Anda di halaman 1dari 254

METODOLOGI STUDI ISLAM

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan
ajar; dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
METODOLOGI STUDI ISLAM

Dr. H. Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, Lc., M.A.

Editor:
Aulia Akbar, S.E., M.M.
Irham Khalid Gymnastiar, S.E.I., M.M.
METODOLOGI STUDI ISLAM

H. Zamakhsyari bin Hasballah Thaib

Editor :
Aulia Akbar & Irham Khalid Gymnastiar

Desain Cover :
Penulis

Sumber :
Penulis

Tata Letak :
Titis Yuliyanti

Proofreader :
Aditya Timor Eldian

Ukuran :
xii, 240 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN :
No ISBN

Cetakan Pertama :
Bulan 2022

Hak Cipta 2022, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2022 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta alam,


atas segala nikmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada penulis,
hingga pada akhirnya dapat menyelesaikan buku Metodologi Studi
Islam yang ada di tangan para pembaca sekalian.
Shalawat berangkaikan salam tercurahkan kepada junjungan
alam, Rasulullah SAW, Kekasih Allah, Teladan bagi umat manusia, yang
syafaatnya sangat diharapkan di yaumil mahsyar kelak nantinya.
Umat islam saat ini berada pada posisi problematik.
Masyarakat menjadi lemah karena dimanjakan oleh kemajuan
teknologi yang mudah dan praktis. Tidak jarang masyarakat era
modernisasi lebih gampang termakan hoax yang beredar di media
sosial, terutama generasi milenial yang akrab dengan media dan
internet. Tidak dapat dipungkiri, hoax memang salah satu masalah
yang muncul di era digitalisasi. Yang mana akibatnya fatal. Bahkan
dapat mendorong timbulnya permusuhan. Untuk itulah kenapa
urgensi mempelajari metodologi studi islam.
Walaupun mayoritas penduduk di Indonesia beragama islam,
sayangnya tidak banyak dari mereka memahami sekaligus menghayati
kajian ajaran islam dengan benar. Apalagi generasi milenial yang
sejatinya membutuhkan ilmu pendalaman terkait kajian islam di
tengah kemajuan ilmu teknologi dan pengetahuan yang semakin
berkembang. Adapun yang dibutuhkan oleh generasi milenial dalam
studi islam adalah pendidikan karakter islam di era milenial.

v
Generasi milenial merupakan aset bangsa yang menjadi agent
of change sekaligus calon pemimpin di masa depan. Dengan adanya
studi islam terkait pendidikan karakter secara islami, diharapkan
mereka tumbuh menjadi generasi yang bermoral, berkarakter serta
berperilaku agamis dan tetap siap menghadapi tantangan modernisasi
digital.
Generasi milenial menjadi tokoh sentral dalam metodologi
studi islam. Bahkan di perkuliahan, metodologi studi islam ini menjadi
satu mata kuliah tersendiri untuk dipelajari oleh Mahasiswa. Bukan
tanpa alasan, tetapi melihat fenomena yang ada pada masyarakat saat
ini.
Tidak dapat dipungkiri, studi islam menjadi sangat urgensi
dipelajari. Di masa kini tujuan dari metodologi studi islam untuk
generasi milenial antara lain:
1. Agar generasi milenial memiliki pemikiran yang kritis sesuai
dengan ajaran islam yang digabungkan dengan ilmu
pengetahuan sekaligus teknologi.
2. Membentuk pemikiran generasi milenial tentang pentingnya
memiliki sikap toleransi.
3. Meminta generasi milenial untuk menghormati pendapat
orang lain.
4. Meminta generasi milenial menjadi seseorang yang berhati
lembut dan berjiwa besar.
5. Agar melahirkan generasi milenial yang percaya diri, berani
berpendapat dan berani mempertahankan pendapatnya sesuai
dengan kajian ilmu yang dimiliki.
Buku “Metodologi Studi Islam” yang ada di tangan para
pembaca sekalian merupakan salah satu ikhtiar penulis dalam
menampilkan kajian studi Islam yang mencoba menjawab kebutuhan
generasi milenial untuk lebih memahami Islam sesuai dengan bahasa
zamannya. Metodologi Studi Islam sebagai salah satu dasar keilmuan
penting dalam pembentukan kompetensi seorang intelektual muslim
sangat dibutuhkan oleh para thullabul ilmi, khususnya penting untuk

vi
dikemas dalam bahasa yang sesuai dengan perkembangan dan
relevansi tempat dan waktu.
Kami sadar buku ini masih banyak memiliki kekurangan. Kami
berharap masukan dan kritik membangun yang disampaikan untuk
kesempurnaan buku ini dalam cetakan-cetakan berikutnya. Semoga
buku ini dapat menambah khazanah intelektual khususnya dalam
kajian Metodologi Studi Islam masa kini.

Medan, 17 Agustus 2022


Penulis,

Dr. H. Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, MA

vii
PENGANTAR EDITOR

Buku yang ada di tangan para pembaca sekalian merupakan


buku yang berjudul Metodologi Studi Islam, buah karya dari Dr.
Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, M.A. Sebagai buku yang mengkaji
metodologi dalam kajian Islam, pembahasan yang ada dalam buku ini
cukup komprehensif. Dimulai dari pengantar yang memperkenalkan
tentang Studi islam, tujuan, dan Metode serta pendekatannya, hingga
pembahasan tentang metode penelitian masing-masing ilmu
keislaman yang berkembang.
Buku ini disajikan dengan bahasa yang mudah dan ditampilkan
dengan begitu sistematis, merujuk kepada referensi yang sangat baik
sekali, dari berbagai literatur, mulai dari yang berbahasa Indonesia,
bahasa Arab, hingga bahasa Inggris. Buku ini sangat layak dikonsumsi
bukan hanya di kalangan para akademisi, namun juga bagi masyarakat
umum yang ingin menambah wawasan terkait dengan studi islam dan
metodologi penelitian ilmu-ilmu keislaman yang ada.
Selamat membaca, dan menikmati sajian informatif dalam
buku ini.

Editor

Aulia Akbar, SE, MM


Irham Khalid Gymnastiar, S.EI., M.M

viii
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS ............................................................................................... v


PENGANTAR EDITOR ............................................................................................. viii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN METODOLOGI STUDI ISLAM ..................... 1


A. PENGERTIAN STUDI ISLAM...................................................... 1
B. URGENSI STUDI ISLAM ............................................................... 3
C. RUANG LINGKUP STUDI ISLAM .............................................. 6
D. TUJUAN STUDI ISLAM ................................................................. 6
E. PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM ................................... 7
F. METODE DALAM STUDI ISLAM ........................................... 13

BAB II ISLAM SEBAGAI DIEN ............................................................... 16


A. PENGERTIAN AGAMA .............................................................. 16
B. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA ................. 18
C. FUNGSI AGAMA ........................................................................... 21
D. JENIS-JENIS AGAMA .................................................................. 23
E. KEDUDUKAN ISLAM SEBAGAI DIEN.................................. 24

BAB III KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM ......................................... 30


A. DALAM BIDANG AQIDAH........................................................ 30
B. DALAM BIDANG IBADAH ........................................................ 31
C. DALAM BIDANG AKHLAK ....................................................... 33
D. DALAM BIDANG ILMU DAN KEBUDAYAAN .................... 34
E. DALAM BIDANG PENDIDIKAN ............................................. 35
F. DALAM BIDANG SOSIAL KEMASYARAKATAN............... 36
G. DALAM BIDANG EKONOMI .................................................... 37
H. DALAM BIDANG POLITIK ....................................................... 39

ix
BAB IV PENELITIAN AGAMA ISLAM ....................................................40
A. PENGERTIAN TEORI PENELITIAN AGAMA .....................40
B. KONTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA ........................46
C. MACAM-MACAM PENELITIAN AGAMA .............................49
D. LANGKAH-LANGKAH POKOK DALAM
PENELITIAN AGAMA .................................................................53
E. TEORI-TEORI PENELITIAN AGAMA ....................................54

BAB V STUDI AL-QUR’AN DAN ILMU TAFSIR .................................59


A. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN
KARAKTERISTIKNYA ................................................................59
B. PENGERTIAN ILMU TAFSIR DAN BENTUK
PENAFSIRAN AL-QUR’AN ........................................................63
C. METODE TAFSIR AL-QUR’AN ................................................66
D. CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN ........................................78
E. MODEL PENELITIAN TAFSIR DAN ILMU AL-
QURAN .............................................................................................86

BAB VI STUDI HADITS DAN ILMU HADITS .......................................90


A. PENGERTIAN HADITS DAN ILMU HADITS.......................90
B. SEJARAH KAJIAN ILMU HADITS ...........................................92
C. KLASIFIKASI HADITS ................................................................95
D. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM .............................................................................98
E. TAKHRIJ HADITS .........................................................................99
F. MODEL PENELITIAN HADITS ............................................. 105

BAB VII STUDI FILSAFAT ISLAM......................................................... 115


A. PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM ......................................... 115
B. SEJARAH KAJIAN FILSAFAT ISLAM .................................. 118
C. MODEL-MODEL PENELITIAN FILSAFAT ISLAM ......... 128

BAB VIII STUDI ILMU KALAM ............................................................... 135


A. PENGERTIAN ILMU KALAM ................................................ 135
B. KORELASI ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT .............. 138

x
C. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ILMU KALAM .............. 139
D. ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM ......................... 140
E. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU KALAM ................ 150

BAB IX STUDI ILMU TASAWUF .......................................................... 160


A. PENGERTIAN TASAWUF ....................................................... 160
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF .............. 162
C. AJARAN-AJARAN TASAWUF ................................................ 163
D. MAQAM DAN AHWAL............................................................. 164
E. KLASIFIKASI KAJIAN TASAWUF ........................................ 168
F. MODEL-MODEL PENELITIAN TAsawUF ........................ 169

BAB X STUDI FIQH DAN HUKUM ISLAM ....................................... 172


A. PENGERTIAN FIQH DAN ISTILAH LAIN YANG
BERKAITAN ................................................................................ 172
B. IJTIHAD DAN URGENSINYA DALAM
PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM..................................... 175
C. MENGENAL MAZHAB FIQH DAN
METODOLOGINYA ................................................................... 178
D. TAJDID DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM ............ 183
E. MODEL-MODEL PENELITIAN FIQH DAN
HUKUM ISLAM .......................................................................... 185

BAB XI STUDI ILMU TARBIYAH (PENDIDIKAN ISLAM) ............ 191


A. PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM .................................. 191
B. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM........................... 192
C. Model-Model Penelitian Ilmu Pendidikan Islam ......... 197

BAB XII STUDI ILMU SEJARAH PERADABAN ISLAM .................... 199


A. PENGERTIAN SEJARAH PERADABAN ISLAM ............... 199
B. PERIODEISASI SEJARAH PERADABAN ISLAM ............. 200
C. KRITIK TERHADAP PENULISAN SEJARAH
ISLAM ............................................................................................ 207
D. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU SEJARAH
ISLAM ............................................................................................ 209

xi
BAB XIII INSIDER DAN OUTSIDER DALAM STUDI ISLAM ............ 214
A. MENGENAL INSIDER DAN OUTSIDER DAN
PERSPEKTIF KEDUANYA DALAM STUDI ISLAM ........ 214
B. PROBLEMATIKA INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM ............................................................. 222

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 230


SEPUTAR PENULIS ................................................................................................. 239

xii
BAB I
PENDAHULUAN METODOLOGI STUDI ISLAM

A. PENGERTIAN STUDI ISLAM


Studi Islam merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah, dalam bahasa inggris disebut Islamic Studies. Secara harfiah
studi Islam adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
Islam. Secara terminologis studi Islam adalah usaha sadar dan
sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun
praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-
hari.
Kata Islam pada Studi Islam mengandung tiga makna: 1
1) Islam dimaknai dengan ketundukan atau berserah diri,
2) Islam dimaknai dengan keselamatan, baik di dunia maupun
akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing
manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua
larangan,
3) Islam dimaknai dengan kedamaian.
Usaha mempelajari Islam dalam realitanya tidak hanya
dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga
dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi
keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda
tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di
luar kalangan umat Islam.

1 H.A Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h.
5-6

1
Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk
memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar
mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar.
Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman
bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata
sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya
dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut
dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat
yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan
dunia orang Islam.
Dalam praktiknya, studi Islam yang dilakukan oleh kaum
orientalis, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi
tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada
pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pengalaman
ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. 2
Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para
orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan
bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-
pandangan yang demikian itu akan bermanfaat bagi pengembangan
studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam
dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa
pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih
cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup
diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat
objektif dan rasional.

2 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka


pelajar, 2006), h. 17-18

2
Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan
doktriner tersebut, tentunya ajaran agama Islam yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadits–yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif
terhadap tuntutan perkembangan zaman–telah berkembang menjadi
ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-
sentuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman.
Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan
mandek, membeku dan ketinggalan zaman.
Sayangnya, keadaan inilah yang menjadi sasaran objek studi
dari kaum orientalis dalam studi keislamannya. Dengan adanya
kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para Ulama
tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan
luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional
dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi
keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan
kajian yang objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim
sebagai ajaran universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat
relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul mampu
menjawab tantangan zaman.3

B. URGENSI STUDI ISLAM


Urgensi studi Islam dapat dipahami dan diuraikan sebagai berikut:
1. Umat Islam saat ini Berada Dalam Kondisi Problematis
Saat ini umat Islam masih berada dalam posisi marginal dan
lemah dalam segala bidang kehidupan sosial budaya. Dalam kondisi
ini, umat Islam harus mampu melakukan gerakan pemikiran yang
dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang dan
operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan kemajuan
tersebut.
Dalam posisi problematis ini, jika umat Islam hanya berpegang
pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang
merupakan warisan doktriner turun temurun dan dianggapnya

3 Rosihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus, Saehudin, Pengantar Studi Islam,


(Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 41

3
sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta
tidak berani untuk melakukan pemikiran ulang, berarti mereka
mengalami kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan
menghadapi masa depan yang suram.
Di sinilah dibutuhkan studi islam dengan pendekatan yang
bersifat rasional-objektif, sehingga diharapkan mampu memberikan
alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang
problematis tersebut. Selain itu, diharapkan pula agar dapat mengarah
kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan
dan pemikiran kembali ajaran agama Islam agar mampu beradaptasi
dan menjawab tantangan zaman dan dunia modern dengan tetap
berpegang teguh pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Al-
Qur’an dan as-Sunnah. Di sisi lain, studi islam dengan pendekatan ini
juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup
bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang
mampu menjawab tantangan pada era globalisasi ini. 4

2. Umat Manusia dan Peradabannya Berada dalam Suasana


Globalisasi
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern semakin mendekatkan hubungan komunikasi
antarbangsa dan budaya umat manusia. Pada suasana semacam ini
tentunya umat manusia membutuh-kan aturan-aturan, nilai-nilai dan
norma-norma serta pedoman dan pegangan hidup yang universal dan
diakui atau diterima oleh semua bangsa. Karena bagi sebagian orang
teknologi modern justru semakin menjadikan mereka kehilangan
identitas diri, menurunkan derajat kemanusiaan, dan menyebabkan
terjadinya proses dehumanisasi, yang menjadikan manusia kehilangan
sifat-sifat manusiawinya.
Dalam kondisi yang serba problematis ini, jika ilmu
pengetahuan dan teknologi modern dibiarkan berkembang terus
secara bebas tanpa kontrol dan pengarahan, maka akan menyebabkan
terjadinya kehancuran dan malapetaka karena pengetahuan menjadi

4 Muhaimin, dkk, Dimensi – Dimensi Studi Islam, (Surabaya: Abditama, 1994), h. 14

4
terpisah dari nilai; kekuatan besar telah dicapai, tetapi tanpa
kebijaksanaan. Manusia dapat binasa di saat ia telah menciptakan
kekuatan besar dalam bidang sains dan teknologi, tetapi kekuatan-
kekuatan itu sering digunakan untuk merusak (destruktif).
Di sinilah urgensi studi islam muncul. Sebagai agama rahmatan
lil alamin, Islam tentunya memiliki konsep-konsep atau ajaran-ajaran
yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan
manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Islam ditantang untuk
mampu menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan
hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia
modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif
pemecahan terhadap keadaan problematis.5

3. Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung


menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistik-
formalistik.
Situasi legalistik-formalistik menjadikan agama harus
dimanifestasikan dalam bentuk ritual formal, sehingga muncul
formalisme keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi.
Kondisi seperti itu, menyebabkan agama kurang dipahami sebagai
dasar moral dan etika yang bertujuan membebaskan
manusia dari kebodohan, ataupun kebobrokan moral. Di sinilah
dibutuhkan studi islam untuk melihat agama dari perspektif yang
benar.
Di samping itu, signifikasi studi Islam di Indonesia adalah
mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat
Muslim-Indonesia secara khusus, dan masyarakat agama pada
umumnya. Hal ini jelas berkaitan erat dengan formalisme keagamaan
yang cenderung induvidualistik daripada kesatuan sosial
mengakibatkan munculnya sikap negatif seperti nepotisme, kolusi dan
korupsi.6

5 Roger Garaudy, Janji – Janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),
h. 29.
6 Harun Nasution, Format Baru gerakan keagamaan, 1998, h. 1

5
C. RUANG LINGKUP STUDI ISLAM
Setidaknya ada tiga sisi bagaimana melihat Islam sebagai objek studi:
1. Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para
pemeluknya sudah final dalam arti absolut, dan diterima apa
adanya.
2. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi
kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk
pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
3. Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.

D. TUJUAN STUDI ISLAM


Tujuan dan arah studi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:7
1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya
(hakikat) agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta
hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan
budaya manusia.
2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran
agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran serta
operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan
budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya.
3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran
agama Islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana
aktualisasinya.
4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan
nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana
realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta
mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia
pada zaman modern ini.

7 Nurhasanah Bakhtiar dan Marwan, Metodologi Studi Islam, (Pekanbaru: Cahaya


Firdaus, 2016), h. 3

6
E. PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM
Pendekatan yang dimaksud di sini cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama. Sebagai dien, Islam memiliki
banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup,
sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan
masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam
tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari
berbagai disiplin ilmu.
Berikut ini pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan
dalam memahami Islam dijabarkan sebagai berikut:
1. Pendekatan Teologis
Suatu pendekatan yang normatif dan subjektif terhadap
agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh
penganut suatu agama dalam usahanya menyelidiki agama lain.
Dengan demikian, pendekatan ini juga disebut pendekatan atau
metode tekstual, atau pendekatan kitabi maka metampakkan sifatnya
yang apologis dan deduktif.8
Secara harfiah pendekatan teologis normatif dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam era kontemporer ada empat prototipe pemikiran
keagamaan Islam yaitu, pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis, nasionalis, dan tradisional. Keempat prototipe pemikiran
keagamaan tersebut sudah tentu tidak mudah untuk disatukan begitu
saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologis yang sering sulit
untuk didamaikan.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sifat
kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri. Teologi

8 Zakiyah Darajat, Perbandingan Agama, (jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 37

7
sebagai kritik agama berarti antara lain mengungkapkan berbagai
kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat
panggilannya, menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Teologi
kritis bersifat kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat
terjadi jika agama terbuka terhadap ilmu-ilmu sosial dan
memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Dengan
demikian teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman
mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi
sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi kepedulian sosial
itu teologi transformatif.9

2. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan
memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis
spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berpikiran untuk
memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab
suatu persoalan, namun demikian tidak semua berpikir untuk
memecahkan dan menjawab suatu permasalahan dapat disebut
filsafat. Dimaksud filsafat di sini adalah berpikir secara sistematis,
radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang
(objek yang dipikirkan) sendiri, yaitu bidang atau permasalahan yang
bersifat filosofis yakni bidang yang terletak di antara dunia ketuhanan
yang ghaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan
demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-
masalah yang bersifat keagamaan semata-mata dengan masalah yang
bersifat ilmiah.10
Sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran, sudah dapat dipastikan Islam sangat
memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara
merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung

9 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 31.
10 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 15.

8
memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-
aturan formalistis dari pengalaman agama.11

3. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang
menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud
hidup bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama
itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.12
Ilmuwan yang pertama kali menggagas sekaligus
mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang
mandiri adalah ibn khaldun. Namun, mayoritas sosiolog memandang
kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih
mengakui Karl Max dan August Comte sebagai seorang yang paling
berjasa bagi disiplin ilmu sosiologi.13
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama
lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan
masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan
dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya
serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
a. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
b. Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga
masa kanak-kanak dan usia.
c. Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis,
sistem-sistem pertukaran dan birokrasi.
d. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi
personal, penyimpangan, dan globalisasi.14

11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 43.
12 Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1983),
h. 1
13 Pius A.Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Apollo,
1994), h. 20
14 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 283

9
Dalam al-Quran terdapat tuntunan yang banyak
membicarakan realitas tertinggi yang menunjukkan bahwa ia, secara
filosofis, tidak menerima selainnya. Namun di sisi lain (sosiologis), ia
juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain
(lakum dinukum waliyaddin).15

4. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang membahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut
ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam
peristiwa tersebut, dan lain sebagainya.16
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang
konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks ini Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama yang dalam hal ini Islam menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada kesimpulan
bahwa dasarnya kandungan Al-Qur’an itu menjadi dua bagian.
Bagian yang berisi konsep-konsep dan bagian yang berisi kisah-kisah
sejarah dan perumpamaan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empirism dan
mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis
dengan yang ada dalam empiris dan historis.17

5.
Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang

15 Atang Abd. Hakim. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi-9.
(Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2007), h. 5
16 Hasan Utsman, Manhaj al-bahts At-tarikh (metodologi Penelitian Sejarah),
diterjemahkan oleh Tim penterjemah DEPAG RI, 1986, h. 16.
17 Kuntowijaya, Paradigma islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h.
328.

10
dimilikinya. Di dalam kebudayaan terdapat pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Semua itu digunakan sebagai
kerangka acuan atau blueprint oleh seseorang dalam menjawab
berbagai masalah yang dihadapinya. Karenanya, kebudayaan tampil
sebagai pranata yang secara terus-menerus dipelihara oleh para
pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan
tersebut.18
Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk
memahami apa yang terdapat pada dataran empirisnya atau agama
yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
Agama yang tampil dengan bentuk demikian berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakattempat agama itu
berkembang.19

6.Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan
ini agama tampak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya.20
Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama dapat
ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama
dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang
kurang mampu pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan
keagamaan yang mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
masyarakat. Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang
berada pada daratan empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan

18 Sutan takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 207
19 Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, h. 50
20 M. Dawan Raharjo, “Pendekatan ilmiah Terhadap fenomena keagamaan” dalam M.
Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990), h. 19.

11
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama
dengan berbagai pranata yang terjadi di masyarakat.21
Dalam antropologi modern dikenal adanya holisme, yakni
pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks
dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan
yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropologis
harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan
politik, magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama
tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh
praktik-praktik sosial lainnya.22

7.Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut
Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi
karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang,
melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Label
psikologi agama seolah menunjukkan bahwa bidang ini merupakan
cabang psikologi yang concern dengan subjek agama, sejajar dengan
psikologi pendidikan, atau psikologi olahraga, atau psikologi klinis.
Akan tetapi kenyataannya, psikologi agama berada di bagian luar
mainstream psikologi.23

8.Pendekatan Doktriner
Pendekatan doktriner atau pendekatan studi Islam secara
konvensional merupakan pendekatan studi di kalangan umat Islam
yang berlangsung adalah bahwa agama Islam sebagai objek studi
diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin

21 Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012), h.
391
22 Ibid, h. 34
23 Ibid, h. 191

12
yang berasal dari Ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut,
mutlak dan universal. Pendekatan doktriner juga berasumsi bahwa
ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang
pada masa salaf yang menimbulkan berbagai mazhab keagamaan, baik
teologis maupun hukum-hukum atau fikih, yang kemudian di anggap
sebagai doktrin-doktrin yang tetap dan baku.

9.Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang
masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal
formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak
dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang
terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan
yang digunakan oleh ahli ushul fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam
(fuqaha’), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli hadits (muhadditsin) yang
berusaha menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari
sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif.

F. METODE DALAM STUDI ISLAM


Menurut Syari’ati, ada empat metode dalam studi Islam, yaitu:
1. Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembah
agama-agama lain;
2. Mempelajari kitab al-Qur’an dan membandingkannya dengan
kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatan samawi)
lainnya;
3. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya
dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup
dalam sejarah;
4. Mempelajari tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran
pemikiran lain.24

24 Ali Syariati, Tentang sosiologi islam, terj. Saifullah Mahyuddin, dari judul asli On
The Sociology of Islam, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 72.

13
Selanjutnya, metode dalam studi islam secara lebih rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah yaitu cara yang
harus dilalui oleh proses ilmu sehingga dapat mencapai kebenaran.
Oleh karenanya maka dalam sains-sains spekulatif mengindikasikan
sebagai jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau
harus ada, sementara dalam sains-sains normatif mengindikasikan
sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau
pembuatan sesuatu.

2. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari islam menonjolkan aspek sejarah.
Metode ini memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang
berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam
islam, sehingga umat islam memiliki pengetahuan yang relevan,
hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Metode diakronis
disebut juga metode sosiohistoris, yakni suatu metode pemahaman
terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihat
suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan
waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan di mana
kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.

3. Metode Sinkronis-Analistis
Suatu metode mempelajari islam yang memberikan
kemampuan analisis teoretis yang sangat berguna bagi perkembangan
keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-
mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan
telaah teoretis.

4. Metode Problem Solving


Metode mempelajari islam yang mengajak pemeluknya untuk
berlatih menghadapi berbagai masalah dari satu cabang ilmu
pengetahuan dengan solusinya. Metode ini merupakan cara

14
penguasaan keterampilan dari pada pengembangan mental-
intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan
pemikiran umat islam mungkin hanya terbatas pada kerangka
yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.

5. Metode Empiris
Suatu metode mempelajari islam yang memungkinkan umat
islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, dan
internalisasi norma dan kaidah islam dengan satu proses aplikasi yang
menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif
proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu norma baru.

6. Metode Deduktif
Suatu metode memahami islam dengan cara menyusun kaidah
secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu diaplikasikan
untuk menentukan masalah yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk
sarana mengistinbatkan syariat, dan kaidah-kaidah itu benar bersifat
penentu dalam masalah-masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai
tidaknya dengan paham mazhabnya.

7. Metode Induktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah
hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang
disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode
pengkajiannya dimulai dari masalah-masalah khusus, lalu dianalisis,
kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah terlebih
dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya.

15
BAB II
ISLAM SEBAGAI DIEN

A. PENGERTIAN AGAMA
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sansekerta,
yaitu yang tersusun dari dua kata; “a” artinya tidak dan “gam” artinya
pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara
turun temurun.25 Ini menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu
diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Ada juga versi lain yang mengatakan agama tersusun dari
a artinya tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama artinya tidak kacau.
Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti
teks atau kitab suci.
Agama dalam bahasa Arab disebut “din”, yang mengandung
arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan
hukum, yang harus dipatuhi orang.26 Din dalam bahasa Semit juga
berarti undang-undang atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Inggris
agama disebut religion yang terambil dari bahasa latin relegere yang
mengandung arti mengumpulkan, membaca. Pendapat lain kata itu
berasal dari relegare yang berarti mengikat. Intisari yang terkandung
dalam istilah-istilah di atas adalah ikatan.27 Agama mengandung arti
ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Sedangkan menurut terminologi, definisi agama beragam
tergantung orang yang mendefinisikannya. Mukti Ali pernah
mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi
pengertian dan definisi selain dari kata agama. Pernyataan ini

25 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,1985), h.


9
26 Ibid, h. 9
27 Ibid, h. 11

16
didasarkan pada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama
adalah soal batin, subjektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua,
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional
dari pada orang yang membicarakan agama. Karena itu setiap
pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat
sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang
agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi
itu.28
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih
belum selesai, hingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama,
sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada
yang lebih sukar dari mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk
membuat definisi agama, karena pengalaman agama adalah subjektif,
intern, individual, di mana setiap orang akan merasakan pengalaman
agama yang berbeda dari orang lain. Di samping itu tampak bahwa
umumnya orang lebih condong mengaku beragama, kendatipun ia
tidak menjalankannya.29
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan
politik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu
yang maha mutlak. Sementara Dewey mengatakan bahwa agama
adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi
meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam
jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan ghaib
yang hebat.
Oxfort Student Dictionary30 mendefinisikan agama (religion)
dengan “the belief in the existence of supranatural ruling power, the
creator ad controller of the universe”, yaitu suatu kepercayaan akan
adanya suatu kekuatan pengatur supranatural yang mencipta dan

28 Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Dirjen BIMAS Islam,
1971), h. 4
29 Zakiyah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: UT dan Dep. Agama, 1985), h.
14
30 Oxford Student's Dictionary Current English, (UK: Oxford University Press; 3rd
edition, 1978)

17
mengendalikan alam semesta.31 Agama dalam pengertiannya yang
paling umum diartikan sebagai sistem orientasi dan objek pengabdian.
Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk religius,
karena tidak seorang pun dapat hidup tanpa suatu sistem yang
mengaturnya. Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia
adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia.
Dari pengertian di atas, setidaknya ada tiga persoalan pokok
yang dicakup dalam sebuah agama, yaitu:
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu
kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta
alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam
berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai
konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai (hukum/norma) yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang
dikaitkan dengan keyakinannya tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa agama merupakan
seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.

B. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA


Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakangi mengapa
manusia membutuhkan agama, yaitu:
1. Karena fitrah manusia
Kata fitrah merupakan derivasi dari kata fathara, artinya
ciptaan, suci, seimbang. Louis Ma’luf dalam Kamus al-Munjid32
menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat yang ada pada setiap yang ada
pada awal penciptaannya, sifat alami manusia, atau sunnah. Menurut
Imam al-Maraghi33 fitrah adalah kondisi di mana Allah menciptakan

31 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta:
Tim ICCE UIN, 2003), h. 28
32 Louis Ma‘luf, Kamus al-Munjid, (Beirut: Daar al-Ilm lil Malayiin1980), h. 120
33 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Matba’ah albabi al-halabi, 1974), h. 200

18
manusia yang menghadapkan dirinya pada kebenaran dan kesiapan
untuk menggunakan pikirannya.
Dengan demikian, secara literal fitrah dapat dimaknai dengan
kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang memiliki
potensi untuk cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah dalam arti
hanif sejalan dengan isyarat al-Qur’an yang artinya: Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S Al-
Rum: 30).
Fitrah yang berarti hanif (kecenderungan kepada kebaikan)
dimiliki manusia karena terjadinya proses persaksian sebelum
terlahir ke muka bumi. Persaksian ini merupakan proses fitrah
manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap agama, karena itu
manusia dianggap sebagai makhluk religius. Manusia bukan makhluk
yang lahir kosong seperti kertas putih sebagaimana yang dianut para
pengikut teori tabula rasa. Hal ini dipertegas dengan dalil al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:
Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S al-A’raaf:172).
Manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki
kecenderungan untuk bertauhid (Islam). Hal demikian sejalan dengan
petunjuk Nabi saw dalam salah satu haditsnya yang mengatakan
"Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, Kedua orang tuanya
(memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani,
atau bahkan beragama Majusi, (HR. Bukhari.Juz 1, h. 456)
Fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan
pada saat lahirnya ke dunia. Potensi tersebut dapat dikelompokkan ke

19
dalam dua hal:, yaitu potensi fisik dan potensi rohaniah.34 Potensi
rohaniah manusia berupa akal, qalb dan nafsu.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologi.
Masyarakat primitif, misalnya yang tidak pernah datang informasi
mengenai Tuhan, ternyata mereka mencari dan mempercayai adanya
Tuhan, Sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu sebatas pada
kemampuan akalnya dalam memaknai apa yang ada di sekitar mereka.
Mereka menjadikan sungai, pohon, batu dan lainnya sebagai Tuhan
karena mereka menganggap benda-benda itu telah memberikan
penghidupan kepada mereka. Ketika potensi bertuhan tersebut tidak
diarahkan dan tidak mendapat bimbingan yang benar, maka tidak
akan menemukan Tuhan yang sesungguhnya (yang benar) yaitu Allah.
Sebaliknya jika fitrah manusia mendapat pengarahan yang baik, dan
tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang mendukung, tentunya
fitrah itu akan tumbuh dengan subur, dan cara-cara kebertuhanannya
pun akan benar.

2.Karena Keterbatasan akal manusia


Akal manusia sebagai anugerah terbesar memang mampu
untuk membedakan dan mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak
semua yang baik dan yang buruk itu dapat diketahui akal. Akal
manusia semata juga tidak mampu mengetahui segala informasi
terutama yang berkenaan dengan alam metafisika (ghaib), termasuk
mengetahui peristiwa yang terjadi setelah manusia mati seperti
barzakh, shirath, akhirat, surga dan neraka. Manusia membutuhkan
informasi terhadap hal itu semua, karena manusia pasti menghadapi
kehidupan setelah hidup di dunia. Justru hidup di akhirat adalah hidup
yang kekal dan abadi. Untuk itu manusia perlu bimbingan wahyu
(agama).

34 Azyumardi Azra, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan tinggi Umum,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 23

20
3. Tantangan yang dihadapi manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama
adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Tantangan
internal berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.35 Sedangkan
tantangan eksternal berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia secara sengaja berupaya ingin memaling manusia dari Tuhan.
Seperti berkembangnya berbagai kebudayaan dan cara hidup yang
sengaja diciptakan untuk memalingkan manusia dari Tuhannya.

C. FUNGSI AGAMA
Agama adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Tidak
ada seorang pun secara mutlak dapat lepas dari agama. Keberadaan
agama bagi kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai dua fungsi
utama. Pertama sebagai informasi dan kedua sebagai konfirmasi.
Secara rinci fungsi agama adalah sebagai berikut: 36
1. Agama sebagai Petunjuk kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal. Dengan akal itulah lahir ilmu
dan filsafat sebagai sarana untuk mencari kebenaran. Sayangnya, tidak
semua kebenaran yang dicari manusia terjawab oleh ilmu dan filsafat
dengan memuaskan karena pijakannya adalah akal yang mempunyai
kemampuan terbatas dan kebenaran yang relatif dan nisbi. Oleh
karena itu manusia memerlukan sumber kebenaran lain. Sumber
kebenaran lain adalah agama, yaitu informasi dari Tuhan yang Maha
Benar.

2. Agama sebagai informasi metafisika


Banyak hal-hal yang belum terungkap oleh akal manusia
terutama yang menyangkut hal-hal metafisika. Misalnya kehidupan
setelah mati barzakh, yaumul hisab, surga, neraka, malaikat, jin dan
termasuk informasi tentang Tuhan. Akal manusia tidak mampu
mengungkap dan mencari informasi tentang hal tersebut dengan

35 Lihat Q.S 12:5; 17:53


36 M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Bima Sakti,2003), h. 25-28.

21
benar. Pencarian manusia merupakan perkiraan semata bahkan dapat
berupa khayalan. Agama yang di dalamnya ada wahyu dari
Tuhan Yang Maha Mengetahui memberikan informasi yang jelas dan
benar tentang sesuatu yang berkaitan dengan metafisika.

3. Agama sebagai sumber moral


Persoalan moral atau akhlak merupakan persoalan yang
mendasar dalam kehidupan manusia. Bahkan misi dari kenabian dan
diturunkannya agama adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Akhlak juga dapat menjadikan standar kemuliaan seseorang dan
membedakannya dengan binatang.
Sekalipun akal manusia mampu berfikir dan mengetahui yang
baik dan buruk, tetapi yang mampu dipikirkan akal itu masih sifatnya
terbatas. Apalagi hasil pikiran manusia kadang kala dipengaruhi oleh
hawa nafsu dan orientasi keduniaannya, maka seringkali yang
diputuskan akal tidak sesuai dengan tuntunan akhlak yang
sebenarnya.
Untuk itu perlu bimbingan dari agama yang mampu menuntun
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk kebahagiaan di dunia, tetapi
juga menuju kebahagiaan di akhirat. Agama yang diturunkan oleh
Tuhan Yang Maha Benar mampu untuk memberikan informasi tentang
kebaikan yang sesungguhnya.

4. Agama sebagai sumber syariah dan ibadah


Hal yang terpenting dalam agama adalah sistem ibadahnya.
Ibadah merupakan aplikasi dan realisasi dari keimanan seseorang.
Ibadah yang benar hanya diperoleh melalui agama yang diwahyukan
Tuhan kepada manusia. Manusia dengan akalnya tidak mampu
menciptakan bentuk penyembahan danperibadatan yang benar.

5. Agama sebagai sumber ilmu atau fungsi konfirmasi


Wahyu yang diturunkan Allah dalam agama merupakan
sumber ilmu yang dengannya manusia dapat mengembangkan
kemampuan berpikirnya tentang realitas alam semesta. Ketika

22
manusia mampu untuk menemukan suatu teori ilmu, dan
mengembangkan pengetahuannya, perlu ada pengkonfirmasian
dengan wahyu, agar ilmu dan pengetahuan yang diperoleh
memperdekatkan dirinya kepada Tuhan
Memperhatikan fungsi agama di atas, dapat dikatakan bahwa
yang dapat memenuhi fungsi agama di atas hanyalah yang tergolong
agama wahyu. Sedangkan agama ciptaan manusia tidak mampu
mengungkap hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal. Satu-satunya
agama wahyu sekarang ini hanyalah agama Islam. Artinya, fungsi
agama secara utuh hanya ditemukan dalam agama Islam.

D. JENIS-JENIS AGAMA
Berdasarkan sumbernya, agama secara umum dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:
1. Agama samawi/revealed religion (agama wahyu)
2. Agama ardhi/culture religion (agama bukan wahyu/buatan
manusia)
Agama wahyu adalah agama yang diterima oleh manusia dari
Allah melalui malaikat Jibril dan disampaikan oleh rasul-Nya kepada
umat manusia. Wahyu-wahyu tersebut dilestarikan melalui Kitab Suci,
suhuf (lembaran-lembaran tertulis) atau ajaran lisan. Yang termasuk
ke dalam agama wahyu yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.
Sedangkan agama bukan wahyu bersandar semata-mata
kepada ajaran dari seorang manusia yang dianggap memiliki
pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara
mendalam. Misalnya, agama Budha yang berpangkal pada ajaran
Sidharta Gautama dan Konfusianisme yang berpangkal pada ajaran
Kong Hu Chu. Agama Hindu, agama Sinto dan lain sebagainya yang
berpangkal pada ajaran yang dibawa oleh manusia sebagai penyebar
agama tersebut.
Agama wahyu memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
1. Secara pasti ditentukan lahirnya, bukan tumbuh dari
masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat.

23
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-
Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama tetapi
menyampaikan agama.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirannya dapat berubah
sesuai dengan kecerdasan dan kepekaaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (Tauhid).
6. Kebenarannya adalah universal, yaitu berlaku bagi setiap
manusia, masa dan keadaan.
Jika keenam karakteristik ini dibawa kepada tiga agama
samawy, maka hanya Islamlah satu–satunya agama samawy yang
memenuhi semua karakteristik di atas untuk saat ini. Sedangkan
agama Yahudi dan Nasrani dalam perjalanan sejarahnya mengalami
distorsi-distorsi karena kurang terjaganya pengamanan wahyu. Hal ini
terlihat dari ajaran Yahudi dan Nasrani, khususnya yang berkaitan
dengan konsep ketuhanannya yang tidak monotheisme murni (tidak
tauhid).
Adanya Tuhan Yahweh dalam ajaran Yahudi dan konsep
Trinitas dalam ajaran Nasrani menggambarkan ketidakaslian agama
tersebut. Ditambah lagi adanya dosa waris, pembabtisan, legalitas
paus mengampuni dosa jemaatnya telah keluar dari ajaran aslinya
yang bersumber dari wahyu.37 Untuk itu, Islamlah sebagai satu-
satunya agama yang masih murni sebagai agama samawi.

E. KEDUDUKAN ISLAM SEBAGAI DIEN


Penamaan Islam sebagai sebuah din berbeda dengan agama
lainnya. Pada umumnya, agama lain sebelum Islam diambil dari nama
pembawanya atau kepada suku atau tempat kelahiran agama tersebut.
Agama Budha dinisbahkan dengan Sidarta Buddha Gautama,
Zoroasrter dinisbahkan kepada Zarahustra, Kong Hu Chu kepada Kong
Fu Tse. Yahudi dinisbahkan kepada kaum yang menganut ajaran Nabi
Musa a.s yaitu Yuda (Jews). Agama Hindu dinisbahkan kepada tempat

37 Muh. Rifa‘I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1984), h. 45

24
berkembanganya agama tersebut yaitu India (Hindustan). Agama
Kristen dinisbahkan kepada pengajarnya yakni―Jesus Christ. Orang
Islam menyebutnya dengan Nasrani dinisbahkan kepada tempat
kelahiran Isa yaitu Nazareth.38
Tidak seperti agama-agama di atas, penamaan Islam diambil
dari hakikat dan substansi ajaran yang terkandung di dalamnya. Jika
agama lain baru ada setelah pembawa ajarannya telah tiada. Namun
nama Islam sudah ada sejak kelahirannya. Istimewanya adalah Allah
sendiri yang memberi nama Islam yang berulang kali diungkapkan
dalam Al-Qur’an.
Islam merupakan turunan dari kata salima yang artinya bersih
dan selamat dari kecacatan, atau sempurna. Islam dapat juga terambil
dari kata assilmu yang berarti perdamaian dan keamanan. Dari kata ini
juga dibentuk kata ―aslama yang berarti menyerah, tunduk, patuh
dan taat.39
Dari pengertian kata di atas dapat disimpulkan bahwa Islam
mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat sepenuhnya
kepada kehendak Allah Swt. Ketundukan dan kepatuhan kepada Allah
itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian
bagi sesama manusia dan lingkungannya.
Berdasarkan pengertian Islam secara etimologi dan ungkapan
Allah dalam Al-Qur’an, Islam dapat dipandang dalam dua makna yaitu,
pertama Islam sudah menjadi agama yang dibawa sejak Nabi Adam a.s
sampai Nabi Muhammad saw, karena pada hekekatnya semua para
Rasul mengajarkan kepatuhan dan ketundukan hnya kepada Allah
Swt. Kedua Islam adalah risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw yang berisi seperangkat ajaran aqidah, ibadah dan akhlak.
Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad
Abdullah Almasdosi40 bahwa Islam adalah kaidah hidup yang
diturunkan kepada manusia sejak manusia digelar ke muka bumi, dan

38 Joesoef Sou’yb, Agama – Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983),
cet ke-1, h. 8
39 Sayyid Sabiq, Islamuna, (Beirut: Daar al-Kutub al-Araby, tt), h. 3.
40 Ahmad Abdullah Almasdosi, Living religions of the world: a socio-political study ,
(Begum Aisha Bawany Waqf, 1962), h. 20

25
terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an
yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir,
yakni Nabi Muhammad saw, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan
yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual
maupun material.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam merupakan agama
yang dibawa oleh semua para Rasul dan disempurnakan oleh Nabi
terakhir yaitu dalam risalah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat kita
lihat dari beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Rasul
sebelum Muhammad saw juga sebagai muslim.
Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 67 yang artinya:
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk
orang-orang musyrik.
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 135 yang
artinya: “Dan mereka berkata, “Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah, “(Tidak!)
Tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan dia tidak
termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Islam juga agama yang diwasiatkan kepada Nabi Nuh as,
Ibrahim as, Musa as dan Isa as. Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura
ayat 13 yang artinya: “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Allah juga berfirman dalam QS. Al-baqarah ayat 131-133 yang
artinya: (Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim),
“Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan
seluruh alam.” Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya

26
Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan Muslim.” Apakah kamu menjadi saksi saat maut
akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim,
Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya)
berserah diri kepada-Nya.”
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah
agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-
Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam
semesta.
Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasul-rasul sejak Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad saw. Semua rasul mengajarkan
ketauhidan sebagai dasar keyakinan umatnya. Setelah rasul-rasul yang
membawanya wafat, agama Islam yang dianut oleh para pengikutnya
itu mengalami perkembangan dan perubahan baik nama maupun isi
ajarannya. Untuk zaman sekarang Islam menjadi nama bagi satu-
satunya agama, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Penegasan Allah terhadap Islam sebagai agama yang benar
terdapat dalam al-Qur’an, dengan beberapa istilah antara lain:
1. Din al-haqq
Din al-haqq artinya agama yang benar. Seperti yang tertuang
dalam Q.S al-Taubah ayat 33 yang artinya: “Dialah yang telah
mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang
benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukai.
Agama yang benar adalah agama yang diturunkan oleh Allah
melalui para Rasul-Nya. Agama yang diturunkan Allah itulah agama
yang menjadi pemenang agama yang lainnya di muka bumi ini.

2. Din al-Qayyim
Din al-Qayyim artinya agama yang lurus. Allah berfirman
dalam Q.S Yusuf ayat 40 yang artinya: Apa yang kamu sembah selain
Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat baik oleh kamu sendiri

27
maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah
milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
Ungkapan din al-Qayyim juga terdapat dalam Q.S al-Rum ayat
43 yang artinya: Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama
yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari (Kiamat) yang
tidak dapat ditolak, pada hari itu mereka terpisah-pisah.
Ungkapan yang sama juga ditemukan dalam surah al-Bayyinah
ayat 5 yang artinya, Padahal mereka hanya diperintah menyembah
Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
Agama yang lurus maksudnya adalah agama yang tetap teguh
menegakkan Tauhid dan amar ma’ruf nahi munkar.

3. Din al-Hanif
Din al-Hanif maksudnya adalah agama yang sejalan dengan
fitrah manusia. Ibadah dan mengabdi kepada Tuhan adalah kebutuhan
fitrah manusia. Oleh sebab itu manusia akan hampa hidupnya jika
tidak beribadah. Agama yang turunkan Allah kepada manusia
berisikan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Perhatikan
firman Allah yang terdapat dalam Q.S al-Rum ayat 30 yang artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia
menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah agama benar,
agama yang lurus dan diridhai Allah, sebagaimana yang tertuang
dalam Q.S Ali Imran ayat 19:

 °Ø ° ¯ ¦Ù ÉÊ °Š Ø   ¿Ô  ° °G ‰¯

28
 ª°Ù À¯  ¯  °¯ ×ÁÖ   ÔÀØ ,Ù ¿Ú°Ù ÄÉ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih


orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka
memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa
ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.
Kebenaran Islam juga tertuang dalam Qur’an Surah al-Maidah ayat 3:

 ;° Ô ÄÅ Á¦ ªØ° ×ÅÙ ÁÕÙ ×Å° ×Å ÁÚÙ ×Ù

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu.
Pencarian manusia kepada agama selain Islam hanya akan
mendatangkan kesia-siaan dan kerugian. Seperti yang dijelaskan Allah
dalam Q.s Ali Imran ayat 85:

 ­¦Ù ° ®¦ ¯ É ÈØ° ÙÄ  ;° ¥Ô × §× 

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.
Dari ayat di atas jelaslah bahwa dan tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa hanya Islam lah satu-satunya agama yang masih
murni dan diterima di sisi Allah. Islam dengan kitab sucinya Al-Qur’an
tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat datang.

29
BAB III
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

A. DALAM BIDANG AQIDAH


Menurut Maulana Muhammad Ali, ajaran Islam dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu bagian teori atau yang lazim disebut rukun
iman, dan bagian praktik yang mencakup segala yang harus dikerjakan
oleh orang Islam, yakni amalan-amalan yang harus dijadikan pedoman
hidup. Bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan bagian
kedua disebut furu’ (cabang).41 Bagian pertama disebut aqa’id yang
artinya kepercayaan yang kokoh, sedangkan yang kedua disebut
ahkam, yang artinya aturan hukum. Menurut Imam syahrastani,
bagian pertama disebut ma’rifat sedangkan yang kedua disebut tha’at
(kepatuhan).42
Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang
akidah ini bahwa akidah islam bersifat murni baik dalam isinya
maupun prosesnya. Yang diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang
wajib disembah hanya Allah.43 Keyakinan tersebut sedikitpun tidak
boleh diberikan kepada yang lain, karena akan berakibat musyrik
yang berdampak pada motivasi kerja yang tidak sepenuhnya
didasarkan atas panggilan Allah. Dalam prosesnya keyakinan tersebut
harus langsung, tidak boleh melalui perantara. Karena hanya aqidah
yang demikianlah yang akan melahirkan pengabdian hanya kepada
Allah, yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka, tidak tunduk pada
manusia, sehingga menganggap ada pihak lain yang dapat
menggantikan posisi Allah.

41 Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), (terj) R. Kaelani dan HM


bachrun dari judul asli Islamologi, (jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1980), h. 83.
42 As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (mesir: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), h. 78.
43 Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012), h.
84.

30
Aqidah islam meliputi keyakinan bahwasanya Allahlah satu
satunya Tuhan yang wajib disembah; ucapan dengan lisan dalam
bentuk dua kalimat syahadat, yakni menyatakan tidak ada tuhan yang
berhak disembah selain Allah, dan nabi Muhammad sebagai utusan
Allah; perbuatan amal saleh. Aqidah yang demikian mengandung arti
bahwa dari orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati; atau
ucapan di mulut dan perbuatan melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan dan
perbuatan yang dikemukakan oleh yang beriman itu kecuali yang
sejalan dengan kehendak Allah.44
Selanjutnya, aqidah islam harus berpengaruh terhadap segala
aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga segala tindak-tanduk yang
dilakukannya dapat bernilai ibadah. Menurut Yusuf al-Qardhawi,
beriman yang sebenarnya itu haruslah tertanam dalam hati, dengan
penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan keragu-raguan, serta
memberikan dampak bagi pandangan hidup, tingkah laku, serta
perbuatan sehari-hari.45

B. DALAM BIDANG IBADAH


Secara harfiah Ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt.,
karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majelis Tarjih
Muhammadiyah dengan agak lengkap mendefinisikan ibadah sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala
yang dizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang
umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. Allah sedangkan
yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-
perinciannya, tingkat dan cara-cara yang tertentu.46
Ibadah yang dibahas dalam bagian ini adalah dalam arti yang
nomor dua, yaitu ibadah khusus. Dalam yurisprudensi Islam telah

44 Ibid, h. 84-85.
45 Yusuf al-Qardhawi, Iman dan Kehidupan, (terj.) H. Fachruddin HS, dari judul asli
Al-Iman wa al-Hayat, (jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet ke-1, h. 25.
46 Razak, Nasruddin, Dienul Islam: Penafsiran Kembali Islam Sebagai Suatu Aqidah
dan Way Of Life, (Jakarta: Al-Ma’rif, 1989), h. 44.

31
ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada “kreativitas”,
sebab yang menciptakan atau membentuk suatu ibadah dalam islam
dinilai sebagai bid’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.47 Bilangan
shalat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah
haji dan tata cara mengerjakannya misalnya adalah termasuk masalah
ibadah yang tata cara dan mengerjakannya telah ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Ketentuan ibadah demikian itu termasuk salah satu bidang
ajaran Islam di mana akal manusia tidak perlu campur tangan,
melainkan hak dan otoritas Tuhan sepenuhnya. Kedudukan manusia
dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan dan menjalankannya
dengan penuh ketundukan kepada Allah sebagai wujud pengabdian
dan rasa syukur kepada Allah Swt.
Menurut Ahmad Amin, ibadah dalam islam dilakukan sebagai
arti dan pengisian dari makna Islam yang artinya berserah diri, patuh
dan tunduk demi mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Dan hal
inilah yang selanjutnya menggiring manusia menjadi hamba yang
salih, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Hamba Allah yang salih
adalah yang berlaku rendah hati (tidak sombong dan tidak angkuh),
jika mereka diejek oleh orang bodoh mereka selalu berkata selamat
dan damai (QS. Al-Furqan: 63). Ketenangan jiwa, kerendahan hati,
selalu menyandarkan diri kepada amala ibadah bukan kepada nasab
dan keturunan, semua hal ini merupakan gejala kedamaian dan
keamanan sebagai pengamalan dari ibadah.48
Karenanya, visi islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa dan
misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan
manusia sebagai makhluk yang tugas utamanya adalah beribadah
kepada Allah Swt.

47 Ibid.
48 Ahmad Amin, Fajar Islam (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam, (Cirebon:
1967), h. 94.

32
C. DALAM BIDANG AKHLAK
Akhlak, menurut al-Ghazali diartikan sebagai suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan
yang mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan
pemikiran yang lama. Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu
perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia
melahirkan perbuatan yang buruk, maka dinamakan akhlak yang
buruk.49
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Akhlak dan takwa merupakan buah pohon Islam yang berakarkan
aqidah, bercabang dan berdaunkan syaria’ah. Pentingnya kedudukan
akhlak ini dapat dilihat dari beberapa hadits Rasulullah, diantaranya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.
Ahmad), dan “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi).
Akhlak dalam Islam berbeda dengan moral dan etika.
Perbedaan ini dapat dilihat dari sumber yang menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala
sesuatu yang berguna yang sesuai dengan nilai dan norma agama, nilai
serta norma yang terdapat dalam masyarakat, serta bermanfaat bagi
diri sendiri dan orang lain. Sedangkan yang buruk dalam akhlak
adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan norma
dan nilai agama, serta norma dan nilai masyarakat, serta merugikan
diri sendiri dan masyarakat.
Baik dan buruknya suatu sikap dalam akhlak ditentukan oleh
ketentuan nilai yang ada dalam al-Quran yang kemudian
dikembangkan dan dijelaskan dalam sunnah Rasulullah. Hal ini
berbeda dengan baik-buruk dalam moral dan etika yang justru sangat
ditentukan oleh adat istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat
pada suatu tempat di suatu masa.50

49 Abu Hamid al-Ghazali, Etika islami, (bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 5.


50 Hamdi Abd al-Aal, al-Akhlak wa Mi’yaruha bayn al-Wadh’iyyah wa al-Diin, (Kuwait:
daar al-Qalam, 1985), h. 104-126.

33
Dilihat dari sifatnya, akhlak dalam islam bersifat tetap dan
berlaku untuk selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku
selama masa tertentu, di suatu tempat tertentu. Dampaknya, akhlak
dalam islam bersifat mutlak, sedangkan moral dan etika sifatnya
relatif (nisbi).
Selanjutnya, akhlak dalam Islam mencakup semua aktivitas
manusia, meliputi segala bidang hidup dan kehidupan. Dalam garis
besarnya, akhlak dibagi dua; Akhlak kepada Allah dan akhlak kepada
makhluk (segala ciptaan Allah). Akhlak kepada Allah kemudian
banyak dibahas dalam kajian ilmu tasawuf, sedangkan akhlak kepada
makhluk dijelaskan dalam ilmu akhlak.

D. DALAM BIDANG ILMU DAN KEBUDAYAAN


Karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan
bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Yakni dari satu segi
Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan
dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak
begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan
ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam.
Paradigma Islam sangatlah terbuka, yang merupakan mata
rantai peradaban dunia. Dalam sejarah, Islam mewarisi peradaban
Yunani-Romawi di barat, dan peradaban persia-India, dan China di
Timur. Dari mulai abad ke VII hingga abad ke-XV, ketika peradaban di
Barat dan Timur tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islamlah
yang kemudian berperan sebagai pewaris utamanya untuk kemudian
diambil alih oleh peradaban Barat masa kini melalui Renaissans.
Islamlah yang mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan
dan teknologi dari peradaban-peradaban itu.
Perlu digarisbawahi bahwa Islam tidak sekadar mewarisi
tetapi juga melakukan enrichment terhadap substansi dan bentuknya.
Melalui sifat inilah Islam akhirnya mampu menyumbangkan warisan-
warisannya sendiri yang autentik.51

51 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet
ke-1, h. 290-291.

34
Dalam bukunya “Sumbangan islam kepada Ilmu dan
Peradaban Modern”, S.I. Poeradisastra menjabarkan dengan panjang
lebar tentang peranan yang dimainkan islam dalam membangun
pengetahuan dan peradaban modern, baik yang berkaitan dengan
ilmu alam, teknik dan arsitektur, maupun ilmu pengetahuan sosial,
filsafat, sastra, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.52
Karakteritik dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
tersebut dapat pula dilihat dari 5 (lima) ayat pertama surat al-Alaq
yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. Pada ayat
tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata
tersebut menurut A. Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa,
juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur,
mendeskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif.
Demikian pentingnya ilmu ini hingga Islam memandang bahwa
orang menuntut ilmu sama nilainnya dengan jihad dijalan Allah. Islam
menempuh jalan demikian, karena dengan ilmu pengetahuan tersebut
seseorang dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk meraih
berbagai kesempatan dan peluang. Hal demikian dilakukan Islam,
karena informasi sejarah mengatakan bahwa pada saat kedatangan
Islam di tanah Arab, masalah ilmu pengetahuan adalah milik kaum
elite tertentu yang tidak dapat dibocorkan kepada masyarakat umum.
Hal demikian juga dilakukan agar masyarakat tersebut bodoh yang
selanjutnya mudah dijajah, diperbudak dan di sampingkan
keyakinannya serta domba.

E. DALAM BIDANG PENDIDIKAN


Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap
orang (education for all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung
sepanjang hayat (long life education).
Dalam bidang pendidikan islam memiliki rumusan yang jelas
dalam tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana dan lain sebagainya.

52 S.I. Poeradisastra, Sumbangan islam kepada Ilmu dan pengetahuan Modern,


(Jakarta: P3M, 1986), h. 4-70.

35
Semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan ini dapat dari
kandungan surat al-Alaq.
Menurut Muhammad Qutb, di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai
berbagai metode pendidikan, seperti metode ceramah, Tanya jawab,
diskusi demonstrasi, penugasan, teladan, pembiasaan, karya wisata,
cerita, hukuman, nasihat dan lain sebagainya.53 Beragamnya metode
tersebut dapat disesuaikan dengan jenis dan karakteristik materi yang
diajarkan, yang mana tujuannya agar pendidikan tidak menjadi
membosankan bagi para peserta didik.

F. DALAM BIDANG SOSIAL KEMASYARAKATAN


Karakteristik ajaran islam di bidang sosial ini, Islam
menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasihati,
kesetiakawanan, kesamaan derajat, tenggang rasa dan kebersamaan.
Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan islam bukan
ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit,
bahasa, jenis kelamin, dan lain sebagainya yang berbau rasialis.
Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh
ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang
bermanfaat bagi manusia.54
Karenanya, dalam islam semua individu memiliki kesempatan
yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada
dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas
sosial tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi
walaupun berasal dari kalangan bawah, maka ia akan tetap dihargai
dan dapat terus meningkatkan kedudukannya, serta mendapatkan
hak-hak yang sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Menurut Jalaluddin Rahmat, Islam lebih menekankan urusan
muamalah dan sosial kemasyarakatan dibandingkan dengan urusan
ibadah ritual. Hal ini terlihat dari cakupan urusan muamalah 9sosial
kemasyarakatan) jauh lebih luas dibandingkan dengan cakupan

53 Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), h. 324-


374.
54 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 87.

36
ibadah ritual. Apabila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan sosial yang penting, maka iabadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan bukan ditinggalkan.
Aisyah, ummul mukminin ra pernah mengisahkan: Rasulullah
shalat di rumah dan pintu terkunci. Lalu aku datang (dalam riwayat
lain aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah berjalan membuka
pintu, lalu kemudian kembali ke tempat shalatnya. Hadits ini
diriwayatkan oleh lima perawi kecuali Ibn majah.
Apabila suatu ibadah dilakukan secara berjamaah, hal itu juga
dapat meningkatkan nilainnya di sisi Allah. Rasulullah saw bersabda:
Shalat berjamaah lebih baik daripada shalat sendiri dengan
berbanding 27 derajat.
Selain itu, dalam Islam apabila urusan ibadah tidak dilakukan
dengan sempurna atau batal, karena melanggar peraturan tertentu,
maka tebusannya (kaffaratnya) adalah dengan melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan urusan sosial. Jika puasa tidak dapat
dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuh,
maka boleh diganti dengan fidyah dalam bentuk makanan bagi orang
miskin. Sebaliknya, jika seseorang tidak baik dalam urusan muamalah
(sosial kemasyarakatannya) justru urusan ibadahnya tidak dapat
menutupinya. Orang yang suka merampas hak milik orang lain tidak
akan terampuni dosanya sekadar dengan shalat tahajjud. Orang yang
menganiaya orang lain tidak akan hapus dosanya dengan membaca al-
Quran dan zikir sebanyak-banyaknya. Hal ini mengesankan bahwa
ibadah ritual tidak akan berketerima di sisi Allah jika pelakunya
melanggar norma muamalah.55

G. DALAM BIDANG EKONOMI


Karakteristik ajaran islam yang selanjutnya dapat dari
konsepsinya dalam bidang kehidupan yang harus dilakukan. Urusan di
dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat, kehidupan
akhirat dapat dicapai dengan dunia. Abdullah ibn Mubarak
meriwayatkan sebuah atsar yang berbunyi: “Bukanlah termasuk orang

55 Jalaluddin rahmat, Islam alternatif (Bandung: Mizan, 1991), cet ke-IV, h. 51.

37
baik diantara kamu orang yang meninggalkan kehidupan dunia karena
mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang mengejar kehidupan
akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah
orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia
merupakan alat untuk meraih akhirat, dan jangan dibalik yakni
akhirat dikorbankan hanya demi urusan dunia.
Dengan demikian cara pandang seperti ini secara tidak
langsung berkontradiksi dan berlawanan dengan kehidupan yang
bercorak sekuler, yakni kehidupan yang memisahkan antara urusan
dunia dengan urusan akhirat dan agama, karena agama harus terlibat
dalam segala aturan kehidupan dunia.
Dalam perspektif islam, alam semesta dengan segala isinya
merupakan ladang untuk mencari kehidupan. Islam tidak
mengharamkan mencari kekayaan sebagaimana tidak mengharamkan
pula memanfaatkan segala ciptaan Allah di alam semesta untuk
kepentingan manusia. Hanya saja manusia dilarang untuk menjadikan
ciptaan Allah tersebut sebagai objek penyembahan sebagaimana yang
dikenal di tengah masyarakat primitif. Bahkan dalam pandangan Islam
segala ciptaan Allah dengan kemanfaatan yang dapat diambil darinya
merupakan saranan yang utama untuk mengenal Allah dan menyadari
betapa besar karunia Allah bagi manusia.56
Pandangan Islam mengenai kehidupan di bidang ekonomi itu
dicerminkan dalam ajaran fiqih yang menjelaskan bagaimana
menjelaskan sesuatu usaha ataupun ajaran islam mengenai berzakat
juga dalam konteks berekonomi.57 Aturan-aturan fiqh yang
dirumuskan para ulama dari aturan syariat islam bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan, yang artinya mendatangkan segala yang
membawa kebaikan bagi manusia dan menghilangkan segala
kemudharatan darinya.
Islam ingin mewujudkan masyarakat yang di dalamnya
terimplementasikan nilai keadilan sosial dan ekonomi. Dalam
pandangan Islam, masyarakat yang sehat secara ekonomi adalah
masyarakat yang sirkulasi kekayaan di dalamnya lancar, dan tidak

56 Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 9


57 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 90.

38
hanya terpusat pada sekelompok elite semata, yang justru menjadikan
mayoritas masyarakat hanya berperan sebagai penonton.
Islam tidak menghendaki jika kekayaan alam yang banyak
dikuasai oleh segelintir orang, sedangkan mayoritas lainnya berdesak-
desakan dan saling sikut-menyikut untuk memperebutkan sumber
daya lainnya yang tersisa. Karenanya lewat zakat dan wakaf yang
merupakan instrumen utama ekonomi islam diharapkan terciptanya
masyarakat yang sejahtera dapat direalisasikan.

H. DALAM BIDANG POLITIK


Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 156 terdapat perintah
mentaati ulil amri terjemahannya termasuk penguasa di bidang
politik, pemerintah dan agama. Dalam hal ini islam tidak menerangkan
atau meyuruh ketaatan yang buta. Tetapi menghendaki suatu ketaatan
yang kritis dan selektif, maksudnya adalah jika pemimpin tersebut
berpegang teguh kepada tuntunan Allah Swt., dan Rasul-Nya maka kita
patut mentaatinya, tetapi jika pemimpin tersebut bersebelahan dan
bertentangan dengan kehendak Allah Swt., dan Rasul-Nya maka boleh
dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan
cara-cara yang persuasif. Dan jika pemimpin tersebut juga tidak
menghiraukan, boleh saja untuk tidak dipatuhi.58
Selanjutnya, masalah politik juga terkait dengan bentuk
pemerintahan. Dalam sejarah dikenal beberapa bentuk pemerintahan,
seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja,
dan lain sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan
tertentu, karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk
negaranya masing-masing sesuai dengan kondisi yang meliputinya.
Namun, hal yang paling utama adalah kekuasaan yang ada dalam
genggaman mereka yang memerintah haruslah digunakan sebagai alat
demi menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan,
kedamaian, dan ketentraman masyarakat.59

58 Ibid, h. 91.
59 Munawwir Sadzali, Islam dan Ketatanegaraan, (Jakarta: Mutiara, 1992), cet ke-2, h.
7.

39
BAB IV
PENELITIAN AGAMA ISLAM

A. PENGERTIAN TEORI PENELITIAN AGAMA


Teori adalah alat terpenting suatu ilmu pengetahuan. Tanpa
teori berarti hanya ada serangkaian fakta atau data saja dan tidak ada
pengetahuan. Teori itu adalah:
1. Menyimpulkan generalisasi fakta-fakta.
2. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi
fakta-fakta.
3. Meramalkan gejala-gejala baru.
4. Mengisi kekosongan pengetahuan tentang gejala-gejala yang
telah ada atau terjadi.
Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan.
Harun Nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa
agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran
penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu
sosial. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid, bahwa
agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan,
karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan
cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak
sehingga tidak perlu diteliti.
Namun, para ilmuwan lain yang beranggapan bahwa agama
juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama
merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian
agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan
meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh
pengaruh dari agama.

40
Untuk lebih menunjukkan apa yang dimaksud dengan teori,
Mely G. Tan mengatakan bahwa teori-teori pada hakikatnya
merupakan menyatakan mengenai sebab akibat atau mengenai
adanya suatu hubungan positif antar gejala yang diteliti dari satu atau
beberapa faktor tertentu dalam masyarakat.
Misalnya ingin meneliti gejala bunuh diri, kita sudah
mengetahui tentang teori integrasi dan kohesi sosial dari Emiel
Durkheim, seorang ahli sosiologi perancis kenamaan, yang
menyatakan adanya hubungan positif antara lemah atau kuatnya
integrasi sosial dan sejala bunuh diri. Durkheim mulai dengan
pengamatan statistik bahwa angka bunuh diri antara orang Katolik
lebih rendah daripada orang Protestan.
Dalam penelitian selanjutnya Ia menarik kesimpulan bahwa
faktor utama yang menentukan dalam gejala ini adalah integritas
sosial. Perumusan analisis teoretisnya dapat diutarakan sebagai
berikut, integrasi atau kohesi sosial memberi dukungan batin kepada
anggota kelompok yang mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan-
tekanan jiwa yang berat, angka bunuh diri adalah fungsi dari
kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-
orang tertentu.
Contoh lainnya adalah mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi.
Teori terkenal Max Weber menyatakan adanya hubungan positif
antara agama Protestan dan bangkitnya kapitalisme. Banyak sekali
hipotesis yang dibangun oleh teori ini dengan meluaskan konsep
agama Protestan dengan agama-agama lain atau dengan sistem nilai
budaya pada umumnya dalam suatu masyarakat, dan meluaskan
konsep kapitalisme dengan kegiatan ekonomi pada umumnya.
Di Indonesia, penelitian berdasarkan teori ini telah dilakukan
oleh Clifford Geertz, seorang sarjana antropologi dari Amerika yang
menguji hubungan antara agama Islam dan kegiatan-kegiatan yang
bersifat enterpreneurship di suatu daerah di Jawa Tengah. Namun,
teori ini selanjutnya dibantah dengan teori yang mengatakan bahwa
untuk kemajuan di bidang ekonomi tidak semata-mata disebabkan

41
oleh paham agama tertentu, melainkan karena faktor lainnya yang
lebih dominan.
Sebagai contoh, pada kaum Katolik aliran Calvinis terdapat
paham bahwa nasib baik atau buruk manusia di tangan Tuhan, namun
manusia tidak mengetahui nasib baik buruknya itu karena
dirahasiakan Tuhan. Agar Tuhan menentukan nasib manusia menjadi
baik dan menunggu nasib yang baik itu, sebaiknya manusia berusaha
dan bekerja keras dengan harapan usaha dan kerja kerasnya itu dapat
mempengaruhi keputusan Tuhan. Dengan cara demikian, baik pada
kaum Protestan maupun kaum Katolik pada akhirnya sama-sama
bekerja keras.
Studi Islam ternyata dapat dikaji dengan menggunakan
berbagai teori dan pendekatan yang selama ini banyak dijumpai dalam
ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, kebudayaan,
sejarah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena agama Islam
sebagaimana diketahui, memiliki cakupan yang cakupan yang amat
luas dan menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga
pada aspek manapun manusia dapat menangkap dengan baik.
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan
teori dan pendekatan tersebut bukan ditujukan untuk menguji benar
tidaknya aspek esensi ajaran Islam yang bersifat normatif,
sebagaimana terdapat dalam Al-Qu’ran dan hadits mutawatir atau
hadits shahih tidak perlu dipersoalkan lagi karena sudah diyakini
kebenaranya. Kita tidak perlu mempersoalkan, meneliti atau
meragukan kebenaran isi Al-Quran dan isi hadits mutawatir, ajaran
yang terdapat dalam Al-Quran baik yang berkenaan dengan ibadah,
akidah, akhlak maupun kehidupan akhirat dan lain sebagainya adalah
hukum yang pasti benar, kita tidak akan menambah atau mengurangi
rukun Iman atau rukun Islam dan lainnya yang ada dalam kitab suci,
semua itu isi agama yang tidak perlu diteliti lagi, karena merupakan
hukum Tuhan yang mutlak benar. Yang dijadikan objek penelitian
adalah berkenaan dengan aspek lahiriah atau aspek pengalaman dari
ajaran wahyu tersebut.

42
Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran
teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam
kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio-
kultural.
Dalam praktik kita dapat menggunakan suatu teori ketika kita
ingin meneliti apakah ada hubungan antara paham keagamaan
tertentu dengan terjadinya tindakan kekasaran. Misalnya kemudian,
kita juga dapat meneliti apakah ada hubungan positif antara etos kerja
produktif dengan paham keagamaan yang dianut. Contoh-contoh
tersebut dalam penelitian jelas memerlukan teori sebagai alat atau
pisau untuk menganalisis apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut.
Dari teori-teori tersebut selanjutnya kita dapat merumuskan
kesimpulan sementara untuk diuji lebih lanjut yang selanjutnya
disebut hipotesis. Namun sungguh pun rumusan dalam hipotesis
dinilai masih rendah dan perlu dibuktikan, tetapi ia berfungsi sebagai
jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
Karenanya hipotesis akan merupakan pengarah dalam penelitian.
Jika penelitian berpijak pada hipotesis, tujuan penelitian jelas
akan menguji hipotesis. Data digali untuk menguji (bukan
membuktikan). Kalau membuktikan dapat kerancuan mencari data
yang mendukung saja, sehingga data-data yang dijumpai di lapangan
akan dipaksa untuk mendukung atau membenarkan hipotesis
tersebut. Ini jelas suatu kekeliruan, karena tujuan penelitian bukan
untuk mencari pembenaran, tetapi untuk mencari kebenaran.
Jika dijumpai keadaan bahwa data yang ada berada dengan
hipotesis, hipotesis tersebut ternyata sudah tidak tepat lagi, karena
sudah terjadi perubahan yang terdapat di masyarakat. Data-data
tersebut harus dijelaskan dengan teori lain, atau sama sekali membuat
teori yang baru.
Bagaimana cara orang merumuskan hipotesis itu ternyata
belum ada aturan yang baku. Namun, dapat dikemukakan saran-saran
antara lain:
1. Hipotesis hendaklah menyatakan pertautan antara dua
variabel atau lebih.

43
2. Hipotesis hendaklah dinyatakan dalam kalimat deklaratif atau
pernyataan.
3. Hipotesis hendaklah dirumuskan secara jelas dan padat.
4. Hipotesis hendaklah dapat diuji, artinya hendaklah orang
dapat mengumpulkan data guna menguji kebenaran hipotesis
tersebut.
Suatu pendekatan sangatlah sensitif, baik berhubungan dengan
kemajuan maupun dengan kemerosotan. Bukan kemampuan dalam
menimbulkan suatu masalah yang menyebabkan stagnasi, apatis atau
gerak, dan kemajuan, tetapi agaknya metodologi yang digunakan.
Pada abad ke empat dan ke lima sebelum masehi, ada jenius-jenius
besar yang tidak dapat dibandingkan dengan jenius abad ke empat
belas, ke lima belas, dan ke enam belas. Tidak diragukan lagi bahwa
Aristoteles lebih jenius dari Roger Bacon. Tetapi bagaimana bisa
orang-orang yang memiliki tingkat kejeniusan yang lebih rendah dari
pada Aristoteles meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan ilmu
pengetahuan; sebaliknya para jenius besar itu sendiri telah
menyebabkan terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan dan kesadaran
bagi umat manusia.
Alasannya adalah bahwa jenius yang kedua telah menemukan
cara berpikir dan metodologi yang benar. Dengan cara ini orang awam
pun dapat menemukan kebenaran, tetapi seorang jenius besar yang
tidak mengetahui cara pendekatan yang benar terhadap berbagai
masalah dan metode berfikir yang benar, tidak dapat menggunakan
kecerdasan secara efektif.
Berfikir dengan benar adalah seperti berjalan dengan benar.
Seseorang yang berjalan dengan lambat dan pincang, tetapi memiliki
jalan yang lurus dan benar, akan sampai ke tujuan lebih cepat dari
pada orang juara yang lari diatas bebatuan. Sang juara tidak akan
sampai ke tujuan, seberapa pun cepat ia berlari. Sebaliknya, pelatih
yang pincang, yang telah memilih jalan yang benar, akan mencapai
maksud dan tujuannya.
Ali Syari’ati mengungkapkan: “Kita harus mengambil hikmah
dari berbagai pengalaman yang merupakan bagian dari sejarah Islam.

44
Kita harus mengenal diri kita agar menjadi pengikut agama besar yang
bertanggung jawab dan mengenal Islam secara benar.”
Kepribadian seseorang diimbangi dengan apa yang ia ketahui
paralel dengan apa yang ia percayai. Kepercayaan saja bukanlah
kebajikan. Jika kita percaya kepada sesuatu dan tidak mengetahuinya,
kepercayaan ini tidak mempunyai nilai karena nilai itu datang dari
pengetahuan atas apa yang ia yakini. Kita beriman kepada Islam. Oleh
karena itu, kita diwajibkan untuk mengenal atau mengetahuinya.
Untuk tahu, kita harus memperoleh pendekatan yang benar.
Untuk mengenal kebenaran-kebenaran Islam kita tidak boleh
menggunakan pendekatan Eropa yang didasarkan pada pendekatan
biologi, psikologi atau sosiologi. Agaknya, kita harus memprakarsai
suatu pendekatan. Kita harus mengetahui metode-metode ilmu
pengetahuan Eropa, tetapi kita tidak boleh meniru mereka. Hari ini
semua metode ilmu pengetahuan dalam segala bidang telah berubah.
Mereka telah menggunakan cara baru. Kebenaran-kebenaran agama,
kalau perlu, juga harus demikian.
Untuk mengenal Islam, tidak boleh hanya dengan satu
pendekatan saja, karena Islam bukanlah agama yang berdimensi satu.
Islam bukanlah agama yang didasarkan semata-mata pada perasaan-
perasaan mistik manusia atau hanya terbatas kepada hubungan antara
Tuhan dan manusia. Ini hanya terbatas kepada hubungan antara
Tuhan dan manusia. Ini hanya satu dimensi dari akidah Islam. Untuk
mengenal dimensi tertentu ini kita harus beralih kepada metode
filsafat, karena hubungan antara manusia dan Tuhan merupakan
bagian dari bidang pemikiran (filsafat).
Dimensi lain dari agama ini berhubungan dengan cara hidup
seseorang dimuka bumi merupakan produk interaksi sosial. Untuk
mengenal kebenaran-kebenaran dimensi ini, kita harus menggunakan
metode ilmu sosial dan ilmu sejarah masa kini.60

60 Lihat: Mattulada, “Penelitian Berbagai Aspek Keagamaan Dalam Kehidupan


Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia”, dalam Mulyanto Sumardi (ed.),
Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, cet. ke-1 (Jakarta: Sinar Harapan,
1982), h. 55.

45
B. KONTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA
Konstruksi teori penelitian agama merupakan suatu upaya
untuk memeriksa, mengkaji, mempelajari, memprediksi atau menduga
dan memahami secara saksama susunan atau bangunan dasar atau
hukum-hukum dan ketentuan lainnya yang diperlukan untuk
melakukan penelitian terhadap bentuk pelaksanaan atau pengamalan
ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman.
Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat,
saksama, pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti dan
dapat pula berarti penyelidikan. Tujuan pokok dari kegiatan penelitian
ini adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan
melalui data-datanya yang terkumpul.
Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut
kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembahasan,
perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan
praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan, dengan
demikian penelitian mengandung arti menemukan jawaban atas
sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul, penelitian
menuntut pada pelakunya agar proses penelitian yang dilakukan
bersifat ilmiah, yaitu harus sistematis, terkontrol, bersifat empiris
(bukan spekulatif) dan harus kritis dalam menganalisis data-datanya
yang saling berhubungan dengan dalil-dalil hipotesis yang menjadi
pendorong mengapa penelitian itu dilakukan.

1.Dorongan Islam untuk Meneliti Fenomena Sosial Secara


Empiris
Ayat-ayat Al Qur’an banyak menyuruh memperhatikan
fenomena alam dan sosial. Misalnya, menyuruh memperhatikan
binatang ternak yang mengeluarkan susu antara kotoran dan darah
(An-Nahl:66), akibat masyarakat atau bangsa-bangsa yang tidak mau
mengindahkan seruan rasul-rasul Allah (Ar-Rum:9; Ali Imran:137),
kasus pemuka bani Israil sepeninggal Nabi Musa alaihi salam yang
meminta diberi seorang raja untuk memimpin mereka berperang
untuk merebut kembali tanah air mereka, tetapi setelah permintaan

46
dikabulkan, mereka berpaling (Al Baqarah:246-252). Masalah-
masalah yang umat manusia diperintahkan untuk memperhatikannya
dapat dilihat pada surat Al Baqarah: 258; Ali Imran: 23; An-Nisa’:
49,60 dan 77, dan sebagainya.
Mengenai pengerahan sumber daya manusia, banyak ayat Al
Qur’an yang menyuruh memperhatikan usaha dan perbuatan manusia,
misalnya Al Kahfi: 103-105. Kata “iman” yang menjadi fondasi
kehidupan beragama pada umumnya diikuti dengan kata amal. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kerja dan amal yang merupakan
bukti keimanan (Al Baqarah: 62,52, 82, dan 277; An-Nisa’: 57,122 dan
173). Pengungkapan usaha manusia dan risiko dalam Al Qur’an, tentu
dimaksudkan agar menjadi perhatian, dan bagi ilmuwan supaya dapat
dipahami secara ilmiah.

2. Studi Empiris dalam Penelitian Agama


Objek penelitian atau masalah yang akan diteliti secara ilmiah
adalah yang empiris, yakni dapat diamati dan disaksikan manusia
dengan kekuatan indrawinya atau kekuatan indrawi yang telah
diperkuat dengan peralatan, seperti: mikroskop, stetoskop, teleskop
dan sebagainya. Dengan demikian yang akan diselidiki secara ilmiah
adalah masalah yang dibuktikan secara konkrit (empiris) dan
berhubungan dengan sesuatu yang dialami atau dapat dialami
manusia.

3. Antara Penelitian Secara Empiris dan Wahyu


Perbedaan antara pengetahuan ilmiah secara empiris dan
ajaran agama dari segi metode menurut pandangan umum bahwa
pengetahuan ilmiah secara empiris diperoleh atau disusun dari
pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia dengan memakai
rasio. Sedangkan ajaran agama dipahami dari teks wahyu yang ada
dalam Islam adalah Al Qur’an dengan penjabarannnya melaui As-
Sunnah. Kemungkinan teori ilmiah bertentangan dengan pernyataan
wahyu tetap saja ada karena perbedaan pendekatan tersebut.

47
Dalam perspektif sejarah, pergolakan kaum ilmiah menentang
agama (kristen) di Eropa muncul karena doktrin yang dipaksa gereja
Katholik Roma bertentangan dengan pendapat ilmuwan sehingga
ilmuwan yang menentang doktrin dihukum mati oleh gereja, seperti
yang dialami Galileo-Galilei pada 1633. Gereja menentang keras
pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, teori evolusi
Darwin, pembatasan kelahiran dengan alat-alat kontrasepsi,
perceraian, dan sebagainya. Walaupun doktrin gereja belum tentu
mencerminkan ajaran Al Kitab, tetapi pendapat gereja dipercayai dan
memang menyatakan diri sebagai realisasi wahyu.
Dalam pandangan islam, terdapat kemungkinan hasil
penelitian ilmiah bertentangan atau berbeda dengan pernyataan ayat
Al Qur’an seperti dalam teks ayat: “dan bumi kami hamparkan’’ (Al
Hijr: 19)
Orang-orang terdahulu yang belum menyaksikan bentuk bumi
yang bulat dan memahami ayat tersebut terlalu tekstual akan
membuat pernyataan bahwa bumi dalam pandangan Al Qur’an adalah
datar. Pandangan ini jelas bertentangan dengan teori ilmiah yang
menyatakan bahwa bumi itu bulat.
Dalam keadaan seperti ini, seorang ilmuwan muslim
dihadapkan pada salah satu tiga pilihan. Pertama, memihak kenyataan
wahyu dan menolak hasil penelitian atau teori ilmiah. Kedua,
meninggalkan pernyataan wahyu dan memihak teori ilmiah. Ketiga,
tidak memihak pada salah satu, tapi terus berusaha menemukan titik
temu ke duanya.61
Tentu saja pilihan pertama adalah yang paling tepat karena
bisa jadi penelitian ilmiah memiliki kesalahan karena keterbatasan
ilmu dan indra manusia, atau bisa jadi seorang ulama mujtahid salah
dalam memahami Al Qur’an dan hadits sehingga terkesan seolah-olah
antara wahyu dan penelitian ilmiah bertolak belakang, padahal tidak
ada pertentangan di dalamnya. Oleh karena itu, wajib kita imani

61 Lihat: Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metode Penelitian Agama; Sebuah
Pengantar, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. xi-xiii

48
bahwa segala sesuatu yang datang dari wahyu adalah mutlak
kebenarannya.62

C. MACAM-MACAM PENELITIAN AGAMA


Penelitian dapat mengambil bentuk bermacam-macam
tergantung dari sudut pandang mana yang akan digunakan untuk
melihatnya. Dilihat dari segi hasil yang ingin dicapainya, penelitian
dapat dibagi menjadi penelitian menjelajah (exploratory atau
deskriptif) dan penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory).
Dalam penelitian yang bersifat menjelajah, di mana
pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang atau belum
ada sama sekali, teori-teorinya belum ada atau belum diperlukan.
Demikian juga dengan penelitian yang bersifat deskriptif.
Sedangkan dalam penelitian yang bersifat menerangkan di
mana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesis-
hipotesis yang akan diuji, jelas memerlukan teori.
Dilihat dari segi bahan-bahan atau objek yang akan diteliti,
penelitian dapat dibagi menjadi penelitian kepustakaan (library
research) dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti
manuskrip, buku, majalah, dan dokumen lainnya; dan penelitian
lapangan (field research) dengan menggunakan informasi yang
diperoleh dari sasaran penelitian yang selanjutnya disebut informan
atau responden melalui instrumen pengumpulan data seperti angket,
wawancara, dan observasi.
Dilihat dari segi cara menganalisisnya, penelitian dapat dibagi
menjadi penelitian yang bersifat kualitatif dan yang bersifat
kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap objek penelitian
yang bersifat sosiologis; sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan
terhadap objek penelitian yang bersifat fisik, material, dan dapat
dihitung jumlahnya. Sikap keagamaan, kecerdasan, pengaruh
kebudayaan, dan sebagainya adalah objek penelitian yang bersifat
kualitatif. Sedangkan objek penelitian yang sifatnya ingin mengetahui

62 Lihat: Affandi Mochtar, The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zurnuji’s


Ta’lim wa al-Muta’allim. Tesis. (Montreal: Institute of Islamic Studies McGill
University. 1990), h. 281.

49
jumlah para lulusan, jumlah orang yang melanggar peraturan, dan
sebagainya dapat dilakukan penelitian yang bersifat kuantitatif.
Dilihat dari segi metode dasar dan rancangan penelitian yang
digunakan, penelitian dapat dibagi menjadi penelitian yang bersifat
historis, perkembangan, kaus, korelasional, kausal-komparatif,
eksperimen sungguhan, eksperimen semu, dan penelitian tindakan
(action research). Berbagai macam penelitian yang didasarkan pada
segi metode dan rancangannya ini dapat dikemukakan sebagai
berikut;63
1. Penelitian Historis (Historical Research)
a. Tujuannya untuk membuat rekontruksi masa lampau
secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi serta mensistematisasikan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh
kesimpulan yang kuat.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Bergantung kepada daya yang diobservasi oleh peneliti
sendiri
2) Harus tertib, ketat, sistematik dan tuntas, dan bukan
sekadar mengoleksi informasi-informasi yang tak layak,
tak reliabel dan berat sebelah
3) Bergantung pada data premier dan data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari sumber primer, sedangkan data
sekunder diperoleh dari sumber sekunder
4) Harus melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
Kritik eksternal menanyakan apakah dokumen itu
autentik atau tidak; sedangkan kritik internal harus
menguji motif, berat sebelah, dan sebagainya.

2. Penelitian Kasus dan Penelitian Lapangan


a. Tujuan untuk mempelajari secara intensif tentang latar
belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan

63 Lihat: Wahyuddin, Metodologi Penelitian Agama (dasar-dasar teoritis dan aplikasi),


(Banjarmasin: Antasari Press, 2007), h. 25-59

50
sesuatu unit sosial; individu, kelompok, lembaga atau
masyarakat.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Penelitian kasus dan penelitian mendalam mengenai
unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran
yang lengkap dan terorganisasi dengan baik mengenai
unit tersebut
2) Cenderung untuk meneliti jumlah unit yang kecil, tetapi
mengenai variabel-variabel dan kondisi-kondisi yang
berjumlah besar

3. Penelitian Korelasional (Correlational Research)


a. Tujuannya untuk mendeteksi sejauhmana variasi-variasi
pada suatu faktor dengan variasi-variasi pada satu atau
lebih faktor lain berdasarkan koefisiensi korelaso.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Cocok dilakukan bila variabel-variabel yang diteliti rumit
dan/atau tak dapat diteliti dengan metode
eksperimental atau tak dapat dimanipulasikan
2) Studi macam ini memungkinkan pengukuran beberapa
variabel dan saling hubungannya secara serentak dalam
keadaan realistiknya

4. Penelitian Kausal-Komparatif (Causal Comparative


Research)
a. Tujuannya untuk menyelidiki kemungkinan hubungan
sebab akibat dengan cara berdasar atas pengamatan
terhadap akibat yang ada mencari kembali faktor yang
mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Bahwa data dikumpulkan setelah semua kejadian yang
dipersoalkan berlangsung (lewat masanya). Peneliti
mengambil satu atau lebih akibat (sebagai dependen
variabel) dan menguji data itu dengan menelusuri

51
kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab
saling hubungan dan maknanya.

5. Penelitian Eksperimental Sungguhan


a. Tujuannya untuk menyelidiki kemungkinan hubungan
sebab akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau
lebih kelompok eksperimental dan memperbandingkan
hasil-hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol
yang tidak dikenal kondisi perlakuan.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Menurut pengaturan variabel-variabel dan kondisi-
kondisi eksperimental secara tertib ketat, baik dengan
kontrol atau manipulasi langsung maupun dengan
menggunakan pengaturan acak.
2) Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai
garis dasar untuk membandingkan dengan kelompok-
kelompok yang dikenai perlakuan eksperimental

6. Penelitian Tindakan (Action Research)


a. Tujuannya untuk mengembangkan keterampilan-
keterampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk
memecahkan masalah dengan penerapan langsung di dunia
kerja atau dunia aktual yang lain.
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Praktis dan langsung relevan untuk situasi aktual dalam
dunia kerja
2) Fleksibel dan adaptif, memperbolehkan perubahan-
perubahan selama masa penelitiannya dan
mengorbankan kontrol untuk kepentingan inovasi

7. Penelitian Survei
a. Tujuannya
1) Untuk maksud penjajagan (eksploratif)
2) Untuk menggambarkan (deskriptif)

52
3) Untuk penjelasan (explanatory) atau penegasan
(conformatory) yakni untuk menjelaskan hubungan
kausal dan pengujian hipotesis
4) Untuk keperluan penilaian (evaluasi)
5) Untuk memprediksi atau meramalkan kejadian-kejadian
yang mungkin akan timbul di masa mendatang
6) Untuk digunakan sebagai bahan atau landasan bagi
penelitian yang bersifat operasional
7) Sebagai upaya untuk mengembangkan indikator-
indikator sosial
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Mengambil sampel dari satu populasi
2) Menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data

8. Grounded Research
a. Tujuannya untuk mengkritik para peneliti yang berlebihan
terhadap teori-teori yang sangat umum
b. Ciri-cirinya antara lain:
1) Bersifat kualitatif
2) Penelitian data menggunakan wawancara bebas
3) Tanpa teori atau hipotesis yang akan diuji
4) Menitik beratkan pada sosiologi.

D. LANGKAH-LANGKAH POKOK DALAM


PENELITIAN AGAMA
Langkah-langkah pokok dalam menyusun draft penelitian dan
pengkajian Islam adalah merupakan salah satu bagian pokok dari
“konstruksi teori” penelitian agama. Langkah-langkah tersebut pada
hakikatnya merupakan kejadian yang harus ada dalam suatu rencana
penelitian. Mely G.Tan mengatakan bahwa suatu rencana penelitian
dapat dibagi dalam delapan langkah berikut:
1. Pemilihan persoalan
2. Penentuan ruang lingkup penelitian
3. Pemeriksaan tulisan-tulisan yang bersangkutan

53
4. Perumusan kerangka teoretis
5. Penentuan konsep-konsep
6. Perumusan hipotesis-hipotesis
7. Pemilihan metode pelaksanaan penelitian
8. Perencanaan sampling
Unsur-unsur lazim diminta (harus ada) dalam suatu rencana
penelitian adalah:
1. Judul penelitian
2. Penegasan masalah
3. Latar belakang penelitian
4. Tinjauan pustaka
5. Anggapan dasar (asumsi)
6. Problematik penelitian atau hipotesis
7. Tujuan dan manfaat penelitian
8. Metodologi
Jika unsur tersebut dikaitkan dengan rencana penyusunan
draft penelitian dan pengkajian agama, yang harus ada adalah:
1. Unsur latar belakang masalah
2. Studi kepustakaan
3. Landasan teori
4. Metodologi penelitian
5. Kerangka analisis
Kelima unsur yang lazim digunakan dalam penelitian sosial itu
dapat digunakan untuk penelitian agama, karena sebagaimana
dikatakan diatas, agama dari segi bentuk pelaksanaannya merupakan
bagian dari pengetahuan sosial atau merupakan bagian dari budaya
manusia yang bercorak batiniah.

E. TEORI-TEORI PENELITIAN AGAMA


Penelitian agama, menurut Mukti Ali, merupakan penelitian
yang menyangkut pengalaman umat beragama di tengah-tengah
masyarakat. Penelitian agama berhubungan dengan ekspresi manusia

54
sebagai hamba Allah dan sebagai masyarakat yang menjalankan tugas-
tugas keagamaannya di dunia.
Penelitian ini berpijak pada sesuatu yang konkret, yakni
pengalaman umat yang nyata.64 Adapun objek dari penelitian ini
adalah tindak laku umat beragama atau pengaruh timbal balik atau
saling memengaruhi antara masyarakat dan agama. Agama
memengaruhi jalannya masyarakat, demikian juga pertumbuhan
masyarakat memengaruhi pemikiran terhadap agama.65
Mengutip Middleton, Atho’ Mudzhar mengemukakan bahwa
penelitian agama (research on religion) adalah penelitian terhadap
materi agama (ritus, mitos, dan magik) yang dapat dikaji dari
perspektif teologis, historis, komparatif, maupun psikologis, sedang
penelitian keagamaan merupakan penelitian terhadap sistem
keagamaan (religious system) yang bersifat sosiologis. Sasaran
penelitian agama adalah doktrin, sementara sasaran penelitian
keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.66
Lebih lanjut Mudzhar berpendapat, jika pembedaan ini diikuti,
perdebatan mengenai ada tidaknya metodologi penelitian agama tentu
tidak akan terjadi. Penelitian agama yang sasarannya adalah agama
sebagai doktrin dapat menggunakan metodologi yang sudah ada,
misalnya ushul fiqih dalam penelitian hukum dan ilmu mushthalah
hadits dalam penelitian hadits. Sementara penelitian keagamaan yang
sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial cukup meminjam
metodologi penelitian sosial yang sudah ada.67
Bagi pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan akan
sangat berguna untuk meningkatkan usaha-usaha dakwah,
pendidikan, dan sosial. Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana
pembangunan, hasil penelitian ini akan menghindarkan mereka dari
“kekeliruan” yang menyinggung sentimen dan kepekaan rasa agama

64 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama; Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar


Harapan, 1982), h. 23
65 Ibid, h. 22
66 M. Atho Mudzhar, Metodologi Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 35-36.
67 Ibid, h. 36-37.

55
dari masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, penelitian keagamaan
sangat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional
maupun untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.68
Menurut Mukti Ali penelitian agama melingkupi tiga aspek
sebagai berikut.
1. Refleksi agamaniah
Refleksi agamaniah adalah refleksi atas agama itu sendiri dan
refleksi dalam agama. Dalam hal ini perlu dipahami tentang ajaran
agama itu sendiri dan bagaimana manifestasinya dalam kehidupan
masyarakat. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup beragama
bukan hanya hidup batin dan bukan pula hal pribadi.
Hidup beragama berpangkal pada kepercayaan terhadap
agama yang diyakini dan bagaimana menerapkan keyakinan itu dalam
kehidupan masyarakat sesuai dengan ucapan batin.69 Pengungkapan
iman dalam situasi konkret
Agama sebagai refleksi iman tidak hanya terbukti dalam
ucapan keyakinan dan iman, tetapi agama juga merefleksikan sejauh
mana iman itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Dengan
demikian, iman tidak cukup hanya diucapkan lewat kata, tetapi harus
direfleksikan dalam perbuatan nyata atau situasi konkret.70

2. Peneliti dalam penelitian agama harus seorang yang


agamais
Fakta-fakta sosial biasanya mengandung banyak interpretasi,
dan penginterpretasiannya sangat tergantung pada pertanyaan
peneliti dan latar belakang peneliti. Agama bersifat sangat pribadi dan
dalam, karena itulah untuk mengamatinya harus dilakukan secara
hati-hati.
Faktor peneliti lebih berperan penting dalam penelitian
dibanding metode penelitian. Seorang peneliti yang secara teknik

68 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), h.
324.
69 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1982), h. 25.
70 Ibid, h. 26.

56
penelitian sangat baik belum tentu dapat menemukan persoalan-
persoalan agama pada seseorang, kecuali peneliti itu beriman dan
berefleksi atas imannya atau agamanya. Jika peneliti bukan orang yang
beragama, dia hanya akan sanggup mengonstatir atau menyimpulkan
dan memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala agamaniah,
agamawi, atau religiusitas, tetapi bukan iman atau religiusitas itu
sendiri. Karena itulah penelitian agama tidak mungkin dilakukan oleh
peneliti yang tidak mengetahui seluk beluk persoalan pokok agama.71
Di antara sikap agamais seorang peneliti adalah memiliki
pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah sosial dan
agama, memiliki integritas pribadi, sensitif dalam persepsi, disiplin
dalam imajinasi, dan reserve dalam mental.72 Objektivitas atau
netralitas bukan merupakan kriteria utama dalam proses penelitian
agama, karena ada kriteria lain yang juga ikut menentukan, yaitu
penilaian “subjektif” si peneliti. Inilah yang membedakan antara
penelitian agama dan penelitian sosiologi agama atau psikologi
agama.73
Dewasa ini, kerja sama antara ahli ilmu agama dan ahli ilmu
sosial dirasa sangatlah penting mengingat masing-masing memiliki
kekurangan dan kelebihan tersendiri. Ahli ilmu agama dan ahli ilmu
sosial dituntut saling mendekat dan bekerja sama dalam meneliti
fenomena keagamaan. Ahli ilmu sosial tidak cukup mengkaji dan
memahami fenomena keagamaan hanya berdasarkan perspektif ilmu
sosial tanpa melibatkan perspektif agama. Sebaliknya, kalangan ahli
ilmu agama juga tidak cukup hanya mengkaji fenomena keagamaan
dengan menggunakan pemikiran spekulasi teoretis atau metode
deduktif, tetapi diperlukan juga metode empiris dan induktif dalam
memahami agama sebagaimana yang dilakukan dalam ilmu sosial.74
Meneliti masyarakat beragama berarti meneliti gejala-gejala
yang erat hubungannya dengan gejala-gejala masyarakat beragama.
Cara mengkaji gejala-gejala tersebut mirip dengan cara pengumpulan

71 Ibid, h. 26-27.
72 Ibid, h. 28.
73 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, h. 331-332.
74 Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, h. 21.

57
data dalam Sosiologi. Tetapi pengumpulan data itu bukanlah Sosiologi
melulu, karena umat beragama menafsirkan gejala-gejala dalam
masyarakat itu dalam cahaya ajaran agamanya. Jadi, penelitian agama
tidak hanya memaparkan data, tetapi sekaligus menafsirkannya. Itulah
sebabnya terbuka ruang yang sangat luas bagi metode empiris untuk
digunakan dalam penelitian agama, mendampingi metode historis
yang telah lebih dulu melekat dalam penelitian agama.75
Semua metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau
bersifat agamaniah, yakni bahwa penelitian agama itu bertitik tolak
dari permasalahan agama dan bahwa proses diagnosis dan prognosis
diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang diambil dari agama
pula.76
Secara operasional dan aplikatif, pendekatan ini bisa
diwujudkan melalui tahapan: (1) dengan saksama mengamati fakta-
fakta, (2) menentukan di mana letak kemungkinan-kemungkinan yang
paling menonjol, yakni mencoba memahami arti di balik fakta-fakta
itu, (3) berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2
mencoba melihat dari segi cahaya agama, dan (4) menilai dalam
cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan situasi historis.77
Keempat tahapan ini jika dilihat dari perspektif pendekatan scientific-
cum-doctriner, menunjukkan bahwa tahapan 1 dan 2 menggunakan
metode scientific (tahap penyaringan data), sedang tahapan 3 dan 4
menggunakan metode doktriner (tahap interpretasi).78

75 Ibid.,h. 25-26.
76 Ibid.,h. 28.
77 Ibid.,h. 26.
78 Rahmadi, Pemikiran Metodologis A. Mukti Ali Tentang Penelitian Agama, dalam
Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, edisi 14, vol. 2, 2016, h. 112.

58
BAB V
STUDI AL-QUR’AN DAN ILMU TAFSIR

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN


KARAKTERISTIKNYA
Menurut Dawud al-Attar79 Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara lafaz (lisan), makna
serta gaya bahasanya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukilkan
secara mutawatir. Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan
sebagai berikut:
a) Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Tidak ada satu kata pun yang
datang dari pikiran atau perkataan Nabi.
b) Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan
gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksinya datang dari
Allah Swt.
c) Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak
mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam
bentuk hukum kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi
sendiri.
d) Al-Qur’an dinukilkan secara mutawatir, artinya Al-Qur’an
disampaikan kepada orang lain secara terus menerus oleh
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-
bedanya tempat tinggal mereka.
Al-Qur’an diturunkan dalam kurun waktu lebih kurang 23
tahun yang dibagi dalam dua periode. Periode Makkah selama 13
tahun. Sedangkan periode Madinah hampir mencapai 10 tahun. Al-
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dengan maksud agar

79 Dawud al-Attar, Mujaz Ulum al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lami, 1979)

59
mudah dihafal dan dipahami oleh umat Islam. Di samping itu turunnya
Al-Qur’an juga sesuai dengan kebutuhan kejadian/peristiwa saat itu.
Sejak Al-Qur’an diturunkan, ghirah para sahabat untuk
membaca dan menghafal Al-Qur’an besar sekali. Ditambah dengan
motivasi bahwa membaca Al-Qur’an dinilai sebagai ibadah dan pahala
yang sangat besar bagi pengahafal Al-Qur’an menjadi faktor
mendorong gerakan penghafalan Al-Qur’an bagi kaum muslimin dari
waktu ke waktu. Selain dihafal, ayat-ayat yang turun juga ditulis oleh
sejumlah sahabat dan hasil pencatatan mereka diserahkan kepada
Rasulullah. Rasul menyimpan catatan ayat-ayat Al-Qur’an itu di
rumahnya dan ada pula yang disimpan oleh penulisnya sendiri.
Tidak berapa lama setelah Rasul wafat, Khalifah Abu Bakar
membentuk tim untuk mengkondifikasi Al-Qur’an. Berdasarkan cek
silang antara satu penulis dengan penulis yang lain serta konfirmasi
langsung kepada banyak saksi hidup dan para penghafal Al-Qur’an.
Tim berhasil mengkodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu
mushaf (kumpulan lembaran tulisan) Al-Qur’an.
Selanjutnya, pada masa Khalifah Usman dibentuk tim untuk
menyempurnakan sistem penulisan Al-Qur’an, terutama yang
berkaitan dengan tanda-tanda bacanya. Al-Qur’an yang
disempurnakan itu diperbanyak sebanyak lima buah. Mushaf Al-
Qur’an inilah yang kemudian menjadi standar rujukan penerbitan Al-
Qur’an yang ada sekarang ini.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat. Ayat-
ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekah (Ayat Makkiyah)
sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat. Sedangkan ada
periode Madinah (Ayat Madaniyah) sebanyak 1.456 ayat yang
tercakup dalam 28 surat. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya
mengandung nuansa sastra yang kental karena ayat-ayatnya pendek-
pendek. Isinya banyak mengedepankan prinsip-prinsip dasar
kepercayaan (aqidah) dan akhlak. Sedangkan ayat Madaniyah
menerangkan aspek syari’ah, muamalah dan juga akhlak.

60
Selain Al-Qur’an, wahyu ini diberi nama lain oleh Allah, yaitu:
a) Alkitab, berarti sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan:2).
b) Alkalam, berarti ucapan (At-Taubah:6)
c) Az-Zikra, berarti peringatan (Al-Hijr:9).
d) Al-Qasas, berarti cerita-cerita (Ali Imran:62).
e) Alhuda, berarti petunjuk (At-Taubah:33).
f) Al-Furqan, berarti pemisah (Al-Furqan:1).
g) Almau‟izah, berarti nasehat (Yunus:57)
h) Asy-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (Al-Isra’:82)
i) An-Nur, berarti cahaya (An-Nisa’:174).
j) Ar-Rahmah, berarti karunia (An-Naml:77).
Surah-surah al-Qur’an jika ditinjau dari panjang dan
pendeknya terbagi atas empat bagian, yaitu:
a) Al-Sab’u al-Thiwal, yaitu tujuh surah yang panjang terdiri dari
alBaqarah, Ali Imran, An-Nisa’, al-A’raf, al-An’am, al-Maidah
dan Yunus.
b) Al-Miuun, yaitu surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat
lebih. Seperti Hud, Yusuf, al-Mukmin.
c) Al-Matsaani, yaitu: surah-surah yang berisi kurang sedikit dari
seratus ayat, seperti al-Anfal, al-Hijir.
d) Al-Mufashshal, yaitu surah-surah pendek, seperti al-Dhuha,
alIkhlas, al-Falaq, al-Nas.
Al-Quran memiliki banyak keistimewaan yang dapat dilihat
dari berbagai aspek.
a) Dari segi bahasa
Keistimewaan bahasa Al-Qur’an terletak pada gaya
pengungkapannya, antara lain kelembutan dalam jalinan huruf
dan kata dengan lainnya. Susunan huruf-huruf dan lata-kata
Al-Qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma dengan
ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diucapkan. Untuk itu
keindahan bahasa Al-Qur’an mengalahkan semua hasil karya
manusia saat itu, sekarang dan masa datang. Tidak ada satu
manusia pun yang sanggup untuk membuat satu ayat semisal
Al-Qur’an.

61
b) Dari segi kandungan
Al-Qur’an adalah kitab yang paling sempurna kandungan
isinya, karena di dalamnya memuat kandungan kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an juga memuat semua aspek kehidupan,
baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama
manusia dan alam semesta. Isi Al-Qur’an selaras dengan akal
dan perasaan serta memuat berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti persoalan biologi, farmasi, astronomi,
geografi, sejarah dan lain sebagainya.
c) Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad terbesar
Secara umum Al-Qur’an membawa dua fungsi utama, yaitu
sebagai mu’jizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mu’jizat
menurut bahasa artinya melemahkan. Al-Qur’an sebagai
mu’jizat menjadi bukti kebenaran Muhammad selaku utusan
Allah yang membawa misi universal, risalah akhir dan syari’ah
yang sempurna bagi manusia. Ia menjadi dalil atau
argumentasi yang mampu melemahkan segala argumen dan
mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk
mengingkari kebenaran Muhammad saw. Di samping itu
dijadikannya Al-Qur’an sebagai mukijizat terbesar dari Nabi
Muhammad, karena setiap mu’jizat yang diturunkan kepada
para Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan zaman. Susunan
bahasa Al-Qur’an yang tinggi jauh melebihi karya satra (syair)
masyarakat Arab jahiliyah saat itu.
d) Terpelihara keasliannya sampai akhir zaman
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa―Kamilah yang
menurunkan Az-Zikra (Al-Qur’an), dan Kami jugalah yang
memeliharanya”. Dalam ayat tersebut Allah Swt. menggunakan
kata―Kami, yang berarti umat Islam juga harus ikut
berpartisipasi dan berupaya melestarikan Al-Qur’an dan
menjaganya dari penyelewengan, baik bahasa maupun
maknanya.
e) Dinilai ibadah jika membacanya
Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur’an, Allah janjikan pahala
yang berlipat ganda.

62
B. PENGERTIAN ILMU TAFSIR DAN BENTUK
PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-
tafsiran yang berarti penjelasan, pengungkapan, penjabaran dan
menjelaskan makna yang abstrak.80 Maksudnya penjelasan terhadap
kalamullah/lafadz-lafadz Al-Qur’an dan pemahamannya.
Secara terminologi, tafsir menurut Badruddin al-Zarkasi yaitu
memahami ayat-ayat Allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad
saw, menjelaskan makna-makna dan mengungkap hikmah dan hukum
yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut Jalaluddin Assuyuti tafsir
adalah menjelaskan tentang nuzulul Qur’an, hukum-hukum yang ada
di dalam al Qur’an.
Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran di sini ialah naw’
(macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran
Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-Ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y
(pemikiran).

Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)


Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering
disebut dengan “tafsir bi al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang
paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual
Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai
dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir,
dan lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan
sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi
Muhammad saw. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al-
Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir riwayat”.
Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an
klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang
menggunakan data riwayat dari Nabi saw. dan atau sahabat, sebagai

80 Manna‘ Khalil al-Qattan, Mabahits Ulum al-Qur’an, (,1996), h. 456

63
variabel penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Model metode
tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh
Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan
metode tafsir riwayat. Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan
mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Qur’an.
Sunnah Nabi, dan para sahabat.81 Ulama lain, seperti Al-Dzahabi,
memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun
mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad
saw. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai
tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka,
seperti Tafsir Al-Thabari.82 Sedang Al-Shabuni memberikan
pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat
adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau
perkataan sahabat.83
Definisi ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan
bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir
riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt.
Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka
tidak dianggap sebagai hujjah.84
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa
dilakukan dengan menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi,
dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita
menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau dengan hadits,
tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran
yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir.

81 Muhammad ‘Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi Ulum al-Quran, h. 12


82 Muhammad Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, 1961), h. 152
83 Muhammad Ali Al-Shabuni, A-Tibyan, h. 67
84 Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, (Taheran, Al-
Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975), h. 103

64
Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau
hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis
tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini
diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode
riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data
materialnya “mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad saw.
yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk
asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sumber data otoritatif”. Sebagai
salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang
terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat
mempunyai asbab al-nuzul.85

Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)


Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan
peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah
berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing
golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-
ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai
dengan keyakinan yang mereka anut.
Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir
melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi
al-ra’y, maka tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa
tafsir bi al-ra’y mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.
Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun
dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua: ada yang
membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti,
ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi
(redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela
penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan

85 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi),


(Jakarta, Teraju Cet.I, 2003), h. 198

65
kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduanya
sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul
serta kaidah-kaidah yang mu’tabarah (diakui sah secara bersama).86
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar
perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua
bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi al-
ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).

C. METODE TAFSIR AL-QUR’AN


Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang
membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk
mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
kemampuan manusia. Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah
suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses
penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut
dua aspek penting yaitu: Pertama, aspek teks dengan problem
semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang
mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di
mana teks itu muncul.87
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu
sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya
penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode),
sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu: ijmaliy (global), tahliliy
(analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik).88
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode
tafsir tersebut secara rinci, yaitu:89
1. Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara

86 Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000), h. 57 – 58.
87 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196
88 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah
Mawdhu’iyyah, (1977). h. 23
89 Nashirudin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h. 67-77

66
mengemukakan makna global.90 Pengertian tersebut menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya
bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.91
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara
lain: Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid
Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan
Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-
Mirghani.
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun
uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode
global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat
dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang
bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah
sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga
seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan
juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir
analitis.

2.Metode Tahlili (Analisis)


Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta

90 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah


Mawdhu’iyyah, (1977). h. 43 – 44
91 Ibid, h. 67

67
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-
ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi
yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat
dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu:92 Al-
Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-
Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan
bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain),
misalnya: kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1
surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5)
yang menyatakan: “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-
Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya,
dan mereka orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah:3-5)
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang
menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha
menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-
ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-
Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari
ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil
bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahlili
yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah:
a. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir
al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
b. Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)

92 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, h. 49.

68
c. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
d. Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-
Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak
sekali, antara lain:
a. Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
b. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w.
691 H)
c. Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
d. Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606
H)
e. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-
Razi (w. 606 H)
f. Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
g. Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935
M); dan lain-lain

3.Metode Muqaran (perbandingan)


Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus
atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu
kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi saw, yang
pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
Dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek
kajian tafsir, yaitu:93

93 Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 186–192.

69
a. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an
yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu
ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau
lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang
memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang
(diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam
variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,94 sebagai berikut:
a. Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti:
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang
sebenarnya) petunjuk” (QS. al-Baqarah: 120)
“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti)
ialah petunjuk Allah” (QS. al-An’am: 71)
b. Perbedaan dan penambahan huruf, seperti:
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan
kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS. al-
Baqarah: 6)
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS. Yasin:
c. Pengawalan dan pengakhiran, seperti:
“…yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-
Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah:129)
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-
Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
d. Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte
noun), seperti:
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Fushshilat: 36)

94 Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1988), h. 147 –
169.

70
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf:
200)
e. Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti:
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80)
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-
Imran: 24)
f. Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah…” (QS. Al-Baqarah: 58)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke
negeri ini, dan makanlah…” (QS. Al-A’raf: 161)
g. Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Al-Baqarah: 170)
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Luqman: 21)
h. Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf
ke huruf lain), seperti:
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasul-Nya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 4)
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang
(yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang
berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah:
1. Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki

71
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang
sama dalam kasus berbeda,
2. Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan
perbedaan redaksinya,
3. Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan
ayat bersangkutan, dan
4. Melakukan perbandingan.
b. Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufassir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits
Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha
untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh
perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl: 32 dengan
hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini:

 ÉØ ÔÈÅ ¯ ‰Ù ÉÅØ

“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah


kamu kerjakan” QS. Al-Nahl: 32)

‫واعلموا أنه لن يدخل أحد عمله اجلنة‬

“Ketahuilah, bahwa tidak akan beruntung salah seorang pun


diantara kamu (masuk ke dalam surga) disebabkan
perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan
ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-
Zarkasyi mengajukan dua cara:
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu
bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal
perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan.
Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya,
amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang
akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam

72
surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan
dengan hadits lain, yang artinya “Sesungguhnya ahli surga itu,
apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di
atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits
tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits
berarti sebab.
c. Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama
salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur)
maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah:
1. Membuktikan ketelitian al-Qur’an;
2. Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang
kontradiktif;
3. Memperjelas makna ayat; dan
4. Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu
dengan yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali,
menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-
perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-
masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode muqaran. Di
sini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode
ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena
yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan
ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama
tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarin”.

73
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya.
Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun
pemikiran rasional.
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema,
judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan
bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau
berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian
tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya
penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat
Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
1. Sementara itu Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-
langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode
mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
2. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
3. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
4. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
5. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing;
6. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-
line);

74
7. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan;
8. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau
pemaksaan.95
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran yang
disebutkan di atas, menurut Quraish Shihab96 adalah metode tahliliy,
dan metode mawdhu’iy. Namun begitu dari beberapa tokoh analis
Islam, kedua metode tersebut di samping mempunyai kelebihan di
satu sisi, pada sisi yang lain mempunyai kelemahan-kelemahan.
Metode tahliliy atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajzi’iy.97 Walaupun sangat luas-karena menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dari berbagai segi-namun tidak menyelesaikan satu pokok
bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair kontemporer, Malik
bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur’an
dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya
mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
kemukjizatan Al-Qur’an.98
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik tersebut, namun
yang jelas kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada
mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan rumusan definisi mukjizat di mana terkadang di
dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedang-kan seorang Muslim

95 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, h. 114 – 115


96 Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999),
h. 83-91 dan 11-126
97 Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-
Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, 1980), h. 10
98 Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab
oleh Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr,
Lebanon, t.t. h. 58

75
tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima.
Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang
keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu dimulai dengan kalimat in kuntum
fi raybin atau in kuntum shadiqin.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang
diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau
kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini,
paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang
mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode
penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat
dengan Baqir Al-Shadr-Ulama’ Syi’ah Irak itu-yang menilai bahwa
metode tahliliy telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.99
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan
metode tahliliy tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau
lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-
Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu
memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari
penyebabnya-apakah pada diri kita atau metode mereka-adalah
bahwa bahasa-bahasanya dirasakan sebagai “mengikat” generasi
berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan
khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian
yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah
pandangan Al-Qur’an untuk waktu dan tempat.100
Sedang metode mawdhu’iy yang mana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surah dan yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.

99 Lihat: Baqir Al-Shadr,Al-Madrasat Al-Qur’aniyyah. (Qum: Markaz Al-Abhats Wa Al-


Dirasat Al-Takhoshshusiyya, 2005).
100 Lihat: Mursyi Ibrahim, Dirasah fi al-Tafsir al-Maudlu’i i. (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah,
1980).

76
Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa keistimewaan metode mawdhu’iy antara lain:
1. Menghindari problem atau kelemahan metode lain;
2. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, satu
cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an;
3. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami; dan
4. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-
Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-
Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
Di samping itu ketika metode mawdhu’iy disandingkan dengan
metode-metode lain, maka akan muncul perbedaan-perbedaan.
Perbedaan tersebut antara lain:

PERBEDAAN METODE MAUDHU’I DENGAN METODE TAHLILI


METODE MAUDHU’I METODE TAHLILI
1. Mufasir dalam penafsirannya 1. Mufasir memperhatikan susunan
tidak terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam
dalam mushaf, tetapi lebih terikat mushaf.
dengan urutan masa turunnya 2. Mufasir berusaha untuk berbicara
ayat atau kronologis kejadian menyangkut segala sesuatu yang
2. Mufasir tidak membahas segala ditemukannya dalam setiap ayat
segi permasalahan yang 3. Mufasir biasanya hanya
dikandung oleh satu ayat, tapi mengemukakan penafsiran ayat-
hanya yang berkaitan dengan ayat secara berdiri sendiri,
pokok bahasan atau judul yang sehingga persoalan yang dibahas
ditetapkannya menjadi tidak tuntas, karena ayat
3. Mufasir dalam pembahasannya yang ditafsirkan seringkali
tidak mencantumkan arti ditemukan kaitannya dalam ayat
kosakata, sebab nuzul, lain pada bagian lain surat
munasabah ayat dari segi tersebut, atau dalam surat yang
sistematika perurutan, kecuali lain.
dalam batas-batas yang
dibutuhkan oleh pokok
bahasannya.

77
METODE MAUDHU’I METODE TAHLILI
4. Mufasir berusaha untuk
menuntaskan permasalahan-
permasalahan yang menjadi
pokok bahasannya.

PERBEDAAN ANTARA MATODE MAUDHU’I


DAN METODE MUQARAN
METODE MAUDHU’I METODE MUQARAN
Mufasir di samping menghimpun Mufasir biasanya hanya
semua ayat yang berkaitan menjelaskan hal-hal yang
dengan masalah yang dibahas, ia berkaitan dengan perbedaan
juga mencari persamaan- kandungan yang dimaksud oleh
persamaan, serta segala petunjuk masing-masing ayat tersebut atau
yang dikandungnya selama perbedaan kasus atau masalah
berkaitan dengan pokok bahasan Seperti misal: Al-Khatib Al-
yang ditetapkan. Iskafi dalam kitabnya Durrah
Al-Tanzil wa Ghurrah Al-
Ta’wil, (tidak mengarahkan
pandangannya kepada petunjuk-
petunjuk yang dikandung oleh
ayat-ayat yang dibandingkan)

D. CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN


1.
Corak Tafsir ilmi
Secara sederhana tafsir ‘ilmi dimaknai dengan menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah atau menggali
kandungan al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan.
Sedangkan yang dimaksud tafsir ilmi menurut al-Dhahabi adalah tafsir
yang menghimpun idiom-idiom ilmiah yang ada dalam ungkapan
bahasa al-Qur’an dan berusaha mengungkap berbagai ilmu
pengetahuan dan beberapa pendapat mengenai filsafat dari ungkapan-
ungkapan tersebut.101
Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena
seruan al-Qur’an pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah, yang
banyak mengajak umat manusia untuk merenungkan fenomena alam

101 Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol.2, (Kairo: Dar al-
Hadith, 2005), 417

78
semesta, sehingga tidak heran ketika kita banyak menemukan ayat-
ayat al-Qur’an ditutup dengan ungkapan-ungkapan: afala ta’qilun
“Apakah kalian semua tidak berfikir” atau ayat: afala tatafakkarun
“Apakah kalian tidak memikirkannya” dan lain sebagainya.
Di antara contoh ayat yang dapat menggunakan corak tafsir
ilmi adalah firman Allah: dalam QS. Fushshilat ayat 53 yang artinya
“Akan Kami tunjukkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di
segenap ufuk (penjuru) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas
kepada mereka bahwa al-Qur’an itu benar.”
Melihat sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa, akan
ditemukan bahwa kecenderungan tafsir ilmi sudah dimulai sejak masa
keemasan Dinasti Abbasyiah sampai pada masa kita sekarang ini.
Awalnya hanya berupa usaha untuk memadukan hasil penelitian
ilmiah dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, kemudian menjadi
gagasan yang mulai mengkristal pada karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, al-
Mursi, al-Suyuthi, baru kemudian muncul dalam tataran praktik pada
karya tafsirnya al-Razi, dan akhirnya menjadi sebuah kajian khusus
yang diambil dari al-Qur’an berupa karya yang memuat beberapa ayat
al-Qur’an mengenai beberapa disiplin ilmu pengetahuan.102
Atas kemunculan tafsir yang memiliki kecenderungan seperti
ini, ulama berbeda pendapat, ada yang setuju dan ada yang tidak
setuju, misalnya Imam al-Suyuthi yang menjelaskan hal ini dalam
kitab al-Itqan-nya, beliau menyebutkan beberapa dalil bahwa al-
Qur’an mencakup beberapa ilmu pengetahuan, seperti ayat 38 dari
Surah al-An’am yang artinya: Tidak ada sesuatu pun yang Kami
luputkan di dalam Kitab. dan firman Allah dalam Surah al-Nahl ayat 89
yang artinya: Dan Kami turunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu.
Dari dalil-dalil ini, al-Suyuthi menggiring pembacanya untuk
mengakui bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu-ilmu
pengetahuan.103 Sementara al-Syathibi termasuk golongan yang tidak
setuju dengan tafsir al-’ilmi, beliau mengatakan: “Tidak boleh

102 Ibid, h. 425.


103 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Matba’ah Mustafa al-
Halabi, 1939), h. 135

79
menambahkan sesuatu yang tidak terkandung di dalam al-Qur’an,
sebagaimana tidak boleh mengingkari sesuatu yang terdapat di
dalamnya, dan harus mengambil referensi sekadarnya saja dari
beberapa pengetahuan Arab untuk lebih memahami maknanya dan
lebih mengetahui hukum-hukum syariah, sedangkan orang yang
mencarinya dengan mengguna-kan pengetahuan yang bukan alat
untuk itu, maka akan tersesat dalam mema-haminya, dan mengada-
ada atas nama Allah dan Rasul-Nya.”104
Kutipan di atas sangat jelas sekali menggambarkan pendapat
al-Syathibi terhadap tafsir ilmi yang beliau sebut dengan usaha
memahami al-Qur’an dengan menggunakan alat yang bukan alat untuk
memahaminya. Hal yang sama disampaikan juga oleh al-Zahabi, ketika
menentang pendapat para ulama yang setuju dengan tafsir ilmi yang
menggiring beberapa ayat sebagai dasar dari pendapat mereka, al-
Zahabi mengatakan, ayat-ayat seperti ini bertujuan sebagai petunjuk
dan mau’izah agar menimbulkan kekaguman dalam diri dan hati
manusia, dan bukan sebagai alat untuk mengetahui pengetahuan-
pengeta-huan atau teori-teori parsial, karena al-Qur’an bukan buku
filsafat atau kedok-teran, dan al-Qur’an tidak perlu hal seperti ini, yang
bisa menjauhkan dari tujuan sosial kemanusiaannya, yaitu untuk
memperbaiki kehidupan, melatih batin mereka untuk kembali kepada
Allah.105
Pendapat golongan ulama yang kedua ini, yaitu yang tidak
setuju dengan tafsir ilmi terkesan terlalu khawatir terhadap al-Qur’an,
sehingga mereka tidak mau mengambil risiko mengubah kandungan
al-Qur’an demi keselarasannya dengan perkembangan pengetahuan
mutakhir. Ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan mengingat
para ulama yang setuju dengan tafsir ilmi juga sangat hati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, mereka juga berusaha mengistinbat hasil penemuan-
penemuan baru ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, dan usaha mereka

104 Al-Shatibi, al-Muwafaqat, (Kairo: Mat}ba’ah al-Maktabah al-Tijariyah, t.th.), h. 80


105 Muhammad Husein Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 432.

80
tidak lain merupakan bentuk dari ijtihad yang jika benar mendapat
dua pahala dan jika salah mendapat satu pahala.106
Thanthawi Jauhari, salah seorang ulama tafsir ilmi, pernah
mengatakan: “nah ini sekarang Anda baru tahu apa yang telah
diungkap oleh al-Qur’an selama ratusan tahun, bahwa sesungguhnya
langit dan bumi, yakni matahari dan planet dan semua komponen
alam semesta pada awalnya menyatu, kemudian Allah
memisahkannya. Kami menyebut hal ini dengan mukjizat, karena
pengetahuan seperti ini belum ada yang mengetahuinya kecuali pada
zaman sekarang ini, bukankah Anda menyaksikan para ulama tafsir
mengatakan, pada masa itu orang-orang kafir tidak mengetahui
disiplin ilmu ini, dan jawaban mereka atas hal itu adalah bahwa orang-
orang kafir diuji dalam ayat ini, dan ayat ini menjadi bukti
ketidaksanggupan mereka untuk mengetahuinya, karena hal itu belum
diciptakan. Maka kemudian, para ulama dengan kecerdasan yang
mereka miliki menafsirkan dengan berbagai penafsiran, sekarang kita
bisa menemukan pengetahuan yang tersimpan ini telah Allah
munculkan melalui orang-orang Eropa, sebagaimana disampaikan al-
Qur’an dalam ayat ini. Allah seakan berfirman: orang-orang kafir itu
akan melihat bahwa langit dan bumi pada mulanya menyatu
kemudian Kami belah keduanya, meski dalam ayat ini disebutkan
dengan menggunakan lafaz yang bermakna lampau, namun yang
dimaksud adalah masa yang akan datang. Ini merupakan mukjizat
yang sangat sempurna dalam al-Qur’an, dan termasuk keajaiban yang
membuat kagum banyak orang dalam kehidupan ini.107

2.
Corak Tafsir Falsafi
Pada masa keemasan Islam banyak buku-buku filsafat Yunani
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga membuat para
cendekiawan muslim banyak berkutat pada disiplin ilmu ini.
Dampaknya adalah berbagai sendi keilmuan Islam dimasuki filsafat,

106 Al-Turmudhi, al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Turmudhi, (Bairut, Dar ihya’ al-Turath,
t.th), h. 615
107 Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo: Matba’ah Mustafa al-Halibi,
1351H.), h. 199.

81
tidak terkecuali ilmu tafsir. Secara definisi, tafsir falsafi adalah upaya
penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat,108 atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Sedangkan menurut
al-Zahabi, tafsir falsafi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an
berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-
ra’yi. Dalam hal ini ayat al-Qur’an lebih berfungsi sebagai justifikasi
pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat al-
Qur’an.109
Kaitannya dengan tafsir yang bercorak tafsir falsafi ini ulama
terbagi menjadi dua golongan: Pertama, mereka yang menolak ilmu-
ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para ahli filsafat,
mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan
agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan, sehingga
tidak mungkin disatukan. Kedua, mereka yang mengagumi filsafat,
mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak bertentangan
dengan norma-norma Islam, mereka berusaha memadukan filsafat
dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.110
Diantara cara kelompok kedua yang memadukan antara
norma-norma Islam dengan filsafat adalah dengan cara menakwilkan
teks-teks keagamaan disesuaikan dengan teori-teori filsafat, seperti
penafsiran al-Farabi terhadap beberapa ayat al-Qur’an, misalnya Surat
al-Hadid ayat 3, di mana Al-Farabi menafsirkan bahwa tidak ada
keberadaan yang lebih sempurna daripada keberadaan-Nya, tidak ada
yang tersembunyi dari kekurangan sesuatu yang ada, dalam
keberadaan Dhat-Nya Dia zahir (tampak), dan sebab kezahiran-Nya
Dia tidak tampak (batin), dengan-Nya tampaklah semua yang tampak,
seperti matahari yang dapat metampakkan semua yang tersembunyi,
dan menyembunyikannya bukan karena tersembunyi.111

108 Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 182
109 Muhammad Husein Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 366.
110 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 169-170.
111 Al-Farabi, Fusus al-Hikam,(Kairo: al-Sa’adah, 1907), h. 170.

82
Contoh lain dari tafsir falsafi ini adalah penafsiran ikhwan al-
Shafa mengenai surga dan neraka, mereka mengatakan, surga adalah
alam aflak (planet), dan neraka adalah alam yang berada di bawah
bulan, yaitu alam dunia. Mereka juga membahas tentang kesucian jiwa
dan kerinduannya pada alam aflak (planet), mereka mengatakan
bahwa jasad yang berat dan tebal ini tidak mungkin naik ke sana, jika
jiwa meninggalkan surga dan tidak ada sesuatu pun yang
menghalanginya dari perbuatan buruk, atau pendapat tidak baik, atau
kebodohan yang menumpuk atau akhlak tercela, maka akan berada di
alam falak lebih cepat dari kedipan mata tanpa waktu, karena
keberadaan-nya tergantung pada keinginan dan kecintaannya
sebagaimana orang yang rindu ingin bertemu dengan yang
dirindunya, jika rindunya adalah alam jagat raya ini dengan jasadnya,
dan yang dirindunya adalah kenikmatan ragawi dan yang
diinginkannya adalah perhiasan ragawi, maka akan tetap di sini dan
tidak akan naik ke alam aflak, tidak akan dibukakan baginya pintu
surga dan tidak akan masuk surga bersama malaikat.112
Sementara karya-karya para ulama dalam bidang tafsir falsafi
ini diantaranya adalah rasail ikhwan al-Shafa, Fushus al-Hikam dan
Rasail Ibnu Sina

3. Corak Tafsir Tarbawi


Tafsir al-Qur’an juga ada yang bercorak tarbawi, kata tarbawi
bermakna sesuatu yang bersifat atau mengenai pendidikan.113 Dari
arti ini, tafsir tarbawi berarti tafsir yang digunakan sebagai alat untuk
mengeksplor ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya untuk
mengembangkan dan mencapai tujuan pendidikan. Definisi dari tafsir
tarbawi sendiri adalah tafsir yang menekankan kepada tema-tema dan
untuk keperluan tarbiyah (pendidikan Islam), sehingga yang menjadi
fokus pada pembahasan tafsir bercorak seperti ini adalah sistem
pengajaran yang ada dalam al-Qur’an, seperti bagaimana Luqman

112 Ikhwan al-Safa, Rasail Ikhwan al-Safa,(Kairo: al-Matba’ah al-Arabiyah, 1928), h. 91.
113 Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
t.th.), h. 454.

83
mengajari anaknya untuk tidak menyekutukan Allah, bagaimana al-
Qur’an mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya, selama kedua orang tuanya tersebut tidak mengajak
pada kesyirikan.

4. Corak Tafsir I’tiqadi


Diantara corak tafsir ada pula yang bercorak i’tiqadi, kata
i’tiqadi diambil dari kata i’tiqad yang artinya keyakinan, kepercayaan
atau dogma.114 Dari arti ini maka bisa diketahui bahwa tafsir yang
bercorak i’tiqadi adalah tafsir yang fokus pembahasannya adalah
masalah akidah. Menurut al-Zahabi, tafsir yang bercorak seperti ini
memerlukan kepandaian yang istimewa, dan penyandarannya
terhadap akal lebih besar daripada penyandarannya terhadap teks,
karena (terutama sekali tafsir i’tiqadi yang bi al-ra’yi al-madhmum)
untuk mempermudah mufassir-nya menggiring ibarah sesuai dengan
keinginannya, dan membelokkan pandangan yang berseberangan
dengan pendapatnya.115 Contoh dari tafsir i’tiqadi adalah tafsir al-
Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, yang berpaham mu’tazilah.

5.Corak Tafsir Adabi Ijtima’i


Pada masa kini, muncul corak penafsiran baru, yaitu tafsir
adabi ijtima’i yang fokus bahasannya adalah mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya menjelaskan
makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan gaya
bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan
nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan
sistem budaya yang ada.116
Dari pengertian seperti ini, maka ilmuan yang mengartikan
tafsir adabi ijtima’i dengan tafsir sosio-kultural penulis anggap kurang
lengkap, karena tafsir adabi ijtima’i juga mencakup sisi balaghah dan
kemukjizatan al-Qur’an, sebagaimana diungkap oleh al-Zahabi, tafsir

114 Ibid, h. 156.


115 Muhammad Husein Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 316.
116 Ibid, h. 478.

84
adabi ijtima’i mengungkap sisi balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an,
mengungkap makna dan tujuan al-Qur’an, menyingkap hukum-hukum
alam raya dan norma-norma sosial masyarakat, memuat solusi bagi
kehidupan masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat luas
secara umum.117
Contoh tafsir dengan corak seperti ini adalah ketika
Muhammad Abduh menafsirkan ayat 52-55 dari Surah al-Haj. Ketika
menafsirkan ayat di atas, Muhammad Abduh menolak kisah al-
gharanik dan mengkritisinya dengan berlandaskan pada kemaksuman
Nabi Saw. dan pada janji Allah untuk selalu menjaga kemurnian
wahyu.118

6.Corak Tafsir Sufi


Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazari dan tafsir sufi
ishari. Tafsir sufi nazari adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada
teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat.119 Sedangkan tafsir sufi ishari adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak sama dengan makna lahir dari
ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat
tersembunyi yang tampak pada para pelaku ritual sufistik, dan bisa
jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang
dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.120
Contoh dari tafsir sufi nazari adalah tafsiran Ibnu ‘Arabi
terhadap ayat 115 dari Surah al-Baqarah yang artinya: “Maka kemana
pun kamu menghadap di situlah wajah (kiblat) Allah.121
Ibnu ‘Arabi menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, ini
merupakan hakikat, wajhullah ada di setiap arah di manapun setiap
orang menghadapnya, meski demikian jika ada orang salat
menghadap pada selain Ka’bah sedangkan dia tahu arah kiblat, maka
shalatnya batal, sebab ibadah yang khusus ini tidak disyariatkan

117 Ibid, h. 480.


118 Ibid, h. 485.
119 Ibid, h. 297.
120 Ibid, h. 308.
121 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: UD Mekar, 2000), h.
31.

85
kecuali dengan menghadap pada kiblat yang juga khusus seperti ini,
apabila dia dalam ibadah yang tidak membutuhkan penentuan seperti
ini, maka Allah menerima cara menghadap orang tersebut.122
Adapun contoh dari tafsir sufi isyari adalah penafsiran al-
Tustari terhadap Surah al-Shu’ara’ ayat 78-81. Beliau menafsirkan
ayat tersebut dengan mengatakan, Dzat yang menciptakanku untuk
menyembah-Nya memberiku petunjuk untuk mendekat kepada-Nya.
Dzat yang memberiku makan berupa kenikmatan iman dan
memberiku minum minuman berupa tawakkal dan kecukupan. Ketika
aku bergerak dengan yang lain dan untuk yang lain Dia melindungiku,
dan ketika aku condong pada syahwat duniawi Dia mencegahnya
dariku. Dzat yang mematikanku kemudian menghidupkanku dengan
dzikir.123
Tafsir sufi ishari sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat, hal
ini terbukti dengan penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap Surah al-Nasr
sebagaimana diriwayatkan dalam al-Bukhari, "Ibnu ‘Abbas
menafsirkan ayat di atas tidak seperti para sahabat yang lain, beliau
mengatakan tafsirnya adalah tentang ajal Nabi Muhammad dan itu
merupakan tanda kedatangan ajal beliau.124

E. MODEL PENELITIAN TAFSIR DAN ILMU


AL-QURAN
1.Model Quraish Shihab
H.M Quraish Shihab merupakan pakar tafsir se-Asia Tenggara.
Beliau telah melakukan banyak penelitian terhadap berbagai karya
ulama terdahulu di bidang tafsir. Sebagai contoh, beliau meneliti tafsir
karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridha dengan judul Studi
Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang
telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh pustaka Hidayah pada tahun
1994.

122 Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (t.t. Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1329 H.), h.
106.
123 Muhammad Husein Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 309
124 Ibid, h. 310

86
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish
Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Dengan kata lain, model yang beliau kembangkan
adalah model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin
produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu
berdasarkan berbagai literatur tafsir, baik yang tafsir primer, yakni
yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun lainnya.125
Quraish Shihab meneliti hampir seluruh karya tafsir yang
dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah
dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara
lain tentang: (1) periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir,
(2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam metode penafsiran Al-
qur'an, (4) syarat-syarat dalam menafsirkan Al-Qur'an, dan (5)
hubungan tafsir modernisasi.126
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat di bagi menjadi
tiga periode, Periode I, yaitu Masa Rasulullah, sahabat, dan permulaan
tabi'in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan
ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi
hadits secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin Abdul Aziz
(99-101) di mana tafsir ketiak itu ditulis bergabung dengan penulisan
hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits walaupun
tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-
Ma'tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir
secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga
dimulai oleh Al-Farra' (w.207) dengan kitabnya berjudul ma'ani Al-
Qur'an.127

2.
Model Ahmad Al-Syarbasi
Ahmad ays-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir
pada tahun 1985 dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif,

125 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 214.


126 Ibid, h. 215
127 Ibid, h. 215-216.

87
dan analisis sebagai mana dilakukan oleh Quraish Shihab.128 Menurut
Al-Syarbashi penelitian ini di bagi menjadi tiga bidang. Pertama,
mengenai sejarah penafsiran Al-Qur'an yang dibagi kedalam tafsir
masa sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah,
tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di
bidang tafsir.129
Menurutnya, tafsir pada zaman Rasulullah saw., pada awal
mula pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas karena
penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk
memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur'an. Pada masa-masa
sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami
kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-
bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke
berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang
Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu
Nahwu(gramatika) dan Balaghah (retorika).130
Dalam pandangan Al-syarbashi Al-Qur'an di dalamnya tidak
terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam
kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai
mu'jizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-
Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab Tafsir Ar-
Razi.131
Mengenai tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi
yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur'an dan berusaha
menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya. Adanya
tafsir sufi tersebut, Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab
tafsir yang dikarang para Ulama' sufi.132
Adapun terkait gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad
Al-Syarbashi mendasarkan pad beberapa karya ulama yang muncul
pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha–murid

128 Ibid, h. 224


129 Ibid, h. 224
130 Ibid, 224.
131 Ibid, 225
132 Ibid, 225

88
Syekh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-
kuliah gurunya kedalam majalah Al-Manar. Itu merupakan langkah
pertama. Langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah
penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama
Tafsur Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan
dan sesuai dengan perkembangan zaman.133

3.Model Syekh Muhammad Al-Ghazali


Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal dengan sebagai tokoh
pemikir Islam Abad modern yang produktif. Salah satu hasil penelitian
yang dilakukan oleh Muhammad Al-Ghazali adalah berjudul Berdialog
dengan Al-Qur'an.134
Tentang macam-macam metode memahami Al-Qur'an, Al-
Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan modern. Modern
dalam memahami Al-Qur'an menurutnya dalam berbagi kajian tafsir,
kita banyak menemukan metode memahami Al-Qur'an yang berawal
dari ulama generasi terdahulu. Mereka memahami Al-Qur'an, sehingga
lahirlah yang kita kenal dengan metode memahami Al-Qur'an.135
Berbagai macam metode atau kajian yang dikemukakan
Muhammad Al-Ghazali tersebut oleh ulama lainnya disebut sebagai
pendekatan, dan bukan metode. Selanjutnya Muhammad Al-Ghazali
mengemukakan adanya metode modern dalam memahami Al-Qur'an.
metode modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada
berbagi metode yang telah disebutkan di atas.136
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam
metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan
keharusan memberikan jawaban terhadap berbagi masalah
kontemporer dan modern.137

133 Ibid, 226.


134 Ibid, 227
135 Ibid, 227
136 Ibid, 228
137 Ibid, 228

89
BAB VI
STUDI HADITS DAN ILMU HADITS

A. PENGERTIAN HADITS DAN ILMU HADITS


Ditinjau dari segi bahasa, sunnah berarti cara, jalan, kebiasaan
dan tradisi. Kata hadits berarti juga al-jadid yaitu seseuatu yang
baru.138 Kata sunnah di dalam Al-Qur’an terulang 16 kali pada 11
surat. Penyebutan kata sunnah dalam Al-Qur’an pada umumnya
merujuk kepada pengertian bahasa, yakni cara atau tradisi.
Makna sunnah secara terminologi menurut Muhammad Ajaj
Al-Khatib identik dengan hadits, yaitu informasi yang disandarkan
kepada Rasulullah saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun
takrir (keizinan).
Menurut terminologi para ahli mendefinisikan hadits adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. baik
ucapan, perbuatan, maupun ketetapan berhubungan dengan hukum
Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Para Muhadditsin membagi Sunnah/Hadits menjadi lima macam:
a. Sunnah Qauliyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw berupa perkataan.
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw berupa perbuatan.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi
saw.
d. Sunnah Hammiyah, yaitu sesuatu yang menjadi hasrat Nabi
saw tetapi belum sempat dilaksanakannya. Seperti puasa pada
tanggal 10 Muharram atau hari Asyura.

138 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 1

90
e. Hadits Ahwali, yaitu hadits yang menyangkut hal ihwal Nabi
seperti keadaan fisik, sifat dan kepribadiannya.139
Ilmu yang fokus mengkaji tentang hadits dikenal dengan istilah
ilmu Hadits. Setidaknya ada tiga unsur pokok yang dikaji dalam ilmu
hadits, yaitu:
1. Sanad
Secara bahasa sanad berarti sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran.140 Maksudnya jalan yang dapat menyambungkan
matnul hadits (isi hadits) kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk
menimbang shahih atau dhaifnya.
Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang
tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata
rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut
dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika
para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup
persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri
(muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, sanadnya
bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada
sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.

2.Matan Hadits
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang
tampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada
matan dan syarah. Matan dalam konteks hadits berarti isi atau muatan
yang terkandung dalam sebuah hadits. Matan hadits dalam kitab
hadits biasanya diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para
ulama. Misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan
nama Fath al-Bari’ dan lain-lain.

139 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 18-22


140 Mahmud al-Thahhah, Tafsir Mushtalah Hadis, (Riyad: Maktabah al-Maarif, 1885),
Cet ke 7, h. 15

91
3. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan hadits
dalam suatu kitab hadits. Bentuk jamaknya ruwah dan perbuatannya
menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi (meriwayatkan
hadits). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan
suatu hadits yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadits pada umumnya
membubuhkan nama rawi (terakhirnya) yakni salah satunya Imam
Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya,
pada akhir matnul hadits.

B. SEJARAH KAJIAN ILMU HADITS


1. Hadits pada Masa Rasul
Membicarakan hadits pada masa Rasul saw. Berarti
membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Membicarakan
hadits berarti terkait langsung dengan pribadi Rasul saw sebagai
sumber hadits. Rasulullah saw membina umatnya selama dua puluh
tiga tahun, masa ini kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
wurud-nya hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Ada satu pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh
hadits dari Rasul saw. Sebagai sumber hadits. Kedudukan nabi yang
demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan, dan
penetapan Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Tempat
pertemuan Nabi dan sahabat sangatlah terbuka dalam banyak
kesempatan, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika berada
dalam perjalanan, dan ketika berada di rumah.
Rasulullah menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara,
sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti perjalanannya.
Ada beberapa cara Rasulullah saw menyampaikan hadits kepada para
sahabat, antara lain:
a. Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut
majlis al-ilmi.

92
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga
menyampaikan haditsnya melalui kepada para sahabat
tertentu, yang kemudian disampaikan kepada orang lain.
c. Ketika Nabi khutbah jum’at di masjid atau sedang berkumpul
di masjid. dan
d. Melalui ceramah dan pidato di tempat terbuka, seperti Haji
wada’ dan fathul makkah.

2. Hadits pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan hadits, adalah pada
masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar
Ibn Khatab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) berlangsung
sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa
sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka
periwayatan hadits masih terbatas. Oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya
pembatasan periwayatan.

3. Hadits pada Masa Tabi’in


Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan
tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan pada masa sahabat.
Mereka mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka.
Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan
yang dihadapi oleh para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah
dirintis oleh para sahabat pada masa Khulafa’urrasyidin, khususnya
pada masa kekhalifahan Usman ibn Affan para sahabat ahli hadits
menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam.

4. Hadits pada Masa Tadwin


Secara bahasa, tadwin diterjemahkan dengan kumpulan
shahifah (mujtama’ al-shuhuf). Secara luas tadwin diartikan al-jam’u
(mengumpulkan) Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai
berikut:

93
ُّ ‫الم َشهتت َو ََجْ ُع ُه ِف ديْ َوان ا َ ْو ك َتا ب ََتْ َم ُع فيْه‬
ُ ‫الص‬
‫حف‬ ُ ‫َت ْقييْ ُد‬
ُ ‫المتَ َف ِّرق‬
ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi
satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.141
Yang dimaksud dengan tadwin haditst pada periode ini adalah
pembukuan secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya. Bukan
yang dilakukan perseorangan atau untuk kepentingan pibadi, seperti
yang terjadi pada masa Rasul saw.
Usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Kholifah Umar bin
Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kehalifahan Bani Umayyah),
melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan
dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Usaha pen-tadwin-
an hadits ini minimal dilatar belakangi oleh dua hal:
a. Kekhawatiran hilangnya hadits karena banyaknya para
penghafal hadits yang tewas di medan perang
b. Khawatir tercampurnya hadits shohih dengan yang palsu
Ulama yang pertama kali berhasil menyusun kitab tadwin yang
diwariskan sampai sekarang yaitu Malik bin Anas (wafat 93-
179 h) di Madinah dengan hasil karyanya al-Muwatha’.

5. Masa Seleksi dan Penyempurnaan serta Pengembangan


Sistem Penyusunan Kitab Hadits
a. Masa penyaringan haditst
Masa seleksi atau penyaringan haditst terjadi ketika
pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya
pada masa Al-Ma’mun sampai Al-Muktadir. Pada masa ini para
ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan haditst
yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya,
para ulama pada masa ini berhasil memisahkan hadits-hadits
yang da’if (lemah) dari yang shahih dan haditst-haditst yang

141 Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin al-Sunnahal-Nabawiyah, Nasy‟atihi wa


Tathawwurihi min all-Qur‟an al-Awwal ila Nihayat al-Qarni al-Tsani al-Hijri, (Thaif:
Maktabah al-Shadiq, 1412 H), h. 73

94
mauquf. Pada masa ini berhasil disusun enam kitab hadits
(kutubus sittah), sebagai berikut:
1) Al-Jami’ al-Shahih sususnan Imam al-Bukhari
2) Al-Jami’ al-Shahih sususnan Imam Muslim
3) Kitab Sunan susunan Abu Dawud
4) Kitab Sunan susunan at-Tarmizi
5) Kitab Sunan susunan Al-Nasa’i
6) Kitab Sunan susunan Ibnu Majah.142
b. Masa pengembangan dan penyempurnaan sistem
penyusunan kitab-kitab haditst
Setelah munculnya kutub al-sittah dan al-muwaththa’ Malik
serta Musnad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan
perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jawami’.
Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan
terhadap kitab-kitab yang sudah ada.

C. KLASIFIKASI HADITS
Dari Segi Kuantitas (Jumlah) Periwayatan Hadits ditinjau dari
segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi
dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
a. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang
lain. Sedangkan menurut istilah ialah: "Suatu hasil hadits
tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
b. Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah
"Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak

142 Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Ulum, 1977), cet
ke 9, h. 48

95
mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita
itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian
bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.

Sedangkan dari Segi Kualitas Sanad dan Matan Hadits


a. Hadits Sahih
Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yang bersih dari
cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah saw. Batasan
hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, "Hadits sahih adalah
hadits yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir, atau ijma’ serta
para rawinya adil dan dhabit."
b. Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut
istilah Hadits hasan adalah hadits yang susunan lafadnya tidak
cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits
mutawatir, atau ijma’ serta para rawinya adil namun kurang
dhabit."
c. Hadits Dhaif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni
para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah)
tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah saw. Para
ulama memberi batasan bagi hadits dhaif adalah "Hadits dhaif
adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih,
dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan‖. Jadi
hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits
sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits
hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut
bukan berasal dari Rasulullah saw.
Adapun dari Segi Kedudukan dalam Hujjah, hadits dapat dibagi
sebagai berikut:

96
a. Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima,
yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadits Maqbul
ialah "Hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi
Muhammad saw menyabdakannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa
hadits maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam
kategori hadits maqbul adalah hadits sahih, baik yang lizatihi maupun
yang lighairihi dan hadits hasan baik yang lizatihi maupun yang
lighairihi.
Kedua macam hadits tersebut di atas adalah hadits-hadits
maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan
juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadits yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadits-hadits yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya
hukum atau ketentuan baru yang juga ditetapkan oleh hadits
Rasulullah saw.
Adapun hadits maqbul yang datang kemudian (yang
menghapuskan) disebut dengan hadits nasikh, sedangkan yang datang
terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadits mansukh. Di samping
itu, terdapat pula hadits-hadits maqbul yang maknanya berlawanan
antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat
periwayatannya). Dalam hal ini hadits yang kuat disebut dengan
hadits rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadits marjuh.

b. Hadits Mardud
Hadits Mardud. Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak;
yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadits
mardud ialah "Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat
akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama
mewajibkan untuk menerima hadits-hadits maqbul, maka sebaliknya
setiap hadits yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh
diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadits mardud adalah semua hadits
yang telah dihukumi dhaif.

97
D. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM
Sebagai sumber ajaran islam bersama Al-Qur’an, hadits
memiliki hubungan yang erat terhadap al-Qur’an. Para ulama
menerangkan bahwa fungsi hadits terhadap al-Quran sebagai berikut:
a. Bayan Taqriri, yaitu sunnah sebagai penguat pesan-pesan Al-
Qur’an. Misalnya Al-Qur’an menyebutkan sesuatu kewajiban
atau larangan, lalu Rasul dalam sunnahnya memperkuat
perintah atau larangan tersebut.
b. Bayan Tafsir, sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu: a)
Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat Al-
Qur’an, b)Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (umum),
c)Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari hukum-hukum
yang ditetapkan Al-Qur’an, misalnya tentang tata cara shalat,
haji, puasa dan lainnya.
c. Bayan Tasyri’,sunnah sebagai pembuat hukum.
d. Bayan Nasakh, yaitu membatalkan. Namun fungsi ini terjadi
perbedaan yang sangat tajam diantara para ulama hadits
dalam mengartikannya serta menerima atau menolak.
Al-Siba’i mengatakan bahwa dari ketiga fungsi sunnah sebagai
diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama,
sementara yang ketiga diperselisihkan. Adapun masalah pokok yang
diperselisihkan itu apakah As-Sunnah dapat menetapkan suatu hukum
tanpa tergantung kepada Al-Qur’an, ataukah produk hukum baru itu
selalu mempunyai pokok (asl) dalam Al-Qur’an.
Dalam persoalan tersebut, Jumhur Ulama berpendapat bahwa
Nabi mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Dalil yang
dimajukan kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnya untuk
melalukan tasyri‟ adalah suatu hal yang dapat diterima akal.
b. Kenyataan bahwa banyaknya nas Al-Qur’an yang menunjukkan
wajibnya mengikuti sunnah.

98
Kelompok lain yang berpendapat bahwa ketetapan As-Sunnah
selalu merujuk kepada Al-Qur’an, dengan alasan:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam As-
Sunnah kecuali Al-Qur’an sendiri telah menunjukkan
maknanya baik secara global maupun terinci.
b. Bahwa kewajiban mentaati As-Sunnah adalah dalam arti
keta’atan kepada Rasul sebagai penjelas.
Jika dianalisis kedua pendapat diatas memiliki titik persamaan,
yaitu sama-sama mengakui adanya hukum-hukum yang terbit dari As-
Sunnah. Hanya saja kelompok Jumhur melihat sebagai produk hukum
yang berdiri sendiri. Sedangkan kelompok kedua melihat produk
hukum As-Sunnah tersebut sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari
Al-Qur’an. Disepakati oleh para ahli, bahwa As-sunnah yang dijadikan
dasar hukum adalah sunnah yang memiliki kualitas mutawatir atau
hadits-hadits shahih.

E. TAKHRIJ HADITS
1.Definisi Takhrij
Membahas tetang pengertian dari takhrij, maka ada tiga istilah
yang berkaitan erat dengan istilah takhrij, yaitu kata takhrij, ikhraj,
dan istikhraj. Kata takhrij secara etimologi berasal dari kata kharaja-
yakhruju-khurujan, yang berarti tampak atau jelas.143
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits
pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan
sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Dalam
pengertian yang lebih lengkap disebutkan bahwa Takhrij adalah
“Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadits-hadits yang
terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada
kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status
hadits-hadits tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima,
dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau

143 Ibn mandzur, Lisaan Al-Arab, h. 249

99
hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal
(sumber)nya.”144
Sementara Mahmud al-Thahan mendefinisikan takhrij al-
hadits dengan:
Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya
sesuai dengan keperluan.145
Dari definisi di atas, inti takhrij hadits adalah kegiatan mencari
sumber asli dari suatu hadits yang belum diketahui keshahihannya.

2.Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits


Pada awalnya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh
ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits
sangat luas dan mantap. Selain itu, hubungan para ulama dengan
sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat,
sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits,
mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai
kitab hadits. Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadits itu
ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki
mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari
sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan
kepada mereka suatu hadits yang bukan dari kitab hadits, maka
dengan mudah mereka menjelaskan sumber aslinya.
Beberapa abad kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan
untuk mengetahui hadits dari sumber aslinya, terutama setelah
berkembang karya-karya besar di bidang Syari'ah yang banyak
menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga
dengan ilmu-ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya.
Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para
ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah
dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits kepada sumber aslinya,
menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas hadits sesuai

144 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 12


145 Mahmud Thahan, Taysir Musthalah hadits, h. 97

100
dengan kedudukannya. Hasil jerih payah para ulama itu memunculkan
kitab-kitab takhrij, di antaranya yang terkenal adalah:
a. Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa
Al-Hazimi Asy-Syafi’I (wafat 548 H). Kitab Al-Muhadzdzab ini
adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi’I karya Abu
Ishaq Asy-Syairazi.
b. Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya
Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
c. Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya
Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’i (wafat 762 H).

3. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits


Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus
mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai
kaidah untuk mengetahui sumber hadits itu berasal. Di samping itu, di
dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh,
khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadits.
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan
merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung
di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang
hadits dan ilmu hadits. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan
metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara
untuk sampai kepada suatu hadits di dalam sumber-sumbernya yang
asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadits.
Dengan mengetahui hadits tersebut dari sumber aslinya, maka
akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan
untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui
status dan kualitasnya. Dengan demikian Takhrij hadits bertujuan
mengetahui sumber asal hadits yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah
mengetahui ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut. Dengan
cara ini, kita akan mengetahui hadits-hadits yang pengutipannya
memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadits yang berlaku. Sehingga
hadits tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.

101
4. Metode Takhrij Al-Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari
ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah
kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan
sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun
dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk
menelusurinya sampai sumber asalnya. Meskipun begitu, para ulama
hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang
peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit
yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah
merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-
Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-
kitab al-Athraf, dan lain-lainnya.

Ada beberapa metode yang digunakan oleh para ulama dalam


mentakhrij, antara lain:
1. Takhrij An-Naql atau Akhdzu.
Takhrij dengan metode seperti ini adalah dengan cara
penelusuran, penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa
kitab/diwan hadits (mashadir al-asliyah), sehingga dapat
teridentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap
dengan rawi dan sanadnya masing-masing. Berbagai cara
pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para
ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan
yang menyebutkan lima tekhnik dalam menggunakan metode takhrij
sebagai al-Naql sebagai berikut:
a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai
perawi hadits pertama.
b. Takhrij dengan mengetahui lafadz awal suatu teks (matan)
hadits.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadits yang
kurang dikenal dan menjadi karakter khusus hadits tersebut.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits.
e. Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits.(Endang
Soetari)

102
2. Takhrij Tashhih
Takhrij dengan metode tashih adalah sebagai lanjutan dari
cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan
al-naql. Tashhih dalam arti menganalisis keshahihan hadits yaitu
dalam ruang lingkup ilmu mushthalah al-hadits. Metode ini mengkaji
keadaann rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah ilmu hadits.
Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakn kitab Ulum al-Hadits
yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, Ma’ani al Hadits, Gharib
al-Hadits dan lain-lain.
Metode ini memungkinkan bagi pentakhrij untuk melihat lebih
jauh derajat suatu hadits yang dilihat dari segi kekuatan pada sanad,
keterpercayaan rawi yang meriwayatkan, kandungan matan dan hal
lain yang berkaitan dengan riwayat yang akan ditakhrijnya.
Metode takhrij biasanya dilakukan oleh mudawwin (kolektor)
yaitu mereka yang telah mengumpulkan riwayat-riwayat dari guru-
guru mereka. Metode ini telah berlangsung sejak Nabi Muhammad
saw sampai abad ke-III Hijriyyah. Di antara mereka adalah para
penyusun kitab shahih, sunan dan musnad, setelah itu dilanjutkan
oleh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini. (Endang
Soetari)

3. Takhrij dengan I’tibar


Metode takhrij selanjutnya adalah dengan I’tibar, cara ini
sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas, I’tibar berarti
mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab yang
asli (diwan), kitab syarah dan kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadits.

4. Takhrij Hadits dengan Metode Digital


Melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah saw,
mempunyai banyak faedah dan manfaat. Ulama-ulama terdahulu telah
menunjukkan kelasnya yang luar biasa sebagai intelektual-intelektual
hadits dalam menghimpun, meneliti dan melakukan telaah terhadap
ribuan Hadits Nabi saw yang diabadikan dalam karya-karya mereka,
dan merupakan khazanah ilmu pengetahuan umat Islam khususnya di

103
bidang hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, meminjam istilah
A. Hasan Asy’ari Ulama’i―kesibukan dunia ilmu pengetahuan yang
kemudian memberikan inspirasi kepada para scientis berupaya
melakukan inovasi-inovasi dalam memudahkan penelusuran hadits
secara lebih efektif dan efisien. Ulama-ulama Muta’akhirin selanjutnya
melakukan terobosan dengan memberikan―sentuhan teknologi dalam
melakukan takhrij hadits melalui perangkat CD hadits yang telah
didesain sedemikian rupa.
Secara ringkas langkah-langkah takhrij hadits digital adalah
sebagai berikut:146
a. Penelusuran hadits dengan menggunakan CD Hadits Nabi saw,
dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: (sebagai
catatan bahwa terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab
rujukan yang dikehendaki, dalam hal ini CD Hadits yang
tersedia membatasi pada 9 kitab hadits al-mu’tabar yaitu:
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, jami‟ al-Tirmidzi, Sunan Abi
Dawud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi,
Muwaththa’ Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Penelusuran hadits berangkat dari lafadz yang dikenal, contoh
mencari hadits yang di dalamnya terdapat lafadz (‫ )وايم هللا‬maka
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan
huruf yang telah diseaidkan CD Hadits, atau dengan
menuliskan sendiri lafadz itu pada tempat yang telah
disediakan.
c. Penelusuran Hadits Nabi saw, berangkat dari bab yang
umumnya memuat hadits tersebut, misalnya dibuka di bab
qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai, maka dapat diakses pada
bab shalat, demikian seterusnya.
d. Penelusuran hadits berangkat dari rawi yang paling atas,
dalam hal ini lebih rumit karena harus mencari lebih detail
haditsnya, misalnya hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu

146 A. Hasan Asy-ari al-Ulama‘i, Melacak Hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam, Cara
Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006), h. 79-
80

104
Umar yang tidak hanya berbicara masalah qunut saja, tetapi
bercampur dengan hadits-hadits tema lainnya.
e. Penelusuran melalui nomor hadits, dan
f. Penelusuran hadits melalui tema-tema yang disediakan CD
hadits Nabi saw, itu sendiri.
g. Pada dasarnya metode takhrij dengan menggunakan sistem
digital tidak jauh berbeda dengan metode manual, pencarian
dapat dilakukan dengan satu kata kunci yang kita ingat, tema
hadits atau rawi dari hadits tersebut. Kekurangan dari metode
ini adalah tidak semua orang terbiasa dengan metode digital
ini.

F. MODEL PENELITIAN HADITS


Secara historis, penelitian haditst sebagai upaya untuk
membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai
pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat
yang tidak secara langsung mendengar dari beliau, tetapi dari sahabat
lain yang mendengarkannya. Mereka kemudian pergi menemui
Rasulullah apakah sesuatu dikatakan benar-benar oleh beliau. Dengan
demikian, para sahabat dapat secara langsung mengetahui validitas
hadits yang mereka terima.
Praktik penelitian hadits dengan pola konfirmasi tersebut
berhenti dengan wafatnya Rasulullah, namun bukan berarti kritik atau
penelitian hadits telah kehilangan urgensinya. Pada periode
selanjutnya, penelitian hadits lebih bersifat komparatif, yakni tidak
hanya mengandalkan kekuatan hafalan belaka namun juga dilakukan
perbandingan pada data tertulis yang ada.147
Pada masa selanjutnya, yakni permulaan abad kedua hijriyah,
timbul pemikiran khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk meneliti hadits
dan mengumpulkannya. Untuk itu, khalifah menyurati gubernurnya
dan meminta mereka untuk meneliti dan mengumpulkan hadits

147 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
2005), h. 5

105
karena adanya kekhawatiran akan perkembangan ilmu-ilmu
keagamaan serta ulama-ulama habis meninggal dunia. Sehingga para
perawi hadits mulai menyusun hadits-hadits yang diriwayatkan
menurut bab-nya dan pembukuannya. Pembukuan yang terjadi sekitar
tahun 145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan
tabi’in.148
Dalam periode selanjutnya timbullah usaha untuk
membersihkan hadits –hadits Nabi sehingga tidak bercampur dengan
ucapan-ucapan sahabat dan tabi’in. Kitab yang tersusun terkenal
dengan nama musnad, diantaranya yang sampai kepada kita ialah
musnad imam Ahmad bin Hanbal. Kitab tersebut disusun musnad
karena di dalamnya dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa
menghiraukan persoalan yang diterangakan dalam hadits tersebut.
Misalnya dikumpulkkan hadits –hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar, Umar, ‘Aisyah dan lain-lain.
Kemudian diteruskan dengan periode penyaringan, artinya
meneliti mana hadits yang shahih dan mana pula yang dhaif. Orang
yang berdiri di barisan paling depan dalam usaha ini adalah Imam al-
Bukhari dengan kitab haditsnya shahih Bukhari dan Imam Muslim
dengan kitab haditsnya Shahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman
dan pandangan yang kemudian diikuti oleh Abu Dawud dan kitab
Sunan Abu Dawud, Ibnu majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah, Al-
Tirmizi dengan kitab Sunan al-Tirmizi, Al-Nasa’i dengan kitab Sunan
Al-Nasa’i. Kitab-kitab mereka ini dikenal dengan al-kutub al-sittah dan
bersama dengan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan al-
kutub al-sab’ah. Tetapi masih banyak lagi ulama lain yang meneliti dan
menghasilkan kitab hadits meskipun tidak mencapai derajat yang
tinggi dikalangan umat islam.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah otensitas
hadits secara historis dan ilmiah dapat dibuktikan serta bagaimana
cara yang harus ditempuh. Sehingga kemudian para hadits tertantang
untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadits, baik kritik

148 Ibid, h. 6-7

106
eksternal (al-naqd al-khariji) yang menyangkut sanad hadits, maupun
internal (al-naqd al-dakhili) yang menyangkut matan haditst.149
Metode penelitian hadits dapat diartikan sebagai cara mencari
kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan
objektif terhadap hadits sebagai sumber hukum islam untuk
membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami
haditst dengan mudah serta dapat menilai kualitas haditst tersebut.
Untuk menuju pada penelitian haditst dengan objek kajian
diatas, terdapat beberapa metode yang digunakan sebagai berikut:150
1. Metode Komperatif
Metode komperatif atau metode perbandingan atau
pertanyaan silang atau rujuk (cross reference), dilakukan dengan
mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua
haditst yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama
lain, orang menilai keakuratan para ulama.
Menurut Ibn al Mubarak (118-181 H), sebagaimana dikutip
Muhammad Mustafa Azami berkata: “Untuk mencapai pernyataan
yang autentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu
dengan yang lain”.
Metode perbandingan dipraktikkan dengan banyak cara.
Berikut ini adalah sebagian dari cara-cara tersebut:
a. Memperbandingkan haditst-haditst dari berbagai murid
seorang syekh (guru).
b. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang
ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan.
c. Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen
tertulis.
d. Memperbandingkan haditst-haditst dengan ayat al-qur’an yang
berkaitan.

2.
Metode Rasional
Metode rasional merupakan metode yang menggunakan
penalaran. Nalar diterapkan dalam kritik hadits pada setiap tahapan,

149 Idris, Studi Haditst, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 276
150 Suryadi, Penelitian Haditst, (Yogyakarta: TH Press, 2009) h. 137

107
yakni dalam pengkajian hadits, pengajaran hadits, dalam menilai para
perawi, dan dalam menilai keotentikan hadits. Tetapi secara ketat,
terdapat batas-batas tertentu di sini dalam menggunakan penalaran.
Kemampuan penalaran hanya sedikit membantu dalam menerima
atau menolak hadits dari Nabi.
Sebagai contoh, dalam kitab-kitab hadits kita menemukan
bahwa Nabi biasa tidur dengan berbaring pada lambung kanan beliau,
dan sebelum pergi tidur beliau biasa membaca do’a tertentu. Sesudah
bangun, beliau juga membaca do’a tertentu. Beliau biasa minum
dengan tiga kali nafas dan menggunakan tangan kanannya dalam
memegang cangkir dan sebagainya. Secara rasional, orang dapat saja
tidur dengan telentang, berbaring pada lambung kanan atau lambung
kirinya. Semua posisi tidur adalah mungkin. Kita tidak bisa
mengatakan bahwa posisi tertentu mungkin dan posisi lain tidak.
Dalam kasus ini akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau
ketidakbenaran. Kebenaran hanya dapat diputuskan melalui saksi-
saksi dan perawi-perawi yang terpercaya. Dengan demikian,
penalaran sendiri membawa kita untuk menerima pernyataan dari
perawi-perawi yang jujur dan terpercaya, kecuali dalam kasus-kasus
di mana kita menemukan bahwa kejadian yang bersangkutan
bertentangan dengan akal (penalaran).
Dari segi datangnya haditst tidak seluruhnya diyakini berasal
dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini
disebabkan sifat dan lafadz-lafadz haditst yang tidak bersifat mukjizat,
juga disebabkan perhatian terhadap penulisan haditst pada zaman
Rasulullah agak kurang. Bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga
karena sebab-sebab politis lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan
para ulama seperti Imam al-Bukhari dan Muslim yang mencurahkan
segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti
haditst dan hasil penelitiannya itu dibukukan dalam kitabnya Shahih
al-Bukhari (810-870) dan Shahih Muslim (820-875).151

151 Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 174

108
Berikut dipaparkan beberapa model penelitian hadits;
1. Model Quraisb Shihab
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah bahan
perpustakaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang
haditst dan al-qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif
analitis. Hasil penelitian Quraisb Shihab tentang fungsi haditst
terhadap al-qur’an, menyatakan bahwa al-qur’an menekankan
Rasulullah saw berfungsi menjelaskan firman-firman Allah. Penjelasan
tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam
bentuk, sifat dan fungsinya. Fungsi pertama haditst adalah sekadar
menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam
al-qur’an.
Fungsi yang kedua adalah memperjelas, merinci, membatasi,
pengertian lahir dari ayat-ayatbal-qur’an. Yaitu memberikan perincian
dan penafsiran atyat-ayat al yang masih mujmal, memberikan taqyid
ayat-ayat al-qur’an yang masih mitlaq dan memberikan takshish pada
ayat-ayat al-qur’an yang masih umum. Selain itu haditst dapat
mengambil peran menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati
dalam al-qur’an.

2.Model Musthafa Al-Siba’iy


Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy dalam bukunya
bercorak exploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan
disajikan deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya
menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah.
Hasil yang dilakukan penelitian antara lain, mengenai sejarah proses
terjadi dan tersebarnya haditst mulai dari Rasullah saw sampai
terjadinya upaya pemalsuan haditst dan usaha para ulama untuk
membendungnya dengan melakukan pencatatan sunnah,
dibukukannya ilmu Musthafa al-Haditst, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, kitab-
kitab tentang haditst-haditst palsu dan para pemalsu dan
penyebarannya.152

152 Suryadi, Metodologi Penelitian Haditst, (Yogyakarta: TH Press, UIN Sunan Kalijaga,
2009), h. 10

109
Selanjutnya Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya
mengenai pandangan kaum khawarij, syi’ah, mu’tazilah dan
mutakalimin, para penulis modern dan kaum muslimin pada
umumnya terhadap as-sunnah. Dilanjutkan dengan laporan sejumlah
kelompok di masa sekarang yang mengingkari kahujahan al-sunnah
disertai pembelaannya.153
Dengan melihat hasil penelitian yang dikemukakan, al-Siba’iy
tampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian
sebanyak mungkin yang selanjutnya diarahkan untuk melakukan
pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan
atas apa adanya sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.

3. Model Muhammad Al-Ghazali


Dalam bukunya yang berjudul al-sunnah al-Nabawiyah Baina
Ahl al-fiqh wa Ahl al-haditst, penelitian yang dilakukan oleh al-Ghazali
termasuk penelitian eksploratif. Di dalamnya membahas, mengkaji
dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang
muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya
dengan berpijak pada konteks haditst tersebut. Corak penelitiannya
masih bersifat diskriptif analitis.154 Yakni mendeskripsikan hasil
penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan
menggunakan pendekatan fiqih, sehingga rekesan ada misi pembelaan
dan pemurnian ajaran islam dari berbagai paham yang anggapnya
tidak sejalan dengan al-qur’an dan al-sunnah yang mutawatir.155
Berbagai masalah yang ditentukan di dalamnya didominasi
oleh masalah-masalah fikih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya disinggung secara
sepintas saja.

4.Model Zain al-Din’ Abd al-Raim bin Al-Husain Al-Iraqiy


Bukunya yang berjudul al-Taqyid wa Idlah Syarh Muqaddiman
Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu haditst tertua yang banyak

153 Ibid, h. 11-12


154 Kamaruddin Amin, Metode Kritik Haditst, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 6
155 Ibid, h. 7

110
mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh
para peneliti dan penulis haditst generasi berikutnya.156
Sebelum zaman al-iraqiy belum ada hasil penelitian haditst,
maka tampak ia berusaha membangun ilmu haditst dengan
menggunakan bahan-bahan haditst nabi setta pendapat para ulama
yang dijumpai dalam kitab tersebut. Jadi penelitian ini adalah
penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang
digunakan untuk membangun sebuah ilmu. Buku ini adalah buku
pertama yang mengemukakan macam-macam haditst yang didasarkan
pada kualitas sanad dan matanya, yaitu ada haditst yang tergolong
shahi, hasan, dan dhaif. Kemudian dilihat pula dari keadaan
bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi haditst
musnad, muttasil, mrful, mauquf, mursal, al-munaqatil. Selanjutnya
dilihat pula dari kualitas matannya yang dibagi menjadi syadz dan
munkar.157

5. Model penelitian lainnya


Terdapat model penelitian haditst yang diarahkan pada fokus
kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’ at Fauzi Abd al-muthalib pada
tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-sunnah pada abad ke-
2 H. Lalu Mahmud abu Rayyah melalui telah kritis atau sejumlah
haditst nabi. Mahmud al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi
haditst serta penentuan sanad.158
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini
ilmu haditst tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman.
Penelitian haditst tampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan
dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas
haditst yang dipakai dalam berbagai kitab belum banyak dilakukan.
Misalnya pendekatan sosiologi, pedagogis, antropologi, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa

156 Muhammad at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Haditst, (Surabaya, Bina
Ilmu, 1995), h. 7
157 Ibid, h.8
158 Kamaruddin Amin, Metode Kritik Haditst, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 12

111
pemahaman masyarakat terhadap haditst pada umumnya masih
bersifat persial.159
Penulis mesir ahmad amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa
penelitian yang dilakukan para ahli haditst lebih memfokuskan pada
sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa
ahli haditst hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur
periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan
esensi kandungan haditst, dan bahkan mereka gagal menangkap
bukti-bukti sejarah. Pendapat ibnu khaldun, ahmad amin dan Abu
Rayyah kini dibantah oleh musthafa as-siba’i, muhammad abu syuhba
dan Nur ad Din ’Itr. Mereka berpendapat bahwa ulama haditst sama
sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari kriteria-
kriteria haditst shahi yang mereka buat. Salah satu kriterianya
mengatakan bahwa sebuah haditst jika dianggap shahi apabila sanad
dan matannya tidak syadz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang
dapat merusak keshahian haditst).160
Dalam penelitian haditst (naqd al-haditst) klasik, model
penelitian diarahklan kepada dua segi: sanad dan matan. Dalam
penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan
langkah-langkah berikut ini:
a. Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal
haditst pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di
dalamnya dikemukakan haditst tersebut secara lengkap
dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk
kepentingan kritik sanad, dijelaskan kualitas sanad dan para
periwayat dari haditst yang bersangkutan.161
b. Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad untuk haditst
tertentu, yang haditst itu pada bagian sanadnya tanpa hanya
terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan

159 Ibid, h. 13-14


160 Muhammad al-Thahhan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Haditst, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1995), h. 20
161 Suryadi, Metodologi Penelitian Haditst, (Yogyakarta: TH Press, 2009), h. 34

112
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah
ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad
dari sanad haditst dimaksud. Sehingga dapat terlihat dengan
jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-
nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan
oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi,
kegunaan al i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad
haditst seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung
(corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’
atau syahid.
c. Mengkritisi pribadi periwayat serta metode
periwayatannya
Ulama haditst sependapat bahwa ada dua hal yang harus
dikritik pada diri pribadi periwayat haditst, yakni keadilan dan
kedhabitannya, sehingga diketahui apakah riwayat haditst
yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah
harus ditolak. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi,
sedangkan kedhabitannya, berhubungan dengan kapasitas
intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh periwayat
haditst, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.
Terkait dengan pelacakan terhadap kebersambungan
sanad, hubungan kualitas periwayat dan metode periwayatan
sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang
mengatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na,
misalnya, meski metode itu diakui ulama haditst memilki
tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan
lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi
yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya.162
Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na adalah orang
tsiqah, maka informasinya dapat dipercaya.
Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli
kritik haditst, nama dengan syarat bila dia menggunakan

162 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h.
54-71

113
lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya
bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang
tersebut, sanadnya terdapat tadlils (penyembunyian cacat).
d. Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad yang sangat penting untuk
meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam sanad adalah
dengan melakukan studi komparatif terhadap seluruh sanad
yang ada untuk satu matan yang sama. Sedangkan cara
mengkritisi kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan
yang isinya semakna. Haditst yang mengandung syudzudz (ke-
syadz-an), oleh ulama disebut sebagai haditst syadz, sedangkan
lawan dari haditst syadz disebut haditst mahfuzh.
e. Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan harus disertakan pula
argumen-argumen yang jelas, yang dapat disampaikan
sebelum ataupun sesudah rumusan kesimpulan dikemukakan.
Isi kesimpulan untuk haditst yang dilihat dari segi jumlah
periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa haditst yang
bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian,
maka haditst tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian haditst ahad, maka kesimpulannya
mungkin berisi pernyataan bahwa haditst yang bersangkutan
berkualitas shahih atau hasan atau dhaif sesuai dengan apa
yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kualitas tersebut
disertai dengan macamnya, misalnya dengan mengemukakan
bahwa haditst yang dikritisi berkualitas shahih li ghayrihi atau
hasan li ghayrihi.

114
BAB VII
STUDI FILSAFAT ISLAM

A. PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM


Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan kata
filsafat dan Islam. Kata filsafat dari kata philo yang berarti cinta, dan
kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara
bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.163
Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat
bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan
bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan
sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.
Selanjutnya kata Islam berasal dari kata bahasa Arab aslama,
yuslimu, islaman yang berarti patuh, tunduk, pasrah, serta memohon
selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti
selamat, sentosa, aman dan damai. Selanjutnya Islam menjadi suatu
istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw
sebagai Rasul.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan
hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan
manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek
yang diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Adapun filsafat Islam, berikut dipaparkan beberapa pandangan
para pakar;

163 Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet ke-4, (Yogyakarta: pustaka
Pelajar, 2004), h. 2.

115
1. Menurut Musa Asy’ari, filsafat islam itu pada dasarnya
merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan
berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis
terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada
studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami
proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-
kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada
setiap zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan prinsip-
prinsip dasar filsafat Islam, agar dunia pemikiran Islam terus
berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Filsafat islam
dapat diartikan juga sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak
Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang
melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama
Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi
objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok
keislaman. 164

2. Amin Abdullah mengatakan: “meskipun saya tidak setuju


untuk mengatakan bahwa filsafat Islam tidak lain dan tidak
bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli
begitu saja dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah
mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan
pemikiran filsafat Islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar
di wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi
dan akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani
lewat karya-karya filosof Muslim, seperti al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Miskawaih, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd”.165
Filsafat sebagaimana diketahui adalah upaya yang sungguh-
sungguh, mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam
menemukan inti, hakikat, substansi, dan gagasan tentang sesuatu.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menggunakan

164 A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam, (Bandung: CV Insan Mandiri,
2011), h. 3.
165 M Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), h. 13

116
pemikiran tersebut, ternyata jumlahnya jauh lebih banyak dari pada
ayat yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan sholat. Karena
demikian pentingnya penggunaan akal dalam beragama hingga Nabi
Muhammad saw menyatakan: al-din huw al-aql laa diina lima laa aqla
lahu. Artinya: “Beragama itu harus dengan menggunakan akal, dan
tidak dapat dianggap sempurna keagamaan seseorang yang tidak
menggunakan akalnya.”
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat lahir dari
Yunani, namun ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dimulai dari
Islam. Ada lagi yang berpendapat asal mula filsafat dari gabungan
keduanya.
Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filsuf
Barat sejak abad pertengahan sampai abad modern. Sedangkan
Filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal dan berada pada taraf
makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang
menyelamatkan dan kedamaian hati.
Filsafat Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan muslim yang
mendalam secara teoretis maupun empiris, bersifat universal yang
berlandaskan Wahyu. Filsafat Islam merupakan pengembangan
filsafat Plato dan Aristoteles yang telah dilandasi dengan ajaran Islam
dan memadukan antara filsafat dan Agama, filsafat yang berciri
religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan
akal.166
Tujuan Filsafat barat dan filsafat islam sebenarnya hampir
sama. Namun karena terjadinya perbedaan agama maka pada filsafat
islam ada yang membatasinya, yaitu menyelidiki segala sesuatu yang
ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada
hakikatnya, jadi dalam filsafat objeknya tidak membatasi diri. Dalam
filsafat membahas tentang objeknya sampai kedalamannya, sampai ke
radikal dan totalitas.167

166 A. Heris Hermawan, Yaya Sunarya, Filsafat Islam, h. 4


167 Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h. 17

117
B. SEJARAH KAJIAN FILSAFAT ISLAM
Latar belakang filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari
pemikiran filsufnya yang dipengaruhi oleh para filsuf Yunani, karena
para filsuf Islam menuntut ilmu kepada filsuf Yunani. Berikut adalah
sejarah bagaimana terjadinya kontak antara Filsuf Islam dengan Filsuf
Yunani.
Pada zaman awal perkembangan Islam, sebenarnya kaum
muslimin tidak bermaksud mengutip pemikiran filsafat dari pihak
manapun juga. Mereka tidak menaruh perhatian soal tersebut, bahkan
sama sekali tidak berniat mengutip ilmu apapun juga dan tidak pernah
memikirkannya. Kalau di kemudian hari ada sebagian dari ilmu-ilmu
itu yang merembes kedalam pemikiran orang-orang Arab, itu semata-
mata karena keharusan yang tidak dapat dihindari, karena semakin
eratnya hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain di sekitar
negerinya. Hubungan seperti itu memang sudah terjadi sejak zaman
jahiliah, tetapi masih terbatas dalam ruang lingkup yang amat sempit.
Misalnya, Al-Harits Bin Kaldah As-Saqofi, belajar ilmu kedokteran
pada suatu perguruan di Jundi Sabur, Persia dan di kenal sebagai
dokter Arab.
Sebuah riwayat yang berasal dari Sa’ad bin abi waqash
mengatakan, ketika ia menderita sakit, Rasulullah saw datang
menjenguknya saat itu beliau menyarankan: “Datanglah kepada al-
Harits bin kaldah, ia mengetahui tentang kedokteran”.
Akan tetapi Ilmu pengetahuan yang diperoleh al-Harits dapat
dianggap cukup karena ia belum menguasai semua pokok dan cabang
ilmu kedokteran secara ilmiah. Untuk itu memang diperlukan
penguasaan Bahasa Suryani sebagai alat untuk dapat mempelajari
berbagai buku kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
tersebut dan tersebar di Jundi Sabur. Ilmu pengetahuan di bidang itu
pada umumnya di kuasai oleh orang-orang Suryani sendiri. 168
Mengenai bagaimana proses perpindahan ilmu kedokteran ke
Jundi Sabur dikisahkan bahwa plato dan aristoteles, dua orang Filsuf

168 T.J. De Boer, The History of Philoshopy In Islam, (New York, USA: Islamic
Philoshopy Online, w.y), h. 6-11

118
yunani: yang satu menaruh perhatian besar pada problema
matematika sedangkan yang kedua menaruh perhatian besar kepada
masalah alam dan kedokteran. Kedua-duanya juga mempunyai
perguruan filsafat masing-masing. Pada abad ke-3 SM Hipocrate juga
telah mendirikan sebuah perguruan ilmu kedokteran. Kemudian
setelah kota iskandariyah dibangun kota itu menjadi tempat
peradaban Yunani yang lebih banyak bersifat Ilmiah daripada yang
bersifat Filosofis. Dari perguruan tersebut lahir sejumlah ahli pikir
besar seperti Euclide, Galenus, Archimedes, Ptolemaeus dan lain-
lainnya lagi, yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan seperti ilmu geometri, ilmu falak (astronomi) dan ilmu
kedokteran. Hingga abad ke-6 kota Iskandariyah tetap menjadi
mercusuar ilmu pengetahuan. Kemudian muncul pula di kota itu para
ahli pikir generasi kedua yang mengatur, menyusun dan mempelajari
buku-buku peninggalan para ahli pikir generasi pertama untuk bahan
pengajaran. Dari para ahli pikir generasi kedua itulah orang-orang
Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.169
Perguruan Iskandariyah tidak hanya memperhatikan soal-soal
ilmu pengetahuan saja, tetapi juga semua bentuk kebudayaan, baik
yang bersifat keagamaan, pemikiran, filsafat maupun kesusastraan.
Mulai abad pertama hingga abad ke-3 M pembaharuan terhadap
pembaharuan terhadap ajaran phytagoras cenderung ke arah masalah
matematika dan moral. Demikian pula ajaran pluto, direvisi oleh
plotinus yang menciptakan Neo Platonisme. Ia lahir dan dibesarkan di
Mesir, memperoleh pendidikan di Iskandariyah dan berbahasa Yunani.
Dialah yang menciptakan ajaran Enneads, yaitu ajaran filsafat yang
menjelaskan terjadinya pelimpahan dari Yang Satu (supreme in
material force). Sebagian dari bukunya diterjemahkan kedalam
Bahasa Arab dengan nama Theologia. Teori “Pelimpahan”nya banyak
mempengaruhi para filsuf Islam. Muridnya yang bernama Porhyrius
tidak kalah pengaruhnya dalam kehidupan filsafat Islam. Hal ini tidak
mengherankan karena dialah yang menulis buku isagoge, kata dalam
Bahasa Yunani yang terkenal di kalangan orang-orang Arab sampai

169 Ibid, h. 13-14

119
Zaman kita ini. Isagoge bermakna “Pintu masuk” (madkhal), yakni
pintu untuk memasuki pembicaraan tentang teori filsafat
Aristoteles.170
Menyadari arti penting filsafat itu, maka dalam sejarah Islam
dijumpai sejumlah filsuf yang telah berjasa dalam membantu umat
manusia menemukan inti, hakikat, ajaran utama, dan nilai-nilai luhur
yang dibutuhkan manusia. Pemikiran mereka dalam bidang ini
selanjutnya menjadi dasar bagi perumusan berbagai kebijakan dalam
kehidupan. Mereka itu antara lain al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih,
Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, dan Ibn Rusyd. Penjelasan
tentang tokoh-tokoh ini secara singkat dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Al-Kindi (158 H/801 M-525H/861 M.)
Menurut Al-Kindi filsafat adalah pengetahuan yang benar,
sedang agama menerangkan tentang apa yang benar. Jelas ada
perbedaan antara filsafat dan agama, keduanya bertujuan untuk
menerangkan apa yang benar dan yang baik. Agama di samping
menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat
mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat,
hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan
daripada argumen filsafat.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan
penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, Unik. Ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk, tidak bertubuh dan bergerak. Ia hanyalah keesaan
belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari
filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-
unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran
filsafat Al-Kindi ialah:171
1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah
filsafat.

170 Ibid, h. 16-17


171 Rus’an Rusli, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya, (Jakarta: Prenada
media, 2021), h. 1-17

120
2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan
metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan
Aristoteles tentang qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersam-sama dalam soal
etika.
5. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang
berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
6. Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan
akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh
filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi
mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya
dipelajari dengan saksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi
mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya Ia
mempunyai kepribadian sendiri.

b. Al-Farabi (258 H/870 M-339 H/950 M),


Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang
mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran
filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan
plotinus, juga antara agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi diperluas lagi,
bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-
macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada
hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya.
Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena
kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak
bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti
dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain
dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan
Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-
hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil
(interpretasi batini).

121
Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang
wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran
Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat
gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.172

c.Ibn Miskawaih (320 H./923 M-421 H./1030 M.)


Konsep Manusia Menurut Ibn Miskawaih adalah penciptaan
yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi.
Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi),
sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri
manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang
berasal dari pancaran Tuhan.
Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya
bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyah),
dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqah). Daya bernafsu dan berani
berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh
Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ajaran Pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih berpangkal
pada teori Jalan Tengah (Nadzar al-Ausath) yang dirumuskannya. Inti
teori ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum
diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem
kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya bernafsu
adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar
nafsu (al-Syarah) dan mengabaikan nafsu (Khumud al-Syahwah).
Posisi tengah daya berani adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak
antara pengecut (al-Jubn) dan nekad (al-Tahawwur). Posisi tengah
daya berfikir adalah al-Hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara
kebodohan (al-Safih) dan kedunguan (al-Balah). Kombinasi dari tiga
keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan
(al-’Adalah). Keadilan ini merupakan posisi tengah antara berbuat
aniaya dan teraniaya. Selanjutnya setiap keutamaan tersebut memiliki
cabangnya masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan memiliki tujuh

172 Ibid, h.31-43

122
cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas,
tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar.173

d.Ibn Sina (370 H/980 M.-428 H/1037 M)


Pola pikir Ibnu Sina, percaya bahawa setiap tubuh manusia
terdiri daripada empat unsur yaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-
empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering
serta senantiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam
alam ini.
Ibnu Sina percaya bahwa ada ketahanan alami dalam tubuh
manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-
unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang
kuat dalam tubuh demi menjaga kesehatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan saja dapat dilihat dalam
pandangan Ibnu Sina juga mengenai kesehatan dan perobatan, tetapi
juga bidang filsafat. Ibnu Sina berpendapat bahwa matematika dapat
digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu pernah
dikemukakan oleh ahli filsafat Yunani seperti Pythagoras untuk
menguraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu
barangan mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini.
Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah
menyifatkan pemahaman Ibnu Sina sebagai paham yang sesat dan
lebih merusak daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan
Tuhan. Dalam buku An-Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahwa
pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia
tidak berbentuk dan tidak boleh dibagikan dengan apapun. Menurut
Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada
"Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan. Tetapi tidaklah wajib
segala yang ada datang dari Wajib al-Wujud sebab Dia berkehendak
bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi
halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan
segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.

173 Ibid, h. 93-104

123
Pemikiran filsafat dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh
Ibnu Sina dalam bab "Hikmah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya
susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan. Pemikiran Ibnu Sina
ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu
percobaan untuk membahaskan zat Allah.
Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut
al-Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli
Filsafat) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi. 174

e. Al-Ghazali (450 H/1058 M.-505 H/1111 M)


Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah
pandangannya tentang hakikat manusia, yang berlandaskan pada
esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur.
Ada empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali
dalam pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi
manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal (aql).
Walaupun Al-Ghazali kurang senang dengan filsafat dan ahli filsafat
tetapi dalam buku Maqasid al Falasifah, beliau telah mengemukakan
kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan
logik, ketuhanan, dan fizikal. Menurut Al-Ghazali, filsafat boleh dibagi
pada enam ilmu pengetahuan ialah matematik, logik, fizik, metafisik,
politik, dan etika. Bidang-bidang ini kadangkala selaris dengan agama
dan kadangkala pula sangat berlawanan dengan agama. Namun begitu,
agama Islam tidak menghalang umatnya daripada mempelajari ilmu
pengetahuan tersebut sekiranya mendatangkan kebaikan serta tidak
menimbulkan kemudaratannya. Umpamanya agama tidak melarang
ilmu matematik kerana ilmu itu merupakan hasil pembuktian fikiran
yang tidak boleh dinafikan selepas ia dipahami. Cuma bagi Al-Ghazali,
ilmu tersebut boleh menimbulkan beberapa persoalan yang berat.
Antaranya ialah ilmu matematik terlalu mementingkan logik sehingga
boleh menyebabkan timbul persoalan yang berkaitan dengan
ketuhanan khususnya mengenai perkara yang tidak dapat diuraikan
oleh akal pikiran. Menurut Al-Ghazali tidak salah berpegang kepada

174 Ibid, h. 45-54

124
logik tetapi yang menjadi masalahnya ialah golongan filsafat yang
terlalu berpegang kepada logik, hendaklah membuktikan fakta
termasuk perkara yang berhubung dengan ketuhanan atau metafisik.
Sebab itulah beliau menentang golongan ahli filsafat Islam yang cuba
mengungkap kejadian alam dan persoalan ketuhanan menggunakan
pemikiran daripada ahli filsafat Yunani. Beberapa orang ahli filsafat
Islam seperti Ibnu Sina dan al-Farabi jelas terpengaruh akan idea
pemikiran filsafat Aristotles. Maka tidak heran ada pandangan ahli
filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam yang bisa
menyebabkan kesesatan dan syirikan. Terdapat tiga pemikiran filsafat
metafisik yang menurut Al-Ghazali amat bertentangan dengan Islam
yaitu qadimnya alam ini, tidak mengetahui Tuhan terhadap perkara
dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan
jasad atau jasmani. Al-Ghazali menganjurkan supaya umat Islam
mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber yang
utama bukannya melalui proses pemikiran dan akal semata-mata. Jadi,
apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali ialah memaparkan kesalahan dan
kepalsuan bidang pengetahuan yang bersenderankan dengan agama
serta bertentangan dengan pendirian umat Islam. Sekaligus
menunjukkan bahwa Al-Ghazali sebenarnya merupakan seorang ahli
filsafat Islam yang mencari kebenaran dengan berpedoman pada al-
Quran dan hadits, tidak sebagaimana apa yang ada pada pemikiran
logika sebagai mana yang ada pada filsafat Yunani. 175

f.Ibnu Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M).


Pemikiran dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat
bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al awwal), sifat
positif yang diberikan oleh allah adalah akal. Wujud Allah adalah Esa-
nya. Wujud dan ke Esaan-Nya tidak berbeda dengan zat-nya Dalam
pembuktian adanya Tuhan sendiri, golongan Hasywiyah, Shufiyah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut
mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lainnya dengan

175 Ibid, h. 67-79

125
menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata kata syari’i sesuai
dengan kepercayaan mereka.
Golongan hasywiyah misalnya mereka berpendapat bahwa
cara mengenal tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran) saja, bukan
melalui akal. Mereka berpegang pada riwayat-riwayat syar’i yang
muttashil tanpa menggunakan ta’wil. Ibnu rusyd menolak jalan
pikiran yang demikian, karenanya Islam mengajak kita untuk
memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran kita. Cara
mengenal tuhan menurut golongan tasawuf adalah bukan berupa
pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan
kesimpulan, akan tetapi melalui jiwa yang ketika terlepas dari
hambatan-hambatan duniawi dan menghadapkan pikiran pada zat
yang maha mengampuni. Ibnu rusyd mengatakan bahwa keterangan
tersebut pun tidak dapat diperlakukan untuk umum, karena derajat
keimanan manusia tidaklah bisa disamaratakan.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-
dalil yang pernah dikemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya
karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik
dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan
tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai
ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi
orang-orang khusus yang terpelajar. 176

g.
Ibn Bajjah (1082 M-553 H/1138 M)
Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi
dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah
jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari
perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan
ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan
gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam
arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim
(materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari

176 Ibid, h. 83-91

126
subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini
mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh
ibnu bajjah disebut dengan ‘aql. Di sinilah letak kelebihan ibnu bajjah
walaupun ia berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia
kembali kepada ajaran islam.
Dasar filsafat aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang
tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun
penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia zatiomasih
bersifat empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan
argumen metafisika aristoteles. Karena itu, menurutnya Allah tidak
hanya penggerak, tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam.

h. Ibnu Tuffail (1105 M –1185 M.)


Pola pikir ibnu tuffail tentang Apakah dunia itu kekal, atau
diciptakan dari ketiadaan atas kehandak-Nya? Inilah salah satu
masalah penting yang paling menantang dalam filosofis muslim. Ibnu
Tufail sejalan dengan kemahiran dialektisnya menghadapi masalah itu
dengan tepat. Dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, dan
dia juga tidak berusaha mendamaikan mereka. Dilain pihak dia
mengecam dengan pedas pengikut Aristoteles dan sikap-sikap
teologis.
Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas.
Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang
diciptakan dan tidak mungkin ada sebelum kejadian-kejadian yang
tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Segala yang tercipta pasti
membutuhkan pencipta. Tidak ada sesuatu pun ada sebelum Dia, dan
segala sesuatu pasti ada dan akan terjadi atas kehendak-Nya.
Penciptaan dunia yang lambat laun itu mensyaratkan adanya
satu pencipta yang mesti bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dunia
tak dapat ada dengan sendirinya, pasti dan harus ada penciptanya. Jika
Tuhan bersifat material, maka akan membawa suatu kemunduran
yang tiada akhir. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai pencipta
yang tidak berwujud benda, dan karena Dia bersifat immaterial, maka

127
kita tidak bisa mengenali-Nya lewat indera kita atau lewat imajinasi.
Sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap
oleh indera. 177

C. MODEL-MODEL PENELITIAN FILSAFAT


ISLAM
1. Model M. Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan disertainya, M. Amin Abdullah
mengambil bidang penelitiannya pada masalah Filsafat Islam. Hasil
penelitiannya ia tuangkan dalam bukunya berjudul the Idea of
University Ethical Norm In Ghazali and Kant. Dilihat dari segi judulnya,
penelitian ini mengambil metode penelitian kepustakaan yang
bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan
kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang
diteliti itu sendiri (sumber primer), maupun sumber yang di tulis oleh
orang lain mengetahui tokoh yang ditelitinya itu (sumber sekunder).
Bahan-bahan tersebut selanjutnya diteliti keotentikannya secara
saksama; diklasifikasikan menurut variabel yang ingin ditelitinya,
dalam hal ini masalah etik; bandingkan antara satu sumber dengan
sumber lainnya; dideskripsikan (duraikan menurut logika berpikir
tertentu), dianalisis dan disimpulkan.
Selanjutnya dilihat dari segi pendekatan yang digunakan,
M Amin Abdullah kelihatannya mengambil pendekatan studi tokoh
dengan cara melakukan studi komparasi antara pemikiran kedua
tokoh tersebut (al– Ghazali dan Immanuel Kant), Khususnya dalam
bidang etika.
Hasil penelitian Amin Abdullah dalam bidang Filsafat Islam
selanjutnya dapat dijumpai dalam berbagai karyannya baik yang
ditulis secara tersendiri, maupun gabungan dengan karya-karya orang
lain. Dalam bukunya berjudul Studi Agama Normativitas atau
Historisitas, M. Amin Abdullah mengatakan ada kekaburan dan
kesimpangsiuran yang patut disayangkan di dalam cara berpikir kita,

177 Ibid, h. 57-65

128
tidak terkecuali di lingkungan perguruan tinggi dan kalangan
akademis. Tampaknya kita sulit membedakan antara Filsafat dan
Sejarah Filsafat; antara Filsafat Islam dan Sejarah Filsafat Islam.
Biasanya kita korbankan kajian Filsafat, karena kita selalu dihantui
oleh trauma sejarah abad pertengahan, ketika Sejarah Filsafat Islam
diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perhelatan pemikiran
antara al–Ghazali dan Ibnu Sina, yang sangat menen-tukan jalannya
sejarah pemikiran umat Islam.
Kritik Amin Abdullah tersebut timbul setelah ia melihat
penelitiannya, bahwa sebagian penelitian filsafat Islam yang dilakukan
para ahli selam ini berkisar pada masalah Sejarah Islam, dan bukan
pada Materi Filsafatnya itu sendiri.
Penelitian yang polanya mirip dengan Amin Abdullah tersebut
dilakukan pula oleh Sheila McDonough dalam karyanya berjudul
Muslim Ethics and modernity: A Comparative Study of the Ethical
Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana Mawdudi. Buku tersebut
telah diterbitkan oleh Wilfrid laurier University Press, Kanada, pada
tahun 1984. Dalam buku tersebut yang dijadikan oleh objek penelitian
adalah Ahmad Khan dan Mawlana Mawdudi yang keduanya adalah
orang Pakistan dan telah dikenal di dunia Islam. Penelitian tersebut
termasuk kategori penelitian kualitatif, berdasar pada sumber
kepustakaan yang ditulis oleh kedua tokoh tersebut atau oleh orang
lain megenai tokoh tersebut. Sedangkan corak penelitiannya adalah
penelitian deskriptif analitis; sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan tokoh dan komparatif studi.Melalui penelitian
demikian akan dapat dihasilkan kajian mendalam dalam salah satu
bidang kajian, serta latar belakang pemikiran yang menyebabkan
mengapa kedua tokoh tersebut mengemukakan pendapatnya seperti
ini.178

178 Lihat: Sheila McDonough, Muslim Ethics and modernity: A Comparative Study of the
Ethical Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana Mawdudi, (Kanada: Wilfrid
laurier University Press, 1984)

129
2. Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun
Nasution
Dalam bukunya berjudul History of Muslim Philosophy yang
diterjemah-kan dan disunting oleh M. M. Syarif ke dalam bahasa
Indonesia menjadi para Filosof Muslim, Otto Horrassowitz telah
melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang
berasal dari tokoh–tokoh filsuf abad klasik, yaitu al–Kindi, al–Razi, al–
Farabi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu
Rusyd dan Nasir al–Din al–Tusi. Dari al–Kindi dijumpai pemikiran
filsafat tentang Tuhan, keterhinggaan, ruh dan akal. Dari al–Razi
dijumpai pemikiran filsafat tentang teologi, moral, metode, metafisika,
Tuhan, ruh, materi, ruang, dan waktu. Selanjutnya dari al–Farabi
dijumpai pemikiran filsafat tentang logika, kesatuan filsafat, teori
sepuluh kecerdasan, teori tentang akal, teori tentang kenabian, serta
penafsiran atas al–Qur’an. Selanjutnya dari Ibnu Miskawih dijumpai
pemikiran filsafat tentang moral, pengobatan rohani, dan filsafat
sejarah. Dalam pada itu dari Ibnu Sina dikemukakan pemikiran filsafat
tentang wujud, hubungan jiwa dan raga, ajaran kenabian, Tuhan dan
dunia. Dari Ibnu Bajjah dijumpai pemikiran filsafat tentang materi dan
bentuk, psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan, Sumber Pengetahuan,
politik, etika, dan tasawuf. Dari Ibnu Tufail dikemukakan pemikiran
filsafat tentang akal dan wahyu sebagai yang dapat saling melengkapi
yang dikemas dalam novel fiktifnya berjudul Hay Ibnu Yaqzan yang
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia; tujuan risalah, doktrin
tentang dunia, tuhan, kosmologi cahaya, epistomologi, etika, filsafat
dan agama. Selanjutnya dari Ibnu Rusyd, dikemu-kakan pemikiran
filsafat tentang hubungan filsafat dari agama, jalan menuju Tuhan,
jalan menuju pengetahuan, jalan menuju ilmu, dan jalan menuju
wujud. Dalam pada itu dari Nasir al–Din Tusi dikemukakan pemikiran
filsafat tentang akhlak nasiri, ilmu rumah tangga, politik sumber
filsafat praktis, psikologi, metafisika, Tuhan, cretio exnihilo, kenabian,
baik dan buruk, serta logika.
Selain mengemukakan berbagai pemikiran filosofis
sebagaimana tersebut diatas, Horrassowitz juga mengemukakan

130
mengenai riwayat hidup serta karya tulis dari masing-masing tokoh
tersebut. Dengan demikian jelas terlibat bahwa penelitiannya
termasuk penelitian kualitatif. Sumbernya kajian pustaka. Metodenya
deskriptif analitis, sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu
bahwa apa yang disajikan berdasarkan data-data yang ditulis ulama
terdahulu, sedangkan titik kajiannya adalah tokoh.179
Penelitian serupa itu juga dilakukan oleh Majid Fakhry. Dalam
bukunya berjudul A History of Islamic Philosophy dan diterjemahkan
oleh Mulyadi Kartanegara menjadi Sejarah Filsafat Islam, Majid Fakhri
selain menyajikan hasil penelitiannya tentang ilmu kalam, Mistisisme
dan kecenderungan– kecenderungan modern dan kontemporer juga
berbicara tentang filsafat. Khusus dalam bidang filsafat, ia berbicara
tentang al–Kindi, Ibnu al–Rawandi, al–Razi, Abu Hayyan al–Tauhidy,
Ibnu Miskawaih, Yahya bin Adi, Ibnu Massarah, Al–Majrithi, Ibnu
bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, al–Suhrawandi dan Shadr al–Din al–
Syirazi. Majid Fakhry selain mengemukakan riwayat hidup dan karya-
karya dari masing-masing tokoh tersebut juga mengemukakan
pemikirannya dalam bidang filsafat.
Penelitiannya tersebut tampaknya menggunakan campuran.
Yaitu selain menggunakan pendekatan historis juga menggunakan
pendekatan kawasan, bahkan pendekatan substansi. Melalui
pendekatan histories, ia mencoba meneliti latar belakang munculnya
berbagai pemikiran filsafat dalam islam. Sedangkan dengan
pendekatan kawasan, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran
filsafat yang dihasilkan dari berbagai tokoh tersebut. 180
Dalam pada itu Harun Nasution, juga melakukan penelitian
filsafat dengan menggunakan pendekatan tokoh dan pendekatan
histories. Bentuk penelitiannya deskriptif dengan menggunakan
bahan-bahan bacaan baik yang ditulis oleh tokoh yang bersangkutan
maupun penulis lain yang berbicara mengenai tokoh tersebut. Dengan
demikian penelitiannya bersifat kualitatif.

179 Otto Horrassowitz, History of Muslim Philosophy, ditranslate menjadi Para filosof
muslim, editor, M. Syarif, (Bandung: Mizan, 1985)
180 Lihat: Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (Longman, 1983)

131
Melalui pendekatan tokoh, Harun Nasution mencoba
menyajikan pemikiran filsafat berdasarkan tokoh yang ditelitinya
yang dalam hal ini al– Kindi, al–Farabi, Ibnu Sina, al–Ghazali dan Ibnu
Rusyd. Sedangkan dengan pendekatan histories, Harun Nasution
mencoba menyajikan tentang sejarah timbulnya pemikiran filsafat
Islam yang dimulai dengan kontak pertama antara Islam dan ilmu
pengetahuan serta filsafat Yunani.181

3. Model Ahmad Fuad Al-Ahwani


Ahmad Fuad Al-Ahwani termasuk pemikir modern dari Mesir
yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam. Salah satu
karyanya dalam bidang filsafat berjudul Filsafat Islam. Dalam bukunya
ini ia selain menyajikan sekitar problem filsafat Islam juga menyajikan
tentang zaman penerjemahan, dan filsafat yang berkembang itu
kawasan masyriqi dan maghribi. Di kawasan maghribi ia kemukakan
nama al–Kindi, al–farabi, dan Ibnu Sina. Sedangkan di kawasan
maghribi kemukakan Ibnu bajjah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd. Selain
dengan mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing
tokoh filsuf tersebut, juga dikemukakan tentang jasa dari masing-
masing filsuf tersebut serta pemikirannya dalam bidang filsafat.
Dengan demikian metode penelitian yang ditempuh Ahmad
Fuad Al-Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang
menggunakan bahan–bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Sedangkan pendekatannya adalah
pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan histories,
pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan histories, ia
mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat
dalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba
membagi tokoh-tokoh filosof menurut tempat tinggal mereka, dan
dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai
pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.
Berbagai hasil penelitian yang dilakukan para ahli mengenal
filsafat Islam tersebut memberi kesan kepada kita, bahwa pada

181 Lihat: Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

132
umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian kepustakaan,
yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan bacaan sebagai
sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat
deskriptif analistis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya
pendekatan histories, kawasan dan substansial. Penelitian dan
pengkajian filsafat demikian sulit diharapkan dapat melahirkan para
filsuf. Penelitian tersebut belum berhasil mengangkat dasar pemikiran
yang membentuk filsafat itu sendiri. Pengkaji filsafat terbiasa dengan
diskusi dan perbincangan yang begitu mendalam tentang uraian-
uraian dan kutipan filsuf, hampir seolah-olah kutipan-kutipan filosof
itu baru saja dihasilkan dan seolah-olah tidak mengalami kesulitan
interprestasi yang melelahkan.
Berdasarkan informasi tersebut, sebenarnya masih terbuka
luas objek penelitiannya di bidang filsafat Islam, yaitu objek yang
berkenaan dengan cara atau metode yang digunakan oleh para filsuf
terdahulu untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan
untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan pengembangan
pemikiran filsafat lebih lanjut.
Sesungguhnya masih banyak hasil penelitian yang dilakukan
para ahli di bidang filsafat Islam yang tidak dikemukakan seluruhnya
di sini. Ahmad Hanafi, misalnya menulis buku berjudul pengantar
filsafat Islam. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian
kepustakaan itu dikemukakan tentang pemikiran filsafat al–Kindi, al–
Farabi, Ikhwanusshafa, dan Ibnu Sina. Fazlur Rahman dalam bukunya
Islkam juga memuat pembahasan tentang filsafat Islam yang
didasarkan pada rujukan di bidang kefilsafatan. Fazlur Rahman
mengatakan bahwa sistem filsafat Islam yang disusun merupakan
suatu kreasi mulia dalam kebudayaan Islam. Dalam sistem itu sendiri
terdapat suatu hasil yang mengagumkan baik dalam landasan etosnya
maupun dalam struktur aktualnya. Filsafat itu menggambarkan suatu
bagian penting yang murni dalam pemikiran manusia, karena ia
berada dalam ambang antara masa purba dan masa modern. Namun
berhadapan dengan agama Islam, filsafat itu menciptakan suatu
situasi yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Dalam doktrin –doktrin

133
filsafat aktual tidak terlalu banyak menerangkan pekerjaan–pekerjaan
keduniaan yang berbahaya, namun dipergunakan dalam beberapa
kebijaksanaan putusan agama dan merupakan implikasinya terhadap
syari’ah.
Dewasa ini setahap demi setahap pemikiran filsafat Islam atau
berpikir secara filosof sudah mulai diterima masyarakat. Berbagai
kajian di bidang keagamaan selalu dilihat dari segi pemikiran
filsufnya, sehingga makna substansial, hakikat, inti dan pesan spiritual
dari setiap ajaran keagamaan tersebut dapat ditangkap dan dihayati
dengan baik. Tanpa bantuan filsafat, maka masyarakat akan
cenderung terjebak kedalam bentuk ritualistik semata, tanpa tahu apa
pesan filosofis yang terkandung dalam ajaran tersebut. Filsafat juga
semakin diperlukan dalam situasi yang semakin memadu dan
menyatu antara satu bidang pengetahuan dengan pengetahuan
lainnya.

134
BAB VIII
STUDI ILMU KALAM

A. PENGERTIAN ILMU KALAM


Definisi terkait ilmu kalam yang paling awal diajukan adalah
definisi yang dikemukakan oleh Abu Hanifah (w. 150 H/787 H), yang
memberi nama al-fiqh al-akbar dan menyatakan: fiqih dalam ushul al-
din lebih baik dibanding-kan fiqih dalam furu’ al-ahkam. Fiqih adalah
pengetahuan tentang kepercayaan dan praktik yang diperbolehkan
dan yang wajib. Apa yang berhubungan dengan kepercayaan disebut
al-fiqh al-akbar, sedangkan yang berhubungan dengan praktik disebut
al-fiqh saja.182
Al-Farabi (w. 339 H/950 M) membedakan antara kalam dan
fiqih dan mendefinisikan kalam sebagai: ilmu yang memungkinkan
seseorang untuk menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan
perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum
agama dan untuk menolak opini-opini yang bertentangan
dengannya.183
Al-Baidhawi (w. 680 H/1281 M) dan Al-Iji (w. 756 H/1355 M)
memberikan definisi kalam sebagai: ilmu memungkinkan seseorang
untuk menegakkan kepercayaan-kepercayaan agama, dengan
mengemukakan argumen/bukti, dan menghilangkan keraguan.184
Ibnu Khaldun (w. 807 H/1404 M) mendefinisikan kalam
sebagai ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti
rasional untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli

182 Abu hanifah, al-Fiqh al-akbar, (India, Hyderabad: Dairah al-ma’areif al-Islamiyah,
1321 H), h. 7.
183 Al-Farabi, Ihsha’ al-ulum, Tahqiq; Utsman Amin, (kairo; Dar al-Fikr al-Arabi, 1948),
h. 48
184 Idd al-din al-iiji, al-mawaqif, (kairo: maktabah al-sa’adah, 1425 H), h. 13.

135
bid’ah yang menyimpang dari kepercayaan umat Islam generasi
awal.185
Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) mendefinisikan kalam
sebagai ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang
wajib, mustahil dan yang mungkin ada pada Allah. Membicarakan
tentang rasul-rasul Allah, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil dan yang mungkin ada
pada rasul.186
Melalui ilmu kalam ditetapkan akidah-akidah agama dengan
dalildalil, menolak yang syubhat, dan menentang musuh-musuh ilmu
kalam dengan dalil-dalil yang qath’iy (pasti) dari al-Qur’an dan
Sunnah. Ilmu kalam juga diarah-kan untuk menetapkan hakikat agama
melalui dalil-dalil akal
Dari berbagai definisi ilmu kalam di atas ada beberapa
karakter ilmu kalam:
1. Ilmu kalam mengambil inspirasi dari filsafat tentang metode
logisnya.
2. Ilmu kalam mengambil dari syariat tentang tujuan dan
sasarannya.
3. Ilmu kalam membangun dasar-dasar pemikirannya untuk
melawan musuh-musuhnya.
Ilmu kalam mempunyai nama-nama lain yaitu al-fiqh al-akbar,
ushul al-din, ilm al-nazar wa al-istid lal, ilm al-tawhid wa al-shifat.
Menurut M Abdel Haleem ada 7 nama yang diberikan kepada ilmu ini,
sebagai berikut:187
1. Salah satu sebutan yang berumur paling tua diberikan oleh
Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), pada abad ke-2 H/ke-8 M,
yang dinamai ‘ilm al-fiqh al-akbar. Fiqih adalah kata dalam
Al-Qur’an (Al-Taubah: 122) dan fakta ini memperlihatkan
hubungan antara kalam dan fiqih. Kata adjektif (sifat) al-akbar

185 Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, (Kairo: al-maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tt), h. 24.
186 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: al-mathba’ah al-Khairiyah, 1302 H),
h. 5
187 Abdel haleem, Exploring The Qur’an: Context and Impact, (LB tauris: 2003), h. 90-
91

136
menunjukkan superioritas masalah-masalah yang terkait
dengan prinsip-prinsip keimanan terhadap aspek-aspek
praktis Syari’ah.
2. ‘Ilm al-kalam: ini juga merupakan salah satu sebutan tertua.
Ja’far Al-Shadiq (w. 148 H/765 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767
M), Malik (179 H/795 M), dan Syafi’i (w. 204 H/819 M)
diriwayatkan telah memberikan pendapat mereka tentang
kalam dan mutakallimun.
3. ‘Ilm ushul al-din: sebutan awal lainnya yang didasarkan atas
pembagian pengetahuan religius menjadi ushul dan furu’
(pokok dan cabang). Sebutan ini digunakan oleh Asy’ari (w.
324 H/935 M) dalam Ibanah an Ushul al-Dinayah dan Al-
Baghdadi (w. 429 H/1037 M) dalam kitab Ushul al-Din.
Fakultas teologi di Universitas Al-Azhar, misalnya, disebut
kulliyat ushul al-din.
4. ‘Ilm al-’aqa’id: sebutan terkemudian, mungkin sudah dimulai
dari abad ke-4 H/10 M. Sebutan ini muncul dalam karya
penulis seperti Al-Thahawi (w. 331 H/942 M), Al-Ghazali (505
H/1111 M), Al-Thusi (w. 671 H/1272 M), dan Al-Iji (w. 756
H/1355 M).
5. ‘Ilm al-Nazhar wa al-Istidlal: sebutan ini dikemukakan oleh
Taftazani dalam pendahuluan Syarh Al-Aqa’id Al-Nasafiyyah.
Sebutan itu pernah diberikan dalam kitab-kitab kalam awal
dalam bab pendahuluan pertamanya, yang membahas bukti
dan metodologi ilm al-kalam. Ini dapat dilihat dalam Ushul Al-
Din, karya Al-Baghdadi (w.429 H/1037 M), dan Al-Mughni
karya Abd Al-Jabbar (w. 415 H/1024 M). Hal ini mungkin
karena pentingnya metodologi kalam, sebutan yang diterapkan
pada semua ilmu.
6. ‘Ilm al-Tauhid wa al-Shifat: disebut demikian barangkali
karena sangat pentingnya keesaan dan sifat-sifat Tuhan
lainnya. Nama ini muncul dalam pendahuluan Syarh Al’Aqa’id
Al-Nasafiyyah karya Taftazani.

137
7. ‘Ilm Tauhid: ini merupakan bagian iman yang terpenting
dalam Islam. Sebutan ini digunakan oleh Muhammad Abduh
(w. 1323 H/1905) dalam Risalah Al-Tauhid-nya, dan
selanjutnya menjadi lebih lazim di kalangan para teolog
modern.
Akan tetapi nama yang paling populer ialah ilmu kalam. Hal ini
disebabkan:
1. Karena objek bahasan paling popular dari ilmu ini ialah
mengenai kalam Allah, apakah termasuk makhluk atau qadim.
Perdebatan ini telah menyita waktu umat Islam sepanjang
masa.
2. Karena peletak dasar ilmu ini menggunakan nama ―ilmu
kalam itulah sebabnya ilmu ini disebut ilmu kalam.
3. Ilmu ini muncul karena menentang filsafat sekaligus membela
filsafat. Para pakar memulai ilmu ini dengan apa yang disebut
manthiq, karena ilmu ini menggunakan kalam yang semakna
dengan manthiq (berbicara dengan logika).188

B. KORELASI ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT


1. Hubungan Ilmu Kalam dengan Filsafat
a. Ilmu kalam mengambil metode ilmu dari filsafat dengan
mengawalinya dari logika Aristoteles.
b. Ilmu kalam mengambil unsur-unsur filsafat tidak hanya
metode tetapi juga mengutip kata-kata dan pandangan para
filosof.
2. Perbedaan Ilmu Kalam dengan Filsafat
a. Sasaran para filsuf membahas segala yang ada (maujud)
sampai hakikatnya, sedangkan ilmu kalam sasarannya
membela akidah Islam dengan dalil aqli (akal).
b. Para filsuf kebanyakan mengambil sumber-sumber asing
khususnya para filsuf Yunani, sedangkan ulama kalam

188 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, (Bandung: Azkia, 2006), h. 8

138
berpegang pada dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan
pandangan ulama
c. Pandangan para ulama kalam tidak keluar dari koridor
umum ajaran Islam bahwa Allah menciptakan alam bukan
dari sesuatu, juga tentang sifat global bagi Allah, sedangkan
para filsuf telah menyimpang jauh dari ajaran Islam dengan
teori-teori yang mereka kemukakan.

C. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ILMU KALAM


1. Faktor Internal.
a. Adanya ayat-ayat mutasyabihat di dalam al-Qur’an sekitar
masalah al-jabr dan al-ikhtiyar, sifat-sifat Allah yang
berhubungan dengan panca indera, asal-usul penciptaan
dan sebagainya.
b. Adanya corak politik yang membedakan aliran tertentu
seperti Khawarij, Murjiah dan sebagainya.
c. Perkembangan akal secara alami, juga ayat-ayat al-Qur’an
yang memerintahkan untuk berfikir dan Rasul mengajak
umat Islam untuk selalu menuntut ilmu.
2. Faktor Eksternal.
a. Pengaruh ajaran Nasrani.
Pada masa Muawiyah sampai pada masa khalifah Abdul
Malik, orang Nasrani dijadikan penasehat politik,
diantaranya adalah Yohana al-Dimasyqi yang mengarang
buku Munaqasyah bain Masihi wa Arabi (perdebatan antara
umat Kristen dan Arab).
Pandangan-pandangannya mempengaruhi umat Islam
seperti pandang-an kelompok Qadariyah tentang adil dan
kelompok Mu’tazilah tentang penolakannya terhadap sifat-
sifat Tuhan, kebebasan berkendak dan berbuat. Selain itu,
juga adanya pengaruh Ma’bad al-Juhani, dialah orang yang
pertama yang berbicara tentang qadar yang mengadopsi
dari orang Nasrani yang masuk Islam kemudian murtad.
Ma’bad ini adalah guru Ghilan al-Dimasyqi yang juga
berbicara soal qadar.

139
b. Pengaruh Yahudi
Orang-orang Yahudi yang hidup dalam perlindungan uma
Islam, akhirnya memeluk agama Islam. Mereka
memasukkan unsur-unsur Israiliyat dalam ajaran Islam
seperti yang dilakukan oleh Abu Said al-Fayumi. Pengaruh
pentingnya yaitu masalah tajsim dan tasybih. Pengaruh
lainnya masalah kemakhlukkan al-Qur’an yang diambil oleh
Al-Ja’d bin Dirham.
c. Pengaruh Persia.
Unsur Persia yang mempengaruhi ilmu kalam yaitu paham
Gnosis (pengetahuan yang bersifat rahasia). Tuhan berada
pada tingkat tertinggi, wujud yang terpisah dengan alam
materi. Adanya wujud materi berasal dari Tuhan. Manusia
dapat bersatu dengan Tuhan. Gnosis dilimpahkan Tuhan
Kepada orang-orang tertentu di setiap zaman. Paham ini
berkembang di kalangan golongan Bathiniyah
d. Pengaruh Yunani
Pandangan Aristoteles tentang keqadiman alam. Pandangan
Plato tentang Atomisme (materi kekal). Pandangan
Neoplatonisme dan Phytagoras tentang teori emanasi
(pancaran).

D. ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM


Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah
mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda,
karena terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa
lamanya Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak
kembali perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad
dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi,
seperti Musailamah al-Kadzdzab, Thalhah, Sajah dan Al-Aswad Al-
Ansy. Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak
mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka
semua taat dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua
perselisihan itu segera dapat diatas dan dipersatukan kembali, karena

140
kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam
yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang
hendak menghancurleburkannya.189
Kemudian perjalanan khalifah Abu Bakar As-shiddiq, Umar bin
Khattab, dan Utsman bin Affan tidak begitu menghadapi persoalan,
bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga
khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya
mengerahkan semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan
mengembangkan Islam ke seluruh pelosok penjuru dunia. Tetapi
setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia Tenggara tiba-
tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam
dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak
sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang
pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana pemerintahan (para
eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi
dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak
menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan
sebenarnya hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga
Usman bin Affan adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun
Inilah bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang
yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan
terbunuhnya Utsman bin Affan. Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib
terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan
tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak
menyetujui pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-
terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh
bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan

189 Yahya Hasyim Hasan Farghal, al-Firaq al-islamiyah fi al-Mizan, (al-Ain: UAEU
Press, 2000), h. 17-20.

141
komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah,
berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa
partai atau golongan.

1. Khawarij
Munculnya aliran Khawarij berawal dari tragedi politik yang
berujung pada perang Shiffin yang terjadi antara pasukan Khalifah Ali
melawan pemberontak yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan.
Di dalam perang ini pasukan Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali bin
Abi Thalib. Namun dengan kelicikan Amru bin Ash sebagai tangan
kanan Muawiyah, ia minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke
atas. Qurra’ yang ada di pihak Ali mendesaknya agar menerima
tawaran itu, maka terjadilah perdamaian (arbitrase/tahkim). Sebagai
juru runding diangkat dua orang yaitu Amru bin Ash dari pihak
Muawiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali.
Dalam perundingan disepakati untuk menjatuhkan kedua
pimpinan yang bertikai, yaitu Khalifah Ali dan Muawiyah sebagai
gubernur Damaskus. Tradisi bangsa Arab mengharuskan Abu Musa Al-
Asy’ari sebagai yang tertua tampil terlebih dahulu. Ia berdiri di
hadapan umat Islam mengemukakan putusan untuk menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang
telah disetujui, ternyata Amru bin Ash mengemukakan hanya
menjatuhi (melengserkan) kedudukan Ali dan menolak penjatuhan
Muawiyah. Dengan demikian, pihak Ali dirugikan dan pihak Muawiyah
diuntungkan.
Peristiwa tersebut di atas menyebabkan umat terpecah
menjadi tiga golongan, yaitu: 1) golongan Khawarij (pasukan Ali yang
pada awalnya tidak setuju terhadap tahkim. Mereka keluar dari
barisan Ali), 2) golongan Syiah (pendukung Ali), dan 3) Golongan
Muawiyah. Dari persoalan politik ini akhirnya beralih ke persoalan
teologis diantaranya ialah golongan Khawarij menganggap meraka

142
yang melakukan tahkim telah berbuat dosa besar. Pelaku dosa besar
hukumnya adalah kafir.190
Pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah
tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang
kafir, dan termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang
terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas
tentang definisi iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah
meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-
orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan
pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal
mempengaruhi iman.

Aliran Murji’ah
2.
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan
Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut
campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah
menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela
kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap irja’, yakni
menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,
biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang
bersalah di antara mereka yang tengah berselisih ini.
Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan
dosa besar masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak
berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam
neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian
ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Di
samping itu, khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga
berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula agar
taubatnya diterima di sisi Allah Swt.

190 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, h. 21

143
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta
senantiasa berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku
dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut
sebagai golongan atau aliran ―murji’ah‖ (orang yang mendapat
putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah,
sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi
pendirian umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat
dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran
Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad
kedua hijrah, muncul orang-orang murji’ah ekstrem yang sangat
meremehkan peran amal perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat
bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan kerasulan
Muhammad saw, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan
perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati
sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada
dalam hati, dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran
murji’ah ekstrem ini adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih,
Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.191
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam
mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak
dituntut membuktikan keimanan dengan perbuatan.
b) Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat
apabila ia berbuat dosa besar maka tidak tergolong kafir dan
hukuman mereka ditangguhkan di akhirat dan hanya Allah
yang berhak menghukum

3.Aliran Syi’ah
Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung,
partai, atau kelompok, sedangkan secara istilah adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaan selalu merujuk

191 Ibid, h. 30

144
kepada keturunan Nabi Muhammad saw. Syi’ah adalah golongan yang
menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena
mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi Muhammad saw, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan
khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab dan
Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di
kalangan umat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin Saba‟,
seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Fitnah tersebut cukup
berhasil, dengan terpecah-belahnya persatuan umat, dan timbullah
Syi’ah sebagai firqoh pertama.
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu
khilafah, kemudian berkembang menjadi agama. Adapun dasar pokok
Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka
menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi
Muhammad saw. Kemudian sambung-bersambung Imam itu menurut
urutan dari Allah.
Beriman kepada imam, dan taat kepadanya merupakan
sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi.
Pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah,
khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at (Nabi) dalam
menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang
diperintahkan Allah. Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan,
pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi baginya tidak ada
kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau
berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai
pengertian yang lain. Imam pertama telah mewarisi macam-macam
ilmu Nabi saw. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa
dan ma’shum. Orang-orang Syi’ah tidak percaya kepada ilmu dan
hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan Syi’ah
sendiri. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan dengan
khilafah ialah Al‟ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj‟ah.

145
4. Aliran Jabariyah
Nama Jabriyah Berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Dalam istilah
Inggris paham jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu
paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak
semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia
dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi
terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah
ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam
keadaan terpaksa.
Paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa arab yang
diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberi pengaruh besar
kedalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara panas ternyata
tidak dapat memberi kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman. Di sana-sini yang tumbuh hanya rumput keras dan
beberapa pohon yang cukup kuat untuk menghadapi panasnya musim
serta keringnya udara.
Aliran jabariyah dibagi menjadi 2 yaitu aliran Jabariyah yang
ekstrem dan moderat. Aliran jabariyah yang ekstrem tokohnya adalah
jahm bin safwan pendapatnya manusia sangat lemah, tak berdaya,
terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimiliki oleh
paham qodariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusai tidak
boleh lepas dari aturan, skenario, dan kehendak Allah.

5. Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,

146
qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini,
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya.
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menetukan segala tingkah laku manusia,
baik yang bagus maupun yang jahat. Qadariyah pertama sekali di
munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad
adalah seorang tabi’i yang dapat di percaya dan pernah berguru pada
Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah serorang orator berasal dari
Damaskus dan ayahnya menjadi maula Husna bin affan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Qadariyah berakar
pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan. Qadariyah adalah aliran yang memberikan
penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah
manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melak-
sanakan kehendaknya. Dalam menentukan keputusan yang
menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan,
tanpa ada campur tangan Tuhan.

6. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran
Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar. Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang
ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di
Basra, mendahului gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil
mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati
posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukan mukmin
dan bukan kafir.

147
Aliran Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal
sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Setelah menyatakan pendapat itu, Wasil bi Ata’ meninggalkan
perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk kelompok sendiri.
Kelompok ini dikenal dengan Mu’tazillah. Pada awal
perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam
karena ajaran Mu’tazillah sulit dipahami oleh beberapa kelompok
masyarakat. Hal itu disebabkan ajarannya bersifat rasional dan
filosofis. Alasan lain adalah aliran Mu’tazillah dinilai tidak berpegang
teguh pada sunnah Rasulullah saw dan para sahabat. Aliran baru ini
memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun,
penguasa Bani Abbasiyah.
Aliran Mu’tazillah mempunyai lima dokterin yang dikenal
dengan al-usul al-khamsah. Berikut ini kelima doktrin aliran
Muktazillah.
a. At-Tauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa
hanya Allah Swt. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling
murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-
Tauhid).
b. Ad-Adl
Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan
mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan
mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka
berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi
manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat,
mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar
dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa‟d wa al-Wa‟id (Janji dan Ancaman).
Menurut Mu’tazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya
memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga
menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta
orang yang berdosa besar ke dalam neraka.

148
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di
kalangan Mu’tazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi
orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan
dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga
tidak kafir.
Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum
bertobat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan
tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
e. Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan
dan Melarang Kemungkaran).

7.Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah didirikan oleh Muhammad bin Abu
Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah
Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan). Al-Maturidy mendasarkan
pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran
Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya Al-fiqh Al-Akbar
dan Al-fiqh Al-Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap
kedua kitab-kitab tersebut. Al-Maturidy meninggalkan karangan-
karangan yang banyak dan sebagian besar dalam lapangan ilmu
tauhid. Maturidiyah lebih mendekati golongan Mu’tazillah.192

8.Aliran Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazillah
yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam.
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya,
yaitu Abu Hasan al-Asy’ari. Dan nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan dikota Basrah (Irak) pada tahun 260
H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturunan Abu Musa al-
Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali r.a.
dan Mu’awiyah ra.

192 Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran – Aliran, h. 63-64

149
Setelah keluar dari kelompok Mu’tazillah, al-Asy’ari
merumuskan pokok-pokok ajarannya yang berjumlah tujuh pokok.
Berikut ini adalah tujuh pokok ajaran aliran As’ariyah:193
a. Tentang Sifat Allah
Menurutnya, Allah mempunyai sifat, seperti al-Ilm
(mengetahui), al-Qudrah (kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sama‟
(mendengar), dan al-Basar (melihat).
b. Tentang Kedudukan Al-Qur‟an
Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk dalam arti
baru dan diciptakan. Dengan demikian, Al-Qur’an bersifat
qadim (tidak baru).
c. Tentang melihat Allah Swt. di akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah
mempunyai wujud.
d. Tentang Perbuatan Manusia
Perbuatan-perbuatan manusia itu ciptaan Allah.
e. Tentang Antropomorfisme
Menurut alAsy’ari, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan,
sebagaimana disebutkan dalam surah al-Qamar ayat 14 dan ar-
Rahman ayat 27. akan tetapi bagaimana bentuk Allah tidak
dapat diketahui.
f. Tentang dosa Besar
Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin
selam ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
g. Tentang Kekuasaan Allah
Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak
mutlak atas ciptaan-Nya.

E. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU KALAM


Penelitian ilmu kalam dibagi kedalam dua bagian:
1. Penelitian Pemula
Penelitian pemula adalah penelitian dasar, yang bersifat
membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk

193 Ibid, h. 55-58

150
pada Al-Qur’an dan haditst serta berbagai pendapat tentang kalam
yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.
Penelitian pemula yang dilakukan oleh para tokoh Islam
bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan doktriner dan
substansi ajaran.

Berikut beberapa referensi penelitian pemula:


a. Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-
Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul
Kitab al-Tauhid. Buku ini telah di tahkik oleh Fathullah Khalif,
magister dalam bidang sastra Universitas Iskandariyah dan
Doktor filsafat Universitas Cambridge. Dalam buku tersebut
dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari Al-Maturidy,
juga dikemukakan berbagai masalah hidup yang detail dan
rumit di bidang ilmu kalam.
Diantaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal
beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-
sama’ (dalil nakli) dan dalil akli, pembahasan tentang alam,
antrophormisme atau paham jisim pada Tuhan, sifat-sifat Allah,
perbedaan paham diantara manusia tentang cara Allah
menciptakan makhluk hidup, perbuatan makhluk, paham
qadariyah, qada dan qadar, masalah keimanan, serta tidak
adanya dispensasi dalam hal islam dan iman.194
b. Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari
Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari yang wafat pada
tahun 330 Hijriah telah menulis buku berjudul Maqalat al-
Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. Buku ini telah ditahkik oleh
Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid sebanyak dua juz. Juz
pertama setebal 351 halaman, sedangkan juz keduanya 279
halaman. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam
tentang teologi Ahlu Sunnah mau tidak mau harus mempelajari

194 Lihat: Abu Mansur al-maturidy, Kitab al-tauhid, (iskandariyah: Daar al-jamiat al-
Mishriyah, tt)

151
buku ini, dan buku karangan al-Maturidy sebagaimana
tersebut di atas. Namun, kita tidak tahu persis apakah buku ini
dikaji di pesantren-pesantren atau tidak. Yang penulis ketahui,
para santri mempelajari pemikiran teologi Ahlu Sunnah dari
sumber kedua atau ketiga.
Sebagaimana halnya Al-Maturidy, Al-Asy’ari juga dalam
bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan
mendetail tentang teologi. Pada juz pertama buku tersebut
antara lain dibahas mengenai permulaan timbulnya masalah
perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang disebabkan
karena perbedaan dalam bidang kepemimpinan (imamah dan
politik) yang dimulai dari zaman Usman bin Affan, juga
pembahasan tentang aliran-aliran induk (Ummahat al-Firq)
yang jumlahnya mencapai 10. Yang pertama adalah aliran
Syi’ah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu al-
bayaniyah, al-jinahiyah, al-ruhiyah, al-mughayyirah, al-
manshuriyah, al-khithabiyah, al-ma’mariyah, al-baghiziyah, al-
amiriyah, al-mufdhilah, al-hululiyah, al-qailunan ilahiyatu ‘Ali,
al-rafidlah, al-sabi’iyah, al-mufawwidah, dan al-imamiyah. Al-
Imamiyah ini dibagi lagi menjadi dua puluh empat golongan.
Dalam buku tersebut dibahas pula tentang perbedaan
pendapat di sekitar panggung arasy (hamalatul arsy),
kebolehan bagi Allah dalam mencip-takan alam, tentang al-
Qur’an, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan
manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran,
kembalinya kematian ke dunia sebelum datangnya hari kiamat,
masalah imamah (kepemimpinan), masalah kerasulan,
masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan bagi anak
kecil, tentang tahkim (arbitrase), hakikat manusia, aliran
khawarij dengan berbagai sektenya, dan masih banyak lagi
masalah rumit yang ada hemat penulis belum banyak dikaji
oleh kalangan yang mengaku dirinya sebagai penganut teologi
Asy’ariyah. 195

195 Lihat: Abu al-hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin,


(Beirut: al-maktabah al-Ashriyah, tt)

152
c. Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad menulis buku berjudul Syarh al-
Ushul al-Khamsah yang tebalnya mencapai 805 halaman. Buku
ini ditahkik oleh doktor Abd al-Karim ‘Usman dan diterbitkan
oleh penerbit Maktabah Wahbah tanpa menyebutkan
tahunnya. Bagi seseorang yang ingin mengkaji tentang ajaran-
ajaran Mu’tazilah secara mendalam dan mendetail, mau tidak
mau harus membaca buku ini dengan sikap yang wajar dan
objektif tanpa didahului oleh buruk sangka atau pra konsepsi.
Hal ini penting dilakukan karena hingga saat ini mayoritas
umat Islam memandang Mu’tazilah agak kurang proporsional
bahkan cenderung menghakimi secara sepihak tanpa
memberikan kesempatan kepada Mu’tazilah untuk melakukan
pembelaan diri. Sikap buruk sangka dan tidak proporsional
terhadap Mu’tazilah tersebut mungkin disebabkan karena
dendam lama atas keburukan yang pernah dilakukan sebagian
oknum Mu’tazilah di zaman Al-Ma’mun. Mereka yang tidak
merasa senang terhadap Mu’tazilah ini menulis buku yang
mengesankan Mu’tazilah bernada negatif. Kini saatnya umat
Islam bersikap objektif terhadap kaum Mu’tazilah dengan cara
mempelajari pemikiran Mu’tazilah tersebut dari buku atau
sumber bacaan yang ditulis oleh orang Mu’tazilah sendiri.
Diketahui bahwa ajaran pokok Mu’tazilah ada lima, yaitu al-
Tauhid yang mengesankan Allah, al-Adl yaitu paham keadilan
Tuhan, al-wa’ad al wa’id yakni paham janji baik dan buruk di
akhirat, al-Manzilah bain al-manzilatain serta amar ma’ruf nahi
munkar. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah tersebut dibahas
secara mendetail dalam buku ini. Diantaranya, kewajiban yang
utama dalam mengetahui Allah, makna wajib, makna
keburukan, hakikat pemikiran dan macam-macamnya,
pembagian manusia, urusan dunia dan akhirat, makna
berpikir, dan sebagainya.196

196 Lihat: Al-Qadhi Abdul jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1996)

153
d. Model Thahawiyah
Imam Al-Thahawiyah telah menulis buku berjudul Syarh al-
Akidah al-Thahawiyah yang telah ditahkik oleh sekelompok
para ulama dan diperiksa (di edit) oelh Muhammad Nashir Al-
Din Al-Bayai dan diterbitkan oleh Al-Maktab Al-Islamy pada
athun 1984. Buku yang tebalnya 536 halaman ini secara
keseluruhan membahas teologi dikalangan ulama salaf, yaitu
ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan
pemikiran lainnya yang berasal dari luar Islam, atau bukan
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam buku ini antara lain dibahas tentang kewajiban
mengimani apa yang dibawa oleh para rasul, kewajiban
mengikuti ajaran para rasul, makna tauhid, tauhid uluhiyah,
dan tauhid rububiyah, tafsir potongan ayat ma itakhaza Allah
min walad (Allah tidak mengambil anak), macam-macam
tauhid yang dibawa oleh rasul, tafsir potongan ayat Laitsa ka
mitslihi syaiun (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah),
mengenai wujud yang berada diluar zat, tafsir tentang qudrat
dan penjelasan bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh
segala sesuatu, tafsir kalimat lailaha illa Allah, pembahasan
mengenai sifat al-hayat, kelangsungan sifat yang utama, sifat
zat dan sifat perbuatan bagi Allah, apakah sifat merupakan
tambahan atas zat atau bukan, dan masalah lainnya yang
jumlahnya lebih dari dua ratus pokok masalah.197
e. Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy
Beliau telah menulis buku yang berjudul Al-Syamil Fi Ushul Al-
Din. Di dalam buku tersebut membahas tentang penciptaan
alam yang di dalamnya terdapat hakikat jauhar (substansi),
hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu’tazilah, pembahasan
tentang akidah, kajian tentang dalil atas kesucian Allah.198
f. Model Al-Ghazali
Beliau telah menulis buku Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod. Buku
tersebut membahas tentang perlunya ilmu dalam memahami

197 Lihat: Al-Thahawi, Syarh al-Akidah al-Thahawiyah, (kairo: daar Ibn Rajab, 2002)
198 Lihat: Al-Juwaini, Al-Syamil Fi Ushul Al-Din, (Teheran: Danish Irani, 1981)

154
agama dan juga perlunya ilmu sebagai fardhu kifayah,
pembahasan tentang dzat Allah, tentang qodimnya alam, dan
penetapan tentang kenabian Muhammad saw.199
g. Model Al-Amidy
Beliau telah menulis buku yang berjudul Ghoyah Almaram Fi
Ilmu Kalam, yang membahas tentang sifat-sifat wajib bagi
Allah, sifat nafsianya, sifat yang jaiz bagi Allah, pembahasan
tentang keesaan Allah Swt., perbuatan yang bersifat wajib, al-
wujud, dan tentang tidak ada penciptaan selain Allah.200
h. Model Al-Syahrastani
Beliau telah menulis buku yang berjudul Nihayah Al-Iqdam Fi
Ilmi Al-Kalam, yang membahas tentang barunya alam, tauhid,
sifat-sifat azali, hakikat ucapan manusia tentang Allah sebagai
Yang Maha Pendengar, dan perbuatan-perbuatan sebelum
datangnya syari’at.201
i. Model Al-Bazdawi
Beliau telah menulis buku yang berjudul Ushul Al-Din, yang
membahas perbedaan pendapat para ulama mengenai
mempelajari ilmu kalam dalam mengerjakan dan
menyusunnya, perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab
seorang hamba mengetahui macam-macam ilmu pengetahuan,
tentang Allah sebagai pencipta alam semesta, tentang
kehidupan di akhirat.202

2.
Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan merupakan pengembangan dari penelitian
pemula, yang bersifat mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu

199 Lihat: Abu hamid al-Ghazali, Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod, (Beirut: dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2004)
200 Lihat: Saifuddin al-Amidi, Ghoyah Almaram Fi Ilmu Kalam, (kairo: al-majlis al-A’la
li syu’un al-Islamiyah, 1971)
201 Lihat: Al-Syahrastani, Nihayah Al-Iqdam Fi Ilmi Al-Kalam, (Baghdad: maktabah al-
tsaman, tt)
202 Lihat: Al-Bazdawi, Ushul al-Din, (Kairo: al-maktabah al-Azhariyah li al-Turats,
2005)

155
berdasarkan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian
model pertama.
Model penelitian lanjutan adalah sebagai berikut:
a. Model Abu Zahrah
Abu Zahrah melakukan penelitian terhadap berbagai aliran
dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam
karyanya yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-
Siyasah wa al-’Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat
dalam penelitiannya ini yaitu sekitar masalah objek-objek yang
dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam
bidang politik yang berdampak pada masalah teologi.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam
mahzab Syi’ah yang mencapai 12 golongan, diantaranya Al-
Sabaiyah, Al-Gurabiyah, golongan yang keluar darin Syi’ah, Al-
Kisaniyah, Al-Zaidiyah, Itsna Asyariyah, Al-Imamiyah,
Isma’iliyah. Dikemukakan pula aliran khawarij dengan
berbagai sektenya yang jumlahnya mencapai enam aliran,
yaitu Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan yang
lainnya lengkap dengan berbagai pandangan teologinya. 203
b. Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
Sebagaimana Abu Zahrah, beliau pun memusatkan
penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat
dalam Islam serta pertumbuhan Ilmu Kalam dikalangan
masyarakat Islam. Hasil penelitiannya itu ia tuangkan dalam
karyanya yang berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa
Nasy’atu ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin. Yang diungkapkan
beliau antara lain sejarah pertumbuhan ilmu kalam, keadaan
akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur
Rasyidin, dan zaman Bani Umayah dengan berbagai
permasalahan teologi yang muncul pada zaman tersebut.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aliran
Mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran

203 Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-
‘Aqaid, (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi, 2007)

156
teologinya, pembahasan tentang aliran Khawarij lengkap
dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.204
c. Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-’Abd
Beliau secara khusus melakukan penelitian terhadap pokok-
pokok pemikiran yang dianut aliran Ahlu Sunnah. Hasil
penelitiannya ini dituangkan dalam karyanya yang berjudul al-
Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl al-Sunnah yang tebalnya 162
halaman. Buku ini diterbitkan oleh Dar al-Nahdlah al-Arabiyah
di Mesir (tanpa menyebutkan tahunnya).
Dalam buku ini antara lain dibahas tentang pokok-pokok
yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dikalangan
umat Islam, masalah Mantiq dan falsafah, hubungan Mantiq
dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, bentuk dna pemikiran,
pembentukan konsep, barunya alam, sifat yang melekat pada
Allah Azza wa Jalla, nama-nama Tuhan, keadilan Tuhan,
penetapan kenabian, mu’jizat dan karomah, rukun Islam, Iman,
dan Islam, taklif (beban), Al-Sam’iyyat (wahyu atau dalil naql),
Al-Imamah, serta ijtihad dalam hukum agama.205
d. Model Ahmad Mahmud Shubhi
Beliau adalah dosen Filsafat Islam Fakultas Adab Universitas
Iskandariyah. Beliau melakukan penelitian dalam bidang
teologi Islam dan telah dipublikasikan dalam 2 buku yang
berjudul Fi Ilmi Kalam. Buku pertama yang tebalnya 368
halaman khusus membahas mengenai aliran Mu’tazilah
lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokonya, sedangkan buku
kedua yang tebalnya 334 halaman membahas mengenai aliran
Asy’ariyah lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokohnya. 206
e. Model Ali Sami Al-Nasyr dan Amar Jam’iy Al-Thaliby
Beliau melakukan penelitian khusus terhadap akidah kaum
Salaf dengan mengambil tokoh Ahmad Ibn Hambal, Al-Bukhari,

204 Lihat: Ali Mushthafa Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-
Kalam ‘ind al-Muslimin, (kairo: al-mathba’ah al-Husainiyahal-Mishriyah, 1948)
205 Lihat: Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Abd, al-Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl al-
Sunnah, (Kairo: Daar an-nahdhah al-Arabiyah, 2006)
206 Lihat: Ahmad Mahmud Shubhi, Fi Ilm al-kalam, (Kairo: Dar an-nahdhah al-
Arabiyyah, 1985)

157
Ibn Khutaibah, dan Usman Al-Darimy. Dalam buku tersebut
diungkapkan tentang pemikiran kaum Salaf yang berasal dari
tokoh-tokohnya yang menonjol itu.207
f. Model Harun Nasution
Harun Nasution dikenal sebagi guru besar Filsafat dan Teologi,
yang banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian di
bidang pemikiran teologi Islam (Ilmu Kalam). Salah satu hasil
penelitiannya dituangkan dalam buku Fi Ilm al-Kalam (Teologi
Islam). Dalam buku tersebut dikemukan tentang sejarah
timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam, tentang
berbagai aliran dalam teologi Islam lengkap dengan tokoh-
tokoh dan pemikirannya. Kemudian beliau melakukan analisis
dan perbandingan terhadap masalah akal dan wahyu, free will
dan predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
dan konsep iman.208
Dari berbagai penelitian lanjutan tersebut, dapat diketahui
metode dan pendekatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, penelitian lanjutan yang dilakukan para peneliti
tersebut secara keseluruhan termasuk penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian yang mendasar-kan pada data yang terdapat dalam
berbagai sumber rujukan di bidang teologi Islam.
Ke dua, secara keseluruhan penelitiannya bercorak deskriptif,
yaitu penelitian yang menekankan pada kesungguhan dalam
mendeskripsikan data selengkap mungkin.
Ke tiga, dari segi pendekatan yang digunakan secara
keseluruhan menggunakan pendekatan historis, yakni mengkaji
masalah teologi tersebut berdasarkan data sejarah yang ada dan
dilihat sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan.

207 Lihat: Ali Sami Al-Nasyr dan Amar Jam’iy Al-Thaliby, Aqaid as-Salaf, (iskandariyah:
Mansya’at al-Ma’arif, 1971)
208 Lihat: Harun Nasution, Teoligi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1983)

158
Ke empat, dalam analisisnya selain menggunakan analisis
doktriner juga menggunakan analisis perbandingan, yaitu dengan
mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran dengan
sedemikian rupa dan kemudian barulah dilakukan perbandingan.

159
BAB IX
STUDI ILMU TASAWUF

A. PENGERTIAN TASAWUF
Ada beberapa pendapat terkait asal dari kata tasawuf. Menurut
Haidar Bagir istilah tasawuf dapat dirujuk kepada beberapa kata
dasar, yakni:209
1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi
berada dalam shaff pertama.
2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa
mencirikan pakaian kaum sufi.
3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid
(ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi
masjid Nabawi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary,
Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn
Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman.
4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku
Baduwi yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani
Shufah.
5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal
istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna
pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan yang
disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan
mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna
penyucian sulfur merah.
Selanjutnya, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih
dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi
itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-

209 Mahmud Suyuthi, Politik Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah Jombang,


(Yogyakarta: galang Press, 2001), h. 9

160
hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah
(pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada
apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar
shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran
al-Qur’an tentang penyucian hati.210 Sedangkan menurut Amin Syukur
yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu
domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para
sufi maupun aspek kesejarahan.211
Secara terminologi ada banyak definisi tasawuf yang telah
dibuat oleh para ulama, diantaranya:
1. Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf ialah
penjabaran ajaran Alquran, sunnah, berjuang mengendalikan
hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan
syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.212
2. Menurut Ahmad Amin tasawuf ialah bertekun dalam ibadah,
berhubungan langsung dengan Allah Swt., menjauhkan diri
dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang
diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk
dalam berkhalwat untuk beribadah.213
3. Zakaria al-Anshari, tasawuf ialah mengajarkan cara untuk
mensucikan diri, meningkatkan akhlak, berlaku zuhud
terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari
dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah mendekatkan
diri kepada Allah dan memperoleh hubungan langsung
dengannya.214
4. Ibrahim Hilal dalam bukunya Tasawuf Antara Agama dan
Filsafat, bahwa tasawuf pada umumnya bermakna menempuh
kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia,
rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis

210 Ibid
211 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Cet. II. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 11
212 Abu Qasim Al-Qusyeiry, Latha’if al-isyarat (Mesir: al-hai’ah al-Mishriyyah al-
Ammah li al-Kitab, 2000), jilid 1, h. 14
213 Ahmad Amin, Zhuhur al-islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), h. 24
214 A Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 207

161
amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam,
dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi
jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau
ruhani menjadi kuat.215
Dengan demikian, secara istilah tasawuf adalah cara atau jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Upaya para ahlinya untuk
mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis,
keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung
proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam
kitab suci.216

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF


Sejarah perkembangan ilmu Tasawuf dikelompokkan kepada
lima periodesasi:
1. Masa pembentukan, diawali abad pertama Hijriyah sampai II
Hijriyah.
2. Masa pengembangan: (abad III dan IV H munculnya
sekelompok sufi memperkenalkan ajaran tasawuf seperti
Hasan Basri membawa ajaran khauf dan raja’. Abad ini,
tasawuf bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dengan Khalik
3. Masa konsolidasi. Pada abad V H tasawuf mengadakan
konsolidasi yang ditandai dengan kompetisi dan pertarungan
antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni
4. Masa Falsafi. Pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu
tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi
dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf
5. Masa pemurnian, karena tasawuf dianggap sudah
menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali.217

215 Ibrahim Hilal, Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana
dan E. Kusdian, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis,
(Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah, 2002), h. 19
216 Haidar Baqir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung; Mizan, 2005), h. 7
217 Lihat: HAMKA, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka
panjimas, 1993).

162
C. AJARAN-AJARAN TASAWUF
Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian
kesempurnaan serta kesucian jiwa. Kebersihan jiwa yang dimaksud
adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-
hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam
mengontrol diri pribadi, setia dan senantiasa merasa dalam
kebersamaan dengan Allah Swt. Untuk mencapai hal tersebut, tidak
ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang
diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar
dan disiplin tingkah laku yang ketat.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau
jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja
menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa
yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu
menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga
kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa
yang bersifat suci dari pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu,
hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui
jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy. Takhalliy berarti
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-
kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau
penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang
berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan
dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan
sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik,
berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas
ketentuan agama. Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang
perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta
(hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha,
tawakkal.

163
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia
akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti
lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau
terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala
sesuatu (selain Allah) ketika tampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy
tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati
nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila
dibandingkan dengan kemampuan akal.218

D. MAQAM DAN AHWAL


1.Maqamat
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi memberikan
suatu metode atau cara atau jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut
Maqam. Maqamat berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat orang
berdiri.219 Selanjutnya istilah tersebut berkembang lebih jauh dengan
arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati
oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Tingkatan
tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang tampak kelihatan
dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Maqamat ini sebagai
hasil dari mujahadah (kesungguhan) dan riyadhah (latihan)
berkesinambungan yang dilaksanakannya, serta putusnya hubungan
dengan selain Allah.220
Berdasarkan defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa
maqamat merupakan suatu tingkatan, tahapan yang dicapai oleh sufi
dari usahanya yang keras dan sungguh-sungguh serta perjuangannya
terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada Allah Swt.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul perbedaan
pendapat di kalangan sufi bahwa referensi tentang jumlah maqamat
tidak selamanya sama. Tampaknya perbedaan tersebut berfariasi baik

218 M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali


(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 166-186
219 Ahmad warson al-Munawwir, Kamus Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 1175
220 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang,1995),
h. 62

164
segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut pendapat beberapa
ulama:
a. Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan
formasi sebagai berikut: Taubat, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu’,
Takwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma’rifat.221
b. Al-Ghazali ada delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir,
Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ridha, dan Ma’rifat.222
c. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa maqamat hanya
ada tujuh macam yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar,
Tawakkal dan Ridha.
d. Menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam
yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Sabar, dan Ridha.223
Kendati ada perbedaan ulama tentang jumlah formulasi
maqamat, tetap ada tingkatan yang sama disepakati dan mesti ada
sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai mana yang disebutkan
oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan
diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar, Tawakkal dan
Ridha.224
Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
a. Taubah, ialah meninggalkan keinginan untuk kembali
melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya
karena rasa takut akan kebesaran Allah Swt., dan menjauhkan
diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat bahwa taubat
adalah maqamat pertama.225 Mengingat bahwa taubat
merupakan metode atau cara untuk mengikis semua sifat yang
jelek. Menurut para sufi, dosa itu adalah pemisah antara
manusia dengan Allah, sebab dosa itu adalah sesuatu yang
kotor sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang yang

221 Lihat: Abu bakr al-Kalabadzi, Al-ta’aruf li Mazahib Ahl al-Tasawwuf, (Kairo: al-
Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, tt).
222 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Makassar: Yayasan fatiyah Makassar, 2002), h. 62
223 Ibid, h. 62
224 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 102
225 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 64

165
senantiasa mensucikan dirinya dari dosa dengan cara
bertaubat.
b. Zuhud, diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan
menjauhkan diri dari hidup kebendaan.226 Namun al-Gazali
mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan
kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran.
Sedangkan al-Qusyaeri menyebut zuhud yaitu tidak merasa
bangga dengan kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan
tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan dari
tangannya.227
c. Sabar. secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar
adalah sebuah kondisi mental dalam mengendalikan hawa
nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan agama. Sabar
yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten
dalam melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan yang
ditimpakan kepadanya.228
d. Tawakkal. Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap
pasrah secara total setelah melaksanakan suatu usaha.
Tawakkal juga berarti berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah
Swt. dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut
sufi, tawakkal tidak cukup hanya sekadar penyerahan diri
seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan
merefleksikannya melalui sikap dan tindakan dalam segala
hal.229
e. Ridha, secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut
Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar
Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci di
dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah
perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa mala petaka

226 Ibid, h. 65
227 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), h. 65
228 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 68
229 Ibid, h. 68

166
ia tetap senang dan ridha menerimanya sebagaimana ketika ia
mendapat rahmat dan nikmat.230

2.Ahwal
Ahwal merupakan keadaan mental, seperti keadaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.231 Ahwal Juga
diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang
diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah Swt. Ahwal sebenarnya
manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat
sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis,
sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi
yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat
subjektif dan personal.232
Beberapa ahwal dalam tasawuf, berikut penjelasannya:
a. al-Khauf, yakni merupakan sikap mental dengan merasakan
ketakutan pada Allah Swt., karena kurang sempurna
pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut
dan khawatir jika Allah Swt. tidak senang padanya. Oleh
karena itu, sufi selalu berusaha agar perilakunya tidak
menyimpang dari yang dikehendaki Allah Swt.233
b. al-Raja’, yang merupakan sikap mental yang optimis dalam
memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan
penyayang, maka sufi penuh ‗harap’ memperolah ampunan
dan limpahan rahmat. Sikapraja ini akan member semangat
dalam riyadhah dan mujahadah sehingga dengan penuh gairah
menanti harapan datangnya rahmat Allah Swt.234
c. al-syauq, yakni Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi
untuk ingin bertemu dengan Tuhannya. Hasratnya bergelora
untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Pengetahuan,
pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada

230 Ibid, h. 68
231 Ibid, h. 63
232 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 71
233 Ibid, h. 71
234 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, h. 73

167
Allah Swt., menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan
bergairah yang melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk
bertemu dengan Yang dicintai.235
d. al-Uns, yaitu kedaan jiwa yang sepenuhnya terfokus kepada
Alah Swt. Tidak merasa tidak mengingat dan tidak mengharap
kecuali kepada Alah Swt.236
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa ahwal itu
sebagai kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara
damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa jalan
yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh
hubungan batin dan ―bersatu dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara
yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan
penerapannya. Maqamat diperoleh melalui usaha yang berat dan
keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan tidak berubah.
Seperti kesabarannya menerima cobaan sama saja ketika menerima
nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat dari perilaku keseharian sufi
seperti kesabaran, tawakkal, zuhud dan kerelaan.
Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugerah, rahmat
(bukan unsur usaha dan perjuangan), keadaannya bersifat labil dan
tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih, kadang senang).
Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak bisa dilihat
orang lain), dan hanya dapat dirasakan dan dipahami serta diketahui
oleh orang yang mengalaminya.
Maqamat dan Ahwal keduanya mempunyai dua sisi yang sama
dan sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan makin tinggi tingkat maqamat
yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang
diperolehnya dan dirasakannya.

E. KLASIFIKASI KAJIAN TASAWUF


Secara umum, tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni 1) tasawuf ilmi atau tasawuf nazhari, yaitu tasawuf yang bersifat

235 Ibid, h. 75
236 Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, h. 71

168
teoretis. 2) tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni ajaran tasawuf
yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya
pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf.
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur
menjelaskan pembagian tasawuf;237
a. Tasawuf akhlaqy adalah ajaran tasawuf yang membahas
tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan
pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia
harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya
dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang
berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna
dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal
dengan takhalliy (pengosongan)
b. Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan
pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, di mana
dalam thariqah dibedakan antara kemam-puan sufi yang satu
daripada yang lain.
c. Tasawuf falsafy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya.
Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-
macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak
hilang.

F. MODEL-MODEL PENELITIAN TAsawUF


1.
Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuwan yang amat terkenal
dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah, termasuk ke
dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam buku yang
berjudul Tasawuf dulu dan Sekarang. Ia menggunakan metode

237 HM Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 164

169
penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang
mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema
tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis
terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia
menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin
hubungan yang intens dengan Tuhandalam upaya untuk mencapai
keutuhan manusia.238

2.
Model Mustafa Zahri
Mustafa Zahri memusatkan terhadap tasawuf dengan menulis
buku berjudul kunci memahami ilmu tasawuf. Penelitiannya bersifat
eksploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu
tasawuf. Ia menekankan ajaran yang terdapat dalam tasawuf
berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta
dengan mencari sandaran pada Al-Quran dan haditst. Ia menyajikan
tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh
kehidupannabi, kunci mengenal Allah, sandi kekuatan batin, fungsi
kerohanian dalam menentramkan batin, serta tarekat dan fungsinya.
Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran
makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.239

3.Model Kautsar Azhari Noor


Menerbitkan buku berjudul Wahdat al-Wujud yang
mengangkat paham dari Ibn Arabi, yaitu Wahdat al-Wujud. Paham ini
menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para ulama, karena
paham tersebut dinilai membawa paham reinkarnasi, atau paham
serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagi ciptanya. Dengan
demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham
banyak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya
tetap satu. Namun sifat-sifat-Nya banyak.240

238 Lihat: Sayyed Hossein Nasr, The Garden of truth: the Vision and promise of Sufism,
islam’s Mistical Tradition, terj. Yuliani liputo, (Bandung: Mizan, 2020)
239 Lihat: Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979).
240 Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn al-`Arabi: wahdat al-wujud dalam perdebatan,
Jakarta: Paramadina)

170
4. Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar bidang teologi dan
filsafat Islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian dan
bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistitisme
dalam Islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf dalam tema jalan untuk dekat dengan Tuhan. Pendekatan
tematik dinilai lebih menarik karena dinilai langsung menuju
persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang lain.
Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalam garis
besarnya saja.241

5.Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan,
banyak melalui studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf.
Dalam bukunya Pasang Surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba
menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan
tematik dan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba
kemukakan tentang firman Allah, kehidupan para nabi, para zahid,
para sufi, para ahli teori tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf,
tarekat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran Dari
isi penelitiannya tersebut, tampak bahwa Arberry menggunakan
analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses
aktualisasi nilai atau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke
dalam makan kehidupan modern yang lebih luas.242

241 Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983).
242 Lihat: AJ. Arberry, Sufism an account of Mystic of Islam, (London: mandala Book,
1979)

171
BAB X
STUDI FIQH DAN HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN FIQH DAN ISTILAH LAIN YANG


BERKAITAN
Ada beberapa istilah yang memiliki makna yang berdekatan,
dan seringkali disangka maknanya sama, yaitu syariah, fiqih dan
hukum Islam.

1.Syari’ah
Secara harfiah kata syari’ah berasal dari kata syara‟a-
yasy‟rau-syariatan yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum.
(Louis Ma’luf: t.t, 383) Pengertian lainnya yang dikemukakan dalam
Kitab Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi‟i, secara bahasa
Syari’ah adalah jalan lurus. Syariah dalam arti istilah adalah hukum-
hukum dan aturan-aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-
hamba-Nya.243 Dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah
wahyu Allah, baik dalam pengertian wahyu al-Matluw (Al-Qur’an),
maupun al-Wahyu gair matluw (Sunnah).

2.Fiqh
Fiqh secara bahasa berarti fahm yang bermakna mengetahui
sesuatu dan memahaminya dengan baik. Secara terminologi, Abu
Hanifah memberikan pengertian Ma’rifatu al-nafsi ma laha wa ma
alaiha, yang artinya mengetahui sesuatu padanya dan apa apa yang
bersamanya yaitu mengetahui sesuatu dengan dalil yang ada.
Pengertian yang Abu Hanifah kemukakan ini umum yang mencakup ke

243 Lajnah Marasiah, Buhuts fi al-Fiqh ‘al al-Mazhab al-Syafi’i, Kairo: Mathba’ah, 2000),
h. 20

172
seluruh aspek seperti Aqidah dengan wajibnya beriman atau Akhlak
dan juga Tasawuf.244
Pengertian terminologis fiqh yang paling terkenal adalah
pengertian fiqh menurut Imam Syafi’i yaitu pengetahuan tentang
syari’ah; pengetahuan tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf
berdasarkan dalil yang terperinci.
Berdasarkan dengan perkembangan hukum Islam ke berbagai
belahan Dunia, term fiqh berkembang hingga digunakan untuk nama-
nama bagi sekelompok hukum-hukum yang bersipat praktis.
Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan sistem
hukum Islam kata fiqh ini diartikan dengan hukum yang dibentuk
berdasarkan syariah, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya
memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau
pengetahuan dan juga Ijtihad.245 Dalam kajian studi Hukum Islam ini
arti fiqh yang dimaksudkan adalah arti fiqh dalam pengertian yang
diberikan oleh Imam Syafi’i yang lebih mengkhususkan artian fiqh
kepada aturan-aturan mengenai perbuatan mukallaf.

3.
Ushul al-Fiqh
Usul Fiqh terdiri dari dua kata usul jamak dari asl yang berarti
dasar atau sesuatu yang dengannya dapat dibina atau dibentuk
sesuatu, dan kata fiqh yang berarti pemahaman yang mendalam.
Menurut Istilah, Pengertian usul fiqh adalah ilmu tentang kaidah dan
pembahasan yang mengantarkan kepada lahirnya hukum-hukum
syariah yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.246 Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syariah.
Dengan kata lain usul al-fiqh adalah sistem (metodologi) dari ilmu
fiqh.

244 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islami wa adillatuhu, jilid 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 29
245 Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, (Pustaka Setia, 2011), h. 13
246 Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-islami, (Kairo: Daar al-Qalam, 1978), h.
738

173
4.Mazhab
Pengertian mazhab secara bahasa berarti ―tempat untuk pergi
yaitu jalan, sedangkan pengertian mazhab secara istilah adalah:
pendapat seorang tokoh fiqh tentang hukum dalam masalah
ijtihadiyah.247 Secara lebih lengkap mazhab adalah: paham atau aliran
hukum dalam Islam yang terbentuk berdasarkan ijtihad seorang
mujtahid dalam usahanya memahami dan menggali hukum-hukum
dari sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

5.Fatwa
Fatwa artinya petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum. Dalam istilah fiqh, fatwa berarti pendapat
yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban
yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat. Pihak yang meminta fatwa boleh jadi adalah pribadi atau
lembaga maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan
mujtahid tersebut tidak bersifat mengikat atau mesti diikuti oleh si
peminta fatwa dan oleh karenanya fatwa ini tidak mempunyai daya
ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh disebut dengan
Mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut mustafti.248

6.Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata
kerja Qala-Yaqulu. Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan,
baik sempurna maupun tidak.249 Kiranya secara simpel Qaul dapat
diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata
Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau
ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam
fiqh tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu
Qaul Qadim dengan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau

247 Wahbah al-zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, h. 32


248 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (jakarta: Ikhtiyar baru van Hoeve,
1997), h. 326
249 Ibn Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Daar shadir, tt), h. 572

174
ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau
ketika berada di Mesir.250

B. IJTIHAD DAN URGENSINYA DALAM


PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
Ijtihad merupakan derivasi dari kata jahada artinya berusaha
sungguh-sungguh. Dalam terminologi hukum ijtihad adalah
menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan
hukum syara’ dengan cara istimbath dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Lapangan ijtihad adalah pada persoalan persoalan yang tidak
dijelaskan secara tuntas oleh Al-Qur’an dan Sunnah terutama
menyangkut perkembangan ilmu dan peradaban umat manusia.
Disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh merambah pada
dimensi ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan lainnya. Ijtihad
merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia
adalah semangat rasionalitas Islam dalam konteks kehidupan modern
yang kian kompleks permasalahannya. Banyak permasalahan baru
yang tidak ada pada masa hidup Nabi Muhammad saw.
Kebolehan ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga
diindikasikan dalam sebuah hadits Riwayat Tarmizi dan Abu Daud
yang berisi dialog antara Nabi Muhammad saw dan Mu'adz bin Jabal
yang diangkat sebagai gubernur Yaman. Nabi bertanya: Hai Muaz,
bagaimana caramu memutus perkara ? Muaz menjawab: Saya akan
mencarinya dalam Kitabullah. Nabi Bertanya: Jika kamu tidak
menemukannya? Muaz menjawab: Saya mencarinya dalam sunnah
Rasul Nya. Nabi bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukan dalam
sunnah RasulNya ? Muaz menjawab: “Saya akan berijtihad. “kamu
benar” kata Rasul. Dari peristiwa tersebut jelaslah bahwa Rasul sudah
memberi peluang kepada Muaz untuk menggunakan kemampuan
untuk berijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditemukan dalam al-
Qur’an dan Hadits.

250 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 326

175
Orang yang malakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Adapun
syarat-syarat seorang mujtahid adalah: a) Islam, b) Menguasai al-
Qur'an dan ilmu-ilmunya, c) Memahami hadits dan ilmunya, d)
Memahami kaidah bahasa Arab, e) Memiliki ilmu-ilmu yang terkait
dengan masalah yang dibahas.
Mujtahid dapat dikategorikan menjadi 3 bentuk:
a. Mujtahid mutlak adalah mengistinbat [memutuskan] hukum
dari al-Qur’an dan sunnah tanpa terikat dengan dengan
pendapat imam sebelumnya. Contahnya imam mazhab yang
empat Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
b. Mujtahid mazhab adalah mengistinbat hukum dari qa’edah
imam mazhabnya, seperti Imam Muzanni.
c. Mujtahid fatwa/tarjih adalah orang yang menarjihkan
(memilah pendapat kuat dan dha,if) dalam pendapat-pendapat
yang sudah difatwakan para ulama, seperti Imam Rafi’i dan
Imam Nawawi.
Ijtihad dapat dilakukan dengan beberapa cara atau bentuk
antara lain:
a. Ijma’’, yaitu kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
terhadap suatu masalah hukum.
b. Qiyas: Secara bahasa artinya mengukur atau mempersamakan,
yakni membandingkan atau mempersamakan hukum suatu
perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perkara
lain yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur'an atau
sunnah dengan melihat persamaan 'illat (sebab yang
mendasari ketetapan hukum). Misalnya: arak (khamr)
diharamkan karena memabukkan. (Q.S: 2: 219) dan riba
diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S.
2:275). Maka secara qiyas, benda dan hal lainpun jika ternyata
memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi
haram juga.
c. Istihsan, Yaitu menetapkan suatu hukum berdasarkan prinsip-
prinsip umum ajaran Islam, seperti keadilan, kasih sayang.
Istihsan juga merupakan perpindahan dari suatu qiyas kepada

176
qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumentasi
dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah
kemudharatan. Contohnya: menurut aturan syara’, dilarang
mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi
akad. Akan tetapi berdasarkan istihsan jual beli yang demikian
dibolehkan dengan sistem pembayaran di awal kemudian
barangnya dikirim kemudian asalkan sudah jelas identitas
barangnya.
d. Istishab, yaitu menetapkan menurut keadaan sebelumnya
sampai ada dalil lain yang mengubah keadaannya. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu’ atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin
kepada keadan sebelum berwudhu’, sehingga ia harus
berwudhu’ kembali karena sholat tidak sah bila tidak
berwudhu’.
e. Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan
tinjauan kegunaan atau kemanfa’atannya sesuai dengan tujuan
syari’at, sementara tidak ada dalil yang melarang atau
mewajibkan pencapaiannya. Misalnya membukukan atau
mencetak al-Qur'an, menggaji muazzin, imam, khotib dan guru
agama serta mengadakan perayaan hari besar Islam.
f. Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adapt yang
sudah menjadi kebiasaan orang banyak. Contoh keharusan ijab
kabul dalam jual beli dapat diganti dengan ucapan terima kasih
karena sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
g. Syar’u man Qablana, yaitu syari’at yang diturunkan Allah
melalui Nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw
selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
h. Sadd adz-Dzari’ah, yaitu menurut bahasa artinya menutup
jalan. Sedangkan menurut istilah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat.

177
C. MENGENAL MAZHAB FIQH DAN
METODOLOGINYA
Al-Mazahib bentuk plural dari mazhab, yang secara literal
berarti jalan untuk pergi. Dalam karya-karya tentang agama Islam,
istilah mazhab erat kaitannya dengan hukum Islam adapun mazhab
hukum yang terkenal sampai saat ini ada 4 mazhab yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab
yang ada dalam Islam dan mereka bukanlah hukum sunni yang
representatif karena sejak dari abad pertama sampai kepada
permulaan abad keempat tidak kurang dari 19 mazhab hukum atau
lebih dalam Islam yang dalam arti kata muslim terdahulu tidak henti
hentinya untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang
berkembang.251
Timbulnya mazhab-mazhab ini disebabkan oleh beberapa
faktor yang oleh Ali As-Sais dan Muhammad Syaltut
mengemukakannya:
1. Perbedaan dalam memahami tentang lafaz Nas
2. Perbedaan dalam memahami Haditst
3. Perbedaan dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
4. Perbedaan tentang Qiyas
5. Perbedaan tentang penggunaan dali-dalil hukum
6. Perbedaan tentang mentarjih dalil-dalil yang berlawanan
7. Perbedaan dalam pemahaman Illat hukum
8. Perbedaan dalam masalah Nasakh.252
Berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya
selain yang dikemukakan di atas, lahirnya mazhab juga terjadi karena
perbedaan lingkungan tempat tinggal mereka, para fuqaha’ terus
mengembangkan istinbath hukum yang mereka gunakan secara
individu dari berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi dan

251 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Naqd Awham al-maddiyah al-jadaliyah,


(Damaskus: Daar al-Fikr, 1996), h. 66
252 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000), h. 16-18

178
metode yang mereka gunakan terus melembaga dan terus di ikuti oleh
para pengikutnya yaitu para murid-murid mereka.

Mazhab fiqh yang terkenal adalah sebagai berikut:


1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah, ia di
kenal sebagai pendiri mazhab hanafi. Nama lengkapnya adalah
Nukman bin Tsabit bin Zuthyi Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H atau
699M keturunan parsi yang cerdas dan punya kepribadian yang kuat
serta berbuat, didukung oleh faktor lingkungan sehingga dalam
mengantar beliau menuju jenjang karier yang sukses dalam bidang
ilmiah. Imam Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah dalam ucapannya:
umat manusia dalam soal fiqih, semuanya menghajat kepada Abu
Hanifah di samping itu dipandang dan diakui sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits.
Beliau memperhatikan sanadnya, memperhatikan fiqihnya.
Dan beliau banyak meriwatkan hadits. Di samping terkenal sebagai
seorang imam dalam fiqih, Abu Hanifah terpandang juga sebagai orang
yang istimewa dalam soal wara’ dan takut akan Allah. Dan seluruh ahli
sejarah mengakuinya.
Kata AlFudlail Ibnu Ijadl ―Abu Hanifah seorang ulama fiqih
yang terkenal dan seorang wara’ yang mashur. Seorang raja yang
banyak memberi sedekah, dan juga seseorang yang tahan mengajar
siang malam dan tidak berbicara kalau bukan untuk menjawab
pertanyaan dan beliau tidak mau menerima pemberian raja. Dasar
istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukum fiqih
adalah: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma’, Qaul al-Shahaby, Qiyas, Istihsan, ‘Uruf.
Pola fiqih Abu Hanifah adalah:
a. Kelapangan dan kelonggaran dalam pengalaman ibadah
b. Dalam memberi keputusan dan fatwa, lebih memperhatikan
kepentingan golongan miskin dan orang lemah.
c. Menghormati hak kebebasan seseorang sebagai manusia
d. Fiqh Abu Hanifah diwarnai dengan masalah fardhiyah (Perkara
yang diada-adakan). Banyak kejadian atau perkara yang belum
terjadi, tetapi telah difikirkan dan telah ditetapkan hukumnya.

179
Adapun diantara murid-murid Abu Hanifah yang berperan
sangat penting dalam penyebaran mazhab Abu Hanifah maraka
adalah: Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-hasan al-Syaibani.

2. Mazhab Maliki
Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Malik. Nama lengkapnya
yaitu Imam Malik ibnu Anas ibnu Abi Amar Al Ashbahy. Beliau
dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. dan beliau juga wafat di
Madinah pada tahun 179 H yang bertepatan dengan tahun 795 M.
Beliau adalah tokoh fiqih di Hijaz, bahkan beliau di katakan sebagai
tokoh fiqih seluruh umat Islam. Banyak sekali ulama-ulama besar yang
mempelajari hadits dari beliau. Sudah 70 tokoh ilmu mengakui
keahliannya, dan mulai saat itulah beliau berani membuka majlis
pengajaran. Ketinggian ilmu dalam urusan fiqih dan hadits telah di
akui oleh Asy syafi’i, di mana beliau berkata: Apabila orang-orang
menyebut nama ulama maka Imam Maliki lah sebagai bintangnya dan
tak ada orang yang lebih saya percayai daripada Maliki. Karena itulah
banyak sekali ulama Mesir dan Maqhribi datang ke Madinah untuk
belajar pada beliau. Imam Malik lebih memuliakan ilmu dari pada
kedudukannya, serta terus berusaha mengembangkan ilmu.
Al-Malik adalah orang yang sangat kuat imannya, dan tidak
gentar kepada raja atau kepala negara. Di antara kitabnya yaitu Al-
muwaththa’ yang membahas tentang Haditst dan fiqih. Kitab ini
mengumpul kan hadits ulama Hijaz, dan pendapat-pendapat sahabat
dan tabi’in.
Ciri-ciri fiqh Imam Malik adalah:
a. Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
b. Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa sahabat,
mewarnai penjabaran pengembangan hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid Imam Malik yang
mengembangkan ajarannya adalah: Abdullah bin Wahab, Abdul
Rahman bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdur-Rahman bin Hakam,
Ashbaga bin Al-faraz al Umawi.253

253 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 28

180
3.Mazhab al-Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi’i ialah Abu Abdillah Muhammad
Ibnu Idris Asy-Syafi’i, Beliau salah seorang keturunan Abdul Muttalib
ibnu Hasyim ibnu Abdul Manaf ibnu Qusay ibnu kilab, yaitu seorang
putra Quraish Muttaliby. Beliau di lahirkan di Ghuzzah atau Asqalan
pada tahun 150 H yang bertepatan dengan tahun 767 M, yakni pada
tahun wafatnya Abu Hanifah. Beliau dibesarkan di Mekkah. Al Imam
Asy Syafi’i bisa menghafal Al Qur’an pada usia 9 atau 10 tahun.
Kemudian beliau mempelajari lughah, sya’ir dan sejarah bangsa Arab.
Beliau memperoleh ilmu lebih mendalam tentang masalah ini. Setelah
itu beliau juga sangat tekun mempelajari ilmu hadits, fiqih serta
memperdalam pengetahuannya dalam tafsir Al-Qur’an. Beliau
memperoleh cita-citanya untuk menjadi ulama besar sebelum beliau
berumur 20 tahun.
Adapun sumber istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah:
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qaul al-Shahaba, Qiyas, Istishab.254
Banyak karya-karya Imam Syafi’i dalam memberikan keterangan
kajian fiqhi diantaranya kitab ar-Risalah dan al-Umm.
Ciri khas fiqh Imam Syafi’i:
a. Polanya mengawinkan antara cara yang ditempuh Imam Malik
dengan Imam Hanafi.
b. Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau kejadian yang
benar-benar terjadi.
c. Terdapat banyak perbedaan antara pendapat Syafi’i sendiri,
antara Qaul Qodim (pendapatnya sewaktu di Irak) dengan Qaul
Jadid (pendapatnya sewaktu di Mesir).
Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab ini antaranya
Ahmad Ibnu Hambal, Al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah Az-
Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah
AlBuaithy, Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin
Sulaiman al Murady.

254 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 151

181
4. Mazhab Hambali
Nama lengkap Imam Ahmad ibn Hambal ialah Abu Abdillah
Ahmad ibn Hilal ibn Asad adzDzuhaly Asy Syaibany. Beliau dilahirkan
pada tahun 164H yabng bertepatan dengan tahun 780M, menetap di
Baghdad hingga akhir hayatnya.
Beliau mengadakan perlawatan ke berbagai kota besar untuk
kepentingan ilmu haditst seperti kota Kuffah, Basrah, Mekkah,
Madinah, Yaman, Syam dan Al-zalzirah. Ahmad ibnu Hambal
mempertahankan pendiriannya, yakni Al-Qur’an itu bukan makhluk,
karena itu, beliau di pukul dan didera. Hal ini terjadi pada tahun 220
H.
Pada zaman Al-Mutawakkil, barulah beliau dibebaskan dari
penjara dan dimuliakan kembali. Adapun kitab yang bernama Al-
Musnad yang telah mengumpulkan sejumlah 40.000 Hadits Beliau
wafat di Baghdad pada tahun 241 H. yang bertepatan dengan tahun
855 M.
Beliau berpegang teguh pada ayat Al-Quran dipahami secara
lahir dan secara mafhum adapun dasar istinbat mengenai hukum fiqih
adalah Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas.
Adapun pola fikir Imam Hambal adalah:
a. al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada
ketentuan dalam alqur’an maka Ia mengambil makna yang
tersurat, makna yang tersirat diabaikan.
b. Apabila tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan Sunnah maka
ia mengambil atau menukil fatwa sahabat yang disepakati dari
sahabat sebelumya.
c. Apabla fatwa sahabat berbeda-beda maka ia mengambil fatwa
sahabat yang paling dekat dengan dalil yang ada dalam al-
Qur’an dan Sunnah.
d. Beliau menggunakan haditst mursal dan haditst dha’if apabila
tidak ada ketentuan sahabat, atsar, ataupun ijmak yang
menyalahinya.

182
e. Apabila haditst mursal dan dhaif tidak ada maka ia
menggunakan metode Qiyas dalam keadaan terpaksa.255
f. Langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-dzari’ah.
Beliau tidak memiliki karya yang dia buat sendiri hanya saja
para muridnya mengembangkan ajarannya dan membuat karya –
karya tentang istinbat hukum yang beliau lakukan, salah satu contoh
dari kitab mazhab ini adalah sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad
bin Muhammad bin Harun. Adapun tokoh yang menyebarkan
ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ahmad bin
Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn Hanbal,
Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni.256

5.Mazhab Ja’fari
Nama lengkapnya Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal-
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah ulama besar
dalam banyak bidang ilmu Filsafat, Tasawuf, Fiqih, dan juga ilmu
kedokteran. Fiqh Ja’fari adalah fiqih dalam mazhab Syi’ah pada
zamannya karena sebelum dan pada masa Ja’far Ash-Shadiq tidak ada
perselisihan. Perselisihan itu muncul sesudah masanya.
Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian
hukun adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Aqal (Ra’yu).257
Pengikutnya banyak di Iran dam negara sekitarnya, Turki,
Syiria, dan Afrika Barat. Mazhab ini diikuti juga oleh umat Islam
negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.

D. TAJDID DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM


Perkembangan terakhir dalam kajian hukum Islam ini terjadi
setelah adanya persentuhan budaya dengan barat. Bisa dikatakan
kalau awal perkembangan mutakhir dalam hukum Islam ini dimulai di
Turki dan Mesir yang menyadari bahwa Islam semakin tertinggal dari

255 Jaih Mubarak, Sejarah dan perkembangan hukum Islam; editor, Cucu Cuanda,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 118
256 Ibid, h. 116
257 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 28

183
Barat maka mulai saat itulah muncul tokoh-tokoh dalam Islam yang
mencoba mereformasi hukum Islam dengan mengangkat tema bahwa
pintu ijtihad telah terbuka demi perkembangan Islam dari zaman ke
zaman.
Dalam berbagai bidang muncul tokoh-tokoh yang mencoba
memberikan sumbangan fikirannya dalam perkembangan Islam dan
hukum Islam sebagai contoh: Abdul Qadir Audah dengan bukunya
Tasyri’ul jina’i Al-Islamy bi al-Qonun al-Wadhie yang mencoba
membandingkan antara hukum Perancis dengan hukum Islam.
Muhammad Baqir Al-Sadr seorang ulama Syiah dari Irak,
Sayyid Abu A’la Al-Maududi seorang idiolog fundamentalis dalam
Islam khususnya Pakistan, Ali Abd Al-Razik yang menulis buku Al-
Islam wa Ushul Alhukm, buku ini menimbulkan kontroversi di Mesir
dan juga negeri-negeri lain karna buku ini mengemukakan mengenai
pembenaran dihapuskannya kesultanan Utsmaniyah di Turki dan
berpendapat Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan.258
Di Indonesia sendiri pengkajian hukum Islam terus
berkembang dengan didirikannya IAIN serta banyaknya universitas-
universitas swasta yang mengkaji Islam di berbagai daerah di
Indonesia khususnya di Fakultas Syariah yang benar-benar kajian
utama dari fakultas ini adalah hukum Islam. Lain dari itu adanya MUI
yang selalu memberikan fatwa yang sesuai yang sesuai dengan
keadaan Islam di Indonesia dalam memberikan istinbat hukum sesuai
dengan masalah yang ada serta majelis-majelis lainnya di setiap
organisasi Islam di Indonesia, seperti majelis tarjihnya
Muhammadiyah. Hal ni merupakan suatu karya yang penting bagi
umat Islam Indonesia serta perkembangan yang baik
dalam pembaruan hukum Islam.
Selanjutnya perkembangan yang paling besar yang ada di
Indonesia ini adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang
merupakan fiqhnya indonesia serta telah banyaknya dimulai
pembentukan Undang-undang di Indonesia berasaskan hukum Islam.

258 Jhon L. Esposito, What Everyone needs to know about islam, (UK: Oxford University
Press 2002), h. 209-210

184
Belakangan ini beredar wacana bahwa KHI yang ada ini sudah
tidak cocok lagi menurut kemajuan zaman untuk itu menerapkan
tokoh Islam mencoba memberikan pembaruan KHI yang biasa saat ini
dikenal dengan Counter Legal Draft KHI (CLD KHI) yang sampai saat
ini masih belum selesai di perbincangkan karena masih terjadi pro
dan kontra atas isi dari CLD KHI tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan
sebagian pihak memandang bahwa sejumlah pasal yang ada di dalam
CLD KHI itu melanggar ajaran Islam, perbincangan dan wacana akan
hal ini sangat menyorot perhatian para tokoh-tokoh Islam.
Meskipun demikian hal ini merupakan salah satu contoh dari
adanya Usaha tokoh-tokoh Islam mengadakan pembaruan dalam
hukum Islam adapun metode yang mereka pijak dalam pembuatan
CLD KHI ini salah satunya adalah kaidah Ushul yang mengatakan
jawaz naskh alnushush bi al-maslahah serta yang pasti mengikuti
metode ulama terdahulu ataupun dengan metode baru. Hal ini
dijadikan momentum adanya usaha pembaruan hukum Islam serta
keseriusan tokoh Islam membuka kembali pintu ijtihad.

E. MODEL-MODEL PENELITIAN FIQH DAN


HUKUM ISLAM
1. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam,
Harun Nasution juga memiliki perhatian terhadap Hukum Islam.
Penelitiannya dalam bidang Hukum Islam ini ia tuangkan secara
ringkas dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II.
Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap
banyak sekali literatur wacana aturan islam dengan memakai
pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan
struktur Hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian
terdapat ayat-ayat aturan yang ada dalam al-Qur’an, latar belakang
dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan aturan islam dari
semenjak zaman nabi hingga dengan sekarang, lengkap dengan
beberapa mazhab yang ada di dalamnya berikut sumber aturan yang
digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.

185
Melalui pendekatan kesejarahan Harun Nasution membagi
perkembangan aturan islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi,
periode sobat Nabi, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid
serta kemunduran.
(a)Pada periode Nabi
Bahwa segala dilema dikembalikan kepada Nabi untuk
menyelesaikannya, maka Nabi lah yang menjadi satu-satunya
sumber hukum. Secara pribadi pembuat aturan yaitu Nabi,
tetapi secara tidak pribadi Tuhan lah pembuat hukum. Karena
aturan yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari
Tuhan. Sumber aturan yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-
zaman sesudahnya ialah al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
(b)Pada periode Sahabat Nabi
Pada periode ini, kawasan yang dikuasai islam bertambah luas
dan termasuk dalamnya kawasan di luar Semenanjung Arabia
yang telah memiliki kebudayaan tinggi dan susunan
masyarakat Arabia ketika itu, maka sering dijumpai banyak
sekali dilema hukum. Untuk itu para sobat di samping
berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah juga kepada
sunnah para sahabat.
(c) Pada periode ijtihad serta kemajuan
Pada periode ijtihad yang disamakan oleh Harun Nasution
dengan periode kemajuan islam I (700-1000 M), kasus aturan
yang dihadapi semakin beragam, sebagai jawaban dari
semakin bertambahnya kawasan islam dengan banyak sekali
macam bangsa masuk islam dengan membawa banyak sekali
macam adab istiadat, tradisi,dan sistem kemasyarakatan.
Dalam kaitan ini muncullah ahli-ahli aturan mujtahid yang
disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam islam, dan pemuka-
pemuka aturan ini memiliki murid.
(d)Periode taklid serta kemunduran
Setelah periode ijtihad dan perkembangan aturan pada
periode ijtihad, datanglah periode taklid dan penutupan pintu
ijtihad. Di era ke empat Hijrah (abad kesebelas Masehi)

186
bersamaan dengan mulainya masa kemunduran dalam sejarah
kebudayaan islam, berhentilah perkembangan aturan islam.
Dari uraian diatas tersebut terlihat model penelitian fikih atau
aturan islam yang dipakai Harun Nasution yaitu penelitian eksploratif,
deskriptif, dengan memakai pendekatan kesejarahan. Melalui
penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk memasuki
kajian aturan islam lebih lanjut.259

2.Model Noel J. Coulson


Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang
aturan islam dalam karyanya berjudul Hukum Islam Dalam Perspektif
Sejarah. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang memakai
pendekatan sejarah. Hasil penelitian ini dituangkan dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Bagian pertama, menjelaskan wacana terbentuknya aturan
syari’at, yang di dalamnya dibahas wacana pengakuan al-
Qur’an, praktik aturan di era pertama islam, akar
yurisprudensi sebagai mazhab pertama, imam al-syafi’i.
b. Bagian kedua, menjelaskan wacana pemikiran dan praktik
aturan islam di era pertengahan.
c. Bagian ketiga, menjelaskan wacana aturan islam di masa
modern.
Pada bagian pendahuluan Coulson menyatakan bahwa kasus
yang dasar ketika ini ialah adanya kontradiksi antara ketentuan-
ketentuan aturan tradisional yang dinyatakan secara kaku di satu
pihak, dan tuntutan-tuntutan masyarakat modern di lain pihak.
Apabila perjalanan aturan diarahkan agar dapat membentuk dirinya
sebagai pembagian terstruktur mengenai perintah Tuhan, supaya
tetap menjadi aturan islam, maka tak dapat dibenarkan suatu
reformasi yang dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ketika berbicara wacana pengakuan al-Qur’an, Coulson
menyampaikan bahwa prinsip Tuhan yaitu satu-satunya pembentuk

259 Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakrta: Bulan
Bintang)

187
aturan dan bahwa semua perintah-Nya harus dijadikan kendali utama
atau segenap aspek kehidupan sudahlah mapan. Hanya saja perintah-
perintah itu tidak tersusun secara bundar dalam bentuk bagian yang
lengkap buat manusia. Selanjutnya ketika mengemukakan aturan di
era pertama islam, Coulson menyampaikan bahwa di bidang aturan
muncul keseragaman di satu pihak, dan perbedaan di pihak lain.
Menurut Coulson ada dua alasan prinsip di balik keberagaman
atau perbedaan ini. Pertama, yaitu lazim bahwa masing-masing qadi
cenderung menerapkan aturan setempat yang tentu berbeda-beda
antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Kedua, wewenang hakim
untuk memutus kasus sesuai dengan pendapatnya sendiri untuk
maksud apapun, tidak dibatasi.
Berdasar pada hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa dengan
memakai pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan
perjalanan aturan islam dari semenjak berdirinya hingga kini secara
utuh. Melalui penelitiannya itu, Coulson telah berhasil menempatkan
aturan islam sebagai perangkat norma dari sikap teratur dan
merupakan suatu forum sosial. Di dalam prosesnya, aturan sebagai
forum sosial memenuhi kebutuhan pokok insan akan kedamaian
dalam masyarakat. Warga masyarakat tak akan mungkin hidup teratur
tanpa hukum, oleh lantaran norma-norma lainnya tak akan mungkin
memenuhi kebutuhan insan akan keteraturan dan ketentraman secara
tuntas.
Dalam aturan islam sebagaimana diketahui contohnya
memperhatikan sekali kasus keluarga, lantaran dari keluarga-keluarga
yang baik, makmur dan bahagialah tersusun masyarakat yang baik,
makmur dan bahagia. Oleh lantaran itu keteguhan ikatan
kekeluargaan perlu dipelihara, dan di sinilah terletak salah satu
sebabnya ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan.
Dengan melihat fungsi aturan demikian, maka pengamatan terhadap
perubahan sosial harus dijadikan pertimbangan amat penting dalam
rangka reformulase aturan islam.260

260 Lihat: Noel J. Coulson, The History of Islamic law, diterjemahkan oleh Hamid
Ahmad dengan judul Hukum Islam dalam perspektif sejarah, (Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), tt)

188
3. Model Mohammad Atho Mudzhar
Dalam rangka penyelesaian jadwal doktornya di Universitas
California, Amerika Serikat, tahun 1990, Mohammad Atho Mudzhar
menulis disertasi yang isinya berupa penelitian terhadap produk
fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988. Penelitian
disertasinya itu berjudul Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A
Study of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-1988.
Tujuan dari penelitian yang dilakukannya yaitu untuk
mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia
serta latar belakang sosial politik yang melatarbelakangi timbulnya
fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu perkiraan bahwa
produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting
sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus
dimainkan oleh forum tersebut. Produk-produk fatwa Majelis Ulama
yang ditelitinya yaitu terjadi di sekitar tahun 1975 hingga dengan
1988 pada ketika mana Menteri Agama dijabat masing-masing oleh A.
Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983),
dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu Ketua Majelis
Ulama Indonesia dijabat oleh K.H Hasan Basri.
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam 4 bab, yaitu antara lain:
a. Bab pertama, mengemukakan wacana latar belakang dan
karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap
corak aturan islam.
b. Bab kedua, disertasi tersebut mengemukakan wacana Majelis
Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio
politik yang mengitarinya, relasi Majelis Ulama dengan
pemerintah dan organisasi islam serta organisasi non islam
lainnya dan banyak sekali fatwa yang dikeluarkannya.
c. Bab ketiga, penelitian dalam disertasi tersebut mengemukakan
wacana isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta metode
yang digunakan-nya. Fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi
bidang ibadah ritual, kasus keluarga dan perkawinan,
kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar agama
Nasrani, kasus kedokteran, keluarga berencana, dan aliran
minoritas dalam islam.

189
d. Bab keempat, yaitu berisi kesimpulan-kesimpulan dari studi
tersebut, di mana yang dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam
kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola
metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai
dalam ilmu fikih.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa
bidang penelitian Hukum Islam yang dilakukan Atho Mudzhar
termasuk penelitian uji teori atau uji perkiraan (hipotesis) yang
dibangun dari banyak sekali teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi
hukum. Dengan demikian, aturan islam baik pribadi maupun tidak
pribadi masuk ke dalam kategori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak
mengganggu kesucian dan kesakralan al-Qur’an yang menjadi sumber
aturan islam tersebut, lantaran yang dipersoalkan di sini bukan
mempertanyakan relevan dan tidaknya al-Qur’an tersebut, tetapi yang
dipersoalkan yaitu apakah hasil pemahaman terhadap ayat-ayat al-
Qur’an, khususnya mengenai ayat-ayat ahkam tersebut masih sejalan
dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil
pemahaman ayat-ayat al-qur’an yang berkenaan dengan aturan
tersebut dengan perkembangan zaman perlu dilakukan. Karena
dengan cara inilah makna kehadiran al-Qur’an secara fungsional
sanggup dirasakan oleh masyarakat.261

261 Lihat: Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A Study
of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993)

190
BAB XI
STUDI ILMU TARBIYAH (PENDIDIKAN ISLAM)

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM


Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu
pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan
cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di
antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.262
Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku
manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain itu,
pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan
kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan
masyarakat dan alam semesta.
Sementara Muhammad SA Ibrahimy (Bangladesh)
mengemukakan pengertian pendidikan islam sebagai berikut; Islamic
education in true sense of the term, is a system of education which
enables a man to lead his life according to the islamic ideology, so that
he may easily mould his life in according with tenent of islam.
Artinya, Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah
suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat
mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam, sehingga
dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran
Islam. Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan
manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islami
yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia
mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan
perkembangan iptek.

262 Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta:


Bulan Bintang. 1979), h. 399.

191
Di sisi lain, Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan
pengertian pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan
dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.263
Sedangkan Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan atau pemimpin secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).264
Dan di lain pihak Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam.265
Dari berbagai definisi di atas maka dapat kita simpulkan
bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik
untuk menumbuh kembangkan potensi manusia agar dapat mencapai
kesempurnaan penciptaannya sehingga manusia tersebut dapat
memainkan perannya sebagai makhluk tuhan yang beriman, berilmu
dan berakhlakul karimah.

B. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM


Proses pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan suatu
generasi baru dengan segala cirinya yang unggul dan beradab.
Penciptaan generasi ini dilakukan dengan penuh keikhlasan dan
ketulusan yang sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah Swt. melalui
proses tarbiyah. Melalui proses inilah, Allah telah menampilkan
pribadi muslim yang merupakan uswah dan qudwah melalui
Muhammad saw. Pribadi Rasulullah merupakan manifestasi dan

263 Muhammad Fadhil Al-Jamaly, Nahwa Tarbiyat Mukminat, (al-syirkat al-Tunisiyat li


al-Tauzi’, 1977), h. 3
264 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung Al-Ma’arif
1989), h. 19
265 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Ramaja
Rosdakarya, 1992), h. 32

192
jelmaan dari segala nilai dan norma ajaran Alquran dan sunah
Rasulullah.
Asyyahid Sayyid Qutb telah merumuskan tiga faktor
pendidikan bagi anak. Pertama, Alquran sebagai sumber pembentukan
yang satu-satunya. Natijah dari keaslian sumber ini ialah lahirnya
generasi yang serba murni hati, akal, tasawwuf dan perasaan yang
ikhlas. Kedua, membaca dan mempelajari Alquran dengan maksud
untuk melaksanakan perintah Allah dengan serta merta sebaik sahaja
didengar dan dipahami. Dan ketiga, pengislaman yang sama sekali
mengakhiri kejahilan silam dan memisahkan dari kejahilan
sekitarnya.
Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan
oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, bahwa
pendidikan Islam melingkupi:266
1. Pendidikan Keimanan (Tarbiyatul Imaniyah).
Allah Swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya:”hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.”
(Q.S 31:13)

2.Pendidikan Moral/Akhlak (Tarbiyatul Khuluqiyah)


Hadits dari Ibnu Abas Rasulullah saw. bersabda: “…Akrabilah
anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka”. Kemudian pada
kesempatan lain Rasulullah saw. bersabda: “Suruhlah anak-anak kamu
melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh
tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

3.
Pendidikan jasmani (Tarbiyatul Jasmaniyah)
Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang,
memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan

266 Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008),
h. 16-18.

193
fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang
disunahkan Rasulullah: “Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang
dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani).

4. Pendidikan Rasio (Tarbiyatul Aqliyah)


Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata
intelek yaitu proses kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan
mempertimbangkan. Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan
kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget seorang Psikolog yang
membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga dengan
Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam
perkembangan kognitif manusia, yaitu:
a. Periode 1, 0 tahun-2 tahun (sensori motorik)-
Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap,
menggenggam dan memukul pada usia ini cukup dicontohkan
melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau
ketika kita beraktivitas membaca bismillah.
b. Periode 2, 2 tahun-7 tahun (berpikir Pra Operasional)-Anak
mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan
khayalan mereka tapi cara berpikirnya tidak logis dan
sistematis. Seperti contoh nabi Ibrahim mencari Robbnya.
c. Periode 3, 7 tahun-11 tahun (Berpikir Konkret Operasional).
Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik.
Contoh: Angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu juga
dengan Allah Swt. tidak dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.
d. Periode 4, 11 tahun-Dewasa (Formal Operasional)-Kapasitas
berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan
konsep.

5. Pendidikan Kejiwaan/Hati nurani (Tarbiyatulnafsiyah)


“Dan janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka
cita, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika
kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran:1 39). Untuk
itu pendidikan diharapkan mampu memberikan kebutuhan emosi,

194
dengan cara memberikan kasih sayang, pengertian, berperilaku
santun dan bijak, menumbuhkan rasa percaya diri dan memberikan
semangat tidak melemahkan

6. Pendidikan sosial/kemasyarakatan (Tarbiyatul ijtimaiyah)


Pendidikan sosial/kemasyarakatan merupakan aplikasi
hablumminannas, sebagai manusia sosial yang dapat menghargai hak
dan kewajiban setiap individu dan masyarakat lainnya. Proses
pendidikan yang ideal seharusnya mencerminkan kehidupan dan
kondisi-kondisi sosial suatu masyarakat; karena program pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, institusi sosial, hubungan
sosial, yang semuanya akan memberikan arah bagi kemajuan dunia
pendidikan.
Oleh karena itu aspek sosial sangat penting dalam pendidikan,
terutama bagi pemerhati, sekaligus pelaku pendidikan (stakeholders
pendidikan). Kajian tentang aspek sosial dalam pendidikan bertujuan
melihat dan memahami dimensi-dimensi sosial dalam kehidupan
masyarakat, di mana mereka hidup dan untuk apa mereka hidup.
Kajian tentang kehidupan sosial dalam masyarakat dikaji supaya kita
mendapatkan memahami secara menyeluruh (utuh) dan
komprehensif tentang aspek sosial serta hubungannya dengan
pendidikan yang kita laksanakan.

7. Pendidikan seksual (Tarbiyatul Syahwaniyah)


Pendidikan Tarbiyah syahwaniyah merupakan pendidikan
penting dalam Islam kita dapat menggunakan pendekatan preventif,
dengan menanamkan nilai-nilai agama yang akan menjadi ilmu
pengetahuan bagi para remaja khususnya dan manusia umumnya
dalam memaknai kesucian.
Oleh sebab itu maka pendidikan tidak dapat dijalankan dengan
hanya mengetahui, menghafalkan saja tentang hal baik dan buruk, tapi
bagaimana menjalankannya sesuai dengan nilai-nilainya. Ada
beberapa bagian dalam hal ini antara lain: (1) mengumpulkan mereka
dalam satu kelompok yang berbeda karakter, (2) membantu mereka
untuk menemukan jati dirinya dengan memberikan pelatihan, ujian,

195
dan tempaan, (3) membentuk kepribadian dengan selalu menjauhi hal
yang jelek dan berpegang teguh terhadap nilai kebaikan.
Ketujuh ruang lingkup materi pendidikan Islam di atas akan
dibagi menjadi 3 materi pokok pembahasan yang terkandung dalam;
a. Tarbiyah Aqliyah (IQ learning)-pendidikan rasional
(intellegence question learning) merupakan pendidikan yang
mengedepankan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan
dalam pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar
dapat berfikir secara logis terhadap apa yang dilihat dan
ditangkap oleh indra mereka. Input, proses, dan output
pendidikan anak diorientasikan pada rasio (intellegence
oriented), yakni bagaimana anak dapat membuat analisis,
penalaran, dan bahkan sintesis untuk menjustifikasi suatu
masalah. Misalnya melatih indra untuk membedakan hal yang
diamati, mengamati terhadap hakikat apa yang diamati,
mendorong anak bercita cita dalam menemukan suatu yang
berguna, dan melatih anak untuk memberikan bukti terhadap
apa yang mereka simpulkan.
b. Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning)-segala kegiatan yang
bersifat fisik untuk mengembangkan biologis anak tingkat
daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tuigas yang
di berikan padanya baik secara indifidu ataupun sosial
nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang sehat “al-aqlus salim fi jismis saslim”
sehingga banyak di berikan beberapa permainan oleh mereka
dalam jenis pendidikan ini.
c. Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning)-Tarbiyah khuluqiyyah di
sini di artikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana
memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun
dia berada seperti; kejujuran, keikhlasan, mengalah, senang
bekerja dan berkarya, kebersihan, keberanian dalam membela
yang benar, bersandar pada diri tidak pada orang lain, dan
begitu juga bagaimana tata cara hidup berbangsa dan
bernegara.

196
C. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU
PENDIDIKAN ISLAM
1. Model Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian pendidikan Islam tentang “Pemikiran al-Ghazali
tentang Pendidikan”, Hamid Fahmy Zarkasyi menggunakan
pendekatan historis approach, yaitu bahwa Hamid melihat pendidikan
dalam konteks universal tanpa ada verifikasi antara pendidikan Islam
dengan pendidikan sekuler (Barat). Dalam konteks ini, Hamid
mengatakan bahwa tokoh-tokoh Islam terpengaruh oleh pola
pendidikan Barat, akibatnya pengetahuan mereka tentang al-Quran
bukan saja lemah tetapi bahkan diperoleh melalui jalur sekunder.
Sementara itu, teknik analisis yang digunakan Hamid adalah analisis
filosofis, psikologis, dan tasawuf. Analisis filosofis mengantarkan pada
pemahaman pemikiran al-Ghazali tentang kewujudan Allah, alam
semesta yang mencakup kejiwaan dan kebendaan, serta manusia
sebagai mahluk yang memiliki daya pikir, kemampuan membuat
keputusan, serta memilih dan meninggalkan suatu perbuatan.267

2.Model Mastuhu
Penelitian yang bertemakan kultur pendidikan Islam yang ada
di Pesantren dilakukan Mastuhu pada saat menulis disertai untuk
program doktor. Penelitian dimaksud berjudul Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesia Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1994. Penelitian
tersebut dituangkan dalam lima bab, yaitu bab tentang pendahuluan,
tinjauan pustaka, kerangka dan metode, hasil dan pembahasan serta
bab mengenai kesimpulan dan saran.

3.Model Zamakhsyari Dhofier


Model penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier masih
di sekitar pesantren. Penelitian yang dilakukannya berjudul Tradisi

267 Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
13.

197
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, dan telah diterbitkan
oleh LP3ES pada tahun 1982. Berdasarkan uraian di atas, maka model
penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier, tergolong penelitian
lapangan dengan menggunakan metode survei, pengamatan,
wawancara dan studi dokumentasi. Pembahasannya bersifat
deskriptif. Sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan
sosiologis. Penelitian ini tampak hampir semodel dengan penelitian
yang dilakukan Mastuhu. Kedua penelitian tersebut tergolong kaum
pembaharu. Mereka berdua kelihatannya ingin mengetahui
seberapa jauh tradisi dan nilai-nilai yang diberlakukan di pesantren
masih ada yang cocok untuk masyarakat modern saat ini, dan sejauh
mana tradisi dan nilai-nilai yang tidak cocok lagi.268

268 Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, diterj. H.M. Arifin, (Cet.
II; Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), h. 51.

198
BAB XII
STUDI ILMU SEJARAH PERADABAN ISLAM

A. PENGERTIAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau
dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh
berarti ketentuan masa atau waktu, sedangkan Ilmu Tarikh dimaknai
ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian,
masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya
peristiwa tersebut.
Secara terminologi, al-tarikh berarti ‘‘sejumlah keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar
terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar
terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.”
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti silsilah; asal-usul
(keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau.269 Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ‘‘pengetahuan atau
uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar
terjadi di masa lampau’’.
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai
suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis
untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau.
Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya
objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau,
adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar
belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.270

269 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. XII, h. 887.
270 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h 314.

199
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang
dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai
aspek.

B. PERIODEISASI SEJARAH PERADABAN


ISLAM
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan
dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas
abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim)
dimulai sejak Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai Rasul, dan
berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di
lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya
negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. Atau
tepatnya setelah Nabi Muhammad saw. Berhijrah ke Madinah yang
sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut
disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak
pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat
Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad saw. Menyampaikan
seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi
soal. Di samping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah
terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri.
Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara,
sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian
periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para
ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode
pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang
menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah
Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik
tersebut.

200
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan
telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan periode,
sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan sosial
dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode
itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirnya Islam pada
tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun
41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661
2. Masa Daulah Umayyah: dari tahun 41-132 H./661-750 M
3. Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H. (750-847
M);
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H./847-946 M
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. (946-1075
M);
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. (1075-1261
M);
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. (1261-1520
M);
8. Masa Daulah Utsmaniyah: dari tahun 925-1213 H. (1520-1801
M);
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M) sampai
awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah
kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad saw. Diangkat
menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti
mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam
secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu:271
1. Periode klasik (650-1250 M);
Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke
dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan
puncak kemajuan (650-1000 M); kedua: fase disintegrasi,

271 Harun Nasution, Islam ditinjau Dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979),
jilid 1, h. 56-75.

201
2. Periode pertengahan (1250-1800 M);
Periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu; fase
kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar
(1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-
1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M),
3. Periode modern (1800-dan seterusnya).
Periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari dua pendapat di atas, dapat disederhanakan periodisasi
sejarah Islam menjadi empat periode, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase,
yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase
pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-
650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu:
fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M),
dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua)
fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga
kerajaan besar (1500-1800 M)
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan
zaman kebangkitan Islam.
Berikut uraian masing-masing fase:

1. Fase Pra Klasik:


a. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi Muhammad saw melakukan kegiatan
pembentukan aqidah dan pemantapannya serta pengalaman
ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad saw
menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya,
selanjutnya Islam diperkenalkan kepada masyarakat di
Makkah berdasarkan wahyu tersebut.
Di fase ini dakwah yang beliau lakukan melalui tiga
tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara
rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-

202
teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini
dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan
kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup
memadai, terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya
berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia,
dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan
pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam
rumpun Bani Abdul Muthalib (Baca QS. As-Syu’ara: 214),
Ketiga dilakukan secara terbuka dan terangterangan di
hadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada
tahap ini Nabi Muhammad saw beserta pengikutnya
menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan
siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian.
Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan
tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut.
b. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Yatsrib (Madinah)
didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di
Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak
yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah).
Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan
ajakan Nabi Muhammad saw tersebut, yang pada gilirannya
menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian
kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad
saw yang terkenal dengan ‘‘Perjanjian Aqabah.”
Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad saw di
Madinah, yaitu:
a. Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan
berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
b. Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;
c. Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern
umat Islam dan antara umat beragama; dan
d. Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk
masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang
disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.

203
c. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada
dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai khalifah Islam
pengikut Rasulullah saw. (632 M) harus menghadapi suku-
suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada
Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang
mereka buat dengan Nabi saw dengan sendirinya tidak
mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka
mengambil sikap menentang Abu Bakar (ingkar kepada
pemerintah Islam) tidak mau membayar dinar karena itu
Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah
(melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin
Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar (umat Islam).
2) Fase pembuka jalan. Di mana setelah selesai perang dalam
negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim
kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid
memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah
Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M.
Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di
bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu Ash, Yazid Ibnu Abi
Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh
pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin
dan Fihl.
3) Fase pemerataan jalan. Di mana usaha-usaha yang dirintis
oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian
dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664
M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama
terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun
kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah
Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya
gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase
perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah

204
Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah,
juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
4) Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-
656M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi
Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman,
meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain
dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti
sampai di sini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi
perpecahan menyangkut masalah pemerintahan dan dalam
kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat
tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah
Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di
Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman
juga terbunuh.

2. Periode klasik (650-1250 M)


Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam.
Harun Nasution telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2)
fase, yaitu:
a. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan 650-1000
Masa klasik merupakan masa kemunculan Islam dan
peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Pada masa ini
lahir para ulama mazhab seperti Imam Hambali, Imam Hanafi,
Imam Syafi’I dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula
para filsuf Muslim seperti Al-Kindi (801 M), Al-Razi (865M)
dan Al-Farabi (870 M) serta Ibn Miskawaih (930 M) yang
terkenal dengan pemikirannya tentang akhlak, Ibn Sina
(1037M) di bidang kedokteran, Ibn Bajjah (1138 M) dan Ibn
Rusyd (1126 M). Periode klasik ini merupakan periode
kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan
mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau
peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak
dengan secara langsung.

205
b. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri
dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan
perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk
menguasai satu sama lain. Misalnya:
1) Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan
oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
2) Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan
oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang
meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi
akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus
Urban II (1096-1099 M).

3. Periode Pertengahan (1250-1800 M)


Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:
a. Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Masa ini diawali dengan kejatuhan Baghdad secara politik di
tangan tentara Mongol. Pada masa ini desentralisasi dan
disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni
dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah
tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian
Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan
Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia
yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah
dengan Iran sebagai Pusat. Pada fase pertengahan merupakan
fase kemunduran peradaban umat Islam karena filsafat dan
ijtihad mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman
dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pemikiran yang
berkembang saat itu adalah dikotomis antara agama dengan
ilmu, urusan dunia dan akhirat. Titik kulminasinya adalah
ketika para ulama sudah mendekat dan menjadi alat para
penguasa pemerintahan. Para penguasa terbuai dengan
kemewahan yang sudah dirasakan, sehingga lupa melanjutkan
tradisi keilmuan yang dibina sejak zaman klasik. Akibatnya

206
umat Islam tenggelam ke dalam lembah kehancuran,
kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.
b. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) Kerajaan Usmani
(Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India.
Setelah kejatuhan Baghdad, politik Islam sempat mengalami
kemajuan di tiga kerajaan besar Kerajaan Usmani (Ottoman
Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan
Mughal di India. Kemajuan pada masa ini dalam bentuk
literatur dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah
yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di
Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Tiga
kerajaan ini tidak mampu bertahan lama. Kerajaan Usmani
terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh
serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan
kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa
India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam
menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis.
Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir,
sebagai salah satu pusat Islam.

4.Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)


Kedudukan Napoleon di Msir memberikan kesadaran baru di
kalangan umat Islam. Pada awal abad ke 19 pemikir dan Ulama Islam
mulai menyadari ketertinggalan umat Islam, antara lain pemikir
Afganistan dan Mesir seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Thaha Husein dan lainnya memulai
mencerahkan pemikiran umat Islam dengan mengembangkan
berbagai ijtihad dalam Islam.

C. KRITIK TERHADAP PENULISAN SEJARAH


ISLAM
Dalam penulisan sejarah Islam, penyelewengan kerap terjadi.
Apalagi bila sejarah tersebut ditulis oleh orang yang tidak suka pada

207
Islam, terutama sebagian orientalis. Mereka kerap menuliskan data
sejarah yang bertentangan dengan referensi yang disajikan oleh
kalangan sejarawan Muslim.
Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan
kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks)
secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang
tidak ada hubungannya dengan nash tersebut.
Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah
atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut
memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu
sendiri.
Muhammad Quthb dalam bukunya yang berjudul Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam? menjelaskan, orientalis sering
menggunakan riwayat yang lemah yang terdapat dalam referensi
Islam yang belum disaring. Riwayat itu lalu dijadikan pegangan pokok,
sedangkan riwayat yang lain walaupun muttawatir (kuat) akan
dikesampingkan.
Dalam tulisannya yang bertajuk 'Metodologi Penulisan Barat
mengenai Sejarah Islam', Dr Abdul Azhim ad-Daib mengemukakan
beberapa kesalahan yang dilakukan kaum orientalis, di antaranya
perkataan Montgomery Watt: ''Kami ketahui dari beberapa riwayat
bahwa Muhammad itu mendukung kawin asy-syighar yaitu dua orang
lelaki, atau dua kelompok lelaki saling mempertaruhkan anak dan
saudara perempuan mereka tanpa mahar untuk kawin.'' Riwayat ini
dinisbahkan kepada Bukhari. Padahal, umat Islam tahu benar bahwa
Nabi saw melarang hal tersebut.
Sejarawan Barat lainnya, Wall Deorant, dengan mengutip
suatu buku ia berkata, “Zubair memiliki 1.000 budak peliharaan.
Setiap hari mereka membayar upeti pada Zubair. Setiap masuk ke
rumahnya satu dirham langsung ia sedekahkan uang itu semuanya.”
Kemudian nash ini diubah oleh Deorant sebagai berikut, “Zubair
memiliki beberapa buah rumah di berbagai kota, memiliki 1.000 kuda
dan 10 ribu hamba.” Jadi, kehidupan zuhud dia ubah ke kehidupan
glamour dan berfoya-foya.

208
Quthb menerangkan, tujuan dari penyimpangan itu untuk
memupus dan menghilangkan rasa bangga pada Islam dan sejarah
Islam di dalam jiwa pembaca Muslim. Kemudian, mengubah rasa
bangga dengan rasa kesal dan benci, sehingga pembaca tidak berminat
lagi membacanya pada masa-masa berikutnya.
Bahkan, dalam mencapai sasaran itu mereka tidak segan-segan
melakukan kebohongan ilmiah atas diri Rasulullah saw. Contohnya
seperti yang dikatakan Julius Wellhausen dalam bukunya yang
berjudul Negara Arab, bahwa Rasulullah saw pernah membuat
perjanjian dengan orang-orang Yahudi ketika beliau masih lemah pada
awal pemerintahannya di Kota Madinah. Tapi, tatkala sudah kuat
beliau membatalkan janji tersebut secara sepihak, orang-orang Yahudi
diperangi dan dibersihkan dari Kota Madinah.
Contoh lain adalah tentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Dikatakan bahwa kedua khalifah ini merampas takhta kekhalifahan
dari tangan umat Islam. Dan masih banyak lagi kebohongan yang
mereka lakukan, mungkin mencapai ratusan atau lebih.
Sementara para sejarawan Muslim yang terbiasa mengutip
pemikiran-pemikiran orientalis mungkin keberatan menerima
kebohongan-kebohongan nyata seperti ini. Namun demikian, mereka
tidak bisa lepas dari pengaruh orientalis. Mereka menerima
penyimpangan-penyimpangan tersebut tanpa penyaringan.

D. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU SEJARAH


ISLAM
Ada berbagai model penelitian sejarah Islam yang dilakukan
para ahli, di antaranya ada yang melakukan studi sejarah dari segi
tokoh atau pelakunya, peristiwanya, produk-produk budaya dan
ilmu pengetahuannya, wilayah atau kawasan tertentu, latar belakang
terjadinya peristiwa tersebut, segi periodesasinya, dan sebagainya.
Demikian pula dari segi analisisnya, ada diantara para ahli yang
menganalisis sejarah dari segi filsafat atau pesan ajaran yang
terkandung di dalamnya, ada pula yang menganalisisnya dengan

209
pendekatan perbandingan dan lain sebagainya berbagai model
penelitian sejarah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Model Johns L. Esposito
Penelitian sejarah yang dilakukan John Esposito dalam
bukunya yang berjudul Islam in Asia, Religion, Politics & Society,
dilakukan denghan pendekatan penelitian kawasan. Di dalam buku
tersebut dikemukakan perkembangan islam di Asia pada umumnya.
Buku tersebut tidak termasuk kedalam hasil penelitian dalam arti
yang khusus, melainkan lebih merupakan kumpulan esai dengan
menggunakan sumber sekunder.

2. Model Arthur Goldschmidt,Jr


Model penelitian sejarah yang mengambil pendekatan
kawasan juga dilakukan oleh Arthur Goldschmidt,Jr, Sebagaimana
terlihat dalam bukunya yang berjudul A Concise History of The Middle
East. Melalui bukunya ini Arthur telah berhasil mendeskripsikan
secara komperehensif berbagai peristiwa yang terjadi di timur tengah
sepanjang berkaitan dengan Islam, mulai sejak kedatangan Islam di
daerah tersebut sampai dengan perkembangan-nya yang terakhir. Di
dalam bukunya tersebut dikemukakan tentang kondisi alam di timur
tengah, situasi sosial kemasyarakatan timur tengah sebelum
kedatangan Nabi Muhammad saw, keberadaan Nabi Muhammad di
Makkah, dasar dasar ajaran Islam, penyebaran Islam, Khulafaur
Rasyidin, gerakan Syi’ah, Turki, perang salib, dan serbuan bangsa
mongol, kebudayaan Islam dan lain lain. Hasil penelitian tersebut
tampaknya berguna sebagai informasi awal untuk
melakukan penelitian sejarah yang mengambil pendekatan kawasan.
Penelitian tersebut dapat dikategorikan sebagai penelitian literatur
yang didukung oleh survei, dan dianalisis dengan pendekatan sejarah
dan perbandingan.

3. Model Ayzumardi Azra


Model penelitian sejarah kawasan lebih lanjut dilakukan oleh
Azyumardi Azra. Dalam hasil penelitiannya, yang kemudian ditulis
dalam bukunya berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

210
Nusantara Abad XVII dan XVIII, terlihat dengan jelas bahwa yang
menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sejarah interaksi antara
Ulama Timur Tengah dengan Kepulauan Nusantara, sedangkan yang
dikaji pada kawasan tersebut adalah mengenai interaksi antara ulama
yang selanjutnya menciptakan jaringan. Pada bagian bukunya itu
Azyumardi mengemukakan mengapa penelitian dengan judul tersebut
perlu dilakukan. Untuk ini ia mengemukakan bahwa transmisi
gagasan pembaharuan merupakan bidang kajian islam yang cukup
telantar. Berbeda dengan banyaknya kajian tentang transmisi ilmu
pengetahuan, misalnya Yunani kepada kaum muslimin dan
selanjutnya, ke Eropa Modern, tidak terdapat kajian komprehensif
tentang transmisi gagasan gagasan keagamaan, khsusnya gagasan
pembaharuan dari pusat pusat keilmuan islam ke bagian bagian lain
dunia islam.
Selanjutnya Azyumardi mengatakan bahwa sejauh ini, tidak
terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama timur tengah
dengan Nusantara. Meski terdapat kajian kajian penting tentang
beberapa tokoh ulama Melayu Indonesia abad ke 17 dan ke 18. Tetapi
tidak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis tentang
sumber pemikiran mereka, dan khususnya tentang bagaimana
gagasan dan pemikiran islam mereka trasmisikan dari jaringan ulama
yang ada, dan tentang bagaimana gagasan yang mereka trasmisikan
itu mempengaruhi perjalanan historis islam di Nusantara.
Selanjutnya peneliti tersebut lebih mempertajam alasan
mengapa penelitian tersebut perlu dilakukan. Lebih lanjut, ia
mengatakan bahwa kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan
pembaharuan islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi
kekuasaan Eropa dalam abad ke 17 dan abad ke 18, penting karena
beberapa alasan. Sejarah sosial intelektual islam pada periode ini
sangat sedikit dikaji, kebanyakan perhatian diberikan kepada
sejarah politik muslim. Karena terjadinya kemerosotan entitas entitas
politik muslim, periode ini sering dipandang sebagai masa gelap
dalam sejarah muslim. Bertentangan dengan pandangan yang banyak
dipegang ini ia akan mengungkapkan bahwa abad ke 17 dan 18

211
merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial
intelektual kaum muslimin.
Selanjutnya Azyumardi mengatakan bahwa sumber dinamika
islam dalam abad ke 17 dan 18 adalah jaringan ulama yang terutama
berpusat di Mekkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota suci ini,
khususnya dalam kaitan ibadah haji mendorong sejumlah besar guru,
ulama, dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah dunia muslim datang
dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam
jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik.
Selanjutnya Johns di pihak lain menurut Azyumardi Azra,
dalam beberapa tulisannya juga membahas hubungan tersebut,
khususnya antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi dia tidak
melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan tokoh-
tokoh ulama Melayu, Indonesia lainnya bahkan lebih mencolok. Kajian
yang membahas ulama terkemuka selain al Sinkili gagal
mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur
Tengah. Kajian ilmu kepustakaan tersebut selain menunjukkan adanya
potensi tentang kajian jaringan ulama dimaksud, juga memberikan
peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut di bidang tersebut.
Bertolak dari latar belakang pemikiran dan tinjauan
kepustakaan tersebut, Azyumardi Azra mengajukan permasalahan
penelitian dimaksud. Dalam kaitan ini peneliti mengatakan bahwa
kajian ini berupaya menjawab beberapa masalah pokok. Pertama,
bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur
Tengah dengan murid melayu indonesia; Bagaimana sifat dan
karakteristik jaringan itu; Apakah ajaran atau tendensi intelektual
yang berkembang dalam jaringan; Kedua, apa peran ulama Melayu,
Indonesia dalam transmisi intelektual jaringan ulama ke Nusantara;
Bagaimana modus transimisi itu; Ketiga, apa dampak lebih jauh dari
jaringan ulama terhadap perjalanan islam di nusantara; Dilihat dari
data yang digunakan dalam penelitian ini, dinyatakan bahwa kajian ini
merupakan studi pertama yang menggunakan sumber Arab secara
ekstensif. Kamus Biografi berbahasa Arab tentang ulama dan tokoh

212
lainnya pada abad ke 17 dan 18 merupakan tembang informasi
tentang para guru murid Jawi yang terlibat dalam jaringan ulama.
Selanjutnya Azyumardi menyimpulkan bahwa pengembangan
gagasan pembaharuan dari transisi melalui jaringan ulama melibatkan
proses yang amat kompleks. Terdapat saling hubungan diantara
banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan
mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf.
Selanjutnya penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa
kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di nusantara, terutama
sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan
kepada segmen segmen tertentu dalam masyarakat, muslim melayu
indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat ilmu
pengetahuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Ustmani
mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan haji dari
nusantara semakin baik.
Selanjutnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa murid-
murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan
keilmuan islam diantara kaum muslimin melayu indonesia. Kajian atas
sejarah kehidupan, keilmuan, dan karya kaya yang mereka hasilkan
menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual
diantara kaum muslimin nusantara dan timur tengah, tetapi juga
perkembangan islam semasa di Dunia Melayu, Indonesia. Kehidupan
dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat
menarik tentang berbagai jaringan intelektual keagamaan yang
terdapat diantara mereka dengan ulama Timur Tengah.272

272 Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995)

213
BAB XIII
INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM

A. MENGENAL INSIDER DAN OUTSIDER DAN


PERSPEKTIF KEDUANYA DALAM STUDI
ISLAM
Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari
agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para
pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan
(orang luar). Hal yang menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan
insider maupun outsider dalam penilaian benar-benar objektif dan
dapat dipertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat
historis yang melekat pada insider maupun outsider.
Seringkali mayoritas kalangan berpandangan negatif terhadap
pendapat outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan,
banyaknya kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam adalah
salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai
wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada wilayah
tersebut.
Hal tersebut memberikan indikasi bahwa banyak analisis dari
kalangan outsider yang tidak dapat diterima oleh insider,273 di sisi lain
banyak analisis insider yang dipandang sebelah mata oleh outsider
karena adanya subjektivitas yang menjerat insider. Jika hal ini
dibiarkan berketerusan hanya akan menimbulkan missunderstanding
yang dapat berujung pada lahirnya konflik. Ketidakpuasan dalam

273 W.C. Smith dalam Comparative Religion dalam Mircea Eliade and Joseph Kitagawa
(ed). Dalam Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. ii

214
menghadapi kenyataan yang ada, para pakar dan peneliti berusaha
mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori untuk memecahkan
persoalan seputar studi agama.
Sarjana-sarjana Barat sangat tertarik dengan dinamika umat
Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah lama muncul khususnya
ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri
atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang
perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam
dipahami oleh umatnya.274
Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah
melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan
paradigma dan teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga
pembahasannya menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam
yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson275
mengkritik Clifford Geertz, yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji
umat Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah
umat Islam secara baik.
Fenomena insider dan outsider ini tidak hanya menjadi sorotan
pada studi islam semata. Pada tahun 1960 an pernah muncul sebuah
pernyataan yang menjadi perdebatan panjang mengenai sifat dasar
dari studi agama Sikh. Perdebatan ini secara cepat meluas melebihi
permasalahan outsider-insider, dan menjadi sangat penting, terbukti
dengan terbitnya kumpulan tulisan yang berjudul Perspective on the
Sikh Tradition, tahun 1986. Para penulis barat ini kemudian menuai
kritikan tajam dari para sarjana barat lainnya yang menulis tentang
Sikhism.276
Di samping sarjana Barat, banyak juga sarjana dari Timur yang
berposisi sebagai outsider mengkaji Islam. Sachiko Murata dan
William C. Chittick, dalam bukunya The Vision of Islam melakukan

274 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer (Jakarta: Kemenag RI, 2011), h. 260.
275 Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru terj. Mulyadhi Kartanegara.
(Jakarta: Paramadina, 2002), h. 10.
276 M. Irfan Mu’ammar dkk. Studi Islam Perspektif Indiser/Outsider, h. 108.

215
pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau
berawal dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka
menulis: “Kata ‘Islam’ kami maknai sebagai teks-teks yang secara
universal diakui (hingga saat ini) sebagai titik puncak tradisi.
Sebagaimana semua agama besar lain, Islam memiliki karakter yang
menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya. Teks-teks
tersebut disandarkan kepada al-Qur’an. Dalam pengertian yang sangat
dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Qur’an adalah Islam. Tafsir utama
al-Qur’an diberikan oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti
metode beliau banyak tokoh agung-guru, wali, filosof, teolog, ahli
hukum menjelaskan dan menafsirkan naturalitas visi asli sesuai
kebutuhan zamannya.”
Murata dan Chittick dalam buku mereka mencoba mengkaji
Islam secara komprehensif. Selain meneliti teks, mereka juga
melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang
menjelaskannya.
Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat
bagian yaitu:
1. Tentang Islam.
2. Tentang tauhid, kenabian, membahas tentang kembali,
membahas aliran-aliran intelektual antara lain tentang;
Ekspresi Islam pada Masa Awal, Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua
Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi Filsafat, dan
Visi Sufisme.
3. Tentang Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu tentang
dasar Ihsan dalam Alquran dan Manifestasi Ihsan historis.
4. Tentang Islam dalam sejarah. Dalam bagian empat ini terdiri
dari Sejarah sebagai Interpretasi dan Situasi Kontemporer.277
Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan pujian dari
beberapa tokoh antara lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia
mengatakan: “Ini merupakan karya pengantar Islam yang
sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang

277 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer, h. 264.

216
mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang berawal
dari dalam wilayah kebenaran iman yang diwahyukan,
kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh
visi Islam”.
Tokoh outsider lainnya yang mengkaji Islam terutama dari
aspek esoterik atau sufisme adalah Louis Massignon. Ia menulis salah
seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al-Hallaj. Kajian Louis Massignon
ini mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam antara lain dari Seyyed
Hossein Nasr, dengan berkata: “Karya ini bukan sekadar karya unik
tentang seorang sufi besar dan kontroversial, melainkan sebuah kajian
tiada banding tentang semangat keagamaan, kehidupan sosial dan
politik, serta keseluruhan peradaban Islam di mana ia hidup dan
mati”.
Pengkaji kajian esoterik Islam yang berikutnya adalah William
C. Chittick. Chittick adalah seorang guru besar bidang studi agama-
agama di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang
Ibn al-Arabi dan yang lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi.
Ia menulis buku berjudul The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-’Arabi’s
Metaphisyc of Imagination.
Dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al-Qur’an ibn
al-’Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al-Arabi sendiri mengakui
bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah adalah uraian
yang didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al-Arabi ketika
menafsirkan Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat
tersebut. Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah
memberikan kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran
tasawufnya telah menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan
kajian tentang Islam.278
Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah
melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan
umum tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis
tunggal menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner,

278 Ibid, h 265.

217
meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih
terus berlangsung dan tujuannya mungkin akan terus bergema. Di
antara buku pengantar umum sedemikian, barangkali tulisan
Frederick M. Denny, An Introduction to Islam terbit tahun 1985, dan
Richard Martin, Islam: A Cultural Perspectif terbit tahun 1982,
termasuk yang informatif dan banyak dipergunakan bagi pemula.
Buku yang menilik umat Islam dari aspek sosial-historisnya
tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terbit tahun 1988,
merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling
komprehensif termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim
Asia Tenggara dan Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman
yang sering diabaikan oleh penulis-penulis lain.279 Yang hampir
senada dengan buku ini ialah buah karya Philiph K’ Hitti dengan judul
History of The Arab yang diterbitkan oleh Serambi pada 2013, yang
merupakan kajian paling otoritatif tentang sejarah dengan
pembuktian ilmiah yang sangat meyakinkan.
Buku lain yang telah menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa
Islamic Studies dan sejarah Islam dan Arab di banyak universitas di
Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering dipakai sebagai
pengantar sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa Arab, A
History of The Arab Peoples.280
Adapun pengkajian Islam dalam perspektif insider (pengkaji
dari kalangan Muslim sendiri) kini mulai menunjukkan
kecenderungan yang cukup kritis. Dari segi ajaran, buku Fazlur
Rahman, Islam yang sudah mengalami banyak cetak ulang, merupakan
buku pengantar wajib untuk mata kuliah Islamic Studies di universitas
di Eropa dan Amerika. Kajian kritis tentang Islam telah dilakukan oleh
Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, Naqd al-Khithab al-Dini yang
diterbitkan tahun 1994, merupakan buku yang mengkaji tentang
wacana agama dengan perspektif wacana Islam kritis.

279 Lihat Ira M. Lapidus, terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 1999)
280 Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam Oleh Outsider–Insider dan Isu-
Isu Kontemporer, dalam Jamali Sahrodi, 2008: hlm.181-182

218
Buku ini menjelaskan bahwa pertentangan dalam wacana
agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekadar pertentangan di
seputar teks-teks agama ataupun interpretasi terhadapnya, melainkan
pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan,
sosial, politik, dan ekonomi, pertentangan yang melibatkan kekuatan-
kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman
secara letterlijk terhadap teks-teks agama.
Muhammad Abed al-Jabiri bukanlah nama yang asing lagi di
kalangan intelektual Islam. Ia sering disejajarkan dengan Hasan
Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullah Ahmed An-Na’im, Ali Harb,
Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah mengkaji
tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij al-
Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim al-
Ideologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar fi
al-Fikri al-Fi’li.
Dalam buku yang lainnya yang berjudul Takwin al-Aql al Arabi
yang diterjemahkan oleh Imam Khori menjadi Formasi Nalar Arab
Muhammed Abed al-Jabiri. Dalam bab pendahuluan ia menulis:
“Buku ini memuat kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan
perbincangan sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar
adalah bagian mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses
kebangkitan. Apakah mungkin membangun proyek kebangkitan dari
nalar yang tertidur, nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi
secara komprehensif terhadap mekanisme, konsep dan pemikiran-
pemikirannya?”.281
Dalam bab satu dari bukunya al-Jabiri membahas Pendekatan
Awal sebagai pengantar atau Pendahuluan. Bagian kedua Menganalisis
Unsur-unsur Pembentukan Budaya Arab dan Pembentukan Nalar
Arab itu sendiri. Bagian ketiga membahas tentang sistem
epistemologis yang menjadi dasar bagi dan saling berbenturan dalam
kebudayaan Arab. Adapun tujuan dari penyusunan buku ini adalah
untuk membebaskan diri dari sesuatu yang telah mati atau tetap

281 Muhammad Abed la-Jabiri, terj. Imam Khoiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014), h. 13.

219
kokoh dalam dunia nalar dan membuka ruang bagi kehidupan nalar
agar perannya tetap terbuka dan kembali tertanam.282
Tulisan atau kajian al-Jabiri sangat berhubungan dengan
tradisi dan problem metodologi, berhubungan dengan pembacaan
kontemporer atas tradisi Islam, karakteristik hubungan bahasa dan
pemikiran dalam tradisi Islam, Rasionalisme Islam serta problem
Islam dan modernitas.
Kajian tentang Islam juga dilakukan oleh Hassan Hanafi283
dalam bukunya Islam and The Modern World; Religion, Ideologi and
Development. Dalam tulisan ini ia mengkaji Islam demikian luas mulai
dari aspek teologi sampai teknologi. Dalam buku volume I Hanafi
membahas tentang teologi, mistisisme dan etika, alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta filsafat.
Buku Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan
Meluruskan Kesalahpahaman, terbit tahun 2004, merupakan satu buku
yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal
Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan
Islam dengan terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini
terjadi karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu
sangat dirasakan oleh Pak Alwi selama berinteraksi dengan para
mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku ini akan memberikan
pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai
agama yang rahmatan lil’alamin”.
Komentar dari kalangan non-Muslim, misalnya Jakob Oetama,
“Banyak konflik meruncing dan dipicu oleh salah persepsi dan
kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi dalam cara
penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian
agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu,
untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, yang terpapar dalam
ciptaan-Nya. Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Alwi
Shihab ini. Inilah contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi

282 Ibid, h. 18-21.


283 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits
Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz (Jogjakarta: LkiS, 2007), h. xiii

220
dewasa, bahkan dalam perkara yang menyangkut kepercayaan
terdalam kita, sehingga kita bisa berkoeksistensi secara damai dengan
saling memberi kontribusi positif.
Tokoh Muslim Indonesia lainnya yang mengadakan kajian
tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia menulis sebuah buku
berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif
Interkonektif. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang
lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality
(rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’
berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun,
tidak dapat berdiri sendiri.284
Dalam bukunya, Amin Abdullah membahas dalam bagian
pertamanya tentang Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian kedua
tentang Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian ketiga tentang
Pendekatan Hermeneutis Dalam Studi sosial-Budaya dan Fatwa
Keagamaan, dan bagian keempat tentang Arah Baru dan Pergeseran
Paradigma Metode Studi Keislaman.
Dalam karya lainnya, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas, Amin Abdullah menegaskan bahwa agama tidak hanya
dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas
ajaran wahyu, tetapi juga ia dapat dilihat dari sisi historisitas. Dalam
bukunya ini Amin membagi menjadi empat pembahasan, pertama
menjelaskan cikal bakal kontroversi perebutan klaim validitas dan
otoritas keilmuan agama di belahan dunia bagian Barat. Bagian kedua
menyentuh wilayah studi keislaman dengan menerapkan cara
pandang filsafat keilmuan kontemporer. Bagian ketiga secara eksplisit
mengharapkan munculnya disiplin dan telaah studi kawasan tentang
masyarakat muslim. Dan bagian keempat mengilustrasikan perlunya
pendekatan filosofis terhadap pemikiran keagamaan pada
umumnya.285

284 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-


Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h viii.
285 Ibid, h. i-ix.

221
B. PROBLEMATIKA INSIDER DAN OUTSIDER
DALAM STUDI ISLAM
Kim Knott286 dalam tulisannya insider/outsider perspectives.287
berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri
insider ditampilkan kemudian direspons oleh outsider, dengan
mempertimbangkan batas objektivitas dan subjektivitas, yang
terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap
empati dan analisis kritis. Pada titik ini, insider maupun outsider saling
berbagi keseimbangan perspektif sejarah dalam studi agama.
Berbeda halnya dengan pendapat Darshan Singh, yang
menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh peneliti barat untuk
menginterprestasikan dan memahami agama sebagai outsider,
memandang bahwa konsep dan ajaran agama tidak mudah untuk
diakses oleh orang luar atau non-pemeluknya. Menurutnya, makna
subtansi dari agama terungkap hanya melalui partisipasi secara
intensif, dengan jalan mengikuti ajaran pengalaman keagamaannya.
Max Muller pada tahun 1873 telah mempertegas bahwa,
sebagai objek studi, agama harus dijawantahkan secara proporsional,
meski ia juga harus dikritisi. Dua puluh tahun kemudian, Cornelius
Tiele (1830-1902) menekankan kepada para ilmuan untuk melakukan
penelitian dengan mengedepankan objektivitas melalui studi dan
investigasi yang tidak memihak.288 Ia juga mem-bedakan antara
subjektivitas keagamaan pribadi individu dan objektivitas cara
pandang terhadap agama orang lain.
Russel Cutcheon mencoba memberi penguatan guna
mengkatagorisasi-kan tanggapan insider ke outsider dalam tiga
dimensi:

286 Lihat Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama
(Ponorogo: ISID Press, 2011), h. 46.
287 Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives, dalam John R Hinnells (Ed) The Routledge
Companion of the Studi of Religion, M. Arfan Mu’ammar, dalam Studi Islam
Perspektif Insider/Outsider, h. 103.
288 Shiddiqi Nourouzzaman, Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman, dalam Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, dalam M. Arfan
Mu’ammar, dalam Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, h. 109.

222
1. Otonomi pengalaman religius, yang terkait dengan pendekatan
fenomenalogi,
2. Reduksionosme, yang dicontohkan oleh komunitas akademisi
yang mengambil suatu sikap ilmiah,
3. Netralitas dan metode agnostisisme. Pendekatan yang
ditawarkan ini, mensyiratkan pergeseran dari ranah teologi ke
filsafat.
Selanjutnya, berbagai isu seputar studi agama diberi
penguatan metodologis, terutama yang berkaitan dengan
fenomenalogi agama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kristensen,
Van der Leeuw dan Rudolf Otto di Jerman, kemudian Mircea Eliade di
Amerika serta Ninian Smart di Inggris. Mereka sepakat menyatakan
bahwa semua agama sebagai fenomena yang unik yang dapat dilihat
dari berbagai sisi, otonom dan tidak ada bandingannya, namun
mampu memberikan pengalaman secara empirik.289
Perkembangan studi Islam di dunia terutama di barat terjadi
karena adanya kontak dengan dunia muslim, salah satunya yakni
lewat kontak perguruan tinggi. Selain itu juga dengan adanya
penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab ke
dalam bahasa Latin. Berkat penyalinan karya-karya manuskrip-
manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-
cabang ilmiah di Barat.
Sebelum muslim memasuki universitas-universitas di Barat,
ahli Islam di Barat didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan
artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran di bidang Islam pun
didominasi dan merupakan hasil pemikiran para orientalis. Seiring
dengan adanya sarjana muslim yang belajar di Barat dan menulis
dengan bahasa Barat tentang Islam, maka ahli keislaman pun muncul
dari sejumlah muslim.290
Adapun dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-
negara non-Muslim tidak selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi
dengan berbagai nama, semisal Middle East Studies, Near Eastern

289 Sujiat Zubaidi Saleh, Perspektif Insider-Outsider dalam Studi Agama, h. 47.
290 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2011), h. 318.

223
Studies, Religious Studies, Comparative Religion dan lain-lain. Di
samping itu ada juga beberapa lembaga (pusat studi/center), baik
yang berafiliasi dengan universitas maupun tidak, yang menawarkan
dan menyediakan studi Islam. Di antaranya:
a. Islamic Society of North America
b. The Oxford Centre for Islamic Studies, Inggris
c. Centre for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the
University of Melbourne Australia.291
Kajian Islam di Barat telah mengalami perubahan. Penelitian
dan kajian yang dilakukan Barat terhadap masyarakat Muslim kini
dilakukan di tengah kehadiran Islam dan dunia Islam yang hidup dan
berubah, tidak sekadar catatan masa silam. Peningkatan apresiasi
terhadap Islam di kalangan sarjana Barat inilah yang kemudian
memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai
Orientalisme Baru.292
Munculnya Orientalisme baru itu membuka peluang lebih
besar bagi terciptanya interaksi dan pertukaran keilmuan yang lebih
dinamis dan positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim
dengan sarjana-sarjana Muslim. Bahkan, riset dan pemikiran sekarang
dilakukan secara bersama dalam suasana dialogis.
Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran
keseimbangan dalam beberapa disiplin kajian Islam di antara sarjana-
sarjana Muslim dengan non-Muslim. Tidak kurang terdapat sarjana
Muslim yang begitu menonjol sehingga mempengaruhi seluruh
sarjana lain dalam kajian-kajian yang mereka lakukan. Meski terjadi
perkembangan positif, kritik terhadap studi Islam di Barat tetap ada.
Setidaknya ada dua kritik yang dikemukakan cukup keras baik dari
kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim.
a. Kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung
bersifat esensialis, yakni menjelaskan seluruh fenomena
masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim

291 Ibid, h. 337.


292 Lihat Zaid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), h.
229-230.

224
dalam kerangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan
kata lain, cenderung menggeneralisasi fenomena yang berlaku
pada masyarakat Muslim tertentu pada kurun waktu tertentu
pula sebagai hal yang umum bagi seluruh masyarakat dan
kebudayaan Muslim.
b. Kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh
kepentingan-kepentingan politis. Kajian-kajian tentang Islam
dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap
masyarakat-masyarakat Muslim, antara lain, dengan
menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam
dan masyarakat Muslim.
c. Kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk
melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama
kehidupan intelektual dan akademis, yang padahal tidak atau
hampir tidak mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Studi Islam di Timur, tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Negara Barat yaitu bervariasi dan memiliki karakter masing-masing.
Karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan
politik, dinamika sosial budaya, latar belakang pemegang kebijakan
pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
Sebelumnya, awal kesejarahan Islam atau tepatnya era Nabi,
pusat kajian Islam lebih dikonsentrasikan pada tidak terlau banyak
“berspekulasi” tentang hakikat Tuhan dan realitas-realitas Gaib. Ini
dikarenakan pada pola pikiran terbatas yang tak mampu menangkap
yang terbatas dan itu hanya akan menghasilkan sebuah kekeliruan.
Selanjutnya Islam diperhadapkan oleh banyaknya tekanan-tekanan
non Arab yang memeluk Islam. Dalam perkembangan berikutnya
realitas Islam semakin meluas. Berbagai fenomena muncul satu-
persatu, mulai dari politik, tradisi-tradisi dalam keagamaan, termasuk
di situ adalah disintegrasinya Islam Suni dan Syiah, peradaban pun
semakin meluas. Pada akhirnya pendefinisian tentang “studi islam”
pun belum final.
Melihat paparan ini dapat kita simpulkan bahwasanya studi
Islam di Timur, sebagaimana studi Islam di Barat dan berbagai negara

225
lainnya, juga tidak seragam. Ada karakteristik yang khas dari masing-
masing negara, dan juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan
kekayaan warna dalam studi Islam di masing-masing lembaga dan
negara. Konstruksi semacam ini justru akan semakin memperkaya
warna studi Islam.293
Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian
insider dan outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan
Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. 294
Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam
dari outsider benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan,
dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? penulis sendiri
sepakat dengan pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak
validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas
dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik
dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam
kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies)
yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di
universitas Eropa.295 Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider
penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para
outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-
hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat
memahaminya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para
pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya
dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang
didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual
yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy). Penulis
sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji
Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa
menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat
Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat
Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk

293 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 38-39.
294 Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. xxii.
295 Ibid, h. 244

226
‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda
mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan
pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Dapat dinilai bahwa Barat telah mengkoloni Islam melalui
pendidikan. Contohnya kasus yang terjadi pada universitas al-Azhar
pada tanggal 7 Desember 1961.296 Kalau reformasi tersebut terjadi,
maka kemungkinan besar pengaruh keilmuan Islam tradisional
semakin mengecil. Terlebih lagi dengan arus teknologi meruntuhkan
sekat kebudayaan dan bangsa. Pada akhirnya wajah Islam akan
berjiwa Barat dan sekaligus akan meninggalkan wajah Islam itu
sendiri. Hanya saja ada keuntungan saat umat muslim dan Presiden
Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun
tidak jadi dilakukan saat itu. Namun demikian, Barat berhasil
mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan
memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.297 Dengan ini, segala
bentuk ketakutan pun terjadi, pendidikan Islam tradisional “otentik”
perannya semakin kecil. Lembaga pendidikan Islam dipersempit
perannya hanya sebagai lembaga Pendidikan agama, pasca-Barat
mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara
Islam. Di sinilah terjadi dikotomi-dikotomi antara keilmuan Islam dan
non-Islam yang sebelumnya Islam hanya memandang semua ilmu
bersifat ilahiyah.
Sebagai konsekuensi logis “dikotomik” tersebut, lahirlah
sejumlah metode dan pendekatan yang beragam dari kedua pihak
Barat dan Timur dalam mengkaji Islam. Pendekatan ilmiah dan
historis cenderung diterapkan Barat, sementara Timur lebih ke sisi
teologis. Barang kali ada motif yang saling berlawanan, di mana studi
Islam Barat didorong oleh kekuasaan kolonial, sementara Islam
didorong oleh sikap pertahanan diri pada sisi lain, sebagaimana
penilaian dari sebagian sarjana Barat sangat dipengaruhi oleh “pra-
anggapan” negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu

296 Ibid, h. 238


297 Ibid, h. 241

227
dan suka seksualitas. Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang
Islam cenderung tidak objektif.
Kelompok Barat yang sangat dipersoalkan dalam hal ini adalah
sejumlah Orientalis, kendati fakta realitasnya mereka sangat
berkontribusi besar terhadap keilmuan Islam, namun belum bisa
kompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan
kaum Muslimin. Ini terlihat jelas dalam ungkapan “Tapi akan
berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan
sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa
dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di
mana ia muncul, tapi keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan
para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Atas dasar ini pula sangat ditekankan dengan adanya upaya
mencari metode baru yang lebih memadai tentang pemahaman
terhadap Islam. Ini mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa
semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena
sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini
bisa dilacak dari berbagai stereotip yang dilancarkan kepada Islam
dengan dalih keilmiahan.
Dalam pada itu, juga sangat ditekankan akan perlunya seorang
outsider mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam
tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan
yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun juga perlu
Outsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka
kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum
banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa
khalayak tersebut. Dari sini, sudah tampak adanya keniscayaan bias
kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi
dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui
praasumsi-praasumsi budayanya.
Rauf menambahkan bahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus
melepaskan “pra-anggapan” tersebut dan menghiraukan pendapat
dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk
mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana

228
Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam
atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat
Islam. Di sini sangatlah jelas bagaimana Rauf mengeritik metode Barat
berupa sebuah explanation ke emphatic atau understanding. Untuk
itulah para sarjana Islam harus mampu menyuarakan dirinya pada
Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi
serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Ini agar umat
muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukan.
Rauf tidak mutlak menolak reformasi, namun perlu Umat
Islam berhati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak
begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang
menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan
oleh beberapa orientalis. ginya, tidak semua karya orientalis harus
ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat
orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan
adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis.
Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang
menulis bersikap tidak jujur.

229
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1302 H. Risalah al-Tauhid, Kairo: al-mathba’ah al-


Khairiyah.
Abd. Hakim, Atang, dan Jaih Mubarok. 2007. Metodologi Studi Islam,
Ed. Revisi-9. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Abdel haleem. 2003. Exploring The Qur’an: Context and Impact. LB
tauris.
Abdullah, Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M Amin. 2017. Filsafat Etika Islam, Yogyakarta: IRCiSoD.
Abdullah, Taufik, dan M. Rusli Karim. 1989. Metode Penelitian Agama;
Sebuah Pengantar, cet. ke-1. Yogyakarta: Tiara Wacana
Abd al-Aal, Hamdi. 1985. al-Akhlak wa Mi’yaruha bayn al-Wadh’iyyah
wa al-Diin, Kuwait: daar al-Qalam.
Abdul jabbar, Al-Qadhi. 1996. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo:
Maktabah Wahbah.
Abu hanifah. 1321 H. al-Fiqh al-akbar, India, Hyderabad: Dairah al-
ma’areif al-Islamiyah.
Abu Zahrah, Muhammad. 1995. Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abu Zahrah, Muhammad. 2007. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-
Siyasah wa al-’Aqaid, Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi.
Al-’Abd, Abd Al-Lathif Muhammad. 2006. al-Ushul al-Fikriyyah li
Mazhab Ahl al-Sunnah, Kairo: Daar an-nahdhah al-Arabiyah.
Al-Amidi, Saifuddin. 1971. Ghoyah Almaram Fi Ilmu Kalam, Kairo: al-
majlis al-A’la li syu’un al-Islamiyah.
Al-Asy’ari, Abu al-Hasan. Tt. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-
Mushallin, Beirut: al-maktabah al-Ashriyah.

230
Al-Attar, Dawud. 1979. Mujaz Ulum al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-
A’lami.
Al-Awsi, Ali. 1975. Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan,
Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran.
Al-Bazdawi. 2005. Ushul al-Din, Kairo: al-maktabah al-Azhariyah li al-
Turats.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. 1996. Naqd Awham al-maddiyah
al-jadaliyah, Damaskus: Daar al-Fikr.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein. 1961. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun,
Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah.
Al-Farabi. 1907. Fusus al-Hikam, Kairo: al-Sa’adah.
Al-Farabi. 1948. Ihsha’ al-ulum, Tahqiq; Utsman Amin, kairo; Dar al-
Fikr al-Arabi.
Al-Ghazali, Abu hamid. 2004. Al-Iqtishod Fi Al-I’tiqod, Beirut: dar al-
Kutub al-Islamiyyah.
Al-Ghazali, Abu Hamid. 2002. Etika islami, Bandung: Pustaka Setia.
Al-Ghurabi, Ali Mushthafa. 1948. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa
Nasy’atu ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin, Kairo: al-mathba’ah al-
Husainiyahal-Mishriyah.
Al-iiji, Idd al-din. 1425 H. al-mawaqif, Kairo: maktabah al-sa’adah.
Al-Jabiri, Muhammad Abed 2014. Formasi Nalar Arab. terj. Imam
Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD.
Al-Jamali, Fadhil. 1992. Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam,
diterj. H.M. Arifin. Cet. II; Jakarta: Golden Trayon Press.
Al-Jamaly, Muhammad Fadhil. 1977. Nahwa Tarbiyat Mukminat, al-
syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi’.
Al-Juwaini. 1981. Al-Syamil Fi Ushul Al-Din, Teheran: Danish Irani.
Al-Kalabadzi, Abu bakr. Tt. Al-ta’aruf li Mazahib Ahl al-Tasawwuf,
Kairo: al-Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah.
Al-Masdosi, Ahmad Abdullah. 1962. Living religions of the world: a
socio-political study. Begum Aisha Bawany Waqf.
Al-Maturidy, Abu Mansur. Tt. Kitab al-tauhid, Iskandariyah: Daar al-
jamiat al-Mishriyah.
Al-Munawwir, Ahmad warson. 1997. Kamus Munawir, Yogyakarta:
Pustaka Progresif.

231
Al-Nasyr, Ali Sami dan Al-Thaliby, Amar Jam’iy. 1971. Aqaid as-Salaf,
Iskandariyah: Mansya’at al-Ma’arif.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1977. Iman dan Kehidupan, (terj.) H. Fachruddin
HS, dari judul asli Al-Iman wa al-Hayat, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 1996. Mabahits Ulum al-Qur’an, Riyadh:
maktabah al-Ma’arif
Al-Qusyeiry, Abu Qasim. 2000. Latha’if al-isyarat. Mesir: al-hai’ah al-
Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab.
Al-Shadr, Muhammad Baqir. 1980. Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir
Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Ta’ruf lil
Matbu’at.
Al-Shalih, Subhi. 1977. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Beirut: Darul
Ulum.
Al-Shatibi, Abu Ishaq. Tt. al-Muwafaqat, Kairo: Matba’ah al-Maktabah
al-Tijariyah.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. 1939. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo:
Matba’ah Mustafa al-Halabi.
Al-Syahrastani. Tt. al-Milal wa an-Nihal, Mesir: Daar al-Kutub al-
Ilmiyyah.
Al-Syahrastani. tt. Nihayah Al-Iqdam Fi Ilmi Al-Kalam, Baghdad:
maktabah al-tsaman.
Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. 1979. Falsafah Pendidikan
Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Thahawi. 2002. Syarh al-Akidah al-Thahawiyah, Kairo: daar Ibn
Rajab.
Al-Thahhan, Mahmud. 1985. Tafsir Mushtalah Hadis, Riyadh: Maktabah
al-Maarif.
Al-Thahhan, Muhammad. 1995. Metode Takhrij Penelitian Sanad
Haditst, Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Tirmidhi, Abu isa. Tt. al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Tirmidhi, Beirut, Dar
ihya’ al-Turath.
Al-Ulamai, A. Hasan Asy-ari. 2006. Melacak Hadits Nabi Shalallahu
Alaihi Wasalam, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga
Digital. Semarang: rasail.

232
Al-Zahrani, Muhammad Ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnahal-
Nabawiyah, Nasy‟atihi wa Tathawwurihi min all-Qur‟an al-
Awwal ila Nihayat al-Qarni al-Tsani al-Hijri, Thaif: Maktabah al-
Shadiq.
Al-Zarkasyi. 1988. al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-
Fikr.
Ali, Atabik. Tt. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi
Karya Grafika.
Ali, A Mukti. 1991. Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung:
Mizan.
Ali, A Mukti. 1971. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta:
Dirjen BIMAS Islam.
Ali, A. Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta:
Rajawali
Ali, Maulana Muhammad. 1980. Islamologi (Dinul Islam), (terj) R.
Kaelani dan HM bachrun dari judul asli Islamologi, Jakarta:
Ikhtiar Baru-Van Hoeve.
Alisyahbana, Sutan takdir. 1986. Antropologi Baru, Jakarta: Dian
Rakyat
Amin, Ahmad. Tt. Zhuhur al-islam, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi.
Amin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Haditst, Jakarta: Mizan
Publika.
Amin, Ahmad. 1967. Fajar Islam (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr
al-Islam, Cirebon.
Anwar, Rosihon, Badruzzaman M. Yunus, saehudin. 2006. Pengantar
Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Anwar, Rosihan. 2008. Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia.
Arberry, AJ. 1979. Sufism an account of Mystic of Islam, London:
mandala Book.
As, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: Raja Grafindo.
Azra, Azyumardi. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan tinggi Umum, Jakarta: Departemen Agama RI.
Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN.

233
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. III; Bandung: Mizan
Baidan, Nasharuddin. 2000. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa.
Bakhtiar, Nurhasanah dan Marwan. 2016. Metodologi Studi Islam,
Pekanbaru: Cahaya Firdaus.
Baqir, Haidar. 2005. Buku Saku Tasawuf, Bandung; Mizan.
Basri, Hasan, Murif Yahya, Tedi Priatna. 2006. Ilmu kalam: Sejarah dan
Pokok Pikiran Aliran-Aliran, Bandung: Azkia.
Bin Nabi, Malik. Tt. Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam
bahasa Arab oleh Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah
Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon.
Connolly, Peter. 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta:
LkiS
Coulson, Noel J. TT. The History of Islamic law, diterjemahkan oleh
Hamid Ahmad dengan judul Hukum Islam dalam perspektif
sejarah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M).
Darajat, Zakiyah. 1985. Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta: UT dan Dep.
Agama.
Darajat, Zakiyah. 1996. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara
De Boer, T.J. tt. The History of Philoshopy In Islam, New York, USA:
Islamic Philoshopy Online.
Fakhri, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy, Longman.
Farghal, Yahya Hasyim Hasan. 2000. al-Firaq al-islamiyah fi al-Mizan,
al-Ain: UAEU Press.
Fanani, Muhyar. 2010. Metode Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Garaudy, Roger. 1982. Janji-Janji Islam, terj. HM. Rasyidi, Jakarta:
Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 1976. Sistematika Filsafat, jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika
hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet.I.
HAMKA, 1993. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta:
pustaka panjimas.

234
Hermawan, A. Heris, Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam, Bandung: CV
Insan Mandiri.
Hilal, Ibrahim. 2002. Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-
Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf Antara
Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, Cet. I; Bandung
Pustaka Hidayah.
Hodgson, Marshall G.S. 2002. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah
dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah
Tatanan Baru. terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta:
Paramadina.
Horrassowitz, Otto. 1985. History of Muslim Philosophy, ditranslate
menjadi Para filosof muslim, editor, M. Syarif, Bandung: Mizan.
Ibn Khaldun. Tt. al-Muqaddimah, Kairo: al-maktabah al-Tijariyah al-
Kubra.
Ibn Mandzur. Tt. Lisanul Arab, Beirut: Daar shadir.
Idris. 2010. Studi Haditst, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ikhwan al-Safa. 1928. Rasail Ikhwan al-Safa, Kairo: al-Matba’ah al-
Arabiyah.
Ismail, M. Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Jauhari, Tantawi. 1351 H. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Kairo:
Matba’ah Mustafa al-Halibi.
Kalsum, Ummu. 2002. Ilmu Tasawuf, Makassar: Yayasan fatiyah
Makassar.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi, Bandung:
Mizan, cet ke-1
Lapidus, Ira M.1999. Sejarah Sosial Umat Islam. terj. Ghufron A.
Mas’adi Jakarta: Rajawali Press.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung Al-Ma’arif.
McDonough, Sheila. 1984. Muslim Ethics and modernity: A Comparative
Study of the Ethical Thougt of Sayyid Ahmad Khan and maulana
Mawdudi, Kanada: Wilfrid laurier University Press.
Mubarak, Jaih. 2000. Sejarah dan perkembangan hukum Islam; editor,
Cucu Cuanda, Bandung: Remaja Rosdakarya.

235
Mochtar, Affandi. 1990. The Method of Muslim Learning as Illustrated in
al-Zurnuji’s Ta’lim wa al-Muta’allim. Tesis. Montreal: Institute
of Islamic Studies McGill University.
Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mudzhar, M. Atho. 1998. Metodologi Studi Islam dalam Teori dan
Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mudzhar, Muhammad Atho. 1993. Fatwas of the counsil of Indonesia
Ulama A Study of Islamic Legal Thought In Indonesia 1975-
1988, Jakarta: INIS.
M. Syuhudi Ismail.tt. Kaidah Kesahihan Sanad Haditst, Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya:
Abditama
Muntasyir, Rizal dan Misnal Munir. 2004. Filsafat Ilmu, Cet ke-4,
Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Mustofa, A. 1997. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
Nata, Abuddin. 2012. Metodologi studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Nasr, Sayyed Hossein. 2020. The Garden of truth: the Vision and
promise of Sufism, islam’s Mistical Tradition, terj. Yuliani liputo.
Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1974. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1979. Islam ditinjau Dari berbagai Aspeknya. Jakarta:
UI Press.
Nasution, Harun. 1983. Filsafat dan Mistisme Dalam islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1983. Teoligi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan, Jakarta: UI Press.
Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Noer, Kautsar Azhari. Tt. Ibn al-`Arabi: wahdat al-wujud dalam
perdebatan, Jakarta: Paramadina.
Oxford. 1978. Oxford Student's Dictionary Current English, UK: Oxford
University Press; 3rd edition

236
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiyah Populer,
Surabaya: Apollo.
Poerwadarminta, WJS. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum Dan Aplikasinya, bandung: Pustaka
Setia.
Qutb, Muhammad. 1984. Sistem Pendidikan Islam, Bandung: al-
Ma’arif.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam alternatif. Bandung: Mizan, cet ke-IV,
Razak, Nasruddin. 1989. Dienul Islam: Penafsiran Kembali Islam
Sebagai Suatu Aqidah dan Way Of Life, Jakarta: Al-Ma’rif.
Rifa’I, Muh. 1984. Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana.
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah
Islamiyah III), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rusli, Rus’an. 2021. Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya,
Jakarta: Prenada media.
Sabiq, Sayyid. Tt. Islamuna, Beirut: Daar al-Kutub al-Araby.
Saleh, Sujiat Zubaidi. 2010. Perspektif Insider-Outsider dalam Studi
Agama. Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor
Sadzali, Munawwir. 1992. Islam dan Ketatanegaraan, Jakarta: Mutiara.
Smeer, Zaid B. 2014. Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Aura
Pustaka.
S.I. Poeradisastra, 1986. Sumbangan islam kepada Ilmu dan
pengetahuan Modern, Jakarta: P3M.
Shadily, Hasan. 1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Bina Aksara.
Shihab, Quraish. dkk. 1999. Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1985. Fi Ilm al-kalam, Kairo: Dar an-nahdhah
al-Arabiyyah
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Jakarta:
Prenada Media.
Sou’yb, Joesoef. 1983. Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: Pustaka
al-Husna.

237
Sumardi, Mulyanto. 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran,
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Suryadi. 2009. Metodologi Penelitian Haditst, Yogyakarta: TH Press,
UIN Sunan Kalijaga.
Suyuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah Jombang, Yogyakarta: galang Press.
Syariati, Ali. 1982. Tentang sosiologi islam, terj. Saifullah Mahyuddin,
dari judul asli On The Sociology of Islam, Yogyakarta: Ananda.
Syukur, M. Amin. 2003. Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sakti.
Syukur, M. Amin. 2002. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2000. Zuhud di Abad Modern, Cet. II. Yokyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Ramaja Rosdakarya.
Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam. 2011. Studi Islam Oleh
Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer. Jakarta: Kemenag RI.
Utsman, Hasan. 1986. Manhaj al-bahts At-tarikh (metodologi Penelitian
Sejarah), diterjemahkan oleh Tim penterjemah DEPAG RI.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”
dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terj.
M. Imam Aziz. Jogjakarta: LkiS.
Wahyuddin. 2007. Metodologi Penelitian Agama (dasar-dasar teoretis
dan aplikasi), Banjarmasin: Antasari Press.
Zaprulkhan. 2019. Pengantar Filsafat Islam, Yogyakarta: IRCiSoD.
Zahri, Mustafa. 1979. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina
Ilmu
Zuhairini et al. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Cet. III; Jakarta: Bumi
Aksara.

238
SEPUTAR PENULIS

Dr. Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib, Lc., MA, lahir di medan


11 Juli 1984, merupakan anak kedua dari pasangan Prof. Dr. HM.
Hasballah Thaib, MA dan Dra. Rozanna. Menyelesaikan pendidikan di
TK Arafah II, Medan, 1989, selanjutnya Sekolah Dasar, Perguruan Al-
Azhar Medan, 1990-1996, lalu Madrasah Tsanawiyah, Pesantren Darul
Arafah, 1997-1998, selanjutnya Madrasah Tsanawiyah, Pesantren
Misbahul Ulum, Lhokseumawe, 1999, dan Madrasah Aliyah, Pesantren
Al-Manar Medan, 2000. Selanjutnya, mendapatkan beasiswa ke Luar
negeri untuk melanjutkan pendidikan di Secondary Religious
Institutes, Doha, Qatar, 2000-2003.
Setamatnya dari Sekolah menengah atas di qatar, melanjutkan
pendidikan Sarjana Strata 1, Islamic studies, United Arab Emirates
University, UAE, 2007, dengan nilai cumma cumlaude, lalu
melanjutkan Magister (S2), Tafsir dan studi Qur’an, di International
Islamic University Malaysia, 2009, dengan nilai cumma cumlaude. Dan
akhirnya menyelesaikan Philosophy of Doctor (S3) dalam bidang
tafsir, di International Islamic University Malaysia, 2012, dengan nilai
cumlaude.
Beliau sejak muda telah menghasilkan banyak karya tulis dalam
bentuk buku, umumnya dalam bidang keislaman, khususnya dalam
kajian studi al-Quran dan tafsir. Hingga kini lebih dari 6–an judul buku
yang beliau tulis, diantaranya: tafsir tematik 1-6, Tafsir tematis istilah-
istilah al-Qur’an, Tafsir tema-tema Pilihan Al-Quran, Dirasah
Qur’aniyyah 1 dan 2, kapita selekta kasus-kasus kontemporer Dalam
pandangan Fiqih islam, Risalah Ushul Fiqh (2022), dll
Selain itu, beliau juga cukup aktif dalam beragam forum ilmiah,
baik sebagai narasumber maupun fasilitator ataupun partisipan.

239
Diantaranya: Narasumber dalam Webinar gerakan nasional Literasi
Digital 2021 dengan tema: Privasi dan Keamanan Data di Dunia
Digital, Tgl 18 Juni 2021 dengan judul: membangun budaya literasi
digital yang santun, Keynote Speaker dalam national Webinar
“Pendidikan islam di Era Society 5.0”, Maret 2021, Narasumber dalam
FGD UPT Pusat bahasa dengan tema: Degradasi Wajah bahasa di Era
masyarakat 5.0, Maret 2021, Narasumber dalam Webinar Pandangan
Agama Islam Dalam Menghadapi Wabah Covid-19 dan New Normal,
23 Juli 2020, USU dan Pemko Medan dengan judul Pandangan Agama
Islam Dalam Menghadapi Wabah Covid 19 Dan New Normal,
Narasumber dalam Internasional Webinar: Tantangan Pendidikan
Tinggi Islam Di Tengah Pandemi Covid 19, 13 Juli 2020, Zoom Meeting,
Universitas Dharmawangsa, UNISHAMS Kedah, dan Narasumber
dalam International Webinar dengan tema: pembaharuan ilmu-ilmu
keislaman demi kebangkitan umat: ruang dan mekanismenya di era
teknologi digital, 2 Juli 2020, Zoom meeting, Universitas
Dharmawangsa.

240

Anda mungkin juga menyukai