Barid Hardiyanto
1 Tony Robbins atau Anthony Jay Robbins adalah penulis, pelatih, pembicara, serta anggota
kaum dermawan Amerika. Robbins dikenal karena infomersial, seminar, dan buku self-
help-nya termasuk buku Unlimited Power (diterbitkan tahun 1987) dan Awaken the Giant
Within (diterbitkan tahun 1993) serta seminar-seminarnyanya yang diselenggarakan
melalui Robbins Research International. https://en.wikipedia.org/wiki/Tony_Robbins,
diunduh tanggal 31/08/2021.
Pengantar v
sumber daya yang tengah kita (Kementrian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional) atau segenap pemangku
kepentingan lalukan saat ini.
Sebagai institusi ATR/BPN yang tugas utamanya mendidik,
meneliti, mengabdi, STPN harus menghasilkan produk-produk
indentifikasi yang jauh lebih bermutu dibandingkan satuan-
satuan kerja yang lain. Kesempatan untuk berperan seperti
itu tentunya sangat terbuka luas. Jejaring yang dimiliki serta
kompetensi keilmuan yang ada pada individu-inidividu di
dalamnya sangat membantu untuk menghasilkan indentifikasi-
identifikasi persoalan yang komprehensif. Dengan sumber daya
yang dimiliki STPN saat ini identifikasi-identifikasi masalah-
masalah agraria dan pertanahan, di samping komprehensif juga
kami harapkan semakin membumi. Pertautan teori serta praktik
yang kental akan menjadikan informasi hasil identifikasi itu tepat
secara praksis dan logis secara teoretis.
Dalam konteks yang lebih mikro buku ini juga tidak kurang
manfaatnya. Di tahun menulis yang sudah kita canangkan di awal
tahun 2021 ini, kehadiran buku, yang notabene berasal dari penulis
luar STPN, mudah-mudahan menjadi penyemangat kepada para
penulis serta calon penulis dari lingkungan STPN untuk kembali
menuangkan gagasan serta angan-angannya dalam tulisan-tulisan
bermutu. Kedua, di samping karena substansinya, kita juga masih
akan terus melakukan skema penerbitan seperti ini karena kita
masih harus terus berupaya membangun jejaring dengan berbagai
pihak. Mudah-mudahan dengan bangunan jejaring yang ada dan
tengah kita bangun pada akhirnya manfaatnya akan kembali lagi
kepada kita. Ketiga, perspektif yang dibawa oleh tulisan ini kami
harapkan memperkaya serta memperkuat perspektif-perspektif
Pengantar vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih ix
Terima kasih kepada Mas Deden dan Mas Luthfi serta teman-
teman di STPN Press yang telah bersedia menerbitkan karya
ini. Dan kepada siapa saja yang mohon maaf mungkin lupa tidak
disebutkan tapi saya yakin “jaringan” ini mempunyai relasi hebat
bagi perjalanan selama ini
BARID HARDIYANTO
Daftar
Daftar
Tabel
Isi xi
Minimnya Akses Masyarakat Atas Tanah sebagai
Pemicu Konflik Pertanahan......................................................36
Ikhtisar..............................................................................................40
BAB 3 PERTARUNGAN KEPENTINGAN DAN PEREBUTAN
KUASA AGRARIA........................................................43
Pengantar.........................................................................................43
Pertarungan Kepentingan dalam Perumusan
Kebijakan..........................................................................................44
Pertarungan Kepentingan dalam Implementasi
Kebijakan..........................................................................................54
Kebersamaan dan Persilangan Antara Masyarakat dan
Pemerintah......................................................................................70
Interpretasi Temuan Lapangan..............................................73
Ikhtisar..............................................................................................79
BAB 4 ARTIKULASI KEPENTINGAN PETANI: INTERAKSI
PENGALAMAN PRIBADI DENGAN KONDISI SOSIAL
YANG MELINGKUPINYA.............................................85
Pengantar.........................................................................................85
Kontribusi Petani dalam Perumusan Kebijakan.............87
Ragam Metode dalam Pelibatan Perumusan
Kebijakan.......................................................................................111
Interpretasi Temuan Lapangan...........................................128
Ikhtisar...........................................................................................129
BAB 5 IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA........................131
Pengantar......................................................................................131
Dirumuskan Petani Diambil Alih oleh Pemerintah.....133
Daftar Pustaka................................................................................................157
Riwayat Penulis..............................................................................................171
Daftar Tabel xv
DAFTAR GAMBAR
Pengantar
PERTARUNGAN
KEPENTINGAN
Kondisi Wilayah
Total
Hutan Lain-
No. Desa Sawah Pekarangan Tegalan Perkebunan Luas
Negara lain
Wilayah
1. Mekarsari 140 133 96 0 597 28 994
2. Caruy 350 64 68 28 151 21 682
3. Kutasari 360 87 109 0 293 8 857
4. Sidasari 136 85 154 0 440 22 847
5. Karangreja 45 157 343 144 757 155 1.601
Jumlah 1.032 526 770 172 2.238 234 4.971
Rata- Rata-
Rata-rata
Jumlah rata rata Luas
Jumlah Luas Luas Luas
Rumah Luas Sawah+
No. Desa Penduduk Sawah Tegalan Sawah/
Tangga Tegalan Tegalan
(Jiwa) (ha) (ha) KK
(KK) KK KK
(m2)
(m2) (m2)
1. Mekarsari 4.688 1.266 140 96 1.106 758 1.864
2. Caruy 5.467 1.426 350 68 2.454 477 2.931
3. Kutasari 5.681 1.447 360 109 2.488 753 3.241
4. Sidasari 4.771 1.204 136 154 1.130 1.279 2.409
5. Karangreja 3.930 1.004 45 343 448 3.416 3.865
Jumlah 24.537 6.347 1.032 770
35
Berdasarkan data di atas, luas kepemilikan rata-rata sawah
dan tegalan berada pada angka 1.337 m2. Angka ini menunjukkan
bahwa para petani yang ada di lima desa tersebut tergolong
sebagai petani kecil/gurem. Di Indonesia, definisi petani kecil/
gurem mengacu pada luas lahan usaha tani. Sayogyo (1977)
mengelompokkan petani di Jawa ke dalam tiga kategori, yaitu
petani skala kecil dengan luas lahan usaha tani <0,5 ha, skala
menengah dengan luas lahan usaha tani 0,5 ha–1 ha, dan skala
luas/besar dengan luas lahan >1,0 ha. Badan Pusat Statistik
(BPS) juga mengadopsi definisi yang sama untuk pengelompokan
rumah tangga petani menurut luas lahan usaha tani.
Melihat hal itu, faktor kunci untuk meningkatkan
kesejahteraan petani gurem agar keluar dari kemiskinan, yaitu
melalui peningkatan akses penguasaan lahan petani melalui land
reform. Dalam konteks land reform di Cipari, para petani gurem
tersebut dapat mencukupi kebutuhan akan tanahnya dari tanah
negara, baik tanah perkebunan maupun kehutanan.
Minimnya Akses Masyarakat Atas Tanah sebagai Pemicu
Konflik Pertanahan
Jauh sebelum Presiden RI ke-6, SBY menyerahkan sertifikat
tanah kepada sepuluh orang yang merupakan perwakilan dari
5.141 orang pada 21 Oktober 2010, sejarah atas konflik tanah
di Cipari sudah berlangsung lama, yakni semenjak 1908. Dalam
Setiaji (2011), dipaparkan bahwa asal muasal konflik lahan di
lima desa tersebut bisa ditelusuri dari sejarah—yang sekarang
disebut dengan—Desa Caruy.
Desa Caruy dahulunya merupakan hutan yang berada di
bawah Kademangan Pegadingan, Kadipaten Cisagu. Pada 1794,
Ronggowiyudo atau Nayapurwa, saudara dari Adipati Cisagu,
Ikhtisar
Lima desa yang berada di wilayah penelitian ini mempunyai
potensi ketimpangan agraria yang cukup mencolok. Pada sisi lain,
sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang
pertanian. Namun demikian, kepemilikan lahan mereka sangatlah
kecil, yakni hanya 0,13 ha. Ini menandakan mereka masuk
dalam petani gurem. Kondisi ini berbanding terbalik dengan
kepenguasaan lahan oleh perusahaan swasta dan pemerintah,
yang kemudian menimbulkan ketidakadilan agraria.
Dalam konteks kesejarahan, terdapat perbedaan klaim
atas tanah perkebunan yang kemudian menjadi konflik agraria.
Masyarakat beranggapan bahwa tanah tersebut merupakan
tanah yang dibuka oleh mereka dan kemudian dianggap sebagai
Pengantar
verklering
Sebelum Tanah dibuka oleh Memberlakukan domein Perusahaan milik orang
Kemerdekaan masyarakat untuk Belanda mengambil alih
ditanami tanaman lahan masyarakat dan
pangan dan hunian menjadikannya sebagai
tanah perkebunan
Orde Lama Petani dengan Memberlakukan Perusahaan swasta
dukungan dari BTI nasionalisasi yang di dalamnya berisi
mengupayakan tanah para tentara menguasai
Untuk melihat lebih jauh pertarungan kepentingan dalam implementasi reforma agraria
maka menjawab pertanyaan dari Bernstein (2010) dan White (2011) tentang (1) siapa menguasai
sumber agraria apa (who owns what?); (2) siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap
sumber agraria tersebut (who does what?); (3) siapa memperoleh hasil apa dari aktivitas produksi
tersebut (who gets what?); (4) digunakan untuk apa hasil produksi tersebut (what do they do with
it?), dan (5) apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dan/atau yang berkepentingan
kepada sesama mereka satu samalain (what do they do toeach other?) akan mempermudah kita
melakukan analisis atas kekuasaan yang terdapat didalamnya.
59
Cipari, tentang kekuasaan yang menyebar juga terjadi, seperti diutarakan oleh TRM (petani
penggarap) dan WHY (kepala desa) yang menyebutkan bahwa
pada beberapa titik terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat
dan tidak diganggu oleh pihak perkebunan.
Dari berbagai pernyataan di atas, tampak bahwa memang
secara faktual masyarakatlah yang menguasai lahan tersebut.
Model semacam ini sebetulnya jamak terjadi di wilayah konflik
agraria di mana masyarakatnya punya “kekuatan”. Secara de facto,
masyarakatlah yang menguasai lahan, meskipun secara hukum
normatif kekuasaan atas lahan tersebut ada pada swasta atau
pemerintah.
Dalam hal inilah, memang perlu ada perbaikan tafsir atas
makna penguasaan sumber agraria. Sesungguhnya banyak kasus
dalam konflik agraria yang memang secara faktual sumber daya
agraria tersebut telah dikuasai secara penuh oleh masyarakat
dan negara tidak dapat melakukan intervensi. Salah satu bentuk
keberhasilan masyarakat untuk memenangkan kasus ini adalah
pihak PT RSA tidak mempunyai bukti yang cukup kuat tentang
“sejarah penguasaan” lahan. Disinilah, tampak bahwa kekuasaan
atas sumber agraria sesungguhnya tidak bersifat absolut hanya
pada satu aktor saja.
Namun demikian, di tengah kuasa aktor masyarakat
atas aktor lain, pada kondisi tertentu aktor masyarakat pun
mempunyai kekuasaan yang terbatas. Demikian halnya dengan
keterbatasan kekuasaan pada level pemerintah, seperti yang
terjadi pada BS yang menganggap bahwa kekuasaannya sebagai
anggota legislatif terbatas oleh kekuasaan eksekutif, dalam hal ini
SBY, karena pada waktu itu partainya bukan merupakan partai
penguasa. Kondisi ini semakin diperjelas dengan realitas bahwa
dalam hal “siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap
Implementasi
Era Aktor Perumusan Kebijakan
Reforma Agraria
Rakyat Mendesak pelaksanaan land Menjalankan aksi sepihak
reform
Negara Melakukan nasionalisasi dengan Mengusir petani dari lahannya
memberikan HGU kepada PT. dan membuat penampungan
Orde Lama
Rumpun (berafiliasi dengan
tentara)
Swasta Mendorong nasionalisasi dan Menjalankan HGU
Pengantar
Pengalaman Kondisi
Bentuk Reaksi
Individu Sosial
Petani
Melakukan Era Orde Mengerjakan lahan karena
trukah Lama merasa mendapatkan
dukungan dari BTI.
Melakukan Era Orde Baru Mengerjakan lahan tapi
trukah “kucing-kucingan“.
Ada yang memperjuangkan
hak atas tanah tetapi
diintimidasi, diculik, dan
dibunuh.
Melakukan Era Reformasi Mengerjakan lahan secara
trukah terbuka.
Memperjuangkan hak atas
tanah secara terbuka.
Ikhtisar
Berdasarkan temuan penelitian dan intepretasinya tentang
bagaimana kontribusi petani mengartikulasikan kepentingannya
dalam perumusan kebijakan menunjukan beberapa temuan
diantaranya: pertama, artikulasi kepentingan petani dan metode
yang digunakan dalam perumusan kebijakan dipengaruhi oleh
interaksi antara pengalaman individu dengan kondisi sosial
yang dihadapinya. Kedua, kontribusi petani dalam perumusan
kebijakan dilakukan dengan berjejaring dengan aktor lain
diantaranya; aktivis, LSM dan politisi proreforma agraria.
Pengantar
Tidak hanya itu pembagian lahan ini juga tidak diikuti dengan
pemberian sarana pendukung lainnya sebagaimana yang menjadi
syarat reforma agraria yang disampaikan oleh JW selaku kepala
BPN yakni Asset + Access Reform.
Ikhtisar
Menurut temuan lapangan setidaknya terdapat tujuh hal
implikasi buruk yang dirasakan oleh petani. Pertama, tidak
terjadi perubahan dalam mengatasi ketimpangan agraria. Kedua,
pembagian lahan tidak diikuti dengan pemberian daya dukung
paska redistribusi dan juga berimpilikasi tidak membuat petani
sejahtera. Ketiga, terjadi reakumulasi tanah. Keempat, tanah yang
telah didapatkan diperjualbelikan. Kelima, adanya ketidakjelasan
antara pemilik sertifikat danlahan garapannya. Keenam, imbas
dari ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan lahan garapan
membuat pemerintahan desa kesulitan untuk memungut
pajak. Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat
berpengaruh pada upaya SeTAM untuk memperjuangkan kasus
tanah lainnya.
Dalam bagian ini terlihat bahwa artikulasi kepentingan petani
yang dilakukan dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria telah diambil alih oleh pemerintah dari level atas
EPILOG
Epilog 151
level atas sampai bawah. Temuan ketiga menampakkan bahwa
perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria justru
berimplikasi buruk bagi petani.
Ketiga temuan di atas, meneguhkan tesis dalam penelitian
ini bahwa terdapat incompatibility/ketidaksesuaian antara
kebijakan teknokrasi pemerintah dengan artikulasi kepentingan
rakyat. Reforma Agraria yang pengertiannya Landreform Plus
tereduksi hanya sekedar bagi-bagi tanah saja, tidak berbeda sama
sekali dengan konsep landrefom pada masa lalu. Faktor ini terjadi
karena lingkungan politik yang makin dangkal oleh karena cara
pandang politik populis pada saat itu.
Refleksi Teoritis
Dalam konteks global, buku ini memperkuat sinyalemen
bahwa pasca-1970, reforma agraria yang dijalankan adalah
reforma agraria yang menghadapkan petani penggarap dengan
tanah negara, bukan dengan tuan tanah (Fauzi, 2017). Yang
sedikit membedakan adalah redistribusi yang dilakukan atas
tanah negara ternyata memunculkan tuan tanah baru, yakni para
pembeli lahan. Di masa yang akan datang, bisa saja reakumulasi
tanah tersebut kembali menjadi objek reforma agraria. Suatu
penelitian lanjutan yang juga menarik dibahas di masa yang akan
datang.
Buku ini juga meneguhkan pentingnya pelaksanaan land
reform plus atau reforma agraria bukan hanya membagi lahan,
tetapi juga bagian dari transformasi masyarakat (Ladejinsky,
1964; Feder 1965; Wiradi, 2009, White & Borras, 2014). Namun
demikian, land reform plus atau reforma agraria tersebut tidak
boleh hanya berhenti pada jargon apalagi untuk kepentingan
Epilog 153
Buku ini juga diperkaya dengan analisis bahwa pemikiran
dan tindakan tidak hanya dipengaruhi salah satu faktor, tetapi
juga ragam faktor yang saling menguatkan sekaligus juga dapat
melemahkan karena adanya keterbatasan dari tiap-tiap aktor. Hal
inilah yang diharapkan menjadi pertimbangan pemerintah dalam
membangun desain kebijakan dan implementasi reforma agraria.
Dalam konteks kontribusi untuk ilmu administrasi dan kebijakan
publik, disertasi ini dapat menyumbang pada penggunaan
perspektif kritis, diskursus ideologi dalam administrasi publik,
lintas disiplin ilmu, dan kajian dalam ilmu administrasi di
mana selama ini masih banyak yang menggunakan pendekatan
normatif, administratif, dan kajian yang hanya melihat pada sisi
birokrasi negara.
Buku ini memperlihatkan beberapa hal yang penting
menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikan reforma agraria. Beberapa hal penting
tersebut antara lain: pertama, konsep Reforma Agraria harus
diwujudkan dalam bentuk land reform plus. Hal ini untuk
memastikan bahwa petani dapat mengelola tanah yang
diredistribusi dan mendapatkan hasil yang maksimal sehingga
dapat membuat peningkatan kesejahteraan bagi petani. Di
mana pada akhirnya akan terjadi perubahan relasi/transformasi
bagi petani. Kedua, model redistribusi yang diberikan harus
betul-betul mempertimbangkan kapasitas petani. Keberadaan
kompensasi saat redistribusi petani di Cipari pada gilirannya
memberatkan petani dan kemudian berdampak reforma agraria
yang dijalankan di Cipari justru berimplikasi buruk bagi petani.
Ketiga, Proses perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria harus bersifat inklusif dengan melibatkan para aktor.
Semua aktor yang berada di masyarakat, pemerintah, maupun
Epilog 155
156 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
DAFTAR PUSTAKA
Website:
http://kab-cilacap.atrbpn.go.id/Statistik/kasus-cilacap-
landreform-terbesar-era-reformasi-10966.aspx
https://indoprogress.com/2012/02/sketsa-perkembangan-
reforma-agraria-dan-studi-agraria/
http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/94/Gagasan_
Reforma_Agraria_Kedua_Calon_Presiden_Harus_Kongkrit/
https://news.detik.com/berita/d-386169/pbhi-
perpres-362005–cacat-hukum