
puncak kesempurnaan, sehingga mereka dapat menerima pancaran ilmu
yang disinarkanNya.64 Di tempat lain Muhammad Abduh mengatakan
bahwa ada jiwa-jiwa manusia yang begitu suci sehingga mereka dapat

59
Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. 435-36. Baca juga Rasyid Ridha,
Tafsîr al-Manâr, Jilid III, h. 119
60
Baca Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah,
(Jakarta: UIP Press, 1987),h. 33, 38, dan 44. Baca juga kembali Rasyid Ridha, Tafsîr al-
Manâr, Juz I, h. 63-64
61
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H), h. 23.
62
Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 44.
63
Ibid., h. 6
64
Harun Nasution, Muhammad Abduh...,h. 93.

91
menerima limpahan cahayaNya (al-fâidhu al-ilâhi). Jiwa-jiwa yang suci
itu dapat sampai mengetahui Tuhan.65
Kualitas akal yang dianugrahkan Allah kepada manusia menurut
Muhammad Abduh tidak sama. Mereka yang dianugrahkan oleh Allah
akal yang berkualitas tinggi66 disebut kaum khawas, sedangkan yang
memiliki kualitas rendah67 disebut kaum awam. Muhammad Abduh ketika
menafsirkan surah al-Baqarah ayat keseratus enam puluh empat yang
berbunyi :

Artinya, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih


bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (Q.S. al-Baqarah: 164)
Muhammad Abduh menafsirkan kalimat “…..laâyatin liqamin
ya‟qilûn” mereka yang mengetahui sebab-sebab gejala alam, mereka tahu
hukum sebab-akibat dan rahasia di balik kejadian itu. Mereka bisa
membedakan yang bermanfaat dan yang berbahaya, mereka juga
65
Ibid., h. 111.
66
Yang dimaksud akal berkualitas tinggi menurut Muhammad Abduh adalah
mereka yang sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Baca ibid., h. 77
atau Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 34.
67
Yang dimaksud akal berkualitas rendah menurut Muhammad Abduh adalah
mereka yang tidak sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Baca
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77 atau Harun Nasution, Muhammad Abduh, h.
34.

92
berargumentasi pada teori-teori hukum alam (sunnatullah).68 Ayat ini
menunjukkan golongan kaum khawas sebagaimana ia maksud. Di lain
tempat Allah berfirman:

Artinya: ”Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qisas itu, hai orang-
orang yang berakal, mudah-mudahan kamu bertakwa.” (QS, al-Baqarah:
179)
Kembali lagi kata “ûlu al-bâb” diartikan Muhammad Abduh
mereka yang mempunyai akal yang sempurna. Ayat ini juga menunjukkan
golongan kaum khawas.69 Muhammad Abduh juga mengartikan “ûlu al-
bâb” barang siapa yang memiliki esensi (lub) dan akal.70 Hanya sedikit
manusia pilihan Tuhan yang pandangannya tajam dan sempurna. Mereka
yang dimaksud selain nabi. 71
Perbedaan daya akal ini, menurut Muhammad Abduh disebabkan
bukan hanya oleh perbedaan pendidikan, tetapi juga terutama perbedaan
pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak dan kekuasan
manusia.72
Dari uraian Muhammad Abduh tentang daya akal manusia yang
bervariasi itu, kelihatannya ia penganut teori konvergensi yang
mempercayai dan menghargai fitrah bawaan semenjak lahir dan juga tidak
menyepelekan proses pendidikan. Namun sejauh mana kecenderungan
Muhammad Abduh pada teori navitisme dan empirisme lebih lanjut tidak
diketahui. Dari kalimat, “terutama oleh perbedaan pembawaan alami…”
dapat dipahami bahwa ia lebih condong pada teori navitisme. Namun satu
hal yang pasti, ia sangat apresiatif terhadap kerja akal. Dengan demikian
kelihatannya ia lebih condong pada empirisme, hanya saja dalam
mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya mungkin ia condong pada

68
Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, (Cairo: Daral-Manâr, 1365H), h.
63-64.
69
Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, ibid., h. 133.
70
BacaRasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,Jilid II, ibid., h. 229.
71
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77.
72
Ibid., h. 110.

93
teori navitisme. Dalam kata lain, pemikiran konvergensi Muhammad
Abduh tentang daya akal lebih banyak dipengaruhi oleh teori empirisme.
2. Wahyu
Muhammad Abduh mendeskripsikan bagaimana bahasa al-Qur‟an
atau wahyu berkembang sesuai dengan perkembangan akal manusia.
Menurutnya manusia itu pada mulanya kecil, lama-kelamaan menjadi
dewasa. Demikian juga Allah bagaikan orangtua bagi anak-anaknya.
Umatter dahulu masih kanak-kanak, sehingga perintah pun mutlak
dikerjakan, larangan keras harus ditinggalkannya, sehingga setelah dewasa
manusia ini, Tuhan pun berbicara dengan akal. 73
Ummat manusia ketika Islam datang sudah menjadi dewasa dan
menghendaki agama yang rasional. Oleh karena itulah kita tidak sulit
mendapatkan bagaimana al-Qur‟an berbicara bukan saja pada perasaan
manusia tetapi pada akal mereka. Demikian juga nabi berbicara dengan
akal bahkan menjadikan akal sebagai hakim antara apa yang benar dan
yang salah.74
Kualitas akal manusia ada yang tinggi derajatnya dan ada yang
rendah, kemudian orang-orangnya disebut kaum khawas dan kaum awam.
Sesungguhnya akal kaum khawas mempunyai daya yang kuat, tetapi akal
mereka tidak dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya
tentang Tuhan dan alam gaib. 75 Sifat-sifat Tuhan seperti berbicara, melihat,
dan mendengar yang kemudian disebutkan oleh Muhammad Abduh sifat-
sifat yang wajib bagi-Nya tidak dapat diketahui oleh akal.76 Manusia dapat
mengetahui sifat-sifat Tuhan itu hanya dari wahyu. Selain itu, akal juga
tidak dapat mengetahui hakikat hidup di alam gaib nanti. Secara rinci, akal
tidak mengetahui kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti. Lebih

73
Ibid., h. 148.
74
Ibid., h. 143 .
75
Muhammad Abduh tidak memiliki katagori gaib sebagaimana Murthadha
Muthahhari yang membagi ghaib menjadi dua juga, yaitu ghaib relative, dan ghaib yang
absolute. Ghaib yang absolute itulah esensi Tuhan, sedangkan ghaib relative adalah
tersembunyi karena terhalang waktu maupun waktu. Rasulullah bagi kita sekarang ghaib,
padahal dulu bagi Abu Bakar tidak ghaib, itu karena persoalan waktu. Baca Mulyadi
Kertanegara, Nalar Religius, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 101
76
Ibid., h. 44-47

94
lanjut, Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
cara menghitung perbuatan baik dan buruk di akhirat nanti. 77
Dengan latar belakang pemikiran di ataslah, maka manusia berhajat
atau membutuhkan wahyu untuk membantunya memperoleh pengetahuan
lebih luas tentang Tuhan dan masa depannya di alam gaib nanti78
Sebagai konsekuensi pembagian manusia menurut kualitas akal
pada kaum khawas dan awam, Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada
wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan ada juga wahyu yang
ditujukan untuk kaum awam. 79 Hanya saja Muhammad Abduh mengatakan
bahwa, agar para nabi berhasil dalam dakwah, mereka harus berbicara
dengan bahasa yang dapat dimengerti ummat mereka masing-masing,
karena moyoritas masing-masing umat terdiri dari kaum awam. Oleh
karena itu, bahasa dakwah para nabi harus dapat dipahami oleh kaum
awam dan kaum khawas.80
Meskipun kaum khawas memiliki kualitas akal yang tinggi, tetapi
tidak semua bahasa kaum awam dapat dimengerti oleh mereka. Ada
ucapan-ucapan para nabi yang ditujukan untuk kaum awam. Kaum khawas
tidak mengerti ucapan-ucapan itu kecuali setelah melalui proses
interpretasi.81
Menurut Harun Nasution, kelihatannya maksud dari ucapan-ucapan
yang dapat dipahami oleh kaum awam, tetapi belum dapat dipahami kaum
khawas kecuali setelah proses interpretasi itu, sifat-sifat jasmani Tuhan
dan wahyu tentang kehidupan kelak di alam gaib. 82
Ada juga firman Tuhan yang tidak mampu dipahami oleh kaum
awam sedangkan kecuali setelah adanya penjelasan panjang lebar yang
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sementara kaum khawas dapat

77
Ibid., h. 77
78
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36.
79
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123. Sayangnya Muhammad Abduh
tidak menjelaskan secara rinci tentang pembagian wahyu ini dan ia juga tidak memberi
contoh-contohnya.
80
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36.
81
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123.
82
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36. Lihat juga Muhammad
Abduh,Risâlah al-Tauhîd, h. 202-203.

95
menangkap maksud firman itu. Wahyu semacam ini, menurut Muhammad
Abduh ditujukan kepada kaum khawas. 83 Menurut Harun Nasution, firman
Tuhan yang dimaksud itu ialah tanda-tanda Tuhan yang terdapat di alam,
seperti matahari, bulan, planet-planet, serta gerak masing-masing yang
bersifat tetap itu.84 Tujuan tanda-tanda itu menurut Muhammad Abduh
untuk menarik perhatian orang pada rahasia-rahasia yang terkandung di
dalamnya dan hikmah penciptaannya.85
Baik wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas maupun wahyu
yang ditujukan untuk kaum awam jumlahnya hanya sedikit. 86 Selain kedua
wahyu yang jumlahnya sedikit itu, menurut Muhammad Abduh ada wahyu
bentuk ketiga. Wahyu itu adalah sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Yang dimaksud dengan wahyu yang ketiga ini menurut Harun Nasution,
antara lain ayat-ayat yang mengandung perintah kepada manusia untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan dan alam
sekitarnya.87
Dengan demikian menurut Muhammad Abduh ada tiga macam
wahyu:88
1. Wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan awam. Wahyu itu
sebagian besar ayat-ayat al-Qur‟an.
2. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum awam. Jumlah wahyu ini
dalam al-Qur‟an hanya sedikit.
3. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum khawas. Jumlah wahyu
ini dalam al-Qur‟an paling sedikit.
Di antara dua sumber ilmu di atas, akal dan wahyu, apakah mungkin
bertentangan? Menurut Muhammad Abduh bahwa antara wahyu dan akal
tidak mungkin ada pertentangan. Betul bahwa akal harus percaya kepada
semua apa yang dibawa wahyu dan mungkin ada di antaranya yang tidak
bisa diketahui hakikatnya. Begitu pun akal tidak wajib menerima apa yang

83
Ibid., h. 123
84
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 37.
85
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 122.
86
Ibid., h. 123.
87
Ibid., h. 190-200.
88
Baca Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 37-38.

96
mustahil, seperti bersatunya dua ayat yang bertentangan atau adanya dua
yang berlawanan di satu tempat pada waktu yang sama, karena agama suci
dari hal-hal yang serupa itu. Jika wahyu membawa sesuatu yang pada
lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, demikian ia lebih lanjut
menjelaskan, wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud
bukanlah arti harfiah, akal kemudian mempunyai kebebasan memberi
interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya dari
wahyu bersangkutan kepada Allah.

D. Hakikat Akhlak89
Sekalipun akhlak itu sudah sangat populer di kalangan umat Islam,
termasuk bagi para ilmuan Muslim, tetapi kata itu tidak terdapat di dalam
al-Qur‟an. Tetapi di dalam hadits, kata itu akan banyak ditemukan. Akhlak
dalam bentuk mufradnya, yaitu khuluq ditemukan hanya dua kali di dalam
al-Qur‟an. pertama dalam Surah al-Syu‟ara/26: 137 dan kedua dalam
Surah al-Qalam/68: 4.
Q.S. al-Syu`ara/26:137 tidak berbicara tentang akhlak sebagaimana
dibahas oleh umat Islam pada umumnya, karena ayat itu berbicara tentang
adat kebiasaan buruk yang dinilai baik oleh kaum `Ad, yaitu umat Nabi
Hud a.s. yang ingkar kepada Tuhan dengan menyembah berhala. Lamanya
rentan waktu Nabi Nuh a.s. dengan Nabi Hud a.s. salah satu penyebab
kenapa umat Nabi Hud a.s. banyak yang menyembah berhala.
Akhak seperti yang dimaksud dalam Q.S. Q.S. al-
Syu`ara/26:137yang didefinisikan oleh „Ali „Abdul Ḥalim Mahmūd “al-
akhlāqu hiya jumlatu qawā‟idi al-sulūk al-maqbūlah fī„asrin au ladā
jamā‟atin min al-nās”. Artinya: Sesungguhnya akhlak adalah sejumlah
aturan perilaku yang diterima pada suatu masa atau diterima oleh

89
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti
atau kelakuan. Meskipun akhlak diambil dari bahasa Arab, namun kata itu tidak ada dalam
al-Qur‟an. Didalam al-Qur‟an hanya ada kata “khuluq”. kata “khuluq” ada dalam (QS, al-
Qalam: 4). Kata “akhlak” ditemukan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, di
antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Malik yang berbunyi “innama bu‟itstu liutammima
makarima al-akhlak”. Artinya: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”. Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an,, h. 253.

97
sekelompok manusia”.90 Kalimat ini bisa dimaknai dengan adat istiadat
yang berlaku untuk sekelompok tertentu dan atau tempat tertentu yang
tidak bersifat universal. Dalam konteks inilah dapat dibedakan kebaikan
menurut suku Batak, Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya.
Adapun Q.S. al-Qalam/68:4 adalah satu-satunya ayat yang secara
zhahir menyebut kata khuluq yang berarti akhlak. Sementara substansi
akhlak itu di dalam al-Qur‟an adalah sangat banyak dan bahkan menurut
Hadits `Aisyah Akhlak Rasulullah Saw. Adalah al-Qur‟an. Dengan
demikian, substansi dari akhlak itu adalah keseluruhan isi al-Qur‟an.
Kata ‫ ُخٍُك‬dan ‫ خ ٍَْك‬asal hurufnya sama, tetapi barisnya berbeda. Yang
pertama bersifat batin tidak kelihatan, sedangkan yang kedua adalah
kelihatan. Untuk itu menurut Ahmad Amin, akhlak yang dinilai adalah
niatnya. Niat itu sesuangguhnya tidak kelihatan dan bersifat batin.
Walaupun hasil dari niat ketika diperbuat tidak baik, jika niatnya baik,
maka dari perspektif akhlak itu disebut baik. Walaupun demikian, Ahmad
Amin mendefinisikan akhlak sebagai perbuatan baik dan buruk (al-khair
wa al-syarr) dan gambaran perilaku yang bisa dicontoh oleh manusia
untuk bergaul.91 Karena akhlak disebut sebagai perilaku baik dan buruk,
maka sesuailah apa yang dikatakan oleh Iman Abdul Mu‟min Sa‟d al-Din
bahwa akhlak (al-khulq) kebaikan lahir dan batin (husn al- ẓāhir wa al-bā
ṭin).92 Di sini Sa`d al-Din menekankan perbuatan baik saja.
Jika dipahami substansi Q.S. al-Qalam/68:4 sebagai akhlak, maka
akhlak itu hanyalah yang baik, sedangkan yang buruk itu tidak lah disebut
akhlak. Karena ada yang memahami bahwa akhlak itu adalah perbuatan,
maka ada yang baik dan ada yang buruk, sehingga muncul istilah akhlak
yang baik dan akhlak yang buruk. Secara metodologis, hal ini tidak perlu
dipermasalahkan, hanya saja dalam perspektif filsafat, akhlak itu hanya
yang baik.
Hamdi Mahmud Zaqzuoq membedakan akhlak berdasarkan ajaran
agama dan bukan agama, al-akhlāq al-dīnī dan al-akhlāq ghairu al-dīnī

90
„Ali „Abdul Ḥalim Mahmūd, at-Tarbiyah al-Khuluqiyah, t.k: Dar al-Tauzi‟ al-
Nasyr al-Islami, 1997), h. 29.
91
Ahmad Amin, Kitāb al-Akhlāq (Kairo: Dar al-Kutb al-Misriyah, 1931), h. 2
92
Iman Abd al-Mu‟min Sa‟d al-Din, al-Akhlāq fī al-Islām (Kairo: Maktabah al-
Rusy, 2002), h. 24-25

98
atau `ilm al-akhlāq al-falsafī. Keduanya memiliki tujuan yaitu memberi
contoh yang terbaik di hadapan manusia berupa nilai dan prinsip-prinsip
akhlak. Perbedaan keduanya hanya dalam hal metodologi (manhaj). Ilmu
Akhlak Agama berlandaskan wahyu samawi, apakah itu agama Yahudi,
Nasrani, maupun Islam. Untuk itu, menurut Zaqzouq tidak dibutuhkan
pembahasan ilmiah tentang dasar-dasar dari kebaikan dan keburukan, yang
terpuji dan yang hina. Sedangkan Ilmu Akhlak Falsafi dasarnya adalah
akal dengan menggunakan metode filsafat.
Kedua perspektif ilmu akhlak agama dan filsafat tidak perlu
dipertentangkan karena menurut Zaqzouq Ilmu Akhlak Falsafi tidak
menolak secara mutlak akhlak agama yang dasarnya agama.Salah besar
katanya jika mengatakan bahwa keduanya bertentangan. Lebih lanjut ia
mengatakan tidak mungkin bertentangan jika sumbernya adalah sama.
Ilmu Akhlak Agama sumbernya dari Allah, sementara akal juga
sumbernya dari Allah, hanya saja satu sama lain saling melengkapi. Tidak
mungkin keduanya saling tidak membutuhkan. Keduanya dalam al-Qur‟an
berjalan secara berdampingan.
Di sini Zaqzouq sangat meyakini kedua sumber baik naqlī maupun
aqlī saling melengkapi karena sumbernya dari al-Qur‟an. Ini artinya, wah-
yu tidak mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, bisa jadi
akal gagal memahami wahyu ataupun hasil yang dicapai oleh akal tidak
benar metodologinya. Untuk itu juga Imam al-Ghazali melihat hubungan
keduanya bersifat kooperatif saling melengkapi (ta`āwun wa ta`ādhud)
bukan hubungan yang bersifat bertentangan dan berlawanan (nizā` wa
tadhāddu). Al-Ghazali menyebut dalam bukunya Ma`ārij al-Quds,
‫ والشرع َل يتبني إال بالعقل فالعقل كاألس و‬,‫اعلم أف العقل لن يهتدي إال بالشرع‬
‫فالشرع‬...‫الشرع كالبناء ولن يغين أس ماَل يكن بناء ولن يثبت بناء ماَل يكن أس‬
.‫عقل من خارج والعقل شرع من داخل وَما متعاضداف بل متحداف‬
Artinya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya akal sama sekali tidak akan
benar tanpa agama, demikian juga agama belum jelas kecuali dengan
keterlibatan akal, akal bagaikan pondasi, sementara agama bagaikan

99
bangunan”. Sama sekali tidak bermakna sebuah pondasi jika belum ada
bangunannya, juga sama sekali tidak akan bisa berdiri bangunan jika tidak
ada pondasinya. Maka agama adalah akal dari luar, sedangkan akal adalah
agama dari dalam, keduanya saling bersatu dan saling memperkuat.”.
Konsep keserasian akal dan agama menurut Imam al-Ghazali
berimplikasi pada caranya menafsirkan ayat al-Qur‟an Surah al-Nur/24:
35. Nūrun `alā nūr menurut al-Ghazali adalah akal dan agama, nur yang
pertama akal sedangkan nur yang kedua adalah agama. Lebih lanjut al-
Ghazali sebagaimana dikutip Zaqzouq, menyebut bahwa bertaklid dalam
urusan agama tanpa menggunakan akal secara umum adalah kebodohan,
sementara memadakan hasil pencapaian akal tanpa cahaya al-Qur‟an dan
Sunnah adalah tertipu.
Akal dan agama dipertentangkan tidak lahir dalam Islam, tetapi
lahirnya di Eropa. Perdebatan itu sebenarnya menurut al-Ghazali tidak
terdapat dalam Islam. Inilah yang melahirkan Negara sekuler, tidak
akurnya akal dengan agama.
Dalam studi akhlak ada yang disebut moral, sulûk, dhamîr, dan
irâdah. Ada yang membedakan moral sebagai tindakan baik dan buruk.
Hal ini sebanding dengan al-sulûk yang disebutkan oleh Hamdi Mahmud
Zaqzouq dalam Muqaddimah fī `Ilmi al-Akhlāq. Menurutnya, al-sulūk
adalah setiap perbuatan yang diinginkan.Al-sulūk ini menjadi dalil akhlak
yang baik dan yang buruk. Akhlak adalah kebaikan dan keburukan yang
tidak terlihat. Ia akan kelihatan dengan diperlihatkan dalam sulūk. Dus,
sulūk adalah terjemahan dari perilaku yang baik dan tidak baik (khulq).
Dengan kata lain, sulūk.itu adalah moral dan juga sebagai akhlak yang
zhahir.
Ada hubungan al-khulq dan al-sulûk, contohnya orang yang
memiliki akhlak yang mulia, tapi tidak menderma karena kefakirannya.
Seseorang yang sebenarnya pemberani, tetapi karena ia sakit, sehingga ia
tidak ikut dalam medan perang. Yang pertama tidak disebut kikir dan yang
kedua tidak disebut pengecut (al-jubn). Dengan demikian, al-sulūk
dipengaruhi oleh faktor keadaan. Lain halnya akhlak tidak dipengaruhi
oleh keadaan. Di sini terlihat bahwa khulq atau akhlak dipahami sebagai
potensi, sedangkan aktusnya disebut sulūk.

100
Kebebasan adalah syarat bagi setiap perbuatan akhlak. Tidak dapat
disebutkan sebagai akhlak jika ada faktor keterpaksaan. Taqiyah dalam
Syi`ah, yaitu berbohong untuk keselamatan jika bisa dinilai yang bukan
akhlak karena keterpaksaan.
Dhamīr dalam Kitab al-Akhlaq, Ahmad Amin menyebut sebagai
daya atau potensi yang memerintah untuk berbuat baik dan melarang untuk
meninggalkan keburukan, dirasakan seakan-akan suara itu datang dari
lubuk hati yang dalam. Dhamîr ini menurut Ahmad Amin ada yang
bersifat bawaan (given) dan ini terdapat juga pada hewan dan binatang.
Seekor anjing bisa saja berbuat salah secara sembunyi-sembunyi dari
tuannya. Sikap sembunyi sembunyi itu bisa disebut dengan naluri berbuat
salah. Sikap perasaan bersalah dari manusia juga bersifat naluriah.
Walaupun ada kalanya ditemukan manusia yang bersalah, naluri
bersalahnya tidak muncul. Dhamîr yang bersifat naluriah ini juga
terkadang bisa ditemukan pada diri anak-anak. Ketika anak-anak
melakukan kesalahan, sikap merasa bersalah pun terlihat dengan jelas.
Dhamîr tidak selamanya menyuruh pada kebaikan dan melarang
dari keburukan. Adakalanya dhamîr seseorang melakukan hal yang terba-
lik, yaitu menyuruh berbuat buruk dan melarang yang baik, persis seperti
pekerjaan setan. Bisa juga dhamîr seseorang pada suatu saat menyuruh
pada suatu perbuatan, contohnya semangat membaca buku tanpa
mengetahui aturan berdasarkan ilmu kesehatan. Tapi pada waktu yang lain,
setelah ia mempelajari ilmu kesehatan, maka dhamîr-nya bertindak ber-
beda terhadap kegiatan membaca, dengan menjaga unsur-unsur kesehatan
mata. Di sini dhamîr kelihatan dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan
juga akal. Selain itu kata Ahmad Amin, dhamîr juga dipengaruhi oleh
keadaan masyarakat dan adatnya.
Uraian di atas dengan jelas dapat dipahami bahwa dhamīr bisa
dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan dan mendidik akal agar
bisa berpikir logis. Kemudian, dhamîr itu juga ditingkatkan dengan
menciptakan adat dan budaya yang baik. Dalam menciptakan budaya yang
baik inilah dibutuhkan disiplin. Artinya, disiplin bisa diciptakan sebagai
proses budaya yang baik. Dhamîr sangat akrab dengan bangunan budaya

101
yang disebut adat. Adat itu adalah kebiasaan baik yang dipandang oleh
suatu tatanan nilai. Tatanan nilai yang universal itu adalah agama.
Membudayakan shalat dalam pengertian pembiasaan akan
mempengaruhi dhamîr seseorang, sehingga ketika shalat itu menjadi
membudaya bagi seseorang, dhamîr akan merasa tidak nyaman jika ia
meninggalkan shalat. Perasaan bersalah tidak shalat bisa muncul karena
faktor budaya atau adat dan bisa juga karena faktor pengetahuan tentang
agama. Ada dhamîr seseorang tidak merasa bersalah walaupun
meninggalkan ibadah shalat, bukan karena ia tidak tahu bahwa shalat itu
berupa kewajiban dari Allah, tapi karena shalat baginya belum menjadi
bagian dari budaya yang dibiasakan.
Menurut al-Ashfahani dalam al-Mufradāt… bahwa adat adalah
sebutan untuk sesuatu pekerjaan yang diulang-ulang, sehingga hal tersebut
dilakukan dengan mudah dan dengan senang hati. Untuk itu ada yang
mengatakan bahwa adat itu adalah tabiat kedua manusia. Artinya, tabiat
yang diusahakan (efforted: achieved)), sedangkan tabiat pertama adalah
bawaan (given).
Coba perhatikan ada hamba Allah yang sudah puluhan tahun
terbiasa shalat berjama`ah lima waktu. Baginya shalat berjama`ah untuk
setiap waktu sangat ringan dan mendatangkan ketenangan batin. Baginya
shalat berjama`ah telah menjadi adat. Ada juga orang yang terbiasa shalat
sunat tahajjud bertahun-tahun. Orang yang terbiasa melaksanakan shalat
sunat tahajjud, tidak serta merta ia terbiasa melaksanakan shalat sunat
Dhuha. Logika faktor kesusahan bangun malam, tidak selamanya linier
dengan teori bahwa jika shalat sunat Tahajjud saja seseorang terbiasa,
maka dengan sendirinya, ia akan terbiasa melaksanakan shalat sunat
Dhuha.
Orang yang suka membangun masjid, tidak juga dengan sendirinya
suka menderma kepada pengemis-pengemis di jalanan. Selain faktor
kebiasaan ada juga faktor ketertarikan tertentu. Berbuat baik saja ada
spesialisasinya. Ada orang spesialisasinya menderma kepada pengemis
jalanan. Ada juga yang spesialisasinya menderma kepada pengamen
jalanan. Ada juga yang spesialisasinya menderma kepada anak yatim, dan
sebagainya. Faktor ketertarikan itu ada yang disebabkan oleh pengalaman

102
masa lalu atau ada juga disebabkan logika kemanfaatan dan bahkan ada
juga disebabkan logika kreatif.
Penulis melihat di zaman pemilihan anggota legislatif dan kepala
daerah secara langsung, banyak bermunculan ambulan-ambulan gratis,
khususnya untuk membawa mayit ke kubur. Sangkin banyaknya, sering
“berebut menderma”. Terlepas apapun motifnya, tetapi memfasilitasi
ambulan khususnya di kota saat ini sudah tidak istimewa lagi. Coba
bandingkan dengan kreasi sebuah yayasan yang menyediakan tim untuk
membersihkan masjid secara priodik. Ini benar-benar kreatif karena selain
bermanfaat, juga belum ada yang melakukan. Kreasi ini menjadi inspirasi
bagi banyak orang bahwa ingin berbuat baik saja harus kreatif. Ada juga
seorang jama`ah Jum`at, setiap membawa Pisang Barangan beberapa sisir.
Pisang itu dibagi setelah selesai shalat sunat ba`diyah, sehingga yang telah
pulang sebelum shalat sunat ba`diyah tidak akan melihatnya dan tentu
tidak akan dapat bagian. Tidak mustahil, jama`ah yang mengetahui hal itu
dan berminat mendapat pisangnya, ia akan shalat sunat ba`diyah atau
sekedar ia tunggu waktu pembagiannya, apalagi bagi anak-anak.
Irâdah menurut Ahmad Amin adalah eksekutor dari apa yang
direncanakan oleh dhamîr. Tanpa dukungan irâdah, maka perintah dan
larangan tidak dapat dieksekusi oleh dhamîr. Irâdah lebih lanjut menurut
Ahmad Amin adalah daya eksekusi bagi manusia, tanpa perannya, perintah
dan larangan dari dhamîr menjadi “mimpi” saja. Jika bukan eksekutor,
irâdah bisa diibaratkan sebagai decision maker sebuah perintah dan
larangan. Jika demikian, maka konsepnya, al-nafs, al-`aql, al-qalb, al-
fuad, al-ruh, dan atau al-sir mengirim pesan berupa perintah atau larangan
ke dhamîr, kemudian setelah diseleksinya, dhamîr “meminta pendapat atau
persetujuan” dari irâdah untuk dieksekusi. Ketika pesan telah diputuskan
irâdah, maka dhamîr bisa mengeksekusi perintah maupun larangan.
Irâdah tidak selamanya bersifat reaktif, bisa juga bersifat proaktif.
Ia meminta pada dhamîr untuk menilai perintah dan larangan yang ia
inginkan, kemudian dhamîr menyampaikan pada “ahli”, yaitu al-nafs, al-
`aql, al-qalb, al-fuad, al-ruh, dan atau al-sir. Pesan dari irâdah
disampaikan secara profesional berdasarkan, jika itu perintah beribadah,
maka disampaikan minimal pada al-qalb. Bisa juga disampaikan pada al-

103
fuād, al-rūh, dan al-sirr, berdasarkan siapa yang punya irâdah. Irâdah
para nabi minimal disampaikan pada al-rûh dan sangat memungkinkan
pada al-sirr. Jika itu pada manusia biasa, bisa disampaikan pada al-qalb
maupun al-fuâd. Irâdah yang kuat menurut Ahmad Amin rahasia sebuah
kesuksesan dalam hidup.
Di dalam al-Qur‟an kata al-Ashfahani irâdah pada dasarnya
kekuatan yang berlipat ganda untuk sebuah keinginan kuat (syahwah) dan
kebutuhan berdasarkan suatu hukum, apakah sesuatu itu akan dikerjakan
atau ditinggalkan. Terkadang yang digunakan hanya prinsipnya, terkadang
yang digunakan tujuannya. Jika irâdah dinisbahkan kepada Allah, maka
yang dimaksud adalah tujuannya. Contohnya,

‫ص َدقَ ُك ُم اللّوُ َو ْع َدهُ إِ ْذ ََتُ ُّسونػَ ُهم بِِإ ْذنِِو َح ََّّت إِ َذا فَ ِشلْتُ ْم َوتَػنَ َاز ْعتُ ْم ِِف األ َْم ِر‬ َ ‫َولَ َق ْد‬
ِ ‫يد‬
َّ‫اآلخَرَة ُْث‬ ُ ‫الدنْػيَا َوِمن ُكم َّمن يُِر‬ ُّ ‫يد‬ ُ ‫صْيتُم ّْمن بَػ ْع ِد َما أ ََرا ُكم َّما َُِتبُّو َف ِمن ُكم َّمن يُِر‬ َ ‫َو َع‬
ِِ
َ ‫ل ٍل َعلَى الْ ُم ْؤمن‬
‫ني‬ ْ َ‫صَرفَ ُك ْم َعْنػ ُه ْم لِيَْبتَلِيَ ُك ْم َولَ َق ْد َع َفا َعن ُك ْم َواللّوُ ذُو ف‬
َ
Artinya, “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada
kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat
kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah
(Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai.
Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada
orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu
dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah
memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran/3:152)

‫ص ُم ُكم ّْم َن اللَّ ِو إِ ْف أ ََر َاد بِ ُك ْم ُسوءًا أ َْو أ ََر َاد بِ ُك ْم َر ْْحَةً َوَال َُِي ُدو َف‬ِ ‫قُل من ذَا الَّ ِذي يػع‬
َْ َْ
‫صْيًا‬ِ َ‫وف اللَّ ِو ولِيِّا وَال ن‬
ِ ‫ََلم ّْمن د‬
َ َ ُ ُ
Artinya, Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir)
Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat

104
untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi
mereka pelindung dan penolong selain Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:17)
Q.S. Ali Imran/3:152 berbicara tetang Perang Uhud yang
“menginginkan dunia” prinsipnya kesenangan dunia. Kesenangan dunia
pada ayat itu menginginkan harta rampasan. Sedangkan yang
“menginginkan akhirat” prinsipnya menuruti perintah Allah. Sedangkan
pada Q.S. al-Ahzab/33:17, bencana itu adalah bencana dan rahmat juga
adalah rahmat, tidak perlu ditafsirkan prinsipnya. Dengan bahasa lain,
kalau irâdah itu dinisbahkan pada manusia, maka bisa ditafsirkan dan
dilaksanakan prinsipnya, dan bisa juga yang dimaksudkan adalah mantûq-
nya. Sedangkan jika dinisbahkan pada Allah, irâdah yang dimaksud dalam
makna mantûq-nya.
Ketika irâdah secara proaktif berkehendak, pesan dikirim pada
dhamîr. Selanjutnya dhamîr menyerahkan pada ahlinya, yaitu al-nafs, al-
`aql, al-qalb, al-fuad, al-ruh, dan atau al-sir. Setelah proses seleksi dengan
cepat diserahkan kembali ke irâdah dan dieksekusi oleh dhamîr.
Dhamîr menurut Ahmad Amin berkembang dengan tarbiyah dan
melemah dengan perbuatan maksiat. Dhamîr akan hidup dengan ketaatan
yang kontinus dan melemah dan bahkan mati dengan kemaksiatan. Di sini
dhamîr dapat dipahami dalam hubungannya dengan kebaikan bukan
dengan keburukan. Dengan demikian, para pelaku maksiat, dhamîr-nya
lemah. Walaupun kekuatan akal yang hebat yang dapat menjadikan
seseorang menjadi baik, tetapi karena dhamîr-nya lemah, maka dengan
sendirinya, mesin penyeleksi kebaikan itu tidak berjalan secara normal,
sehingga keluar perintah berbuat buruk atau setidaknya keluar dari jalur
perintah dhamîr. Sesuatu yang keluar dari jalurnya tentu berbahaya.
Hukum akhlak menurut Ahmad Amin berbicara tentang baik dan
buruk yang tidak lahir kecuali dengan perbuatan yang dilandasi oleh
irâdah (al-a`mâlu al-irâdiyah).
Menurut Ahmad Amin banyak faktor yang menjadikan manusia
baik, yang paling dominan ada tiga, yaitu faktor uswah (teladan),
pembiasaan, dan pengetahuan.
Alquran menyebut kata “uswah” tiga kali (Q.S. al-Aḥzāb/33: 21, al-
Mumtaḥanah/60: 4 dan 6). Nama yang disebut untuk diteladani itu ada

105
dua, yaitu Nabi Muhammad Saw. dan Nabi Ibrahīm a.s. Yang mau
diteladani juga disebut “orang-orang yang bersama Nabi Ibrahīm a.s.
Surah al-Aḥzāb dan al-Mumtaḥanah sama-sama Madaniyah. Surah al-
Aḥzāb, nomor urut 4, sedangkan al-Mumtaḥanah nomor urut 5.

‫ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لّْ َمن َكا َف يَػ ْر ُجو اللَّوَ َوالْيَػ ْوَـ ْاآل ِخَر َوذَ َكَر‬ ِ ِ
ْ ‫لَ َق ْد َكا َف لَ ُك ْم ِِف َر ُسوؿ اللَّو أ‬
‫اللَّوَ َكثِ ًْيا‬
Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-
Aḥzāb/33: 21)
Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. itu
teladan bagi orang-orang yang mengharapkan Allah dan hari akhirat, juga
mereka yang banyak berzikir. Mengharap Allah ini ditafsirkan
mengharapkan bertemu dengan Allah. Dalam khazanah tasauf, bertemu
dengan Allah adalah tujuan akhir dan puncak kebahagiaan manusia. Untuk
itu, ada hadis yang berbunyi,

ِ ِ َّ ‫وؼ فَ ِم‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ‫ول‬


‫ب‬
ُ َ‫الصائم أَطْي‬ ُ ُ‫ني يَػ ْل َقى َربَّوُ َو َْلُل‬ َ ‫لصائ ِم فَػ ْر َحتَاف فَػ ْر َحةٌ ح‬
َ ‫ني يػُ ْفط ُر َوفَػ ْر َحةٌ ح‬ َ
ِ ‫يح الْ ِمس‬ ِِ ِ
‫ك‬ ْ ِ ‫عْن َد اللَّو م ْن ِر‬
Artinya, “Bagi yang puasa dua kebahagiaan, kebahagiaan yang pertama
sewaktu berbuka dan kebahagian yang kedua ketika bertemu Tuhannya,
dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah dari
harumnya minyak kesturi.” 93
Ibn Kaṡīr ketika menafsirkan ayat di atas menyebut bahwa Nabi
Muhammad Saw. diteladani baik dalam perkataan, perbuatan, dan

93
Imām al-Bukhārī, Ṡaḥīḥ al-Bukhārī (Semarang: Toha Putra, t.t.), Jilid VIII, h.
197.

106
keadaannya (aḥwāl). 94 Para mufassir tidak banyak panjang lebar
menafsirkan ayat di atas, mungkin karena hal tersebut sudah jelas, yaitu
Rasulullah Saw. adalah sosok teladan manusia dalam segala hal. Ibn Abi
Bakar dalam Ad-Durr al-Manṡūr fī at-Tafsīr bi al-Ma‟ṡūr banyak
mengemukakan contoh-contoh riwayat bahwa Rasulullah harus dijadikan
teladan dalam hal ibadah dan akhlak. Contohnya ketika dalam perjalanan
dari Madinah ke Mekah Sa`īd ibnu Yasār bersama Ibn `Umar, Ibn Yasār
takut masuk waktu Subuh sementara ia belum salat witir, maka ia
melaksanakan salat witir. Ibn `Umar berkomentar, “alaisa laka fī
rasūlillāhi uswatun ḥasanah?: bukankah bagimu Rasulullah sebagai
teladan yang baik?”. Ibn Yasār menjawab “tentu!”. Ibn `Umar berkata
bahwa Rasulullah ketika dalam perjalanan dan khawatir waktu Subuh akan
masuk, maka beliau witir di atas unta. Karena pada saat itu Ibn Yasār turun
dari unta dan kemudian melakukan salat witir. 95 Pesan riwayat ini,
Rasulullah sangat memperdulikan ibadah salat witir sebelum masuknya
waktu Subuh. Ketika beliau dalam perjalanan, tidak perlu berhenti dari
kenderaan, bisa melakukan salat witir di atas kenderaan. Dapat dipahami,
bahwa saat Rasulullah menunggang unta, tentu salat witirnya tidak seperti
pelaksanaan salat biasa yang bisa berdiri, ruku`, dan sujud. Itu bisa
dilakukan dengan salat duduk. Demikian juga zaman sekarang ini bisa saja
melakukan salat witir di atas bus, kereta api, dan juga pesawat.
Jika dipahami dengan tepat ajaran Islam, nyatalah bahwa segenap
kehidupan Muhammad Saw. adalah referensi akhlak yang patut diteladani.
Kehidupannya menjadi lembaga pendidikan akhlak bagi semua manusia. 96

‫ين َم َعوُ إِ ْذ قَالُوا لَِق ْوِم ِه ْم إِنَّا بػَُراء ِمن ُك ْم‬ ِ َّ ‫قَ ْد َكانَت لَ ُكم أُسوٌة حسنةٌ ِِف إِبػر ِاى‬
َ ‫يم َوالذ‬ َ َْ ََ َ َ ْ ْ ْ
ِ ِ ‫وَِّمَّا تَػعب ُدو َف ِمن د‬
َ ‫وف اللَّو َك َف ْرنَا بِ ُك ْم َوبَ َدا بَػْيػنَػنَا َوبَػْيػنَ ُك ُم الْ َع َد َاوةُ َوالْبَػ ْغ‬
‫لاء أَبَ ًدا َح ََّّت‬ ُ ُْ َ
94
Ismāīl ibnu Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm(Kairo: Maktabah
Aulād al-Syaikh li at-Turāṡ, 2000), Jilid XI, h. 124.
95
`Abdul Raḥman ibn Abi Bakar as-Suyūtī, Ad-Durr al-Manṡūr fī at-Tafsīr bi al-
Ma‟ṡūr (Mesir.: Dar Hijr, 2003), Jilid XI, h. 754-755.
96
Sa‟id Ismail Ali, as-Sunnatu al-Nabawiyah: Ru‟yatun Tarbawiyatun (Kairo: Dar
al-Fikri al-„Arabi, 2002), h. 296.

107
‫ك ِم َن اللَّ ِو ِمن‬ ِ ِ ‫تُػؤِمنوا بِاللَّ ِو وح َده إَِّال قَػوَؿ إِبػر ِاىيم ِألَبِ ِيو َأل‬
َ َ‫ك ل‬ َ َ‫َستَػ ْغفَر َّف ل‬
ُ ‫ك َوَما أ َْمل‬ ْ َ َْ ْ ُ َْ ُْ
ِ َ ‫ك أَنَػبػنَا وإِلَي‬ ٍ
ُ‫ك الْ َمصْي‬ ْ َ ْ َ ‫ك تَػ َوَّك ْلنَا َوإِلَْي‬ َ ‫َش ْيء َّربَّػنَا َعلَْي‬
Artinya, Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada
Ibrahīm dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.
Kecuali perkataan Ibrahīm kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu
pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahīm berkata): "Ya Tuhan kami,
hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah
kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, (Q.S. al-
Mumtaḥanah/60: 4).
Ayat diatas memiliki asbābu an-nuzūl , yaitu ketika seorang sahabat
bernama Hatib bin Abi Balta‟ah yang dibawakan seorang wanita dengan
naik unta untuk memberitahukan beberapa perintah Nabi Muhammad Saw.
Menurut sahabat tersebut, dengan cara begitu ia telah berbudi kepada
mereka dan pada gilirannya mereka itu akan menjaga keluarga dan harta
bendanya di Mekah. Itu dilakukan oleh Hatib melihat kaum Muhajirin itu
pada umumnya mempunyai keluarga musyrikin di Mekah. Kenyataan itu
membuat mereka yang mempunyai keluarga dan harta benda di Mekah
akan dijaga oleh saudara mereka sendiri, sementara Hatib tidak punya
saudara seperti mereka. Hatib tidak melakukan itu karena alasan akidah.
Untuk itu, turunlah Q.S. al-Mumtaḥanah/60: 1-4.97
Pesan di ayat empat itu, perlu meneladani Nabi Ibrahim a.s. dan
yang mengikutinya ketika mereka mempunyai saudara yang musyrik,
dengan tegas mereka membuat jarak karena faktor akidah. Ayat di atas
menyebut pengecualian bahwa yang tidak boleh diikuti atau diteladani dari
Nabi Ibrahīm a.s. adalah ia memohon ampunkan bapaknya Azar yang
musyrik. Kandungan ayat ini mengajarkan bahwa orang mukmin tidak
97
Syeikh Imam Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi an-Nausaburi, Asbābu an-
Nuzūl (Beirut:: Alam al-Kutb, t.t.), h. 314-317

108
perlu memohon ampunkan orang-orang musyrik walaupun itu keluarga
dekatnya.
Q.S. al-Mumtaḥanah/60:6 menyebutkan dua kriteria orang yang
menjadikan Nabi Ibrahīm a.s. dan pengikutnya yang beriman sebagai
teladan, yaitu orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir. Kriteria ini
tidak berbeda dengan yang disebutkan pada Q.S. al-Aḥzāb/33: 21. Pada
Q.S. al-Mumtaḥanah/60: 6 tidak disebutkan kriteria banyak berzikir
kepada Allah seperti pada Q.S. al-Aḥzāb/33: 21.
Tentang meneladani Rasullah Saw., menurut Quraish Shihab ada
yang tidak boleh mengikuti beliau, yaitu menikah sebanyak istri
Rasulullah Saw. Tidak ada yang membantah bahwa Istri Rasulullah Saw.
lebih empat, sementara bagi ummat Muhammad Saw. hanya dibolehkan
menikahi maksimal empat wanita berdasarkan Q.S. an-Nisā‟/4: 3.
Kemudian perlu diingat bahwa Rasulullah Saw. tidak disusui oleh ibunya
Aminah, tetapi disusui oleh oleh wanita lain. Hal yang demikian adalah
adat orang Arab disusui oleh wanita “upahan”. Bagi kaum ibu yang sedang
memiliki bayi, hendaknya menyusui anaknya sendiri, tanpa harus berpikir
mengikuti bagaimana Rasul disusui oleh wanita lain. Hanya saja, melihat
begitu pentingnya Air Susu Ibu (ASI) bagi si bayi untuk nutrisi dan
termasuk nutrisi otak, maka jika kaum ibu yang sedang menyusui, tidak
keluar ASI-nya, maka menyusukan kepada wanita lain, itu jauh lebih baik
daripada tidak disusukan dengan ASI.
Nabi-nabi pilihan Allah itu secara logis bisa dijadikan teladan.
Banyak yang dapat diikuti dari kisah-kisah para nabi, apalagi dalam hal-
hal tertentu. Menahan hawa nafsu seksual dari seorang wanita cantik, itu
diberi contoh dengan baik oleh Nabi Yūsuf. a.s. Sabar menghadapi cobaan
penyakit juga diberi contoh oleh Nabi Ayyub a.s. Nabi Sulaiman a.s.
memberi contoh tidak memilih harta dan kekuasaan dibandingkan dengan
ilmu, dan sebagainya. Profil Nabi Muhammad Saw. dan Nabi Ibrahīm a.s.
dalam Islam dapat dipahami secara simbolik, nama mereka berdua disebut
dalam doa tahiyat akhir setiap salat. Nabi Ibrahīm a.s. adalah nenek
moyang dari semua agama samawi. Nabi Muhammad Saw. adalah penutup
semua nabi, yang pada dirinya wahyu Allah itu telah sempurna.

109
Menurut Aḥmad Amīn, teladan didapatkan dari persahabatan dan
dengan cara membaca biografi para pembesar, khususnya di bidang
akhlak. 98 Para sahabat yang langsung bergaul dengan Rasulullah Saw. dan
juga para tabi‟in yang bergaul dengan para sahabat nabi memiliki akhlak
yang mulia secara umum. Sahabat dan tabi‟in adalah generasi terbaik
dalam sejarah.
Kenapa bisa sabahat dan tabi‟in generasi terbaik dalam Islam,
karena sahabat langsung dapat melihat, mendengar, dan merasakan
kemuliaan akhlak Rasulullah Saw., sehingga jelas cara mencontohnya.
Mengajarkan akhlak dengan perbuatan itu lebih fasih daripada sekedar
diomongkan. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah sehingga anak
muridnya banyak yang mengikuti sifat-sifat mulianya. Kemudian tabi‟in
belajar dari kepribadian para sahabat yang menjadi sumber primer dari
kepribadian Rasulullah Saw. Untuk itulah, semakin dekat jarak dan waktu
dengan “sang teladan”, maka semakin baiklah akhlak itu ditampilkan.
Dalam kedekatan jarak dan waktu dengan “sang teladan” lah,
makanya orang sering menceritakan teladan orang tuanya, orang
terdekatnya, gurunya, orang yang ada dalam lingkungannya. Murid-murid
langsung K.H. Hasyim Asy‟ari akan lebih fasih mencontohkan kebaikan
atau kemuliaan-kemuliaannya. Kemudian murid dari muridnya (murid
cucu) dari Hasyim Asy‟ari pun akan lebih fasih mencontoh kebaikan atau
kemuliaannya, karena mereka berguru dengan sumber primernya.
Demikian juga teladan tokoh-tokoh lain, seperti K.H. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah juga teladan para pahlawan kemerdekaan seperti
Soekarno-Hatta, Natsir, dan Cokroaminoto.
Adapun generasi “tābi`īn- tābi`īn” dari “sang teladan” sudah mulai
melemah pengaruhnya karena mereka berguru bukanlah dari sumber
primer, tetapi dari “sumber sekunder”. Karena jauhnya jarak waktu antara
yang akan mengikuti dan yang akan diikuti (sang teladan), maka yang
dapat dilakukan adalah seperti kata Aḥmad Amīn, membaca biografi
mereka.99 Dalam makna inilah barangkali kenapa orang-orang Timur-
Tengah dahulu menempatkan pelajaran Sirah Nabawiyah,hampir sejajar

98
Aḥmad Amīn, Kitāb al-Akhlāq (Kairo: Dar al-Kutb al-Misriyah, 1931), h. 139.
99
Ibid., h. 139.

110
dengan pelajaran Alquran. Biografi orang-orang baik bisa menjadi
“reference power” bagi para pembacanya atau pendengarnya. Otak dapat
menangkap enam hal, yaitu apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang
dikecap, apa yang disentuh, apa yang dicium, dan apa yang dilakukan.
Perlu disebutkan bahwa akhlak itu yang dipengaruhi dan mempengaruhi.
Setiap manusia akan dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi
lingkungannya.100
Akhirnya untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. bisa membaca
sejarah hidupnya yang banyak ditulis oleh para ilmuan. Sejarah Nabi
Ibrahīm a.s. dapat dibaca di dalam Alquran. Untuk memahami kisah Nabi
Ibrahīm a.s. bisa diperdalam dengan membaca hadis sebagai bagian dari
tafsirnya.
Al-Gazālī bernasehat kepada kaum muslimin agar tidak menjadi
ulama sū‟, mereka itu yang perkataan dan perbuatannya tidak sejalan.
Mereka itu bagaikan kuburan yang kelihatannya ramai, ternyata di
dalamnya hanya tengkorak-tengkorak.101 Hal ini yang tidak boleh,
sebagaimana firman Allah.

‫اب أَفَالَ تَػ ْع ِقلُو َف‬ ِ


َ َ‫نس ْو َف أَن ُف َس ُك ْم َوأَنتُ ْم تَػْتػلُو َف الْكت‬
ِ ِ ‫أَتَأْمرو َف الن‬
َ َ‫َّاس بالْ ِّْب َوت‬
َ ُُ
Artinya, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu
membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir.” (Q.S. al-
Baqarah/2: 44)

‫ين آَ َمنُوا َِلَ تَػ ُقولُو َف َما َال تَػ ْف َعلُو َف َكبُػَر َم ْقتًا ِع َند اللَّ ِو أَف تَػ ُقولُوا َما َال‬ ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّػ َها الذ‬
‫تَػ ْف َعلُو َف‬
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa

100
Ibid.
101
Imām al-Gazāli, Ihyā Ulūm al-Dīn (Semarang: Toha Putra, t.t.),Jilid I, h. 73.

111
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. aṣ-Ṣaff/61:
2-3).
Kedua ayat di atas dikutip al-Gazālī ketika bicara tentang ulama
su‟.102 Mereka itu menyuruh orang lain berbuat baik, sementara ia tidak
melakukannya atau mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Hal itu
menurut ayat di atas adalah dosa besar. Mengajar kebaikan hendaknya
memberikan uswah terhadap orang lain, tidak sekedar fasih membicara-
kannya saja. Perbuatan lebih fasih dalam memberikan pendidikan daripada
perkataan dan itu adalah uswah atau qudwah.103 Kalimat terakhir ini
senada dengan apa yang dikutip oleh Soediarto bahwa orang tidak dapat
mendidik dari apa yang dia maui, tidak juga dari apa yang ia dapat, tetapi
orang hanya dapat mendidik dari yang ia miliki. Ini semakna juga dengan
kalimat Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarsa Sung Tuladha”.104
Aḥmad Ibrāhīm Mihnā mengatakan bahwa studi kemanusiaan yang
terpenting itu adalah pendidikan. 105 Studi pendidikan terpenting itu adalah
pendidikan akhlak. Sementara metode pendidikan akhlak yang lebih
banyak berpengaruh terhadap keberhasilan menurut Muḥammad Qutb
adalah metode uswah. 106 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hendaknya
perilaku hati seseorang dapat dijadikan metode pendidikan, agar orang lain
mengikutinya.107
Metode uswah ini sangat baik digunakan untuk pendidikan akhlak
dalam semua materi, baik untuk mengajarkan al-ḥikmah, asy-syajā`ah, al-
`iffah, dan al-`adl. Di antara yang empat itu, mengajarkan tiga materi yang
terakhir lebih tepat lagi.

102
Ibid.
103
Mahmud Muḥammad al-Khaznadar, Hażā Akhlāqunā Hīna Nakūnu Mu‟minan
Haqqan, cet. 2 ( Riyāḍ: Dar Tayyibah, 1997), h. 224.
104
Soedijarto, ”Beberapa Catatan Terhadap Pendidikan Moral Dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Nasional” dalam Marwan Saridjo (Peny.), Mereka Bicara
Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 92.
105
Aḥmad Ibrāhīm Mihnā, at-Tarbiyah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Sya‟bi, 1982),
h. 124.
106
Muḥammad Qutb, Manhaj at-Tarbiyah al-Islāmiyah (Kairo: Dār al-Qalam,
t.t.),Jilid I, h. 219.
107
Ibid., h. 220.

112
Berjiwa besar (kibār an-nafs) contohnya memerlukan metode
uswah. Mengakui kesalahan, menerima kekalahan, tidak malu
menyebutkan kelemahan bagian dari kibār an-nafs.
Manusia pastilah pernah salah, yang tidak pernah salah adalah
Allah. Frase “allāhu a‟lam bi aṣ-sawāb” dan ”sadaqa allāhu al-‟aẓīm”
adalah ungkapan simbolik bahwa Allah pasti benar dan mustahil salah.
Keberanian untuk mengakui kesalahan perlu diteladani. Jika ”bawahan”
yang mengakui kesalahan itu hal yang biasa, tetapi pemimpin mengakui
kesalahan itu yang langka terjadi. Ada pepatah mengatakan, “the kings
never do wrong: raja tidak pernah salah”. Pemimpin yang dihormati
sering merasa gengsi untuk mengakui kesalahan di hadapan
“bawahannya”.
Guru juga sering malu mengakui kesalahan di hadapan murid-
muridnya atau siswanya. Demikian juga dosen, malu mengakui kesalahan
di hadapan mahasiswanya. Padahal mengakui kesalahan suatu hal yang
mulia. Di antara teladan mengakui kesalahan dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw. tentang keputusan tawanan Perang Badar. Abu Bakar
berpendapat, lebih baik menerima tebusan, sedangkan Umar bin Khattab
berpendapat membunuhnya. Setelah perdebatan yang panjang, Nabi
Muhammad Saw. mengikuti pendapat Abu Bakar.108
Pada saat itu ada tawanan yang memanfaatkan perdebatan dua
sahabat besar itu, seorang penyair, Abu Azzah Amr bin Abdullah bin
Umair al-Jumaih. Ia mengatakan, ”Muhammad,” katanya, ”Saya punya
lima anak perempuan dan mereka tidak punya apa-apa. Sedekahkan
sajalah saya kepada mereka. Saya berjanji dan memberikan jaminan,
bahwa saya tidak akan memerangi Anda lagi, juga sama sekali saya tidak
akan memaki-maki Anda lagi.”109 Ternyata, Abu Azzah ini mengingkari
janjinya dan kembali ikut berperang di Uhud dan kembali tertawan dan
dijatuhi hukuman mati. Untuk meluruskan putusan Nabi Muhammad Saw.
yang salah ini lah Allah menurunkan Q.S. al-Anfāl/8: 67.

108
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet. 30
(Jakarta: Litera AntarNusa, 2005), h. 267-269.
109
Ibid., h. 269.

113
ُ ُّ ‫َ ر ُ ُ َ َ َ َ ُّ ر‬ ‫َ َ َ َ ٍّ َ َ ُ َ َ ُ َ ر َ َ ى ُ ر‬
‫ادلنيَا َواهّلل يُ ِريد‬ ‫خ َن ِِف األر ِض ت ِريدون عرض‬
ِ ‫ِب أن يكون َل أْسى حَّت يث‬ ِ ‫ما َكن ِِل‬
ٌ ‫يز َحك‬ ُّ َ َ َ
ٌ ‫اهّلل َعز‬
‫يم‬ ِ ِ ‫اآلخرة و‬
ِ
Artinya, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta
benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Menerima kekalahan relatif lebih mudah didapatkan di zaman ini.
Budaya politik Amerika, umumnya dapat menjadi teladan, ketika kalah
dalam kontestasi pemilihan presiden. Di Indonesia, hal ini pun sering
ditemukan. Contohnya, dalam pemilihan Gubernur DKI yang dimenang-
kan oleh Jokowi, dimana salah satu calonnya Hidayat Nurwahid dari Partai
Keadilan Sejahtera. Pada saat pengumuman lewat quick count, meme-
nangkan pasangan Jokowi-Ahok, Hidayat Nurwahid mengucapkan selamat
kepada pemenangnya. Ini salah satu contoh saja dan masih ada lagi contoh
lainnya, selain Hidayat Nurwahid. Dalam olah raga dikenal istilah
“sportif”. Salah satu wujud sportivitas itu adalah menerima kekalahan.
Menyebutkan kelemahan pun bukan hal yang sepele, tetapi
memerlukan keberanian. Secara psikologis, orang lebih suka menceritakan
kelebihannya daripada kekurangan atau kelemahannya, bahkan ada jenis
orang yang berusaha menutup-nutupi kelemahannya. Biasanya orang yang
seperti itu, terlalu mengagumi dirinya secara berlebihan. Sesungguhnya
manusia punya kelebihan sekaligus punya kekurangan atau kelemahan.
Pantang ketakutan (an-najdāt) juga memerlukan metode uswah.
Orang-orang yang punya keberanian hebat, termasuk menghadapi resiko
kematian, mereka para pejuang. Profesi tentara membutuhkan an-najdāt
karena mereka akan berhadapan dengan musuh yang memiliki senjata
dalam mempertahankan keutuhan wilayah Negara. Polisi juga
membutuhkan an-najdāt karena mereka bertugas sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat yang terkadang berhadapan dengan kriminalitas.
Para mujahid adalah orang yang memiliki akhlak ini. Mereka maju ke
medan perang dengan prinsip hidup atau mati.

114
Orang-orang yang mengajarkan dan mendidik akhlak asy-syajā`ah
dan semua turunannya, hendaklah orang-orang yang telah berakhlak
dengan akhlak asy-syajā`ah, sehingga ia bisa menjadi uswah.
Metode uswah juga cocok diterapkan dalam mengajarkan dan
mendidik al-`iffah dan al-`adl. Teladan dari `iffah adalah para nabi dan
juga sufi. Singkatnya semua materi akhlak hendaknya diajarkan dan
dididik oleh orang-orang yang memang berakhlak dengan apa yang
diajarkannya, sehingga ia bisa dijadikan sebagai uswah. Teladan yang
sempurna adalah Rasulullah Saw. Guru yang idealnya ditiru tentulah harus
menjadi uswah. Pepatah yang mengatakan, “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari” sebagai gambaran bahwa kalau guru harus jadi uswah
bagi murid dan siswa. Jika guru berbuat buruk satu, maka murid dan
siswanya akan berbuat buruk dua atau tiga.
Dalam hal al-`adl, cocoknya diajarkan oleh para penegak hukum
yang semestinya bisa menjadi uswah dalam hal keadilan. Para hakim itu
adalah wakil Tuhan dalam memutuskan perkara secara adil. Ironisnya,
keadilan sering kali dipermainkan oleh hakim. Di Indonesia boleh jadi
susah menyebut nama hakim-hakim yang adil, sehingga pengadilan kurang
dipercaya dapat memberi keadilan. Keadilan juga dituntut pelaksanaannya
dalam semua pekerjaan. Guru dan dosen juga dituntut berlaku adil
terhadap murid dan mahasiswa. Para dokter juga dituntut untuk
melaksanakan keadilan terhadap pasiennya.
Kebiasaan dan pembiasaan adalah metode pendidikan yang berperan
penting, termasuk dalam membangun akhlak individu, suku, bangsa, dan
umat.110 Aḥmad Amīn mengatakan bahwa kebiasaan adalah tabiat kedua.
Manusia itu hampir berupa kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan yang
berjalan di muka bumi ini. 111
The custom makes something easy adalah salah satu jargon untuk
mengatakan begitu pentingnya pembiasaan, sehingga itu menjadi ringan.
Pembiasaan yang menghasilkan kebiasaan, sering juga disebut adat dalam

110
Dakhlullah, at-Tarbiyah al-Islāmiyah, h. 231.
111
Amin, Kitāb al-Akhlāq, h. 137.

115
bahasa Arab. Adat itu menjadi sumber etika, tetapi jika diformalkan bisa
menjadi hukum.
Alquran tidak memuat kata `ādah, `audah, i`ādah,`iyādah, dan `id.
Alquran memuat kata kerjanya (al-fi`l), ta`ūdūna dalam Q.S. al-A`rāf/7:
29, lata`udunna dalam Q.S. al-A`rāf /7: 88 dan Ibrahīm/14:13, „udnā,
na`ūdu dalam Q.S. al-A`rāf /7: 89, ta`ūdu, na`ud dalam Q.S. al-Anfāl/8:
19, ya`ūdū dalam Q.S. al-Anfāl/8: 38, ta``dū dalam Q.S. an-Nur/24: 17,
dan ya‟ūdūna dalam Q.S. al-Mujadalah/58: 3 dan.8. Dari ayat-ayat tersebut
dibangun pengertian adat dalam perspektif Alquran.
Surah al-A`raf, Makkiyah nomor urut 39 dan Ibrahim, Makkiyah
nomor urut 72. Surah al-Anfal, Madaniyah nomor 2, surah an-Nur,
Madaniyah nomor urut 16, dan al-Mujadilah, Madaniyah nomor urut 19.
Dari ayat-ayat di atas, kata adat yang dibentuk dari kata kerjanya itu
lebih banyak artinya kembali kepada jalan Allah atau agama Allah. Dalam
makna yang negatif, kembali pada ibadah berhala. Dua hal ini
berhubungan dengan masalah akidah. sedangkan yang menyangkut fiqh
berhubungan dengan menzihar istri. Menarik perkataan zihar harus melalui
proses hukum agama, yaitu memerdekakan budak, sebelum keduanya
bercampur sebagai suami-istri. Dalam bidang siyasah, orang-orang
musyrik itu dilarang mengadakan pembicaraan rahasia dan kembali
mengadakannya untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasul. Dalam
bidang siyasah juga tidak dibolehkan menyerang Rasul dan juga kembali
menyerangnya. Kalau orang musyrik kembali memerangi Rasul, maka
Allah akan kembali memberi pertolongan.
Proses pembiasaan menurut al-Gazālī dalam Ihyā‟ melalui proses
belajar.112 Proses belajar itu bisa melalui pendidikan formal di sekolah, non
formal di lingkungan, dan informal di rumah.
Pendidikan yang berlangsung di rumah sarat dengan praktik
pembiasan. Orang tua membiasakan anak-anak mereka untuk berdisiplin
dalam menjalankan ibadah, berperilaku sopan untuk semua orang, saling
menyayangi antar sesama keluarga, menghormati orang tua, dan

112
Imām al-Gazāli, Ihyā Ulūm al-Dīn (Semarang: Toha Putra, t.t.), Jilid III, h. 63.

116
sebagainya. Setiap orang memungkinkan untuk menuturkan bagaimana
orang tuanya mendidik dengan metode pembiasaan ini.
Lembaga pendidikan sebagai lingkungan yang diciptakan untuk
membangun “kemanusiaan” tentu sarat juga dengan praktik-praktik pem-
biasaan. Contohnya, di Pondok Modern Gontor. Pembiasaan berbahasa
Arab dan Inggris, jika ada yang melanggar disiplin bahasa, maka akan
mendapat sanksi. Selama enam bulan masa toleransi untuk menggunakan
bahasa selain Arab dan Inggris, dan selanjutnya umumnya santri sudah
terbiasa menggunakan kedua bahasa tersebut, setidaknya bahasa Arab.
Al-Gazālī dalam metode pembiasaan ini menyebutkan melalui
kesungguhan (mujāhadah) dan latihan (ar-riyāḍah). Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa barang siapa yang menginginkan akhlak yang terpuji,
maka caranya ia dibebani dengan perbuatan yang terpuji. 113 Anak yang
diharapkan bisa peduli terhadap penderitaan orang lain, hendaknya dibe-
bani untuk sering menderma baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

ُّ ‫َّاس َواللّوُ ُُِي‬


‫ب‬ ِ ‫ني َع ِن الن‬ِ ِِ َّ ‫ين يُ ِنف ُقو َف ِِف‬ ِ َّ
َ ‫ني الْغَْي َظ َوالْ َعاف‬
َ ‫السَّراء َواللََّّراء َوالْ َكاظم‬ َ ‫الذ‬
‫ني‬ ِِ
َ ‫اْل ُم ْحسن‬
Artinya, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan.” (Q.S. Āl-„Imrān/3: 124).
Anak yang diharapkan berbakti kepada orang tua, harus dibebankan
untuk selalu menuruti perintah dan larangan mereka dengan syarat tidak
melanggar syariat.114 Anak juga memberitahukan bahwa mengatakan,
“ah”115terhadap orang tua saja tidak boleh, sebagai bakti terhadap jasa-jasa
mereka yang telah membesarkan dan menyayangi anak sejak kecil.
Menurut al-Gazālī, semua akhlak yang terpuji pasti bisa dihasilkan
dari pembiasaan-pembiasaan melalui suatu belajar, kesungguhan dan
113
Ibid., h. 62.
114
Baca Q.S. Luqmān/31: 15 dan Al-„Ankabūt/29: 8.
115
Baca Q.S. Al-Isrā‟/17: 23.

117
latihan.116 Hal itu diupayakan sampai pelakunya merasakan perilaku terpuji
tersebut menyenangkan. Seseorang dinilai dermawan, jika ia menderma
dengan sungguh-sungguh baik sedang lapang maupun sempit dengan
senang hati, tanpa paksaan.117
Kenapa perlu pembebanan perilaku terpuji itu? karena ketika
perbuatan yang terpuji itu dilaksanakan, maka otak lebih mudah
menangkapnya. Dengan seringnya perbuatan terpuji ini ditangkap oleh
otak, maka perilaku itu masuk dalam alam bawah sadar (subconscious
mind).118 Ketika perilaku tersebut masuk dalam alam bawah sadar, maka
perilaku itu mudah dilakukan dan sebaliknya menjadi sulit untuk dihapus.
Semua kebaikan diusahakan membiasakannya, sehingga jiwa tidak merasa
terbebani. 119
Mari kita lihat ibadah salat baik yang wajib maupun yang sunat bagi
yang sudah terbiasa melaksanakan. Ketika datang waktu salat wajib, bagi
mereka yang sudah terbiasa, dengan ringan mereka melaksanakannya. Jika
ibadah salat itu tertinggal, maka justru ada perasaan tidak nyaman dalam
jiwa. Perilaku baik salat ini semakin masuk dalam pikiran bawah sadar dan
bahkan masuk dalam quanta karena daya dorong agama.
Kalau menghentikan kebiasaan buruk menurut Muḥammad Qutb
ada yang langsung bisa diputus, ada juga yang bisa dihapus, dan ada yang
dilakukan secara bertahap. Hal itu dilihat dari sisi tingkat keburukannya. 120
Masalah menyembah berhala, pada awal Islam pun langsung dilarang,
walaupun itu kebiasaan yang mendarah daging bagi orang Arab Jahiliyah.
Namun pengharaman minum khamr walaupun juga berbahaya, tetapi Allah
mengharamkannya secara bertahap. Dapat disaksikan sampai sekarang,
ada juga yang gemar minum khamr, tetapi ia tidak menyembah. Di sini
dapat dinilai bahwa masalah aqidah lebih utama dari masalah fiqh. Dari
aqidah menuju fiqh dan bukan sebaliknya.

116
Al-Gazāli, Ihyā, Jilid III, h. 63
117
Ibid.
118
Akh. Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani (Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 15.
119
Muḥammad Qutb, Manhaj at-Tarbiyah al-Islāmiyah, h. 244.
120
Ibid., h. 245.

118
Pembiasaan dalam pendidikan akhlak, barangkali perlu mengutip
ungkapan Imam al-Gazālī, “Seseorang yang membiasakan berbuat baik
dan mengajarkannya, niscaya jika berkembang akan membawa
kesenangan di dunia dan di akhirat. Jika ia membiasakan berbuat buruk,
dan ia merendahkan diri seperti perilaku binatang, maka ia akan menderita
dan hancur.”121
Jika dilihat dari materi pokok pendidikan akhlak, maka metode
pembiasaan ini sangat cocok dalam pendidikan syajā`ah, `iffah, dan `adl.
Berjiwa besar (kibār an-nafs), pantang ketakutan (an-najdāt), ketenangan
(`iẓam al-himmah), keuletan (aṡ-ṡabāt), kesabaran (aṣ- ṣabr), murah hati
(al-ḥilm), menahan diri (`adam aṭ-ṭaisyi), dan keperkasaan (as-sahamāt),
membutuhkan pembiasaan-pembiasaan. sikap sederhana (al-inbisāt),
melihat situasi (aẓ-ẓarf), dermawan (as-sakhā‟), dan penolong (al-
musā`adāt) juga cocok diajarkan dengan pembiasaan-pembiasaan.
Demikian juga berbuat adil membutuhkan pembiasaan-pembiasaan.
Umumnya kebaikan itu pada mulanya tidak mudah, tetapi setelah
mengalami proses pembiasaan, kebaikan itu menjadi mudah. Cara hidup
orang kaya tidak perlu dibiasakan, karena hal itu tidak susah. Cara hidup
sederhana adalah baik dan tidak mudah untuk dilakukan. Untuk itu cara
hidup sederhana biasa diajarkan di pesantren-pesantren, karena hidup ini
tidak selalu “mulus”. Sabar adalah sesuatu yang harus dibiasakan karena
tidak selamanya hidup ini menyenangkan. Orang-orang tercinta, ada
waktunya akan dipanggil oleh Yang Kuasa, maka setiap orang dituntut
untuk mampu bersabar. Orang yang mengikuti ujian apa saja, tidak
selamanya lulus, maka pembiasaan sabar diperlukan. Menderma atau
bersedekah tidak selamanya mudah dilakukan karena akal dan hati
manusia ada yang memahaminya merugikan, walaupun mereka telah
mempelajari bahwa menderma dan bersedekah menurut agama selalu
menguntungkan, jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi meyakini hal tersebut
diperlukan pembiasan-pembiasaan.
Jika para dermawan yang sudah terbiasa menderma dengan ikhlas
ditanya apakah mereka itu jatuh miskin karena menderma? Niscaya

121
Al-Gazāli, Ihyā, Jilid III, h. 78.

119
sebaliknya mereka akan mengatakan bahwa rezeki Allah bertambah
dengan bertambahnya semangat menderma dengan ikhlas.
Pengetahuan sebagai faktor kebaikan tidak dapat diingkari.
Pengetahuan itu ada yang masih dalam conscious mind. Jika pengetahuan
dalam conscious mind (pikiran sadar), maka pengaruhnya terhadap
kebaikan masih tergolong paling rendah. Jika pengetahuan itu tersimpan
dalam subconscious mind (pikiran bawah sadar), pengaruhnya terhadap
kebaikan semakin besar. Apabila pengetahuan itu tersimpan dalam
quantum, ditempat yang sangat dalam dan paling aman, maka pengaruhnya
paling besar.
Minum khamr contohnya bagi anak muda diketahui hukumnya
haram. Namun pengetahuan itu yang masih tersimpan dalam conscious
mind. Esok lusa akal anak muda bisa saja diajak temannya pesta minuman
keras. Walaupun dia tau khamr itu haram, tetapi akalnya mengatakan,
“tidak apa-apa lah hanya sekali untuk tidak dianggap asing. Toh masih
banyak kesempatan untuk berbuat baik untuk menutupi dosa tersebut.”
Pada tahap conscious maind, pengetahuan itu masih bisa dilanggar dengan
logika yang lain.
Bagi orang dewasa yang berprofesi ustadz bahkan Kyai, khamr
bukan saja dia ketahui haram, tetapi dia juga mengetahui bagaimana efek
sampingnya terhadap kesehatan dan juga kerusakan otak. Tidak hanya
berhenti disitu pengetahuannya, ia juga mengetahui dengan meyakinkan
bahwa khamr dapat juga merusak sistem rohani manusia. Untuk itu ketika
ada yang mengajaknya untuk minum khamr, penolakannya sangat keras.
Peluang untuk melanggar aturan itu sangat minim. Bisa diibaratkan
peluang dilanggarnya aturan itu antara 5-10 %. Jika ada yang menguji
pengaruh pengetahuannya, sekali minum khamr akan diganti imbalannya 1
Milliyar, boleh jadi ia pertimbangkan antara diterima atau tidak. Jika
dipertimbangkan bahwa ia minum khamr sekali dan uang 1 Milliyar itu
digunakan untuk fasilitas berbuat baik, maka bisa saja ia tergoda. Atau jika
ada ancaman, ia boleh memilih minum khamr atau akan dibunuh. Boleh
jadi ia akan mempertimbangkan melanggar aturan atau tidak.
Bisa dibandingkan jika pengetahuan itu tersimpan dalam kuanta.
Minum khamr yang haram itu tidak boleh dilakukan kapan dan dimana

120
pun, walaupun dalam tekanan, kecuali dalam darurat jika tidak diminum
maka akan menyebabkan kematian. Pengetahuan seperti ini bisa diyakini
ada dalam para diri nabi dan rasul. Kalau sekedar ancaman minum khamr
atau mati, ia akan memilih mati, karena baginya minum khamr jauh lebih
membahayakan dari kematian. Untuk itu, proses usaha memindahkan
pengetahuan dari conscious mind ke zona subconscious mind dan
kemudian ke zona quantum menjadi penting dalam konteks pendidikan
akhlak. Skala pengetahuan ini barangkali sebanding dengan apa yang
disebut dengan `ilmu al-yaqîn, `ain al-yaqîn, dan haqq al-yaqîn.

121
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Para ahli beragam dalam mendefinisikan epistemologi. Tulisan ini


secara sengaja akan membahas epistemologi sebagaimana yang disebutkan
oleh Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu bahwa
epistemologi, cara mendapatkan pengetahuan yang benar.1 Bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan tentang Filsafat Pendidikan Islam yang benar,
sehingga ia menjadi berbeda dengan filsafat pendidikan.

A. Langkah Merumuskan Filsafat Pendidikan Islam


Ada sebagian kesan sarjana bahwa ilmu-ilmu keislaman selain ilmu-
ilmu tradisional seperti Filsafat Pendidikan Islam hanya sekedar nama
yang substansinya tidak berbeda dengan filsafat pendidikan sekuler untuk
membedakannya dengan Filsafat Pendidikan Islam. Sebagian lagi
berpendapat hanya sekedar justifikasi dengan berbagai ayat al-Qur‟an dan
hadits, sementara substansinya juga sama dengan filsafat pendidikan
sekuler. Bagaimana idealnya Filsafat Pendidikan Islam didapatkan
(epistemologi).

ِ ِ ٍ
َ ِ‫ث ِِف ُك ّْل أ َُّمة َش ِه ًيدا َعلَْي ِهم ّْم ْن أَن ُفس ِه ْم َوجْئػنَا ب‬
‫ك َش ِه ًيدا َعلَى َى ُػؤالء‬ ُ ‫َويَػ ْوَـ نَػْبػ َع‬
ِِ ِ ٍ ِ ‫ونَػَّزلْنَا علَيك الْ ِكت‬
َ ‫اب تْبػيَانًا لّْ ُك ّْل َش ْيء َوُى ًدى َوَر ْْحَةً َوبُ ْشَرى للْ ُم ْسلم‬
‫ني‬ َ َ َ َْ َ
Artinya, (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-
tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri. (Q.S. al-Nahl/16:89)

1
Jujun S. Suriasumantri, Filasat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005), h. 99

122
Ayat di atas sebagai petunjuk bahwa al-Qur‟an bisa menjelaskan
semua ilmu, termasuk Filsafat Pendidikan Islam, jika para sarjana yang
ahli di bidangnya bisa “berdialog” dengan al-Qur‟an.
Sebagaimana dikatakan oleh Jalaluddin Rumi bahwa al-Qur‟an itu
bagaikan wanita bercadar, yang kelihatannya sangat sedikit, yaitu matanya
saja. Namun jika kita dekat dengannya, maka wanita bercadar itu akan
membuka diri, bahkan ia akan menampakkan semuanya tentang dirinya.
Itu akan dilakukannya kepada suaminya tercinta.
Untuk itu bagi siapa yang akan mengajak al-Qur‟an berdialog,
maka hendaknya mencintai al-Qur‟an, sehingga menjadi dekat sedekat-
dekatnya. Kedekatan itu akan membuka tabir bagaimana al-Qur‟an
berbicara tentang Filsafat Pendidikan Islam. Sebagai catatan, jangan
berkhayal bahwa al-Qur‟an secara rinci akan berbicara banyak tentang
Filsafat Pendidikan Islam, tetapi al-Qur‟an akan berbicara prinsip-prinsip
umum. Di sini seorang sarjana yang sedang berdialog dengan al-Qur‟an
selain mengadakan pendekatan dengan al-Qur‟an secara akrab, juga tetap
berusaha membaca karya-karya para ahli yang berhubungan dengan
Filsafat Pendidikan Islam.
Jika tingkatan makhluk hidup itu menurut Ibn Sina terbagai tiga,
yaitu tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, maka pendidikan focus
mengurusi manusia. Mengurusi manusia agar bisa menggunakan tumbuh-
tumbuhan dan memanfaatkan dan memperlakukan hewan secara sah
menurut ketentuan Allah.
Jika makhluk dilihat dari ketaatan dan pengingkarannya kepada
Allah, terdiri dari manusia dan jin, maka manusia mengurusi manusia saja.
Mengurusi bagaimana manusia harus selalu melakukan perlawanan
terhadap syaitan baik dari jenis manusia maupun jin.
Pembahasan filsafat secara umum (‫بد اٌفٍضفخ‬ِٙ‫ )أ‬tentang Tuhan,
alam, dan manusia. Filsafat Pendidikan Islam harus memperhatikan
harmonisasi ketiga hal tersebut. Urusan bertuhan pastilah tidak menodai
nilai kemanusiaan. Karena alasan taat kepada Allah seseorang berpuasa
lima hari berkelanjutan tanpa membatalkannya siang dan malam. Itu bisa
saja tergolong bertuhan yang merusak kemanusiaan. Orang yang
memahami perlunya berdzikir, sehingga ia berdzikir siang malam,

123
sementara ia tidak mencari nafkah untuk dirinya anak dan istrinya. Itu pun
termasuk bertuhan yang merusak kemanusiaan.
Dalam hal menghormati kemanusiaan juga, jangan sampai merusak
tatanan bertuhan. Mengikuti adat yang melanggar syariat itu tergolong
menghormati kemanusiaan yang merusak tatanan ketuhanan. Tidak tepat
konsep menghormati manusia, tetapi menyalahi aturan Tuhan.
Memelihara alam juga harus memperhatikan kepentingan manusia
dan sesuai dengan aturan Allah. Keharmonisan konsep ketuhanan, kema-
nusiaan, dan kealaman harus menjadi perhatian Filsafat Pendidikan Islam.
Filsafat Pendidikan Islam adalah bagian dari studi Islam. Studi Islam
mutlak harus memahami bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah dasar
dari ilmu-ilmu keislaman. Selain itu, bahasa Arab adalah sebagai bahasa
ilmiah dari dirinya (‫ب‬ٙ‫)ٌزار‬.
bukan karena ilmu-ilmu keislaman itu banyak ditulis dalam bahasa
Arab. Ada bahasa ilmiah ilmu-ilmu keislaman karena ilmu-ilmu tersebut
ditulis dengan bahasa yang dimaksud, termasuk di dalamnya bahasa
Inggiris, bahasa Ibrani, bahasa Prancis, bahasa Melayu, bahasa Persia,
bahasa Turki, bahasa Urdu, bahasa Hindi, dan mungkin ada lagi bahasa
lainnya. Bahasa-bahasa yang disebutkan di atas disebut ilmiah karena
ilmu-ilmu keislaman banyak ditulis dengan bahasa tersebut (‫)ٌغيش٘ب‬.
Peta pemikiran pendidikan dilihat dari jalurnya ada disebut
pendidikan formal, nonformal, dan informal.2 Bagaimana melihat, apakah
ada istilah ini dalam sistem pendidikan Islam. Pertama kali, karena istilah
itu ada dalam bahasa Inggris, maka bisa dilihat di dalam kamus tarbiyah,
contohnya yang ditulis oleh Muhammad Ali al-Khauli Kamus Tarbiyah
dari Bahasa Inggris ke Bahasa Arab.
Istilah formal education, diterjemahkan oleh Ali al-Khauli dengan
‫ اٌزؼٍيُ إٌظبِي‬atau ‫ اٌزؼٍيُ اٌشصّي‬atau ‫اٌزشثيخ إٌظبِيخ‬. Ia juga menjelaskan istilah
itu, ‫ اٌجبِؼبد‬ٚ ‫اٌزؼٍيُ في اٌّذاسس‬atau ‫يزٍمبٖ اٌطبٌت‬ٚ ٍُ‫ اٌزؼٍيُ اٌزي يزىفً يٗ اٌّؼ‬.3Ketika

2
Dalam UURI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat
dalam Bab VI, Bagian Kesatu, Pasal 13.
3
Muhammad Ali al-Khauli, Qamus al-Tarbiyah, (Beirut: Dar al-`Ilmi li al-
Malayin, 1981), h. 186.

124
istilah formal education dikonfirmasi di ‫يخ‬ٛ‫َ اٌزشث‬ٍٛ‫ ِؼجُ ِصطٍحبد اٌؼ‬yang
ditulis oleh Syauqi Sayyid al-Syairifi ternyata tidak ada.
Dari penelusuran konsep kata dan istilah, pendidikan formal dalam
pendidikan Islam tidak ditemukan, maka dengan sendirinya membahasnya
dalam sumber otoritatif dari al-Qur‟an dan hadits tidak bisa dilakukan.
Hanya saja, istilah bahasa Arabnya bisa saja mengikuti apa yang telah
disebutkan oleh Muhammad Ali al-Khauli.
Ali al-Khuli juga menyebut istilah pendidikan informal dengan ‫اٌزشثيخ‬
‫غيش سصّيخ‬atau ‫ رؼٍيُ غيش ٔظبِي‬atau ‫ اٌجبِؼخ‬ٚ‫ رؼٍيُ خبسج اٌّذسصخ أ‬atau ٓ‫رؼٍيُ ال يّى‬
‫ إٌشبط‬ٚ ‫اس‬ٚ‫اٌطبٌت ِٓ حيث األد‬ٚ ٍُ‫اٌزّييزفيٗ ثيٓ اٌّؼ‬. Juga ia menyebut non formal
education dengan istilah ‫ رؼٍيُ غيش سصّي‬atau ‫رشثيخ الٔظبِيخ‬atau ‫اٌزؼٍيُ خبسج‬
‫ي اٌذساصيخ‬ٛ‫اٌفص‬. Sekilas pendidikan informal seperti tidak ada perbedaannya,
tapi kalau diamati aksentuasinya non formal itu seperti dalam pemahaman
sistem pendidikan nasional, bukan pendidikan sekolah. Selain itu
pendidikan formal, biasanya berkumpul orang berdasarkan kebutuhan
yang sama seperti kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan. Pendidikan
informal, tidak ada komunitas tertentu sekaligus tidak jelas batas-batas
siapa pendidik dan peserta didik. Satu sama lain, saling mengambil
manfaat dan menjadikannya saran pendidikan.
Dasar filosofis pendidikan formal, informal dan non formal tetap
bisa dicari di dalam al-Qur‟an. Contohnya dasar pendidikan formal bisa
dirujuk dari kandungan ayat

‫الذ ْك ِر إِف ُكنتُ ْم الَ تَػ ْعلَ ُمو َف‬ ِ ِ ِ


َ ْ َ‫ك إِالَّ ِر َجاالً نُّوحي إِلَْي ِه ْم ف‬
ّْ ‫اسأَلُواْ أ َْىل‬ َ ‫َوَما أ َْر َس ْلنَا من قَػْبل‬
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan(^) jika kamu tidak mengetahui,”
(Q.S. al-Nahl/16: 43).

125
‫الذ ْك ِر إِف ُكنتُ ْم الَ تَػ ْعلَ ُمو َف‬ ِ
َ ْ َ‫ك إِالَّ ِر َجاالً نُّوحي إِلَْي ِه ْم ف‬
ّْ ‫اسأَلُواْ أ َْىل‬ َ َ‫َوَما أ َْر َس ْلنَا قَػْبػل‬
Artinya, “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika
kamu tiada mengetahui.” (Q.S. al-Anbiya‟/21:7).
Perhatian kita tertuju pada, “tanyakan ahlu al-dzikri, jika kamu tidak
mengetahui”. Zamaksyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf menafsirkan “ahlu
al-dzikri” sebagai ahl al-kitab. Zamaksyari menambahkan alasannya
bahwa al-kitab itu sebagai mau`izhah dan tanbîhun li al-ghâfilîn (nasehat
yang menyejukkan dan menyenangkan orang yang dinasehati juga sebagai
peringatan bagi orang-orang lalai). Al-Maraghi dalam tafsirnya al-Maraghi
dalam menafsirkan Q.S. al-Anbiya/21:7 menyebut bahwa ahlu al-dzikri itu
yang beriman terhadap Taurat dan Injil. Dua kitab ini kata al-Maraghi akan
memberitahukan “kamu” tentang kebenaran dan semakin jelas “bagimu”
mana yang benar (al-shawâb) itu. Abi Hilal al-Askari dalam Mu`jam al-
Furûq al-Lughawiyah menyebut bahwa al-shawâb itu konsisten baik dan
benar. Al-Shawâb dalam filsafat ilmu disebut teori koherensi, dimana
kebenarannya konsisten.
Dari makna ahlu al-dzikri bisa ditangkap substansinya dalam
konteks pendidikan sebagai profesionalisme. Ahlu al-dzikri, jika dipahami
sebagai orang yang gemar berdzikir dengan ucapan kalimat-kalimat
thayyibah yang terkenal “astaghfirullah, subhanallah, alhamduillah, Allahu
akbar, la ilah illah”. Kalimat-kalimat itu rutin dibaca dan berulang-ulang
dengan khusu‟. Kalimat dzikir itu bukan saja harmonis dengan lisan dan
telinga yang mengucapkan dan yang mendengarnya, juga harmonis dengan
akal dan kalbu. Maka, makna profesionalisme dalam “ahlu al-dzikri”
dalam makna pendidikan, orang-orang yang spesialis menguasai bidang-
bidang ilmu. Mereka itu bukan saja menguasai ilmu juga menyukai ilmu
tersebut, sehingga terjadi harmoni antara ilmu dengan kalbu dan perbuatan
mereka.
Dalam konteks pendidikan jalur pendidikan formal dari semua
jenjang pendidikan ahlu al-dzikri, orang yang melaksanakan profesinya
secara profesional. Profesional bukan saja mereka dihidupi dengan profesi

126
tersebut bahkan mereka juga bahagia secara emosional dan spiritual, akibat
dari profesionalitasnya.
Seorang guru profesional dalam bidang tafsir, mereka yang hobbi
membaca buku tafsir bahkan berusaha menafsirkan. Akibat dari
kegemaran membaca dan menafsirkan, maka dia juga gemar mengajar
tafsir. Waktunya banyak dihabiskan untuk urusan tafsir, layaknya orang
yang setiap habis shalat berdzikir. Begitu juga ahlu al-dzikri dalam bidang
geografi, mereka yang menghabiskan waktunya untuk ilmu-ilmu geografi.
Ahlu al-dzikri dalam bidang fisika, mereka yang banyak menghabiskan
waktu untuk ilmu-ilmu fisika dst.
Menurut saya kurang tepat disebutkan seseorang sebagai ahlu al-
dzikri dalam bidang filsafat, jika dalam sepekan (untuk tidak mengatakan
seminggu), ia hanya menghabiskan waktu satu hari yang berhubungan
dengan filsafat. Jika dalam sepekan, itu ada tujuh hari, setidaknya, ia
idealnya minimal berdzikir dengan filsafat sebanyak 4 hari. Seorang ahli
al-dzikri dalam bidang filsafat, tentu secara agresif akan “bermesraan”
dengan filsafat seperti firman Allah dalam Q.S. Ali Imran/3:191. Mereka
itu berfilsafat di saat berdiri, duduk, dan berbaring.
Bagaimana hubungannya dengan jalur pendidikan formal?
Dirancang, dipersiapkan, dan dilaksanakan secara profesional. Dengan
demikian, jalur pendidikan formal bisa dirujuk dari al-Qur‟an. Boleh jadi
ada kesan orang bahwa hal ini usaha pemaksaan atau setidaknya
justifikasi. Saya berpendapat bahwa al-Qur‟an tidak merekomendasikan
jalur pendidikan formal, informal, dan non formal, hanya saja, kita
mengajak al-Qur‟an berdialog tentang hal itu, karena al-Qur‟an sendiri
menyebutkan dirinya bisa sebagai penjelas (tibyân) atas segala sesuatu.
Kesan “mencari-cari” dalil, hemat saya tidak tepat, tapi upaya mencari
dalil al-Qur‟an memang sesuatu yang baik dan benar.
Dari uraian di atas, upaya mencari kebenaran filsafat pendidikan
Islam, dimulai dari membuka kamus ilmu dalam hal ini Kamus Tarbiyah
dan Kamus Istilah Tarbiyah atau Mu`jam (ensiklopedi). Hal ini dilakukan
untuk mencari konsep kata. Jika istilahnya berbahasa Inggris, harus
menemukan istilah bahasa Arabnya. Ada kalanya term itu persis ada dalam
bahasa Arab. Adakalanya ada dalam bahasa Arab tapi tidak ada dalam

127
bahasa al-Qur‟an, artinya secara tekstual tidak ada dalam al-Qur‟an
maupun akar katanya. Contoh yang ada termnya dalam al-Qur‟an ilmu
(`ilm) dan akal (`aql). Ada bahasa arab suatu istilah dalam pendidikan,
akar katanya ada dalam al-Qur‟an, contohnya guru yang bahasa Arabnya
bisa mu`allim atau mudarris, akar katanya ditemukan dalam al-Qur‟an dari
ain-lam-mim dan dal-ra-sin. Ada yang tidak ditemukan baik kata dan akar
katanya di dalam al-Qur‟an, tapi substansi substansi dapat digali dari al-
Qur‟an, hal ini yang banyak ditemukan. Contohnya dalam bidang
pendidikan, tujuan pendidikan Islam tidak mungkin langsung bisa
dijumpai dalam konsep kata dan juga istilah, tetapi hal itu dapat dipahami
dalam al-Qur‟an.
Abdul Rahmasampain al-Nahlawi menulis buku, judulnya al-
Tarbiyah bi al-Âyât. Kata al-Nahlawi, menjamurnya penelitian ilmiah
dengan pendekatan al-Qur‟an sebagai Mu‟jizat Ilmiah. Mu‟jizat ini ingin
menam-pilkan al-Qur‟an yang responsive terhadap banyak fakta-fakta
ilmiah. 4
Setelah masuk dalam ayat al-Qur‟an, seorang ilmuan harus
menggunakan tafsir dalam memahaminya. Karena corak tafsir itu juga
bermacam-macam yang dipengaruhi oleh penulisnya, maka diusahakan,
memilih tafsir yang tepat. Untuk kepentingan ilmiah, saat ini disarankan
menggunakan tafsir maudhu`i jika ada. Di zaman modern atau post
modern ini, kajian tafsir maudhu`i semakin digemari dari kebutuhan hal itu
dirasakan sangat perlu. Jika tidak ditemukan tafsir maudhu`i, maka
hendaknya para Profesor atau Doktor di bidang tersebut harus banyak
berijtihad merumuskan tafsirnya.
Sebagai pedoman metode tafsir maudhû`î , penulis melihat ada tiga
buku yang layak dipelajari, yaitu: 1). al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû`î,
karya Abdul Hayy Al-Farmawi. Al-Farmawi5 (Guru Besar Tafsir di
Universitas al-Azhar Mesir). adalah guru M. Quraish Shihab. Melalui
Quraish Shihab lah pemikiran Al-Farmawi tentang metode tafsir al-
maudhu`i menyebar di Indonesia. Al-Farmawi tahun 2009 telah

4
Abdul Rahman al-Nahlawi, al-Tarbiyah bi al-Ayat, Cet. 2, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), h. 7
5
Al-Farmawi adalah Guru Besar Tafsir di Universitas al-Azhar Mesir.

128
menerbitkan buku tafsir yang berjudul al-Sahlu al-Mufîd fî Tafsîr al-
Qur‟ân al-Majîd. Tafsir ini modelnya tahlili. 2). Mabahits fi al-Tafsîr
Maudhû`î, karya Mustafa Muslim. 6 Mushtafa Muslim telah membimbing
dan berperan langsung dalam penulisan tafsir maudhu`i yang berjudul al-
Tafsîr al-Maudhû`îli Suwari al-Qur‟ân al-Karîm. Tafsir ini terdiri dari 10
jilid. Dari sisi pengamalan metode tafsir maudhu`i, Mushtafa Muslim
bukan sekedar berteori, tetapi langsung mempraktekkannya. Satu lagi
karya tafsir maudhu`i yang layak menjadi rujukan, yaitu Manhaj al-Tafsîr
al-Maudhû`î li al-Qur‟ân al-Karîm yang ditulis oleh Abdul Rahman al-
Risywani.
Setelah membaca metode tafsir maudhu`i dan tafsir ayat dari
berbagai sumber yang representatif untuk tema yang dibahas, bisa
dikembangkan dengan membaca karya-karya sarjana Muslim. Di sinilah
dibutuhkan pengetahuan rating para ilmuan di bidangnya. Contohnya
dalam bidang akhlak, mengutip Tahdzib al-Akhlaq, karya Ibn Miskawaih.
Mengutip Kitâb al-Akhlâq, karya Ahmad Amin. Mengutip al-Dzarî`atu ilâ
Makârim al-Syaria`ah, karya al-Ragib al-Ashfahani. Mengutip Dustûr al-
Akhlâq fî al-Qur‟ân, karya Muhammad Abdullah Darraj. Mengutip al-
Muqaddimah fî `Ilm al-Akhlâq, karya Hamdi Mahmud Zaqzouq. Mengutip
Ihyâ‟ Ulûm al-Dîn, karya al-Ghazali, dan sebagainya. Ketika membaca
sejarah pendidikan Islam, bisa mengutip Târikh al-Tarbiyah al-Islâmiyah,
karya AhmadSyalabi. Membahas sejarah Perguruan Tinggi Islam bisa
mengutip Rise of College, karya George Maqdisi, demikian dan
seterusnya.
Setelah melakukan itu semua, maka seorang ahli merumuskan
sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu bisa saja metodenya, sistematika,
materinya, dan sebagainya. Tugas âlim mujtahid, jika diibaratkan ada
tepung beras, minyak goreng, dan pisang, maka membuat pisang goreng
itu tidak dibutuhkan. Dengan bahan yang sama, yaitu tepung, minyak, dan
pisang, ada juga orang membuatnya molen. Tugas ilmuan, dengan bahan
yang sama, jangan lagi membuat pisang goreng dan molen. Ada juga orang

6
Mushtafa Muslim adalah Guru Besar Tafsir di Universitas Islam Imam
Muhammad ibn Su`ud.

129
dengan bahan yang sama, dia buat “godok-godok”, bentuknya bulat. Di
sinilah sisi penting dari ilmuan untuk menemukan kebaruan (nobelty).
Jika disimpulkan epistemologi dari Filsafat Pendidikan Islam,
diawali dari pencarian istilah pendidikan dalam nomenklatur bahasa Arab
berupa kamus dan mu`jam. Kedua, mencari term atau substansinya di
dalam al-Qur‟an. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat secara tematik dengan
memilih tafsir yang lebih relevan dengan disiplin ilmu yang akan dibahas.
Keempat, mempertajam dan memperkaya tafsir tema yang dibahas dengan
referensi-referensi yang representative. Kelima, berijtihad dalam
melahirkan konsep maupun teori Filsafat Pendidikan Islam.

B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam


Ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam berdampingan erat dengan
ruang lingkup pendidikan Islam. Harus jelas batas-batas demarkasi atau
skat-skatnya pendidikan Islam, sehingga bisa membedakan mana
pendidikan Islam dan mana sekedar pendidikan. Jelas juga batas-batasnya
dengan disiplin ilmu lainnya, contohnya dengan tauhid, aqidah, ilmu
kalam, fiqh, sejarah, dan sebagainya.
Pendidikan Islam harus ditempatkan sebagai Islamic studies. Islamic
studies menurut Qodri Azizi dapat dilihat dari empat hal, yaitu Islam as a
resources (Islam sebagai sumber) dapat dikutip dari al-Qur‟an dan hadits.
Islam as a though (Islam sebagai pemikiran) berupa hasil pemikiran para
sarjana Muslim yang mumpuni di bidangnya. Islam as a history (Islam
sebagai sejarah), dimana data dan faktanya dapat dilacak ke akar-akarnya.
Terakhir Islam as a practices (Islam sebagaimana yang dipraktekkan) yang
dilakukan oleh umat Islam dimana saja.
Batasan studi Islam di atas menjadi dasar menilai sesuatu itu
pendidikan atau pendidikan Islam. Jika memenuhi salah satu kriteria yang
empat di atas, maka dapat disebutkan sebagai pendidikan Islam. Semakin
banyak memenuhi kriteria yang empat itu, maka teori pendidikan Islamnya
semakin kuat.
Menurut penulis, kriteria pendidikan Islam perlu ditambahi dari
empat kriteria di atas, yaitu harus berhubungan dengan Tuhan. Jika ada
orang yang mengajar dengan tujuan agar peserta didiknya berilmu, tidak

130
cukup disebut sebagai pendidikan Islam. Baik disebutkan atau tidak
niatnya, seseorang yang mengajar dengan tujuan agar peserta didiknya
berilmu dan dengan ilmu itu ia mengenal Tuhan dan pada gilirannya mau
mengabdi kepadaNya. Ilmu itu tujuan terdekatnya, mengenal Tuhan tujuan
menengahnya, mengabdi kepada Allah tujuan akhirnya. Dengan kata lain,
menurut versi Hasan Langgulung, pendidikan Islam tujuannya harus
berakhir untuk mencetak manusia yang berkepribadian khalifah.
Azyumardi menyebut pendidikan yang merujuk pada al-Qur‟an dan
hadits adalah bercorak normative. Jika merujuk pada pemikiran para
filosof Muslim, maka disebut bercorak filosofis. Jika merujuk pada data
dan fakta sejarah disebut bercorak historis. Sementara jika berhubungan
langsung dengan persoalan didaktif-metodik, disebut bercorak aplikatif.
Opsi lain dari ruang lingkup pendidikan Islam, disebutkan oleh
Ahmad Tafsir bahwa pendidikan Islam itu sangat luas sekali, ada
pendidikan agama Islam, ada pendidikan biologi Islam, pendidikan fisika
Islam, pendidikan kimia Islam, pendidikan teologi Islam, dan sebagainya.
Pendidikan yang dimaksud oleh Ahmad Tafsir itu dalam hal didaktif
metodik yang bercorak aplikatif.
Di wilayah pendidikan yang bercorak aplikatif inilah para sarjana
banyak berbicara mulai dari tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan,
metode pendidikan, pendidik, peserta didik, evaluasi pendidikan dan
sebagainya. Di sini dibicarakan secara detail brainware pendidikan, yaitu
semua manusia yang berkecimpung atau ada hubungannya dengan
pendidikan itu. Mereka itu bisa pemerintah yang mengatur dan
menanggung jawabi tentang pendidikan, pendidik, peserta didik, orang tua
wali murid,dan masyarakat. Ada juga komponen software, yaitu perangkat
lunak yang tidak berbentuk fisik, tetapi dibicarakan dan digunakan seperti
menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode, dan evaluasi. Yang
terakhir komponen hardware pendidikan yang berbentuk fisik, seperti
bangunan dan fasilitas pendidikan lainnya. Ini semua adalah pendidikan
yang bercorak aplikatif.
Ahmad Tafsir juga menyebutkan bahwa pendidikan Islam itu
tempatnya sangat luas. Pendidikan Islam di rumah tangga. Pendidikan

131
Islam di sekolah. Pendidikan Islam di masjid. Pendidikan Islam di
masyarakat. Pendidikan Islam di rumah sakit.
Di sini Ahmad Tafsir berpendapat bahwa di setiap komunitas ada
pendidikan Islam. Di komunitas tentara bisa ada pendidikan Islam di
militer. Di komunitas PNS bisa ada pendidikan Islam. Di komunitas
kontraktor ada juga pendidikan Islam. Di komunitas para petani ada
pendidikan Islam. Di komunitas para dosen ada pendidikan Islam, dan
sebagainya.
Penekanan pendidikan Islam berdasarkan komunitas itu bagaimana
merespon permasalahan-permasalah yang tidak sesuai dengan pendidikan
Islam, sehingga ada model pendidikan Islam tersendiri.
Contohnya pendidikan Islam di komunitas dosen. Tugas profesional
dosen ada tiga, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Boleh jadi dosen ada yang malas membaca buku
dan dengan sendirinya malas “menulis”, sehingga dosen tersebut sering
dalam mengajar menggunakan metode diskusi dengan rasionalisasi, agar
mahasiswa belajar, harus diberikan tugas-tugas, termasuk tugas membuat
makalah. Dosen tersebut, dengan berapologi melakukan proses diskusi
untuk menghabiskan waktu. 30 menit sebelum berakhirnya waktu, ia mulai
mengabsen mahasiswa dan mengomentari proses berjalannya diskusi, dan
mengomentari materi diskusi, dan kemudian keluar dari ruangan. Kesan
mahasiswa yang kritis, “gampang sekali jadi dosen”, memberikan tugas
kepada mahasiswa, duduk mendengar diskusi mahasiswa, berkomentar
sebentar dan kemudian keluar.
Deskripsi sikap dosen yang malas di atas perlu dikonsep bagaimana
pendidikan Islam pada komunitas dosen. Jika di situ ada pendidikan Islam,
maka dengan sendirinya ada filsafat pendidikan Islam.
Secara filosofis, dosen adalah ilmuan yang berperan aktif dalam
pengembangan ilmu. Ilmuan bukan sekedar konsumen ilmu, tapi sekaligus
juga produsennya. Sebagai produsen ilmu, ia haruslah rajin membaca. Ba-
gaimana dosen akan mengembangkan ilmu, jika ia jarang membaca. Jika
ia malas membaca, apa yang harus ia “tulis” untuk pengembangan ilmu.
Secara filosofis, dosen harus juga jadi teladan bagi mahasiswa.
Bagaimana ia menjadi teladan yang baik, jika perannya tidak dirasakan

132
penting oleh mahasiswa. Jika peran dosen hanya sekedar penyampai
pengetahuan yang sudah tertulis dari berbagai buku, maka apa tidak lebih
efektif bukunya diserahkan kepada mahasiswa untuk dibaca dan dipahami?
Dengan hadirnya teknologi informasi seperti google, jangan sampai
google ini justru lebih kooperatif memberikan informasi daripada dosen.
Jika dosen bisa digantikan oleh google, maka dimana signifikansi peran
dosen lagi. Mungkin saja, ada peran psikologis yang diperankan oleh
dosen yang tidak bisa diperankan oleh google. Dosen dapat menggugah
optimisme mahasiswa, sedangkan google tidak bisa menggugahnya.
Namun jika dosen memerankan melemahkan optimisme mahasiswa,
apakah itu bukan tindakan paradoksal?
Teori ruang lingkup filsafat pendidikan Islam juga bisa dilihat dari
apa yang dikemukan oleh M. Naquib al-Attas bahwa dalam konferensi
dunia tentang pendidikan Islam pertama di Jeddah tahun 1977 bahwa
pendidikan Islam ada dalam kandungan al-tarbiyah, al-ta`lim, dan al-
ta`dib. Menurutnya al-ta`diblah yang paling tepat untuk mewakili
terjemahan dari pendidikan Islam, dimana dalam kandungannya
menghargai intelektualitas manusia, bukan sekedar menekankan kasih
sayang, dan pendidikan dalam term ini khusus untuk manusia. Walaupun
demikian, konferensi merekomendasikan tiga istilah tersebut untuk
mewakili term pendidikan.
Menurut penulis, ketiga istilah itu harus memadu dalam satu konsep
pendidikan Islam bahkan perlu ditambah satu lagi, yaitu term tadris.
Tarbiyah penekannya dalam kasih sayang, tetapi tidak kasih sayang yang
tidak pada tempatnya. Ta`lim adalah pendidikan yang penekananya
transfer of knowledge yang efektif dan efesien dengan memperhatikan
kebaruan (nobelty). Sementara ta`dib penekannya transfer of moral.
Sementara, tadris adalah pendidikan yang penekanannya dalam repeat
power. Dengan mengulang-ulang belajar, sehingga apa yang dipelajari ada
yang membekas dalam pikiran, hati, dan sikap para penuntut ilmu.
Memberi peluang ujian ulangan bagi mahasiswa yang tidak lulus
bisa diterjemahkan sebagai pendidikan tarbiyah, dimana dosen sayang
terhadap mahasiswa. Memfasilitasi referensi untuk persiapan ujian bagian
dari pendidikan dalam makna ta`lim. Menilai kemampuan mahasiswa

133
berdasarkan hasil usaha mereka bagian dari pendidikan dalam makna
ta`dib. Juga menyarankan mahasiswa untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan kemudian berdoa bagian dari pendidikan dalam makna ta`dib.
Menyarankan mahasiswa untuk memiliki persiapan yang matang adalah
bagian dari pendidikan dalam makna tadris.

C. Syarat-syarat Filsafat Pendidikan Islam


Mungkin boleh mempertimbangkan sebagian yang dikatakan Hasan
Langgulung tentang filsafat pendidikan Islam dalam Asas-Asas Pendidikan
Islam:
1. Prinsipnya sesuai dengan akidah Islam, ajaran, dan hukum-
hukumnya.
Filsafat pendidikan komunis yang sosialis, tidak sesuai dengan
akidah Islam dan dengan demikian, tidak dibenarkan filsafat pendidikan
komunis sebagai filsafat pendidikan Islam. Dalam filsafat politik sering
dikemukakan bahwa tidak ada teman yang abadi, tetapi yang ada
kepentingan abadi. Ini juga bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam
karena subjektivitas kepentingan. Ajaran dan hukum Islam bersifat
objektif. Dalam berpolitik, right or wrong is my party bertentangan dengan
hukum bahwa yang salah itu tetap salah, siapa pun pelakunya, sekalipun
saudara apalagi hanya sekedar anggota partai.
“Seandainya anakku Fatimah mencuri, niscaya aku potong
tangannya” kata Rasulullah Saw. sebagai indikator bahwa hukum itu
bersifat objektif, bukan subjektif. “Membela yang membayar” dalam
anomali hukum menunjukkan pelanggaran terhadap ajaran “membela yang
benar”.
“Katakan yang benar walaupun pahit” itu adalah prinsip dalam
Islam. Untuk itu filsafat hedonisme bertentangan dengan prinsip hukum
Islam. Adakalanya kebenaran itu tidak diungkapkan karena hubungan
biologis dan psikologis. Seorang ibu yang mengetahui anaknya
mengkonsumsi narkoba karena tahu sanksinya, maka bisa jadi ia menutup-
nutupi informasi tersebut. Ini akibat dari sebab biologis hubungan darah
dan sebab psikologis orang tua yang sangat menyayangi anaknya.
Adakalanya si ibu bukan saja berbohong memberikan informasi bahkan ia

134
bersedia membayar orang lain untuk memberi kesaksian palsu, agar
anaknya lepas dari jeratan hukum.
Penulis pernah melihat seorang anak pecandu narkoba yang tidak
segan-segan berlaku kasar secara lisan dan fisik kepada ibunya, jika
permintaannya tidak dikabulkan oleh ibunya. Atas ulah anak tersebut,
ibunya merasa menderita. Tetapi begitu ditangkap polisi dan dipenjara,
sang ibu berusaha mengeluarkannya dari penjara dengan menebusnya
dengan uang sogokan. Hal seperti ini bukan rahasia umum. Ini telah
melanggar prinsip-prinsip hukum Islam.

2. Relevan dengan budaya masyarakat Islam, nilai-nilai, dan cita-


citanya.
Budaya “cipika-cipiki” dengan lawan jenis adalah tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Ramah tamah tidak sampai melanggar nilai
kesopanan.
Budaya masyarakat Islam haruslah sesuai dengan pedoman dalam
al-Qur‟an dan hadits atau tidak bertentangan dengan kandungan kedua
pedoman itu. Budaya masyarakat Islam bisa saja berbeda dengan budaya
masyarakat Muslim seperti teori budaya Islam dan budaya Muslim yang
dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Budaya Islam adalah budaya yang
sesuai dengan ajaran Islam, sementara budaya Muslim, praktek keagamaan
yang lakukan oleh ummat Islam, walaupun bertentangan dengan ajaran
Islam. Contohnya, budaya masyarakat Muslim tertentu, setelah selesai
shalat Jum`at, kembali mereka melakukan shalat Zhuhur. Benar-tidaknya
perilaku keagamaan tersebut, itu dinilai sebagai budaya masyarakat
Muslim.
Budaya Sparta Yunani yang keras dalam mendidik, jika tidak
memperhatikan bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia yang tidak
boleh dipukul, maka hal itu tidak relevan dengan nilai dan cita-cita Islam.
Nilai kasih sayang untuk tidak meninggalkan luka fisik yang berbahaya
dan cita-cita untuk mencapai kebahagiaan. Jika dengan hukuman fisik,
melanggar nilai kasih sayang dan menghambat untuk mencapai cita-cita
kebahagiaan, maka hal itu tidak dapat dinilai filsafat pendidikan Islam.

135
Apa yang dimaksud dengan nilai-nilai Islam? Nilai ada
memaknainya dengan moral. Dengan demikian, filsafat nilai berarti filsafat
moral. Hal ini dapat diterima, bahwa sesuatu yang disebut dengan nilai
(value bukan result) adalah sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik itu tidak
boleh bertentangan dengan moral.
Nilai dihubungkan dengan manusia sebagai subyek dalam
mempersepsi dan konsepsi sesuatu. Contohnya, seorang Profesor yang
bertemu dengan gurunya di kelas 1 SD dahulu, bisa saja meneteskan air
mata saat bertemu dengan orang yang berjasa terhadap dirinya, sehingga ia
menjadi Profesor. Ia mengingat bagaimana guru tersebut dahulu
mengajarkannya ABC dan seterusnya 123 dan seterusnya, sehingga ia
pandai membaca dan berhitung. Pengetahuan itu untuk tidak mengatakan
ilmu sampai ia Profesor masih tetap hidup dipakai dan mustahil diabaikan.
Untuk itu, seorang Profesor akan mengkonsepsi guru kelas 1 SD-
nya sangat berjasa. Berjasa dalam pengertian sangat bernilai baginya,
sehingga ia bisa menjadi Profesor. Untuk itu juga ia mempersepsi bahwa
guru kelas SD-nya adalah orang pertama yang paling berjasa baginya
selain kedua orang tuanya. Boleh jadi sekarang ini, yang mengajarkan
tulis, baca, dan hitung itu guru-guru di TK atau RA.
Nilai juga diukur bagaimana subjek menggunakan atau
memanfaatkan sesuatu. Bagi seorang penyanyi, nilai laptop itu bisa jadi
sebagai alat untuk menyimpan ratusan dan bahkan ribuan lagu-lagu dengan
berbagai coraknya. Selain itu, laptop baginya juga pengganti tape untuk
memutar lagu-lagu dan sekaligus “bioskop mini” baginya untuk menikmati
lagu yang dengan fasilitas audi visual yang baik.
Profesor Hasan Asari Nasution, guru besar Sejarah Pendidikan
Islam UIN Sumatera Utara pernah mengatakan, baginya tidak layak bagi
mahasiswa yang isi laptopnya lebih banyak lagu dan video-vidio tontonan
sebagai hiburan. Laptop mahasiswa lebih bernilai jika lebih banyak isinya
tugas-tugas kuliah, file-file buku, ebook, dan berbagai dokumen penting
lainnya yang berhubungan dengan kepentingan ilmu.
Profesor Abudin Nata pernah menjelaskan nilai dengan
mencontohkan sebuah pena. Jika pena itu digunakan untuk menulis fitnah-
fitnah terhadap orang lain, maka nilai pena itu jelek atau disebut tidak

136
bernilai atau bernilai buruk. Sebaliknya jika pena itu digunakan untuk
menandatangani sebuah proyek besar yang bermanfaat, maka nilai pena itu
semakin tinggi. Alatnya sama, yaitu pena, tetapi digunakan untuk
kepentingan yang berbeda. Untuk itu, nilai bisa dipahami dari bagaimana
subjek mengguna-kan sesuatu.
Bagaimana dengan nilai-nilai Islam? Nilai-nilai Islam, konsepsi dan
persepsi terhadap sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan
jarak yang sedekat-dekatnya. Jika konsepsi dan persepsi terhadap sesuatu
itu menjadikan pikiran, renungan, perasaan, keimanan, dan keyakinan
sesorang semakin mendekat kepada Allah Swt., maka nilai-nilai
keislamannya semakin baik.
Nilai dalam teori kausalitas sebagai akibat. Nilai-nilai Islam bisa
saja memiliki akibat terdekat atau menengah. Akibat terdekat itu menjadi
sebab untuk akibat menengah, selanjutnya akibat menengah itu menjadi
sebab untuk akibat yang terakhir. Akibat terakhir itu atau nilai terakhir itu
dalam bahasa agama adalah takwa kepada Allah Swt.
Bisa saja orang belajar untuk kepentingan ilmu. Ilmu itu nilai
terdekat. Dengan berilmu, diharapkan ia menjadi orang yang berguna bagi
banyak untuk orang lain. Pada saat itu, ilmu telah menjadi sebab untuk
menjadi orang berguna. Dengan berguna untuk orang lain, diharapkan ia
menjadi semakin dekat dengan Allah. Pada saat itu, berguna bagi orang
lain adalah sebab untuk akibat dekat dengan Allah Swt. Untuk itu, nilai-
nilai Islam yang tertinggi itu adalah menjadikan al-musabbab al-akhir-nya
mendekatkan diri kepada Allah Swt. (takwa).
Nilai-nilai Islam juga menghargai martabat kemanusiaan. Semua
konsep, teori, pemikiran, dan perasaan yang tidak menghormati kemuliaan
manusia, tidak memenuhi syarat sebagai filsafat pendidikan Islam. Semua
konsep dan teori yang berhubungan dengan manusia, tidak boleh menodai
kemuliaan manusia.
Kemuliaan manusia itu dapat ditangkap dari ayat dan kandungan al-
Qur‟an. Di antaranya Q.S. al-Hasyr/59:21

137
ِ ِ ِ ِ
‫اؿ‬ َ ‫ّْعا ّْم ْن َخ ْشيَة اللَّو َوت ْل‬
ُ َ‫ك ْاأل َْمث‬ ً ‫صد‬َ َ‫َنزْلنَا َى َذا اْل ُق ْرآ َف َعلَى َجبَ ٍل لََّرأَيْػتَوُ َخاش ًعا ُّمت‬ َ ‫لَ ْو أ‬
ِ ‫ل ِربػُ َها لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يَػتَػ َف َّك ُرو َف‬ ْ َ‫ن‬
Artinya, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk
manusia supaya mereka berpikir.”
Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup manusia, dikatakan oleh Allah
tidak mampu dipikul oleh gunung-gunung, walaupun gunung itu sangat
besar. Itu salah satu bukti bahwa memang manusia lebih mulia dari
gunung.
Kemuliaan tidaklah dilihat dari besar kecilnya sesuatu atau
seseorang, tetapi kemuliaan itu dilihat dari kemampuannya berkreasi.
Terbukti manusia bisa menaklukkan gunung-gunung dalam pengertian
yang luas. Kemuliaan manusia juga tidak dilihat dari jabatan dan
pangkatnya, tetapi dilihat dari sejauh mana kualitas kedekatannya dengan
Allah, dengan bahasa yang populer dilihat dari kadar ketakwaannya.
Nilai-nilai Islam juga berhubungan dengan konsep kelestarian alam.
Merusak ekosistem adalah bentuk kerusakan nilai-nilai alamiah. Allah
telah menata alam ini untuk kepentingan manusia. Untuk itu
memperlakukan alam tidak sesuai dengan aturan Allah adalah pelanggaran
terhadap nilai-nilai Islam. Jika melanggar nilai-nilai ini, maka tidak berhak
disebut dengan filsafat pendidikan Islam. Allah mengingatkan manusia
agar tidak membuat kerusakan di muka bumi ini setelah Allah menatanya
secara harmonis.

ِ ِ ِ‫ض بػع َد إ‬ ِ
َ َ‫صالَح َها َو ْاد ُعوهُ َخ ْوفًا َوطَ َم ًعا إِ َّف َر ْْح‬
ٌ ‫ت اللّو قَ ِر‬
‫يب ّْم َن‬ ْ ْ َ ِ ‫َوالَ تُػ ْفس ُدواْ ِِف األ َْر‬
‫ني‬ ِِ
َ ‫الْ ُم ْحسن‬
Artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya

138
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.
al-A`raf/7:56).

3. Terbuka terhadap semua pengalaman kemanusiaan yang baik


Ilmu itu netral dari mana pun datangnya, jika itu baik bisa diterima.
Sikap keterbukaan terhadap kebenaran dan kebaikan tidak terikat oleh
batas-batas agama, suku, ras, dan geografis. Batas-batas tersebut hanyalah
kepentingan referensi. Menurut al-Kisah Imam al-Ghazali pun mendapat
ilmu justru dari seorang pencuri atau perampok yang menghadangnya.
Karena al-Ghazali membawa buku-buku yang dalam penilaiannya bahwa
ilmunya ada dalam buku itu. Jika perampok itu mengambil bukunya, maka
ilmu Imam al-Ghazali akan hilang. Perampok itu mengatakan, ‫اٌؼٍُ في‬
‫س‬ٛ‫س ال في اٌضز‬ٚ‫اٌصذ‬, “ilmu itu di dalam dada bukan dalam tulisan”.
Memang menurut Nurcholish Madjid menyebutkan perkembangan
ilmu pertama kali mengukur orang berilmu berdasarkan hapalannya karena
pada saat itu, sebelum tahun 1250 M, ilmu belum banyak ditulis, masih
lebih banyak dihapal. Pada saat itu, ilmu sangat tergantung pada guru yang
akan menyampaikan. Setelah ilmu itu banyak ditulis, maka orang berilmu
tidak lagi mampu menghapal banyaknya ilmu. Untuk itu orang berilmu
dilihat dari sebanyak apa ia mengetahui ilmu tertulis dalam buku ( ‫اٌؼٍُ في‬
‫س‬ٛ‫)اٌضز‬. Artinya, pada masa itu, setelah 1250 M, ilmuan yang bisa
menunjukkan ilmu dalam buku tertentu saja sudah termasuk pintar.
Periode berikutnya orang pintar dilihat sepandai apa ia bisa menggunakan
CD ROM, maka kata Nurcholish Madjid tahun 2000 al-`ilmu fi CD ROM.
Artinya orang pintar harus bisa mengoperasikan CD ROM di komputer.
Karena tidak lagi bisa seseorang membawa banyak buku dan bisa
digantikan dengan membawa 1 CD saja yang berisi banyak buku berupa
digital.
Penulis melihat sejak tahun 2010, orang berilmu harus bisa
mengoperasikan internet. Saat itu bisa disebut al-`ilmu fi google. Ilmuan
yang tidak bisa “berselancar” dengan google, bisa disimpulkan akan
tertinggal.
Pengalaman kemanusiaan yang baik itu daripada pun sumbernya
filsafat pendidikan Islam harus terbuka menerimanya dengan catatan

139
jangan mengira bahwa pengalaman yang baik itu tidak ada dalam al-
Qur‟an. Jika tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an, kita saja yang belum bisa
mengajaknya untuk berbicara tentang hal tersebut. Karena al-Qur‟an
sendiri menyebutkan dirinya bisa menjelaskan segala sesuatu.

ِ ِ ٍ
َ ِ‫ث ِِف ُك ّْل أ َُّمة َش ِه ًيدا َعلَْي ِهم ّْم ْن أَن ُفس ِه ْم َوجْئػنَا ب‬
‫ك َش ِه ًيدا َعلَى َى ُػؤالء‬ ُ ‫َويَػ ْوَـ نػَْبػ َع‬
ِِ ِ ٍ ِ ‫ونَػَّزْلنَا علَيك اْل ِكت‬
َ ‫اب تْبػيَانًا لّْ ُك ّْل َش ْيء َوُى ًدى َوَر ْْحَةً َوبُ ْشَرى ل ْل ُم ْسلم‬
‫ني‬ َ َ َ َْ َ
Artinya, “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-
tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri.” (Q.S. al-Nahl/16:89.
Perkembangan teknologi cukup signifikan mempengaruhi perkem-
bangan ilmu pengetahuan sebagai proses penemuan informasi. Teknologi
mesin ketik digantikan oleh teknologi komputer. Teknologi komputer,
disederhanakan dengan teknologi laptop yang mudah dibawa kemana-
mana, sehingga jika seseorang ingin online dengan internet tidak terikat
dengan sambungan listrik, karena teknologi laptop telah menyediakan
battery yang bisa discharge. Teknologi laptop ini, sekitar tahun 2007 mulai
disederhanakan dan bahkan digantikan oleh teknologi HP android. Untuk
itu, sekarang tidak lagi salah jika dikatakan bahwa seseorang tidak bisa
“bersahabat” dengan android, maka dia akan termasuk “ketinggalan
zaman”. Pada saat inilah barangkali menurut penulis bisa disebut al-`ilmu
fi android.
Android, sebuah sistem operasi berbasis linux yang biasa disebut
dengan smartphone (telepon pintar) dan komputer tablet, bukan saja
hampir bisa menggantikan laptop dalam batas-batas tertentu dan bahkan
dalam batas-batas tertentu juga, android bisa melakukan yang tidak bisa
dilakukan oleh laptop. Banyak aplikasi-aplikasi yang bisa dioperasikan
oleh Android dan tidak bisa dioperasikan di laptop, contohnya.

140
Langgulung juga mengatakan filsafat pendidikan Islam telah melalui
proses percobaan yang lama, bersifat universal dari segi sumber-
sumbernya dan isinya. Selain itu, mempertimbangkan faktor spiritual,
budaya, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan psikologi. 7

7
Selanjutnya dapat membaca Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, (Jakarta:
al-Husna Zikra, 2000), h.49-50.

141
AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

A. Ilustrasi
Jujun Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu menyebutkan bahwa
aksiologi adalah persoalan nilai. Nilai dalam makna value bukan result.
Jika diibaratkan uang Rp. 200.000.000 (dua ratus juta), nilai itu bukanlah
angkot nominalnya, tetapi untuk apa digunakan uang yang Rp.
200.000.000 itu? Itulah yang dimaksud dengan nilai dalam aksiologi.
Dengan kata lain, aksiologi itu filsafat kegunaan. Jika Rp. 200.000.000
digunakan untuk membeli rumah tempat tinggal dan membeli rumah untuk
dengan harga yang sama untuk kontrakan atau membeli ruko untuk tempat
usaha. Itu saja nilainya bisa berbeda.
Membeli rumah tempat tinggal, itu berarti persoalan primer. Jika
membeli rumah untuk tempat tinggal, bisa menciptkan “home sweet home:
‫ثيزي جٕزي‬: rumahku adalah surgaku”. Berbeda membeli rumah untuk
dikontrakkan, kegunaannya bersifat sekunder. Kebutuhan sekunder bisa
diibaratkan dengan bahasa fiqh sunnah, sedangkan yang primer dengan
wajib. Wajib bagi orang memiliki rumah untuk mendukung keharmonisan
rumah tangga dan mendukung “khusu‟nya beribadah” kepada Allah Swt.
Sedangkan membeli rumah untuk dikontrakkan, dihubungkan dengan
kebutuhan “papan”, bisa disebut sunat, tetapi hasil kontrakan berimplikasi
terhadap perolehan materi (baca uang). Materi itu dibutuhkan untuk
membiayai sekolah anak-anak. Membiayai sekolah anak bersifat primer
(wajib) bagi orang tua. Untuk itu, membeli rumah dengan Rp. 200.000.000
untuk kontrakan yang hasilnya dialokasikan untuk pembiayaan anak
sekolah menjadi nilainya primer. Sementara, jika dihubungkan dengan
kebutuhan “sandang”, maka hal itu menjadi sekunder. Dengan demikian,
nilai juga dihubungkan dengan “kegunaan”.
Lebih rinci Jujun Suriasumantri menyebutkan bahwa aksiologi tidak
saja berhubungan dengan persoalan nilai, tetapi harus dihubungkan juga
dengan kaidah moral. Jika dihubungkan dengan contoh di atas, kehalalan
memperoleh uang Rp. 200.000.000 itu harus dipersoalankan. Hal itu juga

142
sesuai dengan makna manfaat yang disebutkan oleh al-Raghib al-Asfahani
dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an (‫)خيش‬, yang berarti baik secara
universal. Baik berhubungan dengan moral dan juga etika. Moral dalam
pengertian, penilaian terhadap tindakan, etika yang berarti ukuran teoretis
tentang baik tanpa dihubungkan dengan perilaku. Akhlak dalam Islam
berhubungan dengan teori dan praktek kebaikan.
Orang yang mendapatkan uang Rp. 200.000.000 di atas dengan cara
korupsi, walaupun digunakan untuk membeli rumah atau kontrakan tetap
secara aksiologis tidak baik. Sesuatu itu baik, harus baik cara
memperolehnya dan baik juga penggunaanya. Sayyid Syarifi dalam
Mu`jam Musthalahat al-`Ulum al-Tarbawiyah menerjemahkan value
dengan ‫ ليّخ‬yang akar katanya sama dengan َ‫ ليب‬dan ُ‫ِضزمي‬. Artinya, nilai itu
harus berdiri tegak dan lurus dengan kebenaran yang ditentukan oleh Allah
Yang Maha Benar dan Baik. Bukan berdiri dan tegak lurus dengan ambisi
nafsu buruk manusia. Hasil uang korupsi Rp. 200.000.000 disedekahkan
ke pembangunan masjid saja tetap tidak baik secara aksiologis, seperti
pengalaman wali Sunan Kalijaga yang suka mengambil secara diam-diam
harta kerajaan dan merampok harta orang-orang kaya untuk didistribusikan
kepada orang fakir dan miskin. Untunglah sebagaimana ditulis oleh
Achmad Chodjim dalam Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga,1 sang wali
bertemu dengan Sunan Bonang yang dapat mencerahkan pemikirannya
bahwa berbuat baik menuntut proses yang baik juga.

B. Konsep Nilai dalam Islam


Dalam bahasa Arab nilai yang dimaksud bukanlah ‫ ٔزيجخ‬tapi ‫ليّخ‬
bersifat non materil atau abstrak. Nilai yang tidak kelihatan, tapi nyata
dapat diketahui, melihat manfaatnya. Dari akar kata ‫ ليّخ‬dari َ-‫ي‬- ‫ ق‬darinya
juga dibentuk kata ‫ لَيّّخ‬yang berarti lurus, seperti dalam Q.S. al-
Bayyinah/98:3 dan 5. Lurus dalam pengertian, jalan menuju Tuhan, jalan
1
Julukan Sunan Kalijaga latar belakangnya, begitu Sunan Kalijaga yang aslinya
bernama Jaka Syahid diterima murid Sunan Bonang, ia diperintahkan untuk tetap berada di
tepi sungai sampai Sunan Bonang kembali datang menemuinya. Bertahun tahun-tahun Jaka
Syarif (Sunan Kalijaga) setia menunggu Sunan Bonang. Itulah sebabnya ia dijuluki Sunan
Kalijaga, yaitu setia berada (jaga) di dekat sungai atau kali untuk menunggu kedatangan
gurunya Sunan Bonang.

143
yang lurus dengan ketentuan-ketentuan al-Qur‟an dan hadits. Nilai itu
harus berada dalam garis lurus dengan al-Qur‟an dan hadits. Yang tidak
lurus dengan garis al-Qur‟an dan hadits bisa disebutkan “garis yang
bengkok”. Yang bengkok itu nilainya salah atau setidaknya nilainya tidak
baik atau buruk. Untuk itu dalam bahasa Arab aksiologi itu disebut ُ‫ػٍُ اٌمِي‬,
yaitu ilmu tentang nilai-nilai.
Jika didalami nilai apa saja yang ada dalam al-Qur‟an, bisa dilihat
dari perspektif yang luas sekali. Jika agama, dibagi menjadi syariat,
akidah, dan akhlak, maka dapat disebut ada nilai-nilai syariat, akidah, dan
akhlak, atau disebut secara umum nilai-nilai agama. Jika membagi
kehidupan itu dunia dan akhirat, maka bisa disebut nilai duniawi dan
ukhrawi. Jika filsafat dibagi secara umum dalam filsafat Tuhan, Manusia,
dan Alam, maka akan ada nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan,
dan nilai-nilai kealaman. Jika pengetahuan dibagi menjadi filsafat, ilmu,
dan mistik, maka bisa disebut ada nilai-nilai filosofis, nilai-nilai ilmiah,
dan nilai-nilai mistis. Perspektif nilai itu bisa disebut lebih dari satu sesuai
dengan argumentasi yang digunakan. Namun semua nilai itu tidak boleh
keluar dari jalur al-Qur‟an dan hadits.
Orang yang meninggal dari kalangan orang-orang cerdas seperti
Albert Einstein dibawa ke laboratorium untuk dibedah, guna penelitian
tentang otak, tanpa harus segera menguburkannya, tidak sesuai hadits.
Orang yang meninggal dalam fiqh harus dimandikan, dikapani,
dishalatkan, dan dikuburkan. Fiqh itu adalah ijtihad para ulama
berdasarkan pemahaman mereka terhadap al-Qur‟an dan hadits. Untuk itu,
jika mayat tidak diperlakukan sesuai dengan aturan fiqh itu, maka nilai
agamanya buruk atau nilai fiqhnya buruk.
Begitu juga dalam teori nativisme bahwa orang tua yang cerdas akan
menurunkan sifat yang cerdas. Atas dasar itu, orang yang menginginkan
keturunan yang cerdas, seseorang bebas berzina dengan laki-laki atau
wanita yang cerdas. Itu tidak sesuai dengan nilai-nilai agama atau nilai
moral.
‫ ليّخ‬juga memiliki akar yang sama dengan َ‫ ليب‬yang berarti berdiri
tegak. Artinya juga nilai itu harus berdiri tegak, tidak bengkok dan abu-

144
abu. Nilai itu harus jelas, tidak samar-samar. Teori syubhat, nilai adalah
buruk. Teori makruh juga teori nilainya adalah buruk.
Karena aksiologi berhubungan dengan manfaat sesuatu. Jika dilihat
kata ‫يٕفغ‬-‫ ٔفغ‬dalam ْ‫اٌّفشداد في غشيت اٌمشا‬, al-Ragib al-Asfahani, “apa-apa
yang digunakan untuk tercapainya kebaikan-kebaikan. Sesuatu yang
berhubungan dengan kebaikan adalah baik”. Dengan demikian, konsep
nilai harus lah berhubungan dengan kebaikan-kebaikan.
Bagaimana sesuatu itu bermanfaat, sehingga ukurannya universal
dan objektif, tidak subjektif. Main catur bagi sebagian ulama adalah
haram. Haram bukan saja tidak bermanfaat, tapi membawa mudharat.
Syeikh Abdul Aziz, ulama Arab Saudi mengatakan, main catur mirip
dengan judi dan merupakan pekerjaan sia-sia. Ulama Syi`ah Ali al-Sirtani
juga pernah mengharamkan permmainan catur. Tahun 1988, Ayatullah
Khaimani mencabut fatwa itu dan mengatakan boleh asal tidak dipakai
untuk berjudi.
Ada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh
mengharamkan perbuatan merokok. Ada yang berkomentar, ada kalanya
merokok justru wajib. Ia mencontoh bahwa ada orang yang tidak bisa
berpikir kalau tidak merokok. Membaca komentar orang tersebut dalam
hati penulis, “lagu lama”.
Memang ahli hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam ada
saja terkesan sebagian mereka pandai menggunakan argumentasi hukum
sesuai dengan keinginan mereka atau keinginan yang para pemesannya
untuk suatu kepentingan tertentu. Sebagian mereka pandai menjadikan
hukum itu “hitam, putih, merah, kuning, biru, hijau, dan sbg.
Bermanfaatnya sesuatu itu harus lah dihubungkan dengan suatu
konsep, bukan dugaan-dugaan yang acak tidak sistematis. Sesuatu jika ada
hubungannya dengan mendekatkan diri kepada Allah, tentu bisa dinilai
bermanfaat. Segala sesuatu yang menambahkan kecintaan kepada Rasullah
Saw. bisa dinilai bermanfaat. Segala sesuatu yang menciptakan dan
mengembangkan “birr al-walidaini” juga dinilai baik. Segala sesuatu yang
mendukung kerukunan umat beragama, tanpa mengorbankan keyakinan
dan syariat agama bagi pemeluknya juga dinilai baik. Segala sesuatu yang
mendukung rukun iman dan rukun Islam bisa juga dinilai baik. Begitu dan

145
seterusnya. Singkatnya semua kehidupan jika tidak dihubungkan dengan
Allah secara langsung atau tidak, maka bisa saja nilainya rendah dan
bahkan tidak bernilai.
Nilai atau manfaat sesuatu selain harus bisa dihubungkan dengan
konsep atau argementasi kebaikan dan sekaligus, tidak mungkin yang baik
itu bertentangan dengan konsep al-Qur‟an dan hadits. Besar tidaknya suatu
manfaat dalam Islam hemat penulis sebesar apa peran sesuatu itu
mendekatkan diri kepada Allah atau sebesar apa investasinya untuk
kepentingan akhirat sebagai tujuan jangka panjang. Investasi akhirat
jangka panjang dalam konsepnya semakin besar jika peruntukkannya dapat
digunakan oleh orang banyak sesuai dengan tuntutan Allah dan Rasulnya.
Contohnya Imam Syafii mengatakan,

‫من الُيب العلم فال خْي لو واليكن بينك وبينو معرفة والصداقة‬
Artinya, “Barang siapa yang tidak mencintai ilmu, maka tidak ada
kebaikan baginya dan tidak ada di antara kamu dan dia pengetahuan dan
kecintaan yang jujur.”2
Untuk itu, semua aktivitas belajar dapatlah disebutkan sebagai
kebaikan. Orang-orang berilmu ditinggikan oleh Allah juga derajatnya
sejajar dengan orang beriman.3 Belajar bisa disebutkan upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt., hanya saja, itu bisa menjadi ‫أ٘ذاف‬
‫األ٘ذاف‬, tujuan akhir dari suatu tujuan.
Seseorang semakin besar nilainya dilihat dari manfaatnya buat orang
lain. ‫ُ ٌٍٕبس‬ٙ‫خيش إٌبس أٔفؼ‬, “sebaik-baik manusia yang paling banyak
manfaatnya untuk orang lain” menjadikan timbangan nilai seseorang.
Untuk itu, para pemimpin jika kepemimpinannya digunakan untuk berbuat
baik, niscaya peluangnya menjadi orang bernilai atau orang bermanfaat
lebih besar. Sementara nilai suatu harta juga semakin besar nilainya dilihat
dari, apakah harta itu dapat bermanfaat buat orang lebih banyak. Di sini

2
Syeikh Abdul Ghani al-Daqir, “al-Imam al-Syafii” dalam Min A`lam al-Taribiyah
al-Islamiyah, Jilid I,(Riyadh: Maktu al-Tarbiyah al-`Arabi li Dauli al-Khalij, 1988), h. 212.
3
Q.S. al-Mujadalah/58:11

146
lah dapat dipahami bahwa nilai harta itu semakin besar jika ada yang
dikeluarkan zakatnya atau diberikan sebagian untuk sedekah, infak, dan
wakaf.
Nilai apa saja yang dimiliki, jika digunakan oleh orang banyak,
maka semakin baik nilainya. Ilmu juga demikian sebagaimana disebutkan
oleh Imam Syafii, ‫ اٌؼٍُ ِبٔفغ‬,‫“ ٌيش اٌؼٍُ ِب حفظ‬ilmu itu dilihat dari manfaatnya
bukan dari hafalannya”. Berapa hebat pun seorang Profesor
mengemukakan ilmunya dan dikagumi oleh para pendengar dan
pembacanya, tetapi jika tidak berakibat terhadap kebaikan, maka nilai
rendah.
Memahami nilai juga bisa dilihat dari kemuliaan yang disebutkan
oleh Allah. Orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling mulia. 4
Dapat dipastikan makna takwa itu tidak saja ahli ibadah yang melulu
berurusan dengan Allah, dimana ia mengumpulkan pundi-pundi pahala
sendiri tanpa mempengaruhi orang lain untuk beribadah. Tidak juga ahli
ibadah yang tidak peduli dengan kesulitan manusia. Bukanlah orang yang
bertakwa yang tidak peduli terhadap orang lain, sementara ia mampu
membantunya. Kata Plato, orang pengangguran adalah orang yang tidak
berbuat baik, saat ia punya kesempatan berbuat baik. Pengangguran itu
adalah nilai buruk.
Bicara tentang baik dan buruk adalah domain akhlak. Akhlak ada
yang berupa filsafat dan ada yang berupa ilmu. Yang bersifat filosofis itu
adalah ukuran baik dan buruk tanpa menghubungkan secara langsung
dengan sebuah perilaku. Ini terkadang disebut dengan etika. Adakalanya
perbuatan baik dan buruk berupa perilaku yang sedang dibicarakan, itu
akhlak yang bersifat ilmiah dan terkadang disebut dengan moral.
Orang yang sedang memaki-maki gurunya, bisa disebut, “tidak
bermoral”. Sedangkan bagaimana yang disebut sikap yang buruk terhadap
guru, tanpa harus melihat perilaku seseorang, itu disebut dengan etika.
Contohnya sikap yang buruk kepada guru, yaitu segala hal yang tidak
menuruti perintah baiknya. Segala hal yang mengerjakan larangannya.
Segala hal yang membuatnya bersedih, dsb.

4
Q.S. al-Hujrat/49:13.

147
Dalam fiqh, orang yang mengerjakan yang halal dan sunat adalah
baik. Sementara yang mengerjakan yang haram dan makruh buruk.
Adapun yang mubah, tidak baik dan juga tidak buruk. Dalam akidah yang
tidak baik itu adalah perilaku syirk, riddah, kurf, nifaq, dan fisq. Sementara
yang baik adalah perilaku islam, iman, ihsan, dan takwa. Guru yang baik
itu adalah mereka yang memiliki rahmah dan mahabbah kepada muridnya
secara positif. Itulah aturan-aturan etika tanpa harus dihubungkan langsung
dengan perilaku.
Jika kita hubungkan dengan ayat al-Qur‟an kata ‫ٔفغ‬, kita temukan
dalam Q.S. al-Baqarah/2:123, bahwa di akhirat nanti setiap orang
mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruknya. Tidak ada yang
bisa membantu kita di akhirat. Artinya, tidak ada nilainya atau manfaatnya
orang tua, saudara di akhirat. Di dunia, saudara itu ada manfaatnya.
Saudara masih bisa membatu kebutuhan kita. Di akhirat, masing-masing
mandiri mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika kebaikan lebih
berat dari keburukan, maka masuk surga. Sebalikya, jika keburukan lebih
berat dari kebaikan, maka akan masuk neraka.5
Q.S. al-Maidah/5:119 dikatakan bahwa orang-orang yang berlaku
benar, di akhirat dapat menafaat masuk surga, dimana di bawahnya
mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, Allah meridhai
mereka, juga mereka meridhainya. Di sini terlihat nilai-nilai ukhrawi
perbuatan benar. Dengan kata lain, berbuat kebenaran itu adalah baik.
Yang baik itu adalah bernilai. Yang bernilai itu berarti bermanfaat.
Q.S. al-An`am/6:71 dikatakan bahwa berdoa kepada selain Allah
tidak akan bermanfaat atau tidak baik atau buruk. Tidak ada nilainya
berdoa selain kepada Allah, karena yang mengabulkan doa itu adalah
Allah. Begitulah orang Arab Jahiliyah menyembah berhala yang tidak
dapat memberi manfaat sekaligus tidak dapat membahayakan.
Q.S. Yunus/10:98, Allah mengatakan iman masyarkat ada nilainya
atau ada manfaatnya, untuk tidak didatangkan oleh Allah azab di dunia.
Sementara yang tidak beriman, tidak mendapat manfaat. Mereka itu akan
mendapat azab dari Allah. Dengan demikian, nilai iman dalam ayat itu,
menghindari azab dariNya.

5
Q.S. al-Qari`ah/101: 6-11.

148
Cobalah renungi nilai seorang sosok nabi teladan umat, Muhammad
Saw. Beliau nabi penutup yang membawa ajaran Allah. Di tangannya,
agama Allah telah sempurna. Beliau bukan saja diutus untuk manusia,
tetapi untuk seluruh alam. Suatu dalil yang tak terbantahkan dalam filsafat
nilai bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah . sosok yang paling baik
nilainya, melebihi seluruh manusia lainnya. Sosok teladan itu
memperjuangkan agama Islam penuh suka duka, walaupun penilaian
manusia biasa, hidupnya lebih didominasi oleh duka. Caci maki,
kebencian, percobaan pembunuhan, dan berbagai perilaku tidak baik
dihadapinya, sehingga agma itu sampai sekarang tetap hidup dan
berkembang.
Coba kita nilai kualitas manusia teladan umat, ketika beliau
mendakwakan Islam di Mekah, sementara ia punya paman yang bernama
Abu Thalib sangat mencintainya. Berbagai upaya dilakukan kaum Quraish
yang merasa terancam dengan agama Islam itu. Suatu saat kaum Quraish
mendatangi Abu Thalib agar sudi kiranya membujuk dan menawarkan
beberapa konvensasi agar dakwah Islam itu tidak dilanjutkan oleh Nabi
Muhammad Saw. Hal itu diceritakan Abu Thalib kepada keponakannya
itu. Nabi Muhammad Saw. mengira bahwa pamannya tidak lagi bisa
melindunginya, Nabi Muhammad pun berkata, “Wahai paman! Demi
Allah! Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku
takkan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya, atau aku
binasa.”
Pernyataan manusia yang penuh nilai itu sebagai dalil bahwa urusan
Allah Swt. baginya adalah prioritas pertama dan utama. Beliau tidak
bersedia bernegoisasi urusan Allah Swt. digantikan dengan tujuan duniawi.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. meneteskan air
mata. Pamannya Abu Thalib pun menghibur dirinya, “Pergilah wahai anak
saudaraku! Katakan apa yang engkau sukai. Demi Allah! Aku tidak
menyerahkanmu selamanya.” Untuk itu, sangat pantas jika sosok teladan
umat ini menjadi panutan.

149
‫ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لّْ َمن َكا َف يَػ ْر ُجو اللَّوَ َواْليَػ ْوَـ ْاآل ِخَر َوذَ َكَر‬ ِ ِ
ْ ‫لَ َق ْد َكا َف لَ ُك ْم ِِف َر ُسوؿ اللَّو أ‬
‫اللَّوَ َكثِ ًْيا‬
Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-
Ahzab/33:21)
Kualitas manusia bernilai dapat dilihat dari sahabat utama Nabi
Muhammad Saw. yang disebutkan para sejarawan sebagai khulafa al-
rasyidun. Bisa juga dilihat dari teladan para sahabat lainnya.
Dalam hadits yang riwayatkan Bukhari, disebutkan bahwa generasi
terbaik tiga yaitu periode nabi, sahabat, dan tabi`in. Walaupun ada saja
orang yang tidak baik pada zaman Rasul, Sahabat, dan Tabi`in, tetapi
secara umum, periode itu lebih baik dibandingkan periode-periode
berikutnya.

)‫خْي أمِت قرِن ْث الذين يلوهنم ْث الذين يلوهنم (رواه البخاري‬


Artinya, “Sebaik-baik umatku adalah zamanku, kemudian zaman setelah
mereka, kemudian zaman setelah mereka” (H.R. Bukhari)
Manusia yang bernilai tinggi juga bisa dilihat dari biografi ulama-
ulama besar. Para ulama yang disebutkan pewaris ulama. Mereka tidak
mewariskan harta, mereka itu mewariskan ilmu dan moral.

‫ و إف العلماء ورثة األنبياء و إف األنبياء َل يورثوا دينارا وال درَما ورثوا العلم فمن‬...
)‫(رواه أبو داود‬...‫أخذه أخذه حبظ وافر‬
Artinya, “… sesungguhnya ulama itu pewaris nabi dan sesungguhnya para
nabi tidak mewariskan Dinar dan Dirham, mereka mewariskan ilmu.
Barang siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang
banyak…” (H.R. Abu Daud).

150
Coba lihat nilai ulama fiqh Sunni yang dermawan Abu Hanifah
sebagaimana dituliskan pada pembahasan “Pemikiran Pendidikan Abu
Hanifah”. Beliau seorang pedagang jujur, tidak mau menjual barang
dagangannya ke temannya kecuali dengan harga modalnya. Ia biasa setiap
Jum`at memberi makan teman-temannya di rumah. Ia juga memberikan
sesuatu ke guru-guru sebandingnya pemberiannya kepada orang tuanya.
Baginya uang cukup 400 Dirham, sisanya untuk disedekahkan. Ia
menghargai guru yang berhasil mengajari anaknya al-Fatihah dengan
bayaran 500 Dirham. Pemberian yang sangat besar dinilai oleh guru itu,
balas beliau berkomentar, jika ada uangnya akan ia tambahi, sebagai rasa
hormatnya pada keagungan al-Qur‟an.
Coba lihat nilai seorang ulama hadits dan fiqh Madinah, Imam
Malik bin Anas, jika ingin memberikan fatwa dari hadits, terlebih dahulu
ia berwudu‟ dan ada yang mengatakan mandi. Kemudian ia memakai
wangi-wangian, dan memakai pakaian yang paling bagus, untuk
menghormati sebuah hadits. Memang ia tidak memperlakukan fiqh
sebagaimana hadits. Perlakuan Imam Malik bin Anas terhadap hadits saja
terlihat istimewa. Ia juga menghormati keluarga Nabi Muhammad Saw.
sebagai sumber hadits itu. Imam Syafi`i sewaktu mau berguru kepadanya,
awalnya Malik bin Anas tidak meresponnya, tetapi ketika Syafii
menyebutkan bahwa ia ketururan Nabi Muhammad Saw. dengan lembut ia
menerima Syafii sebagai muridnya dan kemudian menjadi murid
kesayangannya. Malik bin Anas sangat menghormati yang berhubungan
dengan Nabi Muhammad Saw., jika beliau berjumpa dengan Nabi
Muhammad Saw. pantas diduga, kecintaan dan kehormatannya pasti
melebihi cara menghormati sebuah hadits.
Perhatikan sikap Mbah Marijan penjaga gunung merapi Yogyakarta,
tidak mau menjadi bintang iklan salah satu produk minuman. Produser
bintang iklan itu tidak berhasil merayunya untuk menjadi bintang iklan
produk mereka, mengingat sewaktu gunung merapi itu meletus, ia tetap
selamat. Atas dasar itu ada relasi yang relevan untuk menjadi bintang iklan
sebuah minuman. Kata sosiologi Imam Prasojo, Mbah Marijan mau
menerima tawaran sebagai bintang iklan karena honornya dibagi-bagai
kepada orang miskin di sekitar gunung merapi. Jika untuk ia nikmati

151
sendiri, ia tidak bersedia, tetapi jika honornya dinikmati oleh orang-orang
miskin, ia bersedia. Nilai sosialnya sangat tinggi.
Dalam aksiologi sebagaimana dikemukakan dalam ilustrasi di atas,
bahwa nilai juga dilihat dari prosesnya. Seseorang punya anak yang kelak
bisa mendoakan orang tuanya adalah memiliki nilai aksiologis. Sebagian
orang ada yang nasibnya susah mempunyai anak. Bertahun-tahun hidup
berkeluarga, mereka tidak punya anak. Mereka melakukan usaha super
ekstra agar, rumah tangganya dibahagiakan dengan keturunan. Secara
psikologis, sering mereka yang sudah lama tidak punya anak, menghambat
silaturrahmi dengan kaum kerabat dan teman-temannya, karena jika
mereka bersilaturrahmi, apalagi yang sudah lama tidak berjumpa,
pertanyaan yang mereka tidak sukai, “sudah punya anak berapa?”. Apalagi
mereka itu sudah berumur 40 tahun, mungkin pertanyaannya lebih maju
lagi, “sudah sekolah apa anaknya yang besar”. Apalagi mereka itu berumur
50 tahun, pertanyaanya lebih maju lagi mungkin, “sudah punya menantu
belum?”.
Bukanlah punya anak saja, dalam konsep nilai yang dipertanyakan,
tetapi, bagaimana prosesnya ia punya anak. Jika ada orang yang punya
anak lewat perzinaan, itu nilainya buruk. Jika ada orang yang punya anak
lewat program bayi tabung, dalam konsep kepemilikan anak, bisa jadi
tidak lebih baik dibandingkan orang yang punya anak secara normal.
Nilai buruk itu juga bisa saja masih “berwarna-warni” atau memiliki
hirarki dan model. Contohnya yang buruk itu bisa berupa ٓ‫ٌح‬, yaitu
kesalahan yang tidak sengaja, tetapi ia bisa memperbaikinya sendiri.
Seperti, Anies Baswedan dianggap ketika dilantik jadi Gubernur DKI
Jakarta mengucapkan “pribumi” bisa saja salah ngomong. Jika diingatkan
boleh tidaknya mengucapkan pribumi, bisa jadi ia sadar dan mengganti
bahasanya. Ada juga yang buruk nilainya ‫خطأ‬, salah yang ia sendiri tidak
bisa mengetahui yang benar. Contohnya, orang yang mengerjakan
pelajaran matematika, dinyatakan salah, kemudian ia disuruh
memperbaikinya pun tidak bisa. Ada juga yang buruk itu berupa ‫رٔت‬, yaitu
dosa yang hubungannya kepada Allah.
Jika dilihat dari tingkat pelanggarannya yang buruk itu dalam
agama, Said Agil Siroj menyebutkan pelakunya ‫ػبص‬, itu yang paling

152
rendah. Ini keburukan melakukan dosa yang berhubungan langsung
dengan Allah, tetapi tetap berimplikasi pada urusan manusia. Contohnya,
orang yang tidak melaksanakan kewajiban shalat. Itu berdosa kepada Allah
dan karena ia tidak shalat, berpeluang besar digoda oleh syaitan untuk
berbuat buruk kepada manusia, contohnya tidak jujur. Ketidakjujuran itu
pada gilirannya merugikan orang lain.
Yang lebih berat dari ‫ ػبص‬disebut ‫ِشرىت‬, kesalahannya berhubungan
langsung dengan manusia, tetapi tetap berimplikasi pada dosa terhadap
Tuhan. Membunuh adalah keburukan yang langsung berdampak buruk
pada manusia. Keluarga korban akan bersedih dan bisa juga marah dan
melakukan balas dendam. Pencurian berdampak langsung sama manusia.
Korban pencurian akan bersedih bisa juga marah dan mencari tau siapa
pelakunya dan memenjarakannya, bahkan bisa ia melakukan melakukan
tindakan di luar hukum.
Menurut Said Agil Siraj ada pelaku keburukan yang lebih baik ia
dibunuh daripada dibiarkan hidup. Pelakunya disebutkan ‫ششيش‬, perilakunya
disebut ‫شش‬.
ّ Pelaku keburukan ini contohnya kata Said Aqil Siraj, orang
yang melakukan teror. Kejahatan yang merugikan banyak manusia. Yang
membuat kebijakan pembunuhan massal juga termasuk menyengsarakan
banyak manusia. Itu termasuk ‫ششيش‬. ّ
Nilai itu tidak saja persoalan manfaat dan prosesnya, juga persoalan
metode. Bagaimana sesuatu diberikan haruslah memperhatikan unsur
moral dan juga estetika. Pemberian yang mengakibatkan rasa sakit hati
bagi penerima menurut al-Qur‟an tidak lebih baik daripada ucapan
menyejukkan.6
Konsep nilai harus dihubungkan dengan manusia. Nilai juga harus
dihubungkan dengan al-Qur‟an. Nilai pun dihubungkan dengan waktu dan
tempat. Puasa itu adalah baik, tetapi puasa di hari dua `id dan hari-hari
tasyrik, tentu bukan saja tidak baik, tapi buruk karena pekerjaan itu haram.
Membunuh pastilah tidak baik, tapi membunuh musuh dalam perang fi
sabilillah justru baik. Melaksanakan “qishash” juga menghilangkan nyawa
orang lain. Menghilangkan nyawa itu sama dengan pembunuhan.

6
Q.S. al-Baqarah/2:263.

153
Pembunuhan itu haram kecuali ada alasannya seperti perang, tetapi qhishas
itu nilainya menurut penulis adalah boleh bukan baik. Kenapa, jika
keluarga korban memaafkan, hukum pidana bisa berubah menjadi perdata,
yaitu qishash berubah menjadi diyat, dengan syarat dimaafkan oleh
keluarga korban.7
Mengucapkan kalimat-kalimat thaiyyibah itu pada dasarnya baik,
menjadi tidak baik mengucapkannya di kamar mandi dan toilet. Bahkan
membaca al-Qur‟an dengan keras di masjid yang pada dasarnya baik, jika
dibaca saat ada orang lain yang mendirikan shalat, sehingga yang shalat
terganggu konsentrasinya, maka membaca al-Qur‟an menjadi tidak baik.
Al-Qur‟an juga mengatakan, ketika al-Qur‟an itu dibacakan, maka
hendaknya disimak dengan baik. 8 Jika al-Qur‟an dibacakan, maka kegiatan
belajar yang mengganggu untuk menyimaknya menjadi tidak baik. Dalam
hal inilah, sering dijumpai, ketika adzan dikumandangkan, maka segala
aktivitas berbicara dihentikan untuk menyimaknya, bahkan aktivitas yang
mengganggu menyimaknya pun sebaiknya dihentikan.

C. Teori Dasar Akhlak


Aksiologi itu adalah filsafat nilai. Akhlak itu adalah salah satu
konsep nilai. Pendidikan nilai itu sebanding dengan maksudnya pendidikan
akhlak atau moral. Untuk itu, akan diuraikan teori dasar akhlak secara
sederhana dalam pembahasan ini. Pembahasan ini, telah diuraikan dalam
buku penulis yang berjudul Filsafat Pendidikan Akhlak.
Pada dasarnya akhlak berbicara tentang kewajiban-kewajiban kata
Darraj. Adanya kewajiban menuntut adanya pertanggungjawaban. Jika
tidak ada pertanggungjawaban, maka mana mungkin ditegakkan keadilan
(al-`adālah).9 Jika terjadi demikian kata Darraj, maka akan terjadi
kekacauan yang merusak tatanan aturan baik dalam kenyataan maupun
dalam bentuk teori. Hal yang demikian itu belum terdapat prinsip-prinsip
akhlak.

7
Q.S. al-Baqarah/2:178.
8
Q.S. al-A`raf/7: 204.
9
Keadilan dengan al-`adālah merupakan persoalan-persoalan materil, sedangkan
keadilan dengan al-`adl bersifat universal dan immaterial.

154
Menurut filosof Prancis, Hendri bahwa sumber dari akhlak dalam
hal ini moral ada dua, yaitu daya tekanan sosial dan daya ketertarikan
kelemahlembutan manusiawi bersandarkan bantuan ketuhanan. Kemudian
Hendri menyebutkan hal yang demikian itu sebagai adat yang harus wajib
ditunaikan.
Hamdi Mahmud Zaqzuoq membedakan akhlak berdasarkan ajaran
agama dan bukan agama, al-akhlāq al-dīnī dan al-akhlāq ghairu al-dīnī
atau `ilm al-akhlāq al-falsafī. Keduanya memiliki tujuan yaitu memberi
contoh yang terbaik di hadapan manusia berupa nilai dan prinsip-prinsip
akhlak. Perbedaan keduanya hanya dalam hal metodologi (manhaj). Ilmu
Akhlak Agama berlandaskan wahyu samawi, apakah itu agama Yahudi,
Nasrani, maupun Islam. Untuk itu, menurut Zaqzouq tidak dibutuhkan
pembahasan ilmiah tentang dasar-dasar dari kebaikan dan keburukan, yang
terpuji dan yang hina. Sedangkan Ilmu Akhlak Falsafi dasarnya adalah
akal dengan menggunakan metode filsafat.
Kedua perspektif ilmu akhlak agama dan filsafat tidak perlu
dipertentangkan karena menurut Zaqzouq Ilmu Akhlak Falsafi tidak
menolak secara mutlak akhlak agama yang dasarnya agama. Salah besar
katanya jika mengatakan bahwa keduanya bertentangan. Lebih lanjut ia
mengatakan tidak mungkin bertentangan jika sumbernya adalah sama.
Ilmu Akhlak Agama sumbernya dari Allah, sementara akal juga
sumbernya dari Allah, hanya saja satu sama lain saling melengkapi. Tidak
mungkin keduanya saling tidak membutuhkan. Keduanya dalam al-Qur‟an
berjalan secara berdampingan.
Di sini Zaqzouq sangat meyakini kedua sumber baik naqlī maupun
aqlī saling melengkapi karena sumbernya dari al-Qur‟an. Ini artinya,
wahyu tidak mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, bisa
jadi akal gagal memahami wahyu ataupun hasil yang dicapai oleh akal
tidak benar metodologinya. Untuk itu juga Imam al-Ghazali melihat
hubungan keduanya bersifat kooperatif saling melengkapi (ta`āwun wa
ta`ādhud) bukan hubungan yang bersifat bertentangan dan berlawanan
(nizā` wa tadhāddu). Al-Ghazali menyebut dalam bukunya Ma`ārij al-
Quds,

155
‫ والشرع َل يتبني إال بالعقل فالعقل كاألس و‬,‫اعلم أف العقل لن يهتدي إال بالشرع‬
‫فالشرع‬...‫الشرع كالبناء ولن يغين أس ماَل يكن بناء ولن يثبت بناء ماَل يكن أس‬
.‫عقل من خارج والعقل شرع من داخل وَما متعاضداف بل متحداف‬
Artinya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya akal sama sekali tidak akan
benar tanpa agama, demikian juga agama belum jelas kecuali dengan
keterlibatan akal, akal bagaikan pondasi, sementara agama bagaikan
bangunan”. Sama sekali tidak bermakna sebuah pondasi jika belum ada
bangunannya, juga sama sekali tidak akan bisa berdiri bangunan jika tidak
ada pondasinya. Maka agama adalah akal dari luar, sedangkan akal adalah
agama dari dalam, keduanya saling bersatu dan saling memperkuat.”.
Konsep keserasian akal dan agama menurut Imam al-Ghazali
berimplikasi pada caranya menafsirkan ayat al-Qur‟an Surah al-Nur/24:
35. Nūrun `alā nūr menurut al-Ghazali adalah akal dan agama, nur yang
pertama akal sedangkan nur yang kedua adalah agama. Lebih lanjut al-
Ghazali sebagaimana dikutip Zaqzouq, menyebut bahwa bertaklid dalam
urusan agama tanpa menggunakan akal secara umum adalah kebodohan,
sementara memadakan hasil pencapaian akal tanpa cahaya al-Qur‟an dan
Sunnah adalah tertipu.
Akal dan agama dipertentangkan tidak lahir dalam Islam, tetapi
lahirnya di Eropa. Perdebatan itu sebenarnya menurut al-Ghazali tidak
terdapat dalam Islam. Inilah yang melahirkan Negara sekuler, tidak
akurnya akal dengan agama.
1. Suluk, Dhamīr, dan Iradah
Ada yang membedakan antara moral dan etika. Moral itu adalah
tindakan baik dan buruk. Hal ini sebanding dengan al-suluk yang
disebutkan oleh Hamdi Mahmud Zaqzouq dalam Muqaddimah fī `Ilmi al-
Akhlāq. Menurutnya, al-sulūk adalah setiap perbuatan yang diinginkan. Al-
sulūk ini menjadi dalil akhlak yang baik dan yang buruk. Akhlak adalah
kebaikan dan keburukan yang tidak terlihat. Ia akan kelihatan dengan
diperlihatkan dalam sulūk. Dus, sulūk adalah terjemahan dari perilaku yang
baik dan tidak baik (khulq).

156
Ada hubungan al-khulq dan al-suluk, contohnya orang yang
memiliki akhlak yang mulia, tapi tidak menderma karena kefakirannya.
Seseorang yang sebenarnya pemberani, tetapi karena ia sakit, sehingga ia
tidak ikut dalam medan perang. Yang pertama tidak disebut kikir dan yang
kedua tidak disebut pengecut (al-jubn). Dengan demikian, al-sulūk
dipengaruhi oleh faktor keadaan. Lain halnya akhlak tidak dipengaruhi
oleh keadaan. Di sini terlihat bahwa khulq atau akhlak dipahami sebagai
potensi, sedangkan aktusnya disebut sulūk.
Kebebasan adalah syarat bagi setiap perbuatan akhlak. Tidak dapat
disebutkan sebagai akhlak jika ada faktor keterpaksaan. Taqiyah dalam
Syi`ah, yaitu berbohong untuk keselamatan jika bisa dinilai yang bukan
akhlak karena keterpaksaan.
Dhamīr dalam Kitab al-Akhlaq, Ahmad Amin menyebut sebagai
daya atau potensi yang memerintah untuk berbuat baik dan melarang untuk
meninggalkan keburukan, dirasakan seakan-akan suara itu datang dari
lubuk hati yang dalam. Dhamīr ini menurut Ahmad Amin ada yang
bersifat bawaan (given) dan ini terdapat juga pada hewan dan binatang.
Seekor anjing bisa saja berbuat salah secara sembunyi-sembunyi dari
tuannya. Sikap sembunyi sembunyi itu bisa disebut dengan naluri berbuat
salah. Sikap perasaan bersalah dari manusia juga bersifat naluriah.
Walaupun ada kalanya ditemukan manusia yang bersalah, naluri
bersalahnya tidak muncul. Dhamīr yang bersifat naluriah ini juga
terkadang bisa ditemukan pada diri anak-anak. Ketika anak-anak
melakukan kesalahan, sikap merasa bersalah pun terlihat dengan jelas.
Dhamīr tidak selamanya menyuruh pada kebaikan dan melarang dari
keburukan. Adakalanya dhamīr seseorang melakukan hal yang terbalik,
yaitu menyuruh berbuat buruk dan melarang yang baik, persis seperti
pekerjaan setan. Bisa juga dhamīr seseorang pada suatu saat menyuruh
pada suatu perbuatan, contohnya semangat membaca buku tanpa
mengetahui aturan berdasarkan ilmu kesehatan. Tapi pada waktu yang lain,
setelah ia mempelajari ilmu kesehatan, maka dhamīrnya bertindak berbeda
terhadap kegiatan membaca, dengan menjaga unsur-unsur kesehatan mata.
Di sini dhamīr kelihatan dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan juga
akal. Selain itu kata Ahmad Amin, dhamīr juga dipengaruhi oleh keadaan
masyarakat dan adatnya.

157
Uraian di atas dengan jelas dapat dipahami bahwa dhamīr bisa
dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan dan mendidik akal agar
bisa berpikir logis. Kemudian, dhamīr itu juga ditingkatkan dengan
menciptakan adat dan budaya yang baik. Dalam menciptakan budaya yang
baik inilah dibutuhkan disiplin. Artinya, disiplin bisa diciptakan sebagai
proses budaya yang baik. Dhamīr sangat akrab dengan bangunan budaya
yang disebut adat. Adat itu adalah kebiasaan baik yang dipandang oleh
suatu tatanan nilai. Tatanan nilai yang universal itu adalah agama.
Membudayakan shalat dalam pengertian pembiasaan akan
mempengaruhi dhamīr seseorang, sehingga ketika shalat itu menjadi
membudaya bagi seseorang, dhamīr akan merasa tidak nyaman jika ia
meninggalkan shalat. Perasaan bersalah tidak shalat bisa muncul karena
faktor budaya atau adat dan bisa juga karena faktor pengetahuan tentang
agama. Ada dhamīr seseorang tidak merasa bersalah walaupun
meninggalkan ibadah shalat, bukan karena ia tidak tahu bahwa shalat itu
berupa kewajiban dari Allah, tapi karena shalat baginya belum menjadi
bagian dari budaya yang dibiasakan.
Menurut al-Ashfahani dalam al-Mufradāt… bahwa adat adalah
sebutan untuk sesuatu pekerjaan yang diulang-ulang, sehingga hal tersebut
dilakukan dengan mudah dan dengan senang hati. Untuk itu ada yang
mengatakan bahwa adat itu adalah tabiat kedua manusia. Artinya, tabiat
yang diusahakan (efforted: achieved)), sedangkan tabiat pertama adalah
bawaaan (given).
Coba perhatikan ada hamba Allah yang sudah puluhan tahun
terbiasa shalat berjama`ah lima waktu. Baginya shalat berjama`ah untuk
setiap waktu sangat ringan dan mendatangkan ketenangan batin. Baginya
shalat berjama`ah telah menjadi adat. Ada juga orang yang terbiasa shalat
sunat tahajjud bertahun-tahun. Orang yang terbiasa melaksanakan shalat
sunat tahajjud, tidak serta merta ia terbiasa melaksanakan shalat sunat
Dhuha. Logika faktor kesusahan bangun malam, tidak selamanya linier
dengan teori bahwa jika shalat sunat Tahajjud saja seseorang terbiasa,
maka dengan sendirinya, ia akan terbiasa melaksanakan shalat sunat
Dhuha.
Orang yang suka membangun masjid, tidak juga dengan sendirinya
suka menderma kepada pengemis-pengemis di jalanan. Selain faktor

158
kebiasaan ada juga faktor ketertarikan tertentu. Berbuat baik saja ada
spesialisasinya. Ada orang spesialisasinya menderma kepada pengemis
jalanan. Ada juga yang spesialisasinya menderma kepada pengamen
jalanan. Ada juga yang spesialisasinya menderma kepada anak yatim, dan
sebagainya. Faktor ketertarikan itu ada yang disebabkan oleh pengalaman
masa lalu atau ada juga disebabkan logika kemanfaatan dan bahkan ada
juga disebabkan logika kreatif.
Penulis melihat di zaman pemilihan anggota legislatif dan kepala
daerah secara langsung, banyak bermunculan ambulan-ambulan gratis,
khususnya untuk membawa mayit ke kubur. Saking banyaknya, sering
“berebut menderma”. Terlepas apapun motifnya, tetapi memfasilitasi
ambulan khususnya di kota saat ini sudah tidak istimewa lagi. Coba
bandingkan dengan kreasi sebuah yayasan yang menyediakan tim untuk
membersihkan masjid secara priodik. Ini benar-benar kreatif karena selain
bermanfaat, juga belum ada yang melakukan. Kreasi ini menjadi inspirasi
bagi banyak orang bahwa ingin berbuat baik saja harus kreatif. Ada juga
seorang jama`ah Jum`at, setiap membawa Pisang Barangan beberapa sisir.
Pisang itu dibagi setelah selesai shalat sunat ba`diyah, sehingga yang telah
pulang sebelum shalat sunat ba`diyah tidak akan melihatnya dan tentu
tidak akan dapat bagian. Tidak mustahil, jama`ah yang mengetahui hal itu
dan berminat mendapat pisangnya, ia akan shalat sunat ba`diyah atau
sekedar ia tunggu waktu pembagiannya, apalagi bagi anak-anak.
Iradah menurut Ahmad Amin adalah eksekutor dari apa yang
direncanakan oleh dhamīr. Tanpa dukungan iradah, maka perintah dan
larangan dhamīr tidak dapat dieksekusi. Iradah lebih lanjut menurut
Ahmad Amin adalah daya eksekusi bagi manusia, tanpa perannya, perintah
dan larangan dari dhamīr menjadi “mimpi” saja. Jika bukan eksekutor,
iradah bisa diibaratkan sebagai decision maker sebuah perintah dan
larangan. Jika demikian, maka konsepnya, al-nafs, al-`aql, al-qalb, al-
fuad, al-ruh, dan atau al-sir mengirim pesan berupa perintah atau larangan
ke dhamīr, kemudian setelah diseleksinya, dhamīr “meminta pendapat atau
persetujuan” dari iradah untuk dieksekusi. Ketika pesan telah diputuskan
iradah, maka dhamīr bisa mengeksekusi perintah maupun larangan.

159
Iradah tidak selamanya bersifat reaktif, bisa juga bersifat proaktif. Ia
meminta pada dhamir untuk menilai perintah dan larangan yang ia
inginkan, kemudian dhamir menyampaikan pada “ahli”, yaitu al-nafs, al-
`aql, al-qalb, al-fuad, al-ruh, dan atau al-sir. Pesan dari iradah
disampaikan secara profesional berdasarkan, jika itu perintah beribadah,
maka disampaikan minimal pada al-qalb. Bisa juga disampaikan pada al-
fuād, al-rūh, dan al-sirr, berdasarkan siapa yang punya irādah. Jika itu
iradah para Nabi minimal disampaikan pada al-ruh dan sangat
memungkinkan pada al-sirr. Jika itu pada manusia biasa, bisa disampaikan
pada al-qalb maupun al-fuad. Iradah yang kuat menurut Ahmad Amin
rahasia sebuah kesuksesan dalam hidup.
Di dalam al-Qur‟an kata al-Ashfahani iradah pada dasarnya
kekuatan yang berlipat ganda untuk sebuah keinginan kuat (syahwah) dan
kebutuhan berdasarkan suatu hukum, apakah sesuatu itu akan dikerjakan
atau ditinggalkan. Terkadang yang digunakan hanya prinsipnya, terkadang
yang digunakan tujuannya. Jika iradah dinisbahkan kepada Allah, maka
yang dimaksud adalah tujuannya. Contohnya,

‫ص َدقَ ُك ُم اللّوُ َو ْع َدهُ إِ ْذ ََتُ ُّسونػَ ُهم بِِإ ْذنِِو َح ََّّت إِذَا فَ ِشلْتُ ْم َوتَػنَ َاز ْعتُ ْم ِِف األ َْم ِر‬ َ ‫َولَ َق ْد‬
ِ ‫يد‬
َّ‫اآلخَرَة ُْث‬ ُ ‫الدنْػيَا َوِمن ُكم َّمن يُِر‬ ُّ ‫يد‬ ُ ‫صْيتُم ّْمن بَػ ْع ِد َما أ ََرا ُكم َّما َُِتبُّو َف ِمن ُكم َّمن يُِر‬ َ ‫َو َع‬
ِِ
َ ‫ل ٍل َعلَى الْ ُم ْؤمن‬
‫ني‬ ْ َ‫صَرفَ ُك ْم َعْنػ ُه ْم لِيَْبتَلِيَ ُك ْم َولَ َق ْد َع َفا َعن ُك ْم َواللّوُ ذُو ف‬
َ
Artinya, “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada
kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat
kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah
(Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai.
Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada
orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu
dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah
memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran/3:152)

160
‫ص ُم ُكم ّْم َن اللَّ ِو إِ ْف أ ََر َاد بِ ُك ْم ُسوءًا أ َْو أ ََر َاد بِ ُك ْم َر ْْحَةً َوَال َُِي ُدو َف‬ِ ‫قُل من َذا الَّ ِذي يػع‬
َْ َْ
‫صْيًا‬ِ َ‫وف اللَّ ِو ولِيِّا وَال ن‬
ِ ‫ََلم ّْمن د‬
َ َ ُ ُ
Artinya, Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir)
Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat
untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi
mereka pelindung dan penolong selain Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:17)
Q.S. Ali Imran/3:152 berbicara tetang Perang Uhud yang
“menginginkan dunia” prinsipnya kesenangan dunia. Kesenangan dunia
pada ayat itu menginginkan harta rampasan. Sedangkan yang
“menginginkan akhirat” prinsipnya menuruti perintah Allah. Sedangkan
pada Q.S. al-Ahzab/33:17, bencana itu adalah bencana dan rahmad juga
adalah rahmad, tidak perlu ditafsirkan prinsipnya. Dengan bahasa lain,
kalau iradah itu dinisbahkan pada manusia, maka bisa ditafsirkan dan
dilaksanakan prinsipnya, dan bisa juga yang dimaksudkan adalah
mantuqnya. Sedangkan jika dinisbahkan pada Allah, iradah yang dimaksud
dalam makna mantuqnya.
Selain itu, iradah ketika dinisbahkan tidak seperti dalam sistem pada
manusia dikirim pesannya pada dhamir, kemudian diserahkan pada
ahlinya, yaitu al-nafs, al-`aql, al-qalb, al-fuad, al-ruh, dan atau al-sir.
Selanjutnya diserahkan kembali dengan cepat ke iradah dan dieksekusi
oleh dhamir.
Dhamir menurut Ahmad Amin berkembang dengan tarbiyah dan
melemah dengan perbuatan maksiat. Dhamir akan hidup dengan ketaatan
yang kontinus dan melemah dan bahkan mati dengan kemaksiatan. Di sini
dhamir dapat dipahami dalam hubungannya dengan kebaikan bukan
dengan keburukan. Dengan demikian, para pelaku maksiat, dhamirnya
lemah. Walaupun kekuatan akal yang hebat yang dapat menjadikan
seseorang menjadi baik, tetapi karena dhamirnya lemah, maka dengan
sendirinya, mesin penyeleksi kebaikan itu tidak berjalan secara normal,
sehingga keluar perintah berbuat buruk atau setidaknya keluar dari
jalurnya. Sesuatu yang keluar dari jalurnya tentu berbahaya.

161
Hukum akhlak menurut Ahmad Amin berbicara tentang baik dan
buruk yang tidak lahir kecuali dengan perbuatan yang dilandasi oleh
iradah. (al-a`mālu al-irādiyah).

2. Niat dan Hasil Perbuatan


Dalam teori akhlak dipersoalkan, apakah penilaian itu berdasarkan
hasil dari perbuatan atau niat dari perbuatan. Contohnya, sekelompok
dokter memutuskan untuk membedah atau melakukan operasi terhadap
pasien. Setelah selesai diketahui bahwa tindakan itu adalah salah,
kemudian pasien itu mati. Niat para dokter membantu pasien agar sembuh
dan ternyata sebaliknya mati. Ada juga niat yang buruk menghasilkan yang
baik. Seorang rektor berniat untuk tidak memberi jabatan kepada seorang
dosen, dan dosen itu dengan senang hati banyak meluangkan waktunya
untuk menulis buku. Niat rektor tadi tidak membuat rugi dosen tersebut,
malah mencapai kebahagiaan.
Menurut Ahmad Amin dalam teori akhlak, baik buruknya suatu
perbuatan dilihat dari tujuannya atau niatnya bukan hasilnya. Untuk itu
dapat dipahami bahwa hadis “innamā al-a`mālu bi al-niyāt: sesungguhnya
perbuatan itu dilihat dari niatnya” adalah dalil teori akhlak. Memang
sekedar niat baik tentu tidak cukup, tetapi niat baik yang dilakukan secara
professional. Hal ini disebutkan oleh Ahmad Amin bahwa orang yang
berencana baik atau berniat baik, harus secara bersungguh-sungguh
mengetahui apa dampak yang akan dihasilkan dari perencanaan itu jika
telah dilaksanakan.
Jika seorang yang minus pengetahuan dan pengalaman dengan
pendidikan, kemudian merencanakan (niat) tujuan sebuah lembaga
pendidikan, tentu tidak sesuai dengan logika hadis di atas. Namun seorang
ahli pendidikan yang merancang tujuan pendidikan dan kemudian hasilnya
kurang baik atau tidak baik, perbuatan itu tetap dinilai baik karena niatnya.
Tidak semua orang berilmu memiliki niat baik dalam menjalankan
ilmunya. Ada kalanya dengan ilmunya, justru ia berniat buruk, tapi
caranya kelihatan baik. Cara yang dilakukan seperti kerja setan,
“membius” orang lain untuk mengikuti keinginan buruknya agar
dipandang baik.

162
Memang teori akhlak melihat baik dan buruk dilihat dari niatnya,
tetapi di sana ada juga teori tentang perbuatan (al-hukm `ala al-`aml) yang
mempertimbangkan kemanfaatan. Teori perbutan ini tidak melihat niat
atau tujuannya, tapi melihat hasilnya, apakah bermanfaat atau mengandung
mudharat.
Melihat teori akhlak dan teori perbuatan yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin di atas, kapling atau otoritas akhlak dalam proses
perencanaan (niat), sementara kapling hasil dari perbuatan itu menjadi
otoritas dari teori perbuatan (`amal).Akhlak dilihat dari baik buruknya,
sementara hasil dari perbuatan dilihat dari bermanfaat atau berbahaya
(nāfi` atau dhārr). Seakan-akan konsepnya penanggung jawab
perencanaan itu akhlak, sementara penanggung jawab hasil itu `aml.
Apakah sasaran dari teori akhlak (al-hukm al-akhlaqi) perbuatannya
(al-`aml) atau pelakunya (al-`āmil)? Terkesan yang dilihat itu adalah yang
kedua, yaitu pelakunya, sehingga dikatakan bahwa “Fulan adalah baik atau
Fulan adalah buruk”. Sesungguhnya teori akhlak adalah melihat sesuatu
baik dari perbuatannya (al-`aml) bukan dari pelakunya (al-`āmil). Jika
yang dilihat adalah al-`aml, maka yang diperhatikan tujuannya atau
niatnya. Sementara jika yang dilihat itu adalah al-`āmil), maka yang
diperhatikan semua perbuatan dalam hidupnya. Dari hal itu sebenarnya
dalam teori akhlak tidak tepat disebutkan bahwa ia baik atau buruk, tetapi
disebutkan perbuatannya baik atau buruk. Tetapi di dalam al-Qur‟an jelas
sekali bahwa para nabi-nabi itu disebut orang baik, contohnya disebut min
al-shalihin, min al-muhsinin, karena yang dinilai itu bukan al-`aml, tapi
`āmil-nya.

3. Menilai yang Baik


Dalam sejarah manusia, al-`urf disebut sebagai alat ukur kebaikan.
Ziarah kubur pada hari lebaran adalah adat kebiasaan orang-orang Mesir.
Setiap umat memiliki adat kebiasan yang berbeda-beda. Bagi mereka
mengukur kebaikan itu sesuai dengan adat, jika bertentangan dengan adat,
maka disebut tidak baik atau buruk.
Dengan berkembangnya pengetahuan manusia, adat (al-`urf) tidak
lagi bisa dijadikan standard dari kebaikan (al-khair), karena sebagian dari

163
adat itu ada yang tidak masuk akal, sebagian lagi ada memiliki mudharat.
Menghinakan anak perempuan pada Arab Jahiliyah adalah sebuah adat.
Hal ini selain tidak masuk akal, karena dari para wanita itulah lahir kaum
laki-laki. Mana bisa diterima akal, sesuatu yang melahirkan yang mulia itu
lantas hina dan dihinakan. Tentulah yang melahirkan lebih mulia dari yang
dilahirkan. Ini tidak masuk akal. Adat ini juga berbahaya, jika para wanita
dihina dan bahkan dibunuh hidup-hidup, bagaimana perkembangan
manusia di bumi ini. Bagi orang Romawi dahulu juga kata Ahmad Amin,
seorang bapak punya hak, apakah anaknya mau dimatikan atau
dihidupkan. Ini adat yang tidak lagi dinilai baik oleh agama. Untuk itu,
selain itu tidak lagi berhak disebut adat, juga perlu dihapuskan.
Bagaimana adat orang Batak dalam “Margondang”, mangayapi
borutulang suatu kemuliaan. Ada sebagian kaum laki-laki yang tidak
punya mental “manggung”, untuk melahirkan mental itu, sebagian mereka
membiasakan minum khamr. Dengan minum khamr, mereka ada yang
mabuk. Ketika akal tidak normal, maka hilanglah rasa malu tampil di
depan orang banyak. Adat yang mengundang orang lain berbuat maksiat,
tentulah tidak baik lagi membahayakan untuk kesehatan jasmani dan
rohani. Alkohol juga dapat merusak sel-sel otak. Mana mungkin yang
merusak kesehatan jasmani dan rohani dan mematikan sel-sel otak dapat
disebut baik?
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka standard untuk
menentukan yang baik itu tidak lagi adat, tetapi naluri manusia pun dapat
membedakan mana yang baik dan yang buruk. Selanjutnya ilmu
pengetahuan pun mengatakan bahwa akal manusia dapat menjangkau
mana yang baik dan yang buruk, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil
agama, semakin mudah menilai yang baik dan yang buruk. Teori akhlak
berkembang secara bertahap kata Ahmad Amin sesuai dengan
perkembangan ilmu peradaban manusia.
Dalam pandangan Islam, al-Qur‟an adalah kitab suci yang terakhir
diturunkan oleh Allah kepada rasulNya Muhammad Saw. Kitab ini
menjadi pedoman hidup manusia tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
penentuan baik dan buruk tercantum dan terkandung dalam al-Qur‟an.
Dengan adanya al-Qur‟an, maka naluri, akal, dan pencapaian ilmu
pengetahuan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an.

164
PEMIKIRAN PENDIDIKAN UMAR BIN KHATTAB

)‫الدين أساس وضرورة لوحدة الفكر (عمر ابن الخطاب‬


Agama adalah dasar dan kebutuhan penting untuk menyatukan
pemikiran (Umar bin Khattab)

A. Pendahuluan
Umar bin Khattab sahabat sekaligus mertua dari Rasulullah Saw.
Sebelum Islam ia adalah orang yang sangat memusuhi Rasulullah Saw.,
setelah keislamannya, terbalik 360 derajat, ialah orang yang paling keras
membela Rasullah Saw. Hal itu, bisa dipahami dari sikapnya ketika
mendengar berita bahwa Rasulullah Saw. telah meninggal. Ia mengatakan
akan memotong leher orang yang mengatakan Rasulullah telah meninggal.
Abu Bakar al-Siddiq tampil untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa
Rasulullah Saw. benar telah meninggal. Umar bin Khattab yang
mengetahui reputasi kejujuran Abu Bakar al-Shiddiq, ia tidak punya alasan
dan amarah, selain menerima berita itu dan bersedih atas kepergian orang
yang sangat ia cintai itu.
Umar bin Khattab dikenal orang yang kepribadiannya keras,
sementara Abu Bakar dikenal sangat lembut. Ternyata, sifat mereka berdua
tertukar tatkala menghadapi masalah orang yang ingkar membayar zakat.
Abu Bakar al-Shiddiq sangat keras dan memerangi mereka itu. Sementara
Umar bin Khattab cukup lembut, untuk membiarkan mereka tidak
membayar zakat toh mereka sudah Islam.
Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar al-Shiddiq
masuk Islam pada umur 26 tahun, panggilannya (laqabnya) al-Faruq. Umar
selain genius, wawasannya luas. Ibn Mas`ud menggambarkan keluasan
ilmu Umar bin Khattab, “seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan di
telapak tangannya dan ilmu penghuni bumi ini di telapak tangan yang lain,

165
niscaya lebih berat timbangan ilmu Umar.”1 Kalimat itu jangan dipahami
secara tekstual. Itu adalah gambaran bahwa wawasan keilmuan Umar itu
diakui oleh Ibn Mas`ud. Lebih lanjut Ibn Mas`ud mengatakan bahwa
“Sesungguhnya Umar orang yang paling tahu tentang kitabullah dan paling
paham dalam agama Allah.”2
Abu al-`Ainaini menyebutkan bahwa Umar bin Khattab, alumni
“Madrasah Kenabian Muhammad Saw.” bersama sahabat-sahabat lainnya,
seperti Abu Bakar al-Shiddq, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Ia
belajar tentang iman, ikhlas, dan kejujuran dari Rasulullah Saw.
Pendidikan nabi sangat membekas pada diri Umar bin Khattab, untuk itu
para khulafa al-rasyidun sangat cocok dijadikan menjadi teladan setelah
Nabi Muhammad Saw.
Umar bin Khattab adalah orang yang menyarankan Abu Bakar
membentuk panita pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an. Ia juga berusaha
keras dalam memperbaiki bahasa Arab dan menjaganya dari kesalahan dan
kerusakan.

B. Perhatian Umar bin Khattab terhadap Pendidikan


Ada kemungkinan dalam makna yang sederhana hampir semua
manusia berbicara tentang pendidikan, apalagi seorang ulama, apalagi
khulafa al-rasyidun, sebagai alumni “Pesantren Rasulullah”. Dalam konsep
inilah Umar bin Khattab pasti memiliki pemikiran pendidikan.
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah homo educandus dan homo
educandum, manusia bisa didik dan sekaligus bisa mendidik. Umar bin
Khattab kata Abu al-`Ainaini. menyuruh manusia belajar dan mengajar. 3
Ada orang yang mungkin mengatakan bahwa ia tidak bisa mengajar. Ini
tidak sesuai dengan fitrah manusia yang bisa belajar dan mengajar
(educable). Memang ada orang yang berbakat mengajar dan ada yang
tidak. Ada bakat orang pintar untuk dirinya dan tidak berbakat untuk

1
Ali Khalil Mushtafa Abu al-Ainaini, “Umar bin Khattab wa Ihtimamuhu al-
Tarbawiyah”, dalam Min A`lam al-Tarbiyah, Jilid I, (Riyadh: Maktabah al-Tarbiyah li al-
`Arabi li Dauli al-Khalij, 1988), h. 30.
2
Ibid.
3
Ali Khalil Mushtafa Abu al-Ainaini, Min A`lam al-Tarbiyah, Jilid I, h. 31.

166
memintarkan orang lain (ٖ‫ غيش ػبٌُ ٌغيش‬ٚ ٗ‫)ػبٌُ ٌٕفض‬, memang orang seperti ini
tidak cocok jadi guru dan dosen. Guru dan dosen haruslah ٖ‫ٌغيش‬ٚ ٗ‫ػبٌُ ٌٕفض‬
(pintar untuk dirinya dan orang lain). Saat ini guru pandai mengajar
mungkin masih cocok, tetapi dosen tidak cukup hanya pintar mengajar,
tapi juga harus pintar menulis. Dosen sepertiga tugasnya adalah peneliti.
Sebagai peneliti, ia harus menuliskan hasil penelitiannya.
Ada juga tipe orang yang pandai menyampaikan dan belum tentu
pandai mengajar. Mereka itu biasanya berprofesi dari muballigh atau dai.
Ada orang yang berbakat menyampaikan, berbakat mengajar, dan berbakat
menulis juga. Itu tentu lebih ideal. Bagaimana orang yang tidak berbakat
mengajar. Mereka yang tidak berbakat mengajar pun harus belajar dan
latihan mengajar, karena orang tua adalah pendidik utama dan pertama.
Bagaimana bisa menghindar dari peran orang tua, kecuali tidak berminat
menikah. Untuk itu, suruhan Umar bin Khattab untuk belajar dan mengajar
itu sudah pada tempatnya. Jangan mengajar saja, tapi tidak belajar.
Mengajar itu pada prakteknya adalah belajar yang sebenarnya, karena
ketika mau mengajar, seseorang haruslah mempelajari materinya secara
mendalam, agar ia bisa menyampaikan kepada peserta didik.
Abu al-Ainaini menyebutkan bahwa Umar bin Khattab
menyebutkan asas-asas pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Menyatukan Pemikiran Umat
Apa yang harus disatukan pikiran umat ini? Sering orang menyebut
menyatukan persepsi. Bukan saja persepsi yang disamakan, juga konsepsi,
bahkan harus menyatukan niat, juga menyatukan usaha keras dan cerdas (
‫ْ ػٍي اٌجش‬ٚ‫)اٌزؼب‬. Menyamakan persepsi dan konsepsi bahwa al-Qur‟an
adalah pelajaran utama bagi semua. Menurut Umar bin Khattab al-Qur‟an
dapat mempersatukan orang-orang Arab dan mempersatukan manusia.
Ketika manusia menjumpai perbedaan, budaya, politik, pemikiran, sejarah,
semua bisa kembali pada al-Qur‟an. Dengan demikian, al-Qur‟an menjadi
pemersatu manusia.
Dalam menjaga keutuhan ayat al-Qur‟an, pada masa kepemimpinan
Umar bin Khattab, ia tidak menginginkan ada kitab selain al-Qur‟an. Suatu
saat ada seseorang mengatakan kepada Umar bin Khattab, “Sewaktu kami
menaklukkan suatu kota, kami menemukan buku dimana di dalamnya ada

167
kata-kata yang mengagumkan”. Umar bertanya, “Apa itu bagian dari al-
Qur‟an?”. Orang tersebut menjawab, “Tidak!”. Umar memanggilnya dan
memukulnya dan menyuruhnya membaca,

‫ك‬ ُّ ‫َنزْلنَاهُ قُػ ْرآنًا َعَربِيِّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَػ ْع ِقلُو َف ََْن ُن نَػ ُق‬
َ ‫ص َعلَْي‬ َ ‫ني إِنَّا أ‬
ِ ِ‫اب الْمب‬
ُ
ِ َ‫ات الْ ِكت‬
ُ َ‫ك آي‬
ِ
َ ‫الر ت ْل‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ‫ك ىػ َذا الْ ُقرآ َف وإِف ُك‬ ِ ِ ‫أَحسن الْ َقص‬
‫ني‬
َ ‫نت من قَػْبلو لَم َن الْغَافل‬ َ َ ْ َ َ ‫ص ِبَا أ َْو َحْيػنَا إِلَْي‬ َ ََ ْ
Artinya, Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata
(dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceriterakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini
kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Q.S. Yusuf/12:1-
3.)
Umar bin Khattab bukan saja tidak tertarik dengan yang
menakjubkan kalau tidak sesuai dengan al-Qur‟an, tapi ia marah
membicarakan kehebatan apa saja kalau tidak sesuai dengan al-Qur‟an.
Dalam konteks pendidikan, jangan bicara teori yang menurut Anda sangat
bagus, kalau hal tersebut bertentangan dengan al-Qur‟an. Sikap Umar bin
Khattab ini sangat tegas, agar pembicaraan, pemikiran, dan sikap tidak
melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai al-Qur‟an.
Penulis pernah mendengar seorang Profesor dokter mengomentari
bahwa unsur-unsur dalam babi bisa dijadikan obat. Dokter itu dengan
jelas, walaupun babi itu banyak manfaatnya untuk obat, tapi ia haram.
Dokter itu nampak tidak tertarik membicarakan babi dari sisi obat karena
babi jelas haramnya.
Sikap terhadap al-Qur‟an harus jelas dan tegas. Al-Qur‟an pedoman
hidup dan dengan sendirinya pedoman dalam bidang pendidikan. Tidak
usah membicarakan kecanggihan ilmu, jika itu bertentangan dengan al-
Qur‟an. Kalau berbicara tentang apa saja, hendaknya bisa merujuk
dasarnya dari al-Qur‟an. Sikap yang tegas Umar bin Khattab tentang al-
Qur‟an ini dapat dilihat bahwa pada suatu saat ada lelaki yang bertanya
kepadanya tentang Surah al-Mursalat, al-Dzariat, dan al-Naziat. Yang

168
bertanya itu adalah yang meragukan ayat-ayat dalam Surah itu. Umar bin
Khattab melarang penduduk negeri itu untuk duduk bersamanya. Itu
dilakukan oleh Umar bin Khattab agar tidak terjadi perbedaan antar
golongan dalam memahami al-Qur‟an.
Perbedaan (‫ )فشق‬secara konseptual bisa saja negatif apalagi untuk
orang awam. Untuk itu, Ibn Taimiyah menyebutkan variasi pendapat atau
paham (‫اع‬ٛٔ‫)أ‬. Dalam bahasa Inggris dikenal juga bukan difference
(perbedaan) tetapi diversity (keragaman). Keragaman adalah konsep yang
lebih lunak dan tidak mengandung makna negatif. Sementara perbedaan
konsep yang kasar dan mengandung makna negatif.
Kalau perbedaan orang Islam melihat Isa a.s. sebagai nabi atau
Rasulullah, sementara orang Nasrani mengatakan beliau adalah tuhan anak
Allah. Perbedaan seperti inilah yang negatif dan membahayakan. Jarak
antara nabi dengan tuhan sangat jauh sekali. Ibarat abjad, perbedaannya
antar A dengan Z atau ibarat perbedaan bumi dengan langit atau perbedaan
0 derajat dengan 360 derajat. Itulah gambaran negatifnya jarak perbedaan
yang berbahaya.4 Bandingkan ada orang menafsirkan kata ‫رسح‬ ّ dalam Q.S.
al-Zalzalah/99:7-8 dengan “biji sawi”, sekarang ada yang menafsirkan
dengan “atom”, jarak perbedaannya tidak seperti bumi dengan langit dan
tidak seperti perbedaan A-Z. Perbedaan pemahaman ini tidak sampai
membahayakan. Inilah barangkali gambaran variasi pendapat yang
disebutkan oleh Ibn Taimiyah. Yang dijaga oleh Umar bin Khattab adalah
menghindari perbedaan pendapat bukan variasi pendapat.

Kedua, Homogenitas Agama


Persamaan banyak membawa kemaslahan dan kebahagiaan.
Perbedaan-perbedaan, walaupun ada kalanya dibolehkan dan bahkan
keniscayaan, tetapi setiap perbedaan tidak jarang melahirkan masalah.
Sedangkan dalam persamaan saja tidak mustahil muncul permasalahan.
Perkawinan beda agama kata Komaruddin Hidayat bagi sebagian orang
pada mulanya tidak bermasalah, lama kelamaan pasti melahirkan masalah.
Perkawinan beda suku juga pada awalnya dianggap tidak bermasalah, tapi

4
Q.S. al-Nisa‟/4:171 dan al-Maidah/5:116.

169
lambat laun akan menemukan masalah, walaupun masalah tersebut ada
kalanya bisa diselesaikan dengan baik. Yang terakhir ini perbedaan yang
dibolehkan. Nurcholish Madjid saja menikah dengan satu suku, yaitu
sama-sama Jawa, satu Jawa Jombang dan istri Jawa Madiun, tetap menuai
masalah. Jika suami-istri berbeda dalam selera dalam makanan, contohnya,
suami menyukai sayur daun ubi, istri suka sayur tauco kacang panjang,
tentu akan merepotkan yang memasak. Berbeda kalau keduanya menyukai
sayur daun ubi atau menyukai tauco kacang panjang.
Umar bin Khattab mengatakan perbedaan agama menyiapkan
keretakan umat karena agama adalah dasar.5 Untuk itu sangat penting
adanya pikiran dan pengamalan yang sama.6 Prinsif kesamaan yang perlu
dijaga dalam agama:
1. Sama-sama Beriman terhadap Adanya Akhirat
Mengimani akhirat tidak berarti mengingkari dunia. Orang
yang menginginkan dunia, jangan menilai akhirat membahayakan.
Sebaliknya, orang yang ingin akhirat juga jangan menilai dunia
membahayakan. Bukanlah sebaik-baik kamu, yang berbuat untuk
akhiratnya dan meninggalkan dunia atau berbuat untuk dunianya
dan meninggalkan akhirat. Yang baik itu adalah dia yang
mengambil dunia dan juga akhirat. Yang tidak boleh adalah cinta
yang berlebihan pada salah satunya. Teori keseimbangan itulah yang
ditentukan oleh Islam.
2. Semangat Berbuat untuk Dunia dan Akhirat
Keseimbangan dunia akhirat dapat diimplementasi dalam
keseimbangan beribadah dan mencari nafkah. Dalam kedua hal
tersebut, manusia dituntut untuk sungguh-sungguh. Kesungguhan itu
digambarkan oleh Umar bin Khattab, “Kalau bicara, harus terdengar
keras, kalau berjalan harus cepat, dan kalau memukul harus
menyakitkan.” Jika seseorang ngomong, tidak kedengaran, padahal
dia masih bisa mengeraskan suaranya, itu tandanya kurang sungguh-
sungguh. Jika seseorang berjalan, pelan dan santai, tidak sungguh-
sungguh. Berjalan berarti ada yang dituju, tidak buang-buang waktu

5
Ali Khalil Mushtafa Abu al-Ainaini, Min A`lam al-Tarbiyah, Jilid I, h. 34.
6
Ibid., h. 34.

170
dan untuk itu harus berjalan cepat. Jika memukul, jangan tanggung,
harus menyakitkan. Itu adalah gambaran kesungguhan, bukan dalam
makna negatif. Jangan dipahami, guru kalau memberi sanksi, harus
memukul dengan keras, sehingga menyakitkan. Dalam berbuat
harus total. Totalitas perbuatan seperti yang digambarkan tersebut.
Apa yang dikemukan Umar bin Khattab di atas adalah teori
keseimbangan dan teori kesungguhan juga profesionalitas. Itu
adalah idealita yang perlu direalisasikan. Bukan berpikir dikotomis
dengan bersikap tidak proporsional terhadap dunia dan akhirat.
Konsep dunia-akhirat hendaknya bisa dijelaskan dalam segala
hal, termasuk dalam dunia pendidikan. Apapun yang dilakukan bisa
dijelaskan orientasi dunianya dan orientasi akhirnya.Contoh shalat
yang sudah jelas orientasi akhiratnya, yaitu menggapai pahala.
Dengan pahala mengantar seseorang menuju surga. Orientasi
dunianya, dengan melaksanakan shalat, Allah menjanjikan untuk
urusan dunia.7 Shalat dalam orientasi duniawi sebagai pencegahan
perbuatan keji dan munkar.8
3. Qadha dan Qadhar
Suatu saat Umar bin Khattab mendengar orang-orang sibuk
membiarkan qadar. Qadar adalah sesuatu yang sudah terjadi.
Membicarakan maksud, kenapa ini terjadi, kenapa itu terjadi, kalau
tidak begini, maka tidak begitu, seandainya, tidak…, maka…, dsb.
Umar bin Khattab berkata,
“Wahai Manusia sesungguhnya celaka orang-orang dahulu
yang membicarakan masalah qadhar. Wallahi, saya tidak mau
mendengar dua orang yang berbicara tentang qadar kecuali akan
kupukul kedua pundaknya. Sesungguhnya, masalah ini sudah
ditentukan oleh Allah sebelum Ia menciptakan makhluk. Harta telah
dibagi sebelum dikumpulkan, manusia ikut arus takdir Allah. Sama
sekali tidak akan meninggal seseorang kecuali telah ada alasannya,

7
Q.S. al-Baqarah/2:45 dan153.
8
Q.S. al-Nahl/16:90 dan al-Ankabut/29:45.

171
Kalau Allah ingin mengazabnya, maka Ia mengazabnya, jika Allah
ingin mengampuninya, maka Ia ampuninya”
Apa yang disebutkan oleh Umar bin Khattab itu, membicarakan
kenapa seseorang meninggal dan mencoba menyalahkan keadaan
atau manusia. Hal itu tidak perlu karena ketentuan Allah telah
direncanakan, itu semua hanya perantaranya saja.
Orang yang meninggal karena ditabrak mobil contohnya, boleh
saja keluarganya akan berkata-kata kepada supirnya, “kalau kamu
tidak tabrak anak saya, dia tidak akan meninggal”. Atau dia
tertabrak karena diajak kakaknya ke pasar, maka ibunya mengatakan
kepada kakak yang meninggal, “kalau kamu tidak mengajak adekmu
ke pasar, dia tidak akan ditabrak mobil” Ini semua contohnya orang
yang membicarakan qadar sebagaimana yang disebutkan Umar bin
Khattab. Hal itu sangat dibenci oleh Umar bin Khattab. Jika ada
orang yang berbicara seperti itu, ia akan memukul pundaknya. Umar
bin Khattab beralasan, jika Allah memberi hidayah, maka tidak ada
yang bisa mencelakakannya, jika Allah ingin mencelakannya, maka
tidak ada yang dapat menyelamatkannya. Sikap Umar bin Khattab
inilah yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, kalau sudah terjadi,
lebih baik bersikap Jabariyah, yang menerima ketentuan Allah, tapi
kalau belum terjadi bersikap qadariyah, agar usahanya lebih optimal.
Ini pemikiran yang realistis.
Ada orang berdebat tentang Qadrnya Nabi Adam a.s., ia
diciptakan oleh Allah, keturunannya berkembang, Allah menjan-
jikan mereka surga, padahal mereka tidak beramal shaleh, dan me-
ngatakan mereka masuk neraka karena mereka tidak beramal shaleh.
Umar bin Khattab orang yang tidak tertarik melihat ke belakang
dalam hal qadr, bukan berarti tidak menjadikan masa lalu sebagai
pelajaran, tetapi mencari-cari kesalahan dan penyebab yang menjadi
urusan Tuhan itu yang tidak perlu diperdebatkan. Abu al-`Ainaini
mengatakan bahwa Umar bin Khattab beriman terhadap qadha dan
qadar, baik dan buruknya, dalam waktu yang sama ia juga beriman
terhadap kehendak manusia yang dipilih (kebebasan memilih).

172
Walaupun manusia bebas memilih, tetapi tidak lantas
menafikan kehendak Allah. Apapun yang dipilih, pilihannya
tetaplah atas takdir Allah Swt. Umar bin Khattab pernah ditanya
oleh Abu Ubaidah, “apakah bisa lari dari takdir Allah?” Umar
menjawab, “Bisa, lari takdir Allah Swt. ke takdirNya…”
Kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa manusia bisa saja
keluar dari rencana Allah dengan usahanya, tapi ketika itu terjadi,
itu juga takdir Allah. Untuk memahami ini perlu merenungkan
penggalan doa dalam qunut, “‫لٕب ثشحّزه شش ِب لضيذ‬ٚ : Hindari kami
ya Allah dari rencana burukMu”. Perlu dipahami bahwa rencana
buruk ( ‫ )سحّخ اٌشش‬menurut penulis bukanlah ditentukan oleh Allah.
Ada rencana Allah Swt. yang ditetapkan dinilai buruk oleh manusia,
seperti kecelakaan, kegagalan dalam ujian, perceraian, kematian,
kehilangan harta. Itu semua buruk dalam pandangan manusia. Jika
itu yang terjadi pun tetap itu kebaikan, makanya disebut dengan
rahmad, arti pemberian baik dari Allah Swt.
Kita coba analisa, berapa banyak orang dekat dengan Allah
Swt. karena adanya keburukan-keburukan. Ada tetangga penulis
yang stroke mengaku bahwa ia mau mendirikan shalat dan puasa, di
umurnya yang ke 49, setelah stroke. Akhirnya, ia bersyukur dengan
peristiwa itu. Banyak yang bisa diungkapkan contohnya, banyak
orang yang mengalaminya bahwa keburukan yang dipandang, kelak
dinilai justru kebaikan. Secara teoretis, lebih banyak orang dekat
dengan Allah setelah ada kesedihan dan kesengsaraan. Orang lebih
mudah bersabar daripada bersyukur. Untuk itu, ayat al-Qur‟an
banyak ditemukan mengatakan “ْٚ‫لٍيال ِب رشىش‬: sedikit kalian yang
bersyukur”, tidak ditemukan dalam al-Qur‟an kalimat, “ ‫لٍيال‬
ْٚ‫ِبرصجش‬: sedikit kalian yang bersabar”. Allah Swt. justru jelas
menyebut dengan harta atau nikmat yang banyak sering kali
melalaikan manusia untuk mengingat Allah. Hal itu terjadi pada
manusia sampai ia masuk kubur.9

9
Baca Q.S. al-Takatsur/102: 1-2.

173
Inti dari keyakinan Umar bin Khattab, manusia melakukan
semua usahanya, kemudian dia berdoa kepada Allah. Akhirnya ia
tawakkal secara jujur kepadaNya. Jika hasilnya kebaikan, maka
bersyukur kepada Allah Swt.
Jika diteorikan, qadha manusia tidak semua berujung pada
qadarnya. Qadha Allah Swt. tidak semua berujung pada qadar 1,
bisa berujung pada qadar 2. Artinya, jika qadha Allah Swt.
seseorang tidak akan lulus dalam ujiannya. Qadar satunya
digambarkan bahwa ia benar-benar tidak lulus. Tetapi dalam qadha
Allah Swt. seseorang yang tidak lulus itu, berusaha keras belajar dan
berdoa sungguh-sungguh kepadaNya, akhirnya ia lulus juga.
Kelulusan itu juga adalah qadhar Allah dalam bahasa Umar bin
Khattab. Itu kita sebut saja dengan istilah qhadar 2.
Konsep qhadar adalah keyakinan penuh kepada Allah Swt.
bahwa apapun yang terjadi, tetap ada peranNya. Konsep iradah dan
kemerdekaan berbuat adalah keyakinan bahwa rencana baik dan
buruk hendaknya ada peran manusia. Singkatnya, dalam qhada
Allah Swt., manusia berperan, sementara dalam qhadar hanya ada
peran Allah. Swt.

Ketiga, Memanusiakan Manusia


Islam hadir untuk dan demi manusia kata Abu al-`Ainaini. Dengan
menjaga fitrah kemanusiaan akan tercapai nilai pendidikan dan pendidik.
Upaya memanusiakan manusia, Umar bin Khattab berpendapat harus
memperhatikan hal berikut:
1. Menyayangi Manusia (‫)سحّخ إٌبس‬
Dalam penelitian penulis di dalam al-Qur‟an, tujuan terendah
atau terdekat dari pendidikan akhlak, pembentukan rasa kasih
sayang pada diri manusia. Jika kasih sayang tidak dimiliki oleh
manusia, maka terminal akhlak paling dekat pun belum tercapai.
Tidak tercapainya tujuan terdekat ini, bisa saja seperti bahasa anak
sekarang “otw” on the way menuju terminal terdekat, yaitu kasih
sayang manusia. Contohnya belajar bisa saja jalan menuju terminal
“kasih sayang”‫ ئٌي صجيً اٌشحّخ‬dan jika telah sampai pada terminal

174
kasih sayang, dengan menyebut nomenklatur tasauf, kita sebut saja
‫في ِمبَ اٌشحّخ‬. Suatu ketika, Umar bin Khattab menemukan orang tua
yang perduli dengan anaknya sendiri dan tidak perduli dengan anak
orang lain. Lalu Umar bin Khattab mengatakan, “Sungguh kamu
demi Allah orang yang sedikit kasih sayangnya, jangan lagi bekerja
denganku selama-lamanya.”
Kasih sayang itu ruang lingkupnya li al-nasi ajma`in (untuk
semua manusia), hanya saja ada sistematikanya atau sequensinya
(urutan).

ِ ِ ِ
َ ِ‫ك َماذَا يُنف ُقو َف قُ ْل َما أَن َف ْقتُم ّْم ْن َخ ٍْْي فَل ْل َوال َديْ ِن َواألَ ْقػَرب‬
‫ني َوالْيَتَ َامى‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ َّ ‫ني وابْ ِن‬ِِ
ٌ ‫السب ِيل َوَما تػَ ْف َعلُواْ م ْن َخ ْْي فَإ َّف اللّوَ بو َعل‬
‫يم‬ َ ‫َوالْ َم َساك‬
Artinya, Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: „Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan.‟ Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Q.S. al-Baqarah/2:215)

‫َو ْاعبُ ُدواْ اللّوَ َوالَ تُ ْش ِرُكواْ بِِو َشْيئًا َوبِالْ َوالِ َديْ ِن إِ ْح َسانًا َوبِ ِذي الْ ُق ْرََب َوالْيَتَ َامى‬
‫السبِ ِيل‬
َّ ‫ب َوابْ ِن‬ ِ ‫ب بِاْلَن‬ِ ‫اح‬ِ ‫الص‬
َّ ‫ب َو‬ ِ ُ‫اْلُن‬
ْ ‫اْلَا ِر‬ ْ ‫ني َوا ْْلَا ِر ِذي اْل ُق ْرََب َو‬ ِ ِ‫واْلمساك‬
ََ َ
‫ورا‬
ً‫خ‬ ُ َ‫ب َمن َكا َف َُْمتَاالً ف‬ ُّ ‫ت أَُْيَانُ ُك ْم إِ َّف اللّوَ الَ ُُِي‬
ْ ‫َوَما َملَ َك‬
Artinya, Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S.
al-Nisa‟/4:36).

175
Dua ayat di atas berbicara tentang “infaq” dan berbuat baik
dengan konsep “ihsan”. Kedua ayat itu tetap menggunakan perasaan
kasih sayang bukan saja kepada anak, tetapi juga kepada orang lain
yang membutuhkan. Semua manusia membutuhkan kasih sayang.
Untuk itulah berbuat kasih sayang tidak terbatas kepada anak, tetapi
kepada semua manusia, walaupun urutan-urutan berdasarkan
kedekatan psikologis dan skala prioritas seperti yang dikemukakan
oleh ayat di atas.
Jika dalam bersedekah bisa meneladani Imam Abu Hanifah
tentu lebih baik. Apa yang diberikan kepada keluarganya, maka
sebanyak itu juga ia berikan kepada guru-gurunya. Ia memberi
imbalan kepada guru ngaji muridnya sangat mahal sebagai tanda
penghormatannya pada al-Qur‟an. Jika menjual pakaian kepada
temannya, ia tidak jual kecuali seharga modalnya. Setiap Jum`at ia
memanggil makan kawan-kawannya ke rumahnya.
Lebih spesifik kata “‫ا‬ّٛ‫اسح‬: sayangilah” ada dalam hadits al-
Bani yang berbunyi, ‫ا ِٓ في األسض يشحّىُ ِٓ في اٌضّبء‬ّٛ‫“ اسح‬sayangi
siapa yang ada di bumi, niscaya Yang di Langit akan
menyayangimu”
Hadits itu menjadi legitimasi bahwa manusia harus
menyebarkan kasih sayang secara luas kepada banyak orang dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Allah Swt. Jika bisa kualitas
kasih yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. yang diriwayatkan
Ahmad ibn Hanbal.

‫اليؤمن أحدكم حِت ُيب للناس ما ُيب لنفسو وحِت ُيب املرء الُيبو إال‬
‫هلل عز و جل‬
Artinya, “Tidak beriman di antara kalian sampai ia mencintai
manusia sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri dan sampai ia
mencintai seseorang karena Allah yang Maha Perkasa dan Mulia.”
Cinta (‫ )حت‬adalah bagian dari kasih sayang (‫)سحّخ‬. Kualitas
manusia dalam mencintai dan menyayangi sebagaimana ia

176
mencintai diri sendiri. Apalagi seperti kualitas cinta dan kasih
sayang Rasulullah Saw. yang lebih mencinta umatnya daripada
dirinya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad ibn Hanbal dalam sebuah
hadits.

‫ قاؿ‬.‫والّذي نفسي بيده اليؤمن أحدكم حِت أكوف أحب إليو من نفسو‬
‫إَل من نفسي فقاؿ رسوؿ اهلل صلعم اآلف يا عمر‬
ّ ‫فأنت االف وهلل أحب‬
Artinya, “Demi jiwaku yang ada di dalam genggamanNya, tidak
beriman seseorang sampai aku lebih mencintainya daripada dirinya.
Umar bertanya, „Apakah engkau sekarang lebih mencintaiku
daripada diriku. Rasul menggenggam tangan Umar dan mengatakan,
„iya `Umar”.
Setelah Rasulullah menyatakan bahwa beliau lebih mencintai
Umar bin Khattab dari dirinya, maka Umar pun berkata, “Anda
adalah orang yang paling saya cintai dari segala sesuatu kecuali dari
diriku”. Artinya kualitas manusia biasa nampaknya tidak bisa
mencapai cintanya Rasulullah terhadap umatnya. Umar bin Khattab
saja yang sangat mencinta Rasulullah masih lebih mencitai dirinya
baru mencinta Rasulullah Saw.
2. Menghormati Kehidupan Manusia, Kehormatan, dan Amanah
Mereka
Umar bin Khattab adalah orang yang bersikap dan
memerintahkan umat Islam untuk menghormati kehidupan dan
kehormatan manusia, serta menjaga amanah. Menurutnya tidak usah
kita merasa kagum kepada orang yang memiliki segudang
kelebihan, tetapi tidak amanah. Kita harus menaruh rasa kagum
pada orang-orang yang dapat menjaga amanah dengan baik.
‫ أِبٔخ‬satu akar kata dengan ْ‫ ئيّب‬dan ِٓ‫أ‬. Ketiga kata itu saling
melengkapi makna aktif dari amanah. Orang beriman haruslah bisa
menjaga amanah dan memberikan keamanan dan kenyamanan.
Bagaimana ia menjaga amanah, jika orang berbisnis dengannya
was-was. Bagaimana ia menjaga amanah, jika orang berbisnis

177
dengannya, khatir ia tidak bertanggung jawab. Amanah tentulah satu
paket dengan tanggung jawab. Tanggung jawab (‫ي‬ٚ‫ )ِضإ‬adalah salah
satu ciri dari manusia menurut Abbas Mahmud Aqqad yang
terkandung dalam al-Qur‟an. Itu ia sebutkan dalam al-Insan wa al-
Qur‟an.
Selain itu, Umar bin Khattab juga menyebutkan bahwa manusia
diselamatkan oleh lisan dan tangannya. Kita hendaknya menjaga
kehormatan orang lain, untuk tidak berkata-kata yang menyakitkan
mereka, walaupun itu benar. Mengatakan “kamu miskin” kepada
orang miskin, bisa saja benar berdasarkan fakta, tetapi kemiskinan
seseorang adalah kehormatannya. Untuk itu tidak etis menyebutkan
aib seseorang. Selain itu, dalam menghormati manusia, jangan kita
menggunakan kekuatan secara tidak sah. Memberantas
kemungkaran dan aneka kemaksiatan, tentu sangat tepat
menggunakan kekuatan (tangan). Namun menggunakan kekuatan
untuk membuat kemungkaran, itu membuatnya tidak akan disukai
oleh kebanyakan manusia dan sekaligus tidak disukai oleh Allah.
Kehormatan manusia yang harus dijaga dalam konsep maqasid
syari`ah, berarti menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Kelima-limanya adalah kehormatan, kehidupan, dan amanah yang
harus dijaga dan diperjuangkan oleh setiap manusia. Syariat Allah
untuk menegakkan dan mengawal kelima maqasid tersebut.
Kehormatan manusia dalam perang saja menurut Umar bin
Khattab harus dijaga. Ia menasehati para pimpinan perang untuk
tidak melakukan pembunuhan terhadap musuh yang perempuan,
anak-anak, dan juga orang tua yang lanjut usia. Perang dengan
tujuan baik, tentu tidak melemahkan yang lemah. Perang dengan
tujuan baik melemahkan kekuatan lawan untuk tidak dapat
melakukan keburukan. Jika mereka berbuat baik, tidak boleh
diperangi. Manusia jangan sampai menyusahkan orang-orang
Muslim dan tidak membebani mereka di luar kemampuan mereka.
Dalam hidup ini, ada penyakit jiwa yang disebutkan dengan
“stress”. Stress itu bisa karena faktor pikiran yang berpusat di otak
saja dan bisa juga faktor perasaan yang berpusat di hati atau jiwa.

178
Memikirkan sesuatu yang tidak bisa dipikirkan bisa membuat orang
stress.
Janda-janda miskin yang memiliki banyak anak, dikhawatirkan
tidak bisa memikul beban hidup, ada baiknya dinikahi. Hal ini
menjadi logis untuk mencegah terjadinya stress. Ia berpikir tidak
akan bisa menghidupi anaknya secara sah. Bisa saja ia melacur
untuk menafkahi anaknya. Ini juga termasuk stress. Jadi stress bisa
dimaknai jalan berpikir yang tidak benar. Karena tidak menafkahi
anak salah dan menafkahi mereka dengan cara yang haram juga
adalah salah. Jalan pikiran yang benar, berusaha dan berdoa kepada
Allah dengan sungguh-sungguh, kemudian tawakkal, pasti tidak
akan terlantar kehidupan anaknya. Itu jalan berpikir yang benar.
Ada juga orang yang larut dalam kesedihan karena ditinggal
mati kekasihnya. Ia tidak bisa mengolah perasaan sedih itu,
sehingga ia pun stress. Penulis menyaksikan saat Nike Ardila
meninggal dunia, ada seorang sahabat di Bandung kelihatan sedih.
Kesedihan yang mendalam pun terlihat dari sikapnya mengurung
diri dan ada kalanya ia tidak perdulikan waktu makan, sehingga
aktivitasnya terganggu. Ini pun termasuk stress, karena tidak bisa
mengolah perasaan dengan baik.
3. Memenuhi Kebutuhan Manusia
Memotong kompas terpenuhinya kebutuhan manusia berarti
tidak menghormati kemanusiaan mereka. Kebutuhan manusia dapat
dilihat dari berbagai pendekatan. Jika dilihat manusia yang terdiri
dari unsur jasmani dan rohani, maka hajat jasmani dan rohani harus
terpenuhi. Memenuhi hajat jasmani dan rohani juga harus dilakukan
secara sah. Ada yang dikenal dengan nafkah lahir dan batin. Untuk
itu, memenuhi nafkah lahir dan batin juga harus secara sah.
Sebagaimana disebutkan ada lima maqasid syari`ah yang
disebut juga ‫ اٌىٍيبد اٌخّش‬sebagai kebutuhan dasar manusia, yaitu:
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima kebutuhan itu harus
dipenuhi dan sekaligus dijaga.
Ada sebagian orang kebebasan beragamanya terganggu. Ada
kalanya orang bersikap seperti istilah Amin Abdullah dengan

179
absolutely absolute, yaitu menilai agamanya paling benar, lantas
orang lain dianggap sesat dan bahkan boleh dimusuhi. Ketika
memusuhi orang yang berbeda keyakinan dengan kita, kita telah
merusak kebutuhan dasar beragama manusia.
Belakangan ini, ada perguruan tinggi agama Islam yang
melarang mahasiswinya menggunakan cadar. Alasan perguruan
tinggi agama Islam itu lewat lisan wakil rektor III nya mengatakan
cadar adalah pakaian Arab sementara Indonesia bukan Arab.
Kemudian kata wakil rektor itu, Islam tidak mewajibkan cadar.
Kebijakan dan pendapat itu bisa saja mengancam hak beragama.
Kenapa tidak yang dikritik itu wanita yang berpakaian setengah
telanjang yang juga bukan pakaian Indonesia yang jelas menurut
Islam dan budaya Indonesia menyalahi. Daripada melarang sesuatu
yang tidak dilarang oleh agama Islam.
Dengan merujuk pada Q.S. al-Kahf/18:29, bisa saja kita
berpendapat bahwa sekalipun ada kewajiban untuk mendakwakan
kebenaran Allah Swt. dengan berbagai cara, tetapi untuk memaksa
mereka untuk mengikuti keyakinan kita, itu tidak dibolehkan agama.
Memaksa mereka meyakini agama kita tidak boleh dan sekaligus
mencaci keyakinan mereka pun tidak direkomendasikan al-Qur‟an.
Membunuh secara tidak sah diharamkan agama, karena
kebebasan hidup adalah kebutuhan setiap manusia. Membunuh
dengan cara yang sah memang ada, yaitu lewat peperangan yang
diatur oleh agama atau qishas.

‫س أ َْو فَ َس ٍاد‬
ٍ ‫ك َكَتْبػنَا َعلَى بَِين إِ ْسَرائِيل أَنَّوُ َمن قَػتَل نَػ ْف ًسا بِغَ ِْْي نَػ ْف‬
َ َ
ِ
َ ‫َج ِل َذل‬
ْ ‫م ْن أ‬
ِ
َِ ‫مجيعا ومن أَحياىا فَ َكأَََّنَا أَحيا النَّاس‬
‫مج ًيعا‬ ِ َّ ِ ‫ِِف األ َْر‬
َ َْ َ َ ْ ْ َ َ ً َ ‫َّاس‬ َ ‫ض فَ َكأََنَا قَػتَ َل الن‬
ِ ِ ِ
‫ض‬ِ ‫ك ِِف األ َْر‬ َ ‫َولَ َق ْد َجاء تْػ ُه ْم ُر ُسلُنَا بِالبَػيّْػنَات ُْثَّ إِ َّف َكث ًْيا ّْمْنػ ُهم بَػ ْع َد َذل‬
‫لَ ُم ْس ِرفُو َف‬

180
Artinya, Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi.(Q.S. al-Maidah/5:22)
Agama sangat perduli dengan keselamatan jiwa. Untuk itu,
pembunuhan secara tidak sah, merusak kemanusiaan manusia.
Bahkan dalam teologi Syi`ah untuk kepentingan keselamatan jiwa
dibolehkan berbohong (taqiyah). Dalam Islam, untuk keselamatan
jiwa, sesuatu yang diharamkan pun bisa menjadi dibolehkan dalam
keadaan darurat, seperti memakan daging babi.
Harun Nasution menyebut bahwa akal kebutuhannya berpikir.
Memenuhi hajat manusia untuk bisa berpikir yang benar dan bahkan
berpikir yang mendatangkan kebahagiaan hendaknya menjadi
sasaran pendidikan. Berpikir bukan saja mendatangkan kebenaran,
tapi juga kebahagiaan. Tidak jarang cara berpikir yang membuat
orang bisa menderita.
Perhatikan orang khawarij yang menilai bahwa orang pelaku
dosa besar, seperti minum minum keras dan juga orang yang berzina
bagi mereka sudah kafir. Siapa yang mengatakan mereka itu
mu`min, akan mereka penggal. Cara berpikir seperti ini, telah
menuai korban jiwa, termasuk terjadi pada imam besar Abu
Hanifah.
Memaksakan pendapat adalah sesuatu yang melanggar
kebutuhan manusia untuk bebas berpikir. Untuk itu, sekalipun
perbedaan itu tidak baik, tetapi menghormati pendapat dalam batas-
batas tertentu harus dihormati.

181
Memang menurut Umar bin Khattab, memperdebatkan takdir
orang yang meninggal itu tidak ada gunanya, makanya jika ada yang
memperdebatkannya, beliau marah besar.
Kebutuhan manusia untuk memiliki keturunan sekaligus
menjaga keturunan menjadi tujuan agama Islam. Jika semua anak
laki-laki mau dibunuh seperti zaman Fir`aun atau wanita akan
dikubur hidup-hidup pada zaman Arab Jahiliyah, bagaimana
mungkin dunia ini akan berkelanjutan. Sementara, bumi ini
diciptakan untuk manusia. Jika manusia tidak berketurunan lagi dan
yang hidup semua sudah mati, maka konsepnya pasti salah.
Program Keluarga Berencana yang pernah menjadi “hits” di
Negara ini saja, sebagian orang tidak sependapat karena dinilai
membatasi anak itu tidak boleh, apalagi melarang punya anak,
tentulah akal manusia bisa berbeda pendapat atau bervariasi.
Sebagian lain, menilai program KB itu adalah perencanaan anak
untuk kesejahteraan manusia. Tentulah perencanaan untuk
kesejahteraan itu baik. Untuk itu, tidak heran walaupun pada masa
program KB itu “hits” di Indonesia, tetapi warga punya anak
banyak. Tahun 1980-1900-an punya anak 7-10 itu biasa. Sekarang,
sudah jarang terlihat orang punya anak sampai 10. Ini artinya, orang
sudah mulai dengan sadar menilai KB sebagai perencaan anak untuk
kesejahteraan keluarga.
Harta diperlukan untuk melaksanakan syariat Allah. Perintah
zakat akan bisa dilaksanakan kalau ada harta yang akan dizakati.
Demikian juga sedekah, infaq, dan wakaf dapat dilaksanakan jika
ada hartanya. Allah Swt. telah mengatur kehidupan ini bahwa ada
orang yang membutuhkan uluran tangan orang lain baik dari harta
zakat, sedekah, infak, dan wakaf. Mereka yang membutuhkan para
fakir dan miskin, anak yatim yang lemah secara ekonomi, musafir
(ibn sabil).
Begitu pun perlunya harta, tetapi Allah Swt. justru di banyak
ayat mengingatkan bahwa harta yang banyak justru sering kali

182
melalaikan pemiliknya untuk mengingat Allah. 10 Allah Swt. dua kali
menyebutkan dalam al-Qur‟an bahwa anak dan harta sebagai fitnah
(cobaan).11 Belum lagi, jika manusia mempunyai harta, ia cenderung
pelit.12 Jika manusia diberi nikmat, ia berpaling dengan sombong. 13
Sebaliknya, kalau dibuat susah, doanya panjang, sebagian putus asa.
Tidak dipungkiri, untuk taat kepada Allah, manusia
membutuhkan harta. Untuk itu, menjaga harta bagian dari perhatian
Islam. Perlu ada jaminan bahwa rezeki yang dicari tidak dirampas
orang kepemilikannya.
Kepemilikan harta diatur oleh Allah Swt. untuk itu dihalalkan
jual beli dan diharamkankan riba. Selain itu, jika manusia berutang,
wajib dibayar, bahkan sampai ia mati sekalipun harus dibayar oleh
ahli warisnya. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt. menjadi
kepemilikan harta.
4. Persamaan di Antara Manusia
Persamaan adalah dasar dari keadilan. Keadilan dalam arti
persamaan hak yang bisa diukur secara kuantitatif. Seperti simbol
timbangan para penegak hukum. Itu simbol keseimbangan materil.
Jika orang miskin bersalah dihukum, maka orang kaya pun harus
dihukum. Persamaan di muka hukum yang dimaksud, keadilan atau
persamaan kuantitatif. Keadilan bersifat non materil yang dinilai
secara kualitatif bukanlah persamaan materil. Contohnya rasa cinta
seorang suami kepada kedua istrinya yang berpoligami, pastilah
tidak bisa dilakukan persamaan. Anak yang pintar lebih disukai
daripada yang bodoh. Inipun tidak bisa disamakan.
Untuk yang pertama disebut dalam bahasa Arab dengan (‫)اٌؼذاٌخ‬
sedangkan yang kedua dengan ( ‫)اٌؼذي‬. Kedua duanya dibutuhkan
dalam kehidupan, yaitu keadilan materil dan non materil.

10
Baca Q.S. al-Takatsur/102: 1-2.
11
Baca Q.S.al-Anfal/8:28 dan al-Taghabun/64:15.
12
Baca Q.S. al-`Adiyah/100:8 dan al-Ma`arij/70:21.
13
Baca Q.S. al-Isra/17:83 dan Fushshilat/41:51

183
5. Menghormati Agama
Ada sebuah kisah pada masa Umar bin Khattab mengatakan
kepada seorang non Muslim, “Islamlah, kalau kamu Islam, maka
aku berkewajiban meminta pertolongan kepada Allah untukmu,
sebagai amanah untuk orang-orang Islam. Sesungguhnya, tidak
wajib bagiku memohonkan pertolongan kepada Allah bagi yang
tidak Islam”. Orang non Muslim ini mendekat dan mengatakan,
“Tidak ada paksaan dalam agama” sesuai isi Q.S. al-Baqarah/2:256,
kemudian Umar bin Khattab memegang pundakku, lalu
mengatakan, “Pergilah kemana kamu suka”. Ini adalah contoh
pendidikan menghormati agama.

Keempat, Menyebarkan Ilmu


Umar bin Khattab menurut Abu al-Ainaini seorang negarawan,
budayawan, duta, dan traveler, mufti, dan perawi hadits. Beliau memiliki
beberapa nasehat penting tentang pendidikan.
1. Ajakannya untuk Menuntut Ilmu dan Mengajar
Umar bin Khattab menyuruh umat untuk belajar, karena belajar
bisa membuat hati tenang dan hati yang lembut. 14 Dengan belajar
bisa hati tenang karena ada muncul pemahaman terhadap masalah
dan dengan belajar bisa mengatasi masalah. Umar bin Khattab juga
menyarankan untuk bersikap rendah hati kepada orang yang
mengajari kita dan merendah terhadap apa yang kita ketahui.
Artinya, ilmu jangan sampai membuat orang menjadi sombong.
Boleh jadi ada Profesor yang masih hidup guru SD nya. Walaupun
dia Profesor, dia harus merendah di hadapan gurunya dan bahkan
sangat mungkin gurunya menjadi mahasiswanya.
Sebagian guru ada yang kuliah S2 atau S3, dosennya ternyata
mantan muridnya dulu di SD atau SMP. Walaupun Profesor ini
sebagai dosen bagi gurunya, tetapi ia hendaknya tetap bersikap
merendah sebagai mantan muridnya. Di satu sisi dosen adalah guru

14
Ibid. h. 41.

184
dari gurunya, sedangkan gurunya dulu sekarang menjadi
mahasiswanya.
Umar bin Khattab menyebutkan bahwa jangan sampai dengan
ilmu, manusia berbuat bodoh. Menggunakan ilmu untuk keburukan
adalah merupakan kebodohan. Tidak heran ada orang setelah tahu
ilmu korupsi, justru ia korupsi dengan suatu keyakinan bahwa
perbuatannya tidak akan ketahuan. Itu adalah kebodohan orang
pintar. Ada juga ahli hukum, justru melanggar hukum. Para praktisi
pendidikan, menyediakan ijazah-ijazah tanpa melalui proses yang
benar. Singkatnya berbuat buruk dengan ilmu adalah kebodohan.
Umar bin Khattab juga menyebutkan, “tuntutlah ilmu secara
mendalam, sebelum kalian dipimpin. Jika rakyat sudah pintar, maka
penguasa tidak bisa membodoh-bodohi mereka. Perhatikan lah
fenomena pemilihan kepada daerah di Indonesia sebagiannya masih
ditemukan bisa disogok dengan uang, walaupun mereka itu
umumnya yakin, kalau yang menyogok itu sudah jadi kepala daerah,
ia tidak akan mensejahterakan rakyatnya. Ini disebut pembodohan
dan kebodohan.
Umar bin Khattab juga mengatakan, “jadilah kutu buku dan
sumbernya, niscaya kelak mendapat rezeki hari demi hari. Di sini
Umar bin Khattab berpendapat bahwa seseorang bisa bekerja
profesional dengan ilmunya. Ilmu menjadi modal untuk mencari
pekerjaan. Kenyataan ini masih dominan sampai sekarang. Pendapat
ini sejalan dengan pemikiran Ibn Sina dan berbeda dengan Imam al-
Ghazali bahwa menuntut ilmu untuk kepentingan ilmu itu sendiri
dan bukan untuk mencari rezeki. Walaupun Umar bin Khattab dan
Ibn Sina tidak mengatakan bahwa menuntut ilmu harus dengan niat
yang ikhlas, tetapi dengan mudah dapat dipahami bahwa mereka
pun akan sependapat bahwa keikhlasan diperlukan dalam belajar.
Keikhlasan menuntut ilmu itu kelak bisa menjadi sarana untuk bisa
bekerja yang mendatangkan materi. Imam al-Ghazali pun demikian,
bukan berarti dia menyalahkan kalau dengan ilmu itu sendiri
seseorang mendapatkan kerja, hanya saja jangan tujuan utama
belajar itu untuk mencari kerja.

185
Di lain kesempatan, Umar bin Khattab berkata, “Perbanyaklah
mengingat mati, kalian tidak akan binasa karena tidak memiliki
banyak harta.” Substansi ucapan Umar bin Khattab banyak diyakini
dan diucapkan oleh orang lain. Ini sekedar penguatan bahwa tidak
saja semua manusia ini berbuat baik dengan harta. Bisa juga berbuat
baik dengan modal lain, yaitu dengan ilmu. Banyak harta sering kali
menjadi beban bagi pemiliknya untuk menjaganya. Berbeda dengan
banyak ilmu justru menjadi pemiliknya.

‫ واليباىي بو‬,‫ ال يتعلم ليماري بو‬,‫ وال يرتؾ لثالث‬,‫ال يتعلم العلم لثالث‬
‫ وال يرتؾ حياء من طلبو والزىادة فيو وال رضي باْلهل منو‬,‫وال يراي بو‬
Artinya, Jangan menuntut ilmu karena tiga hal dan jangan
ditinggalkan karena tiga hal. Tidak belajar karena tujuan berdebat,
tidak juga untuk membanggakan diri (persaingan), dan tidak juga
untuk tujuan riya. Jangan tinggalkan belajar karena malu
menuntutnya, tidak juga meninggalkannya karena alasan tidak suka,
tidak juga meninggalkannya karena alasan ridha dengan kebodohan.
Seandainya ada orang yang belajar dengan tujuan agar ia
menang dalam perdebatan ilmu. Ini tidak dibolehkan. Belajar bukan
untuk mengalahkan orang lain, tetapi untuk berilmu dan mengajar
orang lain agar berada dalam jalan yang benar. Abu Hanifah
sebagaimana ditulis Muchlis M. Hanafi juga tidak menyukai
perdebatan dengan arti adu hebat dalam ilmu. Pada etika ini,
kegiatan ilmiah seperti yang dilakukan oleh para pelajar sekarang
dapat dinilai tidak baik. Acara debat presiden pun kalau untuk
melihat kehebatan ilmu juga tidak dalam posisi terhormat dalam
pandangan Umar bin Khattab dan juga demikian pendapat Abu
Hanifah.
Ada juga orang belajar bersungguh-sungguh, agar bisa ia
menyombongkan diri dengan kepintarannya kepada orang lain. Ini
pun tidak boleh. Kesombongan apa pun tetap tidak baik. Semua
kelebihan berpotensi untuk disombongkan. Orang yang taat kepada

186
Allah dengan rendahnya kualitas pengetahuan bisa saja
menyombongkan diri orang yang taat kepada Allah, sehingga
merusak nilai ketaatan itu sendiri. Jika menyombongkan diri kepada
Allah bahwa ia telah mampu taat menurut Nurcholish Madjid masih
tergolong ikhlas paling rendah. Itu lah makna dari ‫ئيبن ٔؼجذ‬, seakan-
akan kata Nurcholis, “wahai Allah, ini loh aku mampu taat
kepadaMu”. Namun jika menyombongkan diri kepada manusia
bahwa ia orang taat kepada Allah, ini yang tidak dibolehkan.
Menyombongkan diri karena kekuasaan, ini yang banyak dalam
sejarah. Sejarah mencatat Raja Namrud dan Fir`aun adalah orang
yang menyombongkan kekuasaannya. Arogansi adalah bentuk dari
kesombongan para penguasa. Merendahkan peran rakyat juga
bagian dari kesombongan para penguasa.
Menyombongkan diri dengan harta ini pun banyak terjadi.
Karun adalah contoh sejarah yang dengan kekayaannya, enggan
bersedekah dan merasa bahwa semua hartanya hasil jerih payahnya,
tanpa mengingat ada campur tangan Allah Swt.
Sering kali ada penilaian harga kemanusiaan dari harta. Para
hartawan dianggap mulia, sementara yang miskin dianggap hina.
Tinggi rendahnya martabat seseorang ada kalanya dinilai dari
kepemilikan harta. Orang kaya sering kali mempengaruhi politik.
Karena kekayaaannya bisa ditundukkan orang banyak.
Juga belajar dengan tujuan agar kelak ia tunjukkan
kebolehannya kepada orang lain, tetapi ia menunjukkan tidak
dengan kesombongan, hanya saja dengan lembut, itu adalah riya.
Riya itu dalam hadits adalah syirik kecil.
Tidak boleh meninggalkan belajar karena malu. Belajar bahasa
asing, sering ditemukan ada orang yang malu. Syarat untuk belajar
bahasa asing tidak boleh malu. Selain itu, ada orang tertentu tidak
suka pelajaran, sehingga ia tinggalkan. Ada orang tidak suka
matematika. Dengan tidak menyukainya bukan berarti boleh
ditinggalkan. Matematika dalam hidup itu perlu, sehingga perlu
mempelajarnya. Tidak juga boleh ada orang yang merasa rela ia jadi
orang bodoh. Kerelaan terhadap kebodohan itu tidak dibolehkan.

187
Ulama pun ada yang berbeda pendapat apakah boleh
mengambil bayaran dari mengajarkan ilmu dan al-Qur‟an, Umar bin
Khattab berpendapat tidak boleh. Hal itu akan menghinakan
pelakunya dan surga disiapkan bagi mereka.
Pada pembahasan sebelumnya dengan jelas Umar bin Khattab
mengatakan, ilmu mendatangkan rezeki, hanya saja caranya tidak
tidak dengan mengajar. Dengan jelas beliau mengatakan untuk tidak
menerima bayaran dari kegiatan mengajarkan ilmu dan al-Qur‟an.
Beginilah caranya kata Umar bin Khattab untuk membangun ummat
dan peradaban Islam.
Berbeda dengan Abu Hanifah dalam sejarahnya, ia justru
membayar mahal anaknya yang belajar al-Qur‟an, sehingga guru
tersebut menilai terlalu besar. Abu Hanifah mengatakan jika
uangnya lebih banyak lagi, maka ia akan membayarnya lebih besar
lagi. Alasannya katanya sebagai penghormatan terhadap al-Qur‟an.
Mengajar perlu ikhlas. Sebagian orang menerima imbalan dari
jasa mengajar, ceramah, khutbah, dan praktek dokter, tetapi tidak
mematok bayaran, dan bahkan Prof. Dr. dr. Aznan Lelo yang
membuka praktek dengan tidak meminta dari pasiennya sejumlah
bayaran. Pasiennya boleh dengan ikhlas akan memberi imbalan atau
tidak.
Sistem ini bagaikan praktek kebanyakan khatib dan
penceramah yang menerima amplop tanpa menyebutkan honornya
sebelum khutbah atau ceramah dilaksanakan.
Dalam prakteknya, umat Islam banyak menjadikan mengajar
sebagai pekerjaan profesional. Hanya saja, substansi niat mengajar
haruslah ‫( هلل رؼبٌي‬karena Allah dan bahkan untukNya).

Kelima, Materi Pendidikan


Umar bin Khattab menganjurkan agar materi yang akan diajarkan
kepada umat sbb:
1. Al-Qur‟an. “Bacalah al-Qur‟an, niscaya kamu dikenal dan pahami
niscaya kamu ahlinya.”

188
2. Agama, dan bahasa Arab. “Dalamilah agama, perbaiki ibadah, dan
pahami bahasa Arab. Mempelajari bahasa Arab menurut Umar bin
Khattab dapat menetapkan hati dan menambah kharisma.
Mendalami agama mampu menghindari kebatilan yang dilihatnya
sebagai kebenaran. Jangan meninggalkan kebenaran karena ia
melihatnya sebagai kebatilan.
3. Ilmu Nasab, “Ketahuilah keturunanmu, untuk dapat menjalin
silaturrahmi”
4. Ilmu perbintangan, “pelajarailah ilmu astronomi, agar kalian bisa
mengambil manfaat darinya”
5. Ilmu Faraid, “pelajari cara berbicara dan faraid, karena itu bagian
dari agamamu”
Batasan yang disebutkan oleh Umar bin Khattab ini tidak dipahami
untuk menafikan pelajaran lainnya. Ini sebagai bukti bahwa beliau sudah
memperhatikan pendidikan sejak dini. Kelima materi yang disebutkan
hampir semua masih dirasakan perlu dan dikembangkan oleh umat Islam,
kecuali ilmu nasab yang kurang mendapat perhatian, kecuali bagi sebagian
orang. Di Indonesia, suku Batak mewarisi ilmu ini dengan apa yang
disebut dengan Tarombo, yaitu catatan silsilah. Sampai saat ini masih
banyak ditemukan ada orang yang menyimpan catatan tarombo (untuk
tidak mengatakan buku).

Keenam, Mengirim Para Guru


Pada masa Umar bin Khattab dengan meluasnya wilayah kekuasan
Islam, beliau mengikrim guru-guru untuk mengajarkan Islam. Abu Musa
al-Asy`ari mengatakan, “Sesungguhnya Amirul Mu`minin Umar
mengutusku, untuk mengajar kalian Kitabullah dan Sunah nabi, dan
sekaligus membersihan cara beragama.”
Umar bin Khattab mengutus Muadz, Abu Ubaidah, dan Abu Darda
ke Syam. Mengutus Imarah ibn Mas`ud ke Kufah, dan Imran bin Husain
ke Basroh. Beliau tidak mengutus ke suatu daerah kalau bukan mereka itu
adalah para ahli. Yang paling ditakutkan oleh Umar bin Khattab adalah
sudah belajar al-Qur‟an, tapi lisannya melakukan kesalahan dan
menafsirkannya, padahal bukan itu maksudnya.

189
Umar bin Khattab sendiri pun terjun dalam bidang pendidikan, dia
memiliki majelis ilmu sendiri. Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas juga
pernah muridnya di majelis ilmu.
Kontribusi Umar bin Khattab dalam lapangan pendidikan, yang
berhubungan dengan anak dan remaja. Pertama, beliau memperhatikan
pemberian Air Susu Ibu untuk anak. Setiap yang lahir, diwajibkan oleh
Umar bin Khattab untuk diberikan ASI dan mendapat bantuan dari Baitul
Mal. Umar bin Khattab juga melihat dalam pemberian ASI ada pengaruh
besar dalam pembentukan sifat manusia yang baik.
Umar bin Khattab mewajibkan pemberian ASI dari wanita
muslimah. Untuk biaya pemberian ASI disubsidi oleh Negara 100 Dirham.
Perhatian Umar bin Khattab ini sangat beralasan bahwa kata Andi Hakim
Nasution, sampai usia 2 tahun, terjadi pembentukan sel otak. Bahan terbaik
dalam pembentukan sel otak itu adalah Air Susu Ibu dan tidak ada yang
menandinginya.
Memberikan ASI kepada anak dengan sendirinya telah
memperdulikan kecerdasan otak anak. Adat orang Arab sebelum Islam,
menyusui anak kepada orang lain, bukan kepada ibu kandungnya. Setelah
Islam datang, adat itu berubah dengan langsung disusui ibunya. Hanya
saja, jika air susu ibu anak tidak keluar, mereka menyusukan kepada
wanita lain. Di Negara Indonesia, budaya menyusui kepada wanita lain
relatif tidak ada, sehingga jika air susu ibu kandungnya tidak ada, maka
langsung digantikan dengan susu sapi, padahal melihat urgensi ASI itu,
sangat baik kebijakannya disusukan kepada wanita lain.
Ketika disusukan anak kepada wanita lain, maka dipilih wanita yang
baik-baik, karena sifat yang menyusui pun akan turun kepada yang disusui.
Umar bin Khattab membentuk lingkungan-lingungan yang baik bagi
bayi. Beliau juga menyuruh orang tua untuk mengeluarkan anak-anak agar
saling kenal guna maksud untuk pembentukan keluarga yang baik. Bagi
yang ingin melamar perempuan dibolehkan melihat akan yang ditunang
dengan niat tunangan. Hal ini berlandaskan pada sunah Rasul untuk
membentuk keluarga di atas dasar kecintaan, kasih sayang dalam
mempersiapkan anak dan pendidikan mereka. Untuk membentuk itu
diperlukan syarat, rumah yang bersih, keluarga yang bersih seperti

190
kebebasan, kesejahteraan, `iffah bagi laki-laki, dan perawan bagi
perempuan, tidak punya penyakit, dan mengikat janji yang
membahayakan, seperti gila dan mandul.
Umar bin Khattab terkadang berdiskusi dengan pemuda-pemuda
tentang ilmu untuk mengetahui kemampuan akal mereka. Beliau
mengatakan bahwa ilmu seseorang tidak tergantung dengan umurnya,
apakah ia muda atau tua.

Ketujuh, Umar dan Pendidikan Jasmani


Umar bin Khattab perduli dengan pendidikan jasmani. Di antara
buktinya, beliau memperhatikan kesehatan masyarakat dan juga makanan
mereka. Beliau juga memperhatikan urusan olah raga. Olah raga dan
mengatur pola makan adalah cara untuk menjaga kesehatan. Penyakit
seperti asam urat dan kolestrol dan obesitas, umumnya bisa diobati dengan
mengatur pola makan dan berolah raga.
Ada pepatah orang Arab, ‫ال رأوً اٌضُ ارىبالػٍي ِب ػٕذن ِٓ اٌزشيبن‬,
“Jangan makan racun karena kamu punya penangkalnya”. Sekalipun kita
punya banyak uang untuk membeli obat, tetap juga tidak boleh
sembarangan makan. Obat itu kata Ali bin Abi Thalib seperti sabun dalam
mencuci pakaian. Pakaian dibersihkan oleh sabun, tapi sabun itu yang
membuat pakean cepat usang. Artinya, obat memiliki efek samping yang
merusak kesehatan jangka panjang. Penulis dengar, dokter pun sudah
mulai banyak menghindari obat-obatan modern yang diketahui “mengatasi
masalah dan melahirkan masalah baru”.
Selain itu, Umar bin Khattab juga perduli dengan kesehatan akal,
pembentukan akhlak islami dengan berbagai latihan-latihan. Dalam
pembentukan akhlak dibutuhkan pembiasan-pembiasaan dalam waktu
yang bisa saja tidak sebentar.

Kedelapan, Umar dan Pendidikan Akal


Orang berakal bukanlah tahu yang baik dari yang buruk, tapi tahu
yang baik di antara dua yang buruk. Di sini akal yang dimaksud oleh Umar
bin Khattab bukan hanya bekerja secara ringan, tetapi bekerja secara
istimewa. Jika Umar bin Khattab juga mengatakan, “Jika kamu punya

191
agama, maka kamu punya pertimbangan. Jika membedakan yang sombong
dan yang ramah mudah membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Bagaimana membedakan yang riya dan sombong, kemungkinan akal
bekerja lebih serius.
Dengan demikian, menurut penulis, jangan menggunakan akal
dengan hal-hal yang sederhana. Punya mobil Kijang Innova kenderai 50
KM per jam, terlalu ringan kerjanya. Akal yang bisa mencapai kemajuan,
jangan sampai dianggurkan untuk memikirkan urusan makan dan minum
untuk diri sendiri saja. Ini sebanding dengan yang dikatakan oleh al-
Ghazali dengan “‫اإلٔضبْ ال يذسي ثأٔٗ يذسي‬: orang yang tidak tahu bahwa ia
tahu.” Kemampuan seseorang masih bisa bersaing untuk menjadi Doktor,
dicukupkan hanya dengan pendidikan SMA, itulah substansi pendapat
Umar bin Khattab dengan akal di atas.
Jika kamu punya akal, maka kamu punya dasar. Jika kamu punya
akhlak, maka kamu punya harga diri. Jika kamu tidak punya ketiganya,
maka kamu lebih buruk dari keledai.”
Akal disebut sebagai dasar bangunan manusia. Jika tidak ada
dasarnya, maka kemanusiaannya tidak akan berdiri kokoh. Di sinilah
pentingnya pendidikan akal.

Kesembilan, Pendidikan Akhlak


Umar bin Khattab mengatakan bahwa yang paling ia cintai adalah
yang paling baik akhlaknya. Itu sejalan dengan sikapnya orang yang paling
ia cintai selain dirinya adalah Muhammad Saw. karena keluhuran
akhlaknya. Teori ini bersifat universal. Orang kaya, tapi sombong, tentu
tidak disenangi. Walaupun orang kaya itu dermawan, tetapi jika ia
menderma menyakiti hari orang lain, tetapi ia tidak disukai oleh banyak
orang. Ada Profesor yang pintar, tetapi moral gurunya buruk, tidak lebih
disukai daripada dosen yang cenderung biasa, tetapi menghormati
mahasiswanya bahkan dapat menyenangkan hati mereka.
Sumber akhlak menurut Umar bin Khattab sesuai dengan yang
disepakati oleh ahli-ahli akhlak berasal dari agama. Agama bersumber dari
Allah. Sesuatu yang berasal dari Allah tentulah tidak diragukan kebenaran
dan kebaikannya.

192
Kesempuluh, Umar dan Pendidikan Sosial
Umar bin Khattab menilai memperbaiki masyarakat dengan
sendirinya memperbaiki pribadi-pribadi. Anggota masyarakat saling
berhubungan dengan anak dan orang tuanya, saudara, kerabat, tetangga,
sahabat-sahabat, dan kaum muslimin secara umum. Umar bin Khattab
berpendapat, harus terjadi keseimbangan dari semua komponen
masyarakat tsb.
Anggota masyarakat harus diikat dengan peraturan-peraturan, cinta,
dan kasih sayang. Itu semua dilakukan untuk mencapai satu tujuan
bersama, yaitu prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam membangun masyarakat dan peradaban harus
mengedepankan unsur jiwa (ruh). Tidak terjadi dalam diri masyarakat
sikap hedonis dan egois. Selain itu, kemerdekaan akan melahirkan
peradaban dan masyarakat didorong untuk membangunnya. Masyarakat
harus menghindari sifat kemunafikan dan riya dan menyarankan agar lahir
dan batin sama-sama baik.
Pendidikan menurut Umar bin Khattab harus mempersiapkan anak
untuk bisa bekerja mencari nafkah agar tidak menjadi beban bagi keluarga
dan masyarakat. Pernah Umar bin Khattab jumpa Abu Hurairah, beliau
bertanya, “engga kerja?”. Abu Hurairah menjawab, “saya tidak mau
kerja”. Kemudian Umar bin Khattab berkomentar, padahal orang yang
lebih baik telah mencari kerja, yaitu Nabi Yusuf a.s.

‫يم‬ِ ٌ ‫ض إِ ِّْن ح ِفي‬


ِ ‫اج َعلْ ِين َعلَى َخَزآئِ ِن األ َْر‬
ٌ ‫ظ َعل‬ َ ْ ‫اؿ‬
َ َ‫ق‬
Artinya, Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan." (Q.S. Yusuf/12: 55).
Bekerja adalah sarana bagi masyarakat untuk membangun kekuatan.
Kekuatan dalam bekerja tidak mengakhirkan pekerjaan hari ini untuk hari
esok.
Pendidikan harus berperan menciptakan masyarakat yang beradab.
Adab atau akhlak mulia adalah dasar-dasar dalam membentuk masyarakat

193
yang memiliki cinta dan kasih sayang untuk sesama. Akhlak inilah yang
menjadi tujuan pendidikan masyarakat.

Kesebelas, Teladan
Teladan adalah unsur terpenting untuk kesuksesan dalam pendidikan
kata Abu al-`Ainaini. Sebagai pendidik, hal ini dirasakan oleh Umar bin
Khattab. Beliau menjadikan dirinya teladan dan diteladan orang lain. Umar
bukan saja teladan pada masa-masanya, juga beliau teladan pada masa
Rasul dan Abu Bakar.
Teladan dalam segala kebaikan, itu yang diharapkan, tetapi
terkadang sang teladan hanya dalam hal tertentu, dalam hal yang lain,
justru sebaliknya, yaitu buruk. Ada orang dalam hal silaturrahmi nilainya
buruk, tetapi dalam hal menderma, ia teladan. Ada kalanya seorang guru
buruk dalam hal keramahtamahan, tetapi teladan dalam mengajar.
Teladan kata Komaruddin Hidayat lebih fasih dalam mengajarkan
akhlak daripada sekedar disampaikan saja. Orang yang menyampaikan
kebaikan itu, memang tidak semua telah melaksanakannya.

194
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM ABU HANIFAH

‫أبو حنيفة يعلم الناس أن الموت علي الحق خير من الحياة علي شفا جرف‬
)‫هار) سليمان غاوجي‬
Abu Hanifah mengajarkan kepada manusia bahwa kematian dalam
kebenaran lebih baik daripada hidup di pinggir tebing yang akan
longsor (Sulaiman Ghawiji)

A. Biografi Singkat
Abu Hanifah lahir di Kufah tahun 80 H. Pada saat dia lahir di Irak
ada dua kota yang sangat maju dalam bidang keilmuan, yaitu Kufah dan
Basrah. Abu Hanifah selain sebagai ulama, ia juga seorang pedagang atau
bisa disebut pebisnis yang berasal dari Persia.
Sebagai pedagang, Abu Hanifah tergolong baik dan jujur. 90 % dari
keuntungannya dalam berbisnis sutra untuk sedekah. Ia hanya mengambil
kebutuhannya saja. Pada suatu saat ada yang berkata padanya, “saya ini
orang miskin, maka juallah baju ini dengan harga modalnya saja.” Abu
Hanifah menjawab, “Ambillah baju ini dengan empat dirham.”.
Perempuan yang miskin dan tua ini mengatakan, “Jangan perolok-olok
perempuan tua seperti saya ini”. Abu Hanifah pun menjawabnya dengan
semangat dan lembut, “Sebenarnya saya membelinya dua potong, lalu
satunya sudah saya jual dengan harga modal sebesar empat dirham dan
tinggal satu baju ini, bayarlah empat dirham saja.”
Yang menarik lagi, Abu Hanifah dalam berdagang tidak mengambil
untung dari temannya. Suatu saat temannya memesan baju dengan model
tertentu. Abu Hanifah menemukan pesanan temannya, dia beli dua potong
dengan harga 21 dirham. Satu dijualnya kepada orang lain dengan harga
20 dirham. Satu lagi dijualnya 1 dirham kepada temannya. Temannya

195
merasa diolok-olok karena terlalu murah. Kemudian, Abu Hanifah
menjelaskannya.1
Kisah tak kalah menarik, suatu ketika ada seorang perempuan
datang ke toko Abu Hanifah membawa baju sutra untuk dijual. Abu
Hanifah bertanya berapa perempuan itu jual, ia pun menjawab, “Seratus”.
Abu Hanifah mengatakan, harganya lebih dari itu. Kemudian, dengan
senang perempuan itu menambahi harganya, menjadi dua ratus. Kemudian,
Abu Hanifah pun kembali mengatakan bahwa harga baju itu lebih mahal
lagi, sampai perempuan itu menghargakannya dengan empat ratus dirham.
Dengan harga 400 Dirham pun menurut Abu Hanifah masih murah.
Artinya harganya di atas 400 dirham pun dia akan mau membelinya.
Perempuan itu merasa diperolok-olok oleh Abu Hanifah. Kemudian, Abu
Hanifah mengajak seorang laki-laki yang mengerti untuk menaksir
harganya. Laki-laki itu mengatakan 500 dirhan, sehingga Abu Hanifah
membelinya 500 dirham. 2
Pedagang jujur ini punya cerita lain, bahwa suatu saat Hafs bin
Abdul Rahman membawa dagangannya. Di antara barang dagangannya
ada yang cacat. Abu Hanifah berpesan sewaktu akan menjualnya harus
memberitahukan cacatnya. Barang terjual, tetapi Hafs bin Abdul Rahman
lupa memberitahukan pembeli barang yang cacat. Hafs bin Abdul Rahman
tidak mengenal pembelinya, sehingga kesusahan mencarinya. Abu Hanifah
sangat takut hartanya bercampur dengan yang haram, ia akhirnya
menyedekahkan semua hasil uang penjualan barang yang cacat itu.
Abu Hanifah memang lebih awal jadi pedagang daripada jadi
ilmuan. Dia tidak dari kecil belajar ilmu seperti imam madzhab lainnya,
Imam Malik, Imam Syafi`i, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.
Sejarah awalnya tertarik dengan ilmu atas jasa seorang yang
bernama Sya`bi. Yahya bin Abi Bakir berkata bahwa Abu Hanifah pernah
mengatakan bahwa, suatu hari Abu Hanifah berjalan di depan Sya`bi yang
sedang duduk, lalu memanggilnya, “‫ئٌي ِٓ رخزٍف‬: Kemana siapa kamu akan
pergi?”, Abu Hanifah menjawab, “ :‫ق‬ٛ‫أخزٍف ئٌي اٌض‬Saya akan pergi ke

1
Mukhlis M. Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Abu Hanifah, Jakarta:
Lentera Hati, 2013), h. 91.
2
Ibid., h. 92-93.

196
pasar”. Sya`bi berkomentar, “Bukan ke pasar yang saya maksud, tetapi
kepada Ulama siapa kamu belajar?”. Abu Hanifah menjawab, “Saya jarang
sekali pergi ke ulama.” Sya`bi akhirnya berpesan, “Jangan sia-siakan
umurmu. Belajarlah ilmu dari para ulama, karena sungguh saya melihat
dalam dirimu suatu kecerdasan yang luar biasa.”3
Kata-kata Sya`bi itu sangat menyentuh hati Imam Abu Hanifah,
akhirnya ia menjadi bintang ilmuan hebat dan sampai sekarang masih
dijadikan rujukan dan tidak usang pemikirannya karena waktu. Ada ulama
tersohor dan berpengaruh sampai sekarang dari Mesir juga punya
pengalaman mengecewakan terhadap belajar yang “melulu” menggunakan
metode hapalan, sehingga ia tidak lagi mau belajar, yaitu Muhammad
Abduh. Peran pamannya Darwis yang menyuruhnya pergi ke Kairo dan
bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani membuat Muhammad Abduh
tertarik dengan belajar yang tidak saja mengandalkan metode menghapal.
Sejak percakapan Sya`bi dengan Abu Hanifah, jalan hidupnya
menjadi berubah. Abu Hanifah mendatangi berbagai halaqah ulama dan
belajar dari mereka berbagai cabang ilmu.
Imam Abu Hanifah sering mendatangi halaqah di Basrah untuk
berdebat dengan ulama yang memiliki paham menyimpang dari mayoritas
kaum Muslim. Abu Hanifah mengatakan, “Saya adalah seseorang yang
dikaruniai ketangkasan berdebat dalam teologi. Dalam beberapa waktu
lamanya saya mempelajarinya dan melakukan perdebatan dengan para
teolog (mutakallimin). Sementara mayoritas ulama teologi bertempat
tinggal di Bashrah, karena itu saya mendatangi Bashrah lebih dari dua
puluh kali dan bermukim di sana kurang lebih satu tahun lamanya. Saya
telah berdebat dengan para tokoh Khawarij dari kelompok ibadiyah,
Shafariyah, dan lainnya. Waktu itu saya menganggap ilmu teologi adalah
ilmu yang paling utama. Saya katakan bahwa ilmu teologi merupakan
pondasi agama. Tetapi, dengan bertambahnya usia semakin matang
pemikiran saya, akhirnya saya berintropeksi diri dan merenung. Saya
katakan, Sesungguhnya orang-orang terdahulu dari para sahabat Nabi saw.

3
Baca Wahbi Sulaiman Ghawiji, “Imam Abu Hanifah” dalam Min A`lam al-
Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I, (t.k.: Maktabah al-Tarbiyah al-`Arabi al-Khalij, 1988), h.
129. Baca juga Mukhlis M. Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Abu Hanifah…7

197
dan tabi`in tidak ada yang tertinggal sedikit pun dari mereka tentang segala
apa yang kita ketahui sekarang. Bahkan mereka lebih mampu dan lebih
menguasai. Lebih mengetahui tentang hakikat segala sesuatu, tetapi
mereka tidak perlu mempelajari teologi dan logika. Tidak perlu
mengadakan perdebatan tentang berbagai masalah guna mencari
kebenaran. Tetapi justru sebaliknya, mereka melarangnya dengan keras.
Saya melihat mereka sangat antusias mempelajari dan mendalami ilmu
syariah dan berbagai bab fiqh. Pembicaraan mereka selalu tentang fiqh. Di
Majelis-Majelis fiqh lah mereka selalu berdatangan. Mereka mengajar
orang dan selalu menyeru supaya belajar. Mereka memberikan fatwa
tentang berbagai masalah agama. Begitulah keadaan orang-orang terdahulu
pada Islam periode pertama, lalu diikuti oleh para tabi`in. Maka manakala
kita memahami dan menyadari keadaan mereka ini, kita segera
meninggalkan perdebatan dalam ilmu teologi. Kita cukup mengetahui saja
dan selanjutnya kita kembali kepada apa yang dilakukan oleh para ulama
salaf, mempelajari apa yang mereka ketahui serta mengikuti apa yang
mereka lakukan. Saya menyadari bahwa orang yang mendalami ilmu
teologi (ilmu kalam) dan suka berdebat, karakter mereka bukan seperti
ulama terdahulu, metode mereka bukan seperti metode orang-orang saleh.

B. Pendidikan Akhlak kepada Orang Tua


Yahya bin Abdil Hamid dari bapaknya pernah berkata bahwa Imam
Abu Hanifah setelah bebas dari penjara karena menolak menjadi hakim
mengatakan,
‫كاف غم والديت أشد علي من اللرب‬
Artinya, “Sungguh kesedihan ibuku lebih berat bagiku daripada dipukul”.
Kalimat tersebut di atas sebagai dalil bahwa Imam Abu Hanifah
lebih menyayangi ibunya daripada dirinya sendiri. Ini adalah sikap ideal
seorang anak yang memahami jasa baik orang tua. Begitu jugalah orang
tua, idealnya lebih menyayangi anak mereka daripada diri mereka,
walaupun harus mengorbankan nyawa.

198
Kasih sayang orang tua, sejatinya adalah tulus tanpa syarat dan tidak
menuntut balasan. Diri mereka menjadi taruhan kebahagiaan anak.
Teladan seperti ini masih banyak dijumpai sekarang, sebaliknya, kasih
sayang anak terhadap orang tua tidaklah seimbang kualitas dan
kuantitasnya dibandingkan dengan kasih sayang orang tua terhadap anak.
Untuk itu, penempatan posisi orang tua disejajarkan dengan Allah dalam
hadits karena kualitas kebaikannya yang lebih menyayangi anaknya
daripada dirinya.
‫رضي اهلل ِف رضي الوالدين و سخط اهلل ِف سخط الوالدين‬
Artinya, “Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua dan
kemurkaan Allah pun terletak pada kemurkaan mereka” (H.R. Ibn
Hibban)4
Kepatuhan dan ketundukan kepada orang tua dijelaskan oleh al-
Qur‟an. Bisa dipahami untuk mengucapkan kata “ah” saja tidak
dibenarkan, apalagi lebih dari itu. Anak harus berbuat baik kepada orang
tua dengan kualitas yang baik.5
Jika ada tanda-tanda kematian bagi seseorang, dianjurkan agar ia
berwasiat kepada orang tuanya.6 Ketika seseorang memiliki harta untuk
diinfakkan setelah mengeluarkan kewajiban-kewajibannya, maka yang
diperintahkan oleh Allah, agar memberi nafkah pertama kali kepada kedua
orang tua.7 Kepada orang tua di dalam al-Qur‟an diperintahkan untuk
banyak berbuat baik dengan ْ‫اإلحضب‬, yakni kebaikan dari sisi kualitatif.
Kemudian al-Qur‟an juga menyebut kata “‫ف‬ٚ‫ ”ِؼش‬ketika orang tua
berusaha mengajak anaknya berbuat tidak baik, tidak boleh dituruti, tetapi
tetap harus bersikap baik menurut adat setempat yang tidak melanggar
aturan Allah.8
Kata berbuat baik kepada orang tua dengan kata birr atau kebaikan
secara kuantitatif disebutkan dalam hadits bukhari, tentang amalan apa

4
Hadits ini dijumpai dalam kitab Bulugh al-Maram.
5
Q.S. al-Isra/17: 23.
6
Q.S. al-Baqarah/2:180.
7
Q.S. al-Baqarah/2:215.
8
Q.S. Lukman/31: 15.

199
yang paling disukai oleh Allah, yaitu shalat pada waktunya, birr al-
walidain, dan terakhir jihad fi sabilillah.
Ayat al-Qur‟n dan hadits di atas cukup menjadi dalil bahwa orang
tua memang mulia dan dimuliakan oleh Allah. Untuk itu, sikap mulia Abu
Hanifah yang lebih memilih dipukul daripada melihat atau mendengar
ibunya sedih atau berduka.
Walaupun Abu Hanifah seorang ahli fiqh yang terkenal pada
masanya, ibunya pernah bersumpah kata Hasan bin Ziyad, kemudian ia
melanggarnya. Sebagai ahli fiqh, ibunya meminta fatwa dari anaknya akan
sanksinya, kemudian Abu Hanifah memberikan fatwa. Fatwa itu tidak
diterima ibunya. Kemudian ibunya minta agar fatwanya dari Zur`ah
seorang yang suka memberikan cerita di masjid. Abu Hanifah, tidak
tersinggung dan mengantarkan ibunya kepada Zur`ah. Ketika, ibunya
meminta fatwa dari pelanggaran sumpah itu, Zur`ah mengatakan, “ ‫أفزيه‬
‫فخ‬ٛ‫ِؼه فميٗ اٌى‬ٚ: Apakah saya akan memberi fatwa kepadamu sedangkan
bersamu ahli fiqh dari Kufah?”. Abu Hanifah dengan tawadu`
berkomentar, “Berilah dia (ibuku) fatwa begini, begitu”. Zur`ah akhirnya
memberi fatwa, kemudian ibunya setuju.9
Tidak disebutkan apa sanksi pelanggaran sumpah itu, tetapi
logikanya, fatwa Abu Hanifah merugikan ibunya, sehingga ibunya
keberatan. Kemudian ketika diminta fatwa dari orang lain, ibunya dapat
menerima, kemungkinan pendapat Zur`ah itu sama saja dengan yang
difatwakan anaknya. Kecintaan Abu Hanifah tidak merusak integritasnya
sebagai ahli fiqh, padahal sebagaimana dikemukakan bahwa duka ibu jauh
lebih berat baginya daripada mendapat cambukan. Di sini terlihat dengan
jelas, kasih sayang kepada seorang ibu tidak merusak hubungannya dengan
Allah. Jika Abu Hanifah karena hormatnya kepada ibunya, memberikan
fatwa yang melanggar aturan Tuhan, maka Allah akan murka kepadanya.
Di dalam al-Qur‟an secara tegas disebutkan bahwa hubungan
kekeluargaan terputus atas kekafiran. Hal itu dapat dipahami bahwa

9
Wahbi Sulaiman Ghawiji, “Imam Abu Hanifah” dalam Min A`lam al-Tarbiyah
al-Islamiyah…, Jilid I, h. 136. Baca juga Mukhlis M. Hanafi, Biografi Lima Imam
Madzhab: Imam Abu Hanifah…, h. 68

200
Kan`an anaknya Nabi Nuh a.s. yang tidak mengikuti wahyu Allah dengan
sedih dikeluhkannya kepada Allah

ِ ِ ْ ‫اَل ُّق وأَنت أَح َكم‬ ِ ِ ِ ِ ّْ ‫اؿ ر‬


‫ني‬
َ ‫اَلَاكم‬ ُ ْ َ َ َْ ‫ب إ َّف ابُِين م ْن أ َْىلي َوإ َّف َو ْع َد َؾ‬ َ َ ‫وح َّربَّوُ فَػ َق‬
ٌ ُ‫َونَ َادى ن‬
‫ك بِِو عِ ْل ٌم‬ ِ ِ ‫اؿ يا نُوح إِنَّو لَيس ِمن أَىلِك إِنَّو عمل َغيػر‬
َ ‫صال ٍح فَالَ تَ ْسأَلْن َما لَْي‬
َ َ‫س ل‬ َ ُ ْ ٌ َ َ ُ َ ْ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َ‫ق‬
‫ني‬ ِ ِ ْ ‫إِ ِّْن أ َِعظُك أَف تَ ُكو َف ِمن‬
َ ‫اْلَاىل‬ َ َ
Artinya, Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji
Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-
adilnya." Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya.
Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (Q.S. Hud/11:45-46).
Hubungan Kan`an terputus karena kekufuran. Nabi Ibrahim a.s. juga
secara psikologis sangat menyayangkan sikap bapaknya, Azar yang
berlaku syirk kepada Allah. Untuk itu, Nabi Ibrahim a.s. mencoba
memohonkan ampun kepada Allah. Namun Allah menegur Nabi Ibrahim
a.s. karena tidak ada manfaatnya meminta ampunan untuk yang berlaku
syirk kepada Allah, tidak akan diampuniNya. 10 Perasaan psikologis Nabi
Muhammad Saw. tercurahkan kepada pamannya Abu Thalib yang banyak
membantu perjuangannya, sehingga beliau menginginkan pamannya
meninggal dalam keadaan Islam, tetapi Allah Swt. juga menegurnya.11
Hubungan teologis keluarga terputus dengan kekufuran. Untuk itu,
ikatan keluarga harus dengan ketaatan kepada Allah Swt. Tidak cukup
dengan ikatan biologis dan psikologis. Bersatu karena Allah dan berpisah
juga karena Allah. Itu yang tergambar dari budi luhur dari Abu Hanifah
terhadap keluarganya.

10
Q.S. al-Munafiqun/63: 6.
11
Q.S. al-Qashas/28:56.

201
Abu Hanifah bernazar kepada Allah, setiap Jum`at memberi 20
dirham untuk orang tuanya, 10 dirham untuk masing-masing, yaitu untuk
bapaknya 10 dirham dan 10 dirham untuk ibunya. Selain itu, ia juga
bernazar memberi 10 dirham untuk orang miskin setiap Jum`at.

C. Pendidikan Akhlak Menghormati Guru


Imam Abu Hanifah memuliakan guru, sebagaimana ia memuliakan
keluarganya. Khatib meriwayatkan bahwa Abu Hanifah jika memberikan
sesuatu kepada keluarganya, maka ia juga memberikan hal yang sama
kepada guru-gurunya. Abu Hanifah juga jika bersedekah buat temannya,
maka ia memberi melebihi kemampuan mereka. Di sini terlihat fungsional
dan nilai baik dari sedekah Abu Hanifah, karena ia memberi sesuatu di atas
kemampuan orang yang menerima. Jika memberikan sesuatu kepada
seseorang, dimana yang menerima itu juga mampu membelinya, maka hal
itu bisa jadi tidak istimewa. Penulis pernah mendengar orang kaya
menerima hadiah mobil, ekspresinya tidak kelihatan gembira, alias biasa-
biasa saja, “boro-boro” mau syukuran, dia menanggapi “dingin” hadiah
itu, karena ia punya mobil dan kemampuan untuk membeli mobil lebih
bagus dari yang ia terima. Bandingkan jika orang miskin mendapat hadiah
mobil, tentulah si miskin akan senang dan boleh jadi dari rasa senang itu,
ia melakukan syukuran.
Imam Abu Hanifah mengatakan kepada seseorang, “Ketahuilah
bahwa saya tidak membicarakan ilmu kecuali saya tahu bahwa Allah Swt.
mengharuskan saya untuk mengetahuinya, saya bersungguh-sungguh
mencari keselamatan.
Makki bin Ibrahim, gurunya Bukhari berterima kasih kepada Abu
Hanifah yang suatu saat ia mengatakan kepadanya, “Berdagang tanpa ilmu
mungkin akan mewariskan persahabatan yang buruk, itu terjadi kepadaku
sampai saya belajar, ketika saya belajar, saya suka mengingat Abu
Hanifah, dan saya ingat kata-katanya, selesai saya shalat saya
mendoakannya, semoga ia mendapatkan kebaikan, karena ia telah
membukakan kepadaku berkah pintu ilmu”12

12
Wahabi Sulaiman Ghawiji, “Imam Abu Hanifah”, dalam Min A`lam al-Tarbiyah
al-Islamiyah, h. 144.

202
Abu Hanifah sebagaimana dikatakan Abu Shihab yang dikuatkan
oleh Ibn Ma`in mengatakan, “Siapa yang belajar ilmu untuk kepentingan
dunia, tidak ada berkahnya, tidak meresap dalam hati, dan tidak
bermanfaat banyak bagi seseorang, sebaliknya orang yang belajar untuk
tujuan agamanya, maka Allah memberkahi ilmunya, meresap dalam
hatinya, dan bermanfaat bagi orang yang menggunakan ilmunya. 13
Sebagai seorang ulama, Imam Abu Hanifah terlihat orientasinya
dalam belajar mendahulukan urusan akhirat. Akhirat adalah tujuan jangka
panjang. Dunia sebagaimana maknanya dekat sebagai tujuan jangka
pendek. Tujuan jangka pendek tidak akan menyentuh tujuan jangka
panjang, sementara tujuan jangka panjang, dengan sendirinya akan
mencapai jangka pendek. Dengan demikian, tujuan jangka panjang, pasti
tidak akan mengabaikan tujuan jangka pendek.
Abu Hanifah menganjurkan, agar mendahulukan tugas menuntut
ilmu, kemudian mengumpulkan harta, kemudian menikah. 14 Tersurat dari
pendapatnya bahwa mengutamakan menuntut ilmu dan bisa saja sama
dengan pendapat Ibn Sina bahwa dari ilmu seseorang harus mencari hidup.
Juga pendapat Abu Hanifah ini, menuntut ilmu didahulukan kemudian
bekerja mengumpulkan harta. Memiliki harta dipersiapkan untuk menikah.
Dengan demikian, bekal menikah adalah ilmu dan harta. Implikasi dari
pendapat Abu Hanifah ini, jika seseorang ingin menikah penting untuk
menanyakan, “ia tamat sekolah apa” dan “apa pekerjaannya”.
Abu Hanifah juga memperhatikan persoalan waktu. Jika orang Barat
sering mengatakan, “the times is money: waktu itu adalah uang”, orang
Arab mengatkan, “‫لذ وبٌضيف ئْ ٌُ رمطؼٗ لطؼه‬ٌٛ‫ا‬: Waktu itu bagaikan pisau,
jika kamu tidak gunakan untuk memotong sesuatu, ia akan memotongmu”.
Untuk itu Abu Hanifah mengatakan untuk tidak menyia-nyiakan waktu,
karena kesempatakan adalah nikmat yang sangat besar, sedikit yang
menyadarinya. Hal itu sesuai dengan hadits Rasul kata Abu Hanifah.

‫نعمتاف مغبوف فيهما كثْي من الناس الصحة و الفراغ‬


13
Ibid., h. 145.
14
Ibid.

203
Artinya, “Ada dua nikmat yang terutang di dalamnya kebanyak manusia,
yaitu kesehatan dan kesempatan.”
Utang adalah simbol kesalahan. Utang sesuatu yang harus dibayar.
Kesalahan membutuhkan permohonan maaf, ampunan, taubat. Hendaknya
disadari oleh manusia bahwa waktu tidak akan pernah kembali.
Kesempatan ini hendaknya ditangkap secara bijak oleh setiap orang.
Seseorang akan sadar memahami nilai sesuatu ketika sesuatu itu telah
tiada. Orang sangat menyadari peran orang tuanya, ketika mereka telah
tiada. Seorang suami akan menyadari bagaimana peran penting istrinya
dalam hidup dan kehidupan ketika dia telah tiada. Untuk itu, bersyukur lah
orang-orang yang sadar terhadap sesuatu ketika sesuatu atau seseorang itu
masih ada dan ia akan merasakan peran sesuatu dan seseorang itu lebih
penting lagi, ketika sesuatu atau seseorang itu tiada.
Dalam hal menuntut ilmu agama, Abu Hanifah mengatakan,
“dalamilah ilmu agama, tinggalkan manusia sejenak sampai suatu ketika
mereka membutuhkan kamu.” Kalimat ini sesuai dengan firman Allah.

‫َّهواْ ِِف‬ ِ ٍ ِ ِ ِِ ِ
ُ ‫َوَما َكا َف الْ ُم ْؤمنُو َف ليَنف ُرواْ َكآفَّةً فَػلَ ْوالَ نَػ َفَر من ُك ّْل ف ْرقَة ّْمْنػ ُه ْم طَآئ َفةٌ لّْيَتَػ َفق‬
ِ ‫الدّْي ِن ولِي‬
‫نذ ُرواْ قَػ ْوَم ُه ْم إِذَا َر َج ُعواْ إِلَْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َُْي َذ ُرو َف‬َُ
Artinya, Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. al-Taubah/9:122)
Terhadap memperbaiki teman dari kesalahan, Imam Abu Hanifah
mengatakan, “Orang yang menginginkan temannya salah, maka ia
menginginkannya kafir.”15
Abu Hanifah menempatkan kesalahan sebanding dengan kekufuran.
Artinya, kesalahan itu sesuatu yang serius yang harus dicegah dan

15
Ibid., h. 146.

204
diperbaiki. Jika dipahami konsep ini, mengingatkan kesalahan teman atau
memperbaiki kesalahan teman adalah menjaga persahabatan. Bukan
sebaliknya, menegur dan memperbaiki kesalahan teman merusak
persahabatan.
Terhadap menghargai guru, Abu Hanifah sangat menghargai profesi
guru al-Qur‟an, mungkin bisa berbeda dengan sebagian fenomena orang-
orang Indonesia yang lebih menghargai guru Matematika, Bahasa Inggris,
guru musik dan sebagainya, daripada guru mengaji. Ismail bin Hamad bin
Abu Hanifah (cucu) mengatakan bahwa ketika seorang guru mengaji
anaknya Abu Hanifah berhasil mengajarkan anaknya al-Fatihah, ia
membayar guruya 500 Dirham dan bahkan ia mengatakan kepada guru
tersebut, jika ada uangnya lebih banyak, maka akan dia bayar lebih banyak
lagi, sebagai penghormatannya terhadap al-Qur‟an.16 Sebagi catatan,
bahwa Abu Hanifah tidak meninggalkan uangnya lebih dari 400 Dirham
dan setiap Jum`at ia memberikan ibu-bapaknya 20 Dirham. Berarti satu
bulan, ia memberi ibu bapaknya 80 Dirham. Berarti sebanding dengan
pemberiannya 6,25 bulan kepada orang tuanya. Itu menggambarkan bahwa
500 Dirham untuk mengajarkan al-Fatihah itu sangat pantastis, bagaimana
jika berhasil mengajarkan Surah al-Baqarah atau 30 Juz, sungguh
gambaran teladan umat untuk menghargai guru mengaji dengan bayaran
yang besar, bukan sebaliknya.
Imam Abu Hanifah sebagai guru, jika muridnya mengajukan
pertanyaan, dia diam mendengarkan dengan seksama, sebaliknya, jika ia
menjelaskan, muridnya diam, seakan-akan di dalam majelis itu tidak ada
orang. Ini menunjukkan majelis Abu Hanifah sangat berwibawa dan tertib
dan Abu Hanifah juga seorang pendengar yang baik.
Murid Abu Hanifah ketika belajar dan bertanya, mengangkat suara.
Suatu saat Ibn `Uyainah gurunya Syafi`i melewati majelis Abu Hanifah di
sebuah Mesjid. Ibn `Uyainah melihat dan mendengar bahwa murid-
muridnya dalam belajar mengangkat suara keras-keras, dia bertanya
kepada Abu Hanifah, “Ya Abu Hanifah, ini masjid, suara mereka tidak

16
Ibid.

205
pantas mereka bersuara keras”, Abu Hanifah berkomentar, “Biarkan
mereka begitu, mereka tidak pintar kecuali dengan cara begini.”. 17
Tentang suara keras ketika belajar, penulis teringat bagaimana cara
belajar di Pondok Modern Gontor kelas 1, teriak-teriak. Belajar dengan
suara keras dapat memudahkan ingatan. Hanya saja, kalau di Mesjid
memang tidak dibiasakan belajar dengan suara keras. Ternyata Abu
Hanifah menilai itu tidak bermasalah. Tentu harus dipahami bahwa belajar
dengan suara keras ketika tidak ada orang yang sedang shalat di Mesjid itu.
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan metode mengajar Abu
Hanifah hampir tidak ada menggunakan metode ceramah. Ia memberikan
masalah kepada murid, kemudian mereka berdebat, setiap orang didorong
berani memberi dalil berdasarkan pendapatnya. Kenyataan ini semakin
menguatkan bahwa Abu Hanifah dalam bidang fiqh beraliran rasional yang
menonjolkan akal.
Setelah murid selesai berdebat, Abu Hanifah menjelaskan dan
menentukan yang benar, kemudian mereka pun setuju. Cara mengajar ini
ada kemiripan metode dialog Sokrates. Ia mendorong murid-muridnya
untuk menemukan kebenaran dengan bimbingannya, sehingga muridnya
bisa menyimpulkan yang benar.
Sekalipun banyak guru yang hebat yang harus dihormati, tetapi
berkat murid-muridnya, guru bisa menjadi hebat. Murid yang pintar dalam
arti anak didik bisa mendorong guru dalam pengertian pendidik menjadi
hebat. Untuk itu setiap guru hendaknya bersikap baik terhadap muridnya
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, menurut riwayat
Abu Yusuf, gurunya memuji murid-muridnya, “Kalian yang
menyenangkan hatiku dan mengobati kesedihanku, saya telah menjadikan
fiqh sebagai pelana kalian, kemudian saya mengikatnya, pergilah, saya
telah meninggalkan manusia yang setia mengikuti jejak kalian dan
menirukan ucapan kalian, saya menilai rendah orang yang bersekongkol
dengan hakim. Masing-masing kalian berkewajiban memperbaiki para
hakim. Hendaknya ada 10 orang di antara kalian memperbaiki para hakim
sekaligus guru mereka. Saya berdoa kepada Allah semoga kalian diberikan

17
Ibid., h. 148.

206
kemampuan dengan keagungan ilmu, ketika mereka para hakim hina
dalam mencari uang dari pekerjaan mereka. Jika di antara kalian ingin
menjadi hakim, hendaknya ia mengetahui batasnya Allah dengan
hambaNya, tidak mencari balasan jasa dari pekerjaannya, tidak lah ia
mencari rezki yang baik darinya, meskipun untuk membeli tempat
tidurnya, sebagaimana yang jelas, boleh memutuskan perkara, niscaya
rezkinya baik. Jika terpaksa kalian menjadi hakim, maka hendaknya tidak
ada batas antara kalian dan masyarakat, hendaknya ia shalat berjama`ah
lima waktu, hendaknya orang lain dipanggil untuk shalat jika diperlukan,
jika melaksanakan shalat Isya, hendaknya diakhirkan waktunya. Jika
masuk rumah orang lain, hendaknya ia memanggilnya tiga kali. Jika
seseorang sakit, dimana ia tidak bisa lagi duduk, maka ia tidak bisa lagi
mencari rezeki.
Nasehat Abu Hanifah tentang hakim dan pengadilan secara khusus
sangat rinci. Perhatiannya terhadap hal tersebut sampai ia mengalami
penganiayaan-penganiayaan dari penguasa karena tidak menerima jabatan
hakim. Dari nasehatnya dapat ditangkap bahwa pekerjaan itu
membutuhkan kemapanan ilmu dan moral. Tidak menjadikan profesi itu
justru untuk memperkaya diri seperti yang bisa disaksikan oleh sebagian
hakim sekarang ini, khususnya di Indonesia. Kepercayaan masyarakat
bahwa pengadilan dapat memberi keadilan sangat tipis. Mungkin saja ada
hakim-hakim yang adil, mereka itu ditutupi oleh banyaknya kasus hakim
yang tidak adil. Jika para hakim tidak adil, bagaimana mereka dapat
memberi keadilan. Itu sama saja seperti kata al-Qur‟an ٚ ‫ضؼف اٌطبٌت‬
‫ة‬ٍٛ‫اٌّط‬. Orang lemah mencari keadilan, tetapi hakim tidak dapat
memberinya.
Muwafiq mengatakan, kedermawanan Abu Hanifah terhadap
kawan-kawannya, biasanya di hari Jum`at di mengumpulkan mereka dan
menyediakan aneka makanan di rumahnya. Abu Hanifah tidak makan
bersama mereka agar mereka tidak malu-malu makan yang banyak.
Pertama kali, Abu Hanifah biasa menyediakan aneka buah-buahan.

207
Kemudian, beliau menyediakan pakaian sutra yang bagus. Setiap bulan,
kami jalan-jalan ke kebun, kemudian mandi di kolam renang. 18
Kemampuan ekonomi Abu Hanifah dan kedalaman ilmu agamanya
sangat mendukung kedermawanannya. Ia lakukan untuk menciptakan
kebahagian bagi orang banyak, khususnya orang-orang terdekatnya.

‫من ظن أنو يستغين عن التعلم فليبك علي نفسو‬


Artinya, “Siapa yang menduga ia tidak membutuhkan belajar, maka
hendaknya ia menangisi dirinya”.19
Menuntut ilmu bagi Abu Hanifah adalah dzikir, ibadah, dan bahkan
dinilai sebagai puncaknya ibadah. Begitu pun beliau bermadzhab
“pragmatis” dimana tidak usah menuntut sesuatu yang tidak ada
pentingnya.Belajar sesuatu dengan kebutuhan, tidak usah ditambah-
tambah.20
Belajar menurut Abu Hanifah perlu memahaminya. Banyak orang
yang belajar fiqh, tetapi ia tidak paham. Mereka itu seperti orang yang
memiliki obat tetapi tidak mengetahui manfaatnya.
Ulama-ulama besar menghormati ilmu dengan cara tidak
membicarakannya di sembarangan tempat. Contohnya, kalau ada yang
bertanya tentang hadits, Malik bin Anas terlebih dahulu mandi ada yang
meriwayatkan hanya dengan berwudu‟, kemudian ia menggunakan wangi-
wangian, dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Ia tidak mau
memberi fatwa di jalan untuk menjaga adab menuntut ilmu. Kebanyakan
para ahli hadits tidak mengajarkan dijalan, mereka mengajarkannya di
majelis ilmu.
Abdul Aziz bin Muslim pernah bertemu Abu Hanifah di Mina,
kemudian ia menanyakan hadits kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah
berkomentar, “Subhanallah, mereka gemar menuntut ilmu, tetapi mereka
tinggalkan adab menuntutnya, ilmu itu harus dimuliakan karena ia

18
Ibid., h. 149.
19
Ibid., h. 150.
20
Ibid., h. 151-152.

208
memiliki kehormatan. Orang yang mencari ilmu haruslah
mengagungkannya dengan ketaatan dan ketenangan, „simpanlah
pertanyaanmu sampai besok, niscaya diberkahi oleh Allah Anda, ia tidak
mengajarkanku hadits, dan meninggalkannya sedangkan aku tidak
mendapatkan hadits.”21
Abu Hanifah menjaga etika ilmiah secara profesional. Beliau tidak
menjawab sesuatu yang ia tidak tau sesuai dengan Q.S. al-Isra/17:36.
Pernah ia ditanya oleh Abu Yusuf murid tentang siapa yang lebih mulia
antara Alqamah dan Alaswad, beliau menjawab, “Demi Allah saya tidak
mampu menyebutkannya kecuali saya mendoakan dan memohonkan
ampun mereka sebagai penghormatan bagi mereka”. Abu Yusuf tetap
bertanya, Bagaimana, siapa yang lebih utama?, Beliau menjawab, “Barang
siapa yang berbicara tentang ilmu sedangkan ia menduga Allah tidak
memintanya, bagaimana saya akan memberi fatwa tentang agama Allah,
sedangkan saya merendahkan dirinya dan agamanya.”
Abu Hanifah adalah seornag pemaaf dan bisa menjaga emosi. Abu
Yusuf mengatakan, pernah dia datang belajar dengan beliau, kemudian ada
seseorang datang berdiri di sebelah majils ilmu. Orang tersebut menghina
dan mencaci maki Abu Hanifah. Abu Hanifah tidak memberhentikan
pembicaraannya dan tidak juga memperdulikan kata-kata orang tersebut.
Tidak juga seorang pun yang menjawab dari murid-muridnya sampai
selesai Abu Hanifah mengajar, kemudia dia berdiri untuk masuk
rumahnya. Sewaktu Abu Hanifah sampai di depan rumahnya, datang orang
tersebut dan berdiri. Abu Hanifah mendatangi orang tersebut dan
mengatakan, “Rumahku dan aku ingin masuk, seandainya kamu
meneruskan sisa pembicaraanmu, maka saya mencukupkan sampai tidak
ada yang tersisa bagimu, sehingga kamu takut ditinggalkan. Orang tersebut
malu dan mengatakan, „berikan saya tempat‟, Abu Hanifah menjawab,
Kamu punya tempat”22
Terlihat Abu Hanifah penyabar dan tidak mudah emosi, tetapi juga
tegas. Terlalu lemah juga sikap yang tidak terpuji karena akan diremehkan

21
Ibid., h. 154.
22
Ibid., h. 154-155.

209
orang lain. Terlalu kasar juga memang tidak baik karena akan dihancurkan
orang lain.
‫ال تكن رطبا فتعصر وال تكن يابسا فبكسر‬
Artinya, “Janganlah bersikap terlalu lembut, nanti Anda akan diperas dan
jangan bersikap keras, nanti Anda akan dihancurkan orang”
Yazin bin al-Kumait juga pernah meriwayatkan bahwa ia
mendengarkan bahwa seseorang karena suatu pembahasan suatu masalah
mengatakan kepada Abu Hanifah, “Wahai pembuat bid`ah, wahai zindiq!”.
Abu Hanifah biasa tidak marah, ia malah mengomentari, “Semoga Allah
mengampunimu, Allah mengetahui kebalikan yang engkau katakan
kepadaku…”.23
Bisa mengendalikan emosi adalah pekerjaan yang tidak mudah. Itu
yang diperankan oleh Abu Hanifah, dengan cacian membuatnya tetap
tenang. Dia biarkan orang yang mencaci tanpa memperdulikan. Setelah
selesai ia mencaci maki, barulah beliau berkomentar, kecerdasan
emosional dan spiritual yang tinggi. Orang baik saja seperti Abu Hanifah
tetap ada yang tidak menyukai bahkan mencaci makinya. Demikian juga
yang terjadi dengan Rasulullah Saw. dan orang-orang baik lainnya.

23
Ibid., h. 155.

210
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM JA`FAR AL-SHADIQ

)‫اإلنسان مفطور علي التوحيد (اإلمام جعفر الصادق‬


Manusia memiliki fitrah tauhid (Imam Ja`far al-Shadiq)

A. Biografi Singkat
Tulisan tentang pemikiran pendidikan Imam Ja`far ini lebih banyak
merujuk dan menganalisa tulisan Abu al-Ainaini dari Min A`lam al-
Tarbiyah Jilid 1.
Jakfar al-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Malik bin Nadir bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ed.
Ia Generasi ke 25 dari Ma`ed, sedangkan Rasulullah generasi ke 20.
Dari silsilahnya ini jelas sekali terlihat bahwa imam yang lahir 80 H
di Madinah dan meninggal di Madinah 148 H, 2 tahun lebih awal
meninggal dari Imam Abu Hanifah dengan tahun kelahiran yang sama,
keturunan Ali bin Abi Thalib dari Husein dan bertemu silsilahnya pada
Abdul Muthalib.
20 Tahun sebelum kelahiran Imam Jakfar al-Shadiq, yaitu tahun 680
M, kakek bapaknya, yaitu Hasan bin Ali mati terbunuh di Karbala dalam
peperangan dengan tentara Bani Umayyah. Kepala Husein dipenggal dan
dibawa ke Ibu kota kerajaan Bani Umayyah di Damaskus.1 Pemberontakan
demi pemberontakan muncul dari golongan Syi`ah, nenek moyang Imam
Jakfar al-Shadiq. Pemberontakan Mukhtar di Kufah, Abdullah bin Zubair
di Mekah. Pasukan Ibn Zubeir di Mekah ini cukup tangguh, sampai
wafatnya Yazid, pemberontakan ibn Zubeir belum selesai. Ka`bah disertai
tentara Bani Umayyah pada tahun 692 M, tentara Zubeir, keluarga, dan

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 23, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), h. 45.

211
sahabatnya melarikan diri, sementara Ibn Zubeir mempertahankan diri
sampai ia mati terbunuh.2
Hubungan para pemberontak dengan pemerintah mulai membaik
pada pemerintahan Umar bin `Abdul Aziz (717-720 M).3 Dengan
demikian, sejak kelahiran Imam Jakfar sampai remaja (17 tahun),
pemberontakan demi pemberontakan terhadap penguasa dari golongan
Syi`ah tetap berlanjut. Pada masa kepemimpinannya terjalin hubungan
baik pemerintah dengan golongan Syi`ah. Namun pasca kepemimpinan
Umar bin Abdul Aziz, yaitu masa Yazin ibn Abd al-Malik (720-724 M),
kembali hubungan itu memburuk, kedamaian berubah menjadi kekacauan.
Pada masanya terjadi kerusuhan di mana-mana, sampai pada masa Hisyam
bin Abd al-Malik (724-743 M). Di zaman Hisyam ini muncul kekuatan
baru dari keluarga Bani Hasyim, yaitu Bani Abbas.
Sekalipun Hisyam tangguh dan terampil dalam memimpin, tetapi
karena gerakan oposisi kuat, akhirnya pemerintah tidak juga berdaya.
Setelah berakhirnya pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik, maka
khalifah-khalifah berikutnya bukan hanya lemah kata Badri Yatim, tapi
juga bermoral buruk. Akhirnya tahun 750 M, Daulah Bani Ummayyah
digulingkan oleh Bani Abbas.4
Pada awal masa Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Shaffah, Syi`ah
bernapas lega, tetapi setelah kepemimpinannya, yaitu pada masa
kepemimpinan Mansur (754-775 M), perlakuan terhadap keturunan Ali
kembali terjadi sehingga terjadi pemberontakan-pemberontakan. Di
Madinah, dipimpin oleh pamannya, yaitu Muhammad bin `Abdullah bin
Hasan. Sedangkan di Irak dipimpin oleh saudaranya Ibrahim.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa masa hidup Imam Jakfar al-
Shadiq secara politik tidak nyaman karena ia keturuan Ali bin Abi Thalib
yang mendapat perlakukan tidak baik dari pemerintah. Sekalipun golongan
Syi`ah Itsna Asyariyah mengatakan bahwa Imam Jakfar adalah seorang
khalifah, hanya karena faktor taqiyah, beliau tidak menyatakannya.
Sementara Sunni tidak melihat Imam Jakfar sebagai khalifah.

2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 46.
3
Ibid. , h. 47.
4
Ibid., h. 47-48.

212
Sebagaimana ditulis Mukhlis M Hanafi dalam Biografi Lima Imam
Madzhab, Imam Jakfar larut dalam ma‟rifat sehingga tidak tertarik dengan
urusan politik. 5
Pada tahun 148 H, Imam Jakfar meninggal dunia. Al-Mansur sang
khalifah juga menangisi kepergian ulama besar ini. Imam Malik
mengatakan bahwa orang yang menjelang kematiannya masih memiliki
kesadaran adalah Jakfar al-Shadiq yang ucapannya dibenarkan oleh teman
dan lawannya.6 Imam Jakfar ada yang berlebihan mencintainya, sebaliknya
tidak ada yang berlebihan memusuhinya, bahkan sepanjang hidupnya tidak
ada yang pernah menyakitinya.7

B. Pemikiran Pendidikan Imam Jakfar al-Shadiq


Bagi Imam Jakfar dasar dari akhlak manusia adalah iman kepada
Allah dan ma`rifah terhadapnya.Agama itu menurut Imam Jakfar dimulai
dari makrifah kepada Allah. 8 Jelas sekali makrifah yang dimaksud
bukanlah makrifah dalam nomenklatur tasauf, tapi makrifah dalam arti
mengenal Allah. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin itu yang tepat
untuk mengungkapkan kata ma`rifah yang dimaksud oleh Imam Jakfar.
Jika tidak kenal Allah, maka bagaimana untuk percaya kepadaNya. Untuk
itulah, ma`rifah baginya awal dari agama.
Kesempurnaan dalam mengenal Allah menurut Jakfar Shadiq, yaitu
beriman dan bertauhid kepadanya. Kesempurnaan tauhidnya adalah
keikhlasan baginya. Kesempurnaan ikhlas adalah meniadakan sifat-sifat
dariNya.9

5
Mukhlis M.Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Jakfar al-Shadiq,
(Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 14.
6
Mukhlis M.Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Jakfar al-Shadiq
Mukhlis M.Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Jakfar al-Shadiq, h. 148.
7
Mukhlis M.Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Jakfar al-Shadiq, h.
150.
8
Ali Mushthafa Abual-`Ainaini, “al-Ihitimam al-Tarbawiyah fi Fikr Ja`far al-
Shadiq 80-148 H” dalam Min A`lam al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I,(Riyadh: Maktabu al-
Tarbiyah al-`Arabi li Dauli al-Khalij, 1988), h.96.
9
Ibid., h. 97.

213
Manusia menurut Imam Jakfar terlahir dalam fitrah tauhid. 10 Ini
yang disebut bahwa pada dasarnya manusia itu bertauhid kepada Allah.
Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Rum/30:30.

ِ ِ ِ ‫فَأَقِم وجهك لِلدّْي ِن حنِي ًفا فِطْرَة اللَّ ِو الَِِّت فَطَر النَّاس علَيػها َال تَػب ِد‬
َ ‫يل ْلَْل ِق اللَّو َذل‬
‫ك‬ َ ْ ََْ َ َ َ َ َ ََْ ْ
ِ ‫ّْين الْ َقيّْ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَػَر الن‬
‫َّاس َال يَػ ْعلَ ُمو َف‬ ُ ‫الد‬
Artinya, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ayat ini menjadi optimisme dalam pendidikan, karena dasarnya,
manusia itu adalah sama-sama bertauhid kepada Allah. Untuk itu,
mengajak mereka untuk kembali kepada fitrahnya berpotensi besar. Sama
halnya mengajak saudara kandung yang bermusuhan, semestinya punya
peluang untuk harmonis kembali karena mereka dasarnya berasal dari
orang tua yang sama yang pernah saling menyayangi dan saling
membantu. Hal itu bisa dilakukan jika mereka yang bermusuhan itu
kembali pada kesadaran yang mendalam akan kekeliruan itu.
Imam Jakfar sebagaimana ahli lain melihat bahwa setiap individu
memiliki perbedaan11 dan tidak ada konsep kesamaan, kecuali kemiripan
pada manusia. Memang manusia diciptakan dengan berbagai bentuk dan
sifat. Hal ini harus diketahui oleh setiap orang.
Untuk membentuk manusia dengan fitrah bertauhid, seorang laki-
laki harus mencari pasangan yang baik, memberi nama yang baik, dan
sungguh-sungguh mendidiknya.
Pemilihan istri yang baik, termasuk baik rupa, otaknya, dan
perilakunya turut mempengaruhi dalam pendidikan anak. Di sini tidak ada
yang berani mengingkari pentingnya pendidikan dalam rumah tangga.
Pendidikan di sekolah sebagus apapun sangat dipengaruhi keberhasilan

10
Ibid., h. 103.
11
Ibid.

214
pendidikan dalam rumah tangga. Memang tidak serta merta pendidikan
rumah tangga yang gagal, dalam pendidikan sekolah seorang anak gagal.
Namun keberhasilan pendidikan rumah tangga sangat berpengaruh baik
pada pendidikan sekolah anak.
Imam Jakfar sebagaimana Umar bin Khattab juga memperdulikan
lingkungan atau faktor empiris dalam pendidikan. 12 Pembentukan
lingkungan yang baik buat anak berpengaruh dalam membentuk manusia
yang bertauhid kepada Allah.
Untuk menjaga lingkungan keluarga yang baik, Jakfar al-Shadiq
melarang para wanita menikah dengan lelaki peminum khamr (pemabuk).
Juga beliau melarang lelaki menikah dengan wanita pezinah. 13
Dari lelaki pemabuk akan membuahi janin yang tidak pintar,
sehingga bibitnya tidak menguntungkan dan bisa saja merugikan. Orang
Yahudi Israel yang dipuji Allah kepintarannya di dalam al-Qur‟an sangat
perduli dengan kecerdasan otak, untuk itu mereka anti alkohol. Namun
sebaliknya kelemahannya Yahudi Israel, perilakunya bejat. Mereka anti
nikotin dan anti rokok, tetapi mereka produsen rokok terbesar di dunia
juga termasuk produsen minuman keras yang besar.Wanita pezinah akan
mewariskan sifat-sifat yang tidak baik. Untuk itu, menikahi wanita pezina
dibolehkan oleh Imam Jakfar kalau dia sudah taubat.
Dalam hal pendidikan lingkungan, Imam Jakfar menyebut bahwa
tidak boleh berteman dengan lima kelompok. 14 Pertama, dengan orang
yang bodoh. Ia ingin memberi manfaat bagimu, justru ingin
mencelakakanmu. Kedua, pembohong, sesungguhnya kata-katanya seperti
patamorgana, yang jauh dia sebut bagimu dekat, yang dekat dia sebut
bagimu jauh. Ketiga, orang fasik, sesungguhnya ia menjualmu dengan
makanan dan minumannya. Keempat, orang yang kikir, sesungguhnya ia
mempermalukanmu terhadap apa yang sangat kamu butuhkan. Kelima,
pengecut, sesungguhnya ingin menyelamatkanmu, tetapi dia menyerah.
Bodoh (al-ahmaq) yang dimaksud oleh Imam Jakfar bukanlah yang
tidak tahu tentang sesuatu, lebih tepat adalah dungu. Akalnya secara umum

12
Ibid., h. 104.
13
Ibid.
14
Ibid.

215
tidak cerdas dalam hal apa pun. Seperti orang yang dihipnotis, diperintah
untuk memberitahukan semua informasi yang dibutuhkan penghipnotis, ia
bersedia, seperti orang lugu.
Pembohong adalah membalikkan data dan fakta, membalikkan
pahala dengan dosa dan sebaliknya. Pangkal dosa itu adalah kebohongan.
Perbuatan jahat banyak melibatkan kebohongan. Korupsi, mencuri,
berzina, fitnah, ghibah, membunuh, dsb biasanya memerankan
kebohongan di dalamnya.
Menurut al-Asfahani dalam al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân,
kefasikan lebih umum dari kekafiran. 15 Setiap yang keluar dari jalur syariat
disebut fasik. Fasik melakukan dosa baik kecil maupun besar.
Menurut Ibn Arabi sebagaimana dikutip dalam Ensiklopedia al-
Qur‟an yang disusun oleh M. Quraish Shihab, dkk bahwa dalam sya`ir-
sya`ir Arab belum dikenal istilah al-fisq. Istilah itu dikenal setelah
turunnya al-Qur‟an yang arti dasarnya keluar.16 Dalam akidah al-fisq
berarti melampaui batas syariat. Melampaui itu berarti keluar dari jalur
syariat. Orang yang tidak mengeluarkan zakat bisa disebut fâsiq. Demikian
juga orang yang tidak melaksanakan shalat fard juga fâsiq.
Al-Qur‟an menyebut bakhîl jika yang pada dasarnya wajib
dikeluarkan seperti wajibnya zakat, tetapi ia tidak keluarkan, maka ia
disebut bakhil. Karena kata al-Asfahani dalam al-Mufradât fî Gharîb al-
Qur‟ân, bahwa bakhil itu adalah menahan benda atau harta padahal ia
tidak berhak menggenggamnya. Lawan katanya adalah –al-Jûdu.17 Seorang
suami wajib menafkahi istrinya. Jika uangnya ada, tetapi tidak diberikan
untuk nafkah istrinya, ittu namanya bakhil.
Dalam bidang pendidikan, ada bantuan pendidikan untuk orang-
orang yang tidak mampu secara ekonomi, kemudian Wakil Rektor 3 tidak
mendistribusikannya, itu juga adalah bakhil. Atau ada hak-hak dosen yang
sertifikasi, kemudian Wakil Rektor 2 dengan alasan yang tidak tepat

15
Al-Ragib al-Asfahan.i, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Ma`rifah,
t.t.), h. 380
16
M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata, Jilid I,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 2019.
17
Al-Ragib al-Asfahan.i, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an…, h. 38.

216
menahannya atau menundanya, itu juga namanya bakhil.Bisa juga bakhil
dalam pendidikan, seorang mahasiswa berdasarkan sistem penilaian,
semestinya mendapat nilai A, tapi dosen memberikan nilai B, itu juga
disebut bakhil.
Penilaian bakhil di atas menjadi jelas batasannya. Tidak mau
menteraktir kawannya sewaktu jajan di kantin, tidak menjadi ukuran
bakhil. Tidak ikut menderma saat ada orang yang membutuhkan tidak juga
termasuk bakhil. Tetapi saat ada orang yang butuh, kewajiban zakatnya
tidak ditunaikan, itu jelas bakhil.
Sementara, orang yang melepaskan haknya, di saat boleh ditahan,
itu disebut al-jûdu (dermawan). Orang yang bersedekah adalah orang
dermawan. Dosen yang membimbing skripsi mahasiswa, padahal dia
bukan pembimbingnya adalah dermawan. Orang yang menolong
mengangkat mobil orang lain dari paret tanpa bayaran juga disebut
dermawan. Tukang tempel ban, menempel ban sepeda motor orang lain
walaupun tidak ada bayarannya adalah dermawan.
Singkatnya, kedermawanan bisa dinilai dari melakukan kebaikan,
padahal hal itu tidak wajib baginya. Untuk itu pengamalan semua ibadah
sunat bisa disebut dermawan.
Pengecut (al-jubn) adalah sifat menurut Ibn Miskawaih, ketakutan
yang tidak beralasan. Lawannya adalah al-tahawwur (nekat), keberanian
yang berlebihan. Di antara dua sifat negatif itu lah kata Ibn Miskawaih
posisi keberanian (al-syajâ`ah).
Semua manusia akan mati tanpa terkecuali, maka menakuti sesuatu
yang pasti dihadapi kata Ibn Miskawaih adalah tindakan al-jubn. Trauma
bagian dari al-jubn. Bisa saja karena pernah mengalami kecelakaan naik
sepeda motor, sehingga ia trauma naik sepeda motor. Karena trauma itu, ia
pergi kemana-mana dibonceng atau naik angkot, sementara dibonceng pun
bisa juga kecelakaan. Begitu juga naik angkot, tidak menutup
kemungkinan punya peluang kecelakaan.
Mahasiswa dalam menghadapi ujian tidak jujur bisa disebut
pengecut. Dia tidak berani menghadapi kemungkinan tidak lulus. Untuk
menghadapi ujian membutuhkan usaha belajar yang sungguh ditambah

217
dengan doa. Persoalan lulus dan gagal harus dihadapi secara jantan, bukan
malah dengan menyontek.
Guru-guru yang mengajari murid-muridnya ketika UN karena
khawatir tidak lulus itu pun pengecut. Guru bertanggung jawab mengajari
murid-murid sampai pelajaran dipahami dengan baik, bukan dengan
melakukan kecurangan dengan mengajari mereka ketika ujian.
Dalam hal problem solving, Imam Jakfar al-Shadiq mengatakan
bahwa semua manusia pasti akan diuji.18 Hal ini telah disebutkan dalam al-
Qur‟an bahwa diciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji siapa
yang terbaik di antara hamba-hamba Allah Swt.19 Dalam menyeleksi
manusia yang terbaik itu, Allah Swt. juga menciptakan perhiasan di
dunia.20 Allah Swt. juga menyeleksi manusia terbaik dari penciptaan langit
dan bumi selama enam periode (yaum). Kata yaum, jika diterjemahkan hari
kata Ahmad Musthafa al-Maraghi, jangan dipahami, seperti hari dalam
hitungan di bumi. Hal ini dengan jelas disangkal oleh al-Qur‟an.
“Sesungguhnya satu hari bagi Allah Swt. sebanding dengan seribu tahun
dalam hitunganmu”21 Para ahli astronomi juga menyebutkan bahwa Allah
meciptakan matahari dari kabut yang dalam bahasa al-Qur‟an dukhân satu
hari. Satu hari yang dimaksud, jutaan tahun dalam hitungan di bumi. 22
Allah Swt. menciptakan semua makhluk hidup dari air.23 Jika bumi ini
terjadi dari proses penciptaan Allah Swt., maka tidak salah apa yang
disebut filosof Yunani, Thales yang mengatakan bahwa materi penciptaan
bumi ini adalah air. Kata Thales, segalanya diciptakan dari air.
Harus diakui bahwa pendapat Thales 6 abad SM itu sebuah karya
pikir yang sangat hebat, padahal al-Qur‟an belum diturunkan. Jika pasca
turunnya al-Qur‟an, pendapat bahwa segala sesuatu tercipta dari air, tidak
lagi istimewa, karena hal tersebut telah menjadi berita wahyu.

18
Ali Mushthafa Abual-`Ainaini, “al-Ihitimam al-Tarbawiyah fi Fikr Ja`far al-
Shadiq 80-148 H” dalam Min A`lam al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I…, h. 105.
19
Q.S. al-Mulk/67:2.
20
Q.S. al-Kahf/18:7.
21
Q.S. al-Hajj/22:47.
22
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, Terjemahan, Jilid 12, Cet. II,
(Semarang: Toha Putra, 1993), h. 5.
23
Q.S. al-Anbiya/21:30.

218
Apa ujian bagi manusia dalam penciptaan langit dan bumi selama
enam hari dan diciptakannya segala sesuatu dari air? Mengimaninya
adalah ujian. Boleh jadi akal manusia akan tidak menerima. Boleh jadi
orang yang tidak mengimani al-Qur‟an mengatakan bahwa berita wahyu
tersebut tidak benar. Inilah ujian bagi manusia. Kalau sudah disebutkan al-
Qur‟an tidak ada peluang untuk berdebat. Wahyu harus diimani dan
kemudian diteliti bukan menjadi syarat dari keimanan, tetapi untuk
memperkuat iman.
Hidup ini tidak mungkin selamanya dijalani oleh manusia dengan
mulus, tantangan dan rintangan sebagai ujian Allah Swt. untuk menyeleksi
hamba terbaik akan datang silih berganti dengan kadar dan frekwensi yang
berbeda-beda. Di setiap ujian dan masalah itu kata Imam Jakfar ada
bantuan dan pengasuhan. 24 Peluru atau alat untuk mengatasi itu Allah Swt.
menciptakan syukur dan sabar kata Imam Jakfar.25 Al-Qur‟an menyebut
empat kali kata “ْٚ‫ ”لٍيال ِب رشىش‬dalam empat surah yang berbeda dan tidak
pernah sama sekali menyebutkan “ْٚ‫ ”لٍيال ِب رصجش‬menurut penulis sebagai
indikasi bahwa lebih banyak manusia pandai bersabar daripada pandai
bersyukur. Manusia lebih banyak yang sukses bersabar atas segala
kekurangan, kesedihan, kesengsaran, dan sebagainya, daripada bersyukur
atas segala kelebihan, kebahagiaan, kenikmatan, dan sebagainya. Untuk
itu, obat penawar hidup yang diciptakan oleh Allah Swt. sabar dan syukur.
Kedua kata itu berada dalam satu paket yang tidak boleh dipisahkan.
Dengan kata lain, dimana ada sabar, di situ ada syukur.
Contohnya, seorang calon presiden dalam pemilihan, terpilih
sebagai pemenang, sehingga ia menjadi presiden. Sebagai pemenang
adalah ujian bersyukur kepada Allah Swt. Sebagai pemenang yang tidak
dipilih 100 % rakyat, ia harus bersabar, bahwa pasti ada yang tidak suka
atau dengan bahasa lain, ada perasaan orang-orang yang kalah tidak
menyukainya. Tidak semua manusia senang dengan nikmat yang kita
terima. Ada sebagian orang “yang menderita” atas nikmat yang kita

24
Ali Mushthafa Abual-`Ainaini, “al-Ihitimam al-Tarbawiyah fi Fikr Ja`far al-
Shadiq 80-148 H” dalam Min A`lam al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I…, h. 105.
25
Ibid.

219
terima. Syukur dan sabar menjadi satu paket yang tidak boleh dipisah-
pisahkan dalam hidup.
Imam Jakfar al-Shadiq berpendapat bahwa manusia berpotensi
untuk memahami. Potensi-potensi itu terdiri dari kemampuan berpikir (al-
fikr), menganalisa(al-`aql) , dan menghapal (al-hifzh).
Dalam keadaan normal, sistem pendidikan Timur-Tengah yang
mengedepankan metode menghapal tidak menyalahi Filsafat Pendidikan
Islam. Kemampuan menghapal antara manusia memang bisa berbeda-
beda. Sangat wajar, di tempat turunnya al-Qur‟an dan diajarkannya hadits
oleh Rasulullah Saw. kemampuan manusia untuk menghapal baik. Jika
kemampuan menghapal mereka tidak baik, bagaimana al-Qur‟an itu
terjaga. Dulu ada yang “guyon”, “Jika al-Qur‟an itu turunnya di Indonesia,
maka al-Qur‟an itu tidak akan terjaga”. Kemampuan menghapal orang
Indonesia secara umum memang tidak lebih baik dibandingkan dengan
orang-orang Timur-Tengah, walaupun sekarang ini Alhamdulillah
penghapal al-Qur‟an bermunculan dari Indonesia, pesantren tahfizh pun
semakin menjamur, perhatian pendidikan terhadap hapalan al-Qur‟an pun
semakin hari semakin meningkat. Menurut Prof Dr. Roem Rowi, guru
besar Tafsir UIN Sunan Ampel, anatomi otak Indonesia untuk menghapal
tidak tergolong baik jika dibandingkan dengan orang Timur-Tengah.
Untuk itu katanya, ketika orang Indonesia mengikuti pendidikan S2
apalagi S3 di Timur-Tengah, khususnya di Universitas-Universitas tertentu
seperti al-Azhar dan Madinah al-Munawarah, sangat sedikit orang
Indonesia yang mampu mengikutinya.
Walaupun kemampuan menghapal orang Indonesia tidak lebih baik
dari orang Timur-Tengah, tetapi masih lebih baik dari kemampuan
menghapal orang Barat pada umumnya. Hal ini diakui oleh Dr. Saeful
Anwar Matondang ketika mengikuti proses seleksi S3 ke Amerika. Untuk
itulah dapat dipahami, maka sistem pendidikan Barat tidak memberi
tempat yang istimewa dalam metode menghapal (al-hifzh). Mereka
mengedepankan metode berpikir (al-fikr dan al-`aql). Baik al-fikr, al-`aql,
dan al-hifzh menurut Imam Jakfar al-Shadiq alat untuk memahami.
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, ilmu itu berasal dari Allah Swt.
Dalam simbolnya, ilmu adalah cahaya Allah Swt. (‫س هللا‬ٛٔ). Cahaya Allah

220
itu tidak diberikan kepada para ahli maksiat. Ilmu yang suci haruslah
didekati dengan kesucian. Kisah fenomenal tentang kesulitan menghapal
yang dialami oleh Imam Syafi`i dikeluhkan kepada gurunya yang bernama
Waqi`. Waqi` menyarankan muridnya untuk meninggalkan maksiat.
Kemudian sang guru mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya. Cahaya
Allah itu tidak dianugerahkan kepada ahli maksiat.
Teks atau buku yang satu-satunya banyak dihapal manusia adalah
al-Qur‟an. Walaupun tidak dipahami isinya, menghapalnya mudah. Itu
sudah janji Allah yang disebutkan empat kali dalam Q.S. al-
Qamar/54:17,22, 32, dan 40. Jika diperhatikan metode menghapal al-
Qur‟an yang dikemukakan oleh Imam dan Khatib Masjid Nabawi, Abdul
Muhsin al-Qasim, dalam psikologi pengajaran disebut dengan repeat
power. Pengulangan yang sering dan rutin akan memudahkan hapalan dan
ingatan (recall).
Karena sucinya ilmu, maka dalam proses menuntutnya ada baiknya
orang dalam keadaan suci dalam pengertian fiqh, tidak sedang hadats kecil
apalagi hadats besar. Adab saat belajar, hendaknya menutup aurat,
layaknya seperti orang mau shalat. Jika mengikuti prosedur atau tata
laksana tersebut, secara filsafat mistik, kemungkinan besar akan
mempermudah kegiatan menghapal, berpikir, dan menganalisa (menalar).
Menurut Imam Jakfar, berpikir adalah dasar dari aktivitas menalar
(berfilsafat).
Pendidikan Islam menurut Imam Jakfar harus bertujuan untuk
mengenal Allah Swt. dengan sebenar-benarnya.Selain itu juga
memperhatikan pendidikan akhlak, akal, jasmani, pendidikan sosial,
pendidikan aplikatif, pendidikan problem solving, dan pendidikan hukum
syariat.
Dalam hal pendidikan anak (‫)أطفبي‬, Imam Jakfar menyarankan untuk
mencintai anak-anak dan mengasihani mereka, menepati janji, jika berjanji
dengan mereka. Menurutnya, mulai sekolah anak-anak pada umur 7 tahun.
Bermain juga menurutnya pada umur 7 tahun. Belajar halal dan haram
juga pada umur 7 tahun. Tujuh tahun bagi Imam Jakfar adalah umur yang
sudah siap untuk belajar bagi anak-anak.
Dalam hal pendidikan anak-anak, Imam Jakfar bernasehat,

221
Hai anakku, jika waktu kecil kamu sudah belajar akhlak, maka pada waktu
dewasa niscaya mendapatkan manfaatnya. Orang yang memperhatikan
akhlak, maka dia diperhatikan. Orang yang diperhatikan, ilmu akan
membebaninya. Orang yang dibebani oleh ilmunya, maka ia bertambah
semangat mencarinya. Siapa yang bersemangat mencari ilmu, maka ia
akan menyadari manfaatnya.
Dalam klasifikasi ilmu, Imam Jakfar menyebut Ilmu Diniyah dan
Ilmu Dunyawiyah. Klasifikasi ini tidak terkesan fiqh, sebab ada ulama
yang mengklasifikasinya pada ilmu wajib `ain dan ilmu wajib kifayah.
Ilmu Dunyawiyah kesannya untuk kepentingan jangka pendek,walaupun
tetap ada saja hubungannya dengan akhirat. Sama halnya Ilmu Diniyah ada
juga manfaat jangka pendeknya, tetapi orientasi akhiratnya lebih dominan.
Dalam hal pendidikan akhlak, Imam Jakfar mengatakan, “Shalat
adalah kurban dari semua ketakwaan, haji adalah jihat setiap kelemahan,
zakat badan adalah puasa, mengajak tanpa mengamalkannya bagaikan
pemanah yang tidak punya anak panahnya, dapatkan rezeki dengan
bersedekah, jagalah hartamu dengan zakat”.
Terhadap anaknya, ia bernasehat,
Bacalah al-Qur‟an, sebarkan salam, serulah orang lain untuk berbuat
baik, cegahlah orang lain untuk berbuat munkar, siapa yang memutuskan
silaturrahmi denganmu, sambunglah, barang siapa yang mendiamkanmu,
bicaralah dengannya, siapa yang meminta sesuatu darimu, berilah,
jauhilah adu domba, karena itu membuat permusuhan dalam hati, jauhilah
untuk membuka aib manusia, bagi yang membuka aib seseorang posisinya
sama dengan orang yang berbuat aib itu.
Apa yang dikemukan Imam Jakfar di atas ada semua dalam ajaran
agama dan juga banyak disebutkan oleh ulama-ulama lainnya. Hanya saja
ungkapan itu menunjukkan beberapa perhatian khusus di antara akhlak
yang tidak menutup kemungkinan dilatarbelakangi dari pengalaman
hidupnya atau kesaksiannya dalam lingkungannya.
Petuah lainnya yang disampaikan oleh Imam Jakfar,
Sungguh mulia bagi yang berhemat, mengatur setengah kehidupan,
keinginan setengah akal, barang siapa yang membuat orang tuanya sedih,
maka ia telah berbuat maksiat kepada mereka, tidak ada bekal yang lebih
utama dari takwa, tidak ada sesuatu lebih baik dari diam, tidak ada musuh
yang lebih berbahaya dari kebodohan, dan tidak ada penyakit yang lebih
berbahaya dari berbohong.

222
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM SYAFI`I

‫أظلم الظالمين لنفسه من يتواضع لمن اليكرمه ورغب في مودة من ال ينفعه‬


)‫وقبل مدح من اليعرفه (اإلمام الشافعي‬
Orang yang paling zhalim terhadap dirinya, siapa yang “merendah:
tawadu’” terhadap orang yang ia tidak muliakan, mencintai orang
yang tidak bermanfaat dan menerima pujian dari siapa yang ia tidak
mengenalnya (Imam Syafii)

A. Biografi Singkat
Abdul Ghadi al-Daqir menyebut bahwa Imam Syafi`i lahir di Gaza
Palestina pada siang hari Jum`at bulan Rajab tahun 150 H. Dia lahir di
tahun dimana ulama besar dari Kufah meninggal, yaitu Imam Abu
Hanifah. Silsilahnya bertemu dengan Rasulullah Saw. dalam istilah silsilah
Batak, bisa disebutkan bahwa Imam Syafi`i dengan Rasulullah satu marga.
Pada umur 7 tahun, beliau telah hapal al-Qur‟an. Pada umur 10 tahun ia
hapal Muwaththa‟ Malik ibn Anas, buku terbaik setelah al-Qur‟an pada
masa itu. Sebagaimana ditulis Mukhlis M. Hanafi bukan Imam Syafi`i
menghapal Muwathtah 10 tahun, tetapi hapalnya umur sepuluh tahun.
Sementara waktu yang dibutuhkannya untuk menghapalnya hanya 9 hari.
Suatu pencapaian yang luar biasa. Suatu saat ia belajar Muwaththa‟ dengan
pengarangnya, ia telah hapal buku tersebut. Pada umur 15 tahun sudah
menjadi mufti di Mekah.
Imam Syafi`i sebagaimana komentar Ahmad Ibn Hanbal
memadukan hadits dengan akal. Dengan kata lain, Imam Syafi`i dikenal
sebagai ulama ahl al-hadits wa al-ra`y yang banyak mengembara ke
negara-negara Islam pada masa itu. Sebagaimana ditulis oleh Mukhlis M.
Hanafi bahwa Imam Syafi`i sampai akhir hayatnya telah menulis 113
buku.
Imam Syafi`i sama dengan Rasulullah yatim sebelum kelahirannya.
Imam Syafi`i dengan segala keterbatasan ekonomi mendapat perlakuan

223
berbeda dengan yang lain. Membeli buku dan alat tulis pun baginya susah.
Pada saat guru mendiktekan pelajaran, Imam Syafi`i kecil berusaha
menghapalnya begitu selesai didiktekan pelajaran, Imam Syafi`i telah
hapal pelajarannya. Di balik keterbatasan ekonomi, Allah Swt.
menganugerahkan kepadanya kemampuan menghapal yang luar biasa
(unusual). Sering kita saksikan keajaiban Allah, pada diri orang yang
memiliki kekurangan, Allah Swt memberi mereka kelebihan. Pepatah, “la
tahtaqir man dûnaka falikulli syain maziyyatun: jangan menghina orang
yang lebih rendah darimu karena setiap sesuatu memiliki kelebihan.”
Syafi`i kecil mahir memanah. Kemahirannya dapat dipahami dari
ucapannya bahwa 10 kali ia lepaskan panah, 10 kali mengenai sasaran.
Imam Syafi`i sepertinya merespon hadits Rasul yang menyuruh umat
untuk belajar memanah.
Guna untuk belajar bahasa Arab yang bagus, Imam Syafi`i hidup di
perkampungan Bani Hudzail. Beliau belajar dari sumbernya yang terbaik,
karena Bani Hudzail adalah kabilan yang terkenal dengan kefasihan bahasa
Arab.
Di masa remaja, Syafi`i belajar fiqh kepada mufti Mekah Muslim
bin Khalid al-Zinji dan belajar hadits dari Sufyan bin Uyainah. Dari kedua
ulama besar itu, Imam Syafi` belajar fiqh dan hadits.
Di Mekah, dekat sumur Zamzam, Imam Syafi`i memiliki halaqah.
Walaupun ia tetap belajar fiqh dan hadits kepada ulama lain. Menurut
pengakuan Sufyan bin Uyainah, dalam hal fatwa dan tafsir, ia belajar
kepada Syafi`i. Sufyan bin Uyainah guru Imam Syafi`i dalam bidang
hadits. Sementara dalam bidang fiqh dan tafsir, Sufyan justru berguru
kepada Imam Syafi`i. Halaqah Imam Syafi`i di Mekah ini dihadiri oleh
Ahmad ibn Hanbal yang kelak menjadi ulama besar Baghdad.
Imam Syafi`i tidak puas dengan belajar di Mekah dan tidak terlena
dengan populeritasnya, ia sudah lama ingin belajar langsung dengan Imam
Malik, ulama tersohor di Madinah saat itu. Menjelang umurnya 20 tahun,
Syafi`i mengemukakan keinginannya kepada guru-gurunya. Untuk
memuluskan tujuannya, Syafi`i meminta dua rekomendasi kepada
Gubernur Mekah. Satu rekomendasi ditujukan kepada Gubernur Madinah
dan satu lagi untuk Malik bin Anas.

224
Setelah mendapat restu dari gurunya dan mendapat rekomendasi
dari Gubernur Mekah, dengan girang ia pulang ke rumah ibunya. Tidak
sadar sampai di rumah, ia mengetuk pintu terlalu keras, sehingga ibunya
marah. Dengan nada marah, ibunya mengatakan kepada Syafi`‟i, “Pergilah
dan jangan pulang. Rengkuhlah terlebih dahulu kesopanan. Jika engkau
telah memilikinya, barulah pintu rumah ini terbukakan untukmu”. 1
Sayangnya tidak diketahui apakah Imam Syafi`i menyampaikan niatnya
untuk pergi belajar ke Malik bin Anas di Madinah. Imam Syafi`i sebagai
ulama tersohor di Mekah saat itu tentulah kaget sekaligus menyesal dan
mengatakan pada dirinya, “Aku tidak akan pulang ke rumah sepanjang
perilaku dan akhlakku belum luhur. Aku juga tidak akan pulang sebelum
mendulang ilmu sebanyak-banyaknya.”2
Syafi`i berangkat ke Madinah dengan waktu tempuh 8 hari. Selama
dalam perjalanan ke Madinah, Syafi`i mengkhatamkannya al-Qur‟an 16
kali.Hal ini sangat menakjubkan walaupun diketahui bahwa beliau hapal
al-Qur‟an. Berarti satu hari khatam 2 kali. Jika masa istirahat atau tidur itu
8 jam, maka dalam 16 jam khatam dua kali. Berarti waktu mengkhatamkan
al-Qur‟an membutuhkan waktu 8 jam. Per jam berarti Syafi`i rata-rata bisa
membaca atau menghapal al-Qur‟an 3,75 juz. Dengan demikian, rata-rata
16 menit untuk mengkhatamkan 1 Juz al-Qur‟an. Sampai saat ini
pencapaian seperti ini masih sangat istimewa. Kemudian, ini juga menjadi
dalil bagaimana sungguhnya Imam Syafi`i dalam menuntut ilmu.
Sesampainya di Madinah, Syafi`i menjumpai Gubernur Madinah
dan menyampaikan tujuannya untuk belajar dengan Malik bin Anas.
Sangat mengejutkan bahwa Gubernur Madinah berujar bahwa berjalan dari
Mekah ke Madinah jauh lebih mudah baginya daripada menjumpai Malik
bin Anas seorang ulama besar Madinah. Begitu pun Gubernur tersebut
esok harinya menemani Syafi`i.
Sesampainya di rumah Malik bin Anas, Gubernur dan Syafi`i tidak
dengan mudah menemui Malik. Malah Malik menilai rekomendasi itu
tekanan penguasa terhadap dirinya. Imam Malik mencampakkan surat dari

1
Mukhlis M. Hanafi, Biografi Lima Imam: Imam Syafi`i, (Jakarta: Lentera Hati,
2013), h. 51.
2
Ibid., h. 52.

225
Gubernur Mekah yang diberikan langsung oleh Gubernur Madinah dengan
mengatakan, “Apakah ilmu Rasulullah diunduh dengan cara semacam ini?
Lewat surat dan tekanan dari penguasa?”.
Sikap lantang terhadap pejabat, pernah dilakukan oleh seorang Kyai
di Jawa Timur, ketika seorang presiden ingin berjumpa dengannya di
sebuah kota Kabupaten, mengingat jauhnya jarak dari kota ke pesantren
Kyai tersebut, sang presiden mengutus Bupati untuk memanggil Kyai
tersebut untuk bisa silaturrahmi dengan presiden. Sang Kyai bukannya
senang dipanggil bertemu dengan presiden, ia balik marah, kenapa sebagai
tuan rumah, ia mau diatur-atur, sehingga presiden datang langsung ke
pesantrennya, walaupun jalan yang jelek lah alasan presiden tidak datang
ke pesantren tersebut. Alasan itu jugalah yang digunakan Kyai untuk
mengatakan kepada presiden untuk membangun jalan dengan bagus,
akhirnya jalan aspal pun dibangun. Di sini pun wibawa sang Kyai terlihat
kuat sekalipun di mata seorang kepala negara.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat pun mengatakan, figur Kyai yang
kharismatik masih bisa dijumpai di Indonesia, walaupun setinggi apa
jabatan alumni pesantren itu, kalau ia berjumpa dengan Kyainya, ia tidak
berani meninggikan diri. Wibawa mantan muridnya walaupun menjadi
menteri contohnya, tetap lebih rendah dibanding Kyainya. Hal itu, pernah
beredar informasi bahwa K.H. Hasan Abdullah Sahal berkunjung ke kantor
Menteri Agama, dimana menterinya Lukman Hakim Saifuddin, alumni
Gontor. Ketika Lukman Hakim bertemu dengan Kyainya, Lukman Hakim
bersikap malu dengan mengatakan, kenapa sang Kyai tidak meneleponnya.
Jika ditelepon, sang menteri bisa menjumpai Kyainya bukan Kyainya yang
mendatangi sang murid.
Nyata benar kharisma Imam Malik bin Anas padahal ia sedang
berhadapan dengan Gubernur. Imam Syafi`i dengan cerdas mencoba
mengatasi kesalahpahaman itu dengan maju mendekati Imam Malik.
Syafi`i dengan ta`zim dan tawadu‟ dan mengatakan, “Semoga Allah
menjadikan engkau seorang yang saleh. Akulah lelaki yang bermaksud
menimba ilmu kepadamu itu. Dan aku adalah seorang dari Bani
Muththalib”.

226
Mendengar suara Imam Syafi`i, Imam Malik berbalik melembut dan
menerimanya menjadi murid dan mengatakan, “Sesungguhnya engkau
akan memiliki suatu pengaruh yang besar kelak.” 3 Dugaan Imam Malik
bin Anas ini terbukti sampai sekarang bahwa pengikut madzhab Syafi`i
sangat besar dalam dunia Islam.
Seseorang yang keras sifatnya, bisa berubah menjadi lembut karena
sesuatu atau karena seseorang. Abu Bakar begitu lembut sifatnya, tetapi
terhadap yang ingkar membayar zakat justru ia lebih keras dibandingkan
dengan Umar bin Khattab. Sebaliknya Umar bin Khattab yang terkenal
keras dalam beberapa hal, ternyata bagi yang mereka ingkar membayar
zakat setelah kematian Rasulullah Saw. cenderung lebih lembut dari Abu
Bakar. Penulis pernah melihat seorang pemabuk pada waktu kecil, jika ia
marah tidak ada yang bisa mengatasi kecuali dua orang. Satu saudaranya,
yang kedua temannya. Jika salah satu dari mereka datang, kegalakan
pemabuk itu berubah dengan sikap lembut dan baik, serta menurut perintah
dan larangan kedua orang tersebut.
Imam Syafi`i bukan saja diterima sebagai murid bagi Imam Malik
bin Anas, bahkan Syafi`i pun tinggal di rumahnya dan dinafkahi olehnya.
Bisa dikatakan Imam Syafi`i murid kesayangan Imam Malik bin Anas.
Setelah belajar kurang lebih delapan bulan dengan Imam Malik bin
Anas, Imam Syafi`i ingin melanjutkan belajar ke Kufah, karena di sana
banyak ulama murid Imam Abu Hanifah dan sekaligus mereka banyak
juga yang menjadi murid Malik bin Anas. Di Kufah sebagaimana disebut
Mukhlis M Hanafi banyak alumnus Madrasah Malik bin Anas. Keinginan
Syafi`i ini pun direstui gurunya Malik bin Anas. Malik bin Anas memberi
bekal kepada Syafi`i 46 dirham dan biaya perjalanan ke Kufah 4 dirham.
Syafi`i bertanya, darimana sumber uang yang diberikan kepadanya. Itu
menunjukkan bahwa uang 50 dirham itu sangat banyak pada saat itu.
Imam Malik bin Anas menjawab bahwa ia menerima hadiah 100 dirham
dari Ibn al-Qasim.
Syafi`i kali ini melanjutkan petualangan intelektual ke Kufah.
Perjalanan Madinah-Kufah membutuhkan waktu 24 hari. Artinya, jauhnya

3
Ibid., h. 57.

227
Kufah dari Madinah sebanding dengan 3 kali perjalanan Mekah-Madinah.
Madinah-Kufah tidak melewati kota Mekah, sehingga ia tidak melihat
ibunya, tapi langsung ke Kufah.
Di Kufah Imam Syafi`i belajar dan mengajar selama 2 tahun. Ia
belajar dengan ulama besar Imam Muhammad bin al-Hasan yang
dermawan. Ia adalah sahabat dan sekaligus murid dari Imam Abu Hanifah.
Untuk kepentingan hidup dan thalabu al-`ilmi Syafi`i, Muhammad bin al-
Hasan menghadiahkan 3000 dirham. 4 Jika 50 Dirham yang diberikan oleh
Imam Malik bin Anas saat itu sudah dirasakan banyak, maka 3000 dirham
tentu sangat banyak dan boleh jadi biaya hidup 2 tahun cukup.
Setelah dua tahun di Kufah, Syafi`i kembali ke Madinah lewat
Palestina. Di Madinah ia berjumpa dengan guru yang sangat ia hormati.
Syafi`i kembali diajak Imam Malik tinggal di rumahnya. Syafi`i menjadi
asisten Imam Malik selama 4 tahun sampai gurunya meninggal dunia.
Setelah wafatnya Imam Malik, Syafi`i tidak lagi ada yang menopang
secara ekonomi, sampai ia diajak oleh Gubernur Yaman sebagai penasihat
pribadi disamping menjadi guru.
Di Yaman Imam Syafi`i menikah dengan Hamdah, keturunan
bangsawan dan termasuk dari garis keturunan Usman bin Affan. Di Yaman
ini, Syafi`i mendapat fitnah orang yang memberontak kepada penguasa
resmi. Untunglah dengan kepiawaian dan kecerdasan Syafi`i, ia tidak
dihukum mati oleh penguasa. Setelah bebas dari tuduhan makar, ia
ditawari jabatan Qadhi di Yaman. Imam Syafi`i menolak dan memilih
untuk hijrah ke Mesir. Walaupun kecewa Khalifah Harun al-Rasyid
mengabulkan permintaan Syafi`i untuk hijrah ke Mesir.
Syafi`i tidak langsung ke Mesir, tetapi ia kembali ke Mekah. Pada
saat itu, ibunya telah meninggal. Di Mekah Syafi`i kembali mengajar
sampai ia mendengar bahwa ulama-ulama besar di Kufah banyak yang
meninggal. Syafi`i kembali mengunjungi Kufah, tetapi karena suasana
politik, keberpihakan penguasa pada paham Mu`tazilah, ia kembali hijrah
menuntut ilmu ke Mesir.
Mesir adalah pengembaraan Syafi`i yang terakhir. Pada tahun 198
H. Syafi`i sampai di Mesir, Gubernur Mesir yang baru saat itu Abbas bin

4
Ibid., h. 71.

228
Musa menawarkan Syafi`i untuk tinggal bersamanya di rumah dinas, tetapi
beliau menolak. Akhirnya beliau tinggal dengan Abdullah bin Hakam,
alumnus Madrasah Imam Malik Madinah.
Di Mesir pada awalnya berbeda dengan kondisi halaqah Imam
Syafi`i di Mekah, Madinah, dan Kufah yang menyedot perhatian besar. Di
Mesir pada mulanya halaqah Imam Syafi`i sepi. Pengaruh madzhab Maliki
sangat besar di Mesir kala itu. Akhirnya ia juga berhasil mendapat
perhatian, dimana Mesjid Raya `Amr bin Ash pada mulanya terdapat 20
halaqah, akhirnya dengan pengaruh Imam Syafi`i tinggal 3 halaqah lagi.
Di Mesir inilah ia habiskan umurnya sampai ia meninggal.
Menjelang kematiannya, Imam Syafi`i sakit dan sering dikunjungi
oleh murid-muridnya. Saat sakit itu, muridnya al-Muzani pernah bertanya
kabar gurunya, Syafi`i menjawab, “Aku tengah akan beranjak dari dunia,
akan terpisah dari sanak saudara, akan menerima balasan atas sikapku
yang tercela, akan mereguk cawan kematian, dan tengah menempuh
perjalanan menuju pulang menuju Tuhan. Demi Allah, aku tidak tahu
apakah ruhku digiring menuju surga sehingga aku berbahagia ataukah
menuju neraka sehingga aku berduka”. Air mata Syafi`i pun mengalir. 5
Kepada muridnya Yunus bin Abdul A`la meminta, “Wahai Yunus
bacakanlah untukku surah Ali Imrah ayat 120 ke atas. Perlahan saja, tidak
perlu cepat-cepat”. Dikunjungi, kemudian Syafi`i melanjutkan, “Jangan
lupakan aku. Sebab, aku tengah menghadapi ajal”. 6 Ini suatu ungkapan
yang menarik dimana kepergiannya di bawah kesadaran dengan
pengetahuan yang mendalam tentang kematian.

B. Pemikiran Pendidikan Islam Imam Syafi`i


Di antara empat imam madzhab Sunni, Imam Syafi`i orang yang
paling banyak mengembara dalam menuntut ilmu. Bahkan saat beliau
menjadi guru dalam sistem halaqah-halaqah di sekitar Ka`bah dekat sumur
Zamzam, di Mesjid Nabawi Madinah, di Mesjid Kufah, dan Mesjid `Amr
bin Ash, ia tetap menuntut ilmu kepada guru. Bahkan sewaktu di Mekah,

5
Ibid., h. 243.
6
Ibid., h. 244-245.

229
Sufyan ibn Uyainah menjadi guru murid baginya. Guru dalam bidang
hadits, murid dalam bidang fiqh dan Tafsir.
Tidak berhenti menuntut ilmu telah diperankan secara baik oleh
Imam Syafi`i. Beliau juga menekankan untuk berkelana atau melakukan
rihlah ilmiah. Karena Imam Syafi`i adalah ahli dalam Syi`ir bahkan ia
mengatakan jika tidak ada ulama yang mencela, ia bisa menjadi penyair
terbaik dan lebih baik dari Labid, seorang penyair Mekah yang hebat pada
saat itu. Melalui syairnya hal tersebut dapat dipahami.

‫ما ِف املقاـ بذي عقل و ذي أدب من راحة فدع األوطاف واغرتب‬


‫سافر ِتد عوضا عن تفارقو وانصب‬
‫فإف لذيذ العيش ِف النصب‬
‫إِن رأيت وقوؼ املاء يفسده إف ساؿ طاب‬
‫وإف َل يصل َل يطب‬
‫األسد لو ال فراؽ الغاب ما افرتست‬
7
‫السهم ولوال فراؽ القوس َل يصب‬
Artinya, Bagi yang berakal dan terdidik, menetap bukanlah kenyamanan.
Tinggalkan lah negerimu dan berkelanalah. Merantaulah, niscaya kamu
mendapatkan pengganti yang kamu tinggalkan dan kemudian berjuang.
Sungguh saya melihat air yang diam itu tidak baik dipandang, jika ia
mengalir, tentu akan dilihat indah, kalau tidak, maka akan jelek dipandang.
Singa saja jika tidak keluar dari hutan, ia tidak akan dapat memangsa dan
busur pun tidak bermakna apa-apa seandainya anak panah tidak terlepas.
Dari Sya`ir itu dapat dipahami, bahwa berdiam di satu daerah, tidak
mencoba belajar ke berbagai tempat bagaikan air yang diam, tidak

7
Mukhlis M. Hanafi, Biografi Lima Imam Madzhab Imam Syafi`i, (Jakarta:
Lentera Hati, 2013), h. 63-64.

230
mengalir. Air yang diam tidak lebih baik dipandang daripada air yang
mengalir. Al-Qur‟an menggambarkan surga itu, di bawahnya ada sungai
yang mengalir airnya. Orang yang tidak mau melakukan rihlah ilmiah
bagaikan singa yang tidak mau keluar dari hutan. Jika ia bertahan di hutan,
ia tidak akan bisa memangsa dan tidak kelihatan hebat. Busur itu pun tidak
fungsional jika anak panah tidak dilepaskan darinya. Ia akan mengenai
sasaran jika telah dilepas.
Semangat rihlah ilmiah ini berabad-abad kemudian diungkapkan
oleh pembaharu Mesir, Syaikh Muhammad Abduh yang mengatakan
bahwa “al-safaru min arkân al-tarbiyah: berkelana adalah wajib dalam
menuntut ilmu”
Menuntut ilmu jauh dari kampung halaman secara psikologis bisa
menjadi daya dorong untuk melahirkan kesungguhan karena modal
ekonomi dan psikologis dirasakan lebih besar dibandingkan mereka yang
menuntut ilmu di kampung halaman. Keunggulan menuntut ilmu di suatu
daerah yang maju bukan berarti menutup kemungkinan ada juga
keunggulan menuntut ilmu di daerah lain. Bagi orang Jakarta, boleh saja
mengatakan ada UI, UIN, UNJ perguruan tinggi yang maju, maka untuk
apa mengadakan rihlah ilmiah ke daerah lain. Ketiga perguruan tinggi itu
boleh saja memiliki keunggulan dalam hal tertentu tetapi keunggulan
lainnya justru didapatkan di daerah lain. Intinya belajar perlu melakukan
rihlah ilmiah untuk memperdalam atau untuk kepentingan perbandingan,
dsb.
Imam Syafi`i yang lahir dalam keadaan yatim dan miskin, didukung
oleh semangat yang tinggi, kecerdasan, kreativitas yang baik, dan juga
nasib baik atas bantuan para dermawan. Sewaktu di Mekah, sebagai orang
miskin, membeli buku dan alat tulis pun Syafi`i kesulitan. Kesulitannya
ditutupi oleh semangat dan kecerdasannya dalam menghapal.
Metode belajar pada waktu itu, dimulai dari guru mendiktekan
pelajaran dan murid menulisnya. Karena Syafi`i tidak punya buku, maka ia
mencoba menulis di atas kertas bekas yang ia pungut dari perkantoran.
Terkadang ia juga menulis di atas daun dan kulit hewan. Syafi`i menyadari
ilmu itu bagaikan hewan buruan yang harus diikat dengan tulisan. Hal ini
disebutkan dalam sya`ir yang dipercaya dari Syafi`i yang berbunyi.

231
‫العلم صيد و الكتابة قيده‬
‫قيد صيودؾ باَلباؿ الواثقة‬
‫فمن ااَلماقة أف تصيد غزالة‬
8
‫و ترتكها بني اْلالئق طالقة‬
Artinya, “Ilmu itu bagaikan binatang buruan sedangkan tulisannya sebagai
pengikatnya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Sungguh sikap yang
bodoh kamu telah menangkap seekor rusa dan kemudian kamu tinggalkan
tidak terikat di keramaian orang banyak.”
Dengan keterbatasan ekonomi, Syafi`i juga menggunakan
kemampuannya untuk menghapal. Terkadang sewaktu guru mendiktekan
pelajaran, Syafi`i mencoba menghapalnya. Begitu guru selesai
mendiktekan dan yang menulis berusaha menghapalnya, Syafi`i telah
hapal pelajaran itu.
Metode menghapal juga tidak mungkin ditinggalkan dalam
pendidikan walaupun memperhatikan mata pelajaran tidak semua cocok
secara dominan menggunakan metode itu. Selain itu, metode menghapal
juga harus memperhatikan kelemahan orang yang belajar.Menurut Prof.
Dr. Roem Rowi, anatomi otak orang Indonesia tergolong lebih lemah
dalam menghapal dibandingkan orang-orang Timur-Tengah pada
umumnya. Hal itu bisa dilihat bagaimana sistem pendidikan TImur Tengah
yang dominan menggunakan metode menghapal sampai tingkat
pendidikan Doktor. Orang Indonesia tergolong tidak banyak yang mampu
menyelesaikan pendidikan S2 dan apalagi S3 seperti di Universitas al-
Azhar Mesir atau di Universitas Madinah. Secara parsial, orang Indoneisa
juga ada yang bagus hapalannya, Kemampuan menghapal orang Indonesia
pada umumnya masih lebih bagus dibandingkan orang-orang Barat,
sehingga tidak heran kalau sistem pendidikan Barat tidak memprioritaskan

8
Dikutip dari Mukhlis M Hanafi, Biografi…, h. 28.

232
metode menghapal dalam pendidikan. Begitu pun sampai umur 18 tahun
atau sampai pendidikan Sekolah Menengah Atas, kemampuan menghapal
orang Indonesia pada umumnya masih tergolong bagus. Itu mungkin salah
satu alasan, kenapa metode menghapal dalam pendidikan Perguruan
Tinggi di Indonesia tidak banyak diterapkan.
Walaupun metode menghapal tidak cocok untuk semua pelajaran,
tetapi menghapal pelajaran itu penting. Hanya saja tidak berhenti pada
hapalan, sehingga tidak seperti pengalaman Syeikh Muhammad Abduh
yang protes dengan dominasi metode menghapal dalam pendidikan
dasarnya tanpa didukung oleh pemahaman yang baik. Bagi Imam Syafi`i
kecil, itu sangat penting karena ketidakmampuannya untuk memiliki alat-
alat tulis. Hal itu dapat dipahami dari sya`irnya,

‫علمي معي حيثما ُيمت يتفعين قليب وعاء لو آل بطن صندوؽ‬


‫إف كنت ِف البيت كاف العلم فيو معي‬
9
‫أو كنت ِف السوؽ كاف العلم ِف السوؽ‬
Artinya, “Ilmuku bersamaku dimana pun aku berada, hatikulah yang
menjadi gudangnya bukan di tempat rak buku. Jika aku di rumah, maka
ilmu adalah bersamaku di rumah atau jika aku di pasar, maka ilmuku ada
di pasar.”
Belajar al-Qur‟an, Hadits, dan Sya`ir tentu sangat membutuhkan
metode menghapal, tetapi tentu tidak berhenti pada hapalan, sehingga cara
membaca dan penghayatannya minus karena ketidakpahaman. Orang yang
melantunkan ayat al-Qur‟an dengan pemahaman yang mendalam, bisa
larut dalam makna yang dibacanya, sehingga emosi turut berekspresi. Jika
isinya tentang surga, boleh jadi emosi gembira lahir pada yang membaca
demikian juga bagi yang mendengar. Jika isinya tentang azab neraka,
boleh jadi emosi kesedihan menyelimuti para pembaca dan pendengarnya.

9
Dikutip dari Mukhlis M Hanafi, Biografi…, h. 31`

233
Tentang moral guru, Imam Syafi`i mengatakan bahwa guru harus
menjadi teladan terhadap apa yang ia sampaikan kepada manusia. 10
Apakah yang akan disampaikan guru harus sudah dilakukannya?
Prinsipnya jangan pandai menyampaikan, tapi bodoh mengamalkannya.
Jika seorang guru belum bisa melaksanakan yang disampaikan, mungkin
bisa dilakukan dengan metode mengajak dengan menjelaskan posisinya
dalam kebaikan itu. Ahli hikmah menyampaikan sesuatu yang mereka
telah kerjakan. Pengetahuan para ahli hikmah turut mendorong diri mereka
untuk melakukan kebaikan. Untuk itu, ketika mereka menyampaikan
serangkaian kebaikan, orang lain turut terdorong untuk mengikutinya.
Perintahnya dituruti dan larangannya dihindari, karena ia menyampaikan
dengan penuh wibawa.
Apa yang disampaikan oleh ahli hikmah itu boleh jadi biasa saja,
yang luar biasa, penuturnya adalah teladan terhadap apa yang disampaikan.
Itulah kenapa dapat dipahami omongan Kyai sering kali menarik didengar
orang lain, sementara boleh jadi ada seorang Profesor menyampaikan hal
yang baik, tetapi mahasiswanya atau yang mendengarnya tidak tertarik
untuk mengikutinya. Itu salah satunya karena Profesor tersebut tidak
menjadi teladan terhadap apa yang disampaikan. Ahmad Amin
mengatakan dalam Kitâb al-Akhlâq bahwa metode pendidikan akhlak yang
baik itu, salah satunya dengan teladan. Perilaku jauh lebih efesien
dibandingkan perkataan dalam hal pendidikan akhlak.
Imam Syafi`i mengatakan sebelum memperbaiki perilaku orang lain,
mulai dulu memperbaiki diri sendiri, mata mereka menyertai matamu,
yang baik menurut mereka apa baik menurutmu, yang buruk menurut
mereka apa yang engkau benci. Setiap orang hendaknya tidak melakukan
sesuatu yang ia benci. Jangan mengatakan sesuatu, engkau sendiri tidak
suka mendengarnya.
Sikap belajar dapat dipahami dari ungkapan Imam Syafi`i, jika
seseorang mendengar dengan telinganya, hendaknya suatu saat ia akan
menceritakannya. Dengan demikian, yang didengar oleh telinga pun

10
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
210.

234
hendaknya yang baik, karena menceritakan yang tidak baik membuat
pelakunya malu. Siapa yang meresapi sesuatu dengan hatinya, hendaknya
ia akan sadar. Sesuatu yang sudah merasuk dalam hati hendaknya
berimplikasi terhadap kesadaran. Bersedih sewaktu melihat orang yang
meninggal, tetapi tidak sadar untuk mempersiapkan kematian yang baik,
itu tercela.

C. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Syafi`i


Para ulama sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra orang yang luas
ilmunya dan juga menjadi teladan moral, maka Imam Syafi`i pun punya
pemikiran-pemikiran tentang akhlak. Dalam bergaul kata Imam Syafi`i
hendaknya bergaul dengan orang-orang baik dan tidak berteman dengan
mereka yang bermoral buruk.

11
‫عاشر كراـ الناس تعش كرُيا وال تعاشر الئاـ فتنسب إَل اللؤـ‬
Artinya, “bergaullah dengan orang mulia, niscaya kamu hidup mulia dan
jangan bergaul dengan orang yang hina, maka kamu akan menjadi hina”.
Ucapan Imam Syafi`i di atas, jika dihubungkan dengan faktor
belajar dalam psikologi pendidikan, maka hal tersebut sesuai dengan aliran
emperisisme. Aliran emperisisme adalah berpendapat bahwa pengalaman
dengan lingkungan yang mempengaruhi belajar. Orang bodoh saja ketika
berada di lingkungan orang-orang pintar, bisa menjadi pintar. Bodoh di
tengah-tengah orang pintar, bisa membuat seseorang pintar. Itu bisa lebih
bagus daripada pintar di tengah-tengah orang bodoh.
Mencari lingkungan “intan dalam intan” bukan “intan dalam
lumpur” lebih tertantang untuk maju. Berteman dengan orang-orang baik,
ada kemungkinan seseorang menjadi baik. Ada teori dalam pendidikan
akhlak bahwa perilaku buruk itu menular (‫ء اٌخٍك يؼذي‬ٛ‫)ص‬. Pepatah ini
sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah

11
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
211.

235
‫و إف سوء اْللق يفسد العمل كما سفسد الصِب العسل‬
Artinya, “Sesungguhnya akhlak yang buruk itu merusak perbuatan,
sebagaimana sabar dirusak oleh madu.”
Prof. Dr. Komaruddin mengatakan bahwa ilmuan banyak yang
idealis ketika di kampus. Ketika mereka menjadi pejabat, idealisme itu
luntur. Idealisme bisa disebut sebuah kesabaran, jabatan yang di dalamnya
ada “pundi-pundi rupiah” merusak idealisme itu. Persaudaraan,
persahabatan, keharmonisan keluarga juga sering kali dirusak oleh “madu”
yang bernama rupiah.
Kehormatan itu menurut Imam Syafi`i didapatkan lewat empat hal,
yaitu budi pekerti yang luhur, kedermawanan, kerendahan hati, dan ibadah.
Kesempurnaan seseorang dilengkapi dengan empat hal, yaitu agama,
amanah, menjaga kehormatan, dan menghindari sikap yang kasar.12
Imam Syafi`i mengatakan,

‫ ورغب ِف مودة من الينفعو و قبل‬,‫أظلم الظاملني لنفسو من تواضع ملن ال يكرمو‬


‫مدح من اليعرفو‬
Artinya “orang yang paling zhalim terhadap dirinya, merendah (tawadu`)
terhadap orang yang ia tidak muliakan, menyukai orang yang tidak ada
manfaat baginya, dan menerima pujian yang ia tidak mengenalnya”13
Rendah hati dalam bahasa Arabnya (‫اضغ‬ٛ‫)ر‬, berasal dari kata -‫ضغ‬ٚ
‫ يضغ‬yang artinya meletakkan. Meletakkan dasarnya di tempat yang rendah.
Seorang presiden ketika berbicara dengan rakyat, posisinya secara sosial
tentu lebih tinggi di sebuah negara. Ketika presiden meletakkan dirinya
seperti rakyat biasa dengan sikap, perkataan, pemikiran layaknya sebagai
rakyat, sehingga batas psikologis antara presiden dengan rakyat semakin
dekat dan bahkan diletakkan sejajar, maka hal itu bisa disebut tawadu`.

12
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
210.
13
Ibid, h. 211.

236
Seorang Panglima TNI yang berpangkat Jenderal ketika bermasyarakat,
memposisikan dirinya seperti rakyat biasa, sehingga di masyarakat secara
sosial, panglima itu tidak memperlihatkan dirinya secara eksklusif. Dia
bergaul dengan masyarakat seperti layaknya orang lain, sehingga batas
psikologis dan sosialogis tidak terlihat secara jelas. Itu pun disebutkan
tawadu`, karena panglima itu meletakkan batas sosialnya yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah, sehingga ia sejajar dengan masyarakat biasa.
Ketika seorang rektor, duduk bersama dosen, rektor tersebut tidak
kelihatan batas-batas psikologis dan sosiologisnya. Ketika rektor duduk
bersama mahasiswa juga tidak kelihatan batas-batas psikologis dan
sosiologisnya. Demikian juga ketika rektor itu duduk dengan masyarakat,
batas-batas psikologis dan sosiologisnya itu pun tidak kelihatan. Itu juga
menjadi contoh dari tawadu`. Eksklusivisme, elitisme, dan sikap high
profile adalah sikap yang bertentangan jauh dengan tawadu`.
Menurut Imam Syafi`i, tawadu` terhadap orang-orang yang tidak
pantas dihormati karena keburukan mereka, itu orang yang paling zhalim
terhadap dirinya. Tawadu` dibutuhkan kepada orang-orang baik. Terhadap
orang yang tidak baik, tidak diperlukan tawadu‟. Terhadap “Abu Jahal,
Abu Lahab, Namrud, dan Fir`aun” tidak boleh tawadu` karena itu sikap
menzalimi diri sendiri. Bersikap tawadu` terhadap koruptor, pengkhianat,
tukang fitnah, tukang adu domba, itu tidak diperlukan. Bersikap tawadu`
terhadap yang menistakan agama, itu sikap yang ironis. Dalam makna
seperti inilah dapat dipahami pepatah orang Arab.

‫من تفخر باملاؿ و النسب فإف فخرنا بالعلم و األدب‬


Artinya, “Siapa yang menyombongkan harta dan keturunannya, maka
kesombongan kita dengan ilmu dan adab.”
Imam Syafi`i juga menyebutkan bahwa menyukai sesuatu yang
tidak ada manfaatnya juga sikap yang menzhalimi diri sendiri. Mungkin
saja orang main game berdalih bahwa manfaatnya untuk hiburan. Boleh
jadi aktivis “FB” dan “WA” menyebut bahwa kerjaan mereka pun
bermanfaat. Manfaat itu bisa dilihat dari perspektif yang variatif. Dari sisi

237
maqashid al-syari`ah, apakah perkejaan itu berhubungan dengan hifz al-
din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-`aql (menjaga
akal), hifz al-mâl (menjaga harta), dan hifz al-nasl (menjaga keturunan).
Dari perspektif akidah, apakah pekerjaan itu meningkatkan ketakwaan,
upaya menjadi orang muhsinin, meninggikan iman, dan memperkuat
Islam. Jika pekerjaan itu mendekatkan diri atau memerankan kemusyrikan,
kemurtadan, kekafiran, kemunafikan, dan kefasikan, maka itu bukan saja
tidak bermanfaat, tapi merusak.
Dari perspektif iman, apakah pekerjaan itu menambah kedekatan
dengan Allah, menumbuhkan kecintaan kepada Rasullah, sesuai dengan
ketentuan Allah dalam al-Qur‟an. Menumbuhkembangkan keimanan
kepada para malaikat, meningkatkan kepercayaan akan datangnya hari
akhirat, dan sesuai dengan konsep qadha dan qadrnya Allah Swt. juga
dinilai bermanfaat.
Dari perspektif fiqh pekerjaan yang bermanfaat berhubungan dengan
kehalalan, keharaman, kebolehan, keutamaan (mandûb), kebencian
(makrûh). Dari perspektif rukun Islam, apakah pekerjaan itu sealur dengan
syahadat, tidak terganggunya kewajiban ibadah shalat, tidak mengganggu
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, tidak merusak kewajiban
berzakat, dan tidak menggugat kewajiban haji bagi yang mampu ke
Mekah.
Dari perspektif akhlak, apakah pekerjaan itu menggangu teori
kebaikan dan keburukan? Jika bertentangan dengan kejujuran, maka hal itu
tidak bermanfaat. Pekerjaan yang ada kebodohan di dalamnya adalah
perbuatan tidak bermanfaat. Pekerjaan atau perkataan atau sikap yang
mengganggu silatarrahmi juga tidak bermanfaat.
Melihat manfaat ini dapat dilihat dari perspektif yang luas sekali dan
mengatakan tidak bermanfaat pun harus menggunakan perspektif tertentu.
Teori manfaat dan mudharat ini sangat berhubungan dengan berbagai teori
yang baik. Baik dari perspektif akidah, syariah, akhlak, fiqh, sosial, politik,
budaya, matematika, fisika, kimia, biologi, antropologi, dsb. Dalam
filsafat, manfaat dan nilai adalah persoalan aksiologi. Mengatakan ada
manfaatnya harus berdasarkan teori, sebaliknya mengatakan tidak ada
manfaatnya alias sia-sia juga ada teorinya. Jika asik bermain WA akhirnya

238
aktivitas mencari nafkah terganggu, tentu pekerjaan itu tidak bermanfaat,
maka mencintai pekerjaan WA, orang yang paling zhalim. Mencintai
orang yang tidak bermanfaat buat kita juga bagian dari kezhaliman. Imam
Syafi`i juga mengatakan bahwa orang paling zhalim terhadap dirinya,
yaitu orang yang menyukai orang yang tidak menjaga haknya.

‫إف أظلم الناس لنفسو من رغب ِف مودة من ال يراعي حقو‬


Artinya, “Sesungguhnya manusia paling zalim terhadap dirinya adalah
orang yang menyukai orang yang tidak menjaga haknya.”
Imam Syafi`i juga mengatakan, menerima pujian haruslah dari
orang yang dikenal, jika tidak, maka kita tidak tau apa maksud pujian itu.
Untuk itu, jangan buru-buru menerima pujian dari yang tidak dikenal.
Begitu ia memujimu, bisa jadi ternyata ia akan membahayakanmu. Itulah
sebabnya menerima pujian hendaknya dari orang yang dikenal.
Masih banyak ungkapan Imam Syafi`i yang berhubungan dengan
akhlak, berikut ini disebutkan beberapa hal yang terpenting.

‫ طبع إبن ادـ علي اللؤـ فمن شأنو أف يتقرب من‬: ‫و يقوؿ الشافعي ِف لؤـ إبن ادـ‬
‫يتباعد منو ويتباعد َّمن يتقرب منو‬
Artinya, “Manusia terbiasa terhadap kehinaan, dimana ia mendekati
siapa yang menjauhinya dan mendekati orang yang menjauhinya.”

‫ وعفا عن‬,‫ و سد خللو‬,‫من صدؽ ِف أخوة أخيو قبل عللو‬:‫ويقوؿ ِف صدؽ األخوة‬
‫زهلل‬
Artinya, “Barang siapa yang percaya terhadap persahabatan, ia menerima
dan memperkuat hujjahnya, serta memaafkan kekeliruannya”

‫ والغم يعدؿ فراقو‬,‫ لسس سرور يعدؿ صحبة اإلخواف‬:‫ويقوؿ ِف صحبة اإلخواف‬

239
Artinya, “Tidaklah menyenangkan selalu bersama teman dan tidak juga
kesedihan selalu berpisah darinya”

‫ من وعظ أخاه سرا فقد نصحو وزاهنومن وعظو عالنية فقد‬:‫ويقوؿ ِف الوعظ سرا‬
‫فلحو وشأنو‬
Artinya, “Barang siapa yang memberi pelajaran bagi temannya secara
diam-diam, maka ia telah menasehatinya dan menjadikannya baik.
Sementara orang yang memberi pelajaran secara terang-terangan, maka ia
telah membongkar kedoknya dan keadaanya”.

D. Menuntut Ilmu
Imam Syafi`i berpandangan bahwa belajar atau menuntut ilmu
memiliki nilai ibadah dan bahkan menurutnya lebih baik dari ibadah shalat
sunat.
‫طلب العلم أفلل من صالة النافلة‬
Artinya, “Menuntut ilmu itu lebih utama dari shalat sunat.”
Pendapat Syafi`i di atas sesuai dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Ibn Majah bahwa menuntut ilmu kewajiban bagi setiap Muslim. Jika
menuntut ilmu wajib, dan shalat sunat hanya dianjurkan, maka tentu
logikanya tepat bahwa menuntut ilmu lebih utama dari shalat sunat.

‫طلب العلم فريلة علي كل مسلم وواضع العلم علي غْي أىلو كمقلد اْلنازر‬
‫اْلوىر واللؤلؤ والذىب‬
Artinya, “menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim. Orang yang
meletakkan kepada yang bukan ahlinya bagaikan orang yang
mengalungkan mutiara, intan, dan emas di leher babi”
Sebutan babi adalah sesuatu yang tidak baik dan merupakan
keburukan. Pertama asosiasinya, babi adalah binatang yang diharamkan
oleh Allah untuk dimakan dagingnya. Itu disebutkan di dalam al-Qur‟an

240
sementara keharaman binatang lain untuk dimakan disebutkan kriterianya
oleh hadits. Selain itu kata alm. Prof. Dr. Zulfikar Siregar, ahli gizi hewan
Universitas Sumatera Utara, babi adalah simbol binatang paling rakus di
bumi ini. Saking rakusnya, kalau tidak ada lagi makanan, ia muntahkan
apa yang ada dalam perutnya kemudian dimakannya kembali. Tidak ada
yang baik dari sifat-sifat babi. Untuk itu, menyebutkan babi adalah simbol
segala keburukan. Jika demikian, belajar dengan guru yang bukan ahli atau
mempercayakan sumber yang tidak ahli bagaikan pekerjaan sia-sia, yaitu
memuliakan yang tidak mulia.
Mulianya menuntut ilmu menurut Syafi`i lebih daripada jihad fi
sabilillah (perang). Menuntut ilmu adalah mulia dan urutannya setelah
ibadah fardh.

‫ قيل لو وال اْلهاد ِف سبيل‬,‫ليس بعد أداء الفرائض شيئ أفلل من طلب العلم‬
‫اهلل؟ قاؿ وال اْلهاد ِف سبيل اهلل‬
Artinya, “tidak ada yang lebih utama setelah ibadah fardh selain menuntut
ilmu. Imam Syafi`i lantas ditanya, bukannya jihad fisabillah. Ia manjawab
bukan”
Menuntut ilmu harus ditempuh walaupun itu jauh. Ungkapan Imam
Syafi`i yang terkenal kepada muridnya bernama Rabi` “ ‫ في‬ٌٛٚ ٍُ‫أطٍت اٌؼ‬
ٓ‫( اٌصي‬tuntulah ilmu itu walaupun ke negeri China). Berikut ini beberapa
kalimat Imam Syafi`I berhubungan dengan menuntut ilmu.

‫ ولكن من طلبو بذلة النفس‬,‫ال يطلب ىذا العلم أحد بامللك وعزة النفس فيفلح‬
‫ وتواضع النفس أفلح‬,‫ وخدمة العلم‬,‫وضيق العيش‬
Artinya, “Ilmu jangan dituntut untuk mencapai kekayaan dan keagungan
jiwa, memang itu pun menguntungkan tetapi siapa yang menuntutnya
untuk pakaian diri, untuk menghindari susahnya hidup, untuk berkhidmat
dengan ilmu, dan untuk tawadu`, itu lebih menguntungkan.”

241
‫ وال يكن بينك وبينو معرفة وال صداقة‬,‫من الُيب العلم فال خْي فيو‬
Artinya, “Barang siapa yang tidak mencintai ilmu, maka tidak ada
kebaikan baginya, tidak ada di antara kamu dan dia pengetahuan dan kasih
sayang.”

‫ ومجاَلم كرـ النفس‬,‫ وحليتو حسن اْللق‬,‫زينة العلماء التقوي‬


‫ال عيب بالعلماء أعظم من رغبتهم فيما زىدىم اهلل فيو وزىدىم فيما رغبهم اهلل‬
‫فيو‬
Artinya, “Perhiasan ulama adalah takwa, permatanya akhlak mulia,
ketampanannya kemuliaan jiwa. Tidak ada aib yang lebih besar bagi ulama
dari kecintaan mereka terhadap dunia dan meningalkan Allah. Zuhud
mereka hendaknya apa yang disukai oleh Allah di dalamnya.”

‫ كيف شهوتك لألدب؟ قاؿ أمسع باَلرؼ منو َّما ال‬:‫رواه املزِن تلميذ الشافعي‬
‫امسعو فتود أعلائي أف َلا أمساعا تتنعم بو مثل تنعمت االذاف" قيل "كيف حرصك‬
‫عليو؟ حرص اْلموع املنوع علي بلوغ لذتو ِف املاؿ" و قيل "و كيف طلبك لو؟ قاؿ‬
‫ "طلب املرأة املللة ولدىا و ليس َلا غْيه‬:
Artinya, Muzni murid Syafi`i bercerita bahwa ia bertanya kepada gurunya,
“Bagaimana ketertarikanmu pada adab?” Syafi`i menjawab, “saya
dengarkan dengan jeli, sehingga saya tidak mendengarkan yang lain,
anggota badanku seakan menikmati suara seperti yang dinikmati oleh
telinga”. Syafi`i ditanya lagi, “Bagaimana kesungguhannya terhadapnya?”,
dia menjawab, “kesungguhan yang total seperti mencapai kenikmatan
harta.”. Ditanya lagi, “Bagaimana kamu mencari?”, dia jawab, “Seperti
seorang wanita yang tersesat mencari anak, dimana ia tidak punya
perhatian kecuali itu”.

242
‫ "العلم مروءة من ال مروءة‬,‫ مسعت الشافعي يقوؿ‬:‫و قاؿ املزِن صاحب الشافعي‬
"‫لو‬
Artinya, Muzni teman Syafi`i berkata bahwa ia pernah mendengar Imam
Syafi`i berkata, “Ilmu itu adalah kehormatan bagi siapa yang tidak punya
kehormatan”.

‫ "ىذا مثل‬,‫عن الربيع بن سليماف قاؿ الشافعي ذكر من ُيمل العلم جزافا فقاؿ‬
‫ يقطع حزمة فيحملها ولعل فيها أفعي تدلغو و ىو ال يدريوِف‬,‫حاطب ليل‬
"‫"مثل الذي يطلب العلم بال حجة كمثل حاطب ليل‬,‫رواية‬
Artinya, Berkata Rabi` bin Sulaiman,“Saya mendengar Syafi`i berkata, „Ia
menyebutkan menuntut ilmu tidak sistematis, „ini seperti orang yang
mengambil kayu bakar di malam hari, dia mengambil seikat kayu bakar,
kemudian membawanya, padahal bisa saja di situ ada ular yang akan
menelannya, sementara ia tidak tahu.” Dikatakan juga, “Orang yang
menuntut ilmu yang tidak punya alasan bagaikan orang yang mecari kayu
bakar di malam hari.”

‫ "من تعلم علما فليدقق فيو‬,‫ مسعت الشافعي يقوؿ‬,‫عن الزعفراِن تلميذ الشافعي‬
"‫لئال يليع دقيق العلم‬
Artinya, Za`farani, murid Syafi`i berkata, saya mendengar guruku berkata,
“Barang siapa yang menuntut ilmu, hendaknya ia memperdalamnya, agar
tidak hilang kedalaman ilmu”

‫ العلم ما‬,‫ "ليس العلم ما حفظ‬,‫ مسعت الشافعي يقوؿ‬,‫عن أيب بكر اْلالؿ يقوؿ‬
"‫نفع‬
Artinya, Abi Bakar al-Khilal mengatakan, saya mendengar Syafi`i berkata,
“Ilmu itu bukan apa yang dihapal, tetapi apa yang bermanfaat”.

243
‫من حلر الدرس بغْي دواة وال ورؽ كاف كمن جاء إَل الطاحوف بغْي قمح‬
Artinya, “Barang siapa yang datang belajar tanpa alat tulis dan kertas,
seperti orang yang datang ke penggilingan gandum yang tidak membawa
gandum pulang.”

,‫ من الذؿ أشياء منها‬,‫ مسعت الشافعي يقوؿ‬,‫عن عبد اهلل بن ُممد البلوي يقوؿ‬
‫"حلور جملس العلم بال نسخة" أي بال كتاب‬
Artinya, Abdullah ibn Muhammad al-Balawi mengatakan, saya mendengar
Syafi`i berkata, “Yang hina itu bermacam-macam, di antaranya,
menghadiri majelis ilmu tanpa buku”.

"‫ ويورث اللغائن‬,‫ مسعت الشافعي يقوؿ "املراء يقسي القلب‬,‫عن الربيع‬
Artinya, Dari Rabi‟ berkata bahwa ia mendengar Syafi`i berkata,
“berdebat akan menyakitkan hati dan mewariskan dendam.”

"‫"ما ناطرت أحدا فأحببت أف خيطئ‬


Artinya, “Saya tidak pernah berdiskusi dengan orang lain yang saya
inginkan ia salah.”

‫ " من إذالة العلم أف تناظر كل من تناظرؾ و تقاوؿ كل من‬,‫عن ابن اَلكيم‬


‫تقاولك‬
Artinya, “Hinanya ilmu setiap orang membahas yang engkau bahas dan
membahas yang engkau katakan”.
Maksud kalimat ini menurut Abdul Ghani Qadar, hendaknya
seseorang tidak terlibat membahas jika ia tidak memiliki kapasitas

244
keilmuan. Mereka itu adalah orang yang sibuk berdiskusi dan membahas
suatu masalah dengan tujuan untuk menang. 14
Ahmad ibn Hanbal mendengar dari al-Syafi`i juga dari Malik bin
Anas dan Muhammad ibn `Ijlan,

‫ من أتقن مسألة‬,‫ من َل يستطع أف يقطع ِبسألة واحدة من العلم‬:‫"نصف العلم‬


"‫واحدة بدقائقها وأدلتها فهو عاَل ِّبا والشك‬
Artinya, Setengah ilmu, “bagi orang yang tidak bisa menyelesaikan
masalah dari suatu ilmu. Adapun orang yang mengetahui suatu masalah
dengan mendalam serta mengetahui dalilnya, maka ia adalah seorang alim
tanpa diragukan.”
Imam Syafi`i jauh hari telah berbicara tentang plagiasi, ia
mengatakan
.‫إذا ذكر الرجل بغْي صناعتو فقد ىض‬
Artinya, “Jika seorang lelaki menyebutkan yang bukan pendapatnya, maka
ia akan hancur”.
Abdul Gani al-Qadar menjelaskan orang yang spesialis dalam suatu
bidang keilmuan, kemudian ia mencampurkan terhadap yang bukan
keahliannya, maka ia telah meletakkan dirinya dalam sasaran kritik,
bahkan olok-olokan, ini adalah kehancuran.15

E. Syafi` Belajar kepada Gurunya


Gurunya Imam Syafii yang terpenting adalah Sufyan bin Uyainah di
Mekah, gurunya dalam bidang hadits dan Malik bin Anas di Madinah,
gurunya dalam bidang hadits dan fiqh.Kedua gurunya itu tergolong
kharismatik dan terkesan keras.

14
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
213.
15
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
213.

245
Sufyan bin `Uyainah ketika mengajar tidak ada yang berani ribut
dan berkata-kata apa, seperti kata alm. Imam Badri, mantan Direktur dan
Pimpinan Pondok Modern Gontor, “jarum jatuh kedengaran”. Saking
tegangnya suasana belajar dengan Sufyan bin `Uyainah, mengucapkan
salam pun tidak berani muridnya. Syafi`i menuturkan kepada muridnya
Rabi` bin Sulaiman. bagaimana ia belajar dengan Sufyan,
.‫يا أبا ُممد ! يأتيك قوـ من أقطار األرض فتليق عليهم يوشك أف يذىبوا ويرتكوؾ‬
"‫ إف تركوا ما ينفعهم لسوء خلقي‬,‫ "ىم إذف ْحقي مثلك‬,‫قاؿ‬
Artinya, “Wahai Ayahnya Muhammad (Panggilan umum kepada orang
yang sudah menikah) Datang kepadamu umat dari penjuru bumi kemudian
kamu berlaku keras, niscaya mereka segera pergi meninggalkan, kemudian
mengatakan, „Mereka dengan demikian bodoh seperti kamu, bila mereka
meninggalkan yang bermanfaat bagi mereka karena buruknya akhlak
mereka.”
Rabi` bin Sulaiman mengatakan bahwa Imam Syafii mengatakan,
“Saya datang kepada Sufyan bin Uyainah, saya tidak mengucapkan salam,
sampai ia memulai dan melirikku dan mengatakan, “‫ويف أصجحذ أصٍحه هللا؟‬:
Apa kabarmu pagi ini, bukankah Allah bersamamu?” Jika ada orang yang
memulai salam kepadanya, ia menjawab dengan keras, “‫ويف “ ”ويف أصجحذ؟‬
‫”أصجحذ؟‬
Adapun “Majelis Belajar” dengan Malik bin Anas, sangat
berwibawa, khidmat, dan terhormat. Tidak ada yang bisa bertanya
walaupun ia seorang pemberani, seorang yang berilmu, dan memiliki
jabatan bicara yang tidak ada relevansinya dengan topik pembahasan dan
pelaksanaannya. Seseorang tidak bisa bertanya kecuali dengan sangat
sopan dan suara yang rendah, dan hendaknya. Tipe pertanyaan yang
diinginkan oleh Malik bin Anas harus lebih susah dari orang yang paling
paham pada biasanya.16 Tidak juga ada yang berani meminta tambahan
belajar hadits dan fiqh jika Imam Malik ingin menyudahinya. Jika
dilakukan, maka imam akan memukul dan mengeluarkannya.

16
Abdul Gani al-Qadar, “Imam Syafi`I” dalam Min A`lam al-Taribyah Jilid I, h.
214-2015.

246
Abu Mush`ab mengatakan, jangan ada orang yang mengatakan ,
“ini, ini”, dan yang lainnya menundukkan kepala mereka, para pejabat
takut-takut dan mereka duduk mendengarkan. Imam Malik mengatakan
untuk suatu masalah, “tidak”, “ya” dan tidak menanyakan, “Dari mana
sumber perkataanmu”.
Ismail al-Fazari pernah minta belajar hadits kepada Imam Malik,
kemudian Imam Malik mengajarkannya 12 hadits, kemudian Ismail
meminta tambah, Malik marah, dan murid-muridnya mengeluarkannya
dari rumah Imam Malik dan membawanya sampai ke jalan. Baqiyah bin
Walid pernah bertanya enam hadits kepada Imam Malik, dan beliau
menjawabnya semua. Kemudian, ia bertanya setelah itu, Malik bin Anas
mengatakan, “‫أوثشد‬: terlalu banyak kamu bertanya”, Imam mengatakan,
“keluarkan dia, maka datang dua orang untuk mengeluarkannya.
Basyar bin Adam mengatakan al-Agdhab bertanya kepada Malik
tentang suatu masalah, kemudian bertanya lagi, Malik menjawab,
kemudian ia bertanya kembali, dijawab Malik juga, setelah itu bertanya
lagi, Malik tidak menjawab. Al-Agdha bertanya kenapa? Malik
mengatakan, “Ya Gulam, „ٓ‫خز ثيذٖ فبر٘ت ثٗ ئٌي اٌضج‬: Pegang tangannya dan
bawa ke penjara”
Al-Agdhab dimasukkan ke dalam penjara, karena Malik memiliki
penjara dimana penjaganya lebih kejam dari polisi. Begitu mau
dimasukkan dalam penjara Agdhab mengatakan, “Saya hakim negara”.
Malik mengatakan, “‫ْ ٌه‬ٛ٘‫راٌه أ‬: Itu memalukan bagimu”. Agdhab
bertanya, apa saya tidak dikembalikan, Malik menjawab, “ٍٗ‫"خً صجي‬:
Lepaskan dia”

247
LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH

A. Pendahuluan
Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Miqat IAIN Sumatera
Utara, Juli-Desember 2010 dan dinilai penting untuk dimasukkan dalam
buku Filsafat Pendidikan Islam yang sedang Anda baca ini.
Muhammad Abduh pengaruhnya sampai sekarang masih kuat,
khususnya di kalangan kaum moderat atau postmodern. Masih hidupnya
pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan menunjukkan
kualitas landasan filosofis pendidikan Islamnya yang baik.
Dalam tulisan ini ada empat konsep filosofis yang digunakan untuk
membangun pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh, yaitu panda-
ngannya tentang manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak.
Muhammad Abduh dalam memandang manusia sebagai makhluk
yang serasi yang memiliki potensi. Potensi tersebut membuatnya semakin
taat kepada Allah SWT. Potensi positif manusia, tidak semua diaktuskan,
dan oleh sebab itulah, manusia bisa berbalik melawan Allah SWT.Untuk
menghindari pengingkaran kepada Allah SWT., manusia membutuhkan
pendidikan.
Muhammad Abduh memandang manusia sebagai makhluk
bermasyarakat sebagaimana pendapat Ibn Khaldun. Dalam bermasyarakat
ada misi-misi yang diperjuangkan, agar hidup dapat tenteram dan aman,
yaitu penegakan keadilan, persamaan derajat, yang pada gilirannya peng-
hambaan hanya kepada Tuhan. Dalam masyarakat harus diatur prinsip-
prinsip bermasyarakat, agar tercapai kehidupan yang aman dan tenteram.
Adapun pandangan Muhammad Abduh tentang ilmu pengetahuan
dapat dilihat dari pendapatnya tentang akal dan wahyu. Abduh cenderung
berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari kandungan. Baginya,
pendidikan akal yang bersifat nativis dimulai sejak kandungan hingga
berakhirnya umur menyusui. Pasca umur manusia dua tahun, pengalaman
akan menggali potensi yang nativis tersebut. Potensi ada yang tergali dan
ada yang tidak. Adapun wahyu membantu akal dalam menemukan
pengetahuan, karena tidak semua hal dapat diketahui oleh akal.

248
Sedangkan akhlak menurut Muhammad Abduh adalah perilaku baik
dan buruk. Akhlak menurutnya bersumber dari al-Qur‟an, hadits, atsar
sahabat, dan tabi‟in. Abduh memandangnya sangat luas, mencakup akhlak
kepada Allah SWT, dan akhlak kepada makhluk. Akhlak kepada makhluk
tentu ada yang bersifat hidup dan mati yang kemudian disebut makhluk
hidup dan makhluk mati. Makhluk yang mati itu terdiri dari benda yang
padat, cair, dan gas. Manusia harus bersikap baik terhadap Allah SWT. dan
semua makhluk berdasarkan ajaran al-Qur‟an, hadits, atsar sahabat, dan
tabi‟in.
Salah satu cara menilai kualitas pemikiran dilihat dari masa
berlakunya (the times of responses). Pemikiran Muhammad Abduh (w.
1905) masih banyak yang hidup sampai sekarang ini, termasuk dalam
bidang pendidikan. Abduh selain dikenal sebagai ahli tafsir, ia dikenal juga
sebagai pembaharu. Salah satu pembaharuannya dalam bidang pendidikan.
Menurut Nurcholis Madjid, Abduh memiliki pemikiran modern,
dipengaruhi oleh Ibn Taimiyah dalam berijtihad, dipengaruhi oleh paham
Wahabiyah dalam hal pemurnian akidah. Ia juga dipengaruhi oleh
pemikiran Mu‟tazilah, dipengaruhi oleh filosof rasionalisme Islam dan
juga sosiolog Muslim Ibn Khaldun dalam kajian empirik. Karena wawasan
modernnya, membuat Abduh menjadi tokoh yang berpengaruh yang tiada
habisnya.1 Ia juga lanjut Nurcholis Madjid mampu menangkap kembali
ajaran Islam yang dinamis dan otentik.2
Komentar di atas telah menempatkan Abduh sebagai seorang yang
istimewa dalam bidang pemikiran Islam karena terbukti warisan ilmiahnya
masih dinikmati para ilmuan sampai sekarang ini.
Salah seorang guru Abduh yang turut secara signifikan
mempengaruhinya adalah Al-Afghani. Ia pembaharu yang menyatakan

1
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. IV,(Jakarta: Paramadina,
2000), h. 173-4
2
Nurcholish Madjid, Kaki Langit dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1997), h.
22. Lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramdina, 1997), h. 53.
Dikatakan juga bahwa gerakan pembaharuan Muhammad Abduh ini diilhami oleh
pemikiran Ibn Taimiyah.
Tentang pengaruh pemikiran pendidikan Abduh di Indonesia baca Mona Abaza,
Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Universitas al-
Universitas al-Azhar, (Jakarta: LP3ES, 1999)

249
bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan,
sedangkan orang yang membuktikan pernyataan itu adalah Muhammad
Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India. 3
Fazlul Rahman mengatakan bahwa Muhammad Abduh adalah
seorang pemhaharu dalam bidang pendidikan di Universitas al-Azhar.4
Setelah ia mengajar di Universitas al-Azhar pelajaran filsafat diajarkan
kembali. Pengajaran filsafat ini merupakan cahaya modernisasi yang
dilakukan oleh Afghani dan Abduh. 5 Al-Afghani adalah pembaharu yang
menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu
pengetahuan.6 Lebih lanjut Fazlul Rahman mengatakan,“Ia adalah seorang
teolog berpengalaman pada garis-garis tradisional, yang merasa yakin
bahwa sains dan Islam tidak mungkin bertentangan dan ia menyatakan
bahwa agama dan pekerjaan ilmiah bekerja pada level yang berbeda.
Karena itu, ia menyuguhkan ajaran dasar Islam dalam batasan-batasan
yang bisa diterima oleh pikiran modern.”7

B. Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh


Charles C. Adams sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis membagi
periode kehidupan Muhammad Abduh8 menjadi tiga: periode
pertumbuhan, periode pemunculan di publik, dan periode puncak karir.9
1. Periode Pertumbuhan (1848-1877 M)
Periode ini berlangsung 29 tahun, dimulai tahun 1848 sampai tahun
1877. Periode ini selain ditandai oleh pertumbuhan fisik juga pertumbuhan

3
Ibid., 318
4
Fazlul Rahman, Islam, (terj.), (Bandung: Pustaka Hidayat, 1994), h. 280. Lihat
juga Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Tafsir al-Qur‟an Kontemporer: Visi dan
Paradigma, (diterjemahkan oleh Moh. Magfur Wachid, (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 4.
Dikatakan bahwa menurut Abbas al-Aqqad Muhammad Abduh adalah „Abqariu al-Ishlah
wa al-Ta‟lim (orang yang genius dalam bidang pembaharuan dan pendidikan. Dalam kata
lain, Abduh adalah seorang ahli pembaharuan Islam dan ahli dalam bidang pendidikan)
5
Fazlul Rahman, Islam…, h. 176
6
Ibid., 318
7
Ibid., 319
8
Lihat Quraish Shihab, ”kata Pengantar” dalam Muhammad Abduh, Tafsîr Juz
„Amma, Diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Cet. V, (Bandung : Mizan, 1999, h. V.
9
Charles. C. Adams, Islam and Modernisin in Egypt, (New York: Pussel &
Russel), 1993, h. 18

250
mental. Periode ini berbicara tentang kelahiran Muhammad Abduh dan
pengalaman pendidikannya.
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1265 H bertepatan dengan
tahun 1848 M10 di sebuah desa Propinsi Gharbiyyah Mesir.11 Ayahnya
bernama Abduh Ibn Hasan Khairullah. Ia lahir dalam keluarga petani yang
hidup sederhana dan cinta ilmu pengetahuan. 12
Muhammad Abduh pertama kali belajar membaca dan menulis al-
Qur‟an kepada orang tuanya. Selanjutnya, ia belajar al-Qur‟an dengan
seorang hafizh. Dari guru itu ia hapal al-Qur‟an selama dua tahun. 13
Pendidikan berikutnya ia tempuh di Mesjid Ahmadi Thanta. Ia ingin
belajar di Thantha selama dua tahun, tetapi karena dominasi metode
menghapal yang diberikan gurunya, maka ia 14pulang kampung sebelum
dua tahun dengan niat tidak akan kembali belajar lagi.
Pada tahun 1866 M ia menikah dan empat puluh hari dari umur
perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali ke Thanta untuk
belajar.15 Muhammad Abduh tidak pergi ke Thanta, diduga karena
kekesalannya dengan metode pengajaran yang menurutnya tidak tepat.
Muhammad Abduh akhirnya pergi ke tempat pamannya Syeikh Darwisy
Khadr.16 Atas pengaruh pamannya, perubahan mental Muhammad Abduh
terhadap belajar menuju ke arah yang positif, sehingga ia siap kembali ke
Mesjid al-Ahmadi Thanta untuk belajar. Beberapa bulan di Thanta
kemudian ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar Cairo.17
Dari Thanta ke Mesir

10
Baca Harun Nasution, Pembaharuan...., h. 58.
11
Baca Arbiyah Lubis, Muhammad Abduh dan Muhammadiyah, Disertasi, (Jakarta:
Syarif Hidayatullah, 1989), h. 112.
12
Baca Muhammad Mustafa Hidarah, Min A‟lami al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid
V, (Cairo: Maktabah al-Tarbiyah al-‟Arabi li al-Daui al-Khaliji, 1989), h. 290.
13
Ibid. Baca juga Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Syeikh Muhammad
Abduh, Disertasi, (Jakarta : Syarif Hidayatullah, 1993), h. 35.
14
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta:
UI Press, 1987), h. 11.
15
Tidak diketahui pasti siapa identitas istrinya dan apakah ia mengikuti Abduh ke
Thanta yang akhirnya ia (Abduh) lari ke desa Kanisah Urin tempat pamannya tinggal.
16
Baca Abdullah Mahmud Syahata, Manhaj..., h. 9.
17
Harun Nasution, Muhammad Abduh, ., h. 12.

251
Dalam rangka memantau perkembangan studi Muhammad Abduh,
Syeikh Darwisy Khadr meluangkan waktunya untuk datang ke Mahallat
Nasr. Di kampung itulah pamannya berdialog dengannya tentang
pelajaran-pelajaran di al-Azhar. Mereka berdialog secara khusus tentang
ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di al-Azhar.18 Menurut Ahmad
Amin juga, membaca buku ilmu alam, falsafah, geografi, dan ilmu-ilmu
lainnya dianggap haram. Bahkan memakai sepatu pun dianggap bid‟ah.19
Ilmu-ilmu dunia yang ditanyakan oleh pamannya ia dapatkan di luar
Universitas al-Azhar. Falsafah, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan
politik Abduh pelajari dari Syeikh Hasan al-Tawil. Pelajaran dari Hasan al-
Tawil20 ini tidak memuaskan Abduh sebagaimana pelajaran di Universitas
al-Azhar, sehingga ia lebih tertarik membaca buku di perpustakaan.
Meskipun ia tidak tertarik dengan pelajaran di Universitas al-Azhar, tetapi
ia tetap hadir kuliah, hanya saja di kelas ia membaca buku-buku yang ia
bawa dari rumah.21
Dalam suasana ketidakpuasan wawasan keilmuan dan metode
pengajaran baik di Universitas al-Azhar maupun di luarnya, Jamaluddin al-
Afghani datang ke Mesir, ketika itu ia (Afghani) dalam perjalanan ke
Istambul. Muhammad Abduh bersama teman-temannya mengambil
kesempatan untuk berdialog dengan Jamaluddin al-Afghani di
penginapannya. Dalam dialog itu Jamaluddin al-Afghani mengajukan
beberapa pertanyaan kepada mereka tentang arti ayat al-Qur‟an. Kemudian
Afghani memberikan tafsirnya sendiri secara rinci dan luas.22
Metode pengajaran yang diterapkan Jamaluddin al-Afghani
dinamakannya dengan metode praktis yang mengutamakan pengertian
dengan cara berdiskusi. Di samping itu, Afghani juga mengajarkan
pengetahuan teoretis. Pendidikan praktis lainnya berupa pidato, menulis
artikel, dan sebagainya.23 Aktivitas Abduh di luar Azhar tidak melalaikan

18
Baca juga Abdullah Mahmud Syahata, .., h. 13.
19
Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 13.
20
Baca juga Abdullah Mahmud Syahata, .., h. 13.
21
Harun Nasution, Muhammad Abduh...,.., h. 13.
22
Darmu‟in, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam,
(Semarang: Pustaka Pelajar, 1999), h. 184.
23
Arbiyah Lubis, .., h. 114.

252
tugasnya sebagai mahasiswa, terbukti tahun 1877 M, ia berhasil lulus
dengan gelar „Alim dan dipilih untuk mengajar di almamaternya. 24

2. Periode Penampilan di Publik (1877-1882 M)


Periode ini dimulai setelah ia tamat dari Universitas al-Azhar tahun
1877 sampai diasingkannya ia ke Beirut 1882. 25 Pada periode ini selain
kegiatan mengajar di berbagai sekolah, 26Abduh juga rajin menulis artikel
untuk surat kabar, terutama al-Ahrâm, yang mulai terbit tahun 1876.
Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab,
karang-mengarang, politik, agama, dan sebagainya. 27 Selain kegiatan
intelektual, atas pengaruh gurunya Afghani, ia juga terlibat dalam kegiatan
politik. Campur tangan kolonial Inggris dan Perancis terhadap Mesir
sangat ditentang oleh Afghani. Afghani membangkitkan nasionalisme
Mesir yang telah dirintis oleh al-Tahtawi dan selanjutnya ia mendirikan al-
Hizb al-Wathani, Partai Nasional Mesir. Pandangan-pandangan politik
Afghani ditransfer oleh Muhammad Abduh dalam kuliah-kuliah dan
tulisan-tulisannya di surat kabar.28
Meskipun Muhammad Abduh telah terlibat dalam pemikiran dan
aktivitas politik Afghani, namun pada dasarnya ia tidak setuju dengan ide
nasionalisme Mesir. Oleh karena itu, Muhammad Abduh dalam
pemberontakan Urabi Pasya menentang penguasa dan parlemen tidak
terlibat aktif. Menurutnya, rakyat Mesir belum matang untuk kehidupan
parlemen. Namun setelah gerakan Urabi Pasya berobah arah untuk
perlawanan terhadap Barat, ia melibatkan diri dalam gerakan itu dan
akhirnya iapun dipenjarakan selama tiga bulan. 29

24
Harun Nasution, Muhammad Abduh...,h. 161-162.
25
Arbiyah Lubis, .., h. 115.
26
Baca Muhammad Musthafa Hidarah, .., h. 294.
27
Harun Nasutioan, Muhammad Abduh..., h. 15. Baca juga Harun Nasution,
Pembaharuan...,.., h. 61-62. Tentang sepuluh prinsip pembaharuan Universitas al-
Universitas al-Azhar Baca Rasyid Ridha, al-Manâr, jilid VIII, (Cairo: Dar al-Manar, t.t), h.
470-476.
28
Baca Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 15-16.
29
Baca Thahir al-Thanahi, Muzakkirat, (Cairo : Dar al-Hilal, t.t), h. 124. Baca juga
Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 16-17.

253
3. Periode Puncak Karir (1822-1905 M)
Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi
Pasya tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Taufik. Permohonan
Muhammad Abduh untuk mengajar di Dar al-Ulum ditolaknya. Ia
menawarkan kepada Muhammad Abduh jabatan hakim di luar kota Kairo
karena jabatan ini dianggap Khedewi tidak dapat menjadi sarana ampuh
bagi penyebaran pikiran politiknya (Abduh). 30
Berbagai jabatan yang diemban oleh Muhammad Abduh dibuatnya
menjadi sarana untuk pembaharuan. Ada tiga sasaran pembaharuannya,
yaitu : pendidikan, hukum, dan wakaf. Pembaharuan dalam bidang
pendidikan ia pusatkan di Universitas al-Azhar.
Kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam dewan
pimpinan Universitas al-Azhar yang dibentuk atas usulnya ia manfaatkan
untuk mengadakan pembaharuan pendidikan Universitas al-Azhar tidak
hanya menyangkut sistem pengajaran seperti: metode, kurikulum,
administrasi dan kesejahteraan guru, tetapi juga mencakup sarana fisik,
seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan
kesehatan bagi mahasiswa.31
Tahun 1899 ia diangkat sebagai mufti menggantikan Syekh Hasunah
al-Nadawi. Kesempatan ini ia gunakan untuk melakukan pembaharuan
dalam bidang hukum. Usahanya yang pertama adalah merubah pandangan
masyarakat tentang mufti yang ditunjuk negara sebagai penasehat hukum
bagi kepentingan negara. Ia memberikan kesempatan kepada masyarakat
luas untuk menggunakan jasanya.32
Tahun 1892 ia mendirikan organisasi sosial Jami‟at al-Khairiyat al-
Islamiyyat untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yang tidak

30
Baca Rasyid Ridha, Târikh al-Imâm al-Syeikh Muhammad Abduh, Mesir, al-
Manâr, 1931. h. 392 dan 398. Baca juga Abdul al-Muta‟al al-Sha‟idi, al-Mujaddidûna fi al-
Islâm : min al-Qarni al-Awwal ila al-Qorni al-Rabi‟ „Asyar, (Kairo : Makatabah Adab, h.
400-403.
31
Arbiyah, Muhammad Abduh..., h. 117. Baca juga Rasyid Ridha, al-Manâr..., Jilid
VII, h. 488-490.
32
Rasyid Ridha, Târikh..., h. 429. Lihat Juga Rasyid Ridha, al-Manâr..., Jilid
VIII,h. 467-468..

254
mampu dibiayai orang tuanya. Ide ini timbul atas aspirasi pengalamannya
di Eropa.33
Wakaf merupakan salah satu institusi penting karena merupakan
sumber dana yang sangat berarti pada masa itu. Karena administrasi wakaf
saat itu tidak tertib, maka Abduh membentuk Majelis Administrasi Wakaf
dan ia duduk sebagai salah satu anggotanya. Dalam kedudukannya sebagai
anggota Majelis Administrasi Wakaf, ia berhasil mengadakan perbaikan-
perbaikan mesjid. Pada tanggal 11 Juli 1905, ia meninggal dunia. 34

C. Filsafat Manusia Menurut Muhammad Abduh


Untuk membangun konsep pemikiran pendidikan Islam Muhammad
Abduh, tulisan ini akan menggali dari pemikiran filsafatnya tentang
manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan,dan akhlak.
Manusia berdasarkan Surah al-‟Alaq ayat 2, menurut Abduh, pada
masa janin, hari-hari pertama, proses manusia dimulai berupa darah yang
beku (al-„alaq). Tidak ada yang mampu menciptakan dari segumpal darah
yang beku itu menjadi seorang manusia yang dapat berbicara.35 Dengan
ilmuNya,Pencipta dapat dengan mudah melakukannya, karena ia Maha
Kuasa untuk mencipta. Ia Pencipta alam semesta dan segala isinya dengan
keteraturan yang menakjubkan. Semua isi langit dan bumi diciptakan
untuk manusia dan oleh sebab itulah manusia adalah ciptaan Allah Swt.
yang terakhir.
Proses penciptaan manusia yang sudah termaktub dalam al-Qur‟an
sekaligus pengingkaran terhadap teori evolusi pada masa filsafat zaman
Yunani kuno dan teori ovolusinya Darwin pada abad ke-19. Muhammad
Abduh tentu bukanlah orang yang pertama kali menafsirkannya.
Pandangan orisinilnya barangkali bisa dilihat dari uraian berikutnya, ketika
menafsirkan Surah al-Tin ayat empat.

33
Rasyid Ridha, Târikh..., h. 429.
34
Ahmad Amin, Zu‟amâ al-Ishlâh...,.., h. 353.
35
(Bandung: Mizan, 1994), h. 37.

255
Artinya, ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tiin: 4)
Manusia menurut Muhammad Abduh, makhluk yang paling serasi
dan memiliki kepribadian yang paling sempurna juga. Manusia sempurna
bukan saja dari segi fisik yang terdiri panca indra dan seluruh anggota
tubuhnya, tetapi lebih dari itu manusia makhluk yang sempurna yang dapat
berfikir untuk berkreasi dan dengan kreasinya ia bisa menjadi makhluk
yang taat dan bijaksana kepada Allah.
Uraian yang menarik dari Abduh tentang manusia, pendapatnya
tentang makhluk yang paling serasi dan memiliki kepribadian yang paling
sempurna. Jelas Abduh melihat manusia dari potensi yang positif. Tafsiran
potensi positif yang dimaksud abduh adalah potensi akal.
Potensi positif itu ternyata tidak semua diaktuskan oleh semua
manusia. Sebagian mereka berbuat sama dengan binatang, melakukan apa
yang dilakukan oleh binatang tanpa ada rasa malu yang mencegah
kehormatan diri yang mengekang. Lebih-lebih lagi, sebagian orang
menyatakan bahwa manusia tercipta dalam keadaan cenderung pada
kejahatan. Di sinilah Allah menegaskan bahwa Ia telah menciptakan
manusia dengan fitrah yang sebaik-baiknya, baik jiwa36maupun fisik.
Allah memuliakan manusia dengan akal yang dengannya mereka mampu
menjadi pemimpin bagi seluruh alam duniawi. Dengan akal itu pula
mereka mampu menyaksikan apa saja yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Dari keterangan Muhammad Abduh tentang salah satu proses
penciptaan manusia (al-‟alaq) di atas dan kedudukan manusia yang paling
sempurna di antara makhluk lain (ahsan taqwîm), jelaslah bahwa manusia
makhluk yang paling sempurna itu karena keunggulan roh (rûh) yang
terdiri dari akal dan jiwa. Dengan kata lain, manusia tercipta dari bahan
materi dan imateri seperti yang dikatakan Harun Nasution atau jasad dan
ruh seperti yang dikatakan oleh Fazlul Rahman. Dengan akal dan jiwa

36
Baca Muhammad Rasyid Ridlia, Tafsîr al-Manâr. Jilid IV. (Cairo: Dar al-
Manâr. 1365 H). h. 270.

256
inilah manusia dapat tumbuh dan berkembang sehingga bisa melaksanakan
tugas kekhalifahan di muka bumi.37.
Menurut Muhammad Abduh, dalam keaslian fitrahnya, manusia
adalah makhluk yang jauh dari egoisme, dengan hati yang peka dalam
berkasih sayang, sebagaimana yang dapat disaksikan pada diri anak-anak
yang tidak berdosa, mereka hidup penuh kebahagiaan. Demikian juga
anggota masyarakat hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Tetapi
sayang, hal itu hanya berlangsung di masa-masa tertentu saja seperti di
masa kehidupannya yang pertama. Keadaan manusia sesungguhnya mirip
dengan buah tin yang dapat dimakan semuanya, tidak ada sedikitpun yang
harus dibuang. 38
Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa Muhammad Abduh
berpendapat bahwa manusia pada dasarnya bibit unggul yang baik,
memiliki sifat-sifat ilâhiyah yang diimplementasikan dalam nilai-nilai
kemanusiaan. Kemuliaan ini tentu berlandaskan daya rasa manusia. Tetapi
pada perkembangan selanjutnya jiwa manusia tidak stabil lagi.
Ketidakstabilan jiwa inilah yang menyebabkan manusia, menjadi tidak
mulia.

D. Filsafat Masyarakat Menurut Muhammad Abduh


Muhammad Abduh mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia
untuk bermasyarakat.39Sifat bermasyarakat kata Muhammad Abduh tidak

37
Rahman, Fazlul. Tema-Tema Pokok Al-Our'an, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 26.
Senada dengan Fazlul Rahman. Abbas Mahmud at-Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad
adalah dua esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain
tidak mungkin berbeda atau terpisah. Aqqad, Abbas Mahmud, Manusia Diungkap Al-
Qur'an, (terj.), Cet. III,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 32.
38
Baca Harun Nasution, Islam Rasional..., h1m. 37. Unsur manusia yang terdiri
dari jasad dan roh telah dipahami para filosof Yunani, Kristen dan Hindu suatu substansi
yang berbeda dan bertentangan. Pendapat itu tidak didukung oleh Al-Qur‟an meskipun
masa ortodoksi Islam belakangan karena pengaruh Al-Ghazali mendukung pendapat itu.
Rahman, Fazlul. Tema-Tema Pokok Al-Our'an, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 26. Senada
dengan Fazlul Rahman. Abbas Mahmud at-Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah
dua esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak
mungkin berbeda atau terpisah. Aqqad, Abbas Mahmud, Manusia Diungkap Al-Qur'an,
(terj.), Cet. III,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 32.
39
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz I, hal. 63

257
diberikan oleh Allah pada lebah dan semut. Allah memberikan akal kepada
manusia untuk dapat bermasyarakat.40
Bermasyarakat yang dimaksud Abduh berakal dan dengan akalnya
ia berkreasi secara dinamis. Kalau dilihat dari cara hidup lebah, mereka
hidup tidak egois, tetapi mereka hidup bermasyarakat dan kata Harun
Yahya mereka memiliki organisasi luar biasa.
Pertama kali datangnya Islam, masyarakat Mekah ketika itu berada
pada zaman jahiliyah yang tidak bermoral. Mereka menyembah berhala-
berhala, suatu perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Mereka
berperilaku yang buruk menuju yang lebih buruk lagi. Manusia di Mekah
ketika itu berbuat yang jelek menuju yang lebih jelek lagi. Allah ingin
merubah masyarakat yang tidak bermoral itu dengan mendatangkan Nabi
Muhammad Saw. Ia membawa petunjuk dan agama yang benar. Dalam
merubah perilaku jahiliyah manusia, Islam datang dengan cara-cara yang
"keras". Agama yang dibawa Muhammad Saw. memadukan urusan agama
dan urusan duniawi, baik dalam syari'atnya maupun caranya. Tujuan Islam
adalah menyatukan alam bumi dan alam langit untuk bermasyarakat.41
Masyarakat Muslim membangun penghambaan yang Esa, ketaatan
yang Esa, bukan ketaatan kepada para penguasa atau ke manusia
lainnya.42Ketika penghambaan menyatu kepada Allah, maka derajat
manusia kembali meningkat dan keadilan mulai ditegakkan. Dengan
membangun masyarakat yang bertauhid Islam dapat membangun
masyarakat yang besar, yaitu masyarakat yang menjungjung tinggi
persamaan derajat. Masyarakat Muslim dengan segala usahanya
membangun masyarakat yang diidam-idamkan oleh orang banyak.43.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa Muhammad Abduh
melihat manusia wajib bermasyarakat. Dalam bermasyarakat ada misi-misi
yang diperjuangkan agar hidupdapat tenteram dan aman, yaitu penegakan
keadilan, persamaan derajat, yang pada gilirannya penghambaan hanya

40
Ibid.
41
Hasan Abd at-Al, al-Tarbiyah al-Islâmiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), h1m. 46.
42
Baca kandungan Surat al-lkhlas pada Muhammad Abduh, Juz 'Amma.
43
Abd Al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Qarni al-Râbi‟ al-Hijri, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), h. 46..

258
kepada Tuhan.44
Islam membangun masyarakat yang berlandaskan kebersamaan.
Islam menentukan prinsip-prinsip kerjasama dari segala unsur dan bentuk.
Ada aturan kerjasama individual, kerjasama individu dengan keluarganya,
kerjasama individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, suku
dengan suku. Kerjasama individual membuat manusia tidak berbuat
sewenang-wenang. Semua orang mendapatkan apa yang mereka perbuat
sesuai dengan usaha mereka.
Kerjasama individu dengan kelompok mengikuti aturan-aturan:45
1. Amal Shaleh. Perbuatan yang baik adalah ibadah kepada Allah
karena hasil perbuatan yang khusus adalah milik kelompok,
2. Hendaknya individu-individu bekerjasama dengan kelompok
masyarakat untuk kepentingan orang banyak dengan batasan-
batasan yang baik (al-birr wa al- ma‟ruf).
3. Setiap orang bertanggung-jawab terhadap urusan kebaikan. Jika
tidak, maka ia berbuat dosa dan seakan-akan setiap individu
dibebankan untuk menghilangkan kemungkaran-kemungkaran yang
mereka lihat. Setiap individu yang melihat kemungkaran dan
membiarkannya, maka ia akan mendapat hukuman.
4. Setiap individu bertanggung-jawab untuk menjaga kepentingan
masyarakat. Seakan-akan ia menjadi penjaga kepentingan
masyarakat dan beban itu diwakilkan kepadanya.
Kewajiban kelompok terhadap individu:46
1. Sesungguhnya masyarakat bertanggun-jawab atas masyarakat yang
lemah. Menjaga kepentingan masyarakat miskin baik laki,
perempuan, maupun orang tua.
2. Masyarakat bertanggung-jawab atas orang-orang fakir. Mereka
memberi sebagian harta mereka untuk keperluan masyarakat yang
fakir. Mereka kaum yang lapar mungkin merupakan azab Tuhan.
3. Masyarakat wajib menjaga kebersaman dengan ikatan iman kepada
44
Baca Rahman, Fazalul, Tema-Tema Pokok al-Qur'an, h. 54.
45
Abduh Hasan, al-Tarbiyah...., h. 47. Baca juga Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,
Jilid I. h. 369
46
ibid, h. 48

259
Allah dan rasulnya Muhammad Saw. jika mereka berselisih, maka
kembalikanlah hukumnya kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Adapun yang memimpin masyarakat Islam harus berdasarkan
syari'at Allah dengan tetap menjaga keadilan.
Prinsip-perinsip kepemilikan baik individu dan kelompok adalah:
1. Setiap individu bekerja untuk hartanya. Sesungguhnya secara umum
kepemilikan adalah milik masyarakat. Masyarakat juga bertanggung
jawab kepada Allah tentang kepemilikan itu. 47.
2. Tidak ada individu yang dibolehkan untuk memonopoli harta atau
barang tanpa diikutsertakan orang lain, agar harta itu berputar tidak
saja pada orang kaya.
3. Ada harta benda yang tidak boleh dimilik oleh individu, yaitu air,
udara, dan api karena tiga unsur itu sangat penting bagi kehidupan
manusia.
4. Bagi setiap orang Muslim memiliki kewajiban atas Muslim lainnya.
Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan, ”inilah gambaran
masyarakat Islam”. Masyarakat yang dibangun atas akidah Islam, syari'at
Islam, perundang-undangan Islam yang tidak boleh menindas orang lain
untuk kepentingan mereka. Masyarakat hendaknya didorong untuk tumbuh
dan berkembang. Masyarakat didorong dengan sekuat tenaga agar mereka
berhasil dalam menciptakan masyarakat yang bemoral baik dan
demokratis. Masyarakat harus didorong untuk berilmu yang benar dan
membukakan bagi mereka kebudayaan dan peradaban yang maju terhadap
apa-apa yang benar dan baik. Masyarakat yang diinginkan Islam adalah
masyarakat yang jenius mencakup peradaban. Peradaban itu harus
menghasilkan jiwa-jiwa yang bermoral baik dalam bidang industri dan
perdagangan. Inilah filsafat bermasyarakat menurut Islam. 48
Dalam rangka menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat
yang berorientasi pada kemuliaan menurut Muhammad Abduh diperlukan
pendidikan. Pentingnya pendidikan itu bagi keseimbangan hidup, bagaikan

47
Baca kandungan (Q.S. Al-Hadid: 6)
48
Abd Hasan, Ibid., h. 49-50

260
pentingnya dokter untuk menjaga kesehatan badan. 49
Untuk mencapai ketenteraman hidup bermasyarakat, para
penyelenggara negara yang mengurusi pendidikan hendaknya
mengarahkan pendidikan tersebut pada pembinaan akhlak yang baik.
Memberi pendidikan akan bahaya perilaku-perilaku yang tercela dan
manfaatnya perilaku-perilaku yang terpuji, sehingga manusia menuju
kemuliaan dan kesempurnaan bagaikan dokter yang menguasai ilmu
tentang perilaku manusia, ilmu-ilmu tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Selain itu dokter juga mengetahui serta penyebab suatu penyakit dan
mendiagnosa kualitas suatu penyakit antara yang ringan dan kronis. 50 Para
rohaniawan dan rohaniawati juga wajib menguasai ilmu-ilmu tentang jiwa,
sehingga manusia dapat berkonsultasi untuk mendapatkan ketenangan jiwa
dan batin (al-ruh).51Selain itu rohaniawan dan rohawaniawati juga harus
menguasai ilmu-ilmu sosial dan sejarah kebudayaan masyarakat. Mereka
juga hendaknya bisa mendiagnosa penyakit jiwa dan bukan meresahkan
jiwa.
Dari uraian tentang masyarakat di atas jelaslah bahwa Muhammad
Abduh memiliki pemikiran akan pentingnya kehidupan bermasyarakat dan
tidak bisa hidup menyendiri. Bermasyarakat bagi manusia adalah
kebutuhan hidup. Dalam teori bermasyarakat, sepertinya Muhammad

49
Ibid. h. 50
50
Rasyid Ridha, Tarikh…, h. 720.
51
Menurut al-Ghazali nafs atau jiwa itu memilki beberapa makna, dua diantaranya
tumpat tumpukan sifat marah dan syahwat. Nafsu ini yang lazim dipakai oleli para stiff.
Nafsu dalam, arti kedua mempunyai sifat yang beraneka ragam sesuai dengan keadaanya,
nafsu muthmainnah ketika nafs itu tenang terhindar dari gangguan syahwat, nafs al-
ammarah bi al-su' jika nafs itu patilli pada syahwat, dan nafs lawwamalijika nafs itu selalu
menentang nafs syahwat schingga ketenangan nafs tidak sernpurna. Baca M-Ghazali,
Keajaiban Hati, (Jakarta: Tintamas, 1984), him. 34. Roll juga memiliki dua arti, roh jenis
yang halus bersumber dari rongga hati jasmani dan roh yang halus pada manusia yang
dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian. Roh dalam
artinya yang kedua inilah yang terkandung dalam ayat "qul al-rûh min amri rabbi".
Baca ibid.. him. 2-3. Menunit Quraish Shihab nafs terkadang diartikan totalitas manusia
yang menghasilkan tingkah laku manusia seperti yang terkandung dalam (13:11) ,
terkadang nafs diartikan untuk menunjukkan diri Tuhan seperti (6: 12). Tetapi secara umum
dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada
sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Baca Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur'an, h. 285-286.

261
Abduh lebih dekat dengan teori integralistik daripada teori organisme dan
atomistik.

E. Filsafat Ilmu Pengetahuan Menurut Muhammad Abduh


Abdurrahman Saleh mengatakan bahwa kata “ilm” dalam al-Qur‟an
salah satu istilah yang menunjukkan pada pengetahuan. Rosental mencatat
Frekuensi munculnya ushlub kata „alima‟dipertimbangkan dengan segala
kecermatannya. Pentingnya ilmu pengetahuan juga ditemukan dalam al-
Qur‟an. Ayat-ayat ini beriring untuk menunjukkan peranan pentingnya
ilmu pengetahuan yang bisa membuat seseorang mencapai derajat yang
tinggi. Baca (Q.S. al-Mujadalah: 11). Ibn Mas‟ud mengatakan bahwa
orang yang diberikan ilmu mempunyai derajat yang tinggi ketimbang
orang yang mempunyai iman tapi tidak berilmu. 52
Menurut pandangan Al-Qur‟an seperti diisyaratkan oleh wahyu
pertama, ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa
usaha manusia dan kemudian disebut ilmu laduni.53 . Kedua, ilmu yang
diperoleh dengan usaha manusia dan kemudian disebut ilmu kasb.
Menurut Quraish Shihab,54ayat-ayat al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa ilmu
kasb lebih banyak jumlahnya daripada ilmu laduni.55 Dalam pembahasan
ini, ilmu yang dibicarakan adalah ilmu kasb.
Ilmu pengetahuan ditinjau dari epistemologinya menurut
Muhammad Abduh terbagi dua, akal dan wahyu. Akal digunakan untuk
memahami wahyu dan meminta konfirmasi kepada wahyu untuk
memperkuat pendapatnya (akal).

52
Baca Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-
Quran, Diterjemahkan oleh M. Arifin dan Zainuddin, Cet. II,(Jakarta: Rineka Cipta, 1994),
cet. II, h. 89-90
53
Mengetahui ilmu laduni ini terkandung dalam al-Qur‟an (QS, al-Kahfi: 65)
54
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Selawesi Selatan, 16 February
1994. ia memperoleh gelar Doktor di Universitas al-Azhar dengan yudisium summa cum
laude tahun 1982
55
Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. 435-36. Baca juga Rasyid Ridha,
Tafsîr al-Manâr, Jilid III, h. 119

262
Sementara wahyu selain memberi informasi dan memperkuat
pendapat akal, ia (wahyu) juga berfungsi untuk meluruskan pemikiran akal
yang salah.56
1. Akal
Keharusan berpikir bukan saja naluri kemanusiaan, tetapi terdapat
juga perintah dalam al-Qur‟an untuk mendorong berpikir dan melarang
manusia untuk bertaklid. 57 Ayat-ayat al-Qur‟an menyebut sifat-sifat Tuhan
kata Muhammad Abduh, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu
saja.58
Falsafah wujud menurut Muhammad Abduh bukanlah bersumber
dari wahyu saja tetapi juga akal. Akal, dengan kekuatan yang ada pada
dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang tuhan dan wahyu.
Muhammad Abduh kata Harun Nasution kelihatannya penganut falsafah
emanasi yang mengatakan bahwa jiwa manusia dapat mengadakan
komunikasi dengan alam abstrak (intelliggibles).59 Allah menurut
Muhammad Abduh memilih manusia tertentu yang jiwanya mencampai
puncak kesempurnaan, sehingga mereka dapat menerima pancaran ilmu
yang disinarkanNya.60 Di tempat lain Muhammad Abduh mengatakan
bahwa ada jiwa-jiwa manusia yang begitu suci sehingga mereka dapat
menerima limpahan cahayaNya (al-fâidhu al-ilâhi). Jiwa-jiwa yang suci
itu dapat sampai mengetahui Tuhan.61
Kualitas akal yang dianugrahkan Allah kepada manusia menurut
Muhammad Abduh tidak sama. Mereka yang dianugrahkan oleh Allah
akal yang berkualitas tinggi62 disebut kaum khawas, sedangkan yang

56
Baca kembali Harun Nasution, Muhammad Abduh...,h. 33, 38, dan 44. Baca juga
kembali Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz I, h. 63-64
57
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 23
58
Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 44
59
Ibid., h. 6
60
Harun Nasution, Muhammad Abduh...,h. 93
61
Ibid., h. 111
62
Yang dimaksud akal berkualitas tinggi menurut Muhammad Abduh adalah
mereka yang sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Baca ibid., h. 77
atau Harun Nasution, Muhammad Abduh..., h. 34

263
memiliki kualitas rendah63 disebut kaum awam. Muhammad Abduh ketika
menafsirkan surah al-Baqarah ayat keseratus enam puluh empat yang
berbunyi :

Artinya, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih


bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (Q.S. al-Baqarah: 164)
Muhammad Abduh menafsirkan kalimat “…..laâyatin liqamin
ya‟qilûn” mereka yang mengetahui sebab-sebab gejala alam, mereka tahu
hukum sebab-akibat dan rahasia di balik kejadian itu. Mereka bisa
membedakan yang bermanfaat dan yang berbahaya, mereka juga
berargumentasi pada teori-teori hukum alam (sunnatullah).64 Ayat ini
menunjukkan golongan kaum khawas sebagaimana ia maksud. Di lain
tempat Allah berfirman:

63
Yang dimaksud akal berkualitas rendah menurut Muhammad Abduh adalah
mereka yang tidak sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Baca
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77 atau Harun Nasution, Muhammad Abduh, h.
34
64
Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, (Cairo: Daral-Manâr, 1365H), h.
63-64.

264
Artinya: ”Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qisas itu, hai orang-
orang yang berakal, mudah-mudahan kamu bertakwa.” (QS, al-Baqarah:
179)
Kembali lagi kata “ûlu al-bâb” diartikan Muhammad Abduh
mereka yang mempunyai akal yang sempurna. Ayat ini juga menunjukkan
golongan kaum khawas.65 Muhammad Abduh juga mengartikan “ûlu al-
bâb” barang siapa yang memiliki esensi (lub) dan akal.66 Hanya sedikit
manusia pilihan Tuhan yang pandangannya tajam dan sempurna. Mereka
yang dimaksud selain nabi. 67
Perbedaan daya akal ini, menurut Muhammad Abduh disebabkan
bukan hanya oleh perbedaan pendidikan, tetapi juga terutama perbedaan
pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak dan kekuasan
manusia.68
Dari uraian Muhammad Abduh tentang daya akal manusia yang
bervariasi itu, kelihatannya ia penganut teori konvergensi yang
mempercayai dan menghargai fitrah bawaan semenjak lahir dan juga tidak
menyepelekan proses pendidikan. Namun sejauh mana kecenderungan
Muhammad Abduh pada teori navitisme dan empirisme lebih lanjut tidak
diketahui. Dari kalimat, “terutama oleh perbedaan pembawaan alami…”
dapat dipahami bahwa ia lebih condong pada teori navitisme. Namun satu
hal yang pasti, ia sangat apresiatif terhadap kerja akal. Dengan demikian
kelihatannya ia lebih condong pada empirisme, hanya saja dalam
mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya mungkin ia condong pada
teori navitisme. Dalam kata lain, pemikiran konvergensi Muhammad
Abduh tentang daya akal lebih banyak dipengaruhi oleh teori empirisme.

65
Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, ibid., h. 133
66
Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,Jilid II, ibid., h. 229
67
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77
68
Ibid., h. 110

265
2. Wahyu
Muhammad Abduh mendeskripsikan bagaimana bahasa al-Qur‟an
atau wahyu berkembang sesuai dengan perkembangan akal manusia.
Menurutnya manusia itu pada mulanya kecil, lama-kelamaan menjadi
dewasa. Demikian juga Allah bagaikan orang tua bagi anak-anaknya.
Umat terdahulu masih kanak-kanak, sehingga perintah pun mutlak
dikerjakan, larangan keras harus ditinggalkannya, sehingga setelah dewasa
manusia ini, Tuhan pun berbicara dengan akal. 69
Ummat manusia ketika Islam datang sudah menjadi dewasa dan
menghendaki agama yang rasional. Oleh karena itulah kita tidak sulit
mendapatkan bagaimana al-Qur‟an berbicara bukan saja pada perasaan
manusia tetapi pada akal mereka. Demikian juga nabi berbicara dengan
akal bahkan menjadikan akal sebagai hakim antara apa yang benar dan
yang salah.70
Kualitas akal manusia ada yang tinggi derajatnya dan ada yang
rendah, kemudian orang-orangnya disebut kaum khawas dan kaum awam.
Sungguhpun akal kaum khawas mempunyai daya yang kuat, tetapi akal
mereka tidak dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya
tentang Tuhan dan alam gaib. 71 Sifat-sifat Tuhan seperti berbicara, melihat,
dan mendengar yang kemudian disebutkan oleh Muhammad Abduh sifat-
sifat yang wajib bagi-Nya tidak dapat diketahui oleh akal.72 Manusia dapat
mengetahui sifat-sifat Tuhan itu hanya dari wahyu. Selain itu, akal juga
tidak dapat mengetahui hakikat hidup di alam gaib nanti. Secara rinci, akal
tidak mengetahui kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti. Lebih
lanjut, Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
cara menghitung perbuatan baik dan buruk di akhirat nanti. 73

69
Ibid., h. 148
70
Ibid., h. 143
71
Muhammad Abduh tidak memiliki katagori gaib sebagaimana Murthadha
Muthahhari yang membagi ghaib menjadi dua juga, yaitu ghaib relative, dan ghaib yang
absolute. Ghaib yang absolute itulah esensi Tuhan, sedangkan ghaib relative adalah
tersembunyi karena terhalang waktu maupun waktu. Rasulullah bagi kita sekarang ghaib,
padahal dulu bagi Abu Bakar tidak ghaib, itu karena persoalan waktu. Baca Mulyadi
Kertanegara, Nalar Religius, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 101
72
Ibid., h. 44-47
73
Ibid., h. 77

266
Dengan latar belakang pemikiran di ataslah, maka manusia berhajat
atau membutuhkan wahyu untuk membantunya memperoleh pengetahuan
lebih luas tentang Tuhan dan masa depannya di alam gaib nanti74
Sebagai konsekuensi pembagian manusia menurut kualitas akal
pada kaum khawas dan awam, Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada
wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan ada juga wahyu yang
ditujukan untuk kaum awam. 75 Hanya saja Muhammad Abduh mengatakan
bahwa, agar para nabi berhasil dalam dakwah, mereka harus berbicara
dengan bahasa yang dapat dimengerti ummat mereka masing-masing,
karena mayoritas masing-masing umat terdiri dari kaum awam. Oleh
karena itu, bahasa dakwah para nabi harus dapat dipahami oleh kaum
awam dan kaum khawas.76
Meskipun kaum khawas memiliki kualitas akal yang tinggi, tetapi
tidak semua bahasa kaum awam dapat dimengerti oleh mereka. Ada
ucapan-ucapan para nabi yang ditujukan untuk kaum awam. Kaum khawas
tidak mengerti ucapan-ucapan itu kecuali setelah melalui proses
interpretasi.77
Menurut Harun Nasution, kelihatannya maksud dari ucapan-ucapan
yang dapat dipahami oleh kaum awam, tetapi belum dapat dipahami kaum
khawas kecuali setelah proses interpretasi itu, sifat-sifat jasmani Tuhan
dan wahyu tentang kehidupan kelak di alam gaib. 78
Ada juga firman Tuhan yang tidak mampu dipahami oleh kaum
awam, kecuali setelah adanya penjelasan panjang lebar. Sementara kaum
khawas dapat menangkap maksud firman itu. Wahyu semacam ini,
menurut Muhammad Abduh ditujukan kepada kaum khawas. 79 Menurut
Harun Nasution, firman Tuhan yang dimaksud itu ialah tanda-tanda Tuhan
yang terdapat di alam, seperti matahari, bulan, planet-planet, serta gerak

74
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36
75
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123. Sayangnya Muhammad Abduh
tidak menjelaskan secara rinci tentang pembagian wahyu ini dan ia juga tidak memberi
contoh-contohnya.
76
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36
77
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123
78
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 36. Lihat juga Muhammad
Abduh,Risâlah al-Tauhîd, h. 202-203
79
Ibid., h. 123

267
masing-masing yang bersifat tetap itu.80 Tujuan tanda-tanda itu menurut
Muhammad Abduh untuk menarik perhatian orang pada rahasia-rahasia
yang terkandung di dalamnya dan hikmah penciptaannya. 81
Baik wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas maupun wahyu
yang ditujukan untuk kaum awam jumlahnya hanya sedikit.82 Selain kedua
wahyu yang jumlahnya sedikit itu, menurut Muhammad Abduh ada wahyu
bentuk ketiga. Wahyu itu adalah sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Yang dimaksud dengan wahyu yang ketiga ini menurut Harun Nasution,
antara lain ayat-ayat yang mengandung perintah kepada manusia untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan dan alam
sekitarnya.83
Dengan demikian menurut Muhammad Abduh ada tiga macam
wahyu:84
a. Wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan awam. Wahyu itu
sebagian besar ayat-ayat al-Qur‟an.
b. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum awam. Jumlah wahyu ini
dalam al-Qur‟an hanya sedikit.
c. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum khawas. Jumlah wahyu
ini dalam al-Qur‟an paling sedikit.
Di antara dua sumber ilmu di atas, akal dan wahyu, apakah mungkin
bertentangan? Menurut Muhammad Abduh bahwa antara wahyu dan akal
tidak mungkin ada pertentangan. Betul bahwa akal harus percaya kepada
semua apa yang dibawa wahyu dan mungkin ada di antaranya yang tidak
bisa diketahui hakikatnya. Begitu pun akal tidak wajib menerima apa yang
mustahil, seperti bersatunya dua ayat yang bertentangan atau adanya dua
yang berlawanan di satu tempat pada waktu yang sama, karena agama suci
dari hal-hal yang serupa itu. Jika wahyu membawa sesuatu yang pada
lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, demikian ia lebih lanjut
menjelaskan, wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud

80
Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 37
81
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 122
82
Ibid., h. 123
83
Ibid., h. 190-200
84
Baca Harun Nasution, Muhammad Abduh…, h. 37-38

268
bukanlah arti harfiah, akal kemudian mempunyai kebebesan memberi
interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya dari
wahyu bersangkutan kepada Allah.

F. Filsafat Akhlak85
Ilmu akhlak menurut Muhammad Abduh adalah ilmu yang
membahas keutamaan-keutamaan dan cara mendidik manusia agar dapat
memperolehnya. Selain itu, ilmu ini juga membahas tentang perilaku-
perilaku tercela dan cara mendidik manusia untuk berhenti
melakukannya.86
Menurutnya, ilmu akhlak yang sangat penting ini ada dalam al-
Qur‟an, hadits, atsar sahabat dan tabi‟in. Tiga sumber ini dengan panjang
lebar banyak membahas ilmu akhlak. Dalam bidang akhlak, Muhammad
Abduh sangat terkesan dengan ucapan sahabat Umar bin Khattab tentang
kehidupan berkeluarga.
Umar mengatakan bahwa ada seorang istri yang dengan terus terang
mengatakan kepada suaminya bahwa ia tidak suka (cinta) sama suaminya.
Kemudian Umar bin Khattab mengatakan, “jika ada di antara kalian (istri-
istri) yang tidak menyukai laki-laki (suami), maka kalian jangan
perhitungkannya lagi (tidak berterus terang, sehingga suami sakit hati),
karena kehidupan rumah tangga sedikit sekali yang dibangun atas dasar
kasih sayang. Sesungguhnya manusia paling berbesan dengan posisi dan
akhlak87
Kalimat tersebut menurut Muhammad Abduh tidak akan keluar
dengan indah kecuali dari mulut orang yang bijaksana, dimana pada
dirinya telah meresap ilmu akhlak dan ilmu sosial. 88

85
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti
atau kelakuan. Meskipun akhlak diambil dari bahasa Arab, namun kata itu tidak ada dalam
al-Qur‟an. Didalam al-Qur‟an hanya ada kata “khuluq”. kata “khuluq” ada dalam (QS, al-
Qalam: 4). Kata “akhlak” ditemukan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, di
antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Malik yang berbunyi “innama bu‟itstu liutammima
makarima al-akhlak”. Artinya: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”. Baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an,, h. 253
86
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 41
87
Ibid
88
Ibid., h. 41-42

269
Dari definisi akhlak dan ungkapan Umar bin Khattab yang
dikemukakan Muhammad Abduh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
ilmu akhlak menurutnya, ilmu yang membahas perilaku baik dan buruk.
Dipelajarinya ilmu tentang perilaku yang baik untuk dapat diteladani.
Dipelajarinya ilmu perilaku tentang yang buruk untuk dapat menghin-
darinya. Dalam hidup ini, manusia berbuat harus penuh perhitungan dan
berdasarkan ajaran Islam. Akhlak juga menurut Muhammad Abduh
bersumber dari al-Qur‟an, hadits, dan atsar sahabat dan tabi‟in. 89
Muhammad Abduh lahir dan tumbuh dewasa sampai ia meninggal
dalam keadaan yang kurang membahagiakan dimana merajalelanya taklid
dan khurafat. Sikap khurafat ini tentu mangandung kebejatan moral
(akhlak). Mungkin karena itulah, maka ia tidak banyak mengungkapkan
konsep akhlak, tetapi ia dalam karya-karyanya termasuk karya tafsirnya ia
sering menyebut “akhlak”. Untuk menelusuri pemikirannya tentang
akhlak, kita akan meneliti tulisan-tulisannya yang berhubungan langsung
atau tidak langsung terhadap akhlak.
Guna melengkapi pemahaman terhadap pemikirannya tentang
akhlak, di antaranya kita akan telusuri tafsirannya (Muhammad Abduh)
tentang kata-kata dalam al-Qur‟an yang berarti kebaikan atau yang serupa
dengannya. Kata-kata itu ialah : al-khair, al-ma‟ruf, al-birr-al-hasan.
Selain itu, kita akan melihat penafsirannya tentang sifat-sifat Rasulullah
Saw. yaitu, siddîq, amânah, tablîg, dan fathânah. Terakhir, kita
menelusuri konsep akhlak yang dikemukakan para ahli.
Dalam surah al-Nisa ayat kelima yang berbunyi :

89
Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia berpeluang untuk menjadi baik dan
buruk, tetapi ia lebih potensial untuk menjadi baik. Baca Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr,
Jilid V, h. 61

270
Artinya, ”janganlah kamu berikan harta-harta orang safih (bodoh)
kepadanya, sedangkan Allah menjadikan kamu untuk memeliharanya dan
berikanlah belanja dan pakaian untuk mereka daripada hartanya itu, serta
katakanlah kepadanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Nisa: 5)
Muhammad Abduh menafsirkan al-ma‟ruf apa-apa yang diketahui
oleh jiwa-jiwa yang mulia (al-nufûsu al-karîmah). Yang baik (al-ma‟rûf)
lawannya mungkar (al-munkar). Kebaikan juga meliputi kebaikan-
kebaikan hati.90
Dalam surah al-Nisa ayat kedelapan yang berbunyi :

Artinya: ”Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib-karib (yang


tiada mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang-orang miskin,
berilah mereka itu sekedarnya dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang baik".” (QS. Al-Nisa: 8)
Muhammad Abduh menafsirkan al-ma‟ruf dalam ayat ini apa-apa
yang membuat jiwa-jiwa orang yang membutuhkan menjadi tenang tetapi
ia tidak berat melakukannya. Kebaikan juga termasuk meridoi apa-apa
yang diberikan oleh pemberi (Allah). 91
Dalam surah al-Baqarah ayat seratus tujuh puluh tujuh, kebaikan
dengan kata “al-birr” ditafsirkan oleh Muhammad Abduh bahwa secara
bahasa berarti kebaikan yang luas “al-tawâssu‟fi al-khair ”, luasnya
kebaikan itu bagaikan laut. Secara terminologi, al-birr apa-apa yang
mendekatkan seseorang kepada Allah yang terdiri dari iman, akhlak, dan
amal shaleh. 92 Dalam menafsirkan ayat ini juga ia mengutip surah al-
Ahzab ayat kedua puluh satu.

90
Baca Rasyid Ridha, , Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 385
91
Ibid., h. 396-397
92
Baca Rasyid Ridha, , Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 110-111

271
Artinya, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-
Ahzab: 21)
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh mengatakan
“Hendaknya kamu berakhlak dengan akhlaknya para nabi.93Yang menarik
lagi ia mengatakan bahwa mengeluarkan zakat adalah termasuk rukun
kebaikan (al-birr)”.94
Muhammad Abduh ketika menafsirkan surah al-Nisa ayat ketiga
puluh lima,ia mendefinisikan akhlak suatu kebaikan dalam bermu‟amalah
dengan Allah dan bermu‟amalah dengan makhluk lain. 95 Lebih lanjut,
Muhammad Abduh mengatakan bahwa meskipun dalam ayat ini
membahas hubungan keluarga, tetapi Allah menginginkan perintah
kebaikan (ihsân) secara umum, yaitu hubungan baik antar sesama manusia.
Perbuatan baik itu dijadikan suatu kebiasaan seperti ibadah. Akhlak itu
bagaikan petani yang menanam sawahnya untuk kebutuhan hidupnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yang dimaksud ibadah di sini bukan
saja tentang tauhid tetapi ibadah secara umum. 96
Dari definisi akhlak diatas, Muhammad Abduh membagi akhlak
kepada dua, akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk. Akhlak
kepada makhluk ini dapat dijabarkan menjadi akhlak kepada manusia,
akhlak kepada hewan, akhlak kepada tumbuh-tumbuhan, dan akhlak
kepada benda mati.
Kalau digali kepribadian Muhammad Abduh, maka akan ditemukan
akhlaknya yang mulia dan dikatakan bahwa risalah atau missinya adalah
pembaharuan agama berdasarkan akhlak. 97Setelah Muhammad Abduh

93
Baca Rasyid Ridha, , Tafsîr al-Manâr, Jilid II, ibid., h. 114-115
94
Baca ibid., h. 115
95
Baca Rasyid Ridha, , Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 81-82
96
Baca Rasyid Ridha, , Tafsîr al-Manâr, Jilid V, ibid., h. 82
97
Muhammad Imarah, Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîdi
al-Dîn, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1408 H), h. 61

272
meninggalkan Universitas al-Ahzar, ia menghabiskan waktunya untuk
memperhatikan masalah akhlak dan perbuatan masyarakat. Indikasi ini
bisa dilihat dari aktivitasnya ketika ia dibuang ke Beirut dan kemudian ke
Eropa. Di Eropa ia dan gurunya Jamaluddin al-afghani mendirikan al-
„Urwah al-Wutsqâ(suatu organisasi surat kabar), dimana setiap langkah
mereka berorientasi pada peningkatan akhlak. 98
Gerakan pembaharuan agama yang dilaksanakan Muhammad
Abduh berawal dari perbaikan akidah dan pada gilirannya dapat
memperbaiki akhlak manusia yang tercela. Selanjutnya ia mengatakan
dengan terus terang “maksud semua gerakan yang saya lakukan dalam
membangun masyarakat Islam adalah untuk membenarkan atau
meluruskan akidah atau keyakinan kepada Allah.” Menurutnya jika akidah
masyarakat selamat dari khurafat, maka pada gilirannya berdiri dan
bersinarlah ilmu-ilmu yang benar, baik ilmu-ilmu dunia maupun ilmu
agama, dan perbaikan akhlak. 99
Agama adalah sarana pendidikan akhlak karena tidak perlu lagi
dijelaskan lebih lanjut.100 Agama menurut Muhammad Abduh adalah
sarana yang paling efektif dalam membina akhlak, sehingga perbuatan
manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka juga akan tenang
dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan dapat ditegakkan. 101
Muhammad Abduh sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang
baik dengan melalui pendidikan prosesnya sangat lambat tetapi
pengaruhnya diyakini olehnya sangat baik dihari kemudian. Inilah cara
Muhammad Abduh dalam menegakkan akhlak yang baik dalam dunia
Islam khususnya di Mesir.102
Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa landasan akhlak
atau tingkah laku yang diharapkan oleh Muhammad Abduh sesuai dengan
doktrin al-Qur‟an dan hadits. Dalam kata lain, bahwa ukuran akhlak itu

98
Ibid
99
Ibid., h. 62
100
Agama yang dimaksud adalah menjadikan al-qur‟an sebagai petunjuk, karena itu
wahyu tidak perlu diragukan kebenarannya lagi.
101
Ibid., h. 62
102
Meskipun Muhammad Abduh dalam menggunakan akalnya mengarang berbagai
buku, tetapi ia tetap saja kepribadiannya masih dominan pada akhlak yang mulia. Baca ibid.

273
harus sesuai dengan al-Qur‟an dan hadits. Jika ada prilaku baik yang
diakui oleh masyarakat tertentu (tradisi) tetapi bertentangan dengan al-
Qur‟an dan hadits, maka hendaknya tidak diikuti. Tetapi jika tradisi-tradisi
dalam masyarakat itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an, maka perilaku
itu dapat dibenarkan.

G. Kesimpulan
Dari uraian di atas, di antaranya dapat disimpulkan bahwa landasan
filsafat pendidikan Islam Muhammad sebagai berikut:
1. Abduh melihat manusia dari potensi yang positif. Tafsiran potensi
positif yang dimaksud abduh adalah potensi akal. Potensi yang
positif itu membuat manusia bisa kreatif dan kreativitasnya bisa
menjadikannya makhluk yang taat dan bijaksana kepada Allah
SWT. Potensi positif itu ternyata tidak semua diaktuskan oleh semua
manusia. Sebagian mereka berbuat sama dengan binatang,
melakukan apa yang dilakukan oleh binatang tanpa ada rasa malu
yang mencegah kehormatan diri yang mengekang.
2. Muhammad Abduh melihat manusia wajib bermasyarakat. Dalam
bermasyarakat ada misi-misi yang diperjuangkan agar hidup dapat
tenteram dan aman, yaitu penegakan keadilan, persamaan derajat,
yang padagilirannyapenghambaanhanya kepada Tuhan. Islam
membangun masyarakat yang berlandaskan kebersamaan. Islam
menentukan prinsip-prinsip kerjasama dari segala unsur dan bentuk.
3. Pemikiran Muhammad Abduh tentang ilmu pengetahuan
berhubungan dengan pandangannya tentang akal dan wahyu. Dalam
persoalan akal, ia penganut konvergensi yang menggabungkan unsur
nativisme dan emperisisme dengan batasan yang sangat jelas. Sejak
dalam kandungan sampai dua tahun umur manusia, masa nativisme
dan setelah dua tahun masa bersinerginya nativisme dan
emperisisme. Pada pemahaman inilah Muhammad Abduh
berpendapat bahwa pendidikan dibutuhkan.
4. Filsafat akhlak menurut Muhammad Abduh berbicara tentang
perilaku baik dan buruk. Akhlak itu bersumber dari al-Qur‟an,
hadits, dan atsar sahabat dan tabi‟in. Akhlak menurutnya terbagi

274
dua, yaitu akhlak kepada Allah SWT dan akhlak kepada makhluk.
Akhlak kepada makhluk dalam pandangannya tidak terbatas habl
min al-nas, tapi termasuk makhluk hidup lainnya dan juga makhluk
berupa benda mati.

275
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM FAZLUL RAHMAN

A. Pendahuluan
Pembahasan ini sesungguhnya telah dimuat dalam buku penulis
dengan Asmar Yamin Dalimunthe dalam Petualangan Ilmiah Pendidikan
Islam dari Jakarta Ke Medan: Jihad Ilmiah Menuju Kesempurnaan.
Karena materi ini dipandang perlu dalam pembahasan Filsafat Pendidikan
Islam, maka dimuat kembali.
Dalam panggung intelektual Islam di Indonesia, sejak tahun 1990-an
sampai tahun 2005, Nurcholish Madjid bisa disebut “bintang”. Sang
bintang sering dihubungkan dengan latar belakang pendidikannya di
Pondok Modern Gontor. Hal ini sering dikaitkan karena pada kurun waktu
itu, Pondok Modern Gontor sudah terkenal bukan saja di Indonesia,
bahkan di luar negeri. Sang bintang juga sering disebut jebolan Universitas
Chicago Amerika Serikat. Di Universitas Chicago inilah ada seorang
intelektul Muslim yang cukup tersohor, dikenal sebagai guru dari
Nurcholish Madjid. Ia adalah asli orang Pakistan yang bernama Fazlul
Rahman. Walaupun bukan Nurcholish Madjid saja murid Fazlul Rahman
di Indonesia, tetapi nama tokoh itu menurut hemat penulis menjadi populer
di Indonesia, lewat nama besar sang bintang Nurcholish Madjid.
Kenyataan lain diketahui bahwa ketika buku-buku Fazlul Rahman
ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang banyak memberi
pengantar justru senior Nurcholish Madjid di Universitas Chicago, yaitu
Syafi‟i Ma‟arif.
Fazlul Rahman bagi sebagian orang adalah tokoh yang
kontroversial, sementara bagi para pengagumnya, pemikirannya dapat
memberikan pencerahan. Tokoh yang pernah mengunjungi Indonesia
sangat relevan dibicarakan pemikirannya tentang pendidikan, mengingat
selama ini orang banyak membicarakan pemikirannya dalam bidang
hukum.

276
B. Biografi Fazlul Rahman
Fazlul Rahman menurut situs Wikipedia bernama lengkap Fazlul
Rahman Malik lahir di Hazara India (Pakistan sekarang ini) 21 September
1919. Ayahnya bernama Maulana Shihabuddin, seorang ulama alumni
Darul Ulum Doeband1 India yang cukup tersohor pada saat itu.
Pendidikan dasarnya selain belajar secara formal, ia juga belajar di
rumah dengan ayahnya. Ketika berumur 10 tahun ia telah hapal al-Qur‟an.2
Ayahnya penganut madzhab Hanafi yang bercorak rasional. Tetapi
menurut catatan Taufik Adnan Amal sejak belasan tahun, Rahman telah
lepas dari keterikatan aliran pemikiran Sunni dan mengembangkan
pemikirannya secara bebas.3 Pada tahun 1942, ia telah menamatkan studi
Magisternya di Universitas Punjab India. Tahun 1946 ia melanjutkan
pendidikan Doktornya ke Oxford dan lulus tahun 1951 dalam bidang
filsafat.4
Tentang studinya di Barat, seorang pendeta Hindu pernah bertanya
kenapa Rahman tidak belajar di Mesir? Menurutnya belajar Islam di sana
tidak kritis sama halnya dengan di India. Bahkan ia cukup mencemaskan
konservatisme al-Azhar.5 Rahman ingin mempelajari Islam secara kritis,
tidak dengan dogmatis. Untuk itu, ia memilih untuk belajar di Inggris.
Rahman sebagaimana ditulis Wahyuni Eka Putri memposisikan dirinya
sebagai seorang neo modernis.6 Encyclopedia of Islam and Muslim World
menyebut Rahman sebagai filosof hebat dan pemikir Islam liberal

1
Doeband ( ) adalah kota yang letaknya 150 KM dari Delhi. Sering ditemukan
populeritas sekolah atau lembaga pendidikan dinisbatkan pada nama daerahnya, seperti
Pondok Modern Gontor, dikenal dengan Gontor sebagai nama desa. Demikian juga Darul
Ulum Doeband yang dikenal dengan Doeband. Darul Ulum Doeband berdiri 21 Mei 1866.
Sementara Universitas Aligarh didirikan tahun 1857.
2
Wahyuni Eka Putri, “Hermeneutika Hadits Fazlul Rahman” dalam Syahiron
Syamsuddin (Ed.), Hermeunetika Al-Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), ,
h. 327.
3
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, cet. 6(Bandung: Mizan,
1996), h.79.
4
Wahyuni Eka Putri, “Hermeneutika Hadits Fazlul Rahman”, h. 328. Dalam
catatan Taufik Adnan Amal, Rahman menjadi Doktor tahun 1950 dan Disertasinya tentang
Ibn Sina. Baca Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 82
5
Ibid., h. 81
6
Wahyuni Eka Putri, “Hermeneutika Hadits Fazlul Rahman”, h. 327.

277
terpenting abad ke-20.7 Sebutan liberal itu, bagi sebagian orang menilainya
negatif, padahal kelak maksudnya adalah positif, setidaknya akan
dipahami ketika ia berpendapat bahwa sumber hukum itu adalah moral
Alquran, bukan teksnya. Dengan kata lain, Rahman adalah seorang
kontekstualis dan bukan tekstualis.
Rahman menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin,
Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab, dan Urdu sebagai
bahasa ibunya.8 Penguasaan bahasa tersebut menandakan bahwa Rahman
orang yang giat belajar. Dengan modal menguasai bahasa asing itu, maka
Rahman dapat membaca literature berbahasa asli.
Setelah menyelesaikan Doktornya di Oxford, Rahman mengajar di
Durham University Inggris. Kemudian ia mengajar di Institut of Islamic
Studies, McGill University Canada. Di sinilah ia menjalin persahabatan
dengan seorang orientalis yang terkenal W.C. Smith, yang ketika itu
menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University. 9
Terakhir ia menetap di Chicago sejak tahun 1970.
Rahman dengan pemikiran kritisnya tidak berterima di kampung
halamannya, maka kata Syafi‟i Ma‟arif, ada bumi lain, yaitu Chicago juga
bumi Allah yang dapat menerimanya. Dari Universitas Chicago inilah
Rahman merumuskan pemikiran-pemikirannya sejak tahun 1970.10
Syafi‟i Ma‟arif menuturkan walaupun Rahman tinggal di sarang
orientalis, tetapi ia berpikir dan berhati al-Qur‟an oriented. Untuk itu, ia
tidak pernah basa-basi dalam mengemukakan Islam di lingkungan yang
“asing”. 11 Rahman menurut Syafi‟i Ma‟arif seorang alim yang alim dan
orientalis paling beken. 12 Walaupun Fazlul Rahman seorang orientalis
beken yang alim, tetapi sebagai pelopor metode heurmeneutika dalam
menafsirkan al-Qur‟an yang menurut A.M. Saefuddin diadopsi dari

7
Richard C. Martin (Ed.), Encyclopedia of Islam and Muslim World (USA:
Macmilan, 2003), Jilid II, h. 571
8
Ibid.
9
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 82-83.
10
Syafi‟i Ma‟arif, “Kata Pengantar” dalam Fazlul Rahman, Islam, terj. Ahsin
Mohammad, cet. 2 (Bandung: Pustaka, 1994), h. viii
11
Ibid., h. vi-vii.
12
Ibid., h. vi.

278
metode tafsir Injil, sepertinya ia dinilai negatif oleh para penolak metode
hermeneutika.13
Metode hermeneutika al-Qur‟an yang dianggap negatif oleh A.M.
Saefuddin itu, ternyata Rahman “mempromosikannya” lewat teori double
movement. Teori ini, ketika ingin menafsirkan al-Qur‟an, maka masa
sekarang digiring kembali ke masa al-Qur‟an diturunkan. Setelah itu, masa
turunnya al-Qur‟an ditarik kembali ke masa sekarang. Kenapa demikian,
kata Rahman, masa turunnya al-Qur‟an tidak sama dengan masa sekarang
ini. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa al-Qur‟an itu respon Ilahi melalui
ingatan dan pikiran Muhammad Saw. terhadap situasi moral sosial
masyarakat Arab pada masa Nabi.14
Adapun yang menilai negatif dari karya Fazlul Rahman menurut
muridnya Syafi‟i Ma‟arif tidak perlu banyak ditanggapi sepanjang
perbedaan pendapat itu ditegakkan dengan jujur dengan tetap memelihara
iklim persaudaraan Islam. Perbedaan itu perlu dihadapi dengan logika
dingin dan lapang dada.15
Ada beberapa karya Rahman yang sampai ke tangan kita dan sudah
diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia. Di antaranya: Islam, Tema-
Tema Pokok al-Qur‟an, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, Islam dan
Modernitas, Kontroversi Kenabian dalam Islam, dan Kebangkitan dan
Pembaharuan di dalam Islam.
Studi Islam di Timur menurut pengalaman Rahman tidak kritis.
Untuk itulah setelah ia meraih gelar M.A. di Punjab University dan
meneruskan program Doktor di Lahore, ia merasa tidak puas dengan
pendidikan di Pakistan, sehingga ia melanjutkan program Doktornya di
Oxford University tahun 1946,16 setahun sebelum kemerdekaan Pakistan
dari India.

13
A.M Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus (Jakarta: PPA Consultants, 2010),
h. 18
14
Mawardi. “Hermeneutika al-Qur‟an Fazlul Rahman” dalam Sahiran Syamsuddin
(Ed.), Hermeneutika al-Qur‟an dan Hadits (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 70
15
Syafi‟i Ma‟arif, “Pengantar” dalam Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas, terj.
Ahsin Mohammad, cet. 2 (Bandung: Pustaka, 1995), h. viii
16
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 81

279
Dari fakta di atas, Fazlul Rahman melihat pendidikan secara netral
tanpa mempersoalkan dari mana dituntutnya ilmu. Ia melihat bahwa ilmu
itu netral dan tidak memiliki agama. Setidaknya ia tidak membedakan ilmu
Islam dan ilmu Barat. Rahman orang yang tidak mengharamkan
mempelajari bahasa-bahasa Barat dan tidak seperti sikap sebagian ulama
Muslim yang menilai bahwa bahasa Inggris itu sebagai bahasa kafir.
Sikap Rahman tidaklah anti Timur, tetapi ia melihat kemajuan Barat
secara realistis dan menginginkan orang-orang Islam mengikuti kemajuan
itu. Untuk itu ketika ia menjadi Direktur Riset Islam di Pakistan tahun
1962-1968, ia mengangkat beberapa lulusan madrasah yang menguasai
bahasa Inggris sebagai staff yunior dan mengangkat lulusan universitas
dalam bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial staf senior. Para lulusan
universitas ini diberi pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin ilmu
klasik seperti hadits dan ushul fiqh. 17
Rahman kelihatannya menyadari bahwa orang-orang Islam dalam
konteks Pakistan kurang memahami disiplin ilmu filsafat dan ilmu-ilmu
sosial. Adapun mereka yang memahami disiplin ilmu “umum” itu tidak
memiliki dasar ilmu-ilmu keislaman, sehingga mereka tidak bisa
“berselancar” dengan teks-teks klasik. Selain itu, Rahman juga melihat
begitu pentingnya bahasa Inggiris untuk mengikuti perkembangan zaman
yang pada waktu itu pun telah dikuasai Barat. Kurangnya penguasaan
bahasa Inggris para ulama di Pakistan tahun 1960-an dapat dilihat bahwa
Rahman menerbitkan tulisan-tulisan berbahasa Inggris dalam Jurnal
Islamic Studies. Ketika artikel tentang hadits yang berbicara bahwa hadits
merupakan indeks terhadap Sunnah Nabi dan harus ditafsirkan secara
situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi terkini diterbitkan dalam
bahasa Inggris, tidak muncul kritikan dari para ulama. Lain halnya ketika
artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan diterbitkan dalam
Jurnal Fikr al-Nazhar, maka kritikan muncul secara nasional.
Dari fakta di atas dapat dikatakan bahwa Rahman menilai bahasa
Arab dan bahasa Inggris sangat diperlukan sebagai instrument untuk
memahami Islam. Pandangan yang modern seperti ini telah dilihat oleh

17
Ibid. h. 85

280
Pondok Modern Gontor sejak tahun 1926 dan secara efektif mulai
diberlakukan sejak tahun 1937, pasca pulangnya K.H. Imam Zarkasyi dari
Padang.
Syafi‟i Maarif, murid Fazlul Rahman mengatakan jika seseorang
mempelajari karyanya secara utuh, maka ia akan menemukan bahwa
Rahman sangat berkepentingan membangun kembali kesadaran umat
Islam akan tanggung jawab sejarahnya dengan fondasi moral yang
kokoh.18

C. Pemikiran Pendidikan Islam Fazlul Rahman


1. Akar Keilmuan Pendidikan Islam
Pandangan filsafat pendidikan Islam seorang Muslim sangat
berhubungan erat terhadap pandangannya tentang al-Qur‟an dan juga
hadits. Untuk itu, tulisan ini akan menyinggung pandangan Rahman
tentang al-Qur‟an dan juga Nabi yang membawa wahyu al-Qur‟an ini.
Perhatian utama dari al-Qur‟an menurut Rahman adalah perilaku
manusia.19 Ilmu yang membahas perilaku manusia adalah psikologi dan
dalam kajian Islam ada tasawuf untuk memahami perilaku itu. Psikologi
sebagai filsafat menurut Bruno yang membahas hakikat jiwa. Psikologi
sebagai perpaduan filsafat dan psikologi membahas pikiran, persepsi,
perhatian, dan sebagainya. Sedangkan psikologi murni berbicara tentang
perilaku organisme. 20 Untuk itu perhatian al-Qur‟an itu tertuju pada
psikologi murni, sementara tasawuf tertuju pada psikologi dalam
memahami hakikat jiwa yang menjadi tema sentral dari psikologi itu
sendiri.
Dari pendapat Rahman tersebut di atas tentang perhatian utama al-
Qur‟an dapat dipahami bahwa manusia adalah puncak penciptaan Allah.
Manusia sebagai khalifah atau wakil Allah dalam mengatur bumi ini.
Untuk itulah sangat logis jika perhatian utama al-Qur‟an pada perilaku
manusia, sebab perilaku yang tidak benar dari manusia akan

18
Syafi‟i Maarif, “Kata Pengantar” dalam Fazlul Rahman, Islam dan
Modernitas:,h. v
19
Ibid. h. 15
20
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, cet. 9 (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), h. 339.

281
mengakibatkan kerusakan bumi ini, sebaliknya perilaku yang benar
manusia akan menjadikan bumi ini makmur.
al-Qur‟an sendiri secara pasti bersifat theosentris menurut Rahman.
Orang yang melupakan Tuhan pada akhirnya akan melupakan dirinya
sendiri.21 Untuk itu, pendidikan harus selalu dihubungkan dengan
mengingat Tuhan. Pendidikan yang tidak dihubungkan dengan mengingat
Tuhan itu menurut Rahman bagian dari sekularisme. Sekularisme itu
sendiri adalah keruntuhan modernitas yang sebanding dengan sikap
ateistis. Orang-orang yang melupakan Tuhan dalam lisan, pikiran, dan
perbuatan akan dibalas oleh Yang Maha Kuasa dengan mereka melupakan
diri mereka sendiri. Itu nampaknya suatu sebab-akibat yang sangat logis.
Bagaimana mereka yang melupakan Tuhan bisa melupakan diri mereka
sendiri. Bentuk lupa diri itu bisa jadi mereka itu tidak bisa membahagiakan
diri. Bukankah mereka yang korupsi itu pada awalnya dikelabui oleh
syaitan bahwa bergelimang harta itu membahagiakan. Setelah mereka
diketahui korupsi, maka mereka menjadi “bulan-bulanan” penegak hukum
dan media massa. Rasa malu turut menggerogoti kebahagiaan itu.
Kemerdekaan diperkecil oleh penjara. Tidak berkumpul dengan keluarga
dan juga saudara menggadaikan kebahagiaan yang dulu ia raih. Itu semua
juga dapat dimaknai dari melupakan diri. Itulah yang dibilang oleh
Rahman terdisintegrasinya kepribadian individual maupun kolektif. 22
Lebih lanjut Rahman menyebut bahwa penekanan al-Qur‟an pada
keadilan sosial ekonomi dan persamaan esensial manusia. Rukun Islam
yang dinilai sebagai ajaran par excellence sendiri pun menurut Rahman
mempunyai tujuan sosial dan pembangunan masyarakat egalitarian.
Tidaklah dengan mencari pahala yang banyak untuk memerdekakan
budak, perbudakan harus dipelihara. Pemikiran yang seperti itu tentu
tidaklah digunakan oleh seorang Musim yang cerdas dan peka. Tentu, inti
pembebasan budak adalah penghilangkan perbudakan. Argumen serupa
juga digunakan oleh mayoritas kaum muslimin dan mayoritas pemimpin
Muslim bahwa kewajiban membayar zakat menjadi suatu kemestian

21
Baca Q.S. al-Hasyar/59: 19.
22
Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, h. 16.

282
sebagian orang Muslim tetap ada yang miskin, agar orang-orang kaya
memperoleh derajat di sisi Tuhan. 23 Tentu tidak ada Negara di dunia ini
yang tidak ada orang miskinnya, tetapi cara berpikir demikian sebagai
pukulan yang mematikan bagi orientasi al-Qur‟an.24
Jika diamati penekanan al-Qur‟an untuk keadilan sosial ekonomi
dan persamaan esensial manusia masih sejalan dengan perhatian utama al-
Qur‟an, yaitu perilaku manusia. Perilaku manusia yang ditekankan al-
Qur‟an keadilan sosial ekonomi dan persamaan esensial manusia.
Suatu hal yang jarang juga disebutkan oleh Rahman bahwa al-
Qur‟an bukanlah hanya memuat prinsip-prinsip umum, sementara Sunnah
atau penalaran kita menumbuhkan prinsip-prinsip tersebut menjadi solusi
yang konkrit. Menurutnya kalau dibaca al-Qur‟an dengan teliti, sebagian
besar memberikan solusi dan keputusan terhadap masalah-masalah historis
yang spesifik dan konkrit, hanya saja ada yang eksplisit dan ada yang
implicit. Justru di balik solusi dan keputusan yang eksplisit dan implicit
itu, kita hendaknya manarik prinsip-prinsip umum. 25 Dengan demikian
Rahman melihat al-Qur‟an sebagai doktrin induktif.
Al-Qur‟an menyebutkan dirinya sebagai petunjuk yang paling
lengkap yang memiliki aplikasi praktis dan politis yang tidak semata-mata
teks puji-pujian untuk kesalehan pribadi. Karir kerasulan juga menurut
Fazlul Rahman untuk perbaikan moral dalam artian konkrit dankomunal
dan tidak sekedar bersifat pribadi dan metafisik saja. Dengan kata lain,
manusia mestinya melihat al-Qur‟an dan Sunnah Rasul sumber yang
mampu menjawab semua persoalan. Keberhasilannya akan menambah
keyakinan umat terhadap kemujaraban wahyu itu.26 Kecenderungan
Rahman juga adalah membicarakan metodologi yang bertanggung jawab
secara agama dan ilmu.27 Untuk itu, ia sangat asyik membicarakan metode
menafsirkan al-Qur‟an.

23
Ibid., h. 21
24
Ibid., h. 21-22.
25
Ibid.,h. 22
26
Ibid., h. 2
27
Syafi‟i Maarif, “Kata Pengantar” dalam Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas:
Tentang Transformasi Intelektual, h. v

283
Kaum Sunni abad ke 12 menafsirkan al-Qur‟an dari filsuf-filsuf
Muslim yang system pemikiran mereka berbasis dari filsafat Yunani.
Sementara Syi‟ah menjadikan intelektual Spritual mereka menjadi sufisme
intelektual. Memahami al-Qur‟an dengan mengadopsi pemikiran dari
sumber lain tidak sepenuhnya salah, tapi tidak jarang asing dan tidak
sesuai dengan al-Qur‟an.28
Fazlul Rahman menawarkan metode tafsir al-Qur‟an yang dikenal
dengan teori Double Movement, yaitu memahami al-Qur‟an dengan
memulainya dengan masa sekarang kemudian ditarik ke masa lalu
turunnya ayat al-Qur‟an itu, selanjutnya ditarik lagi ke masa sekarang. 29
Kenapa perlu memahami ayat al-Qur‟an pada masa turunnya, Rahman
mengatakan bahwa ayat al-Qur‟an turun dari proses dialektikanya dengan
realitas sosial. 30
Langkah-langkah metode double movement adalah pertama
memahami makna ayat secara keseluruhan, kedua mengeneralisasi
jawaban-jawaban spesifik dan mengatakan memiliki tujuan moral-sosial
umum. 31 Ajaran-ajaran yang umum itu harus dipraktekkan dalam konteks
sosio-historis yang konkrit di masa sekarang32
Langkah pertama dari metode double movement itu adalah tugas
sejarawan. Sementara langkah kedua tugas instrumentalis dari saintis
sosial dengan “orientasi efektif” dan “rekayasa ethis” dan lebih tepat
adalah tugas para ethisis.33
Jika terjadi kegagalan dalam mengaplikasikannya, maka telah terjadi
kegagalan dalam memahami realitas sekarang ini dan atau kegagalan
dalam memahami al-Qur‟an. Karena tidak mungkin yang dulu benar dan
bisa aplikasikan, malah salah dalam konteks sekarang ini. Keyakinan
Rahman ini sangat beralasan dengan pendapatnya bahwa al-Qur‟an dan
Sunnah mampu menjawab semua permasalah manusia dalam hidup ini.

28
Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, h. 3
29
Ibid., h. 6
30
Mawardi, “Metode Hermeunetika Fazlul Rahman” dalam Sahiron Syamsuddin
(Ed.), Hermeunetika al-Qur‟an dan Hadits, h. 70
31
Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas, h. 7
32
Ibid., h. 8
33
Ibid.

284
Dalam memahami al-Qur‟an saat diturunkan, diperlukan untuk
mengetahui masalah-masalah yang sangat berat pada masyarakat Arab.
Pertama, masalah politeisme (berhala), kedua eksploitasi kaum miskin,
ketiga permainan kotor dalam dagang, dan terakhir tidak adanya tanggung
jawab umum terhadap masyarakat.34 Dengan empat alasan pranata inilah
makanya orang-orang Mekah menolak risalah Muhammad Saw. Pada
priode Madinah, kontroversi terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen
juga yang melatarbelakangi turunnya al-Qur‟an.35
Dari uraian di atas, penulis berpendapat isu penting dari pemikiran
Fazlul Rahman dan termasuk dalam bidang pendidikan bahwa al-Qur‟an
harus dijadikan sebagai pijakan dalam menyelesaikan semua masalah
kemanusiaan sepanjang zaman. 36 Pendapat ini sangat berbeda dengan pada
umumnya ahli yang mengatakan bahwa al-Qur‟an bukan buku ilmiah. Dari
pendapat Rahman di atas, al-Qur‟an sumber segala ilmu dan ia buku
ilmiah, buku filsafat, buku kedokteran, buku geografi, buku sosiologi,
buku antropologi, dan sebagainya dalam pengertian filosofis dimana
prinsip-prinsipnya dapat ditemukan di dalam al-Qur‟an.
Untuk memahami al-Qur‟an yang benar itulah Rahman menawarkan
double movement, yaitu memahami ayat dengan memahami kembali
zaman dimana turunnya ayat itu dengan menghubungkanya dengan situasi
sosial pada saat itu dan kemudian menarik masa lalu itu ke masa sekarang,
terakhir mencoba mengambil nilai apa yang harus diaplikasikan dalam
konteks tempat dan waktu.
Rahman tidak melihat ayat al-Qur‟an sebagai sumber hukum, tetapi
prinsip, nilai-nilai, tujuan moral al-Qur‟an lah yang dijadikan sumber
hukum dan bukan teks harfiahnya. 37 Rahman memberi contoh, al-Qur‟an
menyuruh manusia membebaskan perbudakan, bukan berarti harus
melestarikan perbudakan agar ada orang yang mendapat pahala yang
besar. Dengan adanya kewajiban mengeluarkan zakat, juga tidak berarti

34
Ibid., h. 6
35
Ibid. h. 6
36
Ahmad Syafi‟i Maarif, “Kata Pengantar” dalam Fazlul Rahman, Kontroversi
Kenabiaan dalam Islam, h. 16
37
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 159

285
harus melestarikan kemiskinan, agar para orang kaya dapat mengeluarkan
zakat. Itu menurut Rahman pemikiran yang salah.38 Hal ini jugalah yang
dikatakan oleh Arkoun pemikiran dan praktek yang membuat Islam jauh
dari hukum harga diri dan kemuliaan. 39
Baik Rahman maupun Arkoun dan juga pemikir-pemikir Islam
kontemporer sering dinilai kontra produktif dengan Islam an sich. Padahal,
jika dianalisa secara seksama, semua itu lahir dari rasa kagum dan hormat
terhadap kemuliaan Alquran itu. Dalam memandang kemuliaan dan
keagungan Alquran itulah, corak pemikiran umat Islam “terkotak-kotak”,
sederhananya bisa disebut ada yang bermazhab tekstual, sementara yang
lain bermazhab kontekstual. Yang tekstual melihat, teks Alquran susuatu
yang sudah final baik kata maupun makna, sementara kaum kontekstual
menilai Alquran itu, final dalam arti tekstual, sementara konteksnya selalu
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu, setiap saat
Alquran harus disesuaikan dengan zaman. Kalimat ini telah disalahpahami
oleh kaum tekstual dengan memahaminya bahwa dengan demikian
Alquran itu nilainya rendah dibandingkan dengan zaman. Sebaliknya kaum
kontekstualis menilai, justru disitulah kemukjizatan Alquran yang selalu
adaptif maknanya sepanjang waktu dan tempat (salih likulli zamanin wa
makanin).
Tujuan esensial al-Qur‟an menurut Rahman adalah mencegah orang-
orang berbuat kerusakan dibumi ini dengan tenggelam dengan cara-cara
yang tidak bermoral.40 Mencegah dari kerusakan bumi ini tentu
membutuhkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Untuk itulah
barangkali dalam istilah fiqh, menurut Rahman ada kewajiban kifayah
dalam menuntut ilmu, demi mencegah kerusakan di bumi.Jika telah
memiliki pengetahuan, maka tidak juga menggunakan ilmu itu secara
bebas, sehingga melahirkan dekadensi moral. Orang yang bisa membuat
nuklir, tetapi jika dipergunakan untuk membuat kerusakan, maka hal itu

38
Fazlul Rahman, Islam dan Modernitas, h. 21
39
Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik, terj. Jauhari, dkk
(Surabaya: al-Fikr, 1999), h. 290.
40
Fazlul Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an,terj. Anas Mahyuddin, cet. 2 (Bandung:
Pustka, 1996), h. 77

286
juga tidak sesuai dengan tujuan esensial al-Qur‟an. Ilmu semestinya
digunakan untuk kemakmuran bumi dan segala isinya. Untuk membuat
kesejahteraan penduduk bumi, maka dengan sendirinya, ia juga tidak
membuat kerusakan langit juga atmospir antara bumi dan langit.

2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan harus sealur dengan tujuan hidup manusia. Suatu
yang sangat popular dalam pendidikan islam dikatakan bahwa tujuannya
adalah untuk mengabdi kepada Allah. Hal ini juga dikemukakan oleh
Fazlul Rahman. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa mengabadi kepada
Allah dengan maksud mengembangkan potensi-potensi sesuai dengan
perintah Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk memanfaatkan alam.
Selain itu, mengabdi kepada Allah harus mengetahui cara-cara yang
memadai untuk memperoleh nafkah dalam rangka menemukan jalan yang
benar.41
Manusia akan diuji dengan pengetahuannya, apakah ia
mempergunakannya untuk kebaikan atau keburukan. Keinginan sendiri
atau ketulusan untuk menggunakan pengetahuan dalam rangka berbuat
baik itulah yang dimaksud oleh Fazlul Rahman dengan “mengabdi”
kepada Allah.Mengabdi bukan saja mengembangkan potensi sesuai
dengan perintah Allah, tetapi harus ada ketulusan dalam berbuat. Perintah
Allah kepada alam, di dalam diri manusia berubah menjadi perintah
moral.42 Artinya, alam tidak bisa boleh ingkar dengan ketentuan Tuhan,
sementara manusia bisa taat dan sekaligus boleh ingkar. Di sinilah dituntut
ketulusan manusia dalam bebuat baik.
Syaitan adalah bukan anti-Tuhan, tetapi ia sebuah kekuatan anti
manusia. Ia terus-menurut menyesatkan manusia dari jalan yang lurus,
sehingga terperosok pada jalan yang sesat. 43
Rahman berdasarkan al-Qur‟an mengatakan mementingkan tiga
macam pengetahuan. Pertama, sains-sains alamiah, yaitu pengetahuan
alam yang dibuat oleh Allah tunduk kepada manusia. Kedua, pengetahuan

41
Ibid., h. 12-13
42
Ibid , h. 21
43
Ibid. h. 27

287
sejarah (geografi) karena al-Qur‟an senantiasa mendesak manusia untuk
“berjalan di muka bumi”, sehingga dapat menyaksikan, kebudayaan-
kebudayaan masa lalu, mengapa bangkit dan runtuh. Ketiga, pengetahuan
mengenai dirinya sendiri, yaitu pengetahuan ilmiah berdasarkan observasi
“mata dan telinga”. Pengetahuan ilmiah ini harus “sampai ke hati” dan
menghidupkan persepsi batin manusia44
Rahman secara jelas membedakan ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu
ilmiah. Ilmu yang didapatkan dari hukum alam itu disebut dengan ilmu
alamiah dan ilmu yang didapatkan dari melihat dan mendengar itu ia sebut
dengan ilmu ilmiah. Keduanya bisa juga dikenal dengan ilmu-ilmu
empirik.
Fazlul Rahman memiliki konsep neosufisme yang tidak bersikap
eskapis dari kegiatan dunia, tetapi mengikuti dinamika dan aktivitas dunia
dengan menekankan transendensi Tuhan.45
Para ahli pendidikan Islam sering menyebut kata “taqwa” sebagai
salah satu ikon tujuan pendidikan Islam. Rahman melihat taqwa sebagai
keseimbangan unik karena aksi-aksi moral yang integral. Taqwa juga
merupakan tingkatan tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang
benar-benar utuh dan integral.
Orang kata Rahman biasa menerjemahkan taqwa dengan “takut
kepada Allah” atau “kesalehan”. Hal itu tidak salah, tetapi berbeda dengan
pandangan orang Barat bahwa takut kepada Allah disamakan dengan takut
pada serigala dan takut kepada raja. Takut kepada Allah dalam pengertian
taqwa menurut Rahman adalah takut dari akibat perbuatan buruk baik di
dunia maupun di akhirat.46
Di bagian lain, Rahman menjelaskan dengan taqwa dengan “hati
nurani”. 47 Hati nurani menunjukkan kualitas aktualisasi hati dalam berbuat.
Ketulusan ini memiliki kesamaan konsep Rahman dengan konsep
muridnya, Nurcholish Madjid tentang taqwa. Menurut Nurcholish Madjid,

44
Ibid. h. 51
45
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan
Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 125
46
Fazlul Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, h. 43
47
Ibid. h. 44

288
takwa berarti berbuat baik bukan karena mengharapkan imbalan maupun
pujian dan menghindari keburukan bukan karena takut atas balasannya,
tetapi itu semua dilakukan secara tulus. Ketakwaan ini lebih lanjut menurut
Nurcholish Madjid adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup.
Meningkatkan ketakwaan berarti meningkatkan kesadaran akan kehadiran
Tuhan (omni present).
Lebih dari itu, Rahman juga menjelaskan taqwa sebagai kekuatan
dalam tensi-tensi moral.48 Rahman memahami taqwa sebagai puncak dari
kualitas moral manusia. Puncak moral itu juga disebutkan dengan “cinta”.
Cinta adalah keadilan yang penuh kasih. 49
Rahman sering menyebut semua konsepnya dengan moral. Rahman
juga menyebutkan bahwa misi manusia hidup di dunia ini adalah sebagai
khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah di bumi ini, manusia berjuang
menciptkan tata sosial yang bermoral.50
Tujuan pendidikan Islam menurut Rahman adalah menghasilkan
hamba-hamba yang taat berakhlak mulia yang mempunyai pikiran,
rencana, dan perbuatan sesuai dengan perintah Tuhannya. Dalam
prakteknya membentuk system kebaikan dan keadilan untuk seluruh umat
manusia, sehingga orang berbahagia dan sejahtera.51

3. Metode Pendidikan
Ketika berbicara metode pendidikan, Rahman juga mengutip ayat
yang sangat popular digunakan sebagai rujukan, yaitu Q.S. al-Nahl/16:
125. Metode itu menjadikan pendidikan berdaya guna dan bermanfaat bagi
masyarakat. Dalam menjelaskan ayat tersebut Rahman menyebutkan
bahwa metode mengajar berdasarkan ayat di atas adalah baik sepanjang
zaman. Lebih rinci ia mengatakan,
Kita harus mengajak semua orang kepada jalan Tuhan dan menjelaskan
rinci irodahNya (kehendak)Nya, kita harus mengerjakannya dengan

48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid., h. 26
51
Fazlul Rahman, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. M. Arifin, cet. 3
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 312-313

289
bijaksana dan terarah, berbicara dengan orang-orang sesuai dengan dasar
kemampuannya, dan menyadarkan mereka dengan contoh gambaran sesuai
dengan pengetahuan dan pengalaman mereka, yang berbeda-beda
tingkatannya, ada yang sangat terbatas dan ada pula yang lebih luas. Cara
dakwah kita haruslah tidak bersifat dogmatisme (mengikuti tanpa berpikir),
tidak mengukur badan sendiri, tidak menyerang, akan tetapi harus secara
halus, penuh pengertian dan pertimbangan, karena dengan cara demikian,
akan merarik minat mereka. Sikap dan argumentasi kita tidak boleh kaku
atau terlalu tajam, tetapi harus bergaya menyantuni serta memberi contoh
tauladan yang baik, sehingga pendengar akan berkata kepadanya, “orang
ini tidak hanya menggunakan dialektika (berdialog), juga tidak berusaha
menyakiti hati saya, tetapi ia benar-benar dengan tulus menerangkan secara
rinci keimanan yang ada di dalam dirinya, sedang motifnya adalah
kecintaan kepada manusia dan kepada Tuhannya.”52
Metode di atas sangat penting bagi pengajar dan da‟i dengan
memperhatikan kebijaksanaan dan kata-kata yang indah. Tidak boleh
mengulang-ulang kata-kata klise secara membabi buta. para guru dan da‟i
hendaknya menghindari metode yang sama dalam setiap kesempatan.
Mereka harus mengetahui kelemahan peserta didik atau para pendengar
ceramah, agar bisa menyesuaikan metodenya dengan jalan yang menarik
hati dan akal pikiran mereka.53
Ada dua kriteria ceramah yang baik menurut Rahman, yaitu isinya
tidak penuh dengan argumentasi rasional semata, tetapi harus juga
menggugah perasaan para pendengar. Untuk mencapai tujuan ini,
penceramah tidak mencoba melakukan kutukan pada kejahatan, tetapi rasa
kebencian segera dihilangkan dari mereka. Dalam hal keburukan,
penceramah lebih bijak mengemukakan akibat-akibat dari perbuatan buruk
itu dengan tanpa mengutuk perbuatan itu. Penceramah juga tidak sekedar
berusaha menyadarkan para pelaku dosa dengan akal, tetapi ia juga harus
mencintai mereka dengan penuh perhatian. Kriteria kedua ceramah yang
baik itu, memberi peringatan harus dipersiapkan dengan teratur dan
dilakukan dengan tulus dan ikhlas untuk mensejahterakan para
pendengarnya. Ceramah tidak boleh merendahkan martabat orang dan

52
Ibid., h.274
53
Ibid., h. 274-275

290
menonjolkan bahwa dirinya lebih tinggi. Selain itu, pengajar dan
penceramah juga harus berkeinginan untuk memperbaiki dirinya.54
Para pendidik dan juga penceramah harus dapat berbicara dengan
menarik, menjauhi polemic, menggunakan bahasa yang tidak bernada
menuduh, tidak menggunakan argumen yang terlalu dangkal maupun yang
terlalu tinggi, tidak ingin mempermalukan lawan bicaranya ketika
berdebat.55
Contoh metode dialog atau debat yang baik di dalam al-Qur‟an,
debat antara Nabi Ibrahim a.s. dan raja Babilonia dalam Q.S. 2: 258 dan
juga kisah dialog Nabi Musa dengan Fir‟aun dalam Q.S. 26: 23-33.
Prinsip moral yang fundamental adalah menjauhkan iri hati atau
dengki terhadap orang lain. Kaya-miskin, pintar-bodoh, kuat-lemah,
cantik-jelek, pemimpin-rakyat, dan seebagainya diciptakan untuk
kebinekaan yang tidak membosankan. 56

4. Aksiologi, Epistemologi dan Aksiologi


Rahman berependapat bahwa bukanlah kekayaan seseorang yang
lebih dipentingkan, tetapi bagaimana ia mendapatkan kekayaan dan
bagaimana kekayaan itu digunakan jauh lebih penting.57 Jika ditarik dalam
konteks pendidikan tentu dapat dikatakan bahwa Fazlul Rahman lebih
mementingkan epistemologi dan aksiologi dibandingkan persoalan
ontologisosial. Rahman lebih beraliran proses manfaat. Dalam banyak hal,
Rahman sangat menekankan persoalan moral. Dengan demikian, ia lebih
mementingkan aksiologi daripada epistemologi. Untuk itu, Rahman bisa
disebut seorang moralis dan aksiologist.
Tidak salah jika dikatakan bahwa Rahman adalah seorang moralist
yang secara historis melihat banyak terjadi kerusakan moral. Menurutnya
jika dalam suatu masyarakat moral tidak ditegakkan, maka kemakmuran
akan hancur.58 Konsep kemakmuran sangat jelas berkorelasi langsung

54
Ibid., h. 275
55
Ibid.
56
Ibid., h.. 277-278
57
Fazlul Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, h. 85
58
Ibid., h. 86.

291
dengan kebaikan dan kebaikan itu berkorelasi dengan kebahagiaan. Orang
yang banyak kebaikannya, maka akan banyak kebahagiaannya.
Sebaliknya, sedikit kebaikannya, maka sedikit juga kebahagiaannya.
5. Bangunan Teori Pendidikan
Jujun Suriasumantri menyebutkan bahwa pendidikan adalah sebagai
ilmu pengetahuan definisi terapan berbasis tiga disiplin ilmu yang utama,
yaitu psikologi, sosiologi, dan antropologi. Berikut akan dilihat bagaimana
pandangan Rahman tentang psikologi karena psikologi berhubungan
dengan manusia sebagai brainware pendidikan.
Bruno dalam Kamus Istilah Kunci Psikologi menyebutkan bahwa
ada tiga definisi psikologi secara umum. Pertama psikologi yang
didefinisikan secara filsafat. Definisi ini di antaranya menyebutkan bahwa
psikologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat jiwa. Kedua
psikologi didefinisikan sebagai kombinasi antara filsafat dan psikologi. Di
antaranya didefinisikan bahwa psikologi ilmu tentang kehidupan mental
seperti pikiran, perhatian, persepsi, dan sebagainya. Definisi seperti ini
dipelopori oleh Wundt. Ketiga, psikologi didefinisi murni sebagai
psikologi yang tidak lagi bercampur dengan pengertian filsafat. Di
antaranya psikologi didefinisikan sebagai prilaku organism. Dalam makna
yang ketiga inilah digunakan definisi psikologi sekarang ini. 59 Fazlul
Rahman membahas psikologi dalam al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan
dalam definisi kedua dan yang ketiga.
Manusia secara bebas untuk mengikuti jalan Allah, hanya saja,
melalui pikiran manusia digugah untuk mempercayai Allah tanpa paksaan.
Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 256 dikatakan bahwa mengingkari thagut dan
beriman kepada Allah merupakan pegangan yang kuat yang tidak akan
putus. Untuk itu, manusia segera memiliki standar berpikir bahwa
berpegang teguh kepada selain Allah Swt. pasti rapuh dan tidak aman. 60
Allah mengajak orang-orang kafir untuk menggunakan pikiran, dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya

59
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Terjemahan Cecilia G. Samekto
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237
60
Fazlul Rahman, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, h. 258

292
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
pertemuan dengan Tuhannya. Dan apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah
lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta
memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan.
Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku lalim kepada
mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku lalim kepada diri sendiri.
(Q.S. al-Rum/30: 8-9)
Pendekatan pikiran ini sama halnya dengan pendekatan filsafat yang
mengajak akal untuk berpikir logis. Dari cara berpikir yang benar itu lah
diharapkan manusia memiliki kesadaran bertuhan. Ketika orang-orang
kafir mengingkari akan adanya kebangkitan setelah kematian, Allah
mengajak orang kafir berpikir bagaimana tanah yang dahulu gersang,
dengan disirami air hujan, maka ia menjadi subur.61
Tentang bakhil, Allah menyebutkannya perilaku yang buruk dan
kelak di akhirat harta yang dibakhilkan itu akan dikalungkan ke leher
mereka yang bakhil. 62
Dengan teori apa kita dapat menyebutkan bahwa sifat bakhil itu
baik. Jika kita bakhil, maka orang lain tidak menyukainya. Jika tidak ada
yang menyukai kita, maka itu adalah bencana. Spirit of giving akan
menjadikan harta bernilai. Perumpamaannya, jika kita bakhil, maka harta
itu menjadi beban yang memberatkan dan menyengsarakan di suatu saat.
Rahman mengutip ayat-ayat al-Qur‟an yang berhubungan dengan
perilaku yang buruk, di antaranya rakus, kepalsuan, kemunafikan,
berlebih-lebihan, pemerasan, memintnah, iri hati, sombaong dan
congkak. 63
Selain itu juga Rahman mengutip ayat al-Qur‟an yang berhubungan
dengan persahabatan. Q.S. al-Hujrat ayat 11 disebutkan bahwa kita tidak

61
(Q.S. al-Rum/30: 24)
62
(Q.S. Ali Imran/3: 180)
63
Fazlul Rahman, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, h. 264-266

293
boleh mengolok-olok kawan, boleh jadi orang yang kita olok-olok itu lebih
baik dari kita. Jangan juga kita mencela diri kita sendiri dan juga jangan
memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk.
Dasar dari semua pendidikan menurut Rahman adalah tauhid.
Tauhid merupakan awal dan akhir dari pengetahuan manusia. 64 Tauhid
adalah mengesakan Allah secara praktis baik secara verbal, perbuatan, dan
juga sikap. Tauhid bukanlah pemikiran tentang ketuhanan, tapi praktek
pengesaan itu sendiri. Berbagai dzikir seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil,
istighfar, dan silsilah dzikir lainnya adalah contoh dari tauhid verbal.
Contoh dari tauhid perbuatan, ketika seorang pedagang ingin laris
jualannya, maka ia membaca teori-teori ekonomi dan mempraktekkannya.
Ketika seseorang yang sakit fisiknya, maka ia pergi ke dokter. Bisa juga
ketika orang yang akan menghadapi ujian, ia belajar dan bukan membawa
contekan, itu semua menurut penulis sebagai tauhid perbuatan. Di zaman
yang “edan” ini ada ungkapan, “mencari yang haram saja susah, apalagi
mencari yang halal”. Kemudian ada juga ungkapan, “jujur membuat hidup
jadi susah”. Kedua ungkapan itu jika tidak diyakini adalah merupakan
tauhid dalam pengertian sikap.
Nabi Muhammad Saw. diutus ke dunia ini menurut Rahman untuk
mendidik manusia sebaik-baiknya, sehingga manusia memahami dan
berbuat atau beramal dengan cara yang lebih baik. Kesimpulan dari
Rahman ini berdasarkan Q.S. al-Jum‟ah/62: 2.65
Pendapat di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah untuk mendidik manusia, agar mereka beramal shaleh dengan
baik. Di sini kelihatan secara konkrit apa yang akan dicapai dari
pendidikan Islam itu, yaitu amal shaleh dengan metode yang baik.
al-Qur‟an juga memberitahukan kita kata Rahman bahwa
pengetahuan dan pelajaran yang benar itu hanya didapatkan dari

64
Ibid., h. 270
65
Ibid. Selain merujuk pada Surah al-Jum‟ah/62: 2, juga Rahman merujuk Surah
Yunus/10: 57, al-Maidah/5: 15-16, al-Isra/17: 81-82

294
Rasulullah Saw. Untuk pendapatnya ini ia merujuk pada Surah Q,S.
Ghafir/40: 38,41-42).66
Lebih lanjut Rahman mengatakan bahwa pendidikan dan pelajaran
selain dari utusan Allah hanyalah dugaan dan terkaan belaka, karena itu
tidak berguna untuk manusia. 67 Sayang di sini kita tidak melihat
bagaimana Rahman melihat secara jelas kedudukan akal, indra, intuisi, dan
instring dalam memperoleh pengetahuan.
al-Qur‟an telah mempelopori studi psikiatri dan psikoterapi dengan
memperhatikan manusia dan problem-problemnya melalui analisa jiwa dan
pribadinya. Keberhasilan Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam juga
tidak terlepas dari upayanya dalam mempelajari psikologi bangsa Arab. 68
al-Qur‟an menganalisa semua aspek jiwa manusia. Untuk itulah,
Muhammad mengetahui dimana, kapan dan bagaimana beliau masuk ke
dalam jiwa para pengikutnya dan apa saja yang harus dicari dari jiwa
mereka. Semua kepribadian masyarakat menjadi buku yang terbuka bagi
Rasulullah. Dari alasan itulah, maka Rahman menyebutkan bahwa al-
Qur‟an di tangan Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar psikiatri
modern.69
Persoalan jiwa dan pribadi manusia itu dapat dilihat dari beberapa
contoh ayat al-Qur‟an Q.S. /16: 3-4,12: 105-107, 30: 8-10, 30: 20-24, 22:
45-48, 45: 21-22, 24-26, 20: 131, 57: 22-24.
Masalah psikoterapi juga disebutkan dalam beberapa ayat di
antaranya Q.S. 38: 41-42, 36: 66-67, 12: 93-96, 8: 43-44, 11-12, 3: 151,
33: 26, 59: 2. Ayat itu semua merupakan kasus psikoterapi yang berhasil
dipraktekkan. Itu semua bisa dijadikan landasan teoretis bagi para ilmuan
psikoterapi.70

66
Fazlul Rahman, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, h. 271. Selain merujuk
pada Surah Ghafir/40: 38, 41-42, jugamerujuk pada Q.S. al-Syura/42: 18-20, al-Najm/53:
28-29
67
Fazlul Rahman, al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, h. 272
68
Ibid., h. 291
69
Ibid., h.292
70
Ibid., h. 297

295
D. Penutup
Fazlul Rahman dalam pemikirannya, termasuk dalam bidang
pendidikan sarat dengan sumber Alquran. Alquran baginya bukanlah
sumber hukum dalam pengertian teks, termasuk dalam hal ini sumber
pemikiran pendidikan. Baginya prinsip, nilai, dan moral Alquran itulah
yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi.
Tujuan pendidikan bagi Rahman untuk mengabdi kepada Allah.
Mengabadi kepada Allah dengan maksud mengembangkan potensi-potensi
sesuai dengan perintah Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk
memanfaatkan alam. Tujuan lain adalah untuk melahirkan manusia yang
bertakwa. Rahman melihat taqwa sebagai keseimbangan unik karena aksi-
aksi moral yang integral. Pendidikan juga bertujuan menghasilkan hamba-
hamba yang taat berakhlak mulia yang mempunyai pikiran, rencana, dan
perbuatan sesuai dengan perintah Tuhannya. Mengenai metode, Rahman
mengatakan agar menjadikan pendidikan berdaya guna dan bermanfaat
bagi masyarakat. Adapun persoalan landasan filosofis dari ilmu, Rahman
mengutamakan aksiologi daripada epistemologi dan lebih mengutamakan
empistemologi dari ontologi. Terakhir dalam makalah ini disebutkan
bahwa psikologi sebagai salah satu basis teori pendidikan dalam
pembahasannya, ia melihat psikologi sebagai kombinasi antara filsafat dan
psikologi dan psikologi murni sebagai psikologi yang tidak lagi bercampur
dengan pengertian filsafat.
Sebagai catatan penting, pemikiran seseorang ketika dipahami
seseorang, sementara yang memiliki pemikiran tersebut tidak lagi hidup,
sehingga tidak lagi bisa dikonfirmasi kebenarannya, maka sesungguhnya
yang terjadi adalah penafsiran terhadap pemikiran. “Pendidikan Islam
Fazlul Rahman” dalam makalah ini, tentu tafsiran penulis. Subjektivitas
kemampuan penulis sangat melekat dalam penyusunannya. Untuk itu
sangat mungkin untuk diperdebatkan.

296
DAFTAR PUSTAKA

`Abduh, Muḥammad. Juz „Amma. terj. Haidar Bagir, cet. 5. Bandung:


Mizan, 1999.
______. Risâlah al-Tauhîd. Cairo: Dar al-Manar, 1366 H.
`Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-
Qur‟an. terj. M. Arifin, cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
`Alī, Sa‟ad Ismāīl. as-Sunnatu an-Nabawiyah: Ru‟yatun Tarbawiyyatun.
Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī, 2002.
`Aqqād, Abbās Maḥmūd. al-Insān fī al-Qur‟ān, cet. 4. Kairo:Nahdah Miṣr,
2005.
Abaza, Mona. Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus
Alumni Universitas al-Universitas al-Azhar. Jakarta: LP3ES,
1999.
Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz „Amma. Diterjemahkan oleh Muhammad
Baqir. Cet. V. Bandung : Mizan, 1999.
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-
Quran. Diterjemahkan oleh M. Arifin dan Zainuddin. Cet.
II.Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Adam, Charles. C. Islam and Modernisin in Egypt. New York: Pussel &
Russel), 1993.
Ad-Dimasyqī, Ismāīl ibnu Kaṡīr. Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm. Jilid XI,XII.
Kairo: Maktabah Aulād al-Syaikh li at-Turāṡ, 2000.
Al Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami. Bandung: Cita Pustaka, 2008.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. terj.
Haidar Bagir, cet. 7. Bandung: Mizan, 1996.
Al-Biqa‟i, Burhanuddin Abi al-Husin Ibrahim Umar. Naẓmu ad-Durar fi
Tanāsub al-Ayāt wa as-Suwar. Jilid 16. Cairo: Dar al-Kitab al-
Islami, t.t.
Al-Bukhārī, Imām. Ṡaḥīḥ al-Bukhārī. Jilid 8. Semarang: Toha Putra, t.t.
Al-Din, Iman Abd al-Mu‟min Sa‟d. al-Akhlāq fī al-Islām. Kairo:
Maktabah al-Rusy, 2002.

297
Al-Gazāli, Imām. Ihyā Ulūm al-Dīn. Jilid 3. Semarang: Toha Putra, t.t.
______. Keajaiban Hati. Jakarta: Tintamas, 1984.
Al-Hasan, Abd. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Qarni al-Râbi‟ al-Hijri.
Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
______. al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Al-Hazimi, Khalid Ibn Hamid. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah. Riyadh:
Dar `Alim al-Kutub, 2000.
Al-Kailani, Majid Irsan. Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyah. USA, IIIT, 1996.
Al-Khaulī, Muḥmamad Alī. Qāmūs at-tarbiyah. Beirut: Dār al-Ilmi li al-
Malāyīn, 1981.
Al-Khaznadar, Mahmud Muḥammad. Hażā Akhlāqunā Hīna Nakūnu
Mu‟minan Haqqan. Cet. 2. Riyāḍ: Dar Tayyibah, 1997.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghi. Terj. K. Anshari Umar
Sitanggal. Cet. 2. Jilid 7 dan 12. Semarang: Toha Putra, 1993.
______. Tafsīr al-Marāgī. Jilid 20. Mesir: Mustafa al-Bab al-Halbi wa
Auladuhu, 1946.
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Tafsir al-Qur‟an Kontemporer:
Visi dan Paradigma. Diterjemahkan oleh Moh. Magfur Wachid.
Bangil: al-Izzah, 1997.
Al-Nahlawi, Abdul Rahman. al-Tarbiyah bi al-Ayat. Cet. 2. Beirut: Dar al-
Fikr, 1995.
Al-Ragib al-Asfahan.i, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-
Ma`rifah, t.t
Al-Sha‟idi,Abdul al-Muta‟al. al-Mujaddidûna fi al-Islâm : min al-Qarni
al-Awwal ila al-Qorni al-Rabi‟ „Asyar. Kairo : Makatabah Adab,
t.t.
Al-Syaibani, Umar Muhammad. Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al-Tauyajri, Ali ibn Muhamad, dkk. Min A`lam al-Tarbiyah al-Islamiyah.
Jilid 1. t.k.: Maktabah al-Tarbiyah al-`Arabi al-Khalij, 1988
Al-Thanahi, Thahir. Muzakkirat. Cairo : Dar al-Hilal, t.t.
______. Muzakkirat. Cairo : Dar al-Hilal, t.t.
Al-Zamaksyari, Abi al-Qasim Mahmud. al-Kasysyaf. Juz 3 dan 5. Riyadh:
Maktabah Abikan, 1998.

298
Amal, Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas. Cet. 6.
Bandung: Mizan, 1996.
Amīn, Aḥmad. Kitāb al-Akhlāq. Kairo: Dār al-Kutb al-Misriyah, 1931.
An-Nausaburi, Syeikh Imam Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi Asbābu
an-Nuzūl. Beirut:: Alam al-Kutb, t.t.
Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia Diungkap Al-Qur'an. (terj.). Cet. III,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2003.
Arkoun, Mohammed. Membongkar Wacana Hegemonik. Terj. Jauhari,
dkk. Surabaya: al-Fikr, 1999.
Asari, Hasan. Etika Akademis Dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008.
Ashraf, Ali. Horizon Pendidikan Islam. Terj. Sori Siregar. Cet. 3. t.k:
Pustaka Firdaus, 1996.
Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 2. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011.
As-Suyūtī, `Abdul Raḥman Ibn Abi Bakar. Ad-Durr al-Manṡūr fī at-Tafsīr
bi al-Ma‟ṡūr. Mesir: Dar Hijr, 2003. Jilid XI.
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas,
dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia, 2002.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta:
Andi Offset, 1990.
Bruno, Frank. J.Kamus Istilah Kunci Psikologi. terj. Cecilia G. Samekto.
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Cet. 9. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004.
Dalimunthe, Fakhrur Razi,dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Medan: IAIN
Press, 1996.
Darmu‟in. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan
Islam. Semarang: Pustaka Pelajar, 1999.
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Terjemahan Cecilia G.
Samekto (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237
Fuad Zakariah, Alam al-Ma‟rifah: al-Wujudiyah,e-book.

299
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah.
Cet. 30. Jakarta: Litera AntarNusa, 2005.
Hanafi, Mukhlis M.Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Abu Hanifah.
Jakarta: Lentera Hati, 2013.
______. Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Jakfar al-Shadiq. Jakarta:
Lentera Hati, 2013.
______. Biografi Lima Imam Madzhab: Imam Syafi`i. Jakarta: Lentera
Hati, 2013.
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005.
Hidarah, Muhammad Mustafa. Min A‟lami al-Tarbiyah al-Islamiyah. Jilid
V. Cairo: Maktabah al-Tarbiyah al-‟Arabi li al-Daui al-Khaliji,
1989.
Imarah, Muhammad. Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi
Tajdîdi al-Dîn. Kairo: Dar al-Syuruq, 1408 H.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia. Terj. Agus Fahri, dll. Cet. 2.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.
Jalalaluddin. Teologi Pendidikan. Cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. Jakarta: GMP, 1997.
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya.
Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Jamali, Muhammad Fadhil. al-Falsafah al-Tarbawiyah fi al-Qur‟an.
Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1980.
Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
______. Menyelami Lubuk Tasauf. Jakarta: Erlangga,2006.
______. Nalar Religius. Jakarta: Erlangga, 2007.
______. Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan.
Bandung: Mizan, 2003.
______. Sains dan Matematika Dalam Islam. Jakarta: Ushul Press, 2009.
______. Menyelami Lubuk Tasauf. Jakarta: Erlangga, 2006.
______. Nalar Religius. Jakarta: Erlangga, 2007.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: al-Husna
Zikrah. 2000.

300
______. Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial.
Jakarta: GMP, 2002.
Lubis, Arbiyah. Muhammad Abduh dan Muhammadiyah. Disertasi.
Jakarta: Syarif Hidayatullah, 1989.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramdina, 1997.
______. Islam Doktrin dan Peradaban. Cet. 4. Jakarta: Paramadina, 2000.
______. Kaki Langit dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1997.
Maḥmūd, „Ali „Abd al-Ḥalīm. at-Tarbiyah al-Khuluqiyyah.t.k: Dār al-
Tauzi‟ al-Naṣr al-Islāmī, 1997.
Martin, Richard C. (Ed.). Encyclopedia of Islam and Muslim World. JIlid
2. USA: Macmilan, 2003.
______. (Ed.).Encyclopedia of Islam and Muslim World. USA: Macmilan,
2003. Jilid II.
Mihnā, Aḥmad Ibrāhīm. at-Tarbiyah al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Sya‟bi,
1982.
Milkawi, Fathi Hasan (ed.). Buhuts al-Mu`tamar al-Tarbawi. Jilid 2.
Amman: al-Syirkatu al-Jadidah, 1991.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
______. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah. Jakarta: UIP
Press, 1987.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Baru. Jakarta: GMP,
2005.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010.
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Syeikh Muhammad Abduh.
Disertasi. Jakarta : Syarif Hidayatullah, 1993.
Panjawani, Farid. “The Islamic in Islamic Education: Assesing the
Discourse”, Current Issue in Comparative Education, Columbia
University, Vol 7 (1), 2004.
Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. 10. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Pusat Bahasa Dept. Pend. Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Dept. Pend. Nasional, 2008.

301
Qutb, Muhammad. Manhaj at-Tarbiyah al-Islāmiyah. Jilid I. Kairo: Dār
al-Qalam, t.t.
Rahman, Fazlul. al-Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan. terj. M. Arifin. cet.
3. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
______. Islam dan Modernitas. terj. Ahsin Mohammad. Cet. 2. Bandung:
Pustaka, 1995.
______. Islam. (terj.). Bandung: Pustaka Hidayat, 1994.
______. Islam. terj. Ahsin Mohammad Cet. 2. Bandung: Pustaka, 1994.
______. Kontroversi Kenabiaan dalam Islam. Bandung: Mizan, 2003.
______. Tema Pokok al-Qur‟an. terj. Anas Mahyuddin. cet. 2. Bandung:
Pustka, 1996.
______. Tema-Tema Pokok Al-Our'an. Bandung: Pustaka, 1996.
______. Tema-Tema Pokok al-Qur‟an. Cet. 2. Bandung: Pustaka, 1996.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 2. Jakarta:
Kalam Mulia, 2010.
Riḍā, Muḥammad Rasyīd. Tafsīr al-Manār, Cet. 3. Jilid. 1,2,4,5,8, dan 11.
Kairo: Dār al-Manār, 1367 H.
Ridha, Muhammad Rasyid. al-Manâr. Jilid VIII. Cairo: Dar al-Manar, t.t.
______. Tafsîr al-Manâr. Jilid II. Cairo: Daral-Manâr, 1365H.
______. Tafsîr al-Manâr. Jilid IV. Cairo: Dar al- Manâr. 1365 H.
Ridha, Muhammad Rasyid. Târikh al-Imâm al-Syeikh Muhammad Abduh.
Mesir: al-Manâr, 1931.
Ridha, Rasyid. Târikh al-Imâm al-Syeikh Muhammad Abduh. Mesir, al-
Manâr, 1931.
Saefuddin, A.M. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PPA Consultants,
2010.
Saleh, Akh. Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta:
Erlangga, 2012.
Saridjo, Marwan (Peny.). Mereka Bicara Pendidikan Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik, cet. 2. Bandung: Mizan, 2002.
Shihab, M. Quraish, dkk. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata. Jilid
1. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
______. Membumikan al-Qur‟an. Cet. 17. Bandung: Mizan, 1998..

302
______. Wawasan al-Qur‟an. Cet. V. Bandung: Mizan, 1997.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011.
Suriasumantri, Jujun S. Filasat Ilmu. Cet. 18. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005.
Syahiron Syamsuddin (Ed.). Hermeunetika Al-Qur‟an dan Hadis.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
______. Hermeneutika al-Qur‟an dan Hadits. Yogyakarta: Elsaq Press,
2010.
Tafsir, Ahmad (Ed.). Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung:
IAIN Press, 1995.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
______. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
______. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. XV, 2007.
______. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. IV, 2004.
Tirtarahardja, Umar. dan S.S. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Edisi
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. 23. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: YayasanPenyelenggara
Penterjemah/Pentafsiran Al-Qurian, 1989.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 3. Jakarta: Bumi Aksara,
2004.

303
304

Anda mungkin juga menyukai