Anda di halaman 1dari 165

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Untuk Perguruan Tinggi

Dr. Muhammad Idrus, M.Pd., CNET.

Upaya Membangkitkan Semangat Nasionalisme dan Cinta Tanah Air


Di Kalangan Mahasiswa
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman
sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan
tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iii
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Untuk Perguruan Tinggi

Dr. Muhammad Idrus, S.Pd., M.Pd., CNET.

Editor :
Dr. Muhamad Husein Maruapey, Drs., M.Sc.

Desain Cover :
Danillstr

Sumber Gambar :
https://www.freepik.com

Tata Letak :
Ainur Rochmah

Ukuran :
15x23 cm, x + 155 halaman

ISBN :
978-602-359-087-2

Cetakan Pertama :
Januari 2022

Hak Cipta 2022, Pada Penulis

Isi buku diluar tanggung jawab penerbit

Copyright © 2022 by Dr. Muhammad Idrus, M.Pd., CNET.


All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBITKBM INDONESIA
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
Banguntapan, Bantul-Jogjakarta (Kantor I)
Balen, Bojonegoro-Jawa Timur, Indonesia (Kantor II)
081357517526 (Tlpn/WA)
Website: www.penerbitbukumurah.com
E-mail: karyabaktimakmur@gmail.com
Youtube: Penerbit Sastrabook
Instagram: @penerbit.sastrabook | @penerbitbukujogja

iv
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga,
kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta yang telah
memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada
terhingga yang tidak mungkin dapat kubalas dengan selembar kertas yang
bertuliskan kata cinta dan persembahan.

Menuntut ilmu adalah taqwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-


ulang ilmu adalah zikir, mencari ilmu adalah jihad (Imam Al Ghazali)
Ciri yang membedakan manusia dan hewan adalah ilmu. Manusia adalah
manusia mulia yang mana ia menjadi mulia karena ilmu, tanpa ilmu mustahil ada
kekuatan (Imam Al Ghazali)

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT atas semua nikmat dan karuniah-Nya sehingga buku ini
selesai disusun. Buku yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi ini merupakan buku sederhana yang bisa dijadikan
sebagai referensi, pegangan atau pedoman bagi dosen, guru, mahasiswa
dalam upaya membangkitkan semangat nasionalisme, cinta tanah air dan
bela negara dikalangan mahasiswa.
Buku Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi:
Paradigma terbaru untuk mahasiswa merupakan salah satu Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan, kepribadian, dan upaya pembangunan karakter peserta didik
dalam berbagai bidang, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena
peraturan operasional yang dibuat berdasarkan UU No. 12 tahun 2012
tentang Pendikan Tinggi, yang mengatur penyelenggaraan mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan belum ada. maka materi yang
dikembangkan masih memadukan materi yang diatur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 38/DIKTI/Kep/ 2002 dan
Keputusan Dirjen DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-
Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi dan mengintegrasikan materi terbaru pada Modul mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dikeluarkan oleh Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenritek Dikti 2016. Buku
Pendidikan Kewarganegaraan ini menjadi acuan dasar untuk
dikembangkan sehingga mahasiswa dianjurkan untuk melengkapi bahan
bacaan dengan referensi lain yang relevan.
Kajian Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat interdisipliner
sehingga tidak sekedar mereduksi masalah-masalah bela negara, ideologi,
isu-isu demokrasi dan pelanggaran HAM. Kajian pendidikan
kewarganegaraan dapat diperluas menjadi pendidikan yang berkarakter,
berbudaya, dan bermartabat untuk mengkaji isu-isu dan masalah-masalah
yang fundamental yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia
memfokuskan 4 pilar kehidupan bangsa dan negara, yakni Pancasila,
konstitusi (UUD 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan tidak kalah menarik adalah isu tentang
ketahanan nasional.
Buku Pendidikan Kewarganegaraan ini terdiri atas sembilan bab,
yaitu: Bab I Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan; Bab II Identitas
Nasional dan Nasionalisme, Bab II Integrasi Nasional, Bab IV Hak dan
Kewajiban Warga Negara; Bab V Konstitusi dan Rule of Law, Bab VI

vi
Hak Asasi Manusia, Bab VII Demokrasi Indonesia, Bab VIII Geopolitik
Indonesia, dan Bab IX Geostrategi Indonesia.
Penulis menyadari apabila dalam penyusunan buku ini terdapat
kekurangan, tetapi penulis meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apa pun
buku ini tetap memberikan manfaat bagi para pendidik, calon pendidik,
serta mahasiswa baik kependidikan maupun non kependidikan guna
pengembangan ilmu dan peningkatan SDM yang berkualitas. Akhir kata
guna penyempurnaan buku ini kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis nantikan dan kepada penerbit yang telah bersediah menerbitkan
buku ini, tak lupa kami ucapkan terima kasih.
Penulis juga menyampaikan permohonan maaf atas segala
kelemahan-kelemahan yang dijumpai di dalam buku ini. Mudah-mudahan
saran dan kritik yang diberikan dapat menjadi bahan perbaikan bagi
penulis dan menjadi amal kebaikan di sisi Allah SWT. Semoga kehadiran
Buku ini dapat memperlancar perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan
di Perguruan Tinggi. Akhirnya penulis berharap agar buku ini dapat
digunakan sebagaimana mestinya dan semoga buku ini memiliki manfaat
khususnya dalam pendidikan. Semoga Allah SWT meridhoi. Amiin.

Kendari, Maret 2022

Penulis

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................. ii
BAB I PENGANTAR PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN........................................... 1
A. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi ..................................................................... 1
B. Pengertian dan Objek Pendidikan
Kewarganegaraan.................................................... 4
C. Tujuan Pendidikan Kewaranegaraan ...................... 8
D. Aspek-Aspek Kompetensi Pendidikan
Kewarganegaraan.................................................... 10
Latihan ........................................................................... 12
BAB II IDENTITAS NASIONAL DAN NASIONALISME . 13
A. Identitas Nasional ................................................... 13
1. Pengertian Identitas Nasional ........................... 13
2. Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional 15
3. Kemajemukan (pluralitas) Masyarakat Indonesia
sebagai Atribut Identitas Nasional Indonesia ... 18
4. Parameter Identitas Nasional ............................ 21
B. Nasionalisme ........................................................... 22
1. Pengertian Nasionalisme .................................. 22
2. Prinsip Nasionalisme dalam Pancasila ............. 22
3. Paham yang Bertentangan dengan Nasionalisme 23
4. Nilai-Nilai Nasionalisme .................................. 25
5. Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai
Nasionalisme .................................................... 26
Latihan ........................................................................... 28
BAB III INTEGRASI NASIONAL ......................................... 30
A. Pengertian Integrasi Nasional.................................. 30
B. Dimensi-Dimensi Integrasi Nasional ...................... 31
C. Proses Integrasi Nasional di Indonesia.................... 31
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Integrasi
Nasional .................................................................. 32
E. Pentingnya Integrasi Nasional bagi Bangsa
Indonesia ................................................................. 37
F. Ancaman Terhadap Integrasi Nasional ................... 38
G. Cara Mengatasi Ancaman Terhadap Integrasi

viii
Nasional .................................................................. 42
H. Contoh Masalah Integrasi Nasional dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara........................................ 43
Latihan ........................................................................... 46
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ...... 47
A. Warga Negara dan Penduduk .................................. 47
B. Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Neara........ 48
C. Asas Kewarganegaraan ........................................... 52
D. Masalah dan Status Kewarganegaraan .................... 54
E. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia ................................................. 58
F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia 62
Latihan ........................................................................... 64
BAB V KONSTITUSI DAN RULE OF LAW ......................... 66
A. Konstitusi ................................................................ 66
1. Pengertian Konstitusi........................................ 66
2. Berbagai Konstitusi yang Pernah Digunakan Di
Indonesia........................................................... 70
3. Amandemen UUD 1945 ................................... 72
B. Rule of Law ............................................................. 74
1. Konsep Rule of Law.......................................... 74
2. Prinsip-Prinsip Rule of Law .............................. 77
3. Negara Hukum Indonesia ................................. 80
Latihan ........................................................................... 83
BAB VI HAK ASASI MANUSIA ........................................... 85
A. Pengertian Hak Asasi Manusia ............................... 85
B. Perkembagan Wawasan Tentang HAM .................. 87
C. Instrumen Hukum Internasional HAM ................... 92
D. Hak Asasi Manusia di Indonesia ............................. 93
E. Istrumen HAM Nasional ......................................... 97
Latihan ........................................................................... 100
BAB VII DEMOKRASI INDONESIA ................................... 101
A. Konsep Demokrasi .................................................. 101
B. Hakikat dan Bentuk-Bentuk Demokrasi ................. 103
C. Prinsip-Prinsip Demokrasi ...................................... 106
D. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia ...................... 110
E. Pendidikan Demokrasi ............................................ 112
Latihan ........................................................................... 114
BAB VIII GEOPOLITIK INDONESIA ................................. 116
ix
A. Pengertian dan Teori Geopolitik ............................. 116
B. Paham Geopolitik Bangsa Indonesia....................... 121
C. Terbentuknya Wawasan Nasional ........................... 122
D. Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia. 123
E. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ....... 128
Latihan ........................................................................... 133
BAB IX GEOSTRATEGI INDONESIA ................................ 135
A. Pengertian Geostrategi ............................................ 135
B. Ketahanan Nasional Nasional sebagai Geostrategi
Indonesia ................................................................. 136
C. Asas-Asas Ketahanan Nasional Indonesia .............. 142
D. Ciri Ketahanan Nasional Indonesia ......................... 144
E. Metode Astagatra dalam Ketahanan Nasional
Indonesia ................................................................. 145
Latihan ........................................................................... 148
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 150
PROFIL PENULIS ................................................................... 154

x
BAB I
PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi


Pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah yang wajib
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tinggi merupakan pengganti
mata kuliah Pendidikan Kewiraan yang dalam kurikulum di perguruan
tinggi pertama kali digunakan berdasarkan Keputusan Bersama
Mendikbud dan Menhankam Nomor: 022/U/1973 dan Kep/B/43/XII/
1973, tanggal 8 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Kewiraan dan Perwira Cadangan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Mata kuliah Pendidikan Kewiraan baru berjalan efektif sebagai
mata kuliah wajib di perguruan tinggi pada tahun ajaran 1974/1975
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor:
0228/U/1974, tanggal 2 Oktober 1974, dengan materi pokok: (1)
Wawasan Nusantara, (2) Ketahanan Nasional, (3) Politik Nasional dan
Strategi Nasional (Polstranas), (4) Politik Strategi Pertahanan Keamanan
Nasional, dan (5) Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta/Sistem
Hankamrata. Diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan untuk
membentuk Sarjana Indonesia yang: (a) mencintai tanah air, (b) memiliki
kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, (c) memiliki keyakinan
ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, (d) rela berkorban
untuk Negara dan bangsa Indonesia (Chaidir Basrie, 2003).
Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan terus diperkuat dengan
keluarnya Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam No.
061/U/1985 dan Nomor Kep/002/II/1985, tanggal 1 Februari 1985
tentang kerjasama dalam pembinaan Pendidikan Kewiraan di lingkungan
Perguruan Tinggi dan menjadikan mata kuliah Pendidikan Kewiraan
sebagai bagian dari Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Diatur lebih
lanjut dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor:
056/U/1994, tanggal 14 Maret 1994 tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
Istilah mata kuliah Pendidikan Kewiraan digunakan pula dalam
kurikulum perguruan tinggi, sekaligus menegaskan bahwa Pendidikan
Kewiraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi.
Tujuan pendidikan kewiraan adalah untuk menumbuhkan
kesadaran bela negara di kalangan pemuda mahasiswa Indonesia melalui
kegiatan akademik, memahami dan menghayati pengetahuan dan teori-
teori yang dapat membentuk pola pikir integralistik-komprehensip, serta
1
menumbuhkan dan meningkatkan kecintaan pada tanah air, kesadaran
berbangsa dan bernegara Indonesia, menghayati dan mengamalkan
Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa Indonesia, sehingga
memiliki sikap mental yang meyakini hak dan kewajiban serta tanggung
jawab sebagai warganegara yang rela berkorban untuk membela bangsa
dan negara serta kepentingannya. (Chaidir Basrie, 2003).
Mata kuliah Pendidikan Kewiraan resmi dihapus dalam kurikulum
pendidikan tinggi sejak tahun 2000, dan diganti dengan mata kuliah
Pengembangan Kepribadian yakni Pendidikan Kewarganegaraan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor:
267/DIKTI/Kep/2000, tanggal 18 Agustus 2000 tentang Penyempurnaan
Garis Besar Proses Pembelajaran (GBPP) Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di
Indonesia. Keputusan Dirjen Dikti ini sudah sejalan dengan ketentuan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 39 ayat (2), yang
menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan wajib memuat: (a) Pendidikan Pancasila, (b) Pendidikan
Agama, dan (c) Pendidikan Kewarganegaraan. .
Penyelenggaraan perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan diatur
pula dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 232/U/2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Selanjutnya disempurnakan melalui
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 045/U/2002 tentang
Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Materi dan penyelenggaraan mata
kuliah ini juga disempurnakan dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002 Tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguran
Tinggi.
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru,
yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pasal 37 ayat (2)
dipertegas kembali bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata
kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi, melalui penyebutan:
“Kurikulum Pendidikan Tinggi” wajib memuat: (a) Pendidikan Agama,
(b) Pendidikan Kewarganegaraan, dan (c) Bahasa. Pada penjelasan
Penjelasan Pasal 37 Ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.
Kedudukan pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah
wajib semakin diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal
35 Ayat (3) disebutkan ”Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat
2
Mata Kuliah: (a) Agama, (b) Pancasila, (c) Kewarganegaraan, (d) Bahasa
Indonesia. Pada Penjelasan pasal 35 ayat 3 huruf c menyebutkan, yang
dimaksud dengan “mata kuliah kewarganegaraan” adalah pendidikan
yang mencakup Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, negara kesatuan
republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika untuk membentuk
mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air.
Pada tahun 2020 berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No.
84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib pada
Kurikulum Pendidikan Tinggi, kembali menegaskan bahwa mata kuliah:
(a) Agama, (b) Pancasila, (c) Kewarganegaraan, dan (d) Bahasa
Indonesia, merupakan Mata Kuliah Wajib Kurikulum Pendidikan Tinggi
(MKWK-PT) di Indonesia. Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) ini
dibentuk untuk menyiapkan karakter mahasiswa di Perguruan Tinggi
cetak generasi unggul. Sehingga mahasiswa bisa mengembangkan
potensi diri melalui pembelajaran yang fleksibel dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Dalam penerapannya, kebijakan Mata Kuliah
Wajib Kurikulum (MKWK) dapat memberikan keleluasan kepada
mahasiswa untuk belajar melalui berbagai proses kehidupan selaras
dengan kepribadian bangsa.
Melalui Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) juga mahasiswa
diberikan wawasan tentang agama, sosial, kesehatan hingga kepedulian di
masyarakat. Dengan demikian, adanya program ini diharapkan bisa
berpikir kritis dan mampu membentuk mahasiswa dengan pikiran yang
kritis dan solutif. Mahasiswa bisa memberikan solusi yang terbaik jika
terdapat permasalahan yang ada. Jadi keempat mata kuliah tersebut tidak
hanya dilihat dari knowledge content saja. Namun bisa diterapkan dan
meningkatkan kompetensi yang ada dalam diri mahasiswa. Sehingga
kedepannya mahasiswa bisa menghadapi kemajuan zaman dengan tepat.
Cakupan materi kajian mata kuliah Pendidikan Kewarganegaan ini
dikembangkan berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Nomor:
43/DIKTI/Kep/2006, meliputi: 1) Filsafat Pancasila, meliputi: (a)
Pancasila sebagai sistem filsafat, (b) Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara; 2) Identitas Nasional, meliputi: (a) Karakteristik identitas
nasional, (b) Proses berbangsa dan bernegara; 3) Politik dan Strategi,
meliputi: (a) Sistem konstitusi, (b) Sistem politik dan ketatanegaraan
Indonesia; 4) Demokrasi Indonesia, meliputi: (a) Konsep dan prinsip
demokrasi, (b) demokrasi dan pendidikan demokrasi; 5) Hak Asasi
Manusia dan Rule of Law, meliputi: (a) Hak asasi manusia, (b) Rule of
Law; 6) Hak dan Kewajiban Warga Negara, meliputi: (a) warga negara
Indonesia, (b) Hak dan kewajiban warga negara; 7) Geopolitik Indonesia,
meliputi: (a) Wilayah sebagai ruang lingkup, (b) Otonomi daerah; dan 8)
3
Geostrategi Indonesia, meliputi: (a) Konsep Asta Gatra, (b) Indonesia dan
Perdamaian Dunia.
Belum ada aturan terbaru setelah keluarnya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 terkait dengan rambu-rambu
materi dan penyelenggaraan mata kuliah pendidikan Kewarganegaraan.
Oleh karena itu pengembangan materi mata kuliah Kewarganegaraan ini
masih merujuk pada rambu-rambu materi yang diatur berdasarkan
Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002 dan Keputusan Dirjen
Dikti No. 43/DIKTI/Kep/2006 dengan mengintegrasikan beberapa sub
materi yang dianggap relevan dengan kebutuhan belajar mahasiswa..
Negara perlu menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan
karena setiap generasi adalah orang baru yang harus mendapat
pengetahuan, sikap/nilai dan keterampilan agar mampu mengembangkan
warga negara yang memiliki watak atau karakter yang baik dan cerdas
(smart and good citizen) untuk hidup dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sesuai dengan demokrasi konstitusional.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata kuliah yang
dirancang untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga negara
yang memiliki: (1) semangat kebangsaan, (2) cinta tanah air, (3)
demokratis dan bertanggung jawab, dilandasi oleh: (1) nilai Pancasila;
(2) norma UUD NRI 1945, (3) semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan (4)
komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Belajar tentang pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah
belajar tentang ke Indonesiaan, belajar untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Indonesia, membangun rasa kebangsaan, dan mencintai
tanah air Indonesia. Dengan demikian, ia menjadi warga negara yang
baik dan terdidik (smart and good citizen) dalam kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang demokratis. Tujuan pendidikan
kewarganegaraan di mana pun (di negara manapun) umumnya bertujuan
untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen).

B. Pengertian dan Obyek Pendidikan Kewarganegaraan


Ada beberapa pandangan dikalangan ilmuwan untuk menjelaskan
pengertian pendidikan kewarganegaraan. Selain perbedaan konsep dan
pengertian yang berbeda tentang pengertian pendidikan
kewarganegaraan, juga juga perbedaan terhadap istilah yang digunakan,
seperti civic education, citizenship education, democracy education,
education for citizenship. Beberapa istilah tersebut seringkali digunakan
para ahli sebagai terminologi lain untuk pendidikan kewarganegaraan.
Istilah pendidikan kewarganegaraan menurut Udin S. Winataputra
(Karsadi, 2019) pada dasarnya digunakan untuk pengertian yang lebih
4
luas, seperti citizenship education atau education for citizenship yang
mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan
formal (di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar
sekolah, baik yang berupa penataran atau program lainnya yang
dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang
berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai
warga negara yang cerdas dan baik. Di lain pihak, sebagian kalangan
membedakan beberapa istilah tersebut untuk membedakan pengertian
pendidikan kewarganegaraan dikaitkan dengan tujuan pendidikan
kewaraganegaraan itu sendiri.
Ada pendapat lain yang mengartikan pendidikan kewarganegaraan
sebagai civic education dengan menekankan pada kajian civilized yang
meliputi isu demokrasi, HAM, rule of law, keadilan sosial, pemerintahan,
hak dan kewajiban warga negara. Sebagian lainnya mengartikan
pendidikan kewarganegaraan sebagai citizenship education dengan
menekankan pada kajian isu-isu civil society, seperti keterlibatan warga
negara dalam civil society. Kedua pengertian tersebut memiliki
penekanan yang berbeda, tetapi bagi Hamdan Mansoer (Karsadi, 2019)
berpendapat bahwa pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
lebih cocok bila diartikan sebagai gabungan pengertian civic
education/democracy education dengan citizenship education serta
muatan makna Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) dengan
menekankan pada kajian masalah-masalah konstitusi, pemerintahan,
lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga
negara serta pemahaman proses demokrasi, partisipasi aktif dan
keterlibatan warga negara intelektual dalam mewujudkan masyarakat
madani.
Secara akademik, konsep dan pengertian pendidikan
kewarganegaraan bermula dari konsep dan pengertian pendidikan
kewiraan. Pendidikan kewiraan diartikan sebagai usaha sadar untuk
mengucapkan warga negara (sumber calon pemimpin bangsa) melalui
kegiatan bimbingan, bagi peranannya untuk menjamin keberlangsungan
hidup bangsa dan negara menuju kejayaannya. Istilah kewiraaan itu
sendiri berasal dari kata wira yang mengandung beberapa arti, seperti
patriot, pahlawan, satria, perkasa, dan berani. (Chaidir Basrie, 2003).
Lebih lanjut dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Pendidikan Nasional, djelaskan bahwa pendidikan
kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang
cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945. PKn adalah aspek pendidikan politik yang fokus
5
materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang
kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut
sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. (Cholisin, 2000).
Menurut Zamroni (Taniredja, dkk., 2009), pendidikan
kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
mempersiapkan warga masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak
demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi
baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling
menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning
process yang tidak begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai-nilai
demokrasi. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari
orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki
political knowledge, awareness, attitude, political afficacy dan political
participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara
rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga masyarakat dan bangsa.
Pendidikan kewarganegaraan adalah konsep multidimensional yang
dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan tentang
masyarakat politik, tentang persiapan yang diperlukan untuk
berpartisipasi dalam proses politik secara menyeluruh, dan secara umum
tentang apa itu warga negara dan bagaimana mewujudkan warga negara
yang baik, demokratis, dan berkeadaban. Sebagai ilmu pengetahuan,
pendidikan kewarganegaran dibangun dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan (bersifat multidisiplin), seperti ilmu politik, ilmu hukum,
sosiologi, ilmu administrasi negara, antropologi, psikologi sosial, ilmu
ekonomi pembangunan, sejarah, filsafat, demografi, dan geografi.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan rumpun keilmuan yang bersifat
interdisipliner (kajian antarbidang, bukan monodisipliner). Sifat
interdisipliner ini dapat dipandang sebagai “keunggulan” dan sekaligus
“kelemahan” Pendidikan Kewarganegaraan. Dikatakan sebagai
keunggulan, sebab kajiannya menjadi lebih utuh (komprehensif), lebih
sistemik, dan tidak terkungkung oleh pandangan yang sempit.
Sebaliknya, dikatakan sebagai kelemahan karena kajiannya menjadi tidak
spesifik sebagaimana menjadi watak disiplin keilmuan tertentu, sehingga
mungkin saja tidak memiliki visi keilmuan yang jelas.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah
merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan
penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa
memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini
berdasarkanpada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah
sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius,
6
berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya. Misi
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk
membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara
konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa
kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa
tanggungjawab dan bermoral.
Sifat interdisipliner pendidikan kewarganegaraan menyebabkan
kajian materinya tidak sekedar mereduksi masalah-masalah bela negara,
ideologi, isu-isu demokrasi dan pelanggaran HAM, melainkan dapat
diperluas dengan kajian-kajian yang lain. Menurut Karsadi (2019), kajian
pendidikan kewarganegaraan dapat diperluas menjadi pendidikan yang
berkarakter, berbudaya, dan bermartabat untuk mengkaji isu-isu dan
masalah-masalah yang fundamental yang dihadapi bangsa dan negara
Indonesia memfokuskan empat pilar kehidupan berbangsa dan negara,
yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan tidak kalah menarik
adalah isu tentang ketahanan nasional.
Pendidikan kewarganegaraan dalam konteks reformasi diartikan
sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah
melalui proses sosialisasi, pelatihan, pendidikan, pembelajaran,
pembimbingan, penelitian, dan desiminasi terhadap nilai-nilai luhur, budi
pekerti, moral bangsa, nation and caracter building untuk memecahkan
masalah masyarakat, bangsa, dan negara demi kemajuan, kelangsungan,
dan kejayaan bangsa Indonesia. Pendidikan Kewarganegaran menjadi
sarana transformasi nilai, moral, dan budi pekerti kepada mahasiswa
melalui pembelajaran yang bermakna (meaningfull) melalui riset, diskusi-
diskusi akademik dan ilmiah dan menjauhkan diri dari pola indoktrinasi.
Hal tersebut di atas penting karena dari perspektif filsafat ilmu,
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan
yang bersifat filsafat (Karsadi, 2019).
Pertama, dalam perspektif ontologis, materi pendidikan
kewarganegaran menekankan pada nilai, moral, dan budi pekerti dengan
segala dinamikanya pada masyarakat. Pada perspektif ontologis ini,
materi Pendidikan Kewarganegaraan ini dapat dijabarkan pada berbagai
isu-isu nasional yang up to date dikaitkan dengan perkembangan baru
isu-isu dunia, seperti: masalah kemiskinan, masalah korupsi (KKN),
masalah terorisme dan gerakan kiri, masalah pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), masalah dinamika demokrasi, konstitusi, rule of law
dan politik nasional, masalah nasionalisme, keadilan sosial, dan gerakan
separatisme, masalah wawasan nusantara dan dinamika konflik
perbatasan antarnegara, masalah ketahanan nasional dan ideologi negara
7
dalam perspektif global, serta isu-isu strategis lainnya yang bersifat
fundamental bagi bangsa dan negara.
Kedua, dalam perspektif epistimologis, materi Pendidikan
Kewarganegaraan dikaji dan dibahas melalui pendekatan akademik dan
ilmiah. Pendekatan ini lebih menekankan pada olah karsa, olah rasa, dan
olah pikir yang bersifat komprehensif, integratif, dan holistik. Sedapat
mungkin dalam mengkaji dan membahas materi Pendidikan
Kewarganegaraan menjauhkan diri dari pembahasan materi yang bersifat
normatif semata dan menghindari pola indoktrinasi.
Ketiga, dalam perspektif aksiologis, eksistensi dan urgensi
Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi wahana pendidikan nilai dan
moral dan pendidikan budi pekerti. Dalam konteks yang lebih luas,
pendidikan kewarganegaraan dapat menjadi sarana transformasi
pendidikan karakter bangsa menghadapi abad milenium. Dengan
demikian, dalam konteks perspektif aksiologis pendidikan
kewarganegaraan dapat menumbuhkembangkan semangat cinta tanah air
dan bangga sebagai bangsa yang berkarakter, burbudaya, bermartabat,
dan beradab.
Pendidikan kewarganegaraan mempunyai objek material dan
objek formal. Objek material pendidikan kewarganegaraan adalah
eksistensi warga negara dan dinamikanya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang terus
mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perkembangan
zaman. Menurut Karsadi (2019), objek material pendidikan
kewarganegaraan menjadi bagian penting yang terintegrasi dengan nilai-
nilai Pancasila. Sedangkan objek formal pendidikan kewarganegaraan
berkaitan dengan dimensi pendidikan serta sistem konstitusi dan
ketatanegaraan yang menfokuskan hubungan negara (state) dengan warga
negara (citizen) yang esensinya adalah berupa hak dan kewajiban, serta
segi pembelaan negara. Objek formal inilah tampak dari materi kajian
mengenai hak dan kewajiban negara dan warga negara, HAM, demokrasi,
konstitusi dan rule of law, keadilan sosial, wawasan nasional, ketahanan
nasional, pemerintahan, dan masalah-masalah bangsa dan negara lainnya.
Kompetensi dasar mata kuliah pendidikan kewarganegaraan adalah
menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban, menjadi warga negara yang
meiliki daya saing, berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam
membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

C. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Tujuan pendidikan kewarganegaraan mengalami pergeseran dari
tujuan yang bersifat pragmatis berkaitan dengan bela negara dan cinta
8
tanah air sebagaimana tercantum di dalam tujuan pendidikan kewiraan
menjadi lebih luas tidak sekedar bella negara dan cinta tanah air,
melainkan lebih bersifat akademik ilmiah sesuai dengan tujuan
pendidikan kewarnegaraan dengan menekankan pada membumikan
semangat nasionalisme melalui sense of crisis untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan
kewarganegaraan diperlukan metodologi pembelajaran yang berorientasi
student based learning melalui critical thinking, akademik ilmiah, dan
menjauhkan diri dari pola pembelajaran yang bersifat indoktrinasi dan
normatif semata. (Karsadi, 2019). Berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38/Dikti/Kep/2002, bahwa tujuan
pendidikan kewarganegaraan adalah untuk: (1) mengantarkan peserta
didik memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk belanegara dan
memiliki pola pikir, pola sikap dan prilaku untuk cinta tanah air
Indonesia, (2) menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan, kesadaran
berbangsa dan bernegara sehingga terbentuk daya tangkal sebagai
ketahanan nasional, dan (3) menumbuhkembangkan peserta didik untuk
mempunyai pola sikap dan pola pikir yang komprehensif, integral pada
segenap aspek kehidupan nasional.
Sementara menurut Ubaedillah (2011) tujuan pendidikan
kewarganegaraan adalah untuk membangun karakter (character building)
bangsa Indonesia yang antara lain: (a) membentuk kecakapan partisipatif
warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, (b) menjadikan warga negara Indonesia yang
cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen
menjaga persatuan dan integritas bangsa, dan (c) mengembangkan kultur
demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan
tanggungjawab. Sedangkan tujuan pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan menurut Djahiri Kosasih (Murron, 2013) adalah secara
umum tujuan pendidikan kewarganegaraan harus ajeg dan mendukung
keberhasilan pencapaian pendidikan nasional yaitu: mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu menusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan
jasmani dan rohani kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Secara khusus bertujuan untuk:
membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan
Yang Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama,
prilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang
mendukung persatuan bangsa dan masyarakat yang beranekaragam
9
kebudayaan dan beranekaragam kepentingan bersama di atas kepentingan
perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat
kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat serta perilaku
yang mendukung upaya untuk mewujudkan upaya untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

D. Aspek-Aspek Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan


Keberadaan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana
pendidikan demokrasi, pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, akhlak, dan pendidikan karakter bangsa perlu
beradaptasi dan mengembangkan diri dengan perubahan masyarakat dan
tuntutan global. Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi
warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat
lokal maupun nasional, maka untuk menumbuhkan dan meningkatkan
partisipasi semacam itu diperlukan pengembangan sejumlah kompetensi.
Aspek-aspek kompetensi dan sekaligus merupakan struktur
keilmuwan Pendidikan Kewarganegaraan, meliputi: pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan
(civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic
dispositions) (Depdiknas, 2007: 2), seperti diagram berikut ini.

Pengetahuan
kewarganegaraan

Warga negara
yang baik
Keterampilan (berpengetahuan, Watak
kewarganegaraan terampil, dan berwatak) kewarganegaraan

Gambar 1.1
Diagram Aspek-Aspek Kompetensi Pendidikan
Kewarganegaraan

10
Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi
substansi yang harus diketahui oleh warga negara, yaitu pengetahuan
yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan
kewajiban sebagai warga negara, struktur dan sistem politik,
pemerintahan dan sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi
dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, maupun yang telah menjadi
konvensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta nilai-nilai
universal dalam masyarakat demokratis, dan cara-cara kerja sama untuk
mewujudkan kemajuan bersama, serta hidup berdampingan secara damai
dalam masyarakat internasional.
Aspek kompetensi pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge) menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang
dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral.
Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang
kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan
kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab
warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi,
lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional,
pemerintahan berdasar hukum (rule of law), dan peradilan yang bebas
dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat.
Keterampilan kewarganegaraan (civic skills) merupakan
keterampilan tang dikembangkan dari pentetahuan kewarganegaraan,
agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena
dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan
berbangsa dan bernegara. (Cholisin, dkk., 2007). Aspek keterampilan
kewarganegaraan (civic skills) meliputi keterampilan intelektual
(intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan
intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan
politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan
berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya
di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya
kejahatan yang diketahui.
Karakter kewarganegaraan (civic dispositions) merupakan sifat-
sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung
efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat,
berkembangnya martabat dan harga diri dan kepentingan umum.
Watak/karakter kewarganegaraan (civic dispositions) sesungguhnya
merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam Pendidikan
Kewarganegaraan. Dimensi watak/karakter kewarganegaraan dapat

11
dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi
sebelumnya.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Apakah pendidikan kewarganegaraan mampu untuk meningkatkan
semangat kebangsaan bagi peserta didik khususnya dan warga negara
Indonesia umumnya?
2. Apa latar belakang diselenggarakannya pendidikan kewarganegaraan
khususnya yang terkait dengan proses globalisasi? Kompetensi apa
yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan kepada
mahasiswa?
3. Ada dua paradigma pendidikan kewarganegaraan, yaitu feodalistik
dan humanistik. Menurut pendapat Anda, paradigma mana yang lebih
tepat?
4. Bagaimana cara mensosialisasikan pendidikan kewarganegaraan agat
tujuan pendidikan kewarganegaraan dapat berhasil?
5. Pendidikan kewarganegaraan seperti apa yang ideal bagi Indonesia
agar tujuan pendidikan kewarganegaraan berhasil? Dan berikan
contoh parameter keberhasilannya!
6. Uraikan bagaimana sejarah pendidikan kewarganegaraan di
perguruan tinggi?
7. Salah satu tujuan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
adalah mengantarkan peserta didik memiliki wawasan kesadaran
bernegara untuk belanegara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan
perilaku untuk cinta tanah air. Menurut Anda, bagaimana cara
mengantarkan peserta didik agar memiliki wawasan kesadaran
berbangsa untuk bela negara?
8. Mengapa sifat interdisipliner dipandang sebagai keunggulan dan
sekaligus kelemahan pendidikan kewarganegaraan?
9. Jika dilihat dari perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis,
apakah pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan yang bersifat filsafat? Uraikan penjelasan Anda!
10. Mengapa karakter/watak kewarganegaraan (civic dispositions)
dikatakan sebagai dimensi yang paling substantif dan esensial dalam
pendidikan kewarganegaraan?

12
BAB II
IDENTITAS NASIONAL DAN NASIONALISME

A. Identitas Nasional
1. Pengertian Identitas Nasional
Identitas nasional dibentuk oleh dua kata, yaitu ”identitas” dan
”nasional”. Identitas dapat diartikan sebagai ciri khas, tanda atau jati diri
yang melekat pada satu bangsa. Sedangkan ”nasional” dalam konteks
pembicaraan ini berarti kebangsaan (identitas bangsa). Jadi identitas
nasional secara harfiah merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nation)
dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri khas tadi suatu bangsa berbeda
dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Identitas nasional suatu bangsa
merupakan bagian tak terpisahkan dengan eksistensi negara (state) yang
terus berkembang seiring dengan perubahan zaman.
Pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian Peoples Character, National Character, atau National
Identity. Jati diri nasional yang dimiliki suatu bangsa tentu saja berbeda
dengan jati diri bangsa lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan latar
belakang sejarah terbentuknya bangsa itu, keunikan, sifat, ciri-ciri serta
karakter bangsa itu, dan faktor geografi. Jati diri nasional bangsa
Indonesia misalnya, terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang sama. Berawal dari pengalaman masing-masing
daerah dalam menghadapi kaum penjajah, kemudian timbullah perasaan
senasib sependeritaan, dan solidaritas kebangsaan yang membulatkan
tekad berjuang untuk merdeka berhadapan dengan para penjajah.
Perasaan senasib ini kemudian mendorong tumbuhnya kasadaran bahwa
kita memang memiliki banyak perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak dapat
menutup kenyataan bahwa kita memiliki kesamaan sejarah dalam
melawan kaum penjajah. Pengalaman sejarah yang sama ini dapat
menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang kemudian melahirkan
identitas nasional. Jatidiri nasional tentu saja tidak hanya menjadi jatidiri
dari sebuah bangsa sebagai satu kesatuan, tetapi juga menjadi identitas
bagi seluruh warga bangsa tertentu. Oleh karena itu, identitas nasional
diperlukan dalam proses interaksi baik antarwarga maupun antarnegara.
Kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara
historis berkembang dan menemukan jatidirinya setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Setiap negara yang merdeka dan berdaulat sudah dapat dipastikan
berupaya memiliki identitas nasional agar negara tersebut dapat
13
dikenal oleh negara-bangsa lain, dapat dibedakan dengan bangsa lain.
Identitas nasional mampu menjaga eksistensi dan kelangsungan hidup
negara-bangsa. Negara-bangsa memiliki kewibawaan dan kehormatan
sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa lain serta akan menyatukan
bangsa yang bersangkutan karena memiliki identitas nasional.
Ada pendapat lain seperti yang dikemukakan Winarno (2007),
bahwa identitas nasional disamakan dengan identitas kebangsaan.
Identitas itu sendiri menurutnya secara etimologis berasal dari kata
“identitas dan “nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris
identity yang mengadung arti harafiah ciri, tanda atau jati diri yang
melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu, sehingga membedakan
dengan yang lain. Dengan demikian, identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda
atau jati diri yang dimiliki seseorang, kelompok, masyarakat, bahkan
suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa membedakan dengan
yang lain. Sedangkan kata nasional merujuk pada konsep kebangsaan.
Kata nasional menunjuk pada kelompok-kelompok persekutuan hidup
manusia yang lebih besar dari sekedar pengelompokan berdasarkan ras,
agama, budaya, bahasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, identitas
nasional lebih merujuk pada identitas bangsa dalam pengertian politik.
Konsep identitas nasional sebagai atribut bangsa itu sendiri
sesungguhnya memiliki banyak dimensi, baik dimensi politik, sosial-
budaya, ekonomi, ideologi maupun pertahanan dan keamanan.
1. Dari dimensi politik, identitas nasional merupakan suatu konsep
politik untuk mempersatukan dan menyatukan berbagai kelompok
masyarakat yang berbeda dari segi suku bangsa, ras, agama, budaya
dan adat-istiadat, bahasa, dan lain-lain ke dalam ikatan politik
kebangsaan yang bersifat integratif.
2. Dimensi sosial budaya, identitas nasional merupakan suatu konsep
sosial-budaya untuk mengangkat budaya nasional sebagai puncak
budaya-budaya daerah yang tersebar mulai dari Sabang sampai
Merauke yang kemudian menimbulkan ikatan emosional
nasionalisme budaya. Bahwa budaya nasional bangsa Indonesia
berbeda dengan budaya bangsa lain.
3. Dimensi ekonomi, identitas nasional merupakan suatu konsep
ekonomi nasional yang berlandaskan pada konsep ekonomi
Pancasila, suatu model ekonomi yang berasaskan kekeluargaan
dengan dijiwai pada sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD NRI
Tahun 1945.
4. Dimensi ideologi, identitas nasional dicirikan melalui ideologi
Pancasila yang kemudian membedakan dengan ideologi yang dianut
bangsa dan negara lain, seperti ideologi liberalisme-kapitalisme
negara-negara Barat dan ideologi komunisme-sosialisme negara
14
Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Korea Utara, dan negara komunis
lainnya.
5. Dimensi pertahanan keamanan, identitas nasional dicirikan melalui
konsep sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dalam rangka
menjaga eksistensi dan keutuhan serta kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). (Karsadi, 2019).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa identitas nasional bangsa
dan negara Indonesia dilandasi oleh empat pilar kehidupan dan
kebangsaan, yakni Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD
NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai semboyan negara semboyan negara, serta didukung oleh kondisi
ketahanan nasional yang kuat, kukuh, ulet, dan tangguh.

2. Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional


Lahirnya identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas
serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor
yang mendukung kelahiran identitas nasional tersebut. Menurut Joko
Suryo (2002), kelahiran identitas nasional (Indonesia) dikaitkan dengan:
(1) faktor obyektif bangsa; dan (2) faktor subyektif bangsa itu. Faktor
obyektif yang dimaksudkan adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan
aspek geografis-ekologis dan demografis, sedangkan faktor subjektif
adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan faktor historis (sejarah
bangsa), politik, sosial, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.
Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai
daerah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan
komunikasi antarwilayah dunia di Asia Tenggara ikut memengaruhi
perkembangan kehidupan demografi, ekonomi, sosial, dan kultural
bangsa Indonesia. Selain itu, faktor historis yang dimiliki bangsa
Indonesia ikut mempengaruhi proses pembentukan masyarakat dan
bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor
yang ada di dalamnya. Hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut
melahirkan proses pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara-bangsa
beserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme
berkembang di Indonesia pada awal abad 20.
Secara teoretis-empiris, kelahiran identitas nasional suatu bangsa
menurut Robert de Ventos (Joko Suryo, 2002) dipengaruhi oleh hasil
interaksi historis antara empat faktor penting, yakni faktor primer, faktor
pendorong, faktor penarik, dan faktor reaktif. Secara rinci penjelasan
empat faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Faktor primer (faktor utama), meliputi etnisitas, teritorial, bahasa,
agama, dan lain-lain yang sejenisnya. Bangsa Indonesia yang terdiri
15
atas berbagai macam suku bangsa (etnis), bahasa, agama, wilayah
(region), dan bahasa daerah merupakan satu kesatuan, meskipun
berbeda-beda dengan kekhasannya masing-masing. Unsur-unsur yang
beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri-
sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama ke
dalam ikatan yang disebut bangsa Indonesia.
2. Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,
lahirnya angkatan bersenjata modern, sentralisasi, dan pembangunan
lainnya dalam kehidupan bernegara. Hal ini menjadi bagian penting
karena bagi suatu bangsa, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan identitas
nasional yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia
proses pembentukan identitas nasional yang dinamis ini sangat
ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia
dalam membangun bangsa dan negaranya. Sebagai contoh dari faktor
pendorong ini, yaitu ketika bangsa Indonesia mampu membuat
pesawat melalui PTDI.
3. Faktor penarik, meliputi kodifikasi bahasa dalam gramatika yang
resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan
nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah mempersatukan
dan menyatukan berbagai suku bangsa yang berdiam di negara
Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahsa resmi (formal) negara
dan dipergunakan untuk alat komunikasi antarsuku bangsa di
Indonesia.
4. Faktor reaktif, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas
alternatif melalui memori kolektif rakyat. Bagi bangsa Indonesia
hampir setengah abad dikuasai oleh bangsa lain (bangsa Belanda,
Inggris, dan Jepang), sehingga mendorong reaksi balik dari seluruh
suku bangsa untuk bersatu dan dipersatukan oleh persamaan nasib.
Penderitaan dan kesengsaraan selama di jajah oleh bangsa lain
menjadi faktor pemersatu untuk berjuang bersama-sama untuk
mencapai kemerdekaan. Semangat pengorbanan, perjuangan,
menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Dari sekian faktor yang mendorong lahirnya identitas nasional,
bagi bangsa Indonesia faktor yang keempat yakni penindasan dan
pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat adalah
merupakan faktor yang lebih dominan. Faktor perasaan senasib dan
sepenanggungan dalam berjuang mengusir penjajah merupakan dimensi
psikologi bangsa Indonesia untuk bersatu padu, tanpa terbebani oleh
perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya, warna kulit, dan agama serta
perbedaan lainnya baik yang berupa fisik maupun non fisik. Dalam
16
perspektif ini, identitas nasional lebih merupakan dimensi psikologis dari
berbagai komponen bangsa untuk bertekad dan menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan menjadi bangsa yang maju, berkembang, dan
bermartabat serta berbudaya. Tidak salah kemudian konsep identitas
nasional sering ditunjukkan oleh atribut yang melekat pada diri bangsa
Indonesia itu sendiri, seperti semangat kegotong-royongan, kekeluargaan,
kebersamaan dan kesetiakawanan sosial, kesantunan, kerukunan,
keramah-tamahan, religiusitas, toleransi, kesederhanaan, dan nilai-nilia
budaya dan kemasyarakatan yang luhur lainnya.
Identitas nasional bangsa Indonesia sebagai atribut bangsa, juga
dapat tercermin dari budaya nasional yang berkembang dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat Indonesia. Berbagai kesenian daerah yang tampil
mendunia merupakan contoh konkret dari identitas nasional bangsa
Indonesia. Bahkan dalam forum dunia, UNESCO sebagai salah satu
badan PBB telah mencatat berbagai kekayaan budaya dunia yang
merupakan identitas nasonal bangsa Indonesia, seperti pakaian batik,
tarian reog, dan jenis-jenis tarian lain serta kebudayaan lainnya yang
merupakan atribut identitas nasional. Atribut identitas nasional lainnya
juga tercermin dari tradisi masyarakat Indonesia yang terus memelihara
warisan budaya bangsa Indonesia yang bersumber dari Pulau Sabang
sampai Merauke mulai dari tradisi masyarakat pada acara-acara
perkawinan, kematian, tujuh bulanan (mitoni) dan acara-acara ritual
lainnya yang bersifat turun-temurun.
Faktor penting lainnya yang mendorong tumbuhnya kesadaran
kebangsaan di Indonesia adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai
bahasa kebangsaan, yang bersama-sama agama Islam memecahkan
kecenderungan nasionalisme sempit di Indonesia. (Kahin, 1980). Bahasa
Melayu ternyata diterima masyarakat yang sebenarnya sudah memiliki
bahasa daerah/suku yang cukup berpengaruh dan digunakan sebagai
bahasa sehari-hari oleh masyarakat daerah/suku tersebut. Digunakannya
bahasa Melayu dalam pergaulan antar-etnis turut mempercepat
tumbuhnya kesadaran kebangsaan di Indonesia.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia dalam mengusir
penjajah menimbulkan solidaritas kebangsaan dan ikatan emosional
bangsa berupa perasaan senasib dan sepenanggungan. Aspek historis
persamaan nasib inilah yang mempengaruhi kelahiran bangsa Indonesia.
Munculnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, setidaknya, sangat
mendukung upaya pencarian nasionalisme Indonesia, dan menunjukkan
bahwa perbedaan ras, suku bangsa, budaya, adat-istiadat, bahasa, warna
kulit dan lain-lain justru menjadi pengikat untuk bersatu mendirikan
negara Indonesia merdeka.

17
Patut disebut di sini, bahwa sumbangan agama Islam sebagai salah
satu faktor pengikat bagi lahirnya kesadaran nasional sangatlah besar.
Agama Islam bukan saja menjadi rantai pengikat, tetapi muncul juga
sebagai semacam simbol persaudaraan dari masyarakat Hindia Belanda
guna menghadapi kaum penjajah (Kahin, 1980). Munculnya gerakan
Islam yang terorganisasi di awal abad 20 menjadi upaya-upaya serius
umat Islam untuk memajukan masyarakat. Gerakan Islam yang
terorganisasi, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam,
Persatuan Islam, seluruhnya bersifat nasional, dalam pengertian bahwa
anggota dan cabang-cabangnya meliputi seluruh Hindia Belanda. Hal ini
kemudian mendorong tumbuhnya kesadaran nasional, perasaan bersama
sebagai sebuah bangsa dan ini menjadi modal utama bagi pembentukan
identitas nasional.
3. Kemajemukan (Pluralitas) Masyarakat Indonesia sebagai Atribut
Identitas Nasional Indonesia
Identitas nasional Indonesia sering dikaitkan dengan masyarakat
Indonesia yang majemuk (pluralis). Kemajemukan dan keberagaman
masyarakat Indonesia ini sering kali dijadikan sebagai atribut bangsa
Indonesia untuk membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang ada di dunia sering kali
dijuluki sebagai bangsa yang besar yang mampu menjunjung tinggi dan
memelihara keberagaman (pluralitas) dalam bingkai NKRI dengan
berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, keberagaman bangsa Indonesia tetap akan menjadi atribut
nasional bangsa untuk bersatu, baik di masa sekarang maupun di masa
yang akan datang.
Secara sosiologis, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
majemuk (pluralis). Dilihat dari dimensi etnisitas, bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai etnis yang tersebar mulai dari Sabang sampai
Merauke. Belum ada data yang pasti mengenai jumlah etnis yang ada di
Indonesia, tetapi menurut para ahli antropologi menyebutkan bahwa etnis
di Indonesia mencapai ± 300 suku bangsa. Begitu pula jika dilihat dari
dimensi sosio-kultural, masing-masing etnis tersebut memiliki perbedaan
sosio-kultural. Hal ini tercermin dari perbedaan budaya daerah dan adat
istiadat dari masing-masing etnis tersebut. Begitu pula kemajemukan
bangsa Indonesia dapat dilihat dari dimensi agama, ras, bahasa daerah,
dan dimensi lainnya seperti dimensi antargolongan. (Karsadi, 2019).
Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia, selain merupakan
aset yang berharga sebagai modal pembangunan nasionaldan kemajuan
bangsa, tetapi di sisi lain ternyata mengandung kelemahan karena dapat
menjadi potensi munculnya konflik sosial. Bahkan dari beberapa kasus
18
munculnya gerakan separatis di berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan bahwa kemajemukan bangsa yang tidak terkelola dengan
baik cenderung menimbulkan disintegrasi bangsa. Bukti konkret tidak
terkelolanya bangsa dan negara dengan baik mengenai kondisi tersebut
dapat dilihat pada gerakan separatis yang dilakukan oleh Organisasi
Papua Merdeka (OPM), Gerakan Aceh Merdek (GAM), dan gerakan
separatis lainnya yang mengancam keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Dilihat dari pengalaman sejarah juga menunjukkan bahwa
kemajemukan bangsa Indonesia pada masa penjajahan telah
dimanfaatkan oleh penjajahan Kolonial Belanda untuk memecah belah
Indonesia. Penjajahan Kolonial Belanda telah menerapkan politik ”devide
et inpera” untuk memecah belah dan ”mengadu domba” bangsa
Indonesia agar berperang dan bermusuhan antara satu etnis (kelompok)
yang satu dengan yang lain. Pengalaman sejarah inilah yang seharusnya
menjadi bahan refleksi atau renungan atau intropeksi pemerintah
Indonesia agar semua peristiwa buram masa lalu tidak terulang kembali
pada masa sekarang ini. Peristiwa tersebut menjadi pengalaman dan
ppelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan merupakan suatu kenyataan
yang tidak dapat terhindarkan lagi dalam kehidupan bangsa (taken for
granted). Sebagai bangsa yang majemuk dari berbagai dimensi, maka
untuk menjaga keutuhan dan persatuan dibutuhkan suatu landasan yang
kukuh agar bangsa Indonesia tetap bersatu dan tidak mudah terpecah
belah ke arah disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, Pancasila sebagai
dasar danpandangan hidup bangsa (way of life) telah menjadi referensi
atau rujukan dan pedoman serta pandangan hidup bagi bangsa Indonesia,
baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu, ada
kewajiban bagi semua komponen bangsa untuk membumikan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan nyata, sekaligus menumbuhkan semangat
wawasan kebangsaan dan nasionalisme.
Semenjak penguasa Orde Baru meletakkan pembangunan sebagai
dasar merintis peradaban (civilized) yang lebih maju dan baik, tampaknya
wawasan kebangsaan mulai terkikis. Jika pembangunan diintrodusir
sebagai instrumen pemberdayaan (empowering) masyarakat menuju
kesejahteraan, ternyata dalam perjalanannya jauh melampaui semua,
pembangunan telah menjadi tujuan. Orde Baru memeluk ideologi
developmentalism. Akibatnya semua dimobilisasi demi pembangunan.
Wawasan kebangsaan dan pluralisme dijinakan melalui politik
homogenitas demi pembangunan. Artinya politisasi atas pluralisme
(kemajemukan) melalui politik homogenitas ini tentu saja menjadi
kendala mendasar bagi tumbuhkembangnya wawasan kebangsaan.
19
Kenyataan di tengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa
adanya resistensi masyarakat, terutama di daerah pedalaman Papua,
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan tempat-tempat lain merupakan
bukti resistensi masyarakat terhadap politik homogenitas pemerintah
terhadap pluralisme pada masa Orde Baru. Keunikan (kekhasan), kearifan
lokal (local knowledge) dan pluralitas masyarakat menjadi sulit
ditemukan lagi sebagai akibat dari proses invansi pembangunan yang
hegemonik yang kemudian dijadikan argumen dan justifikasi atas
dan/atau demi pembangunan dan persatuan tanpa toleransi dengan
kekhasan dan keunikan masing-masing daerah dan masyarakatnya.
Dari berbagai sumber kepustakaan dapat diidentifikasi bahwa
masalah-msalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat
Indonesia saat ini adalah sebagai berikut.
1. Adanya kecenderungan terjadinya pergeseran dari pluralisme menjadi
polarisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis
(majemuk).
2. Bergesernya konfigurasi pemilahan sosial yang bersifat intersected
(cross-cutting affiliation) menjadi pemilahan sosial yang bersifat
consolidated di tengah-tengah arus neoliberalisasi dan globalisasi.
3. Adanya pandangan-pandangan miopia, egosentrisme, dan elitisme
kelompok yang cenderung menerapkan kaidah-kaidah parochial
untuk menilai sikap dan perilaku di luar kelompoknya/orang luar
dalam konteks masyarakat pluralis (majemuk).
4. Adanya sikap yang bersifat prejudice yang cenderung mengarah pada
sesuatu yang bersifat primordial hanya karena berbeda budaya dan
tradisi lokalnya.
5. Munculnya ideological displacement dalam bentuk value
displacement sehingga telah menimbulkan proses marginalisasi
masyarakat. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 kehilangan
makna substansial karena mengalami value displacement tersebut.
6. Adanya sikap pemerintah yang selalu mempertahankan dan
menerapkan prinsip ”the state can do no wrong”, sehingga
pemerintah menjadi sulit untuk menerima aspirasi, kritik, dan
masukan dari masyarakat luas.
7. Kecemasan dari berbagai kalangan masyarakat pedalaman dan
masyarakat di luar Pulau Jawa akibat kendali atas nasib sendiri.
Selama ini mereka telah dijadikan objek pembangunan yang bersifat
sentralistik, meskipun sekarang sudah otonomi, tetapi dalam
praktiknya masih dirasakan projek-projek pembangunan belum
dinikmati secara maksimal masyarakat di daerah. Selain itu, postur
APBD berorientasi pada belanja pegawai daripada pembangunan.

20
8. Ketidakmampuan masayakat luas dalam berpartisipasi, terutama
dalam proses pengambilan kebijakan publik. Akses politik bagi
masyarakat luas begitu mahal sebagai akibat politisasi partisipasi
menjadi mobilisasi.
9. Sosialisasi ajaran agama yang mendorong militansi pemeluknya
sebagai akibat melemahnya dan tidak dipercayainya pemimpin
negara/nasional, wakil-wakil rakyat, pemuka masyarakat, dan
pemeluk agama, sehingga kemudian muncul gerakan terorisme dan
radikalisme yang dibungkus dengan ajaran agama yang konservatif
dan radikal, seperti perilaku teroris.
10. Masih ada masyarakat yang kurang percaya kepada birokrasi
pemerintah yang tidak populis, tidak pro poor, dan tidak egaliter,
sehingga hanya mementingkan keluarganya dan kelompoknya.
Birokrasi pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai pamong
dan pengayom yang melani masyarakat, tetapi sebaliknya yang
terjadi adalah birokrasi yang minta dilayani, tidak lagi mengayomi,
tetapi diayomi masyarakat.
11. Munculnya kekerasan struktural di tengah-tengah masyarakat yang
pluralis sebagai akibat adanya penyakit struktural yang menimpa
masyarakat, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan
sosial-ekonomi. (Karsadi, 2019).
4. Parameter Identitas Nasional
Bagi bangsa Indonesia, pengertian parameter identitas nasional
tidak merujuk pada individu (adat istiadat dan tata laku), tetapi berlaku
pula pada suatu kelompok Indonesia sebagai suatu bangsa yang
majemuk, maka kemajemukan itu merupakan unsur-unsur atau parameter
pembentuk identitas yang melekat dan diikat oleh kesamaan-kesamaan
yang terdapat pada segenap warganya.
Parameter identitas nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang
dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu adalah mnjadi ciri khas suatu
bangsa. Sesuatu yang diukur adalah unsur suatu identitas, seperti
kebudayaan yang menyangkut norma, bahasa, adat istiadat, teknologi,
sesuatu yang alami atau ciri-ciri yang sudah terbentuk seperti geografi.
Pada dasarnya parameter identitas nasional meliputi:
1. Pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat sehari-hari;
menyangkut adat istiadat, tata kelakukan, dan kebiasaan. Ramah
tamah, hormat kepada orang tua dan gotong royong.
2. Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara
simbolik menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-
lambang negara ini biasanya dinyatakan dalam UU seperti Garuda
Pancasila, bendera, bahasa dan lagu kebangsaan.
21
3. Alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan,
seperti bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Bangunan seperti
Borobudur, Prambanan, Masjid dan Gereja. Peralatan manusia seperti
pakaian adat, teknologi, bercocok tanam dan teknologi, seperti
pesawat terbang, kapal laut, dan lain-lain.
4. Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa, identitas yang bersumber
dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti prestasi dalam
bidang tertentu.

B. Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme merupakan salah satu unsur penting dalam
pembinaan kebangsaan atau nation-building. Dalam proses pembinaan
kebangsaan, semua anggota masyarakat bangsa dibentuk agar
berwawasan kebangsaan serta berpola tata laku secara khas yang
mencerminkan budaya maupun ideologi. Proses pembinaan kebangsaan
memang unik bagi setiap bangsa. Bagi masyarakat bangsa yang plural
akan tetapi homogen, seperti Amerika Serikat, konsep melting-pot dapat
diterapkan. Namun bagi masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen
akan lebih mengedepankan wawasan kebangsaan, yang unsur-unsurnya
adalah rasa kebangsaan, semangat kebangsaan atau nasionalisme, dan
faham kebangsaan.
Sikap dan perwujudan nasionalisme adalah kebebasan bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri. Mengapa? Menurut Susanto Zuhdi
(2014), karena bangsa yang hidup dalam alam penjajahan merasakan
pahit getirnya penghinaan dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Maka, tujuan nasionalisme adalah kehidupan kebangsaan yang bebas.
Nasionalisme Indonesia pernah memperlihatkan wujud nyatanya dalam
sejarah Indonesia. Masa perang kemerdekaan yang meletus sejak tahun
1945 hingga tercapai “pengakuan” negara nasional tahun 1949,
merupakan bukti nasionalisme Indonesia. Terlihat jelas sikap loyalitas
yang diberikan kepada bangsa dari warganya untuk mewujudkan nilai
dan sikap kepahlawanan, persatuan, solidaritas, dan pantang menyerah.
2. Prinsip Nasionalisme dalam Pancasila
Bangsa Indonesia berpandangan monodualistik, yaitu suatu paham
yang menganggap bahwa hakikat sesuatu merupakan dua unsur yang
terikat menjadi suatu kebulatan. Monopluralis, yaitu mengaku bahwa
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai unsur yang beraneka ragam
(agama, suku, adat istiadat, kebudayaan, bahasa daerah). Walaupun
demikian keseluruhan unsur yang berbeda itu tetap merupakan satu

22
kesatuan yang utuh, yaitu bagian dari bangsa Indonesia, serta
berpandangan integralistik, kebersamaan, kekeluargaan.
Di Indonesia menurut Hildred Geertz ditemukan lebih dari 300
suku bangsa, Skiner menyebutkan ada lebih dari 35 suku bangsa, masing-
masing dengan bahasa dan adat-istiadat yang berbeda, diantaranya Jawa,
Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Bali, Aceh, Dayak. Untuk
memelihara agar persatuan dan kesatuan tetap utuh sekalipun bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa maka seluruh suku bangsa
yang ada di Indonesia diharapkan dapat saling memahami, menghayati,
dan mengamalkan Pancasila secara bulat dan utuh, misalnya kebhinekaan
agama akan tetap terpelihara dengan baik manakala seluruh umat
beragama dapat mengamalkan Pancasila terutama sila pertama dan sila
kedua yang memberikan jaminan bahwa setiap manusia harkat dan
derajatnya sama di hadapan Tuhan. Begitupun pengamalan sila-sila yang
lainnya akan dapat membina dan mempersatukan suku bangsa yang
berbeda.
Prinsip nasionalime yang dikandung dalam Pancasila bukanlah
nasionalisme yang sempit dan berlebihan. Kita mencintai bangsa
Indonesia bukan berarti kita mengagung-agungkan bangsa sendiri saja.
Kita tetap mencintai bangsa kita, tetapi juga menghargai bangsa-bangsa
lain, mereka mempunyai hak hidup yang sama seperti bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, kita harus saling menghargai, antarbangsa di dunia yang
sangat luas ini, Indonesia merupakan bagian darinya, demikian pula
bangsa-bangsa lain. Prinsip nasionalisme juga sangat berhubungan
dengan prinsip wawasan nusantara. Bangsa Indonesia memiliki faktor-
faktor integratif (pemersatu) bangsa sebagai perekat persatuan, yaitu
Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, bendera kebangsaan Merah Putih, lagu
Kebangsaan Indonesia Raya, bahasa Indonesia, satu kesatuan wilayah,
satu pemerintah negara, satu cita-cita dan perjuangan, serta pembangunan
nasional.

3. Paham yang Bertentangan dengan Nasionalisme


Ada beberapa paham yang bertentangan dengan nasionalisme,
seperti: sukuisme, chauvinisme, dan ekstrimisme. Sukuisme, yaitu
paham kecintaan yang berlebihan terhadap suku bangsa serta berusaha
memisahkan diri dari kehidupan suku-suku lain. Chauvinisme, yaitu rasa
cinta tanah air yang berlebihan dengan mengagung-agungkan bangsa
sendiri, dan merendahkan bangsa lain. Ekstremisme, yaitu tindakan suatu
golongan atau kelompok yang berusaha menggulingkan pemerintah yang
sah melalui cara-cara yang tidak konstitusional.
Sikap nasionalisme biasanya tumbuh berbarengan dengan
patriotisme. Patriotisme mengandung makna yang dalam bagi bangsa
23
Indonesia yaitu sebagai berikut: (1) merupakan ciri khas kepribadian
bangsa Indonesia, yakni bangsa yang cinta tanah air, bangsa dan negara,
(2) merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin
dalam nilai moral yang terkandung pada sila ketiga Pancasila, dan (3)
merupakan alat pemersatu seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, dan salah satu faktor pendukung pembangunan.
Hubungan patriotisme dengan cinta tanah air/kebangsaan, antara
lain: (1) patriotisme merupakan pencerminan dari rasa cinta tanah air,
bangsa dan negara, (2) patriotisme melandaasi semangat persatuan dan
kesatuan bangsa, (3) patriotisme mendorong tumbuhnya semangat
mengutamakan kepentingan, keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan, (4) patriotisme memotivasi
munculnya semangat rela berkorban untuk kepentingan umum, bangsa
dan negara, (5) merupakan alat untuk mewujudkan rasa cinta tanah air
dan bangsa, (6) patriotisme merupakan bukti rasa bangga sebagai bangsa
Indonesia dan bertanah air Indonesia, (7) patriotisme mendorong
tumbuhnya semangat pergaulan demi persatuan dan kesatuan yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika, dan (8) patriotisme mendorong tumbuhnya
kesetiakawanan sosial. Dengan demikian, jiwa semangat ‘45 merupakan
sumber kehidupan bagi perjuangan bangsa Indonesia yang berisi
kekuatan batin dan merebut kemerdekaan, menegakkan kedaulatan
rakyat, mengisi, dan mempertahankannya.
Hal-hal yang terkandung dalam jiwa semangat ‘45 adalah Pro
Patria dan Primus Patrialis, yaitu mencintai tanah air dan mendahulukan
kepentingan tanah air, jiwa solidaritas dan kesetiakawanan dari semua
lapisan masyarakat terhadap perjuangan kemerdekaan, jiwa toleransi atau
tenggan rasa antar-agama, antarsuku, antargolongan, dan antar bangsa;
jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab, jika kesatria dan kebesaran
jiwa yang tidak mengandung balas dendam. Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam semangat angkatan ’45 sebagai perwujudan keikhlasan
adalah semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuknya,
terutama penjajahan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, semangat
pengorbanan, seperti pengorbanan harta benda dan jiwa raga, semangat
tahan derita dan tahan uji, semangat kepahlawanan, semangat persatuan
dan kesatuan, serta percaya pada diri sendiri.
Adapun nilai-nilai operasional semangat ’45 meliputi: (1)
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) jiwa dan semangat
merdeka, (3) nasionalisme, (4) patriotism, (5) rasa harga diri sebagai
bangsa yang merdeka, (6) pantang mundur dan tidak kenal menyerah, (7)
persatuan dan kesatuan, (8) anti penjajah dan penjajahan, (9) percaya
kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya, (10) idealisme
24
kejuangan yang tinggi, (11) berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah
air, bangsa dan negara, (12) kepahlawanan, (13) Sepi ing pamrih rame
ing gawe, (14) kesetiakawanan, senasib, sepenanggungan, dan
kebersamaan, disiplin yang tinggi, dan (15) ulet dan tabah menghadapi
segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

4. Nilai-Nilai Nasionalisme
Nilai-nilai nasionalisme pada hakekatnya tercermin dalam
semangat kebangsaan kita. Sebagi bangsa pejuang, Indonesia telah
menunjukkan kegigihan dan nilai-nilai kejuangannya terhadap bangsa
dan negara Indonesia. Hal tersebut telah dibuktikan dengan sejarah
perjuangan yang tidak akan dapat dilupakan. Dari perjuangan bangsa
Indonesia, sebagai generasi muda harus mampu menggali nilai-nilai
kepahlawanan yang terdapat di dalam perjuangan bangsa Indonesia dapat
disimpulkan menjadi nlai persatuan, nilai kecintaan, nilai kebangsaan,
dan nilai pengorbanan.
a. Nilai Persatuan
Salah satu nilai kepahlawanan yang dimiliki oleh para pejuang
bangsa Indonesia adalah mampu menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Para pejuang bangsa rela mengorbankan
kepentingan pribadinya, seperti melanjutkan pendidikan, kepentingan
keluarga, serta kepentingan terhadap kebutuhan jasmani dan rohani.
Mereka mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan negara.
b. Nilai Kecintaan
Kuatnya semangat pengorbanan dan persatuan para pahlawan dahulu
karena didasari oleh rasa cinta yang tinggi terhadap bangsa dan
negara Indonesia. Hal ini sangat dipahami karena jika tidak dilandasi
oleh adanya kecintaan terhadap negerinya, sangatlah mustahil bangsa
Indonesia rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya.
c. Nilai Kebangsaan
Bangga sebagai bangsa Indonesia dapat menimbulkan sikap yang rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan kebanggaan
itulah, bangsa Indonesia merasa bahwa harkat dan martabat bangsa
harus tetap dipertahankan agar senantiasa lestari. Penjajahan
dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap bangsa lain.
Penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
d. Nilai Pengorbanan
Nilai kepahlawanan yang mampu meruntuhkan belenggu penjajahan
di Indonesia adalah nilai pengorbanan yang dimiliki para pahlawan.
Pengorbanan yang dimiliki bukan merupakan pengorbanan untuk
25
dirinya atau demi keluarga dan golongannya. Melainkan pengorbanan
untuuk kepentingan bangsa dan negara. Harta, jiwa, nyawa, tenaga,
dan hal-hal yang melekat pada dirinya siap dikorbankan demi
kepentingan bangsa dan negara. Inilah yang mampu mengantarkan
bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Sikap dan perilaku yang merugikan nilai-nilai nasionalisme,
berupa: (1) kemiskinan, kesenjangan sosial, dan keterbelakangan, (2)
korupsi, kolusi, nepotisme, pencemaran lingkungan hidup dan dekadensi
moral, (3) apatisme, ketidakpedulian sosial, dan ketergantungan, (4)
kemerosotan nilai upacara, nilai seni, dan kemerosotan sejarah, (5)
kemerosotan kebajikan dan kemerosotan kesusilaan yang beradab, (6)
kemerosotan penghormatan terhadap orang tua, persaudaraan, kesetiaan,
dan kenakalan remaja, (7) kecenderungan meniru budaya asing yang
mementingkan unsur keduniawian dan pergaulan bebas, dan (8) kurang
percaya terhadap ketegasan peraturan dan peradilan hukum yang berlaku.

5. Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme


Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa
liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak
menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi
liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa
akan hilang. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta
terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri,
seperti: Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut, dll yang membanjiri
Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
menunjukkan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita
terhadap bangsa Indonesia. Masyarakat kita khususnya anak muda
banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena
gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat
dunia dianggap sebagai kiblat. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial
yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas
dalam globalisasi ekonomi.
Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan
miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. Munculnya
sikap individualism yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku
sesama warga. Dengan adanya individualism maka orang tidak akan
peduli dengan kehidupan bangsa. Arus globalisasi begitu cepat merasuk
ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi
terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah
membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai
bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian
26
banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang
cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim
bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak
kelihatan. Padahal cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan
kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka
warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara
menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan
budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan
kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan
informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apalagi bagi
anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari-hari. Jika
digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang
berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini
banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya.
Misalnya untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja,
adalagi pegangan wajib mereka yaitu Handphone. Rasa sosial terhadap
masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan
menggunakan Handphone. Banyak anak muda yang tingkah lakunya
tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli
terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan
keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh
riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan
kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi
terhadap nilai-nilai nasionalisme antara lain yaitu: (1) menumbuhkan
semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk
dalam negeri, (2) menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
dengan sebaik baiknya, (3) menanamkan dan melaksanakan ajaran agama
dengan sebaik-baiknya, (4) mewujudkan supremasi hukum, menerapkan
dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan seadil-adilnya,
dan (5) selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi,
ekonomi, sosial budaya bangsa.
Untuk menumbuhkan nasionalisme yang sesungguhnya, tidak
bersifat sektarian dan parochial, maka menurut Tjokrowinoto (1998)
diperlukan dan ditumbuhkan loyalitas dan solidaritas organisasi
(oraganic solidarity). Reconscientisasi akar historis menyadarkan
kembali bahwa negara ni terbentuk melalui kesepakatan bersama bahwa
nasionalisme (Persatuan Indonesia) menjadi salah satu pilar negara.
Namun loyalitas, solidaritas, dan identitas sebagai bangsa perlu
didasarkan pada kesadaran bahwa masing-masing subkultur menjadi
bagian fungsional dari suatu nation-state dan merupakan prasyarat bagi
27
fungsinya entitas politik. Dengan demikian, aktualisasi berbagai
subkultur akan mendapat tempat sepanjang tidak membahayakan
berfungsinya nation-state. Melalui penghayatan organic solidarity ini
subkultur yang satu tidak akan merasa terancam oleh subkultur lain dan
akan menghargai subkultur lain karena masing-masing menyadari akan
perannya untuk menopang berfungsinya nation-state.
Diakui bahwa nasionalisme Indonesia pada masa pemrintahan Orde
Baru mengalami krisis dan degradasi. Akibat dari krisis dan degradasi
lalu muncul ke permukaan berbagai gerakan-gerakan yang bersifat
sektarian dan kedaerahan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Munculnya berbagai tuntutan rakyat dari berbagai
daerah, seperti Aceh, Maluku, dan Ambon merupakan dampak tidak
dikelolanya negara dengan baik. Ketidakadilan dan diskriminasi yang
dialami oleh rakyat di berbagai daerah mendorong resistensi untuk
memisahkan diri dari NKRI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi
Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan
gerakan separatis yang ingin membentuk negara sendiri terpisah dari
NKRI. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan negara untuk
mengaktualisasikan nasionalisme yang sesungguhnya. Semangat “senasib
dan sepenanggungan” sebagai fondasi nasionalisme untuk membentuk
nation-state menjadi kehilangan ruhnya dan bergeser mmenjadi semangat
anti pemerintah dan anti NKRI.
Nasionalisme sebagai landasan politik eksistensi dan keutuhan
bangsa dan negara Indonesia merupakan prasyarat mutlak terwujudnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menumbuhkembangkan
kembali nasionalisme yang selama tiga dasa warsa mengalami krisis
tidaklah mudah. Berkembangnya semangat etnosentrime dan kedaerahan
perlu dijawab dengan pembangunan nasional yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dengan dilandasi oleh semangat persatuan
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Dengan
kata lain, nasionalisme yang perlu ditumbuhkembangkan dan
dikristalisasikan dalam diri bangsa Indonesia adalah nasionalisme
Indonesia yang ber-Pancasila.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Identitas nasional tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui
proses panjang. Uraikan bagaimana proses terbentuknya identitas
nasional bangsa Indonesia?

28
2. Menurut Robert de Ventos secara teoretis-empiris kelahiran identitas
nasional suatu bangsa dipengaruh oleh hasil interaksi historis antara
faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif.
Uraikan bagaimana proses interaksi keempat faktor tersebut dalam
mendukung kelahiran identitas nasional!
3. Terkadang identitas nasional berseberangan dengan identitas pribadi.
Bagaimana sebaiknya menurut pendapat Anda mengharmonisasikan
kedua hal tersebut sehingga bisa berjalan berdampingan?
4. Bagaimana sikap Anda terhadap klaim kebudayaan Indonesia
(Identitas bangsa Indonesia) oleh Malaysia? Siapa yang harus
disalahkan dengan klaim kebudayaan tersebut?
5. Wujud dari identitas nasional antara lain adalah Nasionalisme dan
Patriotisme. Jelaskan perbedaan keduanya dan bagaimana keduanya
dapat membentuk identitas nasional?
6. Wujud negatif dari identitas nasional adalah Chauvinisme. Jelaskan
mengapa sikap ini negatif pengaruhnya terhadap identitas nasional?
7. Mengapa identitas nasional dikatakan sebagai karakter bangsa?
Uraikan pendapat Anda!
8. Masalah identitas nasional muncul akhir-akhir ini lebih dikarenakan
kekhawatiran berbagai pihak atas semakin mengikisnya kebanggaan
terhadap budaya nasional, atribut nasional yang mencirikan identitas
nasional. Menurut pendapat Anda, mengapa kekhawatiran itu
timbul? Dan bagaimana cara mengatasinya?
9. Globalisasi yang melanda dunia saat ini bisa berdampak positif dan
negatif bagi identitas nasional. Agar dapat memanfaatkan gerakan
dimaksud untuk sebesar-besar kesejahteraan masyarakat Indonesia
tanpa harus mengancam identitas nasional bangsa Indonesia.
Menurut pendapat Anda tindakan apa yang harus diambil
pemerintah?
10. Parameter identitas nasional adalah suatu ukuran atau patokan yang
dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu yang menjadi ciri khas
suatu bangsa. Uraikan, parameter seperti apa yang digunakan untuk
mengukur identitas nasional bangsa Indonesia?

29
BAB III
INTEGRASI NASIONAL

A. Pengertian Integrasi Nasional


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,
yang didalamnya terdapat sebuah perbedaan ras, suku, bahasa, maupun
agama. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah
banyaknya perbedaan tersebut, maka diperlukan suatu integrasi nasional
yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI Tahun
1945. Integrasi berasal dari bangsa inggris “integration” yang berarti
kesempurnaan atua keseluruhan. Kata tersebut berasal dari bahasa latin
yaitu integer, yang berarti utuh atau menyeluruh. Berdasarkan arti
etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa integrasi adalah pembauran
hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan nation, berarti
bangsa sebagai bentuk persekutuan yang terdiri dari dari sekelompok
orang dengan latar belakang yang berbeda.
Menurut Kamus Besar Bangsa Indonesia (KBBI), integrasi
memiliki arti pembauran sampai menjadi satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Sedangkan arti dari kata nasional berarti bangsa. Jadi, integrasi
nasional adalah proses persatuan wilayah yang di dalamnya terdapat
sebuah perbedaan. Lebih lanjut menurut Saafroedin Bahar (1996),
integrasi nasional berarti menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan
pemerintah dan wilayahnya. Sedangkan menurut Kurana (2010), integrasi
nasional merupakan kesadaran identitas bersama di antara warga negara.
Artinya, meskipun memiliki kasta, agama, dan daerah, serta bahasa yang
berbeda, kita mengakui kenyataan bahwa semua adalah satu.
Pendapat lain disampaikan oleh Suroyo (1998), integrasi nasional
mencerminkan proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang
berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial budaya,
atau latar belakang ekonomi menjadi satu bangsa (nation) terutama
karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sama. Sedangkan
menurut Koentjaraningrat (1993), integrasi nasional memiliki dua
pengertian mendasar. Pertama, integrasi nasional secara politis artinya
upaya dan proses untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat dari
berbagai latar belakang sosial, politik, keagamaan masuk ke dalam satu
wilayah teritorial bersama yang kemudian mewujudkan persatuan dan
kesatuan. Kedua, integrasi nasional secara budaya artinya proses untuk
menyesuaikan nilai-nilai kebudayaan yang bermacam-macam sehingga
mencapai kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang dalam
mewujudkan negara kesatuan.
30
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami
bahwa integrasi nasional bangsa Indonesia merupakan hasrat dan
kesadaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa, menjadi satu kesatuan
bangsa secara resmi.

B. Dimensi-Dimensi Integrasi Nasional


Ada beberapa dimensi integrasi nasional, yaitu sebagai berikut.
1. Integrasi Politik
Dalam tataran integrasi politik ada dua dimensi yaitu vertikal dan
horizontal. Dimensi vertikal menyangkut hubungan antara elite
politik dengan massa pengikut maupun antara penguasa dan rakyat.
Hal ini guna menjembatani celah perbedaan dalam rangka
pengembangan proses politik yang partisipasif. Sedangkan dimensi
horizontal menyangkut hubungan yang berkaitan dengan masalah
territorial, antardaerah, antarsuku, umat beragama, dan golongan
masyarakat Indonesia.
2. Integrasi Ekonomi
Integrasi ekonomi yaitu terjadinya saling ketergantungan antardaerah
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Adanya
saling ketergantungan menjadikan wilayah dan masyarakat
melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Di sisi lain,
integarasi ekonomi adalah penghapusan hambatan-hambatan
antardaerah yang memungkinkan ketidaklancaran hubungan
antarkeduanya. Contohnya, peraturan, norma, prosedur, atau
pembuatan aturan bersama yang mampu menciptakan keterpaduan di
bidang ekonomi.
3. Integrasi Sosial-Budaya
Integrasi sosial-budaya merupakan proses penyesuaian unsur-unsur
yang berbeda dalam masyarakat, sehingga menjadi satu kesatuan.
Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi ras, etnis, agama, bahasa,
kebiasaaan, sistem nilai, dan lainnya. Integrasi sosial budaya juga
berarti kesediaan bersatu dari kelompok-kelompok sosial-budaya
dalam masyarakat, misalnya suku, agama, dan ras.
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/pengertian-integrasi-nasi
onal-9670/. (diakses tanggal 11 Mei 2020).

C. Proses Integrasi Nasional di Indonesia


Untuk mencapai integrasi nasional dibutuhkan suatu proses yang
matang agar kelak keintegrasian tersebut tidak terpecah belah oleh
berbagai ancaman, gangguan, dan hambatan yang datangnya berasal dari
dalam ataupun luar negeri. Lalu bagaimanakah proses integrasi tersebut?
31
1. Modal awal Integrasi Nasional adalah adanya rasa senasib dan
sepenanggungan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu
kala. Meski perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah
pada selang waktu sebelum abad 20 dengan ditandai adanya sifat
kedaerahan, akan tetapi, rasa senasib sepenanggungan yang
ditunjukkan oleh para pejuang dan pandahulu kita telah
mencerminkan adanya benih-benih yakni semangat kebangsaan, yang
pada gilirannya kelak akan membentuk keutuhan bangsa Indonesia.
2. Memasuki pada abad 20, gejala semangat kebangsaan semakin
membara dan terlihat, dengan munculnya berbagai organisasi atau
pergerakan yang menjadi salah satu titik awal kebangkitan nasional.
Perjuangan melalui berbagai organisasi seperti contohnya Budi
Utomo, Serikat Dagang Islam yang kemudian akhirnya menjadi
Serikat Islam. Perhimpunan Indonesia dan lain sebagainya
mencitrakan bahwa adanya Integrasi Sosial dan Kultural.
3. Pada dekade 1920an, para pemuda tampil di dalam panggung sejarah
Indonesia dengan menyongsong tema persatuan dan kesatuan untuk
menuju Indonesia yang merdeka. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda
pada 28 Oktober 1928, para pemuda menunjukkan segala peran serta
dalam pembentukan integrasi nasional.
4. Pasca proklamasi kemerdekaan, perjalanan bangsa Indonesia di
dalam bernegara harus ditempuh dengan berbagai peristiwa. Berbagai
cobaan yang mengguncang keutuhan bangsa juga dialami, ancaman
dan bahaya terhadap suatu negara yang tengah membangung
keutuhan bangsa harus bisa dihadapi.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Integrasi Nasional


1. Faktor Pendorong Integrasi Nasional
Secara sistematis, faktor pendorong lahirnya integrasi nasional
adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran bersama untuk hidup bersama dalam suatu wadah yang
satu disebut negara Indonesia. Kesadaran bersama ini menjadi daya
dorong untuk mewujudkan yang namanya integrasi nasional. Wujud
dari integrasi nasional ialah menciptakan dan membangun suatu
masyarakat yang sesuai dengan dasar nilai yang diletakkan. Dengan
adanya kesadaran bersama masyarakat untuk hidup bersama tanpa
rasa curiga, ketakutan, dan mendominasi satu dengan lainnya menjadi
penting.
b. Perasaan senasib dan seperjuangan dalam aspek sejarah. Perasaan
senasip dan seperjuangan dalam konteks sejarah bangsa, yaitu
perjuangan melawan penjajah menjadi modal dasar bahwa bersatu
32
adalah penting untuk melawan penjajah. Aspek persatuan menjadi
wujud nyata dalam mencapai kemerdekaan tanpa persatuan negara
menjadi tidak merdeka. Pengalaman sejarah yang sama ini menjadi
kunci untuk membangun falsafah “bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh”.
c. Semangat rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Semangat rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
melalui dedikasi dan pengabdian yang dilakukan sejumlah
masyarakat seperti gotong royong, kerja bakti, kerja sosial, dan
kegiatan untuk memupuk persatuan dan kesatuan baik di masyarakat
maupun lembaga negara dapat menjadikan nilai-nilai rela berkorban
sebagai modal dasar membangun masyarakat.
d. Kesepakatan nasional untuk mewujudkan negara. Wujud dari
kesepakatan nasional ini adalah dasar falsafah negara, yaitu Pancasila
menjadi ikatan nilai bersama membangun bangsa dan negara.
e. Adanya persatuan cinta tanah air yang diwujudkan dari warga negara.
Persatuan cinta tanah air yang dilakukan oleh masayarakat melalui
cinta produk dalam negeri. Memupuk rasa nasionalisme sebagaimana
yang dibangun oleh negara tetangga, seperti: Korea, Jepang, dan
Perancis merupakan wujud sederhana komitmen masyarakat dan
negara memiliki cinta tanah air yang tinggi. Misalnya, menggunakan
bahasa Indonesia, memakai pakaian-pakaian nasional atau
melestarikan pakaian tradisional, menggunakan produk dalam negeri
atau mengonsumsi produk hasil pertanian dari dalam negeri.
f. Adanya keinginan bersatu, kesadaran untuk bersatu menjadi hal yang
penting untuk mewujudkan nilai-nilai bersama. Nilai-nilai bersama
ini dapat berangkat dari keinginan untuk bersatu. Rasa untuk bersatu
yang tinggi menjadi faktor pendorong untuk mencapai integrasi
nasional di negara Indonesia. (Lasiyo, dkk., 2020).

2. Faktor Penghambat Integrasi Nasional


Faktor penghambat terbentuknya integrasi nasional adalah sebagai
berikut.
a. Kurangnya penghargaan dan keberagaman, timbulnya konflik yang
menyebabkan menguatnya sentiment suku, Agama, ras, dan
golongan, karena persoalan tiadanya penghargaan dan pemahaman
yang utuh akan keberagaman yang ada. Kasus konflik antar etnis dan
agama yang pernah dialami di Indonesia di beberapa daerah, seperti
Sampit, Poso, Mesuji, dan beberapa daerah lainnya menjadi indikasi
bahwa kurangnya penghargaan akan keberangaman dapat
menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa.
33
b. Kuatnya paham identitas SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar
Golongan-etnis), hubungan antar etnis, agama, ras, dan golongan
yang kurang baik akan menyebabkan potensi konflik dan ketegangan
di masyarakat semakin menguat. Indonesia pasca reformasi
memunculkan gejala tersebut, hubungan antar etnis dan golongan,
serta agama yang kurang harmonis menjadi persoalan di beberapa
daerah. Paham identitas SARA lebih menonjol daripada paham
paham kebangsaan dapat menjadi pemicu disintegrasi bangsa.
c. Ketimpangan sosial dan politik. Ketimpangan sosial dan politik
menjadi daya dorong menghambat tercapainya integrasi nasional.
Negara Indonesia yang luas dan majemuk terkadang belum maksimal
tercapai karena persoalan ketimpangan sosial yang semakin tajam di
masyarakat dapat menimbulkan iri hati dan sentiment terhadap
kelompok lain karena persoalan ekonomi (kaya-miskin), persoalan
status sosial, dan kondisi politik yang tidak harmonis. Misalnya
muncul partai politik yang kehilangan rasa nasionalisme, semangat
persatuan, menonjolkan kesukuan atau agama tertentu lebih unggul
dan dominan. (Lasiyo, dkk., 2020).
Sedangkan menurut Ari Astawa (2017), di dalam Integrasi
Nasional terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya, faktor-faktor
tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Faktor Pendorong Integrasi Nasional
Faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi kemajuan
suatu proses atau tindakan tertentu yang dilakukan oleh seseorang
maupun kelompok. Dalam mewujudkan integrasi nasional, terdapat
beberapa faktor yang mendorong terwujudnya integrasi nasional di
Indonesia. Adapun faktor pendorong tersebut diantaranya:
a. Adanya rasa yang senasib dan seperjuangan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor sejarah Indonesia telah mengalami sejarah yang kelam
di masa lalu, terutama zaman dimana Indonesia dijajah oleh bangsa
lain selama bertahun-tahun. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945, perjuangan yang dilakukan oleh setiap elemen
masyarakat untuk memperoleh kemerdekaan bukanlah sesuatu yang
sifatnya main-main. Rasa senasib seperjuangan di masa lalu yang
terbawa sampai dengan masa sekarang menjadi salah satu faktor
pendorong untuk mewujudkan integrasi nasional. Jika di masa lalu
rasa senasib seperjuangan digunakan untuk memujudkan
kemerdekaan Indonesia, di era sekarang ini rasa senasib seperjuangan
digunakan untuk memperkuat stabilitas nasional demi terwujudnya
persatuan Indonesia dalam integrasi nasional.
b. Adanya ideologi nasional deologi nasional negara kita Indonesia
adalah Pancasila. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak dapat
34
digantikan oleh ideologi manapun. Walalupun Indonesia terdiri dari
banyak kepercayaan, arti penting dan fungsi Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia tidak bisa terlepas dari kehidupan
sehari-hari masyarakat. Pemaknaan ideologi nasional yaitu Pancasila
dilakukan melalui implementasi nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan integrasi nasional di
Indonesia. Melalui pemaknaan ideologi nasional yaitu Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, integrasi nasional akan lebih mudah
untuk diwujudkan.
c. Adanya sikap tekad dan keinginan untuk kembali bersatu Perbedaan
dan kemajemukan di Indonesia bukanlah salah satu alasan untuk
dijadikan faktor penyebab konflik sosial yang terjadi di kalangan
masyarakat. Justru perbedaan inilah yang membuat masyarakat
Indonesia mempunyai keinginan untuk mempersatukan perbedaan di
dalam satu kesatuan bangsa yang utuh. Baik di dalam masyarakat
tradisonal dan modern, keinginan untuk mempersatukan perbedaan di
dalam kehidupan sehari-hari tentunya ada. Dalam kehidupan
berbangsa negara dan berbangsa Indonesia, keinginan untuk
mempersatukan bangsa merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai dasar negara.
d. Adanya ancaman dari luar Walupun Indonesia sudah merdeka selama
71 tahun, bukan tidak mungkin ancaman dari luar itu masuk ke
Indonesia. Ancaman-ancaman dari luar di era globalisasi sekarang ini
tidak dapat diartikan sebagai ancaman yang menjajah seperti pada
masa kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
ancaman dari luar dalam kaitannya dengan bahaya globalisasi dan
modernisasi, integrasi nasional perlu diwujudkan di setiap lapisan
masyarakat yang ada tinggal di wilayah Indonesia.
2. Faktor Pendukung Integrasi Nasional
a. Penggunaan bahasa Indonesia Bahasa Indonesia adalah bahasa
pemersatu bangsa. Jika melihat sejarah, hal ini telah
dikumandangkan sejak di gelorakan Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung tinggi bahasa persatuaan Bahasa Indonesia”. Dengan
semangat para pemuda tersebut maka, disepakati Bahasa
Indonesia adalah bahasa pemersatu tanpa memandang perbedaan
di dalamnya.
b. Semangat persatuan serta kesatuan di dalam Bangsa Kesadaran
akan persatuan perlu dimunculkan dalam semangat persatuan dan
kesatuan, hal ini diperlukan untuk menjalin rasa kekeluargaan,
persahabatan, dan sikap saling tolong-menolong antar sesama
dan bersikap nasionalisme, serta menjalin rasa kemanusiaan yang
35
memiliki sikap dan toleransi serta keharmonisan untuk hidup
secara berdampingan.
c. Adanya Kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang
sama yakni Pancasila Pancasila adalah landasan idiil bangsa yang
kedudukannya sangat berpengaruh bagi jalannya kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bagi seseorang yang di dalam jiwanya
terdapat sifat patriotisme yang tinggi, maka Ia akan selalu
menerapkan butir-butir Pancasila di setiap aspek kehidupannya.
d. Adanya jiwa dan rasa semangat dalam bergotong royong Gotong
royong berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil
yang didambakan. Sikap gotong-royong adalah bekerja bersama-
sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama
menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Serta suatu usaha
atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela
oleh semua komponen masyarakat menurut batas kemampuannya
masing-masing.
3. Faktor Penghambat Integrasi Nasional
Faktor penghambat sendiri merupakan suatu penghalang untuk
melakukan tindakan secara individu maupun kelompok. Beberapa faktor
penghambat terwujudnya integrasi nasional diantaranya:
a. Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan Indonesia adalah
negara yang memiliki jumlah suku dan kebudayaan terbanyak di
dunia. Namun sayangnya, ada beberapa pandangan masyarakat
terhadap pemerintah tentang keberagaman ini. Ada beberapa
kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat yang kurang
diperhatikan oleh pemerintah terutama yang berkaitan dengan
kebudayaan setempat. Kurangnya penghargaan terhadap
kemajemukan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
Indonesia sendiri membuat kemajemukan itu terkikis secara
perlahan-lahan.
b. Kurangnya toleransi antar sesama golongan. Kurangnya toleransi
terhadap keberagaman dan kemajemukan yang ada di masyakat
menjadi salah satu penyebab konflik sosial. Dampak akibat konflik
sosial yang terjadi di dalam masyarakat terutama dalam hal yang
berkaitan dengan toleransi akan mengurangi rasa persatuan dan
kesatuan bangsa. Selain itu, kurangnya toleransi terhadap perbedaan
yang terjadi secara terus-menerus akan membuat sebuah bangsa
hancur akan sendirinya sehingga integrasi nasional tidak akan pernah
terwujud.
c. Kurangnya kesadaran di dalam diri masing-masing rakyat Indonesia
Kurangnya kesadaran diri dalam diri masyarakat untuk menjaga

36
persatuan dan kesatuan juga menjadi salah satu faktor yang
mengambat terwujudnya integrasi nasional. Di era globalisasi,
masyarakat menjadi lebih individualistis dan cenderung tidak
memperdulikan kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Jika tidak
dicegah, rasa kesadaran diri yang berkurang sebagai dampak
globalisasi akan makin mempersulit terwujudnya integrasi nasional.
Oleh karena itu, diperlukan kiat-kiat untuk membangun karakter
bangsa di era globalisasi untuk meningkatkan kesadaran diri
masyarakat untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan demi
terwujudnya integrasi nasional bangsa.
d. Adanya sikap ketidakpuasan terhadap ketimpangan dan
ketidakmerataan pembangunan Dengan diberlakukannya otonomi
daerah, maka sebagian wewenang dan tanggungjawab pemerintah
pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dengan begitu
akan semakin nampak ketimpangan baik sosial maupun ekonomi
antar daerah. Untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut
diperlukan kesadaran diri akan rasa keadilan sosial yang merata di
berbagai daerah di Indonesia.

E. Pentingnya Integrasi Nasional bagi Bangsa Indonesia


Integrasi nasional merupakan salah satu cara untuk menyatukan
berbagai macam perbedaan yang ada di Indonesia.Integrasi itu sendiri
dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang baik untuk menyatukan
sesuatu yang semula terpisah menjadi suatu keutuhan yang baik bagi
bangsa Indonesia,misalnya menyatukan berbagai macam suku dan
berbudaya yang ada serta menyatukan berbagai macam agama yang ada
di Indonesia.
Integrasi nasional penting untuk diwujudkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan negara yang
masih berkembang atau dapat dikatakan negara yang masih mencari jati
diri. Selain itu, integrasi nasional sangat penting untuk diwujudkan
karena integrasi nasional merupakan suatu cara yang dapat menyatukan
berbagai macam perbedaan yang ada di Indonesia.
Indonesia sangat dikenal dengan keanekaragaman suku, budaya,
dan agama. Oleh sebab itu, adanya pengaruh globalisasi yang masuk ke
Indonesia membuat masyarakat Indonesia lebih memilih untuk suatu
yang trend walaupun hal tersebut membuat upaya integrasi tidak
terwujud. Masyarakat Indonesia belum sadar akan pengaruh globalilasi
yang ternyata tidak baik bagi masyarakat Indonesia. Selain pengaruh
globalisasi, masyarakat Indonesia bertindak atas wewenang sendiri
maupun kelompok sehingga konflik terjadi dimana-mana seperti
37
pertengkaran antar suku, pembakaran tempat-tempat ibadah dan lain
sebagainya. Konflik tersebutlah yang membuat integrasi nasional susah
diwujudkan. Upaya integrasi terus dilakukan agar Indonesia menjadi satu
kesatuan yang mana disebutkan dalam semboya bhinneka tunggal ika.
Adanya upaya mengintegrasikan Indonesia, perbedaan-perbedaan
yang ada tetap harus diakui dan dihargai sehingga Indonesia menjadi
negara yang dapat mencapai tujuannya. Selain menghargai dan mengakui
berbagai macam perbedaan di Indonesia, masyarakat Indonesia harus
memliki rasa toleransi terhadap sesama sehingga tidak terjadi konflik
yang berkepanjangan yang dapat merugikan Indonesia.
F. Ancaman Terhadap Integrasi Nasional
Indonesia yang berada di tengah-tengah dunia dilewati garis
khatulistiwa, diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia, serta berada
diantara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa wilayah Indonesia berada pada posisi silang
sangat sangat strategis.
Perlu kalian ketahui, bahwa posisi silang negara Indonesia tidak
hanya meliputi aspek kewilayahan saja, melainkan meliputi pula aspek-
apek kehidupan sosial, antara lain:
1. Penduduk Indonesia berada diantara daerah berpenduduk padat di
utara dan daerah berpenduduk jarang di selatan.
2. Ideologi Indonesia terletak antara komunisme di utara dan liberalisme
di selatan.
3. Demokrasi Pancasila berada diantara demokrasi rakyat di utara (Asia
daratan bagian utara) dan demokrasi liberal di selatan.
4. Ekonomi Indonesia berada diantara sistem ekonomi sosialis di utara
dan sistem ekonomi kapitalis di selatan.
5. Masyarakat Indonesia berada diantara masyarakat sosialis di utara
dan masyarakat individualis di selatan.
6. Kebudayaan Indonesia dinatara kebuadayaan timur di utara dan
kebudayaan barat di selatan.
Sistem pertahanan dan keamanan Indonesia berada diantara sistem
pertahanan kontinental di utara dan sistem pertahanan maritim di barat,
selatan dan timur. Posisi silang Indonesia sebagaimana diuraikan di atas
merupakan sebuah potensi sekaligus ancaman bagi integrasi nasional
bangsa Indonesia. Dikatakan sebuah potensi karena akan memberikan
dampak positif bagi kemajuan bangsa Indonesia serta akan memperkokoh
keberadaan Indonesia sebagai negara yang tidak dapat disepelekan
perannya dalam menunjang kemajuan serta terciptanya perdamaian
dunia. Akan tetapi, posisi silang ini juga mejadikan Indonesia sebagai

38
negara yang tidak terbebas dari ancaman yang dapat memecah belah
bangsa.
Apa sebenarnya yang menjadi ancaman bagi integrasi nasional
negara Indonesia? Ancaman bagi integrasi nasional tersebut datang dari
luar maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri dalam berbagai dimensi
kehidupan. Ancaman tersebut biasanya berupa ancaman militer dan non-
militer. Berikut ini diuaraikan secara singkat ancaman yang dihadapi
Bangsa Indonesia baik yang berupa ancaman militer maupun non-milter.
1. Ancaman Militer
Ancaman militer adalah ancarnan yang menggunakan kekuatan
bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat berbentuk agresi,
pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata,
pemberontakan, dan perang saudara. Ancaman militer ini dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Ancaman Militer Dalam Negeri
1) Disintegrasi bangsa, melalui macam-macam gerakan separatis
beradasarkan sebuah sentimen kesukuan atau pemberontakan
akibat ketidak puasan daerah terhadap kebijakan pemerintahan
pusat.
2) Keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan
pelanggaran hak asasi manusia yang pada gilirannya dapat
mengakibatkan suatu kerusuhan masal.
3) Upaya penggantian ideologi pancasila dengan ideologi yang lain
ekstrem atau tidak sesuai dengan kebiasan dari masyarakat
Indonesia.
4) Makar dan penggulingan pemerintahan yang sah dan
konstitusional
b. Ancaman Militer Luar Negeri
1) Pelanggaram batas negara yang dilakukan oleh negara lain
2) Pemberontakan senjata yang dilakukan oleh negara lain
3) Aksi teror yang dilakukan oleh terorisme internasional
Berikut ini beberapa contoh dari ancaman militer terhadap negara.
1. Agresi, pengertian dari agresi adalah ancaman militer yang
menggunakan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap suatu
negara yang dapat membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
negara tersebut, dan juga membahayakan keselamatan segenap
bangsa tersebut.
2. Invasi, cara.bentuk dalam melakukan agresi terhadap suatu negara
yang pertama adalah invasi yaitu suatu serangan yang dilakukan oleh
kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah NKRI.
39
3. Bombardemen, cara/bentuk dalam melakukan agresi terhadap suatu
negara yang kedua adalah bombardemen yang mempunyai pengertian
suatu penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan
bersenjata negara lain terhadap NKRI.
4. Blokade, cara/bentuk dalam melakukan agresi yang terhakshir adalah
blokade, yang dilakukan di daerah pelabuhan atau pantai atau
wilayah udara NKRI yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara
lain, dan lain-lain.
5. Spionase adalah ancaman militer yang dilakukan terhadap suatu
negara yang kegiatannya berupa mata-mata dan dilakukan oleh
negara lain yang bertujuan untuk mencari dan mendapatkan dokumen
rahasia militer suatu negara.
6. Sabotase, adalah ancaman militer yang dilakukan oleh suatu negara
yang kegiatannya mempunyai tujuan untuk merusak instalasi militer
dan obyek vital nasional. Tentunya sabotase ini dapat membahayakan
keselamatan suatu bangsa.
7. Ancaman militer yang berupa aksi teror bersenjata yang dilakukan
oleh suatu jaringan terorisme yang luas (internasional) atau ancaman
yang dilakukan oleh teroris internasional yang bekerjasama dengan
terorisme lokal (dalam negeri).
8. Ancaman militer terhadap suatu negara dapat juga berbentuk suatu
pemberontakan yang mana pemberontakan tersebut juga
menggunakan senjata.Selain pemberontakan, terjadinya perang
saudara yang menggunakan senjata juga termasuk ancaman militer.
9. Selain pemberontakan, terjadinya perang saudara yang menggunakan
senjata juga termasuk ancaman militer.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan komponen utama
yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer, yang dilaksanakan
melalui tugas Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain
Perang (OMSP).
2. Ancaman Non Militer
Ancaman non militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan
ancaman militer, yaitu tidak bersifat fisik serta bentuknya tidak terlihat
sepeni ancaman militer. Ancaman nonmiliter berbentuk ancaman
terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, penahanan dan
keamanan. Berikut ini adalah beberapa contoh ancaman yang berbentuk
non militer, yakni:
a. Ancaman Berdimensi Ideologi
Sistem politik internasional mengalami perubahan semenjak Uni
Soviet runtuh, sehingga paham komunis tidak populer lagi, akan
tetapi, potensi ancaman berbasis ideologi masih tetap diperhitungkan.
40
Ancaman berbasis ideologi ini bisa juga dalam bentuk penetrasi nilai-
nilai kebebasan (liberalisme) sehingga bisa memicu terjadinya proses
disintegrasi bangsa.
b. Ancaman Berdimensi Politik
Politik merupakan instrumen utama dalam menggerakkan perang.
Hal ini membuktikan jika ancaman politik bisa menumbangkan suatu
rezim pemerintahan, bahkan juga bisa menghancurkan suatu negara.
Masyarakat internasional mengintervensi suatu negara melalui politik
seperti contohnya Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi,
penanganan lingkungan hidup, serta penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih serta akuntabel.
c. Ancaman Berdimensi Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu penentu posisi tawar dari setiap
negara dalam pergaulan internasional. Kondisi ekonomi tentu sangat
menentukan dalam pertahanan negara. Ancaman berdimensi ekonomi
ini terbagi menjadi 2, yakni internal serta eksternal. Ancaman yang
berasal dari internal bisa berupa inflasi, pengangguran, infrastruktur
yang tidak memadai, serta sistem ekonomi yang tak cukup jelas.
Sedangkan ancaman yang berasal dari eksternal bisa berbentuk
kinerja ekonomi yang buruk, daya saing yang rendah, tidak siapnya
dalam menghadapi era globalisasi serta tingkat ketergantungan
terhadap pihak asing.
d. Ancaman Berdimensi Sosial Budaya
Ancaman sosial budaya bisa berupa isu-isu mengenai kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, serta ketidakadilan yang menjadi dasar
timbulnya konflik vertikal, antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, beserta dengan konflik horizontal yakni suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA). Di tahun 1994 saja
misalnya, 18 peperangan dari 23 peperangan yang terjadi di dunia ini
diakibatkan oleh sentimen-sentimen budaya, agama, serta etnis.
Sementara itu, 75% dari pengungsi dunia yang mengalir ke berbagai
negara lain didorong dengan alasan yang sama, tidak berbeda.
Sementara itu, 8 dari 13 operasi pasukan perdamaian yang dijalankan
oleh PBB ditujukan guna mengupayakan terciptanya perdamaian
dalam berbagai konflik antar etnis di dunia.
e. Ancaman Berdimensi Teknologi Informasi
Kemajuan akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
dengan sangat pesat serta memberikan manfaat yang sangat besar
bagi seluruh masyarakat, namun, kejahatan juga terus mengikuti
perkembangan tersebut, seperti contohnya kejahatan cyber dan
kejahatan perbankan.
f. Ancaman Berdimensi Keselamatan Umum
41
Ancaman untuk keselamatan umum bisa terjadi karena bencana alam,
misal gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Ancaman yang
disebabkan oleh manusia, misal penggunaan obat-obatan dan
penggunaan bahan kimia, pembuangan limbah industri, kebakaran,
hingga kecelakaan alat-alat transportasi. (Ari Astawa, 2017).

G. Cara Mengatasi Ancaman terhadap Integrasi Nasional


Ancaman militer akan sangat berbahaya apabila tidak diatasi. Oleh
karena itu, harus diterapkan startegi yang tepat untuk mengatasi ancaman
integrasi nasional itu. UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur strategi
pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia dalam mengatasi ancaman
militer tersebut. Pasal 30 ayat (1) sampai (5) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara
dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-
undang. (Ari Astawa, 2017).
Ketentuan di atas menegaskan bahwa usaha pertahanan dan
keamanan negara Indonesia merupakan tanggungjawab seluruh warga
negara Indonesia. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan negara
tidak hanya menjadi tanggungjawab TNI dan POLRI saja, tetapi
masyarakat sipil juga sangat bertanggungjawab terhadap pertahanan dan
kemanan negara. Sehingga TNI dan POLRI manunggal bersama
masyarakat sipil dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

42
H. Contoh Masalah Integrasi Nasional dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara
1. Perbedaan Kepentingan
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu.
Individu bertingkah laku karena adanya dorongan untuk memenuhi
kepentingannya, sama halnya dengan konflik. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang
wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Banyak rakyat dan
pemimpin negara yang mempunyai argumen masing-masing untu
kepentingannya. Namun kadang juga secara terioretis, perbedaan
kepentingan dapat menimbulkan masalah yang besar bagi orang yang
melakukannya. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan
bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini
terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya
dengan stres.
2. Dendam karena kekalahan dengan sekolah lain
Biasanya ini terjadi ketika adanya per tandingan bola antar sekolah.
Di mana tim sekolah yang satu kalah dengan sekolah yang lain. Hal
ini menyebabkan adanya rasa kecewa dan celakanya mereka ini
biasanya melampiaskan rasa kekecewaannya dengan mengajak
berkelahi tim sekolah lain tersebut. Hal ini tentunya merupakan
bentuk ketidaksportifan pelajar dalam mengalami kekalahan. Apabila
seorang siswa dari suatu sekolah menengah atas dipalak atau
dirampas uang dan hartanya, dia akan melapor kepada pentolan di
sekolahnya. Kemudian pentolan itu akan mengumpulkan siswa untuk
menghampiri siswa dari sekolah musuh ditempat di mana biasanya
mer eka menunggu bis atau kendar aan pulang. Apabila jumlah siswa
dari sekolah musuh hanya sedikit, mereka akan balik memalak atau
merampas siswa sekolah musuh tersebut. Tetapi jika jumlah siswa
sekolah musuh tersebut seimbang atau lebih banyak, mereka akan
melakukan kontak fisik.
3. Pertentangan Sosial
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu.
Individu bertingkah laku karena adanya dorongan untuk memenuhi
43
kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi kelangsungan
hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil memenuhi
kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya
kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah
baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Dengan berpegang
prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam
memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh individu dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan
kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang
yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani
maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu
dalam hal kepentingannya. Diskriminasi merujuk kepada pelayanan
yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia
untuk membedabedakan yang lain.
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri, maksudnya Etnosentrisme
yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilainilai dan norma-
norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah
integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan
peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk tetap
berada pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi
berdampingan (Bhinneka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi
merupakan kesatuan.
4. Aksi Protes dan Demonstrasi
Aksi protes disebut juga unjuk rasa yang selalu terjadi dalam
kehidupan manusia. Hal itu terjadi karena setiap orang memiliki
pendapat dan pandangan yang mungkin berbeda. Protes dapat terjadi
apabila suatu hal menimpa kepentingan individu atau kelompok
secara langsung sebagai akibat dari rasa ketidakadilan akan hak yang
harus diterima. Akibatnya, individu atau kelompok tersebut tidak
puas dan melakukan tindakan penyelesaian. Protes merupakan aksi
tanpa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat
terhadap suatu kekuasaan. Protes dapat pula terjadi secara tidak
langsung sebagai rasa solidaritas antarsesama karena kesewenang-

44
wenangan pihak tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi
orang lain.
5. Meningkatnya Kriminalitas
Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan memberi peluang
bagi setiap orang untuk berubah, tetapi perubahan tersebut tidak
membawa setiap orang ke arah yang dicita-citakan. Hal ini berakibat
terjadinya perbedaan sosial berdasarkan kekayaan, pengetahuan,
perilaku, ataupun pergaulan. Perubahan sosial tersebut dapat
membawa seseorang atau kelompok ke arah tindakan yang
menyimpang karena dipengaruhi keinginan-keinginan yang tidak
terpenuhi atau terpuaskan dalam kehidupannya.
Perbuatan kriminal yang muncul di masyarakat secara khusus akan
diuraikan sebagai akibat terjadinya perubahan sosial yang
menimbulkan kesenjangan kehidupan atau jauhnya ketidaksamaan
sosial. Akibatnya, tidak semua orang mendapat kebahagiaan yang
sama. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan setiap orang
memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap hak dan
kewajibannya. Setiap orang harus mendapat hak disesuaikan dengan
kewajiban yang dilakukan.
6. Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja merupakan disintergasi dari keutuhan suatu
masyarakat. Hal itu karena tindakan yang mereka lakukan dapat
meresahkan masyarakat Oleh karena itu, kenakalan remaja disebut
sebagai masalah sosial. Munculnya kenakalan remaja merupakan
gejolak kehidupan yang disebabkan adanya perubahan-perubahan
sosial di masyarakat, seperti pergeseran fungsi keluarga karena kedua
orangtua bekerja sehingga peranan pendidikan keluarga menjadi
berkurang. Selain itu, pergeseran nilai dan norma masyarakat
mengakibatkan berkembangnya sifat individualisme. Juga pergeseran
struktur masyarakat mengakibatkan masyarakat lebih menyerahkan
setiap permasalahan kepada yang berwenang. Perubahan sosial,
ekonomi, budaya, dan unsur budaya lainnya dapat mengakibatkan
disintegrasi. Remaja yang bersangkutan cenderung melakukan
tindakan-tindakan yang mengarah ke kejahatan seperti mengambil
barang atau hak milik orang lain tanpa izin. Ketiga, ada yang
namanya kenakalan khusus (istimewa), dalam bentuk ini kenakalan
remaja yang dimaksud sudah tingkat tinggi karena telah menyentuh
pada tindak kriminalitas. Contohnya, melakukan pemerkosaan pada
anak dibawah umur, seperti kasus Yuyun yang pernah marak menjadi
perbincangan; penyalahgunaan narkotika bahkan sampai berujung
pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia.
7. Korupsi Membuat Kepercayaan Masyarakat Menghilang
45
Korupsi adalah perbuatan yang membunuh kelangsungan hidup suatu
negara. Walaupun begitu, tindak pidana korupsi seperti menjadi
budaya yang dianggap lumrah. Pada tahun 2014-2015 Mahkamah
Agama telah memutuskan adanya 803 kasus tindak pidana korupsi di
Indonesia (Ayuningtyas, 2016). Bahkan Indonesia masuk dalam
urutan negara ke-88 dari 168 negara di dunia menurut survei
Lembaga Transparency International (TI) dalam kategori tindak
pidana korupsi (Hafid, 2016). Hal ini sangat menyedihkan, dimana
uang yang dikorupsi adalah uang rakyat. Uang ini seharusnya
digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, namun
hanya segelintir orang secara individu dan kelompok yang
menikamatinya. Kesejahteraan sebagai kunci kemakmuran suatu
negara tidak akan tercapai jika masih banyak perilaku korupsi.
Berbagai macam kalangan sudah terlibat dalam tindak pidana
korupsi, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha,
wiraswasta, guru, jaksa, bahkan hakim. Sebagai contoh kasus yang
yaitu tertangkapkapnya Irman Gusman yang menjabat sebagai Ketua
DPD (Rizki, 2015). Sedihnya korupsi dilakukan oleh orang-orang
yang berpendidikan sebagai wakil rakyat. Seharusnya orang-orang ini
yang membawa Indonesia menjadi lebih maju, bukan melakukan
tindak pidana korupsi. Dampak korupsi tidak hanya dirasakan satu
sisi saja, namun saling berkaitan satu sama lain, seperti urutan
domino yang berjatuhan. Bukan hanya pembangunan saja yang
bermasalah, namun seluruh faktor pembangun bangsa juga
bermasalah. Pada tahun 2015 sejumlah 31,077 triliun merupakan
jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, data ini
diperoleh dari survei Indonesia Corruption Watch (ICW) (Dwi,
2016). Untuk memenuhi defisit maupun melaksanakan
pembangunan, suatu negara harus berhutang. (Ari Astawa, 2017).

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Jelaskan pengertian integrasi nasional!
2. Jelaskan faktor pendorong dan penghambat terbentuknya integrasi
nasional!
3. Jelaskan sejarah terbentuknya integrasi nasional!
4. Jelaskan pengertian integrasi nasional dalam bingkai NKRI!
5. Berikan contoh yang mewujudkan integrasi nasional!

46
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

A. Warga Negara dan Penduduk


Pada dimensi hukum, warga negara adalah subjek hukum dalam
suatu organisasi yang disebut negara. Artinya dia adalah pendukung hak
dan kewajiban dalam kehidupan bernegara. Di sini menunjukkan bahwa
warga negara menunjuk pada orang-orang yamg tinggal di suatu negara
yang mempunyai hubungan hukum (ikatan hukum) dengan pemerintah
negara. Karena itu, warga negara merupakan bagian dari penduduk suatu
negara. Menurut AS Hikam, warga negara yang merupakan terjemahan
dari citizenship, adalah anggota dari sebuah kemunitas yang membentuk
negara itu sendiri (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003). Warga negara
menunjukkan keanggotaan seseorang dari institusi politik yang namanya
negara.
Warga negara secara sederhana diartikan sebagai anggota dari
suatu negara. Dengan memiliki status sebagai warga negara, orang
memiliki hubungan dengan negaranya. Hubungan itu nantinya tercermin
dalam hak dan kewajiban. Warga negara perlu diberdayakan, sebab ia
mempunyai peranan strategis dalam bidang kehidupan apapun. Bahkan,
maju mundurnya suatu negara, tertib atau kacaunya suatu negara, aman
rusuhnya suatu negara dan lain-lain sangat tergantung pada kualitas
warga negaranya.
Di Indonesia, istilah warga negara dijelaskan dalam UUD NRI
Tahun 1945, Pasal 26 ayat (1), bahwa yang menjadi warga negara adalah
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara. Dalam pasal ini dinyatakan
bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda,
Cina, Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia dan
mengakui Indonesia sebagai tanah airnya serta bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara. Selanjutnya di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006, Pasal 1
ayat (1) dijelaskan bahwa warga negara adalah warga suatu negara yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26 ayat (2) dijelaskan bahwa penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Jadi,
penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di
dalam wilayah negara. Sedangkan mereka yang berada dalam wilayah
negara, tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara itu adalah
bukan penduduk. Atau dapat pula dijelaskan bahwa setiap warga negara
47
adalah penduduk suatu negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu
warga negara, karena mungkin seorang asing.
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Darmadi (2013), bahwa warga
negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu
dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warga
negara dan negara, warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap negara dan sebaliknya warga negara juga mempunyai hak-hak
yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.

B. Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara


Pemahaman yang baik mengenai hak dan kewajiban warga negara
sangat penting untuk mengembangkan hubungan yang harmonis,
produktif, dan demokratis antara warga negara dengan negara. Berikut
ini disajikan pokok-pokok ketentuan mengenai hak-hak warga negara dan
negara.
1. Hak-Hak Warga Negara
Pokok-pokok ketentuan mengenai hak-hak warga negara yang
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu sebagai berikut.
a. Kesamaan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1).
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2).
c. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 ayat 3).
d. Hak kemerdekaan (kebebasan) berserikat dan berkumpul (Pasal 28).
e. Hak ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30
ayat 1).
f. Hak mendapat pendidikan (Pasal 31 ayat 1).
g. Hak mendapat kesejahteraan sosial (Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3).
h. Hak untuk mendapatkan jaminan keadilan sosial (Pasal 34).

Perhatikan pasal-pasal berikut ini:


i. Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
j. Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
k. Pasal 28 C:
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendiudikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
48
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
l. Pasal 28 D:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintah.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
m. Pasal 28 E:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
berkumpul, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
n. Pasal 28 F:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
o. Pasal 28 G:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suara politik dari Negara lain.
p. Pasal 28 H:

49
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
q. Pasal 28 I:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidakl dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
r. Pasal 28 J, ayat 2 dan 3:
(2) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(3) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
s. Pasal 29 ayat 2:

50
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
t. Pasal 32 ayat 1, isinya tentang hak untuk mengembangkan dan
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

2. Kewajiban Warga Negara


Pasal-pasal yang memuat kewajiban warga negara jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan pasal-pasal yang memuat hak-hak warga
negara, yaitu sebagai berikut.
a. Kewajiban menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan (Pasal 27
ayat 1).
b. Kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27
ayat 3).
c. Setia membayar pajak negara (Pasal 23A).
d. Kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pembelaan (pertahanan)
negara dan kemananan negara (Pasal 30 ayat 1).
e. Kewajiban mengikuti pendidikan dasar (Pasal 31 ayat 2).
Kewajiban warga negara merupakan aspek dari tanggungjawab
warga negara. Tanggungjawab warga negara merupakan pelaksanaan hak
dan kewajibannya selaku warga negara dan bersedia menanggung akibat
atas pelaksanaan tanggungjawab tersebut. Misalnya, jika seorang warga
negara terlambat melunasi kewajiban membayar pajak, maka ia harus
berani menanggung resiko dengan membayar denda atas
keterlambatannya itu.
Selanjutnya, dalam UUD NRI Tahun 1945 diatur hak dan
kewajiban negara/pemerintah, antara lain:
1. Hak negara untuk ditaati dengan jalan menaati hukum dan
pemerintahan
2. Hak negara untuk dibela
3. Hak negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam untuk
kepentingan rakyat
4. Kewajiban negara memberi kebebasan memeluk agama
5. Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah
6. Kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil
7. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara
8. Kewajiban negara memberi jaminan sosial
9. Kewajiban negara memajukan kebudayaan nasional.
10. Kewajiban negara menghormati dan memelihara bahasa daerah.
11. Kewajiban negara memajukan perekonomian nasional.

51
12. Kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional
untuk rakyat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai berbagai hak dan kewajiban warga
negara dalam hubungannya dengan negara tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran atas UUD NRI Tahun
1945. Misalnya hak dan kewajiban di bidang pendidikan, antara lain
dijabarkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

C. Asas Kewarganegaraan
1. Asas Kewarganegaraan Umum
Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
memperhatikan asas-asas kewarganegaraan secara umum atau universal,
yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Secara lengkap asas-asas
kewarganegaraan yang dipakai dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, adalah sebagai berikut.
a. Asas ius sanguinus (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan RI.
c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menetukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan RI.
2. Asas Kewarganegaraan Khusus
Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi
dasar penyusunan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2006 adalah sebagai berikut.
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa
peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional
Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai
negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa
pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap
warga negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun
di luar negeri.
52
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang
menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan
perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan
seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai
substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
5. Asas non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan
dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas
dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah
asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga
negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi
manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan
secara terbuka.
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang
memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya.
Siapa yang menjadi warga negara Indonesia? Dalam Pasal 4
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan
bahwa warga negara Indonesia adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi
warga negara Indonesia.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
warga negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu waga negara Indonesia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
warga negara Indonesia.

53
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin.
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya.
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan
dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Pada dasarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
mengenal adanya kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa
kewarganeraan (apatride). Kalaupun ada anak-anak yang memiliki status
kewarganegaraan ganda, maka hal itu merupakan suatu pengecualian.
Apabila seseorang berhak mendapatkan status dua kewarganegaraan
karena kelahiran dan keturunan sekaligus, maka pada saat dewasa
(setelah beusia 18 tahun atau telah kawin) harus memilih hanya satu
kewarganegaraan. Setiap negara selalu menghindari adanya orang yang
memiliki status dua kewarganegaraan.

D. Masalah dan Status Kewarganegaraan


Masalah status kewarganegaraan seseorang (apatride, bipatride
atau mungkin multipatride), akan muncul apabila asas kewarganegaraan
berdasarkan asas kelahiran (Ius Soli dan Ius Sangunis) dan asas
perkawinan (asas kesatuan hukum dan asas kesamaan derajat) diterapkan
secara tegas dalam sebuah negara sehingga mengakibatkan terjadinya
beberapa kemungkinan, seperti:
1. Apatride adalah seseorang yang tidak memiliki status
kewarganegaraan. Hal ini disebabkan karena orang tersebut lahir di
negara yang menganut asas ius sanguinis.

54
2. Bipatride adalah seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan. Hal
ini dimungkinkan apabila orang tersebut berasal dari orang tua yang
negaranya menganut ius sanguinis sedangkan ia lahir di negara yang
menganut ius soli.
3. Multipatride adalah seseorang yang memiliki lebih dari dua
kewarganegaraan, yaitu seseorang (penduduk) yang tinggal di
perbatasan antara dua negara.
Untuk memecahkan masalah kewarganegaraan tersebut di atas,
setiap negara memiliki perarturan-peraturan sendiri yang prinsip-
prinsipnya bersifat universal. Untuk mengatasi hal tersebut, di Indonesia
dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 28E ayat (4) bahwa setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan. Di dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lama (UU No. 62 tahun
1958), dinyatakan bahwa cara memperoleh kewarganegaraan republik
Indonesia adalah: (1) karena kelahiran, (2) karena pengangkatan, (3)
karena dikabulkan permohonan, (4) karena pewarganegaraan
(naturalisasi), (5) karena perkawinan, dan (6) karena pernyataan.
Apa itu kewarganegaraan? Di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, dijelaskan bahwa kewarganegaraan adalah segala hal ikhwal
yang berhubungan dengan warga negara. Dengan demikian, hukum
kewarganegaraan merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan
tersebut. Beberapa keistimewaan memiliki status warga negara dari suatu
negara (status kewarganegaraan), yaitu sebagai berikut.
a. Memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki orang yang bukan
warga sebagai, misalnya: (1) hak memilih dan dipilih, (2) hak untuk
menduduki jabatan pemerintah/politik, dan (3) hak berusaha dalam
ekonomi yang luas.
b. Tetap diberlakukan hukum kewarganegaraan negaranya ketika berada
di negara lain, misalnya: (1) hubungam anak dengan orang tua, (2)
kedudukan anak di bawah umurm, (3) perwalian, (4) curatele, (5) izin
menikah, dan (6) kedudukan dalam perkawinan.
c. Mendapat perlindungan dari negaranya.
Dalam hal kewarganegaraan ini, setiap negara menjadikan asas
kewarganegaraan sebagai pedoman dasar bagi suatu negara untuk
menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara
mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana
yang hendak dipergunakannya. Untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang, paling tidak dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi
kelahiran dan segi perkawinan.
Dari segi kelahiran, kita mengenal asas ius soli dan ius sanguinis.
Sedangkan dari segi perkawinan, kita mengenal asas kesatuan hukum dan
55
asas persamaan derajat. Perbedaan penerapan asas kewarganegaraan
tersebut akan melahirkan masalah kewarganegaraan, yaitu berupa
masalah bipatride dan apatride.
1. Dari Segi Kelahiran
Ada dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini,
yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa latin.
Ius berarti hukum, dalil, atau pedoman. Sedangkan soli berasal dari kata
solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Dengan demikian ius soli
berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Jadi
kewarganegaraan seseorang ditentukan di mana dia dilahirkan. Jadi
berdasarkan daerah tempat kelahirannya.
Sebagai contoh: Orang yang lahir di Negara X yang menganut asas
ius soli akan memperoleh kewarganegaraan dari Negara X tersebut. Jadi
yang menentukan kewarganegaraan seseorang adalah tempat kelahiran.
Contoh lain: Seseorang dari negara Indonesia (berkewarganegaraan
Indonesia) melahirkan anaknya di negara yang menerapkan asas ius soli,
maka karena kelahirannya di negara tersebut, anak tersebut
berkewarganegaraan ganda, anak tersebut tetap diakui sebagai warga
negara dari negara di mana anak tersebut dilahirkan.
Bagaimana dengan asas ius sanguinus? Sanguinus sendiri berasal
dari kata ”sanguis” yang berarti darah. Ius sanguinis berarti pedoman
berdasarkan pertalian darah atau keturunan. Setiap negara bebas
menentukan asas mana yang hendak diterapkan dalam menentukan
kewarganegaraan seseorang. Dalam kaitannya dengan asas
kewarganegaraan ini, ius sanguinis berarti kawarganegaraan ditentukan
oleh keturunannya atau kewarganegaraan orang tuanya. Artinya
kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya (melahirkannya)
menentukan kewarganegaraan seseorang (anak yang dilahirkan), betapun
dia dilahirkan di luar negara orang tuanya. Contoh penerapan asas ius
sanguinis: Orang yang lahir dari orang tua yang warga Negara Y akan
memperoleh kewarganegaraan dari Negara Y tersebut.
Ada negara yang mengunut ius soli, dan ada pula menganut ius
sanguinis. Akan tetapi dewasa ini pada umumnya kedua asas ini dianut
secara simultan. Bedanya ada negara yang lebih menitikberatkan pada
penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli sebagai kekecualian.
Penggunaan kedua asas ius soli dan ius sanguinus secara simultan
mempunyai tujuan agar status apatride atau tidak berkewarganegaraan
(stateless) dapat dihindari. Artinya, apabila ada seseorang yang tidak
dapat memperoleh kewarganegaraan dengan penggunaan asas yang lebih
dititiberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih dapat memperoleh
kewarganegaraan dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
56
Sebaliknya, karena berbagai negara menganut asas
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat
menimbulkan masalah bipatride atau dwikewarganegaraan
(berkewarganegaraan rangkap), bahkan multipatrid (berkewarganegaraan
banyak atau lebih dari dua).
Sebagai contoh, Negara X menganut ius sanguinis, sedangkan
Negara Y menganut ius soli. Maka setiap orang yang lahir di Negara Y
dari orang tua yang berkewarganegaraan X, akan mempunyai status baik
sebagai warga negara Y maupun Negara X. Dia pun memperoleh status
warga negara Y karena dia lahir di negara Y.
Akan tetapi apabila orang tersebut lahir di Negara X dari orang tua
warga Negara Y, ia akan berstatus apatride. Ia ditolak oleh negara orang
tuanya (Negara Y), sebab dia tidak lahir di sana. Diapun ditolak oleh
negara tempat dia lahir (Negara X), karena negara itu mengunut ius
sanguinis. Artinya, menurut ketentuan Negara X, dia (seharusnya)
memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya.
Semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, maka makin
diperlukan pula suatu asas lain yang tidak terbatas pada tempat kelahiran
semata (asas ius soli) dalam menentukan status kewarganegaraan, yaitu
asas ius sanguinis. Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya.
Baik penggunaan asas ius soli maupun ius sanguinus, keduanya
mempunyai alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin
mmempertahankan hubungan dengan warganya. Negara emigratif ingin
tetap mempertahankan para warganya. Di mana pun mereka berada,
mereka tetap harus merupakan warganya. Sebaliknya, negara imigratif
menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam
negaranya yang baru itu.
Negara imigratif (negara yang sebagian besar warganya pada
prinsipnya merupakan kaum pendatang) condong lebih menggunakan ius
soli sebagai asas kewarganegaraanya. Sebaliknya negara emigratif
(negara yang warganya banyak yang merantau ke negara lain) condong
menggunakan ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraannya.
2. Dari Segi Perkawinan
Di samping dari sudut kelahiran, hukum kewarganegaraan juga
mengenal dua asas yang erat kaitannya dengan masalah perkawinan,
yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Dalam asas
persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak
menyebabkan berubahnya status kewarganegaraan masing-masing. Tetap
sama seperti sebelum perkawinan berlangsung. Dari sudut kepentingan
nasional masing-masing negara, asas persamaan derajat ini mempunyai
57
aspek yang positif. Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan
hukum. Misalnya, seseorang berkewarganegaraan asing yang ingin
memperoleh status warga negara berpura-pura melakukan perkawinan
dengan seorang warga negara dari negara yang bersangkutan. Melalui
perkawinan itu, orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang dia
inginkan, dan setelah status kewarganegaraan itu diperoleh, merekapun
bercerailah.
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami-istri ataupun
ikatan dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat. Karena itu,
masyarakat akan sejahtera apabila akan lahir keluarga-keluarga yang
sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakatnya suatu keluarga ataupun suami-istri yang baik perlu
mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat. Perlu adanya kesatuan
dalam keluarga.
Guna mendukung terciptanya kesatuan dalam keluarga, para
anggota keluarga harus tunduk pada hukum yang sama. Ada banyak
aspek positif yang akan menguntungkan penyelenggaraan kehidupan
keluarga tersebut, apabila para anggota keluarga itu tunduk pada hukum
yang sama. Misalnya dalam masalah-masalah keperdataan: pengaturan
harta kekayaan, status anak, dan lain-lain. Dengan kata lain, hal ini akan
sangat mendukung terciptanya keharmonisan dan kesejahteraan dalam
keluarga. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, disarankan
agar keluarga atau sepasang suami istri sebaiknya mempunyai
kewarganegaraan yang sama, sehingga mereka dengan sendirinya tunduk
pada hukum yang sama.
Contoh asas kesatuan hukum: Negara X menganut asas kesatuan
hukum, sedangkan Negara Y menganut asas persamaan derajat. Apabila
ada seorang laki-laki warga Negara X menikah dengan seorang wanita
yang berkewarganegaraan Y, si wanita akan berkewarganegaraan
rangkap (bipatride). Karena menurut ketentuan negaranya (Negara Y) dia
tidak diperkenankan untuk melepaskan kewarganegaraan Y-nya.
Sementara itu menurut ketentuan dari negara suaminya (Negara X), dia
harus menjadi warga Negara X mengikuti status suaminya.

E. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik


Indonesia
Syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, diatur dalam Pasal 8 sampai
dengan Pasal 22, yaitu sebagai berikut.

58
1. Pewarganegaraan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui
pewarganegaraan. Yang dimaksud dengan pewarganegaraan adalah tata
cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia melalui permohonan (Pasal 8).
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika
memenuhi persyaratan, yaitu: (a) telah berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin, (b) pada waktu mengajukan permohonan sudah
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5
(lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut, (c) sehat jasmani dan rohani, (d) dapat berbahasa Indonesia
serta menghakui dasar negara Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (e) tidak pernah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih, (f) jika dengan memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, (g)
mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, dan (h) membayar
uang pewarganegaraan ke ks negara (Pasal 9).
Sedangkan tata cara untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia
adalah sebagai berikut.
a. Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon
secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai
cukup kepada Presiden melalui Menteri (Pasal 10 ayat 1)
b. Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Pejabat (Pasal 10 ayat 2).
c. Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan
diterima (Pasal 11).
d. Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya (Pasal 12 ayat 1).
e. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah (Pasal 12 ayat 2).
f. Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan
(Pasal 13 ayat 1).
g. Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 13 ayat
2).
h. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan diterima
oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14
(empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan
(Pasal 13 ayat 3).
59
i. Penolakan permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disertai alasan dan diberitahukan oleh Menteri
kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri (Pasal 13 ayat 4).
j. Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan
pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 14 ayat 1).
k. Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden
dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 14 ayat 2).
l. Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang
telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah,
Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum (Pasal 14 ayat 3).
m. Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri
(Pasal 14 ayat 4).
n. Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilakukan di hadapan Pejabat
(Pasal 15 ayat 1).
o. Pejabat sebagaimana pada ayat (1) membuat berita acara pelaksanaan
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia Pasal 15 ayat 1).
p. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia, Pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berita acara pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia kepada Menteri Pasal 15 ayat 1).
q. Sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) adalah: Yang mengucapkan sumpah, lafal
sumpahnya sebagai berikut : Demi Allah/ demi Tuhan Yang Maha
Esa, saya bersumpah melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada
kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya
dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang
akan dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara
Indonesia dengan tulus dan ikhlas. Yang menyatakan janji setia,
lafal janji setianya sebagai berikut: Saya berjanji melepaskan seluruh
kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan
membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan
60
kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga
Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas (Pasal 16).
r. Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon
wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas
namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah
atau pernyataan janji setia (Pasal 17).
s. Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah
Kewarganegaraan (Pasal 11 ayat 1). (Pasal 18 ayat 1).
t. Menteri mengumumkan nama yang orang telah memperoleh
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam berita
Negara Republik Indonesia (Pasal 18 ayat 2).
2. Perkawinan Secara Sah dengan Warga Negara Indonesia
a. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga
Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan menyatakan pernyataan menjadi warga negara
dihadapan Pejabat (Pasal 19 ayat 1).
b. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan ganda
(Pasal 19 ayat 2).
c. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh
kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Pasal 19 ayat 3).
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri (Pasal 19 ayat 4).
e. Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik
Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi
Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah
memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut

61
mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda
(Pasal 20).
f. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 21 ayat 1).
g. Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun
yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
anak oleh warga negara Indonesia memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 21 ayat 2).
h. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (Pasal 21 ayat 3).
i. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah (Pasal 22).

F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia


Mengenai kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dapat
dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23 sampai dengan
Pasal 30, yaitu sebagai berikut.
Pasal 23 menyebutkan bahwa warga negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: (a) memperoleh
kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, (b) tidak menolak atau
tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu, (c) dinyatakan hilang
kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonan sendiri, yang
bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin,
bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan, (d) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih
dahulu dari Presiden, (e) secara sukarela masuk dalam dinas negara asing,
yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga
negara Indonesia, (f) secara sukarela mengangkat sumpah atau
menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing
tersebut, (g) tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu
yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, (h) mempunyai
62
paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang
dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari
negara lain atas namanya, atau (i) bertempat tinggal di luar wilayah
negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan
dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja
tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5
(lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan
untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia Kepada Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang
bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang
yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Pasal 24: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf d
tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara
lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.
Pasal 25: (1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya
yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak
tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. (2)
Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak
dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. (3) Kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh
kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak
dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. (4) Dalam hal status
kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 26: (1) Perempuan warga negara Indonesia yang kawin
dengan laki-laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut. (2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin
dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut. (3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
63
atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap
menjadi warga egara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan
mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-
laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3
(tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Pasal 27: Kehilangan Kewarganegaraan bagi suami atau istri yang
terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status
kewarganegaraan dari istri atau suami.
Pasal 28: Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari
dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan
mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal
kewarganegaraanya.
Pasal 29: Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal 30: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Uraikan seperti apa kriteria warga negara yang baik dan bagaimana
cara mendidik agar menghasilkan warga negara yang baik?
2. Uraikan perbedaan masalah kewarganegaraan dengan status
kewarganegaraan, serta berikan contoh masing-masing!
3. Pada saat kapan status kewarganegaraan seseorang itu dikatakan
apatride dan bipatride? Uraikan disertai dengan contoh masing-
masing!
4. Terangkan menurut pemahaman Anda, mengapa membela negara
merupakan hak sekaligus juga merupakan kewajiban setiap warga
negara?
5. Apakah pembatasan menyatakan pendapat termasuk bentuk
pelanggaran hak warga negara? Uraikan pendapat Anda!
6. Apakah melanggar hukum bisa dikategorikan pengingkaran terhadap
kewajiban? Berikan penjelasan Anda dengan didukung oleh pendapat

64
Ahli!
7. Indonesia menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas
berdasarkan UU No.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, akan
tetapi Indonesia tidak memperbolehkan memiliki dua
kewarganegaraan (berkewarganegaraan rangkap). Uraikan pendapat
Anda dengan didukung oleh pendapat Ahli!
8. Uraikan apa yang menyebabkan seseorang kehilangan
kewarganegaraan? Apakah seseorang yang kehilangan
kewarganegaraan masih bisa memperoleh kembali kewarganegaraan?
Bagaimana prosedurnya untuk memperoleh kewarganegaraan
kembali?
9. Arniwati seorang warga negara Indonesia yang menganut asas
kewarganegaraan ganda terbatas. Menikah dengan Chai Chu Sun
warga negara Korea yang menganut asas ius soli. Setelah menikah
mereka tinggal di Korea, satu tahun kemudian lahirlah anak pertama
mereka yang bernama Elvin Chai Chu. Apa kewarganegaraan Elvin
Chai Chu? Berikan penjelasan mengapa memperoleh
kewarganegaraan tersebut?
10. Arina Maurice seorang warga negara Belanda yang menganut asas
Ius Soli. Menikah dengan Alfredo warga negara Negro yang
menganut asas Ius Sanguinis. Setelah menikah mereka tinggal di
Negro. Satu tahun kemudian lahirlah anak pertama mereka yang
bernama Alfredo Junior. Apa kewarganegaraan Alfredo Junior?
Berikan alasan mengapa memperoleh kewarganegaraan tersebut?
11. Apriani seorang warga negara Jerman yang menganut asas Ius
Sanguinis. Menikah dengan Jhon Lim warga negara Inggris yang
menganut asas Ius Sanguinis. Setelah menikah mereka tinggal di
Jerman. Satu tahun kemudian lahirlah anak pertama mereka yang
bernama Alexander. Apa kewarganegaraan Alexander? Berikan
alasan mengapa memperoleh kewarganegaraan tersebut?
12. Auni Tan seorang warga negara China yang menganut asas Ius Soli.
Menikah dengan Yuta Watanaka warga negara Jepang yang
menganut asas Ius Soli. Setelah menikah mereka tinggal di Indonesia.
Satu tahun kemudian lahirlah anak pertama mereka yang bernama
Yuki Watanaka. Apa kewarganegaraan Yuki Watanaka? Berikan
alasan mengapa memperoleh kewarganegaraan tersebut?

65
BAB V
KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

A. Konstitusi
1. Pengertian Konstitusi
Konsep konstitusi dari segi bahasa atau asal katanya (secara
etimologis). Istilah konstitusi dikenal dalam sejumlah bahasa, misalnya
dalam bahasa Prancis dikenal dengan istilah constituer, dalam bahasa
Latin/Italia digunakan istilah constitutio, dalam bahasa Inggris digunakan
istilah constitution, dalam bahasa Belanda digunakan istilah
constitutie, dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah verfassung,
sedangkan dalam bahasa Arab digunakan istilah masyrutiyah (Riyanto,
2009). Constituer (bahasa Prancis) berarti membentuk, pembentukan.
Yang dimaksud dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu
negara. Kontitusi mengandung permulaan dari segala peraturan
mengenai suatu negara atau dengan kata lain bahwa konstitusi
mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai negara
(Prodjodikoro, 1970), pembentukan suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara (Lubis, 1976), dan sebagai peraturan dasar
mengenai pembentukan negara. (Mahfud MD, 2001).
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar
tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dapat pula tidak
tertulis. Dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna
permakluman tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang
kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk
pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai
lembaga negara serta hak-hak rakyat.
Dalam bahasa Indonesia, konstitusi dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Dasar (UUD) terjemahan dari bahasa Belanda
“Grondwet”, Grond mengandung arti dasar/tanah dan wet berarti undang-
undang. Konstitusi dan UUD, keduanya memang tidak berarti sama.
UUD hanyalah sebatas hukum dasar yang tertulis, sedangkan konstitusi
di samping memuat hukum dasar yang tertulis, juga mencakup hukum
dasar yang tak tertulis. Menurut Herman Heler, kontitusi lebih luas
daripada Undang-Undang Dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis,
melainkan juga bersifat sosiologis dan politis. Sedangkan Undang-
Undang dasar hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu
konstitusi yang tertulis.

66
Herman Heller, membagi pengertian konstitusi menjadi tiga, yaitu:
(1) Konstitusi dalam pengertian politik sosiologis. Konstitusi
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu
kenyataan, (2) Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang hidup
dalam masyarakat yang selanjutnya dijadikan suatu kesatuan kaidah
hukum. Konstitusi dalam hal ini sudah mengandung pengertian yuridis,
dan (3) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-
undang yang tinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Dalam pengertian sosiologis dan politis, konstitusi menggambarkan
hubungan antara kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu
negara. Sedangkan dalam pengertian yuridis, konstitusi adalah suatu
naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan. Namun demikian, ada yang menyamakan antara konstitusi
dan Undang-Undang Dasar sebagaimana yang dikemukakan oleh C.F.
Strong dan James Bryce. Bagi mereka, yang terpenting adalah isi atau
substansi materi dari konstitusi itu sendiri.
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah suatu kerangka kerja
(framework) dari sebuah negara yang menjelaskan bagaimana tujuan
pemerintahan negara tersebut diorganisir dan dijalankan. Dengan kata
lain, konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas
pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Pada dasarnya konstitusi itu terbagi dua, yaitu: (1) konstitusi yang
semata-mata berbicara sebagai naskah hukum, suatu ketentuan yang
mengatur, the rule of the constitution, dan (2) konstitusi yang bukan saja
mengatur ketentuan-ketentuan hukum, tetapi juga mencantumkan
ideologi, aspirasi, dan cita-cita politik, pengakuan, kepercayaan dari
bangsa yang menciptakannya (Mustafa Kamal Pasha, 2002).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konstitusi adalah
sejumlah aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk
untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan, termasuk
dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstitusi jenis kedua menggambarkan filsafat negara yang akan
dibentuk sebagai ideologi negara. UUD NRI Tahun 1945, termasuk di
dalamnya Konstitusi RIS 1949, maupun dalam UUDS 1950, masuk
kepada konstitusi jenis yang kedua ini. Dalam hal ini, cita-cita politik
dicantumkan dalam preambule atau Pembukaan dari konstitusi, dan
secara jelas dimuat pula ideologi Pancasila. Ideologi itu, bukan saja
ditemukan dalam Pembukaannya, tetapi juga dalam batang tubuhnya,
yakni pasal demi pasalnya menampilkan jiwa ideologi Pancasila.

67
Berdasarkan pengertian di atas, menurut Sovernin Lohman,
sedikitnya ada tiga unsur yang menonjol dalam konstitusi, yakni:
1. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat
(kontrak sosial), artinya konstitusi merupakan hasil dari kesepakatan
masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan
mengatur mereka.
2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia dan
warga negara sekaligus menentukan batas-batas hak dan kewajiban
warga negara dan alat-alat pemerintahannya.
3. Konstitusi sebagai framework, yaitu kerangka bangunan
pemerintahan.
Dalam perspektif sistem ketatanegaraan di Indonesia, konstitusi
dapat diartikan sebagai hukum dasar. Hal ini dapat dilihat di dalam
Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Undang-
Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar tertulis, sedangkan
di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Bahkan jika
dikaitkan dengan suasana Undang-Undang Dasar itu dibuat, Penjelasan
Undang-Undang Dasar tersebut bahwa memang untuk menyelidiki
hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara tidak cukup hanya
menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya, akan tetapi harus
menyelidiki juga sebagaimana praktiknya dan bagaimana suasana
kebatinannya (geistlichen hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu.
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar disebut sebagai hukum
dasar yang tertulis, yang mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama,
sebagai hukum maka UUD bersifat mengikat, baik pada pemerintah, pada
setiap lembaga negara, lembaga masyarakat maupun mengikat pada
setiap warga negaranya. Kedua, sebagai hukum, maka UUD berisi
norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau ketentuan yang harus
dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak yang terikat dalam negara
tersebut. Ketiga, selaku hukum dasar, maka UUD berfungsi sebagai
sumber hukum. Setiap produk hukum seperti UU, PP, Perpu, dan
sebagainya, termasuk juga setiap tindakan pemerintah dengan berbagai
kebijakannya harus berdasarkan pada peraturan yang tertinggi yaitu
UUD.
Pada prinsipnya, adanya konstitusi memiliki tujuan untuk
membatasi kewenangan pemerintah dalam menjamin hak-hak yang
diperintah (rakyat) dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang
berdaulat. Atau, bisa juga dikatakan bahwa konstitusi merupakan sarana
dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Pasal 1 ayat (2) UUD
68
1945 berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut dimaksud memuat
paham konstitusionalisme. Rakyat pemegang kedaulatan tertinggi terikat
pada konstitusi. Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
Tujuan adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: (1) konstitusi bertujuan untuk memberikan
pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik, (2)
konstitusi bertujuan untuk melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa
sendiri, dan (3) konstitusi bertujuan untuk memberikan batasan-batasan
ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Dilihat dari fungsinya, konstitusi terbagi ke dalam dua bagian,
yakni membagi kekuasaan dalam negara dan membatasi kekuasaan
pemerintah atau penguasa dalam negara. Bagi mereka yang memandang
negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi
kekuasaan, maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau
kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara
beberapa lembaga kenegaraan, seperti antara lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis
merupakan dokumen formal yang berisikan: (1) Hasil perjuangan politik
bangsa di waktu yang lampau, (2) Tingkat-tingkat tertinggi
perkembangan ketetanegaraan bangsa, (3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa
yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untukwaktu
yang akan dating, dan (4) Suatu keinginan, di mana perkembangan
kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin (Tim ICCE UIN
Jakarta, 2000).
Keempat hal yang terdapat dalam UUD tersebut menunjukkan arti
pentingnya suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara
dan berbangsa serta memberikan arahan dan pedoman bagi generasi
penerus bangsa dalam menjalankan suatu negara. Dan, pada prinsipnya
semua agenda penting kenegaraan serta prinsip-prinsip dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara telah ter-cover dalam
konstitusi.
Sebagai sebuah aturan-aturan dasar yang dibentuk untuk mengatur
dasar hubungan antara negara dan rakyat dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka tentu saja konstitusi sepatutnya dibuat
atas dasar kesepakatan bersama antara negara dan warga negara, sehingga
satu sama lain merasa bertanggung jawab serta tidak terjadi penindasan
dari yang kuat terhadap yang lemah. Oleh karena itu, konstitusi bisa
dijadikan sebagai media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi
seluruh warga negara. Suatu negara yang memilih demokrasi sebagai
69
pilihannya, maka konstitusi demokratis merupakan aturan yang dapat
menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan
pula kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis.
Secara umum suatu konstitusi dapat dikatakan demokratis terletak
sejauh manakah konstitusi tersebut mengandung prinsip-prinsip dasar
demokrasi sebagai aturan dalam kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip
demokrasi tersebut adalah: (1) menempatkan warga negara sebagai
sumber utama kedaulatan, (2) mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak
minoritas, (3) pembatasan pemerintahan, (4) pembatasan dan pemisahan
kekuasaan negara yang meliputi: (a) pemisahan (pembatasan) wewenang
kekuasaan bersadarkan trias politika, (b) kontrol dan keseimbangan
lembaga-lembaga pemerintahan, (c) proses hukum, dan (d) danya
pemilihan umum sebagai mekanisme peralihan kekuasaan (Tim ICCE
UIN Jakarta, 2000).
Konstitusi berfungsi: (a) membatasi atau mengendalikan kekuasaan
penguasa agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya, (b) memberi suatu rangka dasar hukum bagi
perubahan masyarakat yang dicita- citakan tahap berikutnya, (c)
dijadikan landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem
ketatanegaraan tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga
negaranya, dan (d) menjamin hak-hak asasi warga negara.

2. Berbagai Konstitusi yang Pernah Digunakan di Indonesia


Dalam sejarahnya, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga
sekarang di Indonesia telah berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar
dalam lima periode, yaitu sebagai berikut:
a. Periode Undang-Undang Dasar 1945, yakni dari tanggal 18 Agustus
1945-27 Desember 1949; UUD 1945 terdiri dari 3 bagian, yaitu:
pembukaan, batang tubuh (16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan,
2 ayat Aturan Tambahan), dan bagian penjelasan.
b. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, 27 Desember
1949-17 Agustus 1950; UUD RIS terdiri atas 6 bab, 197 pasal dan
beberapa bagian.
c. Periode Undang-Undang Dasar Sementara 1950, 17 Agustus 1950–5
Juli 1959; UUDS 1950 terdiri atas 6 bab, 146 pasal dan beberapa
bagian.
d. Periode Undang-Undang Dasar 1945, 5 Juli 1959-1999.
e. Periode Undang-Undang dasar 1945, tahun 1999-sekarang.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 18 Agustus
1945 hanya berlaku dalam waktu singkat yaitu mulai tanggal 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949. Sejak 27 Desember 1949 diberlakukan
Undang-Undang Dasar baru yang disebut Konstitusi Republik Indonesia
70
Serikat (KRIS) tahun 1949. Hal ini terjadi karena bentuk negara
Indonesia berubah dari bentuk kesatuan ke bentuk serikat atau federal.
Konstitusi kedua yang berlaku di Indonesia adalah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat disingkat KRIS atau UUDRIS. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS) atau UUDRIS 1949 berlaku di
Republik Indonesia Serikat (RIS). Jadi dengan berubahnya bentuk negara
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) maka Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS) menjadi Undang-Undang Dasarnya.
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 18 Agustus 1945 tetap berlaku
tetapi hanya di salah satu negara bagian RIS yaitu negara Republik
Indonesia (RI) yang beribukota di Yogyakarta.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) atau UUD RIS 1949
berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Pada
tanggal 17 Agustus 1950, bangsa Indonesia kembali ke bentuk negara
kesatuan. Dengan demikian UUD RIS 1949 tidak diberlakukan lagi.
Periode berlakunya UUD RIS 1949 dari tanggal 27 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950, oleh Moh. Yamin disebut Konstitusi II.
Konstitusi yang berlaku sesudah UUD RIS adalah Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950. Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 dimaksudkan sebagai pengganti dari UUD RIS 1949
setelah Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Perubahan UUD
RIS menjadi UUDS 1950 dituangkan dalam Undang-Undang Federal No.
7 Tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-
Undang Dasar ini dinamakan sementara karena sifatnya memang untuk
sementara saja. Dalam ketentuan undang-undang dasar ini disebutkan
adanya lembaga pembuat undang-undang dasar yang dinamakan
konstituante. Konstituante inilah yang akan menyusun undang-undang
dasar yang bersifat tetap.
UUDS 1950 berlaku dari tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli
1959, dalam sejarahnya lembaga Konstituante yang diberi tugas
menyusun undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950 tidak
berhasil menyelesaikan tugasnya. Situasi ini kemudian memicu
munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya sebagai berikut: (1)
menetapkan pembubaran Konstituante; (2) menetapkan berlakunya UUD
1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950; (3) pembentukan MPRS dan
DPAS.
Dengan ketetapan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut maka sejak
5 Juli 1959 UUDS dinyatakan tidak berlaku lagi. Sejak saat itu berlaku
kembali UUD negara Republik Indonesia 18 Agustus 1945 yang dalam
Dekrit Persiden disebut UUD 1945. Dengan adanya Dekrit Presiden 5
71
Juli 1959, diberlakukan kembali UUD negara Indonesia tanggal 18
Agustus 1945 yang selanjutnya dikenal dengan nama UUD 1945. Isi
UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden ini tidak berbeda dengan
Undang-Undang Dasar tanggal 18 Augustus 1945.Sesudah berakhirnya
masa pemerintahan Persiden Soeharto, UUD 1945 mengalami perubahan
atau amandemen.
3. Amandemen UUD 1945
Amandemen (bahasa Inggris: amendement) artinya perubahan.
Mengamandemen artinya mengubah atau mengadakan perubahan. Istilah
amandemen sebenarnya merupakan hak, yaitu hak parlemen untuk
mengubah atau mengusulkan perubahan rancangan undang-undang.
Perkembangan selanjutnya muncullah istilah amandemen UUD yang
artinya perubahan UUD. Istilah perubahan konstitusi itu sendiri
mencakup dua pengertian konstitusi, yaitu: (a) amandemen konstitusi
(contitutional amandement), dan (b) pembaruan konstitusi
(Constututional reform).
Dalam hal amandemen konstitusi, perubahan yang akan dilakukan
merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Jadi konstitusi
yang asli tetap berlaku. Adapun bagian yang diamandemen merupakan
satu bagian dari konstitusinya. Jadi, antara bagian perubahan dengan
konstitusi aslinya masih terkait. Sistem perubahan ini dianut oleh
Amerika Serikat dengan istilah popular amandemen. Dalam hal
pembaruan kostitusi, perubahan yang dilakukan adalah “baru” secara
keseluruhan. Jadi, yang berlaku adalah konstitusi yang baru, yang tidak
lagi ada kaitannya dengan konstitusi lama atau asli. Sistem itu dianut oleh
negara seperti negara Belanda dan Jerman.
Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini
mengingat sistematika ketatanegaraan yang tertuang dalam UUD 1945
tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan konsep
demokrasi pemerintahan dan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat.
Berkaitan dengan akan dilaksanakannya Amandemen terhadap UUD
1945, Panitia Ad Hoc MPR telah menghasilkan kesepakatan tentang
perubahan UUD 1945, yaitu sebagai berikut.
1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam
penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
72
Amandemen atas UUD 1945 tidak mengakibatkan konstitusi yang
asli atau UUD 1945 yang asli tidak berlaku lagi. Sistem perubahan UUD
1945 adalah dengan addendum yaitu menyisipkan bagian perubahan ke
dalam naskah UUD 1945. sistem perubahan ini meniru model
amandemen di Amerika Serikat. Melalui cara amandemen (addendum)
seperti itu, UUD 1945 yang asli masih tetap berlaku, hanya beberapa
ketentuan yang sudah diganti dianggap tidak berlaku lagi. Yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan yang baru. Naskah perubahan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari UUD NRI tahun 1945. Dengan
demikian naskah UUD 1945 kita terdiri atas: (1) Naskah asli UUD 1945;
(2) Naskah Perubahan Pertama UUD 1945; (3) Naskah Perubahan Kedua
UUD 1945; (4) Naskah Perubahan Ketiga UUD 1945; dan (5) Naskah
Perubahan Keempat UUD 1945.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran sehingga dilakukan
Amandemen terhadap UUD 1945, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang
bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak
terjadinya checksand balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat
besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang
dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan
berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak
konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi
grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena
memiliki kekuasan membentuk Undang-Undang.
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan
“fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran
(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan
Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang.
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat
merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-
undang.
Amandemen terhadap UUD 1945 memiliki dampak: (1) Bentuk
(bangunan) negara kesatuan tetap menjadi landasan utama; (2) Sistem
pemerintahan adalah presidentil. Presiden dan wakil presiden dipilih
langsung oleh rakyat; (3) Sistem parlemen menggunakan sistem dua
kamar: DPR dan DPD; (4) MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara. Ia hanya merupakan sarana bergabungnya DPR
dan DPD; (4) Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan
Pasal-Pasal; (5) Mempergunakan Asas desentralisasi dengan otonomi
73
luas; (6) Adanya MK yang diberi kewenangan untuk melakukan uji
material terhadap UU serta bertindak sebagai mediator jika ada konflik di
antara lembaga negara; (7) Komisi Konstitusi dibentuk sebagai partner
dari MPR dalam melakukan Amandemen terhadap UUD.
Ada beberapa sifat perubahan terhadap UUD 1945, yaitu:
1. Perubahan yang bersifat peralihan kekuasaan. Misalnya peralihan
kekuasaan membentuk UU. Menurut ketentuan asli, kekuasaan
membentuk UU secara harfiah ada pada Presiden. Sekarang kekuasaan
membentuk UU ada pada DPR.
2. Perubahan yang bersifat penegasan pembatasan kekuasaan. Misalnya
Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memangku jabatan paling
lama dua kali masa jabatan berturut-turut.
3. Perubahan yang bersifat pengimbangan kekuasaan. Misalnya soal-soal
yang berkaitan dengan pemberian amnesti, abolisi, pengangkatan duta
dan penerimaan perwakilan negara asing harus mengindahkan
pendapat DPR. Perubahan ini agak berlebihan karena tidak sesuai
dengan kelaziman.
4. Perubahan yang bersifat rincian atau penegasan ketentuan yang sudah
ada. Misalnya semua anggota DPR dipilih melalui Pemilu. Prinsip
tersebut telah ada dalam UUD, tetapi selama ini tidak dijalankan
sebagaimana mestinya.
5. Perubahan yang bersifat tambahan sebagai sesuatu yang baru.
Misalnya, bab mengenai DPD, bab tentang pertahanan dan keamanan,
bab mengenai BPK, dan lain-lain.
6. Perubahan yang bersifat meniadakan hal-hal yang tidak perlu.
Misalnya penghapusan penjelasan.
7. Perubahan yang bersifat membangun paradigma baru. Misalnya dalam
pembentukan UU, penyelenggaraan otonomi.

B. Rule of Law
1. Konsep Rule of Law
Istilah negara hukum berkaitan dengan paham rechtsstaat, dan the
rule of law, juga berkaitan dengan paham nomocracy yang berasal dari
perkataan nomos dan cratos; nomos berarti norma, sedangkan cratos
adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum
(Jimly Asshiddiqie, 2004). Jadi dalam kaitan dengan kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara, menurut paham nomokrasi, kekuasaan tertinggi ada
pada norma atau yang berdaulat adalah norma atau hukum (dalam hal ini
kedaulatan hukum). Lebih lanjut disebutkan, bahwa dalam buku Plato
berjudul Nomoi yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris

74
dengan judul The Laws, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi
sesungguhnya; yang sejak lama dikembangkan dari Zaman Yunani Kuno.
Menurut Philipus M. Hadjon (Anwar C., 2011), istilah
“rechsstaat” mulai popular di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran
tentang itu sudah lama adanya. Istilah “the rule of law” mulai populer
dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan
judul “Inroduction to the study of the law of the constitution.
Unsur-unsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl
dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental, sebagai berikut.
a. Mengakui dan melindungi hak asasi manusia.
b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara
harus berdasarkan pada teori Trias Politica.
c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-
undang (wetmatig bestuur).
d. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang
pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah
dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan
administrasi yang akan menyelesaikannya (Padmo Wahyono, 1989).
Rule of Law adalah kekuasaan undang-undang yang terorganisasi.
Penegakan hukum atau rule of law merupakan suatu doktrin dalam
hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran
negara berdasar hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran Rule of
Law dalam abad tersebut boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi
terhadap negara absolut (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah
berkembang sebelumnya.
Negara hukum merupakan terjemahan dari konsep rechtsstaat atau
Rule of Law yang bersumber dari pengalaman demokrasi konstitusional
di Eropa abad ke-19 dan ke-20. Oleh karena itu, negara demokrasi pada
dasarnya adalah negara hukum. Ciri negara hukum antara lain: adanya
supremasi hukum, jaminan hak asasi manusia, dan legalitas hukum. Di
negara hukum, peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada
Undang-Undang Dasar (konstitusi) merupakan satu kesatuan sistem
hukum sebagai landasan bagi setiap penyelenggaraan kekuasaan.
Rule of Law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada
abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan
demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan
meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan
sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya.
Rule of Law merupakan konsep tentang common law, di mana segenap
lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya
menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas prinsip
keadilan dan egalitarian. Rule of Law adalah rule by the law dan bukan
75
rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang dimiliki kaum
gereja, ningrat, dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan
memunculkan negara konstitusi yang pada gilirannya melahirkan doktrin
Rule of Law.
Konsep negara hukum mengalami pertumbuhan menjelang abad 20
yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare
state), dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan keamanan mulai
berubah. Konsepsi nachwchterstaat bergeser menjadi welfarsstaat.
Negara tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan
masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin.
Adanya larangan bagi pemerintah untuk ikut campur tangan dalam
urusan warga negara baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi
(staats-onthounding dan laissez faire) bergeser ke arah baru bahwa
pemerintah harus bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat.
Pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai penjaga malam
melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun
kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi
dan sosial. Perubahan konsepsi negara hukum itu terjadi menurut Miriam
Budihardjo (1993) antara lain karena banyaknya kecaman terhadap ekses-
ekses yang menginginkan pembagian kekuasaan secara merata serta
gagasan baru tersebut harus meluas mencakup dimensi ekonomi dan
berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama
perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak
merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara
kesejahteraan atau social state (negara yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat).
Menurut Bagir Manan (1994), konsepsi ngara hukum modern
merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara
kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas negara atau pemerintah tidak
semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja,
tetapi memikul tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Piet Thoenes (1972) memberikan defenisi tentang welfare state
sebagai berikut
”The welfare state is a form of society characterized by a system
of democratic, government sponsored welfare placed on a new
footing and offering a guarantee of collective social care to its
citizen, concurently with the maintenance of a capitalist system of
production.
(Suatu bentuk masyarakat ditandai dengan suatu sistem
kesejahteraan yang demokratis, dan ditunjang oleh pemerintah
yang ditempatkan atas landasan baru, memberikan suatu jaminan
76
perawatan sosial yang kolektif pada warga-negaranya dengan
mempertahankan secara sejalan beriringan suatu sistem produksi
kapitalis).
Sesuai dengan perubahan negara hukum tersebut, konsep negara
hukum klasik seperti yang diajukan oleh Dicey & Stahl (2008) ditinjau
ulang dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad 20. Menurut
Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah
rechstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan
hak asasi manusia, (2) Pembagian atau pemisahan kekuasaan, (3)
Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (4) Peradilan tata usaha
negara.

2. Prinsip-prinsip Rule of Law


Konsep rule of law tidak bisa dipisahkan dengan konsep negara
hukum. Namun demikian, negara yang menganut sistem rule of law harus
memiliki prinsip yang jelas. Menurut Dicey (Kaelan & Acmad Zubaidi,
2007), terdapat tiga unsur yang fundamental dalam rule of law, yaitu:
a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan
kesewenang-wenangan, prerogatif atau dicretionary authority yang
luas dari pemerintah.
b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law yang dilaksanakan oleh ordinary court;
ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada
peradilan administrasi negara;
c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari
hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Meskipun antara konsep rechsstaat dengan the rule of law
mempunyai perbedaan latar belakang, tetapi pada dasarnya keduanya
berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga
negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara.
Keempat prinsip Rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule
of law yang dikembangkan oleh Dicey (2008) untuk menandai ciri-ciri
negara hukum modern di zaman sekarang.
Dalam perspektif sosiologis, gagasan the rule of law mengandung
empat makna, yaitu: (1) Otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa
kekuasaannya harus dilaksanakan dengan cara-cara menurut hukum, (2)
hukum menjadi responsif terhadap kepentingan konsumen dan bertujuan
untuk mendispersonalisasikan kekuasaan untuk menundukkan

77
pelaksanaannya kepada aturan-aturan, sehingga melindungi warga negara
dari tindakan sewenang-wenang penguasa, (3) hukum tidak menentang
kekuasaan, malahan dapat memperkuatnya agar tidak merosot menjadi
pemaksa kehendak oleh penguasa, dan (4) tidak netral terhadap
kepentingan-kepentingan sosial, karena pemihakannya terhadap
kelompok yang kurang beruntung secara politik, ekonomi dan sosial.
Gagasan the rule of law mempunyai dimensi universal dan
sekaligus relativitas. Dimensi universalitasnya adalah gagasan bahwa
pelaksanaan kekuasaan dalam masyarakat harus tunduk kepada hukum,
hal ini mempunyai implikasi normatif, yaitu:
a. Mempunyai nilai yang berprespektif kerakyatan, yaitu melindungi
warga negara terhadap pemerintah dan yang lemah serta miskin
terhadap uang kuat serta kaya, dari sudut pandang warga negara yang
lemah serta miskin.
b. Penggunaan pendekatan konfliktual, bukan untuk melawan harmoni
dan konsensus palsu, yang berarti dianut pandangan kepatuhan
kondisional dan atas hukum dan otoritas, sehingga memberi ruang
untuk beda pendapat dan beda penafsiran, serta kritik atas otoritas
tidak ditindas.
Universalitas gagasan the rule of law juga dapat ditunjukkan oleh
hasrat yang diperintah untuk diperlakukan baik dan adil oleh yang
memerintah, meskipun kriterianya bisa berbeda dalam dimensi riang dan
waktu. Sedangkan dimensi relativitas the rule of law ialah bahwa tidak
ada ukuran atau standar yang sama yang dapat dipakai oleh semua bangsa
untuk menerapkan dalam praktek dan bisa memberikan hasil yang betul-
betul memuaskan, karena the rule of law hanyalah merupakan prinsip-
prinsip, bukan aturan-aturan konkret. Yang dibutuhkan ialah kemauan
politik dan komitmen moral untuk mewujudkan cita-cita the rule of law.
Di Indonesia, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan
bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945
membuat prinsip-prinsip Rule of Law, yang pada hakikatnya merupakan
jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya Rule
of Law dan sekaligus Rule of Justice. Prinsip-prinsip Rule of Law di
dalam Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi
penyelenggara negara, karena Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok
kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fungsi Rule of Law pada hakekatnya merupakan jaminan secara
formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga “keadilan
sosial”, sehingga diatur pada Pembukaan UUD 1945, bersifat Map dan
instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule
of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama
78
keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar-dasar hukum
pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara, pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun daerah yang berkaitan dengan jaminan atas rasa
keadilan, terutama keadilan sosial.
Paham negara hukum juga tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan, sebab pada akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat
atas dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Begitu eratnya tali-temali
antara paham negara hukum dan kerakyatan, sehingga ada sebutan negara
hukum yang demokratis atau democratische rechtsstaat. Scheltema,
memandang kedaulatan rakyat (democratie beginsel) sebagai salah satu
dari empat asas negara hukum, di samping rechtszwkerheidbeginsel,
gelijkheid beginsel dan het beginsel van de dienendeoverheid. Dalam
kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur
material negara hukum, disamping masalah kesejahteraan rakyat.
Di negara-negara Eropa Kontinental konsepsi negara hukum
mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama perkembangan
terhadap asas legalitas yang semula diartikan sebagai pemerintahan
berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheid van bestuur), kemudian
berkembang menjadi pemerintahan berdasarkan atas hukum
(rechtmatigheid van bestuur). Terjadinya perkembanga konsepsi tersebut
merupakan konsekuensi dari perkembangan konsepsi negara hukum
materil, sehingga kepada pemerintah diserahi tugas dan tanggung jawab
yang semakin berat dan besar untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya. Akhirnya, kepada pemerintah diberikan pula ruang gerak yang
semakin longgar yang cenderung melahirkan pemerintahan bebas (vrij
bestuur) dengan disertai ruang kebijaksanaan yang longgar berupa freies
ermessen.
Menurut Marcus Lukman (1996), istilah freies ermessen secara
khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen
(diskresionare power) diartikan sebagai salah satu sarana yang
memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
negaran untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
undang-undang. Meskipun demikian dalam kerangka negara hukum,
freies ermessen tidak dapat digunakan tanpa batas.
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan
gagasan negara hukum (het democratish ideal en het rechtsstaats ideal).
Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan
berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan
sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggaraan dan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-
79
hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-undang. International
Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 telah
memperluas konsep mengenai Rule of law, dan menekankan apa yang
dinamakannya ‘the dynamic aspects of the Rule of law in the modern
age’. Di samping hak-hak politik, hak-hak sosial dan ekonomi harus
diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standar-standar
dasar sosial dan ekonomi.
Syarat-syarat untuk terselenggaranya pemerintahan yang
demokratis di bawah rule of law ialah: (1) perlindungan konstitusional,
dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, harus
menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas
hak-hakyang dijamin, (2) badan peradilan yuang bebas dan memihak
(independent and impartial tribunal), (3) pemilihan umum yang bebas,
(4) kebebasan untuk menyatakan pendapat, (5) kebebasan untuk
berserikat/berorganisasi dan berposisi, dan (6) pendidikan
Kewarganegaraan (civic education).
Menurut Jimly Asshidiqi (2004), ada dua belas prinsip pokok
negara hukum (rechstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas
prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga
berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai
negara hukum dalam arti sebenarnya. Dua belas prinsip pokok negara
hukum modern ialah: (1) supremasi Hukum (Supremacy of law), (2)
persamaan dalam hukum (equality before the law, (3) asas legalitas (Due
Process of law, (4) pembatasan kekuasaan, (5) organ-organ eksekutif
independen, (6) peradilan bebas dan tidak memihak, (7) Peradilan Tata
Usaha Negara, (8) Peradilan Tata Negara, (9) perlindungan HAM, (10)
bersifat demokratis, (11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
bernegara, dan (12) transparansi dan kontrol sosial.
3. Negara Hukum Indonesia
Di dalam bagian Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, konsepsi
negara hukum Indonesia dirumuskan dalam kalimat yang bersayap yang
penuh keraguan “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum, tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka. Rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa
Indonesia itu sebenarnya “machstaat” (yang primer), namun juga
“rechsstaat” (yang sekunder). Hal tersebut berbeda dengan Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950 yang secara tegas dalam mukadimah UUD
dalam Pasal 1 ayat (1) batang tubuh UUD merumuskan bahwa Indonesia
ialah negara hukum yang demokratis.
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur
dalam Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, kemudian dalam Perubahan
UUD NRI Tahun 1945 telah diangkat ke dalam UUD NRI Tahun 1945,
80
Pasal 1 ayat (3), berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Di
sini supremasi hukum ditegaskan dengan menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum, bukan sekedar negara berdasar hukum. Prinsip itu
menegaskan bahwa tidak ada pihak, termasuk pemerintah yang tidak
dapat dituntut berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman ditegaskan
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan lembaga-lembaga
negara baru dalam bidang kekuasaan kehakiman, seperti Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah untuk menegakkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka.
Menurut Achmad Ali (2002) supremasi hukum harus tidak boleh
mengabaikan tiga ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian. Oleh karenanya, negara dalam melaksanakan hukum harus
memperhatikan tiga hal tersebut. Di negara hukum, hukum tidak hanya
sekedar formalitas atau prosedur belaka dari kekuasaan. Bila sekedar
formalitas, hukum dapat menjadi sarana pembenaran untuk dapat
melakukan tindakan yang salah atau menyimpang, hukum harus tidak
boleh mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi pasal 1 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945, maka ada tiga prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap
warga negara, yaitu supremasi hukum, kesetaraan di depan hukum, dan
penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
hukum. Konsekuensi berikutnya adalah bahwa setiap sikap, kebijakan,
dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan
hukum. Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun
penduduk.
Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando
tertinggi dalam penyelenggaraan negara, sehingga yang sesungguhnya
memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri,
sesuai dengan prinsip “the rule of law, and not of man”, yang sejalan
dengan pengertian “nomocratie”, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh
hukum, ‘nomos’. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles yang
menyatakan bukanlah manusia sebagai pribadi-pribadi yang memerintah
dan memimpin suatu negara melainkan hukum. Sedangkan baik buruknya
hukum ditentukan oleh pikiran yang adil dan bersusila. Pendapat ini
ditegaskan kembali oleh Jimly Ashiddqie (2004) dengan menyatakan
bahwa dalam doktrin negara hukum berlaku pemimpin yang sebenarnya
bukanlah orang, melainkan hukum yang dilihat sebagai suatu sistem.
Dalam paham negara hukum harus diadakan jaminan bahwa hukum
itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada
81
pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara
hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratiche rechtstaat). Hukum
tidak boleh dibuat, ditetapkan, dan ditegakkan dengan tangan besi
berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).
Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional
democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis
(democratische rechtsstaat).
Penjabaran prinsip-prinsip Rule of law secara formal termuat di
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yaitu:
1. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3)
2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
(pasal 24 ayat 1)
3. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)
4. Dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara
lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pertakuan yang
sama dihadapan hukum (pasal 28D ayat 1).
5. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja (pasal 28C ayat
2).
Pelaksanan Rule of Law mengandung keinginan untuk terciptanya
negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan
Rule of Law harus diartikan secara hakiki (materill) sangat erat kaitannya
dengan “the enforcement of the rule of law dalam penyelenggaraan
pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi
prinsip-prinsip Rule of Law.Secara kuantitatif peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Rule of Law banyak dihasilkan negara kita,
namun implementasi atau penegakannya belum mencapai hasil yang
optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan Rule of
Law belum dirasakan sebagian besar masyarakat.
Apabila memperhatikan unsur-unsur negara hukum yang telah
dikemukakan para ahli, maka ditemukan beberapa ketentuan dalam UUD
1945 yang menujukkan bahwa negara hukum Indonesia adalah negara
hukum yang menganut desentralisasi dan berorientasi kesejahteraan. Oleh
82
Ridwan, HR (2013), menjelaskan: Pertama, pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 28A sampai 28J
UUD 1945; Kedua, pemencaran kekuasaan Negara, yang berbentuk
pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal.
Pemencaran pembagian kekuasaan secara horizontal tampak pada
pembentukan dan pemberian kekuasaan kepada DPR (Pasal 19, 21, 22
UUD 1945), kekuasaan Presiden (Pasal 24 UUD 1945), dan beberapa
suprastruktur lainnya. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara
vertikal muncul dalam wujud desentralisasi yaitu dengan pembentukan
dan pemberian kewenangan kepada satuan pemerintahan daerah (Pasal 18
UUD 1945). Ketiga, prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 ayat (2) “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”’. Keempat,
penyelenggaraan negara dan pemerintahan berdasarkan atas hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima, pengawasan oleh
hakim yang merdeka, yang merupakan implementasi dari Pasal 24 UUD
1945 dan beberapa undang-undang organik tentang kekuasaan kehakiman
dan lembaga-lembaga peradilan. Keenam, pemilihan umum yang
dilakukan secara periode. Ketujuh, tersedianya tempat pengaduan bagi
rakyat atas tindakan pemerintah yang merugikan negara, yakni upaya
administrasi, PTUN, dan Ombudsman.
Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga
penegak hukum terdiri atas: (1) Kepolisian, (2) Kejaksaan, (3) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan (4) Lembaga Peradilan, yakni: (a)
Mahkamah Agung, (b) Mahkamah Konstitusi, (c) Pengadilan Negeri, dan
(d) Pengadilan Tinggi.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Menurut pendapat Anda, apakah
dalam menyelenggaraan negara Indonesia saat ini, pemerintah benar-
benar menempatkan Konstitusi (UUD NRI 1945) sebagai hukum
dasar?
2. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang, negara
Indonesia beberapa kali mengalami pergantian Konstitusi. Mulai dari
UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, kemudian
kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Uraikan, mengapa hal ini terjadi? Lengkapi uraian Anda dengan
pendapat ahli!
83
3. Apakah Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar? Uraikan
pendapat Anda didukung dengan pendapat ahli!
4. Salah satu prinsip demokrasi adalah menempatkan warga negara
sebagai sumber utama kedaulatan. Uraikan pendapat Anda, apakah
warga negara saat ini benar-benar ditempatkan sebagai sumber utama
kedaulatan? Lengkapi uraian Anda dengan pendapat ahli!
5. Apakah Indonesia adalah negara yang menganut sistem the rule of
law? Uraikan pendapat Anda disertai dengan pendapat para ahli!
6. Uraikan, bagaimana kemampuan pemerintah dalam penegakkan the
rule of law di era orde baru dan reformasi? Mana yang lebih baik
menurut pandangan Anda dalam penegakkan the rule of law?
7. Cobalah cari kasus pelanggaran hukum yang terkait dengan prinsip
the rule of law di Indonesia, dan tanggapilah pelanggaran kasus
tersebut!
8. Inti the rule of law adalah adanya jaminan keadilan bagi
masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Bagaimana tanggapan
Anda mengenai jaminan keadilan sosial kepada masyarakat saat ini?
Lengkapi uraian Anda dengan memberikan satu contoh dalam
kehidupan dimasyarakat!
9. Salah satu prinsip the rule of law adalah adanya persamaan dihadapan
hukum dari semua golongan. Bagaimana tanggapan Anda mengenai
hal ini?

84
BAB VI
HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia


HAM sering disebut sebagai human right, dan dipahami banyak
orang secara keliru. HAM hanya diartikan secara sempit sebagai
kebebasan. HAM lebih luas daripada kebebasan, atau kebebasan itu
hanya sebagian dari HAM. HAM terkait dengan martabat manusia,
tentang manusia bermartabat, baik dan mulia pada umumnya ditanggapi
dari dua pendekatan dan orientasi (pandangan). Pertama, pendekatan dan
orientasi status yang menempatkan martabat manusia sebagai hadiah atau
pemberian atau takdir Tuhan. Prinsipnya bahwa Tuhan telah menciptakan
manusia dalam sebaik-baik makhluk. Manusia dengan akal dan
pikirannya telah menjadi makhluk yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk lainnya. Dengan begitu, manusia mau tidak mau
(given) menyandang martabat yang tinggi. Kedua, pendekatan dan
orientasi prestasi. Pendekatan dan pandangan prestasi menyatakan bahwa
martabat manusia tidak given tetapi harus dicapai setelah manusia
berjuang dan berusaha memperoleh martabat mulai dengan jerih payah
dan kegigihan. Dalam pandangan prestasi, martabat manusia tidak dapat
dipertahankan apabila manusia berkinerja (mencapai prestasi) yang
rendah atau buruk.
Miriam Budiardjo (1993) menjelaskan hak asasi manusia ialah hak-
hak dasar yang dibawa sejak lahir, yang melekat pada esensinya sebagai
anugrah Tuhan. Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi
manusia sebagai “hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya di dalam
masyarakat”. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa
perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, dan karena itu
bersifat asasi serta universal. Menurut Undang-undang Nomor 39 tahun
1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan rumusan di atas, maka pengertian hak asasi manusia
(HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia secara kodrati yang wajib dihormati, dijunjung dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, kelompok, dan setiap orang
tanpa kecuali demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat
85
manusia. HAM semata-mata bersumber dari Tuhan, karena itu tidak
dapat dikurangi. Tindakan yang diperlukan dari negara dan hukum adalah
suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap HAM tersebut.
Adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta wajib ikut dalam upaya pembelaan negara.
Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat
manusia yang sama dan sederajat, serta dikaruniai akal dan hati nurani
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat
persaudaraan. Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang sama dan adil tanpa
diskriminasi. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama sesuai
dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Untuk itu setiap
orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan hukum yang adil.
Setiap orang atau kelompok rentan juga berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan sesuai dengan kekhususannya.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebabasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak untuk memeluk agama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, hak persamaan di depan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
serta hak untuk tidak dituntut kembali atas kesalahan yang sama atau
telah ada putusannya (prinsip nebis in idem) adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Kebebasan dasar dan hak dasar yang disebut hak asasi manusia tersebut
melekat pada manusia secara kodrati tidak dapat diingkari. Pengingkaran
terhadap hak asasi manusia berarti pengingkaran terhadap martabat
manusia itu sendiri.
HAM berkaitan dengan nilai dasar manusia dan menyentuh sendi-
sendi kemanusiaan. Misalnya tanpa HAM maka harkat dan martabat
sebagai manusia akan hilang. Dengan kata lain kemanusiaan akan hilang
manakala HAM itu dicabut oleh pihak lain. Bagi bangsa Indonesia HAM
itu bukan hanya universal, yaitu berupa hak-hak dasar yang dibawa
manusia sejak lahir semata, melainkan disesuaikan dengan kebudayaan
dan yuridis berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun1945. Dengan
demikian, HAM selalu berkaitan dengan doktrin, filsafat, dan wawasan
bangsa Indonesia, baik sebagai ndividu maupun sebagai masyarakat. Hal
ini berkaitan dengan cara pandang bangsa Indonesia terhadap jati dirinya
yaitu hakikat kodrat sebagai manusia.
Karena sifatnya yang dasar dan pokok, maka hak asasi manusia
sering dianggap sebagai hak yang tidak dapat dicabut atau dihilangkan.
Atau dengan kata lain, hak asasi manusia wajib dihormati, dijunjung
86
tinggi dan dilindungi (perlu mendapat jaminan) oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia, maka siapa saja yang melanggarnya harus
mendapat sanksi yang tegas. Sekolah sebagai agen pembaharuan dalam
HAM memiliki peranan yang sangat penting dalam merasionalisasi dan
mendistribusikan nilai-nilai HAM melalui pemikiran, observasi,
pertimbangan dan pilihan individu. Sekolah merupakan tempat
penyemaian ide-ide tentang hak asasi manusia (HAM). Pendidikan HAM
bagi anak akan menjamin perkembangannya secara optimal melalui
partisipasi dalam kehidupan kelompok. Efek pendidikan HAM selalu
memberikan perubahan kualitas anak sesuai dengan nilai yang berlaku
dalam kelompok. Perubahan itu berlangsung terus-menerus menuju
perbaikan yang semakin menyempurnakan.
Pada akhir abad ke-20 ini hampir seluruh dunia mengangkat
masalah hak asasi manusia sebagai hak yang penting dalam negara
demokrasi atau bagi negara yang ingin mencapai demokrasi. Demokrasi
tidak hanya memuat tentang kebebasan tetapi juga menghormati hukum
dan HAM. Demokrasi tanpa hukum dan HAM akan membuat demokrasi
yang dikembangkan menjadi rapuh dan kebebasan mengarah kepada
anarki. Misalnya, untuk menyalurkan aspirasi sekelompok masyarakat
buruh memperingati hari jadi buruh internasional tanggal 1 Mei 2007
berdemonstrasi dan menuntut pemerintah untuk menetapkan tanggal 1
Mei sebagai hari libur. Tuntutan tersebut tidak dikabulkan, sehingga
mereka unjuk rasa secara bebas dan menghentikan setiap angkutan umum
dan mengajak sopir bergabung dan menurunkan semua penumpangnya.
Jumlah mereka semakin banyak sambil sesekali berteriak menyerukan
tuntutannya. Mereka bergerak dari satu ruas jalan ke ruas jalan lainnya
dan memblokir jalan raya sehingga macet total. Aturan hukum di sini
sudah tidak diindahkan lagi, dan hak orang lain untuk menggunakan
angkot umum dilanggarnya.

B. Perkembangan Wawasan tentang HAM


Sejarah perjuangan menegakan hak-hak asasi manusia di dunia
Barat baru dimulai sekitar abad XIII, yaitu ketika pada tahun 1215 Raja
John Inggris mengeluarkan sebuah piagam terkenal dengan nama Magna
Charta atau Piagam Agung. Menurut Magna Charta, kekuasaan Raja
(John Lackland) harus dibatasi. Hak asasi manusia lebih penting daripada
kekuasaan Raja. Tidak seorang pun warga negara Inggris yang merdeka
dapat ditahan, dirampas harta kekayaannya, diperkosa, diasingkan,
disiksa, atau dengan cara apapun diperkosa hak-haknya kecuali dengan
pertimbangan hukum. HAM dan hukum yang membatasi kekuasaan Raja.
87
Sedangkan menurut Abu ‘Ala al-Maududi, menjelaskan bahwa
sebenarnya jauh sebelum Magna Charta lahir, konsep Islam tentang
HAM telah lebih dahulu dikenal yaitu di dalam Piagam Madinah, bahkan
dengan substansi yang lebih komprehensif dibandingkan Magna Charta
1215 (Adeng Muhtar Ghazali, 2004). Ajaran agama dan kitab-kitab suci
sarat dengan ajaran-ajaran tentang kemanusian dan keadilan. Nabi Musa
AS telah berjuang membebaskan umatnya dari perbudakan Firaun. Nabi
Muhammad SAW telah mendeklarasikan Piagam Madinah yang lahir di
Jazirah Arab yang sebelumnya diliputi kemusyrikan, pertentangan antar
suku, permusuhan kaum kafir Qurais dengan Umat Islam dan sebagainya
(Basri Ananda, 2002). Mengenai hak asasi manusia yang berkaitan
dengan hak-hak warga negara, al-Maududi menjelaskan bahwa dalam
Islam, hak asasi pertama dan utama warga negara adalah:
1. Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama-sama dengan
jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-
alasan yang sah dan legal.
2. Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bisa
dilanggar, kecuali setelah melalui proses pembuktian yang
meyakinkan secara hukum dan memberi kesempatan kepada tertuduh
untuk mengajukan pembelaan.
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan
masing-masing.
4. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa
membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu diwajibkan zakat
kepada umat Islam, salah satunya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pokok warga negara (Adeng Muchtar Ghazali, 2004).
Namun di dalam pengalaman sejarahnya, agama sering
disalahgunakan oleh para penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya; dengan cara menekankan kewajiban-kewajiban kepada
masyarakat, agar tetap tunduk dan patuh sehingga mengesampingkan soal
hak-hak rakyat/masyarakat. Penyalahgunaan agama oleh penguasa di
Eropa mengakibatkan perlawanan keras dari rakyat terhadap penguasa
(raja/para bangsawan). Hal ini bermula pada abad ke -13 dengan ditandai:
1. Peristiwa munculnya pernyataan tentang HAM itu bermula dari
lahirnya Piagam Magna Charta tahun 1215. Di dalam Magna Charta
ini dicanangkan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut
menjadi dibatasi dan dapat diminta pertanggungjawabannya di muka
hukum, sehingga raja tidak kebal hukum lagi. Hasil perjuangan rakyat
Inggris yang berhasil memaksa raja untuk melepas sebagian
kekuasaannya dengan membentuk semacam parlemen, yang 400 tahun
kemudian ditegaskan lagi dengan Bill of Right tahun 1689, yang
memberikan hak kebebasan kepada rakyat.
88
2. Pada tahun 1689 perjuangan HAM di Inggris lebih nyata terjadi ketika
raja William III menandatangani Bill of Right sebagai hasil dari
perlawanan terhadap raja James II dalam suatu revolusi berdarah
tahun 1688 yang dikenal dengan istilah The Glorius Revolution of
1688. Dalam Bill of Right itu antara lain ditetapkan bahwa penetapan
pajak, pembuatan undang-undang dan kepemilikan tentara harus
seizin parlemen. Parlemen berhak mengubah keputusan raja,
mempunyai kebebasan berbicara dan berpendapat. Pemerintahan
kerajaan Inggris beralih ke pemerintahan parlementer.
3. Angin segar kebebasan ini kemudian muncul ke Benua Amerika,
sehingga satu abad kemudian, di Amerika Serikat pun dicanangkan
Bill of Right tahun 1776, yang intinya memuat hak kebahagian dan
keamanan. Sejak itulah Amerika Serikat diwarnai pergulatan untuk
memperjuangkan HAM, termasuk yang paling berat adalah pergulatan
perbudakan di masa Presiden Abraham Lincoln.
4. Pada tahun 1789 di Perancis dirumuskan pernyataan hak-hak manusia
dan warga negara (declaration des Droits de l’homme et du Citoyen)
yaitu suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis,
sebagai perlawanan terhadap kesewenangan dari rezim lama.
5. Pada tahun 1789 rakyat Amerika menyusun Undang-Undang Hak
(Bill of Right) dan menjadi bagian dari UUD-nya pada tahun 1791.
HAM yang dirumuskan dalam abad ke-17 dan 18 sangat
dipengaruhi oleh gagasan mengenai hukum alam sebagaimana
dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan J.J. Rousseau (1712-1778)
dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, seperti
kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Pada abad ke-20 hak-hak politik seperti yang dirumuskan pada
abad ke-17 dan 18 dianggap kurang sempurna, dan mulailah dicetuskan
beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Rumusan tentang
hak yang sangat terkenal adalah hasil pemikiran Presiden Amerika
Serikat Franklin D. Roosevelt. Dalam perang Dunia I (1914-1918) dan
perang Dunia II (1941-1945) Amerika Serikat tampil sebagai kampium
dunia bebas melawan fasisme.
Pada tahun 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt,
tampil dengan gagasannya melalui pidatonya yang terkenal untuk
memperjuangkan empat kebebasan (The Four Freedom) ke seluruh dunia
pada permulaan Perang Dunia II, yakni: (1) Freedom of speech atau
berbicara/berpendapat, (2) Freedom of religion atau kebebasan beragama,
(3) Freedom from hunger atau bebas dari kelaparan, (4) Freedom from
fear atau bebas dari ketakutan.
Pada tahun 1948 lahir pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi
manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diterima secara
89
aklamasi oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Dalam
perkembangannya ternyata sangat sulit untuk melaksanakan tindak
lanjutnya, yaitu menyusun suatu perjanjian (covenant) yang mengikat
secara yuridis. Baru pada tahun 1966 sidang umum PBB menyetujui
perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights) dan perjanjian tentang hak-hak
sipil dan politik yang bersifat individualistik dan liberal sebagaimana
tersurat dan tersirat dalam Piagam HAM Universal PBB tahun 1948.
Piagam HAM tersebut disusun oleh negara-negara pemenang Perang
Dunia II yang banyak didominasi oleh negara-negara barat yang liberal
individualistik.
Pernyataan HAM internasional sebagaimana ditetapkan dalam
deklarasi PBB pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan hukum selama
negara anggota PBB tidak menetapkannya sesuai dengan hukum positif
yang berlaku di negaranya. Namun demikian, adanya deklarasi PBB
tentang HAM tersebut menunjukkan bahwa masyarakat internasional
telah menyepakati bahwa HAM harus dihormati dan mengikat secara
moral.
Generasi HAM:
Dalam literatur Barat perkembangan HAM di dunia dapat
dikategorikan menjadi tiga generasi HAM (apabila dilihat dari perspektif
substansi yang diperjuangkan), yakni: Generasi pertama menyangkut
hak-hak sipil dan politik, yang sudah lama dikenal dan selalu
diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara Barat. Hak-hak sipil,
antara lain: (a) hak untuk menentukan nasib sendiri, (b) hak untuk hidup,
(c) hak untuk tidak di hukum mati, (d) hak untuk tidak disiksa, (e) hak
untuk tidak ditahan sewenang-wenang, dan (f) hak atas peradilan yang
adil. Sedangkan hak bidang politik, antara lain: (a) hak untuk
menyampaikan pendapat, (b) hak untuk berkumpul dan berserikat, (c) hak
untuk mendapat persamaan di depan hukum, dan (d) hak untuk memilih
dan dipilih. Generasi pertama substansi HAM berpusat pada hak-hak sipil
dan politik yang bersifat individualistik dan liberal sebagaimana tersurat
dan tersirat dalam Piagam HAM Universal PBB tahun 1948. Piagam
HAM tersebut disusun oleh negara-negara barat yang liberal
individualistik.
Generasi kedua hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang
gigih diperjuangkan oleh negara-negara komunis di PBB dengan
dukungan negara-negara Dunia Ketiga. Termasuk hak sosial ekonomi,
antara lain: (a) hak untuk bekerja, (b) hak untuk mendapat upah, (c) hak
untuk tidak dipaksa bekerja, (d) hak untuk cuti, (e) hak atas makanan, (f)
hak atas perumahan, (g) hak kesehatan, dan (h) hak atas pendidikan. Hak-
90
hak bidang budaya, antara lain: (a) hak berpatisipasi dalam kegiatan
kebudayaan, (b) hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan, dan
(c) hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Substansi HAM pada generasi kedua ini menekankan pada hak
ekonomi dan sosial budaya. Di sini pengertian HAM telah bergeser dari
semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu dalam
menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan
ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu
mengembangkan potensinya sampai maksimal. Pada generasi kedua ini
lahir dua perjanjian (covenant), yaitu perjanjian tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights) dan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on
Civil and Political Rights) pada tahun 1966. Jadi, pada generasi kedua ini
dikehendaki adanya perluasan horizontal dari konsep HAM.
Generasi ketiga adalah hak atas perdamaian dan pembangunan,
yang terutama dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Dunia Ketiga.
Termasuk di sini antara lain: (a) hak untuk memperoleh hak hidup yang
sehat, (b) hak untuk memperoleh perumahan yang layak, dan (c) hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Substansi HAM pada generasi ketiga ini menekankan perpaduan
antara generasi pertama dan kedua dalam bentuk hak-hak pembangunan
(The Rights of Development) pada tahun 1986 yang diperkuat dengan
Deklarasi Wina 1986. Pelaksanaan HAM pada generasi ketiga ini
ditandai oleh dominannya sektor negara sebagai komando pembangunan,
sehingga implementasi HAM bersifat komando dari atas (top down).
Kemunculan generasi ketiga HAM ini menunjukkan bahwa pengertian
HAM telah bergeser dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi
individu dalam menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan
kondisi sosial dan ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan
individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.
Ajaran HAM di Dalam Pancasila dan UUD 1945:
Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup
kolektif bangsa Indonesia menjadi pemandu di dalam memahami HAM.
Pemahaman ini perlu dimiliki setiap warga negara agar dapat
melaksanakan HAM dengan sebaik-baiknya. Pandangan bangsa
Indonesia tentang ide HAM sangat jelas digambarkan secara sistematis
dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a. Ide dasar HAM dimulai dengan kemerdekaan adalah hak setiap
bangsa manapun di dunia. Perampasan dan penghilangan
kemerdekaan individu atas individu lain, atau bangsa yang satu atas
bangsa yang lainnya dalam bentuk penjajahan merupakan tindakan
91
yang tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan (Alinea satu
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945).
b. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh HAM yang dirampas
bangsa lain sangat panjang. Dengan darah dan air mata, bahkan
dengan nyawa, perjuangan bangsa Indonesia itu berhasil
mengantarkan pada kemerdekaan. Negara Indonesia merdeka yang
dicita-citakan sesuai HAM itu adalah negara yang di dalamnya bangsa
Indonesia dapat hidup merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
(alinea kedua Pembukaan UUD NRI Tahun 1945).
c. Ide HAM bagi bangsa Indonesia adalah HAM yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai ketuhanan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan
alinea ketiga yang berbunyi ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dari pernyataan tersebut
diketahui bahwa HAM itu harus sesuai atau tidak bertentangan dengan
nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Kemerdekaan itu didorong oleh
keinginan yang luhur.
d. Alinea keempat memuat Pancasila sebagai dasar negara dan tujuan
negara. Alinea keempat ini memuat pernyataan bahwa negara
Indonesia merdeka yang didirikan oleh pendiri negara mempunyai
tujuan (a) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia, (d) ikut serta dalam menjaga ketertiban
dunia berdasarkan perdamaian abadi.
Untuk memahami ajaran HAM di dalam Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945 perlu terlebih dahulu memahami hakikat kodrat manusia
Indonesia sebagai pendukung ajaran HAM tersebut. Keseluruhan ajaran
HAM itu pada hakikatnya dapat dikembalikan kepada hakikat kodrat
manusia seutuhnya. Hakikat kodrat manusia seutuhnya didasarkan atas
pandangan hidup manusia Indonesia. Bagaimana manusia Indonesia
memandang kehidupan itu akan menentukan pandangan terhadap diri dan
lingkungannya, termasuk Hak Asasi Manusia.

C. Instrumen Hukum Internasional HAM


Setelah terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pada
tanggal 10 Desember 1948 dicanangkan Universal Declaration of Human
Rights maka pemahaman tentang HAM beserta keputusannya pun
semakin meluas dan terinci sejalan dengan semakin banyaknya instrumen
HAM internasional dihasilkan oleh PBB. Pada tanggal 16 Desember
1966 telah diterima dan terbuka untuk penandatanganan, pengesahan, dan
92
aksesi sebuah produk Majelis Umum PBB yaitu Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (31 pasal) di mana
menyebutkan 13 pasal tentang HAM kemudian disusul opsional protokol
kovenan internasional tentang Hak-Hak sipil dan politik yang terdiri 14
pasal. Semuanya mulai berlaku pada tahun 1976. Keempat instrument
HAM internasional ini disebut International Bill Of Rights, karena semua
instrumen ini merupakan fondasi dari rumah yang disebut Hak Asasi
Manusia Internasional.
Adapun yang menjadi instrumen (sumber) hukum internasional
Hak Asasi Manusia adalah:
1. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
2. Deklarasi Universal HAM 1948
3. Konvensi Jenewa 1949
4. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
5. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
6. Konvensi Internasional tentang penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial
7. Konvensi Internasional tentang Anti Penindasan dan Penghukuman
Kejahatan Apartheid
8. Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap
wanita
9. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
Lainnya
10. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genocide
11. Konvensi Mengenai Status Pengungsi
12. Konvensi tentang Suaka Politik
13. Konvensi tentang Hak-Hak Anak
14. Konvensi tentang Kebebasan Berkumpul dan Perlindungan Hak
Berorganisasi
15. Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-
Negara Merdeka
16. Konvensi tentang Lingkungan Hidup
17. Instrumen HAM Internasional lainnya yang bersifat universal.

D. Hak Asasi Manusia di Indonesia


1. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
a. Periode Sebelum Kemerdekaan Indonesia (1908-1945)
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan dipelopori oleh organisasi
pergerakan seperti Budi Utomo, SI, IP, PNI, dan organisasi
93
pendidikan Indonesia (hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat, menentukan nasib sendiri, bebas dari diskriminasi ras
rasial, hak sosial, perlakuan yanng sama).
b. Periode Sesudah Kemerdekaan Indonesia (1945-sekarang)
1) Periode 1945-1950: hak untuk merdeka, kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik;
2) Periode 1950-1966: hak semangat kebebasan demokrasi liberal
yang berintikan kebebasan individu;
3) Periode 1959-1966: pembatasan yang ketat oleh kekuasaan
terhadap hak sipil dan hak politik warga negara;
4) Periode 1966-1998: kurun waktu 1967 pemerintah berusaha
melindungi kebebasan dasar manusia, tetapi kurun waktu 1970-
1980 pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap
defensifme, represif. Tahun 1990-an sudah dibentuk lembaga
penegakan HAM (Komnas HAM);
5) Periode 1998-sekarang: HAM mendapat perhatian yang resmi
dari pemrintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna
menjamin HAM. Menetapkan Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 serta UU No. 39 tahun 1999.
2. HAM dalam UUD NRI Tahun 1945
Setelah UUD NRI Tahun 1945 mengalami amandemen, pengaturan
mengenai hak-hak asasi manusia secara tegas tercantum di dalam Bab
XA pasal 28 A s.d pasal 28J yang rumusannya sebagai berikut.
a. Pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Pasal 28 B: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; (2) Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Pasal 28 C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendiudikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan
umat manusia; (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
d. Pasal 28 D: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum, (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja, (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
94
sama dalam pemerintah, (4) Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.
e. Pasal 28 E: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah dan meninggalkannya, serta berhak kembali, (2) Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, berkumpul, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, (3) Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.
f. Pasal 28 F: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.
g. Pasal 28 G: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi, (2) Setiap orang berhak berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suara politik dari negara lain.
h. Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, (2) Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan, (3) Setiap orang berhak atas jaminan social
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat, (4) Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
i. Pasal 28 I: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidakl dapat dikurangi dalam keadaan apapun,
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, (3) Identitas budaya
dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban, (4) Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
95
Negara, terutama pemerintah, (5) Untuk menegakkan dan melindungi
jhak asasi manusia dengan prinsip Negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
j. Pasal 28 J: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
3. HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Hak-hak yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 amat
banyak, yakni dimuat dalam pasal 9 sampai dengan pasal 66, namun
dapat dikelompokkan 10 bagian besar (Salimin A, 2004; dan Winarno,
2007), yaitu sebagai berikut.
a. Hak untuk hidup (Pasal 9): Setiap orang berhak hidup,
mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidipannya, hidup
tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10): Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.
c. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-16): Setiap orang berhak untuk
memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi
maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.
d. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19): Setiap orang, tanpa
diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27): Setiap orang bebas untuk
memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat
dimuka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh
diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik
Indonesia.

96
f. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35): Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik,
rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42): Setiap orang berhak mempunyai
milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
mengembangkan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak
melanggar hukum serta mendapat jaminan sosial yang dibutuhkan,
berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan
serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
h. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44): Setiap warga
negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau
perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat dalam
setiap jabatan pemerintahan.
i. Hak wanita (Pasal 45-51): Seorang wanita berhak untuk memilih,
dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu
berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya.
j. Hak anak (Pasal 52-66): Setiap anak berhak atas perlindungan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh
pendidikan, pengajaran dalam rangka mengembangkan diri dan tidak
dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Yang sangat menarik dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 adalah hak wanita juga dijelaskan secara rinci (Asykuri Ibnu
Chamim, 2003: 404), seperti hak keterwakilan wanita dalam badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Juga hak wanita untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Bahkan dalam pasal 47 dikatakan bahwa seorang wanita yang menikah
dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis
mengikuti status kewarganegaraan suaminya, tetapi mempunyai hak
untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya itu.

E. Instrumen HAM Nasional


Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia mempunyai
pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari
nilai agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa serta
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Indonesia menyadari
bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang
97
pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, bangsa Indonesia mengakui
setiap individu merupakan bagian dari masyarakat, dan sebaliknya
masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing
mempunyai hak dasar. Oleh sebab itu, tiap individu di samping
mempunyai hak asasi, juga mengemban kewajiban dan tanggungjawab
untuk menghormati hak asasi individu lain dan atau komunitas
masyarakat lain. Hak asasi manusia yang dimaksud antara lain mengenai
hak hidup, hak atas kesejahteraan, hak untuk berkeluarga dan
mengambangkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak memperoleh informasi, hak keamanan, hak turut serta
dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan sebagainya. Dalam
rangka pelaksanaan hak asasi manusia tersebut, secara normamatif
substansi hak asasi manusia telah dirumuskan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan Indonesia baik pengaturannya dengan implisit
maupun eksplisit.
Instrumen HAM yang dimaksudkan di sini adalah berbagai
peraturan perundang-undangan yang berisikan ketentuan-ketentuan
jaminan HAM sebagai alat untuk menjamin perlindungan dan
pelaksanaan HAM nasional (di Indonesia). Instrumen HAM nasional bisa
merupakan peraturan perundang-undangan yang memang dibuat secara
khusus untuk menjamin perlindungan HAM, bisa juga berupa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk untuk meratifikasi terhadap kovenan
(covenant) internasional tentang HAM. Kovenan yaitu perjanjian yang
mengikat bagi negara-negara yang menandatanganinya. Oleh karena itu,
pemerintah yang telah meratifikasi terhadap kovenan internasional
tentang HAM, maka tidak saja jaminan itu berlaku secara nasional tetapi
ketika pemerintah itu melanggar dapat digugat oleh PBB (Materi
Pelatihan Terintegrasi Pengetahuan Sosial, 2004).
Ketentuan perundangan tentang HAM sebagai implementasi dari
UUD NRI Tahun 1945 dan menjadi instrumen (sumber) hukum nasional
HAM di Indonesia, antara lain:
1. UUD NRI Tahun 1945
2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
4. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999
5. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN
6. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
7. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
98
8. Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara
RI yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002.
9. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
10. Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
11. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Kemanusiaan.
12. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
13. Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM
14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja sebagai Dasar untuk
Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973.
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2000 tentang
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak sebagai Dasar Ratifikasi Konvensi
ILO No. 182 tahun 1999.
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
19. Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan.
20. Keppres Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on
the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).
21. Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan
Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan
Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun
Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
22. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan UU No.
83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi.
Dalam UUD 1945 Bab XA pasal 28A sampai dengan 28J,
tercantum rumusan Hak Asasi Manusia. Rumusan tersebut pada dasarnya
sama dengan rumusan yang ada dalam ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998. Perlu diketahui bahwa Tap MPR No. XVII/MPR/1998
sekarang ini telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.
Hal ini disebabkan isi dalam ketetapan MPR tersebut sudah termuat
dalam UUD NRI Tahun 1945.

99
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Uraikan apa pentingnya pendidikan Hak Asasi Manusia bagi warga
Negara Indonesia dalam mewujudkan Indonesia baru?
2. Mengapa Liberalisme dan komunisme tidak patut dijadikan landasan
dalam proses penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3. Apa saja masalah paling besar dan mendasar dalam penegakkan
dibidang Hak Asasi Manusia di Indonesia?
4. Berikan contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh
negara (pemerintah) yang bentuknya act of commission dan act of
omission?
5. Mengapa Hak Asasi Manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum?
6. Apa yang terjadi apabila dalam penegakkan Hak Asasi Manusia,
Pancasila tidak dijadikan dasar atau landasan?
7. Sekarang ini begitu sering terjadi peristiwa pelanggaran HAM di
masyarakat, seperti pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan
sebagainya. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Siapa yang paling
bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan tersebut? Apa peran
Anda untuk menyelesaikan persoalan tersebut?
8. Uraikan sejarah perkembangan Hak Asasi Mnusia di Indonesia?
9. Bagaimana realitas penegakkan Hak Asasi Manusia sejak Indonesia
merdeka hingga sekarang?
10. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, setiap orang berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Apakah implementasi
pasal ini dalam kehidupan di masyarakat saat ini benar-benar sudah
berjalan dengan baik?

100
BAB VII
DEMOKRASI INDONESIA

A. Konsep Demokrasi
Sejalan dengan makin mendunianya demokrasi, pemikiran tentang
demokrasi (menyangkut pendefinisian dan pembagian bentuk) pun kian
berkembang. Demokrasi juga merupakan sebuah istilah yang sangat
populer, istilah yang selalu didambakan semua orang, terutama yang
mempunyai kesadaran politik untuk diwujudkan dalan kehidupan sehari-
hari. Mereka percaya bahwa demokrasi akan lebih banyak membawa
kemaslahatan manusia ketimbang implikasi negatifnya.
Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di
mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan
langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah
sistem pemilihan bebas. Demokrasi oleh Abraham Lincoln didefenisikan
secara sederhana dan populer, yaitu pemerintahan “dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”, mengandung arti bahwa dalam negara
demokrasi, rakyatlah yang memiliki dan mengendalikan kekuasaan, dan
kekuasaan itu dijalankan adalah demi kepentingan rakyat (United States
Information Agency).
Demokrasi menurut asal kata berarti ”rakyat yang berkuasa” atau
government or rule by the people. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani
”demos” berarti ”rakyat”, kratos/kratein berarti ”kekuasaan, berkuasa”
(Budiardjo, 1993). Atau pemerintahan ada karena rakyat ada, yang
memerintah adalah rakyat dan tujuan adanya pemerintahan itu pun untuk
rakyat. Rakyat di sini menjadi sentrum demokrasi, rakyatlah yang
menjadi kriteria dasar demokrasi, rakyatlah yang berdaulat dalam negara.
Demokrasi dapat juga diartikan sebagai sebuah sistem yang
meliputi persaingan efektif di antara partai-partai politik untuk
memperebutkan posisi kekuasaan. Dalam demokrasi ada pemilihan
umum yang teratur dan jurdil, yang di dalamnya semua anggota
masyarakat dapat ambil bagian. Hak-hak partisipasi demokratis ini
berjalan seiring dengan kebebasan warga negara (civil liberties),
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan berdiskusi, beserta
kebebasan untuk membentuk dan bergabung dengan kelompok atau
asosiasi politik (Giddens, 2001).
Setiap warga negara mendambakan pemerintahan demokratis yang
menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. Hasrat ini dilandasi pemahaman
bahwa pemerintahan demokratis memberi peluang bagi tumbuhnya
prinsip menghargai keberadaan individu untuk berpartisipasi dalam
101
kehidupan bernegara secara maksimal. Karena itu, demokrasi perlu
ditumbuhkan, dipelihara, dan dihormati oleh setiap warga negara.
Udin S. Winataputra (2005) yang mengutip buku “The Advanced
Learner’s Dictionary of Current English”, tulisan Hornby, dkk.,
menyatakan bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan
negara atau masyarakat di mana warga negara dewasa turut berpartisipasi
dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih, pemerintahannya
mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas dan
masyarakat yang warga negaranya saling memberi perlakuan yang sama.
Sistem demokrasi, awalnya terdapat di negara kota (city state)
Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupkan demokrasi
langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana
hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan produk
mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena
berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara
terdiri dari kota dan daerah sekitarnya), serta jumlah penduduk sedikit
(300.000 penduduk dalam satu negara kota). Lagipula ketentuan-
ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang
hanya merupakan bagian kecil dari penduduk. Untuk mayoritas yang
terdiri dari budak belian dan pedagang asing tidak berlaku. Dalam negara
modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi bersifat demokrasi
berdasarkan perwakilan (representative democracy) (Budiardjo, 1993).
Demokrasi di dalamnya mengandung nilai-nilai kebebasan.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal-balik, tetapi
keduanya tidak sama. Memang dalam demokrasi menjunjung tinggi
kebebasan dan menghargai perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan.
Demokrasi sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktek dan
prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-
liku.sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari
kebebasan. Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan
kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan
batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain.
Dalam pengertiannya yang normatif, dalam konsep negara
demokrasi sedikitnya mengandung nilai-nilai sebagai berikut: (a) nilai
kesetaraan (egalitarianisme), (b) nilai penghargaan terhadap HAM, (c)
nilai perlindungan (protection), (d) nilai keberagaman (pluralism), (e)
nilai keadilan, (f) nilai toleransi, (g) nilai kemanusiaan, (h) nilai

102
ketertiban, (i) nilai penghormatan terhadap orang lain, dan (j) nilai
kebebasan (Munir Fuady, 2010).
Alamudi, menyebutkan lebih lanjut, bahwa ada 11 point yang
menjadi sokoguru demokrasi, yaitu (1) kedaulatan rakyat, (2)
pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, (3)
kekuasaan mayoritas, (4) hak-hak minoritas, (5) jaminan hak asasi
manusia, (6) pemerintah yang bebas dan jujur, (7) persamaan di depan
hukum, (8) proses hukum yang wajar, (9) pembatasan pemerintah secara
konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi dan politik, (11) nilai-
nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat (Udin S.
Winataputra, 2002).
Demokrasi terbagi dalam dua kategori dasar, yaitu demokrasi
langsung dan perwakilan. Dalam demokrasi langsung semua warga, tanpa
melihat pejabat yang dipilih atau diangkat, dapat ikut dalam pembuatan
keputusan negara. Sistem seperti ini jelas hanya cocok untuk relatif
sejumlah kecil orang dalam organisasi kemasyarakatan atau dewan suku,
misalnya unit lokal serikat sekerja, di mana para anggotanya dapat
bertemu di satu ruangan untuk membahas berbagai masalah dan
mengambil keputusan melalui musyawarah atau suara terbanyak.
Dalam demokrasi tidak langsung (perwakilan) para pejabat
membuat undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan
umum atas nama rakyat. Hak-hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi
karena para pejabat itu dipilih dan diangkat oleh rakyat. Dalam
demokrasi, tidak dibenarkan adanya keputusan politik dan pejabat yang
dapat merugikan hak-hak rakyat apalagi kebijakan yang bertujuan untuk
menindas rakyat demi kepentingan penguasa.

B. Hakekat dan Bentuk-Bentuk Demokrasi


1. Hakekat Demokrasi
Di dalam United States Information Agency, dijelaskan bahwa
demokrasi tidak mengenal diskriminasi, kalaupun dalam masyarakat dan
negara ada perbedaan status, yang disebabkan karena perbedaan peranan
dan kondisi sosial, tetapi demokrasi memberikan kesamaan. Dalam
demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup
berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang
banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi dan sosiasi.
Keanekaragaman ini disebut pluralisme, dan ini berasumsi bahwa
banyaknya kelompok terorganisasi dan lembaga dalam suatu masyarakat
demokratis tidak tergantung pada pemerintah bagi kehidupan, legitimasi,
atau kekuasaan mereka.

103
Hakekat demokrasi adalah partisipasi rakyat dalam
penyelenggaraan kenegaraan (partisipasi politik), yaitu: (1) penduduk
ikut pemilu, (2) penduduk hadir dalam rapat selama 5 tahun terakhir, (3)
penduduk ikut kampanye pemilu, (4) penduduk jadi anggota parpol dan
ormas, dan (5) penduduk komunikasi langsung dengan pejabat
pemerintah. (Mas’oed, 1997; Mustafa Kamal Pasha, 2003).
Negara yang menganut sistem demokrasi mengakui bahwa hakekat
demokrasi adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Salah satu sarana
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat itu adalah melalui pemilihan
umum. Di dalam proses pemilihan umum itu, hasilnya dapat berupa
terjadinya pergantian pemerintahan secara berkala, dan legitimasi politik
pemerintahan. Pergantian pemerintahan secara berkala dilakukan melalui
pemilihan umum, sehingga keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat
ditegakkan. Begitu pula program dan kebijaksanaan yang dihasilkan oleh
pemerintah yang bersangkutan. Dengan begitu, pemerintah terbentuk
berdasarkan legalitas politik dan hukum yang disepakati bersama.
Untuk menilai suatu negara itu demokratis atau tidak, menurut
Amin Rais (Adeng Muchtar Gazali, 2004), dapat diukur dengan
menggunakan beberapa kriteria, yaitu: (1) adanya partisipasi dalam
pembuatan keputusan, (2) persamaan kedudukan di depan hukum, (3)
distribusi pendapatan secara adil, (4) kesempatan memperoleh
pendidikan, (5) kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama, (6) kesediaan dan
keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatson politik, (8) kebebasan
individu, (9) semangat kerja sama, dan (10) hak untuk protes.
Sejalan dengan pendapat di atas, Edy Pramono, dkk. (2004),
menjelaskan bahwa suatu negara dikatakan demokratis apabila memiliki
ciri-ciri: (1) Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus
diatur dan dijalankan dengan mengutamakan hukum/sesuai hukum, (2)
Pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat. Masyarakat bisa
mengawasi, mengkritik, dan mengeluarkan pendapat atas kebijakan
pemerintah atau bisa menolak pemerintah, (3) Pemilihan umum bebas
dan jujur, (4) Prinsip mayoritas, (5) Adanya jaminan terhadap hak-hak
minoritas, dan (6) Adanya nilai-nilai toleransi, kerjasama dan mufakat.
Sri Sumantri memberikan kriteria suatu negara yang demokratis
sebagai berikut: (1) hukum ditetapkan dengan persetujuan wakil rakyat
yang dipilih secara bebas.; (2) hasil Pemilu dapat mengakibatkan
pergantian orang-orang pemerintahan; (3) pemerintah harus terbuka; dan
(4) kepentingan minoritas harus dipertimbangkan.
Menurut Udin S. Winataputra (2002), kepribadian yang demokratis
memiliki ciri-ciri: (1) menerima orang lain, (2) terbuka terhadap
pengalaman dan ide-ide baru, (3) bertanggungjawab, (4) waspada
104
terhadap kekuasaan, (5) toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, (6)
emosi-emosinya terkendali, (7) menaruh kepercayaan terhadap
lingkungan.
Ciri-ciri sistem demokrasi, yaitu: (1) memungkinkan adanya
pergantian pemerintahan secara berkala, (2) anggota masyarakat memiliki
kesempatan yang sama menempati kedudukan dalam pemerintahan untuk
masa jabatan tertentu, seperti; presiden, mentri, gubernur, dsb, (3) adanya
pengakuan dari anggota masyarakat terhadap kehadiran tokoh-tokoh yang
sah yang berjuang mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan;
sekaligus sebagai tandingan bagi pemerintah yang sedang berkuasa, (4)
dilakukan pemilihan lain untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah
tertentu yang diharapkan dapat mewakili kepentingan rakyat tertentu, (5)
agar kehendak masing-masing golongan dapat diketahui oleh pemerintah
atau anggota masyarakat lain, maka harus diakui adanya hak menyatakan
pendapat (lisan, tertulis, pertemuan, media elektronik dan media cetak,
dsb, dan (6) pengakuan terhadap anggota masyarakat yang tidak ikut serta
dalam pemilihan umum (Adeng Muchtar Ghazali, 2004; Edy Pramono,
dkk., 2004).
2. Bentuk-Bentuk Demokrasi
Dilihat dari sudut pandang ”titik tekan” yang menjadi perhatian
demokrasi, maka demokrasi dapat dibedakan, antara lain:
a. Demokrasi formal, yaitu demokrasi yang menjunjung tinggi
persamaan dalam bidang politik, tanpa disertai upaya untuk
mengurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam bidang ekonomi
dan politik bagi semua orang adalah sama.
b. Demokrasi material, yakni demokrasi yang menekankan pada upaya-
upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, sedangkan
persamaan dalam bidang politik kurang diperhatikan, atau bahkan
dihilangkan.
c. Demokrasi gabungan, yakni demokrasi sintesis dari demokrasi formal
dan demokrasi meterial. Demokrasi ini berupaya mengambil hal-hal
baik dan membuang hal-hal buruk dari demokrasi formal dan
demokrasi material.
Dari sudut pandang cara penyaluran kehendak rakyat, bentuk
demokrasi dapat dibedakan, antara lain:
a. Demokrasi langsung, yakni rakyat secara langsung mengemukakan
kehendaknya di dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh rakyat.
b. Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif, yakni rakyat
menyalurkan kehendaknya dengan memilih wakil-wakilnya untuk
duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Pada era modern ini, pada
umumnya, negara-negara menjalankan demokrasi perwakilan
105
mengingat jumlah penduduk cenderung bertambah banyak dan
wilayah negara semakin luas sehingga demokrasi langsung sulit
untuk dijalankan.
c. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, yakni gabungan
antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Ini artinya,
rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam dewan
perwakilan rakyat, tetapi dewan itu dikontrol oleh pengaruh rakyat
dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat.
Dari sudut pandang tugas-tugas dan hubungan antara alat-alat
perlengkapan negara, demokrasi dapat dibedakan dalam beberapa bentuk,
antara lain:
a. Demokrasi dengan sistem parlementer, yakni dalam demokrasi ini
terdapat hubungan erat antara badan legislatif dan badan eksekutif.
Hanya badan legislatif saja yang dipilih rakyat, sedangkan badan
eksekutif yang biasanya disebut ”kabinet” dipimpin oleh seorang
perdana menteri yang dibentuk berdasarkan dukungan suara terbanyak
dalam dewan perwakilan rakyat atau parlemen.
b. Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan, yakni demokrasi
dalam arti kekuasaan dipisahkan menjadi kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
c. Demokrasi dengan sistem referendum, yakni demokrasi perwakilan
dengan kontrol rakyat secara langsung terhadap wakil-wakilnya di
dewan perwakilan rakyat.
Ada dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan
referendum fakultatif. Dalam referendum obligator, kebijakan atau
undang-undang yang diajukan oleh pemerintah atau dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat baru dapat dijalankan setelah disetujui oleh rakyat
dengan suara terbanyak. Referendum obligator biasanya dilaksanakan
terhadap hal-hal krusial atau penting, yang menyangkut hajat orang
banyak dan perubahan dasar negara, seperti kebijakan kenaikan Bahan
Bakar Minyak (BBM) dan perubahan Undang-Undang Dasar. Dalam
referendum fakultatif, undang-undang yang dibuat dewan perwakilan
rakyat baru dimintakan persetujuan rakyat, apabila dalam jangka waktu
tertentu setelah undang-undang diumumkan, sejumlah rakyat
memintanya.

C. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Secara substantif, prinsip utama dalam demokrasi ada 2, yaitu: (a)
kebebasan/persamaan (fredum/equality), dan (b) kedaulatan rakyat
(people’s sovereignty). Kebebasan dan persamaan adalah fondasi
demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan
106
dengan memberikan hasil maksimal dari uasaha orang tanpa adanya
pembatasan dari penguasa. Jadi, bagian tak terpisahkan dari ide
kebebasan adalah pembatasan kekuasaan penguasa politik. Dengan
demikian, demokrasi merupakan sistem politik yang melindungi
kebebasan warganya sekaligus memberi tugas pemerintah untuk
menjamin kebebasan tersebut (Maswadi Rauf, 1997). Demokrasi pada
dasarnya merupakan pelembagaan demokrasi yang menjunjung tinggi
prinsip persamaan politik dan kebebasan politik, serta mengakui adanya
keterwakilan rakyat (representativeness) dalam sistem pemerintahan.
Demokrasi sebagai konsepsi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat menempatkan rakyat menjadi sentrum, subjek, sekaligus
sebagai objek dari demokrasi itu sendiri. Pemerintahan berasal dari rakyat
melalui proses demokrasi yaitu pemilihan umum yang bebas, umum,
langsung, jujur, dan adil. Dalam menjalankan roda pemerintahan dan
penyelenggaraan negara akan diawasi dan dikontrol oleh rakyat baik
langsung maupun melalui lembaga perwakilan di legislatif. Tujuan utama
diselenggarakannya pemerintahan adalah untuk kepentingan dan
kesejahteraan rakyat semata, bukan untuk kepentingan partai politik
tertentu, kelompok pendukung, maupun kelompok elit tertentu.
Syafiie (2002), merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut,
yaitu: adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas,
manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas,
pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers
yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan
yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan
terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang
mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan
kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan
musyawarah.
Parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang
berjalan di suatu negara meliputi empat aspek, yaitu:
1. Masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan
sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan
yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu
instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan
pemerintahan yang baik.
2. Dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi
kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat.
3. Susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan
secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan
kekuasaan dalam satu tangan.

107
4. Masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar
kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan
keinginan rakyat.
Selanjutnya, Ten Berge (Nurul Qamar, 2013), mengemukakan
prinsip-prinsip negara demokrasi adalah sebagai berikut.
1. Perwakilan politik: kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara
dan dalam masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang
dipilih melalui pemilihan umum.
2. Pertanggungjawaban politik: organ-organ pemerintahan dalam
menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik, yaitu
kepada lembaga perwakilan.
3. Pemencaran kewenangan: Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat
pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh
karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan
pada organ-organ yang berbeda.
4. Pengawasan dan kontrol (penyelenggaraan) pemerintahan harus
dikontrol.
5. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
Demokrasi memuat prinsip-prinsip dasar yang sama. Prinsip-
prinsip termaksud adalah persamaan, hormat terhadap nilai-nilai luhur
manusia, hormat terhadap hak-hak sipil dan kebebasan, serta fair play.
Yang dimaksud dengan persamaan di sini adalah persamaan kesempatan
bagi semua orang sebagai warga negara untuk mencapai pengembangan
maksimum potensialitas-potensialitas fisik, intelektual, moral, spiritual,
dan untuk mencapai tingkat partisipasi sosial oleh setiap pribadi yang
konsisten dengan tingkat kematangan yang telah diperolehnya. Ini tidak
berarti bahwa dalam suatu masyarakat demokratis semuanya sama.
Demokrasi tidak mengabaikan kenyataan bahwa tidak sama
kemampuan, kepentingan, serta ambisi antara orang yang satu dengan
orang yang lain. Namun yang diupayakan masyarakat demokratis ialah
menimimalkan konsekuensi-konsekuensi perbedaan alamiah ini dengan
menolong yang lemah agar menjadi lebih kuat. Tidak layak seseorang
menyebut dirinya sebagai demokrat apabila ia gagal mengupayakan
terbukanya kesempatan bagi yang kecil dan lemah untuk menjadi lebih
besar dan kuat.
Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia adalah tugas yang
tidak bisa ditawar-tawar oleh setiap manusia. Kesejahteraan manusia
lebih penting dari pada tujuan manapun. Kesejahteraan manusia selalu
menjadi tujuan dan tak pernah boleh menjadi sarana demi tujuan lainnya.
Inilah ciri yang membedakan demokrasi dengan sistem-sistem politik
yang lain seperti fasisme dan komunisme. Suatu tujuan yang terealisasi
108
dengan mengorbankan kesejahteraan manusia semestinya tak mendapat
tempat dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam hal masyarakat fasis
dan komunis, eksistensi manusia melulu demi negara, dan hidupnya
dituntut untuk mendukung tujuan-tujuan para pemimpin yang lalim.
Itulah sebabnya, rezim-rezim fasis dan komunis ditentang kuat oleh
berbagai komunitas demokratis.
Kebebasan dalam konsepsi demokrasi tetap punya batas, sebab
kebebasan itu dilaksanakan demi pemenuhan hak dan kebaikan orang
lain. Jadi kebebasan yang diizinkan di sini bukanlah kebebasan yang
mengarah pada anarki sosial. Anarki sosial akan terjadi jika setiap orang
atau setiap kelompok dapat berbuat apa saja semau-maunya. Idenya,
batas kebebasan seharusnya berasal dalam diri manusia, dan bukan
berasal dari luar dirinya. Artinya, perlu apa yang disebut self dicipline,
disiplin diri, yakni sesuatu pengendalian diri yang muncul dari hati
nurani, kesadaran serta tanggung jawab sosial individu, atau dari
kesadaran dan rasa hormatnya terhadap kebutuhan, hak-hak, dan nilai-
nilai luhur sesamanya. Menurut Munir Fuady (2009), kebebasan yang
dianut dalam demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab,
yakni di satu pihak ada kebebasan tetapi di lain pihak ada tanggung jawab
yang lahir dari kebebasan itu. Tentunya kebebasan ini di sini lebih besar
dari tanggung jawab.
Sebuah demokrasi minimal mengandung unsur-unsur: (a)
kedaulatan ada pada rakyat, (b) adanya ruang berpartisipasi untuk rakyat,
(c) adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap HAM,
(d) adanya sistem checks and balances antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, (e) adanya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Di dalam masyarakat demokratis, hak-hak sipil dan kebebasan
dihormati serta dijunjung tinggi. Bagaimanapun kebutuhan akan
kebebasan individual dan sosial harus dipenuhi. Namun kebebasan
individual mengacu pada kemampuan manusia sebagai individu untuk
menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya dalam hidup ini.
Dengan kebebasan ini, seseorang dapat berprakarsa untuk menempuh
langkah-langkah terbaik demi pengembangan diri dan masyarakat
bangsanya. Dengan kebebasan sosial dimaksud sebagai ruang bagi
pelaksanaan kebebasan individual. Pembatasan-pembatasan secara ketat
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau militer atas
kehidupan warga negara dapat merusak kebebasan individual.
Semua yang diuraikan di atas menunjukkan pentingnya suatu
tingkat kemampuan intelektual, emosional, moral dan kesadaran sosial
yang tinggi dalam diri mereka yang membangun dan memelihara
masyarakat demokratis. Tidak adanya kematangan dalam hal-hal
109
semacam ini, tidak adanya kebebasan berbicata, tidak adanya kebebasan
pers, tidak adanya kebebasan beragama, berkumpul atau berserikat, serta
tidak adanya kebebasan untuk berpartisipasi dalam pembentukan
kebijakan politik, ekonomi dan pendidikan akan menimbulkan anarki,
kekacauan sosial. Pendek kata, kebebasan menuntut adanya tanggug
jawab dari orang-orang yang menggunakannya.
Selain itu, sikap menjunjung tinggi fair play termasuk salah satu
ciri hidup masyarakat demokratis. Ini mengandalkan adanya ketahanan
diri terhadap godaan untuk mengambil keuntungan dari kelemahan orang
lain. Ini tergantung dari suatu sikap hormat, tidak hanya terhadap orang
lain tetapi juga terhadap diri kita sendiri. Riset dalam bidang psikologi
pengembangan kepribadian menunjukkan dengan jelas bahwa rasa
hormat yang kita peroleh dari orang lain, dan rasa hormat yang kita
berikan kepada diri kita sendiri itu sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Pendek kata, kita memperoleh rasa hormat dengan menunjukkan rasa
hormat, dan rasa hormat yang dapat kita peroleh untuk diri kita sendiri
sangat ditentukan oleh seberapa banyak rasa hormat yang kita berikan
kepada orang lain. Agar Anda bisa dihormati maka hormati pula orang
lain.

D. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia


Setiap negara mempunyai ciri khas dalam pelaksanaan kedaulatan
rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang
bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin
dicapainya. Dengan demikian, pada setiap negara terdapat corak khas
demokrasi yang tercermin pada pola sikap, keyakinan dan perasaan
tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah
laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik.
Demokrasi di Indonesia telah tumbuh dan berkembang di
masyarakat pedesaan dan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsepsi demokrasi yang diterapkan dilandasi oleh UUD/Konstitusi
negara yang berlaku pada saat itu. Dalam perkembangannya demokrasi di
Indonesia dapat dibagi dalam empat periode (Moh. Mahfud, 2003;
Kaelan, 2002, lihat pula Jimly Asshiddiqie, 1994), yaitu: Pertama,
periode 1945-1959 (periode berlakunya UUD 1945 yakni 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949; periode berlakunya Konstitusi RIS yaitu
27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950; periode berlakunya UUDS
1950 yaitu 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; periode 5 Juli 1959
berlaku kembali UUD 1945), merupakan masa demokrasi Parlementer.
Pada masa demokrasi Parlementer, lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik
110
yang berjalan. Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh
peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.
Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem banyak partai yang
terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses
rekruitmen, baik pengurus atau pimpinan apartainya, maupun para
pendukungnya. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan
melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi
kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.
Kedua periode 1959-1965 (berlaku UUD 1945), masa demokrasi
terpimpin. Sejak berakhirnya Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno
sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-partai
politik. Hal itu terjadi karena partai politik sangat berorientasi pada
kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan
politik nasional secara menyeluruh. Demokrasi terpimpin merupakan
pembalikan total terhadap sistem politik liberal yang sangat ditentukan
oleh politik partai-partai melalui pertarungan free fight. Jika dilihat dari
kriteria bekerjanya pilar-pilar demokrasi, maka akan tampak jelas bahwa
kehidupan kepartaian dan legislatif adalah lemah, sebaliknya presiden
sebagai kepala eksekutif sangat kuat dan kebebasan pers dapat dikatakan
tidak ada. Pelaksanaan demokrasi pada masa ini dalam banyak aspek
telah menyimpang dari demokrasi konstitusional. Masa ini ditandai
dengan dominasi presiden. Sentralisasi kekuasaan semakin dominan
dalam proses hubungan antara Pusat dan Daerah. Peranan lembaga
legislatif dalam sistem politik nasional menjadi demikian lemah, sebab
DPR-GR tidak berfungsi maksimal, ia kemudian lebih merupakan
instrumen politik Presiden Soekarno. Proses rekruitmen politik lembaga
inipun ditentukan oleh presiden. Pada era ini pula peran partai politik
dibatasi (mengaburnya sistem kepartaian), perkembangan pengaruh
komunis, dan peran ABRI sebagai unsur sosial politik semakin luas.
Ketiga periode 1966-1998 (berlaku UUD 1945), masa demokrasi
Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang
menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah
Pancasila, UUD 1945, dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di
masa Demokrasi Terpimpin. Namun dalam perkembangannya peran
presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara. Kekuasaan
kepresidenan merupakan pusat dari seluruh proses politik yang berjalan
di Indonesia. Presiden mampu mengontrol rekruitmen politik dan meiliki
sumberdaya keunggulan yang tidak terbatas.Pancasila hanya digunakan
sebagai legitimasi politik penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang
dilaksanakan tidak seseuai dengan nilai-nilai Pancasila. Masa ini ditandai
dominasi presiden terhadap lembaga-lembaga negara yang lain,
111
penyeragaman asas partai politik, partai politik tidak berkembang, dan
menonjolnya peran militer dalam politik (Dwifungsi ABRI).
Keempat periode 1999 sampai sekarang (berlaku UUD 1945 hasil
amandemen), adalah masa demokrasi Pancasila Era Reformasi dengan
berakar pada kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan
perimbangan kekuatan antar lembaga negara. Pada masa (periode) ini
peranan partai politik kembali menonjol, sehingga memberi iklim
(suasana/semangat) baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Pada masa ini, esensi demokrasi yang menempatkan kekuasaan di tangan
rakyat tampak masih kelihatan tatkala Pemilu dilaksanakan. Namun
dalam pelaksanaannya setelah Pemilu masalahnya menjadi lain, banyak
kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih
ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam
DPR.
Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita
demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme
dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut
kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan
antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang
menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-
dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.

E. Pendidikan Demokrasi
Masyarakat Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) menganggap
dari merekalah dunia harus belajar tentang seluk beluk demokrasi.
Sesuatu hal yang wajar, karena ajaran demokrasi memang muncul
pertama kali pada masyarakat Barat. Menurut Barat, yang bisa disebut
demokrasi hanyalah demokrasi yang bercirikan kebebasan individu
seperti yang mereka praktekkan; demokrasi liberal tidak bisa diterima
secara utuh oleh setiap bangsa.
Edward Shils menyatakan kualitas demokrasi politik ditentukan
oleh tiga hal, yaitu terwujudnya: (1) pemerintahan sipil; yaitu bahwa
setiap warga negara berhak memegang jabatan politik, dan berpartisipasi
dalam kehidupan politik, (2) institusi representatif (lembaga perwakilan),
yaitu bahwa otoritas yang memerintah berasal dari pemilihan rakyat, dan
kebijakan/keputusan yang mereka ambil mencerminkan aspirasi rakyat,
(3) kebebasan publik; yaitu bahwa setiap warga negara memiliki hak
tertentu (bebas berkomunikasi, berkumpul dan berserikat), kekejaman,
intimidasi, penipuan bertindak.
Di dalam negara demokrasi, masyarakat demokratis dapat terwujud
apabila masyarakat dalam suatu negara memiliki tingkat pendidikan yang
112
layak, cerdas, memiliki tingkat penghidupan yang cukup, dan mereka
punya keinginan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta memiliki budaya menjunjung tinggi nilai-
nilai demokrasi.
Bagaimana dengan pendidikan demokrasi? Pendidikan demokrasi
menurut Zamroni (2001) adalah mendidik warga masyarakat agar
gampang dipimpin tetapi sulit dipaksa, gampang diperintah tetapi sulit
diperbudak. Sebagai warga dari masyarakat demokratis, masing-masing
warga dengan sukarela senantiasa taat pada undang-undang dan peraturan
yang telah ditetapkan. Namun apabila undang-undang atau peraturan itu
dilecehkan, mereka akan bangkit. Apalagi, kalau mereka dipaksa
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan yang berlaku. Demikian pula reaksi spontan warga masyarakat
akan muncul apabila justeru penguasa sendiri yang dengan sengaja dan
sadar melecehkan undang-undang atau peraturan yang ada.
Pendidikan demokrasi pada hakekatnya adalah sosialisasi nilai-nilai
demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan oleh warga negara.
Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat
berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan
pada generasi muda akan pengetahuan, kesadaran dan nilai-nilai
demokrasi. Pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi itu
meliputi tiga hal. Pertama, kesadaran bahwa demokrasi adalah pola
kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri,
demokrasi adalah pilihan terbaik di antara yang buruk tentang pola hidup
bernegara. Kedua, demokrasi adalah sebuah learning process yang lama
dan tidak sekadar meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan
demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai
demokrasi pada masyarakat (Zamroni, 2001).
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang
diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis.
Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis
dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan
tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai demokrasi yang dimaksud
antara lain adalah nilai kebebasan (berpendapat, berkelompok,
berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama,
persaingan, dan kepercayaan (Askuri Ibnu Chamim, dkk. 2003). Di
samping itu diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-nilai demokrasi
dapat ditegakkan sebagai fundasi demokrasi itu sendiri. Pendidikan
demokrasi dalam berbagai konteks, misalnya untuk pendidikan formal (di
sekolah dan perguruan tinggi), non formal, dan informal, mempunyai visi
sebagai wahana substantive, pedagogis, dan sosial-kultural untuk
membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan
113
demokrasi dalam diri warga negara melalui pengalaman hidup dan
berkehidupan demokrasi dalam berbagai konteks (Udin Saripudin W.,
2005). Dengan wawasan dan pengalamannya itu baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama warga negara mampu memberikan
kontribusi yang bermakna bagi peningkatan kualitas demokrasi dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
Menurut UNESCO (1998), maksud pendidikan demokrasi pada
hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan
jalan mengilhaminya dengan pengertian martabat dan persamaan, saling
mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan
orang-orang lain, penghormatan pada individualitas, promosi peran serta
aktif dalam semua aspek kehidupan sosial, dan kebebasan ekspresi,
kepercayaan, dan beribadat. Jika hal-hal ini sudah ada, maka
dimungkinkan untuk pengambilan keputusan yang mangkus, demokrasi
pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan, dan
perdamaian.
Pendidikan demokrasi sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan,
memiliki visi sebagai berikut.
1. Menfasilitasi warga negara untuk mendapatkan berbagai akses kepada
dan menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi (tercetak,
terekan, tersiar, elektronik, kehidupan, dan lingkungan) tentang
demokrasi dalam teori dan praktek untuk berbagai konteks kehidupan
sehingga ia memilki wawasan yang luas dan memadai (well-
informed).
2. Menfasilitasi warga negara untuk dapat melakukan kajian konseptual
dan operasional secara cernat dan bertanggung jawab terhadap
berbagai cita-cita, instrumentasi, dan praksis demokrasi guna
mendapatkan keyakinan dalam melakukan pengambilan keputusan
individual dan atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari serta
berargumentasi atas keputusannya itu.
3. Menfasilitasi warga negara untuk meperoleh dan memanfaatkan
kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam
praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya, seperti mengeluarkan
pendapat, berkumpul dan berserikat, memilih, serta memonitor dan
mempengaruhi kebijakan publik.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Mengapa demokrasi sering dikatakan sebagai sistem pemerintahan
yang mahal?

114
2. Buatlah perbandingan pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa
Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Selanjutnya Anda beri
penjelasan manakah pelaksanaan demokrasi yang terbaik?
3. Mengapa dalam berdemokrasi yang menjadi konflik bukan pada
wakil rakyat, tetapi justru dikalangan rakyat sendiri yang
menimbulkan korban?
4. Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan
yang dikehendaki dan mempunyai hak atas pekerjaan dan kehidupan
yang layak. Penghayatan dan pengamalan ini menunjukkan gambaran
demokrasi bidang apa? Lengkapi argumen Anda dengan dukungan
pendapat ahli!
5. Menurut Anda, apakah pendidikan demokrasi saat ini sudah sesuai
dengan konteks ke-Indonesiaan? Lengkapi argumen Anda dengan
dukungan pendapat ahli!
6. Dalam negara demokrasi, masyarakat demokratis dapat terwujud
apabila masyarakat dalam suatu negara memiliki tingkat pendidikan
yang layak, cerdas, memiliki tingkat kehidupan yang cukup, dan
mereka punya keinginan berpartisipasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi. Bagaimana Anda melihat hal ini di Indonesia,
apakah unsur-unsur ini dimiliki dalam masyarakat Indonesia?
Argumentasi Anda harus didukung dengan teori atau pendapat ahli!
7. Menurut Anda pendidikan demokrasi seperti apa yang sesuai dengan
kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia saat ini?
8. Sebagai mahasiswa yang mengikuti kuliah Kewarganegaraan dan
mempelajari materi nilai-nilai demokrasi. Bagaimana cara
mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi kepada masyarakat supaya
bisa diterima dan dijalankan oleh warga negara?
9. Mengapa demokrasi sering disebut sebagai pelembagaan dari
kebebasan?
10. Negara yang menganut sistem demokrasi mengakui bahwa hakikat
demokrasi adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Uraikan
bagaimana cara mewujudkan kedaulatan rakyat?
11. Salah satu kriteria untuk menilai suatu negara itu demokratis atau
tidak adalah adanya partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan.
Bagaimana Anda melihat hal ini di Indonesia, apakah kriteria ini
sudah berjalan dengan baik? Uraikan pendapat Anda!

115
BAB VIII
GEOPOLITIK INDONESIA

A. Pengertian dan Teori Geopolitik


1. Pengertian Geopolitik
Geopolitik berasal dari kata geo (bahasa Yunani) atau bumi dan
politik yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijakan nasional
untuk mewujudkan tujuan nasional (Sumarsono, 2001). Atau politik itu
mempunyai pengertian suatu politik yang tidak terlepas dari pengaruh
kondisi dan letak geografis dari bumi yang menjadi wilayah hidup.
Dalam hal ini manusia hidup di atas bumi itulah yang memegang peranan
sebagai penentu pada tempat atau wadah di mana mereka berada. Pada
bagian lain, kata politik menurut Miriam Budiardjo (2009), pada
umumnya berkenaan dengan dua hal: (a) kekuasaan, dan (b) susunan
masyarakatnya.
Haushofer (Baustein Zur, 2002) merumuskan geopolitik sebagai
berikut: (a) geopolitik adalah doktrin negara di bumi, (b) geopolitik
adalah doktrin perkembangan politik didasarkan pada hubungannya
dengan bumi, (c) geopolitik adalah ilmu yang mempelajari organisme
politik dari ruang susunannya, dan (d) geopolitik adalah landasan ilmiah
bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup suatu
arganisme negara untuk mendapatkan raung hidupnya (ketenteraman).
Pandangan K. Haushofer ini tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia,
karena rumusan yang demikian itu sangat bertentangan dengan falsafah
negara dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Kaelan & Achmad Zubaidi (2010) menjelaskan bahwa geopolitik
juga diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam
wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi
nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada
pertimbangan geografi, wilayah atau teritorial dalam arti luas) suatu
negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung
kepada sistem politik suatu negara. Sebaliknya, politik negara itu secara
langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan.
Geopolitik bertumpu kepada geografi sosial (hukum geografi), mengenai
situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang
dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu negara.
Berdasarkan pendapat di atas, kita dapat menjabarkan bahwa
landasan falsafah yang mendasari geopolitik mencoba untuk menemukan
kekuatan dengan menyamakan negara dengan individu. Negara seperti
116
halnya dengan makhluk hidup digambarkan mempunyai kemauan dan
bahkan mempunyai “passions” sendiri yakni suatu perasaan kuat atau
emosi yang menggiatkan perasaan seperti ambisi, balas dendam, takut,
harapan, suka duka, kasih, kebencian, dan sebagainya. Seperti halnya
manusia, negara juga mengalami lahir, pertumbuhan menjadi dewasa,
menjadi tua dan kematian. Dari konsep tersebut timbul istilah yang lalu
menjadi slogan-slogan politik, seperti kesadaran akan ruang hidup,
bangsa tanpa ruang hidup, atau yang sebagaimana telah terbukti sangat
efektif untuk membenarkan ekspansi Jerman dan Jepang pada Perang
Dunia kedua.
Menurut pandangan geopolitik, faktor geografi sepenuhnya
menentukan tumbuh dan hilang bergantinya negara, sehingga tidak lagi
tersisah peluang bagi suatu arah yang berlawanan terhadap apa yang
dianggap takdir atau ketepatan geografi. Dari konsep yang memandang
geografi sebagai penyebab yang mutlak dari peristiwa manusia, maka
wajarlah untuk sampai kepada falsafah politik yang menganggap diri
sendiri berhak untuk meramalkan arah yang ditentukan oleh faktor-faktor
geografis, dan dengan demikian mendorong baik negarawan maupun
kaum militer ke arah pembuatan keputusan strategik sebagai
kelanjutannya. Dalam kerangka ini, geopolitik dianggap sebagai
kelanjutan kesadaran geografi suatu negara dan mempengaruhi kondisi
arah jalannya negara dengan tidak membiarkan sejengkalpun tanah
negara jatuh ke tangan negara lain.
Dari sudut pandang geopolitik, Indonesia merupakan negara
kepulauan sebagaimana yang diamanahkan dalam UUD NRI Tahun
1945, pasal 25A yang menyebutkan: “Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan
wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
undang”. Tentang wilayah negara diatur dalam Undang-Undang Nomor
43 tahun 2008.
Pada dasarnya masalah geopolitik berkenan dengan kesatuan antara
negara dengan wilayahnya secara menyeluruh serta hubungannya dengan
wilayah negara-negara lainnya. Konsep dasar dari wawasan geopolitik ini
adalah adanya kedaulatan negara terhadap seluruh wilayahnya. Untuk itu
negara harus membangun kekuatan nasional untuk mempertahankan diri,
baik terhadap ancaman dari luar maupun terhadap ancaman dari dalam.
Wilayah negara merupakan salah satu unsur utama dari negara, sebab
wilayah merupakan tempat di mana negara menyelenggarakan
yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan
yang terjadi di dalam wilayah negara.
Bentangan wilayah negara Indonesia dari Sabang sampai dengan
Merauke, dari pulau Rote sampai dengan Miangas, serta kemajemukan
117
masyarakat Indonesia didalamnya mengandung unsur-unsur kekuatan dan
kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi
Indonesia yang strategis dan kaya sumberdaya alam. Sementara
kelemahannya terletak pada wujud kepulauan yang rentan terhadap
perpecahan, keanekaragaman masyarakat yang rentan terhadap konflik.
Kemajemukan itu disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air
Indonesia sebagaimana ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Penyelenggaraan sistem kehidupan nasional dalam negara kesatuan
republik Indonesia di dalam pelaksanaannya tidak bebas dari pengaruh
interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan
regional maupun internasional. Untuk itu bangsa Indonesia perlu
memiliki wawasan nasional yang disebut wawasan nusantara sebagai
geopolitik Indonesia yang menjadi pegangan dan pedoman bangsa dalam
memperjuangkan kepentingan nasional untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasional. Wawasan nusantara memberi pedoman dan petunjuk
dalam menentukan arah kebijakan nasional untuk tetap menjadi bangsa
eksis, maju, berkerkembang serta dapat melajutkan perjuangan menuju
masyarakat yang dicita-citakan.
Bangsa Indonesia memiliki ideologi Pancasila. Sesuai dengan
Pancasila, bangsa Indonesia memberi pengertian geopolitik sebagai
pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan konstelasi
geografis dari suatu negara dengan memanfaatkan keuntungan letak
geografis tersebut untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan
nasional dan penentuan kebijaksanaan secara ilmiah berdasarkan realita-
realita yang ada dan cita-cita bangsa.
Geopolitik Indonesia adalah wawasan nusantara yang
dikembangkan berdasarkan teori-teori wawasan nasional secara universal,
dijabarkan dari Pancasila dan UUD 1945, dibentuk dan dijiwai oleh
paham kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia sehingga
penerapannya tidak mengandung benih ekspansionisme dan kekerasan.
Dikemukakan oleh Suradinata dan Samiarno (2005), bahwa dalam
wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia yaitu unsur
ruang, yang kini berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan
dalam pengertian secara keseluruhannya.

2. Teori Geopolitik
Secara teoretis, terdapat beberapa teori atau ajaran/aliran/faham
yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan teori-teori tentang
ruang sebagai ruang hidup dan teori kekuatan. Tokoh-tokoh dari pencetus
teori tersebut antara lain: Frederich Ratzel, Rudolf Kjellen, Karl
Haushofer, Sir Halford Mackinder, Sir Walter Releigh dan Alfred Thyer

118
Mahan, W. Mitchel dkk, dan Nicholas J. Spykman. Berikut ini
dikemukakan teori dan ajaran yang dikemukakan oleh para ahli tersebut.
1. Teori Geopolitik Frederich Ratzel
Pada abad ke-19, Frederich Ratzel merumuskan untuk pertama
kalinya ilmu bumi politik sebagai hasil penelitiannya yang ilmiah dan
universal. Ratzel berpendapat bahwa negara itu seperti organisme
yang hidup. Negara identik derngan ruang yang ditempati oleh
sekelompok masyarakat (bangsa). Pertumbuhan negara mirip dengan
pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup (lebenstraum)
yang cukup agar dapat tumbuh dengan subur. Makin luas ruang hidup
maka negara akan semakin bertahan, kuat, dan maju. Oleh karena itu,
jika negara ingin tetap hidup dan berkembang butuh ekspansi
(perluiasan wilayah sebagai ruang hidup). Teori ini dikenal sebagai
teori organisme atau teori biologis.
2. Teori Geopolitik Rudolf Kjellen
Kjellen melanjutkan ajaran Ratzel tentang teori organisme. Berbeda
dengan Ratzel yang menyatakan negara seperti organisme maka
Kjellen menyatakan dengan tegas bahwa negara adalah suatu
organisme, bukan hanya mirip. Negara adalah satuan dan sistem
politik yang menyeluruh yang meliputi bidang geopolitik, ekonomi
politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik. Negara sebagai
organisme yang hidup dan intelektual harus mampu mempertahankan
dan mengembangkan dirinya dengan melakukan ekspansi. Paham
ekspansionisme dikembangkan. Batas negara bersifat sementara
karena bias diperluas. Strategi yang dilakukan adalah membangun
kekuatan darat yang dilanjutkan kekuatan laut.
3. Teori Geopolitik Karl Haushofer
Karl Haushofer melanjutkan pandangan Ratzel dan Kjellen terutama
pandangan tentang lebenstraum dan paham ekspansionisme. Jika
jumlah penduduk suatu wilayah negara semakin banyak sehingga
tidak sebanding lagi dengan luas wilayah, maka negara tersebut harus
berupaya memperluas wilayahnya sebagai ruang hidup (lebenstraum)
bagi warga negara. Ajaran ini berkembang di Jerman ketika negara itu
berada di bawah kekuasaan Adolf Hitler. Ajaran ini juga
dikembangkan di Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi
semangat militerisme dan fasisme.
4. Teori Geopolitik Halford Mackinder
Mackincer mempunyai konsepsi geopolitik yang lebih strategik, yaitu
dengan penguasaan daerah-daerah jantung dunia, sehingga
pendapatnya dikenal dengan teori daerah jantung. Barang siapa
menguasai daerah jantung (Eropa Timur dan Rusia) maka ia akan
menguasai pulau dunia (Eropa, Asia, dan Afrika) yang pada akhirnya
119
akan menguasai dunia. Untuk menguasai dunia dengan menguasai
daerah jantung dibutuhkan kekuatan darat yang besar sebagai
prasyaratnya. Berdasarkan hal ini muncullah konsep wawasan Benua
atau konsep kekuatan di darat.
5. Teori geopolitik Alfred Thayer Mahan
Mahan mengembangkan lebih lanjut konsepsi geopolitik dengan
memperhatikan perlunya memanfaatkan serta mempertahankan
sumberdaya laut, termasuk akses ke laut. Sehingga, tidak hanya
pembangunan armada laut saja yang diperlukan, namun lebih luas
juga membangun kekuatan maritim. Berdasarkan hal tersebut, muncul
konsep Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Barang siapa
menguasai lautan akan menguasai kekayaan dunia.
6. Teori Geopolitik Guilio Douhet, William Mitchel, Saversky, dan JFC
Fuller Douhet dan Mitchel mempunyai pendapat lain dibandingkan
dengan para pendahulunya. Keduanya melihat kekuatan dirgantara
lebih berperan dalam memenangkan peperangan melawan
musuh.Untuk itu mereka berkesimpulan bahwa membangun armada
atau angkatan udara lebih menguntungkan sebab angkatan udara
memungkinkan beroperasi sendiri tanpa dibantu oleh angkatan
lainnya. Di samping itu, angkatan udara dapat menghancurkan musuh
di kandangnya musuh itu sendiri atau di garis belakang medan
peperangan. Berdasarkan hal ini maka muncullah konsepsi Wawasan
Dirgantara atau konsep kekuatan di udara.
Sampai dengan perang dunia kedua, sebagian besar politikus atau
ahli pikir, mengartikan geopolitik dan geogstrategi sebagai ilmu atau
doktrin yang membenarkan pengembangan kekuasaan suatu negara atas
dunia guna mempertahankan hidupnya atau mendapatkan ruang hidup
yang lebih baik.Karena pandangan ini mendorong penilaian keadaan
geografi dunia sebagai dasar/salah satu faktor dalam penentuan politik
nasionalnya, maka konstelasi geografi dunia perlu dimanfaatkan sesuai
dengan hidup suatu negara atau bangsa.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran itu kemudian memunculkan
teori-teori wawasan yang selanjutnya sangat mempengaruhi pergolakan
politik dunia terutama menjelang perang dunia kedua. Pada dasarnya
teori wawasan membagi dunia dalam 3 klasifikasi wilayah, yaitu:
a. Daerah poros atau daerah jantung meliputi wilayah negara: Rusia,
Tiongkok Barat, Mongolia, Sebagian Persia, Afganistan, dan
Balukistan.
b. Daerah Bulan Sabit Dalam (Inner Rimland), meliputi wilayah negara:
Eropa Utara, Eropa Barat, Eropa Selatan, Timur Tengah, Asia Selatan,
Asia Tenggara, dan Tiongkok.

120
c. Daerah Bulan Sabit Luar (Outer Rimland), meliputi: Benua Amerika,
Afrika Selatan, Inggris, Jepang, Indonesia, dan Oceania.

B. Faham Geopolitik Bangsa Indonesia


Bangsa Indonesia tidak dapat menerima rumusan Karl Haushofer
dan rumusan-rumusan lain yang pada prinsipnya sama karena
bertentangan dengan Pancasila. Bagi bangsa Indonesia geopolitik
merupakan pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor-faktor
geografiis wilayah negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Jadi
geopolitik bagi bangsa Indonesia ialah kebijaksanaan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan letak
geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi
geografis tersebut. Sedangkan geostrategis ialah kebijaksanaan
pelaksanan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarana, serta cara
penggunaan sarana-sarana tersebut guna mencapai tujuan nasional
dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara.
Gopolitik Indonesia dikembangkan sesuai dengan Pancasila,
sehingga tidak mengandung unsur-unsur ekspansionis maupun kekerasan.
Bila mencermati kandungan makna alinea keempat Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, di sana kita temukan sebuah tesis bahwa “Bangsa
Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Pemahaman
demikian didasarkan dan disesuaikan dengan kondisi dan konstelasi
geografi Indonesia. Geopolitik dan geostrtagi bagi bangsa Indonesia
hanya merupakan pembenaran dari kepentingan-kepentingan dan cita-cita
nasional. Faham geopolitik bangsa Indonesia terumuskan dalam konsepsi
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi geopolitik Indonesia, dan
geostrategi bangsa Indonesia terumuskan dalam ketahanan nasional
Indonesia.
Ajaran geopolitik bangsa Indonesia menyatakan bahwa ideologi
nasional dipergunakan sebagai pertimbangan dasar dalam menentukan
politik nasional yang disesuai dengan kondisi dan kedudukan wilayah
geografis Indonesia. Berdasarkan konsepsi wawasan nusantara sebagai
konsepsi geopolitik bangsa Indonesia, maka wilayah Indonesia beserta
apa yang ada di dalamnya dipandang sebagai suatu kesatuan.
Secara geografis Indonesia memiliki ciri khas, yakni diapit dua
samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia), serta
terletak di bawah orbit Geostasioner Satellite Orbit (GSO). Indonesia
merupakan negara kepulauan yang disebut Nusantara (nusa di antara air),
sehingga bisa disebut sebagai Benua Maritim Indonesia. Wilayah negara
Indonesia tersebut dituangkan secara yuridis formal dalam pasal 25A
UUD NRI Tahun 1945 hasil Amandemen IV, yang berbunyi ”Negara
121
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang”. Atas dasar itulah Indonesia
mengembangkan paham geopolitik nasionalnya, yakni Wawasan
Nusantara.

C. Terbentuknya Wawasan Nasional


Cara bagaimana suatu bangsa memandang tanah air beserta
lingkungannya menghasilkan wawasan nasional. Wawasan nasional ini
selanjutnya menjadi pandangan atau visi bangsa dalam mencapai tujuan
nasionalnya. Wawasan nasional itu harus mampu memberikan inspirasi
pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan
yang ditimbulkan oleh lingkungan strategi dan dalam mengejar
kejayaannya.
Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham
kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Di bawah ini disajikan bagan
bagaimana proses terbentuknya wawasan nasional suatu bangsa, yaitu:

SEJARAH
DIRI A KONSTITUSI
(UUD)
BANGSA BUDAYA
S W N
B
A A
A P
W S
N A I
I TUJUAN
FALSAFAH
G S O NASIONAL
IDEOLOGI R
S A N
IDEOLOGI N A
A A
L

S DORONGAN
LINGKUNGAN RANGSANGAN
GEOGRAFI I

Gambar 8.1
Proses Terbentuknya Wawasan Nasional
Sumber: Chaidir Basri (1995)

Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa setiap bangsa yang sudah


menegara memerlukan Wawasan Nasional. Wawasan adalah cara
pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya. Diri bangsa itu
tampak terwujud dalam sejarah dan budayanya. Artinya untuk dapat

122
memahami secara jelas diri bangsa harus dipelajari sejarah dan budaya
bangsa itu. Lingkungan bangsa diartikan terutama konstelasi
geografisnya, meliputi: bentuknya, letak/posisinya, luasnya, iklimnya,
dan kekayaan alamnya. Filsafat atau ideologinya. Dalam proses interaksi
antara diri bangsa dan lingkungannya, yang berlandaskan
filsafah/ideologi inilah yang membentuk aspirasi banga. Setiap bangsa
baik yang belum maupun sudah menegara, memiliki aspirasi. Bagi
bangsa Indonesia yang sudah menegara, aspirasi tersebut terakomodasi
dalam konstitusi (baik tertulis maupun tidak tertulis).
Aspirasi adalah cita-cita, harapan dan tujuan untuk keberhasilan di
masa yang akan datang. Aspirasi ini berfungsi sebagai pendorong
pendorong/penggerak dan perangsang atu motivasi bagi bangsa untuk
berjuang/berusaha. Aspirasi yang terakomodasi dalam konsitusi (UUD)
suatu bangsa yang berfungsi sebagai pendorong/penggerak, perangrang
atau motivasi itulah yang membentuk wawasan nasional statu bangsa.
Wawasan nasional inilah merupakan pedoman dan arah perjuangan
bangsa untuk mencapai tujuan nasionalnya.
Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dalam hubungan
antarnegara yang merupakan hasil perenungan filsafah tentang diri dan
lingkungannya dengan memperhatikan sejarah dan kondisi sosial budaya
serta memanfaatkan konstelasi geografis guna menciptakan dorongan dan
rangsangan dalam usaha mencapai tujuan nasional.

D. Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia


1. Konsep dan Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara terdiri dua suku kata yaitu wawasan dan
nusantara. Kata wawasan mengandung arti pandangan, tinjauan,
penglihatan, atau tanggap inderawi. Selain menunjukkan kegiatan untuk
mengetahui isi serta arti pengaruh-pengaruhnya dalam kehidupan
berbangsa, juga melukiskan cara pandang, cara tinjau, cara lihat atau cara
tanggap inderawi. Istilah nusantara dipergunakan untuk menggambarkan
kepulauan Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia serta di antara Benua Asia dan Benua Australia. Bangsa
Indonesia menyebutnya “tanah air” yang mengandung pengertian
kesatuan utuh antara daratan dan perairan atau lautan. Di sini perairan
atau lautan merupakan penghubung bukan pemisah antara daratan yang
satu dengan daratan yang lainnya. Pulau-pulau di Indonesia saat ini terdiri
dari 17.508 pulau besar dan kecil.
Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa
Indonesia tentang dirinya yang bhineka (majemuk) dan lingkungannya
123
sebagai negara kepulauan (archipelago state), berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, dan bertujuan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan
segenap aspek kehidupan nasional dalam rangka mencapai tujuan
nasional.
Bangsa Indonesia dengan ciri nusantara merupakan satu kesatuan.
Bangsa Indonesia yang apabila dipandang dari aspek sosial budaya
adalah beragam serta dari segi kewilayahan bercorak nusantara, kita
pandang merupakan satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan pandangan
tersebut maka hakekat wawasan nusantara adalah keutuhan bangsa dan
kesatuan wilayah nasional. Atau, hakekat wawasan nusantara adalah
persatuan bangsa dan kesatuan wilayah.
Dalam konsepsi GBHN disebutkan bahwa hakekat Wawasan
Nusantara diwujudkan dengan menyatakan kepulauan nusantara sebagai
satu kesatuan politik, kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan
ekonomi, kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya, dan
kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
Wawasan nusantara berkedudukan sebagai visi bangsa. Visi adalah
keadaan atau rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan.
Wawasan nasional merupakan visi bangsa yang bersangkutan dalam
menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai dengan konsep
Wawasan Nusantara adalah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah
yang satu dan utuh pula.

2. Tujuan Wawasan Nusantara


Tujuan wawasan nusantara sebagai wawasan nasional dengan
sendirinya harus sesuai dan tidak boleh menyimpang dari tujuan nasional,
yaitu mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman (keamanan) bagi
bangsa Indonesia, ikut serta dalam mewujudkan kebahagiaan dan
perdamaian bagi seluruh umat manusia. Dari tujuan di atas dapat
diartikan bahwa tujuan wawasan nusantara di satu sisi diarahkan ke
dalam, yaitu mewujudkan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan
nasional, baik aspek alamiah (gatra letak geografis, keadaan dan
kekayaan alam, dan keadaan dan kemampuan penduduk), maupun aspek
sosial (gatra ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, dan gatra
pertahanan keamanan). Sedang tujuan yang diarahkan ke luar ialah turut
serta mewujudkan kebahagiaan, ketertiban, dan perdamaian bagi seluruh
umat manusia.
Jika tujuan nasional secara singkat adalah “masyarakat adil dan
makmur”, maka tujuan wawasan nusantara adalah mewujudkan
kesejahteraan serta kententraman bagi bangsa Indonesia, juga ikut serta
mewujudkan kebahagiaan serta perdamaian bagi seluruh umat manusia di
dunia. Di sini menunjukkan bahwa Wawasan Nusantara tidak hanya
124
memperhatikan kepentingan nasional sendiri, melainkan juga
memperhatikan kepentingan internasional, yaitu ikut bertanggung jawab
dalam memperhatikan lingkungan serta membina ketertiban dan
perdamaian dunia.
3. Unsur Dasar Wawasan Nusantara
Konsepsi wawasan nusantara terdiri dari tiga unsur dasar: Wadah
(contour), Isi (contec), dan Tata laku (conduct). Ketiga unsure tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Wadah (Contour)
Wadah kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara meliputi
seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan
penduduk dengan aneka ragam budaya. Setelah menegara, bangsa
Indonesia memiliki organisasi kenegaraan yang merupakan wadah
bagi kegiatan kenegaraan dalam wujud suprastruktur politik.
Sementara itu, wadah dalam kehidupan bermasyarakat adalah
berbagai lembaga dalam wujud infrastruktur politik. Sudah tentu
bahwa wawasan nusantara ini terwadahi dalam suatu tata organisasi
negara Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 yang menyangkut
bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, sistem
pemerintahan, dan sistem perwakilan yang dilengkapi dengan tata
kelengkapan organisasi berupa aparatur negara, kesadaran politik,
dan kesadaran kenegaraan, pers, dan partisipasi rakyat.
b. Isi (Content)
Isi adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-
cita serta tujuan nasional yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945. Untuk dapat mencerap aspirasi yang berkembang di
masyarakat maupun cita-cita dan mewujudkan tujuan nasionalnya,
bangsa Indonesia harus mampu menciptakan persatuan dan kesatuan
dalam kebhinekaan dalam kehidupan nasional. Isi dari wawasan
nusantara ini menyangkut dua hal esensial, yaitu: (1) Realisasi
aspirasi bangsa dan negara sebagai kesepakatan bersama serta
pencapaian cita-cita dan tujuan nasional; dan (2) Persatuan dan
kesatuan dalam kebhinekaan yang meliputi semua aspek kehidupan
nasional.
c. Tata laku (Conduct)
Tata laku merupakan hasil interaksi antara wadah dan isi, yang terdiri
dari tata laku batiniah dan lahiriah. Tata laku batiniah mencerminkan
jiwa, semangat, dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia,
sedangkan tata laku lahiriah tercermin dalam tindakan, perbuatan,
dan perilaku dari bangsa Indonesia. Kedua hal tersebut akan
mencerminkan identitas jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia
125
berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang memiliki rasa
bangga dan cinta kepada bangsa dan tanah air sehingga menimbulkan
nasionalisme yang tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional.
Wawasan nusantara dalam wujud dan wadahnya sebagai suatu
wawasan nasional sebagai suatu negara kepulauan yang merupakan
satu kesatuan. Secara lengkap dapat dirumuskan bahwa isi republik
Indonesia berupa: falsafah Pancasila dan UUD 1945, di mana
wawasan nusantara tidak hanya memperhatikan kepentingan nasional
sendiri, melainkan juga ikut serta bertanggung jawab dalam
memperhatikan lingkungan serta membina ketertiban dan perdamaian
dunia.
4. Peranan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara berperan untuk membimbing bangsa
Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupannya serta sebagai rambu-
rambu dalam perjuangan mengisi kemerdekaannya. Sebagai cara
pandang, wawasan nusantara juga mengajarkan bagaimana pentingnya
membina persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa
dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Dalam kehidupan
nasional, wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia
dikembangkan peranannya untuk:
a. Mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi
dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional.
b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan
saling terkait dan ketergantungan antara bangsa dengan
geografi/ruangan haidupnya. Oleh karena itu pemanfaatan
lingkungan harus bertanggung jawab. Bila tidak, maka akan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan
merugikan bangsa itu sendiri.
c. Menegakkan kuasaan guna melindungi kepentingan nasional.
Kepentingan nasional menjadi dasar hubungan antara bangsa.
Apabila kepentingan nasional suatu bangsa sejalan atau paralel
dengan kepentingan nasional bangsa lain, maka kedua bangsa itu
akan mudah terjalin hubungan persahabatan. Tapi sebaliknya, bila
kepentingan nasional suatu bangsa tidak sejalan atau bertentangan
dengan bangsa lain, maka terjadilah konflik atau pertentangan antara
kedua bangsa itu. Konflik yang terjadi antara bangsa-bangsa itu,
diselesaikan baik denganjalan damai maupun dengan kekerasan.
Wujud kekerasan yang ekstrim adalah perang. Untuk menjamin
kepentingan nasionalnya terhadap kemungkinan timbulnya konflik
dengan bangsa lain, suatu bangsa harus mampu menegakkan
kekuasaan.
126
d. Merentang hubungan internasional dalam upaya untuk menegakkan
perdamaian. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dan memiliki
posisi silang di antara dua benua dan dua samudera, dapat
melaksanakan peranan yang demikian itu secara optimal. Sebagai
negara kepulauan yang memiliki perbatasan dengan banyak negara
lain baik di kawasan samudera Pasifik maupun samudera Hindia.
Batas-batas wilayah antara Indonesia dengan negara tetangganya,
ditentukan bersama antara Indonesia dengan negara-negara yang
berbatasan. Penentuan bersama dengan batas-batas dengan negara
tetangga. Dengan posisi silangnya, berarti lautan teritorial Indonesia
merupakan tempat lalulintas kapal-kapal seluruh bangsa. Apabila
Indonesia mampu mengatur lalulintas pelayaran dengan baik, berarti
bahwa Indonesia telah turut serta menegakkan perdamaian dunia.
5. Bentuk Wujud atau Wajah Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara yang mengandung nilai-nilai keutuhan
(integralistik), kekeluargaan, dan keserasian, memiliki wujud atau wajah
sebagai berikut:
a. Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional yang melandasi
Ketahanan Nasional
Wawasan nusantara merupakan penerapan teori-teori geopolitik dari
Bangsa Indonesia, sehingga wawasan nusantara menjadi landasan
penentuan kebijaksanaan politik negara dalam perjuangan mencapai
tujuan nasional. Wawasan nusantara juga merupakan sumber utama
dan landasan yang kuat dalam menyelenggarakan kehidupan nasional
sehingga wawasan nusantara dapat disebut juga sebagai wawasan
nasional dan merupakan landasan ketahanan nasional. Semakin
tinggi ketahanan nasional yang dapat dicapai, maka semakin mantap
pula kesatuan dan persatuan nasional. Semakin mantapnya kesatuan
dan persatuan nasional, berarti semakin dekat kita dalam mencapai
tujuan nasional.
b. Wawasan Nusantara sebagai wawasan pembangunan nasional
GBHN menegaskan bahwa wawasan dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional adalah wawasan nusantara. Untuk mencapai tujuan dan cita-
cita nasional, harus dilakukan usaha yang nyata yang disebut
pembangunan nasional. Dalam hal ini wawasan nusantara merupakan
pola pikir dan sekaligus pola tindak dalam melaksanakan
pembangunan nasional. Dengan demikian wawasan nusantara
digunakan sebagai Wawasan Pembangunan Nasional.
c. Wawasan Nusantara sebagai wawasan pertahanan keamanan negara

127
Wawasan nusantara adalah pandangan geopolitik Indonesia dalam
mengartikan tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi
seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara yang mencakup politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Realisasi
penghayatan dan pengisian wawasan nusantara di satu pihak
menjamin keutuhan wilayah nasional dan melindungi sumber-sumber
kekayaan alam beserta penyelarasannya. Sedangkan di lain pihak
dapat menunjukkan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Untuk
melindungi seluruh bangsa Indonesia dan tanah air Indonesia, perlu
disusun sistem pertahanan dan keamanan negara yang berpola pikir
wawasan nusantara. Dalam konteks ini wawasan nusantara digunakan
sebagai wawasan Hankam.
d. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan
Wujud dan konstelasi geografi Indonesia berdasarkan Pancasila,
dalam arti persatuan dan kesatuan menuntut suatu konsep kewilayaan
yang memandang daratan, pulau, lautan serta udara dan angkasa di
atasnya, sebagai satu-satunya wilayah nasional yang bulat dan utuh,
yang cara pemugarannya menggunakan asas archipelago atau asas
nusantara. Nusantara adalah laut yang diseraki atau ditebar pulau-
pulau, bukan rangkaian pulau-pulau dalam laut. Asas nusantara
menetapkan batas-batas wilayah nusantara atau batas negara
kepulauan (Archipelagic State). Dengan demikian wawasan
nusantara digunakan sebagai wawasan kewilayahan.
e. Wawasan nusantara sebagai wawasan hukum nasional
Di wilayah nusantara terdapat satu sistem hukum nasional yang
mengayomi seluruh warga negara, bangsa, dan pemerintah
penyelenggara negara yang didasarkan pada pola pikir wawasan
nusantara. Di dalam konsepsi ini, wawasan nusantara digunakan
sebagai wawasan hukum nasional.

E. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia


Setiap negara mengklaim wilayah (country) sebagai miliknya, dan
di dalam menentukan wilayah negara untuk menyelenggarakan
kekuasaannya dapat berbeda-beda. Di dalam menentukan Wilayah
Negara Republik Indonesia timbul polemik terutama pada sidang-sidang
BPUPKI. Ada tiga pendapat tentang wilayah NKRI, yaitu: (1) Bekas
Hindia Belanda (usul Wurjaningrat), (2) Bekas Hindia Belanda plus
Kalimantan Utara, Timor Portugis, Papua, Tanah Melayu, dan (3) Seperti
pendapat kedua minus tanah Melayu.
Dari ketiga usulan di atas, akhirnya usul yang pertama disetujui.
Dengan wilayah yang luas perlu dibagi dalam beberapa daerah yang lebih
128
kecil tetapi tetap negara kesatuan/unitaris. Sedangkan batas-batasnya
yang tidak tertuang dalam UUD 1945, seperti usul Soekarno. Bagian
wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda dinamakan
Nederlandsch Oost Indische Archipelago. Itulah wilayah jajahan Belanda
yang kemudian menjadi wilayah negara Republik Indonesia.
Wilayah Indonesia pada saat proklamasi kemerdekaan republik
Indonesia mengacu kepada Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonatie tahun 1939, yang menjelaskan tentang batas-batas laut Hindia
Belanda adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah (surut) di pantai
masing-masing pulau di Indonesia. Penetapan lebar wilayah laut 3 mil
tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, karena antar wilayah belum berkesinambungan satu sama lain.
Hal ini lebih terasa lagi bila dihadapkan kepada pergolakan-pergolakan
dalam negeri pada saat itu. Melihat keadaan lingkungan alamnya, maka
persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara menjadi tuntutan utama
bagi terwujudnya kemakmuran dan keamanan yang berlanjut. Atas
pertimbangan hal-hal tersebut, maka dimaklumatkanlah Deklarasi
Djuanda pada 13 Desember 1957 yang berbunyi:
”Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah
menyatakan bahwa segala perairan sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia
dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia danh
dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasonal
yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing
dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan/mengganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas
landasan lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis
yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau
negara Indonesia”.
Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografi Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan
kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Juga dinyatakan demi keutuhan
teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang terkandung di
dalamnya maka pulau-pulau serta laut yang ada di antaranya haruslah
dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh, karena laut merupakan
penghubung antarpulau-pulau di nusantara.
Deklarasi Djuanda dinyatakan sebagai penganti Territoriale Zee en
Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dengan tujuan: (1) Perwujudan
bentuk wilayah negara kesatuan republik Indonesia disesuaikan dengan
129
asas negara kepulauan; (2) Penentuan batas-batas wilayah negara
Indonesia disesuaikan dengan asas negara kepulauan; dan (3) Pengaturan
lalulintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan
keamanan negara kesatuan republik Indonesia. Isi pokok Deklarasi
Djuanda adalah menyatakan laut teritorial Indonesia adalah selebar 12
mil tidak lagi 3 mil berdasarkan point to point theory. Lebar tersebut
diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari
pulau-pulau terluar dalam wilayah republik Indonesia.
Deklarasi Djuanda kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang
Nomor 4/Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia, berisi:
1. Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan
pedalaman Indonesia.
2. Laut wilayah Indonesia ialah jalur laut 12 mil laut.
3. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis dasar.
Sejak ditetapkan undang-undang itu, berubahlah luas wilayah
Indonesia dari ± 2 juta km2 menjadi 5 juta km2, dan 65% wilayahnya
terdiri dari laut/perairan. Oleh karena itu, tidaklah mustahil bila negara
Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan (negara maritim),
sedangkan yang ± 35% adalah daratan. Luas wilayah daratan Indonesia
jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara merupakan yang
terluas.
Keluarnya Deklarasi Djuanda 1957 tersebut melahirkan konsepsi
wawasan nusantara di mana laut tidak lagi sebagai pemisah, tetapi
sebagai penghubung. Wawasan nusantara dibangun dari konsepsi
kewilayahan. Negara Indonesia adalah satu kesatuan wilayah yang berciri
nusantara. Deklarasi Djuanda diperjuangkan terus dalam forum
internasional agar pengakuan Indonesia atas wilayah terotorialnya
mendapat pengukuhan sekaligus kekuatan hukum di mata internasional.
Melalui perjuangan panjang akhirnya Konferensi PBB tanggal 30 April
1982 menerima The United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS).Berdasarkan Konvensi Hukum laut 1982 tersebut diakui asas
Negara Kepulauan (Archipelago State).Indonesia termasuk Negara
Negara Kepulauan atau archipelago state.
Pada tahun 1969 negara Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang
landas kontinen Indonesia. Deklarasi itu berintikan: (1) Kekayaan alam di
landas kontinen adalah milik Negara bersangkutan, dan (2) Batas landas
kontinen yang terletak di antara dua negara adalah garis tengahnya.
Tentang landas kontinen dikuatkan dalam UU No. 1 tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1980 Indonesia
mengumumkan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) selebar 200 mil
dari garis dasar. Perjuangan berkenaan dengan asas nusantara itu
130
berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Tindakan Indonesia menentukan
laut teritorial berdasarkan asas nusantara, pada mulanya banyak mendapat
tantangan, terutama dari negara-negara besar yang memiliki kemampuan
teknologi, peralatan, serta modal, dan menganut faham lautan bebas.
ZEE berintikan: (1) Lebar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 200 mil
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, (2) Hak berdaulat untuk
menguasai kekayaan sumber alam di ZEE, dan (3) Lautan di ZEE tetap
merupakan lautan bebas untuk pelayaran internasional. ZEE diterima oleh
hampir seluruh peserta konferensi Hukum Internasional di Jamaika tahun
1982 dan dikukuhkan oleh Pemerintah RI dengan UU No. 5/1983.
Indonesia meratifikasi UNCLOS (United on the Law of the sea =
konvensi PBB tentang Hukum laut) melalui UU No. 17 tahun 1985 pada
31 Desember 1985. Sejak 16 November 1993 UNCLOS telah diratifikasi
oleh 60 negara sehingga menjadi hukum positif sejak 16 Desember 1994.
UNCLOS tersebut berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi
kepentingan kesejahteraan seperti bertambah luasnya Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia.
Pada satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan keuntungan bagi
pembangunan nasional yaitu bertambah luasnya perairan yurisdiksi
nasional berikut kekayaan yang terkandung di laut dan dasar kuatnya
serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai medium
transportasi. Namun dari sisi lain potensi kerawanannya bertambah besar
pula. Penguasaan terhadap ruang dirgantara tidak semulus wilayah lautan
karena berdasarkan perjanjian tahun 1967 ditetapkan bahwa ruang
antariksa merupakan wilayah bangsa-bangsa yang berarti dapat
dimanfaatkan oleh setiap bangsa. Pemanfaatan ruang antariksa yang
berada di atas wilayah suatu negara berdasarkan pada prinsip siapa cepat
siapa dapat (list come first serve), dan terbuka bagi setiap negara. Prinsip
ini sangat merugikan Indonesia karena Indonesia memiliki bentangan
ruang antariksa yang sangat luas dan panjang, apalagi terletak di daerah
khatulistiwa yang sangat menguntungkan dalam penggunaan ruang
antariksa.
Dalam perkembangan hukum laut internasional dikenal beberapa
konsepsi mengenai pemilikan dan penguasaan wilayah laut sebagai
berikut:
a. Res Nullius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memilikinya.
b. Res Cimmunis, menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat
dunia karena itu tidak dapat dimiliki oleh masing-masig negara.
c. Mare Liberum, menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas untuk
semua bangsa.

131
d. Mare Clausum (The right and the sea), meyatakan bahwa hanya laut
sepanjang pantai saja yang dapat dimiliki oleh suatu Negara sejauh
yang dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil).
e. Archipelago state principles (asas negara kepualauan) yang
menjadikan dasar dalam konvensi PBB tentang hukum laut.
Berdasarkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Dalam negara kepulauan
diterima asas bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk
daratan negara republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas
atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan negara
republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia
yang berada di bawah kedaulatan negara republik Indonesia. Pernyataan
dalam undang-undang ini didasarkan pada fakta sejarah dan cara pandang
bangsa Indonesia bahwa negara republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, secara geografis adalah
negara kepulauan.
Kedaulatan negara republik Indonesia di perairan Indonesia
meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta
ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak ini maka
wilayah negara kesatuan republik Indonesia meliputi tanah (daratan) dan
air (lautan) dan udara di atasnya.
Mengapa perlu persatuan bangsa? Sejarah munculnya wawasan
nusantara adalah kebutuhan akan kesatuan atau keutuhan wilayah
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu
harus merupakan satu kesatuan, tidak lagi terpisah-pisah oleh adanya
lautan bebas. Sebelumnya kita ketahui bahwa wilayah Indonesia itu
terpecah-pecah sebagai akibat dari aturan hukum kolonial Belanda
yakni Ordonansi 1939. Baru setelah adanya Deklarasi Djuanda tanggal
13 Desember 1957, wilayah Indonesia barulah merupakan satu kesatuan,
di mana laut tidak lagi merupakan pemisah tetapi sebagai penghubung.
Wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki keunikan, antara
lain:
a. Bercirikan negara kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah
17.508 pulau.
b. Luas wilayah 5,192 juta km2 dengan perincian daratan seluas 2,027
juta km 2 dan laut seluas 3,166 juta km 2. Negara kita terdiri 2/3
lautan/perairan
c. Jarak utara selatan 1888 km dan jarak timur barat 5110 km
132
d. Terletak diantara dua benua dan dua samudra (posisi silang)
e. Terletak pada garis katulistiwa
f. Berada pada iklim tropis dengan dua musim
g. Menjadi pertemuan dua jalur pegunungan yaitu Mediterania dan
Sirkum Pasifik
h. Berada pada 60 LU- 110 LS dan 950 BT – 1410 BT
i. Wilayah yang subur dan habittable (dapat dihuni), serta kaya akan
flora, fauna, dan sumber daya alam.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Bagaimana cara sederhana menerapkan wawasan nusantara dalam
kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimana pendapat Anda, mengapa wawasan nusantara sangat
penting untuk kita pelajari? Dan apa pentingnya pemahaman
wawasan kebangsaan bagi generasi muda?
3. Berikan contoh bagaimana implementasi wawasan nusantara dalam
kehidupan nasional dan implementasi wawasan nusantara dengan
negara-negara di dunia?
4. Uraikan, apa tujuan, fungsi dan kedudukan wawasan nusantara dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
5. Uraikan pendapat Anda, cara apa yang bisa kita lakukan dalam
menjaga wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa
Indonesia?
6. Mengapa bangsa Indonesia memerlukan wawasan nasional dalam
usaha mencapai cita-cita nasional?
7. Uraikan pendapat Anda, apakah adanya aspirasi kedaerahan yang
menguat dan adanya gerakan new etnisitas dapat mencegah
terjadinya disintegrasi bangsa?
8. Uraikan, mengapa wawasan nusantara selalu dikaitkan dengan
Pancasila dan UUD 1945?
9. Mengapa wawasan nusantara dikatakan sebagai geopolitik bangsa
Indonesia?
10. Bagaimana cara mencegah terjadinya disintegrasi bangsa?
11. Uraikan bagaimana proses terbentuknya wawasan nasional bangsa
Indonesia? Penjelasan anda supaya dilengkapi dengan gambar!
12. Indonesia berada pada posisi silang dunia, uraikan apa keuntungan
dan kerugian Indonesia berada pada posisi silang dunia?
13. Uraikan, mengapa wawasan nusantara dikatakan sebagai:

133
a. Wawasan kewilayahan
b. Wawasan hukum nasional
c. Wawasan pertahanan keamanan negara
d. Wawasan pembangunan nasional
e. Wawasan nasional yang melandasi ketahanan nasional

134
BAB IX
GEOSTRATEGI INDONESIA

A. Pengertian Geostrategi
Untuk menjadikan suatu bangsa agar tetap eksis dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya maka perlu memahami
konsepsi geopolitik dan geostrategi dari bangsa tersebut. Secara etimologi
kata geostrategi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) dan strategi. Geo
berarti bumi dan tidak lepas dari pengaruh letak dan kondisi geografis
bumi yang menjadi wilayah hidup. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (2002), strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua
sumberdaya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu baik
dalam keadaan perang maupun damai.
Dengan demikian, geostrategi adalah suatu cara (strategi) atau
pendekatan dalam memanfaatkan kondisi lengkungan geografis negara
dalam menentukan kebijakan, tujuan dan sarana untuk mewujudkan cita-
cita proklamasi dan tujuan nasional. Geostrategi memberi arahan tentang
bagaimana merancang strategi pembangunan guna mewujudkan masa
depan yang lebih baik, aman dan sejahtera.
Timbul pernyataan “berapa besar pengaruh faktor konstelasi
geografi dalam merumuskan politik nasional dan strategi nasional”?. Ada
dua paham atau teori yang memberikan jawaban, yaitu:
1. Paham determinis yang menyatakan bahwa unsur geografis adalah
unsur yang mutlak dan menentukan politik nasional suatu negara.
Selanjutnya, bahwa geopolitik dan geogstrategi merupakan doktrin
kekuatan negara di atas bumi.
2. Paham possibilities memandang unsur-unsur geografi hanya sebagai
salah satu unsur di samping unsur-unsur lainnya yang ada dalam
kehidupan nasional dan strategi nasional, sehingga geopolitik dan
geogstrategi banyak dimanfaatkan dalam upaya membina perdamaian
dunia dan berbagai kepentingan nasional lainnya.
Geostrategi Indonesia bukanlah merupakan geopolitik untuk
kepentingan politik dan perang, tetapi untuk kepentingan kesejahteraan
dan kemananan. Geostrategi Indonesia dirumuskan dalam dalam wujud
konsepsi ketahanan nasional. Ketahanan nasional Indonesia sebagai
geostrategi bangsa Indonesia memiliki pengertian bahwa konsep
ketahanan nasional merupakan pendekatan yang digunakan bangsa
Indonesia dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai
cita-cita dan tujuan naionalnya. Ketahanan nasional sebagai suatu

135
pendekatan merupakan salah satu pengertian dari konsepsi ketahanan
nasional itu sendiri.

B. Ketahanan Nasional Sebagai Geostrategi Indonesia


1. Konsepsi Ketahanan Nasional
Konsepsi ketahanan nasional sendiri mengandung unsur esensial
berupa keuletan dan ketangguhan. Konsepsi ini telah diterapkan oleh
bangsa Indonesia sejak masa lampau dan penerapannya sekarang
disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan zaman. Dalam rangka
menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa kini dan di masa yang
akan datang, bangsa Indonesia harus tetap memiliki keuletan dan
ketangguhan yang perlu dibina secara konsisten dan berkelanjutan.
Konsepsi ketahanan nasional memiliki latar belakang sejarah
kelahirannya di Indonesia. Gagasan tentang ketahanan nasional bermula
pada awal tahun 1960-an pada kalangan militer angkatan darat di SSKAD
yang sekarang bernama SESKOAD (Sunardi, 1997). Masa itu adalah
sedang meluasnya pengaruh komunisme yang berasal dari Uni Sovyet
dan Cina. Pengaruh komunisme menjalar sampai kawasan Indo Cina
sehingga satu persatu kawasan Indo Cina menjadi negara komunis seperti
Laos, Vietnam, dan Kamboja. Bahkan, infiltrasi komunis mulai masuk ke
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Akankah efek domino itu akan terus
ke Indonesia?
Concern atas fenomena tersebut mempengaruhi para pemikir
militer di SSKAD. Mereka mengadakan pengamatan atas kejadian
tersebut, yaitu tidak adanya perlawanan yang gigih dan ulet di Indo Cina
dalam menghadapi ekspansi komunis. Bila dibandibandingkan dengan
Indonesia, kekuatan apa yang dimiliki bangsa ini, sehingga mampu
menghadapi berbagai ancaman termasuk pemberontakan dalam negeri.
Jawaban sementara dari kalangan pemikir tersebut adalah adanya
kemampuan teritorial dan perang gerilya.
Tahun 1960-an terjadi gerakan komunis di Filipina, Malaya,
Singapura, dan Thailand. Bahkan, gerakan komunis Indonesia berhasil
mengadakan pemberontakan pada 30 September 1965, namun akhirnya
dapat diatasi. Menyadari atas berbagai kejadian tersebut, semakin kuat
gagasan pemikiran tentang kekuatan apa yang seharusnya ada dalam
masyarakat dan bangsa Indonesia agar kedaulatan dan keutuhan bangsa
negara Indonesia terjamin di masa-masa yang akan datang. Jawaban atas
pertanyaan eksploratif tersebut adalah adanya kekuatan nasional yang
antara lain berupa unsur kesatuan dan persatuan serta kekuatan nasional.
Pengembangan atas pemikiran awal di atas semakin kuat setelah
berakhirnya gerakan G 30 S PKI. Pada tahun 1968, pemikiran di
136
lingkungan SSKAD tersebut dilanjutkan oleh Lemhanas (Lembaga
Pertahanan Nasional). Tantangan dan ancaman terhadap bangsa harus
diwujudkan dalam bentuk ketahanan bangsa yang dimanifestasikan dalam
bentuk tameng yang terdiri dari unsur-unsur ideologi, ekonomi, sosial,
dan militer. Tameng yang dimaksud adalah sublimasi dari konsep
kekuatan sebagai manifestasi konsep dari SSKAD.
Dalam pemikiran Lemhanas tahun 1968 tersebut telah ada
kemajuan konseptual berupa ditemukannya unsur-unsur dari tata
kehidupan nasional yang berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan
militer. Pada tahun 1969, lahirlah istilah ketahanan nasional yang menjadi
pertanda dari ditinggalkannya konsep kekuatan,meskipun dalam
ketahanan nasional sendiri terdapat konsep kekuatan. Konsepsi ketahanan
nasional waktu itu dirumuskan sebagai keuletan dan daya tahan suatu
bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional yang ditujukan untuk menghadapi segala ancaman dan kekuatan
yang membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.
Kata ”segala” menunjukkan kesadaran akan spektrum ancaman yang
lebih dari sekadar ancaman komunis dan atau pemberontakan.
Kesadaran akan spektrum ini diperluas pada tahun 1972 menjadi
ancaman, tantangan, hambatan, gangguan (ATHG). Konsepsi ketahanan
nasional tahun 1972 dirumuskan sebagai kondisi dinamis satu bangsa
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
untuk mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang
datang dari luar maupun dalam, yang langsung maupun tidak langsung
yang membahayakan identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mencapai tujuan perjuangan nasional.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa konsepsi ketahanan nasional Indonesia berawal dari
konsepsi ketahanan nasional yang dikembangkan oleh kalangan militer.
Pemikiran konsepsi ketahanan nasional ini mulai menjadi doktrin dasar
nasional setelah dimasukkan ke dalam GBHN.
2. Pengertian danHakekat Ketahanan Nasional
Secara umum kita mengenal tiga rumusan pengertian ketahanan
nasional.
a. Rumusan pertama tahun 1968 Ketahanan Nasional adalah keuletan
dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang
datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan kehidupan negara dan bangsa Indonesia.
b. Rumusan kedua tahun 1969 yang merupakan penyempurnaan
berbunyi Ketahanan Nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu
137
bangsa yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang
datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa
Indonesia.
c. Rumusan ketiga tahun 1972 Ketahanan Nasional merupakan kondisi
dinamis suatu bangsa, berisikan keuletan dan ketangguhan, yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di
dalam mengatasi dan menghadapi segala ancaman, gangguan,
hambatan serta tantangan baik yang datang dari luar maupun dari
dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta
perjuangan mengejar tujuan nasional.
Beberapa pengertian koseptual ketahahan nasional tersebut seperti
yang ditulis oleh Safroedin Bahar, dkk., (1994) sebagai berikut.
1. Pengertian konstitusional, sebagaimana yang dirumuskan pada masa
Orde Baru, yaitu ketahanan nasional adalah kondisi dinamis yang
merupakan integrasi dan kondisi tiap-tiap aspek kehidupan bangsa
dan negara. Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan
dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan
hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Berhasilnya
pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan nasional.
Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong
pembangunan nasional.
2. Pengertian politik hukum, sebagaimana yang tercantum di dalam
Penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1972, yaitu konsepsi
ketahanan nasional pada hakikatnya adalah konsepsi pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang tata tentram kerta
raharja di dalam kehidupan nasional yang berdasar Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945.
3. Pengertian operasional, sebagaimana rumusan dibuat Lembaga
Pertahanan Nasional (Lemhanas), yaitu ketahanan nasional Indonesia
merupakan kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan
dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, didalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari
luar maupun dari dalam yang langsung maupun yang tidak langsung
membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara Indonesia yang berdasarakan Pancasila serta perjuangan
mengejar tujuan perjuangan nasional Indonesia.
Konsepsi ketahanan nasional untuk pertama kali dimasukkan dalam
GBHN 1978 yaitu Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978. Rumusan
138
ketahanan nasional dalam GBHN tersebut adalah sama dengan rumusan
ketahanan nasional 1972 dari Lemhanas. Konsep ketahanan nasional
berikut perumusan yang demikian berlanjut pada GBHN 1983, dan
GBHN 1988. Pada GBHN 1993 terjadi perubahan perumusan mengenai
konsep ketahanan nasional. Ketahanan nasional dirumuskan sebagai
kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek
kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya ketahanan nasional
adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin
kelangsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara. Perumusan
ketahanan nasional dalam GBHN 1993 berlanjut pada GBHN 1998.
Konsepsi ketahanan nasional pada GBHN 1998 adalah rumusan yang
terakhir. Pada GBHN 1999 (sebagai GBHN terakhir sebab sesudahnya
tidak dipergunakan lagi GBHN) tidak lagi ditemukan perumusan akan
konsepsi ketahanan nasional.
Rumusan ketahanan nasional dalam GBHN 1998: ketahanan
nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi
tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya ketahanan
nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat
menjamin kelangsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara.
Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan
nasional. Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong
pembangunan nasional.
Berdasarkan rumusan di atas maka ketahanan nasional adalah
kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi seluruh aspek kehidupan
nasional yang terintegrasi dan berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta
gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan
nasionalnya.
Pada hakekatnya ketahanan nasional suatu bangsa bersifat dinamis,
artinya ia dapat meningkat atau bahkan dapat juga menurun, dan hal ini
sangat tergantung kepada situasi dan kondisi kehidupan nasional. Kondisi
kehidupan nasional merupakan pencerminan ketahanan nasional
Indonesia (yang mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan) berdasarkan landasan Idiil Pancasila,
landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan visional Wawasan
Nusantara.
Ketahanan nasional Indonesia adalah kondisi dinamis bangsa
Indonesia yang meliputi seluruh aspek kehidupan nasional yang
terintegrasi dan berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
139
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik
dari luar maupun dari dalam, dan untuk menjamin identitas, integritas,
kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, serta perjuangan
mencapai tujuan nasional. Hakekat ketahanan nasional adalah
kemampuan dan kekuatan bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan
hidup bangsa dan negara Indonesia dalam mencapai tujuan nasional.
Ketahanan nasional mencerminkan keterpaduan delapan gatra
(Astagatra) kehidupan nasional, yaitu trigatra alamiah dan pancagatra
sosial. Bila kita hubungkan pengertian ketahanan nasional dengan
konsepsi pancagatra sosial, maka akan dilahirkan konsepsi ketahanan dari
tiap-tiap bidang, yaitu:
1. Ketahanan di bidang ideologi, adalah kondisi dinamis kehidupan
ideologi bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,
serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang
langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup
ideologi bangsa dan negara Indonesia.
2. Ketahanan di bidang politik diarikan sebagai kondisi dinamis
kehidupan politik bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di
dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan kehidupan politik bangsa dan negara republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Ketahanan di bidang ekonomi, adalah kondisi dinamis kehidupan
perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di
dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup perekonomian bangsa dan negara Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Wujud ketahanan ekonomi
tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat
dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi
nasional dengan daya saing tinggi dan mewujudkan kemakmuran
rakyat yang adil dan merata.
4. Ketahanan di bidang sosial budaya dapat diartikan sebagai kondisi
dinamis budaya bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan
140
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari
luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung
membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan
negara republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
5. Ketahanan di bidang pertahanan keamanan dapat diartikan sebagai
kondisi dinamis kehidupan pertahanan dan kemanan Indonesia yang
berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan, baik
yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan pertahanan dan kemanan negara berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Ketahanan nasional merupakan kondisi kehidupan nasional yang
ingin diwujudkan. Proses untuk mewujudkan kondisi kehidupan nasional
yang diinginkan memerlukan suatu konsepsi yang dinamakan konsepsi
ketahanan nasional. Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah
konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan
selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh, menyeluruh, dan
terpadu berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara.
Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan nasional, setiap warga
negara Indonesia perlu:
1. Memiliki semangat perjuangan bangsa dalam bentuk perjuangan
nonfisik yang disertai keuletan dan ketangguhan tanpakenal
menyerah dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam
rangka menghadapi segala tantangan, ancaman, gangguan dan
hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin
identitas, integritas, kelangsungan bangsa dan negar serta perjuangan
mencapai tujuan nasional.
2. Sadar dan peduli akan pengaruh-pengaruh yang timbul pada aspek
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan
sehingga setiap warga negara Indonesia dapat mengeliminir pengaruh
tersebut.
Apabila setiap warga negara Indonesia memiliki semangat
perjuangan bangsa, sadar serta peduli terhadap pengaruh yang timbul,
serta dapat mengeliminir pengaruh tersebut, maka ketahanan nasional
Indonesia akan berhasil. Perwujudan ketahanan nasional memerlukan
satu kebijakan umum dan pengambilan kebijakan yang disebut Politik
dan Strategi Nasional (Polstranas).

141
Akhirnya sehubungan dengan pengertian ketahanan nasional perlu
dijelaskan beberapa istilah yang dipergunakan:
1. Ketangguhan ialah kekuatan yang membuat seorang mampu
bertahan, kuat menderita atau kuat memikul beban.
2. Keuletan ialah kemampuan untuk terus menerus berusaha mencapai
tujuan/cita-cita.
3. Integritas ialah kesatuan (kekuatan) yang menyeluruh di dalam
kehidupan nasional suatu bangsa, baik alamiah maupun sosial.
4. Identitas ialah ciri khas suatu negara dilihat secara keseluruhan. Ciri-
ciri tersebut mencakup wilayah negara, penduduk, sejarah, UUD,
falsafah, tujuan nasional, serta perannya di dunia internasional.
5. Tantangan ialah merupakan hal atau usaha bertujuan atau bersifat
menggugah kemampuan (kecelakaan, kelaparan, kebakaran).
6. Ancaman ialah merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah
atau merombak kebijaksanaan, dan dilakukan secara konseptual,
kriminal serta politik (pemberontakan, subversif).
7. Hambatan ialah merupakan hal atau usaha yang berasal dari dalam
negeri yang bersifat atau bertujuan lemahkan atau menghalangi
secara tidak konseptual (kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan).
8. Gangguan ialah merupakan suatu hal atau usaha yang tak bermoral
dari luar, yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi
secara tidak konseptual (narkotika, budaya asing, ideologi asing.

C. Asas-Asas Ketahanan Nasional Indonesia


Asas-asas Ketahanan Nasional Indonesia adalah tata laku yang
relatif telah tersusun dan yang dilandasi nilai-nilai budaya bangsa yang
merupakan pedoman bagi pengembangan Ketahanan Nasional Indonesia,
yang meliputi:
1. Asas Kesejahteraan dan Keamanan
Penyelenggaraan Ketahanan Nasional menggunakan asas
kesejahteraan dan keamanan yang senantiasa terdapat pada setiap saat
dalam kehidupan nasional. Tergantung dari konsisi nasional dan
internasional serta situasi yang dihadapi, maka pada suatu saat dapat
diletakkan titik berat pada pendekatan keamanan pada saat lain titik berat
dapat dialihkan kepada pendekatan kesejahteraan. Asas kesejahteraan dan
keamanan merupakan dwitunggal yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan kebutuhan manusia yang mendasar/
esensial. Penyelenggaraan kesejahteraan memerlukan tingkat keamanan
tertentu, sebaliknya penyelenggaraan keamanan memerlukan tingkat
kesejahteraan tertentu. Dalam kehidupan nasional, tingkat kesejahteraan
dan keamanan nasional yang dicapainya merupakan tolok ukur
142
Ketahanan Nasional. Gambaran kesejahteraan dan gambaran keamanan
dipadukan secara seimbang, serasi dan selaras menjadi suatu gambaran
kualitas ketahanan nasional.
2. Asas komprehensif integral atau menyeluruh terpadu
Ketahanan nasional mencakup kehidupan bangsa secara
komprehensif integral dalam bentuk perwujudan kesatuan dan perpaduan
yang seimbang, serasi dan selaras dari seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan matriks
astagatra.Karena ketahahanan nasional juga merupakan kondisi dalam
kehidupan nasional yang perlu selalu dipelihara dan ditingkatkan, maka
Ketahanan nasional harus mengandung upaya-upaya penciptaan kondisi
nasional beserta segenap aspeknya secara komprehensif integral hingga
mampu mewujudkan kondisi Ketahanan Nasional itu sendiri secara
berlanjut, demi terwujudnya cita-cita bangsa dan negara.
3. Asas mawas ke dalam dan mawas ke luar
Sistem kehidupan nasioanal akan selalu berorientasi dengan
lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar. Dalam
proses interaksi tersebut dapat timbul berbagai dampak, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan sikap mawas
ke dalam maupun ke luar.
a. Mawas ke dalam: Ketahanan Nasional bertujuan menumbuhkan
hakikat, sifat dan kondisi kehidupan nasional berdasarkan nilai-nilai
kemandirian yang proposional untuk meningkatkan kualitas harkat,
martabat dan derajat bangsa agar memiliki kemampuan
mengembangkan kehidupan nasionalnya. Hal ini tidak berarti
ketahanan nasional mengandung sikap isolasi atau nasionalisme
sempit.
b. Mawas ke luar: Mawas ke luar diperlukan untuk dapat
mengantisipasi, meghadapi dan mengatasi dampak lingkungan
strategis, terutama terhadap kenyataan adanya saling interaksi dan
ketergantungan dengan dunia internasional. Dalam rangka menjamin
dan memperjuangkan kepentingan nasional, Ketahanan Nasional
harus mengandung upaya mawas ke luar dengan tujuan
mengembangkan kemampuan dan kekuatan nasionalnya serta
menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan negara-
negara lain. Ketahanan nasional harus mengandung tujuan
mengembangkan kekuatan nasional yang dapat memberikan dampak
ke luar dalam bentuk daya saing.
4. Asas kekeluargaan
Ketahanan Nasional mengandung nilai kearifan, kebersamaan,
kesamaan, gotong-royong, tenggang rasa dan tanggungjawab dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam asas
143
kekeluargaan tetap diakui adanya perbedaan, tetapi kondisi perbedaan
tersebut harus dijaga agar tidak berkembang menjadi konflik bersifat
antagonistis yang saling menghancurkan, melainkan harus dikembangkan
secara seimbang, serasi dan selaras dalam pola hubungan kemitraan dan
kekeluargaan.

D. Ciri Ketahanan Nasional Indonesia


Kinerja atau daya penampilan Ketahanan Nasional Indonesia
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Mandiri
Ketahanan nasional bersifat percaya pada kemampuan dan kekuatan
sendiri dengan keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip
tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas, dan
kepribadian bangsa. Kemandirian ini merupakan prasyarat untuk
menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dalam
perkembangan global.
2. Dinamis
Ketahanan nasional suatu bangsa tidak tetap keadaannya. Ia
meningkat atau menurun sesuai dengan kondisi dan siatuasi bangsa
itu sendiri. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan Ketahanan Nasional
harus senantiasa diorientasikan ke masa depan dan dinamikanya
diarahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang lebih
baik.
3. Manunggal
Ketahanan nasional bersifat manunggal, dalam arti terdapat integrasi
yang serasi dan selaras antara trigatra dan pancagatra.
4. Berkewibawaan
Pandangan yang bersifat manunggal menghasilkan kewibawaan
nasional yang harus diperhitungkan oleh pihak lain serta mempunyai
daya pencegah. Makin tinggi kewibawaan, makin besar daya
pencegah itu. Ketahanan Nasional dengan sendirinya akan
meningkatkan kewibawaan nasional bangsa dan negara dalam
percaturan internasional, baik dalam hal untuk menciptakan
kejahteraan dan keamanan bangsa dan negara maupun untuk
menciptakan ketertiban dunia. Dengan demikian kewibawaan nasional
yang dikembangkan melalui Ketahanan Nasional juga akan
mewujudkan suatu daya tangkal (deterrent) yang efektif. Makin tinggi
tingkat Ketahanan Nasional Indonesia, makin tinggi pula nilai
kewibawaan nasional, yang berarti makin tingginya tingkat daya
tangkal yang dimiliki bangsa dan negara Indonesia.
5. Mengutamakan konsultasi dan kerjasama
144
Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia tidak mengutamakan sikap
konfrontatif dan antagonistis tetapi lebih pada sikap konsultasi dan
kerjasama serta saling menghargai, terutama dengan mengandalkan
pada kemampuan yang didasarkan pada daya atau kekuatan moral dan
kepribadian bangsa, dan tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan
fisik semata. Ketahanan nasional mementingkan musyawarah dan
sikap saling menghargai di dalam pergaulan hidup manusia, serta
menghindari permusuhan dan konfrontasi.

E. Metode Astagatra dalam Ketahanan Nasional Indonesia


Metode Astagatra pada hakekatnya adalah metode analisis
ketahanan nasional, terutama dalam memecahkan masalah-masalah
nasional. Ketahanan nasional mencerminkan keterpaduan delapan gatra
(Astagatra) Kehidupan Nasional. Astagatra pada hakekatnya adalah
metode analisis ketahanan nasional, terutama dalam memecahkan
masalah-masalah nasional. Secara umum rincian astagatra adalah sebagai
berikut.
1. Trigatra (tiga aspek alamiah)
Trigatra atau tiga aspek alamiah meliputi: posisi dan lokasi geografi
negara, keadaan dan kemampuan penduduk, serta keadaan dan kekayaan
alam. Ketiga aspek tersebut mengandung unsur-unsur yang bersifat relatif
tetap atau statis. Perhatikanlah penjelasan berikut ini.
a. Posisi dan lokasi geografi negara
Bahwa bentuk dan lokasi geografis suatu negara sangat
mempengaruhi kehidupan suatu bangsa yang mendiaminya dalam
menyelenggarakan dan pengaturan kesejahteraan dan keamanan.
Negara kepulauan dalam membina ketahanan nasionalnya harus lebih
hanyak memanfaatkan potensi lautnya dan negara pulau akan lebih
banyak memanfaatkan potensi daratnya. Posisi dan lokasi sangat
menentukan peranan negara tersebut dalam percaturan lalu-lintas
dunia, sehingga juga akan menghadapi berbeda-beda bentuk-bentuk
ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, letak posisi dan kondisi
geografi suatu negara akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional
negara tersebut.
b. Keadaan dan kemampuan penduduk
Penduduk adalah manusia yang mendiami suatu wilayah negara.
pertambahan penduduk harus diimbangi dengan penyediaan lapangan
kerja dan peningkatan keterampilan kerja agar kapasitas produksi
meningkat, sebab bila tidak, maka akan menambah pengangguran
dengan segala dampaknya akan dapat melemahkan ketahanan
nasional.
145
c. Keadaan dan kekayaan alam
Keadaan alam adalah segala sumber dan potensi alam yang terdapat
di bumi, di laut dan di udara dalam wilayah suatu negara dan
distribusinya tidak merata dan tidak teratur, sehingga ada negara yang
kaya dan negara yang miskin akan kekayaan alamnya. Oleh karena
itu perlu dibina kesadaran nasional untuk memanfaatkan kekayaan
alam yang sebaik-baiknya, sehingga tercapai nilai guna yang
maksimal bagi kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional.

2. Pancagatra (lima aspek sosial)


Pancagatra atau lima aspek sosial meliputi: Ideologi, Politik,
Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan. Kelima aspek sosial
tersebut mengandung-unsur yang bersifat dinamis. Pengelompokan
aspek-aspek sosial dalam kehidupan nasional Indonesia menjadi lima
aspek ini adalah karena tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan
yang dihadapi bangsa Indonesia selalu ditujukan kepada lima aspek
tersebut dan karenanya maka penanggulangannya adalah dengan upaya
meningkatkan ketahanan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya dan pertahanan keamanan. Penjelasan kelima aspek tersebut
adalah seperti di bawah ini.
a. Gatra Ideologi
Ideologi suatu bangsa akan berperan sebagai pedoman bangsa
tersebut dalam mengisi kemerdekaannya untuk mencapai tujuan
nasional. Semakin akurat rangkaian nilai dari ideologi dan semakin
baik pelaksanaannya maka semakin tinggi tingkat ketahanan nasional
di bidang ideologi.
b. Gatra Politik
Politik diartikan sebagai asas, hukum dan kebijaksanaan yang
digunakan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan. Upaya bangsa
Indonesia untuk meningkatkan ketahanan politik adalah upaya
mencari keseimbangan dan keserasian antara masukan dan keluaran
berdasarkan Pancasila yang merupakan pencerminan dari demokrasi
Pancasila.
c. Gatra Ekonomi
Keadaan perekonomian suatu negara, adalah pencerminan dari
keseimbangan atau keselarasan antara faktor produksi dan distribusi
hasil produksi. Upaya peningkatan ketahanan ekonomi adalah upaya
meningkatkan kapasitas produksi (barang dan jasa) serta
meningkatkan kelancaran distribusi (barang dan jasa) secara merata
keseluruh wilayah negara. ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan terhadap kelangsungan ekonomi pada hakekatnya
ditujukan kepada faktor produksi dan pengolahannya.
146
d. Gatra Sosial Budaya
Bagi bangsa Indonesia, pembinaan sosial budaya berarti membina
kemantapan kehidupan organisasi sosial masyarakat dan
perkembangan kebudayaan berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu
peningkatan ketahanan nasional di bidang sosial budaya berarti
meningkatkan pembinaan kemasyarakatan dan kebudayaan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 agar dapat menangkal berbagai
bentuk norma sosial dan budaya yang tidak sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
e. Gatra Pertahanan Keamanan
Pertahanan keamanan adalah upaya rakyat semesta dengan TNI
sebagai intinya dalam mempertahankan dan mengamankan bangsa
dan negara serta hasil perjuangannya. Upaya meningkatkan
ketahanan nasional Hankam adalah peningkatan partisipasi seluruh
rakyat dan seluruh kekuatan nasional sesuai fungsi dan profesinya
dalam upaya bela negara.
Kualitas kelima aspek sosial dalam kehidupan nasional Indonesia
tersebut secara terintegrasi, serta dalam integrasinya dengan Trigatra (tiga
aspek alamiah) mencerminkan tingkat ketahanan Nasional Indonesia.
3. Hubungan Antara Trigatra dan Pancagatra
Hubungan antara Trigatra dan Pancagatra terdapat hubungan
timbal-balik yang erat dalam bentuk korelasi dan interdependensi.
Hubungan antara Trigatra dan Pancagatra merupakan suatu kesatuan
yang bulat yang dinamakan Astagatra. Hubungan antara Trigatra dan
Pancagatra dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Ketahanan nasional Indonesia dikelola berdasarkan unsur Astagatra
yang meliputi unsur-unsur (1) geografi, (2) kekayaan alam, (3)
kependudukan, selanjutnya disebut Trigatra, (4) ideologi, (5) politik,
(6) ekonomi, (7) sosial budaya, (8) pertahanan keamanan, selanjutnya
disebut Pancagatra.
b. Ketahanan nasional pada hakekatnya tergantung kepada kemampuan
bangsa dan negara dalam memanfaatkan dan mempergunakan aspek
alamiah (trigatra) sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan nasional
di bidang sosial (pancagatra).
c. Ketahanan nasional adalah suatu pengertian holistik, di mana
terdapat saling hubungan antargatra di dalam keseluruhan kehidupan
nasional (astagatra).
d. Kelemahanan di salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan di
gatra lain dan mempengaruhi kondisi secara keseluruhan.
e. Kuat atau lemahnya ketahanan nasional Indonesia diukur dari kondisi
tiap aspek atau unsur dalam ketahanan nasional tersebut.
147
f. Ketahanan nasional Indonesia bukan merupakan suatu penjumlahan
ketahanan segenap gatranya, melainkan suatu relultante (hasil)
keterkaitan yang integratif dari kondisi dinamik kehidupan berbangsa
di seluruh aspek kehidupannya.
Konsepsi ketahanan nasional tidak memandang aspek-aspek
alamiah (Trigatra) dan sosial kemasyarakatan (Pancagatra) secara
terpisah-pisah, melainkan meninjaunya secara korelatif, di mana aspek
yang satu senantiasa berhubungan erat dengan lainnya. Sedangkan
keseluruhannya merupakan suatu konfigurasi yang menimbulkan daya
tahan nasional.
4. Hubungan Antargatra dalam Trigatra
Hubungan antargatra dalam Trigatra adalah bersifat hubungan
timbal-balik dan saling mempengaruhi.
a. Antara gatra geografi dan gatra kekayaan alam
Karakter geografi sangat mempengaruhi jenis, kualitas dan
persebaran kekayaan alam. Sebaliknya, kekayaan alam dapat
mempengaruhi karakter geografi.
b. Antara gatra geografi dan gatra kependudukan.
Bentuk-bentuk kehidupan dan penghidupan serta persebaran
penduduk sangat erat kaitannya dengan karakter geografi, dan
sebaliknya karakter geografi mempengaruhi kependudukan.
c. Antara gatra kependudukan dan gatra kekayaan alam
Kehidupan dan penghidupan penduduk dipengaruhi oleh jenis,
kualitas, kuantitas dan persebaran kekayaan alam dipengaruhi oleh
faktor-faktor kependudukan. Kekayaan alam mempunyai manfaat
nyata jika telah diolah oleh penduduk yang memiliki kemampuan dan
teknologi.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1. Jelaskan disertai dengan contoh-contoh teraktual dari ancaman,
tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) yang berasal dari dalam
dan luar negeri? Dan jelaska mana yang lebih berbahaya sifatnya jika
dikaitkan dengan ketahanan nasional Indonesia?
2. Mengapa bela negara secara fisik dikatakan lebih sempit
pengertiannya dibandingkan dengan bela negara secara non fisik?
3. Bagaimana cara mewujudkan ketahanan nasional yang kondusif?
4. Uraikan pendapat anda, apakah ketahanan nasional suatu bangsa
sangat diperlukan untuk keberlangsungan/eksistensi suatu bangsa?

148
5. Dalam menjaga ketahanan negara, semua warga negara berhak dan
ikut andil dalam melakukan bela negara untuk menghadapi ancaman,
tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) guna mempertahankan
kedaulatan NKRI. Menurut anda, apakah orang yang belum dewasa
juga wajib dalam upaya bela negara?
6. Bagaimana cara mengetahui ketahanan nasional suatu negara dapat
dikatakan sudah baik atau belum? Dan apakah ketahanan nasional di
Indonesia sudah terwujud?
7. Bagaimana kesadaran mahasiswa untuk melakukan bela negara saat
ini? Dan apa contoh nyata yang sudah dilakukan mahasiswa dalam
bela negara saat ini?
8. Dalam mempertahankan kedaulatan negara, tentunya banyak terdapat
ancaman-ancaman yang dapat menganggu keutuhan wilayah dan
keselammatan bangsa. Adakah jenis-jenis dari ancaman tersebut?
Jika ada jelaskan dan beri contoh!
9. Jelaskan bagian-bagian dari Astagatra dan Pancagatra? Dan bagian
gatra manakah yang cenderung muncul ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan (ATHG) dewasa ini dalamkehidupan
nasional?
10. Mengapa geostrategi dikatakan sebagai konsepsi ketahanan nasional
Indonesia?
11. Konsepsi ketahanan nasional dapat diwujudkan dalam berbagai
bidang kehidupan nasional, yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Jelaskan bidang-bidang
tersebut, dan bagaimana pengaruhnya terhadap ketahanan nasional
Indonesia?
12. Uraikan asas-asas ketahanan nasional Indonesia berikut ini.
a. Asas kesejahteraan dan keamanan
b. Asas komprehensif integral atau menyeluruh terpadu
c. Asas mawas ke dalam dan mawas ke luar
d. Asas kekeluargaan
Asas manakah yang lebih dominan dalam pengembangan
ketahanan nasional Indonesia?

149
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C., 2011. Teori dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan


dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), Implikasi dan Implementasi
pada Lembaga Negara. Malang: Intras Publishing.
Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove.
Asshiddiqie, Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan
Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, (Perkembangan ke Arah
Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat). Jakarta:
Konstitusi Press.
Astawa, I Putu Ari. 2017. Materi Kuliah Integrasi Nasional. Universitas
Udayana.https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/6
bfed1ab6721a7e36e217799d6017460.pdf. (diakses tanggal 11 Mei
2020).
Basrie, Chaidir. 1995. Wawasan Nusantara Wawasan Nasional
Indonesia. Lembaga Ilmu Humaniora Instiutut Teknologi
Indonesia.
Basrie, Chaidir. 2003. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional.
Basrie, Chaidir. 2004. Sejarah Perkembangan Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pembinaannya (Makalah). Jakarta: Dirjen
Dikti Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akademik.
Budiardjo, Miriam. 1993. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dicey, A.V., 2008. Pengantar Studi Hukum Konstitus. Bandung:
Nusamedia. Terjemahan dari Introduction to the Study of the
Constitution, London: Mc Millan and Co, Limited St. Martin’s
Street.
Djunaidi S, M. 2003. Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Hak Asasi
Manusia (Makalah).Jakata: Dirjen Dikti Bagian Proyek
Peningkatan Tenaga Akademik.
Effendi, H.A.M. 1995. Falsafah Negara Pancasila. Semarang: Badan
Penerbitan IAIN Walisongo Press bekerja sama dengan CV.
Cendekia.

150
Ekowati, Endang dkk., 2004. Pengetahuan Sosial, Buku 2 Materi
Pelatihan Terintegrasi. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikdasmen Dit
PLP.
Fuady, Munir. 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: PT Refika
Aditama.
Fathurrohman, Deden & Sobri, Wawan. 2002. Pengantar Ilmu Politik.
Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah.
Giddens, A., 2001. Runaway World Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ghazali, Adeng Muchtar. 2004. Civic Education Pendidikan
Kewarganegaraan Perspektif Islam. Bandung: Benang Merah
Press, Citra Buku Unggulan.
Handoyo, B. Hestu Cipto. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan
dan Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: Universitas Atmajaya
Yogyakarta.
Huda, Ni’matul. 2011. Ilmu Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://eljinjizy.wordpress.com/2010/07/11/karl-marx-max-weber-dan-
negara/ (diakses tanggal 20 Juli 2017).
https://www.ruangguru.co.id/30-pengertian-negara-secara-umum-dan-
menurut-para-ahli-beserta-definisinya/ (diakses tanggal 23 Agustus
2016).
Bendix, Reinhard. 1960. Max Weber: An Intellectual Portrait.
Doubleday. ISBN 052003194 http://www.academia.edu/30165952
/makalah_wawasan_nusantara_sebagai_geopolitik_indonesia.
(diakses tanggal 16 Agustus 2017).
http://tofacanchujitsuna.blogspot.co.id/2015/09/makalah-wawasan-
nusantara-sebagai.html. (diakses tanggal 16 Agustus 2017).
Kaelan. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan & Zubaidi, Achmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
Kahin, George Mc Turnan. 1980. Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia. Kualalumpur: DewanBahasa dan Pustaka Kementrian
Pelajaran Malaysia.
Kantor Menteri Negara Urusan HAM RI. 2000. Panduan Umum tentang
HAM bagi TNI dan POLRI. Edisi Perdana Proyek P4S2PH.
Karsadi. 2019. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Upaya Membangkitkan Semangat Nasionalisme, Cinta Tanah Air,
dan Bela Negara di Kalangan Mahasiswa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kemenristekdikti Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016. Buku
Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,
Cetakan 1, Jakarta.
151
Kurana, S. 2010. National Integration: Complete information on the
meaning, features and promotion of national integration in India in
http://www.preservearticles.com/201012271786/national-
integration.html.
Lemhannas. 1999. Kewiraan Untuk Mahasiswa.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Lemhannas. 1995. Ketahanan Nasional. Jakarta: Kerjasama Penerbitan
Balai Pustaka.
Lukman, Marcus. 1996. Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam
Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di
Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum
Nasional (Disertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran.
Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia
(Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Manan, Bagir. 1994. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam
Pembangunan Jangka Panjang II, Makalah dalam Lokakarya
Pancasila, UNPAD, Bandung.
Muchson, A.R., 2002. Etika Kewarganegaraan (Materi PTBK, Modul
PKN A-17). Jakarta: Dit SLTP Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Murron, Faisal Sadam. 2013. Penerapan Metode Permainan Simulasi
Dalam Pembelajaran Pkn Untuk Menumbuhkan Etika Warga
Negara Pada Siswa. (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa TSM
X-B SMK Medikacom Bandung).
Pasha, Mustafa Kamal. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education). Citra Karsa Mandiri: Yogyakarta.
Pramono, Edy. dkk. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan. Universitas
Jendral Sudirman. Purwokerto.
Ridwan, HR., 2013. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Sadli, Saparinah. 2000. Pendidikan Hak Asasi Manusia Panduan Untuk
Fasilitator. Jakarta: Komnas HAM.
Sumarsono, S., dkk. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sunarto. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Semarang: UNNES Press.
Suradinata, Ermaya., dkk. 2005. Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan
Nasional. Jakarta: Paradigma Cipta Tatrigama.
Suryo, Joko. 2002. Pembentukan Identitas Nasional. Makalah pada
Seminal Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic
Education.
Thoenes, Piet. 1972. The Elite in The Welfare State‖, Dalam Mustaming
Daeng Matutu, Selayang Pandang tentang Perkembangan Tipe-tipe
152
Negara Modern, (Pidato pada Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Hassanuddin di Makassar, 3
Maret 1972), Hasanuddin University Press, Ujung Pandang,
cetakan ke II.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 20013 tentang
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi, 2003.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
Unesco. 1998. Learning to Live Together in Peace and Harmony.
Bangkok: UNESCO Proap.
Wahyono, Padmo. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta:
Ind. Hill Co.
Winarno. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan
Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi (Edisi Kedua). Jakarta:
Bumi Aksara.
Winataputra, Udin S. 2006. Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi.
Depdiknas Dirjen Dikti: Jakarta, Makalah.
Zamroni. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi.Yogyakarta: Bigraf
Publising.
Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok Jakarta:
Komunitas Bambu.

153
PROFIL PENULIS

DR. MUHAMMAD IDRUS, S.Pd., M.Pd.,


CNET, lahir 27 Maret 1987 anak kedua dari
pasangan Abdul Rasyid dan Rosnia di Desa
Palingi, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi
Tenggara. Sekolah Dasar ditamatkan di SDN 1
Palingi tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama
ditamatkan di SMPN 1 Wawonii pada tahun 2003,
dan tamat di SMAN 1 Wawonii pada tahun 2006 di
Kabupaten Konawe Kepulauan.
Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo pada tahun 2010 Jurusan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Tahun 2011 melanjutkan studi S2 di Pascasarjana
Universitas Halu Oleo dan meraih gelar magister Pendidikan IPS
Konsentrasi Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun 2013. Tahun 2014
melanjutkan studi S3 di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
dan meraih gelar Doktor Pendidikan Dasar tahun 2017. Selain gelar
akademik yang diperoleh, pada tahun 2022 penulis juga mendapatkan
gelar non akademik dari Seiso NLP International tentang cara
menanamkan pembelajaran pada anak menurut NLP, dengan gelar CNET
(Certified NLP for Excellen Teacher). Saat ini bekerja sebagai dosen
tetap di Jurusan PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo. Selain itu, penulis mengajar juga di Universitas
Muhammadiyah Kendari (UMK) dengan mata kuliah Pengembangan
Pembelajaran PKn, Evaluasi Pembelajaran, Strategi Pembelajaran dan
Media Pembelajaran. Penulis juga aktif mengajar di Sekolah Tinggi
Kesehatan (STIKES) Budi Mulia Kendari dengan mengajar mata kuliah
Pancasila dan mata kuliah Kewarganegaraan.
Buku ber-ISBN yang telah diterbitkan pada penerbit nasional yang
termasuk anggota IKAPI, antara lain berjudul: Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruang Tinggi (Penerbit Pustaka Mandiri,
Tanggerang, 2019), Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi
(Penerbit Pustaka Mandiri Tanggerang 2019), Evaluasi Pembelajaran
(Penerbit Mujahid Press Bandung, 2019), Kemiskinan: Faktor Penyebab
dan Penanggulangannya (Penerbit Mujahid Press Bandung, 2019), Media
Pembelajaran (Penerbit Literacy Institute Kendari, 2019), Model-Model
Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar (Penerbit Nas Media Pustaka
Makassar, 2020), Model-Model Pembelajaran Inovatif dan Efektif sesuai
Kurikulum 2013 (Penerbit KBM Indonesia Yogyakarta, 2020), Strategi

154
Pembelajaran (Penerbit Magnum Pustaka Utama Yogyakarta, 2021),
Kompetensi dan Kepribadian Guru. (Penerbit KBM Indonesia
Yogyakarta, 2021), Belajar dan Pembelajaran (Penerbit Kampus
Yogyakarta, 2022), Cooperative Learning: Model dan Metode
Pembelajaran (Penerbit Kampus Yogyakarta, 2022), Profesi
Kependidikan (Penerbit KBM Indonesia Yogyakarta, 2022).
Penulis juga aktif menulis diberbagai jurnal nasional dan
internasional bereputasi, antara lain berjudul: Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Berbasis Website Sebagai Media
Komunikasi Interaktif di Masa Pandemi Covid-19 di Kota Kendari
(IJSEI, 2021). The Influence of the Principal’s Leadership Style and
Work Motivation on the Performance on Senior High School Teachers In
Kendari (IJMCR, 2020). The Effect of Cooperative Instruction Model
and Formative Test Form toward PKn (Civics Education) Learning
Outcome Controlled by Prior Competence (IJAR, 2019).

155

Anda mungkin juga menyukai