Bagaimana
Karyawan
Menjadi
Bos
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
Rohmadi Rusdi
Ronin Hidayat
@ Rohmadi Rusdi
4
Ronin Hidayat
Xiii + ……..hal, 14 X 21 cm
EMK :
ISBN :
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
. Rustrinmingsih …………………………………………………….
PENUTUP
Kata Pengantar
6
Rayendra L. Toruan
Editor
7
Puji syukur Alhamdulillah selayaknya kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas
ridho-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk berkarya, menyampaikan ide dan gagas-an,
dalam upaya mencerdaskan dan memberi-kan pencerahan bagi bangsa.
Saya menyambut baik penerbitan buku Strategi HRD (Human Resources Develop-ment):
Sukses Mengelola Sumber Daya Manusiaâ. Karena itu saya mengucapkan selamat dan sukses
kepada Sdr. Rohmadi Rusdi dan Sdr. Ronin Hidayat, atas segala upaya yang dikerjakan
selama ini, sehingga pe-ngalaman yang berharga terutama yang me-nyangkut pemberdayaan
sumber daya manusia, dapat disarikan dan ditularkan kepada khala-yak melalui buku tersebut.
Kita menyadari, betapa penting dan stra-tegisnya sumber daya manusia dalam sebuah
organisasi, termasuk dalam tataran yang lebih tinggi yakni negara. Pada organisasi pemerin-tah,
tantangan akan perubahan dan perkem-bangan lingkungan/masyarakat semakin me-nuntut
profesionalisme sumber daya manusia aparatur pemerintah, agar mampu mewujudkan
pelayanan prima kepada masyarakat.
Selain itu, juga untuk mendorong terwu-judnya birokrasi yang produktif, efisien, serta
bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Hal ini akan terealisasi manakala se-tiap
individu mempunyai jiwa “pemimpinâ€, baik untuk mengelola dirinya sendiri maupun
orang lain. Terkait dengan hal itu, kiranya bu-ku ini dapat dijadikan salah satu referensi un-tuk
mengelola sumber daya manusia. Apalagi buku ini mudah untuk dipelajari dan dimenger-ti,
sehingga akan membantu kesuksesan dalam pengelolaan sumber daya manusia.
Akhirnya, marilah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kita senantiasa diberi
kesempatan dan kemampuan untuk me-nunjukan karya nyata demi kemajuan bangsa. Selamat
membaca!
1
Dra. Hj. Rustrinmingsih, M.Si terpilih menjadi wakil gubernur Provinsi Jawa Tengah pada pemilihan
kepala daerah pada tanggal 22 Juni 2008. Rustrinmingsih dilantik menjadi wakil gubernur Jawa Tengah
pada 23 Agustus 2008, dan jabatan bupati Kebumen beralih kepada KH. M. Nashiruddin Al-Mansur yang
sebelumnya adalah wakil bupati.
8
Sekapur Sirih
Diperlukan strategi jitu untuk sukses memberdayakan sumber daya manusia
(human resources) sehingga mereka menjadi cukup bertenaga ketika menjadi
lokomotif penarik organisasi menuju tujuan sebagaimana ditentukan serta
penarik sumber-sumber daya yang lain agar lebih berdaya guna dan
berhasilguna. Oleh sebab itu, strategi dalam pengembangan sumber daya
manusia (human resources development) demikian penting artinya untuk sebuah
lompatan keberhasilan organisasi Anda. Atas alasan itu maka buku ini
disusun.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah, karena hanya atas ridha-
Nya buku ini dapat terwujud. Dalam penggarapan buku ini banyak pihak
telah sangat berjasa memberikan kontribusi bermakna (baik secara langsung
atau tak langsung), sehingga buku ini menjadi seperti ini dan layak
direkomendasikan bagi mereka khususnya yang berkecimpung atau berurusan
dengan sumber daya manusia. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka semua.
Sebagian di antara mereka yang sangat berjasa itu adalah:
Rohmadi Rusdi
Ronin Hidayat
Penulis
10
BAGIAN PERTAMA
Kita yang pernah bersekolah atau kuliah mungkin pernah menghadiri acara reuni
sekolah atau temu kangen dengan teman seangkatan di kampus atau reuni dengan
teman-teman yang pernah mengikuti organisasi mahasiswa di luar kampus. Jika
berhalangan hadir, setidak-tidaknya kita pernah mendengarkan acara reuni atau
mending dibanding dengan sebagian teman yang kurang berhasil mewujudkan cita-
cita. Dari antara teman-teman itu masih ada yang tampak lusuh, mengenaskan,
pendiam, dan murung, tidak seceria di kala masih pelajar atau kuliah belasan tahun
silam? Kita tidak tahu gambaran kehidupannya yang sesungguhnya. Mungkinkah dia
gagal dalam menata kehidupannya?
Setiap orang menjalani hidup masing-masing. Begitulah hukum kehidupan.
Namun, kita tidak bisa menebak atau menduga bagaimana kehidupan itu akan kita
jalani. Setelah menjalani kehidupan, dan mendapatkan sekilas kehidupan teman-teman
dan membandingkannya dengan hidup saya atau Anda, timbul pertanyaan, “Bagaimana
cara beberapa rekan yang cukup cerdas ketika masih sekolah atau kuliah, akan tetapi
hidup mereka memprihatinkan?”
Kita sering mendengarkan kata umpatan, “Ngapain repot-repot belajar untuk
menjadi orang pandai, nyatanya si Atang yang sering mbolos dan banyak nilainya yang
merah, malah hidupnya kini mapan sejak sukses sebagai pengusaha. Sedangkan si Jaka
yang nilainya rata-rata nyaris sempurna …sering batuk-batuk karena tidak mampu
membayar uang obat. ”
Apakah saya atau Anda membenarkan atau menyalahkan kata-kata orang yang
mengumpat seperti di atas? Yang menyimpulkan bahwa orang tidak harus pandai agar
bisa menjalani kehidupan yang sukses. Setiap orang harus belajar agar mengetahui
banyak perkara kehidupan termasuk ilmu pengetahuan yang akan menjadi modal
keterampilannya. Si Atang yang ketika masih di SMA sering membolos dan banyak
nilai rapornya yang merah itu—dicap oleh teman-teman sekelas pelajar yang malas dan
bodoh—akan tetapi dia tetap mempunyai kepandaian khusus yakni pengusaha yang
berilmu. Dia belajar—tentu dengan caranya—bagaimana cara menjadi pengusaha yang
sukses.
Kita yakin Atang pasti belajar lebih keras dan lebih berat. Dengan demikian, dia
berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses. Kita tidak bisa hanya berpatokan pada
rapornya yang banyak angka merahnya. Kita justru salut atas kejelian si Atang
menggunakan ilmunya sehingga berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses.
Pertanyaan selanjutnya, apa dan bagaimana Pak Atang belajar sehingga dia
menjadi orang sukses? Pertanyaan inilah yang harus saya telusuri bersama sidang
pembaca buku ini. Para ahli mengingatkan, bahwa kecerdasan di sekolah bukanlah
segala untuk menjamin kehidupan seseorang.
12
1
Pemberdayaan SDM Tingkatkan Kinerja
13
Bob Galvin menrceritakan tentang kisah ayahnya pendiri Motorolla, “Suatu kali ayah
saya memperhatikan deretan sejumlah pekerja wanita di bagian perakitan. Ayah berkata
kepada diri sendiri, semua wanita ini seperti ibu saya yang mempunyai anak, rumah
harus diurus. Orang-orang lain sangat membutuhkan mereka.
Pengalaman itu memotivasi ayah Galvin untuk bekerja lebih keras agar bisa
memberi hidup yang lebih baik kepada keluarganya. Ayah Galvin melihat ibunya
sendiri dalam diri deretan wanita yang sedang bekerja keras. Keadaan itu memberi
iinspirasi dalam diri ayah Galvin yang menaruh hormat dan empati kepada kaum wanita
terutama ibunya.
Berawal dari rasa hormat dan empati terhadap sisi-sisi kemanusiaan, Motorolla
terus meretas jalan menuju “panggung terhormat” jajaran perusahaan-perusahaan top
dunia. Soal pasang surut ataupun krisis, itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam
dinamika organisasi, tetapi konsisten pada penghormatan yang layak terhadap harkat
kemanusiaan adalah soal lain yang musti dimiliki oleh setiap orang: yakni harkat
kemanusiaan.
Hal seperti itu pula yang coba diingatkan oleh Aristoteles ketika menanggapi
keinginan seorang raja. Dikisahkan, seorang raja menulis surat kepada Aristoteles.
Dalam suratnya, raja berkehendak membunuh habis semua bangsawan keturunan raja
dan orang-orang pintar lainnya agar tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk
merebut kekuasaan.
Menanggapi surat raja itu, Aristoteles membalasannya dengan mengatakan
bahwa kehendak raja itu adalah niat yang tidak baik. Jika raja melakukannya bisa saja
betindak salah dan justru merugikan raja sendiri.
Setelah raja membunuh semua orang yang baik dan pandai maka orang-orang
yang masih hidup tinggal orang-orang yang bodoh dan tidak berperangai. Untuk
memimpin orang-orang semacam itu lebih susah. Tindakan yang paling baik jika raja
mengumpulkan orang-orang yang baik dan pandai. Kemudian mereka digunakan
sebagai pekerja dan pemikir seoptimal mungkin, balas Aristoteles.
Orang-orang yang baik dan pandai harus digunakan (diberdayakan) sebaik-
baiknya. Dengan memberdayakan dan memberi tugas kepada orang-orang baik dan
14
pandai maka tujuan untuk mencapai sesuatu yang direncanakan akan diperoleh sesuai
dengan perencanaan. Dalam suatu organisasi—pemerintah, organisasi masyarakat, dan
perusahaan/bisnis—sumber daya manusia (SDM) tidak semua orang yang hebat, baik,
dan pandai.
Manusia demikian unik dan kompleks dengan karakter masing-masing yang
saling berbeda meskipun mempunyai latar belakang pendidikan (sebagai contoh) yang
tingkatannya sama sebagai persyaratan minimal. Semua keadaan itu—yakni tingkat
pengetahuan orang-orang yang menjadi bagian suatu organisasi—mutlak diberdayakan
agar lebih terampil mengerjakan tugas-tugasnya. Dengan demikian pencapaian hasil
diharapkan lebib maksimal dengan pengunaan ongkos atau waktu efektif dan efisien.
Demikianlah pemikiran mendasar dalam pemberdayaan sumber daya manusia.
Untuk memberdayakan sumber daya manusia tidak bisa dilakukan dengan setengah-
setengah. Kita harus melakukannya secara komprehensif, menyeluruh, dan serta
memperhatikan aspek manusia secara utuh.
Sekarang ini, umumnya orang lebih dihargai karena kecerdasan otak (akal)-nya.
Berbeda dengan beberapa abad silam, orang dihargai jika dia mempunyai otot (okol)
yang lebih kuat dibandingkan orang-orang lain. Orang yang gagah perkasa disanjung-
sanjung. Kita pernah menyaksikan orang-orang perkasa yang berotot dalam film-film
kolosal seperti Benhur, Spartacus, Samson, The Troy, dan lain-lain.
Seirama dengan kesadaran akan pentingnya kecerdasan yang lain yakni
kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), maka kecerdasan akal (IQ)
bukanlah yang paling utama. Menurut para pakar, Robert K Cooper dan Ayman Sawaf,
“Kekuatan yang mendorong kecerdasan pada sektor dunia usaha pada abad ke-20
adalah IQ. Namun, berdasarkan bukti-bukti yang makin banyak pada abad ke-21, yang
akan lebih berperan adalah penggunaan EQ, dan bentuk-bentuk kecerdasan praktis serta
kreatif yang terkait”. 1)
Kecerdasan akal (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), keduanya bekerja
menjadi mesin penggerak langkah manusia. Pertama, bekerja atas dasar dorongan
1) 1)
Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam
Kepeminpinan dan Organisasi, alih bahasa Alex Tri Kantjono Widodo, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999.
15
pikiran rasional. Kedua, bekerja atas dorongan pikiran emosional. Dalam artian yang
sesungguhnya, manusia memiliki pikiran yang bekerja dengan dua cara yakni yang satu
berpikir dan yang satu merasa.
Kedua cara berpikir itu mempunyai cara pemahaman yang secara fundamental
berbeda, dan bersifat saling memengaruhi dalam membentuk kehidupan mental
manusia. Apa ciri berpikir yang rasional? Model pemahaman yang lazim kita sadari
yakni lebih menonjolkan kesadaran, kebijaksanaan, mampu bertindak hati-hati, dan
merefleksi. Akan tetapi, bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman lain yang
impulsif, berpengaruh besar, dan kadang-kadang tidak logis, yaitu pikiran emosional.
Perbedaan atas dua cara berpikir yaitu dengan emosional dan rasional, kurang
lebih sama dengan istilah orang awam dengan sebutan “hati” dan “kepala” atau akal.
Untuk mengetahui sesuatu itu adalah suatu kebenaran maka jawabannya akan
mengendap di “alam hati”—merupakan tingkat keyakinan yang berbeda dan merupakan
kepastian yang lebih mendalam—daripada menganggapnya benar dengan
menggunakan akal.
Penggunaan kedua cara berpikir tersebut yakni emosional dan yang rasional,
pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi dengan cara
masing-masing dan sangat berbeda dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan
pemilik pikiran yakni Anda dan saya.
Dalam penggunaan biasanya terjadi keseimbangan antara pikiran emosional dan
pikiran rasional. Emosi memberikan masukan dan informasi pada proses penggunaan
berpikir rasional, kemudian pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto
masukan-masukan emosi tersebut. Namun, cara berpikir emosional dan rasional
merupakan kemampuan-kemampuan yang semi-mandiri masing-masing mencerminkan
kerja jaringan sirkuit yang berbeda, dan tetap saling terkait di dalam otak.
Dalam banyak atau sebagian peristiwa yang sampai ke pikiran, maka cara
berpikir rasional dan cara berpikir emosional terkoordinasi secara istimewa dan teratur.
Pikiran sangat penting bagi perasaan. Namun, jika muncul nafsu, keseimbangan antara
emosional dan rasional tergoyahkan, dan cara berpikir emosionallah yang dominan
sampai menguasai cara berpikar rasional. 2)
Baca Robert K. Cooper & Ayman Sawaf, op cit atau karya Diniel Goleman. Kecerdasan
2) 2)
Apa urgensinya dan kaitan kedua jenis cara berpikir itu bagi pengelolaan
sumber daya manusia (SDM)?
Kalau dalam pengelolaan SDM, kita hanya mengutamakan pengembangan cara
berpikir rasional—seperti selama ini dilakukan oleh banyak orang—kita sukar
mendapatkan sukses bahkan kegagalanlah yang lebih dominan yang kita peroleh.
Kecerdasan emosionallah yang memotivasi seseorang untuk mencari manfaat dan
potensi unik dari dalam dirinya, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai dari dirinya
yang paling dalam, mengubah dari apa yang dipikirkan menjadi apa yang dijalani.
Cara berpikir emosionallah yang memiliki kedalaman dan kekuatan, yang dalam
bahasa Latin disebutkan, bahwa emosi telah lama dijelaskan sebagai motus anima,
yang arti harfiahnya adalah “jiwa yang menggerakkan kita”.
Robert K Cooper dan Ayman Sawaf mangatakan, bahwa manusia membayar
sangat mahal—bukan hanya dalam organisasi di mana manjusia itu berada, tetapi juga
dalam kehidupan yang dijalani seseorang—karena berusaha memisahkan emosi dari
intelek.
Secara intuisi bahwa hal itu tidak benar. Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa
setiap hari kecerdasan emosionallah—bukan IQ atau kekuatan otak semata-mata—
merupakan pendukung banyak dari keputusan yang paling baik, organisasi yang paling
dinamis, menguntungkan, dan kehidupan yang sukses dan memuaskan.
Penelitian tentang otak juga memberikan penjelasan fisiologis mengenai
hubungan yang telah lama disadari, tetapi terlalu sering diabaikan oleh manusia.
Antonio R. Damasio, orang yang berjasa dalam bidang ini, seorang kepala bidang
neurologi pada University of Iowa College of Medicine (Amerika Serikat) pernah
mengatakan,
“Kenyataannya pembuatan keputusan, penalaran, emosi, dan perasaan memiliki
titik potong di otak. Ada sekumpulan sistem di otak yang ditujukan untuk proses
pemikiran yang berorientasi membuat tujuan yang kita sebut penalaran, dan untuk
menyeleksi respon yang kita sebut pembuatan keputusan. Sekumpulan sistem otak yang
sama ini juga terlibat dalam emosi dan perasaan. Perasaan dan emosi memiliki
pengaruh yang sangat kuat dalam penalaran. Saya berpendapat bahwa perasaan
memiliki status yang sangat istemewa. Perasaan memiliki keunggulan yang meliputi
kehidupan mental kita. Perasaan ikut memuaskan bagaimana bagian otak lainnya dan
kognisi melangsungkan fungsinya. Perasaan memiliki pangaruh yang sangat luas.”
17
Emosi mempunyai energi yang sangat besar. Berlawanan dangan kebanyakan hasil
pemikiran secara konvensional yang dianut dan dipercaya selama ini, pada
kenyataannya emosi itu bukanlah sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi
sesungguhnyalah ia adalah sumber energi, autentisitas. Emosi memberikan semangat
manusia yang paling kuat, dan dapat memberikan sumber kebijakan intuitif yang sangat
berguna.
Para ahli meyakini, bahwa perasaan memberi manusia informasi penting dan
berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah–dari hati, bukan dari kepala
—yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur terhadap diri sendiri, menjalin
hubungan yang saling memercayai, memberikan panduan murni bagi hidup dan karier,
menuntut kita untuk mencapai suatu kemungkinan tak terduga, bahkan bisa
menyelamatkan diri kita atau organisasi dari kehancuran.
Demikianlah kekuatan emosi. Sejauh ini kita membahas emosi meski tidak
sedikit orang yang kebingungan dengan penggunaan cara berpikir yang penulis
kemukakan di atas. Apa sih sebenarnya emosi itu? Ternyata istilah ini tidak hanya
membingungkan sebagian pembaca. Di antara para ahli psikologi maupun ahli filsafat
juga masih memperdebatkan makna yang lebih tepat dari istilah-istilah tadi.
Buku Oxford English Dictionary mendefinisikan bahwa emosi itu sebagai
“setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang
hebat atau meluap-luap.” Sedangkan Daniel Goleman menganggap emosi merujuk pada
suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis, psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Goleman, ada ratusan emosi,
bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Sungguh, terdapat lebih
banyak penghalusan emosi daripada kata yang kita miliki untuk itu.
Sebagaimana diungkap oleh Daniel Goleman (1995), para peneliti terus
berdebat tentang emosi mana yang benar-benar dapat dianggap sebagai emosi primer—
18
biru, merah, dan kuningnya setiap campuran perasaan—atau apakah memang ada emosi
primer semacam itu? Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongan
besar, meskipun mereka tidak sepakat tentang penggolongan itu.
Calon-calon utama dan beberapa penggolongan yang telah dikelompokkan
adalah seperti berikut:
Amarah: beringas, berang, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan, barangkali yang paling hebat,
tindak kekerasan, dan kebencian patologis.
Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, kesepian,
ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis berubah men jadi depresi berat.
Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
kecut, sebagai patologis, fobia, dan panik.
Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga,
kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, kegirangan luar biasa, senang,
senang sekali, dan batas ujungnya mania.
Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti,
hormat, kasmaran, dan kasih.
Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, dan terpana.
Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mual atau mau muntah.
Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Meskipun sudah didaftar dengan begitu njlimet dan teliti, namun daftar di atas
belum bisa menjawab setiap pertanyaan, bagaimana mengelompokkan emosi. Satu
contoh, bagaimana tentang perasaan yang bercampur-aduk dengan iri hati, variasi dari
marah yang juga mengandung unsur sedih dan takut? Bagaimana nilai-nilai klasik
seperti pengharapan dan kepercayaan, keberanian dan mudah memaafkan, kepastian
dan ketenangan hati? Belum lagi beberapa masalah yang menyangkut cacat “bawaan”,
seperti perasaan ragu-ragu, puas diri, malas, lamban, atau mudah bosan? Rupanya
belum ada jawaban yang jelas sehingga perdebatan ilmiah tentang bagaimana
menggolong-golongkan emosi pun terus berlanjut
19
EMOSI
Makna Konvensional vs Makna High-Performance
Makna Konvensional Makna High Performence
Lambang kelemahan Lambang kekuatan
Tidak boleh ada dalam bisnis Penting dalam bisnis
Harus dihindari Emosi memacu semangat belajar
Membingungkan Memperjelas
Harus dipisahkan Harus dipadukan
Menghindari orang yang emosional Mencari orang yang emosional
Hanya pikiran yang diperhatikan Emosi harus didengarkan
Menggunakan kata-kata tanpa emosi Menggunakan kata-kata emosional
Untuk melihat tingkat IQ tinggi atau rendah, dapat dilihat misalnya dari hasil
test IQ. Sedangkan kecerdasan emosional tampak antar lain pada ciri-ciri: kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi serangan frustrasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur
suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati, dan berdoa.
anak sebayanya pernah mencaci dan menghina sebagai pangeran taik mabul (kotoran
yang berterbangan). Terlepas dari kontroversi yang kemudian melingkupinya, ia telah
membuktikan–pada masa jayanya—menjadi orang hebat yang disegani dan dihormati
rakyatnya.
Demikianlah Songtsen Gampo, serta banyak tokoh dengan reputasi luar biasa
lainnya, telah mengajarkan kepada kita akan arti belajar dengan kerasnya gemblengan.
Kalau boleh disederhanakan, belajar dengan penderitaan dan kepahitan.
Namun demikian, ini bukan berarti bahwa untuk menjadi orang yang “pilih
tanding”, otot kawat balung wesi, dan akan selalu menang dalam kancah kehidupan ini,
seseorang musti berpayah-payah menantang penderitaan dan mengharapkan
kemalangan yang bertubi-tubi. Bukan itu maksudnya. Jadi, penderitaan tak usah
ditantang, kemalangan tak usah diharapkan; tetapi manakala mendapatkannya tidaklah
usah berkeluh kesah berkepanjangan dan merasa bahwa hidup ini seperti pupus, dan
seolah-olah diri inilah yang paling bernasib malang di dunia. Berilah kesan positif, dan
tetap berprasangka baik kepada Tuhan. Percayalah, Tuhan itu Maha Pengasih dan
Penyayang.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Napoleon Hill (1994), bahwa kemalangan
adalah obat kuat, bukannya batu sandungan. Setiap kemalangan membawa benih yang
memiliki manfaat setara atau lebih besar. Sangat sedikit orang yang langsung berhasil
tanpa mengalami masa-masa kegagalan sementara dan keputusasaan. Namun, jika Anda
menguasai batin Anda, demikian kata pengarang yang pernah menjadi penasihat tiga
orang presiden Amerika Serikat (William Howard Taft, Woodrow Wilson, dan Franklin
D Rosevelt) ini, tidak akan ada pukulan yang dapat menjatuhkan Anda. Anda boleh saja
mengambil jalan memutar di jalan yang tidak rata, tetapi Anda selalu dapat menemukan
jalan Anda kembali ke jalan yang lebih baik.
Pikiran yang sadar akan keberhasilan berfungsi dengan cepat dan efektif. Segera
setelah seseorang mengisi pikirannya dengan kesadaran akan keberhasilan yang
diarahkannya sendiri, ia akan mencapai suatu tingkat efisiensi pikiran yang tidak
bergantung pada pendidikan formal. Setelah melihat sasaran yang diajukan, maka
seseorang akan dapat menemukan cara-cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya
secara menakjubkan.
Mengutip pendapat tokoh terkemuka dan ilmuan yakni Presiden B.J Habibie
(1998-1999) yang mengatakan
23
Pikiran manusia, otak manusia, diciptakan begitu hebat oleh Allah. Presiden B.J
Habibie (1998-1999), mengutip pendapat tokoh ilmuan terkemuka, pernah mengatakan
bahwa jika manusia dengan teknologi komputer sekarang mau membuat otak manusia
maka diperlukan komputer yang ukurannya sebesar bola dunia.3) Betapa dahsyatnya
kehebatan otak manusia, karunia Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya yang
ditunjuk untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Menurut hasil penyelidikan dari suatu institut yang khusus menyelidiki otak
manusia, terbukti bahwa sesungguhnya kemampuan otak manusia itu sangat hebat.
Sayangnya, kebanyakan orang hanya menggunakan 5% saja dari kemampuannya.
Bahkan belakangan prakiraan para ilmuwan tersebut telah diperbaiki: rata-rata, seorang
dewasa mungkin menggunakan dengan sungguh-sungguh hanya 1/10.000 dari potensi
kecerdasannya selama hidupnya.
Sebelum prakiraan itu diperbaiki, dinyatakan bahwa apabila ada orang yang
biasa menggunakan 50% saja dari kemampuan otaknya atau kemampuan berpikirnya,
maka gambaran kepintaran orang tersebut dilukiskan seperti: bisa menguasai 40 bahasa
dengan mudah, hapal satu set ensiklopedi yang tebal-tebal lembar demi lembar dan bisa
sekaligus meraih 12 titel kesarjanaan.
Kemudian bukti neurologis terakhir menunjukkan bahwa emosi adalah “bahan
bakar” yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran yang tinggi.
Dengan demikian penggabungan secara sinergis dan optimal kedua hal itu tentunya
akan meningkatkan kemampuan yang lebih tinggi lagi.
Dari potensi yang dimiliki manusia antara yang satu dan yang lain berbeda
dalam memanfaatkannya. Oleh karena itu, tidak heranlah jika tiap diri berbeda dengan
yang lainnya. Masing-masing mempunyai keunikannya sendiri-sendiri.
Sebagai gambaran, ambillah contoh Thomas Alfa Edison yang genius dan ulet
itu. Ia lebih besar dalam memanfaatkan potensi kecerdasan yang dikaruniakan oleh
Tuhan, dibanding si Suta petani bekikuk yang tahunya hanya urusan tanam padi.
Dengan kecerdasan yang dimiliknya Edison dapat bersikap arif dengan merasa bahwa
seribu kegagalan dalam percobaannya menemukan lampu elektrik, dirasakannya
sebagai seribu cara menemukan alat penerang yang spektakuler itu. Sementara si Suta
yang gagal panen karena bencana kekeringan, buru-buru menyalahkan penguasa yang
A. Makmur Makka. BJ Habibie: Kisah Hidup & Kariernya. Jakarta: Gema Insani Press, cet.
3) 3)
katanya tidak becus mengurusi rakyatnya. Lebih udik lagi, kalau ia malah menyalahkan
Tuhan dan menganggap Tuhan tidak sayang kepada hamba-Nya.
Tentu saja si Suta hanya perkecualian, sebab para petani pada umumnya justru
hidup tenang penuh kedamaian serta cenderung nrimo ing pandum. Bahkan karena
begitu nrimonya, tidak sedikit yang hanya pasrah mengenai rezeki ana dina ana upa
(ada hari ada nasi) kata mereka.
Manusia itu memang makhluk yang unik. Meskipun sama-sama dibekali
kelengkapan kepala dan hati (pikiran dan perasaan), serta banyak kemampuan lainnya,
namun tidak ada kemampuan yang yang sama persis dimiliki antarseorang dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, ketika ada dua orang atau lebih yang membentuk atau masuk
ke dalam sebuah organisasi, akan muncullah keunikan-keunikan yang lebih kompleks.
Agar tujuan dapat tercapai dengn baik, maka keunikan-keunikan tersebut harus dikelola
secara apik dan unik pula. Di sini kentara sekali peran manajemen sumber daya
manusia sebagai kunci penting untuk mengarahkan pencapaian tujuan-tujuan yang
telah digariskan atau direncanakan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan—mustahil dapat dicapai dalam
waktu relatif singkat sesuai keinginan nafsu (emosi)—memerlukan
pengerjaan/pencapaian yang dilakukan secara bertahap demi tahap dari waktu ke waktu.
Ironisnya yang sering terjadi justru para pengambil keputusan—manajemen—kadang
kurang punya nyali untuk mengubah suatu keadaan yang telah ditetapkan agar bisa
mengantisipasi adanya perubahan pada tahap pelaksaaan selanjutnya. Kalau demikian
kondisinya, bagaimana mungkin suatu tujuan dapat diraih?
Seperti seseorang yang mau melangkahkan kaki menuju satu tempat, akan tetapi
ia merasa ragu atau takut ke luar rumah atau ke luar kantor. Ia mengkhayalkan jangan-
jangan di jalan banyak pengebut, keadaan lalu lintas macet, banyak penjahat, pokoknya
banyak hal yang membuatnya ragu atau takut. Orang seperti ini biasanya sukar
mencapai tujuannya. Orang harus berani berubah untuk menghadapi keadaan yang
demikian cepat mengalami perubahan.
Makna Perubahan
Seseorang yang berani berubah, untuk mencapai goal yang direncanakan adalah
seseorang yang berani membongkar belenggu kecerdasan emosionalnya sendiri. Ada
cerita menarik yang pernah dialami oleh seseorang yang menuliskan pengalamannya
25
Mindset manusia
Mari kita sejenak mengingat mata pelajaran dasar yang pernah kita pelajari dari
bapak dan ibu guru saat kita bersekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas satu atau
kelas dua. Pelajaran apa yang sampai sekarang masih teringat terus? Bukan sesuatu
yang aneh kalau jawabannya adalah: menggambar!
Sekali lagi, mari sama-sama pejamkan mata, tarik nafas perlahan-lahan, dan
hembuskan lewat mulut. Mata tetap terpejam dan bayangkan Anda sedang
menggambar ketika masih murid SD. Pertama-tama, Anda membuka tas, mengambil
27
buku gambar, pensil, dan pulas (pencil warna). Tangan Anda tak perlu bergerak, akan
tetapi dalam pikiran Anda membayangkan sedang menggambar.
Gambarlah sebuah Pemandangan tanpa tangan tidak bergerak melainkan hanya
pikiran yang sedang menggambar suatu pemandangan dan tersebut yang waktunya
kurang lebih 2 menit. Setelah selesai membayangkan Anda menggambar, mari
membuka mata, tarik nafas perlahan-lahan. Apa hasil gambar Anda?
Coba ulangi lagi membaca panduan di atas, dan praktikkan panduan itu sebelum
melihat jawaban dalam penjelasan selanjutnya.
Anda mulai menggambar Pemandangan dalam pikiran Anda. Gambar yang
Anda gambar itu bisa kita tebak. Anda dan penulis menggambar satu gunung satu atau
dua gunung, ada jalan besar menuju gunung yang di balik gunung itu tampak matahari
baru terbit. Mungkin Anda menggambar sawah, pohon kepala, dan lain sebagainya.
Kenapa kita hanya menggambar pemandangan gunung? Kenapa orang-orang yang
ketika masih SD selalu cenderung menggambar pemandangan dengan gunung?
Mari kita menggambar lagi dalam pikiran. Mari pejamkan mata. Sekarang
gambarkan Bebek. Waktunya tetap 2 menit. Gambar Anda dapat ditebak. Anda
menggambar, seekor bebek menghadap ke kiri, dan menggambar dimulai dari sayap
dengan angka 2 atau 3.
Ini berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan penulis kepada sejumlah orang
dewasa peserta pelatihan pemberdayaan SDM. Peserta latihan itu bekerja di Dinas
Kesehatan dan Rumah Sakit Simeulue NAD, Curup Bengkulu, Arga Makmur
Bengkulu, Arjawinangun Cirebon, Purbalingga, Purwokerto, dan Banyumas. Hasil
gambar semua peserta 99% adalah pemandangan gunung dan bebek yang kepalanya
menghadap kiri.
Dari kedua teknik menggali alam bawah sadar peserta pelatihan, menunjukan
betapa kuatnya alam pikiran kita sampai-sampai menggambar sebuah obyek tanpa
adanya perubahan meski sudah sekian tahun terekam dalam otak kita. Apakah perilaku
kita sebagai sumber daya manusia yang sedang melakukan aktivitas di tempat kita
bekerja, tidak mengalami perubahan sedikitpun atas sikap dan perilaku kita seperti
simulasi menggambar tadi? Jawabannya bergantung pada sikap dan mental seseorang
atas ilmu pengetahuan, pengalaman, dan juga prasangka atau yang dikenal mindset.
Mulyadi (2003) menjelaskan tentang mindset, yaitu sikap mental mapan (fixed
mental attitude) yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman, dan prasangka.
28
Mindset merupakan peta mental yang dipakai oleh orang sebagai dasar untuk bersikap
dan bertindak. Peta tersebut mampu menggambarkan kenyataan suatu territorial
sehingga orang mengetahui di mana ia berada, dan hendak ke mana tujuannya sehingga
ia mampu merencanakan tujuan yang akan ditujunya (dicapai).
Umumnya dari kalangan pendidikan, organisasi, pegawai negeri, dan profesi,
dalam menilai seseorang dipandang dari perilaku yang tampak meski perilaku yang
tampak tersebut merupakan bagian terkecil atau tanda-tanda. Istilah bahasa diagnosa
medis dan keperawatan menyebutkan sebagai gejala dan tanda (simstom dan sign)
sebuah penyakit.
Seorang karyawan yang kreatif dan inovatif, akan tetapi dalam mengerjakan
tugasnya tidak selesai atau tidak sesuai dengan waktunya sedangkan cara
berkomunikasi demikian agresif, tak sopan, dan tidak memperdulikan orang lain, maka
menurut kaca mata manusia statis di lingkungan di mana ia bekerja atau terlibat, orang
semacam itu dilabeli dengan sebutan ‘perilaku orang itu jelek’. Penafsiran mindset
seseorang atas contoh tadi kurang tepat. Perilaku seseorang yang tampak itu hanya
merupakan sebagaian kecil dari tanda-tanda mindset yang terakumulasi. Mindset
seseorang adalah sesuatu yang tidak tampak, tidak dapat dilihat dengan mata sekalipun
menggunakan teknologi digital dan mikroskop paling canggih.
Mindset seseorang terdiri dari tiga komponen pokok: paradigma, keyakinan
dasar, dan nilai dasar. Menurut Mulyadi (2003), paradigma adalah cara yang
digunakan oleh seseorang dalam memandang sesuatu (cara pandang seseorang).
Keyakinan dasar adalah kepercayaan yang dilekatkan oleh seseorang terhadap sesuatu.
Nilai dasar adalah sikap, sifat, dan karakter yang dijunjung tinggi oleh seseorang
sehingga berdasarkan nilai-nilai tersebut tindakan seseorang dibatasi.
Tindakan seseorang sangat ditentukan oleh cara pandangnya terhadap sesuatu.
Seseorang melakukan tindakan berdasarkan apa yang diyakininya benar. We do what
we belief. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh seseorang menjadi pembatas ketika ia
memutuskan tindakan-tindakan yang akan dilakukannya. Secara keseluruhan,
paradigma, keyakinan dasar, dan nilai dasar memberikan peta mental bagi orang dalam
bertindak. We belief we see the world as it is. However, we really see the world as we
are. Kita percaya kita melihat dunia sebagaimana adanya, namun sebenarnya kita kita
lihat dunia sebagaimana keadaan kita. Artinya, kita semua percaya melihat dunia
29
sebagaimana adanya. Akan tetapi, sebagaimana adanya itu bergantung pada nilai-nilai
yang kita anut atau suasana hati kita.
Sikap mental kita (mindset) sebagai insani merupakan fondasi perilaku sebagai
tanda-tanda keyakinan, nilai, dan paradigma yang berkembang dalam pikiran dan hati.
Kalau kita mengandaikan mindset sebagai fenomena gunung es, maka yang tampak di
permukaan air laut hanya sebagaian kecil, sedangkan yang tidak tampak di permukaan.
Betapa besar dan kokoh gunung es tersebut sampai mampu menjungkirbalikan kapal
yang sangat besar di permukaan air laut. Ingat kisah Tetanic. Analogi ini adalah untuk
memudahkan kita untuk memahami mindset kita.
Edgar H. Schein membuat kerangka bangunan kultur organisasi dengan
building blocks terdiri tiga komponen yang ada dalam pikiran anggota organisasi. Hal
tersebut dapat dilihat dalam gambar building blocks model Edgar H. Schein di bawah
ini:
Tampak Luar
Perilaku yang
dirancang
Paradigma
Seseorang yang memperlihatkan perilakunya secara sadar atau tak sadar maka
akan tampak tentang sikapnya. Sikap yang diaktualkan tersebut menentukan tindakan
selanjutnya. Bagaimanakah jika mindset seseorang tidak sejalan dengan kelompoknya,
organisasinya, dan keluarganya, apa yang terjadi? Ada tiga kemungkinan perilaku yang
tampak pada diri seseorang:
30
1. Seseorang yang melaksanakan tindakan dengan setengah hati atau tanpa hati (buta
hati). Perilakunya yang muncul selalu memprotes keadaan, tidak pernah merasa
salah.
2. Seseorang yang berperilaku yang melakukan suatu tindakan memerlukan
pengawasan orang lain untuk memastikan bahwa tindakannya dilaksanakan
berdasarkan mindset yang semestinya. Ia tampak “sok sibuk” bila orang lain
memperhatikkannya. Ia selalu menjaga image.
3. Seseorang melakukan sabotase karena ketidaksesuaian mindset-nya. Perilakunya
cari perhatian, merasa sesak nafas dan bila berlangsung lama maka berakibat
kendornya otot-otot wajah dan tampak cepat tua.
Mindset seseorang dapat terpola dengan baik bila tersinkronnya IQ, EQ, dan SQ
berjalan secara terpadu dan seimbang dalam perilaku nyata sehari-hari. Bahkan lebih
sinergis terutama seseorang yang berkecimpung di dunia bisnis. Pebisnis
membutuhkan kecerdasan untuk menghasilkan keuntungan (financial question).
Melalui pendekatan yang komprehensif, menyeluruh, yang meliputi IQ, EQ, SQ,
dan sebagainya untuk mengintervensi peningkatan kualitas SDM maka hasilnya akan
lebih optimal, tidak pincang melalui pendekatan yang sepotong-sepotong. Sebagaimana
dikatakan Robert K Cooper dan Ayman Sawaf di atas, bahwa kita telah membayar
sangat mahal—tidak hanya dalam organisasi juga dalam kehidupan kita—karena
berusaha memisahkan emosi dari intelek. Kita tahu secara intuisi bahwa anggapan itu
tidak benar. Ilmu pengetahuan membuktikan setiap hari bahwa kecerdasan
emosionallah—bukan IQ atau kekuatan otak semata-mata—yang merupakan
pendukung banyak dari keputusan yang paling baik, organisasi yang paling dinamis,
dan menguntungkan, dan kehidupan yang sukses dan memuaskan.
2
Perilaku Manusia
dalam Mencapai Tujuan Organisasi
31
Kita kagum mendengarkan orang Jepang yang sosial budaya, dan etos kerja
masyarakatnya memberikan konstribusi terhadap perkembangan negeri matahari terbit
itu. Budaya kerja keras Jepang mengantarkan negeri ini menjadi salah satu negara
terkaya di dunia. Produk-produk Jepang membanjiri pasar dunia.
Mari membandingkan keadaan di Jepang dengan kondisi kita di Indonesia.
Keadaan kita tak kunjung beranjak dari keterpurukan. Etos kerja masyarakat kita harus
kita bangun ke arah yang lebih baik. Etos kerja sebagian aparat kita masih pernah
disindir dengan istilah batalyon 702. Apa artinya? Maksudnya adalah pegawai masuk
kerja pukul 7 pagi dan pulang kerja pukul 2 siang. Apakah keadaan itu
menggambarkan etos kerja yang baik? Pegawai yang bekerja mulai dari pukul 7 pagi
hingga pukul 2 siang belum tentu aktivitasnya menghasilkan prestasi yang baik.
Mungkin aktivitasnya hanya 0.
Mari mengamati lebih jauh lagi. Setelah ikut apel pada pagi, si pegawai
membaca koran. Ya baguslah itu, karena dapat memperkaya dan memperluas wawasan
(pengetahuan). Namun setelah membaca koran hingga iklan-iklan kecil, si pegawai
melanjutkan kegiatan dengan main catur dengan rekan sekantor, atau main game pada
komputer, main kartu, main gaple, atau karambol beramai-ramai. Pegawai yang tidak
suka permainan, mengelompok membentuk grup untuk bersenda gurau atau ngerumpi
sambil merokok klempas-klempus memenuhi ruang kerja dengan asap rokok.
Ketika ada warga yang datang mau mengurus sesuatu, pegawai pura-pura sibuk.
Pegawai bisa saja melayani asalkan warga memenuhi permintaan yakni syarat-syarat
buatan pegawai itu sendiri termasuk keharusan menyetorkan sejumlah uang. Pelayanan
yang seharusnya selesai sekali kunjungan, diulur-ulur seperti permen karet. Kita sering
mendengarkan kata-kata ini, “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?”
Penjelasan di atas merupakan sikap yang menggambarkan kualitas pelayanan
pegawai di instansi pemerintah kita meski hanya dilakukan oleh segelintir oknum.
Jangankan di instansi pemerintah. Bukan rahasia lagi, beberapa perusahaan swasta
berhasil sebagai perusahaan besar yang menggurita berkat kedekatan pemilik
perusahaan itu dengan pejabat-pejabat. Contoh sederhana. Seorang konglomerat
demikian mudah mendapatkan kredit dari bank milik negara. Dalam beberapa tahun,
konglomerat properti itu leluasa melakukan ekspansi usaha ke beberapa provinsi
dengan dukungan modal yang melimpah ruah dari koleganya yang memimpin sebuah
bank nasional dalam 10 tahun.
34
Ketika direktur utama bank milik negara itu memasuki pensiun, jabatan
komisaris utama telah menunggunya di perusahaan properti meski bukan pemegang
saham mayoritas. Jabatan komisaris utama itu diberikan sebagai balas budi berkat
bantuannya yang begitu mudah mengucurkan kredit-kredit ke perusahaan properti itu.
Demikian pula ada tender-tender proyek yang dianggap sekedar dagelan yang
tidak mengandung unsur hiburan, akan tetapi bertujuan mengelabui masyarakyat.
Kendati tiap proyek diumumkan secara terbuka, akan tetapi pemenangnya sudah diatur
begitu rapi berkat pengertian mendalam antara peserta tender dan panitia pelaksana
tender. Akibatrnya, banyak proyek yang tidak efisien, bahkan tidak sedikit proyek yang
di-mark up. Surat kabar nasional dan koran local (provinsi) sering memberitakan
permainan tender.
Publik dapat mencatat, jumlah pejabat setingkat gubernur atau mantan
gubernur, pejabat atau mantan bupati, angggota/mantan DPRD, anggota DPR, dan
mantaan menteri, bahkan pejabat penegak hukum yang ditangkap, menjadi tersangka,
diproses KPK, dan sebagian dipenjarakan. Uang rakyat mengalir ke kantong segelintir
orang. Hal itu menjadi salah satu penyebab jumlah orang di bawah garis kemiskinan
terus bertambah di negeri ini.
Perilaku Manusia
Perilaku manusia adalah fungsi interaksi antara manusia dan lingkungannya. Interaksi
tersebut melibatkan kepribadian manusia yang kompleks dengan lingkungan yang
memiliki tatanan tertentu. Perbedaan kepribadian manusia dan lingkungan yang
dihadapinya menimbulkan perilaku manusia yang berbeda-beda. Dengan demikian
sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh adanya latar belakang budayanya, baik
dalam hal bertutur kata maupun cara berinteraksi (bergaul) dengan individu lainnya.
Kita dapat melihat corak dan perbedaan antarindividu dengan individu lainnya.
Demikian juga lingkungan yang berbeda akan menimbulkan perilaku yang
berbeda antara satu individu dan individu lainnya. Ambil contoh seorang perawat yang
melayani orang sakit di rumah sakit. Seorang guru mengajar murid-murid di ruang
kelas, seorang buruh bekerja di pabrik tekstil, seorang artis yang bekerja sebagai
penyanyi untuk menghibur para penggemarnya. Demikian pula seorang komandan
tentara yang bertugas di garis perbatasan negara agar patok-patok perbatasan tidak
digeser oleh negara lain seperti terjadi di perbatasan Kalimantan dengan Serawak,
Malaysia. Tidak kalah peran seorang manajer SDM sebuah perusahaan ekspor udang.
Para pekerja di atas masing-masing mempunyai karakteristik perilaku yang
berbeda antarsatu dengan yang lainnya. Perawat harus ramah dan lemah lembut
merawat orang sakit, sementara komandan tentara harus tegas menghalau orang-orang
asing yang berusaha memindahkan patok-patok perbatasan wilayah Indonesia dan
Negara lain. Jadi, setiap pekerja atau petugas berperilaku yang saling berbeda. Perilaku
yang ditampakkan pada tindakan dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing.
Ilmu perilaku mengembangkan cara-cara untuk memahami sifat-sifat manusia.
Salah satu cara untuk memahami sifat-sifat manusia ini adalah dengan menganalisis
prinsip-prinsip dasar dari sifat manusia itu. Menurut Prof. Dr. Soebagio Sastrodiningrat,
MPA dkk, dalam bukunya Perilaku Administrasi antara lain dikatakan:
segala urusan karena ia merasa kemampuannya rendah. Sementara karyawati yang lain
bereaksi menyerang, brutal, dan marah ketika menghadapi atasannya yang play boy
tadi.
c. Manusia berpikir tentang masa depan, dan membuat pilihan tentang bagaimana
bertindak
Manusia bertindak (berbuat) karena menginginkan sesuatu tercapai atau ingin
memperoleh sesuatu. Seorang karyawan tekun bekerja dan belajar karena
mengharapkan promosi atau perbaikan gaji pada tahun berikutnya. Sementara karyawan
yang lain juga rajin bekerja, terutama ketika ditugaskan oleh bosnya. Ia mengharapkan
bos akan simpatik dan kemudian hari menerima putri tunggalnya dilamar, dan
selanjutnya perusahaan itu akan jatuh ke tangannya.
rupa (sehingga mereka juga puas dan bersemangat) untuk tercapainya tujuan organisasi
secara efektif dan efisien.
Teori-Teori Perilaku
Untuk lebih memahami perilaku manusia dalam kaitannya dengan suatu organisasi, kita
perlu diketahui bagaimana hubungan antara kepribadian dan perilaku individu. Dalam
teori perilaku, proporsi yang ada pada prinsipnya didasarkan atas generalisasi mengenai
sifat-sifat manusia. Diakui bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai sifat-sifat yang
berbeda, akan tetapi dapat ditarik beberapa persamaan secara umum yakni antara lain:
j) Kebanyakan pekerja mengharapkan adanya tindakan yang tepat dan tegas apabila
terjadi pelanggaran/penyimpangan, dan mereka tidak menyukai atasan yang kurang
tegas.
Dari penjelasan di atas tampak jelas hubungan antara kepribadian dan perilaku
individu khususnya dalam organisasi yang demikian kental. Untuk melihat keterkaitan
tersebut akan dipergunakan beberapa pendekatan yang berhubungan dengan teori
kepribadian. Teori yang akan diuraikan dalam konteks perilaku individu ini meliputi
model-model:
Hierarki Kebutuhan Maslow
Jaring Manajerial
Jendela Johari
Aktualisasi diri
Kebutuhan penghargaan
Kebutuhan emosional dan sosial
40
rendah ke yang lebih tinggi, akan tetapi loncatan tingkatan sering pula terjadi. Ling-
kungan dan tekanan-tekanan sosial, ekonomi, mental, dan sebagainya juga akan
berpengaruh. Aspek praktis model ini adalah poin dalam upaya untuk memotivasi
seseorang untuk meraih tingkat tertentu yang belum berhasil diraih. Maka seorang
manajer bisa memanfaatkan keadaan tersebut dalam rangka pemberdayaan SDM
dengan menganalisis motivasi-motivasi yang melatarbelakangi mereka.
Jaring Manajerial
High = tinggi
Concern for
People = kepedulian
terhadap manusia
Low = Rendah
Gambar 3 Jaring Manajerial (Dari Robert R. Blake dan Jane S.Mouton, dalam
Leslie Rae,Using People Skills in Training and Development).
dalam sebuah perselisihan, bukan karena berpendirian netral yang dipilih, melainkan
karena tidak ingin terlibat dalam konflik. Sikap-sikap seperti itu tidak mendorong
loyalitas. Meskipun staf tidak tahu di mana pendirian manajer, mereka tidak peduli.
Dalam interaksi khusus, staf tidak mungkin terlalu memerhatikan nasihat dan komentar
manajerial. Ini memang manajemen yang buruk. Tidak ada keterlibatan manajer baik
pada bawahan maupun pada produksi.
Dalam 1.9 manajer memiliki cara yang leluasa untuk menjalin hubungan yang
hangat dan ramah dengan staf dan orang lain tunduk kepadanya atas nama tugas.
Konflik menjadi satu hal yang dihindari sama sekali, namun jika konflik tidak bisa
dihindari, manajer ini akan berupaya meredakan perasaan-perasaan negatif yang
muncul. Ketika staf tidak bersikap sebagaimana diinginkan manajer, maka ia akan
merasa gagal dan merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengembalikan keramahan
yang dibutuhkan.
Dalam 9.1 secara diametris berlawanan dengan gaya 1.9 karena penekanannya
pada produksi dan tugas, bukannya pada manusi a. Kendali yang ketat dipertahankan
dan penyelesaian tugas mengurangi kepedulian orang hingga ke tingkat minimum;
dituntut kepatuhan terhadap wewenang para manajer dan mereka akan membatasi
pandangan dan gagasan mereka sendiri, bahkan jika hal ini menghasilkan konflik yang
akan diabaikan atau dipadamkan.
Gaya 5.5 sekilas tampaknya menjadi situasi yang ideal, di mana para manajer
mencoba untuk menyeimbangkan hasil produksi dengan kepuasan hubungan manusia,
ditambah dengan kompromi dan mengandalkan sistem dan tradisi. Mereka jarang
mengambil inisiatif, menyukai orang lain yang memimpin atau menemukan pendekatan
yang aman. Mereka meneruskan pandangan ini sehingga popularitasnya bisa dijaga.
Dalam gaya ini hubungan antara manajer dan bawahan terjadi dalam suasana
kebapakan atau kekeluargaan. Gaya kepemimpinan ini memberikan keuntungan sangat
besar bagi organisasi dengan ditandai hal-hal berikut:
Gaya 9.9 ditandai dengan komitmen atas pencapaian tugas yang tinggi, namun
bukan pada perhatian terhadap orang yang dilibati. Manajer dalam 9.9 berhasil melalui
konsultasi, partisipasi, keterlibatan, dan pengembangan komitmen. Manajer bekerja
keras untuk mengembangkan tim, bukan untuk mengendalikan, namun bagi mereka
untuk menghasilkan gagasan konstruktif di mana mereka akan diberdayakan. Apabila
ada gagasan atau pandangan lain yang lebih menjanjikan, maka manajer dengan gaya
9.9 ini akan dapat menerimanya meski dengan merubah pandangannya sendiri.
Begitupun konflik dalam organisasi akan dikelola dengan baik; dan dipandang sebagai
peristiwa alami yang mengarah pada keterbukaan dan penyelesaian; bahkan dinilai
sebagai bagian dari proses pembelajaran. Suasana yang diciptakan dari gaya ini
mendatangkan suasana hubungan manusia yang menjadi baik dan interaksi berproses
secara efektif sebagai peristiwa normal, setiap orang memahami dan menghargai
pelbagai pandangan, gagasan, nasehat, dan arahan orang lain.
Menurut Blake dan Mouton, sebagaimana dikutip Harmanti dan Tarwotjo dalam
Manajemen dan Gaya Kepemimpinan (1988), gaya 9.9 ini adalah yang paling efektif
dari perilaku kepemimpinan. Dengan efektivitas perilaku pimpinan ini maka sinergisme
di antara para pelaku organisasi akan kelihatan lebih nyata dalam memperlihatkan
kinerja yang lebih baik.
Jendela Johari
Jendela Johari adalah sebuah model untuk mengamati atau menganalisis aspek internal,
personal, dan perilaku manusia yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry
Ingram. Model ini memakai nama ‘Johari’ yang merupakan penggabungan dari dari
nama depan mereka, yakni Jo + Hari (y). Model ini memunculkan konsep bahwa ada
empat kaca dalam jendela yang bisa dilihat untuk menunjukkan atau merefleksikan
pelbagai aspek perilaku manusia. Manakala aspek-aspek ini bisa dikenali, maka
kesadaran bisa ditingkatkan untuk memungkinkan orang memodifikasi perilaku
mereka. Jendelanya dua arah dengan informasi mengalir dari orang-orang dan umpan
balik dari orang-orang lain yang memasuki jendela orang tersebut.
Model jendela itu mempunyai empat kotak, tiap kaca mewakili pengetahuan
dalam pelbagai tingkatan. Kaca-kaca itu tidak sama ukurannya untuk semua individu
45
dan setiap jendela individu layak modifikasi, baik sebagai peningkatan kepercayaan
antarorang maupun sebagai akibat penerimaan umpan balik yang saling ditukarkan
antarindividu. Lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:
Tidak diketahui
orang lain
Perhatikan bagian kiri gambar di atas yang kita anggap sebagai kaca kiri atas
dengan nama Gelanggang. Gelanggang mewakili apa yang kita ketahui tentang diri kita
sendiri dan dikenal oleh orang lain. Ini merupakan wilayah terbuka yang diketahui
publik. Ukuran kaca bisa bervariasi menurut keterbukaan seorang individu atau
keinginan mereka yang ingin mengekpos informasi tentang diri mereka sendiri. Kaca
tersebut sangat dipengaruhi orang tersebut, bahkan dengan umpan balik maka citra yang
jelas sangat ditentukan oleh yang bersangkutan.
Semakin terbuka seseorang kepada orang lain, berarti semakin banyak hal
tentang dirinya diketahui oleh orang lain.
Berkaitan dengan Gelanggang dan kemampuan modifikasi dengan cara serupa
adalah bidang Bangunan depan atau yang Tersembunyi. Bagian model kesadaran ini
berkaitan dengan hal-hal yang diketahui tentang diri sendiri, seperti halnya Gelanggang,
namun tidak diketahui orang lain. Kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
menjelaskan peran yang menentukan, apakah Bagian depan dipertahankan. Atau apakah
46
mencoba menggunakan jendela Johari. Kesimpulan yang diperoleh Turyono ada dua.
Pertama, bekerja sama memperluas ruang terbuka. Kedua, membuat suatu permainan
dan berusaha saling memanipulasi dengan memperluas ruang tertutup.
Dalam ruang terbuka, kedua pihak saling membuka diri dan terbuka bagi umpan
balik. Keuntungannya jelas untuk koordinasi usaha dan kerja sama kelompok. Jika
memperbesar ruang tersembunyi, Turyono sebagai bos akan mencari banyak informasi
dari Agus Raharjo sebagai bawahannya. Akan tetapi, sebaliknya memberikan sedikit
informasi. Hal ini membuat bawahan menjadi defensif karena tercipta komunikasi satu
arah.
Jika diusahakan memperluas ruang tersembunyi (tertutup), bos akan lebih
banyak memberikan umpan balik tentang gagasan dan pendapatnya sendiri. Namun,
tindakan bos akan menjengkelkan bagi Agus Raharjo sebagai bawahannya karena bos
tidak terbuka terhadap umpan balik dan gagasan yang disampaikan Agus. Akibatnya
bos tidak akan tahu bagaimana tanggapan bawahan mengenai dirinya. Namun, yang
tidak dikenal dari pihak lain harus sangat hati-hati di dalam menyelidikinya, yang
dilakukan sesuai dengan parameter situasi pekerjaan. Tidak seorang pun berhak
mengetahui secara detail mengenai orang lain.
Kita akui ada individu-individu tertentu yang sangat sulit untuk diidentifikasi.
Individu seperti itu mempunyai Gelanggang kecil dan Bagian depan besar. Individu
seperti itu biasanya orang yang pemalu atau sangat pendiam yang sulit untuk diajak
berinteraksi. Terjadi sedikit pergeseran dan interaksinya, akan tetapi sulit jika jendela
mereka tidak dimodifikasi.
Salah satu akibat dari profil Johari Window adalah bahwa mereka hampir pasti
akan mempunyai banyak kelemahan karena tidak memberi atau menerima umpan balik,
dan bidang yang tidak diketahui tidak terdorong untuk terbuka. Orang seperti itu akan
jarang mencari bantuan dan dalam interaksi yang lebih formal. Orang itu akan
mengalami kesulitan berkomunikasi dan tidak hanya menilai letak persoalan. Namun,
apakah nasihat atau dukungan yang ditawarkan dapat diterimanya?
Dengan menggunakan Johari Window, kita bisa mengetahui seberapa jauh
seseorang terbuka kepada orang lain, atau sebaliknya. Jenis dan jumlah umpan balik
yang terjadi antarmereka untuk mendapatkan paduan yang pas atas keselarasan
hubungan yang harmonis antarpelaku organisasi.
48
General Motors (GM), perusahaan raksasa mobil kenamaan dunia yang berlokasi di
Fremont, California, Amerika Serikat, pernah mengalami hubungan yang buruk dengan
tenaga kerja. Akibat hubungan buruk itu, produktivitas merosot, moral para pekerja pun
merosot yang menyebabkan kualitas produk sangat buruk.
Lewat karyanya Kaizen Strategies for Successful Leadership (1998), Tony
Barnes mengatakan, setelah dua tahun dibuka kembali di bawah manajemen dan
kepemimpinan Toyota yang bermitraan bisnis dengan GM, perusahaan ini meraih
pengakuan internasional. Kualitas dan produktivitasnya mencapai tingkat kelas dunia.
Hubungan manajemen dengan tenaga kerja menjadi lebih harmonis. Keberhasilan
transformasi itu bukan karena penjualan berskala besar atau aktivitas anti serikat
pekerja. Oleh karena pekerjaan baru masih mempekerjakan 85% tenaga kerja dan
pengurus serikat pekerja masih orang-orang yang sebelumnya. Tidak ada perubahan.
Perbedaan yang terjadi—GM bangkit lagi karena adanya perubahan perilaku
baik manajemen maupun karyawan. Pengelolaan SDM dan cara pandang lebih maju,
dan lebih positif yang ditandai dengan munculnya semangat baru dan konsensus
bersama yang saling mempercayai antarmanajemen-karyawan.
Perusahaan baru yang disebutkan dengan New United Motor Manufacturing
Inc., melibatkan serikat pekerja kunci—yakni united auto workers—bertekad
menggantikan cara negosiasi tradisional dan komunikasi yang penuh intrik dan
permusuhan itu dengan bekerjasama antarkedua pihak. Mereka sepakat memecahkan
masalah, mencari pelbagai kesempatan yang saling menguntungkan sambil membangun
iklim keyakinan dan kepercayaan yang lebih baik.
Inti persetujuan antarkedua pihak—serikat pekerja dan manajemen—adalah
persetujuan bersama. Kedua belah pihak sepakat untuk memikul semua risiko,
tanggung jawab, dan keuntungan kemitraan. Prinsip itu dicapai berdasarkan visi
bersama: Dengan bekerja sama, kita mampu menciptakan mobil-mobil subcompact
terbaik di dunia.
Mencapai tujuan itu, kedua belah pihak menuangkan semangat persetujuan itu
ke dalam tujuh tujuan yang hendak dicapai sebagai refkelsi sikap-sikap manajemen
baru GM—yang telah bermitra dengan Toyota—dengan dasar kaizen—falsafah Jepang
49
yang mencakup cara bersikap, berpikir, dan cara berperilaku dalam tujuh butir seperti
berikut:
kaizen merupakan kombinasi karakter huruf Jepang kai—berarti perubahan, dan zen
berarti baik.
Di negara Barat istilah kaizen sebagai konsep manajemen yang digunakan dalam
suatu organisasi perusahaan atau instansi untuk selalu mencapai perbaikan dari waktu
ke waktu dan terus-menerus. Konsep kaizen itu diterima oleh Barat sehingga
menciptakan kultur yang digabung dengan pelbagai keunggulan dan manfaat sehingga
menciptakan kerja sama tim dan kekuatan individu pada sebagian manajemen Barat.
Dalam konsep kaizen, kemajuan yang diraih bukanlah hasil satu lompatan besar
ke depan. Berdasarkan konsep kaizen, kemajuan yang diraih berdasarkan perubahan
kecil tanpa henti dalam beratus-ratus atau beribu-ribu detail yang berhubungan proses
produk dan pelayanan.
Ide tentang detail peningkatan secara rinci itu berasal dari para karyawan biasa
dan juga dari poin penjualan dan pelayanan purna-jual. Asumsi yang mendasari
perubahan dalam kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Artinya
tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem atau struktur yang bisa memenuhi ideal.
Oleh karena itu, selalu akan ada ruang untuk mengadakan peningkatan dengan cara
mengurangi limbah. Usaha lebih menghemat pengeluaran biaya, mendapatkan nilai
tambah dari investasi di pabrik atau bahan baku, lebih menghemat waktu,
meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan keandalan dan lain-lain.
Kalau dilihat dari segi kepemimpinan: memperkuat kohesi tim, menyelaraskan
motivasi, atau meningkatkan kompetensi.
Pokoknya tidak ada yang tetap berdiam diri dalam perusahaan dengan
menggunakan komsep kaizen, dan tidak ada status quo. Dalam konsep kaizen tidak
ada produk yang sempurna karena sempurna tidak bisa diwujudkan. Komsep kaizen
selalu berusaha meningkatkan apa yang pernah dicapai, dan menganggap pasti ada hari
lain atau orang lain yang menemukan ruang untuk mengadakan perbaikan.
Dengan konsep itu maka hasil-hasil yang dicapai tidak dinamai “target”,
melainkan “kuota” atau “standar”. Mengapa? Menurut Dr. W Edward Deming
berkebangsaan Amerika, salah seorang peneliti proses kaizen, bahwa sekali sebuah
target bisa dicapai, maka ada kecenderungan pencapaian itu justru melemah atau
kembali menurun. Sebaliknya kalau yang ditetapkan adalah standar, maka akan ada
motivasi untuk berusaha memenuhi standar tersebut. Dengan demikian, jika suatu
51
standar telah dipenuhi maka diciptakanlah lagi standar baru atau permulaan baru yang
harus dicapai.
Tony Barnes mengemukakan bahwa kaizen mengandung 10 prinsip seperti
berikut:
Walaupun fokus utama kaizen adalah kualitas produk, akan tetapi tujuan
terpentingnya adalah kepuasan pelanggan yang lebih tinggi. Dengan demikian yang
akhirnya menerima pelbagai keuntungan dari instrumen dan prinsip kaizen adalah para
pelanggan. Segala sesuatu yang tidak menambah nilai pada suatu produk dan tidak
semakin meningkatkan kepuasan pelanggan harus dihilangkan. Dengan kaizen,
aktivitas-aktivitas yang tidak memenuhi fokus utama kaizen—sesuai definisi—
merupakan pengeluaran biaya yang tidak perlu sehingga merupakan beban yang tak
bisa dibenarkan.
Seperti disinggung di muka, bahwa dalam kaizen bukanlah hasil akhir dari suatu
tugas. Keberhasilan hanyalah satu langkah maju sebelum mengambil langkah maju
berikutnya. Jadi, tidak ada hasil akhirnya; sebab standar, desain, dan biaya hari ini tidak
akan memenuhi pelbagai kebutuhan pada masa yang akan datang. Para karyawan
mengetaui kaizen bahwa jauh lebih efektif dari segi waktu dan biaya kalau produk yang
sudah ada ditingkatkan kualitasnya dibandingkan dengan kalau setiap waktu harus
memulai dari awal lagi dengan selembar kertas kosong. Dengan demikian, pelbagai
kegiatan peningkatan direncanakan dan dilaksanakan secara terus-menerus.
Etik ini mungkin suatu hal yang dirasa berat oleh sebagian manajer. Jangankan
mau terbuka, sering terjadi justru berusaha menutup-nutupi hal yang dianggap sebagai
kelemahan. Jika pimpinan bersikap seperti ini maka bawahan akan cenderung bersikap
ABS (asal bapak senang). Masalah yang sesungguhnya akan menumpuk, dan sewaktu-
waktu bisa meledak dan membahayakan organisasi yang bersangkutan. Dengan
membangun kultur yang menghargaai keterbukaan, dan tidak saling menyalahkan, para
52
4. Mempromosikan keterbukaan
Tim kerja dalam organisasi kaizen demikian kompak. Setiap karyawan secara
individual memberikan sumbangan berupa reputasi penciptaan efisiensi, prestasi kerja,
dan peningkatan produktivitas. Tim memberikan jabatan, status, dan identitas kepada
para anggotanya. Pertukaran penghargaan dua arah antara tim dan para pemimpin
bersifat saling membantu antarsatu dengan lain untuk meraih tujuan dan keuntungan
pribadi. Melalui keikutsertaan para karyawan dalam tim yang saling mendukung (kerja
sama antartim, tim tahunan, siklus kaizen, dan tim-tim proyek fungsional-silang)
memudahkan perusahaan memperoleh keuntungan dari jaringan kerja para karyawan.
53
Kegiatan ini melibatkan karyawan dalam kehidupan perusahaan dan menanamkan rasa
saling memiliki, tanggung jawab kolektif, dan berorientasi pada kepentingan
perusahaan. Kegiatan ini juga memperkuat keterbukaan, saling berbagi, dan
komunikasi.
Kegiatan tersebut setidaknya mendatangkan dua manfaat. Pertama, pengaruh
antarsesama teman (dan kepemimpinan) bisa memelihara disiplin untuk memastikan
bahwa tidak ada seorangpun dibiarkan mengganggu keseimbangan di dalam tim dan
keharmonisan antar tim. Kedua, setiap orang diberi semangat untuk memanfaatkan
pendidikan dan pelatihan guna memastikan bahwa kontribusi pribadi menambah nilai
pada hasil-hasil tim.
Merupakan sikap mental yang sangat mendukung, jika orang Jepang tidak
menyukai hubungan yang saling bermusuhan dan penuh kontroversi. Bandingkan
dengan situasi dalam organisasi atau perusahaan yang secara murni berorientasi pada
hasil dan memiliki kultur yang saling menyalahkan. Perusahaan manajemen khas
Jepang melakukan segala sesuatu yang mampu mereka lakukan untuk memastikan
bahwa keharmonisan bisa dipelihara dengan banyak menanam investasi dalam
pelatihan di bidang keahlian hubungan antarmanusia bagi semua staf, khususnya bagi
manajer dan para pimpinan tim yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
protokol dan proses hubungan antarmanusia berjalan dengan baik. Supervisor Barat
yang telah bergabung dengan perusahaan manajemen kaizen terkejut setelah
54
mengetahui banyak waktu yang digunakan perusahaan Jepang untuk mendidik para
pemimpin tim di bidang keahlian yang berhubunganan antarmanusia. Dengan
memastikan bahwa proses dan hubungan antarmanusia didesain untuk memelihara
kepuasan karyawan. Hasilnya adalah investasi perusahaan cepat membuahkan hasil
karena karyawan mempunyai loyalitas dan komitmen. Orang Jawa bilang, sopo nandur
bakal ngunduh yang artinya, siapa menanam akan menuai. Dengan menanam investasi
untuk perbaikan SDM dalam arti yang seluas-luasnya, maka organisasi atau perusahaan
akan memetik manfaatnya.
Disiplin pribadi yang tinggi merupakan etos kerja bagi penduduk negara-negara
dan bangsa maju. Jam karet, mbolosan, sekarepe dhewek adalah sesuatu yang aneh
bagi warga di negara maju. Seperti halnya bangsa-bangsa maju yang lain, orang Jepang
mempunyai disiplin pribadi yang tinggi di tempat kerja. Hal itu merupakan sifat
alamiah mereka. Etos kerja mereka menjadi budaya yang dibiasakan melalui
pendidikan, agama, dan norma-norma sosial. Mereka berkeyakinan bahwa
menyesuaikan diri dengan sifat alamiah merupakan penguatan kembali potensi di dalam
diri yang menyejukkan dan menjaga keutuhan. Hal ini menuntut pengorbanan pribadi
untuk menciptakan suasana harmonis dengan rekan sekerja di dalam tim maupun antar
tim. Hal demikian merupakan prinsip utama perusahaan sehingga sifat pribadi yang
penting tetap terjaga serta selalu siap mencapai tujuan perusahaan. (Sedangkan untuk
menumpahkan hal-hal yang pribadi, orang-orang Jepang mengkompensasikan dengan
berkaraoke di bar atau bergabung dengan klub-klub hobi atau fantasi. Dengan cara itu
mereka bisa membebaskan diri dari ketaatan dan keseragaman di dalam kehidupan
kerja mereka. Seorang direktur utama perusahaan misalnya leluasa berkaraoke dengan
staf pemasaran tanpa hubungan yang dibuat-buat.)
Bagaimana konsep kaizen bagi orang Indonesia? Bangsa kita memiliki sifat tepo
sliro, suka gotong royong, ramah, dan mudah beradaptasi. Dengan sifat itu, orang
Indonesia mudah menerima konsep kaizen baik yang diimplementasikan dalam
manajemen perusahaan, atau sebagai consensus bersama dalam organisasi. Apalagi ada
beberapa perusahaan di Indonesia yang bemitra dengan perusahaan milik Jepang yang
beroperasi di Indonesia.
55
Pada era informasi global, pihak yang menguasai informasi demikian mudah
mengakses informasi yang diinginkan. Dunia seakan-akan berada dalam
genggamannya. Kosep kaizen dapat disesuaikan terhadap informasi yang dianggap
penting. Para pemimpin tim dan para manajer menyadari bahwa kalau para karyawan
buta mengenai misi, nilai, produk, kinerja, pekerja, dan rencana perusahaan maka
mereka tidak akan bisa diharapkan untuk berpartisipasi melebihi tugas sehari-hari
mereka. Tugas pimpinan dalam sistem perusahaan, siklus kaizen atau siklus kualitas,
tim-tim proyek, dan lain-lain.
Dengan memberikan informasi yang penting kepada setiap orang maka
tantangan perusahaan berubah menjadi tantangan pribadi. Informasi merupakan
kebutuhan untuk menciptakan kultur berdasarkan ilmu pengetahuan. Dengan
memanfaatkan saluran informasi yang benar, hambatan-hambatan dalam komunikasi
bisa diminimalkan.
Bagi seorang otokrat yang kaku, prinsip yang ke-10 organisasi dengan konsep
kaizen dipandang dengan sebelah mata. Hal itu karena seorang otokrat (“pemain solo”)
mempunyai kepercayaan yang sangat tipis kepada stafnya. Semua tetek bengek urusan
organisasi dari A sampai Z ditangani oleh seorang diri (ia akan kelelahan dan stres
menghadapi tugas yang menumpuk yang harus dirampungkannya sendiri). Melalui
pelbagai pelatihan, dorongan semangat, tanggung jawab pengambilan keputusan, akses
pada sumber-sumber data dan anggaran, timbal balik, rotasi-pekerjaan, dan
penghargaan, para karyawan akan memiliki kemampuan dan kekuatan yang nyata
dalam menangani tugas mereka dan tujuan organisasi.
Berbagi kekuasaan dengan cara memberikan kekuasaan tersebut kepada mereka
yang sedang bertugas memerlukan keberanian manajerial. Dengan konsep kaizen, para
manajer dan para pemimpin tim yang mendemontrasikan keyakinan mereka, diri
sendiri, dan para karyawan dengan mendelegasikan tanggung jawab memiliki lebih
banyak kekuasaan dibandingkan dengan mereka yang merasa takut untuk
mendelegasikan. Sangat penting artinya memahami prinsip kaizen bahwa kapasitas
56
BAGIAN KEDUA
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Teks di atas merupakan peribahasa popular yang dianggap benar. Jarang orang yang
mengkritisinya. Penulis yakin Anda mengerti makna peribahasa itu. Jika ingin
membantu seseorang—katakan misalkan orang itu seorang pengemis—janganlah
memberikan uang sedekah (ikan) yang apabila digunakan langsung habis. Orang itu
akan kembali ke habitatnya, mengemis lagi.
Bagaimana kalau kita memberikan alat pancing yakni kail? Ia bisa
menggunakan kail berulang kali untuk memancing ikan. Namun, pada ilmu manajemen
resiko diisyarakat agar diupayakan resiko seminimal mungkin. Bagaimana kalau alat
pancing itu patah karena memancing seekor ikan yang besar? Jadi, mengapa kita hanya
memberi kail kepada pengemis? Orang yang kita beri kail akan putus asa karena
kailnya patah. Ia akan kembali ke habitatnya semula, pengemis.
Nah, kita harus kreatif melatih orang itu agar mampu membuat kail seperti kail
yang kita berikan. Kemampuannya merupakan wujud pelatihan atau pendidikan yang
diikuti oleh seseorang sehingga ia mempunyai keahlian atau keterampilan. Jika
seseorang memiliki keterampilan (pengetahuan) maka manfaatnya bukan hanya
dinikmati sendiri. Ia dapat memberdayakan orang lain.
Ilustrasi di atas untuk mengingatkan kita betapa perlunya usaha-usaha
pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara konsisten dan berkesinambungan.
Janganlah kita hanya sebagai penikmat produk (mendapat kail), dan hanya konsumtif
(diberi ikan).
Anda dan penulis Kita harus berusaha untuk mampu memberikan kemampuan
agar orang lain dapat membuat kail berupa pengetahuan/keterampilan agar mampu dan
siap bersaing di tingkat lokal maupun global.
58
3
UNIKNYA SUMBER DAYA MANUSIA
Kita sudah membicarakan sumber daya manusia (SDM), dan akan lebih lengkap jika
kita memahami pengertian manajemen SDM. Sebelum membahas pengertian
manajemen SDM, sebaiknya kita memahami manajemen.
Dr. Tarwotjo, M.Sc dan Dra. Harmanti mengemukakan bahwa manajemen
adalah suatu proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang-orang lain.
Sedangkan Abdullah, SE mendefinisikan manajemen sebagai “suatu sistem
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan atas sumber daya, kegiatan serta tujuan
secara efisien dan efektif”.
Namun, definisi apapun yang digunakan, manajemen akan mengarahkan
bagaimana seseorang harus melakukan suatu pekerjaan, mengetahui apa yang
sebenarnya harus dicapai, apa yang perlu disumbangkan seseorang atau kelompoknya
dalam rangka usaha bersama, dan bagaimana hasil-hasil dapat dicapai dengan baik
tanpa adanya duplikasi atau pemborosan waktu, dan sebagainya.
Fungsi manajemen itu antara lain, perencanaan, pengorganisasian, penyusunan
personalia, pengkoordinasian, aktuasi atau bimbingan, penyusunan anggaran, serta
pengawasan.
Mengacu pada pengertian manajemen di atas, maka manajemen sumber daya manusia
pada hakikatnya adalah penerapan manajemen tersebut khusus untuk pengembangan
sumber daya manusia. Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan manajmen SDM
sebagai “seni untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengawasi
kegiatan-kegiatan sumber daya manusia atau karyawan, dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.”
Dalam buku Mengembangkan Sumber Daya Manusia (1998), Notoatmodjo
mengutip batasan yang lebih rinci dan operasional yang dikemukakan oleh Flippo,
59
Suatu ketika seorang pemimpin perusahaan memarahi para karyawan karena menuntut
cuti dijadikan sebagai hak karyawan yang menjadi haknya. Pemimpin itu beranggapan
para karyawan hanya menuntut hak, akan tetapi belum menjalankan kewajiban dengan
baik.
Lain lagi peristiwa berikut, para karyawan melakukan demo menuntut kenaikan
gaji atau jam kerja dikurangi. Pihak manajemen tidak mau memenuhi tuntutan para
karyawan yang dianggap bertindak kebangeten (keterlaluan). Alasan manajemen,
produktivitas karyawan demikian rendah koq menuntut kenaikan gaji.
60
3. Pengawasan kegiatan-kegiatan
4. Penghargaan
d) Tujuan personal 1. Pelatihan dan pengembangan
2. Penempatan
3. Kompensasi
4. Pengawasan kegiatan-kegiatan
5. Penghargaan
Sumber: Soekidjo Notoatmodjo dalam “Pengembangan Sumber Daya
Manusia”, 1998
Fungsi-Fungsi Manajemen
1. Perencanaan
Perencanaan menempati posisi yang sangat menentukan bagi kegiatan
fungsi-fungsi manajemen berikutnya. Apakah tujuan dapat dicapai dengan
berdaya guna atau tidak, sudah ditentukan mulai dari awal perencanaan itu.
Secara definitif, GR Terry menyatakan perencanaan itu sebagai “tindakan
pemilihan fakta dan usaha menghubungkannya, berdasarkan asumsi-asumsi yang
dibuat untuk masa yang akan datang, dalam menggambarkan serta
memformulasi aktivitas-aktivitas yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk
mencapai hasil-hasil yang diinginkan.”
Dalam manajemen sumber daya manusia, maka perencanaan berarti
penentuan program sumber daya manusia dalam rangka mencapai sasaran atau
tujuan organisasi itu. Mengacu pada definisi yang dikemukakan GR Terry, maka
perencanaan haruslah didasarkan atas fakta-fakta; sedangkan asumsi-asumsi
yang dibuat untuk masa yang akan datang mau tidak mau harus dengan bertanya
kepada “hati nurani”. Di sinilah peranan intuisi ikut terlibat bagi pembuatan
perencanaan yang seolah-olah seperti peramalan itu.
Dengan memadukan antara fakta yang rasional (peranan pikiran) dan
asumsi untuk “mengorek” masa datang (peranan hati) maka:
Kegiatan-kegiatan dapat dilakukan secara teratur dan dengan tujuan tertentu.
Dapat diperkecil atau dihilangkan pekerjaan yang tidak produktif.
Bisa menjadi alat ukur atas hasil-hasil yang dicapai.
Uraian tentang manajemen secara umum, periksa lebih lanjut bahasan Rusli Ramli & Adi
2) 2)
a) Menganalisa masalah
Analisis masalah dengan cermat dan jelas, kemudian menguraikannya
dengan ringkas. Memandang kondisi sekarang dengan cermat dan dengan penuh
semangat melakukan perbaikan melalui rencana yang harus dirumuskan dengan
baik. Dan satu hal yang jangan sampai lupa, bertanyalah pada hati nurani.
Dengarkan bisikannya yang nyaring itu, dan saring mana yang mungkin hanya
kepalsuan dan mana yang kejujuran.
Untuk membantu tugas dalam langkah tersebut, kita cermati check list di bawah
ini:
- Apakah tujuan/sasaran perencanaan yang telah dirumuskan?
- Apakah perlu sebuah rencana baru atau rencana diubah seperlunya untuk
mencapai hasilnya?
- Apakah berarti pencapaian tujuan bagi perusahaan?
- Apakah sudah dianalisis suatu konflik yang mungkin terjadi pada tahap
pencapaian tujuan dan sasaran perusahaan agar penyesuaian atau penyisihan
beberapa rencana berlangsung lancar?
- Apakah Anda memerhatikan dan mendengarkan suara hati Anda atau justru
Anda tekan kuat-kuat karena Anda mengira itu hal yang naif? Coba
bicarakan pendapat para pakar tentang suara hati Anda itu.
atau asumsi tertentu terhadap perencanaan yang akan dibuat, menjadi lebih tepat dalam
meramalkannya di waktu sekarang.
Berikut ini check list yang bermanfaat:
- Apakah Anda bersikap jujur kepada hati nurani sendiri selama ini? (Kalau
dalam rapat-rapat Anda senantiasa berani mengemukakan pendapat yang
berasal dari hati nurani—meski Anda sadar akan mendapatkan perlawanan
yang keras, ini adalah salah satu bentuk kejujuran hati).
- Apakah Anda yakin terhadap asumsi-asumsi penting yang dibuat berkenaan
dengan waktu mendatang agar rencana berlangsung lancar?
- Apakah semua informasi mengenai dasar-dasar perkiraan perencanaan dapat
dievaluasi?
- Apakah kelayakan dasar-dasar perkiraan dan hambatan perencanaan akan
berlaku dalam perubahan-perubahan yang akan terjadi sehingga tidak
menyebabkan efek serius terhadap setiap rencana yang didasarkan asumsi-
asumsi itu?
2. Pengorganisasian (organizing)
a) Orang-orangnya
Sumber daya manusia harus dikelola dalam rangka pencapaian tujuan.
Karenanya penugasan dan penempatan orang-orang dalam organisasi harus
diperhitungkan secara rasional. Dalam pengorganisasian, hendaknya setiap orang ada
tempatnya, dan setiap orang pada tempatnya. Dengan pekerjaan dan tempat kerja yang
70
jelas (termasuk tugas, wewenang, dan tanggung jawab), hubungan kerja dapat
diarahkan dalam hubungan kerja yang serasi dan semua berkomitmen terhadap
pencapaian tujuan organisasi.
b) Pekerjaan
Pemberdayaan sumber daya manusia dalam organisasi bertujuan untuk
memberikan tugas atau pekerjaan kepada orang-orang yang terlibat. Pekerjaan dalam
rangka pengorganisasian ditetapkan sebagai satu hasil dari perencanaan yang telah
disepakati. Pekerjaan tersebut yang semula bulat (satu) dibagi-bagi menurut bagian-
bagian organisasi (suborganisasi), kemudian masing-masing dibagi lagi sedemikian
rupa sehingga tiap-tiap orang mendapat beban pekerjaan sebagaimana dikehendaki oleh
organisasi.
d) Suasana kerja
Tempat kerja boleh dikata merupakan rumah kedua dari seorang karyawan.
Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim yang mbetahi (menyenangkan) sehingga dapat
mendukung produktivitas. Oleh karena itu, perlu diciptakan keserasian dan
keharmonisan hubungan antara orang dan orang, pekerjaan, serta tempat kerja dalam
rangka pengorganisasian. Serasi tidaknya hubungan satu unit organisasi, antara
karyawan satu dan lainnya, juga hubungan menyangkut wewenang atas pekerjaan yang
satu dengan wewenang yang lain, jelas akan memengaruhi hasil kerja serta kepuasan
karyawan dalam bekerja.
71
Dalam Manajemen Islam (kalau boleh menggunakan istilah ini) ada hal yang
bisa dijadikan pedoman untuk penempatan personalia, yakni sebuah hadis Rasulullah
SAW yang mengisyaratkan bahwa, jika sesuatu (pekerjaan) tidak diserahkan kepada
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Maksudnya jelas, bahwa seseorang musti
ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan bidang yang dikuasainya.
3. Aktuasi (actuating)
Inilah fungsi yang ketiga dari manajemen menurut GR. Terry. Aktuasi
sebenarnya merupakan kata lain dari bimbingan (direction). Secara definitif, aktuasi
dapat dirumuskan sebagai usaha untuk menjadikan seluruh karyawan untuk ikut
bertekad dan berupaya dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Dengan demikian,
penekanan dari fungsi aktuasi adalah penciptaan kerja sama antara anggota-anggota
73
serta pada pengarahan semangat kerja, tekad, dan kemampuan seluruh anggota untuk
mencapai tujuan bersama.
Dari definisi di atas tampak bahwa ruang lingkup pelaksanaan fungsi aktuasi
adalah berpusat pada pengelolaan sumber daya manusia. Fungsi ini semakin
diperhatikan sehubungan dengan semakin disadarinya pentingnya sumber daya manusia
dalam suatu organisasi. Sumber daya manusia merupakan modal dasar suatu
perusahaan karena melalui manusia-manusia inilah sumber-sumber lainnya dapat
dikelola dan dikembangkan.
Fungsi aktuasi ini mempunyai tujuan agar tercipta kerja sama yang lebih efisien,
berkembangnya kemampuan, bertambahnya keterampilan karyawan, serta timbulnya
perasaan untuk menyukai pekerjaan yang dilakukan. Semua ini jelas diperlukan dan
sangat bergantung pada kemampuan para manajer. Para manajer harus menunjukkan
baik dalam tingkah laku maupun melalui keputusan-keputusan yang ditetapkan, bahwa
mereka memberi perhatian yang besar kepada para karyawan dan berkomitmen tinggi
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
4. Pengawasan (controlling)
Mengawasi sumber daya manusia berarti melakukan kegiatan pengawasan
kepada karyawan sejauh mana pekerjaan mereka laksanakan dan sejauh mana kemajuan
yang telah dicapai.
Fungsi pengawasan tidak terlepas dari fungsi manajemen lainnya seperti
perencanaan, pengorganisasian, dan aktuasi/pengarahan. Fungsi pengawasan ini
berkurang apabila fungsi-fungsi di atas telah berjalan dengan baik. Namun, sangat
jarang terjadi—kalau tidak boleh dibilang tak pernah—fungsi tersebut berjalan dengan
baik, sehingga fungsi pengawasan mutlak diperlukan. Pengawasan dilakukann pada
semua tingkatan manajemen tingkat atas dan pada manajemen tingkat menengah dan
bawah.
Ada beberapa tahapan dalam kegiatan pengawasan ini, yaitu:
1) Mengukur hasil/prestasi yang dicapai,
2) Membandingkan hasil yang dicapai dengan hasil yang diinginkan (standar)
dan mencari kemungkinan terjadinya penyimpangan, dan
3) Memperbaiki penyimpangan tersebut.
74
Fungsi-Fungsi Operasional
- Model-model computer,
- Pendekatan normatif.
Dasar ramalan ini sangat sederhana asalkan para manajer percaya bahwa dengan
meningkatnya beban kerja karyawan dalam organisasinya, maka logikanya jumlah
karyawan juga harus ditambah. Akan lebih baik lagi jika kebutuhan akan tenaga itu
didasarkan pada survei terhadap para manajer atau pimpinan organisasi di lingkungan
76
organisasi tersebut. Dengan demikian teknik ramalan ini sebenarnya bergantung pada
estimasi para ahli tentang kebutuhan sumber daya manusia di suatu organisasi.
Teknik Delphi
Teknik delphi berdasarkan atas estimasi atau ramalan pada kebutuhan kelompok
manajer. Kemudian bagian sumber daya manusia berfungsi sebagai penengah, dalam
arti menyimpulkan pelbagai pendapat kemudian melaporkan kepada para ahli. Setelah
menerima umpan balik tersebut, lantas para ahli melakukan survei. Demikian
selanjutnya sampai mereka mencapai konsesnsus.
Analisis kecenderungan
Model-model komputer
seperti faktor-faktor internal maupun eksternal organisasi, maka para ahli dapat
membuat pelbagai model simulasi komputer yang sangat membantu proses pengadaan
SDM tersebut.
Pendekatan normatif
Pengembangan SDM
SDM yang berkualitas adalah aset yang berharga. Atas dasar alasan ini maka
peningkatan kualitas SDM menjadi demikian penting bagi organisasi yang menyadari
bahwa hidup dan matinya organisasi bergantung pada SDM-nya. John Gardner dalam
esainya The Life and Death of Institutions memberi rambu-rambu bahwa, “Sumber
vitalitas manusia yang masih tak tersentuh, lapisan bakat yang tak tergali, berada pada
orang-orang yang telah diterima dan kemudian diabaikan.”
78
Pada dasarnya SDM bisa dikembangkan seluas-luasnya, tetapi untuk SDM yang
tepat untuk tujuan dan pencapaian visi organisasi perlu mendapat prioritas. Siapakah
yang tepat untuk dikembangkan dan diprioritaskan? Adalah orang-orang yang memiliki
ketrampilan dan pengetahuan tinggi, kemampuan dan kemauan untuk belajar dan
menambah wawasan. Orang-orang seperti inilah yang tepat untuk dikembangkan dalam
rangka pemanfaatan pengetahuannya untuk menciptakan nilai produk organisasi/
perusahaan. Intuisi mereka akan terasah agar lebih kreatif dan inovatif. Orang-orang
yang memiliki kemampuan ini tidak perlu diatur-atur karena dapat mengatur diri
sendiri, dibatasi, disupervisi dan lain sebagainya yang berdampak menghambat intuisi.
Mereka perlu suasana yang nyaman yang merangsang kreativitas, inovasi, dan iklim
yang eksperimental (hal-hal yang bersifat uji coba), serta orang lain dalam hal ini
manajer mau menerima atas kegagalan, dihindari kata-kata kaku, dan diktatoris yang
mengharuskan karyawan dapat mengerjakan tugas apa saja.
Dengan SDM yang cocok dan berhasil dikembangkan maka organisasi akan
dapat “membaca” masa depannya secara nyata sehingga akan menambah nilai (value)
bagi pengguna. Organisasi yang bisa eksis di antara para kompetitor yang semakin
ketat .
Perubahan teknologi
dan mendoan yang mangkal di depan terminal tiap pagi juga mengantongi alat
komunikasi chell mobile.
Dengan demikian pengembangan SDM organisasi maupun perusahaan harus
selalu berorientasi pada pergeseran teknologi untuk meraih kesuksesan pada masa yang
akan datang. Hal tersebut akan menunjang pengembangan SDM secara cepat, sebab
SDM mudah mengakses segala perubahan yang terjadi di lingkungan yang telah
mengalami perubahan itu sehingga ia tidak “gagap teknologi” dan pada akhirnya
pengembangan SDM dapat mencapai puncaknya secara berkelanjutan dan
berkesinambungan.
SDM yang sudah ngeh dengan perkembangan teknologi dan perubahan yang
terjadi di sekitarnya, tidak akan mudah terpengaruh bisikan-bisikan orang lain yang
berusaha menghambat perkembangan. Gambaranya seperti kisah katak yang tuli
sebagai berikut: suatu ketika ada perlombaan katak dalam rangka Tujuh Belasan yang
diadakan oleh sebuah stasiun radio. Diumumkan kepada semua katak, baik katak
bancet (katak yang masih anakan) sampai dengan katak yang sudah kolot, bahwa
barang siapa bisa naik ke puncak menara yang terdapat pada antena pemancar
gelombang radio akan mendapat hadiah menjadi maskot pada puncak piala dunia sepak
bola. Semua katak berkumpul dan berdesak-desakan dan memandang ujung menara
yang tingginya hampir 200 meter. “Wah itu hal yang tidak mungkin. Kita benar-benar
dikadali,” teriak bos katak bernama Berud.
“Pulang aja hayo, loncatan kita jelas sulit mencapai puncak,” teriak katak
kedindang dan lain sebagainya ucapan-ucapan yang menghambat motivasi katak kecil
untuk tidak meneruskan lomba tersebut. Namun, dari ribuan katak tersebut ada seekor
anak katak yang berumur 1 bulan, keturuan blesteran (hasil kawin silang) antara katak
berud dan kedindang yang mampu memanjat, melompat, dan merayap terus dan bahkan
berhasil sampai pada puncak menara. Setelah selesai lomba lantas si katak blesteran
tersebut ditanya oleh ketua penyelenggara dan wartawan, “Apa yang membuat Anda
bisa sampai dan berhasil dengan mulus mencapai menara yang tinggi?” Jawab si katak
blesteran, “Ah, resepnya sederhana kok, saya hanya menyumbat telinga saya serapat-
rapatnya agar tidak mendengarkan suara-suara minor dan pesimis yang berseliweran di
sekitar saya.”
Kisah di atas sering terjadi pada saat ada upaya pengembangan SDM di
perusahaan dan organisasi di mana potensi kemampuan dihambat oleh kelompok SDM
81
yang tidak punya pola pikir konstruktif, inovatif, atau kreatif. Mereka hanya
mengerjakan rutinitas, bekerja, bekerja, dan bekerja terus dengan okol (otot), dan sangat
minim manfaatkan kecerdasan akal ataupun kecerdasan rohaninya. Umumnya mereka
itu mau sukses tanpa kerja keras dan motivasi, mereka biasanya orang-orang lama yang
takut disalip kariernya oleh SDM yang muda.
Organisasi yang mengembangkan SDM menurut Sondang P. Siagian (2003)
terdapat sedikitnya tujuh manfaat yang dapat dipetik melalui penyelenggaraan program
pelatihan dan pengembangan, yaitu:
1. Peningkatan produktivitas kerja organisasi karena tidak terjadi pemborosan,
2. Terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan,
3. Terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat,
4. Meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dan komitmen lebih tinggi,
5. Mendorong sikap keterbukaan manajemen,
6. Memperlancar jalannya komunikasi yang efektif, dan
7. Penyelesaian konflik secara fungsional yang berdampak tumbuhnya rasa persatuan
dan kekeluargaan.
Pengembangan SDM dalam organisasi dilakukan melalui pendidikan dan latihan
(diklat) secara terus-menerus dengan suasana menyenangkan yang menghasilkan karya,
cipta, dan karsa untuk mencapai visi dan tujuan organisasi, sehingga SDM-nya akan
betambah fungsi-fungsinya dan dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain khususnya
pengguna. Dengan demikian SDM yang berkembang dapat dikatakan sebagai aset
bukan sebagai liability. Apa bedanya? Kalau kita punya mobil digunakan untuk
menghasilkan pendapatan sehingga BBM bisa tercukupi maka mobil tersebut sebagai
aset, tapi kalau mobil tersebut hanya untuk alat transportasi, digunakan sebagai
antarjemput karyawan dan mengurangi pendapatan maka mobil tersebut sebagai
liability. Demikian pula perusahaan dan organisasi yang mau mengembangkan SDM.
3. Kompensasi (compensation)
Pemberian balas jasa dari organisasi/perusahaan kepada karyawan atau yang
disebut kompensasi, adalah masalah yang sangat penting sehingga tidak cukup hanya
dipandang dari sudut kewajiban semata, tetapi musti dilihat secara sistematis. Kalau ini
hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban, maka setelah ditunaikan persoalannya
dianggap selesai. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu, sebab masalah
82
kompensasi bisa berdampak langsung pada hidup dan matinya sebuah organisasi.
Bayangkan jika seluruh karyawan merasa tidak puas dengan kompensasi yang
diterimanya, lantas beramai-ramai mengundurkan diri, sambil merusak apa yang ada,
maka akan lumpuhlah organisasi. Oleh kerena itu, dalam pemberian kompensasi perlu
dipertimbangkan pelbagai aspek, antara lain:
a) Standar upah minimum
Upah minimum biasanya ditentukan oleh masing-masing daerah, misalnya ada
Upah Minimum Regional (UMR), atau UMK (Upah Minimum Kabupaten).
Namanya saja minimum, maka itu adalah standar paling bawah, bukannya malah
yang dijadikan alasan untuk memberikan upah hanya sebesar itu, padahal keadaan
perusahaan memungkinkan untuk memberikan upah yang lebih besar dari UMR
atau UMK.
b) Biaya hidup
Apabila organisasi mengharapkan kontribusi yang optimal dari para karyawan,
maka sebaliknya hendaklah dipikirkan kontribusi yang optimal dari organisasi pada
kesejahteraan karyawannya. Memang para pembuat kebijakan di masing-masing
daerah, ketika membuat standar UMR ataupun UMK tentunya telah
memerhitungkan secara saksama biaya hidup minimum masyarakat di wilayahnya.
Namun, masalah imbalan bisa berimplikasi langsung pada produktivitas, maka
manajemen harus memerhitungkannya berdasarkan kalkulasi yang masuk akal
untuk kompensasi yang secara relatif bisa memenuhi harapan karyawan.
c) Produktivitas
Ketika produktivitas karyawan menampakkan gejala peningkatan, manajemen
hendaklah bisa mengimbanginya dengan meningkatkan upah, gaji, tunjangan dan
bonus seperti tunjangan hari raya. Dasarnya adalah peningkatan produktivitas yang
berarti penghasilan organisasi meningkat, dan biaya satuan produksi lebih rendah
sehingga mengakibatkan penghematan dalam keseluruhan biaya produksi.
Karyawan telah berjasa meningkatkan keuntungan organisasi, maka wajarlah kalau
organisasi memberikan penghargaan yang sewajarnya.
d) Kemampuan membayar
Besarnya kompensasi bagi karyawan umumnya dikaitkan dengan biaya seluruh
operasional organisasi. Organisasi yang secara ekonomis mampu, akan lebih
mampu dalam memberikan kompensasi kepada karyawan. Untuk organisasi tertentu
83
Integrasi (integration)
omongannya doang tapi gak ada apa-apanya, dan sebagainya.” Itu bisa berarti Anda
sedang mencetak karyawan yang demikian. Padahal bukan itu yang Anda inginkan
bukan? Robert W. Goddart tidak sedang ngayawara, tidak membual ketika berkata,
“Pekerja yang berprestasi pas-pasan dapat mencapai banyak hal bila mereka yakin
Anda percaya mereka dapat melakukannya. Akan tetapi, para individu yang berpotensi
tinggi dapat menemui kegagalan yang menyakitkan jika mereka menganggap Anda
kurang yakin dengan mereka.”
Pemeliharaan (maintenace)
4
HARGAI AKAL DENGARKAN HATI NURANI
Ketika kita masih kecil dan melakukan sesuatu yang sesuai menurut hati, dan sangat
kita sukai namun teman atau bahkan orang tua justru menganggap kita melakukan
sebuah kebandelan; lantas teman atau orang tua berkata begini, “Dasar anak bandel,
bertingkah hanya menuruti kemauan sendiri.” Semoga kita tidak trauma dengan
cemoohan itu dan kapok dengan tingkah tersebut, lantas setelah dewasa kita jadi
senantiasa menuruti kehendak orang lain (atau apa kata orang lain) meskipun
berlawanan dengan kehendak hati nurani sendiri.
Mengapa? Ada apa dengan hal itu?
Tidak usah jauh-jauh, carilah jawaban itu pada diri Anda sendiri. Coba ukur
keadaan Anda sekarang ini dengan statemen berikut: Jika Anda orang yang berjiwa
merdeka, yang senantiasa bertindak atas dorongan suara hati sendiri, dan terbebas dari
pengaruh tekanan ataupun ancaman orang lain yang berlawanan dengan suara hati Anda
maka hampir dapat dipastikan Anda adalah orang yang dapat meraih sebagian besar
dari apa yang Anda inginkan; Anda juga orang yang relatif sukses dalam hidup ini dan
relatif bahagia menikmati hidup. Hidup berjalan sebagaimana yang Anda harapkan.
Sebaliknya jika yang terjadi kebalikannya, yakni jika Anda senantiasa
membohongi diri sendiri dengan senantiasa melawan kata hati nurani diri sendiri, dan
senantiasa menuruti kata orang lain atau takluk kepada dominasi orang lain, maka
hampir dapat dipastikan Anda adalah orang yang jarang mendapatkan apa yang Anda
inginkan—untuk tidak mengatakan Anda seorang yang gagal; dan Anda juga seorang
yang relatif menderita, dan tertekan. Hidup berjalan seakan di luar kontrol Anda, dan
melenceng dari yang Anda inginkan.
Sekali lagi coba periksa berapa prosen akurasi pernyataan tersebut dengan
keadaan Anda sekarang. Harapan penulis buku ini, Anda berada pada keadaan yang
pertama, senantiasa mendengarkan kata hati dan sukses. Kalaupun berada pada keadaan
yang kedua, yakni kesulitan atau tidak mau mendengarkan kata hati, semoga Anda tetap
berada pada jalur kesuksesan, sehingga berharap statemen di atas seratus persen salah.
88
Namun, jika statemen di atas tidak benar, kiranya Robert K. Cooper dan Ayman
Sawaf tidak akan mengatakan begini, “Apabila Anda telah belajar mengakui perasaan
dari dalam hati, secara emosi bersikap jujur kepada diri sendiri, membentuk dan
mengelola energi Anda, dan mengalahkan impulsivitas serta dengan aktif menghargai
umpan balik emosi, Anda sudah siap mengundang intuisi Anda, dan mulai
mempercayainya untuk membantu membimbing Anda dalam kerja dan dalam hidup
sehari-hari.”
Jadi, orang yang tidak mau, tidak bisa, atau tidak mampu mendengarkan kata
hatinya, adalah alamat orang yang akan menemui banyak kendala dalam hidupnya. Ini
mudah dipahami mengingat kata hati yang merupakan “pembisik”, penunjuk arah
menuju apa yang dicita-citakannya, diabai-kannya sehingga ia pun jadi seperti meraba-
raba dalam gelap dan sunyi.
Kemungkinan banyak sebab mengapa seseorang tidak mau (atau sulit)
mendengarkan kata hatinya. Coba kita runut dari faktor pendidikan atau perlakuan
orang tuanya. Coba lihat di sekitar kita, atau mungkin kita sendiri yang menjadi
pelakunya, yakni adanya orang tua yang mendominasi bahkan cenderung otoriter atau
diktator kepada anak.1) Anak serba “tidak boleh” dan “serba harus” mengikuti selera
orang tua. Misalnya anak ingin belajar naik sepeda tidak boleh mbok nanti jatuh, anak
mau bermain dengan teman-teman tidak boleh mbok nanti kotor; anak mau menikmati
makanan kesukaannya juga tidak boleh mbok nanti perutnya sakit.
Si anak dibebani dengan keharusan les atau kursus yang dipilih oleh orang tua,
berbuat kegiatan yang tidak disenangi anak, dan sebagainya yang sama sekali tidak
disukai oleh anak. Belum lagi celaan kepada anak yang tengah melakukan aktivitas
yang disukainya. Begitulah orang tua menanamkan kepribadian “budak” yang harus
nurut kepada orang tua. Anak tak punya inisiatif, dan merasa tak punya “kekuasaan”
untuk melakukan atau memilih apa yang menjadi kata hatinya. Maka ketika dewasa
jangan sesali kalau anak belum juga menjadi orang yang matang akibat ia seperti
mendapat hambatan dalam mendengarkan bisikan-bisikan halus kata hatinya yang
justru akan mengantarkannya pada cita-cita yang dicanangkannya. Namun, kalau
kecerdasan intelegensi itu relatif stagnan sepanjang hidup anak, tetapi kecerdasan
1) 1)
Untuk menambah wawasan tentang pengasuhan anak, baca buku Dawn Lighter, MA, 50 Cara
Efektif Menanamkan Tingkah Laku Positif pada Anak (Gentle Discipline 50 Effective Techniques for
Teaching Your Children Good Behavior), alih bahasa Chaterine Wisaksono, Yogyakarta: Kanisius,
1999.
89
bersikap jujur atas apa yang dibisikkan suara hatinya dan bersedia mengungkapkannya
bagi keberhasilan organisasi.
Apakah yang kita lakukan ketika merasa ada dorongan emosi yang seolah-olah
merupakan suara hati? Apabila kita merasakan suatu dorongan emosi yang tiba-tiba dan
kuat yang mendesak kita untuk berperilaku tertentu, masuk akal bila kita menenangkan
diri sejenak dengan tidak berbuat apa-apa. Ini bukan berarti melarikan diri dari konflik,
melainkan memberi kesempatan untuk memelajari emosi itu dan memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Sejumlah penelitian terbaru telah
menegaskan manfaat dan pentingnya penenangan diri sejenak seperti itu. Apabila kita
berhadapan dengan suatu lingkungan yang menyesakkan atau lingkungan baru, otak
mempunyai kecenderungan bawaan untuk berbuat hal yang sama, tetapi lebih keras,
yakni reaksi membabi buta. Kita dapat dengan sadar mengatasi kekurangan ini dengan
memperlambat proses yang biasanya berlangsung cepat. Berdiam diri sejenak seperti itu
terbukti berhasil membuahkan manfaat karena memungkinkan kita mendengarkan
informasi dari dalam hati dengan lebih baik.
Selain menenangkan diri dengan berdiam diri sejenak, berikut ini sebuah latihan
praktis yang menurut Robert K. Cooper & Ayman Sawaf memungkinkan tumbuhnya
pemahaman diri yang lebih mendalam. Bertanyalah kepada diri sendiri, ”Jika saya
bertanggung jawab atas setiap perasaan yang saya alami dan atas setiap kata yang
saya ucapkan, maka …” Apa jawab Anda?
Ketika latihan ini diujicoba kepada sejumlah eksekutif, berikut ini beberapa
komentar yang mereka berikan sesudah mempraktikkannya:
Saya menjadi lebih sigap dan waspada.
Saya menjadi lebih serius.
Saya menjadi lebih diperhitungkan.
Saya harus mempraktikkan semua nilai yang saya anut.
Saya menjadi jarang membuat keputusan gegabah yang berakhir dengan akibat
buruk.
Saya harus makin jujur secara emosi.
Saya harus mengerahkan perhatian lebih banyak.
Saya tidak akan berbuat atau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati orang
lagi.
91
Berikut adalah sebuah strategi tiga langkah untuk belajar mengelola energi
emosi dari Roabert K Cooper dan Ayman Sawaf:
1. Akui dan rasakan emosi yang Anda alami, jangan Anda sangkal atau Anda
tekan.
2. Dengarkan informasi atau umpan balik di balik emosi yang Anda alami.
Tanyakan kepada diri sendiri, misalnya, “Prinsip, nilai, atau sasaran apa
yang saya pertaruhkan di sini?”
3. Arahkan, atau salurkan, energi emosi menjadi tanggapan atau reaksi yang
tepat dan konstruktif.
Coba latih dan terapkan strategi tiga langkah dalam mengelola energi emosi dari
dalam tersebut sebagai salah satu pendekatan untuk kesuksesan kepemimpinan Anda.
Pendekatan Kepemimpinan
dapat diletakkan dalam suatu kontinum dari perilaku pemimpin yang sangat otokratis
pada suatu ujung, dan perilaku pemimpin yang sangat demokratis pada ujung yang lain.
Dalam praktiknya, kebanyakan pemimpin berada di antara dua ekstrem gaya tersebut;
bahkan dalam kondisi tertentu seorang pimimpin yang dipandang demokratis bisa pula
bersikap otoriter, atau sebaliknya.
Dilihat dari operasional, Harmanti dan Tarwotjo dalam Manajemen dan Gaya
Kepemimpinan (1988), menggolongkan pendekatan kepemimpinan menjadi enam
golongan sebagai berikut:
1. Situasional
Kepemimpinan situasional disarankan adanya sifat yang luwes dalam penyesuaian
diri, langkah, dan kebijakan dalam pelbagai situasi dalam teori ini. Kepemimpinan
dibentuk oleh empat variabel yaitu pemimpin, pengikut, organisasi, dan pengaruh
lingkungan (politik ekonomi sosial budaya). Analisis terutama ditujukan pada
penyesuaian antara pemimpin dan bawahannya. Untuk menentukan seorang
pemimpin diperlukan beberapa pertanyaan antara lain:
- Apakah seseorang mempunyai pengalaman situasi tertentu pada masa lalu?
- Apakah keadaan posisi pada masa lalu merupakan ciri baginya untuk
memimpin?
Semua hal itu memerlukan penelitian yang seksama untuk memperoleh jawaban
yang tepat.
Boleh jadi selama ini Anda sudah merasa “enjoy” dengan gaya kepemimpinan Anda.
Artinya Anda merasa gaya Anda lah yang paling baik sehingga merasa tidak perlu
melihat atau mendengarkan masukan dari manapun. Namun, sehubungan dengan
pesatnya perkembangan organisasi dan kebutuhan manusia, maka RB. Maddux dalam
Team Building (2001) menganjurkan bagi mereka yang ‘berwenang’ untuk selalu
meninjau ulang dan memperbarui gaya-gaya mereka. Hal ini merupakan satu-satunya
cara yang dapat dilakukan untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan supaya tetap
efektif. Rencanakan bagaimana Anda akan membuat perubahan dalam gaya yang
diperlukan dan tinjaulah hasilnya dengan cermat. Tetaplah membuat penyesuaian
sampai Anda mencapai sasaran yang diharapkan. Anda tetap terbuka terhadap cara-cara
lain guna meningkatkan kualitas kepemimpinan Anda.
Di muka sudah disinggung tentang kepemimpinan dalam kultur Kaizen. Untuk
referensi atau sekadar membandingkan dengan gaya kepemimpinan Anda selama ini,
mari mengupas hal itu lebih jauh. Menurut Tony Barnes dalam Kaizen Strategies for
Successfu Leadership (1998), berdasarkan praktik perusahaan Kaizen dan perusahaan
yang dipengaruhi oleh Kaizen, bahwa peranan seorang pemimpin semakin menjadi
peranan yang menuntut tanggung jawab untuk: pertama, mengimplementasikan apa
yang disebutnya persamaan pemampuan; dan kedua, manajemen tim.
Persamaan pemampuan merupakan simbol Kaizen yang paling berpotensi dan
merupakan tanggung jawab yang telah diberlakukan bagi seorang pemimpin dalam
95
kultur bisnis Kaizen. Adapun bunyi Persamaan pemampuan itu adalah sebagai
berikut:
Kalau seorang karyawan tidak tahu apa yang harus dikerjakan …komunikasikan,
Kalau seorang karyawan tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya …adakan
pelatihan,
Kalau seorang karyawan tidak ingin mengerjakannya …beri motivasi
Kalau seorang karyawan tahu apa yang harus dikerjakan, berkompetensi dan
memiliki motivasi untuk mengerjakannya …berdayakan, dan
Kalau seorang karyawan sudah mengerjakannya dan memenuhi standar (atau
melebihi) …beri penghargaan.
Jadi, lima komponen penting yang harus dikelola dengan baik dan benar:
Komunikasi, Pelatihan, Motivasi, Pemberdayaan, dan Penghargaan. Kelima
kompenen ini sekaligus mengekspresikan keahlian inti yang menjadi kompetensi para
pemimpin Kaizen. Demikian pentingnya sehingga tidak boleh dilakukan asal-asalan.
Atas alasan ini mari satu persatu kelima komponen tersebut dikupas lebih jauh.2)
Komunikasi
Sebagaimana diutarakan di atas, Kaizen adalah sebuah konsep dan filsafat yang berasal
dari Jepang, yang mencakup sikap, cara berpikir, dan cara berperilaku. Sebagai konsep
manajemen, Kaizen berarti “perbaikan yang terus-menerus”. Dalam Kaizen
digabungkan pelbagai keunggulan dan manfaat kerja sama tim. Sedangkan untuk kerja
sama tim diperlukan komunikasi sebagai perekat antara satu dengan yang lainnya.
Pemimpin Kaizen didudukan dalam posisi yang strategis di pusat jaringan komunikasi
dalam organisasi yang bersangkutan. Ia merupakan penjaga pintu gerbang komunikasi
fundamental yang penting agar arus komunikasi mengalir deras. Ia bertanggung jawab
atas asal muasal, penerimaan, interpretasi, presentasi, pengarahan, serta manajemen
informasi dan jalannya komunikasi untuk dan dari tim mereka.
Pada era global ini, pihak yang menguasai informasi potensial menjadi
pemenang dalam kompetisi yang semakin ketat. Seorang pemimpin Kaizen adalah
pemegang kunci informasi. Secara alamiah, karena informasi disebarkan dengan
2) 2)
Periksa Tony Barnes, Kaizen Strategies for Successfu Leadership (Strategi Kaizen untuk
Kepemimpinan Sukses), alih bahasa Martin Widjokongko, Interaksara, Batam, 1998.
96
terbuka maka informasi dalam organisasi Kaizen bukanlah sumber dari kekuasaan
pribadi yang harus dipertahankan, melainkan merupakan sumber efisiensi tim dan
organisasi; dengan demikian informasi dicari dan dibagikan dengan penuh antusias.
Informasi terdistribusi dua arah melalui jaringan yang jelas, sehingga umpan
balik merupakan bagian dari hubungan antarmanusia dan komunikasi antartim yang
tidak dapat dipisahkan, serta tidak ada seorang pun yang kebal dari penilaian.
Para pemimpin tim Kaizen memegang peranan yang sangat penting di bidang
komunikasi. Mereka harus mampu membaca, mengerti, dan mempresentasikan kembali
kepada para anggota tim misalnya tentang analisis pasar dan pelanggan, laporan laba
rugi, laporan transaksi, laporan produksi dan lain-lain. Para pemimpin Kaizen juga
harus berpartisipasi dalam sesi umpan balik agar mereka mengetahui tentang kecacatan
karakter yang berpotensi menjadi kelemahan dalam proses komunikasi.
Menurut Tony Barnes, pemimpin Kaizen yang ideal adalah seorang yang:
- Berpikir terbuka,
- Mampu menciptakan konsep,
- Cerdas, bersedia, dan mampu mempelajari perilaku baru,
- Berorientasi tim,
- Fleksibel dan mudah beradaptasi
- Mendisiplinkan dan memotivasi diri sendiri,
- Komunikator ide kelas satu,
- Setia terhadap tim dan perusahaan (organisasi) mereka,
- Responsif kepada para pemimpin, dan
- Pandai memahami persepsi orang lain.
Setelah menerima informasi dan atau instruksi baru tetapi karyawan tidak tahu
bagaimana cara mengerjakannya, maka adakan pelatihan.
Pelatihan
Pelatihan dalam organisasi Kaizen bukan hanya diperuntukkan bagi para karyawan atau
para pemimpinnya, melainkan harus diberikan kepada semua orang (dalam organisasi
tersebut), dan harus sesuai konteks. Dalam budaya yang senantiasa menjunjung tinggi
status quo, anti perubahan, dan alergi terhadap perbedaan, maka pelatihan termasuk di
dalamnya penanaman nilai-nilai yang pro kemajuan harus digalakkan. Kaizen akan sulit
untuk sukses kalau tenaga kerja hanya mengkopi apa yang mereka dengar dan sebagai
rutinitas, atau malah secara membabi buta mengikuti aturan-aturan perilaku yang telah
digariskan. Namun, mereka harus diberi semangat untuk memakai cara berpikir
mandiri, dan senantiasa mengambil inisiatif.
Dalam organisasi Kaizen, karyawan bukanlah “unit-unit buruh”, melainkan
sumber daya yang sangat berharga. Mereka memiliki kemampuan untuk menemukan
dan bisa menjadi sumber dari ide peningkatan, proses, desain produk, dan kualitas
manufaktur. Mereka musti diberi kepercayaan untuk memberdayakan apa saja yang
mereka miliki (tenaga, pikiran, hati, komitmen, dan lain-lain), bagi organisasi. Jelaslah
bahwa pendekatan (baru) mereka terhadap pekerjaan menuntut pengertian tentang
prinsip dan instrumen Kaizen, plus kemampuan berkomunikasi dan pelatihan multi-
ahli.
Manakala ruang lingkup pekerjaan setiap orang diperluas, maka tenaga kerja
menjadi sumber daya yang lebih berharga, mampu memberikan nilai tambah, serta
mampu menunjukkan kesempatan peningkatan di pelbagai bidang tugas dan proses
dibandingkan individu yang hanya “mengalir”, sekadar terlibat mengikuti arus. Orang
Jawa bilang hanya sekadar anut grubyug.
Pelatihan bukan hanya formalitas, apalagi hanya temporer sekadar untuk
menghabiskan dana daripada hangus sebagaimana disinyalir terjadi di beberapa
organisasi pemerintah. Dengan mendidik dan melatih setiap orang secara terus-
menerus, dalam basis noneksklusif, maka organisasi mampu meraih tujuan untuk
menjadi “organisasi pembelajar”.
98
Budaya Indonesia yang kental dengan nilai religiusnya, misalnya dalam Islam
yang menekankan umatnya untuk belajar seumur hidup, kiranya sangat tepat untuk
menerapkan metode pembelajaran yang berkesinambungan dalam Kaizen. Dalam
Kaizan sangat disadari bahwa jika terjadi kekosongan dalam pelatihan dan
pembelajaran maka kemajuan tidak akan pernah bisa diwujudkan melainkan hanya
berakibat kemunduran bagi siapapun, termasuk juga bagi individu.
Seorang pemimpin dari organisasi pembelajar ini akan senantiasa bertanya,
“Apa yang selanjutnya harus diketahui oleh orang-orang dalam organisasi ini?”
Sedangkan aura positif pembelajaran yang mewarnai organisasi ini selanjutnya akan
menggugah karyawan sehingga mereka pun akan haus untuk bertanya, “Apa yang
selanjutnya harus saya pelajari?”
Seorang pemimpin tidak boleh lengah dalam menjaga ‘suasana kebatinan’
dalam organisasi yang positif itu. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
hendaklah berhubungan dengan misi organisasi, tujuan, strategi, perencanaan teknis,
indikator kinerja kunci dan kompetensi kerja pribadi, serta didasarkan pada pengadaan
analisis tentang kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman (SWOT: Strength,
Weaknes, Opportunity, dan Threat) yang rinci serta bertindak dalam frekuensi yang
99
Motivasi
Meskipun karyawan sudah mengerti apa yang harus dikerjakan, dan juga sudah tahu
bagaimana cara mengerjakannya, tidak serta merta mereka mau melakukan apa yang
menurut pimpinan harus mereka lakukan. Harus ada “faktor penggerak” agar mereka
tidak diam atau “jalan di tempat”.
Faktor itu adalah motivasi. Ini mudah dipahami mengingat bahwa seseorang
pergi ke tempat kerja adalah mempunyai bervariasi alasan, harapan, dan tujuan.
Menurut Pat Wellington (Tony Barner, 1998) merupakan hal umum dan berlaku sama
adalah bahwa setiap pemimpin tim bertanggung jawab untuk mengetahui pelbagai
macam kebutuhan para karyawannya serta memberikan kesempatan dan
dukungan yang memuaskan mereka.
Ia mengingatkan, meskipun demikian tidak berarti bahwa individu bebas dari
semua tanggung jawab. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menarik manfaat dari
setiap kesempatan yang tersedia dengan cara aktif berpartisipasi. Sebagai contoh, aktif
berpartisipasi dalam program pelatihan dan pendidikan, kerja sama fungsional-silang
dan pertukaran informasi.
Dalam organisasi Kaizen terdapat kesempatan dan dorongan semangat yang
besar untuk mengekspresikan diri. Organisasi Kaizen merupakan tempat yang kondusif
bagi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan versi Abraham Maslow (lihat kembali hierarki
kebutuhan menurut Maslow di atas), terutama kebutuhan yang menyangkut ego
100
(meskipun diakui oleh Tony Barnes bahwa dalam perusahaan Kaizen ortodoks, ego
yang dipuaskan adalah ego kolektif tim) dan aktualisasi diri. Di tempat kerja,
pemenuhan dua kebutuhan tersebut merupakan motivasi manusia yang terbesar. Potensi
lain dalam memuaskan kebutuhan manusia yang ditawarkan aktivitas Kaizen misalnya
dalam mengekpresikan diri dan diakui, serta untuk melatih kreatifitas seseorang.
Kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi adalah kebutuhan akan rasa aman
(aman dari teror atasan yang sewenang-wenang), kebutuhan akan emosional dan sosial,
serta kebutuhan akan penghargaan. Rasa aman juga harus dipenuhi berkaitan dengan
adanya jaminan kepastian bahwa kebutuhan dasar (fisiologis) dari karyawan yang
bersangkutan akan terpenuhi.
Satu hal penting lain yang dapat menjadi sumber motivasi bagi karyawan adalah
menyangkut aspek pribadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang pintar
memotivasi karyawan tahu bagaimana caranya membuat karyawan ‘ingin mati’ bagi si
pemimpin. Sebaliknya tidak sedikit pemogokan karyawan bahkan sampai mengarah ke
sabotase akibat pemimpin tidak bisa memainkan peranannya dengan baik.
Dalam budaya Timur ada rujukan agar seorang pemimpin bisa berperan lebih
baik sehingga dapat memicu motivasi karyawan, yakni sebagaimana terangkum dalam
Hastabrata. Berdasarkan Hastabrata (dalam Soeprapto, M.Ed dkk, 1988), seorang
pemimpin hendaklah memiliki sifat-sifat:
1. Matahari (surya) mempunyai sifat panas dan penuh dengan energi, serta menunjang
kehidupan. Seorang pemimpin hendaknya dapat memberi semangat kepada orang
yang dipimpin sehingga suasana menjadi hidup, energik, dan penuh dengan
kreativitas dan dinamika. Seorang pemimpin hendaknya dapat menimbulkan
kegairahan orang yang dipimpinnya.
2. Bulan (candra) bersifat indah, sejuk, menawan, dan mampu menerangi kegelapan.
Seorang pemimpin hendaknya dapat memberikan keteduhan dan katenteraman batin
orang yang dipimpin, misalnya ia dapat membantu pemecahan persoalan yang
dihadapi orang-orang yang dipimpinnya.
3. Bintang (kartika) merupakan petunjuk arah bagi mereka yang kehilangan jejak. Ia
merupakan pedoman bagi orang yang memerlukannya. Seorang pemimpin
hendaknya dapat menjadi panutan; tingkah laku dan perbuatannya patut diteladani.
4. Angin (bayu) memiliki sifat merata, serta dapat mengisi setiap ruang yang kosong.
Angin mampu menembus dan masuk ke segala tempat. Jadi, seorang pemimpin
101
hendaknya bersifat teliti, cermat, dan mampu menyelami hati/pikiran orang yang
dipimpin.
5. Awan (mega) memiliki sifat menakutkan, namun bila berubah menjadi hujan akan
memberikan kesegaran dan kehidupan. Pemimpin yang mempunyai sifat mega ini,
adalah pemimpin yang berwibawa, namun ia menyenangkan orang yang
dipimpinnya, sebab keputusan yang diambilnya adalah bijaksana atas pertimbangan
atau berorientasi kepentingan umum/bersama.
6. Api (dahana) bersifat tegak dan tidak pandang bulu apapun yang pantas dibakar,
dibakarnya. Pemimpin yang mempunyai sifat api, memiliki prinsip dalam sikapnya,
tegas, tidak pilih kasih dan bertanggung jawab. Siapapun yang salah akan dikenai
tindakan, dan sebaliknya yang berjasa akan diberinya penghargaan.
7. Lautan (samudra) mempunyai sifat luas, dapat memuat apa saja, tempat
penampungan segala benda untuk kemudian dibersihkan. Hal ini merupakan
perlambang bahwa seorang pemimpin hendaknya berpandangan luas, sabar, mampu
menampung segala macam persoalan, serta sekaligus mampu memecahkannya.
8. Bumi (bantala) mempunyai sifat kokoh dan sentosa. Maka seorang pemimpin
hendaklah bersifat luhur dan sentosa budinya, kokoh dan tenang dalam menghadapi
persoalan, serta mempunyai sifat yang jujur.
Pemberdayaan
Pemberdayaan harus lebih diefektifkan setelah karyawan tahu apa yang harus
dikerjakan, memiliki kompetensi yang cukup, serta memiliki motivasi untuk
mengerjakannya. Pemberdayaan bisa menjadi sumber motivasi yang penting karena
bisa menjadi pertanda bahwa pimpinan menghargai dan mempercayai para karyawan,
dan membebaskan mereka untuk menggunakan potensi atau kemampuan yang mereka
102
miliki (boleh jadi merupakan hasil pelatihan dan pengembangan yang diinvestasikan
dalam diri mereka).
Namun, dalam pemberdayaan itu terkandung pembatasan yang jelas. Seperti
dikatakan Pat Wellington bahwa, “Memberdayakan karyawan bukan berarti
menyerahkan wewenang dan kontrol perusahaan kepada para karyawan—otoritas
pengambilan keputusan utama harus tetap berada di tangan manajemen senior—
manajemen senior harus memampukan mereka untuk membuat dan melaksanakan
keputusan lokal yang mempengaruhi pekerjaan mereka sendiri. Ini berarti bahwa setiap
karyawan dan setiap tim harus diberi arena kebebasan fungsional tertentu sehingga
mereka mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka.
Keputusan atau tindakan yang berada di luar garis batas dari arena individu atau
kelompok merupakan subjek otoritas pemimpin tim atau manajemen, dan hal ini bisa
dimengerti oleh para karyawan. Mereka harus memiliki kebebasan di dalam arena,
artinya mereka diberdayakan, untuk beroperasi menurut otoritas milik mereka sendiri.
Hampir senada dengan Pat Wellington, Tony Barnes menyatakan bahwa
memberdayakan para karyawan itu artinya adalah:
- Memberi kepercayaan kepada mereka untuk mengambil keputusan yang benar,
memberi kebebasan untuk mengambil keputusan serta memastikan bahwa mereka
menerima tanggung jawabnya.
- Meyakinkan mereka bahwa membuat kesalahan itu tidak mengapa asalkan mereka
belajar dari kesalahan dan memodifikasi perilaku masa depan agar sesuai.
- Melegitimasi pengambilan resiko yang diperhitungkan dan menyerahkan otoritas
pengambilan keputusan pada tingkat terendah, yaitu bagi mereka yang
memperhitungkan resikonya.
- Menetapkan garis dukungan kepemimpinan yang jelas di dalam masing-masing batas
arena, serta memanajemeni harapan sesuai dengan batas arena tersebut.
Pemikiran seperti itu tidak pada tempatnya dimiliki oleh seorang pimpinan, sebab
bukan pekerjaan pimpinan untuk menyelesaikan semuanya. Secara definitif saja
manajemen adalah pencapaian tugas-tugas melalui para karyawan. Pimpinan
mempunyai “jatah” tugas yang berbeda dari staf, misalnya melakukan penilaian
atas kinerja staf, pengawasan di bidang tertentu, ataupun mengatur strategi
organisasi secara umum. Di kalangan manajer sering terdengar humor yang
berbungi, ‘seorang manajer yang baik adalah manajer yang datang ke kantor
seminggu sekali’. Apa maksudnya? Jangan dipandang sisi negatifnya dengan
mengecap itu adalah manajer pemalas atau pembolos; tetapi di situ terkandung
maksud bahwa meskipun ia datang seminggu sekali semua pekerjaan dapat berjalan
dengan baik, sebab ia telah berhasil membuat para stafnya dapat melakukan semua
pekerjaannya dengan baik.
Jika seorang pimpinan berupaya melakukan hal yang lebih banyak maka hampir
pasti ia akan gagal dalam:
- melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dan
- menyelesaian tambahan pekerjaannya.
Maka harus disadari bahwa delegasi memungkinkan staf untuk menyelesaikan
pekerjaan dan memberi mereka kesempatan mengembangkan keterampilan dalam
tingkat yang lebih tinggi.
4. Bagaimana saya bisa tahu bahwa hal itu dilakukan dengan benar?
Patokan yang bisa digunakan dalam pendelegasian ini adalah, jika Anda mengikuti
panduan yang diberikan untuk penugasan pendampingan—perencanaan, penetapan,
tugas secara efektif, mengkaji ulang—maka Anda akan mampu memastikan bahwa
hal ini dilakukan dengan benar, tanpa perlu mengecilkan peran karyawan lain.
Tanggung jawab utama untuk setiap tugas di tangan Anda, akan tetapi delegasi
yang dikendalikan akan memastikan bahwa kekurangan apapun atau kelemahan
utama berkaitan dengan pendelegasian ini akan cepat terdeteksi sehingga peluang
untuk gagal dapat diperkecil.
6. Mungkin karyawan lain tidak menyukai saya jika saya memberi pekerjaan kepada
mereka.
Hal itu wajar, terutama jika karyawan lain merasa itu sebagai upaya untuk
menjadikan mereka bekerja lebih keras tanpa imbalan tambahan . Di antara mereka
mungkin ada orang yang militan yang secara otomatis menentang gagasan-gagasan
Anda. Namun, sebagian besar penolakan itu disebabkan oleh kesalahpahaman
tentang mengapa Anda mendelegasikan tugas tersebut kepada mereka. Sebenarnya
hal itu bergantung pada Anda bagaimana mengenalkan dan mempertahaankan
pendelegasian. Oleh karena itu, sebelumnya adakanlah rapat tim untuk memulai
program delegasi, menggambarkan gagasan Anda, dan kemudian mencapai
kesepakatan. Hal yang harus Anda hindari adalah kesan bahwa Anda kelebihan
beban kerja untuk alasan Anda sendiri, ini akan dilihat sebagai kelemahan Anda
dalam memberdayakan karyawan.
Penghargaan
Jikalau seorang karyawan sudah memenuhi standar (atau bahkan melebihi), maka yang
harus dilakukan manajemen adalah memberikan penghargaan kepada karyawan yang
telah berhasil melakukan tugasnya. Penghargaan itu sesuai dengan karyawan; dalam arti
bisa memacu motivasinya ataupun memberikan perasaan puas bagi yang menerima.
Apakah berupa uang, promosi, suasana kerja yang menyenangkan, ataukah bentuk
penghargaan lainnya?
Jawaban atas pertanyaan di atas bisa sangat relatif. Sekadar untuk perbandingan
coba lihat hasil studi yang dilakukan oleh Dr. Sharon Mason dari Brock University di
Ontaria, Kanada, (dalam Tony Barnes, 1998) tentang aspirasi nilai-nilai kerja dari
empat kelompok responden yang berbeda, dengan hasil sebagai berikut:
107
NILAI KERJA
Pegawai Pria Pegawai Wanita
1. Kesempatan naik jenjang 1. Diperlakukan dengan hormat
2. Belajar pelbagai keahlian baru 2. Gaji/keuntungan
3. Gaji/keuntungan 3. Mempelajari keahlian baru
4. Diperlakukan dengan hormat 4. Supervisor yang dihargai
5. Pekerjaan yang menantang 5. Kesempatan naik jenjang
Manajemen Tim
Berhasil Gagal
Pemimpin yang menganggap penting Mereka yang tidak peka terhadap
membuat orang merasa nyaman dengan kebutuhan bawahannya
dirinya sendiri
Pemimpin yang memberikan pujian Mereka yang menganggap pujian
secara berkala kepada anggota tim akan kurang tepat diberikan kepada orang
prestasi kerjanya yang sekadar memenuhi, tetapi tidak
melampaui tuntutan kerja
Pemimpin yang memahami bahwa Mereka yang hanya mencari-cari
seseorang akan berespon lebih baik kesalahan dan secara konsisten
terhadap pujian untuk pekerjaan yang memberikan umpan balik negatif
dilaksanakan dengan baik dibanding
kritik terhadap kesalahan mereka
Pemimpin yang memberikan pujian Mereka yang tidak tulus dan
tulus dengan alasan yang dipahami menggunakan pujian hanya jika
penerima menginginkan sesuatu
Pemimpin yang tidak hanya memuji Mereka yang tidak mau repot-repot
kerja tim, tetapi juga mengakui memberi penghargaan kepada
kontribusi perorangan terhadap hasil kelompok atau mengidentifikasikan
akhir tim kontribusi perorangan
Seorang pemimpin yang menghargai akal dan mendengarkan kata hati adalah
seorang pemimpin yang memiliki banyak nilai positif dalam sepak terjang
kepemimpinannya. Pemimpin yang senantiasa diharapkan kehadirannya oleh orang-orang
yang dipimpinnya, orang-orang yang juga mempunyai akal yang musti dihargai serta
memiliki suara hati yang musti didengar. Mereka ini adalah orang-orang yang bersama
Anda berjuang mencapai tujuan organisasi, yang bisa jadi merupakan tujuan Anda.
Apabila mereka percaya bahwa Anda adalah seorang pemimpin yang pantas
menjadi “gantungan hidup” mereka, maka jangan salahkan jika mereka bersedia “mati”
untuk Anda.
BAGIAN KETIGA
MASALAH SUMBER DAYA MANUSIA
Sebagai pimpinan Anda merasa telah berbuat maksimal untuk memenuhi target
paling optimal, baik di bidang keuangan, kepuasan pelanggan, sampai kesejahteraan
karyawan. Akan tetapi, ketika Anda merasa telah berbuat untuk mencapai semua,
ternyata keadaan tidak seperti yang Anda bayangkan. Jangankan keadaan keungan
menjadi baik, kebocoran justru semakin menjadi-jadi. Komplain pelanggan juga
semakin meningkat, sementara demonstrasi ketidakpuasan karyawan yang
mengajukan tuntutan-tuntutan yang menurut Anda tidak masuk akal, malahan
mengancam posisi Anda.
Mengapa hal itu bisa tejadi? Apa yang salah dalam diri Anda atau gaya
manajemen Anda? Jangan terlalu risau. Keadaan masih mungkin diperbaiki, dengan
catatan Anda masih mau memerhatikan (mengevaluasi) diri Anda sendiri,
memerhatikan sekeliling Anda dan orang-orang di sekitar Anda yang selama ini ikut
menentukan denyut nadi organisasi yang Anda pimpin.
Dalam memerhatikan mereka, sudah barang tentu tidak hanya dengan “mata-
kepala”, tetapi juga dengan “mata hati”, sehingga akan lebih tepat dalam “meramu”
kiat-kiat mengelola sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas
akan meningkatkan produktivitas. Sedangkan produktivitas akan membuat target
dan tujuan menjadi semakin nyata.
.
5
MENGENAL DAN MENGATASI
MASALAH-MASALAH SDM
Rasanya bukan hanya penulis, akan tetapi Anda pun mungkin pernah menjumpai atau dapat
merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Jan Timmer, seorang CEO (Chief Executive
Officer) perusahaan raksasa elektronika yang berpusat di Belanda. Dia berkata, “Ketika
saya masuk ke sebuah pabrik, di mana pun di dunia, saya merasakan suasana di situ
sesudah berkeliling sekitar setengah jam bersama manajernya.”
Begitu tajamnya kepekaan Jan Timmer, atau memang karena demikian kuatnya
“hembusan” atmosfer yang ditimbulkan oleh suasana sebuah organisasi (bisnis ataupun non
bisnis) sehingga ia bisa mengatakan, “Saya dapat mengetahui apakah pabrik itu maju atau
tidak; saya dapat mengatakan berdasarkan bahasa tubuh para pekerjanya dan cara mereka
bereaksi terhadap atasan, dari jawaban orang-orang itu kepadanya dan kepada sang
manager, juga dari tingkat keberanian mereka. Saya dapat menyelesaikan pemeriksaan
tanpa harus melihat angka-angka, dan saya dapat mengetahui apakah pabrik itu
menghasilkan banyak uang atau tidak.”
Jan Timmer berbicara dengan alasan yang kuat dan objektif. Kiranya bukan suatu
hal yang terlalu sulit untuk sekadar merasakan dan untuk selanjutnya memberikan
kesimpulan sederhana tentang suasana sebuah kantor atau pabrik. Sebuah suasana yang
dapat untuk melacak apakah organisasi tersebut maju atau mundur, sehat atau sakit, serta
apakah dapat “membuahkan emas atau tidak”. Anda pun mungkin pernah mendapati
ataupun merasakannya.
Penulis pernah mendapati dua lingkungan organisasi yang keadaannya bertolak
belakang. Keadaan yang pertama sebut saja positif ; sedangkan yang kedua kebalikannya
karena pada organisasi yang pertama secara umum suasananya menyenangkan, sedangkan
yang kedua kebalikannya. Kedua organisasi tersebut juga bertolak belakang dalam arti
yang sesungguhnya. Yang pertama berkantor di sebelah belakang (jika dilihat dari arah
jalan raya), tetapi gedungnya relatif lebih besar dan tertata apik. Sedangkan kantor yang
kedua berlokasi di bagian depan persis di pinggir jalan raya. Namun, kesan sekilas yang
tampak dari depan saja seakan sudah berbicara, bahwa kantor itu menyimpan masalah
rendahnya produktivitas serta semangat orang-orang di dalamnya.
Ketika penulis berkunjung ke kantor yang berada di arah belakang, penulis bertanya
di mana ruang perpustakaannya? Petugas itu ternyata tidak cuma menjawab dan menunjuk
“di ruang sana”, malainkan dengan keramahan yang asli dan penuh antusias mengantarkan
penulis ke sebuah ruangan yang penulis maksudkan. Sesampainya di ruangan tersebut,
penulis diterima oleh petugas yang tidak kalah antusiasnya mananyakan maksud kunjungan
penulis dengan keakraban yang tulus. Pelayanan pun berjalan lancar dan dengan suasana
yang menyenangkan serta memuaskan.
Meski hanya beberapa saat berada di perpustakaan itu, namun kesan yang
ditimbulkan oleh bentuk pelayanan yang demikian itu terasa begitu dalam. Maka rasanya
sayang kalau mulai dari datang sampai pulang tidak mencatat atau mengomentari beberapa
hal penting dari kejadian tersebut:
Petugas di depan yang menerima penulis, jelas belum kenal siapa penulis, apalagi
jabatan ataupun kedudukan. Penulis datang tidak dengan mengendarai mobil atau
mengenakan pakaian yang mengesankan bahwa penulis adalah orang penting. Jadi,
penulis datang sebagai “orang biasa”, tetapi mengapa sambutan yang mereka berikan
benar-benar terkesan memuaskan?
Petugas di perpustakaan yang menerima penulis dengan ramah dan penuh kepercayaan,
juga belum pernah penulis kenal. Namun, ketika penulis mengambil beberapa buku
untuk dipinjam, ia tampak percaya saja kepada penulis. Mula-mula penulis menilainya
bahwa ia seorang yang ceroboh. Betapa tidak, seseorang yang belum dikenalnya,
hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, sudah diloloskan untuk
meminjam beberapa buku yang tebal-tebal. Namun, penilaian penulis itu ternyata
keliru. Ia bukanlah seorang yang ceroboh, melainkan orang yang kelihatannya biasa
menggunakan intuisi yang bagus sehingga dapat menilai seseorang apakah beres atau
tidak.
Apakah yang dimaksud dengan intuisi? Mari kita mendiskusikannya sejenak. Kamus
mendefinisikan intuisi sebagai “mengetahui secara langsung tanpa penggunaan nalar secara
sadar. Sedangkan para tokoh memiliki ungkapan sendiri-sendiri untuk mendefinisikan
intuisi: cara batiniah untuk mengetahui, indra keenam, firasat, diri yang lebih dalam, atau
naluri yang lebih tinggi, serta ada pula yang mengatakannya sebagai bimbingan batiniah.
Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa kebijaksanaan yang utama adalah intuisi.
Di dalamnya terdapat kekuatan yang tidak mungkin diraih melalui analisis, dan segala
sesuatu bersumber dari situ.
John Stuart Mill menegaskan, “Kebenaran yang berasal dari intuisi merupakan
kebenaran yang dijadikan acuan bagi semua kebenaran lain.”
Intuisi dibangun di atas dasar kejujuran hati. Intuisi mengharuskan seseorang
berkata benar kepada diri sendiri tentang apa yang dirasakannya. Hanya bila seorang tetap
berhubungan dengan kata hatinya yang dapat mengembangkan kemampuannya untuk
mengetahui hal-hal di luar pikirannnya.
Bagi setiap pelaku organisasi (sumber daya manusia) yang terlibat dalam kegiatan
suatu organisasi, intuisi adalah hal yang sangat penting. Sebab dengan itu ia akan
merasakan, misalnya siapa saja orang yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak. Dengan
intuisi yang terasah, mata hati bisa melihat langkah-langkah apa saja yang dapat
menguntungkan yang perlu diambil, dan langkah-langkah apa saja yang perlu dihindari
agar tidak terjebak pada kemacetan, ataupun keadaan destruktif yang fatal.
Sebuah contoh manarik yakni kasus yang diangkat Newark College Engineering.
Ketika para peneliti menguji kemampuan prekognisi, yaitu kemampuan marasakan atau
mengantisipasi masa depan sejumlah eksekutif bisnis dan menemukan bahwa CEO
perusahaan-perusahaan yang sukses, rata-rata mampu menggunakan intuisi untuk
mengantisipasi saat mendatang yang tingkat ketepatannya yang nyata lebih baik daripada
yang diharapkan. Sedangkan para eksekutif dari perusahaan-perusahaan yang merugi
memperoleh nilai di bawah rata-rata dan sangat menyimpang daripada yang diharapkan.
Kasus tersebut kiranya relevan untuk menerangkan kejadian yang menimpa kedua
kantor yang saling bertolak belakang yang dikemukakan di atas. Mengapa kantor pertama
yang keadaannya “positif” itu kelihatan begitu bergairah, menampakkan denyut kemajuan,
serta suasana yang relatif lebih menyenangkan; sementara yang kedua menampakkan
keadaan yang sebaliknya?
Coba kita simak suasana kantor kedua, yang fungsinya juga memberikan pelayanan
kepada masyarakat, penulis mengumpulkan fakta-fakta (keadaan sebelum tahun 2004)
yang antara lain sebagai berikut:
- Ketika ada orang yang mau mendaftar (untuk minta pelayanan) tetapi lupa tidak
membawa kartu identitas sebagaimana disyaratkan, ia mendapatkan sejenis
umpatan, makian, bentakan dan kata-kata yang kurang pantas didengarkan.
- Para petugas bekerja tampak kurang antusias, saling menyalahkan, dan
terdengar saling bergosip membicarakan kejelekan rekan sekantor.
- Di ruang pelayanan yang lain, terlihat petugas mengerjakan pekerjaan lain yang
tidak ada hubungannya dengan tugas di kantor itu.
- Di ruangan lain lagi, pengunjung dipungut uang tanpa tanda terima. Ini bisa
diketahui dari petugas lain yang mengatakan bahwa tempat itu adalah “tempat
basah” penuh “kotoran”.
- Di ruang pelayanan yang lain lagi, malah lebih memprihatinkan. Berdasarkan
informasi dari karyawan yang lain, pelayanan di bagian itu sengaja diberikan
tidak maksimal (padahal alat yang tersedia tergolong canggih dan mahal).
Mengapa begitu? Maksudnya adalah agar masyarakat yang membutuhkan
pelayanannya tidak hanya di tempat ini, tetapi agar ia mau datang ke rumah
petugas itu yang mengharapkan finansial tambahan atas pelayanan yang
diberikan.
- Pada masing-masing bagian kelihatan para karyawan membentuk kelompok
sendiri-sendiri dalam blok-blok. Antara blok yang satu dan yang lain saling
bersaing secara tidak sehat, saling mencurigai, saling menjatuhkan.
Penulis menduga akan terjadi banyak masalah dan keadaan lain yang lebih buruk
yang mencerminkan sistem di kantor itu demikian buruk. Apabila keadaan demikian tidak
disadari dan diperbaiki, maka:
- Produktivitas dan mutu produk menurun,
- Komplain meningkat,
- Pengguna produk menurun dan menjauh,
- Kepuasan karyawan terhadap kerja dan organisasi berkurang, dan
- Karyawan/anggota organisasi semakin frustrasi.
Jika hal-hal di atas terjadi, maka harus dilakukan perubahan atau perbaikan yang
signifikan agar semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan organisasi tersebut
mendapatkan manfaat yang nyata, di antaranya:
- Produktivitas karyawan meningkat,
- Mutu produk membaik,
- Kepuasan pelanggan meningkat,
- Pengguna produk semakin mendekat dan berlimpah, dan
- Anggota organisasi semakin puas.
Tentu saja untuk melakukan perbaikan tidaklah semudah membalik tangan. Banyak
hal harus diperbuat. Pada perusahaan kedua di atas, organisasi yang mengalirkan energi
negatif, banyak hal yang menjadi penyebab langsung ataupun tidak langsung yang
mengakibatkan keadaan itu terjadi, salah satunya adalah suasana lingkungan kerja.
Disadari, lingkungan kerja yang buruk adalah kunci pendorong yang penting bagi para
karyawan untuk menghasilkan prestasi kerja yang rendah. Organisasi yang mengalami
energi negatif sering dihadapkan dengan buruknya kinerja karyawan. Energi besar yang
dihabiskan untuk menyerang para individu, penghindaran, kemarahan, dan tindakan-
tindakan menghukum dengan mengorbankan kinerja positif sedemikian rupa.
Pernyataan-pernyataan seperti, “Sudahlah jangan mimpi berharap akan ada
perubahan,” atau, “Jangan berharap Anda menang beradu argumentasi dengan bos
walaupun Anda benar,” menunjukkan tingkat keputusasaan yang berkaitan dengan energi
negatif. Sebaliknya dari atasan meluncur pernyataan-pernyataan, “Saya kira semua sudah
berjalan dengan baik. Saya tidak melihat sesuatu yang menyimpang dari organisasi ini,
mata kalian saja yang lamur kalau melihat ketidakberesan di organisasi ini,” atau, “Kalau
toh ada masalah dalam organisasi kita, semua itu adalah salah kalian; saya akui saya yang
menginstruksikan tugas itu, tetapi karena itu dinilai salah dan itu kalian yang melakukan,
maka kalianlah yang harus bertanggung jawab.” Padahal bos yang menginstruksikan dan
memberikan arahannya, dan tugas itu sudah dilaksanakan sesuai instruksi dan arahannya
itu.
Dari situasi itu tercermin tingkat kepercayaan yang sangat rendah, dan orang tidak
berani atau hanya sedikit mengambil risiko. Mereka bekerja pada tingkat minimum karena
merasa lebih aman.
Situasi negatif dan tidak produktif di atas musti disadari terutama oleh pucuk pimpinan,
atau setidaknya ada anggota dari organisasi itu yang mengingatkan situasi yang tidak
menguntungkan itu. Jika cara itu tidak mempan, maka bisa ditempuh dengan tekanan
kepada pihak yang lebih atas lagi (jika organisasi itu merupakan cabang dari organisasi
yang lebih besar). Setelah keadaan disadari, barulah dilakukan tindakan-tindakan yang
utamanya musti dilakukan oleh pucuk pimpinan (manajer).
Menurut Arthur C. Beck & Ellis D. Hillmar ada pelbagai strategi yang dapat
digunakan oleh para manajer dan kelompok manajemen untuk mentransformasikan pikiran-
pikiran serta perasaan-perasaan negatif menjadi positif. Berikut adalah beberapa contoh
spesifik:1)
1) 1)
Dalam A. Dale Timple (Editor), “The Art of Business Management” (Seri Manajemen Sumber Daya
Manusia Kinerja), alih bahasa Sofyan Cikmat (Jakarta: PT. Elex Media Komputinda, 1999) hal. 155-159.
Penjelasan di sampingnya (yang berhuruf tegak) telah mengalami adaptasi dan modifikasi oleh penulis.
Pucuk pimpinan hendaknya memiliki kepekaan yang tajam dalam merasakan
adanya energi negatif dalam organisasinya, sehingga ia dapat segera mengambil tindakan
yang diperlukan dengan cepat dan tepat. Bukan sebaliknya, atau bahkan malah
menyembunyikannya, mengabaikannya, atau mengecewakan orang-orang dengan
pernyataan-pernyataan seperti: “Siapa bilang ada ketidakberesan dalam organisasi ini, itu
pasti pekerjaannya orang-orang yang sirik, atau mau menggoyang kedudukanku,” atau,
“Ah, kalian tak usah mengada-ada. Masa iya dalam organisasi ada energi negatif atau
positif, kayak di dunia supra natural saja.”
Sikap yang bijaksana, terima keadaan itu sebagai realitas, cari penyebabnya, dan
buatlah strategi-strategi untuk mengubah energi negatif menjadi positif. Kemukakan hal-
hal negatif secara terbuka dan kemudian mulai menuliskan hal-hal positif. Pernyataan,
“Saya menyadari situasi yang sedang kita hadapi bersama, apa usulan kalian untuk
mengatasi masalah ini?” atau, “Apa yang dapat saya lakukan untuk membantu kalian?”
adalah sikap terbuka yang mendukung ke arah kemungkinan perubahan. Selanjutnya,
dengan mengakui adanya hal-hal negatif dan sering menyebutkannya juga akan
menghilangkan realitas dan besarnya kekhawatiran. Sebaliknya, penulisan “hal-hal terbaik”
sering memberikan petunjuk untuk memfokuskan proses transformasi kepada hasil-hasil
positif.
Bagi organisasi yang “beriklim” negatif, mungkin hal yang sangat sulit untuk
mendapatkan sisi-sisi positif dari orang-orang yang berada di dalamnya. Namun, sekecil
apapun pastilah akan bisa ditemukan sisi yang positif. Misalnya bila ditemukan gagasan-
gagasan yang dikemukakan semuanya negatif atau kenapa sesuatu tidak berfungsi, ubahlah
prosesnya dan tuliskan semua hal yang baik dan alasan-alasan mengapa hal tersebut
bekerja.
Mungkin bisa diambil contoh, misalnya ada karyawan A mengemukakan
pendapatnya seperti ini: “Saya yakin tidak sampai setahun lagi perusahaan ini akan
bangkrut, maka langkah apapun yang diambil pastilah akan sia-sia.” Maka tanggapan
positifnya bisa berbunyi, “Luar biasa pernyataan Saudara A, andai saja tidak ada
pernyataan demikian kita tentu akan adem-ayem, tenang-tenang saja menghadapi situasi
ini. Terima kasih saudara A yang telah memberi warning kepada kita semua, sehingga kita
tergugah untuk mengambil strategi yang jitu untuk keluar dari masalah ini. Kalau kata
Saudara A semua langkah yang kita ambil akan percuma, maka yang akan kita ambil
sekarang adalah strategi yang jitu, bukan langkah-langkah. Bagaimana?”
“Wah itu tanggapan kekanak-kanakan dan bodoh, apa bedanya antara langkah-
langkah dan strategi?” jawab A. Lantas, tanggapan positifnya bisa berbunyi, “Sungguh
sangat-sangat luar biasa Saudara A ini. Dan sekali lagi kita sangat-sangat beruntung punya
orang seperti Saudara A yang kritis ini. Dari tanggapan yang luar biasa itu kita bisa
menangkap kemauan beliau yang sungguh besar untuk memperbaiki keadaan. Mari kita
berikan aplaus, tepuk tangan kebanggaan untuk beliau!”
Demikian seterusnya, terus cari dan kenali semua hal positif dalam semua situasi.
Dalam organisasi yang dominan dengan energi negatif, pengakuan terhadap unjuk
kerja positif boleh dikata amat langka. Masing-masing pelaku hanya menganggap hasil
kerja sendiri yang baik, sedangkan hasil kerja orang lain dianggapnya jelek. Dengan
demikian saling mencibir, saling menyalahkan adalah pekerjaan yang biasa bagi mereka.
Dalam situasi demikian, pengakuan yang positif terhadap unjuk kerja mereka serasa
musafir menemukan oase di tengah gurun yang gersang dan panas, amat sangat berarti.
Segera setelah manajer mengetahui kinerja atau perilaku baik, pengakuan positif
perlu diberikan, secara spontan dan tanpa persyaratan atau batasan. Dan bahkan pengakuan
itu perlu meskipun karyawan hanya melakukan pekerjaan normal mereka (“apa yang
dibayar untuk mereka lakukan”). Ini sangat penting karena pengakuan positif merupakan
strategi yang sangat signifikan untuk menciptakan dan mempertahankan energi positif.
Bahasa menunjukkan bangsa; itulah peribahasa atau ungkapan yang kurang lebih
berarti bahwa bahasa seseorang menunjukkan derajat budi pekertinya. Kalau ungkapan itu
diberlakukan dalam organisasi, maka “bahasa organisasi” yang biasa dipakai juga dapat
menunjukkan kualitas organisasi itu. Maka penggunaan kata-kata negatif seperti “tolol”,
“dungu”, “goblok”, “sialan”, dan sebangsanya harus sejauh mungkin dihindari, sebab itu
dapat merendahkan diri dan merusak harga diri seseorang.
Upaya-upaya harus dilakukan untuk memusatkan perhatian pada kinerja daripada
kepribadian. Ungkapan-ungkapan yang dapat “mematikan”, semacam “Wah, dia itu
memang goblok, nggak mungkin idenya bisa jalan,” atau “Ha …ha … usulan tolol seperti
itu mana mungkin bisa membuahkan hasil.” atau yang kedengaran lebih halus tapi
sebenarnya “mematikan” langkah sendiri, “Kami tidak pernah sekali pun melakukannya
dengan cara itu di sini, itu salah besar, pasti akan gagal.” Agar atmosfer positif mengalir
kedalam organisasi tersebut, maka ungkapan-ungkapan semacam itu harus dihindari.
Dalam budaya tertentu, sebutlah Jawa, sering dalam kondisi tertentu orang pekewuh
untuk mengatakan sesuatu langsung pada fokus. Malah kita mengenal istilah semu ratu,
esem bupati, dupak mantri, yang maksudnya kurang lebih, orang yang bermental “ratu”
hanya dengan disemoni saja sudah peka atau mengerti; kemudian orang yang bermental di
bawahnya perlu di-esemi (diberi senyum) baru tahu; sedangkan yang paling ndablek,
setelah didupak (ditendang) baru mau jalan. Namun, seirama perkembangan nilai dan
budaya tampaknya kehalusan budi mentalitas “ratu” di atas sulit dikenali lagi. Untuk
mengingatkan seseorang kini sering harus mesti didupak (misalnya orang baru mau
mengakui kesalahannya, mau memberikan hak orang lain, atau mau lengser kalau sudah
didemo).
Dari fenomena itu dapat ditengarai akan terjadi kesenjangan komunikasi bila dalam
organisasi masing-masing pihak tidak mau saling terbuka. Misalnya satu pihak (manajer)
mengharapkan para karyawan mengerti dengan kemauannya meskipun tidak usah
diutarakan. Sementara pihak karyawan tidak mau bertindak tanpa kejelasan perintah.
Akhirnya konflik muncul, dan nuansa negatif dalam organisasi pun menjadi dominan.
Untuk menghindari itu maka berkomunikasilah dengan jujur dan langsung, ini adalah kunci
untuk menciptakan dan memeliharan energi positif. Di bawah ini beberapa contoh
komunikasi verbal positif:
1. Meminta dengan jelas apa yang Anda inginkan dari orang-orang lain dan
mengharapkan mereka untuk berbuat sama dengan Anda. Bila pemimpin, bawahan, dan
rekan kerja saling meminta apa yang mereka inginkan, hubungan perannya harus jelas
dan lebih produktif.
2. Berani berkata “tidak”. Diakui atau tidak, kata itu sering menjadi momok, terutama jika
berhadapan dengan atasan atau orang yang lebih senior. Akibatnya terjadi komunikasi
yang tidak jujur yang dapat berakibat fatal. Menciptakan iklim yang lebih terbuka,
pimpinan hendaklah mengondisikan norma “berani berkata tidak” ini sedemikian rupa;
sehingga mereka yang mengatakan “ya” untuk mendukung Anda adalah benar-benar
“ya” mendukung, bukan hendak menohok Anda dari belakang.
3. Menghindari pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan
tertutup semacam, “Anda setuju dengan keputusanku bukan?” atau “Bagaimana
mungkin orang tidak suka dengan kebijakan saya yang dapat meningkatkan
produktivitas itu?” dan sebangsanya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu dapat menuai
jawaban yang manipulatif serta dapat mendatangkan rasa tertekan, ketakutan, atau
bahkan kemarahan. Sebaliknya pertanyaan-pertanyaan terbuka akan mengundang
kepercayaan, bahkan harapan. Coba perhatikan, “Saya percaya kalian semua
mempunyai ide-ide yang dapat kita gunakan untuk perbaikan organisasi, siapa yang
mau mengajukan usul?”
4. Mengambil sikap jelas dan spesifik dalam berkomunikasi, misalnya dengan:
Berbicara langsung dengan orang yang dikehendaki, tidak melalui pihak lain yang
dapat menyebabkan informasi menjadi bias.
Tidak menggunakan kata-kata berlebihan, apalagi untuk memvonis, semisal setiap
orang, tak seorang pun, selalu, tak pernah, dan sejenisnya. Contoh, “Semua orang di
kantor ini, tak ada seorang pun yang dapat mengikuti pola pikirku yang sangat maju
ini,” atau, “Dia memang selalu begitu, cuma pintar berteori. Tak pernah praktiknya
bisa diandalkan.”
Menurut Robert C. Mill (dalam A. Dale Timpe, 1999), bila karyawan gagal berperan secara
wajar, seorang manajer harus menilai penyebab masalah tersebut. Dengan menganalisis
keadaan-keadaan yang terlibat dalam kinerja yang tidak memuaskan, seorang manajer
dapat menggunakan strategi-strategi yang tepat untuk meningkatkan hasil kerja para
karyawan agar dapat memenuhi standar.
Unjuk kerja karyawan di bawah standar, disebabkan oleh beberapa faktor, mulai
dari ketrampilan kerja yang kurang memadai sampai motivasi yang tidak cukup atau
lingkungan kerja yang buruk. Pada kasus seorang karyawan yang memiliki sikap jelek serta
tingkat keterampilan rendah, kesalahan utamanya mungkin dalam proses seleksi. Oleh
karena itu, biaya bisa sangat besar untuk memperbaiki keterampilan maupun sikap tersebut,
maka karyawan seperti ini lebih baik dipindahkan atau diberhentikan.
Sebaliknya seorang karyawan yang mempunyai tingkat keterampilan rendah tetapi
memiliki sikap yang baik, mungkin ia membutuhkan pelatihan. Sementara itu strategi
motivasi akan tepat dilakukan dalam kasus ketiga, yaitu seseorang memiliki keterampilan
tetapi tidak mempunyai keinginan untuk meningkatkannya. Sedangkan dalam kasus lain,
para karyawan mungkin berbakat dan bormotivasi, tetapi tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugas kerja mereka karena keterbatasan wewenang atau sumber daya untuk
menyelesaikan pekerjaannya.
Yang dimaksudkan dengan suasana kerja adalah, serangkaian sifat lingkungan kerja yang
dapat diukur berdasarkan persepsi kolektif dari orang-orang yang hidup dan bekerja di
dalam lingkungan tersebut, dan diperlihatkan untuk mem-pengaruhi motivasi serta perilaku
mereka.2)
Suasana kerja dalam suatu organisasi dapat diukur secara kualitatif ataupun
kuantitatif. Beberapa pertanyaan di bawah ini dapat mengundang jawaban ‘kualitatif’ atas
beberapa keadaan suasana kerja tersebut, yaitu tentang:
1. Sejauh mana keseragaman:
Apakah karyawan menyimpang dari kebijakan dan prosedur yang baku?
Apakah peraturan berlebihan?
Apakah karyawan dapat mengemukakan pendapat?
Apakah gagasan-gagasan baru dan orisinal diterima?
2. Sejauh mana tanggung jawab:
Apakah karyawan bergantung pada penilaian individu?
Apakah karyawan mendorong temannya untuk memecahkan masalah-
masalah mereka sendiri?
Apakah para manajer menuntut karyawan untuk memeriksa kembali segala
sesuatunya dengan mereka?
Apakah para karyawan terdorong untuk memikirkan diri mereka sendiri?
3. Sejauh mana standar:
Apakah standar kinerja ditetapkan dengan tinggi?
Apakah para karyawan merasa bangga dengan kinerja mereka?
Apakah para manajer menyediakan sasaran-sasaran yang menantang?
Apakah ada tekanan untuk bekerja?
4. Sejauh mana kejelasan organisasi:
Apakah karyawan mengetahui harapan organisasi dari mereka?
Apakah penugasan-penugasan kerja terstruktur dengan logis?
Apakah kebijakan-kebijakan perusahaan dijelaskan kepada karyawan?
Apakah produktivitas terganggu karena perencanaan yang buruk?
5. Sejauh mana penghargaan:
Apakah karyawan dipromosikan berdasarkan kinerja?
Apakah karyawan dihargai karena bekerja dengan baik?
Apakah karyawan dihukum karena melakukan kesalahan?
Apakah penghargaan dan dorongan menyingkirkan ancaman dan kritik?
6. Sejauh mana semangat kelompok:
2) 2)
Periksa pendapat George H. Litwin & Thomas B. Wilson, dalam A. Dale Timple (Editor), “The Art of
Business Management” (Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Kinerja), alih bahasa Sofyan Cikmat
(Jakarta: PT. Elex Media Komputinda, 1999) hal. 4.
Apakah sebagian besar karyawan penuh pertimbangan kepada karyawan
lain?
Apakah ada semangat kelompok?
Apakah ada sikap kerja sama antara manajemen dan para karyawan?
Apakah ada konflik di antara anggota staf?
Kemudian ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif, dapat dibuat pelbagai
pertanyaan yang diciptakan untuk mengukur suasana di dalam organisasi. Namun, apapun
skala pengukuran yang digunakan, hasilnya harus berbentuk ringkasan tentang bagaimana
karyawan memandang organisasi. Ini tak lain karena motivasi berasal dari dalam diri
karyawan sendiri, sehingga pandangan mereka tentang suasana organisasi menjadi sesuatu
yang penting. Dalam hal ini pendapat manajer tidak begitu penting, sebab pada umumnya
persepsi para karyawan tentang suasana tersebut jauh berbeda dengan persepsi manajer.
Apa yang musti dilakukan apabila dalam suatu organisasi ternyata mengalami
keadaan-keadaan seperti: keseragaman tinggi, tanggung jawab rendah, kejelasan organisasi
rendah, standar organisasi rendah, sedikit penghargaan, serta semangat kelompok yang
rendah? Robert C. Mill merekomendasikan model empat strategi untuk menjawab
kelemahan-kelemahan organisasi yang terlihat dalam salah satu dari dimensi-dimensi
tersebut.
Gambar
Pemecahan-pemecahan yang disarankan Robert C. Mill
untuk masalah-masalah suasana organisasi
Gejala Keseragaman Tanggung Kejelasan orga- Standar Sedikit peng- Semangat ke-
lompok rendah
tinggi jawab rendah nisasi rendah rendah hargaan
Strategi perluasan dan pemerkayaan ini adalah solusi yang tepat untuk
menghadapi pengaruh jabatan yang kaku, monoton, atau berulang-ulang. Memang
ada kemungkinan para karyawan yang melakukan tugas jabatan-jabatan yang
disederhanakan merasa bahwa mereka dibatasi tanggung jawab atau dihambat
peraturan-peraturan. Akan tetapi, banyak dari jabatan tersebut dirancang untuk
efisiensi, dan organisasi atau perusahaan mungkin akan kehilangan produktivitas
bila isi jabatan diubah. Selain itu jabatan-jabatan yang memerlukan tingkat
keterampilan rendah dapat diisi oleh para karyawan yang bergaji rendah.
Namun, sebaiknya jangan berharap berlebihan dengan strategi ini. Meskipun
rancangannya “efisien” dan prospek pengendaliannya sederhana, jabatan-jabatan
yang sederhana itu tidak selalu mendatangkan tingkat produktivitas yang
diharapkan. Sebagaimana dimaklumi, produktivitas adalah suatu fungsi motivasi,
dan memotivasi karyawan umumnya menuntut jabatan-jabatan yang memberikan
penghargaan hakiki, jabatan-jabatan yang berpengaruh.
Menurut Richard W. Beatty & Craig Eric Schneier (sebagaimana dikutip
Robert C.Mill, 1992), program pemerkayaan jabatan dapat dilaksanakan sebagai
berikut:
(1) Pilihlah karyawan yang tepat untuk program tersebut, orang yang mempunyai
jabatan penting untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi atau unit, tetapi orang
yang tidak bekerja secara standar. Pastikan bahwa jabatan tersebut dapat diubah.
(2) Nilailah sikap, nilai, serta harapan pekerja tersebut yang berhubungan dengan
pekerjaan.
(3) Tentukan ukuran kinerja agar pengaruh pemerkayaan jabatan dapat dipantau.
(4) Kenali perubahan-perubahan isi jabatan yang akan memperkaya jabatan tersebut,
dan tentukan batasan kebijaksanaan yang akan diberikan kepada karyawan.
(5) Pastikan bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat dilaksanakan dan
merupakan pengisian jabatan “vertikal” (misalnya, pengawasan diri sendiri),
bukan pengisian horizontal (yang hanya merupakan lebih banyak pekerjaan).
(6) Dapatkan kerja sama dari para pemegang jabatan serta para pengawas mereka
dalam merancang dan membuat perubahan-perubahan isi jabatan.
(7) Nilailah perubahan-perubahan dalam kinerja karyawan.
Hal lain yang sangat perlu disadari oleh para manajer dalam program
perluasan dan pemerkayaan jabatan ini adalah otonomi yang jelas bagi mereka yang
mendapatkan program tersebut. Mereka harus diberi wewenang untuk melaksankan
ketiga tahap manajemen pekerjaan: perencanaan (apa yang harus dikerjakan),
pelaksanaan (pekerjaan), dan pengendalian (kinerja menurut standar yang telah
ditetapkan.
Sementara para manajer memegang tanggung jawab akhir dalam perencanaan
dan pengendalian, membiarkan para karyawan melaksanakan pekerjaan tersebut,
tidak ada alasan bahwa para karyawan tidak boleh memiliki beberapa tanggung
jawab untuk merencanakan dengan tepat bagaimana dan kapan pekerjaan tersebut
harus dilakukan sepanjang pelaksanaannya berada dalam petunjuk yang telah
ditetapkan manajemen. Harus dipastikan pula, para karyawan memiliki pengetahuan
yang cukup untuk menilai diri sendiri apakah sudah melakukan pekerjaannya sesuai
dengan standar manajemen.
Harus diingat oleh para manajer, bahwa dasar pemikiran dari perluasan dan
pemerkayaan jabatan adalah untuk memenuhi kebutuhan karyawan dalam memiliki
pekerjaan yang memuaskan tetapi organisasi tidak kehilangan efisiensinya. Studi-
studi yang dilakukan oleh para ilmuwan perilaku menemukan bahwa para karyawan
akan termotivasi dan terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaannya bila mereka merasa
bahwa jabatan-jabatannya memiliki arti, bila mereka bertanggung jawab secara
pribadi atas hasil upaya-upaya mereka, dan bila umpan balik diberikan secara
teratur. (J. Richard Hackman dkk, menurut yang dikutip Robert C. Mill, 1992).
Asumsi yang mendasari manajemen melalaui sasaran ini adalah anggapan bahwa
kinerja karyawan dapat diperbaiki bila para karyawan mengetahui apa yang diharapkan
dari mereka, kapan mereka diperbolehkan berperan serta dalam proses menetapkan
harapan-harapan tersebut, dan kapan mereka dinilai dari hasil-hasilnya. Pelaksanaan
program manajemen melalui sasaran terdiri atas tiga sisi ini.
Dalam menetapkan sasaran, sasaran-sasaran yang paling efektif adalah spesifik,
terikat waktu, dan menantang. Misalnya meningkatkan penjualan produk merk A empat
unit lagi dalam minggu ini, memberikan target yang jauh lebih baik daripada pernyataan
maksud umum yang tidak memberikan target ataupun batas waktu (misalnya pernyataan:
ke depan kita akan meningkatkan penjualan berlipat-lipat ganda dari sekarang). Target
sasaran harus lebih tinggi sehingga memicu upaya penjualan lebih besar, tetapi juga jangan
terlalu tinggi sehingga tidak mungkin dicapai.
3. Dorongan positif
Pada organisasi yang diliputi suasana ketiadaan penghargaan, moral karyawan akan
turun dibarengi turunnya produktivitas. Ini harus segera disuntikkan semangat kerja baru
dengan dorongan positif. Dorongan ini mengasumsikan bahwa para karyawan akan
dimotivasi oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti pujian, banus, dan pengakuan. Namun,
dalam memberikan ini pun ada seninya. Sebab ada karyawan yang termotivasi cukup
dengan satu faktor (misalnya bonus) dan tidak tertarik dengan yang lainnya, sementara
karyawan yang lain perlu pengakuan. Memang antara satu orang dan lainnya bisa berbeda.
Di samping itu dorongan dapat mencapai titik jenuh. Misalnya berapa kali kalimat pujian,
“Wah Anda hebat!” cukup menjadi motivasi? Karenanya wajarlah jika pada saat tertentu,
karyawan menginginkan lebih banyak dorongan, misalnya berupa rekomendasi atau
promosi sebagai bentuk yang lebih “mendorong” motivasinya.
Munculnya ide dorongan positif adalah akibat-akibat perilaku saat ini dapat
memengaruhi tindakan masa depan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan tertentu
mendatangkan hasil positif, maka tindakan tersebut akan diulangi dengan harapan akan
mendapatkan hasil-hasil positif yang lebih banyak. Dorongan positif meliputi peningkatan
perilaku yang diharapkan melalui persyaratan akibat-akibat positif, misalnya untuk
karyawan yang datang paling awal akan mendapatkan hadiah. Atau hadiah untuk karyawan
dengan kinerja terbaik minggu ini.
Sebaliknya dorongan negatif kadang juga perlu diberikan sebagai upaya
peningkatan perilaku yang diharapkan dengan meniadakan akibat-akibat negatif. Misalnya
agar karyawan masuk ke kantor tepat pada waktunya, maka karyawan yang datang
terlambat dicantumkan di papan tulis yang bisa dilihat oleh semua karyawan. Seperti itu
contoh dorongan negatif yang sebenarnya berbeda dengan hukuman, meski sering
dirancukan. Jika nama-nama yang terlambat dicantumkan di tempat umum maka karyawan
tentu akan menghindari kemungkinan yang memalukannya.
Guna melaksanakan sistem dorongan positif, para manajer harus menentukan
perilaku yang diharapkan, dan para karyawan harus mampu melihat kaitan yang jelas
antara perilaku dan akibat-akibatnya. Di sini peran timing atau waktu sangat menentukan.
Maksudnya dorongan harus diberikan sesegera mungkin, karena perilaku segera terabaikan.
Akan lebih mengena penghargaan yang langsung diberikan kepada seorang karyawan yang
“berprestasi” mengerjakan sesuatu seketika itu, daripada harus diberikan sebulan
kemudian. Pada awalnya, dorongan harus berkesinambungan agar karyawan terdorong
setiap kali perilaku yang benar muncul. Juga harus konsisten dan adil untuk setiap
karyawan.
4. Suasana percaya
Loyalitas karyawan pada perusahaan antara lain dapat dilihat dari tingkat semangat
kelompok. Iklim sejuk yang berhembus di antara karyawan sebagai cerminan perasaan-
perasaan positif yang tertanam di hati mereka, memberikan lebih banyak waktu untuk
pekerjaan yang mereka hadapi daripada untuk melindungi diri mereka sendiri. Bayangkan
dalam suasana yang sebaliknya, yakni suasana kerja yang penuh intrik, persaingan tidak
sehat, saling menyalahkan, dan sejenisnya, maka akan banyak waktu yang tersita untuk
upaya pertahanan diri seperti bergosip, sabotase, dan semacamnya.
Untuk meningkatkan suasana saling percaya, pihak manajemen dapat menentukan
irama perusahaan dengan:
Menciptakan suasana keterbukaan sehingga para karyawan bersedia
mencurahkan perasaan, keraguan, ataupun perhatian.
Menghargai perasaan karyawan.
Ada kejelasan alasan-alasan untuk suatu permintaan ataupun keputusan
Bersikap dewasa dalam menghadapi masalah, yakni sebagai pencari solusi
bukan malah sebagai pencari kambing hitam.
Menekankan nilai kejujuran dan keadilan sebagai satu standar yang tidak bisa
ditawar-tawar.
Memberikan kepercayaan kepada para karyawan.
Suasana saling percaya merupakan faktor motivasi yang kuat, dan ketiadaan
kepercayaan sering mengurangi kinerja karyawan. Apalagi jika ketiadaan kepercayaan itu
menimpa menajemen kepada para karyawan, maka semangat kerja karyawan akan bisa
mengganggu produktivitas yang diharapkan.
Metode motivasi itu bisa diterapkan untuk mengatasi masalah menyangkut kinerja
karyawan. Dari setiap metode yang dibahas di atas, mungkin hanya tepat untuk suatu kasus
tertentu. Misalnya penekanan pemerkayaan dan perluasa jabatan adalah kepada sifat-sifat
intrinsik dari pekerjaan, sedangkan manajemen melalui sasaran berhubungan dengan hasil-
hasil akhir dari pekerjaan. Kemudian, dorongan positif bertalian dengan faktor-faktor yang
bersifat ekstrinsik dari pekerjaan.
Masalah-masalah SDM yang terkait erat dengan kinerja mereka adalah sebuah
tugas yang cukup menantang bagi tugas manajemen. Apabila manajemen dapat
mendiagnosis faktor-faktor yang merintangi motivasi karyawan, maka kemungkinan besar
manajemen dapat memilih strategi yang tepat untuk mendorong perbaikan kinerja SDM
tersebut. Seperti halnya seorang dokter yang bisa mendiagnosis dengan tepat penyakit
pasiennya, maka kemungkinan berhasil dalam memberikan terapi kepada pasien pun akan
lebih besar.
6
MENGENAL DAN MENGATASI
MASALAH PRIBADI KARYAWAN
Seorang manajer yang “alergi” dengan masalah, membuat statemen kepada para stafnya,
“Kalian jangan pernah membuat masalah sekecil apapun di kantor ini. Daripada melakukan
sesuatu yang dapat menimbulkan masalah, lebih baik kalian diam saja sehingga keadaan
aman-aman saja. Ibarat kalau lari dapat jatuh, maka saya lebih suka kalian berjalan saja.
Atau jika berjalan kalian bisa berakibat kesandung maka saya lebih suka kalian diam saja!
Pokoknya saya tidak suka dengan masalah, saya maunya aman-aman saja, adhem-ayem,
titik.”
Kira-kira apa yang kemudian terjadi pada organisasi atau manajer yang demikian?
Ternyata, statemen manajer itu suatu ketika dapat menjadi bumerang dan “menghantam”
dirinya. Ketika banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, dan repotnya semua pekerjaan itu
tidak satupun yang tidak berisiko meski sekecil apapun, orang jadi lebih suka diam saja
untuk “memandangnya” daripada mengambil peran yang lebih banyak. Alasannya, “Lho
ngapain repot-repot melakukan ini itu apalagi neko-neko berkreasi atau berinisiatif, salah-
salah malah mengundang masalah!” Akibatnya SDM tampak seperti robot, kalau tidak
distel tidak jalan. Kalaupun mereka beraksi namun penuh keragu-raguan dan ogah-ogahan,
alasannya mbok tidak kebeneran atau tidak tepat. Akhirnya pekerjaan pun harus dipikul dan
dipikirkan oleh si bos seorang diri, sehingga akibatnya kelelahan fisik serta mental pun
menderanya.
Seperti itulah keadaan yang dapat terjadi akibat pimpinan “alergi” terhadap suatu
masalah. Padahal masalah adalah sesuatu yang mustahil tidak akan pernah terjadi dalam
suatu organisasi. Yang penting adalah bagaimana menyikapi setiap masalah secara
konstruktif agar hal itu justru menjadi in put yang positif bagi organisasi.
Di atas sudah disinggung bagaimana agar SDM bisa diberdayakan seoptimal
mungkin. SDM yang bisa “dibuat” demikian adalah SDM yang mempunyai performance
yang utuh. SDM yang mempunyai banyak masalah, baik di rumah dan di kantor, dalam
skala tertentu yang tidak mampu ditoleransinya, akan dapat menurunkan performance-nya,
sehingga kontribusinya terhadap organisasi berkurang. Oleh karena itu, seorang manajer
yang menginginkan kontribusi optimal dari para staf, harus peduli terhadap masalah yang
dihadapi mereka, semaksimal mungkin mencarikan solusi sehingga performa mereka
menjadi fresh kembali, dan cukup meyakinkan untuk mendukung organisasi atau
mendukung pimpinan .
Masalah-Masalah Karyawan
Para karyawan menghadapi beragam bentuk masalah. Untuk lebih mudah mengenalinya
kita dapat mengidentifikasinya menjadi beberapa kelompok, di antaranya:
Masalah yang berkaitan dengan kinerja (individu maupun kelompok),
Masalah yang berkaitan dengan perilaku (individu maupun kelompok),
Masalah yang berkaitan dengan rekan kerja atau atasan, dan
Masalah yang berkaitan dengan persoalan pribadi karyawan.
1) 1)
Periksa lebih lanjut buku Clay Carr & Mary Fletcher, Kiat Manajer Memecahkan Masalah: Mengerti
Penyebab dan Mencari Pemecahan terhadap 125 Masalah untuk Personalia (Manager Troubleshooter:
Pinpointing The Causes & Cures of 125 Tough Day-To-Day Problem). Alih bahasan Tuntun Sinaga.
Jakarta: Mitra Utama, 1996.
Ambillah satu pilihan yang akan Anda gunakan (atau serangkaian langkah jika itu
merupakan cara terbaik).
Pertimbangkanlah untuk mencatat alasan-alasan Anda memilih suatu langkah
pemecahan, terutama jika Anda memperkirakan bahwa Anda akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan Anda nantinya.
Bertindak. Implementasikan keputusan Anda.
Evaluasilah seberapa baik keputusan Anda berjalan. Jika solusinya adalah sesuatu yang
telah diterapkan berkali-kali dalam satu periode, evaluasilah keberhasilannya dalam hal
spesifik sambil berjalan. Jika tampaknya tidak berjalan seperti yang Anda harapkan,
lihatlah kembali seluruh langkah-langkah yang ada itu untuk menemukan apakah ada
pendekatan yang lebih baik.
Untuk mengasah kepekaan Anda dalam memecahkan masalah, di bawah ini
dipaparkan beberapa contoh kasus yang kemungkinan terjadinya di sini cukup besar.
Adapun pemecahannya banyak mengacu saran beberapa ahli seperti saran Clay Carr &
Mary Fletcher, Roger Dawson, Robert B Maddux, dan lain-lainnya. Meskipun contoh yang
dipaparkan adalah realistis dan bisa terjadi di manapun, tetapi situasi yang dicuplikkan di
sini hanya fiktif belaka; kalau ada kesamaan nama, peristiwa, dan lain-lain, itu adalah suatu
kebetulan saja.
Kasus (1):
Karyawan Anda mempunyai tingkat produksi sangat rendah karena bekerja tidak
sungguh-sungguh.
Terpaku Anda di ruang kerja menatap pintu yang baru ditutup oleh karyawan
terakhir yang menghadap Anda siang itu. Ruangan itu sunyi, tetapi tidak begitu halnya
dengan kepala Anda yang jadi begitu “diramaikan” oleh bayangan beberapa karyawan
Anda yang baru menghadap barusan. Para karyawan itu keterlaluan, tidak tahu diri,
brengsek. Begitu Anda mengumpat seorang diri, dalam hati. Bagaimana tidak keterlaluan,
ketika pekerjaan menumpuk, mereka malah banyak yang pamit minta cuti. Si Neni pamit
mau kondangan, Si Saroh mengeluhkan penyakit maagnya kumat, sementara si Wardi
minta cuti “cuma” mau ke salon, mencukur kumisnya yang bergaya Charlie Caplin itu.
Belum si Giri, si Pandi, si Degel, ah semuanya bikin mumet kepala Anda.
Kepala Anda tambah muter-muter ketika mata Anda menatap setumpuk berkas di
atas meja. Sementara Laptop yang sedari tadi menyala di samping berkas-berkas itu
menampilkan grafik-grafik yang membuat dada Anda sesak, sebuah garis atau bulatan-
bulatan yang menunjukkan betapa rendahnya tingkat produktivitas karyawan Anda. Meski
ruangan ber-AC dan kursi Anda cukup nyaman, namun tidak begitu halnya dengan hati
Anda. Hati Anda rusuh, gelisah, cemas, bingung, dan kecewa campur jadi satu. Mengapa
kinerja para karyawan demikian jelek sehingga begitu menyiksa Anda? Bagaimana
pemecahannya?
Pemeriksaan masalah dan solusinya:
Coba periksa kembali sistem kompensasi yang dijalankan untuk mengetahui apakah
ada suatu cara untuk membagi keuntungan dengan karyawan dari meningkatnya produksi.
Tetapkan tujuan-tujuan produksi spesifik dengan beberapa level dan kaitkan beberapa
bentuk pengakuan ke masing-masing level. Pengakuan ini terutama untuk peningkatan
produksi skala kecil, tidak musti harus berupa uang. Yang penting pengakuan harus bersifat
adil dan menyeluruh, sehingga dapat menjadi perangsang bagi penerima atau karyawan
yang merasakan bahwa mereka mendapat keuntungan dari peningkatan produksi, atau
sebaliknya merasakan kerugian dengan rendahnya produksi.
Bicarakan dengan karyawan Anda bahwa unit Anda harus berusaha meningkatkan
produksi. Minta masukan dari mereka, usaha-usaha apa yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan itu (dengan meningkatnya produksi bukankah berarti
menguntungkan mereka), implementasikan saran-saran mereka yang bisa diterapkan
sebanyak mungkin.
Tetapi untuk organisasi/instansi milik pemerintah yang secara umum model
kompensasinya terpusat sehingga masing-masing unit sulit untuk menyediakan insentif
selain yang sudah ditentukan, maka bentuk-bentuk pengakuan yang non uang musti
dikembangkan. Promosi jabatan bagi yang berprestasi, diikutkan dalam program
pendidikan, atau program-program lain yang lebih merangsang musti terus digali dan
dikaji. Namun, seirama dengan otonomi pemerintah yang semakin besar diberikan kepada
pemerintah kota/kabupaten, mustinya perlu dikaji oleh masing-masing daerah untuk
mengembangkan insentif yang lebih baik. Baik dalam arti bisa untuk mendongkrak kinerja
karyawan, ataupun baik dari kaca mata anggaran ataupun manajemen pemerintahan secara
umum. Dengan semakin baiknya sistem kompensasi dan insentif tersebut diharapkan bisa
mendongkrak kinerja mereka. Maka kesan “sebagian oknum” aparat pemerintah sebagai
SDM yang santai, lamban, kurang produktif, bahkan (yang kurang sedap nich): manipulatif
dan koruptif, akan menjadi cerita isapan jempol belaka.
Kasus (2):
Kinerja karyawan Anda sepertinya mentok. Mereka sulit diajak untuk berubah
menuju kebaikan.
Makan malam yang istimewa. Istri Anda menyiapkan menu malam itu lain dari
biasanya, sebab malam itu adalah malam istimewa, terutama bagi si Rani anak perempuan
Anda yang sudah mulai kenal cowok. Istimewanya lagi, menu itu sudah dirancang
seminggu yang lalu! Ini adalah atas permintaan putri Anda karena dia bermaksud
mengundang makan malam cowoknya yang akan diperkenalkan kepada Papa dan
Mamanya. Jadi, benar-benar istimewa.
Namun, yang Anda rasakan semuanya hambar. Sedari tadi Anda tidak bisa larut
dalam kebahagiaan keluarga Anda, meski Anda bisa berbasa-basi dalam menjamu cowok
putri Anda yang kata putri Anda sebagai cowok yang sangat hebat, cowok impian masa
depan. Anda benar-benar sulit menikmati suasana itu. Bahkan ceria tawa mereka bagi Anda
rasanya seperti tengah menertawakan Anda, menertawakan ide-ide Anda yang siang tadi
baru Anda sampaikan kepada para karyawan Anda. Karyawan-karyawan yang malam itu
memenuhi konsentrasi pikiran Anda, karyawan-karyawan yang menurut Anda aneh dan
naif sebab mereka tidak mau diajak maju. Mereka statis hanya begitu-begitu melulu.
“Kuper amat sih!” suara lirih Anda terlontar.
“Siapa yang kuper Pah? Mas Joni itu kayak gini …,” protes putri Anda sambil
mengacungkan kedua jempolnya. Ooops, rupanya Anda kehilangan kontrol, menyumpahi
karyawan Anda yang sangat menyebalkan Anda sampai Anda termangu di meja makan
bersama keluarga.
Istri Anda melirik penuh arti ke arah Anda, dan tersenyum manis sekali, tetapi kali
ini pun di mata Anda, senyuman itu terasa sinis. Padahal isteri adalah orang yang paling
mengerti kegundahan Anda. Buktinya dengan tatapan keibuan ia lantas melirik ke arah Joni
calon mantu yang tampaknya tahu isyarat camer. Kemudian Joni pamit mau keluar
sebentar sekadar menghilangkan kekakuan bersama Anda.
Tak lama kemudian Joni muncul lagi, kelihatannya dengan membawa sesuatu.
“Maaf Om, kemarin saya tanya Tante, hadiah apa yang kira-kira berkenan di hati
Om. Kata Tante adalah ini.”
Begitu dibuka, ooops ternyata betul sesuatu yang sangat Anda sukai, yakni sebuah
buku. Apalagi topik dan judulnya tepat dengan persoalan yang sedang Anda hadapi yakni
masalah pengelolaan dan strategi manajemen SDM.
Seperti tak percaya, Anda tak henti-hentinya menggeleng-gelengkan kepala. Dan
ajaibnya, mendung seketika mendadak sirna dari wajah Anda.
“Kalau gini saya protes keras …Rani!” cetus Anda mengagetkan semua yang ada
di situ.
“Lho bukankah Papa senang dengan hadiah itu?” Rani mau ngambek
“Betul,” jawab Anda, “Karena itu Papa protes keras sama Rani yang tadi cuma
mengacungkan dua jempol kepada Mas Joni. Padahal Mas Joni sangat luar biasa, sehingga
harus mendapatkan acungan dua jempol lagi dari saya.”
“Bukan cuma segitu Pah,” istri Anda ikutan protes, “Saya juga harus
mengacungkan dua jempol juga.”
“Betul ‘kan, apa gue bilang?” kali ini nada Rani penuh kemenangan.
Karuan wajah Joni, cowok kebanggaan satu keluarga itu pun berbinar-binar.
Setelah makan malam selesai, dan juga Joni sudah pamit pulang, Anda pun segera
membuka buku hadiah dari Joni untuk mengurai benang kusut yang menggelayut di benak
Anda. Rupanya pintar juga anak ini mengambil hati calon mertua, pikir Anda .
Pemeriksaan masalah dan solusinya:
Apapun masalahnya.
Statemen Anda yang menuduh karyawan Anda sebagai orang yang tidak mau diajak
maju, kolot, atau kuper coba diperiksa lagi. Pada umumnya manusia itu menyukai
perubahan, atau tepatnya menyukai perubahan ke arah kebaikan atau kemajuan. Sedangkan
karyawan Anda kok begitu? Apa ada yang salah? Ternyata ada yang belum ketemu antara
maksud Anda yang menginginkan perubahan dan keinginan karyawan Anda yang
menginginkan begitu-begitu saja.
Di mana tidak ketemu-nya? Mungkin Anda belum memenuhi keempat kriteria yang
umumnya diinginkan karyawan, sebagaimana dilontarkan Clay Carr & Mary Fletcher
(1996) berikut:
(1) Apakah perubahan itu menambah upah saya?
(2) Apakahy saya mampu melakukannya dengan berhasil?
(3) Apakah usaha-usaha yang saya lakukan berguna?
(4) Apakah saya percaya kepada orang yang menginginkan saya melakukan
perubahan?
Keempat kriteria di atas merupakan kriteria yang telah digunakan oleh keduanya
untuk memutuskan apakah membuat perubahan atau tidak. Jika ada yang tidak memberikan
jawaban “ya” terhadap empat pertanyaan di atas, maka perubahan tidak akan jadi
dilakukan. Sebaliknya, jika perubahan-perubahan yang diusulkan memenuhi semua kriteria
tersebut, baru akan diterima dan berubah.
Tugas yang penting bagi Anda adalah membangun kepercayaan dengan karyawan
Anda, dan berikan kepada mereka jawaban “ya” terhadap tiga pertanyaan yang pertama.
Jangan melakukan perubahan asal-asalan, tetapi carilah perubahan yang Anda yakini
memenuhi tiga kriteria pertama tersebut. Selanjutnya jelaskan kepada karyawan Anda
bahwa Anda akan melakukannya dan sekaligus memberikan alasan untuk itu. Berikan
kesempatan kepada mereka untuk bertanya ataupun mencurahkan pendapat. Jaga emosi
Anda sehingga tetap tenang dan sabar menghadapi mereka. Anda harus menyadari bahwa
betapapun bagusnya ide Anda, kebijakan membuat perubahan berarti akan membuat
mereka merasa tidak enak.
Sekiranya tidak mendesak, tunda membuat lebih banyak perubahan sampai
perubahan pertama diterima dan kelompok ini merasa enak dengannya. Manakala
perubahan itu efektif mereka akan senang karena Anda melakukan hal itu. Ini akan
meningkatkan tingkat kepercayaan mereka kepada Anda (yang berarti bahwa kriteria yang
keempat di atas semakin dekat terjawab “ya”). Maka langkah perubahan selanjutnya akan
lebih mudah dijalankan.
2) 2)
Periksa lebih lanjut buku Roger Dawson. Rahasia Kekuatan Bujukan (Secrets of Power Persuation:
Everithing You’ll Ever Need to Get Anything You’ll Ever Want). Alih bahasa Anton Adiwiyoto. Jakarta:
Mitra Utama, 1996
(1) Orang bisa dibujuk kalau mereka berpikir Anda bisa memberi mereka imbalan.
(2) Orang bisa dibujuk kalau mereka berpikir Anda bisa menghukum mereka.
(3) Menerapkan tekanan ganda imabalan dan hukuman.
(4) Orang akan menerima apa yang Anda katakan kalau mereka berpikir Anda bisa
memberi mereka imbalan maupun menghukum mereka.
(5) Orang bisa dibujuk kalau Anda punya ikatan dengan mereka.
(6) Orang bisa dibujuk kalau situasi membatasi pilihan mereka.
(7) Orang bisa dibujuk kalau mereka berpikir Anda memiliki keahlian yang
melebihi mereka.
(8) Orang bisa dibujuk kalau Anda bertindak secara konsisten.
Dalam melakukan perubahan, sekali lagi, pilih yang memenuhi kriteria di atas.
Berhubung situasinya demikian, akan sangat membantu jika perubahan itu adalah jawaban
atas suatu masalah yang jelas (kita harus melakukan sesuatu demi menyelamatkan
perusahaan atau kita semua akan menghadapi masalah yang besar).
Langkah-langkahnya, mulai dengan situasi memaksa untuk berubah. Selanjutnya
ajak mereka untuk membicarakan masalah tersebut, dan yakinkan mereka bahwa program
ini harus dilaksanakan serta jelaskan cara melaksanakannya. Kemudian gali dan tampung
usulan-usulan mereka, siapa tahu muncul usulan yang bagus yang bisa dipertimbangkan
dalam rangka pelaksanaan program ini.
Setelah Anda yakin persiapan sudah matang, laksanakan dengan konsisten. Ingat
butir-butir resep Roger Dawson di atas, bahwa konsistensi sikap adalah salah satu kunci
sukses bujukan yang ampuh. Orang yang plin-plan, leda-lede, jelas menimbulkan kesan
kalau ia tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Kalau ia sendiri tidak yakin, mana
mungkin orang lain bisa percaya?
Kalau karyawan benar-benar tidak tahu cara lain untuk melakukan sesuatu.
Ibarat katak dalam tempurung, merasa dirinya sudah begitu besar dan tidak tahu
apa-apa tentang perubahan kemajuan di sekitarnya. Kalau di era informasi ini karyawan
Anda masih seperti itu, adalah tugas Anda memberikan pembelajaran kepada mereka
sehingga kesadaran untuk perubahan akan datang dari mereka.
Perkembangan teknologi yang pesat, pengaruhnya pada produktivitas sangat
sensitif. Suatu teknologi yang sudah mampu memproduksi 10 unit pada suatu waktu
misalnya, pada waktu yang lain yang bisa hanya berselang beberapa hari saja bisa
dilipatgandakan berunit-unit. Maka menyiapkan karyawan untuk “melek” perkembangan
teknologi dan informasi bisa berarti menyiapkan SDM Anda memenangi kompetisi yang
semakin tajam.
Pemeriksaan & intervensi umum masalah-masalah kinerja:
Apakah masalah sebenarnya yang menimpa kinerja karyawan?
- Kaji dengan benar, teliti dan hati-hati apa akar masalahnya, dan
- Intervensi dan pecahkan masalahnya dengan tepat sesuai masalah yang ada.
Apakah kemampuan SDM tidak sesuai dengan yang diharapkan?
- Jika karyawan tidak memiliki keterampilan kerja teknis yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugasnya, beri dia pendidikan dan latihan yang sesuai untuk itu,
disertai dengan praktik dan umpan balik. Tugasilah seorang mentor untuk
merevisi atau mengevaluasi pekerjaan karyawan dan memberikan latihan
selanjutnya. Apabila tugas yang harus dikerjakan kompleks, sulit diingat, atau
jarang digunakan, pikirkan untuk membuat alat bantuan kerja yang berisi
petunjuk-petunjuk dalam kalimat atau diagram, misalnya Standar Operasi Kerja,
Standar Operasi dan Prosedur (SOP), Instruksi Kerja (IK), dan semacamnya.
- Jika karyawan memerlukan keterampilan dasar dalam manajemen diri seperti
keterampilan dalam mengorganisasi dan membuat prioritas kerja dan dalam
memenuhi batas waktu, carilah kursus atau pelatihan yang mengajarkan
keterampilan-keterampilan tersebut. Untuk membantu karyawan mengelola
pekerjaannya dengan tanggung jawab yang semakin besar untuk mengelola
dirinya sendiri, tetapkanlah batas waktunya sedemikian rupa.
- Jika hubungan kerja dalam organisasi dirasa kurang harmonis sehingga
mengganggu proses kerja, buatlah sedemikian rupa sehingga hubungan kerja
menjadi demikian efektif. Jika diperlukan, gunakan pelatihan formal untuk
karyawan tentang seni hubungan antar personal, ataupun bimbingan konseling
untuk menggali akar permasalahan yang sesungguhnya.
Apakah organisasi, perusahaan, dan karyawan mempunyai peralatan yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan itu (misalnya persediaan bahan-bahan,
sarana, prasarana, alat-alat atau piranti kerja, waktu yang memadai, atau
perlengkapan lainnya).
- Kalau belum, maka hilangkanlah kendala-kendala itu dan cukupi apa yang
diperlukan untuk mendukung kelancaran kerja. Baik kuantitas ataupun
kualitasnya.
Apakah manajemen telah bersikap proaktif dalam mendukung kelancaran kerja dan
penumbuhan kinerja yang baik?
- Jika belum, maka tempuhlah upaya-upaya ke arah itu. Kalau insentif menjadi
masalah yang penting bagi peningkatan kinerja karyawan, misalnya, mengapa
tidak diusahakan? Atau jika masalah kedisiplinan menjadi masalah yang serius,
mengapa manajemen tidak berusaha menegakkannya, walaupun misalnya harus
ada karyawan yang menjadi korban dimutasi atau karena keadaan terpaksa
melakukan PHK?
B. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku (individu maupun
kelompok)
Kasus (1):
Seorang karyawati menyebarkan berita kepada karyawan lain bahwa dirinya
adalah wanita idaman Anda.
Pretty Gakmandi membuat cerita yang menggemparkan di seantero kantor, bahwa
dirinya mempunyai affair dengan Anda. Pretty adalah karyawati modis, muda, dan
menarik, akan tetapi terkesan urakan. Pakaian yang sering dikenakannya, mengingatkan
orang pada suku pedalaman yang tidak pernah tersentuh teknologi, (maaf) nyaris bugil,
sebab begitu minimnya. Lelaki baik-baik yang kebetulan berpapasan dengan dia justru
sering membuang muka karena merasa risih dan malu. Cuma dia saja yang ndablek, gak
duwe isin. Celakanya dalam pekerjaan Anda harus sering berhubungan dengan dia. Sudah
menjadi rahasia umum di kantor itu kalau cewek yang bau parfumnya sangat menyengat
(mungkin untuk menghilangkan jejaknya yang jarang mandi) yang satu ini, prestasi
kerjanya jelek, kompetensinya rendah, dan sulit diatur. Anda sering menasihatinya, meski
dengan perasaan kesal. Tetapi nasihat Anda malah ditafsirkan lain. Menurut cerita yang
disebarnya, Anda sangat perhatian sama dia. Ia malah menyebar cerita ke sana ke mari,
bahwa Anda sering mengajaknya pergi ke luar kota.
Apapun penyebabnya.
Simak saran Clay Carr dan Mary Fletcher bahwa Anda harus mendatangi bos Anda,
dan ceritakan kepadanya situasi yang menyeret-nyeret nama Anda. Mintalah dia untuk
membantu Anda menguasai desas-desus itu. Bicarakan dengan seseorang yang Anda
percayai, dan ajaklah bos Anda bersama Anda kalau dia bersedia.
Selanjutnya buatlah jadwal dengan Pretty, namun ingat jangan menemuinya
seorang diri; pastikan Anda mengajak seorang wanita menemani Anda. Apabila Anda
masih merasa perlu menasihati tentang kinerjanya, pastikan bahwa Anda melakukan itu
dengan disaksikan oleh seseorang yang dapat melihat Anda sering berdua. Jika
memungkinkan, ajaklah seseorang yang pertama kali mengetahui isu itu. Di hadapan
orang-orang yang Anda percayai itu, konfrontasikanlah dengan Pretty apa yang Anda
dapatkan tentang isu tersbut, dan usahakan dia tahu betapa seriusnya masalah ini. Beri dia
kesempatan untuk memberi penjelasan sendiri. Sedangkan untuk Anda, ingat Anda tidak
boleh bersikap emosional, namun tetaplah tenang dan terkendali.
Kalau ternayata Anda ada affair dengan Pretty yang dilihat atau diketahui orang
lain.
Nah, ini berita panas yang pasti bisa membakar suasana kantor Anda. Maka
amankan situasinya semaksimal mungkin. Masalah ketertarikan seseorang dengan lawan
jenis itu manusiawi, sehingga kalau suatu saat Anda tertarik dengan lawan jenis (yang
memang menarik, apalagi dianya juga mau) itu adalah sepenuhnya hak Anda. Yang
menjadi masalah jika Anda sudah mempunyai pasangan yang sah, sedangkan norma
menuntut Anda tidak boleh selingkuh. Maka bersikaplah gentle, dan selesaikan masalahnya
secara jernih dan bijaksana.
Kasus (2):
Anda mempunyai sekelompok karyawan baru yang kinerja mereka jauh lebih bagus
dibanding karyawan lama sehingga hal itu menimbulkan iri hati. Karyawan lama
yang tidak menyukai keadaan itu kemudian membuat ulah dengan melakukan
semacam sabotase.
Untuk meningkatkan produktivitas di bagian Anda, mintalah tambahan karyawan
baru beberapa orang yang energik, kreatif, inovatif, produktif, dan pelbagai kelebihan lain
yang membuat pimpinan tertatas senang. Baru beberapa pekan mereka bekerja, produksi
meningkat tajam dengan kualitas sesuai standar yang ditetapkan. Mereka memperlihatkan
kinerja yang luar biasa. Tentu saja Anda senang dan puas mendapatkan karyawan
demikian; namun sebelum kepuasan Anda mencapai puncak tiba-tiba timbul masalah batu
baru. Kelompok karyawan baru itu mendapatkan ancaman dari para karyawan lama, yang
mengultimatum, “Awas kalau tidak mau menurunkan kinerjanya akan kami buat ‘tahu
rasa’ sedemikian rupa.”. Jika kebetulan kelompok karyawan baru itu berasal dari etnis
tertentu yang tidak disenangi oleh karyawan lama, keadaan itu bisa dipertajam tambah
runyam. Suasana kerja bisa menjadi tambah kacau, dan produktivitas pun terganggu.
Kasus:
Karyawan tidak mau bekerja sama dengan pihak lain, dan malah bersaing secara
tidak sehat, padahal Anda sedang memerlukan team work yang kuat untuk
menyelesaikan tugas yang sangat penting.
Betapa sangat menjengkelkan, ketika Anda dikejar waktu untuk suatu urusan yang
sangat penting tiba-tiba mobil yang Anda naiki rewel atau malah mogok. Penyebabnya
mungkin hanya sepele, sistem perlistrikan tidak berfungsi, sehingga mengacaukan semua
sistem yang ada. Mesin tidak bisa hidup, dan mobil pun tidak bisa begerak. Demikian pula
orang-orang dalam organisasi yang Anda pimpin. Karena satu sistem tidak jalan hal itu
mengacaukan semua sistem yang ada. Organisasi pun menjadi mogok. Sistem yang tidak
jalan itu adalah sistem kerja sama tim.
Orang-orang saling bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan, saling melemparkan kesalahan kepada orang lain, ataupun saling
menjatuhkan. Maka situasi organisasi menjadi kacau, dan pencapaian tujuan organisasi pun
menjadi semakin jauh dari target.
3) 3)
Robert B Maddux, Team Building: Terampil Membangun Tim Handal, alih bahasa Kristiyabudi P.
Hananto, editor Deborah P. Hutauruk, edisi 2, Jakarta: Erlangga, 2001.
Mari mencoba pelbagai upaya untuk membangun komitmen tim. Dewasa ini telah
banyak dikembangkan oleh para ahli bagaimana menumbuhkan semangat kerja sama tim
melalui pelatihan-pelatihan, simulasi ataupun dengan model permainan. Jika diperlukan,
cobalah undang mereka untuk menangani masalah tersebut di kantor Anda. Keberhasilan
Anda membangun tim yang solid akan besar manfaatnya, bukan saja bagi kepemimpinan
Anda, tetapi bagi organisasi dan segenap orang yang bernaung di bawahnya.
Menurut Robert B Maddux, kolaborasi dapat didorong dan didukung dengan cara-
cara sebagai berikut:
Identifikasikan area independensi yang tepat untuk kolaborasi. Libatkan anggota tim
dalam perencanaan dan pemecahan masalah untuk membantu mereka
mengidentifikasikan aspek yang memerlukan kolaborasi.
Tetaplah buka jalur komunikasi di antara setiap orang yang terlibat dalam masalah,
proyek maupun dalam rangkaian tindakan.
Biarkan tim mengetahui secepatnya bahwa kerja sama tim tersebut membawa dampak
positif terhadap keberhasilan individu.
Kasus:
Sudah lama Anda mendengar berita yang tidak mengenakan dalam kehidupan
pribadi sebut saja namanya Sri Susahati, salah seorang karyawati yang rajin pada mulanya
dan sempat menjadi andalan Anda. Suaminya yang pengangguran sering menganiayanya
jika tersinggung ataupun sehabis minum-minum. Akhir-akhir ini anak satu-satunya mereka
sering sakit-sakitan, sehingga harus sering ditunggui. Maka Sri Susahati jadi sering izin
tidak masuk kerja, bahkan tidak jarang pula membolos. Pekerjaan kantor jadi banyak yang
terbengkelai, dan teman-temannya dalam satu tim sering komplain karena target-target
yang harus mereka selesaikan tidak tercapai.
Harapan penulis sidang pembaca mendapatkan manfaat yang optimal dari penjelasan buku
ini. Setelah Anda memahami isi Bagian Pertama hingga Bagian Ketiga yang relatif lengkap
tentang bagaimana kiat sukses memberdayakan SDM, maka pada Bagian Keempat ini
penulis melengkapi isi buku ini dengan profil organisasi yang sukses memberdayakan
SDM, sehingga dapat menjadi cermin bagi siapa dan manajemen perusahaan atau
organisasi yang tentu ingin sukses mencapai tujuan. Kita sadari bahwa setiap organisasi
mempunyai keunikan sendiri-sendiri, sehingga intervensi yang sama belum tentu
menghasilkan out put yang sama pula. Namun, seni dan praktik pemberdayaan SDM
(sumber daya manusia) yang sudah terbukti membuahkan hasil yang gemilang, tentunya
akan menjadi rujukan yang sangat bermakna.
Pada Cermin Sukses Pemberdayaan SDM (1) kita mendapatkan gambaran yang
nyata dari organisasi yang mengalami krisis, setelah memulai langkah-langkah yang
signifikan dalam upaya mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia, akhirnya menuai
“kemenangan”. Profil RSU Banyumas merupakan contoh yang sangat menarik untuk
ditelusuri.
Pada Cermin Sukses Pemberdayaan SDM (2), kita mememperoleh sosok organisasi
yang berhasil memberdayakan SDM-nya sedemikian rupa sehingga karyawan dapat
memberikan kontribusi yang maksimal bagi kemajuan organisasi tersebut. Industri jamu PT
Sido Muncul membuktikan hal itu.
Paparan dalam Cermin Sukses Pemberdayaan SDM ini bukan bermaksud untuk
promosi dan tidak dimaksudkan untuk menampilkan profil organisasi tersebut secara utuh,
melainkan hanya akan membidik dari satu sisi yang berkaitan dengan pemberdayaan SDM.
Penulis menyadari bahwa ketika ditampilkan suatu profil (apalagi profil suatu perusahaan)
mungkin ditanggapi ada titipan pesan di dalamnya, sehingga objektivitas kajian bisa
terganggu. Namun, penulis buku ini menandaskan bahwa sajian ini merupakan uji coba
terhadap penjelasan-penjelasan dalam bab-bab terdahulu yang objektivitasnya terjaga.
7
Cermin Sukses Pemberdayaan SDM (1):
Steven A. Finkler dalam bukunya Budget in Concepts for Nurse Managers (Third Edition,
2001), menyatakan bahwa hanya organisasi pemberi pelayanan kesehatan dengan keuangan
yang baik yang dapat memberikan pelayanan dengan kualitas tinggi. Organisasi/instansi
yang tidak cukup memerhatikan keadaan keungan mereka mungkin bangkrut. Kekurangan
(bangkrut) akan berakibat berangsur-angsur hilangnya kualitas pelayanan mereka atau
bahkan tutup (berhenti) sama sekali.
Sangat diyakini bahwa keadaan keuangan suatu organisasi atau perusahaan yang
baik akan meningkatkan kinerja SDM dengan pelayanan kualitas tinggi. Namun, proses itu
bisa saja berbalik, yakni dimulai dari pelayanan kualitas tinggi atau pelayanan prima
(excellent service) akan bermuara pada keuangan yang baik antara lain tampak pada
berkembangnya organisasi. Orang bilang ada barang ada uang. Salah satu contoh
setidaknya dapat dilihat pada proses yang terjadi di sebuah organisasi pelayanan yakni
RSU Banyumas. Siapa menyangka kalau Rumah Sakit Umum (RSU) Banyumas,
sebagaimana RSU pada umumnya saat itu, yang sebelumnya dikenal kumuh dan pelayanan
di dalamnya “biasa saja”, menjadi seperti sekarang ini: rumah sakit dengan pelbagai
prestasi dan apresiasi.
Hal itu bisa tercapai antara lain berkat manajemen rumah sakit yang berhasil
memberdayakan sumber daya manusia secara optimal sehingga bermula dari unjuk kerja
yang biasa-biasa saja menjadi demikian mengagumkan dan menjadi perhatian banyak
pihak. Proses yang diawali dari perbaikan pelayanan dengan memberikan pelayanan yang
prima (excellent service) berdampak pada perbaikan finansial organisasi tersebut. Dan dari
finansial yang bagus itu tentunya akan lebih menjamin dalam menyediakan pelayanan yang
prima. Demikian proses itu berlanjut, dan pelayanan prima (excellent service) tampaknya
telah menjadi “lagu wajib” yang musti dikumandangkan oleh organisasi pelayanan yang
ingin eksis.
Kalau ditarik garis ke belakang, keberhasilan yang terjadi di RSU Banyumas
adalah bermula dari prediksi yang tepat tentang pilihan terhadap eleman organisasi apa
yang terlebih dahulu perlu “digarap” agar semuanya berubah menjadi lebih baik. Dan
pilihan itu jatuh pada SDM. Maka kemudian dilakukanlah intervensi-intervensi terarah,
terstruktur, dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas SDM.
Pemikiran demikian pada mulanya boleh dikata berawal dari “ketidak-
berdayaan”. Dr. Widayanto, M.Kes. Kepala Bidang Mutu & Pendidikan saat itu, yang saat
ini menjasdi Direktur RSU tersebut menjelaskan bahwa ketika kepemimpinan RSU ini
dipegang oleh dr. HM. Mambodyanto, MMR (th 1988-1992) keinginan untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik mulai muncul, akan tetapi kondisi yang ada saat itu masih sangat
memprihatinkan; sarana dan prasarana masih sangat kurang. Apa yang bisa dikerjakan?
Satu-satunya pilihan yang paling mungkin saat itu adalah peningkatan dan pemberdayaan
SDM rumah sakit itu.
Pemberdayaan itu dilakukanlah dalam bentuk pelatihan-pelatihan bagi karyawan.
Para karyawan menyadari perlunya komitmen, sikap, dan pengetahuan yang lebih memadai
dalam memberikan pelayanan yang lebih baik. Rintisan tersebut diteruskan dan lebih
terarah dan sistematis pada masa kepemimpinan dr. H. Sutoto, MMR (1992-2001).
Pelatihan-pelatihan yang diberikan meliputi:
1. Pelatihan tentang excellent service yaitu pelatihan tentang bagaimana cara
memberikan pelayanan yang terbaik (prima).
2. Pelatihan profesionalisme fungsional yaitu pelatihan yang berkaitan dengan
profesi kedokteran dan keperawatan/kebidanan.
3. Pelatihan manajerial yaitu pelatihan manajemen rumah sakit.
Pelatihan itu juga tidak lepas dari elemen internal dan eksternal yang diwajibkan
bagi para karyawan rumah sakit selama minimal 40 jam dalam satu tahun untuk internal.
Sedangkan pelatihan eksternal, merupakan kewajiban bagi tiap peserta pelatihan untuk
membuat modul dan mendistribusikan pengetahuan yang telah didapatkan kepada para
karyawan lainnya. Dengan demikian terjadi transfer ilmu pengetahuan yang berefek
terhadap peningkatan kualitas SDM.
Menyadari betapa pentingnya peranan SDM bagi kemajuan organisasi,
manajemen RSU Banyumas melakukan pelatihan-pelatihan bagi karyawan yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan. Sebagian karyawan berhasil menyelesaikan
jenjang pendidikan program S-2 yang dibiayai dana rumah sakit.
Potensi SDM rumah sakit digali sedalam-dalamnya yang tentu saja berpengaruh
terhadap kualitas pelayanan rumah sakit. Citra rumah sakit pun semakin baik. Manajemen
RSU Banyumas mengembangkan dan memberdayakan karyawan ke arah yang lebih
positif agar hak-hal negative semakin hilang. Setelah dilakukan pelbagai pelatihan,
beberapa karyawan yang tadinya tidak diterima di bagian apapun ternaya ternyata mampu
memberikan konstribusi (pekerjaan) yang lebih baik.
Sejarah RSU Banyumas
RSU Banyumas berdiri pada tanggal 1 Januari 1924 dengan nama khas penjajahan Belanda
yakni Juliana Burgerziekenhais atau Rumah Sakit Juliana. Nama tersebut diambil dari
putra mahkota Ratu Wilhelmina. Tahun 1935 ibu kota kabupaten pindah ke Purwokerto
dan memengaruhi kondisi rumah sakit yang memprihatinkan sehingga citranya menurun.
Masa penjajahan Belanda digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang (1941), nama
rumah sakit menjadi RSU Banyumas.
Tahun 1945-1947 rumah sakit dikelola oleh pemerintah kabupaten Banyumas,
dan tahun 1950 dikelola Departemen Kesehatan. Tahun 1953 pengelolaannya kembali
kepada pemerintah daerah Kabupaten Dati II Banyumas, dan berlaku hingga sekarang.
Kinerja rumah sakit biasa-biasa saja hingga tahun 1990-an.
Sejak tahun 1992 terjadi perubahan yang signifikan dengan pembenahan-
pembenahan yang sistematis terus menampakkan kemajuan-kemajuan yang sangat berarti
dan bahkan luar biasa jika dilihat dilihat tahun 2007. Perbaikan dimulai dari perbaikan
mutu pelayanan yang intensif dengan penerapan Total Quality Management, Gugus
Kendali Mutu, dan Akreditasi. Sejak tahun 2000 dicoba menerapkan model akreditasi
dengan standar internasional yang mengacu pada sistem manajemen ACHS, Australia,
yaitu EQuIP (Evalution Quality Improvement Program) yang mencapai pelbagai prestasi
dan apresiasi.
Tahun 1993, rumah sakit yang beralamat di Jl. Rumah Sakit No. 1 Banyumas ini
berubah status dari rumah sakit Kelas D menjadi Kelas C. Selanjutnya pada tanggal 28 Juli
2000, menteri kesehatan menetapkan statusnya menjadi Kelas B nonpendidikan. Tahun
2001, statusnya meningkat menjadi runmah sakit Kelas B pendidikan. Pengelolaannya
tetap di bawah pemerintah kabupaten Banyumas dan menjalin kerja sama dengan Fakultas
Kodokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Sejak tahun 1992 hingga sekarang, RS Banyumas mencapai prestasi-prestasi yang
menggembirakan, yang antara lain: juara I Tingkat provinsi Lomba RS Sayang Bayi, juara
I tingkat nasional Lomba RS Sayang Bayi, penghargaan akreditasi internasional sebagai
‘Baby Friendly Hospital (WHO), naik kelas dari D menjadi C, rs swadana, akreditasi
tingkat dasar, juara I tingkat provinsi lomba kinerja rs kelas C, juara I tingkat nasional
lomba kinerja rs elas C dengan pataka Nugraha Karya Husada tingkar II, mendapat medali
perunggu pada Konvensi GKM-RS tingkat nasional.
Rumah sakit ini selalu mencapai pretasi hampir tiap tahun. Selanjutnya pada tahun
1997, rumah sakit ini menerima juara I tingkat provinsi lomba RS Sayang Ibu, juara II
tingkat nasional Lomba RS Sayang Ibu, akreditasi tingkat nasional sebagai RS Sayang Ibu,
juara I Lomba Taman RSU tingkat provinsi, medali perunggu pada konvensi GKM-RS
Tingkat Nasional di Batu, Malang.
Tahun 2000, rumah sakit ini mendapat akreditasi penuh tingkat lanjut, dan menjadi RS
Kelas B nonpendidikan. Tahun berikutnya menjadi rumah sakit kelas B
Pendidikan--satu-satunya milik kabupaten menjadi rumah sakit pendidikan di
Indonesia. Tahun 2003 rumah sakit ini meraih medali perak pada konvensi nasional,
dan ditunjuk sebagai centre of exellence pelayanan kontrasepsi mantap (2003).
Selanjutnya ditunjuk sebagai rujukan SARS, menerima akreditasi penuh tingkat
lengkap dari Departemen Kesehatan, dan sebagai juara I tingkat Jawa Tengah
lomba Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi.
Tahun 2004, meraih medali perak pada konvensi GKM-RS ke-5 tingkat nasional,
memperoleh sertifikat sarana kesehatan pemeriksa kesehatan calon Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) ke luar negeri dari Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga
Kerja ke Luar Negeri, dan menjuarai lomba kinerja satpam antarperusahaan tingkat
karesidenan Banyumas.
Tahun 2005, ditunjuk sebagai rujukan tingkat nasional flu burung, dan sebagai konseling
VCT (Voluntary Counselling and Testing) bagi penderita AIDS/HIV. Rumah sakit
ini kembali menjadi juara I lomba kinerja pelayanan publik tingkat kabupaten
sekaligus menjadi duta pelayanan publik tingkat provinsi Jawa Tengah.
Sebagai juara I lomba ketrampilan Satpam tingkat POLRES Banyumas dan sekaligus
sebagai duta lomba ketrampilan Satpam Tingkat POLDA Jawa Tengah (juara III)
tahun 2006. Pada Tahun ini, prestasi rumah sakit ini makin lengkap dengan
akreditasi penuh tingkat lengkap tahap II yang pertama di Indonesia.
Selama tahun 2006, memperoleh medali perak pada Konvensi GKM-RS tingkat
nasional, dan juara I lomba kinerja pelayanan publik tingkat Kabupaten Banyumas
dan menjadi duta pelayanan publik tingkat provinsi Jawa Tengah. Menerima medali
perak pada Konvensi GKM-RS tingkat nasional di Bandung, dan memperoleh The
Sconed pada konvensi peningkatan mutu rumah sakit dengan pendekatan problem
solving for better hospitals dari Yayasan Indonesia Menuju Sehat—Dreyfus Health
Foundation (Amerika Serikat). Terpilih sebagai duta provinsi Jawa Tengah untuk
mengikuti lomba kinerja pelayanan publik tingkat Nasional dan mendapat piala
CITRA dari Pemerintah Indonesia yang diserahkan Presiden di Istana Negara.
Sebagian SDM RSU Banyumas berfoto di depan gedung
Rumah Sakit tersebut (Foto: Dokumentasi RSU Banyumas).
Filosofi RS Banyumas
Keselamatan, kesembuhan, dan kepuasan pelanggan adalah kebahagiaan kami.
Motto
RS Banyumas memberikan pelayanan terbaik yang “Cemerlang” (cepat, efektif,
mudah, efisien, ramah, lancar, aman, nyaman, gairah).
Misi RS Banyumas
1. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan, dan riset bidang kesehatan yang
bermutu tinggi, manusiawi dan terjangkau bagi masyarakat.
2. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan riset bidang kesehatan yang
seimbang, komprehensif dan terintegrasi.
3. Mengembangkan profesionalisme sumber daya manusia.
4. Meningkatkan kesejahteraan pihak-pihak yang terkait.
Visi RS Banyumas
Menjadi RS pendidikan utama yang bermutu tinggi, seimbang, dan
komprehensif pada tahun 2010.
1. Kejujuran
Kejujuran adalah kemampuan orang untuk mengatakan suatu kenyataan
sebagaimana adanya.
2. Keterbukaan
Keterbukaan terhadap sesuatu yang baru merupakan nilai yang perlu
dijunjung tinggi oleh setiap karyawan, sehingga setiap karyawan mampu
menghadapi setiap perubahan baik internal organisasi maupun eksternal
organisasi. Kejujuran dan keterbukaan akan menimbulkan “kepercayaan”
dari masyarakat.
3. Kerendahan hati
Kerendahan hati menjadikan orang mampu menerima kehadiran orang lain
dan pendapat orang lain serta mampu membangun kerja sama dengan orang
lain dalam mencapai tujuan bersama.
4. Kesediaan melayani
Kesediaan melayani merupakan tindakan terpuji dalam hubungan dengan
pelanggan. Setiap karyawan dengan ringan hati memberikan pelayanan
kepada seluruh pelanggan, sehingga pelanggan merasa dipedulikan oleh
RSU Banyumas.
5. Kerja keras
Kerja keras tidak kenal lelah merupakan unsur yang sangat penting dalam
mewujudkan peningkatan kualitas secara terus-menerus agar RS Banyumas
tetap dicintai oleh pelanggannya. Kerja keras salah satu unsur menuju
sukses.
6. Kasih sayang
Kasih sayang adalah sikap welas asih yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dapat diwujudkan dalam kegiatan pelayanan sehari-hari baik terhadap
pelanggan maupun teman sekerja kita.
7. Loyalitas
Loyalitas adalah kemampuan karyawan untuk mewujudkan apa yang telah
diucapkan atau dijanjikan dalam bentuk tindakan nyata. Karyawan RSU
Banyumas akan berusaha untuk mewujudkan apa yang telah dijanjikan
ketika masuk menjadi keluarga besar RSU Banyumas melalui TRI Satya
(satya kepada pimpinan, sejawat, bawahan).
Pada era kompetitif yang kian ketat, menurut pakar bisnis Rena T. Domingo hanya ada dua
tipe perusahaan, yakni perusahaan yang berkualitas dan perusahaan yang akan dikalahkan,
disisihkan, atau diambil alih oleh perusahaan yang berkualitas. Meskipun rumah sakit
bukanlah organisasi bisnis, namun pola geraknya tidak bisa meninggalkan aspek-aspek
bisnis, meskipun aspek pengabdian sosialnya lebih mengemuka. Oleh karena itu, pendapat
Rena T Domingo juga berlaku pada konteks sini. Kompetisi untuk mendapatkan simpatik
pelanggan juga semakin tajam. Keadaan ini bisa berdampak positif dan menguntungkan
pelanggan.
Melalui olah cipta, rasa, dan karsa SDM pelayanan prima yang dilakukan oleh
RS Banyumas dapat diwujudkan. Pelayanan prima di rumah sakit ini sudah membudaya
dan bahkan menjadi “lagu wajib” yang dikumandangkan oleh para karyawan rumah sakit
melalui pelayanan yang terbaik yakni excellent service agar tidak ditinggalkan oleh
pelanggan. Memang Tung Desem Waringin melalui tulisannya Mantra Pelayanan (2006),
mengingatkan bahwa pelayanan yang baik bersifat relatif. Bisa saja suatu pelayanan
dianggap sudah baik oleh seseorang, namun belum baik bagi yang pihak lain. Bagaimana
kita tahu sebuah pelayanan baik kalau kita tidak pernah melihat atau mengalami yang
buruk atau yang lebih baik?
Pihak manajemen RS Banyumas memahami pelayanan prima itu. Pengalaman
masa lampau menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses menuju perbaikan terus-
menerus. Kini menjadi kenyataan bagi masyarakat di Banyumas, bahwa unjuk kerja SDM
berkualitas dengan pelbagai perangkat pendukung lainnya, telah berhasil membawa
organisasi mewujudkan tujuan-tujuannya yang terus berkembang sesuai tuntutan
masyarakat dan perkembangan zaman.
8 Cermin Sukses Pemberdayaan SDM
(2):
Perusahaan Sido Muncul memulai aktivitasnya sebagai industri rumah tangga pada tahun
1940, dan kini menjadi salah satu manufaktur jamu terkemuka di Indonesia. Usaha ini
dirintis oleh ibu Rakhmat Sulistio di Yogyakarta. Ia dibantu oleh tiga orang karyawan.
Selanjutnya usaha ini berkembang dengan makin pesatnya permintaan yang
kemudian memotivasi manajmen untuk membuat kemasan jamu agar lebih praktis. Jumlah
produksi jamu terus meningkat yang kemasannya dalam bentuk serbuk. Lokasi usaha ini
kemudian pandah ke Semarang pada tahun 1951, dan perusahan dinamai SidoMuncul—
berarti impian yang terwujud yang berlokasi di Jl. Mlaten Trenggulun.
Produk andalan pertama adalah jamu Tolak Angin yang mendapat tempat di hati
masyarakat di sekitar usaha. Permintaan atas jamu tolak angina terus meningkat. Dalam
perkembangan selanjutnya, pabrik pertama tidak mampu memroduksui sesuai targert
kapasitas karena permintaan pasar terus meningkat. Tahun 1984 lokasi pabrik dipindahkan
ke lingkungan industri kecil di Jl. Kaligawe, Semarang. Mesin-mesin modern pun
digunakan, dan jumlah karyawan terus bertambah agar mampu memproduksi jamu sesuai
kapasitas terpasang. Jumlah karyawan Sido Muncul sekarang ini lebih dari 2000 orang.
Perusahaan ini terus berkembang. Tahun 1997, dibangunlah unit pabrik yang lebih
besar dan modern di Klepu, Ungaran, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono X. Pabrik di area seluas 29 ha itu diresmikan oleh menteri
kesehatan pada tanggal 11 November 2000. Pada saat peresmian pabrik, Sido Muncul
menerima dua sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) setara dengan farmasi. Kedua sertifikat itulah yang
menjadikan PT Sido Muncul sebagai salah satu pabrik jamu berstandar farmasi. Lokasi
pabrik terdiri dari bangunan pabrik di areal seluas 7 ha, lahan agrowisata 1½ hektar, dan
sisanya menjadi kawasan pendukung lingkungan pabrik.
PT Sido Muncul terus mengembangkan industri jamu yang benar, baik, dan
inovatif. Pemilihan dan penggunaan bahan baku sangat ketat, benar, baik mengenai jenis,
jumlah maupun kualitasnya agar menghasilkan jamu yang baik. Semua rencana
pengeluaran produk baru selalu didahului oleh studi literatur maupun penelitian yang
intensif, menyangkut keamanan, khasiat maupun sampling pasar. Untuk memberikan
jaminan kualitas, setiap langkah produksi mulai dari penggunaan bahan baku hingga
produk sampai ke pasaran, dilakukan di bawah pengawasan secara ketat.
“Menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, inilah yang selalu diangankan oleh
SidoMuncul,” kata Irwan Hidayat, Direktur Utama PT Sido Muncul yang dikutip dari
WWW.sidomuncul.com.
Selain sebagai tempat pelaksanaan produksi, di lokasi pabrik Sido Muncul terdapat
agrowisata seluas 1,5 hektar. Lahan agrowisata tersebut berisikan pelbagai jenis tanaman
obat yang ada di Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku produksi produk jamu Sido
Muncul. Sido Muncul juga memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk
mengunjungi dan melihat secara langsung proses produksi agar masyarakat dapat melihat
bahwa jamu-jamu produksi Sido Muncul memenuhi standar CPOB dan aman serta
berkhasiat untuk dikonsumsi.
Dibukanya lahan agrowisata bertujuan untuk mengoleksi tanaman obat, terutama
diprioritaskan pada tanaman-tanaman langka atau yang hampir punah. Sebagian besar
koleksi terdiri dari tanaman untuk bahan jamu.
Pada tahun 1999 dirintis pembukaan kawasan khusus untuk lokasi koleksi tanaman
obat yang akhirnya didisain seartistik mungkin dan menarik untuk dilihat dan dikunjungi.
Secara resmi tempat tersebut dijadikan obyek agrowisata khusus koleksi tanaman obat yang
dirancang terpadu, antara koleksi tanaman obat dan disain taman serta infrastruktur lainnya.
Agrowisata tanaman obat berlokasi di kawasan pabrik/industri jamu PT Sido
Muncul, Jalan Soekarno-Hatta, Desa Diwak, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah. Berlokasi di lahan seluas 1,5 hektar dengan topografi tanah landai,
ketinggian tempat 440 meter dari permukaan laut.
Di kawasan agrowisata tanaman obat tersedia pelbagai hal, di antaranya:
1. Koleksi tanaman obat kurang lebih 400 spesies, termasuk tanaman introduksi yang
didatangkan dari luar negeri, antara lain Echinacea purpurea, Tribulus Terrestris,
Mintha Piperita, Sybilum Marianum, dan jamur Ganoderma Lucidum,
2. Jalan yang bisa dilalui mobil, untuk berkeliling lokasi,
3. Aula berupa Gasebo,
4. Kolam ikan (danau buatan), dan
5. Nursery/kebun bibit dan tempat penjualan bibit tanaman obat.
Menerima Penghargaan-Penghargaan
Dengan memberdayakan seoptimal mungkin potensi yang dimiliki SDM-nya, dan dengan
strategi yang jitu dalam membidik peluang, PT Sido Muncul meraih pelbagai prestasi dan
penghargaan. Beberapa di antaranya adalah:
4. Solo Customer Satisfac-tion Index (SCSI) 2003 sebagai merek jamu terpopuler
SidoMuncul Award
Buku itu ditulis oleh sejarawan Dwitri Waluyo dan diluncurkan oleh Presiden
Direktur PT Sido Muncul, Irwan Hidayat pada 30 Mei 2005. "Kami percaya buku ini akan
memberikan kontribusi dan membentuk masa depan terbaik bagi generasi penerus bangsa.
Semoga dengan (membaca) buku ini setiap insan di nusantara menjadi semakin peka dan
sadar akan warisan bangsa Indonesia yang begitu kaya dan rangkap," ungkap Irwan saat
meluncurkan buku tersebut. Buku itu berisikan tentang pembentukan dan kehancuran
kerajaan-kerajaan nusantara serta tentang pelbagai legenda, cerita rakyat, dan kebiasaan
para leluhur kita minum jamu berupa racikan dari pelbagai ramuan tumbuh-tumbuhan.
Anda juga dapat memesan CD/VCD kami untuk mendukung upaya Anda
”mengasah intuisi” dalam menghadapi dan bergelut dengan SDM, di antaranya:
Mengapa Orang Bersedia Mati untuk Anda?
Intervensi Alternatif untuk Mengobati Masalah Kronis Organisasi
OK kami tunggu kabar sukses Anda di email: paradigma.mi@gmail.com.
Salam sukses untuk Anda dan untuk orang-orang yang Anda kasihi!
DAFTAR PUSTAKA
A. Dale Timpe (Editor). 1999. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia: Kinerja (The Art
and Science of Business Management Performance). Alih bahasa Sofyan Cikmat.
Jakarta: PT Elex Media Computindo
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual: Emotional Spiritual Quotien Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada.
Clay Carr & Mery Fletcher. 1996. Kiat Manajer Memecahkan Masalah: Mengerti
Penyebab dan Mencari Pemecahan terhadap 125 Masalah untuk Personalia
(Manager Troubleshooter: Pinpointing The Causes & Cures of 125 Tough Day-To-
Day Problem). Alih bahasa Tuntun Sinaga. Jakarta: Mitra Utama.
Dawn Lighter, MA. 1999. 50 Cara Efektif Menanamkan Tingkah Laku Positif pada Anak
(Gentle Discipline 50 Effective Techniques for Teaching Your Children Good
Behavior). Alih bahasa Chaterine Wisaksono. Yogyakarta: Kanisius.
Jan R. Jonassen. 2004. Rahasia Kepemimpinan: Kiat Para Pemimpin Mencapai Kinerja
Tim yang Luar Biasa. (Leadership, Sharing the Possion). Alih bahasa Theresia Arie
Prabawati. Yogyakarta: Dolphin Books.
Leslie Rae. 2005. Mengelola Keterampilan Manusia dalam Pelatihan dan Pengembangan.
(Using People Skills in Training and Development). Alih bahasa Andreas Haryono.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
L. Sri Soekemi RB, Jakoeb Hidajat, Koesjono. 1988. Hubungan Ketenagakerjaan. Jakarta:
Karunika.
Napoleon Hill. 1994. Menjadi Kaya dengan Kedamaian Pikiran. Alih bahasa Rita SS.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Robert B. Maddux. 2001. Team Building: Terampil Membangun Tim Handal. (Team
Building). Alih bahasa Kristiyabudi P. Hananto. Jakarta: Erlangga.
Robert K. Cooper & Ayman Sawaf. 1999. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam
Kepeminpinan dan Organisasi. Alih bahasa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Robert T. Kiyosaki. 2005. Retire Young Retire Rich.(Cara Cepat Menjadi Kaya dan Tetap
Kaya Selamanya). Cet. Keenam. Alihbahasa Paulus Herlambang. Jakarta: PT.
Gramedia.
Rohmadi Rusdi. 1995. Manipulasi Hidup: Tragedi Harta, Tahta, dan Wanita. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Rohmadi Rusdi. 2004. Sukses Mengelola Usaha Baru. Semarang: PT. Effhar.
Rohmadi Rusdi. 2005. Membangun Bisnis yang Berhasil dan Seluk Beluk Bisnis Pribumi,
Keturunan Cina, dan Jepang. Gombong: Pena Saran Media.
Soebagio Sastrodiningrat, Prof. DR. dkk. 1986. Perilaku Administrasi I. Jakarta: Karunika.
Soekidjo Notoatmodjo, Prof. DR. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Sondang P. Siagian. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, PT Bumi Aksara, Jakarta
Steven A. Finkler. 2001. Budgeting Concepts for Nurse Managers (Third Edition).
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Tony Barnes. 1998. Strategi Kaizen untuk Kepemimpinan Sukses (Kaizen Strategies for
Succesful Leadership). Alih bahasa Martin Widjokongko. Batam: Interaksara.
TENTANG PENULIS
Sebagai sarjana sospol yang mencoba peduli dengan gejolak lingkungan sosial-
budayanya, wajar pula kalau dari tangannya lahir karya-karya seperti:
Manipulasi Hidup: Tragedi Harta, tahta, dan Wanita (PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1995)
Bercinta Cara Nabi & Raja (UD Api Semangat, Kebumen, 2003).
Manajemen Cinta Anak Gaul (Penerbit Pena Saran Media, Gombong).
Ia pernah menuntut ilmu di sekolah kesehatan (satu alumni beda angkatan dengan
Ronin Hidayat, di SPK Purwokerto), maka ia juga menulis:
Buku Pintar UKS (PT Tiga Serangkai Solo)
Buku Pintar Kesehatan Keluarga (Yayasan Kesejahteraan PPNI Gombong, ditulis
bersama rekan-rekan).
Buku yang sedang Anda baca ini adalah hasil kolaborasi “dua saudara seperguruan”
yang sama-sama memiliki visi ke depan tentang perbaikan kualitas SDM Indonesia.
Ronin Hidayat: Lahir tahun 1962 di Banyumas, menyelesaikan
Program S-2 Magister Manajemen Rumah Sakit (MMR) di
Universitas Gadjah Mada, tahun 2006. Ia memiliki banyak tugas dan
jabatan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan kesehatan,
beberapa diantaranya adalah:
1. Ka. Subid Riset, Pengembangan dan Peningkatan Mutu
2. Koordinator Umum Pembimbing (Clinical Instrukturr)
Mahasiswa Praktek Klinis
3. Ketua Manajemen Mutu
4. Pelatih Pemberdayaan SDM
5. Ketua Remunerasi Jasa Pelayanan
(No. 1-5 di institusi tempatnya bekerja)
6. Sebagai peneliti Bidang Kesehatan,
7. Anggota Surveyor KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit ) Pusat di DepKes
8. Narasumber Pelatihan PPGD di BPTPK Gombong
9. Dosen (DTT) UNSOED, Akademi Kesehatan, pernah mengajar program S-2 Jurusan
IKM Minat MMR, UGM.
Ia aktif berolah raga (badminton, tenis lapangan, beladiri “TARUNG DRAJAT”) dan
bertempat tinggal di Kebarongan RT.02/RW 11 Kecamatan Kemranjen Banyumas.