Anda di halaman 1dari 290

KEPENDUDUKAN,

KELUARGA BERENCANA DAN


PEMBANGUNAN KELUARGA
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KEPENDUDUKAN,
KELUARGA BERENCANA DAN
PEMBANGUNAN KELUARGA

Dr. Teguh Widodo, A.K.S., M.T.P.


Dr. Iswandi, M.Si.
Lismomon Nata, S.Pd., M.Si., CHt.

Editor:
Dr. Indang Dewata, M.Si., CEIA.
KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

Teguh Widodo, Iswandi & Lismomon Nata

Editor :
Indang Dewata

Desain Cover :
Rulie Gunadi

Sumber :
www.shutterstock.com

Tata Letak :
Titis Yuliyanti

Proofreader :
Mira Muarifah

Ukuran :
xvi, 274 hlm, Uk: 17.5x25 cm

ISBN :
No ISBN

Cetakan Pertama :
Bulan 2021

Hak Cipta 2021, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2021 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
PRAKATA

Bismillahirrahmanniirahim. Alhamdulillah, buku ini dapat diselesaikan


setelah 1,5 tahun berproses. Hal ini dikarenakan berbagai kendala dan
hambatan yang berhubungan dedikasi waktu untuk menulis dan tuntutan tugas
lain, seperti riset, mengajar dan tugas administratif lainnya. Buku ini ditulis
dari hasil olah pikir, diskusi, ataupun melalui referensi buku bacaan tentang
kependudukan. Para akademisi mewarnai tulisan ini di antaranya Dr. Ir. Heru
Purboyo, D.E.A., dari ITB; Dr. Wendy (BKKBN), Prof. Ir. Rahmat Syahni,
M.Sc. (UNAND), Prof. Duski Samad, M.Ag. (UIN Imam Bondjol), Dr. Moh.
Kosim, M.A. (UIN Imam Bondjol). Sudah sewajarnya, kami mengucapkan
terima kasih atas kontribusinya dalam proses pengajaran dan berbagai
masukan yang berhubungan dengan isu buku ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada para mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang
(UNP), terutama yang mengambil mata kuliah Kependudukan dan
Lingkungan atas berbagai diskusi terhadap referensi beberapa jurnal tentang
kependudukan. Demikian juga ucapan yang sama teruntuk Kepala Perwakilan
BKKBN Provinsi Sumatera Barat, Fatmawati, S.T., M.Eng. atas kesediaannya
memfasilitasi pembiayaan untuk penerbitan buku ini.
Buku referensi ini sengaja mengambil segmen pembaca untuk para
pengajar, praktisi dan juga penggiat kependudukan dan pembangunan
keluarga. Para Penyuluh Keluarga Berencana/Petugas Lapangan Keluarga
Berencana (PKB/PLKB) seluruh Indonesia yang sudah semestinya melek
literasi dan sensitivitas terhadap fenomena kependudukan dan keluarga yang
mengalami dinamika akibat perubahan struktur kependudukan baik dari sisi
jumlah, jenis kelamin, laju pertumbuhan, mobilisasi dan sebagainya. Di mana
keseluruhannya aspek tersebut berdampak pada penduduk itu sendiri.
Harapan besar kami, buku ini dapat menjadi acuan bagi para pembaca
dalam memahami tentang kependudukan, Keluarga Berencana dan
pembangunan keluarga. Tentunya kami sangat membuka diri selebar-lebarnya

v
akan sumbang saran agar lebih baik dan sempurnanya buku ini, karena
menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah Swt.

Padang, Agustus 2021


Penulis

Teguh, Iswandi & Momon

vi
PENGANTAR
KEPALA PERWAKILAN BKKBN
PROVINSI SUMATERA BARAT

Penyuluh Keluarga Berencana/Petugas Lapangan Keluarga Berencana


(PKB/PLKB) sebagai ujung tombak program Pembangunan Keluarga,
Kependudukan dan Keluarga Berencana (Banggakencana) mestilah seseorang
yang kompeten, karena mereka langsung berada di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu selalu dituntut untuk dapat terus memahami pentingnya
pengendalian penduduk beserta dinamikanya. Salah satu caranya alangkah
baik diawali secara teoretis. Maka, Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera
Barat menyiapkan buku yang berisi tentang kependudukan, Keluarga
Berencana dan pembangunan keluarga, serta isu-isu terbaru seperti hal nya
judul pada buku ini. Buku yang ditulis secara kolaboratif, yaitu oleh peneliti
demografi Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat, Widyaiswara
Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat dan Dosen Universitas Negeri
Padang (UNP). Buku ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan
PKB/PLKB yang tersebar di Sumatera Barat sebagai pengetahuan dan dasar
bekerja di lapangan. Buku ini ditulis atas pembiayaan Satker Perwakilan
BKKBN Provinsi Sumatera Barat. Namun tentu saja sangat relevan untuk
diedarkan dan dimanfaatkan secara nasional pula bagi para PKB/PLKB yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr.
Hasto Wardoyo dan Deputi Latbang BKKBN yang memfasilitasi peneliti
kami dalam penerbitan buku ini. Kepada para PKB/PLKB terkhususnya di
Sumatera Barat, dengan harapan dapat membaca buku ini, karena setiap saat
PKB/PLKB secara periodik akan mendapatkan pelatihan tentang dasar-dasar
demografi.

vii
Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang
kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan kependudukan secara
utuh dan komprehensif.

Padang, Agustus 2021


Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat

Fatmawati, S.T., M.Eng.

viii
DAFTAR ISI

PRAKATA ....................................................................................................... v
PENGANTAR KEPALA PERWAKILAN BKKBN PROVINSI
SUMATERA BARAT .................................................................................. vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................ix
DAFTAR TABEL......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii

BAGIAN PERTAMA
DEMOGRAFI DAN TEORINYA
BAB 1 TENTANG KEPENDUDUKAN .................................................. 2
Pendahuluan .................................................................................... 2
Istilah-Istilah dalam Kependudukan................................................ 6
BAB 2 TEORI-TEORI TENTANG KEPENDUDUKAN .................... 21
Pendahuluan .................................................................................. 21
Perspektif Kependudukan dari Waktu ke Waktu .......................... 22

BAGIAN KEDUA
FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN PENDUDUK
BAB 3 NATALITAS ............................................................................... 34
Pendahuluan .................................................................................. 34
Teknis Penghitungan TFR............................................................. 40
Persoalan dalam Teknik Penghitungan TFR di Indonesia ............ 43
Komponen-Komponen dalam Fertilitas ........................................ 44
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas ............................... 46
Pengendali Fertilitas ...................................................................... 56
Pendidikan Wanita, Tenaga Kerja Wanita, Partisipasi dan
Kesetaraan Gender ........................................................................ 56

ix
BAB 4 MORTALITAS PENDUDUK .................................................... 66
Pendahuluan .................................................................................. 66
Pengertian Lanjut tentang Mortalitas ............................................ 67
Morbiditas ..................................................................................... 68
Peperangan .................................................................................... 72
Kecelakaan .................................................................................... 76
Life Table ...................................................................................... 77
BAB 5 MOBILITAS PENDUDUK ........................................................ 81
Pendahuluan .................................................................................. 81
Migrasi .......................................................................................... 82
Ruang Lingkup Migrasi ................................................................ 84
Ragam Migrasi .............................................................................. 86
Macam-Macam Migrasi ................................................................ 86
Perilaku Demografis dan Mobilitas Sosial Saling
Berinteraksi ................................................................................... 89
Migrasi yang Tidak Diinginkan Pengungsi ................................. 104

BAGIAN KETIGA
MASALAH DAN SISTEM KEPENDUDUKAN
BAB 6 PEMBANGUNAN KELUARGA ............................................. 113
Pendahuluan ................................................................................ 113
Ada Apa dengan Keluarga?......................................................... 119
Perkawinan atau Pernikahan?...................................................... 122
Urgensi Ketahanan Keluarga dalam Tatanan Masyarakat .......... 125
Evolusi Program Keluarga Berencana ........................................ 130
Kebijakan dan Dukungan Negara-Negara Berkembang
dalam Keluarga Berencana.......................................................... 132
Permintaan Alat dan Obat Kontrasepsi dalam Keluarga
Berencana .................................................................................... 133
Layanan Keluarga Berencana...................................................... 134
Program Pendanaan Perencanaan Keluarga ................................ 135
Badan Pembangunan Internasional AS dalam Program
Keluarga Berencana .................................................................... 136
United Nation Population Fund (UNFPA) .................................. 136
Memperkuat Rantai Pasokan agar Alat dan Obat
Kontrasepsi Menjangkau Mereka yang Membutuhkan ............... 141
Federasi Keluarga Berencana Internasional ................................ 143

x
Kontribusi Bank Dunia dalam Kependudukan Dunia ................. 143
BAB 7 ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN .................................... 147
Pendahuluan ................................................................................ 148
Administrasi Kependudukan dalam Tatanan Demografi ............ 150
Kondisi Administrasi Kependudukan di Era Orde Baru ............. 154
Kondisi Administrasi Kependudukan di Era Reformasi ............. 155
Jenis-Jenis Layanan Administrasi Kependudukan ...................... 155
BAB 8 ISU-ISU DAN MASALAH KEPENDUDUKAN .................... 165
Pendahuluan ................................................................................ 165
Fenomena Permisivitas Kohabitasi di China............................... 167
Transisi Demografi...................................................................... 171
Kebijakan Penduduk Baik Mitigasi dan Adaptasi ....................... 175
Meramalkan Perubahan Kependudukan di Masa Depan ............ 177
BAB 9 ANALISIS TFR, UNMETNEED DAN CPR HASIL
SUSENAS 2019 TERHADAP PROGRAM BANGGA
KENCANA................................................................................. 179
BAB 10 KEKUATAN PENGARUH TOTAL FERTILITY RATE
(TFR) TERHADAP KEMISKINAN DI SUMATERA
BARAT ....................................................................................... 187
Pendahuluan ................................................................................ 187
Metodologi Penelitian ................................................................. 194
Hasil Penelitian ........................................................................... 195
Pembahasan ................................................................................. 198
Kesimpulan dan Saran................................................................. 198
Daftar Pustaka ............................................................................. 198
BAB 11 PENDEKATAN SISTEM UNTUK KEPENDUDUKAN ...... 201
BAB 12 PENUTUP .................................................................................. 268

PROFIL PENULIS ..................................................................................... 270


PROFIL EDITOR ....................................................................................... 273

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Teknis Penghitungan TFR ....................................................... 41


Tabel 6.1: Rekapitulasi Perkara Diputus Pengadilan Tinggi Agama
Sumbar 2017 .......................................................................... 116
Tabel 6.2: Rekapitulasi Perkara diputus Pengadilan Tinggi Agama
Indonesia 2018. ...................................................................... 117
Tabel 6.3: Bantuan Penduduk Internasional oleh Negara Donor ............ 135
Tabel 10.1: Persentase Kemiskinan dan TFR di Sumatera Barat
2019........................................................................................ 195
Tabel 10.2: Hasil Uji Normalitas .............................................................. 196
Tabel 10.3: Hasil Uji Regresi Linear Sederhana ....................................... 196
Tabel 10.4: Koefisien Determinasi............................................................ 197
Tabel 11.1: Masalah Pengambil Keputusan .............................................. 231
Tabel 11.2: Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders Pendidikan
Tinggi Negeri ......................................................................... 238
Tabel 11.3: Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders
Pengembangan Objek Wisata Bahari Berkelanjutan ............. 239
Tabel 11.4: Simbol Aplikasi Program Powersim ...................................... 247

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1: Jumlah Anak yang Dilahirkan Wanita dari Tahun


1950-2019 ........................................................................... 35
Gambar 3.2: Total Fertility Rate di Dunia 2019 ...................................... 37
Gambar 3.3: TFR Dunia Menurut Negara dari Tahun 1950-2010........... 40
Gambar 3.4: Tahapan Fertilitas................................................................ 47
Gambar 3.5: Proses Terjadinya Konsepsi ................................................ 49
Gambar 4.1: Sebab-Sebab Kematian di Seluruh Dunia Tahun
2017 .................................................................................... 70
Gambar 7.1: Contoh Replika Kartu Identitas Anak ............................... 156
Gambar 7.2: Contoh Akta Kematian ..................................................... 157
Gambar 9.1: Q-Q Plot TFR, mCPR, Unmetneed................................... 182
Gambar 11.1: Pengertian Sistem.............................................................. 201
Gambar 11.2: Sistem Kota ....................................................................... 202
Gambar 11.3: Siklus Hidrologi sebagai Sistem ....................................... 203
Gambar 11.4: Sistem dalam Penggunaan Lahan ..................................... 204
Gambar 11.5: Karakteristik Suatu Sistem ................................................ 205
Gambar 11.6: Interaksi Antar-Subsistem Penduduk, Ekonomi, dan
Lingkungan ....................................................................... 206
Gambar 11.7: Sistem Tertutup ................................................................. 207
Gambar 11.8: Sistem Terbuka ................................................................. 208
Gambar 11.9: Tahapan Analisis Sistem ................................................... 210
Gambar 11.10: Kerangka berpikir sistem .................................................. 211
Gambar 11.11: Struktur sistem pada bencana banjir ................................. 212
Gambar 11.12: Proses Berpikir .................................................................. 213
Gambar 11.13: Tingkatan Berpikir Sesorang ............................................ 215
Gambar 11.14: Tingkatan berpikir sistem ................................................. 216
Gambar 11.15: Peta Zona Rawan Banjir Contoh Model Ikonik ................ 217
Gambar 11.16: Data Rata-Rata Curah Hujan di Kota Padang
Contoh Model Analog....................................................... 218

xiii
Gambar 11.17: Perkiraan Masa Depan Sumber Daya, Populasi,
Polusi, dan Pangan per Kapita dalam Ilmu Sistem ........... 220
Gambar 11.18: Kota Hitam (Black Box) dari Sistem Pengelolaan
Kawasan Permukiman Berkelanjutan ............................... 222
Gambar 11.19: Uji Validitas Model terhadap Penduduk ........................... 224
Gambar 11.20: Umpan balik positif........................................................... 226
Gambar 11.21: Perilaku Model Umpan Balik Positif ................................ 226
Gambar 11.22: Simpul Positif dengan Variabel Kompleks ....................... 227
Gambar 11.23: Umpan Balik Negatif ........................................................ 228
Gambar 11.24: Perilaku Umpan Balik Negatif .......................................... 228
Gambar 11.25: Umpan Balik yang Kompleks pada Kajian
Demografi ......................................................................... 229
Gambar 11.26: Perilaku Model Umpan Balik yang Kompleks pada
Kasus Demografi .............................................................. 229
Gambar 11.27: Umpan Balik Kompleks pada Kasus Penduduk
Pertanian dan Lingkungan ............................................... 230
Gambar 11.28: Diagram Pengambilan Keputusan dengan Intuisi ............. 232
Gambar 11.29: Diagram Pengambilan Keputusan dengan Analisis
Keputusan ......................................................................... 232
Gambar 11.30: Siklus Data, Informasi, Keputusan dan Aksi .................... 233
Gambar 11.31: Langkah-Langkah Siklus Analisis Keputusan .................. 234
Gambar 11.32: Kebakaran Lahan Gambut ................................................ 235
Gambar 11.33: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Pengelolaan
Waduk Cirata Purwakarta ................................................. 241
Gambar 11.34: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Pertumbuhan
Penduduk, Industri, Pemerintah, dan Perguruan
Tinggi ................................................................................ 242
Gambar 11.35: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Penduduk dan
Kebutuhan Lahan Sawah .................................................. 243
Gambar 11.36: Prinsip Hubungan Sebab Akibat dan Umpan Balik
dalam Siklus Hidrologi ..................................................... 244
Gambar 11.37: Aspek Penting dalam Sistem Dinamik.............................. 245
Gambar 11.38: Tampilan Awal Program Powersim .................................. 247
Gambar 11.39: Contoh causal loop pada kasus demografi ....................... 249
Gambar 11.40: Pembuatan Teks Variabel ................................................. 249
Gambar 11.41: Ikon Define Text ............................................................... 250
Gambar 11.42: Mengubah Tampilan pada Ikon Style dan Shape.............. 250

xiv
Gambar 11.43: Garis Penghubung Antarvariabel untuk Membentuk
Causal Loop ...................................................................... 251
Gambar 11.44: Editing Garis pada Define Line ........................................ 251
Gambar 11.45: Hasil Pengeditan Garis pada Define Line ......................... 252
Gambar 11.46: Membentuk Lengkungan dalam Pembuatan
Hubungan Causal Loop .................................................... 252
Gambar 11.47: Causal Loop Variabel Jumlah Penduduk dengan
Kelahiran ........................................................................... 253
Gambar 11.48: Rate atau Flow sebagai Interflow...................................... 253
Gambar 11.49: Hubungan Level dan Auxiliary pada Struktur Sistem
Dinamik ............................................................................ 254
Gambar 11.50: Define Variable ................................................................. 254
Gambar 11.51: Perubahan pada kota level sebagai indikator data
benar.................................................................................. 255
Gambar 11.52: Pembuatan Constanta ........................................................ 255
Gambar 11.53: Define Variable Constanta ................................................ 256
Gambar 11.54: Pembuatan grafik simulasi ................................................ 257
Gambar 11.55: Setup Simulasi................................................................... 258
Gambar 11.56: Grafik Simulasi ................................................................. 258
Gambar 11.57: Simulasi Grafik dan Tabel ................................................ 259
Gambar 11.58: Fungsi Graph..................................................................... 260
Gambar 11.59: Edit Graph/Vector ............................................................. 260
Gambar 11.60: Angka Kelahiran pada Simulasi Fungsi Graph ................. 261
Gambar 11.61: Jumlah Penduduk Akibat Fungsi Graph ........................... 261
Gambar 11.62: Fungsi If pada Pertumbuhan Penduduk ............................ 262
Gambar 11.63: Simulasi Jumlah Penduduk dengan Fungsi if ................... 263
Gambar 11.64: Simulasi Fungsi if pada Kelahiran .................................... 263
Gambar 11.65: Grafik Perbandingan antara Tanpa Adanya
Intervensi (a) dengan Adanya Intervensi Pemerintah
(b) dalam Penurunan Angka Kelahiran ............................. 264
Gambar 11.66: Fungsi Step ....................................................................... 264
Gambar 11.67: Input Fungsi Step .............................................................. 265
Gambar 11.68: Perubahan pada Auxiliary Bila Fungsi Step
Diinputkan dengan Benar ................................................. 265
Gambar 11.69: Simulasi Fungsi Step pada Jumlah Penduduk dan
Kelahiran ........................................................................... 266

xv
xvi
BAGIAN PERTAMA

DEMOGRAFI DAN TEORINYA

Penduduk, populasi penduduk, demografi, warga dan istilah lain yang


berhubungan dengan diri manusia dan kumpulannya merupakan istilah yang
saling bersinggungan dalam hal-ihwal kependudukan. Selain itu, terdapat
teori-teori yang menjadi referensi dalam menelaah kependudukan.
Keseluruhan istilah tersebut akan dibahas dalam bagian ini dibagi menjadi dua
Bab. Bab 1 menjelaskan tentang pengertian kependudukan dan parameter
lainnya, seperti fertilitas, fekunditas, tingkat kelahiran kasar, laju
pertumbuhan penduduk dan parameter lainnya. Bab 2 membahas dan
menjelaskan tentang teori-teori kependudukan seperti Robert Malthus, teori
kependudukan kontemporer, teori Marxist yang kontraproduktif dengan
Malthus, teori transisi kependudukan dan teori transisi kependudukan serta
perspektif religi terhadap kependudukan.

1
BAB 1
TENTANG KEPENDUDUKAN

Sekali waktu anggota dewan memanggil kepala Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2014 menjelang pemilihan legislatif. Waktu itu penulis bekerja di
pemerintah daerah Kabupaten Padang Pariaman. Anggota dewan tersebut
menanyakan mengapa data tentang penduduk di daerahnya berbeda
jumlahnya antara Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dengan yang ada di
Badan Pusat Statistik (BPS). Mengapa data penduduk di BPS jumlahnya lebih
besar dari pada di Dinas Dukcapil? Kepala BPS pun menjawab bahwa data
BPS adalah data hasil survei dan proyeksi. Data realnya akan dilakukan
setiap melakukan sensus di tahun yang akhirannya “0”. Kepala BPS
melanjutkan jawabannya, penduduk pada data BPS dan dikatakan penduduk
adalah mereka yang telah menetap minimal 6 bulan, atau memang sudah
ingin menetap di lokasi tersebut dengan dibuktikan surat pindah domisili.

Pendahuluan
Dunia saat ini sudah dihadapkan dikotomi penduduk. Sebagian negara
di dunia terutama negara maju di belahan benua Eropa dan Asia Utara sedang
mencegah terjadinya penurunan penduduk karena sebagian warganya sudah
tidak mau mempunyai anak lagi. Pada sisi lain, sebagian negara penduduknya
menuju kepunahan. Salah satu upaya menghindari hal demikian, pemerintah
negara tersebut membuat kebijakan yang mungkin dianggap tidak rasional,
seperti mengizinkan menonton film porno agar rakyat mau tergugah
syahwatnya untuk melakukan hubungan seksual, sehingga akan melahirkan
anak. Ada juga negara yang berjuang menurunkan laju pertumbuhan
penduduk dengan cara mengurangi jumlah anak, hingga negara membuat
kebijakan tidak menanggung anak dalam tunjangan keluarga. Hal ini
disebabkan negara menerima beban pertambahan penduduk dengan harus
menyediakan sarana publik baru, seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah,
jalan, kuburan, taman bermain dan lain sebagainya.

2
Persoalan lain penduduk saat ini adalah era digital. Di mana akses
informasi sangat cepat tanpa terhukum waktu dan tempat. Apalagi pada saat
pandemik coronavirus disease 2019 (Covid-19), pertemuan bersifat virtual
melalui webinar menjadi alternatif pertemuan. Meskipun kebutuhan akan
pertemuan fisik tetap dirasakan tidak tergantikan, karena kurang afdal kalau
belum menghadirkan tubuh beserta keseluruhan indrawi, karena banyak aspek
fisik yang tidak dapat digantikan oleh virtual, seperti rasa, gestur, dan etika.
Contoh sederhananya, meskipun banyak spot wisata sudah dipajang di media
elektronik, ternyata melihat saja secara maya belum lah cukup jika
dibandingkan dapat berkunjung ke tempat wisata dengan menghadirkan fisik,
walaupun sekadar ber-swafoto.
Di sisi lain, dunia saat ini juga sedang dilanda chaosatik, yaitu banyak
negara mengalami kekacauan yang membuat penduduk tidak betah di
rumahnya sendiri. Kehidupan yang dibayang-bayangi rasa ketakutan
berkepanjangan tersebab perang. Mereka mengungsi, mencari suaka (asylum)
ke negara yang dianggap aman dan lebih makmur. Saat sekarang ini ada
sekitar 70 juta lebih pengungsi di seluruh dunia yang disebabkan perang,
seperti Palestina, Rohingya, Burundi, Rwanda, Uighur, Irak, Iran dan Suriah.
Negara yang tidak aman mendorong penduduknya melakukan eksodus dengan
berbagai risiko membahayakan lain yang akan dihadapi, yaitu tenggelam di
laut, sakit, kelaparan di jalan dan ditolak oleh tempat tujuan.
Lebih menghebohkan lagi, kasus-kasus lain yang berhubungan dengan
kependudukan adalah pernikahan anak, pekerja anak, pekerja seks anak,
penelantaran anak, anak jalanan, anak putus sekolah, kejahatan anak, Lesbian,
Gay, Biseksual Transgender (LGBT), konflik penduduk pendatang dan
pribumi, bencana lingkungan dan persoalan penduduk lainnya yang saat ini
semakin kompleks.
Berbagai isu di atas akan dikupas tuntas dari sudut pandang
kependudukan. Namun untuk mengetahui tentang kependudukan, alangkah
baiknya diawali dari terminologi penduduk dan demografi. Di mana penduduk
merupakan objek dari demografi. Penduduk secara de facto lebih mengarah
pada definisi yang dikemukakan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB (1973)),
yaitu mereka minimal enam bulan tinggal secara menetap di suatu wilayah,
atau memang berniat pindah dalam suatu tempat dengan dibuktikan adanya
surat pindah. Berbeda dengan pandangan penduduk secara de jure, yaitu
selagi warga yang memiliki bukti dan tercantum dalam kartu identitas (KTP,
Kartu Keluarga), maka dia adalah penduduk yang ada dalam alamat tersebut,
meskipun tinggalnya di tempat berbeda.

3
Kata demografi pertama kali digunakan oleh Achille Guilard pada
tahun 1885, dalam bukunya yang berjudul Elements de Statistique Humaine,
ou Demographie Comparee. Demografi berasal dari kata demos yang berarti
penduduk dan grafein yang berarti gambaran. Jadi demografi adalah ilmu
yang mempelajari penduduk atau manusia terutama tentang kelahiran,
kematian dan perpindahan penduduk yang terjadi. Demografi sendiri
sebenarnya melibatkan studi ilmiah tentang ukuran, penyebaran penduduk
secara geografi maupun spasial, komposisi penduduk, dan perubahan yang
terjadi dari waktu ke waktu. Pada tahun tersebut Achille Guilard mengatakan
bahwa demografi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu dari
keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur, yaitu meliputi perubahan
secara umum, fisik dan kondisi moral. David V. Glass mengatakan bahwa
demografi terbatas pada studi penduduk sebagai akibat pengaruh dari proses
demografi yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Pressat (1985) berpendapat
hampir sama, yaitu demografi adalah studi tentang populasi manusia dalam
hubungannya dengan perubahan yang terjadi akibat kelahiran, kematian, dan
migrasi. Istilah ini juga digunakan untuk mengacu kepada fenomena yang
diamati. Sedangkan PBB (1958) mendefinisikan bahwa demografi adalah
studi ilmiah terhadap populasi manusia, terutama terhadap jumlah, struktur,
dan perkembangannya.
Masalah demografi lebih ditekankan pada perubahan dinamika
kependudukan karena pengaruh perubahan fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Philip M. Hauser (1959) mendefinisikan bahwa demografi adalah ilmu yang
mempelajari jumlah, persebaran, teritorial dan komposisi penduduk serta
perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan tersebut, yang biasanya
timbul karena peristiwa kelahiran, kematian dan migrasi (gerak teritorial) dan
mobilitas status. Sementara itu Donald J. Bogue (1969) mengatakan bahwa
demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematik
tentang besaran, komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan-
perubahannya sepanjang masa melalui bekerjanya lima komponen demografi
yaitu kelahiran, kematian, perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial.
Walaupun demografi mempertahankan analisis deskriptif dan komparatif
berkesinambungan terhadap tren yang ada. Namun, pada setiap proses yang
terjadi dan hasil yang ditimbulkan, bertujuan untuk mengembangkan bagian
dari teori untuk menjelaskan kejadian peristiwa. Tentunya, penjelasan
terhadap kejadian ini dapat dijadikan referensi untuk membuat kebijakan
perencanaan dalam pembangunan.

4
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa
demografi adalah studi tentang penduduk yang dilihat dari ukuran (jumlah),
struktur/komposisi, persebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah, struktur dan persebaran penduduk yaitu fertilitas, mortalitas dan
migrasi di suatu wilayah tertentu. Dalam demografi terdapat aspek
kependudukan yang statis dan dinamis sifatnya. Aspek statis ditunjukkan oleh
komposisi penduduk, yaitu merupakan gambaran kondisi penduduk pada
suatu titik tertentu, pada saat dilaksanakan sensus atau survei. Sesudah tanggal
atau hari tersebut, komposisi penduduk akan berubah. Perubahan komposisi
ini terjadi karena perubahan kelahiran, kematian dan migrasi. Jadi, dalam
demografi juga dipelajari aspek statis dan aspek dinamis, yang keduanya
saling mempengaruhi. Contoh, jumlah kelahiran akan mempengaruhi jumlah
penduduk muda di suatu wilayah tertentu. Banyaknya usia penduduk pada
usia 15-64 tahun dibandingkan dengan penduduk di bawah 15 tahun dan di
atas 65 tahun memberi peluang negara mendapatkan saving bila mereka
semua bekerja.
Tujuan belajar demografi di antaranya adalah:
1. Mempelajari kuantitas penduduk dan parameter pendukung
pertumbuhannya. Di antaranya angka fertilitas, kematian, natalitas,
tabel kehidupan, sex ratio, fekunditas, kemampuan melahirkan anak,
distribusi penduduk dalam suatu daerah tertentu, mengukur distribusi
kesempatan tenaga kerja, distribusi persebaran penduduk dan
merencanakan lokasi sekolah.
2. Mempelajari, menganalisis dan menjelaskan kualitas penduduk yang
parameternya terdiri dari indeks pembangunan manusia, angka melek
huruf, angka partisipasi sekolah dengan berbagai jenjang sekolah, status
gizi anak, menjelaskan pertumbuhan penduduk masa lampau,
penurunannya dan persebarannya dengan sebaik-baiknya dan dengan
data yang tersedia.
3. Mengembangkan hubungan sebab akibat antara perkembangan
penduduk dan dampaknya dari aspek pembangunan sosial, ekonomi,
budaya politik, lingkungan keamanan dan fungsi organisasi sosial
termasuk mobilitas penduduk dalam suatu negara.
4. Mempelajari elemen kependudukan, seperti struktur keluarga, fungsi
keluarga, pola ekonomi rumah tangga dan sebagainya.
5. Mengembangkan analisis pelayanan administrasi kependudukan supaya
pencatatan penduduk lebih up to date dan meramalkan pertumbuhan
penduduk di masa yang akan datang dan mempelajari cara mengatasi

5
berbagai kemungkinan serta konsekuensinya, contohnya ketersediaan
infrastruktur.
Jadi, mempelajari penduduk berarti berusaha memahami aspek-aspek
penduduk dari sisi kuantitas, kualitas, keluarga, administrasi kependudukan
dan tren mobilitas penduduk dalam suatu wilayah.

Istilah-Istilah dalam Kependudukan


Mempelajari tentang kependudukan tidak terlepas dari jargon-jargon
yang melingkupinya di antaranya:
Population dan Citizenship
Dua istilah yaitu “population” dan “citizenship” kalau di Indonesia
maknanya sama yaitu penduduk. Namun, perlu dicatat bahwa istilah
population merujuk pada kuantitas penduduk dalam suatu wilayah.
Sedangkan citizenship lebih merujuk pada kependudukan dan konsekuensi
pemerintah dalam memberikan layanan kepada penduduknya secara
administratif, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan
administrasi kependudukan lainnya.

Proyeksi Penduduk
Proyeksi penduduk merupakan perhitungan ilmiah yang didasarkan
pada asumsi dari komponen-komponen laju pertumbuhan penduduk, yaitu
kelahiran, kematian, dan perpindahan (migrasi). Ketiga komponen tersebut
akan menentukan jumlah dan struktur umur penduduk di masa depan. Untuk
menentukan masing-masing asumsi diperlukan data yang menggambarkan
tren di masa lampau hingga saat ini, faktor-faktor yang mempengaruhi setiap
komponen, dan hubungan antara satu komponen dengan yang lain, termasuk
target yang diharapkan dicapai pada masa mendatang. Proyeksi penduduk
merupakan perkiraan penduduk di masa mendatang yang didasarkan atas tren
penduduk yang terjadi pada tahun sebelumnya. Tren tersebut biasanya
didasarkan atas laju pertumbuhan. Cara penghitungan proyeksi penduduk,
lebih lanjut akan dibahas pada bab berikutnya.

Fertilitas
Konsep fertilitas bermakna reproduksi dari seorang wanita atau
kelompok wanita. Fertilitas merupakan taraf kelahiran penduduk yang
sesungguhnya berdasarkan jumlah kelahiran yang terjadi. Pengertian ini
digunakan untuk menunjukkan pertambahan jumlah penduduk. Fertilitas
disebut juga dengan natalitas. Fertilitas berhubungan erat dengan masa

6
tertentu di mana wanita punya peluang untuk melahirkan. Wanita yang punya
peluang melahirkan biasanya sejak yang bersangkutan sudah mulai
mendapatkan haid sampai berhentinya haid. Normalnya pada kisaran umur
antara 15-49 tahun. Masa ini disebut sebagai usia subur.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian fertilitas yang
penting untuk diketahui adalah:
 Fekunditas adalah kemampuan secara potensial seorang wanita untuk
melahirkan anak. Fekunditas akan banyak dan lama rentang periodenya
apabila seorang wanita semenjak umur terjadinya menstruasi telah
melakukan konsepsi dengan lawan jenis. Bila ada seorang wanita telah
melakukan hubungan seksual semenjak pertama mengalami menstruasi,
maka potensi wanita mempunyai sejumlah anak akan sangat tinggi.
Dengan menggunakan asumsi ketaatan terhadap norma-norma yang
berlaku pada masyarakat dan juga regulasi tentang pernikahan sehat
menurut ketentuan negara biasanya di atas 20 tahun, maka rentang
fekunditas dapat diperpendek. Untuk mengatasi ledakan penduduk
akibat terjadinya perilaku seperti ini, maka negara melakukan program
pendewasaan usia kawin pertama.
 Sterilisasi adalah ketidakmampuan seorang pria atau wanita untuk
membuahi dan dibuahi. Ketidakmampuan ini terjadi secara permanen
sehingga terhalangnya/tidak terjadinya kelahiran. Ketidakmampuan ini
dapat direkayasa melalui metode kontrasepsi jangka panjang yaitu
tubektomi untuk wanita dan vasektomi untuk pria. Vasektomi adalah
prosedur sterilisasi dengan memotong saluran yang membawa sperma
ke penis. Tindakan ini membuat sperma tidak tercampur dengan air
mani, sehingga air mani tidak bisa membuahi sel telur. Sedangkan pada
wanita, sterilisasi dilakukan dengan mencegah sperma bertemu dan
membuahi sel telur. Proses tersebut bisa dilakukan dengan ligasi tuba
(mengikat atau menutup jalan saluran indung telur) atau dengan oklusi
tuba (memasang implan pada saluran indung telur). Secara medis,
sterilisasi tidak ada hubungannya dengan pengaruh gairah seksual, dan
kemampuan seseorang dalam berhubungan seks. Sterilisasi, bukan
bertujuan mencegah penyakit menular seksual, seperti gonorhea atau
HIV/AIDS.
 Natalitas adalah kelahiran yang merupakan komponen dari perubahan
penduduk berupa tambahan penduduk dan menambahkan struktur
penduduknya.

7
 Lahir hidup (live birth) adalah anak yang dilahirkan hidup
(menunjukkan tanda-tanda kehidupan) pada saat dilahirkan, tanpa
memperhatikan lamanya di kandungan, walaupun setelah jelang
beberapa waktu setelah dilahirkan mati.
 Abortus adalah kematian bayi dalam kandungan dengan umur
kehamilan kurang dari 28 minggu.
 Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan
yang berumur paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Namun, tidak dihitung sebagai kelahiran.
Perihal lain yang berpengaruh terhadap fertilitas pada wanita adalah
rasio jenis kelamin. Semakin banyak rasio jumlah wanita yang dilahirkan,
maka secara Total Fertility Rate (TFR) dimungkinkan akan terjadi kenaikan
suatu periode waktu tertentu. Melihat tren-nya, rata-rata jumlah laki-laki pada
waktu dilahirkan lebih banyak dari wanita dengan rasio 102-105. Namun
dalam perjalanan waktunya, kecenderungan laki-laki meninggal lebih banyak
dibandingkan dengan wanita. Makanya usia harapan hidup laki-laki biasanya
selalu lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Mengapa? Tentu sedikit
banyak dipengaruhi oleh kebiasaan dan pekerjaan laki-laki yang cenderung
berisiko mendatangkan kematian lebih cepat, seperti pola hidup yang tidak
sehat, kecelakaan lalu lintas, pola makan yang salah, jenis pekerjaan kasar dan
berbahaya.
TFR merupakan rata-rata anak yang dilahirkan dari keseluruhan
rentang penduduk kelompok perempuan berusia 15-49 tahun. TFR yang ideal
dalam suatu negara ketika ingin menyeimbangkan penduduk agar tumbuh
secara seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung sebaiknya 2,1.
Dengan angka ini, maka ada replacement population. Di mana jumlah orang
yang meninggal digantikan oleh sebanyak orang yang lahir. Kebanyakan
negara maju angka TFR cukup kecil antara 1,5-2,0. Angka ini menyebabkan
suatu penduduk dalam suatu negara kehilangan penduduk secara alami
(kematian). Sementara jumlah kelahiran tidak mampu menggantikan
penduduk yang meninggal dunia. Negara maju cenderung selalu memiliki
TFR yang kecil, maka saat ini selalu menjadi Asia, negara yang angka TFR
kecil adalah Singapura yang hanya 0,82 dan Jepang TFR-nya 1,41. Di tolok
ukur, kalau negara ingin mencapai kemajuan, maka TFR mesti kecil (Lely
dkk.; 2013). Di Eropa, seperti Italia, TFR 1,43, tidak berbeda jauh dengan
Jerman yaitu 1,44 (IDN Times;2019). Negara-negara tersebut juga mengalami
persoalan dengan aging population yaitu banyaknya usia lansia. TFR ini dapat

8
diketahui dengan berbagai pendekatan, di antaranya dengan menggunakan
metode anak kandung. Ada juga yang menggunakan metode jumlah anak
dalam keluarga.
TFR yang rendah di bawah 2,1 akan menyebabkan negara akan
kehilangan populasi penduduk aslinya dalam jangka panjang. Dapat kita
simak saat ini, bagaimana negara-negara di Eropa, seperti Perancis, Jerman
bersusah payah memotivasi penduduknya agar mau memiliki anak. Demikian
juga dengan beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Singapura yang
mengalami persoalan sama. Layaknya air, maka suatu saat Jepang, Singapura
dan negara lainnya yang mengalami penurunan TFR akan terjadi diminishing
population, kemudian akan diisi oleh penduduk pendatang untuk mengisi
kekosongan penduduk.

Age Spesific Fertility Rate (ASFR) (15-19 Tahun)


ASFR 15-19 tahun merupakan rata-rata anak yang dilahirkan hidup
oleh perempuan berusia 15-19 tahun. Angka ini dapat menggambarkan
perkawinan anak atau kehamilan di luar nikah di usia anak. Semakin tinggi
kelahiran di usia ini sebagai penanda negara dalam masalah perlindungan
anak. Kemungkinan besar terjadi ketidakstabilan dalam keluarga, sehingga
peluang angka perceraian juga tinggi. Angka ASFR 15-19 yang tinggi
merupakan indikasi terjadinya risiko terhadap kematian ibu melahirkan
ataupun bayi yang dilahirkan.

Gross Reproduction Rate (GRR)


Disebut juga reproduksi kotor, yaitu jumlah rata-rata anak perempuan
yang akan dimiliki seorang wanita jika mampu selama masa suburnya, yang
kira-kira mencapai usia 49 tahun, tergantung pada tingkat kesuburan khusus
usia dan rasio jenis kelamin saat lahir selama periode tersebut. Jumlah rata-
rata anak perempuan yang akan dilahirkan oleh seorang wanita mengalami
kondisi kesuburan tahun yang bersangkutan, dengan asumsi nol kematian
antara kelahiran dan usia reproduksi. Artinya secara kasar yang dilahirkan
oleh wanita di kelompok tersebut hidup semua. Angka GRR Itu sama dengan
total tingkat kesuburan hanya saja dikalikan dengan proporsi kelahiran
perempuan.

Nett Reproduction Rate (NRR)


Tingkat reproduksi bersih (NRR) adalah jumlah rata-rata anak
perempuan yang akan dilahirkan oleh perempuan (atau sekelompok

9
perempuan) jika ia melewati masa hidupnya sesuai dengan tingkat kesuburan
dan kematian spesifik usia pada tahun tertentu. Tingkat reproduksi bersih
mencatat jumlah rata-rata kelahiran hidup anak perempuan oleh seorang
wanita yang selama hidupnya, tingkat kelahiran spesifik usia tahun tertentu.
Jika nilai ini di atas 1, generasi anak secara bersesuaian lebih besar dari
generasi sebelumnya, jika di bawah 1 juga lebih kecil.
Indeks ini menunjukkan sejauh mana satu generasi akan digantikan
oleh generasi berikutnya, di bawah kondisi kematian dan kesuburan tahun
yang bersangkutan: jika angka tersebut lebih besar dari 100, generasi akan
digantikan oleh generasi yang lebih besar dan populasi akan meningkat; jika
kurang dari 100, generasi akan cenderung digantikan oleh generasi yang lebih
kecil dan populasi akan berkurang.

Mean Age of Childbearing


Usia rata-rata melahirkan adalah usia rata-rata umur perempuan
melahirkan anak-anak mereka berada tingkat kesuburan spesifik usia yang
diamati pada tahun tertentu.

Crude Birth Rate (CBR)


Tingkat Kelahiran Kasar atau (CBR) merupakan jumlah kelahiran
setiap 1000 penduduk per tahun. Disebut kelahiran kasar karena tidak
mempertimbangkan kondisi hidup dan pindah. Dengan mengetahui CBR ini,
maka dapat dijadikan acuan di dalam melihat pertumbuhan populasi
penduduknya baik naik ataupun turun. Dengan mengetahui CBR ini dapat
memprediksi jumlah ibu hamil, kemungkinan jumlah perempuan yang nifas.
𝐵
CBR = 𝑋1.000
𝑃
Keterangan:
B : Jumlah seluruh kelahiran
P : Jumlah penduduk pada pertengahan tahun
1000 : Bilangan konstanta

Tingkat kelahiran ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat kriteria


sebagai berikut: tingkat kelahiran golongan yang > 30 dianggap tinggi,
sementara tingkat kelahiran antara 20-30 dianggap sedang dan angka
kelahiran dianggap rendah bila < 20.

10
General Fertility Rate (GFR)
Tingkat kelahiran umum (GFR) adalah banyaknya kelahiran setiap
1000 penduduk wanita yang berada dalam periode usia produktif (15-49
tahun) dalam kurun waktu setahun. Usia produktif adalah usia reproduksi atau
usia subur yang memungkinkan wanita untuk melahirkan.
𝐵
GBR = 𝑋1.000
𝑃𝑓
Keterangan:
B : Jumlah kelahiran selama setahun
Pf : Jumlah penduduk wanita (berumur 15-49 tahun), pertengahan tahun
1.000 : Bilangan konstanta

Age Spesific Fertility Rate (ASFR)


Tingkat kelahiran menurut kelompok umur tertentu (ASFR) adalah
banyaknya kelahiran yang terjadi pada wanita dalam kelompok umur tertentu
dalam unsur reproduksi per 1000 wanita.
𝐵𝑖
ASFR = 𝑋1.000
𝑃𝑓𝑖
Keterangan:
Bi : Banyaknya kelahiran dari wanita dalam kelompok umur tertentu
selama setahun
Pfi : Banyaknya penduduk wanita dalam kelompok umur tertentu yang
sama pada pertengahan tahun
1.000 : Bilangan konstanta

Perhatian banyak orang tentang ASFR biasanya pada kelompok umur


15-19 tahun dan di umur 45-49 tahun. Di mana perempuan pada usia tersebut
sangat berisiko ketika melahirkan, yaitu berupa kematian ibu melahirkan pada
waktu melahirkan karena kajian banyak pakar kesehatan mengatakan wanita
di kelompok umur (15-19) tahun secara fisik belum siap melahirkan
disebabkan tulang panggulnya sedang tumbuh kembang, sehingga terjadinya
pendarahan akan tinggi. Sementara di usia atas 45 tahun wanita juga berisiko
karena dianggap terlalu tua, kekuatan fisiknya tidak lagi memadai untuk
melahirkan.

11
Total Fertility Rate (TFR)
Total Fertility Rate atau angka kelahiran total (TFR) adalah rata-rata
jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita selama masa hidupnya
(sampai akhir masa reproduksinya). Dalam kelompok umur 15-19, 20-24
Rumus: TFR=5x7/i=1 ASFR
Keterangan:
i : Kelompok umur 5 tahunan (15-19, 20-24, dst)

Mortalitas
Mortalitas adalah angka kematian. Ukuran jumlah kematian (secara
umum, atau karena sebab spesifik) dalam suatu populasi tertentu, diskalakan
dengan ukuran populasi itu, per unit waktu. Tingkat kematian biasanya
dinyatakan dalam satuan kematian per 1.000 orang per tahun; dengan
demikian, angka kematian 9,5 (dari 1.000) dalam populasi 1.000 akan berarti
9,5 kematian per tahun di seluruh populasi tersebut, atau 0,95% dari total. Ini
berbeda dari “morbiditas”, yang merupakan prevalensi atau kejadian suatu
penyakit, dan juga dari tingkat kejadian (jumlah kasus penyakit yang baru
muncul per unit waktu).
Ukuran angka kematian spesifik yang penting adalah angka kematian
kasar, yang melihat kematian dari semua penyebab dalam interval waktu
tertentu untuk populasi tertentu. Pada tahun 2020, misalnya CIA
memperkirakan bahwa angka kematian kasar secara global adalah 7,7
kematian per 1.000 orang dalam suatu populasi per tahun. Kematian tersebut

12
mewakili ukuran populasi di mana kematian terjadi dan merupakan faktor
konversi dari fraksi yang dihasilkan ke unit lain (misalnya, dikalikan dengan
untuk mendapatkan angka kematian per 1.000 individu). Ada juga kematian
berdasarkan kelompok umur. Dengan mengetahui kematian di kelompok
menganalisis umur, maka seorang demographer biasanya dapat mengetahui
dan menggambarkan derajat kesehatan masyarakat dengan melihat kematian
tertinggi pada golongan umur. Di samping itu demographer juga dapat
mengkomparasi taraf kesehatan masyarakat di berbagai wilayah. Kematian ini
selanjutnya menjadi komponen untuk menghitung angka harapan hidup.

Life Table
Secara kasar, kalau ada orang ingin tahu umur berapa rata-rata orang
meninggal dunia di suatu daerah maka pergilah ke kuburan. Di situ dapat
dicatat setiap nisan si penghuni kubur lahir tahun X dan meninggal tahun Y.
Itulah yang disebut dengan tabel kehidupan (life table). Dalam ilmu
demografi, tabel kehidupan (juga disebut tabel kematian atau tabel aktuaria),
tabel yang menunjukkan untuk setiap usia, berapakah probabilitas seseorang
pada usia tersebut akan mati sebelum ulang tahun berikutnya (probabilitas)
dari kematian). Dengan kata lain, itu mewakili kelangsungan hidup orang-
orang dari populasi tertentu. Mereka juga dapat dijelaskan sebagai cara
matematika jangka panjang untuk mengukur umur panjang populasi. Tabel
kehidupan telah dibuat oleh para ahli demografi termasuk Graunt, Reed dan
Merrell, Keyfitz, dan Greville.
Ada dua jenis tabel kehidupan yang digunakan dalam ilmu aktuaria,
yaitu tabel periode kehidupan mewakili tingkat kematian selama periode
waktu tertentu dari populasi tertentu. Tabel kehidupan kelompok, sering
disebut sebagai tabel kehidupan generasi yang digunakan untuk mewakili
angka kematian keseluruhan dari seluruh populasi seumur hidup tertentu.
Mereka harus dilahirkan pada interval waktu spesifik yang sama. Tabel
kehidupan kohort lebih sering digunakan karena mampu membuat prediksi
dari setiap perubahan yang diharapkan dalam tingkat kematian suatu populasi
di masa depan. Jenis tabel ini juga menganalisis pola tingkat kematian yang
dapat diamati dari waktu ke waktu. Kedua jenis tabel kehidupan ini dibuat
berdasarkan populasi aktual dari saat ini, serta prediksi berpendidikan tentang
pengalaman populasi dalam waktu dekat. Untuk menemukan rata-rata harapan
hidup yang sebenarnya, 100 tahun harus berlalu dan pada saat itu menemukan
bahwa data tidak akan berguna karena perawatan kesehatan terus meningkat.

13
Tabel kehidupan lain dalam demografi sejarah mungkin didasarkan
pada catatan sejarah, meskipun ini sering menghitung bayi dan mengecilkan
angka kematian bayi, dibandingkan dengan daerah lain dengan catatan yang
lebih baik dan pada penyesuaian matematis untuk berbagai tingkat kematian
dan harapan hidup saat lahir. Usia Harapan hidup adalah ukuran statistik dari
rata-rata periode waktu suatu dari manusia yang diharapkan untuk hidup
berdasarkan tahun kelahirannya, usia saat ini, dan faktor demografis lainnya
termasuk gender. Bagi pemerintah, salah satu indikator yang dijadikan kinerja
bahwa derajat kesehatan suatu negara dianggap baik, bila usia harapan hidup
dari waktu ke waktu mengarah pada perpanjangan usia. Usia harapan hidup
secara kumulatif dalam negara dapat turun secara drastis bila angka kematian
bayi tinggi.
Cara yang dianggap strategis dan pragmatis dalam meningkatkan angka
harapan hidup dalam negara adalah dengan menjaga agar angka kematian bayi
dan ibunya dikurangi. Sementara secara umum, kematian bayi dan ibu
melahirkan terjadi karena berbagai sebab, seperti jauhnya pusat layanan
kesehatan atau terlambatnya pertolongan akibat ketiadaan tenaga medis dan
alat. Kondisi demikian, cenderung terjadi di negara berkembang. Di sisi lain,
negara-negara berkembang sedikit mengabaikan faktor lain yang dapat
memicu kematian penduduk lebih cepat, di antaranya penyakit degenerative
yang kebanyakan karena pengaruh makanan dan minuman serta pencemaran
lingkungan (polusi). Mengapa? Negara berkembang cenderung fokus
utamanya pada ketercukupan pangan terlebih dahulu, bukan pada kualitas
pangan, sehingga pasokan pangan yang cukup menjadi prioritas. Sementara
tingkat keawetan pangan tidak tahan lama. Untuk menyiasati hal demikian,
pemerintah memberikan izin penggunaan bahan pengawet pangan, sehingga
keamanan pangan dari sisi kesehatan belum menjadi prioritas.
Usia harapan hidup dihitung dengan menunjukkan dan meratakan
semua umur dari seluruh kematian pada waktu tertentu. Misalkan, jika suatu
negara diketahui bahwa terdapat 100 juta penduduk, 115 tahun, bahkan ada
yang hanya 1 bulan umurnya. Kemudian dalam perjalanan waktu satu tahun
terdapat 500 ribu kematian. Umur masing-masing orang yang meninggal
dijumlahkan semuanya dan kemudian dibagi dengan jumlah orang yang
meninggal pada tahun itu, yakni sebanyak 500 ribu orang. Misalnya ketika
dijumlahkan semua orang yang meninggal diperoleh sebesar 35.000.000 maka
usia harapan hidup dapat dihitung sebagai berikut:
35.000.000
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝐻𝑎𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝐻𝑖𝑑𝑢𝑝 = 500.000
= 70 tahun

14
Angka harapan hidup diukur berdasarkan angka kematian menurut
umur (Age Specific Death Rate/ASDR) yang datanya diperoleh dari catatan
registrasi kematian secara bertahun-tahun, sehingga dimungkinkan menjadi
life table. Namun, kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengurus akta
kematian dianggap belum terlalu penting, kecuali jika akan mengurus suatu
kepentingan, seperti warisan. Untuk itu dalam mengukur angka harapan hidup
digunakan metode Mortpak Lite.
Angka harapan hidup juga merupakan prakiraan lama hidup rerata
penduduk, dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas (kematian)
menurut umur. Angka ini merupakan pendekatan yang menunjukkan
kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Angka umur harapan hidup
yang baik dipengaruhi oleh kesehatan fisik, pendapatan, dan keamanan
lingkungan. Apabila kesehatan fisik tidak mendukung akan memberikan
faktor timbulnya penyakit yang memicu pada kematian. Sayangnya indikator
ini tidak begitu cocok lagi kalau tidak diikuti dengan kesehatan yang baik
pula. Dengan arti kata, apa artinya hidup panjang jika kondisi fisik tidak
sehat, seperti lumpuh, stroke dan kemudian jadi beban bagi orang yang masih
hidup.
Pentingnya mengukur angka harapan hidup bagi kalangan bisnis adalah
untuk menentukan besaran premi asuransi. Semakin tinggi angka harapan
hidup dalam suatu negara, maka dimungkinkan biaya asuransi jiwanya
semakin murah. Sudah menjadi mahfum bahwa banyak pekerjaan yang
dilakukan laki-laki berisiko pada kematian, sehingga kaum pria usia harapan
hidupnya lebih rendah daripada perempuan. Di Indonesia terpaut 3-3,5 tahun.
Artinya umur perempuan 3-3,5 tahun lebih panjang daripada laki-laki. Maka
konsekuensi logisnya pun, biaya asuransi bagi wanita biasanya lebih murah
dibandingkan biaya asuransi jiwa bagi pria.

Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate/CDR)


CDR merupakan jumlah total kematian bagi penduduk dalam suatu
wilayah negara, negara bagian, kabupaten, dan lain sebagainya dibagi dengan
total populasi untuk wilayah geografis yang sama (dalam periode waktu yang
ditentukan, biasanya satu tahun) dan dikalikan dengan 100.000.

Teknis penghitungan angka kematian kasar sebagai berikut:


𝐶𝐷𝑅 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙
𝑋100.000
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

15
Angka kematian kasar adalah indikator/indeks status kesehatan yang
sangat umum dalam suatu wilayah geografis atau populasi.
 Jenis tingkat kematian kasar ini tidak sesuai untuk perbandingan
populasi atau wilayah yang berbeda karena dampak signifikan usia
dalam data kematian dan distribusi usia yang berbeda dalam wilayah
populasi yang berbeda. Angka kematian yang disesuaikan dengan usia
harus digunakan untuk analisis perbandingan.
 Istilah dalam penyebut diberi label “total populasi,” tetapi secara teknis
dikenal sebagai “orang-tahun berisiko.” Jika pembilang menggunakan
jumlah dari jumlah kematian di seluruh beberapa tahun, penyebut harus
menggunakan jumlah populasi yang sama tahun atau seseorang dapat
menggunakan rata-rata kematian tahunan dalam pembilang dan
keduanya populasi tahunan rata-rata untuk mewakili orang-tahun yang
berisiko, atau populasi dalam satu tahun di pertengahan periode waktu.

Tingkat kematian kasar memiliki empat komponen:


1. Periode pengukuran yang ditentukan.
2. Pembilang, jumlah kematian yang terjadi di wilayah geografis tertentu
selama periode waktu tertentu.
3. Penyebut, jumlah total orang dalam populasi yang berisiko sama area
geografis untuk periode waktu yang sama (orang-tahun berisiko).
Estimasi populasi yang digunakan biasanya merupakan estimasi jumlah
populasi pertengahan tahun (1 Juli) untuk tahun yang sama termasuk
dalam pembilang.
4. Konstanta, hasil dari fraksi biasanya dikalikan dengan beberapa faktor
10 (misalnya 100.000), sehingga angka tersebut dapat dinyatakan
sebagai angka keseluruhan.

Median Usia Kawin Pertama


Perkawinan adalah status disahkannya hubungan seksual antara laki-
laki dan perempuan melalui sebuah ikatan baik secara hukum negara maupun
agama bersifat sakral, baik tinggal bersama maupun terpisah (kawin sah,
secara hukum/adat, agama, negara dan sebagainya, juga hidup bersama dan
oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami istri). Median usia
kawin pertama adalah usia di mana manusia melakukan perkawinan. Nilai-
nilai luhur humanitas dan dalam rangka menjaga kualitas gen manusia dan
garis keturunan adalah dengan perkawinan. Namun yang perlu diperhatikan
adalah ketika manusia (terutama perempuan) melakukan perkawinan pertama

16
terlalu muda, sementara secara kesehatan sangat berisiko terhadap nyawa
manusianya itu sendiri atau anak yang akan dilahirkannya. Di samping itu,
pernikahan yang terlalu muda menyebabkan risiko sosial berupa kekerasan,
perceraian, bahkan penelantaran keluarga. Dalam upaya meminimalisir hal
demikian, negara membatasi secara minimal usia perkawinan warga
negaranya ke dalam undang-undang, bahkan Pendewasaan Usia Perkawinan
(PUP) menjadi salah satu indikator ketercapaian program Kependudukan dan
Keluarga Berencana serta Pembangunan Keluarga di Indonesia. Badan
Kependudukan dan Keluarga Nasional, misalnya dengan memberikan usia
ideal menikah yaitu rentangan 21 hingga 25 tahun, karena pada usia tersebut
dianggap telah baiknya secara fisik maupun proses psikis seseorang.
Beberapa waktu yang lalu santer terdengar berita munculnya fenomena
perkawinan sesama jenis (homoseksual) di negara-negara eropa. Meskipun
fenomena tersebut, tidak hanya ada di barat, pada beberapa negara timur pun
ada kasus serupa. Hal ini tentu merupakan bagian dari skenario global yang
ingin menggeser hakikat keluarga natural. Namun, agama mana pun sangat
jelas menolak dan melarang perilaku menyimpang tersebut. Filosofi
perkawinan merupakan ikatan sakral dan tujuannya tidak lain adalah harapan
untuk melanjutkan keturunan yang berkualitas, sehingga ada nilai religiositas,
nilai budaya dan pendidikan, menjaga garis keturunan yang jelas dan adanya
pola pengasuhan yang bersifat melindungi, termasuk secara hukum.

Fekunditas
Fekunditas merupakan potensi reproduksi secara fisiologis maksimum
seorang wanita selama masa hidupnya dan merupakan salah satu pilar utama
dari teori biologi populasi dan terapan. Jadi, fekunditas erat hubungannya
dengan konsep kesuburan. Dalam arti lain, fekunditas didefinisikan sebagai
kinerja reproduksi aktual seorang perempuan. Banyak strategi telah berevolusi
untuk membentuk pola dalam fekunditas, sehingga keberhasilan reproduksi
seumur hidup (kontribusi genetik untuk generasi berikutnya) dimaksimalkan
di bawah tekanan selektif evolusi yang dialami oleh suatu organisme.
Fekunditas adalah komponen penting dari reproduksi seksual dan aseksual,
dan dapat dilihat sebagai proses langsung (produksi keturunan) atau tidak
langsung (membantu dalam reproduksi individu terkait). Corey dan Clive
(2008) mengkategori fekunditas termasuk dalam dua kategori utama yaitu:
1. Semi-transparansi-produksi keturunan hanya satu kali selama masa
hidup organisme.
2. Iteroparitas-perulangan keturunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
variasi temporal dalam kesuburan di antaranya usia, hubungan ukuran

17
tubuh (alometrik), efek kepadatan populasi, pilihan pasangan, dan
variabilitas lingkungan.
Kerangka praktisnya yang sangat penting untuk memahami pola
kesuburan adalah dengan menyelidiki pertukaran energetik yang ada antara
reproduksi dan bertahan hidup, yaitu memilih untuk mereproduksi dengan
mengorbankan yang bertahan atau sebaliknya.

Rate Natural Increase (RNI)


RNI atau pertumbuhan penduduk alami, yaitu ukuran seberapa cepat
suatu populasi tumbuh atau menurun. Namun, RNI tidak memperhitungkan
perubahan populasi yang disebabkan oleh imigrasi atau emigrasi. RNI semata-
mata ditentukan oleh perbedaan antara tingkat kelahiran dan kematian di suatu
wilayah. Untuk menghitung RNI, para demograf mengurangi angka kematian
(jumlah kematian per 1.000 orang/tahun) dari angka kelahiran (jumlah
kelahiran per 1.000 orang/tahun) dan mengubah jawaban menjadi persentase.
RNI sejatinya untuk menghitung pertumbuhan penduduk dunia, karena
penduduk dunia tidak melakukan migrasi ke planet lain, kecuali suatu nanti
terjadinya revolusi kehidupan manusia dengan adanya penemuan baru akan
adanya kehidupan di luar bumi bagi manusia.
RNI hanya didasarkan pada tingkat kelahiran dan kematian, RNI dapat
digunakan untuk membantu menentukan tahap negara dalam Model Transisi
Demografis. Negara berkembang sering kekurangan infrastruktur sosial dan
medis cenderung menjaga tingkat kelahiran rendah dan karenanya sering
memiliki tingkat kelahiran jauh lebih tinggi daripada tingkat kematian.
Kondisi demikian menyebabkan RNI lebih tinggi, yang mengindikasikan
pertumbuhan populasi yang lebih cepat. Negara dengan karakteristik
demografis ini biasanya angka kelahiran lebih tinggi daripada angka kematian
yang mengarah ke pertumbuhan populasi yang cepat termasuk dalam tahap
awal model transisi demografis. Negara dengan tingkat kelahiran yang lebih
rendah, mungkin hampir sama dengan tingkat kematiannya, memiliki RNI
yang lebih rendah dan masuk ke dalam tahap akhir model transisi demografis.

Sex Ratio
Rasio jenis kelamin adalah rasio pria dan wanita dalam suatu populasi.
Pada sebagian besar spesies yang bereproduksi secara seksual, rasionya
cenderung 1:1. Kecenderungan ini dijelaskan oleh prinsip Fisher. Namun,
karena berbagai alasan, banyak spesies menyimpang dari sesuatu seperti rasio
jenis kelamin yang sama, baik secara berkala maupun permanen.

18
Dependency Ratio
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara
jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65
tahun ke atas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Rasio
ketergantungan dapat dilihat menurut usia yakni Rasio Ketergantungan Muda
dan Rasio Ketergantungan Tua.
1. Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk
umur 0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur 15-64 tahun.
2. Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur
65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia 15-64 tahun.
Dependency ratio dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar
dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara apakah tergolong negara
maju atau negara berkembang. Dependency ratio merupakan salah satu
indikator demografi yang penting. Semakin tingginya persentase dependency
ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung
penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang tidak
produktif. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah
menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang
produktif untuk membiayai penduduk yang tidak produktif. Rasio
Ketergantungan didapat dengan membagi total dari jumlah penduduk usia
belum produktif (0-14 tahun) dan jumlah penduduk usia tidak produktif (65
tahun ke atas) dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun), rumus
perhitungannya sebagai berikut:
Jumlah penduduk umur 0 s. d 14 + Jumlah penduduk 65 ke atas
Dependency Ratio =
Jumlah Penduduk 15 s. d 64 tahun

Umur Median
Umur median adalah posisi umur yang membagi jumlah penduduk
tepat menjadi dua bagian yang sama besarnya. Umur median penduduk suatu
wilayah atau negara mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh
bertambahnya tingkat harapan hidup atau menurunnya tingkat fertilitas.
Kedua kondisi tersebut merupakan suatu keberhasilan bersama dari beberapa
aspek, seperti penurunan tingkat kematian bayi, perbaikan akses terhadap
pendidikan, bertambahnya lowongan pekerjaan, peningkatan kesetaraan
gender, gencarnya program kesehatan produksi, dan terlebih lagi semakin
terjangkaunya fasilitas kesehatan bagi masyarakat secara luas.

19
Referensi:
Bogue, Donald J. 1969. Principles of Demography. New York: John Wiley
and Sons.
Corey, J.A.B & Clive R.M. 2008: Population: Fecundity. Edition: 1 st,
Publisher: Elsevier, pp.1535-154 DOI: 10.1016/B978-008045405-
4.00645-5.
Lely D., Dwi H. dan Olwin N. 2013. Perhitungan Fertilitas Menggunakan
Metode Anak Kandung: Analisis Lanjut Data Riskesdas 2013.
Populasi. Jurnal Kependudukan dan Kebijakan. Universitas Gadjah
mada. https://doi.org/10.22146/jp.27230
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).1973. Teori-Teori Kependudukan. Jakarta:
Rajawali (terjemahan)
Philip M. Hauser. 1959. “Summary Report of the General Rapporteur,” in
Hauser (ed.), Urbanization in Asia and the Far East), pp. 3–32; also
see “Conclusions of the Seminar,” chapter ii inibid. The present
author himself took this position in an earlier study; see his “The
Labor Force of Urban Burma and Rangoon, 1953, A Comparative
Study” (unpublished Ph.D. dissertation, Department of Sociology,
University of Chicago, 1959), passim.
Pressat R (1985) The Dictionary of Demography. Blackwell (Oxford)

20
BAB 2
TEORI-TEORI TENTANG
KEPENDUDUKAN

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini telah


berubah nomenklatur menjadi Badan Kependudukan Keluarga Berencana
Nasional, meskipun masih dengan singkatan yang sama, yaitu BKKBN.
Perubahan tersebut tentunya memiliki kronologis tersendiri yang
berhubungan dengan penduduk itu sendiri. Sekitar tahun 1970-an sampai era
reformasi, Keluarga Berencana (KB) identik dengan slogan dua anak
cukup—dan muncullah Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS).
Ikon tersebut bergeser seiring perubahan struktur penduduk dan dinamika
politik tentunya. Bentuk pergesesannya mulai dari lembaga itu sendiri yang
mengedepankan penduduk dengan lima aspeknya (kuantitas, kualitas,
keluarga berencana, administrasi kependudukan dan pembangunan
keluarga). Artinya KB menjadi salah satu alat pengendali penduduk dengan
fondasi kualitas dan kemandirian keluarga. Kemudian muncullah ikon dua
anak lebih baik. Dan saat ini branding BKKBN yang baru adalah “berencana
itu keren” dengan mengedepankan keluarga berkualitas sebagai ikon dalam
membangun karakter bangsa.
Dari sekelumit perjalanan sejarah BKKBN, boleh jadi hal tersebut
terkonstruksi oleh teori tentang kependudukan atau sebaliknya, dinamika
kependudukanlah yang mengkonstruksi teori tentang kependudukan. Kesemua
teori tentang kependudukan akan diceritakan dan dijelaskan dalam bab
berikut ini.

Pendahuluan
Penduduk dunia mengalami dinamika baik dari sisi pertumbuhan,
struktur umur, rasio jenis kelamin, pola migrasi dan sebagainya. Keseluruhan
itu menghasilkan buah pikiran yang terkonstruksi dalam teori-teori
kependudukan. Bab 2 ini membahas dan menjelaskan tentang teori-teori
kependudukan oleh para ahli, seperti Robert Malthus, teori kependudukan
kontemporer, teori Marxist yang kontraproduktif dengan Malthus, teori

21
transisi kependudukan, serta perspektif religi terhadap kependudukan.
Sebelum menjelaskan teori-teori tersebut, terlebih dahulu diantarkan
perspektif kependudukan dari waktu ke waktu seiring rentetan sejarah.
Kemudian dalam teori demografi dikenalkan bapak demografi dunia yaitu
John Graunt yang hidup antara 1620-1674.

Perspektif Kependudukan dari Waktu ke Waktu


Asal mulanya ketika bumi baru diisi manusia sekitar abad 1300
sebelum masehi, bumi melimpah dengan segala pangan yang dibutuhkan
manusia. Populasi manusia masih sedikit. Manusia dengan tanpa batas dapat
melangsungkan keturunan sebanyak yang dia mampu dan mau tanpa ada rasa
kekhawatiran akan kurang pangan dan lahan. Slogan yang ada pada waktu itu
adalah sebar dan penuhilah bumi ini dengan manusia. Kemudian 500 abad
sebelum masehi ajaran Confucius memberikan pertimbangan kata bijak bagi
negara yang intinya pemerintah seharusnya menjaga keseimbangan antara
penduduk dan sumber daya.

John Graunt (1620-1674)


Sejatinya beliau adalah statistikawan. Namun, ia sering melakukan
analisis tentang kependudukan, sehingga dianggap sebagai pelopor pencatatan
statistik penduduk sehingga dijuluki bapak demografi dunia. John Graunt
sering menganalisis data mengenai kelahiran dan kematian yang ia peroleh
dari catatan kematian (bills of mortality) secara rutin diterbitkan setiap
minggu pihak gereja.
Terdidik dengan budaya Inggris, karier John Graunt dimulai dari
magang di kantor bapaknya sebagai pedagang kelontong. Kemauan belajar
yang tinggi membuat dia mampu menguasai bahasa Perancis dan latin.
Kariernya mencapai puncaknya ketika tahun 1666 menjadi pedagang yang
berhasil. Namun sayangnya, toko yang dimiliki hancur karena kebakaran yang
hebat. Di balik itu semua, ia dikenal sebagai pembawa perdamaian yang andal
antarpedagang yang berkonflik.
Awal ketertarikannya dengan penduduk diawali dengan upaya
mengamankan temannya, William Petty yaitu seorang guru besar musik di
Gresham College. Dia sendiri pernah dipercaya memegang beberapa kantor di
perusahaan Drapers, sebagaimana profesi bapaknya sebelumnya dan puncak
kariernya ke posisi terhormat dari Renter Warden pada usia 50. Graunt
kemudian pindah ke kantor lingkungan khas di kota dan terpilih menjadi
Dewan Umum. Dia adalah mandor dari Wardmote pemeriksaan, 1669-70,

22
dengan memegang pangkat kapten. Ia terlatih dalam milisi London selama
beberapa tahun, memegang pangkat utama dua atau tiga tahun lebih.
Menjelang akhir hidupnya menjadi Gubernur di New River Company; dia
adalah wali amanat untuk Sir William Backhouse di perusahaan tersebut.
John Graunt juga dikenal sebagai seorang kolektor penting seperti
catatan tentang gereja, barang-barang antik Italia dan Perancis. Buku yang
berjudul Bills of Mortality terbit tertanggal 25 Januari 1662 merupakan karya
monumental tentang kependudukan. Dia berbicara ringan tentang
ketertarikannya pada catatan kematian. Graunt menyerahkan lima puluh
salinan pengamatan kepada Dr. Whistler dari dalam acara pertemuan para
filsuf di Gresham College.
Graunt mendapatkan pengakuan dan direkomendasikan oleh Raja
Charles II sendiri yang awalnya menyangka kalau Graunt itu adalah seorang
pendeta yang mendapatkan tugas khusus dalam menjaga umatnya dan
ternyata beliau itu seorang penjaga toko di London. Ia meninggal 18 April
1674 karena penyakit lever dan dimakamkan di Gereja St. Dunstan (lokasi
yang tepat, di bawah beberapa bangku gereja).
Klaim prinsip John Graunt atas pengamatan alam dan politik yang
mengejutkan pada buku Bills of Mortality. Graunt berusaha keras untuk
memberikan perkiraan yang dapat dipercaya berdasarkan sedikit data angka
kematian dan kelahiran, rasio jenis kelamin, migrasi, harapan hidup dan
penyebab kematian. Inovasi prinsipnya adalah penggunaan logika angka
besar, yaitu argumen bahwa semua hal ini adalah kebetulan belaka pada
individu, intinya data tersebut dapat diandalkan secara agregat. Selain itu,
Graunt menunjukkan, perubahan angka agregat dapat dijelaskan secara
ilmiah, dan dapat menjadi dasar prediksi yang berguna.
Di antara wawasan yang lebih menarik yang diperoleh dari karya
Graunt adalah demonstrasi bahwa tingkat kematian di London melebihi
tingkat kelahiran, namun tingkat pertumbuhan penduduknya meningkat. Oleh
karena itu, Graunt memastikan pertumbuhan penduduk London lebih banyak
karena dipasok orang-orang dari luar negara tersebut. Pengamatan sederhana
namun cukup lama diperoleh dari menonton acara “gelabond streaming” yang
bermigrasi dari negara itu. Sayangnya hal tersebut tidak pernah ada data yang
cukup mendukung analisisnya. Pengamatannya terhadap penduduk kota
London yang tertuang dalam buku Bills of Mortality secara cerdas
mengungkapkan lebih banyak catatan kematian di tempat tinggalnya.
Bills of Mortality adalah catatan mingguan dari sejumlah penguburan.
Catatan ini membedakan antara kematian yang disebabkan karena wabah, dan

23
pembaptisan, disusun dari register gereja dari pertengahan abad keenam belas.
Penyebab kematian dimasukkan sejak awal enam belas ratusan. Ringkasan
tahunan diterbitkan, tetapi awalnya hanya selama tahun-tahun wabah. Studi
Graunt didasarkan pada catatan tahunan dari 1604 hingga 1660. Dia tidak
punya informasi pada ukuran populasi. Walaupun dengan keterbatasan data,
pendekatan itu sepenuhnya logis dan ilmiah. Ia menjelaskan secara rinci
bagaimana data dikumpulkan, dan sifat mereka; dia mengkritik akurasi dan
kelengkapan; dia mentabulasikan materi secara ekstensif dan secara
informatif, memeriksa kesan pertamanya melawan fakta yang lebih luas, dan
menarik luas berbagai kesimpulan yang masuk akal dan valid.
Di antara data, Graunt mengarahkan perhatian pada hal yang sangat
penting tingginya angka kematian pada masa bayi (Mortalitas Perinatal), dan
menunjukkan mortalitas itu lebih tinggi di London daripada di negara itu. Dia
membuat perkiraan realistis pertama dari angka-angka pria dan wanita di
London dan penduduknya dari seluruh negeri dan menunjukkan bahwa
keduanya meningkat, dengan migrasi yang stabil ke London. Dia
menunjukkan bahwa wabah itu tidak tercatat sekitar seperempat, memeriksa
kematian relatif di tahun wabah yang berbeda, ditemukan sejauh mana yang
didepopulasikan London pada tahun-tahun itulah, dan menunjukkan bahwa itu
terisi kembali dengan sendirinya dalam waktu satu tahun.
Dia membedakan antara epidemi dan endemik penyakit dan mencatat
stabilitas kecelakaan dan tingkat bunuh diri dari tahun ke tahun yang di bawah
angka pencatatan sifilis dan peningkatan rakhitis. Namun, Graunt tidak
memiliki informasi tentang usia hidup atau mati. Catatan tentang penduduk
menginformasikan tentang hamil pertama masuk dalam tabel kehidupan. Ia
menggambarkan matinya penduduk di kohort populasi antara jumlah pria dari
usia militer (16–56) di London. Namun, tidak begitu mengapresiasi kebutuhan
untuk menggunakan angka kematian usia spesifik tersebut. Graunt sendiri
keliru memperkirakan proporsi kematian antara usia ini dari usia kolom
survivor, dan bukan proporsi yang hidup. Walaupun begitu, Graunt mesti
diberikan apresiasi sebagai perintis demografi karena kontribusinya sangat
berpengaruh dalam merangsang pengembangan aktuaria di kemudian hari
dalam hal tabel kehidupan (life table).

Teori Malthus
Esai Malthus tidak diragukan lagi, telah banyak diterjemahkan dalam
berbagai bahasa dan lengkap dengan koleksi sejumlah besar fakta dalam
penjelasan argumennya. Fakta-fakta yang telah ia kemukakan ternyata belum

24
mampu membuktikan kebenaran pendapatnya sehubungan dengan perbaikan
umat manusia di masa depan. Argumen Malthus yang paling berkesan yaitu
tentang prediksinya akan terjadinya kelaparan manusia akibat tumbuhnya
seiring dengan deret ukur, sementara pangan yang tersedia tumbuh seiring
dengan deret hitung. Dengan prediksinya tersebut justru membuat manusia
kini berjaga-jaga dalam mengendalikan penduduknya agar tidak terjadinya
ledakan penduduk. Dengan begitu pula, membuat manusia juga menjaga
ketercukupan pangan dengan berbagai inovasi untuk meningkatkan
produktivitas pangan.
Dalam hal pengendalian penduduk, manusia dipacu untuk mencari
alternatif mencegah pertumbuhan penduduk yang masif dengan cara normatif
(bukan membunuh atau melakukan aborsi). Dalam arti luas, populasi
penduduk harus dijaga dalam segala aspek ketercukupannya. Apa yang
dikemukakan Malthus tersebut sejatinya didorong pemikiran dan
kepeduliannya untuk memperbaiki masyarakat di masa mendatang. Ia
berharap bahwa populasi harus selalu dijaga ke tingkat pemenuhan sarana
yang memadai. Prediksi Malthus boleh jadi suatu spekulasi tentang
peningkatan penduduk di masa depan dalam tekanan yang sangat berbeda dari
keinginan untuk menemukan cara-cara visioner. Sayangnya, Malthus belum
mendapatkan jawaban atas pemahamannya yang akan memungkinkan dia
untuk percaya apa yang beliau inginkan, kalau prediksi tersebut belum disertai
bukti yang cukup.
Pertanyaan besar yang dilontarkan Malthus waktu itu adalah “apakah
keberadaan penduduk akan terus bertambah dengan laju penduduk semakin
cepat tanpa batas? Dan akan sampai di mana keberadaan loncatan
pertumbuhan manusia ketika belum ada solusi perbaikan? Apakah akan ada
kebahagiaan dan kesengsaraan setelah ada upaya perbaikan pada waktu yang
tak terukur dari tujuan yang diinginkan?
Bila saja prediksi Malthus terbukti, maka akan ada kecemasan manusia
untuk segera menghentikan produksi dirinya atau setidaknya segera
mengendalikan diri untuk berkembang. Setiap umat manusia harus melihat ke
depan terhadap dirinya yang mampu menjadi daya dukung alam dalam
menampung keberadaan manusia. Ada yang terlupa terhadap kondisi yang
mempengaruhi secara alami perkembangan penduduk baik yang bersifat
mencegah peluang terjadinya kelahiran mempercepat proses kematian di
antaranya pendewasaan usia perkawinan, kemandulan, homoseksual,
pembunuhan, pengebirian, pengekangan nafsu seksualitas, endemi penyakit,
peperangan dan lain sebagainya.

25
Argumen Malthus yang paling penting disandarkan pada prinsip-prinsip
David Hume, dan lebih banyak lagi dipengaruhi pemikiran ekonom Adam
Smith. Dari sandaran prinsip tersebut, Malthus membuat dua postulat.
Pertama, makanan itu penting bagi keberadaan manusia. Kedua, bahwa hasrat
seksual dua jenis kelamin berbeda itu kebutuhan naluriah dan akan tetap
dalam kondisi saat itu sampai saat ini. Kedua hukum ini, sejak seseorang
memiliki pengetahuan tentang umat manusia, tampaknya telah banyak
perubahan teori, namun sampai sekarang belum melihat perubahan dalam dua
postulat tersebut.

Teori Kependudukan Kontemporer


Teori kependudukan kontemporer memandang apa yang dikemukakan
Malthus boleh jadi benar jika kondisi penduduk tanpa kendali. Namun, dalam
situasi tertentu keluarga dapat melakukan kesepakatan menginginkan jumlah
anak yang ideal berdasarkan kondisi ekonomi, sosial atau bahkan
pertimbangan karier.
Artinya dalam konteks ini, perilaku demografi dapat saja menjadi
kontribusi mengendalikan pertumbuhan penduduk. John Stuart Mill, seorang
ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dapat menerima
pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk melampaui laju
pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma. Namun demikian, dia
berpendapat bahwa pada situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi
perilaku demografinya. Selanjutnya, ia mengatakan apabila produktivitas
seorang tinggi, maka cenderung ingin memiliki keluarga kecil. Dalam situasi
seperti itu fertilitas akan rendah. Jadi, taraf hidup (standard of living)
merupakan determinan fertilitas. Tidaklah benar bahwa kemiskinan tidak
dapat dihindarkan (seperti dikatakan Malthus) atau kemiskinan itu disebabkan
karena sistem kapitalis (seperti pendapat Marx) dengan mengatakan, kalau
suatu waktu di suatu wilayah terjadi kekurangan bahan makanan, maka
keadaan ini hanyalah sebuah perebutan bahan pangan yang kemudian
menumpuk di suatu pihak sehingga lainnya tidak kebagian.
Boleh jadi kekurangan pangan karena bersifat sementara saja.
Pemecahannya ada dua kemungkinan yaitu: mengimpor bahan makanan atau
memindahkan sebagian penduduk wilayah tersebut ke wilayah lain.
Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh
manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan taraf
kehidupan tingkat golongan yang tidak mampu. Dengan meningkatnya
pendidikan penduduk, maka secara rasional mereka mempertimbangkan perlu

26
tidaknya menambah jumlah anak sesuai dengan karier dan usaha yang ada. Di
samping itu Mill berpendapat bahwa pentingnya distribusi kekayaan para
konglomerat Eropa. Manifestasi dari rekomendasi Mill adalah negara-negara
Eropa, seperti Jerman menerapkan pajak progresif bagi orang kaya dengan
tujuan untuk memeratakan ekonomi penduduknya.

Arsene Dumont
Arsene Dumont seorang ahli demografi berkebangsaan Perancis yang
hidup pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1980 menulis sebuah artikel berjudul
Depopulation et Civilization. Ia mengeluarkan teori penduduk baru yang
disebut dengan teori kapilaritas sosial (theory of social capilarity). Kapilaritas
sosial mengacu kepada keinginan seseorang untuk mencapai kedudukan yang
tinggi di masyarakat, misalnya: seorang ayah selalu mengharapkan dan
berusaha agar anaknya memperoleh kedudukan sosial ekonomi yang tinggi
melebihi pencapaiannya sendiri. Untuk dapat mencapai kedudukan yang
tinggi dalam masyarakat, keluarga yang besar merupakan beban berat dan
menjadi perintang.
Konsep ini dibuat berdasarkan atas analogi bahwa cairan akan naik
pada sebuah pipa kapiler. Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan
baik pada negara demokrasi, di mana individu mempunyai kebebasan untuk
mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Di negara Perancis pada abad
ke-19 misalnya, di mana sistem demokrasi sangat baik, setiap orang berlomba
mencapai kedudukan yang tinggi dan sebagai akibatnya angka kelahiran turun
dengan cepat. Di negara sosialis di mana tidak ada kebebasan untuk mencapai
kedudukan yang tinggi di masyarakat, sistem kapilaritas sosial tidak dapat
berjalan dengan baik.

Emile Durkheim
Emile Durkheim, sosiolog Perancis yang hidup pada akhir abad ke-19.
Perbedaan pendapat antara Durkheim dan Dumont terletak pada
perspektifnya, di mana Dumont lebih menekankan perhatiannya pada faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, sementara Durkheim
lebih memberi perhatiannya pada keadaan akibat dari adanya pertumbuhan
penduduk yang tinggi (Weeks, 1992). Emile Durkheim mengatakan, akibat
dari tingginya pertumbuhan penduduk menimbulkan persaingan di antara
penduduk untuk dapat bertahan hidup. Untuk memenangkan persaingan setiap
orang berusaha untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan
mengambil spesialisasi tertentu, keadaan seperti ini jelas terlihat pada

27
masyarakat perkotaan dengan kehidupan yang lebih kompleks. Apabila
dibandingkan antara kehidupan masyarakat tradisional dan masyarakat
perkotaan, akan terlihat bahwa pada masyarakat tradisional tidak terjadi
persaingan dalam memperoleh pekerjaan, tetapi pada masyarakat industri
akan terjadi sebaliknya yaitu sangat kontras terlihat persaingannya. Hal ini
disebabkan ada masyarakat industri tingkat pertumbuhan dan kepadatan
penduduknya lebih tinggi.

Michael Thomas Sadler dan Doubleday


Dua orang ini merupakan penganut teori fisiologis. Sadler
mengemukakan, daya reproduksi manusia dibatasi oleh jumlah penduduk
yang ada di suatu wilayah atau negara. Teori Sadler lebih mirip dengan teori
adaptasi. Bila dilihat dari sejarah, zaman Nabi Adam dan di era kenabian, di
mana wilayah memiliki daya dukung dan daya tampungnya memadai,
kecenderungan bereproduksi dan lama pengasuhan anak yang cukup panjang.
Artinya, daya reproduksi wanita sangat panjang umurnya. Sedangkan saat ini,
daya produksi wanita untuk melahirkan anak dari usia 15 sampai 49 tahun.
Analisis Sadler memunculkan sebuah pendapat jika kepadatan penduduk
tinggi, daya reproduksi manusia akan menurun, sebaliknya jika kepadatan
penduduk rendah, daya reproduksi manusia akan meningkat.
Pendapat Sadler dibantah Thomson (1953) sebagaimana dikutip oleh
(Purba, 2009) yang meragukan kebenaran teori tersebut setelah melihat
fenomena di Jawa, India dan China yang penduduknya sangat padat, tetapi
pertumbuhan penduduknya juga tinggi. Dalam hal ini Malthus lebih konkret
argumentasinya dari pada Sadler. Malthus mengatakan bahwa penduduk di
suatu daerah dapat mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi, tetapi dalam
pertumbuhan alaminya rendah karena tingginya kematian. Namun demikian,
penduduk tidak dapat mempunyai fertilitas tinggi, apabila tidak mempunyai
kesuburan (fecunditas) yang tinggi pula, tetapi penduduk dengan tingkat
kesuburan tinggi dapat juga tingkat fertilitasnya rendah. Teori Doubleday
hampir sama dengan teori Sadler, hanya titik tolaknya berbeda.
Lebih lanjut Sadler mengatakan bahwa daya reproduksi penduduk
berbanding terbalik dengan tingkat kepadatan penduduk, maka Doubleday
berpendapat bahwa daya reproduksi penduduk berbanding terbalik dengan
bahan makanan yang tersedia. Jadi kenaikan kemakmuran menyebabkan
turunnya daya reproduksi manusia. Jika suatu jenis makhluk diancam bahaya,
mereka akan mempertahankan diri dengan segala daya yang mereka miliki.
Mereka akan mengimbanginya dengan daya reproduksi yang lebih besar
(Rozy, 1983).

28
Menurut Doubleday, kekurangan bahan makanan akan merupakan
perangsang bagi daya reproduksi manusia, sedang kelebihan pangan justru
merupakan faktor pengekang perkembangan penduduk. Dalam golongan
masyarakat yang berpendapatan rendah, seringkali terdiri dari penduduk
dengan keluarga besar, sebaliknya orang yang mempunyai kedudukan yang
lebih baik biasanya jumlah keluarganya kecil. Banyak demograf melihat teori
fisiologis ini banyak diilhami dari teori aksi dan reaksi dalam meninjau
perkembangan penduduk suatu negara atau wilayah. Namun teori adaptasi
Charles Darwin barangkali turut mengilhami teori ini. Kontribusi yang cukup
signifikan dari teori ini adalah kemampuannya menjelaskan bahwa semakin
tinggi tingkat mortalitas penduduk semakin tinggi pula tingkat produksi
manusia.

Herman Khan
Seorang futurolog, seperti Khan ini termasuk yang menentang
pandangan Malthus. Mereka beranggapan manusia dengan ilmu
pengetahuannya mampu menghasilkan produksi pertanian yang berlebih dari
sebelumnya. Bahkan menurut prediksi futurolog, manusia modern mampu
mengubah kembali (recycling) barang-barang yang sudah habis dipakai. Lihat
saja saat ini, air yang dipakai untuk mandi, cuci kakus langsung dapat didaur
ulang. Ketika dunia dilanda bencana bahkan seperti saat ini pandemi COVID-
19 baik negara maju maupun tertinggal akan bahu membahu mengatasi
masalah secara bersama. Prediksi Herman Kahn terhadap negara-negara kaya
yang akan membantu negara miskin menjadi sebuah keniscayaan saat ini.
Lebih lanjut prediksi Khan, kesenjangan antara si kaya dan si miskin tidak
akan begitu mencolok lagi, karena semua negara juga akan mengatasi
kesenjangan secara bersama. Dalam konteks dalam negara sekalipun
menurunkan gini ratio selalu menjadi program yang harus dicapai oleh tiap
negara.
Prediksi Khan terhadap eksistensi bumi yang dianggap tidak akan
kehabisan sumber daya alam, karena seluruh bumi ini terdiri dari banyak
mineral juga merupakan keniscayaan karena mineral dalam bumi tidak akan
pergi ke mana-mana, demikian halnya dengan energi. Mereka hanya pindah
tempat dan terjadi transformasi saja. Tentu dalam konteks ini, teori nisbi atau
teori hukum kekekalan energi berlaku. Proses pengertian dan recycling akan
terus terjadi dan era ini disebut dengan era substitusi sepanjang masa. Mereka
mengkritik bahwa The Limit to Growth bukan memecahkan masalah tetapi
memperbesar permasalahan tersebut. Kelompok Malthus dan kelompok

29
teknologi mendapat kritik dari kelompok ekonomi, karena kedua-duanya tidak
memperhatikan masalah-masalah organisasi sosial di mana distribusi
pendapatan tidak merata. Orang miskin yang kelaparan karena tidak
meratanya distribusi pendapatan di negara tersebut. Kejadian seperti ini di
Brasil yang Pendapatan Nasional (GNP) tidak dinikmati oleh rakyat banyak
adalah salah satu contoh dari ketimpangan organisasi sosial tersebut.

Teori Marxist
Ahli lain yang menentang pendapat Malthus salah satunya adalah Karl
Marx. Apa yang dikemukakan Marx lebih dikenal dengan Marxist. Pendapat
Karl Marx masih dengan doktrin lamanya yang ditulis dengan judul Das
Capital. Menurutnya tekanan penduduk di suatu negara bukanlah tekanan
penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan terhadap kesempatan kerja
(misalnya di negara kapitalis). Marxist juga berpendapat bahwa semakin
banyak jumlah manusia semakin tinggi produk yang dihasilkan. Dengan
demikian tidak perlu diadakan pembatasan penduduk. Karl Marx
mengonfrontasikan antara negara yang menganut paham kapitalis dengan
negara sosialis komunis. Maka, dengan sangat jelas Mark menganggap
negara-negara, seperti Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya (Australia,
India, Malaysia, Singapura), Perancis dan Kanada pahamnya terpengaruh
perspektif Malthus. Sedangkan negara-negara yang mendukung teori Karl
Marx umumnya adalah negara-negara berekonomi paham sosialis, seperti
Kuba, RRC, Korea Utara, Rusia dan Vietnam. Namun sampai saat ini, negara-
negara tersebut ekonominya sudah mulai terbuka, bahkan China (RRC)
sempat membuat kebijakan satu keluarga satu anak karena saking tidak
mempunyai cara lagi untuk mengatasi ledakan penduduknya.
Landasan berpikir Marx beranjak dari pengalaman bahwa manusia
sepanjang sejarah akan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Beda pandangan Marxist dan Malthus adalah pada “Natural
Resource”, tidak bisa dikembangkan atau mengimbangi kecepatan
pertumbuhan penduduk. Dalam hal tertentu seperti China mungkin ini terjadi
karena penduduk yang banyak diiringi dengan kemampuan produksi
penduduknya yang tinggi. Dengan kata lain saat penduduk China banyak
ternyata mampu memanfaatkan bonus demografi sehingga mampu
menjadikan China saat ini menjadi negara yang disegani terutama
pertumbuhan ekonominya yang luar biasa dalam dua dekade ini.

30
Beberapa pemikiran Marx saat itu di antaranya adalah:
a. Populasi manusia tidak menekan makanan, tapi mempengaruhi
kesempatan kerja.
b. Kemiskinan bukan terjadi karena cepatnya pertumbuhan penduduk, tapi
karena kaum kapitalis mengambil sebagian hak para buruh.
c. Semakin tinggi tingkat populasi manusia, semakin tinggi
produktivitasnya, jika teknologi tidak menggantikan tenaga manusia
sehingga tidak perlu menekan jumlah kelahirannya. Artinya, ia
menolak teori Malthus tentang moral restraint untuk menekan angka
kelahiran.

Teori Neo Malthus


Garreth Hardin & Paul Ehrlich merupakan tokoh pendukung perbaikan
teori Malthus. Pemikiran mereka di pertengahan abad 20. Di mana dengan
ditemukannya alat penghambat kehamilan (kontrasepsi). Pemikiran
radikalnya terhadap teori ini adalah anjuran untuk mengurangi jumlah
penduduk dengan menggunakan cara-cara “preventif check”, yaitu
pencegahan. Taruhlah bumi diibaratkan sebuah kapal yang berlayar dengan
persediaan bahan bakar dan bahan makanan yang terbatas. Pada suatu saat
kapal ini akan kehabisan bahan bakar dan bahan makanan tersebut sehingga
akhirnya malapetaka menimpa kapal tersebut. Tahun 1871 Ehrlich menulis
buku The Population Bomb dan kemudian direvisi menjadi “The Population
Exploitation” yang berisi pernyataan-pernyataan bahwa:
1. Sudah terlalu banyak manusia di bumi ini.
2. Keadaan bahan makanan sangat terbatas.
3. Lingkungan rusak sebab populasi manusia meningkat.
Menurut Meadow (1972), melalui buku The Limit to Growth ia menarik
hubungan antara variabel lingkungan (penduduk, produksi pertanian, produksi
industri, sumber daya alam) dan polusi. Namun walaupun demikian,
malapetaka tidak dapat dihindari, manusia hanya menunggunya dan
membatasi pertumbuhannya sambil mengelola alam dengan baik. Kritikan
terhadap Meadow umumnya dilakukan oleh sosiolog yang menyindir
Meadow karena tidak mencantumkan variabel sosial-budaya dalam
penelitiannya. Karena itu Mesarovic dan Pestel (1974) merevisi gagasan
Meadow dan mencantumkan hubungan lingkungan antarkawasan.

31
Referensi:
Corey, J.A.B & Clive R.M. (2008). Population: Fecundity. Edition: 1 st,
Publisher: Elsevier, pp.1535-154 DOI: 10.1016/B978-008045405-
4.00645-5
Graunt, John; Wilcox, W. (1939). Natural and Political Observations Made
upon the Bills of Mortality. Baltimore: The Johns Hopkins Press.
Malthus T. (1798). An Essay on the Principle of Population. Printed for J.
Johnson, in St. Paul’s. Church-Yard. London. Tersedia di
http://old.esp.org/books/malthus/population/malthus.pdf
Meadows, Donella; Randers, Jorgen; Meadows, Dennis, 2004. Limits To
Growth: The 30-Year Update (Paperback ed.). Chelsea Green
Publishing. ISBN 193149858X.
Mesarovic, M. and Pestel, E. (1974). Mankind at The Turning Point. Reader’s
Digest Press, New York.
Paul Ehrlich. (1981). Ledakan Kependudukan. Jakarta: Gramedia.
Purba S. M. (2009). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kepadatan Penduduk di Kota Medan. Skripsi, tidak dipublikasikan.
Rozy Munir. (1983). Teori-Teori Kependudukan. Jakarta: Bina Aksara.
Ruslan Prawiro. (1983). Kependudukan Teori Fakta dan Masalah. Bandung:
Alumni.
Weeks, John R. (1992). Population. California: Wadsworth.

32
BAGIAN KEDUA

FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN PENDUDUK

Sejak manusia dicipta Tuhan dan diutus di bumi, pertama kali


manusianya adalah Adam dan Hawa (Eve) sampai saat ini penduduk yang
mendiami bumi selalu mengalami pertambahan. Meskipun ada bencana,
peperangan, kematian wabah dan lainnya, tetap manusia terus menerus
bertambah. Manusia mengisi relung-relung bumi yang masih kosong untuk
mendapatkan kelayakan, kenyamanan dan ketentraman hidup. Di lembah,
pesisir, perbukitan, gunung, hutan di tengah kepulauan, tepi sungai, sepanjang
jalan, gua-gua di bumi hampir semuanya telah diisi, bahkan saat ini para
astronom sedang mencari peluang alternatif kehidupan di luar bumi (planet
lain, galaksi lain) yang dapat dimungkinkan mereka dapat hidup dengan
ketersediaan sumber daya yang mirip dengan bumi. Kesemuanya itu tidak lain
karena pertumbuhan penduduk yang terus bertambah.
Bagian kedua dari buku ini membahas tentang faktor-faktor
pertumbuhan penduduk di antaranya natalitas, mortalitas dan mobilitas.
Bagian ini dibagi menjadi dua bab. Bab 3 (merupakan kelanjutan dari bagian
1 dan bab selanjutnya) menjelaskan tentang natalitas. Sedangkan Bab 4
menjelaskan tentang mortalitas penduduk. Bab 5 yang merupakan akhir dari
bagian ini menjelaskan tentang mobilitas penduduk, yang akan
mengurangi/menambah penduduk dalam satu wilayah, tapi tidak berpengaruh
apapun terhadap jumlah penduduk bumi kecuali melakukan migrasi ke luar
planet bumi.

33
BAB 3
NATALITAS

Kelahiran Nabi Isa Al-Masih yang diyakini umat Kristiani maupun Katolik
tanggal 25 Desember terkenal dengan sebutan Hari Natal. Kata Natal
berasal dari bahasa Portugal, berarti kelahiran. Umat Kristen Orthodok
memperingati hari kelahiran Yesus Kristus tanggal 6 Januari. Inti pentingnya
dari tulisan ini bukan tanggal berapa Nabi Isa AS dilahirkan, tapi tentang
makna kelahiran itu sendiri yang menjadi istilah umum natalitas. Kata natal
juga tersebut dalam nama daerah di Sumatera Utara yaitu Mandiling Natal.
Memiliki sejarah karena daerah ini pertama didarati orang Portugis
dianggap pelabuhannya mirip sebuah pelabuhan Natal di Afrika.

Pendahuluan
Penduduk dunia bertambah terus dari waktu ke waktu jelas karena
faktor kelahiran yang lebih tinggi dari pada kematian. Tetapi persoalan
penduduk suatu negara atau daerah bertambah bisa jadi selain faktor kelahiran
juga karena faktor migrasi masuk yang lebih banyak daripada migrasi keluar.
Fenomena di balik bertambahnya penduduk dunia adalah karena kesehatan
yang lebih baik, sehingga membuat angka kematian turun. Tapi bukan karena
fertilitas penduduk dunia naik. Bahkan sampai saat ini total fertilitas dari
tahun ke tahun di dunia menunjukkan tren penurunan. Namun, jumlah
penduduk meningkat. Itu indikasinya bahwa sebenarnya usia manusia bumi
makin bertambah. Sebagai buktinya adalah data fertilitas dunia dari tahun ke
tahun cenderung menunjukkan penurunan (lihat gambar 3.1).
Pertambahan pendudukan dunia tidak lain karena faktor utamanya
kelahiran. Untuk itu dalam bahasan bab ini lebih mengedepankan fertilitas
dan aspek-aspeknya yang secara langsung menopang keberadaan natalitas
dalam kependudukan.

34
Fertilitas
Fertilitas merupakan tingkat kemampuan seorang wanita melahirkan
anak dalam rentang perjalanan kehidupannya. Ada seorang wanita yang
mampu melahirkan anak sampai 12 dalam perjalanan kehidupannya, tapi ada
juga wanita yang memang tidak mampu melahirkan seorang anak pun dalam
perjalanan kehidupannya.
Fertilitas seorang wanita sangat dipengaruhi oleh tingkat durasi waktu
dalam melakukan hubungan seksual. Aktivitas seksual seorang wanita yang
dimulai dari semenjak pubertas berkemungkinan akan menghasilkan anak
lebih banyak dibandingkan yang memulainya sejak tamat kuliah. Tentunya ini
berhubungan dengan rentang masa pengasuhan.

Gambar 3.1: Jumlah Anak yang Dilahirkan Wanita dari Tahun 1950-2019
Sumber: PBB-Divisi Kependudukan 2020

Berdasarkan Gambar 3.1 terlihat bahwa di masa lalu, orang memiliki


lebih banyak anak daripada saat ini. Jumlahnya berfluktuasi dari waktu ke
waktu dan ada beberapa perbedaan antarnegara, tetapi sepanjang rentetan
besar sejarah, rata-rata wanita memiliki setidaknya lima anak, dan seringkali
lebih. Dua abad yang lalu, kepemilikan anak seperti ini terjadi di Amerika,
Inggris, Rusia, India, China, dan banyak negara lain. Sepanjang catatan divisi
kependudukan PBB terlihat bahwa jumlah anak yang dilahirkan dari waktu ke
waktu (rentang tahun 1950-2019) menunjukkan tren penurunan. Walaupun

35
secara jumlah penduduk masih menunjukkan pertambahannya, namun dunia
itu sendiri harus mulai mengkhawatirkan beberapa suku bangsa yang mulai di
ambang kepunahan karena mereka sudah sulit diberikan motivasi agar
memiliki anak.
Grafik dengan parameter jumlah anak tersebut digunakan demograf
untuk mengukur keturunan per orang tua, Persatuan Bangsa-Bangsa, United
Nation (UN) menggunakan istilah TFR. TFR didefinisikan sebagai jumlah
rata-rata anak yang akan lahir dari seorang wanita selama hidupnya, jika
wanita tersebut mengalami tingkat fertilitas berdasarkan usia saat ini
sepanjang hidupnya. Gambar 3.1 tersebut di atas mengisyaratkan bahwa
tingkat fertilitas di satu wilayah tertentu, bukan selama masa hidup satu
generasi wanita.
Sejak tahun 1950, UN sebagaimana dikutip (World Population Growth-
Our World in Data, n.d.) memiliki data yang sangat bagus dari Divisi
Kependudukannya. Grafik di bawah ini menunjukkan rata-rata TFR dari tahun
1965, yaitu wanita di dunia memiliki lebih dari 5 anak. Sejak itu UN telah
melihat perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jumlahnya telah
berkurang setengahnya. Secara global, rata-rata per wanita sekarang di bawah
2,5 anak. Pertanyaannya, mengapa angka fertilitas global turun begitu cepat?
Tiga alasan utama penurunan ini menurut PBB adalah: (1)
pemberdayaan perempuan (meningkatkan akses pendidikan dan partisipasi
pasar kerja). Saat ini dengan banyaknya wanita yang berpendidikan lebih
tinggi cenderung akan menunda perkawinannya. Demikian halnya dengan
wanita yang bekerja makin lama lebih banyak dan meraih karier yang baik
juga akan menjarangkan kelahirannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
kebijakan pemberi kerja. Intinya, pendidikan dan pekerjaan bagi wanita akan
memperpendek masa pengasuhan anak. (2) menurunnya angka kematian anak.
Dengan akses kesehatan yang semakin baik, kematian anak menurun,
sehingga orang tua cenderung mengasuhnya menjadi lebih lama dan (3)
meningkatnya biaya membesarkan anak, sebagaimana menjadi konsekuensi
meningkatnya perempuan yang bekerja di luar rumah membuat keluarga
harus meninggalkan anak-anaknya dan mempekerjakan penjaga anak (baby
sitter) dan ini juga menambah biaya pengeluaran dalam pengasuhan.
Sebagai akibat dari penurunan angka fertilitas dunia, laju pertumbuhan
populasi dunia telah menurun, dari puncak 2,1% per tahun pada tahun 1968
menjadi kurang dari 1,1% saat ini. Dalam buku ini, disampaikan tentang
tingkat populasi global, di mana saat ini dunia sedang dalam transisi menuju
keseimbangan baru. Di mana perubahan populasi yang cepat akan segera

36
berakhir. “Transisi demografis global yang besar yang dimasuki dunia lebih
dari dua abad lalu akan segera berakhir: Keseimbangan baru ini berbeda dari
yang ada di masa lalu ketika angka kematian yang sangat tinggi yang
menahan pertumbuhan populasi. Dalam keseimbangan baru, fertilitas rendah
membuat perubahan populasi kecil.” Sebagai buktinya, Gambar 3.2
merupakan visualisasi sebaran TFR di tiap-tiap negara di dunia.

Gambar 3.2: Total Fertility Rate di Dunia 2019


Sumber: (World Population Growth-Our World in Data, n.d.) PBB 2019
Divisi Kependudukan

Terlihat jelas gambaran negara-negara di dunia, bahwasanya negara-


negara di Afrika yang belum menunjukkan fenomena penurunan TFR. Grafik
sebelumnya menunjukkan rata-rata global, grafik berikut menunjukkan
penurunan angka fertilitas untuk semua negara di dunia dari tahun 1950
hingga saat ini. Gambar ini agak tidak biasa, tetapi begitu dimasukan dalam
framework akademis, gambar dimaksud akan mengungkapkan banyak
informasi.
Misalkan, jika melihat gradasi warna merah pada gambar 3.2, terlihat
negara-negara di dunia yang diurutkan menurun menurut tingkat fertilitas
dalam periode antara 1950 hingga 1955. Rwanda, Kenya, Filipina, dan juga
negara-negara lain yang tidak berlabel pada gambar ini memiliki tingkat

37
fertilitas yang lebih tinggi dari 7 anak per wanita. China memiliki tingkat
fertilitas lebih dari 6 dan India tingkat fertilitas di bawah 6. Di sebelah kanan
garis merah Anda melihat bahwa pada tahun 1950-55 hanya ada satu negara
di dunia dengan tingkat fertilitas di bawah 2, yaitu Luxemburg. Sementara,
fertilitas yang diberikan untuk setiap negara dalam gambar ini sesuai dengan
pangsa populasi negara tersebut dalam total populasi global pada saat itu-
inilah mengapa China dan India sangat luas, sehingga dapat dilihat langsung
perkembangan fertilitasnya.
Apa yang dapat diamati adalah bahwa pada tahun 1950-an, dunia
dengan jelas terdikotomi antara negara dengan tingkat fertilitas tinggi dengan
negara tingkat fertilitas rendah. Di sisi kanan grafik kita melihat negara-
negara di mana perempuan memiliki kurang dari 3 anak. Pada negara-negara
tersebut tingkat fertilitas telah menurun dalam beberapa dekade sebelumnya.
Seperti terlihat dalam gambar 3.2, semua tingkat fertilitas tinggi di semua
negara di masa lampau. Melihat garis oranye, terlihat bahwa hingga tahun
1975-80 beberapa negara secara substansial mengurangi fertilitas mereka:
tingkat fertilitas di China turun menjadi 3 (ini sebagian besar sebelum
diperkenalkannya ‘kebijakan satu anak’) dan negara lain mempertahankan
tingkat fertilitas yang sangat tinggi. Di Yaman, tingkat fertilitas adalah 8,9
anak per wanita pada tahun 1985. Rata-rata global masih mendekati empat
anak per wanita.
Sejak itu dunia telah berubah secara substansial ke arah kesadaran
tentang kebahagiaan, baik dirinya sendirinya maupun keturunannya.
Kebahagiaan dirinya sendiri maksudnya adalah bahwa manusia sudah tidak
mau direpotkan dengan banyaknya anak, apalagi saat ini mereka cenderung
meniti karier sehingga tidak mau diganggu dengan keberadaan anak yang
dimungkinkan menghambat kariernya. Kesadaran akan kebahagiaan
keturunannya digradasi putih terang. Secara global, tingkat fertilitas telah
turun menjadi 2,5 anak per wanita dan tingkat fertilitas yang rendah adalah
hal yang biasa di sebagian besar dunia: sebagian besar penduduk dunia–80%-
sekarang tinggal di negara-negara dengan tingkat fertilitas di bawah 3 anak
per wanita. Di paling ujung warna spektrum ada beberapa negara–rumah bagi
sekitar 10% populasi dunia–di mana rata-rata perempuan masih memiliki
lebih dari 5 anak. Dalam paparan gambar tersebut juga dapat melihat
konvergensi dalam tingkat fertilitas: negara-negara yang telah memiliki
tingkat fertilitas yang rendah pada tahun 1950-an hanya sedikit menurunkan
tingkat fertilitas lebih jauh, sementara banyak negara yang memiliki tingkat

38
fertilitas tertinggi pada saat itu mengalami penurunan yang cepat dari jumlah
anak per perempuan.
Membandingkan garis merah, orange dan biru (lihat gambar 3.3) juga
memungkinkan untuk melihat perubahan di satu negara: misalkan Iran,
walaupun secara berkelanjutan Iran dilanda perang dan kemelut dari tahun
1980-1988. Namun tingkat fertilitas pada tahun 1985 adalah 6,2 anak per
wanita; saat ini wanita di Iran memiliki lebih sedikit anak dibandingkan di
AS, Inggris, atau Swedia: 1,7 anak per wanita. Di Thailand, tingkat fertilitas
pada tahun 1950 adalah 6,1, pada tahun 1985 adalah 2,6, dan saat ini menjadi
1,5 anak per wanita. Diprediksi suatu saat secara global negara-negara dunia
akan menurunkan fertilitas.
Populasi dunia menurut tingkat fertilitas dari waktu ke waktu, 1950-
2010. Populasi dunia menurut tingkat fertilitas tanpa proyeksi. Tingkat
fertilitas bisa menurun dengan sangat cepat, penurunan angka fertilitas
merupakan salah satu perubahan sosial paling mendasar yang terjadi dalam
sejarah manusia. Oleh karena itu, sangat mengejutkan betapa cepatnya transisi
ini dapat terjadi. Visualisasi ini menunjukkan kecepatan penurunan angka
fertilitas. Iran hanya membutuhkan 10 tahun untuk fertilitas turun dari lebih
dari 6 anak per wanita menjadi kurang dari 3 anak per wanita. Tentunya
keadaan Iran karena faktor perang berkepanjangan yang membuat banyak
pasangan menunda memiliki anak, atau banyak perempuan yang kehilangan
suaminya karena peperangan itu sendiri. China melakukan transisi ini dalam
11 tahun–sebelum diberlakukannya kebijakan satu anak. Kondisi China
sangat berbeda dengan Iran, karena China cukup ketat membuat kebijakan
satu anak. Namun semenjak ekonomi berkembang pesat China sendiri
rakyatnya sudah memiliki kesadaran untuk memiliki sedikit anak. Bahkan saat
ini China sudah mulai mengkhawatirkan dengan penduduknya yang sudah
memasuki era aging population. Di mana penduduknya yang dulu cukup
banyak di usia produktif, sekarang mereka sudah memasuki masa tua.
Sementara anak-anak mereka cenderung sedikit sehingga dalam kohort
penduduk usia tua lebih banyak dibandingkan usia muda.
Dari gambar 3.3 bahwa kecepatan negara dalam melakukan transisi ke
tingkat fertilitas rendah telah meningkat dari waktu ke waktu. Pada abad ke-
19 Inggris membutuhkan waktu 95 tahun dan Amerika Serikat 82 tahun untuk
mengurangi fertilitas dari lebih dari 6 menjadi kurang dari 3 tahun. Ini adalah
pola yang sering kita lihat dalam perkembangan: negara-negara yang pertama
kali mengalami perubahan sosial membutuhkan waktu lebih lama untuk
transisi daripada mereka yang menyusul kemudian: negara yang mengejar

39
peningkatan harapan hidup jauh lebih cepat, mereka mengurangi kematian
anak lebih cepat dan mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka jauh
lebih cepat.

Gambar 3.3: TFR Dunia Menurut Negara dari Tahun 1950-2010

Teknis Penghitungan TFR


Parameter menurunnya TFR merupakan sebuah indikasi keberhasilan
pemerintah mengendalikan penduduk, terutama bagi penduduknya yang padat
dan terbatas anggaran negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Parameter
naiknya angka TFR juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan
kemungkinan tambahan sarana dan prasarana publik, seperti pendidikan,
rumah sakit dan fasilitas umum lainnya beberapa tahun ke depan.
Untuk menghitung angka TFR, maka dapat dirumuskan formula
sebagai berikut:

𝑇𝐹𝑅 = 𝐴𝑆𝐹𝑅 Untuk kelompok umur tunggal

𝑇𝐹𝑅 = 5 𝐴𝑆𝐹𝑅 Untuk kelompok umur 15-49

Keterangan:
TFR : Total Fertility Rate
ASFR : Age Spesific Fertility Rate

40
Ukurannya adalah rentang umur seorang perempuan dimungkinkan
dapat melahirkan. Akademisi menetapkan antara umur 15-49 tahun (masa
subur). Akumulatif dari ASFR secara keseluruhan menghasilkan angka total
fertilitas. Cara mengukurnya dapat dengan dua cara. (1) dihitung perempuan
dengan umur tunggal. (2) dihitung persentase perempuan per kelompok umur
yaitu 15-19, 20-24, .... 45-49 tahun, karena per kelompok umur 5 tahun, maka
dikalikan lima sebagaimana formula TFR yang ke dua.
TFR adalah ukuran kesuburan yang paling banyak digunakan dalam
mengevaluasi dampak program kependudukan karena dua alasan utama: (1)
tidak terpengaruh oleh perbedaan atau perubahan komposisi usia-jenis
kelamin, dan (2) memberikan ukuran yang mudah dipahami dari dalam
menghitung total fertilitas. TFR hanya mencakup kelahiran hidup.
Untuk latihan terhadap rumus di atas, maka dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:

Tabel 3.1: Teknis Penghitungan TFR


ASFR (Jumlah
KLP Umur Jumlah wanita di Klp Umur Jumlah Kelahiran Kelahiran/Jumlah
Wanita per Klp umur
15-19 15.100 500 0,03
20-24 15.000 1500 0,10
25-29 14.000 1300 0,09
30-34 10.000 1200 0,12
35-39 10.000 700 0,07
40-44 12.000 150 0,01
45-49 13.000 100 0,01

∑ 0,44

TFR=5 X0,44 2,18

Meskipun berasal dari ASFR, angka fertilitas pada dasarnya dapat


diperoleh pada perempuan yang mulai mendapatkan menstruasi. TFR adalah
ukuran tingkat fertilitas lengkap per wanita (atau per 1.000 wanita) jika dia
melewati tahun-tahun reproduksi dalam melahirkan anak sesuai dengan
jadwal saat ini. ASFR dihitung untuk mengetahui sebaran wanita yang
melahirkan ada di usia tertentu. Gunanya adalah memetakan berapa presentasi
wanita di usia muda di bawah 19 tahun dan usia di atas 40 melahirkan.

41
Dengan demikian dapat diantisipasi kemungkinan terjadinya kematian ibu
melahirkan di usia tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas di antaranya adalah
ekonomi, jarak pasangan, harmonitas pasangan. Sebagai buktinya, penelitian
yang pernah dilakukan (Sandefur dan Scott 1981, Courgeau 1989, White et al.
1995, Kulu 2005, 2007) menunjukkan bahwa meningkatnya ukuran jumlah
keluarga menyebabkan penurunan keinginan dan peluang melakukan
perpindahan jarak jauh, terutama ke tujuan perkotaan. Kelahiran seorang anak
secara signifikan meningkatkan kecenderungan pasangan untuk pindah jarak
pendek karena mereka ingin menyesuaikan ukuran tempat tinggal mereka
dengan ukuran keluarga mereka (Clark dan Huang 2003, lih. Murphy 1984).
Studi terbaru tentang waktu migrasi relatif terhadap melahirkan anak
mengungkapkan bahwa banyak pasangan pindah ketika menunggu anak
mereka lahir (Michielin dan Mulder 2005, Kulu 2007). Beberapa peneliti
seperti Feijten dan Mulder (2002).
Secara alami, pernyataan bahwa faktor ekonomi dapat menurunkan
fertilitas dimungkinkan menjadi alasan yang rasional. Misalkan saja karena
ekonominya pas-pasan, keluarga memiliki kemampuan untuk membeli rumah
pun terbatas, sehingga membeli rumah pun ukurannya kecil karena ukurannya
kecil, hubungan seksual menjadi terbatas dan mereka pun memiliki pemikiran
untuk membatasi anak. Hal ini tentunya berhubungan dengan kewajiban
pasangan menyediakan kamar tambahan untuk penghuni baru yang akan
dilahirkan. Sebagaimana pernah diteliti oleh Goodsell (1937) penyebab
rendahnya kesuburan di Swedia, berpendapat bahwa kepadatan rumah
sebagian bertanggung jawab atas rendahnya kesuburan di daerah perkotaan
Swedia. Arsitek Swedia membuat bangunan dan merumahkan pekerja
perkotaan di apartemen modern, menghasilkan rumah petak standar dari satu
kamar dan dapur, dan ini mungkin memaksa pasangan untuk
mempertimbangkan membatasi ukuran keluarga mereka. Sementara mereka
berharap memiliki perumahan yang lebih luas, nyaman, dan murah. Namun,
tetap tidak terjangkau untuk banyak pasangan untuk dimiliki. Thompson
(1938) menyatakan bahwa kondisi serupa mungkin pernah ada di Amerika.
Beliau berpendapat bahwa ketersediaan perumahan yang layak dengan standar
yang diinginkan merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah anak
yang dibesarkan di banyak keluarga: ‘Tidak ada keraguan bahwa perumahan
yang mahal harganya sehingga keluarga tidak mampu membeli ruang yang
dianggap layak, karena posisinya, jika memiliki beberapa anak, akan
cenderung menghalangi pengasuhan lebih dari satu atau dua anak, atau,

42
bahkan, semua anak sama sekali. Dalam kondisi sekarang, di mana banyak
keluarga harus tinggal di satu atau dua atau tiga kamar untuk menjaga
pengeluaran perumahan mereka dalam batas-batas, tidak mengherankan jika
mereka merasa paling banyak hanya mampu satu atau dua anak.

Persoalan dalam Teknik Penghitungan TFR di Indonesia


Karena TFR berasal dari ASFR, komentar dan peringatan mengenai
ASFR juga berlaku untuk TFR (yaitu, metode penghitungan dari berbagai
sumber data, efek perubahan paparan kehamilan, dan implikasi penghitungan
untuk saat ini menikah versus semua wanita usia subur). Apalagi di Indonesia
yang masih memegang kuat pernikahan sebagai cara yang sah dalam
melahirkan anak, maka penghitungan TFR selalu didasarkan berapa wanita
yang berkeluarga dan memiliki anak. Padahal belum tentu keluarga yang
memiliki anak tersebut merupakan hasil dari perkawinan pasangan nikahnya.
Dan juga belum tentu wanita yang tidak berkeluarga dianggap tidak
melahirkan.
Kesalahan-kesalahan ini akhirnya menghasilkan bias penghitungan
TFR. Untuk mereduksi terjadinya hal tersebut seperti halnya kasus ASFR,
TFR dapat dihitung untuk wanita yang terus-menerus menikah atau berserikat
selama periode produktif tindakan untuk mengurangi efek perancu yang
berpotensi dari perbedaan paparan risiko kehamilan (ke sejauh perbedaan
dikaitkan dengan status perkawinan). Ukuran ini dikenal dengan Total
Marital Fertility Rate (TMFR).
Menurut Population Reference Bureau, TFR didefinisikan sebagai,
“jumlah rata-rata anak yang akan dimiliki seorang wanita dengan asumsi
bahwa tingkat kelahiran berdasarkan usia saat ini tetap konstan selama masa
suburnya.” Sederhananya, tingkat kesuburan total adalah jumlah rata-rata
anak yang akan dimiliki seorang wanita jika dia bertahan selama masa subur
(atau reproduksinya).
TFR juga dapat dihitung dengan menggunakan angka kelahiran khusus
usia. Angka kelahiran berdasarkan usia berdasarkan jumlah bayi yang lahir
dalam kenaikan 5 tahun selama tahun-tahun reproduksi. TFR adalah kalkulasi
dengan menjumlahkan semua angka kelahiran khusus usia untuk suatu
populasi dan dikalikan dengan lima (jumlah tersebut dikalikan dengan lima
karena angka kelahiran berdasarkan usia dalam kelipatan 5 tahun.) Meskipun
TFR memberikan gambaran yang baik tentang tingkat kesuburan suatu tempat
atau populasi saat ini. TFR tidak benar-benar memprediksi berapa banyak
anak. Seorang wanita akan memilikinya karena itu rata-rata; hal-hal yang

43
berbeda akan menjadi faktor penyebab bagi wanita yang berbeda-lokasi,
keputusan untuk menunggu untuk memiliki anak dan banyak lagi faktor-
faktor lain.
Seperti halnya rata-rata lainnya, kita harus mengingat pencilan, TFR
sangat tinggi dan sangat rendah yang memengaruhi rata-rata total untuk
populasi tertentu. Tingkat kesuburan total dunia saat ini adalah 2,5. Yang
mempengaruhi ini adalah negara-negara yang memiliki TFR 6 dan lebih
tinggi seperti Nigeria (7.6), Republik Demokratik Kongo (6.3), dan Uganda
(6.2). Tetapi di sisi lain spektrum adalah negara-negara seperti Inggris (2.0),
Brasil (1.8), atau Jepang (1.4) yang memiliki tingkat kesuburan total lebih
rendah, rata-rata 2 atau lebih rendah.

Komponen-Komponen dalam Fertilitas


Fekunditas
Mahluk di bumi ada untuk bereproduksi dan fekunditas adalah ukuran
kinerja reproduksi individu (atau populasi). Dengan demikian, fertilitas dapat
dilihat sebagai salah satu landasan biologi populasi, makhluk lainnya dalam
hal kemampuan makhluk tersebut untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup untuk bereproduksi. Mortalitas mengungkapkan proporsi populasi yang
meninggal di dalamnya terhadap populasi lain yang masih hidup dalam
periode waktu tertentu dan kesuburan mengkuantifikasi yang baru individu
yang ditambahkan ke populasi. Suatu populasi tetap stabil ketika jumlah
orang yang meninggal setara dengan jumlah individu baru yang dilahirkan
dan itu menurun bila kematian melebihi pergantian (kelahiran dan imigrasi).
Meskipun tema-tema ini mungkin muncul secara lugas, hubungan antara
reproduksi, umur, kepadatan penduduk, dan stochasticity lingkungan (variasi
acak karena perubahan lingkungan) adalah bersifat kompleks namun tidak
sepenuhnya dipahami sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Selanjutnya,
fekunditas harus dikontekstualisasikan dalam strategi besar reproduksi yang
berkembang sebagai akibat dari tekanan selektif yang berbeda, dan mereka
harus diperiksa sambil mempertimbangkan banyaknya pengorbanan itu terjadi
antara reproduksi dan kelangsungan hidup individu.
Dalam konteks ekologi, fertilitas dapat dijelaskan secara sederhana
sebagai hasil reproduksi potensial maksimum fisiologis seorang individu
selama masa hidupnya dan biasanya perempuan (bukan laki-laki), meskipun
tidak ada alasan yang melekat mengapa kesuburan harus dibatasi untuk wanita
(Bradshaw & McMahon, 2008). Dalam konteks ini juga mematuhi tradisi ini
dan membatasi definisi fekunditas untuk diterapkan hanya untuk wanita.

44
Namun, keberhasilan reproduksi tidak sama dengan kesuburan karena yang
pertama adalah ukuran genetik seseorang kontribusi untuk generasi
berikutnya. Dengan demikian, keberhasilan reproduksi dapat bervariasi
antarindividu karena efek usia ibu, kebugaran keturunan dan karakteristik
riwayat hidup lainnya.
Oleh karena itu, fertilitas bersifat genetik dan perkembangan sifat yang
berkembang dalam kerangka selektif tertentu. Istilah fertilitas berbeda dengan
kesuburan di dalamnya mendeskripsikan kinerja reproduksi aktual (atau saat
ini) dari wanita, dan ini adalah generalisasi dari istilah maternitas, ‘angka
kelahiran’ dan ‘kelahiran’ yang mengacu pada jumlah rata-rata keturunan
yang dihasilkan oleh individu wanita dengan usia tertentu per satuan waktu.
Tingkat reproduksi netto didefinisikan sebagai jumlah rata-rata anak
perempuan yang diproduksi oleh ibu seumur hidup. Fertilitas bervariasi
terutama sebagai fungsi dari stokastisitas dan demografi lingkungan, dan
umumnya berfluktuasi secara temporer dan spasial antarindividu dan
populasi.
Pada bab ini dibahas kedua fekunditas dan kesuburan karena
keterkaitan dan kepentingannya yang jelas dengan disiplin ekologi. Untuk
selanjutnya digunakan setiap istilah berhubungan secara khusus dengan
konteks perkembangan dan evolusi (kesuburan) atau lingkungan (kesuburan)
yang membentuk parameter fundamental populasi biologi. Reproduksi
seksual dalam konteks manusia masuk dalam konsep fekunditas harus
diterapkan sama dengan cara reproduksi utama-seksual. Berbeda dengan
mahluk lain yang dimungkinkan ada reproduksi aseksual. Walaupun saat ini
sudah ada teknologi kloning dan itu dianggap reproduksi aseksual. Namun,
khusus manusia, fekunditas masih berpusat pada evolusi reproduksi seksual,
sehingga masih mengabaikan reproduksi aseksual. Meskipun tidak ada
perbedaan fekunditas seksual perempuan dan aseksual yang sama genotipe,
frekuensi kesetimbangan mutasi yang merusak lebih rendah pada populasi
seksual, biasanya menimbulkan kebugaran yang lebih tinggi pada wanita
seksual. Terlepas dari keuntungan reproduksi seksual, prevalensi reproduksi
klonal atau aseksual dalam kehidupan sejarah banyak dilakukan spesies
tumbuhan dan hewan saja. Tentu rekayasa terhadap tumbuhan dan hewan itu
memang memberikan keuntungan setidaknya dalam beberapa keadaan.
Misalnya reproduksi klonal memungkinkan klon bertahan dari banyak
peristiwa reproduksi dengan mengurangi kepunahan lokal yang berpotensi
menimbulkan bencana terkait dengan distribusi terbatas. Jumlah yang besar
pasangan klon juga dapat meningkatkan jumlah tubuh memproduksi gamet

45
dan meningkatkan kemungkinannya menemukan pasangan setelah reproduksi
seksual dilakukan.

Sistem Eusosial
Sistem eusosial adalah tingkat kemajuan evolusioner keberadaan koloni
di mana anggota koloni dewasa (1) milik dua atau lebih generasi yang
tumpang tindih (2) merawat keturunan secara kooperatif, dan (3) merawat
keturunan dibagi menjadi reproduktif dan kasta nonreproduktif (atau kurang
reproduktif). Kehadiran kasta adalah persyaratan integral dari eusosialitas dan
itu ditemukan di beberapa negara yang masyarakatnya menjaga status sosial
mereka, terutama yang membedakan antara kaum bangsawan dan proletar. Di
India terkenal dengan kasta Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra
(“Stratifiksi Masyarakat Bali dalam Tarian Bumi dan Kenanga Karya Oka
Rusmini,” 2011) sebagaimana dikutip Meliana (2011). Kasta ini kadangkala
juga menjadi salah satu penghalang terjadinya penyatuan pasangan sehingga
secara tidak langsung menghalangi juga terjadinya proses hubungan seksual.
Apalagi adat dalam masyarakat yang masih kuat dipegang masyarakat,
tentunya hal ini menjadi penghalang juga dalam fertilitas.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas


Fertilitas bukannya seperti pemenuhan kebutuhan biologis yang dapat
dipenuhi kapan saja dan begitu juga sebaliknya bahwa setiap hubungan
seksual tidak akan selalu berakhir dengan kelahiran setelah 9 bulan 10 hari.
Keputusan pasangan ingin memiliki anak tidak selalu berhasil dengan
melakukan hubungan seksual semata. Sebaliknya, tidak semua wanita di usia
subur selalu terjadi kehamilan dan kelahiran setelah mereka melakukan
penetrasi. Ada faktor-faktor kesengajaan (non-alamiah) dan ketidaksengajaan
(alamiah) yang menyebabkan tidak terjadi konsepsi pada waktu terjadi
hubungan seksual. Misalkan, wanita yang mandul karena faktor genetik atau
sebab yang tidak diketahui namun wanita dimaksud tidak menginginkan hal
tersebut terjadi, maka ketika melakukan hubungan seksual sekalipun, maka
yang bersangkutan tidak akan terjadi konsepsi. Faktor ini disebut alamiah.
Sebaliknya, ada wanita yang memang tidak menginginkan memiliki anak,
sehingga dengan beberapa macam cara ia lakukan supaya ketika melakukan
hubungan seks tidak terjadi konsepsi. Faktor ini tentunya non-alamiah.
Perilaku wanita dalam rangka pembatasan kelahiran lebih mengarah pada pola
fertilitas, di mana menurut (Saleh, 2003) ada yang bersifat ekonomi dan non-
ekonomi.

46
Setelah proses konsepsi selesai, maka perempuan akan memasuki tahap
kehamilan. Bila kehamilan itu diinginkan, maka ia akan menjaganya dengan
berbagai upaya supaya janin yang dikandungnya tetap sehat, berkembang dan
tumbuh dengan baik sampai pada masanya 9 bulan 10 hari. Bila kehamilan ini
tidak diinginkan, maka ada kalanya perempuan melakukan upaya aborsi atau
tidak ada upaya untuk mempertahankan kehamilannya. Sampai pada waktu
terjadi kelahiran terjadi dan ada tanda-tanda kehidupan pada si bayi, maka
itulah konsep fertilitas sebenarnya.
Dari proses fertilitas itu sendiri, ternyata ada beberapa perilaku
perempuan yang mempengaruhinya. Mengkompilasi beberapa referensi
Bagues (2000), Saleh (2003) maupun Singarimbun (1996) maka proses itu
dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.4: Tahapan Fertilitas

Hubungan Seksual
Hubungan seksual merupakan tahapan awal dalam proses fertilitas.
Hubungan seksual dalam istilah medis disebut intercourse atau coitus (Kamus
Webster: 2021), yaitu salah satu metode alamiah dalam konsepsi. Ada yang
mengistilahkan hubungan seksual adalah hubungan biologis karena pada
dasarnya mahluk hidup seperti manusia melakukan upaya reproduksi melalui
proses hubungan badan. Hubungan biologis ini merupakan bagian dari
pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya, semua mahluk hidup secara naluriah

47
memiliki hasrat untuk berkembang biak. Salah satunya melalui hubungan
seksual.
Dalam perjalanan waktunya semenjak Nabi Adam dan Hawa diciptakan
dan bertemu di dunia, mereka melakukannya sebagai proses meneruskan
keturunannya sebagai khalifah (utusan) di bumi yang bertujuan menjaga
keberlangsungan bumi. Namun, karena manusia diberikan akal dan pikiran,
hubungan seksual sejatinya hasrat naluriah yang akan berisiko pada kelahiran,
sehingga akan mengurangi kebahagiaan dan kepuasannya dalam melakukan
hubungan seksual, maka mereka berusaha untuk menghalangi proses
kehamilannya. Ada juga alasan sebagian kecil orang tidak mau melakukan
hubungan seksual di antaranya:
1. Alasan kesehatan yang menyebabkan seorang wanita tidak mau
melakukan hubungan kesehatan (haid, menderita kanker serviks, dll).
2. Faktor ekonomi dapat menyebabkan seseorang tidak mau melakukan
hubungan seksual karena terkendala biaya dan risiko pemberian nafkah,
sehingga yang bersangkutan menahan untuk tidak melakukannya.
3. Alasan keamanan. Seseorang membuat keputusan tidak melakukan
hubungan seksual oleh sebab faktor yang dikhawatirkan akan
mengganggu privacy-nya, seperti karena faktor peperangan, keadaan di
mana mengancam diri dan pasangannya.
4. Faktor jarak. Hubungan suami istri yang jauh menyebabkan terjadinya
penundaan dalam hal hubungan seks, sehingga proses fertilitas pun
akan tertunda.
5. Selibat permanen. Bagues (2000) menyebut proporsi wanita yang tidak
pernah mengadakan hubungan kelamin.
6. Perpisahan, yaitu bila kehidupan suami istri cerai atau pisah atau
kehidupan suami istri terakhir karena suami meninggal dunia.

Tahap Konsepsi
Bila hubungan seksual sudah dilakukan, maka peluang terjadinya
konsepsi cukup tinggi. Konsepsi akan terjadi bila hubungan seksual yang
terjadi dalam kondisi pasangannya yang melakukannya dalam kondisi subur.
(Kata subur mengandung makna, pasangan yang melakukan hubungan
seksual berada dalam usia produktif yang ditandai telah mengalami haid bagi
wanita dan pria telah mampu mengeluarkan sperma. Kondisi berikutnya yang
harus dipenuhi adalah wanita tersebut dalam tahap pelepasan sel telur
(ovulasi) dan prianya dalam kondisi sel sperma dewasa yang dipastikan
mampu membuahi sel telur).

48
Gambar 3.5: Proses Terjadinya Konsepsi
Sumber: https://www.honestdocs.id/proses-kehamilan

Pengaruh pendapatan keluarga (ekonomi) merupakan faktor yang


paling dominan dalam mempengaruhi suatu keputusan seseorang atau
keluarga dalam merencanakan jumlah anak. Hubungan antara fertilitas dengan
penghasilan keluarga menurut Terence H Hull, (1977) menyatakan bahwa
wanita dalam kelompok berpenghasilan rendah akan cenderung mengakhiri
masa reproduksinya lebih awal dibandingkan dengan wanita pada kelompok
berpenghasilan sedang dan tinggi. Timbulnya perbedaan tersebut
menyebabkan fertilitas wanita berpenghasilan tinggi naik lebih cepat
dibandingkan dengan wanita berpenghasilan rendah. Semakin besar
penghasilan keluarga akan berpengaruh terhadap besarnya keluarga dan pola
konsumsi karena terdorong oleh tersedianya barang produk baru sehingga
dampak dari pembangunan ekonomi juga akan mengubah pandangan tentang
jumlah anak yang dilahirkan. Kenaikan pendapatan akan menyebabkan
harapan orang tua untuk berubah. Keadaan ekonomi suatu keluarga sangat
tergantung pada pendapatan keluarga itu sendiri.
Orang tua menginginkan anak dengan kualitas baik, hal ini berarti akan
meningkatkan biaya pengeluaran lebih banyak dan perubahan pada
pendapatan keluarga tersebut dapat mempengaruhi fertilitas. Kualitas
diartikan pengeluaran biaya rata-rata untuk anak oleh suatu keluarga
berdasarkan atas dua asumsi yaitu, selera orang tua tidak berubah dan harga

49
barang-barang konsumsi lainnya tidak dipengaruhi keputusan rumah tangga
untuk konsumsi. Apabila pendapatan naik maka banyaknya anak yang
dimiliki juga bertambah. Jadi, hubungan antara pendapatan dan fertilitas
adalah positif (Hatmaji, 2004). Sedangkan Lucas (1990) percaya bahwa
norma yang menunjukkan penduduk dari golongan penghasilan yang lebih
rendah mempunyai fertilitas yang relatif tinggi, hampir dapat dikatakan
sebagai suatu hukum sosial ekonomi. Jadi hubungan antara tingkat
pendapatan dengan fertilitas adalah positif dan negatif.
Pengaruh tingkat pendidikan. Misalkan tingkat pendidikan wanita
dianggap sebagai salah satu variabel yang penting dalam melihat variasi
tingkat fertilitas. Karena variabel ini banyak berperan dalam perubahan status,
sikap dan pandangan hidup mereka di dalam masyarakat. Pendidikan istri
merupakan faktor sosial paling penting dalam analisis demografi misalnya
dalam usia kawin pertama, fertilitas dan mortalitas.
Selain itu, pendidikan juga memberikan kesempatan yang lebih luas
kepada wanita untuk lebih berperan dan ikut serta dalam kegiatan ekonomi.
Sehingga, faktor tersebut akhirnya mempengaruhi tingkah laku reproduksi
wanita karena diharapkan pendidikan berhubungan negatif dengan fertilitas
(Saleh, 2003). Menurut Todaro (1994) semakin tinggi tingkat pendidikan istri
atau wanita cenderung untuk merencanakan jumlah anak yang semakin
sedikit. Keadaan ini menunjukkan bahwa wanita yang telah mendapatkan
pendidikan lebih baik cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara
memperkecil jumlah anak, sehingga akan mempermudah dalam
perawatannya, membimbing dan memberikan pendidikan yang lebih layak.
Pendidikan dianggap sebagai input dan output perubahan demografi,
pendidikan yang tinggi sering kali mendorong kesadaran orang untuk tidak
memiliki banyak anak. Dengan pendidikan yang tinggi seseorang cenderung
memilih untuk mempunyai anak dalam jumlah kecil tetapi bermutu,
dibanding dengan memiliki banyak anak tetapi tidak terurus. Di sisi lain,
fertilitas juga memberi kesempatan kepada pemerintah dan para orang tua
untuk lebih memperhatikan anak. Mungkin bukan faktor dominan, tetapi tidak
dapat disangkal bahwa jumlah anak berpengaruh terhadap besar kecilnya
peluang seorang anak untuk menempuh pendidikan. Wanita dengan
pendidikan yang cukup tinggi diharapkan mau menerima pemikiran tentang
keluarga kecil. Dan untuk mencapai keluarga kecil dengan kualitas anak yang
baik mereka mengikuti program KB. (Ananta, 1993)
Usia perkawinan dalam suatu pernikahan berarti umur terjadinya
hubungan kelamin antara individu pria dan wanita yang terikat dalam suatu

50
lembaga perkawinan dengan berbagi ketentuan mengenai hak dan kewajiban
dari masing-masing individu. Pada masyarakat yang sedang berkembang, usia
perkawinan pertama cenderung muda sehingga nilai fertilitasnya tinggi.
Dengan kata lain, semakin cepat usia kawin pertama, semakin besar
kemungkinan mempunyai anak. Menurut Wirosuhadjo (2000) sejalan dengan
pemikiran bahwa semakin muda seseorang melakukan perkawinan makin
panjang masa reproduksinya. Maka, dapat diharapkan makin muda seseorang
untuk melangsungkan perkawinannya makin banyak pula anak yang
dilahirkan, jadi hubungan antara umur perkawinan dan fertilitas negatif.
Dalam masyarakat orang yang menikah memperoleh status baru, di mana
status ini merupakan status sosial yang dianggap paling penting. Seperti yang
diketahui bahwa pada saat seseorang menikah pada usia yang relatif lebih
muda, maka masa subur atau reproduksi akan lebih panjang dalam ikatan
perkawinan sehingga mempengaruhi peningkatan fertilitas.
Pengaruh lama penggunaan alat kontrasepsi salah satu cara yang
ditempuh untuk mengurangi jumlah kelahiran penduduk adalah dengan cara
pemakaian alat kontrasepsi atau program KB. Lamanya pemakaian alat
kontrasepsi atau lamanya mengikuti program KB akan menentukan jumlah
anak yang akan dilahirkan. Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi dalam
jangka waktu yang cukup lama secara langsung akan membatasi jumlah anak
yang dilahirkan, dalam arti jumlah yang akan dilahirkan lebih sedikit dan juga
sebaliknya untuk wanita yang tidak menggunakan alat kontrasepsi akan
cenderung mempunyai anak yang lebih banyak. Sehingga alat kontrasepsi
berperan sangat penting dalam penurunan fertilitas. Pada umumnya pasangan
suami istri yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak dan pendapatan
yang cukup untuk membiayai semua kebutuhan anaknya cenderung untuk
membatasi jumlah anak dan memperpanjang jarak kelahiran melalui
penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini dikarenakan kemampuan ataupun
keinginan untuk memiliki seorang anak berhubungan erat dengan kondisi
ekonomi dan lingkungan sosial orang tua yang bersangkutan. Jumlah fertilitas
pada umumnya berbeda menurut status sosialnya, sebab kemampuan memiliki
anak berhubungan erat dengan kondisi ekonomi dan lingkungan orang tua
yang bersangkutan.
Sehingga untuk menekan angka fertilitas pemerintah menerapkan
program KB dalam peningkatan peran serta masyarakat melalui pendewasaan
usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan
peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil
bahagia dan sejahtera. (Mantra, 2000). Pengaruh Jenis alat KB Bagi pasangan

51
suami istri yang sudah menikah atau telah lama menikah dan ingin menunda
kehamilan dengan berbagai alasan tertentu, biasanya wanita akan melakukan
atau mengikuti anjuran program KB dengan menggunakan beberapa alat
kontrasepsi yang menurutnya aman untuk digunakan. Dalam menggunakan
alat kontrasepsi, seorang wanita dituntut untuk bijaksana dan pintar untuk
memilih alat kontrasepsi yang aman digunakan sesuai tujuan dalam mengatur
dan membatasi fertilitas. Hal ini meliputi keuntungan, kerugian, efek samping
dan kontra indikasi dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut. Maka, sebelum
memilih dan menggunakannya, dapat melakukan konsultasi kepada
paramedis, seperti bidan atau dokter. Kegiatan ini biasa disebut dengan
Komunikasi Inter Personal/Konseling (KIP/Konseling).
Berikut beberapa macam alat kontrasepsi modern yang bisa digunakan
dan menjadi pilihan adalah sebagai berikut: (1) Implan atau biasa dikenal
dengan susuk. Alat kontrasepsi ini dipasangkan di lengan atas, bawah kulit.
Biasanya pada tangan kiri, agar tidak mengganggu aktivitas yang cenderung
menggunakan tangan kanan; (2) Pil KB, yaitu pil yang mesti diminum setiap
hari pada masa tertentu, tidak terputus. Namun dapat dihentikan kapan saja;
(3) Kondom, yaitu alat kontrasepsi berupa sarung/selubung yang terbuat dari
karet lateks (karet), plastik (vinil) atau zaman dahulu terbuat dari bahan alami,
seperti (produksi hewani) yang dipasangkan pada penis saat akan
berhubungan seksual; dan (4) Suntik KB, penyuntikan ini dilakukan oleh
dokter/bidan atau paramedis. Ada yang 1 bulan dan 3 bulan; (5) AKDR (Alat
Kontrasepsi dalam Rahim), merupakan alat kontrasepsi yang digunakan
dalam Rahim, yang terbuat dari sejenis plastik, bersifat fleksibel. Dan dua
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) atau mantap, yaitu Metode
Operasi Pria (MOP), yaitu metode KB dengan menggunakan teknologi bedah
dengan tujuan menutup aliran testis supaya sperma tidak keluar dan Metode
Operasi Wanita (MOW), yaitu prosedur bedah kecil untuk memotong,
mengikat, atau memasang cincin pada saluran tuba fallopi untuk
menghentikan fertilasi (kesuburan) pada perempuan. Dikatakan mantap
karena dilakukan bila Pasangan Usia Subur (PUS) tidak ingin anak lagi.
Keberhasilan program KB tidak hanya dilihat dari banyaknya
masyarakat yang terdaftar sebagai akseptor KB. Namun, juga dilihat dari
kesinambungan masyarakat dalam menggunakan alat-alat kontrasepsi dan
melakukannya secara sadar. Menurut Entjang dalam (Ritonga dkk., 2003)
Dari batasan tersebut dapat diambil pengertian bahwa KB merupakan suatu
usaha manusia yang dilakukan secara sengaja untuk mengatur kelahiran
dalam keluarga agar tercipta keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan

52
tidak menyimpang dari norma-norma agama, maupun peraturan atau hukum
pemerintah.
Tujuan dari pelaksanaan program KB menurut (Widiyanti, 1987) antara lain:
1. Tujuan umum adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan
kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan
kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera
yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya;
2. Tujuan lain meliputi pengaturan kelahiran, Pendewasaan Usia
Perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
3. Kesimpulan dari tujuan program KB adalah memperbaiki kesehatan
dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa. Mengurangi angka
kelahiran untuk menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa.
Memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB yang
berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan
anak, serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

Pengaruh Curah Jam Kerja


Curah jam kerja diartikan sebagai proses penciptaan atau pembentukan
nilai baru pada suatu unit sumber daya, pengubahan atau penambahan nilai
pada suatu unit alat pemenuhan kebutuhan yang ada. Hubungan antara
angkatan kerja wanita dan fertilitas didasarkan pada pandangan bahwa fungsi
dan tugas wanita sebagai istri dan ibu dalam banyak hal sering bertentangan
dengan fungsi mereka sebagai pekerja. Berdasarkan hal tersebut, angkatan
kerja wanita mempunyai hubungan yang negatif, sehingga keikutsertaan
wanita di angkatan kerja dianggap sebagai cara untuk mendukung program
penurunan tingkat fertilitas (Saleh, 2003: 38). Kaitannya dengan status sosial
ekonomi, Todaro menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan, kaum
wanita cenderung berkeinginan untuk bekerja di bidang ekonomi. Dengan
demikian akan mengurangi ketergantungan mereka pada anak. Pada
umumnya dorongan wanita bekerja adalah untuk mengisi waktu senggang,
membina karier atau untuk menambah penghasilan pendapatan keluarganya.
Bagi wanita yang sudah berumah tangga partisipasi mereka dalam
melaksanakan urusan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Hal
ini dapat berpengaruh pada fertilitas (kesuburan) yang tercermin dalam
jumlah anak yang dilahirkan hidup. Kesibukan kerja menyebabkan para ibu
lelah dan waktu untuk beristirahat, serta berkumpul dengan keluarga sangat
terbatas. Hatmaji menyatakan bahwa angka fertilitas dari wanita yang
digolongkan menurut lapangan pekerjaan menunjukkan bahwa tidak

53
selamanya wanita bekerja lebih jarang melahirkan dari mereka yang tidak
bekerja. Mereka yang bekerja di pertanian ternyata menunjukkan angka
fertilitas yang lebih tinggi dari pada yang tidak bekerja.
Prinsip orang pedesaan terdapat anggapan bahwa banyak anak ialah
banyak rezeki. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran yang dekat
akan menimbulkan lebih banyak masalah. Bertambahnya jumlah anggota
keluarga tentu saja akan menambah jumlah kebutuhan dalam memenuhi
keperluan anggota keluarga. Kalau pendapatan dalam keluarga tersebut hanya
terbatas, sedangkan jumlah anak banyak maka dalam pemerataan dan
kecukupan kebutuhan sehari–hari dalam keluarga kurang bisa dijamin.
Semakin banyak anggota keluarga, maka akan mengakibatkan seseorang
untuk berpikir kembali dalam hal merencanakan jumlah anak. Apabila dalam
suatu keluarga terdapat jumlah anggota keluarga yang banyak, maka dalam
keluarga tersebut kemungkinan untuk memiliki anak ialah sangat minim
diakibatkan karena banyak anak, maka akan dapat menambah peningkatan
konsumsi dalam keluarga. Hal ini berakibat menurunnya keinginan seseorang
untuk memiliki anak. Penurunan fertilitas tentu memberikan kenyataan bahwa
jumlah anak yang dimiliki seorang wanita semakin sedikit. Akibatnya, wanita
semakin mempunyai banyak waktu, selain mengasuh anaknya. Terlebih bagi
perempuan yang sudah memiliki anak yang sudah beranjak dewasa.
Pengaruh jumlah saudara kandung yang tidak direncanakan atau tidak
dibatasi mengakibatkan terbentuknya suatu kelurga besar. Hal ini akan
menyebabkan dinamika dari keluarga di dalam keluarga dan kualitas
penduduk cenderung ke arah pertambahan jumlah penduduk negara atau
wilayah bertambah banyak (Widiyanti, 1987:142). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan jumlah saudara ialah saudara kandung yang dimiliki.
Semakin banyak jumlah sudara kandung yang dimiliki, maka kelak akan
menurunkan keinginan untuk memiliki anak. Hasil penelitian tentang
fertilitas, dilihat dari segi ekonomi yang menjadi sebab utama tinggi
rendahnya fertilitas adalah beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini ada dua
pandangan yang saling bertentangan. Pandangan pertama beranggapan bahwa
dengan mempunyai jumlah saudara yang banyak dapat mengakibatkan beban
ekonomi yang harus ditanggung orang tua semakin berat. Di sini lain, jumlah
saudara banyak dianggap dapat membantu (meringankan) beban ekonomi
orang tua bila mereka sudah bekerja. Pandangan kedua, yang dapat dikatakan
pandangan yang agak maju, beranggapan bahwa anak banyak bila tidak
berkualitas justru menambah dan bahkan akan memperberat beban orang tua
kelak.

54
Mereka menginginkan (mengharapkan) jumlah anak sedikit tetapi
berkualitas. Untuk memiliki anak yang berkualitas sudah jelas diperlukan
waktu, tenaga, perhatian, dan biaya yang tidak sedikit yang pada akhirnya
akan menjadi beban orang tua. Berkaitan dengan ini, agar beban tidak terlalu
berat, orang tua cenderung ingin memiliki anak sedikit (Widiyanti, 1987:142).
Menurut Todaro (1994:25) di banyak negara berkembang anak
dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap
lahan, atau sebagai gantungan hidup, atau sebagai tabungan di hari tua.
Dengan demikian, penentuan fertilitas keluarga atau tingkat permintaan akan
anak merupakan bentuk 20 pilihan ekonomi yang rasional bagi keluarga.
Pilihan menambah jumlah anak diperoleh dengan cara mengorbankan pilihan
terhadap barang lain, di mana keputusan itu pada akhirnya efek substitusi dan
efek pendapatan. Jumlah anak yang diinginkan dipengaruhi secara positif oleh
pendapatan keluarga atau ceteris paribus.
Di sisi lain, jumlah anak yang diinginkan akan berhubungan secara
negatif terhadap biaya pemeliharaan anak serta kuatnya keinginan untuk
memiliki barang lain. Persepsi tentang nilai anak akan dapat mempengaruhi
jumlah anak yang diinginkan atau dimiliki. Sebagian orang berpendapat
bahwa jumlah anak banyak dapat merupakan aset keluarga yang
menguntungkan karena dapat diharapkan untuk membantu keluarga,
khususnya di bidang ekonomi. Akan tetapi sebagian orang lain berpendapat
sebaliknya, yaitu anak banyak hanyalah merupakan beban ekonomi keluarga
yang tidak ringan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya jumlah
anak akan menyebabkan juga banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang
dikeluarkan sebagai kewajiban dan rasa tanggung jawab orang tua.
Hal ini konsisten dengan penemuan sementara yang menyatakan bahwa
di daerah pedesaan pendapatan berhubungan positif dengan fertilitas.
Hubungan yang positif tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh murni
pendapatan terhadap permintaan anak cukup kuat, sementara pengaruh tidak
langsung agak lemah. Pengaruh tidak langsung mungkin lebih lemah dalam
pengaturan seperti itu sebab terdapat sedikit kesempatan untuk investasi
dalam kualitas anak. Ada kemungkinan lain di mana nilai anak menjadi lebih
tinggi ketika keluarga memiliki anak yang lebih banyak. Di samping itu,
orang tua juga tidak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya
membesarkan anak lebih besar dari pada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan
permintaan (demand) terhadap anak menurun atau dengan kata lain, fertilitas
turun dengan sendirinya.

55
Pengendali Fertilitas
Kondisi Sosial Ekonomi
Karena faktor ketidakmampuan membiayai atau merawat anak, sering
menjadi faktor sang istri menunda untuk memiliki anak. Teori ekonomi klasik
tentang kesuburan mengakui bahwa anak-anak adalah sesuatu yang berharga.
Anak-anak tumbuh dengan pembiayaan yang langsung maupun tidak
langsung, seperti pengeluaran untuk makanan, pakaian dan pendidikan. Selain
itu juga dilakukan upaya pemantauan terhadap perkembangan emosi dan
psikologis anak (Nauck 2006). Biaya terhadap pengasuhan anak berkaitan
dengan pendapatan.

Pertumbuhan Ekonomi, Resesi dan Pekerjaan


Selama lebih dari 50 tahun, para ekonom mengamati perbedaan
fertilitas antara negara maju dan negara berkembang, keluarga kaya dan
miskin di negara-negara maju, sebagai bukti bahwa pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan pendapatan per kapita menyebabkan penurunan fertilitas,
mungkin dikarenakan mereka lebih suka berinvestasi lebih banyak dalam
perkembangan kualitas anak-anak mereka bukan pada kuantitas, sehingga
jumlah anak sedikit.
Teori yang mendasari prediksi ini adalah bahwa disposable income
cenderung meningkat dengan pertumbuhan ekonomi, memberikan arti bahwa
biaya tunity, yaitu hilangnya pendapatan karena inkompensasi-ibility of work
dan childrearing memiliki anak meningkat. Ada banyak bukti empiris
memperlihatkan korelasi negatif (counter cyclical) antara pertumbuhan
ekonomi dan kesuburan. Namun, penelitian terbaru yang dipresentasikan oleh
Mikko et al. (2011) menunjukkan bahwa ekonomi lebih maju pembangunan
di antara negara-negara maju berhubungan positif dengan kesuburan. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) menjadi positif terkait dengan kesuburan di
negara maju.

Pendidikan Wanita, Tenaga Kerja Wanita, Partisipasi dan Kesetaraan


Gender
Teori ekonomi kesuburan neo klasik diturunkan dari karya Mani dari
Nobel Prizewinner, Gary Becker memprediksi negatif (counter cyclical)
hubungan antara partisipasi angkatan kerja perempuan dan tingkat kesuburan.
Menurut teori ini, meningkat peluang bagi perempuan dalam angkatan kerja
dapat meningkatkan sumber daya ekonomi yang tersedia untuk keluarga,
tetapi juga berefek substansial pada biaya peluang memiliki anak (yang
cenderung menekan kesuburan).

56
Waktu dihabiskan dari tenaga kerja membesarkan anak memiliki efek
langsung pada pendapatan saat ini dan mengurangi penghasilan masa depan
dengan menghambat perkembangan karier. Lebih baik bagi perempuan untuk
bekerja, maka semakin sedikit peluang keinginan untuk memiliki atau
membesarkan anak, tingkat fertilitas menjadi turun.
Tenaga kerja wanita telah meningkat di sebagian besar negara EU
selama beberapa dekade, dengan pengecualian negara di mana tingkat
aktivitas awalnya sangat tinggi, misalnya negara Nordik. Pada pertengahan
1980-an, proporsi wanita dalam pekerjaan atau mencari pekerjaan sekitar
40%, seperti Yunani, Irlandia, Italia dan Spanyol. Pada 2008, di atas 55%
untuk semua negara kecuali Italia, dan di atas 60% pada mayoritas negara.
Partisipasi angkatan kerja mengukur proporsi suatu populasi tertentu (seperti
wanita dan pekerja yang lebih tua) dianggap baik bekerja atau secara aktif
mencari pekerjaan.
Produk Domestik bruto (PDB) per kapita secara empiris menguji
dampak pembangunan ekonomi. Data yang diterbitkan oleh Eurostat (2010)
tahun 2009 menunjukkan TFR lebih rendah dari tahun sebelumnya di 13 EU
negara dibandingkan pada tahun 2008 (Sobotka et al. 2010) yang melaporkan
bahwa total kelahiran di UE telah menolak untuk pertama kalinya sejak tahun
2000, dengan penurunan keseluruhan jumlah kelahiran di UE sebesar 0,07%,
dibandingkan dengan kenaikan 2,7% pada tahun 2008. Pengembangan
ekonomi makro dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi fertilitas secara
langsung.
Pada tingkat nasional, telah terjadi perubahan korelasi cross-sectional
antara pengangguran dan tingkat fertilitas di seluruh negara OECD. Negara
Yunani, Italia, Polandia dan Spanyol semuanya menunjukkan secara
signifikan hubungan negatif antara pengangguran dan fertilitas. Tingkat
fertilitas paling rendah disebabkan perempuan memiliki biaya peluang tinggi
untuk melahirkan anak dan pertimbangan dalam mengambil sebagian besar
tanggung jawab untuk menjaga rumah dan anak-anak.
Pada 1980-an, abad ke-21, negara-negara dengan rendahnya partisipasi
angkatan kerja perempuan (contohnya negara-negara Eropa lainnya)
cenderung memiliki partisipasi yang sangat rendah dan negara-negara dengan
tenaga kerja perempuan tinggi partisipasi (contohnya negara-negara
Skandinavia, Inggris) cenderung memiliki fertilitas yang relatif tinggi
(D’Addio dan Ercole 2005). Hal demikian menunjukkan tingkat fertilitas yang
tinggi dan partisipasi angkatan kerja wanita yang tinggi dapat kompatibel di
tingkat nasional dan telah dikonfirmasi baru-baru ini oleh Luci dan Thevenon
(2010).

57
Dampak PDB per kapita pada fertilitas dari negara-negara OECD
antara tahun 1960 dan 2007. Partisipasi pasar tenaga kerja perempuan adalah
yang utama pendorong dampak pertumbuhan PDB pada fertilitas. Efek negatif
signifikan dari rata-rata jam bekerja per wanita pada fertilitas yang
menunjukkan bahwa perempuan seharusnya hanya bekerja beberapa jam per
minggu untuk memiliki efek fertilitas yang optimal. Namun, dari waktu ke
waktu masih ada hubungan negatif antarpartisipasi wanita, fertilitas, dan
tenaga kerja.
Matysiak dan Vignoli (2008) menunjukkan bahwa peningkatan
partisipasi angkatan kerja perempuan dalam suatu negara biasanya dikaitkan
dengan penurunan fertilitas yang menyiratkan adanya hubungan antara
bekerja dan membesarkan anak. Namun, mereka juga menunjukkan bahwa
hubungan negatif antara bekerja dan membesar kan anak-anak telah
berkurang dari waktu ke waktu dan memberikan efek yang berbeda,
tergantung pada negara tertentu sesuai dengan sosiokultural dan kelembagaan
sosialnya.
Perbedaan faktor-faktor di seluruh negara tampak antara teori ekonomi
fertilitas dan neo klasik. Fakta empiris bahwa banyak negara dengan
partisipasi pekerja perempuan sangat tinggi, fertilitas yang relatif tinggi.
Negara dengan tenaga kerja perempuan tinggi partisipasi dan fertilitas tinggi
sering dianggap untuk menunjukkan kesetaraan gender yang lebih besar dari
negara lain.
Analisis terbaru di negara-negara Nordik mencoba menganalisis antara
pendidikan dan fertilitas mungkin memiliki keterkaitan. Populasi Norwegia
dari tahun 1940 hingga 1964, Kravdal dan Rindfuss (2008) menemukan
bahwa wanita berpendidikan lebih tinggi berada pada usia yang cukup dewasa
saat kelahiran pertama dan memiliki anak banyak dengan potensi yang lebih
kecil. Kesimpulan itu sejalan dengan yang terjadi pada negara-negara maju.

Tempat Tinggal
Tempat tinggal adalah biaya utama di sebagian besar anggaran rumah
tangga dan berpotensi memainkan peran penting dalam keputusan untuk
memulai sebuah keluarga. Perbedaan lintas bagian negara dalam faktor
perumahan dan fertilitas bersifat sugestif. Tempat tinggal atau rumah tinggal
biasa cenderung memiliki tingkat fertilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan apartemen atau rumah sewa bersusun.
Negara dengan kompatibilitas rendah, perempuan mungkin harus
memilih antara karier atau menjadi ibu; negara dengan lebih banyak

58
kesetaraan gender memungkinkan ibu untuk bekerja dan wanita lebih memilih
berorientasi pada karier dan memiliki anak. Perempuan yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung ingin mengembalikan biaya pendidikan dan
menjadi pekerja. Wanita sekarang telah menjadi mayoritas pada dunia
pendidikan meskipun menjadi minoritas di sebagian besar negara pada tahun
1985.
Pendidikan tinggi pada wanita cenderung dikaitkan dengan tertunda
atau lebih rendah tingkat fertilitasnya, kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti status sosial dan pendidikan. Fertilitas jauh lebih kuat
bagi wanita daripada untuk pria. Faktor-faktor tersebut di antaranya yaitu,
pertama adalah biaya pengasuhan anak yang tinggi. Kedua dilema seorang
perempuan antara melanjutkan pendidikan atau menjadi ibu. Beberapa faktor
tersebut tidak terlepas dari kebijakan, budaya, dan sistem sosial pada setiap
negara.
Persentase “tidak pernah menikah” di antara orang dewasa berusia 30-
49 tahun naik di UE 15 dari rata-rata 11% pada 1970-an hampir seperempat
pada tahun 2000-an, sementara itu naik dari 5% menjadi 12% di negara-
negara bekas komunis. Di EU, Perancis dan negara-negara Nordik mencoba
menunjukkan persentase tertinggi ‘“tidak pernah menikah” dalam kelompok
usia 30-49 tahun. Yunani dan Portugal memiliki angka terendah. Persentase
fertilitas di luar nikah telah meningkat sejak 1970-an. Persentase kelahiran di
luar nikah meningkat di Eropa, dari sekitar 7% pada 1970-an hampir sepertiga
dari total kelahiran di negara EU hingga seperempat dari total kelahiran.

Faktor Sosial Budaya


Selain faktor yang mempengaruhi langsung atau biaya tidak langsung
untuk membesarkan anak-anak, berbagai faktor non-lingkungan berperan
dalam pertumbuhan fertilitas, seperti adanya norma sosial di tengah
masyarakat. Norma sosial tentang pembentukan keluarga dan waktu
persalinan dapat memengaruhi individu dalam membuat keputusan.
Perkembangan budaya telah berkembang pada abad ke-20, yang
memungkinkan perempuan mengakses pendidikan dan partisipasi pada pasar
tenaga kerja, yang telah dibahas di atas.
Perkembangan dalam konteks perubahan budaya yang lebih luas dalam
orientasi nilai di antara masyarakat Eropa, yaitu dengan sentralitas baru pada
pemenuhan pemuasan diri, toleransi terhadap beragam kehidupan gaya,
egalitarianisme dalam kaitannya dengan peran gender. Hubungan antara
melahirkan anak dan pernikahan atau hidup bersama telah menjadi sesuatu

59
yang dihindari dan memiliki kebebasan hak individu dalam memilih. Selain
itu, penurunan tingkat kesuburan diamati di seluruh Eropa, yaitu setelah pasca
perang dunia dengan wilayah yang terdampak lebih luas.
Anak muda menghabiskan banyak kehidupan dewasa awal mereka
dalam pendidikan, meninggalkan rumah orang tua mereka, dan
memperpanjang waktu sebelum mereka menjadi pekerja, kemudian menikah
dan menjadi orang tua. Siklus tersebut telah ada dalam sistem sosial
masyarakat. Beberapa negara memiliki tingkat perkawinan yang rendah dan
tingkat perceraian yang tinggi (misalnya seperti Perancis, Norwegia, Swedia
dan Inggris) di antara TFR tertinggi di Eropa. Ini mungkin disebabkan karena
perbedaan sikap terhadap kelahiran di Eropa Barat. Pasangan yang tinggal
bersama memilih untuk tinggal di negara lain.
Pernikahan masih merupakan langkah penting menuju ke arah formasi
keluarga. Secara garis besar, angka pernikahan telah menurun di Eropa karena
penundaan pernikahan, meningkatnya ketidaksepakatan penerimaan hidup
bersama dan hubungan informal lainnya sebagai alternatif untuk tidak
menikah. Meningkatnya tingkat perceraian suatu negara mempengaruhi
tingkat fertilitas secara keseluruhan. Tetapi, secara umum fertilitas migran
non-UE sepertinya memberikan kontribusi positif ke TFR di Eropa, karena
tingkat fertilitasnya lebih tinggi daripada individu kelahiran asli (Sobotka.
2008). Meskipun demikian, ada heterogen yang signifikan dalam kesuburan
migran, dan perbedaan kesuburan antara perempuan asli dan yang asing
melebur menjadi satu.
Tingkat fertilitas wanita imigran dari Asia Selatan dan Afrika Sub-
Sahara menunjukkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita pribumi
asli Eropa, tidak hanya dengan wanita asli pribumi, namun juga dengan
imigran lainnya. Secara keseluruhan, perempuan migran bertanggung jawab
atas sebagian besar dari TFR di banyak negara Eropa.

Kebijakan Publik
Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi kesuburan melalui
sejumlah faktor. Hubungan antara kebijakan dan fertilitas bisa menjadi rumit
dan sulit untuk dipastikan (Gauthier 2007) dan kebijakan mungkin memiliki
perbedaan, efeknya tergantung pada konteks negara dan waktu (Andersson.
2008). Campuran kebijakan yang lebih luas mungkin mampu meningkatkan
fertilitas tanpa memasukkan unsur budaya atau ideologis (Grant et al. 2004),
seperti prevalensi pernikahan di masyarakat dan norma-norma tentang
pernikahan serta melahirkan anak yang mungkin berubah pada saat yang

60
sama, sulit untuk diprediksi perubahan tingkat pernikahan di masa depan,
sehingga mempengaruhi fertilitas secara keseluruhan.

Faktor Biologis
Kendala biologis pada fertilitas mempengaruhi dalam melahirkan anak.
Penundaan kesuburan diamati terdapat di hampir semua negara Eropa dengan
penurunan kesuburan di usia muda. Norma tentang melahirkan anak di usia
yang lebih tua karena bekerja dan dalam masa pendidikan, cenderung
memainkan peran penting dalam hal ini. Jika wanita memilih untuk menunda
berusaha menjadi hamil di kemudian hari, mungkin saja mereka bisa tidak
dapat mencapai ukuran keluarga yang diinginkan karena mengurangi
fekunditas.
Pedoman klinis United Kingdom (UK) menyarankan bahwa sekitar 84
persen wanita untuk melahirkan satu anak. Akan tetapi wanita yang lebih tua
memiliki lebih banyak kesulitan. Pada usia 35 tahun seorang wanita memiliki
sekitar 94 persen kemungkinan hamil dalam waktu tiga tahun, tetapi pada usia
38 tahun probabilitas turun menjadi 77 persen (National Institute for Clinic,
2004). Pengaruh kelahiran bayi pada TFR kemungkinan akan terbatas dalam
jangka pendek. Diperkirakan oleh Leridon dan Slama (2008) menunjukkan
bahwa penurunan fekunditas oleh 15 persen, dan meningkat 2,5 tahun pada
awal upaya kehamilan, menyebabkan penurunan kesuburan masing-masing
sebesar empat hingga lima persen.

Rekonsiliasi Pekerjaan dan Kehidupan Keluarga


Rekonsiliasi debat pekerjaan dan kehidupan keluarga diakui untuk yang
pertama waktu akses perempuan pada pekerjaan. Pekerjaan hanyalah satu
hasil dari yang lebih kompleks dari masalah ketidaksetaraan gender. Beberapa
aspek umum dan lebih spesifik dari pekerjaan kebijakan rekonsiliasi keluarga,
dan dampaknya terhadap kesuburan, dibahas di bawah ini.

Kesetaraan Gender dan Pekerjaan Perempuan


Grant et al. (2004) menyimpulkan bahwa menggabungkan kesetaraan
gender dalam kebijakan keluarga dapat membantu merekonsiliasi karier dan
kehidupan keluarga untuk pria dan wanita. Namun, bagaimana kebijakan
tersebut kemudian memengaruhi kesuburannya kurang jelas. Meskipun studi
mengeksplorasi kesetaraan gender dapat mendorong kesuburan, hanya sedikit
yang menyediakan bukti empiris yang kuat tentang betapa berbedanya gender
membentuk keputusan dalam fertilitas (Gauthier 2007).

61
Berdasarkan studi telah menemukan bukti ada hubungan antara
kesetaraan dan fertilitas, kebijakan gender muncul untuk mempengaruhi
keputusan fertilitas. Ulasan Andersson (2007) tentang kebijakan dan
kesuburan di Swedia menyebutkan bahwa kebijakan kesetaraan gender
memperkuat partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja lebih penting
daripada mempengaruhi dalam pengasuhan anak.
(Rainer, 2014) menunjukkan bahwa kebijakan sosial yang
memengaruhi biaya melahirkan ibu dapat mempengaruhi tidak hanya
keputusan untuk memiliki anak, tetapi juga keputusan untuk menunda
melahirkan anak selanjutnya. Pemerintah memainkan peran aktif dalam
beberapa bidang, memperlakukan keluarga dan fertilitas sebagai hasil yang
menarik atau pertimbangan yang relevan untuk kebijakan.

Insentif Finansial Langsung


Keadaan ekonomi dimungkinkan menjadi penghalang kesuburan
(Gauthier dan Philipov 2008). Insentif keuangan, seperti keuntungan pajak
atau pendapatan asli dapat mengatasi keadaan seperti itu dengan memberikan
insentif segera dan transparan kepada orang tua (McDonald 2006) dan
mengurangi langsung biaya yang terkait dengan seorang anak. Misalnya, di
Australia, ada peningkatan 10 persen dalam jumlah kelahiran pada kuartal
penuh pertama dibandingkan dengan pra-tahun yang lalu setelah pengenalan
pembayaran bersalin pada bulan Juli 2004.

Peraturan
Ketentuan cuti orang tua berbeda-beda di setiap negara dengan durasi
dan besarnya manfaat. Cuti membantu mereka (orang tua) dalam
membesarkan anak-anak. Lebih lagi baru-baru ini, melihat ke seluruh panel
negara-negara OECD mencoba menemukan cuti orang tua yang lebih lama
dapat menurunkan tingkat kesuburan, semakin tinggi tingkat penggantian
upah selama persalinan cuti berkontribusi pada tingkat fertilitas yang lebih
tinggi. Namun, tidak ditemukan koefisien yang signifikan secara statistik
mengenai hal ini.

Kasus di Indonesia
Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua dengan jumlah
penduduk terbanyak di Indonesia. Akibat meningkatnya jumlah penduduknya,
tiap tahunnya membuat angka ASFR di Jawa Timur sebesar 37,2 persen dan
peringkat pertama angka ASFR tertinggi di Pulau Jawa, di mana angka ini
sudah melampaui rata-rata angka ASFR nasional sebesar 33,1 persen.

62
Data yang digunakan adalah data pada tahun 2015 yang diambil di
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, dan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Jawa Timur. Faktor-
faktor yang mempengaruhi ASFR adalah tidak memiliki pola tertentu (non
parametrik), sehingga pendekatan regresi non parametric spline dengan titik
knot optimum menggunakan metode Generalized Cross Validation (GCV).
Berdasarkan hasil analisis didapatkan tiga variabel yang signifikan terhadap
model, yakni persentase wanita usia kawin pertama < 20 tahun, persentase
wanita tamat SMA, dan laju pertumbuhan penduduk. Model regresi spline
menghasilkan koefisien determinasi sebesar 69,43 persen.
Penelitian menggunakan metode survei dengan sampel adalah wanita
pasangan usia subur di desa penelitian. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis jalur (path analysis). Hasil analisis menemukan bahwa secara
simultan pendidikan wanita, pendapatan keluarga dan usia kawin pertama
berpengaruh signifikan terhadap fertilitas. Secara parsial berdasarkan analisis
jalur menunjukkan bahwa:
a. Usia kawin pertama berpengaruh signifikan negatif terhadap fertilitas.
Semakin tinggi usia kawin pertama, akan menurunkan tingkat fertilitas;
b. Pendidikan wanita berpengaruh signifikan negatif terhadap fertilitas
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui usia kawin
pertama;
c. Pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap fertilitas baik secara
langsung maupun secara tidak langsung melalui usia kawin pertama.

Referensi
Andersson G. 2007. A Review of Policies and Practices Related to the
“Highest-Low” Fertility of Sweden. Stockholm University Dept of
Sociology, Demography Unit/www.suda.su.se
BPS 2016. Jawa Timur dalam Angka. Surabaya
Clark W.A.V. and Huang Y. 2003. The Life Course and Residential Mobility
in British Housing Markets. Environment and Planning A, 2003, vol.
35, issue 2, 323-339
Courge D. 1989. Family formation and urbanization. Popul1989,
Sep;44(1):123-46
D’Addio, A. and M. d’Ercole. 2005. “Trends and Determinants of Fertility
Rates: The Role of Policies”. OECD Social, Employment and

63
Migration Working Papers, No. 27, OECD Publishing, Paris,
https://doi.org/10.1787/880242325663.
Gauthier A.H. and Philipov D. 2004. Can Policies Enhance Fertility in
Europe? Vienna Yearbook of Population Research Vol. 6, pp. 1-16
(16 pages) Published By: Austrian Academy of Sciences Press
Gauthier A 2007, The Impact of Family Policies on Fertility in Industrialized
Countries: A review of the literature. Population Research and Policy
Review, 2007, vol. 26, issue 3, 323-346
Grant B.F., Hasin D.S., Chou S.P., Stinson F.S., Dawson D.A. 2004. Nicotine
dependence and psychiatric disorders in the United States. Arch Gen
Psychiatry. 2004;61:1107–1115
Hari P.P. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas di
pedesaan. Jurnal Paradigma. Ekonomika. Vol 12 No.1. Diunduh
https://online journal.unja.ac.id/paradigma/article/view/3933.
Kravdal O, Rindfuss R.R. 2008. Changing Relationships between Education
and Fertility: A Study of Women and Men Born 1940 to 1964.
American Sociological Review. 2008;73(5):854-873. doi:10.1177/
000312240807300508
Kulu, H. Migration and Fertility: Competing Hypotheses Re-examined. Eur J
Population 21, 51–87 (2005). https://doi.org/10.1007/s10680-005-
3581-8
Leridon H, Slama R. The impact of a decline in fecundity and of pregnancy
postponement on final number of children and demand for assisted
reproduction technology. Hum Reprod. 2008 Jun; 23(6):1312-9. doi:
10.1093/humrep/den106. Epub 2008 Apr 3. PMID: 18387960.
Luci A, Thevenon O, 2010. Does economic development drive the fertility
rebound in OECD countries? 2010. ffhal-00520948f
Maisaroh R.H. 2017. Pemodelan faktor-faktor yang mempengaruhi age
fertility rate di Provinsi Jawa Timur dengan pendekatan regresi
nonparametik spline. [Tesis]. Institut Teknologi Sepuluh. Diunduh
September 2019 November. https://ojs.unud.ac.id/index.php/
piramida/article/view/2991.
Matysiak, A., Vignoli, D. Diverse Effects of Women’s Employment on
Fertility: Insights From Italy and Poland. Eur J Population 29, 273–
302 (2013). https://doi.org/10.1007/s10680-013-9287-4
McDonald P. 2006. Low Fertility and the State: The Efficacy of Policy.
Population and Development Review. Vol. 32, No. 3 (Sep., 2006), pp.
485-510 (26 pages). Published By: Population Council

64
Meliana Ade Kusumawati, 2011. Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan
Bali: Kajian Hegemoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini. Undergraduates Thesis, Universitas Negeri Semarang.
Michielin F, Mulder C.H. Family Events and the Residential Mobility of
Couples. Environment and Planning A: Economy and Space.
2008;40(11):2770-2790. DOI:10.1068/a39374
Mikko Myrskylä 2011. High development and fertility: Fertility at older
reproductive ages and gender equality explain the positive link.
MPIDR Working Paper WP 2011-2017.
Nauck, Bernhard. 2006. Value of Children and Fertility Strategies in Cross-
cultural Comparison. Ideal Family Size and Targeted Fertility in
Eleven Societies. January 2006. Publisher: Cambridge Scholars Press
Rainer H, Hener T, Bauernschuster S. 2014. Children of a (Policy)
Revolution: The Introduction of Universal Child Care and Its Effect
on Fertility. CESifo Working Paper Series No. 4776
Sandefur, G and Scott W, 1981 A Dynamic Analysis of Migration: An
Assessment of the Effects of Age, Family and Career Variables.
Journal Demography. 1981, vol. 18, issue 3, 355-368.
https://doi.org/10.2307/2061003
Sobotka T, 2008. The Rising Importance of Migrants for Childbearing in
Europe. Demographic Research 19(9):225-248 DOI:10.4054/
DemRes.2008.19.9
Todaro M. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia ke III. (Terjemahan). PT
Erlangga. Surabaya
Widiyanti. 1987. Ledakan Penduduk Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Bina
Aksara.

65
BAB 4
MORTALITAS PENDUDUK

Agama apapun dalam kitabnya menceritakan tentang kematian. Ia adalah hal


yang pasti dialami bagi yang hidup. Begitu pun dalam salah satu Surat Ali
Imran yang menerangkan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan
kematian” (Q.S Ali Imran: 185). “Menyia-nyiakan waktu itu jauh lebih
berbahaya daripada kematian; karena menyia-nyiakan waktu itu akan
memutuskan seseorang dari Allah Swt dan hari akhirat, sementara kematian
hanyalah memutuskan seseorang dari/manya kematian berarti berpisahnya
jasad dan ruh, sehingga jasadnya tidak dapat berbuat apa-apa, kemudian
menyatu dengan bumi. Namun, orang banyak mengatakan orang mati sama
dengan meninggal dunia. Dengan arti kata meninggalkan apa yang dimiliki
di dunia termasuk fisik pada dirinya sendiri ditinggalkan. Kata kematian juga
diartikan oleh banyak orang dianggap telah “menghadap sang Khalik”,
“dipanggil Tuhan”.

Pendahuluan
Cerita di atas merupakan penggalan mutiara hikmah yang
mengingatkan tentang kematian. Sesuatu yang pasti, mengapa dibicarakan.
Dalam konteks agama kematian dibicarakan lebih mengingatkan untuk
mempersiapkan kehidupan sesudah mati. Bekal apa yang harus dibawa dalam
melewati tahap kematian. Berlaku bagi yang percaya pada kehidupan akhirat,
sehingga mati adalah tahapan yang harus dilewati untuk menuju akhirat.
Dalam agama selalu dibicarakan hal-hal penting bagaimana agar matinya
seseorang itu berakhir dengan baik. Kata “baik” diartikan dalam keadaan
tidak melakukan tindak kejahatan atau “perbuatan dosa, maksiat”, ketika
menjelang kematian seperti meninggal karena ditembak saat merampok,
meninggal dunia saat sedang di lokasi prostitusi dan praktik-praktik yang
dianggap dosa dan terlarang oleh Tuhan.

66
Kematian akan mendatangi yang sakit dan yang sehat. Kematian juga
akan datang kepada manusia yang tua atau muda bahkan bayi sekalipun.
Kematian berlaku untuk si miskin dan si kaya. Kematian juga mendatangi
pejabat negara dan rakyat jelata. Agama membicarakan kematian, bahkan
meminta manusia untuk mengingat kematian dengan harapan mempersiapkan
kehidupan setelah mati. Agama meminta manusia mengingatnya agar manusia
berusaha mempersiapkan akhir yang baik dari kehidupannya. Sebaliknya, di
kalangan akademis membicarakan kematian dari sisi dampak dan sebab-
sebabnya. Tujuannya tidak lain adalah mencegah kematian yang terlalu dini
dan sekaligus ada upaya-upaya untuk mengobatinya ketika sakit agar dapat
memperpanjang usia harapan hidupnya dengan cara menyediakan rumah
sakit, dokter, dan teknologi pertolongan kepada si sakit. Walaupun para
akademisi menyadari kematian itu adalah hal yang pasti, namun tetap saja ada
upaya-upaya mengurangi risiko kematiannya.
Dalam konteks demografi tentunya tidak membicarakan itu, tapi lebih
banyak membicarakan tentang dampak kematian itu sendiri, seperti
kebanyakan orang meninggal pada umur berapa? Apa yang terjadi berikutnya
bila banyak bayi yang mati? Mengapa bayi banyak yang mati? Apa
pengaruhnya tingginya angka kematian terhadap usia harapan hidup dalam
suatu negara? Apa sebab-sebab kematian anak di usia remaja? Apakah ada
hubungannya kematian di usia produktif dengan peningkatan angka
kemiskinan? Mengapa waktu lahir peluang laki-laki yang lahir lebih banyak,
tetapi menjelang usia tua populasi wanita lebih banyak? Semua pertanyaan
tersebut lebih banyak akan dijelaskan dalam bab berikut ini.

Pengertian Lanjut tentang Mortalitas


Pada bab sebelumnya, pengertian dasar tentang mortalitas telah
dijelaskan secara sederhana, namun dalam pemahaman yang lebih mendalam,
Kematian atau mortalitas merupakan salah satu dari tiga komponen proses
demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk, dua komponen yang
lainnya adalah kelahiran (fertilitas) dan mobilitas penduduk (Mantra, 2000).
Menurut Utomo (1985) kematian dapat diartikan sebagai peristiwa hilangnya
semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat
setelah kelahiran hidup. Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya
semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat
setelah kelahiran hidup.
Dalam bahasan bab ini yang dikaji adalah sebab musabab kematian.
Kematian bagi manusia normal sekalipun adalah hal yang harus dicegah

67
kejadiannya. Kehilangan kawan, sanak saudara karena meninggal adalah hal
yang mendatangkan rasa duka. Dalam penjatuhan hukuman berat sekalipun,
hukuman mati adalah hal yang menyedihkan. Walaupun ketika penduduk
dalam suatu negara mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup dramatis
bukan berarti pengendalian penduduknya dengan cara membiarkan orang
sakit atau membiarkan perang saudara terjadi, maupun memperbolehkan
aborsi. Kebijakan negara justru sebaliknya, pengurangan angka kematian
bayi, pengurangan prevalensi penyakit menular, sedangkan untuk
pengurangan kelahiran dilakukan dengan cara-cara yang elegan, seperti
menghambat terjadinya konsepsi melalui kontrasepsi dan pendewasaan usia
perkawinan.

Morbiditas
Penyakit adalah bunganya kematian. Bila putik bunga itu menjadi,
maka kematian itu terjadi. Bila penyakit itu sembuh, maka terhindarlah
seseorang dari kematian untuk sementara waktu. Kalau ada pertanyaan adakah
orang yang meninggal tanpa penyakit? Jawabnya ada tentunya. Tapi bahasan
kali ini adalah tentang morbiditas. Morbiditas dapat diartikan suatu ukuran
kesakitan penduduk dalam sebuah wilayah (kabupaten/kota, provinsi ataupun
negara). Sebab manusia meninggal di antaranya karena faktor penyakit yang
dideritanya. Semakin banyak orang yang menderita sakit, maka semakin
banyak peluang terjadinya kematian. Makanya pemerintah memiliki program
melalui setiap kementerian kesehatan untuk selalu menurunkan prevalensi
penyakit.
Berdasarkan data (Dicker et al., 2018) sebagaimana terlihat dalam
gambar 4.1 penyakit jantung dan turunannya sebagaimana lebih dikenal
dengan penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang mempengaruhi
jantung dan pembuluh darah. Ini termasuk hipertensi (tekanan darah tinggi);
penyakit jantung coroner (serangan jantung); penyakit serebrovaskular
(stroke); gagal jantung; dan penyakit jantung lainnya. Penyakit ini menjadi
pembunuh nomor 1 di dunia. Dalam artian kematian paling banyak
disebabkan oleh penyakit ini.
Pernyataan tersebut sesuai dengan data dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO, n.d.) pembunuh terbesar di dunia adalah penyakit jantung
iskemik, yang menyebabkan 16 persen dari total kematian dunia. Sejak tahun
2000, peningkatan kematian terbesar disebabkan penyakit ini, meningkat lebih
dari 2 juta menjadi 8,9 juta kematian pada tahun 2019. Stroke dan penyakit
paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian nomor 2 dan 3, yang

68
menyebabkan sekitar 11persen dan 6 persen dari total kematian. Infeksi
saluran pernapasan bagian bawah tetap menjadi penyakit menular yang paling
mematikan di dunia berdasarkan data 2019. Penyakit tersebut menempati
peringkat ke-4 penyebab kematian. Namun, jumlah kematian telah turun
secara substansial: pada 2019 merenggut 2,6 juta nyawa, lebih sedikit 460.000
dari pada tahun 2000.
Apalagi semenjak pandemi penyakit Corona-19, kematian disebabkan
oleh infeksi saluran pernafasan ini mengalami peningkatan. Selanjutnya,
kematian disebabkan neonatal berada di peringkat ke-5. Namun, kematian
akibat kondisi neonatal adalah salah satu kategori di mana penurunan
kematian global dalam jumlah absolut selama dua dekade terakhir adalah
yang terbesar: kondisi ini menewaskan dua juta bayi baru lahir dan anak kecil
pada tahun 2019, 1,2 juta lebih sedikit dari pada tahun 2000. Kematian
neonatal ini terjadi terutama di negara-negara terbelakang dan berkembang
dengan wilayah yang masih sulit akses sarana dan prasarana kesehatan,
seperti teknologi kesehatan, dokter, jarak antara pasien dengan rumah sakit.
Pada tahun 2019, penyakit Alzheimer dan bentuk demensia lainnya
menduduki peringkat ke-7 penyebab kematian. Wanita terpengaruh secara
tidak proporsional. Secara global, 65 persen kematian akibat Alzheimer dan
bentuk demensia lainnya adalah wanita. Salah satu penurunan terbesar dalam
jumlah kematian adalah akibat penyakit diare, dengan kematian global turun
dari 2,6 juta pada 2000 menjadi 1,5 juta pada 2019.
Fenomena terbaru dalam dua dekade terakhir adalah terjadinya
kecenderungan peningkatan penderita diabetes telah memasuki 10 besar
penyebab kematian, mengikuti peningkatan persentase yang signifikan
sebesar 70 persen sejak tahun 2000. Diabetes juga bertanggung jawab atas
peningkatan kematian pria terbesar di antara 10 besar penyebab kematian,
dengan peningkatan 80 persen sejak tahun 2000. Artinya, saat ini tren
penduduk meninggal karena kelaparan justru relatif tidak ada, namun
penduduk yang meninggal karena kurang gizi justru dikatakan relatif tidak
ada.
Penyakit lain yang termasuk dalam 10 besar penyebab kematian pada
tahun 2000 tidak lagi ada dalam daftar. HIV/AIDS adalah salah satunya.
Kematian akibat HIV/AIDS telah turun 51 persen selama dua puluh tahun
terakhir, bergerak dari penyebab kematian ke-8 di dunia pada tahun 2000
menjadi penyebab kematian ke-19 di dunia pada tahun 2019. Penyakit ginjal
telah meningkat dari penyebab kematian ke-13 di dunia menjadi penyebab

69
kematian ke-10 di dunia. Kematian meningkat dari 813.000 pada tahun 2000
menjadi 1,3 juta pada tahun 2019.

Gambar 4.1: Sebab-Sebab Kematian di Seluruh Dunia Tahun 2017


Sumber: IHME, Global Burden of Disease. https://www.amnesty.org/en/what-we-
do/death-penalty/

Penyebab kematian kedua terbanyak disebabkan oleh kanker. Kanker


didefinisikan oleh National Cancer Institute sebagai kumpulan penyakit di
mana sel-sel abnormal dapat membelah dan menyebar ke jaringan terdekat.
Kanker dapat muncul di banyak bagian tubuh-mengarah ke berbagai jenis
kanker, seperti yang ditunjukkan di bawah ini dan dalam beberapa kasus
menyebar ke bagian tubuh lain melalui darah dan sistem getah bening. The
Global Burden of Disease merupakan studi dunia yang mengkaji tentang
penyebab kematian dan penyakit yang diterbitkan dalam jurnal medis.
Perkiraan jumlah kematian tahunan berdasarkan penyebab ini telah
ditunjukkan sebagaimana dalam gambar di atas. Gambar tersebut merupakan
visualisasi kematian di seluruh dunia.
Penyakit tidak menular tidak hanya mendominasi angka kematian di
tingkat global, tetapi juga menyebabkan sebagian besar kematian di negara-
negara berpenghasilan tinggi. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya
(diabetes, jantung, kanker) adalah penyakit negara maju, dan menjadi

70
penyebab kematian terbesar. Sementara kelaparan, kecelakaan, pembunuhan
dan peperangan menjadi faktor utama kematian di negara terbelakang dan
berkembang. Sebutlah Amerika, Kanada, Jepang, dan negara eropa sebagai
negara maju mengalami tren kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak
menular seperti jantung, diabetes melitus. Sebutlah Suriah, Ethiopia,
Afganistan, Irak, Iran dan beberapa negara Afrika, peperangan, kelaparan dan
pembunuhan menjadi faktor kematian utama di negara ini.
Sebagai bukti dukungan data, kematian dari sebab-sebab seperti
penyakit menular, malnutrisi, defisiensi nutrisi, kematian neonatal dan ibu
adalah hal biasa dan dalam beberapa kasus dominan di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Di Kenya, misalnya, penyebab utama
kematian adalah penyakit diare. Sementara penyebab utama kematian adalah
HIV/AIDS terjadi di Afrika Selatan dan Bostwana. Namun, di negara-negara
berpenghasilan tinggi, angka kematian yang disebabkan oleh hal-hal tersebut
sangat rendah. Tentunya hal ini karena negara maju telah memiliki teknologi
dan tenaga medis yang andal.
Tingkat kematian yang terkait dengan penyakit dan faktor kesehatan
lainnya cenderung berubah relatif lambat dari waktu ke waktu. Sementara
angka kematian menurun dari tahun ke tahun sebagai bagian dari tren umum,
perubahan dramatis dalam kematian seperti itu biasanya jarang terjadi.
Bencana alam dan kematian terkait terorisme merupakan pengecualian
penting dari aturan ini, karena bisa sangat bervariasi antarnegara. Hal ini
dapat membuat perbandingan tahunan kematian dan tingkat kematian antara
faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan peristiwa yang tidak
stabil menjadi lebih menantang. Memahami risiko relatif dari kejadian-
kejadian ini membutuhkan tinjauan jangka panjang dari tahun-tahun dengan
kematian tinggi dan rendah.
Secara global, sebagian besar kematian disebabkan oleh penyakit tidak
menular. Secara kolektif, menurut hasil studi 2018 dari Global Burden of
Disease, penyakit non-communicable menyumbang lebih dari 73 persen
kematian global. Seiring dengan kemajuan dunia dalam memerangi banyak
penyakit menular, dan seiring bertambahnya usia populasi, maka diperkirakan
bahwa degeneratif akan semakin dominan sebagai penyebab kematian.
Penting kiranya untuk memahami apa yang dimaksud dengan penyebab
kematian dan faktor risiko yang terkait dengan kematian dini dalam kerangka
epidemiologi sebagaimana dikaji oleh Global Burden of Disease, bahwa
setiap kematian memiliki satu penyebab spesifik. Dengan kata lain: ‘setiap
kematian dikaitkan dengan penyebab tunggal-penyebab yang memulai

71
rangkaian peristiwa yang mengarah pada kematian’. Hal ini berbeda dengan
kematian yang terjadi karena faktor risiko. Kematian seperti ini adalah
perkiraan pengurangan jumlah kematian yang akan dicapai jika faktor risiko
yang menyebabkan populasi terpapar akan dihilangkan (dalam kasus merokok
tembakau, misalnya) atau diturunkan ke tingkat yang optimal dan sehat
(dalam kasus indeks massa tubuh). Faktor risiko dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori besar: risiko perilaku, risiko lingkungan, risiko
pekerjaan, dan risiko metabolik.
Sebagai tambahan penjelas, di negara-negara maju pada umumnya pola
makan dan perilaku gaya hidup menjadi faktor risiko yang dominan untuk
kematian seperti tekanan darah, aktivitas fisik, obesitas, gula darah, dan
asupan makanan); rokok; polusi udara (baik outdoor maupun indoor); faktor
lingkungan termasuk air bersih dan sanitasi; dan seks aman (untuk
pencegahan HIV/AIDS).
Untuk sebagian besar negara berpenghasilan tinggi atau maju, faktor
risiko paling dominan terkait dengan pola makan sehat, merokok, dan asupan
alkohol. Faktor risiko lain seperti air bersih, sanitasi, dan wasting atau
stunting sangat rendah. Sementara di negara-negara berpenghasilan rendah,
faktor risiko paling dominan adalah kebalikannya. Misalkan kasus yang
pernah distudi oleh (Dasgupta et al., 2016) tentang perbandingan tingkat
stunting di India dan Anak-anak Afrika dengan kemiskinan multidimensi
yang serupa indeks instruktif-Bihar (49,4%) dan Liberia (42%)/Sierra Leone
(45%); Jharkhand (47,3%) dan Angola (29%)/Mozambik (43%); Madhya
Pradesh (41,6%),Chhattisgarh (43%), Uttar Pradesh (50,6%) dan
Senegal(19%)/Malawi (48%)/RD Kongo (25%). Di Sierra Leone misalnya,
faktor risiko teratas termasuk wasting anak, polusi udara rumah tangga,
sumber air yang tidak aman, sanitasi yang buruk, dan kurangnya akses ke
fasilitas cuci tangan. Untuk negara di mana HIV/AIDS menjadi beban
kesehatan utama, seperti Afrika Selatan dan Kenya, seks yang tidak aman
merupakan faktor risiko utama.

Peperangan
Perang adalah salah satu penentu penting dari status kesehatan
penduduk di sebagian belahan dunia. Akibat peperangan ini, bukan hanya
kerugian material yang diderita penduduk karena bersifat destruktif tapi juga
kerugian berupa kehilangan nyawa, kecacatan permanen dan beban psikologis
yang harus ditanggung oleh anggota keluarga yang masih hidup. Dalam arti

72
kata peperangan menjadi faktor risiko lanjutan penderitaan yang berujung
pada kematian juga.
Studi yang dilakukan (Paul B. Spiegel, 2000) kematian yang
diakibatkan oleh perang diperingkat keenam belas. Di 1990, dan pada tahun
2020 diharapkan untuk masuk peringkat tempat kedelapan. Meski frekuensi
sipil perang meningkat, akibat langsung dan tidak langsung dari perang pada
penduduk sipil umumnya tetap miskin didokumentasikan. Dalam keadaan
darurat yang kompleks di Rwanda, Irak, Sierra Leone, Chechnya, dan Balkan,
dasar pengukuran seperti jumlah total kematian, kematian tingkat, penyebab
kematian, dan faktor risiko, tetap ada tidak cukup tercatat.
Dari semua korban perang sipil meningkat dari sekitar 14% dalam
Perang Dunia Pertama menjadi 67% Perang Dunia Kedua, dan menjadi 90%
pada tahun 1990-an. Penargetan warga sipil dalam peperangan modern telah
menjadi tujuan perang. Pola pelanggaran hak asasi manusia disebut
“pembersihan etnis” dapat mencakup individu dan pembunuhan massal,
pemerkosaan sporadis atau sistematis, perusakan tempat tinggal dan institusi
sipil, dan umumnya pelanggaran netralitas medis. Pola ini telah terjadi
didokumentasikan sebelumnya di bekas Yugoslavia, di mana pada akhir tahun
1994 diperkirakan ada 150.000 yang terkait dengan perang korban di Bosnia
dan Herzegovina. Sepertinya perang telah terulang kembali di Kosovo pada
tahun 1998 dan 1999.
Konflik berkepanjangan di Kosovo, sebuah provinsi di Republik
Federal Yugoslavia, di antara mayoritas populasi etnis Albania dan militer
Yugoslavia terutama pasukan Serbia, meningkat pada akhir Februari 1998.
Setelah bentrokan antara pasukan Serbia dan yang baru membentuk Tentara
Pembebasan Kosovo (KLA), resolusi PBB disahkan pada September 1998
yang membuka jalan bagi penarikan parsial militer Yugoslavia dari Kosovo
dan penempatan pengamat tidak bersenjata oleh organisasi untuk Keamanan
dan Kerja Sama di Eropa (OSCE). Oleh saat pemboman udara bekas Republik
Yugoslavia dipimpin oleh Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO)
dimulai pada 24 Maret 1999, lebih dari 260.000 orang-orang di Kosovo
diperkirakan secara internal mengungsi dan tambahan 100.000 orang
mengungsi di dalam wilayah tersebut (Paul B. Spiegel, 2000).
Perang biasanya merupakan setelah intensifikasi kampanye
“pembersihan etnis”, sekitar 800.000 Kosovar Albania melarikan diri ke
negara tetangga seperti bekas Republik Makedonia Yugoslavia, Albania, dan
Montenegro, serta negara lain (www.nnhcr.ch/news/media/kosovo.htm,
diakses 20 April 2000). Setelah menandatangani perjanjian damai, semua

73
pasukan Serbia akhirnya menarik diri dari Kosovo pada 20 Juni 1999, dan
sebagian besar pemulangan pengungsi spontan dimulai. Oleh akhir Juli, lebih
dari 770.000 pengungsi sudah kembali ke Kosovo (www.unhcr.ch/world/
euro/fryugo.htm, diakses 20 April 2000).
Antara Februari 1998 dan Juni 1999, angka kematian (0,72 kematian
per 1000 bulanan) di Kosovo adalah 2,3 kali lebih tinggi dari baseline
sebelum konflik. Tingkat kematian tertinggi antara bulan Maret dan Juni
1999, bertepatan dengan pengeboman dan intensifikasi kampanye Serbia dari
“pembersihan etnis”. Peningkatan minyak mentah terbesar angka kematian
terjadi pada bulan April dan dengan urutan yang sama besarnya dari yang
dilaporkan di kompleks sebelumnya keadaan darurat di Balkan di mana warga
sipil menjadi sasaran.
Antara April 1992 dan Maret 1993, tingkat kematian di daerah kantong
muslim yang dikepung di Bosnia-Herzegovina adalah empat kali lipat dari
tingkat dasar. Kompleks keadaan darurat di negara yang lebih maju berbeda
secara substansial dari mereka yang berada di negara kurang berkembang
biasanya memiliki angka kematian kasar yang jauh lebih tinggi dan
peningkatan mortalitas dari baseline. Angka kematian kasar telah mencapai
20-35 kematian per 10.000 setiap hari (61-107 kematian per 1.000 sebulan)
dalam keadaan darurat baru-baru ini di negara kurang berkembang.
Peningkatan angka kematian berkisar antara 1–15 kali tingkat dasar di antara
pengungsi Kamboja di Thailand (1979), pengungsi Ethiopia di Somalia
(1980) dan Sudan timur (1985), menjadi lebih dari 30 kali lipat dari angka
baseline di antara pengungsi Rwanda di Goma, Zaire pada tahun 1994.
Perkiraan 12.000 kematian terkait langsung dengan perang trauma antara
Februari 1998, dan Juni 1999, mewakili perkiraan epidemiologi pertama
diperoleh untuk seluruh populasi Albania Kosovar.
Jumlah orang hilang selama 17 bulan ini periode diperkirakan 3900.
Survei yang dilakukan di September 1999, saat itu kebanyakan keluarga
mengungsi telah kembali ke Kosovo dan dipersatukan kembali. Usia
distribusi dan waktu hilangnya orang yang hilang orang mendukung hipotesis
bahwa individu tersebut masih hilang kemungkinan besar sudah mati atau
ditahan di Serbia. Sumber lain menyebutkan sekitar 2000 orang dianggap
dalam tahanan.
Penyebab dan besaran kematian yang berbeda antara negara kurang
berkembang dan negara lebih maju mencerminkan status kesehatan pra-
darurat yang berbeda dan profil penyakit epidemiologis populasi, yaitu mode
dan jarak yang harus ditempuh oleh para pengungsi untuk mencapai tempat

74
berlindung yang aman, aksesibilitas tempat berlindung yang aman, dan
tanggapan kemanusiaan lokal dan internasional. Di keadaan darurat yang
kompleks di negara berkembang, penyakit menular, biasanya berhubungan
dengan malnutrisi, merupakan penyebab kematian terbesar.
Di Somalia antara April 1992 dan Januari 1993, kematian yang
disebabkan oleh trauma terkait perang dicatat hanya 4–11 persen dari semua
kematian. Penyebab kematian kedua selama konflik Kosovo adalah penyakit
kronis. Penyakit yang sudah ada sebelumnya, namun selama periode ini telah
diperburuk keadaan psikologis tersebab stres, keterbatasan akses perawatan
kesehatan atau kurangnya obat-obatan untuk penyakit kronis. Seperti yang
diharapkan, pria yang lebih tua dan wanita merupakan mayoritas dari semua
kematian dari lainnya penyebab selama konflik yang intens ini.
Badan-badan PBB, bersama dengan badan-badan donor dan organisasi
non pemerintah harus mengakui dan menanggapi sesuai dengan profil
epidemiologi yang berbeda dari kematian dalam keadaan darurat yang
kompleks di lebih berkembang negara dan di negara kurang berkembang.
Persyaratan untuk personel dan persediaan medis mungkin perlu disesuaikan,
dan perencanaan serta tanggapan mungkin cukup berbeda. Pengobatan yang
efektif untuk trauma terkait perang, tersedia kapan pun organisasi
kemanusiaan memilikinya akses ke populasi yang terkena dampak, dapat
menyelamatkan nyawa. Pria, yang sebelumnya tidak dianggap berisiko tinggi
mengalami trauma akibat perang, mungkin rentan dan membutuhkan
perlindungan di beberapa pengaturan. Tindakan perlindungan mungkin
sertakan bantuan dalam evakuasi, jika memungkinkan. Perlindungan terhadap
warga sipil yang lebih tua mungkin memiliki relevansi langsung dengan
bahasa Serbia dan kelompok minoritas lainnya di Kosovo.
Perang sejatinya merupakan konflik yang bersifat massal, karena itu
ada upaya menghabiskan kelompok massal tersebut secara massif, tidak
peduli secara individu bersalah atau tidak. Makanya anak-anak atau
perempuan yang tidak ikut perang pun tidak luput dari upaya penghancuran.
Inilah yang disebut Genocide. Sebut saja kejadian Jerman di jaman diktator
Hitler (Nazi) yang mencoba menghancurkan kaum Yahudi dan Etnik Polandia
sekitar tahun 1939-an. Kejadian berikutnya upaya pemusnahan etnis
Rohingya di mana Selama tiga puluh lima tahun terakhir, Negara di Myanmar
telah dengan sengaja merumuskan, mengejar, dan melaksanakan rencana
tingkat nasional dan negara bagian yang bertujuan untuk menghancurkan
orang-orang Rohingya di Myanmar Barat. Penghancuran ini disponsori
negara, disahkan, dan diprakarsai oleh serangan frontal terhadap identitas,

75
budaya, landasan sosial, dan sejarah Rohingya yang merupakan masyarakat
dengan budaya etnis yang berbeda.
Mereka adalah orang-orang perbatasan yang akar leluhur dan ikatan
budayanya terletak di sepanjang perbatasan pascakolonial Myanmar saat ini,
bekas jajahan Inggris hingga kemerdekaannya pada tahun 1948, dan
Bangladesh, sebelumnya Pakistan Timur, yang memperoleh kemerdekaannya
dari Pakistan pada tahun 1971. Identitas mereka sebagai kelompok
etnolinguistik diakui di bawah rezim Burma berturut-turut setelah
kemerdekaan pada tahun 1948 dan secara sistematis dihapuskan oleh
pemerintah yang semakin anti-muslim yang dikendalikan militer sejak 1962.
Di media pemerintah Myanmar, dokumen kebijakan resmi, dan buku
pelajaran sekolah, Rohingya disebut sebagai Bengali, rujukan lokal rasis, dan
digambarkan sebagai migran ekonomi ilegal dari masa kolonial, yang
merupakan ‘ancaman’ bagi keamanan nasional, gambaran yang diterima
sebagian besar orang Burma sebagai fakta selama lima dekade terakhir.
Sebaliknya, komunitas internasional terus mengakui Rohingya sebagai
kelompok etnis.
Negara dan masyarakat mayoritas telah bekerja sama dengan maksud
untuk merendahkan martabat manusia dan menghancurkan rumah leluhur
mereka yang berada di Myanmar. Bukti niat untuk menghancurkan orang-
orang Rohingya selama tiga puluh lima tahun terakhir melalui serangan
terhadap identitas mereka, kerusakan fisik dan mental, berbagai program yang
sengaja dibuat untuk mengganggu kelompok tersebut, dan tindakan untuk
mencegah kelahiran. Rohingya Myanmar dapat dikatakan sebagai korban
genosida yang dilakukan bersama oleh negara politik pusat dan ultra-
nasionalis anti-muslim di antara masyarakat Buddha Rakhine (Zarni &
Cowley, 2014).

Kecelakaan
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Pada tahun 2010, cedera terkait kecelakaan lalu
lintas jalan menjadi penyebab kematian paling umum kedelapan di dunia; ini
diperkirakan meningkat menjadi penyebab kematian paling umum kelima di
seluruh dunia pada tahun 2030 (Lozano et al, 2012). Diperkirakan 1,25 juta
orang di seluruh dunia meninggal karena cedera terkait kecelakaan lalu lintas
pada tahun 2013 (WHO, 2015).
Di Indonesia, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan raya
pada tahun 2013 adalah 15,3 per 100.000 penduduk (WHO, 2013). Faktor

76
risiko cedera parah akibat kecelakaan lalu lintas jalan termasuk tidak memakai
helm dan tidak menggunakan sabuk pengaman atau kursi mobil anak (Peden
et al, 2004). Dari 2.108 kasus cedera kepala yang dibawa ke Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Dr Hasan Sadikin Bandung (RSHS)
selama Januari 2013-Juni 2014, 1.324 di antaranya disebabkan oleh lalu lintas
jalan raya (Khairani et al., 2018).
Kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor roda dua (Faried et
al, 2017). Cedera tersebut bisa dicegah dengan mengenakan alat pelindung
diri selama perjalanan. Penggunaan alat pelindung diri saat mengemudi
diwajibkan oleh hukum. Meskipun ada undang-undang untuk mengurangi
risiko kecelakaan lalu lintas jalan, selama tahun 2016 di Indonesia, 22.558
orang terluka dan 26.185 orang meninggal (Badan Pusat Statistik, 2018). Dari
data tersebut tentunya menjadi bahan perenungan dalam menuangkan
kebijakan yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan
kecelakaan kendaraan bermotor.

Life Table
Walaupun istilah harfiahnya table kehidupan, namun makna aslinya
adalah table kematian. Tabel ini banyak menjelaskan makna lebih lanjut dari
perjalanan kehidupan manusia dari lahir hingga meninggal. Bila ingin
melakukannya sendiri, maka demographer sebaiknya mendatangi lokasi
pemakaman, kemudian mencatat tiap catatan di batu nisan siapa yang dikubur,
lahir tahun berapa dan meninggal tahun berapa. Bila ingin lengkap lagi
tanyakanlah pada ahli warisnya, meninggalnya disebabkan oleh apa. Life
table mencoba mengelompokkan penduduk yang mati berdasarkan kelompok
umur yang sama (kohort).
Tiap-tiap negara atau wilayah memiliki kecenderungan yang berbeda
terhadap mortalitas ini. Metode tabel kehidupan telah banyak digunakan
dalam studi mortalitas karena memiliki keunggulan berbeda dibandingkan
pengukuran mortalitas lainnya. Istilah konvensionalnya umumnya dikenal dan
merupakan media komunikasi yang efisien. Menurut (Lopez et al., 2001)
tabel kehidupan adalah alat ringkasan utama untuk menilai dan
membandingkan kondisi kematian berlaku di populasi. Pembangunannya
membutuhkan data yang dapat diandalkan tentang angka kematian suatu
populasi, menurut usia dan jenis kelamin. Sumber paling andal dari data
semacam itu adalah sistem pencatatan vital yang berfungsi di mana semua
kematian terdaftar.

77
Menurut (Igwenagu, 2014) kematian pada setiap usia terkait dengan
ukuran populasi dalam kelompok usia tersebut yang biasanya diperkirakan
dari sensus penduduk, atau pencatatan berkelanjutan dari semua kelahiran,
kematian dan migrasi. Angka kematian berdasarkan usia-jenis kelamin yang
dihasilkan kemudian digunakan untuk menghitung tabel kehidupan. Ada dua
jenis konstruksi meja kehidupan dan masing-masing memiliki kekhasan.
Variasi pada dua jenis tabel kehidupan; Tabel kehidupan kohort dan periodik
didasarkan pada sifat data yang digunakan untuk konstruksi.
Penyusunan tabel kehidupan membutuhkan data yang dapat diandalkan
tentang angka kematian suatu populasi, menurut usia dan jenis kelamin.
Sumber paling andal dari data semacam itu adalah sistem pencatatan vital
yang berfungsi di mana semua kematian terdaftar. Kematian pada setiap usia
terkait dengan ukuran populasi dalam kelompok usia tersebut, biasanya
diperkirakan dari sensus penduduk, atau pencatatan berkelanjutan dari semua
kelahiran, kematian dan migrasi. Angka kematian berdasarkan usia-jenis
kelamin yang dihasilkan kemudian digunakan untuk menghitung tabel
kehidupan. Meskipun persyaratan hukum untuk pencatatan kematian pada
dasarnya bersifat universal, biaya untuk membangun dan memelihara sistem
pencatatan kelahiran dan kematian menyiratkan bahwa data yang dapat
diandalkan dari pencatatan rutin umumnya hanya tersedia di negara yang
lebih maju secara ekonomi.
Data beberapa negara yang cukup lengkap untuk menghitung tabel
kehidupan pada akhir 1990-an hanya tersedia untuk sekitar 65 negara,
mencakup sekitar sepertiga dari kematian yang diperkirakan terjadi pada
tahun 1999. Dengan tidak adanya registrasi vital yang lengkap, registrasi
sampel atau informasi yang dapat dipercaya tentang kematian di masa kanak-
kanak telah digunakan, bersama dengan metode demografis tidak langsung,
untuk memperkirakan tabel kehidupan
1. Pendekatan ini sangat difasilitasi oleh ketersediaan perkiraan yang
dapat diandalkan tentang kematian anak di banyak negara di dunia
berkembang selama tahun 1980-an dan 1990-an di bawah Program
Survei Demografi dan Kesehatan. Beberapa badan internasional dan
pusat demografis lainnya secara rutin menyiapkan perkiraan kematian
nasional atau kompilasi tabel kehidupan sebagai bagian dari fokus
mereka pada pemantauan sektoral. Dengan demikian, UNICEF secara
berkala meninjau data yang tersedia tentang kematian anak untuk
menilai kemajuan dengan target kelangsungan hidup anak dan untuk
mengevaluasi intervensi

78
2. Perkembangan terkini tren kematian anak selama tahun 1990-an juga
baru saja selesai
3. Tiga badan atau organisasi, Divisi Populasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Bank Dunia, dan Biro Sensus Amerika Serikat semuanya telah
menghasilkan kompilasi tabel kehidupan internasional, dan dalam
kasus Divisi Populasi setidaknya, terus memperbaruinya setiap dua
tahun.
Berbagai studi ini umumnya mengandalkan sumber data yang sama,
yaitu sensus, survei, dan registrasi penting, akan tetapi dapat memberikan
hasil yang sangat berbeda karena perbedaan waktu ketersediaan data,
perbedaan dalam penilaian tentang apakah atau bagaimana data dasar harus
disesuaikan, dan perbedaan dalam teknik estimasi dan pemilihan model.
Dalam semua kasus, estimasi tabel kehidupan untuk sebagian besar negara
masih melibatkan pemilihan model pendekatan tabel kehidupan dan
menerapkannya pada data yang diamati, biasanya tentang kematian anak,
untuk memperkirakan tabel kehidupan lengkap.

Referensi
Bradshaw, C. J. A., & McMahon, C. R. (2008). Fecundity. Encyclopedia of
Ecology, Five-Volume Set, December, 1535–1543. https://doi.org/
10.1016/B978-008045405-4.00645-5
Dasgupta, R., Sinha, D., & Yumnam, V. (2016). Rapid survey of wasting and
stunting in children: What’s new, what’s old and what’s the buzz?
Indian Pediatrics, 53(1), 47–49. https://doi.org/10.1007/s13312-016-
0790-7
Dicker, D., Nguyen, G., Abate, D., Abate, K. H., Abay, S. M., Abbafati, C.,
Abbasi, N., Abbastabar, H., Abd-Allah, F., Abdela, J., Abdelalim, A.,
Abdel-Rahman, O., Abdi, A., Abdollahpour, I., Abdulkader, R. S.,
Abdurahman, A. A., Abebe, H. T., Abebe, M., Abebe, Z., … Murray,
C. J. L. (2018). Global, regional, and national age-sex-specific
mortality and life expectancy, 1950-2017: A systematic analysis for
the Global Burden of Disease Study 2017. The Lancet, 392(10159),
1684–1735. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31891-9
Dingle, H., & Alistair Drake, V. (2007). What is migration? BioScience,
57(2), 113–121. https://doi.org/10.1641/B570206
Hägerstrand, T. (1969). On the definition of migration. Finnish Yearbook of
Population Research, 63–72. https://doi.org/10.23979/fypr.44675

79
Igwenagu, C. M. (2014). The Application of Life Table Functions: A
Demographic Study. IOSR Journal of Mathematics, 10(1), 80–82.
https://doi.org/10.9790/5728-10148082
Khairani, A. F., Azka, A. N., Faried, A., Amelia, I., Ardisasmita, M. N.,
Tanzilah, S., Rinawan, F. R., Agustian, D., & Afriandi, I. (2018).
Characteristic of Motor Vehicle Accident Patients Presenting to a
National Referral Hospital in West Java, Indonesia. The Southeast
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 49(5), 887–
893.
Lee, E. S. (1966). A Theory og Migration. Demography, 3(1), 47–57.
Lopez, A. D., Ahmad, O. B., Guillot, M., Inoue, M., Ferguson, B. D., &
Salomon, J. A. (2001). Life tables for 191 countries for 2000: data,
methods, results. World Health, 8(8), 0. http://www.who.int/
healthinfo/paper09.pdf
Paul B. Spiegel, P. S. (2000). doi:10.1016/S0140-6736(00)02404-1. The
Lancet, 355(24 June 2000), 2204–2209. https://doi.org/10.1016/
S0140-6736(00)02404-1
Rainer, H. et al. (2014). Child Benefit and Child Allowances in Germany:
Their Impact on Family Policy Goals. Econstor, 12(1), 37–45.
https://www.econstor.eu/bitstream/10419/167153/1/ifo-dice-report-
v12-y2014-i1-p37-45.pdf
Sonder M Purba. (2009). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS
EKONOMI MEDAN.
Stratifiksi Masyarakat Bali dalam Tarian Bumi dan Kenanga Karya Oka
Rusmini. (2011). Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa,
214–227. https://core.ac.uk/download/pdf/206195516.pdf
Terence H Hull, V. J. H. (1977). The relation of economic class and fertility:
An analysis of some Indonesian data. Population Studies, 31(1), 43–
57. https://doi.org/10.1080/00324728.1977.10412746
WHO. (n.d.). The top 10 causes of death. Retrieved January 22, 2021, from
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/the-top-10-causes-
of-death
World Population Growth-Our World in Data. (n.d.). Retrieved January 7,
2021, from https://ourworldindata.org/world-population-growth
Zarni, M., & Cowley, A. (2014). The Slow-Burning Genocide of Myanmar s
Rohingya Reasons. Tomás Ojéa Quintana, United Nations Special
Rapporteur for Human Rights, London Conference on.

80
BAB 5
MOBILITAS PENDUDUK

Beberapa suku bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat perantau. Di


antaranya adalah suku Minangkabau, etnik Jawa dan Bugis. Etnik Jawa
merantau karena ada beberapa persoalan di antaranya kebijakan pemerintah
yang pernah diterapkan pada akhir tahun 1950. Sebelum kemerdekaan,
Pemerintah Belanda pun melakukan hal yang sama sekitar tahun 1905.
Bahkan sebagian masyarakat Jawa telah membentuk komunitas waktu
ditransmigrasiken ke Amerika Latin tepatnya di Suriname. Kebijakan
pemerintah dilakukan karena mengingat mulai padatnya Pulau Jawa dihuni
oleh masyarakat Indonesia. Penduduk Jawa disebar ke daerah-daerah yang
belum banyak penduduknya mulai dari Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Sedangkan masyarakat Minangkabau memiliki falsafah yang luhur tentang
budaya merantau. Merantau bagi orang Minang, pertama menuntut ilmu,
yang kedua mencari penghidupan yang lebih baik dari kampung asalnya, Bak
pepatah “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang
dahulu di rumah paguno balun” (sekiranya di kampung belum dapat
memberikan manfaat bagi orang banyak, sebaiknya merantau dahulu). Lebih
ekstrem lagi masyarakat Minangkabau pantang pulang sebelum berhasil.
Pantang pulang kalau hanya jadi pecundang. Pepatah yang lain mengatakan
“sayang kampung batinggalkan, sayang anak dilacuik.” Sayang kampung
ditinggalkan, sayang anak dicambuk.

Pendahuluan
Menyambung prolog di atas, masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat melayu dan walaupun satu warga negara Indonesia, mengapa
tidak ada kemiripan dengan masyarakat Papua, Nusa Tenggara Timur dan
Maluku? Mengapa sisanya masyarakatnya mirip-mirip baik suku Bugis,
Toraja, Dayak, Nias, Mentawai, Melayu, Sunda dan lainnya? Para teoretisi
seperti Marzuki, Moh. Ali dan Kern, menyepakati bahwa suku bangsa
Indonesia berasal dari Austronesia, tepatnya bangsa Yunan daerah China

81
Selatan. Sedangkan Teori Mohammad Yamin mempertahankan teorinya
bahwa manusia Indonesia tidak lain dari nenek moyang Phitecantrophus
Erectus yang berkembang, bahkan dengan diketemukannya Phitecanthropus
Soloensis memperkuat asal-usul nenek moyangnya.
Merujuk beberapa cerita di atas, manusia hidup sejatinya mencari
sebuah kenyamanan, kebahagiaan, sehingganya ketika seseorang tidak
mendapatkan kesenangan ataupun merasa terganggu dalam perkembangan
hidupnya, maka mereka akan mencari tempat yang lebih nyaman. Kejadian
pindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah Al-Munawarah, selain
karena perintah Tuhan, juga landasan filosofisnya adalah mencari
kenyamanan karena di tempat asalnya mendapatkan pertentangan. Pandangan
agama Islam disebut “hijrah”.
Istilah hijrah dalam konteks kependudukan tidak lain adalah bentuk
migrasi. Migrasi dalam kategorinya pun macam-macam, ada imigrasi,
emigrasi, transmigrasi, urbanisasi, migrasi sirkuler dan istilah pindah lainnya.
Fenomenanya, pergerakan penduduk yang saat ini mulai menyebar dan tidak
menunjukkan identitas kesukuan merupakan bagian dari mobilitas penduduk.
Semua pengertian tentang migrasi dan pendetailannya akan di ulas dalam
bahasan ini.

Migrasi
Migrasi didefinisikan secara luas sebagai perubahan tempat tinggal
permanen atau semi permanen. Tidak ada batasan yang ditempatkan pada
jarak perpindahan atau pada sifat sukarela atau tidak sukarela dari tindakan
tersebut, dan tidak ada perbedaan yang dibuat antara migrasi eksternal dan
internal (Lee, 1966). Namun tidak semua jenis mobilitas spasial termasuk
dalam definisi ini, ada yang dikecualikan. Misalnya, pergerakan berkelanjutan
para nomad dan pekerja migran, yang tidak memiliki tempat tinggal jangka
panjang, sementara bergerak seperti itu ke pegunungan selama musim panas.
Tidak peduli seberapa jauh atau seberapa lama, seberapa mudah atau seberapa
sulit, setiap tindakan migrasi melibatkan asal, tujuan, dan serangkaian
rintangan yang mengintervensi. Di antara rangkaian rintangan yang
menghalangi, kami memasukkan jarak gerakan sebagai salah satu yang selalu
ada.
Hägerstrand (1969) mendefinisikan migrasi penduduk dianggap dalam
dua cara. Di satu kasus, itu dianggap secara keseluruhan, sebagai salah satu
entri pembukuan dalam total keseimbangan populasi di berbagai daerah.
Dalam kasus lain, terdapat minat yang lebih mendetail dalam mobilitas

82
sebagai aspek perilaku individu manusia. Komentar di bawah ini berkaitan
dengan sisi pertanyaan terakhir, dalam beberapa hal dari sudut pandang
mikroskalar, yang tidak biasa. Alasan pemilihan skala adalah keyakinan saya
bahwa banyak hal yang dapat dipelajari terkait aspek makro jika keakraban
pertama kali dicapai dengan beberapa fitur mikroskopis dasar.
Merupakan kebiasaan untuk memperkenalkan konsep dasar teori
populasi formal dengan bantuan skema Becker. Dalam hal ini, individu
direpresentasikan sebagai garis lurus kehidupan, yang dimulai pada hari lahir
dan berakhir pada titik kematian. Dalam skema tersebut, waktu adalah
dimensi fisik yang berlaku secara universal, bahkan sejauh koordinat x dan y
mewakili waktu secara alami dengan sendirinya di atas fondasi yang baik.
Jika sekarang muncul pertanyaan tentang bagaimana individu menempati
dirinya sendiri, sementara garis kehidupan terus berjalan lurus ke depan
menuju titik kematian, jawabannya adalah-jika kita tetap pada tingkat
abstraksi yang sesuai-bahwa ia bergerak tanpa lelah di dimensi fisik lainnya,
dalam ruang. Dia pindah ke sana untuk dapat mengelola perekonomian ini,
dan untuk memenuhi kebutuhannya akan kerja sama dengan individu lain.
Bab ini menguraikan skema umum untuk migrasi yang berlaku lintas
wilayah, menggabungkan beberapa jenis migrasi dan mencakup semua tingkat
organisasi biologis dari gen hingga populasi. Skema ini menghubungkan
lingkungan, jalur, sifat, dan gen, dan menyoroti kekuatan selektif yang
membentuk dan mempertahankan adaptasi migrasi. Kami mendukung definisi
perilaku migrasi berbasis individu yang memungkinkan pembedaan objektif
antara migrasi dan bentuk pergerakan lainnya. Kami mengenali migrasi
sebagai adaptasi terhadap sumber daya yang berfluktuasi spatiotemporal baik
secara musiman atau kurang dapat diprediksi dan perhatikan bahwa ini
seringkali bersifat preemptive. Migrasi memainkan peran sentral dalam
dinamika spasial populasi bergerak, dan sebagian besar berbeda baik dalam
bentuk maupun fungsi dari percampuran dalam populasi yang timbul dari
penyebaran pasca kelahiran dan dari karakteristik pergerakan antarpopulasi
metapopulasi. Kami menyerukan lebih banyak interaksi antara ahli biologi
mempelajari taksa yang berbeda dan berbagai bentuk gerakan, dan antara
behavioris dan ekologi populasi.
Ahli biologi yang mempelajari berbagai kelompok mahluk hidup telah
mengembangkan wawasan yang kaya ke dalam aspek individu (fisiologis,
perilaku, genetik) dan populasi (ekologi, evolusi) dari fenomena tersebut. Ini
mungkin secara khusus terbukti dalam penelitian terhadap burung, ikan, dan
serangga. Visibilitas mereka dan perjalanan mereka yang seringkali
spektakuler telah menjadikan burung subjek favorit, sementara nilai ekonomi

83
spesies seperti herring dan salmon telah menjadi kekuatan pendorong dalam
mempelajari migrasi ikan. Dampak ekonomi dari spesies hama telah
mendorong studi tentang serangga, dan masa hidup mereka yang pendek dan
relatif mudahnya kultur laboratorium dapat dipertahankan membuat kelompok
ini sangat cocok untuk pekerjaan eksperimental, termasuk investigasi genetik
menggunakan seleksi buatan dan persilangan (Dingle 2001, 2006). Dengan
demikian, dipahami perbedaan berbagai aspek fenomena migrasi dan untuk
menarik bersama dari taksa yang berbeda dan tingkat analisis sudut pandang
umum yang memperhitungkan keragaman migrasi dan menyediakan kerangka
kerja untuk analisis lebih lanjut dari basis terdekatnya, ekologi, dan
evolusinya.
Migrasi biasa juga diartikan suatu bentuk perpindahan penduduk
masyarakat dari kota, negara, atau wilayah satu ke wilayah lainnya dengan
tujuan menetap atau hanya sementara. Salah satu alasan sederhananya karena
ada anggapan atau ramalan bahwa wilayah baru dalam migrasi dianggap
memiliki prospek kemajuan yang lebih baik untuk meneruskan kehidupan
yang dijalani. Maka, tidak khayal dengan keadaan ini banyak pihak
memberikan harapan secara penuh terhadap bentuk migrasi sebagai upaya
melakukan tindakan berpindah tempat untuk mengatasi kuatnya persaingan,
serta meningkatkan pendapatan ekonomi dalam sistem globalisasi ekonomi.
Rutman (1970) mendefinisikan migrasi menurutnya adalah perpindahan
penduduk yang dilakukan dengan latar belakang permasalahan penduduk
terutama dalam bidang ekonomi, sosal, keamanan, dan kebudayaan dari satu
wilayah ke wilayah lainnya. Tujuan dari migrasi untuk menjadikan kehidupan
yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Dari penjelasan mengenai pengertian migrasi di atas, dapat diartikan
bahwa migrasi adalah perpindahan penduduk yang digolongkan dalam
pertumbuhan penduduk non alamiah. Dengan tujuan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di bidang ekonomi, keamanan, ataupun dalam
permasalahan sosial.

Ruang Lingkup Migrasi


Menurut kamus (Taylor 1986) dan literatur biologi dan sejarah alam,
kata migrasi (seperti yang diterapkan pada hewan) dapat membangkitkan
empat konsep yang berbeda namun tetap overlap: (1) Jenis aktivitas lokomotif
yang persisten, tidak terganggu, dan diluruskan; (2) Relokasi hewan dalam
skala yang jauh lebih besar, dan melibatkan pergerakan dalam durasi yang
lebih lama, daripada yang muncul dalam aktivitas normal sehari-hari; (3)
Perpindahan populasi musiman ke sana kemari wilayah di mana kondisinya

84
menguntungkan atau tidak menguntungkan secara bergantian (termasuk satu
wilayah tempat berkembang biak) dan (4) Gerakan menuju redistribusi dalam
spasial populasi yang diperluas.
Interpretasi terhadap pandangan tersebut merangkum beberapa
perspektif yang sangat berbeda tentang apa yang ditimbulkan oleh migrasi.
Pertama, tipe 1 dan 2 berhubungan dengan organisme individu, sedangkan
tipe 3 dan 4 secara eksplisit berkaitan dengan populasi. Kedua, tipe 1
menggambarkan suatu proses, sedangkan tiga tipe lainnya menggambarkan
hasil (untuk individu atau populasi) dari aktivitas lokomotif oleh individu.
Ketiga, tipe 2 dan 3, tetapi bukan 1 dan 4, menggunakan waktu atau skala
spasial. Perbedaan proses-versus-hasil terletak di jantung perdebatan di antara
ahli entomologi tentang apakah migrasi harus didefinisikan untuk individu
(secara perilaku) atau untuk populasi (“secara ekologis”) (Kennedy 1985,
Taylor 1986, Gatehouse 1987).
Pendekatan pertama tampak lebih cocok dengan pemahaman
kontemporer kita tentang cara kerja seleksi alam, yaitu bahwa bertindak
terutama pada individu (dan gen mereka). Sebaliknya, perspektif penduduk
mengungkapkan fungsi migrasi dan sumber seleksi alam. Sudut pandang “dua
dunia”, yang sebagian besar berasal dari burung, cenderung menarik perhatian
terutama pada pertanyaan tentang fungsi. Dalam literatur serangga, fokus
yang setara adalah perjalanan antarHabitat “sementara”, seperti kolam
sementara, tahap habitat suksesi awal, atau tanaman inang yang mengalami
penuaan secara berturut-turut (Southwood 1962, Denno et al. 1991).
Dalam kedua kasus tersebut, migrasi secara implisit dikenali sebagai
adaptasi yang didorong oleh ketersediaan sementara dan perubahan lokasi
sumber daya. (Kami mencatat minat baru dalam seleksi pada tingkat
organisasi yang lebih tinggi daripada individu (Wilson, 1997) dan juga hasil
pemodelan yang menghubungkan seleksi tersebut dengan populasi yang
diperluas secara spasial (Werfel dan Bar-Yam.2004) dan mengakui bahwa
beberapa migrasi dilakukan di kelompok sosial dan melibatkan komunikasi
(van Noordwijk et al. 2006), tetapi perspektif di sini tetap terfokus pada
pemilihan individu.
Dikotomi perilaku versus ekologi sekarang dapat dikenali sebagai salah
satu bagian dari spektrum yang lebih luas yang membentang baik di seluruh
proses yang terjadi pada individu maupun yang terjadi dalam populasi.
Banyak penelitian telah dilakukan pada adaptasi morfologis dan fisiologis
yang mendasari yang memungkinkan perilaku migrasi (Dingle 1996) dan
penyesuaian yang dilakukan para migran untuk mengakhiri perjalanan mereka
dengan sukses (Åkesson dan Hedenström 2007).

85
Ragam Migrasi
Migrasi terjadi dalam berbagai bentuk dan telah dijelaskan oleh para
ahli biologi dengan berbagai cara. Hal tersebut dapat dibuatkan pola migrasi
pada tabel 5.1, mengklasifikasikannya berdasarkan apakah fokus pada
organisme, atribut spasial atau temporal atau media tempat migrasi terjadi.
Migran adalah sering diklasifikasikan sebagai obligat atau fakultatif,
bergantung pada apakah mereka selalu bermigrasi atau melakukannya hanya
sebagai respons langsung terhadap kemerosotan kondisi lokal saat ini. Namun
dalam praktiknya, perbedaan tersebut sering kali kabur. Sebagian migrasi,
sebagian kecil dari populasi tetap berada di dalamnya daerah berkembang
biak atau bukan daerah pembiakannya sedangkan sisanya bergerak jauh (lihat
Jahn et al. 2004 untuk beberapa varian), sedangkan dalam migrasi diferensial
ada perbedaan dalam pola migrasi dari individu yang lebih tua dan lebih muda
atau dari dua jenis kelamin.

Macam-Macam Migrasi
Jenis migrasi secara umum, dapat dibedakan menjadi dua bentuk,
antara lain adalah sebagai berikut;
 Migrasi Nasional
 Migrasi Internasional

Migrasi Nasional dan Internasional


Penjelasan tentang jenisnya beserta dengan contohnya tersebut, antara
lain adalah sebagai berikut:
 Migrasi Nasional
Pengertian migrasi nasional adalah perpindahan penduduk di dalam
satu wilayah negara yang dilakukan dengan tidak adanya keterpaksaan dengan
tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Jenis Migrasi Nasional


Adapun untuk jenis migrasi nasional ini antara lain adalah sebagai berikut;

Transmigrasi
Transmigrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dan daerah
berpenduduk padat ke daerah berpenduduk jarang. Ada beberapa jenis
transmigrasi. Transmigrasi umum, diselenggarakan dan dibiayai oleh
pemerintah. Sedangkan untuk transmigrasi spontan, dilakukan atas biaya,
kesadaran, dan kemauan sendiri. Transmigrasi sektoral, diselenggarakan dan

86
dibiayai oleh pemerintah daerah asal dan daerah tujuan. Transmigrasi
swakarsa, dibiayai oleh transmigran sendiri. Transmigrasi khusus seperti
bedol desa, dilakukan penduduk karena terkena proyek berbagai macam
pembangunan yang dilakukan.

Urbanisasi
Urbanisasi diartikan sebagai bentuk perpindahan penduduk dan desa ke
kota. Urbanisasi terjadi karena kota mempunyai daya tarik sebagai daerah
tujuan dan desa mempunyai daya dorong untuk ditinggalkan. Daya tarik kota
antara lain tersedia berbagai lapangan pekerjaan, upah tenaga kerja tinggi,
fasilitas hidup lengkap, dan tersedia fasilitas hiburan. Daya dorong desa antara
lain lapangan pekerjaan di luar bidang pertanian terbatas, lahan pertanian
semakin sempit, upah tenaga kerja rendah, fasilitas umum terbatas, fasilitas
hiburan terbatas, kegiatan pertanian di desa bersifat musiman, serta keinginan
penduduk untuk memperbaiki taraf hidup.
Perpindahan ini berdampak bagi daerah yang ditinggalkan dan daerah
tujuan. Dampak bagi daerah yang ditinggalkan antara lain jumlah penduduk
berkurang, jumlah penganggur berkurang, stabilitas keamanan menurun, dan
tenaga kerja berkurang. Dampak bagi daerah tujuan antara lain jumlah tenaga
kerja meningkat, kriminalitas meningkat, kepadatan penduduk meningkat,
muncul permukiman kumuh, serta lapangan pekerjaan berkurang.

Ruralisasi
Ruralisasi adalah kembalinya penduduk ke desa setelah menetap di kota
atau kembalinya pelaku urbanisasi ke daerah asal.

Forensen
Forensen adalah pergi dan pulangnya orang desa ke kota untuk bekerja
setiap hari (melaju).

Weekend
Weekend yaitu perginya orang kota ke tempat peristirahatan di luar kota
pada akhir minggu.

Evakuasi
Evakuasi yaitu perpindahan penduduk ke suatu wilayah karena bencana
atau perang. Sebagai catatan untuk forensen, weekend, dan evakuasi
merupakan bentuk sirkulasi yaitu perpindahan penduduk yang tidak menetap
atau tinggal sementara waktu di daerah tujuan.

87
 Migrasi Internasional
Migrasi internasional adalah perpindahan yang dilakukan oleh
masyarakat dari menjadi penduduk negara ke suatu negara lainnya. Yang
dilakukan atas dasar sukarela dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik.

Jenis-Jenis Migrasi Internasional


Adapun untuk jenis migrasi internasional, antara lain adalah sebagai berikut:

Imigrasi
Pengertian imigrasi adalah masuknya penduduk yang ada dalam negara
lain ke suatu negara untuk menetap dengan tujuan untuk secara totalitas
menjadi bagian daripada negara yang bersangkutan. Kasus ini mudah
ditemukan dalam masyarakat Indonesia, misalnya saja para pemain bola
Indonesia yang dikenal dengan naturalisasi.

Emigrasi
Emigrasi adalah keluarnya penduduk yang ada dalam sebuah negara ke
suatu negara ke negara lain untuk menetap dengan tujuan secara nyata
mengambi pada negara yang baru.

Remigrasi (Repatriasi)
Remigrasi adalah kembalinya penduduk dan suatu negara ke negara asal.

Turisme
Turisme adalah perginya penduduk ke luar negeri untuk berwisata.
Demikianlah serangkaian tulisan dan penjelasan secara lengkap mengenai
pengertian migrasi nasional dan internasional. Semoga melalui tulisan ini bisa
memberikan referensi dan wawasan kepada segenap pembaca yang saat ini
sedang membutuhkannya.
Dalam buku Prince, yang masyhur itu, Marchiavelli mengatakan
“pemindahan penduduk adalah satu cara yang paling berhasil untuk menjajah
negara lain, karena cara ini kurang dibenci daripada kita kirim pasukan dan
biaya pun lebih murah”. Teori klasik mengenai kebijaksanaan transmigrasi,
ternyata dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sejak 63 tahun yang lalu
dengan menempatkan transmigrasi asal Jawa dan Madura ke luar Pulau Jawa
(Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua), terutama di kantong-kantong

88
pertahanan militer. Indonesia yang dianggap strategis, dikhawatirkan
munculnya perlawanan daripada penduduk asli.
Teori lain secara harfiah transmigrasi, dilihat dari bahasa Latin: trans
yang berarti ‘seberang,’ migrare-pindah) adalah program yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia. Program transmigrasi di Indonesia bertujuan untuk
memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk/kota ke
daerah lain atau desa di dalam wilayah Indonesia, sedangkan penduduk yang
melakukan transmigrasi disebut transmigran. Pemerintah Belanda
menyebutnya kolonisasi, bukan dinamakan program transmigrasi. Demikian
juga di Malaysia sejak 1965, penduduk miskin diberikan rumah serta lahan
atau tanah untuk diusahakan dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Program
tersebut di Malaysia tidak disebut transmigrasi. Program transmigrasi yang
hanya ada di Indonesia sudah dikenal sejak ± 100 tahun yang lalu.
Transmigrasi merupakan migrasi yang hanya berlangsung di Indonesia.
Permulaan penyelenggaraan transmigrasi pada tanggal 12 Desember 1950,
Pemerintah Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisate yang
telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang
lebih nasionalis yaitu transmigrasi. Pada saat itu, rombongan pertama koloni
sebanyak 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu, dikirim di
Gedongtan, Lampung. Di tempat itulah para pendatang membangun desa
pertama yang diberi nama Bagelen, sesuai dengan nama desa asalnya. Dari
sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad (dihitung
dari tahun 1905) ikut membantu perjuangan bangsa.

Perilaku Demografis dan Mobilitas Sosial Saling Berinteraksi


Interaksi semacam itu terjadi lintas dan dalam generasi. Dari generasi
ke generasi, konteks demografis rumah tangga dan status sosial ekonomi
secara bersama-sama mempengaruhi hasil demografis dan peluang
pencapaian sosial ekonomi di masa dewasa. Dalam beberapa generasi,
perilaku demografis seperti perkawinan dan melahirkan anak memengaruhi
peluang pencapaian, dan status sosial ekonomi memengaruhi hasil demografis
seperti pernikahan, melahirkan anak, dan kematian. Di tingkat makro,
perbedaan sosial ekonomi dalam perilaku demografis dan perbedaan
demografis dalam pencapaian sosial ekonomi berinteraksi untuk membentuk
tren jangka panjang dalam komposisi populasi (Mare dan Maralani 2006).
Di antara proses yang relevan, pengaruh demografis pada pencapaian
sosio ekonomi dan pengaruh interaktif pola perbedaan demografis dan sosio
ekonomi pada komposisi populasi mendapat perhatian paling sedikit.

89
Pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap pencapaian sosial ekonomi
generasi penerus merupakan perhatian lama dalam studi stratifikasi sosial.
Pengaruh status sosial ekonomi individu pada berbagai hasil demografis telah
menjadi minat lama dalam demografi juga, tetapi minat dalam pengaruh
konteks demografis keluarga pada pencapaian sosial ekonomi baru-baru ini.
Sebagian besar mencerminkan minat pada implikasi untuk pencapaian
peluang peningkatan baru-baru ini dalam keragaman struktur keluarga di
negara maju (McLanahan dan Percheski 2008). Studi tentang bagaimana
perbedaan sosio ekonomi dalam perilaku demografis dan perbedaan
demografis dalam pencapaian sosioekonomi berinteraksi untuk membentuk
tren dalam komposisi populasi bahkan lebih baru lagi (Mare dan Maralani
2006). Jurnal dalam koleksi khusus ini berfokus terutama pada interaksi
kesuburan, perkawinan, dan migrasi dengan mobilitas sosial dan stratifikasi
sosial.
Mereka kebanyakan meneliti bagaimana ukuran keluarga di masa
kanak-kanak mempengaruhi pencapaian sosial ekonomi di masa dewasa dan
bagaimana melahirkan di masa dewasa mempengaruhi lintasan pekerjaan dan
aspek lain dari mobilitas sosial antargenerasi. Bagian kedua membahas
makalah tentang pernikahan, migrasi, dan mobilitas sosial. Makalah ini
meneliti bagaimana waktu pernikahan, pilihan pasangan, dan migrasi
mempengaruhi mobilitas sosial intra-generasi dan antar-generasi. Kebanyakan
dari mereka fokus pada subset dari faktor-faktor ini; misalnya, waktu
pernikahan dan pilihan pasangan versus migrasi dan pilihan pasangan.
Kesuburan penting untuk mobilitas sosial dalam dua cara. Pertama,
melahirkan anak dapat mempengaruhi mobilitas intra-generasi orang dewasa,
terutama wanita. Orang tua yang memiliki banyak anak mungkin memiliki
lebih sedikit peluang untuk mobilitas sosial ke atas karena waktu, energi, dan
uang yang mereka curahkan untuk anak-anak mereka dialihkan dari pekerjaan
mereka. “Hipotesis bagasi” ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1890
ketika ilmuwan sosial Prancis, Arsène Dumont, menulis: “Bagi orang yang
ingin naik, banyak anak membuat koper yang tidak nyaman” (Dumont
1890/1990: 77). Kedua, kesuburan juga dapat mempengaruhi mobilitas sosial
antargenerasi. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang lebih besar
mungkin memiliki peluang pencapaian yang kurang menguntungkan daripada
anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang lebih kecil. Meskipun, status
sosial ekonomi orang tua mereka setara.
Argumen ini disebut “hipotesis pengenceran sumber daya” (Blake
1989): ukuran keluarga yang besar diharapkan mengencerkan sumber daya

90
orang tua dan oleh karena itu menghalangi anak-anak untuk menaiki tangga
sosial. Orang tua dengan lebih banyak anak memiliki lebih sedikit waktu,
energi, dan uang untuk dicurahkan untuk pendidikan setiap anak. Sebuah
studi tentang Brazil (Marteleto 2010) baru-baru ini diterbitkan dalam Riset
Demografi dan juga berfokus pada hipotesis pengenceran sumber daya tetapi
bukan bagian dari koleksi khusus ini. Karena Marteleto (2010) sangat relevan
dengan tema pertemuan, dan, secara kebetulan, muncul dalam Riset
Demografi sekitar waktu yang sama dengan Seminar, kami membahasnya di
sini juga.
Semua studi ini menerapkan teknik kuantitatif lanjutan pada kumpulan
data historis dan kontemporer untuk memeriksa bagaimana jumlah saudara
kandung dalam keluarga asal mempengaruhi peluang pencapaian, bersih dari
status sosial ekonomi keluarga, dan karakteristik lainnya. Tantangan utama
untuk studi dalam tradisi sinkronis adalah untuk menyelidiki apakah korelasi
antara ukuran keluarga dan pencapaian sosio ekonomi benar-benar mewakili
hubungan sebab akibat. Dari perspektif kontrafaktual, ukuran keluarga hanya
dapat dikatakan memiliki efek kausal pada status sosial ekonomi jika status
sosial ekonomi berbeda jika ukuran keluarga juga berbeda, semuanya sama
(Morgan dan Winship 2007). Tidak demikian halnya, misalnya jika ukuran
keluarga dan status sosial yang dicapai anak hanya berkorelasi karena
keduanya disebabkan oleh faktor ketiga, seperti status kecemasan orang tua:
“Tingkat ‘status kecemasan’ bagi anak dapat mendorong baik ukuran keluarga
maupun Pendidikan setiap anak “(Ferrari dan Dalla Zuanna 2010). Dalam
situasi ini, ukuran keluarga dan status sosial ekonomi bersifat endogen
sehubungan dengan faktor ketiga ini, dan pendekatan regresi standar yang
tidak mengontrol semua faktor ketiga yang relevan tetapi tidak teramati akan
menghasilkan perkiraan yang menyesatkan tentang efek sebab akibat.
Perubahan dari waktu ke waktu dalam hubungan antara ukuran keluarga dan
pencapaian sosial ekonomi telah disarankan sebagai penjelasan untuk
penurunan kesuburan karena peningkatan efek samping dari ukuran keluarga
yang lebih besar dapat memotivasi pasangan untuk mengurangi jumlah anak
mereka.
Dalam masyarakat tertutup di mana status sangat diwariskan dan
ditentukan sebagian besar oleh orang tua daripada investasi orang tua, ukuran
keluarga seharusnya tidak mempengaruhi peluang pencapaian keturunan.
Pasangan tidak memiliki insentif untuk membatasi ukuran keluarga. Mereka
bahkan mungkin memiliki insentif untuk memaksimalkannya, dengan
demikian meningkatkan kemungkinan bahwa setidaknya salah satu dari

91
keturunan mereka bertahan hingga dewasa. Sebaliknya, dalam masyarakat
dengan sistem stratifikasi yang lebih terbuka di mana investasi orang tua juga
mempengaruhi pencapaian sosial ekonomi anak, orang tua yang memiliki
aspirasi untuk mobilitas ke atas keturunannya memiliki insentif yang kuat
untuk membatasi kesuburan. Transisi dari sistem tertutup ke sistem terbuka
seharusnya memicu penurunan kesuburan. Hipotesis dasarnya adalah bahwa,
sebelum transisi demografis, tingkat kesuburan yang tinggi pada orang tua
tidak berdampak buruk pada kemungkinan mobilitas anak ke atas. Efek
merugikan dari ukuran keluarga yang besar pada peluang pencapaian anak-
anak seharusnya muncul hanya dalam proses transisi demografis.
Hipotesis dasar ini akan ditolak jika sudah ada pengaruh negatif ukuran
keluarga pada mobilitas sosial antargenerasi sebelum transisi demografis.
Sebaliknya, jika tidak ada efek negatif dari jumlah keluarga yang besar pada
mobilitas sosial ke atas sebelum transisi, tetapi efek negatif yang diucapkan
selama dan setelahnya, munculnya efek merugikan seperti itu mungkin
menjadi bagian penting dalam teka-teki kesuburan. transisi (Van Bavel 2006).
Menyelidiki perubahan dalam hubungan antara kesuburan dan mobilitas sosial
selama transisi demografis, hingga saat ini, sangatlah sulit. Alasan utamanya
adalah kurangnya data yang sesuai. Studi yang tepat memerlukan data tingkat
individu dengan indikator status sosial dan kesuburan yang juga
mempengaruhi penurunan kesuburan. Marteleto (2010) membandingkan
hubungan antara ukuran keluarga dan status sosial ekonomi di Brazil pada
tahun 1977 dan 1997, sebelum dan sesudah penurunan kesuburan yang
substansial.
Konsisten dengan ekspektasi teoretis, dia menyimpulkan bahwa anak-
anak yang lahir setelah transisi demografis menderita kerugian yang lebih
besar karena dilahirkan dalam keluarga besar daripada anak-anak yang lahir
pada periode waktu sebelumnya. Bras, Kok, dan Mandemakers (2010)
menggunakan kumpulan data untuk Belanda yang mencakup periode waktu
yang lebih lama: Sampel Historis Belanda (HSN). Mereka memeriksa hasil
dewasa dari anak-anak yang lahir dalam perkawinan kontrak antara 1840 dan
1925. Selain memanfaatkan basis data yang sangat kaya, mereka juga
membahas alasan teoretis untuk mengharapkan hubungan yang lebih lemah
atau bahkan positif antara ukuran keluarga dan status sosial sebelum transisi
demografis. Pertama, dalam konteks dan kelompok sosial di mana anak-anak
menjadi produktif secara ekonomi sejak usia dini dan seterusnya, tambahan
anak dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia untuk rumah tangga,
bukan melemahkan mereka. Kedua, premis hipotesis pengenceran sumber

92
daya adalah bahwa sumber daya terbatas dan disediakan sepenuhnya oleh
orang tua. Dalam beberapa konteks, kurangnya sumber daya dalam rumah
tangga dapat diimbangi oleh ikatan sosial di luar keluarga inti, seperti
dukungan yang ditawarkan kepada keluarga kaya anak oleh komunitas atau
jaringan kerabat. Temuan Bras, Kok, dan Mandemakers (2010) memang
menunjukkan bahwa hubungan antara ukuran keluarga dan status sosial
ekonomi sangat bergantung pada konteks sosial dan sejarah. Misalnya,
tumbuh dalam keluarga besar tidak berdampak negatif terhadap status sosial
ekonomi orang dewasa anak-anak petani. Demikian pula, di daerah dengan
proporsi kerabat yang tinggal bersama yang tinggi, dampak ukuran keluarga
yang lebih besar pada status sosial ekonomi ditemukan lebih positif daripada
negatif.
Terakhir, dan paling relevan dengan transisi kesuburan, hubungan
antara ukuran keluarga asal dan status sosial di masa dewasa berubah seiring
waktu. Selama periode ketika kesuburan mulai menurun, pengenceran sumber
daya tampaknya menjadi masalah yang lebih penting bagi keluarga. Seiring
berjalannya waktu, anak-anak dari keluarga besar mengalami kerugian yang
semakin meningkat. Pernikahan mungkin memiliki implikasi jangka panjang
untuk mobilitas sosial individu, seperti yang tercermin dalam pendapatan dan
pekerjaan. Misalnya, dalam konteks Barat kontemporer, pria yang sudah
menikah sering kali terbukti berpenghasilan lebih dari pria yang belum
menikah (Hill 1979; Nakosteen dan Zimmer 1997; Korenman dan Neumark
1991; Nakosteen, Westerlund, dan Zimmer 2004). Meskipun “premi
pernikahan” ini telah menurun sejak 1960-an, jumlahnya masih sekitar 10
persen, dan terkadang bahkan lebih (Gray 1997; Blackburn dan Korenman
1994). Bagi wanita, hubungan antara status perkawinan dan pendapatan lebih
lemah.
Faktanya, wanita sering kali mengalami hukuman pernikahan yang
mungkin terkait dengan hipotesis bagasi. Secara khusus, ini mungkin
mencerminkan efek buruk dari melahirkan anak terhadap pendapatan (Hill
1979; Korenman dan Neumark 1992; Loughran dan Zissimopoulos 2009) atau
partisipasi angkatan kerja (Angrist dan Evans 1998). Sejauh mana premi
pernikahan untuk laki-laki terkait dengan proses seleksi dalam pernikahan
atau dengan perbedaan produktivitas yang nyata antara laki-laki menikah dan
belum menikah masih diperdebatkan, meskipun banyak perhatian telah
dicurahkan untuk masalah ini dalam penelitian sebelumnya (Akerlof 1998;
Chun dan Lee 2001); Dougherty 2006; Nakosteen dan Zimmer 2001;

93
Nakosteen, Westerlund, dan Zimmer 2004; Ginther dan Zavodny 2001;
Loughran dan Zissimopoulos 2009; Krashinsky 2004).
Menurut model spesialisasi yang diajukan oleh Becker (misalnya,
1981), pasangan mengalokasikan waktu dengan mengkhususkan menurut
keunggulan komparatif mereka masing-wswsswpencari nafkah (laki-laki-
pencari nafkah) ini biasanya mengasumsikan bahwa laki-laki mengkhususkan
diri dalam pekerjaan pasar sedangkan perempuan mengkhususkan diri dalam
produksi dalam negeri. Kesempatan bagi pria kawin untuk berspesialisasi
dalam pekerjaan pasar menyiratkan bahwa mereka memiliki keunggulan
dibandingkan pria lajang dalam produksi pasar dan dapat memperoleh upah
yang lebih tinggi. Argumen kedua, premi nikah merupakan hasil diskriminasi.
Alasan berikut adalah bahwa majikan memberikan keuntungan kepada
pekerja yang sudah menikah karena mereka percaya bahwa karyawan yang
menikah lebih produktif, lebih bergantung pada gaji mereka untuk
menghidupi keluarga dan karena itu lebih takut kehilangan pekerjaan mereka
(Bartlett dan Callahan 1984). Kehidupan perkawinan mungkin juga
berkontribusi pada gaya hidup yang lebih sehat bagi pria yang pada gilirannya
juga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja mereka dibandingkan
dengan pria yang belum menikah.
Artikel oleh Schulz dan Maas (2010) meneliti konsekuensi pernikahan
untuk lintasan pekerjaan dengan menerapkan model pertumbuhan bertingkat
untuk mempelajari karier pekerjaan di Belanda antara 1865 dan 1940. Selain
efek penting dari asal sosioekonomi (pekerjaan ayah) pada pencapaian
pekerjaan di awal tahun karier, mereka juga menunjukkan efek yang jelas dari
pernikahan pada pria dan wanita. Pernikahan menggeser lintasan pekerjaan
seseorang ke atas, tetapi tidak memengaruhi kemiringannya. Dengan kata lain,
itu tidak berpengaruh pada tingkat perubahan posisi pekerjaan. Bagi pria, hasil
ini diharapkan dari teori. Bagi wanita, itu tidak terduga. Masalahnya,
bagaimana pun, adalah bahwa pernikahan untuk perempuan seringkali berarti
meninggalkan pasar tenaga kerja sama sekali dan perempuan yang tidak
mengikuti aturan ini mungkin telah terpilih secara positif dalam hal status
pekerjaan. Oleh karena itu, melihat hanya wanita yang tetap bekerja setelah
menikah kemungkinan besar akan memperkirakan terlalu tinggi efek positif
pernikahan pada wanita. Bukan hanya perkawinan itu sendiri yang mungkin
berdampak pada pencapaian sosial ekonomi tetapi juga karakteristik
pasangan. Dari perspektif ini, pilihan pasangan mungkin memiliki efek jangka
panjang pada pengembangan karier dan pendapatan. Untuk Eropa
kontemporer, beberapa penelitian telah menemukan efek positif dari

94
pendidikan istri terhadap pendapatan suami, yang dapat menjadi hasil dari
dukungan dan pemahaman yang lebih baik untuk membantu pria dalam
kariernya (Benham 1974; Bernasco, de Graaf, dan Ultee 1998; Duvander
2000; Jepsen 2005).
Untuk wanita, hasilnya lebih beragam. Pendidikan suami, status
pekerjaan, atau pengalaman pasar tenaga kerja mungkin memiliki efek positif
atau negatif pada status pasar tenaga kerja wanita, tergantung pada jenis
kelamin dan rezim kesejahteraan negara tertentu (Bernardi 1999; Bernasco, de
Graaf, dan Ultee 1998; Blossfeld dan Drobnic 2001). Usia dan asal geografis
mitra juga dapat mempengaruhi prospek mobilitas sosioekonomi. Dalam studi
mereka di Swedia selatan, Dribe dan Lundh (2010) menemukan bahwa pria
yang menikahi wanita yang lebih muda memperoleh status sosial ekonomi
yang lebih tinggi daripada pria yang menikahi wanita pada usia yang sama.
Menikah dengan wanita yang lebih tua memiliki efek negatif dan menurunkan
pencapaian sosial ekonomi. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah
bahwa serikat pekerja tersebut memiliki lebih sedikit aset yang terkait dengan
produktivitas, seperti tanah.
Mengaitkan eksogami geografis dengan pencapaian sosial ekonomi,
Dribe dan Lundh (2010) kebanyakan hanya menemukan efek kecil dan secara
statistik tidak signifikan. Pengecualian utama adalah bahwa wanita kawin
eksogami yang lahir di luar wilayah studi mengalami pencapaian yang lebih
rendah daripada wanita kawin endogami. Di sisi lain, hampir semua jenis
eksogami geografis meningkatkan kemungkinan mobilitas sosial ekonomi ke
bawah. Ini mungkin terkait dengan kurangnya akses ke jaringan lokal dan
pengecualian para migran secara umum. Namun, mereka juga menemukan
efek positif dari eksogami di mana kedua pasangan berasal dari luar daerah
pada mobilitas ke atas, yang mungkin terkait dengan seleksi positif migran
(lihat, misalnya, Ferrie 1999; Long 2005; tetapi lihat juga Stewart 2006).
Akhirnya, makalah oleh Helgertz (2011) menganalisis dampak jangka
panjang migrasi internasional pada mobilitas pekerjaan intra-generasi di
Swedia kontemporer. Meskipun bukan kasus yang jelas untuk efek langit-
langit kaca, posisi yang kurang menguntungkan dari banyak kelompok
imigran untuk mobilitas pekerjaan di pasar tenaga kerja di seluruh hierarki
pekerjaan terlihat jelas. Untuk sebagian besar, posisi inferior ini tampaknya
terkait dengan hambatan bahasa yang beroperasi di seluruh distribusi
pekerjaan.
Kajian tentang imigran dan keturunannya memberikan kontribusi
terhadap diskusi ilmu sosial yang lebih luas tentang peran struktur dan agen

95
manusia, ekonomi, dan budaya dalam tindakan manusia dan fenomena sosial
(Bourdieu 1977; Giddens 1984). Diskusi ini terkait erat dengan dilema
metodologi klasik penelitian ilmu sosial, yang akarnya berasal dari filsafat
Yunani kuno.
Haruskah ilmuwan sosial menjelaskan fenomena sosial dari ‘bottom up’
atau dari ‘top down’ (individualisme versus holisme) dan haruskah mereka
mencari penjelasan universalistik (berbasis sains) atau (konteks-) penjelasan
spesifik (Bhaskar 1978; Hollis 1994; Von Wright 1971)? Kedua, penelitian
tentang imigran dan etnis minoritas sangat didorong oleh keinginan dan
kebutuhan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang faktor-faktor yang
mendorong atau menghambat integrasi imigran dan keturunannya (Kulu dan
González-Ferrer 2014). Sementara penelitian konvensional menganggap
asimilasi imigran merupakan hasil yang diharapkan, literatur terbaru telah
menekankan pentingnya integrasi imigran dan keragaman budaya (Alba dan
Nee 1997; Berry 1992; Gordon 1964; Portes dan Zhou 1993). Biasanya
imigran dan etnis minoritas diharapkan mencapai tingkat asimilasi struktural
atau integrasi yang tinggi, yaitu mereka harus memiliki kesempatan dan hasil
pendidikan, pekerjaan, dan perumahan yang sama seperti penduduk asli, tetapi
mereka dapat mempertahankan kekhasan budaya mereka, misalnya,
mempraktikkan memiliki agama atau berbicara bahasa mereka sendiri di
rumah. Literatur terbaru tentang transnasionalisme telah menantang
perdebatan klasik tentang asimilasi/integrasi versus pemisahan/marginalisasi,
dengan alasan bahwa imigran dan keturunan mereka mungkin ingin hidup ‘di
antara’ negara asal lama dan baru dan bahwa praktik ini harus didukung
(Glick Schiller 2010; Vertovec 2004).
Namun, belum jelas apakah hidup di ‘ruang transnasional’ adalah
bentuk baru integrasi yang berhasil di dunia global kita, atau mencerminkan
marginalisasi (integrasi yang tidak lengkap) di dunia di mana status negara
masih dianggap penting. Ada banyak literatur yang menyelidiki pola
pekerjaan dan pendidikan para imigran dan keturunan mereka (Adsera dan
Chiswick 2007; Kogan 2007; Rebhun 2010; Rendall et al. 2010). Pendidikan
dan pekerjaan dipandang penting untuk keberhasilan integrasi imigran dan
keturunan mereka dan diasumsikan secara signifikan membentuk wilayah lain
dalam kehidupan mereka. Penelitian tentang dinamika keluarga di kalangan
pendatang dan keturunannya penting dalam konteks ini. Pola keluarga imigran
dan etnis minoritas memberikan perspektif lain tentang integrasi mereka atau
kekurangannya; kehidupan keluarga juga terjalin baik dengan dimensi
struktural dan budaya proses integrasi. Lebih lanjut, penelitian menyatakan

96
bahwa prevalensi perkawinan antaretnis adalah ujian lakmus terakhir dari
integrasi imigran dalam masyarakat (Coleman 1994; Feng et al. 2012;
Kalmijn 1998). Penyebaran perkawinan campur dapat dilihat sebagai tanda
bahwa tidak ada lagi batas antarkelompok yang tidak dapat dilintasi dalam
masyarakat, memberikan pilihan bebas bagi populasi mayoritas maupun etnis
minoritas.
Selain pilihan pasangan, waktu dan jenis persatuan juga merupakan
indikator penting dari perubahan norma dan perilaku sosial di kalangan
imigran. Perubahan ini sering kali bergantung pada waktu yang dihabiskan di
negara tuan rumah, atau hanya terlihat pada generasi berikutnya. Makalah ini
bertujuan mengenalkan koleksi khusus Riset Demografi tentang dinamika
hubungan antara imigran dan keturunannya di lima negara Eropa terpilih.
Kami pertama kali membahas tentang keluarga imigran dan etnis minoritas.
Kemudian meringkas makalah individu dan mendiskusikan kontribusinya,
dan akhirnya membuat outline penelitian. Perkembangan Penelitian tentang
Imigran dan Keluarga Etnis Minoritas Ada dua aliran penelitian tentang
dinamika dan pola keluarga imigran dan etnis minoritas.
Yang pertama meneliti faktor-faktor penentu perkawinan antaretnis di
antara para imigran dan keturunan mereka (Alba dan Golden 1986; Bagley
1972; Berrington 1994; Coleman 1994; Kalmijn 1998; Pagnini dan Morgan
1990), dan yang kedua menyelidiki pola-pola melahirkan anak (Dinkel dan
Lebok 1997; Schoorl 1990). Meskipun kedua aliran tersebut memerlukan
tradisi yang panjang, peningkatan ketersediaan data longitudinal tingkat
individu dalam dua dekade terakhir telah mendorong aktivitas penelitian di
area ini dan secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang perilaku
keluarga imigran dan etnis minoritas (Andersson 2004; González-Ferrer 2006;
Milewski 2007; Singley dan Landale 1998). Studi tentang perkawinan
campuran menyelidiki bagaimana berbagai faktor mempengaruhi
pembentukan dan stabilitas perkawinan mereka. Di satu sisi, keinginan dan
preferensi individu memengaruhi pilihan pasangan, dan di sisi lain konteks
sosial juga menawarkan peluang dan kendala (Alba dan Nee 1997; Kalmijn
1998). Yang terakhir mencakup faktor-faktor seperti jumlah kelompok
imigran, rasio jenis kelamin, lokasi dan konsentrasi geografis, dan
diskriminasi terhadap etnis minoritas (Hamel et al. 2013; Kalmijn dan Van
Tubergen 2006; Safi dan Rogers 2008; Van Tubergen dan Maas 2007).
Sebaliknya, argumen adaptasi mengasumsikan bahwa konteks sosial individu
saat ini adalah yang paling penting: oleh karena itu para imigran menunjukkan
tingkat kesuburan yang serupa dengan populasi di tempat tujuan (Andersson

97
dan Scott 2005; Hervitz 1985). Argumen serupa digunakan saat mempelajari
perilaku kesuburan keturunan imigran.
Di satu sisi, generasi kedua mungkin tumbuh di bawah pengaruh
subkultur minoritas dan dengan demikian menunjukkan perilaku kesuburan
yang mirip dengan orang tua mereka dan berbeda dari perilaku melahirkan
anak dari populasi ‘asli’. Di sisi lain, keturunan imigran mungkin tumbuh di
bawah pengaruh masyarakat arus utama dan dengan demikian menunjukkan
perilaku melahirkan yang mirip dengan populasi ‘asli’ (Milewski 2010).
Demikian pula, keturunan imigran dapat tumbuh di bawah pengaruh satu
konteks sosial (biasanya subkultur minoritas) dan kemudian beradaptasi
dengan yang lain (masyarakat arus utama). Lebih lanjut, artikel-artikel dalam
terbitan khusus ini juga mengkaji lintasan keluarga di antara keturunan
migran, yang meningkat secara signifikan di negara-negara Eropa dalam
beberapa dekade terakhir (Sobotka dan Toulemon 2008; Zimmermann 2005).
Penelitian menunjukkan bahwa mobilitas sosial generasi kedua tidak sebesar
yang kita harapkan. Kualifikasi pendidikan mereka seringkali tetap lebih
rendah daripada mayoritas penduduk di negara-negara Eropa, dan kinerja
pasar tenaga kerja mereka seringkali buruk (Aeberhardt et al.2010; Alba
2005; Aparicio 2007; Brinbaum dan Cebolla-Boado 2007; Fibbi, Lerch, dan
Wanner 2007; Kristen, Reimer, dan Kogan 2008; Meurs, Pailhé, dan Simon
2006; Van Niekerk 2007).
Studi yang disajikan memberikan informasi tentang perilaku keluarga
dari subkelompok populasi ini di Eropa, meningkatkan pemahaman kita
tentang bagaimana berbagai faktor membentuk kehidupan generasi kedua
dalam konteks Eropa. Terakhir, edisi khusus ini mencakup lima studi kasus
Eropa tentang pembentukan dan pembubaran hubungan antara imigran dan
keturunannya. Sebagian besar penelitian sebelumnya hanya menyelidiki
imigran di satu atau dua negara: kurangnya penelitian komparatif tentang
keluarga migran yang memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh konteks
Eropa. Negara-negara yang termasuk dalam edisi khusus ini adalah Prancis
dan Inggris-negara imigrasi ‘tradisional’ dengan masa lalu kolonial; Swedia-
perwakilan dari rezim kesejahteraan Nordik; Spanyol-bekas negara emigrasi,
yang baru saja menjadi negara imigrasi; dan Estonia-sebuah negara Eropa
Timur dengan keadaan politik dan ekonomi pasca-PD II dan sejarah imigrasi
yang spesifik.
Meskipun setiap kasus negara membentuk studi terpisah, perbandingan
hasil antarnegara dengan sejarah imigrasi berbeda dan ketentuan negara
kesejahteraan secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang

98
bagaimana pengaturan sosial-ekonomi, kelembagaan, dan kebijakan
membentuk kehidupan keluarga imigran dan keturunan mereka di masyarakat
Eropa. Pola Hubungan antara Imigran dan Keturunannya di Negara Eropa
tertentu Selama setengah abad terakhir, negara-negara Eropa telah
menyaksikan perubahan signifikan dalam pola hubungan.
Penundaan perkawinan, tingkat perceraian dan perkawinan ulang telah
meningkat, dan kohabitasi non-nikah telah meluas (Lesthaeghe dan Neels
2002). Pola pernikahan universal pertama kali ditantang di negara-negara
Nordik. Swedia menunjukkan permulaan awal kohabitasi non-nikah, pada
awalnya sebagai fase transisi dan pengujian untuk pernikahan tetapi segera
berkembang menjadi alternatif jangka panjang untuk pernikahan. Swedia
telah menjadi pelopor dalam perubahan lain dalam pola hubungan, seperti
pernikahan di usia yang lebih tua, peningkatan kasus perceraian, dan
peningkatan pernikahan ulang. Andersson, Obućina, dan Scott (2015)
menganalisis pembentukan pernikahan pertama, perceraian, dan pernikahan
ulang berikutnya di antara para imigran dan keturunannya. Dari data register
Swedia, juga menunjukkan rata-rata tingkat pernikahan, perceraian, dan
pernikahan ulang yang lebih tinggi di antara para migran yang tiba selama
masa kanak-kanak mereka daripada di antara para imigran yang tiba di
Swedia saat dewasa. Sementara tingkat perkawinan imigran sangat bervariasi
di berbagai negara asal, sebagian besar kelompok imigran menunjukkan risiko
perceraian yang serupa atau lebih tinggi daripada penduduk asli Swedia.
Namun, imigran dari Turki menunjukkan tingkat perkawinan yang tinggi dan
tingkat perceraian yang rendah, menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
terkait dengan selektivitas dan sosialisasi juga membentuk pola hubungan.
Lebih lanjut, sementara sebagian besar keturunan pendatang kelahiran Swedia
menunjukkan tingkat perkawinan yang serupa atau lebih rendah daripada
keturunan asli Swedia, keturunan imigran dari Turki dan Timur Tengah Arab
memiliki tingkat pernikahan yang tinggi, mendukung pentingnya pola khusus
kelompok pembentukan pernikahan dini di antara etnis minoritas ini.
Menariknya, keturunan imigran dari Iran dicirikan dengan angka
pernikahan yang sangat rendah. Estonia, meskipun secara sosio-politik
termasuk dalam kelompok negara-negara Eropa Timur, menunjukkan pola
pembentukan keluarga yang mirip dengan negara-negara Nordik. Meskipun
perkawinan non-nikah sudah umum di antara orang Estonia asli selama
beberapa waktu, mereka baru saja menyebar di kalangan imigran. Penundaan
pernikahan, peningkatan tingkat perceraian, dan keragaman bentuk persatuan
juga menjadi ciri dinamika hubungan baru-baru ini di Prancis. Akan tetapi,

99
studi oleh Pailhé (2015) menunjukkan bahwa pola tersebut berbeda secara
signifikan menurut subkelompok populasi. Untuk penduduk asli Prancis, ia
mengamati perubahan yang jelas dari perkawinan langsung menjadi
kohabitasi sebagai cara dominan pembentukan hubungan, sedangkan banyak
imigran masih menunjukkan risiko tinggi kawin langsung, terutama mereka
yang berasal dari wilayah Maghreb dan Turki. Keturunan imigran memiliki
tingkat pembentukan hubungan yang lebih rendah daripada imigran, yang
menunjukkan penundaan pembentukan hubungan di antara generasi kedua.
Analisis tersebut juga mengungkapkan peningkatan tingkat kohabitasi di
antara keturunan imigran dari Eropa Selatan, menunjukkan peningkatan
kesamaan dengan pola kemitraan penduduk asli Prancis. Sebaliknya,
pernikahan dini dan universal tetap menjadi pola dominan di kalangan
keturunan imigran dari negara Turki dan Maghreb.
Menariknya, perbedaan antar kelompok hanya sedikit berkurang setelah
mengontrol pendidikan individu dan karakteristik pekerjaan, tetapi menurun
setelah disesuaikan dengan latar belakang sosial dan religiositas orang tua,
menunjukkan bahwa faktor sosialisasi memainkan peran penting dalam
membentuk perilaku kemitraan imigran dan keturunannya di Perancis.
Inggris, terlepas dari lokasinya di utara, mengadopsi pola hubungan baru lebih
lambat dari negara-negara Eropa Utara dan Barat lainnya. Meski demikian,
bentuk hubungan baru telah menyebar dengan cepat dalam beberapa dekade
terakhir. Sama halnya dengan Swedia, Estonia, dan Prancis, kohabitasi telah
menjadi cara dominan pembentukan persatuan di antara penduduk asli;
sebaliknya, kohabitasi masih jarang terjadi di antara para imigran dari India,
Pakistan, dan Bangladesh serta keturunan mereka, karena kebanyakan dari
mereka menikah secara langsung. Namun, sebagian kecil orang Asia Selatan
kelahiran Inggris yang memilih kohabitasi daripada pernikahan langsung
menunjukkan tingkat pemisahan yang lebih tinggi dari kohabitasi dan risiko
pernikahan yang lebih rendah setelah masuk ke kohabitasi daripada imigran
lain, mendukung gagasan bahwa subkultur minoritas dan masyarakat arus
utama mempengaruhi hubungan mereka.
Populasi Karibia memiliki kohabitasi tinggi, pernikahan rendah, dan
risiko perceraian tinggi, yang penulis kaitkan dengan gagasan khusus tentang
keluarga di negara-negara Karibia. Pola kemitraan konservatif di negara-
negara Eropa Selatan telah bertahan lebih lama daripada di kawasan Eropa
lainnya dan pola kemitraan baru-baru saja menyebar di sana. Ini memberikan
pengaturan yang unik, di mana banyak kelompok imigran berasal dari daerah
dengan pola persatuan yang lebih cair daripada penduduk asli. González-

100
Ferrer, Hannemann, dan Castro-Martín (2016) menganalisis pembentukan
serikat dan pembubaran di antara imigran di Spanyol, yang belakangan ini
menjadi tujuan imigrasi setelah sekian lama menjadi negara pengirim migran,
menjadikan studi ini yang pertama dari jenisnya. Mengingat permulaan arus
imigrasi ke Spanyol baru-baru ini, jumlah keturunan imigran kelahiran
Spanyol dari usia pembentukan serikat pekerja masih belum cukup untuk
analisis terperinci. Studi ini berfokus pada migran dari Amerika Latin, Eropa
Timur, dan negara EU15. Semua kelompok imigran menunjukkan pola
persatuan yang berbeda dibandingkan dengan wanita Spanyol asli. Secara
keseluruhan, perempuan imigran memiliki risiko pembentukan serikat yang
lebih tinggi dan lebih mungkin untuk masuk kohabitasi serta terpisah dari
serikat pertama mereka.
González-Ferrer, Hannemann, dan Castro-Martin mengaitkan
perbedaan tersebut dengan kombinasi efek sosialisasi di antara imigran dari
negara asal dengan pola persatuan yang lebih ‘cair’, serta pemilihan imigran
sesuai dengan preferensi kemitraan dan efek gangguan setelah tiba di
Spanyol. Kesimpulan tersebut didukung oleh hasil analisis tambahan dari
sampel imigran yang baru memulai hubungan pertamanya setelah tiba di
Spanyol. Kesimpulan Temuan utama dari kelima makalah tersebut adalah
sebagai berikut. Pertama, analisis menunjukkan variasi yang signifikan dalam
pola hubungan di antara kelompok minoritas di kebanyakan negara. Individu
dari Turki dan wilayah Maghreb di Prancis menunjukkan tingkat perkawinan
(langsung) yang tinggi dan tingkat kohabitasi dan pembubaran perkawinan
yang rendah, sedangkan para migran Afrika Sub-Sahara memiliki tingkat
pernikahan yang rendah dan tingkat kohabitasi dan pembubaran serikat yang
tinggi. Demikian pula, tingkat pernikahan (langsung) tinggi dan (hidup
bersama dan) tingkat pembubaran yang rendah di antara para imigran dari
Turki di Swedia dan mereka yang dari Asia Selatan di Inggris, sedangkan
populasi Karibia di Inggris menunjukkan pola yang berlawanan.
Kedua, imigran dari beberapa negara dengan pola keluarga yang lebih
konservatif menunjukkan lintasan kemitraan yang serupa antarnegara. Wanita
Turki (dan pria) di Prancis dan Swedia dan Asia Selatan di Inggris
menunjukkan pola pembentukan dan pembubaran yang sangat mirip; Pola
kemitraan pun serupa, namun berbeda dinamika, antara imigran Karibia di
Inggris dan imigran dari Sub-Sahara Afrika di Prancis. Meskipun sebagian
besar studi memasukkan transisi kemitraan sebelum dan setelah migrasi,
analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pola sebelum dan sesudah migrasi di
antara para imigran tidak terlalu berbeda (kecuali mungkin di Spanyol). Selain

101
itu, di antara sebagian besar kelompok imigran, analisis serikat kedua
menunjukkan pola yang sangat mirip dengan serikat pertama. Hasilnya
tampak mendukung gagasan bahwa sosialisasi memainkan peran penting
dalam perilaku kemitraan para imigran: para imigran biasanya membawa
tradisi dan norma mereka mengenai kehidupan keluarga, yang membentuk
preferensi dan perilaku keluarga mereka di kemudian hari. Studi menunjukkan
bahwa preferensi untuk mode kemitraan berubah kurang dari yang
diharapkan. Selain itu, pola hubungan antarketurunan pendatang bervariasi.
Untuk migran yang secara geografis dekat dan memiliki kesamaan
budaya serta keturunannya (orang Eropa di Inggris, Prancis, Spanyol, dan
Swedia), analisis menunjukkan pola hubungan yang relatif serupa bagi para
imigran dan keturunannya dibandingkan dengan penduduk asli masing-
masing. Untuk kelompok yang secara budaya dan juga geografis lebih jauh,
hubungannya lebih kompleks. Wanita asal Turki, Sub-Sahara, dan
Maghrebian di Prancis, mereka yang keturunan Turki dan Arab Timur Tengah
di Swedia, Asia Selatan dan Karibia di Inggris, dan penduduk berbahasa
Rusia di Estonia menunjukkan lintasan yang sangat mirip dalam pembentukan
persatuan lintas generasi, khususnya dalam pemilihan moda kemitraan, dan
polanya sangat berbeda dengan pola asli masing-masing. Menariknya,
bagaimana pun, tingkat pemisahan mereka tetap ‘di antara’ kaum pendatang
dan penduduk asli, meskipun hal ini berpotensi karena penyebaran
perkawinan campuran di antara beberapa kelompok minoritas. Di Spanyol
perbedaan antara imigran Eropa dan penduduk asli sedikit lebih besar karena
fakta bahwa penduduk asli Spanyol dapat dianggap termasuk dalam kelompok
penduduk yang lebih konservatif, sementara penduduk asli Prancis, Inggris,
Swedia, dan Estonia semuanya dianggap lebih cair dalam pola hubungan
mereka. Dengan demikian studi menunjukkan bahwa masyarakat harus utama
serta subkultur minoritas membentuk pola keluarga etnis minoritas, meskipun
peran subkultur minoritas tampaknya lebih kuat di antara beberapa kelompok
(yaitu, individu asal Turki dan Maghrebian di Prancis, orang-orang dari
Keturunan Turki di Swedia, Asia Selatan di Inggris, populasi asal Slavia di
Estonia, dan Amerika Latin di Spanyol).
Akhirnya, dalam semua studi, analisis multivariat termasuk perbedaan
karakteristik sosial ekonomi dasar (misalnya, pendidikan dan pekerjaan) dan
beberapa studi juga mengontrol faktor budaya (misalnya, keluarga asal,
religiositas, keterampilan bahasa) untuk menguji sensitivitas perbedaan
kelompok terhadap perbedaan karakteristik tingkat individu. Menariknya,
dalam banyak kasus perbedaan antarkelompok berubah sedikit setelah

102
dimasukkannya kontrol untuk karakteristik sosio-ekonomi. Namun, perbedaan
kelompok sensitif terhadap faktor budaya, menunjukkan bahwa pengaruh
faktor-faktor ini kuat dan melebihi potensi perbedaan sosial-ekonomi.
Kesamaan perilaku beberapa kelompok minoritas lintas negara memberikan
dukungan lebih lanjut akan pentingnya faktor budaya yang terkait dengan
sistem keluarga di negara asal migran. Namun demikian, konteks negara juga
penting: kami mengamati tingkat pernikahan yang lebih rendah di antara
semua subkelompok populasi di Spanyol dan tingkat pemisahan yang tinggi
di Swedia dan Estonia di banyak kelompok minoritas. Studi Swedia juga
mendeteksi beberapa perbedaan antara imigran yang datang sebagian besar
karena alasan pekerjaan dan mereka yang datang sebagai pengungsi, yang
menunjukkan pentingnya seleksi migran dalam studi pola keluarga di antara
imigran dan keturunannya. Untuk meringkas, kelima studi menyampaikan
pesan yang sama: ada keragaman pola hubungan yang signifikan di negara-
negara di seluruh sub-kelompok populasi dan kita tidak boleh berharap
perbedaan ini menghilang dalam waktu dekat. Besarnya ukuran beberapa
kelompok minoritas dan pemisahan spasial mereka tentunya telah mendukung
perbedaan awal dalam preferensi dan perilaku keluarga dan akan terus
mendukung perbedaan tersebut di masa depan. Dengan demikian analisis
menunjukkan bahwa faktor budaya lebih dapat menjelaskan perbedaan dalam
perilaku terkait keluarga di antara kelompok minoritas daripada faktor
ekonomi: jika ini benar, maka keberadaan pola kemitraan tertentu tidak selalu
mencerminkan integrasi struktural yang buruk dari etnis minoritas tetapi
justru menyoroti keragaman budaya yang ada dalam masyarakat Eropa.
Pembuat kebijakan harus memastikan bahwa bentuk kemitraan yang berbeda
didukung dengan persyaratan yang sama dan bahwa anak-anak dari jenis
keluarga yang berbeda memiliki kesempatan pendidikan dan mobilitas sosial
yang sama.
Masalah khusus ini secara signifikan memperluas penelitian
sebelumnya tentang keluarga migran dengan menyelidiki secara bersamaan
beberapa transisi kemitraan, dengan memeriksa baik imigran dan
keturunannya, dan dengan memberikan gambaran pola di sejumlah negara
Eropa yang berbeda. Ini memfasilitasi perbandingan dengan menyoroti
persamaan dan perbedaan antarsubkelompok populasi dan masyarakat Eropa.
Kami percaya bahwa penelitian masa depan harus mengeksplorasi jalan-jalan
berikut ini. Pertama, investigasi pola keluarga harus diperluas ke ‘generasi
ketiga’. Meskipun bagi beberapa keturunan imigran asal mereka akan tetap
menjadi catatan dalam sejarah keluarga mereka, untuk kelompok etnis lain,

103
terutama mereka yang perkawinan intra-kelompoknya mendominasi, pola
kemitraan tertentu mungkin juga bertahan pada generasi ketiga, yang mungkin
mencerminkan dan memperkuat kemunculan identitas etnis minoritas yang
cenderung menghindari asimilasi budaya. Kedua, keterkaitan antara integrasi
struktural/ekonomi dan budaya harus dipelajari lebih detail. Meskipun
sebagian besar studi dalam edisi khusus ini menekankan pentingnya
preferensi dan faktor normatif budaya dalam membentuk perilaku kemitraan
etnis minoritas, ada sedikit keraguan bahwa faktor ekonomi dan budaya saling
terkait satu sama lain. Persyaratan data (yaitu, informasi tentang nilai dan
preferensi) dapat membuat analisis seperti itu menantang, tetapi kami yakin
itu akan sepadan dengan usaha. Lebih lanjut, peran struktur peluang harus
diperiksa lebih lanjut. Jelasnya, ukuran kelompok yang besar dan konsentrasi
pemukiman dari beberapa kelompok minoritas telah memungkinkan dan
mempromosikan pola kemitraan tertentu di antara kelompok-kelompok ini.
Kami mungkin juga mengharapkan perubahan pola kemitraan dengan
penyebaran spasial bertahap dari kelompok etnis di wilayah perkotaan dan
antarkota, meskipun arah kausalitas antara proses ini masih jauh dari jelas.
Akhirnya, penelitian harus lebih fokus pada sifat dinamis kehidupan individu
dan mengeksploitasi berbagai metode baru untuk mengukurnya. Contohnya
dapat berupa penerapan teknik analisis urutan (multichannel) (Spallek,
Haynes, dan Jones 2014) atau model multistate (Kulu dan Steele 2013),
memungkinkan studi simultan dari sejumlah peristiwa dan jalur kehidupan
dengan dan tanpa menyesuaikan pola untuk berbagai karakteristik sosial
ekonomi dan budaya individu.

Migrasi yang Tidak Diinginkan Pengungsi


Pengungsi memunculkan berbagai gambaran yang suram: perahu padat
yang terapung di Laut China Selatan, seorang anak yang membengkak di
Bangladesh, sebuah kota kumuh yang hancur menjadi puing-puing di Beirut.
Menentukan secara konseptual (jika tidak secara politis) siapa, atau bukan,
pengungsi akan tampak sebagai masalah yang relatif sederhana. Pengungsi,
bisa kita katakan, adalah orang yang melarikan diri dari kondisi yang
mengancam jiwa. Dalam bahasa sehari-hari dan untuk tujuan jurnalistik, ini
kira-kira berarti pengungsian. Bisa ditebak, di kalangan hukum dan politik, di
antara para pejabat yang merumuskan kebijakan pengungsi bagi negara dan
badan internasional, maknanya jauh lebih terbatas.
Konsepsi tua-tua yang dominan dimajukan oleh instrumen
internasional, undang-undang kota, dan risalah ilmiah mengidentifikasi

104
pengungsi sebagai, pada dasarnya, seseorang yang telah melintasi perbatasan
internasional karena ketakutan yang beralasan terhadap penganiayaan.
Dengan kesepakatan yang begitu luas, masalah konseptual tampaknya akan
terselesaikan. Tapi penampilan ini menipu.
Sebuah konsepsi tentang “pengungsi” bukanlah, secara tegas, sebuah
definisi. Sebenarnya ada adalah lusinan definisi yang berlaku di berbagai
yurisdiksi. Sebagian besar negara bagian memiliki definisi kotamadya sendiri,
yang sebagian besar mengikuti konstruksi Konvensi PBB. Bagian erat dari
instrumen itu mendefinisikan pengungsi sebagai orang yang, “karena rasa
takut yang kuat akan penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan dalam kelompok sosial atau opini politik tertentu, berada di luar
negara kebangsaannya dan tidak mampu atau, karena ketakutan seperti itu,
tidak bersedia memanfaatkan perlindungan negara itu.
Definisi konkret seperti itu didasarkan pada argumen implisit (atau
konsepsi) bahwa: (a) ikatan kepercayaan, kesetiaan, perlindungan, dan
bantuan antara warga negara dan negara merupakan dasar normal masyarakat;
(b) dalam kasus pengungsi, ikatan ini telah diputuskan; (c) penganiayaan dan
keterasingan selalu merupakan manifestasi fisik (d) dari ikatan yang terputus
ini; dan (e) manifestasi ini adalah kondisi yang perlu dan cukup untuk
menentukan pengungsi. Dengan demikian, konsepsi memberikan dasar
teoretis untuk definisi tersebut.
Ini menetapkan apa yang esensial dan universal tentang pengungsi. Ini
menegaskan klaim moral dan empiris. Moral, karena mengedepankan adanya
hubungan yang normal dan minimal antara hak dan kewajiban antara warga
negara dan negara, yang negasinya menimbulkan pengungsi. Empiris, karena
menegaskan bahwa akibat sebenarnya dari ikatan yang putus ini selalu
penganiayaan dan keterasingan Definisi “pengungsi” diadopsi oleh Organisasi
Afrika Persatuan (OAU) adalah satu-satunya tantangan yang menonjol
terhadap proposisi bahwa penganiayaan merupakan kriteria penting dari
pengungsian. Definisi tersebut, setelah memasukkan fraseologi berbasis
penganiayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, selanjutnya menyatakan bahwa:
“Istilah ‘pengungsi’ juga berlaku untuk setiap orang yang, karena agresi
eksternal, pendudukan, dominasi asing atau peristiwa yang secara serius
mengganggu ketertiban umum baik di sebagian atau seluruh negara asal atau
kebangsaannya, terpaksa meninggalkan tempat kediamannya yang biasa untuk
mencari perlindungan di tempat lain di luar negaranya. “
Jelas, definisi OAU dan PBB mencerminkan perbedaan yang mencolok
konteks sejarah. Yang terakhir adalah tanggapan terhadap pengalaman

105
totaliter Eropa ketika, memang, para pengungsi pada dasarnya adalah korban
penganiayaan dari negara pemangsa yang sangat terorganisir. Sayangnya,
negara bagian serupa masih ada, dan definisi OAU menyediakannya. Tetapi
definisi OAU mengakui, sebagaimana definisi PBB tidak, bahwa ikatan
normal antara warga negara dan negara dapat diputuskan dengan berbagai
cara, penganiayaan hanyalah satu. Masyarakat secara berkala hancur karena
kerapuhan mereka dan bukan karena keganasan mereka, korban perpecahan
dalam negeri atau intervensi asing. Banyak dari apa yang saya katakan di sini
secara implisit mendukung konsepsi OAU.
Sebuah konsepsi pengungsi yang tepat adalah hal yang penting.
Tanggapan masyarakat internasional yang canggung dan ad hoc terhadap
keadaan darurat pengungsi, tentu saja, terutama disebabkan oleh keengganan
negara-negara berdaulat untuk memberikan penghormatan politik dan
dukungan keuangan kepada badan-badan internasional terkait, keragu-raguan
mereka dalam menanggung beban bantuan materi, suaka, dan pemukiman
kembali, dan kekhawatiran mereka bahwa membantu pengungsi dapat
berdampak negatif terhadap tujuan kebijakan luar negeri lainnya. Namun,
masalahnya hanya sebagian disebabkan oleh konflik politik dan kelangkaan
sumber daya, karena kebingungan konseptual-tentang arti pengungsi,
penyebabnya, dan pengelolaannya-juga berkontribusi pada kesengsaraan
pengungsi dan tuan rumah serta membengkaknya ketegangan internasional.
Konsep “pengungsi” yang terlalu sempit akan berkontribusi pada
penolakan perlindungan internasional kepada banyak orang dalam keadaan
mengerikan yang klaim bantuannya tidak tercela. 7 Ironisnya, bagi banyak
orang di ambang bencana, status pengungsi adalah posisi yang diistimewakan.
Berbeda dengan orang miskin lainnya, pengungsi berhak atas berbagai bentuk
bantuan internasional, termasuk bantuan material, suaka, dan pemukiman
kembali permanen. Sebaliknya, konsepsi yang terlalu inklusif juga dicurigai
secara moral dan akan, sebagai tambahan, secara finansial akan menghabiskan
program bantuan dan merusak kredibilitas posisi istimewa pengungsi di antara
populasi tuan rumah, yang dukungannya sangat penting bagi kelangsungan
hidup internasional program bantuan.
Oleh karena itu, penganiayaan hanyalah salah satu manifestasi dari
tidak adanya keamanan fisik. Penguasa harus, setidaknya, melindungi warga
negara dari invasi asing dan “luka satu sama lain”, yang meliputi perang
saudara, genosida, terorisme, penyiksaan, dan penculikan, baik yang
dilakukan oleh agen negara atau orang lain. Di bawah ambang batas ini tidak
ada negara bagian, dan obligasi yang merupakan dasar normal

106
kewarganegaraan bubar. Oleh karena itu, penganiayaan adalah dasar yang
cukup, tetapi tidak perlu, untuk klaim yang dibenarkan atas pengungsian. Jika
penganiayaan menetapkan klaim yang sah atas status pengungsi, maka
ancaman lain terhadap keamanan fisik juga berlaku.
Saat menentukan siapa yang berhak, atau tidak, berhak atas status
pengungsi, wajar bencana, seperti banjir dan kekeringan, biasanya diabaikan
sebagai dasar klaim yang dapat dibenarkan. Berbeda dengan tindak kekerasan
satu orang bertentangan dengan yang lain, bencana semacam itu tidak
dianggap sebagai peristiwa “politik”. Mereka, seharusnya, merupakan sumber
kerentanan di luar kendali sosial yang karenanya tidak membebankan
kewajiban pada pemerintah untuk mendapatkan pemulihan. Ikatan yang
menyatukan warga dan negara dikatakan bertahan bahkan ketika infrastruktur
atau panen suatu daerah dilenyapkan. Karena negara yang idealnya adil tidak
dapat menyelamatkan kita dari gempa bumi, badai, atau kematian. Legitimasi
negara secara eksklusif bertumpu pada kontrolnya atas tindakan manusia
daripada pada kontrolnya atas kekuatan alam, dan kewajiban pemerintah tidak
lebih jauh dari pada bidang kemampuan manusia. Tapi seperti yang telah
ditunjukkan oleh penulis seperti Lofchie, Sen, dan Shue, “bencana alam”
sering dipersulit oleh tindakan manusia. Kehancuran karena banjir atau
kelaparan yang dianggap alami dapat diminimalkan atau diperburuk oleh
kebijakan dan institusi sosial. Seperti yang dikatakan Lofchie: “Titik tolak
pemahaman politik tentang kelaparan Afrika begitu jelas sehingga hampir
selalu diabaikan: perbedaan antara kekeringan dan kelaparan Sejauh ada
hubungan antara kekeringan dan kelaparan, itu adalah dimediasi oleh tatanan
politik dan ekonomi masyarakat. Ini dapat meminimalkan konsekuensi
kemanusiaan dari kekeringan atau menonjolkan efeknya.
Demikian pula, Sen telah menunjukkan bahwa cuaca dan alam lainnya
faktor sebenarnya memainkan peran yang cukup kecil dalam Kelaparan
Benggala Besar. Ketika kelaparan terjadi bukan karena kekeringan atau banjir
tetapi karena penimbunan padi-padian atau distribusi bantuan material yang
korup, perampasan bukan lagi akibat dari kondisi alam. Sepanjang situasi
yang mengancam nyawa terjadi karena ulah manusia dan bukan karena sebab
alamiah, maka negara tidak memenuhi kewajiban dasarnya untuk melindungi
warga negara dari perbuatan orang lain. Semua hak asasi manusia lainnya
tidak ada artinya ketika kelaparan diakibatkan oleh pengabaian atau kebencian
rezim lokal. Jadi, dalam beberapa keadaan yang mengerikan, apa yang tampak
di permukaan sebagai hasil dari kekuatan alam, jika diamati lebih cermat,
dapat mengungkapkan kelalaian atau ketidakpedulian negara. Seperti

107
ancaman terhadap keamanan fisik, ketika negara tidak bersedia untuk
melindungi warga negara dari tindakan yang mengancam nyawa orang lain,
dasar untuk klaim yang sah atas pengungsi akan muncul.
Ancaman terhadap kehidupan vital tunduk pada logika yang sama.
‘“Untuk Sejauh ancaman tersebut terhadap kelangsungan hidup warga negara
disebabkan oleh tindakan manusia, mereka, seperti ancaman keamanan dan
bencana yang dianggap “alami”, membuat klaim yang sah untuk perlindungan
negara. Seringkali ditegaskan bahwa negara tidak dapat diwajibkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal warganya karena hal itu mungkin
memerlukan akses ke sumber daya di luar kendali negara. Memang, di mana
subsistensi terancam karena kelangkaan sumber daya asli (seperti tidak
adanya tanah subur yang memadai), warga negara tidak dapat secara sah
menuntut makanan pokok dari negara. Namun, pemenuhan kebutuhan
subsisten hanya sebagian dari fungsi ketersediaan sumber daya.

Referensi
Åkesson S., Hedenström A. 2007. How migrants get there: Migratory
performance and orientation. BioScience 57-123 doi:
10.1641/B570207
Baker R.R. 1978. The Evolutionary Ecology of Animal Migration. London
Hodder and Stoughton
Bell C.P. 2005. Inter-and intrapopulation migration patterns. Pages 41-52 in
Greenberg R. Marra P.P. eds. Birds of Two Worlds: The Ecology and
Evolution of Migration. Baltimore: Johns Hopkins University Press
Berthold P., Gwinner E., Sonnenschein E. eds. 2003. Avian Migration. Berlin:
Springer
Both C., Bouwhuis S., Lessells C.M., Visser M.E. 2006. Climate change and
population declines in a long-distance migratory bird. Nature-441. 81-
83
Bullock J.M., Kenward R.E., Hails R.S. eds. 2002. Dispersal Ecology: The
42nd Symposium of the British Ecological Society. Oxford (United
Kingdom): Blackwell.
Cheke R.A., Tratalos J.A. 2007. Migration, patchiness, and population
processes illustrated by two migrant pests. BioScience. 57: 145-
154.doi: 10.1641/B570209
Cooter R.J. 1983. Studies on the flight of black-flies (Diptera: Simuliidae). II.
Flight performance of three cytospecies in the complex of Simulium

108
damnosum Theobald. Bulletin of Entomological Research 73: 275-
288.
Denno R.F. Roderick G.K., Olmstead K.L., Dobel H.G. 1991. Density related
migration in planthoppers (Homoptera: Delphacidae): The role of
habitat persistence. American Naturalist. 138: 151-1541.
Deveson E.D., Drake V.A., Hunter D.M., Walker P.W., Wang H.K. 2005.
Evidence from traditional and new technologies for northward
migrations of Australian plague locust (Chortoicetes terminifera)
(Walker) (Orthoptera: Acrididae) to western Queensland. Austral
Ecology 30: 928-943.
Dingle H. 1996. Migration: The Biology of Life on the Move. New York,
Oxford University Press.
Dingle H. 2001. The evolution of migratory syndromes in insects. Pages 159-
181in Woiwood LP Reynolds.
Dingle H. 2006. Animal migration: Is there a common migratory syndrome?.
Journal of Ornithology. 147: 212-220.
Drake V.A., Gatehouse A.G. 1996. Population trajectories through space and
time: A holistic approach to insect migration. Pages 399-408 in Floyd
RB Sheppard AW De BarroPI. eds. Frontiers of Population Ecology.
Colling-wood (Australia), CSIRO.
Drake V.A., Gatehouse A.G., Farrow R.A. 1995. Insect migration: A holistic
conceptual model. Pages427-457 in Drake V.A., Gatehouse A.G. eds.
Insect Migration: Tracking Resources through Space and Time.
Cambridge (United Kingdom): Cambridge University Press.
Gandon S. Michalakis Y. 2001. Multiple causes of the evolution of dispersal.
Pages155-167 in Clobert J Danchin E Dhondt AA Nichols JD. eds.
Dispersal. Oxford (United Kingdom): Oxford University Press.
Gatehouse AG. 1987. Migration: A behavioral process with ecological
consequences?. Antenna. 11: 10-12.
Gauthreaux S.A. 1980. The influences of long-term and short-term climatic
changes on the dispersal and migration of organisms. Pages103-174
in Gauthreaux S.A. ed. Animal Migration, Orientation, and
Navigation. New York, Academic Press.
Greenberg R. Marra P.P. eds. 2005. Birds of Two Worlds: The Ecology and
Evolution of Migration. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Greenwood P.J., Harvey P.H. 1982. The natal and breeding dispersal of birds.
Annual Review of Ecology and Systematics. 13: 1-21.

109
Griffioen P.A., Clarke M.F. 2002. Large-scale bird-movement patterns in
eastern Australian atlas data. Emu. 102: 97-125.
Han E.N., Gatehouse A.G. 1993. Flight capacity: Genetic determination and
physiological constraints in a migratory moth Mythimna separata.
Physiological Entomology. 18: 183-188
Hanski I. 1999. Metapopulation Ecology. New York: Oxford University
Press.
Hardie I. Powell G. 2002. Video analysis of aphid flight behaviour.
Computers and Electronics in Agriculture. 35: 229-242.
Helbig A.J. 2003. Evolution of bird migration: A phylogenetic and geographic
perspective. Pages 3-20 in Berthold P. Gwinner E. Sonnenschein E.
eds. Avian Migration. Berlin: Springer.
Hockey P.A.R., Leseberg A. Loewenthal D. 2003. Dispersal and migration of
juvenile African black oystercatchers Haematopus moquini. Ibis. 145:
E114-E123.
Howard W.E. 1960. Innate and environmental dispersal of individual
vertebrates. American Midland Naturalist. 63: 152-161.
Irwin D.E. Irwin J.H. 2005. Siberian migratory divides. Pages 27-40 in
Greenberg R. Marra P.P. eds. Birds of Two Worlds: The Ecology and
Evolution of Migration. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Jahn A.E., Levey D.J., Smith K.G. 2004. Reflections across hemispheres: A
system-wide approach to New World bird migration. The Auk. 121:
1005-1013.
Kennedy J.S. 1966. Nervous coordination of instincts. Cambridge Research.
2: 29-32.
Kennedy J.S. 1985. Migration: Behavioral and ecological. Pages 5-26 in
Rankin M.A. ed. Migration: Mechanisms and Adaptive Significance.
Contributions in Marine Science 27 (suppl.) Austin, Marine Science
Institute, University of Texas.
Kenward R.E., Rushton S.P., Perrins C.M., Macdonald D.W., South A.B.
2002. From marking to modelling: Dispersal study techniques for
land vertebrates. Pages 50-71 in Bullock J.M., Kenward R.E., Hails
R.S. eds. Dispersal Ecology: The 42nd Symposium of the British
Ecological Society. Oxford (United Kingdom): Blackwell.
Lee, E. 1966. A Theory of Migration. Demography, 3(1), 47-57.
doi:10.2307/2060063
Massey, D., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A., & Taylor, J.
1993. Theories of International Migration: A Review and Appraisal.

110
Population and Development Review, 19(3), 431-466.
doi:10.2307/2938462
McKeown B.A. 1984. Fish Migration. London, Croom Helm. Newton I. Dale
L. 1996. Bird migration at different latitudes in eastern North
America. The Auk. 113: 626-635.
Ovaskainen O. Hanski I. 2004. From individual behavior to metapopulation
dynamics: Unifying the patchy population and classic metapopulation
models. American Naturalist. 164: 364-377.
Pennycuick C., Alerstam T., Hedenström A. 1997. A new low-turbulence
wind tunnel for bird flight experiments at Lund University, Sweden.
Journal of Experimental Biology. 200: 1441-1449.
Piersma T., Pérez-Tris J., Mouritsen H., Bauchinger U., Bairlein F. 2005. Is
there a “migratory syndrome” common to all migrant birds?. Annals
of the New York Academy of Sciences. 1046: 282-293.
Pulido F. 2007. The genetics and evolution of avian migration. BioScience.
57: 165-174.doi: 10.1641/B570211.
Pulido F., Berthold P. 2003. The quantitative genetic analysis of migratory
behaviour. Pages53-77inBerthold P Gwinner E Sonnenschein E. eds
Avian Migration. Berlin, Springer.
Ramenofsky M., Wingfield J.C. 2007. Regulation of migration. BioScience.
57: 135-143. doi: 10.1641/B570208.
Rankin M.A. ed. 1985. Migration: Mechanisms and Adaptive Significance.
Contributions in Marine Science. 27: (suppl) Austin, Marine Science
Institute, University of Texas.
Taylor L.R., Taylor R.A.J. 1977. Aggregation, migration and population
mechanics. Nature. 265: 415-421.
Thomas C.D. eds. Insect Movement: Mechanisms and Consequences.
Wallingford (United Kingdom): CABI.

111
BAGIAN KETIGA

MASALAH DAN SISTEM KEPENDUDUKAN

Perkembangan kependudukan, baik terjadi peningkatan jumlah ataupun


penurunan sama-sama memiliki konsekuensi terhadap sumber daya yang akan
diusahakan. Peningkatan kualitas penduduk, akan berkolerasi dengan kualitas
penduduk. Demikian halnya dengan kuantitas penduduk dalam sistem
kependudukan, kelahiran, perpindahan, kematian tidak terlepas dari unit
terkecil dari suatu masyarakat. Di dalamnya juga terdapat administrasi
kependudukan yang berhubungan dengan pencatatan terhadap kelahiran,
kematian, pertambahan/pengurangan migrasi menjadi bagian dalam bahasan
bagian ini. Untuk itu bahasan mengenai (1) Pembangunan Keluarga (2)
Administrasi Kependudukan (3) Isu-Isu dan Masalah Kependudukan (4)
Pendekatan Sistem dalam Kependudukan akan dikupas dalam bagian ini.

112
BAB 6
PEMBANGUNAN KELUARGA

Tersebutlah kisah Nabi Nuh a.s. yang mencoba menyelamatkan Kan’an dari
banjir air bah, namun karena kedurhakaan anaknya, Nabi Nuh sendiri tidak
dapat menyelamatkan anaknya tersebut. Kisah lain adalah tentang
bagaimana Nabi Ibrahim agar orang tuanya diberikan petunjuk dan hidayah
dalam pengakuan ke-Esaan Tuhannya. Kedua kisah tersebut meninggalkan
duka yang mendalam ketika mereka (dua nabi tersebut) ingin menyatukan
dalam ikatan akidah, namun tidak bisa. Kisah tersebut tidak lain merupakan
bagian ikhtiar dari Nabi Nuh dan Ibrahim dalam menyelamatkan
keluarganya yang di dalam QS: At-Tahrim (66);6 menyebutkanYā
ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw …..”Wahai orang-
orang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Ayat
tersebut bermakna mendalam dan berimplikasi pada betapa pentingnya
menjaga anggota keluarga dari perbuatan jahat (dosa) yang mengarah pada
terjerumusnya anggota keluarga masuk dalam neraka.

Pendahuluan
Dua kisah tersebut memberikan isyarat kepada manusia bahwa keluarga
secara natural awalnya merupakan kumpulan manusia dari dua jenis kelamin
yang berbeda, awalnya diikat oleh tali pernikahan selanjutnya menghasilkan
keturunan yang ikatannya menjadi tali darah. Keluarga menjadi arena untuk
membentuk pribadi-pribadi manusia. Dari keluarga inilah cikal bakal anak
akan menjadi dokter atau robber (perampok), insinyur atau pelacur, ustaz atau
murtad.
Dalam keluarga inilah bertemunya dua nilai individu yang berbeda
untuk diharmonisasi, disatukan dan pada akhirnya terbentuklah norma
keluarga. Norma ini kemudian akan bersama-sama lingkungan membentuk
karakter anak. Jadi jelaslah sudah bahwa keluarga memiliki peran yang sangat
vital dalam membentuk karakter-karakter manusia bangsa. Lalu bagaimana

113
dengan keluarga-keluarga Indonesia saat ini? Apakah memang keluarga
Indonesia sedang menuju kemunduran sehingga bangsa Indonesia juga
mengalami kemunduran? Lalu apa yang membuat keluarga ini mengalami
degradasi moral, sehingga mulai muncul fenomena LGBT, penyalahgunaan
narkoba, anak broken home, pemerkosaan dan fenomena serta masalah-
masalah sosial lain.
Belum lagi, tekanan globalisasi yang mencoba menggoyang keberadaan
keluarga natural saat ini. Bentukan keluarga yang boleh dikatakan aneh-aneh,
keluarga dari pasangan sejenis, keluarga tanpa melalui proses reproduksi.
Padahal tujuan keluarga pada dasarnya adalah meneruskan keturunan generasi
supaya manusia tidak punah. Walaupun dalam praktiknya ada saja keluarga
yang tidak dapat beranak-pinak karena persoalan kesehatan atau alasan medis,
tapi sejatinya hakikat bentukan keluarga secara natural adalah salah satunya
memang untuk reproduksi. Alamiahnya, untuk menghasilkan keturunan,
keluarga harus terbentuk dari pasangan antara laki-laki dan perempuan. Tapi
saat ini, tekanan global mencoba menggeser hal tersebut, maka lihatlah
fenomena saat ini yang sedang terjadi.
Fenomena keluarga di Indonesia saat ini menuju ke arah trikotomi
nilai-nilai keluarga. Diakui atau tidak, faktual di masyarakat sudah ada
keluarga yang tidak pernah mengajarkan agama kepada anaknya. Jangankan
mengajarkan budaya, anak-anak mereka diberikan kebebasan untuk menganut
apapun asalkan secara materi mereka sukses. Sebaliknya, ada keluarga yang
mengajarkan nilai-nilai konservatif tekstualis dan intoleran terhadap
perbedaan, pandangan terhadap kebenaran bersifat tunggal agama. Lalu ada
sebagian keluarga yang tetap mengajarkan nilai-nilai budaya sebagai basis
nasionalis toleran tanpa mengabaikan lokalitas budaya dan agama. Secara
singkat, kategori keluarga dalam ranah masyarakat Indonesia saat ini ada tiga
mainstream yaitu, (a) keluarga yang masih memegang nilai-nilai dan norma
budaya lokal, (b) keluarga yang sudah menyimpang dari nilai-nilai budaya
Indonesia, (c) keluarga yang sudah keluar dari norma.
Persoalan berikutnya, karena banyaknya perbedaan yang tidak
terselesaikan dalam keluarga, suami dan istri yang berujung pada konflik,
maka timbullah perceraian. Data tahunan Pengadilan Tinggi Agama Prov.
Sumbar menunjukkan terjadinya peningkatan yang cukup signifikan dari
tahun ke tahun masalah perceraian (Lihat Tabel 1, 2 dan 3). Dan perceraian
tertinggi diajukan oleh pihak istri dibandingkan oleh pihak suami. (Lihat
kolom Cerai talak dan cerai gugat) Tahun 2017 terjadi perceraian 6.955yang
diputus pengadilan agama se-Indonesia yang terdiri dari 1.919 cerai talak dan

114
5.036 cerai gugat. Sedangkan di Tahun 2019 telah terjadi peningkatan
perceraian sekitar 8.653 perceraian yang terdiri dari 2.653 cerai talak dan
6.387 cerai gugat.
Dari beberapa persoalan perceraian tersebut, menjadi urgen bagi
lembaga perkawinan untuk menjaga keutuhan rumah tangga/keluarga dari
jurang kehancuran. Tentunya persiapan berkeluarga harus direncanakan
dengan baik oleh para calon pengantin. Begitu pun ketika perkawinan telah
terjadi, lembaga perkawinan hendaknya juga mampu menjaga keutuhan
rumah tangga supaya keluarga-keluarga memiliki ketahanan. Meskipun
sebab-sebab perceraian cukup beragam, namun yang perlu menjadi perhatian
saat ini adalah banyak pasangan pengantin yang tidak mempersiapkan dan
merencanakan perkawinan dengan matang. Meskipun juga ada Badan
Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), namun fungsi ini
belum berjalan dengan maksimal.

115
116
Tabel 6.1: Rekapitulasi Perkara Diputus Pengadilan Tinggi Agama Sumbar 2017

NO JENIS PERKARA
Jumlah

PA. Talu

PA. Solok
PA. Painan

PA. Padang
Keterangan

PTA. Padang
PA. Pariaman
PA. Sijunjung
PA. Maninjau

PA. Koto Baru

PA. Bukittinggi
PA. Sawahlunto

PA. Batusangkar
PA. Tanjung Pati

PA. Payakumbuh
PA. Muara Labuh
PA. Lubuk Basung

PA. Lubuk Sikaping

PA. Padang Panjang


A Dikabulkan
1 Izin Poligami 1 1 1 1 1 1 6
2 Pencegahan Perkawinan 1 1
3 Penolakan Perkara oleh PPN 0
4 Pembatalan Perkawinan 1 1
5 Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri 0
6 Cerai Talak 21 286 140 149 142 113 60 70 62 72 91 147 67 77 157 42 156 67 1919
7 Cerai Gugat 15 842 532 381 434 347 190 186 182 161 215 307 175 179 260 107 340 183 5036
8 Harta Bersama 8 5 1 2 1 1 1 2 1 1 2 25
9 Penguasaan Anak 1 2 1 2 1 3 1 11
10 Nafkah Anak Oleh Ibu 0
11 Hak Bekas Isteri 0
12 Pengesahan Anak 2 1 3 2 8 16
13 Pencabutan Kek. Orang Tua 1 1
14 Perwalian 2 1 4 14 4 4 5 3 4 41
15 Pencabutan Kekuasaan Wali 0
16 Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali 1 2 2 5
17 Ganti Rugi Terhadap Wali 0
18 Asal Usul Anak 1 1 2
19 Pen. Kawin Campuran 0
20 Isbat Nikah 301 130 115 73 177 19 74 58 55 37 115 135 120 495 72 358 204 2538
21 Izin Kawin 1 1 1 1 4

Sumber Data: Laporan Tahunan Pengadilan Tinggi Agama Prov. Sumbar 2018
Tabel 6.2: Rekapitulasi Perkara diputus Pengadilan Tinggi Agama Indonesia 2018.
A. Perkawinan

PENGADILAN AGAMA
Gugur

Ditolak
Jumlah

NOMOR
JUMLAH
E. Hibah
F. Wakaf

DICABUT
D. Wasiat
I. Lain-lain

C. Kewarisan

Perwalian
Izin Kawin
Keterangan *)

Sisa tahun lalu


Cerai Talak
Wali Adhol

Isbat Nikah
Tidak Diterima

Cerai Gugat

Izin Poligami
Sisa Akhir Tahun

Harta Bersama
Asal-usul Anak
B. Ekonomi Syariah
Dicoret Dari Register

Penguasaan Anak
Dispensasi Kawin

Pengesahan Anak

Perkara yang diterima


Ganti Rugi Thd Wali

Hak-hak bekas isteri


Nafkah Anak Oleh Ibu
Pen. Kawin Campuran
G. Zakat / Infaq / Shodaqoh

Pembatalan perkawinan

Pencegahan Perkawinan
Penolakan perk. Oleh PPN
Pencabutan Kek. Orangtua
Perkara yang sudah diminutasi

H. P3HP / Penetapan Ahli Waris

Pencabutan Kekuasaan Wali

Kelalaian atas kewajiban Sm/Is


Penunjukan Orang Lain sebagai Wali
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
1 PADANG 212 2063 2275 210 - 417 1047 7 1 3 1 264 26 6 1 1 24 7 60 95 38 29 2237 38 2229
2 PARIAMAN 82 1087 1169 58 1 197 660 - 4 176 9 5 1 13 7 7 8 1146 23 1144
3 BATUSANGKAR 16 753 769 80 - 143 414 1 2 72 24 3 1 3 5 3 3 5 759 10 759
4 BUKITTINGGI 129 929 1058 93 - 180 480 3 8 163 7 4 11 12 6 22 25 11 1025 33 1025
5 PAYAKUMNUH 13 826 839 39 2 1 160 401 1 1 5 1 155 18 4 2 5 2 9 6 16 9 837 2 837
6 SAWAHLUNTO 6 157 163 13 - 1 34 98 1 4 1 2 4 1 3 162 1 162
7 SOLOK 2 505 507 32 - 109 304 3 1 32 10 2 3 5 2 1 3 507 507
8 PADANG PANJANG 3 364 367 27 - 68 209 34 9 5 5 1 6 2 366 1 372
9 MUARA LABUH 1 528 529 19 1 68 219 1 175 28 2 1 5 4 4 527 2 527
10 SIJUNJUNG 4 457 461 17 - 58 236 1 3 112 22 3 4 2 1 459 2 459
11 KOTO BARU 2 668 670 49 - 146 354 4 55 33 1 5 4 4 5 3 663 7 663
12 PAINAN 3 663 666 31 - 118 328 2 1 1 1 118 8 2 2 9 15 16 5 657 9 657
13 LUBUK SIKAPING 10 526 536 21 - 69 251 2 1 138 20 1 1 9 8 5 4 3 533 3 533
14 TALU 70 781 851 45 - 193 370 4 1 149 18 3 6 3 3 6 5 5 6 10 827 24 827
15 MANINJAU 19 218 237 15 - 31 123 1 1 1 41 2 2 3 1 8 6 1 236 1 236
16 LIMA PULUH KOTA 9 683 692 36 - 118 415 3 75 29 1 3 4 2 2 688 4 688
17 LUBUK BASUNG - 562 562 31 1 78 285 1 1 1 1 134 9 3 3 6 1 1 5 1 562 562
18 PULAU PUNJUNG 26 427 453 22 79 193 1 2 2 103 12 9 11 1 435 18 435
JUMLAH 607 12197 12804 838 5 0 0 2 0 2266 6387 21 8 1 0 2 0 42 1 1 0 4 0 2000 0 285 40 0 10 1 3 0 0 64 63 154 177 158 93 12626 178 12622 0

Sumber Data: Laporan Tahunan Pengadilan Tinggi Agama Prov. Sumbar 2019

117
Data-data di atas merupakan salah satu kasus fenomena sosial, tingkat
perceraian di Provinsi Sumatera Barat. Kadang ironi memang, saat daerah
Sumatera Barat yang nota bene-nya masyarakat dengan tingkat keagamaan
dan budaya yang masih kuat. Namun, munculnya fenomena tersebut
memberikan kesadaran kepada kita bersama bahwa ada berbagai macam
variabel atau motif yang menjadi latar belakang terjadinya perceraian.
BP4 merupakan badan atau lembaga yang telah mendapatkan
pengakuan resmi dari pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya surat
keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 85 tahun 1961 yang telah menetapkan
BP4 sebagai satu-satunya badan atau lembaga yang bergerak pada bidang
penasihatan perkawinan dan pencegahan terjadinya perceraian. Meski telah
menjadi satu-satunya Lembaga penyelamat perkawinan, namun tidak salahnya
ada Lembaga lain yang turut bekerja maksimal dalam mendukung program
yang ada di BP4 itu sendiri.
Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat dan kumpulan keluarga
ini yang membentuk eksistensi masyarakat. Norma kolektif dalam keluarga
inilah yang pada akhirnya melembaga dalam masyarakat dan menjadi
kebiasaan, tradisi dan pada akhirnya menjadi budaya dalam masyarakat.
Menurut Gerungan (2009) keluarga adalah sekelompok orang yang diikat oleh
perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anak-anak.
Keluarga juga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia, tempat belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam
hubungan interaksi dengan kelompoknya.
Seorang pakar konseling keluarga, seperti Sayekti (1994)
mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar
perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama
atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan
atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah
rumah tangga. Undang-Undang 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan
Penduduk dan Pembangunan Keluarga, mendefinisikan keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Untuk membahas tentang pembangunan keluarga, maka dalam bab ini
dijelaskan tentang urgensi ketahanan keluarga dalam tatanan masyarakat yang
meliputi keberfungsian keluarga. Evolusi tentang keluarga berencana sebagai
lembaga negara dalam membangun keluarga dan juga kontribusi lembaga
dunia dalam turut serta membangun keluarga.

118
Ada Apa dengan Keluarga?
Hampir setiap orang pernah mengucapkan kata keluarga, meskipun
kadang dipahami secara awam. Kecenderungan pada saat tertentu saja
mendefinisikan apa itu keluarga, apakah sama pengertian keluarga dengan
rumah tangga ataupun konsep lainnya yang terkait? Wajar saja hal tersebut
terjadi, karena meskipun banyak ahli berkeyakinan bahwa keluarga adalah
institusi tua dan telah lama ada dalam kehidupan manusia. Selain itu,
dipercaya bahwa keluarga merupakan unsur yang membangun kehidupan
sosial, bangsa dan negara. Namun praktiknya, setiap kelompok masyarakat
yang ada di berbagai belahan dunia memperlihatkan keanekaragaman makna
keluarga. Contohnya, ada kelompok masyarakat berbentuk keluarga poligini
(seorang pria memiliki beberapa istri dalam waktu bersamaan), poliandri
(seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan), atau monogami (seorang laki-laki hanya memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu istri). Keluarga prokreasi (family of
procreation), yaitu keluarga yang terbentuk jika suatu pasangan memperoleh
anak pertama atau keluarga orientasi (family of orientation), keluarga di mana
setiap orang tumbuh, keluarga batih (nuclear) dan keluarga besar (extended).
Di samping itu juga ada yang disebut dengan keluarga karena adanya
hubungan darah, pernikahan atau adopsi, sehingga keluarga memiliki
kerumitan tersendiri untuk didefinisikan. Namun meskipun demikian, sebuah
kesadaran bersama bahwa keluarga merupakan elemen vital yang membangun
tatanan kehidupan sosial, berbangsa bernegara. Semuanya berawal dari
keluarga.
Pandangan umum banyak orang menganggap keluarga memiliki
pengertian yang sama dengan rumah tangga, namun sebenarnya dapat
dibedakan. Beberapa ahli yang mendefinisikan keluarga, di antaranya adalah
Murdock. Ia menjelaskan bahwa keluarga terdiri atas lelaki dewasa dan
perempuan dewasa dengan kesepakatan hubungan seksual dan bisa
mempunyai anak. Mereka juga dapat tinggal satu atap. Sedangkan menurut
Wilk dan Netting serta Hammel dan Cartel, keluarga adalah pengelompokan
kerabat yang dapat tinggal terpisah. Terkait dengan tempat tinggal ini tentu
sangat mudah kita temui kini. Meskipun mereka berkeluarga, tetapi karena
suatu alasan tertentu dapat saja terpisah dan hidup tidak serumah dalam tempo
tertentu, seperti alasan pekerjaan. Akan tetapi sewaktu-waktu mereka dapat
berkumpul kembali.
Erich Fromm, seorang psikolog sosial membagi keluarga menjadi tiga
jenis. Di mana ketiga jenis keluarga ini akan mempengaruhi terhadap bentuk

119
kepribadian dan kualitas anak-anaknya. Pertama, keluarga simbiotik. Konsep
ini seperti halnya simbiosis dalam hubungan dua makhluk hidup. Di mana
keberadaan yang satu menentukan keberadaan yang lain, saling membutuhkan
dan menguntungkan satu sama lain. Dalam keluarga simbiotik beberapa
anggota keluarga “dikuasai” oleh anggota keluarga yang lain. Contoh
sederhana adalah orang tua yang “menguasai” anaknya, sehingga kepribadian
anak tumbuh menjadi bayangan keinginan orang tua. Dalam masyarakat
tradisional hal ini biasa terjadi terutama pada diri anak-anak perempuan. Tapi
ada pula anak yang menguasai orang tua, dalam kasus ini, anak mendominasi
atau memanipulasi orang tua yang keberadaannya hanya melayani keinginan
anaknya.
Kedua, keluarga acuh tak acuh. Jenis keluarga ini dicirikan dengan
adanya pengabaian yang dingin, kalau bukan kebencian yang dingin. Jenis
keluarga yang “dingin” ini adalah bentuk pertama dari dua bentuk keluarga
yang acuh tak acuh dalam peradaban manusia. Dalam keluarga ini, tuntunan
orang tua kepada anak-anaknya sangat kuat, mereka diharapkan mampu
meraih standar penghidupan yang lebih baik. Hukuman yang diberikan
apabila anak berbuat salah dilaksanakan dengan “darah dingin” yang
dijatuhkan “demi kebaikanmu sendiri”. Anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga ini sangat terdorong bahkan cenderung bernafsu untuk meraih
kesuksesan sebagaimana yang diinginkan budaya yang membesarkan mereka.
Bentuk kedua dari keluarga acuh tak acuh adalah keluarga modern. Perubahan
cara pandang tentang bagaimana mengasuh anak telah membuat para orang
tua tidak mau lagi menjatuhkan hukuman fisik dan perasaan bersalah kepada
anak-anak mereka yang bersalah. Cara ini ditukar dengan gagasan yang lebih
baru, yakni dengan menjadikan anak-anak setara dengan orang tua. Seorang
ayah menjadi “sahabat” anaknya. Atau seorang ibu menjadi “teman curhat”
anaknya. Tapi masalahnya adalah ketika mereka mengontrol emosi anak-
anak, orang tua cenderung tidak terlalu tanggap. Dalam keluarga seperti ini
anak-anak tumbuh tanpa tuntunan orang tua mereka. Mereka memperoleh
nilai-nilai yang diperlukan untuk tumbuh dewasa dari teman-teman atau dari
media massa. Lari dari keluarga sangat kentara dalam keluarga ini, yaitu
konformitas otomaton. Keluarga semacam inilah yang sangat dicemaskan
Fromm. Menurut Fromm keluarga sangat ideal jika orang tua bertanggung
jawab dalam mendidik dan memberdayakan akal pikiran anak-anaknya dalam
suasana yang penuh cinta. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga semacam
ini mampu memperlihatkan kebebasan mereka dan bertanggung jawab pada
diri mereka sendiri, serta kepada masyarakat secara keseluruhan. Begitu

120
pentingnya arti keluarga, di Indonesia dijadikan setiap tanggal 29 Juni
diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas).

Keluarga diawali dari Pernikahan


Dalam mempelajari demografi, maka ada dua hal yang dikaji dalam
keluarga, yaitu terkait perkawinan dan perceraian. Di Indonesia, berdasarkan
Undang-Undang No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga memberikan definisi keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri, dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu anaknya. Meskipun tidak dituliskan secara
implisit, secara universal keluarga diawali dengan suatu ritual tertentu atau
upacara yang disebut dengan pernikahan. Dengan demikian, perencanaan
akan saat berkeluarga dan menciptakan pembangunan keluarga merupakan hal
yang terpenting dalam kehidupan ideal setiap manusia.
Berawal dari pernikahan, terbuhul sebuah ikatan ‘permanen’ antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk memenuhi tujuan biologis,
yaitu menata hubungan seksual sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku,
sehingga membawa konsekuensi hak dan kewajiban. Secara psikologis ada
beberapa alasan mengapa pernikahan merupakan fase terpenting atau bahkan
seperti puncak dari keberhasilan pencapaian fase, yaitu alasan cinta yang
bertujuan sebagai usaha untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman dan
kebahagiaan. Di samping itu juga dapat didorong alasan ekonomi (economic
security), ketertarikan fisik dan seksual (physical and sexual atrtraction)
hingga alasan budaya dan keagamaan serta berbagai motivasi lainnya. Dari
pernikahanlah akan lahir anak, yang membawa pertambahan penduduk.
Di Indonesia, diketahui belum ada pembelajaran yang sistematis dan
memiliki kurikulum untuk dipelajari bagi warga negara secara terstruktur
secara formal di sekolah sejak dini. Kecenderungan, bila akan menikah pada
konteks hari ini, lebih mengutamakan keluarga inti untuk memberikan
pembelajaran atau pengetahuan kepada calon pengantin. Sedangkan, pada
zaman dahulu hingga era 90-an awal, pada masyarakat suku Minang
memfungsikan saudara laki-laki ibu untuk membimbing anak saudara
perempuannya, yang dikenal dengan sebutan mamak. Namun, beberapa waktu
belakangan ini sudah memudar, bahkan tidak berfungsi lagi. Hal ini
disebabkan karena telah beralihnya masyarakat menuju keluarga kecil pada
masyarakat Minang, sehingga bila dahulunya orang tua laki-laki tidak hanya
berperan sebagai ayah, akan tetapi juga berfungsi sebagai mamak, sesuai
dengan pepatah, ‘anak dipangku, kamanakan dibimbiang dan orang

121
kampuang dipatenggangkan’. Artinya, seorang laki-laki dewasa yang telah
menikah pada masyarakat Minang, memiliki banyak fungsi. Kalaupun ada
yang fokus di bangku sekolahan yang mempelajari tentang keluarga adalah
pada tingkat Perguruan Tinggi, saat sekarang ini di Indonesia, yaitu pada
Institut Pertanian Bogor (IPB), yang membuka jurusan Ilmu Keluarga,
sehingga cenderung sebahagian besar manusia menjalani keluarga secara
alamiah.

Perkawinan atau Pernikahan?


Dua kata di atas, yaitu perkawinan dan pernikahan seringkali juga
dianggap sama secara awam. Namun, tentu secara definisi dapat saja memiliki
arti yang berbeda, meskipun ada juga irisannya. Misalkan bila diartikan dari
asal katanya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, kata
kawin lebih fokus pada hubungan jenis kelamin, sedangkan nikah lebih pada
ikatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama,
hidup sebagai suami istri serta melegalkan hubungannya (menata hubungan
seksual). Di dalam sebuah perkawinan cenderung diawali dengan rasa suka,
memiliki atau cinta. Tujuan dari pernikahan atau perkawinan tersebut meliputi
berbagai aspek, yaitu biologis, psikologis, religius dan sosial. Aktivitas yang
dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat mana pun dan memiliki upacara
keagamaan atau sosial sesuai dengan kepercayaan dan budaya yang ada di
daerah tersebut, semuanya disepakati secara bersama. Akibat dari pernikahan
tersebut membawa konsekuensi hak dan kewajiban, sehingga melahirkan
institusi keluarga (nilai dan norma dalam keluarga). Posisi atau status sosial
dalam keluarga tersebut ‘baku’ dan tidak boleh bertukar. Hal ini didasarkan
pada peran yang mesti dilakukan oleh masing-masingnya. Baik sebagai
suami, atau istri atau anak. Akan menjadi salah bila seorang suami berperan
sebagai anak, dan sebaliknya anak berperan sebagai ayah.
Di samping motif rasa cinta, ada beberapa alasan yang mendorong
seseorang melakukan pernikahan, yaitu:
1. Perintah Agama (Religiositas)
Hampir semua agama besar atau agama langit (great religion)
memberikan perintah untuk umatnya melakukan pernikahan, meskipun ada
juga yang membolehkan untuk berselibat (tidak menikah). Hal ini didasarkan
dalam rangka keberlangsungan peradaban manusia itu sendiri, karena manusia
adalah khalifah di buka bumi. Dalam pandangan Islam dinyatakan bahwa
menikah adalah sebuah ibadah dan bahkan sempurnanya agama seseorang
ketika ia telah menikah. Maka, momen pernikahan dianggap sebuah prosesi

122
sakral. Demikian juga halnya saat pernikahan adalah sebuah tanggung jawab
secara sosial budaya. Saat berkeluarga, maka nilai-nilai dan norma-norma
sosial dapat. Dari relasi pernikahanlah kehidupan sosial dan budaya dimulai.
Seringkali menikah adalah impian setiap dan merupakan aplikasi puncak
keberhasilan fase kehidupan setelah ia berjuang dalam membentuk hidupnya
menjadi pribadi yang matang.
2. Tanggung Jawab secara Sosial Budaya
Seseorang melakukan pernikahan didorong oleh fakta-fakta sosial
dalam kehidupannya. Misalkan, menikah dianggap sebagai fase secara sosial
yang semestinya dilakukan oleh setiap orang yang dewasa. Akan menjadi
‘masalah tersendiri’ bagi orang tua, apabila ada dari anaknya belum menikah,
apalagi apabila anaknya sudah masuk pada usia yang tinggi, sementara ia
telah dianggap matang secara fisik, maupun mental ataupun telah bekerja.
Tidak jarang dalam kehidupan bersama itu akan menjadi ‘momok’, selalu
dipertanyakan, kapan si anak akan menikah.
Menikah secara sosial budaya merupakan tanggung jawab yang mesti
dilakukan, karena dengan menikah kehidupan sosial dan budaya-budaya dapat
terus berlangsung dalam kehidupan. Pada pernikahan ada berbagai macam
prosesi yang mesti dilakukan, sebagai bentuk keseimbangan kehidupan
bersama.
3. Ketertarikan Fisik dan Seksual
Sebuah kodrat manusia untuk memiliki fitrah ketertarikan dengan
lawan jenis. Laki-laki menyukai perempuan dan sebaliknya, perempuan
memiliki ketertarikan kepada laki-laki. Banyak hal yang membuat mereka
saling tertarik satu sama lain, seperti fisik. Setiap perempuan atau laki-laki
memiliki konsep masing-masing terhadap pasangan yang dianggapnya ideal,
namun tidak bisa dipungkiri bahwa konstruksi sosial sangat memberikan
banyak pengaruh, seperti, perempuan yang dianggap cantik itu adalah
berambut panjang, berkulit putih, tinggi semampai, berhidung mancung, bibir
seksi dan laki-laki yang dianggap idola kaum perempuan adalah yang
perawakannya tinggi besar dan berbidang, berkumis dan berjenggot tipis,
hidung mancung, berbulu, rambut klimis. Namun, seiring waktu berjalan
konstruksi sosial tersebut bisa saja bergeser. Hasrat untuk memiliki pasangan
ideal yang diikat melalui pernikahan, dianggap berelasi terhadap pemenuhan
hasrat seksual.
4. Cinta
Hampir setiap orang menjadikan cinta sebagai alasan dalam melakukan
pernikahan, karena dianggap aktualisasi puncak dari cinta adalah memiliki

123
dan itu diikat dengan pernikahan. Melalui cinta, dapat mengekspresikan rasa
kasih sayang, menjaga dan selalu bersama secara sah dan aman. Dari rasa
cinta itulah akan mendatangkan rasa ketenangan dan kenyamanan dengan
yang dicintai (pasangan). Dari cinta inilah akan melahirkan rasa senang dan
bahagia.
5. Keluar dari Kesepian dan Mendapatkan Teman Hidup
Manusia secara kodrat adalah makhluk sosial. Dengan demikian,
hampir tidak ada yang menginginkan kesendirian, butuh teman hidup, yaitu
seseorang tempat berbagi kasih, tidak hanya rasa senang, tetapi juga rasa
sedih, sehingga merasa mendapatkan dukungan dan membantu kehidupan
secara psikologis. Dengan demikian, apabila telah menikah, maka masalah
tidak hanya dirasakan dan dimiliki sendiri saja, melainkan milik ‘bersama’
(suami istri).
6. Keamanan Ekonomi
Ekonomi kadang kala juga menjadi alasan mengapa seseorang
memutuskan untuk menikah, bahkan dalam pandangan Islam, apabila
seseorang menikah, maka ia akan menjadi kaya. Pasangan suami istri akan
dilimpahkan berbagai macam bentuk rezeki, baik berupa benda, maupun non
benda. Rezeki benda, seperti pendapatan (uang). Di mana dengan menikah,
maka uang tidak hanya bersumber dari satu saja, melainkan dapat
digabungkan keduanya (suami istri). Kodrat manusia untuk melakukan
pernikahan, terutama diwajibkan dengan lawan jenis (laki-laki perempuan)
akan memberikan beberapa manfaat, di antaranya adalah:
7. Semakin Jelasnya Tujuan Hidup
Kehidupan seseorang sebelum menikah dengan yang telah menikah
akan dapat terlihat jelas perbedaannya. Apabila seseorang belum menikah,
kecenderungan hidupnya terlihat belum terarah dan kesepian, meskipun telah
memiliki pekerjaan. Kehidupannya terkesan bebas, ‘bebas melakukan apa
saja’, sesuka-sukanya. Berbeda ketika telah menikah, kehidupannya akan
lebih terarah atau tertata. Saat telah menikah, akan menimbulkan berbagai
macam konsekuensi dan tanggung jawab, ada tujuan-tujuan yang ingin
dicapai. Contohnya, tanggung jawab untuk menciptakan kehidupan anggota
keluarga untuk lebih baik.
8. Kesempatan untuk Mendapatkan Kebahagiaan Lebih
Apabila kita tarik satu hal dasar yang ingin didapatkan dan menjadi
satu-satunya harapan manusia adalah selalu bermuara kepada kebahagiaan,
apapun itu. Manusia ingin mendapatkan uang yang banyak, memperoleh
posisi atau jabatan yang tinggi, kekuasaan, dan lain sebagainya, semuanya itu

124
merupakan bata-bata yang mengisi kebahagiaan. Demikian juga halnya,
melalui pernikahan, maka akan anggota keluarganya akan membukakan
kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih banyak.
9. Menjadikan Sehat Jasmani dan Rohani
Kehidupan seseorang sebelum menikah kecenderungannya hidup yang
kurang teratur, maka dengan menikah kehidupannya akan tertata dan tidak
lagi bisa untuk hidup ‘bebas’ dan semaunya. Baik secara pola hidup, pola
makan dan dapat mengurangi tingkatan stres. Pola hidup tersebut, seperti
halnya pola makan yang awalnya kurang sehat, mejadi sehat, istirahat kurang
teratur menjadi teratur, sehingga memberikan kemungkinan untuk menjadi
lebih sehat, baik secara jasmani, maupun rohani karena aspek-aspek
psikologis tersalurkan secara sehat.

Urgensi Ketahanan Keluarga dalam Tatanan Masyarakat


Keluarga menjadi penting eksistensinya dalam masyarakat karena
adanya keluarga. Dari sanalah karakter masyarakat, bangsa dan negara akan
tercermin, sehingga keluarga merupakan struktur dan miniatur dari sebuah
bangsa negara pula. Keluarga tersebut memberikan corak secara sosial dan
budaya tertentu. Misalkan, masyarakat Batak yang menganut sistem
patrilineal, yaitu penentuan hubungan keturunan melalui garis kerabat ayah.
Hal ini didasarkan adanya penghargaan yang lebih terhadap jenis kelamin
laki-laki sebagai kepala keluarga dan jalur keturunan melekat pada laki-laki.
Sebaliknya sistem matrilineal, seperti Suku Minangkabau yang menentukan
hubungan garis keturunan melalui garis kerabat ibu, sehingga membentuk
struktur sosial dan proses sosial yang berbeda satu sama lainnya.
Berawal dari keluarga setiap individu mendapatkan nilai dan norma,
dihidupi, diasuh, disayangi dan dilindungi. Bila keluarga keadaannya tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, maka manusia akan menjadi sosok individu
yang tidak utuh eksistensinya dalam masyarakat. Dengan demikian, keluarga
merupakan prasyarat terbentuknya karakter masyarakat, bangsa dan negara.
Agar dapat berjalannya fungsi keluarga secara utuh diperlukan prasyarat
keluarga yang berketahanan dan tangguh. BKKBN memberikan ada beberapa
fungsi yang mesti dijalankan oleh setiap keluarga yang dikenal dengan
delapan fungsi keluarga sebagai upaya untuk membentuk keluarga ideal
adalah:
1. Fungsi Agama
Agama merupakan sistem sosial esensial dalam kehidupan masyarakat.
Agama dijadikan sebagai pedoman hidup bagi penganutnya. Aturan-aturan

125
yang menuntun untuk para penganut untuk berbuat baik, sehingga mencapai
tujuan kehidupannya secara hakiki. Ajaran keagamaan tidak hanya mengatur
terhadap kehidupan di dunia, akan tetapi juga pada kehidupan setelah
kehidupan itu sendiri, yaitu kematian dan akhirat. Segala hal yang telah diatur
oleh agama, diajarkan dan diturunkan secara terus-menerus dalam keluarga.
Agama akan mengajarkan tentang membimbing dan mengajarkan, untuk
menciptakan kehidupan harmonis dalam keluarga. Dengan demikian, pada
keluargalah pertama bagaimana nilai-nilai dan ajaran agama itu tetap ada dan
dijaga.
2. Fungsi Sosial Budaya
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kehidupan bersama atau sosial.
Manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dalam keluarga
diajarkan pola dan tingkah laku yang dapat ‘menyelamatkan hidupnya’,
sehingga ia diterima dalam kehidupan sekelilingnya. Dalam pandangan
sosiologi disebut dengan sosialisasi, yaitu proses di mana setiap manusia
belajar terhadap berbagai macam nilai dan norma yang ada di dalam
masyarakatnya.
Orang tua mengajarkan berbagai macam hal yang dianggap baik bagi
setiap anggota keluarga dan memberitahukan terhadap segala sesuatu yang
tidak baik (buruk) yang mesti dihindari untuk tidak dilakukan dalam
masyarakat, Contohnya, bagaimana tata cara atau etika saat berinteraksi
dengan orang yang lebih tua, mengasuh dan melindungi yang muda dan
keakraban sesama kolega. Budaya keluarga yang baik akan menghasilkan
keluarga yang harmonis pula, misalkan dengan membiasakan rekreasi untuk
menjalin keakraban antaranggota keluarga. Demikian juga halnya terhadap
budaya yang ada dan berkembang dalam kehidupan keluarga. Di mana
masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya yang melekat pada suku atau
etnik tertentu, maka pada keluargalah nilai dan norma dan kebudayaan
tersebut terus dilestarikan.
3. Fungsi Cinta Kasih
Terbentuknya keluarga dilandasi oleh rasa cinta kasih dan sayang.
Saling memiliki rasa simpati dan empati pada pasangan dan anggota keluarga;
saling bahu membahu dalam mengasuh dan mendidik anak serta anggota
keluarga lainnya merupakan manifestasi dari cinta dan kasih sayang yang
akan melekat pada diri individu anggota keluarga.
4. Fungsi Perlindungan
Kondisi yang nyaman pada setiap anggota keluarga akan timbul dengan
sendirinya dalam keluarga apabila setiap anggota keluarga dapat menjalankan

126
(berfungsi) dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik.
Dengan demikian, setidaknya membentuk keluarga harmonis dan
menciptakan rasa aman, serta merasa terlindungi dalam keluarga. Rasa
tersebut itu akan timbul setelahnya. Kebiasaan yang diciptakan keluarga,
secara tidak langsung akan membuat kita terbiasa dan nyaman berada di zona
itu. Masalah dalam keluarga akan menjadi teratasi, jika setiap anggota
keluarga saling mendukung satu sama lain. Fungsi perlindungan ini meliputi
berbagai aspek, tidak hanya secara fisik, melainkan secara psikis.
5. Fungsi Reproduksi
Kodratnya manusia untuk terus berkembang, bahkan menjadi tanggung
jawab moril untuk menjaga dan meneruskan kehidupan. Tercapainya tujuan
tersebut akan terjadinya melalui reproduksi. Normalnya, manusia diberikan
nafsu untuk menyukai dan mengawini makhluk beda jenis kelamin. Apabila
sudah saling menyukai, maka dilanjutkan ke jenjang yang serius, yakni
pernikahan untuk membentuk keluarga. Hubungan seksual juga akan menjadi
kunci keharmonisan suatu keluarga. Keluarga akan sangat bahagia apabila
fungsi reproduksi tercapai, dengan ada generasi penerus bangsa yang terlahir
melalui keluarga-keluarga. Kebahagiaan tersebut tidak bisa diungkapkan kata-
kata, apabila kita melihat betapa lucunya wajah anak kita kelak dan adanya
kebahagiaan tidak terkira saat anak-anak, generasi penerus dapat mewujudkan
cita-cita dan kehidupan yang lebih baik.
6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
Kehidupan keluarga sejatinya merupakan hasil konstruksi sosial.
Keluarga juga menjadi media pembelajaran yang pertama. Karena pada
dasarnya semuanya diawali dengan mencontoh kebiasaan orang terdekat
yakni orang tua dan orang-orang yang ada di sekeliling mereka. Keluarga
menjadi jasa pendidikan informal, selain formal di bangku sekolah. Orang tua
merupakan guru pertama kehidupan anak. Maka, tentu sangat diharapkan bila
kedua orang tua adalah orang-orang yang juga memiliki pengetahuan, serta
yang lebih penting adalah memiliki rasa kasih sayang dan pengorbanan bagi
semua anggota keluarga, tanpa adanya rasa pilih kasih.
Sudah semestinya dalam keluarga nilai dan norma, pembelajaran yang
bermanfaat bagi anggota keluarga dapat diajarkan dan dicontohkan oleh orang
tua kepada anak-anaknya.
7. Fungsi Ekonomi
Setiap anggota keluarga memiliki peran dan ada pembagian tugas.
Dalam pandangan masyarakat secara umum, peran sebagai penopang
kehidupan keluarga adalah suami. Semuanya berkaitan dengan yang namanya

127
ekonomi. Ibu mengelola finansial supaya hasil jerih payah suaminya dapat
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Ada kalanya penghasilan suami lebih
kecil dari istri karena istri, tidaklah persoalan selama kesemuanya dapat saling
menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam keluarga.
Kesemuanya itu untuk mengukuhkan keluarga, agar lebih kuat secara
ekonomi. Di samping itu, keluarga juga berfungsi dalam bagaimana anggota
keluarga (anak) untuk dapat bertahan hidup, memiliki kecakapan hidup
melalui tindakan-tindakan ekonomi. Misalkan, bagaimana mengenal,
mengelola, dan mempergunakan uang secara baik dan benar, termasuk dalam
mengkonsumsi segala sesuatu untuk memenuhi kehidupannya.
8. Fungsi lingkungan
Keluarga bertanggung jawab mengajarkan bagaimana hidup di
lingkungan yang kondusif, sehingga menciptakan rasa aman, bersih dan sehat.
Lingkungan terkecil individu mempengaruhi individu yang pertama adalah
keluarga. Di mana mereka mendapatkan pengaruh yang membentuk perilaku,
yaitu dari kedua orang tua dan lingkungan terdekatnya. Bila orang tua
berperilaku baik, mengajarkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan seharian,
sedikit banyak anak akan cenderung meniru orang tuanya. Setelah lingkungan
keluarga, juga ada lingkungan sekolah sebagai institusi utama kedua setelah
keluarga dan lingkungan sosial serta alam. Tanggung jawab institusi keluarga
untuk menanamkan nilai dan norma yang dapat menjaga dan melestarikan,
serta menciptakan lingkungan yang baik. Hal utama, seperti bagaimana
memanfaatkan sumber daya yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan
menjaga pula untuk keberlangsungan generasi setelahnya (anak cucu).
Untuk memastikan berjalannya delapan fungsi keluarga diperlukan
upaya-upaya dari hulu dalam proses pembentukan keluarga. Keluarga yang
mana yang dianggap ideal dalam tatanan masyarakat? Tidak lain adalah
keluarga natural yang hakikatnya dari dulu hingga sekarang selalu
mengupayakan (a) melakukan dan menanamkan nilai dan norma yang ada
dalam delapan fungsi keluarga (b) keluarga natural dalam rangka melawan
balik pandangan bahwa keluarga modern merupakan hasil dari tekanan global.
Dalam perspektif keindonesiaan, keluarga sejatinya berpusat pada peran
perempuan sebagai istri dan laki-laki sebagai suami, mengasuh dan
memberikan asupan serta suri teladan, baik secara pengetahuan (kognitif),
pemberian makannya (asupan gizi) dan psikomotoriknya. Tersebab
pentingnya arti perempuan (ibu) dalam kehidupan, maka hingga saat sekarang
ini sistem matrilineal masih melekat dalam struktur budaya masyarakat
tertentu, seperti masyarakat suku Minangkabau. Untuk mengetahui dan

128
memastikan keluarga natural ada dalam frame masyarakat Indonesia, maka
ada beberapa parameter yang harus dipenuhi dalam keluarga itu sendiri yaitu,
(1) ketahanan keluarga dengan delapan fungsi keluarga (2) keluarga dan peran
perempuan (center excellent) dalam sistem penjaga budaya dan bahkan
mendapatkan proteksi dari keluarga itu sendiri.
Kenyataannya, perempuan Indonesia saat sekarang ini mengalami
perubahan sistem keluarga dari keluarga besar (exstended family) menuju
keluarga inti/kecil (nuclear family). Dari sisi Pendidikan, ekonomi dan sosial,
perempuan Indonesia pada umumnya telah keluar dari ranah domestik ke
ranah publik. Dari aspek politik, adanya keterlibatan perempuan terlibat
dalam penentu kebijakan, aktif dalam partai politik dari segi budaya antara
patriaki ke subordinasi.

Perceraian
Di samping aspek pernikahan, maka yang mempengaruhi demografi
adalah perceraian. Hal ini disebabkan karena akan mempengaruhi
pertambahan atau pengurangan penduduk, baik secara jumlah melalui
kelahiran, maupun administrasi penduduk. Perceraian diawali dari adanya
pernikahan. Perceraian ada dua bentuk, yaitu perceraian karena sebab
kematian (cerai mati) dan perceraian disebabkan putusan pengadilan (cerai
hidup). Secara hukum perceraian akan sah apabila melalui pengadilan dan
dikatakan telah bercerai apabila telah dikeluarkannya putusan perceraian oleh
institusi tersebut. Bila beragama muslim akan dilakukan di pengadilan agama,
sedangkan bila non muslim di pengadilan umum. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian, seperti karena dianggap tidak harmonis
lagi hubungan antara suami istri, salah seorang melakukan kesalahan yang
dianggap tidak dapat dimaafkan lagi. Contohnya, karena melakukan
perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, narkoba, ditinggalkan tanpa
sebab selama dua tahun atau lebih, melakukan kriminal sehingga dihukum
lima tahun atau lebih, alasan kesehatan (cacat permanen, sehingga tidak dapat
menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami atau istri) dan lain
sebagainya.
Namun, tentu saja tidak satu orang pun yang menginginkannya ketika
telah menjalankan kehidupan rumah tangga. Perceraian dianggap sebagai
pilihan terakhir, saat di mana diyakini apabila tetap dilanjutkan rumah tangga
tersebut justru akan menimbulkan dampak yang lebih buruk yang lebih
banyak dan terus-menerus, sehingga kedua belah pihak bersepakat untuk
bercerai dan menguruskan ke institusi hukum, yaitu pengadilan. Dalam

129
pandangan Islam misalkan, perceraian adalah hal yang dibolehkan, namun
sebaliknya, yaitu merupakan tindakan yang dibenci oleh Allah Swt, demikian
juga dengan agama lain, seperti Nasrani yang sangat menjunjung tinggi
keutuhan keluarga (perkawinan). Meskipun, perceraian adalah sebuah realitas
sosial yang ada dan dekat dalam kehidupan manusia. Perceraian akan
membawa dampak tidak hanya kepada kedua belah pihak (suami dan istri),
melainkan juga terhadap keluarga besar, terutama anak. Dengan demikian,
dahulunya perceraian yang terjadi seringkali dalam dianggap sebagai aib
keluarga, sehingga tidak satu pun keluarga yang menginginkan anggota
keluarganya bercerai, melainkan ditutut untuk berjuang mempertahankan
keutuhan keluarganya.

Evolusi Program Keluarga Berencana


Program Keluarga Berencana telah menjadi intervensi kesehatan
masyarakat yang penting. Negara-negara berkembang dan komponen program
bantuan pembangunan karena tiga alasan: demografis, kesehatan, dan hak
asasi manusia. Masing-masing alasan ini dipandang sebagai tujuan untuk
program Keluarga Berencana karena masing-masing tersirat mencapai
perubahan atau peningkatan tertentu. Perjalanan Keluarga Berencana tidak
sama pentingnya selama seluruh periode dari akhir 1960-an hingga saat ini.
Kepedulian dengan tingkat makro, atau tingkat nasional, konsekuensi
dari pertumbuhan populasi yang cepat pada ekosistem produktivitas nomik,
tabungan dan investasi, sumber daya alam, dan lingkungan—alasan
“demografis”—adalah predomoni dasar pemikiran untuk sebagian besar akhir
1960-an dan 1970-an. Selama 1980-an, pergeseran menuju alasan kesehatan
terjadi (didorong oleh konsekuensi dari kesuburan tinggi untuk kematian ibu,
bayi, dan anak-ity). Pergeseran ini terjadi sebagian karena pengaruh
kebijakan, ideologis, dan ilmiah. Di antara ini adalah bahwa alasan kesehatan
lebih menarik bagi para pembuat kebijakan di banyak negara mencoba,
termasuk yang di Afrika sub-Sahara. Pada 1990-an, manusia dasar pemikiran
menjadi dominan, dengan fokusnya pada hak perempuan, terutama hak
reproduksi, dan kesehatan reproduksi wanita dan pria. Pergeseran terbaru
menuju reproduksi hak sebagai hak asasi manusia dikaitkan dengan PBB
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD),
diadakan di Kairo pada tahun 1994.
1. Dasar Pemikiran Demografis
Sejarah program keluarga berencana di negara berkembang sebagian
berasal “masalah populasi dunia.” Pada akhir 1940-an dan 1950-an, fenomena

130
populasi cepat pertumbuhan, yang dihasilkan dari kesenjangan antara
penurunan angka kematian dan selain kesuburan tinggi, muncul di beberapa
Asia Selatan dan negara Timur. Hasil dari sensus pasca perang dari awal 1950
melaporkan bukti awal bahwa pertumbuhan populasi bisa menjadi masalah
yang tertunda. Pada pertengahan 1960, lebih banyak negara, termasuk angka
di Amerika Latin dan Timur Tengah, sedang mengalami tingkat pertumbuhan
populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya lebih dari 3 persen setiap
tahun. Pada tingkat pertumbuhan seperti itu, ukuran populasi suatu negara
akan berlipat ganda dalam waktu kurang dari 25 tahun. Dengan membantu
mengurangi tingkat kesuburan yang tinggi, program keluarga berencana
dimaksudkan untuk berkontribusi menurunkan laju pertumbuhan penduduk,
sehingga adanya peningkatan standar hidup dan kesejahteraan manusia, dan
mengurangi dampak pada sumber daya alam dan lingkungan.
2. Dasar Pemikiran Kesehatan
Tingginya tingkat kematian ibu, bayi, dan anak serta aborsi adalah
masalah kesehatan penting yang membutuhkan perhatian bagi negara. Ibu
yang tinggi kematian dikaitkan dengan tingginya jumlah kehamilan, kelahiran
untuk wanita yang lebih tua dan lebih muda, dan aborsi. Di Chili, misalnya,
mencegah aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan adalah penting
dorongan untuk mendirikan klinik kontrol kelahiran (Romero, 1969).
Alasan kesehatan untuk keluarga berencana meluas ke pertimbangan
kesetaraan dalam akses ke layanannya. Misalnya, dalam Kolombia, pendiri
asosiasi Keluarga Berencana swasta tahun 1965, Profamilia, tidak hanya
termotivasi oleh keinginan untuk membantu wanita dan keluarga memenuhi
kebutuhan kesehatan mereka, tetapi juga oleh keinginan untuk keadilan: untuk
memberikan akses dan kualitas layanan yang sama kepada perempuan miskin,
sedangkan wanita kaya telah melalui dokter pribadi mereka (Seltzer dan
Gomez, 1998). Perbedaan kelas dalam akses beresonansi dengan isu-isu
ideologis periode seperti kekhawatiran terhadap hak asasi manusia, yang
mengarah pada pengembangan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
pertengahan 1960.
3. Dasar Pemikiran Hak Asasi Manusia
Deklarasi Para Pemimpin Dunia, ditandatangani oleh 30 kepala
pemerintahan dari lima benua:
“Bahwa masalah populasi harus diakui sebagai unsur utama dalam
perencanaan jangka panjang nasional jika pemerintah nasional untuk
mencapai tujuan ekonomi mereka dan memenuhi aspirasi mereka
orang-orang.”

131
“Bahwa sebagian besar orang tua ingin memiliki pengetahuan dan
sarana untuk merencanakan keluarga mereka; bahwa kesempatan untuk
memutuskan jumlah dan jarak anak-anak mereka adalah hak asasi
manusia.”
“Kedamaian abadi dan bermakna itu akan bergantung pada sesuatu
yang besar mengukur bagaimana tantangan pertumbuhan populasi
dipenuhi. Bahwa tujuan keluarga berencana adalah pengayaan manusia
hidup, bukan batasannya; keluarga berencana, dengan memastikan bagi
setiap orang, membebaskan manusia untuk mendapatkan martabat
pribadinya dan raih potensi penuhnya” (Berelson, 1969).
Deklarasi Para Pemimpin Dunia, Konferensi Teheran, dan resolusi PBB
membantu melegitimasi rencana keluarga. Masalah hak perempuan untuk KB
hadir di Amerika Serikat sebagai elemen dalam gerakan pembebasan
perempuan. Namun, awal dari iklan panggilan untuk kontrol kelahiran berada
di abad ke-19, dan aktivis perang salib untuk pengendalian kelahiran di
Amerika Serikat dipelopori oleh Margaret Sanger pada tahun 1914 kemudian
menyebar ke sejumlah negara berkembang negara-negara, termasuk India dan
Meksiko, pada 1920-an (Dixon-Mueller, 1993).

Kebijakan dan Dukungan Negara-Negara Berkembang dalam Keluarga


Berencana
Kekhasan dari kebijakan program Keluarga Berencana di negara
berkembang selain dari Indonesia, juga dapat di beberapa negara belahan
Amerika dan Asia Tengah, seperti Meksiko dan India. Misalnya, Pemerintah
Meksiko menetapkan tujuan pada tahun 1995 untuk tahun 2000 untuk
mengurangi tingkat pertumbuhan tahunan dan tingkat kesuburan serta untuk
meningkatkan kontrasepsi tingkat nasional (Consejo Nacional de Población,
1996). Di India, pemerintah tidak hanya memiliki tujuan demografis yang
diatur stabilisasi akhirnya dari negara bagian, tetapi negara juga mendapat
ketetapan resmi dalam hal kebijakan kependudukan dengan tujuan untuk
mengurangi pertumbuhan penduduk dan fertilitas, meningkatkan tingkat
perlindungan pasangan (prevalensi kematian), dan mengurangi kematian ibu
dan bayi (Departemen Kesejahteraan Keluarga, Pemerintah Rajasthan, 1999).
Secara umum, kebijakan kependudukan dan tujuan demografis untuk
mengembangkan program pembangunan. Termasuk untuk tujuan kesehatan
dan juga tujuan sektor lain. Negara-negara berkembang yang terlibat termasuk
(di Asia) Pakistan, Nepal, Republik Korea, Singapura, Malaysia, Indonesia,
dan Taiwan dan (di Amerika Latin) Kuba, Chili, dan Costa Rica (Donaldson,
1990).

132
Tiga puluh sembilan dari 149 negara yang memiliki kebijakan untuk
menurunkan tingkat mereka Pertumbuhan populasi (Tabel 2.1), dan 40 negara
memiliki kebijakan untuk mengurangi kesuburan. Selain itu, 94 negara
menyediakan dukungan langsung untuk layanan kontras dan 17 negara
disediakan tidak langsung dukungan antara 1976 dan 1998, jumlah negara
yang memiliki kebijakan mengurangi pertumbuhan bertambah meningkat
menjadi 75. Pada saat yang sama, itu jumlah negara yang memiliki kebijakan
untuk mengurangi kesuburan lebih dari dua kali lipat, menjadi 85. Pada tahun
1998, jumlah pemerintah yang memfasilitasi penggunaan kontrasepsi secara
langsung atau tidak langsung mendukung akses ke layanan telah mencapai
179 dari 193, mewakili 92 persen dari pemerintah (Tabel 2.2). Lebih dari 99
persen populasi dunia tinggal di 179 negara ini tren kebijakan pemerintah
menunjukkan langkah konsisten Dukungan yang lebih besar tentang
pertumbuhan populasi dan dukungan untuk keluarga perencanaan program.
Namun, tren global ini percaya perbedaan besar.

Permintaan Alat dan Obat Kontrasepsi dalam Keluarga Berencana


Survei tentang pengetahuan, sikap, dan praktik (survei KAP) tentang
kesuburan dan keluarga perencanaan dilakukan mulai tahun 2007 1960-an dan
penting untuk pengembangan keluarga perencanaan program. Mereka
mengumpulkan informasi tentang tingkat kesuburan dan kesuburan preferensi.
Preferensi pasangan, seperti ideal atau diinginkan ukuran keluarga dan apakah
mereka menginginkan lebih banyak anak, meminta sebuah faktor dalam
pemantauan dan mungkin prediktor kesuburan dan penggunaan kontrasepsi.
Survei juga mengumpulkan informasi tentang pengetahuan dan sikap tentang
kontrasepsi dan penggunaan aktual atau minat menggunakan kontrasepsi.

133
Hasil survei, secara umum, menunjukkan hal itu di antaranya (a)
pasangan menikah di negara berkembang dari yang mereka miliki, (b)
kontribusi besar pasangan tidak mendukung anak lagi, dan (c) proporsi besar
yang mendukung perencanaan keluarga. Pada prinsipnya tertarik pada
“belajar bagaimana mengendalikan mereka memiliki kesuburan, dan akan
melakukan sesuatu jika mereka memiliki nilai.” (Berelson, 1966, hlm. 658–
660).
Sudah disetujui tingkat negara penggunaan kontrasepsi lebih dari 50
persen atau lebih. Sebelas dari 19 orang Asia negara-negara yang menyetujui
memiliki tingkat prevalensi lebih dari 50 persen (Bangladesh, China, Hong
Kong, Indonesia, Republik Indonesia) Korea, Mongolia, Singapura, Sri
Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam). Namun, tingkat penggunaan tetap
rendah di beberapa yang lain (misalnya, 13 persen di Kamboja dan 18 persen
di Pakistan). Di antara orang Amerika Latin negara, 15 dari 18 (semua kecuali
Bolivia, Guatemala, dan Haiti) memiliki mencapai prevalensi kontrasepsi 50
persen atau lebih. Wilayah Timur Tengah/Afrika Utara, 7 dari 15 negara
memiliki level prevalensi kontrasepsi 50 persen atau lebih. Ini adalah Aljazair,
Mesir, Iran, Yordania, Maroko, Tunisia, dan Turki. Namun, tarif rendah di
Irak (14 persen pada 1989) dan Sudan (10 persen pada 2007) 1993). Di sub-
Sahara Afrika, tapi, hanya Cape Verde, Mauritius, Afrika Selatan, dan
Zimbabwe memiliki prevalensi kontrasepsi lebih dari 50 %.

Layanan Keluarga Berencana


Faktor yang membentuk pemberian layanan, tidak mengherankan
bahwa ada variasi luas dalam kekuatan program. Dalam analisis komparatif
keluarga program perencanaan di negara berkembang, perencanaan kuat pada
1972 dibandingkan dengan 14 pada 1994. 18 Jumlah program dihasilkan
cukup kuat meningkat tiga kali lipat dari11 menjadi 32. Jumlah program yang
lemah meningkat dari 9 menjadi 30. Jumlah besar program peningkatan yang
lemah dari negara-negara yang baik tidak memiliki program atau program
yang sangat lemah pada tahun 1972. jumlah negara tanpa program atau yang
sangat lemah dari 49 ke-1 (Uni Emirat Arab). Berbagai metode kontrasepsi
yang tersedia adalah aspek lain dari merencanakan program keluarga
berencana. Sedangkan program awal di 1960-an sebagian besar tergantung
pada IUD, pil, dan sterilisasi, maju di teknologi kontrasepsi telah
meningkatkan jumlah, kemanjuran, dan Metode keamanan modern yang
tersedia di banyak negara berkembang negara.

134
Program Pendanaan Perencanaan Keluarga
Negara-negara berkembang berhasil menyumbangkan sumber daya
yang substansial, diperkirakan sekitar 75 persen dari total penempatan untuk
kegiatan kependudukan pada 1990-an. Bagian ini Tinjau tren dalam bantuan
pembangunan untuk populasi, membahas peran pemerintah negara
berkembang, dan Menunjukkan bantuan untuk 21 negara ini dan Uni Eropa
mewakili rata-rata hampir 3 persen dari Bantuan Pembangunan PISKAL
(ODA), dengan alokasi Amerika Serikat persentase terbesar yaitu 7,1 persen.
Saat bantuan populasi disesuaikan berdasarkan tingkat negara dari Produk
Nasional Bruto (GNP), negara-negara yang menyediakan jumlah relatif tinggi
adalah Norwegia ($493 per juta dolar AS untuk GNP), Swedia ($356),
Denmark ($351), Belanda ($313), dan lintas ($247). Atas dasar ini, Amerika
Serikat menentukan urutan kesembilan dalam tingkat populasi bantuan di
antara negara donor ($73 per juta dolar AS dari GNP).

Tabel 6.3: Bantuan Penduduk Internasional oleh Negara Donor

135
Yayasan swasta adalah sumber bantuan penting lainnya aktivitas
populasi, dan dukungan mereka telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Pada tahun 1998, mereka menyediakan sekitar $72,5 juta atau sekitar
5 persen dari semua bantuan populasi. Dukungan dari yayasan swasta
memiliki meningkat secara substansial sejak akhir 1980-an kompilasi di
bawah $40 juta singa per tahun (UNFPA, 1999b, 2000b). Sepuluh yayasan
disediakan sekitar 99 persen dari total bantuan persentase dari yayasan pada
tahun 1998 (Ford, Gates, Hewlett, MacArthur, Mellon, Packard, Rokefeller,
KTT, Wellcome Trust, dan World AIDS Foundation).
Tingkat pendapatan ini sebanding dengan sekitar $2,2 miliar singa dari
donor dan yayasan, dan menunjukkan itu lebih dari 75 persen dana yang
diperoleh dari negara-negara berkembang. Estimasi global untuk sumber daya
domestik sangat mengesankan, tetapi itu mengingkari fakta itu sebagian besar
dana ini (sekitar 80 persen) berasal dari beberapa negara besar mencoba
(China, India, Indonesia, Iran, dan Meksiko). Oleh karena itu, sebagian besar
negara mencoba, terutama yang di sub-sahara afrika dan yang paling
berkembang, masih sangat tergantung pada dukungan donor internasional.

Badan Pembangunan Internasional AS dalam Program Keluarga


Berencana
Donor populasi bilateral terbesar dan terbanyak telah menjadi USAID,
bagian dari Departemen Luar Negeri AS. Populasi-Program bantuan USAID
dimulai pada tahun 1965 dengan akan diminta bantuan teknis dalam Keluarga
Berencana akan tersedia untuk negara yang memintanya (Donaldson, 1990).
Leona Baum-gartner, pejabat USAID tingkat tinggi yang juga menyambut
dokter kesehatan masyarakat, berbicara di dekat awal program tentang
kepedulian internasional terhadap populasi: Alasan untuk mendukung
pemerintah. Namun, ditambah dengan kontribusi yang kuat tentang populasi
yang cepat pertumbuhan sebagai faktor destabilisasi dalam tatanan
internasional dan pertahanan terhadap keamanan AS sebagian besar oleh
atmosfir Perang Dingin periode (Donaldson, 1990).

United Nation Population Fund (UNFPA)


UNFPA sebagai lembaga yang berkonsentrasi kesehatan seksual dan
reproduksi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Misi UNFPA adalah untuk
mewujudkan dunia di mana setiap kehamilan diinginkan, setiap persalinan
aman dan potensi setiap orang muda terpenuhi. Didirikan pada tahun 1967,
UNFPA menjadi multilateral yang dominan dan organisasi terbesar di

136
Indonesia Amerika Serikat telah menjadi pendukung utama sebelum
membentuk dana multilateral seperti itu. Di antaranya mempertimbangkan,
UNFPA prihatin dengan persetujuan kesadaran nasional dan masalah populasi
internasional dan aspek HAM keluarga perencanaan. Ini juga menyediakan
bantuan untuk mengembangkan mencoba, atas permintaan mereka, untuk
meminta kebutuhan mereka dalam populasi dan bidang keluarga berencana.
Dalam beberapa tahun terakhir, dukungan UNFPA mengkapi bidang-bidang
seperti pengembangan populasi dan strategi pembangunan, akses universal
informasi dan layanan untuk kaum muda, dan promosi gender kesetaraan dan
pemberdayaan perempuan.
Perawatan kesehatan reproduksi untuk wanita dan remaja di lebih dari
150 negara-yang merupakan wadah bagi lebih dari 80 persen populasi dunia,
kesehatan ibu hamil, terutama 1 juta orang yang menghadapi komplikasi yang
mengancam jiwa setiap bulannya. Akses yang dapat diandalkan ke
kontrasepsi modern cukup untuk memberi manfaat bagi 20 juta wanita
setahun. Pelatihan ribuan pekerja kesehatan untuk membantu memastikan
setidaknya 90 persen dari semua persalinan diawasi oleh petugas yang
terampil. Pencegahan kekerasan berbasis gender, yang mempengaruhi 1 dari 3
perempuan. Pengabaian sunat alat kelamin perempuan, yang merugikan 3 juta
anak perempuan setiap tahun. Pencegahan kehamilan remaja yang
komplikasinya menjadi penyebab utama kematian pada anak perempuan usia
15-19 tahun. Upaya untuk mengakhiri pernikahan anak, yang dapat
mempengaruhi sekitar 70 juta anak perempuan selama 5 tahun ke depan.
UNFPA menyerukan realisasi hak reproduksi untuk semua dan
mendukung akses ke berbagai layanan kesehatan seksual dan reproduksi-
termasuk keluarga berencana sukarela, perawatan kesehatan ibu dan
pendidikan seksualitas komprehensif. Sejak UNFPA mulai bekerja, dunia
telah melihat kemajuan: jumlah dan tingkat kematian perempuan akibat
komplikasi kehamilan atau persalinan telah berkurang setengahnya. Keluarga
lebih sehat. Kaum muda lebih terhubung dan berdaya dari sebelumnya.
Namun begitu di daerah-daerah remote, kaum muda masih banyak yang
tertinggal. Lebih dari 760 juta orang terperosok dalam kemiskinan ekstrem.
Masalah kesehatan seksual dan reproduksi merupakan penyebab utama
kematian dan kecacatan bagi perempuan di negara berkembang. Orang muda
menanggung risiko tertinggi terinfeksi HIV dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Jutaan anak perempuan menghadapi prospek pernikahan anak dan
praktik berbahaya lainnya, seperti mutilasi alat kelamin perempuan.

137
Lebih banyak lagi yang harus dilakukan untuk memastikan dunia di
mana semua individu dapat menggunakan hak asasi manusia mereka,
termasuk yang berhubungan dengan aspek kehidupan yang paling intim dan
fundamental. Pada tahun 2018, UNFPA meluncurkan upaya untuk mencapai
tiga hasil transformatif, ambisi yang menjanjikan untuk mengubah dunia bagi
setiap pria, wanita, dan remaja:
Keluarga berencana adalah inti dari pemberdayaan perempuan dan
pembangunan berkelanjutan. Tahun 2019, lebih dari 300 juta wanita di negara
berkembang menggunakan kontrasepsi, tetapi lebih dari 214 juta wanita yang
ingin merencanakan persalinan tidak memiliki akses ke keluarga berencana
modern. UNFPA bekerja dengan pemerintah dan mitra untuk
mempromosikan akses universal ke layanan kesehatan reproduksi dan seksual
yang berkualitas dan terintegrasi. UNFPA juga mempromosikan pendidikan
seksualitas komprehensif dan kepemimpinan pemuda, yang memberdayakan
kaum muda untuk menjalankan otonomi, pilihan dan partisipasi terkait
dengan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi mereka.
UNFPA turut menurunkan angka kematian ibu. Setiap orang berhak
atas kesehatan, termasuk perempuan dan ibu. Sejak 1990, angka kematian ibu
telah menurun hingga 44 persen. Namun, sekitar 830 wanita dan remaja putri
meninggal setiap hari karena penyebab yang dapat dicegah terkait kehamilan
dan persalinan, dan 99 persen dari kematian ini terjadi di negara berkembang-
lebih dari setengahnya di lingkungan rentan dan kemanusiaan. UNFPA
bermitra dengan pemerintah dan pihak lain untuk memperkuat sistem
kesehatan, melatih petugas kesehatan, mendidik bidan, dan meningkatkan
akses ke berbagai kesehatan reproduksi.
UNFPA mencegah kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya.
Seiring perjuangan untuk kesetaraan gender terus berlanjut, kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan tetap menjadi pandemi global. Satu
dari tiga wanita akan mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya.
Kira-kira satu dari empat gadis di dunia berkembang menikah sebelum usia
18 tahun. UNFPA bekerja untuk mencegah dan menanggapi kekerasan
berbasis gender melalui kerja sama dengan pembuat kebijakan, sistem
peradilan, sistem kesehatan dan mitra kemanusiaan. UNFPA juga berfokus
pada penghapusan praktik berbahaya, termasuk FGM dan pernikahan anak,
dan membantu melibatkan pria dan anak laki-laki untuk memajukan
kesetaraan gender.

138
Bidang Kerja UNFPA dalam Keluarga Berencana
Apakah Keluarga Berencana itu? Keluarga Berencana adalah informasi,
sarana dan metode yang memungkinkan individu untuk memutuskan apakah
dan kapan akan memiliki anak. Ini termasuk berbagai macam kontrasepsi-
termasuk pil, implan, alat kontrasepsi, prosedur bedah yang membatasi
kesuburan, dan metode penghalang, seperti kondom-serta metode non-invasif
seperti metode kalender dan pantang. Keluarga Berencana juga mencakup
informasi tentang bagaimana menjadi hamil bila diinginkan, serta pengobatan
infertilitas. UNFPA mendukung banyak aspek keluarga berencana sukarela,
termasuk pengadaan alat kontrasepsi, melatih para profesional kesehatan
untuk secara akurat dan sensitif menasihati individu tentang pilihan alat dan
obat kontrasepsi mereka, dan mempromosikan pendidikan seksualitas yang
komprehensif di sekolah. UNFPA tidak pernah mempromosikan aborsi
sebagai bentuk keluarga berencana. Kontrasepsi mencegah kehamilan yang
tidak diinginkan, mengurangi jumlah aborsi, dan menurunkan kejadian
kematian dan kecacatan yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan dan
persalinan. Jika semua wanita di wilayah berkembang dengan kebutuhan
kontrasepsi yang tidak terpenuhi dapat menggunakan metode modern,
kematian ibu akan berkurang sekitar seperempatnya, menurut perkiraan
terbaru oleh mitra UNFPA. Selain itu, kondom pria dan wanita, bila
digunakan dengan benar dan konsisten, memberikan perlindungan ganda
terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual (IMS),
termasuk HIV.
Peningkatan pengetahuan dan akses terhadap kontrasepsi modern di
kalangan remaja perempuan merupakan titik awal yang penting untuk
meningkatkan kesehatan jangka panjang mereka. Hal ini juga penting untuk
meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir: di seluruh dunia, komplikasi
kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian remaja putri (usia
15-19). Bayi mereka juga menghadapi risiko kematian yang lebih tinggi
dibandingkan bayi dari wanita yang lebih tua. Namun, remaja menghadapi
hambatan yang sangat besar untuk mengakses informasi dan layanan
kesehatan reproduksi.
UNFPA bekerja untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan
reproduksi, termasuk untuk kaum muda yang terpinggirkan. Di Malawi,
misalnya, petugas kesehatan menerima pelatihan tentang memberikan
informasi yang sensitif dan akurat serta layanan yang disesuaikan untuk
remaja. Akses informasi kontrasepsi sangat penting untuk mencapai
kesetaraan gender. Ketika perempuan dan pasangan diberdayakan untuk

139
merencanakan apakah dan kapan akan memiliki anak, dan berapa banyak,
perempuan lebih mampu menyelesaikan pendidikan mereka; otonomi
perempuan dalam rumah tangga mereka meningkat; dan daya penghasilan
mereka meningkat. Ini memperkuat keamanan ekonomi dan kesejahteraan
serta keluarga mereka.
Secara kumulatif, manfaat ini berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan dan pembangunan global. Manfaat ini diakui dalam Program Aksi
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD),
yang menyerukan “hak laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan informasi
dan memiliki akses ke metode keluarga berencana yang aman, efektif,
terjangkau dan dapat diterima. Pilihan mereka.” Perjanjian ini meletakkan
dasar bagi banyak pekerjaan UNFPA.
Ada manfaat ekonomi yang jelas dari berinvestasi dalam keluarga
berencana. Untuk setiap dolar tambahan yang diinvestasikan dalam
kontrasepsi, biaya perawatan terkait kehamilan akan berkurang sekitar tiga
dolar, menurut proyeksi baru-baru ini oleh mitra UNFPA Guttmacher. Dalam
hal manfaat sosial ekonomi, mencapai akses universal ke layanan kesehatan
reproduksi dan seksual yang berkualitas diperkirakan akan menghasilkan
pengembalian $120 untuk setiap dolar yang diinvestasikan, menurut beberapa
perkiraan. Keluarga berencana juga dapat membantu negara-negara
mewujudkan ‘keuntungan demografis’, peningkatan produktivitas ekonomi
yang terjadi ketika semakin banyak orang dalam angkatan kerja dan
menurunnya jumlah tanggungan.
Namun, wanita dan gadis di seluruh dunia menghadapi hambatan serius
dalam menggunakan kontrasepsi. Perkiraan Divisi Populasi PBB
menunjukkan bahwa pada tahun 2020, sekitar 218 juta wanita di negara
berkembang ingin mencegah atau menunda kehamilan tetapi tidak
menggunakan salah satu bentuk kontrasepsi modern yang dapat diandalkan.
Alasan umum mengapa wanita tidak menggunakan alat kontrasepsi modern
yang andal termasuk masalah logistik, seperti kesulitan bepergian ke fasilitas
kesehatan atau kehabisan stok di klinik kesehatan, dan hambatan sosial,
seperti tentangan dari pasangan atau keluarga. Kurangnya pengetahuan juga
berperan, dengan banyak wanita tidak memahami bahwa mereka dapat hamil,
tidak mengetahui metode kontrasepsi apa yang tersedia, atau memiliki
informasi yang salah tentang metode modern.
Perempuan yang lebih miskin dan mereka yang berada di pedesaan
sering kali memiliki akses yang lebih rendah terhadap informasi dan layanan
keluarga berencana. Kelompok tertentu-termasuk remaja, orang yang belum

140
menikah, masyarakat miskin perkotaan, penduduk pedesaan, pekerja seks dan
orang yang hidup dengan HIV-juga menghadapi hambatan tambahan untuk
keluarga berencana. Hal ini dapat menyebabkan tingkat kehamilan yang tidak
diinginkan yang lebih tinggi, peningkatan risiko HIV dan IMS lainnya,
pilihan metode kontrasepsi yang terbatas, dan tingkat kebutuhan Keluarga
Berencana yang lebih tinggi yang tidak terpenuhi. Perhatian khusus harus
diberikan untuk mempromosikan hak reproduksi mereka, akses ke Keluarga
Berencana, dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual lainnya. UNFPA
bekerja di setiap tingkat untuk meningkatkan akses ke keluarga berencana dan
memberdayakan pilihan individu. UNFPA bekerja dengan pemerintah, LSM,
organisasi layanan masyarakat, organisasi berbasis agama, kelompok pemuda
dan sektor swasta untuk memperkuat layanan kesehatan reproduksi berbasis
masyarakat dan ramah remaja, dan untuk menyediakan layanan ini selama
krisis kemanusiaan.
Dan melalui UNFPA Supplies Partnership, UNFPA bekerja dengan
mitra dan pemerintah untuk memastikan akses ke pasokan kontrasepsi,
kondom, dan obat-obatan serta peralatan yang dapat diandalkan untuk KB,
pencegahan IMS, dan layanan kesehatan ibu. UNFPA juga bekerja untuk
mengintegrasikan layanan KB ke dalam perawatan kesehatan primer,
sehingga perempuan dan anak perempuan dapat mengakses informasi dan
kontrasepsi di fasilitas kesehatan apa pun yang mereka kunjungi.
UNFPA adalah mitra utama dalam kemitraan global Keluarga
Berencana 2030 (FP2030), yang bertujuan untuk mencapai penggunaan
kontrasepsi modern sukarela oleh siapa saja yang menginginkannya. Hal ini
berkontribusi terhadap masa depan, di mana perempuan dan gadis di mana
pun memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menjalani hidup sehat,
membuat keputusan berdasarkan informasi mereka sendiri tentang
penggunaan kontrasepsi dan memiliki anak, dan berpartisipasi secara setara
dalam masyarakat dan perkembangannya. Untuk memenuhi tujuan ini, dan
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, UNFPA berfokus pada empat
bidang utama:

Memperkuat Rantai Pasokan agar Alat dan Obat Kontrasepsi


Menjangkau Mereka yang Membutuhkan
Memastikan bahwa layanan dan perlengkapan KB memiliki dukungan
pendanaan yang berkelanjutan. Dengan rencana strategisnya saat ini, UNFPA
bertujuan untuk mencapai tiga hasil transformatif yang mengubah dunia:
mengakhiri kematian ibu, mengakhiri kebutuhan KB yang tidak terpenuhi,

141
dan mengakhiri kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya.
Memberikan informasi dan layanan keluarga berencana adalah bagian penting
dari upaya ini.

UNFPA dalam Peningkatan Kesehatan Ibu


Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah. Pada 2017, diperkirakan
295.000 wanita meninggal karena penyebab terkait kehamilan atau persalinan.
Mayoritas dari mereka meninggal karena pendarahan hebat, sepsis, eklampsia,
persalinan terhambat, dan konsekuensi aborsi yang tidak aman-semua
penyebab yang ada intervensi yang sangat efektif. Tragedi itu tidak berhenti di
situ: ketika para ibu meninggal, keluarga mereka jauh lebih rentan, dan
kemungkinan besar bayi mereka meninggal sebelum mencapai ulang tahun
kedua mereka.
Tetapi penurunan yang signifikan dalam angka kematian ibu mungkin
saja terjadi, dan hal itu sedang terjadi. Rasio kematian ibu secara global telah
turun dari 342 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000
menjadi 211 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2017. Di
banyak negara, kematian ibu telah menurun karena perempuan telah
memperoleh akses ke keluarga berencana dan bantuan persalinan yang
terampil dengan keadaan darurat cadangan, perawatan kebidanan. Beberapa
negara telah mengurangi separuh kematian ibu mereka dalam kurun waktu
satu dekade.
Tetapi lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Tingkat kematian ibu
yang tinggi tetap ada, terutama di komunitas miskin. Dari ratusan ribu wanita
yang meninggal saat hamil atau melahirkan pada 2017, sekitar 86 persen
tinggal di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Bekerja untuk kelangsungan
hidup ibu adalah keharusan hak asasi manusia, dan itu adalah prioritas
pembangunan. Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan dan Tujuan Pembangunan Milenium menyerukan untuk
mencapai penurunan 75 persen kematian ibu antara tahun 1990 dan 2015; ini
tetap menjadi agenda yang belum selesai. Tujuan SDG’s yang baru, juga
dikenal sebagai tujuan global, menyerukan untuk menurunkan rasio kematian
ibu menjadi 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Cara
terbaik untuk mencapai target ambisius ini adalah dengan: memastikan semua
wanita memiliki akses ke kontrasepsi hindari kehamilan yang tidak
diinginkan; memberikan perawatan yang terampil dan penuh hormat kepada
semua wanita hamil dalam lingkungan yang aman selama persalinan; dan

142
memastikan wanita dengan komplikasi memiliki akses tepat waktu ke
perawatan kebidanan darurat yang berkualitas.
Untuk setiap wanita yang meninggal karena penyebab yang
berhubungan dengan kehamilan, diperkirakan 20 sampai 30 mengalami
morbiditas kronis atau akut. Hingga 15 persen dari semua kelahiran dipersulit
oleh kondisi yang berpotensi fatal. Wanita yang selamat dari komplikasi
tersebut seringkali membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan mungkin
menghadapi konsekuensi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi yang
berkepanjangan. Meskipun banyak dari komplikasi ini tidak dapat diprediksi,
hampir semuanya dapat diobati. Tanpa pengobatan, kondisi ini dapat
membunuh, melumpuhkan, atau menyebabkan lahir mati. Biaya perawatan
medis dan hilangnya produktivitas juga dapat membuat perempuan dan
keluarganya jatuh miskin. Fistula kebidanan, misalnya, dapat menyebabkan
infeksi kronis, isolasi sosial, dan kemiskinan yang semakin parah.

Federasi Keluarga Berencana Internasional


Di antara aktor paling awal di bidang keluarga berencana internasional
adalah IPPF, yang telah ditetapkan sebagai organisasi sukarela swasta.
Organisasi anggota nasional terafiliasi pada tahun 1952 berdasarkan
kepedulian terhadap hak dan kebutuhan individu dan keluarga. Margaret
Sanger, kampanye KB yang Amerika Serikat telah dibuka klinik kontrol
kelahiran Amerika pertama di New York City pada tahun 1916, adalah
presiden pertama IPPF (Douglas, 1970). Keanggotaannya Jerman, Hong
Kong, India, Belanda, Singapura, Swedia, Inggris, dan Inggris Amerika
Serikat) pada tahun 1952 hingga 137 anggota pada tahun 2000 30 (Berry,
2000). Di 1998, anggaran IPPF adalah $90 juta, di mana sekitar 65 persennya
diberikan untuk hibah kepada keluarga perencanaan di negara berkembang di
seluruh dunia (IPPF, 1999). Anggaran menurun menjadi $83,5 juta pada tahun
2000 dan selanjutnya menjadi $68,4 juta pada tahun 2001 karena dari
kombinasi faktor (Newman, 2000b).

Kontribusi Bank Dunia dalam Kependudukan Dunia


Yang paling berkembang Negara telah memenuhi persyaratan untuk
pinjaman berbunga sangat rendah dengan lama periode menghabiskan, dana
jadi ini lebih banyak digunakan seperti hibah dari pinjaman. Pada kontribusi
pertama, Bank Dunia dalam populasi. Dengan demikian, perhatian utama
adalah mengurangi tingkat populasi yang tinggi pertumbuhan yang
meningkat. Bank pertama pinjaman dalam populasi adalah ke Jamaika pada

143
tahun 1970 (Harkavy, 1995). Dalam1970-an, pinjaman Bank Dunia
mendukung pengembangan fasilitas dan program perencanaan untuk keluarga.
Selama 1980-an, pinjaman bantuan terfokus sampai melengkapi yang utama.
Faktor-faktor ini, yang berpengaruh instruktif untuk Lingkungan
penggalangan dana saat ini, termasuk penurunan umum dalam bantuan
pembangunan resmi dari negara donor utama IPPF mencoba, bersaing
prioritas untuk dana ini (misalnya, Kosovo, prioritas untuk beberapa orang
Eropa negara donor), dan partisipasi serta perbaikan kesehatan semakin
menurun dana pembangunan. Ada juga dua faktor operasi IPPF yang
berkontribusi: (1) kekuatan relatif dari dolar AS (yang merupakan mata uang
kerja IPPF) yang dimaksud yang sebagian besar kontribusi besar yang
disediakan dalam mata uang lain, hilang nilai; dan (2) Peningkatan partisipasi
yang langsung ke asosiasi anggota IPPF di Indonesia, Afrika, Asia, dan
Amerika Latin karena penggalangan dana yang lebih agresif oleh mereka.
Asosiasi dan tren meningkat untuk beberapa donor untuk mendanai asosiasi
terafiliasi langsung (Newman, 2001).
Dalam 1990-an, berorientasi proyek yang didanai bank bergeser ke
sektor kesehatan untuk reformasi dan masalah kesehatan yang muncul
(misalnya, HIV/AIDS). Repro-kesehatan dan keluarga berencana program
kesehatan yang lebih luas. Pendanaan Bank Dunia dalam populasi hingga
1980 meminjam $401 juta untuk 22 proyek dan $1,1 miliar untuk 66 proyek
pada 1982-1991. Untuk periode 1992-1999, persetujuan untuk jumlah dan
kesehatan lebih dari $3,1 miliar untuk 136proyek di 68 negara (Bank Dunia,
2000)
Pada saat ICPD, estimasi jumlah yang diperlukan dibutuhkan dari
bantuan internasional untuk perencanaan keluarga dan perencanaan program
kesehatan pada tahun 2000 adalah $5,7 miliar (UNFPA, 2000a). Hanya
sekitar $2,2 miliar disediakan pada tahun 1998, dan prospek untuk Perlu
bantuan, dikeluarkan dari yayasan swasta, tidak bagus. Estimasi ini termasuk
biaya dari persetujuan permintaan akan kontraseptif dan pasokan kesehatan
reproduksi lainnya, yang merupakan bagian penting dari memenuhi
kebutuhan pasangan dalam pembangunan negara. Meskipun kekurangan
sumber daya keuangan, baru kemitraan telah dikembangkan oleh negara maju
dan berkembang mencoba dan pemerintah dan organisasi swasta yang
disetujui untuk terus meningkatkan kesehatan reproduksi di antara populasi
negara.

144
Referensi
Abdurrahman, Mulyono. (2012). anak berkesulitan belajar. Jakarta: Rineka
cipta. http://dx.doi.org/10.23887/jlls.v2i1.17316.g10397
Ayuningtyas D. Kebijakan Kesehatan: Prinsip dan Praktik. 1 ed. 1, editor.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Penelitian
tingkat kelangsungan pemakaian kontrasepsi pil dan suntikan di
Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Jakarta: Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama
dengan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia; 1994. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v6i3.105
Bertrand J.T., Magnani R.J., Rutenberg N. (1996). Evaluating Family
Planning Programs-With Adaptations For Reproductive Health.
BPOM RI. (2009). Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia
dalam Makanan No. HK.00.06.1.52.4011. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Budi Raharja, Paulus. (2000). Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir.
Yogyakarta: Kanisius
Direktorat Partisipasi Pria-Puslitbang KB-KR BKKBN. (2001). Studi
Identifikasi Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta.
Ganatra B., Faundes A. Role of birth spacing, family planning services, safe
abortion services and post-abortion care in reducing maternal
mortality. Best Practice & Research Clinical Obstetrics
&Gynaecology. 2016;36:145-55.
http://repository.uinjambi.ac.id/id/eprint/121
Ihdanisa, Nurlaili. (2018). Pemahaman masyarakat tentang peran BP4.
Undergraduate Thesis, IAIN Metro. https://repository.metrouniv.
ac.id/id/eprint/154/#:~:text=Badan%20Penasehat%2C%20Pembinaan
%20dan%20Pelestarian%20Perkawinan%20(BP4,repository.metrouni
v.ac.id/id/eprint/154
Kartono, Kartini. (1989). Peranan Keluarga Pemandu Anak. Jakarta:
Rajawali.
Niniek Lely Pratiwi dan Heri Basuki. Health Seeking Behavior dan
Aksesibilitas Pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal:
Naskah layak terbit 29 Januari 2014

145
Palu B. Menyelamatkan generasi muda. [Diunduh tanggal 10 Mei 2009].
Didapat dari: www.bappenas.go.id, 2008.
Pambudy M.N. Perkawinan anak melanggar undang-undang perkawinan.
[diunduh 29 April 2009]. Didapat dari: http://cetak.kompas.com/read,
2008.
Riant Nugroho. (2014). Kebijakan Publik di Negara-Negara berkembang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, S. Budhi. (1994). Ketahanan Keluarga sebagai Basis bagi
Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Badan Litbang
Kesejahteraan Sosial. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/
123456789/45670
Saparinah Sadli. Mutu Pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal,
dikutip tanggal 14 Februari 2017

146
BAB 7
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Pada suatu waktu penulis diminta membuat proyeksi penduduk dengan


metode komponen. Aplikasi yang digunakan adalah spektrum, modulnya
Demographic Projection. Data dasar yang digunakan tahun 2019. Kondisi
TFR pada saat itu 2,7. Sayangnya penduduk umur 0-4 yang memiliki akta
kelahiran sekitar 60%. Artinya ada 40% balita belum terdata, sehingga
jumlah penduduk dalam piramida mengalami penurunan di bagian
bawahnya. Ketika diproyeksikan terjadi keanehan seolah-olah penduduk
dalam 5 tahun mengalami penurunan yang cukup drastis, tapi dalam rentang
lima tahun berikutnya. Usia 0-4 tahun mengalami peningkatan. Kondisi
tersebut setelah diselidiki, penyebabnya tidak lain adalah kesalahan
mencatatkan penduduk 0-4 tahun yang tidak 100% menyebabkan kesalahan
dalam memproyeksikan penduduk berikutnya.
Cerita berikutnya ini merupakan angan-angan yang semoga segera menjadi
kenyataan. Realita penduduk Indonesia saat ini, di era digitalisasi di mana
banyak aplikasi meminta banyak account dan password. Belum lagi kita
seseorang memiliki banyak rekening bank. Ada satu orang dalam satu bank
memiliki lebih dua rekening. Belum lagi bank lain. Dan rata-rata bank
memberikan pemberian layanan ATM, kartu kredit. Namun ketika seseorang
hendak mengambil uang dalam jumlah banyak di mana pun bank, yang
diminta adalah kartu identitas (salah satu yang dipercaya adalah KTP).
Belum lagi ketika seseorang memiliki banyak premi asuransi baik kesehatan
maupun jiwa. Semuanya memiliki nomor rekening. Ketika mau klaim-pun
yang digunakan KTP. Ketika seseorang akan membuat surat izin mengemudi,
syarat yang diminta adalah KTP. Ketika seseorang akan mengklaim BPJS di
rumah sakit yang diminta pun KTP. Mengapa tidak berpikir efektif, efisien,
daripada banyak kartu ATM, kartu BPJS, SIM dan Kartu-kartu lainnya—dan
dihitung-hitung kalau satu pengadaannya sekitar lima ribu dan ada sekitar
50% penduduk Indonesia memiliki kartu itu sebanyak minimal 4, maka akan
ada sekitar 20 ribu. Kalau saat ini ada sekitar 170 juta penduduk Indonesia
(sensus 2020), maka setidaknya ada biaya sekitar 1,7 triliun rupiah hanya
untuk membuat kartu. Mengapa tidak dijadikan satu kartu yang di dalamnya
ada chip yang menyimpan identitas penduduk secara single.

147
Pendahuluan
Dua cerita di atas betapa sebenarnya masih perlunya pembenahan
administrasi kependudukan di Indonesia. Walaupun pernah menjadi cita-cita
kementerian dalam negeri, tapi setidaknya suatu saat optimis akan menjadi
keniscayaan setiap penduduk akan memiliki identitas singel. Dua cerita
tersebut juga mengingatkan kejadian di Jepang ketika seorang pria hendak
membeli rokok di vending machine. Setelah menekan tombol rokok, pria
tersebut mengeluarkan kartu identitasnya (ID card) yang ditunjukkan ke
camera scan begitu ada tanda lampu hijau, pria tersebut memasukan uang 
500 ke dalam mesin tersebut, akhirnya satu bungkus rokok keluar dari
vending machine.
Single identity saat ini merupakan isu yang hangat mengingat
penggunaan teknologi untuk layanan digital benar-benar meminta username
dan password. Saking banyaknya password yang cukup banyak dalam
berbagai aplikasi seringkali penduduk disibukkan dengan mencatat dan
mengingat username dan password, nomor dan lain sebagainya. Sudah
saatnya mengintegrasikan seluruh identitas penduduk yang dimiliki ke dalam
identitas tunggal, sehingga catatan kependudukan akan lebih mudah. Di Era
modern ini, ada beberapa identitas penduduk yang dimiliki di antaranya: KTP,
Surat Izin Mengemudi, ATM, email, Akta Nikah, rekening bank, Passport,
Kartu BPJS dan lain sebagainya. Masing-masing identitas tersebut memiliki
nomor. Sayangnya setiap hendak meminta layanan, selalu ditanyakan KTP
bahkan dimintai copy KTP. Di sinilah titik urgennya untuk meningkatkan
layanan administrasi kependudukan agar lebih terintegrasi.
Output layanan administrasi kependudukan (Adminduk) yang
dihasilkan oleh dinas Dukcapil kabupaten/kota bukan hanya KTP-elektronik,
Akta Kelahiran, atau Kartu Keluarga (KK) seperti yang umum banyak
diketahui orang. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan untuk pelayanan
administrasi kependudukan, merupakan rangkaian penataan dan pengendalian
kegiatan populasi penerbitan dokumen dan data melalui pencatatan
kependudukan, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi
kependudukan dan memanfaatkan hasilnya untuk pelayanan publik dan sektor
lainnya pengembangan.
Kebijakan Layanan Kependudukan diatur di Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Peraturan Nomor 120 Tahun 2017 tentang Teknis Unit
Pelaksana Kependudukan Kabupaten/Kota dan Layanan Pencatatan Sipil.
Dalam ketentuannya, pemerintah diharuskan melakukan tindakan
administratif sebagaimana diatur undang-undang regulasi dalam rangka

148
mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan milik
warga. Syarat layanan publik kekinian banyak memerlukan identitas diri
orang yang dilayani dan tidak lain adalah KTP. Bagi masyarakat, kepemilikan
KTP dan Kartu Keluarga adalah sangat diinginkan karena digunakan untuk
mengakses setiap layanan publik lainnya, seperti menginstal listrik,
pembukaan rekening bank, layanan pencatatan sipil, mengurus paspor, dan
lain-lain. Masalah yang dihadapi adalah itu ada gap antara Permendagri No.
120 Tahun 2017 dan instrumen kebijakan, tata kelola dan aktor dalam
pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan kebijakan. Upaya tersebut
sebagai bentuk reformasi birokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang
baik.
Salah satu jenis e-government saat ini sedang ada diterapkan di
Indonesia dalam hal pelayanan administrasi, yaitu berupa Layanan
Administrasi Online yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Dalam
Negeri Nomor 7 Tahun 2019. Peraturan tersebut mengatur tentang pelayanan
administrasi kependudukan menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE).
Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi dan
mengautentikasi identitas pelanggan pada saat yang sama menjamin keutuhan
dan keaslian dokumen. Tanda tangan elektronik menampilkan identitas tanda
tangan yang diverifikasi berdasarkan data pembuatan elektronik tanda tangan
tempat data pembuatan tanda tangan elektronik dibuat unik yang hanya
mengacu pada penandatanganan. Mirip dengan tanda tangan manual, tanda
tangan elektronik itu unik tanda tangan elektronik seseorang akan berbeda
dari seseorang tanda tangan orang lain.
Layanan administrasi kependudukan secara online atau biasa disebut
Adminduk Online merupakan rangkaian layanan berbasis elektronik
pendaftaran penduduk dan kegiatan pengelolaan dokumen. Supaya layanan
lebih cepat namun terlegalisasi diperlukan TTE yang merupakan tanda tangan
terdiri dari informasi elektronik yang dilampirkan, terkait atau terkait dengan
informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai verifikasi dan alat
autentikasi (Kementerian Dalam Negeri, 2019). Kebijakan TTE dijalankan
untuk proses menerbitkan dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga dan
kelahiran sertifikat dengan cara yang cepat dan hemat biaya, sementara juga
terintegrasi dari pusat hingga daerah. Itulah sekelumit isu-isu tentang
administrasi kependudukan, tapi untuk lebih jelasnya akan dieksplorasi
beberapa poin penting tentang konsep administrasi kependudukan dalam
tatanan demografi. Kemudian dibahas juga mengenai layanan dasar
administrasi kependudukan dan peruntukannya. Kemudian bahasan akhir dari
bab ini adalah kondisi kekinian layanan administrasi kependudukan.

149
Administrasi Kependudukan dalam Tatanan Demografi
Demografi dalam sejarahnya mempelajari dasar-dasar kehidupan
manusia dalam konteks yang sebanyak mungkin. Mulai dari kelahiran,
pembentukan keluarga, dan kematian adalah aspek kehidupan universal,
namun penyematannya dalam proses sosial berbeda di setiap masyarakat.
Demograf Jepang Saito (1996) pernah mengkritik kecenderungan banyak
demograf (historis) untuk menyatukan wilayah besar dunia dan
mengasumsikan perbedaan sederhana antara ‘barat’ dan ‘lainnya’. Demografi
saat ini lebih banyak berkiblat pada kependudukan Eropa di mana karena ada
efek faktor ekonomi (‘pasar’) pada demografi cenderung terlalu tinggi.
Demographer Jepang bernama Saito menyatakan bahwa keluarga induk
Jepang memiliki seperangkat norma dan batasan khusus pada perilaku
demografis (Saito, 2000) dan kondisi norma kependudukan dalam Jepang
sangat berbeda dengan negara lainnya. Khususnya kawasan Asia Timur dan
Selatan tidak dapat dikelompokkan bersama di bawah label sistem keluarga
gabungan yang sederhana. Para ahli kependudukan perlu mengidentifikasi
penyebab ekonomi, budaya, dan ekologi dari keragaman regional untuk
memahami proses demografis masa lalu dan sekarang. Selanjutnya Saito
(1996) menjelaskan pada pentingnya institusi (pasar dan non-pasar) pada
demografi, dan dia menyebutkan sebagai contoh organisasi pertolongan yang
buruk. Basis data kependudukan yang baik tentunya akan berdampak pada
layanan publik dan akhirnya memberi kontribusi pada perkembangan
ekonomi negara.
Dalam hal ini, karena Indonesia pernah dijajah Belanda cukup lama,
maka akan ditelusuri administrasi kependudukan jaman kolonial. Data basis
penduduk akan ditelusuri pada sumber arsip, karena membutuhkan
pemeriksaan yang cermat sebelum dapat digunakan dalam analisis
demografis. Administrasi kependudukan sejatinya merupakan hasil dari
interaksi dan konflik yang kompleks di mana persepsi orang tentang identitas
mereka, hubungan mereka, dan norma agama, serta kepentingan birokrasi dan
fiskal pemerintah dan definisi hukum tentang warga negara, orang, dan
keluarga semuanya berperan. Oleh karena itu, memahami administrasi
kependudukan membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang adat
istiadat keluarga yang berlaku, yaitu anteseden historis dari administrasi
tertentu, dan interpretasi (sering diperdebatkan) dari variabel yang ditemukan
dalam sumber. Untuk ini, kasus pengadilan sering menghasilkan wawasan
yang menarik seperti yang ditunjukkan dalam studi tentang pencatatan sipil
Jepang. Administrasi kependudukan Indonesia tidak terlepas dari catatan sipil

150
jaman Belanda. Di mana ada secara rinci pendaftaran tanah dan orang oleh
pejabat Belanda. Sebuah contoh yang jelas dari ketergantungan jalur
institusional, Belanda mengikuti dan menyempurnakan praktik administrasi
masyarakat pribumi, dan dengan melakukan itu mengikuti contoh dari
penjajah Portugis sebelumnya.
Pendaftaran kependudukan jaman kolonial Belanda dibangun di atas
hubungan feodal tradisional di mana raja sebagai ‘penguasa tanah’ diberi
kompensasi atas penggunaan tanah ‘miliknya’ melalui layanan tenaga kerja.
Awalnya, Belanda juga mengandalkan elite lokal untuk membantu mereka
menjaga cengkeraman mereka yang selalu berbahaya di pulau itu.
Cengkeraman mereka genting karena pedalaman Kerajaan Kandy tetap
merdeka dan selalu membenci kehadiran kolonial di wilayah pesisir. Belanda,
seperti Portugis, bersikap pragmatis dan berusaha sekecil mungkin mengubah
sistem administrasi yang ada.
Dalam perjalanan sejarah, lembaga administrasi kependudukan jaman
kolonial awalnya dikenal dengan nama Bergelijke Stand (BS) diambil alih dan
dilanjutkan kegiatannya oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia setelah kemerdekaan. Waktu itu belum menunjukkan
keterkaitannya dengan statistik penduduk yang terstruktur, namun oleh
pelayanannya yang dibutuhkan setiap individu, maka dilakukan secara
permanen dan berkesinambungan. Catatan kependudukan adalah sebuah
upaya untuk meninggalkan catatan perkembangan catatan sipil sejak awal
keberadaannya sampai keadaannya seperti sekarang ini. Pembagian per
periode yang ada di dalamnya, lebih ditekankan dari sisi perkembangan
kebijakan yang menonjol dan mempengaruhi kegiatan lembaga ini.
Dalam rentang waktu sejarahnya, administrasi kependudukan dapat
dikategorisasi dalam beberapa periode di antaranya:

Periode Kolonial Belanda


Jakarta, waktu itu namanya Batavia di awal tahun 1800-an berkembang
pesat terutama di bidang pemerintahan kota. Gubernur utusan Belanda yaitu
Jenderal Daendels yang diangkat pada tahun 1807. Beliau menginginkan
Jakarta menjadi ibukota yang dapat dibanggakan, beberapa pembangunan
kota dilakukannya yaitu antara lain lapangan di daerah Monas (waktu itu
namanya Koninsplein). Beberapa gedung megah dibangun seperti Gedung
Kesenian, Gereja Kathedral. Pembangunan kota tersebut tidak lepas kaitannya
dengan upayanya mereorganisasi pemerintah kota dan salah satu kegiatannya
dalam membangun pemerintah kota termasuk penyelenggaraan pencatatan

151
sipil (Sumber: https://disdukcapil.badungkab.go.id/artikel/17826-sejarah-
pencatatan-sipil).
Jika ada yang bertanya kapan sebenarnya kegiatan pencatatan sipil itu
diadakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda? Berdasarkan bukti-bukti sejarah,
dokumen akta catatan sipil tertua tersimpan pada Kantor Catatan Sipil
Propinsi DKI Jakarta bertahun 1829. Tentu akan menjadi pertanyaan apa
memang iya penyelenggaraan pencatatan sipil itu di Batavia (Jakarta) baru
ada tahun 1829? Padahal penduduk sudah ada jauh sebelum masehi ya.
Kemudian, apa Batavia termasuk wilayah/daerah pertama yang memulai
pencatatan sipil bagi penduduknya?
Berdasarkan dokumen BS yang tersimpan pada Arsip Nasional,
terdapat beberapa dokumen yakni seperti catatan perkawinan, kelahiran di
gereja ada di gereja (Kerkoof) pada tahun 1623 di mana pada waktu
merupakan awal pendudukan (penjajahan) Belanda di bumi Nusantara.
Seluruh catatan tadi tentunya berkaitan dengan pemberkatan perkawinan dan
pembatisan oleh pendeta dan itu ditemukan bukan hanya di Jakarta, tapi juga
Semarang, Pasuruan, Surabaya, Makasar, Ternate, Ambon, Bengkulu,
Banjarmasin, Kalimantan, Gorontalo, Menado dan pulau Timor.
Dokumen-dokumen tersebut sebagai bukti sejarah, bahwasanya
kegiatan pencatatan sipil jaman kependudukan Belanda telah dilaksanakan
sejak tahun 1623 di Indonesia, namun sepertinya dikhususkan bagi warga
penjajah. Pencatatan sipil di negeri Belanda sendiri mulai dilaksanakan oleh
pemerintahan Kotapraja pada akhir abad ke-18 melalui Undang-Undang
Kotapraja tahun 1792. Pada saat itu sudah mulai ada pelarangan
pendeta/gereja melakukan pendaftaran tersebut. Undang-Undang ini
bersumber dari Perancis yang pada masa itu menguasai Belanda.

Periode Tahun 1945-1966 (Orde Lama)


Kantor Pencacah Jiwa sebagai pencatat penduduk tetap melakukan
kegiatannya dengan meneruskan apa-apa yang dahulu dikerjakan oleh
Bergerlijke Stand (BS). Namun karena Belanda masih ingin menjajah
Indonesia, berbagai peraturan tentang catatan sipil masih dikeluarkan antara
lain staatsblad (istilah lain dari “lembaran negara”) tahun 1945 No. 14
tentang ketentuan pendaftaran perceraian yang dahulu ditetapkan 6 bulan
setelah penetapan pengadilan negeri, karena masa peperangan hal tersebut
sulit dilakukan maka berdasarkan staatsblad ini, keputusan perceraian yang
dikeluarkan setelah tanggal 30 April 1941 masih dapat didaftarkan sampai

152
pada batas waktu yang di kemudian hari akan ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal.
Pada waktu itu Belanda menganggap bahwa perang melawan Jepang
pada sekitar tahun 1941-1945 merupakan situasi abnormal dalam
mewujudkan penyelenggaraan pencatatan kependudukan. Oleh karena itu
dibuatkan peraturan-peraturan tambahan untuk memberikan kemudahan.
Staatsblad tahun 1947 No. 137 misalnya bahwa untuk kelahiran antara
tanggal 10 Mei 1940 dan di kemudian hari akan ditetapkan Gubernur-Jenderal
yang dahulu dan lantaran peristiwa-peristiwa tidak dapat didaftarkan menurut
peraturan yang berlaku dalam suatu daftar catatan sipil, dapat didaftar setiap
waktu, apabila ibu anak tersebut sesudah tanggal 10 mei 1940 mempunyai
tempat kediaman yang sebenarnya di Indonesia, dalam catatan kelahiran yang
dilaksanakan oleh petugas catatan sipil di Jakarta.
Terhadap perkawinan yang terjadi antara masa perang, yaitu terhitung
setelah tanggal 8 Desember 1941 dan sebelum waktu yang akan ditetapkan
oleh Gubernur Jenderal yang dahulu, melalui Staatsblad 1947 No. 64
dianggap sah perkawinan-perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama di
hadapan pemuka agama (pendeta, kiai, pastor dan pemuka agama lainnya).
Bergejolaknya revolusi fisik menentang Belanda menyebabkan pencatatan
kependudukan tersebut pada waktu itu pun kurang mendapatkan perhatian dan
itu berlangsung sampai dengan tanggal 14 Januari 1960. Sedangkan catatan
perkawinan dan perceraian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas,
tidak terdapat daftar yang memberi petunjuk hal dimaksud pernah
dilaksanakan pada Kantor Catatan Sipil Jakarta sebagaimana halnya dengan
daftar untuk kelahiran. Daftar kelahiran luar biasa tersebut, tetap dibuka oleh
Kantor Catatan Sipil Jakarta. Berdasarkan penelusuran, terdapat data yang
tersimpan tercatat terakhir pada tahun 1984.
Sayangnya tidak ada sejarah yang jelas kapan istilah BS (cacah jiwa)
berganti nama Kantor Catatan Sipil, akan tetapi berdasarkan kongres bahasa
ke-2 di Medan tahun 1950 istilah BS menjadi catatan sipil. Berdasarkan
penelusuran sejarah pada masa itu di Jakarta terdapat 2 Kantor Catatan Sipil,
yaitu Kantor Catatan Sipil Batavia berlokasi di Jl. Perwira (sekarang Masjid
Istiqlal) dan satunya lagi Kantor Catatan Sipil Mister Cornelis (Jatinegara
sekarang berlokasi di depan Stasiun Kereta Api Jatinegara). Penyelenggaraan
Catatan Sipil pada waktu itu masih belum mengalami perubahan dan
pengembangan, sekalipun demikian oleh pegawai kantor Catatan Sipil pada
waktu itu batas mengenai penggolongan penduduk dan warga negara yang
dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil, telah diperlonggar khususnya bagi

153
WNI asli dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil hanya saja hal tersebut
tidak didukung oleh ketentuan perundang-undangan, sehingga
pelaksanaannya tidak tegas, hanya kalangan tertentu saja yang umumnya
adalah pegawai Kotapraja sendiri dan keluarganya yang mengurus Akta
Catatan Sipil. Sedangkan bagi warga masyarakat Eropa dan keluarganya serta
masyarakat keturunan China, pelayanan Catatan Sipil tetap diselenggarakan
dan telah menjadi kebutuhan mereka yang penting. Adanya pemberontakan
G30S/PKI pada tahun 1965 yang berhasil digagalkan pemerintah, maka
Negara Indonesia memulai tatanan Orde Baru. Kondisi ini tentunya
mengiringi terjadinya era baru pula dalam penyelenggaraan Catatan Sipil di
Indonesia, yaitu melalui Instruksi Presidium Kabinet Ampera
No.31/In/U/12/66 penyelenggaraan Catatan Sipil dinyatakan terbuka untuk
seluruh penduduk warga Negara Indonesia maupun asing.

Kondisi Administrasi Kependudukan di Era Orde Baru


Menurut Hidayat (2013) masalah kependudukan di masa orde baru
boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat ataupun
para politisi. Perhatian terhadap kependudukan lebih kepada pengendalian
penduduk di mana pada saat itu pertumbuhan penduduk begitu tinggi, maka
program keluarga berencana lebih berjaya pada waktu era Orde Baru, di mana
tokoh negara terkenal adalah Haryono Suyono. Memang pada saat ini
sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan
program untuk mengontrol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali
kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai hal yang belum terlalu
penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebaliknya bahwa masalah
kependudukan ini adalah masalah yang sangat esensial dan sangat dekat
dengan kehidupan manusia.
Pada saat itu boleh dikatakan mengurus KTP sangat mudah. Memiliki
KTP ganda adalah hal yang lumrah walau melanggar. Hal ini terjadi karena
nomor induk kependudukan belum dicatatkan dengan baik. Di samping itu
juga warga dapat dengan mudah berpindah kewarganegaraan. Demikian
halnya dengan rekening bank. Dikatakan kurang memadai pada waktu itu
berhubungan dengan layanan KTP atau layanan penduduk lainnya adalah
pelayanan-nya. Biaya kepengurusan KTP tidak transparan, demikian halnya
dalam pengurusan passport. Namun, satu hal kemajuannya adalah penduduk
mulai dicatatkan kelahirannya dengan baik. Kepengurusan sertifikat, nikah,
kelahiran diiringi dengan KTP.

154
Kondisi Administrasi Kependudukan di Era Reformasi
Setelah terjadinya suksesi kepemimpinan tahun 1998. Di mana Era
Orde Baru (Era Suharto) tergantikan Era Reformasi, terjadilah perubahan
yang cukup signifikan setelah adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
yaitu tentang Administrasi Kependudukan, daerah diwajibkan melakukan
penataan regulasi kependudukan termasuk lembaganya. Titik kulminasinya
ketika Kementerian Dalam Negeri mengucurkan anggaran untuk mencetak
KTP elektronik guna mengintegrasikan kependudukan. Walau proyek ini
dianggap belum berhasil. Namun, dalam hal pelayanan administrasi
kependudukan saat ini mengalami kemajuan pesat, terutama dalam hal
percepatan layanan administrasi kependudukan.
Tahun 2012 seluruh Indonesia mulai meregistrasi penduduk dengan
NIK dan KTP elektronik. Perubahan demi perubahan telah dilakukan
pemerintah dan itu menunjukkan perbaikan terutama dalam hal penataan
kependudukan dan layanan. Saat ini sangat sulit orang menggandakan KTP,
memanipulasi data kependudukan ataupun memalsukan. Hal ini dikarenakan
layanan kependudukan telah dilakukan dengan baik.

Jenis-Jenis Layanan Administrasi Kependudukan


Kartu Identitas Anak (KIA)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu
Identitas Anak pasal 1 ayat 7 menyatakan bahwa “Kartu Identitas Anak yang
selanjutnya disingkat KIA adalah identitas resmi anak sebagai bukti diri anak
yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang diterbitkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota setempat. Dengan
adanya KIA, maka pendataan terhadap anak akan semakin tertata, di samping
itu perlindungan dan pelayanan publik serta sebagai upaya memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara. KIA
dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. KIA untuk anak usia kurang dari 5 tahun (tidak mencantumkan photo)
2. KIA untuk anak usia di atas 5 tahun sampai dengan 17 tahun
(mencantumkan photo)
Dengan adanya KIA ini banyak memiliki manfaat di antaranya: (1)
Sebagai tanda pengenal atau bukti diri yang sah. (2) Sebagai syarat mendaftar
sekolah di suatu kabupaten/kota. (3) Untuk melakukan transaksi keuangan di
dunia perbankan dan PT Pos Indonesia. (4) Untuk melakukan pelayanan
kesehatan di puskesmas dan atau di rumah sakit. (5) Untuk pembuatan
dokumen keimigrasian. Biasanya sebagai penyerta orang tua mengurus

155
passport/visa (6) Untuk mengurus klaim santunan kematian bagi pemegang
KIA yang masih berlaku. Ini biasanya dalam hal santunan asuransi (7)
Mencegah terjadinya perdagangan anak (child abuse). (8) Untuk berbagai
keperluan yang membutuhkan bukti diri berupa identitas bagi anak yang
berdomisili di kabupaten/kota. Adapun syarat membuat KIA: Menyerahkan
formulir Permohonan Kartu Identitas Anak (KIA) disertai dengan
melampirkan surat pengantar kelurahan diketahui camat; fotokopi Kartu
Keluarga (KK); KIA lama bagi yang perpanjangan atau KIA yang rusak untuk
pengganti karena rusak; surat keterangan kehilangan dari kepolisian bagi
permohonan karena hilang; Pas foto 3x4 1 lembar, warna latar disesuaikan
dengan tahun lahir (merah: ganjil, biru: genap) bagi yang berusia 4 (empat)
tahun ke atas.

Gambar 7.1: Contoh Replika Kartu Identitas Anak

Akta Kematian
Akta kematian adalah suatu surat yang dibuat dan diterbitkan oleh
Dinas Kependudukan yang membuktikan secara pasti terhadap kematian
seseorang. Di Indonesia akta kematian jarang diurus bila yang meninggal
tidak meninggalkan harta warisan atau kepentingan lainnya, sehingga
kecenderungan ahli warisnya juga malas untuk mengurus. Kondisi seperti ini
membuat catatan kependudukan tetap menganggap yang bersangkutan masih
hidup, sehingga beberapa waktu lalu ada daftar pemilih tetap dalam pemilu
yang kondisinya sudah di alam kubur. Penduduk yang meninggal tersebut
harus dihapus dari daftar kependudukan. Jika tidak, akan terus terdaftar
sebagai penduduk. Dengan adanya akta kematian, maka akan dihapuskan dari
Kartu Keluarga (KK) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang pernah
dimiliki. Sebagai hasil pelaporan kematian, diterbitkanlah Kartu Keluarga
baru dan Akta Kematian. Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tertulis bahwa pencatatan kematian di

156
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil tempat terjadinya kematian.
Dari sisi negara, manfaat akta kematian adalah untuk memvalidasi data
kependudukan, agar penduduk mati tidak masuk lagi data base kependudukan.
Sekiranya yang bersangkutan meninggalkan sejumlah uang di bank, properti
bahkan atau klaim asuransi, maka akta kematian dapat digunakan untuk
memindahtangankan dari si “mati” kepada ahli warisnya. Sebaliknya si “mati”
meninggalkan utang di bank, maka klaim asuransi pelunasan utang juga
dengan menggunakan akta kematian, sehingga si ahli waris tidak lagi dibebani
dengan utang si “almarhum”.
Secara lebih rinci nilai guna dari akta kematian adalah (1) Sebagai
validasi data kependudukan (2) Mencegah penyalahgunaan data si
“almarhum”. (3) Mengurus pensiunan (4) Mengurus penetapan ahli waris (5)
Persyaratan untuk melaksanakan perkawinan kembali (5) Mengurus klaim
asuransi yang bersangkutan.
Untuk mengurus akta kematian biasanya ahli waris harus membawa:
(1) Pelaporan kematian (2) Kartu Keluarga asli (3) Keterangan kematian dari
pejabat pemerintah seperti lurah (4) KTP almarhum dan saksi yang
mengetahui kalau bersangkutan sudah meninggal dunia.

Gambar 7.2: Contoh Akta Kematian

157
Akta Kelahiran
Akta kelahiran adalah bukti sah mengenai status dan peristiwa
kelahiran seseorang yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Bayi yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam kartu keluarga dan
diberi NIK sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya.
Demi ketertiban dalam melakukan pencatatan data penduduk, jika
keluarga memiliki anggota keluarga baru, maka sesegera mungkin daftarkan
kelahiran anaknya ke dinas terkait. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-
undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan
dalam waktu selambat-lambatnya 60 hari setelah peristiwa kelahiran.
Membuat akta kelahiran sangat penting agar anak memperoleh pelayanan
publik dari pemerintah maupun non-pemerintah ke depannya. Ketika bayi
yang baru lahir dilaporkan, guna mendapatkan akta kelahiran, si bayi akan
terdaftar dalam data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Selanjutnya data anak tersebut akan masuk ke dalam Kartu Keluarga
(KK) dan akan mendapatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan
demikian resmilah akta kelahiran menjadi bukti autentik yang dikeluarkan
oleh Dukcapil. Ada beberapa jenis akta kelahiran, yakni: (1) Akta kelahiran
umum: Akta kelahiran yang dibuat berdasarkan laporan kelahiran yang
disampaikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja bagi WNI
dan 10 hari kerja bagi WNA sejak tanggal kelahiran bayi. (2) Akta dengan
rekomendasi: Akta kelahiran yang dibuat berdasarkan rekomendasi kepala
dinas atas laporan kelahiran yang telah melampaui batas waktu 60 hari kerja.
Teknis permintaan penerbitan akta kelahiran mengacu kepada UU No.
24/2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006, pencatatan akta kelahiran
dilakukan pada instansi pelaksana sesuai dengan domisili pelapor. Biayanya
gratis. Waktu pelayanan 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya berkas
persyaratan lengkap. Lokasi pelayanan di kelurahan. Standar pelayanan dan
biayanya sebagai wujud transparansi sudah jelas nilai biayanya nol rupiah.
Agar dapat memperoleh layanan pelaporan kelahiran haruslah
memenuhi persyaratan berikut ini:
1. Surat Keterangan Kelahiran. Yang mengeluarkan surat ini tidak lain
adalah orang yang turut serta melakukan pertolongan kelahiran di
lokasi di mana bayi lahir atau menyaksikan. Bila seorang bayi lahir di
atas kapal laut, maka keterangan kelahiran yang mengeluarkan dan
menandatangani adalah nakhoda. Kalau seorang ibu melahirkan di atas
pesawat, pastinya pilot yang mengeluarkan surat keterangan kelahiran.
Tapi kebanyakan kelahiran bayi saat ini sudah dapat diprediksi waktu

158
kelahirannya, sehingga seorang ibu mempersiapkan dengan baik
menjelang kelahiran. Bidan atau dokter saat ini sering menandatangani
surat keterangan kelahiran. Bahkan layanan penduduk saat ini sudah
lebih baik di mana seorang bayi dapat segera mendapatkan akta
kelahiran karena bidan/dokter memasukannya ke dalam aplikasi
kependudukan setempat.
2. Asli dan fotokopi KK bagi penduduk/SKSKPNP bagi penduduk non-
permanen. Para pekerja musiman, seperti daerah Jakarta dan
metropolitan lainnya sering mendapatkan kedatangan warga urban yang
cukup lama seperti bekerja kontrak selama 6 bulan lebih. Supaya tertib
kependudukan, biasanya RT setempat melaporkan keadaan warganya
untuk mendapatkan kartu keluarga.
3. Asli dan fotokopi KTP orang tua/SKDS/Surat Keterangan Pelaporan
Tamu. Surat ini diperlukan bagi warga yang akan menjadi anggota baru
dalam keluarga tersebut, misalkan ada seorang sanak familinya yang
yatim piatu akan diasuh oleh paman/neneknya.
4. Asli dan fotokopi Surat Nikah/Akta Perkawinan orang tua. Surat ini
diperlukan bagi anggota keluarga baru karena kelahiran. Jadi, harus
dinyatakan bahwa orang tersebut merupakan buah hasil perkawinan
orang yang keluarga bersangkutan.
5. Asli dan fotokopi paspor bagi warga negara asing. Bila ada warga asing
yang akan menjadi anggota baru dalam keluarga di mana mereka
tinggal menetap/permanen, maka passport ini sebagai dasar
kepengurusan KK baru.
6. Surat keterangan dari kepolisian untuk anak yang tidak diketahui asal-
usulnya. Misalkan ada anak bayi yang dibuang oleh orang tuanya,
karena bayi tersebut memiliki hak hidup maka menjadi kewajiban
negara memberikan perlindungan.
7. Surat Keterangan dari lembaga sosial untuk kelahiran anak penduduk
rentan. Surat ini diperuntukkan bagi warga yang ingin mendapatkan
KK, tapi karena yang bersangkutan tinggal di panti asuhan, maka orang
tersebut harus mendapatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa
warga tersebut tinggal di lembaga sosial.

Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan merupakan bagian dari pendataan administrasi
perkawinan dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan. Dengan dicatatnya
kejadian pernikahan penduduk, maka warga akan dilindungi oleh negara

159
dalam hal hukum. Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan juga
dilegalisasi negara. Pencatatan perkawinan bagi seluruh warga negara
Indonesia menjadi kewajiban bagi pasangan yang hendak melangsungkan
pernikahan. Meski ada hukum agama tidak mensyaratkannya, namun demi
perlindungan hukum dalam beragama, maka merupakan hal yang cukup tepat.
Sebagai contoh, bila sepasang keluarga terjadi perselisihan yang membuat
mereka harus berpisah dan berebut asuh anak serta gana-gini. Bila mereka
menuntut keadilan, tapi karena tidak dicatatkan negara, maka negara tidak
dapat menjadi penengah antarkeduanya. Itulah karena perkawinan yang hanya
diatur berdasarkan hukum agama dan adat tidak dapat memberikan kepastian
hukum serta perlindungan hukum jika suatu waktu-waktu terjadi konflik di
antara kedua mempelai, karena tidak adanya bukti autentik yang dijadikan
landasan kuat untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, secara tegas menyebutkan bahwa tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
pencatatan perkawinan sebagaimana diterangkan dalam Undang-Undang
Perkawinan bertujuan untuk: (1) Untuk tertib administrasi perkawinan; (2)
Jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akta kelahiran, membuat
Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain); (3)
Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan; (4) Memberikan
kepastian terhadap status hukum suami, istri, maupun anak; (5) Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya
perkawinan.

Akta Perceraian
Perbuatan tidak dilarang Tuhan tapi dibenci adalah cerai. Dalam biduk
perkawinan ada saja perselisihan yang tidak dapat didamaikan lagi sehingga
harus bercerai. Perceraian diartikan sebagai berakhirnya suatu perkawinan.
Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan
oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-
masing. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan
antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah
berdasarkan hukum yang berlaku. Meski sebab perceraian banyak faktor,
namun dapat diidentifikasi karena:
a. Terdapat satu pihak berbuat menghianati pernikahan seperti
selingkuh/zina dan oleh pihak yang dirugikan sulit untuk dimaafkan.

160
Atau ada pihak pasangan yang melakukan perilaku menyimpang,
seperti pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. Terdapat satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Terdapat satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung sehingga
pihak pasangan tidak mendapatkan nafkah batin/lahir.
d. Terdapat satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain;
e. Terdapat satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Pihak suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Dalam hukum agama Islam, istilah perceraian beragam manifestasinya.
Bila yang menginginkan perceraian itu adalah suaminya, maka istilah cerai
diganti dengan talak. Namun, bila pihak perempuan yang mengajukan
perceraian dikarenakan sang suami tidak dicintainya lagi maka lebih dikenal
dengan cerai gugat.
Islam mengajak umatnya agar tidak terpecah belah sesama muslim.
Oleh karenanya pernikahan menjadi salah satu sunah Rasulullah SAW untuk
dilaksanakan oleh umatnya. Perceraian sendiri adalah suatu hal yang halal
untuk dilakukan. Namun, Tuhan membenci perceraian, meski telah dikatakan
bahwa hal ini adalah halal. Tentu saja memberikan dampak atau risiko,
terutama terhadap anak.

Kartu Keluarga
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
termaktub bahwa Kartu Keluarga (KK) adalah kartu identitas keluarga yang
memuat data tentang susunan, hubungan dan jumlah anggota keluarga. KK
wajib dimiliki oleh setiap keluarga. Biasanya KK ini 3 rangkap yang masing-
masing dipegang oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan.
Dalam KK menginformasikan tentang kolom nomor KK, nama lengkap
kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat
lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status

161
hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang
tua. Dapatkah kartu keluarga terdiri dari satu keluarga tunggal? Jawabnya
tentu dapat karena ada keluarga tunggal, memiliki rumah tetapi hidup
menyendiri.
Selanjutnya, KK ini menjadi prasyarat bagi individu dewasa dalam
mengurus KTP. Dengan KK ini masyarakat dapat menuntut hak-hak dasarnya
sebagai warga negara. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerbitkan
KK adalah (1) adanya pengantar dari pengurus RT/RW setempat diiringi
dengan KK lama, (2) Bukti keterangan nikah atau cerai (Akta nikah/akta
cerai) (3) Surat keterangan lahir (Akta kelahiran) (4) Surat keterangan
pengangkatan anak dari pengadilan bahwa telah dilakukan adopsi seorang
anak oleh keluarga. (5) Surat pendaftaran penduduk bagi warga asing (WNA)
(6) Surat Keterangan Pelaporan Pendatang Baru (SKPPB) bagi pendatang (7)
Surat Keterangan Pindah bagi penduduk yang pindah antarkelurahan.
KK sebagai bagian dari dokumen kependudukan, bersifat legal, maka
tidak boleh mencoret, mengubah, mengganti, menambah isi data yang
tercantum dalam KK tersebut. Sekiranya ada perubahan karena mutasi baik
data statistik maupun biodata anggota keluarga, maka si pemilik KK wajib
melaporkan kepada pejabat lokal setempat (lurah/kepala desa/walinagari).
Misalkan karena ada kelahiran bayi dalam keluarga atau kematian,
kepindahan, maka wajib pihak keluarga melaporkan ke kelurahan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setiap melaporkan
perubahan ke kantor kelurahan, harus membawa 2 (dua) lembar Kartu
Keluarga yaitu yang disimpan oleh Kepala Keluarga dan oleh Ketua RT. Dari
hasil pelaporan tersebut akan diterbitkan Kartu Keluarga baru. Perubahan ini
juga berlaku bagi warga dewasa yang pindah keyakinan/agama, perubahan
status perkawinan ataupun status pendidikan.

Referensi:
Afrizal, Chandy. (2017). Pelaksanaan Kebijakan Pembuatan Kartu Identitas
Anak di Kota Bandar Lampung. Journal of Human Resource Planing,
p 143-190.
Atmosudirjjo, Prajudi. (1981). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia. https://doi.org/10.30996/mk.v0i0.1607
Dispendukcapil, Kabupaten Grobogan. (2016). Kartu Identitas Anak (online).
Available http://dispendukcapil.grobogan.go.id/kartu-identitas-anak-
kia

162
Dunn, William. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada. University Press.
Fauzan Ghafur, Fazari Zul Hasmi Kanggas, Setiawan Bin Lahuri. (2020).
Kedudukan Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia. Journal of Indonesian Comparative of Syari’ah
Law. Volume 3, Number 2, December 2020.
Fradika, Eri. (2018). Implementasi Kebijakan Kartu Identitas Anak di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta. Journal of
Human Resource Planing, p 123-140.
Hamdi, Muchlis. (2014). Kebijakan Publik (Proses, Analisis dan Partisipasi).
Bogor: Ghalia Indonesia. http://dx.doi.org/10.25157/dinamika.
v5i4.1741
Hamdi, Muchlis. (2014). Kebijakan Publik (Proses, Analisis dan Partisipasi).
Bogor: Ghalia Indonesia.
Hidayat N. (2013). Kajian Kebijakan Kependudukan di Indonesia. Jurnal
Administrasi Publik 1 (2) (2013): 24-36
Irianto Agus dan Friyatmi. (2016). Demografi & Kependudukan. Jakarta:
Kencana. http://dx.doi.org/10.25157/dinamika.v5i4.1741
Irianto Agus dan Friyatmi. (2016). Demograpi & Kependudukan. Jakarta:
Kencana.
Iskandar, Jusman dan Putradi, Didit. (2015). Teori Administrasi. Bandung:
Puspaga.
Iskandar, Jusman. (2016). Kapita Selekta Administrasi Negara dan
Kebijaksanaan Publik, cet ke-10. Bandung: Puspaga.
Jaih Mubarok. (2005). Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia.
Bandung: Pustaka Bani Quraisyi.
Jamaluddin & Nanda Amalia. (2016). Buku Ajar: Hukum Perkawinan.
Lhokseumawe: Unimal Press. https://doi.org/10.21107/ri.v11i2.2428
K. Wantjik Saleh. (1982). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta Timur:
Ghalia Indonesia.
Pasolong, Harbani. (2015). Teori Administrasi Publik. Bandung: Alphabeta.
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama Pasal 1 diakses tanggal 19 Januari 2019.
Popov, Igor. (2017). Buku Rujukan Semua Aliran dan Perkumpulan Agama di
Indonesia. Singaraja: Toko Buku Indra Jaya.
Rusli, Said. (2014). Pengantar Ilmu Kependudukan, (ed revisi). Jakarta:
LP3ES.

163
Subarso, A.G. (2012). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafi’ie, Inu Kencana. (2006). Ilmu Administrasi Publik (Edisi Revisi).
Jakarta: Rineka Cipta. https://doi.org/10.14710/jppmr.v7i4.21994
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Nomor 23/206
tentang Adminduk

164
BAB 8
ISU-ISU DAN MASALAH
KEPENDUDUKAN

Tahun 2021 Pemerintah China telah membuat kebijakan baru terhadap


kependudukan dan dimungkinkan akan berdampak pada struktur penduduk.
Kebijakan tersebut tidak lain adalah dibolehkannya kembali penduduknya
untuk memiliki anak 3. Sedangkan kebijakan sebelumnya China menerapkan
satu keluarga satu anak. Terjadinya perubahan struktur umur penduduk
membuat China mulai menyadari bahwa pemerintah tidak ingin kehilangan
penduduk aslinya suatu saat nanti. Tapi sepertinya China ke depan akan
mengalami fenomena sebagaimana negara-negara Eropa alami, di mana
negaranya kehilangan penduduk aslinya (diminishing race). Hal ini tentunya
dilatarbelakangi oleh kondisi di mana masyarakatnya tidak mau direpotkan
dengan kehadiran seorang anak.

Pendahuluan
Sebagai kelanjutan cerita di atas, perlu disampaikan dan diutarakan
bahwa selain fenomena diminishing race beberapa puluh tahun ke depan,
masih ada isu-isu dan permasalahan kependudukan, baik karena adanya
perubahan struktur umur yang mengakibatkan transisi demografi;
berkurangnya penduduk, dampak pertambahan penduduk yang bersifat
mengelompok; Populasi penduduk lansia.
Sejumlah besar literatur telah membahas pola dan tren pernikahan di
Tiongkok, terutama untuk periode reformasi ekonomi setelah 1978. Studi
sebelumnya tercermin pada universalitas pernikahan (mis., Frejka, Jones, dan
Sardon 2010; Zeng, Vaupel, dan Yashin 1985), sedangkan penelitian yang
lebih baru melaporkan keterlambatan dan penurunan tingkat pernikahan (mis.,
Mu dan Xie 2014; Yeung dan Hu 2013; Yu dan Xie 2015a).
Beberapa tahun terakhir, hidup bersama telah menarik perhatian publik
sebagai keluarga yang inovatif tingkah laku. Individu dengan pengetahuan
yang lebih besar tentang masyarakat Barat, terutama sangat individu dan

165
urban yang terdidik, adalah pelopor dalam praktik perilaku ini (Yu dan Xie
2015b). Namun, dalam konteks China, hidup bersama lebih mirip dengan
pendahuluan untuk pernikahan daripada alternatif (Raymo et al. 2015).
Pasangan suami istri yang memiliki pasangan hidup kemungkinan besar
akhirnya menikah. Dari pasangan yang menikah antara 2010 dan 2008, 2012,
lebih dari 40% hidup bersama sebelum menikah (Yu dan Xie 2015b).
Meskipun peningkatan cepat hidup bersama dan perilaku seksual
pranikah masyarakat Tiongkok di Indonesia, melahirkan anak di luar nikah
masih jarang (Raymo et al. 2015; Yeung dan Hu 2016). Lesthaeghe (2010)
menjelaskan bahwa dalam konteks moral tradisional yang kuat kode, tingkat
kesuburan di luar nikah rendah, sedangkan kehamilan pranikah dan
pernikahan dini mungkin tidak biasa. Sepengetahuan kami, kehamilan sebagai
jalan menuju pernikahan tetap menjadi topik yang kurang eksplorasi dalam
konteks China.
Studi ini, kami mengeksplorasi diversifikasi masuknya pernikahan
pertama di China. Kita mengidentifikasi jenis alternatif masuknya pernikahan
di luar pernikahan langsung tradisional dan menunjukkan bagaimana
keragaman ini berkembang dari waktu ke waktu. Kami menerapkan sejarah
acara analisis untuk data longitudinal dari China Family Panel Studies (CFPS,
2010-2012).
Keuntungan menggunakan CFPS untuk analisis adalah bahwa dataset
mengenali hidup bersama sebagai domain kehidupan yang penting dalam
masyarakat Tiongkok kontemporer. Responden yang menikah, bercerai,
janda, atau hidup bersama pada saat wawancara adalah ditanya tentang
pengalaman hidup bersama mereka dengan pasangan mereka saat ini, mantan
pasangannya, pasangan terlambat, atau pasangan saat ini, masing-masing.
Informasi ini membantu kami dalam mengidentifikasi apakah pernikahan
pertama responden didahului oleh hidup bersama. Namun, kami tidak
memiliki akses ke kehidupan bersama responden sebelumnya hubungan yang
berakhir dengan pemisahan, yang membatasi kemampuan kita untuk
menunjukkan melengkapi jalur hubungan sebelum pernikahan pertama. Selain
itu, tidak ada hidup bersama informasi yang dikumpulkan dari responden
yang lajang atau tidak hidup bersama di waktu wawancara, yang menyulitkan
kita untuk menangkap apakah mereka yang hidup bersama tanpa akhirnya
menikah dengan pasangan hidup bersama mereka sebelumnya mungkin
memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk memasuki pernikahan pertama
melalui hidup bersama.

166
Fenomena Permisivitas Kohabitasi di China
Reformasi ekonomi dan kebijakan ‘terbuka’ sejak akhir 1970-an telah
menghasilkan perubahan sosial ekonomi dan kelembagaan yang luar biasa di
Tiongkok. Sebagai rezim berubah dari ekonomi yang direncanakan secara
terpusat ke sistem berbasis pasar, China memiliki menunjukkan pertumbuhan
ekonomi yang cepat. Pertumbuhan ini dibarengi dengan ekspansi pendidikan,
yang meningkatkan peluang kerja dan ekonomi perempuan independen
(Burnett 2010). Selain itu, China menjadi lebih terbuka bagi budaya barat, ide,
nilai, dan gaya hidup (Yeung dan Hu 2013; Yu dan Xie 2015b). Perubahan
ini, dan sikap yang lebih permisif terhadap hidup bersama yang menginspirasi
mereka, mungkin berkontribusi pada penyebaran hidup bersama dan perilaku
seksual pranikah (Yu dan Xie 2015b). Kajian tersebut menemukan keragaman
yang tumbuh dalam perilaku China memasuki pernikahan, dari perkawinan
langsung hanya ke beragam jenis perkawinan. Secara khusus diharapkan
bahwa cara tradisional pembentukan pernikahan (perkawinan langsung)
melemah dari waktu ke waktu, sedangkan perilaku pernikahan nontradisional
(seperti perkawinan didahului dengan nikah) konsepsi, hidup bersama, atau
keduanya) berkembang sesuai, terutama setelah reformasi ekonomi dan
keterbukaan masyarakat China.
Temuan kajian tersebut berimplikasi: Pertama, diversifikasi masuknya
pernikahan pertama setelah 1980-an terjadi bersamaan dengan proses
Tiongkok pembangunan ekonomi dan terbuka ke dunia Barat. Pola
perkawinan yang dominan sebelum 1980-an-pernikahan langsung dan
pernikahan konsepsi-secara bertahap kehilangan tempat dan menikah
didahului yang oleh hidup bersama (baik dengan atau tanpa nikah) konsepsi
sejak 1980-an. Simultanitas ini mencontohkan gagasan itu perubahan sosial
ekonomi di tingkat makro berinteraksi dengan perubahan perilaku keluarga di
tingkat individu. Semakin banyak jenis pernikahan pertama dari waktu ke
waktu mencerminkan evolusi perilaku pernikahan dari tradisi ke modernitas
di masa kini masyarakat China.
Kedua, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penyebaran keluarga
inovatif perilaku dapat memulai perbaikan kebijakan keluarga. Istilah ‘hidup
bersama’ adalah yang pertama diperkenalkan ke dalam UU Perkawinan
Tiongkok dalam amandemen April 2001. Ini menunjukkan itu jalur sebab
akibat dari kebijakan sosial ke perilaku individu atau sebaliknya. Sosial
kebijakan dapat memengaruhi perilaku individu, dan perubahan perilaku pada
individu tersebut level dapat mendorong penyesuaian kebijakan sosial.

167
Ketiga, keberadaan perkawinan konsepsi yang kuat dan mengejutkan
sebagai perilaku perkawinan kedua yang dominan dari tahun 1960 menantang
klasifikasi awal kita sebagai tipe pernikahan nontradisional. Ketika kami
memperluas pengamatan kami ke tahun 1950-an, kami menemukan bahwa
pernikahan konsepsi mewakili sekitar 17% dari pernikahan. Meskipun
demikian pola perilaku perkawinan ini telah menjadi kurang umum sejak
1980-an, mengingat bangkitnya hidup bersama selama periode yang sama,
kita dapat berpendapat bahwa pernikahan konsepsi memiliki sebagian
perubahan menjadi dan memunculkan pernikahan C + C.
Kajian ini yang kemudian menjadi alasan untuk merefleksikan
prevalensi pernikahan dini di masyarakat Asia lainnya. Rindfuss dan Morgan
(1983: 259) mendefinisikan kebangkitan pernikahan konsepsi di Korea,
Taiwan, dan Malaysia. Pergeseran dari mengatur pernikahan menuju
pernikahan berdasarkan pilihan individu pasangan dan cinta romantis
meningkatkan peluang pasangan untuk berkencan sebelum menikah, yang
bisa dibilang berkontribusi pada meningkatnya hubungan seks pranikah dan
pernikahan. Selanjutnya, transisi yang stabil dari keterlibatan ke pernikahan
yang dipastikan oleh keluarga di masyarakat ini mungkin juga menciptakan
konteks yang menguntungkan untuk seks pranikah dan kehamilan (Rindfuss
dan Morgan 1983).
Keberadaan perkawinan konsepsi di China dapat dipahami dalam cara
serupa. Hukum Perkawinan pertama pada tahun 1950 melarang pernikahan
diatur dan advokasi pernikahan berdasarkan cinta dan kebebasan memilih
(Croll 1981). Ini memberi peluang orang muda untuk pacaran dan berkencan
sebelum menikah, yang mungkin ada meningkatkan risiko mereka melakukan
hubungan seks pranikah. Kebijakan yang lebih lama, dan lebih sedikit’ tahun
1970-an, yang mendorong orang muda untuk menunda pernikahan ke usia
lanjut (Ye 1992), mungkin semakin meningkatkan paparan pasangan muda
terhadap seks pranikah. Selain itu, keterlibatan dalam negosiasi kedua
keluarga adalah bagian yang sangat diperlukan proses pernikahan, terutama di
daerah pedesaan (Cong 2016). Pernikahan istimewa ini periode persiapan
dapat meningkatkan peluang pasangan untuk melakukan hubungan seks
pranikah dan mereka kemungkinan masuknya pernikahan setelah kehamilan.
Kebijakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia perkawinan bagi pria
adalah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Akan tetapi usia 16 tahun akan
dikategorikan perkawinan di bawah umur karena usia 16 tahun masih masuk
kepada kategori anak-anak, sebagaimana negara menjelaskan bahwa yang

168
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak-anak yang masih dalam kandungan. Hal ini diatur pada pasal 1
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Data usia perkawinan di beberapa negara muslim di dunia (Rofiq,
Ahmad; 2012)

Persentase perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah


sebelum usia 16 tahun lebih sedikit, tetapi setelah mencapai usia 16 tahun
hingga sebelum usia 18 tahun, persentasenya semakin besar. Peningkatan
perkawinan setelah anak perempuan mencapai usia 16 tahun menunjukkan
bahwa perkawinan anak perempuan usia 16 dan 17 tahun masih marak di
Indonesia.

169
Pandangan Ulama Jawa Timur sepanjang januari sampai Maret tahun
2011, Pengadilan Agama menerima 108 permohonan dari orang tua yang
meminta dispensasi agar anak mereka yang masih berusia belia boleh
menikah. Jadi sekitar 70 persen dari seluruh pemohon bahwa anak mereka
sudah hamil di luar nikah. Selebihnya dispensasi dimohonkan karena para
orang tua khawatir putra putri mereka berzina atau hubungan seksual di luar
nikah.
Dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Indonesia Tahun 2009
dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara
eksplisit mengenai batasan usia perkawinan, baik usia minimal maupun
maksimal. Meskipun demikian, hikmah tasyri dalam pernikahan adalah
mencipakan keluarga bahagia sakinah, serta dalam rangka memperoleh
keturunan. Hal ini dapat tercapai pada usia di mana calon penganten telah
sempurna pemikirannya, baik secara mental maupun secara ekonomis.
Para ahli mengatakan bahwa hukum Islam secara umum mengandung
lima prinsip; yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa,
keturunan, harta dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu di
antaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (Hifzu Al-Nash). Oleh
karena itu menurut Syeh Ibrahim agar garis keturunan nasab tetap terpelihara
degan baik, hubungan seks yang dibolehkan, harus mendapatkan legalitas
agama. Bahkan juga harus memperhatikan berbagai aspek sebelum nikah,
terutama kedewasaan sangat penting dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga yang bahagia.
Jika sebagian ulama mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai
batasan dalam usia perkawinan, hal ini tergantung kepada kemaslahatan
pribadi orang tersebut. Imam Sayuthi pernah menulis dua hadis adalah “ada
tiga perkara yang tidak boleh di tunda-tunda yaitu shalat ketika datang
waktunya, jika ada jenazah di tengah rumah, dan bila anak perempuan ketika
diajak menikah”. Sebenarnya Islam memandang kemaslahatan atau kebaikan,
jika seseorang akan terjerumus ke dalam lembah dosa atau perzinaan maka
perkawinan dini harus dilakukan.
Undang-undang Negara di Indonesia telah mengatur batas usia
perkawinan, pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan sebagai
kesepakatan Nasional yang merupakan kebijakan (Open Legal Policy)
pembentuk Undang-undang. Sementara hukum Islam tidak menyebutkan
batas usia perkawinan, namun secara umum disebutkan akil balig yang
meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap, jiwa kedua mempelai,

170
bertanggung jawab, memenuhi kesehatan untuk melahirkan, untuk mendapat
keturunan baik dan sehat.

Transisi Demografi
Perubahan melekat pada demografi karena demografi adalah studi
tentang bagaimana dan mengapa populasi berubah. Tanpa perubahan,
demografi tidak ada sebagai sebuah disiplin.
Dalam definisi yang paling sederhana, demografi adalah studi ilmiah
tentang manusia dan populasi. Menurut Landry (1945), istilah demografi
pertama kali digunakan oleh ahli statistik Belgia Achille Guillard, dalam
bukunya tahun 1855 Éléments de statistique humaine, ou démographie
comparée. Namun, John Graunt’s Natural dan pengamatan politik yang
disebutkan dalam indeks berikut, dan dibuat berdasarkan tagihan kematian,
yang diterbitkan pada 1662 di London, umumnya diakui sebagai Studi
pertama yang diterbitkan di bidang demografi. Buku itu menunjukkan
kegunaan kompilasi informasi yang berkaitan dengan populasi London
dengan menyajikan statistik berbagai karakteristik seperti pekerjaan,
komposisi umur dan jenis kelamin, kesehatan dan lingkungan. Graunt juga
menerbitkan sebuah versi awal dari tabel kehidupan yang, telah
dikembangkan lebih lanjut oleh Edmund Halley dan Joshua Milne,
menyebabkan publikasi pada tahun 1840 dari kehidupan resmi pertama tabel
oleh William Farr, penyusun abstrak ilmiah dalam Daftar Umum Kantor
Inggris dan Wales. Konsep statistik dari tabel kehidupan tetap ada hari ini
elemen mendasar dari metode demografis. Tabel kehidupan, mungkin lebih
baik disebut tabel kematian, adalah deskripsi tentang bagaimana jumlah dalam
suatu populasi, semua lahir pada hari yang sama, jatuh seiring bertambahnya
usia sampai semua mati.
Sub bab ini dimulai dengan deskripsi demografi yang lebih rinci
transisi kehidupan sebelum beralih ke diskusi tentang pengukuran ini transisi.
Selanjutnya, ini membahas teori tentang bagaimana dan mengapa transisi
terjadi dan asosiasi demografi dengan pendekatan teoretis dari disiplin lain.
Transisi adalah penentu perubahan demografis, tetapi, sebagaimana dijelaskan
dalam bab ini, demografi juga berkaitan dengan konsekuensi perubahan.
Perbedaan antara faktor penentu dan konsekuensi adalah dasar dari diskusi
selanjutnya tentang kebijakan dalam demografi sebagai mitigasi
(memengaruhi penentu) atau adaptasi (berurusan dengan konsekuensi). Bab
ini berakhir dengan bagaimana demografi menghadapi perubahan di masa
depan.

171
Tabel kehidupan menggambarkan usia di mana suatu peristiwa,
kematian, terjadi dalam suatu populasi. Ini memberikan risiko kematian pada
usia berapa pun dalam populasi. Lebih umum, metode demografis berkaitan
dengan menggambarkan apakah dan kapan peristiwa terjadi pada populasi
manusia. Peristiwa utama yang dipelajari adalah melahirkan anak, kematian,
penyakit, kecacatan, migrasi, masuk dan keluar dari hubungan, pendidikan
dan pekerjaan, dan jenis atau masa tinggal perumahan. Namun, metode
demografis dapat dan diterapkan pada berbagai acara yang jauh lebih luas
yang dialami oleh populasi manusia, secara teoretis setiap perubahan dalam
kehidupan anggota dari suatu populasi. Studi tentang terjadinya beberapa
peristiwa yang berbeda selama seumur hidup seseorang disebut sebagai
analisis perjalanan hidup (Uhlenberg 1996).
Dalam istilah yang lebih konseptual, demografi memeriksa transisi dari
satu keadaan sedang ke keadaan yang berbeda di mana transisi ini diatur
dalam ruang dan waktu. Demografi berkaitan dengan bagaimana, kapan,
mengapa, di mana dan kepada siapa ini transisi terjadi. Pengukuran dalam
demografi menggunakan konsep dan metode dari statistik dan matematika.
Paling penting, demografi mengukur probabilitas bahwa sekelompok orang di
satu negara akan tetap berada di negara itu atau pindah ke negara lain dalam
periode waktu yang tetap. Keadaan utama makhluk adalah hidup dan mati dan
tabel kehidupan menggambarkan tingkat transisi dari kehidupan ke kematian
pada usia berapa pun. Kelahiran terjadi melalui transisi dalam sejarah
melahirkan wanita (dan berpotensi pria) seperti mereka bergerak pada usia
yang berbeda dari tidak memiliki kelahiran hingga memiliki satu kelahiran,
atau dari satu ke dua, dan seterusnya. Fokus utama dalam demografi
kesuburan adalah pada perempuan karena rentang tahun subur mereka lebih
sempit daripada yang terjadi laki-laki. Tingkat transisi dari satu kelahiran ke
kelahiran berikutnya disebut progresitas paritas tarif. Ada dinamika lebih
lanjut yang terlibat di sini karena ketika perempuan pindah dari satu usia ke
usia berikutnya, peluang mereka untuk beralih dari satu paritas ke selanjutnya
juga berubah, sehingga memengaruhi jumlah kelahiran. Kemajuan paritas
adalah juga sangat dipengaruhi oleh waktu sejak kelahiran sebelumnya
(McDonald dan Kippen 2011). Ini adalah contoh bagaimana keputusan terkait
dengan waktu sebuah transisi memengaruhi peluang terjadinya transisi dan,
secara makro, bagaimana keputusan tentang waktu kelahiran mempengaruhi
jumlah total kelahiran dalam suatu pemberian jangka waktu. Konsekuensi
makro yang terakhir ini disebut oleh para ahli demografi sebagai sebuah ‘efek
tempo’. Hari ini, di negara-negara dengan tingkat kelahiran rendah, perubahan

172
waktunya kelahiran, efek tempo, adalah alasan utama bahwa tingkat
kesuburan berubah dari satu tahun ke tahun berikutnya (Bongaarts dan Feeney
1998).
Selain peristiwa demografis dasar kelahiran dan kematian, konsep dan
metode demografi memberikan cara yang kuat secara statistik memeriksa
banyak transisi populasi seperti: antara status hubungan (1) hidup melajang
untuk menikah (2) hidup sendiri untuk hidup bersama (3) hidup bersama
untuk menikah (4) pernikahan dengan perpisahan (5) pemisahan untuk
perceraian (6) perceraian untuk menikah kembali. antara pengaturan hidup
yang berbeda: (1) di rumah bersama orang tua ke rumah tangga kelompok (2)
rumah tangga kelompok untuk hubungan pasangan (3) anak-anak di rumah
menuju ‘sarang kosong’ (4) hubungan pasangan dengan hidup sendiri (5)
tinggal sendiri ke fasilitas perawatan lansia. antara berbagai status angkatan
kerja (7) keluar dari angkatan kerja ke pekerjaan (8) ketenagakerjaan hingga
pengangguran dan sebaliknya (9) pekerjaan hingga pensiun. antara berbagai
status kesehatan: (1) tidak ada penyakit kronis hingga penyakit kronis (2) satu
tahap penyakit kronis ke tahap lain (3) kondisi akut untuk pemulihan (4)
sepenuhnya dapat dinonaktifkan (5) satu tahap disabilitas ke tahap lain. antara
perilaku kesehatan yang berbeda: (1) seorang perokok bukan perokok (2)
berat badan yang sehat untuk obesitas (3) aktif hingga menetap. antara negara-
negara pendidikan: (1) sekolah menengah ke pelatihan kejuruan (2) sekolah
menengah ke universitas (3) universitas hingga kelulusan (4) kelulusan untuk
pekerjaan. antara situasi perumahan: (1) menyewa untuk pembelian (2)
pembelian hingga kepemilikan penuh (3) dari apartemen ke rumah terpisah.
antara tempat tinggal: (1) tinggal di kota kecil hingga tinggal di kota
metropolis (2) tinggal di satu negara untuk hidup di negara yang berbeda.
antara berbagai status pendapatan dan jaminan sosial: (1) hidup dengan upah
untuk hidup dengan pembayaran jaminan sosial (2) pindah dari satu
pembayaran jaminan sosial ke pembayaran lainnya.
Cara-cara mengukur transisi-transisi ini bisa sangat rumit ketika, dalam
kondisi tertentu periode waktu, orang dapat membuat sejumlah transisi yang
berbeda. Misalnya, dalam tahun tertentu, seseorang mungkin (dalam bahasa
statistik) ‘tunduk pada yang saling terkait risiko bermitra, pindah tempat
tinggal, dan mengubah jenis perumahan. Dalam periode yang sama, mereka
tunduk pada risiko kematian atau meninggalkan negara itu yang mereka
hidupi. Demografi menangani berbagai kemungkinan ini melalui increment–
decrement life tables yang mengukur bagaimana orang bergerak masuk dan
keluar beberapa negara selama satu tahun (Preston et al. 2001). Namun,

173
aplikasi lengkap dari pendekatan kenaikan-penurunan transisi sangat intensif
data dan Inilah sebabnya mengapa para demografi sangat peduli dengan
koleksi yang terperinci, informasi kuantitatif tentang populasi. Data
berkualitas tinggi lintas waktu juga memungkinkan perhitungan derajat
ketidakpastian relatif terkait dengan transisi antara keadaan menjadi (Clark
2003).
Seperti disiplin ilmu lain, demografi memanfaatkan pengetahuan dalam
disiplin ilmu lain untuk mengembangkan teorinya. Disiplin utama yang
berkontribusi pada demografis teori adalah ekonomi, sosiologi, antropologi,
epidemiologi, geografi, publik kesehatan, biologi, ekologi dan ilmu
lingkungan. Teori dalam demografi adalah didirikan sangat banyak melalui
analisis komparatif yang berorientasi secara statistik: perbandingan lintas
ruang dan waktu serta lintas subkelompok yang berbeda dari populasi. Dalam
hal ini, demografi secara inheren komparatif. Metode digunakan terutama
kuantitatif tetapi kompleksitas perilaku manusia sering berarti diperlukan
metode penelitian kualitatif.
Karena kebanyakan transisi kehidupan melibatkan keputusan dari orang
tersebut membuat transisi, teori dalam demografi berkaitan dengan sosiologi,
antropologi, psikologi dan ekonomi. Sehubungan dengan sosiologi dan
antropologi, keputusan individu diambil dalam konteks kelembagaan, dan itu
konteks dapat mendukung atau membatasi keputusan yang sedang
dipertimbangkan. Sebagai contoh, tingkat kesuburan yang sangat rendah di
suatu negara telah dikaitkan dengan kelembagaan kendala pada pengambilan
keputusan tentang kelahiran yang berasal dari bagaimana wanita didukung
dalam masyarakat itu (McDonald 2000). Juga terkait dengan pengambilan
keputusan tentang kelahiran, teori perilaku terencana telah diterapkan dari
psikologi (Klobas 2011) dan teori utilitas dari ekonomi (Becker 1981). Todaro
(1969) menyediakan model perilaku ekonomi untuk menjelaskan keputusan
untuk pindah dari daerah pedesaan ke kota. Model yang sama telah digunakan
secara luas untuk menjelaskan yang lain pergerakan populasi. Dengan
demikian, teori dalam demografi juga secara inheren tentang ubah: mengapa
orang memutuskan untuk pindah dari satu keadaan menjadi yang lain?
Demografi juga berkaitan dengan hasil untuk populasi terjadinya
peristiwa ‘demografis’, yaitu, dengan dampak demografis itu perubahan
terjadi pada masyarakat dan ekonomi. Pada dasarnya, itu yang diperhatikan
dengan ukuran populasi, struktur umur dan distribusi geografis, yang adalah
hasil dari peristiwa kelahiran, kematian dan migrasi. Yang penting ukuran
demografis, tingkat pertumbuhan populasi, ukuran perubahan, adalah hasil

174
dari tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Untuk mengerti tingkat
pertumbuhan populasi masa lalu dan sekarang dan untuk memprediksi tingkat
masa depan, itu diperlukan untuk memiliki pemahaman tentang tingkat
kelahiran, kematian masa lalu dan sekarang dan migrasi. Lebih luas, peristiwa
demografis mempengaruhi komposisi populasi menurut berbagai
karakteristik: usia, lokasi, perkawinan atau status hubungan, status orang tua,
pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, industri yang digunakan dalam, penyakit,
cacat, perumahan, etnis, agama, dan sebagainya. Karakteristik populasi pada
gilirannya mempengaruhi berbagai perilaku lain seperti konsumsi,
pemungutan suara, dan waktu luang.
Belakangan ini, banyak perhatian telah difokuskan pada demografi
fenomena penuaan populasi dan implikasinya. Penuaan secara fundamental
konsekuensi dari perubahan struktur usia yang disebabkan oleh sejarah
panjang penurunan kesuburan, sejarah selama 100 tahun. Misalnya saja
penuaan di Australia dalam 30 tahun ke depan adalah konsekuensi dari
perubahan angka kelahiran dari tahun 1930-an selanjutnya. Dalam contoh ini,
demografi berkaitan dengan jangka panjang perubahan. Penuaan, tidak seperti
perubahan demografis lainnya, sangat dapat diprediksi karena sifatnya jangka
panjang; penuaan sudah dibangun ke usia yang ada struktur populasi dan
terjadi hanya oleh orang-orang yang hidup saat ini lebih tua tanpa melibatkan
pengambilan keputusan.

Kebijakan Penduduk Baik Mitigasi dan Adaptasi


Kebijakan dalam demografi berkaitan dengan implementasi tindakan
yang mungkin mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan demografis
dan karenanya mempengaruhi jalannya perubahan demografis (mitigasi).
Sebagai contoh kebijakan mitigasi, angka kelahiran dapat dipengaruhi secara
negatif melalui pemberian metode kontrasepsi atau positif melalui manfaat
yang diberikan untuk mereka yang memiliki anak. Pergerakan populasi
internasional meningkat atau dibatasi oleh kebijakan imigrasi nasional.
Kebijakan kesehatan masyarakat memiliki bertujuan mengurangi angka
kematian dan morbiditas. Perpanjangan pendidikan akan dipengaruhi oleh
sekolah wajib atau dengan cara membantu kaum muda untuk. Kebijakan
mitigasi berpotensi kontroversial. Di zaman eugenika, kebijakan menyerukan
agar tingkat kesuburan diturunkan di antara orang-orang dengan apa yang
disebut ‘inferior’ karakteristik. Program tetap dalam pendidikan. Pertumbuhan
populasi di wilayah tertentu akan dipengaruhi oleh ketersediaan pekerjaan
atau perumahan keluarga berencana pemerintah telah memaksa dan batasan

175
ukuran keluarga telah dikaitkan dengan melahirkan anak berdasarkan jenis
kelamin. Saat ini, banyak negara berusaha meningkatkan angka kelahiran
mereka kebijakan yang mendistribusikan kembali sumber daya publik kepada
mereka yang memiliki anak. Pemerintah sering mencegah atau membatasi
non-warga negara memasuki negara mereka menggunakan tindakan kejam.
Atau mereka menjalankan program imigrasi yang canggih dirancang untuk
menarik orang-orang yang sangat terampil dari negara lain. Beberapa
pemerintah membatasi pergerakan orang di dalam negara atau kadang-kadang
mereka mensponsori gerakan seperti itu. Hukum yang terkait dengan perilaku
seksual, aborsi atau perceraian bisa kontroversial. Secara umum, sering kali
disarankan agar pemerintah memilikinya tidak ada bisnis yang campur tangan
dalam urusan pribadi (demografis) warganya. Secara sederhana, kebijakan
mitigasi sulit dan tidak cocok untuk orang yang lemah hati Praktisi.
Karena kebijakan mitigasi demografis seringkali diarahkan ke yang
paling intim atau bidang fundamental kehidupan manusia, demografi menjadi
terkait dengannya etika dan hak asasi manusia. Misalnya, studi dalam
demografi diperhatikan dengan masalah-masalah seperti penyediaan hak
kesehatan reproduksi untuk semua anggota dari populasi, praktik sosial yang
memperlambat pengurangan angka kematian ibu, perdagangan manusia,
penutupan perbatasan terhadap reuni keluarga dan kerabat hak warga negara
dan bukan warga negara. Di tempat yang lebih aman, kebijakan demografis
juga berkaitan dengan penyesuaian terhadap konsekuensi pengambilan
keputusan demografis (adaptasi). Sangat besar Segmen kegiatan pemerintah
terkait dengan adaptasi ke demografis perubahan termasuk penyediaan
perumahan, transportasi, infrastruktur, terkait populasi inisiatif lingkungan,
penggunaan energi dan air, produksi makanan, penyediaan lembaga
pendidikan, lokasi toko dan layanan, perawatan lansia fasilitas dan rumah
sakit. Demografi terlibat dalam keputusan ini pemerintah melalui peramalan
kebutuhan masa depan berdasarkan estimasi perubahan demografis masa
depan.
Dalam menyikapi kebijakan kependudukan itu sendiri, pemerintah
sering melakukan perdagangan antara mitigasi dan adaptasi dengan perubahan
demografis. Misalnya, Pemerintah Jepang selama bertahun-tahun telah
berusaha dengan tidak berhasil meningkatkan angka kelahiran bangsa tetapi
sekarang sedang direncanakan untuk masyarakat yang sangat tua bahwa
kesuburan Jepang yang sangat rendah akan menghasilkan. Mengikuti yang
serupa gagal upaya untuk menaikkan angka kelahiran, pemerintah Singapura
beralih ke skala besar imigrasi. Demikian juga pada tahun 2011, Pemerintah

176
Australia dalam menyatakannya kebijakan kependudukan menekankan pada
adaptasi:

Meramalkan Perubahan Kependudukan di Masa Depan


Paling utama dalam studi perubahan adalah memprediksi perubahan di
masa depan. Karena itu urgensi kebutuhan perencanaan pemerintah
sebagaimana dimaksud di atas, demografi menjadi terlibat dalam
memperkirakan perubahan demografis di masa depan. Booth (2006)
memberikan ulasan tentang metode perkiraan perubahan demografis. Dia
menjelaskan tiga pendekatan dasar untuk peramalan demografis: ekstrapolasi
masa lalu tren, harapan perilaku masa depan yang disediakan oleh responden
dalam survei atau melalui pendapat para ahli (model Bayesian), dan struktural
berbasis teori pemodelan yang melibatkan variabel eksogen. Pendekatan
keempat, bukan peramalan dalam istilah Booth, adalah membuat proyeksi
masa depan berdasarkan pada kisaran skenario (asumsi) masuk akal tetapi
hipotetis tentang masa depan. Dengan ini pendekatan terakhir, pendekatan
yang digunakan oleh sebagian besar kantor statistik nasional, pengguna
diundang untuk membuat pilihan sendiri dari berbagai skenario yang
disediakan.
Dengan riwayat panjang berbagai kesalahan dalam perkiraan
demografis atau proyeksi, beberapa demografi mendukung proyeksi stokastik
yang menyediakan perkiraan pusat dengan berbagai kesalahan prediksi di
sekitar perkiraan (Hyndman dan Booth 2008, Bell et al. 2011). Dengan
menggunakan proyeksi stokastik, 95 persen batas kepercayaan dapat
ditempatkan di sekitar prediksi tingkat populasi masa depan. Namun, batas
kepercayaan 95 persen untuk populasi Australia diperkirakan dalam proyeksi
populasi stokastik oleh Hyndman dan Booth (2008) dan oleh Bell et al. (2011)
bahkan tidak tumpang tindih satu sama lain, meskipun hanya tiga tahun
perbedaan dalam publikasi hasil mereka. Meskipun mengaku membangun di
konsepsi risiko, contoh ini menunjukkan bahwa proyeksi stokastik mengklaim
tingkat akurasi palsu. Kedua proyeksi ini berbeda secara dramatis satu sama
lain karena, di antara kedua proyeksi, internasional Australia tingkat migrasi
naik sangat besar. Dalam kedua kasus ini, proyeksi adalah sangat dipengaruhi
oleh demografi kontemporer dan, meskipun menggunakan yang berbeda
metode untuk memproyeksikan masa depan, kesimpulan bahwa demografi
kontemporer akan meluas ke masa depan yang jauh berlaku. Jadi, dalam
mempertimbangkan masa depan, demografi tampaknya enggan melihatnya
secara radikal berbeda dari menyajikan. Dalam aspek perubahan ini, para ahli
demografi tidak diperlengkapi dengan baik dalam teori atau dalam metode.

177
Referensi
Becker, G. (1981). A Treatise on the Family. Harvard University Press,
Cambridge MA.
Bell, M., Wilson, T. and Charles-Edwards, E. (2011). Australia’s population
future: probabilistic forecasts incorporating expert judgment.
Geographical Research 49(3): 261–75.
Bongaarts, J. and Feeney, G. (1998). On the tempo and quantum of fertility.
Population and Development Review 24(2): 271–91.
Booth, H. (2006). Demographic forecasting: 1980–2005 in review.
International Journal of Forecasting 22(3): 547–81.
Clark, J. (2003). Uncertainty and variability in demography and population
growth: a hierarchical approach. Ecology 84(6): 1370–81.
Department of Sustainability, Environment, Water, Population and
Communities. (2011). Sustainable Australia—sustainable
communities. A sustainable population strategy for Australia.
Commonwealth of Australia, Canberra.
Hyndman, R. and Booth, H. (2008). Stochastic population forecasts using
functional data models for mortality, fertility and migration.
International Journal of Forecasting 24(3): 323–42.
Klobas, J. (2011). The theory of planned behaviour as a model for reasoning
about fertility decisions. Vienna Yearbook of Population Research
9(1): 47–54.
Landry, A. (1945). Traite de demographie. Payot, Paris. McDonald, P. (2000)
Gender equity, social institutions and the future of fertility. Journal of
Population Research 17(1): 1–16.
McDonald, P. and Kippen, R. (2011). Forecasting births. Feature article, ABS
Catalogue Number 2051.0. Australian Bureau of Statistics, Canberra.
Preston, S., Heuveline, P. and Guillot, M. (2001). Demography: Measuring
and Modeling Population Processes. Oxford: Blackwell Publishing.
Todaro, M. (1969). A model of labour migration and urban unemployment in
less developed countries. The American Economic Review 59(1):
138–48.
Uhlenberg, P. (1996). Mutual attraction: demography and life-course analysis.
The Gerontologist 36(2): 226–9.

178
BAB 9
ANALISIS TFR, UNMETNEED DAN CPR
HASIL SUSENAS 2019 TERHADAP
PROGRAM BANGGA KENCANA

PENDAHULUAN
Salah satu upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk, pemerintah
biasanya melaksanakan penggerakan program pemasangan alat kontrasepsi
bagi pasangan usia subur. Logikanya, bila semakin banyak pasangan usia
subur yang melakukan pemasangan alat kontrasepsi, maka akan menurunkan
angka fertilitas. Artinya, keberhasilan kinerja pemerintah dalam hal program
pengendalian penduduk dapat diukur dengan turunnya TFR karena
disebabkan oleh program peningkatan CPR dalam suatu wilayah(Yoonjoung
Madeleine dan Jacob Adetunj; 2018; Bongaarts 1982, 2015; Stover 1998).
Namun sayangnya, tiap-tiap wilayah belum tentu menunjukkan
hubungan kinerja yang positif antara program dan keberhasilan, bahkan ada
juga dengan tidak adanya program menunjukkan hasil positif.Untuk
menunjukkan ada tidaknya hubungan antara program dengan keberhasilan
maka dilakukanlah uji korelasi.Salah satu syarat uji korelasi adalah
dilakukannya terlebih dahulu uji normalitas data yang menunjukkan apakah
sebaran data tersebut berdistribusi normal atau tidak.
Demikian halnya dalam konteks program kependudukan, keluarga
berencana dan pembangunan keluarga, ukuran keberhasilan kinerja
pengendalian penduduk adalah dengan semakin menurunnya angka fertilitas
atau lebih dikenal dengan total fertility rate (TFR). Hal ini terjadi karena
adanya intervensi pemerintah melalui peningkatan penggunaan alat
kontrasepsi pada pasangan usia subur, pendewasaan usia perkawinan dan
upaya-upaya lain supaya pasangan usia subur dapat melakukan pengaturan
kelahiran.
Ada kalanya suatu daerah, meski telah dilakukan berbagai intervensi
dalam upaya menurunkan kelahiran, namun hal tersebut tidak mampu

179
menunjukkan adanya penurunan yang berarti.Demikian juga sebaliknya, tanpa
dilakukan intervensi sekalipun, suatu daerah ternyata mampu menunjukkan
penurunan fertilitas yang cukup signifikan.
Penelitian ini untuk menunjukan makna lain dari tidak normalnya
distribusi dalam program bangga kencana yaitu indicator CPR, Unmetneed
dan TFR ternyata mampu memberikan pesan implisit terjadinya sebuah
kesenjangan keberhasilan program. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa
keberhasilan program Bangga Kencana terutama upaya penurunan total
fertility rate dilakukan dengan cara peningkatan pasangan usia subur menjadi
peserta KB aktif (CPR). Dua indikator tersebut sejatinya berkaitan antara
indikator satu dengan lainnya. Namun bila indikator tersebut diuji dan
ternyata tidak memiliki korelasi maka boleh jadi ada wilayah yang tidak
tersentuh program atau dengan kata lain program yang dicanangkan
menunjukkan ketidakberhasilan.

METODE
Program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan
keluarga di BKKBN lebih melekat di mata masyarakat awam dengan
pemasangan alat kontrasepsi dan jargon dua anak cukup.Program ini
digaungkan sejak BKKBN berdiri tahun 1970-an. Kemudian dalam perjalanan
waktunya bergeser kembali menjadi program dua anak lebih baik. Mengingat
terjadinya perubahan pola kepemimpinan dari orde baru ke orde reformasi,
mainstream BKKBN bukan lagi dua anak cukup ataupun dua anak lebih baik,
akan tetapi lebih mengarah pada upaya penjarangan anak dan lebih diterima di
mata masyarakat dibandingkan dengan dua anak cukup. Hal ini terjadi karena
munculnya isu-isu keluarga berencana sebagai hak asasi manusia. Di samping
itu tekanan global jelas mengarahkan bahwa di belahan dunia sana sudah
mulai terjadi aging population dikarenakan usia produktif sudah tidak mau
memiliki anak. Anak bukan menjadi faktor seseorang berkeluarga. Beberapa
negara di eropa maupun asia seperti Jepang dan Korea Selatan saat ini TFR
nya cenderung menurun, bahkan mereka mengkhawatirkan adanya dimishing
race karena sudah tidak mau memiliki anak lagi. Kondisi itulah yang memicu
terjadinya perubahan paradigma tentang keluarga berencana bahkan
kebijakan-kebijakan pemerintah pun lebih kearah upaya kesejahteraan
keluarga.
Program keluarga berencana di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia masih pada upaya pengendalian penduduk dengan tetap
mengedepankan penurunan kelahiran melalui metode penerapan kontrasepsi

180
modern.Untuk menunjukkan keberhasilan dari program tersebut dilakukanlah
evaluasi secara periodik melalui Survei Kinerja dan Akuntabilitas
Program(SKAP) indikator yang diukur di tataran masyarakat adalah TFR,
mCPR dan Unmetneed. Sayangnya jumlah sampel yang diambil hanya dapat
digunakan untuk menggeneralisasi sampai level Provinsi. Sementara,
keberhasilan program KKBPK juga sering dipertanyakan kinerjanya sampai
pada level kabupaten/kota karena mereka memiliki organisasi perangkat
daerah yang memiliki program sama. Indikator yang diukur pun sama--dan
logikanya bila daerah memprogramkan pemasangan kontrasepsi kepada
pasangan usia subur, maka dipastikan fertilitas perempuan pun akan menurun.
Memang tidak menafikan ada metode penghalang terjadinya fertilitas secara
tradisional seperti amenore lactacid, pantang berkala dan metode tradisional
lainnya, namun kesemuanya itu memiliki risiko besar terjadinya kegagalan,
sehingga metode ini kurang dapat diandalkan.
Untuk melihat keberhasilan capaian program keluarga berencana di
setiap daerah maka dilakukanlah korelasi antara TFR (dependent variable)
dengan capaian CPR yang telah dilakukan oleh pemerintah kepada para
pasangan usia subur. Disamping itu untuk menurunkan persentase unmetneed
juga dilakukan mCPR. Data yang digunakan adalah Susenas 2019 dari seluruh
kabupaten kota dan Provinsi di Indonesia sebanyak 541 data Kab/Kota.
Asumsinya yang dibangun dari analisis korelasi tersebut adalah upaya
penurunan TFR dapat dilakukan oleh pemerintah dengan meningkatkan
jumlah pasangan usia subur untuk ber-KB (CPR) dan menurunkan tidak
terpenuhinya pasangan usia subur yang ingin ber-KB.

PEMBAHASAN
Pemerintah menetapkan program keluarga berencana merupakan
pelayanan wajib non-dasar.Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 23
tahun 2014 tentang otonomi daerah. Bentuk program keluarga berencana
bagian dari program pengendalian penduduk dengan target penurunan
fertilitas menjadi 2,1. Dengan target ini, Indonesia diharapkan akan mencapai
pertumbuhan penduduk yang seimbang. Artinya ada replacement population
antara penduduk yang meninggal dengan yang lahir. Berdasarkam data hasil
Socio-economic survey 2019 Indonesia mengalami kenaikan yang cukup
berarti fertilitasnya yaitu dari 2,5 pada tahun 2017 (SDKI 2017) menjadi 2,58
(Susenas 2019). Dari sisi program pemasangan alat kontrasepsi pada pasangan
usia subur, ada kecenderungan terjadi penurunan dari 51% menjadi 50,76
Sementara. Demikian halnya dengan upaya penurunan unmetneed dari 20%

181
ternyata meningkat menjadi 23%. Kesemuanya itu menandakan bahwa
program keluarga berencana dari sisi pengendalian penduduk mengalami
kemunduran.Untuk membuktikan itu semua juga dilakukan uji korelasi. Di
mana syarat melakukan korelasi harus dilakukan normal distribution and
ternyata hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa ketidaknormalan
distribusi data, seperti yang ditunjukkan qq plot berikut :

Gambar 9.1: Q-Q Plot TFR, mCPR, Unmetneed

Q-Q Plot (Quantile – Quantile (Q-Q) plot) adalah suatu scatter plot
yang membandingkan distribusi empiris dengan fitted distribution dalam
kaitannya dengan nilai dimensi suatu variabel. Q-Q plot dapat memplot
dengan baik jika dataset diperoleh dari populasi yang sudah diketahui. Q-Q
plot dapat digunakan untuk memplot variabel secara lebih teliti berdasarkan
nilai quantile data.
Dari data susenas 2019 yang terdiri dari variable TFR, mCPR, dan
Unmetneed didapatkan scatter plot seperti gambar 1. Dari ketiga Grafik Q-Q
Plot diatas kita bisa melihat bahwa data tersebut sebaran plot menjauh dari
model(garis lurus) artinya data tidak berdistribusi normal dan ditemukan data
ekstrem pada sebaran data tersebut. Untuk uji lebih lanjut maka digunakan uji
normal dengan metode statistik.Ada berbagai metode statistik yang digunakan
untuk menguji apakah data tersebut berdistribusi Normal atau tidak.Prinsip
dalam uji normalitas dalam perhitungan statistik adalah menguji Hipotesa
sebagai berikut :

182
Ho : Data berdistribusi Normal (𝝆 = 𝟎)
H1 : Data tidak berdistribusi Normal (𝝆 ≠ 𝟎)

Kemudian kita melihat p-value pada hasil perhitungannya:


Bila p-value kurang dari alpha = 0.05 maka cukup bukti menyatakan Ho
ditolak, yang berarti bahwa data yang diuji tidak berdistribusi Normal. Dan
bila p-value lebih dari alpha sebesar 0.05 maka cukup bukti untuk menerima
Ho yang berarti data tersebut berdistribusi normal.

Shapiro-Wilk Shapiro-Wilk Shapiro-Wilk


normality test normality test normality test
data: data: data:
susenas_2019$TFR susenas_2019$mCPR susenas_2019$Unmetneed
W = 0.92362, W = 0.93699, W = 0.91445,
p-value = 6.103e-16 p-value = 2.379e-14 p-value <2.2e-16

Hasil Olahan Program R

Hasil normal test menunjukkan bahwa distribusinya tidak normal, di


mana nilai p-value dari variable TFR, mCPR, Unmetneed lebih kecil
dibanding alpha 0,05. Yang artinya ketiga data variabel tersebut tidak
berdistribusi normal atau dicurigai data memiliki nilai ekstrim sehingga
membuat data yang tersebar menjauhi garis linear jika diplotkan.
Kajian ini dimaksudkan untuk menunjukan makna lain dari hasil
program Bangga Kencana terutama upaya penurunan total fertility rate
dilakukan dengan cara peningkatan pasangan usia subur menjadi peserta KB
aktif (CPR). Dua indikator tersebut sejatinya berkaitan antara indikator satu
dengan lainnya. Namun bila indikator tersebut diuji dan ternyata tidak
memiliki korelasi maka boleh jadi ada wilayah yang tidak tersentuh program
atau dengan kata lain program yang dicanangkan menunjukkan
ketidakberhasilan. Maka dari itu untuk mengetahui korelasi antara indicator
tersebut dalam mempengaruhi TFR maka kita mencoba menggunakan
korelasi Spearman dikarenakan kondisi data yang sebarannya tidak normal.
Korelasi rank spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara
variabel dengan skala ordinal atau variabel dengan data interval yang tidak
berdistribusi normal. Oleh karena itu, alat uji ini tidak sensitif terhadap nilai
ekstrim (Kurniawan, 2009).

183
Korelasi Spearman dapat digunakan ketika asumsi korelasi Pearson
dilanggar secara nyata.Spearman’s correlation coefficient is a statistical
measure of the strength of a monotonic relationship between paired data. In a
sample it is denoted by and is by design constrained as follows (James Lani,
2010).
Hubungan monotonik adalah hubungan yang melakukan salah satu hal
berikut: (1) seiring dengan meningkatnya nilai satu variabel, begitu pula nilai
variabel lainnya; atau (2) ketika nilai satu variabel meningkat, nilai variabel
lainnya menurun (James Lani, 2010).Berikut perhitungan yang dilakukan :
𝑯𝟎 𝝆 = 𝟎 ;(Tidak terdapat hubungan antara mCPR dengan TFR)
𝑯𝟏 : 𝝆 ≠ 𝟎 ;(Terdapat hubungan antara mCPR dengan TFR)

OUTPUT R
data: susenas_2019$mCPR and
susenas_2019$TFR
S = 33566978, p-value = 1.254e-10
alternative hypothesis: true rho is not equal to 0
sample estimates:
rho
-0.2719592

Hasil2. Olahan Program R

Prosedur ujinya jika hasil dari p-value lebih kecil dari alpha sebesar
0,05 maka cukup bukti untuk menolak H0 artinya terdapat hubungan antara
mCPR dan TFR. Dan jika melihat nilai rho yang dihasilkan bisa diketahui
bahwa antara mCPR terhadap TFR memiliki korelasi negatif yang lemah yang
artinya jika terjadi peningkatan mCPR maka akan mempengaruhi nilai TFR
menjadi turun.

OUTPUT R
Spearman's rank correlation rho
data: susenas_2019$TFR and
susenas_2019$Unmetneed
S = 19185133, p-value = 1.057e-10
alternative hypothesis: true rho is not equal to 0
sample estimates:
rho
0.2730145

Hasil 3 Olahan Program R

184
Prosedur ujinya jika hasil dari p-value lebih kecil dari alpha sebesar
0,05 maka cukup bukti untuk menolak H0 artinya terdapat hubungan antara
Unmetneed dan TFR. Dan jika melihat nilai rho yang dihasilkan bisa
diketahui bahwa antara Unmetneed terhadap TFR memiliki korelasi positif
yang artinya jika Unmetneed meningkat maka akan terjadi peningkatan pula
pada nilai TFR. Dengan adanya pengaruh mCPR dan Unmetneed terhadap
nilai TFR seharusnya fenomena yang ditemukan jika melihat data hasil
Susenas 2019 ada beberapa daerah terutama Indonesia Bagian Timur, yang
tidak melakukan penggerakan program tapi mampu menurunkan TFR, walau
tidak ada CPR-nya. Sebuah keanehan sepertinya, bahkan sebaliknya ada
beberapa daerah yang sudah mati-matian melaksanakan program dan
menghabiskan anggaran, namun tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan target TFR.

Konsekwensi Program
Berdasarkan hasil analisis Susenas 2019, maka dapat direkomendasikan
sebagai berikut: (1) BKKBN menindaklanjuti daerah-daerah yang capaian
CPR-nya rendah. Dalam kasus di beberapa Kabupaten di Indonesia dengan
lokasi daerah yang mengalami kesulitan akses seperti Papua sementara di
Sumatera Barat beberapa kabupaten mengalami kendala yang sama seperti
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pasaman dan Pasaman Barat perlu kiranya
dilakukan survey primer mengapa capaian CPR-nya rendah, sementara
sebagian besar pasangan usia subur ingin melakukan pemasangan kontrasepsi.
Dengan demikian akan mendapatkan solusi dan strategi terobosan baru yang
dapat mendongkrak capaian CPR-nya. (2) Dimungkinkan BKKBN
menentukan lokasi-lokasi capaian CPR rendah sebagai prioritas penggerakan
program seperti “Satuan Gerak TNI-KB Kes; Bulan Bakti Bhayangkara KB-
Kes dan Satuan Gerak PKK-KB-Kes” dalam beberapa tahun ke depan. Alasan
logisnya adalah bahwa sarana prasarana serta pengamanan institusi ini cukup
memadai sehingga harapannyan dapat segera mendongkrak capaian CPR-nya.

DAFTAR PUSTAKA
BKKBN (2019).Survei Akuntabilitas Program KKBPK Indonesia.Jakarta
James Lani.(2010).Correlation (Pearson, Kendall, Spearman).Statistic
Solutions.
Bongaarts, J. (1982). The fertility-inhibiting effects of the intermediate
fertility variables.Studies in Family Planning 13(6/7): 179–189.
doi:10.2307/1965445.

185
Stover, J. (1998). Revising the proximate determinants of fertility framework:
What have we learned in the past 20 years? Studies in Family
Planning 29(3): 255– 267. doi:10.2307/172272
Susenas (2019).Capaian TFR, mCPR dan Unmetneed di Indonesia. Jakarta
Teguh W, Rahmat S dan Syamsuarni (2018) Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia Wilayah Sumatera Barat Tahun 2017.
Deepublish.Yogyakarta.
Yoonjoung C, Madeleine S F, Jacob A (2018) Does age-adjusted
measurement of contraceptive use better explain the relationship
between fertility and contraception? Demographic
Research.https://www.demographic-research.org/Volumes/Vol39/45/
DOI: 10.4054/DemRes.2018.3 9.45

186
BAB 10
KEKUATAN PENGARUH
TOTAL FERTILITY RATE (TFR) TERHADAP
KEMISKINAN DI SUMATERA BARAT

Pendahuluan
Upaya penanggulangan kemiskinan seringkali dengan melakukan
tindakan intervensi yang bersifat symptom sehingga sampai saat ini,
kemiskinan tidak kunjung terselesaikan. Kemiskinan sendiri penyebabnya
multi faktorial. Artinya, penyebab kemiskinan dari masing-masing individu
berbeda secara spesifik dan unik (Ajakaiye & Adeyeye, 2001) (Olowa, 2012),
namun sayangnya intervensi yang dilakukan bersifat general, cenderung
seragam dan khususnya di Indonesia seringkali bermuatan politik. Perspektif
tentang sebab-sebab kemiskinan sering dipandang karena
ketidakmampuannya seseorang memenuhi kebutuhan pokoknya boleh jadi
karena cacat, pendidikan yang terbatas sehingga tidak mampu bersaing dalam
dunia kerja; keterampilan yang terbatas atau bahkan karena kemalasan itu
sendiri.
Perspektif yang sering dilupakan orang adalah bahwa kemiskinan
terjadi karena banyaknya angka ketergantungan, sehingga banyak orang di
usia produktif harus banyak menerima beban anggota keluarga yang harus
ditanggungnya karena memang tidak bekerja, baik karena masih di bawah 15
tahun atau di atas 60 tahun. Usia ketergantungan di bawah 15 tahun yang
banyak karena disebabkan banyaknya wanita yang melahirkan atau dalam
jargon demografi lebih dikenal dengan angka kesuburan total (TFR). Jadi
kemungkinan ada pengaruh TFR dalam suatu wilayah akan mempengaruhi
persentase kemiskinan penduduknya.
Berbekal pengalaman negara seperti Cina dan negara lainnya yang
mampu menekan angka kelahiran dan meningkatkan produktivitas penduduk
di usia produktif ternyata mampu meningkatkan pendapatan per-kapita.
Bahkan saat ini Cina merupakan negara yang disegani oleh negara adidaya
lainnya. Dengan menekan angka kelahiran dan menurunkan tingkat kematian,

187
ternyata negara dapat meraih bonus demografi—dan bonus ini hanya dapat
dinikmati dalam perjalanan umur negara sekali saja. Bonus demografi juga
menjadi momentum untuk menentukan titik kemajuan bangsa.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, menjadi penting kiranya mengkaji
kemungkinan adanya pengaruh antara kemiskinan dan fertilitas dalam suatu
wilayah, dalam konteks ini adalah Sumatera Barat. Alasan dipilihnya lokasi
Sumatera Barat secara logika mendasarkan pada perubahan struktur kelompok
umur yang saat ini mengalami pergeseran dari peningkatan angka TFR dari
2,5 tahun 2017 (SDKI; 2017) menjadi naik ke angka 2,75 tahun 2019
(SUSENAS; 2019). Penelitian sebelumnya tentang TFR memang pernah
dilakukan oleh Widodo (2020) dengan mendasarkan pada data yang sama
namun sumbernya berbeda yaitu hasil Survei Akuntabilitas Program
Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (SKAP; 2018 &2019)
dan dilakukan seluruh Indonesia.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diungkapkan sebelumnya
bahwasannya sebuah keniscayaan terdapat pengaruh antara kemiskinan
dengan angka kesuburan di Sumatera Barat hanya saja seberapa besar
pengaruhnya terhadap kemiskinan, maka dirumuskanlah masalah penelitian
ini dengan pernyataan “Seberapa kuat fertilitas berpengaruh terhadap
kemiskinan di Sumatera Barat?”

Perspektif Kemiskinan
Kemiskinan menurut beberapa teoritisi seperti (Nugroho, 1995;
Suryawati, 2004) dipandang sebagai kondisi ketidakmampuannya memenuhi
kebutuhan sesuai dengan standar kehidupan dari sisi ekonomi. Perspektif
kemiskinan dan pendekatannya sepertinya mengalami polarisasi, sehingga
pandangan kemiskinanmaupun intervensinya banyak usulan dari para
akademisi maupun praktisi. Menentukan seseorang miskin atau tidak ternyata
tidaklah mudah. Orang yang tidak bekerja tidaklah dapat dianggap miskin.
Orang yang memiliki rumah bagus tidaklah selalu dikatakan kaya. Orang
yang penampilannya keren tidak juga dapat dianggap kaya sebaliknya dengan
banyaknya orang desa yang tampilannya sederhana, mobil tidak punya, lantai
rumahnya terbuat dari tanah tidak dapat dinilai sebagai orang miskin
sementara kerbau dan binatang ternaknya lainnya sapi mencapai puluhan
ekor. Ada orang kaya tapi mentalnya miskin, selalu meminta dimasukan
sebagai keluarga miskin supaya mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Batas menentukan kemiskinan seperti Badan Pusat Statistik
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs

188
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Ravallion (1992) memandang sejumlah pendekatan konseptual yang
sangat berbeda dengan pengukuran kesejahteraan di tingkat individu.
Pendekatan berbeda dalam hal pentingnya analis melekat pada pendekatan
individu penilaian tentang kesejahteraannya. Mereka juga berbeda dalam hal
pentingnya melekat pada gagasan yang pada dasarnya materialis tentang
"standar hidup" versus konsep yang kurang nyata tetapi mungkin tidak kurang
penting seperti "hak". Ravallion tidak merinci berbagai pendekatan tersebut,
tetapi hanya mencoba menggambarkan keterkaitannya pada pilihan-pilihan
utama tentang pengukuran yang mendasari perbandingan kemiskinan, seperti
apakah akan menggunakan pendapatan rumah tangga atau konsumsi rumah
tangga sebagai indikator kesejahteraan. Bila penentuan tingkat kesejahteraan
minimal individu dalam suatu wilayah sebagai ukuran batas kemiskinan,
maka yakinlah ukuran kemiskinan antara wilayah satu berbeda dengan
wilayah lainnya, baik secara kedaerahan ataupun antar negara sekalipun
dalam segi waktu pun begitu, akan terjadi perbedaan batas garis kemiskinan
secara periodic tergantung tuntutan jaman yang menuntut pula perbedaan
kebutuhan.
Konsekwensi terhadap tambahan kebutuhan inidividu yang diprediksi
tiap saat meningkat tentunya akan meningkatkan batas garis kemiskinan itu
sendiri. Misalkan saja, di era teknologi saat ini, kebutuhan akan paket data
bagi tiap individu menjadi vital, karena informasi saat ini menjadi kebutuhan
utama dalam menentukan keputusan dan menerima layanan dari pemerintah
pun saat ini membutuhkan paket data dan jaringan internet. Bagi negara maju,
kebutuhan ini vital, tapi bagi masyarakat di mana jaringan internet belum
terkoneksi maka belum menjadi kebutuhan. Dengan demikian, batas
kemiskinan pun secara waktu dan wilayah menjadi berbeda karena bagi
negara maju dan negara di mana jaringan sudah terkoneksi, maka kebutuhan
paket internet menjadi kebutuhan pokok.
Ketika kebutuhan pokok bertambah, sementara individu yang tadinya
penghasilannya ada dalam batas ambang bawah mampu akan berubah status
kesejahteraanya dari mampu menjadi miskin. Demikian halnya dengan ketika
seseorang dikatakan masih di bawah ambang batas mampu menopang
tanggungan jumlah anggota keluarga.

189
Penilaian garis kemiskinan melibatkan semacam keputusan politik,
karena dari perspektif kebijakan sosial, garis kemiskinan mewakili kriteria
yang dapat diputuskan warga negara mana yang membutuhkan manfaat
khusus dari pemerintah untuk menambah pendapatan mereka sendiri. Oleh
karena itu, kita harus menganalisis dalam kondisi apa dan di bawah tempat
apa masyarakat bersedia memberikan perhatian khusus untuk beberapa
warganya yang miskin.
Tulisan yang cukup lama dan dianggap sebagai gagasan menentukan
batas kemiskinan adalah karya Goedhart dkk (1977) yang melihat secara
singkat empat prosedur berbeda untuk menilai garis kemiskinan. Untuk
masing-masing ukuran menunjukkan beberapa masalah pengukuran yang
terlibat, Godhart menunjukkan sejauh mana harus ada ketergantungan pada
semacam perbandingan kesejahteraan antar pribadi.
Pendekatan pertama adalah menyerahkan sepenuhnya pembentukan
garis kemiskinan kepada para politisi. Misalnya, orang menjadi miskin jika
mereka berhak atas tunjangan tambahan dari pemerintah. Pendekatan ini
sepertinya tidak melibatkan masalah pengukuran apa pun. Besarnya
perbandingan kesejahteraan antarpribadi hampir maksimal. Politisi hanya
memutuskan, secara intuitif atau atas dasar tekanan dari konstituen, ketika
keadaan seseorang menjadi tak tertahankan.
Pendekatan kedua adalah menanyakan apa yang dianggap "warga
negara perwakilan" sebagai tingkat minimum penguasaan atas sumber daya.
Mereka menganalisis sejumlah pemahaman politik Gallup di mana responden
ditanya, "Berapa jumlah uang terkecil yang dibutuhkan sebuah keluarga
dengan empat (suami, istri, dan dua anak) setiap minggu untuk bergaul dalam
komunitas ini?" Rata-rata jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat sebagai
persepsi responden tentang bagaimana seharusnya tingkat garis kemiskinan
tersebut. Masalah pengukuran di sini adalah jenis yang biasa: kemungkinan
kesalahpahaman responden tentang konsep pendapatan yang tepat, interaksi
antara pewawancara dan responden. Perbandingan kesejahteraan antarpribadi
yang terlibat cukup besar, karena responden harus menilai penghasilan
tertentu berarti bagi orang lain.
Pendekatan ketiga bertujuan untuk mendapatkan definisi yang
"obyektif" dari garis kemiskinan. Godhart dkk mungkin menyebutnya definisi
"tingkat subsistensi". Ide dasarnya adalah bahwa manusia memiliki kebutuhan
dasar tertentu yang harus dipuaskan-pangan, sandang, papan, dsb. Untuk itu
masalah tersebut disampaikan kepada para ahli yang harus mengukur
kebutuhan dasar tersebut. Pendekatan keempat terdiri dari menanyakan orang-

190
orang apa yang mereka anggap sebagai tingkat pendapatan minimal untuk diri
mereka sendiri. Masalah pengukuran serupa dengan pendekatan kedua, dan,
sebagai tambahan, orang harus berasumsi bahwa orang tidak sengaja salah
merepresentasikan preferensi mereka.

Tentang Fertilitas
Konsep fertilitas bermakna reproduksi dari seorang wanita atau
kelompok wanita. Fertilitas merupakan taraf kelahiran penduduk yang
sesungguhnya berdasarkan jumlah kelahiran yang terjadi. Pengertian ini
digunakan untuk menunjukkan pertambahan jumlah penduduk. Fertilitas
disebut juga dengan natalitas. Fertilitas berhubungan erat dengan masa
tertentu di mana wanita punya peluang untuk melahirkan. Wanita yang punya
peluang melahirkan biasanya sejak yang bersangkutan sudah mulai
mendapatkan haid sampai berhentinya haid. Kisaran umurnya antara 15-49
tahun. Masa ini disebut usia subur.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian fertilitas yang
penting untuk diketahui adalah:
1. Fekunditas adalah kemampuan secara potensial seorang wanita untuk
melahirkan anak. Fekunditas akan banyak dan lama rentang periodenya
apabila seorang wanita semenjak umur terjadinya menstruasi telah
melakukan konsepsi dengan lawan jenisnya. Bila ada seorang wanita
telah melakukan hubungan seksual semenjak pertama mengalami
menstruasi, maka potensi wanita mempunyai sejumlah anak akan
sangat tinggi. Dengan menggunakan asumsi ketaatan terhadap norma-
norma yang berlaku pada masyarakat dan juga regulasi tentang
pernikahan sehat menurut ketentuan negara biasanya di atas 20 tahun,
maka rentang fekunditas dapat diperpendek. Untuk mengatasi ledakan
penduduk akibat terjadinya perilaku seperti ini, maka negara melakukan
program pendewasaan usia kawin pertama.
2. Sterilisasi adalah ketidakmampuan seorang pria atau wanita untuk
membuahi dan dibuahi. Ketidakmampuan ini terjadi secara permanen
sehingga terhalangnya/tidak terjadinya kelahiran. Ketidakmampuan ini
dapat direkayasa melalui metode kontrasepsi jangka panjang yaitu
tubektomi untuk wanita dan vasektomi untuk pria. Vasektomi adalah
prosedur sterilisasi dengan memotong saluran yang membawa sperma
ke penis. Tindakan ini membuat sperma tidak tercampur dengan air
mani, sehingga air mani tidak bisa membuahi sel telur. Sedangkan pada
wanita, sterilisasi dilakukan dengan mencegah sperma bertemu dan

191
membuahi sel telur. Proses tersebut bisa dilakukan dengan ligasi tuba
(mengikat atau menutup jalan saluran indung telur) atau dengan oklusi
tuba (memasang implan pada saluran indung telur). Secara medis,
sterilisasi tidak ada hubungannya dengan pengaruh gairah seksual, dan
kemampuan seseorang dalam berhubungan seks. Sterilisasi, bukan
bertujuan mencegah penyakit menular seksual, seperti gonorhea atau
HIV/AIDS.
3. Natalitas adalah kelahiran yang merupakan komponen dari perubahan
penduduk berupa tambahan penduduk dan menambahkan struktur
penduduknya.
4. Lahir hidup (live birth) adalah anak yang dilahirkan hidup
(menunjukkan tanda-tanda kehidupan) pada saat dilahirkan, tanpa
memperhatikan lamanya di kandungan, walaupun akhirnya meninggal
dunia.
5. Abortus adalah kematian bayi dalam kandungan dengan umur
kehamilan kurang dari 28 minggu.
6. Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan
yang berumur paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Tidak dihitung sebagai kelahiran.
Perihal lain yang berpengaruh terhadap fertilitas pada wanita adalah
rasio jenis kelamin. Semakin banyak rasio jumlah wanita yang dilahirkan
maka secara Total Fertility Rate (TFR) dimungkinkan akan terjadi kenaikan
suatu periode waktu tertentu. Melihat trendnya, rata-rata jumlah laki-laki pada
waktu dilahirkan lebih banyak dari wanita dengan rasio 102-105. Namun
dalam perjalanan waktunya, kecenderungan laki-laki meninggal lebih banyak
dibandingkan dengan wanita. Makanya usia harapan hidup laki-laki biasanya
selalu lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Mengapa? Tentu sedikit
banyak dengan kebiasaan dan pekerjaan laki-laki yang cenderung berisiko
mendatangkan kematian. Merokok, balapan, kerja bangunan, sopir mobil.
TFR merupakan rata-rata anak yang dilahirkan dari keseluruhan
rentang penduduk kelompok perempuan berusia 15-49 tahun. TFR yang ideal
dalam suatu negara ketika ingin menyeimbangkan penduduk agar tumbuh
secara seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung sebaiknya 2,1.
Dengan angka ini, maka ada replacement people. Di mana jumlah orang yang
meninggal digantikan oleh sebanyak orang yang lahir. Kebanyakan negara-
negara maju angka TFR cukup kecil antara 1,5-2,0. Angka ini menyebabkan
suatu penduduk dalam suatu negara kehilangan penduduk secara alami
(kematian). Sementara jumlah kelahiran tidak mampu menggantikan

192
penduduk yang meninggal dunia. Karena selalu TFR kecil dalam negara maju,
maka saat ini selalu menjadi tolok ukur, kalau negara mau maju ya TFR nya
hendaknya kecil (Lely dkk; 2013). Di Asia negara yang TFR nya kecil salah
satunya yaitu Singapura hanya 0,82, sementara Jepang, TFR-nya 1,41. Di
negara Eropa seperti Italia, TFR nya 1, 43, tidak berbeda jauh dengan Jerman
yaitu 1, 44 (IDN Times; 2019). Negara-negara tersebut juga mengalami
persoalan dengan aging population. TFR ini dapat diketahui dengan
pendekatan diantaranya menggunakan metode anak kandung. Ada juga yang
menggunakan metode jumlah anak dalam keluarga.
TFR yang rendah di bawah 2,1 akan menyebabkan negara akan
kehilangan populasi penduduk aslinya dalam jangka panjang. Dapat kita
simak saat ini bagaimana negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman saat
ini benar-benar bersusah payah untuk memotivasi penduduknya agar mau
memiliki anak. Beberapa negara Asia seperti Jepang dan Singapura
mengalami persoalan sama dengan beberapa negara Eropa. Layaknya air,
maka suatu saat Jepang, Singapura dan negara lainnya yang mengalami
penurunan TFR akan terjadi dimishing population kemudian akan diisi oleh
penduduk pendatang untuk mengisi kekosongan penduduk.
Beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas diantaranya adalah
ekonomi, jarak pasangan, harmonitas pasangan. Sebagai buktinya, penelitian
yang pernah dilakukan (Sandefur dan Scott 1981, Courgeau 1989, White et al.
1995, Kulu 2005, 2007) menunjukkan bahwa peningkatan ukuran keluarga
menyebabkan penurunan keinginan dan peluang untuk bercinta perpindahan
jarak jauh, terutama ke tujuan perkotaan. Kelahiran seorang anak secara
signifikan meningkatkan kecenderungan pasangan untuk pindah jarak pendek
karena mereka ingin menyesuaikan ukuran tempat tinggal mereka dengan
ukuran keluarga mereka (Clark dkk. 1984, Courgeau 1985, Deurloo dkk.
1994, Davies Withers 1998, Clark dan Huang 2003, lih. Murphy 1984). Studi
terbaru tentang waktu perpindahan relatif terhadap melahirkan anak
mengungkapkan bahwa banyak pasangan bergerak ketika menunggu anak
mereka lahir (Mulder dan Wagner 1998, Michielin dan Mulder 2005, Kulu
2007). Beberapa peneliti berpendapat bahwa pasangan semakin banyak
melakukan mobilisasi (pindah), maka meraka akan mengantisipasi melahirkan
anak (Feijten dan Mulder 2002).
Secara alami, pernyataan bahwa faktor ekonomi dapat menurunkan
fertilitas dimungkinkan menjadi alasan yang rasional. Misalkan saja karena
ekonominya pas-pas-an, keluarga memiliki kemampuan untuk membeli
rumah pun terbatas, sehingga membeli rumah pun ukurannya kecil, karena
ukurannya kecil, hubungan seksual menjadi terbatas, dan mereka pun

193
memiliki pemikiran untuk membatasi anak. Hal ini tentunya berhubungan
dengan kewajiban pasangan menyediakan kamar tambahan untuk penghuni
baru yang akan dilahirkan. Sebagaimana pernah diteliti oleh Goodsell (1937)
penyebab rendahnya kesuburan di Swedia dan berpendapat bahwa kepadatan
rumah sebagian bertanggung jawab atas rendahnya kesuburan di daerah
perkotaan Swedia. Arsitek Swedia dan pembangun, dalam semangat mereka
untuk merumahkan kembali pekerja perkotaan di apartemen modern,
menghasilkan rumah petak standar dari satu kamar dan dapur, dan ini
mungkin memaksa pasangan untuk mempertimbangkan membatasi ukuran
keluarga mereka, terutama karena perumahan yang lebih luas, nyaman, dan
murah tetap tidak terjangkau untuk banyak pasangan. Thompson (1938)
menyatakan bahwa kondisi serupa mungkin pernah ada di Amerika. Beliau
berpendapat bahwa ketersediaan perumahan yang layak dengan standar yang
diinginkan merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah anak yang
dibesarkan di banyak keluarga: 'Tidak ada keraguan bahwa perumahan yang
mahal harganya sehingga keluarga tidak mampu membeli ruang yang
dianggap layak. Karena posisinya, jika memiliki beberapa anak, akan
cenderung menghalangi pengasuhan lebih dari satu atau dua anak, atau,
bahkan, semua anak sama sekali. Dalam kondisi sekarang, di mana banyak
keluarga harus tinggal di satu atau dua atau tiga kamar untuk menjaga
pengeluaran perumahan mereka dalam batas-batas, tidak mengherankan jika
mereka merasa paling banyak hanya mampu satu atau dua anak.

Bagaimana Fertilitas Berkorelasi dengan Kemiskinan?


Logika berpikirnya didasarkan pada beban kepala keluarga yang harus
bertanggungjawab menghidupi anggota keluarganya. Semakin banyak
anggota keluarga yang harus dibesarkan oleh kepala keluarga, maka akan
semakin besar factor pembagi pendapatan itu sendiri. Setidak-tidaknya
kesejahteraan anggota keluarga akan tetap walau anggotanya bertambah bila
pendapatan dari kepala keluarga itu sendiri atau pendapatan keluarga secara
umum bertambah juga. Namun bila pendapatan keluarga menetap maka
dipastikan kesejahteraan dalam keluarga akan menurun dengan bertambahnya
anggota keluarga baru dalam keluarga.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif, dan inferensial. Data bersifat cross
section dan diperoleh secara sekunder dengan memanfaatkan data kemiskinan
Sumatera Barat 2019 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan TFR
Sumatera Barat diambil dari hasil Survei Ekonomi dan Sosial

194
(SUSENAS;2019). Dua data tersebut diregresikan dengan menggunakan
aplikasi SPSS ver.16. Sebelum diregresikan, terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi klasik (uji normalitas, uji linearitas dan uji heteroskedastisitas) untuk
menentukan syarat sahnya uji regresi linear sederhana. Variable dependent
nya dalam hal ini adalah persentase kemiskinan sedangkan Independent
variable nya adalah TFR. Dua variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.1
berikut ini

Tabel 10.1: Persentase Kemiskinan dan TFR di Sumatera Barat 2019


% Penduduk
Wilayah TFR
Miskin di Sumbar
2019 2019
SUMATERA BARAT (Provinsi) 6.42 2.75
Kepulauan Mentawai 14.43 3.39
Pesisir Selatan 7.88 2.83
Kab.Solok 7.98 2.95
Sijunjung 7.04 2.95
Tanah Datar 4.66 3.2
Padang Pariaman 7.10 3.13
Agam 6.75 2.96
Lima Puluh Kota 6.97 2.48
Pasaman 7.21 3.32
Solok Selatan 7.33 2.87
Dharmasraya 6.29 2.71
Pasaman Barat 7.14 3.05
Kota Padang 4.48 2.1
Kota Solok 3.24 2.38
Kota Sawahlunto 2.17 2.72
Kota Padang Panjang 5.60 2.51
Kota Bukittinggi 4.60 2.55
Kota Payakumbuh 5.68 2.77
Kota Pariaman 4.76 2.68
Sumber: BPS Sumatera Barat dan SUSENAS 2019

Hasil Penelitian
1. Uji Normalitas
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan
pengujian normalitas. Menurut (Arum & Anie, 2012) pengujian normalitas
dilakukan untuk mengetahui pola distribusi variabel yang mendukung masing
masing variabel uji One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Di dalam
pengujian normalnya masing masing variabel penelitian ditentukan dari nilai
asymp sig (2-tailed) diatas 0,05. Berdasarkan hasil pengujian yang telah

195
dilakukan diperoleh ringkasan hasil terlihat pada Tabel 10.2 di bawah ini:

Tabel 10.2: Hasil Uji Normalitas


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N la20
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation 1.94747356
Most Extreme Differences Absolute .132
Positive .132
Negative -.130
Kolmogorov-Smirnov Z .592
Asymp. Sig. (2-tailed) .875
a. Test distribution is Normal.
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS ver.16

Dari Tabel 10.2 terlihat bahwa nilai asymp sig (2-tailed) 0.875 > alpha
0.05. Jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel penelitian yang
digunakan didalam penelitian ini telah berdistribusi normal. Jadi proses
pengolahan data dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnyat.

2. Analisi Regresi Linear Sederhana


Analisis regresi linear sederhana berguna untuk menganalisis hubungan
linear antara satu variabel indepeden dengan satu variabel dependen. Adapun
hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 10.3: Hasil Uji Regresi Linear Sederhana


Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -6.646 4.038 -1.646 .117
TFR 4.630 1.426 .608 3.247 .004
a. Dependent Variable: Kemiskinan
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS ver.16

196
Dari Tabel 10.3 di atas, dapat dilihat nilai konstanta dan coeffecients
regresi dari variabel TFR sehingga persamaannya linear nya dapat dituliskan
sebagai berikut:
Y = - 6,646 + 4,630 X +
Persamaan di atas dapat menafsirkan bahwa:
 Konstanta bernilai negatif (-6,646) menyatakan bahwa dengan
mengasumsikan ketiadaan variabel X (TFR), maka kemiskinan
cenderung mengalami penurunan.
 Koefisien regresi variabel X (TFR) bernilai positif ( 4,630)
menyatakan bahwa apabila TFR mengalami peningkatan sebesar 1
satuan maka akan menaikan jumlah kemiskinan sebear 1 x 4,630 =
4,630, dan apabila sebaliknya nilai TFR mengalami penurunan sebesar
1 satuan maka akan menurunkan jumlah kemiskinan dengan nilai yang
sama.

3.Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel terikatnya
(Suhatman et al., 2020). Nilai koefisien determinasi ditentukan dengan nilai
adjusted R square.

Tabel 10.4: Koefisien Determinasi


Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
a
1 .608 .369 .334 2.00084
a. Predictors: (Constant), TFR
b. Dependent Variable: Kemiskinan
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS ver.16

Besaran kontribusi TFR terhadap kemiskinan sebesar 0,334. Hal ini


berarti 33,4% kemiskinan dipengaruhi oleh TFR sedangkan sisanya yaitu
66,6% kemiskinan dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.

4.Hasil Uji Hipotesis


Melalui Tabel 10.4 di atas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi TFR
adalah 0,004, kecil dari nilai α yang ditetapkan yaitu 0,05. Maka dapat

197
diartikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara TFR terhadap
kemiskinan.

Pembahasan
Pada bagian hasil penelitian telah dijelaskan bahwa terdapat hubungan
yang positif dan signifikan antara TFR terhadap kemiskinan. Temuan
penelitian ini memperkuat hasil penelitian Pregiwati (2018) yang menyatakan
bahwa kemiskinan dapat dipengaruhi oleh pernikahan usia dini dan fertilitas.
Disamping itu penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wu & Mark (2018), penurunan fertilitas yang tidak diinginkan dengan
cara menyediakan akses yang mudah dan gratis terhadap alat kontrasepsi
merupakan kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah Amerika Serikat
dalam upaya penurunan kemiskinan.

Kesimpulan dan Saran


Rumusan masalah dalam penelitian ini telah dapat diuraikan, hal in
dapat dibuktikan dengan tingginya pengaruh TFR yaitu sebesar 33,4% dalam
upaya penurunan kemiskinan. Saran yang dapat penulis berikan adalah agar
pemerintah mampu memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk
dapat mendapatkan alat kontrasepsi secara mudah dan gratis. Memang hal ini
akan mendapatkan tantangan dari berbagai pihak karena pengaruh tatanan
budaya yang kuat ditengah tengah masyarakat Sumatera Barat yang agamis.
Namun hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena kencenderungan
tingkat kelahiran diluar nikah semakin menunjukan grafik kenaikan.
Program-program yang searah dengan upaya penurunan TFR adalah
pendewasaan usia perkawinan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa
pendewasaan usia perkawinan pada wanita yang paling efektif adalah melalui
peningkatan jenjang Pendidikan sehingga wanita tersebut akan lebih
teredukasi. Hasilnya wanita tersebut akan menunda perkawinannya. Program
lain dalam upaya penurunan TFR adalah spacing (jarak anak yang satu
dengan yang lain yang lebih dari 2 tahun).

Daftar Pustaka
Ajakaiye & Adeyeye, V. A. (2001). Concepts, Measurement and Causes of
Poverty.
Arum, D. N. J., & Anie. (2012). Statistik deskriptif & regresi linier berganda
dengan SPSS.

198
Bogue, Donald J. 1969. Principles of Demography. New York: John Wiley
and Sons.
Corey, J.A.B & Clive R.M (2008): Population: Fecundity. Edition: 1 st,
Publisher: Elsevier, pp.1535-154 DOI: 10.1016/B978-008045405-
4.00645-5.
Goedhart T, Halberstadt V; Kapteyn A; Praag Bv (1977) The Poverty Line:
Concept and Measurement. The Journal of Human Resources, Vol.
12, No. 4. (Autumn, 1977), pp. 503-520.
Nugroho, Heru. 1995. Kemiskinan, Ketimpangan dan Kesenjangan.
Yogyakarta : Aditya Media.
Olowa, O. (2012). Concept, Measurement and Causes of Poverty: Nigeria in
Perspective. American Journal of Economics, 2(1), 25–36.
https://doi.org/10.5923/j.economics.20120201.04
Philip M. Hauser, “Summary Report of the General Rapporteur,” in Hauser
(ed.), Urbanization in Asia and the Far East, ), pp. 3–32; also see
“Conclusions of the Seminar,” chapter ii inibid. The present author
himself took this position in an earlier study; see his “The Labor
Force of Urban Burma and Rangoon, 1953, A Comparative Study”
(unpublished Ph.D. dissertation, Department of Sociology, University
of Chicago, 1959), passim.
Pregiwati, R. P. (2018). Analisis Pengaruh Tingkat Pernikahan Usia Dini,
Tingkat Fertilitas, Tingkat Pendidikan, Tingkat Kesehatan, Produk
Domestik Regional Bruto Terhadap Kemiskinan Di Indonesia.
Universitas Airlangga.
Pressat R (1985) The dictionary of demography. Blackwell (Oxford)
Ravallion M (1992) Poverty Comparisons. A Guide to Concepts and Methods.
Working Paper.World Bank.
Suhatman, S., Sari, M. R., Nagara, P., & Nasfi, N. (2020). Pengaruh Atribut
Produk dan Promosi Terhadap Minat Beli Konsumen Kota Pariaman
di Toko Online Shopee. Jurnal Bisnis, Manajemen, dan Ekonomi,
1(2), 26–41. https://doi.org/10.47747/jbme.v1i2.81
Suryawati. 2004. Teori Ekonomi Mikro. UPP. AMP YKPN. Yogyakarta:
Jarnasy
Widodo, T (2020) Apakah Kemiskinan Berkorelasi dengan Fertilitas? Bunga
Rampai Program Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.
IPB Press Bogor.

199
Wu, L. L., & Mark, N. D. E. (2018). Could we level the playing field? Long-
acting reversible contraceptives, nonmarital fertility, and poverty in
the United States. Rsf, 4(3), 144–166. https://doi.org/10.7758/
rsf.2018.4.3.08

200
BAB 11
PENDEKATAN SISTEM UNTUK
KEPENDUDUKAN

Kependudukan memiliki permasalahan dan dampak yang sangat kompleks.


Sehingga dalam penyelesaian permasalahan tersebut harus menggunakan
pendekatan yang sangat kompleks, holistik dan berorientasi pada tujuan.
Pendekatan sistem merupakan salah satu pendekatan yang andal saat ini
dalam penyelesaian permasalahan yang kompleks. Bab ini akan membahas
tentang pendekatan sistem untuk kependudukan.

1. Ilmu Sistem
Ilmu sosial, teknik dan lingkungan merupakan suatu bidang ilmu yang
memiliki permasalahan yang kompleks. Kompleksnya masalah ilmu sosial,
teknik dan lingkungan maka membutuhkan suatu pendekatan yang
mengakomodasi semua elemen-elemen yang terkait. Ilmu sistem merupakan
salah satu metode yang dapat digunakan untuk pendekatan yang memiliki
tingkat kompleksitas yang tinggi. Manusia selalu dihadapkan pada
pengambilan keputusan dalam kehidupannya dan dalam mengatasi
permasalahan kompleks yang dihadapinya. Kompleksnya persoalan yang
terjadi pada kehidupan manusia maka mendorong manusia untuk berpikir
sistem.

Elemen

Tujuan/Sub
Tujuan

Interaksi
Sumber : Marimin dan Nurul (2013)

Gambar 11.1: Pengertian Sistem

201
Sistem secara harfiah berasal dari bahasa Latin yaitu Systema atau
bahasa Yunani disebut Sustema. Kedua kata tersebut memiliki makna tidak
jauh dari sistem. Sistem dapat didefinisikan suatu kesatuan usaha terdiri dari
bagian-bagian yang saling terkait secara teratur dan berusaha mencapai tujuan
dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut mencerminkan adanya
beberapa bagian dan hubungan antarbagian. Hal ini menunjukkan
kompleksitas dari sistem meliputi kerja sama antarbagian interdependen satu
sama lain. Hubungan yang teratur dan terorganisir merupakan hal penting.
Selain itu, adanya sistem memudahkan dalam mencapai tujuan. Pencapaian
tersebut menyebabkan timbulnya dinamika serta perubahan-perubahan yang
terus menerus sehingga perlu dikembangkan dan dikendalikan. Pengertian
secara skematik dapat disajikan pada Gambar 11.1 (Marimin dan Nurul
Maghfiroh 2013).
Eriyatno (2012) membuat ilustrasi pengertian sistem dengan
perumpamaan peta. Dua buah kota yakni kota A dan kota B dihubungkan
dengan jalan raya. Kota-kota yang dihubungkan dalam sebuah elemen-elemen
yang dihubungkan dengan jaringan-jaringan transportasi. Kota-kota yang
dihubungkan dengan sistem jaringan jalan raya merupakan satu kesatuan yang
utuh (unity). Gambar 2 merupakan ilustrasi sebuah sistem pada sebuah kota.
Oleh karena itu, Menetsch dan Park (1979) dan Eriyatno (2012)
mendefinisikan sistem sebagai suatu gugusan dari elemen yang saling
berhubungan dan teroganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugusan
dari tujuan-tujuan.

Kota A Kota B

Sumber : Eriyatno (2012)

Gambar 11.2: Sistem Kota

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan


tempat tinggal kita ini merupakan suatu sistem. Sebagai contoh siklus

202
hidrologi merupakan sebuah sistem. Energi matahari menyinari bumi
mendorong terjadinya penguapan. Penguapan yang berasal dari air laut, danau
dan sungai (evaporasi) dan tumbuh-tumbuhan (transpirasi). Kumpulan uap air
membentuk awan, dan turun dalam bentuk hujan atau salju. Air hujan yang
sampai ke permukaan bumi sebagian mengalir masuk ke sungai dan kembali
ke laut, dan sebagian yang lain tersimpan pada akar tanaman dan masuk
dalam tanah menjadi air tanah permukaan dan air tanah dalam. Air tanah
permukaan dan air yang tersimpan pada akar tanaman perlahan-lahan akan
kembali ke sungai dan sebagian yang lain akan menguap ke atmosfer.
Gambar 11.3 merupakan siklus hidrologi sebagai suatu sistem.

Gambar 11.3: Siklus Hidrologi sebagai Sistem

Siklus hidrologi sebagai suatu sistem maka terdapat elemen-elemen


yang saling terkait. Beberapa elemen yang saling berinteraksi dalam siklus
hidrologi di antaranya energi matahari, air permukaan, awan, dan hutan.
Karena siklus hidrologi merupakan suatu sistem, maka perubahan dari setiap
elemen akan mempengaruhi dari sistem tersebut. Perubahan penggunaan
lahan misalnya, penyempitan kawasan hutan menyebabkan terjadinya
gangguan pada siklus hidrologi. Konversi kawasan hutan menjadi penggunaan
lain menyebabkan peningkatan kandungan emisi karbon di bumi. Selain itu,
fungsi hutan tidak hanya sebagai penyerap emisi karbon, namun juga
berfungsi sebagai sumber penguapan (transpirasi) dan penyimpan air saat

203
terjadinya hujan. Dampak buruk dari peningkatan emisi karbon menyebabkan
penyimpangan iklim dan naiknya suhu permukaan bumi.
Pada kasus lain sistem pada ilmu geografi dan lingkungan ini dapat
digambarkan. Jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 7,1 miliar. Jumlah
tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu, dan capaian untuk menjadi 1
miliar membutuhkan periode waktu semakin pendek yakni 13-11 tahun.
Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk ranking ke empat
dunia dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa. Indonesia berkontribusi sebesar
16 persen dari total jumlah penduduk dunia.
Pertumbuhan penduduk sebagai sebuah sistem, maka pertumbuhan
penduduk yang tidak terkontrol dan berkualitas rendah berdampak buruk
terhadap lingkungan. Dengan jumlah penduduk yang banyak maka kebutuhan
lahan akan mengalami peningkatan. Jumlah kawasan tempat tinggal (lahan
terbangun) akan semakin luas. Selain itu, dengan peningkatan jumlah
penduduk maka limbah baik dari rumah tangga dan industri dengan sendirinya
akan mengalami peningkatan. Pada akhirnya akan terjadi malapetaka terhadap
lingkungan.

Peningkatan
Peningkatan
Jumlah
Kualitas Hidup
Penduduk

Konflik Antar Peningkatan


Penggunaan Kebutuhan
Lahan Lahan Luas lahan
terbatas

Sumber : Sadyohutomo (2008)


Degradasi
Lingkungan

Gambar 11.4: Sistem dalam Penggunaan Lahan

Sadyohutomo (2008) mengungkapkan keterkaitan antara elemen


pertumbuhan penduduk, peningkatan ekonomi dengan penurunan kualitas

204
lingkungan. Peningkatan pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah dan
diikuti dengan peningkatan kualitas hidup (peningkatan ekonomi), maka akan
mendorong kebutuhan pemanfaatan lahan. Lahan-lahan akan digunakan untuk
kawasan terbangun misalnya untuk permukiman, pendidikan, tempat hiburan.
Peningkatan kebutuhan akan mendorong konflik antarpenggunaan lahan, hal
ini akan menyebabkan akan terjadinya degradasi lingkungan (Gambar 11.4).

2. Karakteristik dan Klasifikasi Sistem


Sifat-sifat dasar suatu sistem antara lain: (1) berorientasi pada
pencapaian tujuan; (2) Menyeluruh (holistik); (3) Keterbukaan terhadap
lingkungan; (4) Transformasi (proses perubahan dari input menjadi output),
(5) memiliki hubungan antarbagian; (6) Sistem terdiri dari beberapa macam;
dan (7) adanya mekanisme pengendalian.
Karakteristik sistem merupakan suatu sistem yang memiliki sifat-sifat
tertentu yang mencirikan sebagai sebuah sistem. Sifat-sifat tersebut dapat
menggambarkan sistem secara logika. Ika (2000) dan Kholil dkk. (2014)
menyatakan bahwa sistem dapat dibedakan dalam subsistem-subsistem
(komponen), batasan sistem (boundary), lingkungan luar sistem
(environment), penghubung (interface), masukan (input), pengolahan
(process), keluaran (output), sasaran (objective), dan tujuan (goal).

Interface
Lingkungan luar

Input Sub Sub


sistem sistem

Proses

Sub Sub
sistem sistem

Output

Batasan sistem
Sumber : Eka (2000) dan Kholil dkk (2014)

Gambar 11.5: Karakteristik Suatu Sistem

Berdasarkan karakteristik sistem dapat disederhanakan dengan contoh


yang dikemukakan Sadyohutomo (2008) bahwa terdapat tiga subsistem yaitu
penduduk, ekonomi, dan kualitas lingkungan. Ketiga subsistem atau elemen

205
tersebut saling berinteraksi atau interface di dalam batasan sistem (boundary).
Pada masing-masing subsistem memiliki boundary tertentu. Pada subsistem
penduduk terjadi proses kelahiran, kematian dan migrasi, ketiga proses
tersebut akan menghasilkan atau output berupa jumlah penduduk pada waktu
tertentu. Selanjutnya, pada subsistem ekonomi terjadi peningkatan
kesejahteraan penduduk, output yang terjadi yakni adanya peningkatan
kebutuhan lahan. Pada subsistem kualitas lingkungan terjadi proses perubahan
penggunaan lahan, dampak perubahan penggunaan lahan menimbulkan
terjadinya peningkatan dan luasan lingkungan mengalami banjir dan genangan
(Gambar 11.5).

Kelahiran,
kematian,
migrasi
Pertumbuhan
Ekonomi
Proses
Proses
Pertumbuhan
Penduduk
Peningkatan
kebutuhan lahan

Penduduk Ekonomi

Lingkungan

Konversi lahan

Proses

Bencana
lingkungan

Gambar 11.6: Interaksi Antar-Subsistem Penduduk, Ekonomi, dan


Lingkungan

206
Berdasarkan beberapa sudut pandang sistem dapat diklasifikasikan atas
beberapa macam, yaitu:
1) Sistem alami (natural system) dan sistem buatan manusia (human made
system)
Sistem alami merupakan suatu sistem yang terjadi di alam tanpa ada
campur tangan manusia. Sistem ini merupakan proses alamiah yang terjadi di
lingkungan sekitar misalnya proses terjadinya hujan. Sebaliknya merupakan
sistem buatan manusia, sistem ini merupakan produk manusia. Misalnya
proses pendinginan suhu pada ruangan atau kamar. Untuk membuat udara
sejuk manusia menggunakan kipas atau AC.
2) Sistem tertentu (deterninistic system) dan sistem tak tentu (probabilitic
system)
Sistem tertentu merupakan suatu sistem yang tingkah laku sistem sudah
dapat diprediksi atau diduga. Misalnya suatu bak tampungan air yang diisi
menggunakan pipa dan mesin pompa tertentu akan dapat diprediksi waktu
lama mengisi bak. Sedangkan sistem tak tentu merupakan suatu sistem yang
tidak dapat diprediksi dan mengandung unsur probabilitas yang cukup tinggi.
Misalnya permainan lempar dadu.
3) Sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system)
Sistem tertutup merupakan suatu sistem yang tidak dipengaruhi oleh
faktor dari luar sistem, namun hanya dipengaruhi oleh sistem itu sendiri.
Sistem tertutup merupakan suatu sistem yang tidak berhubungan dengan
lingkungan luar sistem. Meskipun dalam kenyataannya tidak ada sistem yang
benar-benar tertutup, yang ada hanya relatif tertutup. Gambar 11.7
merupakan bentuk mekanisme sistem tertutup.

Tujuan

Mekanisme
Pengendalian

Input Transformasi Output

Sumber : Kholil dkk. (2014)

Gambar 11.7: Sistem Tertutup

207
Gambar 11.8 merupakan mekanisme sistem terbuka, di mana sistem
terbuka mendapat input atau pengaruh dari luar lingkungan sistem. Misalnya
suhu pada suatu ruangan akan dipengaruhi oleh arus listrik, ukuran ruangan,
dan jumlah orang yang menempati ruangan. Artinya suhu ruangan akan
dipengaruhi oleh tiga elemen tersebut. Semakin banyak jumlah dan besar
ukuran ruangan maka suhu ruangan semakin panas.

Input Transformasi Output

Sumber : Kholil dkk. (2014)

Gambar 11.8: Sistem Terbuka

4) Sistem abstrak (abstract system) dan sistem fisik (physical system)


Sistem abstrak merupakan sistem yang tidak jelas dan bersifat gagasan
atau ide. Meskipun sistem ini tidak tampak namun keberadaannya tidak bisa
dihilangkan. Misalnya sistem kepercayaan terhadap tuhan. Sedangkan sistem
fisik merupakan sistem dalam suatu rangkaian yang saling terkait yang
memiliki materi. Misalnya sistem transportasi kereta listrik.

3. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem telah digunakan manusia untuk menyelidiki dan
menjelaskan kompleksitas dalam suatu lingkungan dinamis yang saling
berhubungan, dan mengorganisasi tindakan dalam rangka transformasi
menuju keadaan lebih baik seperti yang diinginkan. Pendekatan sistem
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan persoalan yang dimulai dengan
melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga
dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno
1999 dan Djakapermana 2010). Lukas (1993) menyatakan pendekatan sistem
digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks
dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga menghasilkan
sesuatu yang lebih bermanfaat. Permasalahan yang diselesaikan dengan
pendekatan sistem seyogianya memiliki masalah yang kompleks, dinamis,
dan probabilistik. Memiliki masalah kompleks dalam arti terdapatnya
interaksi antarelemen yang cukup rumit. Permasalahan yang dinamis memiliki
makna bahwa faktor yang ada berubah menurut waktu. Probabilistik dapat
berarti diperlukan fungsi peluang dalam inverensi kesimpulan maupun

208
rekomendasi. Selain itu, pendekatan sistem merupakan kerangka pemikiran
yang berorientasi pada pencarian keterpaduan antarkomponen melalui
pemahaman yang utuh.
Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan analisis organisatoris
yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak. Dengan demikian,
manajemen sistem dapat diterapkan dengan memfokuskan kepada berbagai
ciri dasar sistem yang perubahan dan geraknya akan mempengaruhi
keberhasilan suatu sistem.
Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: mencari
semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk
menyelesaikan masalah, dan membuat suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999). Dalam kaitan dengan
solusi penyelesaian masalah, terdapat tiga pola pikir dasar yang menjadi
pegangan dalam pendekatan sistem, yaitu:
a. Sibernetik, yaitu orientasi pada tujuan
b. Holistik, merupakan cara pandang yang utuh dan menyeluruh terhadap
totalitas sistem
c. Efektif, di mana suatu sistem harus mementingkan hasil guna yang
operasional serta dapat dilaksanakan, bukan sekadar pendalaman
teoretis.
Metodologi sistem terdiri dari enam tahapan analisis yang meliputi: (1)
analisis kebutuhan; (2) identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; (4)
pembentukan alternatif sistem; (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial
politik; dan (6) penentuan kelayakan. Analisis kebutuhan merupakan
permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini akan dinyatakan dalam
kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian dilakukan tahapan pengembangan
terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Gambar 11.9 merupakan tahapan-
tahapan metodologi sistem.
Identifikasi sistem menghasilkan spesifikasi yang terperinci tentang
peubah yang menyangkut rancangan dan proses pengendalian. Identifikasi
sistem ditentukan dan ditandai dengan adanya determinisasi kerja sistem. Hal
ini akan membantu dalam mengevaluasi sistem. Teknik dan metode
pengambilan keputusan yang layak untuk mendukung perumusan
operasionalisasi sistem mulai diidentifikasi dan dianalisis.
Pendekatan sistem diperlukan karena persoalan yang dihadapi makin
lama semakin kompleks, dinamis, dan probabilistik sehingga interdependensi
berbagai komponen dalam mencapai tujuan sistem semakin rumit. Masalah-
masalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dengan menggunakan

209
peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan
yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami
berbagai aspek dari suatu permasalahan, serta dapat mengarahkan pemecahan
secara menyeluruh.

MULAI

ANALISIS
KEBUTUHAN

Persiapan
IDENTIFIKASI
MASALAH

FORMULASI
MASALAH

IDENTIFIKASI SISTEM
1. Causal loop (diagram lingkar)
2. Block box (Diagram input-
output)
3. Diagram alir
Pemodelan

IDENTIFIKASI SISTEM
1. Operasi Matematik
2. Program

VALIDASI

Eksekusi Model

LAYAK
Tidak

Ya

IMPLEMENTASI Tindak lanjut

EVALUASI

Gambar 11.9: Tahapan Analisis Sistem

210
Pendekatan sistem sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang
hendak dicapai, tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan
pengendalian itu sendiri. Dalam banyak hal pendekatan manajemen
tradisional seringkali mengarah pada cara-cara koordinasi dan kontrol, seolah-
olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan
koordinasi dan kontrol ini hanyalah cara untuk mencapai tujuan, dan harus
disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi.
Konsep sistem sangat berguna sebagai cara berpikir dalam suatu
kerangka analisis. Konsep tersebut memberikan pengertian lebih mendasar
mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya, sehingga
kaitan antarfaktor-faktor makin lama semakin erat. Hal ini merupakan
gambaran kompleksitasnya elemen-elemen lingkungan.

Karakter
- Sintesa
- Dinamik
- Stokastik

Berfikir Sistem

Struktur Falsafah
- Elemen - Sibernetik
- Konektivitas - Holistik
- Tujuan - Efektifitas

Sumber : Eriyatno (2012)

Gambar 11.10: Kerangka berpikir sistem

4. Berpikir Sistem (System Thinking)


Berpikir sistem adalah cara berpikir yang tidak hanya melihat sesuatu
masalah atau kejadian terjadi secara sendiri semata, tetapi dengan melihat
keterkaitan dengan masalah atau kejadian lain. Eriyatno (2012) menyatakan
proses berpikir keilmuan dari satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lain
dapat ditinjau dari falsafah, karakter, dan struktur (Gambar 11.10).

211
Falsafah sistem pada proses berpikir dalam kajian kesisteman
mempunyai tiga pencirian yaitu sibernetik, holistik, dan efektifitas. Sibernetik
atau goal oriented yaitu manakala seseorang mulai berpikir menelaah suatu
sistem maka harus menetapkan tujuan-tujuan, baik tujuan dari sistem itu
sendiri maupun tujuan dari pengkajian yang dilakukan. Holistik berarti cara
pandang yang utuh dan tidak mereduksi persoalan yang dihadapi. Holistik
juga memiliki makna bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang utuh,
bukan bersifat parsial-parsial. Efektif bahwa berpikir sistem lebih
mengedepankan proses ilmiah dan bersifat kontekstual serta dapat
dioperasionalkan. Dengan berpikir sistem menuntun cara cepat untuk
mengambil keputusan`

Kerusakan
Bencana
pada hulu
Banjir
sungai
Perubahan
Penggunaan
lahan

Deforestasi

Peningkatan
Kayu Kebutuhan
Penduduk

Jumlah
Lahan
Penduduk
Pertanian
Meningkat

Gambar 11.11: Struktur sistem pada bencana banjir

Berdasarkan struktur bahwa pendekatan sistem memiliki komponen


elemen, konektivitas, dan tujuan. Dalam pendekatan sistem merupakan
kumpulan dari elemen atau subsistem, kemudian antarelemen tersebut saling
berinteraksi atau konektivitas. Pendekatan sistem mengedepankan pada
pencapaian tujuan, maka pada proses berpikir sistem harus memiliki tujuan
dari masalah yang akan diselesaikan.

212
Proses berpikir sistem memiliki tiga karakter, yaitu: sintesis, dinamik,
dan stokastik. Sintesis dalam berpikir sistem merupakan proses penggabungan
dari elemen-elemen yang terkait dengan sistem. Dalam berpikir sistem bukan
memilah dari perihal yang diamati, namun semua elemen yang terkait akan
berkontribusi dalam suatu sistem. Karakter dinamik merupakan dalam
berpikir sistem memiliki makna semua elemen atau subsistem akan
mengalami perubahan berdasarkan waktu. Stokastik merupakan semua gejala
alamiah di mana yang pasti adalah ketidakpastian.

Masalah

Proses
Berfikir

Pengumpulan Upaya
Data/ Memecahkan
Informasi Masalah

Sumber : Dewey (1993) dan Kholil (2014)

Gambar 11.12: Proses Berpikir

Gambar 11.12 merupakan proses berpikir sistem seseorang dalam


menghadapi masalah. Upaya terpenting untuk penyelesaian masalah sangat
tergantung pada data atau informasi yang dimiliki. Semakin banyak data dan
informasi yang dimiliki sesorang dalam berpikir sistem, maka keputusan yang
akan diambil semakin tepat dan berkualitas. Informasi atau data yang baik
harus memiliki kualitas informasi yang akurat, tepat waktu, relevan, dan
ekonomis. Informasi yang akurat berarti informasi harus bebas dari kesalahan-
kesalahan dan tidak menyesatkan bagi orang yang menerima informasi
tersebut. Komponen akurat meliputi kelengkapan (completeness), kebenaran
(correctness), dan keamanan (security). Informasi tepat waktu memiliki arti
bahwa informasi atau data yang diterima merupakan data yang terbaru dan
tidak terlambat. Saat ini mahalnya nilai informasi disebabkan harus cepat

213
informasi tersebut didapat. Semakin lama informasi maka informasi tersebut
menjadi usang dan berkualitas rendah. Informasi relevan memiliki makna
bahwa informasi tersebut harus sesuai dan bermanfaat bagi si penerima
informasi. Informasi ekonomis dapat diartikan bahwa informasi yang
dihasilkan mempunyai manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya
mendapatkannya.

5. Tingkat Berpikir Sistem


Tingkatan berpikir sesorang dipengaruhi oleh pengetahuannya, artinya
semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya maka akan semakin tinggi
tingkat pemikiran seseorang. Biasanya tingkat pendidikan berbanding lurus
dengan tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan ilmiah merupakan suatu
hubungan yang terdiri atas pertanyaan atau persoalan dengan data. Mudah
atau sulitnya mengumpulkan bukti tidak menentukan suatu subjek ilmiah atau
tidak.
Bloom (1981) dan Kholil (2014) membedakan enam tingkatan berpikir
seseorang, yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge), berpikir pada tingkat ini sebatas hanya untuk
mengetahui semata. Pada tingkatan ini pertanyaan sangat mendasar,
yakni: siapa, apa, di mana, dan kapan.
b. Pemahaman (comprehension), berpikir pada tingkatan ini lebih tinggi
dari pengetahuan. Pada tingkatan ini dicirikan dengan compare,
illustrate, explain, dan interprate.
c. Penerapan (application), pada berpikir tingkatan ketiga dicirikan
dengan solve, use of, organize, develop.
d. Analisis (analysis), tingkat pemikiran pada level keempat ini adalah
kemampuan untuk menguraikan secara lebih detail suatu masalah atau
peristiwa. Ciri pertanyaan ditandai dengan beberapa kata kunci, yaitu:
analyze, categorize, compare, contrast, dan discover.
e. Sintesis (systhesis), berpikir secara sintesis merupakan kemampuan
seseorang dalam melakukan penggabungan dari beberapa gejala atau
ciri. Tingkatan berpikir secara sintesis ditandai dengan kata kunci,
antara lain: combine, compile, create, desigen, dan develop.
f. Menilai (evaluation), menilai merupakan tingkat pemikiran yang paling
tinggi karena untuk menilai seseorang harus paham apa yang dinilai.

214
Menilai

Sintesis

Analisis

Penerapan

Pemahaman
Sumber : Bloom (1981) dan Kholil (2014)

Pengetahuan

Gambar 11.13: Tingkatan Berpikir Sesorang

Berdasarkan Gambar 11.13 tingkatan berpikir seseorang bervariasi,


mulai dari tingkatan paling rendah yakni pengetahuan, sampai dengan
tingkatan paling tinggi yaitu menilai. Untuk mencapai tingkatan berpikir
tinggi seseorang dituntut memiliki data dan informasi yang sangat banyak,
karena tidak mungkin seseorang dapat untuk melakukan penilaian jika tidak
punya data dan informasi yang cukup terhadap apa yang ia nilai.
Pandangan tentang tingkatan berpikir juga dikemukakan oleh Maani
dan Canava (2000) dan Kholil (2014), ia membagi tingkatan berpikir atas
empat tingkatan, yakni: event, patern, systemic structure, dan mental model
(Gambar 11.14). Event merupakan cara berpikir yang hanya mampu melihat
data dan fakta atau suatu kejadian, menghubungkan atau melihat
kecenderungannya, tanpa melakukan analisis. Cara berpikir ini merupakan
tingkatan paling rendah. Patern merupakan cara berpikir yang tidak hanya
melihat data dan fakta namun sudah mampu memikirkan pola-pola yang
terjadi dari suatu peristiwa. Misalnya macet sudah mampu memetakan jam
berapa dan titik macet. Systemic structure merupakan cara berpikir yang
sudah mampu melihat suatu peristiwa atau masalah dengan mengaitkan dan
menghubung-hubungkan dengan masalah lainnya. Taraf berpikir pada
tingkatan ini sudah mampu menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya
masalah. Mental model merupakan cara berpikir yang tidak hanya melihat
suatu masalah dan mencari faktor-faktor penyebabnya, tetapi juga mampu

215
menghubungkan dengan suatu nilai tertentu, seperti kearifan lokal, asumsi-
asumsi tertentu.

Event

Patern

Systemic
Structures

Mental Model

Sumber : Maani dan Canava (2000)

Gambar 11.14: Tingkatan berpikir sistem

6. Permodelan Sistem
6.1. Definisi Model
Permodelan adalah terjemahan bebas dari istilah modelling. Secara
terminologi model dapat diartikan suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah
objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan
langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab
akibat. Oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka
pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat
dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang
sedang dikaji.
Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna
menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah
tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan
yang terdapat di antara peubah-peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan
regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antarpeubah
dalam sebuah model.

216
Gambar 11.15: Peta Zona Rawan Banjir Contoh Model Ikonik

6.2. Jenis Model


Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan
pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Menurut kategori umum jenis
model dapat dibedakan atas beberapa jenis, yaitu:
a. Model Ikonik (Model Fisik)
Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal, baik
dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, dan terutama
amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. Model
ikonik dapat dimensi dua (foto, peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototipe
mesin, alat). Apabila model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin
lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga diperlukan kategori model
simbolik. Gambar 11.15 peta zona rawan banjir merupakan contoh dari
model ikonik.
b. Model Analog (Model Diagramatik)
Model analog dapat mewakili situasi yang bersifat dinamik. Situasi
dinamik merupakan suatu keadaan yang berubah menurut waktu, misalnya
jumlah penduduk. Pada pendekatan sistem model ini lebih sering digunakan
dibandingkan model ikonik, karena dapat mengambarkan karakteristik

217
kejadian yang dikaji. Model analog banyak berkesesuaian dengan penjabaran
hubungan kuantitatif antara sifat dan kelompok yang berbeda. Dengan melalui
transformasi sifat menjadi analognya, maka kemampuan untuk membuat
perubahan dapat ditingkatkan. Gambar 11.16 data rata-rata curah hujan di
Kota Padang merupakan contoh model analog.

Gambar 11.16: Data Rata-Rata Curah Hujan di Kota Padang


Contoh Model Analog

c. Model Simbolik (Model Matematik)


Pada hakikatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model
simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik
dapat berupa bentuk angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang
umum dipakai adalah suatu persamaan (equation). Contoh persamaan model
simbolik yakni persamaan penentuan erosi tanah.
A = R. K. LS. C. P
Di mana:
A = berat tanah yang hilang per hektare (ton/ha per tahun)
R = faktor curah hujan
K = faktor erodibilitas tanah
LS = faktor lereng
C = faktor penutup tanah
P = faktor praktis pengontrol erosi

218
Permodelan mencakup suatu pemilihan dan karakteristik dari
perwakilan abstrak yang paling tepat pada suatu yang terjadi. Pada umumnya,
model matematis dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni model
statik dan model dinamik. Model statik memberikan informasi tentang
peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik
merupakan jenis model mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah
model.
Berdasarkan jenis model dapat bedakan atas empat jenis, yaitu: model
fisik, model naratif, model grafik, dan model matematik. Model fisik
merupakan suatu model yang menggambarkan entitas dalam bentuk tiga
dimensi. Model fisik ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari model aslinya.
Model naratif merupakan model dengan mengambarkan entitas secara lisan
atau tulisan. Model grafik merupakan model yang entitasnya diwakili oleh
garis atau simbol dengan penjelasan naratif, misalnya laporan pertumbuhan
ekonomi penduduk. Model matematis yaitu model yang disajikan dengan
menggunakan rumus matematis atau persamaan.
Sifat model juga tergantung pada teknik permodelan yang dipakai.
Model yang mendasar pada teknik peluang dan memperhitungkan adanya
ketidakmenentuan (uncertatinty) disebut model probabilitik atau model
stokastik. Pada ilmu sistem, model ini sering dipakai karena perihal yang
dikaji yang dikaji menggandung keputusan yang tidak tentu. Sedangkan
lawan dari model tersebut adalah model deterministik. Model deterministik
merupakan model kuantitatif yang tidak mempertimbangkan peluang
kejadian.

6.3. Tahap Permodelan


Para ahli penelitian operasional ilmu sistem menyarankan bahwa untuk
mengawali permodelan dilakukan penguraian seluruh komponen yang akan
mempengaruhi efektivitas dari operasi sistem. Setelah identifikasi komponen
tersebut lengkap, langkah selanjutnya menyaring komponen mana yang akan
dipakai dalam pengkajian tersebut. Hal ini umumnya sulit karena daya
interaksi peubah yang seringkali mengaburkan proses isolasi satu peubah.
Peubah yang dipandang tidak penting ternyata mempengaruhi hasil studi
setelah proses pengkajian selesai. Untuk menghindari hal ini, diperlukan
percobaan pengujian data guna memilih komponen kritis. Setelah itu dibentuk
gugusan persamaan yang dapat dievaluasi dengan mengubah-ubah komponen
tertentu pada batas yang ada.
Model secara umum memiliki tiga jenis kegunaannya, yaitu:
mempermudah pengertian, mempermudah komunikasi, dan memperkirakan

219
masa depan. Mempermudah pengertian maksudnya ialah bahwa suatu model
pasti akan lebih sederhana daripada entitasnya. Entitas lebih mudah
dimengerti jika elemen-elemennya ada hubungannya disajikan secara
sederhana. Mempermudah komunikasi dapat diartikan bahwa suatu model
digunakan pada umumnya setelah pemecahan masalah atau problem solver
akan mengomunikasikan hasil dan putusannya kepada pihak-pihak yang
terhubung maka model sistem sangat digunakan agar mempermudah jalur
komunikasi. Memperkirakan masa depan bermakna khusus dalam model
matematis, model ini dapat memperkirakan hal yang akan terjadi di masa
depan, namun tidak 100 persen akurat karena banyak data yang dimasukkan
ke dalam model biasanya didasarkan atas berbagai asumsi, pertimbangan, dan
intuisi untuk mengevaluasi model. Meadows dkk. (1972) membuat perkiraan
masa depan berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dibangun. Gambar 11.17
menunjukkan terdapat empat elemen yang saling terkait, yaitu: sumber daya,
pangan per kapita, populasi penduduk, dan polusi. Jumlah ketersediaan
sumber daya yang terdapat di bumi memiliki keterbatasan, ada batasan
sumber daya tersebut akan habis atau berkurang jumlahnya. Di sisi lain
jumlah populasi manusia mengalami peningkatan. Seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah pangan per kapita meningkat.
Luas lahan pertanian bersifat terbatas, tidak semua lahan dapat dimanfaatkan
dan sesuai untuk kegiatan pertanian. Pada titik tertentu akan menjadi masalah
dengan meningkatnya angka kematian penduduk akibat kekurangan pangan
dan masalah kesehatan yang timbul akibat polusi lingkungan.
Su
m

Tingkat kematian tinggi akibat


be

kekurangan pangan dan ketidak


rd
a

layakan kesehatan
ya

Po
pu
la
si

ita
ap
erk
a nP
ng
Pa Po
lus
i

Waktu
Sumber : Meadows dkk. (1972)

Gambar 11.17: Perkiraan Masa Depan Sumber Daya, Populasi, Polusi, dan
Pangan per Kapita dalam Ilmu Sistem

220
Eriyatno (2012) mengemukakan bahwa permodelan sistem dapat
dibedakan atas tujuh tahapan, yaitu:
1) Tahap Seleksi Konsep
Tahap awal dari permodelan abstrak adalah melakukan seleksi
alternatif konsepsi dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi dilakukan untuk
menentukan alternatif-alternatif yang bermanfaat dan bernilai cukup untuk
dilakukan permodelan abstraknya. Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan
kinerja dari sistem yang dihasilkan.

2) Tahap Rekayasa Model


Langkah mula dari permodelan adalah menetapkan jenis model abstrak
yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Setelah
itu, tugas tahap permodelan terpusat pada pembentukan model abstrak yang
realistik. Dalam hal ini terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk suatu
model abstrak, yang pada beberapa kasus tertentu kedua pendekatan dapat
dipakai secara bersama-sama. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan
kota gelap (black box) dan pendekatan struktur. Pendekatan kotak gelap
merupakan identifikasi model suatu sistem dilakukan dari informasi yang
menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan. Melalui
berbagai teknik statistik dan matematik, model diturunkan dan dicari yang
paling cocok dengan data operasional. Sedangkan pendekatan struktur
merupakan metode yang dimulai dengan mempelajari secara teliti struktur
sistem dari teori-teori guna menentukan komponen basis sistem serta
keterkaitannya. Melalui permodelan karakteristik dari komponen sistem serta
memformulasikan kendala-kendala yang disebabkan adanya keterkaitan
antarkomponen, maka model keseluruhan secara berantai dibentuk. Tahap
permodelan ini mencakup juga penelaahan teliti tentang:
a. Asumsi model
b. Konsistensi internal pada struktur model
c. Data input untuk pendugaan parameter
d. Hubungan fungsional antarpeubah kondisi aktual
e. Memperbandingkan model dengan kondisi aktual sebaik mungkin.

221
Input Tidak Output Yang
Input Lingkungan
Terkontrol Diinginkan
- Jumlah Penduduk Terkendali
- Jumlah Penduduk - UU No 1 tahun 2011 - Rasio Permukiman Terkendali
- Laju Lahan Terbangun - UU No 32 tahun 2009 - Penguatan Komitmen Pemerintah
- Peran serta Stakeholder - UU No 26 tahun 2007 - Penurunan Kualitas Lingkungan
- Kualitas Lingkungan
Terkendali

Pengelolaan Kawan
Permukiman Berkelanjutan

Output Yang Tidak Output Yang Tidak


Diinginkan Diinginkan
- Daya tampung kawasan - Degradasi kualitas lingkungan
- Jumlah penduduk Umpan meningkat
- Komitmen pemerintah Balik - Rasio permukiman meningkat
- RTRW, rencana rinci, dan peraturan - Jumlah penduduk tidak terkendali
zonasi - Tidak ada komitmen pemerintah

Sumber : Trilusianthy JH. (2014)

Gambar 11.18: Kota Hitam (Black Box) dari Sistem Pengelolaan Kawasan
Permukiman Berkelanjutan

3) Tahap Implementasi Komputer


Pada tahapan ini, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk
persamaan, diagram alir, dan diagram blok. Tahap ini seolah-olah membentuk
model dari satu model, yaitu tingkat abstraksi lain yang ditarik dari dunia
nyata. Hal yang penting di sini adalah memilih teknik dan bahasa komputer
yang digunakan untuk implementasi model.
Kebutuhan ini akan mempengaruhi:
a. Ketelitian hasil komputasi
b. Biaya dari mengoperasikan model
c. Kesesuaian dengan komputer yang tersedia
d. Efektivitas proses pengambilan keputusan yang akan menggunakan
hasil model tersebut.
Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak di mana format
input/output telah dirancang serta memadai, maka sampailah pada tahap
pembuktian (verifikasi) bahwa model komputer tersebut mampu melakukan
simulasi dari model abstrak yang dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda
dengan uji validitas model itu sendiri.

222
4) Tahap Validasi
Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem
tersebut di atas merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, di
mana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi adalah suatu
proses interaktif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses
penyempurnaan model komputer. Umumnya validasi dimulai dengan uji
sederhana seperti pengamatan di atas:
a. Tanda aljabar (sign)
b. Tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude)
c. Format respons (linier, eksponensial, logaritma, dan sebagainya)
d. Arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti
e. Nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem
Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai dengan
uji model. Apabila model mempernyatakan sistem yang sedang berjalan,
maka dipakai uji statistik untuk mengetahui kemampuan model di dalam
mereproduksi perilaku terdahulu dari sistem. Uji statistik dapat memakai
perhitungan koefisien determinasi, pembuktian hipotesis melalui analisis sidik
ragam dan sebagainya. Seringkali dijumpai kesulitan pada tahap ini karena
kurang data yang tersedia guna melakukan validasi. Pada permasalahan yang
kompleks dan mendesak, maka disarankan validasi parsial, yaitu tidak
dilakukan pengujian keseluruhan sistem. Hal ini mengakibatkan rekomendasi
untuk pemakaian model yang terbatas dan bila perlu menyarankan
penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya.
Trilusianthy (2014) mengemukakan uji validitas selain menguji
kesesuaian antara perilaku output model dengan perilaku data empirik, juga
untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam struktur model yang dibangun.
Uji validasi dilakukan dengan menggunakan uji statistik sebagai berikut:
a. Absolute mean error (AME) yaitu penyimpangan (selisih) antara nilai
rata-rata (mean) dengan hasil simulasi terhadap nilai aktual,
b. Absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi
(variance) simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat
diterima atau ditolerir adalah antara 5–10 %.
Uji validitas menggunakan metode statistik AME dan AVE dilakukan
terhadap elemen penduduk. Hasil pengujian terhadap validitas kinerja untuk
elemen penduduk menunjukkan bahwa antara model dengan data empirik
terdapat kesesuaian dalam ambang batas yang diperbolehkan. Hasil AME
sebesar 0.0047dan AVE sebesar 0.0086 yang berarti nilai tersebut masih

223
berada dalam batas penyimpangan yaitu kurang dari 10 %. Dengan demikian
model ini mampu menyimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara
aktual di lapangan.

Gambar 11.19: Uji Validitas Model terhadap Penduduk

5) Analisis Sensitivitas
Tujuan utama dalam analisis ini pada proses permodelan adalah untuk
menentukan peubah keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih
lanjut pada aplikasi model. Peubah keputusan ini dapat berupa parameter
rancang bangun atau input peubah keputusan. Analisis ini mampu
menghilangkan faktor yang kurang penting, sehingga pemusatan studi lebih
dapat ditekankan pada peubah keputuan kunci serta meningkatkan efisiensi
dari proses pengambil keputusan. Pada beberapa kasus, dengan mengetahui
peubah yang kurang mempengaruhi kinerja sistem, maka akan didapatkan
lebih banyak keleluasaan dari kendala sistem.

6) Analisis Stabilitas
Sistem dinamik sudah sering diketemukan mempunyai perilaku tidak
stabil yang destruktif untuk beberapa nilai parameter sistem. Analisis untuk
identifikasi batas kestabilan dari sistem diperlukan agar parameter tidak diberi
nilai yang bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubah
struktur dan lingkungan sistem. Perilaku tidak stabil ini dapat berupa fluktuasi
acak yang tidak mempunyai pola ataupun nilai output yang eksplosif sehingga

224
besarannya tidak realitis lagi. Analisis stabilitas dapat menggunakan teknik
analitis berdasarkan teori keseimbangan, atau melakukan simulasi secara
berulang kali untuk mempelajari batas stabilitas sistem.

7) Aplikasi Model
Para pengambil keputusan merupakan tokoh utama dalam tahap ini, di
mana model dioperasikan untuk mempelajari secara mendetail kebijakan yang
dipermasalahkan. Mereka berlaku sebagai pengarah pada proses kreatif
interaktif, yang mencakup pula para analis sistem serta spesialis dari berbagai
bidang keilmuan. Hasil dari proses permodelan abstrak adalah gugusan
mendetail dari spesifikasi manajemen. Informasi yang timbul setelah proses
ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan kembali
proses analisis sistem dan permodelan sistem. Pada kasus tertentu,
pengulangan itu bisa hanya mengubah asumsi model namun pada hal lain
dapat juga berarti merancang suatu model abstrak yang baru sama sekali. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa pendekatan sistem dalam suatu lingkungan
dinamik merupakan suatu proses yang berkesinambungan, mencakup
penyesuaian dan adaptasi melalui lintasan waktu.

7. Konstruksi Model Dinamik


Tahap kunci dalam melakukan analisis sistem dinamik adalah dengan
menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran
bentuk dan perilaku sistem (Muhammadi dkk. 2001 dan Djakapernana 2010).
Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik
(causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model dinamis
ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang dapat dipahami dari
simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala
atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Untuk memahami struktur dan perilaku sistem digunakan diagram
sebab-akibat (causal loops) dan diagram alir (flow chart). Dengan diagram
lingkar sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang
signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis
panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah, jika
kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram lingkar
sebab akibat akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang
akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis.

225
Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan
sebab akibat di mana semakin besar nilai faktor penyebab, maka akan
semakin besar nilai faktor akibat. Hubungan negatif adalah hubungan sebab
akibat di mana semakin besar nilai faktor penyebab, maka semakin kecil nilai
dari faktor akibat. Akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi kembali
sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah
berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini, terbentuk
untaian tertutup yang disebut loop. Akibat dicatu-balikkan ke penyebabnya,
terbentuk untaian catu balik atau feed back loop.

Simpanan Positif
Jumlah Jumlah
Penduduk Kelahiran

Gambar 11.20: Umpan balik positif


Simpanan

Waktu

Gambar 11.21: Perilaku Model Umpan Balik Positif

226
Gambar 11.20 merupakan bentuk umpan balik hubungan positif, yang
dicirikan dengan adanya hubungan saling memperkuatkan satu dengan yang
lainnya, membentuk simpul positif. Jika jumlah penduduk meningkat maka
jumlah yang lahir akan meningkat, peningkatan kelahiran akan meningkatkan
jumlah penduduk. Model umpan balik positif perilaku model membentuk
grafik pertumbuhan yang eksponensial (Gambar 11.21). Dalam
kenyataannya hubungan sebab akibat yang membentuk simpul itu tidak
sederhana, namun bisa melibatkan banyak variabel. Bentuk hubungan dengan
simpul dengan variabel lebih kompleks disajikan pada Gambar 11.22.

Pekerjaan

+ +

Simpal Positif
Tingkat
Pendidikan Pendapatan

+ Kemampuan
+
menyekolahkan
keluarga

Gambar 11.22: Simpul Positif dengan Variabel Kompleks

Umpan balik negatif merupakan umpan balik yang dapat memberikan


dampak penurunan pada dirinya sendiri, atau menghambat pertumbuhan.
Umpan balik negatif ini dalam proses mencapai tujuan akan baik pada titik
maksimum atau titik nol. Ciri dari umpan balik ini adalah sistem akan berubah
sesuai dengan penurunan waktu menuju stabil equilibrium. Umpan balik
negatif memiliki tanda dalam suatu loop yakni tandan positif (+) dan tanda
negatif (-) dalam suatu simpul negatif. Gambar 11.23 merupakan contoh
simpul negatif.

227
+

Simpanan
Jumlah Negatif Jumlah
Penduduk Kematian

-
Gambar 11.23: Umpan Balik Negatif

Pada Gambar 11.23 umpan balik negatif dapat memberikan makna


bahwa jumlah penduduk pada suatu wilayah akan mengalami pengurangan
dengan meningkatnya jumlah angka kematian. Penurunan jumlah penduduk
akibat angka kematian dapat digambarkan dalam grafik seperti pada
Gambar 11.24. Gambar 11.25 menunjukkan perilaku umpan balik negatif
bahwa jumlah penduduk akan berkurang dengan peningkatan angka kematian.
Simpanan

Waktu

Gambar 11.24: Perilaku Umpan Balik Negatif

228
+
+

Simpul
Jumlah Simpul Positif Jumlah Negatif Jumlah
Kelahiran Penduduk Kematian

+ -

Gambar 11.25: Umpan Balik yang Kompleks pada Kajian Demografi

Pada model yang lebih kompleks umpan balik positif dan negatif sering
terjadi dalam satu loop. Dalam kasus demografi misalnya jumlah penduduk
alami dapat dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian. Angka kelahiran
menyebabkan terjadinya penambahan jumlah penduduk, namun angka
kematian dapat menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah penduduk.
Angka kelahiran merupakan hubungan sebab akibat positif dan angka
kematian merupakan hubungan sebab akibat negatif. Gambar 11.25 disajikan
kedua bentuk hubungan tersebut dalam satu loop.
Hubungan umban balik dalam banyak kasus demografi menunjukkan
bahwa angka kelahiran sering lebih tinggi dibandingkan angka kematian, hal
ini berpengaruh terhadap perilaku model. Gambar 11.26 merupakan perilaku
model apabila jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
kematian.

Angka
Kelahiran

Jumlah
Penduduk
Jumlah

Angka
Kematian

Waktu

Gambar 11.26: Perilaku Model Umpan Balik yang Kompleks pada Kasus
Demografi

229
Bentuk hubungan yang kompleks dapat terjadi pada kasus penduduk,
pertanian, dan lingkungan. Gambar 11.27 menunjukkan bentuk hubungan
ketiga elemen tersebut. Peningkatan jumlah penduduk akan berdampak
terhadap kebutuhan pangan, pada sisi lain bahwa lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk pertanian sangat terbatas. Selain terbatasnya lahan
konversi lahan pertanian juga terjadi, lahan sawah beralih fungsi menjadi
kawasan permukiman dan industri. Hal ini tentu akan menjadi pencemaran
dan penurunan kualitas lingkungan, dan dengan penurunan kualitas
lingkungan akan mendorong munculnya berbagai penyakit. Berkembangnya
berbagai macam penyakit akibat penurunan kualitas lingkungan akan
berdampak terhadap jumlah penduduk yang menderita.

+ Kebutuhan
Pangan +
Jumlah
Penduduk Pembukaan
lahan pertanian
dan industri

+
Simpul Positif
dan Negatif
+
Jumlah
Penyakit

Pencemaran
Lingkungan
-
Kualitas
Lingkungan
-

Gambar 11.27: Umpan Balik Kompleks pada Kasus Penduduk Pertanian


dan Lingkungan

8. Pendekatan Sistem sebagai Alat Mengambil Keputusan


Seorang peneliti, pemerintah, pengusaha, dan pimpinan dihadapkan
pada berbagai masalah yang kompleks. Dalam banyak hal, sering pengambil
keputusan dihadapkan pada berbagai kondisi, antara lain: unik, tidak pasti,
dinamis, jangka panjang, dan kompleks. Kondisi unik suatu masalah mungkin
tidak mempunyai preseden dan di masa depan mungkin tidak akan berulang
kembali. Kondisi tidak pasti merupakan faktor-faktor yang diharapkan
mempengaruhi dan memiliki kadar informasi sangat rendah. Kondisi jangka
panjang memiliki implikasi jangkauan yang cukup jauh ke depan dan

230
melibatkan sumber-sumber yang banyak. Kondisi kompleks yaitu preferensi
pengambilan keputusan atas risiko dan waktu memiliki peran yang besar,
komponen dan keterkaitannya sering bersifat dinamik berubah menurut
waktu. Sifat karakteristik permasalahan dapat digolongkan dalam empat
kategori, yaitu: direktif, strategis, tektis, dan operasional dengan ciri-ciri khas
disajikan pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1: Masalah Pengambil Keputusan


Jangka Lingkungan Sifat
Direktif Panjang Dinamis dan Arahan-arahan strategis
probalitik intuitif yang kadang bersifat intuitif
Strategis Panjang Dinamis dan Tidak bisa diprogram
mempengaruhi karena preferensi
faktor-faktor dengan pengambil keputusan perlu
kepastian yang sangat masukan secara utuh
rendah
Taktis Menengah dan Dinamis dan Bisa dibuat program dengan
Pendek mempengaruhi masukan preferensi
faktor-faktor dengan pengambil keputusan
asumsi kepastian
yang tinggi
Operasional Pendek Dianggap statik dan Bisa dibuat program karena
tidak mempengaruhi sifat berulang
faktor-faktor
Sumber: Marimis dan Maghfiroh (2011)

Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan normatif. Dalam pendekatan


ini, kriteria yang tepat untuk menyatakan bahwa suatu keputusan itu baik
apabila seluruh informasi telah dimanfaatkan secara penuh, dasar-dasar
rasionalitasnya telah diikuti dengan baik, dan proses perpindahan dari satu
tahap ke tahapan telah berjalan dengan konsisten dan benar.
Pada prinsipnya terdapat dua basis dalam pengambilan keputusan, yaitu
pengambilan keputusan berdasarkan intuisi dan pengambilan keputusan
rasional berdasarkan hasil analisis keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi
1995 dan Marimin dan Maghfiroh 2011). Skema pengambilan keputusan
dengan intuisi disajikan pada Gambar 11.28. Unsur intuisi sesorang memiliki
peran besar dalam sebuah pengambilan keputusan. Logika bahwa keputusan
tersebut telah dipilih atau diambil tidak dapat diperiksa secara logis. Skema
pengambilan keputusan dengan analisis keputusan disajikan pada
Gambar 11.29. Komponen dan langkah utama mirip dengan pengambilan

231
keputusan menggunakan intuisi, kecuali pada tahap analisis keputusan yang
secara normatif tergambar jelas. Alasan alternatif terpilih dapat ditelusuri
dengan jelas dan mudah dimengerti. Teknik yang dipakai dalam analisis dapat
dipelajari dan diterapkan pada kasus yang berbeda, baik perihal maupun
lokasi dan waktunya.

LINGKUNGAN
Kecerdasan Pilihan
Tidak pasti Intuisi
Kompleks Logika
Persepsi Informasi tidak
Dinamis Keputusan Hasil
Persaiangan dapat
Terbatas Falsafah diperiksa
Preferensi

Bingung dan Rasa Tidak Dipuji/ Sukses/


Berfikir Aksi
cemas enak dicela Tidak

REAKSI
Sumber : Mangkusubroto dan Trisnandi (1985)

Gambar 11.28: Diagram Pengambilan Keputusan dengan Intuisi

LINGKUNGAN Alternatif-alternatif
Kecerdasan Penetapan
Pilihan
Tidak pasti kemungkinan
Kompleks Persepsi Struktur model
Dinamis Informasi Logika Keputusan Hasil
Penetapan nilai
Persaiangan
Preferensi waktu
Terbatas Falsafah
Preferensi Preferensi risiko

Sensitifitas Nila
Informasi

Bingung dan Dipuji/ Pandangan Sukses/


Berfikir Aksi
cemas dicela ke dalam Tidak

REAKSI
Sumber : Mangkusubroto dan Trisnandi (1985)

Gambar 11.29: Diagram Pengambilan Keputusan dengan Analisis Keputusan

Mengambil atau membuat keputusan merupakan suatu proses yang


dilaksanakan seseorang berdasarkan pengetahuan dan informasi yang ada
pada pengambil keputusan pada waktu tertentu dengan harapan bahwa sesuatu
akan terjadi. Keputusan dapat diambil dari alternatif-alternatif keputusan yang

232
ada. Alternatif keputusan tersebut dapat dilakukan dengan adanya informasi
yang diolah dan disajikan dengan dukungan sistem penunjang keputusan.
Informasi terbentuk dari adanya data yang terdiri dari bilangan dan terms
yang tersusun, diolah dan disajikan dengan dukungan sistem informasi.
Kemudian keputusan yang diambil perlu ditindaklanjuti dengan aksi yang
dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada standar prosedur operasional dan
akan membentuk kembali data, begitu seterusnya yang terjadi dalam siklus
data, informasi, keputusan dan aksi, seperti yang disajikan pada Gambar
11.30.

Informasi
SIM DSS

Bilangan dan Alternatif


Terms putusan

Data MONEY

SIM : Sistem Informasi Manajemen


DSS : Desicion Support System
SOP : Standar Operasional Procedure
MONEY: Monitoring dan Evaluasi

Keputusan

Aksi SOP Sumber : Marimin (2004)

Gambar 11.30: Siklus Data, Informasi, Keputusan dan Aksi

Sekitar abad 19 di Eropa Selatan berkembang wabah penyakit yang


disebabkan oleh tikus. Penyakit ini mudah menyerang manusia, dalam
beberapa hari saja menyebabkan meninggal dunia. Ribuan orang meninggal
akibat wabah penyakit tersebut, dan masyarakat beranggapan kematian
tersebut akibat serangan iblis. Aksi yang dilakukan masyarakat saat itu
menutup pintu rumah mereka dan mengung diri dalam rumah. Pada akhirnya
penyakit tersebut hilang pada wilayah tersebut. Dalam kejadian tersebut ada
aksi yang benar, namun informasi data dan terms yang salah. Putusan
masyarakat menutup pintu dan mengurung dalam rumah benar, namun
penyakit tersebut hilang akibat manusia tidak bersentuhan dengan tikus dan
tikus tidak bisa masuk dalam rumah. Akibat kelaparan tikus melakukan
migrasi ke tempat lain dan sebagian meninggal karena kelaparan.
Pengambilan keputusan dapat melalui dua kerangka kerja, yakni
pengambilan keputusan tanpa percobaan dan pengambil keputusan dengan

233
percobaan. Pengambilan keputusan tanpa berdasarkan eksperimen, dilakukan
dengan cara menyusun secara sistematis cara kerja umum sebelum mencari
solusi bagi masalah yang diharapkan. Teori ini berkembang sejalan dengan
pendekatan statistik di mana secara sederhana, keputusan yang dihasilkan
diupayakan mempunyai pengaruh kesalahan seminimal mungkin. Semakin
kompleksnya permasalahan yang akan diselesaikan, maka pendekatan statistik
menjadi tidak cocok.

Informasi Awal

Tahap Tahap
Deterministik Probabilitik
Tahap Pengambil Tindakan
(perumusan (penetapan
Informasional Keputusan
alternatif dan nilai dan
kriteria) variasi)

Pengumpulan
Informasi Baru Informasi Baru
Pengumpulan
Informasi
Sumber : Marimin (2004)

Gambar 11.31: Langkah-Langkah Siklus Analisis Keputusan

Dalam kehidupan sehari-hari pengambil keputusan sering


menggunakan intuisi, padahal kita mengetahui bahwa dengan intuisi banyak
sekali kekurangan, sehingga dikembangkan sistematika baruh yang disebut
dengan analisis keputusan. Terdapat tiga aspek yang memiliki peranan dalam
analisis keputusan, yaitu kecerdasan, persepsi, dan falsafah. Setelah
menggunakan kecerdasan, persepsi, dan falsafah untuk membuat model,
menentukan nilai kemungkinan, menetapkan nilai pada hasil yang diharapkan
dan menjadi preferensi terhadap waktu dan preferensi terhadap risiko maka
untuk sampai pada suatu keputusan diperlukan logika. Langkah-langkah
siklus analisis keputusan disajikan pada Gambar 11.31.
Informasi awal yang dikumpulkan, dilakukan pendefinisian dan
penghubungan variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan pada
deterministik. Setelah itu, dilakukan penetapan nilai untuk mengukur tingkat
kepentingan variabel-variabel tersebut tanpa memperhatikan unsur
ketidakpastian. Pada tahap probabilitik, dilakukan penetapan nilai
ketidakpastian secara kuantitatif yang meliputi variabel-variabel yang sangat
berpengaruh. Setelah didapatkan nilai-nilai variabel, selanjutnya dilakukan

234
peninjauan terhadap nilai-nilai tersebut pada tahap informasional untuk
menentukan variabel atau elemen kunci pada variabel-variabel yang cukup
berpengaruh, sehingga didapatkan suatu keputusan.
Suatu keputusan yang dihasilkan dari tahap informasional dapat
langsung ditindaklanjuti berupa tindakan, atau dapat dikaji ulang dengan
mengumpulkan informasi tambahan dengan tujuan untuk mengurangi kadar
ketidakpastian. Dan jika hal ini terjadi, maka akan kembali mengikuti ketiga
tahapan tersebut.
Pulau Sumatera beberapa bulan yang lalu dihebohkan dengan banyak
kasus kebakaran hutan pada lahan gambut. Asap yang dihasilkan telah
mengganggu sistem transportasi, kesehatan, dan pertanian. Kasus asap
tersebut tidak hanya dampaknya dalam negeri semata, namun sampai ke
negara tetangga yang menyebabkan adanya komplain bahkan mengganggu
hubungan antarnegara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi
masalah kebakaran hutan di banyak tempat di Pulau Sumatera. Sebenarnya
kalau kita amati secara teliti, maka ada patern (pola) kapan masyarakat
melakukan pembakaran hutan yakni setiap awal musim kemarau. Karena ada
informasi pola kapan masyarakat melakukan pembakaran, maka pengambil
keputusan yakni pemerintah dapat menentukan alternatif atau langkah
antisipasi, memetakan siapa pelaku pembakaran hutan (masyarakat atau
pengusaha). Dengan dapat memetakan pelaku, lokasi, dan dampak yang
ditimbulkan bahkan upaya antisipasi untuk mengatasi kebakaran hutan secara
berkelanjutan, wewenang selanjutnya pengambil keputusan apa tindakan dan
aksi yang akan dilakukan.

Gambar 11.32: Kebakaran Lahan Gambut

235
Pengambil keputusan yakni pemerintah daerah, apabila salah dalam
pengumpulan informasi maka akan melahirkan putusan yang salah juga. Jika
salah akan dicela, namun jika putusan benar maka akan dipuji. Maka banyak
dijumpai kepala daerah yang banyak menghasilkan putusan yang benar dan
berpihak pada rakyat, akan dipuji dan disebut sepanjang zaman. Namun, tak
jarang juga putusan yang salah menjadi dicaci dan dicemoohkan masyarakat.
Putusan yang benar tentu tidak akan menerima mentah semua informasi,
namun harus adanya logika untuk menghasilkan putusan yang benar.

9. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Dinamik


Analisis kebutuhan perangkat lunak diturunkan dari analisis kebutuhan
masing-masing stakeholder. Suatu analisis kebutuhan yang dibangun tidak
tepat akan menghasilkan perangkat lunak yang tidak berguna. Analisis
kebutuhan dapat didefinisikan sebagai kebutuhan yang terkait dengan analisis
sistem. Analisis kebutuhan merupakan pekerjaan–pekerjaan penentuan
kebutuhan atau kondisi yang harus dipenuhi dalam suatu kajian, dengan
pertimbangan berbagai kebutuhan yang disinggung antar-multistakeholders.
Definisi lain mengungkapkan analisis kebutuhan merupakan suatu proses
menemukan, memperbaiki, memodelkan, dan menspesifikasikan kebutuhan
dari masing-masing stakeholders.
Djakapermana (2010) mengemukakan bahwa dalam analisis sistem
terdapat beberapa langkah utama, yaitu:
1) Analisis Kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari
semua stakeholders dalam sistem,
2) Formulasi Masalah, merupakan kombinasi dari semua permasalahan
yang ada dalam suatu sistem,
3) Identifikasi Sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel
sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam
sistem,
4) Permodelan Abstrak, merupakan tahapan mencakup suatu proses
interaksi antara analis sistem dengan pembuat keputusan, yang
menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai
alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem,
5) Implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik
dari sistem yang diinginkan, dan
6) Operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan pada
tahapan ini pula seringkali terjadi modifikasi-modifikasi tambahan,
karena cepatnya perubahan lingkungan di mana sistem tersebut
berfungsi.

236
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem,
yang dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan pelaku yang mempengaruhi
dalam sistem. Kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap
kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Analisis kebutuhan selalu
menyangkut interaksi antara respons yang timbul dari seorang pengambil
keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil suatu
survei, pendapat ahli, diskusi, dan observasi. Pelaku sistem mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tujuannya masing-
masing dalam sistem.
Kebutuhan sistem dapat diklasifikasikan atas beberapa kategori.
Kebutuhan berdasarkan identifikasi dapat dibedakan atas dua kelompok,
yaitu: kebutuhan umum (common problems) merupakan kebutuhan yang
beridentifikasi dan dapat digunakan secara umum; dan kebutuhan yang saling
bertentangan (conflict of interest) merupakan kebutuhan yang hanya
menguntungkan sekelompok atau sepihak tertentu saja dan cenderung
merugikan pihak lain. Pandangan lain membedakan kebutuhan atas dua
bagian, yaitu:
1) Kebutuhan Fungsional, merupakan kebutuhan menyangkut
pendefinisian layanan yang harus disediakan, reaksi sistem terhadap
input, dan hal yang harus dilakukan oleh sistem secara khusus.
Kebutuhan fungsional ini sering juga disebut sebagai kebutuhan sistem
yang dilihat dari sisi pengguna (users).
2) Kebutuhan Nonfungsional, merupakan kebutuhan yang dilihat dari
adanya kendala pada pelayanan atau fungsi sistem, seperti kendala
waktu, kendala proses pengembangan, standar, dan lain sebagainya.

9.1. Identifikasi Kebutuhan Stakeholder dalam Pendekatan Sistem


Dalam pendekatan sistem dinamik, stakeholders dapat ditetapkan
melalui dua cara yaitu:
1) Pemahaman terhadap aliran kegiatan, maksudnya bahwa stakeholder
yang terlibat dalam sistem adalah pelaku yang memahami dan
mempengaruhi aliran dari sebuah sistem.
2) Wawancara dengan pakar pada masing-masing bidang, melalui
wawancara seorang pakar dengan mudah diidentifikasi keterlibatannya
dalam suatu sistem.
Secara umum pakar dapat ditentukan berdasarkan tiga aspek, yaitu
pendidikan, pengalaman, dan fungsional. Tingkat pendidikan seseorang akan
dapat menentukan tingkat kepakaran, artinya semakin tinggi tingkat

237
pendidikan seorang, maka semakin baik untuk dijadikan pakar. Biasanya
tingkat pendidikan berbanding lurus dengan pengetahuan terhadap suatu
bidang. Pengamalan sesorang dalam suatu bidang dapat dijadikan sebagai
dasar seseorang untuk dijadikan sebagai pakar. Batasan waktu seseorang
dapat dikatakan berpengalaman adalah minimal 5 tahun. Fungsional dapat
juga dijadikan suatu dasar penentuan pakar. Meskipun seseorang tidak
memiliki tingkat pendidikan tinggi (sarjana), namun seseorang menduduki
jabatan fungsional tertentu, atau sebagai profesi pada bidang tertentu maka
mereka layak untuk digunakan sebagai pakar.
Dalam contoh sistem pendidikan tinggi, maka dapat diidentifikasi
stakeholder yang terlibat, antara lain: Mahasiswa, dosen, orang tua/wali orang
tua, tenaga administrasi, pelaku usaha (users), dan pemerintah. Analisis
kebutuhan terhadap masing-masing dilakukan melalui wawancara dan
observasi. Beberapa kebutuhan dari setiap stakeholder disajikan pada
Tabel 11.2.
Pada Tabel 11.2 terlihat bahwa masing-masing stakeholders memiliki
kebutuhan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Masing-masing
stakeholders berkeinginan semua kebutuhannya terlaksana. Untuk itu, perlu
adanya usaha dan upaya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Contoh lain analisis kebutuhan pada pengembangan objek wisata bahari
berkelanjutan. Pada kasus pengembangan objek wisata bahari berkelanjutan
dapat diidentifikasi stakeholders yang terlibat, yaitu: pemerintah, masyarakat,
pengunjung, perguruan tinggi, dan pelaku industri. Hasil identifikasi
kebutuhan masing-masing stakeholder disajikan pada Tabel 11.2.

Tabel 11.2: Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders Pendidikan Tinggi


Negeri
No Stakeholder Kebutuhan
1 Mahasiswa - Ketersediaan sarana pendukung kuliah yang
lengkap
- Biaya pendidikan yang terjangkau
- Kualitas tenaga pendidik
- Sistem pelayanan yang baik
- Masa studi yang terencana
- Lulusan cepat bekerja
2 Dosen - Kesempatan studi lanjut
- Sistem karier yang jelas
- Suasana kerja yang kondusif
- Gaji dan insentif yang memadai

238
No Stakeholder Kebutuhan
3 Orang tua/wali - Sistem pendidikan yang berkualitas
- Lulusan cepat bekerja
- Biaya pendidikan yang terjangkau
- Lulusan tepat waktu
- Kualitas pendidikan dan pengajaran yang
baik
4 Tenaga Administrasi - Sistem karier yang jelas
- Lingkungan kerja yang kondusif
- Kesempatan mendapatkan pelatihan
- Apresiasi sistem gaji yang rasional
5 Pelaku Usaha - Lulusan yang cakap, terampil dan berkualitas
- Lulusan yang memiliki integritas tinggi
- Lulusan yang memiliki etos kerja tinggi
- Lulusan yang memiliki skill yang diandalkan
6 Pemerintah - Meningkatkan prestasi anak bangsa
- Menurunkan tingkat pengangguran
- Tata kelola perguruan tinggi yang baik
- Sistem pendidikan yang berkualitas
- Lulusan yang diserap dunia kerja

Tabel 11.3: Analisis Kebutuhan terhadap Stakeholders Pengembangan Objek


Wisata Bahari Berkelanjutan
No Stakeholder Kebutuhan
1 Pemerintah - Banyaknya kunjungan wisata baik domestik
maupun mancanegara
- Lingkungan tetap terjaga
- Peningkatan PAD dari kunjungan wisatawan
2 Masyarakat - Peningkatan ekonomi masyarakat akibat
kunjungan wisatawan
- Terbukanya peluang usaha akibat banyaknya
kunjungan wisatawan
- Membuka lapangan pekerjaan
3 Pengunjung - Memberikan kepuasan untuk menikmati
keindahan wisata pantai
- Objek wisata yang aman, bersih, terkelola
dengan baik
- Tersedia berbagai hiburan dan atraksi yang
menarik
- Ongkos wisata yang murah
4 Perguruan Tinggi - Terjaganya lingkungan hidup alami
- Menjadi objek kajian dan penelitian
5 Industri - Wisatawan berkunjung dalam waktu yang
lama

239
No Stakeholder Kebutuhan
- Wisatawan banyak menghabiskan untuk
berbelanja baik untuk manan, minuman,
cedramata, dan pakaian
- Semakin banyak dan meningkatnya
kunjungan wisatawan

9.2. Identifikasi dan Formulasi Masalah dalam Sistem Dinamik


Identifikasi masalah merupakan langkah yang menentukan dalam
analisis sistem. Permasalahan dibentuk oleh pemahaman tentang keterkaitan
dan interaksi antara komponen pembentuk sistem. Model mental tradisional
pada masa lalu hanya menekankan satu atau sekelompok subsistem secara
sekuensial. Keterkaitan dan interaksi antarkomponen tersebut dipandang
sebagai suatu proses berurutan dari masukkan (input) dan keluaran (output)
yang membentuk sebuah model prediktif tentang bagaimana kondisi di masa
akan datang. Hal ini mengarahkan pengembangan suatu pendekatan terpisah-
pisah dari permasalahan, dan seringkali hanya menekankan pada salah satu
entitas.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu, bahwa kebutuhan
masing-masing stakeholders berbeda-beda berdasarkan kepentingan atau
tujuan masing-masing dapat diakomodir di dalam suatu model. Sistem
dinamik dapat membantu para pengambil kebijakan dalam menyelesaikan
permasalahan terutama dalam kebutuhan stakeholders.
Kholil dkk. (2014) menyatakan bahwa masalah dalam sistem dinamik
disebabkan oleh struktur internal sistem, bukan pengaruh luar sistem. Eriyatno
(1998) menyatakan bahwa pendekatan sistem merupakan metode pemecahan
masalah yang dimulai dari identifikasi dan analisis kebutuhan serta diakhiri
dengan sistem operasional yang efektif.
Dalam dunia nyata (real world) pemikiran atau pendekatan sistem
dinamik ini banyak terjadi, antara satu kejadian dengan kejadian lainnya
saling terkait dan tak dapat dipisahkan. Hubungan antara satu kejadian dengan
kejadian lainnya dapat membuat suatu rangkaian sebab akibat, yang
selanjutnya dapat dibuat berbagai skenario untuk mengujicobakan sebab
akibat tersebut.
Metode sistem dinamik erat hubungannya dengan pertanyaan-
pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamis sistem yang kompleks. Pola-
pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem dengan bertambahnya waktu.
Penggunaan metodologi sistem dinamik lebih ditekankan kepada tujuan-
tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana tingkah laku muncul dari

240
struktur kebijakan yang efektif. Persoalan yang dapat dengan tepat
dimodelkan menggunakan metode sistem dinamik adalah masalah yang
mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) dan fenomena yang
mengandung paling sedikit satu struktur uman balik (feedback structure).
Sebuah contoh Kasus Waduk Cirata Purwakarta, waduk tersebut
dibangun pada tahun 1988 dengan luas 6000 Ha. Fungsi utama adalah sebagai
penyedia air untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kabupaten
Purwakarta. Namun masyarakat sekitar memanfaatkan waduk itu sebagai
tempat budi daya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Daya
tampung ideal hanya 12.000 keramba, namun berkembang menjadi 53.000
keramba dengan melibatkan tidak kurang sekitar 50 petani sebagai tenaga
kerja. Berdasarkan kasus tersebut didapatkan hubungan sebab akibat atau
causal loop diagram disajikan pada Gambar 11.33.

Peran serta Penguatan Dukungan


masyarakat kelembagaan Pemerintah Daerah

Keberlanjutan
Upwelling
fungsi ekonomi
Jumlah Industri dan
aktifitas
masyarakat sekitar
Sistem Pengelolaan
KJA

Keberlanjutan PLTA

Jumlah KJA
Kualitas Air

Keberlanjutan Sedimentasi
Fungsi Ekologi

Sumber : Kholil (2012)

Gambar 11.33: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Pengelolaan Waduk


Cirata Purwakarta

Gambar 11.33 menunjukkan hubungan sebab akibat tersebut


menggambarkan keterkaitan antarpeubah-peubah dalam menjamin
keberlanjutan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial dari Waduk Cirata.

241
Pengembangan model dinamis cognitive maping dengan hasil diagram sebab
akibat merupakan langkah yang amat menentukan untuk pengembangan
model. Causal loop diagram dimulai dengan sistem pengelolaan KJA, yang
dipengaruhi dengan peubah dukungan pemda, penguatan kelembagaan,
jumlah industri dan aktivitas masyarakat di sekitar Waduk Cirata tersebut
maka akan mempengaruhi kualitas air, keberlanjutan PLTA, dan
keberlanjutan fungsi ekologi.

Limbah

Pertumbuhan
Penduduk

Perubahan Kualitas
Lahan lingkungan

Industri

Ekologis
Polusi Udara

Perguruan
Tinggi dan
Lembaga Pemerintah
Peneliti

Gambar 11.34: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Pertumbuhan


Penduduk, Industri, Pemerintah, dan Perguruan Tinggi

Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 238 juta jiwa berdasarkan


sensus 2010. Hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia memiliki angka
pertumbuhan antara 1,4-2 persen per tahun. Dengan meningkatnya jumlah
penduduk pertumbuhan industri dan kawasan permukiman akan meningkat
juga. Peningkatan industri akan menyebabkan bertambahnya pencemaran
terhadap lingkungan berupa limbah dan polusi udara dari mesin produksi
yang digunakan. Di sisi lain, jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan
limbah rumah tangga akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan,
penurunan kualitas lingkungan, dan pencemaran udara akan berdapat terdapat
fungsi ekologi. Pada hubungan sebab akibat tersebut, pemerintah memiliki
peran yang sangat penting untuk menekan pertumbuhan penduduk, regulasi
terhadap industri, dan pengelolaan penggunaan lahan, buangan limbah, dan
perbaikan kualitas lingkungan. Selain itu, perguruan tinggi dan lembaga
penelitian dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat, menemukan

242
industri ramah lingkungan, dan pemberi informasi kepada pemerintah.
Hubungan sebab akibat (causal loop) disajikan pada Gambar 11.34.
Berdasarkan Gambar 34 terdapat empat stakeholders yang terkait yaitu
penduduk, pelaku industri, pemerintah, dan perguruan tinggi atau lembaga
peneliti. Masing-masing stakeholders memiliki kebutuhan yang berbeda.
Dalam pendekatan sistem dinamik akan berubah dengan perubahan waktu,
maka pemerintah dan perguruan tinggi atau lembaga peneliti melakukan
intervensi dan kebijakan untuk mencegah atau memperlambat kerusakan
lingkungan untuk masa yang akan datang.
Daulay (2016) dalam penelitiannya menggambarkan hubungan sebab
akibat (causal loop) antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan
sawah. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah terjadi perubahan lahan
sawah menjadi perkebunan sawit yang dilakukan banyak petani. Perubahan
lahan sawah menjadi perkebunan sawit dapat dilakukan kebijakan insentif
terhadap lahan sawan dan disentif terhadap perkebunan sawit. Pertumbuhan
penduduk akan mendorong peningkatan kebutuhan konsumsi. Insentif sebagai
upaya mempertahankan lahan sawah banyak dapat dilakukan, antara lain:
kebijakan subsidi pupuk, pengurangan paja lahan pertanian sawah, kontrol
harga gabah, dan lain sebagainya. Untuk jangka panjang kebijakan ini akan
menekan perubahan lahan sawah menjadi perkebunan sawit.

Populasi
penduduk

Pertumbuhan
Penduduk Konsumsi Beras

Kebutuhan
Lahan Sawah

Produksi Beras
Insentif Indeks
Pertanaman

Sumber : Daulay (2016)


Luas Tanaman
Sawah

Gambar 11.35: Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Penduduk dan


Kebutuhan Lahan Sawah

243
10. Prinsip Dasar Sistem Dinamik
Sistem dinamik dibangun dari dinamika, dinamika dapat diartikan
sebagai perubahan dari nilai suatu variabel sistem terhadap waktu. Terdapat
dua ciri utama yang menonjol dalam sistem dinamik, yaitu:
1) Adanya hubungan sebab akibat antarvariabel-variabel yang
membangun model dinamis tersebut,
2) Adanya umpan balik sebagai respons atas hubungan sebab akibat
tersebut.
Hubungan sebab akibat merupakan inti dari sistem dinamik. Berpikir
sebab akibat adalah kunci dalam mengorganisasi ide-ide dalam sistem
dinamik. Biasanya yang khas dari hubungan sebab akibat adalah
menggunakan kata ‘menyebabkan’ untuk menjelaskan hubungan
antarkomponen di dalam sistem (Purnomo 2011).

Energi
Sebab akibat
Matahari

Penguapan
Awan

Umpan Balik
Laut
(feedback)

Hujan

Sungai dan
danau

Gambar 11.36: Prinsip Hubungan Sebab Akibat dan Umpan Balik


dalam Siklus Hidrologi

Selain itu, umpan balik juga sangat penting dalam sistem dinamik
karena berpikir sebab akibat saja tidaklah cukup maka perlu adanya pemikiran
lebih komprehensif. Dalam hal ini, umpan balik berguna untuk mengatur atau
mengendalikan sistem yang berupa sebab akibat yang terlibat dalam sistem

244
namun dapat mempengaruhi dirinya sendiri. Prinsip hubungan sebab akibat
dan umpan balik disajikan dalam siklus hidrologi pada Gambar 11.36.
Selanjutnya, Davidsen (1994) menyatakan bahwa terdapat empat hal
penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan sistem dinamik, yaitu:
1. Sistem atau model dinamis yang dibuat harus benar-benar
merepresentasikan kondisi dunia nyata (real word), dan
2. Sistem atau model dinamis hanya bersifat spesifik untuk penyelesaian
masalah tertentu saja sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang bersifat umum,
3. Adanya waktu tunda (time delay) yang menyebabkan pengaruh
perubahan suatu variabel dalam sistem terjadi dalam selang waktu
tertentu, dan
4. Fungsi nonlinear yang menyebabkan pengaruh variabel terhadap
lainnya dalam sistem yang tidak proporsional.
Jika hubungan sebab akibat dalam suatu sistem dapat diketahui, maka
dapat diketahui juga umpan baliknya dalam bentuk interaksi antarvariabel-
variabel yang dibangun dalam suatu sistem dinamik tersebut. Sehingga dapat
diketahui pula cara pengaruhnya terhadap sistem secara keseluruhan
(Djojamartono dkk.1983). Tiga aspek penting dalam sistem dinamik disajikan
pada Gambar 11.37.

Gambar 11.37: Aspek Penting dalam Sistem Dinamik

245
11. Komputerisasi Model Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam
Melakukan permodelan dalam sistem dinamik memerlukan perangkat
lunak (software). Dengan menggunakan perangkat lunak secara cepat dapat
mengetahui atau melihat perilaku model (behavior) yang sedang dibuat.
Dalam buku ini perangkat lunak yang digunakan berupa program Powersim.
Powersim merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk
melakukan simulasi suatu model dinamik. Selain itu, dengan menggunakan
program Powersim dapat menyimulasikan model yang kompleksitas dalam
dunia nyata. Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel
yang saling mempengaruhi antarsatu dengan lainnya dalam satu kurun waktu.
Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau
besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai dan sudah
merupakan bagian dari dirinya. Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan
oleh Jay W. Forrester pada tahun 1950-an. Jay W. Forrester menggunakan
sistem dinamik pertama kalinya dalam manajemen industri, namun
berkembang dalam merumuskan hukum-hukum ilmiah yang bersifat
universal. Pada awal penggunaan sistem dinamik mendapat tanggapan dari
Club of Rome yang membahas tentang The Limits of Growth pada tahun 1972.
Sistem dinamik sebagai alat analisis untuk berbagai masalah yang bersifat
sistemik, rumit, dan berubah cepat. Seiring dengan perkembangan komputer,
sistem dinamik dapat mengkonstruksikan permasalahan yang rumit dan
kompleks dalam berbagai disiplin ilmu ke dalam dunia nyata dan mudah
untuk mengambil keputusan.
Ilmu lingkungan, geografi, biologi, sosial, ekonomi dan yang lainnya,
merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki masalah yang kompleks dan
berupah oleh waktu. Kompleks dan berubahnya variabel-variabel yang terkait
dalam jangka waktu lama tidak dapat terjawab dan diselesaikan tanpa
menggunakan pendekatan sistem. Muhammadi dkk. (2001) menyatakan
bahwa sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan dalam kesisteman yang
menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan suatu masalah yang
rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari objek yang menjadi
perhatian.

11.1. Aplikasi Program Powersim pada Sistem Dinamik


Dalam aplikasi sistem dinamik dapat menggunakan banyak software,
salah satu di antaranya adalah Powersim. Program Powersim paling banyak
digunakan dalam sistem dinamik disebabkan lebih mudah dalam aplikasinya.
Tampilan awal program Powersim dapat disajikan pada Gambar 11.38.

246
Gambar 11.38: Tampilan Awal Program Powersim

Tabel 11.4: Simbol Aplikasi Program Powersim


Simbol Nama Keterangan
LEVEL atau Memory of the
STOCK system,
menggambarkan
akumulasi
? material, dapat
Level_1
bertambah atau
berkurang
RATE atau Menggambarkan
FLOW sebagai proses
INFLOW penambahan
?
? Level_1 materian per
Rate_1
satuan waktu
RATE atau Menggambarkan
FLOW sebagai proses
? OUTFLOW pengurangan
Level_1 ? material per
Rate_1
satuan waktu
CONTSANTA

?
Constant_1

247
Simbol Nama Keterangan
AUXILIARY Variabel yang
digunakan untuk
memperjelas
? hubungan
Auxiliary_1
antarvariabel
lainnya
FUNGSI GRAPH Fungsi yang
atau FUNGSI menggambarkan
NONLINIER perilaku
nonlinier. Salah
GRAPH_FUNCTION satu fungsinya
adalah sebagai
konverter
dimensi variabel
FUNGSI DELAY Menggambarkan
atau LEVEL penundaan aliran
DELAY_FUNCTION
FUNCTION material atau
informasi
MATERIAL Menggambarkan
FLOW aliran material
dari source atau
menuju sink
INFORMATION Menggambarkan
FLOW aliran informasi
dari satu variabel
ke variabel
lainnya
DELEYED Menggambarkan
INFORMATION aliran informasi
FLOW yang tertunda
dari satu variabel
ke variabel
lainnya

Selain itu, aplikasi program Powersim menggunakan beberapa simbol


atau toolbar. Tabel 11.4 merupakan simbol yang paling banyak digunakan
dalam aplikasi program Powersim. Misalnya pada kasus demografi, di mana
pada demografi penduduk dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian, dan
migrasi. Kelahiran akan menambah jumlah penduduk, kematian akan
menyebabkan pengurangan penduduk. Selain itu, migrasi terbagi atas dua
yakni outmigrasi dan inmigrasi. Outmigrasi akan menyebabkan pengurangan
penduduk akibat adanya migrasi yang keluar, sedangkan inmigrasi
menyebabkan terjadinya penambahan jumlah penduduk. Hubungan sebab
akibat (causal loop) dapat disajikan pada Gambar 11.39.

248
+ +

Kelahiran Jumlah Kematian


Inmigrasi Penduduk outmigrasi

+ -

Gambar 11.39: Contoh causal loop pada kasus demografi

Untuk menggambarkan causal loop pada program Powersim ada


beberapa langkah yang akan dilakukan, yaitu:
A
1) Pilihlah ikon , untuk menulis teks sebagai variabel yang
digunakan pada causal loop, dan akan muncul tampilan pada lembar
kerja Powersim.
2) Setelah muncul lembar kerja (Gambar 11.40), kemudian klik 2x
sehingga muncul “Define Text” (Gambar 11.41). Setelah muncul
Define Text, lalu ketik teks sesuai dengan causal loop yang telah
dirancang berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan.

Gambar 11.40: Pembuatan Teks Variabel

249
Gambar 11.41: Ikon Define Text

3) Untuk mengubah bentuk tampilan menjadi lingkaran atau oval, maka


klik “Style” menjadi garis dan ikon “Shape” menjadi oval atau bentuk
lain.
4) Selanjutnya atur posisi kalimat pada ikon “Text Layout” yakni dengan
mengatur orientation, aligment, dan posision.
5) Bila sudah semua selesai, maka klik Ok. Untuk membuat variabel yang
lain lakukan perbanyak dengan klik Ctrl+C dan klik paste atau Ctrl+V.
Kemudian sesuaikan dengan variabel pada causal loop

Gambar 11.42: Mengubah Tampilan pada Ikon Style dan Shape

Bila semua variabel telah selesai diperbanyak sesuai dengan causal


loop, maka pekerjaan selanjutnya melakukan bentuk hubungan. Terdapat dua

250
bentuk hubungan pada causal loop, yaitu hubungan positif (+) dan hubungan
negatif. Untuk membentuk hubungan ada beberapa tahapan yang dilakukan,
yaitu:

1) Klik ikon , akan muncul garis pada layar, dan tarik garis
menghubungkan antarvariabel pada causal loop seperti disajikan pada
Gambar 11.43.

Gambar 11.43: Garis Penghubung Antarvariabel untuk Membentuk Causal


Loop

2) Selanjutnya, klik 2 kali pada garis yang telah terbentuk, dan akan
muncul “Define Line”, pilih Arrow Heads dan pada Shape pilih Curved
Line.

Gambar 11.44: Editing Garis pada Define Line

251
3) Untuk menentukan bentuk hubungan positif atau negatif pada causal
loop, maka klik “Head Label”. Setelah muncul kotak dialog pada Head
Label, maka ketik tanda (+) untuk hubungan positif dan tanda (-) untuk
bentuk hubungan negatif.

4) Kalau sudah sesuai, maka klik OK.

Gambar 11.45: Hasil Pengeditan Garis pada Define Line

5) Pada lembaran kerja akan muncul seperti pada Gambar 45. Untuk
membentuk lengkungan maka tarik garis ke arah lengkungan yang
diinginkan seperti pada Gambar 46.

Jumlah
Kelahiran Penduduk

Gambar 11.46: Membentuk Lengkungan dalam Pembuatan Hubungan Causal


Loop

6) Lakukan langkah yang sama sampai membentuk hubungan causal loop


yang sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang disajikan pada
Gambar 11.47.

252
Gambar 11.47: Causal Loop Variabel Jumlah Penduduk dengan Kelahiran

Causal loop yang telah terbentuk, maka pekerjaan selanjutnya adalah


membentuk struktur sistem dinamik. Untuk membentuk struktur dalam sistem
dinamik harus memahami bentuk hubungan (causal loop). Misalnya pada
jumlah penduduk akan bertambah apabila jumlah kelahiran bertambah
(meningkat). Jumlah penduduk merupakan “stock atau level” yang
dilambangkan dengan.
Dalam pembuatan struktur pada sistem dinamik dengan menggunakan
program Powersim, terdapat beberapa langkah yang dilakukan, yaitu:
1) Klik Rate atau Flow sebagai Interflow, maka akan muncul pada lembar
kerja Powersim akan muncul seperti ditunjukkan pada Gambar 11.48.

Gambar 11.48: Rate atau Flow sebagai Interflow

253
2) Kemudian klik Stok atau Level untuk jumlah penduduk, dan Auxiliary
untuk kelahiran. Gambar 11.49 menunjukkan hubungan antara Level
dan Auxiliary.
3) Tarik garis hubungan antara Level dengan Auxiliary dengan cara klik

ikon

Garis ditarik dari Level menuju Auxiliary, seperti ditunjukkan pada


Gambar 11.49.

Gambar 11.49: Hubungan Level dan Auxiliary pada Struktur Sistem Dinamik

4) Klik 2 x pada Stock atau Level jumlah penduduk, maka akan muncul
“Define Variable” seperti yang disajikan pada Gambar 11.50.

Gambar 11.50: Define Variable

254
5) Setelah muncul kota dialog Define Variable, maka tentukan Unit of
Measure. Misalnya jumlah penduduk unitnya adalah jiwa. Kemudian
tentukan Definition dengan memasukkan jumlah penduduk. Dan pada
Documentation isilah keterangan dari Level (misalnya Penduduk Kota
Padang). Setelah semua terisikan maka klik Ok, dan apabila data
dimasukan benar maka pada Level akan terjadi perubahan seperti yang
tampak pada Gambar 11.51.

?
Berubah
Menjadi
Jumlah_Penduduk Jumlah_Penduduk

Gambar 11.51: Perubahan pada kota level sebagai indikator data benar

6) Untuk membuat Constanta klik , maka letakkan pada worksheet


dan beri nama “Angka Kelahiran”.

Gambar 11.52: Pembuatan Constanta

7) Setelah Constanta terbentuk, maka klik 2 x pada Constanta. Pada


lembar worksheet muncul “Define Variable”, setelah muncul kota
dialog maka isilah Unit of Measure (misalnya persen).

255
8) Selanjutnya, masukan nilai Constanta pada Definition (misalnya 0.025).
Setelah itu, isikan Documentation dengan contoh angka pertumbuhan
penduduk Kota Padang (Gambar 11.53). Klik Ok bila data sudah
dimasukan secara benar.

Gambar 11.53: Define Variable Constanta

9) Untuk menentukan nilai Auxiliary, maka klik 2 kali pada Auxiliary dan
akan muncul kotak “Define Variable”. Setelah muncul Define Variable
maka klik pada Level jumlah penduduk dan Constanta angka
pertumbuhan penduduk. Kalau sudah, klik Ok.

12. Simulasi Model


Simulasi model merupakan tahapan pada sistem dinamik yang
berfungsi untuk melihat dan menguji model. Suatu model dapat dikatakan
benar bila model yang dihasilkan dapat menggambarkan model yang sesuai
dengan bentuk sebenarnya. Jika suatu model yang dihasilkan tidak sesuai
dengan kondisi sebenarnya, maka ada kesalahan dalam pembuatan model.
Dalam sistem dinamik model yang dihasilkan dapat dalam bentuk
grafik dan dalam bentuk tabel. Untuk menyimulasikan model pertumbuhan
penduduk dapat dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain:
1) Klik ikon graf pada toolbar, dan arahkan ke worksheet. Untuk
memunculkan indikator jumlah penduduk pada grafik, maka klik pada

256
level sampai warna hitam dan tarik ke grafik. Gambar 11.54 disajikan
pembuatan grafik untuk simulasi jumlah penduduk.

Gambar 11.54: Pembuatan grafik simulasi

2) Setelah grafik terbentuk seperti Gambar 11.54. Langkah selanjutnya


edit terhadap tahun awal dan tahun akhir yang akan disimulasikan. Klik
“Simulate” dan pilih Simulation Setup dan akan muncul kotak dialog
seperti pada Gambar 11.55. Pada Simulation Setup lakukan pengaturan
pada Start Time untuk waktu awal simulasi dan Stop Time untuk akhir
waktu simulasi. Bila semua sudah terisi maka klik OK.
3) Untuk menyimulasikan dapat diklik pada Simulate pilih Run, maka
akan muncul grafik pada pertumbuhan penduduk.

257
Gambar 11.55: Setup Simulasi

Gambar 11.56: Grafik Simulasi

4) Simulasi tidak hanya dapat disajikan dalam bentuk grafik saja, namun
dapat juga disajikan dalam bentuk table. Untuk menyimulasikan dalam
bentuk table maka pilih Table pada toolbar, dan letakkan table pada
worksheet.
5) Untuk memunculkan jumlah penduduk dan kelahiran, maka dapat
diklik jumlah penduduk dan tarik ke dalam table. Gambar 11.57
disajikan table simulasi jumlah penduduk.

258
Gambar 11.57: Simulasi Grafik dan Tabel

13. Fungsi-Fungsi dalam Simulasi


13.1. Fungsi Graph
Fungsi Graph digunakan pada data-data yang tidak linier, misalnya
angka kelahiran. Angka kelahiran penduduk pada suatu wilayah tidak selalu
sama setiap tahunnya, bias meningkat atau sebaliknya akan mengalami
penurunan. Untuk menggunakan fungsi Graph dapat dilakukan beberapa
tahapan, yaitu:
1) Klik Constansta angka kelahiran, dan akan muncul kota Define
Variable. Setelah muncul pilih Graph sampai muncul kota dialog Edit
Graph/Vector (Gambar 11.58).

259
Gambar 11.58: Fungsi Graph

2) Misalnya kita asumsikan pada tahun 2020-2024 terjadi perubahan


angka kelahiran penduduk yang tidak linier. Kemudian pasca 2024
angka pertumbuhan kelahiran kembali seperti sebelum tahun 2020.

Gambar 11.59: Edit Graph/Vector

260
3) Pada Edit Graph/Vector atur waktu mulai X-Axis Min menjadi 2020
dan Step 1. Pada Y atur menjadi nilai sebelum tahun 2020. Artinya
setelah tahun 2024 angka kelahiran normal seperti tahun 2020. Gambar
60 dapat disajikan persentase angka kelahiran penduduk.

Gambar 11.60: Angka Kelahiran pada Simulasi Fungsi Graph

4) Berdasarkan fungsi Graph yang telah diinputkan, maka pada grafik


jumlah penduduk dapat dilihat perubahan yang terjadi antara tahun
2020-2024. Gambar 11.61 disajikan simulasi perubahan grafik jumlah
penduduk akibat fungsi Graph.

Gambar 11.61: Jumlah Penduduk Akibat Fungsi Graph

261
13.2. Fungsi If
Fungsi If dapat digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi untuk
kepentingan atau intervensi kebijakan. Misal pemerintah melakukan
intervensi kebijakan KB pada tahun tertentu. Untuk fungsi if dapat dilakukan
dalam beberapa langkah, antara lain:
1) Klik Auxiliary kelahiran maka akan muncul Define Variable. Setelah
muncul kotak dialog, maka pilih indikator Functions, kemudian cari IF
dan klik.

2) Pada indikator Definition akan muncul kata:


IF(«Condition», «Value1», «Value2»)

3) Contoh, pada tahun 2017-2020 angka pertumbuhan penduduk sebesar 7


persen. Setelah tahun 2020 ada kebijakan pemerintah untuk menekan
menjadi 4 persen. Maka dapat dimasukan pada Definition sebagai
berikut:
IF(Time<= 2020, Angka_kelihiran*Jumlah_Penduduk, 0.04* Jumlah_
Penduduk)

Gambar 11.62: Fungsi If pada Pertumbuhan Penduduk

262
4) Berdasarkan input fungsi if dengan data yang telah ada maka dapat
disajikan simulasi jumlah penduduk jika pada tahun 2025-2030 terjadi
penurunan angka kelahiran sebesar 4 persen (Gambar 11.63).

Gambar 11.63: Simulasi Jumlah Penduduk dengan Fungsi if

5) Selain itu, pada kelahiran simulasi fungsi if dapat disajikan pada


Gambar 11.64. Pada grafik kelahiran tampak sekali perbedaan antara
jumlah kelahiran sebelum adanya intervensi dengan setelah adanya
intervensi kebijakan pemerintah.

Gambar 11.64: Simulasi Fungsi if pada Kelahiran

6) Untuk membandingkan antara kondisi realitas dan kondisi intervensi


kebijakan pemerintah dapat disajikan perbandingan keduanya pada
Gambar 11.65.

263
Gambar 11.65: Grafik Perbandingan antara Tanpa Adanya Intervensi (a)
dengan Adanya Intervensi Pemerintah (b) dalam Penurunan Angka Kelahiran

13.3. Fungsi Step


Fungsi Step digunakan untuk menggambarkan perubahan pada
konstanta pada suatu waktu. Misalnya pada suatu wilayah atau desa banyak
terjadi kawin atau angka perkawinan meningkat, artinya pada satu tahun
berikutnya akan terjadi peningkatan angka kelahiran. Untuk menggambarkan
keadaan tersebut dapat digunakan fungsi Step. Langka-langkah yang
digunakan dalam aplikasi fungsi Step adalah:
1) Klik pada Auxiliary sampai muncul Define Variable. Pada Define
Variable klik fungsi Step pada Functions. Pada Definition akan muncul
fungsi Step.

Gambar 11.66: Fungsi Step

264
2) Masukan logika fungsi Step di mana pada tahun 2024 akan terjadi
peningkatan kelahiran sebesar 15 persen.
“Angka_Kelahiran*Jumlah_Penduduk+STEP(0.15*Jumlah_Penduduk,
2024)”

Gambar 11.67: Input Fungsi Step

3) Bila input benar, maka klik ok dan akan terjadi perubahan pada
Auxiliary seperti disajikan pada Gambar 11.68.

Gambar 11.68: Perubahan pada Auxiliary Bila Fungsi Step Diinputkan


dengan Benar

265
4) Hasil simulasi dapat disajikan pada Gambar 11.69. Hal ini dapat
ditunjukkan bahwa pada awal tahun pertumbuhan penduduk sebesar 7
persen, namun pada tahun 2024 terjadi lonjakan menjadi 15 persen.
Sehingga terjadi kenaikan grafik.

Gambar 11.69: Simulasi Fungsi Step pada Jumlah Penduduk dan Kelahiran

Referensi
Asnelly, R. (2016). Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui
Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (disertasi).
Bogor: Sekolah Pascarsarjana IPB.
Atzeni, C., Canuti, Nasagli, D., Leva, G., Lusi, S., Maretti, M. (2003). A
Portable Device for Landslide Monitoring Using Radar
Interferometry. Landslide News, 14/15: 13-15.
Bechtol, V., dan Laurian, L. (2005). Restoring Straightened Rivers for
Sustainable Flood Mitigation. Disaster Prevention and Management
Journal, 6-19.
Djakapermana, R. (2010). Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan
Kesisteman. Bogor (ID): IPB Pr.
Eriyatno, dan Larasati, L. (2013). Ilmu Sistem Meningkatkan Integrasi dan
Koordinasi Manajemen. Surabaya (ID): Guna Widya Pr.
Eriyatno. (1981). Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas
Manajemen. Bogor (ID): IPB Pr.
Gardner, D., Tuchman, E., Harkins, R. (2010). A Cross Curricular, Problem
Based Project to Promote Understanding of Proverty in Urban
Communities. Journal of Social Work Education, 46 (1):, 147-158.
Giyasir, S. (2005). Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi
Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area).
Yogyakarta (ID): UGM Pr.

266
Gold, S. (1980). Recreation Planning and Design. New York: Mac Graw Hill
Book Company.
Hidajat, T. (2012). Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan
Di Pinggiran Kota Metropolitan Jabodetabek (disertasi). Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana IPB.
Iwan, W., Cluff, L., Kimpel, J., Kunreuther, H. (1999). Mitigation Emerges as
Major Strategy for Reducing Losses by Natural Disaster. Science
Journal, 1943-1947.
Jha, A., Robin, B., Jessica, L. (2011). Kota dan Banjir Pandungan
Pengelolaan untuk Risiko Banjir Abat 21. Thailand: NDM Institut Pr.
Karnawati, D. (2005). Bencana Alam. Yogyakarta (ID): Pustaka Nasional Pr.
Kaur, E., Palang, H., Soovali, H. (2004). Landscape in Change Opposing
Artitudes in Saaremaa, Estonia. Landscape and Urban Planning, 109-
120.
Marimin, dan Maghfiroh, N. (2011). Aplikasi Teknik Pengambil Keputusan
dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor (ID): IPB Pr.
Marimin. (2004). Teknik dan Aplikasi Pengambil Keputusan Kriteria
Majemuk. Jakarta (ID): Grassindo Pr.
Muhammadi, Aminullah, E., Soesilo, B. (2001). Analisis Sistem Dinamis:
Lingkungan hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta (ID): UMY
Pr
Proyogo. (2007). Karakteristik Lahan Wilayah Bencana Longsor di subDAS
Kaliputih Kec. Panti Kab. Jember. Seminar Kongres IX Himpunan
Ilmu Tanah Indonesia, 581-583.
Umar, I., (2016). Mitigasi Bencana Banjir pada Kawasan Permukiman di
Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (disertasi). Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana IPB.

267
BAB 12
PENUTUP

Masalah kependudukan beserta isu-isunya merupakan persoalan yang


tidak habis-habisnya untuk dibahas dalam kehidupan manusia sepanjang
masa, karena selama manusia ada dan hidup di muka bumi ini, maka tentu
akan selalu berkaitan dengan isu-isu kependudukan tersebut. Salah satu isu
yang selalu hangat adalah terkait dengan jumlah penduduk yang terus
menerus bertambah dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk yang besar
memenuhi bumi memberikan banyak implikasi, baik secara sosial, politik,
ekonomi, kesehatan hingga lingkungan. Dengan demikian, ia terus bergerak
dengan berbagai macam dinamikanya.
Namun demikian, menjadi tantangan untuk umat manusia agar selalu
memiliki kesadaran bahwa pentingnya agar selalu peduli dan memperhatikan
keseimbangannya sebagai upaya untuk dapat berlangsungnya kehidupan
manusia seperti apa yang dicita-citakan, yaitu mewujudkan kebahagiaan,
merasakan keamanan, terpenuhinya berbagai macam kebutuhan, sejahtera.
Keseimbangan tersebut lebih jauh tidak hanya sekadar angka-angka secara
kuantitatif saja, melainkan lebih jauh adalah mencari makna yang tersirat pada
setiap singgungannya. Dengan demikian, perhatian dan kepedulian akan
masalah kependudukan beserta isu-isunya menjadi tanggung jawab bersama.
Hal ini disebabkan karena manusia hidup pada satu bumi yang sama.
Kepedulian tersebut mulai dari cara berpikir yang benar, sikap yang baik,
serta keberpihakan pada pemegang kebijakan secara regulasi yang
menunjukkan sikap pro kepada persoalan ini. Pada tatanan praktiknya dapat
dibuktikan dengan memperhatikan dan mengarusutamakan segala macam
tindakan hingga pembangunan yang berwawasan kependudukan.
Kenyataan saat ini, di mana dunia telah mengalami tantangan dan
perubahan yang besar akibat beberapa hal, seperti perubahan cuaca, risiko
perang dan perkembangan informasi teknologi yang menjadikan dunia seperti
tidak lagi memiliki ruang dan batas, siapa pun dapat mengaksesnya dengan

268
hitungan detik. Kondisi itu juga tentu akan memberikan dampak terhadap
pola-pola fertilitas, mortalitas, dan migrasi serta hal yang paling dasar dalam
membentuk peradaban paling dasar, yaitu perkawinan, semuanya bisa saja
telah mengalami pergeseran dan perubahan.
Dengan masih terjaganya tradisi keilmuan secara terus-menerus, seperti
halnya yang telah dituliskan pada buku ini, diharapkan dapat menjadi ingatan
kolektif bagi manusia untuk selalu menjaga dan memaknai dirinya sendiri dan
lingkungannya. Kata bijak mengatakan bahwa dunia dan alam bukanlah
semata harta karun yang untuk difoya-foyakan yang kemudian dihabiskan
begitu saja, melainkan adalah titipan dari anak cucu kita di masa yang akan
datang.
Telaah terhadap penduduk dan dinamikanya di tiap-tiap negara
mencerminkan adanya pola yang berbeda memandang tentang kependudukan
itu sendiri. Negara dengan tingkat kesejahteraan yang lebih maju justru saat
ini sedang mengalami kekhawatiran akan hilangnya suku bangsanya yang
hanya memikirkan kesenangan individu semata tanpa berpikir kolektif dan
sustainability. Barulah manusia-manusia telah berperilaku menjaga
lingkungan dengan baik supaya menjaga daya dukung dan kelestarian
lingkungan, tapi diri manusianya sendiri tidak mau meneruskan
keberlangsungan dirinya dengan menikah dan berketurunan. Itu juga
dikatakan tidak sustainability. Sementara di belahan dunia lain, manusianya
cenderung merusak lingkungan supaya mereka dapat survive seperti
menebang hutan sebagai mata pencaharian, melakukan pertambangan liar
untuk memperoleh emas dan menumpuk kekayaan supaya anak-anaknya
dapat bertahan hidup. Serba dilematis memang, tapi di situlah dua fenomena
kependudukan yang saat ini kontraproduktif terjadi di dunia ini. Buku ini
bukan hanya sekadar berisi pengetahuan kependudukan semata, tapi yang
membaca diharapkan lebih kritis terhadap kependudukan dalam skop yang
lebih kecil. Moga-moga buku ini akan terus mengalami dinamika perubahan
seiring dengan perubahan penduduk itu sendiri.

269
PROFIL PENULIS

Dr. Teguh Widodo, A.KS, M.TP lahir di


Kebumen 9 AGustus 1974 dari pasangan Suradi dan
Martini. Menamatkan D-4 di Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, S1
Universitas Padjajaran tahun 1999. Menamatkan
program Pasca Sarjana dengan konsentrasi
Perencanaan Kota dan Daerah di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta tahun 2003. Menamatkan program
doctoral di Institut Teknologi Bandung tahun 2011.
Selama menempuh Pendidikan S3, penulis
berkesempatan mengikuti Sandwich Student di Rijkuniversteit Groningen
Netherlands tahun 2008-2009 dan pelatihan local economic resources
development, di International University of Japan(IUJ) tahun 2009. Sandwich
student juga ditempuh di IUJ sebagai mahasiswa dalam Environmental Policy
Program di universitas yang sama tahun 2009-2010. Selain mengajar di
beberapa perguruan tinggi negeri (UNP dan Universitas Terbuka) dan swasta
(Universitas Sumatera Barat, STIA) di Padang, penulis juga sebagai peneliti
demografi sosial di perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat. Beberapa
buku yang sudah diterbitkan sebelumnya adalah (1) Pembangunan Endogen
(2) Manajemen Publik (3) Pengembangan Komunitas dan (4) Teori
Perencanaan.

270
Iswandi U. lahir di Kota Padang pada tanggal 18
April 1977 sebagai anak keempat dari empat
bersaudara dari pasangan (Alm.) Umar dan (Alm.)
Hasni. Menikah dengan Hilda Handayani, S.T., M.Si.
dan dikaruniai dua anak, Kanaka Kastara Iswandi dan
Keenan Kastara Iswandi. Penulis menempuh
pendidikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Geografi,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang lulus
tahun 2001. Pada tahun 2009, penulis menyelesaikan pendidikan S-2 pada
Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
Tahun 2013-2016, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan S-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa
BPPDN. Tahun 2002-2009, merupakan staf pengajar pada Yayasan Prayoga
Padang. Sejak tahun 2009 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf
pengajar pada Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Padang. Selain itu, penulis juga diminta sebagai dosen luar biasa di STKIP
PGRI Sumatera Barat periode 2010-2013 dan Universitas Muhammadiyah
Sumatera Barat periode 2010-2012.
Penulis telah mengeluarkan buku Ekologi dan Ilmu Lingkungan
diterbitkan UNP Press tahun 2012 dan Pendekatan Sistem dalam Ilmu Sosial,
Teknik, dan Lingkungan yang diterbitkan Rajawali Press tahun 2017. Selain
itu, penulis aktif dalam workshop tentang arahan kebijakan dengan
pendekatan AHP, ISM, SWOT, MDS, dan Sistem Dinamik. Artikel ilmiah
internasional dan terakreditasi nasional yang penulis publikasikan, antara lain
a) “Delineation of Flood Hazard Zones by Using a Multi Criteria Evaluation
Approach in Padang West Sumatera Indonesia” telah diterbitkan pada
Journal of Environment and Earth Science Vol. 4 No. 3 (2016) ISSN: 2224-
3216 (Paper) ISSN: 2225-0948 (Online); b) “Institutional Hierarchy of Flood
Mitigation for Settlement Areas in Padang, West Sumatera, Indonesia” proses
terbit pada Journal of Public Policy and Administration Research ISSN:
2224-5731 (Paper) ISSN: 2225-0972 (Online); c) “Evaluasi Kesesuaian
Lahan untuk Kawasan Permukiman dengan Metode Multi Criteria Evaluation
di Kota Padang”/”Evaluation for Suitability Land of Settlement Area by Using
Multi Criteria Evaluation Method in Padang” pada JPSL (Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan); d) “Prioritas Pengembangan Kawasan
Permukiman pada Zona Rawan Banjir di Kota Padang” pada Jurnal Majalah
Ilmiah Globe.

271
Lismomon Nata lahir di Kota
Sawahlunto 30 Agustus 1984. Alumnus
Sosiologi Antropologi Universitas Negeri
Padang (UNP) dan Pascasarjana Jurusan
Sosiologi Univesitas Andalas (UNAND). Kini
mengabdikan sebagai Aparatur Sipil Negara di
Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat.
Sebelumnya aktif dalam berbagai lembaga
sosial masyarakat dan berminat pada sastra.
Puisinya dimuat dalam Antologi Puisi ‘Kondom Bocor, Sobek Ujungnya’
(Magenta, 2011) dan Antologi Puisi ‘Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman
Rebah ke Pangkal’ (Obelia, 2019) atau penulis lepas pada koran lokal.
Tulisannya pernah dimuat pada Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, dan
media online, scientia.id dan infopadang.id dan lainnya.

272
PROFIL EDITOR

Indang Dewata lahir di Candung Kabupaten


Agam tanggal 18 November 1965. Lulus Sarjana (S-1)
Kimia Universitas Andalas (UNAND) tahun 1984,
kemudian melanjutkan Magister (S-2) Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia tahun 1992, dan
tahun 2009 menyelesaikan program Doktor (S-3) Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia.
Tahun 1991 lulus menjadi dosen (PNS) pada
Universitas Jambi, dan semenjak tahun 1997 pindah ke IKIP Padang (UNP)
pada Program Studi Pendidikan Kimia. Pada tahun 2008 tergabung pada staf
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Penulis pernah menjabat
sebagai Kepala Bappedalda Kota Padang periode 2005-2011 dan Kepala
Dinas Pendidikan Kota Padang periode 2011-2014. Kepala PPKLH
Universitas Negeri Padang periode 2015-2024. Selain itu, penulis juga
menjadi bagian Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Universitas Indonesia periode 2015 sampai sekarang. Selama berkarier
penulis pernah mendapatkan penghargaan Setya Lencana Pramuka dari
Gubernur Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013.
Beberapa penelitian yang pernal dilakukan antara lain:
1. “Study on The Air Quality Improvement Analysis by New Emission
Regulation of Vehicle” tahun 2004,
2. “Pengendalian Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit di Provinsi
Sumatera Barat (Suatu Kajian Penerapan Minimisasi Limbah Cair,
Aplikasi Lahan Berdasarkan Analisis Biaya dan Manfaat)” tahun 2008,
3. “Mitigasi Efek Rumah Kaca (ERK) dari Sumber Tidak Bergerak dan
Bergerak di Kota Padang” tahun 2009,
4. “Studi Kompresipitasi Zn+2 Menggunakan Al(OH)3 sebagai
Kompresipitan” tahun 2013,

273
5. “Studi Coprecipitation Logam-Logam Berat dalam Sampel Perairan
Menggunakan Al(OH)3 sebagai Comprecipitan” tahun 2014,
6. “Analisis Logam Pb dalam Perairan Sungai Batang Arau dengan
Menggunakan Metode Comprecipitan Al(OH)3 di Kota Padang” tahun
2015,
7. “Aplikasi Neomaterial Akrilit sebagai Bahan Sensor Formaldehid untuk
Deteksi Cepat Formalin dalam Udang (Macrobrachium Rosenbergii)”
tahun 2017.

274

Anda mungkin juga menyukai