Editor:
Aulia Akbar, S.E., M.M.
Irham Khalid Gymnastiar, S.E.I., M.M.
METODOLOGI STUDI ISLAM
Editor :
Aulia Akbar & Irham Khalid Gymnastiar
Desain Cover :
Penulis
Sumber :
Penulis
Tata Letak :
Titis Yuliyanti
Proofreader :
Aditya Timor Eldian
Ukuran :
xii, 240 hlm, Uk: 15.5x23 cm
ISBN :
No ISBN
Cetakan Pertama :
Bulan 2022
PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
PENGANTAR PENULIS
v
Generasi milenial merupakan aset bangsa yang menjadi agent
of change sekaligus calon pemimpin di masa depan. Dengan adanya
studi islam terkait pendidikan karakter secara islami, diharapkan
mereka tumbuh menjadi generasi yang bermoral, berkarakter serta
berperilaku agamis dan tetap siap menghadapi tantangan modernisasi
digital.
Generasi milenial menjadi tokoh sentral dalam metodologi
studi islam. Bahkan di perkuliahan, metodologi studi islam ini menjadi
satu mata kuliah tersendiri untuk dipelajari oleh Mahasiswa. Bukan
tanpa alasan, tetapi melihat fenomena yang ada pada masyarakat saat
ini.
Tidak dapat dipungkiri, studi islam menjadi sangat urgensi
dipelajari. Di masa kini tujuan dari metodologi studi islam untuk
generasi milenial antara lain:
1. Agar generasi milenial memiliki pemikiran yang kritis sesuai
dengan ajaran islam yang digabungkan dengan ilmu
pengetahuan sekaligus teknologi.
2. Membentuk pemikiran generasi milenial tentang pentingnya
memiliki sikap toleransi.
3. Meminta generasi milenial untuk menghormati pendapat
orang lain.
4. Meminta generasi milenial menjadi seseorang yang berhati
lembut dan berjiwa besar.
5. Agar melahirkan generasi milenial yang percaya diri, berani
berpendapat dan berani mempertahankan pendapatnya sesuai
dengan kajian ilmu yang dimiliki.
Buku “Metodologi Studi Islam” yang ada di tangan para
pembaca sekalian merupakan salah satu ikhtiar penulis dalam
menampilkan kajian studi Islam yang mencoba menjawab kebutuhan
generasi milenial untuk lebih memahami Islam sesuai dengan bahasa
zamannya. Metodologi Studi Islam sebagai salah satu dasar keilmuan
penting dalam pembentukan kompetensi seorang intelektual muslim
sangat dibutuhkan oleh para thullabul ilmi, khususnya penting untuk
vi
dikemas dalam bahasa yang sesuai dengan perkembangan dan
relevansi tempat dan waktu.
Kami sadar buku ini masih banyak memiliki kekurangan. Kami
berharap masukan dan kritik membangun yang disampaikan untuk
kesempurnaan buku ini dalam cetakan-cetakan berikutnya. Semoga
buku ini dapat menambah khazanah intelektual khususnya dalam
kajian Metodologi Studi Islam masa kini.
vii
PENGANTAR EDITOR
Editor
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB IV PENELITIAN AGAMA ISLAM ....................................................40
A. PENGERTIAN TEORI PENELITIAN AGAMA .....................40
B. KONTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA ........................46
C. MACAM-MACAM PENELITIAN AGAMA .............................49
D. LANGKAH-LANGKAH POKOK DALAM
PENELITIAN AGAMA .................................................................53
E. TEORI-TEORI PENELITIAN AGAMA ....................................54
x
C. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ILMU KALAM .............. 139
D. ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM ......................... 140
E. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU KALAM ................ 150
xi
BAB XIII INSIDER DAN OUTSIDER DALAM STUDI ISLAM ............ 214
A. MENGENAL INSIDER DAN OUTSIDER DAN
PERSPEKTIF KEDUANYA DALAM STUDI ISLAM ........ 214
B. PROBLEMATIKA INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM ............................................................. 222
xii
BAB I
PENDAHULUAN METODOLOGI STUDI ISLAM
1 H.A Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h.
5-6
1
Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk
memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar
mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar.
Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman
bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata
sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya
dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut
dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat
yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan
dunia orang Islam.
Dalam praktiknya, studi Islam yang dilakukan oleh kaum
orientalis, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi
tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada
pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pengalaman
ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. 2
Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para
orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan
bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-
pandangan yang demikian itu akan bermanfaat bagi pengembangan
studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam
dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa
pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih
cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup
diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat
objektif dan rasional.
2
Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan
doktriner tersebut, tentunya ajaran agama Islam yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadits–yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif
terhadap tuntutan perkembangan zaman–telah berkembang menjadi
ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-
sentuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman.
Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan
mandek, membeku dan ketinggalan zaman.
Sayangnya, keadaan inilah yang menjadi sasaran objek studi
dari kaum orientalis dalam studi keislamannya. Dengan adanya
kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para Ulama
tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan
luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional
dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi
keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan
kajian yang objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim
sebagai ajaran universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat
relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul mampu
menjawab tantangan zaman.3
3
sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta
tidak berani untuk melakukan pemikiran ulang, berarti mereka
mengalami kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan
menghadapi masa depan yang suram.
Di sinilah dibutuhkan studi islam dengan pendekatan yang
bersifat rasional-objektif, sehingga diharapkan mampu memberikan
alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang
problematis tersebut. Selain itu, diharapkan pula agar dapat mengarah
kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan
dan pemikiran kembali ajaran agama Islam agar mampu beradaptasi
dan menjawab tantangan zaman dan dunia modern dengan tetap
berpegang teguh pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Al-
Qur’an dan as-Sunnah. Di sisi lain, studi islam dengan pendekatan ini
juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup
bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang
mampu menjawab tantangan pada era globalisasi ini. 4
4
terpisah dari nilai; kekuatan besar telah dicapai, tetapi tanpa
kebijaksanaan. Manusia dapat binasa di saat ia telah menciptakan
kekuatan besar dalam bidang sains dan teknologi, tetapi kekuatan-
kekuatan itu sering digunakan untuk merusak (destruktif).
Di sinilah urgensi studi islam muncul. Sebagai agama rahmatan
lil alamin, Islam tentunya memiliki konsep-konsep atau ajaran-ajaran
yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan
manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Islam ditantang untuk
mampu menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan
hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia
modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif
pemecahan terhadap keadaan problematis.5
5 Roger Garaudy, Janji – Janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),
h. 29.
6 Harun Nasution, Format Baru gerakan keagamaan, 1998, h. 1
5
C. RUANG LINGKUP STUDI ISLAM
Setidaknya ada tiga sisi bagaimana melihat Islam sebagai objek studi:
1. Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para
pemeluknya sudah final dalam arti absolut, dan diterima apa
adanya.
2. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi
kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk
pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
3. Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.
6
E. PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM
Pendekatan yang dimaksud di sini cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama. Sebagai dien, Islam memiliki
banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup,
sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan
masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam
tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari
berbagai disiplin ilmu.
Berikut ini pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan
dalam memahami Islam dijabarkan sebagai berikut:
1. Pendekatan Teologis
Suatu pendekatan yang normatif dan subjektif terhadap
agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh
penganut suatu agama dalam usahanya menyelidiki agama lain.
Dengan demikian, pendekatan ini juga disebut pendekatan atau
metode tekstual, atau pendekatan kitabi maka metampakkan sifatnya
yang apologis dan deduktif.8
Secara harfiah pendekatan teologis normatif dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam era kontemporer ada empat prototipe pemikiran
keagamaan Islam yaitu, pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis, nasionalis, dan tradisional. Keempat prototipe pemikiran
keagamaan tersebut sudah tentu tidak mudah untuk disatukan begitu
saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologis yang sering sulit
untuk didamaikan.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sifat
kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri. Teologi
7
sebagai kritik agama berarti antara lain mengungkapkan berbagai
kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat
panggilannya, menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Teologi
kritis bersifat kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat
terjadi jika agama terbuka terhadap ilmu-ilmu sosial dan
memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Dengan
demikian teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman
mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi
sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi kepedulian sosial
itu teologi transformatif.9
2. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan
memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis
spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berpikiran untuk
memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab
suatu persoalan, namun demikian tidak semua berpikir untuk
memecahkan dan menjawab suatu permasalahan dapat disebut
filsafat. Dimaksud filsafat di sini adalah berpikir secara sistematis,
radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang
(objek yang dipikirkan) sendiri, yaitu bidang atau permasalahan yang
bersifat filosofis yakni bidang yang terletak di antara dunia ketuhanan
yang ghaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan
demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-
masalah yang bersifat keagamaan semata-mata dengan masalah yang
bersifat ilmiah.10
Sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran, sudah dapat dipastikan Islam sangat
memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara
merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung
9 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 31.
10 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 15.
8
memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-
aturan formalistis dari pengalaman agama.11
3. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang
menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud
hidup bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama
itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.12
Ilmuwan yang pertama kali menggagas sekaligus
mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang
mandiri adalah ibn khaldun. Namun, mayoritas sosiolog memandang
kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih
mengakui Karl Max dan August Comte sebagai seorang yang paling
berjasa bagi disiplin ilmu sosiologi.13
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama
lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan
masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan
dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya
serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
a. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
b. Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga
masa kanak-kanak dan usia.
c. Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis,
sistem-sistem pertukaran dan birokrasi.
d. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi
personal, penyimpangan, dan globalisasi.14
11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 43.
12 Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1983),
h. 1
13 Pius A.Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Apollo,
1994), h. 20
14 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 283
9
Dalam al-Quran terdapat tuntunan yang banyak
membicarakan realitas tertinggi yang menunjukkan bahwa ia, secara
filosofis, tidak menerima selainnya. Namun di sisi lain (sosiologis), ia
juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain
(lakum dinukum waliyaddin).15
4. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang membahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut
ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam
peristiwa tersebut, dan lain sebagainya.16
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang
konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks ini Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama yang dalam hal ini Islam menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada kesimpulan
bahwa dasarnya kandungan Al-Qur’an itu menjadi dua bagian.
Bagian yang berisi konsep-konsep dan bagian yang berisi kisah-kisah
sejarah dan perumpamaan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empirism dan
mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis
dengan yang ada dalam empiris dan historis.17
5.
Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
15 Atang Abd. Hakim. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi-9.
(Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2007), h. 5
16 Hasan Utsman, Manhaj al-bahts At-tarikh (metodologi Penelitian Sejarah),
diterjemahkan oleh Tim penterjemah DEPAG RI, 1986, h. 16.
17 Kuntowijaya, Paradigma islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h.
328.
10
dimilikinya. Di dalam kebudayaan terdapat pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Semua itu digunakan sebagai
kerangka acuan atau blueprint oleh seseorang dalam menjawab
berbagai masalah yang dihadapinya. Karenanya, kebudayaan tampil
sebagai pranata yang secara terus-menerus dipelihara oleh para
pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan
tersebut.18
Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk
memahami apa yang terdapat pada dataran empirisnya atau agama
yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
Agama yang tampil dengan bentuk demikian berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakattempat agama itu
berkembang.19
6.Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan
ini agama tampak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya.20
Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama dapat
ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama
dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang
kurang mampu pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan
keagamaan yang mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
masyarakat. Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang
berada pada daratan empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
18 Sutan takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 207
19 Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, h. 50
20 M. Dawan Raharjo, “Pendekatan ilmiah Terhadap fenomena keagamaan” dalam M.
Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990), h. 19.
11
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama
dengan berbagai pranata yang terjadi di masyarakat.21
Dalam antropologi modern dikenal adanya holisme, yakni
pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks
dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan
yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropologis
harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan
politik, magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama
tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh
praktik-praktik sosial lainnya.22
7.Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut
Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi
karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang,
melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Label
psikologi agama seolah menunjukkan bahwa bidang ini merupakan
cabang psikologi yang concern dengan subjek agama, sejajar dengan
psikologi pendidikan, atau psikologi olahraga, atau psikologi klinis.
Akan tetapi kenyataannya, psikologi agama berada di bagian luar
mainstream psikologi.23
8.Pendekatan Doktriner
Pendekatan doktriner atau pendekatan studi Islam secara
konvensional merupakan pendekatan studi di kalangan umat Islam
yang berlangsung adalah bahwa agama Islam sebagai objek studi
diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin
21 Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012), h.
391
22 Ibid, h. 34
23 Ibid, h. 191
12
yang berasal dari Ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut,
mutlak dan universal. Pendekatan doktriner juga berasumsi bahwa
ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang
pada masa salaf yang menimbulkan berbagai mazhab keagamaan, baik
teologis maupun hukum-hukum atau fikih, yang kemudian di anggap
sebagai doktrin-doktrin yang tetap dan baku.
9.Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang
masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal
formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak
dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang
terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan
yang digunakan oleh ahli ushul fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam
(fuqaha’), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli hadits (muhadditsin) yang
berusaha menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari
sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif.
24 Ali Syariati, Tentang sosiologi islam, terj. Saifullah Mahyuddin, dari judul asli On
The Sociology of Islam, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 72.
13
Selanjutnya, metode dalam studi islam secara lebih rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah yaitu cara yang
harus dilalui oleh proses ilmu sehingga dapat mencapai kebenaran.
Oleh karenanya maka dalam sains-sains spekulatif mengindikasikan
sebagai jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau
harus ada, sementara dalam sains-sains normatif mengindikasikan
sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau
pembuatan sesuatu.
2. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari islam menonjolkan aspek sejarah.
Metode ini memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang
berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam
islam, sehingga umat islam memiliki pengetahuan yang relevan,
hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Metode diakronis
disebut juga metode sosiohistoris, yakni suatu metode pemahaman
terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihat
suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan
waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan di mana
kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.
3. Metode Sinkronis-Analistis
Suatu metode mempelajari islam yang memberikan
kemampuan analisis teoretis yang sangat berguna bagi perkembangan
keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-
mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan
telaah teoretis.
14
penguasaan keterampilan dari pada pengembangan mental-
intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan
pemikiran umat islam mungkin hanya terbatas pada kerangka
yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.
5. Metode Empiris
Suatu metode mempelajari islam yang memungkinkan umat
islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, dan
internalisasi norma dan kaidah islam dengan satu proses aplikasi yang
menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif
proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu norma baru.
6. Metode Deduktif
Suatu metode memahami islam dengan cara menyusun kaidah
secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu diaplikasikan
untuk menentukan masalah yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk
sarana mengistinbatkan syariat, dan kaidah-kaidah itu benar bersifat
penentu dalam masalah-masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai
tidaknya dengan paham mazhabnya.
7. Metode Induktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah
hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang
disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode
pengkajiannya dimulai dari masalah-masalah khusus, lalu dianalisis,
kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah terlebih
dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya.
15
BAB II
ISLAM SEBAGAI DIEN
A. PENGERTIAN AGAMA
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sansekerta,
yaitu yang tersusun dari dua kata; “a” artinya tidak dan “gam” artinya
pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara
turun temurun.25 Ini menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu
diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Ada juga versi lain yang mengatakan agama tersusun dari
a artinya tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama artinya tidak kacau.
Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti
teks atau kitab suci.
Agama dalam bahasa Arab disebut “din”, yang mengandung
arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan
hukum, yang harus dipatuhi orang.26 Din dalam bahasa Semit juga
berarti undang-undang atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Inggris
agama disebut religion yang terambil dari bahasa latin relegere yang
mengandung arti mengumpulkan, membaca. Pendapat lain kata itu
berasal dari relegare yang berarti mengikat. Intisari yang terkandung
dalam istilah-istilah di atas adalah ikatan.27 Agama mengandung arti
ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Sedangkan menurut terminologi, definisi agama beragam
tergantung orang yang mendefinisikannya. Mukti Ali pernah
mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi
pengertian dan definisi selain dari kata agama. Pernyataan ini
16
didasarkan pada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama
adalah soal batin, subjektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua,
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional
dari pada orang yang membicarakan agama. Karena itu setiap
pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat
sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang
agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi
itu.28
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih
belum selesai, hingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama,
sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada
yang lebih sukar dari mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk
membuat definisi agama, karena pengalaman agama adalah subjektif,
intern, individual, di mana setiap orang akan merasakan pengalaman
agama yang berbeda dari orang lain. Di samping itu tampak bahwa
umumnya orang lebih condong mengaku beragama, kendatipun ia
tidak menjalankannya.29
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan
politik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu
yang maha mutlak. Sementara Dewey mengatakan bahwa agama
adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi
meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam
jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan ghaib
yang hebat.
Oxfort Student Dictionary30 mendefinisikan agama (religion)
dengan “the belief in the existence of supranatural ruling power, the
creator ad controller of the universe”, yaitu suatu kepercayaan akan
adanya suatu kekuatan pengatur supranatural yang mencipta dan
28 Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Dirjen BIMAS Islam,
1971), h. 4
29 Zakiyah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: UT dan Dep. Agama, 1985), h.
14
30 Oxford Student's Dictionary Current English, (UK: Oxford University Press; 3rd
edition, 1978)
17
mengendalikan alam semesta.31 Agama dalam pengertiannya yang
paling umum diartikan sebagai sistem orientasi dan objek pengabdian.
Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk religius,
karena tidak seorang pun dapat hidup tanpa suatu sistem yang
mengaturnya. Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia
adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia.
Dari pengertian di atas, setidaknya ada tiga persoalan pokok
yang dicakup dalam sebuah agama, yaitu:
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu
kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta
alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam
berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai
konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai (hukum/norma) yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang
dikaitkan dengan keyakinannya tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa agama merupakan
seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
31 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta:
Tim ICCE UIN, 2003), h. 28
32 Louis Ma‘luf, Kamus al-Munjid, (Beirut: Daar al-Ilm lil Malayiin1980), h. 120
33 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Matba’ah albabi al-halabi, 1974), h. 200
18
manusia yang menghadapkan dirinya pada kebenaran dan kesiapan
untuk menggunakan pikirannya.
Dengan demikian, secara literal fitrah dapat dimaknai dengan
kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang memiliki
potensi untuk cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah dalam arti
hanif sejalan dengan isyarat al-Qur’an yang artinya: Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S Al-
Rum: 30).
Fitrah yang berarti hanif (kecenderungan kepada kebaikan)
dimiliki manusia karena terjadinya proses persaksian sebelum
terlahir ke muka bumi. Persaksian ini merupakan proses fitrah
manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap agama, karena itu
manusia dianggap sebagai makhluk religius. Manusia bukan makhluk
yang lahir kosong seperti kertas putih sebagaimana yang dianut para
pengikut teori tabula rasa. Hal ini dipertegas dengan dalil al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:
Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S al-A’raaf:172).
Manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki
kecenderungan untuk bertauhid (Islam). Hal demikian sejalan dengan
petunjuk Nabi saw dalam salah satu haditsnya yang mengatakan
"Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, Kedua orang tuanya
(memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani,
atau bahkan beragama Majusi, (HR. Bukhari.Juz 1, h. 456)
Fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan
pada saat lahirnya ke dunia. Potensi tersebut dapat dikelompokkan ke
19
dalam dua hal:, yaitu potensi fisik dan potensi rohaniah.34 Potensi
rohaniah manusia berupa akal, qalb dan nafsu.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologi.
Masyarakat primitif, misalnya yang tidak pernah datang informasi
mengenai Tuhan, ternyata mereka mencari dan mempercayai adanya
Tuhan, Sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu sebatas pada
kemampuan akalnya dalam memaknai apa yang ada di sekitar mereka.
Mereka menjadikan sungai, pohon, batu dan lainnya sebagai Tuhan
karena mereka menganggap benda-benda itu telah memberikan
penghidupan kepada mereka. Ketika potensi bertuhan tersebut tidak
diarahkan dan tidak mendapat bimbingan yang benar, maka tidak
akan menemukan Tuhan yang sesungguhnya (yang benar) yaitu Allah.
Sebaliknya jika fitrah manusia mendapat pengarahan yang baik, dan
tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang mendukung, tentunya
fitrah itu akan tumbuh dengan subur, dan cara-cara kebertuhanannya
pun akan benar.
34 Azyumardi Azra, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan tinggi Umum,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 23
20
3. Tantangan yang dihadapi manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama
adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Tantangan
internal berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.35 Sedangkan
tantangan eksternal berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia secara sengaja berupaya ingin memaling manusia dari Tuhan.
Seperti berkembangnya berbagai kebudayaan dan cara hidup yang
sengaja diciptakan untuk memalingkan manusia dari Tuhannya.
C. FUNGSI AGAMA
Agama adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Tidak
ada seorang pun secara mutlak dapat lepas dari agama. Keberadaan
agama bagi kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai dua fungsi
utama. Pertama sebagai informasi dan kedua sebagai konfirmasi.
Secara rinci fungsi agama adalah sebagai berikut: 36
1. Agama sebagai Petunjuk kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal. Dengan akal itulah lahir ilmu
dan filsafat sebagai sarana untuk mencari kebenaran. Sayangnya, tidak
semua kebenaran yang dicari manusia terjawab oleh ilmu dan filsafat
dengan memuaskan karena pijakannya adalah akal yang mempunyai
kemampuan terbatas dan kebenaran yang relatif dan nisbi. Oleh
karena itu manusia memerlukan sumber kebenaran lain. Sumber
kebenaran lain adalah agama, yaitu informasi dari Tuhan yang Maha
Benar.
21
benar. Pencarian manusia merupakan perkiraan semata bahkan dapat
berupa khayalan. Agama yang di dalamnya ada wahyu dari
Tuhan Yang Maha Mengetahui memberikan informasi yang jelas dan
benar tentang sesuatu yang berkaitan dengan metafisika.
22
manusia mampu untuk menemukan suatu teori ilmu, dan
mengembangkan pengetahuannya, perlu ada pengkonfirmasian
dengan wahyu, agar ilmu dan pengetahuan yang diperoleh
memperdekatkan dirinya kepada Tuhan
Memperhatikan fungsi agama di atas, dapat dikatakan bahwa
yang dapat memenuhi fungsi agama di atas hanyalah yang tergolong
agama wahyu. Sedangkan agama ciptaan manusia tidak mampu
mengungkap hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal. Satu-satunya
agama wahyu sekarang ini hanyalah agama Islam. Artinya, fungsi
agama secara utuh hanya ditemukan dalam agama Islam.
D. JENIS-JENIS AGAMA
Berdasarkan sumbernya, agama secara umum dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:
1. Agama samawi/revealed religion (agama wahyu)
2. Agama ardhi/culture religion (agama bukan wahyu/buatan
manusia)
Agama wahyu adalah agama yang diterima oleh manusia dari
Allah melalui malaikat Jibril dan disampaikan oleh rasul-Nya kepada
umat manusia. Wahyu-wahyu tersebut dilestarikan melalui Kitab Suci,
suhuf (lembaran-lembaran tertulis) atau ajaran lisan. Yang termasuk
ke dalam agama wahyu yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.
Sedangkan agama bukan wahyu bersandar semata-mata
kepada ajaran dari seorang manusia yang dianggap memiliki
pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara
mendalam. Misalnya, agama Budha yang berpangkal pada ajaran
Sidharta Gautama dan Konfusianisme yang berpangkal pada ajaran
Kong Hu Chu. Agama Hindu, agama Sinto dan lain sebagainya yang
berpangkal pada ajaran yang dibawa oleh manusia sebagai penyebar
agama tersebut.
Agama wahyu memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
1. Secara pasti ditentukan lahirnya, bukan tumbuh dari
masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat.
23
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-
Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama tetapi
menyampaikan agama.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirannya dapat berubah
sesuai dengan kecerdasan dan kepekaaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (Tauhid).
6. Kebenarannya adalah universal, yaitu berlaku bagi setiap
manusia, masa dan keadaan.
Jika keenam karakteristik ini dibawa kepada tiga agama
samawy, maka hanya Islamlah satu–satunya agama samawy yang
memenuhi semua karakteristik di atas untuk saat ini. Sedangkan
agama Yahudi dan Nasrani dalam perjalanan sejarahnya mengalami
distorsi-distorsi karena kurang terjaganya pengamanan wahyu. Hal ini
terlihat dari ajaran Yahudi dan Nasrani, khususnya yang berkaitan
dengan konsep ketuhanannya yang tidak monotheisme murni (tidak
tauhid).
Adanya Tuhan Yahweh dalam ajaran Yahudi dan konsep
Trinitas dalam ajaran Nasrani menggambarkan ketidakaslian agama
tersebut. Ditambah lagi adanya dosa waris, pembabtisan, legalitas
paus mengampuni dosa jemaatnya telah keluar dari ajaran aslinya
yang bersumber dari wahyu.37 Untuk itu, Islamlah sebagai satu-
satunya agama yang masih murni sebagai agama samawi.
24
berkembanganya agama tersebut yaitu India (Hindustan). Agama
Kristen dinisbahkan kepada pengajarnya yakni―Jesus Christ. Orang
Islam menyebutnya dengan Nasrani dinisbahkan kepada tempat
kelahiran Isa yaitu Nazareth.38
Tidak seperti agama-agama di atas, penamaan Islam diambil
dari hakikat dan substansi ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika
agama lain baru ada setelah pembawa ajarannya telah tiada. Namun
nama Islam sudah ada sejak kelahirannya. Istimewanya adalah Allah
sendiri yang memberi nama Islam yang berulang kali diungkapkan
dalam Al-Qur’an.
Islam merupakan turunan dari kata salima yang artinya bersih
dan selamat dari kecacatan, atau sempurna. Islam dapat juga terambil
dari kata assilmu yang berarti perdamaian dan keamanan. Dari kata ini
juga dibentuk kata ―aslama yang berarti menyerah, tunduk, patuh
dan taat.39
Dari pengertian kata di atas dapat disimpulkan bahwa Islam
mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat sepenuhnya
kepada kehendak Allah Swt. Ketundukan dan kepatuhan kepada Allah
itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian
bagi sesama manusia dan lingkungannya.
Berdasarkan pengertian Islam secara etimologi dan ungkapan
Allah dalam Al-Qur’an, Islam dapat dipandang dalam dua makna yaitu,
pertama Islam sudah menjadi agama yang dibawa sejak Nabi Adam a.s
sampai Nabi Muhammad saw, karena pada hekekatnya semua para
Rasul mengajarkan kepatuhan dan ketundukan hnya kepada Allah
Swt. Kedua Islam adalah risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw yang berisi seperangkat ajaran aqidah, ibadah dan akhlak.
Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad
Abdullah Almasdosi40 bahwa Islam adalah kaidah hidup yang
diturunkan kepada manusia sejak manusia digelar ke muka bumi, dan
38 Joesoef Sou’yb, Agama – Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983),
cet ke-1, h. 8
39 Sayyid Sabiq, Islamuna, (Beirut: Daar al-Kutub al-Araby, tt), h. 3.
40 Ahmad Abdullah Almasdosi, Living religions of the world: a socio-political study ,
(Begum Aisha Bawany Waqf, 1962), h. 20
25
terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an
yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir,
yakni Nabi Muhammad saw, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan
yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual
maupun material.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam merupakan agama
yang dibawa oleh semua para Rasul dan disempurnakan oleh Nabi
terakhir yaitu dalam risalah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat kita
lihat dari beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Rasul
sebelum Muhammad saw juga sebagai muslim.
Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 67 yang artinya:
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk
orang-orang musyrik.
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 135 yang
artinya: “Dan mereka berkata, “Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah, “(Tidak!)
Tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan dia tidak
termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Islam juga agama yang diwasiatkan kepada Nabi Nuh as,
Ibrahim as, Musa as dan Isa as. Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura
ayat 13 yang artinya: “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Allah juga berfirman dalam QS. Al-baqarah ayat 131-133 yang
artinya: (Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim),
“Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan
seluruh alam.” Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya
26
Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan Muslim.” Apakah kamu menjadi saksi saat maut
akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim,
Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya)
berserah diri kepada-Nya.”
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah
agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-
Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam
semesta.
Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasul-rasul sejak Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad saw. Semua rasul mengajarkan
ketauhidan sebagai dasar keyakinan umatnya. Setelah rasul-rasul yang
membawanya wafat, agama Islam yang dianut oleh para pengikutnya
itu mengalami perkembangan dan perubahan baik nama maupun isi
ajarannya. Untuk zaman sekarang Islam menjadi nama bagi satu-
satunya agama, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Penegasan Allah terhadap Islam sebagai agama yang benar
terdapat dalam al-Qur’an, dengan beberapa istilah antara lain:
1. Din al-haqq
Din al-haqq artinya agama yang benar. Seperti yang tertuang
dalam Q.S al-Taubah ayat 33 yang artinya: “Dialah yang telah
mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang
benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukai.
Agama yang benar adalah agama yang diturunkan oleh Allah
melalui para Rasul-Nya. Agama yang diturunkan Allah itulah agama
yang menjadi pemenang agama yang lainnya di muka bumi ini.
2. Din al-Qayyim
Din al-Qayyim artinya agama yang lurus. Allah berfirman
dalam Q.S Yusuf ayat 40 yang artinya: Apa yang kamu sembah selain
Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat baik oleh kamu sendiri
27
maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah
milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
Ungkapan din al-Qayyim juga terdapat dalam Q.S al-Rum ayat
43 yang artinya: Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama
yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari (Kiamat) yang
tidak dapat ditolak, pada hari itu mereka terpisah-pisah.
Ungkapan yang sama juga ditemukan dalam surah al-Bayyinah
ayat 5 yang artinya, Padahal mereka hanya diperintah menyembah
Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
Agama yang lurus maksudnya adalah agama yang tetap teguh
menegakkan Tauhid dan amar ma’ruf nahi munkar.
3. Din al-Hanif
Din al-Hanif maksudnya adalah agama yang sejalan dengan
fitrah manusia. Ibadah dan mengabdi kepada Tuhan adalah kebutuhan
fitrah manusia. Oleh sebab itu manusia akan hampa hidupnya jika
tidak beribadah. Agama yang turunkan Allah kepada manusia
berisikan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Perhatikan
firman Allah yang terdapat dalam Q.S al-Rum ayat 30 yang artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia
menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah agama benar,
agama yang lurus dan diridhai Allah, sebagaimana yang tertuang
dalam Q.S Ali Imran ayat 19:
°Ø ° ¯ ¦Ù ÉÊ ° Ø ¿Ô ° °G ¯
28
ª°Ù À¯ ¯ °¯ ×ÁÖ ÔÀØ ,Ù ¿Ú°Ù ÄÉ
;° Ô ÄÅ Á¦ ªØ° ×ÅÙ ÁÕÙ ×Å° ×Å ÁÚÙ ×Ù
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu.
Pencarian manusia kepada agama selain Islam hanya akan
mendatangkan kesia-siaan dan kerugian. Seperti yang dijelaskan Allah
dalam Q.s Ali Imran ayat 85:
¦Ù ° ®¦ ¯ É ÈØ° ÙÄ ;° ¥Ô × §×
Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.
Dari ayat di atas jelaslah bahwa dan tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa hanya Islam lah satu-satunya agama yang masih
murni dan diterima di sisi Allah. Islam dengan kitab sucinya Al-Qur’an
tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat datang.
29
BAB III
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
30
Aqidah islam meliputi keyakinan bahwasanya Allahlah satu
satunya Tuhan yang wajib disembah; ucapan dengan lisan dalam
bentuk dua kalimat syahadat, yakni menyatakan tidak ada tuhan yang
berhak disembah selain Allah, dan nabi Muhammad sebagai utusan
Allah; perbuatan amal saleh. Aqidah yang demikian mengandung arti
bahwa dari orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati; atau
ucapan di mulut dan perbuatan melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan dan
perbuatan yang dikemukakan oleh yang beriman itu kecuali yang
sejalan dengan kehendak Allah.44
Selanjutnya, aqidah islam harus berpengaruh terhadap segala
aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga segala tindak-tanduk yang
dilakukannya dapat bernilai ibadah. Menurut Yusuf al-Qardhawi,
beriman yang sebenarnya itu haruslah tertanam dalam hati, dengan
penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan keragu-raguan, serta
memberikan dampak bagi pandangan hidup, tingkah laku, serta
perbuatan sehari-hari.45
44 Ibid, h. 84-85.
45 Yusuf al-Qardhawi, Iman dan Kehidupan, (terj.) H. Fachruddin HS, dari judul asli
Al-Iman wa al-Hayat, (jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet ke-1, h. 25.
46 Razak, Nasruddin, Dienul Islam: Penafsiran Kembali Islam Sebagai Suatu Aqidah
dan Way Of Life, (Jakarta: Al-Ma’rif, 1989), h. 44.
31
ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada “kreativitas”,
sebab yang menciptakan atau membentuk suatu ibadah dalam islam
dinilai sebagai bid’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.47 Bilangan
shalat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah
haji dan tata cara mengerjakannya misalnya adalah termasuk masalah
ibadah yang tata cara dan mengerjakannya telah ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Ketentuan ibadah demikian itu termasuk salah satu bidang
ajaran Islam di mana akal manusia tidak perlu campur tangan,
melainkan hak dan otoritas Tuhan sepenuhnya. Kedudukan manusia
dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan dan menjalankannya
dengan penuh ketundukan kepada Allah sebagai wujud pengabdian
dan rasa syukur kepada Allah Swt.
Menurut Ahmad Amin, ibadah dalam islam dilakukan sebagai
arti dan pengisian dari makna Islam yang artinya berserah diri, patuh
dan tunduk demi mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Dan hal
inilah yang selanjutnya menggiring manusia menjadi hamba yang
salih, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Hamba Allah yang salih
adalah yang berlaku rendah hati (tidak sombong dan tidak angkuh),
jika mereka diejek oleh orang bodoh mereka selalu berkata selamat
dan damai (QS. Al-Furqan: 63). Ketenangan jiwa, kerendahan hati,
selalu menyandarkan diri kepada amala ibadah bukan kepada nasab
dan keturunan, semua hal ini merupakan gejala kedamaian dan
keamanan sebagai pengamalan dari ibadah.48
Karenanya, visi islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa dan
misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan
manusia sebagai makhluk yang tugas utamanya adalah beribadah
kepada Allah Swt.
47 Ibid.
48 Ahmad Amin, Fajar Islam (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam, (Cirebon:
1967), h. 94.
32
C. DALAM BIDANG AKHLAK
Akhlak, menurut al-Ghazali diartikan sebagai suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan
yang mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan
pemikiran yang lama. Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu
perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia
melahirkan perbuatan yang buruk, maka dinamakan akhlak yang
buruk.49
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Akhlak dan takwa merupakan buah pohon Islam yang berakarkan
aqidah, bercabang dan berdaunkan syaria’ah. Pentingnya kedudukan
akhlak ini dapat dilihat dari beberapa hadits Rasulullah, diantaranya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.
Ahmad), dan “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi).
Akhlak dalam Islam berbeda dengan moral dan etika.
Perbedaan ini dapat dilihat dari sumber yang menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala
sesuatu yang berguna yang sesuai dengan nilai dan norma agama, nilai
serta norma yang terdapat dalam masyarakat, serta bermanfaat bagi
diri sendiri dan orang lain. Sedangkan yang buruk dalam akhlak
adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan norma
dan nilai agama, serta norma dan nilai masyarakat, serta merugikan
diri sendiri dan masyarakat.
Baik dan buruknya suatu sikap dalam akhlak ditentukan oleh
ketentuan nilai yang ada dalam al-Quran yang kemudian
dikembangkan dan dijelaskan dalam sunnah Rasulullah. Hal ini
berbeda dengan baik-buruk dalam moral dan etika yang justru sangat
ditentukan oleh adat istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat
pada suatu tempat di suatu masa.50
33
Dilihat dari sifatnya, akhlak dalam islam bersifat tetap dan
berlaku untuk selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku
selama masa tertentu, di suatu tempat tertentu. Dampaknya, akhlak
dalam islam bersifat mutlak, sedangkan moral dan etika sifatnya
relatif (nisbi).
Selanjutnya, akhlak dalam Islam mencakup semua aktivitas
manusia, meliputi segala bidang hidup dan kehidupan. Dalam garis
besarnya, akhlak dibagi dua; Akhlak kepada Allah dan akhlak kepada
makhluk (segala ciptaan Allah). Akhlak kepada Allah kemudian
banyak dibahas dalam kajian ilmu tasawuf, sedangkan akhlak kepada
makhluk dijelaskan dalam ilmu akhlak.
51 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet
ke-1, h. 290-291.
34
Dalam bukunya “Sumbangan islam kepada Ilmu dan
Peradaban Modern”, S.I. Poeradisastra menjabarkan dengan panjang
lebar tentang peranan yang dimainkan islam dalam membangun
pengetahuan dan peradaban modern, baik yang berkaitan dengan
ilmu alam, teknik dan arsitektur, maupun ilmu pengetahuan sosial,
filsafat, sastra, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.52
Karakteritik dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
tersebut dapat pula dilihat dari 5 (lima) ayat pertama surat al-Alaq
yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. Pada ayat
tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata
tersebut menurut A. Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa,
juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur,
mendeskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif.
Demikian pentingnya ilmu ini hingga Islam memandang bahwa
orang menuntut ilmu sama nilainnya dengan jihad dijalan Allah. Islam
menempuh jalan demikian, karena dengan ilmu pengetahuan tersebut
seseorang dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk meraih
berbagai kesempatan dan peluang. Hal demikian dilakukan Islam,
karena informasi sejarah mengatakan bahwa pada saat kedatangan
Islam di tanah Arab, masalah ilmu pengetahuan adalah milik kaum
elite tertentu yang tidak dapat dibocorkan kepada masyarakat umum.
Hal demikian juga dilakukan agar masyarakat tersebut bodoh yang
selanjutnya mudah dijajah, diperbudak dan di sampingkan
keyakinannya serta domba.
35
Semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan ini dapat dari
kandungan surat al-Alaq.
Menurut Muhammad Qutb, di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai
berbagai metode pendidikan, seperti metode ceramah, Tanya jawab,
diskusi demonstrasi, penugasan, teladan, pembiasaan, karya wisata,
cerita, hukuman, nasihat dan lain sebagainya.53 Beragamnya metode
tersebut dapat disesuaikan dengan jenis dan karakteristik materi yang
diajarkan, yang mana tujuannya agar pendidikan tidak menjadi
membosankan bagi para peserta didik.
36
ibadah ritual. Apabila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan sosial yang penting, maka iabadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan bukan ditinggalkan.
Aisyah, ummul mukminin ra pernah mengisahkan: Rasulullah
shalat di rumah dan pintu terkunci. Lalu aku datang (dalam riwayat
lain aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah berjalan membuka
pintu, lalu kemudian kembali ke tempat shalatnya. Hadits ini
diriwayatkan oleh lima perawi kecuali Ibn majah.
Apabila suatu ibadah dilakukan secara berjamaah, hal itu juga
dapat meningkatkan nilainnya di sisi Allah. Rasulullah saw bersabda:
Shalat berjamaah lebih baik daripada shalat sendiri dengan
berbanding 27 derajat.
Selain itu, dalam Islam apabila urusan ibadah tidak dilakukan
dengan sempurna atau batal, karena melanggar peraturan tertentu,
maka tebusannya (kaffaratnya) adalah dengan melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan urusan sosial. Jika puasa tidak dapat
dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuh,
maka boleh diganti dengan fidyah dalam bentuk makanan bagi orang
miskin. Sebaliknya, jika seseorang tidak baik dalam urusan muamalah
(sosial kemasyarakatannya) justru urusan ibadahnya tidak dapat
menutupinya. Orang yang suka merampas hak milik orang lain tidak
akan terampuni dosanya sekadar dengan shalat tahajjud. Orang yang
menganiaya orang lain tidak akan hapus dosanya dengan membaca al-
Quran dan zikir sebanyak-banyaknya. Hal ini mengesankan bahwa
ibadah ritual tidak akan berketerima di sisi Allah jika pelakunya
melanggar norma muamalah.55
55 Jalaluddin rahmat, Islam alternatif (Bandung: Mizan, 1991), cet ke-IV, h. 51.
37
baik diantara kamu orang yang meninggalkan kehidupan dunia karena
mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang mengejar kehidupan
akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah
orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia
merupakan alat untuk meraih akhirat, dan jangan dibalik yakni
akhirat dikorbankan hanya demi urusan dunia.
Dengan demikian cara pandang seperti ini secara tidak
langsung berkontradiksi dan berlawanan dengan kehidupan yang
bercorak sekuler, yakni kehidupan yang memisahkan antara urusan
dunia dengan urusan akhirat dan agama, karena agama harus terlibat
dalam segala aturan kehidupan dunia.
Dalam perspektif islam, alam semesta dengan segala isinya
merupakan ladang untuk mencari kehidupan. Islam tidak
mengharamkan mencari kekayaan sebagaimana tidak mengharamkan
pula memanfaatkan segala ciptaan Allah di alam semesta untuk
kepentingan manusia. Hanya saja manusia dilarang untuk menjadikan
ciptaan Allah tersebut sebagai objek penyembahan sebagaimana yang
dikenal di tengah masyarakat primitif. Bahkan dalam pandangan Islam
segala ciptaan Allah dengan kemanfaatan yang dapat diambil darinya
merupakan saranan yang utama untuk mengenal Allah dan menyadari
betapa besar karunia Allah bagi manusia.56
Pandangan Islam mengenai kehidupan di bidang ekonomi itu
dicerminkan dalam ajaran fiqih yang menjelaskan bagaimana
menjelaskan sesuatu usaha ataupun ajaran islam mengenai berzakat
juga dalam konteks berekonomi.57 Aturan-aturan fiqh yang
dirumuskan para ulama dari aturan syariat islam bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan, yang artinya mendatangkan segala yang
membawa kebaikan bagi manusia dan menghilangkan segala
kemudharatan darinya.
Islam ingin mewujudkan masyarakat yang di dalamnya
terimplementasikan nilai keadilan sosial dan ekonomi. Dalam
pandangan Islam, masyarakat yang sehat secara ekonomi adalah
masyarakat yang sirkulasi kekayaan di dalamnya lancar, dan tidak
38
hanya terpusat pada sekelompok elite semata, yang justru menjadikan
mayoritas masyarakat hanya berperan sebagai penonton.
Islam tidak menghendaki jika kekayaan alam yang banyak
dikuasai oleh segelintir orang, sedangkan mayoritas lainnya berdesak-
desakan dan saling sikut-menyikut untuk memperebutkan sumber
daya lainnya yang tersisa. Karenanya lewat zakat dan wakaf yang
merupakan instrumen utama ekonomi islam diharapkan terciptanya
masyarakat yang sejahtera dapat direalisasikan.
58 Ibid, h. 91.
59 Munawwir Sadzali, Islam dan Ketatanegaraan, (Jakarta: Mutiara, 1992), cet ke-2, h.
7.
39
BAB IV
PENELITIAN AGAMA ISLAM
40
Untuk lebih menunjukkan apa yang dimaksud dengan teori,
Mely G. Tan mengatakan bahwa teori-teori pada hakikatnya
merupakan menyatakan mengenai sebab akibat atau mengenai
adanya suatu hubungan positif antar gejala yang diteliti dari satu atau
beberapa faktor tertentu dalam masyarakat.
Misalnya ingin meneliti gejala bunuh diri, kita sudah
mengetahui tentang teori integrasi dan kohesi sosial dari Emiel
Durkheim, seorang ahli sosiologi perancis kenamaan, yang
menyatakan adanya hubungan positif antara lemah atau kuatnya
integrasi sosial dan sejala bunuh diri. Durkheim mulai dengan
pengamatan statistik bahwa angka bunuh diri antara orang Katolik
lebih rendah daripada orang Protestan.
Dalam penelitian selanjutnya Ia menarik kesimpulan bahwa
faktor utama yang menentukan dalam gejala ini adalah integritas
sosial. Perumusan analisis teoretisnya dapat diutarakan sebagai
berikut, integrasi atau kohesi sosial memberi dukungan batin kepada
anggota kelompok yang mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan-
tekanan jiwa yang berat, angka bunuh diri adalah fungsi dari
kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-
orang tertentu.
Contoh lainnya adalah mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi.
Teori terkenal Max Weber menyatakan adanya hubungan positif
antara agama Protestan dan bangkitnya kapitalisme. Banyak sekali
hipotesis yang dibangun oleh teori ini dengan meluaskan konsep
agama Protestan dengan agama-agama lain atau dengan sistem nilai
budaya pada umumnya dalam suatu masyarakat, dan meluaskan
konsep kapitalisme dengan kegiatan ekonomi pada umumnya.
Di Indonesia, penelitian berdasarkan teori ini telah dilakukan
oleh Clifford Geertz, seorang sarjana antropologi dari Amerika yang
menguji hubungan antara agama Islam dan kegiatan-kegiatan yang
bersifat enterpreneurship di suatu daerah di Jawa Tengah. Namun,
teori ini selanjutnya dibantah dengan teori yang mengatakan bahwa
untuk kemajuan di bidang ekonomi tidak semata-mata disebabkan
41
oleh paham agama tertentu, melainkan karena faktor lainnya yang
lebih dominan.
Sebagai contoh, pada kaum Katolik aliran Calvinis terdapat
paham bahwa nasib baik atau buruk manusia di tangan Tuhan, namun
manusia tidak mengetahui nasib baik buruknya itu karena
dirahasiakan Tuhan. Agar Tuhan menentukan nasib manusia menjadi
baik dan menunggu nasib yang baik itu, sebaiknya manusia berusaha
dan bekerja keras dengan harapan usaha dan kerja kerasnya itu dapat
mempengaruhi keputusan Tuhan. Dengan cara demikian, baik pada
kaum Protestan maupun kaum Katolik pada akhirnya sama-sama
bekerja keras.
Studi Islam ternyata dapat dikaji dengan menggunakan
berbagai teori dan pendekatan yang selama ini banyak dijumpai dalam
ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, kebudayaan,
sejarah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena agama Islam
sebagaimana diketahui, memiliki cakupan yang cakupan yang amat
luas dan menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga
pada aspek manapun manusia dapat menangkap dengan baik.
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan
teori dan pendekatan tersebut bukan ditujukan untuk menguji benar
tidaknya aspek esensi ajaran Islam yang bersifat normatif,
sebagaimana terdapat dalam Al-Qu’ran dan hadits mutawatir atau
hadits shahih tidak perlu dipersoalkan lagi karena sudah diyakini
kebenaranya. Kita tidak perlu mempersoalkan, meneliti atau
meragukan kebenaran isi Al-Quran dan isi hadits mutawatir, ajaran
yang terdapat dalam Al-Quran baik yang berkenaan dengan ibadah,
akidah, akhlak maupun kehidupan akhirat dan lain sebagainya adalah
hukum yang pasti benar, kita tidak akan menambah atau mengurangi
rukun Iman atau rukun Islam dan lainnya yang ada dalam kitab suci,
semua itu isi agama yang tidak perlu diteliti lagi, karena merupakan
hukum Tuhan yang mutlak benar. Yang dijadikan objek penelitian
adalah berkenaan dengan aspek lahiriah atau aspek pengalaman dari
ajaran wahyu tersebut.
42
Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran
teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam
kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio-
kultural.
Dalam praktik kita dapat menggunakan suatu teori ketika kita
ingin meneliti apakah ada hubungan antara paham keagamaan
tertentu dengan terjadinya tindakan kekasaran. Misalnya kemudian,
kita juga dapat meneliti apakah ada hubungan positif antara etos kerja
produktif dengan paham keagamaan yang dianut. Contoh-contoh
tersebut dalam penelitian jelas memerlukan teori sebagai alat atau
pisau untuk menganalisis apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut.
Dari teori-teori tersebut selanjutnya kita dapat merumuskan
kesimpulan sementara untuk diuji lebih lanjut yang selanjutnya
disebut hipotesis. Namun sungguh pun rumusan dalam hipotesis
dinilai masih rendah dan perlu dibuktikan, tetapi ia berfungsi sebagai
jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
Karenanya hipotesis akan merupakan pengarah dalam penelitian.
Jika penelitian berpijak pada hipotesis, tujuan penelitian jelas
akan menguji hipotesis. Data digali untuk menguji (bukan
membuktikan). Kalau membuktikan dapat kerancuan mencari data
yang mendukung saja, sehingga data-data yang dijumpai di lapangan
akan dipaksa untuk mendukung atau membenarkan hipotesis
tersebut. Ini jelas suatu kekeliruan, karena tujuan penelitian bukan
untuk mencari pembenaran, tetapi untuk mencari kebenaran.
Jika dijumpai keadaan bahwa data yang ada berada dengan
hipotesis, hipotesis tersebut ternyata sudah tidak tepat lagi, karena
sudah terjadi perubahan yang terdapat di masyarakat. Data-data
tersebut harus dijelaskan dengan teori lain, atau sama sekali membuat
teori yang baru.
Bagaimana cara orang merumuskan hipotesis itu ternyata
belum ada aturan yang baku. Namun, dapat dikemukakan saran-saran
antara lain:
1. Hipotesis hendaklah menyatakan pertautan antara dua
variabel atau lebih.
43
2. Hipotesis hendaklah dinyatakan dalam kalimat deklaratif atau
pernyataan.
3. Hipotesis hendaklah dirumuskan secara jelas dan padat.
4. Hipotesis hendaklah dapat diuji, artinya hendaklah orang
dapat mengumpulkan data guna menguji kebenaran hipotesis
tersebut.
Suatu pendekatan sangatlah sensitif, baik berhubungan dengan
kemajuan maupun dengan kemerosotan. Bukan kemampuan dalam
menimbulkan suatu masalah yang menyebabkan stagnasi, apatis atau
gerak, dan kemajuan, tetapi agaknya metodologi yang digunakan.
Pada abad ke empat dan ke lima sebelum masehi, ada jenius-jenius
besar yang tidak dapat dibandingkan dengan jenius abad ke empat
belas, ke lima belas, dan ke enam belas. Tidak diragukan lagi bahwa
Aristoteles lebih jenius dari Roger Bacon. Tetapi bagaimana bisa
orang-orang yang memiliki tingkat kejeniusan yang lebih rendah dari
pada Aristoteles meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan ilmu
pengetahuan; sebaliknya para jenius besar itu sendiri telah
menyebabkan terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan dan kesadaran
bagi umat manusia.
Alasannya adalah bahwa jenius yang kedua telah menemukan
cara berpikir dan metodologi yang benar. Dengan cara ini orang awam
pun dapat menemukan kebenaran, tetapi seorang jenius besar yang
tidak mengetahui cara pendekatan yang benar terhadap berbagai
masalah dan metode berfikir yang benar, tidak dapat menggunakan
kecerdasan secara efektif.
Berfikir dengan benar adalah seperti berjalan dengan benar.
Seseorang yang berjalan dengan lambat dan pincang, tetapi memiliki
jalan yang lurus dan benar, akan sampai ke tujuan lebih cepat dari
pada orang juara yang lari diatas bebatuan. Sang juara tidak akan
sampai ke tujuan, seberapa pun cepat ia berlari. Sebaliknya, pelatih
yang pincang, yang telah memilih jalan yang benar, akan mencapai
maksud dan tujuannya.
Ali Syari’ati mengungkapkan: “Kita harus mengambil hikmah
dari berbagai pengalaman yang merupakan bagian dari sejarah Islam.
44
Kita harus mengenal diri kita agar menjadi pengikut agama besar yang
bertanggung jawab dan mengenal Islam secara benar.”
Kepribadian seseorang diimbangi dengan apa yang ia ketahui
paralel dengan apa yang ia percayai. Kepercayaan saja bukanlah
kebajikan. Jika kita percaya kepada sesuatu dan tidak mengetahuinya,
kepercayaan ini tidak mempunyai nilai karena nilai itu datang dari
pengetahuan atas apa yang ia yakini. Kita beriman kepada Islam. Oleh
karena itu, kita diwajibkan untuk mengenal atau mengetahuinya.
Untuk tahu, kita harus memperoleh pendekatan yang benar.
Untuk mengenal kebenaran-kebenaran Islam kita tidak boleh
menggunakan pendekatan Eropa yang didasarkan pada pendekatan
biologi, psikologi atau sosiologi. Agaknya, kita harus memprakarsai
suatu pendekatan. Kita harus mengetahui metode-metode ilmu
pengetahuan Eropa, tetapi kita tidak boleh meniru mereka. Hari ini
semua metode ilmu pengetahuan dalam segala bidang telah berubah.
Mereka telah menggunakan cara baru. Kebenaran-kebenaran agama,
kalau perlu, juga harus demikian.
Untuk mengenal Islam, tidak boleh hanya dengan satu
pendekatan saja, karena Islam bukanlah agama yang berdimensi satu.
Islam bukanlah agama yang didasarkan semata-mata pada perasaan-
perasaan mistik manusia atau hanya terbatas kepada hubungan antara
Tuhan dan manusia. Ini hanya terbatas kepada hubungan antara
Tuhan dan manusia. Ini hanya satu dimensi dari akidah Islam. Untuk
mengenal dimensi tertentu ini kita harus beralih kepada metode
filsafat, karena hubungan antara manusia dan Tuhan merupakan
bagian dari bidang pemikiran (filsafat).
Dimensi lain dari agama ini berhubungan dengan cara hidup
seseorang dimuka bumi merupakan produk interaksi sosial. Untuk
mengenal kebenaran-kebenaran dimensi ini, kita harus menggunakan
metode ilmu sosial dan ilmu sejarah masa kini.60
45
B. KONTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA
Konstruksi teori penelitian agama merupakan suatu upaya
untuk memeriksa, mengkaji, mempelajari, memprediksi atau menduga
dan memahami secara saksama susunan atau bangunan dasar atau
hukum-hukum dan ketentuan lainnya yang diperlukan untuk
melakukan penelitian terhadap bentuk pelaksanaan atau pengamalan
ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman.
Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat,
saksama, pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti dan
dapat pula berarti penyelidikan. Tujuan pokok dari kegiatan penelitian
ini adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan
melalui data-datanya yang terkumpul.
Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut
kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembahasan,
perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan
praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan, dengan
demikian penelitian mengandung arti menemukan jawaban atas
sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul, penelitian
menuntut pada pelakunya agar proses penelitian yang dilakukan
bersifat ilmiah, yaitu harus sistematis, terkontrol, bersifat empiris
(bukan spekulatif) dan harus kritis dalam menganalisis data-datanya
yang saling berhubungan dengan dalil-dalil hipotesis yang menjadi
pendorong mengapa penelitian itu dilakukan.
46
dikabulkan, mereka berpaling (Al Baqarah:246-252). Masalah-
masalah yang umat manusia diperintahkan untuk memperhatikannya
dapat dilihat pada surat Al Baqarah: 258; Ali Imran: 23; An-Nisa’:
49,60 dan 77, dan sebagainya.
Mengenai pengerahan sumber daya manusia, banyak ayat Al
Qur’an yang menyuruh memperhatikan usaha dan perbuatan manusia,
misalnya Al Kahfi: 103-105. Kata “iman” yang menjadi fondasi
kehidupan beragama pada umumnya diikuti dengan kata amal. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kerja dan amal yang merupakan
bukti keimanan (Al Baqarah: 62,52, 82, dan 277; An-Nisa’: 57,122 dan
173). Pengungkapan usaha manusia dan risiko dalam Al Qur’an, tentu
dimaksudkan agar menjadi perhatian, dan bagi ilmuwan supaya dapat
dipahami secara ilmiah.
47
Dalam perspektif sejarah, pergolakan kaum ilmiah menentang
agama (kristen) di Eropa muncul karena doktrin yang dipaksa gereja
Katholik Roma bertentangan dengan pendapat ilmuwan sehingga
ilmuwan yang menentang doktrin dihukum mati oleh gereja, seperti
yang dialami Galileo-Galilei pada 1633. Gereja menentang keras
pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, teori evolusi
Darwin, pembatasan kelahiran dengan alat-alat kontrasepsi,
perceraian, dan sebagainya. Walaupun doktrin gereja belum tentu
mencerminkan ajaran Al Kitab, tetapi pendapat gereja dipercayai dan
memang menyatakan diri sebagai realisasi wahyu.
Dalam pandangan islam, terdapat kemungkinan hasil
penelitian ilmiah bertentangan atau berbeda dengan pernyataan ayat
Al Qur’an seperti dalam teks ayat: “dan bumi kami hamparkan’’ (Al
Hijr: 19)
Orang-orang terdahulu yang belum menyaksikan bentuk bumi
yang bulat dan memahami ayat tersebut terlalu tekstual akan
membuat pernyataan bahwa bumi dalam pandangan Al Qur’an adalah
datar. Pandangan ini jelas bertentangan dengan teori ilmiah yang
menyatakan bahwa bumi itu bulat.
Dalam keadaan seperti ini, seorang ilmuwan muslim
dihadapkan pada salah satu tiga pilihan. Pertama, memihak kenyataan
wahyu dan menolak hasil penelitian atau teori ilmiah. Kedua,
meninggalkan pernyataan wahyu dan memihak teori ilmiah. Ketiga,
tidak memihak pada salah satu, tapi terus berusaha menemukan titik
temu ke duanya.61
Tentu saja pilihan pertama adalah yang paling tepat karena
bisa jadi penelitian ilmiah memiliki kesalahan karena keterbatasan
ilmu dan indra manusia, atau bisa jadi seorang ulama mujtahid salah
dalam memahami Al Qur’an dan hadits sehingga terkesan seolah-olah
antara wahyu dan penelitian ilmiah bertolak belakang, padahal tidak
ada pertentangan di dalamnya. Oleh karena itu, wajib kita imani
61 Lihat: Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metode Penelitian Agama; Sebuah
Pengantar, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. xi-xiii
48
bahwa segala sesuatu yang datang dari wahyu adalah mutlak
kebenarannya.62
49
jumlah para lulusan, jumlah orang yang melanggar peraturan, dan
sebagainya dapat dilakukan penelitian yang bersifat kuantitatif.
Dilihat dari segi metode dasar dan rancangan penelitian yang
digunakan, penelitian dapat dibagi menjadi penelitian yang bersifat
historis, perkembangan, kaus, korelasional, kausal-komparatif,
eksperimen sungguhan, eksperimen semu, dan penelitian tindakan
(action research). Berbagai macam penelitian yang didasarkan pada
segi metode dan rancangannya ini dapat dikemukakan sebagai
berikut;63
1. Penelitian Historis (Historical Research)
a. Tujuannya untuk membuat rekontruksi masa lampau
secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi serta mensistematisasikan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh
kesimpulan yang kuat.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Bergantung kepada daya yang diobservasi oleh peneliti
sendiri
2) Harus tertib, ketat, sistematik dan tuntas, dan bukan
sekadar mengoleksi informasi-informasi yang tak layak,
tak reliabel dan berat sebelah
3) Bergantung pada data premier dan data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari sumber primer, sedangkan data
sekunder diperoleh dari sumber sekunder
4) Harus melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
Kritik eksternal menanyakan apakah dokumen itu
autentik atau tidak; sedangkan kritik internal harus
menguji motif, berat sebelah, dan sebagainya.
50
sesuatu unit sosial; individu, kelompok, lembaga atau
masyarakat.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Penelitian kasus dan penelitian mendalam mengenai
unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran
yang lengkap dan terorganisasi dengan baik mengenai
unit tersebut
2) Cenderung untuk meneliti jumlah unit yang kecil, tetapi
mengenai variabel-variabel dan kondisi-kondisi yang
berjumlah besar
51
kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab
saling hubungan dan maknanya.
7. Penelitian Survei
a. Tujuannya
1) Untuk maksud penjajagan (eksploratif)
2) Untuk menggambarkan (deskriptif)
52
3) Untuk penjelasan (explanatory) atau penegasan
(conformatory) yakni untuk menjelaskan hubungan
kausal dan pengujian hipotesis
4) Untuk keperluan penilaian (evaluasi)
5) Untuk memprediksi atau meramalkan kejadian-kejadian
yang mungkin akan timbul di masa mendatang
6) Untuk digunakan sebagai bahan atau landasan bagi
penelitian yang bersifat operasional
7) Sebagai upaya untuk mengembangkan indikator-
indikator sosial
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Mengambil sampel dari satu populasi
2) Menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data
8. Grounded Research
a. Tujuannya untuk mengkritik para peneliti yang berlebihan
terhadap teori-teori yang sangat umum
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Bersifat kualitatif
2) Penelitian data menggunakan wawancara bebas
3) Tanpa teori atau hipotesis yang akan diuji
4) Menitik beratkan pada sosiologi.
53
4. Perumusan kerangka teoretis
5. Penentuan konsep-konsep
6. Perumusan hipotesis-hipotesis
7. Pemilihan metode pelaksanaan penelitian
8. Perencanaan sampling
Unsur-unsur lazim diminta (harus ada) dalam suatu rencana
penelitian adalah:
1. Judul penelitian
2. Penegasan masalah
3. Latar belakang penelitian
4. Tinjauan pustaka
5. Anggapan dasar (asumsi)
6. Problematik penelitian atau hipotesis
7. Tujuan dan manfaat penelitian
8. Metodologi
Jika unsur tersebut dikaitkan dengan rencana penyusunan
draft penelitian dan pengkajian agama, yang harus ada adalah:
1. Unsur latar belakang masalah
2. Studi kepustakaan
3. Landasan teori
4. Metodologi penelitian
5. Kerangka analisis
Kelima unsur yang lazim digunakan dalam penelitian sosial itu
dapat digunakan untuk penelitian agama, karena sebagaimana
dikatakan diatas, agama dari segi bentuk pelaksanaannya merupakan
bagian dari pengetahuan sosial atau merupakan bagian dari budaya
manusia yang bercorak batiniah.
54
sebagai hamba Allah dan sebagai masyarakat yang menjalankan tugas-
tugas keagamaannya di dunia.
Penelitian ini berpijak pada sesuatu yang konkret, yakni
pengalaman umat yang nyata.64 Adapun objek dari penelitian ini
adalah tindak laku umat beragama atau pengaruh timbal balik atau
saling memengaruhi antara masyarakat dan agama. Agama
memengaruhi jalannya masyarakat, demikian juga pertumbuhan
masyarakat memengaruhi pemikiran terhadap agama.65
Mengutip Middleton, Atho’ Mudzhar mengemukakan bahwa
penelitian agama (research on religion) adalah penelitian terhadap
materi agama (ritus, mitos, dan magik) yang dapat dikaji dari
perspektif teologis, historis, komparatif, maupun psikologis, sedang
penelitian keagamaan merupakan penelitian terhadap sistem
keagamaan (religious system) yang bersifat sosiologis. Sasaran
penelitian agama adalah doktrin, sementara sasaran penelitian
keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.66
Lebih lanjut Mudzhar berpendapat, jika pembedaan ini diikuti,
perdebatan mengenai ada tidaknya metodologi penelitian agama tentu
tidak akan terjadi. Penelitian agama yang sasarannya adalah agama
sebagai doktrin dapat menggunakan metodologi yang sudah ada,
misalnya ushul fiqih dalam penelitian hukum dan ilmu mushthalah
hadits dalam penelitian hadits. Sementara penelitian keagamaan yang
sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial cukup meminjam
metodologi penelitian sosial yang sudah ada.67
Bagi pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan akan
sangat berguna untuk meningkatkan usaha-usaha dakwah,
pendidikan, dan sosial. Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana
pembangunan, hasil penelitian ini akan menghindarkan mereka dari
“kekeliruan” yang menyinggung sentimen dan kepekaan rasa agama
55
dari masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, penelitian keagamaan
sangat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional
maupun untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.68
Menurut Mukti Ali penelitian agama melingkupi tiga aspek
sebagai berikut.
1. Refleksi agamaniah
Refleksi agamaniah adalah refleksi atas agama itu sendiri dan
refleksi dalam agama. Dalam hal ini perlu dipahami tentang ajaran
agama itu sendiri dan bagaimana manifestasinya dalam kehidupan
masyarakat. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup beragama
bukan hanya hidup batin dan bukan pula hal pribadi.
Hidup beragama berpangkal pada kepercayaan terhadap
agama yang diyakini dan bagaimana menerapkan keyakinan itu dalam
kehidupan masyarakat sesuai dengan ucapan batin.69 Pengungkapan
iman dalam situasi konkret
Agama sebagai refleksi iman tidak hanya terbukti dalam
ucapan keyakinan dan iman, tetapi agama juga merefleksikan sejauh
mana iman itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Dengan
demikian, iman tidak cukup hanya diucapkan lewat kata, tetapi harus
direfleksikan dalam perbuatan nyata atau situasi konkret.70
68 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), h.
324.
69 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1982), h. 25.
70 Ibid, h. 26.
56
penelitian sangat baik belum tentu dapat menemukan persoalan-
persoalan agama pada seseorang, kecuali peneliti itu beriman dan
berefleksi atas imannya atau agamanya. Jika peneliti bukan orang yang
beragama, dia hanya akan sanggup mengonstatir atau menyimpulkan
dan memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala agamaniah,
agamawi, atau religiusitas, tetapi bukan iman atau religiusitas itu
sendiri. Karena itulah penelitian agama tidak mungkin dilakukan oleh
peneliti yang tidak mengetahui seluk beluk persoalan pokok agama.71
Di antara sikap agamais seorang peneliti adalah memiliki
pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah sosial dan
agama, memiliki integritas pribadi, sensitif dalam persepsi, disiplin
dalam imajinasi, dan reserve dalam mental.72 Objektivitas atau
netralitas bukan merupakan kriteria utama dalam proses penelitian
agama, karena ada kriteria lain yang juga ikut menentukan, yaitu
penilaian “subjektif” si peneliti. Inilah yang membedakan antara
penelitian agama dan penelitian sosiologi agama atau psikologi
agama.73
Dewasa ini, kerja sama antara ahli ilmu agama dan ahli ilmu
sosial dirasa sangatlah penting mengingat masing-masing memiliki
kekurangan dan kelebihan tersendiri. Ahli ilmu agama dan ahli ilmu
sosial dituntut saling mendekat dan bekerja sama dalam meneliti
fenomena keagamaan. Ahli ilmu sosial tidak cukup mengkaji dan
memahami fenomena keagamaan hanya berdasarkan perspektif ilmu
sosial tanpa melibatkan perspektif agama. Sebaliknya, kalangan ahli
ilmu agama juga tidak cukup hanya mengkaji fenomena keagamaan
dengan menggunakan pemikiran spekulasi teoretis atau metode
deduktif, tetapi diperlukan juga metode empiris dan induktif dalam
memahami agama sebagaimana yang dilakukan dalam ilmu sosial.74
Meneliti masyarakat beragama berarti meneliti gejala-gejala
yang erat hubungannya dengan gejala-gejala masyarakat beragama.
Cara mengkaji gejala-gejala tersebut mirip dengan cara pengumpulan
71 Ibid, h. 26-27.
72 Ibid, h. 28.
73 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, h. 331-332.
74 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, h. 21.
57
data dalam Sosiologi. Tetapi pengumpulan data itu bukanlah Sosiologi
melulu, karena umat beragama menafsirkan gejala-gejala dalam
masyarakat itu dalam cahaya ajaran agamanya. Jadi, penelitian agama
tidak hanya memaparkan data, tetapi sekaligus menafsirkannya. Itulah
sebabnya terbuka ruang yang sangat luas bagi metode empiris untuk
digunakan dalam penelitian agama, mendampingi metode historis
yang telah lebih dulu melekat dalam penelitian agama.75
Semua metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau
bersifat agamaniah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik tolak
dari permasalahan agama dan bahwa proses diagnosis dan prognosis
diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil dari agama
pula.76
Secara operasional dan aplikatif, pendekatan ini bisa
diwujudkan melalui tahapan: (1) dengan saksama mengamati fakta-
fakta, (2) menentukan di mana letak kemungkinan-kemungkinan yang
paling menonjol, yakni mencoba memahami arti di balik fakta-fakta
itu, (3) berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2
mencoba melihat dari segi cahaya agama, dan (4) menilai dalam
cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan situasi historis.77
Keempat tahapan ini jika dilihat dari perspektif pendekatan scientific-
cum-doctriner, menunjukkan bahwa tahapan 1 dan 2 menggunakan
metode scientific (tahap penyaringan data), sedang tahapan 3 dan 4
menggunakan metode doktriner (tahap interpretasi).78
75 Ibid.,h. 25-26.
76 Ibid.,h. 28.
77 Ibid.,h. 26.
78 Rahmadi, Pemikiran Metodologis A. Mukti Ali Tentang Penelitian Agama, dalam
Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, edisi 14, vol. 2, 2016, h. 112.
58
BAB V
STUDI AL-QUR’AN DAN ILMU TAFSIR
59
mudah dihafal dan dipahami oleh umat Islam. Di samping itu turunnya
Al-Qur’an juga sesuai dengan kebutuhan kejadian/peristiwa saat itu.
Sejak Al-Qur’an diturunkan, ghirah para sahabat untuk
membaca dan menghafal Al-Qur’an besar sekali. Ditambah dengan
motivasi bahwa membaca Al-Qur’an dinilai sebagai ibadah dan pahala
yang sangat besar bagi pengahafal Al-Qur’an menjadi faktor
mendorong gerakan penghafalan Al-Qur’an bagi kaum muslimin dari
waktu ke waktu. Selain dihafal, ayat-ayat yang turun juga ditulis oleh
sejumlah sahabat dan hasil pencatatan mereka diserahkan kepada
Rasulullah. Rasul menyimpan catatan ayat-ayat Al-Qur’an itu di
rumahnya dan ada pula yang disimpan oleh penulisnya sendiri.
Tidak berapa lama setelah Rasul wafat, Khalifah Abu Bakar
membentuk tim untuk mengkondifikasi Al-Qur’an. Berdasarkan cek
silang antara satu penulis dengan penulis yang lain serta konfirmasi
langsung kepada banyak saksi hidup dan para penghafal Al-Qur’an.
Tim berhasil mengkodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu
mushaf (kumpulan lembaran tulisan) Al-Qur’an.
Selanjutnya, pada masa Khalifah Usman dibentuk tim untuk
menyempurnakan sistem penulisan Al-Qur’an, terutama yang
berkaitan dengan tanda-tanda bacanya. Al-Qur’an yang
disempurnakan itu diperbanyak sebanyak lima buah. Mushaf Al-
Qur’an inilah yang kemudian menjadi standar rujukan penerbitan Al-
Qur’an yang ada sekarang ini.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat. Ayat-
ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekah (Ayat Makkiyah)
sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat. Sedangkan ada
periode Madinah (Ayat Madaniyah) sebanyak 1.456 ayat yang
tercakup dalam 28 surat. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya
mengandung nuansa sastra yang kental karena ayat-ayatnya pendek-
pendek. Isinya banyak mengedepankan prinsip-prinsip dasar
kepercayaan (aqidah) dan akhlak. Sedangkan ayat Madaniyah
menerangkan aspek syari’ah, muamalah dan juga akhlak.
60
Selain Al-Qur’an, wahyu ini diberi nama lain oleh Allah, yaitu:
a) Alkitab, berarti sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan:2).
b) Alkalam, berarti ucapan (At-Taubah:6)
c) Az-Zikra, berarti peringatan (Al-Hijr:9).
d) Al-Qasas, berarti cerita-cerita (Ali Imran:62).
e) Alhuda, berarti petunjuk (At-Taubah:33).
f) Al-Furqan, berarti pemisah (Al-Furqan:1).
g) Almau‟izah, berarti nasehat (Yunus:57)
h) Asy-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (Al-Isra’:82)
i) An-Nur, berarti cahaya (An-Nisa’:174).
j) Ar-Rahmah, berarti karunia (An-Naml:77).
Surah-surah al-Qur’an jika ditinjau dari panjang dan
pendeknya terbagi atas empat bagian, yaitu:
a) Al-Sab’u al-Thiwal, yaitu tujuh surah yang panjang terdiri dari
alBaqarah, Ali Imran, An-Nisa’, al-A’raf, al-An’am, al-Maidah
dan Yunus.
b) Al-Miuun, yaitu surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat
lebih. Seperti Hud, Yusuf, al-Mukmin.
c) Al-Matsaani, yaitu: surah-surah yang berisi kurang sedikit dari
seratus ayat, seperti al-Anfal, al-Hijir.
d) Al-Mufashshal, yaitu surah-surah pendek, seperti al-Dhuha,
alIkhlas, al-Falaq, al-Nas.
Al-Quran memiliki banyak keistimewaan yang dapat dilihat
dari berbagai aspek.
a) Dari segi bahasa
Keistimewaan bahasa Al-Qur’an terletak pada gaya
pengungkapannya, antara lain kelembutan dalam jalinan huruf
dan kata dengan lainnya. Susunan huruf-huruf dan lata-kata
Al-Qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma dengan
ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diucapkan. Untuk itu
keindahan bahasa Al-Qur’an mengalahkan semua hasil karya
manusia saat itu, sekarang dan masa datang. Tidak ada satu
manusia pun yang sanggup untuk membuat satu ayat semisal
Al-Qur’an.
61
b) Dari segi kandungan
Al-Qur’an adalah kitab yang paling sempurna kandungan
isinya, karena di dalamnya memuat kandungan kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an juga memuat semua aspek kehidupan,
baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama
manusia dan alam semesta. Isi Al-Qur’an selaras dengan akal
dan perasaan serta memuat berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti persoalan biologi, farmasi, astronomi,
geografi, sejarah dan lain sebagainya.
c) Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad terbesar
Secara umum Al-Qur’an membawa dua fungsi utama, yaitu
sebagai mu’jizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mu’jizat
menurut bahasa artinya melemahkan. Al-Qur’an sebagai
mu’jizat menjadi bukti kebenaran Muhammad selaku utusan
Allah yang membawa misi universal, risalah akhir dan syari’ah
yang sempurna bagi manusia. Ia menjadi dalil atau
argumentasi yang mampu melemahkan segala argumen dan
mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk
mengingkari kebenaran Muhammad saw. Di samping itu
dijadikannya Al-Qur’an sebagai mukijizat terbesar dari Nabi
Muhammad, karena setiap mu’jizat yang diturunkan kepada
para Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan zaman. Susunan
bahasa Al-Qur’an yang tinggi jauh melebihi karya satra (syair)
masyarakat Arab jahiliyah saat itu.
d) Terpelihara keasliannya sampai akhir zaman
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa―Kamilah yang
menurunkan Az-Zikra (Al-Qur’an), dan Kami jugalah yang
memeliharanya”. Dalam ayat tersebut Allah Swt. menggunakan
kata―Kami, yang berarti umat Islam juga harus ikut
berpartisipasi dan berupaya melestarikan Al-Qur’an dan
menjaganya dari penyelewengan, baik bahasa maupun
maknanya.
e) Dinilai ibadah jika membacanya
Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur’an, Allah janjikan pahala
yang berlipat ganda.
62
B. PENGERTIAN ILMU TAFSIR DAN BENTUK
PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-
tafsiran yang berarti penjelasan, pengungkapan, penjabaran dan
menjelaskan makna yang abstrak.80 Maksudnya penjelasan terhadap
kalamullah/lafadz-lafadz Al-Qur’an dan pemahamannya.
Secara terminologi, tafsir menurut Badruddin al-Zarkasi yaitu
memahami ayat-ayat Allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad
saw, menjelaskan makna-makna dan mengungkap hikmah dan hukum
yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut Jalaluddin Assuyuti tafsir
adalah menjelaskan tentang nuzulul Qur’an, hukum-hukum yang ada
di dalam al Qur’an.
Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran di sini ialah naw’
(macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran
Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-Ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y
(pemikiran).
63
variabel penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Model metode
tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh
Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan
metode tafsir riwayat. Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan
mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Qur’an.
Sunnah Nabi, dan para sahabat.81 Ulama lain, seperti Al-Dzahabi,
memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun
mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad
saw. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai
tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka,
seperti Tafsir Al-Thabari.82 Sedang Al-Shabuni memberikan
pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat
adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau
perkataan sahabat.83
Definisi ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan
bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir
riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt.
Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka
tidak dianggap sebagai hujjah.84
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa
dilakukan dengan menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi,
dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita
menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau dengan hadits,
tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran
yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir.
64
Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau
hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis
tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini
diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode
riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data
materialnya “mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad saw.
yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk
asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sumber data otoritatif”. Sebagai
salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang
terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat
mempunyai asbab al-nuzul.85
65
kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduanya
sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul
serta kaidah-kaidah yang mu’tabarah (diakui sah secara bersama).86
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar
perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua
bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi al-
ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).
86 Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000), h. 57 – 58.
87 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196
88 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah
Mawdhu’iyyah, (1977). h. 23
89 Nashirudin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h. 67-77
66
mengemukakan makna global.90 Pengertian tersebut menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya
bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.91
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara
lain: Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid
Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan
Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-
Mirghani.
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun
uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode
global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat
dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang
bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah
sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga
seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan
juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir
analitis.
67
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-
ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi
yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat
dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu:92 Al-
Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-
Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan
bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain),
misalnya: kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1
surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5)
yang menyatakan: “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-
Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya,
dan mereka orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah:3-5)
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang
menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha
menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-
ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-
Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari
ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil
bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahlili
yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah:
a. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir
al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
b. Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)
68
c. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
d. Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-
Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak
sekali, antara lain:
a. Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
b. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w.
691 H)
c. Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
d. Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606
H)
e. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-
Razi (w. 606 H)
f. Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
g. Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935
M); dan lain-lain
93 Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 186–192.
69
a. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an
yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu
ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau
lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang
memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang
(diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam
variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,94 sebagai berikut:
a. Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti:
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang
sebenarnya) petunjuk” (QS. al-Baqarah: 120)
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti)
ialah petunjuk Allah” (QS. al-An’am: 71)
b. Perbedaan dan penambahan huruf, seperti:
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan
kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS. al-
Baqarah: 6)
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS. Yasin:
c. Pengawalan dan pengakhiran, seperti:
“…yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-
Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah:129)
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-
Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
d. Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte
noun), seperti:
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Fushshilat: 36)
94 Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1988), h. 147 –
169.
70
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf:
200)
e. Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti:
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80)
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-
Imran: 24)
f. Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah…” (QS. Al-Baqarah: 58)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah…” (QS. Al-A’raf: 161)
g. Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Al-Baqarah: 170)
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Luqman: 21)
h. Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf
ke huruf lain), seperti:
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasul-Nya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 4)
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang
(yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang
berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah:
1. Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
71
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang
sama dalam kasus berbeda,
2. Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan
perbedaan redaksinya,
3. Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan
ayat bersangkutan, dan
4. Melakukan perbandingan.
b. Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufassir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits
Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha
untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh
perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl: 32 dengan
hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini:
72
surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan
dengan hadits lain, yang artinya “Sesungguhnya ahli surga itu,
apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di
atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits
tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits
berarti sebab.
c. Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama
salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur)
maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah:
1. Membuktikan ketelitian al-Qur’an;
2. Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang
kontradiktif;
3. Memperjelas makna ayat; dan
4. Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu
dengan yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali,
menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-
perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-
masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode muqaran. Di
sini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode
ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena
yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan
ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama
tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarin”.
73
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya.
Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun
pemikiran rasional.
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema,
judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan
bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau
berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian
tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya
penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat
Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
1. Sementara itu Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-
langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode
mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
2. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
3. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
4. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
5. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing;
6. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-
line);
74
7. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan;
8. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau
pemaksaan.95
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran yang
disebutkan di atas, menurut Quraish Shihab96 adalah metode tahliliy,
dan metode mawdhu’iy. Namun begitu dari beberapa tokoh analis
Islam, kedua metode tersebut di samping mempunyai kelebihan di
satu sisi, pada sisi yang lain mempunyai kelemahan-kelemahan.
Metode tahliliy atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajzi’iy.97 Walaupun sangat luas-karena menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dari berbagai segi-namun tidak menyelesaikan satu pokok
bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair kontemporer, Malik
bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur’an
dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya
mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
kemukjizatan Al-Qur’an.98
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik tersebut, namun
yang jelas kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada
mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan rumusan definisi mukjizat di mana terkadang di
dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedang-kan seorang Muslim
75
tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima.
Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang
keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu dimulai dengan kalimat in kuntum
fi raybin atau in kuntum shadiqin.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang
diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau
kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini,
paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang
mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode
penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat
dengan Baqir Al-Shadr-Ulama’ Syi’ah Irak itu-yang menilai bahwa
metode tahliliy telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.99
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan
metode tahliliy tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau
lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-
Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu
memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari
penyebabnya-apakah pada diri kita atau metode mereka-adalah
bahwa bahasa-bahasanya dirasakan sebagai “mengikat” generasi
berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan
khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian
yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Qur’an untuk waktu dan tempat.100
Sedang metode mawdhu’iy yang mana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surah dan yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.
76
Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa keistimewaan metode mawdhu’iy antara lain:
1. Menghindari problem atau kelemahan metode lain;
2. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, satu
cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an;
3. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami; dan
4. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-
Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-
Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
Di samping itu ketika metode mawdhu’iy disandingkan dengan
metode-metode lain, maka akan muncul perbedaan-perbedaan.
Perbedaan tersebut antara lain:
77
METODE MAUDHU’I METODE TAHLILI
4. Mufasir berusaha untuk
menuntaskan permasalahan-
permasalahan yang menjadi
pokok bahasannya.
101 Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol.2, (Kairo: Dar al-
Hadith, 2005), 417
78
semesta, sehingga tidak heran ketika kita banyak menemukan ayat-
ayat al-Qur’an ditutup dengan ungkapan-ungkapan: afala ta’qilun
“Apakah kalian semua tidak berfikir” atau ayat: afala tatafakkarun
“Apakah kalian tidak memikirkannya” dan lain sebagainya.
Di antara contoh ayat yang dapat menggunakan corak tafsir
ilmi adalah firman Allah: dalam QS. Fushshilat ayat 53 yang artinya
“Akan Kami tunjukkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di
segenap ufuk (penjuru) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas
kepada mereka bahwa al-Qur’an itu benar.”
Melihat sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa, akan
ditemukan bahwa kecenderungan tafsir ilmi sudah dimulai sejak masa
keemasan Dinasti Abbasyiah sampai pada masa kita sekarang ini.
Awalnya hanya berupa usaha untuk memadukan hasil penelitian
ilmiah dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, kemudian menjadi
gagasan yang mulai mengkristal pada karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, al-
Mursi, al-Suyuthi, baru kemudian muncul dalam tataran praktik pada
karya tafsirnya al-Razi, dan akhirnya menjadi sebuah kajian khusus
yang diambil dari al-Qur’an berupa karya yang memuat beberapa ayat
al-Qur’an mengenai beberapa disiplin ilmu pengetahuan.102
Atas kemunculan tafsir yang memiliki kecenderungan seperti
ini, ulama berbeda pendapat, ada yang setuju dan ada yang tidak
setuju, misalnya Imam al-Suyuthi yang menjelaskan hal ini dalam
kitab al-Itqan-nya, beliau menyebutkan beberapa dalil bahwa al-
Qur’an mencakup beberapa ilmu pengetahuan, seperti ayat 38 dari
Surah al-An’am yang artinya: Tidak ada sesuatu pun yang Kami
luputkan di dalam Kitab. dan firman Allah dalam Surah al-Nahl ayat 89
yang artinya: Dan Kami turunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu.
Dari dalil-dalil ini, al-Suyuthi menggiring pembacanya untuk
mengakui bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu-ilmu
pengetahuan.103 Sementara al-Syathibi termasuk golongan yang tidak
setuju dengan tafsir al-’ilmi, beliau mengatakan: “Tidak boleh
79
menambahkan sesuatu yang tidak terkandung di dalam al-Qur’an,
sebagaimana tidak boleh mengingkari sesuatu yang terdapat di
dalamnya, dan harus mengambil referensi sekadarnya saja dari
beberapa pengetahuan Arab untuk lebih memahami maknanya dan
lebih mengetahui hukum-hukum syariah, sedangkan orang yang
mencarinya dengan mengguna-kan pengetahuan yang bukan alat
untuk itu, maka akan tersesat dalam mema-haminya, dan mengada-
ada atas nama Allah dan Rasul-Nya.”104
Kutipan di atas sangat jelas sekali menggambarkan pendapat
al-Syathibi terhadap tafsir ilmi yang beliau sebut dengan usaha
memahami al-Qur’an dengan menggunakan alat yang bukan alat untuk
memahaminya. Hal yang sama disampaikan juga oleh al-Zahabi, ketika
menentang pendapat para ulama yang setuju dengan tafsir ilmi yang
menggiring beberapa ayat sebagai dasar dari pendapat mereka, al-
Zahabi mengatakan, ayat-ayat seperti ini bertujuan sebagai petunjuk
dan mau’izah agar menimbulkan kekaguman dalam diri dan hati
manusia, dan bukan sebagai alat untuk mengetahui pengetahuan-
pengeta-huan atau teori-teori parsial, karena al-Qur’an bukan buku
filsafat atau kedok-teran, dan al-Qur’an tidak perlu hal seperti ini, yang
bisa menjauhkan dari tujuan sosial kemanusiaannya, yaitu untuk
memperbaiki kehidupan, melatih batin mereka untuk kembali kepada
Allah.105
Pendapat golongan ulama yang kedua ini, yaitu yang tidak
setuju dengan tafsir ilmi terkesan terlalu khawatir terhadap al-Qur’an,
sehingga mereka tidak mau mengambil risiko mengubah kandungan
al-Qur’an demi keselarasannya dengan perkembangan pengetahuan
mutakhir. Ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan mengingat
para ulama yang setuju dengan tafsir ilmi juga sangat hati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, mereka juga berusaha mengistinbat hasil penemuan-
penemuan baru ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, dan usaha mereka
80
tidak lain merupakan bentuk dari ijtihad yang jika benar mendapat
dua pahala dan jika salah mendapat satu pahala.106
Thanthawi Jauhari, salah seorang ulama tafsir ilmi, pernah
mengatakan: “nah ini sekarang Anda baru tahu apa yang telah
diungkap oleh al-Qur’an selama ratusan tahun, bahwa sesungguhnya
langit dan bumi, yakni matahari dan planet dan semua komponen
alam semesta pada awalnya menyatu, kemudian Allah
memisahkannya. Kami menyebut hal ini dengan mukjizat, karena
pengetahuan seperti ini belum ada yang mengetahuinya kecuali pada
zaman sekarang ini, bukankah Anda menyaksikan para ulama tafsir
mengatakan, pada masa itu orang-orang kafir tidak mengetahui
disiplin ilmu ini, dan jawaban mereka atas hal itu adalah bahwa orang-
orang kafir diuji dalam ayat ini, dan ayat ini menjadi bukti
ketidaksanggupan mereka untuk mengetahuinya, karena hal itu belum
diciptakan. Maka kemudian, para ulama dengan kecerdasan yang
mereka miliki menafsirkan dengan berbagai penafsiran, sekarang kita
bisa menemukan pengetahuan yang tersimpan ini telah Allah
munculkan melalui orang-orang Eropa, sebagaimana disampaikan al-
Qur’an dalam ayat ini. Allah seakan berfirman: orang-orang kafir itu
akan melihat bahwa langit dan bumi pada mulanya menyatu
kemudian Kami belah keduanya, meski dalam ayat ini disebutkan
dengan menggunakan lafaz yang bermakna lampau, namun yang
dimaksud adalah masa yang akan datang. Ini merupakan mukjizat
yang sangat sempurna dalam al-Qur’an, dan termasuk keajaiban yang
membuat kagum banyak orang dalam kehidupan ini.107
2.
Corak Tafsir Falsafi
Pada masa keemasan Islam banyak buku-buku filsafat Yunani
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga membuat para
cendekiawan muslim banyak berkutat pada disiplin ilmu ini.
Dampaknya adalah berbagai sendi keilmuan Islam dimasuki filsafat,
106 Al-Turmudhi, al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Turmudhi, (Bairut, Dar ihya’ al-Turath,
t.th), h. 615
107 Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo: Matba’ah Mustafa al-Halibi,
1351H.), h. 199.
81
tidak terkecuali ilmu tafsir. Secara definisi, tafsir falsafi adalah upaya
penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat,108 atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Sedangkan menurut
al-Zahabi, tafsir falsafi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an
berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-
ra’yi. Dalam hal ini ayat al-Qur’an lebih berfungsi sebagai justifikasi
pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat al-
Qur’an.109
Kaitannya dengan tafsir yang bercorak tafsir falsafi ini ulama
terbagi menjadi dua golongan: Pertama, mereka yang menolak ilmu-
ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para ahli filsafat,
mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan
agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan, sehingga
tidak mungkin disatukan. Kedua, mereka yang mengagumi filsafat,
mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak bertentangan
dengan norma-norma Islam, mereka berusaha memadukan filsafat
dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.110
Diantara cara kelompok kedua yang memadukan antara
norma-norma Islam dengan filsafat adalah dengan cara menakwilkan
teks-teks keagamaan disesuaikan dengan teori-teori filsafat, seperti
penafsiran al-Farabi terhadap beberapa ayat al-Qur’an, misalnya Surat
al-Hadid ayat 3, di mana Al-Farabi menafsirkan bahwa tidak ada
keberadaan yang lebih sempurna daripada keberadaan-Nya, tidak ada
yang tersembunyi dari kekurangan sesuatu yang ada, dalam
keberadaan Dhat-Nya Dia zahir (tampak), dan sebab kezahiran-Nya
Dia tidak tampak (batin), dengan-Nya tampaklah semua yang tampak,
seperti matahari yang dapat metampakkan semua yang tersembunyi,
dan menyembunyikannya bukan karena tersembunyi.111
108 Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 182
109 Muhammad Husein Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 366.
110 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 169-170.
111 Al-Farabi, Fusus al-Hikam,(Kairo: al-Sa’adah, 1907), h. 170.
82
Contoh lain dari tafsir falsafi ini adalah penafsiran ikhwan al-
Shafa mengenai surga dan neraka, mereka mengatakan, surga adalah
alam aflak (planet), dan neraka adalah alam yang berada di bawah
bulan, yaitu alam dunia. Mereka juga membahas tentang kesucian jiwa
dan kerinduannya pada alam aflak (planet), mereka mengatakan
bahwa jasad yang berat dan tebal ini tidak mungkin naik ke sana, jika
jiwa meninggalkan surga dan tidak ada sesuatu pun yang
menghalanginya dari perbuatan buruk, atau pendapat tidak baik, atau
kebodohan yang menumpuk atau akhlak tercela, maka akan berada di
alam falak lebih cepat dari kedipan mata tanpa waktu, karena
keberadaan-nya tergantung pada keinginan dan kecintaannya
sebagaimana orang yang rindu ingin bertemu dengan yang
dirindunya, jika rindunya adalah alam jagat raya ini dengan jasadnya,
dan yang dirindunya adalah kenikmatan ragawi dan yang
diinginkannya adalah perhiasan ragawi, maka akan tetap di sini dan
tidak akan naik ke alam aflak, tidak akan dibukakan baginya pintu
surga dan tidak akan masuk surga bersama malaikat.112
Sementara karya-karya para ulama dalam bidang tafsir falsafi
ini diantaranya adalah rasail ikhwan al-Shafa, Fushus al-Hikam dan
Rasail Ibnu Sina
112 Ikhwan al-Safa, Rasail Ikhwan al-Safa,(Kairo: al-Matba’ah al-Arabiyah, 1928), h. 91.
113 Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
t.th.), h. 454.
83
mengajari anaknya untuk tidak menyekutukan Allah, bagaimana al-
Qur’an mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya, selama kedua orang tuanya tersebut tidak mengajak
pada kesyirikan.
84
adabi ijtima’i mengungkap sisi balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an,
mengungkap makna dan tujuan al-Qur’an, menyingkap hukum-hukum
alam raya dan norma-norma sosial masyarakat, memuat solusi bagi
kehidupan masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat luas
secara umum.117
Contoh tafsir dengan corak seperti ini adalah ketika
Muhammad Abduh menafsirkan ayat 52-55 dari Surah al-Haj. Ketika
menafsirkan ayat di atas, Muhammad Abduh menolak kisah al-
gharanik dan mengkritisinya dengan berlandaskan pada kemaksuman
Nabi Saw. dan pada janji Allah untuk selalu menjaga kemurnian
wahyu.118
85
kecuali dengan menghadap pada kiblat yang juga khusus seperti ini,
apabila dia dalam ibadah yang tidak membutuhkan penentuan seperti
ini, maka Allah menerima cara menghadap orang tersebut.122
Adapun contoh dari tafsir sufi isyari adalah penafsiran al-
Tustari terhadap Surah al-Shu’ara’ ayat 78-81. Beliau menafsirkan
ayat tersebut dengan mengatakan, Dzat yang menciptakanku untuk
menyembah-Nya memberiku petunjuk untuk mendekat kepada-Nya.
Dzat yang memberiku makan berupa kenikmatan iman dan
memberiku minum minuman berupa tawakkal dan kecukupan. Ketika
aku bergerak dengan yang lain dan untuk yang lain Dia melindungiku,
dan ketika aku condong pada syahwat duniawi Dia mencegahnya
dariku. Dzat yang mematikanku kemudian menghidupkanku dengan
dzikir.123
Tafsir sufi ishari sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat, hal
ini terbukti dengan penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap Surah al-Nasr
sebagaimana diriwayatkan dalam al-Bukhari, "Ibnu ‘Abbas
menafsirkan ayat di atas tidak seperti para sahabat yang lain, beliau
mengatakan tafsirnya adalah tentang ajal Nabi Muhammad dan itu
merupakan tanda kedatangan ajal beliau.124
122 Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (t.t. Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1329 H.), h.
106.
123 Muhammad Husein Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 309
124 Ibid, h. 310
86
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish
Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Dengan kata lain, model yang beliau kembangkan
adalah model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin
produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu
berdasarkan berbagai literatur tafsir, baik yang tafsir primer, yakni
yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun lainnya.125
Quraish Shihab meneliti hampir seluruh karya tafsir yang
dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah
dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara
lain tentang: (1) periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir,
(2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam metode penafsiran Al-
qur'an, (4) syarat-syarat dalam menafsirkan Al-Qur'an, dan (5)
hubungan tafsir modernisasi.126
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat di bagi menjadi
tiga periode, Periode I, yaitu Masa Rasulullah, sahabat, dan permulaan
tabi'in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan
ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi
hadits secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin Abdul Aziz
(99-101) di mana tafsir ketiak itu ditulis bergabung dengan penulisan
hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits walaupun
tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-
Ma'tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir
secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga
dimulai oleh Al-Farra' (w.207) dengan kitabnya berjudul ma'ani Al-
Qur'an.127
2.
Model Ahmad Al-Syarbasi
Ahmad ays-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir
pada tahun 1985 dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif,
87
dan analisis sebagai mana dilakukan oleh Quraish Shihab.128 Menurut
Al-Syarbashi penelitian ini di bagi menjadi tiga bidang. Pertama,
mengenai sejarah penafsiran Al-Qur'an yang dibagi kedalam tafsir
masa sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah,
tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di
bidang tafsir.129
Menurutnya, tafsir pada zaman Rasulullah saw., pada awal
mula pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas karena
penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk
memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur'an. Pada masa-masa
sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami
kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-
bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke
berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang
Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu
Nahwu(gramatika) dan Balaghah (retorika).130
Dalam pandangan Al-syarbashi Al-Qur'an di dalamnya tidak
terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam
kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai
mu'jizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-
Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab Tafsir Ar-
Razi.131
Mengenai tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi
yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur'an dan berusaha
menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya. Adanya
tafsir sufi tersebut, Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab
tafsir yang dikarang para Ulama' sufi.132
Adapun terkait gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad
Al-Syarbashi mendasarkan pad beberapa karya ulama yang muncul
pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha–murid
88
Syekh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-
kuliah gurunya kedalam majalah Al-Manar. Itu merupakan langkah
pertama. Langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah
penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama
Tafsur Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan
dan sesuai dengan perkembangan zaman.133
89
BAB VI
STUDI HADITS DAN ILMU HADITS
138 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 1
90
e. Hadits Ahwali, yaitu hadits yang menyangkut hal ihwal Nabi
seperti keadaan fisik, sifat dan kepribadiannya.139
Ilmu yang fokus mengkaji tentang hadits dikenal dengan istilah
ilmu Hadits. Setidaknya ada tiga unsur pokok yang dikaji dalam ilmu
hadits, yaitu:
1. Sanad
Secara bahasa sanad berarti sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran.140 Maksudnya jalan yang dapat menyambungkan
matnul hadits (isi hadits) kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk
menimbang shahih atau dhaifnya.
Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang
tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata
rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut
dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika
para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup
persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri
(muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, sanadnya
bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada
sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
2.Matan Hadits
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang
tampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada
matan dan syarah. Matan dalam konteks hadits berarti isi atau muatan
yang terkandung dalam sebuah hadits. Matan hadits dalam kitab
hadits biasanya diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para
ulama. Misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan
nama Fath al-Bari’ dan lain-lain.
91
3. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan hadits
dalam suatu kitab hadits. Bentuk jamaknya ruwah dan perbuatannya
menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi (meriwayatkan
hadits). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan
suatu hadits yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadits pada umumnya
membubuhkan nama rawi (terakhirnya) yakni salah satunya Imam
Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya,
pada akhir matnul hadits.
92
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga
menyampaikan haditsnya melalui kepada para sahabat
tertentu, yang kemudian disampaikan kepada orang lain.
c. Ketika Nabi khutbah jum’at di masjid atau sedang berkumpul
di masjid. dan
d. Melalui ceramah dan pidato di tempat terbuka, seperti Haji
wada’ dan fathul makkah.
93
ُّ الم َشهتت َو ََجْ ُع ُه ِف ديْ َوان ا َ ْو ك َتا ب ََتْ َم ُع فيْه
ُ الص
حف ُ َت ْقييْ ُد
ُ المتَ َف ِّرق
ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi
satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.141
Yang dimaksud dengan tadwin haditst pada periode ini adalah
pembukuan secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya. Bukan
yang dilakukan perseorangan atau untuk kepentingan pibadi, seperti
yang terjadi pada masa Rasul saw.
Usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Kholifah Umar bin
Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kehalifahan Bani Umayyah),
melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan
dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Usaha pen-tadwin-
an hadits ini minimal dilatar belakangi oleh dua hal:
a. Kekhawatiran hilangnya hadits karena banyaknya para
penghafal hadits yang tewas di medan perang
b. Khawatir tercampurnya hadits shohih dengan yang palsu
Ulama yang pertama kali berhasil menyusun kitab tadwin yang
diwariskan sampai sekarang yaitu Malik bin Anas (wafat 93-
179 h) di Madinah dengan hasil karyanya al-Muwatha’.
94
mauquf. Pada masa ini berhasil disusun enam kitab hadits
(kutubus sittah), sebagai berikut:
1) Al-Jami’ al-Shahih sususnan Imam al-Bukhari
2) Al-Jami’ al-Shahih sususnan Imam Muslim
3) Kitab Sunan susunan Abu Dawud
4) Kitab Sunan susunan at-Tarmizi
5) Kitab Sunan susunan Al-Nasa’i
6) Kitab Sunan susunan Ibnu Majah.142
b. Masa pengembangan dan penyempurnaan sistem
penyusunan kitab-kitab haditst
Setelah munculnya kutub al-sittah dan al-muwaththa’ Malik
serta Musnad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan
perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jawami’.
Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan
terhadap kitab-kitab yang sudah ada.
C. KLASIFIKASI HADITS
Dari Segi Kuantitas (Jumlah) Periwayatan Hadits ditinjau dari
segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi
dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
a. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang
lain. Sedangkan menurut istilah ialah: "Suatu hasil hadits
tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
b. Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah
"Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak
142 Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Ulum, 1977), cet
ke 9, h. 48
95
mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita
itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian
bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
96
a. Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima,
yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadits Maqbul
ialah "Hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi
Muhammad saw menyabdakannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa
hadits maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam
kategori hadits maqbul adalah hadits sahih, baik yang lizatihi maupun
yang lighairihi dan hadits hasan baik yang lizatihi maupun yang
lighairihi.
Kedua macam hadits tersebut di atas adalah hadits-hadits
maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan
juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadits yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadits-hadits yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya
hukum atau ketentuan baru yang juga ditetapkan oleh hadits
Rasulullah saw.
Adapun hadits maqbul yang datang kemudian (yang
menghapuskan) disebut dengan hadits nasikh, sedangkan yang datang
terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadits mansukh. Di samping
itu, terdapat pula hadits-hadits maqbul yang maknanya berlawanan
antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat
periwayatannya). Dalam hal ini hadits yang kuat disebut dengan
hadits rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadits marjuh.
b. Hadits Mardud
Hadits Mardud. Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak;
yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadits
mardud ialah "Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat
akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama
mewajibkan untuk menerima hadits-hadits maqbul, maka sebaliknya
setiap hadits yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh
diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadits mardud adalah semua hadits
yang telah dihukumi dhaif.
97
D. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM
Sebagai sumber ajaran islam bersama Al-Qur’an, hadits
memiliki hubungan yang erat terhadap al-Qur’an. Para ulama
menerangkan bahwa fungsi hadits terhadap al-Quran sebagai berikut:
a. Bayan Taqriri, yaitu sunnah sebagai penguat pesan-pesan Al-
Qur’an. Misalnya Al-Qur’an menyebutkan sesuatu kewajiban
atau larangan, lalu Rasul dalam sunnahnya memperkuat
perintah atau larangan tersebut.
b. Bayan Tafsir, sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu: a)
Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat Al-
Qur’an, b)Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (umum),
c)Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari hukum-hukum
yang ditetapkan Al-Qur’an, misalnya tentang tata cara shalat,
haji, puasa dan lainnya.
c. Bayan Tasyri’,sunnah sebagai pembuat hukum.
d. Bayan Nasakh, yaitu membatalkan. Namun fungsi ini terjadi
perbedaan yang sangat tajam diantara para ulama hadits
dalam mengartikannya serta menerima atau menolak.
Al-Siba’i mengatakan bahwa dari ketiga fungsi sunnah sebagai
diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama,
sementara yang ketiga diperselisihkan. Adapun masalah pokok yang
diperselisihkan itu apakah As-Sunnah dapat menetapkan suatu hukum
tanpa tergantung kepada Al-Qur’an, ataukah produk hukum baru itu
selalu mempunyai pokok (asl) dalam Al-Qur’an.
Dalam persoalan tersebut, Jumhur Ulama berpendapat bahwa
Nabi mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Dalil yang
dimajukan kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnya untuk
melalukan tasyri‟ adalah suatu hal yang dapat diterima akal.
b. Kenyataan bahwa banyaknya nas Al-Qur’an yang menunjukkan
wajibnya mengikuti sunnah.
98
Kelompok lain yang berpendapat bahwa ketetapan As-Sunnah
selalu merujuk kepada Al-Qur’an, dengan alasan:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam As-
Sunnah kecuali Al-Qur’an sendiri telah menunjukkan
maknanya baik secara global maupun terinci.
b. Bahwa kewajiban mentaati As-Sunnah adalah dalam arti
keta’atan kepada Rasul sebagai penjelas.
Jika dianalisis kedua pendapat diatas memiliki titik persamaan,
yaitu sama-sama mengakui adanya hukum-hukum yang terbit dari As-
Sunnah. Hanya saja kelompok Jumhur melihat sebagai produk hukum
yang berdiri sendiri. Sedangkan kelompok kedua melihat produk
hukum As-Sunnah tersebut sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari
Al-Qur’an. Disepakati oleh para ahli, bahwa As-sunnah yang dijadikan
dasar hukum adalah sunnah yang memiliki kualitas mutawatir atau
hadits-hadits shahih.
E. TAKHRIJ HADITS
1.Definisi Takhrij
Membahas tetang pengertian dari takhrij, maka ada tiga istilah
yang berkaitan erat dengan istilah takhrij, yaitu kata takhrij, ikhraj,
dan istikhraj. Kata takhrij secara etimologi berasal dari kata kharaja-
yakhruju-khurujan, yang berarti tampak atau jelas.143
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits
pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan
sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Dalam
pengertian yang lebih lengkap disebutkan bahwa Takhrij adalah
“Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadits-hadits yang
terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada
kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status
hadits-hadits tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima,
dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau
99
hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal
(sumber)nya.”144
Sementara Mahmud al-Thahan mendefinisikan takhrij al-
hadits dengan:
Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya
sesuai dengan keperluan.145
Dari definisi di atas, inti takhrij hadits adalah kegiatan mencari
sumber asli dari suatu hadits yang belum diketahui keshahihannya.
100
dengan kedudukannya. Hasil jerih payah para ulama itu memunculkan
kitab-kitab takhrij, di antaranya yang terkenal adalah:
a. Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa
Al-Hazimi Asy-Syafi’I (wafat 548 H). Kitab Al-Muhadzdzab ini
adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi’I karya Abu
Ishaq Asy-Syairazi.
b. Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya
Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
c. Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya
Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’i (wafat 762 H).
101
4. Metode Takhrij Al-Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari
ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah
kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan
sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun
dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk
menelusurinya sampai sumber asalnya. Meskipun begitu, para ulama
hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang
peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit
yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah
merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-
Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-
kitab al-Athraf, dan lain-lainnya.
102
2. Takhrij Tashhih
Takhrij dengan metode tashih adalah sebagai lanjutan dari
cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan
al-naql. Tashhih dalam arti menganalisis keshahihan hadits yaitu
dalam ruang lingkup ilmu mushthalah al-hadits. Metode ini mengkaji
keadaann rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah ilmu hadits.
Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakn kitab Ulum al-Hadits
yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, Ma’ani al Hadits, Gharib
al-Hadits dan lain-lain.
Metode ini memungkinkan bagi pentakhrij untuk melihat lebih
jauh derajat suatu hadits yang dilihat dari segi kekuatan pada sanad,
keterpercayaan rawi yang meriwayatkan, kandungan matan dan hal
lain yang berkaitan dengan riwayat yang akan ditakhrijnya.
Metode takhrij biasanya dilakukan oleh mudawwin (kolektor)
yaitu mereka yang telah mengumpulkan riwayat-riwayat dari guru-
guru mereka. Metode ini telah berlangsung sejak Nabi Muhammad
saw sampai abad ke-III Hijriyyah. Di antara mereka adalah para
penyusun kitab shahih, sunan dan musnad, setelah itu dilanjutkan
oleh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini. (Endang
Soetari)
103
bidang hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, meminjam istilah
A. Hasan Asy’ari Ulama’i―kesibukan dunia ilmu pengetahuan yang
kemudian memberikan inspirasi kepada para scientis berupaya
melakukan inovasi-inovasi dalam memudahkan penelusuran hadits
secara lebih efektif dan efisien. Ulama-ulama Muta’akhirin selanjutnya
melakukan terobosan dengan memberikan―sentuhan teknologi dalam
melakukan takhrij hadits melalui perangkat CD hadits yang telah
didesain sedemikian rupa.
Secara ringkas langkah-langkah takhrij hadits digital adalah
sebagai berikut:146
a. Penelusuran hadits dengan menggunakan CD Hadits Nabi saw,
dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: (sebagai
catatan bahwa terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab
rujukan yang dikehendaki, dalam hal ini CD Hadits yang
tersedia membatasi pada 9 kitab hadits al-mu’tabar yaitu:
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, jami‟ al-Tirmidzi, Sunan Abi
Dawud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi,
Muwaththa’ Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Penelusuran hadits berangkat dari lafadz yang dikenal, contoh
mencari hadits yang di dalamnya terdapat lafadz ( )وايم هللاmaka
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan
huruf yang telah diseaidkan CD Hadits, atau dengan
menuliskan sendiri lafadz itu pada tempat yang telah
disediakan.
c. Penelusuran Hadits Nabi saw, berangkat dari bab yang
umumnya memuat hadits tersebut, misalnya dibuka di bab
qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai, maka dapat diakses pada
bab shalat, demikian seterusnya.
d. Penelusuran hadits berangkat dari rawi yang paling atas,
dalam hal ini lebih rumit karena harus mencari lebih detail
haditsnya, misalnya hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu
146 A. Hasan Asy-ari al-Ulama‘i, Melacak Hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam, Cara
Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006), h. 79-
80
104
Umar yang tidak hanya berbicara masalah qunut saja, tetapi
bercampur dengan hadits-hadits tema lainnya.
e. Penelusuran melalui nomor hadits, dan
f. Penelusuran hadits melalui tema-tema yang disediakan CD
hadits Nabi saw, itu sendiri.
g. Pada dasarnya metode takhrij dengan menggunakan sistem
digital tidak jauh berbeda dengan metode manual, pencarian
dapat dilakukan dengan satu kata kunci yang kita ingat, tema
hadits atau rawi dari hadits tersebut. Kekurangan dari metode
ini adalah tidak semua orang terbiasa dengan metode digital
ini.
147 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
2005), h. 5
105
karena adanya kekhawatiran akan perkembangan ilmu-ilmu
keagamaan serta ulama-ulama habis meninggal dunia. Sehingga para
perawi hadits mulai menyusun hadits-hadits yang diriwayatkan
menurut bab-nya dan pembukuannya. Pembukuan yang terjadi sekitar
tahun 145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan
tabi’in.148
Dalam periode selanjutnya timbullah usaha untuk
membersihkan hadits –hadits Nabi sehingga tidak bercampur dengan
ucapan-ucapan sahabat dan tabi’in. Kitab yang tersusun terkenal
dengan nama musnad, diantaranya yang sampai kepada kita ialah
musnad imam Ahmad bin Hanbal. Kitab tersebut disusun musnad
karena di dalamnya dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa
menghiraukan persoalan yang diterangakan dalam hadits tersebut.
Misalnya dikumpulkkan hadits –hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar, Umar, ‘Aisyah dan lain-lain.
Kemudian diteruskan dengan periode penyaringan, artinya
meneliti mana hadits yang shahih dan mana pula yang dhaif. Orang
yang berdiri di barisan paling depan dalam usaha ini adalah Imam al-
Bukhari dengan kitab haditsnya shahih Bukhari dan Imam Muslim
dengan kitab haditsnya Shahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman
dan pandangan yang kemudian diikuti oleh Abu Dawud dan kitab
Sunan Abu Dawud, Ibnu majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah, Al-
Tirmizi dengan kitab Sunan al-Tirmizi, Al-Nasa’i dengan kitab Sunan
Al-Nasa’i. Kitab-kitab mereka ini dikenal dengan al-kutub al-sittah dan
bersama dengan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan al-
kutub al-sab’ah. Tetapi masih banyak lagi ulama lain yang meneliti dan
menghasilkan kitab hadits meskipun tidak mencapai derajat yang
tinggi dikalangan umat islam.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah otensitas
hadits secara historis dan ilmiah dapat dibuktikan serta bagaimana
cara yang harus ditempuh. Sehingga kemudian para hadits tertantang
untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadits, baik kritik
106
eksternal (al-naqd al-khariji) yang menyangkut sanad hadits, maupun
internal (al-naqd al-dakhili) yang menyangkut matan haditst.149
Metode penelitian hadits dapat diartikan sebagai cara mencari
kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan
objektif terhadap hadits sebagai sumber hukum islam untuk
membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami
haditst dengan mudah serta dapat menilai kualitas haditst tersebut.
Untuk menuju pada penelitian haditst dengan objek kajian
diatas, terdapat beberapa metode yang digunakan sebagai berikut:150
1. Metode Komperatif
Metode komperatif atau metode perbandingan atau
pertanyaan silang atau rujuk (cross reference), dilakukan dengan
mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua
haditst yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama
lain, orang menilai keakuratan para ulama.
Menurut Ibn al Mubarak (118-181 H), sebagaimana dikutip
Muhammad Mustafa Azami berkata: “Untuk mencapai pernyataan
yang autentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu
dengan yang lain”.
Metode perbandingan dipraktikkan dengan banyak cara.
Berikut ini adalah sebagian dari cara-cara tersebut:
a. Memperbandingkan haditst-haditst dari berbagai murid
seorang syekh (guru).
b. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang
ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan.
c. Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen
tertulis.
d. Memperbandingkan haditst-haditst dengan ayat al-qur’an yang
berkaitan.
2.
Metode Rasional
Metode rasional merupakan metode yang menggunakan
penalaran. Nalar diterapkan dalam kritik hadits pada setiap tahapan,
149 Idris, Studi Haditst, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 276
150 Suryadi, Penelitian Haditst, (Yogyakarta: TH Press, 2009) h. 137
107
yakni dalam pengkajian hadits, pengajaran hadits, dalam menilai para
perawi, dan dalam menilai keotentikan hadits. Tetapi secara ketat,
terdapat batas-batas tertentu di sini dalam menggunakan penalaran.
Kemampuan penalaran hanya sedikit membantu dalam menerima
atau menolak hadits dari Nabi.
Sebagai contoh, dalam kitab-kitab hadits kita menemukan
bahwa Nabi biasa tidur dengan berbaring pada lambung kanan beliau,
dan sebelum pergi tidur beliau biasa membaca do’a tertentu. Sesudah
bangun, beliau juga membaca do’a tertentu. Beliau biasa minum
dengan tiga kali nafas dan menggunakan tangan kanannya dalam
memegang cangkir dan sebagainya. Secara rasional, orang dapat saja
tidur dengan telentang, berbaring pada lambung kanan atau lambung
kirinya. Semua posisi tidur adalah mungkin. Kita tidak bisa
mengatakan bahwa posisi tertentu mungkin dan posisi lain tidak.
Dalam kasus ini akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau
ketidakbenaran. Kebenaran hanya dapat diputuskan melalui saksi-
saksi dan perawi-perawi yang terpercaya. Dengan demikian,
penalaran sendiri membawa kita untuk menerima pernyataan dari
perawi-perawi yang jujur dan terpercaya, kecuali dalam kasus-kasus
di mana kita menemukan bahwa kejadian yang bersangkutan
bertentangan dengan akal (penalaran).
Dari segi datangnya haditst tidak seluruhnya diyakini berasal
dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini
disebabkan sifat dan lafadz-lafadz haditst yang tidak bersifat mukjizat,
juga disebabkan perhatian terhadap penulisan haditst pada zaman
Rasulullah agak kurang. Bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga
karena sebab-sebab politis lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan
para ulama seperti Imam al-Bukhari dan Muslim yang mencurahkan
segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti
haditst dan hasil penelitiannya itu dibukukan dalam kitabnya Shahih
al-Bukhari (810-870) dan Shahih Muslim (820-875).151
151 Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 174
108
Berikut dipaparkan beberapa model penelitian hadits;
1. Model Quraisb Shihab
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah bahan
perpustakaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang
haditst dan al-qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif
analitis. Hasil penelitian Quraisb Shihab tentang fungsi haditst
terhadap al-qur’an, menyatakan bahwa al-qur’an menekankan
Rasulullah saw berfungsi menjelaskan firman-firman Allah. Penjelasan
tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam
bentuk, sifat dan fungsinya. Fungsi pertama haditst adalah sekadar
menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam
al-qur’an.
Fungsi yang kedua adalah memperjelas, merinci, membatasi,
pengertian lahir dari ayat-ayatbal-qur’an. Yaitu memberikan perincian
dan penafsiran atyat-ayat al yang masih mujmal, memberikan taqyid
ayat-ayat al-qur’an yang masih mitlaq dan memberikan takshish pada
ayat-ayat al-qur’an yang masih umum. Selain itu haditst dapat
mengambil peran menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati
dalam al-qur’an.
152 Suryadi, Metodologi Penelitian Haditst, (Yogyakarta: TH Press, UIN Sunan Kalijaga,
2009), h. 10
109
Selanjutnya Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya
mengenai pandangan kaum khawarij, syi’ah, mu’tazilah dan
mutakalimin, para penulis modern dan kaum muslimin pada
umumnya terhadap as-sunnah. Dilanjutkan dengan laporan sejumlah
kelompok di masa sekarang yang mengingkari kahujahan al-sunnah
disertai pembelaannya.153
Dengan melihat hasil penelitian yang dikemukakan, al-Siba’iy
tampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian
sebanyak mungkin yang selanjutnya diarahkan untuk melakukan
pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan
atas apa adanya sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
110
mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh
para peneliti dan penulis haditst generasi berikutnya.156
Sebelum zaman al-iraqiy belum ada hasil penelitian haditst,
maka tampak ia berusaha membangun ilmu haditst dengan
menggunakan bahan-bahan haditst nabi setta pendapat para ulama
yang dijumpai dalam kitab tersebut. Jadi penelitian ini adalah
penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang
digunakan untuk membangun sebuah ilmu. Buku ini adalah buku
pertama yang mengemukakan macam-macam haditst yang didasarkan
pada kualitas sanad dan matanya, yaitu ada haditst yang tergolong
shahi, hasan, dan dhaif. Kemudian dilihat pula dari keadaan
bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi haditst
musnad, muttasil, mrful, mauquf, mursal, al-munaqatil. Selanjutnya
dilihat pula dari kualitas matannya yang dibagi menjadi syadz dan
munkar.157
156 Muhammad at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Haditst, (Surabaya, Bina
Ilmu, 1995), h. 7
157 Ibid, h.8
158 Kamaruddin Amin, Metode Kritik Haditst, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 12
111
pemahaman masyarakat terhadap haditst pada umumnya masih
bersifat persial.159
Penulis mesir ahmad amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa
penelitian yang dilakukan para ahli haditst lebih memfokuskan pada
sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa
ahli haditst hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur
periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan
esensi kandungan haditst, dan bahkan mereka gagal menangkap
bukti-bukti sejarah. Pendapat ibnu khaldun, ahmad amin dan Abu
Rayyah kini dibantah oleh musthafa as-siba’i, muhammad abu syuhba
dan Nur ad Din ’Itr. Mereka berpendapat bahwa ulama haditst sama
sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari kriteria-
kriteria haditst shahi yang mereka buat. Salah satu kriterianya
mengatakan bahwa sebuah haditst jika dianggap shahi apabila sanad
dan matannya tidak syadz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang
dapat merusak keshahian haditst).160
Dalam penelitian haditst (naqd al-haditst) klasik, model
penelitian diarahklan kepada dua segi: sanad dan matan. Dalam
penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan
langkah-langkah berikut ini:
a. Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal
haditst pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di
dalamnya dikemukakan haditst tersebut secara lengkap
dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk
kepentingan kritik sanad, dijelaskan kualitas sanad dan para
periwayat dari haditst yang bersangkutan.161
b. Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad untuk haditst
tertentu, yang haditst itu pada bagian sanadnya tanpa hanya
terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan
112
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah
ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad
dari sanad haditst dimaksud. Sehingga dapat terlihat dengan
jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-
nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan
oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi,
kegunaan al i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad
haditst seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung
(corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’
atau syahid.
c. Mengkritisi pribadi periwayat serta metode
periwayatannya
Ulama haditst sependapat bahwa ada dua hal yang harus
dikritik pada diri pribadi periwayat haditst, yakni keadilan dan
kedhabitannya, sehingga diketahui apakah riwayat haditst
yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah
harus ditolak. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi,
sedangkan kedhabitannya, berhubungan dengan kapasitas
intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh periwayat
haditst, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.
Terkait dengan pelacakan terhadap kebersambungan
sanad, hubungan kualitas periwayat dan metode periwayatan
sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang
mengatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na,
misalnya, meski metode itu diakui ulama haditst memilki
tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan
lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi
yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya.162
Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na adalah orang
tsiqah, maka informasinya dapat dipercaya.
Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli
kritik haditst, nama dengan syarat bila dia menggunakan
162 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h.
54-71
113
lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya
bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang
tersebut, sanadnya terdapat tadlils (penyembunyian cacat).
d. Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad yang sangat penting untuk
meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam sanad adalah
dengan melakukan studi komparatif terhadap seluruh sanad
yang ada untuk satu matan yang sama. Sedangkan cara
mengkritisi kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan
yang isinya semakna. Haditst yang mengandung syudzudz (ke-
syadz-an), oleh ulama disebut sebagai haditst syadz, sedangkan
lawan dari haditst syadz disebut haditst mahfuzh.
e. Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan harus disertakan pula
argumen-argumen yang jelas, yang dapat disampaikan
sebelum ataupun sesudah rumusan kesimpulan dikemukakan.
Isi kesimpulan untuk haditst yang dilihat dari segi jumlah
periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa haditst yang
bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian,
maka haditst tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian haditst ahad, maka kesimpulannya
mungkin berisi pernyataan bahwa haditst yang bersangkutan
berkualitas shahih atau hasan atau dhaif sesuai dengan apa
yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kualitas tersebut
disertai dengan macamnya, misalnya dengan mengemukakan
bahwa haditst yang dikritisi berkualitas shahih li ghayrihi atau
hasan li ghayrihi.
114
BAB VII
STUDI FILSAFAT ISLAM
163 Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet ke-4, (Yogyakarta: pustaka
Pelajar, 2004), h. 2.
115
1. Menurut Musa Asy’ari, filsafat islam itu pada dasarnya
merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan
berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis
terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada
studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami
proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-
kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada
setiap zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan prinsip-
prinsip dasar filsafat Islam, agar dunia pemikiran Islam terus
berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Filsafat islam
dapat diartikan juga sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak
Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang
melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama
Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi
objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok
keislaman. 164
164 A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam, (Bandung: CV Insan Mandiri,
2011), h. 3.
165 M Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), h. 13
116
pemikiran tersebut, ternyata jumlahnya jauh lebih banyak dari pada
ayat yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan sholat. Karena
demikian pentingnya penggunaan akal dalam beragama hingga Nabi
Muhammad saw menyatakan: al-din huw al-aql laa diina lima laa aqla
lahu. Artinya: “Beragama itu harus dengan menggunakan akal, dan
tidak dapat dianggap sempurna keagamaan seseorang yang tidak
menggunakan akalnya.”
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat lahir dari
Yunani, namun ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dimulai dari
Islam. Ada lagi yang berpendapat asal mula filsafat dari gabungan
keduanya.
Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filsuf
Barat sejak abad pertengahan sampai abad modern. Sedangkan
Filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal dan berada pada taraf
makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang
menyelamatkan dan kedamaian hati.
Filsafat Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan muslim yang
mendalam secara teoretis maupun empiris, bersifat universal yang
berlandaskan Wahyu. Filsafat Islam merupakan pengembangan
filsafat Plato dan Aristoteles yang telah dilandasi dengan ajaran Islam
dan memadukan antara filsafat dan Agama, filsafat yang berciri
religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan
akal.166
Tujuan Filsafat barat dan filsafat islam sebenarnya hampir
sama. Namun karena terjadinya perbedaan agama maka pada filsafat
islam ada yang membatasinya, yaitu menyelidiki segala sesuatu yang
ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada
hakikatnya, jadi dalam filsafat objeknya tidak membatasi diri. Dalam
filsafat membahas tentang objeknya sampai kedalamannya, sampai ke
radikal dan totalitas.167
117
B. SEJARAH KAJIAN FILSAFAT ISLAM
Latar belakang filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari
pemikiran filsufnya yang dipengaruhi oleh para filsuf Yunani, karena
para filsuf Islam menuntut ilmu kepada filsuf Yunani. Berikut adalah
sejarah bagaimana terjadinya kontak antara Filsuf Islam dengan Filsuf
Yunani.
Pada zaman awal perkembangan Islam, sebenarnya kaum
muslimin tidak bermaksud mengutip pemikiran filsafat dari pihak
manapun juga. Mereka tidak menaruh perhatian soal tersebut, bahkan
sama sekali tidak berniat mengutip ilmu apapun juga dan tidak pernah
memikirkannya. Kalau di kemudian hari ada sebagian dari ilmu-ilmu
itu yang merembes kedalam pemikiran orang-orang Arab, itu semata-
mata karena keharusan yang tidak dapat dihindari, karena semakin
eratnya hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain di sekitar
negerinya. Hubungan seperti itu memang sudah terjadi sejak zaman
jahiliah, tetapi masih terbatas dalam ruang lingkup yang amat sempit.
Misalnya, Al-Harits Bin Kaldah As-Saqofi, belajar ilmu kedokteran
pada suatu perguruan di Jundi Sabur, Persia dan di kenal sebagai
dokter Arab.
Sebuah riwayat yang berasal dari Sa’ad bin abi waqash
mengatakan, ketika ia menderita sakit, Rasulullah saw datang
menjenguknya saat itu beliau menyarankan: “Datanglah kepada al-
Harits bin kaldah, ia mengetahui tentang kedokteran”.
Akan tetapi Ilmu pengetahuan yang diperoleh al-Harits dapat
dianggap cukup karena ia belum menguasai semua pokok dan cabang
ilmu kedokteran secara ilmiah. Untuk itu memang diperlukan
penguasaan Bahasa Suryani sebagai alat untuk dapat mempelajari
berbagai buku kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
tersebut dan tersebar di Jundi Sabur. Ilmu pengetahuan di bidang itu
pada umumnya di kuasai oleh orang-orang Suryani sendiri. 168
Mengenai bagaimana proses perpindahan ilmu kedokteran ke
Jundi Sabur dikisahkan bahwa plato dan aristoteles, dua orang Filsuf
168 T.J. De Boer, The History of Philoshopy In Islam, (New York, USA: Islamic
Philoshopy Online, w.y), h. 6-11
118
yunani: yang satu menaruh perhatian besar pada problema
matematika sedangkan yang kedua menaruh perhatian besar kepada
masalah alam dan kedokteran. Kedua-duanya juga mempunyai
perguruan filsafat masing-masing. Pada abad ke-3 SM Hipocrate juga
telah mendirikan sebuah perguruan ilmu kedokteran. Kemudian
setelah kota iskandariyah dibangun kota itu menjadi tempat
peradaban Yunani yang lebih banyak bersifat Ilmiah daripada yang
bersifat Filosofis. Dari perguruan tersebut lahir sejumlah ahli pikir
besar seperti Euclide, Galenus, Archimedes, Ptolemaeus dan lain-
lainnya lagi, yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan seperti ilmu geometri, ilmu falak (astronomi) dan ilmu
kedokteran. Hingga abad ke-6 kota Iskandariyah tetap menjadi
mercusuar ilmu pengetahuan. Kemudian muncul pula di kota itu para
ahli pikir generasi kedua yang mengatur, menyusun dan mempelajari
buku-buku peninggalan para ahli pikir generasi pertama untuk bahan
pengajaran. Dari para ahli pikir generasi kedua itulah orang-orang
Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.169
Perguruan Iskandariyah tidak hanya memperhatikan soal-soal
ilmu pengetahuan saja, tetapi juga semua bentuk kebudayaan, baik
yang bersifat keagamaan, pemikiran, filsafat maupun kesusastraan.
Mulai abad pertama hingga abad ke-3 M pembaharuan terhadap
pembaharuan terhadap ajaran phytagoras cenderung ke arah masalah
matematika dan moral. Demikian pula ajaran pluto, direvisi oleh
plotinus yang menciptakan Neo Platonisme. Ia lahir dan dibesarkan di
Mesir, memperoleh pendidikan di Iskandariyah dan berbahasa Yunani.
Dialah yang menciptakan ajaran Enneads, yaitu ajaran filsafat yang
menjelaskan terjadinya pelimpahan dari Yang Satu (supreme in
material force). Sebagian dari bukunya diterjemahkan kedalam
Bahasa Arab dengan nama Theologia. Teori “Pelimpahan”nya banyak
mempengaruhi para filsuf Islam. Muridnya yang bernama Porhyrius
tidak kalah pengaruhnya dalam kehidupan filsafat Islam. Hal ini tidak
mengherankan karena dialah yang menulis buku isagoge, kata dalam
Bahasa Yunani yang terkenal di kalangan orang-orang Arab sampai
119
Zaman kita ini. Isagoge bermakna “Pintu masuk” (madkhal), yakni
pintu untuk memasuki pembicaraan tentang teori filsafat
Aristoteles.170
Menyadari arti penting filsafat itu, maka dalam sejarah Islam
dijumpai sejumlah filsuf yang telah berjasa dalam membantu umat
manusia menemukan inti, hakikat, ajaran utama, dan nilai-nilai luhur
yang dibutuhkan manusia. Pemikiran mereka dalam bidang ini
selanjutnya menjadi dasar bagi perumusan berbagai kebijakan dalam
kehidupan. Mereka itu antara lain al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih,
Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, dan Ibn Rusyd. Penjelasan
tentang tokoh-tokoh ini secara singkat dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Al-Kindi (158 H/801 M-525H/861 M.)
Menurut Al-Kindi filsafat adalah pengetahuan yang benar,
sedang agama menerangkan tentang apa yang benar. Jelas ada
perbedaan antara filsafat dan agama, keduanya bertujuan untuk
menerangkan apa yang benar dan yang baik. Agama di samping
menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat
mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat,
hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan
daripada argumen filsafat.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan
penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, Unik. Ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk, tidak bertubuh dan bergerak. Ia hanyalah keesaan
belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari
filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-
unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran
filsafat Al-Kindi ialah:171
1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah
filsafat.
120
2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan
metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan
Aristoteles tentang qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersam-sama dalam soal
etika.
5. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang
berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
6. Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan
akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh
filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi
mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya
dipelajari dengan saksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi
mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya Ia
mempunyai kepribadian sendiri.
121
Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang
wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran
Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat
gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.172
122
cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas,
tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar.173
123
Pemikiran filsafat dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh
Ibnu Sina dalam bab "Hikmah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya
susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan. Pemikiran Ibnu Sina
ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu
percobaan untuk membahaskan zat Allah.
Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut
al-Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli
Filsafat) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi. 174
124
logik tetapi yang menjadi masalahnya ialah golongan filsafat yang
terlalu berpegang kepada logik, hendaklah membuktikan fakta
termasuk perkara yang berhubung dengan ketuhanan atau metafisik.
Sebab itulah beliau menentang golongan ahli filsafat Islam yang cuba
mengungkap kejadian alam dan persoalan ketuhanan menggunakan
pemikiran daripada ahli filsafat Yunani. Beberapa orang ahli filsafat
Islam seperti Ibnu Sina dan al-Farabi jelas terpengaruh akan idea
pemikiran filsafat Aristotles. Maka tidak heran ada pandangan ahli
filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam yang bisa
menyebabkan kesesatan dan syirikan. Terdapat tiga pemikiran filsafat
metafisik yang menurut Al-Ghazali amat bertentangan dengan Islam
yaitu qadimnya alam ini, tidak mengetahui Tuhan terhadap perkara
dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan
jasad atau jasmani. Al-Ghazali menganjurkan supaya umat Islam
mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber yang
utama bukannya melalui proses pemikiran dan akal semata-mata. Jadi,
apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali ialah memaparkan kesalahan dan
kepalsuan bidang pengetahuan yang bersenderankan dengan agama
serta bertentangan dengan pendirian umat Islam. Sekaligus
menunjukkan bahwa Al-Ghazali sebenarnya merupakan seorang ahli
filsafat Islam yang mencari kebenaran dengan berpedoman pada al-
Quran dan hadits, tidak sebagaimana apa yang ada pada pemikiran
logika sebagai mana yang ada pada filsafat Yunani. 175
125
menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata kata syari’i sesuai
dengan kepercayaan mereka.
Golongan hasywiyah misalnya mereka berpendapat bahwa
cara mengenal tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran) saja, bukan
melalui akal. Mereka berpegang pada riwayat-riwayat syar’i yang
muttashil tanpa menggunakan ta’wil. Ibnu rusyd menolak jalan
pikiran yang demikian, karenanya Islam mengajak kita untuk
memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran kita. Cara
mengenal tuhan menurut golongan tasawuf adalah bukan berupa
pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan
kesimpulan, akan tetapi melalui jiwa yang ketika terlepas dari
hambatan-hambatan duniawi dan menghadapkan pikiran pada zat
yang maha mengampuni. Ibnu rusyd mengatakan bahwa keterangan
tersebut pun tidak dapat diperlakukan untuk umum, karena derajat
keimanan manusia tidaklah bisa disamaratakan.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-
dalil yang pernah dikemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya
karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik
dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan
tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai
ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi
orang-orang khusus yang terpelajar. 176
g.
Ibn Bajjah (1082 M-553 H/1138 M)
Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi
dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah
jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari
perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan
ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan
gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam
arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim
(materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari
126
subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini
mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh
ibnu bajjah disebut dengan ‘aql. Di sinilah letak kelebihan ibnu bajjah
walaupun ia berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia
kembali kepada ajaran islam.
Dasar filsafat aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang
tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun
penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia zatiomasih
bersifat empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan
argumen metafisika aristoteles. Karena itu, menurutnya Allah tidak
hanya penggerak, tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam.
127
kita tidak bisa mengenali-Nya lewat indera kita atau lewat imajinasi.
Sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap
oleh indera. 177
128
tidak terkecuali di lingkungan perguruan tinggi dan kalangan
akademis. Tampaknya kita sulit membedakan antara Filsafat dan
Sejarah Filsafat; antara Filsafat Islam dan Sejarah Filsafat Islam.
Biasanya kita korbankan kajian Filsafat, karena kita selalu dihantui
oleh trauma sejarah abad pertengahan, ketika Sejarah Filsafat Islam
diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perhelatan pemikiran
antara al–Ghazali dan Ibnu Sina, yang sangat menen-tukan jalannya
sejarah pemikiran umat Islam.
Kritik Amin Abdullah tersebut timbul setelah ia melihat
penelitiannya, bahwa sebagian penelitian filsafat Islam yang dilakukan
para ahli selam ini berkisar pada masalah Sejarah Islam, dan bukan
pada Materi Filsafatnya itu sendiri.
Penelitian yang polanya mirip dengan Amin Abdullah tersebut
dilakukan pula oleh Sheila McDonough dalam karyanya berjudul
Muslim Ethics and modernity: A Comparative Study of the Ethical
Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana Mawdudi. Buku tersebut
telah diterbitkan oleh Wilfrid laurier University Press, Kanada, pada
tahun 1984. Dalam buku tersebut yang dijadikan oleh objek penelitian
adalah Ahmad Khan dan Mawlana Mawdudi yang keduanya adalah
orang Pakistan dan telah dikenal di dunia Islam. Penelitian tersebut
termasuk kategori penelitian kualitatif, berdasar pada sumber
kepustakaan yang ditulis oleh kedua tokoh tersebut atau oleh orang
lain megenai tokoh tersebut. Sedangkan corak penelitiannya adalah
penelitian deskriptif analitis; sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan tokoh dan komparatif studi.Melalui penelitian
demikian akan dapat dihasilkan kajian mendalam dalam salah satu
bidang kajian, serta latar belakang pemikiran yang menyebabkan
mengapa kedua tokoh tersebut mengemukakan pendapatnya seperti
ini.178
178 Lihat: Sheila McDonough, Muslim Ethics and modernity: A Comparative Study of the
Ethical Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana Mawdudi, (Kanada: Wilfrid
laurier University Press, 1984)
129
2. Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun
Nasution
Dalam bukunya berjudul History of Muslim Philosophy yang
diterjemah-kan dan disunting oleh M. M. Syarif ke dalam bahasa
Indonesia menjadi para Filosof Muslim, Otto Horrassowitz telah
melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang
berasal dari tokoh–tokoh filsuf abad klasik, yaitu al–Kindi, al–Razi, al–
Farabi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu
Rusyd dan Nasir al–Din al–Tusi. Dari al–Kindi dijumpai pemikiran
filsafat tentang Tuhan, keterhinggaan, ruh dan akal. Dari al–Razi
dijumpai pemikiran filsafat tentang teologi, moral, metode, metafisika,
Tuhan, ruh, materi, ruang, dan waktu. Selanjutnya dari al–Farabi
dijumpai pemikiran filsafat tentang logika, kesatuan filsafat, teori
sepuluh kecerdasan, teori tentang akal, teori tentang kenabian, serta
penafsiran atas al–Qur’an. Selanjutnya dari Ibnu Miskawih dijumpai
pemikiran filsafat tentang moral, pengobatan rohani, dan filsafat
sejarah. Dalam pada itu dari Ibnu Sina dikemukakan pemikiran filsafat
tentang wujud, hubungan jiwa dan raga, ajaran kenabian, Tuhan dan
dunia. Dari Ibnu Bajjah dijumpai pemikiran filsafat tentang materi dan
bentuk, psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan, Sumber Pengetahuan,
politik, etika, dan tasawuf. Dari Ibnu Tufail dikemukakan pemikiran
filsafat tentang akal dan wahyu sebagai yang dapat saling melengkapi
yang dikemas dalam novel fiktifnya berjudul Hay Ibnu Yaqzan yang
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia; tujuan risalah, doktrin
tentang dunia, tuhan, kosmologi cahaya, epistomologi, etika, filsafat
dan agama. Selanjutnya dari Ibnu Rusyd, dikemu-kakan pemikiran
filsafat tentang hubungan filsafat dari agama, jalan menuju Tuhan,
jalan menuju pengetahuan, jalan menuju ilmu, dan jalan menuju
wujud. Dalam pada itu dari Nasir al–Din Tusi dikemukakan pemikiran
filsafat tentang akhlak nasiri, ilmu rumah tangga, politik sumber
filsafat praktis, psikologi, metafisika, Tuhan, cretio exnihilo, kenabian,
baik dan buruk, serta logika.
Selain mengemukakan berbagai pemikiran filosofis
sebagaimana tersebut diatas, Horrassowitz juga mengemukakan
130
mengenai riwayat hidup serta karya tulis dari masing-masing tokoh
tersebut. Dengan demikian jelas terlibat bahwa penelitiannya
termasuk penelitian kualitatif. Sumbernya kajian pustaka. Metodenya
deskriptif analitis, sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu
bahwa apa yang disajikan berdasarkan data-data yang ditulis ulama
terdahulu, sedangkan titik kajiannya adalah tokoh.179
Penelitian serupa itu juga dilakukan oleh Majid Fakhry. Dalam
bukunya berjudul A History of Islamic Philosophy dan diterjemahkan
oleh Mulyadi Kartanegara menjadi Sejarah Filsafat Islam, Majid Fakhri
selain menyajikan hasil penelitiannya tentang ilmu kalam, Mistisisme
dan kecenderungan– kecenderungan modern dan kontemporer juga
berbicara tentang filsafat. Khusus dalam bidang filsafat, ia berbicara
tentang al–Kindi, Ibnu al–Rawandi, al–Razi, Abu Hayyan al–Tauhidy,
Ibnu Miskawaih, Yahya bin Adi, Ibnu Massarah, Al–Majrithi, Ibnu
bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, al–Suhrawandi dan Shadr al–Din al–
Syirazi. Majid Fakhry selain mengemukakan riwayat hidup dan karya-
karya dari masing-masing tokoh tersebut juga mengemukakan
pemikirannya dalam bidang filsafat.
Penelitiannya tersebut tampaknya menggunakan campuran.
Yaitu selain menggunakan pendekatan historis juga menggunakan
pendekatan kawasan, bahkan pendekatan substansi. Melalui
pendekatan histories, ia mencoba meneliti latar belakang munculnya
berbagai pemikiran filsafat dalam islam. Sedangkan dengan
pendekatan kawasan, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran
filsafat yang dihasilkan dari berbagai tokoh tersebut. 180
Dalam pada itu Harun Nasution, juga melakukan penelitian
filsafat dengan menggunakan pendekatan tokoh dan pendekatan
histories. Bentuk penelitiannya deskriptif dengan menggunakan
bahan-bahan bacaan baik yang ditulis oleh tokoh yang bersangkutan
maupun penulis lain yang berbicara mengenai tokoh tersebut. Dengan
demikian penelitiannya bersifat kualitatif.
179 Otto Horrassowitz, History of Muslim Philosophy, ditranslate menjadi Para filosof
muslim, editor, M. Syarif, (Bandung: Mizan, 1985)
180 Lihat: Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (Longman, 1983)
131
Melalui pendekatan tokoh, Harun Nasution mencoba
menyajikan pemikiran filsafat berdasarkan tokoh yang ditelitinya
yang dalam hal ini al– Kindi, al–Farabi, Ibnu Sina, al–Ghazali dan Ibnu
Rusyd. Sedangkan dengan pendekatan histories, Harun Nasution
mencoba menyajikan tentang sejarah timbulnya pemikiran filsafat
Islam yang dimulai dengan kontak pertama antara Islam dan ilmu
pengetahuan serta filsafat Yunani.181
181 Lihat: Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
132
umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian kepustakaan,
yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan bacaan sebagai
sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat
deskriptif analistis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya
pendekatan histories, kawasan dan substansial. Penelitian dan
pengkajian filsafat demikian sulit diharapkan dapat melahirkan para
filsuf. Penelitian tersebut belum berhasil mengangkat dasar pemikiran
yang membentuk filsafat itu sendiri. Pengkaji filsafat terbiasa dengan
diskusi dan perbincangan yang begitu mendalam tentang uraian-
uraian dan kutipan filsuf, hampir seolah-olah kutipan-kutipan filosof
itu baru saja dihasilkan dan seolah-olah tidak mengalami kesulitan
interprestasi yang melelahkan.
Berdasarkan informasi tersebut, sebenarnya masih terbuka
luas objek penelitiannya di bidang filsafat Islam, yaitu objek yang
berkenaan dengan cara atau metode yang digunakan oleh para filsuf
terdahulu untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan
untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan pengembangan
pemikiran filsafat lebih lanjut.
Sesungguhnya masih banyak hasil penelitian yang dilakukan
para ahli di bidang filsafat Islam yang tidak dikemukakan seluruhnya
di sini. Ahmad Hanafi, misalnya menulis buku berjudul pengantar
filsafat Islam. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian
kepustakaan itu dikemukakan tentang pemikiran filsafat al–Kindi, al–
Farabi, Ikhwanusshafa, dan Ibnu Sina. Fazlur Rahman dalam bukunya
Islkam juga memuat pembahasan tentang filsafat Islam yang
didasarkan pada rujukan di bidang kefilsafatan. Fazlur Rahman
mengatakan bahwa sistem filsafat Islam yang disusun merupakan
suatu kreasi mulia dalam kebudayaan Islam. Dalam sistem itu sendiri
terdapat suatu hasil yang mengagumkan baik dalam landasan etosnya
maupun dalam struktur aktualnya. Filsafat itu menggambarkan suatu
bagian penting yang murni dalam pemikiran manusia, karena ia
berada dalam ambang antara masa purba dan masa modern. Namun
berhadapan dengan agama Islam, filsafat itu menciptakan suatu
situasi yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Dalam doktrin –doktrin
133
filsafat aktual tidak terlalu banyak menerangkan pekerjaan–pekerjaan
keduniaan yang berbahaya, namun dipergunakan dalam beberapa
kebijaksanaan putusan agama dan merupakan implikasinya terhadap
syari’ah.
Dewasa ini setahap demi setahap pemikiran filsafat Islam atau
berpikir secara filosof sudah mulai diterima masyarakat. Berbagai
kajian di bidang keagamaan selalu dilihat dari segi pemikiran
filsufnya, sehingga makna substansial, hakikat, inti dan pesan spiritual
dari setiap ajaran keagamaan tersebut dapat ditangkap dan dihayati
dengan baik. Tanpa bantuan filsafat, maka masyarakat akan
cenderung terjebak kedalam bentuk ritualistik semata, tanpa tahu apa
pesan filosofis yang terkandung dalam ajaran tersebut. Filsafat juga
semakin diperlukan dalam situasi yang semakin memadu dan
menyatu antara satu bidang pengetahuan dengan pengetahuan
lainnya.
134
BAB VIII
STUDI ILMU KALAM
182 Abu hanifah, al-Fiqh al-akbar, (India, Hyderabad: Dairah al-ma’areif al-Islamiyah,
1321 H), h. 7.
183 Al-Farabi, Ihsha’ al-ulum, Tahqiq; Utsman Amin, (kairo; Dar al-Fikr al-Arabi, 1948),
h. 48
184 Idd al-din al-iiji, al-mawaqif, (kairo: maktabah al-sa’adah, 1425 H), h. 13.
135
bid’ah yang menyimpang dari kepercayaan umat Islam generasi
awal.185
Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) mendefinisikan kalam
sebagai ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang
wajib, mustahil dan yang mungkin ada pada Allah. Membicarakan
tentang rasul-rasul Allah, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil dan yang mungkin ada
pada rasul.186
Melalui ilmu kalam ditetapkan akidah-akidah agama dengan
dalildalil, menolak yang syubhat, dan menentang musuh-musuh ilmu
kalam dengan dalil-dalil yang qath’iy (pasti) dari al-Qur’an dan
Sunnah. Ilmu kalam juga diarah-kan untuk menetapkan hakikat agama
melalui dalil-dalil akal
Dari berbagai definisi ilmu kalam di atas ada beberapa
karakter ilmu kalam:
1. Ilmu kalam mengambil inspirasi dari filsafat tentang metode
logisnya.
2. Ilmu kalam mengambil dari syariat tentang tujuan dan
sasarannya.
3. Ilmu kalam membangun dasar-dasar pemikirannya untuk
melawan musuh-musuhnya.
Ilmu kalam mempunyai nama-nama lain yaitu al-fiqh al-akbar,
ushul al-din, ilm al-nazar wa al-istid lal, ilm al-tawhid wa al-shifat.
Menurut M Abdel Haleem ada 7 nama yang diberikan kepada ilmu ini,
sebagai berikut:187
1. Salah satu sebutan yang berumur paling tua diberikan oleh
Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), pada abad ke-2 H/ke-8 M,
yang dinamai ‘ilm al-fiqh al-akbar. Fiqih adalah kata dalam
Al-Qur’an (Al-Taubah: 122) dan fakta ini memperlihatkan
hubungan antara kalam dan fiqih. Kata adjektif (sifat) al-akbar
185 Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, (Kairo: al-maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tt), h. 24.
186 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: al-mathba’ah al-Khairiyah, 1302 H),
h. 5
187 Abdel haleem, Exploring The Qur’an: Context and Impact, (LB tauris: 2003), h. 90-
91
136
menunjukkan superioritas masalah-masalah yang terkait
dengan prinsip-prinsip keimanan terhadap aspek-aspek
praktis Syari’ah.
2. ‘Ilm al-kalam: ini juga merupakan salah satu sebutan tertua.
Ja’far Al-Shadiq (w. 148 H/765 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767
M), Malik (179 H/795 M), dan Syafi’i (w. 204 H/819 M)
diriwayatkan telah memberikan pendapat mereka tentang
kalam dan mutakallimun.
3. ‘Ilm ushul al-din: sebutan awal lainnya yang didasarkan atas
pembagian pengetahuan religius menjadi ushul dan furu’
(pokok dan cabang). Sebutan ini digunakan oleh Asy’ari (w.
324 H/935 M) dalam Ibanah an Ushul al-Dinayah dan Al-
Baghdadi (w. 429 H/1037 M) dalam kitab Ushul al-Din.
Fakultas teologi di Universitas Al-Azhar, misalnya, disebut
kulliyat ushul al-din.
4. ‘Ilm al-’aqa’id: sebutan terkemudian, mungkin sudah dimulai
dari abad ke-4 H/10 M. Sebutan ini muncul dalam karya
penulis seperti Al-Thahawi (w. 331 H/942 M), Al-Ghazali (505
H/1111 M), Al-Thusi (w. 671 H/1272 M), dan Al-Iji (w. 756
H/1355 M).
5. ‘Ilm al-Nazhar wa al-Istidlal: sebutan ini dikemukakan oleh
Taftazani dalam pendahuluan Syarh Al-Aqa’id Al-Nasafiyyah.
Sebutan itu pernah diberikan dalam kitab-kitab kalam awal
dalam bab pendahuluan pertamanya, yang membahas bukti
dan metodologi ilm al-kalam. Ini dapat dilihat dalam Ushul Al-
Din, karya Al-Baghdadi (w.429 H/1037 M), dan Al-Mughni
karya Abd Al-Jabbar (w. 415 H/1024 M). Hal ini mungkin
karena pentingnya metodologi kalam, sebutan yang diterapkan
pada semua ilmu.
6. ‘Ilm al-Tauhid wa al-Shifat: disebut demikian barangkali
karena sangat pentingnya keesaan dan sifat-sifat Tuhan
lainnya. Nama ini muncul dalam pendahuluan Syarh Al’Aqa’id
Al-Nasafiyyah karya Taftazani.
137
7. ‘Ilm Tauhid: ini merupakan bagian iman yang terpenting
dalam Islam. Sebutan ini digunakan oleh Muhammad Abduh
(w. 1323 H/1905) dalam Risalah Al-Tauhid-nya, dan
selanjutnya menjadi lebih lazim di kalangan para teolog
modern.
Akan tetapi nama yang paling populer ialah ilmu kalam. Hal ini
disebabkan:
1. Karena objek bahasan paling popular dari ilmu ini ialah
mengenai kalam Allah, apakah termasuk makhluk atau qadim.
Perdebatan ini telah menyita waktu umat Islam sepanjang
masa.
2. Karena peletak dasar ilmu ini menggunakan nama ―ilmu
kalam itulah sebabnya ilmu ini disebut ilmu kalam.
3. Ilmu ini muncul karena menentang filsafat sekaligus membela
filsafat. Para pakar memulai ilmu ini dengan apa yang disebut
manthiq, karena ilmu ini menggunakan kalam yang semakna
dengan manthiq (berbicara dengan logika).188
188 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, (Bandung: Azkia, 2006), h. 8
138
berpegang pada dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan
pandangan ulama
c. Pandangan para ulama kalam tidak keluar dari koridor
umum ajaran Islam bahwa Allah menciptakan alam bukan
dari sesuatu, juga tentang sifat global bagi Allah, sedangkan
para filsuf telah menyimpang jauh dari ajaran Islam dengan
teori-teori yang mereka kemukakan.
139
b. Pengaruh Yahudi
Orang-orang Yahudi yang hidup dalam perlindungan uma
Islam, akhirnya memeluk agama Islam. Mereka
memasukkan unsur-unsur Israiliyat dalam ajaran Islam
seperti yang dilakukan oleh Abu Said al-Fayumi. Pengaruh
pentingnya yaitu masalah tajsim dan tasybih. Pengaruh
lainnya masalah kemakhlukkan al-Qur’an yang diambil oleh
Al-Ja’d bin Dirham.
c. Pengaruh Persia.
Unsur Persia yang mempengaruhi ilmu kalam yaitu paham
Gnosis (pengetahuan yang bersifat rahasia). Tuhan berada
pada tingkat tertinggi, wujud yang terpisah dengan alam
materi. Adanya wujud materi berasal dari Tuhan. Manusia
dapat bersatu dengan Tuhan. Gnosis dilimpahkan Tuhan
Kepada orang-orang tertentu di setiap zaman. Paham ini
berkembang di kalangan golongan Bathiniyah
d. Pengaruh Yunani
Pandangan Aristoteles tentang keqadiman alam. Pandangan
Plato tentang Atomisme (materi kekal). Pandangan
Neoplatonisme dan Phytagoras tentang teori emanasi
(pancaran).
140
kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam
yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang
hendak menghancurleburkannya.189
Kemudian perjalanan khalifah Abu Bakar As-shiddiq, Umar bin
Khattab, dan Utsman bin Affan tidak begitu menghadapi persoalan,
bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga
khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya
mengerahkan semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan
mengembangkan Islam ke seluruh pelosok penjuru dunia. Tetapi
setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia Tenggara tiba-
tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam
dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak
sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang
pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana pemerintahan (para
eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi
dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak
menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan
sebenarnya hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga
Usman bin Affan adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun
Inilah bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang
yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan
terbunuhnya Utsman bin Affan. Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib
terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan
tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak
menyetujui pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-
terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh
bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan
189 Yahya Hasyim Hasan Farghal, al-Firaq al-islamiyah fi al-Mizan, (al-Ain: UAEU
Press, 2000), h. 17-20.
141
komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah,
berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa
partai atau golongan.
1. Khawarij
Munculnya aliran Khawarij berawal dari tragedi politik yang
berujung pada perang Shiffin yang terjadi antara pasukan Khalifah Ali
melawan pemberontak yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan.
Di dalam perang ini pasukan Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali bin
Abi Thalib. Namun dengan kelicikan Amru bin Ash sebagai tangan
kanan Muawiyah, ia minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke
atas. Qurra’ yang ada di pihak Ali mendesaknya agar menerima
tawaran itu, maka terjadilah perdamaian (arbitrase/tahkim). Sebagai
juru runding diangkat dua orang yaitu Amru bin Ash dari pihak
Muawiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali.
Dalam perundingan disepakati untuk menjatuhkan kedua
pimpinan yang bertikai, yaitu Khalifah Ali dan Muawiyah sebagai
gubernur Damaskus. Tradisi bangsa Arab mengharuskan Abu Musa Al-
Asy’ari sebagai yang tertua tampil terlebih dahulu. Ia berdiri di
hadapan umat Islam mengemukakan putusan untuk menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang
telah disetujui, ternyata Amru bin Ash mengemukakan hanya
menjatuhi (melengserkan) kedudukan Ali dan menolak penjatuhan
Muawiyah. Dengan demikian, pihak Ali dirugikan dan pihak Muawiyah
diuntungkan.
Peristiwa tersebut di atas menyebabkan umat terpecah
menjadi tiga golongan, yaitu: 1) golongan Khawarij (pasukan Ali yang
pada awalnya tidak setuju terhadap tahkim. Mereka keluar dari
barisan Ali), 2) golongan Syiah (pendukung Ali), dan 3) Golongan
Muawiyah. Dari persoalan politik ini akhirnya beralih ke persoalan
teologis diantaranya ialah golongan Khawarij menganggap meraka
142
yang melakukan tahkim telah berbuat dosa besar. Pelaku dosa besar
hukumnya adalah kafir.190
Pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah
tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang
kafir, dan termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang
terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas
tentang definisi iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah
meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-
orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan
pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal
mempengaruhi iman.
Aliran Murji’ah
2.
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan
Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut
campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah
menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela
kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap irja’, yakni
menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,
biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang
bersalah di antara mereka yang tengah berselisih ini.
Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan
dosa besar masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak
berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam
neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian
ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Di
samping itu, khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga
berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula agar
taubatnya diterima di sisi Allah Swt.
190 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, h. 21
143
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta
senantiasa berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku
dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut
sebagai golongan atau aliran ―murji’ah‖ (orang yang mendapat
putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah,
sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi
pendirian umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat
dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran
Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad
kedua hijrah, muncul orang-orang murji’ah ekstrem yang sangat
meremehkan peran amal perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat
bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan kerasulan
Muhammad saw, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan
perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati
sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada
dalam hati, dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran
murji’ah ekstrem ini adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih,
Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.191
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam
mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak
dituntut membuktikan keimanan dengan perbuatan.
b) Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat
apabila ia berbuat dosa besar maka tidak tergolong kafir dan
hukuman mereka ditangguhkan di akhirat dan hanya Allah
yang berhak menghukum
3.Aliran Syi’ah
Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung,
partai, atau kelompok, sedangkan secara istilah adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaan selalu merujuk
191 Ibid, h. 30
144
kepada keturunan Nabi Muhammad saw. Syi’ah adalah golongan yang
menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena
mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi Muhammad saw, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan
khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab dan
Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di
kalangan umat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin Saba‟,
seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Fitnah tersebut cukup
berhasil, dengan terpecah-belahnya persatuan umat, dan timbullah
Syi’ah sebagai firqoh pertama.
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu
khilafah, kemudian berkembang menjadi agama. Adapun dasar pokok
Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka
menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi
Muhammad saw. Kemudian sambung-bersambung Imam itu menurut
urutan dari Allah.
Beriman kepada imam, dan taat kepadanya merupakan
sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi.
Pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah,
khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at (Nabi) dalam
menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang
diperintahkan Allah. Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan,
pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi baginya tidak ada
kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau
berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai
pengertian yang lain. Imam pertama telah mewarisi macam-macam
ilmu Nabi saw. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa
dan ma’shum. Orang-orang Syi’ah tidak percaya kepada ilmu dan
hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan Syi’ah
sendiri. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan dengan
khilafah ialah Al‟ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj‟ah.
145
4. Aliran Jabariyah
Nama Jabriyah Berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Dalam istilah
Inggris paham jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu
paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak
semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia
dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi
terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah
ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam
keadaan terpaksa.
Paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa arab yang
diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberi pengaruh besar
kedalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara panas ternyata
tidak dapat memberi kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman. Di sana-sini yang tumbuh hanya rumput keras dan
beberapa pohon yang cukup kuat untuk menghadapi panasnya musim
serta keringnya udara.
Aliran jabariyah dibagi menjadi 2 yaitu aliran Jabariyah yang
ekstrem dan moderat. Aliran jabariyah yang ekstrem tokohnya adalah
jahm bin safwan pendapatnya manusia sangat lemah, tak berdaya,
terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimiliki oleh
paham qodariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusai tidak
boleh lepas dari aturan, skenario, dan kehendak Allah.
5. Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
146
qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini,
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya.
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menetukan segala tingkah laku manusia,
baik yang bagus maupun yang jahat. Qadariyah pertama sekali di
munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad
adalah seorang tabi’i yang dapat di percaya dan pernah berguru pada
Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah serorang orator berasal dari
Damaskus dan ayahnya menjadi maula Husna bin affan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Qadariyah berakar
pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan. Qadariyah adalah aliran yang memberikan
penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah
manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melak-
sanakan kehendaknya. Dalam menentukan keputusan yang
menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan,
tanpa ada campur tangan Tuhan.
6. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran
Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar. Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang
ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di
Basra, mendahului gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil
mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati
posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukan mukmin
dan bukan kafir.
147
Aliran Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal
sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Setelah menyatakan pendapat itu, Wasil bi Ata’ meninggalkan
perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk kelompok sendiri.
Kelompok ini dikenal dengan Mu’tazillah. Pada awal
perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam
karena ajaran Mu’tazillah sulit dipahami oleh beberapa kelompok
masyarakat. Hal itu disebabkan ajarannya bersifat rasional dan
filosofis. Alasan lain adalah aliran Mu’tazillah dinilai tidak berpegang
teguh pada sunnah Rasulullah saw dan para sahabat. Aliran baru ini
memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun,
penguasa Bani Abbasiyah.
Aliran Mu’tazillah mempunyai lima dokterin yang dikenal
dengan al-usul al-khamsah. Berikut ini kelima doktrin aliran
Muktazillah.
a. At-Tauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa
hanya Allah Swt. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling
murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-
Tauhid).
b. Ad-Adl
Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan
mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan
mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka
berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi
manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat,
mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar
dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa‟d wa al-Wa‟id (Janji dan Ancaman).
Menurut Mu’tazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya
memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga
menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta
orang yang berdosa besar ke dalam neraka.
148
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di
kalangan Mu’tazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi
orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan
dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga
tidak kafir.
Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum
bertobat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan
tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
e. Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan
dan Melarang Kemungkaran).
7.Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah didirikan oleh Muhammad bin Abu
Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah
Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan). Al-Maturidy mendasarkan
pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran
Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya Al-fiqh Al-Akbar
dan Al-fiqh Al-Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap
kedua kitab-kitab tersebut. Al-Maturidy meninggalkan karangan-
karangan yang banyak dan sebagian besar dalam lapangan ilmu
tauhid. Maturidiyah lebih mendekati golongan Mu’tazillah.192
8.Aliran Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazillah
yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam.
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya,
yaitu Abu Hasan al-Asy’ari. Dan nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan dikota Basrah (Irak) pada tahun 260
H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturunan Abu Musa al-
Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali r.a.
dan Mu’awiyah ra.
192 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, h. 63-64
149
Setelah keluar dari kelompok Mu’tazillah, al-Asy’ari
merumuskan pokok-pokok ajarannya yang berjumlah tujuh pokok.
Berikut ini adalah tujuh pokok ajaran aliran As’ariyah:193
a. Tentang Sifat Allah
Menurutnya, Allah mempunyai sifat, seperti al-Ilm
(mengetahui), al-Qudrah (kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sama‟
(mendengar), dan al-Basar (melihat).
b. Tentang Kedudukan Al-Qur‟an
Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk dalam arti
baru dan diciptakan. Dengan demikian, Al-Qur’an bersifat
qadim (tidak baru).
c. Tentang melihat Allah Swt. di akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah
mempunyai wujud.
d. Tentang Perbuatan Manusia
Perbuatan-perbuatan manusia itu ciptaan Allah.
e. Tentang Antropomorfisme
Menurut alAsy’ari, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan,
sebagaimana disebutkan dalam surah al-Qamar ayat 14 dan ar-
Rahman ayat 27. akan tetapi bagaimana bentuk Allah tidak
dapat diketahui.
f. Tentang dosa Besar
Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin
selam ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
g. Tentang Kekuasaan Allah
Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak
mutlak atas ciptaan-Nya.
150
pada Al-Qur’an dan haditst serta berbagai pendapat tentang kalam
yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.
Penelitian pemula yang dilakukan oleh para tokoh Islam
bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan doktriner dan
substansi ajaran.
194 Lihat: Abu Mansur al-maturidy, Kitab al-tauhid, (iskandariyah: Daar al-jamiat al-
Mishriyah, tt)
151
buku ini, dan buku karangan al-Maturidy sebagaimana
tersebut di atas. Namun, kita tidak tahu persis apakah buku ini
dikaji di pesantren-pesantren atau tidak. Yang penulis ketahui,
para santri mempelajari pemikiran teologi Ahlu Sunnah dari
sumber kedua atau ketiga.
Sebagaimana halnya Al-Maturidy, Al-Asy’ari juga dalam
bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan
mendetail tentang teologi. Pada juz pertama buku tersebut
antara lain dibahas mengenai permulaan timbulnya masalah
perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang disebabkan
karena perbedaan dalam bidang kepemimpinan (imamah dan
politik) yang dimulai dari zaman Usman bin Affan, juga
pembahasan tentang aliran-aliran induk (Ummahat al-Firq)
yang jumlahnya mencapai 10. Yang pertama adalah aliran
Syi’ah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu al-
bayaniyah, al-jinahiyah, al-ruhiyah, al-mughayyirah, al-
manshuriyah, al-khithabiyah, al-ma’mariyah, al-baghiziyah, al-
amiriyah, al-mufdhilah, al-hululiyah, al-qailunan ilahiyatu ‘Ali,
al-rafidlah, al-sabi’iyah, al-mufawwidah, dan al-imamiyah. Al-
Imamiyah ini dibagi lagi menjadi dua puluh empat golongan.
Dalam buku tersebut dibahas pula tentang perbedaan
pendapat di sekitar panggung arasy (hamalatul arsy),
kebolehan bagi Allah dalam mencip-takan alam, tentang al-
Qur’an, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan
manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran,
kembalinya kematian ke dunia sebelum datangnya hari kiamat,
masalah imamah (kepemimpinan), masalah kerasulan,
masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan bagi anak
kecil, tentang tahkim (arbitrase), hakikat manusia, aliran
khawarij dengan berbagai sektenya, dan masih banyak lagi
masalah rumit yang ada hemat penulis belum banyak dikaji
oleh kalangan yang mengaku dirinya sebagai penganut teologi
Asy’ariyah. 195
152
c. Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad menulis buku berjudul Syarh al-
Ushul al-Khamsah yang tebalnya mencapai 805 halaman. Buku
ini ditahkik oleh doktor Abd al-Karim ‘Usman dan diterbitkan
oleh penerbit Maktabah Wahbah tanpa menyebutkan
tahunnya. Bagi seseorang yang ingin mengkaji tentang ajaran-
ajaran Mu’tazilah secara mendalam dan mendetail, mau tidak
mau harus membaca buku ini dengan sikap yang wajar dan
objektif tanpa didahului oleh buruk sangka atau pra konsepsi.
Hal ini penting dilakukan karena hingga saat ini mayoritas
umat Islam memandang Mu’tazilah agak kurang proporsional
bahkan cenderung menghakimi secara sepihak tanpa
memberikan kesempatan kepada Mu’tazilah untuk melakukan
pembelaan diri. Sikap buruk sangka dan tidak proporsional
terhadap Mu’tazilah tersebut mungkin disebabkan karena
dendam lama atas keburukan yang pernah dilakukan sebagian
oknum Mu’tazilah di zaman Al-Ma’mun. Mereka yang tidak
merasa senang terhadap Mu’tazilah ini menulis buku yang
mengesankan Mu’tazilah bernada negatif. Kini saatnya umat
Islam bersikap objektif terhadap kaum Mu’tazilah dengan cara
mempelajari pemikiran Mu’tazilah tersebut dari buku atau
sumber bacaan yang ditulis oleh orang Mu’tazilah sendiri.
Diketahui bahwa ajaran pokok Mu’tazilah ada lima, yaitu al-
Tauhid yang mengesankan Allah, al-Adl yaitu paham keadilan
Tuhan, al-wa’ad al wa’id yakni paham janji baik dan buruk di
akhirat, al-Manzilah bain al-manzilatain serta amar ma’ruf nahi
munkar. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah tersebut dibahas
secara mendetail dalam buku ini. Diantaranya, kewajiban yang
utama dalam mengetahui Allah, makna wajib, makna
keburukan, hakikat pemikiran dan macam-macamnya,
pembagian manusia, urusan dunia dan akhirat, makna
berpikir, dan sebagainya.196
196 Lihat: Al-Qadhi Abdul jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1996)
153
d. Model Thahawiyah
Imam Al-Thahawiyah telah menulis buku berjudul Syarh al-
Akidah al-Thahawiyah yang telah ditahkik oleh sekelompok
para ulama dan diperiksa (di edit) oelh Muhammad Nashir Al-
Din Al-Bayai dan diterbitkan oleh Al-Maktab Al-Islamy pada
athun 1984. Buku yang tebalnya 536 halaman ini secara
keseluruhan membahas teologi dikalangan ulama salaf, yaitu
ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan
pemikiran lainnya yang berasal dari luar Islam, atau bukan
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam buku ini antara lain dibahas tentang kewajiban
mengimani apa yang dibawa oleh para rasul, kewajiban
mengikuti ajaran para rasul, makna tauhid, tauhid uluhiyah,
dan tauhid rububiyah, tafsir potongan ayat ma itakhaza Allah
min walad (Allah tidak mengambil anak), macam-macam
tauhid yang dibawa oleh rasul, tafsir potongan ayat Laitsa ka
mitslihi syaiun (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah),
mengenai wujud yang berada diluar zat, tafsir tentang qudrat
dan penjelasan bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh
segala sesuatu, tafsir kalimat lailaha illa Allah, pembahasan
mengenai sifat al-hayat, kelangsungan sifat yang utama, sifat
zat dan sifat perbuatan bagi Allah, apakah sifat merupakan
tambahan atas zat atau bukan, dan masalah lainnya yang
jumlahnya lebih dari dua ratus pokok masalah.197
e. Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy
Beliau telah menulis buku yang berjudul Al-Syamil Fi Ushul Al-
Din. Di dalam buku tersebut membahas tentang penciptaan
alam yang di dalamnya terdapat hakikat jauhar (substansi),
hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu’tazilah, pembahasan
tentang akidah, kajian tentang dalil atas kesucian Allah.198
f. Model Al-Ghazali
Beliau telah menulis buku Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod. Buku
tersebut membahas tentang perlunya ilmu dalam memahami
197 Lihat: Al-Thahawi, Syarh al-Akidah al-Thahawiyah, (kairo: daar Ibn Rajab, 2002)
198 Lihat: Al-Juwaini, Al-Syamil Fi Ushul Al-Din, (Teheran: Danish Irani, 1981)
154
agama dan juga perlunya ilmu sebagai fardhu kifayah,
pembahasan tentang dzat Allah, tentang qodimnya alam, dan
penetapan tentang kenabian Muhammad saw.199
g. Model Al-Amidy
Beliau telah menulis buku yang berjudul Ghoyah Almaram Fi
Ilmu Kalam, yang membahas tentang sifat-sifat wajib bagi
Allah, sifat nafsianya, sifat yang jaiz bagi Allah, pembahasan
tentang keesaan Allah Swt., perbuatan yang bersifat wajib, al-
wujud, dan tentang tidak ada penciptaan selain Allah.200
h. Model Al-Syahrastani
Beliau telah menulis buku yang berjudul Nihayah Al-Iqdam Fi
Ilmi Al-Kalam, yang membahas tentang barunya alam, tauhid,
sifat-sifat azali, hakikat ucapan manusia tentang Allah sebagai
Yang Maha Pendengar, dan perbuatan-perbuatan sebelum
datangnya syari’at.201
i. Model Al-Bazdawi
Beliau telah menulis buku yang berjudul Ushul Al-Din, yang
membahas perbedaan pendapat para ulama mengenai
mempelajari ilmu kalam dalam mengerjakan dan
menyusunnya, perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab
seorang hamba mengetahui macam-macam ilmu pengetahuan,
tentang Allah sebagai pencipta alam semesta, tentang
kehidupan di akhirat.202
2.
Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan merupakan pengembangan dari penelitian
pemula, yang bersifat mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu
199 Lihat: Abu hamid al-Ghazali, Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod, (Beirut: dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2004)
200 Lihat: Saifuddin al-Amidi, Ghoyah Almaram Fi Ilmu Kalam, (kairo: al-majlis al-A’la
li syu’un al-Islamiyah, 1971)
201 Lihat: Al-Syahrastani, Nihayah Al-Iqdam Fi Ilmi Al-Kalam, (Baghdad: maktabah al-
tsaman, tt)
202 Lihat: Al-Bazdawi, Ushul al-Din, (Kairo: al-maktabah al-Azhariyah li al-Turats,
2005)
155
berdasarkan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian
model pertama.
Model penelitian lanjutan adalah sebagai berikut:
a. Model Abu Zahrah
Abu Zahrah melakukan penelitian terhadap berbagai aliran
dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam
karyanya yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-
Siyasah wa al-’Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat
dalam penelitiannya ini yaitu sekitar masalah objek-objek yang
dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam
bidang politik yang berdampak pada masalah teologi.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam
mahzab Syi’ah yang mencapai 12 golongan, diantaranya Al-
Sabaiyah, Al-Gurabiyah, golongan yang keluar darin Syi’ah, Al-
Kisaniyah, Al-Zaidiyah, Itsna Asyariyah, Al-Imamiyah,
Isma’iliyah. Dikemukakan pula aliran khawarij dengan
berbagai sektenya yang jumlahnya mencapai enam aliran,
yaitu Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan yang
lainnya lengkap dengan berbagai pandangan teologinya. 203
b. Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
Sebagaimana Abu Zahrah, beliau pun memusatkan
penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat
dalam Islam serta pertumbuhan Ilmu Kalam dikalangan
masyarakat Islam. Hasil penelitiannya itu ia tuangkan dalam
karyanya yang berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa
Nasy’atu ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin. Yang diungkapkan
beliau antara lain sejarah pertumbuhan ilmu kalam, keadaan
akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur
Rasyidin, dan zaman Bani Umayah dengan berbagai
permasalahan teologi yang muncul pada zaman tersebut.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aliran
Mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran
203 Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-
‘Aqaid, (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi, 2007)
156
teologinya, pembahasan tentang aliran Khawarij lengkap
dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.204
c. Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-’Abd
Beliau secara khusus melakukan penelitian terhadap pokok-
pokok pemikiran yang dianut aliran Ahlu Sunnah. Hasil
penelitiannya ini dituangkan dalam karyanya yang berjudul al-
Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl al-Sunnah yang tebalnya 162
halaman. Buku ini diterbitkan oleh Dar al-Nahdlah al-Arabiyah
di Mesir (tanpa menyebutkan tahunnya).
Dalam buku ini antara lain dibahas tentang pokok-pokok
yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dikalangan
umat Islam, masalah Mantiq dan falsafah, hubungan Mantiq
dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, bentuk dna pemikiran,
pembentukan konsep, barunya alam, sifat yang melekat pada
Allah Azza wa Jalla, nama-nama Tuhan, keadilan Tuhan,
penetapan kenabian, mu’jizat dan karomah, rukun Islam, Iman,
dan Islam, taklif (beban), Al-Sam’iyyat (wahyu atau dalil naql),
Al-Imamah, serta ijtihad dalam hukum agama.205
d. Model Ahmad Mahmud Shubhi
Beliau adalah dosen Filsafat Islam Fakultas Adab Universitas
Iskandariyah. Beliau melakukan penelitian dalam bidang
teologi Islam dan telah dipublikasikan dalam 2 buku yang
berjudul Fi Ilmi Kalam. Buku pertama yang tebalnya 368
halaman khusus membahas mengenai aliran Mu’tazilah
lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokonya, sedangkan buku
kedua yang tebalnya 334 halaman membahas mengenai aliran
Asy’ariyah lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokohnya. 206
e. Model Ali Sami Al-Nasyr dan Amar Jam’iy Al-Thaliby
Beliau melakukan penelitian khusus terhadap akidah kaum
Salaf dengan mengambil tokoh Ahmad Ibn Hambal, Al-Bukhari,
204 Lihat: Ali Mushthafa Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-
Kalam ‘ind al-Muslimin, (kairo: al-mathba’ah al-Husainiyahal-Mishriyah, 1948)
205 Lihat: Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Abd, al-Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl al-
Sunnah, (Kairo: Daar an-nahdhah al-Arabiyah, 2006)
206 Lihat: Ahmad Mahmud Shubhi, Fi Ilm al-kalam, (Kairo: Dar an-nahdhah al-
Arabiyyah, 1985)
157
Ibn Khutaibah, dan Usman Al-Darimy. Dalam buku tersebut
diungkapkan tentang pemikiran kaum Salaf yang berasal dari
tokoh-tokohnya yang menonjol itu.207
f. Model Harun Nasution
Harun Nasution dikenal sebagi guru besar Filsafat dan Teologi,
yang banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian di
bidang pemikiran teologi Islam (Ilmu Kalam). Salah satu hasil
penelitiannya dituangkan dalam buku Fi Ilm al-Kalam (Teologi
Islam). Dalam buku tersebut dikemukan tentang sejarah
timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam, tentang
berbagai aliran dalam teologi Islam lengkap dengan tokoh-
tokoh dan pemikirannya. Kemudian beliau melakukan analisis
dan perbandingan terhadap masalah akal dan wahyu, free will
dan predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
dan konsep iman.208
Dari berbagai penelitian lanjutan tersebut, dapat diketahui
metode dan pendekatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, penelitian lanjutan yang dilakukan para peneliti
tersebut secara keseluruhan termasuk penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian yang mendasar-kan pada data yang terdapat dalam
berbagai sumber rujukan di bidang teologi Islam.
Ke dua, secara keseluruhan penelitiannya bercorak deskriptif,
yaitu penelitian yang menekankan pada kesungguhan dalam
mendeskripsikan data selengkap mungkin.
Ke tiga, dari segi pendekatan yang digunakan secara
keseluruhan menggunakan pendekatan historis, yakni mengkaji
masalah teologi tersebut berdasarkan data sejarah yang ada dan
dilihat sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan.
207 Lihat: Ali Sami Al-Nasyr dan Amar Jam’iy Al-Thaliby, Aqaid as-Salaf, (iskandariyah:
Mansya’at al-Ma’arif, 1971)
208 Lihat: Harun Nasution, Teoligi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1983)
158
Ke empat, dalam analisisnya selain menggunakan analisis
doktriner juga menggunakan analisis perbandingan, yaitu dengan
mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran dengan
sedemikian rupa dan kemudian barulah dilakukan perbandingan.
159
BAB IX
STUDI ILMU TASAWUF
A. PENGERTIAN TASAWUF
Ada beberapa pendapat terkait asal dari kata tasawuf. Menurut
Haidar Bagir istilah tasawuf dapat dirujuk kepada beberapa kata
dasar, yakni:209
1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi
berada dalam shaff pertama.
2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa
mencirikan pakaian kaum sufi.
3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid
(ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi
masjid Nabawi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary,
Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn
Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman.
4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku
Baduwi yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani
Shufah.
5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal
istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna
pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan yang
disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan
mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna
penyucian sulfur merah.
Selanjutnya, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih
dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi
itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-
160
hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah
(pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada
apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar
shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran
al-Qur’an tentang penyucian hati.210 Sedangkan menurut Amin Syukur
yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu
domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para
sufi maupun aspek kesejarahan.211
Secara terminologi ada banyak definisi tasawuf yang telah
dibuat oleh para ulama, diantaranya:
1. Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf ialah
penjabaran ajaran Alquran, sunnah, berjuang mengendalikan
hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan
syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.212
2. Menurut Ahmad Amin tasawuf ialah bertekun dalam ibadah,
berhubungan langsung dengan Allah Swt., menjauhkan diri
dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang
diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk
dalam berkhalwat untuk beribadah.213
3. Zakaria al-Anshari, tasawuf ialah mengajarkan cara untuk
mensucikan diri, meningkatkan akhlak, berlaku zuhud
terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari
dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah mendekatkan
diri kepada Allah dan memperoleh hubungan langsung
dengannya.214
4. Ibrahim Hilal dalam bukunya Tasawuf Antara Agama dan
Filsafat, bahwa tasawuf pada umumnya bermakna menempuh
kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia,
rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis
210 Ibid
211 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Cet. II. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 11
212 Abu Qasim Al-Qusyeiry, Latha’if al-isyarat (Mesir: al-hai’ah al-Mishriyyah al-
Ammah li al-Kitab, 2000), jilid 1, h. 14
213 Ahmad Amin, Zhuhur al-islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), h. 24
214 A Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 207
161
amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam,
dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi
jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau
ruhani menjadi kuat.215
Dengan demikian, secara istilah tasawuf adalah cara atau jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Upaya para ahlinya untuk
mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis,
keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung
proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam
kitab suci.216
215 Ibrahim Hilal, Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana
dan E. Kusdian, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis,
(Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah, 2002), h. 19
216 Haidar Baqir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung; Mizan, 2005), h. 7
217 Lihat: HAMKA, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka
panjimas, 1993).
162
C. AJARAN-AJARAN TASAWUF
Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian
kesempurnaan serta kesucian jiwa. Kebersihan jiwa yang dimaksud
adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-
hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam
mengontrol diri pribadi, setia dan senantiasa merasa dalam
kebersamaan dengan Allah Swt. Untuk mencapai hal tersebut, tidak
ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang
diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar
dan disiplin tingkah laku yang ketat.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau
jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja
menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa
yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu
menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga
kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa
yang bersifat suci dari pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu,
hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui
jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy. Takhalliy berarti
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-
kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau
penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang
berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan
dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan
sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik,
berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas
ketentuan agama. Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang
perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta
(hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha,
tawakkal.
163
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia
akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti
lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau
terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala
sesuatu (selain Allah) ketika tampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy
tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati
nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila
dibandingkan dengan kemampuan akal.218
164
segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut pendapat beberapa
ulama:
a. Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan
formasi sebagai berikut: Taubat, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu’,
Takwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma’rifat.221
b. Al-Ghazali ada delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir,
Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ridha, dan Ma’rifat.222
c. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa maqamat hanya
ada tujuh macam yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar,
Tawakkal dan Ridha.
d. Menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam
yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Sabar, dan Ridha.223
Kendati ada perbedaan ulama tentang jumlah formulasi
maqamat, tetap ada tingkatan yang sama disepakati dan mesti ada
sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai mana yang disebutkan
oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan
diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar, Tawakkal dan
Ridha.224
Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
a. Taubah, ialah meninggalkan keinginan untuk kembali
melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya
karena rasa takut akan kebesaran Allah Swt., dan menjauhkan
diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat bahwa taubat
adalah maqamat pertama.225 Mengingat bahwa taubat
merupakan metode atau cara untuk mengikis semua sifat yang
jelek. Menurut para sufi, dosa itu adalah pemisah antara
manusia dengan Allah, sebab dosa itu adalah sesuatu yang
kotor sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang yang
221 Lihat: Abu bakr al-Kalabadzi, Al-ta’aruf li Mazahib Ahl al-Tasawwuf, (Kairo: al-
Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, tt).
222 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Makassar: Yayasan fatiyah Makassar, 2002), h. 62
223 Ibid, h. 62
224 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 102
225 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 64
165
senantiasa mensucikan dirinya dari dosa dengan cara
bertaubat.
b. Zuhud, diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan
menjauhkan diri dari hidup kebendaan.226 Namun al-Gazali
mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan
kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran.
Sedangkan al-Qusyaeri menyebut zuhud yaitu tidak merasa
bangga dengan kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan
tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan dari
tangannya.227
c. Sabar. secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar
adalah sebuah kondisi mental dalam mengendalikan hawa
nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan agama. Sabar
yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten
dalam melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan yang
ditimpakan kepadanya.228
d. Tawakkal. Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap
pasrah secara total setelah melaksanakan suatu usaha.
Tawakkal juga berarti berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah
Swt. dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut
sufi, tawakkal tidak cukup hanya sekadar penyerahan diri
seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan
merefleksikannya melalui sikap dan tindakan dalam segala
hal.229
e. Ridha, secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut
Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar
Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci di
dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah
perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa mala petaka
226 Ibid, h. 65
227 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), h. 65
228 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 68
229 Ibid, h. 68
166
ia tetap senang dan ridha menerimanya sebagaimana ketika ia
mendapat rahmat dan nikmat.230
2.Ahwal
Ahwal merupakan keadaan mental, seperti keadaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.231 Ahwal Juga
diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang
diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah Swt. Ahwal sebenarnya
manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat
sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis,
sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi
yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat
subjektif dan personal.232
Beberapa ahwal dalam tasawuf, berikut penjelasannya:
a. al-Khauf, yakni merupakan sikap mental dengan merasakan
ketakutan pada Allah Swt., karena kurang sempurna
pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut
dan khawatir jika Allah Swt. tidak senang padanya. Oleh
karena itu, sufi selalu berusaha agar perilakunya tidak
menyimpang dari yang dikehendaki Allah Swt.233
b. al-Raja’, yang merupakan sikap mental yang optimis dalam
memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan
penyayang, maka sufi penuh ‗harap’ memperolah ampunan
dan limpahan rahmat. Sikapraja ini akan member semangat
dalam riyadhah dan mujahadah sehingga dengan penuh gairah
menanti harapan datangnya rahmat Allah Swt.234
c. al-syauq, yakni Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi
untuk ingin bertemu dengan Tuhannya. Hasratnya bergelora
untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Pengetahuan,
pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada
230 Ibid, h. 68
231 Ibid, h. 63
232 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 71
233 Ibid, h. 71
234 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 73
167
Allah Swt., menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan
bergairah yang melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk
bertemu dengan Yang dicintai.235
d. al-Uns, yaitu kedaan jiwa yang sepenuhnya terfokus kepada
Alah Swt. Tidak merasa tidak mengingat dan tidak mengharap
kecuali kepada Alah Swt.236
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa ahwal itu
sebagai kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara
damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa jalan
yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh
hubungan batin dan ―bersatu dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara
yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan
penerapannya. Maqamat diperoleh melalui usaha yang berat dan
keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan tidak berubah.
Seperti kesabarannya menerima cobaan sama saja ketika menerima
nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat dari perilaku keseharian sufi
seperti kesabaran, tawakkal, zuhud dan kerelaan.
Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugerah, rahmat
(bukan unsur usaha dan perjuangan), keadaannya bersifat labil dan
tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih, kadang senang).
Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak bisa dilihat
orang lain), dan hanya dapat dirasakan dan dipahami serta diketahui
oleh orang yang mengalaminya.
Maqamat dan Ahwal keduanya mempunyai dua sisi yang sama
dan sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan makin tinggi tingkat maqamat
yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang
diperolehnya dan dirasakannya.
235 Ibid, h. 75
236 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 71
168
teoretis. 2) tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni ajaran tasawuf
yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya
pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf.
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur
menjelaskan pembagian tasawuf;237
a. Tasawuf akhlaqy adalah ajaran tasawuf yang membahas
tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan
pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia
harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya
dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang
berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna
dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal
dengan takhalliy (pengosongan)
b. Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan
pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, di mana
dalam thariqah dibedakan antara kemam-puan sufi yang satu
daripada yang lain.
c. Tasawuf falsafy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya.
Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-
macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak
hilang.
237 HM Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 164
169
penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang
mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema
tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis
terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia
menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin
hubungan yang intens dengan Tuhandalam upaya untuk mencapai
keutuhan manusia.238
2.
Model Mustafa Zahri
Mustafa Zahri memusatkan terhadap tasawuf dengan menulis
buku berjudul kunci memahami ilmu tasawuf. Penelitiannya bersifat
eksploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu
tasawuf. Ia menekankan ajaran yang terdapat dalam tasawuf
berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta
dengan mencari sandaran pada Al-Quran dan haditst. Ia menyajikan
tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh
kehidupannabi, kunci mengenal Allah, sandi kekuatan batin, fungsi
kerohanian dalam menentramkan batin, serta tarekat dan fungsinya.
Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran
makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.239
238 Lihat: Sayyed Hossein Nasr, The Garden of truth: the Vision and promise of Sufism,
islam’s Mistical Tradition, terj. Yuliani liputo, (Bandung: Mizan, 2020)
239 Lihat: Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979).
240 Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn al-`Arabi: wahdat al-wujud dalam perdebatan,
Jakarta: Paramadina)
170
4. Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar bidang teologi dan
filsafat Islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian dan
bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistitisme
dalam Islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf dalam tema jalan untuk dekat dengan Tuhan. Pendekatan
tematik dinilai lebih menarik karena dinilai langsung menuju
persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang lain.
Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalam garis
besarnya saja.241
5.Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan,
banyak melalui studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf.
Dalam bukunya Pasang Surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba
menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan
tematik dan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba
kemukakan tentang firman Allah, kehidupan para nabi, para zahid,
para sufi, para ahli teori tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf,
tarekat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran Dari
isi penelitiannya tersebut, tampak bahwa Arberry menggunakan
analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses
aktualisasi nilai atau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke
dalam makan kehidupan modern yang lebih luas.242
241 Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983).
242 Lihat: AJ. Arberry, Sufism an account of Mystic of Islam, (London: mandala Book,
1979)
171
BAB X
STUDI FIQH DAN HUKUM ISLAM
1.Syari’ah
Secara harfiah kata syari’ah berasal dari kata syara‟a-
yasy‟rau-syariatan yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum.
(Louis Ma’luf: t.t, 383) Pengertian lainnya yang dikemukakan dalam
Kitab Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi‟i, secara bahasa
Syari’ah adalah jalan lurus. Syariah dalam arti istilah adalah hukum-
hukum dan aturan-aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-
hamba-Nya.243 Dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah
wahyu Allah, baik dalam pengertian wahyu al-Matluw (Al-Qur’an),
maupun al-Wahyu gair matluw (Sunnah).
2.Fiqh
Fiqh secara bahasa berarti fahm yang bermakna mengetahui
sesuatu dan memahaminya dengan baik. Secara terminologi, Abu
Hanifah memberikan pengertian Ma’rifatu al-nafsi ma laha wa ma
alaiha, yang artinya mengetahui sesuatu padanya dan apa apa yang
bersamanya yaitu mengetahui sesuatu dengan dalil yang ada.
Pengertian yang Abu Hanifah kemukakan ini umum yang mencakup ke
243 Lajnah Marasiah, Buhuts fi al-Fiqh ‘al al-Mazhab al-Syafi’i, Kairo: Mathba’ah, 2000),
h. 20
172
seluruh aspek seperti Aqidah dengan wajibnya beriman atau Akhlak
dan juga Tasawuf.244
Pengertian terminologis fiqh yang paling terkenal adalah
pengertian fiqh menurut Imam Syafi’i yaitu pengetahuan tentang
syari’ah; pengetahuan tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf
berdasarkan dalil yang terperinci.
Berdasarkan dengan perkembangan hukum Islam ke berbagai
belahan Dunia, term fiqh berkembang hingga digunakan untuk nama-
nama bagi sekelompok hukum-hukum yang bersipat praktis.
Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan sistem
hukum Islam kata fiqh ini diartikan dengan hukum yang dibentuk
berdasarkan syariah, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya
memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau
pengetahuan dan juga Ijtihad.245 Dalam kajian studi Hukum Islam ini
arti fiqh yang dimaksudkan adalah arti fiqh dalam pengertian yang
diberikan oleh Imam Syafi’i yang lebih mengkhususkan artian fiqh
kepada aturan-aturan mengenai perbuatan mukallaf.
3.
Ushul al-Fiqh
Usul Fiqh terdiri dari dua kata usul jamak dari asl yang berarti
dasar atau sesuatu yang dengannya dapat dibina atau dibentuk
sesuatu, dan kata fiqh yang berarti pemahaman yang mendalam.
Menurut Istilah, Pengertian usul fiqh adalah ilmu tentang kaidah dan
pembahasan yang mengantarkan kepada lahirnya hukum-hukum
syariah yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.246 Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syariah.
Dengan kata lain usul al-fiqh adalah sistem (metodologi) dari ilmu
fiqh.
244 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islami wa adillatuhu, jilid 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 29
245 Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, (Pustaka Setia, 2011), h. 13
246 Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-islami, (Kairo: Daar al-Qalam, 1978), h.
738
173
4.Mazhab
Pengertian mazhab secara bahasa berarti ―tempat untuk pergi
yaitu jalan, sedangkan pengertian mazhab secara istilah adalah:
pendapat seorang tokoh fiqh tentang hukum dalam masalah
ijtihadiyah.247 Secara lebih lengkap mazhab adalah: paham atau aliran
hukum dalam Islam yang terbentuk berdasarkan ijtihad seorang
mujtahid dalam usahanya memahami dan menggali hukum-hukum
dari sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
5.Fatwa
Fatwa artinya petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum. Dalam istilah fiqh, fatwa berarti pendapat
yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban
yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat. Pihak yang meminta fatwa boleh jadi adalah pribadi atau
lembaga maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan
mujtahid tersebut tidak bersifat mengikat atau mesti diikuti oleh si
peminta fatwa dan oleh karenanya fatwa ini tidak mempunyai daya
ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh disebut dengan
Mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut mustafti.248
6.Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata
kerja Qala-Yaqulu. Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan,
baik sempurna maupun tidak.249 Kiranya secara simpel Qaul dapat
diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata
Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau
ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam
fiqh tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu
Qaul Qadim dengan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau
174
ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau
ketika berada di Mesir.250
175
Orang yang malakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Adapun
syarat-syarat seorang mujtahid adalah: a) Islam, b) Menguasai al-
Qur'an dan ilmu-ilmunya, c) Memahami hadits dan ilmunya, d)
Memahami kaidah bahasa Arab, e) Memiliki ilmu-ilmu yang terkait
dengan masalah yang dibahas.
Mujtahid dapat dikategorikan menjadi 3 bentuk:
a. Mujtahid mutlak adalah mengistinbat [memutuskan] hukum
dari al-Qur’an dan sunnah tanpa terikat dengan dengan
pendapat imam sebelumnya. Contahnya imam mazhab yang
empat Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
b. Mujtahid mazhab adalah mengistinbat hukum dari qa’edah
imam mazhabnya, seperti Imam Muzanni.
c. Mujtahid fatwa/tarjih adalah orang yang menarjihkan
(memilah pendapat kuat dan dha,if) dalam pendapat-pendapat
yang sudah difatwakan para ulama, seperti Imam Rafi’i dan
Imam Nawawi.
Ijtihad dapat dilakukan dengan beberapa cara atau bentuk
antara lain:
a. Ijma’’, yaitu kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
terhadap suatu masalah hukum.
b. Qiyas: Secara bahasa artinya mengukur atau mempersamakan,
yakni membandingkan atau mempersamakan hukum suatu
perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perkara
lain yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur'an atau
sunnah dengan melihat persamaan 'illat (sebab yang
mendasari ketetapan hukum). Misalnya: arak (khamr)
diharamkan karena memabukkan. (Q.S: 2: 219) dan riba
diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S.
2:275). Maka secara qiyas, benda dan hal lainpun jika ternyata
memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi
haram juga.
c. Istihsan, Yaitu menetapkan suatu hukum berdasarkan prinsip-
prinsip umum ajaran Islam, seperti keadilan, kasih sayang.
Istihsan juga merupakan perpindahan dari suatu qiyas kepada
176
qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumentasi
dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah
kemudharatan. Contohnya: menurut aturan syara’, dilarang
mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi
akad. Akan tetapi berdasarkan istihsan jual beli yang demikian
dibolehkan dengan sistem pembayaran di awal kemudian
barangnya dikirim kemudian asalkan sudah jelas identitas
barangnya.
d. Istishab, yaitu menetapkan menurut keadaan sebelumnya
sampai ada dalil lain yang mengubah keadaannya. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu’ atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin
kepada keadan sebelum berwudhu’, sehingga ia harus
berwudhu’ kembali karena sholat tidak sah bila tidak
berwudhu’.
e. Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan
tinjauan kegunaan atau kemanfa’atannya sesuai dengan tujuan
syari’at, sementara tidak ada dalil yang melarang atau
mewajibkan pencapaiannya. Misalnya membukukan atau
mencetak al-Qur'an, menggaji muazzin, imam, khotib dan guru
agama serta mengadakan perayaan hari besar Islam.
f. Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adapt yang
sudah menjadi kebiasaan orang banyak. Contoh keharusan ijab
kabul dalam jual beli dapat diganti dengan ucapan terima kasih
karena sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
g. Syar’u man Qablana, yaitu syari’at yang diturunkan Allah
melalui Nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw
selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
h. Sadd adz-Dzari’ah, yaitu menurut bahasa artinya menutup
jalan. Sedangkan menurut istilah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat.
177
C. MENGENAL MAZHAB FIQH DAN
METODOLOGINYA
Al-Mazahib bentuk plural dari mazhab, yang secara literal
berarti jalan untuk pergi. Dalam karya-karya tentang agama Islam,
istilah mazhab erat kaitannya dengan hukum Islam adapun mazhab
hukum yang terkenal sampai saat ini ada 4 mazhab yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab
yang ada dalam Islam dan mereka bukanlah hukum sunni yang
representatif karena sejak dari abad pertama sampai kepada
permulaan abad keempat tidak kurang dari 19 mazhab hukum atau
lebih dalam Islam yang dalam arti kata muslim terdahulu tidak henti
hentinya untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang
berkembang.251
Timbulnya mazhab-mazhab ini disebabkan oleh beberapa
faktor yang oleh Ali As-Sais dan Muhammad Syaltut
mengemukakannya:
1. Perbedaan dalam memahami tentang lafaz Nas
2. Perbedaan dalam memahami Haditst
3. Perbedaan dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
4. Perbedaan tentang Qiyas
5. Perbedaan tentang penggunaan dali-dalil hukum
6. Perbedaan tentang mentarjih dalil-dalil yang berlawanan
7. Perbedaan dalam pemahaman Illat hukum
8. Perbedaan dalam masalah Nasakh.252
Berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya
selain yang dikemukakan di atas, lahirnya mazhab juga terjadi karena
perbedaan lingkungan tempat tinggal mereka, para fuqaha’ terus
mengembangkan istinbath hukum yang mereka gunakan secara
individu dari berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi dan
178
metode yang mereka gunakan terus melembaga dan terus di ikuti oleh
para pengikutnya yaitu para murid-murid mereka.
179
Adapun diantara murid-murid Abu Hanifah yang berperan
sangat penting dalam penyebaran mazhab Abu Hanifah maraka
adalah: Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-hasan al-Syaibani.
2. Mazhab Maliki
Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Malik. Nama lengkapnya
yaitu Imam Malik ibnu Anas ibnu Abi Amar Al Ashbahy. Beliau
dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. dan beliau juga wafat di
Madinah pada tahun 179 H yang bertepatan dengan tahun 795 M.
Beliau adalah tokoh fiqih di Hijaz, bahkan beliau di katakan sebagai
tokoh fiqih seluruh umat Islam. Banyak sekali ulama-ulama besar yang
mempelajari hadits dari beliau. Sudah 70 tokoh ilmu mengakui
keahliannya, dan mulai saat itulah beliau berani membuka majlis
pengajaran. Ketinggian ilmu dalam urusan fiqih dan hadits telah di
akui oleh Asy syafi’i, di mana beliau berkata: Apabila orang-orang
menyebut nama ulama maka Imam Maliki lah sebagai bintangnya dan
tak ada orang yang lebih saya percayai daripada Maliki. Karena itulah
banyak sekali ulama Mesir dan Maqhribi datang ke Madinah untuk
belajar pada beliau. Imam Malik lebih memuliakan ilmu dari pada
kedudukannya, serta terus berusaha mengembangkan ilmu.
Al-Malik adalah orang yang sangat kuat imannya, dan tidak
gentar kepada raja atau kepala negara. Di antara kitabnya yaitu Al-
muwaththa’ yang membahas tentang Haditst dan fiqih. Kitab ini
mengumpul kan hadits ulama Hijaz, dan pendapat-pendapat sahabat
dan tabi’in.
Ciri-ciri fiqh Imam Malik adalah:
a. Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
b. Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa sahabat,
mewarnai penjabaran pengembangan hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid Imam Malik yang
mengembangkan ajarannya adalah: Abdullah bin Wahab, Abdul
Rahman bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdur-Rahman bin Hakam,
Ashbaga bin Al-faraz al Umawi.253
253 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 28
180
3.Mazhab al-Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi’i ialah Abu Abdillah Muhammad
Ibnu Idris Asy-Syafi’i, Beliau salah seorang keturunan Abdul Muttalib
ibnu Hasyim ibnu Abdul Manaf ibnu Qusay ibnu kilab, yaitu seorang
putra Quraish Muttaliby. Beliau di lahirkan di Ghuzzah atau Asqalan
pada tahun 150 H yang bertepatan dengan tahun 767 M, yakni pada
tahun wafatnya Abu Hanifah. Beliau dibesarkan di Mekkah. Al Imam
Asy Syafi’i bisa menghafal Al Qur’an pada usia 9 atau 10 tahun.
Kemudian beliau mempelajari lughah, sya’ir dan sejarah bangsa Arab.
Beliau memperoleh ilmu lebih mendalam tentang masalah ini. Setelah
itu beliau juga sangat tekun mempelajari ilmu hadits, fiqih serta
memperdalam pengetahuannya dalam tafsir Al-Qur’an. Beliau
memperoleh cita-citanya untuk menjadi ulama besar sebelum beliau
berumur 20 tahun.
Adapun sumber istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah:
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qaul al-Shahaba, Qiyas, Istishab.254
Banyak karya-karya Imam Syafi’i dalam memberikan keterangan
kajian fiqhi diantaranya kitab ar-Risalah dan al-Umm.
Ciri khas fiqh Imam Syafi’i:
a. Polanya mengawinkan antara cara yang ditempuh Imam Malik
dengan Imam Hanafi.
b. Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau kejadian yang
benar-benar terjadi.
c. Terdapat banyak perbedaan antara pendapat Syafi’i sendiri,
antara Qaul Qodim (pendapatnya sewaktu di Irak) dengan Qaul
Jadid (pendapatnya sewaktu di Mesir).
Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab ini antaranya
Ahmad Ibnu Hambal, Al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah Az-
Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah
AlBuaithy, Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin
Sulaiman al Murady.
254 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 151
181
4. Mazhab Hambali
Nama lengkap Imam Ahmad ibn Hambal ialah Abu Abdillah
Ahmad ibn Hilal ibn Asad adzDzuhaly Asy Syaibany. Beliau dilahirkan
pada tahun 164H yabng bertepatan dengan tahun 780M, menetap di
Baghdad hingga akhir hayatnya.
Beliau mengadakan perlawatan ke berbagai kota besar untuk
kepentingan ilmu haditst seperti kota Kuffah, Basrah, Mekkah,
Madinah, Yaman, Syam dan Al-zalzirah. Ahmad ibnu Hambal
mempertahankan pendiriannya, yakni Al-Qur’an itu bukan makhluk,
karena itu, beliau di pukul dan didera. Hal ini terjadi pada tahun 220
H.
Pada zaman Al-Mutawakkil, barulah beliau dibebaskan dari
penjara dan dimuliakan kembali. Adapun kitab yang bernama Al-
Musnad yang telah mengumpulkan sejumlah 40.000 Hadits Beliau
wafat di Baghdad pada tahun 241 H. yang bertepatan dengan tahun
855 M.
Beliau berpegang teguh pada ayat Al-Quran dipahami secara
lahir dan secara mafhum adapun dasar istinbat mengenai hukum fiqih
adalah Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas.
Adapun pola fikir Imam Hambal adalah:
a. al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada
ketentuan dalam alqur’an maka Ia mengambil makna yang
tersurat, makna yang tersirat diabaikan.
b. Apabila tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan Sunnah maka
ia mengambil atau menukil fatwa sahabat yang disepakati dari
sahabat sebelumya.
c. Apabla fatwa sahabat berbeda-beda maka ia mengambil fatwa
sahabat yang paling dekat dengan dalil yang ada dalam al-
Qur’an dan Sunnah.
d. Beliau menggunakan haditst mursal dan haditst dha’if apabila
tidak ada ketentuan sahabat, atsar, ataupun ijmak yang
menyalahinya.
182
e. Apabila haditst mursal dan dhaif tidak ada maka ia
menggunakan metode Qiyas dalam keadaan terpaksa.255
f. Langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-dzari’ah.
Beliau tidak memiliki karya yang dia buat sendiri hanya saja
para muridnya mengembangkan ajarannya dan membuat karya –
karya tentang istinbat hukum yang beliau lakukan, salah satu contoh
dari kitab mazhab ini adalah sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad
bin Muhammad bin Harun. Adapun tokoh yang menyebarkan
ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ahmad bin
Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn Hanbal,
Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni.256
5.Mazhab Ja’fari
Nama lengkapnya Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal-
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah ulama besar
dalam banyak bidang ilmu Filsafat, Tasawuf, Fiqih, dan juga ilmu
kedokteran. Fiqh Ja’fari adalah fiqih dalam mazhab Syi’ah pada
zamannya karena sebelum dan pada masa Ja’far Ash-Shadiq tidak ada
perselisihan. Perselisihan itu muncul sesudah masanya.
Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian
hukun adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Aqal (Ra’yu).257
Pengikutnya banyak di Iran dam negara sekitarnya, Turki,
Syiria, dan Afrika Barat. Mazhab ini diikuti juga oleh umat Islam
negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.
255 Jaih Mubarak, Sejarah dan perkembangan hukum Islam; editor, Cucu Cuanda,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 118
256 Ibid, h. 116
257 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 28
183
Barat maka mulai saat itulah muncul tokoh-tokoh dalam Islam yang
mencoba mereformasi hukum Islam dengan mengangkat tema bahwa
pintu ijtihad telah terbuka demi perkembangan Islam dari zaman ke
zaman.
Dalam berbagai bidang muncul tokoh-tokoh yang mencoba
memberikan sumbangan fikirannya dalam perkembangan Islam dan
hukum Islam sebagai contoh: Abdul Qadir Audah dengan bukunya
Tasyri’ul jina’i Al-Islamy bi al-Qonun al-Wadhie yang mencoba
membandingkan antara hukum Perancis dengan hukum Islam.
Muhammad Baqir Al-Sadr seorang ulama Syiah dari Irak,
Sayyid Abu A’la Al-Maududi seorang idiolog fundamentalis dalam
Islam khususnya Pakistan, Ali Abd Al-Razik yang menulis buku Al-
Islam wa Ushul Alhukm, buku ini menimbulkan kontroversi di Mesir
dan juga negeri-negeri lain karna buku ini mengemukakan mengenai
pembenaran dihapuskannya kesultanan Utsmaniyah di Turki dan
berpendapat Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan.258
Di Indonesia sendiri pengkajian hukum Islam terus
berkembang dengan didirikannya IAIN serta banyaknya universitas-
universitas swasta yang mengkaji Islam di berbagai daerah di
Indonesia khususnya di Fakultas Syariah yang benar-benar kajian
utama dari fakultas ini adalah hukum Islam. Lain dari itu adanya MUI
yang selalu memberikan fatwa yang sesuai yang sesuai dengan
keadaan Islam di Indonesia dalam memberikan istinbat hukum sesuai
dengan masalah yang ada serta majelis-majelis lainnya di setiap
organisasi Islam di Indonesia, seperti majelis tarjihnya
Muhammadiyah. Hal ni merupakan suatu karya yang penting bagi
umat Islam Indonesia serta perkembangan yang baik
dalam pembaruan hukum Islam.
Selanjutnya perkembangan yang paling besar yang ada di
Indonesia ini adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang
merupakan fiqhnya indonesia serta telah banyaknya dimulai
pembentukan Undang-undang di Indonesia berasaskan hukum Islam.
258 Jhon L. Esposito, What Everyone needs to know about islam, (UK: Oxford University
Press 2002), h. 209-210
184
Belakangan ini beredar wacana bahwa KHI yang ada ini sudah
tidak cocok lagi menurut kemajuan zaman untuk itu menerapkan
tokoh Islam mencoba memberikan pembaruan KHI yang biasa saat ini
dikenal dengan Counter Legal Draft KHI (CLD KHI) yang sampai saat
ini masih belum selesai di perbincangkan karena masih terjadi pro
dan kontra atas isi dari CLD KHI tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan
sebagian pihak memandang bahwa sejumlah pasal yang ada di dalam
CLD KHI itu melanggar ajaran Islam, perbincangan dan wacana akan
hal ini sangat menyorot perhatian para tokoh-tokoh Islam.
Meskipun demikian hal ini merupakan salah satu contoh dari
adanya Usaha tokoh-tokoh Islam mengadakan pembaruan dalam
hukum Islam adapun metode yang mereka pijak dalam pembuatan
CLD KHI ini salah satunya adalah kaidah Ushul yang mengatakan
jawaz naskh alnushush bi al-maslahah serta yang pasti mengikuti
metode ulama terdahulu ataupun dengan metode baru. Hal ini
dijadikan momentum adanya usaha pembaruan hukum Islam serta
keseriusan tokoh Islam membuka kembali pintu ijtihad.
185
Melalui pendekatan kesejarahan Harun Nasution membagi
perkembangan aturan islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi,
periode sobat Nabi, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid
serta kemunduran.
(a)Pada periode Nabi
Bahwa segala dilema dikembalikan kepada Nabi untuk
menyelesaikannya, maka Nabi lah yang menjadi satu-satunya
sumber hukum. Secara pribadi pembuat aturan yaitu Nabi,
tetapi secara tidak pribadi Tuhan lah pembuat hukum. Karena
aturan yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari
Tuhan. Sumber aturan yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-
zaman sesudahnya ialah al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
(b)Pada periode Sahabat Nabi
Pada periode ini, kawasan yang dikuasai islam bertambah luas
dan termasuk dalamnya kawasan di luar Semenanjung Arabia
yang telah memiliki kebudayaan tinggi dan susunan
masyarakat Arabia ketika itu, maka sering dijumpai banyak
sekali dilema hukum. Untuk itu para sobat di samping
berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah juga kepada
sunnah para sahabat.
(c) Pada periode ijtihad serta kemajuan
Pada periode ijtihad yang disamakan oleh Harun Nasution
dengan periode kemajuan islam I (700-1000 M), kasus aturan
yang dihadapi semakin beragam, sebagai jawaban dari
semakin bertambahnya kawasan islam dengan banyak sekali
macam bangsa masuk islam dengan membawa banyak sekali
macam adab istiadat, tradisi,dan sistem kemasyarakatan.
Dalam kaitan ini muncullah ahli-ahli aturan mujtahid yang
disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam islam, dan pemuka-
pemuka aturan ini memiliki murid.
(d)Periode taklid serta kemunduran
Setelah periode ijtihad dan perkembangan aturan pada
periode ijtihad, datanglah periode taklid dan penutupan pintu
ijtihad. Di era ke empat Hijrah (abad kesebelas Masehi)
186
bersamaan dengan mulainya masa kemunduran dalam sejarah
kebudayaan islam, berhentilah perkembangan aturan islam.
Dari uraian diatas tersebut terlihat model penelitian fikih atau
aturan islam yang dipakai Harun Nasution yaitu penelitian eksploratif,
deskriptif, dengan memakai pendekatan kesejarahan. Melalui
penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk memasuki
kajian aturan islam lebih lanjut.259
259 Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakrta: Bulan
Bintang)
187
aturan dan bahwa semua perintah-Nya harus dijadikan kendali utama
atau segenap aspek kehidupan sudahlah mapan. Hanya saja perintah-
perintah itu tidak tersusun secara bundar dalam bentuk bagian yang
lengkap buat manusia. Selanjutnya ketika mengemukakan aturan di
era pertama islam, Coulson menyampaikan bahwa di bidang aturan
muncul keseragaman di satu pihak, dan perbedaan di pihak lain.
Menurut Coulson ada dua alasan prinsip di balik keberagaman
atau perbedaan ini. Pertama, yaitu lazim bahwa masing-masing qadi
cenderung menerapkan aturan setempat yang tentu berbeda-beda
antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Kedua, wewenang hakim
untuk memutus kasus sesuai dengan pendapatnya sendiri untuk
maksud apapun, tidak dibatasi.
Berdasar pada hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa dengan
memakai pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan
perjalanan aturan islam dari semenjak berdirinya hingga kini secara
utuh. Melalui penelitiannya itu, Coulson telah berhasil menempatkan
aturan islam sebagai perangkat norma dari sikap teratur dan
merupakan suatu forum sosial. Di dalam prosesnya, aturan sebagai
forum sosial memenuhi kebutuhan pokok insan akan kedamaian
dalam masyarakat. Warga masyarakat tak akan mungkin hidup teratur
tanpa hukum, oleh lantaran norma-norma lainnya tak akan mungkin
memenuhi kebutuhan insan akan keteraturan dan ketentraman secara
tuntas.
Dalam aturan islam sebagaimana diketahui contohnya
memperhatikan sekali kasus keluarga, lantaran dari keluarga-keluarga
yang baik, makmur dan bahagialah tersusun masyarakat yang baik,
makmur dan bahagia. Oleh lantaran itu keteguhan ikatan
kekeluargaan perlu dipelihara, dan di sinilah terletak salah satu
sebabnya ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan.
Dengan melihat fungsi aturan demikian, maka pengamatan terhadap
perubahan sosial harus dijadikan pertimbangan amat penting dalam
rangka reformulase aturan islam.260
260 Lihat: Noel J. Coulson, The History of Islamic law, diterjemahkan oleh Hamid
Ahmad dengan judul Hukum Islam dalam perspektif sejarah, (Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), tt)
188
3. Model Mohammad Atho Mudzhar
Dalam rangka penyelesaian jadwal doktornya di Universitas
California, Amerika Serikat, tahun 1990, Mohammad Atho Mudzhar
menulis disertasi yang isinya berupa penelitian terhadap produk
fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988. Penelitian
disertasinya itu berjudul Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A
Study of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-1988.
Tujuan dari penelitian yang dilakukannya yaitu untuk
mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia
serta latar belakang sosial politik yang melatarbelakangi timbulnya
fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu perkiraan bahwa
produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting
sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus
dimainkan oleh forum tersebut. Produk-produk fatwa Majelis Ulama
yang ditelitinya yaitu terjadi di sekitar tahun 1975 hingga dengan
1988 pada ketika mana Menteri Agama dijabat masing-masing oleh A.
Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983),
dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu Ketua Majelis
Ulama Indonesia dijabat oleh K.H Hasan Basri.
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam 4 bab, yaitu antara lain:
a. Bab pertama, mengemukakan wacana latar belakang dan
karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap
corak aturan islam.
b. Bab kedua, disertasi tersebut mengemukakan wacana Majelis
Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio
politik yang mengitarinya, relasi Majelis Ulama dengan
pemerintah dan organisasi islam serta organisasi non islam
lainnya dan banyak sekali fatwa yang dikeluarkannya.
c. Bab ketiga, penelitian dalam disertasi tersebut mengemukakan
wacana isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta metode
yang digunakan-nya. Fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi
bidang ibadah ritual, kasus keluarga dan perkawinan,
kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar agama
Nasrani, kasus kedokteran, keluarga berencana, dan aliran
minoritas dalam islam.
189
d. Bab keempat, yaitu berisi kesimpulan-kesimpulan dari studi
tersebut, di mana yang dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam
kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola
metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai
dalam ilmu fikih.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa
bidang penelitian Hukum Islam yang dilakukan Atho Mudzhar
termasuk penelitian uji teori atau uji perkiraan (hipotesis) yang
dibangun dari banyak sekali teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi
hukum. Dengan demikian, aturan islam baik pribadi maupun tidak
pribadi masuk ke dalam kategori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak
mengganggu kesucian dan kesakralan al-Qur’an yang menjadi sumber
aturan islam tersebut, lantaran yang dipersoalkan di sini bukan
mempertanyakan relevan dan tidaknya al-Qur’an tersebut, tetapi yang
dipersoalkan yaitu apakah hasil pemahaman terhadap ayat-ayat al-
Qur’an, khususnya mengenai ayat-ayat ahkam tersebut masih sejalan
dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil
pemahaman ayat-ayat al-qur’an yang berkenaan dengan aturan
tersebut dengan perkembangan zaman perlu dilakukan. Karena
dengan cara inilah makna kehadiran al-Qur’an secara fungsional
sanggup dirasakan oleh masyarakat.261
261 Lihat: Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A Study
of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993)
190
BAB XI
STUDI ILMU TARBIYAH (PENDIDIKAN ISLAM)
191
Di sisi lain, Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan
pengertian pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan
dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.263
Sedangkan Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan atau pemimpin secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).264
Dan di lain pihak Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam.265
Dari berbagai definisi di atas maka dapat kita simpulkan
bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik
untuk menumbuh kembangkan potensi manusia agar dapat mencapai
kesempurnaan penciptaannya sehingga manusia tersebut dapat
memainkan perannya sebagai makhluk tuhan yang beriman, berilmu
dan berakhlakul karimah.
192
jelmaan dari segala nilai dan norma ajaran Alquran dan sunah
Rasulullah.
Asyyahid Sayyid Qutb telah merumuskan tiga faktor
pendidikan bagi anak. Pertama, Alquran sebagai sumber pembentukan
yang satu-satunya. Natijah dari keaslian sumber ini ialah lahirnya
generasi yang serba murni hati, akal, tasawwuf dan perasaan yang
ikhlas. Kedua, membaca dan mempelajari Alquran dengan maksud
untuk melaksanakan perintah Allah dengan serta merta sebaik sahaja
didengar dan dipahami. Dan ketiga, pengislaman yang sama sekali
mengakhiri kejahilan silam dan memisahkan dari kejahilan
sekitarnya.
Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan
oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, bahwa
pendidikan Islam melingkupi:266
1. Pendidikan Keimanan (Tarbiyatul Imaniyah).
Allah Swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya:”hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.”
(Q.S 31:13)
3.
Pendidikan jasmani (Tarbiyatul Jasmaniyah)
Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang,
memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan
266 Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008),
h. 16-18.
193
fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang
disunahkan Rasulullah: “Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang
dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani).
194
dengan cara memberikan kasih sayang, pengertian, berperilaku
santun dan bijak, menumbuhkan rasa percaya diri dan memberikan
semangat tidak melemahkan
195
dan tempaan, (3) membentuk kepribadian dengan selalu menjauhi hal
yang jelek dan berpegang teguh terhadap nilai kebaikan.
Ketujuh ruang lingkup materi pendidikan Islam di atas akan
dibagi menjadi 3 materi pokok pembahasan yang terkandung dalam;
a. Tarbiyah Aqliyah (IQ learning)-pendidikan rasional
(intellegence question learning) merupakan pendidikan yang
mengedepankan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan
dalam pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar
dapat berfikir secara logis terhadap apa yang dilihat dan
ditangkap oleh indra mereka. Input, proses, dan output
pendidikan anak diorientasikan pada rasio (intellegence
oriented), yakni bagaimana anak dapat membuat analisis,
penalaran, dan bahkan sintesis untuk menjustifikasi suatu
masalah. Misalnya melatih indra untuk membedakan hal yang
diamati, mengamati terhadap hakikat apa yang diamati,
mendorong anak bercita cita dalam menemukan suatu yang
berguna, dan melatih anak untuk memberikan bukti terhadap
apa yang mereka simpulkan.
b. Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning)-segala kegiatan yang
bersifat fisik untuk mengembangkan biologis anak tingkat
daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tuigas yang
di berikan padanya baik secara indifidu ataupun sosial
nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang sehat “al-aqlus salim fi jismis saslim”
sehingga banyak di berikan beberapa permainan oleh mereka
dalam jenis pendidikan ini.
c. Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning)-Tarbiyah khuluqiyyah di
sini di artikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana
memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun
dia berada seperti; kejujuran, keikhlasan, mengalah, senang
bekerja dan berkarya, kebersihan, keberanian dalam membela
yang benar, bersandar pada diri tidak pada orang lain, dan
begitu juga bagaimana tata cara hidup berbangsa dan
bernegara.
196
C. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU
PENDIDIKAN ISLAM
1. Model Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian pendidikan Islam tentang “Pemikiran al-Ghazali
tentang Pendidikan”, Hamid Fahmy Zarkasyi menggunakan
pendekatan historis approach, yaitu bahwa Hamid melihat pendidikan
dalam konteks universal tanpa ada verifikasi antara pendidikan Islam
dengan pendidikan sekuler (Barat). Dalam konteks ini, Hamid
mengatakan bahwa tokoh-tokoh Islam terpengaruh oleh pola
pendidikan Barat, akibatnya pengetahuan mereka tentang al-Quran
bukan saja lemah tetapi bahkan diperoleh melalui jalur sekunder.
Sementara itu, teknik analisis yang digunakan Hamid adalah analisis
filosofis, psikologis, dan tasawuf. Analisis filosofis mengantarkan pada
pemahaman pemikiran al-Ghazali tentang kewujudan Allah, alam
semesta yang mencakup kejiwaan dan kebendaan, serta manusia
sebagai mahluk yang memiliki daya pikir, kemampuan membuat
keputusan, serta memilih dan meninggalkan suatu perbuatan.267
2.Model Mastuhu
Penelitian yang bertemakan kultur pendidikan Islam yang ada
di Pesantren dilakukan Mastuhu pada saat menulis disertai untuk
program doktor. Penelitian dimaksud berjudul Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesia Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1994. Penelitian
tersebut dituangkan dalam lima bab, yaitu bab tentang pendahuluan,
tinjauan pustaka, kerangka dan metode, hasil dan pembahasan serta
bab mengenai kesimpulan dan saran.
267 Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
13.
197
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, dan telah diterbitkan
oleh LP3ES pada tahun 1982. Berdasarkan uraian di atas, maka model
penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier, tergolong penelitian
lapangan dengan menggunakan metode survei, pengamatan,
wawancara dan studi dokumentasi. Pembahasannya bersifat
deskriptif. Sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan
sosiologis. Penelitian ini tampak hampir semodel dengan penelitian
yang dilakukan Mastuhu. Kedua penelitian tersebut tergolong kaum
pembaharu. Mereka berdua kelihatannya ingin mengetahui
seberapa jauh tradisi dan nilai-nilai yang diberlakukan di pesantren
masih ada yang cocok untuk masyarakat modern saat ini, dan sejauh
mana tradisi dan nilai-nilai yang tidak cocok lagi.268
268 Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, diterj. H.M. Arifin, (Cet.
II; Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), h. 51.
198
BAB XII
STUDI ILMU SEJARAH PERADABAN ISLAM
269 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. XII, h. 887.
270 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h 314.
199
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang
dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai
aspek.
200
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan
telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan periode,
sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan sosial
dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode
itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirnya Islam pada
tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun
41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661
2. Masa Daulah Umayyah: dari tahun 41-132 H./661-750 M
3. Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H. (750-847
M);
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H./847-946 M
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. (946-1075
M);
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. (1075-1261
M);
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. (1261-1520
M);
8. Masa Daulah Utsmaniyah: dari tahun 925-1213 H. (1520-1801
M);
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M) sampai
awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah
kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad saw. Diangkat
menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti
mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam
secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu:271
1. Periode klasik (650-1250 M);
Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke
dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan
puncak kemajuan (650-1000 M); kedua: fase disintegrasi,
271 Harun Nasution, Islam ditinjau Dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979),
jilid 1, h. 56-75.
201
2. Periode pertengahan (1250-1800 M);
Periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu; fase
kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar
(1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-
1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M),
3. Periode modern (1800-dan seterusnya).
Periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari dua pendapat di atas, dapat disederhanakan periodisasi
sejarah Islam menjadi empat periode, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase,
yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase
pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-
650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu:
fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M),
dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua)
fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga
kerajaan besar (1500-1800 M)
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan
zaman kebangkitan Islam.
Berikut uraian masing-masing fase:
202
teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini
dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan
kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup
memadai, terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya
berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia,
dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan
pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam
rumpun Bani Abdul Muthalib (Baca QS. As-Syu’ara: 214),
Ketiga dilakukan secara terbuka dan terangterangan di
hadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada
tahap ini Nabi Muhammad saw beserta pengikutnya
menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan
siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian.
Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan
tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut.
b. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Yatsrib (Madinah)
didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di
Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak
yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah).
Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan
ajakan Nabi Muhammad saw tersebut, yang pada gilirannya
menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian
kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad
saw yang terkenal dengan ‘‘Perjanjian Aqabah.”
Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad saw di
Madinah, yaitu:
a. Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan
berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
b. Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;
c. Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern
umat Islam dan antara umat beragama; dan
d. Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk
masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang
disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.
203
c. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada
dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai khalifah Islam
pengikut Rasulullah saw. (632 M) harus menghadapi suku-
suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada
Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang
mereka buat dengan Nabi saw dengan sendirinya tidak
mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka
mengambil sikap menentang Abu Bakar (ingkar kepada
pemerintah Islam) tidak mau membayar dinar karena itu
Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah
(melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin
Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar (umat Islam).
2) Fase pembuka jalan. Di mana setelah selesai perang dalam
negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim
kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid
memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah
Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M.
Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di
bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu Ash, Yazid Ibnu Abi
Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh
pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin
dan Fihl.
3) Fase pemerataan jalan. Di mana usaha-usaha yang dirintis
oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian
dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664
M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama
terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun
kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah
Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya
gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase
perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah
204
Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah,
juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
4) Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-
656M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi
Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman,
meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain
dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti
sampai di sini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi
perpecahan menyangkut masalah pemerintahan dan dalam
kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat
tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah
Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di
Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman
juga terbunuh.
205
b. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri
dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan
perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk
menguasai satu sama lain. Misalnya:
1) Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan
oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
2) Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan
oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang
meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi
akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus
Urban II (1096-1099 M).
206
umat Islam tenggelam ke dalam lembah kehancuran,
kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.
b. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) Kerajaan Usmani
(Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India.
Setelah kejatuhan Baghdad, politik Islam sempat mengalami
kemajuan di tiga kerajaan besar Kerajaan Usmani (Ottoman
Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan
Mughal di India. Kemajuan pada masa ini dalam bentuk
literatur dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah
yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di
Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Tiga
kerajaan ini tidak mampu bertahan lama. Kerajaan Usmani
terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh
serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan
kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa
India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam
menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis.
Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir,
sebagai salah satu pusat Islam.
207
Islam, terutama sebagian orientalis. Mereka kerap menuliskan data
sejarah yang bertentangan dengan referensi yang disajikan oleh
kalangan sejarawan Muslim.
Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan
kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks)
secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang
tidak ada hubungannya dengan nash tersebut.
Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah
atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut
memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu
sendiri.
Muhammad Quthb dalam bukunya yang berjudul Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam? menjelaskan, orientalis sering
menggunakan riwayat yang lemah yang terdapat dalam referensi
Islam yang belum disaring. Riwayat itu lalu dijadikan pegangan pokok,
sedangkan riwayat yang lain walaupun muttawatir (kuat) akan
dikesampingkan.
Dalam tulisannya yang bertajuk 'Metodologi Penulisan Barat
mengenai Sejarah Islam', Dr Abdul Azhim ad-Daib mengemukakan
beberapa kesalahan yang dilakukan kaum orientalis, di antaranya
perkataan Montgomery Watt: ''Kami ketahui dari beberapa riwayat
bahwa Muhammad itu mendukung kawin asy-syighar yaitu dua orang
lelaki, atau dua kelompok lelaki saling mempertaruhkan anak dan
saudara perempuan mereka tanpa mahar untuk kawin.'' Riwayat ini
dinisbahkan kepada Bukhari. Padahal, umat Islam tahu benar bahwa
Nabi saw melarang hal tersebut.
Sejarawan Barat lainnya, Wall Deorant, dengan mengutip
suatu buku ia berkata, “Zubair memiliki 1.000 budak peliharaan.
Setiap hari mereka membayar upeti pada Zubair. Setiap masuk ke
rumahnya satu dirham langsung ia sedekahkan uang itu semuanya.”
Kemudian nash ini diubah oleh Deorant sebagai berikut, “Zubair
memiliki beberapa buah rumah di berbagai kota, memiliki 1.000 kuda
dan 10 ribu hamba.” Jadi, kehidupan zuhud dia ubah ke kehidupan
glamour dan berfoya-foya.
208
Quthb menerangkan, tujuan dari penyimpangan itu untuk
memupus dan menghilangkan rasa bangga pada Islam dan sejarah
Islam di dalam jiwa pembaca Muslim. Kemudian, mengubah rasa
bangga dengan rasa kesal dan benci, sehingga pembaca tidak berminat
lagi membacanya pada masa-masa berikutnya.
Bahkan, dalam mencapai sasaran itu mereka tidak segan-segan
melakukan kebohongan ilmiah atas diri Rasulullah saw. Contohnya
seperti yang dikatakan Julius Wellhausen dalam bukunya yang
berjudul Negara Arab, bahwa Rasulullah saw pernah membuat
perjanjian dengan orang-orang Yahudi ketika beliau masih lemah pada
awal pemerintahannya di Kota Madinah. Tapi, tatkala sudah kuat
beliau membatalkan janji tersebut secara sepihak, orang-orang Yahudi
diperangi dan dibersihkan dari Kota Madinah.
Contoh lain adalah tentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Dikatakan bahwa kedua khalifah ini merampas takhta kekhalifahan
dari tangan umat Islam. Dan masih banyak lagi kebohongan yang
mereka lakukan, mungkin mencapai ratusan atau lebih.
Sementara para sejarawan Muslim yang terbiasa mengutip
pemikiran-pemikiran orientalis mungkin keberatan menerima
kebohongan-kebohongan nyata seperti ini. Namun demikian, mereka
tidak bisa lepas dari pengaruh orientalis. Mereka menerima
penyimpangan-penyimpangan tersebut tanpa penyaringan.
209
pendekatan perbandingan dan lain sebagainya berbagai model
penelitian sejarah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Model Johns L. Esposito
Penelitian sejarah yang dilakukan John Esposito dalam
bukunya yang berjudul Islam in Asia, Religion, Politics & Society,
dilakukan denghan pendekatan penelitian kawasan. Di dalam buku
tersebut dikemukakan perkembangan islam di Asia pada umumnya.
Buku tersebut tidak termasuk kedalam hasil penelitian dalam arti
yang khusus, melainkan lebih merupakan kumpulan esai dengan
menggunakan sumber sekunder.
210
Nusantara Abad XVII dan XVIII, terlihat dengan jelas bahwa yang
menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sejarah interaksi antara
Ulama Timur Tengah dengan Kepulauan Nusantara, sedangkan yang
dikaji pada kawasan tersebut adalah mengenai interaksi antara ulama
yang selanjutnya menciptakan jaringan. Pada bagian bukunya itu
Azyumardi mengemukakan mengapa penelitian dengan judul tersebut
perlu dilakukan. Untuk ini ia mengemukakan bahwa transmisi
gagasan pembaharuan merupakan bidang kajian islam yang cukup
telantar. Berbeda dengan banyaknya kajian tentang transmisi ilmu
pengetahuan, misalnya Yunani kepada kaum muslimin dan
selanjutnya, ke Eropa Modern, tidak terdapat kajian komprehensif
tentang transmisi gagasan gagasan keagamaan, khsusnya gagasan
pembaharuan dari pusat pusat keilmuan islam ke bagian bagian lain
dunia islam.
Selanjutnya Azyumardi mengatakan bahwa sejauh ini, tidak
terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama timur tengah
dengan Nusantara. Meski terdapat kajian kajian penting tentang
beberapa tokoh ulama Melayu Indonesia abad ke 17 dan ke 18. Tetapi
tidak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis tentang
sumber pemikiran mereka, dan khususnya tentang bagaimana
gagasan dan pemikiran islam mereka trasmisikan dari jaringan ulama
yang ada, dan tentang bagaimana gagasan yang mereka trasmisikan
itu mempengaruhi perjalanan historis islam di Nusantara.
Selanjutnya peneliti tersebut lebih mempertajam alasan
mengapa penelitian tersebut perlu dilakukan. Lebih lanjut, ia
mengatakan bahwa kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan
pembaharuan islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi
kekuasaan Eropa dalam abad ke 17 dan abad ke 18, penting karena
beberapa alasan. Sejarah sosial intelektual islam pada periode ini
sangat sedikit dikaji, kebanyakan perhatian diberikan kepada
sejarah politik muslim. Karena terjadinya kemerosotan entitas entitas
politik muslim, periode ini sering dipandang sebagai masa gelap
dalam sejarah muslim. Bertentangan dengan pandangan yang banyak
dipegang ini ia akan mengungkapkan bahwa abad ke 17 dan 18
211
merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial
intelektual kaum muslimin.
Selanjutnya Azyumardi mengatakan bahwa sumber dinamika
islam dalam abad ke 17 dan 18 adalah jaringan ulama yang terutama
berpusat di Mekkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota suci ini,
khususnya dalam kaitan ibadah haji mendorong sejumlah besar guru,
ulama, dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah dunia muslim datang
dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam
jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik.
Selanjutnya Johns di pihak lain menurut Azyumardi Azra,
dalam beberapa tulisannya juga membahas hubungan tersebut,
khususnya antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi dia tidak
melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan tokoh-
tokoh ulama Melayu, Indonesia lainnya bahkan lebih mencolok. Kajian
yang membahas ulama terkemuka selain al Sinkili gagal
mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur
Tengah. Kajian ilmu kepustakaan tersebut selain menunjukkan adanya
potensi tentang kajian jaringan ulama dimaksud, juga memberikan
peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut di bidang tersebut.
Bertolak dari latar belakang pemikiran dan tinjauan
kepustakaan tersebut, Azyumardi Azra mengajukan permasalahan
penelitian dimaksud. Dalam kaitan ini peneliti mengatakan bahwa
kajian ini berupaya menjawab beberapa masalah pokok. Pertama,
bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur
Tengah dengan murid melayu indonesia; Bagaimana sifat dan
karakteristik jaringan itu; Apakah ajaran atau tendensi intelektual
yang berkembang dalam jaringan; Kedua, apa peran ulama Melayu,
Indonesia dalam transmisi intelektual jaringan ulama ke Nusantara;
Bagaimana modus transimisi itu; Ketiga, apa dampak lebih jauh dari
jaringan ulama terhadap perjalanan islam di nusantara; Dilihat dari
data yang digunakan dalam penelitian ini, dinyatakan bahwa kajian ini
merupakan studi pertama yang menggunakan sumber Arab secara
ekstensif. Kamus Biografi berbahasa Arab tentang ulama dan tokoh
212
lainnya pada abad ke 17 dan 18 merupakan tembang informasi
tentang para guru murid Jawi yang terlibat dalam jaringan ulama.
Selanjutnya Azyumardi menyimpulkan bahwa pengembangan
gagasan pembaharuan dari transisi melalui jaringan ulama melibatkan
proses yang amat kompleks. Terdapat saling hubungan diantara
banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan
mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf.
Selanjutnya penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa
kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di nusantara, terutama
sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan
kepada segmen segmen tertentu dalam masyarakat, muslim melayu
indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat ilmu
pengetahuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Ustmani
mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan haji dari
nusantara semakin baik.
Selanjutnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa murid-
murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan
keilmuan islam diantara kaum muslimin melayu indonesia. Kajian atas
sejarah kehidupan, keilmuan, dan karya kaya yang mereka hasilkan
menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual
diantara kaum muslimin nusantara dan timur tengah, tetapi juga
perkembangan islam semasa di Dunia Melayu, Indonesia. Kehidupan
dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat
menarik tentang berbagai jaringan intelektual keagamaan yang
terdapat diantara mereka dengan ulama Timur Tengah.272
272 Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995)
213
BAB XIII
INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM
273 W.C. Smith dalam Comparative Religion dalam Mircea Eliade and Joseph Kitagawa
(ed). Dalam Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. ii
214
menghadapi kenyataan yang ada, para pakar dan peneliti berusaha
mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori untuk memecahkan
persoalan seputar studi agama.
Sarjana-sarjana Barat sangat tertarik dengan dinamika umat
Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah lama muncul khususnya
ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri
atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang
perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam
dipahami oleh umatnya.274
Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah
melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan
paradigma dan teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga
pembahasannya menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam
yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson275
mengkritik Clifford Geertz, yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji
umat Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah
umat Islam secara baik.
Fenomena insider dan outsider ini tidak hanya menjadi sorotan
pada studi islam semata. Pada tahun 1960 an pernah muncul sebuah
pernyataan yang menjadi perdebatan panjang mengenai sifat dasar
dari studi agama Sikh. Perdebatan ini secara cepat meluas melebihi
permasalahan outsider-insider, dan menjadi sangat penting, terbukti
dengan terbitnya kumpulan tulisan yang berjudul Perspective on the
Sikh Tradition, tahun 1986. Para penulis barat ini kemudian menuai
kritikan tajam dari para sarjana barat lainnya yang menulis tentang
Sikhism.276
Di samping sarjana Barat, banyak juga sarjana dari Timur yang
berposisi sebagai outsider mengkaji Islam. Sachiko Murata dan
William C. Chittick, dalam bukunya The Vision of Islam melakukan
274 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer (Jakarta: Kemenag RI, 2011), h. 260.
275 Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru terj. Mulyadhi Kartanegara.
(Jakarta: Paramadina, 2002), h. 10.
276 M. Irfan Mu’ammar dkk. Studi Islam Perspektif Indiser/Outsider, h. 108.
215
pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau
berawal dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka
menulis: “Kata ‘Islam’ kami maknai sebagai teks-teks yang secara
universal diakui (hingga saat ini) sebagai titik puncak tradisi.
Sebagaimana semua agama besar lain, Islam memiliki karakter yang
menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya. Teks-teks
tersebut disandarkan kepada al-Qur’an. Dalam pengertian yang sangat
dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Qur’an adalah Islam. Tafsir utama
al-Qur’an diberikan oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti
metode beliau banyak tokoh agung-guru, wali, filosof, teolog, ahli
hukum menjelaskan dan menafsirkan naturalitas visi asli sesuai
kebutuhan zamannya.”
Murata dan Chittick dalam buku mereka mencoba mengkaji
Islam secara komprehensif. Selain meneliti teks, mereka juga
melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang
menjelaskannya.
Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat
bagian yaitu:
1. Tentang Islam.
2. Tentang tauhid, kenabian, membahas tentang kembali,
membahas aliran-aliran intelektual antara lain tentang;
Ekspresi Islam pada Masa Awal, Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua
Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi Filsafat, dan
Visi Sufisme.
3. Tentang Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu tentang
dasar Ihsan dalam Alquran dan Manifestasi Ihsan historis.
4. Tentang Islam dalam sejarah. Dalam bagian empat ini terdiri
dari Sejarah sebagai Interpretasi dan Situasi Kontemporer.277
Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan pujian dari
beberapa tokoh antara lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia
mengatakan: “Ini merupakan karya pengantar Islam yang
sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang
277 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer, h. 264.
216
mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang berawal
dari dalam wilayah kebenaran iman yang diwahyukan,
kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh
visi Islam”.
Tokoh outsider lainnya yang mengkaji Islam terutama dari
aspek esoterik atau sufisme adalah Louis Massignon. Ia menulis salah
seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al-Hallaj. Kajian Louis Massignon
ini mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam antara lain dari Seyyed
Hossein Nasr, dengan berkata: “Karya ini bukan sekadar karya unik
tentang seorang sufi besar dan kontroversial, melainkan sebuah kajian
tiada banding tentang semangat keagamaan, kehidupan sosial dan
politik, serta keseluruhan peradaban Islam di mana ia hidup dan
mati”.
Pengkaji kajian esoterik Islam yang berikutnya adalah William
C. Chittick. Chittick adalah seorang guru besar bidang studi agama-
agama di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang
Ibn al-Arabi dan yang lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi.
Ia menulis buku berjudul The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-’Arabi’s
Metaphisyc of Imagination.
Dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al-Qur’an ibn
al-’Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al-Arabi sendiri mengakui
bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah adalah uraian
yang didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al-Arabi ketika
menafsirkan Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat
tersebut. Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah
memberikan kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran
tasawufnya telah menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan
kajian tentang Islam.278
Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah
melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan
umum tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis
tunggal menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner,
217
meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih
terus berlangsung dan tujuannya mungkin akan terus bergema. Di
antara buku pengantar umum sedemikian, barangkali tulisan
Frederick M. Denny, An Introduction to Islam terbit tahun 1985, dan
Richard Martin, Islam: A Cultural Perspectif terbit tahun 1982,
termasuk yang informatif dan banyak dipergunakan bagi pemula.
Buku yang menilik umat Islam dari aspek sosial-historisnya
tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terbit tahun 1988,
merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling
komprehensif termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim
Asia Tenggara dan Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman
yang sering diabaikan oleh penulis-penulis lain.279 Yang hampir
senada dengan buku ini ialah buah karya Philiph K’ Hitti dengan judul
History of The Arab yang diterbitkan oleh Serambi pada 2013, yang
merupakan kajian paling otoritatif tentang sejarah dengan
pembuktian ilmiah yang sangat meyakinkan.
Buku lain yang telah menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa
Islamic Studies dan sejarah Islam dan Arab di banyak universitas di
Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering dipakai sebagai
pengantar sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa Arab, A
History of The Arab Peoples.280
Adapun pengkajian Islam dalam perspektif insider (pengkaji
dari kalangan Muslim sendiri) kini mulai menunjukkan
kecenderungan yang cukup kritis. Dari segi ajaran, buku Fazlur
Rahman, Islam yang sudah mengalami banyak cetak ulang, merupakan
buku pengantar wajib untuk mata kuliah Islamic Studies di universitas
di Eropa dan Amerika. Kajian kritis tentang Islam telah dilakukan oleh
Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, Naqd al-Khithab al-Dini yang
diterbitkan tahun 1994, merupakan buku yang mengkaji tentang
wacana agama dengan perspektif wacana Islam kritis.
279 Lihat Ira M. Lapidus, terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 1999)
280 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer, dalam Jamali Sahrodi, 2008: hlm.181-182
218
Buku ini menjelaskan bahwa pertentangan dalam wacana
agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekadar pertentangan di
seputar teks-teks agama ataupun interpretasi terhadapnya, melainkan
pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan,
sosial, politik, dan ekonomi, pertentangan yang melibatkan kekuatan-
kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman
secara letterlijk terhadap teks-teks agama.
Muhammad Abed al-Jabiri bukanlah nama yang asing lagi di
kalangan intelektual Islam. Ia sering disejajarkan dengan Hasan
Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullah Ahmed An-Na’im, Ali Harb,
Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah mengkaji
tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij al-
Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim al-
Ideologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar fi
al-Fikri al-Fi’li.
Dalam buku yang lainnya yang berjudul Takwin al-Aql al Arabi
yang diterjemahkan oleh Imam Khori menjadi Formasi Nalar Arab
Muhammed Abed al-Jabiri. Dalam bab pendahuluan ia menulis:
“Buku ini memuat kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan
perbincangan sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar
adalah bagian mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses
kebangkitan. Apakah mungkin membangun proyek kebangkitan dari
nalar yang tertidur, nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi
secara komprehensif terhadap mekanisme, konsep dan pemikiran-
pemikirannya?”.281
Dalam bab satu dari bukunya al-Jabiri membahas Pendekatan
Awal sebagai pengantar atau Pendahuluan. Bagian kedua Menganalisis
Unsur-unsur Pembentukan Budaya Arab dan Pembentukan Nalar
Arab itu sendiri. Bagian ketiga membahas tentang sistem
epistemologis yang menjadi dasar bagi dan saling berbenturan dalam
kebudayaan Arab. Adapun tujuan dari penyusunan buku ini adalah
untuk membebaskan diri dari sesuatu yang telah mati atau tetap
281 Muhammad Abed la-Jabiri, terj. Imam Khoiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014), h. 13.
219
kokoh dalam dunia nalar dan membuka ruang bagi kehidupan nalar
agar perannya tetap terbuka dan kembali tertanam.282
Tulisan atau kajian al-Jabiri sangat berhubungan dengan
tradisi dan problem metodologi, berhubungan dengan pembacaan
kontemporer atas tradisi Islam, karakteristik hubungan bahasa dan
pemikiran dalam tradisi Islam, Rasionalisme Islam serta problem
Islam dan modernitas.
Kajian tentang Islam juga dilakukan oleh Hassan Hanafi283
dalam bukunya Islam and The Modern World; Religion, Ideologi and
Development. Dalam tulisan ini ia mengkaji Islam demikian luas mulai
dari aspek teologi sampai teknologi. Dalam buku volume I Hanafi
membahas tentang teologi, mistisisme dan etika, alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta filsafat.
Buku Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan
Meluruskan Kesalahpahaman, terbit tahun 2004, merupakan satu buku
yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal
Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan
Islam dengan terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini
terjadi karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu
sangat dirasakan oleh Pak Alwi selama berinteraksi dengan para
mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku ini akan memberikan
pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai
agama yang rahmatan lil’alamin”.
Komentar dari kalangan non-Muslim, misalnya Jakob Oetama,
“Banyak konflik meruncing dan dipicu oleh salah persepsi dan
kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi dalam cara
penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian
agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu,
untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, yang terpapar dalam
ciptaan-Nya. Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Alwi
Shihab ini. Inilah contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi
220
dewasa, bahkan dalam perkara yang menyangkut kepercayaan
terdalam kita, sehingga kita bisa berkoeksistensi secara damai dengan
saling memberi kontribusi positif.
Tokoh Muslim Indonesia lainnya yang mengadakan kajian
tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia menulis sebuah buku
berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif
Interkonektif. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang
lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality
(rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’
berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun,
tidak dapat berdiri sendiri.284
Dalam bukunya, Amin Abdullah membahas dalam bagian
pertamanya tentang Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian kedua
tentang Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian ketiga tentang
Pendekatan Hermeneutis Dalam Studi sosial-Budaya dan Fatwa
Keagamaan, dan bagian keempat tentang Arah Baru dan Pergeseran
Paradigma Metode Studi Keislaman.
Dalam karya lainnya, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas, Amin Abdullah menegaskan bahwa agama tidak hanya
dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas
ajaran wahyu, tetapi juga ia dapat dilihat dari sisi historisitas. Dalam
bukunya ini Amin membagi menjadi empat pembahasan, pertama
menjelaskan cikal bakal kontroversi perebutan klaim validitas dan
otoritas keilmuan agama di belahan dunia bagian Barat. Bagian kedua
menyentuh wilayah studi keislaman dengan menerapkan cara
pandang filsafat keilmuan kontemporer. Bagian ketiga secara eksplisit
mengharapkan munculnya disiplin dan telaah studi kawasan tentang
masyarakat muslim. Dan bagian keempat mengilustrasikan perlunya
pendekatan filosofis terhadap pemikiran keagamaan pada
umumnya.285
221
B. PROBLEMATIKA INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM
Kim Knott286 dalam tulisannya insider/outsider perspectives.287
berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri
insider ditampilkan kemudian direspons oleh outsider, dengan
mempertimbangkan batas objektivitas dan subjektivitas, yang
terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap
empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider maupun outsider saling
berbagi keseimbangan perspektif sejarah dalam studi agama.
Berbeda halnya dengan pendapat Darshan Singh, yang
menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh peneliti barat untuk
menginterprestasikan dan memahami agama sebagai outsider,
memandang bahwa konsep dan ajaran agama tidak mudah untuk
diakses oleh orang luar atau non-pemeluknya. Menurutnya, makna
subtansi dari agama terungkap hanya melalui partisipasi secara
intensif, dengan jalan mengikuti ajaran pengalaman keagamaannya.
Max Muller pada tahun 1873 telah mempertegas bahwa,
sebagai objek studi, agama harus dijawantahkan secara proporsional,
meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian, Cornelius
Tiele (1830-1902) menekankan kepada para ilmuan untuk melakukan
penelitian dengan mengedepankan objektivitas melalui studi dan
investigasi yang tidak memihak.288 Ia juga mem-bedakan antara
subjektivitas keagamaan pribadi individu dan objektivitas cara
pandang terhadap agama orang lain.
Russel Cutcheon mencoba memberi penguatan guna
mengkatagorisasi-kan tanggapan insider ke outsider dalam tiga
dimensi:
286 Lihat Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama
(Ponorogo: ISID Press, 2011), h. 46.
287 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives, dalam John R Hinnells (Ed) The Routledge
Companion of the Studi of Religion, M. Arfan Mu’ammar, dalam Studi Islam
Perspektif Insider/Outsider, h. 103.
288 Shiddiqi Nourouzzaman, Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman, dalam Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, dalam M. Arfan
Mu’ammar, dalam Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, h. 109.
222
1. Otonomi pengalaman religius, yang terkait dengan pendekatan
fenomenalogi,
2. Reduksionosme, yang dicontohkan oleh komunitas akademisi
yang mengambil suatu sikap ilmiah,
3. Netralitas dan metode agnostisisme. Pendekatan yang
ditawarkan ini, mensyiratkan pergeseran dari ranah teologi ke
filsafat.
Selanjutnya, berbagai isu seputar studi agama diberi
penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan
fenomenalogi agama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kristensen,
Van der Leeuw dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea Eliade di
Amerika serta Ninian Smart di Inggris. Mereka sepakat menyatakan
bahwa semua agama sebagai fenomena yang unik yang dapat dilihat
dari berbagai sisi, otonom dan tidak ada bandingannya, namun
mampu memberikan pengalaman secara empirik.289
Perkembangan studi Islam di dunia terutama di barat terjadi
karena adanya kontak dengan dunia muslim, salah satunya yakni
lewat kontak perguruan tinggi. Selain itu juga dengan adanya
penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab ke
dalam bahasa Latin. Berkat penyalinan karya-karya manuskrip-
manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-
cabang ilmiah di Barat.
Sebelum muslim memasuki universitas-universitas di Barat,
ahli Islam di Barat didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan
artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran di bidang Islam pun
didominasi dan merupakan hasil pemikiran para orientalis. Seiring
dengan adanya sarjana muslim yang belajar di Barat dan menulis
dengan bahasa Barat tentang Islam, maka ahli keislaman pun muncul
dari sejumlah muslim.290
Adapun dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-
negara non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi
dengan berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern
289 Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama, h. 47.
290 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2011), h. 318.
223
Studies, Religious Studies, Comparative Religion dan lain-lain. Di
samping itu ada juga beberapa lembaga (pusat studi/center), baik
yang berafiliasi dengan universitas maupun tidak, yang menawarkan
dan menyediakan studi Islam. Di antaranya:
a. Islamic Society of North America
b. The Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris
c. Centre for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the
University of Melbourne Australia.291
Kajian Islam di Barat telah mengalami perubahan. Penelitian
dan kajian yang dilakukan Barat terhadap masyarakat Muslim kini
dilakukan di tengah kehadiran Islam dan dunia Islam yang hidup dan
berubah, tidak sekadar catatan masa silam. Peningkatan apresiasi
terhadap Islam di kalangan sarjana Barat inilah yang kemudian
memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai
Orientalisme Baru.292
Munculnya Orientalisme baru itu membuka peluang lebih
besar bagi terciptanya interaksi dan pertukaran keilmuan yang lebih
dinamis dan positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim
dengan sarjana-sarjana Muslim. Bahkan, riset dan pemikiran sekarang
dilakukan secara bersama dalam suasana dialogis.
Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran
keseimbangan dalam beberapa disiplin kajian Islam di antara sarjana-
sarjana Muslim dengan non-Muslim. Tidak kurang terdapat sarjana
Muslim yang begitu menonjol sehingga mempengaruhi seluruh
sarjana lain dalam kajian-kajian yang mereka lakukan. Meski terjadi
perkembangan positif, kritik terhadap studi Islam di Barat tetap ada.
Setidaknya ada dua kritik yang dikemukakan cukup keras baik dari
kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim.
a. Kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung
bersifat esensialis, yakni menjelaskan seluruh fenomena
masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim
224
dalam kerangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan
kata lain, cenderung menggeneralisasi fenomena yang berlaku
pada masyarakat Muslim tertentu pada kurun waktu tertentu
pula sebagai hal yang umum bagi seluruh masyarakat dan
kebudayaan Muslim.
b. Kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh
kepentingan-kepentingan politis. Kajian-kajian tentang Islam
dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap
masyarakat-masyarakat Muslim, antara lain, dengan
menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam
dan masyarakat Muslim.
c. Kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk
melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama
kehidupan intelektual dan akademis, yang padahal tidak atau
hampir tidak mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Studi Islam di Timur, tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Negara Barat yaitu bervariasi dan memiliki karakter masing-masing.
Karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan
politik, dinamika sosial budaya, latar belakang pemegang kebijakan
pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
Sebelumnya, awal kesejarahan Islam atau tepatnya era Nabi,
pusat kajian Islam lebih dikonsentrasikan pada tidak terlau banyak
“berspekulasi” tentang hakikat Tuhan dan realitas-realitas Gaib. Ini
dikarenakan pada pola pikiran terbatas yang tak mampu menangkap
yang terbatas dan itu hanya akan menghasilkan sebuah kekeliruan.
Selanjutnya Islam diperhadapkan oleh banyaknya tekanan-tekanan
non Arab yang memeluk Islam. Dalam perkembangan berikutnya
realitas Islam semakin meluas. Berbagai fenomena muncul satu-
persatu, mulai dari politik, tradisi-tradisi dalam keagamaan, termasuk
di situ adalah disintegrasinya Islam Suni dan Syiah, peradaban pun
semakin meluas. Pada akhirnya pendefinisian tentang “studi islam”
pun belum final.
Melihat paparan ini dapat kita simpulkan bahwasanya studi
Islam di Timur, sebagaimana studi Islam di Barat dan berbagai negara
225
lainnya, juga tidak seragam. Ada karakteristik yang khas dari masing-
masing negara, dan juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan
kekayaan warna dalam studi Islam di masing-masing lembaga dan
negara. Konstruksi semacam ini justru akan semakin memperkaya
warna studi Islam.293
Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian
insider dan outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan
Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. 294
Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam
dari outsider benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan,
dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? penulis sendiri
sepakat dengan pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak
validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas
dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik
dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam
kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies)
yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di
universitas Eropa.295 Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider
penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para
outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-
hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat
memahaminya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para
pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya
dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang
didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual
yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy). Penulis
sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji
Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa
menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat
Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat
Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk
293 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 38-39.
294 Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. xxii.
295 Ibid, h. 244
226
‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda
mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan
pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Dapat dinilai bahwa Barat telah mengkoloni Islam melalui
pendidikan. Contohnya kasus yang terjadi pada universitas al-Azhar
pada tanggal 7 Desember 1961.296 Kalau reformasi tersebut terjadi,
maka kemungkinan besar pengaruh keilmuan Islam tradisional
semakin mengecil. Terlebih lagi dengan arus teknologi meruntuhkan
sekat kebudayaan dan bangsa. Pada akhirnya wajah Islam akan
berjiwa Barat dan sekaligus akan meninggalkan wajah Islam itu
sendiri. Hanya saja ada keuntungan saat umat muslim dan Presiden
Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun
tidak jadi dilakukan saat itu. Namun demikian, Barat berhasil
mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan
memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.297 Dengan ini, segala
bentuk ketakutan pun terjadi, pendidikan Islam tradisional “otentik”
perannya semakin kecil. Lembaga pendidikan Islam dipersempit
perannya hanya sebagai lembaga Pendidikan agama, pasca-Barat
mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara
Islam. Di sinilah terjadi dikotomi-dikotomi antara keilmuan Islam dan
non-Islam yang sebelumnya Islam hanya memandang semua ilmu
bersifat ilahiyah.
Sebagai konsekuensi logis “dikotomik” tersebut, lahirlah
sejumlah metode dan pendekatan yang beragam dari kedua pihak
Barat dan Timur dalam mengkaji Islam. Pendekatan ilmiah dan
historis cenderung diterapkan Barat, sementara Timur lebih ke sisi
teologis. Barang kali ada motif yang saling berlawanan, di mana studi
Islam Barat didorong oleh kekuasaan kolonial, sementara Islam
didorong oleh sikap pertahanan diri pada sisi lain, sebagaimana
penilaian dari sebagian sarjana Barat sangat dipengaruhi oleh “pra-
anggapan” negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu
227
dan suka seksualitas. Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang
Islam cenderung tidak objektif.
Kelompok Barat yang sangat dipersoalkan dalam hal ini adalah
sejumlah Orientalis, kendati fakta realitasnya mereka sangat
berkontribusi besar terhadap keilmuan Islam, namun belum bisa
kompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan
kaum Muslimin. Ini terlihat jelas dalam ungkapan “Tapi akan
berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan
sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa
dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di
mana ia muncul, tapi keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan
para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Atas dasar ini pula sangat ditekankan dengan adanya upaya
mencari metode baru yang lebih memadai tentang pemahaman
terhadap Islam. Ini mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa
semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena
sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini
bisa dilacak dari berbagai stereotip yang dilancarkan kepada Islam
dengan dalih keilmiahan.
Dalam pada itu, juga sangat ditekankan akan perlunya seorang
outsider mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam
tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan
yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun juga perlu
Outsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka
kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum
banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa
khalayak tersebut. Dari sini, sudah tampak adanya keniscayaan bias
kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi
dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui
praasumsi-praasumsi budayanya.
Rauf menambahkan bahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus
melepaskan “pra-anggapan” tersebut dan menghiraukan pendapat
dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk
mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana
228
Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam
atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat
Islam. Di sini sangatlah jelas bagaimana Rauf mengeritik metode Barat
berupa sebuah explanation ke emphatic atau understanding. Untuk
itulah para sarjana Islam harus mampu menyuarakan dirinya pada
Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi
serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Ini agar umat
muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukan.
Rauf tidak mutlak menolak reformasi, namun perlu Umat
Islam berhati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak
begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang
menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan
oleh beberapa orientalis. ginya, tidak semua karya orientalis harus
ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat
orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan
adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis.
Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang
menulis bersikap tidak jujur.
229
DAFTAR PUSTAKA
230
Al-Attar, Dawud. 1979. Mujaz Ulum al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-
A’lami.
Al-Awsi, Ali. 1975. Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan,
Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran.
Al-Bazdawi. 2005. Ushul al-Din, Kairo: al-maktabah al-Azhariyah li al-
Turats.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. 1996. Naqd Awham al-maddiyah
al-jadaliyah, Damaskus: Daar al-Fikr.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein. 1961. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun,
Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah.
Al-Farabi. 1907. Fusus al-Hikam, Kairo: al-Sa’adah.
Al-Farabi. 1948. Ihsha’ al-ulum, Tahqiq; Utsman Amin, kairo; Dar al-
Fikr al-Arabi.
Al-Ghazali, Abu hamid. 2004. Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod, Beirut: dar al-
Kutub al-Islamiyyah.
Al-Ghazali, Abu Hamid. 2002. Etika islami, Bandung: Pustaka Setia.
Al-Ghurabi, Ali Mushthafa. 1948. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa
Nasy’atu ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin, Kairo: al-mathba’ah al-
Husainiyahal-Mishriyah.
Al-iiji, Idd al-din. 1425 H. al-mawaqif, Kairo: maktabah al-sa’adah.
Al-Jabiri, Muhammad Abed 2014. Formasi Nalar Arab. terj. Imam
Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD.
Al-Jamali, Fadhil. 1992. Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam,
diterj. H.M. Arifin. Cet. II; Jakarta: Golden Trayon Press.
Al-Jamaly, Muhammad Fadhil. 1977. Nahwa Tarbiyat Mukminat, al-
syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi’.
Al-Juwaini. 1981. Al-Syamil Fi Ushul Al-Din, Teheran: Danish Irani.
Al-Kalabadzi, Abu bakr. Tt. Al-ta’aruf li Mazahib Ahl al-Tasawwuf,
Kairo: al-Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah.
Al-Masdosi, Ahmad Abdullah. 1962. Living religions of the world: a
socio-political study. Begum Aisha Bawany Waqf.
Al-Maturidy, Abu Mansur. Tt. Kitab al-tauhid, Iskandariyah: Daar al-
jamiat al-Mishriyah.
Al-Munawwir, Ahmad warson. 1997. Kamus Munawir, Yogyakarta:
Pustaka Progresif.
231
Al-Nasyr, Ali Sami dan Al-Thaliby, Amar Jam’iy. 1971. Aqaid as-Salaf,
Iskandariyah: Mansya’at al-Ma’arif.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1977. Iman dan Kehidupan, (terj.) H. Fachruddin
HS, dari judul asli Al-Iman wa al-Hayat, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 1996. Mabahits Ulum al-Qur’an, Riyadh:
maktabah al-Ma’arif
Al-Qusyeiry, Abu Qasim. 2000. Latha’if al-isyarat. Mesir: al-hai’ah al-
Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab.
Al-Shadr, Muhammad Baqir. 1980. Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir
Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Ta’ruf lil
Matbu’at.
Al-Shalih, Subhi. 1977. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Beirut: Darul
Ulum.
Al-Shatibi, Abu Ishaq. Tt. al-Muwafaqat, Kairo: Matba’ah al-Maktabah
al-Tijariyah.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. 1939. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo:
Matba’ah Mustafa al-Halabi.
Al-Syahrastani. Tt. al-Milal wa an-Nihal, Mesir: Daar al-Kutub al-
Ilmiyyah.
Al-Syahrastani. tt. Nihayah Al-Iqdam Fi Ilmi Al-Kalam, Baghdad:
maktabah al-tsaman.
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. 1979. Falsafah Pendidikan
Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Thahawi. 2002. Syarh al-Akidah al-Thahawiyah, Kairo: daar Ibn
Rajab.
Al-Thahhan, Mahmud. 1985. Tafsir Mushtalah Hadis, Riyadh: Maktabah
al-Maarif.
Al-Thahhan, Muhammad. 1995. Metode Takhrij Penelitian Sanad
Haditst, Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Tirmidhi, Abu isa. Tt. al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Tirmidhi, Beirut, Dar
ihya’ al-Turath.
Al-Ulamai, A. Hasan Asy-ari. 2006. Melacak Hadits Nabi Shalallahu
Alaihi Wasalam, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga
Digital. Semarang: rasail.
232
Al-Zahrani, Muhammad Ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnahal-
Nabawiyah, Nasy‟atihi wa Tathawwurihi min all-Qur‟an al-
Awwal ila Nihayat al-Qarni al-Tsani al-Hijri, Thaif: Maktabah al-
Shadiq.
Al-Zarkasyi. 1988. al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-
Fikr.
Ali, Atabik. Tt. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi
Karya Grafika.
Ali, A Mukti. 1991. Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung:
Mizan.
Ali, A Mukti. 1971. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta:
Dirjen BIMAS Islam.
Ali, A. Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta:
Rajawali
Ali, Maulana Muhammad. 1980. Islamologi (Dinul Islam), (terj) R.
Kaelani dan HM bachrun dari judul asli Islamologi, Jakarta:
Ikhtiar Baru-Van Hoeve.
Alisyahbana, Sutan takdir. 1986. Antropologi Baru, Jakarta: Dian
Rakyat
Amin, Ahmad. Tt. Zhuhur al-islam, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi.
Amin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Haditst, Jakarta: Mizan
Publika.
Amin, Ahmad. 1967. Fajar Islam (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr
al-Islam, Cirebon.
Anwar, Rosihon, Badruzzaman M. Yunus, saehudin. 2006. Pengantar
Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Anwar, Rosihan. 2008. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia.
Arberry, AJ. 1979. Sufism an account of Mystic of Islam, London:
mandala Book.
As, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: Raja Grafindo.
Azra, Azyumardi. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan tinggi Umum, Jakarta: Departemen Agama RI.
Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN.
233
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. III; Bandung: Mizan
Baidan, Nasharuddin. 2000. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa.
Bakhtiar, Nurhasanah dan Marwan. 2016. Metodologi Studi Islam,
Pekanbaru: Cahaya Firdaus.
Baqir, Haidar. 2005. Buku Saku Tasawuf, Bandung; Mizan.
Basri, Hasan, Murif Yahya, Tedi Priatna. 2006. Ilmu kalam: Sejarah dan
Pokok Pikiran Aliran-Aliran, Bandung: Azkia.
Bin Nabi, Malik. Tt. Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam
bahasa Arab oleh Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah
Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon.
Connolly, Peter. 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta:
LkiS
Coulson, Noel J. TT. The History of Islamic law, diterjemahkan oleh
Hamid Ahmad dengan judul Hukum Islam dalam perspektif
sejarah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M).
Darajat, Zakiyah. 1985. Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta: UT dan Dep.
Agama.
Darajat, Zakiyah. 1996. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara
De Boer, T.J. tt. The History of Philoshopy In Islam, New York, USA:
Islamic Philoshopy Online.
Fakhri, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy, Longman.
Farghal, Yahya Hasyim Hasan. 2000. al-Firaq al-islamiyah fi al-Mizan,
al-Ain: UAEU Press.
Fanani, Muhyar. 2010. Metode Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Garaudy, Roger. 1982. Janji-Janji Islam, terj. HM. Rasyidi, Jakarta:
Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 1976. Sistematika Filsafat, jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika
hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet.I.
HAMKA, 1993. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta:
pustaka panjimas.
234
Hermawan, A. Heris, Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam, Bandung: CV
Insan Mandiri.
Hilal, Ibrahim. 2002. Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-
Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf Antara
Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, Cet. I; Bandung
Pustaka Hidayah.
Hodgson, Marshall G.S. 2002. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah
dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah
Tatanan Baru. terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta:
Paramadina.
Horrassowitz, Otto. 1985. History of Muslim Philosophy, ditranslate
menjadi Para filosof muslim, editor, M. Syarif, Bandung: Mizan.
Ibn Khaldun. Tt. al-Muqaddimah, Kairo: al-maktabah al-Tijariyah al-
Kubra.
Ibn Mandzur. Tt. Lisanul Arab, Beirut: Daar shadir.
Idris. 2010. Studi Haditst, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ikhwan al-Safa. 1928. Rasail Ikhwan al-Safa, Kairo: al-Matba’ah al-
Arabiyah.
Ismail, M. Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Jauhari, Tantawi. 1351 H. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Kairo:
Matba’ah Mustafa al-Halibi.
Kalsum, Ummu. 2002. Ilmu Tasawuf, Makassar: Yayasan fatiyah
Makassar.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi, Bandung:
Mizan, cet ke-1
Lapidus, Ira M.1999. Sejarah Sosial Umat Islam. terj. Ghufron A.
Mas’adi Jakarta: Rajawali Press.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung Al-Ma’arif.
McDonough, Sheila. 1984. Muslim Ethics and modernity: A Comparative
Study of the Ethical Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana
Mawdudi, Kanada: Wilfrid laurier University Press.
Mubarak, Jaih. 2000. Sejarah dan perkembangan hukum Islam; editor,
Cucu Cuanda, Bandung: Remaja Rosdakarya.
235
Mochtar, Affandi. 1990. The Method of Muslim Learning as Illustrated in
al-Zurnuji’s Ta’lim wa al-Muta’allim. Tesis. Montreal: Institute
of Islamic Studies McGill University.
Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mudzhar, M. Atho. 1998. Metodologi Studi Islam dalam Teori dan
Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mudzhar, Muhammad Atho. 1993. Fatwas of the counsil of Indonesia
Ulama A Study of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-
1988, Jakarta: INIS.
M. Syuhudi Ismail.tt. Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya:
Abditama
Muntasyir, Rizal dan Misnal Munir. 2004. Filsafat Ilmu, Cet ke-4,
Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Mustofa, A. 1997. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
Nata, Abuddin. 2012. Metodologi studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Nasr, Sayyed Hossein. 2020. The Garden of truth: the Vision and
promise of Sufism, islam’s Mistical Tradition, terj. Yuliani liputo.
Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1974. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1979. Islam ditinjau Dari berbagai Aspeknya. Jakarta:
UI Press.
Nasution, Harun. 1983. Filsafat dan Mistisme Dalam islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1983. Teoligi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan, Jakarta: UI Press.
Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Noer, Kautsar Azhari. Tt. Ibn al-`Arabi: wahdat al-wujud dalam
perdebatan, Jakarta: Paramadina.
Oxford. 1978. Oxford Student's Dictionary Current English, UK: Oxford
University Press; 3rd edition
236
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiyah Populer,
Surabaya: Apollo.
Poerwadarminta, WJS. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum Dan Aplikasinya, bandung: Pustaka
Setia.
Qutb, Muhammad. 1984. Sistem Pendidikan Islam, Bandung: al-
Ma’arif.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam alternatif. Bandung: Mizan, cet ke-IV,
Razak, Nasruddin. 1989. Dienul Islam: Penafsiran Kembali Islam
Sebagai Suatu Aqidah dan Way Of Life, Jakarta: Al-Ma’rif.
Rifa’I, Muh. 1984. Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana.
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah
Islamiyah III), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rusli, Rus’an. 2021. Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya,
Jakarta: Prenada media.
Sabiq, Sayyid. Tt. Islamuna, Beirut: Daar al-Kutub al-Araby.
Saleh, Sujiat Zubaidi. 2010. Perspektif Insider-Outsider dalam Studi
Agama. Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor
Sadzali, Munawwir. 1992. Islam dan Ketatanegaraan, Jakarta: Mutiara.
Smeer, Zaid B. 2014. Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Aura
Pustaka.
S.I. Poeradisastra, 1986. Sumbangan islam kepada Ilmu dan
pengetahuan Modern, Jakarta: P3M.
Shadily, Hasan. 1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Bina Aksara.
Shihab, Quraish. dkk. 1999. Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1985. Fi Ilm al-kalam, Kairo: Dar an-nahdhah
al-Arabiyyah
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta:
Prenada Media.
Sou’yb, Joesoef. 1983. Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: Pustaka
al-Husna.
237
Sumardi, Mulyanto. 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran,
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Suryadi. 2009. Metodologi Penelitian Haditst, Yogyakarta: TH Press,
UIN Sunan Kalijaga.
Suyuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah Jombang, Yogyakarta: galang Press.
Syariati, Ali. 1982. Tentang sosiologi islam, terj. Saifullah Mahyuddin,
dari judul asli On The Sociology of Islam, Yogyakarta: Ananda.
Syukur, M. Amin. 2003. Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sakti.
Syukur, M. Amin. 2002. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2000. Zuhud di Abad Modern, Cet. II. Yokyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Ramaja Rosdakarya.
Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam. 2011. Studi Islam Oleh
Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer. Jakarta: Kemenag RI.
Utsman, Hasan. 1986. Manhaj al-bahts At-tarikh (metodologi Penelitian
Sejarah), diterjemahkan oleh Tim penterjemah DEPAG RI.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”
dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terj.
M. Imam Aziz. Jogjakarta: LkiS.
Wahyuddin. 2007. Metodologi Penelitian Agama (dasar-dasar teoretis
dan aplikasi), Banjarmasin: Antasari Press.
Zaprulkhan. 2019. Pengantar Filsafat Islam, Yogyakarta: IRCiSoD.
Zahri, Mustafa. 1979. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina
Ilmu
Zuhairini et al. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Cet. III; Jakarta: Bumi
Aksara.
238
SEPUTAR PENULIS
239
Diantaranya: Narasumber dalam Webinar gerakan nasional Literasi
Digital 2021 dengan tema: Privasi dan Keamanan Data di Dunia
Digital, Tgl 18 Juni 2021 dengan judul: membangun budaya literasi
digital yang santun, Keynote Speaker dalam national Webinar
“Pendidikan islam di Era Society 5.0”, Maret 2021, Narasumber dalam
FGD UPT Pusat bahasa dengan tema: Degradasi Wajah bahasa di Era
masyarakat 5.0, Maret 2021, Narasumber dalam Webinar Pandangan
Agama Islam Dalam Menghadapi Wabah Covid-19 dan New Normal,
23 Juli 2020, USU dan Pemko Medan dengan judul Pandangan Agama
Islam Dalam Menghadapi Wabah Covid 19 Dan New Normal,
Narasumber dalam Internasional Webinar: Tantangan Pendidikan
Tinggi Islam Di Tengah Pandemi Covid 19, 13 Juli 2020, Zoom Meeting,
Universitas Dharmawangsa, UNISHAMS Kedah, dan Narasumber
dalam International Webinar dengan tema: pembaharuan ilmu-ilmu
keislaman demi kebangkitan umat: ruang dan mekanismenya di era
teknologi digital, 2 Juli 2020, Zoom meeting, Universitas
Dharmawangsa.
240