Anda di halaman 1dari 280

MANAJEMEN MUTU TERPADU

PENDIDIKAN KEJURUAN
Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan
sebagai Sekolah Berbasis Sistem Ganda
(Dual-Based-System) dan Kewirausahawan
(School-Based Enterpreneurship)
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan
ajar; dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
MANAJEMEN MUTU TERPADU
PENDIDIKAN KEJURUAN
Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan
sebagai Sekolah Berbasis Sistem Ganda
(Dual-Based-System) dan Kewirausahawan
(School-Based Enterpreneurship)

Prof. Dr. Dra. Murniati A.R., M.Pd.


Dr. Drs. Nasir Usman, M.Pd.
Ulfah Irani Z., S.Pd., M.Pd.
MANAJEMEN MUTU TERPADU PENDIDIKAN KEJURUAN
PENGEMBANGAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI SEKOLAH
BERBASIS SISTEM GANDA (DUAL-BASED-SYSTEM) DAN
KEWIRAUSAHAWAN (SCHOOL-BASED ENTERPRENEURSHIP)

Murniati A.R.
Nasir Usman
Ulfah Irani Z.

Desain Cover :
Nama

Sumber :
link

Tata Letak :
Amry Rasyadany

Proofreader :
Avinda Yuda Wati

Ukuran :
xiv, 266 hlm., Uk: 15.5x23 cm

ISBN :
No ISBN

Cetakan Pertama :
Bulan 2021

Hak Cipta 2020, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2020 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
KATA PENGANTAR PENULIS

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji senantiasa kita panjatkan atas ke hadirat Allah Swt.
Yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan sehingga buku
Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Kejuruan; Pengembangan Sekolah
Menengah Kejuruan sebagai Sekolah Berbasis Sistem Ganda (Dual-
Based-System) dan Kewirausahawan (School-Based-Entrepreneurship) ini
akhirnya dapat diselesaikan. Selawat serta salam tak lupa kita haturkan ke
atas junjungan nabi besar Muhammad saw., pemimpin bagi para nabi dan
rasul.
Buku Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Kejuruan; Pe-
ngembangan Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Sekolah Berbasis
Sistem Ganda (Dual-Based-System) dan Kewirausahawan (School-Based-
Entrepreneurship) ini disajikan sebagai salah satu khazanah keilmuan
tentang manajemen mutu pendidikan kejuruan, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi mahasiswa, tenaga pendidik dan kependidikan, para peneliti,
pemerhati dan penggiat pendidikan serta stakeholder lainnya yang
membutuhkan.
Buku ini terdiri dari tujuh bab yang membahas tentang berbagai isu-
isu krusial dalam dunia pendidikan kejuruan baik secara teoretis dan
kontekstual terkait manajemen mutu pendidikan kejuruan. Kajian awal
dimulai tentang keberadaan sekolah menengah kejuruan sebagai bagian
sistem pendidikan nasional, keberadaan SMK sebagai penyedia tenaga
kerja tingkat menengah, dan relevansi keberadaan SMK terhadap tuntutan
dunia kerja dan tantangan global. Bab 2 membahas paradigma
pengembangan manajemen sekolah kejuruan, konsep dasar manajemen
sekolah menengah kejuruan, problematik yang dihadapi SMK dalam
mengembangkan manajemen sekolah kejuruan dan pemberdayaan
pendidikan kejuruan. Pada bab 3, penulis membahas tentang esensi
sekolah menengah kejuruan sebagai sebuah organisasi pendidikan yang
meliputi komponen pembentuk organisasi SMK, kerja sama antara SMK

v
dengan dunia usaha dan industri dan stakeholder lainnya serta reaktualisasi
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan kejuruan.
Bab 4 membahas tentang keberadaan SMK sebagai sekolah berbasis
sistem ganda (dual-based-system) dan kewirausahawan (school-based
enterpreneurship), konsep teaching factory pada sekolah menengah
kejuruan, pengembangan unit produksi sebagai bagian dari production-
based education, serta peran unit produksi sebagai pre-service
pengembangan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship), serta keberadaan
Bursa Kerja Khusus (BKK) sebagai lembaga penyedia tenaga menengah
profesional. Pada bab 5, penulis membahas tentang konsep manajemen
mutu pada sekolah menengah kejuruan, faktor-faktor penentu keberhasilan
(critical success factors) penyelenggaraan manajemen mutu terpadu
pendidikan serta budaya mutu sekolah menengah kejuruan. Bab 6
membahas tentang peran pimpinan puncak dalam meningkatkan mutu
kejuruan menyangkut kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah
kejuruan, dan kepemimpinan kepala sekolah dalam menghadapi tantangan
global. Terakhir, pada bab 7, penulis menutupnya dengan pembahasan
tentang pengendalian dan kinerja mutu sekolah menengah kejuruan dan
penilaian kinerja SMK, serta dinamika perkembangan standar jaminan
mutu internasional pendidikan.
Buku ini menyajikan gambaran lebih mendetail tentang manajemen
mutu pendidikan kejuruan dibandingkan buku-buku lainnya, baik melalui
kajian teoretis maupun praktis. Dengan membaca buku ini penulis optimis
dapat akan menambah wawasan dan pemahaman secara menyeluruh
tentang konsep manajemen mutu pendidikan kejuruan.
Tentunya buku ini jauh dari kesempurnaan, berbagai kekurangan
mungkin akan ditemukan dalam buku ini. Untuk itu dengan segala
kebesaran hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
untuk kesempurnaan buku ini di masa mendatang. Kepada seluruh pihak
yang telah membantu penulisan buku ini, penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia.

Banda Aceh, November 2020

Penulis

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR PENULIS............................................................. v


DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi

BAB I
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI BAGIAN
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Pendidikan Kejuruan sebagai Subsistem Pendidikan Nasional ........ 1
B. Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Penyedia Tenaga Kerja
Tingkat Menengah ........................................................................11
C. Relevansi Keberadaan SMK: Tuntutan Dunia Kerja dan
Tantangan Global..........................................................................18

BAB II
PARADIGMA PENGEMBANGAN MANAJEMEN SEKOLAH
KEJURUAN
A. Konsep Dasar Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan ...............23
B. Problematika Pengembangan Manajemen Sekolah Kejuruan .........33
C. Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan .................................46

BAB III
ESENSI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
SEBAGAI ORGANISASI PENDIDIKAN
A. Komponen Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan .....................50
B. Kerja Sama Antara SMK dengan DU/DI dan Stakeholders
Lainnya.........................................................................................91
C. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat terhadap Pendidikan
Kejuruan .......................................................................................94

vii
BAB IV
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI SEKOLAH
BERBASIS SISTEM GANDA (DUAL-BASED-SYSTEM) DAN
KEWIRAUSAHAWAN (SCHOOL-BASED ENTERPRENEURSHIP)
A. Konsep Teaching Factory pada Sekolah Menengah Kejuruan ....... 98
B. Pengembangan Unit Produksi Sebagai Bagian dari
Production-Based Education ...................................................... 106
C. Unit Produksi sebagai Pre-Service Pengembangan Jiwa
Kewirausahaan (Enterpreneurship) ............................................ 119
D. Bursa Kerja Khusus (BKK) Sebagai Lembaga Penyedia
Tenaga Menengah Profesional .................................................... 122

BAB V
IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU PADA SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN ............................................................... 127
A. Konsep Mutu Pendidikan ........................................................... 127
B. Dimensi Sistem Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan .............. 137
C. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan (Critical Success
Factors) Penyelenggaraan Manajemen Mutu Terpadu ................ 151
D. Budaya Mutu Sekolah Menengah Kejuruan ................................ 196

BAB VI
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN
GLOBAL
A. Kompetensi Kepala Sekolah Menengah Kejuruan ....................... 204
B. Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan dalam
Menghadapi Tantangan Global ................................................... 219

BAB VII
KINERJA DAN PENGENDALIAN MUTU SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN
A. Kinerja Mutu Sekolah Menengah Kejuruan ................................ 228
B. Penilaian Kinerja Sekolah Menengah Kejuruan .......................... 234
C. Pengendalian Mutu Sekolah ....................................................... 243

viii
D. Perkembangan Standar Jaminan Mutu Internasional
Pendidikan .................................................................................. 251
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 259
PROFIL PENULIS ............................................................................... 265

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Aspek Penting dalam Manajemen Sumber Daya Manusia


(Yuniarsih & Suwanto, 2013: 79). ......................................... 21
Tabel 2.1 Perbedaan Manajemen dengan Kepemimpinan
(Northouse, 2007 & Bush, 2008)........................................... 29
Tabel 2.2 Komponen-Komponen Manajemen Sekolah (Jalal dan
Supriadi, 2001: 162) ............................................................. 30
Tabel 2.3 Perbedaan Manajemen Efektif dengan Efisien (Reddin,
1970) .................................................................................... 32
Tabel 2.4 Perbandingan antara Pengembangan dan Pelatihan ................ 48
Tabel 2.5 Perubahan Paradigma Pemberdayaan (Wibowo, 2016:
357) ...................................................................................... 49
Tabel 3.1. Perbedaan antara Institusi Mutu dengan Institusi Biasa .......... 63
Tabel 3.2 Pelanggan Pendidikan (Sallis, 2010: 70)................................ 67
Tabel 3.3 Standar Kompetensi Pedagogik Guru Mata Pelajaran
SMK..................................................................................... 74
Tabel 3.4 Standar Kompetensi Sosial Guru Mata Pelajaran SMK.......... 78
Tabel 3.5 Standar Kompetensi Kepribadian Guru Mata Pelajaran
SMK..................................................................................... 79
Tabel 3.6 Standar Kompetensi Profesional Guru Mata Pelajaran
SMK..................................................................................... 80
Tabel 4.1 Angka Pengangguran Terbuka Nasional 2017 ....................... 99
Tabel 5.1 Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Manajemen Mutu ........ 151
Tabel 5.2 Perbedaan Model Rasional dengan Model Carnegie
(Jones, 1995) ...................................................................... 165
Tabel 5.3 Kriteria Realistik, Sumber Daya, Baik bagi Organisasi
dan Kewenangan dan Bobot Nilai ....................................... 170
Tabel 5.4 Pemilihan Alternatif Terbaik ............................................... 170
Tabel 5.5 Tiga Proses Universal Manajemen Mutu (Juran, 1995)........ 188

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Sistem Pendidikan Nasional dalam Perilaku Individu


dan Organisasi (Usman, 2013: 19) ..................................... 3
Gambar 1.2 Organisasi, administrasi, dan manajemen sebagai
sistem (Pidarta, 2011: 30) .................................................. 4
Gambar 1.3 Model Input-Output Pendidikan (Sagala, 2012: 17)............ 9
Gambar 2.1 Proses Manajemen (Samsudin, 2006: 16) ..........................24
Gambar 2.2 Hubungan Antara Organisasi, Administrasi Dan
Manajemen Pendidikan (Pidarta, 2011: 9) .........................25
Gambar 2.3 Hubungan Manajemen dengan Kepemimpinan
(Sadler, 1997) ...................................................................28
Gambar 2.4 Strategi Pendidikan terhadap Solusi Sumber Daya
Manusia (Sumber: Gaffar, Moch, Fackry, 2007
(Yuniarsih & Suwanto, 2013: 71)). ...................................47
Gambar 3.1 Hakikat Organisasi Pembelajar .........................................51
Gambar 3.2 Sumber Daya, Kemampuan, dan Keunggulan
Bersaing (Craig dan Grant (2004: 50), dalam Murniati
& Usman, 2009: 147). ......................................................52
Gambar 3.3 Tim Kerja yang Baik (Burhan: 1997; Muhaimin,
2012: 60) ..........................................................................54
Gambar 3.4 Struktur Bangunan (arsitektur) Organisasi
Pembelajaran (Yuniarsih & Suwanto, 2013)......................56
Gambar 3.5 Contoh Struktur Organisasi Garis .....................................57
Gambar 3.6. Contoh Struktur Organisasi Garis dan Staf ........................58
Gambar 3.7 Contoh Struktur Organisasi Fungsional .............................59
Gambar 3.8 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan
Produk ..............................................................................60
Gambar 3.9 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan
wilayah.............................................................................61
Gambar 3.10 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan
Pelanggan .........................................................................61

xi
Gambar 3.11 Contoh Struktur Organisasi Matriks ................................. 62
Gambar 3.12 Institusi Hierarkis dan Institusi Terbalik dalam
Pendidikan (Sallis, 2010: 81) ........................................... 65
Gambar 3.13 Struktur Organisasi SMK (Murniati & Usman, 2009:
104) ................................................................................. 66
Gambar 3.14 Interaksi antara Sekolah dan Industri melalui Para
Siswa (Murniati & Usman, 2009: 109) ............................. 89
Gambar 3.15 Keterkaitan Kurikulum dan Masukan SMK ...................... 90
Gambar 3.16 Saling Keterkaitan antara Pendidikan dan Bisnis
dalam Merespons Kebutuhan Sumber daya Manusia
Unggul (Gaffar, Moch. Fachry, 2007 (Yuniarsih &
Suwatno, 2013: 70)). ........................................................ 92
Gambar 4.1 Model Pengembangan Pembelajaran berbasis
Teaching Factory (G. Chryssolouris et al. (2016: 45)) .... 103
Gambar 4.2 Model Siklus Mingguan dengan Pendekatan
Pendidikan teaching Factory (Rentzos, et al., 2014:
191) ............................................................................... 103
Gambar 4.3 Integrasi antara praktik Industri dan Akademik (G.
Chryssolouris et al. (2016: 46)) ...................................... 104
Gambar 4.4 Perencanaan Strategis (Greenberg & Baron, 2003:
598) ............................................................................... 108
Gambar 4.5 Pertanyaan Mendasar dalam Merencanakan Unit
Produksi (Unesco, 1982) ................................................ 110
Gambar 4.6. The Value Creation Stages in Manufacturing Industry
(Chryssolouris & Mavrikios (2006))............................... 113
Gambar 4.7 Model Pengembangan Unit Produksi (Sumual,et al.,
2016: 64) ....................................................................... 114
Gambar 4.8 Strategi Penyelenggaraan Kegiatan Unit Produksi
(Usman, et al., 2017)...................................................... 114
Gambar 4.9 Mekanisme Integrasi Production Based Educationa
(PBE) (Hadiwaratama, 1997) ......................................... 116
Gambar 4.10 Ilustrasi Rantai Nilai Sederhana ..................................... 117
Gambar 4.11 Peran Pendidikan dalam Mempromosikan
Manufacturing Excellence (Chryssolouris, G. & D.
Mavrikios (2006)) .......................................................... 119

xii
Gambar 4.12 Kompetensi Kewirausahaan (Onstenk, 2003) .................. 121
Gambar 5.1 Hierarki Konsep Mutu (Sallis, 2010: 60) ......................... 134
Gambar 5.2 Elemen-elemen dari Total Quality Management
(Joseph & Berk, 1995: 8) ................................................ 141
Gambar 5.3 Komponen Pendidikan sebagai Sistem (Sukmadinata,
et al., 2002: 11-12) ......................................................... 144
Gambar 5.4 Otonomi Manajemen Sekolah melalui Pengoptimalan
Fungsi Sumber daya (Sagala, 2012: 164) ........................ 146
Gambar 5.5 Model Sekolah Mutu Total (Jerome S. Arcaro (1995)) .... 148
Gambar 5.6 Perbedaan antara Industri, Sekolah dan TQM dalam
Sekolah .......................................................................... 150
Gambar 5.7 Model Proses Pengambilan Keputusan Rasional
(Usman, 2013: 442) ........................................................ 162
Gambar 5.8 Model Proses Pengambilan Keputusan Klasik
(Lenunburg & Ornstein, 2000) ........................................ 163
Gambar 5.9 Vroom-Yetton-Jago Decision Tree (1973) ...................... 164
Gambar 5.10 Pohon Masalah (Pertanyaan Negatif) .............................. 168
Gambar 5.11 Pohon Sasaran (Pernyataan Positif) ................................. 169
Gambar 5.12 Pohon Alternatif ............................................................. 169
Gambar 5.13 Diagram Ishikawa (Sallis, 1993: 102) ............................. 171
Gambar 5.14 Model Perubahan Organisasi (Robbins, 1994)................. 172
Gambar 5.15 Faktor-Faktor Efektivitas Kerja Tim ............................... 178
Gambar 5.16 Kompetensi yang perlu diserap dan dikuasai oleh
Pekerja ........................................................................... 181
Gambar 5.17 Karakteristik Budaya Pemberdayaan (Blanchard,
2007) .............................................................................. 184
Gambar 5.18 Lingkaran Mutu (Sallis, 2010: 192)................................. 185
Gambar 5.19 Siklus Deming (Deming, 1998)....................................... 186
Gambar 5.20 Trilogi Juran ................................................................... 188
Gambar 5.21 Variabel –Variabel Pengembangan sekolah Mutu
(diadaptasikan dari model pengembangan organisasi
model Likert).................................................................. 190
Gambar 5.22 Piramida Aspek-Aspek Kompetensi (Sukmadinata, et
al. (2002: 36) .................................................................. 193

xiii
Gambar 4.23 Model Proses Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Castetter, 1981: 317)..................................................... 194
Gambar 5.24 Framework Rancangan Program Pengembangan
SDM .............................................................................. 195
Gambar 5.25 Budaya Kultur Organisasi Sekolah (Usman, 2013:
217) ............................................................................... 197
Gambar 5.26 Total Quality Management Core Values (Kujala &
Lilirank, 2004: 48) ......................................................... 199
Gambar 6.1 Model Entrepreneurial Leadership SMK (Suyitno, et
al., 2014: 55) ................................................................. 214
Gambar 6.2 Model Strategi Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam
Meningkatkan Profesional Guru ..................................... 216
Gambar 7.1 Alat-alat perbaikan kualitas dan kinerja (Wibowo,
2016) ............................................................................. 237
Gambar 7.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Tenaga
Pendidik (Dharma (Usman, 2011: 202-203)). ................. 238
Gambar 7.3 Persamaan dan Perbedaan Pengendalian Tugas dan
Pengendalian Manajemen (Sukmadinata, 2002: 51-
52) ................................................................................. 246
Gambar 7.4 Komponen-Komponen Pengendalian Mutu Sekolah
(Sukmadinata, 2002: 76-77) ........................................... 247
Gambar 7.5 Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan SMK
berdasarkan BSNP ......................................................... 249
Gambar 7.6 Perubahan terhadap ISO 1994 dan ISO 2000 .................. 251
Gambar 7.7 Langkah-langkah Proses Penyelenggaraan Sistem
Manajemen Mutu SMK.................................................. 253
Gambar 7.8 Proses Pengendalian Internal Sistem Manajemen
Mutu ISO....................................................................... 254
Gambar 7.9 Model Interaksi Proses Implementasi Manajemen
Mutu ISO 9001 2008 SMK ............................................ 255
Gambar 7.10 Pola Pengendalian Internal Sistem Manajemen Mutu
SMK .............................................................................. 256
Gambar 7.11 Tahapan Audit Eksternal ................................................ 257

xiv
BAB I
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
SEBAGAI BAGIAN SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL

A. Pendidikan Kejuruan sebagai Subsistem Pendidikan


Nasional
Pendidikan memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan
manusia. Pendidikan menjadi ujung tombak keberhasilan pembangunan
suatu negara dan faktor krusial yang merefleksikan peradaban bangsa.
Sebab, pendidikan berfungsi untuk meningkatkan kualitas manusia itu
sendiri. Bangsa yang cerdas tidak terlepas dari pendidikan yang
berkualitas. Pendidikan yang berkualitas tidak akan tercipta tanpa adanya
sistem pendidikan yang mampu bertahan dan bersaing dengan dinamika
perubahan dan persaingan global yang tanpa batas. Oleh karenanya,
tantangan dan persaingan global harus disikapi dengan kebijakan yang
mengarah pada continuing profesional development (CPD). Pendidikan
Indonesia harus diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia Indonesia seutuhnya.
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban
suatu masyarakat, di dalamnya tentunya sedang berlangsung proses
pendidikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakikat pendidikan adalah
melestarikan dan meningkatkan kapabilitas manusia.
Menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara,
pengertian pendidikan yaitu upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran
serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. John
Dewey (Siswoyo, et al., 2007: 19) menjelaskan pendidikan adalah
rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna

1
pengalaman itu sendiri dalam meningkatkan kemampuan untuk
mengarahkan pengalaman selanjutnya. Di samping itu, dalam arti teknis,
pendidikan adalah proses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau melalui lembaga-lembaga lain),
dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke
generasi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan maksud
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun konsep dasar sistem sebagai sebuah kesatuan dalam konteks
pendidikan menurut Usman (2014: 185) adalah:
Subsistem-subsistem yang saling berinteraksi, berkorelasi, dan
berdependensi yang membentuk suatu kesatuan utuh melebihi jika
subsistem-subsistem tersebut bekerja sendiri (sinergik). Sinergik
ibarat seikat sapu lidi. Jika lidi itu bekerja sendiri-sendiri, maka
hasilnya akan lebih sedikit dibandingkan kalau diikat bersama-sama.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pen-
didikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional merupakan pedoman bagi
pelaku pendidikan untuk mengatur kebijaksanaan pendidikan. Sistem
pendidikan nasional adalah pedoman untuk menyamakan persepsi terhadap
visi, misi, tujuan, strategi, policy, tujuan, sasaran, program, activity,
pembiayaan, dan penilaian kinerja dalam tercapainya tujuan individu,
organisasi, dan sistem pendidikan nasional itu sendiri (Usman, 2013: 19).
Keterkaitan tersebut digambarkan sebagai berikut.

2
tujuan individu

tujuan
sisdiknas perilaku ketertiban organisasi

tujuan
sisdiknas

Gambar 1.1 Sistem Pendidikan Nasional dalam Perilaku Individu dan


Organisasi (Usman, 2013: 19)

Dalam tataran sebuah sistem pendidikan digambarkan bahwa


Sisdiknas saling berhubungan langsung dengan perilaku dan kebijakan
(policy) sebuah organisasi pendidikan yang diperuntukkan untuk meraih
tujuan dari masing-masing individu maupun organisasi terhadap
pendidikan serta tujuan Sisdiknas.
SMK sebagai rangkaian dari sistem pendidikan dalam me-
nyelenggarakan pendidikan kejuruan, tidak terlepas dari keberadaannya
dalam mendongkrak upaya pemerintah mencapai tujuan pendidikan
nasional itu sendiri. Keberadaan SMK diharapkan saling bersinergi dalam
mencapai amanat undang-undang sistem pendidikan nasional yang telah
dikemukakan di atas.
Sekolah Menengah kejuruan bila dipandang sebagai sistem, maka ia
termasuk sistem terbuka. Sistem terbuka artinya sekolah, pendidikan atau
manajemen itu tidak mengisolasi diri dari lingkungannya melainkan selalu
mengadakan kontak hubungan dan kerja sama dengan berbagai pihak.
Dalam praktiknya, yang perlu diingat bahwa tidak ada sistem yang terbuka
atau tertutup 100%, begitu juga tingkat intensitas keterbukaan dan tertutup
yang dimiliki sebuah organisasi masing-masing berbeda dan bersifat
kontinum.
Sistem manajemen pendidikan sebagai sebuah unity, sulit terlepas
dari keberadaan dan pengaruh lingkungan terutama masyarakat.
Lingkungan sebagai subsistem dari sistem manajemen pendidikan
memegang peran penting dalam mempertahankan eksistensi

3
penyelenggaraan sistem pendidikan. Keterlibatan lingkungan, dalam hal
ini masyarakat, stakeholders lainnya serta dunia usaha dan industri sangat
membantu keberadaan SMK dalam sebuah hubungan sinergitas. Adapun
keberadaan sistem organisasi, administrasi, dan manajemen dan
keterlibatan lingkungan di dalam sistem tersebut digambarkan sebagai
berikut.

Organisasi sebagai sistem:


1. Subsistem tujuan di tengah
2. Sub manajemen di luarnya
3. Subsistem struktur, teknik, personalia dan
informasi pada keempat lingkungan yang
mengelilinginya
4. Lingkungan pada lingkaran paling luar

Administrasi sebagai sistem:


1. Subsistem manajemen di tengah
2. Subsistem struktur, teknik, personalia, dan
informasi pada keempat lingkungan yang
mengelilinginya

Manajemen sebagai sistem:


1. Subsistem struktur
2. Subsistem teknik
3. Subsistem personalia
4. Subsistem informasi
5. Subsistem lingkungan/masyarakat

Gambar 1.2 Organisasi, administrasi, dan manajemen sebagai sistem


(Pidarta, 2011: 30)

4
Bila melaksanakan manajemen sebagai sebuah sistem, meng-
identifikasikan bahwa organisasi tersebut akan memberi perhatian dan
perlakuan dengan porsi yang sama terhadap setiap subsistem. Tidak
dibenarkan kepala sekolah sebagai pimpinan hanya memperhatikan
beberapa subsistem dengan menomorduakan subsistem lainnya. Misalnya,
jika hendak mengembangkan mutu sekolah mustahil kiranya hanya
mengembangkan subsistem personalia tanpa memperhatikan perbaikan
teknik atau kurikulum dan lainnya.
Dalam menyelenggarakan sistem pendidikan, semua masukan
pendidikan perlu disusun menurut pola tertentu menjadi bagian-bagian
baik dalam bentuk jenjang maupun jenis pendidikan yang mempunyai
hubungan fungsional yang tertuang dalam komponen-komponen sistem
pendidikan yang dikemukakan oleh P.H. Coombs (1968) dalam Sagala
(2012: 18) berikut:
1. Tujuan dan prioritas. Komponen ini bertumpu pada sumber
masukan pendidikan pertama, dan merupakan informasi tentang apa
yang ingin dicapai oleh sistem pendidikan serta urutan
penyelenggaraannya. Komponen tersebut berguna dalam
memadukan bentuk kegiatan yang tepat dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan.
2. Pelajar atau peserta didik. Komponen ini berasal dari masyarakat,
dan merupakan komponen inti yang turut serta dalam proses
pendidikan sesuai jenjang, jenis, dan permintaannya. Fungsi
komponen ini adalah belajar, sehingga memahami proses perubahan
kualitas kompetensi, tingkah laku seperti yang diharapkan sistem
dan tujuan pendidikan.
3. Manajemen, bersumber pada sistem nilai atau budaya dan cita-cita.
Hal ini merupakan informasi tentang pola pengelolaan sistem
pendidikan. Komponen tersebut berperan dalam merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, dan memberi penilaian atau
melakukan pengawasan terhadap sistem pendidikan.
4. Struktur dan jadwal waktu. Komponen ini bertumpu pada sumber
masukan pendidikan pertama, dan merupakan informasi tentang
pengaturan pembagian waktu dan arus kegiatan yang terprogram
dengan baik.

5
5. Isi bahan belajar. Komponen ini juga berasal dari sumber masukan
pendidikan pertama dan merupakan unsur pokok yang harus
dipelajari. Isi bahan ajar berfungsi menggambarkan luas dan
dalamnya bahan ajar. Dengan demikian, mengarahkan dan
memolakan kegiatan-kegiatan dalam proses pendidikan.
6. Guru dan pelaksana. Komponen ini bersumber dari tenaga kerja
yang tersedia dalam masyarakat (sumber masukan pendidikan), dan
merupakan tenaga penggerak utama sistem pendidikan. Guru
berfungsi membantu terciptanya kesempatan belajar dan
memperlancar proses pendidikan menunjang tercapainya sistem
pendidikan.
7. Alat bantu belajar. Komponen ini diperoleh dari barang-barang hasil
produksi, yang antara lain berupa buku pelajaran, papan tulis, peta,
alat-alat praktikum, film, laboratorium, modul belajar. Komponen
ini berfungsi memungkinkan terjadinya proses pendidikan yang
lebih lengkap, menarik, bervariasi, dan menyenangkan.
8. Fasilitas. Komponen ini bersumber dari barang-barang hasil
produksi, yang antara lain berupa gedung, ruang kelas, fasilitas
belajar dan perlengkapannya yang berfungsi menyediakan tempat
berlangsungnya proses pendidikan.
9. Teknologi. Komponen ini bersumber dari masukan yang pertama
dan berupa cara memvariasikan dan mempermudah giat kerja dalam
sistem pendidikan. Fungsinya memperlancar, memperkaya,
meningkatkan hasil guna proses pendidikan, dan mengefisienkan
waktu guna.
10. Pengawasan mutu. Komponen ini bersumber pada sistem nilai dan
merupakan informasi tentang pengaturan kualitas sistem pendidikan,
yang berfungsi membina peraturan-peraturan pendidikan dan
standar pendidikan.
11. Penelitian. Komponen ini bersumber pada pengetahuan yang ada
dalam masyarakat, dan kegiatannya menghasilkan informasi
mengenai fakta-fakta yang berguna untuk memperbaiki pengetahuan
dan penampilan sistem pendidikan.
12. Ongkos pendidikan. Komponen ini merupakan satuan biaya yang
dipergunakan untuk memperlancarkan proses pendidikan dan

6
bersumber dari penghasilan masyarakat maupun bantuan
pemerintah. Ongkos pendidikan berfungsi menjadi petunjuk tentang
tingkat efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem pendidikan.
Semua komponen-komponen di atas saling berkaitan dan menun-
jang. Komponen-komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Sebagai
contoh, sekolah yang dibangun berupa gedung tidak berfungsi jika tidak
ada siswa yang bersekolah di tempat tersebut. Begitu halnya siswa belajar
membutuhkan fasilitas dan akomodasi penunjang lainnya.
Sistem pendidikan Indonesia diharapkan mampu mengarahkan
Indonesia menuju transformasi pendidikan yang lebih maju dan
berkelanjutan yang mampu bersanding dan bersaing dengan negara maju
dan berkembang lainnya di penjuru dunia. Adapun prinsip-prinsip yang
terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional adalah:
(1) kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lainnya; (2)
pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial; (3) pendidikan dalam rangka
pemberdayaan bangsa; (4) pemberdayaan infrastruktur sosial untuk
kemajuan pendidikan nasional; (5) pembentukan kemandirian dan
keberdayaan untuk mencapai keunggulan; (6) penciptaan iklim yang
kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan;
(7) perencanaan terpadu secara horizontal dan vertikal (antar jenjang
bottom up dan top-down planning); (8) pendidikan berorientasi peserta
didik; (9) pendidikan multikultural; dan (10) pendidikan dengan perspektif
global (Sumarno, dkk dalam Jalal dan Supriadi, 2001: 5). Hal tersebut
dimaksudkan agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia menuju
dimensi revitalisasi dan sinkronisasi arah pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan tidak melupakan kearifan budaya lokal masyarakat
Indonesia.
Terkait dengan konsep sistem pendidikan kejuruan, pada Bab VI
Pasal 15 dalam undang-undang di atas, dijelaskan bahwa: ―Pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.‖ Secara lebih rinci,
dalam Bab III Pasal 76 ayat (2) poin (a) peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, fungsi pendidikan menengah kejuruan
disebutkan bahwa: ―Membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu

7
pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.‖
Pendidikan kejuruan sebagai suatu bagian sistem dari pendidikan
nasional merujuk pada UUSPN No. 20 Tahun 2003, merupakan kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal,
nonformal dan informal yang saling melengkapi pada jenis pendidikan
yang terbentuk sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional dalam mengubah input melalui proses
pendidikan sehingga diarahkan menjadi output yang sesuai dengan
pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Menurut Rupert Evans dalam (Djojonegoro, 1998: 33), pendidikan
kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan
seseorang agar lebih mampu bekerja pada suatu kelompok pekerjaan atau
untuk persiapan tambahan karier seseorang. Lebih lanjut, Murniati &
Usman (2009: 2) mengemukakan bahwa:
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang memberikan bekal
berbagai pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman kepada peserta didik
sehingga mampu melakukan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan, baik bagi
kejuruan memiliki kaitan langsung dengan proses industrialisasi, terutama
bila dikaitkan dengan fungsinya memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang
terampil dan dapat diandalkan serta punya visi perhatian yang sungguh-
sungguh kepada pengembangan teknologi.
Di lain sisi, United States Congress (1976) dalam Djojonegoro
(1998: 34) menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah program
pendidikan yang secara langsung dikaitkan dengan penyiapan seseorang
untuk suatu pekerjaan tertentu atau untuk persiapan tambahan karier
seseorang.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kejuruan adalah sebuah subsistem pendidikan yang menawarkan program
pengembangan IPTEK, keterampilan, jiwa wirausaha serta pengalaman
kerja peserta didik agar siap terjun langsung dalam dunia usaha dan
industri sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Pendidikan kejuruan mengambil bagian tersendiri dalam tatanan
lembaga pendidikan Indonesia di mana model pengembangan yang
ditawarkan berbeda dengan sekolah menengah umum lainnya. Sekolah

8
menengah kejuruan menawarkan dimensi kekhasan dalam setiap aktivitas,
penyelenggaraan dan pendampingan pendidikan bagi peserta didiknya.
Pendidikan kejuruan sebagai sistem dapat digambarkan dalam bentuk
model dasar input-output sebagai berikut.

Lingkungan Lingkungan

Input proses output

Gambar 1.3 Model Input-Output Pendidikan (Sagala, 2012: 17)

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa SMK juga


merujuk pada model di atas di mana komponen input, proses, dan output
merupakan sebuah kesatuan dalam menyelenggarakan pendidikan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa 1) segala sesuatu yang masuk (input) dalam
sistem dan berperan dalam proses pendidikan disebut masukan pendidikan.
Adapun komponen masukan dalam sekolah menengah kejuruan seperti
yang dikemukakan oleh P.H. Coombs dan W.J.Platt (1968) terdiri dari tiga
macam sumber masukan pendidikan yaitu (1) pengetahuan, nilai-nilai, dan
cita-cita yang terdapat di dalam masyarakat; 2) penduduk dan persediaan
layanan belajar dan lulusan sebagai output berupa tenaga kerja yang
memenuhi persyaratan dan juga tenaga ahli di berbagai bidang keahlian; 3)
hasil produksi pendidikan dan penghasilan berupa outcome (Sagala, 2012:
17). Sedangkan dimensi proses merujuk pada segala aktivitas, program dan
strategi yang ditetapkan sekolah dalam mendukung dan menjalankan
proses belajar mengajar di sekolah. Terakhir, komponen output merupakan
keluaran yang dihasilkan oleh sekolah menengah kejuruan seperti para
lulusan.
Pendidikan kejuruan sebagai lembaga pendidikan yang multifungsi
akan memberi kontribusi positif jika dilaksanakan dengan baik dan

9
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional. Adapun
fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi:
(1) Sosialisasi, yaitu transmisi nilai-nilai yang berlaku serta norma-
normanya sebagai konkretisasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai
yang dimaksud adalah teori ekonomi, solidaritas, religi, seni dan
jasa yang cocok dengan konteks Indonesia;
(2) Kontrol sosial, yaitu kontrol perilaku agar sesuai dengan nilai sosial
beserta norma-normanya, misalnya kerja sama, keteraturan,
kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, dan sebagainya;
(3) Seleksi dan alokasi, yaitu mempersiapkan, memilih, dan
menetapkan calon tenaga kerja sesuai dengan tanda-tanda pasar
kerja, yang berarti bahwa pendidikan kejuruan harus berdasarkan
―demand-driven‖;
(4) Asimilasi dan konservasi budaya, yaitu absorbsi terhadap kelompok-
kelompok lain dalam masyarakat, serta memelihara kesatuan dan
persatuan budaya;
(5) Mempromosikan perubahan demi perbaikan yaitu pendidikan tidak
sekadar berfungsi mengajarkan apa yang ada, tetapi harus berfungsi
sebagai ―pendorong perubahan‖ (Djoyonegoro, 1998: 35).
Adapun prinsip-prinsip pendidikan kejuruan memiliki karakteristik
makro terhadap pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia
dengan lingkungannya, baik secara regional, nasional bahkan internasional
di antaranya:
(1) Pendidikan kejuruan adalah suatu perhatian rasional tenaga kerja,
pendidikan, industri, pertanian dan bantuan pemerintah, kebutuhan
ekonomi, yang menjadi suatu kerangka nasional dari pendidikan
kejuruan;
(2) Pendidikan kejuruan memelihara pertahanan umum dan memajukan
kesejahteraan umum. Hal tersebut tercermin dari keefektifan
pendidikan kejuruan dalam memperbaiki kesejahteraan ekonomi
individu dan keluarga, dan memberikan dasar keterampilan untuk
pertahanan bangsa;
(3) Pendidikan kejuruan mempersiapkan remaja dan dewasa yang pada
hakikatnya mentransformasikan dan meneruskan tanggung jawab
pemerintah, demokratisasi pendidikan di mana pemerintah

10
memperlihatkan konsensus baik dalam menanggapi kebutuhan
pendidikan kejuruan pada sistem pendidikan sekolah pemerintah;
(4) Pendidikan kejuruan memerlukan suatu pendidikan dasar.
Pendidikan kejuruan menawarkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan dasar yang dibutuhkan masyarakat global saat ini.
Seperti, kecanggihan teknologi harus dijadikan pendidikan dasar
untuk semua siswa;
(5) Pendidikan kejuruan direncanakan dan dipimpin dalam upaya kerja
sama yang erat dengan pengusaha dan industri. Dengan adanya
keterlibatan DU/DI, Pemerintah dan stakeholders lainnya
melahirkan konsep dual based system yang menawarkan relevansi
antara model pengajaran di sekolah dengan kesesuaian kebutuhan
dunia bisnis dan industri;
(6) Pendidikan kejuruan memberikan keterampilan dan pengetahuan
yang bermakna bagi pemenuhan pasar tenaga kerja. Isi program
pengembangan SMK didasarkan atas analisis terhadap kebutuhan
pasar tenaga kerja. Penempatan dan tindak lanjut tes hasil belajar di
sekolah didasarkan atas kemajuan dalam bekerja (prakerin);
(7) Pendidikan kejuruan memberikan pendidikan lanjutan untuk anak
dan remaja. Sama halnya seperti sekolah menengah umum lainnya,
SMK juga menawarkan pendidikan lanjutan bagi para pelajar
menengah di Indonesia.
Sehingga berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipastikan bahwa
SMK merupakan lembaga pembina pendidikan kejuruan yang bermuara
agar lulusannya memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian di
bidang ilmu tertentu dan terampil dalam dunia usaha/industri sehingga
lulusan SMK memiliki dua keunggulan yaitu memiliki keterampilan yang
mampu langsung diserap di dunia kerja, dan dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

B. Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Penyedia Tenaga


Kerja Tingkat Menengah
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan dalam bentuk satuan sekolah
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam
menyiapkan mereka sebagai tenaga kerja tingkat menengah yang terampil,

11
terdidik, profesional, serta mampu mengembangkan diri sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Kepmen No. 053 Tahun
2001). Keberadaan sekolah menengah kejuruan tidak terlepas dari
kebijakan pemerintah yang ingin mengembangkan potensi yang dimiliki
anak bangsa agar mampu mengembangkan dunia industri dan usaha di
tanah airnya. Namun, sebagai subsistem pendidikan penyedia tenaga kerja
tingkat menengah, keberadaan sekolah menengah kejuruan masih dalam
kategori yang belum memadai untuk menjawab tantangan globalisasi dan
urban para tenaga asing secara besar-besaran. Sagala (2012: 4)
mengemukakan bahwa:
Penyiapan peserta didik yang berkualitas internasional tidaklah
mudah. Oleh karenanya, diperlukan adanya political will dan
komitmen dari pemerintah juga satuan pendidikan pada semua
jenjang dan jenis menggunakan strategi khusus mulai rekruitmen
peserta didik, proses pembelajaran, kurikulum, tenaga pengajar, dan
tenaga kependidikan, penyediaan sarana prasarana dan fasilitas
belajar disiapkan sedemikian rupa sampai memenuhi syarat yang
ditentukan. Jika potensi SDM yang tersedia tetapi tidak difasilitasi
dengan tersedianya model pendidikan yang dapat mendorong
peserta didik menjadi SDM yang berkualitas, maka negara dan
masyarakat akan kehilangan momentum dalam menghadapi
persaingan global yang semakin kuat.
Refleksi dari pemikiran yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan
bahwa Indonesia darurat pengembangan SDM siap kerja yang terampil dan
bertaraf internasional. Indonesia harus meningkatkan jumlah institusi
penyedia tenaga kerja terampil dalam hal ini melalui keberadaan Sekolah
Menengah Kejuruan. Kesadaran akan pentingnya tenaga terampil didasari
atas sejumlah alasan penting, di antaranya:
(1) Tenaga kerja terampil adalah orang yang terlibat langsung dalam
proses produksi barang maupun jasa, karena itu menduduki peranan
penting dalam menentukan tingkat mutu dan biaya produksi;
(2) Tenaga kerja terampil sangat diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan industrialisasi suatu negara;
(3) Persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam. Dalam
konteks ini, tenaga terampil adalah salah satu faktor keunggulan
dalam menghadapi persaingan global;

12
(4) Kemajuan teknologi adalah faktor penting dalam meningkatkan
keunggulan. Dalam konteks ini, penerapan teknologi berperan
menjadi faktor keunggulan tergantung pada tenaga kerja terampil
yang menguasai dan mengaplikasikannya;
(5) Orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk
bekerja dan produktif. Semakin banyak warga suatu bangsa yang
terampil dan produktif, maka semakin kuat kemampuan ekonomi
negara yang bersangkutan;
(6) Semakin banyak warga suatu bangsa yang tidak terampil, maka
semakin tinggi kemungkinan pengangguran yang akan menjadi
beban ekonomi negara yang bersangkutan (Djoyonegoro, 1998: 32-
33).
Untuk menghadapi arus globalisasi dan untuk mengatasi isu-isu
yang berkembang dan reformasi terhadap pengembangan pendidikan,
beberapa langkah penting perlu diambil, antara lain: (1) sistem ―demand
driven‖ yang perlu dipacu dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar kerja;
(2) sistem pendidikan kejuruan yang memenuhi kualifikasi sesuai dengan
standar kompetensi nasional yang baku sebagaimana dimaksudkan dalam
PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar
kompetensi, standar kurikulum, dan standar pengujian dimaksudkan untuk
menjamin bahwa sistem pendidikan kejuruan benar-benar memberikan
kompetensi yang diharapkan oleh dunia usaha dan industri; (3) sistem
pendidikan kurikulum yang lentur (Multy Exit dan Multy Entry),
pendidikan kejuruan diharapkan menggunakan pendekatan ini untuk dapat
membuka peluang bagi masuk keluarnya peserta didik dari berbagai
satuan, jalur, jenis pendidikan atas dasar kompetensi yang telah dimiliki;
(4) sistem pendidikan kejuruan secara tegas mengakui kompetensi di mana
pun dan mana pun caranya diperoleh (baku). Sistem pengujian yang akan
ditetapkan pada pendidikan kejuruan adalah ―uji kompetensi‖ yang baku,
dalam artian apa yang diajarkan pada siswa haruslah dibakukan secara
nasional; (5) pendidikan kejuruan dipersiapkan untuk sektor formal dan
informal; keberadaan lulusan SMK diharapkan tidak hanya terserap dalam
sektor-sektor formal saja namun juga sektor informal seperti wirausaha (6)
mengintegrasikan pendidikan dari pelatihan kejuruan untuk memberikan
keluwesan transfer (perpindahan) dari pelatihan ke pendidikan kejuruan

13
atau sebaliknya, maka martikulasi antara pendidikan dan pelatihan
kejuruan dapat diberlakukan; pelatihan yang diberikan diharapkan dapat
menunjukkan hasil nyata yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berorganisasi dan berinteraksi dalam dunia usaha dan
bisnis; (7) sistem pengelolaan yang terdesentralisasi agar terciptanya
pendidikan kejuruan yang responsif dan antisipatif terhadap perubahan
dunia kerja sehingga perlu struktur yang lebih devolutif; sistem pendidikan
desentralisasi diharapkan dapat memberikan otonomi yang besar pada
SMK untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan sekolahnya secara
bertanggung jawab (9) swakelola dan swasembada dengan subsidi dari
pemerintah perlu ditekankan pada pemberdayaan SMK. Mengembangkan
sebuah SMK jauh lebih membutuhkan pembiayaan yang lebih besar
dibandingkan mendirikan sebuah SMA. Menyikapi hal tersebut, sudah
sepantasnya pemerintah melalui berbagai kebijakannya perlu memberi
perhatian khusus dan lebih kepada SMK agar tujuan utama pengembangan
SMK dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap
pengembangan tenaga kerja Indonesia yang kompeten.
Untuk merealisasikan reformasi pendidikan kejuruan sebagaimana
diuraikan di atas, maka sejumlah rintisan telah dilaksanakan, antara lain: 1)
Penerapan pendidikan sistem ganda, 2) pembentukan majelis pendidikan
kejuruan, 3) program diploma (bekerja sama dengan Dirjen Dikti), 4)
SMK sebagai pusat kursus keterampilan kejuruan; 5) mewirausahakan
SMK, 6) Pemagangan siswa ke luar negeri, 7) mempersiapkan sejumlah
SMK menjadi unggul (Sidi, 2001: 115-117).
Dengan berpegang pada dasar pemikiran urgensi penyediaan tenaga
kerja berkompetensi di Indonesia, maka reposisi pendidikan kejuruan perlu
ditata ulang. Pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan
sebagai pranata utama peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi
sangat penting terutama menyangkut:
1. Pembentukan tim kerja yang anggotanya berasal dari beberapa unsur
instansi terkait yang bertugas untuk dilaksanakan pengkajian
terhadap pendidikan kejuruan;
2. Pelaksanaan pengkajian potensi wilayah/daerah untuk memperoleh
gambaran tentang para tenaga kerja, peta potensi ekonomi, dan peta
pendidikan pada setiap kabupaten/kota;

14
3. Analisis dan perumusan rekomendasi penataan SMK.
4. Penyusunan rencana penataan SMK tingkat kabupaten/kota dalam
bentuk Rencana Strategis (Renstra);
5. Sosialisasi kepada pihak-pihak terkait untuk menghasilkan
komitmen tindak lanjut program penataan SMK;
6. Pelaksanaan penataan bidang/program keahlian SMK, penataan
sistem diklat dan pendekatan pembelajaran sesuai dengan komitmen
yang disepakati. (Priowirjanto & Suryatmana dalam Jalal &
Supriadi (2002: 615-616).
SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) merupakan salah satu lembaga
pendidikan yang bertanggung jawab menyediakan sumber daya manusia
yang memiliki kemampuan, keterampilan, dan keahlian sehingga
lulusannya dapat mengembangkan kecakapannya dalam dunia kerja dan
usaha. Amanat Undang-Undang No.20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
tujuan SMK adalah meningkatkan kemampuan peserta didik untuk dapat
mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, serta menyiapkan peserta didik memasuki lapangan
kerja dan mengembangkan sikap yang profesional. Lebih lanjut, Peraturan
Pemerintah nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah
mengemukakan bahwa, Pendidikan Menengah Kejuruan adalah
pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan
pengembangan kemampuan peserta didik untuk pelaksanaan jenis
pekerjaan tertentu.
Berbeda dengan pendidikan menengah umum, pendidikan kejuruan
mempunyai karakteristik tersendiri. Pendidikan kejuruan harus berorientasi
pada kebutuhan pasar atau demand-driven, harus diarahkan pada
peningkatan kecakapan kerja. Tujuan pendidikan kejuruan adalah
membekali peserta didik agar memiliki kompetensi perilaku dalam bidang
kejuruan tertentu sehingga yang bersangkutan mampu bekerja (memiliki
kinerja) demi masa depan dan untuk kesejahteraan bangsa (Schippers &
Patriana, 1994: 19). Sehingga tidak mengherankan jika sekolah menengah
kejuruan memegang peranan strategis bagi Indonesia dalam menyiapkan
peserta didik yang produktif dan berkualifikasi sesuai dengan keahlian
yang dimilikinya dan mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya dalam
dunia usaha dan industri.

15
Djojonegoro (1998: 37) mengemukakan karakteristik yang harus
dimiliki SMK harus mengacu pada: (1) pendidikan kejuruan diarahkan
untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja; (2)
pendidikan kejuruan didasarkan atas demand-driven (kebutuhan dunia
kerja); (4) penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan peserta didik
harus pada hands-on atau performa pada dunia kerja; (5) hubungan yang
erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan; (6)
pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap
kemajuan teknologi; (7) pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada
learning by doing dan hand-on experience; (8) pendidikan kejuruan
memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik; (9) pendidikan
kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar dari
pendidikan umum.
Bila ditinjau dari aspek pendidikan, substansi pelajaran, dan lulusan,
kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah (1) orientasi
pada kinerja individu dalam dunia kerja; (2) berorientasi pada kebutuhan
nyata di lapangan; (3) fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik,
afektif, dan kognitif; (4) tolok ukur keberhasilan tidak hanya di sekolah;
(5) kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja; (6) memerlukan sarana
dan prasarana yang memadai; (7) adanya dukungan masyarakat (Fich &
Crunkilton, 1984; SonHaji, 2000).
Lebih lanjut, menyangkut materi pelajaran di SMK meliputi tiga
komponen utama (Firdausi, A. & Barnawi, 2012: 23).
1) Komponen Umum (Normatif)
Komponen umum dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi warga negara yang baik, memiliki watak dan kepribadian
sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.
2) Komponen Dasar Kejuruan (Adaptif)
Komponen dasar kejuruan bertujuan untuk memberi bekal pe-
nunjang bagi penguasaan keahlian profesi dan bekal kemampuan
pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

16
3) Komponen Kejuruan (Produktif)
Komponen kejuruan berisi materi yang berkaitan dengan pem-
bentukan kemampuan keahlian tertentu sesuai program studi
masing-masing untuk bekal memasuki dunia kerja.
Adapun program keahlian SMK terbagi menjadi dua kelompok,
yakni kelompok produksi dan kelompok jasa.
a. Kelompok produksi
Kelompok produksi adalah program keahlian yang kompetensi
keahliannya menghasilkan produk-produk jadi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia usaha/dunia industri. Contoh:
keahlian memproduksi makanan jadi.
b. Kelompok jasa
Kelompok jasa adalah program keahlian yang kompetensi ke-
ahliannya dalam bentuk jasa pelayanan. Contoh: program keahlian
mekanik otomotif melayani pemeliharaan dan perbaikan komponen-
komponen otomotif kendaraan ringan; dan program keahlian
perhotelan melayani penyediaan ruang penginapan, akomodasi dan
lain-lain.
Pendidikan kejuruan dapat berhasil jika didukung oleh komponen
subsistem yang bermutu. Salah satu komponen organisasi SMK yang
penting dalam menunjang kesuksesan penyelenggaraan program
pendidikan kejuruan adalah keberadaan para pendidik yang berkompetensi
di bidangnya masing-masing. Adapun kualifikasi yang harus dimiliki oleh
guru SMK selain kompetensi yang diamanatkan dalam Undang-Undang
No.14 Tahun 2005 (Kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan
profesional) meliputi:
a. Kualifikasi kejuruan spesialis yang terdiri dari: (a) kompetensi
profesi, yaitu kemampuan melaksanakan dan mengontrol pekerjaan
secara profesional dan ekonomis; (b) kompetensi metode, yaitu
kemampuan untuk menentukan langkah-langkah kerja dalam
menyesuaikan pekerjaan tertentu secara mandiri merumuskan dan
mengevaluasi permasalahan pada pekerjaan yang sedang dihadapi
dan menentukan pemecahannya; (c) kompetensi sosial, yaitu
kemampuan untuk mengerjakan tugas dengan mempertimbangkan

17
aspek-aspek sosial, seperti keselamatan kerja dan tidak merugikan
orang lain; (d) kompetensi belajar, yaitu kesanggupan
mengembangkan diri sendiri melalui belajar, mengumpulkan
informasi, mencoba, dan berlatih.
b. Kualifikasi kejuruan yang terdiri: (a) interdisipliner, yaitu segenap
kesanggupan, seperti memahami dan memerhatikan struktur
organisasi, mampu menggunakan terminologi asing secara benar,
mampu menggunakan pengolah data elektronik serta memindahkan
aspek ekologi dan ekonomi; (b) teknik operasional, yaitu segenap
kemampuan, seperti menganalisis tugas dan menyusun rencana
kerja, mengindahkan peraturan, melakukan komunikasi tertulis dan
lisan, memahami gangguan-gangguan dan mengatasinya, serta
menggunakan bahan dan energi secara hemat; (c) kepribadian dan
kemasyarakatan, yaitu sifat seperti mandiri, kreatif, jujur, penuh
pengertian, komunikatif, kooperatif, dan kompromis.
Pengelolaan sekolah menengah kejuruan selain mengacu pada
pengelolaan sekolah menengah umum juga mengacu pada persyaratan
sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan memiliki tanggung jawab yang lebih
besar dibanding sekolah menengah umum dalam mengelola manajemen
sekolahnya. Penataan dan pengembangan sekolah menengah kejuruan
harus direposisikan pada tatanan terciptanya program pendidikan, prosedur
pembelajaran, dan komponen organisasi pendidikan yang berkompetensi
dan terstandar serta mampu mengkaji relevansi antara tenaga kerja
keluaran pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja.

C. Relevansi Keberadaan SMK: Tuntutan Dunia Kerja dan


Tantangan Global
Sektor pendidikan merupakan aspek krusial dalam pranata sosial.
Secara substansi, pendidikan dimaksudkan untuk dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Laju perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat, menuntut manusia Indonesia berpikir inovatif
agar dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa lainnya. Pemerintah
telah mengupayakan berbagai strategi guna meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia. Namun, fakta menunjukkan bahwa Indonesia
perlu menekan keterbelakangan pendidikan. Data OECD tentang peringkat

18
pendidikan di dunia menempatkan Singapura memimpin di peringkat
pertama, diikuti oleh Hong Kong. Di ujung lain, Ghana menduduki posisi
terbawah. Sementara Indonesia menduduki posisi nomor 69 dari 76 negara
(www.bbc.com, 13 Mei 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa
pendidikan di Indonesia darurat mutu. Masalah yang dihadapi Indonesia
bukan pada konteks teoretis, namun terkait pada hal praktis seperti apa
yang harus dilakukan dan bagaimana melaksanakan pendidikan itu sendiri.
Tak hanya pendidikan umum, pendidikan kejuruan di Indonesia juga
menghadapi masalah yang hingga kini belum menunjukkan perbaikan
yang berarti. Menurut Sukmadinata, Jami‘at, dan Ahman (Murniati &
Usman, 2008: 23) disebutkan bahwa kendala yang dihadapi pendidikan
kejuruan adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang siap kerja.
Kebijakan link and match untuk meningkatkan relevansi program
pendidikan kejuruan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dunia kerja
masih belum menyentuh tujuan pendidikan kejuruan yang diharapkan.
Tuntutan relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja
mengisyaratkan adanya penguasaan kompetensi dan performance peserta
didik yang ditunjukkan selama praktik kerja industri, serta lulusan SMK
dapat terserap dalam dunia kerja dan industri. Lulusan SMK dituntut tidak
hanya menguasai hard skill namun juga softskill sehingga tercipta sinergi
antara kerja produktif, berkualitas dan akhlak mulia.
Adapun strategi pengembangan Technical and Vocational
Education and Training (TVET) 2016-2021 oleh UNESCO (2016) antara
lain:
“UNESCO support the efforts of Member States to enhance the
relevance of their TVET systems and to equip all youth and adults
with the skills required for employment, decent work,
entrepreneurship and lifelong learning, and contribute to the
implementation of the 2030 Agenda for Sustainable Development as
a whole.
Berdasarkan penggalan di atas dapat dijelaskan bahwa strategi
UNESCO 2016-2021 adalah mendukung negara-negara dunia dalam
melakukan relevansi sistem pendidikan kejuruan dengan memfasilitasi
para pemuda dan dewasa dengan keahlian yang dibutuhkan oleh dunia
kerja. Adapun upaya yang dilakukan UNESCO di antaranya: 1) UNESCO

19
akan mendukung penyelenggaraan pengkajian kembali kebijakan dan
reformasi pendidikan kejuruan; 2) UNESCO akan memobilisasi kerja
sama dengan berbagai stakeholders; 3) UNESCO akan mendukung
pendesaian strategi pembiayaan pendidikan kejuruan yang efektif dan
efisien (UNESCO, 2016).
Menanggapi urgensi revitalisasi SMK, Presiden Indonesia, Joko
Widodo, juga mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang
revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam rangka peningkatan
kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Dalam Inpres
tersebut, Presiden menginstruksikan kepada para menteri, para gubernur,
dan kepala BSNP agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
tugas, fungsi dan wewenang masing-masing. Pertama, khusus kepada
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, presiden menginstruksikan enam
instruksi di antaranya membuat peta jalan SMK; menyempurnakan dan
menyelaraskan kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai kebutuhan
pengguna lulusan (link and match); meningkatkan jumlah dan kompetensi
bagi pendidik dan kependidikan SMK; meningkatkan kerja sama dengan
kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan dunia usaha/industri;
meningkatkan akses sertifikasi lulusan SMK, dan membentuk kelompok
kerja pengembangan SMK. Kedua, kepada BSNP, Presiden meng-
instruksikan untuk mempercepat sertifikasi kompetensi bagi lulusan SMK,
pendidik, dan tenaga pendidik SMK, serta mempercepat pemberian lisensi
bagi SMK sebagai lembaga sertifikasi profesi pihak pertama. Ketiga,
kepada 34 gubernur diinstruksikan agar memberi kemudahan kepada
masyarakat untuk mendapat layanan pendidikan kejuruan yang bermutu
sesuai dengan potensi wilayah masing-masing; menyediakan pendidik,
tenaga kependidikan, sarana, dan prasarana SMK yang memadai dan
berkualitas; melakukan penataan kelembagaan SMK yang meliputi
program kejuruan yang dibuka dan lokasi SMK; serta mengembangkan
SMK unggulan sesuai dengan potensi wilayah masing-masing.
Revitalisasi pendidikan kejuruan tersebut menghendaki adanya kerja
sama, kreativitas program pengembangan dari semua unsur yang terkait
dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah kejuruan. Para stakeholders
harus mampu berpartisipasi aktif dalam meningkatkan mutu sekolah
kejuruan sehingga tercipta suatu hubungan mutual simbiotik dalam

20
interaksi, kerja sama, dan kemitraan antar anggota organisasi sekolah
maupun pihak- pihak di luar sekolah baik berskala nasional maupun
internasional.
Untuk merespons tantangan global tersebut, maka implementasi
manajemen sumber daya manusia dalam menangani krisis sistem
ketenagakerjaan lulusan kejuruan seyogyanya memperhatikan empat aspek
peningkatan sebagai berikut.

Tabel 1.1 Aspek Penting dalam Manajemen Sumber Daya Manusia


(Yuniarsih & Suwanto, 2013: 79).
Bidang Elemen Penting
1. Kompetensi Kompetensi profesional, kompetensi transformasional,
tenaga kerja kompetensi berbasis input, dan kompetensi berbasis
output
2. Diversitas Ras, gender, usia, bahasa, budaya, status sosial ekonomi,
angkatan kerja pendidikan, dan keterampilan
3. Dukungan Costumer values, komunikasi efektif, dan kompetensi
keunggulan manajerial.
4. Globalisasi Kebijakan SDM di negara berkembang, diversitas
tenaga kerja angkatan kerja, dan standarisasi SDM secara internasional.

Keempat aspek di atas menunjukkan bahwa perlu adanya antisipasi


kondisi lingkungan eksternal yang meliputi perekonomian nasional,
internasional, teknologi, pemerintah dengan sistem pemerintahannya,
struktur sosial kemasyarakatan, struktur demografis, serta kondisi nasional
lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
kondisi internal organisasi yang turut mewarnai lahirnya pertimbangan
khusus dalam pembuatan kebijakan ketenagakerjaan.
Keberadaan MEA (masyarakat ekonomi Asia), AFTA (Asean Free
Trade Area), AFLA (Asean Free Labour Area), serta tantangan revolusi
industri 4,0 menjadi tantangan tersendiri bagi SMK dalam mempersiapkan
lulusan yang profesional. Hal tersebut berarti bahwa persaingan tenaga
kerja akan terbuka. Konsekuensinya, tenaga kerja asing akan membanjiri
Indonesia sehingga tenaga kerja dalam negeri harus mampu bersaing dan
menunjukkan eksistensinya dalam dunia industri dan usaha. Sekolah
menengah kejuruan perlu secara aktif mempersiapkan peserta didik dan
lulusan yang memiliki kecerdasan emosional, spiritual, intelektual, dan

21
sosial yang menunjukkan keunggulan terhadap penguasaan ilmu
pengetahuan, keahlian, dan teknologi sehingga mampu menghasilkan para
tenaga kerja profesional yang sesuai dengan standar nasional dan
internasional.

22
BAB II
PARADIGMA PENGEMBANGAN MANAJEMEN
SEKOLAH KEJURUAN

A. Konsep Dasar Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan


Pengelolaan sekolah yang baik mencerminkan kematangan
manajemen sekolah. Manajemen sekolah merupakan upaya strategis yang
menjadi pilihan utama dalam upaya memutus mata rantai keterpurukan
sebuah sekolah. Pengoptimalan manajemen sekolah menjadi alternatif
terbaik dalam menjawab dan memberi solusi terhadap berbagai krisis
dalam dunia pendidikan.
Manajemen dalam konteks sederhana dapat diartikan pengelolaan.
Manajemen berkaitan dengan proses mendayagunakan orang dan sumber
lainnya untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai secara efektif dan
efisien. Adapun definisi manajemen dikemukakan oleh para ahli (Sagala,
2012: 51) sebagai berikut:
1. Manajemen adalah mengetahui secara tepat apa yang anda ingin
kerjakan dan anda melihat bahwa mereka mengerjakan dengan cara
yang terbaik dan murah (Frederick Winslow Taylor,1811).
2. Manajemen diartikan sebagai ―the art of getting things done through
people‖ yaitu seni mencapai tujuan/ sesuatu melalui bantuan orang
lain (Mary Parker Foulett: 1868-1933).
3. Manajemen adalah rangkaian proses perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, pengendalian, serta suatu usaha dari anggota
organisasi dalam mengoptimalkan fungsi sumber daya organisatoris
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (James A.F.
Stoner, 1982).
4. Manajemen adalah suatu proses dari perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan
penyelesaian sasaran yang telah ditetapkan dengan menggunakan
orang dan sumber-sumber daya lainnya (George R. Terry, 1964).

23
5. Manajemen merupakan proses pengadaan dan pengkombinasian
sumber daya manusia dan material secara efisien (Buford & Bedein,
1988).
6. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Daft & Steers, 1996).
7. Manajemen adalah sistem otoritas (a system of authority) dengan
melibatkan kebijaksanaan yang tegas dan konsisten serta prosedur-
prosedur menyangkut kelompok-kelompok kerja (Joseph L. Massie,
1983).
Secara umum dapat diartikan bahwa manajemen adalah bagaimana
mengatur orang lain bekerja sama dalam mencapai tujuan sebuah
organisasi. Manajemen akan berhasil jika masing-masing komponen
organisasi saling bersinergi untuk bekerja sama mencapai tujuan, visi dan
misi bersama. Samsudin (2006: 16) menggambarkan proses manajemen
sebagai berikut:

Gambar 2.1 Proses Manajemen (Samsudin, 2006: 16)

Manajemen sebagai proses diartikan sebagai langkah yang di-


laksanakan untuk mencapai tujuan organisasi di mana diperlukan
perencanaan yang matang, pelaksanaan yang konsisten, dan penggalian
yang kontinu agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan efisien
dan efektif. Manajemen diperlukan karena: (1) manajemen dibutuhkan
untuk mencapai tujuan pribadi, kelompok, maupun organisasi; (2)

24
manajemen dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan di antara tujuan-
tujuan, sasaran-sasaran, dan kegiatan-kegiatan dari pihak-pihak yang
berkepentingan dalam organisasi; (3) manajemen dibutuhkan untuk
mencapai efisiensi dan produktivitas kerja organisasi (Yusuf, 2015: 24).
Dalam praktik persekolahan, kita juga sering mendengar istilah
administrasi dan manajemen. Administrasi dapat dipandang sebagai bagian
dari manajemen, administrasi berada di atas manajemen, ataupun
manajemen dan administrasi dipandang sebagai konsep yang sama dalam
sebuah organisasi. Administrasi dipandang sebagai bagian manajemen
didasarkan pada pemikiran bahwa administrasi merupakan bagian dari
manajemen yang concern terhadap instalasi dan prosedur penyelenggaraan
rangkaian aktivitas sekolah. Administrasi menempati posisi di atas
manajemen, dengan pertimbangan bahwa administrasi merupakan fase
business enterprise yang fokus terhadap seluruh determinasi dari tujuan
organisasi dan kebijakan yang diambil guna mencapai tujuan organisasi,
sedangkan manajemen dipandang sebagai fungsi eksekutif yang fokus
terhadap penyelenggaraan kebijakan yang bersumber dari administrasi.
Sedangkan administrasi dan manajemen dipandang sebagai sebuah konsep
yang sama didasarkan pada pertimbangan bahwa manajemen dan
administrasi merupakan sebuah sinonim kata di mana tergantung pada
kecenderungan sebuah negara atau organisasi memilih untuk
menggunakan istilah manajemen atau administrasi. Adapun hubungan
antara organisasi, administrasi dan manajemen digambarkan sebagai
berikut (Pidarta, 2011: 9).

manajemen
tertinggi
administrasi
organisasi manajemen madya

manajemen
terapan

Gambar 2.2 Hubungan Antara Organisasi, Administrasi Dan Manajemen


Pendidikan (Pidarta, 2011: 9)

25
Pidarta (2011: 8) menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan
manajemen diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber
pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditentukan sebelumnya. Manajemen dipilih sebagai aktivitas agar
konsisten terhadap istilah administrasi. Administrasi pada gambar di atas
merupakan kerja sama antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, kegiatan rutin seperti administrasi
pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan, sarana prasarana.
Sementara manajemen diartikan sebagai kegiatan-kegiatan non rutin yang
menangani masalah-masalah substansial yang membutuhkan pemikiran
dan aktivitas khusus penyelesaiannya. Misal, gejolak positif berupa
ketidakmampuan guru melaksanakan metode pembelajaran sedangkan
gejolak negatif dapat berupa cara mengatasi demonstrasi siswa yang SPP-
nya tidak mau dinaikkan.
Menata sebuah sekolah juga membutuhkan manajemen. Manajemen
dalam dunia pendidikan diartikan sebagai manajemen yang diterapkan
dalam pengembangan pendidikan (Muhaimin, et al.,2012: 5). Dalam hal
ini, Usman (2013: 19) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan
adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk
mewujudkan proses dan hasil belajar peserta didik secara aktif, kreatif,
inovatif, dan menyenangkan dalam mengembangkan potensi dirinya.
Manajemen pendidikan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai
manajemen sekolah yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, kepemimpinan, pengawasan dan evaluasi, serta sistem
informasi manajemen sekolah (Usman, 2013: 13). Bush & Coleman (2000)
mendefinisikan manajemen pendidikan adalah ―educational management
is a field of study and practice concerned with the operation of educational
organization‖. Manajemen pendidikan sebagai bidang ilmu/kajian dan
praktik terhadap pengoperasian dunia pendidikan. Dari berbagai definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan adalah ilmu
mengelola sumber daya pendidikan dengan memaksimalkan potensi yang
dimiliki secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai visi, misi dan
tujuan sekolah yang telah ditetapkan.
Manajemen pendidikan tidak terlepas dari kepemimpinan kepala
sekolah. Pimpinan puncak (kepala sekolah) sebagai pemegang kemudi

26
penyelenggaraan manajemen pendidikan harus mampu menjalankan dua
fungsi yaitu sebagai manajer dan leader. Sebagai seorang manajer dalam
sebuah institusi sekolah, kepala sekolah harus menguasai wilayah kerjanya
dengan memanfaatkan wewenang dan kebijaksanaan organisasi untuk
mengelola sumber daya fisik, berupa capital (modal), human skills
(keterampilan-keterampilan manusia), row material (bahan mentah), dan
teknologi agar menghasilkan produktivitas, efisiensi, ketepatan waktu
(sesuai dengan rencana kerja), dan kualitas. Sedangkan sebagai leader,
pimpinan puncak haruslah lebih memfokuskan diri pada visi, misi dan
tujuan sekolah, mengajak dan memotivasi staf atau bawahannya untuk
bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga harus
mampu mengelola sumber-sumber emosional dan spiritual yang berupa
values (nilai-nilai), commitment (komitmen), dan aspiration (aspirasi) staf
dan bawahannya, agar dapat melahirkan kebanggaan dan kepuasan kerja
(Muhaimin, et al., 2012: 5).
Manajemen dan kepemimpinan merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan. Keterkaitan antara manajemen dan kepemimpinan tersaji
dalam gambar berikut.

27
Kepemimpinan Manajemen

(1) kepemimpinan terpisah dengan manajemen

(2) kepemimpinan bagian (4) manajemen bagian


dari manajemen kepemimpinan

(3) kepemimpinan tumpang tindih dengan manajemen

Gambar 2.3 Hubungan Manajemen dengan Kepemimpinan (Sadler, 1997)

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa: (1)


kepemimpinan terpisah atau tidak ada hubungannya dengan manajemen;
(2) kepemimpinan bagian manajemen karena fungsi manajemen meliputi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; (3) kepemimpinan dan
manajemen bersifat tumpang tindih dalam artian di dalam manajemen
perlu adanya kepemimpinan, di dalam kepemimpinan perlu adanya
manajemen; (4) manajemen adalah bagian dari kepemimpinan karena
setiap pemimpin harus memiliki kompetensi manajerial.

28
Lebih lanjut, Northouse (2007) dan Bush (2008) mengemukakan
perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan sebagai berikut.

Tabel 2.1 Perbedaan Manajemen dengan Kepemimpinan (Northouse, 2007


& Bush, 2008)
No. Manajemen Kepemimpinan
1. Menghasilkan keteraturan Menghasilkan perubahan dan
gerakan
2. Merencanakan dan membelanjakan Mengarahkan karyawan
a. Menetapkan agenda a. Membina tujuan
b. Menentukan jadwal b. Membentuk komitmen
c. Mengalokasikan sumber daya c. Membangun tim dan kerja sama
organisasi
3. Mengorganisasikan dan merekrut Memotivasi dan menginspirasi
karyawan a. Memberi inspirasi dan semangat
a. Membuat struktur b. Mendayakan karyawan
b. Menempatkan karyawan c. Memenuhi kebutuhan yang
c. Menetapkan dan melaksanakan belum terpenuhi
peraturan dan prosedur
4. Enam model: formal, kolegial, Sembilan model: manajerial,
politik, subjektif, mendua dan partisipatif, transformasional,
kultural interpersonal, transaksional, post-
modern, kontigensi, dan intraksional
5. Tiga level: bawah, menengah, dan Lima level: emergent, establish,
atas entry to, advance, dan consultant

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya


manajemen dan kepemimpinan dalam dunia pendidikan saling berkaitan
dan mempengaruhi. Manajemen sekolah yang baik ditopang dengan
keberadaan pimpinan yang inovatif, kreatif, komunikatif transparan dan
akuntabel.Begitu juga sebaliknya, kepemimpinan yang baik tercermin dari
manajemen yang berkualitas.
Manajemen sekolah saat ini, tidak terlepas dari keberadaan sistem
desentralisasi pendidikan telah menjadi angin segar bagi otonomi
pengembangan manajemen pendidikan. Desentralisasi pendidikan ini telah
memberikan kebebasan dan keluasan bagi lembaga-lembaga pendidikan
untuk mengelola dan menemukan model dan strategi yang ideal dalam
mengembangkan sekolahnya sesuai dengan visi, misi dan tujuan yang
ingin dicapai. Kebebasan tersebut telah membangkitkan inovasi,

29
kreativitas, dan rasa tanggung jawab dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh kematangan
(maturnity) penyelenggara sekolah dalam mengambil kebijakan dan
keputusan manajemen sekolah.
Jika kita mengacu pada penyelenggaraan manajemen sekolah
menengah kejuruan secara konsep tidak jauh berbeda dari manajemen
pendidikan umum. Manajemen SMK juga menitik beratkan pada nilai-
nilai, kebijaksanaan serta tim kerja yang solid dan saling mendukung satu
dengan yang lainnya. Sama halnya dengan prinsip manajemen pendidikan
yang mengacu pada mutu terpadu yang mengusung konsep ―the next
process is our stakeholder‖, yang mengajarkan bahwa jika seseorang tidak
melaksanakan kerja dengan baik dengan prinsip saling bekerja sama
dengan orang lain, maka bisa jadi orang lain akan berusaha menghambat
pekerjaan kita (Muhaimin, 2012: 59-60). Penyelenggaraan manajemen
sekolah akan mencapai tujuannya jika mampu mendayagunakan fungsi
komponen sumber daya yang tersedia serta mengoptimalkan peran kerja
sama tim. Tim kerja yang solid sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan program dan strategi pengembangan SMK. Semangat
kerja sama merupakan nilai utama pembentuk tim kerja yang baik. Tim
kerja yang baik ditandai dengan adanya nilai-nilai yang dijadikan landasan
dasar kerja sama tim, kepemimpinan situasional, kebanggaan tim, tugas
yang jelas, umpan balik dan review, keterbukaan, keterusterangan,
komunikasi lateral, pengambilan keputusan yang kolaboratif, dan
penekanan pada aksi.
Adapun komponen manajemen pendidikan kejuruan yang
mengadopsi sistem manajemen sekolah tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 2.2 Komponen-Komponen Manajemen Sekolah (Jalal dan Supriadi,


2001: 162)
Sumber Daya dan
Manajemen PBM SDM
Administrasi
Menyediakan Meningkatkan Menyebarkan Mengidentifikasi
manajemen/organisasi/ mutu belajar staf dan dan
kepemimpinan sekolah siswa menempatkan mengalokasikan
kejuruan personel yang sumber daya
dapat sesuai dengan

30
Sumber Daya dan
Manajemen PBM SDM
Administrasi
memenuhi kebutuhan
kebutuhan
semua siswa
Menyusun rencana Menyusun Memilih staf Mengelola
sekolah dan kurikulum yang yang memiliki alokasi dana
merumuskan kebijakan cocok dan wawasan sekolah kejuruan
tanggap manajemen
terhadap sekolah
kebutuhan para kejuruan
siswa
Mengelola operasional Menawarkan Menyediakan Menyediakan
sekolah kejuruan pengajaran kegiatan untuk dukungan
yang efektif pengembangan administratif
profesi pada
semua staf
Menjamin adanya Menyediakan Menjamin Mengelola
komunikasi yang program kesejahteraan pemeliharaan
efektif antara sekolah pengembangan staf dan siswa gedung dan
dan masyarakat terkait pribadi siswa sarana lainnya
Mendorong partisipasi Mengatur
masyarakat pembahasan
tentang kinerja
sekolah
kejuruan
Menjamin
terpeliharanya sekolah
kejuruan yang
akuntabel

Tabel di atas menjelaskan bahwa komponen-komponen tersebut


melibatkan berbagai unsur yang memungkinkan stakeholders pendidikan
terlibat dalam upaya penjaminan mutu pendidikan di sekolah. Dengan
adanya akses tersebut, maka sekolah kejuruan akan memberi layanan
terbaik bagi pengguna jasa pendidikan serta pengawasan dan evaluasi
terhadap kinerja sekolah kejuruan akan lebih terkontrol dengan baik.
Sekolah kejuruan yang baik menyelenggarakan manajemen yang
fleksibel, efektif dan efisien. Manajemen pendidikan kejuruan haruslah
dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kebijakan, tuntutan
masyarakat, perubahan nilai dalam masyarakat, kemajuan ilmu

31
pengetahuan, teknologi dan informasi agar dapat menjaga eksistensinya.
Manajemen pendidikan dikatakan efektif dan efisien jika manajemen telah
memberi hasil yang memuaskan pada pelanggannya, mampu merealisasi
tujuan organisasi serta mampu melaksanakan job description masing-
masing dengan tepat. Untuk lebih jelasnya, Reddin (1970: 6) dalam Pidarta
(2011: 24) sebagai berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan Manajemen Efektif dengan Efisien (Reddin, 1970)


Manajemen Efektif Manajemen Efisien
1. Membuat yang benar 1. Mengerjakan dengan benar
2. Mengkreasikan alternatif-alternatif 2. Menyelesaikan masalah-masalah
3. Mengoptimalkan sumber-sumber 3. Mengamankan sumber-sumber
pendidikan pendidikan
4. Memperoleh hasil pendidikan 4. Mengikuti tugas-tugas pekerja
5. Meningkatkan keuntungan 5. Merendahkan biaya pendidikan
pendidikan

Pertama, manajemen efektif dalam tabel tersebut dapat dijelaskan


bahwa konsep membuat yang benar diartikan sebagai upaya mengerjakan
sesuatu sesuai dengan perencanaan dan tujuan organisasi yang telah
ditetapkan semula. Kedua, mengkreasikan alternatif-alternatif ialah
bermaksud memberikan pertimbangan-pertimbangan yang memadai
sebelum bertindak agar efek negatif diterima jadi minim. Ketiga,
mengoptimalkan sumber-sumber ialah memanfaatkan setiap sumber yang
tersedia (yang pada umumnya belum memadai) untuk mendapatkan hasil
optimal sehingga diharapkan hasil pendidikan bila mungkin lebih baik dari
target. Sehingga pada akhirkan dapat tercapai hasil pendidikan dan
keuntungan yang diharapkan.
Manajemen yang efisien dapat diperoleh dengan cara mengerjakan
yang benar artinya prosedur yang ditempuh, sarana, media, material,
metode yang diterapkan harus cocok dengan apa yang dikerjakan. Jika
terjadi masalah dalam sekolah sebaiknya diselesaikan secara ilmiah dan
bijaksana berdasarkan data yang dikumpulkan dan alternatif-alternatif
dengan segera. Mengamankan sumber-sumber pendidikan dengan cara
mengoordinasi sumber-sumber pendidikan baik berupa orang, uang,
materi, media, dan sarana. Setiap organisasi haruslah memiliki teamwork

32
dan job description yang jelas. Deskripsi tugas-tugas tersebut dapat dibagi
menjadi unit-unit tertentu, sub unit hingga tugas individu harus diikuti oleh
setiap komponen sekolah sehingga tidak terjadi penyimpangan. Terakhir,
sekolah diharapkan mampu menekan biaya pendidikan dengan tidak
mengorbankan produksi. Misal, dalam melaksanakan metode keterampilan
proses di sekolah, tidak selalu harus peralatan belajar dibeli oleh siswa,
peralatan tersebut bisa diperoleh dengan recycle benda-benda bekas atau
dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.

B. Problematika Pengembangan Manajemen Sekolah


Kejuruan
Berangkat dari latar belakang, fenomena, fakta-fakta serta teori yang
mempengaruhi penyelenggaraan manajemen mutu pendidikan. Dilihat dari
konteks kebijakan, bahwa implementasi kebijakan bidang manajemen
pendidikan merupakan proses administrasi yang diharapkan dapat
mengubah pelayanan pendidikan yang lebih baik, lebih murah, lebih
mudah dan maju. Di sisi lain, dalam praktiknya, menjalankan manajemen
sekolah tidaklah mudah, sekolah juga mengalami hambatan dan
permasalahan yang terjadi di lapangan sehingga mempengaruhi lambatnya
laju perkembangan suatu sekolah.

1. Teamwork Sekolah yang Tidak Solid


Kerja sama tim yang baik merupakan tonggak keberhasilan,
keharmonisan, serta keselarasan dalam sebuah sekolah. Namun, pada
kenyataannya, tidak semua personal pada satuan pendidikan mampu
bekerja dalam sebuah tim dengan baik. Sering terjadi ketidakcocokan dan
silang pendapat yang berujung pada sikap acuh tak acuh, pertengkaran,
pertikaian bahkan berujung dengan mutasi, pemunduran diri maupun
pemecatan.
Fenomena yang terjadi di lapangan, dapat ditimbulkan oleh ke-
beradaan kepala sekolah sebagai pimpinan yang memegang otoritas dalam
pendelegasian wewenang, seringnya memiliki orang-orang kepercayaan di
sekolahnya. Orang-orang tersebutlah yang selalu mendampingi kepala
sekolah dalam mengambil keputusan dan berbagai kebijakan penting di
sekolah, meskipun dalam pandangan personel sekolah lainnya, orang-

33
orang yang berada di sekeliling kepala sekolah tersebut tidak memiliki
kompetensi yang memadai dalam bidangnya. Sehingga secara langsung
atau tak langsung setiap kebijakan diambil berdasarkan alur keputusan
yang sepihak.
Hal tersebutlah yang menimbulkan kelompok-kelompok yang
berseberangan dengan kepala sekolah dan orang-orang kepercayaannya.
Meskipun secara kasat mata, keputusan yang diambil dalam rapat adalah
hasil keputusan bersama namun rekomendasi yang didengar dalam rapat
hanyalah rekomendasi orang kepercayaannya saja. Sedangkan
rekomendasi dari personil lainnya yang berseberangan dengan kepala
sekolah walau sebaik apapun rekomendasi tersebut tidak mendapat
perhatian dari kepala sekolah. Sehingga hal tersebut menyebabkan
timbulnya kelompok apatis dan tidak berpartisipasi penuh dalam
pelaksanaan berbagai program sekolah. Mereka bekerja hanya berdasarkan
perintah kepala sekolah yang ketat akan aturan-aturan yang berbungkus
atas nama profesionalitas dan kedisiplinan. Budaya sekolah seperti ini
sering terjadi dalam sebuah sekolah, meskipun tidak pada semua sekolah,
namun hal tersebut sangat berbahaya bagi perkembangan manajemen
sekolah. Visi, misi, dan tujuan sekolah menjadi tidak jelas. Target,
program dan strategi sekolah dapat berubah secara mendadak dan tak tentu
arah. Hal ini berimplikasi terhadap mutu sekolah yang cenderung akan
menurun, seperti rendahnya mutu proses pembelajaran dan mutu lulusan.

2. Kinerja Tenaga Pendidik dan Kependidikan


Guru memiliki peran strategis dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Guru memegang peran penting dalam peningkatan kualitas pembelajar-
an/pengajaran dan hasil pendidikan. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya pada bagian
kelima Pasal 32 ayat 2, menyatakan pembinaan dan pengembangan profesi
meliputi empat kompetensi: (a) pedagogik; (b) kepribadian: (c)
profesional: (d) sosial. Di samping itu, guru dituntut harus memenuhi
kualifikasi minimal yang dibuktikan dengan ijazah S1 di bidang
pendidikan. Pemenuhan syarat kompetensi minimal dibuktikan dengan
adanya sertifikat keahlian/kompetensi.

34
Secara spesifik, temuan di lapangan menunjukkan bahwa guru
masih cenderung berorientasi pada penyampaian materi (subject matter
orientation) dan kurang mendorong keaktifan siswa (students centered).
Lebih lanjut, guru di sekolah kejuruan masih kurang terampil dalam
mengajarkan pelajaran produktif yang diampunya (Firdausi & Barnawi,
2012: 17-18). Lebih lanjut, data diambil dari lembaga pelatihan
P4TK/VEDC Malang pada tahun 2006 menunjukkan bahwa tentang
pelatihan uji kompetensi guru dari 12 orang peserta yang dinyatakan lulus
cuma 5 orang. Sedangkan pada tahun 2007 dan 2009, dari 12 orang peserta
yang dinyatakan lulus cuma 6 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kompetensi guru SMK masih minim dan cenderung mengalami stagnansi
(tidak berkembang lagi) dari tahun ke tahun. Terkait dengan guru
bersertifikasi di sekolah menengah kejuruan, Firdausi & Barnawi (2012:
44-45) menambahkan bahwa dari hasil riset menunjukkan bahwa
permasalahan yang mendasar yang melekat pada guru sebagai berikut:
1. Kebanyakan guru belum memenuhi kualifikasi minimal untuk
mengajar, baik dari segi ilmu dan keterampilan;
2. Penghasilan guru yang kurang memadai apabila dibandingkan
dengan penghasilan profesi lain. Profesi guru tidak lebih dari sebuah
pekerjaan terpaksa yang dilakukan karena tidak mampu menemukan
pekerjaan lain yang lebih baik. Sebagai contoh, seorang guru akan
segera berpindah pada pekerjaan lain ketika mendapat kesempatan
bekerja di tempat lain yang menjanjikan dan memberikan fasilitas
serta penghasilan yang lebih memadai, menurut mereka, hanya
beberapa guru yang menyenangi dan menekuni profesinya karena
memiliki sumber penghasilan lainnya.
3. Banyak guru yang tidak memiliki standar kualifikasi yang dituntut
oleh masyarakat. Menurut mereka, seorang guru berbeda dengan
profesi lainnya yang lebih mengandalkan keterampilan berelasi.
Guru banyak dituntut bekerja dalam satu tim kerja, berinteraksi
secara intensif setiap hari dengan peserta didik.
4. Guru kurang dihargai karena pekerjaan yang diembannya dianggap
kurang membutuhkan keterampilan yang sangat khusus dan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi profesional.

35
5. Para guru mengatakan apabila program sertifikasi dapat menjawab
persoalan di atas maka proses sertifikasi guru haruslah akuntabel.
Ujian profesi keguruan harus objektif, bebas dari KKN. Jika dalam
ujian sertifikasi guru terbukti tidak lulus, guru tersebut diikutkan
dalam pelatihan kompetensi kejuruan dan diuji kembali pada tahun
selanjutnya, tidak dengan cara membeli dan koneksi. Sehingga
dibutuhkan adanya lembaga atau badan independen yang akan
menilai kompetensi guru.

3. Kinerja Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah


Kepala sekolah sebagai pimpinan dalam sebuah subsistem pen-
didikan, khususnya sekolah menengah kejuruan memiliki tanggung jawab
yang lebih berat dibanding dengan kepala sekolah umum lainnya. Kepala
sekolah kejuruan haruslah seseorang yang tangguh, kreatif, inovatif, dan
responsif terhadap perubahan situasi lingkungan, kebijakan pendidikan,
dan tuntutan pasar kerja. Kompleksitas penguasaan keterampilan yang
harus dikuasai oleh seorang kepala sekolah kejuruan mengharuskannya
untuk memiliki sikap dan keteladanan di antaranya: (1) iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) imajinasi yang kuat, (3) emosi yang
stabil, (4) mampu hidup dalam menghadapi kegagalan, (5) berpikir
terbuka, (6) rendah hati (bukan berarti rendah diri), (7) mempunyai
pemikiran yang sabar dan tekun, (8) disiplin, (9) memperhitungkan
efektivitas dan efisiensi, (10) memiliki rasa humor dan berjiwa seni.
Dalam tataran hubungan kerja seorang pemimpin harus mampu (1)
berpikir secara sistem dalam segala hal, (2) mengambil keputusan dalam
situasi yang sangat kritis, (3) mengelaborasi sikap dan tingkah laku sesuai
dengan lingkungan, (4) menguasai kondisi lingkungan keamanan.
Sedangkan dalam tataran intelektual dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial, seorang pemimpin harus: (1) mampu membentuk hubungan pribadi
dan mampu melaksanakan pembinaan agar terjadi hubungan yang baik dan
saling menguntungkan, (2) menguasai pengetahuan tentang kehidupan
sosial dan sejarah, (3) dapat memberikan motivasi untuk bekerja secara
lintas budaya yang dapat diterima, (4) selalu berkeinginan untuk
menambah pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi yang lebih baru, dan

36
(5) mempunyai kepekaan terhadap kondisi lingkungan sosial dan alam
(Suradinata, 1997: 54-55).
Di sisi lain, kontradiksi yang terjadi di lapangan seperti yang
dilaporkan oleh Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, dalam
tajuk laporan Bank Dunia tanggal 23 September 1998 tentang pendidikan
di Indonesia, disebutkan bahwa kelemahan sistem penyelenggaraan
pendidikan nasional Indonesia berada pada dua komponen yaitu komponen
pengelola pendidikan dan komponen pengelola sekolah. Kelemahan kedua
komponen tersebut mengindikasikan bahwa secara manajerial sekolah
belum kuat dan stabil. Isi pokok laporan Bank Dunia tersebut (Jalal &
Supriadi, 2001: 158) secara konkret berkaitan dengan lemahnya peranan
kepala sekolah yang belum efektif dalam mengelola lembaganya. Hal
tersebut dikarenakan: (1) pada umumnya kepala sekolah (khususnya
sekolah negeri) memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam
mengalokasikan sumber daya, (2) kepala sekolah secara individu, kurang
memiliki keterampilan mengelola sekolah dengan baik, (3) kecilnya
pelibatan peran masyarakat dalam pengelolaan sekolah, padahal perolehan
dukungan dari masyarakat merupakan keterampilan sosial yang harus
dimiliki kepala sekolah.
Lebih lanjut, Murniati (2005: 185-187) mengemukakan penyebab
lemahnya kepemimpinan kepala sekolah jika ditelaah selama ini
dikarenakan: (1) tidak adanya otonomi yang diberikan pemerintah untuk
menerjemahkan kebutuhan sekolah, (2) tidak ada realisasi terhadap
rencana yang telah ditetapkan, (3) kemampuan memimpin kepala sekolah
itu sendiri, (4) sistem pembinaan dan pengawasan yang minim, (5) sistem
penyelenggaraan pendidikan nasional yang sering berubah seiring
bergantinya kepemimpinan dan lain sebagainya. Kepala sekolah belum
mampu melakukan improvisasi terhadap tugasnya jika segala situasi
tersebut menyulitkan sekolah untuk menangkap keinginan stakeholder dan
pelanggan pendidikan. Sekolah menjadi terasing dari lingkungannya, maka
pada saat itu juga sekolah tidak lagi menjadi sumber transformasi bagi
perubahan kehidupan masyarakat.
Seorang kepala sekolah dituntut tidak hanya menguasai konsep
manajerial tapi mampu bertindak sebagai pendidik (educator), pengawas
(supervisor), pemimpin (leader), administrator, inovator dan motivator

37
dalam menjalankan tugasnya. Sebagai seorang pengawas internal sekolah
dibantu oleh pengawas sekolah sebagai pengawas eksternal sekolah
haruslah mengawasi pengelolaan sekolah dengan baik dan bertanggung
jawab. Kepala sekolah dan pengawas sekolah harus berperan sebagai
pembimbing bukan pencari kesalahan para guru dan staf. Dengan
demikian, lingkungan bermutu akan terbentuk dengan spektrum yang jelas,
terarah dan harmonis.
Dalam praktiknya, Sagala (2012: 38) menambahkan bahwa
perkembangan sekolah sedikitnya terhambat dikarenakan hasil kerja
pengawas setelah melakukan kunjungan ke sekolah yang menjadi
tanggung jawab tugasnya diserahkan ke Dinas Pendidikan di mana semua
hasil kerja para pengawas tersebut disimpan dan diarsipkan sehingga
ketika Dinas Pendidikan menyusun rencana strategis hasil kerja pengawas
tidak menjadi bahan pertimbangan yang penting untuk menyusun rencana
kerja selanjutnya sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan yang lebih
baik.

4. Kompetensi Peserta Didik dan Lulusan SMK


Sekolah menengah kejuruan memegang amanah undang-undang
dalam menyediakan peserta didik berkompetensi pada bidang tertentu
dalam rangka menyiapkan tenaga terampil untuk memajukan bidang
industri dan usaha di Indonesia. Tilaar (1997: 143-144) merumuskan visi
pendidikan dan pelatihan nasional 2020 yang diidentifikasikan dalam
enam faktor utama yang menentukan kemajuan bangsa. Pertama, potensi
manusia Indonesia perlu dikembangkan. Hal ini perlu dilakukan karena
pendidikan Indonesia dewasa ini belum sepenuhnya mengembangkan
potensi yang ada pada manusia Indonesia. Keterbatasan dana, prasarana,
serta tenaga pendidik yang belum berkompetensi menjadi penghalang
dalam pengembangan potensi anak Indonesia. Dalam kaitannya,
penyediaan dana untuk pendidikan dan pelatihan nasional haruslah
menjadi prioritas utama dalam rencana strategis pembangunan nasional di
masa mendatang. Visi ini menegaskan bahwa betapa pentingnya
pengalokasian dana masyarakat dan Negara untuk pendidikan dan
pelatihan agar dapat menunjang perwujudan visi tersebut seperti yang telah
dilaksanakan negara-negara Macan Asia.

38
Kedua, pengembangan manusia Indonesia diarahkan pada identitas
bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Sebagaimana telah diuraikan
selama proses globalisasi, masyarakat Indonesia mulai kehilangan
identitasnya. Masyarakat Indonesia cenderung mengikuti budaya asing
baik berupa fashion, makanan, lagu, dan budaya hidup lainnya yang tidak
sesuai dengan akar budaya Indonesia. Hal tersebut dapat mengancam
eksistensi bangsa Indonesia yang tercantum dalam amanat Pancasila.
Seharusnya anak-anak Indonesia dibesarkan dalam lingkungan budaya
Indonesia yang sehat.
Ketiga, manusia Indonesia yang religius dan bermoral. Pe-
ngembangan potensi manusia Indonesia di dalam masyarakat modern yang
ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah secara
sadar diarahkan pada pembentukan karakter yang religius dan bermoral.
Masih ada kemungkinan pendidikan nasional berhasil membawa penerus
bangsa menjadi religius namun kita tetap harus waspada agar tidak
terperangkap dalam pandangan fundamentalis, hedonisme, premanisme,
apatisme dan egosentris. Di dalam kehidupan bangsa dan masyarakat
Indonesia yang bhineka diperlukan sikap toleransi, saling menghormati
dan peduli sesama sehingga tingkat kriminalitas, terorisme serta kerusuhan
dapat diminimalisir. Ironisnya, saat ini kita melihat yang terlibat
kerusuhan, pencurian, geng motor adalah mereka yang masih tercatat
sebagai peserta didik di sekolah menengah. Hal ini tentunya tidak perlu
terjadi jika nilai keagamaan, toleransi dan saling menghormati sudah
ditanamkan dalam diri anak sejak kecil.
Keempat, pendidikan nasional manusia Indonesia perlu diarahkan
pada terwujudnya industri maju. Artinya, kehidupan masyarakat yang akan
datang adalah masyarakat industri yang ditunjang oleh perkembangan
sains dan teknologi. Manusia Indonesia haruslah diarahkan pada
pengembangan potensinya untuk meraih, mengembangkan, serta
menerapkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia
pendidikan untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia. Hanya
masyarakat industri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dapat membawa masyarakat Indonesia ke arah masyarakat adil dan
makmur sebagaimana yang dicita-citakan di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.

39
Kelima, menempatkan masyarakat Indonesia sejajar dengan Negara-
negara industri maju lainnya di kawasan Asia-Pasifik. Seperti yang kita
ketahui, para pakar berasumsi bahwa kawasan Asia-Pasifik menjadi akan
menjadi pusat perkembangan dunia di milenium ketiga. Oleh karenanya,
Indonesia haruslah menyiapkan generasi muda Indonesia yang cerdas,
kreatif dan berakhlak mulia dalam menyambut masa depan tersebut. Sudah
tentunya pencapaian tujuan ini tidak dapat sekaligus tercapai, namun
sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki potensi untuk maju karena
ditunjang oleh sumber daya alam yang melimpah serta dengan adanya
sumber daya manusia yang disiapkan dengan baik dan terarah, maka
masyarakat Indonesia yang industrial maju tentunya dapat terwujud.
Dalam kaitannya dengan pengembangan potensi peserta didik
kejuruan, siswa SMK perlu dibekali dengan pendidikan kecakapan hidup
(life skill education) dan pola pendidikan berbasis luas (broad based
education/BBE). Hal tersebut dimaksudkan agar siswa SMK memiliki
keterampilan atau kecakapan yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah ataupun memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
sehingga secara efektif siswa mampu menemukan solusi dari masalah yang
dihadapi terutama menyangkut kecakapan dalam kehidupan, mencari dan
menciptakan lapangan pekerjaan.
Kecakapan hidup tersebut, secara garis besar dibagi dua yaitu
general life skill dan specific life skill. Kecakapan umum terkait dengan: 1)
kecakapan mengenal potensi dan kemampuan yang dimilikinya, baik
berupa kecerdasan, sosial, komunikasi, seni maupun psikomotorik, 2)
kecakapan berpikir, mengenal, memahami, mengurai, dan memecahkan
masalah, kecakapan sosial, membina hubungan sosial, dan mampu bekerja
sama dengan orang lain. Adapun kecakapan khusus meliputi kecakapan
akademik seperti kecakapan untuk melanjutkan, mengkaji dan
mengembangkan ilmu, kecakapan vokasional yaitu kecakapan untuk
bekerja (Sukmadinata, Jami‘at, Ahman, 2012: 39).
Berangkat dari dasar visi yang ingin dicapai di atas, SMK sebagai
salah satu wadah penyedia tenaga menengah terampil idealnya harus
berhasil mencetak peserta didik yang berkompetensi dalam dunia usaha
dan industri. Namun, realita yang terjadi melihatkan bahwa SMK belum
siap dalam menyediakan tenaga yang terampil. Hal tersebut terlihat dari

40
kurang cakapnya peserta didik ketika diterjunkan dalam dunia usaha dan
industri dikarenakan secara praktis mereka tidak dihadapkan langsung
pada situasi kerja nyata sehingga mereka mengalami kesulitan ketika
praktik kerja nyata. Selanjutnya, angka daya serap lulusan SMK di dunia
kerja, usaha dan industri masihlah minim sehingga mereka lebih banyak
memilih melanjutkan pendidikan tinggi ke perguruan tinggi. Hal tersebut
sungguh disayangkan. Seharusnya mereka harus dapat terserap di dunia
usaha dan industri. Oleh karenanya, pemerintah, pengelola SMK, serta
stakeholders lainnya perlu membuat terobosan dan kebijakan yang
memprioritaskan permasalahan yang disebut di atas.

5. Hubungan Sekolah dengan Birokrasi Pemerintah dan


Stakeholders Lainnya
Sekolah Menengah Kejuruan sebagai sebuah sistem terbuka tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan eksternalnya. Sekolah haruslah mampu
menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan pemerintah dan
stakeholders lainnya dalam menunjang berbagai kegiatan, strategi dan
program pengembangan sekolah. Hubungan saling menguntungkan
(simbiosis mutualisme) harus dibina dengan baik dalam rangka mengawal
dan meningkatkan mutu pendidikan. Keterlibatan birokrasi pemerintah
dalam dunia pendidikan sebagai pemangku kebijakan pendidikan memberi
dampak positif dan negatif terhadap perkembangan sekolah. Secara positif,
keberadaan birokrasi pemerintah sangat berperan sebagai lembaga
pengawas, audit, dan evaluasi eksternal terhadap dunia pendidikan
sehingga tingkat penyelewengan dana pendidikan dapat diminimalisir dan
kebijakan sekolah dapat dipantau oleh birokrasi pemerintah. Negatifnya,
rumitnya proses kebirokrasian menjadi masalah sendiri bagi sekolah.
Sebagai contoh, seringkali usulan perbaikan dan perawatan sarana
prasarana serta sumber penunjang pendidikan lainnya yang diajukan
sekolah kepada pemerintah bahkan diajukan setiap tahun sering tidak ada
respons cepat dan penyelesaian yang memadai dari birokrasi pemerintah.
Dengan kata lain, meskipun sistem sentralistik pendidikan telah
tergantikan dengan desentralisasi pendidikan namun dalam praktiknya
sekolah masih terlibat dalam proses sentralistik dari pemerintah daerah ke
sekolah. Lebih lanjut, Sagala (2012: 37) mengemukakan bahwa:

41
Dilihat dari posisi kepala sekolah di hadapan birokrasi pemerintah
seperti birokrasi Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota,
birokrasi ini tidak banyak memberi dorongan terhadap peningkatan
kualitas pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan birokrasi antara bawahan dan atasan. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan para birokrat pendidikan pada pemerintah
daerah menempatkan diri sebagai atasan yang dapat mengambil
kebijakan yang mengancam posisi kepala sekolah. Kepala sekolah
dapat saja diusulkan oleh kepala dinas kepada bupati/walikota untuk
diganti dalam waktu-waktu yang mengejutkan. Hal tersebut
menempatkan kepala sekolah pada posisi yang gamang, tidak dapat
melaksanakan tugasnya dengan optimal, tidak ada jaminan program
menjadi memadai dari dinas pendidikan maupun pemerintah daerah.
Keberadaan dinas pendidikan dan pemerintahan daerah seharusnya
menempatkan kepala sekolah sebagai profesi profesional. Kepala sekolah
adalah orang yang secara prasyarat dan kompetensi memang layak menjadi
kepala sekolah, bukan berdasarkan nepotisme politik dan sebagainya.
Perlakuan tersebut berkontribusi terhadap pelemahan institusi sekolah dan
menurunnya mutu pendidikan.
Lebih lanjut, keberadaan stakeholders dalam menunjang kegiatan
pembelajaran bagi sekolah menengah kejuruan cenderung tidak stabil. Hal
tersebut didorong oleh rendahnya kreativitas pihak pengembang sekolah
dalam menjalin kerja sama dengan pihak eksternal sekolah dan masih
kurang berkompetensinya peserta didik yang menyebabkan dunia usaha
dan industri yang prestisius enggan menjalin kerja sama dengan SMK.
Terlebih partisipasi DU/DI terhadap pembiayaan pendidikan kejuruan
yang disalurkan melalui pemerintah juga masihlah rendah. Hal tersebut
perlu disikapi oleh pengelola pendidikan kejuruan dengan mencari
alternatif-alternatif dan terobosan-terobosan baru untuk mendongkrak
pembinaan hubungan kerja sama dengan stakeholders pendidikan lainnya.

6. Akuntabilitas Pengelolaan Pendidikan


Pemberlakuan desentralisasi pendidikan terasa lebih mudah bagi
dunia pendidikan karena semua biaya pendidikan semua jenjang
pendidikan ditanggung pemerintah. Dengan adanya kebijakan dana
bantuan operasional sekolah (BOS) seharusnya dapat memicu akselerasi

42
kemajuan pendidikan. Namun, berbagai penyimpangan yang terjadi saat
ini bukanlah terletak pada tingkat pembuat kebijakan tapi terletak pada
kesalahan (human error) yang dibuat pihak yang menjalankan kebijakan
itu sendiri. Sebagai contoh, berbagai undang-undang, persyaratan dan
peraturan pemerintah dan menteri telah dibuat dalam hal pengelolaan dana
BOS, namun dana tersebut sering diselewengkan oleh pihak pengelola
sehingga tidak tepat sasaran yang berakhir dengan hukuman pidana bagi
tim pengelola dana BOS.
Terlebih dalam praktiknya, pembuatan RKAS (Rencana Kegiatan
dan Anggaran Sekolah) hanya melibatkan beberapa orang saja yang
menjadi kepercayaan kepala sekolah. Hal tersebut menimbulkan kesan
tertutup bagai warga sekolah lainnya. Begitu juga dengan laporan
penggunaan dana BOS yang biasanya ditempel di papan informasi sekolah
secara numerik cenderung tidak sesuai dengan realita yang terjadi di
lapangan sehingga terjadi kasus jika ada guru atau siswa yang kritis
menanyakan pengalokasian dana tersebut maka siswa tersebut terancam
dimutasi atau dikeluarkan dari sekolah. Makna akuntabilitas dan
transparansi pembiayaan pendidikan dalam beberapa kasus hanya bersifat
semu dan berjalan setengah hati. Hal tersebut sangat merugikan bangsa.
Seharusnya amanat yang diembankan untuk mencerdaskan anak bangsa
haruslah benar-benar dikelola dengan landasan kejujuran dan tepat sasaran.

7. Manajemen Sekolah yang Belum Stabil


Laporan Bank Dunia yang bertajuk Education in Indonesia: From
Crisis to Recovery, September 1998, menurut Sumarno, et al. (Jalal &
Supriadi, 2001: xiiv), dalam laporannya mewakili kelompok kerja filosofi
dan kebijakan pendidikan untuk reformasi pendidikan telah meng-
identifikasi isu-isu strategis yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia
ke dalam lima kategori: (1) terbatasnya kemampuan dan komitmen
masyarakat dalam pendidikan, (2) lemahnya kemampuan sistem
pendidikan nasional, (3) desentralisasi pendidikan, (4) relevansi
pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, dan (5) akuntabilitas
pendidikan. Bank Dunia kemudian mencatat tiga faktor yang
menyebabkan manajemen sekolah tidak efektif di antaranya (1) umumnya
kepala sekolah memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam mengelola

43
sekolah dan memutuskan pengalokasian sumber daya; (2) kepala sekolah
diindentifikasi kurang memiliki keterampilan mengelola sekolah dengan
baik; dan (3) kecilnya peran serta masyarakat merupakan bagian dari peran
kepemimpinan kepala sekolah.
Lebih lanjut, Sagala (2012: 38) mengemukakan bahwa secara umum
masalah yang dihadapi sekolah antara lain (1) administrasi sekolah yang
belum dibenahi dengan baik. Sebagai contoh data profil sekolah yang
kurang dinamis; (2) team working sekolah yang lemah yaitu sebagian
pejabat sekolah sulit berkoordinasi dengan para guru dan personal lainnya
dalam melaksanakan strategi sekolah; (3) kurangnya kelengkapan
kearsipan sekolah. Hal ini dapat dilihat dari SOTK sekolah, dan peta
sekolah dan profil sekolah yang masih menggunakan data lama; (4)
kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan pendidikan di
daerahnya; (5) kurangnya fasilitas dan kelengkapan belajar di kelas; (6) di
beberapa daerah rendahnya kualitas sumber daya manusia dari masyarakat
sekitar karena rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah. Akibatnya
pola pikir masyarakat yang lebih mengutamakan untuk bekerja memenuhi
nafkah keluarganya, sehingga tidak memiliki kesempatan yang memadai
memperhatikan pendidikan; (7) kesibukan masyarakat terdidik di sekolah
dalam menjalankan aktivitas, sehingga hampir tidak ada waktu luang
untuk bersama-sama memikirkan kemajuan sekolah di sekitarnya; (8)
karang taruna sebagai wadah bagi pemuda desa untuk mengembangkan
kreativitas dalam menunjang pembangunan desa, tidak diberi peran yang
berarti untuk kemajuan sekolah; dan (9) hal lainnya yang memungkinkan
dapat mendorong kemajuan sekolah.
Irianto (2012: 210) mengemukakan berbagai masalah yang dapat
menghambat mutu pendidikan yang terkait dengan sistem manajemen
sekolah antara lain:
1. Pengadaan, distribusi, penertiban, perbaikan, dan pemeliharaan
tanah, gedung, perabot, dan alat peraga sekolah yang bervariasi,
tidak berdasarkan standardisasi;
2. Masih lemahnya manajemen aset oleh pemerintah daerah sehingga
masih banyak fasilitas pendidikan yang belum memiliki bukti
hukum;

44
3. Masih banyaknya sekolah yang kekurangan buku paket dan alat
peraga edukatif;
4. Masih lemahnya sistem manajemen SDM guru dan tenaga pengelola
pendidikan;
5. Masih belum meratanya distribusi guru;
6. Masih kurangnya guru beberapa mata pelajaran;
7. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru dan tenaga
kependidikan lainnya;
8. Kurikulum pendidikan yang terlalu teoretis, kurang praktis dan
konstektual;
9. Masih sulitnya mengembangkan sekolah kejuruan di daerah yang
berorientasi pada potensi daerah setempat untuk memenuhi peluang
pasar kerja tingkat daerah, nasional, maupun untuk pasar kerja
internasional;
10. Pembiayaan dan anggaran penyelenggaraan satuan pendidikan
masih belum didasarkan pada perhitungan satuan biaya operasional
secara faktual;
11. Mekanisme sistem penganggaran belum didasarkan pada sistem
pemetaan alokasi (budget mapping alocation) untuk kebutuhan
setiap penyelenggaraan satuan program pendidikan. Walaupun
sudah dibantu dengan dana BOS, masih belum bisa mengangkat
persoalan-persoalan pembiayaan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan;
12. Masih lemahnya kemampuan administratif dan manajerial para
pengelola satuan pendidikan;
13. Partisipasi dunia usaha terhadap pembiayaan program-program
pendidikan yang disalurkan melalui pemerintah masih rendah.
Partisipasi yang baru dilakukan hanya disalurkan sendiri terhadap
lembaga-lembaga ―binaan‖ dunia usaha itu sendiri
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas
sekolah di Indonesia cenderung belum mampu mengelola manajemen
sekolahnya dengan baik. Hal tersebut menyebabkan banyaknya program,
strategi dan kegiatan sekolah yang berjalan tidak sesuai dengan rencana,
tujuan, visi, dan misi sekolah. Pembekalan dan pelatihan manajerial dan
administrasi sekolah tentunya dipandang penting untuk memperbaiki
tataran pengelolaan persekolahan di Indonesia.

45
C. Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan
Sekolah menengah kejuruan merupakan sekolah yang dirancang
untuk mempersiapkan pelaku-pelaku ekonomi menengah profesional
Indonesia yang mampu bersaing secara kompetitif di era globalisasi.
Berangkat dari tujuan dasar pendidikan kejuruan, diharapkan pendidikan
kejuruan mampu menjawab segala tantangan global. Oleh karenanya,
penyelenggaraan pendidikan kejuruan harus didukung oleh sumber daya
yang memadai baik sumber daya manusia, material dan non material.
Sinkronisasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan kejuruan perlu
didukung dengan pemberdayaan sekolah menengah kejuruan secara
maksimal. Sekolah menengah kejuruan perlu dilibatkan dan diberi
kesempatan dalam serangkaian kegiatan ekonomi menengah pada masing-
masing daerah sehingga pengembangan pendidikan kejuruan dapat tepat
sasaran dan berdayaguna.
Pemberdayaan (empowerment) merupakan upaya pengoptimalan
pendayagunaan sumber daya yang tersedia dalam sebuah organisasi.
Pemberdayaan merupakan suatu proses untuk menjadikan orang menjadi
lebih berdaya atau lebih berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri dengan memberi kepercayaan dengan kewenangan yang menjadi
tanggung jawabnya dengan demikian seseorang mampu membuat
keputusan yang lebih besar (Wibowo, 2016: 350).
Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan pemberdayaan
merupakan hal vital yang perlu dipersiapkan dalam mengembangkan
sebuah organisasi. Pertama, lingkungan eksternal telah berubah seiring
perkembangan inovasi teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini yang
menuntut kesetaraan kompetensi, serta permintaan yang tetap atas kualitas
yang lebih tinggi dan nilai yang lebih baik dan tumbuhnya masalah ekologi
yang menjadi masalah tersendiri sebagai bias kemajuan industri. Kedua,
karena orangnya sendiri berubah. Bakat dan kecerdasan orang lebih
memberi kontribusi positif terhadap perkembangan organisasi
dibandingkan dengan keberadaan faktor non manusia lainnya (Smith,
2000: 5).
Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan aset utama
organisasi yang keberadaannya tidak dapat digantikan oleh sumber daya
lainnya termasuk kemajuan teknologi. Keberadaan sumber daya manusia

46
menjadi bagian penting dalam siklus dinamika organisasi. Eksistensinya
menjadi cerminan profil dan performance sebuah organisasi. Oleh
karenanya, dibutuhkan strategi pengembangan sumber daya manusia yang
tepat melalui peningkatan mutu sumber daya manusia itu sendiri.
Peningkatan mutu sumber daya manusia dapat dilakukan melalui berbagai
cara dan upaya, salah satunya pre-service education maupun in-service
education (Yuniarsih & Suwatno, 2013: 71). Interelasi antara strategi
pendidikan dengan upaya pemecahan masalah sumber daya manusia
diilustrasikan melalui gambar berikut.

QUALITY

NEEDS
COMPETENCIES

TRAINING HRD KNOWLEDGE QUALITY


AND SKILLS IMPROVEMENT

CARRIER
PROSPECTS PROFESIONALISM

Gambar 2.4 Strategi Pendidikan terhadap Solusi Sumber Daya Manusia


(Sumber: Gaffar, Moch, Fackry, 2007 (Yuniarsih & Suwanto, 2013: 71)).

Berdasarkan skema di atas, dapat disimpulkan bahwa kualifikasi


sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui penyelenggaraan
pelatihan, peningkatan ilmu pengetahuan dan keterampilan agar
terbentuknya jiwa profesionalisme dan perbaikan kualitas sehingga
memberi dampak positif terhadap prospek pengembangan karier dan
pemenuhan kebutuhan.
Pelatihan dan peningkatan ilmu pengetahuan merupakan upaya
penting dalam mengembangkan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja.
Sikula (1981) dalam Yusuf (2015: 141) mendefinisikan pelatihan sebagai
berikut: ―development is a longterm educational process utilizing a
systematic and organized procedure by which mangerial personnel learn
conceptual and theoretical knowledge for general purposes.”

47
Pendidikan berbeda dengan pelatihan. Pendidikan lebih bersifat
filosofis dan teoretis. Pendidikan dan pelatihan memiliki tujuan yang sama,
yaitu pembelajaran. Dalam pembelajaran terdapat pemahaman secara
implisit. Melalui pemahaman, karyawan dimungkinkan untuk menjadi
seorang inovator, pengambil inisiatif, pemecah masalah yang kreatif, dan
menjadi karyawan yang efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan.
Adapun perbedaan pengembangan dan pelatihan tersaji dalam tabel
berikut.

Tabel 2.4 Perbandingan antara Pengembangan dan Pelatihan


Pengembangan Pelatihan
Fokus Masa depan Saat ini
Penggunaan pengalaman Tinggi Rendah
kerja
Tujuan Persiapan untuk Persiapan untuk pekerjaan
perubahan saat ini
Partisipasi Sukarela Wajib

Tujuan dan manfaat pelatihan yang dikemukakan oleh Sanyoto


(2012: 140-141) antara lain:
1. Memperbaiki kinerja. Diharapkan setelah mengikuti pelatihan
kinerja dan produktivitas dari karyawan akan semakin meningkat
dikarenakan peningkatan keterampilan dan pengetahuan.
2. Memutakhirkan keahlian para karyawan. Melalui pelatihan
memastikan bahwa karyawan dapat secara efektif menggunakan
teknologi baru.
3. Mengurangi waktu belajar. Diharapkan dengan pelatihan akan
mengurangi waktu belajar atau proses adaptasi dari karyawan baru
maupun karyawan lama pada posisi baru.
4. Memecahkan masalah operasional. Serangkaian pelatihan dalam
berbagai bidang yang diberikan oleh perusahaan akan membantu
karyawan dalam memecahkan masalah organisasional dan
melaksanakan pekerjaan secara efektif.
5. Promosi karyawan. Salah satu cara menarik, menahan, dan
memotivasi karyawan adalah melalui program pengembangan karier
yang sistematik.

48
6. Orientasi karyawan terhadap organisasi. Hal ini sebagai upaya untuk
memberikan kesamaan visi dan misi perusahaan di antara sesama
karyawan sehingga memiliki pandangan yang sama terhadap
organisasi dan pekerjaan.
7. Memenuhi kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan
pengembangan dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan
aktivitas yang menghasilkan efektivitas organisasional yang lebih
besar dan meningkatkan pertumbuhan pribadi bagi semua karyawan
di dalam perusahaan.
Secara spesifikasi, pemberdayaan sekolah menengah kejuruan perlu
memberdayakan budaya perubahan di mana fokus terhadap perubahan
paradigma menjadi lebih positif.

Tabel 2.5 Perubahan Paradigma Pemberdayaan (Wibowo, 2016: 357)


No. Dari Menjadi
1. Pelanggan adalah jahat Pelanggan adalah raja
2. Pekerja takut akan kegagalan dan Pekerja percaya tentang mengambil
perubahan risiko, dan belajar melihat
perubahan sebagai tantangan
3. Gagasan baru dipandang dengan Semua gagasan dihargai dan diberi
kecurigaan pertimbangan
4. Kritik dinyatakan dengan bebas Pujian diberikan dengan bebas
5. Masalah dilihat sebagai tanda Masalah dipandang sebagai peluang
kegagalan untuk pengembangan
6. Keputusan penting dibuat secara Setiap orang dilibatkan dalam
rahasia pengambilan keputusan penting
7. Akses untuk informasi terbatas Setiap orang punya akses informasi
8. Manajer berpikir mereka tahu Manajer menerima bahwa pekerja
semua tentang hal organisasi mungkin tahu lebih
9. Terdapat hambatan antara manajer Manajer punya hubungan kerja
dengan tim efektif dengan timnya
10. Terdapat hambatan antara Departemen dengan tim yang
departemen dengan tim yang berbeda bekerja sama dengan baik
berbeda

49
BAB III
ESENSI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
(SMK) SEBAGAI ORGANISASI PENDIDIKAN

A. Komponen Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan


Organisasi merupakan wadah berkumpulnya sejumlah orang untuk
mencapai tujuan bersama. Organisasi merupakan kesatuan sosial atau unit
sosial yang dibentuk secara sengaja dengan adanya ikatan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu atau pengelompokan manusia yang sengaja dibentuk
dan didesain kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan tertentu ((Etzioni, 1985) dalam Sagala (2012: 78)). Sekolah
sebagai sebuah organisasi pembelajar merupakan organisasi yang: (1)
mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu
terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;(2)
memperluas budaya belajar sampai pada pelanggan, pemasok, dan
stakeholder lain yang signifikan; (3) menjadikan strategi pengembangan
sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis; dan (4) berada dalam
proses transformasi organisasi secara terus menerus (Dale, 2003). Oleh
karenanya, diperlukan prasyarat dalam merancang organisasi pembelajar
seperti keahlian pribadi (personal mastery), model mental (mental model),
visi bersama (shared vision), pembelajaran tim (tim learning); dan
pemikiran sistem (system thinking) (Senge: 1990, dalam Muhaimin, et al.,
2012: 90). Lebih lanjut, Yunarningsih & Suwatno (2013: 45) menjabarkan
hakikat organisasi pembelajaran dalam gambar 3.1 berikut.

50
SIKAP DAN
KEYAKINAN

Wilayah perubahan
yang abadi (siklus
belajar yang dalam)

KEAHLIAN DAN KESADARAN DAN


KEMAMPUAN KEYAKINAN

Gambar 3.1 Hakikat Organisasi Pembelajar


Sumber: Senge, et al. (2001) dalam Yuniarsih & Suwanto (2013: 45)

Gambar di atas menunjukkan bahwa hakikat organisasi pembelajar-


an merupakan siklus dari sikap-keyakinan, keyakinan-kesadaran, dan
keahlian-kemampuan dari seluruh wilayah perubahan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sekolah menengah kejuruan sebagai tempat
terjadinya proses pembelajaran akan terus mengalami perubahan yang
terus menerus sehingga terbentuklah integrasi kesadaran, kemampuan dan
keahlian baru.
Kunci keberhasilan sekolah menengah kejuruan sebagai sebuah
organisasi terletak pada partisipasi aktif seluruh elemen sekolah,
kepemimpinan yang kuat, budaya sekolah yang baik, mengutamakan
pelayanan siswa, peka terhadap perkembangan sistem informasi dan
teknologi, pembiayaan yang efektif, produktif, efisien dan transparan,
menghargai prestasi siswa berdasarkan minat dan bakat masing-masing,
serta terpenuhinya harapan pelanggan (pengguna jasa pendidikan). Hal
tersebut mustahil dicapai jika sekolah tidak didukung dengan
pengorganisasian yang baik. Pengorganisasian diartikan sebagai kegiatan
pembagian tugas pada personal yang terlibat dalam sebuah organisasi.
Semua elemen yang terlibat langsung dengan sekolah diberi tugas dan
fungsi sesuai keahliannya. Sebesar apapun keputusan dan kebijakan yang
diambil dalam lingkungan sekolah harus melibatkan warga sekolah,
dengan demikian warga sekolah akan merasa memiliki sekolah.
Sekolah merupakan salah satu lembaga formal yang didukung oleh
sumber daya sebagai dasar pengembangan sekolah. Sumber daya sekolah
secara umum dapat dibedakan ke dalam dua hal, yaitu sumber daya

51
manusia dan sumber daya non manusia. Sumber daya yang dimiliki oleh
organisasi dapat dikategorikan atas enam tipe sumber daya yaitu: manusia
(man), finansial (money), fisik (material), mesin/teknologi (machine),
metode (method), pasar (market) (Sunyoto, 2012: 3). Sumber daya
manusia (warga sekolah) merupakan central point pengembangan sekolah.
Sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang
memiliki akal, perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan, dorongan,
daya dan karya. SDM sangat berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam
mencapai tujuan. Betapapun majunya teknologi, perkembangan informasi,
tersedianya modal dan memadainya bahan, jika tanpa didukung oleh
sumber daya manusia, sulit bagi organisasi itu untuk mencapai tujuannya
dan terus berkembang (Sutrisno, 2010: 3).
Faktor keunggulan bersaing, kemampuan organisasi dan sumber
daya yang dimiliki baik sumber daya berwujud seperti fisik, keuangan, dan
sumber daya yang tidak berwujud seperti keahlian manusia, teknologi, dan
reputasi menjadi modal dasar yang kuat bagi setiap SMK dalam
menetapkan strategi tepat dalam memberdayakan organisasinya (Murniati
& Usman, 2009: 146). Skema saling keterkaitan antara sumber daya dan
keunggulan bersaing dapat digambarkan sebagai berikut.

sumber daya
berwujud (fisik
kemampuan dan keuangan)
keunggulan
(rutinitas Sumber daya
bersaing sumber daya tak
Organisasi)
berwujud
(keahlian manusia,
teknologi, reputasi

Gambar 3.2 Sumber Daya, Kemampuan, dan Keunggulan Bersaing (Craig


dan Grant (2004: 50), dalam Murniati & Usman, 2009: 147).

Bagan di atas menunjukkan bahwa sekolah perlu menyiapkan


strategi penetapan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya agar mampu
bersaing dengan sekolah lainnya yang menawarkan berbagai keunggulan
yang berbeda sehingga mampu memberdayakan sekolahnya. Hal tersebut
tercermin dari langkah, kegiatan/aktivitas yang dilakukan sekolah sebagai
bagian rutinitas SMK dalam mengoptimalkan fungsi sumber daya yang
tersedia baik berupa fisik maupun non fisik.

52
Sekolah yang memiliki keunggulan bersaing merupakan sekolah
yang telah menjalankan manajemen yang berlandaskan prinsip efektivitas
dan efisiensi. Adapun kriteria yang dibutuhkan dalam mendesain
organisasi sekolah dan usulan untuk mereorganisasikan sekolah yang
efektif dan bermutu menurut Gorton (1976: 112) dalam Sagala (2012: 72)
yaitu: (1) apa yang menjadi tujuan dan rencana organisasi yang diusulkan;
(2) seberapa besar dan jangkauan tanggung jawab tiap-tiap jabatan dalam
organisasi; (3) menggambarkan secara jelas hubungan kewenangan dan
kepengawasan antar jabatan atau individu di sekolah; (4) menggambarkan
secara jelas garis komunikasi antar jabatan di sekolah dan komite sekolah;
(5) menunjukkan koordinasi yang memadai antar orang-orang dan tugas-
tugas dengan program sekolah; (6) tersedianya fasilitas fisik dan bantuan
kesekretariatan serta waktu yang memadai; (7) kepekaan sekolah
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan personal dan sekolah; (8)
pertimbangan profesional untuk menduduki jabatan yang diperlukan, dan
(9) menetapkan nilai, standar pencapaian atau kemajuan ke arah tujuan
sekolah.
Terdapat beberapa proses yang dapat mendukung sekolah menjadi
unggulan/bermutu yang dikemukakan Muhaimin et al. (2012: 72), proses-
proses tersebut meliputi: (1) tidak elistis, menerima, dan memajukan
semua siswa; (2) tidak membatasi kurikulum secara sempit pada yang
dasar, memberikan kurikulum yang fleksibel, dan disesuaikan dengan
kebutuhan siswa; (3) tidak tertuju pada tes (latihan soal-soal) semata,
pencapaian prestasi lebih disebabkan karena mereka dilatih proses berpikir
tingkat tinggi (high order thinking); (4) bekerja tidak terpaku pada
program yang kaku, bekerja atas dasar komitmen, dan kreativitas pegawai;
(5) kepala sekolah tidak otoriter, tetapi memiliki visi mengenai bagaimana
seharusnya sekolah, serta memiliki upaya untuk mewujudkan misi
tersebut; (6) merekrut dan mempekerjakan staf atas dasar keahlian, dan
memiliki prosedur untuk mengeluarkan mereka yang tidak memberikan
kontribusi terhadap misi sekolah; (7) memiliki pengembangan staf yang
intensif; (8) memiliki tujuan yang jelas, penilaian yang baik, serta dapat
memperbaiki kekurangan dan menghindari kesalahan; (9) para guru dan
siswa sama-sama memiliki rasa tanggung jawab dalam pembelajaran; (10)
menempatkan kesejahteraan siswa di atas yang lain; (11) memiliki struktur
yang memungkinkan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
dilakukan secara kelompok, bukan individual; (12) memiliki pemimpin

53
yang menggugah semangat dan partisipasi staf serta menggalang dukungan
pihak luar; (13) merayakan keberhasilan dan memberikan penghargaan
kepada staf dan siswa berprestasi; dan (14) fleksibel dalam hal cara,
namun berpegang teguh pada tujuan.
Sumber daya manusia akan dapat bekerja dengan baik jika ditugas-
kan sesuai dengan bidang keahliannya (the right man on the right place),
adapun ciri-ciri yang harus dipenuhi sebagai berikut (Sutrisno, 2010: 23-
24): (1) menuntut keahlian atau keterampilan yang bervariasi; (2) utuh
sehingga dikatakan memiliki identitas; (3) menentukan keberhasilan kerja
subunit/unit organisasi atau bahkan keberhasilan seluruh per-
usahaan/organisasi; (4) otonom dalam arti memberikan kebebasan kepada
sumber daya manusia untuk menyelesaikan pekerjaan; (5) memberikan
umpan balik kepada sumber daya manusia atas apa-apa yang telah mereka
kerjakan.
Lebih lanjut, Burhan (1997) dalam Muhaimin, et al. (2012: 60)
menggambarkan hubungan kerja sama yang baik dalam sebuah sekolah
sebagai berikut.

Kepemimpinan
situasional

Penekanan Kebanggaan
pada aksi tim

Pengambilan
NILAI-NILAI BERSAMA Tugas yang
keputusan DAN EKSPLISIT jelas
kolaboratif

Komunikasi Umpan balik


lateral dan review
Keterbukaan
dan
keterusterangan

Gambar 3.3 Tim Kerja yang Baik (Burhan: 1997; Muhaimin, 2012: 60)

54
Gambar di atas menjelaskan bahwa hubungan kerja sama yang baik
digambarkan dengan adanya proses hubungan berkelanjutan baik secara
formal maupun informal dengan menjalankan koordinasi dan komunikasi
terarah dalam menjalankan tugas, wewenang dan pengambilan keputusan
(decision making). Semangat kerja sama merupakan fondasi yang kuat
dalam membina sebuah sekolah menuju keeratan hubungan (kohesivitas)
antar warga sekolah yang bermuara pada peningkatan mutu sekolah. Kerja
sama tersebut didesain dalam bentuk tim kerja efektif yang saling
bersinergi guna mencapai tujuan sekolah. Tim tersebut dibentuk atas dasar
kesadaran akan nilai-nilai bersama sehingga terbentuklah satu keyakinan
dan tujuan yang sama dalam mengembangkan sekolah.
Dalam kondisi lingkungan yang sangat kompetitif dengan per-
kembangan yang sangat pesat dewasa ini, memaksa sekolah menengah
kejuruan untuk mengembangkan kreativitas, inovasi, nilai adaptif, kerja
keras, disiplin, dan peduli sesama demi mendorong warga sekolah
menghasilkan produk dan program baru agar dapat memenangkan
persaingan sekolah dan pasar kerja dan dunia usaha. Sehingga SMK harus
didukung dengan struktur organisasi yang jelas, SDM yang kompeten dan
inovatif, budaya sekolah yang sehat, program dan strategi unggulan dan
mekanisme kerja yang produktif.

1. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan


Organisasi merupakan institusi yang memberi nafas pada struktur
organisasi. Organisasi dalam perspektif mutu merupakan sistem yang
dirancang untuk melayani pelanggan. Dalam memenuhi segala kebutuhan
pelanggan yang bervariasi, sekolah perlu membagi tugas seluruh warga
sekolahnya. Sehingga keberadaan struktur sekolah menjadi penting dalam
melancarkan segala kegiatan dan program sekolah. Adapun struktur
pembentuk organisasi pembelajaran terangkum dalam gambar berikut.

55
gagasan-gagasan
Penuntut

Wilayah
tindakan
(arsitektur
organisasi)

Inovasi dalam
infrastruktur teori, metode,
alat-alat

Gambar 3.4 Struktur Bangunan (arsitektur) Organisasi Pembelajaran


(Yuniarsih & Suwanto, 2013)

Gambar di atas menunjukkan bahwa gagasan penuntun berisikan


tujuan didirikan organisasi pembelajaran. Teori, metode, dan alat-alat
adalah esensi materi pembelajaran yang berisi gagasan-gagasan, metode-
metode, dan alat-alat analisisnya. Sedangkan inovasi infrastruktur
merupakan dukungan sumber daya, sehingga proses organisasi
pembelajaran, berjalan lancar, seperti: dukungan pimpinan, waktu, dana,
informasi/data, para pendukung (pakar, praktisi, mitra), komunikasi,
transportasi, akomodasi, dan lainnya (Yuniarsih & Suwanto, 2013: 46).
Struktur organisasi merupakan identitas dan cerminan bagaimana
organisasi memperlakukan diri dan kelompok-kelompok berkepentingan
terhadap organisasinya dengan membentuk hierarki yang menggambarkan
rincian dan spesifikasi bidang tugas yang berkaitan dengan kedudukan,
fungsi-fungsi, perbedaan tugas, dan tanggung jawab serta garis komando
antara atasan dan bawahan yang menjelaskan keterkaitan hubungan kerja
sama, koordinasi, wewenang, dan tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Struktur organisasi itu sendiri
tidak terlepas dari dua hal yaitu:

56
a. Jabatan, yaitu kedudukan-kedudukan yang disediakan bagi orang-
orang yang memenuhi syarat dan keahlian dalam jabatan tersebut,
b. Job, yaitu pekerjaan merencanakan, mengatur, mengarahkan,
melaksanakan, dan mengawasi atas mengendalikan jalannya
kegiatan dalam mencapai tujuan tertentu.
Struktur organisasi dibuat untuk menggambarkan garis koordinasi
antara jabatan dan pekerjaan yang diwenangkan (Samsudin, 2006: 16).
Pada dasarnya struktur organisasi terdiri dari enam macam, yaitu (1) garis,
(2) garis dan staf, (3) fungsional, (4) devisional, (5) organisasi
komite/panitia, dan (6) matriks. Berikut contoh dan penjelasan lebih lanjut
menurut Usman (2013: 202).
1) Struktur Organisasi Garis (Line Authority Structure)
Struktur organisasi garis merupakan struktur organisasi tertua
dan paling sederhana. Dalam struktur organisasi garis anggotanya
relatif sedikit dan sebagai pimpinan puncak organisasi biasanya
pemilik atau pemegang saham yang paling besar atau sering disebut
struktur organisasi militer.

kepsek

wakil

koordinator guru

wali kelas wali kelas wali kelas

Gambar 3.5 Contoh Struktur Organisasi Garis

Keuntungan menggunakan struktur organisasi garis antara lain


(1) sederhana sehingga mudah dipahami, (2) pembagian tugas dan
wewenang cukup jelas (menghilangkan keraguan tanggung jawab
dan wewenang), (3) adanya kesatuan komando sehingga
memudahkan pemeliharaan disiplin dan tanggung jawab, dan (4)
pengambilan keputusan cepat karena komunikasi mudah.

57
Adapun kerugian menggunakan struktur organisasi garis antara
lain (1) tidak luwes, (2) kemungkinan otoriter tinggi, (3)
ketergantungan pada seseorang tinggi hingga mudah kacau kalau
seseorang tidak berfungsi semestinya, (4) terlalu banyak menumpuki
atasan dengan hal-hal kecil dan sangat teknis karena atasan harus
menyetujui kegiatan-kegiatan bawahannya dahulu, dan (5)
merintangi kreativitas bawahan karena bawahan takut ide-idenya
tidak disetujui.
2) Struktur Organisasi Garis dan Staf

kepala sekolah

kepala TU

Wakil Kepala Sekolah

Guru Guru Guru

Gambar 3.6. Contoh Struktur Organisasi Garis dan Staf

Organisasi garis dan staf terdiri atas dua kelompok orang-orang


yang berpengaruh dalam menjalankan roda organisasi. Keuntungan
menggunakan struktur organisasi garis dan staf antara lain
(1)pembagian tugas yang jelas antara orang-orang yang
melaksanakan tugas pokok organisasi dengan tugas penunjang, (2)
keputusan biasanya diambil dengan pertimbangan matang oleh
semua anggota organisasi, (3) kemampuan dan bakat yang berbeda-
beda dapat saling mengisi, (4) ahli-ahli dalam staf dapat
menghasilkan pekerjaan yang bermutu tinggi, (5) penghargaan
terhadap keahlian tinggi, dan (6) mengurangi beban kerja manajer
line dari pekerjaan yang sangat teknis. Adapun kerugian dari
struktur organisasi garis dan staf antara lain (1) orang-orang yang

58
berada dalam garis dihadapkan pada dua atasan, yaitu atasan yang
berhak memerintah dan pimpinan staf yang berhak memberikan
saran, (2) saran staf mungkin kurang tepat dan sukar dilaksanakan,
(3) orang-orang pada garis cenderung mengabaikan saran staf, dan
(4) menimbulkan kekacauan apabila tugas tidak dirumuskan dengan
jelas.
3) Organisasi Fungsional
Organisasi fungsional adalah organisasi yang pembagian
tugasnya disesuaikan dengan bidang keahliannya. Organisasi ini
tidak terlalu menekankan pada hierarki struktural, namun lebih pada
sifat dan fungsi yang akan dilaksanakan. Bawahan dapat menerima
perintah dari beberapa pejabat dan mempertanggungjawabkan nya
pada pejabat masing-masing. Keuntungan menggunakan struktur
organisasi fungsional antara lain (1) spesialisasi menyebabkan
perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik dengan memusatkan
keahlian masing-masing, (2) spesialisasi staf dapat dimanfaatkan
secara optimal (efektif dan efisien), (3) koordinasi mudah
dilaksanakan, (4) kemungkinan pengawasan manajemen puncak
lebih ketat terhadap fungsi-fungsi dan (5) pekerjaan otak berpisah
dengan pekerjaan otot.

kepala
sekolah
produksi

wakasek 1 wakasek 2 wakasek 3

guru guru guru

Gambar 3.7 Contoh Struktur Organisasi Fungsional

4) Struktur Organisasi Devisional


Sebuah organisasi yang besar ditandai dengan adanya banyak
jenis jasa dan produk yang dihasilkan, maka struktur organisasi
fungsional sudah tidak efektif untuk menjalankan roda organisasi.

59
60
Gambar 3.8 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan Produk
direktur
utama

manajer manajer Manajer Manajer


keuangan SDM Produksi Keuangan

WITA WITA
WITA

Gambar 3.9 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan wilayah

kepala
sekolah

urusan urusan urusan


keluarga masyarakat pemerintah

Gambar 3.10 Contoh Struktur Organisasi Devisional Berdasarkan


Pelanggan

Keuntungan menggunakan struktur organisasi devisional antara


lain (1) koordinasi dan wewenang dapat memberi tanggapan yang
cepat dan tepat, (2) pengembangan dan implementasi strategi
organisasi dekat dengan lingkungannya yang khas, (3) rumusan
tanggung jawab jelas dengan kinerja yang diukur dari masing-
masing divisi, (4) manajer puncak dapat memusatkan pikiran pada
kebijakan strategis, (5) sesuai untuk lingkungan yang cepat berubah,
(6) mempertahankan spesifikasi fungsional setiap divisi, dan (7)
wadah latihan yang baik bagi manajer strategis. Kerugian
menggunakan struktur organisasi devisional antara lain (1)
berkembangnya persaingan kurang sehat atas potensi sumber daya
organisasi dan konflik tugas dengan prioritas, (2) masalah-masalah
dideligasikan kepada manajer-manajer divisi, (3) biaya operasional
organisasi meningkat, (4) tidak samanya kebijakan antar divisi, dan
(5) duplikasi sumber daya organisasi.

61
5) Struktur Organisasi Matriks
Kepala sekolah

Wakasek 1 Wakasek 2 Wakasek 3

Siswa siswa siswa

Guru guru guru

Keuangan keuangan keuangan

Sarana sarana sarana

Kurikulum kurikulum kurikulum

Gambar 3.11 Contoh Struktur Organisasi Matriks

Organisasi matriks merupakan penyempurnaan dari organisasi


fungsional. Orang-orang yang ditugaskan dalam setiap sel tidak
hanya termasuk dalam organisasi fungsional, tetapi juga dalam
organisasi produk. Keuntungan menggunakan struktur organisasi
matriks antara lain (1) efisiensi penggunaan manajer-manajer
fungsional, (2) luwes menghadapi perubahan dan ketidakpastian, (3)
keunggulan teknis, (4) meningkatkan motivasi kerja, dan
pengembangan diri. Kerugian menggunakan struktur organisasi
matriks antara lain (1) menimbulkan kebingungan dan kebijakan-
kebijakan yang kontradiktif serta pertentangan kekuasaan yang
mengarah pada perdebatan atas suatu kegiatan, (2) pimpinan tidak
terbiasa bekerja secara tim dan terbiasa bekerja secara tradisional,
(3) memerlukan koordinasi vertikal dan horizontal, (4) memerlukan
lebih banyak keterampilan antarpribadi, (5) mengandung risiko
timbulnya anarki, dan (6) sangat mahal untuk diterapkan.
Keberhasilan sebuah organisasi berbasis mutu terletak pada kerja
aktif seluruh bagian dari institusi tersebut. Perbedaan antara struktur
organisasi di bawah kendali manajemen mutu dibandingkan dengan
struktur sekolah tradisional terletak pada keberadaan struktur menurut
fungsinya sedangkan institusi di bawah manajemen mutu terorganisir

62
dalam prosesnya (Sallis, 2010: 164). Organisasi-organisasi yang
menganggap serius pencapaian mutu memahami bahwa rahasia sukses
pencapaian mutu berakar dari mendengarkan dan merespons keinginan dan
pendapat klien dan pelanggan terhadap kinerja sekolah.
Lebih lanjut, Sallis (2010: 164) menjabarkan perbedaan antara
struktur organisasi mutu dan organisasi biasa berikut.

Tabel 3.1. Perbedaan antara Institusi Mutu dengan Institusi Biasa


INSTITUSI MUTU INSTITUSI BIASA
Fokus pada pelanggan Fokus pada kebutuhan internal

Fokus pada pencegahan masalah Fokus pada deteksi masalah

Investasi sumber daya Pendekatan dalam pengembangan


karyawan tidak sistematis

Memiliki strategi mutu Kekurangan visi strategis mutu

Menyikapi komplain sebagai peluang Menyikapi komplain sebagai gangguan


untuk belajar

Mendefinisikan karakteristik mutu Sama sekali tidak memiliki standar


pada seluruh area organisasi mutu yang jelas

Memiliki kebijakan dan rencana mutu Tidak memiliki rencana mutu

Manajemen senior memimpin mutu Peran manajemen dipandang sebagai


salah satu bentuk kekangan

Proses perbaikan mutu melibatkan Hanya melibatkan tim manajemen


setiap orang dalam masalah apapun

Memiliki fasilitator mutu yang Tidak memiliki fasilitator mutu


mendorong kemampuan proses

Karyawan dianggap memiliki peluang Prosedur dan aturan yang baku adalah
untuk menciptakan mutu hal yang paling penting

Kreativitas adalah hal yang penting

Memiliki aturan dan tanggung jawab Tidak memiliki aturan dan tanggung
yang jelas jawab yang jelas

63
INSTITUSI MUTU INSTITUSI BIASA

Memiliki strategi evaluasi yang jelas Tidak memiliki strategi evaluasi yang
sistematis

Melihat mutu sebagai sebuah cara Melihat mutu sebagai sebuah cara untuk
untuk meningkatkan kepuasan menghemat biaya
pelanggan

Rencana jangka panjang Rencana jangka pendek

Mutu dipandang sebagai bagian dari Memandang mutu sebagai inisiatif yang
budaya mengganggu

Meningkatkan mutu berada dalam Memeriksa mutu dengan tujuan untuk


garis strategi imperatif nya sendiri memenuhi tuntutan agen-agen eksternal

Memiliki misi khusus Tidak memiliki misi khusus

Memperlakukan kolega sebagai Memiliki budaya hierarkis


pelanggan

Kunci kekuatan kultur manajemen mutu adalah mata rantai internal-


eksternal yang efektif antara pelanggan-produsen. Dalam kultur
manajemen mutu, peran manajemen senior dan menengah adalah memberi
dukungan dan wewenang kepada staf dan pelajar, bukan mengontrol
mereka (Sallis, 2010: 80). Manajemen mutu sekolah memegang peranan
penting dalam mengawasi, mengontrol, dan mengevaluasi kinerja personil
sekolah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam mencapai
tujuan, visi, dan misi yang telah ditetapkan. Keberadaan manajer
mutu/kepemimpinan mutu memegang kendali terhadap perbaikan dan
peningkatan mutu sekolah. Penyelenggaraan manajemen mutu tidak hanya
berkontribusi terhadap pengembangan dan pembinaan lingkungan internal
sekolah namun juga mendorong keterlibatan dan partisipasi lingkungan
eksternal dalam memajukan sekolah. Orientasi utamanya adalah kepuasan
dan kepercayaan yang berhasil dibentuk sekolah dalam kaitannya dengan
pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan pendidikan. Hal tersebut
dapat diilustrasikan dengan membandingkan grafik organisasi hierarkis
tradisional dengan hierarki terbalik manajemen mutu berikut.

64
manajer
senior

manajer menengah

guru

staf pendukung

Manajemen terpadu dalam pendidikan (institusi terbalik)

pelajar

Tim-guru dan staf pendukung

pemimpin

Gambar 3.12 Institusi Hierarkis dan Institusi Terbalik dalam Pendidikan


(Sallis, 2010: 81)

Hierarki tersebut mengilustrasikan perubahan paradigma dalam


dunia pendidikan, di mana manajemen mutu mengubah pola hubungan
dengan memberikan sebuah fokus pelanggan yang jelas, fokus tersebut
tidak berdampak pada struktur otoritas dalam sekolah, dan tidak juga
mengurangi peran kepemimpinan manajer senior karena kepemimpinan
sangat penting bagi kesuksesan manajemen mutu. Hierarki terbalik
tersebut menekankan pola hubungan yang berorientasi pada pemberian
layanan dan pentingnya pelanggan dalam sebuah institusi.

65
Adapun salah satu contoh hierarki struktur organisasi SMK sebagai
berikut.

- Komite sekolah
Dikmenjur
-DU/DI

kepala sekolah
wakil kepala
sekolah

personil
sekolah(guru/sta
f,karyawan/
siswa

sumber daya
pengembangan teknologi kurikulum pemasaran manusia dan
fasilitas

produk

stakeholders

Gambar 3.13 Struktur Organisasi SMK (Murniati & Usman, 2009: 104)

Struktur SMK di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah organisasi


pendidikan kejuruan dibutuhkan divisi-divisi berdasarkan bidang keahlian
yang dikembangkan. Hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya
keefektifan kerja personil sekolah dengan pendayagunaan potensi sumber
daya, teknologi dan informasi yang dimiliki. Idealnya, struktur organisasi
SMK juga memiliki divisi pemasaran yang dapat memasarkan produk dan
lulusan. SMK juga dituntut untuk mampu mengembangkan produk dan
melibatkan stakeholder dalam mencapai tujuan maksimal.

66
2. Peserta Didik dan Lulusan SMK
Kemampuan sekolah dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang
bervariasi menjadi modal utama pengembangan sekolah. Pelanggan
sekolah meliputi pelanggan eksternal dan internal. Pelanggan eksternal
adalah pengguna jasa pendidikan yang berasal dari luar lingkungan
sekolah sedangkan pelanggan internal adalah mereka yang berasal dari
lingkungan sekolah itu sendiri. Adapun pelanggan pendidikan tersebut
sebagai berikut.

Tabel 3.2 Pelanggan Pendidikan (Sallis, 2010: 70)


Pendidikan (nilai tambah yang diberikan pada
Jasa
pelajar)
Pelajar Pelanggan atau klien eksternal
utama
Orang tua/kepala daerah/sponsor Pelanggan eksternal kedua
Pemerintah/masyarakat/bursa kerja Pelanggan eksternal ketiga
Guru/staf Pelanggan internal

Berdasarkan tabel di atas, pelanggan eksternal utama dalam pen-


didikan adalah pelajar. Pelajar di sekolah menengah kejuruan merupakan
siswa dan siswi lulusan tingkat menengah pertama yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas kejuruan. Keberadaan
pelajar sangat penting bagi eksistensi sekolah. Kepuasan pelajar menjadi
tolok ukur kesuksesan sekolah dalam meningkatkan prestasi dan kinerja
sekolah. Pendidikan adalah upaya pembelajaran masyarakat. Mutu
pembelajaran menjadi salah satu indikator ketertarikan masyarakat untuk
menyekolahkan anaknya di sekolah menengah kejuruan.
Saat ini tercatat perbandingan antara jumlah SMA Negeri dan SMK
negeri adalah 67 persen dan 33 persen. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menargetkan ada peningkatan jumlah SMK menjadi 60
persen pada tahun 2020 sehingga SMK perlu ditata agar bisa
meningkatkan akses masyarakat untuk meraih pendidikan keahlian,
semakin banyak SMK negeri hingga ke daerah terpencil maka akan
memudahkan masyarakat untuk mengecap pendidikan vocational.‖
(ANTARA News, 24 Juni 2016). Namun hal tersebut berbanding terbalik
dengan kenyataan yang ada, data menunjukkan pada tahun ajaran

67
2015/2016 tercatat jumlah siswa SMA sebanyak 4.442.835 siswa,
sedangkan SMK sebanyak 4.419.423 siswa.
Kurangnya minat siswa untuk memilih SMK dikarenakan beberapa
sebab: (1) adanya anggapan bahwa lulusan SMK sulit mendapatkan
pekerjaan yang baik, (2) banyaknya pengangguran dari lulusan SMK ini
kemudian dikaitkan dengan kelesuan ekonomi, dan (3) tambahan
keterampilan ternyata tak membantu penguatan daya saing lulusan SMK
(Tirto.co.id, 6 April 2016). Berdasarkan data tersebut, perlu adanya
pengkajian ulang kebutuhan masyarakat dan kebermutuan SMK dalam
menyediakan tenaga kerja yang terampil sehingga angka pengangguran
SMK dapat ditekan dan diminimalisir.
Berbicara tentang konsep kebermutuan SMK, tidak terlepas dari
bagaimana menerapkan langkah-langkah sebagai berikut: 1) kerja sama
pelajar dan guru dalam menetapkan misi yang ingin dicapai, gaya
pembelajaran dan pengajaran serta sumber daya yang diperlukan, 2)
pembentukan forum yang memberikan umpan balik serta rencana aksi
untuk mendapatkan motivasi dan arahan, serta kesempatan mengatur
sendiri pembelajaran mereka, 3) penciptaan rangkaian umpan-balik dan
evaluasi terus menerus sehingga terjadi proses jaminan mutu, 4) institusi
pendidikan perlu menggunakan hasil pengawasan formal untuk
menetapkan keabsahan program-programnya. Institusi pendidikan
memiliki kewajiban untuk membuat pelajar sadar terhadap variasi metode
pelajar sadar terhadap variasi metode pembelajaran yang diberikan kepada
mereka.
Prinsip paling mendasar dalam pendidikan kejuruan adalah pen-
didikan kejuruan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik
dengan optimal. Prinsip tersebut sesuai dengan Keputusan Mendikbud No.
0490/U/1990 yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
budaya dengan menyiapkan kompetensi peserta didik memasuki lapangan
kerja. Berbeda dengan pendidikan umum, pendidikan kejuruan harus
berorientasi pada kebutuhan pasar (demand-driven). Arah relevansi
kebutuhan pasar terhadap SMK dikemas dalam dua area perubahan, yaitu
(1) perubahan orientasi pendidikan menengah kejuruan; (2) profil
kompetensi lulusan SMK (Firdausi & Barnawi, 2012: 22).

68
Bila ditinjau dari aspek pendidikan, substansi pelajaran, dan
lulusannya, kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah
(1) orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; (2) berorientasi pada
kebutuhan nyata di lapangan; (3) fokus kurikulum pada aspek-aspek
psikomotor, afektif, dan kognitif; (4) tolok ukur keberhasilan tidak hanya
di sekolah; (5) kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja; (6)
memerlukan sarana dan prasarana yang memadai; (7) adanya dukungan
masyarakat (Finch dan Crunkilton, 1984; Sonhaji, 2000; Firdausi &
Barnawi, 2012: 21).
Sekolah sebagai sistem pendidikan yang kompleks yang bersinergi
dengan keberadaan input-process-output, harus berpedoman pada
akuntabilitas terhadap konteks pendidikan dan outcome. Dengan demikian,
pendekatan contex-input-process-product-outcome(CIPP and Outcome)
menjadi pendekatan sistem sekolah (Komariah, 2005: 2). Pendekatan
sistem sekolah kejuruan tentunya berbeda dengan pendekatan sistem
sekolah menengah atas pada umumnya. Landasan sistem sekolah
menengah kejuruan sesuai dengan rencana strategis (RENSTRA) Dinas
Pendidikan Nasional sebagai berikut:
a. Visi SMK adalah mencetak tamatan SMK yang terampil, siap,
sensitif (peka), tanggap terhadap perubahan, persaingan global, dan
berpegang teguh pada jati diri bangsa Indonesia;
b. Misi SMK adalah (1) menghasilkan peserta didik yang terampil dan
disiplin sesuai bidang keahliannya; (2) mengembangkan sistem
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan DU/DI; (3) berwawasan
konservasi lingkungan dan mampu untuk berwiraswasta; (4)
memiliki kemampuan kejuruan dasar yang potensial untuk
dikembangkan berdasarkan tuntutan jabatan, baik sektor formal
maupun informal;
c. Tujuan SMK adalah menyiapkan peserta didik/ tamatan sesuai
bidang keahlian, yakni (1) memasuki lapangan kerja serta dapat
mengembangkan sikap profesional dalam lingkup keahliannya; (2)
mampu memilih karier, mampu berkompetensi dan mampu
mengembangkan diri dalam lingkup keahlian yang dipilih dan
ditekuni; (3) menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi
kebutuhan Dunia Usaha dan Industri (DU/DI).
d. Menjadi warga negara yang produktif, adaptif, dan kreatif.

69
Secara praktis, guru harus dapat menyediakan kondisi yang produk-
tif agar masing-masing peserta didik secara individu dapat belajar secara
optimal. Sudirman (2006: 121) menyatakan bahwa karakteristik peserta
didik yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar antara lain: (1)
latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan, (2) gaya belajar, (3)
usia kronologi, (4) tingkat kematangan, (5) spektrum dan ruang lingkup
minat, (6) lingkungan sosial ekonomi, (7) hambatan-hambatan lingkungan
dan kebudayaan, (8) inteligensi, (9) keselarasan dan attitude, (10) prestasi
belajar, (11) motivasi: dan lainnya.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam karakteristik peserta
didik ini, yaitu sebagai berikut.
1. Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan
awal atau prerequisite skills, misalnya kemampuan intelektual,
kemampuan berpikir, mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan
aspek psikomotorik, dan lainnya
2. Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status
sosial;
3. Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan
kepribadian, seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain (Firdausi &
Bardawi, 2012: 67).
Oleh karenanya, dibutuhkan pembelajaran yang memperhatikan
prinsip-prinsip pembelajaran yang berbasis kompetensi sehingga
peningkatan kapabilitas peserta didik dapat meningkat di antaranya: (1)
tujuan pembelajaran jelas, (2) pembelajaran berfokus pada peserta didik,
(3) pembelajaran menekankan pada penguasaan kompetensi, (4)
pembelajaran yang menekankan pada pencapaian performansi, (5)
pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran yang dapat
mengakomodasi cara belajar yang bervariasi, (6) pembelajaran
menggunakan metode pembelajaran yang bersifat learning by doing, (7)
pembelajaran besifat individual dilakukan dengan menggunakan modul,
(8) pembelajaran memerhatikan kebutuhan dan kecepatan belajar peserta
diklat secara individu, (9) media dan materi yang digunakan didesain
untuk membantu pencapaian kompetensi, (10) kegiatan pembelajaran
hendaknya memerhatikan kemudahan proses pemonitoran untuk
memudahkan pengaturan program belajar, (11) kegiatan pembelajaran

70
diadministrasikan, (12) pembelajaran memanfaatkan sumber daya internal
dan eksternal sekolah, (13) pembelajaran dapat dilakukan di dalam dan di
luar sekolah, (14) lingkungan belajar dikondisikan seperti di dunia kerja,
(15) guru melakukan penilaian hasil belajar untuk mendapatkan umpan
balik, (16) penilaian dilakukan terhadap performasi yang dicapai dengan
cara demonstrasi, dan (17) tingkat performasi peserta diklat ditentukan
dengan membandingkan kriteria unjuk kerja sesuai dengan kompetensi
yang akan dicapai.
Menyadari adanya relevansi dan tuntutan pasar kerja global men-
dorong terjadinya perubahan eksternal dan internal yang mempengaruhi
peran sumber daya manusia yang meliputi: (a) ekspansi global, (b)
persaingan domestik dan internasional, (c) karakteristik demografi, (d)
karakteristik angkatan kerja, (e) tren ekonomi dan perusahaan. Sedangkan
perubahan internal, meliputi (a) persoalan dalam manajemen, (b) struktur
organisasi, (c) budaya organisasi (filosofi SDM), (d) ukuran
organisasional, (e) penanganan kompetensi karyawan dan cara perusahaan
menangani konflik (Rivai & Sagala, 2009: 81-83). Sudah semestinya,
SMK sebagai lembaga penyedia tenaga kerja menengah perlu mendorong
dan memacu peningkatan kualitas personal dan profesional yang dimiliki
peserta didik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan globalisasi.

3. Tenaga Pendidik dan Kependidikan sebagai Faktor Penentu


Mutu Pendidikan
Peran guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu
pendidikan. Guru sebagai fasilitator, motivator dan agen pembelajaran
dituntut untuk menyelenggarakan proses pembelajaran dan pengajaran
yang berkualitas. Dalam kajian mikro, faktor dominan yang berpengaruh
dan memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan mutu
pendidikan adalah guru yang profesional, berbudi luhur, dan sejahtera
yang berperan dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif,
aktif, dan menggairahkan minat siswa untuk belajar (Hadis & Nurhayati B,
2012: 3-4). Sylvia (2006: 223) juga menjelaskan bahwa, ―professional
standars in teaching are developed in any education systems, with
professional learning and quality assurance being the central purposes of
these standards‖. Standar mutu pembelajaran dan pengajaran merupakan

71
rangkaian penting dalam sistem manajemen mutu. Mutu pengajaran
dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan
kependidikan itu sendiri. Spencer & Spencer (1993: 9-11) menyatakan
bahwa ada lima karakteristik kompetensi, yaitu sebagai berikut:
1. Motif (motive), apa yang secara konsisten dipikirkan atau keinginan
yang menyebabkan melakukan tindakan. Apa yang mendorong
perilaku yang mengarah dan dipilih terhadap kegiatan atau tujuan
tertentu. Motif berprestasi akan memotivasi seseorang secara terus
menerus untuk merancang tujuan yang cukup menantang serta
mengambil tanggungjawab atas pekerjaannya adan menggunakan
umpan balik untuk menjadi lebih baik.
2. Sifat/ciri bawaan (trait), ciri fisik dan reaksi-reaksi yang bersifat
konsisten terhadap situasi atau informasi. Contoh, reaksi waktu, luas
pandangan yang baik merupakan kompetensi seorang pilot.
3. Konsep diri (self concept), sikap, nilai atau self image dari orang-
orang. Contoh, percaya diri (self confidence), keyakinan bahwa ia
akan efektif dalam berbagai situasi, merupakan bagian dari konsep
dirinya.
4. Pengetahuan (knowledge), yaitu suatu informasi yang dimiliki
seseorang khususnya pada bidang spesifik. Pengetahuan merupakan
kompetensi yang kompleks. Biasanya tes pengetahuan mengukur
kemampuan untuk memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak
bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya itu.
5. Keterampilan (skill), kemampuan untuk mampu melaksanakan
tugas-tugas fisik dan mental tertentu. Contohnya, seorang teknisi
komputer memiliki kemampuan memperbaiki dua puluh komputer
rusak dalam satu hari.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, tepatnya pada bagian kelima Pasal 32 Ayat 2,
menyatakan pembinaan dan pengembangan profesi meliputi empat
kompetensi: (a) pedagogik, (b) kepribadian, (c) profesional, (d) sosial.
Kompetensi-kompetensi tersebut menjadi syarat utama kompetensi yang
harus dimiliki guru. Seorang guru haruslah memiliki pengetahuan yang
memadai terkait dengan bidang keahliannya, guru haruslah mampu

72
menempatkan diri sebagai pendidik tidak hanya sebagai penyampai materi
semata (transfer of knowlegde). Seorang guru haruslah menjadi teladan
bagi lingkungannya, ia juga harus mampu menjalin dan menjaga hubungan
sosial yang baik dengan masyarakat. Oleh karenanya, tidak mengherankan
jika salah satu komponen organisasi SMK yang penting dalam menunjang
kesuksesan penyelenggaraan program pendidikan kejuruan adalah
keberadaan para pendidik yang berkompetensi di bidangnya masing-
masing.
Adapun kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru SMK selain
kompetensi yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005
(Kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional) meliputi:
1. Kualifikasi kejuruan spesialis yang terdiri dari: (a) kompetensi
profesi, yaitu kemampuan melaksanakan dan mengontrol pekerjaan
secara profesional dan ekonomis; (b) kompetensi metode, yaitu
kemampuan untuk menentukan langkah-langkah kerja dalam
menyesuaikan pekerjaan tertentu secara mandiri merumuskan dan
mengevaluasi permasalahan pada pekerjaan yang sedang dihadapi
dan menentukan pemecahannya; (c) kompetensi sosial, yaitu
kemampuan untuk mengerjakan tugas dengan pertimbangan aspek-
aspek sosial, seperti keselamatan kerja dan tidak merugikan orang
lain. Untuk menyelesaikan tugas dan menanggulangi masalah yang
ditemui, diperlukan komunikasi dan kerja sama serta kesediaan
untuk berkompromi; (d) kompetensi belajar, yaitu kesanggupan
mengembangkan diri sendiri melalui belajar, mengumpulkan
informasi, mencoba, dan berlatih.
2. Kualifikasi kejuruan penunjang terdiri dari: (a) interdisipliner, yaitu
segenap kesanggupan, seperti memahami dan memerhatikan
struktur organisasi, mampu menggunakan terminologi asing secara
benar, mampu menggunakan pengolah data elektronik (komputer),
serta memindahkan aspek-aspek ekologi dan ekonomi; (b) teknik
operasional, yaitu segenap kemampuan, seperti menganalisis tugas
dan menyusun rencana kerja, mengindahkan peraturan-peraturan,
melakukan komunikasi lisan maupun tulisan, mengenal gangguan-
gangguan dan mengatasinya, serta menggunakan bahan dan energi
secara hemat; (c) kepribadian dan kemasyarakatan, yaitu sifat-sifat,

73
seperti mandiri, kreatif, jujur, penuh pengertian, komunikatif,
kooperatif, dan kompromis.
3. Pendidikan yang berorientasi pada kompetensi perilaku dapat
dicapai secara optimal melalui proses belajar apabila kualifikasi
kejuruan penunjang sudah termuat dalam materi pendidikan
kejuruan pertama di samping kualifikasi kejuruan spesialis. Tolok
ukur bahwa seseorang telah memilikinya adalah guru tersebut telah
memiliki kecakapan, sikap, dan wawasan yang mantap selain
kualifikasi kejuruan dan pengetahuan umum yang andal (Schippers
& Patriana, 1994: 23).
Untuk standar kompetensi guru SMK dari keempat kompetensi lebih
lanjut dijelaskan dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 yang tertera
dalam tabel berikut.

Tabel 3.3 Standar Kompetensi Pedagogik Guru Mata Pelajaran SMK


No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
1 Menguasai karakteristik 1.1 Memahami karakteristik peserta didik
peserta didik dari aspek fisik, yang berkaitan dengan aspek fisik,
moral, spritual, sosial, intelektual, sosial-emosional, moral,
kultural, emosional, dan spiritual, dan latar belakang sosial
intelektual budaya
1.2 Mengidentifikasi potensi peserta didik
dalam mata pelajaran yang diampu
1.3 Mengidentifikasi bekal-ajar awal
peserta didik dalam mata pelajaran
yang diampu
1.4 Mengidentifikasi kesulitan belajar
peserta didik dalam mata pelajaran
yang diampu
2 Mengetahui teori belajar dan 2.1 Memahami berbagai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran yang
yang mendidik mendidik terkait dengan mata
pelajaran yang diampu
2.2 Menerapkan berbagai pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang mendidik secara
kreatif dalam mata pelajaran yang
diampu

74
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
3 Mengembangkan kurikulum 3.1 Memahami prinsip-prinsip
yang terkait dengan mata pengembangan yang diampu
pelajaran yang diampu 3.2 Menentukan tujuan pembelajaran
yang diampu
3.3 Menentukan pengalaman belajar yang
sesuai untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diampu
3.4 Memilih materi pembelajaran yang
diampu yang terkait dengan
pengalaman belajar dan tujuan
pembelajaran
3.5 Menata materi pembelajaran secara
benar sesuai dengan pendekatan yang
dipilih dan karakteristik peserta didik
3.6 Mengembangkan indikator dan
instrumen penilaian
4 Menyelenggarakan 4.1 Memahami prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik perancangan pembelajaran yang
mendidik
4.2 Mengembangkan komponen-
komponen rancangan pembelajaran
4.3 Menyusun rancangan pembelajaran
yang lengkap, baik untuk kegiatan di
dalam kelas, laboratorium, maupun
lapangan
4.4 Melaksanakan pembelajaran yang
mendidik di kelas, di laboratorium,
dan di lapangan dengan memerhatikan
standar keamanan yang dipersyaratkan
4.5 Menggunakan media pembelajaran
dan sumber belajar yang relevan
dengan karakteristik peserta didik dan
mata pelajaran yang diampu untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara
utuh
4.6 Mengambil keputusan transaksional
dalam pembelajaran yang diampu
sesuai dengan situasi yang
berkembang
5 memanfaatkan teknologi 5.1 Memanfaatkan teknologi informasi
informasi dan komunikasi dan komunikasi dalam pembelajaran
untuk kepentingan yang diampu
pembelajaran

75
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
6 memfasilitasi pengembangan 6.1 Menyediakan berbagai kegiatan
potensi peserta didik untuk pembelajaran untuk mendorong
mengaktualisasikan berbagai peserta didik mencapai prestasi secara
potensi yang dimiliki optimal
6.2 Menyediakan berbagai kegiatan
pembelajaran untuk
mengaktualisasikan potensi peserta
didik, termasuk kreativitasnya.
7 Berkomunikasi secara 7.1 Memahami berbagai strategi
efektif, empatik, dan santun berkomunikasi yang efektif, empatik,
dengan peserta didik dan santun secara lisan, tulisan, dan
atau bentuk lainnya
7.2 Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta
didik dengan bahasa yang khas dalam
interaksi kegiatan mendidik yang
terbangun dari (a) penyiapan kondisi
psikologis peserta didik untuk ambil
bagian dalam permainan melalui
bujukan dan contoh; (b) ajakan kepada
peserta didik untuk ambil bagian; (c)
respons peserta didik terhadap ajakan;
(d) reaksi guru terhadap respons
peserta didik
8 Menyelenggarakan penilaian 8.1 Memahami prinsip-prinsip penilaian
dan evaluasi proses dan hasil dan evaluasi proses dan hasil belajar
belajar sesuai dengan karakteristik mata
pelajaran yang diampu
8.2 Menentukan aspek-aspek proses dan
hasil belajar yang penting untuk
dinilai dan dievaluasi sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran yang
diampu
8.3 Menentukan prosedur penilaian dan
evaluasi proses dan hasil belajar
8.4 Mengembangkan instrumen penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar
8.5 Mengadministrasikan penilaian proses
dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan
menggunakan berbagai instrumen
8.6 Menganalisis hasil penilaian proses
dan hasil belajar untuk berbagai tujuan

76
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
8.7 Melakukan evaluasi proses dan hasil
belajar
9 Memanfaatkan hasil 9.1 Menggunakan informasi hasil
penilaian dan evaluasi untuk penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran menentukan ketuntasan belajar
9.2 Menggunakan informasi hasil
penilaian dan evaluasi untuk
merancang program remedial dan
pengayaan
9.3 Mengomunikasikan hasil penilaian
dan evaluasi kepada pemangku
kepentingan
9.4 Memanfaatkan informasi hasil
penilaian dan evaluasi pembelajaran
untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran
10 melakukan tindakan reflektif 10.1 Melakukan refleksi terhadap
untuk peningkatan kualitas pembelajaran yang telah dilaksanakan
pembelajaran 10.2 Memanfaatkan hasil refleksi untuk
perbaikan dan pengembangan
pembelajaran dalam mata pelajaran
yang diampu
10.3 Melakukan penelitian tindakan kelas
untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dalam mata pelajaran
yang diampu

Tabel di atas menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik tidak


terlepas dari kapabilitas seorang guru dalam mengelola kelasnya. Seorang
guru yang menguasai kompetensi pedagogik maka dapat dipastikan guru
tersebut dapat mengajar dengan baik. Di samping kompetensi pedagogik,
guru juga merupakan manusia sosial yang berinteraksi dengan
lingkungannya, sehingga guru juga harus dibekali dengan kompetensi
sosial sebagai berikut.

77
Tabel 3.4 Standar Kompetensi Sosial Guru Mata Pelajaran SMK
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
1 bersikap inklusif, bertindak 1.1 bersikap inklusif dan objektif
objektif, serta tidak terhadap peserta didik, teman
diskriminatif karena sejawat, dan lingkungan sekitar
pertimbangan jenis kelamin, dalam melaksanakan pembelajaran
agama, ras, kondisi fisik, latar 1.2 tidak bersikap diskriminatif terhadap
belakang keluarga, dan status peserta didik, teman sejawat, orang
sosial ekonomi tua peserta didik dan lingkungan
sekolah karena perbedaan agama,
suku, jenis kelamin, latar belakang
keluarga, dan status sosial-ekonomi
2 berkomunikasi secara efektif, 2.1 berkomunikasi dengan teman
empatik, dan santun dengan sejawat dan komunitas ilmiah
sesama pendidik, tenaga lainnya secara santun, empatik, dan
kependidikan, orang tua, dan efektif
masyarakat 2.2 berkomunikasi dengan orang tua
peserta didik dan masyarakat secara
santun, empatik, dan efektif tentang
program pembelajaran dan kemajuan
peserta didik
2.3 mengikutsertakan orang tua peserta
didik dan masyarakat dalam program
pembelajaran dan dalam mengatasi
kesulitan belajar peserta didik
3 beradaptasi di tempat bertugas 3.1 beradaptasi dengan lingkungan
di seluruh wilayah Republik tempat bekerja dalam rangka
Indonesia yang memiliki meningkatkan efektivitas sebagai
keragaman sosial budaya pendidik
3.2 melaksanakan berbagai program
dalam lingkungan kerja untuk
mengembangkan dan meningkatkan
kualitas pendidikan di daerah yang
bersangkutan
4 berkomunikasi dengan 4.1 berkomunikasi dengan teman
komunitas profesi sendiri dan sejawat, profesi ilmiah, dan
profesi lain secara lisan dan komunitas ilmiah lainnya melalui
tulisan atau bentuk lain berbagai media dalam rangka
meningkatkan kualitas pembelajaran
4.2 mengkomunikasikan hasil-hasil
inovasi pembelajaran kepada
komunitas profesi sendiri secara
lisan dan tulisan maupun bentuk lain

78
Kompetensi sosial erat kaitannya dengan kemampuan guru dalam
berkomunikasi dengan lingkungan sosial budayanya dan menciptakan
atmosfer yang harmonis dan selaras dalam lingkungan kerja dan mampu
meningkatkan kualitas pembelajaran di dalam kelas. Guru yang baik juga
haruslah memiliki empatik dan santun dalam bertindak dan bertutur kata
dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
Terlebih SMK erat kaitannya dengan jalinan kerja sama dengan dunia
industri dan usaha sehingga kompetensi sosial ini harus mampu dikelola
dengan baik demi perkembangan SMK yang lebih baik.
Kompetensi sosial juga erat kaitannya dengan kompetensi
kepribadian. Kompetensi kepribadian yang matang tercermin dari
hubungan sosial yang terjalin. Adapun kompetensi kepribadian yang harus
dimiliki oleh seorang guru tertera dalam tabel berikut.

Tabel 3.5 Standar Kompetensi Kepribadian Guru Mata Pelajaran SMK


No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
1 bertindak sesuai dengan 1.1 menghargai peserta didik tanpa
norma agama, hukum, sosial, membedakan keyakinan yang dianut,
dan kebudayaan nasional suku, adat istiadat, daerah asal, dan
Indonesia gender
1.2 bersikap sesuai dengan norma agama
yang dianut, hukum, sosial yang
berlaku dalam masyarakat, dan
kebudayaan nasional Indonesia yang
beragam
2 Menampilkan diri sebagai 2.1 berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi
pribadi yang jujur, berakhlak 2.2 berperilaku yang mencerminkan
mulia, dan teladan bagi ketakwaan dan akhlak mulia
peserta didik dan masyarakat 2.3 berperilaku yang dapat diteladani oleh
peserta didik dan anggota masyarakat
di sekitarnya
3 menampilkan diri sebagai 3.1 menampilkan diri sebagai pribadi yang
pribadi yang mantap, stabil, mantap dan stabil
dewasa, arif, dan berwibawa 3.2 menampilkan diri sebagai pribadi yang
dewasa, arif, dan berwibawa
4 menunjukkan etos kerja, 4.1 menunjukkan etos kerja dan tanggung
tanggung jawab yang tinggi, jawab yang tinggi
rasa bangga menjadi guru, 4.2 bangga menjadi guru dan percaya pada
dan rasa percaya diri diri sendiri

79
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
4.3 bekerja mandiri secara profesional
5 menjunjung tinggi kode etik 5.1 memahami kode etik profesi guru
profesi guru 5.2 menerapkan kode etik profesi guru
5.3 berperilaku sesuai dengan kode etik
profesi guru

Kompetensi kepribadian merupakan bagian yang tak dapat


dilepaskan dari diri guru sebagai seorang pendidik. Menjadi seorang guru
merupakan panggilan nurani untuk mencerdaskan anak bangsa, tidak
hanya sebagai bagian profesi yang berorientasi terhadap pemenuhan
kebutuhan hidup semata. Guru adalah pribadi yang memiliki akhlak yang
mulia yang tercermin dari etos kerja, memiliki kematangan dalam berpikir
dan bertindak serta menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Tidak hanya sebagai pribadi, guru juga memiliki tanggung jawab
sosial terhadap tugas profesionalnya sebagai seorang pendidik dan
pengajar. Adapun kompetensi profesional yang harus dimiliki seorang
guru dijabarkan dalam tabel berikut.

Tabel 3.6 Standar Kompetensi Profesional Guru Mata Pelajaran SMK


No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
1 menguasai materi, struktur, 1.1 memahami materi, struktur dan
konsep, dan pola pikir konsep pelajaran yang diampu
keilmuan yang mendukung 1.2 memahami pola keilmuan yang
mata pelajaran yang diampu mendukung mata pelajaran yang
diampu
2 menguasai standar 2.1 memahami standar kompetensi mata
kompetensi dan kompetensi pelajaran yang diampu
dasar mata pelajaran yang 2.2 memahami kompetensi dasar mata
diampu pelajaran yang diampu
2.3 memahami tujuan pembelajaran yang
diampu
3 mengembangkan materi 3.1 memilih materi pembelajaran yang
pembelajaran yang diampu diampu sesuai dengan tingkat
secara efektif perkembangan peserta didik
3.2 mengolah materi pelajaran yang
diampu secara kreatif sesuai dengan
tingkat perkembangan peserta didik

80
No. Kompetensi Inti Guru Subkompetensi Guru
4 mengembangkan 4.1 melakukan refleksi terhadap kinerja
keprofesionalan secara sendiri secara terus menerus
berkelanjutan dengan 4.2 memanfaatkan hasil refleksi dalam
melakukan tindakan reflektif rangka peningkatan keprofesionalan
4.3 melakukan penelitian tindakan kelas
untuk peningkatan keprofesionalan
4.4 mengikuti kemajuan zaman dengan
belajar dari berbagai sumber
5 memanfaatkan teknologi 5.1 memanfaatkan teknologi informasi
informasi dan komunikasi dan komunikasi dalam berkomunikasi
untuk mengembangkan diri
5.2 memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk pengembangan
diri

Berbicara tentang kompetensi profesional seorang guru, berarti


berbicara terkait tentang kemampuan guru dalam mengemban tugas utama
dalam mengelola kelas. Kompetensi profesional terkait dengan
kemampuan guru dalam menguasai, mengembangkan materi
pembelajaran, serta memanfaatkan teknologi secara efektif guna
peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran. Oleh karenanya,
seorang guru dituntut untuk terus berpikir kreatif, inovatif, dan produktif
dalam meningkatkan prestasi dan kinerjanya. Guru yang profesional
memiliki kemampuan di antaranya (1) explaining informing, showing how,
initiating, directing, administrating; (2) unifying the group; (3) giving
security; (4) clarifying attitudes, beliefs, problems; (5) diagnosing
learning problems; (6) making curriculum materials; (7) evaluating,
recording, reporting; (8) enrichment community activities;(9) organizing
and arranging classroom; (10) participating in school activities
(Sukmadinata (Hadis & Nurhayati, 2012: 7)).
Guru sebagai tenaga profesional harus dibekali dengan keterampilan
manajerial, memiliki wawasan yang luas, mampu mengembangkan budaya
belajar, serta memiliki keterampilan tentang sistem informasi dan
komunikasi agar dapat menghadapi persaingan pendidikan secara global
dan tuntutan relevansi pendidikan dunia pendidikan secara umum, dan
pendidikan kejuruan secara spesifik. Untuk meningkatkan kinerja guru
SMK perlu adanya continuous profesional development bagi guru

81
(pendidikan, pelatihan, supervisi, dan lainnya), motivasi kerja, dan
peningkatan kesejahteraan guru sehingga mampu memberikan derajat
kepuasan kerja dan pelayanan terpadu bagi pendidikan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa guru profesional yang berorientasi tenaga mutu
memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Designer proses pendidikan yang profesional
Seorang guru profesional mampu merencanakan dan
mengembangkan rencana pembelajaran yang efektif dan menarik,
memilih teknik dan metode yang tepat sesuai dengan konteks materi
pembelajaran.
2. Penyaji proses pendidikan yang profesional
Guru yang berorientasi mutu mampu mempresentasikan materi
pembelajaran dengan ahli, mengimplementasikan berbagai metode
dan teknik pembelajaran yang beragam sehingga mampu
meningkatkan kegairahan belajar siswa.
3. Peneliti yang profesional
Guru juga harus menjadi seorang peneliti andal di mana dia me-
miliki keahlian untuk melakukan kegiatan peningkatan mutu
pembelajaran melalui penyelenggaraan penelitian tindakan kelas dan
berkolaborasi dengan pengawas melakukan supervisi klinis.
4. Berorientasi pada outcome proses belajar dan pembelajaran dengan
ekspektasi tinggi
Guru profesional sangat berambisi terhadap rangkaian hasil pem-
belajaran yang optimal. Guru mutu beranggapan bahwa semua siswa
merupakan pribadi unik yang memiliki tingkat kematangan pola
pikir yang berbeda namun mampu menyerap proses pembelajaran
jika diarahkan dengan maksimal.
5. Merupakan teladan bagi lingkungannya
Guru profesional mampu menunjukkan contoh yang teladan
dalam setiap perbuatan dan tutur katanya. Guru mutu memiliki etos
kerja yang tinggi, pantang menyerah, dan memiliki kepribadian
yang menarik dan mulia. Guru mutu juga mampu merangkul
personil lainnya untuk bekerja sama dalam kelompok.

82
4. Kurikulum dan Program SMK
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu kompetitif,
mendorong dunia pendidikan mengupayakan langkah inovatif dan strategis
dalam mengembangkan sekolah. Salah satunya dengan mengupayakan
pengembangan kurikulum dan program-program mutu dan bersaing.
Kurikulum merupakan landasan utama penyelenggaraan pendidikan, di
samping program-program pengembangan lainnya. Dalam me-
nyelenggarakan program pengembangan dalam sebuah organisasi,
diperlukan tahap-tahap pengembangan (Siagian, 2008) dalam Yusuf
(2015: 138-139), di antaranya:
a. Penentuan kebutuhan
Penentuan kebutuhan harus didasarkan pada analisis yang tepat.
Analisis kebutuhan harus mampu mendiagnosis sedikitnya dua hal,
yaitu masalah-masalah yang dihadapi sekarang; dan berbagai
tantangan baru yang diperkirakan akan timbul di masa depan. Dalam
mengidentifikasi kebutuhan pengembangan tenaga kerja, ada tiga
hal yang terlibat, yaitu: (a) satuan organisasi yang mengelola
sumber daya manusia; (b) para manajer berbagai satuan kerja; (c)
para karyawan yang bersangkutan.
b. Penentuan sasaran
Berdasarkan analisis akan pengembangan tenaga kerja, berbagai
sasaran ditetapkan. Sasaran yang ingin dicapai dapat bersifat
teknikal akan tetapi dapat pula menyangkut keperilakuan, atau
mungkin juga kedua-duanya. Bagi penyelenggara program
pengembangan gunanya mengetahui sasaran tersebut adalah: (a)
sebagai tolak ukur kelak untuk menentukan berhasil tidaknya
program pengembangan; (b) sebagai bahan dalam usaha
menentukan langkah selanjutnya seperti isi program dan metode
pengembangan yang akan digunakan.
c. Penetapan isi program
Setelah diketahui apa sasaran yang ingin dicapai dalam suatu
program maka selanjutnya tentukan apa saja isi program yang ingin
diberikan.

83
d. Identifikasi prinsip-prinsip belajar
Setelah penetapan isi, selanjutnya adalah penentuan
bagaimanakah prinsip-prinsip atau metode pembelajaran yang ingin
diterapkan dalam suatu program pengembangan tersebut.
e. Pelaksanaan program
Inilah puncak dari kegiatan program pengembangan yaitu pe-
laksanaan program. Program pengembangan harus dilaksanakan
untuk kepentingan organisasi dan kebutuhan para peserta.
f. Penilaian pelaksanaan program
Pelaksanaan suatu program pengembangan dapat dikatakan
berhasil jika dalam diri para peserta terjadi proses transformasi.
Proses transformasi dapat dinyatakan berlangsung dengan baik jika
terjadi paling sedikit dua hal, yaitu: (a) peningkatan kemampuan
dalam melaksanakan tugas; (b) perubahan perilaku yang tercermin
pada sikap, disiplin, dan etos kerja.
Penyelenggaraan kurikulum di sekolah menengah kejuruan tentunya
memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan kurikulum pendidikan
menengah atas pada umumnya, baik secara konseptual dan praktis.
Adapun materi yang dipelajari di SMK secara garis besar meliputi:
1) Komponen Umum (Normatif)
Komponen umum (normatif) dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki watak
dan kepribadian sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.
2) Komponen Dasar Kejuruan (Adaptif)
Komponen dasar kejuruan bertujuan untuk memberi bekal
penunjang bagi penguasaan keahlian profesi dan bekal kemampuan
pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3) Komponen Kejuruan (Produktif)
Komponen kejuruan (produktif) berisi materi yang berkaitan dengan
pembentukan kemampuan keahlian tertentu sesuai program studi
masing-masing untuk bekal memasuki dunia kerja.

84
Lebih lanjut, untuk menunjang kompetensi keahlian peserta didik,
maka program keahlian SMK dapat terbagi menjadi dua kelompok, yakni
kelompok produksi dan kelompok jasa.
a. Kelompok Produksi
Kelompok produksi adalah program keahlian yang kompetensi
keahliannya menghasilkan produk-produk jadi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia usaha. Seperti program keahlian
boga menghasilkan produk makanan jadi seperti kue
b. Kelompok Jasa
Kelompok jasa merupakan program keahlian yang kompetensi
keahliannya dalam bentuk jasa pelayanan. Contoh: program
keahlian mekanik otomotif melayani pemeliharaan dan perbaikan
(maintenance and repair).
Pendidikan kejuruan dapat berhasil jika didukung oleh komponen
subsistem yang bermutu. Pengelolaan sekolah menengah kejuruan selain
mengacu pada pengelolaan sekolah menengah umum juga mengacu pada
persyaratan sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan memiliki tanggung jawab
yang lebih besar dibanding sekolah menengah umum dalam mengelola
manajemen sekolahnya. Penataan dan pengembangan sekolah menengah
kejuruan harus direposisikan pada tatanan terciptanya program pendidikan,
prosedur pembelajaran, dan komponen organisasi pendidikan yang
berkompetensi dan terstandar serta mampu mengkaji relevansi antara
tenaga kerja keluaran pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja.
Dengan demikian, eksistensi SMK sebagai institusi yang mempersiapkan
peserta didik yang cakap dalam dunia usaha dan industri dapat terpenuhi.
Penataan sekolah kejuruan merupakan langkah reformasi terhadap
peningkatan mutu pendidikan kejuruan. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan sebagai bagian dari pengembangan pendidikan kejuruan
menurut Sidi (2001: 115-117) sebagai berikut:
(1) Penerapan pendidikan sistem ganda (dual system education)
Pendidikan sistem ganda ditetapkan dalam keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 323/U/1997.
Pendidikan sistem ganda (PSG) merupakan suatu bentuk
penyelenggaraan pendidikan keahlian kejuruan yang memadukan
secara sistemik dan sinkron, program pendidikan di sekolah

85
menengah kejuruan dengan program penguasaan keahlian yang
diperoleh melalui bekerja langsung pada pekerjaan sesungguhnya di
institusi pasangan, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian
profesional tertentu (Pasal 1, ayat 1)
(2) Pembentukan majelis pendidikan kejuruan
Sebagai realisasi reformasi pendidikan kejuruan, pada tanggal 17
Oktober 1994 dibentuk Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional
(MPKN), dan Majelis Sekolah (MS). Majelis tersebut merupakan
wadah konsultasi, kerja sama, dan koordinasi yang keanggotaannya
terdiri atas unsur-unsur dunia usaha/industri, pemerintah, dan
organisasi profesi.
(3) Program diploma (bekerja sama dengan Dirjen Dikti)
SMK merupakan institusi pendidikan yang menawarkan jalur
karier bantu (dead-end-career) dan kurang memberi peluang bagi
lulusannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Di sisi lain, jika
lulusan SMK melanjutkan ke perguruan tinggi maka akan terjadi
publikasi dan pengulangan sebagian pengajaran di SMK. Beranjak
dari kenyataan itu maka Depdiknas membuka program diploma atau
politeknik dua tahun di atas SMK.
(4) SMK sebagai pusat kursus keterampilan kejuruan
Depdiknas bermaksud menawarkan kursus-kursus pendek di
SMK yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Jadi fungsi SMK
akan menjadi multiguna, yaitu selain menyelenggarakan program
diploma juga menyelenggarakan kursus-kursus kejuruan.
(5) Mewirausahakan SMK dengan jalan penggalakan unit produksi dan
pendidikan kewirausahaan
(6) Pemagangan siswa ke luar negeri
Dengan pemagangan siswa ke luar negeri dimaksudkan agar
siswa dapat berkompetisi dengan pekerja asing lainnya dalam
memenuhi standar-standar kualitas yang telah ditentukan oleh
organisasi-organisasi internasional seperti AFTA, APEC, WTO.
Sehingga kualitas lulusan SMK dapat dipersandingkan dengan
tenaga asing lainnya.

86
(7) Mempersiapkan sejumlah SMK Unggulan
Pengembangan SMK akan diarahkan pada pengkajian potensi
sumber daya ciri khas lokal sehingga dapat memenuhi tuntutan
pasar di wilayahnya. Pemerintah daerah dapat mengupayakan
pendirian sekolah menengah kejuruan unggul yang berorientasi pada
pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya alam yang
tersedia dan kearifan lokal di masa mendatang.
Penyelenggaraan program umum/normatif, program adaptif, dan
program produktif hendaknya diberikan kepada peserta didik sesuai
dengan perkembangan kondisi daerah dan kebutuhan dunia usaha/dunia
industri (DU/DI). Karena itu, setiap program yang dilakukan menuntut
adanya pendekatan yang sesuai dengan panduan studi kelayakan pendirian
SMK (2002: 4), pengembangan dan implementasi kurikulum SMK
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan: (1) Broad-based
curriculum (BBC) sebagai kurikulum berbasis luas, mendasar, kuat dan
fleksibel, (2) Competency-based curriculum (CBC) yang merupakan
kurikulum berbasis penguasaan kompetensi, (3) Competency-based
training (CBT) merupakan kurikulum yang berbasis pada pengembangan
dan pelatihan. Terdapat beberapa teknik dalam pengembangan dan
pelatihan SDM, yaitu:
1. Pelatihan dalam jabatan
Pelatihan dalam jabatan pada dasarnya berarti penggunaan teknik
pelatihan di mana para peserta dilatih langsung di tempatnya
bekerja. Sasarannya ialah peningkatan kemampuan peserta latihan
dalam mengerjakan tugasnya.
2. Rotasi pekerjaan
Menggunakan teknik ini berarti para karyawan dilatih
mengerjakan beranekaragam tugas. Dengan prinsip partisipasi dan
pengalihan kemampuan, para karyawan pada umumnya tidak
menghadapi kesukaran untuk dialih tugaskan baik secara permanen
maupun untuk sementara waktu.
3. Sistem magang
Sistem magang ada empat bentuk, yaitu: (a) seorang karya-
wan/peserta didikbelajar dari karyawan lain yang dianggap lebih
berpengalaman dan lebih mahir melaksanakan tugas tertentu; (b)

87
coaching melalui seorang pimpinan yang mengajarkan cara-cara
kerja yang benar kepada bawahannya, di tempat pekerjaan dan cara-
cara yang ditunjukkan oleh pimpinan tersebut ditiru oleh karyawan
yang sedang mengikuti latihan; (c) menjadi asisten pejabat yang
lebih tinggi; (d) penugasan karyawan untuk duduk dalam berbagai
panitia di mana karyawan bersangkutan tidak hanya menambah
pengetahuannya mengenai tugas-tugas yang terselenggara dalam
organisasi, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan dalam
interaksi antar manusia.
4. Sistem ceramah
Ceramah dapat diberikan dengan berbagai variasi, misalnya
dengan atau tanpa tanya jawab, dengan atau tanpa media, dan lain-
lain.
5. Pelatihan vestibul
Suatu metode pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan
keterampilannya, terutama yang bersifat teknikal, di tempat
pekerjaan, akan tetapi tanpa mengganggu kegiatan organisasi.
6. Role playing
Metode ini sering digunakan jika sasaran pelatihan dan pe-
ngembangan bukan untuk peningkatan keterampilan tapi yang
menyangkut keperilakuan terutama yang berwujud kemampuan
menumbuhkan empati dan melihat sesuatu dari kacamata orang lain.
7. Studi kasus
Penggunaan studi kasus dalam instrumen pelatihan dan pe-
ngembangan dapat memiliki dua makna, yaitu: (a) peserta
mempelajari situasi problematik tertentu dan cara mengatasi
permasalahan tersebut; (b) peserta menganalisis sendiri situasi
permasalahan itu dan mengambil keputusan tentang cara-cara
terbaik untuk mengatasinya.
8. Simulasi
Metode ini merupakan suatu bentuk pelatihan dan
pengembangan tenaga kerja dengan menggunakan suatu alat
mekanikal yang identik dengan alat yang digunakan oleh peserta
dalam tugasnya.

88
9. Pelatihan laboratorium
Jika manajemen merasa bahwa tukar menukar pengalaman,
pemahaman perasaan, perilaku, persepsi, dan reaksi orang lain
dalam berinteraksi dalam pekerjaan, teknik yang dipandang tepat
salah satunya ialah pelatihan laboratorium.
10. Belajar sendiri
Metode ini digunakan organisasi untuk mempersiapkan bahan
pembelajaran, bentuknya dapat berupa buku pedoman, kaset, atau
video, ataupun cd pembelajaran yang mengandung berbagai bahan
yang dibutuhkan oleh para karyawan.
11. Pendidikan
Dalam program pendidikan ini, peserta program diberikan
dukungan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi sesuai
dengan kemampuan peserta dan kebutuhan organisasi.
Kombinasi pemberian teori, pelatihan, pengembangan dan praktik
baik di sekolah maupun di dunia usaha dan industri merupakan
perwujudan pembekalan peserta didik dan lulusan agar dapat
menyeimbangkan kemampuan yang diperolehnya di sekolah dan DU/DI
sehingga dapat membentuk etos kerja yang baik dan memudahkan siswa
dan lulusan terserap dalam dunia kerja. Keberhasilan penyelenggaraan
kombinasi kurikulum tersebut ditentukan oleh keterlibatan interaksi aktif
antara sekolah, DU/DI dan siswa itu sendiri. Adapun keterkaitan tersebut
digambarkan sebagai berikut.

- pemerintah - Dunia usaha


- Sekolah - perusahaan
kejuruan - instruktur
- guru sekolah teori siswa praktek perusahaan
kejuruan
- pembiayaan
- pembiayaan
oleh oleh
pemerintah perusahaan

Gambar 3.14 Interaksi antara Sekolah dan Industri melalui Para Siswa
(Murniati & Usman, 2009: 109)

89
Gambar di atas memperlihatkan adanya dua pihak yang terlibat
dalam proses pendidikan kejuruan, yaitu lembaga pendidikan (pelatihan) di
sekolah dan lapangan kerja (industri/perusahaan), yang secara bersama-
sama menyelenggarakan suatu program pendidikan dan pelatihan
kejuruan. Kedua belah pihak secara sungguh-sungguh haruslah secara aktif
menyumbangkan kontribusinya terhadap perkembangan sekolah.
Lebih lanjut keterkaitan antara kurikulum terhadap pengembangan
SMK digambarkan dalam tabel berikut.

Gambar 3.15 Keterkaitan Kurikulum dan Masukan SMK

Gambar di atas menunjukkan bahwa perpaduan antara pe-


nyelenggaraan kurikulum menjadi acuan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan kejuruan. Di samping menyertakan kurikulum nasional dalam
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, sekolah juga harus
bersinergi dengan dunia usaha dan industri dalam mengkaji relevansi
antara kurikulum di sekolah dengan tuntutan kebutuhan dunia usaha dan
industri melalui penerapan dual-based system curriculum.

90
B. Kerja Sama Antara SMK dengan DU/DI dan Stakeholders
Lainnya
Kerja sama lateral merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari upaya pengembangan potensi sekolah itu sendiri. Kerja sama tersebut
merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan menetapkan
berbagai strategi dan alternatif-alternatif alur pengembangan yang dinamis
guna mencapai tujuan organisasi yang diharapkan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan mengoptimalkan potensi sekolah serta menjalin
kerja sama dengan lingkungan eksternal sekolah. Salah satunya melalui
kerja sama antara SMK dengan DU/DI sehingga menunjang tercapainya
program sekolah khususnya dalam bidang kehumasan dan kemitraan.
Penyelenggaraan kerja sama dengan DU/DI antara lain dapat
berupa:
1. Validasi Kurikulum
Hal ini dilakukan agar materi kegiatan pembelajaran yang
tercakup dalam struktur kurikulum sesuai dengan kebutuhan dunia
kerja. Tujuannya sekolah dapat menyiapkan perangkat kurikulum
pada kompetensi keahlian yang dibuka untuk divalidasi industri,
sekolah dapat menyerap masukan DU/DI untuk diterapkan dalam
bentuk kurikulum implementatif /kurikulum industri.
2. Kunjungan Industri (KI)
Kunjungan industri dilakukan untuk memberikan wawasan me-
ngenai dunia kerja yang akan dihadapi oleh siswa sebelum
mengikuti program Prakerin.
3. Guru Tamu
Keberadaan guru tamu baik dari DU/DI maupun instansi lainnya
bertujuan untuk menerapkan proses pembelajaran di sekolah sesuai
kebutuhan industri dengan mendapat materi pembelajaran langsung
dari sumber pembelajaran (Yulianto & Sutrisno, 2014: 23).
Pendidikan sebagai human investment harus menciptakan strategi
pedagogik guna mewujudkan competitive intelligence dan memenangkan
kompetisi bisnis global melalui kerja sama kemitraan dalam sebuah
kolaborasi networking yang secara skematis saling berkebutuhan dan
ketergantungan dalam merespons kebutuhan sumber daya manusia unggul
(Yuniarsih & Suwanto, 2013: 69). Berikut skema saling keterkaitan antara

91
pendidikan dan dunia usaha dan industri dalam merespons kebutuhan
sumber daya manusia unggul.

EDUCATION
BUSINESS
AND TRAINING

INCREASED
KNOWLEDGE, BEST QUALITY
SKILLS, AND PERFORMANCE
VALUES

Gambar 3.16 Saling Keterkaitan antara Pendidikan dan Bisnis dalam


Merespons Kebutuhan Sumber daya Manusia Unggul (Gaffar, Moch.
Fachry, 2007 (Yuniarsih & Suwatno, 2013: 70)).

Skema di atas menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan


berkenaan dengan upaya menyelenggarakan manajemen pendidikan dalam
ruang pembelajaran di mana berlangsung dalam wadah SMK bertindak
sebagai learning organization. Hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya
peningkatan kualitas pembelajaran melalui pendidikan dan pelatihan untuk
mencapai performa terbaik dan peningkatan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai. Sedangkan konsep dual-based-system dapat
menunjukkan efektivitas kerja sama antara SMK dengan DU/DI dalam
bentuk:
1. Praktik Kerja Industri (Prakerin), yang tujuannya:
a) Siswa dapat menguasai kompetensi sesuai dengan bidang
keahlian yang disyaratkan DU/DI dan mendapatkan pengalaman
teknis secara langsung di lini Produksi,

92
b) Siswa dapat memiliki etos kerja yang sesuai dengan nilai – nilai
yang ada di DU/DI,
c) DU/DI dapat memberdayakan siswa untuk meningkatkan
produktivitas yang bernilai
2. Uji Kompetensi Kejuruan (UKK), tujuannya untuk mengetahui
kemampuan/kompetensi guru dan siswa sesuai standard kompetensi
di DU/DI,
3. On The Job Training (OJT) Guru, tujuannya guru dapat menambah
kompetensi yang diperoleh di industri untuk diterapkan dalam
pembelajaran di sekolah;
4. Bantuan peralatan praktik dan beasiswa dari industri;
Perusahaan umumnya memiliki program berupa pemberian sebagian
keuntungannya untuk kepentingan sosial yang salah satunya untuk
membantu dunia pendidikan, yang disebut program corporate social
responsibility (CSR);
5. Unit Produksi (UP), untuk menghasilkan tenaga profesional yang
mempunyai kemampuan teknis yang tinggi didukung oleh daya
analitis yang memadai agar dapat melaksanakan proses produksi
mengikuti kaidah produktivitas, efisiensi dan kualitas yang tinggi;
6. Recruitment/ Penempatan Tamatan, bursa kerja khusus (BKK)
sekolah berkewajiban memfasilitasi/ mempertemukan pencari kerja
(tamatan/ alumni) dengan user (perusahaan pencari tenaga kerja)
(Yulianto & Sutrisno, 2014: 24).
Dengan demikian, eksistensi SMK sebagai institusi yang memper-
siapkan peserta didik yang cakap dalam dunia usaha dan industri dapat
terpenuhi. SMK harus secara aktif melibatkan komponen lingkungan
eksternal sekolah dalam menunjang proses pembelajaran, program dan
kegiatan sekolah. Adapun unsur-unsur yang harus dilibatkan sebagai
berikut:
1. Pelaksana diklat, seperti SMK, BLK, Perguruan Tinggi, dan
lembaga-lembaga pelatihan terkait (kursus);
2. Pengambil keputusan terkait seperti Bappeda, Dinas Pendidikan,
Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan
DPRD;

93
3. Asosiasi profesi seperti Masyarakat kelistrikan Indonesia (MKI),
Ikatan Sekretaris Indonesia (ISI), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
dan sebagainya;
4. Asosiasi dunia usaha/industri, seperti KADIN dan APPINDO;
5. Donatur-donatur, baik instansi pemerintah maupun non pemerintah;
6. Pengguna lulusan seperti dunia usaha/industri, pemerintah, dan
lembaga non-pemerintah;
7. Wakil masyarakat seperti orang tua siswa, tokoh masyarakat,
organisasi kemasyarakatan/LSM, dan asosiasi tenaga kerja;
8. Lembaga-lembaga terkait seperti Direktorat Dikmenjur, Pusat
Pengembangan Penataran Guru (PPPG), BSNP, MPKP/MKPD dan
Majelis Sekolah. (Murniati & Usman, 2004: 35).
Di lain sisi, partisipasi Perguruan Tinggi dan industri sebagai
‗knowledge transfer’ dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan
pendidikan kejuruan di Indonesia. Perguruan Tinggidapat menjadi agen
‗knowledge transmit‘ baik explicit maupun tactic, keterampilan, serta
kompetensi. Perguruan tinggi dan industri juga dapat berperan dalam
kolaborasi penelitian, konsultasi, pemberian licensing, dan sebagainya.
Berdasarkan konsep di atas, dapat dikemukakan bahwa inti dari
keberadaan SMK dalam menjawab tantangan dan relevansi pendidikan
terhadap dunia usaha dan industri dewasa ini adalah bagaimana cara SMK
merevitalisasi peran kepala sekolah, budaya sekolah, pengembangan tim
kerja (teamwork), pemberdayaan staf (employee empowerment), dan
keterbukaan informasi dalam melakukan pembinaan hubungan kerja yang
baik antara DU/DI dan SMK serta dengan stakeholders lainnya.

C. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat terhadap Pendidikan


Kejuruan
Terjadinya pergeseran fungsi dan peran sumber daya manusia dalam
sebuah organisasi menyebabkan terjadinya perubahan mindset yang
mengubah posisi manusia sebagai faktor produksi menjadi key factor
dalam pengembangan sebuah organisasi dan bisnis. SMK sebagai institusi
pengembang sumber daya manusia profesional, tidak dapat berdiri sendiri
tanpa dukungan lingkungan sekitarnya. Masyarakat dan pendidikan
merupakan dua sistem yang saling berkaitan dan menunjukkan

94
keterpaduan dalam kehidupan. Dalam memperkenalkan eksistensi sekolah
menengah kejuruan, SMK perlu melibatkan masyarakat. Dalam Teori
Hierarki Kebutuhan oleh Abraham Maslow (1943) disebutkan bahwa
kebutuhan manusia diklasifikasikan atas lima jenjang yaitu physiological
needs, safety needs, social needs, esteem needs, and self-actualization
needs. Berdasarkan teori kebutuhan di atas, maka kebutuhan sosial
merupakan bagian penting dalam kehidupan. Kebutuhan sosial menjadi
motivator penting dalam asosiasi, partisipasi, dan pencapaian. Pendidikan
sebagai interaksi sosial melibatkan peran aktif lingkungan sosial dalam
memajukan pendidikan itu sendiri, karena pendidikan berasal dari
masyarakat dan untuk masyarakat itu sendiri.
Paradigma reaktualisasi partisipasi masyarakat dalam dunia pen-
didikan mengalami pergeseran makna di mana pendidikan dipandang
hanya melibatkan masyarakat elite dalam kegiatan institusional. Hal
tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan masyarakat
pada umumnya enggan dan acuh tak acuh terhadap pendidikan.
Masyarakat menganggap bahwa tanggung jawab pendidikan seluruhnya
ada di tangan pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan saja.
Maka perlu dilakukan upaya pemulihan dan pengembalian tanggung
jawab masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala
makro maupun mikro. Masyarakat harus dilibatkan sejak proses
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasinya. Begitu
juga lembaga pendidikan, ruang partisipasi tersebut perlu dibuka lebar agar
tanggung jawab tidak bertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri
(Hermanto, 2014: 184).
Keberadaan pendidikan kejuruan sebagai alternatif pendidikan yang
menyiapkan tenaga kerja menengah terampil membutuhkan partisipasi
masyarakat. Adapun partisipasi yang dapat disumbangkan masyarakat
antara lain: (a) partisipasi material bagi masyarakat yang memiliki
kemampuan ekonomi; (b) partisipasi pemikiran bagi masyarakat yang
memiliki tingkat pemikiran dan wawasan pendidikan; (c) partisipasi
tenaga/fisikal bagi masyarakat awam yang tidak memiliki kepedulian
dalam membantu sekolah; dan (d) partisipasi moral dalam bentuk
dukungan penuh oleh berbagai lapisan masyarakat (Wiratno, 2016: 29).

95
Partisipasi yang efektif antara masyarakat dan sekolah sangat
diperlukan dalam mencapai keberhasilan pendidikan kejuruan. Keberadaan
lingkungan yang harmonis sangat berperan dalam pengembangan potensi
peserta didik. Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak didik di
sekolah sangat ditentukan oleh hal-hal berikut: (1) adanya pengaruh sangat
kuat dari dorongan keluarga dan masyarakat terhadap sekolah; (2) adanya
sikap dan kehidupan rumah tangga dan keluarga; (3) adanya sikap positif
dari anak didik terhadap keluarga dan rumah tangga; (4) adanya peran
orang tua sebagai pengembang yang menjauhkan sikap negatif terhadap
eksistensi sekolah dan pendidikan, serta kepedulian dan perasaan tertarik
terhadap kurikulum sekolah dan guru; (5) adanya peran tokoh masyarakat
dalam menciptakan hubungan masyarakat (humas) dengan sekolah
(Nasution, 1995: 153).
Manajemen humas sangat dibutuhkan oleh sekolah menengah
kejuruan dalam menjalin kerja sama dengan pihak eksternal sekolah.
Keberadaan bidang hubungan masyarakat menjadi bagian penting dalam
menjalankan fungsi komunikasi keluar. Bidang kehumasan dapat berperan
dalam menyampaikan informasi kegiatan, program sekolah, promosi
sekolah, serta membantu kepala sekolah dalam mengembangkan rencana
dan kegiatan berkelanjutan yang berhubungan dengan pelayanan kepada
masyarakat (public service).
Pola interaksi yang terjalin antara sekolah dan masyarakat sebagai
hasil kerja sama akan menciptakan hal-hal berikut:
1. Objektif dan serasi. Semua informasi atau pemberitaan yang
disampaikan kepada masyarakat harus merupakan suatu ritual dari
sekolah yang bersangkutan;
2. Organisasi yang tertib dan disiplin. Hubungan sekolah dengan
masyarakat hanya akan berfungsi bilamana tugas-tugas pokok
dengan organisasi sekolah berjalan secara lancar dan efektif serta
memiliki hubungan kerja kedalam dan luar yang efektif pula;
3. Hubungan harus bersifat mendorong timbulnya keinginan untuk ikut
berpartisipasi dan ikut memberikan dukungan secara wajar dari
masyarakat;

96
4. Kontinuitas informasi. Hubungan masyarakat harus berusaha agar
masyarakat memperoleh informasi secara kontinyu sesuai dengan
kebutuhan;
5. Memperhatikan opini masyarakat. Respons yang timbul dikalangan
masyarakat sebagai feedback dari informasi yang disampaikan harus
mendapat perhatian yang sebenarnya dan sepenuhnya (Umar, 2016:
28).

97
BAB IV
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
SEBAGAI SEKOLAH BERBASIS SISTEM GANDA
(DUAL-BASED-SYSTEM)
DAN KEWIRAUSAHAWAN
(SCHOOL-BASED ENTERPRENEURSHIP)

A. Konsep Teaching Factory pada Sekolah Menengah


Kejuruan
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu strategi taktis dan
operasional dari segenap rangkaian upaya pemberdayaan manusia
Indonesia diharapkan mampu memberi kontribusi positif terhadap
pengembangan keahlian generasi Indonesia. Pendidikan kejuruan
diharapkan mampu mempersiapkan peserta didik menjadi manusia
Indonesia seutuhnya yang mampu meningkatkan kualitas hidup,
mengembangkan diri, memiliki keahlian, dan membuka peluang
meningkatkan penghasilan bagi dirinya maupun orang lain. Oleh
karenanya, sekolah kejuruan harus bekerja aktif, kreatif dan inovatif dalam
menyiapkan peserta didik menjadi tenaga kerja produktif yang mampu
memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri dan usaha, menciptakan
lapangan kerja, dan mengubah status peserta didik dari ketergantungan
dengan orang lain menjadi bangsa yang berkeahlian, berpenghasilan dan
produktif. Pengembangan dan pembekalan pengetahuan serta keterampilan
bagi peserta didik tentunya harus menjadi core project yang perlu
dicanangkan dan diselenggarakan secara matang, diperbaiki dan dievaluasi
secara terus menerus.
Data ILO menunjukkan bahwa angkatan kerja dari SMA lebih
banyak dibandingkan SMK. Pada tahun 2014, jumlah angkatan kerja
lulusan SMA mencapai 20,5 juta sedangkan SMK hanya 11,8 juta orang.
Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa jumlah
pengangguran lulusan SMK ternyata lebih besar jika dibandingkan lulusan

98
SMA dalam tiga tahun terakhir, tercatat pada tahun 2012 pengangguran
tingkat SMK hanya 9,87 persen, setahun kemudian melonjak menjadi
11,19 persen dan pada tahun 2014 menjadi 11,24 persen. Hal tersebut jauh
berbeda dengan tingkat pengangguran SMA pada tahun 2012 mencapai 9,6
persen, setahun kemudian meningkat menjadi 9,74 persen, dan turun
menjadi 9,55% pada tahun 2014.

Tabel 4.1 Angka Pengangguran Terbuka Nasional 2017


Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017
Pendidikan 2015 2016 2017
No. Tertinggi Yang
Februari Agustus Februari Agustus Februari
Ditamatkan
Tidak/belum
1 124.303 55.554 94.293 59.346 92.331
pernah sekolah
Tidak/belum tamat
2 603.194 371.542 557.418 384.069 546.897
SD
3 SD 1.320.392 1.004.961 1.218.954 1.035.731 1.292.234
4 SLTP 1.650.387 1.373.919 1.313.815 1.294.483 1.281.240
SLTA
5 1.762.411 2.280.029 1.546.699 1.950.626 1.552.894
Umum/SMU
SLTA
6 1.174.366 1.569.690 1.348.327 1.520.549 1.383.022
Kejuruan/SMK
7 Akademi/Diploma 254.312 251.541 249.362 219.736 249.705
8 Universitas 565.402 653.586 695.304 567.235 606.939
Total 7.454.767 7.560.822 7.024.172 7.031.775 7.005.262

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS di atas, diketahui


bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ternyata masih banyak
menganggur, yakni mencapai 9,27 persen, jauh di atas rata-rata nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat pengangguran terbuka (TPT)
pada Februari 2017 menjadi 5,33 persen. Angka tersebut turun dari periode
sebelumnya, yakni sebesar 5,50 persen. Akan tetapi, tingkat pengangguran
tersebut masih didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Angka pengangguran lulusan SMK menjadi permasalahan krusial
yang masih perlu dicarikan solusi terbaik. Pembenahan dan evaluasi secara
menyeluruh terhadap penyelenggaraan pendidikan kejuruan perlu
pengkajian berkelanjutan, termasuk penerapan sistem ganda dengan
konsep ―link and match”, penyelenggaraan unit produksi serta kinerja
bursa kerja khusus.

99
Kenyataan empirik tersebut menunjukkan bahwa masih ada masalah
yang perlu dikaji ulang dalam pengelolaan pendidikan kejuruan di
antaranya relevansi antara kompetensi peserta didik dan lulusan yang
dihasilkan pendidikan kejuruan masih belum sesuai dengan permintaan
pasar, pengangguran lulusan masih belum teratasi, keterkaitan antara
muatan pembelajaran di sekolah dengan kegiatan magang (prakerin)
peserta didik di dunia usaha dan industri belum merupakan prioritas guru,
mutu pendidikan kejuruan masih rendah, dan akses terhadap pelayanan
pendidikan menengah kejuruan masih belum memadai (Dikmenjur, 2004).
Di lain sisi, masih rendahnya investasi dan partisipasi dunia usaha
dan industri terhadap pendidikan kejuruan, minimnya program dan muatan
keterampilan, serta belum terpenuhinya sarana prasarana pendukung
praktik kerja peserta didik menjadi hambatan tersendiri dalam
mengembangkan pendidikan kejuruan di Indonesia. Kajian kritis yang
dikemukakan oleh Slamet (2014: 31) menyimpulkan bahwa:
Hampir seluruh SMK saat ini hanya menyelenggarakan fungsi
tunggalnya yaitu menyelenggarakan pendidikan kejuruan dan
mempersiapkan lulusan yang siap kerja. Fungsi-fungsi lainnya yang
tak kalah penting belum dilaksanakan secara maksimal, misalnya
pelatihan bagi penganggur, pelatihan bagi karyawan perusahaan,
pengembangan praktik kerja industri (teaching factory), industri
masuk SMK (teaching industry), lembaga sertifikasi profesi, tempat
uji kompetensi, dan pengembangan bahan pelatihan.
Karenanya, sumber daya yang dimiliki oleh SMK belum dapat
dimaksimalkan sebaik-baiknya demi pengembangan SMK.
Menanggapi urgensi perkembangan global yang menyertakan
industri sebagai bagian dari pasar dunia, mengharuskan excellence in
manufacturing menjadi misi utama pada setiap negara di dunia.
Keberadaan manufacturing education menjadi langkah kebijakan yang
perlu dikembangkan. Pendidikan dapat dijadikan senjata ampuh dalam
mempersiapkan generasi profesional yang dapat terjun langsung dalam
pasar tenaga kerja internasional. Dalam hal tersebut, sekolah menengah
kejuruan perlu diarahkan dalam mempersiapkan pengembangan tujuan
strategis yang mengacu pada perkembangan pasar global, mengadakan
gebrakan-gebrakan percepatan pengembangan sekolah menengah

100
kejuruan, mengembangkan rencana dan aksi berkelanjutan. Lebih lanjut,
ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dan dikaji ulang oleh sekolah
menengah kejuruan saat ini guna memenuhi tuntutan global, di antaranya:
new strategic developments for future global manufacturing
education require: 1) Synergy between academia stakeholders and
industry. This facilities the integration among academic activities
(education and training, research and development, and
community/industrial services) so that educational institution can
contribute a significant impact on industrial competitiveness and
tecnological development; 2) developing skill required for the next-
generation human resources for manufacturing. Education program
should fulfill the new requirement of knowledge-based
manufacturing, promote innovation and entrepreneurship, and focus
on teamwork, leadership and integrity, global awareness and multi-
cultural spirit (Ilyas & Semiawan, 2012: 7)
Pernyataan di atas menyatakan bahwa perlu adanya sinergi dan kerja
sama antara penyelenggaraan pendidikan kejuruan dengan melibatkan
unsur-unsur terkait seperti pendidikan dan pelatihan (seperti Balai Latihan
Kerja (BLK), lembaga pemerintahan lainnya), research dan development
(Perguruan Tinggi), dan community/industrial service (DU/DI dan
masyarakat)). Sekolah menengah kejuruan tidak dapat berdiri sendiri
dalam mencapai tujuan namun menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kontribusi masyarakat, DU/DI dan stakeholders lainnya. Salah satu
upaya yang dilakukan SMK dalam menjawab tantangan DU/DI dan
tuntutan masyarakat tersebut adalah melalui praktik kerja industri
(teaching factory).
Penerapan pendidikan sistem ganda dengan konsep ―link and
match‖ tersebut merupakan tonggak bersejarah bagi langkah dasar
pemerintah dalam melibatkan industri dalam dunia pendidikan kejuruan.
Pendidikan kejuruan yang berintegrasi dalam proses produksi baik dengan
dunia usaha maupun industri diharapkan mampu membuka peluang dan
pengalaman kerja bagi peserta didik dan lulusan SMK di masa mendatang.
Sekolah menengah kejuruan juga perlu menyiapkan sumber daya manusia
yang memiliki landasan knowledge-based manufacturing, mempromosikan
langkah-langkah inovatif dan jiwa kewirausahawan, fokus pada

101
pengembangan teamwork, leadership, serta sadar akan tantangan global
yang menghadang.
Konsep teaching factory merupakan upaya pengoptimalan fungsi
industri dan sekolah dalam mengondisikan peserta didik dalam lingkungan
nyata dunia industri dan usaha. Hal tersebut dimaksudkan agar peserta
didik siap terjun ke dunia usaha dan industri di masa yang akan datang.
Ciri khas teaching factory adalah interaksi langsung antara peserta didik
dengan dunia usaha dan industri di mana terjadi diskusi, berbagi informasi,
pengalaman kerja, serta prosedur dan mekanisme kerja profesional.
Rentzos, et al. (2014: p.190) mengemukakan bahwa:
The “factory-to-classroom” concept of the teaching factory aims at
transferring the real production/manufacturing environment to the
classroom. The real life production site needs to be used for
teaching purposes in order to enhance the teaching activity with that
of the knowledge, existing in the processes of every day industrial
practice. Towards this direction, delivery mechanisms that will
allow the students in a classroom to apprehend the production
environment, in full context, need to be defined and developed.
Dengan konsep dual-based-system yang coba mengkolaborasikan
pembelajaran dan pengalaman kerja selama di dunia industri dan usaha
serta pembelajaran di dalam kelas diharapkan mampu meningkatkan
kapasitas pengembangan kemampuan dan keahlian peserta didik.
Pengkondisian factory to classroom bertujuan untuk mentransfer
lingkungan nyata produksi ke dalam ruang kelas, hal tersebut dimaksudkan
agar peserta didik dapat memperoleh ilmu pengetahuan dalam serangkaian
aktivitas yang dilakukan selama prakerin berlangsung.
Adapun contoh proses implementasi teaching factory dapat dilihat
dalam siklus berikut.

102
Gambar 4.1 Model Pengembangan Pembelajaran berbasis Teaching
Factory (G. Chryssolouris et al. (2016: 45))

Gambar di atas menunjukkan bahwa pada setiap pekan dilakukan


siklus pembelajaran dengan memadukan pembelajaran berbasis
pemecahan masalah di Industri dengan penyelesaian masalah di dalam
kelas/ laboratorium sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadinya
diskusi terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan dengan mencari
alternatif penyelesaian terbaik di dalam kelas demi peningkatan kinerja
peserta didik di lapangan.
Adapun integrasi siklus teaching factory industrial project dibuat
dalam beberapa siklus mingguan sebagai berikut.

Project Supporting
Work (5h) Class (4h)

Teaching
Factory Project
Session Work (5h)
(2h)

Gambar 4.2 Model Siklus Mingguan dengan Pendekatan Pendidikan


teaching Factory (Rentzos, et al., 2014: 191)

103
Dalam sesi teaching factory, peserta didik dilibatkan dalam berbagai
interaksi meliputi diskusi, berbagi presentasi, video langsung dari bagian
produksi dan mekanisme penyampaian lainnya, tergantung pada
kondisi/masalah yang dihadapi peserta didik di lapangan. Dalam tahapan
praktik langsung, peserta didik dilibatkan dalam serangkaian
aktivitas/project work yang menawarkan pengalaman kerja, pemecahan
masalah, dan solusi dari project tersebut. Project work dapat
diselenggarakan sebelum atau setelah supporting class. Supporting class
tersebut berlangsung di sekolah asal peserta didik masing-masing. Selama
supporting class, para peserta didik mengangkat permasalahan yang terjadi
sepanjang teaching factory dan memecahkan permasalahan tersebut
dengan solusi terbaik. Keberadaan academic supervisor sangat penting
dalam supporting class tersebut, pembimbing bertindak sebagai penengah
yang bertanggung jawab dalam menggerakkan diskusi dan mengarahkan
peserta didik dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
di lapangan.
Lebih lanjut, G. Chryssolouris et al. (2016: 46) juga mendesain
model pengembangan dual-based system sebagai berikut.

Gambar 4.3 Integrasi antara praktik Industri dan Akademik (G.


Chryssolouris et al. (2016: 46))

104
Gambar di atas merupakan salah satu contoh penerapan teaching
factory dalam praktik permesinan. Dalam serangkaian tahapan di atas
diketahui bahwa penyelenggaraan praktik kerja industri dapat dilakukan
dengan mengadaptasikan tiga fase yaitu: 1) pre-engineering-concept
engineering-detail engineering- implementation yang diperkenalkan oleh
para praktisi saat praktik di dunia industri; 2) Simulation material flow-
process planning-line balancing-Specification Tools & Equip.,di mana
pada tahapan ini peserta didik melakukan simulasi materi, perencanaan,
analisis terhadap perhitungan keseimbangan hasil produksi dengan
membagi beban antar proses secara berimbang, dan melakukan spesifikasi
terhadap peralatan; 3) Theory/Classroom-One-off lab sessions-exams, pada
tahapan terakhir ini, peserta didik akan mengikuti rangkaian ujian untuk
menguji perkembangan skill para peserta didik.
Namun, masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan praktik
kerja industri adalah masih belum adanya pendekatan dan kurikulum
bersama yang dibuat oleh pihak sekolah dan DU/DI selama proses
teaching factory berlangsung sehingga terkesan bahwa penyelenggara-
annya tidak link and match dan terorganisir dengan baik. Penyelenggaraan
factory-to-classroom seharusnya mempersiapkan kurikulum dan modul
pembelajaran terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan prakerin
sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan
terhadap tujuan dan ketidakteraturan terhadap penyelenggaraan prakerin di
lapangan.
The education institutions are required to identify: (a) a suitable
education system/model in relation to their excellences with respect
to the recent educational system/models, and (b) an appropriate
curriculum for the specific requirements of the local manufacturing
industries. The underpinning idea of this is that the development of
the curriculum or academic program should be based on a global
definition and that the development of the curriculum or academic
program should be based on a global definition and understanding
of manufacturing industry requirements for education and training
(Dan, 2003).
Kajian di atas menyimpulkan bahwa institusi pendidikan perlu
mengidentifikasi dua hal yaitu model/sistem pendidikan dan kurikulum
prakerin. Model penyelenggaraan prakerin yang tepat harus disesuaikan

105
dengan perkembangan model/ sistem pendidikan saat ini. Sedangkan
kurikulum prakerin harus disesuaikan dengan persyaratan yang diajukan
oleh DU/DI serta berdasarkan pada perspektif global dan dikolaborasikan
dengan kebutuhan dan kesepakatan dengan pendidikan kejuruan itu
sendiri.
Rentzos, et al. (2014: 191) mengemukakan lima kategori dalam
pengembangan modul bagi teaching factory di antaranya:
(1) modul industri, (2) kurikulum, (3) penyampaian mekanisme
modul, (4) penggambaran melalui penyampaian ICT, dan (5)
kursus/pelatihan. Pertama, pada kategori “factory”, modul yang diberikan
sesuai dengan kegiatan produksi dan proses di industri dan dunia kerja.
Kedua, kurikulum/standar pembelajaran yang akan di ajarkan selama
teaching factory. Ketiga, menetapkan mekanisme penyampaian modul.
Keempat, penyampaian melalui ICT, seperti video conferencing atau web
service. Kelima, kursus yang berkaitan dengan akomodasi selama sesi
teaching factory.
Kurikulum dan modul praktik kerja industri merupakan hal ter-
penting bagi penyelenggaraan teaching factory, di mana kurikulum
menjadi acuan pembelajaran yang perlu disampaikan dan dikuasai oleh
peserta didik agar memperoleh pengalaman kerja dan menambah
pengetahuan serta keterampilan. Jika praktik kerja industri (prakerin)
diselenggarakan tanpa adanya kurikulum atau modul yang pasti,
kemungkinan terjadinya bias dari tujuan pembelajaran tak dapat dihindari
yang tentunya merugikan kedua belah pihak baik bagi dunia industri dan
usaha yang merasa bahwa kecakapan peserta didik sama sekali belum
memenuhi standar minimal praktik DU/DI, serta peserta didik tidak
memperoleh pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang berarti.

B. Pengembangan Unit Produksi Sebagai Bagian dari


Production-Based Education
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 pada Pasal 29 ayat 2,
menyatakan bahwa untuk mempersiapkan peserta didik menjadi tenaga
kerja maka SMK dapat mendirikan Unit Produksi atau Jasa (UP/J) yang
beroperasi secara profesional. Keberadaan kegiatan unit produksi
dimaksudkan agar SMK mampu menambah pembiayaan sekolah serta

106
dapat dijadikan upaya pemeliharaan peralatan serta peningkatan sumber
daya manusia dan latihan kerja. Oleh karenanya, SMK idealnya harus
memberikan pengalaman kerja dan praktik produksi pada peserta didik
melalui pengembangan unit produksi sehingga peserta didik menguasai
kompetensi produktif secara profesional, menumbuhkan rasa percaya diri
peserta didik serta mendorong peserta didik membuka lapangan kerja
sendiri di kemudian hari.
Penyelenggaraan kegiatan produksi di SMK bertujuan memberi
gambaran dan kondisi nyata dunia usaha dan industri yang coba dihadirkan
dalam institusi pendidikan kejuruan baik secara teknis maupun prosedural.
UNESCO (1981) mengemukakan bahwa ―production is a fundamental
base of economic and social development of a country and the integration
of theory and practice in the learning process can make a useful
contribution to the educational reform leading to these development.”
Produksi merupakan dasar fundamental dari perkembangan ekonomi dan
sosial, pengintegrasian teori dan praktik dalam proses pembelajaran dapat
memberi kontribusi yang berguna dalam mengarahkan reformasi terhadap
perkembangan pendidikan. Pengembangan unit produksi dapat dijadikan
salah satu strategi (win-win solution) melalui kemitraan antara dunia
industri dan usaha dengan pendidikan vokasi dalam menyiapkan tenaga
kerja menengah profesional.
Keberadaan unit produksi dalam institusi pendidikan kejuruan
menjadi wadah pengembang kualitas, etos kerja dan keterampilan peserta
didik dalam situasi nyata dunia kerja dan industri sehingga menumbuhkan
karakter disiplin, percaya diri, tanggung jawab, kepemimpinan dan kerja
sama. Pengembangan unit produksi juga dapat dijadikan sarana
peningkatan hasil belajar peserta didik.
Dalam praktiknya, penyelenggaraan unit produksi masih mengalami
hambatan. Penelitian yang dilakukan oleh (Usman, et al., 2017: 1)
menunjukkan bahwa masih ada SMK yang belum mengembangkan unit
produksi di sekolahnya. Faktor penghambat penyelenggaraan unit produksi
antara lain pemasaran produk, kerja sama dengan DU/DI dan stakeholders
lainnya, fasilitas, analisis usaha, legalitas terhadap unit usaha, serta masih
kurangnya partisipasi tenaga pendidik dan kependidikan yang mau terlibat
dalam pengembangan unit produksi di sekolah.

107
Dalam menyelenggarakan unit produksi, ada beberapa tahapan yang
perlu dipersiapkan antara lain perencanaan, implementasi, pengawasan,
evaluasi, koreksi dan tindak lanjut yang dijabarkan sebagai berikut.

1. Perencanaan Unit Produksi


Perencanaan merupakan proses langkah kegiatan yang akan di-
laksanakan pada masa mendatang untuk mencapai tujuan. Perencanaan
mengandung setidaknya unsur-unsur (1) sejumlah kegiatan yang
ditetapkan sebelumnya, (2) adanya proses, (3) hasil yang ingin dicapai, dan
(4) menyangkut masa depan dalam waktu tertentu (Usman, 2013: 77).
Dalam proses perencanaan, unit produksi juga dapat mengadaptasi-
kan proses perencanaan strategis sebagai berikut.

Stop in
process

Gambar 4.4 Perencanaan Strategis (Greenberg & Baron, 2003: 598)

108
Dalam rangkaian perencanaan strategis unit produksi di atas, hal
utama yang perlu diperhatikan adalah tujuan unit produksi itu sendiri,
selanjutnya menetapkan lingkup produksi dan pelayanan yang akan
diselenggarakan, menaksirkan kesiapan lingkungan internal dan eksternal,
menganalisis persiapan internal, menaksirkan manfaat kompetitif,
mengembangkan strategi persaingan, mengomunikasikan strategi pada
stakeholders, menjalankan strategi, dan mengevaluasi hasil.
Lebih lanjut, perencanaan unit produksi setidaknya mengacu pada
empat pendekatan, yaitu: ―(1) pendekatan kebutuhan sosial (social demand
approach), (2) pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach),
pendekatan untung rugi (cost and benefit approach) dan (4) pendekatan
keefektifan biaya (cost effectiveness approach)‖ (Usman, 2013: 87).
Dengan mempertimbangkan pendekatan-pendekatan tersebut diharapkan
implementasi unit produksi dapat berjalan dengan baik dan mencapai
tujuan yang diharapkan.
Perencanaan kegiatan unit produksi dapat dilakukan melalui tahapan
penentuan tujuan, visi, misi, sasaran, sosialisasi rencana kegiatan unit
produksi kepada seluruh warga sekolah, melakukan analisis terhadap
rencana penyelenggaraan, membentuk tim pengembang UP/J (Unit
Produksi dan Jasa), struktur pengembang unit produksi sekolah, penetapan
SK, promosi produk, dan uji coba. Sebelum merencanakan perencanaan
unit produksi ada baiknya sekolah mengacu pada pertanyaan mendasar
berikut (Unesco, 1982):

109
What are the ultimate objective of the production unit short term and long term?

Should a production unit be combined with pre-service or in-service training of the


teachers and in what form?

To what institution should it be attached , should this be a technical teacher training,


institution or reasearch and curriculum center, or should it be adminstrated by
equipment division of the ministry ofeducation or separate unit of educational
system?

What type of legislative measures will be required to get the centre operation and in
what form can co-operation and co-ordination can be assured?

What are the costs both on capital investment in term of building and instrument,
recurrenct expenditures for the staff costs,supply, and other operational cost?

What is the anticipated financial income from the sale of the manufactured goods?

Gambar 4.5 Pertanyaan Mendasar dalam Merencanakan Unit Produksi


(Unesco, 1982)

Dalam merencanakan pengembangan unit produksi diperlukan


serangkaian keputusan yang mengacu pada pertanyaan mendasar yang
dikemukakan di atas, mengenai: 1) menentukan tujuan utama dari unit
produksi baik jangka pendek dan jangka panjang; 2) menetapkan model
pengkombinasian unit produksi dengan pelatihan pra-service atau in-
service para guru; 3) menentukan lembaga yang harus dilibatkan (pusat
pelatihan teknis guru, lembaga atau pusat penelitian dan kurikulum, atau
harus diadministrasikan oleh Divisi Perlengkapan Kementerian Pendidikan
atau unit terpisah dari sistem pendidikan itu sendiri); 4) mengkaji jenis
tindakan legislatif yang diperlukan, bentuk kerja sama dan koordinasi yang
sesuai; 5) menetapkan ultimasi alokasi pendapatan keuangan apakah
bersumber dari penjualan barang-barang yang diproduksi/pelayanan jasa;
6) menentukan besaran biaya investasi modal dalam hal pengembangan
dan instrumen, pengeluaran rekuren untuk biaya staf, pasokan, dan biaya
operasional lainnya; dan 7) menentukan alokasi penggunaan pendapatan
finansial dari penjualan barang manufaktur.

110
Menurut The Juran Trilogy (1998: 26), ada tiga pertimbangan dalam
mencapai konsep kebermutuan yaitu perencanaan mutu, kontrol mutu, dan
perbaikan mutu. Perencanaan pengembangan kualitas produk dan jasa
meliputi pengembangan produk, sistem, dan proses yang dibutuhkan untuk
memenuhi atau melampaui harapan pelanggan, sehingga langkah yang
dapat dilakukan antara lain: 1) menentukan siapa yang menjadi pelanggan,
2) mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan, 3) mengembangkan produk
dengan keistimewaan yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, 4)
mengembangkan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi untuk
menghasilkan keistimewaan, dan 5) menyebarkan rencana kepada level
operasional (Tjiptono & Diana, 2003: 55).Lebih lanjut, menurut Finnish
National Board of Education (2008: 13) mengemukakan tahapan-tahapan
yang harus dipenuhi oleh VET (vocational Education and training) dalam
melakukan perencanaan meliputi:
1) identify external and internal customers, priorities different
customer groups and take each group’s needs and expectations into
account when planning education, training, and other services in
co-operation with key VET stakeholders; 2) identify the needs of
prospective and potential students and co-operate with key
stakeholders; 3) make systemics use of forecast data and anticipate
the needs of the world of work together with key stakeholders,
planning education, training, and development services responsive
to the world of work on the basis of anticipation; 4) set clear and
measurable objectives for each customer group in line with the
chosen strategy and plan individual educational solutions for
deifferent students; 5)involve different customer groups in
development of education, training, and other services.
Pernyataan di atas mengemukakan bahwa dalam merencanakan unit
produksi, pertama, lakukanlah analisis terhadap pelanggan yang berasal
dari lingkungan eksternal dan internal sekolah, skala prioritas, kebutuhan,
dan harapan para pelanggan. Kedua, identifikasi kebutuhan prosfektif dan
pelibatan peserta didik yang potensial dan kooperasi dengan key
stakeholders. Ketiga, buatlah data peramalan yang sistemik dan antisipasi
terhadap kebutuhan dunia industri dan usaha. Keempat, tetapkanlah tujuan
yang jelas dan dapat terukur disesuaikan dengan strategi yang tepat dalam
menawarkan kesesuaian solusi pendidikan terhadap perbedaan bakat dan

111
potensi peserta didik. Kelima, melibatkan kelompok pelanggan dalam
pengembangan pendidikan, pelatihan dan pelayanan lainnya.
Perencanaan adalah suatu upaya menentukan langkah yang akan
dijalankan dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada demi
mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun syarat yang harus dipenuhi
sehingga perencanaan dapat dikatakan baik, ialah:
1. Rencana dapat mempermudah setiap upaya untuk mencapai tujuan.
2. Penyusunan rencana perlu ditangani oleh ahlinya dengan
kemampuan dan pengetahuan memadai.
3. Penyusunan rencana harus dilaksanakan oleh mereka yang ahli dan
berpengalaman di bidangnya.
4. Perencanaan yang baik, merupakan hasil dari kombinasi antara top
down dan bottom up.
5. Perencanaan yang disusun harus didasarkan pada data yang akurat
dan telah melalui tahapan uji coba.
6. Perencanaan perlu disertai dengan program kerja atau rencana aksi.
7. Perencanaan perlu secara jelas menggambarkan skala prioritas.
8. Perencanaan disusun dengan cara dan bahasa yang sederhana,
sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaannya, terutama bagi
mereka yang tidak terlibat dalam penyusunan perencanaan.
9. Perencanaan yang baik adalah yang fleksibel, sebagai antisipasi atas
perubahan, kebijakan pemerintah dan kondisi yang tidak menentu.
10. Tersedia celah-celah jika pada suatu saat tertentu terpaksa dilakukan
penyimpangan agar bisnis perusahaan tidak terganggu.
11. Dalam penyusunan hendaknya telah memperhitungkan berbagai
kemungkinan faktor-faktor ketidakpastian.
12. Perencanaan dihitung serealistis mungkin, dengan mengabaikan
keinginan-keinginan pihak tertentu.
13. Perencanaan disusun sebagai suatu hal yang dapat dilaksanakan
(realistis) (Rivai & Sagala, 2009: 42-43).

112
2. Penyelenggaraan Unit Produksi
Penyelenggaraan produksi merupakan bagian inti dari serangkaian
tahapan produksi. Jika tahapan perencanaan telah dilakukan maka sekolah
dapat menjalankannya serangkaian aktivitas sebagai berikut.

Gambar 4.6. The Value Creation Stages in Manufacturing Industry


(Chryssolouris & Mavrikios (2006))

Mengacu pada tahapan penyelenggaraan produksi pada perusahaan


dan industri, di mana unit produksi perlu mempertimbangkan tahapan
sebelum produksi, saat produksi dan setelah produksi. Hal tersebut
dimaksudkan agar terciptanya quality ansurance terhadap produk yang
dihasilkan. Sekolah menengah kejuruan ada baiknya juga berpedoman
pada tahapan tersebut guna memperoleh hasil yang maksimal.
Lebih lanjut, model pengembangan unit produksi dapat juga
mengacu pada gambar yang diilustrasikan oleh Sumual et al. (2016: 64)
berikut.

113
Students

Institution
partrtner
product/
service
UP
school SWOT Planning
resources analysis Actuating
Controlling

Lab/
law
Work Firm
shop

Gambar 4.7 Model Pengembangan Unit Produksi (Sumual,et al., 2016: 64)

Secara garis besar, ada beberapa model dan strategi pengembangan


unit produksi yang dapat diadaptasikan di sekolah menengah kejuruan
sebagai berikut (Usman, et al.(2017: 3).

penyelenggaraan unit produksi


beroreintasi pada latihan kerja dan
penilaian bagi peserta didik
(Production Based Training)

penyelenggaraan unit produksi


sebagai badan usaha produksi
sekolah yang beroreintasi profit

penyelenggaraan unit produksi


yang bermitra dengan dunia usaha
dan industri dan stakeholders
lainnya

Gambar 4.8 Strategi Penyelenggaraan Kegiatan Unit Produksi (Usman, et


al., 2017)

114
Gambar di atas menunjukkan bahwa strategi pengembangan unit
produksi dilakukan melalui: (1) pengembangan unit produksi yang
berorientasi pada latihan kerja dan penilaian (on the job training) bagi
peserta didik (Production Based Training), (2) penyelenggaraan unit
produksi sebagai badan usaha produksi sekolah yang berorientasi profit,
dan (3) penyelenggaraan unit produksi yang bermitra dengan dunia usaha
dan industri dan stakeholders lainnya. Penyelenggaraan kegiatan unit
produksi dapat dikembangkan melalui model badan usaha yang bergerak
di bidang pelayanan jasa (service) maupun produksi. Sedangkan pelayanan
jasa dapat dilaksanakan melalui kontrak maupun sub kontrak dengan mitra
maupun permintaan pelanggan secara langsung. Unit produksi juga dapat
berupa badan usaha yang melakukan kegiatan produksi dan pemasaran
hanya dilakukan sebatas memenuhi kebutuhan lingkungan sekolah saja
seperti kantin sekolah.
Lebih lanjut, penyelenggaraan unit produksi sebagai latihan kerja
(on the job training) bagi peserta didik juga dapat dilakukan dengan tujuan
menghasilkan produk guna kegiatan pembelajaran dan penilaian siswa,
tidak melakukan pemasaran terhadap produk lebih lanjut kepada
masyarakat, sebagai contoh pembuatan desain batik sekolah.
Penyelenggaraan unit produksi yang bermitra dengan dunia usaha dan
industri juga dilakukan dengan menjalin kerja sama di bidang pelayanan
jasa seperti melakukan perawatan terhadap perangkat otomotif, perangkat
komputer, periklanan, permesinan dan sebagainya.
Terkait tentang penyelenggaraan unit produksi, sekolah dapat
melakukan model pengembangan dengan berpegang pada prinsip
perbaikan terus menerus yang dikenal dengan Deming Quality Cycle
(Plan, Do, Check, Act, and Analyze) (Tjiptono & Diana, 2003: 51).
Penyelenggaraan unit produksi yang baik harus menyertakan jaminan
mutu terhadap produk dan layanan jasa yang diberikan. Adapun ilustrasi
mekanisme integrasi dalam penyelenggaraan Production Based Education
sebagai berikut.

115
Production Education
INDUSTRIAL DEMANDS STANDARD COMPETENCY

CURRICULUM DEVELOPMENT

PRODUCT ANALYSIS

ENTRANCE
CONTRACT ORDER TEST

QUALITY PLANNING PROGRAM PLANNING

DESIGN
INTEGRATION PLANNING OF EDUCATION &
PRODUCTION
PRODUCTION PLAN

IMPLEMENTATION INTEGRATION OF EDUCATION &


PRODUCTION PROCESS
PRODUCTION

QUALITY CONTROL PROGRAM IMPLEMENTATION

DELIVERY EVALUATION

Gambar 4.9 Mekanisme Integrasi Production Based Educationa (PBE)


(Hadiwaratama, 1997)

Sekolah menengah kejuruan juga harus mempertimbangkan


pembentukan kemampuan strategik guna menciptakan nilai keunggulan
unit produksi di antaranya (Yuniarsih & Suwanto, 2013: 73-74):
a. Membangun customers relationship management (CRM) untuk
memberikan kepuasan (customers satisfaction) dan menumbuhkan
kesetiaan pelanggan (customers loyalty).
b. Mengembangkan hubungan baik dengan stakeholders untuk
menumbuhkan kepercayaan (trust) dan rasa percaya diri
(confidence).
c. Membangun pusat-pusat keunggulan.
d. Mengaplikasikan ICT dalam pembelajaran dan manajemen.
e. Menumbuhkan profesionalisme.
f. Membangun kerja sama, kemitraan, dan networking.

116
Lebih lanjut, Yuniarsih & Suwanto menyatakan bahwa memperluas
ikatan (expand boundaries) membantu organisasi mempengaruhi perilaku
pelanggan, suppliers, distributor, dan individu lainnya yang mengatur
kegiatan internal, agar membuahkan hasil yang saling menguntungkan
yang dalam implementasinya tidak terlepas dari rantai nilai (value chain),
yaitu rantai bisnis yang dilakukan untuk mendapatkan nilai maksimum
(maximum value) dengan pengeluaran total cost yang rendah yang secara
sederhana diilustrasikan dalam gambar berikut (Lengnick-Hall (Yuniarsih
& Suwanto, 2013: 74).

raw
material

sales and after-sales-


production marketing service

machine
tool

Gambar 4.10 Ilustrasi Rantai Nilai Sederhana


Sumber: Lengnick-Hall, 2003, Human Resource Management in The Knowledge Economy
(Yuniarsih & Suwanto, 2013: 74).

Efektivitas rangkaian di atas tergantung pada seberapa efisien dan


mantap koordinasi terjalin dimulai dari pemberian pasokan bahan mentah,
mesin-mesin, produsen melakukan proses produksi hingga memberi
pelayanan penjualan dan pemasaran produk. Target utama yang ingin
dicapai dalam rantai nilai tersebut adalah penambahan nilai yang bisa
diberikan oleh masing-masing pihak kepada pengguna berikutnya untuk
meningkatkan keuntungan organisasi. Dalam hal ini, unit produksi SMK,
perlu berpegang pada rantai nilai di atas, di mana kesiapan unit produksi
dalam mempersiapkan bahan baku dan mesin mempengaruhi kesiapan
tahapan produksi selanjutnya yang berimbas terhadap penjualan dan
pemasaran sehingga mempengaruhi penilaian terhadap rangkaian setelah
penjualan dan pelayanan dilakukan. Oleh karenanya, perencanaan, langkah
aksi dan koordinasi merupakan bagian penting dari kesatuan padu dalam
mengembangkan unit produksi yang tidak dapat dipisahkan dalam
rangkaian produksi.

117
3. Pengendalian Unit Produksi
Pengendalian merupakan proses pemantauan, penilaian, dan
pelaporan rencana atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan untuk
tindakan korektif guna penyempurnaan lebih lanjut (Usman, 2013: 534).
Setiap proses pengawasan dan pengendalian terdiri atas (1) pedoman atau
rencana waktu, indikator kinerja, program pembiayaan, dan prosedur
pelaksanaannya; (2) umpan baik melalui sistem pelaporan yang baik; (3)
mengevaluasi hasil pantauan untuk mendapatkan permasalahan
pelaksanaan yang harus dipecahkan; (4) tindak lanjut korektif (Usman,
2013: 540). Evaluasi penyelenggaraan unit produksi merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian aksi pengendalian mutu unit
produksi itu sendiri. Oleh karenanya, evaluasi internal dan evaluasi
eksternal yang melibatkan DU/DI dan pelanggan sangat dibutuhkan guna
melakukan koreksi dan perbaikan mutu pelayanan unit produksi sehingga
kapabilitas dan keterampilan peserta didik dapat ditingkatkan.
Adapun tujuan pengawasan dan pengendalian antara lain:
1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan;
2. Mencegah berulangnya kembali kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan;
3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah
baik;
4. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, dan
akuntabilitas organisasi;
5. Meningkatkan kelancaran operasi;
6. Meningkatkan kinerja organisasi;
7. Memberikan opini atas kinerja organisasi;
8. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-
masalah pencapaian kinerja yang ada;
9. Menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih (Usman, 2013:
535).
Berdasarkan kerangka di atas, penyelenggaraan unit produksi
dilakukan melalui serangkaian perencanaan, implementasi, evaluasi,
metode, dan umpan balik yang saling mempengaruhi dan berintegrasi
terhadap kesuksesan penyelenggaraan kegiatan unit produksi selanjutnya.

118
C. Unit Produksi sebagai Pre-Service Pengembangan Jiwa
Kewirausahaan (Enterpreneurship)
Keberadaan unit produksi sekolah tidak terlepas dari eksistensi
pendidikan kejuruan. Sekolah kejuruan dengan slogan ‗SMK bisa‘ tersebut
diharapkan mampu melahirkan para pengusaha muda kreatif dan inovatif
yang mampu berdikari membangun usaha sendiri. Lulusan SMK juga
diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Di lain
sisi, terbuka juga peluang yang besar bagi lulusan SMK untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi menjadi nilai tambah mengapa
SMK menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat.
Perkembangan ekonomi global saat ini mencoba menghadirkan
peran dunia pendidikan dalam mempromosikan industri dan usaha. Hal
tersebut diilustrasikan dalam gambar berikut.

Gambar 4.11 Peran Pendidikan dalam Mempromosikan Manufacturing


Excellence (Chryssolouris, G. & D. Mavrikios (2006))

Keterlibatan pendidikan dalam dunia industri dan usaha merupakan


strategi tepat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa melalui
pendidikan, promosi industri dan kewirausahaan. Kewirausahaan telah
terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap lapangan kerja,
inovasi, dan seluruh perekonomian suatu wilayah atau bangsa (Hisrich,
2011). Perkenalan terhadap dunia industri dan usaha dapat dilakukan
melalui pembekalan kewirausahaan pada warga sekolah khususnya peserta
didik, lulusan sekolah menengah kejuruan, guru serta tenaga kependidikan
lainnya baik melalui praktik kerja industri dan keberadaan unit produksi.

119
Kewirausahaan merupakan proses penciptaan sesuatu yang baru
pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung
risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima
imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi
(Hisrich, Peters & Sheperd (2008: 10).
Entreprenuership is a dynamic process in creating wealth which is
created by individuals who handle risks in the form of capital, time,
and career commitment. Entrepreneurship is a symbol to the
process and the achievement of business. This continued effort to
realize the idea combine in one single perspective to form an
individual with the mindset of an entrepreneur (Hamzah, Yusof &
Abdullah (2009: 536).
Kewirausahaan merupakan proses dinamik dalam mencapai cita-cita
finansial yang dilakukan oleh individu dengan menangani masalah-
masalah baik secara kapital, waktu, dan komitmen karier. Kewirausahaan
merupakan langkah pengambilan keputusan dan risiko individu maupun
kelompok dalam menjalankan usaha sendiri dengan memanfaatkan
berbagai kekuatan dan strategi yang dimiliki, peluang yang tersedia,
meminimalisir kelemahan, ancaman dan tantangan dalam upaya
menghadapi persaingan dengan para kompetitor guna mencapai tujuan
yang diharapkan. Kewirausahaan bukan hanya berbicara tentang bisnis.
Pada tingkat yang lebih mendasar, kewirausahaan menyangkut sikap, nilai,
jiwa, serta perilaku kewirausahaan. Hal tersebut tercermin dari perilaku
inovatif, kreatif, pantang menyerah dan motivasi tinggi yang dimiliki oleh
seorang entrepreneur.
Seorang entrepreneur akan mengarahkan usahanya untuk mencapai
potensi keuntungan dan dengan demikian mereka mengetahui apa yang
mungkin atau tidak mungkin mereka lakukan. Seorang entrepreneur harus
selalu memiliki kemampuan dan pengetahuan serta informasi baru yang
dimanfaatkan untuk mengembangkan usahanya (Kusumandari, 2013: 67).
Oleh karenanya, seorang entrepreneur haruslah memiliki kompetensi yang
memadai. Ada beberapa kompetensi kewirausahaan menurut Onstenk
(2003: 78-79):

120
•kombinasi terhadap cara menangani masalah,
konten dan pasar
kemampuan untuk
menetapkan dan menganalisis •mampu mencari jalan terbaik melalui
peluang pasar penemuan, pelayanan, teknologi dan
pendekatan terbaru, atau menemukan lokasi
bisnis yang strategis

kemampuan untuk •memiliki pemahaman terhadap kebutuhan,


berkomunikasi, harapan, dan persyaratan yang harus dimiliki
mengidentifikasi, menasehati, dalam dunia bisnis
mempengaruhi dan berdiskusi •memiliki tanggung jawab dan hubungan
dengan pelanggan, klien, komunikasi yang baik dengan lingkungan sosial
suplier, pesaing, penyedia yang lebih luas
layanan jasa, dan stakeholders
lainnya dalam dunia bisnis
•mampu bersinergi dunia usaha dan industri dan
peka terhadap perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan
kemampuan untuk menjalin •mampu mengembangkan perilaku dan
hubungan networking karakteristik seorang pengusaha, belajar dari
interaksi bisnis dan personalliti
•memiliki pengetahuan terhadap pribadi,
inetworking dalam dunia informasi global

•pada tingkat organisasi, seorang entrepreneur


berkoneksi terhadap harus mampu menjalankan tanggung jawab
perkembangan kewirausahaan, dan ketidakamanan organisasi akibat
belajar berorganisasi, restruktur dan perampingan struktur
manajemen proses organisasi
pengembangan bisnis,
beroreintasi terhadap strategi •mendelegasikan tanggung jawab dengan
membentuk teamwork

Gambar 4.12 Kompetensi Kewirausahaan (Onstenk, 2003)

Ironisnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan


formal belum mencapai target pendidikan entrepreneurship, SMK
dihadapi berbagai pertanyaan terkait mengapa lulusan SMK tidak memiliki
kualifikasi dan mental menjadi seorang entrepreneur. Winarno (2016: 122)
mengemukakan bahwa:
“The formal education has no significant influence on the formation
of character and an entrepreneurial attitude to learners. The
research on the effectiveness of entrepreneurial learning in
vocational show that (1) the material and entrepreneurial learning
strategy is not sufficiently effective in developing entrepreneurial

121
values of students, (2) the diversity knowledge of entrepreneurship
teachers affect the failure of achieving the entrepreneurial class.”
Berdasarkan pendapat Winarno (2016) di atas secara jelas disampai-
kan bahwa strategi dan materi yang dikembangkan saat ini belum cukup
efektif dalam mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan peserta didik.
Sartono (2006) mengemukakan bahwa unit produksi sebagai ―suatu
usaha incorporated-entrepreuneur yang merupakan suatu wadah
kewirausahaan dalam suatu organisasi yang memerlukan kewenangan
khusus dari pimpinan sekolah kepada pengelola untuk melakukan tugas
dan tanggung jawabnya secara demokratis‖ dengan tujuan di antaranya: (1)
memberikan kesempatan pada siswa dan guru untuk mengerjakan praktik
yang berorientasi pada pasar di lingkungan sekolah; (2) menumbuhkan dan
mengembangkan jiwa wirausaha guru dan siswa pada sekolah menengah
kejuruan; (3) membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan
fasilitas, dan biaya operasional pendidikan lainnya; (4) melatih untuk
berani mengambil risiko dengan perhitungan yang matang; (5)
meningkatkan kreativitas dan inovasi di kalangan siswa, guru, dan
manajemen sekolah; (6) unit produksi sekolah sebagai tempat magang bagi
siswa praktik kerja industri yang tidak mendapat tempat di dunia kerja dan
industri (Sujoko & Ismanto (2017: 10).

D. Bursa Kerja Khusus (BKK) Sebagai Lembaga Penyedia


Tenaga Menengah Profesional
Secara konseptual, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang dirancang secara khusus untuk mempersiapkan peserta
didik bekerja pada bidang tertentu. Persepsi publik yang terbentuk bahwa
setelah dinyatakan lulus dari SMK maka para lulusan dapat langsung
bekerja. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan persepsi tersebut.
Namun, kenyataan empirik menunjukkan kontradiksi terhadap tujuan dasar
pendidikan kejuruan. Masih banyak lulusan SMK yang tidak terserap di
dunia kerja dan usaha. Mengapa hal tersebut terjadi?
SMK seolah-olah belum mampu memberi ruang pelayanan bagi
lulusannya yang belum memperoleh pekerjaan dan tidak melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi. Salah satu faktor yang dominan adalah
keterbatasan ekonomi untuk melanjutkan pendidikan dan modal usaha.

122
Semestinya tantangan pengangguran terbuka tersebut dapat dijawab
dengan keberadaan Bursa Kerja Khusus bagi SMK.
Bursa Kerja Khusus (BKK) adalah sebuah lembaga yang dibentuk
di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dan Swasta, sebagai unit pelaksana
yang memberikan pelayanan dan informasi lowongan kerja, pelaksana
pemasaran, penyaluran dan penempatan tenaga kerja, merupakan mitra
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bursa kerja khusus merupakan
lembaga yang menjalankan fungsi penempatan untuk mempertemukan
antara pencari kerja dan pengguna tenaga kerja yang terdapat di Satuan
Pendidikan Menengah, di Satuan Pendidikan Tinggi dan di Lembaga
Pelatihan Kerja (Depnakertrans RI, 2004: 4). Bursa kerja khusus (BKK)
memegang peranan yang tak kalah penting dalam mengupayakan
penguatan layanan penyediaan lapangan kerja bagi lulusan SMK. BKK
mengupayakan adanya bimbingan karier bagi lulusan SMK untuk
meningkatkan keterserapan dan preferensi siswa dalam hal: (1) layanan
informasi kerja, (2) jobfair, (3) recruitment, (4) assesment, (5) training,
career dan professional development, serta (6) hubungan alumni
(Istianyani, 2012: 143-147).
BKK memiliki beberapa dasar hukum, di antaranya: (1) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1996 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja; (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan; (3) Keputusan Presiden RI No. 4 tahun
1980 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan; (4) Perjanjian Kerja sama
antara Mendikbud dan Depnaker No.076/U1993 dan Kep-215/MEN/1993
tentang Pembentukan Bursa Kerja di Satuan Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Tinggi; (5) Keputusan bersama Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Depdikbud dan Dirjen Binapenta No.009/C/KEP/1994 dan
KEP.02/BP/1994 tentang Pembentukan Bursa Kerja di Satuan Pendidikan
Menengah dan Pemanduan Penyelenggaraan Bursa Kerja.
Dalam pelaksanaannya, Bursa Kerja Khusus (BKK) merupakan
lembaga yang menjalankan mekanisme antar kerja di mana BKK
melakukan pelayanan terhadap pencari kerja untuk memperoleh pekerjaan
yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Adapun rincian
mekanisme antar kerja yang diselenggarakan oleh BKK berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan tenaga kerja

123
dalam negeri No. KEP-131/DPPTKDN/IX/2004 meliputi: (1) pendaftaran
dan pendataan pencari kerja yang telah menyelesaikan pendidikan atau
pelatihannya; (2) pendataan lowongan kesempatan kerja; (3) pemberian
bimbingan kepada pencari kerja/lulusan SMK untuk mengetahui minat,
bakat, dan kemampuannya sesuai kebutuhan pengguna tenaga kerja atau
untuk berusaha mandiri; (4) penawaran kepada pengguna tenaga kerja
mengenai persediaan tenaga kerja; (5) pelaksanaan verifikasi sebagai
tindak lanjut dari pengiriman dan penempatan yang telah dilakukan; (6)
pelaksanaan kegiatan pameran bursa kerja (job fair) dan kegiatan lainnya
(Depnakertrans RI, 2004: 9). Pambayun (2014: 250-251) membagi kinerja
BKK menjadi tiga yaitu dimensi input, proses dan output yang akan
dipaparkan secara jelas sebagai berikut.

1. Dimensi Input
Dalam menunjang keberhasilan segala kegiatan dan program yang
diselenggarakan oleh BKK maka dibutuhkan komponen input. Input
kinerja BKK merupakan segala sumber daya dari BKK yang menunjang
keberhasilan pencapaian tujuan BKK itu sendiri. Melalui peng-
ukuran/penilaian terhadap sumber daya tersebut, maka dapat dianalisis
kelengkapan sumber daya dan kesesuaiannya dengan program atau
kegiatan yang diselenggarakan oleh BKK. Apabila dikelompokkan maka
indikator kinerja BKK dari sisi input terdiri dari: (1) BKK memiliki
dana/anggaran yang cukup; (2) BKK memiliki sumber daya manusia yang
memadai; (3) BKK memiliki perlengkapan penunjang yang lengkap; dan
(4) BKK memiliki sarana dan prasarana yang memadai.

2. Dimensi proses
Dimensi proses atau rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan
oleh BKK yang telah disintesiskan dari buku petunjuk teknis, buku
pedoman, dan pendapat dari para ahli adalah sebagai berikut:
(1) Layanan informasi ketenagakerjaan yang terdiri dari: (a)
terlaksananya program penginformasian lowongan pekerjaan kepada
siswa atau lulusan melalui berbagai media; (b) BKK memanfaatkan
teknologi informasi ketenagakerjaan kepada siswa dan alumni; (c)

124
pengurus BKK memberikan pelayanan informasi ketenagakerjaan
dengan baik.
(2) Layanan bimbingan karier dan peningkatan skill dalam mencari dan
melamar pekerjaan, terdiri dari: (a) BKK memberikan bimbingan
pemilihan karier kepada siswa sesuai dengan bakat dan minatnya;
(b) adanya pembelajaran soft skill, sebagai bekal masuk dunia kerja
dengan menghadirkan narasumber dari perusahaan atau biro
konsultasi; (c) adanya program seminar, pelatihan, atau workshop
mengenai manajemen karier dan strategi dalam mencari lowongan
pekerjaan; (d) adanya pelatihan kemampuan dalam menyelesaikan
surat menyurat dan melengkapi persyaratan untuk melamar
pekerjaan, mempersiapkan surat menyurat dan melengkapi
persyaratan untuk melamar pekerjaan, mempersiapkan diri dalam
menghadapi wawancara kerja, dan mengembangkan kemampuan
dalam memasarkan diri.
(3) Membangun kerja sama dengan DU/DI terdiri dari kegiatan sebagai
berikut: (a) BKK melakukan promosi ke DU/DI melalui
surat/kunjungan langsung/internet untuk menjalin kerja sama, (b)
BKK memelihara hubungan baik dengan DU/DI secara personal; (c)
BKK memberikan kandidat calon tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan DU/DI; (d) adanya MoU kerja sama dalam bidang proses
rekrutmen; (e) adanya sinkronisasi pembelajaran di sekolah dengan
kebutuhan tenaga kerja DU/DI.
(4) Membangun kemitraan jejaring dengan stakeholder terdiri dari
kegiatan sebagai berikut: (a) BKK membangun komunikasi yang
harmonis dengan kepala sekolah/guru, karyawan, Dikpora,
Disnaker, dan Pemerintah daerah; (b) BKK melakukan kerja sama
dengan BKK lain melalui asosiasi atau forum komunikasi.
(5) Perencanaan tenaga kerja dan kelengkapan data administrasi calon
alumni yang terdiri dari kegiatan sebagai berikut: (a) BKK membuat
perencanaan tenaga kerja berdasarkan minat, bakat, dan kompetensi
keahlian siswa; (b) BKK melakukan pendataan dan klasifikasi siswa
berdasarkan fisik, usia, nilai, jurusan, dan jenis kelamin secara
periodik; (c) BKK melakukan komputerisasi database calon alumni.

125
(6) Aspek layanan rekrutmen terdiri dari kegiatan sebagai berikut: (a)
BKK membantu mengirimkan berkas lamaran pekerjaan ke
perusahaan atau tempat kerja; (b) terlaksananya job fair setiap
tahunnya; (c) terlaksananya rekrutmen secara rutin.
(7) Membangun hubungan yang kuat dengan alumni, terdiri dari
kegiatan sebagai berikut: (a) BKK melakukan pendataan dan
penelusuran alumni; (b) terbentuknya ikatan alumni; (c) BKK
membangun komunikasi yang intensif dengan alumni.

3. Dimensi Output Kinerja BKK


Produk atau output BKK merupakan hasil yang dicapai dari pe-
laksanaan program-program yang ideal yang dapat dilakukan oleh BKK.
Indikator dari produk atau output dari BKK di antaranya sebagai berikut:
(1) Tersampaikannya informasi ketenagakerjaan kepada siswa;
(2) Siswa memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja, dapat memilih
karier atau pekerjaan sesuai dan memiliki keterampilan dalam
mencari serta mendaftar pekerjaan;
(3) Terjalinnya hubungan yang luas dan kuat dengan DU/DI;
(4) Tersalurkannya lulusan ke dunia kerja;
(5) Adanya perencanaan tenaga kerja setiap tahunnya;
(6) Terjalinnya hubungan yang kuat dengan alumni.
Bursa kerja khusus sebagai wadah penghubung antara lulusan SMK
dengan dunia usaha membutuhkan pengawasan dan evaluasi yang tepat
secara berkelanjutan sehingga tujuan akhir fungsi dibentuknya BKK
memberi kontribusi besar dalam memutus rantai pengangguran dan
meningkatkan tingkat keterserapan tenaga kerja menengah dalam dunia
usaha dan industri.

126
BAB V
IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU
PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

A. Konsep Mutu Pendidikan


Ketika kita berbicara tentang konsep mutu maka yang juga terlintas
dalam pikiran kita adalah kata ―kualitas‖. Pada dasarnya kualitas dan mutu
merupakan dua kata yang menggambarkan kondisi terbaik dari sesuatu hal.
Sebagai contoh, ketika seseorang berbelanja di toko pakaian, maka
pembeli akan memilih, melihat bahkan mungkin mencoba menyentuh
tekstur kain, kerapian jahitan, maupun model pakaian yang sesuai dengan
harapan pembeli. Berbeda halnya ketika calon siswa memilih sekolah yang
cocok untuknya. Maka akan muncul standar tersendiri yang menjadi
acuan. Dalam konteks pertama, kualitas merupakan standar yang dapat
dilihat dan dirasa dengan indera, sedangkan pada contoh kedua, kualitas
digambarkan sebagai sesuatu yang hanya mampu diukur dengan standar
ukuran yang telah disepakati. Dimensi kualitas sebagai suatu konsep
abstrak, menjadikannya sulit untuk didefinisikan secara pasti. Mutu tidak
hanya disandangkan pada kualitas barang saja namun juga jasa, manusia,
proses dan lingkungan. Untuk lebih jelasnya penulis merangkum definisi
mutu menurut para ahli baik merujuk pada perspektif mutu produk dan
jasa berikut.
1. Joseph & Berk (1995: 36), mendefinisikan kualitas sebagai: 1) dasar
terpenuhinya harapan dan persyaratan sebuah produk; 2) kualitas
merupakan karakteristik yang dapat diukur baik secara kuantitas
maupun wujud yang ditampilkan.
2. Menurut Juran (1993), mutu produk ialah kecocokan penggunaan
produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. Kecocokan pengguna produk tersebut didasarkan atas
lima ciri utama, yaitu (1) teknologi; yaitu kekuatan; (2) psikologis,
yaitu citra rasa atau status; (3) waktu, yaitu keandalan; (4)
kontraktual, yaitu ada jaminan; (5) etika, yaitu sopan santun.

127
3. Corsby (1979: 58) menyatakan bahwa mutu ialah conformance to
requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau
distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan
standar atau kriteria mutu yang telah ditentukan, standar mutu
tersebut meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi
(Crosby, 1979: 58).
4. Deming (1982: 176) menyatakan mutu ialah kesesuaian dengan
kebutuhan pasar atau konsumen.
5. Menurut Feigenbaum (1986: 7), mutu adalah kepuasan pelanggan
sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dianggap
bermutu apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada
konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang
dihasilkan oleh perusahaan.
6. Render (2001: 171), mendefinisikan kualitas sebagai kemampuan
produk atau jasa memenuhi kebutuhan pelanggan.
7. Hadis & B Nurhayati (2012: 76) mengemukakan bahwa mutu
pendidikan merujuk pada pemenuhan delapan standar nasional
pendidikan meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan,
kompetensi pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
8. Goetsch & Davis (1994: 4) menyatakan bahwa kualitas merupakan
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan.
9. Sukmadinata, et al. (2002: 8) mengemukakan bahwa konsep
kebermutuan pendidikan merupakan kesatuan yang bersifat
menyeluruh di mana mencangkup proses pendidikan, personalia,
sarana-prasarana, fasilitas, media, dan sumber belajar yang
memadai, biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat serta
lingkungan yang mendukung, dan lulusan yang berkompetensi.
10. Tjiptono & Diana (2003: 3), menyimpulkan konsep kualitas sebagai:
1) usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; 2) kualitas
mencangkup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan; 3)
kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang

128
dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang
berkualitas pada masa mendatang.
11. Koch (2003) mengemukakan bahwa ―quality represents the
properties of products and/or services that are valuable by the
customer, it also stated as the ongoing process of building and
sustaining relationship by assessing, anticipating, and fulfilling
stated and implied needs.”
Lebih lanjut, Wijaya (Fattah & Ali, 2005: 51) menggambarkan
bahwa ada beberapa hal yang menggambarkan mutu, yaitu:
a. mutu adalah kunci untuk kebanggaan, produktivitas, dan
kemampuan-labaan dengan menekankan pada mutu sebagai prioritas
utama, yang lain secara logis akan mengikuti.
b. aktivitas mutu yang berhasil memerlukan kepemimpinan manajerial,
tidak hanya pernyataan komitmen.
c. suatu orientasi konsumen dan pelanggan adalah yang utama, dan
kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) adalah tujuan mutu.
d. manajemen, tenaga kerja, dan pemerintah harus semuanya
mendukung perbaikan mutu, apabila suatu bangsa berharap menjadi
suatu kompetitor dunia yang efektif.
e. pengendalian mutu (quality control) mempunyai kepentingan
strategis dalam mencapai kepemimpinan produk dan jasa.
f. perbaikan mutu adalah suatu tanggung jawab pribadi dari kita semua
dan merupakan suatu usaha yang terus menerus yang dijalankan
dengan tujuan yang dapat diukur.
Dalam bidang pendidikan, menurut Beeby (Emmy, 1992: 28), mutu
atau kualitas pendidikan terdiri dari tiga perspektif yaitu perspektif
ekonomi, perspektif sosiologi, dan perspektif pendidikan. Menurut
perspektif ekonomi, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang
mempunyai kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Lulusan
pendidikan secara langsung dapat memenuhi kebutuhan angkatan kerja di
dalam berbagai sektor ekonomi. Melalui angkatan kerja yang terdidik,
pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih tinggi. Menurut kajian
perspektif sosiologi, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang
bermanfaat terhadap seluruh masyarakat dilihat dari berbagai kebutuhan

129
masyarakat, seperti mobilitas sosial, perkembangan budaya, pertumbuhan
kesejahteraan, dan pembebasan dari kebodohan. Sedangkan kajian
perspektif pendidikan, melihat mutu pendidikan dari sisi reachness,
teaching learning process, dan dari segi ability lulusan dalam hal
memecahkan masalah dan berpikir kritis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mutu pen-
didikan merupakan ekspektasi pelanggan pendidikan terhadap kondisi
layanan pendidikan yang mencangkup manajemen sekolah, proses
pendidikan, personalia, sarana prasarana, fasilitas, media dan sumber
belajar, biaya, lingkungan, serta kompetensi lulusan yang terus mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan aspek kehidupan lainnya secara holistik dan berkesinambungan.
Sekolah sebagai sistem sosial terbuka yang dipengaruhi dan
mempengaruhi masyarakat tentunya haruslah tangguh dalam menghadapi
tantangan pembangunan nasional dan perkembangan globalisasi yang
sangat pesat dewasa ini. Agar mampu bertahan dalam perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat cepat tersebut, tentunya
diperlukan manajemen pengembangan dan transformasi pendidikan yang
diarahkan pada pengembangan mutu berkelanjutan. Salah satu upaya yang
dilakukan sekolah adalah mengadopsi penerapan manajemen mutu dalam
pendidikan.
Hal tersebut di atas, senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Fattah & Ali (2005: 5.3), bahwa dalam dunia pendidikan mutu memiliki
kekhasan, hal ini dikarenakan pendidikan bukan dunia industri yang
menawarkan produk barang atau bentuk benda lainnya, akan tetapi produk
pendidikan lebih merupakan jasa (service) yang berupa layanan bagi para
pemakai/pelanggan pendidikan di sekolah. Dalam menetapkan mutu
pendidikan ada dua hal fundamental yang perlu diperhatikan yaitu terkait
tentang konsep produk dalam dunia pendidikan dan siapa yang menjadi
pelanggan pendidikan? seringkali kita menjumpai bahwa seolah pelajar
merupakan hasil dari pendidikan atau pelajar merupakan produk
pendidikan. Pendidikan seolah-olah menjadi rangkaian proses produksi.
Mengingat produk merupakan subjek dari rangkaian jaminan mutu yang
diberikan, maka agak sulit kiranya dalam dunia pendidikan menetapkan
proses pendidikan merupakan proses produksi karena manusia/pelajar
bukanlah subjek yang sama, mereka memiliki pengalaman, bakat, minat

130
dan emosi yang berbeda. Sehingga lebih tepatnya bahwa pendidikan
merupakan layanan jasa bukan sebuah proses produksi. Untuk jelasnya,
sebagai perbandingan mendasar antara konsep mutu jasa dan produk
dirangkum berdasarkan pendapat Sallis (2010: 63-65) berikut.
1. Jasa berbeda dari produksi dalam hal metode
Jasa biasanya meliputi hubungan langsung antara pemberi dan
pengguna. Mutu jasa ditentukan oleh keduanya baik oleh orang yang
menerima maupun yang memberi. Berbeda halnya dengan produk di
mana di dalamnya terdapat nilai konsistensi atau terjebak dalam
homogenitas yang absolut.
2. Waktu merupakan elemen penting dalam mutu jasa
Jasa harus diberikan tepat waktu maka kontrol terhadap mutu akan
datang setelahnya sehingga diperlukan umpan balik dan evaluasi.
3. Tidak seperti produk, sebuah jasa tidak bisa ditambal/dirombak
Mengingat standar jasa harus selalu baik di awal maka tingkat
tingginya kemungkinan kesalahan karena human errors maka
layanan jasa dapat diperbaiki maupun ditingkatkan.
4. Jasa selalu dihadapkan pada dilema ketidakpastian
Jasa lebih mirip dengan proses ketimbang produk. Dalam pelayanan
jasa biasanya pertanyaan bagaimana jasa sesuai sasaran yang
diharapkan lebih penting dibanding apa yang menjadi jasanya.
5. Jasa biasanya diberikan langsung oleh kepada pelanggan oleh
pekerja junior
Staf senior umumnya jauh dari pelanggan. Mutu jasa merupakan
interaksi awal yang memberi pandangan pelanggan terhadap
keseluruhan organisasi, dan kemudian organisasi menemukan cara
untuk memotivasi pekerja garis depan agar selalu menyampaikan
hal terbaik kepada pelanggan.
6. Kesulitan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan produktivitas
dalam jasa
Salah satu indikator prestasi penting dalam jasa adalah kepuasan
pelanggan. Namun terkadang ukuran sederhana juga menjadi
takaran sederhana dalam menentukan tingkat keberhasilan
produktivitas jasa seperti kepedulian, kesopanan, perhatian,
keramahan, dan sikap membantu seringkali menjadi hal terpenting
dalam pikiran pelanggan.

131
Dari karakteristik mutu jasa layanan di atas, jika dikaitkan bahwa
mutu layanan/jasa pendidikan maka dapat dinyatakan bahwa: (1) mutu jasa
layanan pendidikan harus memiliki tingkatan kepercayaan yang tinggi
(reliability), terutama yang berhubungan dengan waktu (waktu belajar,
waktu menyelesaikan studi, dan adanya perjanjian dengan guru dan peserta
didik dalam proses belajar mengajar); (2) keterjaminan (assurance),
layanan/jasa pendidikan senantiasa dapat memberikan jaminan mutu
kepada pelanggan; (3) jasa pendidikan sepenuhnya harus memiliki rasa
empati terhadap peserta didik; (4) mutu jasa/layanan pendidikan memiliki
daya tanggap (responsibility) terhadap pelayanan/peserta didik; (5)
penampilan (tangibility), rapi, harmonis dan bersih; dan (6) pelayanan
mudah diperoleh.
Pendidikan yang bermutu merupakan harapan dari setiap masya-
rakat di suatu negara, hal ini berkaitan dengan pengalaman yang
menunjukkan bahwa modal kehidupan dalam setiap perubahan zaman
adalah pendidikan. Karena pendidikan bisa mengupayakan segala
keinginan dan harapan-harapan manusia (peserta didik) untuk dapat
mempertahankan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan hidup. Banyak
sekali opini publik yang mengemukakan bahwa ‗lebih baik membekali
anak dengan ilmu pendidikan daripada memberikan materi semata‘, karena
keberhasilan pendidikan dapat memberikan jaminan-jaminan pada
pemakainya termasuk kesejahteraan. Pendidikan sebagai sebuah investasi,
bukan merupakan upaya yang sangat sederhana. Di mana seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi sebagai kegiatan yang
dinamis dan penuh dengan tantangan yang kompleks mau tidak mau harus
meningkatkan kualitas dan kesiapannya dalam menghadapi perubahan
global yang begitu pesat dan cepat. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika terbentuknya tren kecenderungan dalam masyarakat untuk
melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan yang mampu
menawarkan keunggulan dan mutu layanan terbaik.
Adapun karakteristik dimensi kualitas yang ditawarkan dalam
implementasi sistem manajemen mutu disimpulkan oleh Tjiptono & Diana
(2003: 27) sebagai berikut.

132
1. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti.
2. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik
sekunder dan pelengkap.
3. Keandalan (realiability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami
kerusakan atau gagal pakai.
4. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications),
yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi
standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk
tersebut dapat terus digunakan.
6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah
direparasi, penanganan keluhan yang memuaskan.
7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera.
8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan
reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya.
9. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
pegawai, dan sarana komunikasi.
10. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.
11. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk
membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
12. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko,
atau keragu-raguan.
13. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Lebih lanjut, Zabadi (2013: 48-49) menetapkan empat dimensi
kualitas di antaranya:
1) fitness of purpose: fulfiling a customer’s requirements, needs or
desires, evaluates whether the quality related intensions of an
organization are adequate. In education, fitness of purpose is
usually based on the ability of an institution to fulfil its mission or a
program of study to fulfil its aims; 2) value of money: return of
investment- if the same outcome can be achieved at a lower cost, or
a better outcome can be achieved at the same cost, then the

133
customers has a quality product and service; 3) transformation: the
process of changing form one qualitative state to another-in
education, it refers to the enchancement and empowerment of
students or the development of new knowledge; 4)excellence: the
degree of excellence of the entire educational experiences-the
quality of students’ life, the adequancy of school finances, the
breadth and modes of learning offered, and student access to
continue study.
Pendapat di atas menegaskan bahwa empat dimensi kualitas
berkaitan dengan kesesuaian tujuan atau sesuai dengan keinginan
pelanggan, nilai uang atau harga yang ditawarkan (return of investment),
transformasi yang berkaitan dengan proses mengubah/ meningkatkan
pencapaian dan pemberdayaan siswa/guru/personil lainnya ataupun
perkembangan ilmu pengetahuan baru, dan excellence merujuk pada
keistimewaan pengalaman proses pembelajaran yang ditawarkan, kualitas
kehidupan siswa, pembiayaan sekolah yang mencukupi dan akses
melanjutkan pendidikan.
Adapun standar mutu terbagi dua yaitu standar mutu produk dan
jasa serta standar pelanggan. Pertama, standar produk dan jasa mengacu
pada kesesuaian dengan spesifikasi yang telah ditetapkan, kesesuaian
tujuan dan manfaat, tanpa cacat (zero defects), dan selalu baik sejak awal.
Kedua, standar mutu pelanggan menyangkut tentang kepuasan pelanggan,
memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyenangkan pelanggan. Konsep
standar ini mengemukakan tentang bagaimana memberikan sesuatu yang
diinginkan oleh pelanggan, serta kapan dan bagaimana mereka
menginginkannya disesuaikan dengan perubahan harapan dan gaya
pelanggan. Sallis (2010: 60) menggambarkan hierarki konsep mutu
sebagai berikut.

Manajemen
Mutu terpadu perbaikan
jaminan kontinyu
kontrol mutu pencegahan
mutu deteksi
inspeksi

Gambar 5.1 Hierarki Konsep Mutu (Sallis, 2010: 60)

134
Penerapan manajemen mutu memberi bukti keberhasilan dalam
mempertahankan dan mengembangkan eksistensi perusahaan atau
organisasi dalam kondisi yang dinamis dan kompetitif. Kondisi tersebutlah
yang telah mendorong berbagai pihak mengadopsinya ke dalam
lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan lembaga
pendidikan. Dewasa ini, lembaga pendidikan terus membenahi diri dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kebijakan pemerintah telah
diupayakan guna percepatan pembangunan pendidikan dan peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Merujuk pada dimensi kualitas seperti yang dikemukakan di atas,
sudah tepat kiranya bahkan menjadi hal yang urgensi bagi sekolah
menengah kejuruan, yang berkontribusi langsung dalam menyediakan
tenaga kerja yang profesional dan bermitra dengan DU/DI untuk
menerapkan sistem manajemen mutu, karena sistem manajemen mutu
terpadu tidak hanya mendorong peningkatan kapasitas fungsi jaminan
kualitas layanan pendidikan namun juga menawarkan jaminan kualitas
terhadap produk yang dihasilkan oleh sekolah menengah kejuruan. Dengan
demikian, layanan jasa yang diberikan dan dihasilkan oleh sekolah
menengah kejuruan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Di samping dimensi kualitas yang disebutkan di atas, ada beberapa
pendekatan yang juga merujuk pada perspektif mutu dikemukakan oleh
Garvin (Lovelock, 1994: 98-99; Ross, 1993: 97-98) yaitu:
1. Transcendental Approach
Sudut pandang kualitas dalam perspektif ini biasanya diterapkan
dalam penilaian dalam seni musik, drama, seni tari, dan seni rupa.
Konsep mutu dalam hal ini mencangkup perasaan yang ditimbulkan,
keluwesan yang tertuang dalam gerak, sketsa, gambar, kelembutan
dan kehalusan produk.
2. Product-based Approach
Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau
atribut yang dapat diukur, karena merupakan hal yang objektif
sehingga dengan jelas menggambarkan perbedaan dalam perspektif
yang dimunculkan.

135
3. User-based Approach
Pendekatan ini menganggap kualitas ditentukan dari sudut
pandang pengguna terhadap sesuatu yang ditunjukkan melalui
kecondongan seseorang dalam memilih.
4. Manufacturing-based Approach
Pendekatan ini memperhatikan praktik-praktik pemanufakturan,
serta mendefinisikannya sebagai conformance to requirements, dan
dalam sektor jasa dapat dikatakan bahwa kualitas bersifat operation-
driven. Pendekatan ini disesuaikan dengan spesifikasi internal
dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan penekanan biaya.
5. Value-based Approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga.
Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut, maka kualitas
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat relatif.
Dilihat dari pengertian kualitas, dimensi dan pendekatan mutu
seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam dunia pendidikan
kejuruan, mutu/kualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak eksternal namun
juga pihak internal, baik mutu manajemen sekolah itu sendiri, peserta
didik, karyawan dan personil lainnya, mutu lulusan, partisipasi DU/DI dan
masyarakat terhadap sekolah.
Mutu pendidikan sebagai ukuran yang relatif memiliki dua aspek
yaitu prosedural dan transformasional. Aspek prosedural merupakan jasa
atau produk yang dihasilkan sudah sesuai dengan spesifikasi standar yang
telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan transformasional merupakan
ukuran mutu yang lebih mengarah pada peningkatan mutu dan perubahan
organisasi pendidikan. Mutu dalam konteks pendidikan kejuruan, perlu
mempertimbangkan kedua aspek tersebut karena SMK merupakan wadah
prakerja dan menempa ilmu dan pengalaman bagi siswa untuk
menghasilkan produk maupun pelayanan jasa yang prima.
Di lingkungan organisasi nonprofit, khususnya pendidikan kejuruan,
penetapan kualitas produk dan kualitas proses merupakan bagian yang
tidak mudah. Mutu itu sendiri memiliki definisi yang beragam tergantung
aspek yang memaknainya. Mutu dapat di titik beratkan pada proses,
prosedur, ketepatan, keefisienan, kepuasan pelanggan dan lainnya. Mutu
terletak pada keistimewaan dan keunggulan yang disajikan oleh barang

136
atau jasa yang memberikan kepuasan pelanggan baik berupa ketepatan
waktu, pelayanan, keamanan, dan pertimbangan rasa/moral. Mutu adalah
kesesuaian antara tujuan dan kebutuhan yang meliputi availiability,
delivery, reliability, maintainability, dan efectiveness. Dalam konteks
pendidikan kejuruan, kualitas memiliki dua perspektif yaitu:
(1) as exceptional or high standard,this notion of quality tends to
focus on inputs and outputs, and (2) quality as prefection or zero
defects,this notion tends quality assurance as a whole of a range of
actions and mechanisms that support quality in training such as the
level of pupils’ achievements in examinations, parents’ satifaction
with outcome of education, relevant skills, attitude and knowledge
for life after schooling, the condition of learning environment, the
quality of educational provisions including pupil-teacher ratio, class
size, availability of facilities and resources, and qualifications of
teachers (Wondaferew, 2010: 53).
Berdasarkan perspektif di atas, pendidikan kejuruan perlu berfokus
pada standar kualitas tinggi sebagai kesatuan aksi dan mekanisme
pemberdayaan sumber daya sekolah. Sekolah menengah kejuruan juga
harus melakukan akreditasi pendidikan sebagai pengukur standar mutu
sekolah baik standar nasional maupun internasional. Untuk mengetahui
tingkat pemenuhan standar pendidikan tersebut, pemerintah telah
menetapkan kewajiban setiap sekolah dari pendidikan dasar hingga tinggi
melakukan akreditasi sekolah. Di mana dalam praktik pendidikan di
Indonesia mengacu pada pemenuhan delapan standar nasional pendidikan
untuk menyeragamkan standar kualitas pendidikan. Sehingga pengguna
jasa pendidikan terbantu dalam menetapkan pilihan yang tepat untuk
melanjutkan pendidikannya dengan mempertimbangkan segala keunggulan
yang ditawarkan lembaga pendidikan.

B. Dimensi Sistem Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan


Sistem merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan terbuka
terhadap transformasi sumber daya dalam rangkaian subsistem yang saling
berkaitan, berinteraksi, berkolerasi, dan berdependensi secara sinergik
yang terus berkembang dan meningkat guna tercapainya tujuan yang
diharapkan. Begitu halnya dengan sistem mutu pendidikan yang dirancang

137
untuk mencapai kemajuan pendidikan secara holistik dengan memadukan
aspek-aspek fundamental yang dibutuhkan dalam mencapai kebermutuan
itu sendiri. Jika dalam dunia bisnis, terdapat istilah zero defect yang
menyatakan nilai sempurna terhadap kualitas barang maka dalam dunia
pendidikan maupun dalam pelayanan jasa dikenal istilah continuous
improvement. Mutu pendidikan tidak dapat dikatakan sempurna karena
kualitas pendidikan bersifat abstrak yang disesuaikan dengan
perkembangan dunia yang dinamis.
Di samping itu, dalam perspektif makro, banyak faktor yang
mempengaruhi mutu pendidikan seperti yang dikemukakan oleh Hadis &
Nurhayati (2012: 3) berikut.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan di
antaranya: faktor kurikulum, kebijakan pendidikan, fasilitas
pendidikan, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi,
khususnyayang menunjang kegiatan belajar mengajar di kelas dan
laboratorium, dan di kancah belajar lainnya melalui fasilitas internet,
aplikasi metode, strategi, dan pendekatan pendidikan yang mutakhir
dan modern, metode evaluasi pendidikan yang tepat, biaya
pendidikan yang memadai, manajemen pendidikan yang
dilaksanakan secara profesional, sumber daya manusia yang terlatih,
berpengetahuan, berpengalaman, dan profesional.
Oleh karenanya, manajemen pendidikan perlu dikelola dengan
sebaik-baiknya guna mempercepat kemajuan pendidikan bangsa. Sistem
manajemen mutu juga menawarkan pemerataan kualitas pendidikan di
seluruh penjuru nusantara.
Penyelenggaraan manajemen mutu dalam dunia pendidikan menjadi
acuan dalam mencapai cita-cita nasional Indonesia yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa secara maksimal dan berkualitas melalui peningkatan
fungsi pendidikan. Secara konseptual, manajemen mutu terpadu berakar
dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan yang
mengintegrasikan potensi sumber daya yang dimiliki, yang kemudian
diintegrasikan melalui alur pelaksanaan fungsi manajemen. Setiap langkah
kegiatan, strategi, dan kebijakan dalam manajemen mutu terpadu harus
dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan dan
alat), pelaksanaan teknis, serta metode yang tepat dalam menghasilkan
barang atau jasa. Menurut Sallis (2010: 75), manajemen mutu terpadu

138
merupakan manajemen fungsional dengan pendekatan yang secara terus
menerus difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produk dan jasa
sesuai dengan standar kualitas baik dalam pelaksanaan tugas pelayanan
umum (public service) dan pembangunan masyarakat (community
development). Sehingga melalui pengembangan manajemen mutu tersebut
memberi arah positif terhadap kebimbangan posisi pendidikan di Indonesia
saat ini. Manajemen mutu merupakan sistem manajemen yang mengangkat
kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan
dengan melibatkan seluruh anggota organisasi melalui pendekatan-
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimum-
kan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungannya (Tjiptono dan Diana, 1998).
McLaughlin (Sukmadinata, et al., 2002, 55) mengemukakan bahwa
―Total quality is a set of philosophies by which management systems can
direct the efficient achievement of the objectives of the organization to
ensure customer satisfaction and maximizes stakeholder value through the
continuous improvement of the quality system, which consiste of the social
system, the technical system, and the management system.” Lebih lanjut,
Usman (2013: 601) mendefinisikan manajemen mutu terpadu sebagai
sebuah sistem manajemen yang menyangkut mutu sebagai strategi usaha
dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh
anggota organisasinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen
mutu merupakan suatu landasan, metodologi dan budaya organisasi yang
ditentukan dan didukung oleh pencapaian kepuasan pelanggan secara terus
menerus dengan melibatkan kerja efektif seluruh elemen organisasi. Di
lain sisi, konsep pendidikan yang mengacu pada mutu menurut Jerome
(2005: 8) adalah dasar mutu sekolah adalah mengembangkan program dan
layanan dalam memenuhi kebutuhan pengguna jasa pendidikan yang
sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan baik input, proses dan
outputnya.
Di Jepang, manajemen mutu dirangkum menjadi empat langkah,
yaitu; (1) Kaizen: difokuskan pada improvisasi proses berkelanjutan
(continuous improvement) sehingga proses yang terjadi pada organisasi
menjadi visible (dapat dilihat), repeatable (dapat dilakukan secara
berulang-ulang), dan measurable (dapat diukur), (2) Atarimae Hinshitsu:

139
berfokus padaefek intangible pada proses dan optimisasi dari efek tersebut,
(3) Kansei: meneliti cara penggunaan produk oleh konsumen untuk
peningkatan kualitas produk itu sendiri, (4) Miryokuteki Hinshitsu:
manajemen taktis yang digunakan dalam produk yang siap untuk
diperdagangkan (Yuniarsih & Suwanto, 2013: 54). Dari pendapat-pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa filosofi sistem manajemen mutu
merupakan sistem perbaikan terus menerus dengan metode pendekatan
praktis dan strategis dalam menjalankan roda organisasi yang
memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan untuk mencapai hasil yang
lebih baik.
Manajemen mutu terpadu merupakan pengembangan dari jaminan
mutu yang ditawarkan kepada pelanggan. Manajemen mutu merupakan
upaya menciptakan sebuah kultur mutu yang mendorong seluruh anggota
organisasi untuk bekerja sama meraih tujuan yang diharapkan dan
memuaskan pelanggan sesuai dengan perubahan harapan dan gaya
pelanggan dalam memaknai layanan pendidikan yang diberikan sekolah.
Kunci keberhasilan manajemen mutu dalam sekolah antara lain: (1)
menjaga hubungan dengan pelanggan, (2) kolega sebagai pelanggan, (3)
pemasaran internal, (4) profesionalisme dan fokus pelanggan, serta (5)
mutu pembelajaran (Sallis, 2010: 82-86). Keterkaitan dan interaksi yang
efektif antara lingkungan internal dan eksternal akan memberikan
implikasi yang luar biasa dalam membesarkan nama sebuah sekolah
melalui persepsi (quality of perception) dan nilai jual yang ditawarkan
(sell-on quality).
Manajemen mutu dipercaya sebagai penentu kesuksesan dalam
mencapai keberhasilan sebuah organisasi di mana dalam penyelenggaraan-
nya menekankan pentingnya keberadaan pendekatan-pendekatan dalam
memperbaiki mutu, yang akhirnya berimbas pada ekspansi terhadap
kemajuan organisasi dan memenangkan persaingan baik dalam skala
mikro maupun makro. Joseph & Berk (1995: 8) mengemukakan elemen
penerapan manajemen mutu pendidikan sebagai berikut.

140
Employee
Empowerment
Employee
Involvement
Quality
Measurement
Continuous
Teamwork Improvement
Training

Thinking
Statistically
Customer Value
Prevention TQM Focus Improvement

Supplier
teaming Bench-
Marking
Universal
Sustained Responsibility
Management Root Cause
Commitment Corrective Action

Gambar 5.2 Elemen-elemen dari Total Quality Management (Joseph &


Berk, 1995: 8)

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa dalam menjalankan


manajemen mutu terpadu, ada empat unsur penting yang mempengaruhi
kesuksesan penyelenggaraannya yaitu adanya fokus terhadap pelanggan,
tanggung jawab menyeluruh, pencegahan, dan perbaikan terus menerus.
Begitu halnya dengan penyelenggaraan manajemen pendidikan, pihak
manajemen sekolah perlu memperhatikan kepuasan pelanggan pendidikan,
tanggung jawab menyeluruh dari seluruh warga sekolah dalam
meningkatkan kualitas sekolah, pencegahan segala hal-hal yang
mengurangi nilai kebermutuan sekolah, dan terus melakukan perbaikan
terhadap manajemen sekolah.

141
Adapun karakteristik sistem manajemen mutu menurut Nasution
(Hadis & Nurhayati, 2012: 90) terdiri dari lima karakteristik, yaitu: (1)
sistem manajemen mutu modern berorientasi kepada konsumen; (2) sistem
manajemen mutu modern dicirikan oleh adanya partisipasi aktif dalam
proses peningkatan mutu secara kontinyu; (3) sistem mutu modern
dicirikan adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab
yang spesifik untuk mutu; (4) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya
aktivitas yang berorientasi pada tindakan kerusakan, bukan berfokus pada
upaya mendeteksi kerusakan saja, dan (5) sistem mutu modern dicirikan
adanya filosofi yang dianggap bahwa mutu merupakan jalan hidup.
Dalam menyelenggarakan program mutu diperlukan fundamental
kuat yang mampu menyokong keberhasilan sistem mutu di antaranya:
a. Komitmen yang dinamis terhadap perubahan
Para pelaku sistem mutu harus memiliki tekad dan komitmen
yang kuat untuk berubah ke arah perbaikan yang lebih baik dengan
menghilangkan hambatan-hambatan dan ketakutan untuk
mengalami kegagalan.
b. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang konkret terkait
kondisi sekolah yang dihadapi.
Banyak terjadinya kegagalan dalam mengimplementasikan
sistem mutu dikarenakan ketidakjelasan instruksi dan petunjuk yang
diberikan atau pola komunikasi yang belum efektif.
c. Mempunyai visi, misi dan tujuan tentang masa depan
Visi, misi, dan tujuan sekolah harus disesuaikan dengan per-
kembangan, tantangan, relevansi, kebutuhan, masalah, peluang,
ancaman yang akan dihadapi di masa mendatang. Keseragaman visi,
misi dan tujuan antara manajemen puncak dan personil organisasi
lainnya sehingga terbentuknya. Pimpinan haruslah menjadi visioner
yang mampu menularkan semangat kepada warga sekolah dalam
menciptakan lingkungan mutu.
d. Mempunyai rencana dan program yang jelas
Setelah merancang visi, misi dan tujuan sekolah, selanjutnya
perlu adanya perencanaan mutu yang jelas, terarah dan sistematis.
Rencana tersebut merupakan rancangan dasar pelaksanaan program.
Program yang telah dibuat tidak boleh stagnan (berhenti) dan tidak
ada dua program yang identik atau tumpang tindih (Sukmadinata,
Jami‘at & Ahman (2002: 11-12).

142
Lebih lanjut, Hensler dan Brunell mengemukakan, ada empat
prinsip utama dalam manajemen mutu pendidikan (Usman, 2014: 607)
yaitu sebagai berikut:
a. Kepuasan pelanggan
Sekolah harus mampu memberikan pelayanan jasa sebaik-baiknya
kepada pelanggannya. Pelanggan sekolah meliputi pelanggan
internal dan eksternal. Sekolah harus mampu menjalin iklim yang
harmonis dengan para pelanggannya.
b. Respek terhadap Setiap Orang
Setiap orang di sekolah dipandang memiliki potensi untuk ber-
kembang sehingga harus diperlakukan dengan baik dan diberi
kesempatan untuk berprestasi, berkarier, dan berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
c. Manajemen Berdasarkan Fakta
Setiap keputusan selalu didasarkan pada fakta, bukan pada perasaan
atau ingatan semata.
d. Perbaikan Terus Menerus
Sekolah perlu melakukan proses sistematis dalam melaksanakan
perbaikan berkesinambungan.
Dalam menjalankan prinsip dan elemen manajemen mutu tersebut,
tentunya tidak terlepas dari keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pengembangan sistem manajemen mutu itu sendiri. Faktor-faktor
tersebut diilustrasikan dalam gambar berikut.

143
Instrumental Input:
1. kebijakan pendidikan
2. program pendidikan,
kurikulum
3. personil: Kepala sekolah,
guru, Staf TU
4. Sarana, fasilitas, media, biaya
Proses Pendidikan:
Raw Input: 1. pengajaran
(siswa) Output: (lulusan)
2. pelatihan
1. intelektualitas 1. pengetahuan
3. pembimbingan
2. fisik-kesehatan 2. kepribadian
4. evaluasi
3. sosial-afektif 3. performansi
5. ekstrakulikuler
4. peer group 6. pengelolaan

Environmental Input:
1. lingkungan sekolah
2. lingkungan keluarga
3. masyarakat
4. lembaga sosial, unit kerja

Gambar 5.3 Komponen Pendidikan sebagai Sistem (Sukmadinata, et al.,


2002: 11-12)

Menilai kebermutuan sebuah sekolah tidaklah mudah. Kesulitan ini


disebabkan karena ukuran produktivitasnya tidak sekadar bersifat
kuantitatif, misalnya hanya dilihat atau dinilai dari jumlah kelas dan
gedung sekolah atau laboratorium yang berhasil dibangun, tetapi juga
berkenaan dengan aspek masukan (raw input dan environmental input),
proses dan keluaran (output) yang mampu dikelola dengan sebaik-baiknya
untuk mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan untuk mencapai derajat
mutu. Mutu pendidikan sering dikaitkan dengan mutu lulusan. Sekolah
dikatakan berkualitas bila mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Namun, untuk mengukur kualitas lulusan sangatlah sulit. Sebagai contoh,
jumlah lulusan yang dapat diukur secara kuantitatif, namun untuk
mengukur kualitas lulusan diperlukan penetapan kualifikasinya, seperti
rata-rata hasil nilai ujian nasional sekolah, persentase lulus ujian masuk
universitas favorit dan lainnya. Sehubungan dengan itu, di lingkungan
organisasi bidang pendidikan, diperlukan ukuran produktivitas organisasi
yang dapat dibedakan sebagai berikut (Nawawi, 2005: 47):

144
1. Produktivitas Internal, berupa hasil yang dapat diukur secara
kuantitatif, seperti jumlah atau persentase lulusan sekolah, atau
jumlah gedung dan lokal yang dibangun sesuai dengan persyaratan
yang telah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak dapat diukur secara
kuantitatif, karena bersifat kualitatif yang hanya dapat diketahui
setelah melewati tenggang waktu tertentu yang cukup lama.
Untuk menilai keberhasilan organisasi pendidikan dalam meng-
adaptasi manajemen mutu terpadu, maka ada beberapa ciri yang dapat
dikaji melalui:
1. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum
dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan
kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan
ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin
berkurang.
3. Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat.
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali dan tidak
berkurang/hilang tanpa diketahui sebab – sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui
pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan,
mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan keterampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan
sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu mengadaptasi
perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif,
sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat
(Nawawi, 2005: 47).
Melalui pendekatan sistem maka pendidikan terdiri dari masukan
(sarana pendidikan) dan keluaran (perubahan perilaku), serta faktor yang
mempengaruhi proses pendidikan yang dibedakan menjadi dua, yaitu:

145
a. Perangkat lunak (software), yang mencangkup antara lain
kurikulum, organisasi pendidikan, peraturan, metode belajar, dan
lainnya.
b. Perangkat keras (hardware), yaitu fasilitas yang mencakup gedung,
perpustakaan, alat bantu peraga, dan sebagainya (Sedarmayanti,
2001: 33).
Penyelenggaraan pendidikan bermutu menuntut keterlibatan dan
tanggung jawab seluruh komponen sekolah dengan menyadari kekuatan,
kelemahan, peluang, ancaman dan tantangan menjadi potensi untuk
berkembang. Sekolah memiliki wewenang untuk pengoptimalan sumber
daya sekolah secara otonomi melalui tahapan alur input, proses, dan output
berikut.

Input Proses Output

Perencanaan dan evaluasi 1. Pelayanan


program sekolah kebutuhan
mengajar guru
Pengayaan kurikulum dan bahan Proses
ajar manajemen 2. Pelayanan
Pembinaan ketenagaan dan sekolah dan belajar siswa
pertumbuhan jabatan profesi PBM dalam oleh guru
Mengelola fasilitas sistem otonomi
3. Prestasi belajar
Mengelola keuangan dan siswa dan
anggaran lulusan yang
Program kesiswaan kompetitif
Melakukan hubungan sekolah
dengan masyarakat
Kenyamanan iklim sekolah

Selektif Efektif dan efisien Berkualitas

Gambar 5.4 Otonomi Manajemen Sekolah melalui Pengoptimalan Fungsi


Sumber daya (Sagala, 2012: 164)

146
Sumber daya yang berperan sebagai masukan dalam dunia pen-
didikan yaitu (1) peserta didik sebagai sumber daya bahan baku (raw
material), (2) sarana dan prasarana sebagai sumber daya peralatan
(machine/equipment), (3) kurikulum, strategi dan sistem sebagai sumber
daya metode (method), kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan
sebagai sumber daya manusia (man/people), (4) suasana akademik dan
waktu sebagai sumber daya lingkungan (mother nature/environment, (5)
informasi, listrik, air, telekomunikasi, bahan praktikum/bahan habis pakai
sebagai sumber daya bahan pendukung (supporting material), (6) penilaian
sebagai sumber daya ukuran (measurement), dan (7) dana/pembiayaan
sebagai sumber daya keuangan (money). Sedangkan proses sebagai sistem
terbagi dalam proses pembelajaran dan proses pengelolaan. Proses dalam
sistem manajemen mutu akan mengubah masukan sebagai sumber daya
menjadi keluaran produk pendidikan berupa kompetensi peserta didik baik
berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai hasil (outcome).
Paradigma pergeseran pendidikan sentralistik menjadi pendidikan
desentralisasi telah memberikan kebebasan bagi manajemen sekolah untuk
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia di sekolah.
Manajemen sekolah dianggap pihak yang paling tahu posisi dan kondisi
nyata sekolah sehingga dengan mudah dapat melakukan need assessment
sebagai sebuah upaya menjawab tantangan, mengoptimalkan kekuatan
sekolah, serta meminimalisir kelemahan yang ada. Hal tersebut mendorong
munculnya keluwesan dalam merencanakan dan menyelenggarakan proses
pendidikan. Peluang tersebut jika mampu dioptimalkan secara bijak,
selektif, efektif, efisien, dan akuntabel akan memberikan kontribusi besar
terhadap perubahan derajat kebermutuan sekolah.
Adapun model sekolah mutu terpadu yang dikemukakan oleh
Jerome S. Arcaro (Sukmadinata, Jami‘at & Ahman, 2002: 18) disajikan
dalam gambar berikut.

147
Sekolah Mutu Total

Gambar 5.5 Model Sekolah Mutu Total (Jerome S. Arcaro (1995))

Sekolah yang menyelenggarakan manajemen mutu terpadu perlu


berpedoman pada lima pilar pengembangan seperti pada gambar di atas.
Pertama, sekolah perlu berfokus pada pengguna jasa pendidikan. Setiap
anggota dari sekolah perlu memberikan layanan terbaik terhadap customer
pendidikan, dalam hal ini pengguna jasa pendidikan. Pelanggan utama
sekolah merupakan keluarga/orang tua siswa atau disebut dengan istilah
Big C, dan siswa sebagai little c. Adapun pengguna internal antara lain
orang tua, siswa, guru, administrator, staf dan majelis sekolah, sedangkan
pengguna eksternal terdiri dari masyarakat, dunia industri dan usaha,
lembaga pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan stakeholders lainnya.
Kedua, keterlibatan total semua pihak internal dan dukungan aktif dari
pihak eksternal sekolah. Keterlibatan semua pihak memberi kontribusi
positif terhadap pengembangan sekolah menengah kejuruan. Pada
dasarnya, keputusan untuk tidak melibatkan pihak eksternal sekolah dalam
mendukung pengembangan sekolah merupakan langkah yang tidak bijak.
Paradigma pemisahan fungsi masyarakat dengan dunia pendidikan ―a good
old boy network” tidak cocok lagi dipertahankan dewasa ini, mengingat
potensi masyarakat dalam mendukung eksistensi sekolah sangatlah besar.
Oleh karenanya, dibutuhkan sinergi antara pendidikan dan masyarakat.

148
Ketiga, melakukan pengukuran terhadap peningkatan mutu. Peng-
ukuran mutu pendidikan tidak hanya dilihat dari skor prestasi belajar siswa
menengah kejuruan, namun juga terhadap kemampuan dan kinerja lulusan
yang sesuai dengan tuntutan DU/DI, proses kegiatan, program dan
kebijakan dalam rangkaian penyelenggaraan pendidikan itu sendiri.
Manajemen sekolah tentunya perlu dibekali dengan kemampuan untuk
melakukan teknik pengumpulan, dan analisis data yang kemudian
disimpulkan guna perbaikan di masa mendatang. Keempat, pendidikan
sebagai sistem. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah sistem
yang memiliki struktur dan komponen penyusunnya. Pendidikan sebagai
sistem yang memiliki struktur haruslah mampu mengoptimalkan fungsi
garis koordinasi dan garis komando secara sistemik yang diimplementasi-
kan melalui acuan prosedur, mekanisme kerja, dan job description yang
jelas. Sebagai sebuah sistem, sekolah menengah kejuruan harus memiliki
setidaknya personil sekolah, kurikulum pengembangan, sarana-prasarana,
media, sumber belajar, pembiayaan, serta komponen lainnya yang
mendukung penyelenggaraan sistem manajemen mutu itu sendiri.
Manajemen pendidikan terpadu sebagai suatu sistem memiliki pengertian
bahwa komponen-komponen pendukung kegiatan belajar mengajar di
sekolah merupakan hubungan yang bersifat sinergi yang membentuk satu
kesatuan utuh yang bekerja bersama secara terpadu dalam rangkaian
pelaksanaan sistem. Kelima, perbaikan berkelanjutan. Jika dalam dogma
lama menyatakan bahwa jika sesuatu sudah rusak baru perlu adanya
perbaikan. Namun, dalam konsep mutu layanan pendidikan tidak ada
istilah stagnan, setiap proses pendidikan membutuhkan perbaikan dan
peningkatan kualitas yang tiada henti, minimal mampu memenuhi standar
yang telah ditetapkan.
Pada hakikatnya, realisasi TQM mustahil mencapai keberhasilan
tanpa partisipasi seluruh elemen pendidikan baik yang berasal dari
lingkungan internal maupun eksternal. Sekolah tidak boleh digantungkan
pada individu kepala sekolah, guru, siswa, sumber daya sekolah lainnya
sebagai bagian yang terpisah, karena sikap dan perilaku individu terhadap
kualitas dapat berbeda. Dengan kata lain, sumber kualitas ini harus
ditransformasikan menjadi sumber produktif dan profesional secara
berkesinambungan dalam merealisasikan sistem manajemen mutu dalam

149
mencapai tujuan yang homogenitas. Sekolah merupakan milik bersama,
hanya akan berkembang jika saling cooperative.
Adapun dalam rangkaian pendidikan kejuruan, sistem mutu pen-
didikan dapat dilakukan dengan mengolaborasikan implementasi mutu
dalam substansi hubungan industri, sekolah dan penerapan TQM sebagai
sebuah interaksi yang saling berkaitan dan berkesinambungan.

Input proses
Industri Raw Garis kontrol Output
material produksi
Fail

Pengerjaan ulang

Input Proses
Sekolah PBM Uji Output
Raw
kompetensi
students

fail

Remedial/Pengulangan

Input Process
TQM dalam Raw Proses PBM High
sekolah students didukung Quality
dengan sistem Output
manajemen
sekolah yang
berkualitas

Gambar 5.6 Perbedaan antara Industri, Sekolah dan TQM dalam Sekolah

150
Penerapan manajemen mutu pada sekolah kejuruan dapat me-
minimalisir kegagalan yang terjadi selama proses belajar mengajar.
Pendidikan kejuruan dapat menjalankan penerapan mutu melalui proses
pembelajaran dan pengajaran yang berkualitas serta memadukan
pendidikan praktikal yang bersinergi dengan DU/DI sebagai bagian dari
peningkatan mutu dan pengembangan kompetensi peserta didik dan
lulusan. Dengan demikian, gabungan dari pembelajaran di sekolah dan
praktik industri akan memberikan hasil yang lebih maksimal. Pendidikan
kejuruan tidak hanya dimaksudkan untuk menambah ilmu pengetahuan
namun juga kecakapan hidup bagi peserta didik dan lulusan. Dengan
adanya modifikasi sistem manajemen mutu yang diterapkan di sekolah dan
industri akan memberikan jaminan kualitas proses pembelajaran dan
kualitas kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik dan lulusan.

C. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan (Critical Success


Factors) Penyelenggaraan Manajemen Mutu Terpadu
Penerapan manajemen mutu tidak terlepas dari faktor-faktor penentu
keberhasilan mutu itu sendiri dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Keberadaan faktor-faktor penentu keberhasilan tersebut menjadi bagian
penting yang tidak terlepas dari sistem mutu. Kunci penyelenggaraan
sistem manajemen mutu terletak pada keberadaan faktor-faktor
keberhasilan tersebut yang mendukung implementasi manajemen mutu.
Berbagai penelitian telah mengemukakan keberhasilan manajemen mutu
terhadap peningkatan fungsi manajemen sebuah organisasi. Berikut
penulis rangkum berbagai critical success factors pelaksanaan manajemen
mutu menurut para ahli.

Tabel 5.1 Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Manajemen Mutu


No. TQM Framework Critical success factors of TQM
1. Juran (1974) Top management, strategic quality, process
management, service design, education and training,
supplier performance, customer satisfaction, employee
empowerment, and business.
2. Crosby (1979) Top management, strategic quality, education and
training, process management, supplier, employee
empowerment, business management, statistical
process control.

151
No. TQM Framework Critical success factors of TQM
4. Feigenbaum Top management, strategic quality, process
(1983) management, education and training, and employee
empowerment
5. Garvin (1988) Top management, process management, service
design, supplier, customer satisfaction, employee
empowerment.
6. Saraph, et al. Top management and quality policy, role of quality
(1989) department, training, product/service design, supplier
quality management, process management operating
quality, data and reporting, employee relation.
7. Lu and Sohal Top management, strategic quality, process
(1993) mangement, service design, education and training,
business, management, benchmarking, resources, and
statistical process control.
8. Oakland (1993) Strategic quality, process management, service
design, supplier, customer statisfaction, employee
empowerment, information and analysis,
benchmarking, statistical process control.
9. Flynn et al. (1994) Top management, process management, service
design, education and training, supplier, customer
satisfaction, information and analysis.
10. Black & Porter Supplier partnership, people and customer
(1996) management, customer satisfaction orientation,
external interface management, communication of
improvement information, strategic quality
management, operational quality planning, quality
improvement measurement systems, teamwork
structure for improvement, and corporate quality
system.
11. Ahire, et al. Top management commitment, customer focus,
(1996) supplier quality management, design quality
management, benchmarking, use of statistical process
control, internal quality information, employee
empowerment, employee involvement, employee
training, product quality, and supplier performance.
12. Fotopoulus et al. Leadership, process management, service design,
(2009) human resource management, customer focus,
education and training, and supplier quality
management

152
Ada beragam faktor penentu keberhasilan manajemen mutu menurut
masing-masing pendapat ahli. Jika disimpulkan maka sebagian besar ahli
berpendapat bahwa implementasi sistem mutu perlu didukung enam faktor
utama: 1) komitmen manajemen puncak, 2) kualitas strategi, 3) proses
penyelenggaraan manajemen, 4) pemberdayaan sumber daya manusia, 5)
kepuasan pelanggan, 6) pendidikan dan pelatihan. Berangkat dari faktor-
faktor keberhasilan TQM seperti yang dikemukakan di atas, penulis
merasa penting untuk menjabarkan faktor-faktor (critical success factors)
yang perlu diperhatikan oleh manajemen sekolah kejuruan dalam
meningkatkan mutu pendidikan sebagai berikut.

1. Fokus pada Pelanggan Pendidikan


Persaingan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
dunia bisnis dan usaha. Persaingan tersebut juga telah merambah dunia
pendidikan. Pendidikan dituntut mampu menawarkan kualitas terbaik demi
memenuhi tuntutan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Sekolah perlu meningkatkan produktivitas, efektivitas, dan efisiensi guna
mempertahankan eksistensinya dengan memberikan pelayanan terbaik
kepada pelanggan pendidikan. Pelanggan pendidikan merupakan orang-
orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses
pendidikan, baik berada dalam lingkungan internal dan eksternal.
Setiap organisasi pendidikan dihadapkan pada keberadaan lingkung-
an internal dan eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi eksistensi sekolah. Makin besar sebuah sekolah,
makin banyak jumlah siswa dan personil sekolah yang dimiliki, dan
semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai maka semakin kompleks pula
bentuk, jenis, dan sifat interaksi yang terbentuk dalam menghadapi
tantangan lingkungan internal dan eksternal (Siagian, 2004: 1). Sekolah
sebagai lembaga mikro penyelenggara pendidikan dan sebagai sebuah
organisasi terbuka, secara internal, dihadapkan pada tuntutan dan
kepentingan pelanggan internal sekolah seperti siswa dan karyawan
sekolah. Sedangkan lingkungan eksternal yang mempengaruhi keberadaan
sekolah itu sendiri adalah distributor, agen, pemasok, DU/DI, pemerintah,
komite sekolah, orang tua siswa, masyarakat, dan stakeholder lainnya.
Sebagai pelanggan pendidikan, komponen tersebut memiliki persepsi dan

153
penilaian tersendiri terhadap keberadaan sekolah yang mau tidak mau
melahirkan pencitraan terhadap sekolah. Hal tersebut tentunya dipengaruhi
oleh kepuasan pelanggan pendidikan terhadap layanan sekolah.
Wibowo (2016: 118) mengemukakan bahwa terdapat dua macam
pelanggan, yaitu external customer dan internal customer.
1) External customer adalah orang atau institusi yang membeli produk
atau jasa. Dalam hal demikian, seluruh unit dalam organisasi harus
melakukan yang terbaik untuk memuaskan pelanggan.
2) Internal customer adalah karyawan dalam organisasi yang
tergantung pada output dari karyawan lainnya.
Adapun komponen pelanggan pendidikan menurut Sallis (2010: 70)
antara lain:
1. Pelanggan eksternal
a. Pelanggan atau klien eksternal utama yaitu pelajar.
b. Pelanggan eksternal kedua yaitu orang tua, kepala daerah atau
sponsor.
c. Pelanggan eksternal ketiga yaitu pemerintah, masyarakat, dan
bursa kerja.
2. Pelanggan internal
Pelanggan internal merupakan para tenaga pendidik dan ke-
pendidikan.
Kedua komponen tersebut sangat berperan penting dalam pe-
nyelenggaraan manajemen mutu terpadu di mana hubungan internal yang
kurang baik akan menghalangi perkembangan institusi yang berimbas
terhadap kekecewaan pelanggan eksternal. Betapapun baiknya kinerja
manajemen puncak tanpa adanya koordinasi dan keterlibatan lingkungan
internal dan lingkungan eksternal sekolah maka mustahil sekolah tersebut
dapat berkembang dengan baik. Kepuasan pelanggan merupakan hal
mutlak yang harus diberikan sekolah kepada pengguna jasa pendidikan.
Kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respons atau perasaan senang
yang dimunculkan terhadap kinerja aktual yang diberikan setelah
pemakaian (Rangkuti, 2003: 30). Kepuasan pelanggan pendidikan
kejuruan merupakan hasil akumulasi pengguna jasa pendidikan,
kesesuaian ekspektasi yang dimunculkan terhadap produk maupun jasa
sehingga pengalaman tersebut dibagikan ke pelanggan lainnya.

154
Irawan (2008: 37-38) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan
dipengaruhi oleh lima faktor:
1) Kualitas produk/layanan jasa; merupakan alat ukur/pengutaraan
kepuasan pelanggan terhadap hasil produk dan layanan yang secara
global paling tidak memenuhi enam elemen yaitu performance,
durability, feature, reability, consistency, dan design.
2) Harga; merupakan cerminan dari nilai yang diperoleh untuk
memperoleh suatu produk/jasa yang ditunjukkan melalui indikator
variabel harga seperti diskon/potongan harga, keterjangkauan harga,
dan harga yang kompetitif.
3) Service quality; kualitas layanan tergantung pada tiga hal yaitu
sistem, teknologi, dan sumber daya manusia yang terlibat dalam
proses produksi maupun layanan. Adapun indikator pengukuran
variabel kualitas pelayanan meliputi fasilitas yang mendukung
kualitas layanan, keandalan sekolah dalam memberikan layanan,
daya tanggap, jaminan produk/jasa yang diberikan, dan rasa peduli.
4) Emotional factor; faktor emosi merupakan faktor yang berhubungan
dengan gaya hidup baik itu berupa estetika, self expressive, maupun
brand personality. Indikator faktor emosi dapat terlihat dari rasa
bangga memiliki produk/ memperoleh layanan oleh pihak sekolah/
atau bersekolah di sekolah tersebut, rasa percaya diri yang muncul
karena bersekolah di sekolah tersebut.
5) Biaya dan kemudahan; merupakan bentuk pengorbanan yang
dikeluarkan oleh pelanggan demi memperoleh produk maupun
pelayanan yang relatif mudah, nyaman, dan efisien. Indikator
variabel kemudahan dapat dilihat dari akses sekolah yang mudah
dijangkau dan prosedur memperoleh produk dan layanan sangat
efektif dan efisien.
SMK selain sebagai lembaga pendidikan yang menawarkan layanan
pendidikan, SMK juga didukung oleh keberadaan unit produksi yang
menawarkan produk hasil karya siswa SMK maupun layanan jasa yang
perlu diberdayakan dan tingkatkan dengan berpedoman pada pemenuhan
faktor-faktor kepuasan pelanggan di atas sehingga produk dan jasa yang
ditawarkan oleh SMK bisa diterima oleh masyarakat luas baik dalam skala
nasional maupun internasional.

155
2. Berorientasi Pada Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan ditargetkan untuk menjawab tantang-
an dan relevansi pendidikan kejuruan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan tuntutan dunia usaha dan industri.
Perkembangan IPTEK yang begitu pesat ini mendorong kemajuan bidang
pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu. Untuk
mewujudkan tata kelola dan pelaksana pendidikan yang berorientasi
peningkatan mutu, dibutuhkan minimal empat hal di antaranya: (1)
meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf; (2)
meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan di sekolah;
(3) munculnya gagasan-gagasan baru dalam implementasi kurikulum,
penggunaan teknologi pembelajaran, dan pemanfaatan sumber-sumber
belajar; dan (4) meningkatnya mutu partisipasi masyarakat dan
stakeholder.
Adapun karakteristik dari sekolah yang terus melakukan perbaikan
menyeluruh untuk mencapai keefektifan sekolah seperti yang
dikemukakan oleh Purkey dan Smith (1983), antara lain: (1) fokus
manajemen didasarkan pada sekolah, (2) kepemimpinan instruksional yang
kuat, (3) stabilitas staf, (4) konsensus tujuan, (5) pengembangan dan
pembinaan staf sekolah, (6) dukungan orang tua, (7) hasil akademik yang
berkualitas, (8) penggunaan waktu yang efektif, (9) dukungan distrik
(pemerintah daerah) yang baik, (10) hubungan perencanaan dan kolegial,
(11) komitmen organisasi, (12) tujuan yang jelas dan harapan yang tinggi
terhadap sekolah, (13) aturan yang baik dan kuat (Sagala, 2012: 81).
Lebih lanjut, langkah-langkah untuk menciptakan sistem
manajemen mutu efektif menurut Thoby dan Gasperz (Hadis & Nurhayati,
2012: 91), yang dapat diterapkan pada sekolah menengah kejuruan
meliputi: (1) mendefinisikan dan merinci sasaran dan kebijakan mutu; (2)
berorientasi pada kepuasan pelanggan; (3) mengerahkan semua aktivitas
untuk mencapai sasaran dan kebijakan mutu; (4) mengintegrasikan
aktivitas di dalam organisasi; (5) memberikan penjelasan tugas kepada
personil untuk bersikap mementingkan produk untuk menyukseskan
program pengendalian mutu terpadu; (6) merinci aktivitas pengendalian
mutu kepada para penjual produk/layanan jasa untuk menyukseskan
program pengendalian mutu terpadu kepada para penjual produk/layanan

156
jasa; (7) mengidentifikasi mutu peralatan secara akurat; (8) mendefinisikan
dan mengefektifkan aliran informasi mutu, memproses dan mengendali-
kannya; (9) melakukan pelatihan serta memotivasi personil untuk terus
bekerja meningkatkan mutu, (10) melakukan pengendalian biaya mutu dan
pengukuran lainnya serta menetapkan standar mutu yang harus dicapai;
(11) mengefektifkan tindakan korektif yang konstruktif; (12) melanjutkan
sistem pengendalian mencangkup langkah selanjutnya dan menerima
informasi umpan balik, melakukan analisis hasil, serta membandingkan
dengan standar mutu yang telah ditetapkan; dan (13) memeriksa aktivitas
sistem mutu modern secara periodik.
Penerapan TQM terbukti mampu mempengaruhi peningkatan mutu
sektor lainnya sehingga menunjukkan performance dan kinerja yang lebih
baik lagi. Penyelenggaraannya dapat menyokong bidang lainnya dalam
organisasi, antara lain (Wibowo, 2016: 124):
a. accounting, untuk mengukur dan memperkirakan biaya sebagai
konsekuensi kualitas buruk dan mengusahakan data yang benar;
b. finance,perlu mengukur implikasi aliran dana pada program TQM
dan menyediakan laporan keuangan tanpa kesalahan;
c. human resources,dalam merekrut pekerja yang menghargai kualitas
kerja dan memotivasi dan melatih;
d. management information system, diperlukan dalam mendesain
sistem untuk melancak kuantitas dan kualitas kinerja;
e. marketing, dalam menggunakan data kualitas dan kinerja untuk
tujuan promosi;
f. operations,dalam mendesain dan melaksanakan program mutu.
Penerapan manajemen mutu sangat dibutuhkan untuk menjamin
keselarasan penyelenggaraan program pendidikan di SMK. Implementasi
mutu pada jenjang pendidikan kejuruan diharapkan mampu melahirkan
keefektifan sekolah dalam meningkatkan: (1) output berupa prestasi
pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif sesuai dengan visi,
misi, dan tujuan sekolah; (2) efektivitas proses belajar mengajar yang
tinggi; (3) peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan yang
tersedia; (4) lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman
sehingga penyelenggaraan manajemen dapat lebih efektif; (5) analisis

157
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja,
dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru dapat meningkatkan
kesejahteraannya; (6) pertanggungjawaban (akuntabilitas) sekolah
terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan; dan (7)
pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan
sekolah sesuai kebutuhan real untuk meningkatkan mutu layanan belajar
(Sagala, 2012: 161).
Inti dari penyelenggaraan sistem mutu dalam dunia pendidikan
adalah proses belajar mengajar di sekolah. Efektivitas proses belajar
mengajar dan peningkatan prestasi belajar ditentukan oleh proses
penyelenggaraan pendidikan. Keberadaannya menjadi kunci keberhasilan
dilihat dari perspektif kinerja sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh
komponen masukan (masukan dasar dan sumber daya penunjang),
komponen proses (pemanfaatan masukan dan iklim atau suasana),
komponen keluaran (manusia/lulusan, produk/karya, dan jasa), dan
dampak (return of investment baik dalam bentuk laba, kepuasan,
perubahan, dan lainnya).
Sekolah dikembangkan sebagai tempat formal yang sengaja di-
rancang untuk mempermudah masyarakat memperoleh proses belajar
mengajar. Dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar tersebut,
keberadaan interaksi efektif antara guru dan murid menjadi penting dalam
menciptakan kualitas proses belajar. Guru sebagai komponen dari masukan
instrumental yang menjadi faktor dominan yang mempengaruhi mutu
proses dan hasil pembelajaran di kelas sehingga perlu dibekali dengan
kompetensi dalam menciptakan proses sintesis mutu proses dan hasil
belajar mengajar, maka langkah tersebut dapat diamati dari beberapa
indikator berikut.
1. Guru membuka pelajaran dengan ucapan salam.
2. Guru melakukan presentasi siswa.
3. Guru melakukan pengelolaan kelas.
4. Guru menjelaskan materi pelajaran di kelas.
5. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya.
6. Guru menjawab pertanyaan siswa.
7. Guru memberikan penguatan.
8. Guru mengajukan pertanyaan dasar dan lanjutan.

158
9. Guru mengadakan variasi dalam teknik mengajar.
10. Guru menggunakan stimulus untuk membangkitkan minat dan
motivasi belajar siswa.
11. Guru mengadakan pengajaran di kelompok kecil.
12. Guru memimpin diskusi kelompok.
13. Guru mengajar atas dasar perbedaan individu.
14. Guru mengajar melalui penemuan siswa.
15. Guru mengembangkan kreativitas siswa.
16. Guru memberikan kegiatan pengayaan dan remedial kepada siswa.
17. Guru memberikan tugas belajar kepada siswa baik individual
maupun kelompok.
18. Guru menilai sikap dan perilaku kerja sama siswa dalam mengikuti
proses belajar mengajar.
19. Guru menilai penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dengan
tes formatif.
20. Guru memperjelas kembali jawaban siswa atas pertanyaan siswa
lain.
21. Guru menarik kesimpulan tentang pokok bahasan yang diajarkan
pada akhir pertemuan pelajaran di kelas.
22. Guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, dan
23. Guru menutup pelajaran dengan ucapan salam. Sedangkan indikator
mutu hasil belajar ialah nilai rata-rata hasil belajar siswa (Hadis &
Nurhayati, 2012: 98-99).
Kompetensi penguasaan materi pelajaran dan metodologi pem-
belajaran perlu dikuasai guru dalam rangka menjamin proses pembelajaran
agar mencapai tujuan yang diharapkan. Dunkin & Biddle (1974)
mengemukakan empat variabel interaksi yang dibutuhkan guru yaitu: (1)
variabel pertanda (presage variables) berupa pendidika; (2) variabel
konteks (context variable) berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat;
(3) variabel proses (process variable) berupa interaksi peserta didik
dengan pendidik; dan (4) variabel produk (variable product) berupa
perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
(Sagala, 2012: 101). Dengan adanya sinergi antara pengelolaan
manajemen sekolah yang berkualitas dan proses belajar mengajar yang
efektif maka variabel produk/ hasil pendidikan dapat menunjukkan
performa yang tinggi.

159
3. Pendekatan Ilmiah dalam Pengambilan Keputusan dan
Pemecahan Masalah
Manajemen mutu terpadu sebagai fundamental pendekatan, proses
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang terjadi di sekolah,
memiliki peran penting dalam memutus rantai bias ketimpangan kebijakan
sekolah, kebijaksanaan pimpinan dan proses pengambilan keputusan.
Manajemen mutu terpadu menawarkan pendekatan yang lebih rasional dan
objektif yang tidak mengedepankan keputusan subjektif yang
mendominasi. Sehingga dapat mengubah pola pikir dogmatis menjadi
realistis.
Ketika berbicara tentang proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah maka hal tersebut tidak terlepas dari peran kepala
sekolah sebagai leader dalam lembaga pendidikan. Keberadaan pimpinan
dan manajemen puncak merupakan kunci keberhasilan maupun cerminan
kualitas keputusan dan kematangan leadership dan sistem manajemen
dalam mengambil keputusan. Kepala sekolah mempunyai wewenang
untuk menetapkan keputusan dari berbagai masalah yang terjadi di sekolah
baik bersifat struktural maupun kondisional. Namun dalam praktiknya,
masih kita temukan keputusan yang diambil kepala sekolah cenderung
tidak efektif, efisien dan akuntabel. Sebagai contoh, dalam praktik
persekolahan, sering kita mendapatkan kejanggalan-kejanggalan dalam
proses pengambilan keputusan. Keputusan dijadikan hak mutlak yang
ditentukan oleh kepala sekolah yang bersifat subjektif atau bahkan
egosentris, tanpa mengedepankan pendekatan ilmiah yang dilakukan
sebelumnya dalam proses pengambilan keputusan. Terkadang, personil
sekolah lainnya tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, jika
pun dilibatkan hanya sebatas menginformasikan keputusan kebijakan, atau
hanya bersifat mufakat semu. Personil sekolah hanya bertindak sebagai
pelaksana dan penerima kebijakan saja tanpa diberi kesempatan untuk
memberi masukan atau kesempatan mengajukan pertimbangan ilmiah/
alternatif pemecahan masalah lainnya, atau meskipun memberi pendapat
maka tetap saja pendapat yang diajukan tidak tepat di mata pimpinan. Hal
tersebut tentunya akan menimbulkan masalah baru bahkan konflik internal
dalam manajemen sekolah.

160
Untuk mencegah terjadinya permasalahan seperti yang dikemukakan
di atas, maka perlu adanya pendekatan ilmiah dalam proses pengambilan
keputusan. Terlepas keberadaan kepala sekolah sebagai individu yang
memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Kepala sekolah harus mampu
menempatkan posisi dan porsi yang tepat dalam proses pengambilan
keputusan. Manajemen puncak perlu mengadopsi model-model
pengambilan keputusan/ pemecahan masalah yang dapat diterapkan dalam
lingkungan sekolah seperti yang dirangkum oleh Usman (2013: 440-467)
berikut.
a. Model Mitzberg, Drucker, dan Simon
Dalam model pengambilan keputusan Mitzberg, et al. (1976)
terdapat tiga tahapan yang akan terjadi dalam proses pengambilan
keputusan di antaranya (1) tahap identifikasi, (2) tahap
pengembangan, (3) tahap pemilihan. Pertama, dalam tahapan
identifikasi, kepala sekolah/pengambil keputusan lainnya perlu
memahami akar masalah yang terjadi dan bagaimana peluang untuk
melakukan diagnosisi terhadap masalah yang terjadi. Kedua, kepala
sekolah mencari alternatif prosedur pemecahan masalah yang tepat
sebagai sebuah desain. Ketiga, tahap pemilihan, kepala sekolah
dapat memilih dan mempertimbangkan langkah penyelesaian
masalah terbaik dengan analisis logis dan terarah.
Drucker (1993) menawarkan enam tahapan dalam proses peng-
ambilan keputusan, yaitu (1) mendefinisikan masalah, (2)
menganalisis masalah, (3) mengembangkan alternatif pemecahan
masalah, (4) memutuskan satu pemecahan masalah terbaik, (5)
merencanakan tindakan efektif, dan (6) memantau dan menilai
hasilnya. Sedangkan Simon (1997) menetapkan tiga langkah
pengambilan keputusan yang terdiri dari (1) kegiatan inteligen, (2)
kegiatan desain, dan (3) kegiatan pemilihan.
Pada dasarnya, ketiga model pengambilan keputusan di atas jika
disimpulkan melalui tahapan orientation, selecting alternatives,
deciding solution,implementation, feedback dan evaluation.
Tahapan orientation merupakan proses pengenalan, mencari
informasi terhadap masalah yang terjadi. Tahapan selecting
alternatives, merupakan langkah penyajian beberapa alternatif yang
akan dipakai untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, pada

161
tahapan deciding solution, pengambil keputusan telah menetapkan
alternatif jalan penyelesaian masalah yang efektif. Dalam tahapan
implementation, desicion maker telah menjalankan strategi
pemecahan masalah yang dipilih. Pada tahapan terakhir, pengambil
keputusan melakukan feedback terhadap hasil keputusan yang
diambil dan melakukan evaluasi.

b. Model Pengambilan Keputusan Rasional


Model pengambilan keputusan rasional membagi keputusan
menjadi dua jenis, yaitu keputusan terprogram (structured) dan
tidak terprogram (unstructured). Keputusan terprogram merupakan
keputusan yang diambil terhadap kegiatan-kegiatan yang terulang
untuk setiap tahun atau semester seperti keputusan kenaikan kelas,
rapat kerja sekolah, penggajian, dan sebagainya. Sedangkan
keputusan tidak terprogram merupakan keputusan-keputusan yang
diambil berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu
singkat. Contohnya, keputusan meliburkan sekolah karena bencana
alam, dan lainnya. Berikut ilustrasi proses model pengambilan
keputusan rasional.

amati situasi

apakah diperlukan keputusan?

apakah keputusan itu rutin?

ikuti peraturan yang berlaku

ikuti pedoman pemecahan


masalah

keputusan

monitor dan evaluasi dampak keputusan

Gambar 5.7 Model Proses Pengambilan Keputusan Rasional (Usman,


2013: 442)

162
c. Model Pengambilan Keputusan Klasik
Model pengambilan keputusan klasik berbeda dengan model
pengambilan keputusan rasional di atas di mana pengambilan
keputusan didasari dari enam langkah logis berikut.

identifikasi menentukan menilai memilih menetapkan menilai


masalah alternatif alternatif alternatif alternatif keputusan

Umpan Balik
Gambar 5.8 Model Proses Pengambilan Keputusan Klasik (Lenunburg &
Ornstein, 2000)

Pada model keputusan ini, alternatif ditetapkan pada awal tahap


setelah identifikasi masalah dilakukan. Hal tersebut menunjukkan
adanya langkah rasional lengkap yang diambil oleh pengambil
keputusan untuk mengikuti alur proses ini.

d. Model Pengambilan Keputusan Perilaku


Pada model pengambilan keputusan perilaku, keputusan
didasarkan pada dasar rasionalitas kontekstual dan rasional respektif
di mana keputusan tidak hanya didasarkan oleh ketentuan tekstual
namun juga kontekstual.

163
e. Model Vroom-Yetton-Jago (Desicion Tree)

Gambar 5.9 Vroom-Yetton-Jago Decision Tree (1973)

Model pengambilan keputusan ini menetapkan bahwa dalam


proses pengambilan keputusan membutuhkan pertimbangan
terhadap quality requirement, commitment requirement, leader
information, problem structure, commitment probability, goal
congruence, subordinate conflict, yang tercermin dalam tujuh poin
pertanyaan utama yang perlu direnungi oleh para pengambil
keputusan sebelum membuat keputusan di antaranya: 1) apakah
kualitas dari keputusan itu penting? 2) apakah komitmen tim penting
bagi keputusan yang diambil? 3) apakah pengambil keputus-
an/pimpinan memiliki informasi yang cukup untuk mengambil
keputusan sendiri? 4) apakah masalah tersebut terstruktur dengan
baik? 5) akankah tim mendukung keputusan yang dibuat oleh
pimpinan sendiri tanpa melibatkan personil lainnya? 6) apakah tim
berbagi tujuan organisasi? 7) mungkinkah ada terciptanya konflik di

164
antara tim atas keputusan yang diambil? Jika setiap situasi
mengharuskan pilihan ‗yes’ maka proses pengambilan keputusan
dilanjutkan pada pertanyaan selanjutnya, sebaliknya jika situasi
memungkinkan jawaban ‗no’ maka keputusan dapat diambil segera.

f. Model Pengambilan Keputusan Carnegie


Model pengambilan keputusan ini mengemukakan adanya per-
tentangan terhadap keputusan rasional seperti yang dirangkum
dalam tabel berikut.

Tabel 5.2 Perbedaan Model Rasional dengan Model Carnegie (Jones,


1995)
Model Rasional Model Carnegie
Banyak informasi yang Sedikit informasi yang tersedia
tersedia
Murah Mahal karena masih mencari informasi
Bebas nilai Terikat nilai
Alternatif banyak Alternatif sedikit
Keputusan diambil dengan Keputusan dengan kompromi, persetujuan, dan
suara bulat akomodasi antara koalisi organisasi
Keputusan dipilih yang Keputusan yang dipilih adalah memuaskan
terbaik bagi organisasi organisasi

g. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Manfaat


Model pengambilan keputusan ini didasari atas pemikiran
tentang (1) mutu keputusan; mutu keputusan berkaitan dengan
kematangan berpikir, pengetahuan, pengalaman dan informasi yang
dimiliki kelompok melebihi manfaat keputusan yang diambil secara
individu.(2) kreativitas keputusan; kreativitas keputusan
menyangkut ide bersama yang akan memberikan variasi yang jauh
lebih baik daripada ide individu, (3) penerimaan keputusan;
menyangkut penerimaan keputusan bersama lebih penting dan
efektif dari penerimaan keputusan secara individu, (4) pemahaman
keputusan; pemahaman terhadap keputusan akan lebih jelas jika
keputusan dibuat bersama, (5) pertimbangan keputusan;
pertimbangan yang diambil bersama akan lebih efektif, efisien dan
akuntabel dibandingkan pertimbangan individu, dan (6) ketepatan

165
keputusan; kelompok dapat mengontrol pola pikir yang objektif dan
menyeluruh sehingga dapat menghindari terjadinya kesalahan
individu.

h. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Masalah


Model pengambilan keputusan berdasarkan masalah memiliki
anggapan bahwa ada tiga tendensi yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan kelompok, yaitu (1) pikiran kelompok, (2)
perubahan kelompok, dan (3) eksalasi komitmen. Pikiran kelompok
dapat dengan tidak sengaja bahkan secara optimis mengambil risiko
manajemen tinggi. Keberadaan kelompok-kelompok dalam
organisasi juga memberikan kontribusi negatif dalam proses
pengambilan keputusan di mana masing-masing kelompok akan
melakukan pembenaran terhadap keputusan kelompok yang belum
tentu benar dan tepat adanya menurut kelompok maupun individu
lainnya sehingga mengabaikan moral dan etika. Di lain sisi, ada
kecenderungan kelompok berperan sebagai oposisi yang menentang
kebijakan pimpinan atau sebaliknya kelompok mendapat tekanan
dari pimpinan maupun pihak lainnya.

i. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Lapangan


Pengambilan keputusan dengan model ini melibatkan seluruh
anggota organisasi untuk mengambil keputusan, adapun langkah
yang diambil meliputi: ―(1) brainstorming terhadap masalah yang
dihadapi, (2) teknik group nominal, (3) teknik Delphi, (4) adanya
pembela yang menantang apa yang dianggap baik (devil’s
advocate)” (Usman, 2013: 447). Langkah yang dilakukan dalam
proses pengambilan keputusan menggunakan model ini melalui
tahapan: (1) sebelum melakukan brainstorming tentukan dulu topik
yang akan dibahas; (2) masing-masing anggota bertanggung jawab
terhadap ucapannya; (3) setiap anggota menyampaikan pendapatnya
sampai semua anggota mengutarakan ide/pendapatnya atau dapat
menyatakan ―pass‖ jika tidak memiliki ide yang ingin disampaikan;
(4) tidak mengomentari atau menjatuhkan pendapat orang lain,
pimpinan berhak menghentikan komentar jika ada yang

166
mengomentari pendapat lainnya; (5) dengan pertimbangan efisiensi
waktu, pendapat atau ide dapat dalam bentuk tulisan, jika tidak ada
lagi pendapat yang diberikan maka brainstorming selesai, (6)
selanjutnya pendapat dikumpulkan, sedangkan yang sama
dikelompokkan,untuk selanjutnya dibahas bersama; (7) jika tidak
ada kesepakatan maka dapat dilakukan voting. Keberadaan devil’s
advocate dalam proses pengambilan keputusan ini adalah
menanggapi hasil kesepakatan menyangkut kemungkinan-
kemungkinan yang mungkin terjadi atau mengajukan ide-ide
pelengkap jika alternatif yang dirundingkan dijalankan sehingga
keputusan tersebut dapat dikoreksi agar lebih baik lagi.

j. Model Pengambilan Keputusan Pohon Masalah


Model pengambilan keputusan dengan desain pohon masalah ini
menyajikan masalah dalam situasi tertentu dengan menyusunnya
sebagai rangkaian sebab-akibat. Adapun tahapan yang dilakukan
dengan mengidentifikasi pertanyaan berikut. 1) apa yang menjadi
sebab masalah ini?; 2) apa yang menjadi sebab masalah ini?; 3) apa
yang menjadi akibat masalah ini? Untuk selanjutnya dinyatakan
dalam bentuk pohon masalah, pohon sasaran dan pohon alternatif
yang diilustrasikan oleh Usman (2013: 449-451) seperti contoh di
bawah ini.

167
Gambar 5.10 Pohon Masalah (Pertanyaan Negatif)

Setelah pohon masalah diselesaikan, maka selanjutnya buatlah


pohon sasaran. Pohon sasaran merupakan upaya mengidentifikasi
sasaran/target yang ingin dicapai. Pohon sasaran merupakan
pernyataan positif terhadap analisis faktor-faktor/keadaan/solusi
yang ideal akan ditawarkan.

168
terwujudnyaperencana terwujudnyamotivasi
an yang tidak mantap kerja yang tinggi

terwujudnya terciptanya
Terwujudnya mutu terciptanya manajemen
pelaksanaan tidak kepemimpinan
pendidikan yang tinggi pendidikan yang baik
tepat pendidikan yang kuat

terlaksananya
terlaksananya
pemecahan masalah
pengawasan ketat
yang cepat

terciptanya komunikasi
dan koordinasi yang
baik

terpenuhinya sarana
prasarana yang
Akibatnya Masalahnya Penyebabnya memadai

Gambar 5.11 Pohon Sasaran (Pernyataan Positif)

Pohon sasaran ini merupakan pengembangan alternatif


pemecahan masalah yang selanjutnya diterjemahkan dalam
serangkaian tindakan yang akan dilakukan yang dituangkan dalam
pohon alternatif seperti contoh berikut.

terwujudnya
mutu
pendidikan
yang tinggi

terciptanya
manajemen
pendidikan
yang baik

terwujudnya
pelaksanaan
yang tepat

terciptanya
kepemimpinan
yang kuat

menambah menjalin kerjasama


memperbaiki pembiayaan dengan perusahaan -
mengadakan sistem mengirim studi
lanjut peningkatan perusahaan melalui CSR,
pelatihan pengangkatan sarana instansi pemerintah,
kepemimpinan tenaga manajemen
pendidikan prasarana lembaga swadaya dll
kependidikan sekolah

Gambar 5.12 Pohon Alternatif

169
Setelah membuat pohon alternatif perlu menggunakan
menetapkan kriteria realistik, sumber daya, baiknya bagi organisasi,
kewenangan, dan praktis.

Tabel 5.3 Kriteria Realistik, Sumber Daya, Baik bagi Organisasi dan
Kewenangan dan Bobot Nilai
Baiknya
Kriteria bagi Kewenangan
Realistis (Re) Sumber Daya (S)
Bobot Organisasi (Legalistis/(K)
(Ba)
1. Sangat tidak Sangat tidak S Sangat tidak Sangat tidak K
Re Ba
2. Tidak Re Tidak S Tidak Ba Tidak K
3. Ragu-ragu Ragu-ragu Ragu-ragu Ragu-ragu
4. Re S Ba K
5. Sangat Re Sangat S Sangat Ba Sangat K

Atau dapat juga menggunakan kriteria lainnya seperti realistis,


praktis, dan legalitas. Setelah kriteria bobot ditetapkan, maka
langkah selanjutnya adalah menentukan pemilihan alternatif terbaik
seperti di contohkan berikut ini.

Tabel 5.4 Pemilihan Alternatif Terbaik


Sum Baiknya Kewenang
Reali
Bobot Alternatif ber bagi an Re x s x
stis
pemecahan masalah Daya organisa (Legalitas) Ba x L
(Re)
(S) si (Ba) (L)
Mengadakan pelatihan 5 3 4 3 180
kepemimpinan
Memperbaiki sistem 3 5 5 3 225
pengangkatan tenaga
kependidikan
Mengirim studi lanjut 3 3 4 3 108
manajemen pendidikan
kejuruan
Menambah pembiayaan 5 4 4 3 240
fasilitas sekolah
Menjalin kerja sama 5 5 4 5 500*
dengan DU/DI,
stakeholders lainnya

170
Dari hasil tersebut, maka manajemen sekolah dapat mengambil
langkah prioritas pemecahan masalah yang akan diambil.

k. Model Diagram Tulang Ishikawa


Diagram tulang ikan (Fishbone diagram or Ishikawa)
memetakan hubungan antara faktor-faktor yang diperkirakan
berpengaruh terhadap suatu masalah atau hasil yang diinginkan.
Faktor-faktor yang pengaruh tersebut disusun dalam daftar yang
strukturnya berbentuk susunan tulang ikan. Teknik ini digunakan
apabila suatu tim kerja ingin mengidentifikasi dan menelaah faktor-
faktor yang mungkin menjadi penyebab dari suatu masalah dalam
peningkatan mutu. Diagram tulang ikan atau diagram Ishikawa
dapat digambarkan sebagai berikut:

PROCEDURES PEOPLE

clear motivated
precise skilled
regularly reviewed knowledgeable
useful commited
audited up-to-date
self-starter

Perbaikan
Mutu

Good communication
Exercise leadership up-to-date
Mission and vision fit for purpose
Commitmen available
POLICES PLANT

Gambar 5.13 Diagram Ishikawa (Sallis, 1993: 102)

4. Komitmen Sekolah terhadap Mutu


Dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu dan unggul, terutama
pendidikan kejuruan, dibutuhkan sumber daya dan komitmen tinggi untuk
meraih standar mutu. Oleh karena, dibutuhkan sumber daya manusia yang
memiliki tekad dan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan positif
menuju pendidikan yang lebih berkualitas. Robbins (1987) menyajikan
model perubahan organisasi yang dapat diterapkan pada sekolah menengah
kejuruan sebagai berikut.

171
kekuatan
penentu inisiasi
perubahan

agen perubahan
inisiator organisasi

apa yang diubah?


1.struktur?
2. Teknologi?
strategi intervensi 3. Organisasi?
4. proses?

metode operasional
proses perubahan distribusi kekuasaan
unfreeze-Move- unilateral gabungan
Freeze legalisasi
penerapan

perubahan

hasil keefektifan
organisasi

Gambar 5.14 Model Perubahan Organisasi (Robbins, 1994)

Adapun komitmen yang ditunjukkan oleh personil sekolah dapat


terlihat melalui gambaran sikap sebagai berikut: (1) konsisten terhadap
penyelenggaraan keputusan, kebijaksanaan dan aturan, (2) memiliki
komitmen yang tinggi terhadap peningkatan mutu pendidikan dan
memiliki kesadaran untuk meningkatkan kompetensi diri, (3) memiliki
integritas yang tinggi terhadap pekerjaan, (4) berpikir inovatif, luas dan
terbuka, (5) bersikap jujur, bertanggung jawab, dan bijaksana, (6)
hubungan kolegial yang baik, (7) sistem dokumentasi yang sistematis dan
teratur, (8) lingkungan sekolah yang asri, tenteram, dan bersih, (9)
hubungan komunikasi dan kerja sama yang terjalin baik dengan orang tua
siswa, pemerintahan, DU/DI, maupun lembaga swadaya masyarakat
lainnya, (10) kontribusi dan keterlibatan aktif komite sekolah dalam
menyumbangkan pemikiran, pembiayaan, dan sebagainya, (11)
pengelolaan waktu, kegiatan, pembiayaan yang efektif, efisien, akuntabel,
dan transparan.

172
5. Kerja sama Tim Sekolah
Manajemen mutu terpadu menyertakan keberadaan teamwork
sebagai bagian penting yang tidak dapat dihilangkan keberadaannya,
karena tim dapat bekerja efektif terutama pada tugas-tugas yang kompleks.
Tim sekolah merupakan tim yang terdiri dari seluruh sumber daya manusia
sekolah yang merupakan bagian holistik yang dikerahkan untuk saling
bekerja sama membangun sekolah. Keberadaan tim sekolah yang
berkinerja tinggi ini merupakan kunci sukses penyelenggaraan manajemen
mutu terpadu di sekolah menengah kejuruan.
Dalam melaksanakan tugas manajemen, setidaknya ada tiga
kelompok yang berperan dalam menyukseskan kegiatan sekolah, yaitu: (1)
top manajemen; merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah organisasi
yang mempunyai tanggung jawab untuk merumuskan kebijakan dan
desicion maker, (2) Middle manajemen, merupakan orang-orang yang
bertanggung jawab untuk menjabarkan kebijakan-kebijakan yang telah
diambil dalam bentuk kegiatan/program, (3) karyawan; merupakan orang-
orang yang bertanggung jawab melaksanakan kegiatan secara operasional
(Usman, 2013: 557).
Tim pengembang sekolah sebagai tim inti (top management)
merupakan orang-orang pilihan yang secara kompetensi profesional,
pedagogik, sosial, dan kepribadian memiliki keunggulan dibandingkan
dengan personil sekolah lainnya. Kepala sekolah secara otonomi berhak
menetapkan siapa saja yang tergabung dalam tim pengembang sekolah.
Idealnya, tim pengembang sekolah dipilih bukan berdasarkan kedekatan
emosional dengan kepala sekolah namun secara profesional mampu
mendongkrak kinerja sekolah ke arah yang lebih efektif, efisien dan
berkualitas. Dalam praktiknya, tim pengembang sekolah biasanya terdiri
dari kepala sekolah dan para wakil kepala sekolah yang diberikan
tanggung jawab berdasarkan bidang masing-masing, seperti bagian
kurikulum, kesiswaan, hubungan masyarakat, sarana prasarana dan bidang
lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah.
Kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi dalam institusi sekolah
berkewajiban untuk mengarahkan dan mempengaruhi personil sekolah
agar memiliki kesadaran tinggi dengan penuh sukarela untuk
mengoptimalkan kemampuannya dalam bekerja sama demi tercapainya

173
visi, misi dan tujuan sekolah. Kepala sekolah dan tim pengembang sekolah
memiliki peran besar dalam pengintegrasian pelaksanaan proses
pendidikan menjadi substansi pelaksana tugas dalam konteks yang lebih
sederhana. Keberadaan manajemen puncak tersebut menjadi key members
yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola
penyelenggaraan pendidikan atau mendelegasikannya kepada personil
sekolah lainnya baik secara struktural maupun non struktural. Dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, tim pengembang sekolah
membutuhkan komunikasi, kerja sama, dan koordinasi yang baik agar
terbentuknya sinergi dalam menguatkan keseimbangan pengelolaan
sekolah. Kerja sama yang solid mustahil dicapai tanpa adanya koordinasi
yang baik. Koordinasi dimaksudkan sebagai proses pemberian motivasi,
penyampaian/tukar ide, mengarahkan, serta menjalin hubungan kerja
dengan bawahannya untuk mencapai tujuan sekolah.
Tim pengembang sekolah dibentuk dengan fungsi penting yang
mencangkup: (1) bertanggungjawab pada mutu pembelajaran; (2)
bertanggungjawab pada pemanfaatan waktu para guru, material serta ruang
yang dimanfaatkan; (3) menjadi sarana untuk mengawasi, mengevaluasi
dan meningkatkan mutu; dan (4) bertindak sebagai penyalur informasi
kepada pihak manajemen tentang perubahan-perubahan yang diperlukan
dalam proses peningkatan mutu (Sallis, 2010: 182).
Dengan adanya pendekatan sistem dalam mengkoordinasikan
seluruh aktivitas, kebijakan, rencana kerja, prosedur kerja, pembagian
tugas, dan pengendalian/evaluasi terhadap rencana dan implementasi
proses pendidikan diharapkan dapat melahirkan sinergi dalam
menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Koordinasi tersebut dapat
dibedakan atas (1) koordinasi hierarkis (vertikal) yang dilakukan oleh
kepala sekolah terhadap pejabat (wakil kepala sekolah, pemimpin instansi
sekolah lainnya) di bawah kepala sekolah; (2) koordinasi fungsional,
merupakan koordinasi yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat
lainnya (tim pengembang sekolah) yang tugasnya saling berkaitan secara
fungsional horizontal, diagonal maupun teritorial (Usman, 2013). Secara
horizontal, koordinasi dilakukan oleh para pejabat setingkat, sebagai
contoh koordinasi dilakukan antara anggota tim pengembang sekolah/
sesama wakil kepala sekolah. Koordinasi diagonal merupakan koordinasi

174
yang dilakukan oleh pejabat terhadap instansi lainnya yang lebih rendah,
sebagai contoh, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan melakukan
koordinasi dengan pengurus OSIS. Koordinasi teritorial merupakan
koordinasi yang dilakukan pejabat terhadap pejabat instansi lainnya yang
berada dalam wilayah tanggung jawabnya. Sebagai contoh, wakil kepala
sekolah bidang kurikulum berkoordinasi dengan kepala bagian Unit
Produksi.
Dalam menyelenggarakan kerja tim, diperlukan penghayatan yang
tinggi terhadap prinsip-prinsip dasar organisasi, seperti:
1. Kejelasan tujuan. Tujuan yang ingin dicapai perlu dinyatakan dan
dijabarkan dengan jelas dan eksplisit agar setiap langkah yang
dilakukan kemudian harus berkaitan langsung dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
2. Kejelasan misi. Misi merupakan kegiatan utama yang harus
diimplementasikan sebagai langkah mendasar dalam mencapai
tujuan sehingga dapat dijadikan rambu-rambu organisasi yang
tercermin dari berbagai kegiatan fungsional dan operasional.
3. Fungsionalisasi. Dalam menyelenggarakan manajemen mutu
terdapat berbagai fungsi yang harus diikuti, setidaknya ada tiga hal
yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) setiap fungsi diselenggarakan
terus menerus harus dilembagakan dalam artian bahwa fungsi
tersebut berinduk pada satuan kerja tertentu; (2) tidak ada satu
fungsi yang berinduk pada lebih dari satu satuan kerja dalam
organisasi; (3) tidak ada satu fungsi pun yang tidak jelas ―berinduk‖
pada satuan kerja yang mana.
4. Kejelasan aktivitas. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan di
sekolah, pada dasarnya terdiri dari dua kategori, yaitu kegiatan
pokok dan kegiatan penunjang. Kegiatan pokok merupakan semua
aktivitas yang berkaitan langsung dengan upaya pencapaian tujuan
yang orientasinya adalah kepuasan pihak eksternal, seperti proses
belajar mengajar. Sedangkan kegiatan penunjang merupakan semua
aktivitas yang mendukung pelaksanaan tugas pokok yang
berorientasi internal, seperti manajemen sumber daya manusia dan
tata usaha.

175
5. Keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab. Wewenang
merupakan hak yang melekat pada seseorang untuk bertindak atau
tidak bertindak, memberi petunjuk pada seseorang untuk melakukan
sesuatu atau melarangnya. Dengan adanya keseimbangan antara
wewenang dan tanggung jawab dianggap penting karena: (a) apabila
wewenang seseorang tidak diimbangi oleh tanggung jawab, tidak
mustahil yang berkewenangan melakukan perilaku yang otoriter dan
(b) sebaliknya apabila seseorang hanya dibebani tanggung jawab
tanpa wewenang yang jelas, maka orang tersebut akan diliputi
pertanyaan apakah tindakannya itu masih dalam batas wewenang
atau tidak.
6. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Gaya manajerial
yang dimiliki pimpinan, salah satunya adalah memberi kesempatan
pada bawahan untuk turut berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Salah satu cara yang dapat mendorong partisipasi
personil sekolah adalah pendelegasian sehingga personil sekolah
mampu menunjukkan sifat-sifat positif dalam mengembangkan
kompetensi yang dimilikinya.
7. Pembagian tugas. Pembagian tugas merupakan upaya
pengoptimalan potensi sumber daya manusia sesuai dengan
pengetahuan, keterampilan yang spesifik. Karena keanekaragaman
tersebut maka terjadilah pembagian pekerjaan yang diwadahi dalam
berbagai satuan kerja.
8. Kesatuan arah. Kesatuan arah dimaksudkan bahwa adanya kejelasan
tujuan, visi, misi serta petunjuk kerja yang jelas hingga mampu
menghindari penyimpangan pada inefisiensi kerja.
9. Kesatuan komando. Kesatuan komando merupakan prinsip di mana
setiap bawahan mempunyai seorang atasan langsung di mana ia
akan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya dalam melaksanakan
tugas dan dari siapa ia menerima perintah.
10. Rentang kendali. Rentang kendali memberi batasan jumlah bawahan
yang dikendalikan oleh seorang pimpinan secara efektif, seperti
delapan orang bawahan atau tergantung sifat pekerjaan yang
dikendalikan. Secara kuantitas, jumlah bawahan dapat banyak dapat
ditolerir jika: (a) tugas yang dikerjakan oleh para bawahan bersifat

176
rutin, (b) prosedur sudah baku, (c) standar mutu hasil pekerjaan
sudah diketahui jelas, dan (d) keterampilan operasional yang
dituntut dari para pelaksana tidak terlalu spesifik.
11. Sentralisasi versus desentralisasi. Dalam mengelola sekolah, ada
juga yang bersifat sentralisasi dan desentralisasi. Hal ini dapat
terjadi pada sekolah yang memiliki cabang/regional di daerah
tertentu, maka pengelolaan akan dilakukan oleh pengelola
operasional di daerah.
12. Departementalisasi. Departementalisasi didasarkan pada persepsi
bahwa organisasi akan bekerja maksimal jika pembagian tugas
dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang dikuasai oleh tiap individu
dalam organisasi tersebut (Siagian, 2002, 230-231).
Kerja tim harus didasari oleh kepercayaan dan kerja sama dalam
menyelesaikan tugas dan menjalankan tanggung jawab. Adapun tahapan
pengembangan tim sekolah terdiri dari:
1. Pengembangan tim
Pada tahapan ini, tim belumlah sebuah tim yang bekerja. Namun,
masih sebatas kumpulan individu-individu yang memiliki latar
belakang yang berbeda. Dalam tahapan ini tiap individu memasuki
tahapan pengenalan identitas tim.
2. Tantangan
Dalam tahapan ini, mulai terbangun kesadaran akan skala tugas
yang harus dikerjakan. Terkadang, anggota tim akan bereaksi
negatif terhadap tantangan yang dihadapi. Permusuhan interpersonal
mungkin saja terjadi. Jika konflik dapat diatasi dalam tahapan ini
maka dengan mudah tim dapat bertahan.
3. Penataan norma
Dalam tahapan ini, anggota tim memutuskan dan
mengembangkan metode kerjanya. Tim mulai menetapkan
peraturan, norma, dan pembagian tugas.
4. Kerja keras
Dalam proses ini, tim memulai proses pemecahan masalah, me-
ningkatkan proses, dan bekerja sama. Dalam melaksanakan
tugasnya terkadang tim akan mengalami penurunan dan peningkatan

177
kinerja. Jika tim dapat menunjukkan peningkatan kinerja yang baik
maka akan melahirkan tim yang efektif (Sallis, 2010: 184-187).
Efektivitas kerja tim tergantung pada perencanaan, proses, dan hasil
kerja tim. Kemampuan dan kepiawaian tim dalam mengelola potensi tim
secara maksimal akan melahirkan efektivitas kerja tim. Gambar 5.15
berikut menggambarkan faktor-faktor efektivitas kinerja tim.

• rencana • prosedur,
strategis ketergantungan mekanisme
sekolah proses kerja, SOP ketergantungan
• visi, misi, • kebijakan hasil
tujuan • pembiayaan sekolah
sekolah • fasilitas yang • norma tim • Imbalan kerja
• budaya tersedia • peraturan • penghargaan
organisasi • sumber daya kerja • kepuasan
manusia • kedekatan kerja
potensi • Teknologi, personal antar • pengendalian
informasi dan tim
komunikasi dan ketergantungan
lainnya tugas

konsep
efektivitas
menurut
sekolah
standar
umpan balik
efektivitas
terhadap hasil
yang
kerja
ditetapkan

efektivitas
kerja tim

Gambar 5.15 Faktor-Faktor Efektivitas Kerja Tim

Keberhasilan kerja tim sekolah dipengaruhi oleh potensi dasar yang


dimiliki sekolah, saling ketergantungan proses, tugas dan hasil. Kerja tim
akan menghasilkan kualitas outcome yang lebih berkualitas karena
dibentuk dari berbagai perspektif, pemikiran, minat dan bakat yang
dimiliki oleh masing-masing anggota. Sekolah menengah kejuruan sebagai

178
sebuah institusi pendidikan merupakan organisasi dinamis yang perlu
memusatkan perhatian pada lima unsur struktural sehingga terciptanya
kerja sama efektif dan tidak tumpang tindih terhadap prosedur kerja di
antaranya: (1) adanya struktur yang menggambarkan garis komando
(hierarki kekuasaan) dan garis staf sebagai garis advisory atau otoritas-
otoritas gagasan; (2) adanya pembagian kerja yang berkaitan dengan
kedudukan dan fungsi; (3) adanya koordinasi untuk menyinkronkan
tindakan-tindakan dalam pencapaian tujuan; (4) adanya skala yang
menggambarkan hierarki hubungan antara atasan dan bawahan; dan (5)
adanya fungsional yaitu perbedaan tugas dan tanggung jawab pada setiap
individu dalam hierarki organisasi (Usman, 2013).
Ada beberapa poin simpulan yang perlu diperhatikan dan diingat
dalam mencapai tim yang efektif seperti (1) tujuan pembentukan formasi
tim haruslah jelas; (2) peran anggota haruslah seimbang; (3) tim harus
didukung dengan sumber daya yang memadai dalam menjalankan
aktivitasnya; (4) perlu adanya batasan tugas, prosedur kerja dan tanggung
jawab yang jelas; (5) tim perlu mencanangkan rencana kerja; (6) adanya
aturan, norma, dan kode etik yang ditaati oleh anggota tim; (7) tim
membutuhkan metode, teknik, dan pendekatan pemecahan masalah yang
tepat dalam menemukan solusi; (8) tim haruslah memiliki sikap saling
mendukung dan memotivasi anggota tim lainnya, proaktif dalam
menginisiasi diskusi, mencari informasi, menghimpun ide, serta
kompromis dan kreatif dalam menghadapi perbedaan.

6. Keterlibatan dan Pemberdayaan Lingkungan Internal Sekolah


(Employee Empowerment)
Implementasi manajemen mutu adalah suatu kondisi dan keadaan di
mana seluruh potensi sumber daya mampu diberdayakan dan dengan
penuh kesadaran untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya
yang tercermin melalui keterlibatan aktif dalam proses kegiatan, program,
strategi dan aktivitas pendidikan. keterlibatan dan pemberdayaan sumber
daya manusia dalam sebuah organisasi merupakan investasi insani yang
akan memberi kontribusi jangka panjang terhadap keberlangsungan
organisasi. Cook & Steve (Sedarmayanti, 2003: 60) menyatakan bahwa
pemberdayaan (empowerment) merupakan upaya mengubah falsafah

179
manajemen demi terwujudnya lingkungan produktif untuk meraih tujuan
organisasi. Kemudian Bennis & Mische (1995: 45) menjelaskan bahwa
―Pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang
mengkotak-kotakkan orang dan membuat mereka seefektif mungkin dalam
menggunakan keterampilan, pengalaman, energi, dan ambisinya‖.
Selanjutnya Wirawan (2002: 100) mendeskripsikan bahwa ―Pemberdayaan
merupakan tindakan membangun, mengembangkan, dan meningkatkan
daya atau kekuasaan melalui kerja sama, berbagi, dan bekerja bersama‖.
Pemberdayaan dalam bidang pendidikan merupakan pendekatan
holistik yang meliputi pemberdayaan sumber daya manusia, sistem belajar
mengajar lembaga pendidikan dengan segala sarana dan prasarana
pendukungnya. Pemberdayaan tersebut jika diterapkan dalam bidang
pendidikan adalah sumber daya manusia (guru) untuk pembinaan mutu
kinerja guru agar dapat tercapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.
Dalam hal ini, Kindervatter (1979) mengemukakan bahwa ―Empat
pendekatan utama yang menjadi ciri proses empowering adalah: (1)
community organization; (2) self management and collaboration; (3)
participatory approaches; dan (4) education for justice”.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri proses
empowering perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu pemberdayaan
yang berkaitan dengan upaya mengorganisasikan masyarakat untuk
memegang kontrol atas diri dan lingkungannya, adanya kesamaan
kedudukan dalam hubungan kerja, menggunakan pendekatan
partisipatoris, dan pendidikan untuk keadilan. Proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan yaitu: (1) menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau
kemampuan agar individu menjadi lebih berdaya; (2) menekankan kepada
proses stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog.
Mc. Clecland (Freire, 1990) memandang proses pemberdayaan
sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan
individu beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk menumbuhkan
kesadaran atau dorongan dalam diri seseorang, perlunya intervensi atau
stimulasi yang berasal dari luar. Karena keinginan seseorang untuk

180
berkembang atau mengubah keadaan tidak terlepas dari kemampuan
individual yang ditentukan oleh tingkat pendidikan, keterampilan yang
dimiliki, lingkungan, dan konteks budaya.
Proses pemberdayaan dalam konteks aktualisasi pengembangan diri
berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan individu. Proses
pemberdayaan tidak hanya meliputi pemberdayaan individu saja,
melainkan juga mencakup upaya pemberdayaan orang lain, dan merupakan
suatu proses membantu orang lain membentuk serta melatih diri sendiri
untuk memilih sesuatu. Irwin (1996) mengemukakan bahwa “Empowering
other people means giving them a chance to make their special
contribution…Your contribution may be a particular insight, a particular
talent, a particular energy, a particular loving way to be with people”.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu pemberdayaan diri sendiri, dan
pemberdayaan oleh orang lain. Dengan adanya pemberdayaan karyawan
diharapkan mampu meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Adapun
jenis kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang pekerja menurut
Hartanto (2009: 435) diilustrasikan dalam gambar berikut.

pengetahuan
substansial

keterampilan pengetahuan
manual kontekstual

kompetensi

keterampilan
ekspresi keterampilan
mental
verbal

keterampilan
sosial

Gambar 5.16 Kompetensi yang perlu diserap dan dikuasai oleh Pekerja

181
Dalam konteks kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan
kejuruan sebagai karyawan dalam sebuah institusi pendidikan, maka
keenam kompetensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan substansial; merupakan penguasaan pengetahuan yang
tercermin dari kemampuan seseorang untuk (a) mengenali, memilih,
dan memahami suatu fenomena yang bersangkutan dengan suatu
objek kajian secara terinci, (b) menjelaskan secara rasional
bagaimana objek itu berfungsi; dan (c) menguasai cara untuk
menggunakan, memperoleh manfaat, dan mengendalikan objek
tersebut. Seorang guru maupun tenaga kependidikan lainnya,
pengetahuan subtansi sangat dibutuhkan dalam menjalankan proses
belajar mengajar dan pengelolaan administrasi sekolah.
2. Pengetahuan kontekstual; tercermin dari kemampuan anggota
organisasi untuk memahami kondisi lingkungan hidup baik di
lingkungan kerja, alam, sosial, budaya, maupun iklim kerja
termasuk pemahaman terhadap: (a) apa yang membentuk kondisi
lingkungan itu; (b) pengaruh dari kondisi lingkungan itu terhadap
kerja dan usaha; serta (c) bagaimana memanfaatkan kondisi
lingkungan tersebut untuk mengembangkan suasana yang kondusif.
3. Keterampilan mental; merupakan penguasaan pengetahuan yang
ditunjukkan melalui: (a) bermain dengan angka; (b) melakukan
manipulasi matematika; (c) menunjukkan kesiagaan mental dalam
menghadapi fenomena dan peristiwa; (d) mengenal dan memahami
pola keteraturan dalam iklim kerja yang kacau; (e) mengenali dan
memaknakan keterkaitan di antara berbagai objek dan peristiwa;
serta (f) daya analisis dan sintesis.
4. Keterampilan sosial; merupakan penguasaan keterampilan yang
terlihat dari kemampuan bergaul dengan orang lain dan mampu
bekerja sama yang ditunjukkan melalui: (a) kedekatan yang akrab
dengan orang yang baru dikenalnya; (b) mengembangkan dan
memelihara rasa saling percaya dengan tulus; (c) memahami dan
tahu bagaimana memenuhi harapan orang lain terhadap dirinya; (d)
cerdas dalam membangun lingkungan pergaulan ceria; (e) cekatan
dalam membangun dan mengembangkan kerja sama dengan orang-
orang dengan latar belakang kepentingan, minat dan bakat yang

182
berbeda; (f) mampu menemukan penyelesaian dari berbagai
permasalahan dan konflik yang muncul.
5. Keterampilan ekspresi verbal; merupakan keterampilan yang
ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan
berbagi pengetahuan serta gagasan dengan orang lain melalui: (a)
kemahiran untuk berbicara dengan lancar; (b) kemampuan untuk
melakukan abstraksi yang baik; serta (c) menjelaskan konsep dan
gagasan secara jelas dan ringkas dan komprehensif.
6. Kemampuan manual (fisik) merupakan kemampuan seseorang untuk
menciptakan produk dan jasa yang bernilai tinggi. Penguasaan
keterampilan ini ditunjukkan melalui: (a) pemanfaatan berbagai
peralatan dan mesin produksi; (b) membongkar, memasang kembali,
mereparasi, memelihara dan meningkatkan fungsionalitas mesin; (c)
mengetahui dengan baik mesin dan peralatan apa yang perlu
digunakan untuk mengerjakan suatu tugas; serta (d) kemampuan
meracik dan merakit komponen menjadi produk bernilai tinggi.
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, seorang tenaga
pendidik dan kependidikan dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi
kompetensinya di antaranya: 1) keyakinan dan nilai-nilai, 2) keterampilan,
3) pengalaman, 4) karakteristik kepribadian, 5) motivasi, 6) isu emosional,
7) kemampuan intelektual, dan 8) budaya organisasi. Berdasarkan
penjabaran di atas, dapat dijelaskan bahwa orang yang mempunyai
kompetensi adalah orang yang mampu menyelesaikan tugasnya baik
dengan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang dimilikinya. Oleh
karena itu, agar kompetensi seseorang dapat tumbuh dan berkembang
dibutuhkan pendidikan dan pelatihan dengan standar dan kualitas tertentu
sesuai dengan tugas yang akan dilaksanakan.
Sekolah sebagai sebuah sistem sosial terbuka dipengaruhi oleh
budaya organisasi itu sendiri. Adapun karakteristik dari budaya
pemberdayaan digambarkan dalam gambar berikut.

183
pemvisian/
pandangan jauh
ke depan
melatih/ (visioning) bermitra untuk
pemimpin tim kinerja (partnering
(coaches/team for performance)
leaders)

budaya
proyek
pemberdayaan pemantauan diri
(project) sendiri (self-
monitoring)

struktur fungsional- tanggapan tim


silang (cross- (team
functional structures) responsibility)

Gambar 5.17 Karakteristik Budaya Pemberdayaan (Blanchard, 2007)

Pemberdayaan personil sekolah dapat dilakukan melalui: (a)


otonomi dalam pelaksanaan tugas, (b) diskresi dalam penyelesaian
masalah yang dihadapi, (c) pengawasan yang tidak terlalu ketat, (d)
penguatan perilaku positif, dan (e) pemberian sanksi yang objektif dan
rasional. Pemberdayaan merupakan langkah antisipasi terhadap perbedaan
dinamika pola kerja individu dalam organisasi agar menghasilkan
keseimbangan dalam penyelenggaraan tugas, wewenang, dan tanggung
jawab.
Dalam memberdayakan lingkungan internal sekolah, tidak hanya
dibutuhkan tim yang kuat namun juga dibutuhkan lingkaran mutu yang
efektif di mana seluruh elemen mendukung peningkatan mutu. Personil
sekolah secara sukarela mengembangkan dan meningkatkan mutu sekolah
walau secara struktural tidak dilibatkan secara langsung dalam tim inti
pengembang sekolah. Adapun gambaran lingkaran mutu tersebut sebagai
berikut.

184
tim-tim kepemimpin
kerja an

motivasi staff strategi


Pengalaman
pelajar

evaluasi sistem

alat-alat
mutu

Gambar 5.18 Lingkaran Mutu (Sallis, 2010: 192)

Artkinson (Sallis, 2010: 194-195) menyimpulkan bahwa lingkaran


mutu bekerja jauh lebih baik dibanding kerja tim, lingkaran mutu mampu
memberikan hasil yang memuaskan menyangkut keterlibatan, moral serta
identifikasi staf dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. Oleh
karenanya, pemberdayaan seluruh personil sekolah merupakan tanggung
jawab penting yang perlu diupayakan dan ditingkatkan guna meningkatkan
mutu pendidikan dalam tatanan lingkaran mutu.

7. Partnership
Seperti yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa
kerja sama SMK dengan lingkungan eksternal sekolah sangatlah penting.
Sebagai penyelenggara pendidikan kejuruan yang bertujuan melahirkan
peserta didik dan lulusan yang memiliki kecakapan hidup dan mampu
terserap dalam dunia industri dan usaha, sudah semestinya SMK
melakukan kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk
mendukung penyelenggaraan proses pendidikan kejuruan itu sendiri.
Untuk memaksimalkan hasil pendidikan kejuruan, sekolah menengah
kejuruan dituntut untuk dapat menempatkan diri di tengah masyarakat.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam mendukung berbagai kegiatan dan
program yang diselenggarakan sekolah. Dengan kata lain, SMK

185
merupakan wujud dari sekolah masyarakat di mana masyarakat dilibatkan
dan mendukung penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah dan di
masyarakat.
Kerja sama dapat dijalin dengan melibatkan seluruh elemen
masyarakat, seperti: (1) lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang
pendidikan; (2) tokoh masyarakat; (3) tokoh pendidikan; (4) yayasan
penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah, pesantren);
(5) dunia usaha, industri, asosiasi profesi; (6) organisasi profesi tenaga
kependidikan; dan (7) komite sekolah. Dengan adanya kerja sama yang
terjalin erat antara sekolah dan elemen masyarakat diharapkan mampu
mempercepat proses pembangunan sekolah dan peningkatan kualitas
pendidikan kejuruan.

8. Perbaikan Sistem Pendidikan secara Terus Menerus


Pada hakikatnya perbaikan sistem pendidikan merupakan proses
tanpa henti. Perbaikan pendidikan merupakan langkah strategis yang
diambil guna meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Peningkatan dan
perbaikan sistem pendidikan tidak terlepas dari konsep cara pandang dan
pengukuran kualitas itu sendiri. Berikut penulis sajikan pemikiran para
pakar terhadap model kualitas atau yang lebih dikenal dengan Deming
Cycle, adapun tahapan dalam siklus Deming yang dapat diadaptasikan
dalam dunia pendidikan digambarkan sebagai berikut (Deming, 1998):

Plan

Analyze Do

The Deming
Cycle

Act Check

Gambar 5.19 Siklus Deming (Deming, 1998)

186
Gambar di atas menggambarkan tahapan dalam Siklus Deming yang
terdiri dari:
1. Mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam
perencanaan produk (plan).
2. Menghasilkan produk (do)
3. Memeriksakan kesesuaian antara hasil dan rencana yang telah
ditetapkan (check).
4. Memasarkan produk tersebut (act)
5. Menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar dalam hal
kualitas, biaya, dan kriteria lainnya (analyze)
Lebih lanjut, Wibowo (2016: 119) menambahkan bahwa perbaikan
terus menerus dilakukan dengan memulai perbaikan terhadap (Wibowo,
2016: 119):
1. Plan
Pada tahap awal, tim menyeleksi proses (aktivitas, metode,
mesin, atau kebijakan) yang perlu perbaikan. Tim kemudian
mendokumentasikan proses yang terpilih dengan menganalisis data,
menetapkan tujuan kualitatif dari perbaikan, dan mendiskusikan
berbagai cara mencapai tujuan.
2. Do
Pada tahap berikutnya, tim menjalankan rencana dan memonitor
perkembangan. Data dikumpulkan secara kontinu untuk mengukur
perbaikan dalam proses. Setiap perubahan dalam proses
didokumentasikan dan direvisi selanjutnya sesuai kebutuhan.
3. Check
Tim menganalisis data yang dikumpulkan selama tahap do untuk
menemukan berapa dekat hasilnya terhadap tujuan yang ditetapkan
pada tahap plan. Jika timbul kekurangan secara menyolok, tim harus
merevaluasi plan atau menghentikan proyek.
4. Act
Bila hasilnya sukses, tim mendokumenkan proses yang direvisi
sehingga menjadi prosedur standar dan menginstruksikan bagi siapa
saja untuk menggunakannya.

187
Upaya peningkatan mutu tersebut dapat dilakukan dengan me-
nunjukkan usaha terus menerus memperbaiki mutu (Wibowo, 2016: 119)
melalui:
1. Melatih karyawan dalam metode proses statistik dan alat lain untuk
memperbaiki kualitas dan kinerja;
2. Membuat metode tersebut menjadi operasi harian;
3. Membangun tim kerja dan keterlibatan karyawan;
4. Memanfaatkan alat pengambilan keputusan dalam tim kerja; dan
5. Mengembangkan rasa pemilikan operator dalam proses.
Adapun langkah dalam memperbaiki kualitas menurut Juran (1995),
atau yang dikenal dengan The Juran Trilogy merupakan ringkasan dari
fungsi-fungsi manajemen yang digambarkan dalam gambar berikut:

perencanaan pengendalian perbaikan


kualitas kualitas kualitas

Gambar 5.20 Trilogi Juran

Proses perbaikan kualitas pendidikan tersebut dimulai dari pe-


rencanaan kualitas, pengendalian kualitas, perbaikan mutu yang lebih
jelasnya dirinci dalam tabel 5.3 berikut (Juran, 1995: 17).

Tabel 5.5 Tiga Proses Universal Manajemen Mutu (Juran, 1995)


Manajemen Mutu
Perencanaan Mutu Pengendalian Mutu Peningkatan/perbaikan Mutu
- Menetapkan tujuan - Mengevaluasi - Menguji kebutuhan
mutu kinerja aktual - Menetapkan infrastruktur
- Mengidentifikasi - Membandingkan - Mengidentifikasi proyek
pelanggan kinerja aktual peningkatan mutu
- Menentukan - Bertindak - Menetapkan tim proyek
kebutuhan pelanggan menangani - Menyediakan tim dengan
- Mengembangkan perbedaan sumber daya, pelatihan,
keistimewaan produk dan motivasi untuk

188
Manajemen Mutu
Perencanaan Mutu Pengendalian Mutu Peningkatan/perbaikan Mutu
yang merespons mendiagnosis penyebab
kebutuhan pelanggan dan upaya untuk
- Mengembangkan mengatasinya
proses yang mampu - Menetapkan pengendalian
menghasilkan agar tetap pada jalurnya
keistimewaan produk
- Menetapkan
pengendalian proses,
menerjemahkan
rencana ke kegiatan
operasi

Berdasarkan Trilogi Juran di atas, dapat disimpulkan bahwa


perencanaan, pengendalian, dan peningkatan mutu dapat diadaptasikan
dalam manajemen sekolah kejuruan melalui langkah-langkah berikut:
1. Perencanaan mutu merupakan kegiatan pengembangan produk/jasa
dan proses yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu (1) merumuskan
tujuan mutu, (2) mengidentifikasi pelanggan, (3) menentukan
kebutuhan pelanggan, (4) mengembangkan keistimewaan
produk/jasa yang responsif terhadap kebutuhan pelanggan, (5)
mengembangkan proses yang dapat menghasilkan keistimewaan
produk/jasa, (6) menciptakan pengendalian proses dan mengubah
rencana hasil menjadi kekuatan operasi.
2. Pengendalian mutu merupakan langkah-langkah mengevaluasi
kinerja mutu aktual dengan membandingkan kinerja aktual dengan
tujuan mutu, mengambil tindakan korektif terhadap penyimpangan
yang terjadi.
3. Peningkatan mutu adalah sarana untuk meningkatkan kinerja mutu
ke tingkat yang dikehendaki melalui langkah (1) mengembangkan
sarana prasarana yang diperlukan untuk menjamin upaya
peningkatan mutu, (2) mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
spesifik untuk peningkatan kualitas program dan kegiatan sekolah,
dibentuknya tim kerja yang memiliki tanggung jawab yang jelas
untuk menyukseskan program dan kegiatan sekolah, memberikan
pelatihan, motivasi pada sumber daya manusia yang diperlukan tim;

189
(3) mengidentifikasi bagian-bagian yang membutuhkan perbaikan
dan melakukan proyek perbaikan; (4) membentuk suatu tim proyek
yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan setiap perbaikan
mutu; (5) memberikan kesempatan pada tim tersebut untuk
mendiagnosis masalah guna menentukan sumber penyebab utama,
solusi, dan pengendalian dalam mempertahankan keuntungan.
Adapun variabel-variabel yang mempengaruhi pengembangan
sekolah bermutu diilustrasikan dalam gambar 5.8 berikut.

variabel Kausal variabel variabel tujuan


intervening hasil

• struktur • komunikasi • meningkatnya


organisasi yang efektif kinerja personil
• pengendalian • koordinasi yang sekolah
mutu jelas dan terarah • efektivitas,
• kebijakan mutu • motivasi kerja efesiensi dan
• perilaku yang tinggi akuntabilitas
kepemimpinan • kematangan kerja
yang berorientasi sikap personil • penghasilan
terhadap sekolah dalam tinggi
peningkatan berinteraksi • meningkatnya
mutu sosial dan kepuasan
pengambilan pengguna jasa
keputusan pendidikan
• persepsi terhadap terhadap layanan
mutu mutu sekolah

Gambar 5.21 Variabel –Variabel Pengembangan sekolah Mutu


(diadaptasikan dari model pengembangan organisasi model Likert)

Implikasi dari penerapan manajemen mutu terpadu membawa


konsekuensi terhadap hal-hal berikut (Wibowo, 2016: 125-126):
a. Marketing dan Research & Development mendefinisikan apa yang
diinginkan pelanggan.
b. Engineering menciptakan desain untuk memenuhi harapan
pelanggan.
c. Pembelian memerlukan parts dan materiel yang berkualitas tinggi.
d. Personel menerima karyawan yang memerlukan keterampilan dan
menyediakan pelatihan.
e. Manajemen menjaga arus yang lancar dari proses produksi dan jasa.

190
f. Pengapalan mencegah kerusakan produk.
g. Setelah penjualan, pelayanan kualitas merupakan hal yang penting.
h. Kualitas merupakan komponen kunci dari strategic planning.
Organisasi memiliki tujuan strategik, visi, atau misi yang memfokus
pada kepuasan pelanggan melalui kualitas.
i. Rencana strategis harus memuat tujuan yang tinggi untuk kualitas.
Termasuk serangkaian program, atau rencana operasional dan
kebijakan, untuk mencapai tujuan organisasi. Termasuk mekanisme
umpan balik untuk menyesuaikan, koreksi dalam rencana strategik.
j. Kepemimpinan yang kuat merupakan kunci keberhasilan rencana
strategik dan pencapaian tujuan kualitas.

9. Pendidikan dan Pelatihan


Mutu personil sekolah mempengaruhi mutu pendidikan. Oleh
karenanya, peningkatan mutu tenaga pendidik dan kependidikan secara
terencana akan meningkatkan profesionalisme guru dan personil lainnya
sehingga berimplikasi luas terhadap hasil pendidikan. Sekolah perlu
menaruh perhatian terhadap pengembangan skills, knowledge, ability, dan
attitude karyawannya melalui pendidikan jangka panjang dengan
menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir dengan baik.
Pendidikan tersebut dimaksudkan sebagai landasan untuk mempersiapkan,
membina, dan meningkatkan kemampuan personil sekolah baik secara
konseptual atau teoretis maupun praktis dalam menunjang keberhasilan
sekolah. Jadi, elemen pentingnya adalah sikap profesionalisme guru dan
tenaga pendidikan lainnya. Dengan sikap profesional, guru dan personil
lainnya akan selalu disiplin dalam mengajar dan beraktivitas, berusaha
membuat pembelajarannya semakin menarik di kelas, menyelesaikan tugas
dengan tuntas, berusaha membantu siswa untuk menguasai pelajaran, dan
sebagainya.
Ketika berbicara tentang keberadaan guru sebagai bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dari interaksi proses pembelajaran, maka
keberadaannya menjadi penting dalam interaksi dalam kelas. Guru yang
memiliki kompetensi yang memadai tersebut dengan sendirinya menjadi
incaran sekolah, siswa dan orang tua siswa (Sarwono, 2000: 210-211).
Guru yang mampu memenuhi keinginan stakeholders pendidikan akan

191
dicari dan dikenang oleh siapa saja yang pernah mengecam pembelajaran
dengannya. Guru seperti inilah sebenarnya yang harus memenuhi
persekolahan sehingga setiap sekolah mampu memberikan pelayanan
pendidikan sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, untuk meningkatkan
kuantitas guru profesional dan kualitas proses pembelajaran dibutuhkan
upaya peningkatan kompetensi guru terlebih dahulu melalui pendidikan
dan pelatihan.
Adapun sasaran pelatihan dan pengembangan SDM adalah sebagai
berikut (Sutrisno, 2009: 69):
1. Meningkatkan produktivitas kerja
Pelatihan mampu meningkatkan performance kerja sehingga
berimplikasi terhadap peningkatan produktivitas lebih tinggi lagi.
2. Meningkatkan mutu kerja
Dengan adanya pelatihan maka peningkatan kualitas baik secara
kualitas dan kuantitas dapat terus meningkat sehingga kesalahan
terhadap prosedur kerja dan kualitas produk dapat diminimalisir.
3. Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan SDM
Pelatihan yang baik dapat mempersiapkan tenaga kerja untuk
keperluan yang masa datang sehingga pemberdayaan karyawan
dapat dimaksimalkan.
4. Meningkatkan moral kerja
Dengan menyelenggarakan program pelatihan maka iklim dan
suasana organisasi akan menjadi lebih baik dan moral kerja pun
dapat meningkat.
5. Menjaga kesehatan dan keselamatan
Pelatihan juga dapat menghindari timbulnya kecelakaan kerja
sehingga iklim kerja akan lebih aman dan tenteram.
6. Menunjang Pertumbuhan Pribadi
Program pelatihan yang tepat memberi keuntungan kedua belah
pihak yaitu organisasi dan tenaga kerja itu sendiri.
Dengan adanya pelatihan dan pendidikan tersebut diharapkan
mampu mendorong dan meningkatkan kompetensi dan kinerja personil
sekolah. Adapun aspek-aspek kompetensi tersebut digambarkan dalam
piramida berikut.

192
perilaku

pengetahuan, keterampilan,
proses, penyesuaian diri

sikap dan nilai

Gambar 5.22 Piramida Aspek-Aspek Kompetensi (Sukmadinata, et al.


(2002: 36)

Dalam gambar di atas terlihat bahwa perilaku ditempatkan pada


puncak piramida yang menunjukkan bahwa perilaku merupakan aspek
yang paling nampak (overt) yang dapat diamati ataupun diukur. Di
bawahnya terdapat aspek pengetahuan, keterampilan, proses, dan
penyesuaian diri. Pengetahuan merupakan aspek yang tidak tampak
(covert) namun kontribusinya terlihat dari perilaku yang ditunjukkan.
Sedangkan keterampilan memiliki sisi yang tampak terutama keterampilan
motorik dan keterampilan sosial tertentu, namun ada juga yang tidak
tampak seperti keterampilan intelektual dan sosial lainnya yang
manifestasinya tercermin dari perilaku umum yang dapat diamati dan
diukur.
Persoalan lemahnya kompetensi fungsi personil pendidikan selama
ini memang berada dalam lingkup operasional, struktural dan kultural.
Tidak mengherankan jika proses pengembangan sumber daya manusia
sangat dibutuhkan. Adapun menurut Castetter (1981: 317) langkah-
langkah yang harus dilaksanakan tertera dalam gambar berikut.

193
5. Process continues
undisturbed if evaluation is
Replans satisfactory replanned if
needed

4. Asses Results 1. Design


of Plans Evaluate Plans
Macroplans

3. Implement Operate Organize


2. Develop
Plans
Microplans

Gambar 4.23 Model Proses Pengembangan Sumber Daya Manusia


(Castetter, 1981: 317)

Dengan melaksanakan langkah-langkah tersebut, maka pe-


ngembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi dapat mencapai
tujuan secara efektif, melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1)
membuat desain perencanaan terhadap kebutuhan pengembangan personil;
(2) membuat program pengembangan personil; (3) mengimplementasikan
program pengembangan; dan (4) mengadakan evaluasi terhadap program
pengembangan personil. Pengembangan sumber daya manusia sebagai
suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis atau
konseptual dan sikap personil sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau
jabatan perlu diprogramkan secara matang guna mendukung
keberlangsungan organisasi sekolah.
Lebih lanjut Castetter (1981: 333) mengemukakan lima tahap
pengembangan sumber daya manusia dengan format desain yang memuat
kegiatan: (1) content, yaitu menentukan materi pengembangan berdasarkan
teori-teori, prinsip konsep, aplikasi konsep teori, dan kombinasi; (2)
methods, yaitu menetapkan metode pembelajaran, individu, tutorial,
pengajaran kelompok, dan kombinasi; (3) setting, yaitu menetapkan fokus
program dengan memilih model pengembangan on-the job, off-the job, dan
kombinasi; (4) aprroach, yaitu menetapkan pendekatan ataupun partisipasi
dengan pola-pola tertentu; dan (5) means, yaitu menyusun program apakah
ditujukan kepada manusianya atau non-manusia, ataupun kombinasi
sebagai program pengembangan.

194
Secara lebih jelas format desain pengembangan sumber daya
manusia dapat dilihat pada gambar berikut.

1 2 3
What is to be learned How is to be learned Focus of program
(content) (methods) (setting)
1. Theories, concepts, 1. Self-instruction 1. On-the job
principles 2. Tutorial 2. Off-the job
2. Application of 3. Group instruction 3. Combination of
theories, concepts, 4. Combination of above
principles above
3. Combination of
above
4 5
Participation Program resources
(approach) (mean)

1. Normal-Voluntary 1. Human
2. Normal-Compulsary 2. Nonhuman
3. Informal-Voluntary 3. Combina
4. Informal-Compulsary

Gambar 5.24 Framework Rancangan Program Pengembangan SDM

Lima poin penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan


sumber daya manusia antara lain konten, metode, setting, pendekatan dan
sumber program. Dengan memiliki sistem yang mapan dalam melakukan
pengembangan bagi setiap organisasi, maka organisasi persekolahan akan
mampu melakukan penyebaran kualitas yang menjadi tugasnya. Paradigma
perkembangan manajemen sekolah berbasis mutu mendorong terjadinya
perubahan terhadap peningkatan kualitas mental para anggota
organisasinya. Adapun pemberdayaan karakteristik mental yang
diharapkan dalam sebuah organisasi pendidikan bermutu antara lain:
1. Personil sekolah harus berani dan responsif dalam memenuhi
kebutuhan dan harapan pengguna jasa pendidikan.
2. Personil sekolah harus percaya diri dan memiliki ketangguhan
dalam menghadapi kompleksitas iklim sekolah, menanggapi, dan

195
memecahkan berbagai problematik keorganisasian dengan bijaksana
dan objektif.
3. Personil sekolah haruslah memiliki inovasi dan ide-ide kreatif yang
tiada henti dalam mengembangkan sekolah.
4. Personil sekolah harus mampu mengadaptasikan kemajuan
teknologi dan informasi dalam proses pendidikan di sekolah.
5. Personil sekolah harus memiliki inisiatif pembaharuan.
6. Personil sekolah mampu mengelola sumber daya yang tersedia di
sekolah dengan efektif dan efisien.
7. Personil sekolah memiliki kesadaran diri yang tinggi untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya agar lebih baik lagi.
8. Personil sekolah memiliki penghayatan sosial yang tinggi dalam
menjalin hubungan dengan lingkungannya.
9. Personil sekolah memiliki nilai-nilai spiritual dan moral yang baik
dalam bentuk keteladanan mulia.
10. Personil sekolah merupakan para pekerja keras yang berorientasi
pada pencapaian kualitas proses dan hasil.

D. Budaya Mutu Sekolah Menengah Kejuruan


Budaya sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
totalitas penyelenggaraan pendidikan di persekolahan. Budaya mutu
sekolah merupakan perilaku, norma, dan nilai dari personil sekolah yang
dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung melalui tindakan
maupun tingkah laku sehingga menunjukkan filosofi dan prinsip kuat yang
mendeskripsikan kualitas layanan dan mutu produk. Sallis (1993)
menyebutkan tiga unsur penting yang dapat menciptakan budaya mutu,
yaitu: (1) kepemimpinan (leadership) yang dapat menciptakan
iklim/lingkungan kerja yang kondusif untuk mengembangkan potensi
setiap orang pemimpin tidak memaksakan terjadinya sesuatu melainkan
mendorong agar sesuatu itu terjadi; (2) visi bersama (a common vision)
merupakan hal sangat penting untuk menetapkan arah yang jelas
berdasarkan indikator unjuk kerja yang diharapkan; dan (3) sistem nilai
yang disepakati (a shared values system) yang dapat mengikat dan
memperkuat komitmen orang-orang terhadap organisasi. Schein (1992: 12)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai:

196
organizational culture as “a pattern of shared basic assumptions
that the group learned as it solved its problems of external
adaptation and internal integration, that have worked well enough
to be considered valid and, therefore, to be taught to new members
as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those
problems.” This definition can be applied to any size of social unit
that has had an opportunity to stabilize its view of itself and its
surrounding environment.
Budaya organisasi merupakan asumsi dasar baik berupa hal-hal
yang dipelajari maupun masalah yang diselesaikan organisasi melalui
adaptasi eksternal dan integrasi internal guna mengumpulkan validasi data
dan informasi sebagai koreksi dari pemikiran dan permasalahan yang
dihadapi. Adapun dimensi kultur organisasi sekolah dijabarkan berikut.

L
I
N
G
K
U
N
G
A
N

L
U
A
R

Gambar 5. 25 Budaya Kultur Organisasi Sekolah (Usman, 2013: 217)

Berkembangnya manajemen mutu dalam sebuah organisasi pen-


didikan membutuhkan penataan mentalitas dasar dalam lingkungan
organisasi sehingga terbentuk iklim organisasi yang sehat. Secara umum,
Usman (2013: 555) mengemukakan ruang lingkup mentalitas dasar
manajemen mutu sebagai berikut:

197
(1) Kerja sama dan partisipasi terpadu, (2) kesadaran akan
pentingnya mutu, (3) kendali mutu yaitu PDCA (Plan, Do, Check,
and Action), (4) kendali mutu berlangsung selama proses sampai
dengan hasilnya, (5) jangan menyalahkan siapa pun, (6) konsep
penting-sedikit (mengutamakan prioritas), (7) pemakaian
(pelanggan) dan perbaikan, (8) berbicara dengan data, (9) adakan
tindakan pencegahan dan perbaikan, (10) kendali mutu dimulai
dengan sasaran kuantitatif, (11) konsep pemasaran, (12) prosedur
dan standardisasi tertulis, dan (13) hubungan atasan-bawahan
harmonis dan sinergi.
Budaya mutu tidak terlepas dari esensi nilai yang dikembangkan
dalam dinamika perkembangan sebuah organisasi. TQM sebagai sebuah
landasan manajemen yang berpedoman bahwa mutu dapat dicapai melalui
perbaikan terus menerus terhadap manajemen organisasi. Berikut penulis
sajikan nilai inti penyelenggaraan manajemen mutu.

Total Quality Management Core Value


1. Organization‘s mission and relationship to nature
1.1. Proactive and harmonized relationship to the environment: An
organization should continuously scan its external environment to
proactively respond to the needs of external stakeholders, specifically
those of the customer.
1.2. Customer dominating in supplier chain relationship: An organization
should respond to the needs of all stakeholders, but the customer has a
dominant role and priority when setting organizational objectives. This
also applies further down in the supplier chain, where an organization has
a dominant role in relation to its suppliers/partners.
2. The natureof reality and truth
2.1. Objective physical reality dominating: Scanning of internal processes and
external environment produces context independent and objective
information, which can be used as a basis for decision-making process.
Objective physical reality is limited and shaped by quality ideology.
2.2. Continuous improvement by analyzing objective facts: It is beneficial for
an organization to continuously improve the organizational processes.
This improvement should be based on the analysis of objective
information.
3. The natureof human nature and relationship
3.1. The basic nature of human good:All employees, by nature, have an
endogenous will and motivation for good work; they are capable of
improving themselves, and employees align their personal objectives to
comply with those of the organization.

198
3.2. Central role of senior management:Senior management has a key role in
ensuring organizational effectiveness, and they have the legitimacy to set
organizational objectives.
3.3. Teamwork is more valuable than individualism: Teamwork across
functional and legal boundaries of the organization is required to manage
and improve organizational processes.
4. The natureof time and space
4.1. Future orientation — time to wait for results: Organizational stakeholders
prefer to have long-term relationships and they have the patience (and
resources) to wait for results.
4.2. Efficiency through planning and coordination:An organization is a set of
interrelated parts and in order to improve overall effectiveness, activities
should be carefully planned for coordination and alignment.
Gambar 5.26 Total Quality Management Core Values (Kujala & Lilirank,
2004: 48)

Gambar di atas menunjukkan bahwa organisasi perlu memper-


timbangkan nilai dan sifat yang dimunculkan dalam proses pengelolaan
sekolah seperti:
1. Pernyataan misi dan hubungannya dengan lingkungan; (1) hal
tersebut ditunjukkan melalui sifat proaktif dan hubungan harmonis
dengan lingkungan melalui pemindaian berkelanjutan terhadap
lingkungan eksternalnya dengan merespons kebutuhan stakeholder
dan pelanggan, (2) Pelanggan mendominasi rantai hubungan suplier
dalam organisasi, dalam artian organisasi di samping harus respons
terhadap kebutuhan semua stakeholder, pelanggan tetaplah
mempunyai peran utama dan prioritas dari rangkaian tujuan
organisasi.
2. Berpegang pada sifat kebenaran dan realitas dalam Organisasi; (1)
realitas fisik objektif yang mendominasi ditunjukkan melalui
pemindaian terhadap proses internal dan lingkungan eksternal
melalui konten informasi yang independen dan objektif dalam
proses pengambilan keputusan, (2) perbaikan terus menerus melalui
analisis fakta secara objektif.
3. Hubungan dan sifat sumber daya manusia: (1) hubungan baik antara
karyawan secara alami terlihat dari kemampuan dan motivasi yang
baik dalam bekerja, mampu memperbaiki diri sendiri, dan karyawan

199
mampu meluruskan tujuan pribadi untuk mematuhi tujuan
organisasi, (2) peran utama manajemen puncak/senior yang
merupakan kunci sukses yang menjamin keefektifan organisasi, dan
memiliki legitimasi untuk mencapai tujuan organisasi, (3) teamwork
memiliki lintas batas fungsional dan legitimasi untuk mengelola dan
memperbaiki proses organisasi.
4. Sifat waktu dan ruang; (1) organisasi memiliki orientasi masa depan
dan waktu di mana stakeholders diikat melalui hubungan jangka
panjang dan kesabaran untuk menunggu hasil, (2) efisiensi dicapai
melalui perencanaan dan koordinasi.
Lebih lanjut, satu ciri keberhasilan suatu organisasi pendidikan
adalah terpenuhinya input, proses dan output yang sesuai standar,
tercapainya kepuasan pengguna jasa pendidikan, menjamin keber-
langsungan kerja para karyawan, terciptanya iklim sekolah yang
transparan, akuntabel dan teamwork yang solid. Kepala sekolah memiliki
peranan penting dalam mengembangkan budaya mutu tersebut di
antaranya (1) mewujudkan visi sekolah; (2) memberi komitmen yang jelas
dalam meningkatkan mutu; (3) memiliki kemampuan mengkomunikasikan
pesan mutu; (4) melakukan rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pelanggan;
(5) memberi jaminan bahwa suara pelanggan atau kritik konstruktif
pelanggan menjadi masukan yang membangun bagi sekolah; (6)
melakukan pengembangan kompetensi personil sekolah melalui pelatihan,
pendidikan lanjutan, dan kemudahan proses kepangkatan; (7) memperbaiki
kesalahan budaya yang dihasilkan oleh manajemen dan kebijakan yang
salah bukan disebabkan oleh staf, karena staf hanyalah pelaksana tugas; (8)
mendukung lahirnya kreativitas dan inovasi pendidikan; (9) menjamin
bahwa struktur organisasi diterjemahkan dengan baik dengan tanggung
jawab, dan delegasi yang tepat; (10) membentuk komitmen yang tinggi
dan merombak segala hambatan menjadi potensi untuk terus berkembang;
(11) membangun tim yang efektif, efisien dan akuntabel; (12)
mengembangkan mekanisme dan prosedur kerja yang tepat melalui
penilaian, pemantauan dan pengawasan (Usman, 2013: 624).
Keterbukaan budaya manajemen mutu sekolah dalam suatu tatanan
budaya global tanpa kehilangan jati diri perlu didasari oleh kesadaran
bahwa keterbukaan, kejujuran, keadilan, nondiskriminasi merupakan hal

200
penting dalam menjalin kerja sama internasional yang sangat dibutuhkan
di masa mendatang. Hartanto (2009: 38) mengemukakan beberapa nilai
yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan sebuah organisasi di
antaranya: (1) budaya keterbukaan dialogik mampu meminimalisir budaya
petunjuk dan pengarahan, (2) mentalitas berlebih (abudance mentality)
perlu menggantikan mentalitas keterbatasan (scarcity mentality), (3) fokus
perhatian manajemen sumber daya manusia yang berorientasi pada
peningkatan prestasi individu menjadi perhatian pada prestasi tim; (4)
sistem manajemen yang dulunya berorientasi pada hasil dan keluaran,
perlu diorientasikan pada perbaikan proses dan penyesuaian perilaku; (5)
perlu adanya budaya kerja transformasional yang dilandasi rasa saling
percaya untuk melengkapi cara kerja transaksional yang telah dipraktikkan
sebelumnya.
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga
setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalitas. Budaya mutu memiliki
elemen-elemen, dikemukakan oleh Usman (2009: 156) antara lain:
1. Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk
mengadili/mengontrol orang; (a) Kewenangan harus sebatas
tanggung jawab; (b) Hasil harus diikuti rewards atau punishments.
2. Kolaborasi, sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk
kerja sama: (a) Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya,
dan (b) Atmosfer keadilan (faireness) harus ditanamkan.
3. Imbalan jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan
4. Warga sekolah merasa memiliki sekolah.
5. Teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis.
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut
oleh profesional kepala sekolah, karena output pendidikan
merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual.
Karena itu, budaya kerja sama antar fungsi dalam sekolah, dan antar
individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-
hari warga sekolah.
6. Kemandirian
Kepala sekolah memiliki kemandirian untuk melakukan yang
terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu

201
menggantungkan pada atasan. Untuk kepentingan tersebut, kepala
sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Peningkatan profesional tenaga kependidikan di sekolah
memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan
masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh
self determinant theory, yang meyakini bahwa makin besar tingkat
partisipasi, makin besar rasa memiliki makin besar pula rasa
tanggung jawab; makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula
tingkat dedikasinya.
8. Transparansi manajemen
Dalam wacana demokrasi pendidikan, transparansi pengelolaan
sekolah merupakan karakteristik sekolah yang harus diwujudkan
dalam meningkatkan profesional tenaga kependidikan. Transparansi
ini harus ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, penggunaan
uang, pelayanan, dan pertanggungjawaban, yang selalu melibatkan
pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
9. Kemauan untuk berubah
Perubahan harus menjadi kenikmatan bagi semua warga sekolah
menuju peningkatan ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini, setiap
perubahan harus menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari
sebelumnya, demikian halnya mutu pendidikan di sekolah.
10. Evaluasi dan perbaikan berkelanjutan
Evaluasi terhadap profesional tenaga kependidikan harus
dilakukan secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui
tingkat kemampuan setiap tenaga kependidikan, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan tenaga kependidikan
tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses
pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi
sangat penting dalam meningkatkan profesional tenaga
kependidikan di sekolah secara keseluruhan dan terus menerus.
11. Tanggap terhadap kebutuhan
Sekolah tanggap terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi
peningkatan mutu, karena selalu membaca lingkungan dan

202
menanggapinya secara cepat dan tepat, bahkan sekolah tidak hanya
mampu menyesuaikan terhadap perubahan dan tuntutan juga ikut
menciptakan perubahan dan mengantisipasi hal-hal yang mungkin
terjadi.
12. Akuntabilitas
Sekolah dituntut untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap
pelaksanaan pendidikan (akuntabilitas). Akuntabilitas ini berbentuk
laporan prestasi yang dicapai baik kepada pemerintah maupun
kepada orang tua peserta didik dan masyarakat. Berdasarkan hasil
laporan ini pemerintah dapat menilai apakah peningkatan
profesional tenaga kependidikan yang dilakukan oleh kepala sekolah
telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil
maka sewajarnya pemerintah memberikan penghargaan terhadap
kepala sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi pendorong
untuk meningkatkan kinerjanya di masa depan.
13. Sustainabilitas
Paradigma baru kepala sekolah profesional diharuskan memiliki
sustainabilitas yang tinggi karena di sekolah akan terjadi proses
akumulasi peningkatan mutu sumber daya manusia, diversifikasi
sumber dana, pemilikan aset sekolah yang mampu meningkatkan
kekayaan sekolah serta partisipasi dan dukungan masyarakat yang
tinggi terhadap eksistensi sekolah.
Budaya mutu merupakan budaya berani menerima perubahan yang
akan terjadi dalam sebuah organisasi. Dengan adanya keberanian untuk
berubah ke arah yang lebih baik maka akan terbentuk pola pengembangan
dan peningkatan kualitas sumber daya dan hasil pendidikan. Dengan
penerapan budaya mutu maka akan berimplikasi terhadap: (1) peningkatan
etos kerja yang tinggi para personil sekolah, (2) sistem manajemen yang
valid dan reliabel, (3) seluruh personil sekolah dapat berfungsi dengan
baik, (4) peningkatan prestasi,kompetensi guru, siswa dan personil lainnya,
(5) berkembangnya nilai-nilai kultural dan personal yang baik, (6)
meningkatkan akses terhadap sekolah, (7) meningkatnya kepuasan klien
pendidikan, (8) terciptanya hubungan kooperasi dan komunikasi yang
harmonis antara sekolah, DU/DI dan stakeholders lainnya.

203
BAB VI
KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

A. Kompetensi Kepala Sekolah Menengah Kejuruan


Seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dalam sebuah institusi
pendidikan haruslah mampu menjadi salah satu promotor keberhasilan
sekolah yang dipimpinnya. Keberadaannya sebagai leader dituntut untuk
memaksimalkan fungsi dan kinerjanya guna meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Sekolah menengah kejuruan
adalah salah satu organisasi kompleks yang membutuhkan pemimpin yang
berkualitas. Pemimpin harus memiliki integritas dan komitmen yang tinggi
sebagai kepala sekolah, agar mampu merencanakan program, mengelola
sumber daya potensial yang ada di sekolah serta mewujudkan tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Kepala sekolah memikul tanggung
jawab dan kewenangan dalam mengelola program sekolah untuk
mewujudkan tujuan lembaga pendidikan ke arah kemajuan. Kemajuan
pendidikan yang semakin hari semakin pesat tersebut mengharuskan
kepala sekolah untuk memperluas, memperbaharui dan memperdalam
kompetensinya.
Kompetensi merupakan prasyarat yang harus dimiliki seorang
kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya. Pengertian dasar kompetensi
(competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi
sebenarnya memiliki banyak makna. Suhardiman (2012: 105)
mengemukakan bahwa:
Kompetensi adalah seperangkat tindakan intelektualitas dengan
penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas
di bidang pekerjaan tertentu yang merupakan pengintegrasian dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan
melaksanakan satu cara efektif.

204
Lebih lanjut, Wibowo (2009: 113) mengemukakan bahwa ―kom-
petensi merupakan kemampuan menjalankan tugas atau pekerjaan dengan
dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan didukung oleh sikap yang
menjadi karakteristik individu‖. Kepala sekolah dituntut memiliki
kompetensi sebagai wahana menyukseskan pelaksanaan tugas dan
perannya sebagai manajer dan leader di sekolah, mampu merumuskan visi,
misi, tujuan, dan sasaran sekolah. Gordon (1988) dalam Sutrisno (2009:
204-205) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang terkandung
dalam konsep kompetensi di antaranya:
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif
yang dimiliki seseorang seperti mampu mengidentifikasi pola
belajar dan bagaimana melakukan proses pembelajaran yang tepat.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif
yang dimiliki individu, misalnya seorang kepala sekolah perlu
menguasai kondisi lingkungan kerjanya sehingga mampu
meningkatkan etos kerjanya yang tinggi.
3. Kemampuan (skill), merupakan sesuatu yang dimiliki individu untuk
melaksanakan dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang
dibebankan padanya. Misal, kemampuan kepala sekolah dalam
memilih metode yang tepat yang dianggap lebih efektif dan efisien
dalam menjalankan aktivitas persekolahan.
4. Nilai (value), merupakan suatu standar perilaku yang telah diyakini
dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya,
standar perilaku yang dimunculkan oleh kepala sekolah dalam
melaksanakan tugas dengan keterbukaan, kejujuran, demokratis, dan
lainnya.
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan senang atau tidak senang ataupun
reaksi yang dimunculkan oleh seseorang sebagai respons yang
diberikan terhadap aksi yang sedang terjadi. Seperti: reaksi yang
dilakukan seorang kepala sekolah ketika melerai/ menyelesaikan
perkelahian antar pelajar.
6. Minat dan bakat (interest), merupakan kecenderungan seseorang
untuk melakukan sesuatu perbuatan yang digemarinya. Seperti,
kepala sekolah mampu menata taman sekolah dengan indah dan asri,
bakat menulis, melukis dan sebagainya.

205
Adapun batasan konsep kompetensi menurut Hartanto (2009: 433)
sebagai berikut.
1. Perolehan seseorang dari lingkungan eksternal dalam upaya
pelaksanaan suatu tugas atau pekerjaan (job related human
characteristic) yang dibebani padanya melalui proses belajar
mandiri maupun organisasional melalui pendidikan dan pelatihan
dalam lingkungan profesional maupun sosialnya.
2. Berwujud pengetahuan dan keterampilan yang dicari, dipilih secara
saksama dan rasional, serta dikuasainya untuk mempermudah
kehidupan profesional dan kehidupan sosialnya sehingga mampu
menghadapi tantangan dan relevansi dunia kerja.
3. Mencerminkan intelektualitas yang diperoleh seseorang melalui
informasi dan pengetahuan berkelanjutan yang dimanfaatkan guna
memudahkan tugas profesional maupun sosialnya.
4. Instrumen untuk meningkatkan ketepatan dan efisiensi kerja serta
melipatgandakan efektivitas keputusan maupun tindakan yang
diambil dalam rangka penciptaan nilai.
5. Dikembangkan secara optimal melalui proses belajar, sharing
informasi dan ide sehingga melahirkan mentalitas melimpah
(abudance mentality).
6. Pencarian, penguasaan, penggunaan, dan pengembangannya akan
berlangsung maksimal jika digunakan dalam iklim intelektual yang
berkualitas.
Dalam konteks kepala sekolahan, kompetensi menurut Suhardiman
(2012: 108) yaitu sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
kepala sekolah, kemampuan tersebut dapat dilihat setelah diaktualisasikan
dalam perilaku kepala sekolah sebagai seorang pemimpin. Wahyudi (2012:
28) memberikan pengertian kompetensi kepala sekolah sebagai berikut:
Kompetensi kepala sekolah adalah pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan kepala sekolah dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak secara konsisten yang memungkinkan
menjadi kompeten atau berkemampuan dalam mengambil keputusan
tentang penyediaan, pemanfaatan dan peningkatan potensi sumber
daya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

206
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kom-
petensi kepala sekolah adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan kepala sekolah dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak secara konsisten yang memungkinkannya menjadi berkecakapan
atau berkemampuan dalam mengambil keputusan tentang penyediaan,
pemanfaatan dan peningkatan potensi sumber daya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di sekolah.
Sebagai seorang pemimpin, dengan adanya otonomi sekolah, kepala
sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola
sekolahnya. Dengan demikian diharapkan kepala sekolah mampu
memaksimalkan kompetensinya lebih mandiri dan lebih berdaya dalam
mengembangkan program-program sesuai potensi sekolah, sehingga
sekolah mampu menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana
peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu dengan lebih optimal.
Implementasi berbagai kompetensi kepala sekolah bisa berbeda antar satu
kepala sekolah dengan kepala sekolah lainnya, sangat bergantung kepada
tingkat penguasaan kompetensi kepala sekolah masing-masing.
Adapun karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer
(Sutrisno, 2009: 206-207) meliputi lima aspek utama yaitu:
1. Motives, merupakan suatu keinginan dan tekad di mana seseorang
secara konsisten berpikir sehingga melakukan suatu tindakan.
Misalnya, seseorang kepala sekolah mengerahkan pikiran dan
tenaganya untuk menoreh prestasi baik peningkatan prestasi sekolah
maupun dirinya sebagai seorang individu.
2. Traits, adalah watak atau perangai yang membuat orang berperilaku
atau cara seseorang merespons sesuatu. Misalnya, percaya diri,
pemalu, kontrol emosi yang ditunjukkan seseorang, stres, dan
kesabaran dalam menghadapi segala masalah yang terjadi dalam
hidupnya.
3. Self concept, adalah sikap dan nilai yang dimiliki seseorang terhadap
sesuatu hal. Sikap dan nilai tersebut dapat diukur dengan tes,
misalnya, tes psikologi tentang potensi kepemimpinan.
4. Knowledge, merupakan informasi dan ilmu pengetahuan yang
dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Sering kita lihat bahwa

207
pengetahuan merupakan bagian kompleks yang sulit dinilai. Karena,
terkadang tes terhadap pengetahuan dan keahlian yang dimiliki
seseorang kepala sekolah tidak mampu menunjukkan kinerja
maksimal saat terjun ke situasi kerja.
5. Skills, merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu
secara praktis maupun mental. Misalnya, seorang kepala sekolah
yang mampu membuat program berkaitan dengan SIM.
Secara spesifik, kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang kepala
sekolah menurut Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang standar
kompetensi kepala sekolah akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah


Kepala sekolah yang baik harus mampu melaksanakan proses
manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen sekaligus
menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan. Dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya, kepala sekolah berfungsi sebagai manajer
yang menjalankan fungsi-fungsi manajemen agar dapat mengelola sekolah
secara optimal seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan
pengendalian. Menurut Pidarta (2011: 2) keempat fungsi manajer atau
manajemen itu yaitu:
a. Perencanaan, yaitu merencanakan tindakan untuk mengatasi
masalah,
b. Pengorganisasian, ialah mengorganisasikan orang dan perlengkapan
lainnya, agar hasil perencanaan di atas dapat berjalan dengan efektif
dan efisien,
c. Penggerakan, ialah menggerakkan dan memotivasi para personil
sekolah agar bekerja dengan giat dan antusias.
d. Pengendalian, ialah mengendalikan proses kerja dan hasil kerja agar
tidak menyimpang dari rencana semula dan kalau menyimpang
segera dapat diperbaiki.
Seorang kepala sekolah haruslah seseorang yang memiliki
kreativitas dan inovasi dalam merumuskan perencanaan strategis, piawai
dalam mempengaruhi dan memotivasi orang lain serta mengontrol dan
menciptakan iklim kerja yang baik. Sebagai manajer pendidikan, kepala
sekolah perlu melengkapi wawasan kepemimpinan pendidikannya, dengan

208
pengetahuan dan sikap yang antisipatif terhadap perubahan yang terjadi
dalam kehidupan sekolah dan masyarakat, termasuk perkembangan
kebijakan makro dan mikro pendidikan. Wujud perubahan dan
perkembangan yang paling aktual saat ini adalah makin tinggi aspirasi dan
investasi yang dilakukan masyarakat terhadap pendidikan, dan gencarnya
tuntutan kebijakan pendidikan yang meliputi peningkatan aspek-aspek
pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi dan relevansinya terhadap
masyarakat.
Lebih lanjut, kompetensi manajerial yang tertuang dalam Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tanggal 17
April 2007 menyebutkan bahwa kepala sekolah haruslah mampu:
a. Menyusun perencanaan sekolah pada berbagai tingkatan perencana-
an,
b. Mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan dan
skala prioritas,
c. Memimpin sekolah dalam rangka pendayagunaan sumber daya
sekolah secara kontinum,
d. Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi
pembelajar yang efektif, produktif dan efisien.
e. Menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif
bagi pembelajaran peserta didik dan ramah terhadap anak
berkebutuhan khusus dan disabilitas.
f. Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan SDM secara
optimal,
g. Mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka
pendayagunaan secara efektif dan efisien,
h. Mengelola hubungan harmonis sekolah dan masyarakat dalam
rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar dan pembiayaan
sekolah,
i. Mengelola peserta didik dalam penerimaan peserta didik dan
penempatan serta pengembangan kapasitas peserta didik,
j. Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran
sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional,
k. Mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelolaan
yang akuntabel, transparan dan efisien,

209
l. Mengelola ketatausahaan sekolah dalam mendukung pencapaian
tujuan sekolah,
m. Mengelola unit layanan khusus sekolah dalam mendukung
pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah,
n. Mengelola sistem informasi sekolah dalam mendukung penyusunan
program dan pengambilan keputusan,
o. Memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan
pembelajaran dan manajemen sekolah,
p. Melakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan
program kegiatan sekolah serta merencanakan tindak lanjutnya.
Kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu menyusun program
sekolah sesuai dengan potensi sekolah agar dapat meningkatkan kinerja
sekolah, baik dalam pengembangan organisasi maupun dalam mengelola
sumber daya sekolah, sehingga guru dapat melaksanakan tugas dengan
baik melalui pendekatan komunikasi yang harmonis. Dalam meningkatkan
kinerja sekolah, seorang kepala sekolah dapat melakukan berbagai
peranannya dan menunjukkan tanggung jawab terhadap bawahannya,
terutama pendidik dan tenaga kependidikan untuk diawasi, dibina, dan
diberikan motivasi agar berkinerja maksimal dalam melakukan pengajaran
dan aktivitas pendidikan lainnya sehingga menjadikan sekolah lebih
efektif. Kepala sekolah harus dapat berperan aktif dalam meningkatkan
kinerja guru serta memiliki komitmen kuat agar strategi yang ditetapkan
dipahami guru, sehingga pelaksanaan program kerja sekolah berjalan
lancar dan mencapai tujuan.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kompetensi manajerial
kepala sekolah meliputi merencanakan program, melaksanakan program,
serta mengevaluasi program dalam menjalankan roda pengelolaan sekolah
dengan manajemen yang sehat, yang memuat unsur planning, organizing,
actuating, dan controlling. Planning menyangkut rencana strategis dan
rencana operasional. Organizing menyangkut pengaturan job description
pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah. Actuating menyangkut
pelaksanaan program dijalankan sesuai dengan yang direncanakan.
Controlling merupakan evaluasi terhadap sejumlah program kegiatan
sekolah dengan prosedur yang tepat, sasaran yang telah digariskan, dan
merencanakan tindak lanjut jika diperlukan. Maka jelaslah bahwa

210
kompetensi manajerial kepala sekolah memegang peranan penting dalam
menjalankan pendidikan setiap jenjang persekolahan yang bertujuan
meningkatkan kinerja sekolah.

2. Kompetensi Kewirausahaan
Seorang kepala sekolah SMK perlu mengembangkan kompetensi
kewirausahaan karena hubungan SMK dan dunia usaha/industri
merupakan dua bagian yang tidak dapat dipisahkan. Dengan menguasai
kompetensi ini diharapkan kepala sekolah mampu mengoptimalkan
kapasitas dirinya dalam menjalin hubungan kerja dengan lingkungan
internal dan eksternal sekolah dan mengembangkan unit usaha/jasa dan
produksi di sekolah. Dengan demikian, seorang kepala sekolah menengah
kejuruan harus mampu:
a. Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah
kejuruan.
b. Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah sebagai
organisasi pembelajar yang efektif.
c. Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah.
d. Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam
menghadapi kendala yang dihadapi sekolah.
e. Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan
produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta
didik.
Terkait dengan perannya dalam memajukan entrepreneurship
sekolah menengah kejuruan, seorang kepala sekolah memiliki tanggung
jawab untuk mencari berbagai alternatif dan strategi yang perlu
diadaptasikan dalam lingkungan sekolah di antaranya:
1. Strategi promosi sekolah
Strategi promosi sekolah dapat dilakukan dengan menjalin
komunikasi personal (baik melalui presentasi maupun dari
percakapan pribadi dari mulut ke mulut), promosi sekolah melalui
iklan (media cetak maupun elektronik), promosi penjualan (diskon
pendaftaran maupun potongan biaya masuk atau pemeliharaan
gedung), publikasi (kegiatan perlombaan, sponsor berbagai

211
kegiatan, menyediakan web sekolah), materi pengajaran (brosur,
buku pegangan siswa), dan desain organisasi (logo, seragam,
bangunan, maupun fasilitas).
2. Strategi melalui Pelatihan dan Pendidikan
Pelatihan dan pendidikan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kualitas kerja dan memberi pembekalan kewirausahaan kepada
peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan. Melalui strategi ini
diharapkan para peserta didik dan personil sekolah lainnya memiliki
pengetahuan dan keterampilan dasar sebelum terjun langsung
dengan dunia industri dan usaha dan terlibat dalam kegiatan dan
program kewirausahaan sekolah.
3. Kurikulum dan Materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
industri.
Kurikulum dan materi pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan industri harus terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Sekolah menengah kejuruan saat ini perlu
mengadaptasikan kurikulum nasional dengan kebutuhan dunia
industri dan usaha.
4. Pengembangan Unit Produksi
Pengembangan unit produksi pada dasarnya memberikan
kesempatan, pengetahuan, dan tantangan bagi peserta didik untuk
dapat belajar bagaimana mengelola fasilitas bisnis dan menjalankan
unit bisnis yang bernilai finansial.
5. Program Internship Industri
Dengan adanya program internship ini diharapkan dapat
membekali peserta didik dengan berbagai pengalaman yang bernilai
dan kecakapan kerja sehingga dapat dengan mudah diterima dan
beradaptasi dengan lingkungan usaha dan bisnis di masa mendatang.
6. Proses Pembelajaran berbasis pengembangan karakter
kewirausahaan
Seperti yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa
SMK perlu menerapkan pembelajaran yang mampu mendorong,
memotivasi peserta didik, serta menempa karakter kewirausahaan
peserta didik sehingga mereka tangguh dan berani dalam memulai
usaha, mampu bertahan dalam dinamika ekonomi yang dinamis,

212
berani mengambil risiko dan keputusan, serta pantang menyerah dan
tahan terhadap berbagai hambatan yang dilalui selama terjun dalam
dunia industri dan usaha.
7. Pengembangan kinerja tenaga pendidik dan kependidikan
Tentunya pengembangan sisi entrepreneurship SMK, perlu
didukung dengan keberadaan tenaga pendidik dan kependidikan
yang juga berantusias mengembangkan jiwa kewirausahaannya dan
bersinergi dengan sekolah membantu mengembangkan dan
menularkan semangat kewirausahaan pada peserta didik. SMK
membutuhkan tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki
orientasi kinerja yang tinggi dan memiliki bidang keahlian tertentu.
8. Pemasaran lulusan dan koordinasi dengan alumni
Pemasaran atau promosi lulusan kepada dunia industri dan usaha
merupakan rangkaian penting yang perlu dipikirkan sebelum peserta
didik dinyatakan lulus dari pendidikan kejuruannya. Sekolah dapat
melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan bursa kerja khusus
atau menjalin komunikasi dan hubungan diplomatik dengan alumni
agar tenaga kerja lulusan SMK dapat dijaring ke dalam dunia usaha
dan industri.
9. Studi banding terhadap SMK lainnya yang telah berhasil
menerapkan program kewirausahaan sekolah.
Dengan melakukan studi banding dengan SMK lainnya maupun
terhadap school sister diharapkan dapat memberi pengalaman dan
ide baru terhadap pengembangan dan perbaikan penerapan program
kewirausahaan di sekolah.
10. Melakukan MoU dengan instansi pemerintah, institusi maupun
perusahaan baik berskala nasional maupun internasional terkait
hubungan kerja.
Kepala sekolah SMK haruslah seseorang yang lihai membidik
kesempatan dalam menjalin kerja sama dan melakukan diplomasi
yang efektif dengan pihak eksternal. Kepala sekolah secara
kelembagaan dapat mencoba mengajukan kerja sama dan perjanjian
bisnis/kerja dengan berbagai kalangan eksternal guna
memaksimalkan potensi peserta didik.

213
Adapun salah satu model kepemimpinan kewirausahaan kepala
sekolah dapat dilihat dalam skema berikut.

EXTERNAL STAKEHOLDERS

• Alumni, supervisor, industries, goverment, public, other


educational institution, other sectors

Gambar 6.1Model Entrepreneurial Leadership SMK (Suyitno, et al.,


2014: 55)

214
Model kepemimpinan kewirausahaan di atas menunjukkan bahwa
karakteristik kepemimpinan kepala sekolah SMK memiliki pengaruh yang
besar dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan internal dan eksternal
sekolah demi meningkatkan pengembangan kewirausahaan sekolah.
Kepala sekolah harus memiliki tujuan, visi, dan misi yang jelas yang
dituang dalam penerapan berbagai strategi yang tepat sehingga melahirkan
school based entrepreneurship yang tangguh dalam menghadapi
persaingan global.

3. Kompetensi Supervisi
Seorang kepala sekolah harus menjamin pelaksanaan proses belajar
di kelas berlangsung dengan efektif, dengan melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan proses pendidikan. Kepala sekolah harus dapat
menempatkan diri sebagai mitra bagi tenaga pendidik dan kependidikan
dalam berbagi ide dan pengalaman mengajar melalui saran yang
membangun dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran.
Kepala sekolah dilarang bertindak sebagai inspektur yang mencari
kesalahan guru. Namun, kepala sekolah harus dapat menempatkan diri
sebagai pembimbing dan penasehat bagi guru.
Adapun hal yang harus dipenuhi oleh kepala sekolah dalam me-
ngembangkan kompetensi supervisi antara lain:
a. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka
peningkatan profesionalisme guru secara sistemik.
b. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan
menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat dan
efektif.
c. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam
rangka peningkatan profesionalisme guru baik melalui evaluasi
maupun peningkatan profesionalisme guru melalui pendidikan dan
pelatihan.
Kompetensi supervisi kepala sekolah erat kaitannya dengan ke-
beradaan strategi kepemimpinan kepala sekolah dalam mengarahkan dan
mengembangkan profesional guru. Adapun model pengembangan yang
dapat dilakukan kepala sekolah dalam memberdayakan tenaga pendidikan
dapat dilakukan sebagai berikut.

215
strategi kepemimpinan kepala sekolah

tujuan

rencana strategik

Program/implementasi
sumber kebijakan Prosedur
strategi
komunikasi dan Internal workshop, in house
SDM kebijakan sekolah
koordinasi training, coaching, counselling:
strategi penguatan guru dalam
Sumber daya undang-undang
mengembangkan silabus, RPP,
bukan Manusia kependidikan
menetapkan Evaluasi pembelajaran, dan
alokasi waktu metode pengajaran.
Budget Peraturan sekolah
pengarahan, Supervisi
kode etik pendelegasian,
pendidikan serta melibatkan guru dalam seminar,
pembentukan tim seminar, workshop, training ,
kebijakan kerja MGMP dan berbagai perlombaan
nasional baik skala regional, nasional
membangun maupun internasional
struktur sekolah
peningkatan penelitian tindakan
kelas
penguatan
komitmen Peer and group discussion
personil sekolah
Self-learning
pemberdayaan
sumber sekolah mendukung kesejahteraan guru,
pemberian intensif, penghargaan
penentuan job atau sebaliknya melalui sanksi dan
description hukuman jika dibutuhkan

Feedback

Gambar 6.2 Model Strategi Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam


Meningkatkan Profesional Guru

Model di atas mengilustrasikan peran kepala sekolah dalam me-


ningkatkan profesional kepala sekolah melalui perencanaan yang
dilakukan dengan pengoptimalan sumber daya, kebijakan, prosedur, dan
proses penyelenggaraan strategi itu sendiri. Kecakapan kepala sekolah
dalam mengoptimalkan kompetensi supervisi yang dimilikinya
berimplikasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
kurikulum yang berimbas terhadap peningkatan proses dan hasil belajar
siswa. Kepala sekolah berperan sebagai mediator, communicator, dan

216
supervisor yang mampu memotivasi guru untuk meningkatkan kompetensi
guru, bukan menjadi inspector yang menakutkan dan mencari kesalahan
bagi para guru.

4. Kompetensi Kepribadian
Kepala sekolah merupakan pribadi yang memiliki kekhasan masing-
masing. Kepala sekolah haruslah menjadi teladan bagi lingkungannya.
Kepribadian tersebut ditunjukkan melalui perbuatan, tindakan, dan tingkah
laku pimpinan dalam aktivitas dan kegiatan sehari-harinya. Adapun
kompetensi kepribadian yang perlu dimiliki oleh kepala sekolah antara
lain:
a. Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia,
dan menjadi teladan bagi komunitas di sekolah.
b. Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin.
c. Memiliki keinginan yang kuat dalam refleksi dan pengembangan
diri sebagai kepala sekolah.
d. Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi.
e. Mengendalikan diri dan mampu mengelola emosi dengan baik
dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala
sekolah.
f. Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.

5. Kompetensi Sosial
Keberadaan kepala sekolah merupakan salah satu kunci keberhasilan
pengelolaan pendidikan. Kepala sekolah tidak dapat berdiri sendiri dalam
menjalankan proses pendidikan di sekolah. Keberadaannya akan optimal
jika didukung oleh keterlibatan tim sekolah dengan etos kerja yang tinggi
mendukung seluruh rangkaian kegiatan dan aktivitas di sekolah. Oleh
karenanya, kepala sekolah harus mampu merangkul lingkungan sosialnya
untuk bersama-sama mengembangkan sekolah. Adapun kompetensi sosial
yang perlu dimiliki oleh seorang kepala sekolah antara lain:
a. Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah.
b. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
c. Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.

217
Kepala sekolah merupakan puncak pimpinan dalam sebuah
organisasi sekolah yang harus memiliki kemampuan untuk menjalin
hubungan harmonis dan mampu berkomunikasi secara efektif dengan
masyarakat dan pelanggan pendidikan. Hal tersebut identik dilakukan
melalui komunikasi internal dan eksternal dengan melibatkan masyarakat
dan personil sekolah dalam program dan kegiatan sekolah. Dengan
demikian diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya mempromosikan
dan menjaga citra sekolah di mata masyarakat dan mampu melakukan
kegiatan timbal balik dalam mentransfer informasi, memantau tanggapan
publik terhadap sekolah, serta melalui kemitraan yang terjalin dengan
alumni, masyarakat, orang tua peserta didik, pemerintah, perguruan tinggi,
komite sekolah, DU/DI, sister school, serta stakeholders lainnya.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah
dalam menyokong keterlibatan masyarakat terhadap berbagai kegiatan dan
program sekolah di antaranya:
(1) Press relation, yaitu upaya yang dilakukan dengan menyajikan
berita dan informasi tentang aktivitas dan program unggulan
sekolah. Strategi promosi yang dapat dilakukan sekolah melalui
berbagai aktivitas dan program sekolah baik melalui pengembangan
situs sekolah, media massa baik cetak dan elektronik,
sambutan/pidato, materi tertulis, audio, video, maupun aktivitas
pelayanan publik.
(2) Social responsibility, yaitu memberikan sumbangan/santunan
terhadap warga kurang mampu di sekitar sekolah, melakukan kerja
bakti, maupun mendukung kegiatan masyarakat sekitar.
(3) Organization communication, merupakan komunikasi yang
dilakukan sebagai bagian dari upaya promosi yang dilakukan
terhadap pihak internal dan eksternal.
(4) Lobbying, yaitu meminta kepada orang tua peserta didik, alumni,
komite sekolah, DU/DI, perguruan tinggi, sister school, pemerintah,
serta stakeholders lainnya dalam rangka membantu pengembangan
dan peningkatan mutu pendidikan, pengembangan kompetensi guru,
kepala sekolah dan peserta didik, pemberian beasiswa bagi guru dan
peserta didik, dan pertukaran pelajar dan guru, serta studi banding.

218
(5) Counseling dan customer complaint, yaitu mengundang komite
sekolah dan orang tua peserta didik dalam rangka memaparkan
program kerja sekolah, menerima keluhan dan saran terhadap
perbaikan dan peningkatan mutu sekolah, serta menemukan solusi
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi sekolah.
Idealnya, seorang kepala sekolah SMK haruslah orang terpilih yang
memiliki sejumlah kompetensi yang telah disebutkan di atas. Kepala
sekolah yang luar biasa memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sehingga
menjadi kekuatan untuk mengembangkan sekolah, dan menyadari bahwa
keberhasilan sekolah hanya bisa dicapai dengan kerja sama tim dengan
berbagai komponen di sekolah maupun luar sekolah.

B. Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan


dalam Menghadapi Tantangan Global
Kepemimpinan kepala sekolah sangat berperan dalam menuntun
arah dan mengendalikan iklim budaya sekolah. Kepala sekolah memiliki
tanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang secara
langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah, pe-
nyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan
tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan
sarana dan prasarana. Kepemimpinan pendidikan diartikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk
melakukan sesuatu berdasarkan keinginan/tujuan yang ingin dicapai. Pada
hakikatnya kepala sekolah bertanggung jawab atas maju dan mundurnya
sebuah sekolah.
Secara garis besar, konsep kepemimpinan memiliki tiga implikasi.
Pertama, kepemimpinan merujuk pada hubungan seseorang dengan orang
lainnya. Dalam hal ini, seorang pimpinan mempengaruhi keberadaan
bawahannya. Pemimpin ada karena ada bawahan yang mengikuti instruksi
dari pimpinan. Tanpa adanya bawahan maka pemimpin tidak akan pernah
ada. Begitu halnya, dalam sebuah institusi pendidikan, keberadaan kepala
sekolah tidak akan berfungsi tanpa adanya tenaga pendidik dan
kependidikan, serta peserta didik yang mendukung penyelenggaraan
manajemen sekolah dan proses pendidikan.

219
Kedua, kepemimpinan menyangkut mandat kekuasaan, di mana
pimpinan diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk memimpin
anggotanya. Seorang kepala sekolah memiliki kewenangan dalam
membuat kebijakan dan membagi tugas kerja personil sekolah agar
sekolah yang dipimpinnya menjadi lebih efektif.
Ketiga, kepemimpinan merupakan upaya mempergunakan
pengaruhnya untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk
mengikuti keinginannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Seorang
kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi dalam sebuah institusi
persekolahan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk menjalankan
tugas yang dibebankan kepada personil sekolah guna mencapai tujuan
yang diinginkannya.
Hierarki komando pimpinan dan bawahan menjadi penting dalam
mengelola sebuah organisasi. Organisasi tanpa pimpinan akan bimbang,
pimpinan tanpa anggota maka tak akan berarti. Dengan adanya
kepemimpinan, diharapkan mampu memberikan kerangka ideal/filosofis
yang dapat dijadikan acuan dalam proses pengambilan keputusan,
sekaligus dapat dijadikan patokan pemimpin untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Adapun fungsi dari kepemimpinan itu sendiri
menyangkut fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-oriented),
pemecahan masalah (decision making), dan fungsi pemberdayaan
kelompok (group empowerment).
Hal tersebut tak jauh berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam
dunia pendidikan, di mana kepemimpinan kepala sekolah kejuruan yang
sangat dibutuhkan pada zaman milenial saat ini adalah perpaduan dari pola
kepemimpinan berikut.
1. Kepemimpinan transformasional; kepemimpinan ini merupakan
pola yang tepat untuk meningkatkan motivasi dan kegairahan
personil sekolah dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam
dunia pendidikan dengan mengoptimalkan kapabilitas yang
dimilikinya. Kepemimpinan ini dicirikan dengan adanya konsiderasi
individual, stimulasi intelektual, motivasi inspirasional dan
idealisasi pengaruh.
2. Kepemimpinan sinergistik; kepemimpinan sinergistik merupakan
pola kepemimpinan di mana pemimpin mampu membangkitkan

220
semangat kooperatif yang mampu diarahkan dalam meningkatkan
kinerja bermakna yang nilainya melebihi ekspektasi sekolah. Dalam
hal ini, kepala sekolah mampu mengelola konflik organisasi dengan
bijak dan objektif, membangun solidaritas, menghargai pluralisme
gagasan dan kepentingan.
3. Kepemimpinan visioner; merupakan pola kepemimpinan yang
berpedoman pada tata nilai, etika, tujuan, visi, dan misi organisasi
sebagai acuan dan panutan moral yang perlu dikembangkan,
diwujudkan secara terarah, rasional dan berkesinambungan. Perilaku
kepemimpinan tersebut dicerminkan melalui role model perilaku
yang ditunjukkan oleh kepala sekolah dalam mendorong personilnya
untuk mencapai cita-cita bersama, pengembangan harapan-harapan
dan gagasan-gagasan anggota organisasi, meningkatkan
kepercayaan diri orang-orang yang terlibat dalam organisasi
tersebut.
4. Kepemimpinan instruksional; merupakan pola kepemimpinan yang
sangat menekankan pada pencapaian peningkatan proses belajar
mengajar di kelas sehingga ia secara aktif menjadi supervisor yang
baik bagi tenaga pendidik dan kependidikan lainnya.
5. Kepemimpinan mutu; merupakan pola kepemimpinan yang
mengembangkan budaya mutu sebagai lingkaran kualitas
organisasinya. Kepemimpinan ini menetapkan komitmen, pelayanan
terpadu pada pelanggan, pemberdayaan personil, tim kerja, kontrol,
perbaikan, pengendalian, dan peningkatan mutu sebagai poin
penting dalam kepemimpinannya. Kepemimpinan mutu mampu
menempatkan kepala sekolah sebagai pribadi yang memiliki visi,
misi dan tujuan yang jelas, berani, tangguh dan mampu mengelola
emosi dengan baik terhadap kekecewaan yang dihadapinya, empati
yang tinggi terhadap lingkungannya, tegas, antisipasi, disiplin
waktu, percaya diri, mampu menjalin hubungan harmonis dengan
lingkungan internal dan eksternal sekolah, objektif dalam
mengambil keputusan dan kebijakan, serta memiliki komitmen yang
tinggi.
Selain pola kepemimpinan yang dikemukakan di atas, seorang
kepala sekolah juga dapat mengadaptasikan gaya kepemimpinan yang

221
sesuai dengan kondisi dan keadaan dalam lingkungan sekolahnya seperti
yang dikemukakan oleh Sutrisno (2009: 222-223).
1. Gaya persuasif, yaitu gaya seorang pemimpin dengan menggunakan
pendekatan yang menggugah perasaan, pikiran, atau dengan
melakukan ajakan atau bujukan.
2. Gaya refresif, yaitu gaya kepimpinan dengan cara memberikan
tekanan-tekanan, ancaman, sehingga bawahan merasa ketakutan.
3. Gaya partisipatif, yaitu gaya kepemimpinan di mana memberikan
kesempatan kepada bawahan untuk secara aktif baik mental,
spiritual, fisik, maupun materiil.
4. Gaya inovatif, merupakan gaya kepemimpinan yang selalu berusaha
dengan keras untuk mewujudkan usaha-usaha pembaharuan di
segala bidang.
5. Gaya investigatif, yaitu gaya pemimpinan yang selalu melakukan
penelitian yang disertai dengan rasa penuh kecurigaan terhadap
bawahannya sehingga menimbulkan yang menyebabkan kreativitas,
inovasi, serta inisiatif dari bawahan kurang berkembang, karena
bawahan takut melakukan kesalahan.
6. Gaya inspektif, yaitu pemimpin yang suka melakukan acara-acara
yang bersifat protokoler, kepemimpinan dengan gaya inspektif
menuntut penghormatan bawahan, atau pemimpin yang senang
apabila dihormati.
7. Gaya motivatif, yaitu pemimpin yang dapat menyampaikan
informasi mengenai ide, program, dan kebijakan kepada
bawahannya dengan baik.
8. Gaya naratif, merupakan pimpinan yang banyak bicara namun tidak
sesuai dengan apa yang dikerjakan, atau banyak bicara sedikit
bekerja.
9. Gaya edukatif, merupakan gaya kepemimpinan yang suka
melakukan pengembangan bawahan, sehingga bawahan memiliki
wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang terus berkembang dari
hari ke hari.
10. Gaya retrogresif, yaitu pemimpin tidak suka melihat bawahannya
maju, apalagi lebih baik darinya.

222
Masalah penerapan gaya kepemimpinan yang sering terjadi dalam
lingkungan persekolahan saat ini adalah bagaimana kepala sekolah mampu
menggerakkan personil sekolah lainnya dengan penuh kesadaran
mengerahkan potensi terbaik yang dimilikinya untuk kepentingan sekolah
tanpa memaksakan kehendaknya kepada orang lain atau menggunakan hak
mutlak atau kewenangan yang dimilikinya dengan memerintah tanpa
memperhatikan keinginan dan kemampuan yang dimiliki bawahannya.
Sehingga gaya kepemimpinan refresif, investigatif, inspektif, naratif dan
retrotif seperti yang dikemukakan di atas merupakan gaya kepemimpinan
yang perlu diminimalisir dalam praktik persekolahan agar mampu
menciptakan lingkungan yang harmonis dan dinamis sehingga
pengembangan sekolah dapat dioptimalkan dengan dukungan penuh warga
sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah menengah kejuruan yang tangguh
dalam menghadapi tantangan global haruslah mengadopsi gaya-gaya
kepemimpinan positif yang mampu memberdayakan personil sekolah
tanpa mengikat dan mengekang kreativitas, inovasi, dan pengembangan
kompetensinya.
Lebih lanjut, kepala sekolah perlu memiliki visi dan misi yang jelas,
serta strategi manajemen pendidikan yang utuh dan berorientasi pada
mutu. Strategi tersebut diarahkan sebagai sebuah usaha sistematis dan
terkoordinasi secara terus menerus memperbaiki kualitas layanan,
sehingga fokusnya diarahkan ke pelanggan dalam hal ini peserta didik,
orang tua peserta didik, pemakai lulusan, guru, karyawan, pemerintah dan
masyarakat. Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan
oleh kepala sekolah agar tercapainya kepuasan pelayanan, yakni layanan
sesuai dengan yang dijanjikan (reliability), mampu menjamin kualitas
pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang kondusif (tangible),
memberi perhatian penuh kepada peserta didik (emphaty), cepat tanggap
terhadap kebutuhan peserta didik (responsiveness).
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu sekolah sangat
bergantung pada fungsi kepala sekolah sebagai pengelola dan perencana
juga pengendali kegiatan yang dilaksanakan oleh orang-orang yang berada
di suatu sekolah. Kemajuan suatu sekolah tidak terlepas dari kompetensi
manajerial yang dimainkan dan dimiliki oleh kepala sekolah. Semegah dan
secanggih apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah

223
kalau tidak dikelola dan dipelihara dengan baik oleh kepala sekolah
beserta dengan personil sekolah, maka itu akan sia-sia.
Kepala sekolah adalah manajer pendidikan dan ujung tombak utama
dalam mengelola pendidikan di level sekolah. Karena pada hakikatnya,
manajemen merupakan proses manajerial atau pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen di sekolah yang diparktikkan oleh kepala sekolah selaku
manajer pendidikan, maka kepala sekolah diharuskan memiliki
kemampuan manajerial yang baik dalam memimpin sekolah. Karakteristik
manajemen kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen
pendidikan akan memberikan dampak positif dan perubahan yang cukup
mendasar dalam pembaruan sistem pendidikan di sekolah yang mampu
bertahan dalam persaingan global dunia pendidikan. Dampak tersebut
dikemukakan oleh Slamet (2007: 36), antara lain terhadap:
Efektivitas pendidikan, kepemimpinan sekolah yang kuat, pe-
ngelolaan tenaga kependidikan yang efektif, budaya mutu,
teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis, kemandirian,
partisipasi warga sekolah dan masyarakat, keterbukaan
(transparansi) manajemen, kemauan untuk berubah (psikologi dan
fisik), evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, responsif dan
antisipatif terhadap kebutuhan, akuntabilitas, dan sustainabilitas.
Efektivitas kepemimpinan diperoleh dari keberhasilan pemimpin
dalam memilih perilaku kekuasaan yang sesuai dan pada kondisi yang
tepat pula. Tanenbaum & Schmidt (Sutrisno, 2009: 218) menegaskan tiga
syarat utama bagi pemimpin agar dapat menampilkan perilaku yang efektif
yaitu: (1) kekuatan yang ada pada pemimpin itu sendiri, (2) kekuatan yang
ada pada bawahannya, serta (3) kekuatan yang ada pada situasi.
Lebih jelasnya, dampak yang dipengaruhi oleh karakteristik
kepemimpinan manajemen kepala sekolah dari kutipan di atas dapat dilihat
pada uraian berikut.
1. Efektivitas proses pendidikan
Peningkatan profesional tenaga pendidik dan kependidikan
memiliki pengaruh besar, yang dampak dari sifat pendidikannya
langsung berkontribusi terhadap pemberdayaan peserta didik.
Pembelajaran bukan sekadar memberi informasi, bukan sekadar
penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang

224
diajarkan (logis), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi
tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai
muatan kehidupan oleh peserta didik (etos) bahkan, pembelajaran
juga lebih menekankan pada bagaimana peserta didik mampu
belajar dan cara belajar (learning to learn and to do).
2. Tumbuhnya kepemimpinan sekolah yang kuat
Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam
mengoordinasikan, menggerakkan dan menyelaraskan semua
sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan
kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong
sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran
sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara
terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut
mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang
memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk
meningkatkan mutu sekolah.
3. Pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan yang efektif
Tenaga pendidik dan kependidikan, terutama guru, merupakan
jiwa dari sekolah. Sehingga tidak mengherankan jika peningkatan
profesional tenaga pendidik dan kependidikan dimulai dari analisis
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan
kerja, sampai pada imbalan jasa, maupun penghargaan merupakan
garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Peningkatan
profesional tenaga kependidikan ini harus dilakukan secara terus
menerus sehingga mampu menyeimbangi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat.
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif merupakan rangkaian
proses penciptaan wawasan masa depan dengan mempertimbangkan target
jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk mengembangkan hal
tersebut, dibutuhkan pendekatan strategi rasional yang matang. Dalam
menjalankan kepemimpinan juga dibutuhkan dukungan dari pusat
kekuasaan, seluruh anggota organisasi, dan stakeholder lainnya.
Kepemimpinan bukan sekadar interaksi dan instruksi perintah dan
laksanakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan kepala
sekolah menyangkut:

225
1. Upaya merangkul dan memotivasi tenaga pendidik dan
kependidikan agar mampu memaksimalkan fungsinya dalam
menjalankan roda proses pendidikan di sekolah.
2. Kepala sekolah harus mampu menempatkan diri sebagai fasilitator
dan bahkan pembimbing yang membantu guru dan tenaga
kependidikan lainnya dalam mengatasi kekurangan dan hambatan,
serta memanfaatkan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam
mengoptimalkan implementasi kurikulum.
3. Kepala sekolah sebagai motivator harus dengan cara cerdas, arif dan
efektif mengupayakan agar guru dan tenaga kependidikan lainnya
semakin cakap dalam mengelola proses pendidikan dan
meningkatkan etos kerjanya.
4. Kepala sekolah merupakan pelaku pengendali mutu
penyelenggaraan pendidikan di sekolah melalui peningkatan mutu
sekolah yang secara periodik dan sistematik, mengecek,
menganalisis, mengevaluasi, dan mengarahkan serta mengambil
tindakan yang diperlukan agar manajemen sekolah dan kegiatan
pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan kondusif bagi
tercapainya mutu pendidikan.
5. Kepala sekolah sebagai evaluator penyelenggaraan manajemen
sekolah harus mampu secara sistematis melakukan rangkaian aspek
perencanaan, aspek pelaksanaan (implementasi), dan aspek evaluasi
proses dan hasil.
Kompetensi dan pola kepemimpinan yang ditunjukkan oleh kepala
sekolah tersebut menjadi gambaran keberhasilan kepala sekolah dalam
mengelola manajemen sekolah dengan baik. Kemampuan kepala sekolah
dalam memaksimalkan potensi yang dimilikinya baik secara akademik
maupun non akademik yang kemudian diimplementasikan dalam
serangkaian aktivitas dan kegiatan yang berlangsung di dalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah diharapkan secara efektif mampu
menunjang pengelolaan sekolah dan meningkatkan prestasi sekolah.
Spanbauer (Sallis, 2010: 176-177) mengarahkan bahwa seorang kepala
sekolah harus:

226
1. Melibatkan para guru dan seluruh staf dalam aktivitas penyelesaian
masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dasar, prinsip-prinsip
mutu statistik dan kontrol proses.
2. Berbagi informasi dan melakukan komunikasi melalui tukar
pendapat dan ide tentang bagaimana personil sekolah menjalankan
project dan tidak sekadar menyampaikan bagaimana seharusnya
karyawan bersikap.
3. Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk
membantu pengembangan dan peningkatan komitmen personil
sekolah.
4. Menanyakan pendapat staf tentang sistem dan prosedur mana saja
yang menghalangi personil sekolah dalam menyampaikan mutu
kepada para pelanggan-pelajar, orang tua dan partner kerja.
5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatkan mutu para guru
tidak sesuai dengan pendekatan manajemen atas ke bawah (top-
down).
6. Memindahkan tanggung jawab dan kontrol pengembangan tenaga
profesional langsung kepada guru dan pekerja teknis dan berani
mengambil risiko.
7. Mengimplementasikan komunikasi yang sistematis dan kontinyu di
antara setiap personil serta pimpinan.
8. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan memiliki
kecakapan melakukan negosiasi dalam menyelesaikan konflik.
9. Ringan tangan tanpa harus mengetahui semua jawaban bagi setiap
masalah dan tanpa rasa rendah diri.
10. Menyediakan dan membekali personil sekolah dengan materi
konsep mutu, seperti membangun tim, manajemen proses, layanan
pelanggan, komunikasi, serta kepemimpinan.
11. Memberikan teladan yang baik, dengan menunjukkan perilaku yang
mulia dan santun.
12. Mendengarkan keinginan guru dan pelanggan lainnya, menerima
masukan dan kritikan, memberi perhatian yang berimbang, serta
mampu bermusahabah dan terus memperbaiki diri.

227
BAB VII
KINERJA DAN PENGENDALIAN MUTU
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

A. Kinerja Mutu Sekolah Menengah Kejuruan


1. Pengertian Kinerja
Kinerja dalam sebuah organisasi merupakan jawaban dari berhasil
atau tidaknya pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan
Usman (2012: 63) bahwa ―Kinerja merupakan unjuk kerja seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah dipercayakan kepadanya
sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.‖ Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil atau prestasi kerja yang
dicapai oleh seseorang atau organisasi dalam melaksanakan apa yang telah
digariskan dalam program kerja dan merujuk pada suatu standar tertentu
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Lebih lanjut, Uno (2012: 140) mendefinisikan kinerja sebagai
serangkaian perilaku atau kegiatan kerja seseorang dalam menjalankan
tugasnya dengan dasar pemahaman, kompetensi, keterampilan, penuh
dedikasi, bergairah, dan motivasi tinggi untuk meraih prestasi dan
mencapai keberhasilan organisasi.
Kinerja juga merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan
kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Kemampuan yang
dimiliki personil sekolah perlu diimbangi dengan pembagian tugas yang
tepat dan wewenang di sekolah yang juga harus disesuaikan dengan
keahlian masing-masing agar menghasilkan hasil akhir yang maksimal dan
seperti yang diharapkan.
Selanjutnya, Wibowo (2009: 79) mengemukakan bahwa kinerja
dapat dipandang sebagai proses maupun hasil pekerjaan. Sebagai sebuah
proses, kinerja mengacu pada bagaimana pekerjaan berlangsung untuk

228
mencapai hasil kerja. Sedangkan sebagai hasil pekerjaan, kinerja dijadikan
acuan tingkat pencapaian yang diperoleh dari serangkaian proses yang
telah dilakukan. Jadi, kinerja itu adalah hasil yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta ketepatan waktu.
Kinerja juga merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan
dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban
suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan
negatif dari suatu kebijakan operasional. Suatu organisasi dikatakan
berkinerja baik jika sumber daya manusia yang ada dalam organisasi
tersebut bisa menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab dan
bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kinerja
merupakan kualitas dan kuantitas dari hasil kerja (output) individu maupun
kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang ditimbulkan dari
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar atau
dorongan diri untuk berprestasi. Sehingga tidak mengherankan jika para
personil sekolah perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya (the right man on the right place) agar mendorong terjadinya
kerja optimal, efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Menempatkan karyawan pada tempat yang salah tidak hanya
berpengaruh terhadap produktivitas karyawan yang rendah dan
menimbulkan gangguan psikologis/frustrasi.

2. Kinerja Sekolah Menengah Kejuruan


Organisasi sekolah merupakan organisasi yang berorientasi visi,
misi, dan tujuan pendidikan serta mengacu pada pemenuhan delapan
standar nasional pendidikan. Dalam merealisasikan visi, misi, dan tujuan
yang ingin dicapai tersebut, maka para pelaku pendidikan perlu memenuhi
standar ideal yang ditetapkan oleh standardisasi pendidikan nasional
Republik Indonesia. Pemenuhan standar yang telah ditetapkan tersebut
dijadikan tolok ukur kinerja personil sekolah dan kepala sekolah. Sehingga
untuk mencapai standardisasi yang telah ditetapkan, kepala sekolah
sebagai manajer di sekolah perlu memberdayakan seluruh warga sekolah

229
untuk menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Prestasi kerja tersebut
dihasilkan oleh kepala sekolah, guru, tata usaha, penjaga sekolah, bahkan
komite sekolah yang semuanya diarahkan pada peningkatan mutu sekolah.
Sebagaimana penjelasan Suhardiman (2012: 149) yang menyatakan bahwa
kinerja sekolah merujuk pada prestasi yang telah dicapai sekolah yang
meliputi prestasi di bidang akademik dan nonakademik. Prestasi itu
sebagai hasil kerja kepala sekolah, guru, staf, komite sekolah, dan unsur
lain yang ada di sekolah. Kinerja sekolah merujuk pada pencapaian visi,
misi, sasaran, dan tujuan sekolah baik berupa tujuan institusional maupun
tujuan pendidikan nasional pada umumnya. Sedangkan Rohiat (2010: 49)
mengatakan bahwa kinerja sekolah meliputi ―peningkatan kualitas,
efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.‖ Kinerja
merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi (Wibowo, 2009: 41-42). Kinerja merupakan hasil
pekerjaan. Kinerja yang efektif merupakan hasil dari melakukan sesuatu
hal yang benar pada waktu yang tepat (doing the right things at the right
time), atau hal yang benar untuk pekerjaan spesifik pada waktu yang
spesifik (the right things for that specific job at that specific point in time).
Keberhasilan sekolah mencerminkan keefektifan kinerja sekolah
dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja
dapat dilihat dari seberapa efektif, efisien dan produktif manajemen
sekolah menciptakan inovasi-inovasi dalam mengelola organisasinya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas,
kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Efisiensi merupakan perbandingan
antara output yang dihasilkan dengan modal yang dikeluarkan, baik berupa
jasa, biaya, maupun waktu. Produktivitas adalah perbandingan antara
output dan input sekolah yang berbentuk kualitas. Dan inovasi pendidikan
adalah upaya-upaya untuk mencari cara-cara baru, gagasan baru, bahan
ajar baru, dan motivasi baru bagi warga sekolah dalam rangka
memperbaiki kualitas, kuantitas, dan relevansi hasil-hasil pendidikan.
Sehingga dapat diartikan bahwa kinerja sekolah merupakan perbandingan
hasil kerja yang dicapai oleh sekolah dengan standar yang telah ditentukan,
kinerja sekolah juga sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu,
maupun kelompok warga sekolah yang disesuaikan dengan peran atau
tugas individu tersebut dalam suatu sekolah pada suatu periode waktu

230
tertentu, yang dihubungkan dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu
dari sekolah di mana individu tersebut bekerja.
Ada beberapa faktor yang diperlukan dalam mencapai kinerja yang
baik antara lain nilai-nilai, manajemen strategis, manajemen sumber daya
manusia, pengembangan organisasi, konteks organisasi, desain kerja,
fungsionalisasi, budaya, dan kerja sama (Wibowo, 2009: 79). Ukuran
derajat kinerja sekolah dapat diketahui setelah melakukan serangkaian
penilaian kinerja sekolah. Penilaian kinerja tersebut didasari pada penilaian
kinerja kepala sekolah, guru dan staf (tenaga administrasi sekolah) yang
merupakan salah satu sasaran manajemen yang tertuang dalam tahapan
evaluasi dan pengendalian.
Pertama, kinerja kepala sekolah dapat diukur dari tiga aspek yaitu:
(a) perilaku dalam melaksanakan tugas yakni perilaku kepala sekolah pada
saat melaksanakan fungsi-fungsi manajerial, (b) cara melaksanakan tugas
dalam mencapai hasil kerja yang tercermin dalam komitmen dirinya
sebagai refleksi dari kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang
dimilikinya, dan (c) dari hasil pekerjaannya yang tercermin dalam
perubahan kinerja sekolah yang dipimpinnya.
Atas dasar itu, ada tiga komponen penilaian kinerja kepala
sekolah/madrasah yang disarankan oleh Muhaimin, et al. (2009: 35) yakni:
1. Penilaian input, yaitu kemampuan atau kompetensi yang dimiliki
dalam melakukan pekerjaannya. Orientasi penilaian difokuskan
pada karakteristik individu sebagai objek penilaian dalam hal ini
adalah komitmen kepala sekolah terhadap pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya. Komitmen tersebut merupakan refleksi dari
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial kepala sekolah.
2. Penilaian proses, yaitu penilaian terhadap prosedur pelaksanaan
pekerjaan. Orientasi pada proses difokuskan kepada perilaku kepala
sekolah dalam melaksanakan tugas pokok fungsi dan tanggung
jawabnya yakni melaksanakan fungsi manajerial dan fungsi
supervisi pada sekolah yang dipimpinnya.
3. Penilaian output, yaitu penilaian terhadap hasil kerja yang dicapai
dari pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
Orientasi pada output dilihat dari perubahan kinerja sekolah
terutama kinerja guru dan staf sekolah lain yang dipimpinnya.

231
Kedua, penilaian kinerja personil sekolah lainnya dapat diukur
melalui kriteria pelaksanaan tugas, komitmen tugas dan hasil kerja personil
sekolah. Sekolah yang baik mampu mengakomodirkan semua komponen
pencapaian hasil tersebut dengan kerja sama tim yang solid dan
manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan efektif. Sekolah yang
efektif mencerminkan sekolah dengan kinerja personil maksimal. Bukti
atau indikator organisasi bermutu dan efektif menurut Usman (2013: 248)
meliputi: (1) berfokus pada pelanggan, (2) berfokus pada upaya
pencegahan masalah, (3) investasi pada manusia dan menganggap manusia
sebagai aset organisasi yang tidak ternilai, (4) memiliki strategi untuk
mencapai mutu, (5) memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk
memperbaiki diri (responsif), (6) memiliki kebijakan dalam perencanaan
mutu, (7) mengupayakan proses perbaikan terus menerus dengan
melibatkan semua pihak terkait (partisipatif), (8) membentuk fasilitator
bermutu (mau dan mampu memimpin proses perbaikan), (9) mendorong
orang untuk berinovasi dan berkreasi, (10) memperjelas peranan dan
tanggung jawab setiap orang, (11) memiliki strategi evaluasi yang objektif
dan jelas, (12) memiliki rencana jangka panjang, (13) memiliki visi dan
misi, (14) memandang mutu sebagai bagian dari kebudayaan, (15)
meningkatkan mutu sebagai kewajiban, dan (16) terbuka dan bertanggung
jawab. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat diperjelas bahwa keterlibatan
seluruh komponen dalam memaksimalkan potensi sumber daya manusia
dan non manusia yang terlibat dalam perkembangan keefektifan organisasi
secara normal yang dimulai dengan perubahan kinerja yang belum efektif
meningkat menjadi agak efektif, meningkat lagi menjadi efektif, dan
akhirnya menjadi sangat efektif menjadi indikator keberhasilan sekolah.
Dalam mewujudkan sekolah yang bermutu dengan kualitas tinggi,
sangat tergantung kepada kepala sekolah dan warga sekolah, bagaimana
kepala sekolah mengelola dan meningkatkan sumber daya sekolah secara
maksimal, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, yang
akhirnya menuju hasil kinerja sekolah yang optimal. Sebagaimana
penjelasan Sagala dalam Suhardiman (2012: 154) bahwa: Peningkatan
kinerja sekolah harus mengacu kepada indikator-indikator: 1) manajemen
kurikulum yang lugas dan fleksibel berpedoman kepada standar nasional,
2) proses belajar-mengajar (PBM) yang efektif menggunakan strategi yang

232
tepat dengan mengedepankan fungsi pelayanan belajar yang berkualitas
untuk memperoleh mutu yang baik, 3) lingkungan sekolah yang sehat
terdiri atas lingkungan fisik dan kerja sama yang kondusif, 4) sumber daya
manusia dan sumber daya lain yang andal, yaitu memenuhi kualifikasi
yang dibutuhkan mengacu pada profesionalisme, dan 5) standarisasi
pengajaran yang tinggi dan evaluasi hasil belajar yang terukur.
Standarisasi tersebut meliputi pemenuhan delapan standar pendidikan
nasional yaitu (1) penjelasan manajemen kurikulum yang lugas dan
fleksibel dimaksudkan untuk memenuhi standar isi pada SNP, (2) PBM
yang efektif memenuhi standar proses pada SNP, (3) lingkungan sekolah
yang sehat terdiri atas lingkungan fisik dan kerja sama yang kondusif
memenuhi standar pengelolaan, (4) sumber daya manusia dan sumber daya
lain yang andal, yaitu memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan mengacu
pada profesionalisme memenuhi standar PTK, dan (5) standarisasi
pengajaran yang tinggi dan evaluasi hasil belajar yang terukur memenuhi
standar kompetensi lulusan dan standar penilaian, (6) untuk melaksanakan
semua kegiatan sekolah juga harus didukung oleh sarana prasarana, dan (7)
pembiayaan yang memadai.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP) meliputi:
1. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi
bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
2. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pembelajaran pada suatu satuan pendidikan
untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
3. Standar kompetensi lulusan adalah pedoman penilaian dalam
menentukan lulus tidaknya peserta didik dari satuan pendidikan
yang bersangkutan.
4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria
pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta
pendidikan dalam jabatan.

233
5. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan
yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar,
tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium,
serta sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi.
6. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan,
kabupaten/kota, propinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
7. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan
besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu
tahun.
8. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan
yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen
penilaian hasil belajar siswa.
Jadi, kedelapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) inilah yang
menjadi acuan, patokan, dan standar pendidikan nasional Indonesia,
artinya sekolah-sekolah yang telah memenuhi standar nasional pendidikan
tersebut sudah dapat dikatakan sekolah berstandar nasional. Hal tersebut
menjadi indikator pencapaian cita-cita bangsa dalam memberikan akses
pendidikan yang sama bagi generasi Indonesia serta menuju pemerataan
kualitas pendidikan di seluruh penjuru Indonesia.

B. Penilaian Kinerja Sekolah Menengah Kejuruan


Tak jauh berbeda dengan sekolah menengah umum lainnya, sekolah
menengah kejuruan juga dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik
dalam menyelenggarakan pendidikan dengan menunjukkan kinerja sekolah
yang tinggi. Siagian (2004: 27) mengemukakan ciri-ciri organisasi
berkinerja tinggi, antara lain sebagai berikut. Pertama, organisasi
berkinerja tinggi mempunyai arah yang jelas untuk ditempuhnya. Arah
tersebut tercermin pada visi yang dimiliki oleh para manajemen puncak
dalam organisasi, seperti upaya mau dibawa ke mana arah masa depan
sekolah. Kepala sekolah dan tim pengembang sekolah yang memiliki

234
keberanian untuk mengubah kinerja saat ini menuju dimensi baru yang
lebih baik, dengan meninggalkan cara kerja dan budaya lama memasuki
kultur baru sekolah yang work, time, and result oriented sehingga
memungkinkan sekolah untuk berhadapan dengan target-target
peningkatan yang ingin dicapai.
Kedua, manajemen yang berhasil menjadikan organisasinya
berkinerja tinggi selalu berupaya agar dalam organisasinya dipenuhi oleh
tenaga-tenaga berpengetahuan, berketerampilan tinggi, serta mau
mengembangkan potensi diri. Keberadaan tenaga profesional, khususnya
guru-guru yang memiliki kompetensi profesional, sosial, manajerial, dan
pedagogik yang teruji, serta mampu memberikan gagasan-gagasan dan
kerja yang inovatif, efektif, dan produktif dalam meningkatkan mutu
sekolah. Ketiga, dalam organisasi berkinerja tinggi, para pimpinan
membuat komitmen yang kuat pada setiap kegiatan, program dan rencana
aksi yang telah ditetapkan.
Keempat, orientasi suatu organisasi berkinerja tinggi adalah ―hasil‖
dan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya efektivitas dan
produktivitas. Sekolah yang berkinerja tinggi memiliki para pekerja
profesional yang memiliki pengetahuan, sikap keteladanan, perilaku
terpuji, keterampilan, dan kemampuan yang secara kualifikasi memiliki
loyalitas, dedikasi, bertanggung jawab, memiliki kemauan untuk
berkembang, berani menerima tanggung jawab yang dibebankan, dan
menunjukkan performa kerja yang tinggi. Kelima, manajemen puncak
berhasil membuat komitmen bersama seluruh komponen organisasi agar
setiap strategi, program, kebijakan, dan kebijaksanaan yang telah
ditetapkan dapat memberi hasil yang maksimal. Kekhasan yang
ditunjukkan oleh manajemen puncak ditunjukkan melalui tiga sudut
pandang: 1) kehadiran mereka di tengah para warga sekolah memiliki daya
dorong yang sangat kuat; 2) mereka mengetahui dengan jelas dan pasti
bagaimana jalannya roda organisasi; 3) mereka terlibat langsung dalam
memimpin pelaksanaan strategi yang telah ditetapkan.
Dalam memperbaiki hasil prestasi dan kinerja sekolah, Deming
(1998) menyarankan empat belas langkah antara lain:
1. menciptakan tujuan yang konstan untuk perbaikan produk;
2. mencegah produk berkualitas buruk;

235
3. mengurangi keperluan inspeksi untuk mencapai kualitas dengan
menyandarkan diri pada kontrol kualitas dengan statistik;
4. memilih supplier berdasar komitmen atas kualitas daripada harga;
5. memperbaiki proses produksi dengan memfokuskan pada sumber
masalah utama, yaitu sistem dan pekerja;
6. men-training karyawan dengan fokus pada pencegahan problem
kualitas dan menggunakan teknik statistical quality control;
7. menekankan leadership di antara supervisor untuk membantu
karyawan berprestasi lebih baik;
8. mendorong keterlibatan karyawan dengan mengurangi ketakutan
untuk bertanya atau mengidentifikasi masalah;
9. menekankan kepemimpinan di antara supervisor untuk membantu
karyawan berprestasi lebih baik;
10. mendorong keterlibatan karyawan dengan mengurangi ketakutan
untuk bertanya atau mengidentifikasi masalah;
11. membatasi kuota yang harus dicapai karyawan dengan biaya berapa
pun tanpa memandang kualitas;
12. meningkatkan kebanggaan karyawan dan percaya diri dengan
memperbaiki supervisi dan proses produksi sehingga karyawan
dapat berprestasi sesuai dengan kemampuannya;
13. menyelenggarakan program pendidikan dan latihan dalam metode
perbaikan kualitas di seluruh organisasi;
14. mengembangkan komitmen dari atas sampai bawah untuk
mengimplementasikan semua butir di atas.
Dalam menjalankan roda proses pendidikan, terdapat beberapa alat
yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan kinerja, menurut
Wibowo (2016: 129-133), seperti pada gambar berikut.

236
• merupakan formulir • merumuskan data • merupakan bar chart • merupakan plot 2
yang digunakan untuk yang diukur dengan di mana faktor di plot variabel yang
mencatat frekuensi skala, yang dengan urutan menunjukkan
kejadian karakteristik menunjukkan frekuensi menurun hubungan yang dapat
produk dan jasa yang frekuensi distribusi sepanjang sumbu digunakan menilai
berhubungan dengan beberapa karakteristik horizontal, sedangkan bila ada kecurigaan
kualitas kualitas. sumbu vertikal
menunjukkan
frekuensi

Histograms dan Scatter


Checklists Pareto Charts
Bar Charts Diagrams

• diagram ini merujuk • menunjukkan data • merupakan kelompok • merupakan


pada diagram pada berbagai variasi karyawan dan serangkaian standar
Ishikawa di mana format, seperti garis, pengawas yang mengatur
sekolah dapat pie (improvement team) dokumentasi tentang
menyertakan faktor- yang dirancang untuk program kualitas
faktor material, man, membantu
machine, money, memecahkan berbagai
method, process, dan masalah yang dihadapi
cause organisasi.
International
Cause and Effect Graphs Quality Circle Quality Standard
Diagrams

Gambar 7. 1 Alat-alat perbaikan kualitas dan kinerja (Wibowo, 2016)

Berdasarkan penjelasan gambar di atas, sekolah dapat meng-


adaptasikan berbagai alat tersebut guna memperbaiki kualitas dan kinerja
di atas. Checklist dapat digunakan untuk mendata sumber daya sekolah
serta barang dan jasa yang ditawarkan oleh unit produksi sekolah guna
peningkatan kualitas pengembangan internal sekolah. Sedangkan
histogram dan bar chart, patero, scatter, cause and effect, serta berbagai
graphs dapat dijadikan pilihan dalam menyajikan data/informasi yang
ditemukan di lapangan yang bertujuan sebagai bagian analisis perbaikan
mutu. Quality circle merupakan bagian penting yang dikembangkan dan
dianalisis oleh improvement team yang dibentuk sekolah dalam
menyelesaikan berbagai masalah manajemen sekolah. Terakhir, standar
internasional pendidikan dapat dijadikan alat yang digunakan sekolah
untuk mengukur kualitas pendidikan dan kesesuaian kualitas sekolah
terhadap sekolah-sekolah lainnya dalam skala internasional.
Adapun pendidikan Indonesia, secara umum, asesmen kinerja
sekolah dilakukan melalui akreditasi sekolah dilakukan terhadap sembilan
komponen sekolah, yaitu: (1) kurikulum dan proses belajar mengajar; (2)
administrasi dan manajemen sekolah; (3) organisasi dan kelembagaan

237
sekolah; (4) sarana dan prasarana; (5) ketenagaan; (6) pembiayaan; (7)
peserta didik; (8) peran serta masyarakat; dan (9) lingkungan serta kultur
sekolah. Sementara itu, asesmen kinerja sekolah melalui akreditasi sekolah
dilakukan melalui prosedur sebagai berikut: (a) pengajuan permohonan
akreditasi dari sekolah; (b) evaluasi diri oleh sekolah; (c) pengolahan hasil
evaluasi diri; (d) visitasi oleh assesor; (e) penetapan hasil akreditasi; (f)
penerbitan sertifikat dan laporan akreditasi.
Lebih lanjut, Zabadi (2013: 44) mengemukakan bahwa:
“most of the quality standards for accreditation state that
assessment principles are complementary to school’s mission,
clearly define misions, goals,and objectives guide of the school,
administration, staff, and goverment bodies in making decisions
related to planning,resource allocation, programs and curriculum
development, and definition of program outcomes, focus on student
learning, other outcomes, and institutional improvement.”
Berdasarkan penyataan di atas diketahui bahwa standar kualitas
akreditasi sekolah terdiri dari kejelasan pernyataan visi, misi, dan tujuan
sekolah, keterlibatan para personil sekolah dalam proses pengambilan
keputusan terkait dengan perencanaan, alokasi sumber daya, program dan
pengembangan kurikulum, pendefinisian hasil program, fokus pada proses
pembelajaran dan perbaikan institusi secara berkesinambungan menjadi
landasan utama dalam mencapai kinerja sekolah yang optimal.
Di sisi lain, peningkatan mutu sekolah beriringan dengan peningkat-
an kinerja dan kompetensi personil sekolah terutama tenaga pendidik. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja tenaga pendidik sebagai
karyawan dalam sebuah institusi pendidikan.

karyawan

lingkungan kinerja pekerjaan

mekanisme

Gambar 7.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Tenaga Pendidik


(Dharma (Usman, 2011: 202-203)).

238
Pertama, faktor karyawan, dalam hal ini tenaga pendidik sebagai
pekerja profesional yang dibekali dengan kemampuan dan kemauan yang
dimilikinya. Kemampuan tersebut mencangkup fungsi potensi,
pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman kerja, sedangkan kemauan
berkenaan tentang keinginan disertai usaha untuk memperoleh tujuan yang
diharapkan. Kedua, faktor pekerjaan yang menyangkut desain pekerjaan,
uraian pekerjaan serta sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Dalam hal
ini, seorang guru harus mengajar sesuai dengan bidang keahliannya.
Ketiga, faktor mekanisme kerja yang merujuk pada sistem, prosedur
pengendalian dan pendelegasian, serta struktur organisasi. Kejelasan tugas
dan instruksi sangat dibutuhkan dalam mengelola sekolah demi hasil yang
efektif dan efisien. Keempat, faktor lingkungan mencangkup segala
sesuatu yang mempengaruhi kinerja tenaga pendidik, seperti lingkungan,
lokasi dan kondisi kerja.
Dalam menyelenggarakan tugas dan tanggung jawabnya, para
pendidik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang secara langsung maupun
tidak mempengaruhi kinerja profesionalnya. Ada beberapa dimensi yang
mempengaruhi kinerja tenaga pendidik di antaranya:
1. Dimensi fisiologis, merupakan dimensi yang mempengaruhi fisik
seorang tenaga pendidik dalam bekerja dengan baik dalam berbagai
konfigurasi operasional dengan ritme dan ketangkasan kerja yang
optimal.
2. Dimensi psikologis, merupakan dimensi kejiwaan yang
mempengaruhi performan guru dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya seperti emosi, stres, dan rasa senang, percaya
diri dan sebagainya.
3. Dimensi sosial, merupakan dimensi keberadaan tenaga pendidik
sebagai bagian interaksi sosial yang saling mempengaruhi dan
dipengaruhi. Keberadaan dukungan rekan kerja dan kerja sama tim
yang baik akan berimbas terhadap kinerja tenaga pendidik lebih
baik. Chaos yang terjadi dalam lingkungan kerja juga menimbulkan
disharmoni yang tentunya mempengaruhi keterpurukan kinerja
tenaga pendidik.
4. Dimensi ekonomi, merupakan dimensi kesejahteraan guru. Tenaga
pendidik dapat menunjukkan kinerja yang optimal juga dipengaruhi

239
oleh kemampuan guru dalam memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, dan papan yang mencukupi. Hal tersebut berhubungan
langsung dengan penghargaan kinerja guru melalui sistem
penggajian yang layak, jaminan kesehatan, dan keselamatan kerja
tenaga pendidik.
5. Dimensi keseimbangan, merupakan bagian keseimbangan antara
terpenuhinya kebutuhan tenaga pendidik sebagai seorang pribadi,
bagian dari keluarga dan sebagai tenaga profesional. Keseimbangan
hidup yang baik akan mempengaruhi keseimbangan kerja guru
dalam menjalankan tugasnya (Gezels (Usman, 2011: 85)).
Dalam kaitannya terhadap upaya peningkatan kualitas kerja guru
sebagai pekerja profesional, Djabar (Hadis & Nurhayati, 2012: 62)
mengemukakan lima pola pendekatan yang dapat dilakukan: (1)
peningkatan disiplin kerja, (2) peningkatan kualitas kerja, (3) peningkatan
disiplin belajar mengajar, dan (4) peningkatan supervisi. Mustahil kualitas
pendidikan dapat dicapai tanpa adanya kedisiplinan kerja yang baik.
Kedisiplinan tersebut tidak hanya ditunjukkan melalui ketepatan jam kerja
namun juga kedisiplinan personil sekolah dalam menyelesaikan tugas dan
tanggung jawabnya. Kedisiplinan harus ditanamkan di dalam diri personil
sekolah sehingga melahirkan budaya disiplin. Penegakan kedisiplinan
tidak boleh berlaku sepihak, kedisiplinan harus berlaku menyeluruh baik
terhadap kepala sekolah sebagai pimpinan maupun seluruh personil
lainnya. Peningkatan kualitas kerja akan tercapai jika sekolah menyertakan
standar-standar tertentu yang menjadi instrumen penentuan standar
peningkatan mutu sekolah. Sekolah dapat mengembangkan instrumen
evaluasi diri sekolah guna memperoleh deskripsi nyata terhadap
pengembangan kualitas sekolah dari waktu ke waktu.
Di samping itu, supervisi sebagai bagian penting dalam me-
ngendalikan kualitas proses belajar mengajar, juga dibutuhkan para tenaga
pendidik dan kepala sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja
guru. Supervisi tersebut sangat bermanfaat dalam mengembangkan
profesionalisme guru. Dengan adanya kegiatan supervisi tersebut,
ketimpangan yang terjadi selama PBM dapat segera diperbaiki dan
ditinjaklanjuti.

240
Dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, tenaga pendidik
perlu dinilai, sehingga acuan yang valid dan reliabel untuk mengukur
keefektifan kinerja para tenaga pendidik sangat dibutuhkan. Adapun
penilaian kinerja tenaga pendidik (performance appraisal) dapat dilakukan
dengan melakukan penilaian prestasi kerjamelalui berbagai teknik di
antaranya: (1) pengamatan, yang merupakan proses menilai dan memilih
perilaku/kecenderungan yang ditentukan oleh sistem pekerjaan; (2)
ukuran, merupakan alat yang dipakai untuk mengukur prestasi kerja tenaga
pendidik dibanding dengan uraian pekerjaan yang telah ditetapkan; dan (3)
pengembangan, bertujuan untuk mendorong, mengembangkan dan
memotivasi tenaga pendidik baik melalui pelatihan, workshop, forum
diskusi dan sebagainya sehingga mampu mengatasi kekurangan yang
dimilikinya (Yusuf, 2015: 201).
Secara konseptual, penilaian kinerja guru berkontribusi terhadap
peningkatan kualitas belajar mengajar. Adapun kinerja guru dapat dinilai
melalui kinerja pembelajaran, kinerja profesional dan kinerja personal
yang dijabarkan berikut.
(1) Kinerja pembelajaran mencangkup hal-hal berikut:
(a) Merencanakan dan mengorganisasikan pengajaran seperti
merencanakan pembelajaran, mampu melibatkan partisipasi aktif
siswa, memberi penjelasan dan tugas dengan jelas, memahami
teknik dan metode pembelajaran dengan baik.
(b) Kemampuan mengembangkan kemampuan berpikir saintifik dan
berpikir kritis para peserta didik dengan mengajukan pertanyaan
dan pendekatan yang tepat.
(c) Menstimulasi belajar melalui aktivitas yang kreatif dan inovatif
dengan mengoptimalkan berbagai sumber belajar yang beragam,
menggalakkan diskusi kelas, demonstrasi, dan kerja kelompok.
(d) Memiliki pengetahuan dan antusias terhadap penyelenggaraan
pembelajaran.
(e) Menyiapkan suasana kelas yang kondusif untuk belajar, menjaga
lingkungan yang sehat dan ramah anak, serta menjaga sumber
belajar dengan baik.
(f) Melakukan pencatatan terhadap perkembangan dan kemajuan
siswa.

241
(g) Mampu merangkul, menyayangi, bersahabat dan menjalin
hubungan yang baik, serta memotivasi peserta didik.
(h) Berdisiplin tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya, taat
terhadap aturan dan tata tertib sekolah.
(2) Kinerja profesional yang mencangkup hal-hal berikut:
(a) Memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas profesional
serta kegiatan di luar kinerja pembelajaran seperti terlibat aktif
dalam mengerjakan tugas tambahan di luar tugas wajib dalam
menunjang kegiatan dan program sekolah.
(b) Mampu menjalin hubungan harmonis dan kerja sama dengan
personil sekolah.
(c) Mampu menjalin kerja sama dan komunikasi yang baik dengan
masyarakat seperti bekerja sama dan menjalin hubungan yang
baik dengan orang tua siswa dan terlibat dalam kegiatan
kemasyarakatan.
(d) Antusias dalam mengembangkan profesionalisme guru seperti
mampu menerima kritik dan saran dengan lapang dada,
berpartisipasi aktif dalam seminar, workshop, serta mencoba
metode dan teknik pembelajaran yang baru.
(e) Pemanfaatan sumber belajar dan fasilitas sekolah dengan efektif
dan efisien seperti penggunaan kemajuan sistem komunikasi dan
informasi.
(f) Memahami karakteristik dan tahapan perkembangan siswa
dengan baik.
(g) Menjadi contoh keteladan yang tercermin dari sikap dan tingkah
laku yang dimunculkan dalam keseharian.
(3) Kinerja personal mencangkup:
(a) Kesehatan dan kegairahan: (1) tingkat kehadiran yang tinggi, (2)
selalu antusias, semangat dan percaya diri, (3) menjalankan dan
menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu.
(b) Kemampuan berkomunikasi yang baik: (1) memiliki artikulasi
dan tata bahasa yang jelas dan baik, dapat dimengerti dan
diterjemahkan dengan baik oleh peserta didik dan orang lain.

242
(c) Cara berpakaian dan kerapian: seorang guru yang baik akan
selalu terlihat rapi dalam segala aktivitas dan berpakaian sopan
sesuai norma yang berlaku (Robero (Usman, 2011: 95-96)).

C. Pengendalian Mutu Sekolah


Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan, dibutuhkan perbaikan terus menerus melalui
proses pengendalian manajemen. Banyak kasus penyimpangan yang
terjadi di sekolah seperti penyimpangan pembiayaan, ketidaktepatan dan
ketidakbijaksanaan dalam pengambilan keputusan, serta keterpurukan
manajemen sekolah, sebagian besar disebabkan oleh kurangnya upaya
pengendalian yang dilakukan. Pengendalian merupakan upaya pengawasan
dan pengontrolan segala program dan aktivitas yang telah dilakukan
sekolah. Proses pengendalian merupakan pemikiran untuk mengarahkan
suatu variabel atau sekumpulan variabel guna mencapai tujuan tertentu,
adapun variabel tersebut dapat berupa manusia, mesin, dan organisasi
(Sukmadinata, 2002: 49). Pengendalian merupakan bagian terakhir dari
serangkaian fungsi manajemen yang dijalankan oleh pihak yang diberikan
wewenang baik berasal dari pihak internal maupun eksternal untuk
melakukan proses pemantauan, penilaian dan pelaporan sebagai tindakan
korektif guna menyempurnakan kekurangan yang terjadi dan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Adapun tujuan dan manfaat pengendalian antara lain: (1) meng-
hentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan; (2) mencegah terulangnya
kembali kesalahan dan penyimpangan yang pernah terjadi; (3)
memperoleh cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik; (4)
menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, dan akuntabilitas
organisasi; (5) menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi,
dan akuntabilitas organisasi; (6) meningkatkan kelancaran operasi
organisasi; (7) meningkatkan kinerja organisasi; (8) memberi opini
terhadap kinerja organisasi; (9) mengarahkan manajemen untuk melakukan
koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada; dan (10)
terciptanya good governance (Usman, 2013: 535).

243
Proses perbaikan dan pengendalian dibentuk oleh empat building
block yaitu input, transformasi, output, dan customer value yang
ditindaklanjuti melalui langkah tindak pendekatan sebagai berikut:
1. Preliminary control: pimpinan membuat proyeksi situasi yang akan
datang dan mengantisipasi perubahan yang diperlukan. Hal tersebut
merupakan langkah preventif untuk mencegah hasil yang tidak
diinginkan dan proaktif mencapai hasil yang terus meningkat baik
terhadap input, transformasi, output, dan pelanggan.
2. Concurrent control: perbaikan dan pengendalian dilakukan dengan
mengoreksi pekerjaan sesuai dengan desain dan prosedur yang telah
ditetapkan (operasional/steering control)
3. Rework control: pengendalian dilakukan jika kedua kontrol di atas
tidak berhasil. Sehingga perlu diadakan pengerjaan ulang terhadap
aktivitas dan program yang tidak sesuai target
4. Damage control: merupakan upaya meminimalisir output yang tidak
sesuai target yang berpengaruh langsung terhadap pelanggan
(Tjiotono & Diana, 2003: 273-274).
Dalam menyelenggarakan pengendalian tersebut maka langkah
pertama yang dilakukan adalah melakukan pemantauan. Pemantauan
merupakan upaya yang dilakukan melalui observasi yang dilakukan oleh
pihak auditor internal dan eksternal. Dalam tahapan ini, tim auditor akan
mengawasi setiap kegiatan yang berlangsung di sekolah baik kegiatan
proses belajar mengajar, rapat rutin dan sebagainya. Kedua, penilaian
merupakan langkah menilai hasil kinerja yang telah dilaksanakan sekolah.
Penilaian dilakukan melalui instrumen yang telah ditetapkan baik melalui
analisis terhadap dokumen maupun berbagai kegiatan dan program yang
sedang atau telah dilaksanakan. Ketiga, tahapan yang dilakukan adalah
pelaporan. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan dan
penilaian selanjutnya dikembangkan dalam bentuk laporan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Keempat, perbaikan merupakan langkah terakhir
yang dilakukan guna meningkatkan kualitas, yang selanjutnya
ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan terhadap ketidaktercapaian
tujuan dan target mutu.
Lebih lanjut, Sukmadinata, et al. (2002: 58-59) juga mengemukakan
empat langkah pengendalian mutu antara lain perencanaan, pengukuran

244
performansi nyata, membandingkan performansi hasil pengukuran dengan
performansi standar yang telah ditentukan, dan perbaikan. Menurut
Anthony, Dearden & Bedford (Sukmadinata, 2002: 48), poin penting yang
perlu diperhatikan dalam pembahasan pengendalian manajemen antara
lain:
(1) Organisasi: merupakan sekumpulan manusia yang berinteraksi
melakukan berbagai kegiatan secara terkoordinasi sebagai satu
kesatuan tersendiri untuk mencapai cita-cita, misi, dan tujuan.
(2) Strategi: rencana tindakan umum jangka panjang yang mengarahkan
perumusan kebijakan dan program-program tindakan organisasi.
(3) Kebijakan: aturan atau seperangkat aturan umum yang menuntun
tindakan-tindakan organisasi.
(4) Pemrograman: pengembangan dan pemilihan program-program
yang akan dilaksanakan.
(5) Pengendalian strategi: semua metode dan analisis yang digunakan
untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi strategi dalam
menyesuaikan kegiatan-kegiatan organisasi dengan kebutuhan untuk
bertahan hidup yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan luar yang
terus berubah.
(6) Pengendalian organisasi: mengarahkan sekumpulan variabel (mesin,
orang, peralatan) menuju sasaran yang telah ditetapkan.
(7) Sistem pengendalian manajemen: suatu proses dan struktur yang
tertata secara sistematik yang digunakan manajemen dalam
pengendalian manajemen.
Langkah lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan siklus PDSA
(Plan-Do-Study-Act) (Tjiptono & Diana, 2003: 277-278). Tahapan pertama
yaitu menyusun rencana yang meliputi daftar langkah tes yang akan
dilakukan, siapa yang akan melakukan tes, data apa yang harus dicatat,
siapa yang akan menginformasikan, pelatihan apa yang diperlukan, metode
apa yang tepat digunakan. Kedua, tahapan do, pada tahapan ini studi/tes
dilakukan. Jika tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan maka
langkah yang dilakukan adalah melakukan studi lebih lanjut. Pada tahapan
terakhir, act, tim menentukan tindakan apa yang tepat dari hasil yang
diperoleh dan memutuskan melakukan perbaikan siklus selanjutnya.

245
Pengendalian sekolah dapat dilakukan melalui pengendalian tugas
dan pengendalian manajemen. Pengendalian tugas merupakan
pengendalian terhadap prosedur pekerjaan manusia sedangkan
pengendalian manajemen merupakan upaya mengendalikan keseluruhan
organisasi. Adapun persamaan dan perbedaan pengendalian tugas dan
pengendalian manajemen menurut Sukmadinata, et al. (2002: 53-54)
sebagai berikut.

No. Persamaan Perbedaan


1. Keduanya membutuhkan lingkungan - Pengendalian manajemen digunakan untuk
pengendalian internal yang mengendalikan keseluruhan organisasi,
mendukung kerja sama, efisiensi, sedangkan tiap prosedur pengendalian tugas
kompetensi, kejujuran, dan dirancang khusus untuk kebutuhan suatu
kepercayaan terhadap organisasi unit dalam organisasi.
- Pengendalian manajemen bertolak dari
strategi sedang pengendalian tugas bertolak
dari perangkat prosedur dan aturan.
- Teknik dalam pengendalian manajemen
jarang sifatnya presisi, sehingga sukar
memastikan bahwa kegiatan telah berjalan
sesuai dengan yang diinginkan. Sebaliknya
prosedur dan aturan yang harus diikuti
dalam pengendalian terbatas biasanya
memberikan standar numerik yang presisi
sehingga dapat dinilai apakah kegiatan telah
dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.
2. Kekakuan yang dibutuhkan keduanya Pengendalian manajemen berkenaan dengan
bervariasi tergantung pada pengendalian manusia, sedangkan
ketidakpastian internal dan pengendalian tugas mengendalikan benda.
kemungkinan penyimpangan dari
tujuan organisasi
3. Keduanya membutuhkan penggunaan Dalam pengendalian manajemen pertimbangan-
alat dan teknik pengendalian yang pertimbangan psikologis cukup dominan.
berbeda sesuai dengan lingkungan dan
ketidakpastian yang dihadapi
organisasi

Gambar 7.3 Persamaan dan Perbedaan Pengendalian Tugas dan


Pengendalian Manajemen (Sukmadinata, 2002: 51-52)

Pengendalian mutu sekolah tidak hanya merupakan suatu


pendekatan atau strategi, tetapi lebih merupakan sistem berkelanjutan
terhadap the whole of school life, untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Adapun komponen pengendalian mutu dapat dipaparkan sebagai
berikut.

246
Gambar 7.4 Komponen-Komponen Pengendalian Mutu Sekolah (Sukmadinata, 2002: 76-77)

247
Untuk mencapai efektivitas pengendalian mutu sekolah maka perlu
didukung oleh beberapa faktor yang mencangkup: (1) penetapan standar
yang eligible, (2) pendelegasian diberikan kepada orang yang tepat, (3)
keseimbangan dalam menetapkan strategi yang diambil oleh manajemen,
(4) komunikasi yang efektif, (5) disiplin, proporsionalitas, dan
profesionalitas, (6) sinergi antara pemimpin dan bawahan, (7) praktik dan
perilaku kepemimpinan dengan mensinergikan IQ (intellegence quotient),
EQ (emotional quotient), dan, SQ (spritual quotient) (Yuniarsih &
Suwatno, 2013: 93).
Kepala sekolah sebagai pimpinan memiliki peran besar dalam
mengendalikan mutu pendidikan. Kepala sekolah dapat melakukan
beberapa upaya pengendalian seperti pengendalian umpan maju, konkuren,
dan umpan balik (Sukmadinata, et al., 2002: 61). Pertama, pengendalian
umpan maju (feedforward). Pengendalian ini merupakan pengendalian
yang dilakukan sebelum pekerjaan dimulai, untuk mengantisipasi
kemungkinan masalah yang akan muncul, serta melakukan tindakan-
tindakan pencegahan dengan memberikan petunjuk, arahan bagaimana
melakukan suatu kegiatan, serta antisipasi terhadap kemungkinan adanya
hambatan, kesulitan, serta cara penanggulangannya. Kedua, cara
pengendalian konkuren (concurrent controls), memusatkan proses
pengendalian pada kegiatan yang sedang berjalan atau proses pelaksanaan
suatu pekerjaan atau yang sering disebut steering controls di mana
pimpinan mengontrol dan memonitor pekerjaan yang sedang berlangsung
untuk meyakinkan bahwa kegiatan dapat berlangsung sesuai dengan
prosedur, ketentuan dan rencana yang telah ditetapkan. Ketiga, cara
pengendalian umpan balik (feedback controls) atau yang disebut
postaction controls, yang dilakukan melalui pengukuran dan perbaikan
yang dilakukan setelah suatu program/semua kegiatan dilakukan yang
selanjutnya dilakukan umpan balik.
Pengendalian mutu dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pen-
dekatan internal dan eksternal guna mendorong terciptanya sistem
penjaminan mutu yang menurut Badan Standar Nasional Pendidikan
diilustrasikan dalam gambar berikut.

248
Gambar 7.5 Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan SMK berdasarkan BSNP

Penjaminan mutu dimaksudkan memberikan gambaran nyata


terhadap telaah informasi dan sumber data yang dikumpulkan dalam
rangkaian pengendalian mutu yang telah dilakukan. Fokus utama
pengendalian mutu adalah menjawab pertanyaan sejauh mana keberhasilan
sekolah dalam mengoptimalkan fungsinya. Dalam menjawab pertanyaan
sebut, maka dilakukanlah evaluasi terhadap pencapaian mutu sekolah,
penetapan standar mutu yang akan dijadikan acuan, serta adanya
penentuan strategi mutu yang akan dijalankan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan mutu pendidikan. Setelah melakukan langkah
penjaminan mutu internal, sekolah akan berkoordinasi dengan badan
akreditasi baik berskala nasional guna menilai kinerja sekolah.
Keterlibatan pemerintah daerah, dalam hal ini, dinas pendidikan daerah
sangat dibutuhkan dalam melakukan pemetaan mutu sekolah, perencanaan,
serta didorong dengan fasilitasi dan inspeksi terhadap penjaminan mutu.

249
Sekolah dinilai baik jika mampu menunjukkan pencitraan yang baik
pada masyarakat. Pencitraan sekolah menunjukkan keberhasilan
manajemen sekolah dalam upaya pengendalian dan penjaminan mutu yang
sistematis dan berkesinambungan. Pencitraan tersebut dicerminkan melalui
profil sekolah yang tepat dan positif. Adapun upaya penciptaan profil yang
baik dilakukan melalui identifikasi dan analisis terhadap:
1. Struktur organisasi; yang ditunjukkan melalui partisipasi warga
sekolah yang meningkat, pemberdayaan personil sekolah yang
optimal, pendekatan otonomi pengelolaan manajemen yang
transparan, efektif dan akuntabel.
2. Citra manajemen puncak; interaksi yang dilakukan oleh manajemen
puncak dengan lingkungan internal dan eksternal sekolah
ditunjukkan melalui (1) gaya, perilaku, kecakapan, rasa tanggung
jawab dan kompetensi yang ditunjukkan, (2) Manajemen puncak
harus mampu menempatkan dirinya sebagai role model dalam
lingkungan internalnya, menjadi panutan yang menjunjung tinggi
nilai moral dan etika, (3) mampu bertindak dan berpikir secara
matang, bijaksana dan analistik dalam menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan strategi pengembangan sekolah.
3. Pola pengambilan keputusan; pemimpin dalam sebuah organisasi
sekolah harus mampu mengambil keputusan strategik, fungsional,
inkremental, teknis, dan operasional secara tepat dan proporsional.
4. Arah komunikasi yang efektif; sekolah sebagai sebuah organisasi
yang terbuka dan dinamis perlu ditunjang dengan pola komunikasi
yang efektif dan harmonis. Tentunya, komunikasi yang diperlukan
untuk mendukung keberlangsungan sekolah adalah penghayatan
terhadap nilai, norma, dan etika, serta penghormatan yang tinggi
terhadap keberadaan dan perbedaan individu yang heterogen dalam
organisasi. Manajemen puncak melakukan rangkaian komunikasi
yang efektif terhadap bawahannya atau sebaliknya secara vertikal,
horizontal, dan diagonal.
5. Iklim kerja dan budaya organisasi yang baik; hal tersebut
diwujudkan melalui upaya pencapaian visi, misi, tujuan organisasi
secara bertanggung jawab, hubungan interpersonal yang baik,
pengembangan dan pemberdayaan sumber daya yang optimal,

250
kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual yang tinggi,
komponen organisasi yang saling mendukung, keterbukaan dalam
menyelesaikan konflik sekolah, rasa persaudaraan yang tinggi dan
proaktif, serta situasi kondusif, dan pola pikir yang kreatif dan
inovatif.

D. Perkembangan Standar Jaminan Mutu Internasional


Pendidikan
Menyadari pentingnya jaminan mutu terhadap barang dan jasa,
mendorong lembaga-lembaga internasional untuk menetapkan standar
universal. Organisasi tersebut sering dikenal dengan nama International
Organization for Standardization (ISO). ISO merupakan federasi mutu
dunia yang didirikan pada tahun 1946 yang berpusat di Geneva,
Switzerland. Adapun tugas dari ISO adalah menyiapkan standar
internasional yang ditetapkan melalui ketetapan hasil kerja ISO yang
kemudian dipublikasikan sebagai standar internasional, seperti standar
kode kecepatan film (ASA), standar ukuran kartu telepon dan ATM,
standar sistem manajemen (Mutu: ISO 9000 & Lingkungan: 14000, dan
lainnya), standar satuan pengukuran, standar ukuran kertas, dan lain-lain.
Adapun perbandingan standar mutu internasional diilustrasikan dalam
gambar berikut.

EDISI 1994 EDISI 2000


ISO 8402 ISO 9000 (memuat tentang dasar dan istilah untuk
manajemen mutu
ISO 9000
ISO 9001 ISO 9001(memuat tentang persyaratan sistem manajemen
mutu)
ISO 9002
ISO 9003
ISO 9004 ISO 9004(memuat tentang paduan untuk perbaikan
kinerja)
ISO 10011 ISO 19011(memuat tentang panduan dalam audit sistem
manajemen mutu dan lingkungan)

Gambar 7.6 Perubahan terhadap ISO 1994 dan ISO 2000

Dalam perkembangannya, pada tahun 2000, komite teknis ISO


memasukkan prinsip-prinsip manajemen mutu sebagai tolok ukur

251
penyelenggaraan manajemen mutu. Hal tersebut diperuntukkan untuk
menyempurnakan ISO 1994. Adapun pada tahun 2000 terjadi perubahan
istilah ‗subkontraktor‘ diganti menjadi supplier, supplier diganti menjadi
organization, dan istilah quality assurance menjadi quality management
system requirement.
Sejak awal penerbitan ISO 9001 tentang sistem manajemen mutu,
telah terjadi beberapa kali revisi yang terjadi pada tahun 1994, 2000, 2008,
lalu pada pertengahan tahun 2013 di bawah komite teknis ISO terjadi lagi
revisi ISO, yang berakhir dengan diterbitkan draft revisi standar
manajemen mutu yang disahkan pada tahun 2015. Ada beberapa poin
utama perubahan ISO 2015 yang memuat beberapa hal seperti leadership,
penerapan manajemen risiko, serta penerapan high level structure.
Adapun kausal-kausal yang menjadi acuan standar internasional
manajemen mutu ISO 9001: 2008 antara lain:
1. Lingkup (umum dan aplikasi)
2. Acuan normatif
3. Istilah dan definisi
4. Sistem manajemen mutu (persyaratan umum, persyaratan
dokumentasi)
5. Tanggung jawab manajemen (komitmen manajemen, fokus pada
pelanggan, kebijakan mutu, perencanaan, tanggung jawab dan
wewenang, tinjauan manajemen).
6. Pengelolaan sumber daya (penyediaan sumber daya, sumber daya
manusia, prasarana, dan lingkungan kerja).
7. Realisasi produk (perencanaan realisasi produk, proses yang
berkaitan dengan pelanggan, desain dan pengembangan, pembelian,
produksi dan penyediaan jasa, pengendalian sarana pemantauan dan
pengukuran).
8. Pengukuran, analisis dan perbaikan (umum, pemantauan dan
pengukuran, pengendalian produk yang tidak sesuai, analisis data,
dan perbaikan).
Sedangkan dalam perkembangannya, kausal ISO 9001: 2015
memiliki 10 kausal antara lain: (1) Scope, (2) Normative reference, (3)
Terms and Definitions, (4) Context of Organization, (5) leadership, (6)
planning, (7) Support, (8) operation, (9) performance evaluation, dan (10)
Improvement.

252
Dalam merencanakan persiapan penerapan SMM ISO (Sistem
Manajemen Mutu ISO) dalam dunia pendidikan, tahapan proses
penyelenggaraan SMM ISO yang dapat dilakukan sekolah menengah
kejuruan sebagai berikut.

pelatihan awal

pembentukan tim manajemen mutu/tim pengembang sekolah

penyusunan program kerja

komitmen dan kebijakan mutu

pemenuhan prasyarat sistem manajemen mutu

implementasi program, strategi

identifikasi dokumen standar eksternal dan internal sekolah

realisasi produk/hasil PBM

penyusunan dokumen sistem mutu

Pengukuran, analisa, dan peningkatan program dan strategi

Gambar 7.7 Langkah-langkah Proses Penyelenggaraan Sistem Manajemen


Mutu SMK

Sebelum melakukan pengendalian eksternal terhadap sistem


manajemen mutu, maka sekolah terlebih dahulu melakukan pengendalian
internal mutu sekolah. Adapun langkah pertama yang dapat dilakukan
sekolah menengah kejuruan yang ingin menyelenggarakan penerapan
SMM ISO adalah melakukan pelatihan awal guna menyeragamkan konsep,
dasar pemikiran, dan tahapan perencanaan terhadap penerapan SMM ISO.
Adapun kurikulum pelatihan pengendalian mutu menurut Tjiptono &
Diana (2003: 228-229) meliputi topik-topik di antaranya: 1) keberadaan
manajemen strategik terhadap peningkatan kualitas, 2) umpan balik dalam
pengendalian kualitas, 3) kemampuan melakukan pengendalian, 4)
perencanaan mengenai pengendalian, 5) subjek pengendalian, 6) tanggung
jawab pengendalian, 7) cara mengevaluasi kinerja, 8) interpretasi data
statistik, 9) pengambilan keputusan, 10) tindakan perbaikan, 11) audit
jaminan kualitas, dan 12) alat-alat pengendalian.

253
Selanjutnya, SMK dapat membentuk tim manajemen mutu, me-
nyusun program kerja yang akan dilaksanakan, membuat komitmen dan
kebijakan mutu, melengkapi prasyarat SMM ISO, melaksanakan SMM
ISO, melengkapi dokumen SMM ISO, dan melakukan pengukuran,
analisis, peningkatan dan perbaikan mutu. Adapun pengendalian internal
mutu SMM ISO yang dilakukan oleh tim pengembang mutu sekolah
melalui langkah berikut.
kegiatan diagnostic

sistem manajemen
pelaksanaan audit
mutu internal dan
manajemen mutu
penerapan sistem

proses sertifikasi
persyaratan ISO

Pengembangan
dokumen mutu

monitoringnya
pemahaman

manajemen
assessment

mutu ISO
pelatihan

ISO dan

tinjauan
Gambar 7.8 Proses Pengendalian Internal Sistem Manajemen Mutu ISO

Diagnostic assessment dimaksudkan sebagai langkah awal dalam


mengidentifikasi target-target yang belum dicapai sekolah sebelum
melakukan pelatihan terhadap konsep dasar dan Kausal pemenuhan ISO.
Penerapan sistem manajemen mutu tidak terlepas dari pemenuhan kausal-
kausal melalui dokumen mutu sebagai bukti kelengkapan syarat
implementasi mutu. Tahapan penerapan SMM ISO yang dapat
diselenggarakan sekolah menengah kejuruan melalui interaksi proses yang
meliputi proses perencanaan mutu, proses inti, proses pendukung, dan
proses peningkatan mutu yang digambarkan berikut.

254
INTERAKSI ANTAR PROSES

PROSES PERENCANAAN MUTU


1.Kebijakan Mutu 3. Persyaratan Pelanggan
2. Sasaran Mutu 4. UU/Peraturan

PROSES INTI
1. Penerimaan Siswa Baru 11. Supervisi PBM
2. Pembuatan Dokumen Kurikulum 12. Disiplin Siswa
3. Pembuatan dan penggunaan Bahan Ajar 13. Disiplin Guru dan Pegawai
4. Pelaksanaan Penjadwalan 14. Pelaksanaan Ujian Akhir
5. Pembelajaran Normatif dan Adaptif 15. Bimbingan konseling
6. Pembelajaran Produktif 16. Uji kompetensi dan sertifikasi
7. Pembagian Tugas Mengajar 17. Pemasaran Tamatan
8. Praktik Kerja Industri 18. Penulusuran dan pengembalian tamatan
9. Pengelolaan Lab 19. Pengendalian Kompetensi siswa
10. Bimbingan Konseling

Proses Pendukung
1. Pelayanan Administrasi 14. Kenaikan Pangkat
P 2. Pengadaan bahan 15. Mutasi Siswa
3. Perawatan dan Perbaikan 16. Hubungan Kerja sama
P
E E
4. Pengelolaan Bengkel dan Labor 17. Piket Harian
L 5. Pengelolaan Lingkungan/taman 18. Promosi Sekolah L
A 6. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 19. Pengelolaan Keuangan A
N 7. Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) 20. Pengelolaan Sarana Prasarana N
G 8. Kegiatan Sosial 21. Izin Personil G
9. Peningkatan Kompetensi Personil 22. Pengelolaan Perpustakaan G
G
10. Peningkatan Kompetensi Personil 23. Ekstrakulikuler A
A 11. Pembinaan Disiplin Pegawai & Siswa 24. Penyusunan program kerja N
N 12. Penempatan personil
13. Beasiswa

Proses Peningkatan
1. Pengendalian Dokumen 5. Tinjauan Manajemen
2. Pengendalian Catatan Mutu 6. Penanganan Keluhan Pelanggan
3. Audit Internal 7. Analisa Data
4. Tindakan Koreksi dan Pencegahan 8. Prosedur Penanganan Ketidaksesuaian
Produk

feedback

Gambar 7.9 Model Interaksi Proses Implementasi Manajemen Mutu ISO


9001 2008 SMK

255
Proses perencanaan mutu dilaksanakan dengan mempertimbangkan
komponen-komponen di antaranya: 1) kebijakan mutu, 2) sasaran mutu, 3)
persyaratan pelanggan dan 4) peraturan/UU terkait tentang pengelolaan
pendidikan. Proses inti merupakan segala kegiatan maupun program yang
dirancang sekolah yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan
proses pendidikan. Sedangkan proses pendukung merupakan upaya yang
dilakukan sebagai tambahan atau pendukung penyelenggaraan proses inti.
Proses peningkatan merupakan langkah perbaikan, proses pengendalian
terhadap perencanaan, proses inti, dan pendukung.
Setelah menerapkan SMM ISO seperti yang diilustrasikan dalam
model penerapan di atas, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan
pengendalian dan evaluasi internal terhadap kinerja SMM ISO yang telah
diterapkan. Adapun langkah pengendalian yang dapat dilakukan meliputi:

pengendalian
dokumen
penanganan pengendalian
keluhan catatan mutu
pelanggan
Pengendalian
sistem
manajemen
penanganan mutu audit mutu
pendapat internal
pelanggan

tinjauan
analisa data
manajemen

Gambar 7. 10 Pola Pengendalian Internal Sistem Manajemen Mutu SMK

Pengendalian internal SMM ISO tersebut dilakukan oleh tim


pengembang mutu sekolah yang meliputi pengendalian terhadap catatan
dan dokumen pemenuhan kausal ISO, penyelenggaraan proses audit
internal, tinjauan manajemen, analisis data yang telah dikumpulkan,
penanganan terhadap pendapat dan keluhan pelanggan terhadap
pengelolaan sekolah.
Berkaitan dengan pengendalian eksternal, sekolah dapat melibatkan
auditor eksternal mutu sekolah yang melakukan surveillance terhadap
kelayakan dan konsistensi penerapan ISO dan pengendalian supervisi oleh
pengawas sekolah. Adapun tahapan pemeriksaan yang dilakukan tim
auditor eksternal sebagai berikut.

256
persiapan asesmen

koreksi dan
tindaklanjut asesmen

Closing Out temuan


asesmen

Gambar 7.11 Tahapan Audit Eksternal

Tim auditor eksternal akan melakukan langkah-langkah di antaranya


persiapan penilaian, proses penilaian, closing out temuan assesmen serta
koreksi dan tindak lanjut yang perlu dilakukan sekolah dalam rangka
penyempurnaan pemenuhan kausal ISO.
Sekolah menengah kejuruan sebagai sekolah penyedia tenaga kerja
profesional perlu mengembangkan sistem manajemen mutu standar
internasional seperti yang dikemukakan di atas dengan pertimbangan:
1. SMK merupakan institusi yang dirancang untuk menyediakan
tenaga terampil dan berkompetensi internasional.
2. Kemajuan dunia industri dan usaha di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh ekonomi global yang menuntut sinergi perkembangan
standar kualitas industri dan usaha sesuai dengan standar
internasional.
3. Keberadaan masyarakat ekonomi global yang membuka peluang
besar bagi tenaga asing yang berkompetensi untuk bekerja di
Indonesia. Hal tersebut tentunya merugikan tenaga kerja nasional
yang tidak memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan masyarakat
global.
Dengan adanya penerapan sistem manajemen mutu internasional
tersebut diharapkan mampu membekali dan menyiapkan peserta didik
menjadi tenaga profesional yang memiliki kompetensi sesuai dengan
tuntutan dan standar internasional. Di lain sisi, SMM ISO juga menjadi
nilai jual dan meningkatkan nilai mutu sekolah tersebut. Implementasi
manajemen mutu tidak hanya merevitalisasikan sumber daya yang dimiliki

257
sekolah namun juga memberdayakan keberadaan kerja sama aktif
pemerintah dalam mengembangkan sekolah menengah kejuruan.
Penerapan manajemen mutu menawarkan manfaat positif terhadap
pengembangan mutu pendidikan seperti yang dikemukakan Ghani, M.F.A.
& Pourrajab, M (2014: 47) berikut:
“the implementation of TQM in schools involves students and
teachers’ and this leads to: 1)tremendous improvement regarding
teambuilding and customer focus; 2) cooperative governance in
schools which improves the work ethic and morale of teachers,
principals, and students with resultant academic improvement, and
3) change of school culture, which is essential for continuous
improvement of the school’s quality management and quality of
work culture (Ackoff, 1999; Griffith, 2001; Harrison, 1998; Koch,
2003; Matthews,2001, Van der Linde, C.H, 2001; Widrick, Mergen
& Grant, 2002).
Implementasi manajemen mutu tidak hanya mampu merevitalisasi
sumber daya yang dimiliki sekolah namun juga memberdayakan
keberadaan kerja sama aktif pemerintah dalam mengembangkan sekolah
menengah kejuruan. Penyelenggaraan implementasi mutu akan berjalan
dengan baik jika didukung oleh kebijakan dan kerja sama yang solid
pemerintah dengan sekolah. Dengan adanya penerapan manajemen mutu
tersebut diharapkan terciptakan peningkatan kinerja sekolah menyeluruh
dan berkelanjutan serta terbentuknya budaya perubahan yang lebih positif
di mana sekolah lebih terbuka terhadap perbaikan secara terus menerus
serta peningkatan kualitas etos kerja serta sistem manajemen sekolah yang
dinamis.
Penerapan SMM ISO tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi
sekolah. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, kendala terbesar
yang dihadapi sekolah menengah kejuruan dalam menyelenggarakan
sistem manajemen mutu internasional mutu meliputi kurangnya komitmen
manajer puncak, pernyataan visi dan misi yang tidak kuat, dan pengaruh
kebijakan pemerintah serta pembiayaan.

258
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sobirin. 2007. Budaya Organisasi Pengertian Makna Dan


Aplikasinya Dalam Kehidupan Organisasi. Yogyakarta: UUP
STIM YKPN.
Agung iskandar et.al. 2014. Mengembangkan profesionalitas guru: Upaya
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kinerja
guru.Jakatra: bee media pustaka.
Bennis, Waeren. (1996). ―Mengapa Pemimpin Tidak Mampu Memimpin”,
dalam Buku Pintar Manajer. Jakarta: Binarupa Aksara.
Chryssolouris G. and D. Mavrikios. (2006). Education for Next Generation
Manufacturing. Working Paper. IMS Vision Forum. Seoul 12-13
April 2006.
Dan, Shunk. 2003. The Creation of a Competency-Based, Anytime-Any
Place Education System for Academia and Industry e-Business
and e-Work Conference. Prague:Czech Republic. Assessed from
http://
www.sintef.no/static/tl/projects/gem/documents/cimec%20%April
%2002%20GEM520IMS.pdf.
Danang Sunyoto. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia Dilengkapi
Dengan Budaya Oranisasi Pengembangan Organisasi
Outsourcing. Yogyakarta: CAPS.
Deming, W. Edwards. 1982. Guide to Quality Control.
Cambridge:Massachussetts Institute of Technology.
Depnakertrans RI. (2004). Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri No. KEP-
131/DPPTKDN/XI/2004, tentang petunjuk teknis bursa kerja
khusus. Jakarta: Depnakertrans RI.
Dikmenjur. 2004. Kurikulum SMK Edisi 2004. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.

259
Djojonegoro, W. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: Jakarta Agung
Office.
Djojonegoro, Wardiman. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia
Melalui SMK. Jakarta: Jayakarta Agung Offset.
Edy Sutisno. 2011. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana Predana Media
Group.
Fattah, Nanang & Ali, Mohammad, (2005). Manajemen Berbasis Sekolah.
Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1984. Curriculum Development in
Vocational and Technical Education: Planning,Content,and
Implementation. NewYork: Allyn and Bacon.
Finnish National Board of Education. 2008. Quality Assurance in General
Education:Steering Instead of Control. Finlandia: FNBC.
Firdausi Arif&Bardawi. 2012. Profil Guru SMK Profesional. Jogyakarta:
Ar-Ruzz.
Freire, Paulo. 1990. The Politics of Education. New York: Bergin &
Garvey.
G. Chryssolouris et al. 2016.The Teaching Factory: A Manufacturing
Education Paradigm. Procedia CIRP 57 ( 2016 ) 44 – 48.
Hadiwaratama. 1997. Manufacturing Integrated Education:A Quality
Education Innovation at Bandung Politechnic for Manufacturing.
ITB, Indonesia. International Sysposium on Dual Syatem
Vocational Educatioan and Training, at Qualification Asia 97,
Jakarta 25-27 June 1997.
Hamzah, Yusof & Abdullah. 2009. Headmaster and Entrepreneurship
Criteria. European Journal of Social Sciences-Volume 11
November 4 (2009) pp. 535-543.
Hartanto, Frans Mardi. 2009. Paradigma Baru Manajemen Indonesia:
Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi
Insani. Bandung: Mizan.
Hermanto, Sugi. (2014). Peran Masyarakat dalam Pendidikan (Suatu
Bahasan Kebijakan Pendidikan).Volume 2 Nomor 2, Desember
2014, ISSN 2355-0236. www. Journal onlinejpips.com.

260
Hisrich & Peter. 1998. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill
Education.
Ilyas, IP &Semiawan, T. 2012. Production-Based Education (PBE): The
Future Persepective of Education on Manucturing Excelent.
Procedia - Social and Behavioral Sciences 52,pp.5 – 14. (2012).
Irawan, Handi. 2008. Sepuluh Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Istianyani, A. 2012. Upaya Percepatan Daya Serap Lulusan Fakultas
Teknik melalui Optimalisasi Peran Bursa Kerja Khusus UNJ
Sebagai Mitra dari Dunia Usaha dan Industri. Journal
APTEKINDO. 16 (1) 143-147.
Jalal, F & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Juran, J.S, et.al. 1998. Juran’s Quality Handbook. New York: McGraw-
Hill.
Koch, J.V. (2003). TQM: Why is Its Impact in Higher Education so Small?
The TQM magazine, 15(5), 325-333.
Komariah, A. 2005. Visionary Leadership. Jakarta:PT.Bumi Aksara.
Kujala &Lilirank. 2004. Total Quality Management as Cultural
Phenomenon. Helsinki: Helsinki University of Technology.
Kusumandari, Rafika Bayu. (2013). Model Pendidikan Kewirausahaan
dalam Mengembangkan Jiwa Wirausaha Siswa SMK Unggulan.
JEJAK journal of Economics and Policy, 6 (1). 64-79.
Muhaimin, et.al. 2012.Manajemen Pendidikan, Aplikasinya dalam
Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Murniati, Nasir Usman, M. Husen & Ulfah Irani. 2018. Penerapan Sistem
Manajemen Mutu ISO 9001 2008. Jurnal Akuntabilitas
Manajemen Pendidikan, Vol.6, No. 1(2018).
Nasution, S. (1995). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Onstenk, Jeroen. (2003). Entrepreneurship and Vocational Education.
European Educational Research Journal, Volume 2, No.2,
November 1, 2003, pp.74-89.
Pambayun, Nirmala Adhi Yoga & Wagirin. 2014. Kinerja Bursa Kerja
Khusus (BKK) SMK Negeri Bidang Keahlian Teknologi dan

261
Rekayasa di Kabupaten Sleman.Jurnal Pendidikan Vokasi. Vol.4,
No.2, Juni 2014.
Pidarta, M. 2011. Manajemen Pendidikan Indonesia.Jakarta: PT.Rineka
Cipta.
Rentzos,L.,Doukas,M.,Mavrikios,D.,Mourtzis,D.,Chryssolouris,G. (2014).
Integrating Manufacturing Education with Industrial Practice
using Teaching Factory Paradigm: A Construction Equipment
Application. Procedia CIRP 17( 2014 ), pp. 189 – 19. 2014.
Rivai, Veitzal &Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia untuk Perusahaan. Jakarta:Rajawali Press.
Robbins, Stephen P. diterjemahkan Jusuf Udaya. (1994). Teori Organisasi
Struktur, Desain & Aplikasi. Ed.3. Arcan: Jakarta.
Sagala, Saiful. 2012. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London:
Koga Page, Philade.
____________. 2010. Total Quality Management in
Education:Manajemen Mutu Pendidikan.Jogyakarta:IRCiSod.
Samsudin, Sadili. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Bandung:Pustaka Setia.
Sanyoto, Danang. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta:
Caps.
Sardiman, A.M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.
Jakarta:Raja Grafindo Perkasa.
Scippers, Uwe &Patriana, Djadjang Madya. 1994. Pendidikan Kejuruan di
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance. Bandung :Mandar Maju.
__________. 2000. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Mandar
Maju.
Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta:Paramadina
dan Logos Wacana Ilmu.
Siswoyo, Dwi. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Slamet, P.H. 2014. Kebijakan Pendidikan Kejuruan:Refleksi Kritis dan
Koreksi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

262
Smith, Jane. 2000. Empowering People. London: Prentice Hall.
Soenarto. 2003. Kilas Balik dan Masa Depan Pendidikan dan Pelatihan
Kejuruan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UNY, Yogyakarta.
Sonhaji, Sholeh. 2000. Globalisasi dalam Perspektif Keadilan Sosial.
(Vol.7, No.1 September 2000) Surabaya : Program Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel.
Sujoko & Ismanto, B. 2017. Evaluasi Peningkatan Pengalaman Belajar
Program Unit Produksi dan Jasa Bidang Keahlian Teknik
Permesinan. Jurnal Pendidikan Ekonomi Manajemen dan
Keuangan Vol 1, No. 1 Mei 2017, pp. 8-20, diakses dari
https://journal .unesa.ac.id/index.php/jpeka.
Sukamdinata, Jami‘at & Ahman. 2012. Pengendalian Mutu Pendidikan
Sekolah Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung:
Kesuma Karya Bandung.
Sumual, Herry & Sumual, Hendro M. 2016. Production Unit of Vocational
High School:Learning Resource and Enterpreneurships
Place.Innovation of Vocational Technology Education XII:2
(2016) 60-65.
Suntoyo, Danang. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta:Caps.
Sutrisno, Edy. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:Kencana
Prenada Media Group.
Tjiptono, F &Diana, A. 2009. Total Quality Management, Edisi Revisi V.
Yogyakarta:ANDI.
Umar, Munirwan. 2016. Manajemen Hubungan Sekolah Dan Masyarakat.
Yogyakarta: ANDI.
UNESCO. (1982). Production Units and Technical Teacher Education
Guide, Info TVE:10. Paris: UNESCO.
Usman, H. 2013. Manajemen:Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan.Jakarta:
Bumi Aksara.
Winarno, Agung. (2016). Entrepreneurship Education in Vocational
Schools: Characteristics of Teachers, Schools, and Risk
Implementation of the Curriculum 2013 in Indonesia. Journal of
Education and Practice, Vol.7, No.9, pp.122-127.

263
Wiratno, B. (2016). Partisipasi Masyarakat dalam pendidikan. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 26, No. 1, Juni 2016, ISSN:1412-
3835.
Wondaferew, Awraris. 2010. Factors Influencing the Quality of Training:
Technical and Vocational Education in Addis Ababa. Addis
Ababa: Addis Ababa University.
Yulianto &Sutrisno, B. 2014. Pengelolaan Kerjasama Sekolah dengan
Dunia Usaha. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol. 24, No. 1.
UMS.
Yusuf, Burhanuddin. 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zabadi, Abdulraheem,M.A.. 2013. Implementing Total Quality
Management (TQM) on the Higher Education Institutions-A
conceptual Model.Science and Education Centre of North
America, Journal of Finance&Economics, Vol.1,Issue 1(2013),
pp.42-60.

264
PROFIL PENULIS

Prof. Dr. Dra. Murniati A.R., M.Pd. lahir di Aceh


Barat pada tanggal 17 Mei 1960. Penulis memiliki
riwayat pendidikan di S-1 Administrasi Pendidikan
FKIP Universitas Syiah Kuala tahun 1985, S-2
Administrasi Pendidikan IKIP Bandung tahun 1994,
dan S-3 Administrasi Pendidikan UPI tahun 2004.
Mengampu mata kuliah Penelitian Pendidikan,
Pengantar Manajemen Pendidikan, Manajemen
Stratejik, dan Seminar Administrasi Pendidikan. Bertempat tinggal di
Blangkrueng, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Pernah memperoleh
penghargaan Satya Lencana 20 Tahun dari Presiden Republik Indonesia
tahun 2010. Aktif di dunia akademis dan nonakademis. Di dunia akademis,
penulis aktif dalam penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan
publikasi karya ilmiah, baik dalam bentuk buku, makalah dalam jurnal
maupun prosiding. Sedangkan, di dunia nonakademis aktif mengikuti
kegiatan seminar, lokakarya, dan simposium.

Dr. Drs. Nasir Usman, M.Pd. lahir di Aceh Utara pada


tanggal 31 Desember 1960. Penulis memiliki riwayat
pendidikan di S-1 Administrasi Pendidikan FKIP
Universitas Syiah Kuala tahun 1984, S-2 Administrasi
Pendidikan IKIP Bandung tahun 1994, dan S-3
Administrasi Pendidikan UPI tahun 2008. Mengampu
mata kuliah Penelitian Pendidikan, Pengantar
Manajemen Pendidikan, dan Analisis Kebijakan
Pendidikan. Bertempat tinggal di Blangkrueng, Kecamatan Baitussalam,
Aceh Besar. Pernah memperoleh penghargaan Satya Lencana 20 Tahun
dari Presiden Republik Indonesia tahun 2010. Aktif di dunia akademis dan
nonakademis. Di dunia akademis, penulis aktif dalam penelitian,
pengabdian kepada masyarakat, dan publikasi karya ilmiah, baik dalam

265
bentuk buku, makalah dalam jurnal maupun prosiding. Sedangkan, di
dunia nonakademis aktif mengikuti kegiatan seminar, lokakarya, dan
simposium.

Ulfah Irani Z., S.Pd., M.Pd. lahir di Banda Aceh pada


tanggal 18 Februari 1988. Penulis memiliki riwayat
pendidikan di SDN 90 Banda Aceh tahun 2001,
SMPN 5 Banda Aceh tahun 2003, SMAN 10 Fajar
Harapan tahun 2006, S-1 Bahasa Inggris FKIP
Universitas Syiah Kuala tahun 2011, dan S-2
Manajemen Administrasi Pendidikan Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala tahun 2014. Bertempat
tinggal di Jl. Soekarno Hatta No. 47 Desa Lampeuneurut, Aceh Besar.
Aktif di dunia akademis dan nonakademis. Di dunia akademis, penulis
aktif dalam penelitian, penulisan buku, dan publikasi karya ilmiah, baik
makalah dalam jurnal nasional maupun internasional. Di dunia kerja,
penulis pernah berpengalaman sebagai guru dan pembimbing olimpiade
bahasa Inggris, news editor, guide, dan translator. Beberapa penghargaan
dan prestasi yang pernah diperoleh penulis ada di tingkat nasional dan
internasional.

266

Anda mungkin juga menyukai