Anda di halaman 1dari 288

GEO EKOWISATA

MENJAGA ALAM MEMBANGUN KAWASAN

i
Sanksi Pelanggaran Hak Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengutrangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

ii
GEO EKOWISATA
MENJAGA ALAM MEMBANGUN KAWASAN

MUHAMMAD YAMIN SANI


MUH. ZAINUDDIN BADOLLAHI

CV. MITRA ILMU

iii
GEO EKOWISATA
MENJAGA ALAM MEMBANGUN KAWASAN

Penulis
Muhammad Yamin Sani
Muh. Zainuddin Badollahi

Desain sampul
Aswar

Tata letak
Fauziah R. Assidiq

Penerbit:

Desain Publikasi dan Penelitian

Jl. Kesatuan 3 No. 11 Kelurahan Maccini Parang


Kecamatan Makassar Kota Makassar
Email: cvmitrailmu@gmail.com
HP. 0853-4039-1342

Cetakan : Pertama 2019


vi + 279 hlm. 14,85 x 21 cm
ISBN : 978-623-91791-7-5

iv
KATA PENGANTAR

Agaknya, selama ini daya tarik wisata bahari masih


menjadi pilihan, karena memiliki keunggulan tersendiri :
laut (sea), pasir (sand) dan matahari (sun) yang memiliki
banyak pesona. Namun demikian, satu-dua dasawarsa
terakhir, pesona geoekowisata semakin menarik, khususnya
bagi wisatawan mancanegara karena beberapa hal, antara
lain: (1) terjadinya kejenuhan kalangan wisatawan terhadap
atraksi wisata konvensional; (2) fenomena terjadinya
degradasi lingkungan alam, mendorong munculnya
kesadaran yang mewabah, terbentuknya kelompok-
kelompok pencinta alam; (3) bertambahnya kerinduan dan
penghargaan terhadap keunikan budaya lokal; (4)
menguatnya kesadaran, untuk kembali ke alam (back to
nature) agar dapat memperoleh pengalaman akan keaslian,
kesederhanaan kehidupan masyarakat desa.
Pentingnya pengelolaan geoekowisata, sesungguhnya
juga bertujuan untuk mengembangkan potensi ekonomi
pedesaan berbasis pariwisata, sehingga memungkinkan
terbentuknya desa wisata yang saat ini semakin populer.
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan
bentang alam yang unik di banyak kawasan, sudah barang
tentu dapat menjadi modal dasar industri wisata yang
seharusnya dapat digunakan untuk mempercepat
pembangunan dan konservasi lingkungan. Pembangunan
pariwisata, khususnya geoekowisata menjadi pilihan juga
didasari oleh karena alasan bahwa sumber-sumber
pendapatan daerah dari sektor kehutanan, pertanian dan
perkebunan agaknya telah mengalami stagnasi, sementara
sektor pertambangan dan industri relatif terbatas. Dalam
v
kondisi seperti ini, industri pariwisata perlu dikembangkan
sebagai salah satu alternatif upaya diversifikasi
perekonomian daerah sekaligus dalam rangka mendukung
pembangunan kawasan yang berkelanjutan (sustainable
development area).
Beberapa daerah di Sulawesi Selatan memiliki
keunikan bentang alam dengan eksotisme budaya lokal
yang menarik, sesungguhnya sangat potensial dan layak
untuk dikembangkan sebagai destinasi geoekowisata.
Keunikan bentang alam dan eksotisme budaya lokal
Tana Towa, serta Toraja Utara serta beberapa daerah lain di
Sulawesi Selatan, sangat layak untuk menjadi destinasi
geoekowisata. Mudah-mudahan pada cetakan kedua nanti,
tulisan tentang geoekowisata dari daerah tersebut dapat
lebih melengkapi buku ini. Tidak mustahil jika kemudian,
Provinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi destinasi
geoekowisata terkenal dan terkemuka di Kawasan Timur
Indonesia.
Buku yang ditulis dengan judul GEO EKOWISATA
MENJAGA ALAM MEMBANGUN KAWASAN, hanya
Memaparkan secara terbatas beberapa destinasi
geoekowisata di Sulawesi Selatan, yaitu: (1) Menjaga Tradisi
Merawat Hutan: Ekowisata Tana Towa Bulukumba; (2)
Bone-Bone: Desa Tanpa Asap Rokok Wisata Kesehatan di
Kaki Gunung Latimojong Enrekang; (3) Karst Maros –
Pangkep: Memanfaatkan Potensi Wisata, Memberdayakan
Masyarakat; (4) Eksotisme Bentang Alam dan Daya Tarik
Ekowisata Kabupaten Pinrang; (5) Hutang Mangrove
Tongke-Tongke: Menangkal Abrasi, Membangun Desa
Wisata.

vi
Di tengah-tengah kekosongan informasi pariwisata
Sulawesi Selatan saat ini, mudah-mudahan buku ini dapat
bermanfaat.

Makassar, Desember 2019

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI viii
BAB I PRAWACANA 1
BAB II GEO EKOWISATA : TREND PARIWISATA 10
BERKELAJUTAN
BAB III EKOWISATA DAN PENGEMBANGAN 45
KAWASAN PEDESAAN
BAB IV DIVERSIFIKASI WISATA BERBASIS GEO 54
EKOWISATA
A Geo Ekowisata Laut dan Pesisir 54
Geo Ekowisata Sungai dan Arung 61
B
Jeram
C Wisata Air Terjun 64
D Wisata Gua 68
E Wisata Danau 71
BAB V GEO EKOWISATA SULAWESI SELATAN 73
A Menjaga Tradisi Merawat Hutan: 73
Ekowisata Tana Towa Bulukumba
B Bone-Bone: Desa Tanpa Asap Rokok 117
Wisata Kesehatan di Kaki Gunung
Latimojong Enrekang
C Karst Maros–Pangkep: Memanfaatkan 170
Potensi Wisata, Memberdayakan
Masyarakat
D Ekowisata Pinrang: Potensi dan 201
Prosfeknya Pasca Otonomi Daerah
E Hutan Mangrove Tongke-Tongke: 247
Menangkal Abrasi, Membangun Desa
Wisata
DAFTAR PUSTAKA 272

viii
BAB I. PRAWACANA

Pengembangan suatu daerah menjadi Daerah Tujuan


Wisata (DTW) yang berbasis pada geo ekowisata, sangat
bergantung pada potensi daya tarik bentang alam dan
pemandangan (land configuration and landscape), seperti
lembah pegunungan (scenic mountain), telaga atau danau,
sungai, pantai, air terjun (waterfall), gua (cave) maupun
tanah datar (plain) yang memiliki daya tarik sehingga
memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan geo
ekowisata.
Pengembangan geo ekowisata juga dipengaruhi oleh
terutama daerah beriklim sejuk (mild) atau justru daerah-
daerah yang memiliki banyak cahaya matahari (sunny day).
Faktor-faktor yang tidak kalah penting lainnya adalah
ekosistem hutan yang memiliki kekayaan sumber daya
hayati, baik flora maupun fauna. Kawasan seperti ini
memiliki potensi untuk menjadi cagar alam (national park),
atau Taman Nasional untuk aktivitas bird watching maupun
kawasan yang dapat diperuntukkan sebagai wildlife tourism.
Sebenarnya peluang pengembangan geo ekowisata di
negara sedang berkembang, sangat didukung oleh adanya
1
kecenderungan wisatawan mancanegara untuk memenuhi
kebutuhan mereka, seperti mencari gambaran baru tentang
sisi lain kehidupan yang mereka tidak dapatkan di negara-
negara asalnya. Karena itu pula, daya tarik geo ekowisata
tidak semata-mata terletak pada kelestarian lingkungan
alam, tetapi juga pada dimensi budaya lokal, baik dalam
bentuk keunikan tradisi, seni pertunjukan, peninggalan
sejarah maupun hasil-hasil budaya berupa karya atau
produk lokal yang dianggap menarik oleh wisatawan.
Menurut Janianton Damanik dan Helmet Weber
(2006), kualitas produk wisata yang baik terkait pada (1)
keunikan, yang diartikan sebagai kombinasi kelangkaan
dan daya tarik yang khas melekat pada suatu obyek wisata,
(2) originalitas atau otentisitas yang mengacu pada keaslian,
merupakan sebuah kategori nilai yang memadukan sifat
alamiah, eksotis dan bersahaja dari suatu daya tarik geo
ekowisata. Keragaman mengacu pada diversitas produk
dan jasa yang ditawarkan, dalam arti ada banyak pilihan
produk dan jasa yang secara kualitas berbeda-beda.
Dalam aspek geo ekowisata, keberadaan komunitas-
komunitas lokal, baik di dalam dan sekitar hutan maupun
di daerah pesisir dan pulau-pulau juga merupakan aset
yang sangat berharga. Hal ini disebabkan komunitas-
komunitas tersebut, biasanya memiliki keunikan tradisi,
kearifan lokal (traditional wisdom), yakni bentuk pranata dan
sistem pengetahuan lokal (local knowledge) dalam menjalani
kehidupan. Diakui oleh para ecotourist, bahwa dalam
perspektif pengayaan pribadi, hal-hal semacam ini dapat
menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi wisawatan
intelektual sehingga mereka sangat mengagumi, bahkan
berminat mempelajari kehidupan komunitas lokal, yang

2
notabene belum terkontaminasi pengaruh kebudayaan
masyarakat metropolis. Demikian juga kekayaan seni
budaya, khususnya seni tradisi yang bernuansa magic-
religious, dapat menjadi sebuah atraksi wisata yang
menarik.
Fandeli (2000) menyatakan, bahwa ekowisata dapat
dikembangkan dalam kawasan hutan produksi, lindung
dan konservasi. Apabila didalam kawasan hutan terdapat
pedesaan dengan komunitas asli, akan dapat dikembangkan
pula wisata minat khusus atau Alternative Tourism.
Wisatawan minat khusus pada umumnya memiliki latar
belakang intelektual yang lebih baik. Memiliki pemahaman
dan kepekaan yang lebih terhadap etika, moralitas dan
nilai-nilai tertentu. Wisatawan seperti ini memandang,
bahwa perjalanan wisata seharusnya merupakan sebuah
perjalanan yang aktif dan pencarian pengalaman dalam
rangka pengembangan diri dan bukan lagi sebagai kegiatan
liburan biasa.
Luchman Hakim (2004) mengemukakan, wisata
alternatif minat khusus sudah menjadi bagian penting dari
wisata dunia. Karena itu jumlah ecotourist saat ini
meningkat. Dewasa ini pertumbuhan ecotourist diperkirakan
sekitar 10-15 persen. Perkiraan lain menyebutkan bahwa
pertumbuhannya mencapai 30 persen pada pertengahan
1990-an. Prospek dan harapan dari ekowisata sendiri
setidaknya dapat diketahui dari gambaran hasil survei yang
diadakan di Amerika Serikat sebagai negara terbesar
penyumbang wisatawan, seperti berikut : Hampir 40 persen
wisatawan Amerika tertarik dengan perjalanan
“peningkatan kualitas hidup” daripada wisatawan yang
hanya “mencari sinar matahari” yang berjumlah sekitar 20

3
persen. Sekitar 30 juta orang di Amerika menjadi anggota
perkumpulan organisasi lingkungan hidup atau orang-
orang yang mempunyai perhatian terhadap pelestarian
lingkungan.
Perubahan profil pasar wisata memungkinkan jumlah
wisatawan minat khusus (ekowisata) semakin besar
melebihi kecenderungan perkembangan wisata yang
berorientasi konvensional (conventional mass tourism).
Menurut Kusworo (dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000),
mengutip Brennan, bahwa bila pada tahun 1986 segmen
pasar wisatawan yang berorientasi pada kerja dan dengan
demikian, berwisata berarti pemulihan-istirahat berjumlah
antara 10 hingga 20 persen dari keseluruhan pasar wisata,
sedangkan wisatawan yang bergaya hidup hedonistik
berkisar 60 persen dan wisatawan yang lebih
mengutamakan keharmonisan (minat khusus) berjumlah 20
hingga 30 persen, pada tahun 2000 jumlahnya diperkirakan
akan berubah berturut-turut wisatawan yang berjenis escape
from routines berjumlah kurang dari 10 persen, hedonistik
berjumlah 45 hingga 60 persen dan wisatawan yang
bermaksud “memperkaya pengalaman hidup” berjumlah 30
hingga 45 persen. WTO memproyeksikan pertumbuhan
pasar wisata jenis terakhir ini akan mencapai 15 persen
setiap tahun.
Pada tingkat global, pertumbuhan pasar ekowisata
tercatat jauh lebih tinggi dari pasar wisata secara
keseluruhan. Berdasarkan analisa TIES (2000), pertumbuhan
pasar ekowisata berkisar antara 10 - 30 persen pertahun,
sedangkan pertumbuhan wisatawan secara keseluruhan
hanya 4 persen. Tahun. 1998 WTO memperkirakan
pertumbuhan ekowisata sekitar 20 persen. Di kawasan Asia

4
Pasifik sendiri angka pertumbuhan tadi berkisar antara 10 -
25 persen pada pertengahan tahun 1990 an.
Di Indonesia 25 persen wisatawan mancanegara pada
tahun 1996 merupakan ekowisatawan (ecotourist). Statistik
ini menunjukkan bahwa pergeseran perilaku pasar wisata
sedang berlangsung saat ini dan ekowisata diperkirakan
akan menjadi pasar wisata yang sangat prospektif di masa
depan (Damanik dan Weber, 2006).
Kripendorf (dalam Kusworo, 2000), menyebutkan
bahwa penurunan signifikan terjadi pada segmen
wisatawan yang menganggap kegiatan-kegiatan hedonism
sebagai tujuan atau motivasi utama, dan pada segmen
wisatawan yang melihat bahwa perjalanan wisata secara
terbatas hanya sebagai bagian dari cara penyegaran kembali
atau cara melepaskan diri dari aktivitas rutin pekerjaan.
Kecenderungan penurunan juga pada pola wisata
kelompok (fully inclusive group tour).
Perubahan tujuan wisata pun terjadi, sebagaimana
dilansir oleh WTO, dikutip oleh Luchman Hakim (2004),
bahwa saat ini, wisatawan Eropa dan Amerika mulai
meninggalkan destinasi lokalnya, yakni Eropa dan
Amerika, kemudian beralih ke destinasi wisatanya di luar
kawasan Eropa dan Amerika. Dengan demikian, kawasan
Afrika, Asia Timur Jauh serta Asia Selatan dan Tenggara
menerima berkah wisata dengan beralihnya minat terhadap
tujuan wisata tersebut. WTO mencatat bahwa perjalanan
wisata mancanegara menuju Asia Timur dan Pasifik
meningkat tajam dari hanya 1 persen pada tahun 1950
mencapai 16 persen pada tahun 2000. Dalam tahun 2020,
kawasan-kawasan ini diharapkan menjadi tujuan favorit
setelah Eropa untuk pemerataan pembangunan dan

5
pengembangan ekonomi dunia. Hal inilah yang
menyebabkan, bahwa pada umumnya atau 80 persen dari
jumlah wisatawan mancanegara berasal dari Amerika dan
Eropa. Sementara 15 persen dari Asia Timur dan Pasifik
serta 5 persen sisanya berasal dari Afrika, Timur Tengah ,
serta Asia Selatan dan Tenggara. Juga dapat dimengerti,
karena tingkat kondisi perekonomian yang mapan,
menyebabkan mereka memiliki daya beli yang tinggi
sehingga memungkinkan penduduk negara-negara maju
dapat melakukan perjalanan jauh ke negara-negara lain.
Kecenderungan orang Ero-Amerika melakukan
perjalanan ekowisata, juga terjadi karena makin
meningkatnya kesadaran lingkungan dan semakin
meningkatnya jumlah pecinta alam (nature lovers), yang
menyebabkan gaung tentang wacana pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) semakin nyaring
(Beathy,1994). Gaung tentang isu-isu lingkungan hidup
itulah menjadi salah satu faktor yang memicu minat
melakukan ekowisata.
Secara lebih detail, Warel (1997) mengemukakan,
adanya empat penyebab penting terjadinya kecenderungan
meningkatnya jumlah permintaan ekowisata, yaitu : (1)
adanya ketidakpuasan wisatawan terhadap produk yang
ditawarkan pasar, (2) terjadinya peningkatan terhadap
kesadaran lingkungan dan kepekaan budaya di masyarakat
(growing environmental awareness and cultural sensibility); (3)
menguatnya kesadaran tentang bahaya pemanfaatan
sumber daya alam secara berlebihan, karena ini akan
mengganggu keseimbangan lingkungan sosial budaya di
daerah tujuan wisata, (4) perubahan sikap serta perilaku
wisata dan para tour operator itu sendiri yang menyadari

6
pentingnya pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Tujuan pariwisata berkelanjutan pada dasarnya adalah
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pelestarian lingkungan, meningkatkan dan
menguatkan ekonomi masyarakat lokal, dan dengan
sendirinya mendorong pemerataan pembangunan. Karena
itu, menurut Fandeli (1999), ekowisata dapat menjadi
program penting dalam memulihkan kerusakan hutan dan
mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut menjaga
kelestarian hutan.
Sesungguhnya, adanya Peraturan Pemerintah No. 18
tahun 1994, pemerintah, melalui Departemen Kehutanan
mengharapkan pengembangan hutan untuk pariwisata
dapat dipicu melalui pengelolaan hutan untuk ekowisata,
yang seharusnya bertujuan untuk konservasi,
pendidikan/penelitian, partisipasi masyarakat dan
pemberdayaan ekonomi. Hal ini memungkinkan, karena
sebenarnya ekowisata dapat dikembangkan dalam kawasan
hutan produksi, hutan lindung maupun pada kawasan
konservasi. Pengembangan ekowisata dalam kawasan
hutan akan lebih menarik manakala didukung oleh pernak-
pernik budaya masyarakat lokal. Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan, daya tarik budaya menjadi
bagian dari kekayaan destinasi yang seharusnya ikut
bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan. Apalagi,
masyarakat lokal biasanya memiliki sistem kepercayaan
berkenaan dengan hal-hal yang bersifat supranatural. Dan
melalui ritual tertentu sistem kepercayaan tersebut
merefleksikan sebuah kearifan dalam menjaga lingkungan
secara tradisional.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki

7
bentang alam yang menarik karena terdiri atas rangkaian
pulau-pulau dan pesisir terbesar di dunia. Bahkan
Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang
memiliki tingkat kekayaan hayati tertinggi di dunia.
Bukanlah sebuah kemustahilan jika kemudian Indonesia
menjadi daerah tujuan ekowisata yang menarik. Lagi pula
keragaman budaya lokal di Indonesia sudah tersohor sejak
dahulu, menyebabkan Indonesia menjadi daerah tujuan
wisata yang memiliki daya kompetitif.
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan
bentang alam yang unik di banyak kawasan, sudah barang
tentu dapat menjadi modal dasar industri wisata yang
seharusnya dapat digunakan untuk mempercepat
pembangunan dan konservasi lingkungan. Pembangunan
pariwisata, khususnya ekowisata menjadi pilihan didasari
oleh karena alasan bahwa sumber-sumber pendapatan
daerah dari sektor kehutanan, pertanian dan perkebunan
agaknya telah mengalami stagnasi, sementara sektor
pertambangan dan industri relatif terbatas. Dalam kondisi
seperti ini, industri pariwisata perlu dikembangkan sebagai
salah satu alternatif upaya di verifikasi perekonomian
daerah sekaligus dalam rangka mendukung pembangunan
kawasan yang berkelanjutan (sustainable development area).
Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, memberikan kewenangan bagi pemerintah
kabupaten untuk mengelola daerah masing-masing dalam
melakukan pembangunan, termasuk dalam hal ini
pembangunan ekowisata. Hal ini sangat memungkinkan,
karena dalam era Otonomi daerah, mekanisme
pengambilan keputusan menjadi lebih sederhana dan cepat.

8
Dan karena itu pula, peluang masyarakat lokal untuk lebih
partisipatif dalam pengembangan ekowisata akan lebih
terbuka, karena masyarakat menyadari, melalui ekowisata
kesejahteraan mereka akan lebih meningkat. Dengan
demikian, kebijakan pemerintah kabupaten yang kondusif
dalam pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan
menjadi modal bagi pembangunan daerah. Karena itu pula,
penguatan kelembagaan dalam bentuk kebijakan
pemerintah Kabupaten maupun kegiatan-kegiatan lain yang
mendukung pengembangan pariwisata, sangat diperlukan.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, sudah
seyogyanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
melakukan langkah-langkah dalam mengembangkan
potensi ekowisata di daerah tersebut. Tidak mustahil,
melalui kemasan dan pemasaran wisata yang dilakukan
secara sungguh-sungguh, sektor pariwisata dapat memacu
percepatan pembangunan daerah.
Pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat, penting
dilakukan karma alasan sebagai berikut :
1. Terjadinya pergeseran trend pariwisata konvensional ke
ekowisata berbasis masyarakat.
2. Pengembangan ekowisata penting untuk pelestarian
lingkungan pedesaan.
3. Pengembangan ekowisata penting untuk pemberdayaan
masyarakat lokal guna menanggulangi kemiskinan.
4. Pengembangan ekowisata penting untuk pembangunan
berkelanjutan.

9
BAB II. GEO EKOWISATA :
TREND PARIWISATA
BERKELANJUTAN

Wisata konvensional sejatinya memacu pertumbuhan


ekonomi melalui aktivitas wisata massal yang lebih
menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan hedonistik
tanpa manfaat yang berarti. Bahkan sebaliknya justru,
menghasilkan dampak yang tidak diharapkan, seperti
masalah moral, masalah sosial, serta kesenjangan antar
warga, maupun antar kelompok warga. Lebih dan itu, juga
menimbulkan dampak berupa kerusakan lingkungan, baik
ekosistem perairan maupun ekosistem hutan. Seiring
dengan itu, bergulirnya wacana tentang pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan
pentingnya memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi hak generasi yang akan datang dalam
memenuhi kebutuhannya, menyebabkan ekowisata menjadi
penting untuk mendukung wacana tersebut melalui
sustainable tourism development.
Arus global kepariwisataan pun berubah seiring
makin signifikannya pertumbuhan ekonomi di negara-
negara asal wisatawan, terutama Eropa - Amerika. Di
negara-negara ini, segmen pasar wisata semakin besar
10
dengan eksploitasi yang lebih besar pula untuk melakukan
perjalanan wisata, terutama perjalanan wisata yang lebih
berkualitas. Kondisi ini menyebabkan makin tingginya
permintaan perjalanan wisata dalam bentuk wisata minat
khusus (special interest tourism).
Ekowisata menurut Green Tourism Association sebagai
suatu pembangunan yang memiliki empat pilar, yaitu; (1)
environmental responsibility yang dipahami sebagai proteksi,
konsenasi, atau perluasan sumber daya alam dan
lingkungan fisik untuk menjamin kehidupan jangka
panjang dan keberlangsungan ekosistem; (2) Local economy
vitality yang dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya ekonomi lokal, bisnis dan komunitas untuk
menjamin kekuatan ekonomi dan berkelanjutan
(sustainability); (3) cultural sensitivity, yang mendorong
timbulnya penghormatan dan penghargaan terhadap adat
istiadat dan keragaman budaya untuk menjamin
kelangsungan budaya lokal yang baik; (4) experiental
richness, melalui penciptaan atraksi yang dapat
memperkaya dan meningkatkan pengalaman yang lebih
memuaskan, melalui partisipasi aktif dalam memahami
personal dan keterlibatan dengan alam, manusia,maupun
budaya (lihat Yoeti 2006).
Menurut Ceballos - Lascurain (1996), ekowisata adalah
perjalanan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan
serta kunjungan menuju daerah alami (natural area) yang
relatif belum mengalami gangguan. Tujuannya, agar dapat
menikmati panorama alam dan kekayaan hayati yang
dikandungnya serta menghargai peninggalan budaya, baik
masa lalu maupun sekarang yang mendukung konservasi,
serta memberi manfaat sosial ekonomi bagi penduduk lokal

11
yang terlibat. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Heher (dalam Damanik dan Weber,
2006) yang mengemukakan, bahwa ekowisata merupakan
suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip
pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan
jenis wisata lain. Dalam praktik, hal itu terlihat dalam
bentuk kegiatan wisata yang: (a) secara aktif menyumbang
kegiatan konservasi alam dan budaya; (b) melibatkan
masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan dan
pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif
terhadap kesejahteraan mereka; (c) dilakukan dalam bentuk
wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk
kelompok kecil.
Intinya, aktivitas ekowisata terkait dengan upaya
konservasi dan penghargaan terhadap pernik budaya lokal.
Karena itu, ekowisata merupakan aktivitas perjalanan yang
bertumpu pada lingkungan sehingga bermanfaat secara
sosial ekonomi terhadap masyarakat lokal, khususnya bagi
kelestarian sumber daya yang berkelanjutan. Karena itu
Honey (1995) menetapkan kriteria sebuah aktivitas
ekowisata, sebagai; (1) perjalanan ke kawasan alamiah, (2)
dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan rendah, (3)
membangun kepedulian terhadap lingkungan, (4)
memberikan dampak dan keuntungan ekonomi secara
langsung bagi konservasi, (5) memberikan dampak
keuangan dan pemberdayaan masyarakat lokal, (6) adanya
penghargaan terhadap budaya setempat, (7) mendukung
hak asasi manusia dan gerakan demokrasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Wearing dan Neil
(1999; Luchman Hakim, 2004), mengemukakan, bahwa ide-
ide ekowisata berkaitan dengan wisata yang diharapkan

12
dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Untuk
menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakteristikkan
dengan adanya beberapa hal berikut, yaitu: (1) adanya
manajemen lokal dalam pengelolaan, (2) adanya produk
perjalanan dan wisata yang berkualitas, (3) adanya
penghargaan terhadap budaya, (4) pentingnya pelaksanaan
pelatihan, (5) bergantung serta berhubungan dengan
sumber daya alam dan budaya, dan (6) adanya integrasi
pembangunan dan konservasi.
Sedangkan Choy (1997) mengemukakan, ada lima
aspek utama berkembangnya ekowisata, yaitu: (1) adanya
keaslian lingkungan alam dan budaya, (2) keberadaan dan
dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman, (4)
keberlanjutan, dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan
ekowisata. Adapun wisata minat khusus (alternative
tourism) mengandung empat aspek yang menguntungkan
bagi lingkungan dan masyarakat, yaitu (1) pembelajaran, (2)
manfaat kepada perilaku pariwisata dan masyarakat, (3)
pengayaan dan (4) petualangan.
Hal yang sama dikemukakan oleh From (2004), yang
menyusun tiga konsep dasar tentang ekowisata sebagai
berikut; (1) sebagai perjalanan outdoor, khususnya di
kawasan alam tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan,
(2) penggunaan fasilitas dengan memanfaatkan alat
transportasi lokal yang dikelola oleh masyarakat di
kawasan wisata tersebut, (3) perjalanan wisata ini menaruh
perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal.
Dari pemaparan di atas, tampaknya ekowisata dapat
diartikan sebagai perilaku dan juga sebagai sebuah industri.
Sebagai perilaku, maka aktivitas pelaku wisata harus
bersikap apa yang seharusnya dilakukan untuk menjaga

13
kelestarian ekosistem, baik ekosistem hutan maupun
ekosistem pesisir. Sementara sebagai industri, pelaku
pariwisata, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat,
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak
Perguruan Tinggi, berupaya mengembangkan Co
Manajemen untuk secara bersama-sama menciptakan suatu
mekanisme dimana pengembangan tersebut dapat memberi
manfaat tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga
manfaat lingkungan, sosial dan budaya.
Ekowisata sebagai industri berkelanjutan memiliki ciri
prinsip pokok yaitu : (1) tidak mengalami degradasi sumber
daya tetapi berkembang sesuai dengan bagaimana
lingkungan itu bekerja; (2) dalam jangka panjang
memberikan keuntungan pada sumber daya, komunitas
lokal dan industri sehingga menguntungkan untuk aspek
konservasi, kegiatan ilmiah, aktivitas sosial, budaya dan
ekonomi; (3) adanya keterlibatan pendidikan untuk semua
unsur, baik komunitas lokal, pemerintahan, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), industri dan turis; (4)
bertanggungjawab pada semua komponen nilai intrinsik
sumber daya; (5) sumber daya memiliki keterbatasan
sehingga perlu dikelola berbasis orientasi suplai; (6)
mempromosikan pengertian dan keterlibatan kemitraan di
antara manusia pelaku, baik yang berada di pemerintahan,
organisasi pemerintahan, industri, ilmuwan dan orang-
orang lokal; (7) mempromosikan moral dan tanggung jawab
etika.
Menurut Luchman Hakim (2004), wisata dengan minat
khusus sudah menjadi bagian penting dari wisata dunia.
Pertumbuhan ekowisata diperkirakan sekitar 10-15 persen
Perkiraan lain menyebutkan bahwa pertumbuhannya

14
mencapai 30 persen pada pertengahan 1990 an. Prospek dan
harapan dari ekowisata sendiri setidaknya dapat diketahui
dari gambaran hasil survai yang diadakan di Amerika
Serikat, sebagai negara terbesar penyumbang wisatawan,
seperti berikut :
Hampir 40 persen wisatawan Amerika tertarik dengan
perjalanan “peningkatan kualitas hidup” daripada
wisatawan yang hanya “mencari sinar matahari” yang
berjumlah sekitar 20 persen. Sekitar 30 juta orang di
Amerika menjadi anggota perkumpulan organisasi
lingkungan hidup atau orang-orang yang mempunyai
perhatian terhadap pelestarian lingkungan.
Perubahan profil pasar wisata memungkinkan jumlah
wisatawan minat khusus (ekowisata) semakin besar
melebihi kecenderungan perkembangan wisata yang
berorientasi konvensional (conventional mass tourism).
Menurut Kusworo (dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000),
mengutip Brennan, bahwa bila pada tahun 1986 segmen
pasar wisatawan yang berorientasi pada kerja dan dengan
demikian, berwisata berarti pemulihan-istirahat berjumlah
antara 10 hingga 20 persen dari keseluruhan pasar wisata,
sedangkan wisatawan yang bergaya hidup hedonistik
berkisar 60 persen dan wisatawan yang berjenis escape from
routines berjumlah kurang dari 10 persen, hedonistik
berjumlah 15 hingga 60 persen dan wisatawan yang
bermaksud “memperkaya pribadi” berjumlah 30 hingga 45
persen. WTO memproyeksikan pertumbuhan pasar wisata
jenis terakhir ini akan mencapai 15 persen setiap tahun.
Kripendorf (dalam Koesworo, 2000), menyebutkan
bahwa penurunan secara signifikan terjadi pada segmen
wisatawan yang menganggap kegiatan-kegiatan hedonism

15
sebagai tujuan atau motivasi utama, dan pada segmen
wisatawan yang melihat bahwa perjalanan wisata secara
terbatas hanya sebagai bagian dari cara penyegaran kembali
atau cara melepaskan diri dari aktivitas rutin pekerjaan.
Kecenderungan penurunan juga pada pola wisata
kelompok (fully inclusive group tour).
Peranan pecinta alam dalam pengembangan ekowisata
tergolong besar. Para pecinta alamlah yang berjasa bagi
pembukaan daerah-daerah baru bagi tujuan wisata,
terutama di kawasan-kawasan hutan tropik. Apalagi hutan
tropik tersebut merupakan kawasan konservasi, yakni
kawasan yang dilindungi karena ciri-ciri tertentu yang
dimiliki oleh kawasan tersebut. Menurut Mac Kinnon, et.al
(1993) ciri-ciri kawasan konservasi antara lain; (1) keunikan
ekosistemnya; (2) adanya sumberdaya fauna yang terancam
punah; (3) adanya keanekaragaman jenis, baik flora
maupun fauna; (4) panorama atau ciri geofisik yang
memiliki nilai estetis; dan karena fungsi hidrologi kawasan
untuk pengaturan air, erosi dan kesuburan tanah.
Dewasa ini, hutan lindung menjadi salah satu kawasan
yang dimanfaatkan dalam penyelenggaraan kegiatan
wisata, terutama kegiatan yang terkait dengan ekowisata.
Namun demikian, menurut Wawan Ridwan (dalam
Fandelly dan Mukhlison, 2000), kebijakan pengembangan
pariwisata alam harus sejalan dengan kebijakan pariwisata
nasional yang diarahkan untuk : (1) mendukung kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat (sebagai pelaku ekonomi)
berdasarkan strategi konservasi yang ada dan sesuai
dengan prinsip pengelolaan secara lestari dan seimbang,
yang pada akhirnya akan mendukung pendapatan negara
selain untuk kesejahteraan masyarakat; (2) membuka

16
lapangan kerja dan kesempatan usaha bagi semua golongan
dan lapisan masyarakat; (3) mendukung dan mendorong
kegiatan kerajinan rumah tangga (home industry) yang
menjadi satu kesatuan dengan sektor pariwisata; (4)
memanfaatkan potensi kawasan atau sumberdaya alam
secara optimal, sehingga keberadaannya dapat memberi arti
dalam proses keseimbangan pembangunan, khususnya bagi
sektor pariwisata; (5) untuk meningkatkan kecintaan
generasi muda terhadap kelestarian lingkungan dan usaha
konservasi, sehingga akhirnya mempunyai keinginan untuk
berperan secara aktif dalam melestarikannya.
Trend ekowisata bertumbuh pesat, karena saat ini
wisatawan yang pada umumnya dari perkotaan,
menginginkan suasana baru di pedesaan atau di alam yang
jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan kota.
Sementara bagi wisatawan mancanegara yang berasal dari
negara industri, berkeinginan untuk melakukan perjalanan
yang bermakna dengan melihat daerah atau wilayah yang
suasananya berbeda dengan suasana di daerah asalnya.
Sesungguhnya esensi pengertian pariwisata, sebenarnya
adalah orang pergi mencari sesuatu yang berbeda dengan
hidup sehari-hari. Dan perjalanan tersebut memungkinkan
seseorang memperoleh tambahan pengetahuan dalam
hidupnya (expansion of life), merupakan pengayaan pribadi,
maupun tambahan pengalaman pengetahuan diperoleh dari
perjalanan ekowisata.
Heher (2003), Damanik dan H.F. Weber (2006)
mengatakan, ekowisata merupakan suatu bentuk wisata
yang mengadopsi prinsip- prinsip pariwisata berkelanjutan
yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Di dalam
praktik, hal itu terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang :

17
(a) secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan
budaya; (b) melibatkan masyarakat lokal dalam
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata serta
memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan
mereka; dan (c) dilakukan dalam bentuk wisata independen
atau diorganisasi dalam bentuk kelompok kecil.
Aktivitas ekowisata sangat terkait dengan upaya
konservasi dan budaya lokal, karena ekowisata sebenarnya
merupakan aktivitas perjalanan yang bertumpu pada
lingkungan sehingga bermanfaat secara sosial ekonomi
masyarakat lokal khususnya dan bagi kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya alam.
Dalam hal ini ekowisata memiliki arti sebagai perilaku
dan juga sebagai industri. Sebagai perilaku, maka aktivitas
pelaku pariwisata harus bersikap apa yang seharusnya
dilakukan dalam pengembangan pariwisata untuk menjaga
kelestarian ekosistem, baik ekosistem hutan maupun
ekosistem pesisir. Sementara sebagai industri, pelaku
pariwisata, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat,
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak
Perguruan Tinggi, mengembangkan Co Manajemen untuk
secara bersama-sama menciptakan suatu mekanisme
dimana pengembangan tersebut dapat memberi manfaat
tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga manfaat
lingkungan, sosial dan budaya. Karena itu menurut Wawan
Darmawan (2003), ekowisata dilatarbelakangi oleh
kesadaran atau tanggung jawab atas kawasan yang
dikunjungi dalam melakukan kegiatan wisata. Dengan
demikian, ekowisata dapat pula disebut kegiatan wisata
yang bertanggung jawab (responsible tourism) dan wisata
altematif (alternative tourism).

18
Sementara itu, Honey (1995) menetapkan kriteria
sebuah aktivitas ekowisata, sebagai berikut : (1) perjalanan
ke kawasan alamiah, (2) dampak yang ditimbulkan
terhadap lingkungan rendah, (3) membangun kepedulian
terhadap lingkungan, (4) memberikan dampak dan
keuntungan ekonomi secara langsung bagi konservasi, (5)
memberikan dampak keuangan dan pemberdayaan
masyarakat lokal, (6) adanya penghargaan terhadap budaya
setempat, (7) mendukung hak asasi manusia dan gerakan
demokrasi.
Hal yang sama dikemukakan oleh From (2004), yang
menyusun tiga konsep dasar tentang ekowisata sebagai
berikut; (1) sebagai perjalanan outdoor khususnya di
kawasan alam tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan,
(2) penggunaan fasilitas dengan menggunakan alat
transportasi lokal yang dikelola oleh masyarakat kawasan
wisata tersebut, (3) perjalanan wisata ini menaruh perhatian
besar pada lingkungan alam dan budaya lokal.
Di tingkat global, pertumbuhan pasar ekowisata
tercatat jauh lebih tinggi dari pasar wisata secara
keseluruhan. Berdasarkan analisa TIES, (2000) pertumbuhan
pasar ekowisata berkisar antara 10-30 persen pertahun,
sedangkan pertumbuhan wisatawan secara keseluruhan
hanya 4 persen. Tahun 1998 WTO memperkirakan
pertumbuhan ekowisata sekitar 20 persen. Di kawasan Asia
Pasifik sendiri angka pertumbuhan tadi berkisar antara 10 -
25 persen pada pertengahan tahun 1990 an. Di Indonesia 25
persen wisatawan mancanegara pada tahun 1996
merupakan ekowisatawan (ecotourist). Statistik ini
menunjukkan bahwa pergeseran perilaku pasar wisata
sedang berlangsung saat ini dan ekowisata diperkirakan

19
akan menjadi pasar wisata yang sangat prospektif di masa
depan (Damanik dan Weber, 2006).
Melalui Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994,
pemerintah c.q. Departemen Kehutanan memberikan
peluang bagi pengembangan hutan untuk pariwisata, dapat
dipacu. Termasuk dalam kawasan konservasi, atau kawasan
yang dilindungi karena ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh
kawasan tersebut. Masalahnya menurut Wawan Ridwan
(2003), bahwa sejalan dengan perkembangan dasa warsa
terakhir, kita dituntut untuk lebih adaptif terhadap
kebutuhan pasar global. Dalam bidang pariwisata,
keberadaan Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan
kita dalam memberikan pelayanan atas komponen-
komponen pariwisata, yaitu atraksi, transportasi,
akomodasi, informasi dan promosi secara kompetitif.
Meskipun pariwisata akan menjadi industri jasa terbesar
bersama-sama dengan transportasi dan telekomunikasi,
harus dipahami sebagai peluang hanya bila disertai
pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang
cukup serta sikap (attitude) yang baik.
Arus global kepariwisataan saat ini berubah seiring
makin signifikannya pertumbuhan ekonomi di negara-
negara asal wisatawan, terutama Eropa - Amerika. Di
negara-negara ini, segmen pasar wisata semakin besar
dengan eksploitasi yang lebih besar pula untuk melakukan
perjalanan wisata, terutama perjalanan wisata yang lebih
berkualitas. Kondisi ini menyebabkan makin tingginya
permintaan perjalanan wisata dalam bentuk wisata minat
khusus (special interest tourism),
Jika dicermati, tren perkembangan ekowisata, baik di
Asia, Afrika maupun negara-negara di dunia, terjadi

20
sebagai respons terhadap meningkatnya isu-isu lingkungan,
baik pada ekosistem laut dan pesisir maupun ekosistem
hutan yang begitu memprihatinkan. Respons tersebut
memunculkan kesadaran untuk melakukan perjalanan
wisata dengan tujuan menikmati, bahkan mempelajari
ekosistem yang relatif masih utuh, selain melakukan
konservasi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Pada dasarnya, ekowisata dapat dikembangkan dalam
kawasan hutan, baik hutan produksi, hutan lindung
maupun konservasi. Hal ini didukung oleh Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1994 yang memberi peluang bagi
pengembangan hutan untuk pariwisata, termasuk dalam
kawasan konservasi atau kawasan lindung. Kawasan
konservasi memiliki daya tarik untuk ekowisata karena ciri-
cirinya, antara lain: (1) keunikan ekosistemnya dengan
sumber daya faunistik yang khas, (2) adanya sumber daya
fauna yang terancam punah; (3) keanekaragaman jenis, baik
flora maupun faunanya; (4) panorama atau ciri geofisik
yang memiliki nilai estetik, dan (5) karena fungsi hidrologi
kawasan untuk pengaturan air, erosi dan kesuburan tanah.
Ada tiga prinsip pengelolaan konservasi, dan menjadi
bagian dari prinsip pengembangan ekowisata, yaitu : (1)
Prinsip Co-ownership, yakni prinsip kepemilikan bersama
kawasan yang akan dikembangkan untuk ekowisata.
Pemanfaatan dan perlindungan dilaksanakan bersama
berdasarkan pada nilai kearifan teknologi dan budaya lokal,
(2) prinsip Cooperation, yakni prinsip mengatur peranan
masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan
seluruh stakeholders, dan (3) prinsip Responsibility, yakni
kegiatan perlindungan dan pembinaan kawasan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat

21
dan seluruh Stakeholder (lihat Fandeli dan Mukhlison, 2000).
Keanekaragaman sumberdaya hayati baik fauna
maupun flora dalam ekosistem hutan menjadi atraksi
wisata yang menarik, antara lain :

1. Flora
Pada umumnya kawasan hutan di Sulawesi Selatan
berada pada ketinggian di bawah 1000 meter dari
permukaan laut sehingga memiliki ciri ekosistem hutan
daratan rendah. Wirawan (1981) membatasi ketinggian 1000
meter di atas permukaan laut sebagai batas tertinggi untuk
ciri ekosistem hutan dataran rendah. Ciri ekosistem ini
ditandai oleh struktur hutan yang bervariasi. Struktur yang
masih utuh, terutama menjadi ciri hutan primer. Sebagian
biasanya masih ditutupi oleh jenis vegetasi yang didominasi
oleh komunitas biotik berupa tegakan pohon dan beberapa
jenis rotan (Calamus sp). Struktur hutan yang masih utuh,
terdiri atas beberapa jenis kayu pohon yang mencapai
ketinggian lebih dari 50 meter, dengan diameter pohon
berkisar antara 50 - 100 centimeter dan memiliki tajuk yang
rimbun. Di bawah tajuk yang rimbun tersebut, terdapat
tumbuhan lapisan kedua, yakni jenis pohon yang relatif
lebih rendah. Pada strata di bawahnya lagi terdapat semak-
semak tumbuhan perdu dan sejumlah anakan serta
kecambah-kecambah dari pohon. Selain itu, juga terdapat
tumbuhan merambat (liana) dan epifit dari berbagai ukuran
dan bentuk yang tumbuh pada batang dan daun. Hutan
dataran rendah memiliki keanekaragaman plasma nutfah,
merupakan ekosistem yang klimaks-klimatiks, serta
memiliki kondisi yang sangat bervariasi akibat
keanekaragaman jenis vegetasi.

22
Selain kayu pohon yang pada umumnya digunakan
untuk ramuan rumah, keanekaragaman jenis vegetasi
ditandai pula oleh keberadaan jenis-jenis pohon buah marga
Garcinia, seperti manggis (Carcinia mengostana), durian
(Dupo zibethinus Mur), duku (Lansitzm domcsticurn Corr),
rambutan durio (Nephelium lappaceum L). Sernentara jenis-
jenis dari marga Dioscoreae, Alocasia, Arenga, Metroxylon,
seperti gadung (Dioscoreae hispda Dennst) dan palm sago
(Metroxylom saga Rottb), serta beberapa lagi suku Palmae,
sampai sekarang masih dimanfaatkan sebagai bahan
makanan alternatif terutama pada musim-musim paceklik
penduduk desa hutan.
Keragaman jenis ekosistem hutan dataran rendah
diperkaya oleh tumbuh-tumbuhan yang penduduk biasa
gunakan sebagai bahan pengobatan, bahkan untuk racun
ikan, termasuk jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk
mengusir hama seperti hama babi dan walang sangit. Jenis-
jenis dari marga zingiberaceae seperti jahe (Ringiber
officianalis), kencur (kaemoferia galangu), kunci (kacmoferia
pandurata) dan kunir (curcuma longa), oleh penduduk masih
biasa digunakan sebagai ramuan obat-obatan. Demikian
pula halnya tumbuhan dari suku Apocynacceae, seperti
alamanda (albmanda calhart;ca) dan Kamboja (Plumerja
acuminata). Beberapa jenis lainnya, seperti jelun (Derris
elliptica) biasa digunakan sebagai racun ikan di sungai-
sungai.
Tumbuhan memanjat dan epifit memberi warna yang
demikian menonjol pada hutan dataran rendah. Jenis liana
hidup dengan cara membelit atau melingkar pada tegakan
pohon, sementara pada bagian atas, liana bergantungan
yang membuat tajuk nampak lebih rimbun dari

23
sesungguhnya. Bila masih muda, banyak jenis tumbuhan
memanjat yang bergantungan bebas, mirip dengan pohon-
pohon muda yang tumbuh perlahan-lahan menembus
tumbuhan bawah dan tajuk pokok yang rendah, sehingga
berkesempatan untuk naik sampai ke puncak tajuk.
Beberapa jenis yang ditemukan di Daratan Tinggi Sulawesi
Selatan antara lain adalah jenis-jenis dari marga Piperaceae,
seperti sirih (Piiperhetle), dan dari jenis Marga Diuscoreaccar,
seperti gadung (Dioscorea hispida Dentist). lenis-jenis lainnya
yang juga biasa dijumpai adalah Derris elliptica Bth, dan
beberapa dari marga Vitaceae, seperti leea aequata L, Cayratia
trifolia dan Cissus repens.
Adapun tumbuhan epifit yang amat dikenal oleh
penduduk sebagai benalu (Cassytha filiformis), serta
beberapa jenis lainnya seperti, Hymenolepis revoluta BL,
Platycerium inftir CoIiittl C. Chr, dan Aspelenium nidus L.
Tumbuhan memanjat dan epitit dikenal karena seolah-olah
menjadi bagian dari tegakan pohon. Sementara pada bagian
bawah terdapat jenis tumbuhan yang juga menjadi salah
satu ciri hutan dataran rendah, adalah tumbuhan menjalar.
Flora pohon yang juga dikenal sejak lama sebagai
tanaman hutan adalah kayu jati (Tectona grandis), kemiri
(Aleurites moluccana Wilid), lamtoro (Leucena glauca) dan
bambu (bambusa sp). Tanaman ini biasa digunakan untuk
menghutankan tanah kritis.
Flora pohon yang dikenal secara luas oleh penduduk
sebagai tanaman baru ialah : jambu mente (Anacardium
Occidental) dan gamal (Clyricidia sepium). Jambu mente
umumnya dikenal sebagai tanaman penghijauan dan gamal
dikenal sebagai tanaman peneduh, sementara tanaman
peneduh yang sudah dikenal sejak dahulu adalah dadap

24
(Erythrina variegata L var oientalis Merr).
Flora hutan yang cukup bernilai ekonomi adalah rotan
(Calamus sp) dan damar (aghatis alba Foxw), sedang sagu
(Metroixlon sagu) dan nipa (nypa fruticans) banyak tumbuh di
dekat mata-mata air di kaki-kaki bukit dan gunung. Aren
(Arenga pinnata) sudah ada yang dibudidayakan, bersama
kelapa (Cocos nucifera) dan bambu (bambusa sp). Di kebun-
kebun penduduk terdapat banyak ragam tanaman,
termasuk jahe-jahean (zingiberaceae) seperti jahe (Zingibei
officianlis), kencur (Kaemferia galanga) dan kunir (Curcuma
longa).
Flora hutan yang juga nampaknya cukup penting bagi
penduduk karena dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan dan
makanan alternatif pada musim kemarau adalah, gadung
(Dioscoreae), keladi (Colocacia esculentum) dan sirih (Scindapsus
aurea). Sedang jenis buah-buahan yang juga banyak terdapat
di hutan adalah durian (Durio zibethinus Murr), langsat
(lansium domesticum Corr) dan rambutan (Nephelium lappacaeum
I.)
Pada punggung dan lereng gunung sebelah atas, lantai
hutan ditutupi oleh seresah yang tebal dan beberapa jenis
herba yang tumbuh di situ, termasuk herba yang tumbuh
pada bagian lereng dan kaki gunung. Sementara di daerah
aliran sungai, terutama pada bagian hulu didominasi oleh
beberapa jenis pohon seperti Duabanga moluccana, Elmerillia
ovalis dan jenis-jenis Ficus.
Pohon-pohon palm (Pigafeeta filaris) dan legu
(Erythrina), walaupun tidak begitu dominan, tetapi banyak
dijumpai di tepi anak-anak sungai, sementara Aren (Arenga
Pinnata) dan pandan (Pandanus sarasincrum), juga terlihat
banyak di tepi-tepi sungai, maupun di tepi anak-anak

25
sungai. Hal ini disebabkan aren pada satu dekade terakhir,
sebagian sudah dibudidayakan oleh penduduk karena
dapat dijadikan gula merah. Bahkan ada kecenderungan
penduduk di desa tertentu, menjadikan pembuatan gula
merah sebagai mata pencaharian, selain berkebun.
Sementara untuk keperluan kayu bakar, penduduk sudah
mulai membudidayakan jenis lamtoro (Leucaena galuca).
Jenis pohon ini batang dan cabangnya dapat dimanfaatkan
sebagai kayu bakar, sementara daunnya dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, yang juga dipelihara
oleh pembuat gula merah tersebut sebagai mata
pencaharian sampingan.
Pada kawasan-kawasan tertentu di tepi sungai,
terdapat komunitas hutan bambu yang pada umumnya
masih tumbuh secara liar. Tetapi di kawasan yang agak
dekat dengan perkampungan, bambu telah dibudidayakan
untuk keperluan penduduk setempat. Bambu dapat
dimanfaatkan untuk tiang maupun sebagai bahan lantai
dan dinding rumah, termasuk untuk membuat rangka atap.
Bambu juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan rumah
tangga, seperti bahan pembuatan keranjang, maupun alat
penangkap ikan, sementara bambu muda yang masih
berupa rebung dapat dijadikan sayuran. Ada beberapa jenis
bambu, antara lain adalah (1) bambu betung (Dendrocalamus
asper Backer), (2) bambu duri (bambusa blumeana), (3) dan
beberapa jenis lainnya.
Suksesi sekunder sebenarnya telah terjadi pada
sebagian daerah aliran sungai, dan didaratan akibat
ekspansi perladangan dan perkebunan dengan pola
tanaman menetap yang sementara ini telah berlangsung
dalam beberapa dekade terakhir, sehingga penebasan,

26
penebangan dan pembakaran hutan telah terjadi di
sepanjang daerah aliran sungai. Akibat suksesi sekunder
tersebut, kini jenis vegetasi lama sebagian telah musnah,
tetapi ada yang bertahan.
Namun sebagian besar telah berubah menjadi lahan
perkebunan, tanaman kakao. Tanaman lain yang banyak
bertahan adalah pohon buah, seperti pohon kesambi
(Schleichera oleosa Bour), belimbing (Avcrrhoa carambola),
kedondong (Spondias pinata), nangka (Aetocarpus
heterophyllus), mangga (Mangifera indica L) dan beberapa
jenis pohon lainnya dari marga rutacoae dan Myrtaceae.
Kelapa (Cocos nucifera L.) terrnasuk tanaman yang
begitu banyak tumbuh pada kawasan yang berbatasan
dengan pantai. Buah kelapa biasa dijual dalam bentuk
kopra, tetapi sebagian penduduk mengolahnya menjadi
minyak goreng. Jenis tumbuhan lain yang berasal dari
marga Gramineae seperti glagah (Saccharum spontancum)
merupakan jenis tumbuhan yang sebagian besar menutup
tebing-tebing sungai.

2. Flora
Ekosistem hutan dataran tinggi menjadi habitat
beberapa Janis hewan dan burung-burung. Rusa (Carvus
timorensis) adalah salah satu binatang menyusui yang
hidup di hutan-hutan mencari makanan pada malam hari.
Biasanya hewan ini mencari makanannya di kebun-kebun
penduduk dan beristirahat di semak belukar pada siang
hari. Binatang ini biasa di buru oleh penduduk dengan
menggunakan anjing pemburu atau jerat. Rusa diburu
untuk ditangkap karena dagingnya dikonsumsi dan
tanduknya yang bercabang dimanfaatkan sebagai hiasan

27
dinding.
Anoa (Bubalus depressicornis) adalah sejenis binatang
langka yang habitatnya berada di hutan-hutan primer
sekitar gunung. Hewan menyusui ini tergolong dalam
marga yang sama dengan kerbau dan oleh karenanya orang
biasa menyebutnya kerbau kerdil. Hewan ini memangsa
buah-buahan, daun semak-semak muda rumput-rumputan
dan paku-pakuan, bahkan juga memangsa tanaman
penduduk seperti ketela pohon dalam kebun. Tidak seperti
rusa, anoa sulit untuk ditangkap oleh penduduk. Hai ini
disebabkan, Jenis hewan menyusui ini dikenal ganas, dan
saat ini jarang terlihat.
Kera Hitam (Macaca tonkeane) juga biasa disebut
sebagai kera hitam yang tersebar di Sulawesi. Makaka
memiliki ekor beberapa centimeter dengan gaya berjalannya
menggunakan telapak tangan datar di atas tanah secara
tegak menempatkan Makaka sebagai monyet. Makaka Jenis
ini memiliki jambul di kepalanya yang merupakan bagian
yang unik dari penampilannya. Makaka tergolong hewan
pemakan buah yang tingkat mobilitas geografisnya relatif
tinggi, Dalam sehari dapat menjelajah wilayah seluas ± 4
km.
Setiap kawanan mempunyai suatu wilayah inti tempat
mereka meluangkan sebagian besar waktunya dan wilayah
pilihan untuk tidur, yakni di tajuk tinggi pepohonan yang
ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk turun segera
mencari makan.
Babirusa (Babyrusa) adalah hewan yang diklasifikasi
dalam kelompok babi, tergolong sebagai salah satu hewan
endemik Sulawesi yang dilindungi. Satwa ini lebih suka
tinggal di kawasan dataran rendah di sekitar sungai dan

28
danau, Babi rusa tergolong binatang malam, tetapi
terkadang aktif diamati pada siang hari, dan hewan ini suka
makan buah-buahan dari tumbuhan seperti jamur serta
dedaunan.
Kalong (Pteropus sp) adalah binatang mamalia ini
tergolong dalam familia Pteropididae, satu satunya familia
anggota subordo megacturoptera, yang juga sebangsa
kelelawar (Chirptera). Kalong memang biasa disebut sebagai
kelelawar. Walaupun dari segi ilmiah hal ini tidak
sepenuhnya tepat karena tidak semua kelelawar adalah
kalong yang termasuk binatang herbivora pemakan buah-
buahan dan menghisap nektar dari bunga.
Ukuran kalong juga biasanya lebih besar dengan mata
yang besar dan dapat melihat ketika fajar atau di dalam gua
yang gelap. Daya penciuman kalong sangat tajam dan
digunakan untuk navigasi. Pada umumnya, kalong hidup
di daerah-daerah tropis di Asia, Afrika dan Ocenia.
Musang (Macrgolido musschenbrocckii) merupakan
hewan karnivora endemik Sulawesi yang bersifat pemalu
dan jarang dijumpai. Habitat musang umumnya di hutan-
hutan dataran rendah dan pegunungan. Musang yang
memiliki kaki belakang yang dapat berputar, merupakan
satwa pemanjat ulung dan dapat turun dari pohon begitu
cepat, Musang merupakan satwa noctural yang mempunyai
kelenjar bau yang harum, memakan mamalia kecil dan
buah-buahan.
Kuskus (Hiruvops ursinus dan Strigocuscus celebersis)
terdapat dua jenis kuskus di Sulawesi, yakni kuskus
beruang (Hipuarops ursinus) dan kuskus kerdil (Strigocuscus
celebensis) Namun demikian, secara umum kuskus memiliki
kantong di bagian perut dan ekor yang dapat memegang

29
yang biasa digunakan pada waktu memanjat pohon yang
tinggi. Kantong di bagian perut digunakan untuk membawa
bayinya, Kuskus yang pada umumnya berbulu abu-abu
pucat, merupakan herbivora yang pada umumnya hidup
berpasangan. Hewan pemakan tunas muda, dan daun-daun
beberapa jenis pohon yang disukai, juga termasuk pemakan
buah. Kuskus beruang mendiami lapisan atas dari hutan
dan lebih banyak beristirahat. Walaupun tergolong sebagai
binatang kecil, tetapi juga giat pada malam hari.
Tarsius (Tarsius spectrum) adalah hewan yang juga
dikenal dengan nama seperti tangkasi, juga kera hantu.
Ukuran tubuhnya yang kecil, tidak menghalangi untuk
bersuara bising. Hewan ini dianggap sebagai primata
primitif dengan klasifikasi antara monyet dan prosinan,
kelompok primata yang aktif terutama pada malam hari,
Hewan memangsa segala macam antropida, seperti semut,
kumbang, ngengat dan kecoak.
Rangkong (Rhyticeros cassiders), Elang Sulawesi
(Spizaetus lanceolatus). Di sungai-sungai biasa terlihat itik liar
(Palecanus conspicillatus), bangau putih (Ibis cinerreus) dan
beberapa jenis burung pegunungan lainnya, Di sungai juga
terdapat beberapa ikan air tawar seperti, antara lain adalah
ikan Gabus (Ophiscephatussp), Karpes (Ciprinuscaris), Tawes
(Puntius favanicus), Mujair (Tilapia massambica).
Dalam hubungannya dengan atraksi ekowisata,
beberapa jenis hewan dapat dikembangkan melalui
pembangunan satwa insitu maupun ex-situ. Konteks
pembangunan satwa, diartikan sebagai sebuah upaya
modifikasi dari lingkungan dan atau pemanfaatan dari
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan satwa serta
untuk meningkatkan kualitas hidupnya, Dengan demikian,

30
pembangunan satwa sejatinya, membawa misi pelestarian
yang pencapaiannya dapat ditempuh melalui dua jalan
yaitu in-situ dan ex-situ.
Jenis yang sesungguhnya menjadi bagian ekowisata
adalah wisata agro. Wisata agro dapat dikategorikan
sebagai bagian dari green tourism. Sebagaimana halnya
dengan ekowisata, agrowisata juga mengandalkan
kelestarian ekosistem. Hanya saja wisatawan disini
memiliki daya jelajah yang lebih terbatas dan dinamika
pergerakan yang juga lebih terbatas. Agrowisata
merupakan bentuk wisata yang lebih menonjolkan potensi
lahan pertanian, baik pertanian tanaman pangan, tanaman
hortikultura, tanaman perkebunan, perikanan maupun
peternakan yang dikelola sedemikian rupa sehingga
memiliki daya tarik sebagai atraksi wisata. Keunggulan
agrowisata dalam menarik wisatawan terletak pada
keasrian, keindahan dan kesejukan udara dengan kepuasan
secara langsung yang dialami oleh wisatawan dalam
menikmati hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan, baik yang dikonsumsi di tempat maupun
untuk oleh-oleh pulang dari desa agrowisata.
Agrowisata juga dapat berfungsi sebagai media
pendidikan. Hal ini dimungkinkan karena kawasan
agrowisata perkebunan, perikanan, maupun peternakan
telah dikelola secara baik dan bahkan professional sehingga
memungkinkan wisatawan dapat belajar banyak dari
kegiatan pengelolaan tersebut. Di samping itu, di desa
agrowisata juga terdapat beberapa macam tanaman yang
menarik perhatian, ternak maupun jenis ikan yang
terpelihara, menjadikan kawasan agrowisata sebagai sebuah
laboratorium, dimana para siswa dan mahasiswa dapat

31
mempelajari banyak hal berkenaan dengan dunia pertanian,
termasuk perikanan dan peternakan.
Daya tarik agrowisata juga terletak pada ekosistem
pedesaannya yang asri dengan udaranya yang sejuk,
sehingga sebuah kawasan agrowisata memberikan suasana
damai yang tentu menjadi dambaan orang-orang kota
untuk melewatkan waktunya, setelah berhari-hari
mengalami tekanan dalam kesibukan sehari-hari. Dengan
demikian, melakukan kunjungan ke kawasan agrowisata,
pengunjung dapat memperoleh sensasi baru maupun
pengalaman baru yang memungkinkan wisatawan menjadi
bugar dan segar. Agrowisata akan lebih menarik
seandainya di kawasan tersebut terdapat obyek-obyek
bersejarah, tempat-tempat olahraga atau atraksi budaya
lokal maupun perkampungan-perkampungan penduduk
desa yang memiliki kebiasaan atau tradisi yang eksotis.
Agrowisata di Indonesia relatif belum begitu
berkembang. Namun demikian, beberapa provinsi
diantaranya Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang
telah mengembangkan agrowisata yang lebih maju. Di
Kabupaten Banyuwangi terdapat agrowisata Margo Utomo
yang terletak pada ketinggian 425 meter diatas permukaan
laut, memiliki kebun kopi, pala, cengkeh, lada dan kelapa.
Di kawasan Batu - Malang juga terdapat kawasan
agrowisata yang cukup terkenal, yaitu Kusuma agrowisata.
Kawasan agrowisata ini menyajikan indahnya
pemandangan kebun apel, jeruk, strawberry, dan sayuran
bagi wisatawan. Kusuma agrowisata juga menyediakan
oleh-oleh dan cendera mata bagi pengunjung yang
berminat, berupa hasil olahan seperti sari buah apel, dodol,
apel, dan brem apel. Semua bahan bakunya berasal dari

32
kebun yang perusahaan kelola sendiri.
Jawa Barat juga termasuk provinsi yang telah
mengembangkan kawasan agrowisata yang cukup terkenal,
misalnya agrowisata yang dikelola oleh Koperasi Karyawan
Perkebunan Gunung Mas Bogor. Agrowisata di daerah ini
berupa perkebunan seluas 2.551 hektar berupa kebun teh,
mountain bike, dan tea walk. Lokasi yang berada di daerah
wisata puncak telah dilengkapi fasilitas, mulai dari sarana
olahraga, sarana ibadah, penginapan, sampai sarana
komunikasi. Agrowisata Bukit Bangkirai yang terletak di
Jalan Poros Balikpapan - Samarinda Kecamatan Samboja
Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur,
mengembangkan perkebunan nanas, sayur-sayuran dan
buah-buahan.
Agrowisata dipilih untuk rekreasi luar ruang adalah
rekreasi di kebun buah dan sayuran sekitar Jakarta yang
dapat di jumpai di Taman Wisata Mekarsari dan kebun
durian Warso Farm. Taman Buah Mekarsari yang kemudian
berubah nama menjadi Taman Wisata Mekarsari
merupakan kebun koleksi buah tropis terbesar di dunia.
Jauh lebih besar dibandingkan dengan kebun sejenis di
Brasil yang hanya memiliki 400 an jenis pohon yang
dikoleksi (Kompas, 29 januari 2005). Mekarsari juga
memiliki sepuluh pohon tropis yang menakjubkan (ten
amazing trees), merujuk pada manfaat ekologis, sosial dan
ekonomi. Kesepuluh pohon itu adalah beringin (Ficus
benjamina L), Jati (Tectona grandis Lt), Lamtoro gung (Leucena
glauca), nangka (Artocarpius heterophyllus Lank), Sirsak
(Annona muricata. L), papaya (Carica papaya L), bambu
(Giganntochloa apus), kelapa sawit (Elacis guinnensis jacq),
kelapa (cocoa nucifera L) dan pala (Myristicafragrans Houtt).

33
Agrowisata di Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat di
Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. Agrowisata
di kawasan ini menyajikan perkebuhan teh, perkebunan
markisa serta perkebunan Sayuran sebagai atraksi wisata.
Loka, desa kecil yang indah dengan udaranya yang
sejuk di kecamatan Ulu Ere, kini tumbuh mejadi sebuah
destinasi agrowisata yang menarik di Kabupaten Bantaeng.
Dan kini cukup banyak diminati oleh pengunjung, baik
penduduk kabupaten Bantaeng, maupun kota-kota sekitar,
terutama pengunjung dari Makassar. Pemkab Bantaeng
menyebut wisata agro di Loka merupakan yang pertama di
Sulsel. Sebutan loka kawasan agro wisata bukan tanpa
alasan. Desa kecil ini memberikan keunikan dan keindahan
berbagai jenis tanaman, mulai dari apel, stroberi, hingga
bunga hias. Mengunjungi wisata agro di Loka sangatlah
mudah karena jaraknya hanya sekitar 25 kilometer dari
pusat kota Bantaeng, dan dapat dicapai dengan segala jenis
kendaraan bermobil maupun sepeda motor. Selama dalam
perjalanan, anda melewati jalan yang sedikit berkelok dan
mendaki, tapi kesejukan udara khas pedesaan dengan
pemandangan hamparan perkebunan milik warga
menghapus kejenuhan selama perjalanan.
Secara Administratif, Loka adalah nama salah satu
daerah yang berada di kecamatan Ulu Ere. Secara
keseluruhan, kecamatan Ulu Ere membawahi 11 desa. Loka
sendiri adalah salah satu wilayah yang diminati wisatawan.
Di kawasan wisata agro Loka juga terdapat sejumlah
fasilitas outbound bernama Loka Camp. Fasilitas wisata
alam terbuka ini menjadi salah satu andalan sektor
pariwisata Kabupaten Bantaeng yang sudah terkenal. Saat
liburan, Loka merupakan salah satu kawasan yang paling

34
sering dikunjungi. Banyak penduduk di Bantaeng yang
memilih menghabiskan liburan di Loka, alasannya
sederhana, selain aman, mereka bisa mendapatkan
pengetahuan tentang agrowisata. Pemkab Bantaeng telah
mengembangkan wisata agro sejak beberapa tahun lalu.
Kesejukan dan iklim yang sangat mendukung, membuat
kawasan ini salah satu kawasan pengembangan agro.
Beberapa tahun terakhir, daerah inipun akhirnya menjadi
kawasan wisata alam.
Selain stroberi dan apel, pengunjung juga bisa
menjumpai tanaman lain yang tumbuh subur di daerah
pegunungan seperti wortel dan kol. Kecamatan yang
memiliki penduduk sekitar 19.945 jiwa pada tahun 2009 lalu
ini juga dikenal sebagai daerah penghasil sayur mayur
terbaik di Sulsel. Hasil pertanian penduduknya, dijual ke
Jeneponto, Takalar dan Makassar.
Perkebunan apel di Kabupaten Bantaeng memang
terbilang baru di Sulsel, bahkan di Kawasan Timur
Indonesia. Namun demikian, budidaya apel di Kecamatan
Ulu Ere Bantaeng sukses mengembangkan tiga varietas
berbeda. Soal rasa, buah apel dl Ulu Ere tidak kalah lezat
dibanding tanaman sejenis dari Malang atau dari luar
negeri. Terdapat tiga varietas apel sudah di kembangkan
sejak beberapa tahun yang lalu. Varietas tanaman apel yang
dikembangkan yakni, Jenis Anna, Rome beauty dan
Manalagi. Ketiganya memiliki keistimewaan sendiri.
Varietas Anna misalnya memilih warna kehijauan dengan
rasa yang sangat manis. Sementara varietas Rome Beauty,
warnanya agak merah dan dagingnya terasa empuk. Lain
halnya dengan tanaman stroberi. Tanaman yang juga di
kembangkan daerah ketinggian, biasa panen setiap pekan,

35
bahkan bisa panen sampai tiga hari sekali. Antuasiasme
pengunjung ke kawasan perkebunan apel dan stroberi
sangat besar. Setiap akhir pekan, selalu dipadati
pengunjung dari dalam maupun luar Kabupaten Bantaeng.
Wisatawan asing maupun peneliti juga sering berkunjung.
Keberadaan tanaman apel dan stroberi di Kecamatan
Ulu Ere memberikan dampak positif untuk peningkatan
kesejahteraan warga di Bantaeng. Peningkatan ekonomi
masyarakat terlihat dari tingginya warga yang berhasil
beralih menggunakan kendaraan bermotor. Harus diakui,
selama tanaman apel dan stroberi berkembang di Bantaeng,
kunjungan warga luar berwisata di kawasan ini mulai
meningkat. Ekonomi warga pun semakin baik. Dulu warga
hanya menggunakan hewan seperti kuda sebagai
kendaraan. Sekarang, mereka banyak yang memilih
kendaraan bermotor. Bahkan sudah ada yang bermobil.
Perubahan itu menandakan budi daya tanaman apel
semakin sukses. Pendapatan masyarakat juga semakin
meningkat. Tanaman lokal berupa kentang dan sayuran
juga semakin dilirik pengunjung sejak adanya tanaman apel
dan stroberi. Karena itu, pemerintah setempat akan terus
berupaya menjadikan Kecamatan Ulu Ere sebagai objek
agrowisata di Bantaeng. Apalagi, inovasi teknologi bidang
pertanian membantu mewujudkan cita-cita tersebut.
Demikian pula keramahan warga juga membantu
menciptakan iklim wisata di daerah ini.
Agak berbeda dengan konsep ekowisata, geo wisata
lebih fokus pada isi kebumian atau keunikan geologi
sampai daya tarik wisata. Keanekaragaman fenomena
geologi yang unik, indah dan menarik, sesungguhnya sejak
lama menjadi perhatian bagi kalangan ilmuwan, bahkan

36
oleh masyarakat pada umumnya. Masalahnya kekayaan
geologi tersebut belum mampu tergarap secara optimal
hingga saat ini. Kekayaan geologi kita pada umumnya
hanya dieksploitasi untuk kegiatan pertambangan serta
sebagai bahan baku pendukung dalam industri manufaktur.
Pengembangan infrastruktur fisik, industri, dan
pengembangan urban area di pusat kota, semua ini sangat
ditunjang oleh bahan galian yang merupakan sumber daya
geologi dari berbagai daerah. Dampaknya, tidak sedikit dari
kegiatan industri tersebut justru menimbulkan berbagai
dampak negatif berupa penurunan bahkan kerusakan
fungsi ekologis di daerah-daerah bekas pertambangan
geologi.
Bagian penting ekowisata adalah geowisata. Menurut
Hermawan dan Ghani, Fenomena geologi pada dasarnya
sangat beragam, masing-masing membentuk lansekap
pemandangan yang memiliki nilai, eksotisme, dan keunikan
tersendiri, yang cocok dikelola sebagai daya tarik wisata (R
K. Dowling, 2011). Diantara fenomena geologis tersebut
diantaranya : (a) Struktur geologi, yakni bangunan alam
non hayati baik di bawah maupun di atas permukaan bumi
yang dibangun oleh tenaga yang bekerja di area tersebut.
Tenaga yang bekerja di bawah permukaan bumi
disebut tenaga endogen, sedang yang bekerja diatas
permukaan bumi disebut tenaga eksogen. Pegunungan
Himalaya merupakan contoh keindahan struktur geologi
mancanegara yang popular sebagai daya tarik wisata
geologi, serta menjadi lokasi pendakian yang cukup
menantang bagi para pecinta alam. Indonesia juga memiliki
kekayaan struktur geologi yang cukup melimpah dan tidak
kalah eksotis, misalnya: Danau Toba, Danau Karimutu,

37
Gunung Tangkuban Perahu dan lain sebagainya; (b)
Stratifigrafi, yakni lapisan batuan dengan segala macam
jenis batuan, struktur, sifat dan gejala yang ditimbulkan
berdasarkan gambaran perlapisanya (Ahman Sya. 2012).
Stratifigrafi terkadang menjadi fenomena geologi yang
sangat menarik dan unik. Jawa barat. memiliki salah satu
bentuk stratifigrafi yang popular sebagai daya tarik wisata,
yaitu Green Canyon di Pangandaran; (c) Topografi,
merupakan bentukan dari bentang alam. Secara ilmu
geologi, topografi dibentuk oleh tenaga endogen dan
eksogen dan oleh karena itu topografi selalu berubah akibat
letusan gunung berapi, yang mengubah aliran sungai,
sementara gelombang laut merubah garis pantai.
Topografi pada pegunungan karst menjadi salah satu
contoh fenomena geologis yang dapat dikelola menjadi
daya tarik wisata; (d) Kandungan mineral di dalam perut
bumi juga mampu menjadi daya tarik geowisata yang
bernilai edukatif dan sangat menarik untuk dipelajari, baik
namanya, sejarah dan proses terbentuknya, sifat dan unsur-
unsur kimianya, serta kegunaannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Satu dasawarsa terakhir, keunikan dan keindahan
bentang alam semakin disadari sebagai sebuah atraksi
wisata alternatif yang sangat menarik sehingga memiliki
pangsa pasar tersendiri dalam kepariwisataan. Karena itu,
menurut Hermawan dan Ghani, pariwisata diharapkan
mampu menjadi alternatif solusi pemanfaatan potensi
geologi secara ekonomis yang sedikit berbeda dari
pemanfaatan aset-aset geologi sebelumnya. Kegiatan
kepariwisataan selama ini memang banyak terkait dengan
alam, terutama yang berkaitan dengan pengembangan

38
atraksi wisata.
Menurut Brahmantyo (2009), wisata berkaitan dengan
kebumian sebenarnya sudah lama dirintis. Sejak para
ilmuwan menjelajah berbagai tempat di atas untuk business
dan leisure. Terutama di Abad ke-18, para ahli geologi
sudah terbiasa menggabungkan business and leisure secara
bersamaan. Dalam ekskursi geologi ke lapangan,
rombongan geologiawan telah terbiasa menikmati indahnya
pemandangan, keunikan bentang alam dan batuan.
asyiknya menyusuri sungai dan pantai, atau mendaki
perbukitan, di samping pekerjaan utamanya mencatat
proses-proses geologis. Namun demikian, untuk konsumsi
umum, mungkin dapat diperkirakan bahwa kegiatan
geowisata mulai berkembang sejak maraknya para turis
beransel (back-pack tourists) pada 1980-an. Satu makalah
yang ditulis Dell Jane James 1993 di sebuah konferensi
bertema “Memasyarakatkan ilmu Kebumian” di
Southampton, Inggris, misalnya, masih menggunakan
istilah pariwisata geologis (geological tourism).
Di Eropa pengembangan geowisata berbasis kepada
geologi, dan mulai dari Eropa itulah kemudian muncul
istilah “taman bumi (geo park), yaitu kawasan konservasi
yang melindungi peninggalan alamiah objek geologis yang
unik, langka, berharga, menarik, dan penting. Di bawah
jaringan UNESCO, di Eropa sudah terbentuk 21 taman
bumi yang menjadi daya tarik dan tujuan geowisata utama.
Di Asia sudah dirintis oleh Cina yang kemudian diikuti
Malaysia. Taman bumi Pulau Langkawi. Malaysia, sejak
2006 resmi menjadi taman bumi pertama di Asia Tenggara
di bawah jaringan UNESCO. Indonesia yang memiliki
banyak keunikan fenomena geologis justru masih tertinggal

39
dari negeri jiran itu.
Jika Eropa, diikuti Australia, berpijak pada geologi
sebagai basis geowisata, Amerika Serikat sedikit lain.
Dengan dukungan Yayasan National Geographic yang sudah
sangat mapan dan terpandang, Asosiasi Industri Perjalanan
Amerika TIA mendefinisikan geowisata sebagai suatu
wisata yang memperkenalkan dan mengembangkan
karakteristik geografis sebagai objek daya tarik wisata,
termasuk lingkungan, budaya, estetika, pusaka, dan
masyarakatnya. Dengan cakupan yang luas, geowisata AS
dari sisi objek, tak ada bedanya dengan ekowisata.
Brahmantyo (2009) selanjutnya mengemukakan, jika di
AS geowisata identik dengan ekowisata, di belahan benua
lain, geowisata ditempatkan sebagian bagian dari wisata
alam minat khusus yang prinsip-prinsipnya mengikuti
kaidah-kaidah ekowisata. Geowisata sebagai bagian dari
ekowisata bagaimana pun harus tunduk pada prinsip-
prinsip berwisata yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan sesuai Kesepakatan Quebec 2002. Pertemuan
Puncak Ekowisata Sedunia yang diselenggarakan di
Quebec, Kanada, pada akhir Mei 2002 itu memuat
kesepakatan bahwa pelaksanaan ekowisata yang
memanfaatkan objek kawasan alami yang relatif belum
terganggu dan umumnya dilindungi, dan menjadi alat
konservasi dan pembangunan berkelanjutan bagi
masyarakat setempat.
Kesepakatan Quebec 2002 untuk ekowisata ini
diturunkan sebagai kaidah pengembangan wisata alam
altematif yang harus bercorak mendukung konservasi alam,
bersifat edukatif dan memberi pengetahuan bagi
wisatawannya, memberi manfaat ekonomi dan budaya bagi

40
masyarakat setempat secara berkelanjutan, dan kecil
dampak negatifnya pada lingkungan.
Ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat
bukan sebagai objek, tetapi sebagai pemandu ataupun
pelaku utama pengadaan fasilitas yang sesuai dengan
kaidah-kaidah lingkungan. Di lain pihak, harus ada tenaga
ahli yang tidak hanya bertindak sebagai pemandu, tetapi
sebagai interpreter yang akan memberikan wawasan ilmu
pengetahuan tentang objek ekowisata. Dibalik itu semua,
manajemen yang baik menjadi kunci keberhasilan aktivitas
ekowisata. Seluruhnya harus dikemas dalam konsep-
konsep berwisata yang tetap mengedepankan kesenangan.
Lebih dari itu, pengutamaan keselamatan.
Geowisata adalah kegiatan wisata yang memanfaatkan
fenomena kebumian dan lingkungannya sebagai daya-tarik
utamanya. Mengingat bumi mempunyai sifat selaku
bergerak, yaitu dalam usahanya menuju ke bentuk
keseimbangan dinamis baru, maka tentunya fenomena yang
terjadi di permukaan dan di bawah permukaan akan
terekspresikan dalam berbagai bentuk proses geologi.
Keadaan tatanan geologi di Indonesia yang khas, berupa
busur kepulauan yang diapit oleh samudera luas, sudah
tentu akan menciptakan aneka bentang alam dan sumber
daya yang menjadi cikal bakal objek dan daya-tarik
geowisata (Kusumabrata, 1998)
Penganekaragaman dan pengkayaan jenis objek wisata
alam yang berbasis pada kebumian, merupakan salah satu
wujud nyata pembangunan industri pariwisata berdasarkan
prinsip kembali ke alam (back to nature). Pembangunan
pariwisata berkelanjutan yang berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat

41
menjadikan usaha pengembangan geowisata dikemas
dalam kerangka program pembangunan nasional yang
berwawasan lingkungan. Sebagai jenis wisata baru,
geowisata diciptakan dalam rangka memanfaatkan nilai
estetika bentang alam di permukaan dan di bawah
permukaan bumi secara arif dan bijaksana. Wisata yang
berbasis pada alam ini memanfaatkan aspek nirhayati nilai
keanekaragaman bumi (geodiversity). Penggalian dan
pengembangan daya-tarik fenomena kebumian yang
menyusun geowisata sepenuhnya mendasarkan pada
program kepariwisataan yang berorientasi pada percepatan
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Wisata kebumian (geowisata) dapat dijadikan
jembatan dalam rangka sosialisasi ilmu pengetahuan alam,
pendidikan lingkungan dan pelestarian dan pada akhirnya
diharapkan akan terwujud pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Prinsip yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan geowisata
diantaranya adalah : (1) Geologically based, artinya objek/
tempat lokasi yang dijadikan sebagai area geowisata
merupakan bentukan hasil proses geologi. Aspek fisik yang
dijadikan daya tarik wisata tersebut dapat berupa kondisi
tanah, kandungan mineral, jenis batuan dan lainnya yang
masih berhubungan dengan geologi; (2) Suistanable, artinya
pengembangan dan pengelolaan lokasi geowisata haruslah
berkelanjutan agar kelestariannya dapat terjaga.
Keberagaman kondisi geologi Indonesia menyebabkan
banyak ditemukannya mineral-mineral berharga yang
dapat memancing oknum tidak bertanggung jawab untuk
mengambil dan merusak lingkungan di sekitarnya; (3)
Geologically informative, artinya di lokasi geowisata

42
dilengkapi dengan informasi tentang sejarah terbentuknya
bentukan geologi tersebut, jadi wisatawan paham akan
proses-proses alam yang terjadi. Dengan adanya informasi
tersebut diharapkan masyarakat akan sadar dan tidak
berupaya merusak keindahan lingkungan di sekitar objek
geowisata; (4) Locally beneficial, artinya keberadaan
geowisata dapat memberikan manfaat bagi masyarakat/
komunitas yang berada di sekitarnya. Manfaat tersebut
dapat berupa segi ekonomi, sosial atau lainnya. Dengan
dibukanya suatu kawasan geowisata diharapkan proses
pembangunan di daerah tersebut semakin meningkat; (5)
Tourist satisfaction, artinya objek wisata dapat memberikan
kepuasan lahir dan batin bagi wisatawan yang
mengunjunginya. Kepuasan tersebut dicapai antara lain
melalui tata kelola tempat lokasi wisata yang baik.
Geowisata mencoba dihadirkan di Indonesia sebagai
sebuah solusi bagaimana memanfaatkan kekayaan geologi
beserta berbagai dinamikanya untuk kegiatan wisata dan
ekonomi yang berwawasan lingkungan. Konsep ini telah
populer dipromosikan sebagai cara mendamaikan
konservasi fenomena geologi dan geomorfologi dengan
pembangunan ekonomi, khususnya di negara-negara
berkembang (Camp, 2016). Karena itu, geowisata menjadi
salah satu alat paling kuat untuk melindungi lingkungan.
Geowisata merupakan alternatif solusi peningkatan atas
pariwisata massal dengan menyediakan hubungan sektor
yang lebih baik, mengurangi kebocoran manfaat dan strata
negara, menciptakan lapangan kerja lokal dan
menumbuhkan pembangunan berkelanjutan (Khan, 1997).
Akan tetapi, geowisata masih termasuk fenomena baru
dalam paradigma pengembangan pariwisata, khususnya di

43
Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk membangun
kesadaran dengan mengkaji bagaimana mengelola potensi
geologi menjadi daya tarik wisata alam pada tingkatan
manajemen tapak yang ideal serta berkelanjutan. Dengan
demikian, paradigma baru yang hendak dibangun dalam
geowisata adalah “Bagaimana pengeloaan geowisata
maupun mengoptimalkan potensi alam menjadi bernilai
tambah bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal,
sekaligus mampu menekan seminimal mungkin potensi
kerusakan alam.

44
BAB III. EKOWISATA DAN
PENGEMBANGAN
KAWASAN PEDESAAN

Pengembangan suatu daerah menjadi Daerah Tujuan


Wisata (DTW) yang berbasis pada ekowisata, sangat
bergantung pada potensi daya tarik bentang alam dan
pemandangan (land configuration and landscape), seperti
lembah pegunungan (scenic mountain), telaga atau danau,
sungai, pantai, air terjun (waterfall), gua (cave) maupun
tanah datar (plain) yang memiliki daya tarik sehingga
memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan
agro ekowisata.
Pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh iklim,
terutama daerah beriklim sejuk (mild) atau justru daerah-
daerah yang memiliki banyak cahaya matahari (sunny day).
Faktor-faktor yang tidak kalah penting lainnya adalah
ekosistem hutan yang memiliki kekayaan sumberdaya
hayati, baik flora maupun fauna. Kawasan seperti ini
memiliki potensi untuk menjadi atraksi wisata untuk
pengamatan burung (bird watching) maupun kawasan yang
dapat diperuntukkan untuk wildlife tourism, sebagai bagian
dari ekowisata.

45
Sebenarnya peluang pengembangan ekowisata di
negara sedang berkembang, disebabkan karena adanya
kecenderungan wisatawan mancanegara untuk memenuhi
kebutuhan mereka, seperti mencari gambaran baru tentang
sisi lain kehidupan yang mereka tak dapatkan di negara-
negara asalnya. Karena itu pula, daya tarik ekowisata tidak
semata-mata terletak pada dominasi lingkungan alam,
tetapi juga pada dimensi budaya lokal, baik dalam bentuk
keunikan tradisi seni pertunjukan, peninggalan sejarah
maupun hasil-hasil budaya berupa karya atau produk lokal
yang dianggap menarik oleh wisatawan.
Menurut Janianton Damanik dan Helmet Weber
(2006), kualitas produk wisata yang baik terkait dengan (1)
keunikan, yang diartikan sebagai kombinasi kelangkaan
dan daya tarik yang khas melekat pada suatu obyek wisata,
(2) originalitas atau otentisitas yang mengacu pada keaslian,
merupakan sebuah kategori nilai yang memadukan sifat
alamiah, eksotis dan bersahaja dari suatu daya tarik
ekowisata. Keragaman mengacu pada diversitas produk
dan jasa yang ditawarkan, dalam arti ada banyak pilihan
produk dan jasa yang secara kualitas berbeda-beda.
Dalam pengembangan ekowisata, keberadaan
komunitas- komunitas lokal, baik di dalam dan sekitar
hutan maupun di daerah pesisir dan pulau-pulau
merupakan aset yang sangat berharga. Hal ini disebabkan
komunitas-komunitas tersebut, biasanya memiliki kearifan
tradisi (traditional wisdom), dalam bentuk pranata dan sistem
pengetahuan lokal (local knowledge) dalam menjalani
kehidupan. Ada pemahaman, bahwa dalam perspektif
pengayaan pribadi, hal-hal semacam ini dapat menjadi daya
tarik tersendiri bagi wisatawan intelektual sehingga mereka

46
cenderung memiliki minat mempelajari kehidupan
komunitas lokal tersebut yang notabene belum
terkontaminasi oleh pengaruh metropolis. Demikian juga
kekayaan seni budaya, khususnya seni tradisi yang
bernuansa magic-religious yang mereka miliki dapat menjadi
sebuah atraksi wisata yang menarik.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, sudah
seyogyanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
melakukan langkah-langkah dalam mengembangkan
potensi ekowisata di setiap daerah tersebut. Tidak mustahil,
melalui kemasan dan pemasaran wisata yang dilakukan
secara sungguh-sungguh, sektor pariwisata dapat memacu
percepatan pembangunan daerah. Hal ini dimungkinkan,
karena Undang-undang tentang Otonomi juga memberikan
kewenangan bagi daerah untuk mengelola daerah masing-
masing dalam melakukan pembangunan, termasuk dalam
hal ini pembangunan ekowisata. Kemudahan
mengembangkan sektor ini karena mekanisme pengambilan
keputusan menjadi lebih sederhana dan cepat. Lagipula
peluang masyarakat lokal untuk lebih partisipatif dalam
pengembangan ekowisata lebih terbuka. Namun demikian,
pengembangan ekowisata perlu didukung oleh kebijakan,
maupun kegiatan-kegiatan lain yang dapat menjadikan
Provinsi Sulawesi Selatan lebih maju.
Tujuan lainnya, melalui pembangunan ekowisata,
Provinsi Sulawesi Selatan tidak saja akan terkenal secara
lokal, tetapi dapat dikenal secara nasional dan bahkan
internasional. Jika ini kemudian terjadi, sangat diharapkan
sektor pariwisata menjadi andalan yang ikut menggerakkan
roda pembangunan di daerah ini. Di samping itu,
pengembangan wisata daerah menjadi momentum dalam

47
menyongsong era globalisasi yang memungkinkan Provinsi
Sulawesi Selatan menjadi daerah yang dikenal secara luas
oleh masyarakat, baik masyarakat nusantara maupun
masyarakat mancanegara.
Dalam hal ini pariwisata tidak dipandang semata-mata
dari aspek ekonomi yang memaksimalkan upaya
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), maupun mendapatkan devisa dalam
mendukung pembangunan, melainkan juga untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melestarikan
lingkungan hidup, melestarikan budaya lokal dan
melakukan penguatan ekonomi pedesaan untuk
kesejahteraan masyarakat.
Kawasan desa wisata biasanya menarik dikunjungi
karena memiliki keunikan bentang alam : sumber air panas,
air terjun, kesejukan udaranya, keunikan masyarakatnya,
maupun karena keindahan panorama alam. Desa wisata
merupakan suatu wilayah pedesaan yang dapat
dimanfaatkan berdasarkan dukungan unsur-unsur yang
memiliki produk wisata yang menarik. Desa wisata
menawarkan secara keseluruhan suasana dengan
karakteristik yang mencerminkan keaslian pedesaan.
Tatanan kehidupan sosial budaya unik dan menarik serta
ekonomi lokal. Demikian pula adat-istiadat keseharian yang
mempunyai ciri khas tertentu, arsitektur dan tata ruang
desa menjadi suatu atraksi wisata yang banyak diminati.
Pada dasarnya, wisata desa merupakan kegiatan
pariwisata yang objeknya berasal dari potensi desa yang
ada, baik berupa keunikan bentang alam, adat dan tradisi
budaya, kesenian tradisional, kerajinan rakyat, maupun
kehidupan sosial masyarakat desa yang khas. Keunikan

48
kehidupan masyarakat pedesaan memberikan pengalaman
luar biasa pada para wisatawan. Begitu pula halnya dengan
seni pertunjukan tradisional yang dilandasi oleh semangat
dan spiritualitas budaya rakyat yang kental, akan
memberikan pengalaman spiritual yang mengesankan bagi
para wisatawan.
Citra tentang desa selama ini, senantiasa terkait
dengan sebuah ruang permukiman yang sehat, aman dan
nyaman, menyebabkan sebuah desa biasanya memberi
kesan menyenangkan, bukan saja karena tata kelola
lingkungan fisik permukiman yang teratur rapi, tetapi juga
karena kehidupan masyarakatnya yang begitu sederhana,
ramahtama dan mengesankan. Dengan demikian, irama
kehidupan di desa mampu memberikan pencerahan dan
kesadaran dalam memaknai arti kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan di desa yang mereflikasikan
kesederhanaan dan keaslian dimana warga saling menyapa,
saling memperhatikan dan saling tolong-menolong menarik
minat banyak orang untuk berkunjung.
Jika pariwisata diartikan sebagai kegiatan rekreasi di
luar domisili untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin atau
untuk mencari suasana baru, maka desalah tempatnya.
Hanya saja untuk menjadikan suatu desa sebagai destinasi
wisata, perlu ada upaya atraksi wisata yang bersumber dari
potensi yang ada atau modal wisata yang dimiliki, baik
berupa modal sumberdaya alam atau keunikan tentang
alam, maupun modal budaya berupa ritual adat, seni
tradisi, kerajinan tangan maupun keunikan kehidupan
masyarakat desa.
Tujuan pembangunan wisata desa harus mengacu
pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

49
Karena itu, wisata desa harus didukung oleh partisipasi
aktif masyarakat desa itu sendiri dalam merancang,
mengimplementasikan dan mengawasi destinasi wisata
tersebut. Prinsipnya, pariwisata desa harus didasarkan pada
jargon “dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri". Ida
Bagus Oka (2001), mengemukakan pemantapan desa
sebagai tempat komplit sementara bagi wisatawan sebagai
objek wisata, keberadaannya harus tetap dipertahankan
sebagai bagian integral dari kehidupan sosial-budaya
masyarakat setempat. Dalam hal ini pengembangan wisata
desa perlu diarahkan untuk memberikan kesempatan bagi
masyarakat desa agar:
a. Mampu berperan aktif dalam menciptakan lapangan
kerja dan bisnis wisata.
b. Menjadi aktor (pelaku) dalam pengelolaan berbagai
sumberdaya desa, baik sumberdaya ekonomi, sosial,
budaya maupun sumberdaya alam.
Pentingnya pengembangan desa wisata, karena wisata
desa sebagai wisata alternatif maupun wisata minat khusus
(special interest tourism) memiliki peluang untuk berfungsi
sebagai agro wisata, ekowisata, geowisata, wisata kuliner,
wisata spiritual, wisata kesehatan, dan lain-lain. Dengan
demikian, desa wisata dapat menjadi tujuan wisata sesuai
motivasi wisatawan untuk berwisata.
Sharpley (Dalam Pitana dan Gayatri, 2005 : 59),
mengemukakan motivasi berwisata dikelompokkan dalam
empat besar yaitu:
1. Physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat
fisik atau fisiologis), antara lain untuk relaksasi,
kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan
olah raga, bersantai, dan sebagainya.

50
2. Cultural motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan
untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian
daerah lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai
objek tinggalan budaya (monumen bersejarah).
3. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi
yang bersifat sosial), seperti mengunjungi teman dan
keluarga (VFR, Visiting friends and relatives), menemui
mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi (nilai prestige), melakukan ziarah,
pelarian dari situasi-situasi yang membosankan dan
seterusnya.
4. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu
adanya fantasi bahwa di daerah lain seseorang akan bisa
lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan, dan
ego-enhancement yang memberikan kepuasan psikologis.
Disebut juga sebagai status and prestige motivation.

Dalam perspektif kepariwisataan, kehidupan


komunitas pedesaan yang relatif sederhana memiliki daya
tarik tersendiri. Wisatawan dapat berinteraksi dengan
orang-orang desa yang ramah, mempelajari pengetahuan
lokal, melakukan kontemplasi atas kearifan lokal penduduk
setempat, dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga
bagi wisatawan, terutama orang-orang kota yang mulai
kehilangan daya kontrol terhadap dirinya, akibat pengaruh
global dan modernisasi yang dangkal. Jika pariwisata
diartikan sebagai sebuah perjalanan untuk menemukan
sesuatu yang berbeda, maka kebutuhan untuk melakukan
perjalanan wisata ke desa-desa eksotik perlu dilakukan.
Wisata desa dapat menjadi momentum membangun spirit
untuk mengenal kembali jati diri wisatawan, Ini juga dapat

51
diartikan wisata desa atau ekowisata menjadi perjalanan
wisata yang bertanggung jawab.
Wisata desa akan lebih bermakna ketika wisatawan
dapat menyaksikan atraksi wisata budaya atau
menyaksikan tradisi lokal yang masih hidup dalam
masyarakat. Apalagi menurut Yoeti (2006), memasuki abad
ke-21 ini telah terjadi pergeseran kecenderungan pariwisata
internasional, yang lebih banyak disebabkan oleh gaya
hidup (lifestyle) di negara asal wisatawan (tourist generating
countries). Beberapa kecenderungan pasar di antaranya
adalah adanya perubahan dari Mass Tourism ke Niche
Tourism, yaitu kecenderungan melakukan perjalanan wisata
secara massal menjadi perjalanan wisata secara individu
dengan trend lebih ingin melihat dan menyaksikan objek
dan atraksi wisata minat khusus (special interest) dan
pariwisata berwawasan lingkungan (ecotourism).
Kecenderungan pariwisata modern saat ini,
menjadikan wisatawan tidak merasa puas manakala hanya
menyaksikan atraksi wisata atau sekedar menjadi penikmat.
Menurut Hermantoro (2011), perubahan minat dan
kebutuhan ini menyentuh pula pada ranah pariwisata.
Ketika semula wisatawan membutuhkan produk yang
bersifat massal seperti pantai, dan produk bersifat budaya
seperti museum dan galeri seni, maka saat ini wisatawan
menghendaki produk yang lebih mampu memberikan
ruang lebih besar pada kebutuhan pencapaian
pengembangan diri. Ketika wisatawan tidak puas lagi pada
rutinitas berjemur di pantai atau pun hanya secara pasif
menikmati museum dan galeri seni, maka mereka
kemudian menghendaki ruang interaksi lebih aktif dengan
komunitas lokal dengan tujuan untuk dapat memperkaya

52
kreativitas mereka. Di sini bentuk pengembangan
pariwisata kreatif akan merupakan salah satu jawabannya.
Melalui pariwisata kreatif, pernik-pernik budaya lokal
yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata dapat
memberikan dampak positif untuk melestarikan budaya
Iokal, juga dapat memberikan penghasilan bagi masyarakat
setempat dan dengan demikian memberikan nilai tambah
pada budaya lokal tersebut.

53
BAB IV. DIVERSIFIKASI ATRAKSI
BERBASIS GEO EKOWISATA

A. Geo Ekowisata Laut dan Pesisir


Potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat
pantai (lanscape), termasuk potensi gugus pulau-pulau di
Sulawesi Selatan menyebabkan daerah ini memiliki potensi
sumber daya alam sebagai modal pariwisata. Lagi pula
orang Bugis Makassar dikenal sebagai pelaut, baik sebagai
nelayan maupun sebagai pelayar. Diantara asset kelautan
tersebut terdapat potensi untuk dikembangkan menjadi
obyek wisata. Dalam hubungannya dengan bentang alam
laut, sektor wisata yang perlu mendapatkan perhatian
untuk dikembangkan adalah:

a. Wisata Pantai
Daya tarik pantai sangat tergantung pada bentuk
pantai, baik itu pantai primer maupun bentuk pantai
sekunder. Menurut Sunarto, mengutip pendapat Snead
(1982) berdasarkan klasifikasi pantai dari Shepard (dalam
Fandeli, 2000). Pantai primer dapat di bedakan menjadi 4
kelas yaitu (1) pantai erosi daratan, (2) pantai pengendapan

54
dari darat, (3) pantai gunung api, dan (4) pantai struktrual.
Pantai erosi daratan merupakan pantai yang bentuk
Iahannya mengalami erosi dan sebagian mengalami
penggenangan laut. Pantai yang termasuk kategori ini
meliputi lembah sungai yang tenggelam, pantai erosi glacial
yang tenggelam, atau topografi karst yang tenggelam.
Pantai pengendapan dari darat merupakan pantai yang
terbentuk dari akumulasi endapan sungai, endapan glacial,
endapan angin, maupun longsoran yang langsung
mengendap di laut. Pantai gunung api yaitu pantai yang
terbentuk sebagai akibat dari proses vulkanik meliputi
pantai leleran lava, pantai tetra, pantai runtuh gunung api
atau pantai kaldera. Pantai struktrual yaitu pantai yang
terbentuk oleh pelipatan, penyesaran, atau pantai inti
sedimen.
Jenis pasir turut menjadi pertimbangan dalam rangka
pengembangan wisata pantai. Menurut Sunarto (1999)
bentuk butir pasir dapat dibedakan berdasarkan bulatannya
(sphericity), kebundarannya (roundness), dan
keterlimpahannya (sorting). Kebulatan pasir menunjukkan
tingkatan bentuk butir pasir dari yang mendekati bulat
hingga lonjong. Bentuk bundaran butir pasir menunjukkan
tingkatan bentuk butir pasir dari yang bundar hingga
menyudut. Untuk kepentingan wisata pantai, bentuk butir
pasir sangat berpengaruh. Pasir yang berbentuk bulat (high
sphericity), merupakan pasir yang nyaman untuk wisata.
Demikian pula yang bentuknya bundar (well-rounded), dan
pasir pantai yang keterlimpahannya semakin tinggi (very
well sorted), juga semakin nyaman untuk wisata.
Keanekaragaman biota pantai dapat pula menjadi daya
tarik wisata pantai, seperti berupa ikan hias, molusca, dan

55
sebagainya.
Selanjutnya dikemukakan oleh Sunarto (dalam
Fandely, 2000) bahwa pantai sekunder dapat dibedakan
menjadi 3 kelas yaitu (1) pantai erosi gelombang, (2) pantai
pengendapan dari laut, dan (3) pantai bentukan organisme.
Pantai erosi gelombang merupakan pantai yang terbentuk
oleh kerja gelombang. Pantai ini dapat memiliki garis pantai
yang lurus atau beraturan tergantung pada komposisi dan
struktur batuan. Pantai pengendapan dari laut merupakan
pantai yang terbentuk oleh pengendapan sedimen taut,
seperti beting gisik, pulau penghalang, bura, rataan lumpur,
atau rataan garaman. Pantai bentukan organisme yaitu
pantai yang terbentuk oleh binatang dan tumbuhan laut,
seperti terumbu karang yang dibangun oleh alga dan oister
serta rawa mangrove. Daya tarik wisata pantai juga
tergantung pada lebar pantai yang diukur waktu surut, dan
ideal dengan panjang pantai. Nontji (1987) menyatakan,
bahwa dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang
surut di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu
pasang surut harian tunggal (diurnal tide), pasang surut
harian ganda (semidiurnal tide), pasang surut campuran
yang condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing
diurnal), dan pasang surut campuran yang condong ke
harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal).
Pada jenis pasang surut harian tunggal terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut setiap harinya. Pada jenis pasang
surut harian ganda, setiap hari terjadi dua kali pasang dan
dua kali surut yang masing-masing tingginya hampir sama.
Pada jenis pasang surut campuran yang condong ke harian
tunggal, setiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali
surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara terjadi dua

56
kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan waktu
yang berbeda. Pada jenis pasang surut campuran yang
condong ke harian ganda, setiap harinya terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut, tetapi berbeda dalam tinggi dan
waktunya.
Pengetahuan mengenai “angin” turut diperhitungkan
dalam pengembangan wisata pantai, terutama berkenaan
dengan arah dan kecepatan angin. Arah angin berpengaruh
terhadap arah datangnya gelombang menuju pantai.
Pertimbangan lain untuk pengembangan wisata pantai
adalah kebersihan dan kejernihan air laut, termasuk
keasrian dan kebersihan Iingkungan pantai, fasilitas wisata,
variasi kegiatan dan keselamatan di perairan pantai.
Zona wisata pantai yang saat ini telah menjadi
destinasi wisata menarik di Sulawesi Selatan adalah pantai
Bira di Kabupaten Bulukumba. Keunggulan pantai Bira dan
yang membedakannya dengan beberapa destinasi wisata
pantai lainnya di daerah lain adalah warna pasirnya, juga
bentuk pasirnya yang halus. Panjang pantai di perkirakan ±
3 km dengan lebar pantai ± 50 meter. Diantaranya ± 30
meter berbentuk hamparan pantai, dan selebihnya atau ± 20
meter menjadi landai atau dasar laut yang terendam,
sehingga tampak air laut begitu bening dan bersih. Keadaan
air laut yang bening dan landai menyebabkan dasar laut
terlihat berupa pasir putih, sehingga menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan untuk bermain-main dengan
alunan ombak yang terlihat begitu tenang. Alunan ombak
seperti ini memungkinkan wisatawan melakukan kegiatan
berperahu (boating), menyelam (diving) atau (snorkeling),
berenang (swimming). Sementara di area pantai pengunjung
dapat melakukan rekreasi olah raga sisir pantai, bola volley

57
pantai dan bersepeda pantai.
Pada saat angin laut berembus lebih kencang, kegiatan
menarik yang dapat dilakukan pada bentang alam laut
adalah berlayar (sailing). Kegiatan ini menarik dilakukan,
karena bentang alam laut yang terhampar luas, apalagi
beberapa mil dari pantai terdapat pulau yang dapat
dikunjungi dengan waktu tempuh ± 40 menit sementara
dengan speed boot, pulau tersebut dapat dijangkau lebih
cepat lagi, yakni ± 15 menit. Pulau tersebut memiliki potensi
untuk digarap sehingga dapat menjadi bagian dari destinasi
wisata pantai Bira, khususnya untuk kegiatan pariwisata
alternatif. Pesona pantai Bira, juga terletak pada keberadaan
dinding karang yang terlihat terjal dari arah laut. Dinding
karang tersebut memiliki keterjalan sampai 90 derajat
dengan ketinggian beragam, tiga meter sampai 15 meter
yang pada bagian tertentu menjorok ke laut yang jernih.
Pada dinding terjal seperti ini, dapat dilakukan kegiatan
panjat tebing. Di bawah karang-karang, terdapat goa-goa
kecil yang saat terik matahari pengunjung dapat
memanfaatkanya untuk bernaung. Adapun area di atas
karang yang berdiri kokoh, terdapat beberapa hotel dan
penginapan. Kala sore menjelang, wisatawan dapat
menikmati pesona terbenamnya matahari diupuk barat,
sambil merasakan dinginnya angin laut yang berhembus
lirih. Pada bulan tertentu, yaitu bulan Maret, kawanan
lumba-lumba biasa berenang di perairan dekat pantai,
sehingga para wisatawan yang beruntung dapat
menyaksikan atraksi lumba-lumba tersebut. Namun
demikian, atraksi kawanan lumba-lumba tidak selalu ada.
Karenanya pengamatan terhadap atraksi lumba-lumba,
memerlukan kesabaran, karena kawanan lumba-lumba

58
tersebut tidak terjadwal.
Dalam upaya pengembangkan destinasi wisata pantai
Bira bagaimanapun, harus dilakukan studi kelayakan :
Terutama (1) kelayakan finansial, melalui penerapan
kriteria komersial dengan membandingkan biaya
pembangunan atau modal yang dialokasikan dengan
keuntungan yang diperoleh, (2) kelayakan sosial ekonomi,
dengan membandingkan pembangunan ekonomi Iainya, (3)
kelayakan teknis melalui pertanggungjawaban secara teknis
dengan mempertimbangkan daya dukung sosial, (4)
kelayakan lingkungan dengan menganalisis dampak
negatif-positif sebagai akibat pembangunan obyek dan daya
tarik wisata juga harus memberikan pedoman pengelola
dan penanggulangan dampak negatif pariwisata, serta (5)
analisis kependudukan, terutama analisis kesejahteraan
penduduk lokal yang berdomisili di sekitar lokasi wisata,
baik melalui keterlibatannya secara langsung dalam
aktivitas ekonomi, keterlibatan sebagai tenaga kerja,
maupun keterlibatan dalam pengelolaan dan pertunjukan
atraksi wisata.
Pantai Bira di Kabupaten Bulukumba, bukan satu-
satunya destinasi wisata pantai di Sulawesi Selatan. Boleh
dikatakan hampir semua Kabupaten yang memiliki bentang
alam laut (seascape), juga memiliki potensi wisata pantai.
Pantai Topejawa berada di Kecamatan Mangarabombang
Kabupaten Takalar, selain pantai Sampulungang yang
berada di Kecamatan Galesong Utara yang dikelola oleh
investor sehingga lebih menarik bagi penduduk lokal,
termasuk pengunjung dari Makassar untuk melakukan
aktifitas out door, atau sekedar datang piknik di destinasi
wisata tersebut. Destinasi wisata pantai Sampulungang

59
menarik wisatawan untuk berkunjung karena digarap
secara profesional. Pada area pantai tersebut terdapat hotel
dengan fasilitas hotel berbintang, dilengkapi kolam renang
sehingga mampu memanjakan pengunjung yang tidak mau
berenang di laut. Namun demikian, berenang di laut secara
alami bisa lebih sensasional, sementara pengunjung lainnya
yang memiliki aktifitas berperahu dapat menyewa banana
boat untuk menikmati sensasi ombak dengan kesejukan
udara laut.
Pantai Karsut di Kabupaten Jeneponto menawarkan
fenomena alam yang cukup indah. Hal ini disebabkan
obyek wisata ini memiliki hamparan pasir putih dengan
deburan ombak yang saling berkejaran. Sementara pada
kawasan bibir pantai yang lebih terbuka terdapat banyak
pohon kelapa. Air kelapa menjadi penawar dahaga,
sementara daging kelapa muda dapat menjadi jajan
alternatif. Nilai tambah pantai Karsut sebagai obyek wisata,
juga terletak pada hamparan areal tambak untuk mereka
yang hobi memancing dan menyantap ikan air tawar,
seperti ikan bandeng dan ikan mujair. Namun demikian,
penikmat seafood, dijamin tidak akan kecewa karena
adanya perkampungan nelayan yang berada tidak jauh dari
lokasi pantai yang selalu menyediakan ikan-ikan laut untuk
disantap sambil menikmati fanorama alam.
Keberadaan pantai di beberapa Kabupaten di Sulawesi
Selatan, meneguhkan bahwa daerah ini memiliki potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi destinasi
wisata yang menarik. Kota Makassar yang dikenal sebagai
gerbang kawasan timur Indonesia memiliki Tanjung Bunga
untuk aktifitas wisata pantai. Di tempat ini terdapat wahana
water sport dan outbound yang menghadirkan beragam

60
permainan untuk menguji adrenalin dan ketahanan fisik,
serta bermanfaat untuk membangun karakter. Permainan
lain yang tersedia adalah banana boat, flaying fish, rubber boat
dan kano atau perahu dayung.
Kabupaten Maros yang terletak ±30 km. dari
Makassar, juga memiliki obyek wisata pantai yakni pantai
Kuri yang berpasir putih. Suasana santai yang tenang
dengan panorama alamnya yang indah, menjadikan pantai
Kuri menjadi pilihan untuk berekreasi. Pada sore hari
pengunjung dapat menikmati deburan ombak sambil
menyaksikan matahari terbenam di kaki langit. Pantai ini
berada di desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, terletak
hanya ± 10 km dari bandara internasional Sultan
Hasanuddin. Letaknya yang strategis, menyebabkan
pemerintah Kabupaten Maros akan mengembangkan
kawasan ini menjadi kota madani Pantai Kuri dengan
berbagai fasilitas. Juga akan dibangun pusat bisnis dan
telekomunikasi, gedung pertemuan, restoran, cafe, sarana
olahraga, dan fasilitas olahraga air (water sport).

B. Geo Ekowisata Sungai dan Arung Jeram


Sungai memiliki potensi besar untuk pengembangan
wisata alam di suatu daerah, khususnya kegiatan wisata
yang obyek dan daya tariknya bersumber pada karakteristik
dan potensi sungai. Menurut Sunarto (dalam Fandeli, 2000),
sungai dapat dibedakan dalam 4 tipe, yaitu : (a) Sungai
Permanen, yaitu sungai yang jumlahnya airnya relatif tetap
sepanjang tahun. (b) Sungai Periodik, yaitu sungai yang
pada musim hujan airnya besar sehingga menjadi banjir,
sedang pada musim kemarau airnya kecil. (c) Sungai
intermiten, yaitu sungai yang pada musim hujan airnya

61
besar, sedang pada musim kemarau kering. (d) Sungai
efemeral, yaitu sungai yang airnya hanya ada pada waktu
atau sesaat setelah hujan.
Ada tiga subsistem ekosistem sungai (Iihat Hemblin
(1992). Namun demikian collecting sistem yang terletak
dilereng-lereng gunung dengan perilaku yang sifatnya
intermiten dan efemeral yang banyak memiliki bongkah-
bongkah batu besar mempunyai potensi wisata yang cukup
besar. Sebagai akibat kedudukannya di daerah hulu yang
relatif tinggi, menyebabkan udara dilingkungan sungai ini
relatif sejuk, bahkan di jumpai air terjun sehingga daerah ini
dapat menjadi obyek wisata. Selain itu, lingkungan sekitar
sungai potensial untuk refreshing, hiking, dan kegiatan
camping. Transpreting sistem, merupakan sungai yang aliran
airnya lebih deras, dan lebih banyak sehingga kondisi
airnya lebih permanen. Pola salurannya berkelok dan
membentuk meander. Pada dasar sungai biasanya masih
banyak dijumpai bongkah-bongkah batu besar. Sehingga
sungai ini potensial untuk wisata arung jeram.
Arung jeram merupakan suatu bentuk olahraga air
yang pada tahun-tahun terakhir digemari oleh kalangan
anak-anak muda karena merupakan atraksi wisata
petualangan yang memacu adrenalin. Hanya saja, olahraga
arung jeram tidak dapat dilakukan pada semua sungai,
melainkan hanya sungai yang memiliki karakteristik
khusus. Menurut Arief - Suswantoro (1999), arung jeram
adalah kegiatan di alam bebas dengan menggunakan
perahu karet dan dayung yang dilakukan pada sungai
berarus deras, bergelombang, berbatu dan berjeram. Ini
berarti tidak semua sungai dapat dipilih menjadi arena
kegiatan wisata arung jeram karena morfologi sungai

62
berbeda-beda, demikian juga volume airnya. Morfologi
sungai yang berpengaruh adalah gradien sungai, lebar
sungai, pola saluran sungai (lurus, berkelok, atau
teranyam), jarak antar jeram, kekasaran dasar sungai
(lumpur, pasir, kerikil atau bongkah batu).
Pengembangan wisata arung jeram di Sulawesi Selatan
masih perlu melibatkan kalangan stakeholder yang bukan
saja memiliki pengetahuan tentang aktivitas wisata arung
jeram, tetapi juga mereka yang secara langsung terlibat
dengan jenis wisata ini di lapangan. Fajar (13 Februari 2011)
memaparkan bahwa kepedulian memulihkan kondisi
sungai dan memperkenalkan sungai sebagai salah satu
potensi pariwisata telah ditunjukkan komunitas Federasi
Arung Jeram (FAJI) Sulsel. Arung jeram bagi FAJI adalah
aktivitas olahraga yang memacu adrenalin sehingga
memerlukan nyali yang tinggi dengan spirit petualangan
dan keberanian. Saat ini aktivitas arung jeram telah menjadi
bagian dari aktivitas wisata sungai yang banyak diminati,
terutama oleh segmen wisata anak-anak muda, atau mereka
yang memiliki semangat muda. Dari komunitas FAJI ini
pulalah diketahui tentang potensi arung jeram di Sulawesi
Selatan. Menurut FAJI, Sulawesi Selatan menyimpan
potensi wisata arung jeram yang cukup indah dan
menantang.
Beberapa sungai yang memiliki potensi arung jeram
adalah Sungai Saddang di Kabupaten Tana Toraja, Sungai
Sandang di Kabupaten Enrekang, Sungai Rongkong di
Kabupaten Luwu Utara dan Sungai Lamasi di Kabupaten
Luwu. Daerah paling dekat dengan Makassar yang
memiliki potensi arung jeram adalah kawasan
Bantimurung. Sudah barang tentu, masih ada sungai-sungai

63
lainnya yang memiliki potensi arung jeram, tetapi belum
terdeteksi dengan baik. Karena itu, untuk pengembangan
ekowisata, survei tentang sungai-sungai yang memiliki
potensi arung jeram perlu dilakukan dalam rangka
pengembangan wisata daerah di Sulawesi Selatan.

C. Wisata Air Terjun


Wisata air terjun sejatinya dapat digolongkan sebagai
bagian dari geowisata karena air terjun pada tebing-tebing
gunung inilah biasa muncul air terjun yang menarik sebagai
obyek wisata. Jika kemudian kawasan bentang alam seperti
ini dapat dikelola secara baik dengan menjadikan obyek
wisata alam, juga untuk panjat tebing, dan camping ground,
bukan tidak mungkin, kawasan air terjun tersebut dapat
menjadi atraksi wisata yang menarik untuk dikunjungi,
terutama dari masyarakat yang mau melepaskan diri dari
rutinitas keseharian yang mereka alami di kota.
Kawasan wisata Bantingmurung saat ini telah
menjelma sebagai salah satu ikon pariwisata alam Sulawesi
Selatan karena destinasi wisata ini memenuhi popularitas
yang telah mendunia, hal ini dapat terwujud karena
Kabupaten Maros telah membangun kawasan wisata
tersebut secara profesional. Pada kawasan wisata air terjun
Bantingmurung juga terdapat penangkaran kupu-kupu,
kolam renang, resto, kios cenderamata, cafe, wisma,
lapangan tenis, pondok berupa wisma, kolam renang untuk
anak-anak. Mereka yang mencoba tantangan dapat
memuaskannya di tempat yang lebih jauh untuk menikmati
Gua Mimpi, Telaga Kassi Kebo, Gua Batu, dan di Telaga
Trakala.
Kawasan wisata Malino, merupakan sebuah kawasan

64
yang dapat memanjakan para wisatawan penikmat air
terjun. Pada kawasan wisata Malino terdapat cukup banyak
destinasi wisata air terjun yang berada di pinggiran kota,
maupun yang berada diluar kota Malino. Air terjun dalam
kota dengan tangga seribu, memiliki daya pikat tersendiri.
Namun demikian, bukan itu saja air terjun di kawasan
wisata Malino. Masih ada beberapa yang lain, diantaranya
(lihat, inventarisasi obyek wisata, Kabupaten Gowa, 2000),
yaitu:

a. Air terjun Takkapala


Air terjun Takkapala di kelurahan Bulutana
Kecamatan Tombolo Pao, berjarak ± 69 km dari Kota
Malino. Air terjun Takapala merupakan air terjun yang
teramai dikunjungi oleh masyarakat mengingat fasilitas
penunjang yang dimiliki sudah cukup memadai dalam
memberikan jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh
pengunjung. Di lokasi ini terdapat sebuah jalan lingkar
untuk memudahkan pengunjung mencapai lokasi tanpa
harus melalui beratus anak tangga, dimana lalu lintas
kendaraan cukup padat. Untuk itu pengunjung akan
dipandu oleh petugas pos sampai ke tempat parkir karena
jalur alternatif menuju ke areal perparkiran sangat sempit
dan hanya bisa dilalui sebuah kendaraan roda empat.
Kondisi geografis dalam areal air terjun Takkapala
berbukit dengan ketinggian air ± 109 meter terbilang cukup
tinggi sehingga kita masih dapat basah oleh limpasan air
dari jarak 20 meter.

b. Air terjun Tonasa


Air terjun Tonasa berada di dusun Mangattang desa

65
Tonasa Kecamatan Tombolo Pao. Air terjun Tonasa
memiliki keunikan fenomena alam yang khas. Jika dilihat
dari puncak bukit terdapat bias pelangi dari telaga di
tempat itu. Untuk menuju ke lokasi air terjun tersebut, kita
dapat melalui jalan setapak yang berjarak ± 600 meter dari
poros jalan Gowa-Sinjai, tepatnya di dusun Mangattang
desa Tonasa, Kecamatan Tombolo Pao. Posisi geografis
berada di lembah yang dikelilingi oleh perbukitan, cukup
dekat dari areal perkebunan markisa Kanreapia.

c. Air terjun Bantingmurung Gallang


Air terjun Bantingmurung Gallang berada di desa
Pao, Kecamatan Tombolo Pao. Lokasi air terjun
Bantimurung Gallang terbilang cukup jauh diperkirakan
sekitar ± 34 km dari Kota Wisata Malino menuju ke arah
Kabupaten Sinjai. Untuk mencapai lokasi tersebut kita harus
menyusuri jalan tanah ± 500 meter dengan menyusuri
tebing bebatuan yang sebahagian telah Iongsor menutupi
badan sungai. Daya tarik air terjun ini karena memiliki
legenda yang berkembang dibalik cerita rakyat dimana
konon pada zaman dahulu kala timbul perselisihan diantara
dua penguasa sungai di tana Gowa yakni penguasa Sungai
Je’ne Berang dan penguasa Sungai Gallang sehingga untuk
tidak tunduk pada kekuasaan penguasa Sungai Jene Berang
yang menjadi penguasa bagi sungai-sungai lainnya di Gowa
pada scat itu. Entah bagaimana terlihat bahwa aliran Sungai
Gallang dengan aliran Sungai Je’ne Berang, ternyata
berlainan arah.

d. Air terjun Ketemu Jodoh


Air terjun Ketemu Jodoh berada di Bonto Je’ne,

66
Kabupaten Butulana, Kecamatan Tinggi Moncong. Letak
lokasi air terjun ini bersebelahan dengan air terjun Takapala
di Bonto Te’ne kelurahan Bulutana, tempatnya hanya
dipisahkan oleh ruas jalan yang menuju ke desa Majannang
Kecamatan Tinggi Moncong. Air terjun ini oleh masyarakat
dipercaya dapat memberikan kemudahan bagi setiap orang
yang datang untuk mandi sambil berniat mendapatkan
jodoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Untuk menuju ke lokasi air terjun Kalijodoh kita
harus melalui jalan setapak ± 250 meter melintasi kebun
kakao yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Di tempat ini
keasrian alam begitu menyejukan hati, hamparan batu kali
dibawah sebuah jembatan bambu yang menghubungkan
antara kampung satu dengan kampung yang lainnya.
Pemandangan di kawasan ini sangat menarik, dengan
telaganya yang biru kehijau-hijauan bagai tempat para
bidadari mandi. Lagi pula, tempat ini jauh dari kebisingan
serta terpencil dari segala aktivitas kesibukan masyarakat
kota, sehingga menjadi tempat yang sangat sesuai untuk
lebih mendekatkan diri pada alam.

e. Air terjun Lembanna


Air terjun Lembanna berada di desa Patappang,
Kecamatan Tinggi Moncong, ± 12 km dari Kota Malino
menuju kearah Kabupaten Sinjai. Untuk mencapai lokasi,
pengunjung dapat membawa kendaraan bermotor hingga
ke dusun Lembanna melewati jalan pengerasan ± 1 km dan
poros jalan Gowa Sinjai, kemudian dari Lembanna
pengunjung berjalan kaki menyusuri jalan setapak ± 300
meter menyusiri tebing tanah bebatuan yang menurun
hingga ke lembah.

67
Air terjun ini menjadi bagian route pelatihan
pendidikan dasar bagi para anak-anak muda pecinta alam
yang kebanyakan berposko di lembanna. Tempat ini
merupakan perkampungan terakhir di kaki Gunung
Bawakaraeng bagi para petualang yang hendak melakukan
pendakian ke Gunung Bawakaraeng atau melepas
kepenatan sehabis melakukan tracking panjang dari
Lembah Ramma.
Potensi air terjun di Sulawesi Selatan tidak hanya
terdapat di Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, tetapi
juga terdapat di beberapa Kabupaten lainnya, antara lain di
Kabupaten Pinrang, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten
Luwu Tengah, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru.

D. Wisata Gua
Gua merupakan salah satu bentuk geo morfologi
pada daerah karst, yakni batuan gamping yang berasal dari
batu karang dan terangkat oleh proses pengangkatan
lempeng tektonik. Karst terbentuk melalui proses yang
memakan waktu ratusan tahun. Bermula dari proses
pengangkatan lempeng tektonik dari dasar laut sampai
terjadi peristiwa solusimal yang membentuk gua itu.
Ekokarst karenanya merupakan ekosistem yang unik,
terutama terlihat pada keindahan bentang lahan dan
kekhasan flora-faunanya serta habitatnya penyusunnya,
tetapi juga dicirikan oleh adanya fenomena kehidupan
bawah tanah dan lorong-lorong celah batuan dengan segala
komponen dan ornamennya (indokarst).
Gua sebagai suatu ekosistem alami, memiliki daya
tarik tersendiri sebagai obyek wisata karena beberapa faktor
yang antara satu faktor dengan faktor lainnya boleh jadi

68
bertentangan. Sebuah gua yang tampak seram sebenarnya
sangat menakutkan, tetapi bagi orang lain justru dianggap
memiliki pesona sehingga menarik banyak orang untuk
mengunjunginya. Mereka biasa datang berkunjung sebatas
untuk memuaskan keingintahuannya semata, maupun
datang untuk menjadikan gua tersebut sebagai obyek studi.
Keseraman gua terjadi, bukan saja karena letaknya
yang terisolasi di kawasan perbukitan, gunung dan hutan-
hutan, juga karena bentuknya berupa terowongan bawah
tanah yang sudah barang tentu mengandung banyak
misteri. Namun demikian, dibalik keseraman tersebut, gua
ternyata memiliki pemandangan yang indah dan nilai
artisitik. Ruang-ruang bawah tanah seolah menjadi hasil
karya seniman besar, padahal bentuk-bentuk relief, stalaktif
dan stalagmit serta pilar-pilar yang tersusun indah itu
terjadi sebagai proses alami. Di antara ruang-ruang dalam
gua, juga terdapat terowongan-terowongan yang
menciptakan kesejukan dalam gua karena melalui
terowongan tersebut udara berembus dengan keras.
Stalagtif-stalagtif yang seolah-olah bergelantungan di
langit-langit gua serta kikisan rapi pada dinding-dinding
gua yang berbatu cadas serta stalagmit-stalagmit yang
muncul pada lantai-lantai gua, menciptakan suatu tatanan
pemandangan alami yang menjadikan ruang bawah tanah
tersebut demikian mengagumkan, indah dan mempesona.
Gua-gua tampak lebih menarik karena dalam gua biasanya
terdapat sungai-sungai kecil dengan berbagai bentuk ruang
artistik yang biasa dikaitkan dengan cerita-cerita mitis.
Wisata gua sebenarnya memiliki daya tarik
tersendiri, khususnya bagi mereka yang ingin memuaskan
keingintahuannya tentang gua yang dianggap

69
menyeramkan, dan penuh misteri, padahal gua juga
memiliki tata artistik yang indah. Boleh jadi karena alasan
gua yang menyeramkan, tersembunyi atau bahkan keramat,
menyebabkan pengunjung gua memerlukan penunjuk jalan,
bahkan teman seperjalanan yang dianggap dapat menjamin
keselamatan. Perjalanan ke gua biasanya memerlukan
penunjuk jalan, didasarkan pada alasan gua ini tersembunyi
di kaki gunung, jarang dikunjungi dan akses menuju gua
tersebut relatif sulit. Jalan setapak yang terdapat di lereng-
lereng bukit merupakan jalan setapak menuju kebun-kebun,
sehingga untuk mencapai gua pengunjung harus melalui
lereng-lereng bukit yang telah menjadi kebun penduduk
setempat dengan timbunan seresah yang demikian tebal.
Barangkali, salah satu gua yang cukup menarik di
Sulawesi Selatan adalah gua Mampu, karena legenda
bentuknya. Goa Mampu terletak sekitar 35 kilometer
sebelah utara Kota Watampone, Bone, tepatnya di Desa
Cabbeng Kecamatan Dua Boccoe. Goa ini memiliki luas
sekitar 2000 meter persegi dengan tujuh tingkatan. Konon,
ini merupakan goa terluas di Sulsel.
Goa ini sangat erat kaitannya dengan legenda
Alleborenge Ri Mampu dan diyakini secara turun-termurun
sebagai suatu kebenaran Konon, di tempat tersebut pernah
berdiri Kerajaan Mampu. Namun, karena kutukan dewa,
penghuni kerajaan ini termasuk binatang dan benda-benda
lainnya berubah menjadi batu.
Saat ini, di dalam goa, dapat ditemukan stalaktit dan
stalakmit menyerupai makhluk hidup seperti kuda yang
sedang berlari, buaya, tikus, dan banyak lagi. Selain itu, di
dalam gua ini juga terdapat batu yang berbentuk perahu
serta hamparan sawah. Aneka batu yang bertebaran di

70
dalam gua mengesankan diorama sebuah perkampungan.
Selain menjadi objek wisata, banyak juga warga
maupun wisatawan yang datang ke gua itu untuk berziarah
di dua kuburan kuno yang diyakini sebagai makam raja
Mampu dan permaisurinya. Goa yang masih alami ini
dikelola secara mandiri oleh warga setempat. Warga
memanfaatkan gua tersebut untuk mencari nafkah dengan
menjadi pemandu bagi wisatawan dan mengolah kotoran
kelelawar menjadi pupuk kandang.
Gua-gua yang lebih spektakuler berada di bentang
alam Taman Nasional. Bantimurung - Bulusaraung masuk
dalam wilayah Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros.

E. Wisata Danau
Danau merupakan hamparan luas lahan yang
digenangi air, tetapi air permukaan danau gerakannya
relatif tenang, tidak sebagaimana gerakan air sungai,
terutama yang berarus deras, walaupun terlihat bergerak,
gerakannya relatif lebih lambat. Danau terbentuk pada
suatu cekungan yang dikelilingi oleh daratan, sehingga
keberadaan danau sangat tergantung pada kondisi yang
menghasilkan cekungan tersebut. Danau pada umumnya
terbentuk secara alami, maupun secara artifisial atau buatan
manusia. Menurut Sunarto (dalam Fandeli dan Mukhlison
(2000), pembentukan danau secara alami, dapat disebabkan
oleh tektonik, mekanik, solusional, deflasi, musim, fluvial
ataupun ekstra terestrial.
Fungsi danau saat ini semakin beragam, selain
sebagai tangkapan air dalam menahan laju erosi atau banjir.
Danau juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi
dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sementara

71
untuk kepentingan pariwisata, danau dapat menjadi spot
wisata air, terutama untuk berenang, berperahu dan
memancing, termasuk untuk event lomba perahu oleh
masyarakat nelayan danau. Dalam hubungan ini,
masyarakat nelayan biasanya memiliki ritual penangkapan
ikan. Ini pun menarik sebagai atraksi wisata.
Menurut Sunarto (dalam Fandely dan Mukhlison,
2000), agar danau dapat menjadi obyek dan daya tarik
wisata, sebaiknya memiliki variasi atau beberapa kelebihan
dibanding dengan danau-danau lainnya, seperti (1) danau
memiliki pantai yang landai; (2) material pantainya berupa
pasir bersih, bukan lumpur; (3) kenampakan danau tidak
monoton; (4) bentuk garis pantai danau bervariasi; (5)
airnya jernih, tidak berbau, dan tampak beriak; (6)
disekeliling danau relatif asri; (7) memiliki keunikan,
termasuk keunikan budaya masyarakat pesisir; (8) lebih
bagus jika danau tersebut memiliki cerita rakyat (folktale).
Danau yang akan dikembangkan menjadi resort
wisata, sebenarnya potensial pula untuk pemanfaatan usaha
wisata, terutama perikanan wisata. Dalam hal ini perikanan
wisata dapat berupa penangkapan ikan sebagai hobi (game
fishing), pemancingan ikan sebagai hobi (sport fishing), dan
sebagainya. Akan lebih baik lagi jika tersedia perlengkapan
wisata danau di resort tersebut.

72
BAB V. GEO EKOWISATA
SULAWESI SELATAN

A. MENJAGA TRADISI MERAWAT HUTAN :


ETNO EKOWISATA TANA TOWA BULUKUMBA

Pengantar
Paling tidak ada beberapa faktor penting perlunya
mengembangkan hutan adat Ammatoa untuk ekowisata,
yaitu : Pertama : Prinsip dasar ekowisata bertujuan untuk
konservasi. Dalam hal ini, ekowisata merupakan perjalanan
wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian
lingkungan. Dengan demikian, ini sejalan dengan Pasang ri
Kajang yang menjadi panutan bagi orang Kajang bagaimana
seharusnya berperilaku untuk senantiasa mendukung
upaya konservasi hutan. Menurut Basrah (2010), Pasang ri
Kajang bersifat menuntun (annuntungi) berkenaan dengan
hal-hal yang dilakukan di kawasan adat Ammatowa. Tidak
satupun tindakan atau perilaku yang diperbolehkan
menyimpang dari pranata-pranata adat, baik yang sifatnya
sebagai suatu sistem identitas kolektif, maupun pengaturan
sistem kehidupan secara umum.
Kedua: prinsip dasar ekowisata bertujuan untuk

73
mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi lokal
(local economic vitality), bisnis dan komunitas untuk
menjamin kekuatan ekonomi dan berkelanjutan; Ketiga :
ekowisata mendorong terciptanya penghormatan dan
penghargaan terhadap adat istiadat dan keragaman budaya
dengan maksud untuk mendukung pelestarian budaya
lokal. Alasan lainnya, yang tidak kurang penting, bahwa
Pemerintah Kabupaten Bulukumba mengagendakan event
Pinisi dalam kalender wisata tahunan, dimana pariwisata
Tana Towa menjadi bagian dari event pariwisata tersebut.

Paradigma Pembangunan Pariwisata


Paradigma pembangunan yang lebih menitikberatkan
pada pertumbuhan ekonomi, sangat didominasi oleh
pemerintah dan karena itu pula pembangunan dikendalikan
secara sentralistik. Dengan demikian di sisi lain, peran
masyarakat semata-mata hanya menjadi obyek yang
berharap untuk menerima tetesan dari atas (trickle down
effect).
Dalam kondisi seperti ini peran masyarakat
ditentukan oleh apakah mereka melaksanakan ke-
wajibannya atau tidak. Hal ini wajar, karena dalam ideologi
developmentalism yang menjadi landasan operasi
pembangunan selama ini, peran masyarakat didefinisikan
dan seringkali dilekatkan dengan wacana kekuasaan
(power). Dari perspektif ini peran dan dengan sendirinya
partisipasi dipahami sebagai mengerjakan apapun yang
dikehendaki oleh pemerintah pusat (negara), betapapun itu
seringkali tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan
kehendak suatu masyarakat.
Munculnya ideologi pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), menyadari upaya-upaya untuk

74
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi
hak generasi yang akan datang untuk memperoleh haknya
menjadi prioritas. Namun upaya menciptakan
kesinambungan dan keseimbangan antar waktu tersebut
bukanlah persoalan yang mudah tanpa terjaminnya
keseimbangan dan kesinambungan antar daerah. Hal
tersebut berarti bahwa sustainable development semestinya
dipahami bukan saja secara inter-generation tetapi juga inter-
region. Konsep ini kemudian diadopsi oleh sektor pariwisata
dan dikemas dalam pengertian sustainable tourism
development. Seperti pada pengertian pembangunan
berkelanjutan, sustainable tourism development semestinya
dipahami dalam keseluruhan dimensinya yaitu inter-
generation dan inter-region. Bagaimanapun, sustainability da-
lam arti inter-generation tidak akan mungkin tercapai tanpa
adanya sustainability dalam arti inter-region. Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, pembangunan pariwisata
semestinya juga memperhitung-kan peran dan partisipasi
masyarakat.
Menurut Nasikun (dalam Fandely-Mukhlison, 2000)
pergulatan untuk menjadikan perkembangan pariwisata
dunia berkelanjutan (sustainable) bagi negara-negara Dunia
III melalui pembangunan pariwisata berbasis komunitas
bukan hanya merupakan sebuah harapan melainkan sebuah
peluang. Ia memperoleh rasionalnya di dalam properti dan
ciri-ciri unik yang dimilikinya, yang antara lain dan
terutama meliputi paling sedikit empat hal berikut. Pertama,
oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di
dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya
merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan
lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan
banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis

75
pariwisata konvensional yang berskala massif. Kedua,
pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih
mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi
wisata berskala kecil, dan oleh karena itu dapat dikelola
oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal,
menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan
dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk
diterima oleh masyarakat. Ketiga, berkaitan sangat erat dan
sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata
konvensional yang bersifat massif pariwisata alternatif yang
berbasis komunitas memberikan peluang yang lebih besar
bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di
dalam proses pengambilan keputusan-keputusan dan di
dalam menikmati keuntungan perkembangan industri
pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan
masyarakat. Keempat, “last but not least”, pariwisata alternatif
yang berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan
pada pentingnya “keberlanjutan kultural” (cultural
sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya
membangkitkan penghormatan para wisatawan pada
kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan
pengembangan organisasi wisatawan.
Meskipun pembangunan pariwisata berbasis
komunitas tidak dengan sendirinya akan memberikan
jaminan bahwa tuntutan akan pembangunan yang
berkelanjutan dapat dipenuhi atau diwujudkan, di atas
landasan etis dan politis, keterlibatan komunitas di dalam
perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan
pariwisata berbasis komunitas merupakan syarat yang
paling esensial dari peluang bagi terwujudnya
pembangunan yang berkelanjutan.

76
Komunitas Adat Ammatowa
Desa Tana Towa yang dihuni oleh komunitas adat
Ammatowa (Tu’ Kajang), merupakan sebuah desa tua yang
berada dalam wilayah Kecamatan Kajang, Kabupaten
Bulukumba. Desa ini berada di pesisir Teluk Bone pada
ketinggian sekitar 150 - 200 dpl. Desa Tana Towa dapat
dicapai melalui Sinjai ke Kecamatan Tanete Bulukumba,
kemudian berbelok ke arah Timur melalui jalan raya sejauh
31 km. Jalur kedua adalah jalur ke arah Timur melalui
kecamatan Ujung Bulu Bulukumba, Kecamatan Herlang
dan Kecamatan Bonto Tiro.
Komunitas adat Ammatowa menurut Pasang ri Kajang
dibatasi oleh empat aliran sungai yang dikenal dengan
llalang Embaya atau Butta Tana Kamase-masea, sedang yang
berada di luar batas keempat aliran sungai tersebut dikenal
dengan sebutan Ipantarang Embaya atau Butta/Tana Kuasaya.
Keempat aliran sungai yang menjadi batas atau zonasi
komunitas adat Ammatowa, adalah sebelah Utara berbatasan
dengan Sungai Tuli, sebelah Timur berbatasan dengan
Sungai Limba, sebelah Barat berbatasan dengan Sungai
Doro dan sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Seppa
(Rasyid, 2002)
Komunitas adat Ammatowa adalah sebahagian dari
masyarakat berbahasa Makassar dialek Konjo-Makassar
dengan ciri-ciri berbahasa yang cenderung diidentifikasi
sebagai Proto Makassar yang hidup pada beberapa daerah,
di Kabupaten Bulukumba bagian Timur yang mendiami
Kecamatan Kajang, Herlang, Bontotiro dan Bontobahari,
biasa disebut “Konjo Pesisir” (Palengkahu dikutip oleh
Usop, 1978)
Pada umumnya komunitas adat Ammatowa adalah
petani, baik sebagai petani sawah irigasi, sawah tadah hujan

77
dan petani ladang. Sebagian lagi berkebun untuk tanaman
perdagangan (cash crops). Sebagian kecil lainnya adalah
pedagang, tukang dan pegawai. Mereka yang tinggal di
kawasan pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan.
Sementara perempuan hanya terlibat dalam pekerjaan
pertanian, khususnya penanaman tarum yang daunnya
digunakan sebagai zat pewarna benang atau kain yang
dipintal dari kapas yang mereka tanam sendiri, kemudian
ditenun menjadi kain sarung (tope), pengikat kepala
(passapu), baju tradisional (baju takko), celana (saluara) dan
lainnya. Penduduk yang berdomisili di pesisir pantai,
umumnya berprofesi sebagai nelayan, baik sebagai sawi
maupun sebagai ponggawa.
Beberapa versi tentang kehadiran Ammatowa di Tana
Towa, dikemukakan berikut :
a. Ammatowa diceritakan sebagai “tau mariolo” (manusia
terdahulu) yang turun di tanah mula-mula Tana Towa,
pada sebuah puncak berbentuk tombolo (tempurung)
yang dikelilingi air, dengan seekor burung besar yang
disebut “koajang”. Menurut versi itu, nama “Kajang”
berasal dari nama burung tersebut (Usop, 1978)
b. Manusia pertama Bohe Amma (Ammatowa I) diriwayatkan
turun ke bumi Kamase-maseya dan tinggal di hutan adat
Tana Towa. Wilayah hutan tersebut pada mulanya hanya
berupa sembulan tanah (tombolo) selebar payung (siraka’
dohonga) yang dikelilingi laut. Tanah tersebut kemudian
melebar seiring dengan perkembangan waktu dan
perkembangan manusia di atasnya. Bahkan menurut
mitos yang berkembang dalam komunitas adat Kajang,
bahwa perkembangan negeri Kajang (rambang luara’nai
Kajang) melebar ke empat penjuru angin, yaitu (1) empat
negeri di bagian Utara, yaitu : Sape, Solo, Kaili dan

78
Salaparang, (2) empat negeri di bagian Timur, yaitu :
Tambelu Ternate, Tambora dan Ambon, (3) lima negeri
di sebelah Timur Gunung Bawakaraeng (rambang ilaukang
Bahokaraeng) termasuk Tanuntung, Tammatto, Bua Tana,
Sangkala dan Lombo, dan (4) empat negeri di sebelah
Barat Gunung Bawakaraeng (rambang irajangang
Bahokaraeng) termasuk Bajeng, Tassese, Kalimporo’ dan
Manimporong (Basrah, 2008 : 41).
c. Ada beberapa ahli yang mengaitkan kata Kajang dengan
menghilangnya orang pertama yang turun di Benteng
(Tu’manurunga ri Benteng) dengan kata sajang
(menghilang), yang kemudian mengalami perubahan
fonem dari awal kata menjadi Kajang.
Menurut Ammatowa, Tu’Manurung assajang
(menghilang setelah melahirkan lima orang anak, terdiri
dari 4 (empat) orang perempuan dan 1 (satu) orang laki-
laki, masing-masing adalah ; (1) Dalonjo ri Balagana, (2)
Dangempa ri Tuli, (3) Damangungsalam ri Balambina, (4)
Dakodo ri Titaka dan (5) Tu’Mutung ri Sobbu.
Ammatowa adalah mula tau atau manusia pertama yang
diciptakan Tu Rie’A’ra’na di bumi yang pada waktu itu
hanya berupa laut maha luas dengan sebuah daratan
menjulang yang menyerupai tempurung (tombolo). Jabatan
tertinggi dalam komunitas adat dipegang Ammatowa.
Jabatan ini tidak diwariskan atau didasarkan pada garis
keturunan. Karena itu, seorang anak Ammatowa tidak secara
otomatis akan menduduki jabatan bapaknya. Seorang
Ammatowa dipilih/terpilih berdasarkan petunjuk dari Tu rie’
a’ra’na melalui tanda-tanda khusus yang hanya diketahui
oleh orang-orang yang telah mencapai derajat manuntungi
yang ikut dalam upacara pa’nganroang anyuru (upacara
pengukuhan Ammatowa).

79
Kehadiran Ammatowa di bumi, sebenarnya bukanlah
untuk menjadi penguasa atau pemerintah melainkan ia
adalah perwujudan dari kehendak Yang Maha Kuasa dan
diharapkan menjadi penuntun dalam pengamalan Pasang.
Dengan kedudukannya itu, Ammatowa bertindak sebagai
pengawas terhadap pelaksanaan Pasang dalam
masyarakatnya (Usop, 1978). Dengan demikian, Ammatowa
adalah tokoh yang kharismatik, sehingga segala sesuatu
yang diucapkan Ammatowa mengandung fatwa, nasehat,
perintah dan larangan. Apa yang diucapkan Ammatowa
adalah bersumber dari alam gaib yang berupa tuntunan
bukan hanya untuk kehidupan dunia, tapi juga menyangkut
kehidupan akhirat (allo jorengan).
Dalam konteks ini, Ammatowa penjadi penghubung
atau mediator antara dunia atas dengan manusia. Untuk itu
Ammatowa harus memiliki wawasan yang luas dan kearifan
dalam menghadapi masyarakatnya. Karena itu pula,
Ammatowa digelar Pangullei, artinya ahli atau mampu
menjalankan tugas-tugasnya, pemegang amanah dari Tu’
Rie’ A’ra’na. Kata Ammatowa dalam dialek konjo
mengandung konotasi, bapak yang dituakan. Dituakan tidak
hanya dari segi faktor usia, tapi Iebih kepada
kemampuannya untuk menjadi pemimpin yang baik,
kharismatik, mampu mengayomi masyarakatnya, sesuai
dengan pasang “kunjo namae, kunre namae” artinya ; dia tahu
segala-galanya atau dia tahu yang dulu, sekarang dan yang
akan datang (Basrah, 2008).
Adil, arif dan bijaksana adalah prinsip pemerintahan
adat Ammatowa sesuai dengan bunyi pasang “manna ana’
takkulei tauwa annyikki’ manu’, angngalepe’ manu’ polong
manna ana’ta punna salai, nipatabai tonji sala”. Artinya ;
sekalipun anak sendiri tidak dibenarkan memihak.

80
Sekalipun anak sendiri, kalau salah tetap juga salah.
Pada masyarakat adat tersebut, seorang calon
Ammatowa harus menguasai pasang, karena dalam pasang
itulah sumber pengetahuan segala tugas, kewajiban dan
termasuk kriteria Ammatowa, “gattangko nuada’, lambusuko
nukaraeng, sabbarako nusanro, dan appisonako nuguru”. Sifat-
sifat tegas (gattang), jujur (lambusu), sabar (sabbara) dan
pasrah (appisona) adalah kriteria yang harus dimiliki
Ammatowa selaku pemimpin adat.
Sebuah ungkapan pasang yang tertulis pada pintu
gerbang masuk kawasan adat Kajang dalam, berbunyi
‘abbulo sipapa’, a’lemo sihatu, tallang sipahua, manyu siparampe,
lingu sipakainga, sallu riajoa ammolo riadahang artinya; bersatu
padu bagai rumpun bambu, bulat tekad bagai jeruk sebiji,
tenggelam saling mengapungkan, hanyut saling
mendamparkan, lupa saling mengingatkan mematuhi
segala aturan pemerintah, sehingga apapun kehendak
pemerintah harus diikuti. Kebersamaan (abbulo sipapa) dan
kesatuan (a’lemo sihatu) serta ketaatan kepada pemerintah
diaplikasikan dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Ada beberapa fungsi dan peran Ammatowa menurut
pasang adalah :
1) Sebagai orang yang dituakan (amma ; bapak, towa : tua).
Ini berarti bahwa Ammatowa adalah pengayom dan suri
tauladan bagi semua warga komunitas. Ia menjadi
pelindung (sanro) jika terjadi bambang lantama ujung latoro,
artinya apabila negeri dilanda wabah penyakit dan
bahaya peperangan. Amma nilangngere’, nituruki, siagang
nipa’la’langngi, artinya; Amma didengar nasehatnya, ditiru
perbuatannya dan dijadikan panutan.
2) Sebagai penghubung antara manusia dengan Tu

81
Rie’a’ra’na. Ammatowa berkedudukan sebagai mediator
yang bertugas menghubungkan harapan-harapan
komunitas dan gagasan keilahian melalui pa’nganroang
atau upacara ritual. Harapan-harapan bisa terselenggara
bila manusia senantiasa berusaha menjalankan dan
menaati gagasan keilahian. Sebaliknya, itu hanya akan
dijalankan dan ditaati apabila harapannya dikabulkan.
Dua kepentingan ini ditunjukkan melalui sebuah ritual
yang dipimpin Ammatowa. Punna nia’ pare nakku’ ri nakke,
nakua ta’ runtuko ri Amma, Amma toppa ta’runtu konjo
aleteimi ri nakke, artinya, bila ada yang rindu padaku (Tu
Rie’A’ra’na), cukup dia (manusia) berhubungan
denganmu (Ammatowa), nanti kamu yang berhubungan
denganku.
3) Ammatowa menjadi katup pengaman ketegangan-
ketegangan sosial antar warga. Masalah yang bisa
diselesaikan secara adat, tidak perlu diteruskan ke
lembaga formal (pengadilan). Demikian pula dengan
kewajiban komunitas, misalnya pembayaran pajak,
Ammatowa menjadi perantara.
4) Bertanggung jawab terhadap kelestarian pasang. Dalam
menjalankan kedudukannya sebagai pemimpin
komunitas, Ammatowa dibantu oleh majelis adat untuk
mengurusi berbagai bidang. Petugas yang membantu
Ammatowa disebut kolehai.
Karaeng Tallua, adalah pejabat lembaga adat di bawah
Ammatowa. Disebut karaeng tallua karena dijabat oleh 3 (tiga)
orang yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Ketiga kesatuan itu adalah; karaeng Labbiriya,
Sullehatang dan Moncongbulowa, yang secara formal
menduduki jabatan dalam pemerintahan nasional.
Kedudukan Karaeng Tallua ini adalah mitra Ammatowa

82
dalam melestarikan budaya komunitas adat Kajang.
Hubungan kelembagaan Karaeng Tallua dengan Ammatowa
adalah hubungan koordinatif terutama yang berkaitan
dengan masalah adat, jadi bukan hubungan hierarki,
sebagaimana yang terdapat dalam struktur organisasi
pemerintahan nasional. Lembaga pemerintahan nasional
dan lembaga adat berjalan sesuai dengan status, peran,
tugas dan fungsinya masing-masing (lihat Basrah, 2010).
1) Karaeng Labbiriya, adalah pemegang pucuk pimpinan
tertinggi dalam lembaga adat Karaeng TaIlua. Dalam
struktur pemerintahan kerajaan Kajang dahulu, jabatan
ini dipegang oleh Karaeng Kajang, namun saat ini, fungsi
dan peran Karaeng Labbiriya dipegang oleh Camat Kajang.
2) Sullehatang, adalah pengganti Ammatowa dalam
menjalankan urusan adat di seluruh kawasan adat
Kajang luar, yang secara politis pemerintahan nasional
berada dalam wilayah Kecamatan Kajang. Sullehatang
sekarang ini dipangku oleh wakil camat.
3) Moncong buIowa, adalah bahagian dari Karaeng
Tallua, yang pada masa lampau dijabat oleh adik
Raja Gowa IV bernama Karaeng Tappou. la dilantik
menjadi karaeng di Tambangang dengan gelar
Moncong Bulowa. Itulah sebabnya maka karaeng
Moncong Bulowa sekarang ini dipangku oleh Kepala
Desa Tambangang.
Selain dewan adat Karaeng Tallua, juga terdapat dewan
adat lima (Ada’ Limayya). Ada’ Limayya ri Tanah Kekeyya,
yang terdiri atas 5 (lima) orang Galla, masing-masing
adalah : (1) Galla Pantama, adalah pembantu Ammatowa
dalam mengurus segala macam permasalahan adat,
khususnya dalam lingkungan Kajang dalam. Dalam
pemerintahan nasional ia memangku jabatan sebagai

83
Kepala Desa Possitana. (2) Galla Lombo, sebagaimana halnya
dengan Galla Pantama, Galla Lombo juga bertugas dalam hal
yang menyangkut permasalahan adat. Hal yang
membedakannya adalah kalau Galla Pantama bertugas
dalam kawasan Kajang dalam, maka Galla Lombo bertugas
untuk kawasan Kajang luar. Dalam pemerintahan nasional
Galla Lombo menduduki sebagai Kepala Desa Tana Towa. (3)
Galla Puto, mempunyai tugas sebagai pelaksana hukum
adat. Galla Puto tidak memiliki jabatan formal dalam
struktur pemerintahan nasional. Galla Puto berperan sebagai
penghubung antara pemerintah dan Ammatowa yang
menyangkut adat. (4) Galla Kajang: tugas dan wewenang
yang diberikan oleh Ammatowa kepada Galla Kajang adalah
untuk mengurus segala bentuk permasalahan keagamaan,
baik dalam kawasan adat Kajang Luar maupun kawasan
adat Kajang Dalam. (5) Galla Malelleng, selain sebagai
pemangku adat, Galla Malelleng juga dalam struktur
pemerintahan nasional sebagai Kepala Desa Malelleng.
Tugas dan wewenang Galla Malelleng adalah yang
berkenaan dengan perikanan atau pemungutan hasil laut
(Basrah, 2010)
Adat lima di Tana Lohe (ada’ limayya ri tana Loheyya)
adalah struktur organisasi masyarakat yang berada di
Kawasan adat Kajang luar. Keanggotaan adat lima di Tanah
Lohe, terdiri atas : (1) Pu’tu Toa Sangkala (Ketua Pemangku
Adat), bertindak sebagai wakil Ammatowa dalam segala
urusan kemasyarakatan wilayah adat Kajang Luar. (2) Galla
Anjuru, berkedudukan sebagai Galla Utama (Penghulu
Galla) dalam organisasi adat lima di Tanah Lohe. (3) Galla
Ganta, diberikan wewenang oleh Ammatowa untuk
mengurus pemberian isin konsesi penebangan kayu (legal
logging) pada hutan tebangan di desa Ganta dan

84
Bontomarannu. (4) Galla Sangkala, diberi wewenang dan
tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan tebangan
di Dumpu Lohe dan Dumpu Keke, di Desa Sangkala, Bonto
Baji dan Tambangan. (5) Galla Bantalang, sebelum
pemerintah menetapkan hutan tebangan di Sampaga
Puanga sebagai Areal Peruntukan Lain (APL), hak dan
wewenang Galla Bantalang adalah menjaga kelestarian hutan
tersebut. Namun pada saat ini, lokasi hutan adat Sambaga
Puanga berubah fungsi menjadi permukiman, ladang,
perkebunan rakyat dan sebagainya. (6) Galla Sapa, sama
dengan Galla Bantalang, namun lokasi tugas Galla Sapa
adalah hutan adat di A’nisia. Hutan adat tersebut kini telah
beralih fungsi menjadi permukiman, dan perkebunan.
Selain dewan adat, juga terdapat pelaksana Bidang
Pemerintahan yaitu mereka yang bertanggung jawab
kepada Karaeng Tallua dan Adat Limayya. Adapun yang
termasuk dalam organisasi ini, adalah : (1) Guru, yaitu yang
bertugas dalam bidang pendidikan, pembacaan doa dan
urusan dalam bidang sosial serta keagamaan. (2) Kadahaya,
yaitu yang bertugas dalam bidang pertanian rakyat. (3)
Tutoa Sangkala, yaitu yang bertugas khusus dalam bidang
sosial. (4) Sanro Kajang, yaitu yang bertanggung jawab
terhadap kesehatan masyarakat seluruh Kecamatan Kajang.
(5) Lompo Karaeng, yaitu yang membantu karaeng dalam
upacara adat. (6) Lompo Adat, yaitu yang membantu dalam
upacara-upacara adat. (7) Anrong Guru Lolisang, yaitu yang
bertugas dalam urusan keamanan dan sebagai panglima
perang. (8) Galla Anjuru, yaitu yang bertugas dalam bidang
perlengkapan.
Sistem pengetahuan komunitas adat Kajang pada
dasarnya bersumber dari Pasang ri Kajang. Rasyid (2000)
mendefinisikan pasang sebagai sistem pengetahuan

85
(pa’ngissengang) yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tugas dan kewajiban suci bagi warga komunitas
adat Kajang yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Sedangkan Akib (2003 : 52)
merumuskan Pasang sebagai kumpulan pesan-pesan,
petunjuk-petunjuk, dan aturan-aturan bagaimana seseorang
menempatkan diri terhadap makro dan mikro kosmos serta
tata cara menjalin harmonisasi hubungan dengan alam,
manusia dan Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang
menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas adat Kajang
bagaimana mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniaan
maupun keakhiratan. Dalam fungsi yang demikian itu,
pasang menjadi ukuran apakah sesuatu itu “baik” atau
“buruk”, apakah sesuatu itu “boleh” atau “tidak”. Pilihan
atas pertentangan-pertentangan di atas akan ditetapkan
oleh komunitas adat Kajang melalui rekomendasi nilai-nilai
yang dipasangkan.
Kedudukan pasang yang demikian tinggi ini
disebabkan isi yang dipasangkan sudah tersusun sedemikin
rupa dan sudah ada sejak manusia pertama (mula tau) yang
sekaligus adalah wakil dari Tu Rie’ A’ra’na di bumi, dan
kemudian mendapat penambahan-penambahan dari
generasi ke generasi yang mendapat ilham dari Tu Rie
‘A’rana. Dengan demikian isi pasang adalah gagasan-
gagasan keilahian dari Tu Rie’A’rana dan disampaikan
kepada manusia melalui orang pilihannya. Pasang dalam
fungsinya sebagai sistem nilai budaya, maka ia menciptakan
peran (sikap dan perilaku) warga dalam masyarakat dan
lingkungannya, sedang dalam fungsi sebagai sistem nilai
kepercayaan, pasang melahirkan sikap mental warga
komunitas adat terhadap kekuatan gaib yang berada di luar

86
dirinya, serta tata cara memperlakukannya dan membentuk
keyakinan atas semua hal tersebut.
Adapun sistem kepercayaan pada prinsipnya terdiri
atas konsep-konsep yang menimbulkan keyakinan dan
ketaatan bagi penganutnya. Keyakinan itu adalah rasa
percaya adanya dunia gaib, ide tentang Tuhan dan hari
kemudian, percaya akan adanya kekuatan supra natural,
serta berbagai macam hal yang dapat menimbulkan rasa
percaya kepada yang diyakini tersebut.
Obyek dalam sistem kepercayaan sifatnya abstrak dan
berada di luar hidup manusia sehari-hari. Para penganut
memanifestasikan perasaan-perasaannya melalui pemujaan.
Melalui serangkaian perbuatan, pemeluknya dapat
mengekspresikan rasa cinta, rasa takut atau rasa takjubnya
kepada obyek pemujaan yang seringkali untuk keperluan
itu dipergunakan simbol-simbol.
Mengenai sistem kepercayaan komunitas adat kajang,
Akib (2003) mengemukakan, bahwa pasang yang memuat
nilai-nilai “kunne”, yakni pedoman untuk menghadapi
kehidupan keduniaan, tetapi dengan tujuan utama untuk
“konjo mange” yakni suatu kehidupan yang berkecukupan di
hari kemudian (kalumannyang kaluppepeang ri allona ri bokona
Tu Rie’ A ‘rana). Dan untuk dapat mencapai kehidupan
serba berkecukupan di hari kemudian, diterapkan pola
hidup akkamase-mase. Dengan demikian, ide-ide spiritual
untuk tujuan keduniaan membentuk pola hidup kamase-
mase, dan untuk tujuan keakhiratan melalui kepercayaan
Patuntung membentuk keyakinan kehidupan yang kekal
yang berkecukupan (kalumannyang kalupepeang). Dengan
demikian pola hidup akkamase-masea adalah
pengejawantahan nilai pasang melalui aspek jasmani,
sedangkan kepercayaan Patuntung adalah pengejawantahan

87
nilai pasang melalui aspek rohani.
Konsep mengenai mati, bagi komunitas adat
Ammatowa menempati posisi yang sangat penting. Sebab
mereka yakin bahwa kehidupan yang muncul setelah
berakhirnya kehidupan di dunia adalah bentuk kehidupan
yang abadi. Tindakan-tindakan selama hidup di dunia akan
diganjar oleh Tu Rie’A’ra’na sesuai dengan kualitas tindakan
atau perbuatan tersebut. Mempersiapkan diri sebaik-
baiknya sebelum mati menjadi kewajiban komunitas
Ammatowa. Mati bagi komunitas Ammatowa menjadi
permulaan untuk memasuki kehidupan abadi.
Menurut Hadi (2009), Islam diterima sebagai agama
resmi di Tana Kamase-masea oleh Bohe Sallang (Ammatowa
pertama memeluk Islam). Setelah itu kepercayaan patuntung
sebagai budaya spritual komunitas Ammatowa mengalami
proses sinkretisasi sedemikian rupa dalam penghayatan dan
pengamalannya. Pengakuan formal sebagai penganut
kepercayaan patuntung tidak ditemukan di Desa Tana Towa,
yang ada adalah identifikasi diri sebagai “muslim”, namun
dalam kualitas keberagamaan Islamnya, mereka
membaurkan dengan unsur spritual tradisional patuntung.
Betapa sinkretisasinya Patuntung-Islam dapat dilihat bunyi
pasang “guru sara’ tangattappa’ ri patuntunga ta la assai
kaguruanna, guru patuntung tangattappa ri guru sara’a ta la
assai kapatuntunganna”, artinya ulama yang tidak percaya
kepada patuntung, tidak sah keulamaannya, dan seorang
guru patuntung yang tidak percaya kepada ulama, tidak sah
kapatuntungannya.
Sistem kepercayaan komunitas adat Ammatowa pada
dasarnya bersumber dari “Pasang ri kajang” yang dianggap
sebagai falsafah hidup mereka, karena di dalamnya termuat
tata nilai dan tata cara perikehidupan, dan merupakan

88
suatu sistem pengetahuan. Tata cara perikehidupan, antara
lain; berupa hubungan manusia dengan Turie ‘A’rana
(Tuhan Yang Maha Esa), hubungan dengan sesama manusia
dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Ide-ide
spritual untuk tujuan keduniaan membentuk pola hidup
akkamase-mase dan tujuan keakheratan melalui kepercayaan
patuntung membentuk keyakinan adanya kehidupan lain
yang kekal sesudah berakhirnya kehidupan dunia (Inne
linoa pammaria-marianji, ahera’ pammatangang kara’kang,
artinya : dunia ini hanya tempat persinggahan, hari
kemudian adalah kehidupan kekal). Ide-ide spritual ini
kemudian menjadi sistem kepercayaan, yakni kepercayaan
patuntung dengan sistem-sistemnya yang mengatur tata cara
atau operasional sistem-sistem itu, sehingga menjadi wadah
penghubung komunitas, alam dan Turie’A’ra’na.
Prinsip-prinsip yang dikandung kamase-mase, adalah
(1) adanya hubungan sebab akibat perbuatan manusia yang
akan mempengaruhi kehidupan di akhirat, (2) seseorang
harus mengerahkan unsur dirinya (jasmani dan rohani)
kepada hal-hal yang dipasangkan untuk mendapatkan
kedudukan yang baik di sisi Tuhan dan (3) pemahaman
kehidupan materialis di dunia dapat berakibat buruk
terhadap manusia.
Hadi (2009) selanjutnya menyatakan, manusia dalam
hubungannya dengan Tu Rie ‘A ‘ra’na bersumber dari dua
aspek dalam diri manusia, yaitu; yang bersumber dari Tu
Rie’A’ra’na adalah aspek rohani, meliputi; mata, toli, kamuru’,
dan nyaha (mata, telinga, hidung dan nyawa), kedua, aspek
yang bersumber dari orang tua adalah empat anrong/ibu
meliputi; rara, assi, gaha-gaha, dan oto (darah, daging, urat
dan otot) dan 4 yang bersumber dari amang/ayah meliputi;
bulu-bulu, bukkuleng, kanuku dan buku (bulu, kulit, kuku

89
tulang). Keseluruhan potensi aspek dalam diri manusia ini
harus diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Apabila seseorang tidak memanfaatkan aspek
kemanusiaannya kepada hal yang baik, maka setelah
meninggal arwahnya tidak diterima Tu Rie’A’ra’na dan
terombang-ambing sepanjang masa. Bagi mereka yang
dapat mempertanggungjawabkan aspek-aspek dirinya
tersedia imbalan baginya, dan sanksi bagi mereka yang
tidak bisa mempertanggungjawabkan. Perwujudan
memanfaatkan aspek kemanusiaan seseorang bagi
komunitas adat adalah dengan melalui cara akkamase-mase.
Rasyid (2002: 68), menguraikan pengertian
“patuntung” yang berasal dari kata “tuntung” yang
mempunyai pengertian, sebagai berikut :
1) Tuntung berarti “tuntut” atau “belajar”, patuntung berarti
“penuntut” atau “pelajar”. Maksudnya, seorang yang
sedang mempelajari sesuatu “pangissengang”
(pengetahuan) yang bersumber dari Pasang ri Kajang.
2) Tuntung berarti “puncak” atau ujung atas (ketinggian),
dimaksudkan bahwa seseorang yang sedang berusaha
untuk mencapai puncak atau ujung dari sesuatu.
3) Tuntung berarti “cari”, patuntung berarti pencari.
Maksudnya, seseorang yang mencari sesuatu dengan
mempunyai kemauan keras dengan tekad bulat, karena
didorong oleh sesuatu keyakinan upaya untuk
mendapatkan sesuatu yang dicari.
Dari beberapa pengertian kata “tuntung” di atas, dapat
disimpulkan bahwa seorang pelajar yang mencari ilmu
sampai ke puncak (hakekat ilmu). Dalam konteks
komunitas adat Ammatowa yang dimaksud adalah hakekat
kebenaran “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan,
petuah, pedoman atau petunjuk hidup yang harus ditaati,

90
dituruti dan diamalkan demi kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Patuntung adalah orang-orang yang mendapat
tuntunan dari Tu’ Rie’ A’ra’na (yang berkehendak) dengan
melalui Ammatowa. Basrah (2008) mengemukakan, sistem
kepercayaan komunitas adat Kajang yang menjadikan sang
pencipta (Tu’ Rie’ A ‘ra’na) sebagai suatu bentuk
makrokosmos dari kosmos yang ada. Dunia dipandang
sebagai suatu bentuk mikrokosmos dari sang pencipta
tersebut. Pasang ri Kajang sebagai suatu media yang
memberikan tuntunan (annuntungi) dianggap sebagai
makrokosmos dari mikrokosmos yang diduduki oleh
seorang Ammatowa. Selanjutnya Ammatowa merupakan
makrokosmos dari alam keduniaan yang terdiri atas unsur-
unsur; tanah (tana), air (ere), angin (anging), dan api (pepe’)
sebagai dunia empat persegi (appa’ sulapa’na linoa).
Kehidupan di kawasan adat Ammatowa terjalin
sedemikian rupa dan memperlihatkan suatu gambaran
kehidupan yang ditopang oleh motivasi spiritual atau
tendensi keakhiratan yang demikian tingginya. Semua
aktivitas kehidupan mereka bermakna sebagai ibadah.
Dalam hubungan kepercayaan ini menurut pasang, maka
dipakailah warna hitam sebagai warna yang dianjurkan
Ammatowa. Karena menurut kepercayaan mereka, warna
hitam menunjukkan kesedihan, kesabaran dan
kesederhanaan. Bagi komunitas adat Kajang, warna hitam
.

mempunyai arti khusus sebagai himpunan segala warna


atau segala warna dasar yang melambangkan kesatuan
tekad dan tindakan untuk menghadapi segala bentuk
tantangan hidup.
Warna hitam mempunyai arti khusus bagi mereka,
sebagai himpunan segala warna yang melambangkan

91
kesatuan tekad dan tindakan dalam menghadapi tantangan
hidup. Warna hitam adalah warna yang dituakan yang
melambangkan kedewasaan berfikir dan berbuat, warna
yang melambangkan kesederhanaan hidup.

Ekowisata Dataran Tinggi Tana Towa (Hutan Adat


sebagai Atraksi Wisata)

1. Karakteristik Ekosistem Hutan dan Tradisi Pengelolaan


Hutan
Ekosistem hutan dataran rendah di wilayah komunitas
adat Ammatowa tergolong sebagai ekosistem hutan dataran
rendah yang iklimnya sangat dipengaruhi oleh pergantian
arah angin pada tengah tahun. Pada bulan April sampai
dengan September, dan musim Barat berlangsung pada
bulan Oktober sampai pertengahan bulan Maret.
Variasi suhu udara yang terjadi pada dua musim,
yakni pada musim kemarau dan pada musim hujan,
mempengaruhi mata pencaharian penduduk desa yang
terutama tergantung pada kegiatan pertanian, baik
pertanian padi sawah, perladangan maupun untuk
perkebunan tanaman perdagangan. Komunitas adat
Ammatowa yang pada umumnya bermukim di kawasan
hutan, terutama pada kawasan hutan sekunder, dapat
dikatakan menjadikan kawasan hutan tersebut sebagai
“nafas kehidupan komunitas” yang memungkinkan mereka
dapat survive dari generasi ke generasi sampai saat ini. Ada
beberapa pola aktivitas penduduk dalam memanfaatkan
hutan, dua diantaranya yang terpenting adalah pertanian
padi sawah dan perkebunan. Usaha perkebunan keluarga
merupakan pola aktivitas pemanfaatan sumberdaya
kawasan hutan yang lebih permanen, telah berkembang

92
sejak beberapa dekade terakhir. Namun demikian,
perkebunan keluarga yang menitikberatkan pada jenis
komoditas pasar (cash-crops), seperti kakao merupakan
suatu pola aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan yang
lebih permanen dan demikian penting saat ini bagi
komunitas adat Ammatowa.
Hutan yang dipadati oleh tegakan flora pohon dengan
tajuknya yang rimbun dan menjulang tinggi, sebenarnya
menjadi simbol “kesuburan”, dan dipahami oleh penduduk
sebagai suatu kawasan yang memberikan harapan bagi
kehidupan komunitas. Atas dasar pemahaman tersebut,
kawasan hutan dengan tegakan pohon-pohon berdaun lebat
dan rimbun adalah suatu “karunia”. Penduduk yang
melihat kawasan seperti ini dari jauh, secara otomatis akan
tertarik untuk menjadikan kawasan peladangan. Dan
dengan pola aktivitas peladangan tersebut paling tidak,
memberi jaminan kepada penduduk suatu tingkat produksi
subsistensi dalam ekonomi rumah tangga peladang.
Keanekaragaman hasil hutan berupa flora pohon dan
hasil hutan non kayu juga memiliki nilai ekonomi demikian
besar dan pemanfaatannya dapat menambah pendapatan
penduduk yang bermukim di kawasan hutan. Sementara
hasil hutan lainnya, menjadi sumberdaya hayati alternatif
untuk bahan pangan, obat-obatan dan untuk kegunaan
lainnya seperti bahan perlengkapan upacara misalnya.
Namun demikian tidak semua hutan dapat dirambah.
Kawasan hutan yang memiliki sumberdaya hayati dan
manfaatnya demikian penting bagi penduduk, membuat
mereka demikian tergantung pada sumberdaya hutan
tersebut. Hampir semua pola aktivitas cenderung dilakukan
sebagai bentuk strategi adaptif terhadap lingkungan.
Namun demikian, bukan berarti kawasan hutan dan hasil

93
hutan, baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu
dapat dieksploitasi secara semena-mena. Hutan memang
dipahami sebagai kawasan yang menjadi milik bersama dan
siapa saja yang memerlukan dapat memanfaatkannya.
Namun demikian, ada faktor-faktor pembatas yang
memungkinkan penduduk tidak mengeksploitasi hutan
secara sembarangan.
Hutan bagi komunitas adat Ammatowa tidak hanya
dipandang dari aspek ekonomi, atau hutan yang memiliki
sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian
rupa untuk kepentingan pribadi. Hutan adalah kawasan
yang sakral dan misterius. Penduduk desa meyakini secara
sungguh-sungguh, bahwa dalam kawasan hutan, terutama
dalam kawasan hutan primer yang oleh penduduk
dianggap hutan liar, dihuni oleh entitas-entitas dalam
bentuk roh-roh dan makhluk-makhluk gaib. Entitas-entitas
tersebut, bukan saja berperan sebagai penghuni tetapi lebih
dari itu, juga menjadi penjaga hutan.
Hutan belantara selalu ditandai oleh suasana seram.
Suasana seram tersebut tercermin pada anatomi hutan yang
masih lengkap, yakni padatnya tegakan flora pohon dengan
cabang-cabangnya yang rimbun dan daunnya yang lebat.
Tajuk pohon yang berstrata menyebabkan sinar matahari
kurang mampu menyeruak ke lantai hutan sehingga
suasana hutan bukan saja sunyi, tetapi juga gelap. Semntara
itu, sarang epifit yang menempel di pokok cabang dahan
serta ketika tumbuhan memanjat dan bergelantungan pada
pohon-pohon, menambah keseraman suatu kawasan hutan
liar.
Seorang informan menyatakan, memasuki suatu
kawasan hutan liar akan membuat bulu kuduk berdiri. Hal
ini disebabkan, suasana hutan yang demikian sunyi, yang

94
hanya kadang-kadang terpecahkan oleh gaung suara angin
yang gemuruh dan gesekan dahan dan ranting yang
mengkikik disertai suara-suara burung yang masih asing di
telinga. Terkadang juga terdengar suara aneh, dan bahkan
kelebat bayangan yang membuat nyali menciut.
Namun demikian, memasuki kawasan adat
Ammatowa, suasana damai dan keasrian alam di kedua sisi
jalan begitu terasa. Perkebunan karet yang luas, pohon
langsat dan durian bercampur dengan vegetasi tegakan
pohon-pohon berbagai jenis dengan tajuk yang rimbun
tumbuh menghijau. Demikian pula, bentang laut biru di sisi
lain adalah bukti kebesaran Tuhan, dan karunia bagi warga
komunitas adat Ammatowa dalam menjalani kehidupan
mereka dari generasi ke generasi sehingga memungkinkan
mereka tetap bertahan hingga sekarang. Panorama alam
akan semakin nampak lagi ketika perjalan dilanjutkan
menuju Desa Tana Towa, terlihat burung-burung
beterbangan dari ranting ke ranting dengan bebas tanpa
mendapat gangguan.
Memasuki kawasan adat dalam, pengunjung akan
disuguhkan panorama alam tanpa sentuhan piranti produk
teknologi, mulai dari jalan yang dilewati adalah jalan
bebatuan, kiri kanan jalan adalah hutan yang lestari yang
tumbuh secara alami, pagar yang digunakan warga adalah
susunan batu alam, sampai kepada peralatan makan
komunitas adat dibuat dari bahan-bahan alami. Desa adat
Tana Towa tampak unik, indah dengan alamnya yang asri,
dan udara yang sejuk. Di sekeliling hutan terdapat
perkampungan yang memiliki pola dan ciri tersendiri,
persawahan yang luas dan perkebunan rakyat (koko) yang
menghijau sangat cocok untuk agroekowisata. Lingkungan
kawasan adat Tana Towa menyuguhkan panorama alam

95
yang sangat dirindukan oleh orang-orang yang
kesehariannya beraktifitas di lingkungan hidup yang bising
dengan tingkat polusi udara yang tinggi dan gersang serta
semua aktifitas hidup mereka menggunakan piranti
teknologi modern.
Keinginan sebahagian orang yang jenuh dengan
kondisi perkotaan itu untuk kembali ke alam (back to nature)
menjadi motivasi melakukan perjalanan ekowisata. Untuk
memenuhi hajat wisatawan terhadap alam, maka fasilitas
infrastruktur ekowisata tidak membutuhkan sarana yang
mewah. Akomodasi bagi wisatawan cukup memanfaatkan
rumah warga dengan segala fasilitasnya yang akrab dengan
alam, sehingga menjadi ecolodge. Justru kesederhanaannya
itu adalah bahagian dari daya tarik obyek wisata. Panorama
alam dengan latar belakang komunitas adat Ammatowa yang
memiliki latar belakang budaya sangat sadar terhadap
keseimbangan lingkungan, sehingga cocok untuk
pengembangan ekowisata yang ramah lingkungan.
Menurut Ammatowa di dalam kawasan Borong Karama
mengalir sungai-sungai kecil yang mengalir ke sungai besar
yang kemudian mengairi lahan pertanian penduduk. Rotan
membelit pepohonan dengan panjang sampai puluhan
meter. Daun-daun yang berjatuhan dan pepohonan yang
tumbang termakan usia kemudian menjadi lapuk
menambah kelembaban tanah.
Dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata,
pasang mengamanatkan “iamintu nikuwa tau angngurangi, tau
anakku, iangaseng tauwa ampunnai bohe amma”, artinya orang
yang mau datang berkunjung adalah orang yang rindu
pada tanah leluhurnya, karena semua manusia di dunia ini
adalah anak cucu Ammatowa. Kawasan adat Kajang terbuka
untuk semua orang dan selalu melapangkan dada untuk

96
memberi informasi yang dibutuhkan pada setiap orang
yang membutuhkan. Pasang ri Kajang mengamanahkan agar
kelestarian lingkungan mereka, harus terjaga, hutan itu
tidak dapat diubah, tetapi senantiasa selalu harus ditambah.
Oleh karena itu, hutan adat Borong Karama dan Battasaya
hingga saat ini dibiarkan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan
secara alami berupa kompilasi antara pepohonan tinggi,
pepohonan rendah, semak belukar, rotan, tumbuhan
merambat dan rerumputan, sehingga keadaannya tetap
merupakan hutan belantara (primary forest).
Kondisi Borong Karama dan Battasaya dengan
struktur hutan yang masih utuh (primary forest), merupakan
prasyarat bagi obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Hutan
yang lestari dengan seluruh ekosistem yang hidup dan
berkembang di dalamnya merupakan daya tarik bagi
wisatawan. Kemajuan pembangunan dan teknologi
membuat kota telah menjadi hutan beton yang menjulang
tinggi, ditambah dengan kebisingan kendaraan bermotor
dan mesin industri yang membuat polusi udara, membuat
orang merasa rindu untuk kembali ke alam (back to nature).
Kerinduan terhadap alam ini menjadi motivasi perjalan
ekowisata dan hutan primer dengan latar belakang
kehidupan budaya adalah pilihan umumnya wisatawan.
Dengan berkembangnya kegiatan wisata alam di
kawasan hutan, diharapkan : (1) membuka secara luas
kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk mengembangkan
jasa ekowisata; (2) dilakukannya inventarisasi dan
penyebaran informasi potensi obyek wisata alam; (3)
mengembangkan dan mendorong bentuk usaha koperasi
dalam pengusahaan pariwisata alam serta mengembangkan
pola kemitraan, baik dalam usaha skala kecil, menengah
dan besar; (4) dapat lebih meningkatkan pemasaran obyek

97
wisata alam, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri
melalui badan-badan/lembaga yang bergerak dalam bidang
pariwisata; (5) dapat memasyarakatkan prinsip-prinsip
kelestarian alam dan lingkungan hidup.
Landasan hukum pengelolaan hutan adat diatur
dalam pasal 37 ayat (1) pemanfaatan hutan adat dilakukan
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai
dengan fungsinya, (2) pemanfaatan hutan adat yang
berfungsi hutan lindung dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Selanjutnya untuk
mendorong terwujudnya sistem usaha kehutanan yang
berdaya saing, swakelola kawasan dan peningkatan mutu
kelembagaan sosial yang berbasis masyarakat lokal, maka
pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan,
menetapkan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat
yang bertujuan:
a. Terwujudnya sistem pengelolaan hutan yang memberi
akses dan peran kepada masyarakat, baik di dalam
maupun di sekitar kawasan hutan sebagai pelaku.
b. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka
dalam kerangka pengelolaan hutan lestari.
Komunitas adat Kajang memberi respon positif
terhadap program pengembangan hutan berbasis
masyarakat ini dengan beberapa syarat, yaitu; (a)
pengembangan hutan berbasis masyarakat hanya bisa
dilakukan pada bekas hutan tebangan (borong tatakkang),
baik yang masih ada maupun yang sudah berubah fungsi
menjadi lahan perkebunan rakyat, (b) hutan
kemasyarakatan tidak boleh dilakukan di dalam hutan adat
(borong battasaya) dan hutan keramat (borong karama’).
Berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan
dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan ketentuan

98
yang berlaku, maka pengembangan hutan berbasis
masyarakat tetap memperhatikan 10 azas sebagai berikut
(lihat Basrah, 2008)
(a) Azas manfaat dan lestari, maksudnya adalah
pengembangan hutan berbasis masyarakat harus
menjamin peningkatan manfaat, baik kualitas maupun
kuantitas, keragaman yang berkesinambungan untuk
kebutuhan ekosistem sumber daya hutan.
(b) Azas kerakyatan, maksudnya adalah pengembangan
hutan berbasis masyarakat mendorong penguatan basis
ekonomi kerakyatan.
(c) Azas swadaya, maksudnya adalah pengembangan
hutan berbasis masyarakat disesuaikan dengan
kemampuan masyarakat melalui penumbuhkembangan
keswadayaan.
(d) Azas kebersamaan dan kemitraan, maksudnya adalah
pengembangan hutan berbasis masyarakat dilaksanakan
melalui pola usaha bersama dan penumbuhan
kemitraan secara sinergis antara pihak, dalam rangka
memberdayakan usaha kcal, menengah dan koperasi.
(e) Azas keterbukaan dan transparan, maksudnya adalah
pengembangan hutan berbasis masyarakat merupakan
perwujudan peran serta masyarakat secara terbuka dan
tanggap terhadap aspirasi berbagai pihak.
(f) Azas aturan hukum, maksudnya adalah pengembangan
hutan berbasis masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
aturan yang berlaku.
(g) Azas keterpaduan antar sektor, maksudnya adalah
pengembangan hutan berbasis masyarakat
dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai sektor
secara terpadu dengan memperhatikan berbagai
dukungan dan kepentingan lokal, regional dan

99
nasional.
(h) Azas bertahap, maksudnya adalah karena
pengembangan hutan berbasis masyarakat adalah
program jangka panjang, maka perlu dilaksanakan
secara bertahap sesuai dengan perkembangan kapasitas
sumber daya pembangunan.
(i) Azas berkelanjutan, maksudnya adalah pengembangan
hutan berbasis masyarakat diarahkan kepada
terciptanya kemandirian masyarakat, sehingga akan
menjamin keberlanjutan kegiatan dan
pengembangannya, khususnya dalam pengelolaan
hutan adat.
(j) Azas spesifik lokal, maksudnya adalah pengembangan
hutan berbasis masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
karakteristik sumber daya, sosial dan budaya setempat.
Dalam rangka memberi dukungan terhadap 10 azas
pengembangan hutan berbasis masyarakat di atas, maka
komunitas adat Kajang sebagai mitra dan pelaku sentral
harus tetap memperhatikan rambu-rambu pelaksanaan,
yaitu; (1) bahwa pengembangan harus dilakukan secara
komprehensif untuk seluruh komponen dalam sistem,
meliputi; kawasan, kelembagaan dalam masyarakat dan
aparatur, (2) bahwa pengembangannya tidak akan
mengubah fungsi dan status hutan (anjo borongan anre’
nakkulle nipinra), (3) bahwa pengembangannya tidak
bertujuan memberikan hak kepemilikan (anjo borongan anre’
patanna), tetapi memberikan hak pemanfaatan sumber daya
hutan kepada pihak pengelola.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah bagian
dari perubahan paradigma pembangunan, dari paradigma
sentralistik ke paradigma desentralistik yang menekankan
pada pemberdayaan social capital dari sebuah komunitas.

100
Social capital adalah suatu feature (ciri-ciri) tentang organisasi
sosial, seperti jaringan kerja, norma-norma dan kepentingan
bersama dalam sebuah komunitas. Jaringan sosial, norma-
norma dan kepercayaan ini mendorong orang atau anggota
komunitas bertindak secara kolektif.
Salah satu bentuk sistem pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang paling tepat dan cocok dengan situasi dan
keadaan saat ini adalah dengan menggunakan sistem
penganekaragaman tanaman atau dikenal dengan istilah
agroforestry. Sistem penganekaragaman hayati ini sudah
lama dikenal oleh komunitas adat Kajang. Penggalakan
penanaman buah-buahan seperti langsat, rambutan hutan,
kemiri dan sebagainya yang hasilnya dapat dinikmati oleh
masyarakat sekitar hutan, merupakan bukti pelaksanaan
program pengembangan aneka ragam kegunaan hasil
pohon (multipurpose forest).
Sesungguhnya komunitas adat Kajang menginginkan
agar penghijauan tanaman keras (perkebunan) berimbang
dengan tanaman kayu-kayuan khususnya pohon gofasa atau
na’nasa, karena kayu tersebut sangat bermanfaat untuk
memenuhi keperluan bahan-bahan pembuatan kapal dan
ramuan rumah. Hutan produksi (borong tatakkang) saat ini
semakin berkurang, sehingga keperluan bahan perumahan
sudah sulit, dan mahal. Dalam hal penghijauan, perlu
ditanam jenis kayu hutan adat, antara lain gofasa atau
na’nasa, asa atau kadao, rambutan hutan atau balatung,
duren atau mihu, jabon atau kampula cadamba, gaharu atau
garu, nangka, karena bisa digunakan ketika kekurangan
kayu bitti atau gofasa.
Jenis kayu-kayuan yang mereka inginkan umumnya
jenis yang tumbuh di hutan adat. Pemilihan jenis tumbuhan
ini dimaksudkan, agar masyarakat tidak berfikir untuk

101
mencuri kayu yang ada di hutan. Selain itu, penanaman
jenis kayu atau pohon di lahan masyarakat yang sama
dengan di hutan adat merupakan pertanda, bahwa mereka
memiliki pengetahuan dan kearifan ekologi yaitu
tumbuh-tumbuhan tersebut tidak memerlukan penyesuaian
di tempat tumbuh yang baru, karena proses adaptasi
tanaman telah terjadi secara alamiah.
Komunitas adat kajang memiliki jaringan sosial dalam
bentuk lembaga adat (Ammatowa, ada’ tallua, ada’ limaya)
dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, norma-norma
yang dituangkan dalam hukum adat yang tegas, dan
kepercayaan yang bersumber dari pasang, telah membuat
komunitas adat Kajang secara turun temurun menyadari
pentingnya pelestarian hutan bagi kelangsungan hidup
manusia. Setiap lokasi dalam hutan keramat, menurut
pandangan komunitas adat Kajang dipercayai mempunyai
keistimewaan tersendiri, misalnya (Hadi : 2009).
a) Borong Iraja
Dalam pasang digambarkan, bahwa lokasi yang
ditempati komunitas adat Kajang saat ini merupakan
pusat dan awal penciptaan bumi oleh Turie’ A’ ra’na
(Tuhan Yang Maha Esa). Penghuni pertama diyakini
adalah Ammatowa I yang turun dari langit di suatu
tempat yang disebut Borong Iraja atau Pa’rasangang Iraja.
Lokasi yang dimaksud terletak di dalam hutan Tupalo
yang berada di dusun Balangnipa Desa Tana Towa,
sekitar 600 meter dari pusat pemerintahan Benteng.
Dalam kawasan Borong Iraja, terdapat hutan Parukku
(tempat suci), yang dalam sistem kepercayaan mereka
diberi nama madina. Dalam kawasan hutan ini terdapat
lokasi Pa’kombengang yang ditetapkan sebagai tempat
menangkap udang (rao doang) untuk digunakan dalam

102
acara adat appanganro. Juga terdapat Pa’lengkerang-Uhea
sebagai tempat pengambilan rotan untuk upacara adat.
Dalam mitologi, komunitas adat Kajang juga
manpunyai pandangan khusus tentang hutan yang ada
dalam Borong Iraja. Diyakini bahwa di tempat itu Bohe
Amma diberi pilihan oleh Turie’ A’ra’na meminta api
(Pepe’) untuk memasak air untuk dimimun, tanah (tana)
untuk menanam dan padi untuk dimakan. Akan tetapi
Bohe Amma hanya meminta tanah selebar payung untuk
ditempati beranak pinak.
b) Borong Ilau
Borong Ila atau pa’rasangan ilau adalah nama atau
sebutan hutan di sebelah timur (ilau) yaitu Borong
Karanjang, Borong Tombolo dan Borong Tode. Hutan
Karanjang dijadikan sebagai pusat upacara pemilihan
dan pelantikan Ammatowa, sedang hutan Tombolo
merupakan hutan suci dan hutan Tode dipercayai
sebagai pengikat bumi (patambanna linoa).
Menurut komunitas adat Kajang hutan adalah kunni
pusakayya artinya hutan adat itu adalah warisan (pusaka)
kita. Dalam persepsi seperti ini, komunitas adat Kajang
memandang hutan hanya sekedar kumpulan makhluk
hidup (organisme) di dalam sebuah habitat, melainkan
hutan sebagai sesuatu yang memiliki nilai sosial dan
budaya. Nilai-nilai ini tercermin dalam pola hubungan
timbal balik (mutualisme) antara komunitas adat Kajang
dengan lingkungannya. Pola hubungan itu menjadi amanah
dan kontrak sosial antara komunitas adat Kajang dengan
leluhur mereka yang telah mengamanahkan kelestarian
hutan kepada generasi penerusnya.
Status dan fungsi hutan serta landasan hukum
pengelolaan hutan sebagaimana diutarakan di atas, sangat

103
relevan dengan pengembangan ekowisata, dimana
kelestarian ekosistem, meliputi perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan hutan. Perlindungan
(proteksi) meliputi usaha-usaha menjaga agar hutan tidak
dieksploitasi secara berlebihan untuk kebutuhan ekonomi
saja, pengembangan meliputi usaha-usaha perluasan dan
peningkatan kualitas hutan dan pemanfaatan upaya-upaya
memanfaatkan hutan untuk keperluan sosial ekonomi,
sosial budaya dan keperluan keagamaan.

2. Keragaman Sumberdaya Hutan dan Penguatan


Ekonomi Lokal
Beberapa jenis pohon dan tanaman di kawasan hutan
Tana Towa sesungguhnya berfungsi sebagai tanaman
konservasi, tetapi juga dapat berfungsi untuk meningkatkan
kesejahteraan komunitas adat Ammatowa.
Analisis sosio ekonomi untuk pengembangan
ekowisata menunjukkan, bahwa dalam suatu ekosistem
dataran rendah, khususnya ekosistem hutan yang dihuni
terutama oleh masyarakat lokal, sesungguhnya memiliki
potensi yang dapat dikembangkan secara sinergis untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan
ekowisata, jika potensi hutan dapat dikelolah secara
terpadu dan berkelanjutan.
Dalam beberapa hasil penelitian dan pengamatan
penulis, menunjukkan adanya potensi dan sebaran
komoditi aneka usaha kehutanan di daerah ini, antara lain
rotan, bambu, lebah madu, gula aren, kemiri, buah-buahan,
getah-getahan, obat-obatan, sutera alam, serta hutan energi
(kayu bakar dan tanaman jarak). Hanya saja sampai saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan
dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan belum

104
terbukanya pangsa pasar yang mampu menyerap hasil
olahan komoditas tersebut. Pengelolaan komoditas tersebut
sangat mendukung pengembangan ekowisata.
Hasil hutan non kayu sudah sejak lama dimanfaatkan
oleh penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar hutan
secara tradisional yang dilakukan untuk dikonsumsi,
maupun untuk dijual di pasar-pasar desa terdekat.
Beberapa jenis hasil hutan non kayu bernilai ekonomi
yang secara tradisional diramu oleh penduduk Dataran
Tinggi di daerah ini adalah:

a. Rotan (Calamus sp)


Rotan sebagai salah satu jenis vegetasi hutan tropis di
Kawasan Hutan Tana Towa pada umumnya tumbuh secara
liar di hutan-hutan, maupun di hutan rakyat di kawasan
tersebut. Untuk kepentingan pengembangan ekowisata,
kebun rotan dapat menjadi atraksi wisata. Karena itu, rotan
tidak hanya dibiarkan tumbuh liar, tetapi sebaiknya
dibudidayakan dalam suatu areal tertentu agar
memudahkan perawatan dan pengawasan. Pembudidayaan
rotan pada areal-areal terentu akan memiliki nilai atraksi
wisata tersendiri. Hal ini disebabkan, masyarakat pada
umumnya, terutama wisatawan mancanegara, bahkan
wisatawan nusantara, memiliki keterbatasan pengetahuan
tentang rotan. Paling tidak mereka hanya mengetahui
sebagai rotan bulat yang siap ekspor atau sebagai bahan
baku industri meubel. Dengan demikian, hutan rotan sangat
menarik untuk disaksikan, apalagi jika hutan rotan yang
masa pertumbuhannya cukup lama masih dalam areal
budidaya yang relatif mudah dijangkau.
Paling tidak ada 4 jenis utama yang komersial, yaitu
Calamus, Daemonorpos, Khorthalasia dan Plektomia yang

105
tumbuh di berbagai tempat, menjadi jenis rotan yang paling
disukai. Banyaknya jenis rotan, mungkin karena umumnya
rotan tumbuh diberbagai tempat, baik di dataran rendah,
maupun agak tinggi, terutama di daerah yang lembab serta
pinggiran sungai.
Berbagai jenis rotan biasanya diambil oleh penduduk
setempat di hutan-hutan dengan penyebaran yang tidak
berada di satu tempat. Hanya saja tingkat pengambilan
rotan relatif sulit, bukan karena penyebarannya, tetapi juga
karena medannya yang berat. Lagi pula setelah diambil,
masih terdapat kendala karena kesulitan untuk mengangkut
rotan tersebut dari tempatnya diambil ke tempat
penampungan. Apalagi rotan yang baik, sangat padat
sehingga sulit ditekuk dan lebih berat.

b. Bambu (Bambusa Spinosa BL)


Kawasan hutan Tana Towa termasuk sebagai
penghasil bambu utama di Kecamatan Kajang Kabupaten
Bulukumba. Hutan-hutan bambu di kawasan hutan Tana
Towa sebagian besar merupakan hutan rakyat yang
ditanam pada lahan-lahan miliki sendiri bercampur dengan
tanaman pohon lainnya. Jenis bambu di kawasan hutan
tersebut didominasi oleh jenis Gigantochloa atter,
schizostachym bara chycladum dan jenis Dendrocalamus asper.
Dalam hubungannya dengan pengembangan ekowisata,
peranan hutan bambu sangat penting. Hal ini disebabkan
tanaman bambu sangat berpotensi memperbaiki dan
menjaga ekosistem air.
Tanaman bambu sebenarnya termasuk dalam jenis
rumput-rumputan (Gramineae), memiliki batang yang kuat
dan lentur menyebabkannya tahan tiupan angin.
Perakarannya tumbuh sangat rapat dan menyebar ke segala

106
arah. Hal ini menyebabkan lahan di bawah tegakan bambu
menjadi sangat stabil dan mudah menyerap air.
Dalam perspektif ekonomi, bambu berpotensi
ekonomi sehingga biasa disebut “emas hijau”. Saat ini
material tradisional tersebut banyak dimanfaatkan oleh
arsitek modern dengan tujuan beragam. Bambu menjadi
material industri kecil untuk ukir-ukiran, hiasan, meubel
bambu dan alat rumah tangga. Bahkan kualitas bambu saat
ini dihargai oleh arsitek Barat karena memiliki kelengkapan
mekanis yang sangat baik, sehingga komponen utama
merupakan paradigma baru dalam kontruksi alami yang
ringan. Hal ini kemudian bambu menjadi komoditas yang
memiliki nilai jual yang cukup bersaing di perkotaan.

c. Aren (Arenga pinnata Merr)


Pohon aren merupakan pohon lokal yang
pertumbuhannya tersebar luas di kawasan hutan
Bulukumba, termasuk hutan-hutan di Tana Towa. Hal ini
sangat menguntungkan karena aren adalah komoditas yang
memiliki nilai ekonomi. Hampir semua bagian dari
pohonnya berguna untuk keperluan masyarakat, khususnya
bagi masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
hutan. Pohon aren berguna sebagai bahan bangunan,
terutama untuk ramuan rumah. Ijuknya oleh masyarakat
dimanfaatkan untuk alat rumah tangga, tali atau sapu,
sementara nira pohon aren dapat diproses menjadi gula
merah.
Di kawasan hutan, pohon aren (arenga pinnata) yang
tumbuh di lereng-lereng bukit maupun di daerah aliran
sungai, pada umumnya tumbuh di hutan rakyat maupun di
kebun-kebun penduduk. Apalagi dalam beberapa tahun
terakhir ini, sudah ada penduduk yang mencoba

107
membudidayakannya. Dikatakan tumbuh secara liar karena
pohon aren biasanya tidak dipelihara, tetapi dibiarkan
tumbuh begitu rupa sampai hasilnya dapat dipetik,
terutama untuk pembuatan gula merah.

d. Kemiri (Akurites moluccana Willd)


Kemiri merupakan tanaman tradisional yang tumbuh
secara alamiah di wilayah berbukit atau di dataran tinggi,
sejak dahulu. Sebagai tanaman tradisional, kemiri tumbuh
liar di hutan-hutan. Dan penduduk kala itu belum
mengetahui betul nilai ekonomi tanaman kemiri, kecuali
memanfaatkannya sebagai bahan baku penerangan di
malam hari. Untuk sebuah pelita diperlukan sekitar 10 biji
buah kemiri kering, lalu isinya dikeluarkan dengan cara
memecahnya. Isi buah kemiri kering tersebut kemudian
ditumbuk bersama kapas yang juga tumbuh liar di hutan.
Kemiri dan kapas yang telah menyatu, kemudian dililitkan
pada sebatang rautan bambu kecil. Beberapa batang rautan
bambu kecil yang telah dililiti kapas dan buah kemiri
tumbuk tadi, dapat dimanfaatkan oleh penduduk sebagai
alat penerang selama tiga malam. Karena itu, penduduk
selalu mempersiapkan biji kemiri dan kapas di rumahnya
setiap saat.

3. Keunikan Permukiman Komunitas Ammatowa


Rumah bagi komunitas Ammatowa, begitu berarti
karena berfungsi sebagai hunian untuk melewati masa
hidup mereka dan berharap untuk mati di rumahnya
sendiri. Karena itu, bagi orang Kajang membangun rumah
untuk keluarganya adalah sebuah keniscayaan. Menurut
Basrah (2010), rumah juga melambangkan kematangan
seorang laki-laki dalam mengarungi bahtera hidup

108
keluarganya. Kesatriaannya diukur berdasarkan
kemampuannya membangun sebuah rumah untuk
keluarganya. Laki-laki yang tidak mampu melakukan hal
tersebut dianggap tidak bertanggung jawab (bura’ne kodi)
dan yang mampu disebut laki-laki sejati (bura’ne sulapa’
appa’ atau bura’ne tepu). Dengan demikian, rumah
merupakan salah satu bentuk prestise dan kebutuhan dasar
bagi warga komunitas Ammatowa.
Dalam kawasan adat Ammatowa, khususnya di dusun
Benteng, ditandai dengan pola perkampungan yang tampak
berkelompok, dan menghadap ke arah Barat dimana
gunung Bawakaraeng dan gunung Lompo Battang berada.
Kelompok-kelompok rumah tersebut didasarkan pada
sistem kekerabatan dekat (keluarga inti). Setiap kelompok
rumah dibatasi pagar hidup (benteng tinanang) atau pagar
bate (benteng batu) di dalamnya terdiri atas tiga rumah atau
lebih. Salah satu dari ketiga rumah tersebut (biasanya yang
paling depan sebelah kanan) ditempati kaum kerabat tertua
(ayah dan ibu) dari satu rumpun keluarga. Rumah lainnya
dijadikan tempat tinggal sementara yang difungsikan ketika
ada tamu bertandang ke rumah orang tua mereka.
Posisi rumah yang umumnya menghadap ke arah
Barat, berkaitan dengan ciri dan orientasi kepercayaan yang
mereka anut. Tempat persemayaman Annuntungi tersebut
diyakini berada di antara Gunung Bawakaraeng dan
gunung Lompobattang. Juga terkait dengan keberadaan
hutan adat Tanatowa, tempat Bohe Amma (Ammatowa I)
turun ke dunia ini. Tempat tersebut diberi nama
Pa’rasangang iraja atau Borong Iraja (kediaman sebelah Barat
atau hutan adat bagian Barat) sebagai kebalikan dari
Pa’rasangang Ilau atau Borong Ilau (kediaman sebelah Timur
atau hutan adat sebelah Timur). Pemberian nama ini

109
dikaitkan dengan posisi hutan yang berada di bagian Barat
pusat perkampungan yaitu Benteng.
Pandallekkang bola yang cenderung menyamping dari
hutan keramat (borong karama’) juga berkaitan dengan
strategi pelestarian hutan yang diterapkan oleh Ammatowa,
khususnya untuk menghindari terjadinya perambahan
hutan. Rumah-rumah yang menghadap ke hutan sangat
dikhawatirkan dapat menimbulkan perubahan perilaku
orang Kajang untuk mengubah dan/atau merusak hutan,
karena tergiur nilai-nilai ekonomi dan sumberdaya alam
yang terkandung di dalam hutan adat tersebut.
Dilihat dari struktur dan konstruksi rumah tradisional
Ammatoa Kajang dibedakan alas Bola Hanggang dan Bola
Paleha. Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam
ke dalam tanah ± 100 cm dan tidak mempunyai pattoddo
(balok yang menghubungkan tiang-tiang pada arah lebar
bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang
menghubungkan deretan tiang pada arah lebar yang
terletak pada bagian atas di bawah lantai para (padongko), di
salah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan
tiang tempatnya bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah,
sisi dimana terletak dapur. Adapun Bola Paleha adalah
merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi
berdiri di atas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan
tiang dihubungkan oleh patoddo.
Menurut bentuknya, tiang (benteng) dibedakan atas :
1) Tiang yang berbentuk segi delapan, ini dimiliki pada bola
hanggang yang sama sekali belum mengalami perubahan
termasuk penggantian tiang karena sudah lapuk.
2) Tiang berbentuk persegi empat yang sudah mendapat
pengaruh dan luar umumnya digunakan pada rumah di
luar kawasan adat.

110
Dilihat dari letak tiang (benteng) dibedakan dalam
bentuk :
a) Benteng Tangnga/Benteng Pocci balla, merupakan tiang
pusat yang terletak pada baris kedua dari depan dan
kolom kedua dari kiri rumah.
b) Benteng Pokok Balla, merupakan tiang yang terletak pada
sudut kiri rumah.
Rangka utama rumah terdiri dari bahan yang
berkualitas baik seperti kayu Besi (sappu); kayu Hitam
(amora); kayu Bitti. Untuk Binding rumah dari papan (kayu
na’nasa) dan bambu, sedangkan material atap sebagian
besar dari daun nipah dan yang lainnya dari atap seng.
Sementara konstruksi rumah masih menggunakan
sambungan dengan sistem pen/pasak dan ikatan dengan
menggunakan bahan alami seperti rotan dan tali ijuk (pada
Bola Hanggang) sedangkan yang lain sudah ada yang
menggunakan paku.
Masing-masing rumah dibatasi pagar (benteng) yang
terbuat dari batu dan tanaman jarak pagar. Bentuk dan
jenisnya harus seragam: tiangnya ditanam ke dalam tanah,
tiang terdiri atas enam belas batang, atap terbuat dari nipa,
dapur terletak di bagian depan rumah, dan sebagainya.
Penempatan dapur pada bagian depan rumah (latta’ riololo)
berkaitan dengan letak hutan tebangan yang merupakan
pusat untuk mencari nafkah yaitu di bagian luar hutan adat
atau hutan keramat. Adapun hutan tebangan dapat dikelola
dan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup
pengelolanya.
Hal yang unik dari bangunan rumah di kawasan adat
Ammatowa bahan bangunan rumah masih menggunakan
bahan-bahan alami (daun nipah, bambu, rotan dan ijuk) dan
tidak terlalu banyak menggunakan kayu sebagai

111
ramuannya. Untuk membangun sebuah rumah, hanya
diperlukan tiga balok pasak atau sulur bawah (padongko)
yang melintang dari depan ke belakang. Kayu balok atau
sulur (lilikang) melintang dari sisi kiri ke sisi kanan rumah.
Untuk mengikat kesatuan tiang dalam satu jejeran (latta’)
pada bagian atas rumah diletakkan balok besar yang
melintang dari sisi kiri ke kanan.
Rumah bagi orang Kajang juga merupakan
mikrokosmos dari hutan adat. Dengan demikian,
pemakaian balok (padongko dan lilikang) tersebut
menyimbolkan tangkai-tangkai kayu pada sebuah batang
pohon, yang diasosiasikan dengan tiang-tiang rumah.
Untuk menjaga pergeseran tiang-tiang tersebut dibenamkan
ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar setengah depah
(sihalirappa) atau paling dangkal satu siku (sisingkulu’)
sebagai asosiasi dari akar pohon (aka’ kajuwa) yang tertanam
di dalam tanah. Keseluruhan perlakuan dalam membangun
rumah tersebut di atas mengandung makna asosiatif
dengan pohon kayu membangun sebuah hutan. Dengan
demikian, dalam pemikiran mereka, bahwa membangun
rumah harus diasosiasikan dengan sebuah pohon, karena
rumah adalah mikrokosmos dari makrokosmos berupa
hutan adat komunitas Ammatowa.
Prospek pengembangan ekowisata Tana Towa, dapat
dilihat pada empat pilar pembangunan ekowisata berikut:

1) Environmental Responsibility
Kearifan tradisi termasuk pengetahuan lokal
mengenai pengelolaan dan pelestarian hutan menciptakan
tanggungjawab lingkungan (environmental responsibility)
dalam bentuk proteksi dan konsenasi untuk
keberlangsungan ekosistem. Environmental responsibility ini

112
adalah salah satu diantara empat prinsip pembangunan
ekowisata yang sudah terbangun dalam komunitas adat
Kajang sejak dahulu, dan diwarisi secara turun temurun
hingga sekarang.

Environmental responsibility meliputi:


(a) Proteksi (perlindungan) terhadap kelestarian
lingkungan (hutan)
Melalui pendidikan pasang, komunitas adat Kajang
melakukan penjagaan terhadap hutannya dengan sangat
ketat. Kekhawatiran pemangku adat dan komunitas adat
Kajang pada umumnya, adalah lunturnya keteguhan hati
warga komunitas adat Kajang dalam melakukan pelestarian
hutan disebabkan oleh berbagai faktor, terutama desakan
ekonomi yang bisa terpenuhi melalui eksploitasi nilai-nilai
ekonomi yang terkandung di dalam hutan mereka. Karena
itu, Ammatowa selalu mengingatkan agar warganya tetap
berpegang pada pasang, terutama dalam hal pelestarian
hutan.
Apresiasi wisatawan terhadap kelestarian hutan dan
lingkungan mereka, akan menimbulkan kesadaran untuk
tetap menjaga hutan mereka dari eksploitasi yang
berlebihan yang dapat merusak kelestariannya. Dengan
demikian sikap protektif akan tumbuh dan berkembang
dihati setiap warga komunitas adat Kajang, sebagai sikap
kolektif yang lahir dari rasa tanggung jawab (responsibility)
terhadap amanah yang di pasangkan.
(b) Konsenasi atau perluasan sumber daya alam dan
lingkungan fisik.
Hasil pertemuan (abborong ada’) yang amat
spektakuler sebagai hasil prakarsa Anrongta ri Pangi (ibu
yang dituakan) pada tahun 1997, yang menghasilkan

113
keputusan perluasan hutan (nitambai boronga) dengan tujuan
mengembalikan fungsi-fungsi semula hutan adat. Dalam
pertemuan itu disepakati, bahwa hutan adat Tode diperluas
sekitar 20 meter dan hutan Tombolo juga diperluas sekitar 25
meter kearah luar menuju jalan desa yang ada. Kegiatan
reboisasi dilakukan yang kemudian menimbulkan
keyakinan Ammatowa untuk segera memerintahkan dewan
adatnya (ada’ tana) untuk menghutankan lahan-lahan yang
telah diserobot warga pendatang, dan hasilnya adalah
seperti kondisi hutan yang ada sekarang. Tugas ini sangat
terkait dengan keberlangsungan ekosistem sebagai salah
satu bagian dari environmental responsibility yang harus
dibangun dalam pengembangan ekowisata.

2) Economic Vitality, meliputi:


a) Berkembangnya ekonomi lokal
Kegiatan ekonomi-ekonomi lokal yang sudah ada,
seperti; industri rumah tangga (tenun dan anyaman) dapat
berkembang baik dalam kualitas maupun kuantitas. Hal ini
terjadi karena adanya kebutuhan souvenir wisatawan,
sehingga pemasarannya lebih meluas dan mendorong
peningkatan produktivitas.
b) Bisnis dalam komunitas untuk menjamin kekuatan
ekonomi
Kedatangan wisatawan ke suatu daerah tujuan
wisata (tourist destination area) akan mendorong muncul dan
berkembangnya berbagai kegiatan ekonomi lokal untuk
memenuhi berbagai kebutuhan wisatawan (local economic
vitality), mulai dari perjalanan menuju obyek wisata sampai
kembali ke negara atau daerah asal mereka. Sebagaimana
kita ketahui bahwa kegiatan pariwisata itu merupakan
suatu mata rantai yang panjang sebagai akibat dampak

114
positif dari effect multiplier yang ditimbulkan dalam kegiatan
perekonomian. Kebutuhan wisatawan tersebut menurut
ketersediaan sarana yang memungkinkan perjalanan wisata
itu memberikan kepuasan kepada tamu (guest satisfaction).

3) Cultural Sensitivity, meliputi:


a) Mendorong timbulnya penghormatan dan apresiasi
terhadap kebudayaan lokal
Telah dikemukakan bahwa komunitas adat Kajang
memiliki local knowledge mengenai fungsi hutan,
environmental policy pemeliharaan hutan, norma-norma yang
mengatur hubungan manusia dengan alam, serta lembaga
adat yang tegas dan ditaati, sehingga Borong Karama dan
Battasaya tetap terpelihara hingga sekarang.
Melalui social capital di atas, kita dapat melihat
komunitas adat Kajang tidak sekedar sebagai tempat
menonton manusia yang berpakaian serba hitam, atau
melihat keunikan tingkah laku manusia Kajang, namun
lebih dari itu bagaimana komunitas adat Kajang meyakini
satu nilai-nilai kehidupan yang tidak ada duanya dan cara
mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem
nilai budaya warisan nenek moyang mereka, dari gempuran
perubahan akibat kemajuan teknologi. Dengan melihat dari
situ, akan mendorong tumbuhnya cultural sensitivity yakni
penghormatan dan apresiasi terhadap keragaman budaya.
b) Menjamin kelangsungan budaya lokal dengan baik
Salah satu prinsip ecotourism adalah terjadinya
interaksi budaya yang sudah mapan pada suatu komunitas.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan terhadap
aktraksi, kesenian misalnya, akan mendorong munculnya
usaha-usaha pelestarian terhadap aktraksi budaya yang
sudah hampir punah.

115
4) Experiental Richness
Kedatangan wisatawan akan menyebabkan
berlakunya prinsip pembangunan ekowisata yang keempat,
yaitu; experiental richness. Interaksi penduduk setempat
dengan wisatawan akan mendorong terjadinya perubahan-
perubahan dalam struktur sosial, (a) modernisasi keluarga
dan peningkatan wawasan, (b) dalam struktur sosial terjadi
transisi kemampuan kerja dari sektor pertanian ke sektor
pelayanan, (c) modernisasi dalam cara-cara pertanian dan
penjualan hasil panen, (d) pemerataan pendapatan
masyarakat di Daerah Tujuan Wisata, dan (e) berkurangnya
perbedaan dalam pendidikan dan kesempatan berusaha
atau pekerjaan. Disamping itu, terjadi peningkatan dalam
wawasan masyarakat, seperti; terjadinya tingkah laku ke
arah yang positif, terutama hal etika dan cara komunikasi
antar sesama. Kesemua itu akan mendorong terciptanya
atraksi yang dapat memperkaya dan meningkatkan
pengalaman yang memuaskan dalam memahami personal
dan keterlibatan dengan alam, budaya, tempat dan manusia
atau dalam prinsip pembangunan ekowisata disebut
experiental richness.

116
B. BONE-BONE : DESA TANPA ASAP ROKOK
WISATA KESEHATAN DI KAKI GUNUNG
LATIMOJONG ENREKANG

Pengantar
Trend pembangunan desa wisata beberapa tahun
terakhir semakin pesat sebagai akibat terjadinya perubahan
pola kunjungan wisata, baik wisatawan nusantara maupun
wisatawan mancanegara. Daya tarik desa wisata menjadi
magnit luar biasa karena berbagai faktor.
Desa adalah sebuah permukiman yang asri dengan
ekosistem relatif masih utuh. Desa dalam kawasan hutan,
maupun di tepi hutan terasa begitu asri, berudara sejuk
dengan penduduk pedesaan yang hidup damai dan
bersahaja. Karenanya mereka begitu ramah, baik terhadap
sesama penduduk setempat, maupun terhadap orang-orang
dari luar yang berkunjung ke desa. Keramahtamahan
sesuatu yang sudah mulai tergerus di perkotaan, dapat
dijumpai pada penduduk pedesaan, suatu keramahtamahan
yang orisinil, tidak dibuat-buat, sehingga fenomena ini
sangat dirindukan oleh orang-orang kota.
Desa wisata adalah sebuah desa yang atraksi wisata
berbasis pada potensi wisata yang dimiliki oleh suatu desa,
baik berupa bentang alam pedesaan, pernik budaya lokal,
ekonomi kreatif maupun keunikan kehidupan penduduk
desa itu sendiri yang menjadi daya tarik wisata.
Bone-Bone, sebuah desa di kaki gunung Latimojong,
yang masuk dalam wilayah kecamatan Barakka Kabupaten
Enrekang, sangat layak untuk dikembangkan menjadi desa
wisata. Hal ini disebabkan desa ini memiliki keunikan
karena bebas dari asap rokok. Tidak satupun penduduknya

117
yang merokok sebagai akibat sebuah gerakan untuk
melawan kebiasaan merokok hampir satu dasa warsa lalu.
Tamu pun tidak diperkenankan untuk merokok di desa ini.
Dengan demikian, lingkungan pedesaan Bone-Bone sangat
kondusif bagi kesehatan.
Bone-Bone : Sebuah Desa Di Kaki Gunung Latimojong
Bone-Bone adalah desa yang berada dalam wilayah
Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang yang terletak pada
ketinggian ± 1400 meter dari permukaan laut (dpl), dan
relatif terpencil karena berada pada ujung jalan desa di
lereng-lereng gunung yang membentang dari Desa Malua
ke kaki Gunung Latimojong. Namun demikian, nama Desa
Bone-Bone begitu dikenal masyarakat, dan bahkan
kemudian mengglobal karena keunikan masyarakatnya
yang berani menabuh genderang perang melawan
kebiasaan merokok dan memenangkannya.
Letaknya yang berada pada ketinggian lereng gunung,
dengan lingkungan alam yang asri serta udara pegunungan
yang sejuk, menyebabkan predikat sebagai desa sehat bebas
asap rokok, bukan suatu isapan jempol. Bahkan kedepan
desa Bone-Bone dapat menjadi desa wisata, karena
keunikan bentang alam dan ekosistem hutannya yang
masih relatif utuh. Lagi pula selama ini desa Bone-Bone
menjadi salah satu perlintasan bagi para pendaki gunung
yang akan melakukan pendakian ke Gunung Latimojong.
Berkunjung ke Desa Bone-Bone, dicapai melalui jalur
wisata Tana Toraja yang jaraknya ± 60 km dari Cakke, kota
kecil yang menjadi tempat pembelokan ke arah Baraka,
melalui jalan-jalan beraspal yang agak rusak ditelan usia.
Perjalanan menuju desa Bone-Bone, melalui Baraka masih
harus diteruskan melalui desa Malua. Dari desa Malua ke
desa Bone-Bone yang berjarak ± 15 km, sebenarnya dapat

118
ditempuh dengan kendaraan beroda empat, hanya saja
karena jalanan yang sempit di lereng-lereng gunung dengan
jurang yang dalam, menyebabkan nyali untuk
menggunakan mobil menjadi ciut. Namun demikian, bagi
sopir lokal, itu biasa. Nampaknya, lebih aman dan
sensasional menggunakan sepeda motor.
Untuk mencapai desa Bone-Bone diperlukan waktu
tempuh kurang lebih satu jam, melintasi jalan-jalan sempit
di desa Tirowali, desa Salukanan dan desa Kendenan.
Menghadapi lomba desa tahun 2012, infrastruktur berupa
jalan desa menuju desa Bone-Bone sementara diperbaiki.
Bahkan di desa Salukanan, sudah terdapat jalan beton
sepanjang beberapa kilometer yang membentang pada
lereng-lereng perbukitan. Namun demikian, letaknya yang
terpencil di ketinggian, menyebabkan akses ke desa ini
masih relatif sulit. Jalan-jalan desa relatif sempit bahkan
sebagian masih berupa jalan yang telah dikeraskan dengan
kerikil (sirtu), menyebabkan, jalan ini harus dilalui dengan
hati-hati.
Pada masa lalu, perjalanan dari Baraka ke Bone-Bone
yang berjarak ± 24 km hanya ditempuh dengan berjalan
kaki atau menggunakan kuda tunggangan, serta kuda
beban selama ± 4 jam. Memang perjalanan ke desa tersebut,
memerlukan waktu yang cukup lama, disebabkan karena
perjalanan harus dilakukan menyusuri lereng-lereng bukit
yang terjal pada jalur sempit dan meliuk-liuk dengan
medan pendakian dan penurunan. Namun demikian,
perjalanan pada medan dengan tingkat kesulitan yang
cukup tinggi, justru menimbulkan sensasi tersendiri,
terutama bagi mereka yang baru mengunjungi desa Bone-
Bone.
Saat ini, dengan menggunakan sepeda motor,

119
perjalanan yang tadinya lebih lama, dapat ditempuh lebih
cepat dengan waktu tempuh ±1 jam. Sebenarnya, dengan
perbaikan jalan yang dijumpai di desa Salukanan dan
dengan kondisi jalan beton beberapa kilometer, kendaraan
roda empat pun bisa melaluinya. Namun demikian, pada
kondisi jalan sirtu yang sempit dengan kondisi jalan yang
rawan longsor, kendaraan roda empat sangat beresiko.
Diperlukan sopir terlatih yang sudah punya pengalaman
melalui kondisi jalan seperti itu.
Jalur jalan meliuk-liuk di lereng-lereng perbukitan dan
gunung-gunung serta jurang menganga di sisi lain
menjadikan suasana perjalanan sangat mencekam dan
mendebarkan. Walaupun demikian perjalanan yang
sensasional selama dalam perjalanan, terasa sirna oleh
hembusan angin pegunungan yang sejuk dengan panorama
alam yang begitu indah. Lembah yang menghijau dengan
persawahan bertingkat (trasering) tampak begitu menarik,
dan keindahan alam tersebut lebih menakjubkan oleh
suasana yang terasa begitu hening, dan hanya terganggu
oleh suara mesin sepeda motor. Jika berpapasan, seorang
pengendara harus berhenti untuk saling memberi jalan agar
perjalanan dapat lebih aman sampai di tempat tujuan. Di
desa Salukanan, hamparan sawah-sawahnya bertingkat,
tampak lebih luas. Desa ini dikenal sebagai penghasil beras
merah yang begitu terkenal kelezatan dan aromanya dan
menjadi komoditas khas yang dicari-cari oleh pengunjung
yang datang ke Baraka. Bahkan jenis beras ini menjadi
sajian khas para tamu Bupati yang sesekali datang ke
Enrekang. Apalagi beras murah direkomendasikan untuk
dikonsumsi oleh penderita penyakit diabetes.
Memasuki desa Kendenan, perjalanan terganggu oleh
kondisi jalan yang masih diperbaiki. Namun demikian,

120
sensasi perjalanan tetap dirasakan oleh suasana alam
pegunungan yang senyap dengan tiupan udara dingin serta
panorama alam yang indah. Menjadi hiburan tersendiri
manakala melintasi kesenyapan alam dengan sesekali
memasang telinga untuk mendengar gemercik air yang
jatuh dan mengalir di selokan sisi jalan, sambil mengamati
burung-burung yang terbang bebas di atas lembah.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam yang
melelahkan, pengunjung pun tiba di desa Bone-Bone,
sebuah desa di kaki gunung Latimojong. Desa ini
berpenduduk 793 jiwa, dengan rincian laki-laki berjumlah
431 orang (54,35%), dan perempuan 362 orang (45,65%).
Pada umumnya penduduk desa adalah petani (62,67%) atau
497 orang. Lainnya adalah sejumlah kecil pegawai, yakni
guru-guru Sekolah Dasar dan petugas Pos Kesehatan Desa.
Selebihnya adalah, 120 orang (15,13%) pedagang lokal, yang
memperdagangkan hasil bumi desa Bone-Bone.
Banyaknya petani dan pedagang, boleh jadi karena
pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah petani
padi yang mengolah lahan seluas ± 252 ha (48,55%) dan ±
205 ha (39,49%) lahan untuk tanaman kopi. Luas lahan
untuk tanaman cengkeh relatif kecil ± 47 ha (9,6%) dan pada
luas lahan ± 7 ha (1,35%) untuk tanaman lainnya.
Kopi adalah tanaman perdagangan (cashcrops),
menyebabkan banyak petani yang menjual hasil buminya
itu ke pedagang pengumpul di desa, kemudian pedagang
pengumpul ini menjual pada pedagang di kota Kecamatan.
Menurut Nyorong (2011) sejak Zaman Belanda, kopi sudah
dikenal di Tanah Duri. Kopi tipika banyak ditemukan di
pasar Kalosi. Sementara kopi tipika di Bone-Bone, juga ada
yang didatangkan dari desa Latimojong dan desa Bungin.
Kopi tipika sangat dikenal, karena aromanya yang berbeda

121
dengan kopi lainnya. Keunggulan lain kopi tipika, karena
dalam pemeliharaannya, kopi tipika tidak menggunakan
pupuk, dan berbagai macam sarana produksi, seperti
pestisida.
Pada tahun 1982 Pemerintah Kabupaten Enrekang
melalui Dinas Perkebunan memperkenalkan tanaman kopi
Arabica untuk menggantikan kopi tipika yang dikenal dari
dahulu secara turun-temurun. Sejak tahun 1982 itulah kopi
tipika secara perlahan-lahan posisinya digantikan, oleh kopi
Arabica. Hanya saja jenis kopi ini memerlukan perawatan
yang cermat dan dalam pertumbuhannya membutuhkan
pupuk, seperti pupuk Urea, SP36, Za, KCl. Tanaman yang
dipelihara dengan pupuk dan berbagai jenis pestisida
menyebabkan jenis kopi yang baru saja dikenal oleh
masyarakat Bone-Bone waktu itu ternyata mengalami
pertumbuhan lebih cepat. Bukan saja pertumbuhannya
yang lebih cepat tetapi juga menghasilkan buah yang lebih
banyak, dan produksi kopi pun meningkat dengan
signifikan. Saat ini di desa Bone-Bone masih terdapat
beberapa luasan pohon kopi tipika namun jumlahnya sudah
sangat sedikit, sehingga petani kopi tidak lagi menjualnya
melainkan hanya untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga.
Semenjak produksi Arabica lebih berhasil, demikian
pula halnya dengan produksi padi sawah, ternyata
mendorong terjadinya perubahan mobilitas penduduk.
Penduduk desa tidak lagi menjual beras ke pasar Rante
Lemo desa Latimojong, sebuah desa tetangga yang berjarak
±7 km dari desa Bone-Bone. Justru sebaliknya penduduk
Latimojonglah yang biasa ke desa Bone-Bone membawa
kopi dan hasil bumi lainnya untuk ditukar dengan beras.
Penduduk desa Bone-Bone hidup dan bermukim di
tiga dusun (kampung), yaitu Buntu Billa, Bungin-Bungin

122
dan Pendokesan. Di tiga kampung itulah penduduk
mendirikan rumah-rumah panggung pada lereng-lereng
bukit yang tingkat kemiringannya ada yang mencapai lebih
dari 40 persen. Pada areal tanah yang dikikis itulah, mereka
mendirikan rumah. Hal ini menyebabkan letak antara satu
rumah dengan rumah lainnya pada umumnya hampir tidak
sejajar. Walaupun rumah-rumah tersebut didirikan di
lereng-lereng bukit, tetapi rumah penduduk desa Bone-
Bone memiliki ukuran luas yang memadai dan dibangun
dengan ramuan rumah dari jenis kayu yang baik, bahkan
beberapa diantaranya menggunakan kayu ulin, atap rumah
berupa atap seng dan dengan dinding dari bilah-bilah
papan walaupun sebagian belum dipasang permanen tetapi
tetap terlihat rapi.
Rumah panggung penduduk desa Bone-Bone adalah
rumah panggung yang dibangun dengan tiang-tiang bersegi
empat yang sudah diketam halus. Lantai rumah berupa
bilah papan dipasang pada ketinggian ±2 meter dari tanah,
sehingga untuk naik ke badan rumah, diperlukan sebuah
tangga. Bentuk rumah panggung penduduk desa Bone-
Bone bercorak rumah Bugis, sehingga juga memiliki
beranda pada bagian depan dan dapur bagian belakang,
tetapi semua bersambung dengan badan rumah. Sesuatu
yang berbeda dengan rumah Bugis, pada halaman rumah
penduduk desa Bone-Bone didirikan sebuah rumah-rumah
berukuran kecil yang disebut landak. Bangunan berbentuk
rumah kecil yang disanggah oleh tiang kayu bundar
didirikan disamping rumah induk, merupakan miniatur
rumah berukuran ± 1,5 x 2-3 meter yang berfungsi sebagai
lumbung padi dan merupakan kearifan lokal penduduk
desa, karena tikus-tikus akan mengalami kesulitan
memanjat pada kayu-kayu bundar setinggi ± 2 meter yang

123
dilapisi seng plat. Bangunan-bangunan rumah kecil (landak)
seperti ini juga terlihat di desa Salukanan dan desa
Kendenan yang dilewati dalam perjalanan dari desa
tersebut ke desa Bone-Bone.
Penduduk desa Bone-Bone, bermukim di kaki gunung
Latimojong, relatif terpencil dan jauh dari akses informasi
yang biasanya menjadi sarana pembangunan. Namun
demikian, kenyataannya, penduduk desa Bone-Bone relatif
terbuka terhadap pembaharuan. Kopi tipika sebagai
tanaman tradisional, mereka tinggalkan dan kemudian
menerima tanaman kopi Arabica. Tanaman perdagangan ini
menjadikan mereka kemudian mampu meningkatkan
kesejahteraannya. Lagi pula mereka tergolong sebagai
kelompok masyarakat desa yang suka bekerja keras,
menyebabkan masyarakat desa Bone-Bone relatif sejahtera.
Ciri masyarakat terbuka dan pekerja keras, boleh jadi
karena mereka tergolong sebagai penganut agama Islam
yang baik, sehingga memahami kerja keras sebagai “jihad”
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Demikian pula, mereka tergolong sebagai masyarakat
terbuka, terutama untuk tujuan kemaslahatan ummat,
menyebabkan tingkat partisipasi dalam pembangunan
relatif tinggi. Walaupun tergolong sebagai masyarakat Duri
yang memiliki bahasa daerah sendiri, yakni bahasa Duri,
tetapi pada umumnya mereka dapat berbahasa Indonesia.
Kemampuan berbahasa Indonesia pula yang memudahkan
mereka menerima para pendatang, dan berkomunikasi,
tentu saja berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya
membangun.
Pada masa lalu, kawasan Bone-Bone termasuk salah
satu basis pertahanan gerombolan DI/TI yang dipimpin
oleh Abd. Kahar Muzakkar, suatu kelompok pemberontak

124
tahun 1950-an yang bertujuan untuk mendirikan sebuah
Negara Islam. Gerombolan DI/TII inilah, secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi spirit keagamaan
bagi masyarakat di desa Bone-Bone dalam menjalankan
kehidupan beragama.
Perilaku keagamaan masyarakat desa Bone-Bone
ditunjukkan dalam bentuk kepatuhan mereka menjalankan
syariat agama Islam. Pada hari Jum’at para laki-laki tidak
akan berkegiatan jauh dari rumah. Hal ini mereka lakukan
agar supaya tidak ketinggalan menjalankan ibadah Sholat
Jum’at. Karena itulah menjelang waktu sholat, para laki-laki
sudah berduyun-duyun ke mesjid, walaupun tanda-tanda
sholat seperti pengajian yang biasa diperdengarkan melalui
pengeras suara sebelum adzan tidak terdengar. Di desa
Bone-Bone, tidak menjadi kebiasaan memperdengarkan
bacaan Al-Qur’an beberapa lama sebelum adzan. Namun
demikian, masyarakat tetap berduyun-duyun ke mesjid,
karena sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini juga terjadi
menjelang shalat fardu. Pada setiap Jum’at itu pula, ibu-ibu
yang melakukan kegiatan dengan menghadiri tadarus Al-
Qur’an, atau melakukan pengajian dan mendengar ceramah
agama yang biasa di bawakan oleh mubaliq yang datang ke
Bone-Bone. Hal ini mereka lakukan sekitar jam 10.00-11.00
pagi, sebelum para laki-laki tiba di mesjid untuk melakukan
Sholat Jum’at.
Sholat Jum’at diawali dengan adzan, kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan khutbah Jum’at oleh
seorang khatib. Setelah itu, baru kemudian dilanjutkan
dengan sholat dua rakaat, sebagaimana juga dilakukan
pada daerah lain. Hanya saja, setelah salam dan pembacaan
doa oleh Imam, para jemaah belum beranjak dari tempat
duduknya, karena kepala desa biasanya akan memberikan

125
wejangan berkenan dengan pembangunan desa dan
kegiatan keagamaan.
Pada hari Sabtu, warga Bone-Bone masih menjalankan
kebiasaan untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
Sejak dulu, hari Sabtu dianggap sebagai hari pemerintah
yang harus diisi dengan kegiatan gotong royong. Terutama
memperbaiki jalan desa, perbaikan saluran air, perbaikan
mesjid dan sebagainya. Manakalah kaum laki-laki sedang
bekerja, para ibu-ibu melakukan kegiatan tersendiri, yakni
mempersiapkan makanan ringan untuk dikonsumsi para
pekerja laki- laki yang melakukan kerja gotong royong
tersebut.
Keterbukaan warga Bone-Bone, juga ditunjukkan oleh
besarnya motivasi para orang tua untuk menyekolahkan
anak-anak mereka pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Karena itu, walaupun SLTP berada di desa lain,
semangat anak-anak di desa Bone-Bone untuk melanjutkan
pendidikannya ke tingkat SLTP dan SLTA di kota
Kecamatan sangat tinggi. Bahkan beberapa diantara lulusan
SLTA, berhasil melanjutkan pendidikannya di tingkat
pendidikan tinggi, terutama ke Institut Agama Islam Negeri
yang sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Makassar
(UIN).

Mencegah Kebiasaan Merokok: Kilas Balik Perubahan


Masyarakat Desa
Letaknya 1400 m di atas permukaan laut,
menyebabkan udara di desa ini amat sejuk, selain itu
fanorama desa Bone-Bone tampak begitu indah. Sebagai
desa penghasil kopi, di desa ini menarik untuk
mengembangkan wisata kopi, jungle tracking, berkemah dan
menikmati air terjun. Untuk itu, diperlukan political will

126
stakeholder dan advokasi untuk mendirikan kelompok sadar
wisata.
Bahaya rokok terhadap kesehatan manusia, bukan lagi
rahasia, tetapi sebaliknya telah menjadi pengetahuan pada
umumnya masyarakat. Terutama bagi lapisan masyarakat
yang dikenal berpendidikan tinggi, dan sebagian lapisan
masyarakat bawah yang kurang berpendidikan. Hal ini
disebabkan, informasi tentang bahaya merokok telah
disosialisasikan secara gencar melalui media cetak, media
elektronik maupun media sosial. Termasuk melalui
selebaran-selebaran dalam bentuk pamplet maupun
spanduk-spanduk yang dipasang di jalan-jalan umum.
Bahkan bahaya rokok tercantum pada pembungkus rokok
itu sendiri.
Usaha untuk mengurangi jumlah perokok
sesungguhnya juga dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah RI No. 19 Tahun 2013 tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan, yang bertujuan untuk mencegah
penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan
masyarakat dengan :
(a) Melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi
penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat
menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan rokok;
(b) Melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari
dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi
penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok;
(c) Meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan
dan kegiatan masyarakat terhadap bahaya kesehatan
terhadap penggunaan rokok.
Pada Bagian Kelima Pasal 1 tentang Iklan dan Promosi
disebutkan :
(1) Setiap iklan pada media elektronik, media cetak dan

127
media luar ruang harus mencantumkan peringatan
bahaya merokok bagi kesehatan.
(2) Pencantuman peringatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus ditulis dengan huruf yang jelas sehingga
mudah dibaca, dan dalam ukuran yang proporsional
disesuaikan dengan ukuran iklan tersebut.
Sementara pada Bagian Keenam tentang Kawasan
Tanpa Rokok, Pasal 22 menyebutkan, bahwa tempat umum,
sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara
spesifik sebagai tempat belajar mengajar, arena kegiatan
anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan
sebagai kawasan bebas dari rokok. Pada bungkus rokok di
iklan-iklan rokok, wajib mencantumkan peringatan akan
bahaya rokok bagi kesehatan, yaitu “merokok dapat
menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin”.
Berbagi usaha juga dilakukan oleh kelompok-
kelompok civil society seperti non-government organization
(NGO), baik yang bergerak pada level internasional,
regional, maupun pada level lokal seperti Komisi Nasional
Penanggulangan Masalah Merokok (PMM), Lembaga
Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) dan Wanita
Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) yang menekan
pemerintah agar lebih memberi perhatian terhadap masalah
tembakau, terutama mengeluarkan kebijakan pengawasan
tembakau dan rokok bagi kesehatan; memberikan bantuan
publikasi mengenai bahaya rokok bagi kesehatan;
melakukan proses transformasi pengetahuan dalam rangka
menciptakan perubahan-perubahan; hingga dikeluarkannya
fatwa haram merokok oleh organisasi keagamaan
Muhammadiyah, tetapi ternyata dampaknya masih
terbatas.

128
Dengan demikian, agaknya peringatan dari para ahli
kesehatan tentang bahaya merokok bagai gema di gurun
pasir, sedikit sekali perubahan sikap manusia yang dapat
menjadi indikator adanya revolusi tradisi merokok yang
dibangun oleh orang Indian di Amerika. Pada tataran ini
merubah kebiasaan merokok memerlukan suatu revolusi
mental, sebuah upaya yang cukup berat, tetapi harus
dimulai, kalau toh sudah dimulai, harus dipertahankan dan
lebih digalakkan lagi secara bersungguh-sungguh.
Perang melawan nikotin secara besar-besaran,
sesungguhnya telah dilakukan oleh badan-badan
internasional dengan melancarkan strategi promosi untuk
mengubah kebiasaan merokok. Hamilton (2010)
mengemukakan, bahwa pada 1980-an badan-badan
kesehatan masyarakat sudah bersiaga penuh untuk
melancarkan serangan terhadap kebiasaan merokok dengan
isu kesehatan publik. Perusahaan-perusahaan farmasi
melihat munculnya peluang emas untuk memasarkan
produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu
berhenti merokok. Bahkan lembaga-lembaga internasional
pun, termasuk World Health Organization (WHO), ikut
membantu memasarkan obat-obatan sebagai bagian dari
program pemberantasan merokok, dengan tujuan untuk
meningkatkan status kesehatan.
Bill Gates (dalam Fauzi, 2010) mengemukakan,
penyakit akibat merokok menjadi salah satu tantangan
kesehatan terbesar yang dihadapi negara-negara
berkembang. Gates kemudian bergabung bersama
Bloomberg menghimbau pemerintah dan pengusaha agar
lebih memprioritaskan perang melawan rokok dengan
meningkatkan sumberdaya pengawasan tembakau dan
melaksanakan kebijakan yang sudah terbukti untuk

129
mengurangi penggunaan tembakau. Menurut WHO, 3,9
miliar orang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah yang membelanjakan tidak kurang dari $20 juta
dolar per tahun gabungan untuk pengawasan tembakau.
Namun demikian, negara-negara ini juga memungut pajak
rokok lebih dari $66 miliar. Bloomberg, menurut Fauzi
(2010) sangat anti rokok, kemudian bersama Bill Gates
pendiri Microsoft, orang yang juga terkaya di dunia, dan
menanamkan uang sebesar lebih dari $70 miliar. Dana
tersebut disumbangkan ke negara-negara sedang
berkembang yang pemakaian tembakaunya terbanyak
termasuk Indonesia.
Kekuatan bantuan dana Bloomberg dan Gates, sedikit
banyaknya, mempengaruhi pemerintah negara-negara lain,
yang memang memiliki kebijakan untuk mengurangi
populasi perokok. Beberapa negara, seperti Uruguay,
Inggris, Prancis, Selandia Baru, Italia, dan Irlandia, menjadi
negara bebas rokok. Mesir baru-baru ini menaikkan pajak
rokoknya. Filipina melarang iklan rokok disegala bentuk
media massa. Brazil dan negara lain menggunakan
peringatan bergambar pada kemasan rokok untuk
memperingatkan masyarakat tentang bahaya rokok.
Demikian pula Uruguay, Turki, dan negara lain
melaksanakan kebijakan pengawasan tembakau
komprehensif dalam paket MPOWER. Paket MPOWER
didukung oleh PBB, membantu pemerintah mengambil
langkah-langkah paling efektif untuk mengurangi
penggunaan tembakau. Ada enam paket MPOWER, yaitu :
(1) Memantau penggunaan tembakau dan kebijakan untuk
mencegahnya, (2) Melindungi orang lain dari asap rokok,
(3) Menawarkan bantuan agar orang berhenti merokok, (4)
Memperingatkan tentang bahaya merokok, (5) Memperkuat

130
larangan atas iklan, promosi dan sponsor rokok, dan (6)
Menaikkan pajak rokok.
Gerakan-gerakan anti rokok cenderung semakin
meningkat, karena dilihat dari sisi manapun merokok tetap
mengakibatkan dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tidak terbantahkan
lagi. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun
kimia berbahaya, dan 69 diantaranya bersifat karsinogenik
yang dapat merangsang tumbuhnya kanker. Paparan asap
rokok yang terus menerus pada orang dewasa yang sehat
dapat menambah resiko terkena penyakit jantung dan paru-
paru sebesar 20-30 persen. Selain itu lingkungan asap rokok
dapat memperburuk kondisi seseorang yang mengidap
penyakit asma, menyebabkan bronkhitis dan pneumonia.
Dilihat dari sisi orang di sekelilingnya, merokok
menimbulkan dampak negatif bagi perokok pasif. Padahal,
resiko yang ditanggung perokok pasif lebih berbahaya
daripada perokok aktif karena daya tahan terhadap zat-zat
yang berbahaya sangat rendah (Komlasari, 2010).
Masalahnya, walaupun dampak negatif rokok
terhadap kesehatan diketahui secara luas, dan banyaknya
penelitian yang telah dilakukan membuktikan dampak
negatif tersebut, ternyata tidak berdampak signifikan
terhadap menurunnya jumlah perokok. Bahkan, selama ini
berbagai upaya dan tindakan telah dilakukan oleh berbagai
pihak, terutama lembaga kesehatan seperti menaikkan cukai
tembakau, pengaturan kemasan dan label rokok,
komunikasi informasi dan edukasi, pelarangan iklan,
promosi dan sponsorship, pelarangan penjualan kepada
dan oleh anak di bawah umur hingga Perda larangan
merokok di tempat-tempat umum, ternyata jumlah perokok
semakin bertambah, dan trend konsumsi rokok semakin

131
meningkat.
Data survei Kesehatan Nasional tahun 2001
menunjukkan bahwa 54,5% laki-laki dan 1,2% perempuan
Indonesia berusia lebih dari 10 tahun merupakan perokok
aktif. Pada tahun 2002 konsumsi rokok di Indonesia
mencapai jumlah 182 miliar batang. Menurut Badan
Kesehatan Sedunia (WHO) jumlah ini menempati urutan
kelima di dunia setelah China sebanyak 1.643 miliar batang,
Amerika Serikat 451 miliar batang, Jepang 328 miliar
batang, dan Rusia sebanyak 258 miliar batang. Pada tahun
2010 produksi rokok di Indonesia mencapai sekitar 240
miliar batang.
Bahkan yang lebih miris, perokok pemula pada anak-
anak, termasuk remaja semakin bertambah. Berdasarkan
survei yang dilakukan Global Youth Tobacco Survay 2006
(dalam Jaya, 2007) dipaparkan, bahwa remaja laki-laki
berusia 13-15 tahun yang merokok sudah berjumlah 24,5
persen, sementara remaja perempuan pada usia yang sama,
sebanyak 3,2 persen. Bahkan, yang memprihatinkan, 3 dari
10 pelajar mencoba merokok sejak mereka di bawah usia 10
tahun.
Anggreni (2008) yang juga mengutip Global Youth
Tobacco Survay, tahun 2006 menunjukkan bahwa 37,3 persen
pelajar pernah merokok dan 30,9 persen merokok pertama
kali dibawah usia 10 tahun. Karena itu, kecendrungan
perubahan usia awal merokok harus menjadi perhatian
kalangan pengambil kebijakan dalam menangani kampanye
anti rokok. Padahal pada tahun 1900-an, usia awal merokok
baru dimulai saat menginjak usia 15 tahun, tetapi pada
tahun 2004 diperkirakan perokok muda usia sudah dimulai
sejak usia 7 tahun. Hal ini disebabkan, iklan dan promosi
melalui media, berperan penting dalam menciptakan

132
perubahan tersebut.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang
merokok, antara lain, bahwa rokok bermanfaat karena
dapat menimbulkan kenikmatan, menenangkan pikiran,
dan menajamkan ingatan, serta menjadi sarana untuk
mendapatkan inspirasi. Pendapat yang sama dikemukakan
oleh Fauzi (2010), bahwa terdapat beberapa alasan mengapa
rokok sangat disukai orang, yaitu : (1) nikotin yang
terkandung dalam rokok menimbulkan perasaan gembira
dan membuat seseorang merasa tenang. Hal ini terjadi
karena meningkatnya kadar dopamine didalam sirkuit bilik
otak, (2) Lepasnya neurottransmitter dan hormon ini,
menimbulkan efek nikotin. Dengan cara ini, nikotin dapat
meningkatkan konsentrasi dan ingatan sebagai akibat
meningkatnya acetylcholin, (3) Efek lainnya adalah
meningkatkan kewaspadaan akibat meningkatnya
acetylcholin dan norepinefrin serta meningkatnya daya jaga
yang menghilangkan kantuk akibat meningkatnya
norepinefrin dan sebagainya.
Pengaruh lingkungan sosial seperti teman-teman
sebaya, orang tua, saudara-saudara dan media sangat
berperan bagi seseorang dalam memulai merokok.
Ditambahkan oleh Leventhal, dkk (1988), merokok ditahap
awal itu dilakukan dengan teman-teman (46%), seorang
anggota keluarga bukan orang tua (23%), tetapi secara
mengejutkan sebagian besar juga dengan orang tua (14%).
Tekanan dari teman-teman sebaya merupakan variabel
yang terpenting, dengan pengaruh lingkungan keluarga
merupakan faktor penentu kedua paling penting.
Suatu riset nasional di Amerika Serikat memastikan
bahwa 14 persen dari anak-anak dengan orang tua yang
merokok, juga merokok, dan hanya sekitar 6% persen dari

133
anak-anak perokok dengan orang tua yang bukan perokok.
Pengaruh saudara-saudara kandung yang merokok
nampaknya juga besar. Pada keluarga-keluarga dengan
orang tua yang bukan perokok, kira-kira 17% dan anak-
anak dengan saudara-saudara kandung lebih tua yang
merokok juga berbuat demikian. Pada keluarga dimana
orang tua maupun saudara-saudara kandung tidak
merokok, hanya terdapat angka 4% atau kurang (Salis &
Nader, 1988, Smeth, 1994). Hampir sama dengan data yang
dikemukakan oleh Forum Komunikasi Pembinaan dan
Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI), bahwa dari 70
juta anak Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak
diantaranya merokok. Jumlah itu menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak
di Asia.
Kecendrungan anak-anak remaja untuk merokok
ternyata menjadi titik lemah, sehingga mudah dieksploitasi
oleh industri rokok, terutama melalui iklan-iklan rokok
yang menghubungkan antar rokok dengan karakteristik
petualangan dan kejantanan. Demikian pula prinsip-prinsip
kebebasan dan modernisasi yang dipahami sebagai
kemajuan, serta pengenalan simbol-simbol yang membuat
remaja menjadi lebih macho, keren, stylist. Demikian pula
alasan kesetiakawanan, dimanfaatkan oleh pelaku industri
rokok melalui strategi pemasaran di media cetak dan
elektronik, sehingga berhasil memengaruhi para remaja
untuk mencoba atau tetap menjadi perokok. Agaknya
dalam hal ini, perokok remaja tidak mampu melepaskan
diri dari peran industri rokok yang semakin gencar
mempromosikan produksinya. Dan ini membuat para
remaja melalui berbagai strategi pemasaran seperti iklan,
sponsorship, point of sales, termasuk melalui sumbangan-

134
sumbangan, atas nama “tanggung jawab sosial perusahaan”
yang mereka lakukan. Padahal sebenarnya, tindakan-
tindakan seperti itu, secara langsung atau tidak langsung
mengancam hak hidup anak.
Resiko lebih lanjut dari seorang perokok adalah
kematian, sebagai akibat dari status kesehatan yang
semakin memburuk. Menurut Ezzati dari Harvard School of
Public Health dan Lopez dari Universitas Queenland (dalam
Jaya, 2009), penghisap rokok menyebabkan lima juta orang
meninggal dunia setiap tahun. Dan angka tersebut
cenderung meningkat, terutama di negara-negara sedang
berkembang, jika tidak ada upaya untuk menghambatnya.
Bahkan menurut WHO, tembakau menyebabkan 5,4 juta
kematian tahun 2006, sehingga rata-rata terjadi satu
kematian setiap 6,5 detik.
Penderitaan yang ditimbulkan akibat merokok, tidak
saja terjadi pada perokok aktif, tetapi juga terjadi pada
perokok pasif. Mereka yang terpapar oleh asap rokok yang
dilakukan oleh orang lain, juga menimbulkan akibat yang
sama. Perokok pasif pun berisiko untuk terkena penyakit
kardiovaskuler, kanker paru dan penyakit lainnya. Di
Indonesia, saat ini diperkirakan terjadi sekitar 400.000
kematian pada setiap tahun akibat penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan rokok, dan sebanyak 25.000 kasus
diantaranya terjadi pada mereka yang tergolong perokok
pasif.
Dari aspek ekonomi, kebiasaan merokok pun
dianggap oleh banyak orang sebagai pemborosan, suatu
kebiasaan yang tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali
kepuasan semu. Dan untuk mendapatkan kepuasan semu,
seseorang harus merogoh uang yang jumlahnya tidak
sedikit. Dalam bilangan hari saja, seseorang harus

135
mengorbankan sejumlah uang dibandingkan membiayai
kebutuhan dapur rumah tangganya secara memadai.
Bahkan ada orang yang justru lebih mementingkan rokok
daripada mengkonsumsi makanan yang bergizi. Jika
kebiasaan seperti ini diteruskan maka kemungkinan untuk
mengalami gangguan kesehatan menjadi lebih cepat. Pada
keluarga miskin yang kepala rumah tangganya merokok,
akan menimbulkan lebih banyak masalah pemenuhan
kebutuhan hidup anggota keluarga. Bahkan dapat
memungkinkan terjadinya penelantaran anak-anak mereka
dengan akibat lebih lanjut, yaitu ketidakmampuan
mengikatkan anak ke jenjang pendidikan dasar, menengah
dan seterusnya.
Upaya untuk menekan jumlah perokok, sebenarnya
bukan tidak dilakukan, seperti telah dikemukakan
sebelumnya. Usaha untuk menghentikan kebiasaan
merokok, terutama dari pihak lembaga internasional yang
memiliki kepedulian terhadap kesehatan masyarakat,
termasuk pula dari pihak pemerintah sendiri. Hasilnya ?
jumlah perokok muda usia justru semakin bertambah dan
hanya sedikit orang dewasa atau orang tua yang telah
digerogoti penyakit menyadari betul dampak rokok bagi
kesehatannya, dan kemudian mau menghentikan kebiasaan
merokok.
Keraguan terhadap upaya-upaya mengurangi jumlah
populasi perokok yang dilakukan oleh pemerintah dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk lembaga-
lembaga internasional, sedikit terobati. Hal ini disebabkan
karena adanya gerakan yang ternyata membangkitkan
segenggam harapan terhadap upaya perubahan kebiasaan
merokok. Kearifan lokal melawan kebiasaan merokok ini,
justru terjadi di sebuah desa terpencil di kaki Gunung

136
Latimojong Kabupaten Enrekang yang diprakarsai oleh
tokoh masyarakat setempat. Gaung informasi tentang
peristiwa unik dan langka ini, begitu cepat menyebar bukan
saja di desa-desa sekitarnya maupun di tingkat
pengambilan kebijakan di kabupaten Enrekang. Gaung
informasi tentang desa Bone-Bone yang bebas asap rokok,
ternyata telah sampai di tingkat nasional, bahkan sudah
mengglobal. Keberhasilan orang-orang desa ini pula,
menyebabkan desa Bone-Bone, lebih dikenal sehingga desa
terpencil ini dikunjungi oleh wartawan nasional, para
pemerhati masalah kesehatan masyarakat, termasuk para
pejabat dan tentu saja wisatawan. Sudah barang tentu
fenomena ini menjadi menarik, karena desa Bone-Bone ke
depan bukan saja berstatus desa yang bebas asap rokok,
tetapi juga berpotensi menjadi desa wisata, khususnya
wisata desa wisata sehat. Bagi mereka yang ingin
menikmati panorama alam, keheningan serta kesejukan
udara, sesekali dapat mengunjungi desa ini, demikian pula
bagi mereka yang akan menguji nyali untuk berpetualang,
desa Bone-Bone menjadi salah satu perlintasan bagi pendaki
yang akan menaklukkan puncak gunung Latimojong.

Membangun Kesadaran Melawan Kebiasaan Merokok


Harus diakui keberhasilan masyarakat desa Bone-Bone
untuk melawan kebiasaan merokok, tidak terlepas dari
peran tokoh masyarakat, terutama Kepala Desa Bone-Bone
Muhammad Idris saat itu, dan beberapa tokoh agama yang
berasal dari kalangan masyarakat Bone-Bone yang
bermukim di desa Bone-Bone, selain juga tokoh agama yang
bermukim di Cakke, Kota Kecamatan Anggeraja.
Muhammad Idris sebagai Kepala Dusun yang
kemudian menjadi Kepala Desa Bone-Bone, memang

137
dikenal sebagai tokoh masyarakat yang sangat berperan
menjadikan desa Bone-Bone bebas asap rokok. Hal ini
disebabkan, karena dia menduduki jabatan formal, namun
demikian, Muhammad Idris menjadi tokoh masyarakat,
bukan saja karena jabatan formal sebagai Kepala Desa,
melainkan juga pengaruhnya secara informal. Menurut
Rogers dan Shoemaker (1981), tokoh masyarakat
berpengaruh, bisa karena jabatan, tetapi juga pengaruh itu
tumbuh secara informal melalui kemampuan dan hubungan
antar pribadi dengan anggota masyarakat. Tokoh
masyarakat biasanya orang-orang tertentu untuk menjadi
tempat bertanya, meminta nasehat bagi anggota masyarakat
lainnya mengenai urusan tertentu. Mereka ini memiliki
kemampuan mempengaruhi orang lain untuk bertindak
dalam cara-cara tertentu.
Dalam diskusi kelas program strata dua Antropologi
FISIP Unhas memaparkan, pada konteks kearifan lokal
menyangkut desa Bone-Bone, terlihat dengan sangat jelas
sebuah proses mengalirnya gagasan, nilai-nilai, pandangan-
pandangan setempat serta kreatifitas melalui tindakan lokal
dalam ramuan kepemimpinan hirarkis pada tingkat
komunal. Sebagai sebuah gagasan, penetapan zona bebas
asap rokok di Desa Bone-Bone pada awalnya mudah
difahami sebagai anti-tesa dari kondisi umum pada saat itu,
dikatakan demikian sebab kondisi internal terlebih eksternal
pada saat gagasan ini mulai disuarakan menghadapi
resistensi atau penolakan.
Figur kekuasaan pada tingkat lokal seperti
Muhammad Idris sebagai Kepala Desa Bone-Bone
terintegrasi pada komunitas lokal yakni masyarakat Desa
Bone-Bone itu sendiri, namun pada garis hirarkis formal,
eksistensi Kepala Kecamatan sebagai “atasan langsung

138
setiap kepala desa” juga dapat memberi pengaruh secara
signifikan pada keleluasaan pengambil kebijakan di
bawahnya untuk berakselerasi membangun kearifan lokal
bahkan ke tingkat normatif sehingga ungkapan akan
hadirnya “variabel serta faktor tunggal” Kepala Desa Bone-
Bone sebagai single fighter dalam pencapaian dimaksud
lebih merupakan sebuah sikap apresiatif semata (Suapri,
2015).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sebuah
kearifan lokal dapat terlembagakan dengan baik pada kasus
Desa Bone-Bone diantaranya:

1. Kepedulian Kepala Desa : Drs. Muhammad Idris


terhadap warganya
Dalam sebuah kesempatan, kepala desa Bone-Bone
mengungkapkan keprihatinan akan banyaknya sumber
daya ekonomi yang terbuang akibat kebiasaan merokok
warganya. Karena itu, dalam melakukan sosialisasi akan
penghentian kebiasaan merokok di desanya, alasan ini
menjadi faktor dominan untuk mendorong warganya agar
mau menghentikan kebiasaan merokok.
Wacana seperti ini terasa sangat kuat dan menjadi
faktor dalam menanamkan sebuah sistem nilai baru pada
sebuah rencana aksi. Kesulitan hidup misalnya akan terasa
mudah didekati serta dipahami jika sebuah sikap
kepemimpinan mampu menerobos wilayah kebutuhan
dasar manusia seperti keterpenuhan basic need atau
kebutuhan pokok manusia. Demikian pula halnya dengan
yang dilakukan oleh Muhammad Idris, secara telaten
mencoba melakukan pendekatan persuasif terhadap
masyarakatnya melalui pola-pola kekeluargaan.
Muhammad Idris sebagai tokoh utama yang

139
menggagas Kawasan Tanpa Asap Rokok Desa Bone-Bone
sejatinya, juga sebagai seorang innovator, yakni orang yang
memiliki empati, yang lebih besar, relatif terbuka,
mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar, rasional
dengan tingkat intelegansia yang baik. Rogers dan
Shoemaker (1981) menambahkan sebagai inovator, sudah
seharusnya memiliki sikap dan prinsip berkenaan dengan
perubahan, mau mengambil resiko, mendukung pendidikan
dan ilmu pengetahuan dan kurang percaya pada nasib yang
cenderung membuat orang fatalis.
Karakteristik sebagai innovator, terlihat pada diri
Muhammad Idris yang mau meninggalkan kampungnya
untuk melanjutkan studinya pada Fakultas Usuluddin
Jurusan Da’wah Institut Agama Islam Negeri “Alauddin”
Makassar. Kemudian membiayai dirinya dengan bekerja
sebagai pengantar koran Kompas selama tiga tahun. Ketika
telah menjadi sarjana, ia pun berupaya menggapai cita-
citanya untuk menjadi pegawai negeri. Sebuah profesi pada
umumnya diharapkan oleh orang-orang tua di kampung
karena bergengsi. Pegawai negeri adalah seorang pamong
yang memiliki pensiun sebagai jaminan masa tua seseorang.
Cita-cita itu wajar pada diri seorang Muhammad Idris.
Masalahnya, Muhammad Idris selalu gagal menjadi
pegawai negeri. Pertama melamar pada Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kemudian melamar
pada Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kantor
Wilayah Departemen Penerangan yang semuanya
mengalami kegagalan. Kegagalan menjadi pegawai negeri,
tidak membuat Muhammad Idris putus asa. Hidup ini
harus diperjuangkan, dengan cara apapun asal halal. Ia pun
merantau ke Malaysia dan bekerja sebagai buruh pada
perkebunan sawit selama satu tahun. Ini dilakukan tahun

140
1991 - 1992. Sesudah itu, ia kemudian pulang ke kampung
halaman dan memutuskan untuk kawin dengan Mutaharah
seorang gadis di kampungnya yang ia cintai. Tidak lama
sesudah kawin ia memutuskan kembali menjadi buruh
perkebunan sawit di Malaysia. Didera kerinduan pada
isterinya, tahun 1994 Muhammad Idris pulang ke kampung
halamannya.
Lika-liku kehidupan yang dialaminya, walaupun pahit
tetap dijalaninya dengan sabar, dan memberi hikmah,
bahwa untuk mengabdi, tidak selalu harus menjadi pegawai
negeri. Ia kemudian membulatkan tekad untuk
mengabdikan dirinya di kampung halamannya sendiri,
Bone-Bone. Pada tahun 1997 Muhammad Idris merintis
pembentukan Kelompok Tani “Putra Korok” yang
bertujuan untuk mendidik petani tradisional menjadi petani
maju dengan memberinya pengetahuan praktek bercocok
tanam dengan prinsip panca usaha tani; termasuk
penggunaan pupuk dan pestisida. Kepeduliannya pada
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Bone-Bone,
menjadikan Muhammad Idris disepakati oleh warga untuk
menjadi Kepala Dusun Bone-Bone pada tahun 2000.
Momentum inilah kemudian mendorong Muhammad Idris
menyebarkan gagasannya untuk menjadikan Bone-Bone
sebagai kawasan bebas asap rokok.
Gagasan bebas asap rokok diilhami oleh
pengalamannya, ketika melanjutkan studi di Makassar.
Ternyata ada beberapa kawannya yang melanjutkan studi,
ternyata gagal menjadi sarjana karena perokok dan mereka
memilih pulang kampung sebelum studinya selesai. Bahkan
dalam perenungannya, ia kemudian tersadar bahwa semua
teman-temannya yang merokok pada usia anak sekolah
dasar tidak ada yang melanjutkan pendidikannya ke SMP

141
atau Madrasah Tsanawiyah yang merupakan jenjang yang
setingkat lebih tinggi. Ia memperhatikan dan mencoba
mengingat-ingat satu persatu temannya. Kemudian ia
menyimpulkan bahwa merokok itu menghambat
pendidikan. Pendapat ini dikemukakan sebagai jawaban
atas berbagai pertanyaan dari warga masyarakat.
Fenomena warga Bone-Bone sebagai warga perokok
semakin mengkhawatirkan, karena anak-anak yang
berumur belasan tahun pun semakin berani merokok,
termasuk siswa-siswa sekolah dasar. Sudah barang tentu
fenomena siswa merokok sangat mengkhawatirkan para
guru di sekolah tersebut, karena merokok efeknya kurang
baik bagi pendidikan.
Idris, ketika menjadi kepala desa berumur 45 tahun,
dianggap oleh beberapa tokoh masyarakat maupun tokoh
agama di desa Bone-Bone sebagai tokoh utama gagasan
perubahan terencana perilaku merokok masyarakat
setempat. Sebagai tokoh utama, sudah pada tempatnya, dia
menyandang sebagai seorang inovator, karena Idris
termasuk pemberani dan petualang yang mencoba melawan
arus utama kebiasaan merokok masyarakat Bone-Bone.
Namun demikian, Idris juga dapat dikatakan sebagai
pelopor, karena kemauannya yang keras mengedukasi
masyarakat. Sebagai kepala desa, ia amat dihormati oleh
masyarakat setempat, karena sebagai sarjana IAIN, ia
memiliki pengetahuan agama yang mumpuni sehingga
punya kemampuan berceramah.
Dalam pengamatannya selama beberapa tahun, ia
memperhatikan beberapa teman-temannya yang dulu
merokok saat usia anak sekolah dasar, ternyata tidak ada
yang berhasil melanjutkan pendidikannya ke SMP atau
Madrasah Tsanawiyah yang merupakan jenjang yang

142
setingkat lebih tinggi. la memperhatikan dan mencoba
mengingat-ingat satu persatu temannya. la kemudian
menyimpulkan bahwa merokok itu menghambat seseorang
dalam melanjutkan pendidikannya. Pendapat ini
dikemukakan sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan
dari warga masyarakatnya. Meskipun belum dilakukan
penelitian yang mendalam tentang hal itu, namun Idris
berani membuat kesimpulan, dalam hal ini harus
dipandang sebagai pandangan sementara, walaupun ia
merasa yakin dan merasa pasti bahwa merokok dapat
menghambat pendidikan seseorang. Pendapat ini
dikemukakan karena melihat realitas yang ada di Bone-
Bone.
Anak-anak yang umur belasan tahun pun sudah
semakin berani merokok waktu itu, termasuk anak sekolah.
Melihat keadaan ini, guru-guru prihatin, muncul keluhan di
antara guru-guru SD Negeri 159 Bone-Bone bahwa murid-
muridnya sudah mulai merokok.
“… prihatin melihat anak-anak usia SD di sini merokok,
pernah dibahas oleh guru-guru SD 159 Bone-Bone
tentang keprihatinannya melihat keadaan ini, saya
berpendapat bahwa bagaimana melarang murid
untuk tidak merokok, kalau guru mereka ada yang
merokok di sekitar sekolah. Tidak adil dengan cara
itu, akhirnya pelarangan merokok di sekolah batal.
Dalam ilmu pendidikan yang dipelajari dari para guru
sewaktu masih sekolah di Sekolah Guru Atas dulu,
diajarkan bahwa merokok itu kurang baik efeknya bagi
pendidikan. Di samping itu terdapat aturan bahwa murid
dilarang merokok. Dengan demikian dalam
penyelenggaraan SD di desa ini, seharusnya murid dilarang
merokok. Hendaknya guru memberi teladan yang baik bagi

143
murid-muridnya.
Berdasarkan keluhan dari para guru, terutama Arf.
Lalu Idris mengambil Iangkah mendatangi sekolah dan
memberi peringatan kepada mereka yang merokok, bahwa
demi masa depan warganya di bidang pendidikan, agar
tidak terulang lagi sejarah masa lalu, yaitu anak sekolah
dasar yang merokok tidak ada satu orang pun yang
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pak
Idris mengatakan : “...saya selalu mengemukakan kepada
warga desa bahwa Iihatlah contoh yang lalu, semua teman-
teman saya yang merokok pada usia SD tidak ada yang
lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi. Dalam kenyataan,
tidak ada yang lanjut ke SMP, atau ke Tsanawiyah, mereka
yang merokok sejak usia SD, sekolahnya hanya sampai
tamat SD.”
Tahun 2000, muncul gejala baru tentang merokok,
yaitu pandangan bahwa merokok itu lebih banyak
keburukannya daripada kebaikannya. Pandangan ini lahir
dari ceramah agama di bulan Ramadhan oleh Ustaz
Chaeruddin Imam masjid al Hamra Cakke. Ternyata
sebagian warga masyarakat tergugah oleh pandangan itu.
Idris sebagai Kepala Desa, mengambil prakarsa untuk
menampung pendapat sebagian warganya tentang
kebiasaan perilaku merokok.
Idris mengumpulkan orang-orang yang setuju dengan
anjuran berhenti merokok sesuai dengan ceramah malam,
yang dilanjutkan dengan ceramah subuh. Banyak orang
yang penasaran dengan ceramah Chaeruddin. Akhirnya
tahun 2000 ada kesepakatan untuk melarang warga
merokok dalam desa, sementara pada orang yang mau
merokok disilahkan ke luar desa, atau batas desa. Adapun
bagi tamu dari luar desa masih diperbolehkan merokok.

144
Mencoba melontarkan issu ke masyarakatnya bahwa
ke depan desa Bone-Bone akan bebas asap rokok. Issu ini
membuat warga yang merokok saat itu resah, terutama
yang tidak sepaham Pak Idris. Berbagai komentar dan
tudingan yang negatif terhadap issu itu, terutama dari
kalangan keluarga dekat dan kerabatnya.
Pada saat turun ke sawah, petani membajak sawahnya
yang medan Iahannya agak luas, namun petani cukup
mencangkul sawah yang lahannya tidak begitu luas.
Keadaan medan lahan persawahan di Bone-Bone berada di
lereng bukit sehingga terlihat sebagai sawah yang
bertingkat-tingkat. Sedikit sekali lahan yang medannya
datar.
Sawah yang sudah dibersihkan dan siap untuk
ditanami, akan dilakukan dengan cara saling membantu.
Sawah tempat warga masyarakat, terutama laki-laki yang
bekerja mulai dari pagi hari hingga sore hari, relatif sejuk
oleh karena Bone-Bone berada di daerah ketinggian. Di
samping itu musim tanam bersamaan dengan musim hujan.
Air yang mengenang di sawah cukup menjadikan petani
merasakan kedinginan. Saat-saat seperti ini, petani biasa
menggunakan kesempatan tersebut untuk merokok.
Mengingat Idris sedang mengembangkan ideanya
tentang berhenti merokok, maka pada kesempatan bulan
Ramadhan, ia gunakan untuk melancarkan gagasannya
melalui ceramah-ceramah agama di malam hari.
Menurutnya, larangan merokok, waktu berpuasa itu biasa
bagi orang yang sedang puasa. Artinya, sebenarnya seorang
perokok dapat saja berhenti merokok asal mempunyai
kemauan yang kuat. Mengambil momentum puasa inilah
waktu yang tepat untuk mengalihkan kebiasaan merokok,
dengan kegiatan yang Iebih bermanfaat.

145
2. Peran Tokoh Agama
Bermula dari seorang tokoh agama bernama
Chaeruddin seorang yang berasal dari desa Bone-Bone yang
berprofesi sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri Cakke,
Kota Kecamatan Anggeraja, yang ketika itu menerima
pembagian buku pada saat menunaikan ibadah haji tahun
2000. Sebagai seorang tokoh agama, Imam mesjid Al Hamra
dan mesjid Andi Liu di Cakke, ia begitu tertarik pada buku
yang berjudul “Fatwa-Fatwa Mutakhir” karya Yus Al-
Dardhawi yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Al-Hamid Al-Husaini (lihat Nyorong, 2011).
Salah satu bab, dalam buku tersebut adalah fatwa
mengharamkan merokok bagi orang Islam. Chaeruddin,
bukan saja tertarik fatwa haram merokok dan membacanya
sendiri, sebagai tokoh agama ia juga ternyata
menyebarluaskan fatwa tersebut melalui ceramah-ceramah
agama, maupun melalui khutbah Jumat. Namun demikian,
di Cakke, Chaeruddin mengalami perlawanan, bukan saja
dari kalangan masyarakat awam, tetapi juga dari kalangan
mubaliq setempat.
Berbeda halnya di Cakke, pada suatu kesempatan,
Chaeruddin pada bulan Ramadhan tahun 2000 pulang ke
kampung halamannya Bone-Bone, yang masih masuk
dalam wilayah Kecamatan Baraka, Sementara Cakke masuk
dalam wilayah Kecamatan Anggeraja. Kedua wilayah
tersebut sebenarnya sama-sama termasuk area budaya Duri
Kompleks. Sebagai tokoh agama, Ia berceramah di hadapan
jemaah tarwih Mesjid Nurul Huda Bone-Bone. Diluar
dugaan, ceramah haram merokok dalam ajaran Islam,
mendapat sambutan positif yang menyebabkan sebagian
jemaah ingin memperoleh penjelasan lebih lanjut. Mereka
yang berminat berhenti merokok begitu yakin terhadap

146
fatwa tersebut karena secara rasional, merokok pada
dasarnya mubasir dan tidak bermanfaat.
Fatwa hukum haram-makruhnya merokok, sejatinya
merefleksikan perlawanan sebagian besar ulama, sesuai
dengan apa yang mereka yakini tentang unsur “mudharat’
rokok terhadap diri si perokok, maupun terhadap hal-hal
lain yang terkait dengan kehidupan sosial-ekonomi
perokok. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa fatwa
haram merokok, sebagian besar didasari oleh adanya
dampak negatif rokok bagi kesehatan manusia.
Pengetahuan ulama tentang aspek kesehatan kebiasaan
merokok tersebut, harus diakui banyak berasal dari
informasi kesehatan dari para dokter, terutama dokter ahli,
baik berasal dari negara-negara maju, maupun pakar
berasal dari negara-negara berkembang itu sendiri,
termasuk dalam hal ini, pakar kesehatan di Indonesia,
melalui sejumlah penelitian tentang rokok.
Bahaya rokok terhadap status kesehatan sebenarnya
sudah dibuktikan secara ilmiah dan diakui oleh masyarakat
secara umum. Atas dasar itulah sebagian ulama
menfatwakan bahwa merokok itu haram. Rokok
mengandung berbagai jenis bahan kimia berbahaya, seperti
nikotin yang memabukkan. Padahal setiap barang yang
memabukkan apabila di makan, diminum, dihisap atau
disuntik pada seseorang yang mengandung elemen yang
bisa memabukkan (H. R. Muslim) adalah haram. Dalam
mengklasifikasikan hukum candu atau bahan yang
memabukkan, jumhur ulama fikhi atas dasar Al-Quran dan
Al-hadis, sepakat memfatwakan sebagai benda haram
untuk dimakan atau diminum. Malah wajib untuk dijauhi
atau ditinggalkan. Penegasan haram ini, mengacu pada nas-
nas dari Syria yang menyebutkan setiap yang memabukkan

147
itu haram, sebagaimana dikemukakan di atas. Bahwa zat ini
akan menjadi lebih buruk lagi karena berdampak buruk
terhadap kesehatan, dengan konsekuensi berbagai penyakit
yang ditimbulkannya. Akibat penyakit tersebut seseorang
akan mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Ini
berarti, seorang perokok pada hakekatnya, lebih cenderung
menzalimi diri sendiri dari pada mendapatkan manfaat dari
perilakunya sebagai perokok.
Ahli Fikh dari maszab Hanafiah berpandangan
tentang rokok, termuat dalam kitab Tansi Al Hamidiyah
karya Ibnu Abidin. Behan menjelaskan “jika memang
merokok jelas-jelas mengandung mudhorat, dan tidak
bermanfaat sedikitpun, maka dibenarkan mengeluarkan
Fatwa mengenai keharaman rokok”. Dalam kitab Ad Duri
Al Muhtar, menjelaskan bahwa menghisap tembakau
mungkin tidak memabukkan. Kalaupun pernyataan ini
dapat diterima, namun pada kenyataanya tidak dapat
diingkari bahwa tembakau itu dapat menyebabkan tubuh
menjadi lemah. Hal semacam ini pun haram berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ummi
Salamah: “Rasulullah melarang segala sesuatu yang
memabukkan dan melemahkan badan”.
Pandangan mazhab Syafiyyah, termuat dalam kitab
Bughyah Al Mustarsyid diin, bahwa “Haram menjual
tembakau kepada orang yang akan menghisapnya atau
memberikannya kepada orang lain yang akan
menghisapnya. Tembakau adalah benda yang
menimbulkan mudharat, karena dapat menghilangkan
kesadaran dan pemborosan harta. Karena itu seseorang
yang menjaga kehormatan dan martabatnya sebaiknya
tentu tidak akan menggunakannya.”
Ustad Chaeruddin yang sedang melancarkan kegiatan

148
kampanye berhenti merokok di masjid-masjid yang ada di
Cakke, juga mendapat tantangan dari perokok, lebih-lebih
dari kalangan muballig yang merokok sehingga menjadi
penghalang tersendiri. Tantangan dan hujatan yang
diarahkan kepada diri Ustad Chaeruddin tidak
menjadikannya mundur atau mengalah, karena prinsipnya
bahwa mengajar orang untuk berbuat baik adalah tugasnya.
la tetap gigih melancarkan khotbah, himbauan, ajakan, dan
ceramahnya tentang ‘berhenti merokok’. Ketika Ustad
Chaeruddin datang ke Bone-Bone dalam rangka ceramah
tarwih, ia merasa mendapat sambutan baik. Apalagi ia
memang berasal dari desa tersebut.
Chaeruddin memberi ceramah pada malam hari di
hadapan jamaah tarwih masjid Nurul Huda, sesudah sholat
Fardu Isya dilaksanakan secara berjamaah. Topik yang
dipilih adalah pandangan Islam tentang merokok. Mulailah
Chaeruddin menjelaskan beberapa pandangan tentang
merokok, faedahnya dan bahayanya. Kesimpulan dari
ceramah itu adalah bahwa merokok dalam pandangan
Islam haram hukumnya.
Respon jamaah masjid Nurul Huda pun beragam,
membuat mereka terbelah dalam dua bagian. Bagian yang
satu adalah mereka yang setuju dengan ceramah itu, dan
bagian yang lainnya menolak. Oleh karena ada warga
masyarakat yang masih penasaran dengan isi ceramah itu,
menyebabkan mereka sepakat untuk melanjutkan ceramah
sesudah sholat Subuh.
Melihat respon masyarakat atas ceramah Ustaz
Chaeruddin tentang perubahan perilaku merokok, yang
diantaranya ada yang merespon positif, walaupun tidak
sedikit yang merespon negatif, Muhammad Idris semakin
termotivasi merealisasi gagasannya, “Bone-Bone : Desa

149
bebas asap rokok”. la lalu melakukan pengorganisasian
masyarakat dengan melakukan pertemuan dengan mereka
yang mendukung gagasannya. Hadir saat itu FI, seorang
Imam, tamatan PGA 6 tahun, AW, jebolan MTS (Madrasah
Tsanawiah, DR, D3 pendidikan seorang guru, DW, kepala
dusun, Drs. Tamatan MTS, dan beberapa tokoh masyarakat
lainnya (lihat, Nyorong : 2012).
Disepakati, pada setiap selesai shalat fardu, terutama
shalat Magrib, Isya dan Subuh dilakukan kuliah tujuh menit
(Kultum) tentang bahaya rokok bagi kehidupan manusia,
terutama pengaruhnya terhadap kesehatan. Informasi
bahaya rokok bagi kesehatan perlu dikampanyekan, karena
masyarakat Desa Bone-Bone untuk waktu yang sangat lama
tidak bisa menikmati aliran listrik, sehingga otomatis
mereka pun terisolasi dari informasi, terutama dari televisi.
Hal ini menyebabkan bahaya merokok bagi kesehatan,
belum mereka ketahui dengan baik. Apalagi bagi perokok
berat, mengetahui informasi tentang bahaya merokok bagi
kesehatan pun, belum tentu dengan serta-merta mau
merubah perilakunya, akibat keasyikan mereka menikmati
hisapan asap rokok. Karena itu, perlu upaya menjejali
pikiran mereka dengan informasi bahaya rokok bagi
kesehatan.
Upaya mengkampanyekan bahaya merokok bagi
kesehatan, juga dilakukan melalui khutbah Jum’at. Khutbah
Jum’at lebih epektif karena jamaahnya lebih banyak. Ini
disebabkan, masyarakat desa Bone-Bone, lebih agamis
sehingga menjadi kewajiban bagi laki-laki yang telah akil
baliq untuk datang ke mesjid melaksanakan ibadah shalat
Jum’at secara berjamaah. Bahan khutbah antara lain adalah
“Fatwa-Fatwa Mutakhir” karya Yus AI-Qardhawi yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

150
Pendapat tentang haram merokok difatwakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimiin, yang
mengatakan merokok haram hukumnya. Pendapat ini
didasarkan pada makna yang terindikasi dari Zhahir ayat
21-Qur’an dan As-Sunnah serta i’tibar yang benar.
Sebagaimana dalam firman Allah, “Dan jangan kamu
menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”. (QS. Al-
Baqarah:195).
Kebinasaan dapat berarti, menyakiti diri sendiri
melalui penderitaan karena penyakit yang dialami akibat
merokok. Sedangkan dalil dari assunnah adalah hadis
shahih dari Rasulullah, bahwa Beliau melarang menyia-
nyiakan harta. Maksud menyia-nyiakan harta adalah
mengalokasikannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Membeli sebatang rokok, ataupun sebungkus rokok, apalagi
dalam waktu yang cukup lama dapat dikatakan sebagai
suatu perbuatan yang mengandung kemudharatan.
Mengutip Syariahonline.com, Isya (2009),
mengemukakan, keharaman rokok tidaklah berdasarkan
pada sebuah larangan yang disebutkan secara eksplisit
dalam nash Al-Qur’an Al-Karim ataupun assunnah an-
Nabiah. Keharaman rokok itu, disimpulkan oleh para ulama
masa ini, setelah dipastikannya temuan bahwa setiap
batang rokok itu mengandung lebih dari 4000 jenis racun
berbahaya. Karena racun itu merusak tubuh manusia yang
sebenarnya amanat Allah SWT. untuk dijaga dan dipelihara,
maka merokok itu, termasuk melanggar amanat.
Faktor lain yang memotivasi Idris mengkampanyekan
di desanya untuk merubah perilaku merokok adalah
merokok dapat menghambat motivasi seorang siswa dalam
pendidikan. Dalam pengamatannya, temantemannya dulu
yang merokok sewaktu masih di sekolah dasar, ternyata,

151
tidak seorang pun yang berhasil melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu ke
Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun ke Madrasah
Tsanawiyah (MTs). Walaupun memang saat itu, SMP
maupun MTs tidak ada di Bone-Bone, sehingga mereka
yang mau melanjutkan pendidikannya, harus ke kota
kecamatan, yakni Baraka yang jauhnya ± 20 km dan desa
Bone-Bone. Sesungguhnya, andaikata mereka memiliki
motivasi tinggi untuk lanjut, tentunya ada usaha-usaha
bagaimana mereka dapat melanjutkan pendidikannya itu.
Pengalaman lainnya, Pak Idris juga mengamati teman-
temannya yang kuliah di Institut Agama Islam Makassar
ternyata, teman-temannya yang merokok mengalami
masalah ekonomi karena harus membeli rokok. Pada saat
mereka tidak memiliki uang untuk membiayai
kebiasaannya itu, mereka pun pulang kampung. Tragisnya,
teman-teman perokoknya itu, tidak seorang pun yang dapat
menyelesaikan pendidikannya.
Demikian pula secara ekonomi, masyarakat Desa
Bone-Bone masih memerlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Karena itu, mereka masih
harus bekerja keras dan lebih produktif. Namun demikian,
karena status kesehatan yang menurun, menjadi hambatan
untuk bekerja lebih giat dan produktif. Kemungkinan
penyakit yang diderita oleh penduduk Desa Bone-Bone,
seperti batuk-batuk, sesak nafas dan semacamnya terjadi
akibat kebiasaan merokok. Celakanya, justru hal ini tidak
disadari sehingga kebiasaan menghambur-hamburkan uang
untuk membakar uang dengan membelanjakan untuk rokok
mereka lakukan terus.
Padahal, jika alokasi dana untuk rokok mereka
belanjakan untuk bahan makanan bergizi atau untuk barang

152
yang lebih berguna, kemungkinan, status kesehatan dan
kesejahteraan mereka lebih terjamin. Lebih dari itu, seorang
kepala rumah tangga perokok tergolong egois, karena selalu
dikungkung oleh keasyikannya sendiri. Keasyikan tersebut
bahkan dapat merugikan dirinya, termasuk orang lain,
terutama anggota keluarganya sendiri, anak-anak dan
istrinya.
Sesungguhnya faktor yang mungkin paling
menyentuh dalam upaya membebaskan masyarakat desa
Bone-Bone dari asap rokok adalah “Fatwa bahwa merokok
adalah haram dalam Islam”. Desa Bone-Bone begitu lama
menjadi basis pergolakan DI/TII, sempalan yang pada
tahun 1950-an memperjuangkan terbentuknya negara Islam,
menyebabkan masyarakat mendapat pengaruh dari
gerombolan DI/TII tersebut, sehingga menjadikan
masyarakat menjadi lebih agamis. Hal ini menyebabkan
fatwa haram merokok yang dikemukakan oleh Ustadz
Chaerudin begitu menyentuh hati para jamaah mesjid
Nurul Huda di desa Bone-Bone. Fatwa haram merokok ini
kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan
masyarakat, baik dilakukan secara terbuka, maupun
dilakukan secara terbatas antar anggota keluarga dan
tetangga. Namun demikian, tidak serta merta masyarakat
menerima fatwa tersebut, bahkan, banyak menentangnya
sehingga masyarakat desa Bone-Bone tampak terbelah
dalam dua kelompok : mereka yang setuju dan menerima
fatwa dan mereka yang belum setuju dengan fatwa tersebut.
Keterbelahan kedua kelompok ini, terbawa ketika mereka
masuk mesjid melaksanakan shalat fardu, maupun pada
saat mereka melaksanakan shalat Jum’at. Walaupun mereka
terbelah dalam dua kelompok, dalam kehidupan keseharian
tidak tampak intrik-intrik sehingga kehidupan masyarakat

153
berlangsung baik-baik saja.
Kampanye menjadikan desa Bone-Bone bebas asap
rokok, dilakukan juga dengan memasang poster “Tubuh
Seorang Perokok” di depan mesjid Nurul Huda, yang
diterima dari Tim Promosi Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia dari Jakarta pada waktu
mengunjungi desa Bone-Bone. Pada poster tersebut,
bagaimana asap rokok yang dihisap oleh perokok, dapat
memicu berbagai macam penyakit, yang pada gilirannya
membuat perokok dapat menderita. Poster tersebut
sesungguhnya sangat mengerikan. Namun demikian, tidak
semua orang yang menyaksikannya terpengaruh. Tentunya,
bagi perokok berat, mungkin juga merasa sedikit ngeri,
tetapi untuk serta merta menghentikan kebiasaannya
merokok, agaknya masih sulit. Hal ini menyebabkan,
penduduk desa Bone-Bone yang mencoba menghentikan
kebiasaan merokok tidak selalu dalam waktu yang singkat,
melainkan banyak di antaranya yang betul-betul
menghentikan kebiasaan merokok selama 2 - 3 tahun
kemudian.
Untuk mengukur tingkat penerimaan dirinya sebagai
kepala desa, mulailah Idris melontarkan issu tentang ‘desa
Bone-Bone bebas asap rokok’ dan ternyata issu itu cukup
cepat penyebarannya. Tanggapan pun berdatangan, ada
yang setuju dan sebagian tidak setuju. Maksud utamanya
adalah Idris mau mengetahui tingkat popularitasnya di
antara warganya. Sekaligus berusaha mengubah sikap
warganya yang merokok.
Resiko yang diterima dengan gagasannya itu ialah
perasaan dicemoohkan oleh warga yang merokok pun
dirasakan. Namun, bagi mereka yang sudah mulai setuju
dengan gagasan pak Idris tidak goyah, tetap tidak mau

154
merokok meskipun diolok-olok oleh yang merokok saat itu.
Muncullah komentar negatif dari para penentangnya, yang
kebetulan rumah Idris, itu baru saja selesai dikerjakan.
Penentangnya adalah tukang yang mengerjakan rumahnya
memberi komentar, bahwa sewaktu rumah pak Idris
dikerjakan, ia membelikan rokok untuk pekerja, konsumsi
rokok saat itu cukup, kalau tidak boleh dikatakan berlebih.
Persediaan rokok saat itu lebih dari cukup. Sesudah
rumahnya selesai dikerjakan, malah ia ingin untuk
menghentikan orang Bone-Bone merokok. Keadaan ini tidak
adil, kalimat itu yang terlantar dari mulut warga yang tidak
setuju dengan gagasannya.
Di samping yang tidak setuju dengan issu Bone-Bone
bebas asap rokok, terdapat juga warga yang menyetujui
gagasan itu. Mulailah ia mengidentifikasi warga yang
mendukung gagasannya. Tidak sulit bagi Idris untuk
menghimpun warga yang setuju dengan gagasannya,
karena mereka selalu bertemu di masjid, baik yang setuju
maupun yang tidak karena setiap waktu shalat Magrib, Isya
dan Subuh. Kesempatan bertemu inilah dipakai oleh Idris
untuk membicarakan dan menentukan langkahlangkah
berikutnya, agar ideanya “desa Bone-Bone bebas asap
rokok,” berhasil diterapkan dalam masyarakatnya.
Mengacu pada paradigma proses keputusan inovasi
Roger -Shoemaker (Dalam Hanafi, 1981), masyarakat desa
Bone-Bone, menerima gagasan untuk berhenti merokok
karena proses pengenalan terlebih dahulu. Para tokoh
masyarakat dan agama, terutama kepala desa menggagas
“Desa Bone-Bone bebas Asap Rokok”. Gagasan tersebut,
ternyata mendapat tanggapan beragam. Sebagian besar
tidak setuju. Terutama perokok berat yang sudah merokok
sejak masa anak-anak. Namun demikian, ada sebagian kecil

155
ternyata setuju, karena memang merasa bahwa merokok
adalah tindakan pemborosan, membuang-buang uang.
Sementara dampak rokok bagi kesehatan, baru diketahui
kemudian, setelah disosialisasi oleh kepala desa dan tokoh-
tokoh masyarakat Iainnya.

Bone-Bone : Menuju Desa Wisata Yang Sehat


Bergulirnya wacana tentang pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development) menekankan
pentingnya memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi hak generasi yang akan datang, dalam
memenuhi kebutuhannya, diadopsi dalam kepariwisataan
dalam pengertian sustainable tourism development. Salah satu
diantaranya adalah wisata desa sebagai wisata minat
khusus (special interest tourism).
Dalam hal ini pariwisata tidak dipandang semata-mata
dari aspek ekonomi yang memaksimalkan upaya
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), maupun mendapatkan devisa dalam
mendukung pembangunan, melainkan juga untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya.
Desa wisata biasanya menarik dikunjungi karena
memiliki keunikan bentang alam : sumber air panas, air
terjun, kesejukan udaranya, keunikan masyarakatnya,
maupun karena keindahan panorama alam. Desa wisata
merupakan suatu wilayah pedesaan yang dapat
dimanfaatkan berdasarkan dukungan unsur-unsur yang
memiliki produk wisata yang menarik. Desa wisata
menawarkan secara keseluruhan suasana dengan
karakteristik yang mencerminkan keaslian pedesaan.
Tatanan kehidupan sosial budaya unik dan menarik serta

156
ekonomi lokal. Demikian pula adat-istiadat keseharian yang
mempunyai ciri khas tertentu, arsitektur dan tata ruang
desa menjadi suatu atraksi wisata yang banyak dimintai.
Pujiasworo dkk (2001:77), mengatakan bahwa pada
dasarnya, wisata desa adalah kegiatan pariwisata yang
objeknya diambil dari sumber-sumber yang ada di
pedesaan, baik itu menyangkut sumberdaya alam, adat dan
tradisi budaya, kesenian tradisional, kerajinan rakyat,
maupun kehidupan sosial masyarakat desa yang spesifik.
Keadaan alam pedesaan yang khas, adat dan tradisi budaya,
serta kehidupan sehari-hari masyarakat desa yang baik,
akan memberikan pengalaman luar biasa pada para
wisatawan. Begitu pula halnya dengan seni pertunjukan
tradisional yang dilandasi oleh semangat dan spiritualitas
budaya rakyat yang kental, akan memberikan pengalaman
spiritual yang mengesankan bagi para wisatawan.
Citra tentang desa selama ini, senantiasa terkait
dengan sebuah ruang permukiman yang sehat, aman dan
nyaman, menyebabkan sebuah desa biasanya memberi
kesan menyenangkan, bukan saja karena tata kelola
lingkungan fisik permukiman yang teratur rapi, tetapi juga
karena kehidupan masyarakatnya yang begitu sederhana,
ramah tama dan mengesankan. Dengan demikian, irama
kehidupan di desa mampu memberikan pencerahan dan
kesadaran dalam memaknai arti kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan di desa mereflikasikan
kesederhanaan, kebenaran dan keaslian dimana warga
saling menyapa, saling memperhatikan dan saling tolong
menolong menarik minat banyak orang untuk berkunjung.
Jika pariwisata diartikan sebagai kegiatan rekreasi di
luar domisili untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin atau
untuk mencari suasana baru, maka desalah tempatnya.

157
Hanya saja untuk menjadikan suatu desa sebagai destinasi
wisata, perlu ada upaya atraksi wisata yang bersumber dari
potensi yang ada atau modal wisata yang dimiliki, baik
berupa modal sumberdaya alam atau keunikan tentang
alam, maupun modal budaya berupa ritual adat, seni
tradisi, kerajinan tangan maupun keunikan kehidupan
masyarakat desa.
Tujuan pembangunan wisata desa harus mengacu
pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Secara prinsip, wisata desa harus didukung oleh partisipasi
aktif masyarakat desa itu sendiri dalam merancang,
mengimplementasikan dan mengawasi destinasi wisata
tersebut. Prinsipnya, pariwisata desa harus didasarkan pada
jargon “dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri”. Ida
Bagus Oka (2001:84), mengemukakan pemantapan desa
sebagai tempat komplit sementara bagi wisatawan sebagai
objek wisata, keberadaannya harus tetap dipertahankan
sebagai bagian integral dari kehidupan sosial-budaya
masyarakat setempat. Dalam hal ini pengembangan wisata
desa perlu diarahkan untuk memberikan kesempatan bagi
masyarakat desa agar :
a. Mampu berperan aktif dalam menciptakan lapangan
kerja dan bisnis wisata.
b. Menjadi aktor (pelaku) dalam pengelolaan berbagai
sumberdaya desa, baik sumberdaya ekonomi, sosial,
budaya maupun sumberdaya alam.
Pentingnya pengembangan desa wisata, karena wisata
desa sebagai wisata alternatif maupun wisata minat khusus
(special interest tourism) memiliki peluang untuk berfungsi
sebagai agro wisata, ekowisata, geowisata, wisata kuliner,
wisata spiritual, wisata kesehatan, dan lain-lain. Dengan
demikian, desa wisata dapat menjadi tujuan wisata sesuai

158
motivasi wisatawan untuk berwisata.
Sharpley (Dalam Pitana dan Gayatri, 2005:59),
mengemukakan motivasi berwisata dikelompokkan dalam
empat besar yaitu :
1. Physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat
fisik atau fisiologis), antara lain untuk relaksasi,
kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan
olah raga, bersantai, dan sebagainya.
2. Cultural motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan
untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian
daerah lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai
objek tinggalan budaya (monumen bersejarah).
3. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi
yang bersifat sosial), seperti mengunjungi teman dan
keluarga (VFR, Visiting friends and relatives), menemui
mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi (nilai prestige), melakukan ziarah,
pelarian dari situasi-situasi yang membosankan, dan
seterusnya.
4. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya
fantasi bahwa di daerah lain seseorang akan bisa lepas
dari rutinitas keseharian yang menjemukan, dan ego-
enhancement yang memberikan kepuasan psikologis.
Disebut juga sebagai status and prestige motivation.
Beberapa faktor desa Bone-Bone menarik bagi
wisatawan. Bone-Bone, sebagai desa yang letaknya pada
ketinggian ± 1400 m dpl. menyebabkan udara di desa
tersebut begitu sejuk dengan airnya yang demikian dingin.
Desa yang terpencil di kaki Gunung Latimojong, memiliki
tata letak rumah-rumah penduduk dibangun di bagian
lereng bukit, sehingga tampak unik, dengan kehidupan
penduduk yang terlihat begitu damai. Letaknya pada

159
lereng-lereng kaki gunung, menyebabkan orang-orang yang
berkunjung di desa ini harus mengeluarkan tenaga ekstra
untuk melakukan perjalanan di antara satu tempat ke
tempat lain, bahkan dari satu rumah dengan rumah lainnya.
Tata letak rumah-rumah penduduk yang bertengger di
lereng-lereng kaki gunung tampak begitu indah, tetapi yang
juga tidak kalah menarik adalah sawah-sawah petani yang
tersusun bertingkat-tingkat, terlihat begitu rapi dan begitu
indah di lereng-lereng bukit. Keindahan tersebut tampak
makin sempurna, ketika menyaksikan burung-burung liar
beterbangan di atas sawah-sawah penduduk desa yang
terhampar luas bagi permadani yang indah.
Di sawah-sawah petani itu pula, kita dapat
menyaksikan petani mengolah sawahnya, bagaimana
mereka membajak sawah, membersihkannya, menanami,
menjaga sampai kemudian memanennya. Sungguh suatu
perjuangan hidup yang tampak begitu keras, tetapi mereka
dapat lakukan dengan ikhlas sehingga terkesan petani
tersebut terlihat begitu damai.
Tradisi mengolah sawah bagi petani di desa Bone-
Bone dilakukan secara sungguh-sungguh dengan sistem
tolong-menolong. Terutama ketika mereka menanam padi,
sawah-sawah akan dikerubuti oleh penanam padi,
sementara pada siang hari, perempuan-perempuan desa
datang membawa makanan. Di antara perempuan desa
yang datang adalah gadis-gadis desa, menyebabkan
suasana menanam padi tampak begitu bergairah, karena
anak-anak muda laki-laki yang menanam padi akan
memperlihatkan semangat bekerja keras yang ia lakukan
dengan gembira. Sungguh suatu moment yang indah. Saat-
saat menanam padi sebenarnya dapat menjadi atraksi
wisata yang menarik.

160
Bagi wisatawan mancanegara, cara bertani masyarakat
desa Bone-Bone merupakan hal yang unik. Terutama
melihat kebersamaan dalam aktivitas menanam padi,
dimana petani menunjukkan kegairahan dan semangat
kegotongroyongan, menjadi hal yang luas biasa, dan ini
dapat menjadi sebuah atraksi wisata. Dalam hal ini
wisatawan dapat ikut bersama bergembira di sawah-sawah
yang berlumpur sambil merasakan sengatan matahari di
daerah pegunungan yang tentu saja panasnya tidak sama di
daerah pantai. Peristiwa semacam ini dapat menciptakan
kesan dan kenangan luar biasa.
Desa Bone-Bone, termasuk desa penghasil kopi di
Kecamatan Baraka Enrekang. Tradisi berkebun kopi telah
dilakukan sejak dahulu. Tanaman kopi di desa-desa sudah
ada semenjak zaman Belanda. Hanya saja pada masa itu,
petani masih menanam kopi tipika yang memiliki aroma
khas sehingga mudah dikenali karena aromanya berbeda
dengan jenis kopi lainnya. Boleh jadi ini disebabkan, karena
pertumbuhan kopi tipika tidak memerlukan pestisida,
maupun pupuk saat itu.
Saat ini, penanaman kopi tipika masih dilakukan,
tetapi relatif terbatas karena hasilnya tidak diperjual-
belikan, melainkan hanya untuk kebutuhan konsumsi
sendiri, atau juga bagi mereka yang memerlukannya.
Sejatinya, dari sisi wisata pedesaan, kopi tipika bisa menjadi
menarik, karena dianggap unik dalam arti, sudah tidak
begitu dikenal, sehingga dianggap barang langka. Tentu
saja bagi peminum kopi, kelangkaan kopi tipika tentu akan
membuat penasaran. Datang ke desa Bone-bone untuk
menyeruput kopi tipika bukan tidak mungkin menjadi
salah satu yang menarik untuk datang ke desa tersebut.
Bentang alam perbukitan dan belokan lereng gunung,

161
sangat mendukung desa Bone-Bone menjadi desa wisata
sehat, dimana wisatawan benar-benar dapat meluangkan
waktunya untuk berolah-raga. Ada beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan:

1. Wisata lintas alam


Wisata lintas alam memiliki daya tarik tersendiri,
khususnya bagi segmen wisata usia muda, pencinta alam,
peneliti ilmiah maupun wisatawan intelektual lainnya,
karena beberapa alasan, yaitu (1) untuk memuaskan
kebutuhan psikis antara lain misalnya, karena mampu
menaklukkan bentang alam yang tidak semua orang dapat
lakukan; (2) untuk memenuhi keingintahuan akan beberapa
hal berkenaan dengan aspek keragaman sumberdaya
hayati, keunikan bentang alam, maupun kekhasan pernik
budaya lokal dan kehidupan penduduk dalam dan sekitar
hutan, dan (3) untuk memperkaya pengalaman melalui
interaksi dengan penduduk yang memiliki posisi sosial dan
latar budaya yang berbeda pula. Alasan lainnya, adalah (4)
untuk menguji ketahanan fisik sebagai upaya meningkatkan
status kesehatan.
Wisata lintas alam dapat menunjang kesehatan karena
dilakukan dengan jalan kaki. Dilansir dari healthmeup.com
(Dalam Kompas, 12 November 2004), bahwa manfaat jalan
kaki antara lain adalah mampu memperlambat penurunan
ingatan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa, mereka
yang memiliki kebiasaan berjalan, dapat menyebabkan
perbaikan kognitif pada orang dewasa yang lebih tua.
Dengan berjalan maka indra akan terevitalisasi. Juga
mampu menenangkan pikiran terutama bagi orang dewasa
yang telah tua. Menurut Amber Watt, Asisten Profesor
Klinis Psikologi di University of Kansas di Amerika, orang

162
bisa berjalan dengan baik untuk mendapatkan tempat
bersantai. Dalam penelitiannya itu, ia melibatkan 25 orang
penderita penyakit Alzheimer ringan dan 39 orang dewasa
yang lebih tua tanpa gangguan kognitif. Hasilnya sangat
bermanfaat bagi orang dewasa yang lebih tua, profesional
perawatan kesehatan, pengasuh, arsitek dan perencana
kota.
Lingkungan yang menyenangkan sangat baik untuk
mendukung aktivitas berjalan kaki, apalagi di lingkungan
ruang terbuka hijau dengan kesejukan udara yang bersih.
Hal ini tentunya menyegarkan pikiran. Selain itu, dengan
berjalan kaki juga mampu menurunkan tekanan darah dan
stres, mengurangi resiko stroke. Kaki adalah cara efektif
untuk mengurangi stres. Berjalan kaki dapat meningkatkan
norepinefrin kimia di otak dalam merespon stres untuk
meningkatkan fungsi otak. Berjalan juga menghasilkan
endorfin yang memicu kebahagiaan dan gairah sehingga
memudahkan depresi pada orang dewasa menurun, bahkan
bisa meningkatkan mood anda secara keseluruhan.
Manfaat jalan kaki lainnya, apalagi jika dilakukan
secara teratur adalah mengurangi gejala varises, seiring
bertambahnya usia kemungkinan varises dapat terjadi pada
seseorang. Akibat pembakaran lemak karena berjalan,
sangat mungkin mengurangi resiko penyakit degeneratif.
Orang yang kelebihan berat badan akibat obesitas
disarankan untuk membiasakan diri jalan kaki. Para ahli
kesehatan menyarankan agar membiasakan jalan kaki
untuk memperlancar sistem pencernaan, mencegah diabetes
sampai mengurangi resiko kanker. Karena itu pula
kebiasaan jalan kaki yang dilakukan secara rutin sangat baik
untuk kesehatan jantung. Hal ini terjadi karena jalan kaki
dapat meningkatkan denyut jantung, meningkatkan

163
sirkulasi darah dalam tubuh dan memperkuat jantung dan
menurunkan tekanan darah.
Bagi lansia, membiasakan diri untuk jalan kaki ± 30
menit sehari sangat baik untuk mencegah osteoporosis.
Penyakit ini disebabkan oleh adanya penipisan tulang
sehingga tulang menjadi keropos, rapuh dan rentan patah.
Dengan berjalan kaki tulang paha serta betis menjadi kuat
dan secara umum lansia dapat membangun dan
mempertahankan kesehatan tulang.
Keutuhan ekosistem hutan di desa Bone-Bone relatif
masih terjaga sehingga menjadi habitat beberapa jenis
burung dan hewan liar. Dengan demikian, desa Bone-Bone
merefleksikan kehidupan pedalaman, birthwatching dan
menjadi sumber kehidupan melalui ketersediaan oksigen
yang melimpah. Oksigen mampu menggerakkan sistem
pernapasan yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup
untuk bernafas. Bersama dengan makanan yang ada dalam
tubuh menghasilkan energi, uap air (H2O), dan karbon
dioksida (CO2), yang sangat berguna untuk menggerakkan
kerja tubuh. Sementara H2O dan CO2 merupakan sisa dari
proses pernapasan yang akan dikeluarkan dari tubuh.
Oksigen pun memengaruhi sistem peredaran darah
dalam tubuh manusia. Bahkan kebutuhan tubuh akan
oksigen berkisar 90 persen. Jika oksigen di dalam darah
tidak mencukupi, ini akan menyebabkan sesak nafas.
Bahkan oksigen dapat memaksimalkan daya ingat, karena
oksigen yang keluar masuk pada tubuh dapat
mempengaruhi fungsi kerja otak. Jika oksigen yang masuk
ke otak mencukupi, daya ingat serta kecerdasan otak akan
lebih baik.
Oksigen yang ada dalam tubuh cukup tinggi, maka hal
ini dapat membuat sel-sel penyakit seperti kanker tidak

164
dapat tumbuh. Sebaliknya amat berbahaya manakala tubuh
kekurangan oksigen. Ini disebabkan oleh adanya ruang
dalam tubuh tanpa oksigen yang dapat menyebabkan sel-
sel kanker bisa berkembang bebas dan dapat melemahkan
tubuh. Demikian pula, menghirup oksigen dengan cara
bernafas dalam-dalam, dapat membantu terbukanya paru-
paru. Tubuh akan memberikan tanda untuk memperlambat
reaksi di otak. Ini kemudian dapat memperlambat denyut
jantung serta menurunkan tekanan darah yang tinggi, dan
ini akan membuat seseorang akan merasa lebih rileks dan
tenang.
Jika dianalisis, desa Bone-Bone memiliki kekuatan
untuk menjadi desa wisata, antara lain :
1. Keunikan kehidupan penduduk yang miliki kearifan
lokal untuk melawan kebiasaan merokok sehingga
memungkinkan desa Bone- Bone bebas asap rokok.
Bukan saja itu, ayam potong dan telur ayam ras dilarang
untuk dibawa ke desa Bone-Bone sebagai pencegahan
terhadap penyakit flu burung. Calon pengantin
diharuskan menanam 5 batang tunas pohon, sebagai
upaya pelestarian lingkungan.
2. Gaung desa Bone-Bone telah mengglobal sehingga
dikenal, bukan saja di tingkat lokal, baik di Kabupaten
Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, maupun di tingkat
nasional, bahkan di tingkat internasional, terutama oleh
Lembaga Internasional seperti WHO {World Health
Organization). Dari sisi ini, desa Bone-Bone telah
dipromosikan gratis sehingga banyak yang datang baik
untuk melakukan penelitian, anjangsana maupun
sekedar untuk rekreasi.
3. Kawasan desa Bone-Bone memiliki fanorama alam yang
indah, selain udara sejuk dan bersih, juga memiliki

165
obyek potensial berupa beberapa air terjun yang relatif
dapat dijangkau dari pusat desa. Air terjun dapat
menjadi andalan untuk mendukung Bone-Bone sebagai
desa wisata. Demikian pula sawah yang bertingkat-
tingkat di perbukitan dapat menjadi atraksi wisata yang
menarik.
4. Ekosistem hutan di kaki gunung Latimojong, termasuk
di desa Bone- Bone, relatif masih terjaga, sehingga
menjadi habitat beberapa jenis burung dan hewan liar.
Sudah barang tentu keberadaan burung dan hewan liar
dapat diupayakan menjadi atraksi wisata.
5. Desa Bone-Bone berada dalam wilayah Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang. Para wisatawan yang
menggunakan moda transportasi mobil dari Makassar
atau kota-kota lain dari arah selatan, sudah barang tentu
akan melewati Enrekang menuju Tana Toraja atau
kabupaten Toraja Utara. Dua kabupaten yang menjadi
destinasi wisata terkemuka di Provinsi Sulawesi Selatan.
Diharapkan desa Bone-Bone yang akan menjadi
destinasi wisata unik “wisata sehat” dapat menjadi
destinasi yang menerima wisatawan, khususnya segmen
wisata alternatif yang cenderung bertumbuh semakin
tinggi saat ini.
6. Sebagai destinasi wisata alternatif, tidak memerlukan
akomodasi mewah seperti hotel berbintang, tetapi cukup
menata dan mempersiapkan rumah-rumah penduduk
menjadi homestay.
Makanan sehari-hari masyarakat desa Bone-Bone,
sama saja dengan makanan orang Duri pada umumnya.
Satu hal yang menarik, bahwa penghasil beras merah yang
terkenal kelezatan dan manfaatnya, dihasilkan oleh desa
tetangga yakni desa Salukanan. Desa ini hanya berjarak ± 5

166
km, dan dilewati saat berkunjung ke desa Bone-Bone.
Wisatawan yang berkunjung ke desa Bone-Bone disarankan
untuk singgah di desa ini membeli beberapa liter beras
merah untuk dikonsumsi di desa Bone-Bone. Beras merah
sangat bermanfaat bagi kesehatan, sehingga penderita
diabetes disarankan untuk mengkonsumsi secara teratur
beras merah. Beras merah memiliki indeks glikemik rendah
yang membantu dalam mengurangi lonjakan insulin dan
membantu menstabilkan kadar gula darah dalam tubuh.
Sebuah studi perbandingan yang dilakukan dalam hal
ini mengungkapkan bahwa beras merah kaya asam folat,
serat dan polifenol penting. Beras merah adalah sumber
karbohidrat kompleks yang membantu dalam pelepasan
gula lebih lambat dibandingkan dengan nasih putih. Selain
itu, beras merah bermanfaat dalam mencegah obesitas. Ini
disebabkan, beras merah mengandung mangan yang
membantu mensintesis lemak tubuh. Konsumsi biji-bijian
utuh seperti beras merah memiliki efek positif pada tubuh
sehubungan dengan pengurangan Indeks Massa Tubuh
(IMT) dan lemak. Beras merah pun dapat meningkatkan
aktivitas glutathione peroxidase, enzim antioksidan, yang
membantu meningkatkan kadar kolesterol HDL pada orang
yang mengalami obesitas.
Manfaat beras merah yang juga penting diketahui,
bahwa beras merah dapat mencegah Alzheimer, karena
kemampuannya membantu dalam pencegahan komplikasi
neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer yang dikaitkan
dengan banyaknya asam gamma aminobutirat yang
terkandung pada beras merah.
Beras merah yang bertunas mengandung komponen
bermanfaat yang membantu dalam menghambat enzim
berbahaya yakni endopeptidase prolyl, yang dikaitkan dengan

167
penyakit Alzheimer. Hal ini juga bermanfaat untuk
gangguan otak lainnya seperti dimensia dan amnesia.
Penderita gangguan jantung disarankan untuk
mengkonsumsi beras merah sebagai upaya meningkatkan
kesehatan jantung. Beras merah kaya akan selenium yang
berfungsi untuk mengurangi penyumbatan arteri karena
penumpukan plak. Tindakan pelindung ini mengurangi
resiko gangguan jantung, akibat hipertensi dan penyakit
vaskuler. Studi yang dilakukan dalam hal ini menunjukkan
bahwa jaringan di sekitar butir beras merah mengandung
komponen yang bekerja melawan protein endokrin
angiotensin II, yang mencairkan peran utama dalam
perkembangan tekanan darah tinggi dan atherosclerosis.
Manfaat yang juga sangat penting beras merah adalah
menjaga kadar kolesterol yang sehat karena mengandung
minyak alami. Beras merah memiliki kualitas
hipokalestralemia yang mampu mengatur metabolisme
kolesterol. Berisi nutrisi bermanfaat yang membantu
metabolisme lipid dan glukosa. Ekstrak beras merah
berkecambah membantu mencegah munculnya trigliserida
hati karena konsumsi alkohol yang berlebihan.
Beras merah mengandung banyak sekali vitamin,
mineral dan komponen fenolik esensial yang bermanfaat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Tujuannya untuk
memelihara tubuh, mempercepat penyembuhan, dan
meningkatkan kemampuan untuk melawan infeksi.
Konsumsi beras merah juga bermanfaat untuk
kesehatan tulang, karena beras merah kaya akan
magnesium dan kalsium. Kandungan beras merah yang
kaya akan magnesium dapat mencegah demineralisasi
tulang dan bermanfaat untuk kondisi medis seperti arthritis
dan osteoporosis.

168
Mengkonsumsi beras merah secara teratur sangat
bermanfaat menjaga sistem pencernaan yang sehat. Serat
yang terdapat di dalamnya membantu mengatur fungsi
usus dan membuat seseorang merasa kenyang, lapisan
bekatul pada beras merah mencegah penyerapan asam dan
kelembaban menghasilkan retensi tekstur yang lebih baik.
Beras merah pun sangat membantu dalam pencegahan
kanker usus besar, kanker payudara, dan leukemia. Ini
terjadi karena keberadaan antioksidan dan kandungan serat
yang tinggi di dalamnya. Beras merah juga dapat mencegah
racun menempel ke dinding usus besar dengan membantu
menghilangkannya dari tubuh.

169
C. KARST MAROS – PANGKEP :
MEMANFAATKAN POTENSI WISATA
MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT

Pengantar
Kawasan karst Maros - Pangkep yang terkenal karena
landcapenya yang unik indah dan menarik menjadikan
kawasan ini termasuk kawasan karst terindah di Indonesia.
Lagipula kawasan karst ini terluas kedua setelah bentang
alam karst yang ada di Cina.
Kawasan karst Maros - Pangkep memiliki landscape
yang spesifik dengan ornamen gua yang sangat indah,
menyebabkan kawasan ini banyak dikunjungi oleh
wisatawan, baik wisatawan nusantara, maupun wisatawan
mancanegara. Lagipula letak kawasan karst Maros -
Pangkep berada dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung yang relatif dekat dengan kota
Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga
aksesibilitas ke kawasan ini relatif mudah. Menuju ke
kawasan ini dapat ditempuh melalui jalur trans Sulawesi
dengan waktu tempuh  30 menit dari Bandar Udara
Internasional Sultan Hasanuddin.
Dalam buku informasi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dipaparkan Karst Maros - Pangkep menjadi
kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena
landscapenya yang spesifik dan ornamen gua terindah. Tak
kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan
keindahan bentukan ornamen gua speleothrm. Seperti halnya
ornamen canopy yang menyerupai payung, gordyn yang
memiliki tekstur yang berlengkok-lengkok seperti gorden
yang menggantung. Stalactif yang menjuntai ke bawah atau
stalagnit yang menonjol ke permukaan dan pilar atau

170
column yang merupakan persatuan antara stalactif dan
stalagmit serta beragam ornamen gua lainnya.
Karst Maros-Pangkep juga menjadi pusat perhatian
dunia karena terkaya keanekaragaman biota guanya. Biota
pada sistem perguaan pun sangat unik, langka dan sering
terkesan aneh. Seperti halnya ikan buta dan/atau memiliki
mata resesif karena tak berfungsi pada zona gelap abadi di
bagian dalam gua sejenis Brosrichus berbagai jenis
antropoda seperti serangga (jangkrik, ngengat, ekor pegas
Collembola) Isopoda, laba-laba, kalajengking, ambilipygi,
udang, ketam buta (Cancrocaecca) dan lain-lain serta
berbagai jenis moluska .keong darat dan air serta kerang.
Gua pun menjadi habitat bagi beberapa jenis mamalia kecil
seperti tikus, cecurut dan kelelawar.
Tidak hanya berornamen indah, gua-gua tersebut
banyak juga yang memiliki nilai arkeologi tinggi. Di
dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia prasejarah
yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan
budayanya. Pada tahun 2007, Balai Peninggalan Prasejerah
dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan 27 Situs
Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-
Pangkep dari total 89 gua prasejarah yang ada. Paling
terkenal dan sering dikunjungi adalah Gua Petta Kere dan
Gua Petae yang ada di Taman Prasejarah Leang-leang, Kab.
Maros. Dalam gua tersebut ditemukan adanya lukisan
telapak tangan, binatang serta benda-benda peninggalan
lainnya, seperti alat-alat berburu, pertanian, alat untuk
mengumpulkan makanan, nelayan dan peternakan yang
semuanya terbuat dari tulang belulang. Peninggalan-
peninggalan ini seakan menjadi ‘jendela’ kita dalam
menguak kehidupan manusia purba jaman pra sejarah.

171
Kawasan Karst Maros-Pangkep
Kawasan karst Maros Pangkep meliputi areal
sejumlah 40 ribu hektar, yang membentang pada dua
kabupaten yaitu kabupaten Maros dan kabupaten Pangkep.
Sebanyak 20.000 ha ditetapkan masuk dalam kawasan
Taman Nasional Bantingmurung Bulusaraung. Sesuai
keputusan Menteri Energi Pertambangan Nomor
1456/K/20/MM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan
Kawasan Karst, kawasan karst Maros Pangkep dibagi dalam
tiga kelas. Kelas I, kelas II dan kelas III. Kelas satu memiliki
kriteria satu atau lebih antar lain mempunyai fungsi sebagai
penyimpan air tanah permanen, mempunyai gua-gua dan
sungai bawah tanah aktif, serta mempunyai kandungan
flora dan fauna khas, sedangkan kawasan karst kelas dua
kriterianya fungsi penambah air bawah tanah, mempunyai
gua-gua kering dan menjadi tempat tinggal fauna yang
memberi nilai dan manfaat ekonomi. Kawasan karst ini
telah diusulkan sebagai situs warisan budaya dunia (world
Heritage) kepada UNESCO sejak 2001.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata sedang memperjuangkan gua-
gua prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep untuk
ditetapkan sebagai situs warisan dunia dalam bidang
budaya (Culture World heritage Site). Hal yang sama juga
sedang diperjuangkan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan untuk mengusulkan kawasan karst Maros-Pangkep
guna mendapatkan status yang sama dalam bidang
sumberdaya alam (Nature World Heritage Site). Suatu
kebanggaan yang luar biasa kalau kedua hal tersebut bisa
didapatkan, karena untuk mencapainya bukanlah suatu hal
yang mudah. Semua sektor dan para pemangku
kepentingan harus duduk bersama untuk menyamakan

172
persepsi dan mengambil langkah-langkah strategis dan
efisien, sehingga kedua tujuan ini dapat tercapai.
Situs warisan dunia adalah suatu tempat atau lokasi
(site) yang merupakan warisan alam berupa pelestarian
contoh-contoh unik dari keajaiban alam di planet ini, dan
bernilai tinggi bagi kehidupan manusia Untuk itu, ada
aspek yang akan dinilai dan situs yang diajukan, yakni (1)
contoh menonjol sejarah bumi termasuk budaya manusia,
(2) contoh menonjol proses biologis dan ekologis yang
sedang berlangsung, (3) contoh menonjol fenomena alam
dan keindahan alam yang istimewa dan estetis, (4) habitat-
habitat alam yang penting dan signifikan untuk konservasi
in situ keanekaragaman hayati, termasuk habitat species
yang terancam punah. Kawasan karst memiliki banyak
potensi yang bisa dikembangkan, diantaranya meliputi
potensi biotik maupun potensi abiotik.
Pengembangan kawasan karst untuk pariwisata,
khususnya wisata desa, diharapkan mampu menjadi
peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Potensi biotik yang dapat dikembangkan dari ekosistem
karst diantaranya gua sebagai habitat burung wallet,
kelelawar menghasilkan kotoran yang disebut guano. Sarang
burung wallet bisa dijadikan bahan konsumsi dan guano
merupakan bahan pupuk yang bagus. Kedua barang ini
bernilai ekonomi tinggi sehingga bisa dijadikan sumber
pendapatan. Selain wallet dan kelelawar, gua juga
merupakan habitat bagi satwa lain, baik vertebrata maupun
invertebrate yang memiliki fungsi tersendiri dalam
ekosistem karst. Potensi biotik lainnya adalah potensi flora
atau tumbuhan yang hidup di dalam kawasan karst.
Kondisi ini menjadi potensi untuk pengembangan bidang
kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kondisi hutan yang

173
baik membuat proses perusakan karst menjadi terhambat
(Suryatmojo. 2006).
Potensi abiotik yang dapat dikembangkan dalam
kawasan karst yaitu potensi sumberdaya air di bawah
permukaan berupa sungai bawah tanah yang mampu
mengatasi kekurangan ketersediaan air permukaan. Potensi
bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi namun harus
dilakukan secara terkendali pada zona yang ditetapkan
sebagai zona pertambangan. Kawasan karst dengan lanskap
dan batuan yang khas dan fisiografi yang unik dengan
keberadaan tebing, gua dan sungai bawah tanah merupakan
potensi wisata minat khusus yang bernilai ekonomi tinggi
dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Menurut KLH (2009), ekosistem karst memiliki
berbagai manfaat, antara lain:
a. Tempat penyimpanan air yang secara bertahap dapat
disalurkan ke tempat lain.
b. Habitat yang sesuai bagi fauna yang tinggal di gua-gua
karst seperti kelelawar, berfungsi sebagai penyerbuk,
penyebar biji, dan pengendali hama serta penyakit yang
berasal dari serangga.
c. Habitat burung wallet yang bersarang pada gua-gua
karst dan menghasilkan sarang wallet yang bernilai
ekonomi, serta mengendalikan populasi serangga yang
menjadi hama dan menyebarkan penyakit.
d. Kawasan karst memiliki pemandangan yang indah
sebagai lokasi tujuan wisata.
e. Beberapa kawasan karst memiliki nilai tradisi, terutama
bagi masyarakat yang masih menggunakan atau ceruk
sebagai bagian dari tradisinya; seperti kuburan toraja,
kandang ternak, dan sebagainya.
f. Beberapa kawasan karst memiliki nilai pustaka budaya

174
yang merupakan lokasi bersejarah.
g. Kawasan karst kaya akan bahan galian tambang sehingga
berpotensi sebagai kawasan pertambangan.
Ekosistem karst ditandai dengan adanya
penggabungan dua ekosistem yang saling terkait dan saling
mempengaruhi, yakni ekosistem hutan dibagian atas dan
ekosistem gua di bagian bawah. Bentang karst yang
menopang vegetasi hutan bukit kapur, merupakan salah
satu ekosistem hutan yang rentan terhadap gangguan
sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Faktor
pembatas yang sangat ekstrim seperti sangat tipisnya
permukaan tanah, bahkan pada bagian tertentu lapisan ini
tidak dijumpai, serta kondisi mineral yang didominasi oleh
karbonat, menyebabkan tumbuhan yang bisa beradaptasi
pada habitat tersebut juga sangat spesifik (Whitten dkk,
1987). Hal inilah yang menyebabkan para ahli ekologi hutan
mengelompokkan hutan bukit kapur sebagai suatu
ekosistem hutan tersendiri, yang sangat berbeda dengan
ekosistem hutan lainnya.
Meskipun karst termasuk ekosistem yang rentan
terhadap gangguan, tetapi juga sekaligus unik karena
penggabungan dua ekosistem, yakni ekosistem hutan di
bagian atas (ekokarst) dan ekosistem gua di bagian bawah
(endokarst). Keanekaragaman jenis dan keberlanjutan
perkembangan tumbuhan hutan di bagian atas, selain
dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia batuan serta iklim,
juga dipengaruhi oleh organisme penghuni gua, terutama
oleh kelelawar dan beberapa jenis burung yang melakukan
pollinasi dan menyebarkan biji, sehingga tumbuhan bisa
tersebar di areal karst. Sebaliknya, vegetasi hutan
merupakan sumber energi bagi penghuni gua yang hidup
dalam kegelapan, dimana energi tersebut akan masuk ke

175
dalam gua melalui aliran maupun dibawa oleh kelelawar
dan burung penghuni gua.
Sistem ekologi yang bekerja dengan sangat sempurna
ini, menghasilkan potensi sumber daya biofisik yang unik,
yakni berupa sebaran komunitas tumbuhan dan
keanekaragaman jenis hayati yang spesifik, sistem gua dan
ornamennya (stalagtit, stalagmit, flowstone, column, dll)
sungai dan danau dalam tubuh batuan karbonat, serta
berbagai bentuk tofografi karst yang khas. Masalahnya,
kegiatan pertambangan batu gamping untuk memenuhi
kebutuhan pabrik semen, marmer dan bahan bangunan
serta pondasi jalan raya telah mengancam secara langsung
terhadap kedua ekosistem di atas. Kerusakan habitat akibat
pertambangan, pada akhirnya akan mempengaruhi hayati
hutan bukit kapur, system gua dan hidrologi di kawasan
karst Maros-Pangkep. Untuk itu, perlu dipikirkan bersama
bagaimana merencanakan pengembangan objek wisata
tersebut untuk kepentingan masyarakat, khususnya
masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan karst dan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Masyarakat
lokal harus menjadi bagian dari rencana pengembangan
yang mempertimbangkan kerangka hubungan keterkaitan
dari semua faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
dari pengembangan wisata karst di Kabupaten Maros-
Pangkep. Juga perlu memikirkan keanekaragaman hayati
beserta ekosistemnya pada kawasan karst, melalui
penentuan atau perlindungan areal karst yang berpotensial,
tidak cukup hanya pada kawasan konservasi, tetapi juga
pada kawasan hutan lainnya, dan bahkan di luar kawasan
hutan.
Areal karst yang ada di dalam wilayah kawasan
konservasi, hampir tidak mengalami masalah karena

176
kawasan konservasi memang berfungsi untuk perlindungan
keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Tekanan
lebih banak terjadi pada areal karst kawasan hutan lindung,
produksi dan areal penggunaan lainnya, karena adanya
kebijakan melakukan pertambangan pada kawasan hutan
tersebut. Meskipun kegiatan pertambangan yang diizinkan
pada hutan lindung adalah sistem pertambangan tertutup
atau pertambangan bawah tanah, namun diyakini masih
ada pengaruhnya terhadap ekosistem karst secara
keseluruhan.
Penentuan areal karst potensial untuk perlindungan,
dapat dilakukan melalui kerjasama dengan Departemen
Kehutanan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen
Pertambangan dan Pemerintah Daerah setempat untuk
dapat mewujudkan penentuan karst potensial yang harus
dilindungi.

Atraksi Geowisata Karst Maros-Pangkep


Atraksi geowisata dikawasan karst taman nasional
Bantimurung Bulusaraung semakin banyak diminati oleh
masyarakat, terutama oleh anak-anak muda, kalangan
ilmuan dan pecinta alam. Salah satu kegiatan yang cukup
menarik adalah wisata lintas alam. Wisata lintas alam
memiliki daya tarik tersendiri, khususnya bagi segmen
wisata usia muda, pecinta alam, peneliti ilmiah, maupun
wisatawan intelektual lainnya, karena beberapa alasan
yaitu, (1) untuk memuaskan kebutuhan psikologi, karena
mampu menaklukan bentang alam yang tidak semua orang
dapat lakukan; (2) untuk memenuhi keingintahuan akan
beberapa hal berkenaan dengan aspek keanekaragaman
sumber daya hayati, keunikan bentang alam, maupun
kekhasan pernik budaya lokal dan kehidupan penduduk

177
dalam dan sekitar hutan, (3) untuk memperkaya
pengalaman dengan berinteraksi dengan sesama manusia
berbeda status sosial dan latar budaya. Alasan lainnya
adalah (4) untuk menguji ketahanan fisik sebagai upaya
meningkatkan status kesehatan. Tegasnya aktivitas lintas
alam melalui jungle tracking, akan menambah wawasan dan
pengetahuan serta pengalaman baru yang sensasional.
Kawasan karst dengan tebing-tebingnya yang
menjulang serta lorong bawah tanah yang indah dengan
fenomena alam yang menabjubkan merupakan surga bagi
para petualang. Berbagai kegiatan petualangan yang
menantang dapat dilakukan dikawasan ini. Antara lain
selusur gua (carving), panjat tebing (rock climbing), jelajah
hutan (tracking), mendaki gunung (hill walking) dan
outbound.
Tebing-tebing karst yang menjulang tinggi seakan
menantang para pemanjat tebing untuk menaklukkannya.
Di wilayah Sulawesi selatan, olahraga ektrem ini digemari
oleh para pecinta alam profesional, para mahasiswa serta
pelajar. Kegiatan ini memerlukan keahlian dan peralatan
khusus. Para pemanjat tebing dipersyaratkan menguasai
teknik panjat tebing dan memahami betul tentang safety
procedure kegiatan ekstrim ini.
Tidak semua tebing karst dapat dijadikan sebagai
wahana kegiatan panjat tebing. Beberapa tebing tergolong
rapuh dan mudah gugur. Hanya tebing karst massive yang
dapat digunakan untuk olahraga ini. Pada kawasan Taman
Nasional Bantingmurung Bulusaraung kegiatan ini biasa
dilakukan di daerah Pattunuang Asue, Bantingmurung dan
Karaenta.
Fenomena kehidupan bawah tanah yang tersaji dalam
gua-gua memiliki daya tarik tersendiri, baik bagi para

178
petualang, penggiat kegiatan speleologi, maupun peneliti.
Bagi para penelusur gua, terdapat gua vertikal, horizontal,
dan gabungan antara keduanya yang menyajikan tantangan
dan fenomena alam tersendiri. Setidaknya telah terdata 90
gua yang pernah di eksplorasi dengan panjang lorong yang
bervariasi. Gua yang paling menarik adalah Gua Salukang
Kallang yang memiliki panjang lorong ± 12.643 m dengan
fenomena alam yang menakjubkan karena mampu
menyuguhkan ornamen gua yang indah dan beragam,
kolam-kolam bawah tanah serta biota gua yang unik,
seperti ikan dan udang yang tak bermata. Hasil penelitian
menyebutkan gua ini menyatu dengan Gua Tanete yang
memiliki panjang lorong 9.700 m dan ketinggian dinding
hingga 25 m. jika ditelusuri satu arah, maka panjang
lorongnya mencapai 22 km dan disinyalir sebagai gua
terpanjang di Indonesia. Gua vertikal terdalam pun terdapat
di kawasan ini yaitu Leang Pute yang berbentuk teko (pot
hole) yang cukup dalam. Bagian dasar gua ini menyatu
dengan Gua Dinosaurus, yang juga cukup dalam.
Tidak hanya keunikan dan keindahan fenomena
bawah tanah, bagian permukaan karst juga menyuguhkan
keindahan panorama alam yang tidak kalah menarik,
termasuk keanekaragaman hayati yang tak ternilai.
Keindahan fenomena alam diantara tebing karst cukup
menantang para penjelajah hutan untuk menyusurinya.
Puncak Gunung Bulusaraung yang berada pada ketinggian
1.353 meter tak kalah menantangnya dari gunung-gunung
tinggi lainnya di Indonesia. Apalagi jalur-jalur pendakian di
Gunung Bulusaraung telah dirintis dan sudah banyak
ditelusuri oleh para pecinta alam.
Kawasan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung kaya akan berbagai jenis satwa liar. Kupu-

179
kupu sebagai flagship species, selalu menyuguhkan
pemandangan indah yang menakjubkan ketika mereka
dengan kepakan sayap berwarna-warni berterbangan liar di
alam bebas. Atraksi satwa lainnya adalah sekumpulan kera
Macaca maura di Kawasan Karaenta yang sering kali
memperlihatkan perilaku unik dan lucu. Dengan keahlian
tertentu, kera-kera tersebut dapat dipanggil untuk datang
dan berkumpul. Kegiatan pengamatan burung (bird
watching) juga menjadi atraksi yang menarik. Beragam jenis
burung dengan beragam corak warna dan kicauannya
merupakan daya tarik tersendiri bagi ekotourist, baik
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Satwa unik lainnya adalah Tarsius yang hidup di
sarangnya. Satwa ini berada di daerah Gua Pattunuang,
kawasan Karaenta, kawasan Bantingmurung serta disekitar
Kecamatan Cenrana. Potensi satwa ini dapat dijadikan
atraksi satwa yang sangat menarik, karena satwa ini
terkenal unik, langka dan dilindungi.
Gua merupakan salah satu bentuk geo-morfologi pada
kawasan karst, berupa batuan gamping yang berasal dari
batu karang yang terangkat oleh proses pengangkatan
lempengan tektonik. Karst terbentuk melalui proses yang
memakan waktu ratusan tahun. Bermula dari proses
pengangkatan lempeng tektonik dari dasar laut sampai
terjadi peristiwa solusimal yang membentuk gua itu.
Ekokarst karenanya merupakan ekosistem yang unik,
terutama terlihat pada keindahan bentang alam dan
kekhasan flora-faunanya serta adanya fenomena kehidupan
bawah tanah di lorong-lorong celah batuan dengan segala
komponen dan ornamennya (endokarst)
Dalam laporan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung (2008), Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan

180
karst yang paling terkenal di Indonesia karena landscape-
nya yang spesifik dan ornament gua terindah. Tak kurang
dari 400 gua di kawasan ini yang menyajikan keindahan
bentukan ornament gua (speleothem). Seperti halnya
ornamen canopy yang menyerupai payung, gordyn yang
memiliki tekstur yang berlengkok-lengkok seperti gorden
yang menggantung, stalagtig yang menjuntai kebawah atau
stalagmite yang menonjol kepermukaan antara stalagtif dan
stalagmit terdapat beragam ornament lainnya. Karst Maros-
Pangkep juga menjadi pusat perhatian dunia karena
memiliki keanekaragaman biota guanya. Biota pada sistem
perguaan pun sangat unik, langka dan terkesan aneh.
Seperti halnya ikan buta dan atau memiliki mata resesif
karena tak berfungsi pada zona gelap abadi dibagian dalam
gua sejenis Bostrychus, berbagai jenis antropoda seperti
serangga (jangkrik, ngenget, ekor pegas/Collembola),
Isopada, laba-laba, kalajengking, amblipygy, udang, ketam
buta (Cancrocaeca xenomorph) dan lain-lain, serta berbagai
jenis moluska/keong darat dan air serta kerang. Juga
menjadi habitat bagi beberapa jenis mamalia kecil seperti
tikus, cecurut dan kelelawar.
Bukan hanya berornamen indah, gua-gua tersebut
banyak juga yang memiliki nilai arkeologi tinggi. Di
dalamnya banyak dijumpai lukisan manusia prasejarah
yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan
budayanya. Pada tahun 2007, Balai Peninggalan Prasejarah
dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan 27 situs
Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-
Pangkep dari total 89 gua prasejarah yang ada. Paling
terkenal dan sering dikunjungi adalah Gua Petta Kere dan
Gua Petta yang ada di Taman Prasejarah Leang-leang, Kab
Maros. Pada gua tersebut ditemukan adanya lukisan

181
telapak tangan, binatang serta benda-benda peninggalan
lainnya seperti, alat-alat berburu, alat pertanian, peralatan
makan, nelayan dan peternakan, yang semuanya terbuat
dari tulang belulang. Peninggalan-peninggalan ini seakan
menjadi pintu masuk dalam menguak kehidupan manusia
purba jaman prasejarah.
Gua Prasejarah Bellae di Kampung Bellae, Kelurahan
Biraeng, Kecarnatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep
dengan posisi astronomic 04°49’20” - 04°50’10” LS dan 119”
36’50” BT. terdiri atas 21 gua dengan posisi berjejer
disepanjang bukit karst yang berada tidak jauh dari
permukiman penduduk kampong Bellae. Bukit karst yang
melintasi Ballae dan merupakan tempat beradanya gua-gua
prasejarah yakni bulu matojeng dan bulu matanre,
termasuk gugusan karst yang membentang antara Maros-
Pangkep yang juga disebut sebagai kawasan karst Maros-
Pangkep.
Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan,
Kompleks Gua Prasejarah Sumpang Bita mempunyai
tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai tinggalan
arkeologis baik berupa artefak batu sisa makanan maupun
lukisan dinding gua (rock art). Temuan artefak batu
terutama sekali alat serpih dan bilah yang sebarannya
hampir merata di semua gua, selain itu juga ditemukan
lancipan maros (Maros point) dan micro geometris yang
hanya ditemukan di beberapa situs tertentu. Lukisan
dinding gua yang terdapat di Bellae berupa lukisan figuratif
dan non figuratif.
Gua Sumpang Bita merupakan gua yang terbesar di
Sulawesi Selatan, memiliki kubah yang tinggi dan melandai
ke belakang. Mulut Gua menghadap ke Timur dengan
ketinggian kurang lebih 150 meter dari permukaan Tanah.

182
Ukuran mulut gua yakni tinggi 10 meter dan lebarnya 14
meter dengan kedalaman gua sepanjang 50 meter. Gua
Sumpang Bita terdiri atas dua bahagian besar yang
dipisahkan oleh sekat dinding tengah. Ruang dengan
ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan ruang kedua,
terletak pada bagian utara dan ruang kedua terletak bagian
selatan. Pada bagian dalam ruang pertama terdapat lukisan
rusa berukuran besar yang sedang meloncat dengan
panjang sekitar 212 cm dan lebar 84 cm berwarna merah
ditambah lagi dengan beberapa lukisan cap tangan negatif
(Hand Stencils). Selain kedua panel tersebut dibagian lain
dari ruang pertama, juga terdapat lukisan menyerupai
sampan dengan gambar dua ekor babi yang posisi kepala
menghadap ke bawah, juga terdapat beberapa lukisan
tangan disekitarnya.
Pada bagian utara ruang kedua juga dihiasi dengan
lukisan-lukisan yang berbentuk babi dan lukisan telapak
tangan atau hand stencils dengan ukuran panjang sekitar 90
cm dan lebar 48 cm, sedangkan lukisan berukuran panjang
sekitar 6 cm dan lebar 4 cm. Ada juga lukisan berbentuk
kaki dan tangan terutama di bagian selatan. Dari penelitian
para ahli purbakala hal yang paling menonjol dari gua
sumpang bita ialah lukisan dinding gua yang sangat banyak
akan tetapi bukti-bukti lain seperti sampah dapur (Kitchen
Midden) tidak ditemukan. Karena itu gua ini dapat
disimpulkan bukan sebagai tempat mencari dan mengolah
makanan. Dominasi lukisan dinding dan temuan artefak
alat kerja yang banyak menandakan bahwa gua Sumpang
Bita dipakai sebagai tempat melaksanakan upacara
pemujaan atau persembahan doa-doa keselamatan.
Nilai penting Gua Prasejarah Sumpang Bita Ballae
(Tanudirjo, 2004) :

183
1. Nilai Penting Sejarah, apabila sumberdaya budaya
tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari
peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah,
berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi
bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu.
2. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya
budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut
dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang
keilmuan tertentu.
3. Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumberdaya budaya
tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya
tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau
menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas
tertentu. Nilai etnik dapat memberikan pemahaman latar
belakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan
mitologi yang semuanya merupakan jati diri suatu
bangsa atau komunitas tertentu.
Kawasan karst Maros-Pangkep kaya akan
keanekaragaman fauna, yang sangat terkenal dan dikenal
juga sebagai kerajaan kupu-kupu dan bahkan menjadi
atraksi wisata menarik. Bahkan kupu-kupu ini kemudian
menjadi Flagship Spesies kawasan konservasi. Pada kawasan
ini tercatat ratusan jenis kupu-kupu dengan jenis unik dan
menarik antara lain: Papilio blumei, P. politas, P. sataspes,
Troides haliphron, T. Helena, T. hypolitus, dan Graphium
androcies. Adapun jenis yang dilindungi peraturan
perundangan yang terdapat dikawasan ini adalah Cethosia
myrina, Triodes Hypolitus, Troides Helena, dan Troides
haliphron. Secara keseluruhan, setidaknya terdapat 224 jenis
Insecta yang hidup dikawasan Taman Nasional
Bantingmurung Bulusaraung.
Keanekaragaman jenis kupu-kupu dan keunikan

184
serangga lainnya terutama jenis kembang merupakan daya
tarik tersendiri bagi para kolektor hiasan yang terbuat dari
satwa. Karenanya, satwa-satwa tersebut memiliki nilai
ekonomi yang tinggi dan mampu menopang perekonomian
sebagian warga sekitar kawasan wisata Bantingmurung.
Dikawasan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung juga terdapat beberapa jenis hewan seperti
dikutip dari buku laporan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung, 2008. Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) atau
kera hitam adalah salah satu jenis Primata yang menghuni
kawasan Taman Nasional Bantingmurung Bulusaraung.
Satwa ini merupakan jenis yang dilindungi termasuk dalam
Apendix II CITIES. Kera ini paling sering dijumpai di
wilayah Karaenta dan Tondong Tallasa, namun sebenarnya
tersebar hampir di seluruh kawasan. Berbeda dengan
kelompok kera di Karaenta yang bersarang di lokasi yang
berhutan. Salah satu kelompok kera di Tondong Tallasa
malah memilih habitat bersarangnya di sekitar persawahan.
Kera yang hidup di kawasan Karaenta menjadi salah satu
daya tarik kunjungan wisata. Beberapa kelompok kera ini
dapat dipanggil untuk berkumpul oleh salah seorang
petugas Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional
Bantingmurung Bulusaraung. Jika para pengunjung
menghendaki, mereka dapat berinteraksi secara langsung
dengan gerombolan kera ini.
Musang Sulawesi (Macrogalidia Musschenbroekii)
merupakan jenis yang unik karena merupakan satu-satunya
spesies dalam satu genus dan merupakan satwa endemik
Sulawesi. Hewan ini merupakan mamalia kecil pemakan
buah. Musang Sulawesi sering dijumpai oleh masyarakat
berkeliaran disekitar sungai Bantingmurung.
Selain jenis Macrogalidia, di kawasan Taman Nasional

185
Bantingmurung Bulusaraung juga sering ditemukan
musang Viverra tengahlunga. Morfologi jenis ini menarik
untuk diamati dengan garis-garis putih hitam pada bulunya
yang khas.
Tarsius atau Balao Cengke (Tarsius spectrum) merupakan
primata terkecil didunia. Hewan ini banyak ditemukan
bersarang dikawasan Pattunuang dan Pampang Taman
Nasional Bantingmurung Bulusaraung. Satwa nocturnal
pemakan serangga ini memiliki ukuran panjang badan 8,5-
16 cm, sedangkan ekornya bervariasi antar 13,5-27 cm. Kera
mungil ini memiliki mata bulat yang besar, serta jari-jari
yang panjang untuk berpegangan. Keberadaan Tarsius di
kawasan Taman Nasional Bantingmurung Bulusaraung
sudah sejak lama diketahui, namun kepastian lokasi habitat
dan tempat bersarangnya baru mulai ditemukan pada
pertengahan tahun 2017. Berikutnya, keberadaan sarangnya
semakin banyak diketahui. Satwa mungil dan lucu ini dapat
diamati secara langsung dikawasan Pattunuang.
Kuskus adalah satu-satunya komponen mamalia Irian-
Australia yang sebarannya sampai ke Sulawesi. Kuskus
yang ditemukan di Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung adalah jenis endemik Sulawesi, yaitu Kuskus
Sulawesi (Strigocuscus celebencis) dan kuskus beruang
(Ailurops ursinus). Pada kawasan ini, kuskus sering terlihat
berkeliaran di daerah Biraeng, Minasa Te’ne, Balocci, serta
di sekitar Kawasan Wisata Bantingmurung Pattunuang
Asue, dan Karaenta.
Kelelawar merupakan “key stone species” kawasan karst
Maros Pangkep. Keluarga kelelawar dari genus Pteropus
mempunyai peranan penting dalam penyerbukan dan
penyebaran biji kurang lebih 100 jenis tumbuhan di daerah
sekitarnya. Kelelawar ini juga membawa sisa-sisa makanan

186
ke dalam gua yang sangat dibutuhkan oleh organisme lain
penghuni gua. Jenis kelelawar yang ditemui di karst Maros
Pangkep adalah Pteropus sp. Dobsonia exoleta, Eunycteris sp,
dan lain-lain.
Setidaknya tercatat 73 jenis burung yang terdapat di
dalam kawasan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung. Dua puluh jenis diantaranya merupakan jenis
burung yang dilindungi oleh undang-undang dan 7 jenis
diantaranya termasuk dalam daftar CITES. Burung-burung
tersebut diantaranya adalah Kangkareng Sulawesi
(Rhabdotorrhinus Exarhatus), Raja Udang Biru (Alcedo
Meninting), Pelatuk (Dendrocopos Teinimkii), Sriguntung
(Dicrurus Hottentotus), Wallet (Collocalia Spp.), Burung Hantu
(Otus Manadensis), Burung Pipit (Loncura Molucca, Loncura
Malacca dan Lomcura Vallida), dan Burung Terkukur
(Micropaga Amboinesnsis), Capih (Turacaena Manadensis),
Kakatua Putih Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea), Kakatua
Hijau “Danga” (Tanignatus Sumatranus), Ayam Hutan
(Ghallusgallus), dan lain sebagainya.
Paling menarik adalah kehadiran Elang Sulawesi
(Spiezaetus lanceolatus) yang merupakan satwa endemik
Sulawesi dan dilindungi undang-undang. Elang Sulawesi
masih merupakan kerabat dekat Elang Jawa atau Burung
Garuda (Spizaetus Bartelsi) yang merupakan lambang
Negara Indonesia serta simbol dan keperkasaan bangsa ini.
Burung ini beberapa kali ditemukan terbang di sekitar
Dusun Batumasong, Desa Wanuwaru dan Dusun Bonto Siri
di bagian Timur Kawasan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung.
Burung endemik Sulawesi, dilindungi undang-undang
serta bentuknya unik yang tidak kalah menariknya adalah
rangkong Sulawesi (Rhyticeros Cassidix). Bentuk

187
morfologinya khas dengan helm di kepalanya. Burung yang
tergolong sangat besar ukurannya ini dengan mudah dapat
diamati di seluruh kawasan, terutama sering dijumpai di
kawasan Pattunuang sampai dengan Mallawa, Rhyticeros
Cassidix merupakan maskot satwa Sulawesi Selatan.
Setidaknya ditemukan 37 jenis herpetofauna yang
terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3 jenis
yang belum terindentifikasi. Beberapa jenis diantaranya
adalah jenis endemik Sulawesi yaitu, Kodok Bufo
Celebensis dan Rana Celebensis, serta reptil endemik seperti
ular kepala dua (Cylindrophis Melanotus), Calamaria Muelleri
dan Cicak Hutan (Cyrtodactylus Jellesmae), dan jenis lainnya
yaitu Soa-soa (Hydrosaurus Ambomensis). Limnonectes
modestus dan Kadal Terbang (Drace sp). Soa-soa merupakan
salah satu jenis reptilia yang dilindungi yang ada dalam
Kawasan Taman Nasional Bantingmurung Bulusaraung.
Satwa ini cukup unik karena bentuk morfologinya yang
mirip iguana, namun besar seperti biawak. Hewan ini
sering bertengger di atas bebatuan di tepi sungai, berjemur
disaat matahari mulai terik.
Walaupun kadar kalsium relatif tinggi di kawasan
karst Maros-Pangkep, ternyata Kawasan Taman Nasional
Bantingmurung Bulusaraung tercatat tak kurang dari 302
jenis flora hidup pada kawasan konservasi ini, diantaranya
adalah Ebony (Diospyros Celebica) yang merupakan jenis
endemik Sulawesi, bahkan sempat menjadi idola
perdagangan kayu di Indonesia dan mancanegara. Jenis
lainnya adalah Biti (Vilex Colassus), Nyantoh (Palaquium
Obtusifolium), Cendana (Plerocarpus Indicus), Beringin (Ficus
Benjamina), Sterculia Feolida, Dao (Dracontomelon Mangifeum),
Aren (Arenga Pinnata) Colona Sp. Dillenia Senata, Kemiri
(Aleurites Moluccana), Manggis Hutan (Garcinia Sp), Kenanga

188
(Cananga Odorata), Pelem Wanga (Piqaletta Lilaris Dan Arenga
Sp.), Uru (Ermerillia), Casuarina Sp. Duabanga Moluccana ,
Vatica Sp. Pangium Eduie dan eucalyptus deglupta serta
berbagai jenis tumbuhan lainnya.
Eboni (Diospyros Celebica) atau yang juga dikenal
dengan sebutan Kayu Hitam merupakan flora endemik
Sulawesi yang memiliki nilai ekonomi dan estetika yang
tinggi. Jenis kayu ini sempat menjadi idola perdagangan
kayu di Indonesia dan di mancanegara. Karena
kelangkaannya dan sulit serta panjangnya proses regenerasi
hutan eboni, maka pemerintah menetapkan jenis ini sebagai
salah satu jenis tumbuhan yang dilindungi oleh Undang-
undang.
Di kawasan Taman Nasional Bantingmurung
Bulusaraung, eboni tersebar di daerah non karst dengan
karakteristik tempat tumbuh yang khas yaitu diantara
perbukitan karst dan berada pada ketinggian di atas 230
mdpl antara lain di daerah Karaenta dan Pattunuang.
Harus diakui, atraksi wisata yang paling diminati
adalah air terjun Bantingmurung yang terletak di lembah
karst yang curam. Air terjun Bantingmurung memiliki
tinggi sekitar 15 meter dengan lebar ± 20 meter airnya jatuh
dari dinding bukit yang mengeras, menyebabkan air yang
terjun tersebut tampak tebal dan jatuh menerpa landasan
berupa batu kapur yang juga sudah mengeras. Hal ini
menyebabkan tempat jatuhnya air terjun tersebut menjadi
tempat permandian bagi pengunjung karena kedalamannya
hanya sebatas pinggang orang dewasa.
Dari tempat hempasan air terjun, air mengalir deras ke
arah bawah sehingga dimanfaatkan oleh pengunjung untuk
bermain ban terapung. Lokasi permandian ini juga tampak
begitu indah karena dikelilingi oleh bukit karang yang

189
tinggi, dan dicelah-celah karst tersebut ditumbuhi oleh
pepohonan rindang.
Permandian alam Bantimurung sebenarnya tergolong
destinasi wisata piknik. Karena itu destinasi ini dilengkapi
dengan sarana akomodasi dan restaurant, toko-toko
souvenir, dan bahkan sarana untuk eksebisi dan pertemuan.
Namun demikian, yang tidak kalah menarik, destinasi
wisata ini juga dikenal sebagai “kerajaan kupu-kupu”
karena menjadi habitat dan populasi ratusan jenis kupu-
kupu.
Kupu-kupu merupakan satwa liar yang terkenal
kemolekannya di dunia. Keindahan warna dan bentuk
sayapnya menjadikan kupu-kupu sebagai salah satu obyek
wisata yang menarik. Karena potensi ini, kupu-kupu
banyak diminati orang untuk ditangkap lalu dijadikan
koleksi atau dijual kepada wisatawan. Aktivitas seperti ini
jugs ditemukan di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TN. Babul) kabupaten Maros.
Khusus Sulawesi selatan terutama kawasan Taman
Nasional Babul, merupakan habitat kupu-kupu beraneka
jenis. Seorang Biolog Naturalis Inggris bernama Wallace
ketika mengunjungi kawasan Bantimurung pada tahun 1857
menyatakan bahwa Bantimurung merupakan kerajaan
kupu-kupu terindah dan terbesar di dunia. Spesies kupu-
kupu yang berada di kawasan alam Bantimurung tersebut
diperkirakan sebesar sepersepuluh atau 10,8 persen dari
jumlah kupu-kupu yang ada di Indonesia atau kurang lebih
140 jenis (Balai KSDA Sul-Sel I, 2005).
Kupu-kupu termasuk ke dalam kelompok serangga
yang besar, yang disebut dengan Lepidoptera, yakni serangga
yang sayapnya ditutupi oleh sisik. Jumlah jenis kupu-kupu
yang telah diketahui di seluruh dunia diperkirakan ada

190
sekitar 13.000 dan mungkin beberapa jenis lagi belum di
klasifikasi. Begitu pula dengan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, yang merupakan salah satu
daerah sebaran kupu-kupu dan telah terkenal di dunia
sebagai pusat kerajaan kupu-kupu. Namun demikian, apa
yang digambarkan oleh Wallace pada waktu itu, sudah
sangat berbeda dengan apa yang dijumpai saat ini.
Semakin terbukanya informasi mengenai nilai
ekonomi kupu-kupu, menyebabkan banyak orang yang
menggantungkan hidupnya pada jenis serangga tersebut.
Hal ini menyebabkan, kegiatan eksploitasi kupu-kupu pun
berlebihan, apalagi tanpa mempertimbangkan
keseimbangan populasi di alam. Pada akhirnya akan
berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu
sendiri, sehingga sumberdaya kupu-kupu di habitatnya
mengalami kemunduran dan bahkan sangat mungkin pada
suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumberdaya
kupu-kupu tersebut.
Saat ini kupu-kupu banyak dicari oleh para kolektor
untuk dibuat hiasan maupun untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, karena ada beberapa jenis kupu-kupu,
diantaranya dan Genus Troides, karena bentuk dan
ukurannya yang besar serta warnanya yang menarik, tetapi
jumlahnya sedikit dan perkembangannya lambat. Oleh
karena keindahan tersebut, kupu-kupu ini sering ditangkap,
diawetkan dan dijual kepada pengunjung di kawasan
konservasi atau Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dengan harga yang relatif murah sebagai kenang-kenangan
yang indah dan berkesan. Bila hal ini dibiarkan terus-
menerus, diperkirakan jenis kupu-kupu yang langka dan
endemik serta dilindungi akan punah.
Whitten (dalam Ahmad, 1998) juga melaporkan

191
tentang kupu-kupu yang sumber pakannya hanya terdapat
pada habitat bukit kapur, yaitu kupu-kupu ekor sriti yang
besar (Graphium androcles). Kupu-kupu ini sangat
termasyhur karena deskripsi yang menggambarkan
kecantikannya yang ditulis oleh Wallace dan 25 tahun
berselang, barulah kupu-kupu ini kembali dalam jumlah
yang besar menghiasi kawasan alam Bantimurung
Bulusaraung.
Adanya aktifitas manusia yang menangkap kupu-
kupu secara langsung atau tidak, akan merusak habitat
kupu-kupu, utamanya karena kerusakan tumbuhan bawah
yang terinjak. Hal ini menyebabkan telur dan larva yang
biasanya diletakkan pada tumbuhan bawah akan
mengalami kerusakan, sehingga kemungkinan siklus hidup
kupu-kupu akan terputus dan menyebabkan kelestariannya
terancam. Disamping itu, penangkaran kupu-kupu tersebut
berlangsung secara terus-menerus tanpa
mempertimbangkan sifat ekologis setiap jenis.
Terdapat 20 jenis/spesies kupu-kupu yang dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999, tentang
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di Indonesia. Status
jenis tumbuhan dan satwa digolongkan menjadi dua
golongan yaitu dilindungi dan tak dilindungi. Tumbuhan
dan satwa dikategorikan dilindungi apabila mempunyai
populasi yang kecil, adanya penuaan yang tajam pada
jumlah individu di alam, daerah penyebarannya terbatas
(endemik). Berdasarkan PP tersebut, kupu-kupu yang
dilindungi, yaitu: Cethosia myrina, Omithoptera chimaera,
(Omithoptera goliath, Omithoptera paradisea, Omithoptera
priamus, Omithoptera rotchildi, Omithoptera thitonus,
Trogonoptera brookiana, Troides amphtysus, Troides
andromanche, Tmiders heiena, Troides hypolistus, Troides mewls,

192
Troides muranda, Troides plato, Troides rhadamantus, Troides
riedeli, Troides vandepolli. Khusus propinsi Sulawesi Selatan,
telah ditetapkan empat jenis kupu-kupu yang dilindungi
yang penyebarannya terdapat di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, yaitu: Troides halipron, Troides
helena, Troides hypolitus, Cethosia myrina.
Pelestarian terhadap kelangsungan hidup kupu-kupu
telah dilakukan sejak tahun 1919 oleh pemerintah Hindia
Belanda, dengan menetapkan Bantimurung sebagai
kawasan cagar alam. Tahun 1980 oleh keputusan Menteri
pertanian, kawasan Cagar Alam Bantimurung
dikembangkan menjadi kurang lebih 1000 hektar yang
dimaksudkan untuk melindungi keanekaragaman hayati
yang ada, di dalamnya termasuk kupu-kupu. Hal ini
diperkuat dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.
556/KPTs-H/1989 tentang pemberian ijin menangkap,
memelihara dan mengangkut baik di dalam maupun di luar
negeri satwa liar dan tumbuhan.
Seiring dengan sulitnya mendapatkan lapangan kerja
ditandai terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang
bermukim di sekitar Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sebagai kawasan konservasi saat ini, krisis
moneter yang melanda bangsa, era reformasi dan
demokratisasi yang dianggap sebagai era kebebasan, turut
berpengaruh terhadap perdagangan kupu-kupu, termasuk
kupu-kupu langka, endemik dan dilindungi oleh undang-
undang. Kondisi seperti ini akan membawa dampak
mempercepat hilang dan musnahnya salah satu jenis
keanekaragaman hayati yang ada di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, dan tidak dapat disaksikan oleh
generasi mendatang. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
upaya pelestarian dan perlindungan kupu-kupu langka dan

193
endemik serta dilindungi di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.

Rammang-Rammang : Desa Wisata Di antara Dinding-


Dinding Karst
Rammang-Rammang adalah sebuah dusun dalam
wilayah desa Salenrang, Kecamatan Bontoa Maros berada di
gugusan pengunungan kapur (karst) Taman Nasional
Bantimurung - Bulusaraung, yang beberapa tahun terakhir
menjadi sebuah destinasi wisata yang cukup menarik bagi
penduduk sekitar, terutama bagi penduduk kota Maros-
Makassar-Pangkep yang relatif tinggal tidak terlalu jauh
dari destinasi wisata tersebut.
Daya tarik utama destinasi wisata Rammang-
Rammang adalah jajaran karst yang sangat indah dan
merupakan kawasan karst unik dan fenomenal sehingga
dikenal sebagai “Spectacular Toner Karst” yang terbesar
kedua di dunia setelah bentang alam karst Cina.
Beberapa obyek wisata lainnya dalam kawasan desa
wisata Rammang-Rammang adalah (Lihat Cipta, 2018).

1. Sungai Pute
Menuju destinasi wisata Rammang-Rammang
wisatawan sebaiknya menelusuri sungai Pute yang terletak
di desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, sekitar 7 km dari kota
Maros. Penelusuran sungai Pute menjadi penelurusan yang
sensasional dan mengesankan. Pohon bakau dan nipah
yang tumbuh rimbun di sepanjang bantaran sungai menjadi
fanorama yang menyejukkan mata, belum lagi singkapan
batu kapur yang menyembul dari dasar sungai dan tersebar
di sepanjang sungai menjadi pemandangan tersendiri.
Begitu pula kehadiran satwa endemik seperti kera, elang

194
dan berbagai jenis kupu-kupu yang dapat disaksikan oleh
wisatawan dalam menyusuri sungai Pute, menjadi
pemandangan yang sangat menarik.
Kampung Rammang sebagai tujuan terakhir
penelusuran sungai Pute adalah perkampungan yang
dikelilingi bukit karst, sementara sawah penduduk
terhampar di antara bukit tersebut. Perjalanan ke
perkampungan Rammang, cukup mengesankan, bukan saja
karena fanorama alam, tetapi juga karena banyaknya
perahu motor yang memuat wisatawan, berseliweran,
datang dan yang menjemput menyebabkan perjalanan
sepanjang ± 3-5 km cukup ramai, terutama pada hari-hari
libur
Menjelang petang hari, kelelawar yang keluar dari
dalam goa, menjadi pemandangan yang menarik, demikian
pula kunang-kunang yang beterbangan pada malam hari
menjadi atraksi wisata yang menarik.

2. Situs Prasejarah Rammang-Rammang


Situs Prasejarah Rammang-rammang merupakan
rangkaian dari alur arus Sungai Pute. Di tempat ini terdapat
3 situs gua prasejarah dengan sejarah peninggalan yang
berbeda. Gua leang-leang menggambarkan aktivitas
kehidupan berburu di dataran rendah dan pesisir laut.
Pada dinding gua ditemukan beberapa lukisan yaitu
lukisan babi rusa, lukisan manusia yang membawa tombak
di atas perahu, serta gambar kura-kura dan ikan. Perpaduan
panorama bentang alam dan peninggalan pra sejarah
menjadikan kawasan ini semakin menarik untuk
dikunjungi.

195
3. Hutan Batu Salenrang
Kawasan hutan batu Salenrang merupakan hamparan
ratusan bebatuan berwarna hitam dan abu-abu dengan
berbagai bentuk sehingga terlihat unik. Hutan batu
Salenrang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Konon, hutan
batu tersebut dulunya adalah hamparan laut yang karena
proses pergesekan lempeng bumi mengalami pengangkatan
dari batuan karang menjadi hamparan hutan batu yang
khas dan unik. Hutan Batu adalah penamaan lokal yang
diambil dari bentuk dan susunan yang menyerupai rumput
hutan yang lebat oleh masyarakat lokal batuan ini disebut
juga sebagai ‘batu hidup’ karena dianggap mengalami
perubahan bentuk dari masa kemasa (proses karstifkasi
yang masih berlaku).
Di desa Salenrang terdapat lebib dari satu hutan batu,
bahkan ketika terus melanjutkan perjalanan ke arah dalam
masih terdapat beberapa lagi hutan batu yang dapat
memanjakan mata, bahkan sering kali terdapat wisatawan
yang memanfaatkan keindahan hutan batu ini untuk
dijadikan latar belakang pengambilan foto model dan foto
pra wedding.
Kawasan ini ditumbuhi pula oleh pepohonan hutan
dan pohon lontar di sekitarnya, sesekali tampak ternak
peliharaan penduduk setempat seperti itik dan sapi yang
sedang merumput dan mencari makan, semakin menambah
keindahan taman hutan batu salenrang.

4. Kampung Berua
Kampung Berua merupakan sebuah danau besar
ditengah perbukitan karst, tetapi karena proses yang terjadi
selama ribuan tahun menyebabkan tempat ini memiliki
magnetnya tersendiri. Bukti-bukti dari proses itu, kini bisa

196
dilihat adanya retakan retakan dinding-dinding bukit karst
yang menjulang dan cekungan batuan berupa bukit-bukit
yang membentuk aliran sungai sebagai gerbang Kampung
Berua yang dapat dilihat pada kondisi batuan serta pada
kontur tanah dan batuan yang ada disekeliling Kampung
Berua. Kampung ini, dikelilingi oleh batuan kapur yang
menjulang bagaikan dinding tanggul penahan air.
Nama Kampung Berua berasal dan penamaan
masyarakat yang tinggal di Desa Salenrang, terhadap
penduduk yang tinggal dan menetap di kawasan tersebut,
karena merupakan tempat yang baru dihuni oleh
masyarakat. Secara administrasi kampung Berua masuk
dalam wilayah Desa Salenrang yang dulunya relatif
terisolasi sehingga terkesan masyarakatnya relatif
tradisional.
Hal tersebut disebabkan karena kurangnya akses
masyarakat ke Kampung Berua yang disebabkan
terbatasnya sarana transportasi yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah perahu yang dapat digunakan. Untuk
masuk ke kampung berua harus terlebih dahulu
menghubungi masyarakat yang tinggal di kampung Berua
agar kiranya keluar untuk menjemput tamu atau keluarga
yang akan berkunjung. Namun demikian seiring dengan
perkembangan Kampung berua sebagai objek wisata alam
yang memanjakan mata dengan keindahan perkampungan
yang masih alami dan indahnya panorama karst Maros
Pangkep yang masih terjaga, kampung ini sudah tidak
terisolasi.
Keindahan Kampung berua, terletak pada panorama
alam yang hijau serta masih terjaganya alam lingkungan
hidup masyarakat, serta indahnya hamparan padi di sawah
masyarakat yang tidak menggunakan pupuk kimia sebagai

197
sarana untuk menyuburkan tanah dan tanaman.
Masyarakat dengan pengetahuannya masih tetap
memanfaatkan kotoran kalelawar sebagai pupuk organik
tanaman padi. Demikian pula masyarakat selalu
memaksimalkan potensi alam yang ada, sehingga membuat
kondisi pedesaan dan lingkungan alam terjaga dari
kerusakan.

5. Situs Batu Tianang


Peninggalan prasejarah ribuan tahun lampau dengan
lukisan-lukisan dinding gua, berusia antara 40.000 tahun
silam menjadi bukti kehidupan manusia prasejarah dengan
segala penafsirannya merupakan peninggalan ilmu
pengetahuan yang tak ternilai. Batu Tianang berarti batu
yang hamil, batu hidup yang diambil dari filosofi bentuk
bulu barakka. Situs Batu Tianang berada di sebuah gunung
karst yang bernama bulu barakka (gunung berkah) sebuah
simbol budaya dan kehidupan masyarakat Rammang-
Rammang, ibu dari semua batuan karst yang ada di
kawasan ini adalah salah satu budaya yang masih
berlangsung sampai hari ini adalah `mengambil tanah’
sebelum meninggalkan kampung atau merantau atau agar
suatu saat tetap kembali ke tanah air.

6. Situs Pasaung (Kingkong stone)


Peninggalan prasejarah ribuan tahun lampau dengan
lukisan-lukisan dinding gua berusia 40.000 tahun silam,
menjadi bukti bahwa kehidupan manusia prasejarah
dengan segalah penafsirannya. Nama pasaung berarti
penyabung karena dahulu tempat ini adalah tempat
menyabung ayam, tempat dimana jawara-jawara
berkumpul, karena menyabung ayam adalah salah satu

198
simbol ke laki-lakian jaman itu. Hal yang baru di kawasan
situs pasaung adalah masyarakat menemukan dinding
tebing (ornamen yang telah mati) yang menyerupai muka
kingkong atau monyet besar tepat disamping sisa gambar
prasejarah.

7. Situs Karama
Peninggalan prasejarah ribuan tahun lampau dengan
lukisan-lukisan dinding gua berusia sekitar 15 ribu tahun
silam, menjadi bukti kehidupan masyarakat prasejarah
dengan segala penafsirannya. Dan dengan segala
peninggalan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai. Nama
karma berati keramat atau sakral karena berada di sebuah
padang yang tertutup oleh tebing, masyarakat biasa
menyebutnya “parang-parang” atau padang kecil, yang
merupakan kompleks pertanian dan perkebunan jaman
dulu dan hari ini. Situs karama juga biasa disebut gua
telapak tangan yang diambil dari gambar-gambar telapak
tangan yang berada di dinding gua.

8. Gua Kunang-kunang
Ornamen-ornamen yang berkilau, berkedip seperti
kunang kunang, menyebabkan gua kecil yang terdapat
diujung kampung Massaloeng diberi nama gua Kunang-
kunang. Gua kunang-kunang menawarkan perjalanan
singkat menuju perut bumi yang gelap namun memukau,
karena di gua tersebut kita bisa menjumpai gerombolan
kunang-kunang di hamparan pohon nipa yang berada tepat
di mulut gua yang menghubungkan gua kunang-kunang
dengan sungai pute.

199
9. Telaga bidadari
Telaga ini biasa disebut juga telaga bidadari, dan tak
banyak orang yang mengetahui akan keberadaan telaga
bidadari ini. Telaga ini masih berada di kawasan Rammang-
Rammang berada tepat ditengah-tengah bukit kapur, yang
mempunyai lubang besar tepat ditengahnya dan menjadi
tempat berkumpulnya air sehingga membentuk sebuah
telaga. Air dari telaga ini berasal dari celah bebatuan kapur,
dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki, melewati jalan
setapak berupa pecahan pecahan batu kapur di sepanjang
jalan. Objek wisata ini cukup menantang karena harus
mendaki gunung kapur dan melewati banyak jalan setapak
yang berada di tepi jurang. Dengan airnya yang sangat
jernih dan segar menjadikan telaga ini sebagai salah satu
sumber mata air tawar bagi penduduk setempat.
Proses geologi yang telah dan sedang berlangsung
sejak ratusan ribu yang lalu telah membentuk keragaman
geologi di Maros Pangkep dan salah satunya adalah telaga
bidadari. Hamparan keragaman biologi yang muncul akibat
proses tersebut berupa landscape dan landfrom yang khas
dan unik, singkapan batuan, gua, mata air, dan lain-lain.
Nama telaga bidadari diambil dari sebuah cerita tentang
penampakan pelangi dipermukaan telaga dan dinding batu
yang kemudian dimaknai sebagai jembatan atau tangga
bidadari yang turun ke bumi. Telaga bidadari juga biasa
disebut sebagai telaga jodoh’ karena ketika terjatuh ke
dalam telaga secara tidak sengaja di percaya bahwa pintu
jodoh yang bersangkutan akan segera terbuka.

200
D. EKOWISATA PINRANG POTENSI DAN
PROSFEKNYA PASCA OTONOMI DAERAH

Pengantar
Sebenarnya peluang pengembangan ekowisata disuatu
daerah, disebabkan karena adanya kecenderungan
wisatawan mancanegara untuk memenuhi kebutuhan
mereka, seperti mencari gambaran baru tentang sisi lain
kehidupan yang mereka tak dapatkan di negara asalnya.
Lagi pula, daya tarik ekowisata tidak semata-mata pada
dominasi lingkungan alam, tetapi juga pada dimensi
budaya lokal, baik keunikan tradisi, seni pertunjukan,
peninggalan sejarah maupun hasil-hasil budaya berupa
karya atau produk lokal yang dianggap menarik oleh
wisatawan.
Lanskap Kabupaten Pinrang berupa bentang alam laut
(sea scape) dan bentang darat pantai (coastal landscape),
menjadi modal wisata pantai yang menarik karena memiliki
lebar dan panjang pantai, kebersihan dan kejernihan air
laut, serta jenis pasir yang sangat mendukung aktivitas
wisata pantai. Selain itu, gua-gua alam, potensi air terjun
serta keindahan alam dataran tinggi, memiliki daya tarik
tersendiri.
Kabupaten Pinrang juga memiliki potensi
pengembangan wisata rimba, yakni salah satu jenis wisata
alam yang berlokasi dalam kawasan hutan produksi dan
hutan lindung yang didasarkan pada potensi geofisik
maupun keanekaragaman sumberdaya hayati, serta
kehidupan tradisi lokal masyarakat dalam dan sekitar
hutan.
Perkebunan rakyat memiliki potensi tersendiri sebagai

201
obyek wisata alam, yang dapat dinikmati melalui kegiatan
wisata berkendaraan mobil. Melalui kegiatan wisata ini,
wisatawan dapat menikmati pemandangan dan aktivitas
pekerja perkebunan, yang boleh jadi begitu menarik.
Namun demikian semua aktivitas wisata di sini perlu
dikoordinasikan dengan tourist guide, jika bentuk wisata
bermobil akan digunakan.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, sudah
seyogyanya Pemerintah Kabupaten Pinrang melakukan
langkah-langkah dalam mengembangkan potensi ekowisata
di daerah tersebut. Tidak mustahil, melalui kemasan dan
pemasaran wisata yang dilakukan secara sungguh-sungguh,
sektor pariwisata dapat memacu percepatan pembangunan
daerah. Hal ini dimungkinkan, karena Undang-undang
tentang Otonomi juga memberikan kewenangan bagi
daerah untuk mengelola daerah masing-masing dalam
melakukan pembangunan, termasuk dalam hal ini
pembangunan ekowisata. Kemudahan mengembangkan
sektor ini karena mekanisme pengambilan keputusan
menjadi lebih sederhana dan cepat. Lagipula peluang
masyarakat lokal untuk lebih partisipatif dalam
pengembangan ekowisata lebih terbuka. Namun demikian,
pengembangan ekowisata perlu didukung oleh kebijakan,
maupun kegiatan-kegiatan lain yang dapat menjadikan
Kabupaten Pinrang sebagai daerah tujuan wisata.
Tujuan lainnya, melalui pembangunan ekowisata,
Kabupaten Pinrang tidak saja akan terkenal secara lokal,
tetapi dapat dikenal secara nasional dan bahkan
internasional. Jika ini kemudian terjadi, sangat diharapkan
sektor pariwisata menjadi andalan yang ikut menggerakkan
roda pembangunan di Kabupaten Pinrang. Di samping itu,

202
pengembangan wisata daerah menjadi momentum dalam
menyongsong era globalisasi yang memungkinkan
Kabupaten Pinrang menjadi daerah yang dikenal secara
luas oleh masyarakat, baik masyarakat nusantara maupun
masyarakat mancanegara.

Keragaman Atraksi Wisata Dataran Tinggi Lembang


Bentang alam Dataran Tinggi Lembang relatif unik,
karena daerah ini juga memiliki kawasan pantai. Namun
sebagian besar kawasan ini adalah perbukitan dan bahkan
pegunungan yang berbatasan dengan Mamasa dan Polman
Sulawesi Barat. Bahkan di Dataran Tinggi Lembang
terdapat perkampungan yang pada umumnya dihuni oleh
etnis Toraja yang masih kental dengan keunikan tradisi
lokal. Beberapa obyek wisata di Dataran Tinggi Lembang,
dikemukakan sebagai berikut :

1 Wisata Pantai
Nama obyek : Pantai Kanipang Desa
Binanga Karaeng. Jarak  42
km arah utara kota Pinrang
Aksebilitas : Akses ke pantai Kanipang
relatif mudah. Melalui jalur
poros Pinrang-Polman ke
arah utara. Letak pantai
hanya  500 m dari jalan
poros ke arah pantai
melalui jalan desa di antara
rumah penduduk yang
tidak begitu padat.
Fasiltasi/Akomodasi : Fasilitas berupa pondok

203
wisata bagi para
pengunjung belum ada.
Hanya ada beberapa
bangunan seperti gazebo
dan tempat duduk untuk
beristirahat yang masih
terbatas. Warung atau
tempat-tempat untuk
membeli makanan juga
belum tersedia. Dengan
demikian, potensi rumah
penduduk untuk
dikembangkan menjadi
homestay sangat
memungkinkan. Sementara
sarana wisata pantai pun
belum tersedia.
Atraksi :
Keindahan fanorama laut biru yang membentang
luas, dapat menghilangkan kepenatan karena harus
berkendaraan  60 menit dengan kecepatan sedang
dari kota Pinrang. Kesejukan udara yang berhembus
spoi-spoi seolah mampu menghilangkan dahaga.
Beristirahat sambil berfantasi memandang riak
gelombang laut, sementara nyiur berjejer rapi di
sepanjang pantai tampak melambai-lambai. Lebar
pantai yang berpasir bersih, cukup memadai untuk
melakukan aktivitas wisata seperti olahraga pantai,
atau sekedar berjemur, atau berjalan-jalan santai.
Demikian pula bentang laut yang tenang sangat
sesuai untuk kegiatan wisata, seperti berlayar,

204
mendayung, berenang, menyelam dan memancing.

2. Wisata Air Terjun


a. Nama obyek : Air Terjun Karawa
Desa Betteng Kecamatan
Lembang
Jarak : 40 km dari Pinrang.
Aksebilitas : Akses ke Obyek Wisata Air
Terjun Karawa ditempuh
melalui jalur jalan beraspal
ke arah Bendungan PLTA
Bakaru. Selain kendaraan
pribadi, di jalur ini juga
terdapat angkutan umum
yang setiap saat melintas di
kawasan tersebut.
Fasilitas/akomodasi : Fasilitas berupa pondok
wisata di sekitar areal air
terjun belum tersedia.
Karena itu pengunjung
belum dapat melewatkan
malam panjang di kawasan
air terjun tersebut.
Demikian pula warung-
warung makanan juga
belum tersedia, sehingga
pengunjung perlu
menyiapkan makanan lebih
dahulu sebelum tiba di
kawasan air terjun.
Perkampungan penduduk

205
pun relatif agak jauh.
Namun demikian, rumah-
rumah penduduk dapat
dikembangkan menjadi
homestay.
Atraksi Wisata :
Memasuki kawasan wisata di Kelurahan Betteng,
angin pegunungan berembus lirih memberi
kesejukan. Di kejauhan terhampar sawah-sawah
penduduk di antara kaki-kaki bukit, sementara
pohon-pohon pelindung di kedua sisi jalan beraspal
ke arah timur demikian rimbun sehingga memberi
keteduhan. Pada bagian timur bentang gunung-
gunung yang menjulang tinggi dan berjajar kokoh,
membuat perjalanan yang meliuk-liuk ke arah
pendakian, semakin mengesankan.
Kawasan air terjun Karawa dikelilingi oleh
dinding gunung yang terjal pada sisi sebelah kiri,
sementara di bagian depan adalah lereng-lereng bukit
yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai
perkebunan kakao. Kesejukan kawasan air terjun
bukan saja terjadi karena tempias air terjun yang
dibawa angin tetapi juga rimbunnya tajuk pohon-
pohon yang tumbuh di kawasan air terjun tersebut.
Tidak diketahui darimana sumber air terjun
Karawa berasal, tetapi yang pasti, bahwa sepanjang
tahun tanpa mengenal musim kemarau, air terjun
Karawa dengan setia memberikan kedamaian den
kesejukan pada pengunjungnya. Dan, pada musim
hujan, volume air terjun semakin membesar sehingga
tampak menakjubkan.

206
Air terjun dari ketinggian 60 meter, jatuh melalui
dinding gunung cadas dan terhempas ke kolam alami
di bawahnya yang juga berupa kubangan batu-
batuan berukuran sekitar 20 x 20 meter. Dari kolam
alami ini kemudian air mengalir melalui celah-celah
batu gunung ke arah bawah yang pada bagian-bagian
tertentu juga menciptakan air terjun kecil-kecilan
sehingga air terjun Karawa seolah bersusun.

b.Nama obyek : Air Terjun Kalijodoh


Desa Betteng Kecamatan
Lembang Jarak :  66 km
dari Pinrang.
Aksebilitas : Akses ke Obyek Wisata Air
Terjun Kalijodoh ditempuh
melalui jalur jalan beraspal
ke arah Bendungan PLTA
Bakaru. Letak air terjun  2
km dari jalan poros ke arah
kiri, melalui jalan
pengerasan.
Air terjun Kalijodoh yang
mempunyai empat sumber
air, berada pada kawasan
yang luasnya  2 ha. Di km.
17 jalan poros Bakaru.
Lokasi air terjun berada  3
km dari jalan poros
tersebut, yang harus dijalani
melalui jalanan menanjak.
Konon, gadis dan pemuda

207
yang memadu cinta di
lokasi air terjun tersebut
akan sejodoh dan bagi
mereka yang belum
memiliki pasangan, akan
mendapatkan jodoh seperti
yang diinginkan.
Fanorana alam di sekitar
zona air terjun tampak
begitu indah dengan latar
dinding bukit yang tampak
menghijau. Rimbun pohon-
pohon di sekitarnya
memberi suasana teduh
sehingga perasaan menjadi
damai.

3 Permandian
Lemosusu
Nama obyek : Permandian Lemosusu
Kelurahan Betteng
Kecamatan Lembang Jarak :
62 km dari Pinrang
Aksebilitas : Akses ke Obyek Wisata
Permandian air panas
Lemosusu dapat dicapai
melalui jalur jalan beraspal
ke arah Bendungan PLTA
Bakaru. Lokasi obyek
wisata tepat di sisi lereng
perbukitan yang hanya

208
beberapa meter dari tepi
jalan. Bahkan pintu masuk
Permandian Air Panas
Lemosusu hanya di antarai
pagar sisi jalan sehingga
begitu mudah dikenali.
Fasilitas/akomodasi : Fasilitas berupa pondok
wisata di sekitar
permandian sudah tersedia.
Demikian pula untuk
keperluan makan, sudah
ada warung dengan menu
terbatas disediakan.
Atraksi Wisata :
Permandian Air Panas Lemosusu terletak di km
12 di antara dua obyek wisata lainnya di jalur jalan
tersebut yakni obyek wisata air terjun Karawa dengan
obyek wisata air terjun Kalijodoh. Keadaan iklim di
kawasan wisata permandian air panas relatif sejuk
sehingga sangat cocok bagi wisatawan yang
mendambakan udara pedesaan yang segar dengan
suasana yang tenang.
Suasana kawasan air terjun yang tenang,
didukung oleh pemandangan alam sekitar yang
indah. Sesekali terlihat burung¬burung terbang dan
hinggap di pepohonan menjadikan suasana terasa
begitu damai. Kesejukan udara dan keheningan,
membuat pengunjung begitu betah berlama-lama di
kawasan permandian tersebut.

4. Danau Buatan PLTA

209
Bakaru
Nama obyek : Danau Buatan PLTA Bakaru
Desa Ulusaddang
Kecamatan Lembang Jarak :
68 km dari Pinrang
Aksebilitas : Akses ke Obyek Wisata
Danau Buatan PLTA Bakaru
ditempuh melalui jalur jalan
beraspal ke arah Bendungan
PLTA Bakaru. Letak Danau
Buatan PLTA berada pada
sisi jalan di antara lereng
bukit yang terhampar luas
sampai ke kaki gunung di
sebelahnya.
Fasilitas/Akomodasi : Fasilitas berupa pondok
wisata belum tersedia.
Begitupun warung-warung
makanan di sekitar
kawasan danau juga belum
tersedia. Namun demikian,
bekas perumahan karyawan
yang berada di Bakaru
sangat memungkinkan
untuk dijadikan pondok
wisata.
Atraksi Wisata :
Danau Buatan PLTA Bakaru yang airnya
bersumber dari pegunungan kawasan Mamasa,
memiliki keindahan alam yang sangat menarik.
Danau buatan Bakaru adalah sebuah

210
infrastruktur yang demikian penting di kabupaten
Pinrang, bahkan di Sulawesi Selatan. Hal ini
disebabkan di kawasan danau buatan tarsebut
terdapat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air yang
mampu mensuplai aliran listrik ke berbagai daerah di
luar kabupaten Pinrang. Sebagaimana halnya dengan
Bendungan Benteng, bangunan instalasi PLTA yang
demikian artistik dengan hamparan danau buatan
yang luas, dilatari oleh jajaran gunung-gunung yang
tinggi dan hutan-hutan yang rimbun menghijau,
membuat “Danau Buatan Bakaru” tampak demikian
indah. Hal ini membuat “Danau Buatan Bakaru”
sesungguhnya juga memiliki pesona wisata yang
sangat layak dikunjungi oleh wisatawan yang
mendambakan perpaduan keindahan alam, udara
sejuk dengan suasana kehidupan desa yang asri.
Akses menuju danau buatan ini, sangat ditunjang
oleh prasarana jalan yang cukup baik. Poros jalan
Bakaru yang beraspal mulus sepanjang 40 km. di
kecamatan Lembang, membuat kendaraan dapat
melaju dengan aman. Namun demikian, karena
jalanan menanjak dan berkelok-kelok di lereng-lereng
gunung, sudah barang tentu mengharuskan supir
mobil harus berhati-hati.

5. Wisata Gua Panniki


Nama obyek : Gua Panniki
Desa Pangaparang
Kecamatan Lembang Jarak :
48 km dari Pinrang.
Aksebilitas : Gua Panniki terletak dalam

211
wilayah desa Pangaparang
dusun Cendrana,
kecamatan Lembang
kabupaten Pinrang. Akses
menuju gua ini masih relatif
sulit karena letaknya di kaki
gunung, menyebabkan
pengunjung yang akan
menuju ke gua tersebut
harus menuruni lereng-
lereng bukit yang relatif
terjal. Dari dusun Pajelele,
desa Pangaparang, terdapat
belokan jalan tanah berbatu
sepanjang 4 km ke dusun
Cendrana yang harus
dilewati melalui pendakian.
Pengunjung harus
menuruni lereng-lereng
bukit di antara pohon-
pohon kakao di kebun-
kebun penduduk. Hal ini
menyebabkan seresah
daun-daun pohon kakao
demikian menebal
menghalangi laju
perjalanan. Di kaki deretan
gunung Paragang, itulah
Goro Panniki berada
Fasilitas/Akomodasi :
Fasilitas akomodasi di sekitar gua Panniki tidak

212
ada, kecuali rumah-rumah penduduk di Dusun
Cendrana yang terletak 1,5 km dari mulut gua.
Demikian pula fasilitas untuk konsumsi, juga belum
tersedia, sehingga pengunjung ke gua sebaiknya
menyiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya agar
tidak menimbulkan masalah.

Benteng Paremba : Desa Agro Ekowisata di Dataran


Tinggi Lembang
Desa Benteng Paremba kecamatan Lembang yang
terletak ± 54 km. arah utara kota Pinrang, memiliki potensi
sebagai desa wisata yang cukup baik. Desa ini dikenal
sebagai penghasil buah langsat, rambutan dan durian yang
pada musimnya banyak dikunjungi oleh pembeli biasa dan
juga oleh para pedagang buah antar kota. Di desa ini juga
terdapat sebuah sumber air hangat; tidak terlalu panas yang
menurut informasi dapat menyembuhkan beberapa macam
penyakit. Namun demikian, untuk menjadikan desa
Benteng Paremba benar-benar sebagai desa wisata,
diperlukan suatu upaya yang sungguh-sungguh dari
pemerintah, swasta dan masyarakat untuk
mewujudkannya.
Memasuki gerbang Desa Benteng Paremba dari arah
utara jalan poros Pinrang-Polman, suasana sebuah desa
yang asri tampak di depan mata. Rumah-rumah penduduk
berjajar rapi di kaki-kaki bukti dan di sepanjang jalur jalan
desa yang sebagian beraspal begitu rapi. Pagar-pagar
rumah dicat seragam merah muda dengan kombinasi warna
putih terlihat begitu serasi dengan hijauan tanaman
pekarangan dan kebun-kebun yang sebagian di antaranya
terdapat di pinggir jalan.

213
Di dusun Lombo, salah satu di antara empat buah
dusun dalam wilayah desa Benteng Paremba, Kantor
Kepala Desa tertata rapi dengan halaman yang penuh aneka
ragam bunga-bungaan, bersih dan elok dipandang mata.
Selain letak wilayah yang strategis, Desa Benteng
Paremba adalah desa yang sejak lama manuai prestasi
dalam lomba desa, baik di tingkat kecamatan, kabupaten,
bahkan di tingkat nasional, seperti :
(1). Lomba desa / kelurahan tingkat Kab. Pinrang tahun
1997 sebagai juara pertama.
(2). Lomba desa / kelurahan tingkat Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 1997 sebagal juara ketiga.
(3). Lomba desa / kelurahan tingkat Kecamatan Lembang
Kab. Pinrang tahun 2002 sebagai juara pertama.
(4). Lomba desa / kelurahan tingkat Kab. Pinrang tahun
2002 sebagai juara pertama.
(5). Lomba desa / kelurahan tingkat Bakorwil tahun 2002
sebagai juara kedua.
(6). Lomba desa / kelurahan tingkat Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai juara kedua.
(7). Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam Tingkat
Provinsi Sulawesi Selatan kategori kepala desa sebagai
juara kedua.
(8). Kepala desa peduli lingkungan hidup tingkat nasional
sebagai juara pertama.
b. Aspek Lainnya adalah
Adanya keinginan Kepala Desa yang mendapat
dukungan masyarakat untuk menjadikan desanya sebagai
desa wisata cukup besar. Hal ini ditunjukkan oleh kinerja
aparat desa, khususnya kepala desa dalam upaya menata
dan membangun desanya dengan semangat tinggi.

214
Beberapa diantara penghargaan yang diterima oleh Kepala
Desa Benteng Paremba adalah :
(1). Adhiyasah Parahita tahun 1998 aleh Preesiden RI
dalam bentuk tropy.
(2). Kader Pembangunan Desa (KPD) Tahun 1998 oleh
Menteri Dalam Negeri dalam bentuk Piagam
Penghargaan.
(3). Kepala Desa Berprestasi tahun 2002 aleh Bupati
Pinrang dalam bentuk Piagam Penghargaan.
(4). Pengelola Program Keluarga Berencana (KB) terbaik
tahun 2002 oleh Bupati Pinrang dalam bentuk Piagam
Penghargaa.
(5). Wahana Lestari tahun 2008 oleh Menteri Kehutanan RI
dalam bentuk lencana.
(6). Forestry Award tahun 2009 oleh Universitas
Hasanuddin dalam bentuk Tropy.

Potensi lainnya yang mendukung desa wisata adalah:


(1)Obyek Wisata Alam Sungai Ulue
Sungai Ulue di desa Benteng Paremba berhulu di
gunung (Buttu) Benteng Paremba, sebuah desa yang juga
dikenal memiliki peninggalan sejarah berupa “Benteng
Pertahanan Terakhir” di atas gunung dari serangan Belanda
pada masa penjajahan dahulu.
Pola aliran sungai Ulue berkelok-kelok dengan
bongkah-bongkah batu besar di dasar maupun di tebing-
tebing sungai, dan pada tempat-tempat tertentu terdapat
patahan sehingga aliran sungai dapat membentuk jeram.
Pada musim kemarau air sungai Ulue tidak begitu besar,
tetapi pada musim hujan aliran sungai ini demikian deras.
Sungai ini juga menyimpan pesona untuk wisata

215
sungai, karena dikelilingi hutan yang rimbun dengan udara
yang sejuk. Sungai Ulue memang berada di lereng kaki
Buttu Paremba dengan tofografi berbukit, airnya mengalir
di antara tebing-tebing yang banyak di daerah tersebut.
Penampang sungai Ulue relatif sempit, kira-kira hanya 10
meter, tetapi memiliki batuan-batuan besar-besar sebagai
pembentuk jeram, dengan tingkat kemiringan sungai yang
cukup memadai. Lagi pula di sungai Ulue terdapat patahan
yang memiliki tingkat kesulitan untuk melewatinya,
sehingga sangat menantang bagi penggemar olah raga
arung jeram.
Daerah aliran sungai di sekitar sungai Ulue yang
berbukit dan bergunung-gunung dengan tegakan pohon di
hutan-hutan yang rimbun, menciptakan pemandangan
alam yang indah. Dengan suasana alam pedesaan yang
damai dan sejuk, menjadikan sungai Ulue potensil digarap
untuk wisata pedesaan. Masalahnya, bahwa potensi ini
harus dijaga sehingga hutan dan hasil hutan di daerah hulu
tidak dirambah secara eksploitatif. Jika ini terjadi maka
keseimbangan ekosistem kawasan tersebut terganggu, dan
ini bukan tidak mungkin menyebabkan sungai-sungai di
kawasan tersebut akan mengering dengan tingkat
sedimentasi yang tinggi sebagai akibat erosi.
Air sungai Ulue yang berhulu di Buttu Benteng
Paremba relatif jernih, walaupun pada musim hujan. Pada
musim hujan ini pula air sungai Ulue meluap sehingga
mengalir sangat deras menghamtam bebatuan gunung yang
besar-besar di tebing maupun di badan sungai. Air sungai
Ulue yang deras menyusuri celah bukit yang meliuk-liuk
sehingga membentuk riam dan jeram. Sementara gemercik
air sungai yang menghantam bebatuan menciptakan irama

216
dalam kesunyiaan alam yang mengagumkan. Di daerah
aliran sungai Ulue, pohon-pohon tampak rimbun di
pinggir-pinggir sungai, sehingga kawasan aliran sungai
Ulue masih tampak asri. Keasrian desa, terutama di daerah
hulu menyebabkan air sungai tampak demikian jernih,
meskipun pada musim hujan. Sungai Ulue, juga sebenarnya
mempunyai potensi ekonomi jika dikelola sebagai industri
air mineral.
Untuk mencapai bagian sungai Ulue yang memiliki
pesona wisata sungai, harus dilakukan melalui jalan setapak
yang menanjak dan berkelok-kelok sepanjang lebih dari 1
km. ke arah hulu, dari poros jalan desa Benteng Paremba,
dengan medan pendakian yang cukup melelahkan.
Sumber air panas yang terdapat di Dusun Rajang
Balla, Desa Benteng Paremba dapat menjadi potensi untuk
dikembangkan menjadi obyek wisata, karena sumber air
panas adalah keunikan bentang alam yang langka.
Penduduk lokal memanfaatkannya sebatas untuk
pengobatan penyakit gatal-gatal pada kulit, atau sekedar
untuk menyegarkan badan usai mengerjakan kebun.
Untuk kepentingan wisata pedesaan, sumber air panas
ini perlu dikembangkan dengan membuat kolam
penampung dengan luas memadai agar pengunjung dapat
memanfaatkannya untuk mandi-mandi. Areal sekitarnya
dapat dibangun gazebo serta WC, dan kamar ganti.

3. Desa Benteng Paremba sebagai Penghasil Buah


Menjadikan Desa Benteng Paremba sebagai desa
wisata, harus didukung oleh potensi yang dimiliki desa
tersebut. Salah satu potensi yang dimiliki adalah desa
tersebut adalah penghasil buah-buahan. Desa Benteng

217
Paremba sejak dahulu telah dikenal sebagai penghasil buah-
buahan lokal, seperti durian (Durio ziberthinus Murr),
Langsat (Lamsium domesticum Correa) dan rambutan
(Nephellium Lappaceum L.). Namun demikian, beberapa jenis
buah lainnya, tumbuh subur secara sporadis di desa ini,
seperti pisang (Musa sapientum L.), pepaya (Carica papaya L),
nanas (Ananas comons L. Merr) dan beberapa jenis Iainnya.
Langsat memang dapat tumbuh dan berbuah baik di
dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl, baik pada tipe
tanah latosol, podsolik dan aluvial, dengan curah hujan
1500 - 2500 mm per tahun. Bahkan pohon langsat toleran
terhadap kadar garam tinggi, jika tanahnya mengandung
banyak bahan organik. Langsat juga toleran terhadap tanah
masam atau lahan bergambut. Pohon langsat pun toleran
terhadap iklim kering asalkan kondisi air tanahnya kurang
dari 150 cm.
Tanaman ini direkomendasikan untuk dibudidayakan
sebagai upaya mendukung pengembangan ekowisata,
karena merupakan tanaman hutan yang berpohon tinggi,
dan mempunyai akar tunggang dan akar samping sedikit,
tetapi kuat dan dalam sehingga dapat berfungsi sebagai
tanaman konservasi Iingkungan. Dari perspektif ekonomi,
buah langsat memiliki nilai jual. Selain menjadi buah meja,
daging buahnya dapat dikalengkan (canning). Potensi buah
Iangsat di Desa Benteng Paremba cukup menjanjikan.
Pohon buah yang juga cukup menonjol adalah durian.
Durian tumbuh dan berbuah baik di dataran rendah hingga
ketinggian 800 m dpl. Dengan tipe iklim basah, curah hujan
sekitar 1500 - 2500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.
Lokasi penanamannya terbuka, pada jenis tanah latosol dan
aluvial yang subur. Pohon durian berukuran besar dan

218
tinggi dengan perakaran tunggang dan akar samping yang
kuat dan dalam sehingga cocok untuk menjadi tanaman
pencegah erosi. Dari perspektif ekonomi, buah durian
sangat prospektif karena buah durian memiliki pangsa
pasar yang cukup memadai, baik di Kabupaten Pinrang
maupun di kota-kota lain terdekat, seperti Polewali,
Parepare, Sidrap, bahkan dikirim ke Makassar.
Dalam upaya pengembangan agro ekowisata, buah
durian penting dibudidayakan karena termasuk pohon
multiguna. Daging buah durian yang telah masak dapat
dikonsumsi secara langsung dari kulit buah. Sisa buah
durian dapat dibuat dodol dan asinan. Buah tua, tetapi
belum matang dapat dibuat tepung durian. Kayunya juga
sangat berguna untuk bahan bangunan. Hal ini menjadi
tantangan bagi Kantor Perindustrian Perdagangan dan
Pariwisata maupun Dinas Koperasi Kabupaten Pinrang
tentunya.
Pohon buah lainnya adalah, rambutan. Rambutan
termasuk tanaman buah yang dapat tumbuh dan berbuah
baik di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl.
dengan tipe iklim basah dan curah hujan antara 1500 - 3000
mm per tahun. Tanaman ini tahan pada lahan gambut yang
masam pada jenis tanah latosol coklat dengan pH tanah 4 -
6,5. Tipe lahan latosol kering juga cocok bagi tanaman
rambutan, dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah
aluvial dengan suhu udara 22 – 35oC.
Pohon rambutan termasuk tanaman yang cukup baik
untuk konservasi lahan, terutama pada lereng bukit karena
mampu mencegah erosi. Sebenarnya rambutan dapat diolah
sebagai minuman dalam kaleng (canning). Namun demikian
di Kabupaten Pinrang, masih dijual untuk konsumsi segar

219
di pasar-pasar tradisional daerah tersebut.
Kecamatan Lembang merupakan kecamatan penghasil
buah rambutan terbesar di Kabupaten Pinrang. Untuk
pengembangan agro ekowisata, tanaman rambutan
direkomendasikan untuk dibudidayakan, terutama pada
kawasan yang menjadi sentra pengembangan agro
ekowisata, terutama di Kecamatan Lembang.
Selain tanaman buah di kawasan Desa Benteng
Paremba juga terdapat hutan rotan. Rotan (Calamus sp)
sebagai salah satu jenis vegetasi hutan tropis di Dataran
Tinggi Lembang yang pada umumnya tumbuh secara liar di
hutan-hutan. Untuk kepentingan pengembangan
agroekowisata, kebun rotan dapat menjadi atraksi wisata.
Karena itu, rotan tidak hanya dibiarkan tumbuh liar, tetapi
sebaiknya dibudidayakan dalam suatu areal tertentu agar
memudahkan perawatan dan pengawasan. Pembudidayaan
rotan pada areal-areal tertentu akan memiliki nilai atraksi
wisata tersendiri. Hal ini disebabkan, masyarakat pada
umumnya, terutama wisatawan mancanegara, bahkan
wisatawan nusantara, masih memiliki keterbatasan
pengetahuan tentang rotan. Paling tidak mereka hanya
mengetahui sebagai rotan bulat yang siap ekspor atau
sebagai bahan baku industri meubel. Dengan demikian,
hutan rotan sangat menarik untuk disaksikan, apalagi jika
hutan rotan yang masa pertumbuhannya cukup lama masih
dalam areal budidaya yang relatif mudah dijangkau.
Harus diakui, rotan merupakan bahan strategis
industri mebel. Berbagai jenis produk berbahan baku rotan,
seperti kursi tamu, tas, tikar rotan, pembungkus pot bunga
dan lainnya dapat dijumpai di sentra-sentra produksi
meubel, maupun di daerah-daerah yang secara tradisional

220
memproduksi jenis barang yang terbuat dari rotan.
Berbagai jenis rotan biasanya diambil oleh penduduk
setempat di hutan-hutan dengan penyebaran yang tidak
berada di satu tempat. Hanya saja tingkat pengambilan
rotan relatif sulit, bukan karena penyebarannya, tetapi juga
karena medannya yang berat. Lagi pula setelah diambil,
masih terdapat kendala karena kesulitan untuk mengangkut
rotan tersebut dari tempatnya diambil ke tempat
penampungan. Apalagi rotan yang baik, sangat padat
sehingga sulit ditekuk dan lebih berat.
Selain rotan, di kawasan Desa Benteng Paremba, juga
terdapat hutan-hutan bambu. Hutan-hulan bambu sebagian
besar merupakan hutan rakyat yang ditanam pada lahan-
lahan milik sendiri bercanpur dengan tanaman pohon
Iainnya. Jenis bambu di Sulawesi Selatan umumnya dan
Kabupaten Pinrang khususnya didominasi jenis
Gigantochloa atter, schizostachym bara chyclaum dan jenis
(Dendrocalamus asper).
Dalam hubungannya dengan pengembangan
agroekowisata, peranan hutan bambu sangat penting. Hal
ini disebabkan tanaman bambu sangat berpotensi
memperbaiki dan menjaga ekosistem air. Tanaman bambu
sebenarnya termasuk dalam jenis rumput-rumputan
(Gramineae), memiliki batang yang kuat dan lentur
menyebabkannya tahan tiupan angin. Perakarannya
tumbuh sangat rapat dan menyebar ke segala arah. Hal ini
menyebabkan lahan di bawah tegakan bambu menjadi
sangat stabil dan mudah menyerap air.
Menurut Frahardi (Kompas, 2006), bambu juga tahan
kekeringan dan bisa tumbuh baik di lahan curam pada
ketinggian 0 - 1500 m di atas permukaan laut. Jadi, bambu

221
pun berpotensi menahan longsor. Kadang-kadang memang
dijumpai banjir atau longsor yang menghanyutkan rumpun
bambu. lni dapat terjadi pada rumpun bambu yang tumbuh
soliter. Kalau bambu ditanam berderet membentuk teras
pada sebuah lereng, deretan bambu akan menjadi sabuk
gunung yang memiliki kekuatan luar biasa. Akar bambu
akan saling terkait dan mengikat antar rumpun. Rumpun
berikut serupa di bawahnya juga akan menahan top soil
sehingga tidak hanyut tergerus air hujan.
Dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten
Pinrang, hutan-hutan bambu sebenarnya dapat menjadi
atraksi yang menarik, karena hutan-hutan bambu tersebut
tumbuh rimbun di sepanjang bantaran sungai. Dengan
sendirinya hutan bambu tidak sebatas berfungsi menahan
longsor tebing sungai, tetapi rumpun bambu yang rimbun
dan teduh mempunyai nilai tambah keindahan dan
keasrian wisata sungai. Hutan bambu pun dapat menjadi
obyek studi kalangan mahasiswa, maupun peneliti
profesional.
Dalam perspektif ekonomi, bambu memiliki potensi
besar sehingga biasa disebut “emas hijau”. Saat ini material
tradisional tersebut banyak dimanfaatkan oleh arsitek
modern dengan tujuan beragam. Bambu menjadi material
industri kecil untuk ukir-ukiran, hiasan, meubel bambu dan
alat rumah tangga. Bahkan kualitas bambu saat ini dihargai
oleh arsitek Barat karena memiliki kelengkapan mekanis
yang sangat baik, sehingga komponen utama merupakan
paradigma baru dalam kontruksi alami yang ringan. Hal ini
kemudian menyebabkan bambu menjadi komoditas yang
memiliki nilai jual yang cukup bersaing di perkotaan.
Pohon aren (arenga pinnata) merupakan pohon lokal

222
yang pertumbuhannya tersebar luas di beberapa wilayah di
Kabupaten Pinrang. Hal ini sangat menguntungkan karena
aren adalah komoditas yang memiliki nilai ekonomi.
Hampir semua bagian dari pohonnya berguna untuk
keperluan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar hutan. Pohon aren berguna
sebagai bahan bangunan, terutama untuk ramuan rumah.
ljuknya oleh masyarakat dimanfaatkan untuk alat rumah
tangga, tali atau sapu, sementara nira pohon aren dapat
diproses menjadi gula merah.
Aren di Dataran Tinggi Lembang tumbuh di lereng-
lereng gunung maupun di daerah aliran sungai, umumnya
tumbuh secara liar di kebun-kebun penduduk, walaupun
dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah ada penduduk
yang mencoba membudi-dayakannya. Dikatakan tumbuh
secara liar karena pohon aren biasanya tidak dipelihara,
tetapi dibiarkan tumbuh begitu rupa sampai hasilnya dapat
dipetik, terutama untuk pembuatan gula merah.
Kemiri merupakan tanaman tradisional yang tumbuh
secara alamiah di wilayah berbukit atau bergunung,
khususnya di hutan-hutan di Dataran Tinggi Lembang sejak
dahulu. Sebagai tanaman tradisional, kemiri tumbuh liar di
hutan-hutan. Dan penduduk kala itu belum mengetahui
betul nilai ekonomi tanaman kemiri, kecuali
memanfaatkannya sebagai bahan baku penerangan di
malam hari. Saat ini kemiri telah diperdagangkan.
Salah satu masalah yang rnengemuka dalam fokus
grup diskusi (FGD) yang dilaksanakan 8 Desember 2017 di
Bappeda Pinrang ialah hambatan yang dialami oleh
pemerintah Kabupaten Pinrang dalam mengembangkan
pariwisata daerah. Hambatan tersebut terjadi karena faktor

223
kelangkaan lahan yang dapat dikelola sendiri oleh
pemerintah daerah untuk mengembangkan objek wisata.
Satu-satunya objek wisata yang dikelola sendiri oleh
pemerintah Kabupaten Pinrang adalah Permandian Air
Panas Sulili. Padahal bantuan dari pemerintah pusat
diisyaratkan agar lahan yang akan dikembangkan sebagai
objek wisata, harus menjadi milik Pemda.

Ekowisata : Ziarah dan Pengembangan Spiritualitas

Salah satu prinsip ekowisata pada dasarnya adalah


experimental richness melalui keterlibatan wisatawan secara
emosional terhadap atraksi wisata yang menggugah
spiritualitas. Tempat-tempat ibadah yang memiliki nilai
sejarah, makam-makam para tokoh agama masa lalu,
maupun tokoh pejuang, menjadi pilihan. Di Kabupaten
Pinrang terdapat masjid tua, makam dan situs sejarah,
antara lain :

1. Masjid Tua At Taqwa


Pembangunan masjid At Taqwa dilatari oleh suatu
proses sejarah perkembangan agama Islam di daerah
Pinrang. Sebagaimana diketahui, bahwa Lanrisang atau
Jampue yang berada pada garis pantai yang berhadapan
dengan selat Makassar adalah sebuah kerajaan lokal yang
mempunyai kekuasaan atas wilayahnya sendiri yang
tergabung dalam persekutuan Addatuang Sawitto, dan
pada masa penjajahan Belanda memperoleh pengakuan dari
pemerintah Belanda dengan status Pemerintah Distrik
(1905) dalam pemerintahan Swapraja Sawitto.
Posisinya sebagai kerajaan pesisir, menyebabkan

224
pedagang-pedagang Gujarat, serta ulama-ulama dari Jawa
dan Sumatera, juga sampai ke daerah ini untuk
menyebarkan agama Islam.
Penerimaan agama Islam di daerah tersebut,
menyebabkan dibangunnya mesjid yang demikian
sederhana. Kesederhanaan bangunan masjid tersebut
dinyatakan dalam ungkapan “Lenna Bawang” atau “Seppo
Ritanae” dengan konstruksi bangunan yang terbuat dari
kayu seluas 6 x 6 meter yang berlokasi di sekitar
Kandawarie (istana Raja) di kampung Kecampi Jampue.
Pada masa Pawelloi Datu Lanrisang memerintah awal
tahun 1700 M, bersama dengan menantunya yang bernama
Pamessangi (Petta Toa), mendirikan masjid baru yang
berlokasi di sekitar kampung Lerang Jampue, berdekatan
dengan Istana Raja (Kandawarie) yang juga baru
dipindahkan dan kemudian berubah nama menjadi Saoraja,
persis di sekitar mana mesjid tua At Taqwa sekarang
berada.
Perkembangan agama Islam di Kerajaan Lanrisang
bertambah pesat dengan kedatangan As Syekh Muhammad
bin Abdullah Affandi dari Yaman, yang kemudian diangkat
sebagai penasehat raja, dan menjadikan masjid At Taqwa
sebagai pusat kegiatan keagamaan pada waktu itu. Masjid
yang dibangun itulah yang tampaknya menjadi cikal bakal
masjid tua yang ada sekarang ini, sampai mesjid At Taqwa
direnovasi tahun 1979.
Pada halaman mesjid bagian depan, terdapat sebuah
batu kali yang berbentuk ceper. Dahulu, banyak orang yang
percaya, bahwa batu tersebut memiliki kekuatan magis
yang mampu mengatur hidup manusia. Namun demikian,
setelah agama Islam berpengaruh, keyakinan itu

225
ditinggalkan. Batu adalah batu yang tidak mempunyai
keistimewaan apa-apa. Batu itu kemudian diletakkan di
depan masjid untuk menjadi benda injakan yang diinjak
setiap kali jamaah masuk masjid. Hal ini dilakukan untuk
meyakini, bahwa yang harus dipercaya, hanya Allah SWT
yang memiliki kekuasaan untuk mengatur hidup manusia.

2. Makam Petta MalaE


Makam Petta Malae terletak pada ketinggian bukit
Paleteang kira-kira 500 meter dari jalan alternatif Pinrang-
Sidrap yang melintas di kelurahan Temmasarangeng dan
sekitar 4 km dari pusat Kota Pinrang. Karenanya, menuju
makam Petta Malae tidak begitu sulit. Makam Petta Malae
yang berada di atas bukit, menyebabkan kendaraan harus
diparkir di perkampungan penduduk, untuk kemudian
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melalui jalan
setapak yang menanjak di antara kebun-kebun penduduk
sepanjang kira-kira 200 meter sehingga perjalanan terasa
melelahkan. Makam Petta Malae, tepat berada di atas bukit
Paleteang, dalam areal berukuran 12 x 25 meter yang
berpagar kawat dengan dua pilar beton yang berfungsi
sebagai pegangan daun pintu besi pada bagian depan
makam. Makam Petta Malae di atas bukit tersebut demikian
sunyi, tiada suara kecuali desiran angin dan gesekan dahan
dan ranting-ranting pohon serta sesekali ditimpali suara
burung-burung liar di sekitar makam, membuat suasana di
sekitar makam tersebut terasa menyeramkan.
Petta Malae adalah raja Sawitto yang pertama
menerima agama Islam pada tahun 1609, kemudian
menyebarluaskan ke seluruh kerajaan bersama pembantu-
pembantu dan kepercayaannya yang seagama. Pada waktu

226
Petta Malae meninggal dunia, liang lahatnya dipersiapkan
oleh rakyat Sawitto dan rakyat Alitta, sedang tanah
penimbunannya diambil dari Suppa dan dibawah oleh
rakyat Suppa ke Bukit Paleteang, dimana beliau
dimakamkan. Menurut riwayatnya, tanah tersebut
dipindahkan secara berantai dari tangan ke tangan
(Sipaleteang pala lima) dari Suppa sampai di tempat mana
Petta Malae dimakamkan yang sekarang dikenal dengan
nama “Paleteang”. Masyarakat pun kemudian memberi
gelar “Petta Malae” yang artinya Petta Matinroe ri Amala’na.
Terdapat dua kelompok makam dalam areal
pemakaman Petta Malae, yaitu makam Petta Malae sendiri
bersama sebuah pusara disebelahnya dan terdapat lima
pusara secara berjajar tidak jauh dari pusara Petta Malae.
Siapa makam-makam tersebut, belum diketahui secara
pasti, tetapi diperkirakan, diantaranya adalah orang-orang
kepercayaan dan pembantu beliau, termasuk keluarga Petta
Malae sendiri.

3. Makam Anre Gurutta Latola


Anre gurutta Latola yang juga digelari sebagai “Pallipa
Putewe”. Tokoh ini termasuk seorang pejuang yang dahulu
bersama Lasinrang menentang penjajah Belanda di daerah
Pinrang. Dia seorang pejuang, tetapi Pallipa Putewe juga
dikenal sebagai seorang sakti dan ulama penyebar agama
Islam. Dalam menyebarkan agama Islam, Anre gurutta Latola
Pallipa Putewe selalu berpindah-pindah dari satu kampung
ke kampung lainnya sekaligus membangun kampung
tersebut. la pernah bermukim di Lisse dan membangun
sebuah sumur di kampung tersebut. Sumur itu kemudian
dipercaya oleh masyarakat sekitarnya dapat menjadi sarana

227
yang menyebabkan orang memperoleh berkah. Pada setiap
hari Senin-Kamis orang biasa datang ke sumur tersebut
untuk bernazar dengan niat tertentu; seperti niat
memperoleh jodoh, niat mendapatkan rezeki Iebih banyak,
niat ke tanah suci dan sebagainya.
Anre Gurutta Latola Pallipa Putewe, kemudian
bermukim di kampung Katteong dan tetap sebagai orang
sakti dan ulama. Karena ketekunannya pula, beliau berhasil
menyusun sebuah Al-Quran yang ditulisnya sendiri dengan
menggunakan nyila dan kalam. Di kampung Katteong inilah
beliau wafat dan dimakamkan. Bagi masyarakat, khususnya
bagi keturunannya, Anre Gurutta Latola Pallipa Putewe
adalah seorang Tau Salama, sehingga sampai sekarang
makam ini banyak diziarahi, bukan saja dari warga
setempat, tetapi juga dari orang-orang luar kota Pinrang.
Bahkan pada setiap tahun usai panen padi, keluarga dan
warga desa setempat mengadakan upacara Mappadendang
dan Mattojang yang dilakukan sebagai rasa syukur atas
keberhasilan memperoleh reski melimpah dari Allah SWT,
event sejatinya dapat dijadikan kelender wisata oleh
pemerintah Kabupaten Pinrang.

4. Makam Lasinrang
Lasinrang yang digelari “Bakka Lolona Sawitto” lahir
tahun 1831 di Dolangan, yang sejak kecil telah
menampakkan sifat-sifat unggul dibanding dengan teman-
teman sepermainannya, seperti pemberani dan berwibawa,
sehingga ia disegani oleh teman-temannya sendiri.
Mengadu ayam (massaung), merupakan salah satu
permainan yang paling digemari oleh Lasinrang.
Kegemarannya itu, menyebabkan ia sangat tertarik pada

228
ayam jago yang berbulu khas: paduan antara warna putih
dengan warna merah (Bugis : bakka), dan karena
kegemarannya itu, tidak seorangpun yang diperkenankan
memiliki warna ayam seperti itu, kecuali dirinya sendiri.
Karena kegemarannya menyabung ayam dan memelihara
ayam jago berwarna bakka itulah sehingga pada masa
dewasanya Lasinrang dijuluki “Bakka Lolona Sawitto”. Pada
masa remajanya, Lasinrang melakukan pengembaraan ke
Pammana. Di tempat itu, Lasinrang mempelajari banyak
pengalaman dan keterampilan : seni pajoge, dan
ketangkasan, sehingga Arung Pammana menempahnya
sebagai pemuda pemberani. Hanya dengan keberanian
inilah Lasinrang dapat berkuasa.
Perjalanan hidup Lasinrang kelak, banyak dilewatkan
dengan “Perang”. Baik berperang melawan kerajaan-
kerajaan Iainnya yang mencoba menentangnya, maupun
dengan pihak Belanda yang datang ke Sawitto” untuk
melakukan penjajahan. Bahkan dalam menghadapi para
serdadu Belanda, Lasinrang membentuk pasukan khusus
berani mati yang disebut “Passiuno”. Pasukan inilah yang
banyak merepotkan Belanda, sehingga membingungkan
mereka. Bagaimana melumpuhkan Lasinrang, pihak
Belanda menempuh segala cara, termasuk melakukan
politik adu domba, yang tokh tidak berhasil. Perlawanan
Lasinrang berakhir, setelah Addatuang Sawitto yang tidak
lain ayahandanya sendiri ditahan oleh Belanda. Sementara
itu, sang isteri yakni I Kayuma juga ditahan oleh Belanda,
menyebabkan Lasinrang mengalami persoalan dilematis.
Atas dasar pesan ayahandanya dan atas pertimbangan
“suara hatinya” sendiri, pada tahun 1905 Lasinrang bersama
pasukannya melaporkan diri pada pihak Belanda di

229
Pinrang. Lasinrang kemudian menjadi tawanan Belanda
selama berpuluh-puluh tahun, dan baru dipulangkan pada
tahun 1937 dalam usia yang sudah sangat tua. Lasinrang
kemudian menghembuskan nafasnya pada usia 106 tahun.

5. Bujung Lapakkitta
Kisah tentang bidadari turun dari kayangan ternyata
bersifat universal. Ini terbukti, bahwa orang Alitta di
Pinrang pun meyakini tentang keberadaan “Bidadari” yang
pernah menghebohkan kerajaan Alitta. “Bujung Lapakkitta”
yang berada di desa Alitta terkait dengan kisah bidadari
tersebut. Ceritanya begini, Alkisah, dahulu raja Alitta
menerima informasi dari seorang penjerat ayam hutan,
bahwa ia melihat tujuh bidadari yang mandi pada tujuh
sumur di tengah-tengah hutan. Sang raja pun tersadar,
karena anjing peliharaannya yang berbulu hitam selalu
menghilang pada setiap hari Jum’at. Mungkin ada
hubungannnya dengan bidadari tersebut.
Ternyata benar, saat sang raja ke hutan, ia melihat
sang bidadari sedang mandi dan saat itulah ia mencuri
pakaian bidadari yang bungsu, setelah saudara-saudara
sang bidadari lainnya terbang ke kayangan. Sang bidadari
kemudian dibawa pulang ke kerajaan dan
mempersuntingnya, dan setelah menjadi suami isteri sang
bidadari melahirkan seorang putra. Namun demikian,
hubungan antar suami isteri antara raja dengan sang
bidadari, tidak berlangsung Iama, karena suatu kejadian,
sang “bidadari menghilang secara gaib ke dunia lain.
Suatu malam, sang raja bermimpi, dan dalam
mimpinya, ia bertemu sang isteri dan menyampaikan pesan
jika sang raja mau menemuinya, ia harus datang di sisi

230
sumur itu dengan memakai pakaian hitam dan bertopi
daun nipa pada siang hari di hari Jum’at. Sumur itulah yang
kini dikenal sebagai “Bujung Lapakkitta”, tempat sang
bidadari menoreh kenangan indah.

6. Benteng Kerajaan Sawitto


Benteng Kerajaan Sawitto sesungguhnya merupakan
situs budaya yang sangat berharga karena mengandung
nilai kesejarahan yang demikian tinggi, khususnya bagi
orang Pinrang. Bagaimanapun situs budaya tersebut
menjadi bagian perjalanan sejarah yang teruntai rapi dalam
esensi kehidupan generasi demi generasi dari zaman
dahulu sampai saat ini. Generasi sekarang harus menyadari
bahwa mereka merupakan bagian dari generasi sebelumnya
yang teruntai dalam perjalanan panjang sebuah sejarah
lokal.
Benteng Kerajaan Sawitto adalah sarana pertahanan
raja yang dikenal sebagai Addatuang Sawitto Matinroe di
Langkara dimana saat itu terjadi serangan musuh yang
hendak merebut kerajaannya. Di tempat tersebut, terdapat
beberapa pusara yang terletak tepat pada tepi barat
bangunan masjid (langkara) sang raja pada masa lampau.
Salah satu pusara yang terdapat di antara beberapa makam
di tempat itu adalah makam “Addatuang Sawitto Matinroe ri
Langkara’na.
Siapa sebenarnya raja tersebut? belum diketahui
dengan pasti. Namun diyakini oleh peneliti budaya dan
sejarah di Pinrang, bahwa salah satu pusara tersebut adalah
pusara Lakuneng. Raja Sawitto ke XVI yang menaiki tahta
kerajaan karena memenangkan sayembara berburu rusa
(maddengngeng) sehingga berhak mempersunting putri Raja

231
Bone Arung Palakka.
Pada masa pemerintahan Lakuneng, kerajaan Sawitto
demikian makmur, sehingga hal ini menimbulkan rasa iri
raja-raja lokal lainnya, terutama Lawawo, Putra Arung
Rappang yang juga merasa mempunyai hak untuk menjadi
raja di Sawitto. Untuk menangkal serangan, khususnya
serangan dari Lawawo itulah Benteng Sawitto dibangun
oleh raja.
Pada masa pemerintahannya, Lakuneng dibantu oleh
beberapa pejabat kerajaan, diantaranya pejabat yang cerdik-
bijaksana (ulama), ahli pertanian (Pa’pananrang) dan ahli
perang (to waranie) sehingga sang raja merasa tentram
menjalankan pemerintahannya, di samping menjalankan
ibadahnya sebagai seorang muslim yang taat beragama.
Karena itu sebagian waktunya dilewatkan dalam mesjid
yang dibangun (langkara) sampai kemudian
menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam mesjid
tersebut. Itulah sebabnya beliau digelari “Addatuang Sawitto
Matinroe ri Langkara’na”.
Pada masa pra Islam, raja Gowa menyerang kerajaan--
kerajaan di sekelilingnya, termasuk kerajaan Sawitto.).
Kerajaan Sawitto yang diperintah oleh We Pasulle berusaha
mempertahankan kerajaannya, tetapi kalah kemudian
beliau ditawan di Gowa bersama seorang pembesar
kerajaan bernama La Tolengo. Namun demikian, La Tolengo
berhasil meloloskan diri, kemudian melarikan diri ke Bone
dan melaporkan keadaan We Pasulle yang ditawan oleh raja
Gowa, serta meminta pertimbangan dan pendapat sang raja.
Sebelum sang raja memberikan pendapat atau
pertimbangannya, pada suatu malam, La Tolengo bermimpi.
Dalam mimpinya itu, ia disuruh ke pasar membeli ikan

232
pada seorang penjual ikan dengan ciri-ciri seorang wanita
sumbing.
Keesokan harinya La Tolengo ke pasar, kemudian
mencari penjual ikan yang dimaksud dan membeli ikannya
tanpa ditawar, bahkan penjual ikan tersebut diberi uang
lebih. Setelah itu, La Tolengo pulang ke Istana. Ternyata, ikan
tersebut memiliki keajaiban. Anjing dan ayam yang
mencoba memakan sisik ikan yang jatuh dari rumah, mati
seketika.
Pada malam harinya, juga terjadi keajaiban, dimana
istana raja tampak terbakar sebagai akibat adanya cahaya
yang berasal dari ikan tersebut. Pada malam berikutnya, La
Tolengo kembali bermimpi dan dalam mimpinya itu, ia
ditunjukkan sebuah gua yang di dalamnya terdapat keris
dan bendera untuk dimanfaatkan sebagai kelengkapan ikan
ajaib tadi. Dengan perlengkapan tersebut, ikan, keris dan
bendera, La Tolengo berhasil membebaskan sang raja Sawitto
We Pasulle dan membawanya pulang melalui route
pelayaran Gowa - Parepare.
Arajang kini dianggap memiliki keajaiban, sehingga
pada setiap kali terjadi pergantian raja Sawitto, maka harus
selalu dilakukan sebuah upacara (ritual) yang intinya
menyerahkan arajang tersebut pada raja baru dalam sebuah
upacara yang sakral. Disamping itu, pada setiap tahun
diupayakan melakukan upacara yang disebut ma’cera
arajang, sehingga even ma’cera arajang sebenarnya dapat
dijadikan ajang promosi wisata budaya di Kabupaten
Pinrang.

233
Peristiwa Budaya, Tradisi Pemakaman Orang Toraja
Suppirang
Penghargaan terhadap budaya lokal, terutama yang
memiliki unsur keunikan menjadi pertimbangan utama
dalam atraksi wisata. Eksotisme budaya lokal dapat
djumpai di Desa Suppirang, desa yang dihuni oleh
komunitas Toraja, melalui ajaran Aluk Todolo. Menurut
kepercayaan dalam Aluk Todolo, seseorang meninggal
dunia kemudian dikuburkan tanpa melaksanakan upacara
tertentu dengan mengorbankan hewan (kerbau atau babi),
maka arwah orang yang meninggal tidak memasuki
gerbang dunia arwah. Atas dasar itulah upacara kematian
sangat penting artinya, karena upacara melalui
pengorbanan hewan dimaksudkan sebagai penghantar roh
orang mati menuju ke dunia arwah.
Adapun tatacara pelaksanaan pesta pemakaman
menurut Aluk Todolo di Desa Suppirang, adalah berturut-
turut sebagai berikut :
a. Maggaropok, dilaksanakan waktu roh/nyawa berpisah
dengan tubuh dan melakukan pemotongan babi
sekurang-kurangnya satu ekor.
b. Patoddangan, dilaksanakan sesudah orang itu meninggal,
dimana pada hari pertama mayat didudukkan kembali
untuk jangka waktu satu sampai tiga hari, mayat tersebut
diberi pakaian dan perhiasan emas.
c. Pabambangan, yaitu mayat dibaringkan kembali dan
dibungkus, kemudian dimasukkan ke dalam keranda
yang telah disediakan dan disimpan di rumah untuk
beberapa waktu, menunggu persiapan/ perlengkapan
yang dibutuhkan dalam upacara pemakaman.
Pada Pabambangan ini terdapat tiga acara, yaitu :

234
1) Pabambangan Mayat, yaitu mayat dibaringkan kembali
kemudian dibungkus dan dimasukkan ke dalam keranda
untuk di simpan beberapa lama.
2) Pabambangan Pohon kayu dilaksanakan dengan
menebang kayu untuk dibuat keranda yang
diperuntukkan bagi mayat itu.
3) Pabambangan Kerbau, yaitu pemotongan kerbau dan babi
pada hari pertama.
d. Padambuluran, yaitu setelah keranda (peti mayat) siap,
maka mayat dimasukkan kemudian ditutup rapat-rapat
dan dilem sampai tidak keluar bau. Pada acara ini
dilaksanakan pula pemotongan babi minimal satu ekor.
e. Mammolong Pote, yaitu menghitamkan kain putih untuk
menutup kepala (pote) bagi keluarga yang sedang
berkabung (merok). Orang yang sedang berkabung
memakai pakaian serba hitam.
f. Matammu Bongi, yaitu menyongsong malam ketiga atau
malam ketujuh dengan memotong beberapa ekor babi.
Pada malam ketiga para keluarga mengenakan pakaian
serba hitam (merok), dan mulai pada saat itu keluarga
tersebut tidak boleh lagi makan nasi sampai mayat selesai
dimakamkan. Disamping pantangan makan beras padi,
juga pantang mengadakan atau mengunjungi pesta
gembira, dan juga tidak boleh ke tempat pekerjaan untuk
beberapa hari lamanya.
Disamping pantangan khusus untuk keluarga si mayat
juga berlaku pantangan bagi umum, antara lain :
(1)Masyarakat pada umumnya dilarang membunyikan
lesung untuk beberapa lamanya.
(2)Masyarakat pada umumnya dilarang menjamu keluarga
yang sedang berkabung dengan makanan dari beras

235
padi.
(3)Masyarakat pada umumnya dilarang bertengkar atau
membuat keributan dalam kampung untuk beberapa hari
lamanya.
(4)Dan beberapa pantangan lainnya.
Barang siapa yang dengan sengaja melanggar pantangan
tersebut di atas, maka dia akan dikenakan denda dengan
memotong babi di rumah tempat mayat disimpan.
Pelanggaran tersebut menurut istilah daerah setempat
adalah sosok barata.
g. Massima, yaitu keluarga yang sedang merok, memohon
izin kepada bombo (roh) almarhum/almarhumah agar
diperkenankan pergi ke sawah atau kebun untuk bekerja,
dengan janji apabila sawah atau kebunnya berhasil
dengan baik, maka upacara pemakaman segera
dilakukan (dibabak).
h. Mebarung, yaitu menyediakan los, baik tempat tamu,
dapur umum, baruga tempat mayat yang dilengkapi
dengan seluruh peralatan yang diperlukan selama
upacara. Mebarung ini dilaksanakan secara gotong royong
jauh sebelum acara pesta dimulai karena barung atau los
yang dibuat dipersiapkan untuk ribuan orang. Lamanya
pemakaman, tergantung dari kemampuan keluarga
orang yang meninggal, ada yang berlangsung selama
seminggu, ada yang kurang dari seminggu, dan ada pula
yang lebih semingggu.
i. Palunggaran, yaitu pada malam pertama upacara
pemakaman, peti mayat dibuka dan mayat dikeluarkan,
kemudian dibungkus dengan beberapa lapis kain sampai
bentuknya seperti gulungan kasur. Acara ini diikuti
dengan pemotongan beberapa ekor babi.

236
j. Pabukkuran, yaitu mayat dibungkus dengan kain seperti
pada palunggaran, dan pada acara ini pula pemotongan
beberapa ekor babi.
k. Papaturunan, yaitu pada hari kedua upacara pemakaman,
mayat dan peti mayat yang telah kosong diturunkan ke
tanah. Mayat ditempatkan di Baruga, dan peti mayat
yang kosong itu ditempatkan di sisi rumah untuk
sementara waktu. Pada Baruga tempat mayat,
digantungkan pula gendang dan dibunyikan mulai dari
mayat berada di Baruga, sampai mayat itu
diantar/dibawa ke kuburan atau liang, dan pada hari
kedua ini para tamu mulai datang berbondong-bondong,
pria dan wanita, orang tua atau anak-anak. Tamu yang
berpakaian serba hitam terutama wanita terus menuju
Baruga tempat mayat dan disanalah mereka meratap
(mbating) bersama.
l. Mabatang, yaitu pada hari ketiga peti mayat yang telah
kosong, dikuburkan pada tempat yang tidak jauh dari
halaman rumah, kemudian di atas peti jenasah tersebut,
ditanam pohon beringin, cendana atau tabang sebagai
tanda dan peringatan bagi anak cucu di kemudian hari.
Pada acara pemakaman peti mayat itu, diikuti pula
dengan pemotongan kerbau dan babi. Pemotongan babi
pada acara ini adalah pemotongan secara besar-besaran.
Pada acara penguburan peti tersebut, diawali peti
tersebut diangkat dari rumah, diiringi ratapan tangis
yang tidak ada bedanya dengan meratapi mayat yang
sebenarnya, sampai peti tersebut selesai dikuburkan.
Pemotongan babi yang dilaksanakan secara umum
dilakukan dengan jalan menusuk badan babi dengan
pisau yang spesial telah disediakan untuk itu.

237
m. Pangasseang Paladdura, yaitu mayat yang telah dibungkus
itu dihiasi lagi bersama tempatnya sebelum diantar ke
kuburan (tempat meletakkannya mayat di atas
Baruga/paladdur).
n. Pababaran, yaitu pembuatan panggung (paya), tempat
berteriak mengumumkan persembahan dari tamu-tamu
(keluarga) yang membawa berupa hewan, kerbau, babi di
dalam upacara pemakaman (pababaran/panggung
pengumuman).
o. Marauk, yaitu pada hari ketiga dari upacara pemakaman,
adalah pemotongan kerbau secara umum secara besar-
besaran, dengan cara menombak kerbau persembahan
sampai mati.
p. Penguburan, yaitu :
(1) Pada malam hari penguburan, semua keluarga
berkumpul di Baruga untuk membicarakan masalah
utang piutang almarhum, yang akan menjadi beban
mereka bersama-sama di kemudian hari.
(2) Sebelum mayat diangkat ke kuburan, gendang
dibunyikan sekeras-kerasnya sebagai tanda bahwa
mayat segera diantar ke kuburan, dan para
keluarga/tamu, segera bersiap untuk mengantarnya
ke kuburan.
(3) Pemorisan, yaitu pada waktu gendang berbunyi,
diadakanlah pemorisan, yaitu mengaku salah kepada
bombo (roh) almarhum atas segala kekurangan dan
kekeliruan dalam upacara pemakaman, mulai dari
awal sampai selesai. Acara ini diikuti pula
pemotongan beberapa ekor babi, kemudian mayat
diturunkan dari Baruga bersama Paladdura dan
diletakkan di atas usungan yang telah tersedia.

238
(4) Dipatekka, yaitu sebelum mayat diangkat, lebih
dahulu dari beberapa keluarga melangkahi mayat
tersebut bergantian, tiap orang tiga kali, dengan
maksud supaya bombo (roh) almarhum tidak berbuat
jahat kepada keluarga yang telah ditinggalkan.
(5) Dirate, yaitu mayat diusung disertai teriakan sampai
ke kuburan dengan mendahulukan kepalanya.
Acara ini diikuti pula dengan pemotongan beberapa
ekor babi. Mayat diantar ke kuburan dengan
mengikutsertakan piring, mangkok, sendok serta
tempat makannya, tempat sirihnya dan lain-lain,
kemudian piring, mangkok, dan sendoknya
diletakkan di Paewan atau perbatasan kampung
dengan kuburan/liang, kemudian mayat diteruskan
ke kuburan/liang yang telah tersedia.
(6) Kapui Pancan, yaitu sebelum pintu kubur dibuka,
lebih dahulu diletakkan kapur sirih kemudian pintu
kubur dibuka, dan mayat dimasukkan secara tertib,
kemudian pintu kubur/liang ditutup kembali,
demikian pula tempat makanan, tempat siri
digantung pada pintu kubur, dan para keluarga
pulang bersama ke rumah tempat upacara.
(7) Setelah selesai penguburan, berlaku lagi beberapa
larangan/ pantangan bagi umum, antara lain
sebagai berikut: (a) Pada umumnya masyarakat
dilarang mengadakan pembakaran atau
membawa/berjalan memakai suluh pada malam
hari, (b) Pada umumnya masyarakat dilarang
menjemur apa saja pada tempat terbuka (umum)
kecuali tempat tersembunyi, (c) Pada umumnya
masyarakat dilarang berteriak dari tanah kepada

239
orang yang ada di rumah atau sebaliknya.
q. Palekoran daun dan papasirunduan, yaitu dua hari setelah
upacara penguburan, diadakan lagi acara palekoran daun
dan papasirunduan dengan memotong beberapa ekor babi.
r. Mattoe Rura, yaitu keluarga yang berpakaian serba hitam
(merok), mandi pada tempat mandi yang telah ditentukan
di pinggir sungai (pendioran), pada waktu pagi hari
terakhir dari pantangan tersebut di atas, dan pote
dilepaskan, kemudian pantangan makan beras padi
sudah berakhir. Pada acara ini diikuti pula pemotongan
beberapa ekor babi.
s. Patagarian, yaitu acara ini merupakan tanda bahwa acara
penguburan ini telah selesai dan para keluarga
menunggu berkah dari bombo (roh) almarhum.
t. Mapallu Langngan, yaitu penentuan waktu pembagian
harga benda peninggalan almarhum, dengan
perbandingan siapa yang lebih banyak pengorbanannya
dalam upacara pesta pemakaman tersebut yang paling
banyak mendapat bagian (orang yang mendapat bagian
yang paling banyak dari yang lainnya). Pada acara ini
diadakan pula pemotongan babi dan ayam jantan yang
berbulu merah serta tidak cacat (atau yang sisik kaki dan
paruhnya tidak kuning), sebagai persembahan terakhir
pada bombo (roh) almarhum.
u. Pangakairan, yaitu upacara sebagai tanda terima kasih
kepada roh almarhum atas rezeki yang telah diterima
mereka sebagai berkah kasih dari roh almarhum, setelah
beberapa waktu sesudah selesai upacara pemakaman.
Pada acara ini diadakan pemotongan kerbau dan babi
secara besar-besaran sesuai kemampuan keluarga.

240
Strategi Pemasaran Pariwisata Kabupaten Pinrang
Dalam upaya menarik wisatawan nusantara maupun
wisatawan mancanegara, paling tidak harus dilakukan
upaya-upaya yang sungguh-sungguh, terutama dalam
menciptakan branding pariwisata daerah Pinrang yang
didukung oleh citra wisata yang penuh pesona.
Pariwisata Pinrang belumlah seterkenal pariwisata
Toraja, bahkan masih di bawah bayang-bayang pariwisata
beberapa daerah lain, seperti Bulukumba, Maros, dan
Gowa. Namun demikian, apa yang menjadi ikon wisata
Toraja, seperti upacara adat dan negeri di atas awan,
setidaknya dapat dijumpai di Kabupaten Pinrang.
Sebuah wilayah bernama Suppirang di Kecamatan
Lembang Kabupaten Pinrang adalah wilayah pemukiman
orang Toraja sudah barang tentu didukung oleh tradisi
budaya Toraja. Demikian pula, di dataran tinggi Lembang
terdapat negeri di atas awan yang dikenal dengan destinasi
wisata Koromba. Pada bagian pesisir barat garis pantai
membujur dari Kecamatan Suppa sampai Kecamatan
Lembang, terdapat pantai-pantai yang potensial untuk
dikembangkan sebagai destinasi wisata pantai. Setidaknya
saat ini yang telah mulai dikenal adalah pantai Lowita di
Kecamatan Suppa dan Pantai Ammani di Kecamatan
Mattiro Sompe.
Namun demikian, dari sisi usaha pemasaran
pariwisata, belumlah dilakukan secara profesional, sehingga
hasilnya pun belum terlihat maksimal. Beberapa objek
wisata di Kabupaten Pinrang, baik objek wisata alam,
maupun objek wisata budaya, banyak dikenal oleh
masyarakat di Pinrang, maupun masyarakat di daerah
sekitarnya, melalui informasi dari mulut ke mulut atau yang

241
dikenal sebagai informasi berantai dari mereka yang pernah
berkunjung. Sarana lainnya yang digunakan adalah melalui
media sosial dari mereka, terutama anak-anak muda yang
pernah mengunjungi obyek wisata tertentu di Kabupaten
Pinrang.
Pada dasarnya untuk mempromopsikan obyek wisata,
baik itu wisata budaya maupun wisata alam, maka harus
ada upaya membangun citra wisata terlebih dahulu, melalui
pengembangan obyek wisata. Sebuah obyek wisata harus
dikembangkan lebih menarik. Karena itu, lingkungan
wisata harus tampak lebih asri, rumah-rumah penduduk
harus ditata lebih teratur dan lebih bersih. Perlu ada
jaminan lingkungan kesehatan melalui pengadaan sarana
kesehatan. Pemeliharaan pohon-pohon rindang di
sepanjang jalan juga perlu dijaga. Begitu pula dengan
tanaman bunga-bungaan di pekarangan rumah harus
dipelihara sehingga lingkungan wisata dapat mempesona
dan mengesankan.
Menurut Sukadijo (2000), citra pariwisata inilah yang
didistribusikan. Citra pariwisata ini harus sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh konsumen. Dalam pembahasan
tentang kebijaksanaan produk telah diketahui bahwa
produk itu harus sesuai dengan permintaan segmen pasar
yang bersangkutan, yaitu kelompok-kelompok calon
konsumen yang berdasarkan indikator-indikator sosio-
psikological dan indikator-indikator turistik lainnya dengan
permintaan yang semacam. Dalam pemasaran, ini berarti
bahwa citra pariwisata itu harus disesuaikan dengan
segmen pasar.
Untuk dapat menyesuaikan citra pariwisata dengan
permintaan segmen pasar tertentu harus diketahui betul-

242
betul apa yang diminta oleh segmen pasar yang
bersangkutan, baik permintaan yang bersifat fisik
(makanan, toilet, alat angkutan dan sebagainya) maupun
yang bersifat psikologis : kondisi yang bagaimanakah yang
dapat memberi kepuasan kepada wisawatan (bentuk jasa,
keramahtamahan, kondisi atraksi dan sebagainya).
Di lain pihak orang juga harus memahami kondisi di
daerah tertentu yang menjadi daerah tujuan wisata. Harus
disadari bahwa suatu daerah tujuan wisata merupakan
suatu kesatuan fungsional dari berbagai unsur, baik yang
material maupun yang sosio-kultural. Atraksi wisata seperti
bangunan kuno, tari-tarian rakyat, angkutan setempat,
penjajaan makanan, persediaan penginapan, itu semua
harus disampaikan di pasar sebagai gambar yang menarik,
sebagai citra pariwisata.
Tidak mudah untuk membentuk citra pariwisata yang
baik. Untuk membentuk citra pariwisata yang baik harus
diperhatikan dua hal :
1. Dalam hubungan dengan daerah wisata, citra pariwisata
harus sesuai dengan kenyataan di daerah tujuan wisata.
Citra yang tidak sesuai atau yang tidak seindah dari
kenyataannya akan menimbulkan kekecewaan dan
akhirnya tidak dipercaya oleh wisatawan. Dalam
memberikan gambaran tentang keadaan yang nyata,
kondisi daerah yang khas harus ditonjolkan. Kondisi
khas itu tidak terdapat di daerah lain dan dapat
diharapkan akan menarik. Akan tetapi, tekanan yang
terlalu kuat kepada kekhususan suatu daerah akan
memperkecil segmen pasar atau kelompok wisatawan
sebagai konsumen. Kalau citra Bali hanya sebagai daerah
wisata dengan kebudayaannya sebagai atraksi,

243
wisatawan yang ingin berwisata di pantai tidak akan ke
Bali. Akan tetapi pantai Bali yang sangat digemari
wisatawatan itu tidak khas, karena banyak pantai-pantai
lain yang sejenis tersebar di berbagai tempat di dunia.
Oleh karena itu harus diusahakan adanya keseimbangan
yang tepat antara atraksi yang khas kedaerahan dan
atraksi yang dapat mendatangkan banyak wisatawan.
2. Dalam hubungan dengan pasar pariwisata, citra
pariwsata harus memperhitungkan kekhasan kehidupan
dan adat kebiasaan serta kegemaran pasar. Ini berarti
bahwa sikap dan tata nilai calon wisatawan terus dikenal.
Jelaslah bahwa tidak mudah mengetahui dan memahami
hal-hal seperti itu dan kelompok-kelompok calon
wisatawan dari berbagai lapisan masyarakat dari
berbagai bangsa.
Sudah barang tentu, agar citra wisata dapat
mengesankan, maka perlu pembenahan atraksi wisata agar
benar-benar menarik. Atraksi wisata yang baik diharapkan
dapat mendatangkan kunjungan wisata secara signifikan
dan menahan mereka di tempat atraksi dalam waktu yang
cukup lama dan memberi kepuasan kepada wisatawan
yang datang berkunjung. Menurut Soekadijo (2000), untuk
mencapai hasil yang baik, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi :
a. Kegiatan (act) dan obyek (artifact) yang merupakan
atraksi itu sendiri harus dalam keadaan baik.
b. Karena atraksi wisata itu harus disajikan di hadapan
wisatawan, maka cara penyajiannya (presentasinya)
harus tepat.
c. Atraksi wisata adalah terminal dari suatu mobilitas
spasial, yaitu perjalanan. Olah karena itu juga harus

244
memenuhi semua determinan mobilitas spasial, yaitu
akomodasi, transportasi, dan promosi serta pemasaran.
d. Keadaan di tempat atraksi harus menahan wisatawan
cukup lama.
e. Kesan yang diperoleh wisatawan waktu menyaksikan
atraksi wisata diusahakan supaya bertahan selama
mungkin.
Agaknya sudah jelas dengan sendirinya bahwa untuk
dapat memberi kepuasan kepada wisatawan, atraksi itu
sendiri harus dalam keadaan yang baik. Baik itu berupa
atraksi seperti tarian dan upacara maupun atraksi yang
berupa objek.
Objek wisata di Kabupaten Pinrang, umumnya masih
berbentuk objek berupa pantai, objek wisata dataran tinggi
seperti air terjun dan objek wisata gunung yang dikenal
dengan nama negeri di atas awan. Namun demikian,
sebagai atraksi wisata alam, spot wisata tersebut tetap
memerlukan pembenahan agar dapat mengesangkan.
Sapta Pesona merupakan kondisi yang harus
diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan
berkunjung ke suatu daerah atau wilayah tertentu, yang
memungkinkan terciptanya suasana indah dan mempesona,
khususnya di tempat-ternpat yang sudah dikunjungi
wisatawan agar mereka betah tinggal lebih lama. Kepuasan
atas kunjungan wisatawan dapat menciptakan kenangan
indah dalam hidup mereka.
Unsur Sapta Pesona adalah 1. Aman, 2. Tertib, 3.
Bersih, 4. Sejuk, 5. Indah, 6. Ramah. 7. Kenangan. Hal ini
dapat diciptakan antara lain dengan menyediakan
akomodasi yang nyaman, baik dan sehat, atraksi seni
budaya yang khas dan mempesona, makanan dan minuman

245
khas daerah yang lezat dengal penyajian dan tampilan yang
menarik, cenderamata khas daerah yang bermutu tinggi,
mudah dibawa dan harganya terjangkau serta mempunyai
arti tersendiri akan tempat yang dikunjungi tersebut. Kesan
terhadap suatu atraksi wisata dapat menjadi sarana promosi
gratis dari seorang wisatawan di daerah asal mereka.

246
E. HUTAN MANGROVE TONGKE-TONGKE
MENANGKAL ABRASI, MEMBANGUN DESA
WISATA

Pengantar
Desa Tongke-Tongke dan beberapa desa lainnya di
Sinjai Timur, sudah lama mengalami abrasi oleh gelombang
laut dan menjadi bulan-bulanan banjir pada setiap terjadi
air pasang. Genangan air inilah yang merusak tambak
bandeng, udang, rumput laut, padahal tambak tersebut
menjadi mata pencaharian alternatif penduduk setempat
yang pada umumnya adalah nelayan yang mencari ikan di
laut.
Pada tahun 1980, ganasnya ombak menyebabkan
tergerusnya pantai di sepanjang kecamatan Sinjai Timur
hingga Sinjai Utara. Bahkan selama kurun waktu 1980 -
1990, pantai sepanjang 500 meter dengan lebar 50 meter
sempat hilang tertelan gelombang laut pertemuan Selat
Selayar dan Teluk Bone. Abrasi pun melenyapkan lebih dari
300 hektar tambak milik warga.
Fenomena ini kemudian memantik kesadaran seorang
tokoh lokal bernama H. Tayieb, dan tergugah untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut. Bersama
dengan warga desa lainnya, mereka kemudian menanam
mangrove secara swadaya di atas lahan seluas 15 hektar.
Mereka menancapkan proposal (bibit mangrove) yang
diperoleh dari anakan mangrove yang tumbuh liar di
kawasan pantai. Namun demikian, menurut Rahmatullah
(2002), faktor lainnya yang cukup kuat mendorong
penanaman pohon mangrove adalah keinginan warga
untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan menjamin
ketersediaan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga
247
masyarakat pesisir yang sebahagian besar masih
menggunakan kayu untuk memasak.
Tanaman mangrove yang mereka miliki dianggap pula
sebagai tabungan untuk dipetik hasilnya apabila pohon -
pohon tersebut sudah mencapai ukuran yang bisa dijadikan
kayu (umur 7 - 8 tahun). Bahkan pohon - pohon tersebut
dapat dijual sebelum masa tebangnya, apabila ada
keperluan yang mendesak seperti untuk membiayai sekolah
anak-anak mereka atau mempunyai hajatan yang
membutuhkan uang tunai.
Pertumbuhan jumlah penduduk memerlukan
pembuatan rumah- rumah baru. Pembuatan rumah baru
memerlukan lahan baru. Bagi masyarakat nelayan yang
tinggal di bagian pantai yang langsung berbatasan dengan
laut, penanaman pohon-pohon mangrove merupakan cara
memperoleh lahan, karena tegakan yang terbentuk akan
menangkap dan menimbun lumpur. Pohon-pohon bakau
yang ditanam rapat berfungsi untuk menahan sedimen
berupa tanah liat dan selanjutnya berakumulasi di bawah
tegakan. Sebagai akibatnya setelah mencapai delapan
sampai sepuluh tahun terjadi pertambahan lahan ke arah
laut. Selanjutnya penanaman pohon mangrove dimulai lagi
pada bagian paling luar dari lahan yang baru terbentuk
tersebut.
Lahan yang baru ini dapat dipakai untuk pembuatan
tambak, membangun rumah panggung atau tetap ditanami
pohon mangrove. Penambahan lahan baru ini juga
dikemukakan oleh tokoh masyarakat setempat yang
menyatakan bahwa lahan di mana terdapat barisan rumah-
rumah yang berada paling luas dan berbatasan dengan
pantai, beberapa puluh tahun yang lalu adalah masih

248
berupa laut.
Motivasi atau orientasi masyarakat nelayan Tongke-
Tongke terhadap hutan mangrove menunjukkan selain
pertimbangan ekologis, pertimbangan ekonomi sangat
mempengaruhi motivasi mereka terhadap pemanfaatan
hutan mangrove, sehingga hal ini juga mempengaruhi
persepsi mereka terhadap hutan mangrove, bahwa hutan
mangrove sebagai sumberdaya yang potensial di daerah
pesisir pantai Tongke-Tongke perlu dikelola seoptimal
mungkin untuk kesejahteraan masyarakat tanpa
mengabaikan aspek kelestariannya.
Saat ini, rimbun hutan mangrove dengan rata-rata usia
20 tahun, telah berdiri kokoh menjadi penangkal gempuran
ombak besar sehingga permukiman penduduk, terbebas
dari genangan air pasang. Bahkan hutan mangrove Tongke-
Tongke semakin menunjukkan pesonanya, tidak sekedar
berfungsi ekologis semata, tetapi juga berfungsi ekonomi,
dan fungsinya ini semakin diperkuat, ketika hutan
mangrove Tongke-Tongke menjadi atraksi wisata.

Desa : Prosfek Destinasi untuk Wisata Alternatif


Kejenuhan wisatawan, terutama wisatawan
mancanegara terhadap atraksi wisata konvensional yang
menyuguhkan daya tarik yang hedonistis, menyebabkan
wisatawan merindukan sebuah destinasi yang dapat
memenuhi kebutuhannya, tidak sekedar menjadi sebuah
destinasi wisata untuk mendapatkan hiburan, memanjakan
mata terhadap panorama alam, menyaksikan situs budaya
dan sejarah, tetapi lebih dari itu, mereka dapat
berkepentingan untuk menambah wawasan dan
pengalaman serta untuk mengembangkan pribadi, serta

249
kehidupan spiritualnya. Karena itu para wisatawan tersebut
sangat tertarik pada hal-hal yang sifatnya yang unik, langka
dan menarik. Mereka tertarik menjadi bagian dari fenomena
sosial tersebut, dan mereka pun akan menghabiskan
waktunya untuk hidup dan bergaul bersama masyarakat
desa.
Pertumbuhan jumlah wisatawan pedesaan, yang
secara umum juga dikenal sebagai ecotourism dipacu oleh
keingintahuan dan daya tarik kelestarian lingkungan,
pernak-pernik kehidupan masyarakat desa, termasuk untuk
mengetahui, bahkan mempelajari budaya lokal, serta hasrat
untuk mendapatkan sensasi dan pengalaman baru untuk
pengembangan pribadi dan kehidupan spiritual. Dengan
demikian sesungguhnya, wisata pedesaan menjadi aktifitas
wisata bertanggung jawab, terutama dalam mendukung
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Menurut, Kusworo (dalam Fandely dan Mukhlisan,
2000), Wisata pedesaan merupakan salah satu bentuk wisata
minat khusus yang memiliki ruang lingkup yang cukup
luas, mulai dari kegiatan oleh fakta dan aktivitas di ruang
terbuka (outdoor activities) hingga keinginan untuk belajar
sesuatu kecakapan tertentu misalnya bahasa, kesenian
tradisional atau mulai dari kegiatan wisata budaya hingga
kegiatan-kegiatan khusus yang bertujuan untuk menjaga
kesehatan tubuh (Fandely dan Mukhlison, 1993). Secara
umum basis pengembangan wisata minat khusus meliputi :
1. Aspek-aspek alam seperti flora, fauna, fisik geologi,
vulkanologi, hidrologi, hutan alam atau taman nasional
maupun laut.
2. Objek dan daya tarik wisata budaya yang meliputi
budaya peninggalan sejarah (built heritage) dan budaya

250
kehidupan masyarakat (living culture). Potensi atau basis
wisata ini selanjutnya dapat dikemas dalam bentuk
wisata budaya peninggalan sejarah (situs arkeologi),
wisata pedesaan dan sebagainya dimana wisatawan
memiliki minat untuk terlibat langsung dan berinteraksi
dengan budaya masyarakat setempat serta belajar
berbagai hal dari aspek-aspek budaya yang ada.
Meskipun belum tersedia data yang memadai
mengenai perkembangan jumlah wisatawan dalam
keseluruhan spektrum wisatawan minat khusus, namun
meningkatnya peran “modal budaya” dalam relasi ekonomi
sehari-hari wisatawan dalam kehidupan sehari-hari mereka
di daerah asal melengkapi “modal uang” menjadikan
wisata pedesaan yang tentu melibatkan bukan saja
landscape, flora, fauna, fisik geologi, vulkanologi, hidrologi,
hutan alam. taman nasional maupun laut, tetapi juga
budaya masyarakat yang hidup di dalamnya memiliki
peran yang semakin penting. Dengan demikian, secara
langsung maupun tidak, hal ini menyebabkan semakin
penting dan strategisnya peran wisata pedesaan yang
menitikberatkan kehidupan di sekitar hutan. Bagaimanapun
masyarakat tepi hutan merupakan bagian yang berpotensi
menyediakan cultural-environmental experiences bagi
wisatawan dalam masing-masing dimensi ruang dan
waktunya. Pada akhirnya keseluruhan pengalaman tersebut
merupakan bagian yang sangat penting dalam menentukan
tingkat penguasaan dan apresiasi wisatawan sebagai aktor
sosial atas “modal” budaya mereka.
Citra tentang desa selama ini, senantiasa terkait
dengan sebuah ruang permukiman yang sehat, aman dan
nyaman, menyebabkan sebuah desa biasanya membawa

251
kesan menyenangkan. Kesan menyenangkan, bukan saja
karena tata kelola lingkungan baik permukiman yang
teratur rapi, tetapi Juga karena kehidupan masyarakatnya
yang begitu sederhana, ramah tama dan mengesankan.
Irama kehidupan di desa mampu memberikan pencerahan
dan kesadaran dalam memaknai arti kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan di desa merefleksikan
kesederhanaan, kebenaran dan keaslian, dimana warga
saling menyapa, saling memperhatikan dan saling tolong
menolong.
Jika pariwisata diartikan sebagai kegiatan rekreasi di
luar
domisili untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin atau
untuk
mencari suasana baru, maka desalah tempatnya. Hanya saja
untuk menjadikan suatu desa sebagai destinasi wisata,
perlu
ada upaya atraksi wisata yang bersumber dari potensi yang
ada
atau modal wisata yang dimiliki, baik berupa modal
sumberdaya alam atau keunikan tentang alam, maupun
modal budaya berupa ritual adat, seni tradisi, kerajinan
tangan maupun keunikan kehidupan masyarakat desa.
Sudah barang tentu, pariwisata pedesaan diharapkan
dapat menunjang Sapta Pesona pariwisata yang telah
digaungkan sejak lama. Sapta Pesona merupakan kondisi
yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat
wisatawan berkunjung ke suatu daerah atau wilayah
tertentu di Indonesia. Kita harus menciptakan suasana
indah dan mempesona, khususnya di tempat-tempat yang
sudah dikunjungi wisatawan agar mereka betah tinggal

252
lebih lama, mereka puas atas kunjungannya dan memberi
kenangan yang indah dalam hidupnya.
Unsur Sapta Pesona adalah 1. Aman, 2. Tertib, 3.
Bersih, 4. Sejuk, 5. Indah, 6. Ramah, 7. Kenangan. Hal ini
dapat diciptakan antara lain dengan menyediakan
akomodasi yang nyaman, baik dan sehat, atraksi seni
budaya yang khas dan mempesona, makanan dan minuman
khas daerah yang lezat dengan penyajian dan tampilan
yang menarik , cendera mata khas daerah yang bermutu
tinggi, mudah dibawa dan harganya terjangkau dan
mempunyai arti tersendiri akan tempat yang dikunjungi
tersebut. Memasyarakatkan dan membudayakan Sapta
Pesona dalam kehidupan sehari-hari mempunyai tujuan
yang jauh lebih luas, yaitu untuk meningkatkan disiplin
nasional dan jati diri bangsa yang juga akan meningkatkan
citra baik bangsa dan negara.
Unsur-unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah,
dan kenangan yang terkandung di dalam Sapta Pesona
merupakan nilai-nilai yang bersifat universal. Artinya nilai-
nilai tersebut dapat diterima oleh semua orang dimana pun
berada. Bahkan unsur-unsur Sapta Pesona wisata tersebut
merupakan kebutuhan dan persyaratan untuk dapat
terciptanya masyarakat damai, bahagia, dan sejahtera. Oleh
karena itu, Sapta Pesona dengan unsur-unsurnya sebaiknya
dilaksanakan oleh seluruh pihak dalam kehidupan sehari-
hari secara konsekuen dan konsisten.
Dari ketujuh unsur Sapta Pesona ini, terdapat 3 Sapta
Pesona yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-
hari, baik di rumah, lingkungan masyarakat, tempat kerja,
tempat rekreasi, dan sebagainya. Ketiga Sapta Pesona
tersebut yaitu aman, tertib, dan bersih. Selanjutnya dapat

253
digali bersama pengalamannya. Karena ketiga Sapta Pesona
ini memiliki nilai yang universal , dalam arti ketiganya
harus ada dan teraplikasikan dalam segala bidang
kehidupan di mana kita berada, seperti di rumah, di
perjalanan, di tempat wisata, di hotel, di pasar dan lain-lain.

Desa Wisata Tongke-Tongke


Posisinya yang terletak di garis pantai Teluk Bone
membuat wilayah Tongke-Tongke rentan terhadap bencana
alam terutama yang datang dari laut seperti angin kencang
dan gelombang tinggi. Dalam pengetahuan penduduk,
sejak tahun 1955-an desa ini telah mengalami ancaman
abrasi yang sangat tinggi. Pada masa itu, setidaknya laju
abrasi di pantai Tongke-Tongke kurang lebih 15 meter per
tahun. Kondisi tersebut tentunya tidak saja mengganggu
aktifitas kenelayanan mereka, namun juga mengancam
perkampungan serta seluruh tambak di sepanjang pantai
Tongke-Tongke.
Laju abrasi yang tinggi tentunya berkonsekuensi pada
hilangnya sebagian besar wilayah daratan. Artinya wilayah
daratan akan menjadi sempit dan semakin sering terendam
air laut. Kondisi demikian dapat merusak perumahan,
bahkan pada tingkatan yang parah penduduk terpaksa
harus mengungsi. Laju abrasi yang tinggi di Desa Tongke-
Tongke disebabkan karena tidak adanya penghalang
gelombang yang datang dari laut baik berupa tanggul
maupun penghalang alamiah.
Letak Desa Tongke-Tongke yang tepat berada di
mulut Teluk Bone membuat arus air di sepanjang pantainya
dapat bergerak sangat cepat. Adanya sungai Tangka yang
bermuara di sebelah utara desa membuat gelombang laut

254
pada saat tertentu akan bertubrukan dengan arus sungai
yang menuju ke laut. Pertemuan dua arus tersebut akan
menyebabkan gelombang air yang cukup tinggi dan
bergerak dengan kecepatan tinggi. Karena itu laju abrasi
menjadi sangat tinggi dengan daya rusak gelombang yang
juga tinggi terutama pada musim timur.
Pada tahun 1970, Tongke-Tongke dilanda kemarau
panjang yang mengakibatkan masyarakat kekurangan
pangan dan terpaksa makan ubi kayu dan sagu untuk
mempertahankan hidupnya. Mata pencaharian sebagian
besar masyarakat adalah petambak dan hanya sedikit sekali
yang bekerja sebagai petani, membuat kesempatan untuk
mendapatkan bahan makanan utama yaitu beras menjadi
berkurang. Sementara aspek alamiah yang mengancam
keselamatan warga yaitu abrasi dan gelombang tinggi tidak
berkurang tetapi semakin tinggi hingga mencapai 30-40 cm
per tahun. Gelombang tinggi tersebut cukup keras hingga
seluruh desa terendam air laut. Menurut masyarakat
setempat, bagian bawah rumah panggung mereka penuh
dengan genangan air. Kondisi tersebut berlangsung hingga
tahun 1980-an.
Abrasi pantai yang sangat luar biasa ketika itu
mengakibatkan rumah penduduk banyak yang terancam
bahkan ada beberapa rumah yang harus dipindahkan untuk
menghindari bencana. Kondisi pemukiman yang setiap
tahunnya terancam oleh abrasi memunculkan ide dari
kepala lingkungan yang saat itu di jabat oleh H. Badaruddin
(alm.) bersama beberapa tokoh masyarakat untuk berupaya
memecahkan masalah tersebut. Solusi yang diambil ketika
itu adalah dengan membuat tanggul (talud) pemecah
ombak di sepanjang pantai guna mengurangi kekuatan

255
hempasan ombak dari arah laut, terutama pada musim
timur. Tanggul tersebut dibuat dari bahan batu karang yang
mereka ambil dari desa tetangga yaitu desa Pulau Sembilan
yang penuh dengan batu karang. Pada masa tersebut,
pengambilan karang untuk kebutuhan membuat pondasi
rumah dan tanggul merupakan hal yang lumrah.
Masyarakat belum mengetahui bahwa aktifitas tersebut
justru akan membahayakan mata pencaharian mereka
sendiri yang sebagian besar adalah nelayan. Pengambilan
dan pengumpulan batu karang di lakukan seminggu sekali
usai sholat Jumat. Ternyata upaya penyelamatan dengan
pembuatan tanggul tidak berhasil. Kerasnya ombak
terutama pada musim timur merusak tanggul yang telah
dibuat warga.
Setelah upaya membuat tanggul dirasakan tidak
membuahkan hasil maka masyarakat mencoba mencari
alternatif lain yang dipandang lebih efektif. Berdasarkan
hasil pengamatan masyarakat terhadap desa tetangga
mereka, desa tersebut tidak mengalami abrasi dan bencana
tahunan seperti mereka karena disepanjang pantainya
ditumbuhi oleh pohon mangrove. Pohon-pohon tersebut
ternyata mampu menahan laju air laut hingga tidak mampu
menjangkau pemukiman atau tidak lagi memiliki kekuatan
merusak ketika sampai ke pemukiman warga. Pengamatan
tersebut membuat warga memilih menanam mangrove
sebagai alternatif penyelamatan pemukiman setelah tanggul
yang dibuat tidak dapat menyelesaikan masalah.
Penanaman mangrove mulai dilakukan pada tahun
1980-an oleh penduduk yang tinggal tepat di pesisir pantai.
Penanaman pohon mangrove dilakukan oleh warga dengan
dimotori oleh H. Muh Taiyeb yang ketika itu menjabat

256
sebagai kepala lingkungan. Kegiatan penanaman bibit
mangrove ini berlangsung sampai tahun 1990, dan hasil
penanaman tersebut tingkat pertumbuhannya cukup baik.
Pada tahun 1991 terjadi musibah gempa bumi tektonik di
yang melanda Pulau Flores. Peristiwa tersebut
menyebabkan tsunami di wilayah Flores, namun
gelombang yang ditimbulkan sangat besar hingga mencapai
wilayah perairan Teluk Bone dimana Desa Tongke-Tongke
berada. Tetapi karena sudah banyak tanaman bakau yang
tumbuh, maka gelombang pasang tersebut sama sekali
tidak menimbulkan kerusakan pada permukiman warga.
Gagasan menjadikan hutan mangrove desa Tongke-
Tongke sebagai objek wisata sudah ada sejak tahun 2010,
tetapi belum terealisasi. Baru setelah kelompok Aku Cinta
Indonesia (ACI) yang diketuai oleh Muh. Taiyeb, gagasan
ini kembali dirintis dengan sebuah gerakan penanaman
hutan mangrove. Namun demikian, secara umum,
perkembangan hutan mangrove Tongke-Tongke menjadi
hutan wisata terjadi dalam dua fase (Misrawati,2019).
Fase pertama, terjadi tahun 2015, ketika kelompok
pengelola lingkungan bernama ACI membuat jembatan
yang memanjang dari desa ke arah laut, atau dari barat ke
timur. Jembatan kayu tersebut dibuat untuk
mengakomodasi aktifitas nelayan agar dapat mengakses
laut dengan mudah, dan menghindari kerusakan tanaman
mangrove yang masih muda, akibat injakan kaki nelayan
yang menyebabkannya bergeser.
Fase kedua, terjadi pada tahun 2016, saat menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti berkunjung ke
Tongke-Tongke dan memberi bantuan dana, terutama
untuk perbaikan dan pembangunan jembatan.

257
Meskipun jembatan tersebut dibangun untuk
menunjang kegiatan ekonomi nelayan dan penduduk
setempat. namun fungsi jembatan ternyata berkembang.
Jembatan tersebut kemudian menarik perhatian orang-
orang lain datang berkunjung untuk menikmati
pemandangan. Pengunjung awal yang datang ke lokasi
wisata didominasi oleh anak-anak muda dan anak sekolah
yang tinggal di sekitar desa. Informasi yang beredar melalui
cerita dari mulut ke mulut membuat pelajar dari luar desa
Tongke-Tongke akhirnya juga datang berkunjung. Para
pengunjung tersebut sebenarnya datang untuk mencari
tempat yang nyaman untuk berpacaran atau bermain
dengan teman. Adapun menikmati pemandangan alam
merupakan tujuan kedua. Ini kemudian menjadi kebiasaan
mengupload aktifitas di media sosial. Karena itu aktifitas
berfoto dan mengupload ke media social (Facebook)
menjadi hal pokok yang banyak dilakukan. Bagi warga
lokal sendiri, kehadiran para pengunjung dari kalangan
pelajar tersebut tidak dianggap sebagai sebuah kegiatan
wisata atau peluang untuk mengembangkan usaha oleh
penduduk lokal.
Wisata hutan mangrove Tongke-Tongke akhirnya
mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam hal
jumlah pengunjung yang dapat mencapai ratusan orang
dalam sebulan terutama pada masa liburan. Tempat wisata
ini dibanjiri pengunjung yang ingin menikmati fanorama
laut biru dan kesejukan udara sambil bercengkrama
bersama.
Kedua fase perkembangan tersebut menunjukkan
bahwa berkembangnya Tongke-Tongke menjadi objek
wisata terjadi setelah salah satu tokoh nasional, dalam hal

258
ini Menteri Kelautan dan Perikanan berkunjung ke lokasi
tersebut. Meskipun kunjungan tersebut tidak dimaksudkan
untuk berwisata, namun kehadiran beliau sudah cukup
membuat mereka yang melihat dan mendengarnya menjadi
tertarik untuk berkunjung. Dalam logika umum, tentunya
tidak ada pejabat atau public figure lainnya yang
berkunjung ke daerah yang tidak baik. Hal serupa juga
banyak terjadi pada lokasi-lokasi wisata yang mendadak
terkenal terutama di Sulawesi Selatan.
Kedepan wilayah hutan mangrove direncanakan akan
dikembangkan lebih baik oleh pemerintah daerah Kab.
Sinjai melalui Dinas Pariwisata. Dinas Pariwisata sendiri
telah membuat rancangan pengelolaan lokasi wisata hutan
mangrove tersebut dengan menambah sejumlah fasilitas
yang dianggap perlu untuk melengkapi apa yang sudah
ada. Namun demikian rencana tersebut masih belum dapat
terealisasi secara maksimal.
Saat ini fasilitas wisata hutan mangrove Tongke-
Tongke, baru berupa warung makan. Bisnis warung makan
merupakan respon masyarakat terhadap pengunjung yang
datang dalam jumlah banyak. Tentunya selama berada di
lokasi wisata, jarang dari mereka yang membawa makanan
sendiri atau minimal membawa air minum. Keadaan seperti
ini dimanfaatkan oleh beberapa orang warga yang
menjajakan makanan ringan disepanjang jembatan.
Setidaknya terdapat 7 penjual makanan ringan yang
berjualan di atas jembatan. Para penjual ini menjajakan
makanan ringan terutama makanan dan minuman dalam
kemasan. Beberapa pengunjung lebih memilih makanan
kemasan karena lebih mudah dikonsumsi, tidak
merepotkan dan dijamin kebersihannya. Umumnya

259
pengunjung yang menggemari makanan seperti ini adalah
dari kalangan anak-anak hingga anak remaja.
Selain tujuh orang yang berjualan di atas jembatan,
juga terdapat enam penjual yang berjualan di “kafe apung”.
Kafe apung tersebut sebenarnya merupakan bantuan dari
pemerintah melalui DKP Sinjai namun sepenuhnya
diserahkan kepada masyarakat untuk mengelolanya.
Kafe apung tersebut berbentuk rumah rakit yang terbuat
dari kayu yang didudukkan pada beberapa buah drum agar
dapat mengapung. Agar tidak hanyut, rakit tersebut
diikatkan pada dermaga dan diberi jangkar untuk
mengurangi gerakan akibat pukulan ombak. Pada bagian
tepi diberi semacam pagar agar pengunjung terutama anak-
anak tidak jatuh ke air. Di atas kafe apung ini ditempatkan
meja dan kursi agar pengunjung dapat makan dengan
santai dan beristirahat.
Berbeda dengan penjual yang berdagang di atas
jembatan, mereka yang mengelola kafe apung menjual
bahan makanan jadi baik makanan ringan maupun
makanan berat. Namun makanan tersebut tidak diolah di
atas rakit melainkan dibawah dari rumah. Kegiatan
memasak dilakukan di rumah masing-masing kemudian
dibawa ke kafe apung untuk ditata di dalam etalase agar
pengunjung dapat melihat makanan yang ditawarkan.
Karena itu makanan yang disajikan dalam keadaan sudah
dingin meskipun ada pula yang masih hangat, bergantung
pada waktu memasak mereka.
Makanan yang dijajakan di kafe apung ini terdiri atas
kue atau makanan ringan dan makanan berat. Makanan
ringan berupa gorengan seperti pisang, sukun, dan bakwan,
yang umumnya dikonsumsi bersama dengan kopi, teh atau

260
minuman dalam kemasan. Beberapa kafe apung juga
menyediakan aneka jus buah-buahan. Pengolahan jenis
makanan ringan dilakukan di atas kafe apung karena
peralatan untuk membuatnya memang sudah disiapkan,
sehingga pengunjung dapat mengkonsumsi makanan
pesanannya dalam keadaan masih panas atau hangat.
Adapun makanan berat terdiri atas nasi, sayur dan
lauk yang keseluruhannya merupakan resep atau cita rasa
lokal. Makanan yang disajikan tersebut merupakan
makanan rumahan yang dikemas seperti halnya makanan
restoran. Fasilitas lainnya baru berupa kamar mandi dan
WC serta tempat parkir.
Fasilitas wisata lainnya yang tersedia, baru perahu
mesin untuk rekreasi pengunjung. Jembatan yang dibangun
memungkinkan bagi para pengunjung untuk menikmati
panorama hutan bakau dari arah daratan menuju ke laut.
Mereka dapat mengamati secara detail apa saja flora dan
fauna yang berasosiasi dengan hutan mangrove. Agar
pengunjung menjadi lebih tertarik untuk datang, maka
disediakan sebuah perahu (speed boat) yang melayani
pengunjung yang ingin melihat hutan mangrove dari arah
laut. Perahu tersebut merupakan sumbangan dari DKP
Sinjai untuk masyarakat Tongke-Tongke, namun kini
berada dalam pengelolaan Dinas Pariwisata.
Perahu bantuan DKP tersebut berbahan viber dan
dapat memuat 5-7 orang penumpang. Perahu dioperasikan
oleh seorang operator dari Dinas Pariwisata yang melayani
pengunjung yang ingin berjalan-jalan melalui laut. Paket
yang ditawarkan adalah melihat hutan mangrove dari arah
laut sejauh 2 km dari pantai dengan tarif Rp.100.000,-/sekali
perjalanan. Pengunjung yang ingin menikmatinya harus

261
dalam bentuk rombongan dengan jumlah demikian.
Sementara jika beberapa orang yang datang berdua atau
sendirian harus menanggung biaya dengan tarif tersebut.
Sebaliknya mereka yang datang dengan rombongan yang
banyak tidak dapat pergi bersamaan karena jumlah perahu
hanya satu buah. Karena itu masih dibutuhkan
penambahan jumlah perahu dengan kapasitas yang lebih
besar.
Tentunya pemandangan yang dapat dinikmati
pengunjung dari luar lebih banyak dan sangat menarik.
Mereka tidak hanya melihat habitat mangrove tetapi juga
fauna seperti jenis burung yang sulit ditemukan di area
pemukiman dan pemandangan Pulau Sembilan dengan
terumbu karangnya yang terletak di bagian timur Desa
Tongke-Tongke. Dan yang tak kalah menariknya adalah
pengalaman untuk mengarungi lautan dengan kecepatan
tinggi.
Pada umumnya pengunjung ke desa wisata Tongke-
Tongke adalah orang-orang yang berdomisili di kabupaten
Sinjai atau daerah sekitarnya. Para pengunjung rata-rata
datang dengan menggunakan kendaraan roda dua, namun
juga ada yang datang dengan menggunakan mobil bahkan
dengan bus. Beberapa pengunjung datang dalam bentuk
rombongan dalam jumlah banyak seperti pengunjung yang
sedang melakukan study tour, dan lebih banyak yang datang
dalam jumlah kecil. Arus kunjungan pada masa liburan
yaitu diakhir, awal dan pertengahan tahun sangat
meningkat, dan tentunya berkonsekuensi pada
membengkaknya jumlah kendaraan yang harus diparkir di
sekitar lokasi wisata.
Kebanyakan pengunjung adalah para remaja SMP dan

262
SMA yang baru pulang sekolah. Mereka memiliki motif
tersendiri untuk berkunjung ke lokasi wisata. Remaja yang
berkunjung biasanya hanya sekedar jalan-jalan menikmati
kesejukan hutan mangrove, ada pula yang hanya sekedar
datang untuk mengambil gambar bersama teman-teman,
dan juga ada beberapa yang datang karena kegiatan studi
tour yang ditemani langsung oleh guru mereka. Namun
banyak diantaranya yang datang bersama sahabat untuk
bertemu dengan kenalan baru yang dikenal lewat social
media.
Selain pengunjung yang datang untuk bertemu
dengan kenalan baru banyak juga pengunjung yang datang
bersama pasangan mereka baik suami istri. Namun lebih
banyak remaja-remaja yang datang ke lokasi wisata
bersama teman-temannya.

Dampak Wisata Mangrove di Desa Tongke-Tongke


Wisata pedesaan Tongke-Tongke dikembangkan
berdasarkan daya tarik hutan mangrove yang semakin
populer saat ini. Baik hal ini terjadi karena pernah
mendapat kunjungan dari menteri kelautan dan perikanan
Susi Pujiastuti atau memang karena objek wisata mangrove
di Sulawesi Selatan relatif langka. Dapat dikatakan, hutan
mangrove Tongke-Tongke lebih populer dibanding hutan
mangrove yang ada di kepulauan Selayar, di Luwu Utara
atau bahkan hutan mangrove yang ada di Lakkang,
Makassar. Namun demikian, kunjungan wisata ke desa
Tongke-Tongke relatif masih terbatas, sehingga daya
dukung lingkungan relatif masih terjaga.
Sebagai suatu ekosistem pesisir di Sinjai Timur, hutan
mangrove telah berfungsi sebagai sarana kondervasi dan

263
menjaga keutuhan ekologis. Hutan mangrove sangat epektif
meredam gelombang laut dan badai sehingga mampu
melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur dan
perangkap sedimen yang diangkut oleh air permukaan.
Karena itu sejak adanya hutan mangrove, kawasan tersebut
terhindar dari abrasi dan genangan air yang sebelumnya
selalu terjadi. Bahkan ketika tahun 1992 terjadi gempa di
Flores, penduduk dipesisir Timur Sinjai luput dari bencana
tsunami.
Dari prosfektif ekologis, hutan mangrove juga menjadi
sumber oksigen dan penyimpanan karbon. Berwisata ke
hutan mangrove karenanya untuk menjaga kualitas
kesehatan. Melalui proses fotosintesis, hutan mangrove
menyerap karbon atau CO2 dan mengeluarkan oksigen atau
O2. Berdasarkan penelitian, jumlah karbon yang diserap dan
disimpan oleh hutan mangrove mencapai 3 sampai 5 kali
lebih banyak dibandingkan dengan hutan tropis daratan.
Karbon yang diserap 78 persen disimpan di dalam tanah, 20
persen disimpan pada batang pohon hidup dan akarnya,
serta 2 persen lainnya disimpan pada pohon mati. Selain
sebagai tempat penyimpanan karbon, hutan mangrove
menghasilkan oksigen untuk bernapas.
Sejatinya berwisata ke hutan mangrove Tongke-
Tongke, juga dapat menjadi sarana pendidikan lingkungan.
Hutan mangrove menjadi tempat wisata yang
menyenangkan, dapat belajar langsung di alam. Dengan
menggunakan perahu kecil atau berjalan melewati jalur-
jalur khusus yang dibangun diantara kanopi, kita bisa
melakukan kegiatan fotografi, mengamati aktivitas burung,
juga belajar tentang kekayaan flora dan fauna di hutan
mangrove tersebut.

264
Dari sisi ekowisata, hutan mangrove memiliki potensi
yang cukup baik untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan
adanya daya tarik hutan mangrove tersebut. Hijauan tajuk
dan rimbun pohon mangrove yang membentang sepanjang
pantai menjadi fanorama yang indah. Keindahan fanorama
tersebut dapat disaksikan dari taut maupun darat.
Sementara alur batas antar kapling hutan mangrove dapat
berfungsi sebagai alur wisata berperahu, memancing atau
sekedar untuk mengamati kehidupan biota-biota dalam laut
yang jernih. Atraksi wisata juga dapat berupa aktivitas
warga untuk mencari nener dan benur, termasuk
mengamati kehidupan satwa yang terdiri atas berbagai jenis
burung laut, biota laut dan suasana perkampungan nelayan
yang damai dan alami, menjadi atraksi wisata tersendiri.
Manfaat dan fungsi lainnya, mangrove juga sebagai
penghasil sejumlah besar deritus atau hara bagi plankton,
makanan utama biota laut. Mangrove juga sebagai daerah
asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding
grounds), daerah pemijahan berbagai jenis biota laut.
Penghasil kayu konstruksi; bahan baku arang, pemasok
larva ikan (nener), dan biota laut lainnya, serta habitat bagi
beberapa satwa, dan sangat menarik sebagai atraksi wisata.
Dampak sosial ekonomi wisata pedesaan hutan
mangrove Tongke-Tongke, dikemukakan oleh Nisrawati
(2019). Hutan mangrove menjadi objek wisata telah
membawa dampak terhadap masyarakat. Pada masa
sebelum hutan mangrove di Desa Tongke-Tongke menjadi
objek wisata yang menarik orang luar untuk berkunjung,
mobilitas warga sangat terbatas. Mereka hanya bertemu
dengan orang luar desa jika ada undangan pesta
perkawinan dan acara lainnya. Setelah banyaknya orang

265
berkunjung, mulai dari ketika kunjungan hanya dilakukan
anak-anak sekolah, maka intensitas pertemuan antara
masyarakat Desa Tongke-Tongke dengan orang luar
menjadi sangat tinggi.
Ketika pengunjung datang menikmati objek wisata,
interaksi dalam bentuk komunikasi antar warga dengan
pengunjung terlihat hanya terbatas pada komunikasi antara
penjual lokal dengan pengunjung, pemilik tempat parkir
atau warga yang menyewakan kamar mandi untuk
pengunjung membuang hajat. Meskipun demikian proses
peniruan masyarakat terhadap pendatang dapat terjadi
tanpa melalui komunikasi. Misalnya kebiasaan berpacaran
anak-anak sekolah yang datang pada masa awal lokasi ini
dikunjungi, memberikan contoh pada anak-anak untuk
melakukan hal yang sama.
Dampak sosial yang lainnya adalah terbentuknya
kelompok-kelompok kepentingan yang saling berhadapan
karena perbedaan cara melihat hutan mangrove. Kelompok
pertama adalah masyarakat pemilik lokasi hutan mangrove,
kelompok kedua adalah pemerintah dalam hal ini diwakili
oleh Dinas Pariwisata.
Seperti diketahui bahwa hutan mangrove di Tongke-
Tongke dimiliki oleh beberapa orang warga. Masing-masing
pemilik menguasai sejumlah area dengan luasan tertentu
yang diperoleh dengan cara tertentu pula. Meskipun
demikian, hak kepemilikan tersebut baru merupakan
pengakuan pemilik dan pengakuan warga. Tidak ada
dokumen resmi berupa sertifikat yang dikeluarkan BPN
atau pihak yang berwenang. Ketiadaan bukti kepemilikan
tersebut dapat menjadi masalah dikemudian hari.
Saat ini beredar issu di kalangan masyarakat bahwa

266
Dinas Pariwisata Sinjai sedang merencanakan untuk
menjadikan hutan mangrove Tongke-Tongke sebagai hutan
lindung. Kondisi tersebut memungkinkan dilakukan sebab
Dinas Pariwisata merupakan bagian dari pemerintah dan
masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan. Sementara
sudah ada bukti bahwa pengambil alihan lokasi wisata oleh
Dinas Pariwisata ternyata tetap terjadi meskipun tanpa
dukungan dan aspirasi masyarakat terlebih dahulu, bahkan
sama sekali tidak melibatkan masyarakat dalam
pengelolaannya. Beredarnya issu tersebut dapat meningkat
menjadi ketegangan hubungan antara pemerintah dan
warga setempat, yang tentunya tidak akan menguntungkan
kedua belah pihak, tetapi yang paling dirugikan adalah
masyarakat. Padahal warga lokal sebenarnya telah
memperoleh dampak ekonomi dari wisata mangrove
tersebut.
Dampak ekonomi yang paling dirasakan warga
adalah munculnya beberapa peluang kerja yang dapat
menambah penghasilan keluarga. Jenis pekerjaan alternatif
tersebut yaitu penjualan makanan, penyewaan WC/Toilet
dan bisnis parkir kendaraan. Jenis pekerjaan berupa
penjualan makanan membuka peluang bagi kaum wanita
untuk dapat memperoleh penghasilan dengan modal yang
tidak terlalu besar.
Munculnya berbagai alternatif pekerjaan ini tidak saja
memberikan penghasilan tambahan, tetapi juga menjadi
kesempatan kaum wanita terutama ibu-ibu rumah tangga
meningkatkan peran sosialnya. Secara umum jenis
pekerjaan penduduk, terutama yang tinggal di sepanjang
tepi laut adalah nelayan dan petambak. Pekerjaan tersebut
lebih didominasi oleh kaum pria dan sangat sedikit

267
melibatkan kaum wanita. Data statistik juga menunjukkan
bahwa jumlah kaum wanita yang bekerja sangat kecil
dibandingkan jumlah kaum pria yang bekerja.
Perkembangan pariwisata di Tongke-Tongke memberikan
peluang bagi kaum wanita untuk meningkatkan ekonomi
keluarga.
Munculnya banyak penjualan makanan, terutama
yang menjual makanan berat juga mendatangkan
keuntungan bagi para nelayan karena hasil tangkapan
mereka dapat langsung terjual meskipun tidak dalam
jumlah yang besar. Pekerjaan mereka sebagai nelayan
setidaknya memberikan jaminan bahwa para pengunjung
mendapatkan bahan makanan terutama ikan, kepiting dan
cumi-cumi dalam bentuk segar. Karena itu perkembangan
wisata tersebut setidaknya memberikan alterative lokasi
penjualan lain selain menjualnya di TPI Lappa atau kepada
para pedagang pengumpul.
Kegiatan ekonomi lainnya ialah penyewaan kamar
mandi (WC) dan tempat parkir yang juga memberikan
manfaat ekonomi bagi setempat. Penyewaan kamar mandi
mendorong masyarakat untuk memperbaiki fasilitas kamar
mandi yang mereka miliki, dan mendorong penduduk
lainnya yang belum memilikinya untuk menyediakan hal
yang sama.
Sementara penyewaan lahan parkir banyak dilakukan
oleh anak-anak muda yang juga belum memiliki pekerjaan.
Karena itu hal ini juga merupakan aspek positif dari
pariwisata di Tongke-Tongke.

Strategi Pengembangan Wisata Tongke-Tongke


Undang-undang tentang Otonomi Daerah juga

268
memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola
daerah masing-masing dalam melakukan pembangunan,
termasuk dalam hal ini pembangunan pariwisata. Dan ini
menjadi strategis karena mekanisme pengambilan
keputusan akan labih efektif dan cepat Hal yang tidak kalah
penting, bahwa peluang masyarakat lokal untuk lebih
berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata daerah
lebih terbuka. Sudah barang tentu, kebijakan pemerintah
Kabupaten Sinjai dalam pembangunan pariwisata akan
menjadi modal untuk menjadikan Kabupaten Sinjai sebagai
daerah tujuan wisata.
Namun demikian, harus diakui ada beberapa kendala
pengembangan pariwisata yang terdapat di daerah ini,
antara lain (1) belum adanya konsep yang sama tentang
kepariwisataan, sehingga kepariwisataan belum menjadi
prioritas untuk dikembangkan, (2) kebijakan yang
mendukung pengembangan pariwisata masih tumpang
tindih, (3) terbatasnya akses yang diperlukan dalam
pengelolaan pariwisata, (4) kurangnya minat investor
dalam pengelolaan pariwisata, akibat kurangnya informasi
tentang kepariwisataan, dan (5) terbatasnya peran serta
masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
Political will Bupati Sinjai untuk menjadikan
Kabupaten Sinjai menjadi sebuah destinasi wisata yang
menarik di Sulawesi Selatan, barang tentu perlu di
apresiasi. Harus disadari bahwa saat ini pariwisata telah
menjadi sebuah mega industri abad 21 dengan trend
pertumbuhan wisatawan yang semakin tinggi. Diharapkan
Kabupaten Sinjai juga ikut memperoleh manfaat ekonomi
dari kecenderungan pertumbuhan kunjungan wisata
tersebut.

269
Dalam upaya mengembangkan desa wisata Tongke-
Tongke di Kabupaten Sinjai diperlukan strategi sebagai
berikut :
1. Proyek Strategis : Pengembangan Objek Wisata desa
Tongke-Tongke :
a. Melakukan Kajian Studi Kelayakan meliputi data dan
informasi tentang :
(1) Analisis situasi lokasi wisata
(2) Identifikasi fasilitas dan infrastruktur yang
tersedia
(3) Identifikasi segmen wisatawan
(4) Analisis daya dukung lingkungan
(5) Analisis aktivitas wisata alam yang terbaik
(6) Evaluasi sumberdaya pengelola yang tersedia
(7) Perkiraan investasi yang diperlukan untuk
pembangunan fasilitas wisata.
(8) Perkiraan pendapatan
b. Melakukan analisis SWOT (Strenght, weakness,
apportunity and threat)
c. Identifikasi potensi desa wisata Tongke-Tongke
d. Identifikasi sarana prasarana wisata yang tersedia
e. Strategi publikasi dan promosi

Strategi Pengelolaan :
a. Membentuk tim pengelola
b. Melakukan pengkajian lapangan
c. Menindaklanjuti hasil kajian

Sasaran Kajian :
Kawasan wisata desa Tongke-Tongke dan masyarakat
lokal

270
Tujuan Proyek :
a. Mengembangkan desa wisata Tongke-Tongke sebagai
atraksi wisata unggulan dengan pengadaan (1)
recreative and sportive plan (2) Recidential tourist plan
b. Meningkatkan jumlah kunjungan wisata

Dampak Proyek :
- Meningkatkan kunjungan wisata ke desa wisata
Tongke-Tongke Sinjai.
- Hasil yang diharapkan :
a. Membangun citra Kabupaten Sinjai sebagai daerah
Tujuan Wisata
b. Desain site plan

Skala Prioritas :
Penting (program jangka pendek : 5 tahun)
Pelaksana :
- Pemerintah Kabupaten Sinjai
- Pihak investor swasta
- Masyarakat lokal

271
DAFTAR PUSTAKA

Alim Katu Mas, 2008. Kearifan Manusia Kajang. Refleksi,


Makassar.

Arif-Suswantoro, 1999. Potensi dan Pemanfaatan Sungai


Citarik untuk Pengembangan Wisata Arung Jeram.
Skripsi. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta

Balai Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung. Dephut,


2008. Maros. Buku Informasi TN. Bantimurung –
Bulusaraung.

Basrah, 2010. Kearifan Ekologis Tu’Kajang dalam


Pengelolaan Hutan Lestari di Wilayah Adat Kajang
Kabupaten Bulukumba. PPS-UNHAS Makassar.

Brahmantyo, 2009. Menggali Akar Geowisata FITB. ITB,


Bandung

Chafid Fandeli, 1999. Pengembangan Kepariwisataan Alam


Frospek dan Problematiknya, Seminar dalam
Memperingati Hari Bumi, Fakultas Kehutanan UGM,
Yogyakarta.

Chafid Fandeli Mukhlison (Ed), 2008. Pengusahaan


Ekowisata, Pustaka Pelajar, Fak. Kehutanan UGM,
Yogyakarta.

Choy, D.L. 1997. Perencanaan Ekowisata, Belajar dari


Pengalaman di South East Quensland, Proceedings
on The Training and Workshop of Planning

272
Sustainable Tourisme, Penerbit ITB, Bandung.

Damanik. J & Weber F. H. 2006. Perencanaan Ekowisata


dari Teori ke Aplikasi, Puspen UGM. Penerbit Andi
Yogyakarta.

Dinas Pariwisata Kab. Gowa, 2000. Laporan Inventarisasi


Obyek Wisata Kabupaten Gowa.

Fauzi Nasim. HM, 2010. Siapa Bilang Merokok Haram?


Surya Pena Gemilang Pub. Malang.

Hakim, Luchman, 2004. Dasar-Dasar Ekowisata. Bayu


Media Publishing, Malang.

Hamilton Wanda, 2010. Nicotine War : Perang Nikotin dan


Para Pedagang Obat, INSIST PRESS, Yogyakarta.

Hamblin. WK. 1992. Earth Dynamic System. Mac Millan


Publ. Co, New York.

Hadi Amna, 2009. Borong Karama dan Battassaya: Suatu


Kajian Ekowisata di Kabupaten Bulukumba, Tesis
Prog. Pascasarjana Unhas. Makassar.

Heher, J, 2004. Ecotourisme Investment and Development


Models, NGO and Private E. Intervensi, Jhonson
Graduate School of Management, School of Hotel
Administration, Cornell University.

Hidayat, N. 2002. Analisis Pengolahan Kawasan Ekokarst


Gunung Kidul Sebagai Kawasan Geowisata. Institut
Pertanian Bogor.

273
Hermawan, H & Ghani A.Y. 2008. Konsep dan
Pembangunan Geowisata. JSTP

Honey, M. Ecotourism and Sustainable Development; How


Own Paradise, Washington DC; Island Press.

Jaya Muhammad, 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Bernama


Rokok. Penerbit Rizina, Sleman.

Jocken, A.T. 2002. Bye, Bye Smoke : Buku Panduan Ampuh


Berhenti Merokok.

Lascurian, HC. 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected


Areas, IUCN Protected Areas Caracas Venezuela,
1992.

Nasikun, 1999. Globalisasi dan Pembangunan Pariwisata


Berbasis Komunitas, Puspar UGM, Yogyakarta.

Nisrawati, 2019. Studi Pengembangan Ekowisata Hutan


Mangrove di Desa Tongke-Tongke Kab. Sinjai,
Skripsi. FISIP Unhas.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara, PT. Jambatan Jakarta.

Nurcahyono, Okta Hadi, 2017. Kapasitas Komunitas Lokal


dalam Pengembangan Pariwisata Pedesaan.
Habitus. Jurnal Pendidikan, Sosiologi, dan
Antropologi, Vol. 1 No. 1 Tahun 2017, Hal. 42-60.

Nyorong Mappeaty, 2011. Bone-Bone : Desa Bebas Asap


Rokok (Kajian Peran Tokoh Masyarakat dan
Agama). Disertasi, Prog. Pascasarjana Univ. Negeri

274
Makassar.

Pitana G & Gayatri G. Putu, 2005. Sosiologi Pariwisata,


Penerbit Andi, Yogyakarta.

Rahmatullah, 2002. Pengetahuan Masyarakat Nelayan dan


Strategi Pengembangan Hutan Bakau di Tongke-
Tongke Kabupaten Sinjai. Tesis. Prog. Pascasarjana
UNHAS.

Rasyid Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam


Hutan Adat Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan
Kearifan Lokal. Makassar. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar.

Samiang Katu, 2000. Pasang ri Kajang (Kajian Tentang


Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal di Sulawesi
Selatan), PPIM. Makassar.

Sani M. Yamin, 2014. Diversifikasi Atraksi Guna


Menunjang Pembangunan Pariwisata Kabupaten
Pinrang, Masagena Press, Makassar.

Sukadijo RG. 1996. Anatomi Pariwisata (Memahami


Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”), PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sunarto, 1999. Sumberdaya Lanskap dalam Pengembangan


Kepariwisataan di Indonesia. Fakultas Geografi
UGM-Yogyakarta.

Surya Andi Cipta, 2018. “Geowisata Rammang-Rammang”


Pengelolaan Tempat Wisata Berbasis Masyarakat,
275
Skripsi. FISIp-UNHAS.

Tahwin Muhammad, 2003. Pengembangan Obyek Wisata


Sebagai Sebuah Industri : Studi Kasus Kabupaten
Rembang. Journal Gema Wisata. Vol. 1 No. 3,
November, Hal : 236 – 249.

Usop, M., KMA. 1978. Pasang ri Kajang : Kajian Sistem


Nilai Fi “Benteng Hutan” Ammatowa. Ujung
Pandang : Laporan Penelitian PLPIS.

Yoeti, Oka AH. Dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan


Solusinya, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

276
BIODATA PENULIS

Muhammad Yamin Sani


Adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Pendidikan S1 Jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin tahun
1975. Pendidikan S2 diselesaikan pada program Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga
dan pendidikan S3 program Ilmu Sosial, diselesaikan pada
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2006.
Sejak tahun 2007, diangkat sebagai Guru Besar, bidang
Antropologi Kependudukan.
Buku yang telah diterbitkan adalah “Pernik Budaya
Pariwisata dan Pembangunan” atas pendanaan Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara tahu 2006. Buku yang
berjudul “Evaluasi Pelayanan dan Pengembangan Keluarga
Berencana yang Efisien dan Efektif Pasca Otonomi Daerah di
Sulawesi Selatan”. Diterbitkan oleh Balitbangda Provinsi
Sulawesi Selatan. Buku berjudul “Makna Simbol dan Fungsi
Tatarias Pengantin Orang Bugis di Sulawesi Selatan” tahun
2010 diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan. Buku yang berjudul “Ekowisata :
Potensi, Peluang dan Tantangan Pasca Otonomi Daerah di
Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat”diterbitkan atas
kerjasama dengan Pemkab. Mamuju Utara.
Tahun 2014, ada tiga buah buku terbit, yaitu : (1) Erau
Kutai Politik Kebudayaan dan Kekuasaan yang diterbitkan oleh
Masagena Press, (2) Eksotisme Dataran Lindu di Jantung
277
Sulawesi, juga diterbitkan oleh Masagena Press, (3)
Diversifikasi Atraksi Guna Menunjang Pembangunan Pariwisata
di Kabupaten Pinrang. Diterbitkan oleh atas kerjasama
dengan Pemkab. Pinrang.
Buku lainnya yang sudah terbit tahun 2016 adalah: (1)
Dinamika Kependudukan dan Pembangunan, (2) Kearifan Tradisi
dan Pembangunan Berkelanjutan: Dinamika Masyarakat dan
Pembagunan di Sulawesi Barat.
Menyusul buku berjudul : Eksotisme Komunitas Lokal
Panggung Wisata Budaya, atas pendanaan Dept. Ristek Dikti,
Buku ke-5 “Orang Tidung di Tapal Batas : Membangun Negeri
Merawat Harmoni” terbit 2008 atas bantuan dana Universitas
Hasanuddin.
Tahu 2019 terbit buku : (1) Wisata Bahari Ragam Budaya
dan Pembangunan Berkelanjutan, (2) Kearifan Lokal Melawan
Kebiasaan Merokok. Keduanya diterbitkan oleh Mitra Ilmu
Makassar, (3) Merawat Tradisi Menjaga Alam diterbitkan oleh
LEPHAS Makassar.

278
Muh. Zainuddin Badollahi S.Sos., M.Si.
Lahir di Ujung Pandang pada tanggal 05
November 1990. Menyelesaikan pendidikan
pada Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Politik
Jurusan Antropologi pada Universitas
Hasanuddin tahun 2013, kemudian
melanjutkan pendidikan pada program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Jurusan Antropologi yang diselesaikan pada tahun 2017.
Saat ini aktif sebagai anggota Asosiasi Antropologi
Indonesia (AAI), Asesor LSP Phinisi bidang kepariwisataan,
merupakan staf pengajar Antropologi Pariwisata pada
Politeknik Pariwisata Makassar, dan aktif sebagai peneliti
muda pada bidang Sejarah, Budaya dan Pariwisata.
Beberapa karya yang telah dihasilkan berupa buku dan
jurnal.

279

Anda mungkin juga menyukai