Anda di halaman 1dari 190

KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA

DI ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


(dari Formulasi ke Implementasi)

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY i


Pasal 113 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA
DI ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
(dari Formulasi ke Implementasi)

Barid Hardiyanto

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY iii


KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA
DI ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
(dari Formulasi ke Implementasi)

Penulis: Barid Hardiyanto


Editor: R Deden Dani Saleh, Dwi Wulan Pujiriyani, Dani Iswahyuni,
Dwi Wahyuningrum
Tataletak: @mh.afnan
Desain kover: RGB Desain
Cetakan I: Oktober, 2021
Diterbitkan oleh:
STPN Press
Anggota IKAPI (No. 127/Anggota Luar Biasa/DIY/2020)
Jl. Tata Bumi No.5, Banyuraden, Gamping, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55293
Tlp. (0274) 587239, ext: 351
Faxs: (0274) 587138
Website. www.pppm.stpn.ac.id
E-mail: stpn_press@stpn.ac.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
(dari Formulasi ke Implementasi)
STPN Press, 2021
XVI + 172 hlm.: 145 x 205 mm
ISBN: 978-602-7894-28-0

Buku ini tidak diperjualbelikan


Diperbanyak untuk kepentingan pendidikan,
pengajaran, dan penelitian

iv Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


PENGANTAR KETUA STPN

“Identify your problems, but give your power and energy to


solutions” (Tony Robbins1)

S ebagaimana quote di atas, kami menyebut buku ini sebagai


sarana identifikasi persoalan. Dalam quote tersebut kami
kira pembuatnya tidak bermaksud mengecilkan arti identifikasi
persoalan. Kami pun berpikir demikian. Pengerahan segala
sumber daya untuk menyelesaikan sebuah persoalan akan
menjadi efektif dan efisien jika identifikasi sudah dilakukan
dengan sangat baik bahkan harus sesempurna mungkin. Sebagai
bagian dari identifikasi persoalan, buku ini kami yakini akan
menyumbang pada efisiensi serta efektivitas pengerahan segala

1 Tony Robbins atau Anthony Jay Robbins adalah penulis, pelatih, pembicara, serta anggota
kaum dermawan Amerika. Robbins dikenal karena infomersial, seminar, dan buku self-
help-nya termasuk buku Unlimited Power (diterbitkan tahun 1987) dan Awaken the Giant
Within (diterbitkan tahun 1993) serta seminar-seminarnyanya yang diselenggarakan
melalui Robbins Research International. https://en.wikipedia.org/wiki/Tony_Robbins,
diunduh tanggal 31/08/2021.

Pengantar v
sumber daya yang tengah kita (Kementrian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional) atau segenap pemangku
kepentingan lalukan saat ini.
Sebagai institusi ATR/BPN yang tugas utamanya mendidik,
meneliti, mengabdi, STPN harus menghasilkan produk-produk
indentifikasi yang jauh lebih bermutu dibandingkan satuan-
satuan kerja yang lain. Kesempatan untuk berperan seperti
itu tentunya sangat terbuka luas. Jejaring yang dimiliki serta
kompetensi keilmuan yang ada pada individu-inidividu di
dalamnya sangat membantu untuk menghasilkan indentifikasi-
identifikasi persoalan yang komprehensif. Dengan sumber daya
yang dimiliki STPN saat ini identifikasi-identifikasi masalah-
masalah agraria dan pertanahan, di samping komprehensif juga
kami harapkan semakin membumi. Pertautan teori serta praktik
yang kental akan menjadikan informasi hasil identifikasi itu tepat
secara praksis dan logis secara teoretis.
Dalam konteks yang lebih mikro buku ini juga tidak kurang
manfaatnya. Di tahun menulis yang sudah kita canangkan di awal
tahun 2021 ini, kehadiran buku, yang notabene berasal dari penulis
luar STPN, mudah-mudahan menjadi penyemangat kepada para
penulis serta calon penulis dari lingkungan STPN untuk kembali
menuangkan gagasan serta angan-angannya dalam tulisan-tulisan
bermutu. Kedua, di samping karena substansinya, kita juga masih
akan terus melakukan skema penerbitan seperti ini karena kita
masih harus terus berupaya membangun jejaring dengan berbagai
pihak. Mudah-mudahan dengan bangunan jejaring yang ada dan
tengah kita bangun pada akhirnya manfaatnya akan kembali lagi
kepada kita. Ketiga, perspektif yang dibawa oleh tulisan ini kami
harapkan memperkaya serta memperkuat perspektif-perspektif

vi Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


yang tengah dikembangkan STPN selama ini.
Terakhir, sebagai pimpinan institusi, saya ucapkan selamat
menikmati tulisan ini. Mudah-mudahan insight-insight akan
lahir dari membacanya. Terima kasih saya ucapkan kepada tim
penerbitan yang telah bekerja keras. Jangan pernah mau patah
meskipun banyak hal yang mendorong kita untuk patah. Terima
kasih.

Dr. Ir. Senthot Sudirman, M.S

Pengantar vii
UCAPAN TERIMAKASIH

A lhamdulillah, Alloh Maha Besar. Puji dan syukur saya


panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, saya akhirnya dapat menyelesaikan buku yang
berasal dari disertasi dengan judul: “KEBIJAKAN REFORMA
AGRARIA DI ERA SOESILO BAMBANG YUDHOYONO (dari
formulasi ke implementasi)”. Banyak sekali orang yang
berperan penting dalam penyusunan buku ini. Oleh karena itulah,
saya ingin sekali mengucapkan penghormatan dan terima kasih
yang setinggi-tingginya atas peran semua orang baik yang saya
sebutkan di sini maupun tidak.
Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat
dan rasa terima kasih yang mendalam kepada Bapak Prof. Dr.
Susetiawan “Prof. Sus”, Bapak Dr. Arie Sujito, Prof. Dr. Wahyudi
Kumorotomo, Bapak Dr. Bambang Hudayana, Bapak Dr. Ricardo
Simarmata, Dr. Wawan Mas’udi, SIP, Prof. Dr. Yeremias T. Keban,
MURP, Dr. Jarot Santoso, Msi, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo yang
kemudian dilanjutkan oleh Dr. Yuyun Purbokusumo, M.Si, Ibu
Gayatri, M.Si.. Orang Tuaku: Drs. Kadam AR dan Suhardini MD.

viii Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Isteriku tercinta Tita Dewinta Ratea, S.IP. Anak-anakku: “Prana”:
Risnandya Bipta Pranasatria” yang sudah beranjak dewasa, “Ayra”:
Ayra Astari Paramitha Dewi Hardiyanto yang terus memperkaya
diri dengan kemampuannya dan “Dedek Diyaya”: Diarra Adhna
Janitra Dewi Hardiyanto. Kakak dan adikku: Mas Arif sekeluarga,
Dik Opik sekeluarga, Mas Simon/Mbak Utut sekeluarga, Pongki/
Ciput sekeluarga, Andra/Ayu Sekeluarga, Singgih/(almarhumah)
Otot serta Pandu. Para “Guru dan Teman Belajar”: Bang Oji: Noer
Fauzi Rahman Phd, Bang Yando Zakaria, Bang Martua, Phd, Mbak
Dr. Suraya Afiff, Prof, Hariadi, Mas Prof. Maryudi, Bapak Anton
Lucas Phd, Ibu Nancy Peluso Phd, Mbak Diah Raharjo, Mbak Rahma,
Mas Totok UGM, Mas Iwan “Tempo”, Bung Budiman Sudjatmiko,
Bung Yakub, Bang Rawa, Prof. Laks dan Bapak/Ibu di Antropologi
untuk Indonesia (AUI), Mbak Mita Karsa, Mas Udin Javlec, Mas
Rahmanta, dan teman-teman di Koalisi Pemulihan Hutan (KPH)
Jawa: Jampes, Ronald (Alm), Agus, Andri, Mas Heri, Mas Picus,
Mas Irak, Mas Udin, dll dan Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ);
Pak Suhar, Mas Aji, Jalu, Mbak Dewi KPA, Mas Eko Cahyono, Bung
Usep Setiawan, Mas Shohib, Mas Luthfi, Bung Dimpos, dll. Untuk
kawan-kawan Mata Garuda Banyuma. Teman-teman di STAM.
Teman-teman di S3 Ilmu Administrasi Publik. Terima kasih secara
khusus saya ucapkan kepada Mas Ilham, Mas Setyo dan Mas Said
yang telah membagi materi-materi disertasinya untuk kelancaran
disertasi saya.Kepada para sesepuh di LPPSLH. Teman-teman
yang pernah magang/PPL di LPPSLH.Teman-teman Angkatan
XIX Program Studi Ilmu Administrasi Pascasarjana Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto. Teman-teman Navigator:
Nori, Gugun dan Agung yang telah menjadi “peneliti lain” dalam
penelitian ini. Terima kasih juga kepada Bang Andi Tarigan dan
Mas Irwan Suswandi yang telah memproof read disertasi ini.

Ucapan Terimakasih ix
Terima kasih kepada Mas Deden dan Mas Luthfi serta teman-
teman di STPN Press yang telah bersedia menerbitkan karya
ini. Dan kepada siapa saja yang mohon maaf mungkin lupa tidak
disebutkan tapi saya yakin “jaringan” ini mempunyai relasi hebat
bagi perjalanan selama ini

BARID HARDIYANTO

x Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


DAFTAR ISI

Pengantar Ketua STPN..................................................................................... v


Ucapan Terimakasih..................................................................................... viii
Daftar Isi............................................................................................................... xi
Daftar Tabel.......................................................................................................xiii
Daftar Gambar..................................................................................................xiv
BAB 1 MEMPERTANYAKAN REFORMA AGRARIA DI ERA
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.................................1
Pengantar........................................................................................... 1
Pendekatan Konsep dan Teori ................................................. 7
Penelitian Terdahulu dan Kebaruan Studi.........................16
BAB 2 MEMOTRET WILAYAH KAJIAN: KONFLIK PANJANG
YANG COBA DISELESAIKAN .......................................29
Kondisi Wilayah.............................................................................29
Distribusi Penguasaan Tanah..................................................31
Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian..........................33

Daftar
Daftar
Tabel
Isi xi
Minimnya Akses Masyarakat Atas Tanah sebagai
Pemicu Konflik Pertanahan......................................................36
Ikhtisar..............................................................................................40
BAB 3 PERTARUNGAN KEPENTINGAN DAN PEREBUTAN
KUASA AGRARIA........................................................43
Pengantar.........................................................................................43
Pertarungan Kepentingan dalam Perumusan
Kebijakan..........................................................................................44
Pertarungan Kepentingan dalam Implementasi
Kebijakan..........................................................................................54
Kebersamaan dan Persilangan Antara Masyarakat dan
Pemerintah......................................................................................70
Interpretasi Temuan Lapangan..............................................73
Ikhtisar..............................................................................................79
BAB 4 ARTIKULASI KEPENTINGAN PETANI: INTERAKSI
PENGALAMAN PRIBADI DENGAN KONDISI SOSIAL
YANG MELINGKUPINYA.............................................85
Pengantar.........................................................................................85
Kontribusi Petani dalam Perumusan Kebijakan.............87
Ragam Metode dalam Pelibatan Perumusan
Kebijakan.......................................................................................111
Interpretasi Temuan Lapangan...........................................128
Ikhtisar...........................................................................................129
BAB 5 IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA........................131
Pengantar......................................................................................131
Dirumuskan Petani Diambil Alih oleh Pemerintah.....133

xii Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Implikasi pada Petani..............................................................136
Interpretasi Temuan Lapangan...........................................147
Ikhtisar...........................................................................................149
BAB 6 EPILOG....................................................................151
Refleksi Teoritis..........................................................................152
Keterbatasan dan Agenda Penelitian ke Depan............155

Daftar Pustaka................................................................................................157
Riwayat Penulis..............................................................................................171

Daftar Tabel xiii


xiv Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Subyek Penelitian....................................................................22


Tabel 2. Penggunaan Lahan di Lima Desa Wilayah Kajian......32
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Mata Pencarian Menurut.......34
Tabel 4. Kepemilikan Lahan Pertanian di Lima Desa Wilayah
Kajian............................................................................................35
Tabel 5. Penguasaan Terhadap Sumber Daya Agraria...............58
Tabel 6. Pertarungan Kepentingan dalam Hubungan
Kelembagaan Antar aktor....................................................69
Tabel 7. Peran Aktor dalam Perumusan Kebijakan dan
Implementasi Reforma Agraria.........................................80
Tabel 8. Perbandingan Arah Kebijakan untuk Pembaruan
Agraria dan Arah Kebijakan Pengelolaan Sumber
Daya Alam (PSDA) Sebagaimana Tercantum dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No IX/2001.....................................101
Tabel 9. Model Interaksi Pengalaman Individu Petani dengan
Kondisi Sosial serta Bentuk Reaksinya........................128

Daftar Tabel xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.....................................................15


Gambar 2. Lokasi Tanah HGU PT RSA...................................................31

xvi Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


BAB 1

MEMPERTANYAKAN REFORMA AGRARIA


DI ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Pengantar

P enelitian-penelitian tentang reforma agraria menyebutkan


bahwa reforma agraria merupakan agenda penting dalam
pembangunan. Sobhan (1993), pakar reforma agraria yang
telah melakukan analisis terhadap program reforma agraria
di 36 negara, menyimpulkan bahwa tidak ada jalan lain untuk
mewujudkan penghapusan kemiskinan dan mengakselerasi
pembangunan, selain melakukan reforma agraria. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Dorner (1972) yang menyatakan bahwa
land reform––sebagai inti dari reforma agraria––memberikan
dasar yang mantap bagi masa depan pembangunan politik dan
ekonomi. Mosher (1976) yang melakukan pengamatan di Amerika
Latin, Asia, dan Timur Tengah turut menyebutkan beberapa
dampak positif dari land reform, yaitu mampu memperkuat
status para tunakisma atau petani yang tidak mempunyai
tanah, mengembangkan ekonomi suatu negara, dan menopang
industrialisasi.

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 1


Hal senada disampaikan peneliti Indonesia. Menurut Wiradi
(2009), reforma agraria pada masyarakat agraris merupakan hal
mendasar yang dibutuhkan dan harus dilakukan untuk melakukan
transformasi dalam tahapan pembangunan. Dalam tulisan lain,
Bachriadi dan Wiradi (2012) mengatakan keberadaan reforma
agraria merupakan fondasi pembangunan untuk memperkecil
ketimpangan, membangun keadilan dan pemerataan.
Dalam konteks dunia, keberadaan reforma agraria tidak
terlepas dari konteks kebijakan yang melatarbelakangi lahirnya
kebijakan pertanahan ini. Istilah reforma agraria berasal dari
bahasa Spanyol. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan agrarian
reform. Awal kelahirannya dimulai pada tahun 594 SM (sebelum
Masehi) di wilayah Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon.
Penguasa pada waktu itu membebaskan perbudakan dengan
jalan membagi tanah gadai milik bangsawan kaya kepada
petani penyakap atau penyewa (Wiradi, 2000). Berikutnya,
pada 134 SM, pembagian tanah dilakukan dengan membagi
tanah milik bersama (communal property rights) yang melebihi
batas kepada petani lain yang lahannya sempit. Di masa
inilah, mulai terdapat kebijakan penetapan batas maksimum
penguasaan lahan yang juga menjadi salah satu bagian penting
dalam konsepsi reforma agraria (King, 1977). Masa selanjutnya
disebut Enclosure Movement (abad XII). Pada masa ini, kebijakan
pertanahan mengarah pada pemikiran tentang kepemilikan
pribadi atas tanah melalui jalan tanah milik bersama diklaim oleh
para tuan tanah feodal sebagai tanah milik pribadi (Briggs, 1980;
Wiradi, 2000). Era selanjutnya adalah masa Revolusi Prancis. Pada
saat ini kebijakan yang muncul berkenaan dengan tanah-tanah
milik bersama yang telah diklaim sebagai tanah milik pribadi

2 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


dibagikan kepada usaha tani level keluarga. Pembebasan petani
dari ikatan “tuan-budak” juga terjadi pada masa ini (Wiradi,
2000).
Berbeda dengan pendekatan kebijakan di Inggris dan Prancis,
sejarah berikutnya terkait reforma agraria adalah lahirnya
kebijakan penghapusan tanah milik pribadi yang dijadikan tanah
milik negara. Hal ini dilakukan di Rusia (1917) dan Tiongkok
(1948). Kedua negara ini menerapkan sistem pemerintahan
komunis yang tidak mengakui adanya kepemilikan pribadi. Tanah
milik pribadi dijadikan tanah kolektif usaha tani milik negara.
Kebijakan ini juga sebagai bagian penanda transformasi menuju
ke sosialisme (Bachriadi, 2018).
Kesejarahan reforma agraria di level dunia berlanjut di
masa Perang Dunia (1950–1960). Di masa ini, mulai dikenal
istilah pembangunan. Oleh karena itu, kebijakan land reform
dijalankan sebagai bagian dari agenda penopang pembangunan.
Pembagian tanah dijalankan dengan membagi tanah negara
kepada masyarakat. Sejarah berlanjut ke masa ditandatanganinya
Piagam Petani pada 1979. Berdasarkan kesepakatan 145 negara,
termasuk didalamnya Indonesia, disepakati bahwa kebijakan
land reform diarahkan bukan hanya melakukan redistribusi lahan,
tetapi juga pemenuhan sarana prasarana untuk pembangunan
(infrastruktur, sosial, dan budaya) yang disebut dengan land
reform plus atau reforma agraria (Wiradi, 2000).
Di Indonesia, kelahiran kebijakan Land Reform dimaksudkan
sebagai antitesis dari adanya kebijakan Agrarische Wet atau UU
Agraria 1870. Implementasi agrarische wet dijalankan dengan
memberikan konsesi tanah milik negara kepada perusahaan-

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 3


perusahaan Eropa (Fauzi, 2012; Gordon 1982, 2001; Notonagoro,
1972). Namun demikian, land reform di Indonesia tidak langsung
dapat berjalan meskipun proklamasi telah dikumandangkan.
Land reform baru menjadi agenda negara saat Soekarno pada 17
Agustus 1960 menyampaikan pidato tentang rencana pemerintah
untuk mengundangkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA tersebut kemudian ditandatangani pada 24 September 1960.
Oleh Pelzer (1982) dan Parlindungan (1998), UUPA dipandang
sebagai suatu karya besar dalam kebijakan pemerintahan.
Perjalanan land reform juga tidak berjalan mulus. Semenjak
era pemerintahan Soekarno, terjadi pertarungan kepentingan
yang kuat, khususnya antara Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan tentara. PKI melalui organ sayap taninya, yakni Barisan
Tani Indonesia (BTI), gencar melakukan perebutan lahan-lahan
perkebunan yang pada saat itu dikuasai oleh tentara, pihak yang
diminta negara untuk menjalankan nasionalisasi. Pertarungan
kepentingan tersebut mencapai puncaknya dengan munculnya
G30S dan lahirnya Orde Baru. Masa setelah G30S adalah masa
kelam bagi perjalanan land reform.
Di masa Orde Baru, land reform dihilangkan dari agenda
kebijakan negara. Pemerintahan Orde Baru dalam mengeluarkan
kebijakannya, lebih mengutamakan pembangunan sumber daya
alam, termasuk tanahnya, untuk kepentingan pemodal besar.
Meskipun demikian, perjuangan untuk menjalankan land reform
tidak berhenti. Pada 1980-an, para aktivis mahasiswa dan LSM
yang terjun langsung ke masyarakat mengupayakan land reform
kembali dijalankan. Proses tersebut terus berlangsung sampai
kemudian reformasi bergulir dan land reform kembali menjadi
salah satu agenda negara dengan lahirnya kebijakan berupa Tap

4 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam di era pemerintahan Megawati
Soekarnoputri.
Setelah itu, perjalanan land reform berlanjut di era Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa pemerintahannya, SBY
menunjuk Joyo Winoto sebagai Kepala BPN. Pada masa inilah,
sebagai agenda negara, reforma agraria didasarkan pada konsepsi
Asset Reform + Access Reform, yang berarti redistribusi tanah
yang disertai dengan asistensi dan fasilitasi untuk meningkatkan
akses penerima tanah redistribusi pada input-input pertanian,
kredit, teknologi tata guna tanah dan pertanian, pemasaran,
serta berbagai asistensi teknis lain, agar membuat tanah yang
diredistribusikan menjadi produktif, menguntungkan, dan dapat
dikelola secara berkelanjutan (Fauzi, 2012).
Pada perkembangannya, lahirlah kebijakan Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Implementasi PPAN yang
dianggap SBY sebagai reforma agraria terbesar untuk pertama
kalinya, di era reformasi, dijalankan di Cipari, Cilacap. PPAN di
Cipari dijalankan dengan melakukan pembagian lahan kepada
5.141 kepala keluarga pada lahan seluas 284,122 ha. Lahan
tersebut sebelumnya merupakan lahan hak guna usaha (HGU)
yang dimiliki oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA).
PT RSA adalah perusahaan swasta yang awalnya bernama
PT Rumpun. Perusahaan ini lahir atas perintah Pangdam VII
Diponegoro (sekarang Pangdam IV Diponegoro) yang pada waktu
itu berposisi sebagai Penguasa Perang Daerah (Peperda) Tingkat
I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Perusahaan
inilah yang kemudian diberi kewenangan HGU yang secara resmi
didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.3/

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 5


HGU/DA/74 tanggal 29 Februari 1975 dan berakhir pada 31
Desember 1999.
PPAN yang dijalankan di Cipari sebagaimana disebutkan
sebelumnya akan menjadi fokus kajian dalam buku ini. Pemilihan
Cipari didasarkan pada tiga pertimbangan berikut. Pertama,
kasus Cipari merupakan implementasi reforma agraria yang
dikatakan terbesar pada masa reformasi. Kedua, Kabupaten Cilacap
merupakan wilayah yang memiliki banyak kasus konflik agraria
di Indonesia. Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan,
setidaknya ada 20 kasus konflik agraria yang terjadi di Cilacap
dengan beragam konflik, seperti dengan Perhutani, HGU BUMN/
swasta, dan pemerintah daerah yang melibatkan 13.062 KK dan
lahan seluas 10.664 hektare. Ketiga, wilayah Cilacap yang dimotori
Serikat Tani Mandiri (STAM) dan beberapa organisasi lain (Serikat
Tani Hutan Banyumas-Pekalongan/Stan Balong, Paguyuban Tani
Sri Rejeki/PTSR) merupakan daerah yang mempunyai partisipasi
yang cukup tinggi dalam memperjuangkan adanya kebijakan dan
implementasi reforma agraria.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah keberadaan
reforma agraria di Cipari yang justru mempunyai kecenderungan
berimplikasi buruk bagi masyarakat. Padahal bila menilik konsepsi
reforma agraria dapat dikatakan bahwa reforma agraria mampu
menghapus kemiskinan dan mengakselerasi pembangunan
(Sohban: 1993), memberikan dasar yang mantap bagi masa
depan pembangunan politik dan ekonomi (Dorner: 1972),
mampu memperkuat status para tunakisma atau petani yang
tidak mempunyai tanah, mengembangkan ekonomi suatu negara,
dan menopang industrialisasi (Mosher: 1976), sebagai pondasi
pembangunan untuk memperkecil ketimpangan, membangun

6 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


keadilan, dan pemerataan (Bachriadi & Wiradi: 2012), mengubah
relasi ekonomi politik yang berkeadilan (Ladejinsky, 1964; Feder
1965; Wiradi, 2009, White & Borras, 2014).
Mengacu pada pernyataan di atas, seharusnya reforma
agraria yang berlangsung di Cipari dapat memenuhi berbagai
macam dampak seperti yang disampaikan oleh para ahli. Namun
demikian, reforma agraria yang dijalankan di Cipari justru
mempunyai kecenderungan implikasi buruk kepada masyarakat,
seperti adanya kompensasi dan pembagian tanah yang tidak tepat
sasaran (Setiaji, 2012; Basya, 2017).
Perbedaan antara idealitas kebijakan reforma agraria dengan
realitas harapan masyarakat itulah yang mendorong penelitian ini
harus dilakukan secara lebih dalam. Untuk dapat mengeksplorasi
argumen di atas maka rumusan pertanyaan dalam buku ini adalah
bagaimana proses perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria yang berlangsung di era SBY? Selanjutnya, untuk
lebih memudahkan menjawab pertanyaan utama tersebut,
maka pertanyaan turunannya dapat dibagi ke beberapa sub
pertanyaan yang meliputi: Bagaimana pertarungan kepentingan
dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria?
Bagaimana kontribusi petani terhadap perumusan kebijakan
dengan mengartikulasikan kepentingan mereka secara kolektif?
Bagaimana implikasi dari perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria yang dirasakan oleh petani?

Pendekatan Konsep dan Teori


New Public Service
Buku ini menggunakan perspektif new public service dalam
mengkaji perumusan dan implementasi kebijakan. Perspektif

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 7


ini mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga
negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan
demokratis. Jati diri warga negara tidak hanya dipandang sebagai
semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga
melibatkan nilai, kepercayaan dan kepedulian terhadap orang
lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan
(owners of government) dan mampu bertindak bersama-sama
mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik tidak
lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan
sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai
bersama dan kepentingan bersama (Denhardt and Denhardt:
2003, Alamsyah: 2016).
Dalam menjalankan new public service, Denhardt and
Denhardt (2003) menjelaskan beberapa prinsip yang harus
dijalankan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: pertama, serve
citizens, not customer. Pusat perhatian dari pelayanan adalah
membangun kepercayaan dan kolaborasi diantara warga negara.
Hal ini tidak terlepas dari suatu tesis bahwa kepentingan publik
merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada
agregasi kepentingan pribadi perorangan. Kedua, seek the public
interest. Hal utama yang harus dilakukan administrator publik
adalah memberikan sumbangsih untuk membangun kepentingan
publik bersama. Tujuan utamanya bukan untuk menemukan
solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan
tetapi menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab
bersama. Ketiga, value citizenship over entrepreneurship.
Menurut prinsip ini, kepentingan publik sebaiknya dijalankan
oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki
komitmen memberikan sumbangan bagi masyarakat daripada
dijalankan oleh para manajer wirausaha yang bertindak

8 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


seolah-olah uang masyarakat adalah miliknya. Keempat, think
strategically, act democratically. Kebijakan dan program untuk
memenuhi kepentingan publik dapat dicapai secara efektif dan
bertanggungjawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif.
Kelima, recognize that accountability is not simple. Di dalam prinsip
ini, abdi masyarakat seharusnya lebih peduli pada kepentingan
publik daripada mekanisme pasar. Selain itu abdi masyarakat
juga harus memenuhi peraturan perundang-undangan, nilai-
nilai kemasyarakatan, norma politik, standar professional, dan
kepentingan warga negara. Keenam, serve rather than steer. Di
sini, sangat penting bagi abdi masyarakat untuk menggunakan
kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama daripada
mengontrol atau mengarahkan masyarakat kearah nilai baru.
Ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik
beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan
dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi
dan kepemimpinan bersama yang didasarkanpada penghargaan
kepada semua orang.
Ideologi Althusserian
Buku ini menggunakan perspektif ideologi Althusserian.
Bila kita merujuk kesejarahan, istilah ideologi, pertama kali
dikenalkan oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy (1876). Kata
ini berasal dari bahasa  Prancis  idéologie yang merupakan
gabungan dari dua kata yaitu,  idéo  yang mengacu kepada
gagasan dan  logie  yang mengacu kepada  logos, kata dalam
bahasa  Yunani  untuk menjelaskan logika dan rasio. Bagi
Tracy, secara definitif ideologi berarti ilmu yang meliputi
kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan.
Selanjutnya, terdapat banyak definisi tentang ideologi.

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 9


Dalam Cambridge Dictionary, ideologi didefinisikan
sebagai: “a set of beliefs or principles, especially one on which
a political system, party, or organization is based” (seperangkat
keyakinan atau prinsip, terutama yang menjadi dasar sistem
politik, partai, atau organisasi). Di Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ideologi diartikan sebagai: (1)  kumpulan
konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup;
(2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan;  (3)  paham,
teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
Berbagai macam definisi dasar jika dipadukan akan menjadi
suatu definisi berupa seperangkat ide/gagasan/keyakinan/
prinsip/sistem/pendapat/cara pikir/paham yang menjadi
dasar/arah/program suatu sistem politik/partai/organisasi/
seseoarang/golongan untuk mencapai tujuan keberlangsungan
hidupnya. Definisi dasar tentang ideologi tersebut sering
dikaitkan dengan keberadaan ide-ide besar seperti: kapitalisme,
sosialisme, komunisme, liberalisme dan lain-lain.
Dalam buku ini, definisi dasar di atas akan digunakan tetapi
akan ditambahkan dengan pemikiran yang mendalam tentang
diskursus ideologi Althusserian. Bagi Althusser, ideologi pada
satu sisi adalah kondisi nyata kehidupan manusia, yang meliputi
pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup
dan menyelami dunia ini. Di sisi lain, ideologi dipahami sebagai
seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia (suatu
diskursus ideologi) dengan cara melakukan misrecognize (salah
mengenali), misrepresent (salah merepresentasikan) kekuasaan
dan relasi kelas (Althusser, 1970, Barker, 2009). Lebih lanjut,
Althusser (1970), Barker (2009) menyebutkan bahwa terdapat

10 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


empat aspek yang menjadi inti pandangan Althusser tentang
ideologi. Empat aspek tersebut antara lain: pertama, ideologi
memiliki fungsi umum untuk membentuk subjek. Kedua, ideologi
sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu. Ketiga, ideologi
sebagai pemikiran yang keliru tentang kondisi nyata eksistensi
adalah palsu. Keempat, ideologi terlibat dalam reproduksi
formasi-formasi sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan.
Keempat aspek ini serta operasionalisasi ideologi model ISA dan
RSA akan menjadi alat analisis yang digunakan dalam membedah
temuan penelitian ini, termasuk didalamnya saat membedah soal
variasi pemahaman seseorang/institusi tentang reforma agraria.
Reforma Agraria
Buku ini menggunakan istilah reforma agraria sebagai
pengembangan dari definisi land reform plus (Peasent Charter:
1979) yang mengartikannnya sebagai redistribusi tanah ditambah
dengan program pendukung berupa penyediaan modal/kredit,
penyediaan sarana produksi dan pendidikan, atau pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan petani. Namun demikian,
definisi reforma agraria tidak hanya berhenti pada redistribusi
tanah dan pemberian program pendukung tetapi juga merujuk
pada terjadinya transformasi masyarakat atau perubahan relasi
ekonomi politik yang berkeadilan (Ladejinsky, 1964; Feder 1965;
Wiradi, 2009, White & Borras, 2014).
Berdasarkan pengertian itulah maka “alat ukur” dalam
membedah reforma agraria yang substantif dalam penelitian ini
akan menggunakan ukuran utama berupa terjadinya perubahan
relasi ekonomi politik yang berkeadilan sebagaimana dampak
dari terjadinya redistribusi tanah dan pemberian program
pendukung.

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 11


Aktor
Aktor dalam konteks ini dipahami sebagai relasi tiga aktor
yang meliputi: masyarakat, swasta dan negara. Dalam ranah
administrasi publik, ketiga aktor tersebut mempunyai peran
dalam tahapan kebijakan termasuk didalamnya implementasi
kebijakan (Gosling, 2004: 74-76; Kraft dan Furlong, 2004; Jordan
and Turnpenny, 2015) meskipun dengan intensitas yang berbeda-
beda.
Dalam peta aktor reforma agraria terdapat relasi antar
subyek dan obyek serta relasi antar subyek itu sendiri. Sitorus
(2002:37) menyebutnya sebagai dua jenis relasi manusia terkait
dengan sumber-sumber agraria. Relasi ini dibedakan menjadi
relasi teknis agraria dan relasi sosial agraria. Relasi yang pertama
berkaitan dengan hubungan manusia dengan sumber-sumber
agraria melalui aktivitas kerja (produksi). Sedangkan relasi kedua
berkaitan dengan hubungan manusia di antara sesamanya (baik
dalam arti perorangan maupun kelembagaan) terkait dengan
aktivitas kerja yang mereka lakukan atas sumber-sumber agraria.
Secara praktis, kedua relasi ini dapat diidentifikasi dari
bagaimana subjek-subjek agraria saling berhubungan secara
sosial satu sama lain dalam kaitan dengan hubungan teknis masing-
masing dengan sumber-sumber agraria. Relasi subyek reforma
agraria yang dimaksud di sini adalah suatu hubungan yang terjadi
tidak hanya diantara berbagai pihak di dalam masyarakat (yakni,
antar-individu, antar-kelompok, atau antar-lapisan didalamnya),
akan tetapi juga melibatkan berbagai instansi dan individu di
dalam pemerintah (termasuk segi-segi kerjasama dan kontestasi
diantara unsur-unsur ini), serta diantara seluruh pihak tersebut
dengan berbagai entitas bisnis (Shohibuddin 2016:23). Tentu saja,

12 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


relasi teknis maupun relasi sosial tersebut juga akan dikaitkan
dengan adanya diskursus ideologi didalamnya.
Bagi Althusser, pemikiran seseorang atau institusi didapatkan
dari proses ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly
unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlangsung
dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ketidaksadaran yang begitu
mendalam tersebut disebarkan melalui struktur sosial yang
disebut sebagai ideological state apparatus/ISA dan reppresive
state apparatus/RSA (Althusser, 1994: 151). Dengan begitu,
saat membedah pemahaman dalam perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria, keberadaan pemahaman
seseoarag atau institusi serta respon atau tindakan terhadapnya
akan menggunakan alat analisis yang telah disediakan Althusser.
Pertarungan Kepentingan
Buku ini akan menjadikan pertarungan kepentingan sebagai
suatu perdebatan terhadap sesuatu (kebijakan/implementasi
kebijakan) dimana dinamika sosial dan kontestasi tersebut tidak
bisa dilepaskan dari peran ISA dan RSA dalam menginterpelasi
(sebuah panggilan imajiner dari aparatus ideologis yang
mengarah pada diri setiap manusia sehingga ia mampu mengerti
tentang apa dan siapa dirinya) subyek. Dalam hal ini, Althusser
membaca tatanan struktur sosial (kapitalisme) sebagai sebuah
formasi sosial pada konteks reproduki relasi-relasi produksi.
Di situ Althusser menemukan bahwa aparatus represif negara
melaksanakan daya represifnya dengan menciptakan kondisi-
kondisi politik bagi dimungkinkanya relasi-relasi produksi.
Sementara melalui aparatus ideologis negara, reproduksi
relasi-relasi produksi dimungkinkan karena ideologi mampu
memberikan semacam ‘ketersediaan kultural’ agar seseorang

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 13


dapat tunduk pada ideologi dominan tersebut. Dengan begitu
tercipta suatu naturalisasi terhadap relasi produksi sehingga
menjadi nampak alamiah dan seolah sudah kodratnya demikian
(Baiquni & Adian, 2015).
Namun demikian, masih menurut Baiquni & Adian
(2015) sebetulnya interpelasi itu tidaklah tunggal hanya
untuk kepentingan kapitalisme belaka, melainkan bahwa ada
kemungkinan interpelasi yang anomali terhadap basisnya akibat
bangunan metafor masyarakat yang berupa overdeterminasi.
Dalam konteks formasi sosial kapitalis yang berisi antagonisme
kelas, maka interpelasi di satu sisi akan berguna untuk
melanggengkan status quo, namun di sisi lain interpelasi juga
memiliki daya revolusionernya tersendiri. Apabila aparatus
ideologis pada masyarakat kapitalis menginterpelasi individu
sebagai subjek untuk mengafirmasi relasi-relasi produksi
yang sebetulnya penuh penindasan, maka aparatus ideologis
seperti partai komunis pada masyarakat kapitalispun dapat
pula menginterpelasi proletariat: individu sebagai subjek untuk
memperkuat prasangka secara saintifik bahwa dirinya memang
tengah ditindas.
Untuk lebih mendalami kontestasi tersebut, maka alat bantu
analisis kuasa agraria model Bernstein (2010) dan White (2011)
yang menjawab beberapa pertanyaan penting akan digunakan
dalam penelitian ini. Beberapa pertanyaan penting tersebut antara
lain: (1) siapa menguasai sumber agraria apa (who owns what?);
(2) siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap sumber
agraria tersebut (whodoeswhat?); (3) siapa memperoleh hasil apa
dari aktivitas produksi tersebut (who gets what?); (4) digunakan

14 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


untuk apa hasil produksi tersebut (what do they do with it?), dan
(5) apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dan/
atau yang berkepentingan kepada sesama mereka satu samalain
(what do they do toeach other?). Pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan mempermudah umtuk melakukan analisis atas kekuasaan
yang terdapat dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria.
Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat di bawah ini:

Perumusan Kebijakan dan


Implementasi Reforma
Agraria

PERTARUNGAN
KEPENTINGAN

Artikulasi Diskursus Ideologi Kebijakan


Kepentingan (Althusser (2014) Teknokrasi
Rakyat Pemerintah
Relasi Antar Aktor
(Sitorus (2002), Bernstein
(2010), White (2011)

Implikasi Reforma Agraria

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 15


Penelitian Terdahulu dan Kebaruan Studi
Persoalan reforma agraria yang tidak kunjung diselesaikan
akan menjadi warisan yang turun-temurun dari pemerintahan
satu ke pemerintahan lainnya. Hal tersebut seperti yang
digambarkan Wiradi (2000). Ia menguraikan tonggak sejarah
reforma agraria, rasionalisasi reforma agraria, kebijakan reforma
agraria di Indonesia dan dilema yang dihadapi, serta bagaimana
menjadikan reforma agraria sebagai gerakan sosial. Begitu juga
dengan Fauzi (1999) yang merefleksikan nasib petani mulai
zaman feodal, kolonial (1870-1945), Orde Lama (1950-1964),
Orde Baru (1965-1998), dan masa (awal) Reformasi di mana di
dalamnya terdapat arena pertempuran antara yang proreforma
agraria dan yang antireforma agraria, baik di level kebijakan
negara maupun di level pengorganisasian masyarakat.
Studi terkait reforma agraria berkembang dari waktu ke
waktu. Salah satunya studi terkait dengan objek tanah yang
diredistribusi. Studi yang dilakukan pada era 1940–1970
kebanyakan tentang reforma agraria yang terkait dengan objek
land reform berupa tanah pribadi dan swasta. Kemudian, studi
berlanjut pada tanah-tanah negara, baik yang masih dalam
bentuk penguasaan langsung oleh negara maupun yang di-HGU,
serah kelola, dan lain-lain (Fauzi, 2017).
Penelitian lain yang juga menjadi pokok perhatian adalah
terkait teori, definisi, dan konsepsi reforma agraria. Misalnya,
pendapat Ladejinsky (1964) yang berpandangan bahwa
reforma agraria bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga
pemenuhan akses lain, seperti sarana prasarana dan kredit. Hal
senada disampaikan Feder (1965) yang mengemukakan bahwa
reforma agraria memerlukan adanya dukungan dan kebebasan

16 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


untuk membangun kegiatan ekonomi, seperti koperasi dan
keterlibatan dalam serikat pekerja.
Kritik terhadap perspektif dalam menjalankan reforma
agraria juga menjadi bahasan dalam penelitian. Lahiff, Borras,
& Kay (2007) dalam Market-Led Agrarian Reform: Policies,
Performance and Prospects melakukan kritik terhadap reforma
agraria yang dijalankan oleh pasar. Menurut mereka, reforma
agraria yang dijalankan oleh pasar tidak memberikan manfaat
pada perubahan struktur masyarakat yang miskin. Sesuai dengan
kritik tersebut, Ondetti (2007) dalam An Ambivalent Legacy:
Cardoso and Land Reform menjelaskan tentang land reform
yang dijalankan di era Cardoso. Reforma agraria model Cardoso
dianggap sebagai reforma agraria semu karena pada akhirnya
reforma agraria yang dijalankan digunakan semata untuk
kepentingan pasar. Walaupun di masa itu, pemerintahan Cardoso
menjalankan land reform dalam jumlah yang besar.
Selanjutnya, penelitian terhadap reforma agraria juga bertutur
tentang peran negara yang memengaruhi keberhasilan atau
kegagalan reforma agraria. Pentingnya kapasitas penyelenggara
reforma agraria disampaikan oleh Moise (1976) yang melakukan
studi implementasi reforma agraria di Vietnam Utara. Ia melihat
ekses negatif dari land reform yang dijalankan di Vietnam Utara,
khususnya terkait terjadinya pertumpahan darah. Redistribusi
tanah dijalankan pada tuan tanah (bukan tanah negara) dengan
pelibatan kader petani miskin anggota partai komunis tanpa
sebelumnya dilatih dengan kemampuan politik dan administrasi
yang memadai.
Agak berbeda dengan penelitian lain yang berpusat pada
negara, Wiradi (2009) dalam tulisannya tentang reforma agraria

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 17


di Desa Ngandagan menempatkan reforma agraria sebagai
bagian dari konteks sosial budaya, relasi sosial, dan ekonomi
masyarakat, sehingga reforma agraria dapat dan seharusnya
dijalankan dengan berbasis pada masyarakat. Powelson dan Stock
(1987) menyebut fenomena tersebut dengan istilah land reform
by leverage atau reforma agraria melalui “dongkrak”. Dalam
penelitian itu, digambarkan land reform yang dijalankan oleh satu
desa pada 1947 atas inisiatif desa sendiri tanpa ada arahan dari
pemerintah daerah dan pusat. Inisiatif tersebut didasarkan pada
konteks sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat yang
memang membutuhkan redistribusi aset.
Titik bidik penelitian reforma agraria yang lain adalah terkait
dinamika perebutan klaim atas tanah-tanah negara, antara yang
pro-reform dan counter-reform (Fauzi, 1999, 2017). Begitu juga
dengan “pertentangan antaraktivis”, misalnya terkait terbitnya
Tap MPR IX/2001 (Lucas & Warren, 2003). Hal yang juga penting
untuk dilihat adalah kemungkinan munculnya pertentangan
antarpetani, seperti yang terjadi di Filipina. Rutten (2010)
dalam Who Shall Benefit? Conflicts among the Landless Poor
in a Philippine Agrarian Reform Programme menggambarkan
terjadinya konflik antar petani terkait kebijakan reforma agraria
yang dijalankan pemerintah. Baginya, posisi aktor dan tumpang
tindih kepentingan didalamnya akan memengaruhi klaim atas
tanah dalam program reformasi agraria.
Khusus terkait di Cipari yang menjadi tempat penelitian ini,
telah ada beberapa penelitian yang menyinggungnya. Purnomo
(2005) melakukan penelitian berupa pendeskripisian profil
gerakan reclaiming yang dilakukan SeTAM, pendeskripsian
pola hubungan antarpihak yang terlibat dengan SeTAM, serta

18 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


pendeskripsian nilai dan norma yang menjadi dasar legitimasi
SeTAM dalam melakukan reclaiming.
Penelitian lainnya, Setiaji (2012) melihat proses penetapan
objek dan subjek redistribusi tanah, serta meneliti mekanisme
delivery system redistribusi tanah di Cipari. Dalam penelitiannya
tersebut, Setiaji juga menemukan adanya penetapan objek
reforma agraria yang didasarkan pada situs approach, sehingga
tidak mengubah struktur agraria. Penetapan subjeknya bersifat
superfisial atau berorientasi pada penyelesaian konflik; serta
delivery system-nya berupa proyek sertifikasi tanah dan belum
memperlihatkan sinergi antarsektor dalam menunjang reforma
agraria.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Mahardika (2012) yang
meneliti penyebab konflik agraria di Kecamatan Cipari. Temuan
dalam penelitiannya berupa perebutan yang didasarkan pada
klaim sejarah tanah serta kepentingan pemodal yang didukung
militer. Mahardika juga melihat peran dan strategi SeTAM
yang memperlihatkan bahwa SeTAM sangat berperan dalam
memperjuangkan hak tanah dengan strategi berupa pembentukan
kelompok tani, demonstrasi, pengusulan reclaiming, audiensi,
dan lain-lain.
Santoso (2016) juga melakukan penelitian terkait dengan
Cipari. Dalam penelitiannya, Santoso memaparkan bahwa
perjuangan gerakan petani di Cipari dilakukan dalam rentang
waktu panjang dan menemukan momentum politiknya saat
reformasi, di mana pada masa orde baru hal itu tidak dapat
dilakukan karena tidak adanya ruang/kesempatan politik. Ia juga
melihat bahwa struktur mobilisasi petani Cipari pada awalnya
lebih menekankan pada mobilisasi internal, yaitu membangun

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 19


solidaritas antarpetani. Tetapi, pada tahap lanjutannya juga
memobilisasi kekuatan eksternal. Hal lain yang juga menjadi
titik bidiknya adalah bagi petani Cipari, tanah bukan sekadar alat
produksi maupun sumber ekonomi, melainkan memiliki nilai
sosial-kultural, bahkan lebih dari itu, yakni nilai spiritual (religi).
Penelitian terbaru tentang Cipari dilakukan oleh Saleh
(2020). Penelitian yang merupakan disertasi ini membedah
kegagalan reforma agraria di Cipari. Dalam disertasinya Saleh
mengungkapkan bahwa Birokrasi Level Bawah (BLB) mempunyai
peran yang besar sebagai penyebab kegagalan reforma agraria
yang diimplementasikan di Cipari.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan sebagaimana telah
disebutkan di atas, terdapat hasil review yang dapat dijadikan
acuan yang membedakan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang saya lakukan. Hasil review tersebut menemukan
bahwa: (1) reforma agraria pada era 1960-an lebih banyak
diimplementasikan pada tanah pribadi (tuan tanah), sedangkan
pada era selanjutnya adalah pada tanah negara; (2) reforma
agraria yang genuine harus dimulai dengan redistribusi tanah,
tetapi redistribusi tanah saja tidak cukup, perlu ada sarana
pendukung lain baik dalam bentuk kebebasan untuk membangun
koperasi, adanya sarana prasarana, dan dukungan kredit; (3)
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji faktor penyebab
kegagalan reforma agraria.
Berdasarkan hasil review tersebut, tampak bahwa penelitian
yang dilakukan selama ini telah merambah pada objek tanah
negara dan menilik pentingnya reforma agraria (baca: bukan
hanya land reform semata), serta telah mampu melihat secara
kritis, termasuk kegagalan implementasi reforma agraria yang

20 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


dijalankan oleh pemerintah. Akan tetapi, dari berbagai penelitian
yang telah disusun tersebut, peneliti melihat terdapat gap/celah,
dimana para peneliti belum meneliti adanya proses perumusan
kebijakan dan implementasi reforma agraria yang justru
berimplikasi buruk pada masyarakat. Hal ini memunculkan gap/
celah untuk melakukan penelitian terhadap penyebab dari adanya
implikasi buruk dari reforma agraria tersebut. Terkait pernyataan
tersebut, tesis penelitian ini adalah terdapat incompatibility/
ketidaksesuaian antara kebijakan teknokrasi pemerintah
dengan artikulasi kepentingan rakyat. Faktor ini terjadi karena
lingkungan politik yang makin dangkal oleh karena cara pandang
politik populis era SBY pada saat itu.
Cara untuk Mendapatkan Temuan Penelitian
Buku ini berupaya mengungkap adanya proses perumusan
kebijakan dan implementasi reforma agraria yang justru
berimplikasi buruk pada petani. Disinyalir hal tersebut terjadi
karena adanya ketidaksesuaian antara kebijakan teknokratis
pemerintah dengan artikulasi kepentingan rakyat. Untuk
mengungkap hal tersebut maka jenis penelitian yang dilakukan
adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografis.
Etnografi berada dalam rumpun penelitian kualitatif. Pendekatan
etnografis akan menyingkap penggunaan kekuasaan oleh berbagai
macam kelompok orang di berbagai level, termasuk di dalamnya
dasar yang membelakangi lahirnya kebijakan (Springate-Baginski
dan Blaikie, 2007; Hajer, 1995, 2006).
Penelitian ini dilakukan di Cipari, Cilacap yang terdiri dari
5 (lima) desa, meliputi Caruy, Mekarsari, Sidasari, Kutasari, dan
Karangreja. Pemilihan kasus ini didasarkan pada pertimbangan
berikut, yaitu (1) termasuk kasus yang besar di era Reformasi; (2)

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 21


Cilacap merupakan salah satu wilayah yang mempunyai banyak
konflik agraria; (3) partisipasi gerakan agrarianya cukup tinggi;
dan (4) Cilacap merupakan wilayah yang cukup memberi andil
dalam implementasi kebijakan reforma agraria oleh pemerintah.
Sedangkan subjek penelitian ini adalah para pihak yang
terlibat dalam perjalanan reforma agraria di Cipari, khususnya
dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria. Para pihak yang terlibat, antara lain Kepala BPN 2015–
2012), BPN Provinsi Jawa Tengah, BPN Kabupaten Cilacap,
anggota DPR-RI, pemerintahan daerah (eksekutif, legislatif),
pemerintahan desa, Serikat Tani Merdeka (SeTAM), petani
penggarap, dan PT RSA.
Berikut ini adalah daftar subyek penelitian yang diwawancarai
dan diobservasi:
Tabel 1. Subyek Penelitian
No. Nama Jabatan Lokasi
1. JW Kepala BPN 2005-2012 Jakarta
2. DI BPN Provinsi Jateng Semarang
3. Bsi BPN Kabupaten Cilacap Cilacap
4. BS Anggota DPR Jakarta
5. JCS Rumah Aspirasi Budiman Purwokerto
6. FL DPRD Kabupaten Cilacap Cilacap
7. WSN Camat Cipari Cilacap
8. SLT Pemerintah Desa Caruy Cilacap
9. WHY Pemerintah Desa Mekarsari Cilacap
10. STR Pemerintah Desa Sidasari Cilacap
11. TSR Pemerintah Desa Kutasari Cilacap

22 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


No. Nama Jabatan Lokasi
12. SKT Pemerintah Desa Karangreja Cilacap
13. RTM PT. RSA Semarang/Cilacap
14. RBD PT. RSA Cilacap
15. SG SeTAM Cilacap
16. SLH SeTAM Cilacap
17. SRW SeTAM Cilacap
18. YNS SeTAM Cilacap
19. SJT Pegiat RA Cilacap
20. ES Pegiat RA Cilacap
21. TS Petani Penggarap Caruy Cilacap
22. MSE Petani Penggarap Mekarsari Cilacap
23. SUT Petani Penggarap Sidasari Cilacap
24. KRS Petani Penggarap Kutasari Cilacap
24. SPN Petani Penggarap Karangreja Cilacap
26. SD Pembeli Tanah Cilacap
27. HU Pembeli Tanah/Perantara Cilacap
28. GW Pakar Bogor
29. NFR Pakar Jakarta
30. RHT AGRA Jakarta
31. US Stafsus Kepala BPN 2005-2012 Jakarta

Dalam proses penelitian, peneliti mendalami dinamika


di lapangan dengan menjadi bagian dari subjek penelitian.
Pendalaman ini memang tidak hanya dilakukan dalam pembuatan
disertasi ini. Peneliti telah bergelut dalam urusan reforma agraria
kurang lebih 20 tahun. Di situ, peneliti terlibat dalam dinamika di
masyarakat, jaringan masyarakat sipil, pemerintah, dan swasta.

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 23


Proses keterlibatan peneliti dalam gerakan reforma agraria,
dimulai saat peneliti terlibat dalam gerakan reformasi 1998.
Paska turunnya Soeharto, banyak gerakan mahasiswa yang
kemudian mengalihkan perhatiannya pada isu-isu kerakyatan
secara langsung. Salah satunya adalah isu terkait kebutuhan
petani akan hak atas tanah. Di masa itu pula, banyak petani yang
mengadukan kasus tanahnya ke para aktivis gerakan mahasiswa,
termasuk di dalamnya peneliti. Pada awalnya, peneliti turut
terlibat dalam gerakan mengupayakan hak atas tanah di Desa
Bantarsari, Kabupaten Cilacap. Dari situlah kemudian, peneliti
berjejaring dengan aktivis reforma agraria, tokoh masyarakat
dan petani di Cilacap, termasuk di dalamnya yang terlibat dalam
memperjuangkan hak atas tanah di Cipari. Interaksi yang dekat
dengan para aktivis, tokoh masyarakat dan petani ini sangat
membantu peneliti dalam memperoleh data dari mereka. Peneliti
bisa bicara langsung dan lebih dalam dengan para informan
tersebut. Namun demikian, karena interaksi yang sangat dekat
itu pula, peneliti mempunyai tantangan tersendiri untuk bisa
“menjaga jarak” dengan mereka. Untuk mengatasi hal itu, peneliti
seringkali melakukan wawancara dalam bentuk perbincangan
santai dengan para informan. Dengan perbincangan santai
tersebut diharapkan informan lebih terbuka dalam memberikan
informasi.
Selain itu, peneliti bersama dengan jaringan aktivis, tokoh
masyarakat dan petani sering juga melakukan dialog dengan
perusahaan (swasta maupun negara) dan pemerintahan (desa,
eksekutif, legislatif, yudikatif) baik di level lokal, regional maupun
nasional. Dialog dengan berbagai kalangan itu juga membuat
peneliti dapat berinteraksi dengan mereka. Interaksi itu juga
mendorong akses yang relatif mudah kepada perusahaan dan

24 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


informan dari pemerintah. Kemudahan akses ini juga ditambah
dengan interaksi yang relatif berjalan baik paska reformasi.
Di kalangan pemerintahan juga mulai banyak yang terbuka,
termasuk didalamnya interaksi peneliti dengan JW sebagai
kepala BPN dan beberapa informan lain di BPN. Dalam beberapa
kesempatan, peneliti terlibat dalam pertemuan yang terjadi
antara JW beserta jajarannya dengan aktivis reforma agraria dan
para petani. Untuk mendapatkan informasi tambahan terkait
informan dari pemerintah, peneliti juga meminta informasi dari
aktivis reforma agraria yang juga terlibat secara langsung dengan
pemerintah seperti US dan NF.
Tantangan menarik lainnya dalam penelitian ini adalah
bagaimana peneliti mampu untuk dapat “melepaskan diri”
dari kepentingan perjuangan reforma agraria. Sebagai sebuah
penelitian yang melihat implikasi buruk dari reforma agraria,
tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan besar dalam diri
peneliti yang juga turut mengupayakan agar reforma agraria
bisa menjadi agenda kebijakan pemerintahan. Ada kekhwatiran
dari peneliti bahwa penelitian ini justru dapat membuat
pemerintah menghilangkan reforma agraria dalam agenda
kebijakannya. Namun demikian, kekhawatiran tersebut hilang
karena bagaimanapun sebuah kebijakan yang baik harus juga
mendapatkan kritik untuk menghasilkan kebijakan yang lebih
baik lagi di kemudian hari.
Begitu pula tantangan dari sesama aktivis reforma agraria
atau pun petani. Tantangan ini juga terkait dengan implikasi dari
hasil penelitian dimana terlihat kecenderungan bahwa reforma
agraria yang diperjuangkan di Cipari adalah reforma agraria
yang gagal. Padahal para petani dan aktivis reforma agraria telah

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 25


memperjuangkannya selama bertahun-tahun. Namun demikian,
peneliti sendiri mempunyai pandangan bahwa otokritik bukanlah
hal yang tabu dalam gerakan. Otokritik justru diperlukan untuk
kemajuan sebuah gerakan. Hal ini diperkuat juga oleh adanya
pandangan dari informan petani maupun aktivis reforma agraria
yang menyatakan bahwa Cipari adalah salah satu contoh kasus
kegagalan reforma agraria.
Interaksi peneliti yang cukup dekat dengan para aktor,
termasuk di dalamnya kemampuan peneliti mengatasi tantangan
di atas diharapkan mampu menyingkap berbagai macam
pertarungan dalam penggunaan kekuasaan oleh berbagai macam
kelompok orang baik di level rakyat, swasta maupun negara,
termasuk di dalamnya dalam hal perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, catatan
lapangan terkait agenda yang dilakukan oleh informan dan
dokumen dalam penelitian etnografis dapat dikatakan sebagai
konstruksi wacana yang mendasari framing kebijakan (Blaikie dan
Springate-Baginski 2007;  Hajer 1995, 2006). Dalam melakukan
konstruksi wacana yang membentuk framing kebijakan
tersebut peneliti melakukan serangkaian aktivitas diantaranya:
mentranskrip data, mengklasifikasi data, menginterpretasi data
serta menyimpulkan data lapangan untuk menjadi tulisan hasil
dan temuan penelitian.
Transkrip data dilakukan dengan menuangkan hasil
wawancara yang didapatkan dari rekaman audio ke dalam narasi
berbentuk tulisan. Pada tahap ini, transkrip wawancara dituliskan
sesuai aslinya. Sedangkan untuk catatan-catatan lapangan dan
juga pengamatan dalam agenda kegiatan yang dilakukan para

26 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


pihak tersebut, peneliti tulis sesuai dengan poin-poin yang
disampaikan oleh informan.
Hasil wawancara dan pengamatan yang telah ditulis dalam
bentuk teks kemudian diklasifikasi menurut status golongan
informan yakni: masyarakat, perusahaan, pemerintah. Berbagai
informasi yang telah diklasifikasi ini kemudian menjadi bahan yang
disampaikan dan didiskusikan dengan promotor dan co promotor.
Hasil diskusi tersebut menjadi bahan klasifikasi berikutnya, yakni
klasifikasi berdasarkan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam
perumusan masalah, diantaranya soal: pertarungan kepentingan
antar aktor, kontribusi petani dalam perumusan kebijakan dan
implikasi dari perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria.
Dalam melakukan interpretasi data, peneliti menggunakan
alat analisis yang didasarkan pada teori maupun konsep yang
telah disampaikan dalam landasan teori. Analisis tersebut
digunakan sebagai bahan untuk menjelaskan data yang ada
sekaligus menganalisis lebih dalam maupun mengkritisi data
yang ada. Setelah mendialektikan temuan lapangan dengan alat
analisis yang ada, peneliti kemudian menuliskan “novelty” dari
penelitian ini.

Mempertanyakan Reforma Agraria di Era SBY 27


28 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
BAB 2

MEMOTRET WILAYAH KAJIAN: KONFLIK


PANJANG YANG COBA DISELESAIKAN

Kondisi Wilayah

L ima desa yang menjadi wilayah kajian, meliputi Mekarsari,


Sidasari, Kutasari, Caruy, dan Karangreja. Kelima desa tersebut
berada di wilayah Kecamatan Cipari. Cipari merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Di sebelah utara, kecamatan ini berbatasan langsung dengan
Sungai Cikawung, sedangkan di bagian selatan dilalui jalur utama
lintas selatan. Kecamatan ini terdiri dari 11 (sebelas) desa, yaitu
Serang, Mulyadadi, Cipari, Segaralangu, Karangreja, Kutasari,
Pegadingan, Cisuru, Mekarsari, Sidasari, dan Caruy. Kecamatan
Cipari mempunyai luas wilayah 12.148 ha. dengan bentuk
topografi berupa perbukitan dengan penggunaan tanah sebagai
berikut: Lahan kering yang didominasi oleh perkebunan seluas
4.787 ha. (39%); tegalan/kebun seluas 2.484 ha. (20%); lahan
basah 2.051 ha. (17%), pekarangan seluas 1.671 ha. (14%) dan
hutan negara seluas 512 ha. (4%). Bila diakumulasi dalam konteks
kepemilikan lahan, maka 43% lahan di Kecamatan Cipari dikuasai

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 29


oleh negara dan swasta dalam bentuk perkebunan maupun hutan
negara,serta 57% menjadi hak milik warga.
Jumlah penduduk di Kecamatan Cipari pada tahun 2010 (baca:
peneliti memilih data tahun 2010 karena merupakan setting
waktu utama saat implementasi reforma agraria berlangsung di
Cipari) sejumlah 61.422 jiwa, yang terdiri dari 30.773 laki-laki
dan 30.694 perempuan. Wilayah ini termasuk ke dalam kategori
daerah sangat padat penduduk, dengan tingkat kepadatan 506
jiwa/km2.Penguasaan lahan yang sangat besar pada level negara
dan swasta, serta jumlah kepadatan penduduk sangat tinggi
berdampak pada lemahnya akses terhadap sumber daya agraria
yang memicu terjadinya konflik agraria, termasuk didalamnya
konflik antara 5 (lima) warga desa (Mekarsari, Sidasari, Kutasari,
Caruy, dan Karangreja) dengan PT Rumpun Sari Antan (RSA).

30 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Berikut ini adalah peta keberadaan lima desa di lokasi HGU
PT RSA:

Gambar 2. Lokasi Tanah HGU PT RSA


Keterangan:
Lokasi HGU (Abu-abu dan Hitam), Lokasi Redistribusi (Hitam)
(diolah dari data BPN 2010)

Distribusi Penguasaan Tanah


Menurut “Kecamatan Cipari dalam Angka Tahun 2010”, kelima
desa ini penggunaan lahannya didominasi oleh perkebunan yang
mencapai 44,9%, sedangkan untuk penggunaan lain meliputi
sawah (20,7%), tegalan (15,6%), pekarangan (10,6%), hutan
negara (3,5%), dan lain-lain (4,7%).

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 31


32
Berikut ini rincian penggunaan lahan di lima desa wilayah kajian:
Tabel 2. Penggunaan Lahan di Lima Desa Wilayah Kajian

Total
Hutan Lain-
No. Desa Sawah Pekarangan Tegalan Perkebunan Luas
Negara lain
Wilayah
1. Mekarsari 140 133 96 0 597 28 994
2. Caruy 350 64 68 28 151 21 682
3. Kutasari 360 87 109 0 293 8 857
4. Sidasari 136 85 154 0 440 22 847
5. Karangreja 45 157 343 144 757 155 1.601
Jumlah 1.032 526 770 172 2.238 234 4.971

Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Sumber: Kecamatan Cipari dalam Angka 2010 (diolah)
Persentase 20,7% 10,6% 15,6% 3,5% 44,9% 4,7% 100%
Apabila merujuk pada tabel di atas, terlihat bahwa
masyarakat hanya menguasai lahan sejumlah 51,6% atau setara
dengan 2.561 hektare yang merupakan gabungan persentase dari
kepemilikan sawah, pekarangan, tegalan, dan lain-lain. Adapun
lahan lain yang jumlahnya sebesar 48,4% atau setara dengan
2.410 hektare dikuasai oleh swasta dan negara yang merupakan
gabungan persentase dari perkebunan dan hutan negara. Hal ini
menunjukkan luas penggunaan lahan di lima desa tersebut lebih
kecil dibandingkan dengan tanah perkebunan, bahkan hampir
setengah luas penggunaan lahan berupa perkebunan.

Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian


Total penduduk di lima desa tersebut sebanyak 24.537 jiwa
dengan 6.347 kepala keluarga (KK). Mata pencaharian utama
penduduk adalah bidang pertanian dengan jumlah 8.713 orang
yang merupakan 68% dari jumlah total seluruh pekerja yang
mencapai 12.806 orang.

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 33


34
Berikut ini tabel rincian jumlah penduduk dan mata pencahariannya:
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Mata Pencarian Menurut Lapangan Usaha

Jumlah Jumlah Rumah Jumlah Pekerja Jumlah Pekerja


No. Desa Penduduk Tangga Non-Pertanian Pertanian
(Jiwa) (KK) (Jiwa) (Jiwa)
1. Mekarsari 4.688 1.266 2.698 1.786
2. Caruy 5.467 1.426 2.291 1.360
3. Kutasari 5.681 1.447 2.795 1.836
4. Sidasari 4.771 1.204 2.641 1.897
5. Karangreja 3.930 1.004 2.381 1.834

Sumber: Kecamatan Cipari dalam Angka 2010 (diolah)


Jumlah 24.537 6.347 12.806 8.713

Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Meskipun mata pencaharian utamanya adalah bidang pertanian, namun luasan sawah dan
tegalan milik rakyat hanya 36,3% atau setara dengan 1.031 ha. Apabila luasan sawah dan tegalan
milik rakyat tersebut dibagi dengan jumlah KK kelima desa yang besarnya 6.347 KK, maka
diperoleh rata-rata kepemilikan lahan pertanian sebesar 1.624 m2.
Berikut ini adalah tabel kepemilikan lahan pertanian di lima wilayah kajian:
Tabel 4. Kepemilikan Lahan Pertanian di Lima Desa Wilayah Kajian

Rata- Rata-
Rata-rata
Jumlah rata rata Luas
Jumlah Luas Luas Luas
Rumah Luas Sawah+
No. Desa Penduduk Sawah Tegalan Sawah/
Tangga Tegalan Tegalan
(Jiwa) (ha) (ha) KK
(KK) KK KK
(m2)
(m2) (m2)
1. Mekarsari 4.688 1.266 140 96 1.106 758 1.864
2. Caruy 5.467 1.426 350 68 2.454 477 2.931
3. Kutasari 5.681 1.447 360 109 2.488 753 3.241
4. Sidasari 4.771 1.204 136 154 1.130 1.279 2.409
5. Karangreja 3.930 1.004 45 343 448 3.416 3.865
Jumlah 24.537 6.347 1.032 770

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan


Sumber: Kecamatan Cipari dalam Angka 2010 (diolah)
Rata-rata 1.525 1.337 1.337

35
Berdasarkan data di atas, luas kepemilikan rata-rata sawah
dan tegalan berada pada angka 1.337 m2. Angka ini menunjukkan
bahwa para petani yang ada di lima desa tersebut tergolong
sebagai petani kecil/gurem. Di Indonesia, definisi petani kecil/
gurem mengacu pada luas lahan usaha tani. Sayogyo (1977)
mengelompokkan petani di Jawa ke dalam tiga kategori, yaitu
petani skala kecil dengan luas lahan usaha tani <0,5 ha, skala
menengah dengan luas lahan usaha tani 0,5 ha–1 ha, dan skala
luas/besar dengan luas lahan >1,0 ha. Badan Pusat Statistik
(BPS) juga mengadopsi definisi yang sama untuk pengelompokan
rumah tangga petani menurut luas lahan usaha tani.
Melihat hal itu, faktor kunci untuk meningkatkan
kesejahteraan petani gurem agar keluar dari kemiskinan, yaitu
melalui peningkatan akses penguasaan lahan petani melalui land
reform. Dalam konteks land reform di Cipari, para petani gurem
tersebut dapat mencukupi kebutuhan akan tanahnya dari tanah
negara, baik tanah perkebunan maupun kehutanan.
Minimnya Akses Masyarakat Atas Tanah sebagai Pemicu
Konflik Pertanahan
Jauh sebelum Presiden RI ke-6, SBY menyerahkan sertifikat
tanah kepada sepuluh orang yang merupakan perwakilan dari
5.141 orang pada 21 Oktober 2010, sejarah atas konflik tanah
di Cipari sudah berlangsung lama, yakni semenjak 1908. Dalam
Setiaji (2011), dipaparkan bahwa asal muasal konflik lahan di
lima desa tersebut bisa ditelusuri dari sejarah—yang sekarang
disebut dengan—Desa Caruy.
Desa Caruy dahulunya merupakan hutan yang berada di
bawah Kademangan Pegadingan, Kadipaten Cisagu. Pada 1794,
Ronggowiyudo atau Nayapurwa, saudara dari Adipati Cisagu,

36 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


membuka hutan tersebut dan kemudian oleh Reksajaya (teman
Nayapurwa) diberi nama Dukuh Curug. Selanjutnya pada 1801,
pedukuhan yang sudah berkembang menjadi desa ini diajukan
ke Kadipaten Cisagu. Pada tahun itulah, Desa Caruy lahir dan
dipimpin oleh Kepala Desa (Kades) Reksajaya. Pada 1908, Kades
Caruy yang ke-9, Ki Surasep, memindahkan wilayah desanya dari
Curug ke Gunungwilis sebagai akibat dari tukar menukar tanah
dengan perkebunan asing. Pada 1923, terdapat perkebunan
Caruy-Redjodadi dengan Hak Erpacht Verponding 48,49,50,81,
dan 120 dengan luas keseluruhan 1.288,47 ha atas nama NV.
Goenoeng Sari Pangoeloeran Estate dan NV. Cult Mijbouw Du Rix.
Di masa pendudukan Jepang, upaya perluasan lahan
terus terjadi karena adanya kewajiban tanam paksa untuk
menanami lahan kosong, lahan tidur, maupun semak belukar
untuk kebutuhan pangan. Perluasan penanaman ini termasuk
didalamnya lahan yang dikuasai oleh perusahaan asing. Kalahnya
Jepang atas sekutu membuat terjadinya kekosongan penguasaan
lahan. Di masa itu, seluruh lahan pertanian yang ada dikuasai
oleh masyarakat.
Pada saat Indonesia merdeka, lahan yang ada dinasionalisasi.
Lahan yang dinasionalisasi inilah yang kemudian digarap
masyarakat. Pada 1955, dengan landasan Undang-Undang
Darurat No. 08 Tahun 1954, pemerintah menerbitkan kartu tanda
pendaftaran sebagai pemakai tanah perkebunan. Kartu ini oleh
penduduk Cipari lebih banyak disebut sebagai “Kartu Kuning”.
Kartu ini, pada 1958, oleh pemerintah ditarik dan dijanjikan akan
diganti dengan petuk (kartu pembayaran pajak bumi), namun hal
tersebut tidak terjadi.

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 37


Bahkan di sekitar tahun itu, masyarakat mulai mendapatkan
kekerasan dan diusir dari wilayah perkebunan. Perlakuan
kekerasan terhenti saat masyarakat bersedia ditampung di areal
dan diberi bedeng (rumah sementara). Oleh masyarakat, sering
disebut sebagai orang penampungan atau tapongan. Orang yang
berada di penampungan inilah yang di kemudian hari terus
menuntut hak atas tanah. Kemudian pada 1964, berdasarkan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1964 Pasal 2 Ayat (c),
perkebunan Caruy-Redjodadi dikuasai oleh pemerintah. Kondisi
ini membuat masyarakat semakin jauh dari usaha untuk memiliki
lahan di wilayah tersebut.
Legitimasi perkebunan semakin menguat sejak terjadinya
peristiwa G30S. Warga yang sebagian besar merupakan kader
maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi
sasaran “penertiban” oleh aparat keamanan. Tanah mereka
disita dengan alasan merupakan bagian dari PKI. Pada 1970,
berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 580/Kpts/Um/12/1970
tanggal 19 Desember 1970, pemerintah menyerahkan
perkebunan kepada Markas Besar Angkatan Darat dengan alasan
tidak diusahakan pemiliknya, serta dengan pertimbangan dalam
rangka penanggulangan keamanan dan ketertiban terhadap
gangguan sisa-sisa G30S.
Sebelum adanya SK tersebut, pada 1967, berdasarkan
akta notaris R.M. Soeprapto No. 9 pada 9 Juni 1967, dibentuk
PT Rumpun atas perintah Pangdam VII Diponegoro (sekarang
Pangdam IV Diponegoro) yang pada waktu itu berposisi sebagai
Penguasa Perang Daerah (Peperda) Tingkat I Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 1997, PT Rumpun berubah
nama menjadi PT Rumpun Sari Antan (RSA). Perusahaan inilah
yang kemudian diberi kewenangan HGU yang secara resmi

38 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.3/
HGU/DA/74 tanggal 29 Februari 1975 dan berakhir 31 Desember
1999.
Pada sisi lain, masyarakat juga merasa mempunyai hak
atas lahan tersebut sehingga mereka melakukan perlawanan.
Pada 1971, masyarakat Caruy di bawah kepemimpinan Rekso
(kepala desa) melakukan demonstrasi menuntut agar lahan
yang dikuasai PT Rumpun dikembalikan kepada masyarakat.
Perlawanan ini terhenti karena pada 1972 Rekso ditangkap oleh
aparat kepolisian.
Tuntutan masyarakat agar tanahnya dikembalikan terjadi
lagi pada 1980, tetapi upaya ini juga tidak berlangsung lama
karena tekanan Orde Baru. Pada tahun-tahun ini, para petani
yang memperjuangkan tanahnya ada yang hilang atau pergi,
tetapi tidak kembali. Pada 1992, langkah moderat dilakukan
lima kepala desa (Karangreja, Sidasari, Mekarsari, Kutasari, dan
Caruy). Mereka meminta agar masyarakat dapat menggarap di
lahan yang telantar. Namun, upaya ini pun tidak berhasil. Hal ini
disebabkan karena pada tahun sebelumnya terdapat kerja sama
berupa pemberian subkontrak dari PT Rumpun kepada PT Astra
Argo Niaga (Div. VII) yang kemudian mengganti tanaman karet
menjadi tanaman kakao.
Upaya menuntut pengembalian atas tanah masyarakat kembali
dilakukan. Kali ini terjadi pada 1993. Pada tahun tersebut, petani
mendapat dukungan dari gerakan mahasiswa yang waktu itu
dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko. Namun, upaya ini pun tidak
membuahkan hasil. Budiman Sudjatmiko ditangkap oleh polisi
dan sempat dilakukan interogasi, yang kemudian menjadikannya
dilarang memasuki wilayah tersebut.

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 39


Selanjutnya pada 1997–1998, di Indonesia terjadi krisis
ekonomi. Hal ini juga terjadi di Cipari. Masyarakat mulai
menggarap lahan tidur. Dari sinilah, cikal bakal mulai tumbuhnya
kembali perjuangan petani. Diawali dengan terbentuknya
Ketanbanci (Kelompok Petani Korban Perkebunan Cisuru) yang
kemudian diikuti oleh pembentukan beberapa organisasi tani
lokal (OTL) lain, di antaranya OTL Tapungan Bangkit (Caruy), OTL
Mangkubumi (Karangreja), OTL Margorukun (Sidasari), dan OTL
Tri Manunggal Sari (Kutasari).
Berbagai macam OTL tersebut ditambah dengan OTL lain di
Cilacap inilah kemudian menjadi inisiator lahirnya Serikat Tani
Merdeka (SeTAM). SeTAM dideklarasikan pada 1999. Masa-masa
berikutnya, SeTAM menjadi organisasi induk bagi perjuangan
petani di Cilacap, termasuk didalamnya petani yang berkonflik
dengan PT RSA.

Ikhtisar
Lima desa yang berada di wilayah penelitian ini mempunyai
potensi ketimpangan agraria yang cukup mencolok. Pada sisi lain,
sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang
pertanian. Namun demikian, kepemilikan lahan mereka sangatlah
kecil, yakni hanya 0,13 ha. Ini menandakan mereka masuk
dalam petani gurem. Kondisi ini berbanding terbalik dengan
kepenguasaan lahan oleh perusahaan swasta dan pemerintah,
yang kemudian menimbulkan ketidakadilan agraria.
Dalam konteks kesejarahan, terdapat perbedaan klaim
atas tanah perkebunan yang kemudian menjadi konflik agraria.
Masyarakat beranggapan bahwa tanah tersebut merupakan
tanah yang dibuka oleh mereka dan kemudian dianggap sebagai

40 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


tanahnya. Namun demikian, pemerintah mempunyai anggapan
yang berbeda. Tanah yang ada di wilayah tersebut dianggap
sebagai tanah perkebunan milik perusahaan swasta Belanda yang
kemudian dinasionalisasi. Dengan begitu, pemerintah berhak
untuk menguasai tanah itu.
Penguasaan pemerintah atas tanah tersebut dimanifestasikan
dalam bentuk pemberian HGU kepada PT Rumpun, sekaligus
sebagai bentuk penanggulangan keamanan dan ketertiban akibat
dari G30S. Dari hal tersebut, kemudian terjadi persinggungan
antara masyarakat, negara dan swasta. Permasalahan inilah yang
akan ditelaah lebih dalam pada bab-bab selanjutnya.

Memotret Wilayah Kajian: Konflik Panjang yang Coba Diselesaikan 41


42 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
BAB 3

PERTARUNGAN KEPENTINGAN DAN


PEREBUTAN KUASA AGRARIA

Pengantar

P ertarungan kepentingan antar aktor dalam proses perumusan


kebijakan dan implementasi reforma agraria bersifat
dinamis. Proses penyusunan kebijakan reforma agraria apabila
mengacu pada Fauzi (2012), yang mengambil ungkapan Stuart
Hall (2007:280), tampaknya menemukan konteksnya.
Kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja dalam suatu konjungtur tertentu
bukanlah bersifat acak. Mereka dibentuk dari dan oleh sejarah. Sejatinya
mereka itu khusus dan spesifik, dan kamu harus mengerti apa dan
siapakah mereka, bagaimana mereka bekerja, apa batas-batas dan
kemungkinan-kemungkinan mereka, apa yang mereka dapat dan tidak
dapat tunaikan.…Maka, apa yang menjadi hasil dari pertarungan antara
hubungan-hubungan atau kekuatan-kekuatan yang saling bertanding satu
sama lain bukanlah merupakan ‘takdir’, sudah diketahui sebelumnya,
dan dapat diramalkan. Segala sesuatunya bergantung pada praktik sosial,
dengan mana pertarungan atau perjuangan tertentu berlangsung.

Para pihak/aktor berinteraksi dan menegosiasikan apa


yang menjadi kepentingannya dalam perumusan kebijakan
maupun implementasinya. Dalam bagian ini akan ditampilkan

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 43


pertarungan kepentingan dalam proses perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria. Didalamnya akan tergambar
cara kerja, peluang dan batasan serta hubungan masing-masing
aktor. Bahasan dalam bab ini akan menjawab pertanyaan
tentang “Bagaimana pertarungan kepentingan dalam perumusan
kebijakan dan implementasi reforma agraria itu berlangsung?”

Pertarungan Kepentingan dalam Perumusan Kebijakan


Kehadiran reforma agraria bukan tiba-tiba datang. Reforma
agraria hadir sebagai gagasan menciptakan situasi yang lebih
berkeadilan bagi masyarakat. Dalam prosesnya, reforma agraria
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebelum
reforma agraria, orang lebih dulu mengenalnya sebagai land
reform. Land reform, di era awal-awal berkutat pada pertarungan
antara orang yang menguasai sumber daya agraria, dalam hal
ini tanah, dan orang lain yang tidak mempunyai tanah. Pada
perkembangannya, land reform menggunakan subjek tanah
umum yang kemudian diredistribusikan untuk masyarakat tidak
bertanah. Selanjutnya, land reform digunakan sebagai jalan
pembebasan dari feodalisme dan persoalan tuan budak. Setelah
itu, land reform berkembang menjadi jalan untuk membangun
konsepsi ideologis baik sosialisme maupun kapitalisme. Di tahap
berikutnya, land reform berkembang menjadi sarana untuk
pembangunan bangsa. Konsepsi inilah yang kemudian meletakkan
dasar pentingnya land reform yang diikuti dengan pemberian
akses, seperti infrastruktur, permodalan, pemberdayaan
ekonomi, dan lain-lain. Land reform plus inilah yang kemudian
berkembang menjadi reforma agraria. Penjelasan singkat di atas
mempertegas bahwa reforma agraria sendiri merupakan suatu
bentuk pertarungan kepentingan antar aktor.

44 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Di dalam perumusan kebijakan reforma agraria terdapat
pertarungan kepentingan antar aktor. Pada masa penjajahan
Belanda, langkah yang dilakukan para petani didorong oleh adanya
kebutuhan masyarakat akan perlunya menanam tanaman pangan
untuk kehidupan sehari-hari, serta terdapat pula kebutuhan untuk
hunian mereka. Pada sisi negara, Belanda menerapkan asas domein
verklaring, yang secara sederhana diartikan bahwa tanah yang
belum berpenghuni akan dianggap sebagai tanah milik negara.
Hukum agraria zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, dan
feodalistik, yang jelas sangat bertentangan dengan kesadaran
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Mahfud 2012,
119). Keberadaan asas domein verklaring dalam agrarische wet
itulah yang memantik para pendiri bangsa Indonesia melakukan
refleksi. Bentuk nyata dari pemikiran tersebut diwujudkan dalam
bentuk terumuskannya kebijakan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) 1960. UUPA dijadikan oleh pemerintahan Soekarno
sebagai untuk menghentikan ketidakadilan agraria di Indonesia
dan memutus rantai kebijakan agraria zaman kolonial (Fauzi,
2012; Harjono, 1970).
Dalam konteks tanah di Cipari, pada 1923, pemerintah
Belanda memberikan tanah tersebut kepada perusahaan milik
orang Belanda. Di masa tersebut sampai dengan tahun 1958,
istilah land reform belum menjadi bagian dari istilah di kalangan
para petani. Barulah ketika Barisan Tani Indonesia (BTI) turut
mendorong lahirnya kebijakan land reform, para petani mulai
mengenal istilah tersebut. Di zaman itu, para petani melakukan
aksi-aksi pendudukan lahan di tanah perkebunan dengan slogan
tanah untuk penggarap. Namun demikian, upaya para petani
tersebut tidak berhasil. Justru yang terjadi kemudian, bisnis

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 45


tentara yang dijalankan oleh PT Rumpun akhirnya mendapatkan
HGU pada 1975. Kondisi ini bisa terjadi, menurut NF (peneliti
agraria) dikarenakan:
“Kemenangan tentara pada waktu itu tidak terlepas dari kebijakan
secara nasional tentang land reform memang belum menyentuh wilayah
perkebunan maupun kehutanan. Di zaman Orde Lama, land reform
dijalankan di tanah-tanah milik pribadi dan belum masuk pada tanah-tanah
negara. Fokus land reform pada waktu itu adalah membagi tanah-tanah
pertanian yang dimiliki oleh tuan tanah kepada para petani penggarap.”
(Wawancara, 02/9/2019).

Pendapat yang diungkapkan oleh NF, sejalan dengan pendapat


Tuong Vu dalam Paths to Development in Asia: South Korea, China,
Indonesia, and Vietnam (2010). Ia berpendapat:
“Kebijakan nasionalisme-populis Soekarno yang direfleksikan secara
gamblang dalam reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan Belanda
membuat struktur negara yang masih baru berdiri tersebut menjadi tidak
terkendali. Bukan karena seharusnya Soekarno tidak melakukan kebijakan
tersebut, tetapi yang terjadi adalah pemerintahan revolusi hanya
membuat elite pemerintahan mengakomodasi, alih-alih benar-benar
mengonfrontasi massa lain di luar petani maupun elite lain selain PKI
yang menjadi fokus saat itu. Permisifnya pemerintahan di bawah jargon
nasionalisme-populis tersebut dapat dilihat hari ini dengan kekuasaan
militer atas perkebunan yang terus melanggengkan sistem kolonial.

Peristiwa 1965 menjadi arah balik bagi perjuangan land


reform. Di Cipari, pada masa tersebut juga merupakan masa yang
kelam bagi masyarakat. Sebagian besar dari mereka terkena
dampak pemberangusan G30S. Perjuangan land reform dengan
jargon tanah untuk penggarap berhenti di akhir 1965. Pada masa
itu, petani tidak lagi dianggap menjadi bagian dari pendorong
dirumuskannya sebuah kebijakan. Alih-alih justru pada 1968,
pemerintah Orde Baru melalui Pangdam Diponegoro selaku

46 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Penguasa Perang Daerah (Peperda) tingkat I Jawa Tengah dan
DIY pada 9 Januari 1968 menyerahkan penguasaan pengelolaan
tanah-tanah perkebunan di Jawa Tengah kepada PT Rumpun.
Pada masa awal dan pertengahan Orde Baru, kata land
reform sama sekali tidak terdengar di Cipari. Namun demikian,
upaya masyarakat untuk memperoleh tanah tetap dilakukan
tetapi tidak menggunakan istilah land reform. Wacana land
reform mulai muncul kembali saat BS (aktivis mahasiswa yang
kemudian menjadi politisi DPR) memasuki wilayah Caruy dan
berupaya memperjuangkan hak atas tanah warga. Hanya saja,
upaya tersebut terhenti karena BS kemudian ditangkap dan tidak
diperbolehkan masuk ke desa tersebut.
Pembicaraan land reform mulai kembali muncul saat era
Reformasi. Pada 1998, karena krisis ekonomi, masyarakat kembali
mengupayakan agar tanah tersebut kembali kepada mereka.
Upaya tersebut mendapat dukungan dari kalangan masyarakat
sipil, khususnya LBH Yogyakarta yang merupakan inisiator awal
berdirinya organisasi para petani Cipari yang tergabung dalam
Serikat Tani Merdeka (SeTAM). Pada masa inilah, kata land reform
kembali berkumandang di kalangan petani. Mereka bersama-sama
dengan kalangan LSM berupaya memperjuangkan kembalinya
hak atas tanah dengan menyandarkan diri pada Pasal 33 UUD
1945 serta UUPA 1960. Kata reclaiming atau klaim kembali atas
lahan merupakan kata yang sering diucapkan oleh para petani,
khususnya yang sudah bergabung dalam SeTAM. SeTAM dalam
kancah politik kebijakan agraria menjadi salah satu penyokong
lahirnya kebijakan-kebijakan agraria di era Reformasi. Mereka
terlibat dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) maupun
dengan jejaring mereka di Federasi Serikat Petani Indonesia

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 47


(FSPI) yang juga mempunyai jaringan internasional bernama La
Via Campesina.
Selain dengan kalangan masyarakat sipil, SeTAM juga
membangun dialog dengan pemerintah desa untuk mewujudkan
perjuangannya. Keterbukaan di era Reformasi tidak hanya
berimbas pada keberanian petani dan kalangan masyarakat sipil.
Para kepala desa juga menjadikan Reformasi sebagai momentum
melibatkan diri dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat atas
tanahnya. Berikut ini pendapat mantan Kepala Desa Caruy, SLT.
“Sebenarnya pelaku sejarah yang awalnya termasuk Mas Budiman
Sudjatmiko. Awal-awalnya itu Budiman Sudjatmiko yang waktu itu
mahasiswa UGM dioyok-oyok (baca: dikejar-kejar) aparat di era Soeharto.
Mas Budiman bahkan sering tidur di sini juga. Kalau saya sama pemerintah
desa lain, mulai terlibat setelah Reformasi. Istilahnya, kami itu yang
dikatakan Pak Joyo Winoto, ibarat batu yang besar dipukul ya nggak
pecah, diganti orang juga nggak pecah. Nah, kebetulan diganti lima kepala
desa langsung pecah. Ibaratnya, kami lagi beruntung.” (Wawancara,
25/12/2018).

SeTAM mengajak pemerintah desa untuk turut


memperjuangkan tanah tersebut dengan alasan masyarakat
membutuhkan tanah itu untuk menghadapi krisis ekonomi.
Maka pada awal-awal Reformasi itulah, pemerintah desa turut
memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan melibatkan petani
dalam Program Penanggulangan Dampak Kekeringan dan Masalah
Ketenagakerjaan (PDKMK) dengan sistem bagi hasil dengan pihak
perkebunan untuk tanaman pangan. Namun demikian, program
ini berakhir dengan kegagalan karena adanya gagal panen
dan keberadaan program tersebut dinilai tidak sesuai dengan
keinginan para petani yang sesungguhnya yakni menjadikan
tanah tersebut kembali menjadi tanah milik masyarakat.

48 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Di waktu berikutnya, tepatnya pada 31 Desember 1999,
merupakan masa akhir HGU PT Rumpun Sari Antan (RSA). SeTAM
memanfaatkan peluang ini dengan terus mendorong agar HGU
tersebut tidak diperpanjang. Upaya ini kemudian membuahkan
hasil dengan tidak diperpanjangnya HGU pada wilayah yang
sedang dipermasalahkan oleh masyarakat. Bahkan, pemerintah
melalui BPN mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan sebagian
kecil tanah perkebunan itu menjadi objek land reform.
Namun demikian, di tengah upaya tersebut, PT RSA tetap
berupaya menghambat pelaksanaan redistribusi tanah. Mereka
menghendaki kompensasi atau ganti rugi atas tanah yang akan
diredistribusi. Kompensasi inilah yang menjadikan terjadinya
perpecahan baik di kalangan petani, pengurus SeTAM, maupun
antara SeTAM dan para kepala desa.
Seperti pada pemerintah desa pada umumnya, upaya
masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanah awalnya
bukanlah isu yang didukung oleh pemerintah desa. Pada banyak
kasus, kebanyakan dari pemerintah desa bahkan berupaya
menghindar. Hal itu juga terjadi pada pemerintah desa di lima desa
yang menjadi sasaran penelitian ini. Mereka tidak mau terlibat di
dalam upaya memperjuangkan hak atas tanah. Namun demikian,
situasi itu berubah ketika mereka melihat peluang tanah tersebut
bisa menjadi milik masyarakat dengan telah berakhirnya HGU
dan juga surat dari BPN tentang rencana pelepasan tanah.
Melihat peluang tersebut, pemerintah desa perlahan-lahan
melakukan pendekatan kepada para petani termasuk juga ke
SeTAM. Mereka mengatakan bahwa masalah tanah juga menjadi
masalah pemerintah desa. Semenjak saat itu, pemerintah desa
di kelima desa tersebut menjadi bagian dari upaya agar tanah

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 49


kembali kepada masyarakat. Namun demikian, sejatinya mereka
tidak mempunyai pemikiran tentang reforma agraria. Hingga
kemudian, saat pemerintah daerah dan BPN meminta agar kasus
ini segera diselesaikan dan pada sisi lain PT. RSA menginginkan
kompensasi, maka kedua kepentingan ini pun bertemu.
Tahap berikutnya adalah proses tawar-menawar kompensasi
yang terjadi antara PT. RSA dankepala desa, di mana para petani
tidak lagi dilibatkan langsung dalam proses tersebut. Bagi para
petani, inilah momentum di mana perjuangan mereka telah
diambil alih oleh pemerintah desa. Tidak hanya berhenti pada
kompensasi, kepala desa juga kemudian menyetujui penambahan
jumlah penerima tanah yang awalnya sejumlah 2.000-an orang,
kemudian menjadi 5.141 orang. Dengan bertambahnya jumlah
orang yang mendapatkan tanah, maka pada akhirnya rata-rata
petani hanya mendapatkan lahan sejumlah 500 m2.
Adanya kompensasi juga berdampak buruk. Kompensasi
menjadi jalan terjadinya jual beli lahan, baik sebelum maupun
sesudah redistribusi dilakukan. Keberadaan kompensasi yang
mempunyai tenggat waktu yang cepat berakibat pada banyak
di antara petani dan calon penerima tanah yang tidak mampu
membayar biaya kompensasi. Melihat kondisi tersebut, para
kepala desa berinisiatif menggandeng pembeli lahan untuk
meminjamkan uang terlebih dahulu. Uang tersebut dapat
juga dijadikan sebagai panjer (baca: uang muka). Jadi, apabila
ternyata petani atau calon penerima tanah tidak dapat membayar
kompensasi, maka tanah tersebut akan menjadi tanah yang
dimiliki pemilik lahan.
Para petani, khususnya yang sudah berjuang dari awal,
menganggap keberadaan kompensasi berarti akan membuat

50 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


petani tidak bisa memiliki lahan tersebut. Hal itu karena banyak
di antara petani yang tidak dapat membayar kompensasi. Namun,
ada sebagian petani lainnya (termasuk didalamnya beberapa
pengurus SeTAM) yang menerima kompensasi dengan alasan agar
kasus ini dapat segera terselesaikan. Meski pada akhirnya setelah
dilakukan rapat internal, SeTAM menolak kompensasi dan secara
organisasi tidak lagi melibatkan diri dalam pembagian lahan.
Meskipun demikian, SeTAM memberi kebebasan kepada petani
dan pengurus jika secara pribadi terlibat dalam pembagian lahan
tersebut. Menurut pengamatan peneliti, pilihan politik SeTAM
yang berada pada wilayah abu-abu tersebut dikarenakan para
petani sebagian besar banyak yang lelah dalam memperjuangkan
tanahnya. Selain itu juga, adanya anggapan bahwa setidaknya
terdapat sejarah perjuangan tanah yang berhasil dilaksanakan
di Cilacap atau dalam istilah mereka sering disebut sebagai
“kemenangan kecil”.
Meskipun tidak terlibat langsung dalam pembagian lahan di
Cipari, SeTAM tetap menyuarakan perjuangan para petani dengan
mengupayakan advokasi reforma agraria dengan mengambil
peluang politik kebijakan reforma agraria model yang ditawarkan
JW (Kepala BPN) yakni asset dan access reform. Kerja advokasi
reforma agraria model tersebut dapat terjadi karena hubungan
SeTAM dengan kalangan masyarakat sipil (LBH, LSM, akademisi)
yang juga turut memperjuangkan reforma agraria. Selain itu,
interaksi yang cukup erat antara SeTAM dengan JW (Kepala BPN),
semakin memperkuat kampanye tersebut.
Interaksi antara masyarakat sipil dan politisi sesungguhnya
sudah pernah terjadi di masa lalu. Hubungan politisi yang ada di
partai dan gerakan sosial terjadi pada masa orde lama, misalnya

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 51


antara BTI danPartai Komunis Indonesia (PKI). Namun demikian,
di era orde baru, hubungan tersebut tidak terjadi karena adanya
politik “masa mengambang”. Gerakan sosial dan partai dianggap
dua entitas yang berbeda. Akan tetapi, hubungan tersebut
kembali muncul dengan adanya keterbukaan politik. Pada
masa awal reformasi, para aktivis reforma agraria melakukan
pendekatan kepada politisi partai. Partai Amanat Nasional
misalnya, mengangkat isu reforma agraria dalam satu program
yang ditawarkan. Pada fase selanjutnya, para aktivis reforma
agraria melakukan pendekatan secara intensif ke politisi partai
di parlemen yang kemudian dapat melahirkan Tap MPR No. IX/
MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam di era pemerintahan Megawati.
Selanjutnya, para aktivis tersebut tanpa lelah berupaya masuk
ke politik dengan membuat Petisi Cisarua yang memasukkan
agenda reforma agraria ke dalam pemerintahan SBY. Bahkan,
pada masa pemerintahan SBY, beberapa aktivis terlibat langsung
dalam pemerintahan, misalnya dengan menjadi staf khusus dari
Kepala BPN (Fauzi, 2017).
Selain itu mereka juga melakukan memanfaatkan momentum
politik yang tersedia dan perlu “membisikkan” gagasan ini
melalui aktor-aktor politik yang berada dalam permainan
penyelenggaraan negara (Chandra, 2014). Dalam konteks
Cipari, pendekatan gerakansemacam di atas dilakukan oleh
SeTAM kepada BS dari PDI Perjuangan. Cara ini relatif mudah
dilakukan karena keduanya mempunyai ikatan semenjak BS
menjadi aktivis. Ikatan inilah yang terus dipelihara dan kemudian
berbuah reforma agraria yang dijalankan di Cipari. Sebagai taktik
gerakan, pendekatan petani dan masyarakat sipil ke politisi

52 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


partai cukup membantu dalam proses melakukan advokasi dan
memperjuangkan kasus yang dihadapi. Namun demikian, dalam
konteks yang lebih substantif, interaksi antara gerakan petani,
masyarakat sipil, dan politisi tidak berjalan sebagaimana harapan
dari petani.
Kesepahaman tentang reforma agraria antara SeTAM dan
masyarakat sipil dengan JW hanya berhenti pada tataran konsep.
Pada realitas di lapangan konsep yang dipahami bersama
tersebut tidak terjadi. BPN justru menyepakati kompensasi
yang ditawarkan oleh PT. RSA. BPN juga yang mendorong untuk
membagi lahan dengan cara memperluas para penerima lahan.
Padahal, para calon penerima lahan tersebut bukanlah para
petani penggarap atau orang yang memperjuangkan tanah dari
awal. Kebanyakan dari mereka bukanlah petani, bahkan banyak di
antaranya merupakan kerabat dari kepala desa. Tidak hanya itu,
sarana produksi, yang pada waktu interaksi awal antara SeTAM
dan JW telah dijanjikan, tidak jadi diberikan karena adanya kasus
jual beli tanah pasca redistribusi.
Pada awal pelaksanaan redistribusi, para petani, SeTAM,
masyarakat sipil, dan politisi proreforma agraria, termasuk
juga pemerintah, mengalami euforia. Para petani senang
karena pada akhirnya memperoleh tanah. Begitu juga dengan
SeTAM, masyarakat sipil, dan politisi reforma agraria turut
mengampanyekan keberhasilan pelaksanaan reforma agraria
di Cipari sebagai bagian dari kemenangan kecil masyarakat.
Begitu pun di kalangan pemerintah SBY yang memandang bahwa
kebijakan reforma agraria di Cipari adalah land reform terbesar
pertama di era Reformasi. Namun demikian, seiring dengan
merebaknya jual beli lahan ditambah dengan tidak jadinya

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 53


pemberian access reform kepada petani, maka mulailah kasus
Cipari dinilai sebagai kegagalan pelaksanaan reforma agraria
bahkan reforma agraria dipandang berimplikasi buruk bagi
petani.
Dalam penilaian petani dan kalangan masyarakat sipil, reforma
agraria di Cipari hanya dijadikan oleh SBY sebagai kepentingan
pencitraan semata. SBY dipandang hanya memanfaatkan Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), termasuk didalamnya yang
diimplementasikan di Cipari, untuk kepentingan popularitasnya.
Pernyataan di atas, sejalan dengan pandangan Sujito (2012)
yang menggambarkan situasi di era SBY memerintah dimana pada
era tersebut, presiden dan para politisi lain menjalankan strategi
pencitraan dengan memproduksi image dan mengesankan
dirinya supaya eksis dengan jargon-jargon politik populis.
Pertarungan Kepentingan dalam Implementasi Kebijakan
Petani penggarap dan PT. RSA merupakan aktor utama dalam
perebutan sumber daya agraria, khususnya tanah di Cipari. Petani
penggarap yang memiliki sejarah atas tanah dan secara faktual
menguasai tanah berhadapan dengan PT. RSA yang secara legal
formal mendapatkan mandat dari pemerintah melalui pemberian
HGU. Perebutan tanah tersebut sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda. Awalnya, tanah di wilayah itu merupakan
tanah yang lahannya dibuka oleh petani untuk ditanami tanaman
pangan dan beberapa di antaranya juga dijadikan hunian.
Penguasaan tanah ini berjalan dinamis. Pada rentang waktu
tertentu, petani menguasai secara penuh, tetapi pada rentang
waktu lainnya mereka terusir dari tanah tersebut.

54 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Pada 1923, Belanda memasuki wilayah tersebut dengan
memberi mandat kepada perusahaan milik Belanda untuk
mendirikan perkebunan (Setiaji, 2012). Keberadaan perkebunan
itu membuat masyarakat terusir dari wilayahnya. Namun setelah
Belanda kalah oleh Jepang dan Jepang menguasai Indonesia,
tanah tersebut kembali dikuasai oleh masyarakat. Masyarakat
kembali mengerjakan tanah tersebut. Namun demikian, setelah
Jepang pergi dari Indonesia dan kemudian Indonesia merdeka,
dinamika perebutan tanah kembali terjadi.
Di masa orde lama, kembali terjadi perebutan tanah. Pada
periode ini, perebutan tanah terjadi antara petani penggarap
yang mendapat dukungan dari Barisan Tani Indonesia (BTI)
dan tentara yang mendapat dukungan dari pemerintah dengan
diatasnamakan nasionalisasi. Pada masa ini, pemenang dari
pertarungan tersebut adalah tentara. Tentara mendapatkan
legalitas lahan perkebunan dalam bentuk HGU yang diberikan
kepada PT Rumpun yang merupakan cikal bakal PT Rumpun Sari
Antan (RSA).
Meskipun pada waktu itu pemerintahan Soekarno juga
mendukung keberadaan land reform, akan tetapi di masa itu
land reform lebih banyak diarahkan pada tanah-tanah milik
pribadi (tuan tanah) yang merupakan wilayah pertanian
(bukan perkebunan). Di era tersebut, pada wilayah perkebunan,
pemerintah Orde Lama lebih memilih melakukan nasionalisasi
daripada melaksanakan land reform, sehingga wilayah
perkebunan tidak tersentuh oleh kebijakan land reform.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 55


Mengenai hal itu, RHT (AGRA) menyampaikan bahwa,
“Nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Soekarno sama sekali tidak
memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya tunakisma. Nasionalisasi
yang dilakukan Soekarno justru membuat terjadinya monopoli tanah
seperti yang terjadi di Cipari. Tanah perkebunan dikuasai oleh swasta yang
di dalamnya berisi tentara. Sedangkan para petani yang tidak mempunyai
lahan terusir dari lahannya.” (Wawancara, 03/12/2019).

Terusirnya para petani di masa akhir orde lama juga membuat


mereka akhirnya tidak dapat menggarap tanah di wilayah
tersebut. Namun demikian, pada 1980-an, masyarakat mulai
kembali menggarap tanah di wilayah HGU, khususnya pada tanah-
tanah yang dianggap oleh perusahaan tidak produktif. Langkah
yang dilakukan petani dalam penguasaan tanah di era orde baru
tidak dilakukan seterbuka era orde lama. Dalam perebutan tanah
tersebut, petani melakukannya secara diam-diam. Perebutan
tanah secara diam-diam dilakukan karena di masa orde baru,
land reform merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Orang
yang melakukan perjuangan untuk mendapatkan hak atas
tanah akan dianggap sebagai orang PKI. Hal ini juga terjadi di
Cipari. Beberapa kali upaya untuk memperjuangkan hak atas
tanah terhenti karena orang yang berjuang tersebut tiba-tiba
menghilang, tidak lagi kembali ke desanya, dan tidak diketahui
keberadaannya. Atau sekurang-kurangnya, para petani yang
memperjuangkan tanahnya akan mendapatkan intimidasi yang
berimbas pada surutnya upaya perjuangan tersebut.
Namun demikian, upaya untuk mendapatkan hak atas tanah
tetap tersimpan dalam diri para petani. Di era orde baru, mereka
terus mengupayakan agar tanah tersebut dapat diakses. Sekitar
tahun 1990-an, upaya mengakses tanah tersebut dijalankan
dengan cara tumpang sari dengan tanaman perkebunan.

56 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Masyarakat mengerjakan tanah tersebut dengan tanaman pangan
berupa padi atau jagung di bawah tegakan tanaman perkebunan
(baca: tumpang sari). Selain itu, pernah juga ada program ABRI
Manunggal Pertanian di mana masyarakat bersama-sama tentara
melakukan penanaman tanaman pangan dan hasilnya kemudian
dibagihasilkan.
Ketika reformasi bergulir, penguasaan tanah yang dilakukan
petani penggarap lebih besar dan pada akhirnya tanah yang
dikuasai oleh masyarakat itulah yang menjadi tanah yang
diredistribusi. Dinamika kesejarahan atas penguasaan tanah
inilah yang menjadikan salah satu kunci keberhasilan masyarakat
untuk mendapatkan hak atas tanah. Hal ini dikatakan oleh SG
(SeTAM) sebagaimana berikut:
“Kenapa dari pihak Kodam IV kok menyerahkan? Karena dari sisi
pembuktian, mereka juga masih lemah. Dalam artian pembuktian
kepemilikan atau sertifikat HGU. Asal-usul terbitnya sertifikat HGU
prosesnya bagaimana, mungkin secara pembuktian masih lemah. Nah
sedangkan di satu sisi masyarakat pada tahun 60-an itu masih ada yang
mempunyai bukti kepemilikan, baik itu surat kuning, atau letter C atau
apa. Nah itu yang dijadikan bekal untuk menuntut tanahnya agar kembali.”
(Wawancara, 21/11/2018).

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 57


58
Secara ringkas, relasi kuasa sumber daya agraria tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 5. Penguasaan Terhadap Sumber Daya Agraria

Kategori Petani/ Negara Swasta


Masyarakat Sipil

verklering
Sebelum Tanah dibuka oleh Memberlakukan domein Perusahaan milik orang
Kemerdekaan masyarakat untuk Belanda mengambil alih
ditanami tanaman lahan masyarakat dan
pangan dan hunian menjadikannya sebagai
tanah perkebunan
Orde Lama Petani dengan Memberlakukan Perusahaan swasta
dukungan dari BTI nasionalisasi yang di dalamnya berisi
mengupayakan tanah para tentara menguasai

Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


tersebut menjadi milik tanah tersebut dan
masyarakat menjadikannya sebagai
tanah perkebunan
Orde Baru Petani menggarap Menghilangkan land Menguasai tanah
lahan secara diam- reform dan melakukan perkebunan
diam stigma dan intimidasi
kepada masyarakat
Kategori Petani/ Negara Swasta
Masyarakat Sipil
Orde Masyarakat Pemerintah Perusahaan swasta
Reformasi mendapatkan hak menjalankan Program meminta kompensasi
(SBY) atas tanah tetapi tidak Pembaruan Agraria kepada masyarakat
sesuai dengan harapan Nasional (PPAN)
awal dan semangat termasuk di dalamnya
reforma agraria yang di Cipari
sesungguhnya

Untuk melihat lebih jauh pertarungan kepentingan dalam implementasi reforma agraria
maka menjawab pertanyaan dari Bernstein (2010) dan White (2011) tentang (1) siapa menguasai
sumber agraria apa (who owns what?); (2) siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap
sumber agraria tersebut (who does what?); (3) siapa memperoleh hasil apa dari aktivitas produksi
tersebut (who gets what?); (4) digunakan untuk apa hasil produksi tersebut (what do they do with
it?), dan (5) apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dan/atau yang berkepentingan
kepada sesama mereka satu samalain (what do they do toeach other?) akan mempermudah kita
melakukan analisis atas kekuasaan yang terdapat didalamnya.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria


Dalam hal penguasaan sumber agraria, penguasaan sumber agraria bersifat menyebar. Di

59
Cipari, tentang kekuasaan yang menyebar juga terjadi, seperti diutarakan oleh TRM (petani
penggarap) dan WHY (kepala desa) yang menyebutkan bahwa
pada beberapa titik terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat
dan tidak diganggu oleh pihak perkebunan.
Dari berbagai pernyataan di atas, tampak bahwa memang
secara faktual masyarakatlah yang menguasai lahan tersebut.
Model semacam ini sebetulnya jamak terjadi di wilayah konflik
agraria di mana masyarakatnya punya “kekuatan”. Secara de facto,
masyarakatlah yang menguasai lahan, meskipun secara hukum
normatif kekuasaan atas lahan tersebut ada pada swasta atau
pemerintah.
Dalam hal inilah, memang perlu ada perbaikan tafsir atas
makna penguasaan sumber agraria. Sesungguhnya banyak kasus
dalam konflik agraria yang memang secara faktual sumber daya
agraria tersebut telah dikuasai secara penuh oleh masyarakat
dan negara tidak dapat melakukan intervensi. Salah satu bentuk
keberhasilan masyarakat untuk memenangkan kasus ini adalah
pihak PT RSA tidak mempunyai bukti yang cukup kuat tentang
“sejarah penguasaan” lahan. Disinilah, tampak bahwa kekuasaan
atas sumber agraria sesungguhnya tidak bersifat absolut hanya
pada satu aktor saja.
Namun demikian, di tengah kuasa aktor masyarakat
atas aktor lain, pada kondisi tertentu aktor masyarakat pun
mempunyai kekuasaan yang terbatas. Demikian halnya dengan
keterbatasan kekuasaan pada level pemerintah, seperti yang
terjadi pada BS yang menganggap bahwa kekuasaannya sebagai
anggota legislatif terbatas oleh kekuasaan eksekutif, dalam hal ini
SBY, karena pada waktu itu partainya bukan merupakan partai
penguasa. Kondisi ini semakin diperjelas dengan realitas bahwa
dalam hal “siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap

60 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


sumber agraria tersebut (who does what?)”, peran swasta dalam
wilayah yang telah dikuasai masyarakat tidak dapat melakukan
aktivitas produksi dalam bentuk apapun. Hal ini dibenarkan
oleh WHY (Kades Mekarsari) dan SG (SeTAM) yang mengatakan
bahwa di tempat yang dikuasai oleh masyarakat, RSA tidak dapat
melakukan aktivitas produksi apapun.
Agak berbeda dalam hal kekuasaan sumber agraria dan
aktivitas produksi, untuk soal “siapa memperoleh hasil apa dari
aktivitas produksi tersebut (who gets what?)” tampak bahwa
masyarakat belum sepenuhnya memegang kendali. Di Cipari,
kondisi ini dibenarkan oleh MSR (petani penggarap) dan SRW
(SeTAM) yang mengatakan bahwa hasil panen yang ada tidak
sepenuhnya untuk petani karena masih ada rasa takut saat
berhadapan dengan RSA.
Hal senada juga terjadi pada soal “digunakan untuk apa hasil
produksi tersebut (what do they do with it?)” yang ternyata masih
terkesan dengan khas birokrasi yang korup. Hasil produksi yang
ada tersebut hanya menjadi “milik” orang perkebunan dan sama
sekali dianggap tidak terkait dengan hasil produksi perusahaan.
Bahkan, di perkebunan RSA, karyawan perkebunan pun tidak
mendapatkan haknya.
Lantas, “apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
terlibat dan/atau yang berkepentingan kepada sesama mereka
satu sama lain? (what do they do to each other?)”. Di sini, kontestasi
antar aktor terjadi untuk saling memperkuat atau melemahkan
tiap-tiap posisi. Hal tersebut seperti pernyataan SG (SeTAM) yang
menuturkan bahwa perjuangan reforma agraria tidak akan berhasil
jika tidak ada dukungan dari teman-teman (aktivis, LSM, politisi
yang berpihak). Namun demikian, seperti yang telah disebutkan

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 61


di atas bahwa dalam tiap-tiap kategori juga tidak bersifat tunggal,
tetapi kondisi saling melemahkan juga terjadi. Lebih lanjut, ia
menjelaskan bahwa di dalam SeTAM terdapat perbedaan dalam
menyikapi “kompensasi”. Hal ini berakibat “pecahnya” SeTAM
menjadi dua bagian, yakni yang sepakat untuk diteruskan dengan
membayar kompensasi dan pihak lain yang menolak keberadaan
kompensasi.
Pada level lain, misalnya di pemerintahan desa. Para aktor yang
terlibat di dalamnya melihat bahwa dibukanya kemungkinan tanah
tersebut kembali ke masyarakat menjadikan mereka mengejar agar
tanah tersebut segera kembali, meskipun dengan risiko adanya
kompensasi. Seiring dengan itu, masyarakat menilai jika instrumen
yang digunakan oleh para kepala desa tersebut sebagai upaya
melemahkan posisi masyarakat. Bahkan dapat dikatakan, reforma
agraria yang dituntut oleh masyarakat di awal-awal perjuangan
untuk menyejahterakan mereka tiba-tiba saja diambil alih (baca:
dibajak) oleh pemerintahan desa yang melakukan persetujuan
dengan PT RSA tanpa melibatkan pandangan dari masyarakat.
Pada level atas, kondisi ini juga terjadi. Menurut GWR (pakar
agraria), JW yang pada awal-awal sangat kuat dalam upayanya
mewujudkan reforma agraria terpaksa harus kandas karena
tidak mampu menembus “tembok kekuasaan” lain, termasuk di
dalamnya presiden. Kontestasi pada level ini juga termasuk hal
memaknai reforma agraria. Bila pada level masyarakat makna
reforma agraria adalah upaya untuk membuat kehidupan yang
lebih baik, maka pada level negara digunakan untuk pencitraan
populis, serta pada level swasta, reforma agraria yang dijalankan
hanyalah sekadar menggugurkan tugas alih-alih memanfaatkan
aktor lain untuk memastikan bahwa swasta tidak rugi banyak.

62 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Di titik inilah, telah terjadinya pendangkalan makna reforma
agraria sebagai akibat dari kepentingan para aktor. Selain itu,
ada pihak lain yang juga mengambil kesempatan dari proses
ini, yakni masyarakat/pengusaha yang mempunyai kapital yang
kemudian melakukan pembelian tanah dengan dalih membantu
kompensasi. Hal ini dikatakan oleh SJT (pegiat agraria Cipari)
sebagaimana berikut:
“Memang saya mendengar kaya gitu siapa yang ibaratnya calo-calo tanah
itu muncul, makelar-makelar tanah ibarat kaya orang yang kaya mendadak
gitu. Tuan-tuan tanah baru.” (Wawancara, 21/11/2018).

Pernyataan tersebut dibenarkan ED (petani penggarap). Ia


mengatakan bahwa para blantik (baca: makelar) itu membeli
lahan dengan harga murah dan kemudian dijual bisa sampai tiga
kali lipat dari harga awal. Baginya, para blantik ini adalah para
pengkhianat reforma agraria karena mereka tidak turut berjuang,
tetapi justru mendapatkan keuntungan yang terbesar.
Hal seperti di atas juga dikatakan SD (pembeli lahan):
“Lah kula paling kaya niki, anggotane kula nggih terus terang wonten
sing nyerah mboten purun nebus kompensasi niku nggih. Nah kula kan
mirangaken Pak Babinsa nek mboten salah Pak WST, ‘Pokoke nek sing ora
nebus ya ora diweih, nek sing nebus ya kuwe sing duweni’. Lah anggotane
kula wonten sing mboten nebus ya kula tebus. Kompensasi niku aturan
saking mriko sak mestine, sedoyo kudu mbayar.”
(Saya paling seperti ini, ada anggota saya yang terus terang dia tidak mampu
membayar kompensasi. Saya mendengar dari Pak Babinsa, kalau ngga salah
namanya Pak WST, ‘Pokoknya yang tidak bisa menebus kompensasi tidak
akan diberikan (tanah), yang menebus yang dapat. Yang menebuslah (baca:
membayar kompensasi) yang dapat tanahnya. Lah, anggota saya ada yang
tidak bisa menebus, ya, (akhirnya) saya yang menebus. Kompensasi itu
aturan dari sana (baca: berdasarkan perjanjian kepala desa dengan PT RSA,
semua harus bayar. (Wawancara, 05/12/2018).

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 63


Dari pernyataan SD di atas, tampak bahwa karena
ketidakmampuan calon penerima tanah untuk membayar
kompensasi, maka pembayaran kompensasi dilakukan oleh
pembeli tanah. HJ yang berperan sebagai perantara antara
penjual dan pembeli lahan membuka tabir proses kompensasi ini
hanyalah akal-akalan pemerintah desa untuk melakukan korupsi.
“Lurahe pada ya secara serakahlah. (Tanahnya seolah, pen.) Diberikan ke
masyarakat, atas namanya (sertifikat, pen.) juga masyarakat ... tapi, ya
itulah dikorupsi akhirnya ya ada sebagian, ndak semua, namanya (atas
nama) rakyat tapi dikuasai oleh lurah. Lurah dipinjami duit, sama orang
yang punya duit. Akhirnya gitu jadi jual beli. Jadi, masyarakat seolah-olah
buat atas nama doang.” (Wawancara, 05/12/2018).

Selain soal pemahaman terhadap implementasi reforma


agraria, dalam hubungan antar aktor di Cipari juga terdapat
hubungan kelembagaan antar aktor dalam implementasi reforma
agraria. Berdasarkan temuan di lapangan, model hubungan
kelembagaan antar aktor tersebut, antara lain pertama,
hubungan yang sifatnya saling memberikan dukungan. Hubungan
ini terjadi pada kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang
kontra terhadap keberadaan reforma agraria. Bagi aktor yang
proreforma agraria, maka dukungan tersebut dilakukan untuk
memperlancar implementasi reforma agraria. Hubungan
semacam ini terjadi antara petani, penggarap, SeTAM, kalangan
LSM, dan politisi yang proreforma agraria. Begitu juga sebaliknya,
para aktor yang kontra terhadap reforma agraria juga akan saling
memberikan dukungan untuk menghambat pelaksanaan reforma
agraria atau membuatnya tidak terlalu merugikan bagi objek
reforma agraria. Hal semacam ini terjadi pada PT RSA dengan
pemerintahan desa. Kedua belah pihak inilah yang bersepakat
dengan adanya kompensasi. Terkait hal tersebut, STR (Kades

64 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Sidasari) menyampaikan ceritanya:
“Pada saat itu khan ada surat pelepasan dari Yadip, itu Yayasan
Diponegoro Semarang, Jalan Pramuka kalau ndak salah. Nah sesudah
itu, kita rapat-rapat dengan pertanahan pusat, dan ternyata deal. Terus
ada suatu kompensasi, muncul kompensasi yang per bidang itu khan 35
ubin. Kompensasinya 750 ribu kalau ndak salah per kaveling. Sesudah
itu, disepakati akan dilaksanakan selama 6 bulan secara nyicil (baca:
mengangsur).” (Wawancara, 21/11/2018).

Kedua, hubungan saling bertentangan antar sesama kelompok.


Hubungan ini salah satunya terjadi di kalangan petani. Contohnya
adalah pandangan soal kompensasi di antara pengurus SeTAM.
Ada pengurus SeTAM yang berpandangan bahwa kompensasi
sebaiknya diterima karena khawatir masyarakat akan jenuh
dengan perjuangan yang sudah berlangsung lama. Adapun
pengurus lainnya mempunyai pandangan bahwa keberadaan
kompensasi dapat menjadi jalan pembuka kegagalan reforma
agraria di Cipari.
“Saya juga berbeda pendapat dengan Mbah SG ketika menyikapi adanya
kompensasi. Saya menilai dalam kondisi sekarang, agar masyarakat tidak
jenuh, mau tidak mau kompensasi kita terima. Daripada semakin lama,”
ujar SRW. (Wawancara dengan SRW, 23/12/2018).

Ketiga, hubungan saling memahami kondisi tiap-tiap aktor.


Hal ini terjadi pada hubungan antara pemerintah desa danSeTAM.
Dalam beberapa konteks, sering kali keduanya juga memahami
kondisi keterbatasan masing-masing. Hal ini yang kemudian
memunculkan pemikiran terhadap kondisi yang dihadapi antar
aktor. Meskipun sesungguhnya, keduanya mempunyai pemikiran
dan sikap yang berbeda. Contoh dari hubungan semacam ini,
seperti yang diungkapkan oleh SRT (Kades Karangreja) berikut
ini:

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 65


“Waktu itu habis 1999, nah beliau Pak SG itu masuk, memohon untuk
tanah diberikan. Kami juga atas nama kepala desa juga sama, mohon. Ya
udah lha ternyata dari pihak direksi RSA itu, memberikan kepada kami
kepada masyarakat. Sama juga sebetulnya sama Pak SG pun muaranya
pada masyarakat juga, begitu.” (Wawancara, 25/12/2018).

Keempat, hubungan yang selama ini diasumsikan terjadi


dominasi tetapi pada kenyataan di lapangan dominasi tersebut
tidak terjadi, bahkan justru saling mendukung. Misalnya,
hubungan antara negara dan masyarakat dalam perbincangan
terkait kompensasi. Hubungan semacam ini terjadi seperti
penuturan dari SLT (Kades Caruy) mengenai sikap Heri Tabri
(mantan Bupati) soal kompensasi.
“Kalau versi Pak Heri Tabri itu tidak mau bayar kompensasi, alasannya
karena tanah eks HGU adalah tanah negara yang sudah tidak diperpanjang
hak guna usahanya, otomatis kembali ke tanah negara. Negara punya
rakyat, tanah mau diminta oleh rakyat, katakan oleh Pemda gitu kan, masa
harus bayar kaya gitu.” (Wawancara, 25/12/2018).

Namun demikian, pada level implementasi, gagasan yang


dimunculkan oleh Heri Tabri pada akhirnya tidak menjadi
kenyataan. Kenyataannya adalah PT RSA tetap meminta
kompensasi dan dari negosiasi yang diperoleh akhirnya para
petani penggarap diharuskan membayar kompensasi tersebut.
Kelima, terdapat hubungan tumpang tindih pada satu aktor.
Hubungan tersebut seperti yang terjadi pada SUT, seorang
petani penggarap yang ikut SeTAM tetapi juga menjadi bagian
dari partai yang pada waktu berkuasa di Cilacap. Ia menjelaskan
sebagaimana berikut:
“Saya dulu kan juga jadi pengurus PAC PDIP. Nah, saya juga sempat
dipanggil sama ketua dewan yang juga ketua DPC, karena saya sering-
sering demo itu ada yang melapor ke saya ke Pak FL. Dia menyuruh saya

66 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


jangan ikut-ikut SeTAM. Dibilang pilih partai apa pilih SeTAM? Terus saya
ya ini kan momen yang tepat pak, ketika PDIP berkuasa di Cilacap jadi
pemenang pemilu itu kan ya orang-orang petani inilah yang menyumbang
suara PDIP. Lha sekarang ada permasalahan ya kita kawal”. (Wawancara,
21/11/2018).

Tumpang tindih ini juga dialami oleh BS (anggota DPR). Hanya


yang membedakan adalah rentang waktunya. Pada masa orde
baru, BS masuk sebagai aktivis mahasiswa yang mengorganisisasi
masyarakat. Adapun pada saat orde reformasi, BS datang kembali
dengan posisi sebagai anggota DPR RI yang menampung aspirasi
masyarakat. Kesamaan dari peran BS dalam situasi ini adalah
sama-sama memperjuangkan hak atas tanah.
Keenam, hubungan antar aktor di mana tiap-tiap aktor
mempunyai kekuasaan, tetapi kekuasaan mereka juga terbatas
oleh kekuasaan lain. Hal ini dapat dilihat pada hubungan antara PT
RSA danpetani penggarap. Secara legal formal, PT RSA memegang
kekuasaan formal atas seluruh tanah yang berada di wilayah
HGU mereka. Namun demikian, kekuasaan dari PT RSA tersebut
dibatasi oleh kekuasaan petani penggarap yang secara faktual
menguasai sebagian tanah yang menjadi bagian dari HGU PT RSA.
Di lahan tersebut, PT RSA terpaksa tidak dapat menanami tanaman
yang sesuai dengan komoditas yang dikehendaki. Sebaliknya,
penguasaan tanah secara faktual tersebut juga dibatasi dengan
hasil produksi yang didapatkan oleh petani penggarap tidak dapat
dinikmati sepenuhnya oleh para petani penggarap. Sebagian kecil
hasil produksi diberikan kepada pegawai PT RSA.
Keterbatasan juga terjadi pada level pemerintahan, NF (pakar
agraria), yang melakukan penelitian etnografis kebijakan agraria,
menjelaskan bahwa JW sebagai Kepala BPN pun mempunyai
keterbatasan.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 67


“Ada keperluan SBY untuk mengamankan berbagai kasus yang melibatkan
informasi pertanahan, termasuk Hambalang dan sekitarnya. Ingat waktu
itu JW dipanggil KPK segala. Selain, ada tekanan konstan dari partai oposisi
(JW tidak diperkenankan ikut rapat kerja dengan Komisi II DPR-RI). Kalau
menurut JW sendiri, dia tidak mau melayani permintaan penyelesaian
terkait kasus-kasus agraria dan permintaan pengadaan tanah yang sudah
ditentukan siapa pemenangnya. (Dalam hal ini yang, pen.) diperlukan
orang seperti Herdarman Supanji (mantan Jaksa Agung). Selain tentu, SBY
dan sejumlah orang di seputarnya dan yang berpengaruh pada SBY tidak
mau reforma agraria membesar.” (Wawancara, 08/08/2019).

Hal senada disampaikan US (mantan Staf Khusus Kepala


BPN). Baginya, JW sesungguhnya orang yang tepat menjadi Kepala
BPN. Ia belum pernah melihat pejabat seperti JW yang mampu
mengarusutamakan reforma agraria di kalangan birokrasi di
bawahnya. Selain itu, JW juga mampu merangkul pihak-pihak
yang selama ini bergerak dalam soal isu reforma agraria. Namun
demikian, menurutnya, ada gelombang besar politik yang tidak
dapat dihindari oleh JW dalam mengupayakan implementasi
reforma agraria yang sesungguhnya. Menurut pengamatan
peneliti dan hasil konfirmasi dari beberapa narasumber,
gelombang politik tersebut adalah kasus Hambalang. Kasus ini
menyeret nama JW dalam dugaan korupsi. Semenjak kasus itu
naik ke pentas politik, JW kemudian dicopot dari jabatannya dan
kemudian sudah jarang lagi muncul ke publik.
Kondisi ini ternyata juga terendus oleh masyarakat.
SG (SeTAM), dalam konteks yang agak berbeda misalnya,
mengatakan kalau SBY tidak berani menjalankan reforma agraria
karena banyak aktor, khususnya para pemilik lahan besar atau
pengusaha, yang juga mempunyai kekuatan politik dan tidak bisa
dilawan oleh SBY. Kekuasaan yang terbatas ini juga dialami oleh
BS. Sebagai anggota legislatif, ia juga tidak dapat memaksakan

68 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


kehendaknya dalam memperjuangkan hak atas tanahnya. Ia
menuturkan bahwa,
“Kita kan oposisi. Dan karena oposisi kesempatan politiknya pun
terbatas. Tetapi yang penting dengan adanya redistribusi di Cipari bisa
menjadi simbol bahwa sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.”
(Wawancara, 19/10/2018).

Berbagai macam pertarungan kepentingan dalam hubungan


kelembagaan antar aktor di atas jika diringkas dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 6. Pertarungan Kepentingan dalam Hubungan
Kelembagaan Antar aktor

Model Hubungan Aktor


Saling Proreforma Agraria: petani penggarap,
memberikan SeTAM, kalangan LSM, dan politisi yang
dukungan proreforma agraria
Kontra Reforma Agraria: PT RSA,
Pemerintahan Desa
Saling SeTAM; terkait adanya kompensasi
bertentangan
antar sesama
kelompok
Saling memahami Pemerintahan desa dengan SeTAM
antar aktor sama-sama memperjuangkan
masyarakat tetapi berbeda cara
penyelesaian
Hubungan yang Hery Tabri (Bupati Cilacap) menyetujui
diasumsikan agar petani tidak perlu membayar
dominatif tetapi kompensasi ke PT RSA
tidak terjadi

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 69


Model Hubungan Aktor
Tumpang tindih Petani penggarap yang ikut SeTAM tetapi
pada satu aktor juga menjadi bagian dari partai yang
pada waktu berkuasa di Cilacap
Tiap-tiap aktor Kepala BPN tidak mempunyai kekuasaan
mempunyai penuh dalam proses redistribusi lahan
kekuasaan tetapi karena terdapat kekuasaan lain yang
kekuasaan mereka lebih besar
juga terbatas oleh
kekuasaan lain

Kebersamaan dan Persilangan Antara Masyarakat dan


Pemerintah
Dalam perjalanan memperjuangkan hak atas tanah, hubungan
antara masyarakat dan pemerintah mengalami masa pasang
surut. Di jaman orde lama, meskipun secara umum Soekarno
mempunyai pendekatan yang baik dalam land reform, tetapi
kondisi di wilayah lima desa yang menjadi sasaran penelitian
ini tidak demikian. Di perkebunan tersebut, masyarakat
harus berhadapan dengan tentara yang pada waktu itu diberi
kewenangan untuk melakukan nasionalisasi.
Pada waktu itu, Kabupaten Cilacap menjadi salah satu wilayah
yang kekuatan politiknya berasal dari PKI dengan dibantu sayap
BTI. Di beberapa desa, banyak ketegangan yang terjadi antara
tentara dan BTI. Ketegangan ini terus berlangsung hingga akhir
1965. Setelah tahun tersebut, ketegangan berakhir karena yang
terjadi adalah kalahnya petani di tangan tentara.
Seiring dengan redupnya land reform di level nasional,
kondisi di Cipari juga tidak jauh berbeda. Setelah 1965, banyak di

70 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


antara para petani yang ditangkap dan tidak jelas keberadaannya.
Kondisi ini terus terjadi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
Meskipun demikian, di tengah-tengah masa otoriter tersebut,
tetap saja masyarakat melakukan perlawanan. Hanya saja dalam
skala yang kecil atau bahkan secara diam-diam.
Pada 1980-an, misalnya, ada sebagian masyarakat yang
mengupayakan agar tanah tersebut kembali ke masyarakat,
meskipun akhirnya orang tersebut tidak jelas keberadaannya.
Desas-desus di desa mengatakan bahwa orang tersebut
telah dikebumikan (baca: dikubur). Pada 1993, BS, seorang
aktivis mahasiswa, mendatangi wilayah Caruy dan melakukan
pengorganisasian masyarakat. Upaya untuk terus melawan,
baik oleh kalangan masyarakat sendiri maupun dukungan
dari pihak lain, menjadi salah satu jalan terciptanya regenerasi
dalam proses perjuangan mendapatkan hak atas tanah. Maka
tidak mengherankan, bila kemudian di awal-awal era reformasi
bergulir wilayah tersebut kembali bergolak. Mereka kembali
menuntut hak atas tanah.
Lahirnya orde reformasi membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk lebih bebas berekspresi. Maka tidak meng-
herankan, jika kemudian setelah tumbangnya rezim Soeharto
masyarakat berbondong-bondong melakukan reclaiming maupun
okupasi dan secara terang-terangan kembali memunculkan
perjuangan land reform. Tidak hanya itu, reformasi juga
membuka kesempatan bagi serikat tani untuk melakukan
pendekatan dengan para politisi, baik yang sudah duduk di
legislatif ataupun calon anggota legislatif. Sebelum dengan BS,
para petani pernah melakukan pendekatan kepada Agus Condro
yang waktu itu menjadi anggota DPR RI. Ketika BS mencalonkan

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 71


diri sebagai anggota legislatif, para aktivis SeTAM menjadi bagian
dari tim pemenangan BS. Hubungan baik antara SeTAM dan BS
berlangsung dengan baik saat BS menjadi anggota legislatif. BS-
lah yang mendorong percepatan penyelesaian konflik di Cipari
dan melalui BS pula hubungan antara SeTAM dan BPN, khususnya
JW, dapat terjalin dengan lebih baik.
BS dan JW pulalah yang meyakinkan SeTAM untuk akhirnya
menerima kompensasi. Meskipun mereka mengetahui bahwa
kompensasi bukanlah pilihan yang terbaik. Menurut BS, pilihan
minimalis tersebut harus diambil karena pada saat itu hanya
pilihan politik itulah yang memungkinkan. Begitu juga dengan JW,
dia meyakinkan SeTAM akan memberikan kompensasi berupa
penyediaan layanan sertifikat gratis. Oleh karena kedekatan
dengan kedua tokoh itulah, maka SeTAM akhirnya mau menerima
dan tidak melakukan penolakan secara terang-terangan.
Hubungan antara SeTAM dan politisi ini tetap berjalan. Di
beberapa forum yang diadakan oleh SeTAM, BS sering diundang
dan diminta untuk berbicara tentang keberhasilan di Cipari.
Begitu juga di beberapa forum lainnya, ketika SeTAM diundang
oleh BPN atau ketika ada acara di mana JW hadir, maka SeTAM juga
terlibat di dalamnya. Sebagai contoh atas kejadian tersebut, yaitu
pada pertemuan yang diadakan oleh Serikat Petani Pasundan
(SPP) di Tasikmalaya. Pada beberapa sesi forum, SeTAM juga
kerap mengundang US yang pada waktu itu posisinya sebagai staf
khusus.
Namun demikian, hubungan antara masyarakat sipil dan
pemerintah kembali merenggang seiring dengan tidak lagi
dipilihnya JW sebagai Kepala BPN. Selain itu, benih-benih retaknya
hubungan ini karena SBY dinilai cukup kontroversial dalam

72 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


mengeluarkan kebijakan pertanahan, seperti UU Penanaman
Modal, UU Minerba, dan UU Pengadaan Tanah.
Interpretasi Temuan Lapangan
Bagian ini akan menganalis temuan lapangan atas pertarungan
kepentingan dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria di di Cipari. Klaim tentang reforma agraria yang
dianut dan dijalankan oleh para aktor dalam posisinya masing-
masing. Dalam peta aktor reforma agraria terdapat relasi antar
subyek dan obyek serta relasi antar subyek itu sendiri. Sitorus
(2002:37) menyebutnya sebagai dua jenis relasi manusia terkait
dengan sumber-sumber agraria. Relasi ini dibedakan menjadi
relasi teknis agrariadan relasi sosial agraria.
Relasi yang pertama berkaitan dengan hubungan manusia
dengan sumber-sumber agraria melalui aktivitas kerja (produksi).
Sedangkan relasi kedua berkaitan dengan hubungan manusiadi
antara sesamanya (baik dalam arti perorangan maupun
kelembagaan) terkait dengan aktivitas kerja yang mereka lakukan
atas sumber-sumber agraria. Secara praktis, kedua relasi ini
dapat diidentifikasi dari bagaimana subjek-subjek agraria saling
berhubungan secara sosial satu sama lain dalam kaitan dengan
hubungan teknis masing-masing dengan sumber-sumber agraria
Relasi subyek reforma agraria yang dimaksud di sini adalah
suatu hubungan yang terjadi tidak hanya diantara berbagai pihak
didalam masyarakat (yakni, antar-individu, antar-kelompok, atau
antar-lapisan didalamnya), akan tetapi juga melibatkan berbagai
instansi dan individu di dalam pemerintah (termasuk segi-segi
kerjasama dan kontestasi di antara unsur-unsurini), serta di
antara seluruh pihak tersebut dengan berbagai entitas bisnis
(Shohibuddin 2016:23).

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 73


Bila merujuk pada beberapa tipe cara produksi yang mungkin
eksis dalam suatu masyarakat, yang meliputi: (a) tipe naturalisme:
sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas
adat, secara kolektif; (b) tipe feodalisme: sumber agraria dikuasai
oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan
“patron politik”; (c) tipe kapitalisme: sumber agraria dikuasai
oleh non-penggarap yang merupakan perusahaan kapitalis; (d)
tipe sosialisme: sumber agraria dikuasai oleh Negara atas nama
kelompok pekerja; dan (e) tipe populisme/neo-populisme:
sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna
(Jacoby, 1971; Wiradi, 2000:183; Sitorus, 2004: 117) maka dalam
penelitian ini kita dapat melihat bahwa reforma agraria yang
dijalankan oleh negara bersumber pada pemikiran tipe kapitalis
yang menginginkan sumber agraria dikuasai oleh perusahaan
kapitalis atau setidaknya ketika pun terjadi pelaksanaan agenda
reforma agraria maka negara cenderung berpihak pada keinginan
dari perusahaan. Hal ini berbeda dengan pemahaman reforma
agraria di level petani dan masyarakat sipil yang cenderung
menjatuhkan pilihan penguasaan sumber agraria oleh keluarga/
rumah tangga pengguna atau dengan kata lain menggolongkan
dirinya pada reforma agraria tipe populis atau neo-populis.
Lebih lanjut, subyek atau aktor yang ada didalamnya menaut
dalam suatu interaksi di antara berbagai subjek agraria inilah
tentu dengan unsur-unsur kerja sama maupun persaingan
didalamnya yang membentuk apa yang diistilahkan sebagai
“relasi sosial agraria”.
Hal ini tampak pada penjelasan Sg (SeTAM), Trm (Petani
Penggarap) dan Sut (Petani Penggarap), Jr (Rumah Aspirasi
Budiman). Mereka menyampaikan bahwa perjuangan reforma

74 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


agraria tidak akan berhasil tanpa ada hubungan dengan pihak
lain. Perjuangan yang dilakukan dalam mewujudkan reforma
agraria merupakan kontribusi banyak pihak, baik dikalangan
petani, pemerintahan desa, LBH, LSM, aktivis, BPN sampai dengan
presiden.
Selanjutnya, bila dikategorisasi, peta aktor yang terdapat
di Cipari sejalan dengan pernyataan Sitorus (2002:35) yang
mengatakan terdapat tiga jenis subjek agraria yang dapat
diidentifikasi, pertama adalah komunitas sebagai kesatuan dari
berbagai unit rumah tangga. Kedua adalah pemerintah sebagai
representasi dari negara yang terdiriatas berbagai instansi
sektoral dan level pemerintahan yang berlainan. Dan ketiga
adalah swasta sebagai perwujudan dari sektor bisnis.
Dalam penelitian yang menggunakan alat analisis Althusserian
maka penelitian ini melihat pertarungan kepentingan sebagai
suatu perdebatan terhadap sesuatu (kebijakan/implementasi
kebijakan) dimana hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran
ISA dan RSA dalam menginterpelasi (sebuah panggilan imajiner
dari aparatus ideologis yang mengarah pada diri setiap manusia
sehingga ia mampu mengerti tentang apa dan siapa dirinya). Dalam
hal ini, Althusser membaca tatanan struktur sosial (kapitalisme)
sebagai sebuah formasi sosial pada konteks reproduki relasi-
relasi produksi. Di situ Althusser menemukan bahwa aparatus
represif negara melaksanakan daya represifnya dengan
menciptakan kondisi-kondisi politik bagi dimungkinkannya
relasi-relasi produksi. Sementara melalui aparatus ideologis
negara, reproduksi relasi-relasi produksi dimungkinkan karena
ideologi mampu memberikan semacam ‘ketersediaan kultural’
agar seseorang dapat tunduk pada ideologi dominan tersebut.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 75


Dengan begitu tercipta suatu naturalisasi terhadap relasi produksi
sehingga menjadi nampak alamiah dan seolah sudah kodratnya
demikian. (Baiquni & Adian, 2015).
Pada kasus di Cipari, terdapat temuan menarik di mana pada
saat orde lama, negara “memanggil” masyarakat dengan imajinasi
mereka tentang perlawanan terhadap domein ver klaring. Di sini
masyarakat diajak untuk menjadikan land reform sebagai bagian
dari dirinya. Maka tak mengherankan jika di masa orde lama
land reform menjadi bagian dari kehidupan “sehari-hari’ petani.
Berkebalikan dengan orde lama, di masa orde baru melalui ISA
negara memberlakukan land reform sebagai bagian dari musuh
negara. Alasan utama yang digunakan adalah bahwa land reform
diusung oleh PKI sebagai “musuh negara”. Selain itu, di masa orde
baru, penundukan masyarakat dijalankan dengan menggunakan
RSA. Hal ini tampak dengan adanya tuntutan dari petani untuk
menjalankan land reform dibalas dengan penghilangan aktivis,
“dikebumikannya” petani, pengusiran dan tindak kekerasan
lainnya. Pada masa reformasi, negara sesungguhnya juga
menjalankan ISA dengan meletakkan Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN) sebagai reforma agraria. Namun
demikian, proses interpelasi yang dijalankan tidak seperti
harapan pemerintah. Pada kasus ini, “kondisi keadaan” dimana
keterbukaan sudah menjadi hal yang ada di masyarakat maka
proses interpelasi tersebut tidak berjalan mulus. Masyarakat
ternyata telah mempunyai pemaknaan sendiri terhadap
reforma agraria berdasarkan imajinasi yang didapatkannya dari
pengalaman individu dan kondisi keadaannya. Dari pernyataan
tersebut memunculkan temuan lain bahwa pandangan Althusser
dalam konteks interpelasi melalui ISA dan RSA ternyata tidak

76 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


serta merta membuat masyarakat tunduk terhadap keinginan
negara. Melalui pengalaman individu dan kondisi keadaan yang
dimiliki masyarakat, bisa saja masyarakat kemudian melawan
negara.
Temuan lain yang menarik adalah relasi antar aktor yang
dikategorisasi di atas, sifatnya tidak selalu merepresentasikan
masing-masing “komunitas” atau “kategorinya”. Di dalam
komunitas/kategori tersebut juga terdapat pandangan yang
berbeda-beda ataupun relasi yang tidak seimbang. Contoh paling
mudah adalah kontestasi yang terjadi antar aktor di dalam serikat
tani yang juga berbeda dalam menyikapi kesepakatan antara RSA
dengan pemerintahan desa. Sebagai misal: Srw (SeTAM) yang
berpandangan bahwa kesepakatan tersebut diterima karena
kalau tidak diterima maka masyarakat akan jenuh. Sedangkan
Sg (SeTAM) berpandangan lain, menurutnya kompensasi akan
menjadi jalan pembuka kegagalan reforma agraria di Cipari.
Namun demikian, ada juga hubungan yang sifatnya tidak
kontestatif tapi saling memahami, seperti yang diutarakan oleh Srt
(Kades Karangreja) yang memandang bahwa antara pemerintah
desa dengan SeTAM sebetulnya sama-sama memperjuangkan
masyarakat.
Temuan lain juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antar aktor dimana posisi aktor tidak berkorelasi dengan sikap
mendominasi atau menghegemoni (negara versus masyarakat),
seperti yang dituturkan Slt (Kades Caruy) mengenai sikap Heri
Tabri (Mantan Bupati) soal kompensasi di mana mantan bupati
tersebut menolak adanya kompensasi padahal beliau merupakan
penguasa daerah. Posisi aktor juga bisa saja tumpang tindih,

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 77


seperti yang terjadi pada Sut seorang petani penggarap yang ikut
SeTAM tetapi juga menjadi bagian dari partai yang pada waktu
berkuasa di Cilacap.
Dari temuan lapangan, dalam konteks relasi antar aktor,
terlihat juga bahwa masing-masing aktor mempunyai kekuasaan
tetapi kekuasaan mereka juga terbatas oleh kekuasaan lain.
Keterbatasan ini juga terjadi pada level pemerintahan. Dalam
kerangka terbatasnya kekuasaan dimasing-masing aktor
maka sebuah kebijakan seharusnya didesain, direncanakan,
diimplementasikan, dan dievaluasi oleh semua pihak dengan
duduk bersama.
Mengenai kekuasaan yang menyebar ini, Li (2007) dan
Foucault (1982) menyatakan bahwa kekuasaan (power) tidak
memusat dan tidak pula termiliki oleh salah satu pihak tetapi
tersebar disetiap relasi sosial yang ada. Kekuasaan (power) bukan
karena merengkuh segalanya namun karena kekuasaan berasal
dari mana pun. Tidak seperti halnya dengan relasi dominasi
dimana relasi kekuasaan memberikan banyak kemungkinan
pilihan tindakan dari para aktor yang memiliki kepentingan atas
suatu kondisi tertentu.
Namun demikian, meski kekuasaan bersifat tidak memusat
dan tesebar akan tetapi tetap saja pada keputusan akhir, dalam
kasus Cipari ini, perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria berkecenderungan pada desain yang telah diformulasikan
oleh pemerintah mulai pada level atas sampai ke bawah. Hal
ini lebih banyak disebabkan karena adanya keinginan dari
kekuasaan untuk mempercepat pelaksanaan program ketimbang
mempertimbangkan pandangan petani yang menjadi subyek
utama.

78 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Ikhtisar
Berdasarkan penelitian lapangan dan interpretasinya terdapat
beberapa temuan yang patut menjadi perhatian terkait dengan
berlangsungnya pertarungan kepentingan dalam perumusan
kebijakan dan implementasi reforma agraria. Pertama, terdapat
pertarungan kepentingan antar aktor dalam perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria. Pertarungan kepentingan
tersebut terkait dengan penguasaan sumber agraria dan
relasi kelembagaan antar aktor dalam implementasi reforma
agraria. Dalam konteks pertarungan tersebut, masing-masing
aktor sesungguhnya mempunyai kekuasaan namun demikian
kekuasaan yang mereka miliki juga dibatasi oleh kekuasaan aktor
lain.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 79


80
Pertarungan kepentingan dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7. Peran Aktor dalam Perumusan Kebijakan dan Implementasi Reforma Agraria

Implementasi
Era Aktor Perumusan Kebijakan
Reforma Agraria
Rakyat Mendesak pelaksanaan land Menjalankan aksi sepihak
reform
Negara Melakukan nasionalisasi dengan Mengusir petani dari lahannya
memberikan HGU kepada PT. dan membuat penampungan
Orde Lama
Rumpun (berafiliasi dengan
tentara)
Swasta Mendorong nasionalisasi dan Menjalankan HGU

Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


mendapatkan HGU
Implementasi
Era Aktor Perumusan Kebijakan
Reforma Agraria
Rakyat Mengupayakan agar tanah kembali Menanam tanaman pangan
ke masyarakat di wilayah perkebunan yang
tidak bisa ditanami tanaman
perkebunan (baca: karet)
Negara Menghilangkan agenda reforma Tidak menjalankan reforma
agraria dalam perumusan agraria
Orde Baru kebijakan pembangunan Mengkriminalisasi petani yang
memperjuangkan hak atas
tanah
MemPKIkan petani yang
memperjuangkan tanahnya
agar kembali ke petani
Swasta Mempertahankan HGU Menjalankan HGU

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria


81
82
Implementasi
Era Aktor Perumusan Kebijakan
Reforma Agraria
Rakyat Menuntut adanya kebijakan Menolak kompensasi (SeTAM)
reforma agraria Menerima kompensasi (petani
Menuntut pencabutan HGU PT. dan masyarakat miskin)
RSA
Negara Merumuskan agenda reforma Mengimplementasikan PPAN
agraria melalui Tap MPR RI di Cipari yang diklaim sebagai
No. IX/MPR-RI/2001 (Habibie, land reform terbesar di era
Orde
Abdurahman Wahid, Megawati reformasi
Reformasi
Soekarno Putri) Menerima ide adanya
Merumuskan Program Pembaruan kompensasi
Agraria Nasional (PPAN) (Susilo
Bambang Yudhoyono)

Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Swasta Mengupayakan perpanjangan HGU Mendorong adanya
kompensasi atas pelepasan
tanah HGU
Kedua, pertarungan kepentingan pada semua level ini juga
termasuk didalamnya dalam hal memahami reforma agraria.
Pada level masyarakat, reforma agraria dipahami sebagai upaya
untuk membuat kehidupan yang lebih baik bagi mereka dengan
terus memperjuangkan hak atas tanahnya dari masa orde lama
sampai orde reformasi. Sedangkan pada level swasta, reforma
agraria yang dijalankan hanyalah sekedar menggugurkan
kewajibannya sebagai bagian dari aparatur negara dan berupaya
untuk tidak mendapatkan kerugian yang besar dengan menuntut
adanya kompensasi saat tanah tersebut akan diredistribusi.
Selanjutnya, pada level negara, reforma agraria digunakan
hanya sebagai jalan untuk kepentingan pencitraan semata agar
dianggap sebagai pemerintahan yang populis. Dengan demikian
terlihat adanya kecenderungan nalar teknoratik yang digunakan
oleh pemerintahan SBY dimana pemerintah meletakkan dirinya
sebagai aktor yang paling menentukan dalam perumusan
kebijakan dan implementasi reforma agraria.

Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 83


84 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
BAB 4

ARTIKULASI KEPENTINGAN PETANI:


INTERAKSI PENGALAMAN PRIBADI
DENGAN KONDISI SOSIAL YANG
MELINGKUPINYA

Pengantar

M alam semakin larut dan lakon wayang telah dimainkan sang


dalang, Ki Begug Purnomosidi. Kali ini lakon yang dimainkan
berjudul “Babad Alas Mertani”. Lakon ini menceritakan tentang
perjuangan para Pandhawa di suatu hutan yang dikenal angker. Di
hutan tersebut, para Pandawa mendapat berbagai macam cobaan
dan terpaan hidup yang bagi banyak orang tidak akan berhasil
dilewati. Namun demikian, di akhir cerita, para Pandawa berhasil
membuktikan bahwa mereka dapat hidup dengan baik di hutan
tersebut. Bagi Mbah Sugeng, pengurus Serikat Tani Merdeka
(SeTAM), cerita dalam wayang tersebut mengingatkannya pada
perjuangan panjang yang telah dilakukan oleh petani dan SeTAM.
Kisah yang diceritakan oleh Mbah Sugeng sejalan dengan kisah
yang sering diceritakan oleh Joyo Winoto (Kepala BPN) dalam
berbagai pertemuan dengan petani dan aktivis reforma agraria.
Joyo Winoto bertutur bahwa dahulu kala terdapat seorang
pemuda yang pekerjaannya adalah memecah batu. Pemuda

Atrikulasi Kepentingan Petani 85


tersebut selalu berhasil memecahkan batu. Akan tetapi, ada
satu waktu di mana sang pemuda tidak bisa memecahkan batu,
meskipun dia telah memukulnya ratusan kali. Sang pemuda pun
menyerah dan tidak lagi mau memecahkan batu tersebut dan
hendak pulang ke rumah. Ketika ingin meninggalkan tempat
pemecahan batu tersebut, ia bertemu dengan kakek tua. Kakek
tua tersebut bertanya kepada sang pemuda. Sang pemuda
menjawab bahwa ia tidak mau lagi memecahkan batu tersebut.
Sudah ratusan pukulan dilayangkan pemuda tersebut, tetapi batu
itu tidak kunjung pecah. Melihat pemuda yang putus asa, sang
kakek kemudian memukul batu tersebut. Satu, dua, tiga, dan
pada pukulan kelima, batu itu pun pecah. Sang pemuda terheran-
heran melihatnya. Ia pun menganggap bahwa kakek tersebut
sangat sakti. Menanggapi hal itu, sang kakek mengatakan kalau
dia tidaklah sakti. Ia hanya meneruskan apa yang telah dilakukan
pemuda tersebut. Kebetulan batu tersebut memang baru pecah
jika pukulan yang ratusan kali tersebut ditambah dengan lima
pukulan lagi.
Dari cerita tersebut, Joyo Winoto hendak memberikan
semangat kepada para petani dan aktivis reforma agraria bahwa
jangan menyerah pada situasi terkini. Meskipun sudah beratus-
ratus kali berjuang dan kelihatannya perjuangan tersebut
tidak kunjung dimenangkan, tetapi jangan sampai patah arang.
Perjuangan harus dilanjutkan karena bukan tidak mungkin
sesungguhnya perjuangan tersebut tinggal membutuhkan
beberapa waktu saja.
Kisah di atas adalah cerita yang sering diperdengarkan Joyo
Winoto saat bertemu dengan para petani dan aktivis reforma
agraria. Kisah ini pula yang mendekatkan hubungan antara Joyo

86 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Winoto sebagai perwakilan pemerintah dan para petani dan aktivis
reforma agraria sebagai bagian dari masyarakat sipil. Terciptanya
hubungan ini tentu saja tidak serta merta hadir. Perjuangan
petani untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria adalah perjuangan panjang dan
tak selalu menghasilkan seperti yang diharapkan. Pada bab ini
akan diuraikan jawaban atas pertanyaan: Bagaimana kontribusi
petani terhadap perumusan kebijakan dengan mengartikulasikan
kepentingan mereka secara kolektif?

Kontribusi Petani dalam Perumusan Kebijakan


Asal muasal dari seseorang/sekelompok orang melakukan
tindakan atau memperjuangkan sesuatu tidak terlepas dari
interaksi pengalaman individu dengan kondisi sosialnya.
Pengalaman individu merupakan pengalaman yang dialami oleh
seseorang selama hidupnya. Pengalaman tersebut diperoleh
secara langsung maupun tidak langsung (seperti cerita yang
didapatkan dari orang tua ataupun orang lain yang berinteraksi
dengannya). Adapun kondisi sosial adalah keadaan masyarakat
pada satu wilayah dalam situasi tertentu. Kondisi sosial
dipengaruhi oleh situasi sosial, politik, dan ekonomi. Interaksi
antara pengalaman individu dan kondisi sosial inilah yang
membuat petani memperjuangkan hak atas tanahnya.
Petani penggarap di Cipari mempunyai pengalaman masa lalu
yang menjadi penyebab mereka melibatkan diri dalam perjuangan
reforma agraria. Para petani penggarap ini adalah orang-orang
yang secara langsung ataupun tidak langsung (baca: mendengar
dari orang tuanya) melakukan trukah (baca: membuka lahan),
salah satunya saat zaman penjajahan Jepang. Pernyataan ini
diperkuat bila kita merujuk pada kesejarahan agraria di masa

Atrikulasi Kepentingan Petani 87


pendudukan Jepang pada tahun 1942, pemerintahan fasis Jepang
mengeluarkan kebijakan agraria yang pada awalnya mengesankan
kebaikan dengan memobilisasi rakyat untuk menduduki
tanah-tanah yang dikuasai perkebunan asing. Akan tetapi pada
akhirnya, masyarakat hanya dijadikan “sapi perah” Jepang. Hasil
yang didapatkan dari usaha tani tersebut diperuntukkan untuk
kepentingan Jepang dalam menghadapi peperangan (Fauzi, 2012;
Eng, 2008; Sato, 1994; Kurasawa 1988, 1993; Tauchid 1952).
Di antara mereka, juga terdapat orang-orang yang
mengerjakan lahan dan kemudian diusir dari tempatnya oleh
tentara dengan alasan orang tersebut terlibat dalam Barisan Tani
Indonesia (BTI). Pengalaman melakukan trukah dan merasakan
pengusiran menjadi alasan utama bagi para petani penggarap
untuk menuntut kembalinya hak atas tanah. Bagi petani, tanah
tersebut adalah tanah miliknya yang telah diambil alih oleh
tentara untuk dijadikan perkebunan.
Menurut Lev (1963) juga Sundhausen (1982), pada sekitar
1949–1959, Indonesia menganut demokrasi liberal multipartai
yang berdampak pada tidak stabilnya politik nasional. Hal
ini ditandai dengan pemberontakan di daerah dan terjadinya
pergantian sembilan perdana menteri di masa tersebut. Sistem ini
membuat Soekarno pada 1957–1963 memberlakukan keadaan
darurat perang yang membuat peran tentara menguat. Tentara
kemudian menjadi kekuatan politik dan ekonomi, termasuk
memperoleh kendali atas semua perkebunan-perkebunan yang
sebelumnya milik Belanda. Menguatnya peran tentara semakin
nyata dengan munculnya Dekrit 5 Juli 1959, yang kemudian
melahirkan “Demokrasi Terpimpin”. Feith (1962) menyebut masa
ini sebagai masa interaksi yang baik antara Soekarno dengan

88 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


tentara. Ia mengatakan bahwa presiden menyediakan ideologi dan
tentara menyediakan mesin otoritas yang koersif. Pada masa ini
pula, terdapat banyak perkebunan yang sebelumnya dikerjakan
oleh perusahaan-perusahaan Eropa, kemudian dinasionalisasi
oleh pemerintah Indonesia dan selanjutnya diserahkan
pengelolaannya kepada tentara. Di tengah pergulatan antara
Soekarno dan tentara, terdapat juga satu gerakan revolusioner
yang cukup penting dan mewarnai dinamika masyarakat dan
politik di masa itu, yakni keberadaan Partai Komunis Indonesia
(PKI). PKI yang semenjak 1951 di bawah kepemimpinan Dipa
Nusantara Aidit melakukan pendekatan parlementer dan juga
pengorganisasian massa di pedesaan yang membuatnya menjadi
satu kekuatan yang sangat signifikan.
Berdasarkan temuan di lapangan, peneliti mendapat
cerita dari beberapa orang tentang pengalaman masa lalu dan
pengaruhnya memaknai reforma agraria. TRM, seorang petani
penggarap, mengatakan bahwa alasan yang membuatnya
melakukan perjuangan menuntut hak atas tanah adalah karena
TRM mempunyai imajinasi tentang tanah dan kesejarahannya.
Baginya, cerita dari orang tuanya, bahwa mereka pernah
melakukan trukah (baca: pembukaan lahan), membuat TRM
merasa berhak atas kepemilikan lahan tersebut.
Bila merunut sejarah land reform di Indonesia, keberadaan
land reform tidak terlepas dari imajinasi para pendiri republik
ini terhadap keberadaan Agrarische Wet/UU Agraria 1870.
Kebijakan agraria tersebut menjadi dasar bagi legitimasi Belanda
untuk melakukan akumulasi modal perusahaan-perusahaan
perkebunan Eropa yang memproduksi komoditas eksport,
seperti kopi, gula, karet, dan lain-lain. Implementasi agrarische

Atrikulasi Kepentingan Petani 89


wet dijalankan dengan memberikan konsesi tanah milik negara
kepada perusahaan-perusahaan Eropa sekaligus menyediakan
buruh murah. Keberadaan agrarische wet membuat tanah yang
sebelumnya dimiliki oleh masyarakat dapat diambil alih oleh
pemerintah Belanda dan kemudian dialihkan kepada perusahaan
swasta milik orang Belanda (Fauzi, 2012; Gordon 1982, 2001;
Notonagoro, 1972). Imajinasi tersebut berupa bayangan jika
tanah-tanah yang dikuasai melalui agrarische wet dapat diganti
dengan kebijakan pertanahan di bawah pemerintah Indonesia
dan diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana
yang kemudian terdapat dalam konstitusi dimana “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun demikian, pengalaman individu yang buruk juga
menjadi bagian dari pencipta pemikiran dari masyarakat,
contohnya soal perampasan tanah. Dalam pandangan TG, tanah
di Cipari awalnya dimiliki oleh masyarakat telah dirampas oleh
tentara. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perampasan tanah
tidak hanya terjadi di wilayahnya. Di desa dan kecamatan lain pun
perampasan tanah yang dilakukan tentara atas nama keamanan
dilakukan. Ia menggambarkan bahwa sebelum dirampas oleh
tentara, lahan yang dia kelola seluas 2 hektare dan ditanami
tanaman singkong, petai, jengkol, dan lain-lain. Akan tetapi,
setelah terjadi perampasan, tanamannya berganti menjadi pohon
karet yang kemudian menjadi wilayah perkebunan PT RSA.
Cerita tentang perampasan tanah memang menjadi cerita
yang paling mengemuka dalam kasus di Cipari. Pengalaman
mengenai tanah yang dimiliki telah dirampas oleh tentara menjadi
pemicu bagi SG, seorang petani penggarap, yang kemudian

90 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


bergabung di SeTAM untuk memperjuangkan hak atas tanahnya.
Ia menuturkan:
“Proses (perampasan, pen.) yang dilakukan pemerintah waktu itu
dengan cara-cara mereka mungkin dianggapnya legal. Itu kan dari
sudut pandang mereka. Tetapi dari sudut pandang kami dari korban,
rakyat ya terjadi perampasan. Tapi kan kata-kata seperti itu kan sangat
aiblah bagi mereka. Atau mungkin sesuai perintah atasan menjalankan
perintah atasan. Mungkin kan seperti itu, namanya tentara kalau sudah
ada perintah mengamankan aset bisa saja seperti itu. Sehingga cara-cara
yang didapatkan oleh Kodam versi mereka ya mungkin legal. Tetapi versi
kami wong namanya juga perampasan kan berarti ilegal.” (Wawancara,
25/12/2018).

Namun demikian, dalam perjalanan memperjuangkan hak


atas tanahnya, pengalaman individu tidak berdiri sendiri. Para
petani penggarap tetap memperhitungkan kondisi sosial yang
melingkupinya. Pada era orde lama, di mana kekuatan petani
mendapatkan dukungan politik dari BTI, petani lebih bebas
mengekspresikan tuntutannya meskipun tetap saja mendapatkan
perlawanan balik. Tentang ikatan antara petani dengan BTI
tersebut digambarkan oleh Van der Kroef (1963). Ia menyebutkan
keberhasilan PKI di bawah Aidit tidak terlepas dari tiga faktor,
pertama, penekanan pada mobilisasi petani dan perjuangan
untuk land reform dalam mengembangkan teori dan program
partai; kedua, teknik organisasi yang diterapkan untuk merekrut
pendukung partai di daerah pedesaan; ketiga, penelitian mengenai
kondisi-kondisi petani dan kepemilikan tanah yang dilaksanakan
oleh kader-kader partai. Dalam konteks pertanahan, khususnya
perkebunan, keberadaan tentara dan PKI seperti berada dalam
“satu selimut” di bawah Soekarno, tetapi mereka saling berebut
untuk bisa ditutupi. Tentara mengambil alih lahan-lahan yang
selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Eropa melalui

Atrikulasi Kepentingan Petani 91


kebijakan negara, sedangkan pada sisi lain, PKI melalui Barisan
Tani Indonesia (BTI) memobilisasi massa untuk juga mengambil
alih lahan tersebut. Pertarungan ini berlanjut sampai 1965.
Sebaliknya, ketika kondisi sosial politik berada dalam
situasi represif, seperti di era Orde Baru, para petani tidak
dapat mengekspresikan tuntutan tersebut secara terbuka. Bagi
masyarakat di wilayah kasus, sekitar 1960-an sampai seterusnya
adalah tahun-tahun yang kelam. MSR (petani penggarap)
mengisahkan:
“Saya dengar cerita sejarah dari orang tua. Jadi dulunya itu, kata orang tua
itu, mereka trukah (baca: membuka lahan). Lha terus sampai tahun sekitar
tahun 60 atau 65 itu kan ada PKI. Gestok itu. Nah, terus kan tanah itu
dirampas oleh perusahaan yang namanya PT Rumpun. Nah, PT Rumpun
ini dulu atas nama Kodam. Kodam itu kan militer jadi petani takut.”
(Wawancara, 25/12/2018).

Tumbangnya kekuasaan Soekarno dan digantikan oleh


kepemimpinan Soeharto dengan rezim pembangunan orde
baru membuka babak baru pergulatan land reform. Wertheim
(1962) menyebutkan Soeharto, sebagai pimpinan tertinggi dari
rezim otoriter pembangunan, membekukan land reform “seperti
memasukkan ke dalam lemari es”. Land reform beku, berhenti,
dan tidak bergerak.
Berbagai macam kebijakan ekonomi nasional yang berbasis
pada nilai-nilai sosialistis di era Soekarno diganti dengan
kebijakan-kebijakan yang mengutamakan pembangunan eko-
nomi kapitalistis dengan dominasi investasi asing. Keberadaan
investasi asing yang menggenjot ekonomi berorientasi pasar ini
mulai menggusur atau mengambil alih lahan untuk kepentingan
proyek-proyek pembangunan (Fauzi, 2012). Soeharto sebagai

92 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


pusat kekuasaan menjalankan roda pemerintahannya dengan
topangan kalangan birokrat dan tentara. Para birokrat dan tentara
ini mendapat keuntungan atas kebijakan yang dikeluarkan
oleh Soeharto. Di masa Orde Baru, bukan hal yang aneh bila
para pejabat dan tentara sekaligus menjadi komisaris di BUMN
termasuk didalamnya BUMN yang bergerak di sektor perkebunan.
Posisi resmi otoritas mereka di kantor-kantor pemerintah me-
rupakan sumber dari kekuasaan mereka, termasuk penggunaan
(dan penyalahgunaan) kewenangan untuk memberikan berbagai
konsesi atas tanah, hutan, dan pertambangan. Terutama kepada
perusahaan-perusahaan, termasuk di dalamnya klien utama dari
birokrat, yakni tentara (Robison, 1997). Oleh karena itu, pada
awal berdiri sampai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru,
terdapat banyak sekali perusahaan swasta yang dikelola ataupun
dikerjasamakan dengan tentara.
Rosser (2002) menyebutkan sebagai kelas kapitalis paling
atas di negara ini, konglomerat memiliki hubungan saling
menguntungkan dengan para birokrat. Konglomerasi ini juga
menikmati akses pada kewenangan dan fasilitas pemerintah
untuk mendapat konsesi lahan untuk eksploitasi minyak dan gas,
penambangan, penebangan hutan, mengembangkan perkebunan,
membangun daerah-daerah industri, perumahan, serta fasilitas
pariwisata, dan lain-lain.
Selain penggunaan kekuasaan ideologis, pemerintahan
orde baru juga menjalankan operasi represi. Dalam konteks ini,
kekejaman orde baru terhadap warganya sudah di luar batas.
TG, seorang petani penggarap, mengatakan bahwa perlakuan
orde baru terhadap warga seperti peternakan. Masyarakat yang
awalnya menggarap lahan karena peristiwa G30S kemudian

Atrikulasi Kepentingan Petani 93


ditampung dalam lima tapungan (baca: tempat penampungan).
Tempat penampungan ini diandaikannya seperti sapi yang
dikurung dalam kandang.
Hal senada disampaikan juga oleh KRD (petani penggarap)
yang mengatakan bahwa pada 1965 adalah tahun yang
menakutkan baginya. Ia merasa apa saja yang diminta oleh
pemerintah, apalagi tentara, akan diberikan, termasuk tanah
yang dimilikinya. Ketakutan pada tentara tidak hanya terjadi
pada penggarap. SG (SeTAM) bicara tentang aktor lain yang
tidak berani menghadapi tentara. Ia menjelaskan bahwa di
kalangan pemerintahan (kepala desa, camat) banyak yang tidak
mau terlibat dalam memperjuangkan kasus tanah di wilayah
tersebut karena takut kepada tentara. Salah satunya cerita dari
SRT, Kades Karangreja. Ia mengatakan bahwa tuntutan atas tanah
ini sudah terjadi saat ia kecil. Akan tetapi, pada waktu itu, orang
yang berjuang sampai ke Jakarta tidak lagi pulang dan hilang
tidak diketahui sampai sekarang. Hal tersebut membekas dalam
dirinya dan membuatnya selalu khawatir ketika ingin terlibat
dalam memperjuangkan tanah tersebut.
Di jaman orde baru, tentara adalah kekuatan politik utama
bersanding dengan birokrasi dan Partai Golkar. Terdapat
banyak kejadian di jaman orde baru yang membuat ketakutan
itu merasuki pemikiran masyarakat. Hal tersebut diceritakan
oleh SJT, seorang aktivis agraria Cilacap. Ia mengisahkan bahwa
pada era orde baru, masyarakat tidak berani menuntut hak atas
tanahnya karena takut dicap sebagai komunis. Hal senada juga
dialami oleh TG (petani penggarap) yang bertutur sebagaimana
berikut:

94 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


“Saya ini cuma memegang sejarah bahwa pelakunya itu Mbah RBD dulu. Ya
pelaku itu yang merampas kartu kuning itu. Ceritanya, Mbah RBD itu bilang
kartunya dititipkan kepada Pangdam IV Diponegoro. Titip diamankanlah
kaya gitu. Lha waktu orde baru di sini mau usul ke sanaditutuk (baca:
pukul), tidak ada yang berani. Bahkan kalau bertanya saja apes-apesnya
(baca: tidak beruntung) masuk bui bahkan bisa “di-Sukabumi-kan”. Dulu
dua orang teman saya hilang. Saya menduga orangnya dimasukkan ke
dalam bumi, dibedil (baca: ditembak) gitu, misteriuslah.” (Wawancara,
21/11/2018).

Kenyataan tentang ketakutan kepada tentara menjadi


perhatian SG (SeTAM). Ia mengatakan bahwa pada jaman orde
baru, orang-orang yang memperjuangkan agar tanah tersebut
kembali menjadi milik warga akan diperlakukan buruk. Ada
beberapa pejuang sebelumnya yang diculik atau ditangkap. Ada
pula kasus pejuang yang pergi ke Jakarta untuk menanyakan
tentang tanah tersebut tidak kembali lagi bahkan beberapa di
antaranya dikabarkan telah dibunuh.
Senada dengan SG (SeTAM), SLH dari organisasi yang sama
juga menuturkan bahwa pada jaman orde baru, Soeharto sebagai
pemimpin sangat menekan rakyatnya. Apabila ada yang berani
menuntut, maka orang tersebut akan hilang. Hilangnya orang
tersebut juga tidak diketahui karena media juga tidak ada yang
berani memberitakan.
Dari berbagai gambaran di atas, tampak bahwa era orde
baru menandakan satu babak di mana land reform dibekukan.
Kebijakan-kebijakan yang ada pada era ini didorong untuk
memperlancar pembangunan yang berbasis pada investasi.
Stabilitas merupakan kata kunci dalam pembangunan era orde
baru. Oleh karena itu, Soeharto memperkuat basis kekuasaannya
dengan dukungan dari birokrasi dan tentara (Fauzi, 2005).

Atrikulasi Kepentingan Petani 95


Namun demikian, di akhir 1970-an, mulai muncul perlawanan
dari kaum intelektual. Beberapa di antara mereka terjun ke
basis petani, mengorganisasi dan membangun kesadaran petani
melalui pengetahuan yang mereka miliki. Hasil dari proses itu
adalah munculnya KPA yang menjadi salah satu motor penggerak
land reform di masa-masa akhir era orde baru yang kemudian
berlanjut di era reformasi.
Kondisi berbeda terjadi di era reformasi. Di era reformasi,
kran liberalisasi politik dan babak demokratisasi menjadi
fase pencerahan. Tajuk perubahan misi reformasi memberi
pengalaman awal bagaimana mengeksperimentasi kebebasan
beroganisasi dan berpolitik secara luas (Sujito, 2012: 155). Di era
reformasi ini, ada keterbukaan politik yang kemudian membuat
para petani berani secara terbuka memperjuangkan hak atas
tanahnya. Di era ini, reforma agraria kembali menjadi wacana dan
praktik yang tidak lagi tabu.
Perjuangan secara terbuka ini tidak dapat dilakukan
pada zaman orde baru. Perjuangan secara terbuka dianggap
oleh pemerintah orde baru sebagai bentuk pembangkangan.
Dampak yang buruk dapat terjadi kepada orang yang dianggap
membangkang. Beberapa di antaranya ditangkap. Mereka tidak
hanya dipenjara, tetapi juga bisa tidak kembali lagi kepada
keluarganya dan hingga sekarang tidak dapat ditemukan di
mana jasadnya. TRM yang berstatus sebagai petani penggarap
menuturkan pengalamannya sebagai berikut:
“Dulu (sebelum reformasi, pen.), saya sebetulnya juga sudah berjuang.
Cuma waktu itu tidak seperti jaman sekarang, ini sudah reformasi. Dulu,
barang siapa ungkit-ungkit tanah ini akan diciduk, waktu jaman-jaman

96 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


presidennya Soeharto. Orde baru itu. Pokoknya galaknya luar biasa orde
baru itu, pokoknya galaknya luar biasa.” (Wawancara, 21/11/2018).

Tumbangnya rezim orde baru memberikan kesempatan


politik bagi berkembangnya gagasan land reform. Perubahan
ini terlihat dari semakin maraknya tuntutan masyarakat untuk
mendapatkan kembali hak atas tanahnya. Di sisi lain, pemerintah
juga merespons tuntutan tersebut dengan melahirkan kebijakan
dan program yang terkait dengan reforma agraria.
Hal tersebut sebagaimana tercatat dalam buku Bersaksi untuk
Pembaruan Agraria yang ditulis Fauzi (2012). Fauzi menjelaskan
bahwa reformasi sebagai suatu transisi politik membuka
kesempatan politik untuk mengubah proses kebijakan pertanahan
nasional. Terbuktinya dengan keberhasilan para intelektual
dan aktivis yang mampu mendorong lahirnya kebijakan Tap
MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Keberhasilan tersebut menjadi
tonggak sejarah yang berpengaruh pada kebijakan land reform
berikutnya.
Keterbukaan dalam era reformasi juga menjadi jalan bagi
terbukanya perbincangan dan perdebatan seputar reforma agraria.
Gunawan Wiradi, seorang pakar agraria dari Institut Pertanian
Bogor (IPB) yang juga merupakan pendiri KPA, mengenalkan
gagasan Powelson dan Stock mengenai “land reform by leverage”
yang berbeda dengan “landreform by grace” kepada KPA. Ide ini
dia lontarkan setelah mempelajari bahwa sebagian besar elite
politik di negara-negara pascakolonial yang menerapkan reforma
agraria di negaranya pada akhirnya mengkhianati petani karena
kepentingan politik mereka (Wiradi, 1997, 2001).

Atrikulasi Kepentingan Petani 97


Land reform by grace adalah land reform yang dijalankan
oleh negara berdasarkan pada kebaikan politik pemerintah,
sedangkan land reform by leverage adalah land reform yang
dijalankan oleh inisiatif masyarakat. Keberadaan land reform by
leverage merupakan antitesis dari land reform by grace di mana:
“Tidak ada satu pemerintahan yang menjalankan pembaruan agraria
secara adil dan jujur demi kepentingan banyak orang... Hal ini bisa terjadi
bahkan ketika pembaruan dilahirkan dari sebuah revolusi. Karenanya,
apa yang diperlukan adalah sebuah pembaruan yang didasarkan pada
penguatan rakyat. Atau apa yang Powelson dan Stock sebut, “land
reform by leverage.” Sehingga dalam suatu “pasar politik” ketika para
petani/rakyat kecil tidak berada dalam posisi tawar yang kuat, hasil dari
pembaruan sebelumnya tidak akan begitu mudah untuk dibalikkan”.
(Wiradi, 1997:41)

Gagasan ini kemudian menjadi pijakan bagi beberapa


aktivis agraria dan serikat tani, yang kemudian melakukan aksi-
aksi pendudukan lahan secara langsung (okupasi) maupun
pengambilalihan kembali hak atas tanah yang dimiliki (reclaiming)
di basis desa. Hal ini dilakukan karena negara dianggap tidak segera
menjalankan land reform atau kalau pun melakukan land reform,
pelaksanaannya tidak sesuai dengan keinginan para petani.
Selain pandangan di atas, terdapat juga penafsiran land
reform sebagai kebijakan yang didasarkan pada pelaksanaan
konstitusi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (“Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”) dan
implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Di sini, KPA (SeTAM merupakan anggota dari KPA)
mengambil peran untuk mempromosikan kebutuhan akan
penggunaan kekayaan Indonesia untuk kemakmuran rakyat.

98 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Hal tersebut dilandasi argumen karena selama ini kekayaan
alam yang ada justru digunakan untuk kepentingan ekonomi
yang berbasis investasi asing maupun para pemburu renten.
Model pembangunan semacam ini yang sering kali digunakan
negara untuk mengambil alih lahan masyarakat. Hal inilah yang
kemudian mengakibatkan terjadinya konflik lahan (Ruwiastuti,et
al., 1998; Hardijanto, 1998; Suhendar dan Winarni, 1998; Fauzi,
1997; Bachriadi,et al., 1997; Suhendar dan Kasim, 1995).
KPA juga mempromosikan kebutuhan akan kebijakan
land reform dengan UUPA 1960 sebagai rujukan resmi. KPA
memandang undang-undang pokok tersebut sebagai hukum
nasional yang mengusung prinsip “fungsi sosial atas tanah”, dan
untuk mewujudkan upaya penciptaan keadilan sosial melalui
restrukturisasi penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah.
KPA menyadari dalam upaya itu posisi rakyat dikalahkan oleh
kepentingan nasional yang dipegang oleh pemerintah sebagai
badan penguasa (Fauzi, 2012; KPA, 1998:2).
Penggunaan UUPA sebagai rujukan resmi juga disebabkan
karena pada era orde baru, Soeharto membuat undang-undang
agraria yang sifatnya sektoral seperti UU 2/1967 mengenai
Penanaman Modal Asing, UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok
Kehutanan, dan UU No. 8/1976 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri. Keberadaan UU sektoral ini pada gilirannya juga
melahirkan respons yang sifatnya sektoral, termasuk di dalamnya
dalam menanggapi isu terkait land reform. Sebagai contoh, isu
sektoral pertambangan dan kehutanan memunculkan respons
dari masyarakat sipil dan akademisi yang fokus pada kerja-kerja
lingkungan. Padahal sebelumnya, isu seperti ini hanya ada satu
sumber rujukan, yakni land reform versi UUPA.

Atrikulasi Kepentingan Petani 99


Hal itulah yang menjadi cikal bakal dari perdebatan antara
aktivis land reform dan para pegiat lingkungan hidup. Pada sisi
konseptual, pertentangan tersebut disebabkan oleh isu kunci
yang diperdebatkan antara dua kubu, yakni soal tafsir terhadap
UUPA. Sebagian besar pemimpin aktivis agraria dan ahli, termasuk
Sediono Tjondronegoro SMP, profesor sosiologi pembangunan
pedesaan dari Institut Pertanian Bogor, memandang bahwa
UUPA, setidaknya pasal 1 sampai dengan 14, sangat relevan untuk
dipertahankan, dan harus diposisikan sebagai dasar prinsip
hukum (undang-undang payung) yang mencakup hukum sumber
daya alam “sektoral”, seperti kehutanan, pertambangan, dan
hukum tanah (Tjondronegoro 2008:155–160).
Di kubu lain, para aktivis dan akademisi lingkungan
mempunyai pendapat bahwa UUPA tidak cukup komprehensif
untuk melihat kategorisasi lain dalam agraria, seperti soal
hutan, tambang, dan hukum adat. Mereka inilah yang kemudian
mendukung inisiatif untuk merancang undang-undang yang
komprehensif tentang pengelolaan sumber daya alam. Pandangan
ini mengupayakan agar ada revisi terhadap semua hukum dan
peraturan yang ada yang berhubungan dengan tanah dan sumber
daya alam, termasuk UUPA (Fauzi, 2012).
Untuk melihat lebih jelas perbedaan antara penganut reforma
agraria dan pengelolaan sumber daya alam, dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

100 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Tabel 8. Perbandingan Arah Kebijakan untuk Pembaruan
Agraria dan Arah Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
(PSDA) Sebagaimana Tercantum dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No IX/2001

Enam Arah Kebijakan


Pembaruan Agraria/Reforma Enam Arah Kebijakan PSDA
Agraria
Meninjau perundang- Meninjau undang-undang dan
undangan agraria yang peraturan yang terkait dengan
bertentangan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam
sinkronisasi kebijakan dalam rangka sinkronisasi
lembaga pemerintah yang kebijakan lembaga pemerintah
berbeda. yang berbeda.

Melaksanakan pembaruan Mengoptimalkan penggunaan


agraria redistributif dengan sumber daya alam melalui
prioritas untuk menyediakan identifikasi dan inventarisasi
lahan bagi rakyat miskin. kualitas dan kuantitas, serta
potensi untuk pembangunan
nasional.
Melakukan survei tanah yang Memperhatikan jenis dan
komprehensif dan sistematis, karakteristik sumber daya
dan pendaftaran dalam rangka alam dan melaksanakan
untuk melaksanakan reforma berbagai upaya untuk
agraria. menambah nilai sumber daya
alam.
Menyelesaikan konflik Menyelesaikan konflik
pertanahan dan penggunaan sumber daya alam
mengantisipasi konflik dan mengantisipasi potensi
pertanahan yang potensial di konflik di masa depan.
masa depan.

Atrikulasi Kepentingan Petani 101


Enam Arah Kebijakan
Pembaruan Agraria/Reforma Enam Arah Kebijakan PSDA
Agraria
Memperkuat kelembagaan Memperluas akses publik
pertanahan dan terhadap informasi tentang
kewenangannya untuk potensi sumber daya alam di
melaksanakan program daerah mereka dan mendorong
reformasi agraria dan pembentukan tanggung jawab
menyelesaikan konflik tanah. sosial untuk menggunakan
teknologi ramah lingkungan
termasuk teknologi tradisional.
Menjamin ketersediaan Mengembangkan strategi
dana untuk program untuk menggunakan
pembaruan agraria dan untuk sumber daya alam yang
menyelesaikan konflik lahan. didasarkan pada penggunaan
yang optimal dengan
memperhatikan kondisi dan
kepentingan daerah dan
nasional.
Sumber: Fauzi (2012), Land Reform dari Masa ke Masa

Namun demikian, sebagai sesama komponen masyarakat


sipil, kedua gagasan ini bertemu saat melakukan pembahasan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang
di kemudian hari melahirkan Tap MPR IX/2001. Kelompok
kerja gabungan ini membentuk fase baru dalam trajectory
hubungan antara gerakan agraria dan gerakan lingkungan di
Indonesia (Peluso,et al., 2008). Seiring dengan perkembangan
dan perdebatan di kalangan masyarakat sipil, pada sisi negara,
keberadaan land reform juga menjadi salah satu bagian dari aktor
kunci dalam penyusunan kebijakan agraria.

102 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Fauzi (2012) menjelaskan pandangan dari Hasan Basri Durin
(Kepala BPN 1998–1999) yang memandang bahwa penting
untuk mengembalikan watak dan semangat kerakyatan yang ada
dalam UUPA dan perlunya kebijaksanaan pertanahan yang tetap
mengacu ke UUPA. Begitu pula Habibie yang waktu itu menjabat
presiden secara resmi memasukkan land reform dalam dokumen
kenegaraan dengan menerbitkan Keputusan Presiden No.
48/1999 yang memandatkan menteri kehakiman dan menteri
negara agraria agar memimpin satu tim untuk mempelajari
kebijakan dan aspek-aspek legal dari pelaksanaan land reform
berdasarkan UUPA 1960.
Habibie selanjutnya digantikan oleh Abdurrahman Wahid
sebagai Presiden Indonesia. Meskipun hanya sebentar, keberadaan
presiden yang juga sebelumnya populer menjadi salah satu
pemimpin di kalangan masyarakat sipil ini mampu menggairahkan
aksi-aksi di lapangan maupun kampanye publik soal land reform.
Abdurrahman Wahid pernah melontarkan pernyataan yang
menggemparkan bahwa 40% dari tanah-tanah perkebunan itu
seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Euforia kebebasan
sebagai akibat lengsernya orde baru telah melahirkan berbagai
organisasi rakyat (serikat tani dan nelayan, serikat buruh, ormas
perempuan, dan lain-lain, termasuk munculnya puluhan partai
politik). Selain itu, rakyat juga berbondong-bondong menduduki
tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh pemilik/yang
menguasainya. Isu agraria pun terangkat kembali ke permukaan
oleh desakan berbagai organisasi tani/nelayan, serta berbagai
LSM (Katjasungka, 2007).
Kondisi ini terus berlanjut di era Presiden Megawati
Soekarnoputri. Di mana kemudian pada era ini lahir Tap MPR

Atrikulasi Kepentingan Petani 103


IX/2001 seperti yang telah disebutkan di atas. Tap MPR RI tersebut
adalah salah satu contoh yang fenomenal, yang merupakan hasil
kerja kekuatan-kekuatan reformis di alam demokrasi dalam
mengubah perundang-undangan nasional (Rosser,et al., 2005).
Mengenai situasi ini, Katjasungkana (2007: 24) menjelaskan:
“Di awal kekuasaannya, Pemerintah Megawati belum menunjukkan
kepastian sikap mengenai masalah agraria. Sementara itu di kalangan
masyarakat sipil, berlangsung Konferensi Nasional Petani (April 2001) yang
dihadiri oleh berbagai organisasi tani, berbagai LSM, dan juga Komnas
HAM, sebagai salah satu pemrakarsanya. Konferensi ini melahirkan
“Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Petani”. Menyadari kerasnya desakan
rakyat saat itu, maka sebagian anggota MPR hasil pemilu 1999 cukup
tanggap. Maka BP MPR bidang agraria kemudian melakukan berbagai
dialog dengan berbagai organisasi tani dan LSM, yang dilanjutkan dengan
penyelenggaraan dua kali lokakarya besar di Bandung pada bulan
September/Oktober 2001. Hasilnya adalah lahirnya Tap MPR No. IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.

Walaupun bagi Rosser, dkk. keberadaan Tap MPR tersebut


sebagai hal yang fenomenal, akan tetapi pada level masyarakat
sipil sebetulnya terjadi perdebatan yang cukup tajam. Terdapat
dua kubu terpisah, yakni KPA yang memandang Tap MPR ini
dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong pemerintah
untuk memprogramkan land reform, dan para aktivis yang berada
di dalam dan seputar Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
yang memandang ketetapan itu sebagai keputusan berbahaya
(Ya’kub, 2004; Setiawan, 2004; Bey 2004; Bachriadi, 2002; Bey,
2002; 2003; Fauzi 2001). Tap MPR tersebut bisa menjadi pintu
masuk potensial untuk agenda neoliberal dan imperialis melalui
“prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam” dengan
implikasi yang berpotensi negatif dalam membatalkan UUPA
1960.

104 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Kedua aktor di atas sesungguhnya berada pada jalur
yang sama, yakni pendukung reforma agraria. Meskipun agak
sedikit berbeda dalam “lapangan kerjanya”, KPA cenderung
pada advokasi kebijakan sedangkan FSPI fokus pada kerja-
kerja pengorganisasian masyarakat. Selain itu, terdapat juga
pendukung Tap MPR lain, yakni para pengusung “Pengelolaan
Sumber Daya Alam (PSDA)” yang kemudian secara intensif
bekerja sama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk
merancang UU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Beberapa temuan lapangan di atas ketika disandingkan
dengan kenyataan lain pada level kebijakan, sejalan dengan
pernyataan yang disampaikan oleh Konsorsium Pembaruan
Agraria (2019) berikut ini:
“Pasca reformasi, agenda reforma agraria yang sempat terkubur semasa
orde baru sebenarnya kembali hidup dan melahirkan harapan rakyat
dan kaum tani akan terciptanya struktur agraria yang lebih adil dan
menyejahterakan. Hal tersebut tecermin melalui Tap MPR No. IX/2001
yang mengamanatkan Presiden RI dan DPR RI melakukan koreksi atas
tumpang tindih regulasi yang menyebabkan konflik agraria di lapangan.
Begitu pula dalam setiap pergantian rezim pemerintahan, reforma agraria
selalu mendapat tempat melalui janji politik presiden terpilih”

Demikian halnya dengan politisi. BS memandang bahwa


pada saat itu reforma agraria dia maknai sebagai peluang bagi
masyarakat untuk memperoleh hal yang semestinya dia peroleh.
Reformasi membuka kesempatan masyarakat untuk secara
terbuka menyampaikan tuntutannya. Ia menjelaskan bahwa saat
era orde baru, ketika ia bergerak untuk membantu perjuangan
di Caruy, sudah dikejar-kejar oleh tentara. Sekarang ini, petani
secara langsung mempunyai keberanian untuk menuntut haknya,

Atrikulasi Kepentingan Petani 105


termasuk didalamnya terlibat dalam perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria. Meskipun, ia juga memahami
bahwa sampai saat ini masih terjadi juga kriminalisasi petani atau
aktivis. Selain itu, ia juga mengamini bahwa keterlibatan petani
dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria
juga mempunyai keterbatasan.
Dengan terbukanya kesempatan politik inilah, pemerintahan
di bawah SBY beranggapan bahwa pelaksanaan reforma agraria
di Cipari sebagai bagian dari program land reform terbesar pasca-
Reformasi (Suara Merdeka, 01/11/2010). Sebelumnya, Presiden
SBY dalam pidatonya 31 Januari 2007 memaknai reforma agraria
sebagai upaya untuk menyejahterakan rakyat. SBY mengatakan
bahwa:
“Program Reforma Agraria … secara bertahap akan dilaksanakan mulai
tahun 2007 … dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat
termiskin … inilah yang 3 saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan
dan Kesejahteraan Rakyat … [yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Senada dengan SBY, Joyo Winoto (Kepala BPN) dalam


kuliah umum “Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan
Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat” di Balai Senat UGM yang diselenggarakan
22 November 2007 mengungkapkan bahwa:
“...  melalui program land reform dan akses reform (reforma agraria)
merupakan suatu mekanisme untuk memperbesar akses terhadap sumber
produksi (tanah dan modal), sumber ekonomi, pembebasan terhadap
pembodohan, pembebasan ekonomi, dan mendapat pembinaan”.

Kembali ke persoalan pengalaman individu dan situasi sosial


yang memengaruhi reaksi terhadap reforma agraria. Kondisi
senada dialami oleh para aktivis petani yang tergabung di Serikat

106 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Tani Merdeka (SeTAM). SeTAM sebagai gabungan dari berbagai
macam organisasi tani lokal (OTL) level desa juga menjalankan
aktivitasnya karena didasarkan pengalaman individu dan situasi
sosial yang mereka alami di desanya masing-masing. Perbedaan
antara SeTAM dan petani penggarap hanya terletak pada
spektrum perjuangan mereka. Petani penggarap berjuang di
level desa, sedangkan para aktivis petani yang berada di SeTAM
berjuang pada level yang lebih tinggi, yakni gabungan perjuangan
dari kasus-kasus yang ada di desa-desa ditambah dengan kerja
advokasi di level kabupaten, provinsi, maupun nasional, bahkan
internasional.
“SeTAM memberi fasilitas membuka jaringan di tingkat regional, nasional,
dan internasional. Dengan jaringan yang ada, SeTAM mengampanyekan
kasus tanah PT RSA ke DPRD, DPR RI, bupati, gubernur, BPN, Komnas
HAM, Ombudsman, dan NGO (Internasional). Akhirnya, kasus tanah PT
RSA dikenal secara nasional bahkan internasional. Edy Sukamto, mantan
ketua Kelompok Tani Singa Tani (baca: bagian dari OTL SeTAM), pernah
mengikuti Konferensi Nyeleni di Afrika dengan biaya oleh La Via Campesina
(Organisasi Petani Sedunia)”. (Setiaji, 2012: 110).

Di dalam berkontribusi terhadap perumusan kebijakan,


para petani menggalang jaringan dengan LSM. Di kalangan
LSM, intensitas interaksi mereka dengan petani dan serikat tani
merupakan kunci penting dalam memaknai kehidupan sosial
ekonomi masyarakat. Para aktivis LSM biasanya melakukan live
in (baca: hidup bersama dengan masyarakat untuk memahami
situasi di masyarakat) dalam mendampingi masyarakat. Dari
live in inilah, aktivis tersebut memahami kondisi yang dihadapi
masyarakat. Secara tidak langsung, kondisi lapangan yang
dihayatinya kemudian terinternalisasi dalam diri mereka. Hal ini
seperti yang dinyatakan oleh AY (LBH Semarang):

Atrikulasi Kepentingan Petani 107


“Saya sering bareng petani sampai tidur di rumahnya. Jadi, tahu persis
keinginan mereka. Mereka memang punya sejarah tanah itu. Dulu mereka
diusir dari tanahnya. Jadi, mereka ngga punya tanah. Saya salut dengan
perjuangan mereka. Jadi sebisa dan semampu saya, saya coba berbuat
sesuatu untuk petani.” (Wawancara, 28/12/2018).

Meskipun pada umumnya aktivis LSM adalah kelas menengah


dan tidak mengalami langsung seperti yang dialami oleh para
petani, tetapi interaksinya dengan masyarakat membuat mereka
mempunyai kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap
masyarakat. Kemampuan analisis dari LSM dalam kerja advokasi
juga dipengaruhi oleh seberapa besar pengalamannya dalam
mengorganisasi masyarakat. Hasil-hasil kerja mereka yang
biasanya berupa kertas kebijakan (policy brief) didapatkan dari
proses interaksi dengan para petani dan serikat tani.
Interaksi tersebut terjadi saat aktivis LSM melakukan
serangkaian penelitian terhadap kasus yang ada di masyarakat.
Biasanya metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah penelitian aksi partisipatoris. Metode penelitian ini
memungkinkan penelitian tersebut dilakukan secara bersama-
sama. Mereka merancang penelitian dan kerangka aksinya secara
bersama. Selanjutnya, terdapat pembagian peran. Para petani
biasanya mengumpulkan data-data yang dibutuhkan. Kemudian
oleh aktivis LSM, data tersebut dianalisis dan dijadikan draft
tulisan yang hasilnya berupa kertas kebijakan (policy brief) yang
merupakan salah satu elemen penting dari kerja advokasi. Terkait
hal tersebut, SG (SeTAM) mengatakan,
“Perjuangan reforma agraria tidak akan berhasil tanpa ada hubungan
dengan LBH, LSM, aktivis, BPN sampai dengan presiden. Dulu kan banyak
dari akademisi, terus dari aktivis-aktivis yang mengawal termasuk pernah
juga di sini, untuk diskusi, membantu advokasi maupun bicara dengan
pemerintah.” (Wawancara, 25/12/2018).

108 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Pernyataan SG di atas meneguhkan bahwa kontribusi petani
dalam perumusan kebijakan tidak terlepas dari interaksi mereka
dengan kalangan masyarakat sipil.
Selain dengan kalangan masyarakat sipil, hubungan
dalam perumusan kebijakan juga dibangun dengan aktor
dipemerintahan. Tidak semudah dengan kalangan masyarakat
sipil, hubungan dengan pemerintahan dipengaruhi juga interaksi
aktor pemerintahan tersebut dengan pengalaman individu dan
kondisi sosial mereka.
Di kalangan pemerintahan, terdapat beragam pemikiran
tentang reforma agraria. Bagi aktor yang duduk di pemerintahan
dan tidak pernah menjadi aktivis ataupun jarang melakukan
interaksi dengan para aktivis, perlakuan terhadap reforma agraria
akan cenderung anti terhadap reforma agraria. Sebaliknya, jika
aktor yang duduk di pemerintahan dan mempunyai pengalaman
sebelumnya sebagai aktivis ataupun sering berinteraksi dengan
aktivis, ia mempunyai kecenderungan untuk berpihak kepada
perjuangan masyarakat. Hal ini seperti yang dikatakan SRT
(Kades Karangreja):
“ … Waktu itu, yang mengawali juga sebetulnya malah Pak Sugeng
karena ada bidang tanah yang sudah habis masa HGU-nya maka sama
beliau, Pak Sugeng sama SeTAM-nya itu dimohon untuk dibagikan ke
masyarakat. Lha, kami hanya mengikuti sebetulnya jejaknya Pak Sugeng.
Saya tahu sebetulnya di situ ada beberapa bidang tanah yang sudah tidak
diperpanjang HGU-nya oleh BPN. Nah, sehingga di sana Pak Sugeng masuk,
saya pun masuk.” (Wawancara, 25/12/2018).

Hal senada dialami oleh BS. Ia adalah anggota DPR RI yang


berangkat dari seorang aktivis yang malang melintang dalam
pergerakan memperjuangkan hak atas tanah. Bahkan, dalam

Atrikulasi Kepentingan Petani 109


konteks perjuangan di Cipari, ia secara langsung mempunyai
pengalaman individu turut memperjuangkan nasib petani
tersebut. Ketika dia menjadi anggota DPR, ia pun bersama
masyarakat mengupayakan penyelesaian kasus tersebut. Anggota
DPR tersebut (BS) menjelaskan dalam dialog dengan peneliti
sebagai berikut:
“Beberapa anggota DPR khususnya yang mempunyai basis serikat tani
sering kali menanyakan kasus-kasus tanah kepada BPN untuk segera
diselesaikan, termasuk saya. Saya salah seorang yang sering menanyakan
ke Pak Joyo soal penyelesaian kasus-kasus di Cilacap, termasuk di dalamnya
yang di Cipari.” (Wawancara, 19/10/2018).

Dalam sisi yang berbeda, para aktor yang berada di PT RSA


mempunyai pemikiran yang berbeda terkait reforma agraria.
Bagi mereka, reforma agraria adalah kebijakan yang membuat
mereka terpaksa menghilangkan penguasaan terhadap aset yang
mereka kuasai. PT RSA memandang bahwa petani tidak berhak
mendapatkan tanah tersebut. PT RSA mempunyai pendirian
bahwa merekalah yang mempunyai legalitas atas pengelolaan
perkebunan tersebut karena mereka mempunyai HGU.
Salah seorang dari mereka bahkan menganggap bahwa
para petani yang memperjuangkan tanah adalah musuh negara.
Pengalaman individunya yang pernah merasakan ketegangan
antara tentara dan BTI pada saat orde lama membuatnya antipati
terhadap kebijakan reforma agraria. Baginya, PT RSA adalah
penguasa legal terhadap lahan tersebut karena dahulu saat
nasionalisasi, PT Rumpun memang diberi HGU untuk mengerja-
kan lahan perkebunan itu. Cerita ini seperti yang disampaikan
oleh RBD (PT RSA):

110 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


“Mengapa sampai sekarang ada undang-undang yang masyarakat itu
wajib bela negara? Dalam pertahanan negara maka sampai sekarang
meskipun ada reformasi (kita juga harus ingat masa lalu, pen.) kalau di
daerah Caruy itu memang banyak orang PKI. Caruy itu basis PKI. Ya pokoke
di sini basisnya. Kalau di sini ini bisa disamakan dengan Boyolali, Klaten,
Solo, Wonogiri. Itu sama jadi situasi di sini itu dahulu basis 95% itu PKI,
bahkan sampai sekarang pun itu masih ada. Kemarin kan mau bangkit
lagi.” (Wawancara, 21/11/2018).

Berbagai penjelasan di atas memperlihatkan interaksi antara


pengalaman individu dan kondisi sosial yang melingkupi petani.
Interaksi tersebut memengaruhi reaksi atas perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria.

Ragam Metode dalam Pelibatan Perumusan Kebijakan


Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan kepada
subjek penelitian tentang pemahaman terhadap bentuk kebijakan
reforma agraria yang dijalankan di Cipari, maka dapat diperoleh
berbagai gambaran terkait reaksi kebijakannya. Pasca reformasi,
setidaknya terdapat dua pandangan dominan yang berbeda dalam
melihat reforma agraria, baik secara diametral maupun berada
dalam zona yang akulturatif. Pertama, pandangan optimis. Dalam
pandangan ini, reformasi dianggap sebagai jalan pembuka bagi
reforma agraria setelah masa kelam di era orde baru. Reforma
agraria pada masa ini merupakan hal yang tabu dibicarakan
bahkan menakutkan karena dapat berdampak terhadap hidup
matinya seseorang. Selama orde baru memerintah, para petani
penggarap tidak dapat mengakses lahan secara optimal. Mereka
selalu saja “kucing-kucingan” dengan para pegawai perkebunan
saat akan mengerjakan lahan. MSR, salah seorang petani
menjelaskan:

Atrikulasi Kepentingan Petani 111


“Ada yang mengawasi dari perkebunan itu. Yang ngawasi itu udah
TNI,jadinya masyarakat juga takut. Bahasanya bahasa penyerobotan itu
gak ada yang berani. Apalagi masyarakat sini lah jauh dari kota. Yang
pertama itu memang masyarakat-masyarakat awam mas, jadi karena
gaktau persoalan undang-undang, jadi semuanya takut. Makanya dari
Kodam itu ‘Barangsiapa pun melanggar persoalan ini jelasnya ditangkap’
seperti itu. Katanya itu dipenjarakan katanya itu masuknya penyerobotan.”
(Wawancara, 25/12/2018).

Kondisi yang sama dialami juga oleh TG (petani penggarap)


yang menggambarkan situasi yang terjadi pada saat orde baru. Ia
bercerita:
“Lha waktu orde baru di sini mau usul ke sana ditutuk (baca: dipukul), tidak
ada yang berani. Bahkan kalau bertanya saja apes-apesnya (baca: tidak
beruntung) masuk bui bahkan bisa “di-Sukabumi-kan” (baca: dibunuh).
Dulu dua orang teman saya hilang. Saya menduga orangnya dimasukkan
ke dalam bumi, dibedil (baca: ditembak) gitu, misterius lah.” (Wawancara,
21/11/2018).

Melihat situasi di masa orde baru yang kelam tersebut,


kondisi berbeda terjadi di era eformasi. Para petani yang diteliti
pada umumnya menyebutkan bahwa era reformasi membuka
keberanian masyarakat untuk menuntut pelaksanaan reforma
agraria. Di era orde baru, keberanian tersebut harus berhadapan
dengan tekanan yang dijalankan pemerintahan pada saat itu.
Banyak di antara para petani yang memperjuangkan lahan
tersebut tidak diketahui lagi keberadaannya, bahkan ada yang
ditangkap ataupun meninggal. Maka di era reformasi itulah,
para petani gencar melakukan upaya untuk memperjuangkan
tanahnya. Mereka melakukan pendudukan atas lahan yang
selama ini dikuasai oleh PT RSA secara terang-terangan. Selain
melakukan pendudukan lahan, para petani juga melakukan
demonstrasi bersama dengan para petani lainnya yang tergabung
di SeTAM.

112 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Di era reformasi inilah, masyarakat mulai menggeliat dengan
munculnya beragam aksi. Beberapa ragam aksi yang dilakukan, di
antaranya pendudukan lahan, reclaiming, dan demonstrasi, serta
advokasi kebijakan. Hal ini diungkapkan oleh SG (SeTAM) yang
menyebutkan bahwa dengan reformasi dan orang mulai berani
untuk menuntut pelaksanaan reforma agraria, maka ini memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengakses lahan
baginya. Dahulu masyarakat hanya dapat menonton hamparan
luas tanah di sekitarnya tanpa bisa memanfaatkan tanah tersebut
untuk kepentingan bercocok tanam.
Secara nyata, era reformasi juga membuka kesadaran
masyarakat untuk memunculkan aksi-aksi secara terbuka. Berikut
adalah beberapa ragam aksi yang dilakukan oleh masyarakat.
Pertama, pendudukan lahan. Oleh karena banyak warga yang
membutuhkan lahan untuk pertanian, maka pada masa awal-awal
reformasi mereka menduduki lahan. Hal tersebut sebagaimana
yang diutarakan oleh YN, salah seorang pengurus serikat tani.
Metode pendudukan lahan merupakan salah satu metode yang
digunakan oleh para petani karena kebutuhan akan lahan yang
sangat tinggi, sedangkan mereka tidak mempunyai akses atas
lahan.
Kedua, reclaiming. Metode ini digunakan dengan argumentasi
bahwa lahan yang selama ini dimiliki oleh masyarakat diambil
alih secara sepihak oleh negara maupun pihak swasta. Dalam
kasus Cipari, reclaiming dilakukan karena sebelumnya telah
terjadi perampasan oleh PT RSA. Kejadian tersebut seperti yang
dinyatakan oleh SRT (Kades Karangreja) berikut ini:
“Nah kalo di sini sendiri, ada, yang milik masyarakat ditukar dengan PT
RSA setelah ada operasi pemberantasan G30S itu tahun 66 ini tukerannya

Atrikulasi Kepentingan Petani 113


diambil kembali oleh PT RSA yang milik masyarakat tidak dikembalikan ke
masyarakat. Itu sampai sekarang masih ada, ya ada sekitar 30 hektarelah.
Terus yang dirampas juga ada, ya sekitar 2 hektare. Jadi karena itu kelompok
kecil hanya 9 KK atau 10 KK diusir digabungkan dengan kelompok yang
lebih besar. Suruh meninggalkan yang itu nah setelah ini meninggalkan
tempatnya ini diambil oleh PT RSA.” (Wawancara, 25/12/2018).

Pada aktor lainnya, seperti KRD (petani penggarap), ia


menyatakan bahwa alasan melakukan reclaiming karena
zaman dahulu para petani sudah mempunyai legalitas.
Legalitas itu berupa surat kuning yang pada waktu awal Orde
Baru diminta oleh pemerintah. Mengenai reclaiming ini, SG
(SeTAM) menuturkan bahwa di Cilacap ada beberapa tempat
yang melakukan aksi reclaiming. Reclaiming dilakukan karena
pemerintah/BUMN/swasta melakukan pengakuan sepihak atas
lahan yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat. Ada beragam
alasan pemerintah melakukan hal tersebut. Di antaranya adalah
mengambil kesempatan saat terjadi DI-TII maupun saat PKI.
Selain itu, ada juga yang dilakukan dengan alasan tanah itu
merupakan tanah timbul atau tanah karena sedimentasi. Padahal,
apabila merujuk ke UUPA, tanah timbul merupakan tanah negara
bebas yang bisa dimohon masyarakat untuk menjadi milik.
Ketiga, demonstrasi. Metode ini biasanya digunakan dalam
kerangka sinergitas antar aktor, yakni akademisi, mahasiswa,
dan serikat tani. Metode demonstrasi digunakan untuk menuntut
pemerintah agar segera menjalankan reforma agraria atau
dengan alasan solidaritas karena kriminalisasi terhadap petani
maupun aktivis reforma agraria. Mengenai demonstrasi, SRW
(SeTAM) menyampaikan:

114 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


“Kalau demo kita paling ya ke kabupaten, kalo ga ya ke provinsi, atau di
BPN, atau di Gedung DPR. Kalau di Jakarta ya di Istana. Kalo saya sering
demo itu tahun 99, 2001 sama 2004. Itu satu tahun itu kita demo bisa
lebih dari 3 kali. Kita gabungan dengan serikat tani Jawa Timur, terus dari
Klaten, Sleman, dan sebagainya. Itu ke istana, ke DPR, terus pas ke istana
pernah diterima beberapa orang untuk masuk di istana, ditemui oleh staf
kepresidenan waktu itu awal SBY jadi presiden, waktu Megawati sekali pas
jadi presiden.” (Wawancara, 23/12/2018).

SUT (petani penggarap) juga menyampaikan bahwa sarana


demonstrasi sebagai instrumen untuk menunjukkan keberadaan
petani. Ia menceritakan:
“Dulu kalau kita mau demo sampai 5 truk, jadi kita terkenal sebagai
gudangnya orang demo. Kita itu dulu sering demo menunjukkan ke
pengambil kebijakan..... Kita tunjukkan, ‘Ini lho wajah-wajahnya memang
petani banget, wajah-wajah yang selama ini tertindas’ kaya gitu. Jadi kita-
kita demo di kabupaten, Semarang, di DPR RI, ya kita memang demonya
orisinil, resmi kaya gitu. Artinya tidak ditunggangi siapa pun.” (Wawancara,
21/11/2018).

JR (RAB) mengungkapkan bahwa cara-cara demonstrasi


sering digunakan oleh para aktivis dan petani agar pemerintah
segera menjalankan reforma agraria. Ia juga menyatakan kalau
demonstrasi digunakan pada saat terjadi penangkapan petani.
Keempat, advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan biasanya
dilakukan oleh jaringan LSM, akademisi, dan jaringan serikat
tani. Menurut Fauzi (2019), perubahan kesempatan politiklah
yang memungkinkan aspirasi dari mobilisasi massa hingga
pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria
bergerak dari tingkat lokal ke tingkat nasional, yang di
antaranya melalui scholar activist. Sidang-sidang tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999 hingga 2001
terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah

Atrikulasi Kepentingan Petani 115


Jenderal Soeharto mundur sebagai Presiden Republik Indonesia
pada Mei 1998. Lebih lanjut, bagi Fauzi, lintasan proses kebijakan
pertanahan nasional pun berubah. Termasuk karena peran
scholar activist, yaitu para ahli agraria dan lingkungan hidup dari
perguruan tinggi,serta anggota DPR/MPR yang untuk pertama
kalinya berhasil memasukkan agenda pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam dalam dokumen resmi negara,
yakni Tap MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dokumen MPR
merupakan tonggak bersejarah yang berpengaruh pada proses
kebijakan land reform selanjutnya.
Era reformasi juga membuka kesempatan terjadinya
perubahan pola relasi yang timpang di masyarakat. Keberadaan
reforma agraria yang pada pokoknya adalah upaya untuk
mengubah relasi di masyarakat, di era ini mulai menemukan
bentuknya. Dalam konteks itulah, saat SBY menjadi presiden, ia
menjadikan reformasi agraria sebagai bagian dari program kerja
pemerintahannya. Hal ini nampak dari upayanya untuk melakukan
beberapa terobosan dalam menjalankan reforma agraria. Pada
masa ini, SBY menunjuk Joyo Winoto sebagai Kepala BPN. Joyo
Winoto (Kepala BPN 2005–2012) banyak melakukan diskusi
dengan para aktivis reforma agraria, baik dari kalangan akademisi,
aktivis, maupun pimpinan serikat tani. Di era inilah, kemudian
lahir reforma agraria yang tidak hanya dalam bentuk land reform
atau pemberian aset, tetapi juga pemberian akses. Joyo Winoto
menyebutnya “Reforma Agraria = Asset Reform + Access Reform”,
yang berarti redistribusi tanah yang disertai dengan asistensi dan
fasilitasi untuk meningkatkan akses penerima tanah redistribusi
pada input-input pertanian, kredit, teknologi tata-guna tanah
dan pertanian, pemasaran, dan berbagai asistensi teknis lain,

116 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


agar membuat tanah yang diredistribusikan menjadi produktif,
menguntungkan, dan dapat dikelola secara berkelanjutan (Fauzi,
2012). Pada perkembangannya, lahir Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) yang mana implementasi reforma agraria di
Cipari dianggap sebagai pelaksanaan reforma agraria terbesar
untuk pertama kalinya di era reformasi.
Berbagai gambaran dalam subbab di atas memperlihatkan
bahwa era reformasi merupakan penanda lahirnya kembali land
reform, baik dalam kerangka aksi di lapangan maupun penyusunan
kebijakan. Di era ini, aksi-aksi okupasi dan reclaiming kembali
terjadi. Hal ini juga bersanding dengan upaya sebagian pegiat
agraria lainnya untuk mendorong kebijakan land reform agar
masuk dalam kebijakan resmi negara. Pada sisi ini pula, negara
juga mempunyai tafsir atas kebijakan terdahulu dan kemudian
menciptakan kebijakan-kebijakan baru.
Aktivis dan serikat tani yang berada di basis mempunyai
kecenderungan untuk melakukan aksi-aksi langsung dan menolak
kebijakan baru. Pada aktor lainnya, seperti KPA, berupaya untuk
mendorong kebijakan baru dengan syarat sumber utamanya
adalah UUPA. Hal ini berbeda dengan para pegiat lingkungan
hidup yang cenderung menganggap pentingnya perubahan atas
UUPA dengan membuat kebijakan baru yang lebih komprehensif.
Merespons tuntutan dari masyarakat, negara juga memandang
perlunya kebijakan terkait land reform. Oleh karena itu, mulai dari
Habibie sampai dengan SBY, pembahasan tentang kebijakan land
reform juga menjadi bagian dari agenda negara. Agenda negara
ini kadang sejalan dengan kepentingan masyarakat, tetapi sering
kali juga mendapatkan pertentangan dari masyarakat.

Atrikulasi Kepentingan Petani 117


Pertama, memperkuat BPN. Saat diangkat menjadi Kepala
BPN, JW, yang juga menjadi think tank SBY di Brighteen Institute,
meminta kepada SBY untuk memperkuat keberadaan BPN. JW
meminta SBY untuk mengeluarkan Perpres agar BPN tidak hanya
menjalankan fungsi administratif, tetapi juga lebih dari itu mampu
menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan reformasi agraria.
Upaya yang dilakukan JW untuk memperkuat BPN mendapatkan
apresiasi dari aktivitas reforma agraria, salah satunya US
(aktivis reforma agraria). Bagi US, JW adalah salah satu pejabat
yang mampu mengangkat BPN bukan hanya sebagai lembaga
administratif pertanahan, tetapi juga lembaga yang mempunyai
nilai lebih dan substantif dalam soal reforma agraria. Keberadaan
BPN yang diperkuat juga menjadi catatan tersendiri bagi SRW
(SeTAM). Baginya, BPN di era JW telah membuka ruang bagi
masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam reforma agraria.
Ia beberapa kali diundang untuk diskusi dengan Kepala BPN
dan jajarannya untuk menyampaikan keluh kesahnya tentang
masalah pertanahan yang dihadapi di Cilacap.
Kedua, menjalankan PPAN. Presiden SBY, melalui pidatonya
yang disampaikan pada 31 Januari 2007, menyebutkan bahwa
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah jalan untuk
menjadikan tanah sebagai instrumen untuk kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyat. Dorongan untuk menjalankan reforma
agraria ditambah dengan masuknya beberapa aktor aktivis
menjadi Staf Khusus Kepala BPN menjadi salah satu penentu
keluarnya PPAN.
“Waktu itu saya diminta untuk menjadi staf khusus.Tetapi karena saya
masih harus menyelesaikan kuliah, maka saya kemudian meminta US
untuk menggantikan saya. Selama itu pula, reforma agraria mendapatkan
ruang untuk bergerak (meskipun juga terdapat batasan-batasan atas apa
yang bisa dilakukan atau tidak),” ujar NF. (Wawancara, 02/09/2019).

118 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Hal senada dikatakan juga oleh US yang dahulunya adalah
aktivis reforma agraria yang kemudian menjadi Staf Khusus
Kepala BPN. Ia menjelaskan bahwa selama ia menjadi staf khusus,
ruang pembahasan reforma agraria semakin dibuka, termasuk
didalamnya sering kali Kepala BPN bertemu langsung dengan
petani dan para aktivis reforma agraria. Pada aktor yang berbeda,
SG (SeTAM) menyatakan bahwa selama JW menjadi Kepala BPN
dan US menjadi staf khusus, beberapa kali SeTAM mendapatkan
kesempatan untuk menyampaikan kasusnya. Bahkan, US sempat
datang secara khusus dalam pertemuan yang diselenggarakan
oleh SeTAM.
Kembali ke persoalan dalam perumusan kebijakan reforma
agraria paska reformasi, berikutnya adalah pandangan ketiga
yakni pandangan pesimis. Reformasi yang membuka kran
munculnya reforma agraria tidak serta-merta sesuai dengan
harapan yang diidealkan oleh para petani dan aktivis reforma
agraria. Pada aktor masyarakat, SLH (SeTAM), sedari awal SeTAM
telah mengingatkan bahwa reforma agraria yang dijalankan di
Cipari akan mengalami kegagalan karena adanya kompensasi yang
berakibat pada ketidakmampuan masyarakat dalam membayar
kompensasi.Hal tersebutkemudian menjadikan masyarakat
memperjualbelikan lahan yang telah diberikan.
Dalam hal kompensasi, para petani dan induk organisasinya
(SeTAM) berpendapat bahwa kompensasi akan memberatkan
para petani dan akan berakibat buruk di kemudian hari. Pada
saat kompensasi menjadi bahasan antara SeTAM, PT RSA, dan
BPN, para pemimpin organisasi di SeTAM sudah mengingatkan
bahwa ketika petani tidak mampu membayar kompensasi, maka
akan terjadi jual beli lahan. SLH, salah seorang pengurus SeTAM,
mengatakan:

Atrikulasi Kepentingan Petani 119


“Ya kalau menurut pendapat kami sih sedari awal organisasi serikat
tani itu mewanti-wanti manakala ada kompensasi pasti yang terjadi
masyarakat yang tidak mampu tidak bisa bayar kompensasi dan akhirnya
diperjualbelikan. Kan terbukti di lapangan dengan berbagai alasan ya ada
yang letaknya jauh, ada yang tidak mampu bayar kompensasilah sehingga
terjadinya jual beli lahan.” (Wawancara, 28/12/2018).

Hal senada diutarakan juga oleh ED (petani). Menurutnya,


kompensasi justru membuat masalah baru akan timbul. Dari
kompensasi itu akan muncul jumlah uang yang tidak sedikit. Hal
ini akan berdampak pada kemungkinan penyalahgunaan uang
tersebut. Tentang hal ini, SG (SeTAM) memprediksi dari awal.
Pada saat bertemu dengan JW, ia sempat mengatakan bahwa
akan terjadi pasar tanah. Nantinya, orang yang tidak punya
uang dan tidak mampu bayar kompensasi akhirnya dikoordinasi
dikumpulkan oleh panitia dan oleh mereka tanahnya ditawarkan
ke pembeli. SG menyatakan hal ini saat mengonfirmasi tentang
pembelian lahan oleh orang yang membeli lahan dengan alasan
membantu pembayaran kompensasi.
Adapun pada sisi PT RSA, mereka berpendapat bahwa para
petani harus memberikan kompensasi tersebut karena PT RSA
telah kehilangan HGU akibat dari tindakan penyerobotan lahan
yang dilakukan oleh petani. Bagi mereka, penyerobotan lahan
yang sudah dilakukan semenjak lama merugikan keuangan
perusahaan. Dalam situasi demikian, BPN memandang bahwa
perlu adanya jalan tengah di antara kedua pendapat tersebut.
Di tengah polemik antara SeTAM dan PT RSA, para kepala
desa, baik yang setuju dengan reforma agraria maupun yang tidak
setuju, bersepakat untuk mencari jalan tengah tersebut dengan
berupaya mengurangi jumlah kompensasi. Kompensasi ini
merupakan biaya ganti rugi yang diminta PT RSA sebagai imbal

120 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


balik dari lahan hak guna usahanya yang akan didistribusikan
kepada masyarakat. Menurut cerita mereka, kompensasi yang
pada awalnya sebesar Rp2.500,00/m2 pada akhirnya bisa ditawar
hingga Rp1.500,00/m2.
Upaya yang dilakukan oleh para kepala desa ini tetap
tidak diterima oleh SeTAM. Namun demikian, SeTAM memberi
kebebasan kepada para petani untuk menerima atau menolak
kompensasi tersebut. Pada akhirnya, hampir seluruh petani
menerima syarat kompensasi tersebut. Berdasarkan temuan
lapangan, para petani terpaksa menerima kompensasi dengan
alasan jika mereka tidak menerima maka persoalan kasus tanah
ini tidak kunjung selesai. Hal lain yang juga memengaruhi mereka
menerima kompensasi adalah karena tambahan penerima lainnya
yang sebelumnya mereka tidak pernah terlibat dalam perjuangan.
Tetapi kemudian, berdasarkan keputusan BPN, mereka menerima
pembagian lahan. Pendapat ini disampaikan oleh SRW (SeTAM)
sebagaimana berikut ini:
“Saya juga berbeda pendapat dengan Mbah SG ketika menyikapi adanya
kompensasi. Saya menilai dalam kondisi sekarang, agar masyarakat tidak
jenuh, mau tidak mau kompensasi kita terima. Daripada semakin lama.”
(Wawancara, 23/12/2018).

Bagi masyarakat yang mampu, nilai tanah sebesar


Rp1.500,00/m2 dinilai murah. Namun bagi masyarakat yang tidak
mampu—tetapi tidak ikut berjuang—,tanah tersebut bisa dijual
ke pihak lain. Di sinilah cikal bakal penyebab terjadinya jual beli
lahan di Cipari.
Hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah terkait
distribusi dengan pola bagirata. SG (SeTAM) merasa bahwa
reforma agraria yang dijalankan jadi melenceng dari niat awal.

Atrikulasi Kepentingan Petani 121


Ia menyatakan bahwa dibagiratanya distribusi tanah serta
penambahan jumlah penerima tanah menjadikan permasalahan
tersendiri.
“Ini kan dasarnya kita dari para ahli waris yang dulu sudah memiliki lahan
ini. Tetapi ternyata sekarang, orang dibagi rata kayagitu, dianggap seperti
raskin saja. Sekarang masih bisa dicari, dibuka, arsip atau permohonan
proposal yang pernah kita buat yang pernah SeTAM buat atas dasar
data dari masing-masing kelompok pada waktu itu cuma 1.700 sekian,
mengapa kok jadi 5.141 kan sangat luar biasa, ini ada ‘apanya’. Dulu, aku
ngomongkaya gitu, tapi ini sudah terjadi mari kita nikmati begitu bareng-
bareng.”(Wawancara, 21/11/2018).
Hal senada dijelaskan oleh MSR (petani penggarap).
“Jadi masalah pembagian itu sebenarnya juga saya tidak tahu
permasalahannya (baca: karena yang menentukan pemerintah desa, pen.)
Karena yang sebenarnya dulunya satu warga seharusnya dapat 100 ubin,
tetapi akhirnya cuma kebagian 35 ubin per-KK.” (Wawancara, 25/12/2018).
Kondisi ini juga dialami oleh SPN (petani penggarap).
“Yang membuat sakit hati itu ya pembagiannya tidak sesuai harapan. Akan
tetapi, daripada menyakiti otak, lebih baik diikhlaskan saja. Yang penting
saya tetap kebagian.” (Wawancara, 25/12/2018).
Reforma agraria yang dijalankan di Cipari juga lebih bersifat
sebagai upaya meredam konflik daripada upaya untuk mengubah
ketimpangan di masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh STJ (BPN)
yang pernah melakukan penelitian di Cipari. Baginya, apa yang
dilakukan di Cipari bukanlah reforma agraria, tetapi lebih kepada
upaya penyelesaian konflik belaka. Hal ini dibenarkan FL (mantan
Ketua DPRD Cilacap). Ia mengatakan:
“… yang penting masyarakatnya sudah diam. Berarti kan sudah tidak ada
masalah. Sudah tidak bergejolak lagi. Walaupun saya dengar-dengar lho ya
ternyata banyak tanah yang sudah dijuali. Tapi yang penting masyarakatnya
sudah tidak bergejolak.” (Wawancara, 05/12/2018).

122 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Pernyataan di atas juga diamini oleh STR (Kades Sidasari). Ia
berkata:
“Yang paling aman juga di sini, tidak ada demo, tidak ada surat kaleng,
itu termasuk Pak SBY itu mengacungi jempol. Dan jangan tanah negara
itu sudah dimiliki warga masyarakat jangan sampai menimbulkan gejolak.
Alhamdulillah saya ingat, warga masyarakat, khususnya Cipari, Kabupaten
Cilacap, hebat. Sampai SBY itu terharu.” (Wawancara, 21/11/2018).

Berbagai pernyataan dari kalangan pemerintahan di atas


menunjukkan bahwa reforma agraria yang dijalankan adalah
untuk kepentingan pencitraan penguasa alih-alih untuk
kepentingan penyelesaian konflik dan upaya menyejahterakan
masyarakat. Menurut Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA),
reforma agraria yang terjadi di era reformasi sampai dengan
rezim SBY adalah reforma agraria palsu. Masih menurutnya,
kalau pun reforma agraria dijalankan, misalnya dengan adanya
PPAN, reforma agrarianya adalah reforma agraria yang lebih
memperlihatkan diri sebagai cara penguasa untuk mengelabui
rakyatnya. Dalam bahasa lain, sesungguhnya reforma agraria
yang ada telah diambil alih oleh elit.
Keempat, pandangan yang “tidak hitam putih”. Selain
pandangan optimistis dan pesimistis di atas, berdasarkan temuan
lapangan, terdapat juga situasi yang peneliti sebut dengan “tidak
hitam, tidak putih, tetapi dilematis”. Berdasarkan penelitian yang
peneliti lakukan, terkonfirmasi bahwa reforma agraria memang
belum seperti yang diharapkan, khususnya oleh para petani dan
pegiat reforma agraria. Namun demikian, setidaknya terdapat
situasi yang memungkinkan tumbuhnya reforma agraria atau
terbukanya ruang yang jauh lebih baik ketimbang pada saat orde
baru memerintah Indonesia. Ruang tersebut tumbuh baik pada
level masyarakat, pemerintahan, bahkan swasta.

Atrikulasi Kepentingan Petani 123


Di level masyarakat, di era reformasi sampai dengan
sekarang tumbuh organisasi-organisasi tani lokal maupun yang
mempunyai jaringan nasional bahkan internasional. Begitu
juga di level pemerintahan. Di desa, SLT, salah seorang kepala
desa, menuturkan bahwa semenjak awal dia memang berniat
memperjuangkan rakyatnya. Selain karena memang ada tuntutan
dari petani, ia juga merasa bahwa nasib masyarakatnya harus
diangkat. Oleh karena itu, saat mendengar peluang perjuangan
petani akan berhasil, ia pun mengambil inisiatif untuk turut
memperjuangkan kembalinya tanah ke masyarakat.
Senada dengan hal di atas, BS (anggota DPR RI) juga
menuturkan bahwa beberapa anggota DPR turut memperjuangkan
nasib masyarakat terkait dengan reforma agraria. Dalam
pertemuan dengan Kepala BPN, BS menuturkan jika beberapa
anggota DPR khususnya yang mempunyai basis serikat tani
sering kali menanyakan kasus-kasus tanah kepada BPN untuk
segera diselesaikan. Demikian juga di level swasta, keterdesakan
atas tuntutan dari masyarakat dan juga tekanan dari pemerintah
sebagai implementasi dari PPAN membuat swasta pun mau
berwacana tentang reforma agraria.
Hal yang juga cukup baik dilakukan dalam PPAN adalah
upaya untuk mencegah jual beli tanah. Presiden SBY meminta
para petani yang mendapat redistribusi lahan hasil reforma
agraria untuk tidak menjual kembali tanahnya. Presiden meminta
rakyat memanfaatkan lahan dengan sebaik-baiknya. Meskipun
pada akhirnya, di level implementasi, jual beli lahan terjadi walau
secara de facto harus menunggu 10 (sepuluh) tahun untuk terjadi
“balik nama”.

124 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Hal yang juga penting untuk dilihat sebagai “tidak hitam putih”
adalah terkait “kemenangan kecil”. Meskipun menolak kebijakan
kompensasi dan tata cara pembagian lahan model BPN, SeTAM
tetap berupaya mengawal proses. Mereka memasukkan juga para
pengurusnya untuk turut melakukan pengawasan di lapangan.
Langkah ini diambil agar implementasi reforma agraria di Cipari
tidak terlalu buruk. Selain itu, SeTAM menggunakan momentum
ini sebagai jalan untuk mempromosikan perjuangan mereka.
Dalam istilah mereka, sering disebut sebagai “kemenangan kecil”.
Kemenangan kecil tersebut merupakan contoh bahwa perjuangan
menuntut hak atas tanah akhirnya ada yang berhasil didapatkan.
Kemenangan kecil adalah hasil dari perjuangan meskipun
yang didapatkan minimalis. Adapun kemenangan besar berarti
kemenangan yang didapatkan sesuai dengan yang dikehendaki.
Kemenangan kecil ini pulalah yang menjadikan sebagian besar
aktor di kalangan LSM—khususnya yang mempunyai kedekatan
dengan SeTAM—menerima kebijakan yang dijalankan di Cipari.
Meskipun, mereka tetap melakukan kritik tajam terhadap model
redistribusi yang dilakukan tersebut.
Begitu juga bagi kalangan pemerintahan yang berlatar
aktivis maupun berinteraksi dengan aktivis reforma agraria. BS,
anggota DPR yang proreforma agraria, berpandangan bahwa
kebijakan reforma agraria di Cipari adalah jalan pembuka bagi
penyelesaian kasus-kasus lainnya. Begitu juga dengan JW (Kepala
BPN), meminta kepada SeTAM untuk mau menerima model yang
diberikan oleh BPN dengan mengatakan bahwa hal ini untuk
kepentingan redistribusi lahan di tahap berikutnya.

Atrikulasi Kepentingan Petani 125


SG dari SeTAM menuturkan bahwa dia menerima kebijakan
reforma agraria yang dijalankan sekarang sebagai bagian
dari mengupayakan “kemenangan kecil” bagi masyarakat.
Kemenangan kecil yang dimaksud oleh SG di sini adalah setidaknya
terdapat bukti ke masyarakat bahwa mereka mendapatkan tanah
setelah berjuang bertahun-tahun. Hal tersebut dapat memotivasi
kelompok tani lainnya untuk terus bersemangat memperjuangkan
hak atas tanah.
Dalam observasi yang peneliti lakukan,kebijakan reforma
agraria yang ada di Cipari memang membuat petani lainnya
semakin bersemangat. Termasuk di dalamnya kelompok tani lain
yang dahulu tidak bergerak, kemudian bergabung dengan SeTAM
untuk ikut memperjuangkan hak atas tanah. Adapun di kalangan
pemerintahan yang tidak mempunyai interaksi baik dengan
aktivis reforma agraria cenderung beranggapan bahwa kebijakan
reforma agraria sudah cukup baik, tetapi mereka mempunyai
alasan yang berbeda. Yang terpenting bagi mereka, masyarakat
tidak lagi merepotkan mereka dengan terus menerus datang
untuk menanyakan kasus tersebut.
Hal yang unik terjadi pada pembeli lahan. Pembeli lahan
adalah orang-orang yang memanfaatkan situasi menjelang
proses redistribusi lahan. Beberapa pembeli lahan adalah orang
yang mempunyai kedekatan dengan kepala desa yang pada
waktu itu bersepakat dengan PT RSA terkait adanya kompensasi.
Para pembeli lahan ini mengambil peluang dengan membayar
kompensasi bagi orang-orang yang akan mendapatkan tanah,
tetapi tidak mampu membayar kompensasi tersebut. SD (pembeli
lahan) menjelaskan hal itu sebagaimana berikut:

126 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


“Saya paling seperti ini, ada masyarakat saya yang terus terang dia tidak
mampu membayar kompensasi. Saya mendengar dari Pak Babinsa,
kalau ngga salah namanya Pak WST. Pokoknya yang tidak bisa menebus
kompensasi tidak akan dikasih (tanah), yang menebus yang dapat. Yang
menebuslah (baca: membayar kompensasi) yang dapat tanahnya. Lah,
masyarakat saya ada yang tidak bisa menebus, ya, (akhirnya) saya yang
menebus. Kompensasi itu aturan dari sana (baca: berdasarkan perjanjian
kepala desa dengan PT RSA), semua harus bayar.” (Wawancara, 05/12/2018).

Namun demikian, akhirnya pembeli tanah tersebut tidak dapat


menikmati tanahnya karena terdapat perbedaan antara sertifikat
yang dimiliki dan bidang tanahnya.
“Sertifikatnya saya memegang kalau tidak salah sepuluh. Tapi yang tidak
pas, lokasinya di sini tapi disertifikat tertera di pojok, seperti itu...he...
he..... Namanya yang semua orang Mekarsari. Mas BGN juga memegang
sepuluh. Jadi, sertifikat yang saya tanda tangani dulu. Tidak tahunya sudah
dibeli Pak Haji BLS. Jumlahnya 64 atau 62 kaveling. Nah, kecuali kalau
belinya di Pak WSRlangsung, itu pas antara letak tanah dan sertifikatnya.
Tapi ya yang kurang itu masih banyak sekali.” (Wawancara dengan SD,
05/12/2018).

Bagi para pembeli lahan, kebijakan reforma agraria dipandang


hanya sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Meskipun pada akhirnya, mereka pun tidak mendapatkan lahan
yang telah mereka bayarkan.
Dari bahasan di atas, tampak bahwa perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria dipengaruhi oleh interaksi
antara pengalaman individu petani dan kondisi sosialnya.
Model interaksi pengalaman individu dan kondisi sosial dan
kecenderungan reaksi tersebut dapat dirangkum pada tabel di
bawah ini.

Atrikulasi Kepentingan Petani 127


Tabel 9. Model Interaksi Pengalaman Individu Petani dengan
Kondisi Sosial serta Bentuk Reaksinya

Pengalaman Kondisi
Bentuk Reaksi
Individu Sosial
Petani
Melakukan Era Orde Mengerjakan lahan karena
trukah Lama merasa mendapatkan
dukungan dari BTI.
Melakukan Era Orde Baru Mengerjakan lahan tapi
trukah “kucing-kucingan“.
Ada yang memperjuangkan
hak atas tanah tetapi
diintimidasi, diculik, dan
dibunuh.
Melakukan Era Reformasi Mengerjakan lahan secara
trukah terbuka.
Memperjuangkan hak atas
tanah secara terbuka.

Interpretasi Temuan Lapangan


Bila kita menggunakan pendekatan Althusser dalam
proses interpelasi tampak di sini bahwa pengalaman individu
dan kondisi sosial yang dimiliki petani memengaruhi petani
dalam mengupayakan memperjuangkan hak atasnya. Selain
itu keduanya juga memengaruhi ragam metode yang dilakukan
dalam memengaruhi rumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria.

128 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Di dalam berkontribusi terhadap perumusan kebijakan,
para petani menggalang jaringan dengan LSM. Di kalangan
LSM, intensitas interaksi mereka dengan petani dan serikat tani
merupakan kunci penting dalam memaknai kehidupan sosial
ekonomi masyarakat. Temuan penelitian ini sejalan dengan
penelitian Santoso (2016) tentang mobilitas eksternal. Dimana
dalam memperjuangkan hak atas tanah petani melibatkan pihak
eksternal untuk terlibat dalam perjuangannya.

Ikhtisar
Berdasarkan temuan penelitian dan intepretasinya tentang
bagaimana kontribusi petani mengartikulasikan kepentingannya
dalam perumusan kebijakan menunjukan beberapa temuan
diantaranya: pertama, artikulasi kepentingan petani dan metode
yang digunakan dalam perumusan kebijakan dipengaruhi oleh
interaksi antara pengalaman individu dengan kondisi sosial
yang dihadapinya. Kedua, kontribusi petani dalam perumusan
kebijakan dilakukan dengan berjejaring dengan aktor lain
diantaranya; aktivis, LSM dan politisi proreforma agraria.

Atrikulasi Kepentingan Petani 129


130 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
BAB 5

IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA

Pengantar

M alam itu, 23 Oktober 2010, ratusan orang berkumpul untuk


menyaksikan secara langsung penyerahan sertifikat tanah
yang dilakukan Joyo Winoto selaku Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Di atas panggung, beberapa petani dengan
senyum yang merekah bergantian dan berjajar menerima
sertifikat. Hari itu adalah perayaan yang diselenggarakan di
desa setelah sebelumnya sepuluh orang perwakilan warga, pada
21 Oktober 2010, bertemu dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor.
Agak berbeda dengan situasi yang hingar bingar di atas
panggung, di tempat yang agak jauh dari panggung, sekumpulan
orang berkumpul. Mereka adalah pengurus Serikat Tani Merdeka
(SeTAM) yang saat awal-awal Reformasi kembali memperjuangkan
kembalinya hak atas tanah tersebut. Mereka berbicara dengan
teman seperjuangannya, yakni para aktivis reforma agraria yang
selama ini juga terlibat dalam perjuangan tersebut. Para pengurus

Implementasi Reforma Agraria 131


SeTAM memandang bahwa perayaan ini menggembirakan
tetapi sekaligus menyedihkan. Kenapa mereka gembira? Karena
perjuangan yang telah mereka upayakan, hari ini sebagian bisa
dinikmati. Akan tetapi, sekaligus mereka bersedih karena tanah
yang diperjuangkan yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk
2.000-an orang terpaksa harus diterima untuk diberikan kepada
5.141 orang. Mereka tidak menolak tanah tersebut diperuntukkan
kepada orang-orang miskin, tetapi dari 5.141 orang itu banyak di
antaranya adalah perangkat desa dan orang-orang yang selama
ini tidak turut berjuang. Tidak hanya itu, beberapa di antara
mereka adalah para pembeli lahan yang berhasil mendapatkan
tanah dari proses jual beli karena ada calon penerima tanah yang
tidak mampu membayar biaya kompensasi.
Tentang kompensasi ini, salah seorang pengurus SeTAM
tiba-tiba teringat bahwa perjuangannya dirasa telah dibajak
oleh kepala desa. Kepala desa tanpa berdiskusi dengan
mereka memutuskan untuk menerima kompensasi. Padahal,
bagi pengurus SeTAM, apabila masyarakat ngotot tidak mau
membayar kompensasi, mereka yakin tanah tersebut akan tetap
diberikan kepada para petani. Adanya kompensasi dinilai oleh
para pengurus SeTAM sebagai cara dari PT Rumpun Sari Antan
(RSA) untuk mendapatkan keuntungan di tengah ketidakpastian
bahwa hak guna usaha (HGU) mereka tidak akan diperpanjang
lagi. Tanah mereka telah dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria
(TORA) oleh pemerintahan SBY. Dengan kata lain, sebetulnya
pemerintah pada akhirnya akan memberi tanah tersebut tanpa
ada kompensasi apa pun. Bagi para pengurus SeTAM, keberadaan
kompensasi tersebut sebagai bukti tidak adanya pemikiran
terhadap nilai perjuangan dan juga makna reforma agraria. Dalam
penilaian SeTAM, kepala desa hanya menjadikan reforma agraria

132 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


sebagai jalan mereka untuk memperlihatkan pada warganya
bahwa mereka turut berjuang. Padahal yang sesungguhnya
terjadi, justru kepala desalah yang membuat situasi dan harapan
petani untuk mendapatkan hak atas tanah sesuai yang diharapkan
menjadi tidak terwujud.
Hal di atas adalah gambaran tentang situasi yang dihadapi
masyarakat, beberapa hari setelah diterimanya sertifikat hak
atas tanah tersebut. Satu situasi yang di mana reforma agraria
yang diharapkan menjadi jalan perbaikan kehidupan justru
berimplikasi buruk bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam
bab ini akan ditemukan jawaban atas pertanyaan: Bagaimana
implikasi dari perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria yang dirasakan oleh petani?

Dirumuskan Petani Diambil Alih oleh Pemerintah


Upaya petani untuk terlibat dalam perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria yang dilakukan selama bertahun-
tahun dan kemudian menemukan momentumnya pada reformasi,
diambil alih di tengah jalan. Pada level bawah, pengambilalihan
dilakukan oleh elite pemerintahan desa. Hal ini sepertinya yang
dinyatakan oleh TRM (petani penggarap) sebagaimana berikut.
“Tanah yang keluar jelas cuma jadi rebutan orang-orang desa karena
distribusi itu memang kesemuanya lewat desa, bukan apa-apa karena
yang menentukan ya kepala desa. Akhirnya kurang sesuai sama kita
perkumpulan kelompok tani.” (Wawancara, 21/11/2018).

ED, salah seorang petani yang dari awal memperjuangkan


tanah, menuturkan bahwa pemerintah desa sebetulnya
tidak mengetahui problem petani. Mereka hanya mengambil
kesempatan saja. Berikut ini pernyataannya:

Implementasi Reforma Agraria 133


“Nah, untuk kesejahteraan tanah ini diberikan saja kepada petani. Jangan
diberikan kepada yang lain. Ketika itu saya ngomong begitu dengan pak
camat dan kepala desa itu tidak dipercaya. Sehingga 5 kepala desa itu,
Mekarsari, Caruy, Sidasari, Kutasari dan Karangreja, kumpul bareng kepala
desanya yang notabenenya tidak mengerti kepentingan petani sehingga
mereka bersepakat dibagi 35 ubin.” (Wawancara, 21/11/2018).

Secara tidak langsung, STR (Kades Sidasari) juga mengakui


pernyataan tersebut. Ia menjelaskan:
“Ya yang pertama sih dari tingkat bawah dulu. Itu, tetapi dari bawah pun
tetep itu diiringi dengan 5 kepala desa dan kepala desa mengajak dari
pertanahan. Ada rapatnya di Semarang beberapa kali, sampai bosan.”
(Wawancara, 21/11/2018).

Rapat yang terjadi secara berulang-ulang dan tidak


melibatkan SeTAM inilah yang menjadi bukti pengambialihan
oleh elite desa, di mana sampai kemudian muncul kompensasi.
Dalam konteks politik, seharusnya kelompok tani dan gerakan
tani yang melakukan pembelaan dilibatkan dalam proses. Hal ini
dikatakan SRW (SeTAM) saat ditanya kondisi ideal semacam apa
dalam proses reforma agraria. Berikut jawaban dari SRW:
“Ya menurut saya yang sesuai di wilayah desa kan ada kelompok tani. Itu
masing-masing kelompok tani itu harus dikasih sesuai dengan data yang
dikasih, yang ikut berjuang sehingga model pembagiannya juga tepat
sasaran.” (Wawancara, 23/12/2018).

Tidak dilibatkannya petani penggarap dalam proses


pembagian lahan juga diungkapkan oleh KRD (petani penggarap).
“Enggak, jadi dulu itu sudah dibagi oleh dari pusat itu. Bukan dari
masyarakat bukan. Jadi, pemerintah daerah punya itu yang mengatur
pembagian.” (Wawancara, 21/11/2018).

134 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Senada dengan KRD, SUT (petani penggarap) dari desa lain
juga menuturkan hal yang sama:
“Ya teman-teman pegiat (SeTAM, pen.) dulu ketika pembentukan juga
nggak dilibatkan. Tidak ada yang masuk. Saya kanngawal setiap desa.
Setiap ngawal ini ada gak orang pergerakan yang dilibatkan, nah ternyata
gak ada. Semua yang jadi ketua itu perangkat desa.” (Wawancara,
21/11/2018).

Termasuk di dalamnya saat penyerahan sertifikat secara


simbolis oleh SBY. TG (petani penggarap) menceritakan bahwa:
“Enggak, malah ambil orang lain. Malah ambil orang yang tidak
berkecimpung di pertanahan, malah dia orang yang dulu dia itu pro
ke perkebunan, ya kadus-kadus itu. Yang menerima simbolis itu, yang
memperjuangkan malah di-dupak(baca: ditendang).” (Wawancara,
21/11/2018).

Pemgambilalihan oleh elite juga terjadi pada level “tengah”.


Hal ini ditandai dengan persekongkolan antara RSA, tentara, BPN,
dan pemerintahan desa dalam memutuskan kompensasi. WHY
(Kades Mekarsari) menceritakan tentang bagaimana proses
diskusi berlangsung.
RSA: “Gini Pak Lurah, ini tanah sudah dikuasai oleh rakyat e njenengan
beberapa puluh tahun, pernah kami minta sesuatu? Ya ndak. Ini bisa kami
berikan, tapi ada kompensasi. Lah kompensasinya? Ya ganti rugilah.”
WHY: “Waduh, kalau ganti rugi ya berat, wong daerah sekitar itu daerah
wong miskin, Pak. (terus saya penasaran). Emang kalau ganti rugi berapa
sih?”
RSA: “Saya minta per meter 5 ribu. Kalau rakyatmu mau bayar 5 ribu per
meter, saya siap melepas.”
Sehingga saya mikir, pulang lagi kan, kalau ndak salah mungkin 10 kali lebih
ke Semarang buatrembak-rembuk, akhirnya kami di angka 1.500 mentok.
Kompensasi itu alasan beliau mengganti uang-uang pajak yang sudah

Implementasi Reforma Agraria 135


sekian puluh tahun dia bayarkan. Karena dia menguasai lahan seluas itu,
pajaknya kan jalan. Tetapi hasilnya kan dipakai oleh rakyat. Jadi sawah sih,
gitu lho. Tapi dari RSA ini tidak memungut apa-apa. Lha itung-itung saya
bayarin pajak selama itu.Kalau tidaksalah izin usahanya selama 25 tahun
ganti, 25 tahun ganti.” (Wawancara, 21/11/2018).

Mengenai terjadinya pengambilalihan oleh elite di level


tengah ini, STR (Kades Sidasari) menyampaikan ceritanya bahwa:
“Pada saat itu kan ada surat pelepasan dari Yadip, itu Yayasan Diponegoro
Semarang, Jalan Pramuka kalau ndak salah. Nah sesudah itu, kita rapat-rapat
dengan pertanahan pusat, dan ternyata deal. Terus ada suatu kompensasi,
muncul kompensasi yang per bidang itu khan 35 ubin. Kompensasinya
750 ribu kalau ndak salah per kaveling. Sesudah itu disepakati akan
dilaksanakan selama enam bulan secara nyicil (baca: mengangsur). Lha
ternyata warga masyarakat siap.” (Wawancara, 21/11/2018).

Selanjutnya, pengambilalihan reforma agraria juga terjadi


pada level atas. Menurut Fauzi (2019), meskipun JW melaksanakan
reforma agraria, tetapi sesungguhnya reforma agraria yang
dijalankan mengikuti skema neoliberal. Satu skema yang banyak
dikatakan sebagai skema reforma agraria palsu. Oleh karena
reforma agraria telah diambil alih oleh kepentingan pemerintah
maka hal ini berimplikasi buruk bagi petani.

Implikasi pada Petani


Reforma agraria yang dijalankan di era SBY ini mengandung
berbagai masalah yang berimplikasi buruk bagi implementasi
reforma agraria. Pertama, tidak terjadi perubahan dalam
mengatasi ketimpangan agraria. Program reforma agraria di
Cipari yang pada awalnya untuk mengatasi ketimpangan agraria,
pada level implementasi tujuan tersebut tidak terjadi. Para petani
tetap saja berposisi sebagai petani gurem. Kepemilikan lahan
mereka tetap berada pada angka di bawah 0,25 hektare. Bahkan,

136 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


terdapat petani yang justru mengalami penurunan lahan garapan,
seperti yang terjadi pada KRD (petani pengarap). Dahulunya,
petani menggarap lahan di perkebunan sebanyak 2.100 m2, tetapi
setelah adanya redistribusi, hanya mendapat 500 m2. Hal senada
dikatakan oleh SLH (SeTAM):
“Luasan 500m2 per satu keluarga kalo menurut kami itu sangat tidak layak,
artinya untuk memenuhi kebutuhan misalkan makan untuk setiap musim
panen untuk biaya sekolah anak, biaya kesehatan keluarga, itu kan sangat
tidak mencukupi.” (Wawancara, 21/11/2018).

Soal pembagian tanah yang tidak sesuai dengan kondisi ideal


yang diharapkan, petani juga sudah diingatkan oleh SG (SeTAM).
Ia mengatakan:
“Apa apaan ini, hasil pembaginya saja belum jelas, kok sudah dikavling
500 meter sekian, dasarnya ini dari apa? ‘Katanya dari masukan ini sekian-
sekian ‘Lho ya gak bisa kaya gitu pak, ini jadinya malah awut-awutan (baca:
rumit, tidak jelas) kalau kaya gini’ ya apa yang pada waktu itu yang saya
sampaikan pada njenengan (baca: kamu) termasuk ke Pak Joyo nanti akan
ada land market di sana. Saya sudah menyampaikan seperti itu, benarlah
kaya gitu. Mengapa sebelumnya itu juga sudah orang tidak percaya kaya
gitu. Lha orang percaya bagaimana, tidak punya sejarah asal muasal tahu-
tahu dapat tanahnya.” (Wawancara, 21/11/2018).

Terkait dengan pembagian lahan yang tidak sesuai karena


adanya penambahan jumlah penerima yang berimplikasi pada
jumlah lahan yang diterima menjadi berkurang, SJT, seorang
pegiat agraria yang juga turut memperjuangkan tanah tersebut,
menuturkan:
“Harusnya digarap sendiri, dikelola sendiri. Kalau menurut saya seperti
itu. Berarti mereka memang benar-benar orang butuh, kan begitu. Kalau
mereka malah dijual kan berarti mereka bukan orang yang butuh. Kan
judulnya mereka butuh lahan pertanian baru kan, kenapa dijual? Kalo
dijual apakah mereka butuh? Kan enggak.” (Wawancara, 21/11/2018).

Implementasi Reforma Agraria 137


Kedua, pembagian lahan tidak membuat petani menjadi
sejahtera. Padahal, salah satu tujuan dari pelaksanaan reforma
agraria adalah meningkatkan kesejahteraan petani. Namun
demikian, reforma agraria yang dijalankan di Cipari tidak dapat
mencapai tujuan tersebut. Lahan yang dibagi jumlahnya sangat
kecil, hal ini membuat masyarakat tidak mendapatkan hasil
panen yang signifikan untuk memperbaiki kehidupannya.
Di lapangan, MSR (petani penggarap) mengatakan bahwa
hasil yang diperoleh dari pembagian tanah masih jauh dari
harapan. Bahkan, banyak tanah yang dijual ke orang lain karena
letaknya jauh, sehingga tidak efisien untuk ditanami. Pernyataan
ini diperkuat oleh SLH (SeTAM) yang mengatakan:
“Kami sih tidak menolak warga miskin dikasih tanah manakala tanahnya
ada. Hitung-hitungannya ekonomi sajalah, kalo 1 keluarga dikasih kurang
lebihnya 500m2 itu kan masih sangat jauh dari kata sejahtera. Jangankan
amanat undang-undang agraria, di mana 1 keluarga 2 hektare, ya kalo 2
hektare kan ya syukur alhamdulillah. Kalau pemerintah mau melaksanakan
sesuai perintah tersebut, tapi ya setidak-tidaknya kalau membandingkan
hidup di desa ini kalau 1 keluarga penggarap sawah misalkan 250 ubin
atau 1.000m2 atau 2.000m2InsyaAllah cukup. 200 ubinan atau 250 ubinan
kalo di desa sih sebetulnya dengan asumsi punya 2 anak menggarap 125
ubin itu sihInsyaAllah ya cukup.Tapi manakala 1 keluarga apalagi di sawah
yang masih susah sarana pertaniannya artinya air masih susah, kebutuhan
pupuk mungkin masih susah, kalau di sawah-sawah desa saja di komplek
sekitar sini kalau sekadar 35 ubin itu termasuk kurang.” (Wawancara,
21/11/2018).

Tidak hanya itu pembagian lahan ini juga tidak diikuti dengan
pemberian sarana pendukung lainnya sebagaimana yang menjadi
syarat reforma agraria yang disampaikan oleh JW selaku kepala
BPN yakni Asset + Access Reform.

138 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Ketiga, terjadi reakumulasi tanah sebagai dampak dari
kompensasi. Akibat dari kompensasi kepada PT RSA membuat
banyak calon penerima pembagian tanah yang tidak mampu
membayar sesuai tenggat waktu dan terpaksa menjual lahannya
kepada para pembeli lahan. Para pembeli lahan inilah yang
kemudian mendapatkan tanah dalam jumlah yang relatif besar.
Ada pembeli lahan yang sampai mempunyai lahan seluas 3
hektare dari membeli lahan milik petani penggarap yang tidak
mampu membayar kompensasi. Kondisi tersebut sebetulnya juga
sudah diprediksi oleh SG (SeTAM).
“Pada waktu itu, saya sampai ditawari diminta sama Pak Joyo Winoto,
‘Mbah, ngalah saja. Nanti sertifikatnya saya usahakan gratis, biar
masyarakat memberikan kompensasi, ngalah, tapi nanti untuk sertifikatnya
saya usahakan didanai dari APBN, jadi gratis’. Saya sampai jengkel sih
engga, saya tetap sampaikan pada Pak Joyo Winoto, ‘GiniPak, apa artinya
saya berjuang kalau nanti yang menikmati adalah orang-orang yang punya
duit?” (Wawancara, 25/12/2018).

Imbas dari kompensasi tidak hanya terjadi kepada petani.


Pemerintah desa juga mengalami kerugian. STR (Kades Sidasari)
menuturkan:
“Saya ingat (uang tanggungan sementara untuk kompensasi, pen.)
mau diganti, dipotonglah, tapi ternyata tidak. Ya sudah biarlah. Sampai
sekarang belum balik. Yang seharusnya pada saat itu juga ada bahasa ‘Ya
nanti kepala desa dapat 2 hektaran di Cibogo sana, ya kita santai-santai
aja. Lha ternyata tidak, tapi ya sudah.” (Wawancara, 21/11/2018).

Hal senada diutarakan SLT (Kades Caruy). Untuk membayar


uang muka kompensasi yang jumlahnya 100 juta, ia terpaksa
utang.
“Waktu yang DP 100 juta itu harus dibayar. Stres saya. Nyariduit 100juta
itu susah. Wong uang untuk nyalon (kades, pen.) saja belum kebayar

Implementasi Reforma Agraria 139


hehehe. Nah terus pada akhirnya, ada orang sebelumnya jadi pendukung
saya dipilkades, kasihan melihat saya. Intinya ada iktikad baik untuk
memperjuangkan tanah ini. Dia bilang, ‘KiyeMas, silakan gunakan untuk
DP,,,, cuma saya minta jaminan 7,5 bau untuk jaminan’. Terus saya bayarlah
ke sana (RSA, pen.)” (Wawancara, 25/12/2018).

Bahkan kerugian juga terjadi pada pembeli lahan, seperti


BGN (pembeli lahan) yang saat diwawancarai marah-marah
karena upayanya untuk membantu pelunasan kompensasi dan
nantinya akan dijanjikan mendapatkan kaveling sampai sekarang
pun tidak dapat apa-apa, baik sertifikat maupun tanah yang
digarap. Mengenai kerugian yang dialami BGN, dibenarkan oleh
HJ, petani yang sekaligus berperan sebagai perantara jual beli. Ia
mengatakan bahwa BGN yang membeli 30 sertifikatnya, ternyata
tanahnya juga tidak bisa dikerjakan. Dalam hal ini, kesalahan ia
timpakan kepada perangkat yang dianggapnya menyalahgunakan
kewenangan yang dimiliki.
Keempat, tanah yang telah didapatkan selanjutnya diper-
jualbelikan. Alasan tanahnya diperjualbelikan karena adanya
kebutuhan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak, letak
tanah yang jauh sehingga tidak efisien untuk dikerjakan, maupun
karena tanahnya kecil sehingga hasil panen yang didapatkan juga
tidak signifikan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Hal
ini dikatakan TG (petani penggarap) seperti yang disampaikan di
bawah ini:
“Ya karena tanah itu digarap pun nggak mencukupi buat hidup, tempatnya
jauh. Perjalanan itu bisa sampai 1 jam, kalau naik motor setengah jam.
Coba bayangkan.... kesel-kesel cuma dapat berapa kandi (baca: karung).
Tapi ya sayangnya itu lho yang saya sesalkan itu kok hanya mendapatkan
35 ubin. Khan untuk apa. Kita ber-ngoyo-ngoyo (baca: bersusah-susah)
untuk kehidupan tapi 35 ubin itulah dapat berapa kuintal, paling-paling 2

140 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


kandi (baca: karung), paling banyak ya 3 kandi, itu juga belum modalnya.”
(Wawancara, 21/11/2018).

Tentang jual beli lahan, STR (Kades Sidasari) mempunyai


pandangan sebagai berikut:
“.... karena warga masyarakat itu kan kadang-kadang dapet 35 ubin (tapi
letaknya, pen.) jauh gitu. Rata-rata digarapkan pada warga masyarakat
dulu, nanti kalau sudah selesai dioperalihkan hak kepada orang lain. Itu
kehendak warga masyarakat seperti itu. Jadi, kita juga tidak bisa istilahnya
menghalang-halangi. Nah, karena itu kehendak warga masyarakat yang
sebetulnya itu tidak boleh di aturan sertifikat yang sebelum 10 tahun
tidak boleh dialihkan. Wong kadang-kadang saya butuh pada njenengan,
weslah (baca: ya sudah) tanpa koordinasi dengan desa, tahu-tahu sudah
di sampean (tanahnya, pen.). Lah, kita mau menuntut dasarnya apa,
itu seperti itu. Jadi keluh kesahnya disitulah. Tapi kadang-kadang warga
masyarakat itu seperti itu. Karena pembagiannya 35 ubin jauh, lah mending
dijual 5 juta. Uang gratis ini. Kaya gitu, cuma jual namalah.” (Wawancara,
21/11/2018).

Kelima, adanya ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan


lahan garapannya. Hal ini berdampak pada munculnya kembali
konflik antarmasyarakat maupun antara masyarakat dan para
pembeli lahan. Kondisi ini semakin memperkuat sinyalemen
bahwa reforma agraria sebagai jalan untuk penyelesaian konflik
agraria ternyata tidak terjadi di Cipari. Hal ini dikatakan oleh
SRW (SeTAM) yang menyebutkan bahwa banyak orang yang
menerima sertifikat tetapi tidak mempunyai lahannya, atau tidak
bisa mengolah lahannya karena lahan tersebut sudah dikerjakan
orang lain. Ketidakjelasan tentang sertifikat dan tanah yang
dimiliki ternyata juga terjadi pada pembeli lahan berinisial SD.
“...sertifikate kula ming nyekel nek mboten salah sedoso, tapi nggih
mboten matrap, lokasine teng mriki, gambare teng sertifikat padane teng
pojok mriko, teng sebelah mriko, kadus niku hehehe. Jenengane nggih

Implementasi Reforma Agraria 141


sedoyo tiyang Mekarsari. Amburadullah. Mas BGN juga nyekel kados
niku. Sertifikat niku sing kulo nandatangani kalih sinten mawon, mboten
ngertia disade kalih Pak Haji BLS, jumlahe 64 apa 62 kaveling. Nah,
terkecuali nek sing tumbase teng Pak WSR langsung kados niku kan Pak
LKN tumbas teng Pak WSR langsung, niku nggih matrap nganu sertifikate.
Tapi nggih sik kurang niku tapi mboten katah kurange.” (Sertifikatnya
saya memegang kalau tidak salah sepuluh. Tapi yang tidak pas, lokasinya
di sini tapi disertifikat tertera di pojok, seperti itu hehehe. Namanya
yang semua orang Mekarsari. Mas BGN juga memegang sepuluh. Jadi
sertifikat yang saya tanda tangani dulu. Tidak tahunya sudah dibeli pak
Haji BLS. Jumlahnya 64 atau 62 kaveling. Nah, kecuali kalau belinya di Pak
WSRlangsung, itu pas antara letak tanah dan sertifikatnya. Tapi ya yang
kurang itu masih banyak sekali. (Wawancara, 05/12/2018)

Keenam, imbas dari ketidakjelasan antara pemilik sertifikat


dan lahan garapan membuat pemerintah desa kesulitan untuk
memungut pajak. Situasi ini berakibat setiap tahunnya pihak
pemerintah desa harus menanggung utang dari pajak yang
harusnya dibayar oleh pemilik lahan. Hal tersebut dituturkan oleh
SUT (petani penggarap) yang mengetahui posisi pemerintahan
desa:
“Sampai sekarang, Pemerintah Desa Mekarsari setiap tahunnya itu
nombokin (baca: menanggung) pajak tanah sampai 16 juta per tahun
karena tidak jelas siapa pemegang sertifikat dan siapa penguasa lahan yang
sah. 16 juta tiap tahun apanggakklenger, pajak itu kan harus dibayar. Itu
kan misal ini tanah, sertifikatnya melalui berapa kali oranglah, limpahan-
limpahan, jadi khannggak jelas. Ketika dia mau nagih ini pemiliknya
siapa, itu mungkin sebenarnya ada yang punya tapi nggak mau bayar
pajak karena tidak terdeteksi siapa yang punya, ‘ya saya nggak mau bayar
wong cuma menerima sertifikat tok, nggak garap sawahnya, ujarnya.”
(Wawancara, 21/11/2018).

Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat


berpengaruh pada upaya SeTAM untuk memperjuangkan kasus
tanah lainnya. Kasus tanah yang dihadapi SeTAM tidak hanya

142 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


kasus di Cipari. Masih banyak kasus lainnya yang membutuhkan
dukungan pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Dengan adanya jual beli lahan dalam kasus Cipari, membuat
pemerintah mempunyai alasan pembenar untuk tidak
menyelesaikan kasus-kasus lainnya. Mengenai hal tersebut, SLH
(SeTAM) menjelaskan:
“... karena adanya jual beli lahan, sehingga kalau mau memperjuangkan
sisanya itu sudah habis energinya. Khawatirnya ketika memperjuangkan
kembali nanti kena seperti ini lagi. Organisasi tani ada kekhawatiran
seperti itu. Akhirnya sisanya sampai sekarang sebenarnya ini masih ada
PR, dari jumlah luasan yang diminta masyarakat 550 hektare pemerintah
baru mengeluarkan 290 hektare. Ini khan masih luas, masih ada sisa. Lah
kalo 290 hektare itu sudah berjalan mulus sesuai kriteria dan mampu
mengangkat kesejahteraan masyarakat, tidak terjadi jual beli lahan,
akan mudah mengurus sisanya. Tapi kami sebagai organisasi tanimerasa
bersalah juga. Artinya masyarakat sudah lelah-lelah minta lahan, sudah
diperjuangkan, tapi ketika sudah diserahkan ke masyarakat malah
diperjualbelikan. Terus terang kami sangat malulah terhadap pola pikir
masyarakat yang seperti itu.” (Wawancara, 21/11/2018).

Hal ini juga dibenarkan oleh SUT (petani penggarap). Ia


mengatakan bahwa akibat dari buruknya persoalan tanah
tersebut, salah seorang politisi yang turut memperjuangkan
hak atas tanah bagi penggarap, BS, terpaksa menanggung malu
karena adanya proses jual beli lahan tanah hasil redistribusi.
Berdasarkan berbagai gambaran permasalahan tersebut, terlihat
bahwa dari masa ke masa persoalan tanah perkebunan di Cipari
tersebut tidak memberikan implikasi yang baik bagi masyarakat,
termasuk di dalamnya implementasi reforma agraria yang
dijalankan di era SBY.
Bila kita melihat lebih jauh tentang kebijakan pertanahan
di era SBY, maka bukan hanya persoalan PPAN yang mendapat

Implementasi Reforma Agraria 143


kritik tajam. Terdapat beberapa kebijakan lain yang dipandang
oleh masyarakat sipil sebagai upaya perampasan tanah, alih-
alih melakukan reforma agraria untuk kesejahteraan rakyat.
Salah satu contoh adalah Peraturan Presiden (Perpres)
No. 36/2005  tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Keberadaan Perpres
ini bagi pemerintah merupakan upaya untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur
diperlukan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Dalam
rangka mencapai percepatan pembangunan infrastruktur
tersebut, diperlukan dukungan kemudahan pembebasan lahan.
Namun demikian, sesaat setelah Presiden SBY menandatangani
Perpres pada 3 Mei 2005, tidak lama kemudian muncul berbagai
macam kritik bahkan demonstrasi secara masif. Perhimpunan
Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menilai Perpres tersebut
cacat hukum. Keberadaan perpres ini bagi PBHI tidak terlepas
dari infrastructure summit  yang diselenggarakan pada 2005.
PBHI menilai bahwa Perpres tersebut bukanlah materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang (UU). Johnson Panjaitan
(Ketua PBHI) dalam siaran persnya menyatakan:
“Jika mengacu pada UU yang ada mengenai tanah, yakni UU Pokok Agraria
(UUPA) Pasal 2 Ayat 1b dan Pasal 18 perihal pencabutan hak atas tanah,
maka Perpres 36/2005 bertentangan dengan UU Nomor 5 tahun 1960 Pasal
6 dan penjelasan Pasal 6. Dikatakan dalam UU itu, semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, tetapi tidak berarti kepentingan perseorangan
akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Selain itu, Perpres
36/2005 bertentangan dengan Pasal 6 Ayat 1 dan 2 UU No.39 tahun 1999
tentang HAM (UU HAM). Terutama Pasal 2 yang berbunyi “Tidak seorang
pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan melawan
hukum.” Begitu juga dengan pasal 71 yang berbunyi “Pemerintah wajib
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan HAM”. Berdasarkan hal tersebut, PBHI menyimpulkan bahwa

144 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Perpres No.36 Th.2005 bertentangan dengan UU”.

Tidak jauh berbeda dengan PBHI, kalangan masyarakat


sipil lain, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat
Petani Indonesia (SPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), dan lainnya, menilai bahwa keberadaan Perpres
ini akan menjadi jalan lapang bagi masuknya kepentingan
pengusaha multinasional dan nasional yang akan merampas hak-
hak masyarakat. Dalam konteks ideologi, keberadaan Perpres ini
dinilai sebagai bagian dari agenda neoliberalisme. Selain Perpres
tersebut, terdapat kebijakan lain yang juga menegaskan bahwa
SBY mempunyai kecenderungan berpihak pada kepentingan
pengusaha besar. Beberapa kebijakan tersebut, di antaranya UU
No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU
18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009
Minerba, dan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Implementasi reforma agraria di Cipari dapat dikatakan
berimplikasi buruk bagi masyarakat. Menurut catatan lapangan,
setidaknya terdapat beberapa hal yang membuat “kemenangan
kecil” yang diraih tidak berimplikasi secara optimal pada
kesejahteraan masyarakat apalagi untuk sampai pada perubahan
relasi sosial di masyarakat. Kondisi tersebut sebetulnya juga
sudah diprediksi oleh SG (SeTAM), MSR (petani penggarap), SRW
(SeTAM), S (pembeli lahan), SLH (SeTAM) yang secara terpisah
mengkhawatirkan terjadinya land market inefisiensi karena jarak
dan kembali adanya keterbatasan lahan akibat dari bagi rata
dalam distribusi lahan, ketidakjelasan kepemilikan lahan (baca:
pemegang sertifikat dengan lahan yang tersedia berbeda orang),

Implementasi Reforma Agraria 145


serta pengaruhnya terhadap perjuangan hak atas tanah di daerah
lain.
Kontestasi antar aktor perlu dipahami sebagai pertarungan
kekuasaan di dalamnya. Temuan penelitian ini memperlihatkan
kontestasi yang ada berakibat buruk pada semua aktor.
Untuk itulah, ke depan diperlukan berbagai pendekatan yang
memungkinkan kontestasi yang ada memberi manfaat positif.
SG (SeTAM) misalnya mengusulkan,
“Kalau saja dari awal yang dapat tanah hanya 1.700-an orang yang
berangkat dari para ahli waris yang punya orang tuanya plus dengan yang
turut mengawali perjuangan. Tidak seperti model yang dilakukan kepala
desa yang menganggapnya seperti raskin yang dibagi rata ditambah
dengan orang yang edeg (baca: dekat) dengan perangkat dan dari situlah
terjadinya banyak kecurangan maka kejadiannya tidak akan seperti
sekarang. Itu jadi catatan, usulan ke depan ini memang harus berangkat
dari bawah, kalau dari atas akan terjadi seperti ini. Mudah-mudahan ke
depan tidak terjadi seperti yang ada di sini.” (Wawancara, 25/12/2018).

Hal yang juga penting harus dilakukan adalah bersama


dengan aktor lainnya, seperti misalnya masyarakat sipil,
melakukan pengawalan terhadap lahirnya kebijakan. SG (SeTAM)
menuturkan,
“Sekarang ini masih banyak yang bolong-bolong yang tetap harus dikawal.
Pokoknya Mas Barid dan teman-temannya itu sangat luar biasa, apalagi
dalam masa-masa transisi kemarin itu mendorong PP agraria harus masuk
dalam program nawacita harus masuk programnya Jokowi. Itu luar biasa.”
(Wawancara, 23/12/2018).

Dalam konteks teknis, TRM (petani penggarap) memaparkan


pentingnya melihat letak kedekatan antara tanah dan penerima
tanahnya. Dengan begitu, tidak menimbulkan biaya yang besar
yang akan mengurangi penghasilan masyarakat. ED (petani

146 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


penggarap) bahkan mempunyai kekhawatiran yang sangat besar
terhadap adanya land market di Cipari.
“Ini yang maksud saya land market di sini, sehingga tanah itu peruntukannya
bukan untuk petani tapi untuk orang kaya. Ini perjuangan saya sia-sia.
Karena orang kaya nggak mau berjuang tinggal beli saja. Lha itu orang-
orang yang nggak jelas bagi saya. Saya saksi dari awal sampai akhir melihat
kondisi sekarang nelangsa (baca: susah),Mas. Sakit hati saya, jadi tujuan
saya tidak berhasil. Yang menguasai sekarang itu orang-orang kaya. Dia
hanya beli dia hanya mengandalkan duit untuk membeli tanah itu. Saya
takutnya ketika tanah itu dijual pada orang kaya dijual lagi kembali lagi
ke RSA karena di dalam di bawah sawah itu dulu disurvei ada kandungan
minyak mentahnya.” (Wawancara, 21/11/2018).

Interpretasi Temuan Lapangan


Penelitian ini menemukan terjadinya pengambilalihan oleh
pemerintah dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria. Pengambilalihan tersebut terjadi di level
bawah, tengah dan atas. Berbeda dengan temuan penelitian
yang dilakukan Saleh (2020) yang menyatakan bahwa penyebab
kegagalan reforma agraria karena peran besar Birokrasi Level
Bawah (BLB) yang mempunyai diskresi, temuan lapangan ini
menunjukkan bahwa reforma agraria yang berimplikasi buruk
pada masyarakat disebabkan oleh aktor pemerintah pada semua
level dan hal itu lebih disebabkan karena di level atas meletakkan
reforma agraria sebagai program yang dipandang untuk
kepentingan populistis semata.
Bila menggunakan berbagai macam prinsip dalam new
public service (Denhardt and Denhardt: 2003, Alamsyah: 2016),
penelitian ini memastikan bahwa fungsi aktor pemerintah justru
tidak meletakkan warga negara dalam posisi yang sangat penting
dalam pemerintahan demokratis termasuk didalamnya dalam

Implementasi Reforma Agraria 147


merumuskan kebijakan. Alih-alih mengakui petani sebagai subyek
utama, pemerintah justru mengambil alih gagasan masyarakat
dan menggantikannya sesuai dengan kehendaknya. Tidak
hanya itu, petani yang mempunyai pengalaman individu yang
membentuk nilai, kepercayaan dan kepeduliannya tergantikan
dengan kepentingan kekuasaan yang mendasarkan pada nilai
yang dianut pemerintah yakni sekedar menjalakan reforma
agraria agar dikatakan sebagai pemerintahan yang populis. Lebih
lanjut, petani tidak diposisikan sebagai pemilik pemerintahan
(owners of government), mereka hanya dipandang sebagai obyek
dari kebijakan. Meskipun secara kasat mata terlihat ada dialog
antara petani dengan kalangan pemerintah namun pada akhirnya
kepentingan pemerintahlah yang lebih banyak digunakan dalam
perumusan kebijakan dan implementasinya. Hal inilah yang
membuat reforma agraria di Cipari berimplikasi buruk bagi
petani.
Hal lain yang juga penting untuk dilakukan adalah
membuka semua ruang (dialog dalam perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria, pen) yang ada, baik yang tertutup
maupun terbuka (Gaventa, 2006), atau setidaknya ruang-ruang
yang tertutup bisa semakin banyak yang dibuka. Meminjam
pandangan Sujito (2012) tentang pendangkalan politik di era
demokrasi maka pada negara yang mengklaim demokratis (dalam
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan) rakyat harus
menjadi subyek. Sebagai subyek, rakyatlah yang menentukan arah
perubahan, bukan para penguasa yang berwatak oligarki. Hal ini
meneguhkan kembali bahwa penyusunan kebijakan publik bukan
hanya ditentukan oleh negara, tetapi juga oleh semua aktor yang
berhubungan dengan kebijakan tersebut.

148 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Selanjutnya, bila merujuk pada definisi reforma agraria
dimana seharusnya reforma agraria dijalankan tidak hanya
berhenti pada redistribusi tanah dan pemberian program
pendukung tetapi juga merujuk pada terjadinya transformasi
masyarakat atau perubahan relasi ekonomi politik yang
berkeadilan (Ladejinsky, 1964; Feder 1965; Wiradi, 2009, White
& Borras, 2014) maka ketujuh implikasi buruk seperti yang
disebutkan di atas membuktikan bahwa reforma agraria yang
terjadi di Cipari bukanlah reforma agraria yang diharapkan oleh
petani maupun dalam konteks reforma agraria yang substantif
(baca: terjadinya transformasi/perubahan relasi di masyarakat).

Ikhtisar
Menurut temuan lapangan setidaknya terdapat tujuh hal
implikasi buruk yang dirasakan oleh petani. Pertama, tidak
terjadi perubahan dalam mengatasi ketimpangan agraria. Kedua,
pembagian lahan tidak diikuti dengan pemberian daya dukung
paska redistribusi dan juga berimpilikasi tidak membuat petani
sejahtera. Ketiga, terjadi reakumulasi tanah. Keempat, tanah yang
telah didapatkan diperjualbelikan. Kelima, adanya ketidakjelasan
antara pemilik sertifikat danlahan garapannya. Keenam, imbas
dari ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan lahan garapan
membuat pemerintahan desa kesulitan untuk memungut
pajak. Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat
berpengaruh pada upaya SeTAM untuk memperjuangkan kasus
tanah lainnya.
Dalam bagian ini terlihat bahwa artikulasi kepentingan petani
yang dilakukan dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria telah diambil alih oleh pemerintah dari level atas

Implementasi Reforma Agraria 149


ke bawah sehingga pada akhirnya reforma agraria yang dijalankan
berimplikasi buruk pada petani.
Studi ini semakin meneguhkan bahwa sebuah kebijakan yang
secara substansial seharusnya berdampak baik bagi masyarakat
tetapi jika tidak diikuti dengan perumusan kebijakan dan
implementasi yang sesuai dengan kepentingan masyarakat maka
akan membuat kebijakan tersebut justru berimplikasi buruk bagi
masyarakat.

150 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


BAB 6

EPILOG

B uku ini memunculkan temuan-temuan yang menjawab tiga


pertanyaan turunan untuk menemukan satu jawaban utama
atas pertanyaan: Bagaimana proses perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria yang sesuai dengan kepentingan
masyarakat di Era SBY? Temuan pertama memperlihatkan
bahwa dalam pertarungan kepentingan terdapat perbedaan
menarik antar aktor dalam memahami reforma agraria. Di level
masyarakat, reforma agraria dipahami sebagai upaya untuk
membuat kehidupan yang lebih baik. Pada level swasta, reforma
agraria dijalankan untuk sekedar menggugurkan tugas sebagai
bagian dari aparatur negara, sedangkan pada level negara reforma
agraria digunakan sekedar untuk kepentingan agar dianggap
sebagai pemerintahan yang populis. Temuan kedua menunjukkan
bahwa sesungguhnya petani melalui interaksi pengalaman individu
dan kondisi sosialnya serta ragam metode telah berupaya untuk
mengambil bagian dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria. Namun demikian, upaya tersebut gagal karena
dihambat dan tidak diakomodasi oleh birokrasi negara mulai dari

Epilog 151
level atas sampai bawah. Temuan ketiga menampakkan bahwa
perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria justru
berimplikasi buruk bagi petani.
Ketiga temuan di atas, meneguhkan tesis dalam penelitian
ini bahwa terdapat incompatibility/ketidaksesuaian antara
kebijakan teknokrasi pemerintah dengan artikulasi kepentingan
rakyat. Reforma Agraria yang pengertiannya Landreform Plus
tereduksi hanya sekedar bagi-bagi tanah saja, tidak berbeda sama
sekali dengan konsep landrefom pada masa lalu. Faktor ini terjadi
karena lingkungan politik yang makin dangkal oleh karena cara
pandang politik populis pada saat itu.

Refleksi Teoritis
Dalam konteks global, buku ini memperkuat sinyalemen
bahwa pasca-1970, reforma agraria yang dijalankan adalah
reforma agraria yang menghadapkan petani penggarap dengan
tanah negara, bukan dengan tuan tanah (Fauzi, 2017). Yang
sedikit membedakan adalah redistribusi yang dilakukan atas
tanah negara ternyata memunculkan tuan tanah baru, yakni para
pembeli lahan. Di masa yang akan datang, bisa saja reakumulasi
tanah tersebut kembali menjadi objek reforma agraria. Suatu
penelitian lanjutan yang juga menarik dibahas di masa yang akan
datang.
Buku ini juga meneguhkan pentingnya pelaksanaan land
reform plus atau reforma agraria bukan hanya membagi lahan,
tetapi juga bagian dari transformasi masyarakat (Ladejinsky,
1964; Feder 1965; Wiradi, 2009, White & Borras, 2014). Namun
demikian, land reform plus atau reforma agraria tersebut tidak
boleh hanya berhenti pada jargon apalagi untuk kepentingan

152 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


populisme pencitraan, tetapi harus dilaksanakan sesuai dengan
syarat substatif reforma agraria yakni terjadinya transformasi
atau perubahan relasi yang lebih berkeadilan di masyarakat.
Dalam buku ini, terdapat juga persoalan land market dengan
terjadinya jual beli lahan sebagaimana yang menjadi kritik Lahiff,
Borras,& Kay (2007) dalam Market-Led Agrarian Reform: Policies,
Performance and Prospects. Tulisan ini melakukan kritik terhadap
reforma agraria yang dijalankan oleh pasar yang membuat
reforma agraria yang dijalankan tidak memberikan manfaat bagi
perubahan struktur masyarakat yang miskin. Pembedanya land
market yang terjadi di Cipari bukanlah didasarkan pada pemikiran
besar tentang ideologi neoliberal, tetapi lebih pada pemanfaatan
aktor pembeli lahan yang mempunyai kedekatan dengan
pemerintahan desa dengan maksud mendapatkan imbalan atas
bantuan uang muka untuk kompensasi. Hal ini dibuktikan dengan
para pembeli lahan tidak bisa menggarap lahannya, meskipun
mereka mempunyai sertifikat atas lahan tersebut. Selain itu,
jual beli lahan tersebut bukan dalam kerangka pembangunan
infrastruktur dan kepentingan ekonomi kapitalis besar.
Buku ini juga memberikan kontribusi akademis terkait reforma
agraria dalam ranah ilmu administrasi dan kebijakan publik, serta
manfaat praktik dalam pembangunan desain kebijakan dan
implementasi reforma agraria yang genuine. Kontribusi akademis
dari penelitian ini adalah mengupayakan agar konsepsi reforma
agraria kembali ke substansinya, yakni terjadinya perubahan
relasi di masyarakat. Dari penelitian ini, tampak bahwa reforma
agraria tidak berjalan sesuai dengan hal yang diharapkan karena
ketidaksesuaian antara perumusan kebijakan teknokratis dengan
artikulasi kepentingan rakyat. Pada gilirannya ketidaksesuaian
tersebut berakibat kebijakan yang ada justru berimplikasi buruk.

Epilog 153
Buku ini juga diperkaya dengan analisis bahwa pemikiran
dan tindakan tidak hanya dipengaruhi salah satu faktor, tetapi
juga ragam faktor yang saling menguatkan sekaligus juga dapat
melemahkan karena adanya keterbatasan dari tiap-tiap aktor. Hal
inilah yang diharapkan menjadi pertimbangan pemerintah dalam
membangun desain kebijakan dan implementasi reforma agraria.
Dalam konteks kontribusi untuk ilmu administrasi dan kebijakan
publik, disertasi ini dapat menyumbang pada penggunaan
perspektif kritis, diskursus ideologi dalam administrasi publik,
lintas disiplin ilmu, dan kajian dalam ilmu administrasi di
mana selama ini masih banyak yang menggunakan pendekatan
normatif, administratif, dan kajian yang hanya melihat pada sisi
birokrasi negara.
Buku ini memperlihatkan beberapa hal yang penting
menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikan reforma agraria. Beberapa hal penting
tersebut antara lain: pertama, konsep Reforma Agraria harus
diwujudkan dalam bentuk land reform plus. Hal ini untuk
memastikan bahwa petani dapat mengelola tanah yang
diredistribusi dan mendapatkan hasil yang maksimal sehingga
dapat membuat peningkatan kesejahteraan bagi petani. Di
mana pada akhirnya akan terjadi perubahan relasi/transformasi
bagi petani. Kedua, model redistribusi yang diberikan harus
betul-betul mempertimbangkan kapasitas petani. Keberadaan
kompensasi saat redistribusi petani di Cipari pada gilirannya
memberatkan petani dan kemudian berdampak reforma agraria
yang dijalankan di Cipari justru berimplikasi buruk bagi petani.
Ketiga, Proses perumusan kebijakan dan implementasi reforma
agraria harus bersifat inklusif dengan melibatkan para aktor.
Semua aktor yang berada di masyarakat, pemerintah, maupun

154 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


swasta dengan kekuasaan yang dimiliki masing-masing sekaligus
keterbatasan kekuasaan yang dimiliki masing-masing dapat dan
saling memengaruhi satu sama lain. Kondisi saling memengaruhi
inilah yang perlu dilihat untuk kemudian menjadi bahan dialog
bersama untuk mewujudkan implementasi kebijakan reforma
agraria yang genuine.

Keterbatasan dan Agenda Penelitian ke Depan


Buku ini mempunyai keterbatasan di mana pendekatan
etnografis yang dilakukan masih cenderung hanya pada kalangan
petani dan jaringan reforma agraria di level masyarakat sipil
dan masih lemah pada level pemerintah maupun swasta. Jika
saja kesempatan untuk melakukan penelitian etnografisdapat
dilakukan pada level pemerintah maupun swasta, tentu saja
penelitian ini akan lebih komprehensif. Dengan begitu sebagai
sebuah penelitian kebijakan yang kompleks ini, maka hasil yang
didapatkan pun akan dapat lebih mencerminkan pemikiran dari
berbagai macam aktor.
Berdasarkan pertimbangan keterbatasan penelitian di
atas, maka ke depan diharapkan penelitian dilakukan dengan
etnografis yang lebih kuat pada level pemerintah dan swasta.
Selain itu, penelitian ke depan juga perlu mempertimbangkan
perubahan yang mendisrupsi banyak hal di era perkembangan
teknologi yang sangat cepat. Sebab, bukan hal yang mustahil, ilmu
reforma agraria juga bisa jadi menjadi tidak relevan.

Epilog 155
156 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, A. (2016). Perkembangan Paradigma Admiistrasi


Publik. Jurnal Politik Profetik Volume 04, No. 2 Tahun 2016.
Aprianto, T.C. (2014). Reforma Agraria: Momentum Keadilan dan
Kesejahteraan. Jurnal Bhumi No. 39 Tahun 2014.
Althusser, L. (1964). Marxism and Humanism, The Cahiers
de l’I.S.E.A. Cited 30 September 2020: https://www.
marxists.org/reference/archive/althusser/1964/marxism-
humanism.htm
Althusser, L. (translate by G. M Goshgarian) (2014). On the
Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State
Apparatuses, London-New York, Verso.
Althusser, L (terj.) (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara
(Catatan-catatan Investigasi), Jakarta, Indoprogress.
Bachriadi, D., Erpan, F., dan Bonnie, S. (eds.). (1997). Reformasi
Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan
Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FE Universitas Indonesia
dan KPA.

Daftar Pustaka 157


Bachriadi, D.,dan Anton, L. (2002). “Hutan Milik Siapa? Upaya-
upaya Mewujudkan Forestry Land Reform di Kabupaten
Wonosobo, Jawa Tengah”, in Berebut Tanah: Beberapa Kajian
Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounela and R.
Yando Zakaria (eds.). Yogyakarta: Insist Press, pp. 79–158.
Bachriadi, D., dan Wiradi, G. (2011). Enam Dekade Ketimpangan:
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource
Centre, Bina Desa & KPA.Bachriadi, D. (2019). Reforma
Agraria dan Transisi Agraria in https://arc.or.id/reforma-
agraria-dan-transisi-agraria/cited February, 2, 2020.
Baiquni P. R & Adian, D.G. (2015). Overdeterminasi sebagai
Posibilitas Interpelasi Diferensial: Suatu Kajian terhadap
Marxisme Struktural Louis Althusser. Program Studi Ilmu
Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia.
Barker, Chris. (2009). Cultural Studies: Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Basya, B. (2017). Berebut Kesempatan dalam Program Legalisasi
Aset: “Redistribusi” dan Sertifikasi Lahan di Cipari. Seri
Working Paper. Bandung: Agrarian Resources Centre.
Bianchi, R. (2017). The political economy of tourism development:
A critical review. Annals of Tourism Research. Volume 70, May
2018, Pages 88-102
Birkland, Thomas A. 2001. An Introduction to the Policy Process,
M.E . Sharpe Inc., Armonk NY.
Bey, I.S. (2002). “Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang
Kembali Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001“, Kompas, 10
Januari 2002.

158 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Bey, I.S. (2003). “UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU
Pengelolaan Sumber Daya Alam“, Kompas, 10 Mei 2003.
Bey, I.S. (2004). “Hentikan Revisi UUPA 1960 untuk
Neoimperalisme”. Jurnal Analisis Sosial 9(1):85–96. Bandung:
Yayasan Akatiga.
Byres, T.J (ed.). (1983). Sharecropping and Sharecroppers, Frank
Cass & Co. Ltd. London.
Benjamin, W. (2002). Arcades Project, Harvard University Press.
Berstein, H. (2010). Class Dynamics of Agrarian Change. Nova
Scotia: Fernwood Publishing.
Billah, M.M., Widjajanto, L., dan A. Kristyanto. (1984). “Segi
Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa
(Tengah)”
Blaikie, P.,dan Oliver, S.(2007). “Understanding the Policy Process”
in Oliver Springate-Baginski and Piers Blaikie, (eds.), Forests,
People and Power: The Political Ecology of Reform in South
Asia. London: Earthscan, pp. 61–91.
Booth, A. (1988). Agricultural Development in Indonesia. Sydney:
Allen & Unwin.
Borras Jr., dan Saturnino, M. (2007). Pro-poor Land Reform: A
Critique. Ottawa: The University of Ottawa Press.
Borras Jr., Saturnino, M. (2009). “Agrarian Change and Peasent
Studies, Continuities and Challenges, An Introduction, the
Journal of Peasant Studies, 36 (1): 5–31
Brockett, C.D. (1990). Land, Power, and Poverty: Agrarian
Transformation and Political Conflict in Central America,
revised edition. Boston: Unwin Hyman.

Daftar Pustaka 159


Buckley, T. (2010). Aspects of Greek History 750–323 bc: A Source-
Based Approach. London, Routledge.
Christodoulou, D. (1990). The Unpromised Land. Agrarian Reform
and Conflict Worldwide. Zed Books Ltd.
Denhardt J. V. and R. B. Denhardt, (2003). The New Public Service:
Serving, not Steering, New York, M.E. Shape
Dorner, P. (1972). Land Reform and Economic Development.
Baltimore: Penguin Books.
Dunn, William N (2000). Pengantar Analisis Kebijakan Publik .
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Dye, Thomas R. (1981). Understanding Public Policy, Prentice-Hall
International, Inc., Englewood Cliffs, NY.
Edward III, G. C. (edited) (1984) Public Policy Implementing, Jai
Press Inc. London-England.
Eng, V. (2008). “Food Supply in Java during War and Decolonisation,
1940–1950”. MPRA Paper No. 8852. Online at http://mpra.
ub.uni-muenchen.de/8852/. Last accessed on 08/07/2019.
Edward III, George C (edited), (1984).Public Policy Implementing,
Jai Press Inc, London-England.
Fauzi, N. (ed.). (1997). Tanah dan Pembangunan: Risalah dari
Konferensi INFID. Jakarta: Sinar Harapan.
Fauzi, N. (2001). “Revisi UUPA Perlu Dipikirkan”. Kompas, 27
September 2001.
Fauzi, N. (2012). Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta:
STPN-SAINS.

160 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Fidro, B.,dan Noer, F. (eds.). (1998). Pembangunan Berbuah
Sengketa: Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan
Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa and SPSU.
Gordon, A. (1982). “Indonesia, Plantations and the Post-Colonial
Mode of Production”. Journal of Contemporary Indonesia
12(2):168–187.
Gordon, A. (2010). “Netherlands East Indies: The Large Colonial
Surplus of Indonesia, 1878–1939”. Journal of Contemporary
Asia 40(3), pp. 425–443.
Gosling, James J. (2004). Understanding, Informing, and Appraising
Public Policy. Person Education, Inc. New York.
Haedar Akib (2010). Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana. Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No. 1 Thn.
2010
Hakim, M.A.(1991).“Gerakan Mahasiswa Era 90–an: Dari Elitis ke
Populis“, Bernas, 10 Mei 1991.
Hajer, M. (1995). The Politics of Environmental Discourse:
Ecological Modernization and the Policy Process. London:
Oxford University Press.
Hajer. (2006). “Doing Discourse Analysis: Coalitions, Practices,
Meaning”. In M. van den Brink & T. Metze (eds.) Words
Matter in Policy and Planning–Discourse Theory and Method
in the Social Sciences, Netherlands Geographical Studies
344,Utrecht: KNAG/Nethur, pp. 65–74.
Hardijanto, A. (1998). Agenda Land Reform di Indonesia. Bandung,
Konsorsium Pembaruan Agraria bekerja sama dengan INPI-
PACT.

Daftar Pustaka 161


Heineman, Robert A et al. (1997). The Worl of Policy Analyst,
Chatham House Publishers, Inc. Chatham NY.
Jordan, Andrew J. and John R. Turnpenny. (2015). Tools of Public
Formulation: Actors, Capacities, Veneus, and Effects. Edward
Elgar Publisher
Judge, P.S. (1999). Social Change through Land Reforms, Jaipur:
Rawat Publications.
Katjasungka, N. (2007). Kebijakan Agraria Indonesia dari Masa ke
Masa. Makalah di Rapat Pimpinan Asosiasi Petani Indonesia,
11 Desember 2007.
King, R. (1977). Land Reform: A World Survey. Colorado: Westview
Press.
Konsorsium Pembaruan Agraria. (1998). Usulan Revisi Undang-
Undang Pokok Agraria Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat
atas Sumber-sumber Agraria. Jakarta: Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN) dan Konsortium Pembaruan Agraria
(KPA).
Kraft, M.E.& Furlong, S.R. (2018) Public policy : politics, analysis,
and alternatives.Sixth edition. California: CQ Press,
Kurasawa, A. (1988). “Mobilization and Control. A Study of Social
Change in Rural Java, 1942–1945”. Unpublished PhD-thesis,
Cornell University, Ithaca.
Kurasawa, A. (1993). Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang
Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942–1945. Jakarta:
Grasindo.
Ladejinsky, W. (1964). “Land Reform in Indonesia” (Memorandum,
27 February 1964), in Agrarian Reform as Unfinished Business:

162 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


the Selected Papers of Wolf Ladejinsky, Louis J. Walinsky (ed.),
pp. 340–352. New York: Oxford University Press.
Lev, D.S. (1963). “The Political Role of the Army in Indonesia”.
Pacific Affairs 36(4): 349–364.
Lipton, M. (1974). Toward a Theory of Land Reform dalam Lehmenn
(ed.) Agrarian Reform and Agraria Reformism. London: Feber
& Feber.
Lipton, M. (2009). Land Reform in Developing Countries: Property
Rights and Property Wrongs. London, Routledge in TheWorld
Social Science Report 2016, published by the Institute of
Development Studies (IDS) and UNESCO, 2016.
Lipton, M. (1974). “Towards a Theory of Land Reform” dalam
David Lehman (ed), Agrarian Reform and Agrarian Reformist.
Faber & Faber, London.
Mahfud 2012, Politik hukum di Indonesia cetakan ke-5, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mannheim, K. (1991). Ideologi dan Utopia; Menyingkap Kaitan
Pikiran dan Politik, Jogjakarta: Kanisius.
Marger, M. (1987). Elites and Masses: An Introduction to Political
Sociology. Wadsworth Publishing Company, Belmont,
California.
Maria,R., dkk. (1998). Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas
Tanah. Bandung: INPI-PACT.
Mason, P. (2016).Postcapitalism: A guide to our future. Macmillan
Michalopoulos. (1980). “Athens”, Encyclopedia Americana, Vol. 2.

Daftar Pustaka 163


Morad, A.A. (1970). Report to the Government of Indonesia on
Land Reform, Rome: Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Moyo, S., dan Paris, Y. (eds.). (2005). Reclaiming the Land: The
Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin
America, London: Zed Books.
Muller, E.N.,dan Mitchell, A.S. (1987). “Inequality and Insurgency”,
The American Political Science Review 81(2) (June 1987), pp.
425–452.
Nasoetion,L.I. (1999).TinjauanEkonomiPolitikTransformasi
Agraria. Makalah disampaikan pada Seminar Transformasi
Politik Agraria. Pusat Studi dan Pengembangan Sumber Daya
Airdan Lahan (PSDAL-LP3ES). Jakarta 28 Oktober 1999.
Notonagoro. (1972). Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di
Indonesia. Jakarta,Pantjuran Tudjuh.
Parlindungan AP.(1998), Dimensi Kerakyatan dalam UUPA,
Peraturan Pelaksanaan dan rekomendasi Kebijakan dalam
Kebijaksanaan Tata Ruang Nasioanl dan aspek Pertanahan
dan perpespektif Pertumbuhan dan Pemerataan, , Jakarta,
CIDES, Cet 1.
Parson, Wayne, (1997). Public Policy: An Introduction to The
Theory and Practice of Policy analysis, buku 2. Edward Elgar,
UK.
Peluso, N.L., Suraya, A., dan Noer, F.R. (2008). “Claiming the
Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements
in Indonesia”. Journal of Agrarian Change 8:2–3:377–408.

164 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Powelson, J.P.,dan Richard, S. (1987). The Peasant Betrayed.
Boston: Oelgeschlager, Gunn, & Ham for the Lincoln Institute
of Land Policy.
Prosterman, R.L., Mary, N. T., dan Timothy, M. H.(eds.). (1990).
Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case
Studies, Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc.
Purnomo, T. (2005) “Hukum dan Sengketa Pertanahan: Studi
Kasus Gerakan Organisasi Petani SeTAM (Serikat Tani
Merdeka) dalam Proses Reklaiming di Desa Mulyadadi,
Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap (Tesis).
Rahman, A. (1986). Peasants and Classes. Zed Books, Ltd. London.
Ripley, R. B., dan Grace, A. F. (1986). Policy Implementation and
Bureaucracy, second edition. Chicago-Illinois: The Dorsey
Press.
Rosser, A., Kurnya, R., dan Donni, E. (2005). “Indonesia: The
Politics of Inclusion”. Journal of Contemporary Asia, 35(1), pp.
53–77.
Rosser, A. (2002). The Politics of Economic Liberalisation in
Indonesia: State, Market, and. Power. Richmond, Surrey:
Curzon Press.
Russett, B. (1964). “Inequality and Instability: The Relation of
Land Tenure to Politics”, World Politics April 1964, pp. 442–
454.
Sandi, I. M. (1999). Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan
UUPA. Jurnal CSIS, Tahun XX No. 2.
Sangaji, A. (2005). National Park versus Farmers: the Experience
of Conflict between Dongi-dongi Farmers and the Managers

Daftar Pustaka 165


of Lore Lindu National Park, paper presented in workshop
Conservation for/by Whom? Social Controversies and
Cultural Contestations Regarding National Park and Reserve
in the “Malay Archipelago”, the 4th International Symposium
of Jurnal Antropologi Indonesia, University of Indonesia,
Depok, 16–18 May 2005.
Santoso, J. (2016). “Gerakan Petani dalam Menuntut Hak atas
Tanah (Kasus di Cipari, Cilacap, Provinsi Jawa Tengah),
(Disertasi).
Sato, S. (1994). War,Nationalism and Peasants: Java under the
Japanese Occupation 1942–1945. Sydney: Allen and Unwin.
Scott, J. (2007). “Power, Domination and Stratification: Towards a
Conceptual Synthesis”. Sociologia, 55: 25–39.
Saleh, D.D. (2020). Peran Birokrat Level Bawah Kebijakan Reforma
Agraria (Studi tentang Dominasi Negara dalam Implementasi
Redistribusi Tanah di Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap.
(Disertasi)
Setiaji, H. (2012). Pelaksanaan Reforma Agraria melalui Program
Redistribusi Tanah di Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap.
Skripsi. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta.
Setiawan, U. (2004). “Menemukan Pintu Masuk untuk Keluar:
Relevansi Tap MPR No IX/MPR/2001, UUPA No 5 Tahun
1960, dan Keppres No 34/2003 bagi Pelaksanaan Pembaruan
Agraria di Indonesia,“Jurnal Analisis Sosial 9(1): 65–84.
Bandung: Yayasan Akatiga.
Shohibuddin, M. (2018). Perspektif Agraria Kritis (Teori Kebijakan
dan Kajian Empiris, Jogjakarta: STPN Press.

166 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Silalahi, S.B. (2000). Pemetaan Penguasaan, Pemilikan dan
Penggunaan Tanah dalam Rangka Reforma Agraria. Makalah
dalam Semiloka Metodologi Penelitian Agraria, Tanggal 13–
15 September 2000. PKA IPB Bogor.
Sitorus, M.T.F. (2002). Lingkup Agraria in Suhendar, dkk. 2002.
Menuju Keadilan Agraria. Bandung: Akatiga.
Sitorus, M.T.F. (2004). Pembaruan Agraria: Antara Negara dan
Pasar, Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 (1): 111-124.. Bandung:
Yayasan Akatiga.
Sobhan, R. (1993). Agrarian Reform and Social Transformation:
Preconditions for Development, London: Zed Books.
Sptingate-Baginski, O.,dan Blaikie, P. (2007). Forest, People and
Power: The Political Ecology of Reform in South Asia, London:
Earthscan.
Sudhaussen. (1982). The Road to Power Indonesian Military
Politics, 1945–1967. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Suhendar, E., dan Kasim, I. (1986). Tanah sebagai Komoditas
Strategis, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru,
Jakarta, ELSAM.
Suhendar, E., dan Yohana, B.W. (1998). Petani dan Konflik Agraria,
Bandung: Akatiga.
Sujito, A. (2012). Pendangkalan Politik. Yogyakarta: IRE, AUSAID,
The Asia Foundation
Tauchid, M. (1952). Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan
dan Kemakmuran Rakjat Indonesia Bagian Pertama, Jakarta,
Penerbit Tjakrawala.

Daftar Pustaka 167


Tjondronegoro, S.M.P. (2008). Negara Agraris Ingkari Agraria:
Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. Bandung:
Akatiga.
Tuma, E.H. (1965) Twenty-Six Centuries of Agrarian Reform, a
Comparative Analysis. Berkeley: University of California Press.
Wahab, S.A. (1991) Analisis Kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta.
Wertheim, W.F. (1969). “From Aliran to Class Struggle in the
Countryside of Java”. Pacific Viewpoint 10(2) :1–17
Wertheim, W.F. (1959). Indonesian Society in Transition, The
Hague, van Hoeve.
White, B., danWiradi, G. (1989). “Agrarian and Non-agrarian
Bases of Inequality in Nine Javanese Villages” in Agrarian
Transformation: Local Processes and the States in Southeast
Asia, Gillian Hart, Andrew Turton and Benjamin White (eds.).
Berkeley: University of California Press, pp. 266–302.
White, B. (1987). “Rural Development: Rhetoric and Reality”.
Journal fur Entwicklungspolitik, (1): 54–72.
White, B. (2011). “Critical Agrarian Studies: Basic Concepts”, 29
April 2011.
Winters, J. A (2011).  Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Wibawa, Samodra. (1994). Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media
Pressindo Yogyakarta.
Wiradi, G. (1997). “Pembaruan Agraria: Masalah yang Timbul

168 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


Tenggelam” in Reformasi Agraria. Perubahan Politik, Sengketa,
dan Agenda PembaruanAgraria di Indonesia. Jakarta:
Konsorsium Pembaruan Agraria bekerja sama dengan
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pp. 38–44.
Wiradi, G. (2000). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum
Berakhir, Yogyakarta: KPA-Insist Press- Pustaka Pelajar
Wiradi, Gunawan (2009) Seluk Beluk Reforma Agraria
(Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, Yogyakarta: STPN
Press.
Wiradi, G. (2001). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum
Berakhir, Noer Fauzi (Ed.). Yogyakarta: Insist Press and
Pustaka Pelajar.
Ya’kub, A. (2004). “Agenda Neoliberal menyusup Melalui
Kebijakan Agraria di Indonesia” dalam Jurnal Analisis Sosial
9(1): 47–64. Bandung: Yayasan Akatiga.

Website:
http://kab-cilacap.atrbpn.go.id/Statistik/kasus-cilacap-
landreform-terbesar-era-reformasi-10966.aspx
https://indoprogress.com/2012/02/sketsa-perkembangan-
reforma-agraria-dan-studi-agraria/
http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/94/Gagasan_
Reforma_Agraria_Kedua_Calon_Presiden_Harus_Kongkrit/
https://news.detik.com/berita/d-386169/pbhi-
perpres-362005–cacat-hukum

Daftar Pustaka 169


https://sains.kompas.com/read/2010/10/21/18190390/
laksanakan.pembaruan.agraria.sejati. 
https://spi.or.id/dua-periode-pemerintahan-sby-pembaruan-
agraria-belum dilaksanakan/
https://www.sciencedirect.com/search?qs=political%20
economy
h t t p s : / / w w w. s c i e n c e d i re c t . c o m / s c i e n c e / a r t i c l e / p i i /
B9780080970868101102
https://ugm.ac.id/id/berita/1135–joyo-winoto-ketimpangan-
kepemilikan-aset-sebagai-penyebab-kemiskinan

170 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono


RIWAYAT PENULIS

B arid Hardiyanto, lahir di Kendari, 25 Juni 1978. Menempuh


S1 di Sosiologi, Fisip, Universitas Jenderal Soedirman.
Melanjutkan S2 di Ilmu Administrasi, Fisip, Universitas Jenderal
Soerdirman dan S3 di Ilmu Administrasi Publik, Fisipol,
Universitas Gadjah Mada.
Selama 24 tahun bekerja melakukan pemberdayaan bagi
masyarakat yang miskin, lemah, tertindas serta mendorong
perubahan di pemerintah, swasta dan kalangan masyarakat
sipil. Bekerja di Lembaga Penelitian Pengembangan
Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) dan mengajar
di Universitas Amikom Purwokerto, IAIN Purwokerto dan
Universitas Jenderal Soedirman. Sesekali menulis buku
(Pendidikan Rakyat Petani (Kreasi Wacana); Jalan Menuju
Hutan Subur Rakyat Makmur (Gramedia), dll), Jurnal (Land
Use Policy, KARSA, dll) dan artikel di media massa (Kompas,
Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Radar Banyumas,
Mongabay, The Conversation, dll)

Daftar Pustaka 171


Penulis dapat dihubungi di: baridhardiyanto@gmail.com ;
Telpon/WA: 085293195531 dan www.baridhardiyanto.com

172 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono

Anda mungkin juga menyukai