Anda di halaman 1dari 259

Buku Ajar

PERBANDINGAN
SISTEM POLITIK
DAN PEMERINTAHAN
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman
sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan
tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Buku Ajar
PERBANDINGAN
SISTEM POLITIK
DAN PEMERINTAHAN

Anwar Sadat
BUKU AJAR
PERBANDINGAN SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Anwar Sadat

Desain Cover : Dwi Novidiantoko


Tata Letak Isi : Emy Rizka Fadilah
Sumber Gambar: www.freepik.com

Cetakan Pertama: Juni 2017

Hak Cipta 2017, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2017 by Deepublish Publisher


All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: deepublish@ymail.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

SADAT, Anwar
Buku Ajar Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan/oleh Anwar
Sadat.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Juni-2017.
xx, 247 hlm.; Uk:14x20 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Politik dan Pemerintahan I. Judul


320
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Buku Ajar : PERBANDINGAN SISTEM POLITIK


DAN PEMERINTAHAN
Mata Kuliah : Sistem Politik dan Pemerintahan
Nama Penulis : ANWAR SADAT, S.Sos., M.I.P.
NIDN : 0919097504
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Baubau, Mei 2017


Penyusun

Anwar Sadat, S.Sos., M.I.P


NIDN. 0919097504

Menyetujui:

Pembimbing, Kepala LPPM,

Drs. H. Mansur, M.Si Hardin, SP, MM


NIDN. 0931126624 NUPN.9909004039

v
PRAKATA

Alhamdulillahirabbil'aalamin, segala puja dan puji


syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Penyayang.
Tanpa karunia-Nya, mustahillah naskah buku ajar ini
terselesaikan tepat waktu mengingat tugas dan kewajiban lain
yang bersamaan hadir.
Penulis benar-benar merasa tertantang untuk
mewujudkan naskah buku ajar ini sebagai bagian untuk
mempertahankan slogan pribadi banyak memberi banyak
menerima. Buku ajar ini ditulis berdasarkan keinginan penulis
yang sering mengamati perilaku mahasiswa. Penulis akan lebih
punya waktu untuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa.
Sedang bagi mahasiswa, buku ajar dapat meningkatkan
kegembiraannya (karena tidak terus menerus mendengar ceramah
dosennya, dan dapat belajar aktif mandiri melalui membaca) dan
mampu memperkaya informasi yang diterimanya.
Terselesaikannya penulisan buku ajar ini juga tidak terlepas dari
bantuan beberapa pihak. Karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih kepada LPPM Universitas Muhamadiyah Buton
Dengan kepercayaan tersebut, penulis berkeyakinan bahwa itu
dapat mendukung penulis dalam upaya meningkatkan kualitas
diri dan karya untuk waktu yang akan datang. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Buton.
Semua bentuk kemudahan yang telah diberikan benar-benar
bermanfaat bagi penulis untuk belajar menjadi pribadi yang lebih
baik.
Selain itu, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
kepada segenap pengelola Program Studi Ilmu Pemerintahan.

vi
untuk semua bantuan, motivasi, dan saran-sarannya. Meskipun
telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan, penulis
menyadari juga bahwa buku ini masih mempunyai kelemahan
sebagai kekurangannya. Karena itu, penulis berharap agar
pembaca berkenan menyampaikan kritikan. Dengan segala
pengharapan dan keterbukaan, penulis menyampaikan rasa
terima kasih dengan setulus-tulusnya. Kritik merupakan
perhatian agar dapat menuju kesempurnaan. Akhir kata, penulis
berharap agar buku ajar ini dapat membawa manfaat kepada
pembaca. Secara khusus, penulis berharap semoga buku ajar ini
dapat menginspirasi generasi bangsa ini agar menjadi generasi
yang tanggap dan tangguh. Jadilah generasi yang bermartabat,
kreatif, dan mandiri.

Penyusun,

Anwar Sadat, S.Sos., M.I.P.


NIDN. 0919097504

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


penyusunan Buku Ajar Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan berhasil diselesaikan. Penyusunan Buku Ajar ini
dilakukan sebagai realisasi kegiatan Workshop Penulisan Buku
Ajar yang diselenggaran oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Buton.
Penyusunan Buku Ajar Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan dimasudkan sebagai salah satu bahan ajar dalam
perkuliahan Sistem Politik Indonesia, Perbandingan
Pemerintahan. Proses pembelajaran dengan mengaplikasikan
metode Problem Base Learning, sebagai salah satu teknik
pembelajaran dalam metode Student Centre Learning. Dengan
menggunakan Block Book, mahasiswa dimotivasi untuk
menggali potensi kompetensinya, baik aspek knowledge,
Attitude, maupun Skill-nya.
Karena itu, substansi Buku Ajar Perbandingan Sistem
Politik dan Pemerintahan meliputi: istilah dan pengertian-
pengertian Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan; Teori
Perbandingan Sistem Politik; Komparasi Pemikiran David
Easton Dan Gabriel Almond Tentang Sistem Politik; Pendekatan
dalam Perbandingan Pemerintahan; Kelembagaan dan Tipe-tipe
Sistem Pemerintahan dan Bentuk-Bentuk Pemerintahan.
Mata kuliah ini menghubungkan konsep-konsep teori
perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan dengan Negara-
negara lain dengan realitas yang terjadi di dalam masyarakat.
Karena itu, dalam perkuliahan digunakan berbagai contoh kasus.
Dengan tersusunnya Buku Ajar ini, sepatutnya kami
mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas

viii
Muhamadiyah Buton dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Buton yang telah
memberikan pelatihan penyusunan buku ajar. Terima kasih pula
kepada seluruh pimpinan Universitas Muhammadiyah Buton dan
segenap civitas akademika karena telah mendukung program ini.
Akhir kata kami mohon maaf atas segala kekurangan dan
kelemahan baik dalam substansi maupun metode yang terdapat
dalam buku ajar ini. Kami mohon masukan untuk
penyempurnaannya.

Mei, 2017

Penyusun

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................. v


PRAKATA ............................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................ x
TINJAUAN MATA KULIAH .............................................. xiv
BAB I PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP PERBANDINGAN SISTEM
POLITIK DAN PEMERINTAHAN ...................... 1
A. Pendahuluan ............................................................. 1
a) Deskripsi Singkat .............................................. 1
b) Relevansi .......................................................... 1
c) Capaian Pembelajaran ....................................... 1
B. Penyajian.................................................................. 2
a) Pengertian Perbandingan Sistem
Politik dan Pemerintahan ................................... 2
C. Pentingnya Perbandingan Sistem Politik
dan Pemerintahan ..................................................... 3
D. Ruang Lingkup Perbandingan Sistem
Politik dan Pemerintahan .......................................... 6
E. Manfaat Ilmu Perbandingan Pemerintahan .............. 19
F. Tujuan Perbandingan Pemerintahan ........................ 23
G. Rangkuman ............................................................ 24
H. Latihan ................................................................... 25
I. Daftar Pustaka ........................................................ 30

x
BAB II TEORI PERBANDINGAN SISTEM
POLITIK .............................................................. 31
A. Pendahuluan ........................................................... 31
a) Deskripsi singkat ............................................. 31
b) Relevansi ........................................................ 31
c) Capaian Pembelajaran ..................................... 31
B. Penyajian................................................................ 32
a) Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan .................................................. 32
C. Teori-Teori Sistem ................................................. 37
D. Teori-Teori Kelas ................................................... 41
E. Rangkuman ............................................................ 43
F. Latihan ................................................................... 44
G. Daftar Pustaka ........................................................ 47
BAB III KOMPARASI PEMIKIRAN DAVID
EASTON DAN GABRIEL ALMOND
TENTANG SISTEM POLITIK ........................... 49
A. Pendahuluan ........................................................... 49
a) Deskripsi singkat ............................................. 49
b) Relevansi ........................................................ 49
c) Capaian Pembelajaran ..................................... 49
B. Penyajian................................................................ 50
a) Kerangka Sistem Politik Menurut
David Easton................................................... 52
b) Konsep Sistem Politik oleh Gabriel A.
Almond ........................................................... 58
c) Analisis Konsep Sistem Politik oleh
Mohtar Mas’oed .............................................. 61
d) Pendekatan Sistem Politik David
Easton ............................................................. 67

xi
e) Gabriel Abraham Almond dan
Struktural Fungsional ...................................... 77
C. Rangkuman ............................................................ 89
D. Latihan ................................................................... 90
E. Daftar Pustaka ........................................................ 91
BAB IV PENDEKATAN DALAM
PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
DAN POLITIK ..................................................... 93
A. Pendahuluan ........................................................... 93
a) Deskripsi singkat ............................................. 93
b) Relevansi ........................................................ 93
c) Capaian Pembelajaran ..................................... 94
B. Penyajian................................................................ 94
a) Perbandingan Pemerintahan dan
Perbandingan Politik ....................................... 94
C. Perkembangan-Perkembangan Baru........................ 97
a) Pendekatan
Kelembagaan/Institusional/Tradisiona
l (1920-1930) ................................................ 102
D. Pendekatan Behavioural/Tingkah Laku ................. 108
E. Pendekatan Pascabehavioral ................................. 127
F. Kebudayaan Politik .............................................. 132
G. Tingkah Laku Menyeluruh dan Kekerasan ............ 136
H. Rangkuman .......................................................... 140
I. Latihan ................................................................. 141
J. Daftar Pustaka ...................................................... 151
BAB V KELEMBAGAAN DAN TIPE-TIPE
SISTEM PEMERINTAHAN ............................. 153
A. Pendahuluan ......................................................... 153
a) Deskripsi singkat ........................................... 153

xii
b) Relevansi ...................................................... 153
c) Capaian Pembelajaran ................................... 153
B. Penyajian.............................................................. 154
a) Perspektif Teoretis Mengenai
Kelembagaan ................................................ 154
C. Kerangka Kerja Kelembagaan .............................. 160
D. Tipe-Tipe Sistem Pemerintahan ............................ 164
a) Sistem Pemerintahan Parlementer.................. 165
b) Sistem Pemerintahan Presidensiil .................. 174
c) Sistem Pemerintahan Campuran .................... 182
E. Rangkuman .......................................................... 189
F. Latihan ................................................................. 190
G. Daftar Pustaka. ..................................................... 194
BAB VI BENTUK-BENTUK PEMERINTAHAN .......... 195
A. Pendahlualuan ...................................................... 195
a) Deskripsi singkat ........................................... 195
b) Relevansi ...................................................... 195
c) Capaian Pembelajaran ................................... 196
B. Penyajian.............................................................. 196
a) Klasifikasi Pemerintahan oleh Satu
Orang, Sedikit Orang dan Banyak
Orang ............................................................ 196
C. Rangkuman .......................................................... 217
D. Latihan ................................................................. 219
E. Daftar Pustaka ...................................................... 226
GLOSARIUM ...................................................................... 228
CURRICULUM VITAE ...................................................... 231

xiii
TINJAUAN MATA KULIAH

I. Deskripsi Singkat
Subjek utama kajian mata kuliah Perbandingan Sistem
Politik & Pemerintahan berkaitan dengan sistem politik suatu
negara dan komparasinya dengan sistem negara lainnya. Artinya;
Perbandingan sistem politik adalah juga studi yang mempelajari
teori teori sistem politik dan sistem pemerintahan. Dalam sistem
politik dikenal supra struktur politik dan infrastruktur politik.
Perbandingan berbagai negara dengan berbagai warna sistem
politik merupakan salah satu bidang analisis politik yang menarik
dan penting. Studi perbandingan ini dapat membantu kita untuk
memahami bagaimana bekerjanya berbagai sistem politik, ciri-
ciri apa dari berbagai sistem politik yang sama, mengapa tipe-
tipe pemerintahan tertentu bisa stabil, sedangkan tipe-tipe
pemerintahan yang lain selalu tidak stabil, mengapa masyarakat
politik tertentu dapat berhasil, sedangkan yang lain tidak dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya, dan
sebagainya. Dengan demikian studi perbandingan pemerintahan
merupakan kunci untuk memahami sebuah atau sejumlah sistem
politik.Mata kuliah ini akan membahas mengenai ruang lingkup,
pengertian dan makna ilmu perbandingan pemerintahan,
pendekatan-pendekatan perbandingan pemerintahan, faktor-
faktor yang mempengaruhi sistem pemerintahan suatu negara
serta kajian kasus tentang penyelenggaraan pemerintahan dan
perbandingan sistem pemerintahan beberapa negara di dunia.
Setelah mempelajari mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa
mampu menggunakan berbagai teori, konsep dan pendekatan
ilmu pemerintahan untuk menganalisis berbagai sistem dan
masalah pemerintahan di berbagai negara. Pada prinsipnya, Buku

xiv
Ajar Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan ini bertujuan
untuk memberi pedoman serta bimbingan bagi mahasiswa untuk
memahami perbandingan sistem politik dan pemerintahan di
berbagai negara di dunia dan kemudian membandingkannya.
Mata kuliah ini bertujuan metode untuk
memperbandingkan sistem politik baik perbandingan
(geographical) negara maupun komparasi berdasarkan masa
pemerintahan (time frame). Sedangkan scope bahasan yang
diperhatikan berkaitan dengan tiga hal : 1. Konsep sistem politik,
2. Ciri dan struktur sistem politik dan bagaimana ia bekerja
dalam sebuah proses politik, 3. Perbandingan sistem politik
tertentu dengan sistem yang lain (comparative political system).
Kuliah akan diperkaya dengan kajian empiris: Sistem Politik di
beberapa studi Kasus.

II. Relevansi Mata Kuliah


Mahsiswa Ilmu Pemerintahan perlu mengambil mata kuliah
Perbandingan Sistem Politik & Pemerintahan karena beberapa
sebab antara lain: Meletakkan dasar-dasar pemahaman
mahasiswa terhadap perbandingan sistem politik & pemerin-
tahan. Mahasiswa diharapkan mampu memahami esensi, prinsip2
sistem politik dan dapat membandingkan satu negara dengan
sistem yang berbeda. Lebih jauh lagi mahasiswa bisa memiliki
kemampuan menggunakan kerangka kajian SISTEM sebagai
metode untuk melihat, menganalisa proses, dinamika politik.

III. Capaian Pembelajaran


Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, kecakapan dan menganalisa
tentang perbandingan sistem politik dan pemerintahan secara

xv
professional dan bisa diaktualisasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mampu menunjukkan sikap religius ;
2. Memiliki kepribadian dan jati diri bangsa;
3. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban
Sikap berdasarkan Pancasila;
4. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan
cinta tanah air, memiliki nasionalisme serta rasa
tanggungjawab pada negara dan bangsa;
5. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara
1. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis,
sistematis, dan inovatif dalam konteks
pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan
nilai humaniora yang sesuai dengan bidang
keahliannya.
2. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam
konteks penyelesaian masalah di bidang
keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi
dan data.
Ketrampilan
3. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan
Umum
kerja dengan pembimbing, kolega, sejawat baik di
dalam maupun di luar lembaganya.
4. Mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil
kerja kelompok dan melakukan supervisi serta
evaluasi terhadap penyelesaian pekerjaan yang
ditugaskan kepada pekerja yang berada di bawah
tanggungjawabnya.
5. Mampu mendokumentasikan, menyimpan,
mengamankan, dan menemukan kembali data untuk
menjamin kesahihan dan mencegah plagiasi.
1. Memiliki Pengetahuan dan wawasan tentang
Perbandinagn Sistem Politik dan Ilmu Pemerintahan
Pengetahuan
2. Mengetahui Perbandinagn Sistem Politik dan Ilmu
Pemerintahan di Indonesia dengan Negara yang

xvi
ditunjuk
3. Memiliki Motivasi, Sikap dan Prilaku sesuai dengan
etika profesi dalam mengembangkan
profesionalisme di bidang Pemerintahan.
Mahasiswa memiliki kompetensi dapat menganalisis
perkembangan sistem politik Indonesia, lingkungan
Ketrampilan
domestik dan internasional yang berpengaruh dalam
Khusus
sistem politik Indonesia, dan prospek sistem politik
Indonesia.
Mata kuliah ini membahas tentang kajian yang mencakup Konsep
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan yang pernah dan sedang
berlaku di Indonesia (Aspek statis dan dinamis dalam sistem politik
Indonesia, prinsip prinsip sistem politik dikaitkan dengan kultur politik
yang berkembang), pengertian sistem politik, ciri dan struktur sistem
politik, dan juga lembaga-lembaga yang ada di Indonesia. Kuliah akan
diperkaya dengan studi Kasus.

IV. Metode Pembelajaran

1. Ceramah/Kuliah Pakar √ 4. Praktik Lapangan √


2. Problem Based Learning/ √ 5. Self-Learning (V-Class) √
FBD
3. Project Based Learning √ 6. Lainnya: .......................... .....

Perkuliahan menggunakan strategi kuliah/ceramah/tatap


muka, dan mahasiswa diharapkan secara aktif menyampaikan
gagasan dalam pembahasan pokok bahasan dalam
perkuliahan/diskusi-diskusi. Pembahasan materi akan dibagi ke
dalam pertemuan tiap minggu. Ruang lingkup materi yang akan
di bahas dalam tulisan ini meliputi (1) pengertian sistem politik
dan sistem pemerintahan, Manfaat, Ruang Lingkup dan Tujuan
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan (2) Teori
Perbandingan sistem politik dan pemerintahan (3) Komparasi
Pemikiran David Easton Dan Gabriel Almond Tentang Sistem

xvii
Politik, (4) Pendekatan Perbandingan sistem politik dan
pemerintahan. (5) Bentuk Kelembagaan dan Tipe-tipe Sistem
Pemeritahan.

V. Standar Kompetensi
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat
membandingkan sistem politik baik perbandingan (geographical)
negara maupun komparasi berdasarkan masa pemerintahan (time
frame) di berbagai kawasan (region). Serta mahasiswa
diharapkan memiliki kompetensi utama dalam menganalisis
kebijakan luar negeri dengan menggunakan pendekatan
komparatif.

VI. Rancangan Tugas


Tujuan Tugas:
Menjelaskan materi-materi Perbandingan Sistem Politik
dan Pemerintahan yang telah diberikan.
Uraian Tugas :
a. Obyek Garapan
Rangkuman materi Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan dari pertemuan awal
b. Metode atau Cara pengerjaan
 Rangkumlah materi-materi Perbandingan Sistem
Politik dan Pemerintahan yang telah diberikan,
dengan mencakup semua bab yang ada.
 Rangkuman dibuat dalam bentuk paper minimal 15
halaman dan disiapkan juga dalam bentuk tayangan
ppt minimal 15 halaman
 Presentasikan hasil rangkuman tersebut di depan
kelas

xviii
c. Deskripsi Luaran tugas yang dihasilkan:
Paper minimal 15 halaman dengan spasi 1.5 dan font
Times New Roman ukuran 12, berserta tayangan
presentasi minimal 15 halaman dengan font Arial ukuran
16.

VII. Materi Perkuliahan

Pertemuan Ke POKOK BAHASAN


I Orientasi Perkuliahan dan Kontrak Belajar
Pengantar Perkuliahan:
a. Visi, misi dan tujuan pembelajaran.
b. Pengertian, Manfaat, dan Ruang Lingkup
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
II Teori Perbandingan Sistem Politik
III Komparasi Pemikiran David Easton Dan Gabriel
Almond Tentang Sistem Politik
IV Focus Group Discussion (FGD) tentang
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
V Substansi materi Perbandingan Sistem Politik &
Pemerintahan dan penerapannya
VI Focus Group Discussion (FGD) tentang
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
VII Substansi materi Perbandingan Sistem Politik &
Pemerintahan dan penerapannya
VIII Ujian Tengah Semester ( Midle Test)
IX Focus Group Discussion (FGD) tentang
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
X Substansi materi Perbandingan Sistem Politik &
Pemerintahan dan penerapannya
XI Focus Group Discussion (FGD) tentang
Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
XII Substansi materi Perbandingan Sistem Politik &
Pemerintahan dan penerapannya
XIII Pendekatan dalam Perbandingan Pemerintahan
XIV Kelembagaan Dan Tipe-Tipe Sistem Pemerintahan

xix
XV Bentuk-Bentuk Pemerintahan
XVI Ujian Akhir Semester

VIII. Pendekatan Perkuliahan


Pendekatan yang digunakan dalam perkuliahan ini adalah
scientific learning dengan model pembelajaran active learning
dengan menerapkan beberapa metode pembelajaran secara
bergantian dan bervariasi pada setiap kegiatan pembelajarannya,
diantaranya yaitu: ceramah, tanya jawab, diskusi, active debate,
penugasan, kerja kelompok, dan unjuk kerja.

xx
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PERBANDINGAN SISTEM POLITIK
DAN PEMERINTAHAN

A. PENDAHULUAN
a) Deskripsi Singkat
Mata Kuliah ini mengantarkan mahasiswa mampu
mendefinisikan pengertian dan ruang lingkup
perbandingan sistem politik dan pemerintahan yang
disampaikan oleh para ahli sehingga mahasiswa mampu
menarik benang merah dari beberapa definisi tersebut.
Lebih lanjut mahasiswa mampu merumuskan definisi
tentang perbandingan sistem politik dan pemerintahan.
b) Relevansi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan perlu menyebutkan
tentang pengertian/definisi perbandingan sistem politik
dan pemerintahan dan eksistensinya ini karena beberapa
sebab : 1) sebagai pengetahuan awal untuk bisa
memahami tentang pengertian sistem politik dan sistem
pemerintahan; 2) bisa membedakan kelompok-kelompok
yang termasuk politik dan pemerintahan; dan 3) bisa
berpikiran luas bahwa ada politik yang berarti negatif
tetapi tidak sedikit pula yang memandang bahwa politik
itu bermakna positif.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan

1
tentang Pengertian Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan secara professional.

B. PENYAJIAN
a) Pengertian Perbandingan Sistem Politik dan
Pemerintahan
Politik dan pemerintahan merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dan selalu mendapatkan tempat yang khusus di
setiap negara. hanya saja pemerintah lebih memiliki peran lebih
tinggi walaupun pemerintah adalah bagian dari politik. politik
dan pemerintahan adalah dua konsep yang berbeda tapi sering
disamaartikan penggunaannya. keduanya memiliki obyek kajian
yang sama, yakni negara tapi, keduanya berbeda dalam
memandang negara politik melihat konteks yang
melatarbelakangi berlangsungnya relasi negara dengan
masyarakat pemerintahan mempelajari relasi negara dengan
masyarakat.
Kemudian saya akan menjelaska definisi dari politik dan
pemerintahan itu sendiri. politik merupakan bermacam-macam
kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan system itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu. dan pemerintahan itu sendiri
berarti perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang
memerintah tersebut. Secara lebih lengkap pemerintahan dapat
diartikan 11 sebagai kegiatan penyelenggaraan negara guna
memberikan pelayanan dan perlindungan bagi segenap warga
masyarakat, melakukan pengaturan, memobilisasi semua sumber
daya yang diperlukan, serta membina hubungan baik di dalam
lingkungan negara ataupun dengan negara lain.
Studi perbandingan system pemerintahan dan system
perbandingan politik sering kali membingungkan. Istilah

2
perbandingan pemerintahan yang biasanya mengacu ke studi
tentang berbagai negara bangsa di Eropa dan fokus studi ini
adalah tentang lembaga-lembaga beserta fungsinya dengan
penekanan pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
berbagai organisasi lain yang terkait seperti partaipartai politik
dan kelompok-kelompok kepentingan serta kelompok penekan.
Sedangkan studi perbandingan politik mempelajari kegiatan-
kegiatan politik dalam cakupan lebih luas termasuk mengenai
pemerintahan dan berbagai lembaganya dan juga aneka
organisasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan
pemerintahan antara lain adalah suku-suku bangsa, masyarakat,
asosiasiasosiasi dan bebagai perserikatan. Dalam hal ini Nampak
bahwa studi perbandingan politik mencakup di dalamnya kajian
terhadap perbandingan pemerintahan.

C. PENTINGNYA PERBANDINGAN SISTEM


POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Politik dan Pemerintahan merupakan sebuah ilmu yang
mempelajari mengenai cara agar dapat menjalankan wewenang
kekuasaannya supaya bisa mengatur sistem yang ada di dalam
sebuah institusi agar dapat diatur serta dijalankan dengan baik
sehingga kesemuanya itu bisa berjalan dengan selaras. Seperti
kita ketahui di setiap negara pastilah memiliki sebuah sistem
pemerintahan agar segala sektor penghidupan bagi rakyatnya
bisa digunakan dan dapat dijalankan dengan baik. Ada berbagai
macam pemerintahan di dunia, sepintas banyak negara
menggunakan sistem pemerintahan yang sama, akan tetapi akan
berbeda hasilnya bila dianalisa. Ada ciri khas yang tidak dimiliki
oleh pemerintahan lain karena sistem pemerintahan atau bentuk
pemerintahan atau tipe pemerintahan akan disesuaikan dengan
sistem-sistem budaya yang telah ada. Keunikan-keunikan setiap

3
pemerintahan merupakan khazanah besar bagi perbandingan
pemerintahan. Misalnya bagaimana Amerika Serikat yang
presidensiil memiliki perbedaan dengan Indonesia yang sama-
sama presidensiil, dan banyak lagi negara-negara yang menganut
sistem yang sama tetapi memiliki keunikan pemerintahannya
masing-masing.
Mengetahui dan mempelajari sejarah pemerintahan dan
jenis-jenis pemerintahan merupakan hal fundamental yang harus
dikuasai baik bagi praktisi pemerintahan maupun bagi para
akademisi bahkan bagi para masyarakat pada umumnya.
Bagaimana suatu sistem pemerintahan mempunyai signifikansi
yang cukup besar terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah,
maka diharuskan pada khalayak banyak untuk mengetahui
sejarah dan jenis-jenis pemerintahan guna mencapai dinamisme
kehidupan bernegara. Banyak orang baik dari kalangan ahli
maupun masyarakat awam berpendapat mengapa negara-negara
miskin tidak meniru saja pemerintahan negara maju agar sama-
sama bisa menjadi negara maju. Salah satau upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan analisis dalam perbandingan
pemerintahan.
Bahasan selanjutnya dalam bagian ini akan dikaji
pengertian perbandingan pemeritahan dan diberikan contor-
contohnya untuk memperjelas uraian tersebut. Kemudian akan
dijelaskan pula ruang lingkup perbandingan pemerintahan yang
mencakup teori-teori dan konsep-konsep perbandingan
pemerintahan serta metode dan teknik-teknik dalam menganalisis
perbandingan pemerintahan. Untuk langkah awal maka
perbandingana pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu studi
ilmu. Sebagai suatu studi atau ilmu, perbandingan pemerintahan
tergolong ke dalam ilmu politik (Pamudji, 1983:2). Jika
seseorang akan mempelajari suatu studi ilmu, hal apa yang

4
pertama harus dilakukan? salah satunya adalah ia harus mengerti
dahulu istilah studi atau ilmu tersebut. Untuk istilah studi atau
ilmu yang akan kita pelajari ini, terdiri dari dua kata yaitu
perbandingan dan pemerintahan, ada baiknya masing-masing
istilah tersebut dijelaskan dalam rangka memahami pengertian
akan keseluruhan istilah.
Sebelum saya menjelaskan arti pentingnya perbandingan
pemerintah, saya terlebih dahulu akan menjelaskan pengertian
dari perbadingan Pemerintahan, ada tiga pengertian yang perlu
diketahui. Pertama adalah pengertian perbandingan yaitu
perbuatan mensejajarkan sesuatu atau beberapa objek dengan alat
pembanding. Dari perbandingan ini dapat diperoleh persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan dari objek atau objek-objek
tadi dengan alat pembandingnya atau dari objek yang satu
dengan objek yang lainnya. Kedua, pengertian pemerintahan.
Walaupun dikemukakan beberapa pengertian dari beberapa ahli,
namun pengertian yang dipakai dalam modul ini adalah
Pemerintahan dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Di dalam arti luas pemerintahan mencakup semua
kekuasaan yang meliputi seluruh fungsi negara. Di dalam arti
sempit, pemerintahan kerap kali dipahami sebagai aktivitas dari
lembaga kekuasaan eksekutif. Ketiga, pengertian perbandingan
pemerintahan, yaitu mensejajarkan unsur-unsur pemerintahan
baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit untuk
mendapatkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
dari objek atau objek-objek tadi dengan alat pembandingnya.
Perbandingan sistem politik dan pemerintahan dapat
dipandang. Sebagai suatu studi atau sebagai suatu ilmu,
perbandingan pemerintahan tergolong ke dalam ilmu politik.
Ilmu politik dan ilmu perbandingan politik dan pemerintahan
berkaitan dalam hal teori dan metode.

5
Jika dilihat bagaimana cara pemerintah bekerja,
perbandingan tidak hanya berharga dan tidak dapat dihindari.
Penilaian mengenai cara kerja pemerintah atau sebuah lembaga
pemerintah yang didasarkan pada kenyataannya pada beberapa
gagasan yang mendasari bagaimana pemerintah sama atau
lembaga-lembaga sejenis kerja pemerintah dalam keadaan lain.

D. RUANG LINGKUP PERBANDINGAN SISTEM


POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Saat ini ruang lingkup ilmu perbandingan pemerintahan
menjadi lebih luas sejalan dengan bertambahnya bagian-bagian
yang tadinya bukan dianggap masuk ke dalam pemerintahan
menjadi bagian-bagian dari pemerintahan. Pada abad ke 19,
studi pemerintahan secara umum dianggap memiliki ruang
lingkup yang sama dengan studi perencanaan konstitusi (study of
constitutional arrangement). Peristiwa-peristiwa pada abad ke-18
khususnya Revolusi Amerika dan Prancis (yang sebagian besar
disebabkan oleh adanya Revolusi Inggris), memunculkan dua
kesimpulan. Pertama, adalah berakhirnya absolutisme dan
Kedua, adalah sejak saat itu masyarakat diperintah berdasarkan
hukum dan prinsip-prinsip konstitusional. Dengan demikian,
konstitusi dipandang sebagai inti dari analisis pemerintahan dan
ilmuwan politik menjadi ilmuwan-ilmuwan hukum
konstitusional.
Dengan demikian perbandingan pemerintahan tidak
dapat lagi dibatasi dalam studi perencanaan/penyusunan
konstitusi saja. Dan memang sebelum perang Dunia II, pencarian
kerangka kerja yang lebih luas telah dimulai, yaitu kerangka
kerja yang lebih luas dari sekedar gagasan tentang negara dan
tujuannnya menjadi dimungkinkannya untuk mempelajari
seluruh pemerintahan dan seluruh aspek ilmu (politik)

6
pemerintahan dengan cara perbandingan. Kerangka kerja tersebut
memungkinkan mempelajari rezim-rezim otoriter, dimana
kemudian penelitian-penelitian dalam bidang tersebut banyak
ditemukan dan dalam beberapa kasus terasa lebih kasar pada
abad ke 20. Hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan sistem
tersebut, namun bermaksud untuk menganalisis cara kerja
mereka. Lagipula perbandingan pemerintahan juga meliputi
institusiinstitusi atau organisasi-organisasi seperti partai politik
dan kelompok kepentingan, yang bahkan di rejim konstitusional
sendiri terbentuk tidak terpisah dari proses konstitusional atau
bahkan dari aparat-aparat negara.
Pemerintahan membentuk suatu sistem karena terkait
dengan suatu kegiatan, di mana sejumlah unsur yang penting
saling berhubungan dalam suatu proses melalui mana kebijakan-
kebijakan dibuat, dikembangkan dan di implementasikan.
Dengan demikian, ruang lingkup perbandingan pemerintahan
dalam studi yang mengkombinasikan unsur-unsur dalam
masyarakat yang membentuk suatu sistem politik. Unsur-unsur
tersebut termasuk lembaga-lembaga 15 yang didirikan
berdasarkan konstitusi seperti kepresidenan, kabinet, dan badan
legislatif; juga termasuk partai-partai politik. Kelompok-
kelompok kepentingan (sejauh mereka berpartisipasi dalam
politik pemerintahan), birokrasi, dan pengadilan. Dengan
demikian sistem politik memiliki persamaan dan perbedaan
dalam dua hal. Pertama, banyak unsur-unsur sistem tersebut
sama tetapi berbeda dimiliki oleh beberapa sistem politik tetapi
tidak ada dalam sistem politik lainnya. Kedua, bagaimana unsur-
unsur tersebut dikombinasikan atau dihubung-hubungkan,
beragam dari satu sistem ke sistem yang lainnya.
Menurut J. Blondel dalam bukunya Comparative
Government An Introduction, saat ini ruang lingkup ilmu

7
perbandingan pemerintahan menjadi lebih luas sejalan dengan
bertambahnya bagian-bagian yang tadinya bukan dianggap
masuk ke dalam pemerintahan menjadi bagian-bagian dari
pemerintahan. Pada abad ke 19, studi pemerintahan secara umum
dianggap memiliki ruang lingkup yang sama dengan studi
perencanaan konstitusi (study of constitutional arrangement).
Peristiwa-peristiwa pada abad ke-18 khususnya Revolusi
Amerika dan Prancis (yang sebagian besar disebabkan oleh
adanya Revolusi Inggris), memunculkan dua kesimpulan.
Pertama, adalah berakhirnya absolutisme dan Kedua, adalah
sejak saat itu masyarakat diperintah berdasarkan hukum dan
prinsip-prinsip konstitusional. Dengan demikian, konstitusi
dipandang sebagai inti dari analisis pemerintahan dan ilmuwan
politik menjadi ilmuwan- ilmuwan hukum konstitusional.
Kemudian pandangan seperti ini dianggap sebagai hal
yang sempit baik dalam istilah geografi maupun istilah
bekerjanya pemerintahan modern. Alasannya karena kerja
pemerintah tidak dapat dibatasi hanya membuat konstitusi saja,
namun badan-badan non konstitusional seperti partai-partai
politik mulai memainkan peranan yang penting dalam kehidupan
politik di banyak negara pada abad 20-an. Lagi pula jauh
sebelum meluas keseluruh dunia, konstitusionalisme sejak lama
terutama hanya terbatas pada wilayah atlantik saja. Bahkan jika
terdapat ekspansi pemerintahan yang konstitusional selama tahun
1890-an, tetap ada keraguan yang patut dipertimbangkan seperti
sejauhmana/sedalam apa konstitusionalisme telah mengakar.
Dengan demikian perbandingan pemerintahan tidak
dapat lagi dibatasi dalam studi perencanaan/penyusunan
konstitusi saja. Dan memang sebelum perang Dunia II, pencarian
kerangka kerja yang lebih luas telah dimulai, yaitu kerangka
kerja yang lebih luas dari sekedar gagasan tentang negara dan

8
tujuannnya menjadi dimungkinkannya untuk mempelajari
seluruh pemerintahan dan seluruh aspek ilmu (politik)
pemerintahan dengan cara perbandingan. Kerangka kerja tersebut
memungkinkan mempelajari rezim-rezim otoriter, dimana
kemudian penelitian-penelitian dalam bidang tersebut banyak
ditemukan dan dalam beberapa kasus terasa lebih kasar pada
abad ke 20. Hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan sistem
tersebut, namun bermaksud untuk menganalisis cara kerja
mereka. Lagipula perbandingan pemerintahan juga meliputi
institusi- institusi atau organisasi-organisasi seperti partai politik
dan kelompok kepentingan, yang bahkan di rejim konstitusional
sendiri terbentuk tidak terpisah dari proses konstitusional atau
bahkan dari aparat-aparat negara.
Pemerintahan membentuk suatu sistem karena terkait
dengan suatu kegiatan, di mana sejumlah unsur yang penting
saling berhubungan dalam suatu proses melalui mana kebijakan-
kebijakan dibuat, dikembangkan dan di implementasikan.
Dengan demikian, ruang lingkup perbandingan pemerintahan
dalam studi yang mengkombinasikan unsur-unsur dalam
masyarakat yang membentuk suatu sistem politik. Unsur-unsur
tersebut termasuk lembaga-lembaga yang didirikan berdasarkan
konstitusi seperti kepresidenan, kabinet, dan badan legislatif;
juga termasuk partai-partai politik. Kelompok-kelompok
kepentingan (sejauh mereka berpartisipasi dalam politik
pemerintahan), birokrasi, dan pengadilan. Dengan demikian
sistem politik memiliki persamaan dan perbedaan dalam dua hal.
Pertama, banyak unsur-unsur sistem tersebut sama tetapi berbeda
dimiliki oleh beberapa sistem politik tetapi tidak ada dalam
sistem politik lainnya. Kedua, bagaimana unsur-unsur tersebut
dikombinasikan atau dihubung- hubungkan, beragam dari satu
sistem ke sistem yang lainnya.

9
Ternyata fokus perhatian atau penekanan utama dari
studi perbandingan pemerintahan telah berubah dan dapat
dibedakan dalam tiga fase:
1. Fase konstitusionalisme yang terjadi hingga kira-kira PD
II. Konstitusi- konstitusi secara berangsusr-angsur
diperkenalkan di Eropa dan Amerika Latin. Mereka yang
memiliki konstitusi dianggap sebagai sistem politik yang
berkarakter “modern” bahkan jika mereka melakukan
penyimpangan.
2. Fase Behavioralisme, terutama selama tahun 1940-an
hingga tahun 1960- an. Behavioralisme awalnya berhasil
dalam studi politik nasional, khususnya di Amerika
Serikat. Hal tersebut didasarkan kepada pengakuan
bahwa apa yang penting untuk dipelajari adalah yang
terjadi dalam kenyataan, bahkan yang dinyatakan secara
formal (yang tertulis secara formal). Pendekatan tersebut
secara alamiah diterapkan pada perbandingan
pemerintahan, dimana banyak konstitusi tidak diterapkan
lagi dan kediktatoran sering terjadi.
3. Fase Neo-Institusionalisme, yang dimulai tahun 1970-an
dengan pengakuan bahwa tidak setiap hal dapat
dimengeryti/dipahami melalui studi perilaku, namun
struktur-struktur juga penting.
Studi perbandingan politik/pemerintahan sebenarnya
sudah sangat tua, bahkan sama tuanya dengan ilmu politik itu
sendiri. Yang baru mungkin adalah pendekatan-pendekatan dan
metode-metode ilmiah yang mendukungnya. Secara garis
besarnya perkembangan studi perbandingan politik/
pemerintahan dalam bentuknya yang sekarang dimungkinkan
oleh adanya dua hal. Pertama, berkembang pesatnya perhatian

10
sarjana ilmu politik di Barat terhadap wilayah- wilayah baru di
luar Eropa dan Amerika Utara yang tercermin dalam sejumlah
besar studi kasus atau studi wilayah pada tahun 1940 an dan
1950 an. Studi yang sebagian besar didukung oleh kepentingan
politik Amerika Serikat ini membuat orientasi studi
perbandingan politik/pemerintahan yang sebelumnya terbatas
pada wilayah-wilayah Eropa dan Amerika Utara menjadi meluas
dengan meliputi wilayah-wilayah Asia, Afrika dan Amerika
Latin, yang dasar-dasar kehidupan politiknya sangat berlainan.
Bahkan sejak itu studi perbandingan politik/pemeritahan
seringkali diidentikan dengan studi tentang wilayah-wilayah baru
itu sendiri. Dan inilah yang kemudian melahirkan studi tentang
masalah-masalah politik di wilayah-wilayah sedang berkembang.
Kedua, Banyaknya kemajuan yang dicapai dalam studi tingkah
laku yang kemudian banyak diterapkan dalam penelitian
kehidupan politik. Paling tidak ada empat ciri atau karakteristik
gerakan itu. (1). Sebagian besar kaum behavioralis menolak
penempatan institusi politik sebagai unit dasar analisis politik.
Mereka memang tidak membuang lembaga politik formal
sebagai obyek studi politik, tetapi mereka juga mempelajari
gajala-gejala sosial yang bersifat politik tetapi umumnya tidak
tersentuh oleh pengkaji politik tradisional yaitu perilaku individu
dan kelompok. Jadi unit dasar analisis mereka adalah individu
dan kelompok sosial. (2). Mereka berasumsi tentang adanya
kesatuan diantara ilmu-ilmu sosial. Setiap perilaku seseorang
manusia dianggap berkaitan dengan perilakunya dalam bidang-
bidang kegiatan yang lain dalam sejarah kehidupannya. Karena
itu, untuk memahami tindakan politik seseorang ilmuwan politik
harus mengetahui bagaimana semua perilaku sosial seseorang
mempengaruhi perilaku politiknya. (3). Digalakkannya
pengembangan dan pemanfaatan teknik-teknik yang menjamin

11
kadar ketepatan tinggi dalam observasi, klasifikasi dan
pengukuran data dan penerapan metode- metode analisis
matematik yang canggih. Banyak dari karya ilmu politik
behavioralis yang dipenuhi dengan analisis dan data kuantitatif.
Mereka menemukan bahwa banyak dari isi atau substansi ilmu
politik dapat dianalisis dengan berbagai metode analisis statistik.
Maka mereka menemukan metode-metode untuk membuat
korelasi dengan lebih bermakna antara berbagai variabel. (4).
Mereka berpendapat bahwa tujuan ilmu politik adalah
pembentukan teori politik yang sistematik dan empirik. Pada
hakekatnya yang diinginkan adalah teori politik yang bisa
menghasilkan pengetahuan yang reliabel artinya bisa diulang
oleh peneliti yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda
dengan hasil yang kurang lebih sama dan valid.
Ruang lingkup perbandingan sistem politik dan
pemerintahan sesuai dengan perkembangan di dalam ilmu
politik, bahasan awal di lakukan terhadap tradisi institusionalis
yang merupakan tradisi reformasi secara terus menerus. Kaum
institusionalis mengambil pandangan jangka panjang dengan
mendukung perubahan yang lambat hingga mencapai permukaan
lembaga-lembaga legislatif dan parlementer dan yang diperbaiki
melalui perdebatan. Karena setiap pembuatan undang-undang
yang penting tentu akan mempengaruhi kepentingan orang
banyak, maka dalam proses perubahan yang menjemukan ini,
hanya masalah-masalah terpenting, masalah-masalah yang paling
lama bertahan yang membutuhkan perhatian utama. Bersamaan
dengan apa yang saya kemukakan, hal-hal ini harus dipecahkan
sedikit demi sedikit. Institusionalisme sudah pasti bukan politik
kritis, meskipun “krisis- krisis kecil” di parlemen, konsultasi-
konsultasi tergesa-gesa di belakang layar, dan perhatian terhadap
masalah-masalah khusus dan sementara jika dipertentangkan

12
dengan rencana-rencana kerja yang komprehensif merupakan
suatu hal biasa bukan yang luar biasa.
Kaum institusionalis mengandaikan, bahwa penanganan
urusan pemerintah yang lambat pada akhirnya merupakan cara
terbaik untuk mempertimbangkan sebanyak mungkin pandangan.
Di atas dasar inilah mereka membenarkan proses pengambilan
keputusan demokratis yang lambat dan mengecewakan.
Masalahnya adalah bahwa para pemilih yang tidak terorganisir,
atau miskin, atau yang relatif tidak mempunyai suara, selalu
menemukan kepentingan mereka berada pada prioritas terendah.
Kaum institusionalis juga cenderung menerima begitu saja,
bahwa daerah kebebasan pribadi yang meliputi sejumlah besar
bidang kehidupan ekonomi, hendaknya jangan terlalu banyak
diurus pemerintah.
Selain fokus pada suprastruktur politik di dalam
pemerintahan baik sistem, jenis, bentuk maupun tipe-tipe dan
kelembagaan pemerintahan, ruang lingkup perbandingan
pemerintahan juga akan membahas sistem kelembagaan yang
mendukung keberlangsungan negara diantaranya partai-partai
politik, lembaga kemasyarakatan dan sistem kelembagaan
infrastruktur lainnya. Seperti bahasan awal berikut ini:
Partai-partai politik: Dalam modul ini kami juga akan
membahas beberapa aspek dari fungsi partai dan pengawasan.
Tetapi berguna juga membandingkan kerja partai dalam badan
pembuat undang-undang dengan kerjanya dalam negara pada
umumnya. Organisasi partai di Inggris secara tradisional lebih
berdasarkan pada kelas jika dibandingkan dengan Amerika
Serikat. Partai-partai Amerika hampir terbengkalai di antara
pemilihan-pemilihan. Ketika kebutuhan meningkat paritisipasi
mereka meluas, seperti sebuah balon penuh udara, mengorganisir
rapat-rapat umum, mengumpulkan dana, dan menyelenggarakan

13
pertemuan-pertemuan gembira yang biasa, menghadiri baik
kaukus partai lokal maupun nasional. Partai-partai menyiapkan
diri mereka untuk pemilihan umum setiap empat tahun.
Pemilihan-pemilohan lokal dengan interval satu tahun atau dua
tahun tidak menghasilkan entusiasme yang sama. Tetapi, ada
desakan sporadis untuk mengorganisir di tingkat rakyat jelata
dalam rangka memantapkan dukungan untuk tahun-tahun setelah
pemilihan dan mengobati luka-luka partai. Di Inggris
kemungkinann para organisator partai dibayar dan memegang
jabatan-jabatan permanen adalah lebih besar. Mereka harus
selalu siap menghadapi pemilihan umum yang mungkin timbul
karena adanya mosi tidak percaya.
Perbedaan-perbedaan yang paling tajam antara partai-
partai Amerika dan Inggris nampak pada organisasi di tingkat
parlemen. Partai-partai parlemen Inggris berdisiplin. Jika pejabat
partai yang mengurus disiplin partai menegaskan bahwa pada
akhir perdebatan mengenai suatu masalah tertentu partai itu di
haruskan memilih ketika ketua Whip meletakan (sebuah “three-
line whip), maka memberikan suara yang sebaliknya menghadapi
risiko dipecat dari partai. Individu-individu harus berusaha keras
menuju ke atas melalui partai dan, karena tidak banyak jalan
masuk dari samping, tiada seorangpun ingin melepaskan
kedudukan yang baik itu. Mereka yang meningkat menjadi
pemimpin partai telah dikenal dalam kalangan partai yang
bersangkutan sejak usia muda. Setelah banyak menjalankan
pekerjaan kasar partai mereka menduduki jabatan-jabatan yang
lebih tinggi dan lebih baik. Penampilan pada setiap tingkat
dibutuhkan dalam proses ini. Menurut cirinya, partai buruh
Inggris seperti halnya partai-partai sosial-demokrat di Eropa,
terdiri dari wakil-wakil tua atau mereka yang bertahan lama

14
dalam partai, dan ia lebih birokratis dibandingkan dengan partai
Konservatif.
Kelompok-kepentingan dan kelompok penekan: baik di
Inggris maupun di Amerika Serikat, kaum institusionalis telah
menaruh perhatian besar kepada kelompok penekan dan
kelompok kepentingan seperti serikat-serikat, asosiasi-asosiasi
perdagangan, dan sosiasi-asosiasi etnis yang diorganisir untuk
melindungi dan memajukan kesejateraan khusus para anggota
mereka yang berbeda dengan kesejahteraan masyarakat sebagai
keseluruhan. Seperti halnya partai-partai politik beroperasi secara
teknis di luar batasan-batasan tertentu pengaturan-pengaturan
kekuasaan konstitusional, demikian juga kelompok kepentingan
dan kelompok penekan. Kalau partai politik dan politikus partai
kadang-kadang dianggap sebagai tidak memenuhi selera,
kelompok kepentingan dan kelompok penekan lebih-lebih
dicurigai.
Kelompok kepentingan berbeda dengan kelompok
penekan. Kelompok kepentingan diorganisir dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan bersama di luar politik itu sendiri.
Mereka dapat menetapkan aturan-aturan profesi dan etika, seperti
dilakukan oleh America Medical Association. Mereka dapat
berusaha memenuhi kebutuhan dan sasaran bersama dalam hal-
hal yang mempengaruhi kelompok mereka. Kelompok penekan
lebih khusus. Asosiasi Pengusaha Pabrik Nasional (National
association of manufactorers) atau Federasi Industri Inggris
(Federation of British Industries) mempunyai posisi yang
terumus dengan baik dalam masalah-masalah seperti
nasionalisasi tingkat bunga, dan bea cukai.
Menjajakan pengaruh merupakan satu cara melukiskan
masalah tersebut yaitu publik merasakan bahwa pemerintah tidak
dapat bekerja secara demokratis. Sudah tentu ada cara lain untuk

15
menganalisa kelompok-kelompok seperti itu. Kelompok-
kelompok kepentingan dapat merupakan badan-badan
perwakilan sah, kendati mereka mempergunakan jasa konsultasi
informal untuk melaksanakan urusan mereka. Pembentukannya
dapat menimbulkan tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan
kelompok yang mungkin penting tetapi tidak dapat mengerahkan
suara para pemilih. Kita juga akan menyaksikan bahwa lobying
dalam komite-komite kongres, konsultasi dibelakang layar antara
pemerintah dan berbagai kepentingan, terjadi setiap saat. Di
Amerika Serikat ada dua cara pokok bagaimana kelompok-
kelompok kepentingan mempengaruhi proses politik. Cara
pertama adalam mempengaruhi pembuat undang-undang. Cara
lain, yang lebih serius di Amerika Serikat jika dibandingkan
dengan Inggris, adalah melalui pencalonan yang menguntungkan
kemajuan mereka. Justru karena sistem di Amerika Serikat
kurang terorganisir dengan baik, maka perlawanannya terhadap
badan-badan yang lebih terorganisir lebih lemah. Jika dipadukan
dengan keuangan kampanye, kelemahan dalam pencalonan ini
berarti bahwa dalam negara ini kelompok-kelompok berkaitan
dengan politik partai dalam dua titik politik yang menentukan.
1). Dalam pemilihan calon-calon yang menguntungkan
kepentingan-kepentingan tertentu dan mengusahakan agar
mereka terpilih, dan 2). Dalam pemakaian pejabat-pejabat yang
terpilih untuk mempergunakan suara- suara mereka di legislatif
sebagai sarana tawar-menawar dengan eksekutif.
Pegawai sipil: Di kala fungsi-fungsi eksekutif meningkat
dan ada kebutuhan untuk membentuk badan-badan pengawas,
mengelola kesejahteraan sosial, mengorganisir dan
mengembangkan pembaruan, dan sebaliknya menjamin bahwa
kebijaksanaan legislatif dilaksanakan secara efisien, maka
pegawai sipil memperluas ruang lingkup, ukuran, dan jumlah

16
kegiatannya. Pertumbuhan birokrasi merupakan fungsi perluasan
tanggung jawab pemerintah. Asal mula ide mengenai pegawai
sipil di Inggris berawal pada pegawai-pegawai rumah tangga
raja. Para pegawai ini, yang terutama berasal dari kaum
bangsawan, mengelola daerah kekuasaan raja, tanah-tanah
pribadinya, keuangannya, dan sebagainya. Dalam abad
kesembilan belas, dan khususnya setelah dibentuknya
administrasi pegawai sipil yang tidak berkepentngan di Inggris.
Idealnya adalah pengertain mengenai suatu kelas pegawai sipil
senior – bukan anggota-anggota aristokrasi melainkan rakyat
yang berpendidikan dan tingkat moralnya sangat memenuhi
syarat, yang direkrut melalui ujian kompetitif dan lulus dengan
standar tinggi. Orang dapat mengharapkan uang pensiun yang
baik dan kemungkinan diberikannya hak kebangsawanan atau
gelar sebagai suatu imbalan tambahan terhadap pengabdian yang
memperoleh pujian. Tak seorangpun dapat direkrut dari
kehidupan pribadi atau dari pekerjaan lain dan diangkat melebihi
kepala seorang pejabat senior. Seorang pejabat karir akan
dinaikan menurut waktu dan cara yang wajar. Administrator
perorangan akan dilindungi terhadap kaum politisi oleh menteri
departemen yang bersangkutan dan, sebagai gantinya ia harus
memberikan nasehat dan pelayanan yang bertangung jawab
kepada menteri itu.
Pegawai sipil di Inggris bukanlah aristokrat, melainkan
cendikiawan- cendikiawan yang lulus ujian, yang kebanyakan
menyelesaikan studi di universitas Oxford dan Cambrige.
Pegawai negeri senior karir, atau mereka yang berada dalam
kelas administratif, sebagaimana sebutannya, diambil
kebanyakannya dari kelas menengah-atas, dari kelas mana
terutama universitas- universitas merekrut mahasiswanya.
Transisi kepada suatu pegawai sipil yang “demoktaris”

17
menandakan suatu perubahan yang sebanding dalam kesempatan
pendidikan. Pegawai sispil seperti ini menghasilkan jaringan
kelas atau “ teman- teman lama” dalam mana sejumlah besar
dapat diandalkan dalam artian tindakan yang serasi. Ada tingkat
moral tinggi dan korupsi jarang terjadi, dan bersamaan itu,
pegawai negeri dapat terus bekerja kendati ada perubahan-
perubahan dalam pemerintahan. Hal ini sangat mirip dengan cita-
cita mengenai pegawai negeri yang tidak berkepentingan yang
dapat melayani partai apapun yang berkuasa, bijaksana, berdiri di
luar politik, dan sungguh-sungguh tidak diizinkan terlibat dalam
kegiatan partai. Di Inggris banyak hal dari cita-cita ini tetap utuh
meskipun berangsur-angsur Inggris mulai menyadari bahwa
pegawai sipil yang ideal, lebih tepat adalah spesialis yang trampil
secara teknis, ketimbang seorang “generalis” berpendidikan
tinggi.
Sistem Amerika tidak pernah sama dengan sistem
Inggris. Seperti dikemukakan dalam bab enam, selama beberapa
waktu, pegawai sipil berdasarkan sistem “spolis”. Pemerintahan
baru menyerahkan jabatan-jabatan pemerintahan kepada teman-
teman akrab yang dipercaya oleh presiden dan partai, atau
kepada siapa presiden dan partai berhutang budi secara politis.
Dukungan birokrasi merupakan sumber kekuasaan kepresidenan
penting. Tetapi meskipun pegawai sipil seprti ini cenderung
merekrut orang-orang rendahan – para penulis yang di sewa oleh
partai dibayar dengan jabatan kehormatan sebagai pegawai sipil
– dan umumnya menjurus kepada korupsi dan pemborosan, ia
juga memperoleh keuntungan. Ia mencegah terbentuknya suatu
kelas administratif yang terdiri dari elit-elit yang mempunyai
pandangan sama, berpendidikan, dan mungkin bersifat arogan.
Gerakan pegawai negeri berdasarkan karir yang terorganisir
terbentuk secara bertahap, tatkala kebutuhan semakin meningkat.

18
Dan, di saat sebagai dekrit pembaruan pegawai sipil disahkan,
suatu pegawai sipil karir yang segan melakukan sesuatu muali
terbentuk, pertama kali dalam dinas luar negeri. Tetapi gejala itu
tidak pernah meluas secara nyata ke tingkat pimpinan
pemerintah. Jalan masuk ke dalam lingkungan pegawai sipil
bidang bisnis atau lainnya masih umum dan bisa diterima.
Akhirnya, ujian masuk menjamin suatu rekrutmen yang luas dari
berbagai universitas dan calon-calon non-universitas yang
mempunyai pengalaman setingkat. Tidak ada “kelas
administratif” di tempat lain seperti di Inggris.
Bahasan awal yang telah diuraikan tersebut merupakan
ruang lingkup studi perbandingan pemerintahan yang akan
dijelaskan lebih rinci di dalam modul- modul berikutnya, disertai
dengan penjelasan kasus yang dianalisis dari kondisi sistem
pemerintahan negara-negara asing sebagai bahan perbandingan
yang tentunya dilakukan dengan menggunakan alat pembanding
seperti yang telah dijelaskan di awal modul ini sebagai syarat
mutlak di dalam melakukan studi perbandingan pemerintahan.

E. MANFAAT ILMU PERBANDINGAN


PEMERINTAHAN
Mengapa Ilmu Pemerintahan perlu dipelajari melalui
perbandingan? J. Blondel memberikan argumentasinya, bahwa
studi-studi atas satu negara (negara tunggal) sering tidak
memiliki contoh-contoh kasus yang cukup bagi pembenukan
kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan dapat dicapai
jika suatu peristiwa terjadi berulang-ulang sehingga dapat dilihat
keteraturan atau regularitasnya. Dalam ilmu eksakta, hal tersebut
banyak ditemukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama
sehingga regularitas dapat diperoleh secara mudah; contohnya
ketika teori grafitasi ditemukan. Namun dalam ilmu sosial

19
pengulangan suatu peristiwa itu sulit ditemukan, contohnya
untuk ilmu pemerintahan adalah tentang tingkah laku pemberian
suara dalam pemilihan umum. Regularitas dapat ditemukan
karena adanya berjuta-juta pemilih yang memberikan suaranya
dalam suatu pemilihan umum.
Tetapi dalam kebanyakan aspek studi pemerintahan,
pengulangan seperti itu sangat sulit ditemukan. Coba saja kita
perhatikan, setiap negara hanya memiliki satu presiden, satu
perdana menteri, satu kabinet nasional. Di beberapa negara
bahkan hanya memiliki satu partai politik, jika lebih dari satu
partai-partai yang lainnnya merupakan partai kecil saja yang
kurang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di negara
tersebut. Kadang-kadang dimungkinkan untuk meningkatkan
jumlah kasus dengan meneliti pemerintahan lokal atau meneliti
presiden, perdana menteri, dan kabinet nasional suatu negara dari
waktu ke waktu. Namun langkah seperti ini tidak selalu dapat
dilakukan dan cara yang kedua sebenarnya sudah masuk kedalam
cara perbandingan.
Memang seseorang dapat melakukan perbandingan
dengan melihat pada peristiwa-peristiwa di satu negara dalam
waktu yang berbeda, tetapi cara perbandingan yang lebih
menyakinkan lagi adalah membandingkan pemerintahn
diberbagai negara, bukan hanya di satu negara saja. Cara ini
memungkinkan kita menemukan bagaimana berbagai pemerintah
berperilaku pada saat yang sama tanpa harus mengontrol efek
yang mungkin terjadi yaitu suatu peristiwa dapat merupakan
akibat dari peristiwa sebelumnya. Cara ini pula pada masa kini di
mana dunia memiliki lebih 150 negara, memberikan kesempatan
untuk memperoleh berbagai observasi yang penting dan
meyeluruh dan dengan demikian dapat ditemukan
kecenderungan-kecenderungan umum. Ternyata cara

20
perbandingan memang merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan lagi dalam studi pemerintahan. Contohnya, jika
seseorang melakukan studi tentang suatu pemerintahan atau
suatu institusi dalam suatu pemerintahan selalu didasarkan pada
gagasan mendasar, dimana pemerintahan atau institusi
pemerintahan yang sama bekerja dalam keadaan yang lain.
Bukankah ini merupakan salah satu studi perbandingan? Jadi
memang harus diakui bahwa perbandingan ini selalu hadir
dimana-mana, tetapi ada yang tersembunyi atau implisit dan ada
yang terang-terangan atau eksplisit. Setelah kita mengetahui studi
perbandingan adalah hal yang penting dan tidak dapat kita
hindarkan dalam ilmu pemerintahan, maka marilah kita
melakukan perbandingan secara terbuka atau eksplisit. Tetapi
bukan berari tidak ada kritikan. Ada dua kritikan yang
dilontarkan oleh orang-orang yang menyangsikan studi
perbandingan. Pertama, studi perbandingan sering dilakukan
secara tidak memuaskan dan dangkal. Dalam melakukan
perbandingan, kita harus melakukannya secara detail dan
sistematis, tidak hanya dalam hal-hal yang umum saja.
Maksudnya, kita tidak hanya mendeskripsikan begitu saja secara
berturut-turut institusi-institusi di sejumlah negara kemudian
mengklaim deskripsi seperti ini adalah suatu perbandingan; tetapi
kita harus meneliti secara bersamaan berbagai karakteristik dari
institusi- institusi tersebut dan mencari dalam hal-hal apa saja
mereka memiliki persamaan atau perbedaan.
Salah satu alasan mengapa perbandingan antar negara
yang benar dilakukan begitu lambat karena adanya fakta secara
kebetulan bahwa jumlah ahli dalam bidang ini hingga sekarang
sangat sedikit; sementara itu data yang dibutuhkan sering sulit
untuk dikumpulkan karena berbagai peraturan; Contohnya,
banyak aspek kehidupan pemerintahan dinggap sebagai rahasia

21
negara. Sehingga walaupun memang benar Aristoteles telah
memulai mengadakan studi perbandingan konstitusi dari negara-
negara kota Yunani secara sistematis dalam karyanya Politics,
tetapi pada kenyataannya hanya pada abad ke 20 studi
perbandingan tersebut benar-benar terbentuk dan bahkan baru
muncul setelah tahun 1960-an khususnya diluar Amerika Setikat.
Karenanya wajar jika informasi yang telah dikumpulkan tetap
terbatas sehingga perbandingan yang benar menjadi sulit untuk
dilakukan. Kritikan kedua, merupakan kritikan yang lebih
mendasar. Tidak ada dua negarapun yang memiliki cukup
persamaan untuk diperbandingkan karena pada dasarnya sejarah
yang mereka alami berbeda. Dapat ditunjukan bahwa kabinet
atau badan legislatif, partai politik atau kelompok-kelompok
kepentingan berbeda dari satu negara ke negara lain yang
menyebabkan tidak mungkin memperoleh kasus-kasus yang
benar-benar dapat diperbandingkan. Menurut pandangan ini,
pemerintahan disetiap negara dianggap merupakan hasil dari
tradisi-tradisi yang sangat mengakar sehingga hanya satu hal
yang dapat dilakukan adalah mendeskripsikan dan menganalisis
setiap kasus secara terpisah. Namun seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa perbandingan selalu dilakukan
baik secara implisit maupun eksplisit bahkan oleh mereka yang
menghindarkan diri dari studi perbandingan karena mereka harus
menggunakan konsep-konsep umum yang merupakan dasar dari
perbandingan. Coba perhatikan, walau seseorang tertarik pada
satu negara saja, tetapi dengan menerapkan konsep- konsep
umum yang mendasar yang hanya berarti tidak bisa diterapkan
pada negara-negara lainnya.
Lebih jauh lagi, dengan hadirnya konsep-konsep umum
maka studi pemerintahan juga menjadi umum sifatnya.
Perbandingan pemerintahan tidak hanya terkonsentrasi pada

22
penelitian sejumlah kecil negara atau sejumlah kecil institusi,
melainkan berhubungan dengan suatu pemerintahan. Hanya saja
pada prakteknya masih banyak dijumpai keterbatasan karena
pengetahuan kita yang belum mencukupi. Satu hal lagi yang
merupakan manfaat studi perbandingan jika studi tersebut
dilakukan secara eksplisif dan umum adalah dapat meningkatkan
pemahaman global kita terhadap kehidupan pemerintahan,
seperti misalnya kita dapat menemukan dalam suatu
pemerintahan adalah hal-hal yang tidak biasa dalam
pemerintahan di suatu negara tertentu.

F. TUJUAN PERBANDINGAN PEMERINTAHAN


Bila kita berbicara mengenai manfaat, maka perlu pula
mengemukakan tentang tujuannya. Menurut Drs. Pamudji, MPA,
tujuan studi perbandingan pemerintahan ialah mencoba
memahami latar belakang, asas-asas yang melandasi, kelemahan-
kelemahan dan keuntungan-keuntungan dari masing-masing
sistem pemerintahan. Manfaat studi / ilmu Perbandingan
Pemerintahan adalah melalui studi / ilmu ini dapat dikembangkan
dan dibina suatu sistem pemerintahan yang sesuai benar dengan
waktu,ruang, dan lingkungan yang ada di sekitar kita, dan lebih
khusus lagi sesuai dengan kepribadian kita. Dengan studi/ilmu
Perbandingan Pemerintahan maka kita dapat menentukan
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara
berbagai sistem pemerintahan.
Singkatnya tidak ada dua negara pun yang memiliki
cukup persamaan untuk diperbandingkan, karena pada dasarnya
sejarah yang mereka alami berbeda. Namun seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa perbandingan selalu dilakukan
baik secara implisit maupun eksplisit bahkan oleh mereka yang
menghindarkan diri dari studi perbandingan karena mereka harus

23
menggunakan konsep-konsep umum yang merupakan dasar dari
perbandingan. Hanya saja dengan hadirnya konsep-konsep
umum maka studi pemerintahan juga menjadi umum sifatnya.
Tetapi manfaat studi perbandingan jika studi tersebut dilakukan
secara eksplisit dan umum adalah dapat meningkatkan
pemahaman global kita tentang kehidupan pemerintahan.

G. RANGKUMAN
Pengertian perbandingan pemerintahan adalah
menyejajarkan unsur- unsur pemerintahan baik dalam arti luas
maupun dalam arti sempit untuk mendapatkan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan dari objek atau objek-objek
tadi dengan alat perbandingannya. Perbandingan pemerintahan
dapat dipandang sebagai suatu studi atau sebagai suatu ilmu.
Sebagai suatu studi atau sebagai suatu ilmu, perbandingan
pemerintahan tergolong ke dalam ilmu politik. Ilmu politik dan
ilmu perbandingan politik/pemerintahan berkaitan dalam hal
teori dan metode. Ada beberapa upaya untuk mengatasi masalah
teoretis dan metodologi dalam perbandingan politik/
pemerintahan. Maurice Duverger (1964) menawarkan tiga hal
yaitu; Pertama, ia menggali gagasan dasar ilmu sosial, dan
melacak perkembangan historis ilmu-ilmu sosial tersebut. Kedua,
ia menguraikan dan membahas teknik-teknik observasi yang
berkaitan dengan kajian terhadap dokumen-dokumen tertulis.
Ketiga, ia menelaah penggunaan teori dan hipotesis dan juga
klasifikasi serta konseptualisasi dalam penelitian.
Fokus perhatian atau penekanan utama dari studi
perbandingan pemerintahan dapat dibedakan dalam tiga fase:
1. Fase konstitusionalisme yang terjadi hingga kira-kira PD
II. Konstitusi- konstitusi secara berangsusr-angsur
diperkenalkan di Eropa dan Amerika Latin.

24
2. Fase Behavioralisme, terutama selama tahun 1940-an
hingga tahun 1960-an. Behavioralisme awalnya berhasil
dalam studi politik nasional, khususnya di Amerika
Serikat.
3. Fase Neo-Institusionalisme, yang dimulai tahun 1970-an
dengan pengakuan bahwa tidak setiap hal dapat
dimengerti/dipahami melalui studi perilaku, namun
struktur-struktur juga penting.

H. LATIHAN
Tes Formatif 1
Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang benar dengan cara
melingkari huruf a, b, c, atau d di depan jawaban tersebut!
(1) PERTANYAAN PILIHAN GANDA
1. Perbandingan adalah perbuatan menyejajarkan sesuatu
atau beberapa obyek dengan alat pembanding. Dalam
kaitan dengan pemerintahan obyek yang
diperbandingkan itu adalah?
a. Negara
b. Bangsa
c. Pemerintahan
d. Sistem Politik
2. Ada berbagai pengertian tentang konsep pemerintahan,
akan tetapi terdapat dua hal yang merupakan inti dari
konsep pemerintahan yaitu:
a. Pemerintah dan Negara
b. Pemerintah dan Bangsa
c. Pemerintah dan yang diperintah
d. Pemerintah dan Pemerintahan

25
3. Pada hakekatnya Pemerintahan tidaklah melayani dirinya
sendiri akan tetapi melayani masyarakat, karena
pemerintahan dibentuk dengan tujuan:
a. untuk menjaga suatu sistem ketertiban dalam
masyarakat
b. untuk memberikan fasilitas kehidupan kepada
masyarakat
c. untuk memberikan keadilan kepada masyarakat
d. untuk memberikan kehidupan kepada masyarakat
4. Bahasan awal di dalam ruang lingkup perbandingan
pemerintahan sesuai dengan perkembangan di dalam
ilmu politik di mulai pada suatu tradisi pendekatan,
yaitu:
a. Tradisi tradisional
b. Tradisi behavioral
c. Tradisi pasca behavioral
d. Tradisi marxis
5. Dilihat dari struktur negara, pemerintah merupakan…..
a. Konstitusi negara yang mengatur dan menjaga
Negara
b. Kepala dari rakyat yang memiliki wewenang
menjalankan kegiatan bernegara-
c. Instrumen strategis dari variabel politik
d. pemegang tanggungjawab negara

Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci Jawaban Tes Formatif


1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban
Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk
mengetahui tingkat penguasaaan Anda dalam materi kegiatan
belajar 2.

26
Rumus:
Tingkat PenguasaanAnda=Jumlah jawaban anda yang benarX100 %
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 % - 100 % = baik sekali
80 % - 89 % = baik
70 % - 79 % = cukup
- 70 % = kurang

Jika anda mencapai tingkat penguasaan bo % atau lebih, anda


dapat meneruskan ke modul 3 Bagus! Tetapi jika nilai anda di
bawah 80 %, Anda harus mengulangi Kegiatan belajar 2 pada
modul ini, terutama bagian yang belum anda kuasai.

Tes Formatif 2
Petunjuk : Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang
materi dalam kegiatan belajar 2, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
(2) Pertanyaan Essay
6. Ada beberapa upaya untuk mengatasi masalah teoretis
dan metodologi dalam perbandingan pemerintahan.
Bagaimanakah upaya yang dirumuskan oleh Maurice
Duverger dalam mengatasi masalah teoretis dan
metodologi perbandingan pemerintahan?
7. Dalam pandangan David Apter, pemerintah merupakan
istrumen strategis dari variabel politik. Bagaimanakah
David Apter memberikan pengertian pemerintah?
8. Saat ini ruang lingkup studi perbandingan pemerintahan
sudah semakin meluas. Bagaimanakah perkembangan
ruang lingkup studi perbandingan pemerintahan
(teruatam pada abad ke-19 dan memasuki abad ke-20).

27
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 1
1. (C) Pemerintahan merupakan obyek yang
diperbandingkan di dalam studi perbandingan
pemerintahan.
2. (C) Pemerintah dan yang diperintah adalah dua hal yang
merupakan inti dari konsep pemerintahan.
3. (A) Pada hakekatnya Pemerintahan di betuk dengan
tujuan untuk menjaga suatu sistem ketertiban dalam
masyarakat
4. (A)Tradisi tradisional merupakan bahasan awal di dalam
ruang lingkup perbandingan pemerintahan sesuai dengan
perkembangan di dalam ilmu politik.
5. (B) Dilihat dari struktur negara Pemerintahan merupakan
Kepala dari rakyat yang memiliki wewenang
menjalankan kegiatan bernegara-
Tes Formatif 2
6. Maurice Duverger (1964) menawarkan tiga hal yaitu;
Pertama, ia menggali gagasan dasar ilmu sosial, dan
melacak perkembangan historis ilmu-ilmu sosial
tersebut. Kedua, ia menguraikan dan membahas teknik-
teknik observasi yang berkaitan dengan kajian terhadap
dokumen-dokumen tertulis. Ketiga, ia menelaah
penggunaan teori dan hipotesis dan juga klasifikasi serta
konseptualisasi dalam penelitian.
7. Apter merumuskan pengertian pemerintah sebagai suatu
kumpulan khusus dari individu-individu yang telah
menetapkan tanggung jawab untuk mempertahankan dan
atau mengadaptasi sistem di mana mereka menjadi
bagiannya. Menjalankan tanggung jawab ini dengan

28
membuat pilihan-pilihan yang mengikat para anggota
sistem yang merupakan aktivitas utama pemerintah.
8. Menurut J. Blonde dalam bukunya Comparative
Government An Introduction, saat ini ruang lingkup ilmu
perbandingan pemerintahan menjadi lebih luas sejalan
dengan bertambahnya bagian-bagian yang tadinya bukan
dianggap masuk ke dalam pemerintahan menjadi bagian-
bagian dari pemerintahan. Pada abad ke 19, studi
pemerintahan secara umum dianggap memiliki ruang
lingkup yang sama dengan studi perencanaan konstitusi
(study of constitutional arrangement). Peristiwa-
peristiwa pada abad ke-18 khususnya Revolusi Amerika
dan Prancis (yang sebagian besar disebabkan oleh
adanya Revolusi Inggris), memunculkan dua
kesimpulan. Pertama, adalah berakhirnya absolutisme
dan Kedua, adalah sejak saat itu masyarakat diperintah
berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip konstitusional.
Dengan demikian, konstitusi dipandang sebagai inti dari
analisis pemerintahan dan ilmuwan politik menjadi
ilmuwan-ilmuwan hukum konstitusional. Kemudian
pandangan seperti ini dianggap sebagai hal yang sempit
baik dalam istilah geografi maupun istilah bekerjanya
pemerintahan modern. Alasannya karena kerja
pemerintah tidak dapat dibatasi hanya membuat
konstitusi saja, namun badan-badan non konstitusional
seperti partai-partai politik mulai memainkan peranan
yang penting dalam kehidupan politik dibanyak negara
pada abad 20- an. Lagi pula jauh sebelum meluas
keseluruh dunia, konstitusionalisme sejak lama terutama
hanya terbatas pada wilayah atlantik saja. Bahkan jika
terdapat ekspansi pemerintahan yang konstitusional

29
selama tahun 1890-an, tetap ada keraguan yang patut
dipertimbangkan seperti sejauhmana/ sedalam apa
konstitusionalisme telah mengakar.

I. DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel. 1974.Comparative Politics Today. Toronto
Apter, E. David, 1985. Politik Modernisasi, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta
Blondel, J. 1995. Comparative Government: An Introduction;
Second Edition.Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf.
London
Chilcote, H. Ronald. 2003. Teori Perbandingan Politik,
Penelusuran Paradigma, PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta
Johari, J.C. 1990. Comparative Politics; Revised & Enlarged
Edition. Sterling Publishers Pvt. Ltd. New Delhi. JH,
Price. 1975. Comparative Government, London.
Mas’oed, Mochtar & MacAndrews, Colin. Perbandingan Sistem
Politik. Gadjah Mada University Press
S. Pamudji. 1983. Perbandingan Pemerintahan. PT. Bina
Aksara. Jakarta

30
BAB II
TEORI PERBANDINGAN SISTEM POLITIK

A. PENDAHULUAN
a) Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengantarkan mahasiswa menyebutkan
beberapa Teori Perbandingan Sistem Politik Lebih lanjut
mahasiswa bisa menunjukkan aliran-aliran pemikiran tentang
teori perbandingan politik yang sudah ada. Membahas pengertian
apa itu perbandingan sitem politik, teori building dalam
perbandingan politik dan pendekatan serta isu-isu dalam
perbandingan politik. Kajian mencakup pendekatan system,
budaya, dan modernisasi politik dengan contoh kasus yang
relevan. Secara praktis membahas perbandingan pemerintahan
dan politik di beberapa negara terpilih
b) Relevansi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan perlu menyebutkan
beberapa aliran pemikiran tentang birokrasi ini karena beberapa
sebab: 1) sebagai pengetahuan awal untuk bisa memahami
tentang beberapa aliran pemikiran tentang Teori Perbandingan
Sistem Politik; 2) bisa membedakan kelompok-kelompok yang
termasuk di dalam aliran-aliran tertentu; dan 3) bisa berpikiran
luas bahwa pandangan beberapa pemikir tentang Teori
Perbandingan Sistem Politik adalah berbeda-beda, dan ini
merupakan keharusan di dalam ilmu pengetahuan.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan tentang Teori
Perbandingan Sistem Politik.

31
B. PENYAJIAN
a) Perbandingan Sistem Politik dan Pemerintahan
Pengertian perbandingan sistem politik dan
pemerintahan, yaitu mensejajarkan unsur-unsur pemerintahan
baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit untuk
mendapatkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
dari objek atau objek-objek tadi dengan alat pembandingnya. Di
dalam arti luas pemerintahan mencakup semua kekuasaan yang
meliputi seluruh fungsi negara. Di dalam arti sempit,
pemerintahan kerap kali dipahami sebagai aktivitas dari lembaga
kekuasaan eksekutif.
Pemerintahan membentuk suatu sistem karena terkait
dengan suatu kegiatan, di mana sejumlah unsur yang penting
saling berhubungan dalam suatu proses melalui mana kebijakan-
kebijakan dibuat, dikembangkan dan di implementasikan.
Dengan demikian, ruang lingkup perbandingan pemerintahan
dalam studi yang mengkombinasikan unsur-unsur dalam
masyarakat yang membentuk suatu sistem politik. Unsur-unsur
tersebut termasuk lembaga-lembaga 15 yang didirikan
berdasarkan konstitusi seperti kepresidenan, kabinet, dan badan
legislatif; juga termasuk partai-partai politik. Kelompok-
kelompok kepentingan (sejauh mereka berpartisipasi dalam
politik pemerintahan), birokrasi, dan pengadilan.
Sedangkan studi perbandingan politik (comparative
politics) mempelajari kegiatan-kegiatan politik dalam cakupan
lebih luas, termasuk mengenai pemerintahan dan berbagai
lembaganya dan juga aneka organisasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan pemerintahan (antara lain adalah
suku bangsa, masyarakat, asosiasi-asosiasi, dan berbagai
perserikatan). Istilah perbandingan politik juga diartikan sebagai
upaya untuk membandingkan segala bentuk kegiatan politik, baik

32
itu yang berkaitan dengan pemerintahan maupun yang tidak
berhubungan dengan pemerintahan.
 Perbandingan Pemerintahan mengacu pada studi
mengenai sistem-sistem politik, dengan penekanan pada
institusi dan fungsinya.
 Perbandingan Politik memiliki ruang lingkup yang lebih
luas, yang meliputi studi institusi dan fungsi
(sebagaimana Perbandingan Pemerintahan) dan juga
ditambah dengan studi tentang “non-state politics”
 Dalam artian bahwa ruang lingkup perbandingan politik
lebih luas daripada perbandingan pemerintahan, namun
persamaannya adalah bahwa kedua studi tersebut
menggunakan metode perbandingan.
• Di sisi lain, perbandingan politik, mengadopsi teori-
teori dari disiplin lain selain ilmu politik seperti
ekonomi, sosiologi, psikologi, dan anthropologi.
• Menurut Sidney Verba, ilmu perbandingan politik
memiliki tiga karakter yang tidak dimiliki ilmu
perbandingan pemerintahan:
• Perbapol menggunakan teori dan teknik yang lebih
relevan daripada sekedar teori yang sifatna
deskriptif.
• Mempelajari fenomena politik selain institusi formal
pemerintahan.
• Mempelajari negara-negara baru di Asia, Afrika,
dan Latin Amerika; berbeda dengan studi lama yang
berfokus pada negara-negara Barat dan Eropa
Manusia memandang sebuah perbandingan menjadi
sebuah sifat yang sudah ada dan dimiliki setiap manusia namun,
seiring berjalannya waktu manusia menyadari bahwa

33
pebandingan tidak hanya digunakan untuk membandingkan suatu
fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-hari namun mulai
merambah pada perbandingan sistem negara. Perbandingan
politik digunakan untuk membandingkan apapun yang berkaitan
dengan pemerintahan maupun tidak. Salah satu ahli teori
perbandingan politik adalah Gabriel A Almond, Almond awalnya
menggunakan teori Easton yang fokus kepada politik mikro,
kemudian Almond memodifikasinya agar lebih fokus kepada
politik makro.Sistem politik memainkan peran penting dalam
potensi dari suatu negara dan diartikan bahwa ada interaksi antar
aktor-aktor yang ada.
Sistem politik mempunyai struktur yang tersusun dari
beberapa kategori seperti, kelompok kepentingan, partai politik,
badan peradilan, dewan eksekutif dan legislatif, yudikatif. Topik-
topik yang dicakup mulai dari mengapa dan bagaimana caranya
membandingkan sistem politik sampai dengan negara,
pemerintah dan kebijakan publik. Dalam teori perbandingan
politik terdapat budaya politik dan sosialisasi politik, bagi
Almond sosialisasi politik mendorong orang untuk berpartisipasi
dalam budaya politik masyarakat, sosialisasi terjadi di dalam
keluarga, sekolah, pekerjaan, kelompok keagamaan,
perkumpulan sukarelawan, partai politik, dan bahkan institusi-
institusi pemerintah.
Budaya politik sendiri masuk sebagai cara pandang
warga negara tentang sistem politiknya dan setiap bagiannya.
Sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada
di dalamnya. Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada aktor-
aktor formal melainkan pula informal. Dalam Chilcote,2010
dijelaskan bahwa sistem politik dapat diperbandingkan dalam
pengertian-pengertian kinerja fungsi-fungsi tertentu dari struktur-
struktur tertentu.

34
Sistem politik Almond tersusun atas banyak bagian
independen. Sistem politik Almond tersusun atas bagian-bagian
ini termasuk institusi-institusi pemerintah serta seluruh struktur
dlam aspek-aspek politiknya. Sistem politik dapat dicirikan
sebagai modern dan pra modern, maju dan terbelakang, industri
dan agraris (Chilcote, 2010). Bagi Almond, sistem politik adalah
interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya. Interaksi tersebut
tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik
formal maupun nonformal.
Ilmu Perbandingan Politik adalah salah satu cabang studi
politik (study of politics) dan ilmu politik (political science).
Studi perbandingan politik acapkali membingungkan, tidak saja
bagi para mahasiswa, namun juga para akademisi. Ilmu politik
dan ilmu perbandingan politik berkaitan dalam hal teori dan
metode. Teori, adalah serangkaian generalisasi yang tersusun
secara sistematik, sedangkan metode, adalah suatu prosedur atau
proses yang menggunakan teknik-teknik dan perangkat tertentu
dalam mengkaji sesuatu guna menelaah, menguji dan
mengevaluasi teori.
Dalam studi ini, banyak istilah yang terlanjur digunakan
secara longgar dan diartikan secara berbeda-beda. Contohnya
istilah “perbandingan pemerintahan”, yang biasanya mengacu ke
studi tentang berbagai negara bangsa di Eropa, dan fokus studi
ini adalah tentang lembaga-lembaga beserta segenap fungsinya di
negara-negara itu, dengan penekanan pada lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif, serta berbagai organisasi lain yang terkait
seperti partai politik dan pressure group. Sedangkan studi
perbandingan politik (comparative politics) mempelajari
kegiatan-kegiatan politik dalam cakupan lebih luas, termasuk
mengenai pemerintahan dan berbagai lembaganya dan juga
aneka organisasi yang tidak secara langsung berhubungan

35
dengan pemerintahan (antara lain adalah suku bangsa,
masyarakat, asosiasi-asosiasi, dan berbagai perserikatan).
Istilah perbandingan politik juga diartikan sebagai upaya
untuk membandingkan segala bentuk kegiatan politik, baik itu
yang berkaitan dengan pemerintahan maupun yang tidak
berhubungan dengan pemerintahan.
Oleh sebab itu, para spasialis perbandingan politik
cenderung mengartikan perbandingan politik sebagai studi
tentang segala sesuatu yang berbau politik. Pengertian
perbandingan politik yang lebih longgar lagi akan mengaburkan
kriteria penentuan hal-hal apa saja yang layak menjadi objek
kajiannya. Kita dapat menggali hubungan ilmu politik dan
perbandingan politik dengan bidang-bidang lain, seperti yang
dilakukan oleh Ronald H. Chilcote, yang melihat bahwa teori
maupun metodenya banyak bersumber dari pemikiran para filsuf
politik “klasik” seperti Aristoteles dan Plato, Machiavelli dan
Montesquieu, serta Hegel, Mark dan Mill. Perbandingan politik
juga banyak bersumber dari pemikiran para tokoh di awal abad
20 seperti Woodrow Wilson, James Bryce dan Carl Friedrich,
yang telaahannya mengarah ke studi formal tentang
pemerintahan dan negara.
Karya dibidang lain yang turut mempengaruhi studi
perbandingan politik, antara lain karya A.R. Radcliffe-Brown
dan Bronislaw Malinowski dibidang Antropologi; Gaetano
Mosca, Vilfredo Pareto, Mark Weber dan Emile Durkheim
dibidang sosiologi dan sosiologi politik; serta John M. Keynes,
Karl Marx dan V.I. Lenin dibidang ekonomi politik.
Terjadinya PD II, telah meningkatkan minat para
akademisi di AS untuk mempelajari sistem-sistem politik negara-
negara lain, khususnya di Eropa dan Asia. Pudarnya pamor
kerajaan-kerajaan besar setelah perang dan gemuruh perjuangan

36
kemerdekaan didunia ketiga mendorong akademisi untuk
mengalihkan perhatian dari sistem-sistem politik mapan ke
negara-negara baru tersebut.
Konsekuaensinya terhadap studi perbandingan politik
sangatlah besar. Menurut Braibanti (1968), disaat itulah terjadi
lonjakan riset tentang negara-negara baru, ditopang oleh
perkembangan teknologi riset dan melimpahnya dana penelitian
yang antara lain disediakan pemerintah yang menginginkan
masukan-masukan dari kalangan akademis untuk menyusun
aneka program luar negeri, termasuk program bantuan untuk
negara berkembang.

C. TEORI-TEORI SISTEM
Kepustakaan teori-teori sistem dalam perbandingan
politik mulai mencuat diawal tahun 50-an. Ada 3 penulis yang
dapat dikemukakan sebagai wakil perintis dan pengembang teori-
teori sistem ini.
 Pertama, David Easton, yang bukunya berjudul The
Political System dan sejumlah tulisannya yang lain
menandai lahirnya konsep sistem politik (political
system) bersamaan dengan konsep-konsep input dan
output, tuntutan (demands) dan dukungan (support) serta
umpan balik;
 Kedua, Gabriel Almond, yang banyak dipengaruhi
antropolog fungsionaris A.R. Radcliffe-Brown dan
Bronislaw Malinowski, serta sosiolog Max Weber dan
Talcott Parsons. Awalnya Almond menawarkan suatu
klasifikasi sederhana tentang sistem-sistem politik, yang
mencakup pula sistem-sistem politik di luar dunia Barat,
dan negara-negara yang baru merdeka. Ia kemudian
bergabung dengan para spesialis perbandingan politik

37
dengan merumuskan kategori-kategori struktur dan
fungsi, dan mengkaitkannya dengan semua sistem politik
yang ada di dunia. Selanjutnya Almond mengaitkan pula
konsepsinya tentang sistem dengan budaya dan
pembangunan;
 Ketiga, Karl Deutsch yang karyanya, Nerves of
Government, banyak bersumber dari teori sibernika yang
dirumuskan Norbert Wiener ketika berusaha
mengembangkan model politik sistemik (systemic model
of politics).

1. Teori-teori Budaya
Pendekatan kebudayaan dalam perbandingan politik
marak selama 1960-an, bertolak dari karya-karya
tradisional tentang budaya dalam antropologi, studi-studi
tentang sosialisasi dan kelompok-kelompok kecil dalam
sosiologi, serta studi-studi tentang kepribadian dalam
psikologi.
Konsep budaya politik dikatkan ke konsep negara,
atau budaya-budaya nasional. Dalam hal ini budaya
politik dilihat sebagai penjelmaan kembali konsep lama
karakter nasional. Budaya politik juga berkaitan dengan
sistem. Budaya politik terdiri dari serangkaian
keyakinan, simbol-simbol, dan nilai-nilai yang
melatarbelakangi situasi dimana suatu peristiwa politik
terjadi.
Jenis budaya politik merupakan ciri dari sistem
politik yang bersangkutan, misalnya saja budaya politik
parokial, budaya politik subjek dan budaya politik
partisipan. Jenis-jenis budaya politik ini merefleksikan
orientasi psikologis dan subjektif dari orang-orang yang

38
menjadi warga suatu negara/masyarakat terhadap sistem
nasional mereka.
Tokohnya adalah Gabriel Almond dan Sydney
Verba dalam buku mereka “Civic Culture”.
2. Teori-teori Pembangunan
Pendekatan penting ketiga dalam kepustakaan
perbandingan politik adalah teori-teori pembangunan
(developmental theories). Perhatian terhadap
pembangunan didorong oleh kemunculan negara-negara
baru di dunia ketiga. Almond memandang penting untuk
mengaitkan gagasan-gagasannya tentang hakikat sistem
politik dan tentang budaya politik pembangunan
(political culture to development).
Hasilnya adalah suatu artikel dalam Jurnal World
Politics tahun 1965 dan sebuah buku yang ditulisnya
bersama G. Bingham Powell, yakni Comparative
Politics: A Developmental Approach. Dalam buku
tersebut Almond secara lebih terarah berusaha
membangun sebuah model yang terdiri dari serangkaian
konsep dan tahapan-tahapan khas proses pembangunan.
Kepustakaan perbandingan politik tentang
pembangunan sebenarnya dapat dipilah sekurang-
kurangnya menjadi lima kategori.
 Kategori Pertama, dengan Almond dkk
(AFK.Organski, Walt Rostow) sebagai tokohnya,
mencoba memanfaatkan konsep-konsep tradisional
seperti demokrasi dan demokrasi politik, serta
mengolah dan menampilkannya kembali dalam
sosok yang lebih canggih, dan terkadang abstrak;
 Kategori kedua, berfokus pada konsepsi
pembangunan bangsa (nation building). Studi-

39
studinya mencoba memadukan konsepsi lama
seperti nasionalisme dengan penafsiran baru tentang
makna pembangunan itu sendiri. Nationalism and
Social Communication (Karl Deutsch), From
Empire to Nation (Kalman Silvert), merupakan
contoh-contoh yang menerapkan konsep
nasionalisme dan pembangunan dalam kajian
kawasan Afrika dan Amerika Latin;
 Kategori ketiga berfokus pada modernisasi. Contoh-
contoh tulisan yang menonjol adalah Modernization
and the Structure of Societies (Marion J. Levy) yang
merupakan suatu upaya ambisius untuk menerapkan
fungsionalisme struktural terhadap teori
modernisasi, serta The Politics of Modernization
(David Apter), sebuah upaya provokatif untuk
membangun sebuah model;
 Kategori keempat, mencakup studi-studi tentang
perubahan. Contohnya tulisan yang penting adalah
Political Order in Changing Societies (Samuel P.
Huntington);
 Kategori kelima, meliputi studi-studi kritis yang
seperti telah disinggung diatas kemudian
memunculkan teori-teori pembangunan etnosentris.
Studi-studi ini ini berfokus pada keterbelakangan di
negara-negara miskin, yang dilihat sebagai korban
pembangunan dan industrialisasi kapitalistik di
negara-negara maju. Contoh tulisan yang menonjol
Capitalism and Underdevelopment in Latin America
(Andre Gunder Frank) dan How Europe
Underdeveloped Afrika (Walter Rodney). Para
teoritisi ini menegaskan segala bentuk keterpurukan

40
di negara miskin bersumber dari ketergantungannya
kepada negara-negara kaya.

D. TEORI-TEORI KELAS
Sekitar pertengahan 1960-an, Komite Perbandingan
Politik (Committee on Comparative Politics) memutuskan untuk
memberi perhatian kepada studi-studi tentang elite. Munculnya
para pemimpin kharismatik seperti Fidel Castro (Cuba), Kwame
Nkrumah (Ghana), Soekarno (Indonesia) melipatgandakan
perlunya mempelajari sosok pemimpin politik di dunia ketiga.
Selain itu, kegagalan lembaga-lembaga politik standar
seperti parlemen dalam menciptakan stabilitas politik di berbagai
negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin, kian menekankan
pentingnya studi tentang elite.

Pendekatan Perbandingan Politik: Beberapa Karakteristik


Pendekatan Pendekatan Pendekatan Pasca-
Tradisional Behavioral behavioral
Saling mengaitkan Memisahkan fakta Fakta dan nilai
fakta dan nilai dan nilai diikat pada tindakan
dan relevansi
Perspektif dan Nonperspektif, Bersifat humanistik
normatif Objektif dan empiris dan berorientasi
masalah, normatif
Kualitatif Kuantitatif Kualitatif dan
Kuantitatif
Berkaitan dengan Berkaitan dengan Berkaitan dengan
ketidakteraturan dan keseragaman dan keteraturan dan
keteraturan keteraturan ketidakteraturan
Konfiguratif dan non Komparatif, berfokus Komparatif,
komparatif, berfokus pada beberapa negara berfokus pada
pada negara-negara beberapa negara
individual

41
Etnosentris, secara Etnosentris, secara Secara khusus
khusus berfokus pada khusus berkaitan berorientasi pada
demokrasi-demokrasi dengan model Anglo- dunia ketiga
Eropa Barat Amerika
Deskriptif, sempit dan Abstrak, berideologi Teoritis, radikal dan
statis konservatif dan statis berorientasi hasil
Berfokus pada Berfokus pada Berfokus pada
struktur-struktur struktur-struktur dan hubungan dan
formal (institusi dan fungsi-fungsi konflik kelas serta
pemerintah) (kelompok) formal kelompok
dan informal

Kepustakaan atau literatur perbandingan politik cukup


banyak dan bermacam-macam. Namun sebuah survai mengenai
literatur perbandingan politik biasanya bermula dengan
Aristoteles dan lain-lain yang mengklasifikasikan tipe-tipe atau
bentuk negara kemudian menarik generalisasi kehidupan
politik.Hingga abad 19, tipologi yang menonjol mengklasifikasi
politik menjadi monarkhi, aristokrasi dan demokrasi.
Norman Furniss (1974) memberikan upaya untuk
mensintesis literatur umum perbandingan politik, dengan cara:
1. Menanggalkan pencarian teori dan kembali ke
pendekatan negara per negara;
2. berfokus pada topik atau institusi dan studi
pemerintahan-pemerintahan lintas batas nasional;
3. menerapkan sebuah pendekatan lintas nasional makro
menggunakan informasi deskriptif seluruh negara;
4. berfokus pada konsep-konsep berjangkauan menengah
dengan perhatian pada apa yang relevan dengan politik;
menekankan trend-trend sejarah lintas nasional dan
kekuatan-kekuatan yang membentuk kehidupan politik.

42
E. RANGKUMAN
Studi perbandingan adalah bidang di dalam Ilmu Politik
yang acap kali mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan
dengan studi intensif untuk mengurangi kekakuan dalam sistem
politik yang ada. Perbandingan melibatkan sebuah abstraksi
situasi atau proses konkrit yang tidak pernah dibandingkan
semata, setiap fenomena diharapkan merupakan peristiwa yang
unik; setiap manifestasi adalah unik; setiap individu dan
perilakunya adalah unik.
Melakukan perbandingan dalam studi politik, hanya akan
memberikan sebuah teori politik yang secara umum, tetapi secara
perlahan melalui berbagai proses akan terjadi pengembangan
kondisi. Singkatnya pendekatan yang nantinya dilakukan dalam
proses memperbandingkan juga akan menentukan deskripsi
pendekatan, apakah akan terbatas pada pendekatan lembaga
pemerintahan yang dibentuk secara formal atau lebih pada
sebuah kontekstual dalam pembongkaran kekuatan-kekuatan
politik yang melatari yaitu ideologi. Pengembangan terhadap
sebuah abstraksi situasi akan membentuk relevansi dengan
kekuatan kategori umum, sebuh relevansi yang terhimpun dari
berbagai perbandingan yang dilakukan melalui peristiwa dan
fenomena politik yang terjadi. Yang kesemua pada gilirannya
dapat mengarahkan kesimpulan dan tanggapan kita kepada
sebuah pandangan umum mengenai stabilitas politik; makanya
diperlukannya pengkajian terhadap fenomena yang terjadi dalam
studi ilmu politik.
Dalam sebuah kaitannya dapatlah dipahami bahwa setiap
manifestasi sikap, hubungan, motivasi dan ide dalam masyarakat
merupakan relevansi dalam kegiatan politik. Secara sederhana
polituk dapat dipahami sebagai sebuah aspirasi dalam
membentuk sebuah kepentingan, yang diawali dengan sebuah

43
tuntutan dan akhirnya menghasilkan sebuah keputusan serta
konsensus bersama. Dan dalam memahami sebuah fenomena
politik yang ada diperlukannya sebuah pemahaman holistik
tentang potensi potensial politik dan memahami bahwa ada
sebuah sikap yang dianggap bertentangan yaitu sebuah sikap
apolitis. Semua terbentuk pada ruang dan waktu yang berbeda
tetapi semua menyangkut kegiatan politik dalam sebuah wadah
partisipasi politik

F. LATIHAN
Tes Formatif 2
Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang benar dengan cara
melingkari huruf a, b, c, atau d di depan jawaban tersebut!
(1) PERTANYAAN PILIHAN GANDA
1. Sistem politik adalah sebuah interaksi yang di
abstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial sehingga
nilai-nilai dialokasikan secara otoritatif kepada
masyarakat. Merupakan pendapat menurut...
a. Rusandi Sumintapura
b. Sukarna
c. David Easton
d. Robert Dahl
e. Gabriel Almond
Jawabannya adalah C
2. Perhatikan data berikut :
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar dan mengubah
Undang- Undang Dasar
2) Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
3) Melakukan pengujian atas konstitusional Undang-
Undang
4) Melantik Presiden dan Wakil Presiden

44
5) Mengadili semua perkara yang dimintakan kasasi
Kewewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah...
a. 1 dan 2
b. 3 dan 4
c. 1 dan 5
d. 2 dan 3
e. 4 dan 5
Jawabannya adalah A
3. “MPR terdiri dari atas anggota DPR dan anggota DPD”
Menurut UUD 1945 pasca amandemen ke-4 terdapat
dalam pasal...
a. 2 ayat (2)
b. 8 ayat (2)
c. 8 ayat (3)
d. 23F ayat (2)
e. 2 ayat (1)
Jawabannya adalah E
4. Perhatikan data berikut:
1) Partai Politik
2) Media Masa
3) LSM
4) Kelompok penekanan
5) Pendapat umum
termaksud dalam sistem politik...
a. Suprastuktur polirik
b. Infrastuktur politik
c. Demokrasi politik
d. Oligark totaliter
e. Sosialisasi politik
Jawabannya adalah B

45
5. Media masa dalam negara demokrasi memainkan
perannya sebagai, kecuali...
a. Penyalur informasi
b. Alat kontrol terhadap penyelengaraan negara
c. Sarana pembentukan pendapat umum
d. Sebagai pelapor pertanggung jawaban pemerintah
e. Menetapkan kebijakan-kebijakan
Jawabannya adalah E
6. Dalam pengertian politik bahwa sistem politik adalah
mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam
hubungan satu sama lain yang menunjukan suatu proses
yang langgeng. Keterangan diatas adalah pengertiaan
sistem politik menurut...
a. Sukarna
b. David Easton
c. Robert Dahl
d. Rusandi Sumintapura
e. Gabriel Almond
Jawabannya adalah D
7. Yang termaksud infrastuktur mencakup lima komponen
salah satunya sebagai berikut, kecuali...
a. Partai politik
b. Tokoh seni budaya
c. Tokoh politik
d. Kelompok kepentingan
e. Kelompok penekan
Jawabannya adalah B
8. Aspek formal dalam sistem politik demokrasi dapat
dilihat dalam bentuk...
a. Musyawarah mufakan
b. Asas kekeluargaan

46
c. Pengambilan keputusan
d. Pemilihan umum
e. Asas musyawarah
Jawabannya adalah D
9. Kegiatan politik biasanya lebih banyak dilaksanakan atau
di implementasikan untuk kepentingan...
a. Organisasi kemasyarakatan
b. Bangsa dan negara
c. Partai politik semata
d. Individual / perorangan
e. Organisasi profesional
Jawabannya adalah B
10. Menurut Gabriel Almond dan colemann powell, sistem
politik dapat dikategorikan antara lain sebagai berikut..
a. Primitif, anarki dan modern
b. Tradisional, modern dan anarki
c. Tradisional, totaliter dan demokrasi
d. Modern, totaliter dan monarki
e. Primitif, tradisional dan modern
Jawabannya adalah C

G. DAFTAR PUSTAKA
Almod, Gabrield and James S. Coleman. (1960). The Politics of
Developing Area.
Budiardjo, Miriam. (1992). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia.
Easton, David. (1984). Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik.
Jakarta: Bina Aksara.
Easton, David. (1992). Aproaches to The Study of Politics. New
York: Macmillan Publishing Company.

47
Hadaad, Ismid (ed.). (1981). Kebudayaan Politik dan Keadilan
Sosial. Jakarta: LP3ES.
Mas`oed, Mohtar dan Colin MacAndrews. (1991). Perbandingan
Sistem Politik.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Princeton: Princeton University Press.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (eds.). (1993). Indonesia dan
Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.

48
BAB III
KOMPARASI PEMIKIRAN DAVID EASTON
DAN GABRIEL ALMOND
TENTANG SISTEM POLITIK

A. PENDAHULUAN
a) Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengantarkan mahasiswa menyebutkan
beberapa Teori Perbandingan Sistem Politik dan Komparasi
Pemikiran David Easton dan Gabriel Almond tentang Sistem
Politik. Lebih lanjut mahasiswa bisa menunjukkan aliran-aliran
pemikiran tentang teori perbandingan politik yang sudah ada..
b) Relevansi
Mahasiswa perlu menyebutkan beberapa aliran
pemikiran tentang birokrasi ini karena beberapa sebab : 1)
sebagai pengetahuan awal untuk bisa memahami tentang
beberapa aliran pemikiran tentang Komparasi Pemikiran David
Easton dan Gabriel Almond tentang Sistem Politik; 2) bisa
membedakan kelompok-kelompok yang termasuk di dalam
aliran-aliran tertentu; dan 3) bisa berpikiran luas bahwa
pandangan beberapa pemikir tentang Teori Perbandingan Sistem
Politik adalah berbeda-beda, dan ini merupakan keharusan di
dalam ilmu pengetahuan.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan tentang
Komparasi Pemikiran David Easton dan Gabriel Almond tentang
Sistem Politik.

49
B. PENYAJIAN
Dalam keseharian, kita sering mendengar dan menyebut
istilah sistem. Penyebutan istilah sistem pun hampir banyak
digunakan dan mudah dilakukan oleh hampir sebahagian besar
orang. Lalu apa yang dimaksud dengan sistem. Setiap sistem
tentu memiliki sifat atau unsur-unsur sebagai berikut yaitu:
1. Terdiri dari banyak bagian-bagian atau sub-sub sistem.
2. Bagian-bagian tersebut satu sama lain saling berinteraksi
dan salaing tergantung.
3. Sistem itu memiliki ruang lingkup tersendiri atau
perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dengan
lingkungannya.
Berangkat dari unsur-unsur tersebut maka secara
sederhana dapat didefinisikan bahwa ”sistem adalah kesatuan
dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing
yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu”. Dalam ilmu
politik yang dimaksud dengan sistem politik, adalah kesatuan
dari seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-
masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara.
Selanjutnya berbicara tentang sistem politik tentu tidak bisa
dipisahkan dengan proses politik itu sendiri. Sistem politik secara
fungsional adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan
proses alokasi nilai-nilai dalam bentuk keputusan-keputusan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat otoritatif yang
dikuatkan oleh kekuasaan yang sah dan mengikat bagi seluruh
masyarakat. Dalam masyarakat modern, otorita atau kekuasaan
yang sah, dan yang memiliki wewenang yang sah untuk
menggunakan kekuasaan secara paksa adalah berbentuk negara.
Sistem politik secara teroritis pasti memiliki ciri-ciri
yang bersifat universal, yaitu dalam bentuk struktur dan fungsi

50
politik. Ciri-ciri tersebut hampir bisa dikatakan berlaku di semua
negara di seluruh dunia. Hanya yang membedakan sistem politik
suatu negara dengan negara yang lainnya, adalah apakah negara
tersebut otoritarian atau demokratis. Pendekatan sistem politik
ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah
terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik
dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu
politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan
kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh sistem
yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah
konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah
satu dari sistem-sistem lain yang ada di masyarakat seperti sistem
ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain
sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas
yang diangkat ke alam konsep) dari kondisi real kondisi
perpolitikan di suatu masyarakat. Seperti telah dijelaskan, suatu
masyarakat tidak hanya terdiri atas satu sistem (misalnya sistem
politik saja), melainkan terdiri atas multi sistem. Sistem yang
biasanya dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem
ekonomi, sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-
psikologi. Dari aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada
persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada
dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan
berlingkup pada variabel-variabel (konsep yang diukur) yang
biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya. Untuk
memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami
sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui beberapa variabel
kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem
adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output,
respon, dan umpan balik. Variabel-variabel ini adalah sama

51
antara satu sistem dengan sistem lain dengan perbedaan hanya
pada dimensi ontologisnya.
Sistem Politik adalah merupakan alokasi dari nilai-nilai
dalam mana pengalokasian dari nilai-nilai tadi bersifat paslaan
atau dengna kewenangan, dan bersifat mengikat masyarakat
sebagai siatu keseluruhan (David Easton, 1965).
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan
pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang
berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta
melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara
mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau
dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Menurut
Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja
seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang
berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang
langggeng
Menurut Almond, Sistem Politik adalah interaksi yang
terjadi dalam masyarakat yang merdeka yang menjalankan fungsi
integrasi dan adaptasi. Menurut Rober A. Dahl, Sistem politik
adalah pola yang tetap dari hubungan – hubungan antara manusia
yang melibatkan sampai dengan tingkat tertentu, control,
pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang. Dapat disimpulkan
bahwa sistem politik adalah mekanisme seperangkat fungsi atau
peranan dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain
yanh menunjukan suatu proses yang langsung memandang
dimensi waktu (melampaui masa kini dan masa yang akan
datang).
a) Kerangka Sistem Politik Menurut David Easton
Pasca Perang Dunia II, ilmuwan aneka bidang mulai
menaruh perhatian pada usaha membangun suatu ilmu
pengetahuan yang sistematis. Misalnya, pada tahun 1957,

52
seorang sosiolog bernama Karl Mannheim membangun apa yang
dinamakan sosiologi sistematis. Kemudian 6 tahun sesudahnya,
ilmuwan politik Charles E. Merriam menulis suatu karya ilmiah
mengenai perlunya membangun suatu stud politik yang
sistematis.
Namun, usaha membangun ilmu politik yang sistematis
ini diantara telah dilakukan beberapa tahun sebelum Mannheim
atau Merriam menyatakan perlunya membangun hal tersebut.
Salah satu upaya membangun ilmu politik yang sistematis
diantaranya dilakukan oleh David Easton. Usaha Easton untuk
membangun suatu ilmu politik yang sistematis terdiri atas 2
tahap, yaitu : David Easton lewat karyanya yang berjudul The
Political System (tahun 1953),menyatakan bahwa perlu dibuat
formula untuk suatu teori umum dalam ilmu politik. Hal ini
sangat diperlukan agar untuk mendapatkan kerangka analisa
terhadap sistem politik secara benar. Lewat karyanya yang lain
yang berjudul A Framework for Political Analysis
(1965) dan A System Analysis of Political Life (1965), pada
karya ini Easton mulai memperkenalkan konsep serta merinci
konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya, lalu dicoba
untuk mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit. Melalui
kedua karya tersebut, terutama yang pertama, Easton
menggariskan kerangka berpikir dasar untuk mengkaji suatu
sistem politik. Sifat dari kerangka berpikir tersebut adalah adaptif
dan fleksibel sehingga bisa digunakan oleh aneka struktur
masyarakat maupun politik. Para pengguna teori Easton
dimungkinkan untuk berimprovisasi dalam melakukan
penjelasan atas fenomena sistem politik.
 1.Asumsi
Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi yang

53
sistematis untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang
ditemukan.
 2.Asumsi
Para pengkaji kehidupan politik harus memandang
sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
 3.Asumsi
Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data
psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri
atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan
politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang
muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh
lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi,
geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora,
fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan
reaksinya).
 4.Asumsi
Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu
disequilibrium (ketidakseimbangan).1
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak
ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas
tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji
dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-
lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan
pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini. Selain itu,
untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan padu
(komprehensif), sistem politik tidak dapat dikaji secara parsial.
Misalnya kita hanya mengkaji lembaga legislatif saja tanpa
mengkaitkannya dengan peran lembaga eksekutif dalam
melakulkan impelementasi perundang-undangan. Selain itu,

54
Easton juga menegaskan bahwa kajian atas sistem politik harus
mempertimbangan aneka pengaruh dari lingkungan. Pengaruh
kondisi psikologis masyarakat, pola geografis wilayah negara,
ataupun situasi yang berkembang pada level internasional harus
diperhatikan pengaruhnya terhadap suatu sistem politik. Dengan
kata lain, kajian atas sistem politik tidak boleh bersifa ahistoris.
Terakhir, para peneliti sistem politik harus selalu menganggap
sebuah sistem politik berlangsung di dalam suatu
ketidakseimbangan (disequilibrium). Justru di dalam
ketidakseimbangan tersebut, alur kerja sistem politik mempunyai
daya dorong. Jika tidak ada persoalan ataupun kebutuhan, maka
untuk apa sistem politik itu ada dan bekerja, bukan? Setelah
mengajukan 4 asumsi perlunya suatu teori politik yang
menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton juga
menggariskan 4 atribut yang perlu diperhatikan dalam mengkaji
sistem politik. Keempat atribut tersebut adalah :
1. Unit-unit dan batasan-batasa suatu sistem politik.
Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat
unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling
bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem
politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang
sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik
seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik,
lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini
bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya
cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan
sebagainya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam
sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke
dalam sistem politik berupa tuntutan dan dukungan.

55
Tuntutan secara sederhana dijelaskan sebagai
seperangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara
merata oleh sistem politik kepada sekelompok
masyarakat yang ada di dalam cakupan sistem politik. Di
sisi lain, dukungan merupakan upaya dari masyarakat
untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus
berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang
berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat.
Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang
biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah
pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai
tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu,
tindakan adalah implementari konkrit pemerintah atas
keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi dalam system
Sistem yang baik haruslah memiliki diferensiasi
(pembedaan/pemisahan) kerja. Di masa modern adalah
tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan
seluruh masalah. Misalkan saja dalam pembuatan
undang-undang pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa
cukup Komisi Pemilihan Umum saja yang merancang
kemudian mengesahkan. DPR, KPU, lembaga
kepresidenan, partai politik dan masyarakat umum
dilibatkan dalam pembuatan undang-undangnya.
Meskipun bertujuan sama yaitu memproduksi undang-
undang partai politik, lembaga-lembaga tersebut
memiliki perbedaan didalam fungsi pekerjaannya.
Pola pikir Easton mengenai pengaruh lingkungan ini
dapat dilihat di dalam bagan berikut ini :

56
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan
bagaimana lingkungan, baik intrasocietal maupun extrasocietal,
mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke
dalam sistem politik. Bagan ini sesungguhnya secara mendasar
adalah mirip dengan skema kerja sistem politik seperti sudah
dibahas terlebih dahulu. Namun, di model arus ini Easton hendak
memperjelas bahwa lingkungan intra dan extrasocietal mampu
mempengaruhi mekanisme Input (tuntutan dan dukungan). Lalu,
tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang
bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di
sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam
bentuk policy (kebijakan), bukan sembarang lembaga. Output ini
kemudian masuk lagi ke dalam lingkungan dan demikian
seterusnya seperti terjadi di skema terdahulu.3 Gambar dari
konsep sistem politik menurut David Easton:
Politisiasi sebagai Mekanisme Dukungan
Cadangan-cadangan yang telah diakumulasikan sebagai
akibat dari keputusan-keputusan yang lalu bisa ditingkatkan

57
dengan suatu metode rumit untuk menghasilkan dukungan secara
tetap melalui proses yang disebut politisiasi. Politisasi sendiri
memiliki pengertian sebagai cara-cara yang ditempuh anggota
masyarakat dalam mempelajari pola-pola politik. Unsur-unsur
yang terdapat dalam sistem politik secara umum adalah input,
konversi (proses), output, feedback, dan lingkungan (Easton,
1992: 193-195). Dari gambar di atas dapat dilihat bagaimana
sistem politik dapat bekerja. Adanya input yang berupa tuntutan
dan dukungan, kemudian dilanjutkan dengan konversi dan pada
akhirnya menjadi output, berupa keputusan atau kebijakan.
Setelah menjadi output, ada umpan balik melalui lingkungan
yang kemudian akan kembali lagi mempengaruhi input.

b) Konsep Sistem Politik oleh Gabriel A. Almond


Menurut Almond, sistem politik adalah merupakan
sistem interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang merdeka.
Sistem itu menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Almond
menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis
sistem politik, yang mana harus melalui tiga tahap, yaitu:
1. Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu
politik memiliki perhatian yang fokus kepada sistem
politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-
unit), seperti badan legislatif, birokrasi, partai, dan
lembaga-lembaga politik lain.
2. Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu
berdasarkan klasifikasi tertentu. Dengan begitu dapat
diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu
dengan sistem politik yang lain.
3. Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat
dilihat keteraturan (regularities) dan ubungan-hubungan

58
di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem
politik.
Menurut Almond ada tiga konsep dalam menganalisa
berbagai sistem politik, yaitusistem, struktur, dan fungsi. Sistem
dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan
adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu
lingkungan, yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya.
Sistem politik merupakan organisasi yang di dalamnya
masyarakat berusaha merumuskan dan mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang sesuai dengan kepentingan bersama. Dalam sistem
politik, terdapat lembaga-lembaga atau struktur-struktur, seperti
parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang
menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang selanjutnya
memungkinkan sistem politik tersebut untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.
Ciri sistem politk menurut Gabriel A. Almond:
1. Semua sistem politik mempunyai sturukut politik
2. semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif,
menjalankan fungsi yang sama walaupun frekuensinya
berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur.
Kemudian sistem politik ini strukturnya dapat
diperbandingkan, bagaimana fungsi-fungsi dari sistem-
sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula
cara/gaya melaksanakannya.
3. semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional,
betapapun terspesialisasinya sistem itu.
4. semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran
apabila dipandang dari pengertian kebudayaan.
Jacobsen dan Lipman mengemukakan ” politics ” diberi
arti ” the art and science of goverment” artinya seni dan ilmu

59
pemerintahan (dalam Sukarna, (1979). Selanjutnya dijelaskan
“political science is the science of the state. It deals with:
1. the relations of individuals to one another in so far as the
state regulates them by law; (hubungan antara individu
dengan individu satu sama lain, yang diatur oleh negara
dengan undang-undang)
2. the relations of individuals or groups of individuals to
the state;(hubungan antara individu-individu atau
kelompok orang-orang dengan negara)
3. the relations of state to state.(hubungan antara negara
dengan negara)”
Gambar sistem politik (sturuktur dan fungsi) oleh
Gabriel A. Almond:

60
c) Analisis Konsep Sistem Politik oleh Mohtar Mas’oed
Keunggulan dari kedua ragam pendekatan yang
dikembangkan oleh Easton dan Almond antara lain adalah:
1. Dalam membuat analisis politik, Easton dan Almond
selalu peka akan kompleksitas antara sistem politik
dengan sistem sosial yang lebih besar, yang mana sistem
politik adalah sub-sistemnya.
2. Kesederhanaan pendekatan. Konsep ini dapat dipakai
untuk menganalisis berbagai macam sistem politik,
demokratis atau otoriter, tradisional atau modern, dan
sebagainya. Konsep Easton dan Almon berasumsi bahwa
semua sitem memproses komponen-komponen yang
sama sehingga kedua pendekatan itu bermanfaat dalam
upaya mencari metode analisis dan pembandingan sistem
politik yang seragam.
3. Konsep yang diajukan oleh Almond memberi arahan
untuk mencari data baru yang dapat meluaskan
cakrawala perhatian ke masyarakat non-Barat dan non-
”modern”.
Kelemahan dari konsep atau pendekatan yang
dikembangkan oleh Easton dan Almond:
1. Analisis yang dikemukakan (baik sistem maupun
struktural-fungsional) tidak memberikan rumusan yang
terbukti secara empirik (tidak menghasilkan teori).
2. Tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat. Kedua
pendekatan itu lebih mentitikberatkan pada penjelasan
analisis.
3. Analisis struktural-fungsional Almond memiliki masalah
ketidakjelasan konsep tentang fungsi. Almond tidak

61
menjelaskan garis-garis yang membatasi fungsi-fungsi
dalam masyarakat politik.
4. Kedua pendekatan itu dikritik karena sangat dipengaruhi
oleh ideologi demokrasi-liberal Barat. Terlihat jelas pada
asumsi Almond yang mengatakan bahwa fungsi-fungsi
yang ada di sistem politik di Barat pasti juga ada di
sistem non-Barat.
5. Kedua pendekatan itu juga dikritik kecenderungan
ideologisnya karena cara memandang masyarakat yang
terlalu organismik. Easton dan Almond menyamakan
masyarakat dengan organisme, yang selalu terlibat dalam
proses diferensiasi dan koordinasi. Selain itu mereka juga
memandang masyarakat sebagai makhluk biologis yang
selalu mencari keseimbangan dan keselarasan.
6. Obsesi Almond tentang ekuilibrum dan kestabilan telah
membuatnya keliru tentang manfaat yang mungkin
terdapat dalam dis-ekuilibrum, seperti revolusi atau
perang kemerdekaan. Dis-ekuilibrum bisa dipakai untuk
mencniptakan keadilan sosial, ketika cara-cara
konvensional tidak mungkin dilakukan. Contohnya
perang kemerdekaan melawan penjajah atau
pemberontakan melawan kediktatoran.
Pengertian sistem politik menurut David Easton masih
memegang posisi kunci dalam studi politik negara. Pengertian
struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep
David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat
struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan
(kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi
masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu

62
negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi
penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik.
Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan
pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan
analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik
diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup
(dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah
konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah
satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem
ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain
sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas
yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di
tengah masyarakat. Seperti telah dijelaskan, masyarakat tidak
hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik saja),
melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya
dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi,
sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari
aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun
perbedaan. Perbedaan berlingkup pada dimensi ontologis (hal
yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada variabel-
variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu
sistem dengan lainnya. Untuk memahami sistem politik
Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka
harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel
kunci dalam memahami sebuah sistem adalah
struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan,input, output, respon,
dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki
keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam
konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini

63
struktur input, proses, dan output. Struktur input bertindak selaku
pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur proses
bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara
struktur output bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal
ini mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan,
pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan
oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini menjalankan tugas
kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government).
Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus
memiliki fungsi yang berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi
dijalankan oleh struktur yang berbeda karena akan
menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari
disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti
digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti John
Locke dan Montesquieu. Nilai adalah komoditas utama yang
berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap sistem
politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau
penerangan; (3) kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5)
kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7) keseganan,
respek. Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak
merata persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur
tangan struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas) untuk
mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang
seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan
pengalokasian nilai ini, bagi Easton, tidak dapat diserahkan
kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara
dan pemerintah sebagai aktornya. Norma adalah peraturan,
tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antaraktor di
dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam

64
konstitusi (undang-undang dasar) suatu negara. Setiap konstitusi
memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses,
dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan
konflik antar aktor-aktor politik di saat menjalankan fungsinya,
dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas
dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang
berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan
sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem
politik suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat
di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik
terdapat di dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu
negara. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat
termaktub di dalam Declaration of Independence. Input dan
output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan
erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan
kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap
apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan
memunculkan dukungan atas sistem, sementara jika negative
akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik
(feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil
memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon
oleh struktur output. Analisis mengenai kinerja sistem politik
sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David Easton.
Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas
tetapi unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini
mampu menggambarkan kinerja sistem politik hamper secara
holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory.Uraian
Easton juga bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem,

65
sistem politik dipandang sebagai sebuah organisme hidup yang
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami
input, proses, output, dan dikembalikan sebagai feedbackkepada
struktur input. Struktur input kemudian merespon dan kembali
menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut
berjalan berputar selama sistem politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari
pandangan umum ilmu sosial yang berkembang saat ia menyusun
teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai
paradigma ilmu social mainstream yang bercorak
fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap
memiliki kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan
integrasi dalam kerja struktur-strukturnya. Layaknya tubuh
manusia di mana organ tangan, kaki, kepala, perut, dan lainnya,
sistem politik pun memiliki aneka struktur yang fungsi-fungsinya
satu sama lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara
harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut. Namun,
pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan
sebagai alat analisis sistem politik di dalam skala mikro, yang
meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang
tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di dalam
sistem politik. Kekurangan ini lalu dimodifikasi oleh koleganya,
Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman)
ini terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai
struktur, fungsi, kapabilitas pemerintah, fungsi pemeliharaan dan
adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam kehidupan
mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond tetap bekerja
menggunakan skema besar sistem politik Easton, tetapi
melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam
negara.

66
Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini
menggunakan bangunan teori Easton sebagai kerangka makro
dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan
secara komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh
Almond ini diantaranya telah ditulis secara baik dan sistematis
oleh Ronald H. Chilcote.

d) Pendekatan Sistem Politik David Easton


Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton
dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The Political System, A
Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of
Political Life. Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953
(The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar
perlunya membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan
sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus mampu
mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-
berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi
nilai dalam masyarakat secara otoritatif. Kata secara
otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung
terhubungan dengan negara. Atas definisi Easton ini Michael
Saward menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi logis
berikut:
1. Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
2. Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan)
bersifat eksklusif yaitu hanya di tangan lembaga yang
memiliki otoritas;
3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari
pemerintah, dan sebab itu: (a) keputusan selalu dibuat
oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari

67
konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi
dimaksudkan untuk menghindari chaos politik; dan
4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu
beroperasi secaralegitimate.
Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political
System, David Easton mengembangkan empat asumsi (anggapan
dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand
theory)sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan
Chilcote menyebutkan terdiri atas:
1. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk
mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
2. Para pengkaji kehidupan politik harus memandang
sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
3. Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data
psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri
atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan
politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang
muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh
lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi,
geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora,
fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan
reaksinya).
4. Sistem politik harus dianggap berada dalam
suatu disequilibrium (ketidakseimbangan).
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa
adanya identifikasi. Dari kondisichaos ini, ilmu pengetahuan
muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti
dapat melakukan klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan
melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar
fakta secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan

68
dan sebagai ilmu pengetahuan politik memiliki dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton memaksudkan
teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah
tersebut. Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton
menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu
mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik
sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya
dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik
dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu
dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh
proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem,
Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur
tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton
menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan
parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di
struktur input tidak dilakukan secara persen melainkan harus
pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam
struktur output. Easton juga memandang sistem politik tidak
dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas suatu
sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan.
Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis
data, psikologis dansituasional. Kendati masih abstrak, Easton
sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun,
level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam
masyarakat ketimbang perilaku warganegara (seperti umum
dalam pendekatan behavioralisme). Easton menekankan pada
motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di
dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu
antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi
geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya
pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya

69
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam
ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki
dilihatnya penempatan nilai dalam kondisidisequilibriun (tidak
seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan
bakarsehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak
ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas
tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji
dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-
lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan
pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini. Lebih lanjut,
Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi
seputar perlunya membangun suatu teori politik yang
menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton
mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam
setiapkajian sistem politik, yang terdiri atas:
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam
kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-unit yang
satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama
untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit
ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif
untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif,
eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat
sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam
batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah
negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam
sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke

70
dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan
dukungan.
Tuntutan secara sederhana dapat disebut
seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata
atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem
politik.Dukungan secara sederhana adalah upaya
masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik
agar terus berjalan.
Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal
baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output
terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah.Keputusan adalah pemilihan
satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau
dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah
implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang
dibuat.
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi
(pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat
modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat
menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam
proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa
hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama,
melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan
Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu,
kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai
politik, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini,
terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing
memiliki fungsi sendiri-sendiri.

71
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang
berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-undang
Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta
ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi
antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai
Politik, dan media massa.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:

Skema Kerja Sistem Politik Easton

Dalam gambar diatas, Easton memisahkan sistem politik


dengan masyarakat secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton
sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya
mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif
Alokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang
memiliki kewenangan yang legitimate (otoritatif) di mata warga
negara dan konstitusi. Suatu sistem politik bekerja untuk
menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action)
yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai. Unit-

72
unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik
(political actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU,
pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat
terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya,
sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri
atas dua jenis: tuntutan dandukungan. Tuntutan dapat muncul
baik dalam sistem politik maupun dari lingkunga intrasocietal
maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan
barang dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan,
jalan, sembako), berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan
umum, hubungan industrial), ataupun berkenaan dengan
partisipasi dalam sistem politik (misalnya mendirikan partai
politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi
garapan aktor-aktor di dalam sistem politik yang bersiap untuk
menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui
saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk
melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara
sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki dua corak
yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah
sistem politik. Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam
sistem politik, keluarannya disebut sebagai output, yang menurut
Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision) dan
tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan
memunculkanfeedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam
sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan
kembali ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara
lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses
kerja ini berlangsung dalam pola siklis. Di dalam karyanya yang

73
lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A System
Analysis of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa
Easton mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang
mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang
abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik
konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di
dalamnya serta bersifat terbuka;
2. Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang
diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana
nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara
otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi
politik dari Easton; dan
3. Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik
serta sosial yang terletak di luarbatasan sistem politik tetapi
masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkunga intrasocietal
terdiri atas:
 Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari
lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah yagng
didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang
pasir, iklim tropis ataupun dingin;
 Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan
ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic, teutonic,
arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu,
austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
 Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini
adalah postcolonial, bekas penjajah, maju, berkembang,
terbelakang, ataupun superpower; dan

74
 Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah
budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan
demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan
fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik dan
masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkungan
extrasocietal terdiri atas:
 Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial
internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia,
sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan
revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa
yang kini dikenal dalam terminologi International
Regime (rezim internasional) yang sangat banyak
variannya.
 Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi
internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua
(amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan
sumber daya alam, geografi wilayah berdasar lautan (asia
pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global
warming atau berkurangnya hutan atauparu-paru dunia.
 Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik
internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS,
Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika,
blok-blok perdaganan dan poros-poros politik khas dan
menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke
dalam sistem politik internasional adalah pola-pola
hubungan politik antar negara seperti hegemoni,
polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-
lembaga internasional.

75
Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita
memahami sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui beberapa
variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah
sistem adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input,
output, respon, dan umpan balik. Struktur adalah lembaga politik
yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem
politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur
ini struktur input, proses, dan output. Struktur input bertindak
selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur
proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara
struktur output bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal
ini mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan,
pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat
dilihat di dalam bagan model arus sistem politik berikut:

Model Arus Sistem Politik Easton

76
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan
bagaimana lingkungan, baikintrasocietal maupun extrasocietal,
mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke
dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema ini
merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari skema yang
dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari
model arus sistem politik ini adalah Easton lebih merinci pada
sistem politik pada hakikatnya bersifat terbutka.
Dua jenis lingkungan, intrasocietal dan extrasocietal
mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan dan
dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah
dalam mengadaptasinya. Tuntutan dan dukungan dikonversi di
dalam sistem politik yang bermuara pada output yang
dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan maupun
tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan sembarang
lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh negara
(state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan
dan proses siklis kembali berlangsung.

e) Gabriel Abraham Almond dan Struktural Fungsional


Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna
teori sistem politik Easton. Namun, Almond kurang sreg dengan
pendekatan Easton yang terlampau abstrak. Almond juga
menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian
politik dalam skala mikro. Menurut Chilcote, pada tahun 1956 –
jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton meluncurkan
karyanya The Political System tahun 1953 - Gabriel Abraham
Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik
suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya
sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi

77
atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory,
maka Almond membangun suatu middle-range theory. Secara
umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga
tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat
Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian
Almond.
Di dalam tulisannya Comparative Polititical System
tahun 1956 Almond mengajukan tiga asumsi yang harus
dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri atas:
1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya
dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah;
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata
lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta
peran yang dijalankannya; dan
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam
sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan
satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi
antar unit-unit yang ada di dalamnya. Interaksi tersebut tidak
hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik formal
melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik
struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin
sewaktu perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor
Timur masih berada di wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K.
H. Abdurrachman Wahid yang mewakili Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun
pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa.
Easton menghindari kajian atas struktur-struktur seperti ini
sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.

78
Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond
selalu berubah sehingga sistem politik lebih bersifat dinamis
ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak
lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal.
Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur
formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya
kekuatan lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di
masa pra transisi politik 1998 berganti dengan persamaan dan
penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca
transisi.
Kecenderungan orientasi politik individu atas sistem
politik – atau biasa disebut budaya politik – juga berbeda baik
antar negara atau bahkan di dalam negara itu sendiri. Almond
bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya politik
ini yang tersusun di dalam buku The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963.
Pada perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin
populer dan luas digunakan para peneliti di dunia termasuk
Indonesia. Khusus mengenai budaya politik, Almond
menyatakan bahwa yang ia maksud dengannya adalah:
1. Seperangkat orientasi politik yang bersifat subyektif dan
berlaku di suatu bangsa, atau sub-sub masyarakat yang
ada di dalam bangsa tersebut;
2. Budaya politik terdiri atas komponen-komponen kognitif
(pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas politik),
afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif
(komitmen atas nilai-nilai politik);
3. Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa
kanak-kanak, pendidikan, terpaan media, dan akibat
sentuhan pengalaman di masa dewasa sehubungan

79
kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan pemerintah;
dan
4. Budaya politik berdampak atas struktur dan kinerja
pemerintah, di mana dampak ini sifatnya lebih cenderung
memaksa ketimbang tomatismenentukan struktur dan
kinerja pemerintah.
Budaya politik di masing-masing individu sifatnya
subyektif. Subyektivitas ini mendorong terdapatnya lebih dari
satu macam budaya politik di dalam masyarakat suatu bangsa.
Layaknya budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal),
budaya politik masyarakat dalam satu negara sangat mungkin
berbeda. Sebagian warganegara Indonesia di propinsi Papua
tidak seluruhnya memiliki afeksi atas Negara Kesatuan Republik
Indonesia, melainkan hanya pada sistem politik lokal yaitu suku-
suku atau klan di mana mereka menjadi anggota (komunitas
politik lokal), pendukung Organisasi Papua Merdeka ataupun
pro-integrasi.
Kembali pada masalah perkembangan pemikiran Gabriel
Abraham Almond, bahwa dalam tahap selanjutnya, Almond kini
bersama James Coleman di dalam bukunya The Political of the
Developing Areas yang terbit tahun 1963 – berusaha
menghindari terjebaknya analisa sistem politik hanya pada kajian
kontitusi ataupun lembaga politik formal. Almond (dan
Coleman) kemudian mengarahkannya pada struktur serta fungsi
yang dijalankan masing-masing unit politik dalam sistem politik.
Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna
menggantikan konsep power, sementara konsep struktur
digunakannya untuk mengganti konsep lembaga politik formal.
Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki
empat karakteristik yang bersifat universal. Keempat

80
karakteristik ini berlaku di negara manapun dan terdiri atas
premis-premis:
1. Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik;
2. Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat
ditemui di setiap sistem politik;
3. Setiap struktur politik … bersifat multifungsi; dan
4. Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya
politik (yang dianut warganegara masing-masing).
Setelah mengajukan keempat premis tersebut, Almond
memodifikasi struktur input sertaoutput David Easton dan
hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas abstraknya Easton
dalam menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem
politik sebagai berikut:
Fungsi Input terdiri atas:
 Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi sosialisasi dan
rekrutmen politik selanjutnya ditempatkan Almond
sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
 Artikulasi kepentingan. Struktur yang menjalankan
fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok-kelompok
kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe:
(a) Institutional; (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan
(d)Associational.
 Agregasi (pengelompokan) kepentingan. Jalannya
fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem
kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan
fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut
Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-
Authoritarian, Competitif, dan Competitive Multi-party.
Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-
menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular,

81
cenderung berorientasi nilai absolut, dan bersifat tradisi
ataupun partikularistik.
 Komunikasi politik. Guna membanding pola komunitasi
politik antar sistem politik, Almond mengajukan empat
parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang
tersedia; (2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal;
(3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus informasi
yang berkembang (komunikator atau komunikan).
Fungsi output terdiri atas :
 Pembuatan peraturan. Berdasarkan tuntutan dan
dukungan serta aneka pengaruh lingkungan intrasocietal
dan extrasocietal, input berusaha diterjemahkan menjadi
kebijaksanaan umum (policy).
 Penerapan peraturan. Ketika policy sudah terbentuk,
hal yang harus dilakukan adalah melakukan tindak
administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah
publik.
 Pengawasan peraturan. Ada lembaga khusus yang
melakukan pengawasan dan menyelesaikan
persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan
peraturan.
Menurut Chilcote, setelah merevisi teori sistem politik
dari David Easton, Almond meringkas pola pikir sistem
politiknya ke dalam skema berikut:

82
Gambar 3 Diagram Sistem Politik Almond dan Level-level
Fungsi

Di level fungsi input, sosialisasi dan rekrutmen politik


meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik,
kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik,
birokrasi, lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam
perkembangan pemikirannya kemudian, Almond memasukkan
sosialisasi dan rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi.
Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan
tuntutan politik untuk melakukan tindakan. Melalui skema di atas
masih menurut Chilcote Almond membagi sistem politik ke
dalam tiga level. Level pertama terdiri atas enam fungsi konversi
yaitu: (1) artikulasi kepentingan (penyampaian tuntutan dan
dukungan); (2) agregasi kepentingan (pengelompokan ataupun
pengkombinasian aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan
undang-undang); (3) komunikasi politik; (4) pembuatan
peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang menjadi
undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5)
pelaksanaan peraturan (penerapan aturan umum undang-undang
dan peraturan lain ke tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan

83
peraturan(pengawasan jalannya penerapan undang-undang di
kalangan warganegara).
Fungsi nomor satu hingga tiga berhubungan dengan
tuntutan dan dukungan yang masuk melalui mekanisme input
sementara fungsi nomor emapt hingga enam berada di sisi
keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan
atas tuntutan (demands) dan dukungan (support) yang dimaksud
Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga
aras penjelasan yaitu input, konversi, dan output.
Tuntutan dan Dukungan
Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah yang
kemudian diolah sistem politik menjadi keputusan. Tuntutan
diciptakan oleh individu maupun kelompok yang memainkan
peran tertentu di dalam sistem politik (baca: struktur input).
Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya dampak
yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari
lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal, yang variannya
sebagai:
1. Tuntutan atas komoditas dan pelayanan, misalnya
jaminan sosial, kelancaran bertransportasi, kesempatan
menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan
kesehatan, pembangunan saluran irigasi, ataupun
pelayanan birokrasi negara yang tidak berbelit.
Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi kepentingan
(atau tuntutan). Output berlingkup pada kemampuan
ekstraktif semisal pengenaan pajak untuk membiayai
jaminan sosial, peningkatan retribusi kendaraan untuk
membangun jalan-jalan layang, penaikan pajak
perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan,
pengundangan investor asing untuk membangun saluran

84
irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk menaikkan
gaji Pegawai Negeri Sipil.
2. Tuntutan untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara
seperti penertiban ormas-ormas parayudisial,
pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau
kompilasi hukum Islam ke dalam hukum publik.
Konversi atas tuntutan ini berupa integrasi atau
kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-
undang (agregasi). Output berupa kemampuan regulative
yang mengatur perilaku individu, kelompok, ataupun
warganegara secara keseluruhan.
3. Tuntutan untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti
hak pilih, hak dipilih, mendirikan organisasi politik,
melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan pejabat-
pejabat publik. Konversi atas tuntutan ini adalah
mengubah rancangan undang-undang menjadi peraturan
yang lebih otoritatif. Output konversi misalnya
kemampuan regulatif misalnya penetapan kuota caleg
30% perempuan dalam undang-undang pemilihan umum.
4. Tuntutan yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan
pejabat pemerintah atas suatu kebijakan, keberhasilan
sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai
simbol-simbol negara (lagu kebangsaan, lambang),
ataupun upacara-upacara hari besar nasional. Konversi
atas tuntutan jenis ini misalnya dibuatnya ketentuan
umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang
sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik
termasuk penegasan sistem politik atas simbol-simbol
negara, penegasan nilai-nilai yang dianut (di Indonesia
adalah Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat

85
negara atas isu-isu yang kontroversial dan menyita
perhatian publik.
Jika tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi
keputusan-keputusan politik, maka dukungan berkisar pada
upaya mempertahankan atau menolak keberlakuan sebuah sistem
politik. Tanpa dukungan sistem politik kehilangan legitimasi dan
otoritasnya. Dukungan terdiri atas:
1. Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan
membayar pajak atau peran aktif mereka dalam program-
program yang dicanangkan pemerintah (misalnya
program kebersihan lingkungan, penanaman sejuta
pohon) Konversi dukungan ini adalah ajudikasi
peraturan di tingkat individu yaitu upaya penerapan
sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah
serta kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan
himbauan agar publik tertarik memberi dukungan pada
pemerintah.
2. Dukungan untuk taat pada hukum serta peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Konversi
dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang
berkaitan dengan ketaatan warganegara pada hukum di
sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta
lingkungan extrasocietal-nya.
3. Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta
dalam organisasi politik, ataupun mengadakan diskusi
tentang politik.
4. Dukungan dalam bentuk tindakan untuk
mempertahankan otoritas publik, upacara, serta simbol-
simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila,
menyayangi sarana-sarana publik (alat transportasi

86
umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah),
menentang penggantian ideologi Pancasila dengan
ideologi lain, mencuci bendera merah putih yang
terkotori debu dan hujan asam, mensosialisasikan peran
vital Pancasila dalam mengikat integrasi nasional
Indonesia.
Kapabilitas Sistem Politik
Level kedua dari aktivitas sistem politik terletak
pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik
menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif,
distributif, simbolis, dan responsif. Kemampuan ekstraktif adalah
kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-
sumber daya material ataupun manusia baik yang berasal dari
lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.
Dalam hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar
ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya manusia
maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan
Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik
dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu
ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam
konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya
regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta
intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan
dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat
dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan
dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi
membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik
dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta

87
nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke
seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan
dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses
distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang
harus disediakan sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik
untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang
dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun
lingkungan internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional,
upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun
pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah
representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana
dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat
menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas
bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir
dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan
pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik
untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input
dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di
lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan SBY
mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan
Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan
dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil
mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak lagi
meninggi kalau bukan sama sekali lenyap. Almond menyebutkan
bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan
regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh
tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat
dikatakan bahwa masyarakat demokratis memiliki kemampuan
responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat non

88
demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang
dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif
bercorak paksaan, serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif
dan simbolik maksimal atas sumber daya masyarakatnya.
Pemeliharaan Sistem Politik
Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance
(pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh
sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A.
Almond ini kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton
dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel
A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat
tempat di dalam analisis kehidupan politik suatu negara

C. RANGKUMAN
Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan
mengacu pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta.
Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang
lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai
suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan
pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara
sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan
sistem politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila
kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan
yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang
menyangkut publik. Perbedaan sistem politik dengan sistem yang
lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik
dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi
sistem yang lain. Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja
antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan

89
menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam
sistem politik.

D. LATIHAN
Tes Formatif
Pilih satu jawaban yang paling tepat dari beberapa alternatif
jawaban yang disediakan!
1) Pendekatan analisis sistem politik merupakan wujud dari
perubahan pendekatan ….
A. kelembagaan ke tingkah laku
B. tingkah laku ke kelembagaan
C. tingkah laku ke pasca-tingkah laku
D. kelembagaan ke pasca-tingkah laku
2) Pemikiran mengenai sistem politik pada awalnya berasal
dari ….
A. Ilmu sosial
B. Ilmu eksakta
C. Ilmu psikologi
D. Ilmu manajemen
3) Faktor pembeda dan batas antara sistem politik dengan
sistem yang lain terletak pada …
A. wilayah kajian
B. tindakan politik
C. ketiadaan batas yang jelas
D. wilayah geopolitik
4) Alur kerja sistem politik adalah untuk mengubah ….
A. dukungan
B. tuntutan menjadi dukungan
C. tuntutan dan dukungan untuk diproses
D. input menjadi output

90
5) Pengertian utama dari integrasi dalam sistem politik
adalah ….
A. politisasi kegiatan politik
B. integrasi semua kegiatan politik
C. mengatur dan mengintegrasikan tindakan yang
berpengaruh dalam sistem
D. mengatur dan mengintegrasikan semua tindakan
dalam sistem
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif
1 yang terdapat di bagian akhir modul ini.
Tes Formatif Esay
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
silakan Anda mengerjakan latihan berikut ini!
1) Jelaskan perbedaan utama antara sistem politik dengan
sistem yang lainnya!
2) Jelaskan unsur yang harus diperhatikan dalam membahas
sistem politik menurut Easton!
3) Jelaskan bentuk input dalam sistem politik! Petunjuk
Jawaban Latihan 1) Sistem politik senantiasa berkaitan
dengan tindakan pembuatan keputusan publik, sedangkan
sistem yang lainnya belum tentu berkaitan dengan
kepentingan publik. 2) Unsur yang harus diperhatikan
adalah input, konversi (proses), output, feedback, dan
lingkungan. 3) Input dapat berbentuk tuntutan atau
dukungan terhadap suatu sistem politik.

E. DAFTAR PUSTAKA
Almod, Gabrield and James S. Coleman. (1960). The Politics of
Developing Area. Princeton: Princeton University Press.

91
Budiardjo, Miriam. (1992). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia.
Easton, David. (1984). Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik.
Jakarta: Bina Aksara.
Easton, David. (1992). Aproaches to The Study of Politics. New
York: Macmillan Publishing Company.
Hadaad, Ismid (ed.). (1981). Kebudayaan Politik dan Keadilan
Sosial. Jakarta: LP3ES.
Mas`oed, Mohtar dan Colin MacAndrews. (1991). Perbandingan
Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (eds.). (1993). Indonesia dan
Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.
Rauf, Maswadi. (2000). Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan.

92
BAB IV
PENDEKATAN DALAM PERBANDINGAN
PEMERINTAHAN DAN POLITIK

A. PENDAHULUAN
a) Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengantarkan mahasiswa menyebutkan
beberapa Pendekatan dalam Perbandingan Pemerintahan dan
perbandingan politik Lebih lanjut mahasiswa bisa menunjukkan
aliran-aliran pemikiran tentang teori perbandingan politik yang
sudah ada. Membahas pengertian apa itu perbandingan sitem
politik, teori building dalam perbandingan politik dan pendekatan
serta isu-isu dalam perbandingan politik. Kajian mencakup
pendekatan system, budaya, dan modernisasi politik dengan
contoh kasus yang relevan. Secara praktis membahas
perbandingan pemerintahan dan politik di beberapa negara
terpilih.
b) Relevansi
Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai latar belakang
pemikiran dalam analisis sistem politik, masalah input dan output
dalam sistem politik, lingkungan dalam sistem politik, dan juga
akan dibahas secara singkat mengenai komunikasi dalam sistem
politik. Modul ini pertama kali membahas mengenai pemikiran
Easton mengenai sistem politik yang kemudian dilanjutkan
dengan pemikiran Almond, terkait dengan pemikiran Almond
mengenai pendekatan struktural fungsional. Easton mengamati
kehidupan politik sebagai suatu jalinan interaksi tingkah laku
manusia sebagai suatu sistem. Adapun unit dalam sistem politik
merupakan tindakan- tindakan yang ada hubungannya dengan

93
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Input dalam sistem
politik dapat berupa tuntutan (demand) dan dukungan (support)
yang setelah melalui proses konversi akan berubah menjadi
output (keputusan atau kebijakan). Output yang dihasilkan
setelah melalui proses konversi, setelah ada umpan balik (feed-
back) ke lingkungan dapat menghasilkan input baru.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan tentang
Pendekatan dalam Perbandingan Pemerintahan dan Politik.

B. PENYAJIAN
a) Perbandingan Pemerintahan dan Perbandingan
Politik
Pengertian perbandingan pemerintahan, yaitu
mensejajarkan unsur-unsur pemerintahan baik dalam arti luas
maupun dalam arti sempit untuk mendapatkan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan dari objek atau objek-objek
tadi dengan alat pembandingnya. Di dalam arti luas
pemerintahan mencakup semua kekuasaan yang meliputi seluruh
fungsi negara. Di dalam arti sempit, pemerintahan kerap kali
dipahami sebagai aktivitas dari lembaga kekuasaan eksekutif.
Pemerintahan membentuk suatu sistem karena terkait
dengan suatu kegiatan, di mana sejumlah unsur yang penting
saling berhubungan dalam suatu proses melalui mana kebijakan-
kebijakan dibuat, dikembangkan dan di implementasikan.
Dengan demikian, ruang lingkup perbandingan pemerintahan
dalam studi yang mengkombinasikan unsur-unsur dalam
masyarakat yang membentuk suatu sistem politik. Unsur-unsur
tersebut termasuk lembaga-lembaga 15 yang didirikan

94
berdasarkan konstitusi seperti kepresidenan, kabinet, dan badan
legislatif; juga termasuk partai-partai politik. Kelompok-
kelompok kepentingan (sejauh mereka berpartisipasi dalam
politik pemerintahan), birokrasi, dan pengadilan.
Sedangkan studi perbandingan politik (comparative
politics) mempelajari kegiatan-kegiatan politik dalam cakupan
lebih luas, termasuk mengenai pemerintahan dan berbagai
lembaganya dan juga aneka organisasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan pemerintahan (antara lain adalah
suku bangsa, masyarakat, asosiasi-asosiasi, dan berbagai
perserikatan). Istilah perbandingan politik juga diartikan sebagai
upaya untuk membandingkan segala bentuk kegiatan politik, baik
itu yang berkaitan dengan pemerintahan maupun yang tidak
berhubungan dengan pemerintahan.
Penelusuran terhadap pemikiran tentang politik dan
khususnya kekuasaan dimulai sejak sekelompok orang mulai
hidup bersama. Masalah yang menyangkut pengaturan dan
pengawasan mulai muncul sebagai suatu kebutuhan dan sejak
itulah para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah
yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan kekuasaan,
hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, serta
sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan
kebutuhan akan pengaturan dan pengawasan, sebagai
konsekuensi adanya kebebasan pemikiran manusia.
Pemikiran-pemikiran tentang politik menyangkut
kebutuhan bagi kompleksitas kehidupan manusia dapat ditelusuri
melalui tiga periode. Periode pertama, para pemikir politik kuno
memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal. Periode
kedua, para pemikir politik abad pertengahan melibatkan diri
mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi adanya
pendirian kerajaan Allah di dunia, sedangkan periode ketiga,

95
para pemikir politik zaman sesudahnya telah melibatkan diri
mereka pada masalah-masalah lainnya seperti kekuasaan,
wewenang, dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu
politik terfokus pada masalah kelembagaan dan pendekatan yang
digunakannya juga semakin luas. Pendekatan yang digunakan
sepanjang masa itu bersifat historis, dalam pengertian bahwa
para pemikir politik lebih memusatkan perhatiannya pada upaya
melacak serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang
bersifat khusus, daripada menganalisa fenomena serta lembaga-
lembaga tersebut, serta melibatkan diri dengan elemen-lelemen
yang bersifat abstrak. Meskipun kadang-kadang terdapat
beberapa variasi dalam pendekatan ini, pendekatan yang bersifat
histories lebih banyak digunakan pada abad ke-19. Tetapi
meskipun memberikan penekanan utama kepada penelitian
historis dari lembaga-lembaga, para pemikir politik kadang-
kadang juga mencoba menganalisa konsep-konsep seperti:
Negara, Hukum, Kedaulatan, Hak-hak, Keadilan dan sebagainya,
dan juga tentang cara kerja dari suatu pemerintahan. Para sarjana
kini mulai membicarakan dengan antusias aspek-aspek
fungsional dari organisasi-organisasi serta proses-proses politik.
Tetapi pendekatannya masih tetap terbatas pada suatu kerangka
kelembagaan yang bersifat legal, dalam pengertian bahwa
konsep-konsep yang dianalisa selalu dihubungkan dengan
lembaga-lembaga yang bersifat legal. Dengan hal itu para penulis
masalah politik mulai membahas kelebihan dan kekurangan,
keuntungan dan kerugian dari berbagai kelembagaan politik,
dengan memperbandingkan antara: sistem pemerintahan
presidensil dengan parlementer, sistem pemilihan distrik dengan
sistem proporsional, negara kesatuan dengan negara federal, dan
akhirnya mereka mulai menarik suatu kesimpulan mana yang
lebih baik, tanpa mengindahkan berbagai kondisi yang terdapat

96
dalam suatu negara, dalam mana lembaga-lembaga yang bersifat
ideal tersebut berada.
Pada tahun terakhir abad ke-19, mulai muncul suatu
kesadaran dalam diri beberapa pemikir politik bahwa dalam
upaya mendapatkan apa yang diinginkan dan yang dianggap
ideal, mereka belum memberikan perhatian yang memadai dalam
memahami serta menganalisa berbagai lembaga politik
pemerintahan sebagaimana sebenarnya berjalan. Dalam karyanya
yang berjudul American Commonwealth pada tahun 1888,
mereka mengatakan: “Untuk melukiskan lembaga-lembaga serta
rakyat Amerika sebagaimana adanya….untuk menghindari
godaan-godaan yang bersifat deduktif, serta semata-mata untuk
menyajikan fakta-fakta dari suatu kasus, maka yang kita
butuhkan adalah fakta”. “Hanya fakta, fakta dan fakta”. Bryce
benar-benar mendukung upaya pencarian fakta yang tak
terhingga jumlahnya.

C. PERKEMBANGAN-PERKEMBANGAN BARU
Perbedaan pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik
tradisional digambarkan di atas seperti yang bersifat analitis
historis, legal kelembagaan, normatif preskriptif dan taksonomi
deskriptif, tidaklah begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-
kadang justru saling bertemu satu sama lainnya.
Dalam kerangka pendekatan tradisional dan lama
sebelum kaum behavioralis muncul, para ilmuwan politik pada
awal abad ke-19 telah mengembangkan pengetahuan yang lebih
luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa
yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah
mulai menyelidiki masalah di mana pusat kekuasaan terletak
dalam suatu masyarakat serta bagaimana pengoperasian
kekuasaan tersebut di dalam suatu pemerintahan. Mereka kini

97
meletakkan penekanan yang lebih besar kepada analisa unsur-
unsur pembuatan suatu kebijakan, serta pada penelitian terhadap
karakter dan tipe-tipe kepemimpinan politik serta perubahan
pola-pola hubungan antara ideologi dan kepemimpinan: Proses-
proses pemilihan juga semakin menarik perhatian mereka. Suatu
perhatian yang lebih besar kini juga tengah diberikan kepada
pengaruh aktivitas berbagai organisasi non-pemerintahan dan
kelompok-kelompok sosial terhadap aktivitas pemerintah.
Ruang-lingkup ilmu politik tidak lagi terbatas pada filsafat-
filsafat politik dan deskripsi kelembagaan. Suatu kecenderungan
yang lebih besar untuk menggunakan metode-metode yang
bersifat empiris dalam meneliti lembaga-lembaga dan organisasi.
Dengan penekanan-penekanan yang baru ini, timbul kebutuhan
akan adanya data-data serta generalisasi-generalisasi yang baru,
serta pengertian-pengertian yang semakin kritis tentang cara
kerja suatu pemerintahan, serta menekankan kebutuhan akan
adanya kerangka konsepsual dan peralatan teknis yang baru
untuk meneliti tentang cara kerja dari suatu pemerintahan.
Pada permulaan abad ke-20, sebagaimana ditunjukkan
oleh Gettel, ilmu politik mulai dipengaruhi oleh kemajuan-
kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahap penelitian kalangan
intelektual. Juga terdapat suatu tuntutan akan penggunaan yang
lebih besar dari apa yang disebut sebagai metode ilmiah. Gettel
juga berbicara tentang penyempurnaan metode-metode
pengukuran fakta-fakta yang bersifat kuantitatif. Bahkan ada
keinginan untuk lebih memanfaatkan pemakaian statistik dan
metode-metode statistik. Pandangan baru ini merupakan ekspresi
dari apa yang dikenal sebagai pendekatan behavioralis dalam
ilmu politik. Oleh karena itu, kini dibutuhkan suatu unit analisa
yang baru, metode yang baru, teknik-teknik baru, data-data baru,
untuk mengembangkan suatu teori yang sistematis. Lembaga-

98
lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit-unit dasar
analisa dan penelitian, dan penekanan dalam penelitian juga
tengah mengalami perubahan ke arah perilaku individu-individu
dalam situasi-situasi politik. Para ilmuwan politik kini mulai
bangga mengidentifikasikan disiplin ilmu mereka dengan ilmu-
ilmu yang bersifat behavioral. Mereka mulai menganjurkan
pemanfaatan serta pengembangan teknik-teknik yang lebih tepat
untuk melakukan observasi, menggolongkan serta mengukur
data, serta memberikan penekanan yang jauh lebih besar kepada
pemanfaatan rumusan-rumusan yang bersifat statistik dan dapat
dikuantifikasikan, bahkan lebih dari apa yang pernah dilakukan
oleh pendahulu-pendahulu mereka yang paling progresif.
Beberapa diantaranya bahkan berbicara tentang pembentukan
teori empiris yang bersifat sistematis, sebagai tujuan ilmu politik.
Beard selalu mencela habis-habisan para teoritisi yang selalu
berpijak pada spekulasi dan utopi. Ia selalu menekankan
pentingnya penggunaan teknik statistik secara lebih luas, untuk
menjamin objektivitas yang sempurna. Anggapan bahwa
peristiwa politik merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan
semakin diragukan, terdapat pula penolakan terhadap teori
tentang institusi-institusi yang bersifat ketuhanan dan rasial, serta
adanya usaha yang terus menerus untuk mendapatkan gagasan-
gagasan yang lebih tepat tentang berbagai kausalitas dalam
politik.
Lawrence Lowell, sebagai orang yang pertama kali
menerapkan teknik statistik secara sistematis, Lowell juga
termasuk pelopor pertama pendekatan baru. Di awal tahun 1889,
dalam karyanya yang berjudul Essays on Government, ia telah
menyadari lebih pentingnya meneliti fungsi-fungsi pemerintahan
daripada meneliti lembaga-lembaganya. Dalam pidatonya
sebagai ketua American Political Science Association, ia

99
mengeluh bahwa para ilmuwan politik tidak cukup mempelajari
cara kerja sebenarnya dari suatu pemerintahan.”...Kita cenderung
menganggap bahwa perpustakaan adalah laboratorium ilmu
politik, gudang dari sumber-sumber yang bersifat orisinil,
kumpulan materi-materi pokok...sebab tujuan utama dari buku-
buku bukan lagi sebagai sumber orisinil bagi psikologi politik,
seperti halnya bagi geologi atau Astronomi. Laboratorium utama
untuk memahami cara kerja suatu lembaga politik yang
sebenarnya bukanlah di perpustakaan tetapi di dunia luar, dalam
kehidupan masyarakat. Di sanalah berbagai fenomena harus
diamati dan di sana pulalah mereka harus terbuka bagi sumber-
sumber dari tangan pertama.
Permasalahan-permasalahan yang tidak dikemukakan,
kekuasaan yang tidak mendapat tantangan, sumber-sumber
tenaga yang tidak dimobilisasikan, analisa-analisa yang tak
dikembangkan, kini dianggap mempunyai arti penting yang
menentukan untuk memahami proses-proses politik. Suatu
penelitian terhadap masalah-masalah seperti ini dapat menarik
perhatian para ilmuwan politik untuk mempelajari struktur sistem
sosial-ekonomi yang ada, yang mungkin merupakan faktor-faktor
paling relevan dalam politik dewasa ini dan bahkan mungkin
dapat membujuk mereka untuk mengambil tindakan-tindakan
(relevansi dan tindakan merupakan 2 karakter utama dari Post
Behaviouralisme yang disebut oleh Easton, yang mungkin tanpa
suatu pemahaman terhadap implikasi- implikasinya yang penuh)
– tindakan menentang, bahkan yang bersifat memberontak.
Istilah ”post-behavioural” digunakan untuk membentuk
suasana hati serta maksud-maksud pragmatis dari bencana-
bencana baru. Diantara prinsip-prinsip serta kecenderungan-
kecenderungan ”post behavioural” yang penting, seseorang dapat
menyebut adanya penekanan-penekanan baru pada ”nilai-nilai”

100
dalam masalah keadilan, kebebasan dan persamaan. Para kaum
behaviouralis, yang kini telah beralih menjadi post behaviouralis,
menyadari bahwa telah terlalu banyak waktu terbuang oleh
mereka, untuk penelitian-penelitian yang dangkal dan sering
sangat tidak relevan. Sementara mereka terlibat dalam
pembuatan beberapa paradigma, kerangka konsepsual, model-
model, teori-teori dan meta-teori; dunia tengah menghadapi krisis
sosial, ekonomi dan budaya yang kian parah, dan mereka
tampaknya tidak menyadari hal ini sepenuhnya. Sementara
mereka bekarja dengan tekun dalam perpustakaan, di dalam
menara gading kampus universitas yang eksklusif. Misalnya
perang yang tak dinyatakan terlebih dahulu di Vietnam, sehingga
mengganggu hati nurani moral dunia semuanya merupakan
keadaan yang tak pernah diramalkan oleh ilmu politik, baik yang
bersifat behavioural maupun tradisional. Sehingga kaum
behavioral melakukan bantahan bahwa penelitian macam apa
yang tidak memperhatikan masalah-masalah yang begitu parah?
Apa gunanya pengembangan teknik-teknik yang memadai
Mengamati kegiatan politik dapat dilakukan melalui
berbagai cara, bergantung pada perspektif atau kerangka acuan
yang dipakai. Bagaimana kita mengamati kegiatan politik itu,
akan mempengaruhi apa yang kita lihat. Vernon Van Dyke
menyatakan bahwa suatu pendekatan (approach) adalah kriteria
untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan. Dengan
perkataan lain, pendekatan mencakup standar atau tolok ukur
yang dipakai untuk memilih masalah, dan menentukan data mana
yang akan diteliti serta data mana yang akan dikesampingkan.
Dalam sejarah perkembangannya, ilmu politik telah
mengenal beberapa pendekatan. Tiga pendekatan pertama yang
mendominasi bidang politik dan terutama perbandingan politik
dan pemerintahan akan dikaji yaitu pendekatan tradisional,

101
behavioral, dan paska behavioral. Kemudian, akar sejarah dan
fundamental dari pencarian paradigma akan diamati.
a) Pendekatan Kelembagaan/Institusional/Tradisional
(1920-1930)
Pendekatan tradisional umumnya dipergunakan pada
masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara
menjadi fokus utama, dengan menonjolkan segi konstitusional
dan yuridis. Bahasan tradisional menyangkut misalnya: sifat
Undang-undang Dasar serta masalah kedaulatan, kedudukan dan
kekuasaan lembaga-lembaga kenegaraan formal seperti
parlemen, badan eksekutif, badan yudikatif dan sebagainya.
Karena itu pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan
institusional atau pendekatan legal-institusional. Pendekatan
Kelembagaan atau pendekatan institusional sudah merupakan
pilar yang sangat tua dalam ilmu politik. Yang merupakan
pendekatan yang terawal yang muncul dalam dunia politik untuk
melihat sejauh mana adanya lembaga-lembaga dalam kehidupan
sebuah negara. Yang dilihat terutama adalah hubungan antara
lembaga-lembaga yang terdapat dalam sebuah negara.
Pendekatan ini lahir sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1930-
an. Sebagai pendekatan yang sudah sangat tua, pendekatan ini
memiliki sifat yang sangat formal dan deskriftif. Pendekatan ini
mencoba menggambarkan berbagai lembaga-lembaga
pemerintah dan saluran-saluran demokrasi yang telah ada.
Kehadiran lembaga-lembaga itulah yang mengatur tata
kehidupan sebuah negara melalui mekanisme pemerintahan.
Misalnya dalam sebuah pemerintah, yang terutama dilihat adalah
sejauh mana adanya lembaga-lembaga pemerintah yang telah ada
dan mendukung untuk sebuah proses kehidupan bernegara.
Keberadaan lembaga itu menjadi pendukung utama bagi
penyelenggaraan sebuah pemerintah yang kuat dan efektif.

102
Jika dengan pendekatan ini kita mempelajari parlemen,
maka yang diperhatikan adalah kekuasaan serta wewenang yang
dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah (Undang-
Undang Dasar, undang-undang, atau peraturan tata tertib);
hubungan formal dengan badan eksekutif; struktur organisasi
(syarat- syarat menjadi anggota, pembagian dalam komisi,
jenjang-jenjang pembicaraan, dan sebagainya), atau hasilnya:
berapa undang-undang telah dihasilkan. Sebaliknya para
penganut pendekatan tradisional itu tidak meneliti apakah
lembaga itu memang berbentuk dan berfungsi seperti yang
diuraikan dalam naskah-naskah resmi tersebut.
Karena itu dari segi struktur pemerintahnya, maka sangat
sulit untuk membedakan keberadaan hukum dan politik pada
negara-negara ketika kita menggunakan pendekatan ini. Begitu
sulitnya membedakan hukum dan politik membuat pendekatan
ini disebut sebagai pendekatan legal formal. Disebut legal karena
sulitnya membedakan hukum dari politik, seolah-olah hukum dan
politik adalah satu dan berjalan seiring. Disebut formal karena
kelengkapan dan kelembagaan lembaga-lembaga politik yang
mendukung penyelenggaraan negara. Tidak dipersoalkan disini
apakah struktur tersebut sudah dilaksanakan atau tidak. Dan
terutama adalah keberadaan lembaga itu sendiri.
Selain itu, pendekatan tradisional cenderung kurang
menyoroti organisasi- organisasi yang tidak formal, seperti
kelompok kepentingan dan media massa. Bahasan lebih bersifat
deskriptif dari pada analitis dan banyak memakai ulasan sejarah,
misalnya menelusuri perkembangan parlemen Inggris mulai dari
Magna Charta (1215). Dengan demikian mudah dipahami, jika
pendekatan ini kurang memberi sumbangan terhadap
pembentukan teori-teori baru. Bahasan biasanya terbatas pada
negara-negara demokratis barat, seperti Inggris, Amerika Serikat,

103
Prancis, Belanda, dan Jerman. Dalam proses pembahasan, fakta
(sesuatu yang dapat dibuktikan melalui pengalaman atau
pengamatan) dan norma (ideal atau standar yang harus menjadi
pedoman untuk tingkah laku) kurang dibedakan satu sama lain
dan malahan sering kait-mengait. Sering pendekatan tradisional
bersifat normatif (apakah sesuai dengan ideal atau standar)
dengan mengasumsikan norma-norma demokratis Barat.
Menurut penglihatan ini, negara ditapsirkan sebagai ”suatu badan
norma-norma konstitusional yang formal” (a body of formal
constitutional norms), atau sering juga bersifat preskriptif
(memberi petunjuk bagaimana hendaknya mencapai keadaan
yang semestinya itu). Contoh dari pendekatan ini adalar R.
Kranenberg, Algemene Staatsleer, yang telah lama beredar di
Indonesia dan malahan telah diterjemahkan dengan judul Ilmu
Negara Umum.
Di Amerika, pandangan ini memang lebih mudah
diterima karena keadaan sosial banyak berbeda dengan keadaan
di Eropa. Kedatangan bermacam-macam kelompok etnis dari
Eropa secara bergelombang, proses industrialisasi yang sangat
cepat, ditambah dengan sikap paragmatis yang umumnya
terdapat pada masyarakat Amerika, telah menjadikan para
sarjana lebih terbuka untuk mengembangkan suatu pandangan
yang tidak hanya membatasi diri pada penelitian lembaga-
lembaga formal, melainkan juga mencakup proses-proses arus
bawah. Akan tetapi, penelitian mengenai kekuasaan dalam
prakteknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat
berkembang pada masa itu. Sekalipun pada umumnya
pendekatan legal-institusional merupakan tradisi yang tak
tergoyahkan, pandangan untuk memusatkan perhatian pada
kekuasaan melicinkan jalan untuk timbulnya pendekatan-
pendekatan yang lebih bersifat fungsional, dan yang cenderung

104
untuk mendesak kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya
penentu menjadi salah satu dari beberapa penentu (sekalipun
mungkin yang paling penting) dari proses membuat dan
melaksanakan keputusan. Pendobrakan terhadap pendekatan
tradisional baru terjadi dengan tumbuhnya pendekatan perilaku
(behavioral approach).
Sementara pertanyaan tentang pelaksanaan struktur
sudah menjadi Common Sense, tidak perlu lagi dipertanyakan.
Sudah ada perasaan umum bahwa dengan adanya lembaga-
lembaga itu maka kriteria penyelenggaraan sebuah pemerintah
sudah terwujud. Lembaga-lembaga itu akan melaksanakan dan
berjalan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah
negara. Karena itulah, pendekatan ini tidak perlu merasa melihat
bagaimana realita di lapangan karena masing-masing struktur
dan lembaga sudah memiliki fungsi masing-masing. Setiap
struktur memiliki fungsinya masing-masing yang melekat secara
in se dalam struktur tersebut. Pendekatan inilah yang menjadi
pendekatan awal dari ilmu politik. Subyek utama dari pendekatan
ini berfokus pada struktur politik yang formal legal dan melihat
bagaimana peraturan dan organ formal dari pemerintah. Ia
bersifat deskriptif dan menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga
pemerintah berada dan bagaimana fungsi dari setiap lembaga itu.
Tiga ciri utama ini dengan jelas diungkapkan sebagai berikut :
 Deskriptif Induktif
Kavanagh menjelaskan bahwa pendekatan ini secara
sistematis mendeskripsikan dan menganalisa kejadian
masa lalu, kemudian ia menjelaskan fenomena politik
kontemporer. Penjelasan dan pengertian yang
diungkapkan bukanlah formulasi hukum, namum
merupakan penjelasan dari fenomena politik yang sedang
terjadi dan kemudian membangkitkannya dengan

105
peristiwa masa lalu. Yang utama adalah bagaimana
peristiwa itu berbicara untuk dirinya sendiri.
 Formal legal
Disebut legal karena ia melibatkan suatu hukum publik.
Dan disebut formal karena mempelajari organisasi
pemerintahan. Ini memang ada dalam constitusi
documentary yang berada secara klasik. Kelemahan
utama dari ciri ini bahwa ia menafikan adanya hukum-
hukum informal yang tidak tertulis dan sering menjadi
acuan yang sudah mentradisi.
 Metode Historikal Comparative
Pendekatan ini menggunakan metode historical
Comparative. Wilson (1899) menggungkapkan bahwa
dengan metode ini setiap negara akan tahu dirinya sendiri
dan kemudian setelah itu baru melihat dan
memperbandingkannya dengan struktur yang
dimilikinya.
Pendekatan tradisional yang secara historis saling
menghubungkan fakta dan nilai dalam studi perbandingan
pemerintahan. Selama awal abad keduapuluh, orientasinya
bergeser pada studi institusi-institusi negara-negara individual.
Menurut Macridis secara intrinsik, pendekatan tradisonal
menjadi nonkomparatif, deskriftif, sempit dan statis. Pendekatan
ini memfokuskan analisis pada struktur negara, pemilihan umum
dan partai-partai politik. Ia cenderung menggambarkan institusi-
institusi politik tanpa mencoba memperbandingkannya, dan
bukannya mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi
parlementer terhadap institusi presidensial. Seringkali studi-studi
tradisional berpusat pada evolusi institusi- institusi formal
tertentu dan merunut serta merujuk pada hukum dan

106
konstitusional. Nampak adanya wawasan yang sempit dalam
analisa studi tradisional ini, kondisi tersebut juga dilengkapi
dengan perhatian pada pertanyaan- pertanyaan seperti kedaulatan
dan bentuk alami berbagai konstitusi yang menyebabkan adanya
esensi karakter statis dari pendekatan tradisional.
Sementara dalam proses perwujudan demokratisasi, teori
ini melihat bahwa nasib dan fungsi demokrasi ditentukan oleh
prosedur dan aturan-aturan hukum. Selain itu peraturan itu yang
telah digariskan akan mempengaruhi pola laku dan sebaliknya,
pola laku tersebut akan mempengaruhi hukum yng telah berlaku.
Pola hukum itulah yang menjadi acuan dalam setiap bertingkah
laku, dan karena sifatnya yang saling mempengaruhi, maka
struktur ini akan berciri dinamis. Nilai-nilai politik yang
dimilikinya berasal dari negara kelahirannya yakni di Eropa.
Nilai-nilai itu terutama ada di Wensminister, Inggris, nilai-nilai
itulah yang mempengaruhi perilaku-perilaku politik yang
berjalan di Inggris. Keberadaan lembaga ini secara otomatis telah
memberikan pengaruh kuat dalam proses mewujudkan cita-cita
pemerintahan sebuah negara.
Namun kritik kita akan pendekatan ini adalah seperti apa
yang diungkapkan oleh David Easton, bahwa analisa hukum dan
institusional ini tidak bisa menjelaskan kebijakan dan kekuatan
karena Variabel-variabel yang relevan belum terlengkapi
seluruhnya. Selain itu ia berciri hipergfactualism dimana
pendekatan ini terlalu banyak menggukapkan hal yang detail
sehingga terkesan tidak ilmiah. Selain itu Macridis melihat
bahwa dari sudut masyarakat, pendekatan ini kurang memberi
manfaat dalam perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat
ada tata aturan yang sering justru tidak tercantum dalam bentuk
aturan tertulis. Tetapi dengan adanya aturan tertulis sebagai
acuan merupakan langkah dasar dan legal untuk menentukan dan

107
melihat segala macam persoalan. Artinya sudah ada dasar dan
tidak lagi hanya berdasar tradisi yang terkesan tidak terlalu kuat
dan sering tidak mendefinisikan secara jelas. Dan tradisi itu
sendiri gampang berubah sesuai kebutuhan, sementara kalau
sudah tertulis secara legal formal, ia selama belum diganti bisa
menjadi acuan.

D. PENDEKATAN BEHAVIOURAL/TINGKAH LAKU


Pendekatan tingkah laku/perilaku (behavioural
approach) merupakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori
yang memberikan uraian penjelasan, kesimpulan dan penilaian
berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan dan standar-standar
kekuasaanmaupun etnosentrisme, formalisme dan deskripsi barat
yang menjadi karakteristik pendekatan tradisional kontemporer.
Penelusuran terhadap pendekatan behavioural bermula dari
kondisi-kondisi penganalisian tersebut yang dirasa bersifat
sempit dalam melakukan analisa deskriptif menyangkut institusi-
institusi. Kondisi berikutnya menyerukan suatu pendekatan
empiris yang sistematis, termasuk perluasan skema-skema yang
bersifat klasifikasi, konseptualisasi pada beragam tingkat
abstraksi, penyusunan hipotesis dan pengujian hipotesis melalui
data empiris. Inilah sesungguhnya basis pendekatan behavioural
dalam studi politik yang mendampingi kebanyakan riset bidang
perbandingan politik/pemerintahan yang berkembang pesat
selama tahun 1950-an dan 1960-an. Adapun leluhur spiritualnya
adalah filsafat skeptis David Hume, sedangkan pelopornya
Amerika adalah filsafat pragmatis William James (1842-
1910 ), yang menekankan emprisisme, voluntarisme,
tindakan – tindakan individual, serta hubungan antara kesadaran
dan tujuan. Perhatian seperti ini cocok untuk prinsip – prinsip
individualisme Locke, dengan menambahkan kepadanya

108
variabel-variabel psikologi yang dapat digunakan untuk
menerangkan tingkah laku individual.
Pelopor lain mazhab behavioralisme, yang mempunyai
pandangan sama dengan James, adalah filosof Charles S. Pierce
(1839-1914), yang menciptakan istilah pragmatisme. Dan
barangkali yang lebih penting adalah John Dewey (1859-1952),
yang berusaha membangun filsafat praktis mengenai kebenaran
yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal, melainkan pada
observasi terhadap pengalaman. Pengalaman dalam suatu sistem
politik terbuka dapat digunakan untuk membantu orang
membentuk alat-alat kehidupan demi memecahkan masalah
sosial.”Instrumentalisme”dari Dewey khususnya, memandang
kebenaran sebagaimana tersusun dan teruji dalam pengalaman.
Kecendurungan umum terhadap proses belajar dari tindakan
mengaitkan filsafat dengan disiplin psikologi yang sedag
berkembang, dan dengan penekanan ini filsafat menjadi usaha
”ilmiah” atau yang dapat diamati: Orang mengamati tingkah laku
manusia.
Pendekatan perilaku timbul di Amerika pada tahun 1950-
an, seusai Perang Dunia II, karena beberapa sebab, pertama; sifat
deskriptif dari ilmu politik sangat tidak memuaskan. Kedua, ilmu
politik dianggap tidak realistis dan sangat berbeda dengan
kenyataan sehari-hari. Ketiga, ilmu politik ternyata tidak mampu
menjelaskan sebab-sebab timbulnya komunisme dan fasisme.
Keempat, ada kekuatiran jika ilmu politik tidak maju dengan
pesat, maka ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu
lainnya, seperti sosiologi dengan tokoh-tokoh seperti Max Weber
(1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979), antropologi dan
psikologi. Kelima, di Amerika dirasakan adanya semacam
keraguan di kalangan pemerintah mengenai kemampuan para
sarjana ilmu politik. Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-

109
pelopor pendekatan tingkah laku adalah bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu
tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang
sebenarnya. Sebaiknya lebih bermanfaat bagi peneliti untuk
mempelajari manusia itu sendiri serta tingkah laku politiknya,
sebagai gejala-gejala yang benar-benar dapat diamati. Tingkah
laku itu dapat terbatas hanya pada tingkah laku perseorangan,
maupun mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti
organisasi, kelompok elite, gerakan massal, atau suatu
masyarakat politik. Perlu untuk dicatat bahwa pendekatan ini
tidak menyangkal bahwa lembaga-lembaga formal itu penting,
akan tetapi lembaga-lembaga itu cenderung dipandang hanya
sebagai kerangka bagi berperannya individu. Jika para penganut
pendekatan tingkah laku mempelajari parlemen maka yang
dibahas adalah prilaku anggota parlemen, yaitu bagaimana pola
pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan
undang-undang tertentu (apakah pro atau anti dan mengapa
demikian), pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai
rancangan undang-undang, bagaimana berinteraksi dengan teman
sejawat, kegiatan lobbying, latar belakang sosialnya, dan
sebagainya. Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya tingkah
laku dan kegiatan-kegiatannya (action), melainkan juga orientasi
terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi,
evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Terlebih lagi dengan
anggapan bahwa tingkah laku politik hanya salah satu dari
keseluruhan tingkah laku, maka pendekatan ini cenderung
bersifat interdisipliner, karena tidak saja mempelajari dampak
faktor pribadi tetapi juga dampak dari faktor sosial, ekonomi dan
budaya.
Istilah behavioralisme dilontarkan oleh John B. Watson
(1878-1958), seorang ahli psikologi yang menganggap proses

110
belajar terjadi sebagai hasil pengamatan terhadap hubungan-
hubungan antara dorongan dan tanggapan.
”Instrumentalisme behavioral” seperti ini memberikan
inspirasi suatu pandangan baru mengenai kehidupan politik
sebagai cara belajar bermasyarakat yang dicapai melalui
pengalaman coba-coba. Apa yang diabaikan adalah cara
spekulatif, analisa rasionalistis atau analisa deduktif logis dari
filosof-filosof politik. Filsafat dan sejarah nampak bertetangga
pada dasarnya dengan motode eksperimental. Kalaupun mereka
tertarik pada pertanyaan-pertanyaan filosofis, kaum behavioralis
lebih condong kepada filsafat ilmu yang diperlihatkan dalam
karya tokoh-tokoh seperti Alfred North Whitead, Rudolf Carnap,
Carl Hempel, atau Karl Popper. Tujuannya adalah mengganti
spektip-perspekfif metafisika, mengganti kepastian dengan
kemungkinan, rasionalisme dengan ukuran-ukuran
kecenderungan sentral, dan deskripsi dengan distribusi dan
ukuran-ukuran dispersi. Dengan mengecilkan hipotesa-hipotesa
umum dan intuitif, dan dengan mendukung hal-hal empiris yang
lebih tegar berdasarkan pada observasi, maka pandangan
behavioral menjadi tidak historis dan non-evolusioner.
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor
pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahas
lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak
memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya.
Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi peneliti untuk mempelajari
manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala-
gejala yang benar- benar dapat diamati. Perilaku itu dapat hanya
terbatas pada perilaku perorangan, maupun mencakup kesatuan-
kesatuan yang lebih besar seperti organisasi, kelompok elit,
gerakan massal, atau suatu masyarakat politik. Perlu untuk
dicatat bahwa pendekatan ini tidak menyangkal bahwa lembaga-

111
lembaga formla itu penting, akan tetapi lembaga-lembaga itu
cenderung dipandang hanya sebagai kerangka bagi berperannya
individu. Jika para penganut pendekatan perilaku mempelajari
parlemen, maka yang dibahas aialah perilaku anggota parlemen,
yaitu: bagaimana pola pemberian suaranya (voting behavior)
terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau
anti; mengapa demikian), pidato- pidatonya, giat tidaknya
memprakarsai rancangan undang-undang, bagaimana
berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan Lobbying, latar
belakang sosialnya, dan sebagainya. Mereka pada umumnya
meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan-kegiatannya (action),
melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap,
motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya.
Terlebih lagi, dengan anggapan bahwa perilaku politik hanya
salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini
cenderung bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari
dampak faktor pribadi tetapi juga dampak dari faktor sosial,
ekonomi, dan budaya.
Disamping itu pendekatan behavioralis menampilkan
suatu ciri khas, yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih
mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa
konsep pokok, yang oleh David Easton (1962) dan Albert Somit
(1967), diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularitas).
Keteraturan ini harus dirumuskan dalam generalisasi.
2. Generalisasi-generalisasi ini pada dasarnya harus dapat
dubuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification).
3. Teknik-teknik penelitian yang cermat harus digunakan
untuk mengumpulkan dan menganalisis data.

112
4. Pengukuran dan kualifikasi (antara lain melalui statistik
dan matematika) harus digunakan untuk mencapai
kecermatan dalam penelitian.
5. Harus ada usaha untuk membedakan secara jelas antara
norma (ideal atau standar yang harus menjadi pedoman
untuk tingkah laku) dan fakta (sesuatu yang dapat
dibuktikan berdasarkan pengamatan atau pengalaman).
Lagi pula, dalam membuat analisis politik nilai-nilai
pribadi sipeneliti sedapat mungkin tidak main peranan
(Value free), sebab benar/tidaknya nilai-nilai (seperti
demokrasi, persamaan, kebebasan dan sebagainya) tidak
dapat ditentukan secara ilmiah. Nilai-nilai seperti ini
berada diluar cakupan penelitian yang wajar.
Berdasarkan titik tolak ini, ilmuan politik
sebaiknyameninggalkan masalah-masalah besar, kecuali
bilamana perilaku yang berasal dari atau berkaitan
dengan masalah- masalah ini dapat dianggap sebagai
kejadian empiris, misalnya keyakinan pada demokrasi
dan cara-cara bagaimana keyakinan ini tercermin dalam
pemungutan suara. (anggapan bahwa ilmu politik tidak
berurusan denga soal norma dan etika, merupakan salah
satu aspek yang paling pelik dalam pendekatan perilaku.)
6. Penelitian harus bersifat sistematis dan berkaitan erat
dengan pembinaan teori.
7. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science) dalam
arti bahwa usaha untuk memahami dan menjelaskan
perilaku politik harus mendahului usaha untuk
menerapkan penegtahuan itu bagi penyelesaian masalah-
masalah sosial. Dengan perkataan lain, ilmu politik
seharusnya melibatkan diri dalam penelitian murni, dan
meninggalkan kajian-kajian terapan – baik yang

113
dimaksudkan untuk mencari pemecahan terhadap
masalah- masalah sosial, maupun program-program yang
bermaksud memperbaiki keadaan. Bagi para penganut
pendekatan perilaku, usaha-usaha seperti ini hanya
sedikit memberikan sumbangan pada pengetahuan ilmiah
dan mencerminkan penghamburan tenaga, sumber daya,
dan perhatian.
8. Dalam mengadakan penelitian politik diperlukan sikap
terbuka serta integrasi dengan konsep-konsep dan teori-
teori dalam ilmu lainnya. Dalam proses interaksi dengan
ilmu-ilmu sosial lainnya telah muncul istilah- istilah baru
seperti yang telah berkembang pada sosiologi dan
antropologi, misalnya sistem politik, fungsi, peranan,
struktur, budaya politik, dan sosialisasi politik,
disamping istilah lama seperti negara, kekuasaan,
jabatan, lembaga, pendapat umum, dan pendidikan
kewarganearaan (citizenship training).
Dengan pendekatan baru ini usaha untuk mengumpulkan
data semakin maju dengan pesat. Para sarjana mulai mepelajari
banyak aspek yang semula tidak tertangkap dalam pengamatan
mereka. Satuan analisis bergeser dari lemabaga ke manusia atau
pelaku (aktor), daan dari struktur ke proses. Para penganut
pendekatan ini tidak hanya mempelajari lembaga-lembaga, tetapi
juga manusia- manusia dalam lembaga itu, seperti peranan
presiden, peranan anggota parleman, bagaimana mereka
menjalankan tugasnya, dan bagaimana mereka memandang
peranan mereka sendiri. Sebab itu tidak mengherankan jika
muncul pula penelitian mengenai rekrutmen politik,
kepemimpinan, masalah perwakilan (representation), sosialisasi
politik, struktur kekuasaan dalam suatu komunitas, kebudayaan

114
politik, konsensus, konflik dan komposisi sosial, elite politiki,
dan sebagainya. Contoh dari pendekatan perilaku adalah karya
Almond dan Verba, The Civic Culture (1963), suatu studi yang
mempelajari kebudayaan politik di lima negara demokrasi, yang
sesudah lebih dari sepuluh tahun diteliti kembali oleh sarjana-
sarjana yang sama dalam terbitan Civic Culture Revisited.
Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah
pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem
sosial dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi
subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagian
saling berinteraksi serta saling bergantungan dan semua bagian
bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.
Keseimbangan yang dengan demikian diciptakan, menunjang
sistem itu untuk mempertahankan eksistensinya dan survive.
Cara analisis ini, yang sering dinamakan general systems theory,
telah dijabarkan secara bervariasi oleh para sarjana ilmu politik.
Dalam hubungan ini perlu disebut Gabriel A. Almond
dengan ”analisis struktural-fungsional”-nya, Karl W. Deutsch
dengan ”sistem cybernetika”-nya, Robert Dahl dan david Apter.
Yang paling terkenal, mungkin adalah David easton yang dengan
memakai ”analisis sistem”, telah mengarang A Systems Analysis
of Political Life (1965). Pendekatan perilaku juga mempunyai
keuntungan lain, yaitu sumbangannya pada usahanya memajukan
ilmu perbandingan politik. Pendekatan istitusional sukar
diterapkan pada negara-negara yang baru memperoleh
kemerdekaannya sesudah Perang Dunia II sebagai akibat proses
dekolonisasi. Di negara-negara ini, organisasi pemerintahan tidak
begitu terspesialisasi dan peranan lembaga-lembaga politik
sering masih kabur dan kurang mantap.
Akan tetapi para peneliti berpendapat bahwa sekalipun
sistem-sistem politik banyak berbeda dalam cara mengatur

115
lembaga-lembaga, ada fungsi-fungsi tertentu yang
diselenggarakan dalam setiap sistem politik. Hal ini mendorong
para peneliti untuk mempelajari kegiatan dan susunan politik di
negara-negara yang berbeda sejarah perkembangannya, latar
belakang kebudayaannya dan ideologinya. Terutama di negara-
negara yang sedang berkembang, pengamatan dilakukan
terhadap bermacam-macam struktur yang menjalankan fungsi-
fungsi yang sama, sekalipun nama struktur itu mungkin berbeda.
Dalam tahun 1960-an timbul bermacam-macam kecaman yang
mengganggap bahwa pendekatan perilaku telah membawa efek
yang kurang menguntungkan, yakni mendorong para sarjana
menekuni masalah-masalah yang kurang penting seperti
pemilihan umum (voting studies) dan riset berdasarkan survei,
misalnya mengenai sikap dan serta keyakinan politik dan
pendapat umum. Sedangkan dilain pihak, mereka menutup mata
terhadap konflik-konflik dan pertentangan yang
menggoncangkan masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian
mereka telah mengorbankan relevansi untuk mencapai
kecermatan yang steril.
Lagi pula, dalam usaha untuk mempelajari ”sistem” dan
bagaimana agar sistem itu bisa mempertahankan diri (to persist)
melalui usaha untuk mencapai keseimbangan antara unsur-unsur
dalam masyarakat, para penganut pendekatan perilaku kurang
memberi perhatian pada masalah perubahan (change) dalam
masyarakat. Padahal masyarakat Eropa dan Amerika sedang
mengalami berbagai krisis dan keresahan sosial-politik yang
gawat. Kritik terhadap pendekatan perilaku datang dari berbagai
pihak, yaitu dari para tradisionalis, dari para pascaperilaku (post-
behavioralis) dan dari para neomarxis..
Para penganjur pendekatan tradisionalis yang telah
banyak mengalami kecaman dari penganut perilaku tidak tinggal

116
diam dan mempertahankan diri dengan sengit. Sarjana-sarjana
penganut pendekatan tradisional seperti Eric Voegelin, Leo
Strauss, dan John Hallowell, menyerang pendekatan perilaku
dengan argumentasi bahwa pendekatan perilaku terlalu steril,
karena menolak untuk memasukan nilai-nilai dan norma dalam
penelitian. Mereka tidak berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan yang mengandung nilai, seperti misalnya apakah
sistem politik demokrasi baik atau tidak, atau masyarakat
bagaimanakah yang paling baik, dan sebagainya. Juga
dilontarkan kritik bahwa pendekatan perilaku tidak mempunyai
relevansi dengan realitas politik dan buta terhadap masalah-
masalah sosial yang gawat sekalipun. Dikatakan bahwa sarjana
penganut pendekatan perilaku ”main biola pada saat Roma
terbakar habis”.
Perbedaan antara para tradisionalis dan para penganut
perilaku dapat disimpulkan sebagai berikut: jika para
tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-norma, maka
penganut perilaku menekankan fakta. Jika para tradisionallis
menekankan segi filsafat, maka penganut perilaku menekankan
segi ilmu terapan, maka penganut perilaku menekankan sifat
ilmu murni. Jika para tradisionalis menekankan aspek sosiologis-
psikologis. Jika para tradisionalis menekankan metode yang tidak
kualitatif, maka penganut perilaku menekankan metode
kualitatif.
Kaum institusionalis dapat dipersalahkan sebagian,
karena mereka begitu menaruh perhatian pada mekanisme
pemerintahan, sehingga telah mewariskan suatu kekosongan
filosofis. Karena analisa politik institusional memperhatikan
sarana ketimbang tujuan, maka ia kehilangan kaitan normatif,
yang menjadi nyata dengan sendirinya. Perundangan, reformasi
yang sesuai, dan suatu kumpulan undang-undang yang kaya dan

117
berjilid-jilid mengenai pandangan institusional mengenai
”bagaimana” memerintah, tetapi ia melenyapkan pengertian
mengenai ”mengapa”. Sementara Behavioralisme, sekalipun
tidak mengisi kekosongan filosofis yang ditinggalkan oleh
institusionalisme, berusaha menelaah masalah”mengapa” dari
politik dengan menelaah tindakan individual. Dengan
mendukung paradigma ekstrakta, gerakan behavioral dikaitkan
dengan doktrin positivisme Saint-Simon yang menekankan
metode-metode ilmiah. Sebagian behavioralis ilmu politik sangat
tertarik pada kaitan antara eksperimentalisme dan filsafat ilmu,
suatu tradisi yang diwakili oleh Mach, Poincare, Frege,
Wittgenstein, dan orang- orang ”Lingkaran Viena” yang
berusaha menyatukan prinsip-prinsip ilmu tingkah laku manusia
dan menghubungkan politik dengan ”teori sistem”. Encyclopedia
of Unified Science, misalnya, yang mengikhtisarkan sebagian
besar teori besar mengenai logika, bahasa dan biologi,
menawarka suatu orientasi ilmiah baru yang dinamakan general
system analysis. Tokoh utamanya dalam ilmu politik adalah
David Easton dari university of chicago. Akan tetapi hal tersebut
tidak akan menjadi bahasan detail dalam materi ini. Disini kami
ingin menelaah beberapa ciri khas paradigma ilmiah yang
diterapkan pada politik.
Tingkah laku politik seseorang merupakan data empiris
pokok dan penting bagi pendekatan behavior terhadap politik.
Hal ini tidak berarti bahwa riset terbatas pada individu sebagai
fokus penelitian teoritis. Memang, sebagian besar peneliti
tingkah laku tidak membatasi perhatian pada faktor politik
perorangan saja. Kelompok kecil, organisasi, komunitas, elit,
gerakan massal, atau masyarakat nasional dapat merupakan fokus
penelitian dan peristiwa-peristiwa behavioral; struktur, fungsi,
proses, atau hubungan dapat menjadi kategori-kategori bagi

118
analisa tingkahlaku. Idealnya, deduksi-deduksi behavioral
merupakan hasil generalisasi seksama yang didasarkan pada
observasi melalui metode-metode eksplisit, empiris, dan
khususnya induktif, dan teknik-teknik matematis dan statistik
yang ditetapkan melalui wawancara dan sampling. Pengkajian
behavioral meliputi pemakaian indikator-indikator untuk
menunjukan keteraturan-keteraturan dalam tingkah laku.
Perhatiannya terletak pada distribusi ketimbang dikotomi,
variabel kontinum ketimbang tipe-tipe ideal. Lagi pula, kaum
behavioralis berusaha sungguh-sungguh untuk mengetahui
apakah tindakan publik yang ”benar”, dan karena itu mereka
mengalihkan perhatian kepada variabel-variabel seperti
hubungan-hubungan, strategi-strategi tindakan, dan efek-afek
variabel- variabel ukuran, jumlah, dan tingkat kepentingannya.
Kaum behavioralis menghindari kategori-kategori luas seperti
”kekuasaan” (power) atau ”wewenang” ( authority ) karena
kategori-kategori seperti itu, meskipun nampaknya menjelaskan
tingkah laku, sebenarnya hanya menjadi pengganti mereka.
Misalnya Jika perbedaan antara tingkah laku orang Perancis dan
orang Inggeris diterangkan dengan mengatakan bahwa
”kebudayaan” nya berbeda, hal itu sama saja dengan mengatakan
bahwa orang Perancis bertingkah laku seperti itu karena mereka
adalah orang perancis, atau orang Inggeris bertingkah laku
seperti ini karena mereka orang Inggeris. Menjelaskan peristiwa-
peristiwa politik sebagai distribusi ”kekuasaan” siapa yang
memilikinya dan siapa yang tidak – ibarat menempatkan gerobak
di depan kudanya. Sebagai satu istilah yang sangat luas mengenai
kekuasaan, atau bahkan efek kekuasaan tidak ”ada”, dan juga
tidak dapat diukur. Peristiwa- peristiwa politik menunjukan siapa
yang berkuasa dan siapa yang tidak. Kekuasaan adalah tingkah
laku. Seperti yang dikemukakan oleh Brian Barry, bahwa:

119
Apabila kita mempunyai analisa mengenai keadaan
masyarakat (dan lain- lain) yang memadai sehingga
memungkinkan kita berbicara secara menyakinkan
mengenai distribusi kekuasaan dan macam-macamnya,
serta jumlah konflik, kita akan dapat menjelaskan
peristiwa-peristiwa politik. Dengan kata-kata lain, agar
dapat menerangkan situasi itu dalam pengertian
kekuasaan dan konflik, kita harus menyusun informasi
dan cara-cara menganalisa informasi itu sedemikian
rupa, sehingga kita benar- benar dapat menerangkan
peristiwa-peristiwa politik. Tetapi hubungan logis
diantara unsur-unsur itu bukanlah : karena kita dapat
berbicara mengenai kekuasaan dan konflik maka kita
dapat menjelaskan peristiwa- peristiwa politik,
melainkan karena kita dapat menjelaskan peristiwa-
peristiewa politik, maka kita dapat berbicara mengenai
kekuasaan dan konflik.
Jadi, kaum behavioralis bekerja dari ”bawah ke atas”.
Teknik-teknik yang mereka gunakan untuk menetapkan variabel-
variabel independen yang penting meliputi analisa regresi,
analisa faktor, Gutman Scaling, analisa indikator, dan ukuran-
ukuran statistik lain. Mereka mempergunakan data agregat yang
mengarah kepada penentuan hal-hal yang menonjol, atau
”vektor-vektor” yang memperlihatkan arah perubahan. Teori-
teori mereka lahir dari teori proses belajar, dan pembentukan
pendapat umum semuanya merupakan fokus kaum behavioral.
Hubungannnya dengan politik dibuat pertama kali oleh
Graham Wallas (1858-1932), seorang anggota komite eksekutif
dari Fabian Society dan penyumbang naskah untuk fabian essay
in socialism. Jengkel dengan penekanan Fabian terhadap
penjelasan masalah manusia dari sudut ekonomi, Wallas
menginginkan mereka yang mempelajari politik untuk melihat
fakta-fakta lain dari sifat manusia – efek-efek dari masyarakat

120
modern terhadap kepribadian, ketegangan-ketegangan yang
timbul dari konsentrasi urban dan lain sebgainya – untuk
memperoleh pengertian mengenai psikologi sosial kehidupan
modern. Buku Human Nature In Politics, merupakan buku
pertama yang secara sengaja bergeser dari model ekonomi
menuju model psikologi bagi politik. Ia tertarik pada bagaimana
sikap dan pendapat terbentuk dari efek dari pembagian kerja
terhadap kepribadian individual. Kondisi tersebut dapat di analisa
melalui beberapa mazhab, yaitu: Mazhab Chicago: Di Amerika
Serikat, masalah-masalah yang sama timbul dari karya dari
seorang sarjana yakni: A. Lawrence Lowell, yang perspektifnya
sangat berbeda dari perspektif Wallas. Lowell adalah seorang
institusionalis, tetapi ia menekankan perhatian pada
pemerintahan sebagai seni aksi dan praktek. Ia melihat aspek
dinamis pemerintahan kurang sebagai masalah perangkat
kekuasaan, melainkan lebih sebagai kegiatan para politisi, dan
terutama sebagai hasil sepak terjang mereka dalam partai-partai
politik. Pengaruh kedua pemikir ini begitu mendalam, sehingga
isu-isu psikologi sosial baru dalam politik maupun model
kegiatan kelompok mendapat tempat khusus dalam kurikulum
ilmu politik di Universitas Chicago. Di bawah pengaruh Harold
Gosnell, yang melihat kemungkinan-kemungkinan analisa
statistik dan tingkah laku dalam pemakaian data pemungutan
suara, dan pengaruh Charles Merriam, yang memisahkan diri
dari institusionalisme dengan memusatkan perhatian pada
interaksi kelompok, maka behavioralisme mulai berjalan dengan
wajar. Harold D. Laswell, murid Merriam, yang barangkali
merupakan juru bicaranya yang paling berpengaruh,
menambahkan dimensi khas Freudian kepada teori-teori melebihi
aplikasi-aplikasi yang dicoba oleh Walter Lippman dalam
bukunya Preface to Politics. (usaha pencarian konsep-konsep

121
behavioral di Chicago menjalar dan pada akhirnya keluar dari
arena ilmu politik menyerap ke bidang-bidang pengetesan
pendidikan, sosiologi kota, dan pengukuran statistik).
Kita dapat meringkaskan sebagian pengaruh membangun
dari behavioralisme ”mazhab chicago” sebagai berikut :
1. Mazhab ini menggeser tekanan perhatiannnya menjauhi
ideal dan institusi politik kepada penelaahan terhadap
sepak terjang individual dan kelompok.
2. Mazhab ini lebih mendukung paradigma ilmu eksakta
ketimbang paradigma normatif (bagaimana orang
bertindak, bukan bagaimana seharusnya mereka
bertindak.)
3. Mazhab ini lebih menyukai penjelasan-penjelasan
mengenai tingkah laku yang diambil dari teori-teori
proses belajar dan motivasi ketimbang model- model
kekuasaan institusional.
4. Mazhab ini membagi dua ilmu politik behavioral dalam
dua garis penyelidikan baru yaitu : distribusi dari sikap,
kepercayaan, pendapat, dan preferensi individual; dan
model-model proses belajar bermasyarkat. (social
learning).
Kaum behavioralis mempunyai anggapan sama dengan
kaum institusionalis bahwa rakyat pada akhirnya merupakan
wasit untuk kekuasaan. Gagasan ini, dalam teori politik
demokratis, sejalan dengan ide mengenai kedaulatan konsumen
dalam pasar ekonomi, yakni suatu penyataan kedaulatan rakyat.
Kalaupun para politisi dapat mengabaikan pendapat umum untuk
sementara waktu, mereka tidak dapat sama sekali mengabaikan.
Jika tidak, mereka akan berada dalam kedudukan seperti
kedudukan perusahaan yang merancang produknya dengan

122
mengabaikan selera publik. Bila inventarisnya bersisa banyak, ia
menghadapi krisis pemasaran. Para politisi yang mengabaikan
pendapat umum mungkin akan menemukan dirinya tidak
mempunyai dukungan. Salah satu ciri khas pendekatan tingkah
laku adalah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai
suatu sistem sosial dan negara sebagai suatu sistem politik yang
menajdi sub sistem dari sistem sosial.
Behavioralisme memusatkan perhatian pada masalah
apakah keadaan kehidupan demokratis itu merusak diri. Apakah
para warga negara, sebagai massa atau agregat, mampu membuat
keputusan-keputusan rasional dan efektif? Atau, atas nama
demokrasi dan rasionalitas yang menjadi cita-cita pencerahan:
apakah individu menjadi korban politisi? Dan jika demikian,
apakah demokrasi merupakan sebuah doktrin yang bercatat,
bagaimanapun baiknya cita-citanya, karena suatu ”pendapat
umum yang cerdas” tidaklah mungkin? Kalau hanya mampu
mencapai pengertian ideologis, publik tidak dapat diharapkan
membuat penilaian yang berdasarkan informasi yang banyak.
Dan, jika demikian, ide kedaulatan rakyat dan barangkali praktis
semua asumsi para teoritisi liberal dan juga kaum radikal serta
kaum institusionalis membutuhkan revisi. Dalam hal ini
pandangan Lippman menantang tradisi demokrasi liberal
mengenai pemerintahan partisipan. Jawaban atas permasalahan
yang dikemukakan oleh Lippmann bukanlah sekedar bagaimana
mengevaluasi mutu penilaian publik pada setiap saat, tetapi
bagaimana rakyat belajar melalui pengalaman; bagaimana
mereka melihat kebutuhan –kebutuhan mereka sebagai individu
dan anggota masyarakat. Tekanan pada proses belajar individual
sebagai suatu proses kumulatif tidak sama dengan ide mengenai
individu dalam abad delapan belas, yang beranggapan bahwa
kepentingan agregat menghasilkan kepentingan masyarakat atau

123
publik. Ia juga tidak sama dengan pandangan individu dalam
masyarakat abad sembilan belas yang evolusioner, yang asik
dengan masalah bagaimana masyarakat-masyarakat yang sedang
mengalami perubahan mempengaruhi individu. Pertanyaan-
pertanyaan yang harus dijawab dalam kaitan dengan
behavioralisme modern berkisar pada keadaan-keadaan tingkah
laku penyesuaian diri: Kapankah individu- individu bersedia
mengambil resiko, untuk melibatkan diri mereka dalam politik,
untuk meninjau kembali pandangan-pandangan yang telah
bertahan lama?
Untuk memahami hal ini adalah perlu memandang
masyarakat dari pendirian individual, untuk mempelajari
bagaimana dan mengapa afiliasi-afiliasi kelompok yang luas dari
kelas, wilayah, pekerjaan, pendapatan, agama, etnis dan
sebagainya membentuk keyakinan, sikap, dan ide. Psikologi
menyelidiki sifat-sifat individu qua individu, tetapi ilmu politik
behavioral mempelajari baik tingkah laku agregat atau massa
maupun motivasi-motivasi individu. Mata rantai penghubungnya
adalah kelompok-kelompok sosial, baik faksi, serikat buruh,
partai politik, atau kelompok kepentingan. Kemampuan
organisasi dari individu, cara orang-orang membangun dan
membentuk kehidupan mereka dengan bertindak seirama dengan
yang lain-lain menghubungkan individu dengan masyarakat.
Kegiatan kelompok membantu menciptakan norma-norma
individu dan norma-norma agregat, bukan secara abstrak, tetapi
dalam hubungannnya dengan kebutuhan dan perhatian individu-
individu. Maka itu, meskipun suatu pendapat umum kolektif
mungkin keliru, khususnya jika dihadapkan pada masalah yang
sulit atau membingungkan, pendapat umum dapat terpecah-
pecah. Dalam berbagai hal yang lebih khusus, gambaran itu
sangat berbeda yakni; rakyat tahu banyak.

124
Tugas kaum behavioral adalah mendefinisikan kembali
hubungan individu dan kelompok pada umumnya, dan dengan
berbagai macam kelompok pada khususnya. Kelompok-
kelompok manakah yang strategis dalam mempengaruhi proses
belajar individu? Bilakah sekolah atau kelompok kerja
membatasi atau melampaui pandangan-pandangan parokial dan
sempit? Bilakah ide-ide yang mungkin tidak dihadapi dalam
keluarga, gereja, atau hubungan-hubungan domestik lain
memperluas ketimbang membatasi kepekaan dan efesiensi
individu? Dalam keadaan-keadaan apakah interaksi kelompok
menimbulkan rasa aman pribadi yang lebih besar? Dibawah
keadaan yang bagaimanakah hal yang sebaliknya terjadi? Jika
dalam komunitas-komunitas berlainan yang hidup berdampingan
terdapat prasangka, maka jarak yang dekat kadang-kadang
mengurangi permusuhan dan kadang-kadang memperbesarnya.
Dengan persepsi selektif tertentu terhadap satu sama lain,
kapankah contoh-contoh negatif atau yang menyakitkan
memperkuat stereotif, sementara contoh-contoh positif dan
bersahabat tidak diperhatikan? Kapankah hal yang sebaiknya
menjadi kenyataan?
Cita-cita liberal dan radikal memperkecil perbedaan
antara individu- individu. Tetapi dalam realitas, perbedaan-
perbedaan diantara kelompok- kelompok yang didasarkan pada
tradisi kultural, ras, agama, bahasa, dan kebangsaan tetap dapat
bertahan dan mengekalkan diri, terutama dalam masyarakat-
masyarakat yang sebagian besar imigran (seperti Amerika dan
Argentina), bagaimana mestinya perbedaan-perbedaan itu
diperhatikan? Apakah hal-hal itu harus menjadi dasar bagi
persaingan kelompok? Atau apakah kelompok-kelompok seperti
itu menghalangi ikatan terhadap nilai-nilai bersama, kepentingan
publik dan kebudayaan nasional? Jika pendapat umum

125
merupakan konsekuensi nilai-nilai yang menekankan perbedaan
tradisi yang merangsang keluhan-keluhan (seperti yang terdapat
pada orang-orang Basques di Spanyol, kaum Biafra di Nigeria,
Perancis di Kanada, dan Katolik di Irlandia Utara), maka tingkah
laku publik mungkin akan menjadi sangat sensitif, bermusuhan,
mendapat informasi negatif, tidak berkompromi, dan cenderung
menimbulkan konflik.
Analisa tentang tingkah laku yang mempertimbangkan
masalah-masalah kelompok-kelompok fundamental, dan
pentingnya faktor kelas, pekerjaan dan faktor-faktor lain yang
menurut Marx berasal dari hubungan manusia dengan alat- alat
produksi. Tetapi analisa ini mempertimbangkan isu-isu lain
dalam perspektif yang lebih individualistis. Ide mengenai
pendapat umum menggantikan ide mengenai ”kesadaran kelas”.
Perhatian analisa behavioral adalah bagaimana individu-individu
memahami situasi mereka. Misalnya, bagaimanakah menyatunya
sikap kelas buruh? Apakah sikap itu terutama merupakan akibat
penghisapan, kekuatiran akan pengangguran, dan kelemahan
individu? Bagaimanakah keanggotaan dalam serikat buruh
mempengaruhi mereka? Apakah organisasi-organisasi dan
disiplin kerja yang memungkinkan mereka mencapai tujuan pasti
membuat individu-individu kelas-buruh menjadi ”konservatif”
atau ”liberal”? Apakah akibat riset dan identifikasi isu-isu yang
relevan terhadap sikap kaum buruh? Bagaimanakah caranya hal-
hal ini dapat meningkatkan daya tawar menawar kolektif yang
lebih efektif dalam menghadapai para majikan? Apakah efek
perhatian serikat buruh pada perundang-undangan terhadap cara
kaum buruh memahami kepentingan mereka, cara mereka
memeriksa catatan para politisi tentang pemungutan suara, dan
bagaimana mereka memberikan suara? Kapankah kelompok-
kelompok seperti itu paling tidak secara ideologis aktif, sambil

126
menyaring ide-ide melalui saringan berupa paham-paham yang
telah diterima sebelumnya liberal, komunis, sosialis, atau
pragmatis sambil memusatkan perhatian pada isu-isu spesifik?
Sejumlah besar pertanyaan politik behavioral berada
diantara asumsi- asumsi Lippmann dan Merriam. Bukti empiris
yang digunakan untuk membantu memberikan jawaban yang
diambil dari ukuran-ukuran mengenai gerakan penduduk,
mobilitas sosial, perubahan hubungan kelas, kesempatan-
kesempatan kemasyarakatan, perbaikan pendidikan, dan efek dari
semua hal ini terhadap cara partisipasi baru, komitmen ideologis,
serta afiliasi-afiliasi. Adapun tujuan riset behavioural bagi Eulau
(1963) adalah untuk menjelaskan ”mengapa orang secara politik
bertindak sebagaimana yang ia lakukan, dan mengapa sebagai
hasilnya proses-proses dan sistem-sistem politik berfungsi
sebagaimana yang berlaku”. Kecenderungan riset behavioural
dalam politik telah menuju pada pembentukan model-model
yang konsisten secara logika dimana ”kebenaran” diturunkan
secara deduktif dan kelompok behaviouralis biasanya mencari
beberapa campuran pengalaman dan teori.

E. PENDEKATAN PASCABEHAVIORAL
Dalam menentang pendekatan tradisional, para ilmuwan
politik merujuk alternatif mereka sebagai revolusi behavioural.
Selama tahun 1960-an terdapat sejumlah besar ketidakpuasan
atas riset dan pengajaran yang diorientasikan pada pembentukan
studi politik untuk menjadikannya disiplin ilmiah yang lebih
kokoh. Ketidakpuasan ini menghasilkan apa yang disebut
pendukung utama revolusi behavioural sebagai ”revolusi
behavioral”, yakni yang berorientasi ke masa depan menuju
relevansi dan tindakan. Di samping itu, timbul reaksi yang
dinamakan ”revolusi paska tingkahlaku” pertengahan dasawarsa

127
1960-an. Gerakan ini mencapai puncaknya pada akhir dasawarsa
itu ketika berlangsungya Perang Vietnam. Kecaman ini muncul
karena telah timbul banyak masalah yang meresahkan
masyarakat, seperti masalah lomba persenjataan dan diskriminasi
ras, yang tidak ditangani apalagi diselesaikan oleh sarjana
penganut pendekatan tingkah laku. Bagi para penganut
pendekatan paska tingkah laku, para penganut pendekatan
tingkah laku telah gagal untuk meramalkan ataupun mengaatasi
keresahan yang ditimbulkan oleh perang Vietnam. Gerakan
paska tingkah laku ini memperjuangkan perlunya relevance and
action (relevansi dan orientasi bertindak). Tetapi perlu dicatat
bahwa pendekatan ini tidak sepenuhnya menolak pendekatan
tingkah laku, hanya mengecam praktek dari sarjana tingkah laku.
Akan tetapi pendekatan paska tingkah laku mendukung
sepenuhnya pendekatan tingkah laku mengenai perlunya
meningkatkan mutu ilmiah dari ilmu politik. pada hakekatnya
paska tingkah laku merupakan kesinambungan sekaligus koreksi
dari pendekatan tingkah laku.
Para penganut pendekatan paska tingkah laku
dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Marxis seperti Herbert
Marcuse dan Jean-Paul Sartre, sesungguhnya mereka tidak
Marxis, sekalipun di antara mereka ada yang kemudian terkenal
karena mengembangkan suatu orientasi sosialis. Pendekatan
paska tingkah laku oleh David Easton, tokoh pendekatan
tingkah laku yang kemudian mendukung pendekatan paska
tingkahlaku, pada tahun 1969 dalam tulisannya ”the new
revolutionin political science” dinamakan suatu credo of
relevance, pokok- pokoknya diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam usaha mengadakan penelitian empriris dan
kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak
relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. Padahal

128
lebih mendesak untuk menangani masalah sosial yang
gawat daripada meraih kecermatan dalam penelitian.
Relevansi pada problema-problema yang dihadapi
masyarakat lebih penting daripada kecermatan.
2. Pendekatan tingkah laku secara terselubung bersifat
konservatif, sebab terlalu menekankan keseimbangan
dalam suatu sistem dan kurang memberi peluang untuk
perubahan.
3. Penelitian tidak boleh menghilangkan nilai-nilai malahan
perlu mendapat bahasan. Dengan perkatan lain ilmu tidak
bisa netral dalam evaluasinya.
4. Para cendekiawan mempunyai tugas yang historis dan
unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi
masalah-masalah sosial dan mempertahankan nilai-nilai
kemanusiaan.
5. Pengetahuan membawa tanggung jawab untuk bertindak
dan sarjana harus engage dan Comitted untuk secara
aktif mengubah bentuk masyarakat dan membentuk
masyarakat yang kebih baik, sarjana harus action
oriented.
6. Para cendikiawan tak boleh menghindari perjuangan dan
harus turut mempolitisasi organisasi-organisasi profesi
dan lembaga-lembaga ilmiah
Pemikiran-pemikiran ini mendorong para sarjana ilmu
sosial Amerika untuk mempergiat usahanya pada pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya. Seiring dengan
proses penyesuaian ini timbul suatu bidang baru dalam ilmu
politik yaitu ilmu kebijakan (policy science) yang terutama
meneliti substansi dari kebijakan-kebijakan pemerintah dan
dampaknya terhadap masyarakat seperti sering terjadi dalam

129
pertentangan intelektual, fihak-fihak yang bersangkutan
meningkatkan dan mempertajam alat analisis masing-masing
untuk meneliti kembali rangka, metode, dan tujuan dari ilmu
politik. Hasil dari dialog ini sangat mendorong berkembangnya
ilmu politik itu sendiri baik dibidang pembinaan teori maupun
dibidang penelitian komparatif dari negara-negara yang maju
serta negara-negara yang sedang berkembang. Dewasa ini
pendekatan- pendekatan tersebut diatas telah membaur satu sama
lain dan merupakan akumulasi dari berbagai pemikiran dan
pengalaman yang telah diterima dan diakui oleh dunia ilmu
politik. Terminologi behavioralis yang tadinya dianggap terlalu
teknis sifatnya sekarang sudah menjadi perangkap umum dari
setiap sarjana politik. Pembahasan deskriptif mengenai lembaga
tidak disingkirkan tetapi dilengkapi dengan analisis mengenai
pelaku-pelaku dalam lembaga itu. Disamping itu nilai dan norma
kembali didudukkan pada tempat yang terhormat. Konsensus ini
yang kadang-kadang dinamakan suatu paradigma sering disebut
mainstream political science.
Di samping itu bahasan bersifat lebih empiris serta lebih
ilmiah, salah satu contoh dari pembahasan seperti ini adalah
karya Gabriel A Almond dan Powell dalam bukunya
Comparative Politics Today; A world view.
Lebih ringkasnya ketiga pendekatan tersebut dapat
dirumuskan ke dalam beberapa karakteristik sebagai bahan
analisa, sebagai berikut;

Pendekatan Pendekatan Pendekatan


Tradisional Behavioural Paskabehavioural
Saling mengaitkan Memisahkan fakta Fakta dan nilai diikat
fakta dan nilai dari nilai pada tindakan dan
relevansi

130
Pendekatan Pendekatan Pendekatan
Tradisional Behavioural Paskabehavioural
Perspektif dan Nonperspektif, Bersifat humanistik
normatif objektif dan empiris dan berorientasi-
masalah;normatif
Kualitatif Kuantitatif Kualitatif dan
kuantitatif

Berkaitan dengan Berkaitan dengan Berkaitan dengan


ketidakteraturan dan keseragaman dan keteraturan dan
keteraturan keteraturan ketidakteraturan

Konfiguratif dan non Komparatif; Komparatif; berfokus


komparatif, berfokus berfokus pada pada beberapa negara
pada negara-negara beberapa negara
individual

Etnosentris, secara Etnosentris; secara Secara khusus


khusus berfokus khusus berkaitan berorientasi pada
pada dengan model dunia ketiga
’demokrasi- Anglo-Amerika
demokrasi’ Eropa
Barat

Deskriftif; sempit Abstrak; beridiologi Teoreitis, rdikal dan


dan statis konservatif dan berorientasi hasil
statis

Berfikus pada
Berfokus pada Berfokus pada
struktur- struktur
struktur- strujtur hubungan dan
formal (institusi dan
dan fungsi-fungsi konflik kelas serta
pemerintah) (kelompok) formal kelompok
dan informal
Sumber; Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik,
Penelusuran Paradigma, 2003;79

131
F. KEBUDAYAAN POLITIK
Marilah kita melihat sepintas masalah otoriterianisme,
dan masalah bagaimana kebudayaan politik yang berlainan
membentuk tipe-tipe kepribadian dalam pendekatan –pendekatan
ilmu politik yang berlainan. Pertanyaan lama adalah: Mengapa
sebagian orang ingin melakukan teror dan kekerasan terhadap
orang lain? Apakah yang menyebabkan kecenderungan seperti
itu pada orang-orang tertentu, dan bukan orang lain? setiap
masyarakat mempunyai orang-orang yang menikmati
penggunaan kekuasaan terhadap orang lain tetapi hal ini biasanya
mungkin dilaksanakan secara bertanggung jawab, demokratis,
dan atas nama kemajemukan warga negara. Jadi kapankah
kekuasaan dijalankan atas nama orang yang disukai; secara tidak
adil, atau untuk membahas dendam; dengan hukuman dan
dengan kekerasan? Orang dapat juga bertanya: mengapa penjara
dan kamp- kamp konsentrasi memilih penjaga yang kejam atau
orang-orang yang cenderung melakukan kekerasan pribadi, yang
sebagian diantaranya merasa senang memakai kekuasaan secara
sadis? Dan, sejauh mana orang-orang yang bertingkah laku
patologis dimasukan dalam masyarakat. Atau, jika
kecenderungan-kecenderungan seperti itu tetap ada dalam setiap
masyarakat, kapan dan mengapa minoritas yang sadis dapat
merebut kekuasaan, seperti yang terjadi di Jerman Nazi atau
Rusia Stalin, dan dan menguasai organ-organ teror dan kontrol
negara? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut
diatas dibutuhkan banyak riset behavioral dimana berbagai
pengujian yang didasarkan pada isolasi sifat-sifat otoriter telah
dikembangkan. Seperti telah kami utarakan sebelumnya,
beberapa test ingin mengukur kelompok sifat-sifat universal atau
culture free, yang dapat menunjukan kecenderungan otoriter
pada individu. Salah satu ukuran ini adalah skala-F, yang dapat

132
dipakai untuk mengukur kecenderungan otoriter, baik secara
universal maupun dalam perbandingan. Skala – F dapat
digunakan untuk menunjukan bagaimana tipe individu yang
menganut pandangan politik tertentu dan memegang pilihan
ideologi apa.
Sebagai contoh, Janowitz dan Marvick menemukan
bahwa di Amerika Serikat, pribadi-pribadi otoriter cenderung
isolasionis dalam urusan luar negeri. Teori-teori mengenai
karakter nasional telah juga digunakan untuk menjelaskan
tanggapan otoriter terhadap kekerasan. Dalam masyarakat
dimana kebudayaan warganya adalah demokratis, konflik lebih
dapat ditengahi. Gaya tingkah laku yang berlaku, mencegah
konflik dan polarisasi ideologi. Tercetusnya konflik nasional
dapat dihindarkan. Kecenderungan ini dapat dikaitkan dengan
variabel-variabel lain yaitu jaungkauan individualisasi,
penswastaan, atomisasi. Sebagian teori berusaha menemukan
tolerance threshold (ambang pintu toleransi). Kapan dan dalam
keadaan apakah orang tidak lagi dapat menerima beban
kehidupan modern? Bentuk-bentuk irasionalitas apakah yang
langsung dapat ditelusuri dari tekanan-tekanan yang kita hadapi
dalam pekerjaan kita? Kapankah orang cenderung mengundurkan
diri dari kehidupan sosial dan politik yang aktif, atau menjadi
apatis? Kapankah orang yang apatis dapat dibangkitkan dan atau
dimanipulasi oleh pemimpin-pemimpin politik? Oleh pemimpin-
pemimpin politik macam apa?
Bukti dalam semua kajian ini memperlihatkan bahwa
pilihan idelologi, isyu sok menonjol, dan jenis partisipasi,
semuanya dipengaruhi oleh faktor-faktor kepribadian. Namun,
kita harus hati-hati dalam melakukan generalisasi. Alex Inkeles
mengemukakan hal ini dengan sangat baik bahwa; Ada cukup
bukti yang agak keras mengenai hubungan yang teratur dan erat

133
antara kepribadian dan cara partisipasi politik individu-individu
serta kelompok-kelompok di dalam sistem politik manapun.
Dalam banyak lingkungan institusional yang berlainan dan
banyak tempat di dunia, mereka yang mengikuti posisi-posisi
politik yang lebih ekstrim mempunyai ciri kepribadian yang
jelas, yang memisahkan mereka dari orang-orang yang
mengambil posisi moderat dalam lingkungan yang sama. ”Isi”
formal atau eksplisit orientasi politik seseorang – kiri atau kanan,
konservatit atau radikal, pro atau anti buruh – dapat ditentukan
terutama oleh ciri-ciri yang lebih ”asing” seperti pendidikan dan
kelas sosial; tetapi bentuk atau gaya ekspresi politik mendukung
paksaan atau persuasi, komromi atau perintah yang sewenang,
toleransi atau berprasangka sempit, luwes dalam kebijaksanaan
atau kaku dogmatis nampaknya sebagian besar ditentukan oleh
kepribadian. Paling tidak, hal ini nampak jelas dalam hal-hal
politik yang ekstrim. Belum lagi pasti apakah sifat-sifat yang
sama mendatangkan paham ekstrim dalam semua kelompok
nasional dan lingkungan institusional, tetapi hal ini nampaknya
juga sangat mungkin. Yang menonjol di antara sifat-sifat yang
mendatangkan paham ekstrim nampaknya adalah sebagai
berikut: keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap pemimpin-
pemimpin yang kuat dan tuntunan pada ketaatan mutlak terhadap
mereka; kebencian terhadap orang-orang luar dan orang-orang
yang menyimpang; proyeksi mengenai rasa bersalah dan rasa
permusuhan yang berlebih-lebihan;sinisme ekstrim; rasa tidak
berdaya dan tidak efektif (alienasi dan anomi); kecurangan dan
ketidakpercayaan kepada orang lain; dan dogmatisme serta
kekakuan; sebagian istilah-istilah ini merupakan penunjuk
alternatif untuk gejala yang sama, tetapi sebagian sindrom umum
otoriterisme, dogmatisme dan alienasi seperti ini sudah jelas
merupakan akar psikologis paham politik ekstrim yang membuat

134
tipe ini secara aktif atau potensi mengacaukan sistem-sistem
demokrasi. Jika paham politik ekstrim memang menyertai dan
bahkan merupakan suatu produk – dari sindrom kepribadian
tertentu, dan jika sindrom ini menghasilkan paham ekstrim yang
seimbang dalam semua populasi dan sub- kelompok, maka fakta
ini menghadapkan tantangan besar kepada mereka yang
mempelajari watak nasional dalam kaitannnya dengan sistem-
sistem politik. Segera kita menghadapi pertanyaan ini: apakah
masyarakat yang mempunyai sejarah demokrasi panjang dihuni
oleh mayoritas individu-individu yang memiliki kepribadian
yang telah mengalami pemerintahan otoriter, diktator atau
totaliter berulang-ulang atau dalam jangka waktu lama dihuni
relatif banyak individu dengan ciri-ciri kepribadian yang nampak
berkaitan dengan paham ekstrim? Dengan kata lain, untuk
membuat generalisasi mengenai hubungan kepribadian dan
sistem politik, dapatkah kita berpindah dari tingkat individual
dan kelompok kepada tingkat kemasyarakatan.
Sedikit dan bersyarat, serta ditandai oleh suatu
kecenderungan menuju kepemimpinan tokoh-tokoh dan
persetujuan diam-diam terhadap prasangka. Menurut Adorno,
ketika dihadapkan pada masalah, individu-individu seperti itu
mencari ”kambing hitam”; mereka menghendaki diperluasnya
konformitas seperti militer kepada kegiatan sispil; mereka
dengan sengaja melepas kebebasan pribadi dan mendukung
intervensi negara dalam semua aspek kehidupan. Dalam artian
idelologi dan pendapat, mereka memperlihatkan kesediaan untuk
percaya pada apa yang dikatakan kepada mereka oleh orang-
orang yang memegang kekuasaan. Pendapat-pendapat mereka
mudah dibentuk sentimen. Sifat-sifat seperti itu dapat
dimanipulasi oleh para ideolog dan teknik-teknik untuk
mengubah pendapat umum yang ada. Adalah juga benar bahwa

135
nilai-nilai menonjol yang dapat diubah pleh propaganda yang
efektif, individu-individu dapat dijadikan teman-teman
sekomplot. Sudah tentu jika manfaat-manfaat pokok tidak
disediakan, disitegrasi sistem demokrasi merupakan lapangan
subur bagi alternatif-alternatif otoriter. Tetapi kebutuhan akan
otoritas dapat juga terungkap pada masa-masa sulit kebingungan
psikis ketimbang material, bahkan ketika manfaat manfaat
tersedia.
Kajian-kajian mengenai akar-akar emosi tingkah laku
politik mengemukakan hubungan-hubungan penting antara harga
diri dan rasa benci kepada diri sendiri, agresi dan frustasi, serta
kekerasan, maupun gejala-gejala seperti penghayatan terhadap
kemarahan sosial, dan kebutuhan akan tingkah laku tertib versus
yang acak-acakan atau anarki. Banyak teori yang menengahi isu-
isu seperti ini bersifat Freudian, atau dipengaruhi oleh doktrin-
doktrin Freud. Fokus eksplisit mereka terletak pada kepribadian
dan patologi dan represi; pemecahan mereka terhadap tingkah
laku problematis adalah dengan mengurangi kegelisahan. Namun
individu yang tertekan, dapat juga dilihat sebagai produk sebuah
masyarakat yang represif. Dengan demikian pembebasan
individu mungkin membutuhkan, sebagai obat, suatu kebebasan
baru, atau suatu masyarkat baru yang lebih sesuai.

G. TINGKAH LAKU MENYELURUH DAN


KEKERASAN
Usaha-usaha telah juga dilakukan untuk memakai data
menyeluruh demi menunjukan bagaimana ketegangan
menimbulkan konflik, dan frustasi umum menyalakan agresi.
Sebagai contoh, jika orang diarahkan untuk percaya bahwa
mereka akan mencapai hasil-hasil yang cepat di dalam mobilitas
sosial berkat pendidikan, kesejahteraan, dan manfaat-manfaat

136
lain yang meningkat, dan jika hasil-hasil ini terlalu lambat atau
tidak datang, maka keluhan-keluhan segera berkembang hingga
dapat menimbulkan tindakan-tindakan agresif. Kesenjangan
besar antara aspirasi dan realisasinya menghasilkan apa yang
dinamakan kerugian-relatif. Ini merupakan suatu keadaan dalam
mana manfaat-manfaat yang diancangkan telah dikecewakan.
Kerugian relatif cenderung meningkat secara eksponensial ketika
kesempatan meningkat dalam integral yang lebih sederhana.
Dinegara-negara yang sedang berekembang sindrom ini sering
membangkitkan ”revolusi dari harapan yang meningkat”.
Kepustakaan mengenai kerugian relatif menekan pada frustasi
daripada harapan.
Jadi, konfilk lebih mungkin terjadi ketika kondisi-kondisi
membaik dan mobilitas meningkat, bukan sebaliknya. Ini berarti,
orang-orang yang benar-benar miskin jarang menjadi kaum
revolusioner. Ketika kondisi membaik, harapan- harapan
meningkat dan keganjilan muncul diantara hirarki kedudukan
sosial. Keganjilan kedudukan (Status Incongruity) mengaju pada
kondisi dalam mana kedudukan dan imbalan tidak seimbang.
Teori keganjilan kedudukan bergandengan denga teori-teori
mengenai kerugian relatif, yang menyatakan bahwa ketika
kesempatan berkembang, maka demikian juga potensi konflik
akan berkembang antara mereka yang meningkat kedudukannnya
versus mereka yang menurun kedudukannya. Situasi yang
menjrus pada kekerasan (seperti yang dewasan ini terjadi di
Irlandia Utara) terutama menghadapkan kelompok- kelompok
berkedudukan tinggi melawan mereka yang berkedudukan
rendah. Hal ini mengakibatkan gerakan-gerakan sosial militan
ketika kelompok yang berkedudukan lebih tinggi memasukan ke
pihak mereka yang berkedudukan yang lebih rendah, yang
mempunyai kepentingan sama, yang kemudian bergabung untuk

137
melawan pihak ketiga, yang paling sering merupakan pihak
minoritas. Kebanyakan gerakan keagamaan, etnis, dan rasial
bersifat seperti itu. Militansi paling ekstrim mengarah kepada
pembentukan partai-partai totaliter dan tentara- tentara pribadi.
Sebagai contoh, gerakan-gerakan ideologiradikal primordial dari
Nazi Jerman dan Fasis Italia, dan kader-kader komunis militan
dan berdisiplin di Amerika Latin berusaha menggantikan tata
sosial yang ada. Kefanatikan ideologi, dengan pemecahan-
pemecahan politik otoriter sederhana yang menyertainya, dalam
banyak hal sama dengan gerakan-gerakan agama pada seribu
tahun yang lalu.
Kapankah keseluruhan kecenderungan ke arah kekerasan
mengakibatkan revolusi? Sementara banyak ukuran telah
disarankan untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu yang
paling menarik adalah kurva – J, yang menggambarkan suatu
sindrom atau pola revolusioner sebagai berikut: Kemungkinan
terbesar revolusi terjadi pada masa meningkatnya harapan dan
meningkatnya kepuasan dalam waktu lama dan kemudian diikuti
oleh masa sebaliknya yang tajam dalam waktu pendek, selama
mana jurang antara harapan dan kepuasan dengan cepat melebar
dan menjadi tidak dapat ditolerir. Frustasi yang berkembang, jika
kuat dan tersebar luas dalam masyarakat, akan mencari pelepasan
dalam tindakan kekerasan. Ketika frustasi tertuju pada
pemerintah, kekerasan itu akan menjadi sebuah revolusi yang
menggantikan pemerintah yang berkuasa secara jelas dan
mengubah secara nyata struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Atau kekerasan akan terkandung di dalam sistem itu untuk
mengadakan modifikasi tetapi tidak mengganti sistem itu.
Contoh terakhir ini adalah pemberontakan.
Di dalam sejarah terdapat banyak contoh mengenai
perkembangan seperti itu. Revolusi Prancis didahului oleh suatu

138
periode pertama berupa pertumbuhan luar biasa dan kemakmuran
pertanian dan kemudian suatu depresi tajam di pedesaan.
Demikian juga periode sebelum Revolusi Amerika adalah
periode kemakmuran besar yang mendahului krisis perdagangan
yang gawat. Sejak Perang Dunia II, revolusi-revolusi nasionalis
di negara-negara sedang berkembang paling sering terjadi ketika
rezim-rezim kolonial mengendurkan pengawasan mereka, sambil
membangkitkan harapan-harapan untuk demokrasi dan
kebebasan yang sudah terlalu sering diikuti oleh pengertian
pengawasan politik oleh sektor elit masyarkat kolonial.
Dalam kondisi-kondisi tertentu, ideologi revolusioner
merangsang diterimanya oleh rakyat para pemimpin ekstrim
yang menawarkan pemecahan sederhana. Permusuhan dapat
diubah menjadi kebencian, mereka yang dirugikan menjadi
”pasukan penggempur” bagi masyarkat baru. Penyusunan
kembali keyakinan-keyakinan yang berorientasi kepada nilai
dapat terjadi, yang dapat bersifat revolusioner atau mengambil
bentuk nostalgia orang-orang yang bangkit kembali.
Jelas kita membutuhkan pemecahan-pemecahan.
Kebanyakan dari kita ingin menemukan pemecahan demokratis,
tetapi jika demokrasi yang lama tidak cocok lagi, model-model
behavioral lebih baik untuk mengemukakan apa yang salah
ketimbang menetapkan apa yang benar. Model-model ini
mendefinisikan masalah-masalah yang harus ditemukan
pemecahan politiknya; mereka menggambarkan mengapa sesuatu
itu salah. Jelas tidak akan ada persesuaian sempurna antara
kategori-kategori behavioral dan pemecahan politik.
Bagaimanapun, teori-teori pluralisme modern, yang
mengarahkan diri kepada masalah menengahi yang ekstrim-
ekstrim, berusaha menemukan jawaban sebagian terhadap

139
ketegangan-ketegangan yang kami bahas, ketimbang mencari
jawaban-jawaban yang menyeluruh.

H. RANGKUMAN
Mengamati kegiatan politik dapat dilakukan melalui
berbagai cara, bergantung pada perspektif atau kerangka acuan
yang dipakai. Bagaimana kita mengamati kegiatan politik itu,
akan mempengaruhi apa yang kita lihat. Vernon van Dyke
mengatakan bahwa suatu pendekatan (approach) adalah kriteria
untuk menyeleksi maslah dan data yang relevan. Dengan lain
perkataan, pendekatan mencakup standar atau tolok ukur yang
dipakai untuk memilih masalah, dan data mana yang akan diteliti
serta data mana yang akan dikesampingkan. Dalam sejarah
perkembangannya, ilmu politik telah mengenal beberapa
pendekatan antara lain :
1) Pendekatan Tradisional; Pendekatan tradisional yang
secara historis saling menghubungkan fakta dan nilai
dalam studi perbandingan pemerintahan. Selama awal
abad keduapuluh, orientasinya bergeser pada studi
institusi- institusi negara-negara individual
2) Pendekatan Tingkah laku; Penelusuran terhadap
pendekatan behavioural bermula dari kondisi-kondisi
penganalisian tersebut yang dirasa bersifat sempit dalam
melakukan analisa deskriptif menyangkut institusi-
institusi. Behavioralisme, sekalipun tidak mengisi
kekosongan filosofis yang ditinggalkan oleh
institusionalisme, berusaha menelaah masalah
”mengapa” dari politik dengan menelaah tindakan
individual.
3) Pendekatan Paska tingkah laku; Gerakan paska tingkah
laku ini memperjuangkan perlunya relevance and action

140
(relevansi dan orientasi bertindak). Tetapi perlu dicatat
bahwa pendekatan ini tidak sepenuhnya menolak
pendekatan tingkah laku, hanya mengecam praktek dari
sarjana tingkah laku. Akan tetapi pendekatan paska
tingkah laku mendukung sepenuhnya pendekatan tingkah
laku mengenai perlunya meningkatkan mutu ilmiah dari
ilmu politik. pada hakekatnya paska tingkah laku

I. LATIHAN
Tes Formatif 1
Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang benar dengan cara
melingkari huruf a, b, c, atau d di depan jawaban tersebut!
(1) PERTANYAAN PILIHAN GANDA
1. Tiga pendekatan yang mendominasi bidang politik
dan terutama perbandingan politik dan pemerintahan
dapat dikaji melalui pendekatan- pendekatan di
bawah ini, kecuali
b. Pendekatan Tradisional
c. Pendekatan Irasional
d. Pendekatan Behavioral
e. Pendekatan paska Behavioral
2. Pendekatan Kelembagaan atau sering disebut
sebagai pendekatan institusional sudah merupakan
pilar yang sangat tua dalam ilmu politik. Pendekatan
ini memiliki sifat :
a. Yuridis dan ekspolarif
b. Pragmatisme dan Filosofis
c. Positivisme dan Filosofis
d. Formal dan Deskriftif
3. Dari segi struktur pemerintahan, sangat sulit untuk
membedakan keberadaan hukum dan politik pada

141
negara-negara ketika kita menggunakan pendekatan
kelembagaan. Begitu sulitnya membedakan hukum
dan politik membuat pendekatan ini disebut sebagai:
a. Pendekatan legal formal
b. Pendekatan induktif-deduktif
c. Pendekatan legal rasional
d. Pendekatan induktif historikal
4. 4. Subyek utama pendekatan Kelembagaan
/Institusional/Tradisional berfokus pada
a. Pada relevansi dan tindakan dari institusi-
institusi negara
b. Pada analisa eksploratif dari institusi-institusi
negara
c. pada struktur politik yang formal legal dan
melihat bagaimana peraturan dan organ formal
dari pemerintah-
d. pada prilaku di dalam struktur maupun institusi
politik
5. Ada tiga ciri utama dari pendekatan Kelembagaan/
Institusional/ Tradisional salah satunya adalah
Deskriptif Induktif. Kavanagh menjelaskan bahwa
deskriptif Induktif merupakan :
a. pendekatan yang secara sistematis
mendeskripsikan dan menganalisa kejadian
masa lalu, kemudian ia menjelaskan fenomena
politik kontemporer
b. metode yang dapat menganalisis setiap negara
sehingga tahu dirinya sendiri dan kemudian
setelah itu baru melihat dan
memperbandingkannya dengan struktur yang
dimilikinya.

142
c. Pendekatan ini memfokuskan analisis pada
struktur negara, pemilihan umum dan partai-
partai politik
d. Metode yang digunakan untuk menganalisis
beberapa negara untuk kemudian dilakukan
perbandingan.
6. Kelemahan utama dari ciri legal formal pendekatan
institusional adalah
a. menafikan adanya hukum-hukum informal
yang tidak tertulis dan sering menjadi acuan
yang sudah mentradisi
b. menaruh perhatian pada mekanisme
pemerintahan, sehingga telah mewariskan suatu
kekosongan filosofis.
c. Menjelaskan peristiwa-peristiwa politik sebagai
distribusi”kekuasaan”
d. mengecilkan hipotesa-hipotesa umum dan
intuitif, dan dengan mendukung hal-hal empiris
yang lebih tegar berdasarkan pada observasi
7. Metode historical Comparative bagi setiap negara
bertujuan ?
a. menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga
pemerintah berada dan bagaimana fungsi dari
setiap lembaga itu.
b. mengetahui dirinya sendiri dan kemudian
setelah itu baru melihat dan
memperbandingkannya dengan struktur yang
dimilikinya
c. mengetahu kegiatan politik institusi-institusi
setiap negara untuk kemudian diperbandingkan

143
d. menjelaskan bagaimana bekerjanya sistem
politik dan pemerintahan setiap negara
8. Secara intrinsik, pendekatan tradisonal menjadi
nonkomparatif, deskriftif, sempit dan statis.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh :
a. Ronald H. Chilcote
b. Gabriel A Almond
c. David Easton
d. Macridis
9. Membangun filsafat praktis mengenai kebenaran
yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal,
melainkan pada observasi terhadap pengalaman.
Adalah usaha yang dilakukan oleh salah satu
pelopor mazhab behavioralisme, yaitu :
a. David Hume
b. Charles Piere
c. John Dewey
d. David Easton
10. Kecaman para penganut pendekatan paska-
behavioral/paska tingkahlaku dalam beberapa aspek
mirip dengan kritik yang dilontarkan oleh sarjana
tradisional. Perbedaannya ialah bahwa penganut
pendekatan tradisional ingin memperta-hankan hal-
hal yang lama, sementara pendekatan pasva
behavioral adalah:
a. pasca behavioral meekankan nilai-nilai dan
norma-norma
b. pasca behavioral menekankan sifat ilmu murni
c. pasca behavioral melihat kemasa depan atau
future oriented

144
d. pasca pbehavioral menekankan metode
kuantitatif

Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci Jawaban Tes Formatif


1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban
Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk
mengetahui tingkat penguasaaan Anda dalam materi kegiatan
belajar.

Rumus:
Tingkat PenguasaanAnda=Jumlah jawaban anda yang benarX100 %
10
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 % - 100 % = baik sekali
80 % - 89 % = baik
70 % - 79 % = cukup
- 70 % = kurang

Jika anda mencapai tingkat penguasaan bo % atau lebih, anda


dapat meneruskan ke modul 3 Bagus! Tetapi jika nilai anda di
bawah 80 %, Anda harus mengulangi Kegiatan belajar 2 pada
modul ini, terutama bagian yang belum anda kuasai.

Tes Formatif 2
Petunjuk : Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang
materi dalam kegiatan belajar 2, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
(2) Pertanyaan Essay
11. Bagaimanakah lahirnya berbagai pendekatan di
dalam studi perbandingan politik/pemerintahan?

145
12. Berikanlah identifikasi untuk masing-masing
pendekatan yang dikenal dalam studi perbandingan
politik/pemerintahan?
13. Bagaimanakah lahirnya pendekatan paska
behavioral?
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 1
1. (B). Pendekatan Irasional tidak termasuk ke dalam
pendekatan dalam bidang ilmu politik. Tiga pendekatan
yang mendominasi bidang politik dan terutama
perbandingan politik dan pemerintahan adalah
Pendekatan Tradisional, Pendekatan Behavioral,
Pendekatan paska Behavioral
2. (D). Sifat Formal dan deskriftif merupakan salah satu
sifat dari pendekatan kelembagaan atau sering disebut
sebagai pendekatan institusional.
3. (A). Pendekatan Legal Formal merupakan juga sebutan
bagi pendekatan kelembagaan, karena dari segi struktur
pemerintahan, sangat sulit untuk membedakan
keberadaan hukum dan politik pada negara-negara ketika
kita menggunakan pendekatan kelembagaan, maka
pendekatan kelembagaan ini disebut juga pendekatan
legal formal.
4. (C). Sruktur politik yang formal legal dan melihat
bagaimana peraturan dan organ formal dari pemerintah
merupakan fokus utama yang menjadi subyek
pendekatan Kelembagaan/ Institusional/ Tradisional.
5. (A). Ciri utama dari pendekatan Kelembagaan/
Institusional/ Tradisional salah satunya adalah Deskriptif
Induktif. Kavanagh menjelaskan bahwa deskriptif

146
Induktif merupakan pendekatan yang secara sistematis
mendeskripsikan dan menganalisa kejadian masa lalu,
kemudian ia menjelaskan fenomena politik kontemporer.
6. (A). Kelemahan utama dari ciri legal formal pendekatan
institusional adalah menafikan adanya hukum-hukum
informal yang tidak tertulis dan sering menjadi acuan
yang sudah mentradisi-
7. (B). Metode historical Comparative bagi setiap negara
bertujuan untuk mengetahui dirinya sendiri dan
kemudian setelah itu baru melihat dan
memperbandingkannya dengan struktur yang
dimilikinya.
8. (D). Macridis merupakan ahli yang mengemukakan
pendapat bahwa secara intrinsik, pendekatan tradisonal
menjadi nonkomparatif, deskriftif, sempit dan statis.
9. (C). John Dewey merupakan salah satu pelopor mashab
behavioralisme yang mengemukakan bahwa usaha
membangun filsafat praktis mengenai kebenaran yang
tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal, melainkan
pada observasi terhadap pengalaman.
10. (C). Kecaman para penganut pendekatan
paskabehavioral/paska tingkahlaku dalam beberapa
aspek mirip dengan kritik yang dilontarkan oleh sarjana
tradisional. Perbedaannya ialah bahwa penganut
pendekatan tradisional ingin mempertahankan hal-hal
yang lama, sementara pendekatan pasca behavioral
melihat kemasa depan atau future oriented.

Tes Formatif 2
11. Lahirnya pendekatan-pendekatan di dalam ilmu politik
dan khususnya di dalam perbandingan politik/

147
pemerintahan dapat ditelusuri melalui tiga periode.
Periode pertama, para pemikir politik kuno memusatkan
perhatiannya kepada masalah negara ideal. Periode
kedua, para pemikir politik abad pertengahan melibatkan
diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi
adanya pendirian kerajaan Allah di dunia, sedangkan
periode ketiga, para pemikir politik zaman sesudahnya
telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah
lainnya seperti kekuasaan, wewenang, dan lain-lain.
Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu politik terfokus
pada masalah kelembagaan dan pendekatan yang
digunakannya juga semakin luas. Pendekatan yang
digunakan sepanjang masa itu bersifat historis, dalam
pengertian bahwa para pemikir politik lebih memusatkan
perhatiannya pada upaya melacak serta menggambarkan
berbagai fenomena politik yang bersifat khusus, daripada
menganalisa fenomena serta lembaga-lembaga tersebut,
serta melibatkan diri dengan elemen-lelemen yang
bersifat abstrak. Dengan hal itu para penulis masalah
politik mulai membahas kelebihan dan kekurangan,
keuntungan dan kerugian dari berbagai kelembagaan
politik, dengan memperbandingkan antara: sistem
pemerintahan presidensil dengan parlementer, sistem
pemilihan distrik dengan sistem proporsional, negara
kesatuan dengan negara federal, dan akhirnya mereka
mulai menarik suatu kesimpulan mana yang lebih baik,
tanpa mengindahkan berbagai kondisi yang terdapat
dalam suatu negara, dalam mana lembaga-lembaga yang
bersifat ideal tersebut berada.

148
12. Identifikasi untuk masing-masing pendekatan yang
dikenal dalam studi perbandingan politik/pemerintahan
adalah sebagai berikut:

Pendekatann Pendekatan Pendekatan


Tradisional Behavioural Paskabehavioural
Saling mengaitkan Memisahkan fakta dari Fakta dan nilai
fakta dan nilai nilai diikat pada
tindakan dan
relevansi

Perspektif dan Nonperspektif, objektif Bersifat


normatif dan empiris humanistik dan
berorientasi-
masalah;normatif

Kualitatif Kuantitatif Kualitatif dan


kuantitatif

Berkaitan dengan Berkaitan dengan Berkaitan dengan


ketidakteraturan dan keseragaman dan keteraturan dan
keteraturan keteraturan ketidakteraturan

Konfiguratif dan non Komparatif; berfokus Komparatif;


komparatif, berfokus pada beberapa negara berfokus pada
pada negara-negara beberapa negara
individual

Etnosentris, secara Etnosentris; secara Secara khusus


khusus berfokus khusus berkaitan berorientasi pada
pada ’demokrasi- dengan model Anglo- dunia ketiga
demokrasi’ Eropa Amerika
Barat

Deskriftif; sempit Abstrak; beridiologi Teoreitis, rdikal


dan statis konservatif dan statis dan berorientasi
hasil

149
Pendekatann Pendekatan Pendekatan
Tradisional Behavioural Paskabehavioural
Berfikus pada Berfokus pada Berfokus pada
struktur- struktur struktur- strujtur dan hubungan dan
formal (institusi dan fungsi-fungsi konflik kelas
pemerintah) (kelompok) formal dan serta kelompok
informal

13. Lahirnya pendekatan pascabehavioral diawali dari


adanya penentangan terhadap pendekatan tradisional.
Selama tahun 1960-an terdapat sejumlah besar
ketidakpuasan atas riset dan pengajaran yang
diorientasikan pada pembentukan studi politik untuk
menjadikannya disiplin ilmiah yang lebih kokoh.
Ketidakpuasan ini menghasilkan apa yang disebut
pendukung utama revolusi behavioural sebagai ”revolusi
behavioural”, yakni yang berorientasi ke masa depan
menuju relevansi dan tindakan. Di samping itu, timbul
reaksi yang dinamakan ”revolusi paska tingkahlaku”
pertengahan dasawarsa 1960- an. Gerakan ini mencapai
puncaknya pada akhir dasawarsa itu ketika
berlangsungya Perang Vietnam. Kecaman ini muncul
karena telah timbul banyak masalah yang meresahkan
masyarakat, seperti masalah lomba persenjataan dan
diskriminasi ras, yang tidak ditangani apalagi
diselesaikan oleh sarjana penganut pendekatan tingkah
laku. Bagi para penganut pendekatan paska tingkah laku,
para penganut pendekatan tingkah laku telah gagal untuk
meramalkan ataupun mengaatasi keresahan yang
ditimbulkan oleh perang Vietnam. Gerakan paska
tingkah laku ini memperjuangkan perlunya relevance
and action (relevansi dan orientasi bertindak). Tetapi

150
perlu dicatat bahwa pendekatan ini tidak sepenuhnya
menolak pendekatan tingkah laku, hanya mengecam
praktek dari sarjana tingkah laku. Akan tetapi pendekatan
paska tingkah laku mendukung sepenuhnya pendekatan
tingkah laku mengenai perlunya meningkatkan mutu
ilmiah dari ilmu politik. pada hakekatnya paska tingkah
laku merupakan kesinambungan sekaligus koreksi dari
pendekatan tingkah laku.

J. DAFTAR PUSTAKA
Apter, E. David, 1985. Pengantar Analisa Politik, LP3ES.
Jakarta
_____________. 1987. Politik Modernisasi, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta
Chilcote, H. Ronald. 2003. Teori Perbandingan Politik,
Penelusuran Paradigma,
JH, Price. 1975. Comparative Government, London.
Johari, J.C. 1990. Comparative Politics; Revised & Enlarged
Edition. Sterling
PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Publishers Pvt. Ltd. New Delhi.
SP. Varma. 1999. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

151
152
BAB V
KELEMBAGAAN DAN TIPE-TIPE SISTEM
PEMERINTAHAN

A. PENDAHULUAN
a) Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengantarkan mahasiswa untuk
mempelajari Sistem pemerintahan dengan pengertian
regeringsdaad yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh
eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Lebih
lanjut mahasiswa bisa menunjukkan teori mengenai kelembagaan
dan tipe-tipe sistem pemerintahan. Kajian mencakup tiga varian
system pemerintahan yaitu Sistem Pemerintahan Parelementer,
sistem presidensial dan sistem campuran. Secara praktis
membahas perbandingan Sistem pemerintahan di beberapa
negara terpilih.
b) Relevansi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan perlu menyebutkan
beberapa cirri-ciri dan tipe kelembagaan sistem pemerintahan
melalui penjelasan secara detail.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, kecakapan dan
menganganalisa tentang Kelembagaan dan Tipe-tipe Sistem
Pemerintahan.

153
B. PENYAJIAN
a) Perspektif Teoretis Mengenai Kelembagaan
Para filosof politik terdahulu bertitik tolak pada asumsi,
bahwa rasionalitas menentukan bagi politik apapun. Rasionalitas
dan pengawasan dipakai untuk mengatur hubungan antara
kebebasan dan kewajiban, atau hak dan tanggung jawab. Di
dalam tradisi pencerahan, para teoritisi berusaha memecahkan
masalah- masalah politik melalui pemerintahan perwakilan.
Tetapi, dalam perdebatan yang terus berlangsung, kaum radikal
mengganggap pemecahan liberal tidak memadai, karena
pemecahan itu tidak berhasil mengatasi masalah persamaan.
Paham kelembagaan mendukung sisi pencerahan dalam
perdebatan tersebut. Orientasi kelembagaan berusaha
mewujudkan pemecahan-pemecahan universal dengan
menerjemahkan cita-cita libertarian ke dalam pemerintahan
perwakilan. Bagi para penganut paham kelembagaan, teori-teori
politik libertarian timbul dari sejarah sebagai tujuan-tujuan moral
yang akan dimantapkan di dalam praktek. Karena cita-cita moral
ini mampu berulangkali melahirkan masalah-masalah baru, maka
berbagai macam strategi kelembagaan dibutuhkan untuk
membantu memecahkannnya. Tak ada satupun teori atau konsep
yang pasti atau permanen, begitu pula tiada satupun pemecahan
yang tuntas. Di kala kebutuhan, kewajiban dan hak kita berubah,
tanggung jawab negara kepada para warga negaranya juga
berubah. Ide-ide pemecahan politik diperbarui lagi dan lembaga-
lembaga dimodifikasikan. Lembaga mewujudkan tujuan filosofis
dalam praktek pemerintahan.
Kebanyakan pengikut faham kelembagaan yang
mengikuti tradisi pencerahan menolak pemecahan-pemecahan
tuntas seperti itu, bagi mereka politik adalah terbuka. Konflik
diubah menjadi persaingan damai melalui badan-badan

154
perwakilan dalam pemerintahan. Masalahnya adalah menemukan
badan apakah yang paling baik untuk mewujudkan cita-cita
filsafat politik. Harus diingat bahwa badan-badan itu mungkin
tidak dapat bekerja dengan baik dan optimal yang dapat
menimbulkan berbagai akibat yang berlainan dari apa yang
diharapkan. Misalnya sebagian negara totaliter menyediakan
mekanisme perwakilan dan pemberian suara. Mereka bisa saja
memiliki serikat-serikat buruh dan paling sedikit memiliki satu
partai politik, sebab itu perhatian yang semestinya terhadap
pemerintah perwakilan dan demokrasi tidak terbatas pada
mekanisme pemerintahan. Perlu dipastikan apakah mekanisme-
mekanisme itu mewujudkan asas-asas kebebasan dan hak di
dalam dan dari diri mereka sendiri. Faham kelembagaan menaruh
perhatian pada bagaimana cita-cita politik yang berkembang,
yang dalam politik barat cita-cita tersebut dijelmakan melalui
hubungan-hubungan khusus antara penguasa dan rakyat.
Lembaga-lembaga politik yang paling banyak diketahui adalah
badan-badan pemerintah semisal badan eksekutif, badan
legislatif dan badan yudikatif. Badan eksekutif mempunyai
tangggung jawab langsung pembuatan kebijakan, badan legislatif
menelaah kebijakan itu dan memperbaiki, menciptakan serta
mengawasi kekuasaan badan eksekutif. Sementara badan
yudikatif menjamin bahwa konstitusi yang mengatur kewajiban-
kewajiban timbal balik warga negara terhadap negara dan
kewajiban negara terhadap warga negara tidak dilanggar. Dalam
masyarakat yang bebas, prinsip utama yang mendasari badan-
badan kelembagaan pemerintah ini adalah penilaian badan
pengadilan atas tanggung jawab eksekutif dan pelaksanaan
kekuasaan berdaulat oleh legislatif atas nama rakyat. Sementara
yang menghubungkan mata rantai antara rakyat dan pemerintah
adalah partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan,

155
kelompok-kelompok penekan dan pemerintah.Partai-partai
politik memungkinkan rakyat yang berdaulat melaksanakan
keinginan mereka melalui pemilihan-pemilihan kompetitif
sehingga dengan demikian membuat para anggota legislatif
bertanggung jawab kepada rakyat. Eksekutif bertanggung jawab
kepada badan legislatif dan melalui badan itu ia bertanggung
jawab kepada rakyat. Kemudian kebijakan dibuat melalui kerja
sama antara wakil-wakil rakyat dan eksekutif dalam bentuk
undang-undang yang dikelola oleh para pegawai pemerintah dan
pejabat-pejabat lokal.
Ada dua bentuk pemerintahan perwakilan utama yaitu
presidensil dan parlementer. Lembaga-lembaga menertibkan
kehidupan sosial dengan cara-cara politik. Dengan cara seperti
itulah lembaga-lembaga mempengaruhi sifat dan tujuan politik.
Jadi pemerintahan perwakilan merupakan prasyarat kelembagaan
bagi demokrasi. Landasan yang saling memperkuat pengertian
para penganut faham kelembagaan mengenai demokrasi perlu
diperhatikan. Dalam demokrasi melalui kedaulaan rakyat hak
menimbulkan suatu wewenang didukung oleh hukum. Hasilnya
adalah suatu sistem ketertiban yang menjadi landasan yang
memungkinkan dijalankannya kekuasaan serta ditetapkannnya
asas-asas kewajaran atau keadilan. Kedaulatan rakyat dibutuhkan
untuk jalannnya demokrasi tetapi kedaulatan rakyat
membutuhkan persetujuan dari yang diatur. Tanpa bagian dalam
ruang lingkup yang disediakan untuk kehidupan peribadi,
kedaulatan rakyat mengakibatkan suatu tirani mayoritas. Maka
pemerintahan harus dibatasi, sejauh mana batasnya merupakan
masalah konstitusional. Namun pemerintahan terbatas berarti
bahwa, agar efisiensi dalam ruang lingkup kekuasaannya, maka
pemerintah harus mampu bertndak. Tetapi kekuasan bertindak
perlu juga diawasi oleh kekuasan legislatif. Dengan demikian

156
tanggung jawab untuk pengaturan kekuasaan diserahkan kepada
badan legislatif maupun kepada publik. Mewujudkan tanggung
jawab publik membutuhkan pemungutan suara, yang agar efektif
harus diorganisir oleh partai-partai yang mempromosikan
persaingan damai. Partia-partai tidak dapat bersaing secara damai
tanpa sistem pemilihan yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Sistem pemilihan menjelaskan bahwa rakyat mempunyai alasan
untuk memberikan suara terhadap masalah- masalah yang
mereka ketahui. Publik membutuhkan jaminan adanya pers bebas
dan hak berkumpul dalam rangka mengkomunikasikan
pandangan-pandangan mereka yang bertentangan. Unsur-unsur
ini mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan, jika dipadukan
dengan tepat unsur-unsur utama analisa politik kelembagaan
akan memaksimalkan konsep kebebasan dan ketertiban. Dengan
demikian sistem demokrasi bekerja sesuai dengan struktur
lembaga.
Untuk singkatnya dapat dipahami melalui gambaran
berikut ini. Terdapat tiga gambar yang mencerminkan alur
pemikiran faham kelembagaan dengan faham demokrasi yang
dikutip dari David Apter dalam bukunya Pengantar Analisa
Politik (Introduction to Political Analysis), sebagai berikut:

157
Gambar 1 Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi

Kekuasaan

Ketertiban Keadilan

Wewenang Hukum

Haki Perwakilan

Kebebasan Persamaan

Demokrasi

Gambar 2 Jenis-jenis Pemerintahan Demokrastis

Konstitusi (Tertulis atau tidak tertulis)

Kesatuan Federal

Sistem Presidensil dan Parlementer

Akan tetapi lembaga tidak dengan sendirinya ada dan


tidak hidup dari dirinya sendiri; melainkan lembaga terdiri dari
orang-orang yang bertindak berdasarkan penafsiran mereka
sendiri terhadap kemampuan badan-badan pemerintahan untuk
berkuasa. Selain itu, orang tidak membatasi tindakan politik
mereka pada tindakan yang ditentukan oleh lembaga atau filsafat

158
sekalipun. Misalnya, lembaga-lembaga demokratis akan gagal
dalam masyarakat industrimodern bila keyakinan mengenai
tindakan politik yang rasional berdasarkan akal sehat yang wajar
diubah menjadi paranoia, kebencian, ketakutan massal oleh
“orang-orang dalam” dari “orang-orang luar”. Bagaimanapun
filsafat politik dan paham kelembagaan mempunyai kaitan satu
sama lain. Filsafat politik mendefinisikan kondisi-kondisi
demokrasi, sementara faham kelembagaan menyediakan alat-alat
pembantu yang memungkinkan demokrasi dapat dijalanlan.
Kondisi penting lainnya yang perlu diperhatikan di dalam
memahami faham kelembagaan adalah Cara mencapai
kebebasan dan ketertiban yang juga dapat merupakan masalah
utama bagi penganut paham kelembagaan. Terdapat dua cara
membentuk lembaga-lembaga yang tepat yaitu;
(1) dengan cara evolusi: Edmund Burke, merupakan ahli
yang mewakili cara evolusionis. Burke berpendapat
bahwa setiap bangsa mengembangkan kesadaran
sejarahnya sendiri dan menciptakan sendiri lembaga-
lembaga nasionalnya. Agar bermakna bagi rakyat, hal-
hal tersebut berakar di dalam bahasa, kelas, tata-krama,
gaya dan kegiatan- kegiatan komersial serta ekonomi
kelompok nasional. Penghargaan publik terhadap yang
berkuasa membutuhkan suatu pengertian mengenai
kelangsungan serta kebanggaan nasional yang diteruskan
oleh lembaga- lembaga pemerintah.
(2) dengan cara revolusi: Menurut Burke, Evolusi, lebih
disukai ketimbang revolusi, karena baginya revolusi akan
memberikan suatu perpecahan atau pemutusan hubungan
dengan masa lalu, tidak saja memberikan kesulitan-
kesulitan, kekurangan-kekurangan, dan bahkan
kekejaman-kekejaman yang dahsyat, akan tetapi juga

159
dapat meluluhkan harga diri bangsa. Karena revolusi
akan meninggalkan warisan kebencian, memerosotkan
wibawa dan melenyapkan kebanggaan rakyat terhadap
masa lampau.

C. KERANGKA KERJA KELEMBAGAAN


Lembaga-lembaga membutuhkan suatu kerangka kerja
yang terdiri dari prinsip-psinsip dari mana mereka memperoleh
kepercayaan. Kerangka kerja itu adalah sebuah konstitusi.
Sasaran konstitusi adalah menyediakan hukum dasar bagi suatu
pemerintahan. Hukum dasar ini menentukan kerangka kerja
organisasi dan filosofis, membagi tanggungjawab di antara
badan-badan publik, menunjukkan bagaimana seharusnya revisi
terhadap piagam dasar dilakukan dan bagaimana mengatur arus
bisnis pemerintahan, dari pembuatan keputusan hingga
pelaksanaan kebijakan. Di negara-negara demokrasi modern
seperti halnya di Amerika Serikat, konstitusi mutlak merupakan
kata terakhir dan merupakan perwujudan legitimasi. Melanggar
konstitusi dalam praktek atau dalam semangat berarti melampaui
batas-batas politik. Di negara-negara totaliter ataupun otoriter,
konstitusi paling-paling merupakan sebuah cetak biru (blue print)
untuk suatu kerangka kerja pemerintahan yang dipatuhi lebih di
atas kertas ketimbang dalam kenyataan, tergantung pada
bagaimana dan kapan ia sesuai dengan tujuan para penguasa
negara.
Ciri terpenting sebuah konstitusi adalah cara ia
mendistribusikan kekuasaan. Dalam konstitusi-konstitusi
Amerika dan Perancis, hal-hal ini disebutkan secara terperinci.
Sementara di Inggris tidak ada satupun piagam, tetapi ada
beberapa perangkat konstitusional seperti magna carta yang
menetapkan hak-hak serta prinsip-prinsip dasar. Tetapi apakah

160
menyangkut konstitusi tertulis atau tidak tertulis, dipatuhi
prinsip-prinsip serta praktek- prakteknya karena mengikat
merupakan prasyarat bagi kekuasaan hukum, karena konstitusi
merupakan perangkat hukum tetapi konstitusi berbeda dari
semua hukum yang lain. Konstitusi menetapkan kondisi-kondisi
bagi kekuasaan- kekuasaan untuk membuat undang-undang
maupun untuk menjalankannya. Fungsi-fungsi serta organisasi
pemerintah menyediakan mekanisme pembentukan hukum.
Konstitusi bertindak lebih dari sekedar menetapkan pambagian
wewenang antara badan-badan pemerintahan. Konstitusi
menunjukkan hubungan antara rakyat dan pemerintahan, antara
kebebasan atau otonomi mereka dan kondisi-kondisi pemerintah
atas nama mereka. Dalam pandangan institusional, konstitusi
mewakili kontrak sosial yang menentukan kondisi-kondisi dalam
mana kedaulatan rakyat diperluas hingga mencapai para wakil
mereka. Konstitusi semestinya melahirkan pemerintahan yang
akan membuat undang-undang untuk mewujudkan keinginan-
keinginan mayoritas.
Beberapa asas kerja dalam kerangka kerja faham
kelembagaan:
Asas kerja pertama; yang membuat kerangka kerja
berjalan dalam menghidupkan dan menghasilkan keputusan serta
undang-undang adalah persaingan. Masalahnya adalah harus
adanya mekanisme untuk mencegah persaingan agar tidak
menjurus pada kekacauan. Cara melakukan ini adalah melalui
pemilihan, dimana melalui proses pemilihan, persaingan
perorangan dipakai untuk menghasilkan manfaat kolektiff.
Dengan demikian doktrin persaingan menerjemahkan politik ke
dalam pemilihan, persaingan antara partai dan pengawasan serta
penyeimbangan yang diselenggarakan melalui pemisahan

161
kekuasaan badan-badan pemerintahan atau melalui pengawasan
kekuasaan eksekutif oleh parlemen.
Asas kerja kedua; sesuai dengan pemikiran Montesqiue
mengenai pengawasan dan penyeimbangan. Konstitusi mungkin
merupakan produk pemisahan kekuasaan antara badan-badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari pemerintahan, atau
mungkin merupakan akibat pengawasan parlemen terhadap
eksekutif. Ketiga badan pemerintahan tersebut adalah otonom
yang harus bekerjasama bila undang-undang dan kebijakan akan
dibuat. Persaingan antara ketiga badan itu memisahkan mereka,
karena masing-masing tidak suka terhadap setiap pelanggaran
yang dilakukan oleh badan-badan lain terhadap kekuasaannya.
karena terpisah, maka mereka sering mengawasai kekuasaan
masing-msing. Demikianlah persaingan yang dipadukan dengan
pemisahan kekuasaan di antara ketiga badan pemerintahan itu
dan sistem pemungutan suara di mana para calon pejabat
bersaing berdasarkan pada penampilan kerja dan janji-janji
mereka, mengakibatkan terbatasnya kekuasaan pemerintah.
Bagi tradisi konstitusionalisme (seperti halnya di Inggris)
yang mendasar adalah bahwa semua kumpulan tulisan hukum
merupakan kaidah hukum dalam hal mana parlemen merupakan
pembuat hukum tertinggi, dengan demikian tidak ada syarat bagi
amandemen. Jika undang-undang melanggar jiwa konstitusi
selaku suatu corpus, maka timbullah krisis konstitusi. Sementara
konstitusi federal hidup bila kekuasaan milik rakyat tetap
ditangan pemerintah dengan jelas dibagi antara pemerintahan
pusat dan provinsi atau antara pemerintahan nasional dan negara
bagian. Tidak hanya rakyat yang memiliki hak mandiri, negara-
negara bagian (atau divisi-divisi administratif lainnya) juga
memiliki hak mandiri. Dengan demikian pemerintah federal tidak
hanya diawasi oleh partai tetapi juga oleh negara bagian.

162
Selanjutnya negara-negara bagian mempunyai pemerintahan
yang menyerupai pemerintahan federal dengan sedikit
perbedaan. Kekuasaan rakyat secara simbolik diletakkan pada
satu tokoh tunggal seorang presiden, atau seorang raja. Tetapi
berbeda dengan tokoh-tokoh penguasa yang menjalankan
kekuasaan tertinggi terhadap suatu bangsa (seperti diktator atau
otoriter), dalam sistem parlementer kekuasaan eksekutif
sebenarnya tidak terletak pada kepala negara. Kerja sistem
federal dan kesatuan agak berbeda dalam hal perpaduan antara
asas persaingan serta asas pengawasan dan penyeimbangan.
Pengawasan dan penyeimbangan dalam pemerintahan
parlementer berintikan pengawasan parlemen terhadap eksekutif.
Eksekutif dapat membubarkan parlemen dan mengadakan
pemilihan-pemilihan umum baru. Sementara dalam sistem
federal dengan pemisahan kekuasaan, kerjasama pembuatan
kebijakan harus diperoleh dari badan-badan pemerintahan.
Negara-federal adalah negara dalam mana wewenang
dan kekuasaan dibagi di antara beberapa negara bagian. Negara
kesatuan adalah negara dalam mana wewenang dan kekuasaan
terpusat. Kedua sistem itu di bangun dengan badan-bdan
pemerintahan yang sama, tetapi cara kerja merea dalam setiap
kasus sangat berbeda. Permasalahan dalam konstitusi federal
adalah bahwa persetujuan untuk membuat kebijakan - kebijakan
sulit diperoleh, dibutuhkan tawar menawar, perjanjian, dan
kompromi atas hal-hal tertentu pada legislatif untuk memuaskan
berbagai kelompok. Dalam sistem kesatuan atau parlementer,
bila perdana menteri mempunyai mayoritas kuat dalam parlemen
dan mampu memelihara disiplin partainya, maka kabinet dapat
mengumpulkan kekuasaan besar, semata-mata melalui
kemampuannya memenangkan pemungutan suara dalam
parlemen. Akan tetapi senantiasa ada bahaya terjadinya

163
kediktatoran kabinet. Bila perdana menteri partai parlementer
yang berdisiplin, dan keefektifannya hanya bersandar pada
koalisi beberapa faksi maka ada bahaya kemacetan dan
ketidakstabilan yang akan terjadi. Pemerintah akan mudah
kehilangan kepercayaan pada parlemen dan terpaksa meletakkan
jabatan.

D. TIPE-TIPE SISTEM PEMERINTAHAN


Arend Lijphart dalam buku Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Presidensial. Dalam perkembangannya terdapat
Sistem Pemerintahan Campuran (kuasi/semu) Di negara-negara
demokrasi modern terdapat dua model utama system
pemerintahan dengan berbagai variasinya. Model tersebut adalah
system pemerintahan presidensial dan system pemerintahan
parlamenter. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kelemahannya, dan masing-masing tumbuh dan berkembang atas
dasar pemikiran, asumsi, dan sejarahnya. Sistem presidensial
(khususnya di Amerika Serikat), beranggapan bahwa pemisahan
kekuasaan badan-badan pemerintahan menjadi unsur pokok yang
dapat mencegah peluang untuk terjadinya tirani dan kediktatoran.
Teori tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu ini
kemudian menjadi doktrin yang mengilhami sistem pemerintahan
presidensial dalam konstitusi Amerika Serikat. Sementara itu,
sistem parlementer umumnya lebih mengutamakan hubungan
kelembagaan yang erat (partnership atau kemitraan dalam
konteks Inggris) antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan
cabang legislatif pemerintahan. Sistem semi-presidensial
merupakan kombinasi antara dua model klasik itu, tetapi dengan
variasi dan praktek yang berbeda-beda antara satu negara dengan
yang lain.

164
a) Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem
pemerintahan di mana tugas-tugas pemerintahan dipertanggung
jawabkan oleh kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada
Parlemen. Sistem pemerintahan parlementer di mana antara
ekskutif dan legeslatif terdapat hubungan erat dan saling
mempengaruhi. Kabinet bertanggung-jawab dan dibubarkan oleh
legislative.
Sistem Pemerintahan Parlementer Umumnya negara
berlatar belakang kerajaan menganut sistem pemerintahan
parlementer. Misalnya Inggris (dengan sebagian negara-negara
yang tergabung dalam Commonwealth-nya), Jepang, Thailand,
dan sebagainya. Karenanya ada yang mengaitkan kedekatan
sistem parlementer dengan negara- negara dengan negara-negara
kerajaan. Tetapi tidak semua negara dengan pemerintahan
parlementer kepala negaranya raja atau ratu. Ada negaranegara
republik yang sistem pemerintahannya parlementer seperti
Singapura, Italia, dan India. Presiden dalam system parlementer
kekuasaannya hanyalah simbolik. Tentunya banyak variasi dan
jenis system parlementer.
System pemerintahan parlementer cenderung labil (tidak
mantap), terutama bila dalam Negara itu diterapkan system
multipartai. Namun bila menganut dwipartai, di mana satu partai
pendukung pemerintah (mayoritas) yang berkuasa (posisi)
diimbangi dengan partai oposisi (minoritas), maka
kecenderungan kelabilan dapat dikurangi. Dengan system
pemerintahan parlementer dapat diterapkan teori trias politika,
baik melalui separation of powers (pemisahan kekuasaan)
maupun distribution of powers (pembagian kekuasaan). Contoh
Inggris, Malaysia, India.

165
Beberapa Ciri dalam Sistem Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem pemerintahan parlementer ini ada
pengawasan terhadap eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan
parlemen yang besar dimaksudkan untuk memberikan
kesejahteraan pada rakyat. Maka pengawasan atas jalannya
pemerintahan dilakukan wakil rakyat yang duduk dalam
parlemen. Dengan begitu dewan menteri (kabinet) bersama
perdana menteri (PM) bertanggung jawab kepada parlemen
(legislatif). Keadaan seperti ini dapat membuat lembaga
eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif melalui mosi
tidak percaya.
Sistem parlementer mempunyai kriteria adanya
hubungan antara legislatif dengan eksekutif, dimana satu dengan
yang lain dapat saling mempengaruhi. Pengertian mempengaruhi
di sini adalah bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
kekuasaan (Power Capacity) untuk menjatuhkan pihak lain dari
jabatannya. Alan R. Ball, menamakan sistem pemerintahan
parlementer ini dengan sebutan the parliamentary types of
government dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kepala negara hanya mempunyai kekuasaan nominal.
Hal ini berarti bahwa kepala negara hanya merupakan
lambang/simbol yang hanya mempunyai tugas-tugas
yang bersifat formal, sehingga pengaruh politiknya
terhadap kehidupan negara sangatlah kecil.
2) Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/ nyata
adalah perdana menteri bersama-sama kabinetnya yang
dibentuk melalui lembaga legislatif/ parlemen; dengan
demikian kabinet sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
riil harus bertanggung jawab kepada badan
legislatif/parlemen dan harus meletakkan jabatannya bila
parlemen tidak mendukungnya.

166
3) Badan legislatif dipilih untuk bermacam-macam periode
yang saat pemilihannya ditetapkan oleh kepala negara
atas saran dari perdana menteri.
Agak berlainan dengan C.F. Strong yang menamakan
sistem pemerintahan parlementer itu dengan istilah the
parliamentary executive yang ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Anggota kabinet adalah anggota parlemen; ciri ini
berlaku antara lain di Inggris dan Malaysia, sedang di
negara-negara lain ciri ini sudah mengalami modifikasi.
2) Anggota harus mempunyai pandangan politik yang sama
dengan parlemen; ciri ini antara lain berlaku di Inggris,
sedang negara-negara yang yang tidak menganut sistem
dua partai, hal itu sering dilakukan melalui kompromi di
antara partai-partai yang mendukung kabinet.
3) Adanya politik berencana untuk dapat mewujudkan
programnya; Ciri ini tampak universal.
4) Perdana menteri dan kabinetnya harus bertanggung
jawab kepada badan legislatif/parlemen.
5) Para menteri mempunyai kedudukan di bawah perdana
menteri; Hal ini tidak terlepas dari sistem kepartaian di
Inggris dimana ketua partai politik yang telah
memenangkan pemilihan umum akan ditunjuk menjadi
perdana menteri yang mempunyai tanggung jawab lebih
besar daripada anggota kabinet yang lainnya.
Dari apa yang telah dikemukakakan baik oleh Alan R.
Ball maupun oleh C.F. Strong di atas tentang ciri-ciri sistem
parlementer belum terlihat adanya satu ciri yang sangat penting
yaitu adanya kewenangan bagi kepala negara untuk
membubarkan parlemen. Dikatakan ciri ini penting justru karena
ia dapat dijadikan sarana untuk menekan sekecil mungkin

167
kelemahan sistem pemerintahan parlementer yaitu
ketidakstabilan pemerintahan. Bahkan tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa kewenangan kepala negara (unsur eksekutif)
untuk membubarkan parlemen, adalah dalam rangka menjaga
titik keseimbangan (balance of power) antara eksekutif dengan
legislatif. Sebab, secara psikologis parlemen akan lebih berhati-
hati menjatuhkan kabinet sehingga parlemen tidak mengumbar
kewenangannya untuk menjatuhkan mosi tidak percaya kepada
kabinet, karena pada gilirannya parlemen akan dapat dijatuhkan
juga oleh eksekutif (kepala negara). Berhubung dengan hal itu,
maka akan dikemukakan pendapat dari Mr. Achmad Sanusi
tentang ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer yaitu :
1) Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.
2) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri
bertanggung jawab kepada parlemen.
3) Susunan personalia dan program kabinet didasarkan atas
suara terbanyak di parlemen.
4) Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan tetap atau
pasti berapa lamanya.
5) Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh
parlemen, sebaliknya parlemen dapat dijatuhkan oleh
pemerintah.

168
RAJA

Eksekutif (PM) Legislatif

Dewan Menteri
Kabinet

Sumber: dimodifikasi dari sistem pemerintahan Kerajaan Inggris

1. Sejarah Singkat Lahirnya Sistem Pemerintahan


Parlementer
Tercatat dalam sejarah bahwa tanah inggris adalah
tempat kelahiran sistem pemerintahan parlementer.
Sistem itu lahir bukan berdasarkan konsep pemikiran
seseorang tokoh negarawan dan bukan juga karena
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal UUD Inggris,
karena Inggris, memang tidak mempunyai undang-
undang dasar yang tertuang dalam satu naskah
(Documentary Constitution), seperti apa yang dikatakan
oleh C.F. Strong, sebagai pengganti di Inggris melalui
suatu perjalanan sejarah ketatanegaraan Inggris yang
cukup panjang. Mula-mula raja Inggris dibantu oleh
Great Council atau disebut juga Privy Council yang
terdiri atas unsur alim ulama, para bangsawan dan
pejabat tinggi lainnya. Council bersidang 3 atau 4 kali
setahun bila dipanggil oleh raja untuk memberikan
nasihatnya dalam menentukan politik pemerintahan,

169
penyelenggaraan pemerintahan, peradilan, pembuatan
hukum, pengumpulan uang dan sebagainya. Untuk
penyelenggaraan tugas sehari-hari Great Council
membentuk badan kecil yang disebut King’s Court.
Dalam perkembangan selanjutnya Great Council
berubah menjadi Parliament yang terdiri atas dua kamar
yaitu House of Lord dan House of Common, sedangkan
King’s Court berubah menjadi Badan Peradilan dan
Dewan Menteri (Cabinet).
Kedudukan kabinet semakin kuat sejak
dikeluarkannya Reform Act 1832 di mana mulai saat itu
menurut penuturan R.K. Mosley, Cabinet mempunyai
hubungan yang erat dengan parlemen karena pemikiran
kabinet sebenarnya adalah pemikiran partai mayoritas
dalam parlemen. Pertumbuhan sistem parlementer
berikutnya dapat dilihat melalui beberapa konvensi
ketatanegaraan di mana konvensi yang demikian
merupakan bagian yang tak tertulis dari konstitusi
Inggris.
2. Sistem Pemerintahan Parlementer Inggris
Menurut A.V. Dicey, konstitusi Inggris terdiri atas
dua bagian yang besar, yaitu: bagian konstitusi tertulis
(The law of the constitution) yang meliputi empat
subbagian yang utama, yaitu :
(1) Historic Document seperti Magna Charta (The
great Charter) 1215, The Petition of Right 1628,
dan Bill of Rights 1689.
(2) Parlementary Statues yaitu undang-undang yang
dibuat parlemen yang sifatnya memperluas dan
membatasi kekuasaan raja, menjamin hak-hak sipil,
mengatur pemungutan suara, membentuk

170
pemerintahan- pemerintahan lokal, mendirikan
peradilan-peradilan dan membina aparatur
administratif. Contohnya: The Habeas Corpus Act
1679, The Act of Settlement 1701, The Municipal
Corporation Act 1835, The Judicature Act 1873,
The Parliament Acts 1911 dan 1949, The Status of
West Minister 1931, The Minister of The Crown Act
1937.
(3) Subbagian ini berupa keputusan-keputusan
pengadilan yang berisikan batasan-batasan dan
penafsiran terhadap undang-undang dan traktat.
(4) Sub bagian yang keempat dari konstitusi tertulis
berupa Principles and Rules of Common Law.
Prinsip-prinsip dan aturan hukum kebiasaan ini
meskipun tidak diundangkan oleh parlemen namun
dikuatkan oleh pengadilan dalam keputusan-
keputusan tertentu. Prinsip-prinsip tersebut misalnya
prerogatif raja untuk mengangkat pejabat tinggi sipil
dan militer serta gereja, memberikan pangkat dan
tanda-tanda kehormatan serta menganugerahkan
pangkat Lord kepada seseorang, membubarkan
parlemen, dan bertindak sebagai kepala
persemakmuran. Selain itu juga prinsip-prinsip
mengenai terikatnya peradilan oleh undang-undang
yang dibuat parlemen, sistem peradilan juri,
kebebasan berbicara dan berkumpul merupakan
prinsip-prinsip Common Law.
Bagian yang lain dari konstitusi Inggris yaitu bagian
yang tidak tertulis yang lazim disebut The Convention of The
Constitution. Justru bagian yang tidak tertulis ini mempunyai

171
kaitan erat dengan sistem pemerintahan karena hampir
keseluruhan dari konvensi-konvensi konstitusi itu setelah melalui
proses perjalanan sejarah yang panjang menjadi aturan-aturan
dasar yang tidak tertulis dalam mengatur hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Aturan dasar yang tidak tertulis itu
antara lain berupa:
(1) Parlemen bersidang sekurang-kurangnya sekali setahun.
(2) Raja tak menghadiri sidang-sidang kabinet.
(3) Raja akan selalu menerima nasihat menteri-menteri.
(4) Raja selalu menandatangani rancangan undang-undang
yang telah disetujui oleh parlemen.
(5) Menteri-menteri bertanggung jawab kepada Majelis
Rendah.
(6) Kabinet akan jatuh bila tidak mendapat kepercayaan
Majelis Rendah lagi.
Secara garis besar mekanisme sistem pemerintahan
parlementer Inggris dapat dilihat dalam bagan berikut ini.

172
Create Peers (On Advice of Ministers)

Parliament
Disolve
Monarch House of Lord
(hereditary) House of (hereditary
(On advice of
Prime Minister)
Common and
oppoint tive)

Member

Prime
Minister
and
Force Resignation
Cabinet
Elect

Call
Voter
Election

Relation of Executive and Legislative


Branches Cabinet System-Great Britain

Bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pihak


eksekutif Inggris terdiri atas Mahkota (Monarch) dan Kabinet.
Raja atau ratu diangkat berdasarkan keturunan (hereditary).
Kabinet terdiri atas sejumlah menteri-menteri yang merangkap
sebagai anggota parlemen dan dikepalai oleh seorang perdana
menteri. Sedangkan perdana menteri berasal dari ketua partai
yang memenangkan pemilihan umum. Kabinet tidak sama
dengan dewan menteri.

173
Pihak legislatif terdiri atas Majelis Tinggi (The House of
Lord) dan Majelis Rendah (The House of Common). Majelis
Tinggi diangkat berdasarkan keturunan oleh Mahkota (create
peers) yang dapat berupa golongan bangsawan dan golongan
pemuka agama. Majelis rendah anggota-anggotanya dipilih oleh
rakyat dalam suatu pemilihan umum. Kekuasaan Majelis Rendah
lebih dominan dari kekuasaan Majelis Tinggi karena Majelis
Rendah dapat menjatuhkan kabinet (Force Resignation). Hal ini
bisa terjadi tentunya jika dalam tubuh partai yang sedang
berkuasa timbul perpecahan sehingga dukungan kepada kabinet
tidak kompak lagi. Mahkota (Monarch) atas usul perdana
menteri dapat membubarkan Majelis Rendah (disolve House of
Common on Advice of Prime Minister). Usul pembubaran
parlemen itu diajukan oleh perdana menteri apabila perdana
menteri menganggap parlemen tidak mencerminkan kehendak
rakyat lagi atau apabila terjadi perbedaan visi antara kabinet
dengan parlemen mengenai uatu kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah. Adanya kekuasaan Mahkota untuk membubarkan
parlemen merupakan kunci keseimbangan kekuasaan antara
kabinet dan parlemen.
Apabila Mahkota membubarkan parlemen maka segera
setelah perintah pembubaran itu, diperintahkan pula untuk
mengadakan pemilihan umum (call election) guna memilih
anggota parlemen. Jika partai oposisi yang menang dalam
pemilihan umum tersebut, maka kabinet harus mengundurkan
diri dan mengembalikan mandat itu kepada partai oposisi sebagai
pemenang pemilu untuk membentuk kabinet.

b) Sistem Pemerintahan Presidensiil


Sistem pemerintahan presidensial yaitu sistem
pemerintahan dimana tugas-tugas pemerintahan

174
dipertanggungjawabkan oleh presiden (kepala pemerintahan).
Dalam sistem pemerintahan pesidensial, pelaksanaan
pemerintahan diserahkan kepada presiden, sedangkan kekuasaan
kehakiman atau pengadilan menjadi tanggung jawab supreme
court (Mahkamah Agung). Kekuasaan untuk membuat undang-
undang berada pada parlemen (DPR) atau kongres (senat dan
parlemen Amerika).
Dalam praktek system pemerintahan presidensial ada
yang mengembangkan ajaran trias politica Montesquieu secara
murni dengan separation of powers, seperti Amerika yang
dikenal praktek-prektek chek and balance. Praktek-praktek
demikian bertujuan agar di antara ketiga kekuasaan tersebut
selalu terdapat keseimbangan dalam keadaan teretentu.
Sistem presidensial pun bisa ditemukan dalam bentuk
yang bervariasi di sejumlah negara. Misalnya saja antara sistem
pemerintahan presidensial gaya Amerika Serikat berbeda dengan
system presidensial gaya Indonesia atau negara- negara lain.
Sistem pemerintahan model Amerika ñ secara teoritis ñ
merupakan model pemerintahan presidensial yang murni.
Konstitusi RI jelas telah menetapkan sistem
pemerintahan presidensial. Pemerintahan presidensial
mengandalkan pada individualitas yang mengarah pada
citizenship. Sistem pemerintahan presidensial bertahan pada
citizenship yang bisa menghadapi kesewenang-wenangan
kekuasaan dan juga kemampuan DPR untuk memerankan diri
memformulasikan aturan main dan memastikan janji presiden
berjalan.
Pemerintahan presidensial memang membutuhkan
dukungan riil dari rakyat yang akan menyerahkan mandatnya
kepada capres. Namun, rakyat tak bisa menyerahkan begitu saja
mandatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan capres. Artinya,

175
rakyat menuntut adanya ide pembangunan, bukan semata-mata
identitas dari capres. Rakyat tak cukup disuguhi jargon abstrak
soal NKRI, ideologi Pancasila, ekonomi kerakyatan, ekonomi
kebangsaan, atau perlunya penghapusan dikotomi Islam santri
dan Islam abangan yang hanya menunjukkan politik identitas.
Perlu ada transformasi dari perjuangan identitas menjadi
perjuangan ide.
Pemerintahan presidensial Indonesia pasca-Pemilu 2004
juga menghadapi tantangan lain. Tantangan yang dimaksud
adalah memastikan adanya pemerintahan yang efektif, yang tidak
selalu dirongrong oleh parlemen. Dalam parlemen yang
terfragmentasi dan majemuknya representasi identitas, maka
pemerintahan presidensial akan menghadapi tantangan. Deedlock
eksekutif-legislatif sebagaimana diidentifikasi Lijphart
membayang. Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan
untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan,
membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan
pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR
karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak akan mudah
melakukan impeachment lagi karena ada lembaga pengadil yakni
Mahkamah Konstitusi.
Meskipun peranannya telah mengecil, DPR dengan
kekuatan politik yang menyebar berpotensi untuk terus
mengganggu dan mengganggu eksekutif. Dengan perilaku politik
yang tak banyak berubah, DPR masih punya peluang untuk
mengganjal kebijakan presiden dalam menentukan alokasi
budget, DPR masih bisa bermanuver untuk membentuk pansus
atau panja, DPR bisa mengajukan undang-undang yang mungkin
tak sejalan dengan kebijakan presiden. Di sinilah deadlock bisa
terjadi. Melihat real politik yang ada, koalisi memang diperlukan.
Namun, agar tak mengganggu sistem presidensial yang dianut

176
dan adanya pemerintahan yang efektif, koalisi dibangun dengan
tetap mengacu pada prinsip sistem presidensial. Presiden berhak
menunjuk anggota kabinetnya untuk merealisasikan ide dan
program pembangunan yang dimilikinya, jika memang ada.
Kehendak mitra koalisi untuk meminta portofolio menteri dan
memaksakan ide atau program sebenarnya menyimpang dari
prinsip sistem presidensial.
Melihat realitas politik yang ada, baik dari sisi
konstitusional maupun munculnya capres-capres yang tak
mempunyai dukungan mayoritas, banyak orang meragukan akan
hadirnya pemerintah yang efektif. Pemerintah yang mampu
memberikan arah dan merealisasikan program yang mampu
membawa Indonesia keluar dari krisis. Banyak orang yang
khawatir, yang muncul justru adalah pemerintahan yang tidak
efektif, namun juga sulit untuk dijatuhkan. Kedepan, sistem
pemerintahan presidensial mempunyai pekerjaan rumahnya
sendiri, yakni bagaimana mendorong parlemen yang akan
didominasi muka-muka baru untuk lebih memikirkan substansi
kebijakan. Perpolitikan ke depan harus didorong ke arah adanya
kontestasi ide, lebih dari sekadar kontestasi identitas. Perlu ada
perjuangan untuk mentransformasikan dari perjuangan identitas
menjadi perjuangan ide. Dengan itu, kelembagaan politik lebih
mudah dikelola dan lembaga-lembaga di luar mesin politik resmi
ikut memegang peranan signifikan. (budiman tanuredjo)
Beberapa Ciri dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil
Jika Inggris merupakan tanah kelahiran Sistem
Pemerintahan Parlementer, maka Amerika Serikat adalah
merupakan tanah kelahiran sistem pemerintahan presidensiil.
Alan R. Ball menamakan sistem pemerintahan presidensiil itu
sebagai the presidential type of government. Sedangkan C.F.

177
Strong memberi nama the non parliamentary atau the fixed
executive. Sementara itu R. Kranenburg dalam bukunya
Political Theory menggunakan istilah “pemerintahan perwakilan
rakyat dengan pemisahan kekuasaan”. Jadi setidak- tidaknya ada
tiga istilah yang digunakan untuk menyebut sistem pemerintah
presidensiil yaitu :
1) Presidential type of government (pemerintahan dengan
tipe presidensiil).
2) Non parliamentary (non parlementer) atau fixed
executive (jabatan eksekutif yang pasti).
3) Separation of power (sistem pemisahan kekuasaan).
Adapun ciri-ciri dari sistem pemerintah presidensiil
Amerika serikat adalah :
1) The president is both nominal and political head of state
(presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala
pemerintahan).
2) The president is elected not by legilative, but directly by
the total electorate (the electoral collage in the united
states i a for mality, and is likely to disappear in the near
future) (Presiden tidak dipilih oleh badan perwakilan
tetapi oleh dewan pemilih dan belakangan peranan
dewan pemilih tidak tampak lagi).
3) The president is not part of the legislative (Presiden
bukan merupakan bagian dari lembaga legislatif).
4) The president cannot removed from office by the
legislative except through rare legal impeachments
(Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legilatif,
kecuali melalui dakwaan yang biasanya jarang terjadi).
5) The president cannot dissolve the legislative and call a
general election (Presiden tidak dapat membubarkan

178
badan legislatif untuk kemudian memerintahkan
pemilihan umum).
6) Usually the president and the legislative are elected for
fixed terms (Biasanya, presiden dan lembaga legislatif
dipilih untuk suatu jangka waktu jabatan yang pasti).
Keseluruhan dari ciri-ciri tersebut di atas berlaku pada
sistem pemerintahan Amerika Serikat. Timbul permasalahan
yaitu: berhubung sistem Amerika Serikat dianggap sebagai
contoh model sistem pemerintahan presidensiil yang baku, maka
untuk dapat dikatakan negara-negara lain menganut sistem
pemerintahan presidensiil, apakah keseluruhan ciri-ciri di atas
harus terpenuhi?. Demikian sebaliknya, jika salah satu saja atau
beberapa dari ciri yang tidak esensial terpenuhi tidaklah berarti
negara itu telah menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil.
Contohnya pada saat berlakunya Konstitusi RIS 1949 di
Indonesia tidak ada ketentuan yang menyatakan presiden tidak
dapat membubarkan badan legislatif (the president cannot
dissolve the legislative), dan pada dasarnya presiden dan badan
legislatif (DPR dan Senat) dipilih untuk suatu jangka waktu
jabatn yang pasti (the president and the legislative elected for
fixed terms). Sesungguhnya dua dari ciri yang tidak esensial telah
terpenuhi dalam KRIS 1949, namun tidaklah dapat dikatakan
KRIS 1949 menganut sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang
kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala
pemerintahan yang mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh
karena itu, agar tidak menjurus kepada diktatorisme maka
diperlukan check and balance, antara lembaga tinggi negara,
inilah yang di sebut checking power with power. Adapun
menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden karena

179
presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan.
Untuk mengatasi kekakuan pemerintahan, maka lembaga
legislatif (parlemen) benar-benar diberi hak protes seperti hak
untuk menolak atau menerima rancangan undang-undang,
menolak atau menerima baik perjanjian maupun pernyataan
perang terhadap negara lain. S.L Witman dan J.J Wuest
mengemukakan empat ciri dan syarat sistem pemerintahan
presidensiil, yaitu:
1. it is based upon the separation of power principle
2. the executive has no power to dissolvethe legislature nor
must he resign when he loses the support of the majority
of its membership
3. there is no mutual responsibility between the president
and his cabinet, the latter is wholly responsible to the
chief executive
4. the executive is chosen by the electorate
Sejarah Singkat Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sejarah singkat lahirnya Sistem Pemerintahan
Presidensiil Amerika Serikat adalah identik dengan sejarah
singkat pembentukan konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Hal
ini disebabkan sistem pemerintahan Amerika Serikat itu dalam
Rticle 1 dan Article 11 yang masing-masing mengatur tentang
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Konstitusi
Amerika Serikat pembentukannya memakan waktu kurang lebih
empat bulan dari bulan Mei sampai September 1787. Tujuan dari
pembentukan konstitusi Amerika Serikat itu adalah untuk
memberikan landasan konstitusional terhadap keinginan 13
negara merdeka bebas koloni Inggris untuk membentuk suatu
negara federal. Bentuk federal dianggap tetap dapat
mempertahankan rasa senasib dan sepenanggungan dari 13

180
negara merdeka yang terdiri atas negara besar dan kecil. Bentuk
federal itu sendiri dianggap dapt mengkombinasikan
kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda antara negara besar
dan kecil sehingga mereka tetap merasa dalam satu kesatuan.
Salah seorang konseptor dari bentuk federal yang
tergolong brilian pada masa itu adalah James Madison. Dalam
mewujudkan gagasan-gagasannya ia mendapat tantangan dari
kaum lokalis yang menginginkan kemandirian bagi masing-
masing negara bekas jajahan Inggris itu. Ada beberapa alasan
yang dikemukakan oleh kaum lokalis mengapa mereka tidak
menyetujui bentuk federal antara lain:
1. Dengan bentuk federal berarti ada penurunan status
terhadap terhadap Negara yang telah merdeka, karena
nantinya Negara tersebut hanya kana berupa Negara
bagian belaka.
2. Suatu pemerintah pusat federal yang jauh letaknya baik
fisik maupun osikologis tentu akan kurang
kemampuannya untuk memahami dan menangani
persoalan-persoalan di berbagai wilayahnta yang sangat
luas. Berbeda dengan pemerintahan setempat yang dekat,
selain akan lebih efisien dan lebih cepat menangani
persoalan-persoalan yang timbul, juga akan lebih mudah
diminta pertanggungjawabannya. Suatu republik yang
luas wilayahnya cepat atau lambat akan berakhir
eksistensinya. Ia akan menjadi monarki yang despotic
sehingga menyebarkan anarki.
3. Alasan cultural, perbedaan system sosial dan ekonomi
juga merupakan faktor-faktor yang menghambat dan
tidak menguntungkan bagi pembentukan negara federal.

181
Argumentasi-argumentasi kaum lokalis itu sudah
diketahui oleh James Madison sebelum ia bersama anggota
delegasi lainnya menghadiri sidang pembukaan penyusunan
konstitusi di State Hall di Kota Philadelphia 25 Mei 1787.
Madison sendiri menginginkan tegaknya suatu pemerintah
nasional yang kuat tapi atas dasar kedaulatan rakyat yang luas.
Tiga minggu sebelum pembukaan itu ia telah ada di Philadelphia
dengan berbekal buku-buku dan catatan-catatan, antara lain
catatan mengenai konfederasi-konfederasi dari zaman kuno
sampai zaman modern, seperti konfederasi-konfederasi pada
zaman Yunani kuno (Lycia, Amphictoni, Achac), Pemerintah
Kerajaan Romawi Suci, konfederasi-konfederasi Swiss dan
Pemerintahan Belanda selama berserikatnya propinsi-propinsi.

c) Sistem Pemerintahan Campuran


Sistem ini telah menyita perhatian para ahli untuk
melakukan kajian. Beberapa ahli menyebut sistem ini sebagai
campuran antara dua sistem (presidensial dan parlementer) di
atas. Pendapat lain menyebutnya sistem yang berada di antara
presidensial dan parlementer sebagai sistem presidensial. Ada
pula yang menyebutnya kepemimpinan rangkapî (karena ya ng
memimpin presiden dan perdana menteri). Negara-negara yang
menjalankan system semi-presidensial misalnya adalah Prancis,
Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia dan Portugal,
Srilanka melalui konstitusi 1978 dan sistem yang berlaku dulu di
Jerman tahun 1919 di bawah Republik Weimar. Para
pendukungnya menyebut sebagai sistem yang mengambil
keuntungan dari sistem presidensial.
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare
disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut
Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua

182
konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat
ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri
konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia
adalah sistem campuran.
Beberapa Ciri dalam Sistem Pemerintahan Campuran
Istilah sistem “pemerintahan campuran”, kata
“campuran” diartikan campuran antara ciri sistem pemerintahan
presidensiil dengan parlementer. Dalam sistem ini diusahakan
hal-hal yang terbaik dari kedua sistem pemerintahan tersebut.
Dalam sistem pemerintahan ini, selain memiliki Presiden sebagai
Kepala Negara, juga memiliki Perdana Menteri sebagai kepala
Pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggungjawab
kepada parlemen. Bila presiden tidak diberi posisi dominan
dalam sistem pemerintahan ini, presiden tidak lebih dari sekedar
lambang dalam pemerintahan. Akan tetapi presiden tidak bisa
dijatuhkan oleh parlemen, bahkan presiden dapat membubarkan
parlemen.

Presiden (Kepala negara)

Parlemen

Perdana Menteri (Kepala


Pemerintah)

Menteri-Menteri

183
Keuntungan dengan penggunaan istilah sistem
pemerintahan campuran yaitu dapat menimbulkan kesan bahwa
jenis sistem pemerintahan terakhir ini masih mempunyai
hubungan yang erat dengan sistem pertama (parlementer) dan
sistem kedua (presidensiil) yang kesemuanya itu berada dalam
kerangka system politik demokrasi liberal atau demokrasi
modern. Berhubung sistem pemerintahan campuran ini sangat
khas maka perlu ditentukan ciri-ciri utamanya, yaitu :
1. Menteri-menteri dipilih oleh parlemen.
2. Lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan dengan pasti
dalam konstitusi.
3. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik kepada
parlemen maupun kepada presiden.
Ciri yang pertama adalah merupakan ciri pokok dari
sistem parlementer, sedangkan ciri yang kedua adalah merupakan
ciri pokok dari sistem pemerintahan presidensiil. Ciri yang ketiga
adalah ciri yang tidak terdapat baik dalam sistem pemerintahan
parlementer maupun dalam sistem pemerintahan presidensiil.
Justru ciri ketiga ini adalah merupakan konsekuensi dari
dianutnya ciri pertama dan kedua secara bersama-sama. Contoh
yang lazim disebut-sebut mewakili sistem campuran ini adalah
Negara Swiss.
a. Ciri secara Umum
Presidensial Parlementer
- Kedudukan presiden selain - Kabinet yang dipilih oleh perdana
sebagai kepala negara juga menteri dibentuk atau
sebagai kepala berdasarkan atas kekuatan-
pemerintahan; kekuatan politik yang menguasai
- Presiden dipilih langsung parlemen;
oleh rakyat atau sebuah - Anggota kabinet seluruhnya atau
badan pemilih; sebagian adalah anggota
- Presiden tidak termasuk parlemen; l Perdana menteri

184
Presidensial Parlementer
pemegang kekuasaan bersama cabinet
legislatif; bertanggungjawab kepada
- Presiden tidak dapat parlemen;
membubarkan pemegang - Kepala negara (raja/ratu atau
kekuasaan legislatif dan presiden) dengan saran perdana
tidak dapat memerintahkan menteri dapat membubarkan
diadakannya pemilu. parlemen dan memerintahkan
diadakannya pemilihan umum.

b. Ciri menurut Strong


Presidensial Parlementer
- Presiden memiliki - Kabinet dipimpin oleh seorang
kekuasaan nominal sebagai Perdana Menteri yang dibentuk
kepala negara, tetapi berdasarkan kekuatan yang
juga memiliki kedudukan menguasai parlemen
sebagai Kepala - Anggota kabinet sebagian atau
Pemerintahan seluruhnya dari anggota
- Presiden dipilih langsung parlemen
oleh rakyat atau dewan - Presiden dengan saran atau
pemilih nasihat Perdana menteri dapat
- Presiden tidak termasuk membubarkan parlemen dan
pemegang kekuasaan memerintahkan diadakan
legislatif dan tidak pemilihan umum.
dapat memerintahkan
pemilihan umum

c. Ciri secara rinci


Presidensial Parlementer
- Presiden sebagai kepala - Raja (presiden) sebagai kepala
negara dan kepala negara
pemerintahan - Raja (presiden) sebagai symbol
- Presiden tidak dapat kedaulatan dan keutuhan negara.
membubarkan cabinet - Kepala negara tidak mempunyai
- Presiden kekuasaan pemerintahan.

185
Presidensial Parlementer
bertanggungjawab - Raja (presiden) dapat membubarka
jalannya pemerintahan parlemen.
- Menteri bertanggungjawab - Menteri bertanggung jawab
kepada presiden jalannya pemerintahan.
- Menteri diangkat dan - Menteri bertanggung jawab kepada
diberhentikan presiden parlemen.Menteri diangkat dan
- Masa jabatan menteri diberhentikan oleh Parlemen.
dapat ditentukan, yaitu - Masa jabatan cabinet tidak dapat
bersamaan presiden ditentukan , karena tergantung
Seluruh menteri dukungan parlemen.
merupakan pilihan Seluruh atau sebagian menteri
presiden (hak prerogative) merupakan anggota parpol yang
- Kekuasaan parlemen ada di parlemen.
sejajar dengan pemerintah - Kekuasaan parlemen lebih kuat
daripada pemerintah (PM /Dewan
Menteri)

d. Ciri menurut Budiyanto


Presidensial Parlementer
- Dikepalai oleh seorang - Kekuasaan legeslatif (DPR) lebih
presiden selaku pemegang kuat daripada kekuasaan ekskutif
kekuasaan ekskutif (kepala (pemerintah= perdana menteri)
pemerintahan sekaligus - Menteri-menteri (cabinet) harus
kepala Negara) mempertanggungjawabkan semua
- Kekuasaan ekskutif tindakannya kepada DPR.
presiden dijalankan Artinya, cabinet harus mendapat
berdasarkan kedaulatan kepercayaan (mosi) dari
rakyat yang dipilih dari dan parlemen.
oleh rakyat melalui badan - Program-program cabinet harus
perwakilan disesuaikan dengan sebagian
- Presiden mempunyai hak besar anggota parlemen. Bila
prerogative untuk cabinet melakukan
mengangkat dan penyimpangan terhadap program-
memberhentikan para program kebijaksanaan yang
pembantunya (menteri), dibuat maka anggota parlemen
baik yang memimpin dapat menjatuhkan cabinet
departemen maupun tidak. dengan memberi mosi tidak

186
Presidensial Parlementer
- Menteri-menteri hanya percaya kepada pemerintah.
bertanggung jawab kepada - Kedudukan kepala Negara (raja,
presiden dan bukan kepada ratu, pangeran, kaisar) hanya
DPR. sebagai lambing,symbol yang
- Presiden tidak bertanggung tidak dapat diganggu gugat.
jawab kepada DPR, maka
presiden tidak dapat saling
menjatuhkan dengan DPR.

Kelebihan dan Kekuarangan masing-masing sistem


pemerintahan
Arend Lijphart dalam buku Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Presidensial menyebutkan sistem parlementer
dan presidensial mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan presidensial akan menjadi kelemahan parlementer dan
sebaliknya.
a. Arend Lijphart
Kelebihan/
Presidensial Parlementer
kekuarangan
Kelebihan Dalam stabilitas Hubungan baik ekskutif
pemerintahan dengan legeslatif dlm
demokrasi yang lebih besar waktu tertentu
pemerintahan yang lebih Pemrintah lebih meluas
terbatas

kekurangan Kemandekan (deadlock) Cenderung tidak stabil


eksekutif-legislatif Dominasi partai
kekakuan temporal Pemerintah tidak
pemerintahan yang lebih terbatas
eksklusif

187
b. Menurut R.Winanto
Kelebihan/
Presidensial Parlementer
kekuarangan
Kelebihan - Ekskutif lebih stabil - Pembuatan kebijakan
kedudukannya dapat ditangani secara
- Penyususnan program cepat, karena mudah
cabinet lebih mudah terjadi penyesuaian
disesuaikan dengan pendapat antara ekkutif
masa jabatan dengan legeslatif
- Legislatif bukan - Kekuasaan ekskutif
tempat kaderisasi dan legeslatif berada
untuk jabatan dalam satu partai
ekskutif, karena dapat (koalisi)
diisi oleh orang luar - Garis tanggungjawab
dalam pelaksanaan
publik jelas
- Pengawasan yang kuat
dari parlemen terhadap
cabinet
- Kedudukan ekskutif
(cabinet) sangat
tergantung pada
mayoritas dukungan
parlemen, sehingga
sewaktu-waktu cabinet
dapat dijatuhkan
parlemen
Kekurangan - Kekuasaan ekskutif di - Kedudukan ekskutif
luar pengawasan (cabinet) sangat
langsung legislatif, tergantung pada
sehingga dapat mayoritas dukungan
menciptakan parlemen, sehingga
kekuasaan mutlak sewaktu-waktu cabinet
- Sistem dapat dijatuhkan
pertanggungjawaban parlemen
kurang jelas - Kelangsungan
- Pembuatan kedudukan ekskutif
keputusan/kebija-kan tidak dapat

188
Kelebihan/
Presidensial Parlementer
kekuarangan
publikumumnya hasil ditentukan,karena
tawar menawar sewaktu-waktu dapat
ekskutif dan legeslatif dibubarkan
sehingga dapat terjadi - Kebinet dapat
keputusan tidak tegas mengendalikan
dan memakan waktu parlemen, apabila para
lama anggota cabinet
merupakan anggota
parlemen dari partai
mayoritas

E. RANGKUMAN
Sistem politik ialah kumpulan pendapat-pendapat,
prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan
yang berhubung-hubungan satu sama lain untuk mengatur
pemerintahan secara melaksanakan dan mempertahankan
kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau
kelompok individu satu sama lain dengan negara dan hubungan
negara dengan negara.
Sistem pemerintahan ialah suatu sistem yang
membicarakan bagaimana hubungan lembaga negara dari suatu
pemerintahan. Secara umum alat perlengkapan lembaga negara
meliputi: (1) lembaga legislatif, (2) eksekutif, (3) yudikatif dan
(4) lembaga lain yang merupakan alat perlengkapan negara
seperti BPK, KPU, Komisi Yudisial, dsb.
Dengan demikian disimpulkan bahwa sistem
pemerintahan terkait dengan sistem politik, mengingat sistem
politik terkait dengan (1) sistem pemerintahan dan (2) sistem
kekuasaan. yang mengatur hubungan antara individu-individu
atau kelompok individu yang satu dengan lainnya dan dengan
negara serta hubungan negara dengan negara.

189
F. LATIHAN
Tes Formatif 1
Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang benar dengan cara
melingkari huruf a, b, c, atau d di depan jawaban tersebut!
PERTANYAAN PILIHAN GANDA
(1) Salah satu kelemahan atau keburukan yang menonjol
dari sistem pemerintahan parlementer adalah.....
a. Sering terjadi krisis cabinet
b. Program pemerintahan cebderung terhambat
c. Kabinet dapat dijatuhkan kapan saja
d. Pemerintahan cenderung stabil
e. Berpengaruhnya pengawasan DPR
Jawaban : C
(2) Kelebihan dari sistem pemerintahan presidensial yang
terdapat di Indonesia adalah....
a. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang
berpengaruh, sehingga ada kecenderungan eksekutif
lebih dominan bahkan dapat mengarah otoriter
b. Jalannya pemerintahan cenderung lebih stabil
karena program-program relatif lancar dan tidak
terjadi krisis kabinet
c. Pemerintahan dapat berlangsung dengan baik bila
mendapat dukungan wakil rakyat (DPR) sehingga
kebijakan dan keputusan-keputusan eksekutif dapat
terlaksana
d. Produk hukum belum banyak memihak kepentingan
rakyat, demikian juga aparat penegak hukum
e. Jika para menteri tidak terdiri dari orang-orang yang
jujur, bersih, dan professional, program-program
pemerintah tidak berjalan efektif dan populis
(berpihak kepada rakyat)

190
Jawaban : B
(3) Dasar berlakunya sistem pemerintahan parlementer pada
masa antara 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 adalah....
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Maklumat Pemerintah 14 November 1945
c. Konstitusi RIS 1949
d. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
e. Dekrit Presiden 1959
Jawaban : D
(4) Dalam sistem presidensial, yang menyelenggarakan
pemerintahan dalam arti yang sebernarnya.....
a. Presiden dan menteri-menterinya
b. Presiden bersama dengan DPR
c. Presiden dan wakil presiden
d. Kepala negara dengan menteri
e. Presiden dengan perdana menteri
Jawaban : A
(5) Prinsip-prinsip sistem pemerintahan parlementer pada
hakikatnya merupakan....
a. Intisari kebiasaan ketatanegaraan dan hasil
pemikiran para pembentuk konstitusi kerajaan
Inggris
b. Intisari kebiasaan ketatanegaraan di Amerika Serikat
c. Hasil pemikiran para pembentuk konstitusi kerajaan
Inggris
d. Hasil pemikiran para pembentuk konstitusi Amerika
serikat
e. Intisari kebiasaan ketatanegaraan di kerajaan Inggris
Jawaban : E
(6) Berikut adalah ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer,
kecuali....

191
a. Presiden adalah kepala negara dan kepala
pemerintahan
b. Pemusatan kekuasaan ke tangan parlemen
c. Semua anggota kabinet merupakan anggota
perlemen
d. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen
e. Parlemen dapat membubarkan kabinet
Jawaban : A
(7) Pemerintah dalam arti luas adalah....
a. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif dalam suatu
negara
b. Pelaksana kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam
suatun negara
c. Pelaksana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif dalam suatu negara
d. Pelaksana kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam
suatu negara
e. Pelaksana kekuasaan legislatif, yudikatif, dan
federatif dalam suatu negara
Jawaban : C
(8) Bentuk negara Indonesia pada periode Kontitusi RIS
adalah ....
a. federal
b. republik
c. negara kesatuan
d. parlemen
e. presidensial
Jawaban: D
(9) Dalam pelaksanaannya, bentuk pemerintahan republik
dapat dibedakan atas republik absolut, konstitusional,
dan....

192
a. Demokrasi
b. Eksraparlementer
c. Parlementer
d. Kerakyatan
e. Presidensial
Jawaban : C

Essay
(1) Sebutkan ciri-ciri sistem presidensial!
Jawab:
 Kepala pemertintahan dipegang atau dijabat oleh
presiden
 Menteri negara adalah pembantu presiden
 Menteri negara bertanggung jawab kepada presiden
dan tidak bertanggung jawab kepada DPR
(2) Sebutkan ciri-ciri sistem parlementer!
Jawab:
 Kepala pemerintahan dipegang atau dijabat oleh
perdana menteri
 Menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh
parlemen
 Menteri negara bertanggung jawab kepada dewan
atau parleman
 Pemerintahan dapat dijatuhkan oleh parlemen
melalui mosi tidak percaya
(3) Jelaskan perbedaan hak inistiatif dan hak amandemen
yang dimiliki DPR!
Jawab: Hak inisiatif DPR adalah hak DPR untuk
mengajukan Rancangan Undang-Undang, sedangkan hak

193
amandemen adalah hak DPR untuk mengubah
Rancangan Undang-Undang
(4) Tuliskan pokok-pokok sistem pemerintah Indonesia
 Indonesia adalah Negara hukum
 Sistem Konstitusional
 Kedaulatan Negara di tangan rakyat
 Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara
(5) Apa yang dimaksud dengan pemerintahan?
Jawab: fungsi atau tugas yang dilakukan oleh
pemerintah.

G. DAFTAR PUSTAKA.
Adisubrata, Winarna Surya, 2002. Etika Pemerintahan.
Yogjakarta: UPP AMP YKPN.
Alhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Univeritas
Terbuka.
Easton, David, 1965. A System Analysis of Political Life. Ohn
Wiley & Sons Inc., New York – London – Sidney.
Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Sinar Baru Algesindo.
Lab IPS & PMP, 1991. Tata Negara, Jilid 2. Malang: PPPG IPS
dan PMP Malang.
Laboratorium Pancasila, 2001, Bangsa Indonesia Dalam
Dinamika Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Mas’oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung: Alumni.
Syafiie, Inu Kencana, 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta

194
BAB VI
BENTUK-BENTUK PEMERINTAHAN

A. PENDAHLUALUAN
a) Deskripsi singkat
Mata kuliah ini mengantarkan mahasiswa Memahami
anjuran Plato, pemerintahan oleh satu orang, sedikit orang, atau
banyak orang dapat dibedakan sebagai bentuk-bentuk
pemerintahan yang “baik” atau “buruk”; setiap bentuk yang baik
mempunyai pendamping yang buruk. Akibatnya ada enam
pengelompokan jenis pemerintah yaitu monarki (pemerintahan
yang baik oleh satu orang), tirani (pemerintahan yang buruk oleh
satu orang), aristokrasi (pemerintahan yang baik oleh sedikit
orang), oligarki (pemerintahan yang buruk oleh sedikit orang),
demokrasi (pemerintahan yang baik oleh banyak orang), dan
mobokrasi (pemerintahan yang buruk oleh banyak orang)..
Kajian mencakup Bentuk-bentuk Pemerintahan dengan contoh
kasus yang relevan. Secara praktis membahas Bentuk-bentuk
Pemerintahan menurut para ahli.
b) Relevansi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan memahami bentuk-
bentuk pemerintahan karena beberapa sebab: Bukanlah suatu
kejutan bagi para mahasiswa sejarah kalau kebanyakan
pemerintahan yang ada di dunia dan di sepanjang sejarah yang
pantas digolongkan sebagai otoriter. Monarki (pemerintahan oleh
satu orang), aristokrasi (pemerintahan oleh beberapa orang yang
bergelar), oligarki (pemerintahan oleh sedikit orang yang tidak
bergelar, militer atau sipil), dan pluktokrasi (pemerintahan oleh
orang-orang kaya) semuanya adalah pemerintahan yang bersifat

195
otoriter, karena mayoritas warga negara tidak mempunyai
peranan langsung atau terlembaga dalam pembuatan kebijakan;
mereka tidak bisa berperan serta dalam pemilihan umum, dan
mereka tidak terorganisasikan ke dalam partai-partai politik yang
bersaing atau kelompok-kelompok kepentingan yang mudah
dikenali.
c) Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan tentang
Bentuk-bentuk Pemerintahan yang merupakan sebuah ilmu yang
mempelajari mengenai cara agar dapat menjalankan wewenang
kekuasaannya supaya bisa mengatur sistem yang ada di dalam
sebuah institusi agar dapat diatur serta dijalankan dengan baik
sehingga kesemuanya itu bisa berjalan dengan selaras. Seperti
kita ketahui di setiap negara pastilah memiliki sebuah sistem
pemerintahan agar segala sector penghidupan bagi rakyatnya bisa
digunakan dan dapat dijalankan dengan baik

B. PENYAJIAN
a) Klasifikasi Pemerintahan oleh Satu Orang, Sedikit
Orang dan Banyak Orang
Ketidaksepakatan konsepsual telah menandai usaha
manusia, sekurang- kurangnya sejak masa Yunani Kuno, untuk
membedakan negara menurut bentuk pemerintahannya. Tetapi
adalah tidak mungkin untuk menilai sistem politik tanpa
menemukan beberapa skema yang berarti untuk menggolongkan
ciri-ciri mereka yang beraneka ragam. Dengan demikian adalah
perlu untuk memulainya paling tidak dengan beberapa tipologi
dasar pemerintahan, dan orang yang telah lama menggelutinya
mungkin bisa menemukannya dalam pemikiran politik Plato dan

196
Aristoteles, orang-orang Romawi (khususnya Polybius dan
Cicero), dan para pemikir Masa Kebangunan Kembali
(Machiavelli), Masa Pencerahan (Montesqueiu), dan bahkan
masa-masa yang lebih kontemporer. Anjurannya ialah bahwa
setiap negara bisa diklasifikasikan menurut pembagian atau
penempatan kekuatan politik di dalamnya: kekuasaan itu
dilaksanakan oleh satu orang, sedikit orang dan banyak orang (
artinya oleh sebagian besar atau seluruh warga negara). Sebelum
berlanjut kepada pengklasifikasian dan penjelasaan masing-
masing klasifikasi menurut Rodee dkk, ada baiknya dilihat
kembali gagasan-gagasan ahli- ahli masa lalu tersebut.
1) Plato
Klasifikasi Plato tentang bentuk pemerintahan adalah
sebagai berikut : bentuk pemerintahan yang baik ialah
kerajaan dan bentuk merosot dari kerajaan adalah tirani.
Diantara Kerajaan sebagai bentuk ideal dan Tirani
sebagai bentuk merosotnya, terdapat Aristorasi dengan
bentuk merosotnya Oligarki dan kemudian Demokrasi
dengan bentuk merosotnya Mobokrasi. Pengklasifi-
kasian ini yang diikuti oleh Rodee dkk.
2) Aristoteles
Dari penyelidikan empiris konstitusi-konstitusi polis
(negara kota di Yunani Kuno) yang pernah ada dan yang
masih ada di Yunani Kuno, Aristoteles kemudian
mengadakan klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan atas
dasar dua kriteria: secara kuantitatif, yaitu berdasarkan
jumlah orang-orang yang memegang kekuasaan dalam
suatu negara dan secara kualitatif yaitu berdasarkan
pelaksanaan kesejahteraan umum untuk penguasa-
penguasa negara itu.

197
Berdasarkan dua kriteria tersebut Aristoteles
mengklsifikasikan bentuk- bentuk pemerintahan ke dalam
tiga bentuk pemerintahan yang baik dan tiga bentuk
pemerintahan yang buruk (cara ini yang diadopsi oleh
Rodee dkk). Tiga bentuk pemerintahan yang baik itu adalah,
Monarki, Aristokrasi dan Polity. Di samping itu pula ada
tiga bentuk pemerintahan yang buruk yang merupakan
kemerosotan dari bentuk-bentuk pemerintahan yang baik
yaitu Tirani sebagai bentuk kemerosotan dari Monarki,
Oligarki sebagai bentuk kemerosotan dari Aristokrasi dan
Demokrasi sebagai bentuk merosot dari Polity.
Monarki atau kerajaan adalah bentuk pemerintahan
dalam mana seluruh kekuasaan dipegang oleh seseorang
yang berusaha mewujudkan kesejahteraan umum. Tirani
adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan juga
berpusat pada satu orang, tetapi berusaha mewujudkan
kepentingan dirinya sendiri dan tidak mengindahkan
kesejahteraan umum. Oligarki adalah pemerintahan
beberapa orang yang mengutamakan kepentingan
golongannya sendiri. Polity adalah bentuk pemerintahan
dimana seluruh warga negara turut serta mengatur negara
dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umum.
Demokrasi adalah bentuk merosot dari polity karena
berdasarkan pengalamannya sendiri, penguasa-penguasa di
negara- negara kota yang demokratis dari jamannya seperti
Athena adalah teramat korupnya.
Secara skematis klasifikasi aristoteles atas bentuk-
bentuk pemerintahan adalah sebagai berikut :

198
Bentuk-bentuk biasa Bentuk merosot
dimana penguasa- dimana penguasa
Bentuk
penguasa berusaha berusaha
Pemerintahan
mewujudkan mewujudkan
kesejahteraan umum kepentingan sendiri
Pemerintahan Monarki Tirani
seorang
Pemerintahan Aristokrasi Oligarki
Beberapa
Orang
Pemerintahan Polity Demokrasi
Semua
Warga Negara

3) Cicero
Filsuf Romawi ini mendasarkan penggolongan bentuk-
bentuk pemerintahan dari berbagai negara atas prinsif-
prinsif yang dinamakannya Concilium. Penggolongannya
adalah sebagai berikut: apabila Concilium itu di pegang
oleh seseorang, maka bentuk pemerintahan itu adalah
kerajaan; apabila dipegang oleh seluruh rakyat adalah
demokrasi. Juga dia menerima adanya bentuk-bentuk
merosot dari bentuk-bentuk pemerintahan yang baik itu.
Dominus adalah bentuk merosot dari kerajaan, facto
adalah bentuk merosot dari aristokrasi, turba et confusio
adalah bentuk merosot dari demokrasi.
4) Montesquieu
Dia mengikuti klasifikasi Aristoteles dan mengajukan
tiga macam bentuk pemerintahan yaitu : Republik
dengan dua bentuk tambahan demokrasi dan aristokrasi;
kerajaan dan despoitisme. Bentuk pemerintahan
Republik dimaksud dengan pemerintahan dimana seluruh
rakyat (demokrasi) atau sebagian dari rakyat (aristokrasi)

199
memegang kekuasaan tertinggi. Kerajaan adalah bentuk
pemerintahan dimana satu orang memerintah, tetapi
memerintah menurut undang- undang yang telah
ditentukan. Despotisme adalah pemerintahan yang
didasarkan atas kesewenang-wenangan. Ketiga macam
bentuk pemerintahan ini masing- masing didasarkan atas
asas khusus, yaitu republik atas kebaikan warga negara,
demokrasi atas cinta tanah air dan persamaan, aristokrasi
atas asas moderasi, kerajaan atas asas kehormatan dan
depotisme atas asas ketakutan.
5) Machiavelli
Dia membagi bentuk pemerintahan menjadi dua yang
tercantum mulai dari halaman pertama bukunya yang
berjudul the prince dengan kalimat: “semua
pemerintahan dan bentuk penguasaan yang pernah ada
dan yang kini menguasai manusia dan yang pernah
menguasai manusia adalah republik atau kerajaan”.
Baginya tidak ada bentuk pemerintahan lain selain
republik dan kerajaan dan menganggap bentuk kerajaan
sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik dimana
kedudukan raja dapat turun-temurun atau didasarkan atas
pemilihan.
6) Rodee, dkk
Mengikuti anjuran plato, pemerintahan oleh satu
orang, sedikit orang, atau banyak orang dapat dibedakan
sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang “baik” atau
“buruk”; setiap bentuk yang baik mempunyai
pendamping yang buruk. Akibatnya ada enam
pengelompokan jenis pemerintahan, yang dapat dilihat di
bawah ini :

200
Baik Buruk
Satu orang Monarki Tirani
Sedikit orang Aristokrasi Oligarki
Banyak orang Demokrasi Mobokrasi

Seseorang bisa saja memerintah negara, tetapi ini


bukanlah kesimpulan awal bahwa pemeritahannya akan
baik atau buruk. Pertanyaan ini dijawab dalam pengertian
apakah ia memerintah untuk kepentingannya sendiri atau
kepentingan seluruh masyarakat. Kriteria yang sama
dikenakan pada pemerintahan oleh sedikit orang dan
banyak orang; dalam masing-masing kasus di tanyakan
apakah para penguasa membuat keputusannya untuk
kesejahteraan umum atau kepentingan pribadinya.
Tinggal dilihat apakah pemerintahan oleh banyak orang
menurut perkiraan keuntungan pribadi setiap marga
negara betul-betul menghasilkan kesejahteraan bagi
semua orang. Karena pemegang kekuasaan politik tidak
akan pernah mengakui telah membuat keputusan-
keputusan yang menguntungkan dirinya, rekan-rekan
politiknya atau rekan rekan usahanya, maka tidaklah
mudah untuk menjawab pertanyaan pokok ini, dan
jawabannya juga mungkin berbeda dari satu masalah ke
masalah lain bagi bentuk pemerintahan yang sama. Para
pemimpin politik yang menyelenggarakan kepentingan
umum, yang merumuskan kebijakan pertahanan nasional
misalnya, mungkin akan bertindak untuk kepentingan
pribadi manakala pembayaran uang itu harus dilakukan
kepada para kontraktor pertahanan.

201
7) Monarki
Plato menyatakan peraturan hukum merupakan cara
penyelesaian pertikaian dan pengakhiran pertikaian yang
paling tidak sempurna. Karena sifatnya, hukum adalah
hal yang umum dan dirancang untuk diterapkan pada
satu atau berbagai macam dari kebanyakan kategori
hubungan sosial. Tetapi persoalan suatu masyarakat
biasanya diungkapkan dalam istilah-istilah tertentu,
mengaitkan individu dalam konteks-konteks sosial yang
berbeda, dan yang berubah sepanjang waktu. Karena itu
penguatan monarki merupakan cara yang paling efisien
dan paling adil untuk memerintah negara ia menjamun
bahwa pedoman dasar bagi masyarakat akan
dilaksanakan menurut perubahan keadaan dan
kebutuhan- kebutuhan khusus.
Para prndukung pemerintahan monarki, bahkan
pada saat ini, menyatakan bahwa corak pemerintahan ini
memperbesar kemungkinan stablitas politik, terutama
dalam hubungannya dengan perluasan perubahan sosial
dan ekonomi. Para mahasiswa perbandingan politik
tampaknya memang terkesan dengan kestabilan yang
relatif tinggi dari negara-negara yang hingga kini masih
mempertahankan beberapa lembaga monarkinya setelah
sekian abad. Inggris, Swedia dan Denmark adalah contoh
yang jelas, tetapi seseorang akan memasukan juga dalam
kategori monarki konstitusional masa kini seperti
Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemberg, Jepang,
Muangthai, dan Spanyol (sejak tahun 1975). Sangat
berbeda dengan stabilitas relatif dari hampir semua
negara-negara tersebut, monarki-monarki dalam abad
kedua puluh telah dihapus dari Rusia, Jerman, Austria,

202
Hongaria, Turki, Portugal, Spanyol, (antara tahun 1931
sampai 1975), Italia, Yugoslavia, Bulgaria, Rumania,
Albania, Mesir, Libya, dan - dalam tahun 1970-an –
Yunani, Ethipia, dan Iran. Karenanya Pemerintahan oleh
satu orang bukanlah suatu jaminan bagi stabilitas politik.
Apa yang dapat dijelaskan dari berbagai temuan ini?
8) Monarki dan Adaptasi politik
Bagian terbesar dari jawaban atas pertanyaan ini
(meskipun tidak semuanya) tergantung pada kemampuan
dan kemauan dari raja-raja tertentu dan para pengganti
mereka untuk menerima pengurangan yang besar dalam
kekuasaan politik mereka. Contoh yang klasik adalah
Inggris ketia William dan Mary naik tahta kerajaan pada
tahun 1689. penobatan mereka tergantung pada
penerimaan mereka atas supremasi parlementer terhadap
monarki dalam bidang-bidang kebijakan umum yang
penting, termasuk perpajakan, komando dan organisasi
militer, dan agama yang dianut oleh kerajaan.
Kesepakatan antara parlemen Inggris dan Raja bisa
dianggap sebagai perjanjian sosial sekalipun perjanjian
sosial itu mengesampingkan partisipasi rakyat. Sebagian
besar sejarah politik inggris yang kemudian tampaknya
hanyalah merupakan cerita tentang meningkatnya
kekuasaan parlemen, khususnya House of Commons,
berkenaan dengan semakin merosotnya kekuasaan
monarki.
Adalah lumrah kalau saat ini mengatakan bahwa
raja atau ratu inggris itui lebih memerintah daripada
berkuasa dan bahwa fungsi-fungsi utama monarki
hanyalah sebagai simbol; ia merupakan penerus tradisi
inggris dan menjadi pusat kesetiaan warga negara

203
Inggris. Kebanyakan monarki masa kini tetap menjadi
lembaga penting dalam masyarakatnya karena pewaris
tahta raja dan ratu telah mengurangi arti penting politik
dirinya. Sebagaimana dalam perang, seseorang harus
mau menyerah agar tetap hidup.
Ini sangat bertentangan dengan sejarah lembaga
monarki di Prancis selama abad ke delapan belas dan
sembilan belas, di Rusia selama dasawarsa pertama abad
ke dua puluh, dan Mesir serta Iran dalam pertengahan
abad ke dua puluh. Dalam negara-negara ini dan negara-
negara lainnya yang telah menghapuskan monarkinya,
kekuasaan kerajaan terbukti tidak mampu atau tidak mau
mengubah fungsi politiknya sejalan dengan perubahan
sosial dan politik. Raja selalu berkeras dengan
kekuasaannya dan gagal untuk memperbesar
pertumbuhan otonomi parlemen serta pelaksanaan
kekusaan eksekutif yang tidak besar dari para pemimpin
politik untuknya. Karena itulah kemudian ia sering
kehilangan tahta dan kadang-kadang jiwanya serta
kehidupan keluarganya serta para pendukungnya yang
setia.
Kaisar rusia memperlihatkan nasib yang demikian.
Sekalipun Revolusi 1905 telah berhasil menekannya
untuk mengadakan sidang parlemen (Duma), tetapi
Kaisar Nicholas II memanipulasi lembaga perwakilan
tersebut untuk memperoleh hasil yang diinginkan,
menyensor pidato para delegasi, dan menolak nasehat
para menterinnya. Ia tetap ngotot agar pemerintahan
haruslah didasarkan pada gagasan usang tentang “hak
ketuhahan raja” (yang membuatnya hanya bertanggu
jawab kepada tuhan) terutama yang berkenaan dengan

204
kekalahan tentara Rusia dalam Perang Dunia I yang
memalukan itu. Sebenarnya kita bisa saja
menghipotesakan bahwa semakin raja bertahan terhadap
pengurangan kekuasaannya, semakin besar pula
kemungkinan ia akan diganti oleh rejim revolusioner
yang menggunakan kekerasan secara luas untuk
membasmi sisa-sisa monarki dan dominasi kaum
aristokrat.
9) Pemerintahan Oleh Sedikit Orang
Kendati hak ketuhanan raja telah diterima sebagai
formula untuk mensahkan kekuasaan raja, tetapi tidak
bisa disangkal bahwa raja tergantung pada dukungan
kader-kader penasehat dan para birokrat yang loyal untuk
melaksanakan kebijakannya. Perubahan bertahap dan
pelembagaan peranan para penasehat dan pegawai negeri
ini, di perancis dan di berbagai tempat lain, telah
memungkinkan terbentuknya parlemen (para penasehat)
dan aparatur administrasi negera (para pegawai negeri).
Kesadaran terhadap kecenderungan sejarah ini, serta
keyakinan bahwa lembaga-lembaga demokratis
merupakan khayalan yang menyembunyikan dominasi
politik dan sekelompok minoritas, telah meyakinkan
beberapa ilmuan politik (khususnya Guetano Mosca dan
Robert Michels) bahwa dimanapun pemerintahan selalu
menyangkut urusan sedikit orang bukan hanya seorang
atau banyak orang.
Dalam hubungan ini, aristokrasi merupakan
pemerintahan oleh sekelompok elit masyarakat yang
mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan
politik yang besar. Keberuntungan-keberuntungan ini
dinikmati oleh satu generasi ke generasi aristokrasi yang

205
lain. Status, kekuasaan, dan kekayaan diwariskan. Kita
juga bisa mengatakan bahwa status dalam masyarakat
aristokrasi diberikan berdasarkan norma-norma (askriftif)
dari pada prestasi. Kedudukan anda dalam masyarakat
ditentukan oleh siapakah anda (atau siapakah orang tua
anda) daripada oleh apakah yang anda kerjakan. Siapa
anda dicirikan oleh gaya bicara, pakaian, dan sikap anda;
latar belakang keluarga anda; tempat anda memperoleh
pendidikan (lebih daripada apa yang telah anda pelajari);
dan kemampuan anda untuk hidup lebih nyaman tanpa
harus bekerja untuk itu. Tidak heran kalau dalam
sejarahnya para pekerja, petani, dan intelektual di dalam
kebanyakan masyarakat memandang rendah kaum
aristokrat dan lembaga-lembaganya.
Di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara
politik, maka di sana tanpa kecuali ada pula lembaga-
lembaga monarki. Pada tahun 1820 di Inggris misalnya,
monarki masih merupakan lembaga yang penting secara
politik, majelis tinggi parlemen (House of Lords)
menggunakan pengaruhnya yang besar dalam proses
legislatif, dan kurang dari 500 warga negara, kebanyakan
dari mereka teman sejawat dalam House of Lords,
mampu meraih suara mayoritas untuk keanggotaan
House of Commons. Bahkan setelah undang-undang
pembaharuan 1932 diterima, hak pilih tidak lebih dari 12
persen dari semua pria dewasa yang ada di Inggris.
Tetapi setelah undang-undang perbaharuan 1867,
pemberian hak suara kepada mereka menjadi 30 persen
maka muncul masalah lain, yaitu bahwa politik Inggris
tidak lebih dikendalikan oleh aristokrasi melainkan oleh
oligarki. Oligarki berarti pemerintahan oleh suatu

206
minoritas dalam masyarakat, suatu minoritas yang tidak
perlu dibedakan oleh gelar aristokrasi atau hak istimewa.
Tetapi dalam pertegahan abad kesembilan belas, Inggris
juga bisa digambarkan sebagai pluktokrasi pemerintahan
oleh beberapa orang kaya.
10) Aristokrasi dan Adaptasi Politik
Seperti para raja, elit aristokrasi juga bisa bertahan
hanya karena tidak menghambat perubahan politik dan
sosial yang mendasar, khususnya proses demokratisasi
bertahap terhadap kewenangan politik dan
perkembangan sumber-sumber kemakmuran baru
bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan
industrialisasi.
Di Ingris misalnya, aristokrasi ternyata mampu
menerima kapitalisme, sebagian karena sejak dini tanah
telah diserahkan untuk menternakan domba bagi
pedagang wol yang menguntungkan dan sebagian lagi
karena hanya anak laki-laki pertama bisa mewarisi
kekayaan dan gelar aristokrat ayahnya. Karena itu di
Inggris ada banyak anak laki-laki dan wanita dari kaum
aristokrat yang tidak mewarisi gelar dan kekayaan, tetapi
sering membentuk persekutuan dagang dan melakukan
perkawinan dengan pengusaha borjuis, atau kelas
menengah.
Tetapi pada kebanyakan negara Eropa, tanah tetap
dikerjakan untuk menghasilkan tanaman gandum.
Akibatnya aristokrat pemilik tanah tetap bisa
mempertahankan tradisi penguasaan feodalnya atas kaum
tani. Dan mereka menurunkan gelar aristokratnya kepada
– serta membagi kekayaan di antara semua pewaris
dalam keluarga, yang kemudian malah menyebabkan

207
terjadinya pemisahan kelas-kelas sosial masyarakat
secara kaku.
Pola-pola sosial yang tradisional ini membantu
menerangkan kestabilan politik relatif Inggris Raya (dan
kelangsungan hidup aristokrasi Inggris sampai saat ini)
dan ketidakstabilan relatif serta hapusnya aristokrasi di
sebagian besar negara-negara Eropa yang lain. Dan di
mana aristokrasi dibasmi oleh peperangan atau revolusi
(atau keduanya seperti prancis dan jerman), kaum
proletar sedikit terangkat untuk tumbuh sebagai kelas
kapitalis. Di Ingris sebelum munculnya partai-partai
kelas pekerja, kaum aristokrat dan malah Partai Tory
yang tradisional tampaknya telah mampu memenuhi
tuntutan para pekerja untuk perbaikan kondisi hidup dan
jaminan kerja. Ini juga membantu menerangkan
kesediaan pemerintahan sosialis di Inggris untuk
menahan diri meskipun dengan berat hati,
berlangsungnya hak-hak istimewa dan status sosial yang
tinggi dari kaum aristokrasi di Inggris.
11) Pemerintahan Oleh Sedikit orang: Otoritarisme
Bukanlah suatu kejutan bagi para mahasiswa sejarah
kalau kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia dan di
sepanjang sejarah yang pantas digolongkan sebagai
otoriter. Monarki (pemerintahan oleh satu orang),
Aristokrasi (pemerintahan oleh beberapa orang yang
bergelar), Oligarki (pemerintahan oleh sedikit orang
yang tidak bergelar, militer atau sipil), dan Pluktokrasi
(pemerintahan oleh orang-orang kaya) semuanya adalah
pemerintahan yang bersifat otoriter, karena mayoritas
warga negara tidak mempunyai peranan langsung atau
terlembaga dalam pembuatan kebijakan; mereka tidak

208
bisa berperan serta dalam pemilihan umum, dan mereka
tidak terorganisasikan ke dalam partai- partai politik
yang bersaing atau kelompok-kelompok kepentingan
yang mudah dikenali.
Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh para
filosof politik Yunani dan Romawi, pemerintahan sedikit
orang tidaklah berarti bahwa pembuatan keputusan akan
selalu tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan dan
tuntutan-tuntutan sejumlah besar orang yang ada dalam
masyarakat. Dahulu umpannya, pemerintah otoriter telah
mengurangi dan menghapuskan pengaruh lembaga-
lembaga keagamaan yang menaungi kehidupan sosial
dan ekonomi warga negara; mereka mendorong
penanaman modal usaha dan pertumbuhan ekonomi
sambil memperkenalkan program-program kesejahteraan
pokok bagi kelas-kelas bawah; memindahkan secara fisik
kebudayaan kelompok minoritas ke daerah-daerah baru
dimana, barangkali yang pertama kali dalam sejarah,
anggota-anggota individu dari kelompok tersebut bisa
hidup berdampingan dengan tetangganya; menyelesaikan
konflik lama yang telah menyebabkan munculnya
kelompok- kelompok yang saling bermusuhan dalam
menjabat dan yang tidak memungkinkan adanya
pemerintahan yang dipilih rakyat; melenyapkan ancaman
kelaparan terhadap jutaan rakyat, membatasi eksploitasi
ekonomi oleh para rentenir, dan memberikan kesempatan
pertama bagi warga negara mereka untuk memperoleh
perawatan kesehatan dan pendidikan. Bagaimanapun
kritisnya seseorang memandang landasan metode dan
etika pemerintahan otoriter, amatlah penting untuk tidak
mengabaikan prestasi-prestasinya yang ada kalanya

209
mempunyai arti penting termasuk bagi kemanusiaan.
Penonjolan otoriterisme dalam sejarah dunia akan
merupakan ulasan yang menyedihkan bagi umat manusia
sekiranya sepenuhnya ia dinggap buruk. Karena tidak
seperti agama, tidak ada yang seluruhnya baik atau buruk
dalam politik.
12) Otoritarisme dan Pemerintahan satu Partai
Dalam dunia sekarang ini, kiranya tidak salah kalau
pemerintahan yang otoriter kerap dicirikan oleh
kehadiran satu partai politik. Pengklasifikasian negara
menurut letak dan ruang lingkup kekuasaan politik,
sebenarnya bukan tidak lebih bermanfaat bila didasarkan
pada jumlah dan karakteristik partai-partai politiknya.
Dan agak meragukan suatu pemerintahan yang hanya
mengijinkan satu partai di dalam sistem politiknya bisa
disebut sebagai pemerintahan otoriter. Tiadanya oposisi
poliytik yang terorganisasi; tiadanya para pemimpin
politik yang lain yang bisa menggantikan elit yang ada
untuk melaksanakan program-program baru; terbatasnya
komunikasi politik sebatas ijin pemerintah dan partai
yang berkuasa; dan perubahan orang-orang serta
kebijakan pemerintah, pasti bukan tidak terjadi dalam
partai tunggal itu, meski sering hanya sesudah kematian
atau pengusiran peminpin yang berkuasa.
Generalisasi seperti ini sulit dimengerti tanpa ada
beberapa contoh yang jelas, bukan tidak mungkin kalau
di dalam membayangkan ciri-ciri otoriter atau negara
satu partai tersebut diatas, pembaca berfikir tentang satu
atau lebih negara- negara dewasa ini; China? Kuba?
Vietnam? Ya. Menurut kriteria di atas, kelima negara ini
memenuhi syarat sebagai negara otoriter. Akan tetapi

210
bagaimana dengan Yugoslavia, Mesir, Meksiko, Aljajair,
Korea Selatan, atau Filipina? Negara-negara ini dan juga
banyak negara yang lainnya memang dicirikan oleh
kelemahan atau ketiadaan oposisi politik selain oleh
kekuasaan oligarki yang menikmati monopoli
komunikasi politik dan pembuatan kebijakan. Tetapi
jelas bahwa beberapa negara lebih otoriter dari pada yang
lainnya.
13) Totaliterisme
Sejak tahun 1950-an sebagian ahli berpendapat
bahwa adalah tepat untuk menggambarkan jenis
otoriterisme yang paling ekstrim sebagai totaliterisme.
Disamping ciri-ciri yang sudah disebut, totaliterisme juga
merupakan suatu ideologi resmi yang harus dianut oleh
para anggota masyarakat dan harus meliputi semua segi
kehidupannya; suatu sistem kontrol polisi yang bersifat
teror yang ditopang dan diawasi pemimpin serta
diarahkan pada musuh-musuh negara; selain merupakan
pengawasan dan pengarahan langsung terhadap seluruh
kegiatan ekonomi. Beberapa ciri lain totaliterisme dapat
pula ditambahkan disini: kesenian dan ilmu pengetahuan
ada dibawah kepentingan elit politik dan menjadi bagian
tersendiri dalam ideologi; organisasi-organisasi
kepemudaan, serikat buruh, perhimpunan-perhimpunan
budaya, sistem pendidikan, dan struktur sosial perantara
lainnya dijadikan sebagai sarana untuk memperluas
kontrol sosial dan politik kaum elit selain sebagai sarana
pendukung tujuan-tujuan ideologisnya. Dan sekalipun
ada alat komunikasi yang canggih untuk menyampaikan
tuntutannya kepada rakyat tetapi tidak ada saluran
terlembaga yang memungkinkan adanya hubungan

211
timbal balik antara mereka dengan rakyat. Pendeknya
pemerintahan yang otoriter senantiasa mengontrol
kebebasan perilaku warga negaranya dan mengikis setiap
kemunculan oposisi yang terorganisasi. Mereka tidak
hanya mencoba mengawasi perilaku warga negaranya
tetapi juga pemikirannya. Dalam pengertian ini, banyak
agama termasuk Yudanisme dan Kristen yang permulaan
merupakan bentuk awal dari pemerintahan yang totaliter.
Meskipun begitu, penting dicatat bahwa ciri-ciri
totaliterisme yang demikian lebih merupakan hasil dari
logika yang bersifat deduktif daripada pengamatan yang
empirik. Totaliterisme merupakan suatu bentuk ideal;
negara yang begitu hanya dalam bentuk saja. Istilah
totaliterisme mungkin hanya bisa digunakan dalam
menjelaskan definisi, tapi perlu diingat bahwa ia jarang,
kalaupun pernah ada dalam kenyataan. Bukanlah suatu
kebetulan misalnya, kalau para mahasiswa dari
masyarakat komunis yang mengumpulkan data melihat
bahwa hal tersebut sebenarnya lebih dekat dengan
komunisme, dan mereka kerap sepakat untuk membuang
cap “totaliterisme” itu.
14) Pemerintahan oleh Banyak orang
Demokrasi Langsung
Pada dasarnya demokrasi langsung adalah ungkapan
yang sempurna untuk kedaulatan rakyat. Demokrasi
langsung berati rakyat memerintah dirinya sendiri secara
langsung tanpa perantara. Sebagai ungkapan yang
sempurna dari kedaulatan rakyat, demokrasi langsung
merupakan bentuk pemerintahan yang dikumandangkan
oleh Jean Jacques Rosseau. Rosseau memahami benar

212
hakikat keadaan guna mewujudkan demokrasi langsung
di dalam kenyataan:
1. Jumlah warga negara harus kecil
2. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara
merata (atau hampir merata)
3. Masyarakat secra kebudayaan harus homogeny
4. Mereka yang melaksanakan undang-undang tidak
boleh bertindak sendiri di luar kemauan rakyat yang
telah membuat undang-undang pertama kali.
Rosseau mengakui bahwa persyaratan yang banyak
ini besar kemungkinan dipenuhi dalam masyarakat kecil,
agraris, dan pada hakekatnya adalah masyarakat petani,
tetapi dalam keadaan ideal inipun, beberapa persoalan
yang mendesak muncul. Siapakah yang menentukan
waktu dan tempat bagi sidang pertemuan itu?
Bagaimanakah agenda pertemuan dipersiapkan, dan oleh
siapa? Bagaimana aturan-aturan pembicaraan? Dimana
keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan dan suara
bulat? Melalui pemungutan suara mayoritas warga
negara? Atau apakah hanya melalui suara mayoritas dari
mereka yang menghadiri sidang? Dan apabila sebagai
demokrat, kita setuju bahwa saya wajib mematuhi
keputusan yang saya merasa enggan untuk mematuhi,
dapatkah mayoritas memaksa saya dan orang lain dalam
kelompok minoritas untuk mentaati mayoritas tersebut?
Di bawah kondisi pemerintahan mayoritas, kelompok
minoritas yang tertindas mungkin merasakan ada sedikit
perbedaan antara demokrasi dan otoriterisme.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh aristokrat Prancis
dan teoritisi politik Alexis de Tocqueville pada

213
pertengahan abad ke sembilan belas, suatu mayoritas
dengan banyak orang bisa menjadi tirani yang sama
kejamnya dengan oligarki yang terdiri dari sedikit orang.
Dengan asumsi bahwa keputusan dibuat oleh
majelis dari seluruh warga negara setelah cukup berdebat
tentang suatu masalah tertentu, bagaimanakah keputusan
dilaksanakan? Bagaimanakah kita memenuhi permintaan
warga negara? Namun sedikit gambaran mengenai
persoalan yang sulit ini bisa membantu pembaca untuk
memahami mengapa suatu interaksi yang terus menerus
antara rakyat pasti berakibat terhadap politik. Lembaga-
lembaga negara (termasuk birokrasi), dan aturan-aturan
dan prosedur yang kompleks untuk mengambil
keputusan dan administrasi. Jadi, pesimisme, ataupun
realisme Rosseau sehubungan dengan demokrasi
langsung dinyatakan dalam alinea berikut ini. “apabila
kita menggunakan istilah dalam pengertian yang ketat,
tidak pernah ada demokrasi yang sesungguhnya, dan
tidak pernah ada. Bertentangan dengan aturan alamiah
jika lebih banyak orang yang memerintah daripada yang
diperintah. Tak dapat dibayangkan jika rakyat harus
bersidang terus menerus untuk memikirkan masalah-
maslah negara dan jelas bahwa mereka tidak mungkin
membentuk komisi-komisi untuk maksud tersebut tanpa
mengubah cara pengaturannya.
Dalam kenyataanya, secara menyakinkan saya dapat
menganggap sebagai asas bahwa bilamana fungsi
pemerintahan di bagi atas beberapa bagian, bagian yang
kecil cepat atau lambat pasti memperoleh otoritas
terbesar, hanya bila mereka mampu mempercepat proses
ke arah itu, dan dengan demikian kekuasaan bisa diraih

214
dengan sendirinya….. Bila saja ada orang-orang yang
saleh, maka pemerintahan mereka pasti demokratis.
Pemerintahan yang sempurna seperti itu bukanlah untuk
manusia”.
Akan tetapi dalam peristiwa-peristiwa yang jarang
terjadi dalam sejarah dan dalam isolasi relatif
umpamanya, di sebagian Yunani, Swiss dan New
England negara-negara telah didirikan dengan bentuk
pemerintahan yang mendekati demokrasi langsung. Apa
yang bisa kita simak dari eksperimen- eksperimen politik
yang bermutu tinggi itu? Pertama, biasanya hanya
minoritas warga negara yang diikut sertakan dalam
pembuatan keputusan. Dalam satu contoh di negara kota
Athena, hanya kira-kira 10 persen dari 40.000 warga
negara Athena yang dapat dipilih boleh menghadiri
sidang-sidang eklesia (rohaniawan). Sebagian besar
warga negara, tentunya berusaha menentang realisasi
mengenai ekses yang sama atas pembuatan keputusan
yang ideal. Karena warga negara kehilangan kesempatan
untuk berinteraksi tatap muka dengan yang lain,
mayoritas menaruh minat pada warga negara berdasarkan
atas kepentingannya dan barangkali karena bakatnya
menjadi elit (pemimpin) politik. Sejarah eksperimen
demokrasi langsung menunjukan bahwa tipe
pemerintahan ini juga tidak mungkin bertahan dari krisis
atau ancaman perang; dan bahwa eksperimen tersebut
nampaknya mengalami kemunduran karena ekonomi
masyarakat kehilangan sifat agrarisnya, digantikan oleh
komersial dan perdagangan, sehingga berakibat tidak
seimbangnya sosio-ekonomi (dan juga politik) di antara
warga negara.

215
Demokrasi Perwakilan
Karena penduduk baru menambah jumlah warga negara
di kota-kota New England, Amerika Serikat pada permulaan, dan
khususnya karena para imigran baru memperkenalkan aneka
ragam kebudayaan ke dalam masyarakat yang seluruhnya
berkulit putih itu, salah satu ciri masyarakat Anglo-Saxon dan
Protestan, yakni demokrasi langsung berupa pertemuan kota di
New England menghilang. Mengapa? Sebagian karena terdapat
terlalu banyak orang yang ikut serta secara langsung dalam
pembuatan keputusan dan sebagian lagi karena warna lama
memahami sekali bahwa demokrasi langsung yang
berkesinambungan mengancam penguasaan mereka atas
pemerintahan lokal. Dengan melembagakan pemilihan umum
dan menyerahkan kekuasaan mengambil keputusan kepada
wakil-wakil yang terpilih (dewan kota), kesempatan melanjutkan
penguasaan oleh warga yang lebih mapan menjadi lebih baik.
Para penyusun konstitusi AS juga mengetahui bahwa dengan
menetapkan pemilihan tidak langsung atas presiden dan anggota-
anggota senat (warga negara yang memenuhi syarat memilih para
anggota senat, yang kemudian memiliki para pejabat negara),
mereka ini paling memungkinkan untuk mencegah jatuhnya
pengambilan kebijakan ke tangan oknum-oknum yang tidak
bertangung jawab dalam masyarakat (maksudnya kelas sosio
ekonomi rendah). Dan tegasnya, AS dan negara-negara
demokrasi kontemporer lainnya adalah pemerintahan republik
yang warga negaranya berpartisipasi dalam mengambil
keputusan melalui wakil-wakil yang terpilih.
Dalam kenyataannya, orang Yunani Kuno memahami
benar bahwa pemilihan pejabat-pejabat negara hampir selalu
bertentangan dengan demokrasi yang sebenarnya. Pada masa
jayanya demokrasi bangsa Athena, pejabat negara diseleksi di

216
antara seluruh warga negara melalui undian dan jabatan ini
beredar dengan cepat di kalangan warga negara lainnya dalam
instansi pemerintah itu. Mengadakan pemilihan berarti
mendiskualifikasi sebagian besar warga negara dari kesempatan
yang sama untuk memegang jabatan pemerintahan: orang-orang
yang lebih pandai mengungkapkan pendapat, lebih menarik
kepribadiannya, lebih mampu mengorganisasi, lebih kaya, pasti
memperoleh (dan selalu memperoleh) keuntungan yang lebih
baik dalam perebutan suara. Kepribadian calon, penampilan dan
kehidupan pribadi dan keluarganya bisa digunakan untuk
mempengaruhi sikap para pemilih, tetapi ciri-ciri tersebut tidak
ada sangkut pautnya dengan kemampuan memangku jabatan
tertentu dalam pemerintahan. Menurut para pemikir Yunani
Kuno dan pemikir politik dalam masa yang lebih baru, pemilihan
umum dan demokrasi perwakilan biasanya menjurus kepada
pemerintahan oleh sedikit orang dan penguasaan oleh oligarki
yang mempunyai kepentingan pribadi.

C. RANGKUMAN
Lembaga tidak dengan sendirinya ada dan tidak hidup
dari dirinya sendiri; melainkan lembaga terdiri dari orang-orang
yang bertindak berdasarkan penafsiran mereka sendiri terhadap
kemampuan badan-badan pemerintahan untuk berkuasa. Filsafat
politik dan paham kelembagaan mempunyai kaitan satu sama
lain. Filsafat politik mendefinisikan kondisi-kondisi demokrasi,
sementara faham kelembagaan menyediakan alat-alat pembantu
yang memungkinkan demokrasi dapat dijalanlan.
Sistem parlementer mempunyai kriteria adanya
hubungan antara legislatif dengan eksekutif, dimana satu dengan
yang lain dapat saling mempengaruhi. Pengertian mempengaruhi
di sini adalah bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan

217
kekuasaan (Power Capacity) untuk menjatuhkan pihak lain dari
jabatannya. Adapun istilah sistem “pemerintahan campuran”,
kata “campuran” diartikan campuran antara ciri sistem
pemerintahan presidensiil dengan sistem pemerintahan
parlementer.
Mengikuti anjuran Plato, pemerintahan oleh satu orang,
sedikit orang, atau banyak orang dapat dibedakan sebagai
bentuk-bentuk pemerintahan yang baik atau buruk; setiap bentuk
yang baik mempunyai pendamping yang buruk. Akibatnya ada
enam pengelompokan jenis pemerintah yaitu Monarki
(pemeritahan yang baik oleh satu orang), Tirani (pemerintahan
yang buruk oleh satu orang), Aristokrasi (pemerintahan yang
baik oleh sedikit orang), Oligarki (pemerintahan yang buruk oleh
sedikit orang), Demokrasi (pemerintahan yang baik oleh banyak
orang), Mobokrasi (pemerintahan yang buruk oleh banyak
orang).
Para pendukung pemerintahan monarki, bahkan pada
saat ini, menyatakan bahwa corak pemerintahan ini memperbesar
kemungkinan stabilitas politik, terutama dalam hubungannya
dengan perluasan perubahan sosial dan ekonomi. Para mahasiswa
perbandingan politik tampaknya memang terkesan dengan
kestabilan yang relatif tinggi dari negara-negara yang hingga kini
masih mempertahankan beberapa lembaga monarkinya setelah
sekian abad. Mengapa?
Bagian terbesar dari jawaban atas pertanyaan ini
(meskipun tidak semuanya) tergantung pada kemampuan dan
kemauan dari raja-raja tertentu dan para pengganti mereka untuk
menerima pengurangan yang besar dalam kekuasaan politik
mereka.Monarki (pemerintahan oleh satu orang), Arsitokrasi
(pemerintahan oleh beberapa orang yang bergelar), Oligarki
(pemerintahan oleh beberapa orang yang tidak bergelar, militer

218
atau sispil), pluktokrasi (pemerintahan oleh orang-orang kaya)
semuanya adalah pemerintahan yang bersifat otoriter, karena
mayoritas wrga negara tidak mempunyai peranan langsung atau
terlembaga dalam pembuatan kebijakan; mereka tidak bisa
berperan serta dalam pemilihan umum, dan mereka tidak
terorganisasikan ke dalam partai-partai politik yang bersaing atau
kelompok-kelompok kepentingan yang mudah dikenali.
Sementara sistem pemerintahan demokrsi langsung
adalah ungkapan yang sempurna untuk kedaluatan rakyat.
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya sendiri
ecara langsung tanpa perantara.

D. LATIHAN
Tes Formatif 1
Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang benar dengan cara
melingkari huruf a, b, c, atau d di depan jawaban tersebut!
PERTANYAAN PILIHAN GANDA
1. Di dalam tradisi pencerahan, para teoretisi berusaha
memecahkan masalah- masalah politik melalui
pemerintahan perwakilan. Bagaimanakah orientasi
kelembagaan pada tradisi pencerahan dalam
memecahkan masalah-masalah politik?
a. Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan
pemecahan politik dengan mengadopsi nilai-nilai
pada masa pencerahan
b. Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan
pemecahan masalah politik dengan menerjemahkan
cita-cita libertarian ke dalam pemerintahan
perwakilan.

219
c. Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan
pemecahan politik dengan melakukan integrasi
antara nilai dan fakta dalam tradisi pencerahan
d. Orientasi kelembagaan berusaha mewujudkan
pemecahan politik dengan mengadopsi sistem
pemerintahan perwakilan pada tradisi pencerahan
2. Terdapat dua bentuk pemerintahan perwakilan utama,
yaitu sebagai berikut:
a. Sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensiil
b. Sistem pemerintahan sentralisasi dan sistem
pemerintahan desentralisasi
c. Sistem pemerintahan terpusat dan sistem
pemerintahan terpencar
d. Sistem pemerintahan monarki dan sistem
pemerintahan aristokrasi
3. Di dalam memahami faham kelembagaan diperlukan
suatu kondisi cara mencapai kebebasan dan ketertiban
yang juga dapat merupakan masalah utama bagi
penganut paham kelembagaan. Dalam hal ini terdapat
dua cara membentuk lembaga-lembaga yang tepat, yaitu?
a. Dengan cara evolusi dan dengan cara revolusi
b. Dengan cara depolitisasi dan dengan cara politisasi
c. Dengan cara pragmatisme dan dengan cara
institusionalisme
d. Dengan cara politisasi dan dengan cara evolusi
4. Salah satu ciri negara federal adalah negara dalam mana
wewenang dan kekuasaan dibagi di antara beberapa
negara bagian. Sementara bagi negara kesatuan
wewenang dan kekuasaan bersifat?
a. Desentralisasi

220
b. Otonom
c. Terpusat
d. Terpencar
5. Sistem pemerintahan parlementer mempunyai kriteria
adanya hubungan antara legislatif dan eksekutif
dimana satu dengan yang lain dapat saling
mempengaruhi. Pengertian mempengaruhi di sini adalah:
a. Bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
legitimasi (Legitimacy Capacity) untuk
menjatuhkan pihak lain dari jabatannya.
b. Bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
kewenangan (Authority Capacity) untuk
menjatuhkan pihak lain dari jabatannya
c. Bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
hak (the right Capacity) untuk menjatuhkan pihak
lain dari jabatannya.
d. Bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
kekuasaan (Power Capacity) untuk menjatuhkan
pihak lain dari jabatannya.
6. Bagaimanakah sebutan yang diberikan oleh Alan R. Ball
terhadap sistem pemerintahan parlementer?
a. The parliemantary executive
b. The parliemantary types of government
c. The non parliemantary atau the fixed executive
d. The presidential type of government
7. Bagaimana pula C. F Strong menamakan sistem
pemerintahan parlementer
a. The non parliemantary atau the fixed executive
b. The presidential type of government
c. The parliemantary executive
d. Separation of power

221
8. Bagaimana pula C. F Strong menamakan siste
pemerintahan presidensiil?
a. The non parliemantary atau the fixed executive
b. Separation of power
c. The presidential type of government
d. The parliemantary executive
9. Bagaimana Allan R. Ball menamakan siste pemerintahan
presidensiil?
a. The presidential type of government
b. The non parliemantary atau the fixed executive
c. Separation of power
d. The presidential type of government
10. Sementara itu R Kranenburd menamakan sistem
pemerintahan presidensiil dengan menggunakan istilah?
a. The presidential type of government
b. The presidential type of government
c. Separation of power
d. The non parliemantary atau the fixed executive

Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci Jawaban Tes Formatif


1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban
Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk
mengetahui tingkat penguasaaan Anda dalam materi kegiatan
belajar 2.
Rumus:
Tingkat PenguasaanAnda=Jumlah jawaban anda yang benarX100%
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 % - 100 % = baik sekali
80 % - 89 % = baik
70 % - 79 % = cukup
- 70 % = kurang

222
Jika anda mencapai tingkat penguasaan bo % atau lebih, anda
dapat meneruskan ke modul 3 Bagus! Tetapi jika nilai anda di
bawah 80 %, Anda harus mengulangi Kegiatan belajar 2 pada
modul ini, terutama bagian yang belum anda kuasai.

Tes Formatif 2
Petunjuk : Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang
materi dalam kegiatan belajar 2, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
Pertanyaan Essay
1. Bagaimanakah asas kerja dalam kerangka kerja paham
kelembagaan?
2. 12. Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer, presidensiil dan campuran dari ahli yang
anda ketahui?
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 1
1. (B) Orientasi kelembagaan pada tradisi pencerahan
dalam memecahkan masalah-masalah politik dengan
menerjemahkan cita-cita libertarian ke dalam
pemerintahan perwakilan.
2. (A). Sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensiil merupakan dua bentuk
pemerintahan perwakilan utama.
3. (A). Cara evolusi dan cara revolusi merupakan dua cara
dalam membentuk lembaga-lembaga yang tepat.
4. (C). Terpusat merupakan salah satu ciri bagi negara
kesatuan wewenang dan kekuasaan
5. (D). Sistem pemerintahan parlementer mempunyai
kriteria adanya hubungan antara legislatif dan eksekutif

223
dimana satu dengan yang lain dapat saling
mempengaruhi. Pengertian mempengaruhi di sini adalah
Bahwa salah satu pihak mempunyai kemampuan
kekuasaan (Power Capacity) untuk menjatuhkan pihak
lain dari jabatannya.
6. (B). The parliemantary types of government Merupakan
sebutan yang diberikan oleh Alan R. Ball terhadap sistem
pemerintahan parlementer.
7. (C) The parliemantary executive merupakan istilah yang
dikemukakan C. F Strong terhadap sistem pemerintahan
parlementer
8. (A) The non parliemantary atau the fixed executive
merupakan nama yang diberikan oleh C. F Strong
terhadap siste pemerintahan presidensiil?
9. (A) The presidential type of government merupakan
nama yang diberikan Allan R. Ball terhadap siste
pemerintahan presidensiil?
10. (C) Separation of power merupakan istilah yang
diberikan R Kranenburd terhadap sistem pemerintahan
presidensiil.
Tes Formatif 2
1. Lembaga-lembaga membutuhkan suatu kerangka kerja
yang terdiri dari prinsip-psinsip dari mana mereka
memperoleh kepercayaan. Kerangka kerja itu adalah
sebuah konstitusi. Untuk menganalisis kerangka kerja
paham kelembagaan dapat ditelusuri melalui dua asas
kerja yaitu; Asas kerja pertama; yang membuat kerangka
kerja berjalan dalam menghidupkan dan menghasilkan
keputusan serta undang-undang adalah persaingan.
Masalahnya adalah harus adanya mekanisme untuk

224
mencegah persaingan agar tidak menjurus pada
kekacauan. Cara melakukan ini adalah melalui
pemilihan, dimana melalui proses pemilihan, persaingan
perorangan dipakai untuk menghasilkan manfaat
kolektiff. Dengan demikian doktrin persaingan
menerjemahkan politik ke dalam pemilihan, persaingan
antara partai dan pengawasan serta penyeimbangan yang
diselenggarakan melalui pemisahan kekuasaan badan-
badan pemerintahan atau melalui pengawasan kekuasaan
eksekutif oleh parlemen. Asas kerja kedua; sesuai
dengan pemikiran montesqiue mengenai pengawasan dan
penyeimbangan. Konstitusi mungkin merupakan produk
pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dari pemerintahan, atau mungkin
merupakan akibat pengawasan parlemen terhadap
eksekutif. Ketiga badan pemerintahan tersebut adalah
otonom yang harus bekerjasama bila undang-undang dan
kebijakan akan dibuat. Persaingan antara ketiga badan itu
memisahkan mereka, karena masing-masing tidak suka
terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh badan-
badan lain terhadap kekuasaannya. karena terpisah, maka
mereka sering mengawasai kekuasaan masing-masing.
Demikianlah persaingan yang dipadukan dengan
pemisahan kekuasaan di antara ketiga badan
pemerintahan itu dan sistem pemungutan suara di mana
para calon pejabat bersaing berdasarkan pada penampilan
kerja dan janji-janji mereka, mengakibatkan terbatasnya
kekuasaan pemerintah.
2. Ciri-ciri sistem pemerintahan (Parlementer, Presidensiil
dan Campuran)

225
 Empat ciri sistem pemerintahan parlementer
menurut SL Witman dan JJ.Wuest, yaitu:
1. it is based upon the diffusion of powers
principle
2. there is mutual responsibility between the
executive and the legislature, hence the
executive may dissolve the legislature or the
must resign together with the rest of the cabinet
when his policies are nt longer accepted by the
majority of the membership in the legislature
3. there is mutual responsibility between the
executive and the cabinet
4. the executive (prime minister, premier or
chancellor) is chosen by the titular head of
state (Monarch or President, according to the
support of the majority in the legislature.
 Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Campuran :
1. Menteri-menteri dipilih oleh parlemen.
2. Lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan
dengan pasti dalam konstitusi.
3. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik
kepada parlemen maupun kepada presiden.

E. DAFTAR PUSTAKA
Apter, E. David, 1985, Pengantar Analisa Politik, LP3ES,
Jakarta
Blondel, J. 1995. Comparative Government: An Introduction;
Second Edition.
Demokrasi Modern, Penerbit Abardin, Bandung
F. Isjwara, ; 1980, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung

226
I Made Pasek Diantha, 1990, Tiga Tipe pokok Sistem
Pemerintahan dalam
Johari, J.C. 1990. Comparative Politics; Revised & Enlarged
Edition. Sterling
Persada, Jakarta
Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf. London
Publishers Pvt. Ltd. New Delhi. JH, Price. 1975. Comparative
Government, London.
Rodee, C.C dkk, 1995, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan), PT.
RajaGrafindo

227
GLOSARIUM

Input : Masukan untuk sistem politik.


Output : Hasil, produk, atau keluaran.
Withinput : sesuatu yang timbul sebagai akibat
langsung dari sistem politik itu sendiri.
Feedback : Arus balik.
Lingkungan : semua sistem, baik sosial maupun fisik
yang bukan termasuk dalam sistem
politik.
Artikulasi kepentingan : Perumusan kepentingan.
Agregasi kepentingan : Penggabungan kepentingan.
Intrasocietal : Komponen dalam suatu sistem politik.
Extrasocietal : Semua sistem di luar sistem politik.
Kapabilitas : Kemampuan sistem politik dalam
mengatasi pengaruh lingkungan dalam
ataupun luar.
Sosialisasi politik : Proses di mana sikap-sikap politik dan
pola-pola tingkah laku politik diperoleh
dan dibentuk. Sosialisasi politik
menjadi sarana bagi suatu generasi
untuk menyampaikan patokan-patokan
politik dan keyakinan-keyakinan politik
kepada generasi berikutnya.
Komunikasi politik : Pengiriman, penerimaan, dan
pemrosesan pesan yang mempunyai
pengaruh (impact) yang signifikan
terhadap politik.
Rekruitmen politik : Suatu proses di mana pengerahan,
pencarian, dan pengajakan anggota

228
masyarakat untuk aktif dalam kegiatan
politik.
Deskripsi (fungsi teori) : teori memberikan penjelasan,
gambaran atau analisa terhadap sebuah
fenomena politik.
Guidance (fungsi teori) : memandu dalam melaksanakan sebuah
model atau program rekayasa sosial.
Dalam sebuah teori, terdapat adanya
sebuah cirri atau karakteristik yang
khas.
Kebijakan : sebagai suatu tindakan yang dibuat oleh
seseorang atau sekelompok orang
dalam menentukan tujuan, serta sarana
dan metode yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Kepentingan : usaha, upaya atau strategi dalam
mewujudkan keinginan atau kebutuhan
Kritik (fungsi teori) : memberikan komentar kritis terhadap
sejumlah perilaku politik yang terjadi.
Polis berarti negara kota: suatu masyarakat yang mampu
mengurus diri sendiri atau mandiri,
sedangkan taia berarti urusan.
Prediksi (fungsi teori) : memberikan penjelasan mengenai
sejumlah kemungkinan sosial politik
yang bakalan terjadi bila sebuah
perilaku politik tertentu terjadi.
Structural : cirri yang menunjukkan hubungan
(ciri teori politik) antara konsep-konsep teoritik.

229
Substantif : isi dari empirik itu sendiri. Misalnya
(cirri teori politik) praktek pemilihan umum, praktek
demontrasi sebagai wujud partisipasi
politik
Teori politik : bahasan dan generalisasi terhadap
fenomena yang bersifat politis
(menurut Mirriam Budiardjo, 1992:30).
Zoon politicon : istilah Aristoteles, yang diartikan
(makhluk politik) sebagai man is by nature a political
animal.

230
CURRICULUM VITAE

IDENTITAS DIRI

Nama : ANWAR SADAT, S.Sos., M.I.P


Nomor Peserta :
NIDN/NIK : 0919097504
Tempat dan Tanggal Lahir : OLLO, 19 SEPTEMBER 1975
Jenis Kelamin : □ Laki-laki □ Perempuan
Status Perkawinan : □ Kawin □ Belum Kawin
□ Duda/Janda
Agama : ISLAM
Golongan / Pangkat : III/B / Penata Muda Tingkat I
Jabatan Akademik : ASISTEN AHLI
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah
Buton
Alamat : JL. Betoambari No. 36 Kota
Baubau
Telp./Faks. : 0402-2827038 / 0402-2827038
Alamat Rumah : Jl. Perintis. RT.001/RW.OO3 Kel.
Katobengke Kec. Betoambari
Kota Baubau Sulawesi Tenggara
HP : 0852-4162-8575
Alamat e-mail : nuansa9@Gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Tahun Program Program


Perguruan Tinggi
Lulus Pendidikan Studi
1999 SARJANA Universitas Sulawesi Ilmu
Tenggara (UNSULTRA) Komunikasi

231
Tahun Program Program
Perguruan Tinggi
Lulus Pendidikan Studi
2014 MAGISTER Universitas Ilmu
Muhammadiyah Pemerintahan
Yogyakarta (UMY)

PELATIHAN PROFESIONAL

Jangka
Tahun Jenis Pelatihan Penyelenggara
waktu
2012 Pelatihan Sertifikasi Universitas 26-30
Keahlian Pengadaan Diponegoro Maret
Barang dan Jasa 2012
Pemerintah
2012 Pelatihan Student Universitas 10-13
Centered Learning Diponegoro April
(SCL) 2012
2012 Pelatihan Pengembangan Universitas 23-28
Keterampilan Dasar Diponegoro April
Teknik Intruksional 2012
(PEKERTI)
2012 Pelatihan Applied Universitas 21-26
Approach (AA) Diponegoro Mei 2012
2013 Sosialisasi Pancasila, MPR RI 13-17
Undang-undang Dasar Juni 2013
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2015 Pelatihan Public Universitas 30 Juni
Speaking Diponegoro 2015
2015 Pelatihan Applied KOPERTIS IX 13-15
Approach (AA) Makassar Agustus
2015
2016 Workshop Strategi Asosiasi Dosen Ilmu 27
Sukses Publikasi Pemerintahan Januari
Internasional seluruh Indonesia 2016

232
PENGALAMAN MENGAJAR

Program Institusi/Program Sem/Tahun


Mata Kuliah
Pendidikan Studi Akademik.
Kepemimpinan Sarjana Unismuh. Semester
dalam Buton/Ilmu Ganjil /
Pemerintahan Pemerintahan 2014-2015
Administrasi Sarjana Unismuh. Semester
Keuangan Buton/Ilmu Ganjil /
Negara Pemerintahan 2014-2015
Birokrasi di Sarjana Unismuh. Semester
Indonesia Buton/Ilmu Genap /
Pemerintahan 2014-2015
Perimbangan Sarjana Unismuh. Semester
Keuangan Buton/Ilmu Genap /
Negara Pemerintahan 2014-2015
Sistem Sarjana Unismuh. Semester
Pemerintahan Buton/Ilmu Genap /
Indonesia Pemerintahan 2014-2015
Teori Sarjana Unismuh. Semester
Perbandingan Buton/Ilmu Ganjil /
Ilmu Pemerintahan 2015-2016
Pemerintahan
Etika Sarjana Unismuh. Semester
Pemerintahan Buton/Ilmu Ganjil /
Pemerintahan 2015-2016
Metode Sarjana Unismuh. Semester
Penelitian Sosial Buton/Ilmu Ganjil /
Pemerintahan 2015-2016
Metodologi Sarjana Unismuh. Semester
Penelitian Buton/Ilmu Genap /
Pemerintahan 2016-2017

233
BAHAN AJAR

Program Jenis Bahan Sem/Tahun


Mata Kuliah Pendidikan Ajar (cetak dan Akademik.
non cetak)
Kepemimpinan Sarjana Unismuh. Semester
dalam Buton/Ilmu Ganjil / 2014-
Pemerintahan Pemerintahan 2015
Administrasi Sarjana Unismuh. Semester
Keuangan Negara Buton/Ilmu Ganjil / 2014-
Pemerintahan 2015
Birokrasi di Sarjana Unismuh. Semester
Indonesia Buton/Ilmu Genap / 2014-
Pemerintahan 2015
Sistem Sarjana Unismuh. Semester
Pemerintahan Buton/Ilmu Genap / 2014-
Indonesia Pemerintahan 2015
Etika Sarjana Unismuh. Semester
Pemerintahan Buton/Ilmu Genap / 2015-
Pemerintahan 2016
Metode Penelitian Sarjana Unismuh. Semester
Sosial Buton/Ilmu Ganjil / 2015-
Pemerintahan 2016

PENGALAMAN PENELITIAN

Ketua/anggota Sumber
Tahun Judul Penelitian
Tim Dana
Pengukuran Kinerja
Keputusan Anggaran Daerah
(Studi Penerapan Balance
2014 Ketua Mandiri
Scorecard pada Tim
Aanggaran Pemerintahan
Daerah Kota Baubau)
Proses Evaluasi Alokasi
2014 Anggaran Pengeluaran Ketua Mandiri
Pemerintah Daerah

234
Ketua/anggota Sumber
Tahun Judul Penelitian
Tim Dana
Kabupaten Wakatobi
Persepsi Pejabat Birokrasi
Pemerintah Dalam
2015 Kewirausahaan (Studi Pada Ketua UM.Buton
Pegawai Sekretariat Daerah
Kabupaten Buton)
Fenomena Golput di
Kecamatan Pasarwajo
2015 Kabupaten Buton pada Ketua UM.Buton
Pilkada Buton Tahun 2012-
2017
Sinergi Birokrasi, Swasta Dan
Masyarakat Dalam Proses
Formulasi Kebijakan Pemda
2015 Ketua
Perencanaan Pada Bappeda Buton
Dan Penanaman Modal
Kabupaten Buton
2016 Budaya Birokrasi Dalam
Peningkatan Pelayanan Publik Pemda
Ketua
Pada Dinas Pendidikan Buton
Kabupaten Buton
2016 Dampak Kerusakan Hutan
Lambusango terhadap
Lingkungan akibat aktivitas Ketua UM.Buton
Penambangan di Kabupaten
Buton
2017 Penyelenggaraan
MUSREMBANGDES di
Ketua UM.Buton
Kecamatan Sampolawa
Kabupaten Buton Selatan

KARYA ILMIAH*
A. Buku/Bab Buku/Jurnal
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2014 PengukuranKinerja Keputusan Journal of Governance
Anggaran Daerah (Studi Penerapan and Public Policy

235
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
Balance Scorecard pada TAPD)
Jenis : Jurnal Nasional
Terakreditasi/ISSN : 2355-
8695/Volume1 No. 1 Hal. 141-172
2015 Fenomena Golput di Kecamatan Jurnal Ilmiah
Pasarwajo Kabupaten Buton pada Sang Pencerah
Pilkada Buton Tahun 2012-2017
Jenis : Jurnal Nasional Tidak
Terakreditasi / ISSN 2460-
5697/Vol. 1 No. 2 Tahun2015

2015 Hubungan Legilatif dan Eksekutif Indonesian


dalam Proses Penetapan Perda Association for
Kabupaten Buton Public
Jenis : Prosiding/ ISBN. 9 786027 Administratian
243408.Hal.206-210. (IAPA)
2016 Efektivitas Kinerja Badan Jurnal Ilmiah
Penanggulangan Bencana Daerah Kybernat
Dalam Pengurangan Resiko Fakultas Ilmu Sosial
Bencana Di Kota Baubau dan Ilmu Politik
Jenis : Jurnal Nasional Tidak Universitas
Terakreditasi/ ISSN. Muhammadiyah
Buton
2016 Budaya Birokrasi Dalam Fakultas Ilmu Sosial
Peningkatan Pelayanan Publik Pada dan Ilmu Politik
Dinas Pendidikan Kabupaten Buton Universitas
Jenis : Prosiding/ ISSN. 2502-7832 Muhammadiyah
Hal. 1195-1208 Ponorogo
2017 Penyelenggaraan Universitas Sumatra
MUSREMBANGDES di Utara Medan
Kecamatan Sampolawa Kabupaten
Buton Selatan
Jenis : Prosiding/
*termasuk karya ilmiah dalam bidang ilmu
pengetahuan/teknologi/seni/desain/olahraga

236
KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM

Panitia/
Tahun Jenis Judul Kegiatan Penyelenggara peserta/
pembicara
2014
2015 Seminar Pengembangan Indonesian
Nasional Kapasitas Association for
Pemerintah Public
Daerah Administration
Menghadapi (IAPA) Pembicara
ASEAN
Economic
Community
2015
2016 Musyawa- Pemilihan Asosiasi Dosen
rah Pengurus Ilmu
Nasional ADIPSI dan Pemerintahan
dan Workshop seluruh Peserta
Workshop Strategi Indonesia
Publikasi
Internasional
2016 Seminar Evaluasi Universitas
Nasional PILKADA Muhammadi-
Serentak : yah Ponorogo
Membangun
Kesadaran
Politik dan
Pembicara
Komunikasi
Partisipatoris
Menuju
Penguatan Tata
Kelola
Pemerintahan
2017 Seminar Pengembangan Indonesian
Nasional Inovasi untuk Association for
Pembicara
Pembangunan Public
yang Administration

237
Panitia/
Tahun Jenis Judul Kegiatan Penyelenggara peserta/
pembicara
Berkelanjutan (IAPA)
Sumatra Utara

KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA


MASYARAKAT

Tahun Jenis/Nama Kegiatan Peran Tempat


Kelurahan
Penyuluhan dengan Tema
Kalialia
Penyuluhan Koperasi
2014 Narasumber Kecamatan
UKM di Kelurahan
Kokalukuna Kota
Kalialia
Baubau
2014 Sosialisasi dengan Tema Aula Sekretariat
Peran Aparatur Daerah
Pemerintah Kota Baubau Narasumber Palagimata Kota
dalam Mewujudkan Baubau
Good Government
2015 Manajemen Produk
Unggulan Bagi UKM dan
Manajemen Narasumber Kabupaten Buton
Kewirausahaan Bagi
UKM
2015 Lokalatih Citizen Report
Card (CRC) Bidang Koordinator Kabupaten Buton
Pendidikan dan Kesehatan
2016 Pengelolaan Keuangan
Narasumber Kabupaten Buton
Desa
2016 Manajemen Organisasi
dan Peningkatan Kualitas Narasumber Kabupaten Buton
Pemasaran Bagi UKM
2017 Pendampingan Kelompok
Nelayan dan Kelompok Ketua Kabupaten Buton
Tani

238
ORGANISASI PROFESI/ILMIAH

Jabatan/jenjang
Tahun Jenis/ Nama Organisasi
keanggotaan
2016 Assosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Anggota
Seluruh Indonesia

Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam


Curriculum Vitae ini adalah benar dan apabila terdapat
kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.

......................., .................. 2017


Yang menyatakan,

(ANWAR SADAT, S.Sos, M.I.P.)

239

Anda mungkin juga menyukai