Anda di halaman 1dari 263

Pendidikan Pesantren Dan

Perkembangan Sosial Kemasyarakatan


(Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar;
dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin
Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pendidikan Pesantren Dan
Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan
(Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)

Hasbi Indra
PENDIDIKAN PESANTREN DAN PERKEMBANGAN SOSIAL-
KEMASYARAKATAN (STUDI ATAS PEMIKIRAN K.H. ABDULLAH SYAFI’IE)

Hasbi Indra

Editor : Dr.Hj.Imas Kania Rahman, P.Pdi


Proofreader : Nama
Desain Cover : Nama
Tata Letak Isi : Tia Dwijayanti
Sumber Gambar : Sumber

Cetakan Pertama: Januari 2018

Hak Cipta 2017, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2017 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

INDRA, Hasbi
Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (Studi Atas
Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie)/oleh Hasbi Indra.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta:
Deepublish, Januari-2018.
xii, 249 hlm.; Uk:17.5x25 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Klasifikasi Buku I. Judul


No.DDC
PEDOMAN TRANSLITERASI

a = ‫ا‬ D = ‫د‬ dl = ‫ض‬ k = ‫ك‬

b = ‫ب‬ Dz = ‫ذ‬ th = ‫ط‬ l = ‫ل‬

t = ‫ت‬ R = ‫ر‬ zh = ‫ظ‬ m = ‫م‬

ts = ‫ث‬ Z = ‫ز‬ , = ‫ع‬ n = ‫ن‬

j = ‫ج‬ S = ‫س‬ gh = ‫غ‬ w = ‫و‬

h = ‫ح‬ Sy = ‫ش‬ f = ‫ف‬ h = ‫هـ‬

kh = ‫خ‬ Sh = ‫ص‬ q = ‫ق‬ y = ‫ي‬

Aw = ْ‫أَو‬ Ãã = Panjang

Uw = ‫أ ُ ْو‬ Ĩĩ = Panjang

Ay = ْ‫ْأ َي‬ Ũũ = Panjang

Iy = ْ‫إِي‬

v
CATATAN EDITOR

Pesantren lembaga pendidikan yang tidak asing lagi di telinga


ummat sebagai lembaga pendidikan yang telah berperan di tengah
bangsa. Lembaga yang lahir jauh sebelum Indonesia mardeka.
Kelahirannya dalam pandangan ilmuan muslim telah eksis berabad
silang yang didirikan dan dikembangkan oleh Walisongo, penyebar
Islam yang berhasil di Nusantara dengan penyebaran yang persuasif
dan damai. Lembaga pendidian ini kemudian mengalami
perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Pesantren awalnya
berbentuk Salafiyah berkembang menjadi Pesantren Moderen dan
Pesanren Kombinasi. Pesantren Salafiyah santrinya belajar ilmu
agama melalui kitab-kitab klasik; pesantren modern santrinya belajar
ilmu agama dan non agama melalui kitab-kitab post klasik, lalu
pesantren kombinasi di dalamnya didirikan sekolah formal, santri
belajar agama melaluik kitab klasik setelah mereka belajar di sekolah
formal di waktu sore atau malam hari. Pesantren melalui tuntutan
zaman selalu mengalami perubahan, apakah itu zaman pertanian,
zaman industri dan zaman yang maju sekarang ini.
Suatu zaman di mana manusia sebelumnya lebih banyak
mengunakan otot, kemudian beralih lebih banyak menggunkan otak,
dari zaman yang serba lambat berubah menjadi serba cepat. Untuk
menunjang hidupnya lebih banyak mengandalkan kekuatan di luar
dirinya, lalu beralih mengandalkan potensi dirinya. Perubahan-
perubahan yang terjadi dalam diri manusia dan bagaimana merespon
perkembangan yang ada, inilah yang hendak di bangun di pendidikan
pesantren.
Pendidikan pesantren yang terletak di Jakarta merupakan
produk seorang tokoh yang dalam hal ini K.H. Abdullah Syafi’ie,
seperti pesantren pada umumnya memiliki beberapa elemen yang
menandainya yang menurut Zamakhsyari Dhohir (Tradisi Pesantren,
LP3ES, 1985) – pertama, pondok, kedua, mesjid, ketiga, santri, dan
keempat, kyai. Kyai sebagai motor dan menentukan eksistensi
pesantren dalam perkembangannya.
Sang kyai sebagai tokoh sentral terkadang menentukan hidup-
matinya sebuah pesantren, apabila sang tokoh dipanggil oleh Tuhan

vi
atau wafat, atau sang kyai beralih profesi lain menggeluti dunia politik
misalnya akan mempengaruhi kualitas serta eksistensi pesantren
tersebut di tengah masyarakat. Tidak jarang pula, kematian sang kyai
membawa pula “kematian” bagi lembaga pesantren yang didirikannya.
Biasanya Dunia politik dunia yang tidak sepenuhnya bagian dari dunia
pengabdian sering orang tergoda hanya untuk memenuhi ambisi
kekuasaan atau cenderung mengejar hal-hal yang bersifat material
dan jauh dari ketulusan yang sejati.
Buku Hasbi ini membahas tentang dunia pesantren melalui
pemikiran seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren besar di
Jakarta, sang tokoh yakni K.H. Abdullah Syafi’ie. Ketokohannya
terbentuk setelah melalui pergaulan intelektualnya yang kompleks
dan melalui berbagai peran yang dimainkannya selama ia berkiprah di
masyarakat. Melalui gerak langkah yang bukan hanya berbicara dari
satu podium ke podium yang lain, tetapi, ia melakukan gerak langkah
nyata dari apa yang dia katakan tentang pentingnya beragama,
tentang pentingnya memiliki ilmu dalam kehidupan, pentingnya
membuat manusia sadar dalam beragama dan memiliki kesadaran
untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Ia menghadirkan lembaga-
lembaga pendidikan Islam – yang bernama Perguruan Islam Asy-
Syafi’iyah, sejak dari TK hingga PT – melalui pergaulananya serta
pengalamannya baik di dalam negeri maupun luar negeri menjadi
perbandingan baginya bahwa pendidikan yang dia lihat yang beraneka
ragam memberi pengaruh kepadanya dalam merespon berbagai
perkembangan masyarakat yang ada.
Hasbi Indra, penulis buku ini, mencoba menelaah berbagai
elemen pemikiran tokoh masyarakat Betawi ini ke dalam sebuah buku
yang diangkat dari disertasi doktornya yang ber judul, “Pemikiran K.H.
Adullah Syafi’ie tentang Pendidikan Pesantren dan Praksinya,” yang ia
beri judul Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial
Kemasyarakatan (Studi atas Pemikiran K.H. Adullah Syafi’ie)
Studi yang menggambarkan tentang pemikiran tokoh besar
yang telah bergelut degan dunia pendidikan pesantren.
K.H. Abdullah Syafi’ie dalam buku ini dipotret kiprah
pemikirannya di bidang pendidikan, dakwah, maupun politik. Lebih
jauh buku ini ingin melihat seberapa jauh kyai besar yang pernah
dimiliki masyarakat Betawi ini mendirikan pendidikan pesantrennya

vii
telah merespon zamannya mungkin masih relevan saat ini. Melalui
kiprahnya pula ia memperoleh kehormatan dari masyarakatnya
sebagai “ulama-intelektual” – ia sebagai ulama menjaga
masyarakatnya dengan ajaran agama yang ia sampaikan di masjid, di
radio atau di forum lainnya di Jakarta dan daerah lainnya.
Jakarta sebagai kota metropolitan di mana ia berkiprah memang
menyimpan banyak masalah, mulai dari persoalan pergaulan bebas,
pelacuran, narkoba, korupsi, perampokan, pemerkosaan, dan
pembunuhan, sampai persoalan selera hidup yang materialistis dan
hedonistis. Semua agenda sosial yang bertali-temali itu, seolah
menggugah kesadaran intelektualnya untuk berbuat. Karena itu,
kehadirannya di bumi Jakarta yang kompleks, terasa relevan untuk
ukuran zamannya.
Respons intelektual yang diberikan untuk mengatasi persoalan
sosial kemasyarakatan Jakarta di atas ia mendirikan institusi dakwah
dan pendidikan. Pendidikan pesantren yang berbentuk Pesantren
Salafiyah dan Kombinasi menjadi trade mark pesantren pada
masanya. Hanya saja di Pesantrennya ia sentuh dengan modernisasi
dimana santrinya juga belajar ilmu non agama dan juga keterampilan
yang masih langka di pesantren jenis tersebut pada masanya. Selain
itu di bidang pendidikan yang lainnya, ia bangun dalam bentuk
Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah di Jatiwaringin-Pondok Gede, Jakarta
Timur merupakan lembaga pendidikan yang cukup raksasa pada
masanya.
Pemikirannya berkaitan dengan tujuan pendidikan pesatrennya
untuk ukuran zamannya, justru sangat progresif dan responsif.
Rumusan itu antara lain berbunyi, “ingin menciptakan kader ulama
dan zu’ama Islam, pewaris bumi tercinta di masa mendatang.” Atau,
dalam ungkapan Hasbi, ia bermaksud, membentuk manusia yang
memiliki kualifikasi ulama plus, seseorang yang benar-benar
menguasai ilmu agama sekaligus menguasai ilmu umum. Suatu
gagasan yang baru populer di era 80-an, tetapi telah difikirkan oleh
K.H. Abdullah Syafi’ie di tahun 60-70an, di samping santri memiliki
keterampilan untuk menjalani kehidupannya. Demikian pula dalam
kaitan pemikirannya dengan materi pendidikan, metode pendidikan,
pendidik, anak didik serta lembaga pendidikannya telah memberi
respon yang maju pada masanya.

viii
Dinamika kehidupan kota Jakarta yang kompleks ia respon
dengan lembaga pendidikan dengan berbagai type pesantrennya
untuk mencetak anak didik yang siap hidup di tengah masyarakat
metropolitan dengan segenap masalahnya, ia hadirkan lembaga
pendidikan yang tetap berkompromi dengan tuntutan yang ada, tetapi
tetap membawa misi para nabi dan kokoh mempertahankannya.
Waallahu a’lam

Bogor, 4 Desember 2017

Dr.Hj. Imas Kania Rahman, M.Pd.I

ix
KATA PENGANTAR

BUKU yang berasal dari disertasi doktor saya di Universitas


Islam Negeri (UIN) Jakarta. Buku yang diberi judul, Pendidikan
Pesantren dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (Studi Atas
Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie) melalui penelahan yang cukup lama
dan mendalam perlu dicetak dan diketahui oleh masyarakat muslim
untuk mengetahui tentang pendidikan pesantren dan perkembangan
sosial-kemasyarakatan yang melingkarinya dari prespektif KH.
Abdullah syafi’ie.
Sebagaimana diketahui bahwa tokoh yang sedang menjadi
bahasan buku ini, sudah dikenal luas oleh masyarakat Islam, terutama
masyarakat Islam Jakarta dan sekitarnya. Karenanya, untuk
menjelaskan peranannya, diperlukan data yang tidak saja
komprehensif dan akurat, tetapi juga realistis dan faktual. Sebab, ia
hidup dan dibesarkan bersama-sama dengan lingkungan yang kini
menyaksikan kebesaran lembaga-lembaga yang menjadi buah
tangannya itu. Latar belakang dan kehidupannya relatif telah menyatu
dengan umat di mana dia pernah berkiprah, datanya yang akurat
secara maksimal harus digunakan dan dibutuhkan pula ketelitian dan
kehati-hatian dalam penulisannya.
Untuk potret kehidupannya dan lainnya, bahannya sudah teruji
dalam sidang ujian, juga dari sisi tantangan yang dihadapi dan
gambaran berbagai fenomena yang ada dalam buku ini. Misalnya
tantangan yang berkaitan dengan wawasan santri yang harus luas
dalam menghadapi berbagai masalah yang ternyata sudah diantispasi
olehnya di pendidikan pesantrennya apakah berbentuk salafiyah
dimana santri tidak hanya mempelajari ilmu agama melalui kitab
kuning, tetapi santri juga mempelajari mata pelajaran non agama, juga
lebih antispatif terhadap zaman, santrinya diberikan skill atau
keterampilan untuk hidupnya di masyarakat. Juga di pesantren
kombinasi, para santrinya belajar sekolah formal di pagi hari dan di
sore atau malam hari santri belajar ilmu agama melalui kitab kuning
dan pula mereka diajarkan skill tertentu.
Saya berutang budi kepada para pejabat Kementerian Agama
Bapak Sekjen, Dirjen, Direktut, Kasubdit dan lainnya yang memberi

x
dorongan menyelesaikan studi S3. Juga kepada Prof . Dr. Azyumardi
Azra, MA dan Prof. Dr. Abuddin Nata, MA selaku pembimbing disertasi
yang diterbitkan ini, juga pihak-pihak lainnya, seperti Civitas
Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayallah Jakarta,
memiliki peranan yang amat besar dalam membantu meringankan
beban penulis selama disertasi ini diproses untuk disidangkan. Oleh
karena itu, ucapan terima kasih yang tulus layak disampaikan buat
para pimpinannya, dosen, dan staf perguruan tinggi yang telah dengan
sabar meladeni kebutuhan-kebutuhan saya ketika menulis disertasi.
Boleh jadi, kalau bukan bantuan dan uluran tangan mereka, buku ini
tidak lahir dihadapan para pembaca. Juga terima kasih kepada Dr. Hj.
Kania Rahman,.M.Pd.I sebagai editor dan pula penerbit Deepublish
yang telah berkenan menerbitkan karya ini. Semoga Allah menjadikan
bantuan bapak dan ibu menjadi amal yang berpahala dihadapan Allah
SWT.
Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangkan
pendidikan pesantren ke depan dalam kiprahnya mencerdaskan umat,
umat selalu membutuhkan perannya dalam ikut membangun bangsa
dalam berbagai aspek kehidupannya. Wallahu a’lam

Bogor, 1 Desember 2017

Hasbi Indra

xi
DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................ v
CATATAN EDITOR ....................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II JAKARTA DI MASA ABDULLAH SYAFI’IE ............................. 33
A. Situasi Sosial-Budaya .................................................................................33
B. Situasi Politik..................................................................................................48
C. Situasi Ekonomi ............................................................................................69
D. Situasi Kehidupan Beragama .................................................................77
E. Situasi Pendidikan Islam ..........................................................................94
BAB III POTRET K.H. ABDULLAH SYAFI’IE ..................................... 129
A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya ............................................... 129
B. Kiprahnya dalam Perkembangan Islam di Jakarta .................. 159
BAB IV PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PRESPEKTIF
K.H. ABDULLAH SYAFI’IE ...................................................... 163
A. Tujuan Pendidikan ................................................................................... 164
B. Materi Pendidikan .................................................................................... 172
C. Metode Pendidikan/Pengajaran ....................................................... 183
D. Karakteristik Pendidik/ Ustadz ......................................................... 188
E. Perilaku Anak Didik ................................................................................. 198
F. Lembaga Pendidikannya ....................................................................... 207
BAB V PENUTUP................................................................................... 227
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................233
TENTANG PENULIS ..................................................................................249

xii
BAB I
PENDAHULUAN

K.H. ABDULLAH Syafi'ie merupakan salah seorang ulama


Betawi dan sekaligus pendidik. Pada masa mudanya ia pernah belajar
ilmu agama kepada para ustadz dan para habib, dan pada masa
berikutnya ia tampil sebagai salah seorang ulama dan pendidik yang
mendirikan lembaga pendidikan di Jakarta. Ia juga pendiri dan
pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan menjadi Ketua
Umum MUI Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 1978-1985.
Sejak tahun 70-an, ia telah dikenal sebagai seorang da'i. Melalui
Radio al-Syafi'iyah, suaranya bergema menyampaikan risalah Allah
kepada umat, dan ceramahnya banyak diminati dan didengar oleh
penduduk Jakarta. Di masjid yang ia dirikan yaitu Masjid al-Barkah
dan di masjid-masjid lainnya, ia mengajarkan pelajaran agama,
melalui beberapa kitab kuning, seperti kitab al-Nashaih al-Diniyah,
Tafsir al-Jalalain, Riyadl al-Shalihin dan lainnya.1
Sejak muda ia telah belajar ilmu agama dengan tekun dan
didorong oleh ketekunannya pula mengantarkannya mendirikan
institusi madrasah diniyah pada tahun 1928, dan sekaligus menjadi
pemimpin dan pendidiknya. Kemudian lembaga pendikannya ia
kembangkan berbentuk pesantren tradisional, pesantren kombinasi
yang diberi nama pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim
piatu. Selanjutnya, institusi tersebut berkembang bersama lembaga

1
Lengkapnya nama kitab al-Nashaih al-Diniyah wal Washaya al-Imaniyah. Kitab
ini karangan Syeikh Abdullah bin Alwi Al-Hadad, 1 jilid, tanpa tahun,
diterbitkan oleh penerbit Thaha Putra Semarang. Kitab ini bernuansa tashawuf,
pembahasannya antara lain berkaitan dengan masalah-masalah takwa,
keutamaan shalat, puasa, haji, zakat, etika berdzikir, zuhud fi al-dunya.
Kemudian, Tafsir al-Jalalain adalah karangan Muhammad bin Mahalli, ia tidak
dapat menyelesaikan karangannya karena wafat, dilanjutkan oleh Jalaluddin
Abu Bakar al-Suyuthi. Tafsir ini sebanyak 2 jilid, bercorak Tahlili. Adapun
Riyadl al-Shalihin, kitab Fiqh yang berlandaskan hadits, karangan al-Nawawi
Abu Zakaria bin Syarf, 2 juz, pembahasannya antara lain tentang akidah,
larangan berbuat bid'ah dan khurafat, etika mendo'akan orang sakit, tentang
jihad dan lainnya.

1
pendidikan lain dalam bentuk Perguruan Al-Syafi'iyah, hingga akhir
hayatnya ia telah memiliki 40 lembaga pendidikan formal, mulai
tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU)/
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Pesantren, hingga Perguruan
Tinggi, dan 19 lembaga da'wah serta 11 lembaga sosial. 2
Dari gambaran-gambaran tersebut dapat dimunculkan
beberapa pertanyaan. Mengapa Abdullah Syafi'ie, yang pada awalnya
mendirikan Madrasah Diniyah, lalu ia kembangkan dalam bentuk
pesantren? Lazimnya pendidikan pesantren yang didirikan oleh para
kyai atau ulama mengambil bentuk pesantren tradisional/Salafiyah,
mengapa pada masanya ia juga mendirikan pesantren yang
berbentuk Kombinasi? Selanjutnya, sejauhmanakah keluarga,
lingkungan sekitar, pengalaman yang luas, serta interaksinya baik
dengan tamunya dari luar negeri maupun sahabat-sahabatnya di
dalam negeri telah mempengaruhi pemikiran dan sikapnya?
Institusi pendidikan Abdullah Syafi'ie berawal dari Madrasah
Diniyah, kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang
sangat luas. Gerak langkahnya itu, pada masanya, dapat dikatakan
bahwa ia sebagai seorang “visioner”. Ia bukan saja sebagai penggagas
dan pendiri institusi pendidikan yang luas dan beraneka ragam itu,
tetapi ia telah melakukan langkah “visioner” lainnya. Terlepas dari
mendesaknya kebutuhan tenaga pengajar di institusi pendidikan
yang baru ia dirikan, dia telah melakukan terobosan dengan
mempersiapkan para ustadz dan ustadzah, yang ia sebut dengan
istilah musaid dan musaidah.3
Sebagaimana telah diketahui bahwa di dunia pendidikan,
tenaga pendidik perlu dipersiapkan secara khusus. Dalam khazanah
pendidikan Islam di Indonesia, misalnya, ada yang dikenal dengan
Pendidikan Guru Agama (PGA), dan ada pula Fakultas Tarbiyah di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sengaja didirikan untuk

2
Lihat Utomo Dananjaya, “K.H.Abdullah Syafi'ie—Khadimutthalabah Perguruan
Al-Syafi'iyah”, dalam K.H. Abdullah Syafi'ie—Tokoh Kharismatik 1910-1985,
(peny.) Tutty Alawiyah, (Jakarta: t.p. 1999), h.13
3
Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap
Perjuangannya”, dalam K.H. Abdullah Syafi'ie—Tokoh Kharismatik 1910-1985, h.
7

2
mempersiapkan tenaga pendidik. Namun, ia sejak awal di institusi
pendidikannya secara sederhana telah melakukan hal tersebut. Selain
itu, hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Utomo Dananjaya,
mengungkapkan bahwa motto institusi pendidikan Abdullah Syafi'ie
adalah khadimutthalabah, yaitu pelayan bagi penuntut ilmu.4Motto
ini memiliki makna yang mendalam. Kedalaman maknanya
tergambar dalam niat awal didirikan institusi ini.
Disebutkan bahwa institusi pendidikan yang dibuatnya adalah
tempat “pelayanan” untuk mengembangkan kecerdasan seseorang,
betapa pun rendah status sosialnya, namun pintu untuk mengecap
dunia pendidikan selalu terbuka lebar bagi mereka. Hal itu
tergambar secara jelas terutama dalam bentuk pesantren khusus
yatimnya, di lembaga ini memberikan pendidikan kepada anak-anak
yang di “tinggal” orang tuanya atau anak-anak yang miskin secara
gratis. Inilah sesungguhnya cita-cita ideal dunia pendidikan, yaitu
memberikan pelayanan kepada semua orang, tanpa melihat status
ekonomi maupun status sosialnya. Hal ini mengesankan bahwa
institusi pendidikannya bukan untuk sarana bisnis, yang hanya
melayani bagi orang-orang yang mampu sosial ekonominya, tetapi
juga bagi orang-orang yang miskin. Visi pendidikannya demikian
maju dan sangat sesuai dengan dinamika masyarakat atau sesuai
dengan semangat modernisasi masyarakat yang terus berjalan di
daerah Jakarta sebagai kota metropolitan.
Banyak langkah “visioner” yang dilakukan Abdullah Syafi'ie,
namun paling tidak hal-hal tersebut yang membuat penulis tertarik
untuk meneliti sosok ini, terutama yang berkaitan dengan visinya.
tentang pendidikan pesantren, di mana secara umum para ulama di
Tanah Air banyak berkiprah di dalam sistem pendidikan tersebut.
Abdullah Syafi'ie lahir dan besar di kota Jakarta. Kota ini
disebut dengan nama Jakarta setelah melalui sejarah yang cukup
panjang. Kota Jakarta mulanya bernama Jayakarta, suatu nama yang
diberikan oleh Sultan Faletehan atau Tubagus Angke (1568-1597).
Penamaan Jayakarta ini, konon diinspirasi oleh salah satu Surat di
dalam al-Qur'an, yaitu surat al-Fath, Sultan Faletehan memberi nama

4
Lihat Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie”, h. 13

3
kota ini dengan Jayakarta (kemenangan yang nyata) setelah ia
bersama-sama ulama lain memenangkan pertempuran dengan
Belanda dan mengusir mereka dari Jayakarta.5 Dengan demikian
Sultan Faletehan atau Tubagus Angke sebagai representasi ulama
ketika itu telah melakukan peran yang konstruktif.
Di masanya Jakarta telah berkembang menjadi kota
metropolitan, di mana perubahan besar-besaran telah terjadi di
tengah masyarakatnya, sebagai akibat dari pembangunan dan
modernisasi.6 Perubahan-perubahan yang terjadi di kota ini bukan
saja pada bidang-bidang fisik, seperti munculnya bangunan-
bangunan marcusuar, gedung-gedung pencakar langit, tempat-
tempat hiburan, tetapi juga terjadi perubahan pada sistem nilai
masyarakatnya.
Nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan kehidupan beragama
mengalami tantangan yang besar dengan munculnya nilai-nilai baru,
seperti sikap hidup yang mementingkan diri sendiri (individualism),
dan sikap hidup serba boleh (permisivness), serta sikap hidup lainnya
serta semakin maraknya dekadensi moral di tengah remaja Jakarta.
Maka, seperti juga pada masa-masa awal tegaknya kota Jakarta, para
ulama telah menunjukkan perannya, dan pada masa pembangunan
ini, para ulama Jakarta telah terpanggil kembali untuk menunjukkan

5
Jakarta, Ibukota Negara RI disebut "Betawi", dari Batavia, abad ke-14 disebut
Sunda Kelapa, 1527 oleh Fatahillah diganti menjadi Jayakarta, oleh Belanda
diganti menjadi Stad Batavia. Lalu 1905 diganti menjadi Gemeente Batavia, dan
1926 diganti lagi menjadi Stadsgemeente Batavia. Oleh penjajah Jepang 1942
diganti lagi menjadi Jakarta Toktibetsu Shi. Setelah Indonesia merdeka, pada
1945 diberi nama Jakarta. Namun, pada 1949, pemerintah federal mengganti
lagi menjadi Stadsgemeente Batavia, dan tanggal 31 Maret 1950 kembali
menjadi Kotapraja Jakarta Raya. Kemudian, pada tanggal 18 Januari 1958
kedudukan Jakarta Raya ditetapkan sebagai Daerah Swatantra; dan melalui PP
Nomor 2 tahun 1961 Jo. UU Nomor 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah DK1
Jakarta Raya. Pada tanggal 21 Agustus 1964 dengan UU Nomor 10 tahun 1964
dinyatakan DKI Jakarta Raya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia,
dengan nama Jakarta. Lihat Pemerintah DKI, Teguh Beriman (Jakarta:
Pemerintah DKI, 1997), h. 11. Juga lihat Sagimun, Jakarta Dari Tepian Air ke
Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah, 1988), h. 68-75
6
Tentang keharusan modernisasi di Dunia Ketiga, lihat J.W. Schoorl,
Modernisasi-Pengantar Sosiologi Pembangunan, (terj.) Soekadijo dari buku
Sociologie Der Modernisering, (Jakarta: Gramedia, 1980), h.1

4
perannya baik dalam wujud sebagai mubaligh, da'i, maupun sebagai
pendidik yang juga mendirikan institusi pendidikan Islam.7

7
Pentingnya pendidikan Islam telah diisyaratkan melalui ayat yang pertama kali
turun yaitu iqra 'yang terdapat dalam surat al-'Alaq. Arti dari ayat-ayatnya
yaitu: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha
Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantara Qalam”. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-'Alaq, 1-5).
Dari ayat ini dapat diambil beberapa isyarat penting lainnya yaitu tentang
empat komponen pendidikan, yaitu pertama, komponen pendidik, yaitu Allah
SWT, yang langsung mengajarkan sesuatu kepada Muhammad. Kedua,
komponen anak didik, yaitu Muhammad, yang menerima sesuatu dari-Nya.
Ketiga, komponen pelajaran atau materi ilmu yang berupa ayat dari surat al-
‘Alaq. Keempat, komponen sarana pendidikan, yaitu malaikat yang
menyampaikan sesuatu kepada Muhammad, lihat Abuddin Nata, Konsep
Pendidikan Ibnu Sina, (Jakarta: Disertasi S3 IAIN Jakarta, t.p., 1997), h. 2, lihat
pula Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan (terj.)
Hery Noer Aly dari buku Ushul al-Tarbiyah wa Asalibuha, (Bandung:
Diponegoro, 1989), h- 47. Pentingnya pendidikan atau menuntut ilmu dapat
pula dilihat dalam ayat lain, yaitu al-Qur'an Surat al-Isra', 17: 19; al-Jumu'ah, 62:
2- at-Taubah, 9: 122; dan al-Nahl, 16: 78). Selain ayat-ayat tersebut dapat pula
diambil isyarat pentingnya pendidikan dari terma-terma al-Qur'an yaitu terma
'aqala disebut 1 kali, ta'qilu 24 kali, naqala 1 kali, ya'qilu 1 kali dan ta'qilun 22
kali, kata-kata itu mengandung arti faham atau mengerti. Lihat Harun
Nasution, Akal dan wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II, h. 6.
Pentingnya pendidikan itu telah pula diperlihatkan oleh Nabi Muhammad.
Pada awal perkembangan agama Islam Muhammad mengajarkan al-Qur'an
yang dilakukannya di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Lihat Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Husna,
1988), h. 14. Selain itu, pengajaran agama diberikan di masjid, masjid selain
sebagai tempat shalat, juga tempat konsultasi dan komunikasi masalah
ekonomi-sosial budaya; tempat santunan sosial; tempat latihan militer dan
persiapan alat-alatnya; tempat perdamaian dan pengadilan sengketa; tempat
menerima tamu; tempat menawan tahanan; dan tempat penerangan dan
pembelaan agama, lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung:
Mizan, 1998), cet. VII, h. 462. Selain itu, Nabi Muhammad pada saat
memenangkan peperangan sebagai syarat pembebasan tawanan perang adalah
mengajarkan baca-tulis kepada kaum Muslimin, lihat Mohd. Syarif Khan,
Islamic Education, (New Delhi: Ashis Publising House, 1986), h. 19-20, lihat
pula Affandi Mochtar, "The Tawhidic Foundation to The Philosophy of
Education", Lektur, STAIN Cirebon, seri IX/2000, h. 30. Selanjutnya, pada masa
Khulafa Rasyidun, Shahabat, Tabi'i al-Tabi'in, pengajaran agama selain di
masjid, juga di tempat yang biasanya berdekatan dengan masjid, yaitu kuttab
dan madrasah, lihat Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (terj.) Mukhtar
Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 33, lihat pula Fazlur
Rahman, Islam, (terj.) Ahsin Muhammad dari buku Islam, (Bandung; Pustaka,
1984), h.263-281. Di Indonesia, pendidikan Islam selain di madrasah, juga di
pondok pesantren. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat ia disebut

5
Di masa pembangunan ini, Jayakarta sebagai kota
metropolitan, para ulama semakin dituntut perannya, bukan saja
sebagai orang yang berperan untuk membentengi masyarakat
dengan ajaran-ajaran agama Islam, tetapi juga berperan di dalam
bidang-bidang lain, seperti dalam bidang ekonomi, budaya dan
pendidikan. Untuk melaksanakan peran-peran yang luas itu, telah
muncul para ulama Betawi yang menurut catatan Alwi Shahab, ada
kurang lebih 16 orang seperti K.H. Syafi'i Hadzami, K.H- Zainuddin
MZ, K.H. Abdurrahman Nawi dan K.H.Abdul Rasyid. 8
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Abdullah
Syafi'ie lahir, dan besar di tengah kota metropolitan Jakarta, sebagai
kota yang sangat sibuk dengan pembangunan, guna menyetarakan
diri dengan kota-kota besar di negara maju. Dampak dari
pembangunan yang besar-besaran ini membawa pengaruh buruk, di
mana manusia-manusianya semakin sulit mengenal jati dirinya.
Berbagai “penyakit” orang modern muncul yaitu seperti hidup
mementingkan diri sendiri, melakukan seks bebas dan hidup
bersama di luar pernikahan, serta perilaku-perilaku amoral lainnya.9
Sudah lama diketahui bahwa para remaja di kota Jakarta,
diduga telah mengalami krisis akhlak luar biasa, seperti perkelahian
antar pelajar atau perkelahian antar sekolah. Kondisi ini
menggambarkan seolah-olah hal-hal di atas telah menjadi budaya
anak Jakarta. Diperburuk pula dengan kehadiran Narkotika dan Obat
(Narkoba) yang meracuni kehidupan Anak Baru Gede (ABG).
Narkoba telah membawa dampak buruk pada kehidupan remaja,
berikut obsesi hidup dan masa depan mereka. Di antara para
remajanya ada yang ingin hidup layak dengan cara mudah: menjual
diri. Kehidupan remaja yang diwarnai oleh pacaran terbuka dengan

dengan Surau dan di Aceh disebut dengan Meunasah, Dayah, Rengkang dan
Bale, lihat Samsul Nizar, h.6-22, M. Sadli ZA, h. 27-52, dalam Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia (ed.) H. Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001).
8
Alwi Shahab, "Mengenal Lebih Dekat Ulama Betawi", Republika, (Jakarta), 17
Oktober 1999, h. 14
9
Lihat Tarmizi Taher, Pidato Menag RI (Jakarta: Dep. Agama RI: 1995), h. 132

6
melakukan seks bebas, membuat nama Jakarta semakin tercemar.10
Berbagai ekses pembangunan itu telah menimbulkan keprihatinan
yang mendalam di kalangan dunia pendidikan. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa pendidikan Islam di tengah kota Jakarta,
sungguh menghadapi berbagai problema kehidupan yang sangat
kompleks.
Institusi pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi strategis
untuk membentuk manusia yang bermoral dan bermartabat. Pada
dekade ini seharusnya fungsi itu semakin menonjol, di mana
berbagai “penyakit” sosial semakin menggejalah. Dengan demikian,
institusi pendidikan dapat menjadi instrumen pencerahan, baik
melalui pendidikan moral maupun pendidikan agama. Bahkan,
institusi pendidikan dapat mencegah berbagai perilaku yang
berpotensi menurunkan martabat dan kualitas kemanusiaan.
Sejauh ini, tampaknya fungsi pendidikan belum berjalan secara
maksimal, mengingat masih adanya fakta bahwa institusi pendidikan
belum dapat mengantarkan anak didik menuju keseimbangan
pribadi antara kecerdasan intelektual (ilmu) dengan kecerdasan
emosional (perilaku), yang sejalan dengan tuntunan ajaran agama.
Pada umumnya fungsi pendidikan selama ini, seperti yang dikritik
banyak kalangan, lebih menekankan kepada pemenuhan kebutuhan
jasmaniyah, dan sedikit sekali yang menekankan pada pemenuhan
kebutuhan rohaniyah anak didik. Hal tersebut telah tergambar pada
sistem pendidikan Belanda tempo dulu yang kemudian banyak ditiru
oleh kaum bumiputera setelah masa kemerdekaan RI.
Penyelenggaraan pendidikan tiruan Belanda ini, terbukti hanya dapat
memenuhi salah satu unsur kebutuhan manusia, yaitu unsur
jasmaninya.
Oleh karena itu, melihat kembali orientasi pendidikan sangat
penting, terutama di abad modern ini. Dengan demikian, dapat
dirancang konsep pendidikan yang mengandung keseimbangan
antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani anak didik serta
untuk memenuhi kepentingan manusia di dunia ini maupun di

10
Khofifah, Menteri Wanita dan BKKBN era presiden Abdurrahman Wahid
mengungkap, "ada 9000 putri Indonesia lakukan aborsi", Republika, (Jakarta),
30 Juli 2000, h. 4

7
akhirat kelak. Orientasi pendidikan yang hanya mementingkan sisi
rohani semata atau kebutuhan jasmani semata, sama sekali tidak
sejalan dengan ajaran Islam. Begitu pula institusi pendidikan yang
hanya mementingkan ke akhiratan semata, juga tidak sejalan dengan
ajaran Islam.
Pendidikan yang sering digambarkan sangat berorientasi
kepada keakhiratan adalah pendidikan pesantren, terutama
pesantren tradisional. Para kyainya banyak mendalami pengetahuan
tashawuf, hidup sederhana, sangat tawakkal kepada Allah, bersikap
wara' dan tawaddlu serta sifat-sifat sejenis lainnya.11 Hal itu
tergambar pula pada sarana dan prasarana pendidikan yang
sederhana dan seadanya. Hidup para santrinya dilewatkan di dalam
bilik-bilik kecil yang diisi oleh puluhan santri.
Padahal, bilik-bilik itu hanya layak di huni dua atau tiga orang
dengan ukuran tempat tidur yang terbatas. Bilik-bilik yang kecil itu
juga digunakan untuk memasak nasi, mencuci pakaian dan
keperluan sehari-hari. Dengan fasilitas yang minim dan terbatas itu,
para santri bergulat mencari dan mempelajari pengetahuan agama
melalui media belajar kitab kuning, sementara pengetahuan umum
tidak mereka pelajari. Di sinilah beban lembaga pendidikan seperti
pesantren, menjadi berat. Selain itu, ada pula pesantren yang sudah
tersentuh oleh pengaruh modernisasi, mereka belajar agama melalui
kitab kuning, juga belajar ilmu umum. Hanya saja mata pelajaran
umum, mereka pelajari hanya sebagai pelengkap, tanpa disertai
usaha yang sungguh-sungguh untuk menjadikannya sebagai mata
pelajaran yang penting untuk dikuasai oleh para santri. Ilmu
pengetahuan umum tersebut seolah-olah tidak diperlukan oleh para
santri dalam kehidupannya kelak di masyarakat.
Orientasi pendidikan yang cenderung kepada kehidupan
akhirat, menampilkan pesantren yang sangat statis, dan kehidupan
institusi tersebut sangat tergantung kepada para santri yang
membayar pendidikan ala kadarnya. Sementara itu, kebutuhan
untuk menghidupi pesantren, memelihara sarana pendidikan serta
menggaji para ustadznya banyak tergantung kepada belas kasihan
11
Azyumardi Azra, Esei-esei lntelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 97

8
para darmawan, atau dengan meminta sumbangan di pinggir jalan,
bahkan ada yang memintanya melalui mobil angkutan penumpang.
Inilah dilemma lain dari pendidikan yang sangat berorientasi kepada
akhirat. Hadis Nabi yang menyatakan: “tangan di atas lebih baik dari
tanganyang di bawah”,12 hanya menjadi hapalan para kyai dan
santrinya.
Bersamaan dengan hal-hal itu, di samping adanya titik lemah
dunia pendidikan pesantren, sebenarnya pesantren menyimpan
kelebihan. Kelebihan yang fundamental adalah sebagai tempat
pertama dan utama dalam menanamkan akidah agama dan akhlak
yang kokoh bagi anak didik. Karena itu, di pesantren sangat jarang
atau tidak ada sama sekali perkelahian antarpelajar, bebas dari
Narkoba, serta para pelajarnya terhindar dari pergaulan bebas.
Ajaran Islam sebenarnya menggambarkan dengan jelas tentang
perlunya manusia hidup dalam keseimbangan antara pemenuhan
kebutuhan rohani dan jasmaninya. Kedua-duanya sama-sama
diperlukan dan ditekankan. Al-Qur'an, misalnya menyatakan bahwa,
“Hendaklah kamu berbuat sebaik-baiknya untuk akhiratmu, tapi
jangan melupakan nasibmu di dunia ini" (Q.S.al-Qashas, 28:77).
Dalam ayat yang lain dikatakan, "Wahai Tuhanku berilah kepadaku
kehidupan dunia yang baik, dan juga akhirat yang baik (Q.S. al-
Baqarah, 2: 201).
Orientasi pendidikan Islam yang demikian itu perlu terus dikaji
dan dikembangkan agar mencapai bentuk idealnya, sehingga mampu
mengantarkan umat Islam dalam kehidupan yang seimbang. Kajian-
kajian tentang pendidikan Islam yang ideal harus terus menerus
dihidupkan baik diperoleh melalui al-Qur'an, al-Sunnah, sejarah
peradaban Islam maupun dari ulama dan pendidik Islam. Dalam
konteks ini, orientasi pendidikan Islam dalam prespektif seorang
ulama atau pendidik Islam amat menarik untuk dikaji, Dalam

12
Muhammad Fuad Abd. Baqi, Shahih Muslim, Kitab Zakat, Bab Tangan Di Atas
Lebih Baik Tangan di Bawah, No. 1033 ( Bairut: Dar Ihya al-Turast al-'Arabi,
1954), juz II, h. 717. Lihat pula Ahmad Muhammad Syaqir, Shahih Buchari, Bab
Tangan Di Atas Lebih. Baik Tangan Di Bawah, (Bairut: Dar Ihya al-Turast al-
'Arabi, 1904.), cet. II, juz.8, h. 116. Lihat pula, Said al-Lahham, al-Muwattha'
Imam Malik, Kitab Shadaqah, Bab al-Yadul Ulya, (Bairut: Dar al-Fikr li al-
Tiba'ah wal-Nasr wa al-Tauzi', 1989), cet. I, h. 662

9
hubungan ini penulis ingin mengkaji bagaimana orientasi
pendidikan pesantren melalui pemikiran Abdullah Syafi'ie dan
usaha-usaha yang dilakukan.13
Melalui kajian ini diharapkan dapat diketahui orientasi
program pendidikan yang dilaksanakannya, yaitu apakah hanya
berorientasi kepada kepentingan akhirat saja atau untuk kepentingan
dunia-akhirat. KH. Abdullah Syafi'ie telah menorehkan gerak
langkahnya dalam dunia kependidikan pesantren khususnya di ibu
kota Jakarta. Sosoknya gerak dan langkahnya terutama yang
berkaitan dengan visi dan pelaksanaan pendidikan di pondok
pesantrennya yang mungkin tetap relevan hingga kini dan di masa-
masa mendatang, hal-hal tersebut menarik untuk ditulis.Untuk
mengetahui hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba meneliti sejauh
mana pemikiran Abdullah Syafi'ie tentang Pendidikan Pesantren,
kompatibel dengan modernisasi yang sedang berlangsung.
Sebelum tulisan ini dibuat telah didahului oleh sebuah buku
yang sangat lengkap tentang sosok KH. Abdullah Syafi'ie yang
berjudul: Abdullah Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985. Dalam
buku tersebut Tutty Alawiyah menyatakan bahwa ia bukan hanya
seorang ulama, tetapi juga sebagai pengabdi pada dunia pendidikan
Islam. la mengelola dan mengembangkan madrasah/pesantren dari
tahun ke tahun dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak
bangsa. la mendidik para santri baik laki-laki maupun perempuan
sebagai kader-kader yang pada waktu itu disebut sebagai musaid-
musaidah. Mereka inilah sebagai cikal bakal ustadz-ustadzah di
kemudian hari. Selain itu, ia juga memiliki pandangan bahwa murid-
muridnya itu bukan saja perlu mendapat pelajaran umum dan
pelajaran agama yang mendalam di kelas, tetapi juga harus memiliki
skill atau keterampilan. Sebagai pendidik Abdullah Syafi'ie memiliki
sikap tawaddlu dan di setiap kesempatan ia selalu mengatakan
bahwa dirinya hanya sebagai khadimutthalabah. Pendidikan

13
Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap
Perjuangannya”, hal. 4

10
pesantren yang diselenggarakannya sangat beragam, ada pesantren
putra-putri, pesantren khusus yatim dan pesantren tradisional.14
Dalam buku yang sama, Utomo Dananjaya menulis artikel yang
berjudul: KH. Abdullah Syafi'ie Khadimutthalabah Perguruan Al-
Syafi'iyah (Kharismatik dan Rendah Hati). Ia memberi gelar
Khadimutthalabah Perguruan Al-Syafi'iyah. la tidak mau
mencantumkan hup “K” (Kyai) di depan hurup “H” (Haji). la rendah
hati untuk tidak menyebut dirinya Kyai. Sehari-hari ia memanggil
dirinya ustadz kepada murid dan jama'ahnya yang menemuinya.
Atau cukup ana saja, kepada teman atau mandor bangunannya.
Kerendahan hati dan kesederhanaannya masih terpancar pada
sisa-sisa tulisan di papan-papan merek bangunan. Kerendahan hati
dan kesederhanaan itulah yang membangun kepercayaan dari segala
lapisan. Itulah perwujudan kata-kata yang sering diucapkannya: 'ala
qadri al-ma'unah ta'ti al-ma'unah (berusaha hanya sekedar
memenuhi kebutuhan).15la juga rendah hati tentang kemampuannya.
Sehingga ia sering mengungkapkan, ”nisfu ra'yika ‘ala akhika”
'(setengah pikiranmu ada pada saudaramu) adalah keyakinan dan
ajakannya.16 Dengan demikian, semua orang menjadi berarti di
hadapannya. Dengan modal kerendahan hati itulah ia mendirikan
berbagai lembaga pendidikan yang berada di bawah perguruannya.17
Dalam buku itu pula Badaruzzaman menulis dalam judul:
“Goresan dan Kumpulan Tulisan”. la menggambarkan bahwa, KH
Abdullah Syafi'ie di usianya yang memasuki 70-an, waktunya
dihabiskan untuk kegiatan da'wah Islamiyah. Ia mengajak
masyarakat dari waktu ke waktu mengamalkan ajaran Islam secara
sungguh-sungguh dan sempurna. Dibangunnya masjid-masjid,
mushalla dan langgar. Didirikannya pondok pesantren, madrasah
dan tempat-tempat kegiatan umat Islam lainnya. Dalam tulisan ini

14
Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, Visi dan Derap
Perjuangannya”, hal. 4-6
15
Prinsip ini bersumber pada sebuah hadis, lihat Jalaluddin Abdurrahman bin
Abi Bakar al-Suyuti, al-Jami’ al-Shagir, fi ahadits al-Basyiri al-Nadziri,( Cairo:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, t,t), Juz II, hal.171
16
Prinsip ini dipengaruhi oleh bacaan buku yang bejudul: al-Nashaih al-Diniyah
wal Washaya al-Imaniyah, (Semarang: Thaha Putra, tt.), hal. 85
17
Lihat Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi'ie, h. 13.

11
Badaruzzaman mengungkapkan pula berbagai komentar yang positif
dari para ulama, seperti HAMKA, Yunan Nasution, Osman Raliby,
KH. Hasan Basri, terhadap peran Abdullah Syafi'ie dalam
perkembangan Islam di DKI Jakarta.18
Selanjutnya, dalam buku tersebut Sulastomo menulis dalam
judul: “KH. Abdullah Syafi'ie”. Saya akan bertemu dengan KH.
Abdullah Syafi'ie dalam rangka penandatanganan perjanjian
kerjasama antara Universitas Islam Al-Syafi'iyah dengan Harian
Umum Pelita. Saya mengontak Dra. Tutty Alawiyah, kapan waktunya
saya dapat bertemu dengan beliau. Kak Tutty menjawab hendaklah
datang setengah jam dari waktu Kyai mengajar di majelis ta'limnya.
Semula saya agak meremehkan pemberitahuan Kak Tutty. Paling jam
karet, kata hati saya. Tetapi, entah karena apa saya tergerak untuk
menepati waktu. Dan saya bersyukur dapat menepati waktu. Sebab,
ketika saya tiba di rumah Pak Kyai, persiapannya hendak ke majelis
ta'limnya sudah selesai semuanya. Tapi, toh Pak Kyai sempat
menerima kami sekedarnya sambil menikmati kue-kue yang
demikian cepat disajikan.19
Adi Badjuri, dalam tulisannya yang berjudul: “Guruku KH.
Abdullah Syafi'ie", menyatakan bahwa Kyai dalam ceramahnya
seringkali melukiskan kematian di hadapan jama'ah majelis ta'lim.
Pelukisannya itu terkadang disertai dengan tangisan. Jama'ah pun
menjadi demikian haru, ikut pula menangis. Bahkan, ada satu dua
orang yang di barisan depan meraung-raung, meratap, dan menyesali
diri. Dan saat itulah Kyai mengajak umat bertaubat, dengan tawbat
nashuha. Di sanalah kekuatan orator Kyai. Dengan kata-kata yang
disertai gaya dan ekspresi, di samping keikhlasan jiwanya mengajak
umat untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Di tahun 50-an kyai masih bergelut membangun cita-citanya di
Kampung Balimatraman. Di sanalah para santri “mukimin” diterima
tanpa mengenal waktu. Waktu pagi, siang, sore, dan malam hari, kyai
duduk bersila membaca kitab kuning al-Nashaih al-Diniyah, Tafsir
al-Jalalain, atau Riyadl al-Shalihin, dan lainnya. Satu per satu santri
disuruh membacanya. Kyai menyimak bacaan santri, bila bacaan
18
Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi’ie, hal. 22
19
Sulastomo, koran Pelita, Rabu, 4 September 1985

12
tersebut salah ia perbaiki, dan ia beri makna, kemudian diuraikan
maksudnya, sampai santri mengerti. Begitulah ia bertindak sebagai
pendidik. Santri “mukimin” akan tertawa gembira manakala kyai
sedang dalam cerita. Tapi, bila kyai sedang marah para santri
menjadi demikian ciut, seakan hilang nyalinya. Takutnya setengah
mati. Namun, marahnya kyai hanya sampai di kata-kata, tidak
pernah sampai ke lubuk hati. Itu pun hanya sesaat, kemudian akan
baik kembali, bahkan sangat baik.20
Abdullah Syafiie selain pendidik juga seorang ulama. Ulama
(kyai) memiliki visi tersendiri tentang kehidupan, masyarakat,
maupun institusi pendidikan. Dari prespektif al-Qur'an, ulama
dilihat sebagai bagian dari umat yang memegang peran yang sangat
penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat yang
mardlatillah. Ulama, berasal dari kata bahasa Arab: 'alima, ya'lamu.,
'alim yang artinya orang yang mengetahui. Kata 'alim bentuk
jamaknya adalah 'alimun.
Sedangkan ulama ('ulama) adalah bentuk jamak dari 'alim yang
merupakan bentuk mubalaghah, berarti orang yang sangat
mendalam pengetahuannya.21 Kata ulama disebut dua kali di dalam
al-Qur'an,22 yakni dalam surat Fathir ayat 28 yang artinya: "Dan
demikian pula di antara manusia, binatang melata dan binatang
ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya;
sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-bamba-Nya,
hanya ulama; sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha
Pengampun". Dalam surat al-Syura ayat 197 yang artinya: "Dan

20
Koran Pelita, Kamis, 5 September 1985
21
Abu Luwis Ma'lub, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Masyhur, 1984), Cet. 27, h. 526-
527. Lihat pula Ibn. Manzur Jamaluddin Muhammad Ibn. Mukarrom al-
Anshari, Lisan Arab, (Kairo: Dar al-Misriwah li Ta'lif wa Tarjamah, t.t.), jilid
XV, h. 310-316
22
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfaz al-Quran al-
Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 475; Hamid Algar, "Ulama" dalam Mircea
Eliade (ed), The Encyclopedia of Relegion, (New York: Macmillan Publishing
Company, 1987), vol. XV, h. 115-117. Lihat pula Salatore, "Ulama", dalam Elite
Dalam Prespektif Sejarah, (peny.) Sartono Kartodirjo, (Jakarta: LP3ES, 1983),
cet. 2, h. 129-130. Lihat juga Dep. Agama, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Binbaga
Islam, 1987), jilid 3, h. 989-990

13
apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama
Bani Israel mengetahuinya".
Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli
ilmu agama Islam, baik menguasai ilmu fiqh, ilmu tauhid atau ilmu
agama lainnya, dan mempunyai integritas kepribadian yang tinggi,
berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam masyarakat. Namun,
pengertian ulama dalam perkembangannya yaitu berarti orang yang
mendalami ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang
bersumber dari Allah SWT. yang kemudian disebut 'ulum al-din,
maupun ilmu pengetahuan yang bersumber dari hasil penggunaan
potensi akal dan indera manusia dalam memahami ayat-ayat
kauniyah yang kemudian disebut dengan 'ulum al-insaniyah atau al-
'ulum atau sains.23
Ulama dalam pengertian pertama pada umumnya berdiam di
pedesaan, mereka mendirikan pesantren dan menjadi pemimpinnya,
atau mereka menjadi kyai dan menjadi "pelayan" masyarakat dalam
melakukan ritual agama, seperti memimpin membaca surat yasin,
tahlil dan sebagainya untuk do'a keselamatan orang yang meninggal
dunia di akhirat atau untuk keselamatan seseorang dalam kehidupan
di dunia. Kehidupan mereka umumnya berbasis pertanian. Para
santri membantu kyainya dalam mengelola pertanian. Di samping
dari hasil bertani kyai mendapat honor ala kadarnya dari uang
bayaran para santri. Pada setiap kenduri atau selamatan orang
meninggal dunia, mereka menjadi pemimpin membaca do'a atau
tahlil, untuk itu mereka diberi "berkat" berlebih dibandingkan
dengan undangan lainnya. Atau kadang-kadang mereka diminta
untuk menyembuhkan orang atau anak-anak yang konon
dipengaruhi oleh setan, untuk itu ia diberi imbalan.
Dalam pandangan hidup atau beragama, ulama di pedesaan
memandang segala sesuatu dalam alam ini ciptaan dan di bawah
kekuasaan Allah. Allah Maha Kuasa tidak ada yang menyamai-Nya.
Allah Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia. Ulama tidak pernah
membiarkan adanya ajaran yang membahayakan keesaan-Nya.
Mereka berpegang erat kepada kitab suci al-Qur'an dan Hadits, dan
23
Mohammad Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), Cet. ke-1, h. 399.

14
menolak adanya penafsiran atau pendekatan rasional kepada kedua-
nya. Dalam masalah menerapkan syari'ah mereka sangat loyal
terhadap pandangan empat madzhab, terutama pandangan Imam
Syafi'i.24
Mereka berpandangan adanya dikhotomi di masyarakat dalam
perilaku hidupnya yaitu muslim/kafir, ta'at/maksiat. Orang Muslim
adalah orang yang beragama Islam. Orang Muslim ta'at adalah Orang
yang tunduk kepada Allah seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat
dan haji, dan menghindari larangan-Nya. Sementara orang Muslim
maksiat adalah orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah
Allah seperti tidak melaksanakan shalat dan berbuat keburukan
seperti suka berjudi, mabuk-mabukkan dan lainnya. Dalam
memandang posisi antara laki-laki dan wanita pada umumnya
mereka melihat laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan wanita,
hal ini dipahami melalui ayat Al-Qur'an (Q.S. 4:34). Oleh karena itu,
wanita, dalam hal pendidikan cukup sekadarnya, mereka pada
akhirnya akan kembali ke dapur.25
Sementara itu, ulama dalam pengertian kedua, mereka banyak
berdiam di daerah perkotaan. Mereka ada yang mendirikan
pesantren dan menjadi pemimpinnya. Selain mengandalkan lembaga
pendidikan yang dipimpinnya sebagai basis ekonomi, mereka juga
menjadi pemimpin ritual beragama, juga sebagai pedagang, politisi,
mubaligh; guru atau dosen; dengan keahlian itu mereka banyak
menghasilkan uang dan hidup berkecukupan. Modernisasi
diperkotaan telah memberi peluang bagi mereka untuk berkiprah di
berbagai sektor kehidupan modern, dan memberikan keuntungan
ekonomi kepada mereka.
Proses pembangunan perkotaan telah memberikan pengaruh
yang cukup berarti terhadap cara berpikir dan bersikap mereka.
Apalagi Jakarta, sebagai Ibukota Negara dan kota metropolitan,
sebagai kota yang sangat pesat mengalami modernisasi dibandingkan
dengan kota-kota lain di Indonesia; para ulamanya dapat dipastikan

24
Yusni Saby, “A Profile of the Ulama in Acehnese Society”, dalam al-Jamiah IAIN
Sunan Kalijaga Vol. 38 No. 2, 2000, hal. 279
25
Yusni Saby, “A Profile of the Ulama in Acehnese Society”, hal. 282

15
dipengaruhi oleh proses modernisasi.26 Dalam konteks ajaran tauhid
mereka tetap berpegang kepada dua sumber yaitu al-Quran dan
Hadits, tetapi mereka berpandangan bahwa penafsiran melalui akal
diperkenankan sejauh masih memperkuat ajaran tauhid itu. Dan,
dalam konteks posisi antara laki-laki dan wanita, mereka melihatnya
sama, namun wanita dapat mencapai tingkat pendidikan setinggi-
tingginya.
Ulama yang berdiam di pedesaan maupun di perkotaan seperti
kota Jakarta dalam visi pengembangan pendidikan Islam tampak
cenderung kepada pendidikan ala pesantren. Hanya saja, bagi ulama
yang berada di pedesaan pada umumnya banyak bertahan kepada
pendidikan pesantren yang bercorak Salafiyah, sementara ulama
perkotaan seperti kota Jakarta yang telah dipengaruhi oleh
modernisasi memilih pesantren yang bercorak Khalafiyah atau
Kombinasi.27
Pesantren asal katanya dari santri mendapat imbuhan awal pe
dan akhiran an yang menunjukkan tempat, dengan demikian
pesantren artinya tempat para santri. Ada juga yang memandang
kata pesantren gabungan dari kata sant manusia baik dengan suku
kata tra suka menolong sehinga kata pesanren dapat berati tempat
pendidikan manusia baik-baik.28
A.H. Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier,
berpendapat bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri
itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.
Sedangkan Berg mengatakan bahwa kata santri berasal dari istilah
shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku
agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci agama
Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku-
buku suci, buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.29
Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh
Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk

26
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001),
hal. 87
27
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta : LP3ES, 1982), h.18
28
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hal. 5
29
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), h.6

16
mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan
lengkap apabila di dalam pesantren itu terdapat elemen-elemen
seperti pondok, masjid, kyai, dan pengajaran kitab-kitab klasik.
Dengan demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan
Islam sebagaimana dalam definisi Mastuhu, dan bila ia memiliki
elemen- elemen tersebut.30
Lebih jelas Nurcholish Madjid mengupas asal usul perkataan
santri dan juga tentang kyai karena dua kata tersebut tidak dapat
dipisahkan ketika membahas tentang pesantren. Ia berpendangan
santri asal kata sastri (sangskerta) yang berarti melek hurup
dikonotasikan santri kelas literacy, pengetahuan agama dibaca dari
kitab berbahasa arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga
orang yang tahu tentang agama (melalui kitab-kitab) dan paling
tidak santri dapat membaca al-Quran sehingga membawa kepada
sikap serius dalam memandang agama.
Perkataan santri juga berasal dari bahasa jawa(cantrik) yang
berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru
pergi menetap (terdapat dipewayangan) tentu dengan tujuan dapat
belajar dari guru mengenai suatu keahlian. Cantrik dapat juga
diberikan pengertian orang yang menumpang hidup atau negenger
(jawa). termasuk orang yang datang menumpang di rumah orang
orang lain yang mempunyai sawah ladang untuk menjadi buruh tani
juga disebut santri tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik yakni
orang yang mengikuti seorang guru kemanapun ia pergi yang
tujuannya untuk belajar darinya.31
Perkataan kyai (laki-laki), dan nyai (wanita) mempunyai arti
tua orang jawa memanggil yahi yang berupa singkatan dari kyai dan
kepada nenek dipanggil nyai. Kedua arti tersebut terkandung rasa
pensucian kepada yang tua sehingga kyai tidak saja berarti sakral,

30
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.55
31
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hal. 20

17
keramat dan sakti. Begitulah benda-benda yang dianggap karamat
seperti keris pusaka, pusaka kraton, kerbau bule disebut juga kyai.32
Biasanya kedudukan kyai sebagai seorang haji atau kaji (jawa)
hal ini dapat menerangkan mengapa kemudian proses belajar kepada
seorang kyai disebut ngaji. Ngaji merupakan berntuk kata kerja aktif
dari perkataan kaji yang berati mengikut jejak haji, yaitu belajar
agama dan bahasa arab. Akan tetapi perkataan ngaji sebagai bentuk
kata kerja aktif dari aji yang berati terhormat, mahal atau sakti. ini
dapat kita buktikan adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi
ngaji dalam artian mencari sesuatu yang berharga atau yang
menjadikan diri sendiri aji, terhormat atau berharga.33
Apapun arti istilah-istilah tersebut, sebenarnya ngaji
merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang
santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada kyai yang
sangat dihormati dan biasanya sudah tua, telah berhaji karena
kekuatan ekonominya. maka dengan itu karena banyaknya orang
yang menumpang hidup tadi tidak tertampung di rumah kyai mereka
mendirikan gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal yang
berdekatan dengan rumah kyai yang disebut pondok atau pesantren.
Umumnya keberadaan pesantren di masyarakat diawali adanya
pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu
seorang guru atau kyai. Karena adanya keinginan menutut ilmu dari
ketinggian ilmu kyai tersebut maka masyarakat sekitar bahkan dari
luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu
membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal
guru atau kyai tersebut.
Warjoetomo berpandangan bahwa pesantren berdiri di tanah
air khusunya di Jawa dimulai dan dibawa oleh Walisongo dan inilah
ciakalbakal pertama pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh
Maulana Malik Ibrahim tanggal 8 April 1419 di Gresik. Pesantren asal
katanya dari santri mendapat imbuhan awal pe dan akhiran an yang

32
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta, Rajagrafindo: 1996),
hak. 138
33
Ahmad Syafi’i Noer, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”, dalam
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam,
ed. Abuddin Nata, (Jakarta: Grasindo, 2001),hal. 91

18
menunjukkan tempat, dengan demikian pesantren artinya tempat
para santri. Ada juga yang memandang kata pesantren gabungan dari
kata sant manusia baik dengan suku kata tra suka menolong sehinga
kata pesanren dapat berati tempat pendidikan manusia baik-baik.34
Lebih jelas Nurcholish Madjid mengupas asal usul perkataan
santri dan juga tentang kyai karena dua kata tersebut tidak dapat
dipisahkan ketika membahas tentang pesantren. Ia berpendangan
santri asal kata sastri (sangskerta) yang berarti melek hurup
dikonotasikan santri kelas literacy, pengetahuan agama dibaca dari
kitab berbahasa arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga
orang yang tahu tentang agama (melalui kitab-kitab) dan paling
tidak santri dapat membaca al-Quran sehingga membawa kepada
sikap serius dalam memandang agama. Perkataan santri juga berasal
dari bahasa jawa(cantrik) yang berarti seorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru pergi menetap (terdapat dipewayangan)
tentu dengan tujuan dapat belajar dari guru mengenai suatu
keahlian. Cantrik dapat juga diberikan pengertian orang yang
menumpang hidup atau negenger (jawa). termasuk orang yang
datang menumpang di rumah orang orang lain yang mempunyai
sawah ladang untuk menjadi buruh tani juga disebut santri tentu ini
juga berasal dari perkataan cantrik yakni orang yang mengikuti
seorang guru kemanapun ia pergi yang tujuannya untuk belajar
darinya.35
Perkataan kyai (laki-laki), dan nyai (wanita) mempunyai arti
tua orang jawa memanggil yahi yang berupa singkatan dari kyai dan
kepada nenek dipanggil nyai. Kedua arti tersebut terkandung rasa
pensucian kepada yang tua sehingga kyai tidak saja berarti sakral,
keramat dan sakti. Begitulah benda-benda yang dianggap karamat
seperti keris pusaka, pusaka kraton, kerbau bule disebut juga kyai.36
Biasanya kedudukan kyai sebagai seorang haji atau kaji (jawa)
hal ini dapat menerangkan mengapa kemudian proses belajar kepada
seorang kyai disebut ngaji. Ngaji merupakan berntuk kata kerja aktif
dari perkataan kaji yang berati mengikut jejak haji, yaitu belajar

34
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hal. 5
35
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, hal. 20
36
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, hak. 138

19
agama dan bahasa arab. Akan tetapi perkataan ngaji sebagai bentuk
kata kerja aktif dari aji yang berati terhormat, mahal atau sakti. ini
dapat kita buktikan adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi
ngaji dalam artian mencari sesuatu yang berharga atau yang
menjadikan diri sendiri aji, terhormat atau berharga.37
Apapun arti istilah-istilah tersebut, sebenarnya ngaji
merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang
santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada kyai yang
sangat dihormati dan biasanya sudah tua, telah berhaji karena
kekuatan ekonominya. maka dengan itu karena banyaknya orang
yang menumpang hidup tadi tidak tertampung di rumah kyai mereka
mendirikan gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal yang
berdekatan dengan rumah kyai yang disebut pondok atau pesantren.
Umumnya keberadaan pesantren di masyarakat diawali adanya
pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu
seorang guru atau kyai. Karena adanya keinginan menutut ilmu dari
ketinggian ilmu kyai tersebut maka masyarakat sekitar bahkan dari
luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu
membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal
guru atau kyai tersebut.
Sementara itu Mahmud Yunus menyatakan bahwa asal-usul
pesantren yang menggunakan bahasa arab pada awal pelajarannya
ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat keilmuan
Islam dengan menyerahkan tanah oleh negara dapat ditemukan
dalam sistem wakaf, dengan demikian sistem pesantren berasal dari
khazanah Islam klasik. Berbagai pandangan tentang asal-usul
pesantren dapat dianologikan dengan budaya yang ada pada ala
perayaan bagi Muslim yang wafat dengan membaca ayat-ayat al-
Quran dengan waktu-waktu 3, 7, 4, 100 dan seribu hari. Substansi
pendidikan pesantren yang menggunakan kitab-kitab Islam klasik
yang berisi karya ulama fiqh, tauhid dan lainnya. Kitab-kitab klasik
seperti aqidat al-awwam, washaya, alfiyah, sullam al-taufiq, fath

37
Ahmad Syafi’i Noer, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”, hal. 91

20
almuin, fath qarib, tafsir munir, tafsir jalalain dan lainnya.38
Pendidikan pesantran menggunakan model pembelaran sorogan,
bandongan dan halaqah.39 Pesantren ditandai oleh adanya masjid,
kyai, santri dan kitab klasik maupun kitab kontemporer sebagai
sumber belajarnya.40
Ada pandangan lain bentuk dan sistem pesantren berasal dari
India. Sistem yang berlaku pada masa itu seperti penyerahan tanah
dari anggota masyarakat untuk keperluan pendidikan yang tidak
dijumpai dalam pendidikan Islam di Makkah. Ini menjelaskan bahwa
sebelum penyebaran Islam di Nusantara sistem pendidikan telah
dilakukan oleh guru-guru yang mengajarkan agama Hindu kepada
pemeluknya yang kemudian bentuk ini diteruskan oleh para
Walisongo.41
Pesantren mengalami perkembangan terutama dari sisi
substansi pelajaran yang awalnya hanya mengajarkan mata pelajaran
agama melalui kitab klasik lalu ditambah dengan pelajaran non
agama seperti matematika, seperti yang terjadi di pesantren
Mambaul Ulum Surakarta.42 Kemudian, di masa berikutnya pesantren
secara kelembagaan mengalami perkembangan di mana di pesantren
juga didirikan sekolah formal seperti SMP/SMA dan bahkan
perguruan tinggi Islam. Pesantren juga mengalami perkembangan
yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern, pesantren yang
pertama didirikan di Ponorogo Jawa Timur, pembelajarannya seperti
di sekolah formal, santri belajar mata pelajar agama juga mata
pelajaran umum, menggunakan kitab-kitab kontemporer, mereka
belajar di kelas, para guru mengajar menggunakan bahasa Arab atau
bahasa Inggris, santrinya ditekankan terampil menggunakan dua
bahasa itu di dalam kelas atau di luar kelas, santri juga diberikan skill
berpidato, diskusi, memimpin dan lainnya.

38
Djunaidatul Munawarah, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam,
ed. Abuddin Nata, (Jakarta: grasindo, 2001), hal. 173
39
Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 6.
40
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim, hal. 87-88
41
Ahmad Syai’ie Noer, “Asal-usul, hal. 91
42
Muhammad Kemal Hassan, Modernisasi Indonesia — Respon Cendikiawan
Muslim, (Jakarta: LSI, 1987), hal. 31

21
Di pesantren awalnya hanya diberikan mata pelajaran ilmu
agama seperti ilmu fiqh, ushul-fiqh, tafsir hadits, tauhid, sirah nabi,
llmu bahasa arab melalui kitab-kitab klasik. Namun, kemudian
materi pembelajarannya telah mengalami perkembangan ditambah
dengan pelajaran non agama seperti matematika, seperti yang terjadi
di pesantren Mambaul Ulum Surakarta. Kemudian, di masa
berikutnya dari sisi kelembagaan mengalami perkembangan di mana
di pesantren juga didirikan sekolah formal seperti SMP/SMA dan
bahkan perguruan tinggi Islam.
Pesantren berkembang pula yang menamakan dirinya sebagai
pesantren modern, pesantren yang pertama didirikan di Ponorogo
Jawa Timur, pembelajarannya seperti di sekolah formal, santri belajar
mata pelajar agama juga mata pelajaran umum, menggunakan kitab-
kitab kontemporer, mereka belajar di kelas, para guru mengajar
menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris, santrinya ditekankan
terampil menggunakan dua bahasa itu di dalam kelas atau di luar
kelas, santri juga diberikan skill berpidato, diskusi, memimpin dan
lainnya.
Pesantren yang bercorak Salafiyah ditandai oleh beberapa ciri,
yaitu: pertama, menggunakan kitab klasik sebagai inti
pendidikannya; kedua, kurikulumnya, khusus pengajaran agama;
ketiga, sistem pengajaran terdiri atas sistem pengajaran individual
(sorogan) dan klasikal (wetonan, bandongan dan halaqah). Adapun
ciri-ciri pesantren yang bercorak Kombinasi: pertama, kurikulumnya
terdiri atas pelajaran agama, dan juga pelajaran umum; kedua, di
lingkungan pesantren dikembangkan madrasah atau tipe sekolah
umum; ketiga, adakalanya tidak mengajarkan kitab-kitab klasik
(kitab kuning). Adapun pesantren modern/khalafiyah,
pembelajarannya sudah menggunakan system modern, santri belajar
ilmu agama dan juga ilmu non agama serta diberikan keterampikan
seperti pidato dan penekanan bahasa asing dalam bentuk praktis
yang mereka gunakan sehari-hari. Abdullah Syafi’ie di samping
memiliki pesantren Kombinasi juga memiliki pesantren Salafiyah.43

43
Lihat Tutty Alawiyah, “K.H. Abdullah Syafi'ie—Pribadi, hal. 6

22
Pesantren Salafiyah juga dalam bentuk pengajaran di kelas dan
dengan metode pembelajaran yang bervariasi ia juga mendirikan
pesantren Kombinasi, di pesantrennya berdiri sekolah formal juga di
pesantrennya ia secara khusus menyediakan tempat anak didik yang
ditinggal oleh orang tuanya, dan pendidikan pun diberikan secara
geratis. Pesantren dalam bentuk ini di tanah air sesuatu yang masih
langkah. Pendidikan yang diselenggarakan secara gratis oleh
pemerintah, baru dekade akhir-akhir ini, sementara Abdullah Syafie
telah melakukan hal itu sejak lama.
Pesantren juga menghadapi tantangan zamannya hanya saja
kemajuan zaman belum demikian pesat. Berbeda dengan masa kini
yakni era, pesantren mengalami dinamika sesuai dengan tantangan
di masanya; masa Abdullah syafi’ie ilmu pengethauan dan teknologi
belum mengalai perkembangan yang pesat. Moderrnisasi telah
terjadii. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa hal itu merupakan
keharusan dan tidak bisa dihindari, Islam sebenarnya sangat sesuai
dengan modernisasi itu (Al-Qur'an, 7: 54; 25: 2, 32: 7; 40: 3; 10:101;
35:13).44 Modernisasi yang ada di masyarakat ditandai oleh kemajuan
IPTEK yang masih terbatas. Masyarakat kian terbuka masyarakat
sudah bisa berkomunikasi dengan manusia yang lain di benua lain
melalui kabel telpon dan transformasi menggunakan pesawat udara
atau kapal laut dan mendapatkan infomasi dari TV., melalui TV dan
kabel telpon dengan segera mendapatkan informasi dari benua lain.
Kemajuan dalam berbagai bidang keilmuan juga terjadi dari berbagai
pengembangan keilmuan.
Kemajuan-kemajuan di atas untuk kehidupan manusia. Kontak
peradaban terjadi ini dibutuhkan kerjasama dan saling pengertian.
Tidak hanya untuk survival tetapi untuk mendapatkan yang terbaik
dari semua peradaban, semua adat istiadat, semua bidang
kehidupan. Kearifan pun diperlukan agar dominasi dan hegomoni
nilai terelakkan, sehingga kemajemukan dan heterogenitas dapat
ditumbuhkan.
Selain itu kemajuan IPTEK memiliki manfaat yang besar
terhadap umat manusia, dengan IPTEK masyarakat sangat terbantu

44
Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.

23
dan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (sandang,
pangan, papan, fasilitas belajar, berobat dan sebagainya). Tetapi juga
sebaliknya kemajuan IPTEK dapat mensengsarakan mansusia seperti
berkembangnya persenjataan mengakibatkan tejadinya perang di
berbagai negara.
Modernisasi yang terjadi pada dasarnya berisi sekularisasi yang
isinya merupakan kelanjutan dari misi modern dan posmodemisme
yang semakin sekuler, semakin maju dan semakin menjauh dari
agama.45 Dari sisi lain, Para teori kritis sejak lama sudah meramalkan
bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi
ekonomi, politik dan budaya berskala global setelah perjalanan
panjang melalui era kolonialisme.46
Di bidang ekonomi ditandai oleh liberalisme perdagangan. 47
Liberalisme, atau lebih khusus lagi liberalisasi perdagangan yang
bercorak kapitalisme ekonomi memberikan kebebasan individu
mendapatkan keuntungan. Intervensi pemerintah terhadap individu
sangat dibatasi bahkan harus dihindari.48 Hanya saja di sini ada
ketentuan hukum dan penerapannya sangat ketat bagi yang
menyalahi berhadapan dengan hukum. Pertumbuhan ekonomi
negara menjadi tinggi, serta kemakmuran akan bisa dinikmati oleh
rakyat. Namun, ada ekses yakni terjadinya jurang (gap) yang semakin
curam antara si kaya dan si miskin. Meskipun dalam kenyataanya
pula, si miskin tetap mempunyai ruang gerak atau kesempatan, tidak
dijerat monopoli oleh pemerintah, untuk bangkit menjadi kuat dan
kaya.
Kemajuan zaman serta sistem perdagangan bebas
memunculkan sisi positif dan sisi negatif. Kebudayaan Barat yang
dianut oleh masyarakat Barat menghegemoni dunia dengan
kemajuan IPTEK dan informasi, negara-negara seperti Indoneisa

45
Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta:
Insist Press, 2003), hal. 210
46
Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), hal. 39.
47
Mansour Faqih, Jalan Lain, (Yogyakarta: Insist Press, t.t.), hal. 196
48
Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003),
hal. 84

24
menjadi konsumen dan memiliki adat istiadat dan kebudayaan
leluhur menjunjung nilai-nilai kesopanan dan spiritulaitas
keagamaan menjadi sasaran empuk untuk dipengaruhi. Masyarakat
Barat, masyarakat rasional, efisinsi, teknikalitas, individualitas,
mekanistis, meterialistis, akan menggerus nilai-nilai agama
masyarakat.
Effek-effek negatif lebih jauh ke hal-hal berikut: 1) terjadi
pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang mempunyai nilai
materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang rasional, 2)
Jauhnya manusia dari makhluk spiritual menjadi makluk material, 3)
peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia
menjadi wewenang sains (sekularisrik), 4). Tuhan hadir hanya dalam
fikiran, lisan tetapi tidak hadir dalam prilaku dan tindakan, 6)
gabungan ikatan primordial dengan sistem politik melahirkan
nepotisme, birokratisme dan otoriterisme, 7) terjadinya frustasi
eksistensial seperti hasrat yang berlebihan untuk berkuasa merasa
hidup tidak bermakna, 8) terjadinya ketegangan-ketegangan
informasi di kota dan di desa kaya dan miskin—konsumerisme.49
Modernisasi yang ditandai ole gaya hidup dalam 3-F yaitu food
(makanan) fashion (mode) dan fun (hiburan). Manuisia yang hanyut
dalam globalisasi akan terus cenderung berfikir materialistik,
hedonistik, foya-foya dan melupakan masa depan.
Di samping menimbulkan dampak negatif juga menuntut
adanya persiapan dalam interaksi internasional. Yang mempunyai
konsekuensi yang harus dipenuhi oleh generasi muda Indonesia
termasuk lulusan pesantren di ataranya memiliki kecerdasan,
keuletan, ketangguhan, inovasi dan lainnya. Hanya saja hidup di era
modern sering mengarah ke konsumerisme dan pola hidup beas. Ini
memerlukan “benteng” sehingga mampu menjadi perisai diri
menghadapi konsumerisme dan mampu pula menghadapi
kehidupan yang wajar bahkan juga sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan agama. Contohnya yang ekstrim adalah adanya kebebasan
berlebihan termasuk kebebasan seks dan kebebasan kehidupan
negatif yang lain. Maka di sini perisai mentalitas menjadi sangat
49
Jalaluddin Rahmat, “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, Jurnal
Ulumul Quran 2, 1986, hal. 46

25
penting. Dalam bergaul secara internasional pendidikan pesantren
perlu mempersiapkan diri. Mempersiapkan mental anak didik dan
dalam waktu yang bersamaan mempersiapkan kemampuannya
dalam berbagai aspek kehidupan untuk berkompetsi, era ini
membutuhkan rasa percaya diri (self confidence).
Tenaga pengajar sangat berperan, seorang ustadz adalah
seorang mativator, menggerakkan santrinya dengan nilai-nilai
progresif dan petarung. Jangan sampai seorang ustadz melewatkan
kesempatan untuk memberi motivasi kepada santrinya. Karena Allah
sendiri melalui ayat-ayatnya menjadikan motivasi sebagai pendorong
kepada Muslim seperti contoh-contoh orang yang memiliki ilmu
pengetahuan akan diangkat derajatnya (QS. al-Mujadalah, 11).
Tetapi menghadapi hidup bergaul dengan dunia internasional
nilai-nilai sufisme perlu di minimalisir, karena di usia mereka adalah
usia petarung yang berani hidup dan menunjukkan inilah santri-
santriwati yang berani berlaga dengan kompetensi-kompetensi yang
dimilikinya. Bahasa asing hal yang penting bagi mereka. Tenaga
pengajar dapat mendorong hal itu di tengah mereka mentransfer
ilmu-ilmunya.
Pesantren di tanah air telah mengalami modernisasi sesuai
dengan perkembangan zaman. Pesantren Mambaul Ulum di
Surakarta Jawa Tengah telah mengalami modernisasi terutama dalam
meteri keilmuan, pesantren tersebut tidak hanya mengajarkan mata
pelajaran agama tetapi juga memberikan mata pelajaran umum.50
Perkembangan pesantren yang demikian pesat di seluruh Indonesia
dan juga dari segi institusi mengalami modernisasi dengan
mengambil bentuk dalam tiga model, model osrisinilnya pesantren
Salafiyah berkembang pesantren modern (Khalafiyah) dan
berkembang pula model kombinasi dimana di pesantren didirikan
pendidikan formal seperti SD, SMP atau SMA. Abdullah Syafi'ie
mengambil model Salafiyah seperti yang tergambar dari pesantren
tradisionalnya dan pesantren Kombinasi yang ia sebut pesantren
putra-putri dan pesantren khusus yatim piatu.

50
Azyumardi Azra, Esei-esei lntelektual Muslim dan Pendidikan Islam, hal. 87

26
Modernisasi pesantren yang telah terjadi pada decade awalnya
tidak menghadapi masalah-masalah yang demikian komplek baik
dari sisi ekses negatifnya maupun tantangan yang dihadapinya.
Kemajuan IPTEK belum begitu berkembang, komunikasi antar
manusia belum semudah dan secepat saat ini. Kini interaksi manusia
dalam berkomunikasi dapat dilakukan dalam hitungan detik,
demikian pula berbagai informasi juga secara cepat diperoleh melalui
alat komunikasi dan TV. Persoalan manusia juga semakin komplek
dengan ekses-ekses negatif yang mengirinya seperti timbulnya sikap
individualisme, materialisme, pragmatisme, dan kebebasan yang
tanpa batas. Pesantren harus menyesuaikan diri, menyiapkan
produknya dengan wawasan keilmuan, moralitas yang tangguh serta
memiliki skill atau kompetensi untuk mengahadapi era saat ini.
Di perkotaan di mana masyakatnya sering ditandai oleh
konsumerisme. Ini memerlukan landasan, sehingga mampu menjadi
perisai diri menghadapi kompetisi konsumerisme dan mampu pula
menghadapi kehidupan yang wajar bahkan juga sesuai dengan nilai-
nilai budaya dan agama. Contoh yang ekstrem adalah adanya
kebebasan berlebihan termasuk kebebasan seks dan kebebasan
kehidupan negatif yang lain. Maka disini perisai mentalitas positif
menjadi sangat penting. Dalam waktu yang bersamaan pesantren
juga berada di tengah pembangunan bangsa untuk itu pesantren
dituntut membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
untuk menghadapi tantangan kehidupan dan tantangan bangsa ke
depan. Selain itu diperlukan pula suatu landasan yakni landasan
spiritual dengan keimanan, untuk menghindarkan seseorang dari
kekosongan jiwa menghadapi kompetisi konsumerisme. Wujud
prestasi berupa amal shaleh, hal ini diperoleh setelah melakukan
kerja keras, kedisiplinan dan prestasi.
Dalam era ini, pendidikan pesantren harus memiliki peran
strategis, sebagaimana agama Islam yang berperan sebagai petunjuk,
(hudan) dan mendorong menegakkan 'amar makruf dan melarang
yang munkar. Pendidikan pesantren harus mampu menjadi benteng,
penangkal pengaruh budaya budaya materialisme yang kini menjadi

27
keprihatinan masyarakat sehingga perannya akan dirasakan
masyarakat.51
Dalam konteks dunia pesantren ini beberapa ahli telah menulis
dengan versi dan pengamatan masing-masing. Zamakhsyari Dhofier
dalam bukunya, Tradisi Pesantren, memulai sorotannya dengan
menyatakan bahwa katagori pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional yang sangat statis, dibantahnya. la melakukan kajian
terhadap sistem pesantren dan menemukan bahwa sistem
pendidikannya ditandai oleh beberapa komponen yaitu ada santri,
masjid, kyai serta adanya tempat berdiam para santri. Dia
mengungkapkan pula tentang adanya dua katagori pesantren, yaitu
pesantren tradisional (Salafiyah) dan pesantren yang sudah
berkembang dengan pesat yang berbentuk modern (Khalafiyah) atau
(Kombinasi, penulis). Pengkajiannya terhadap beberapa pesantren
tua dan terkenal di pulau Jawa, mengantarkanya kepada pandangan
bahwa dunia pesantren adalah dunia yang penuh dengan dinamika.52
Kemudian Karel A. Steenbrink menulis buku : Pesantren,
Madrasah-Sekolah, salah satu pembahasannya menyoroti sistem
pendidikan yang dibawa Belanda ke Tanah Air. Kemudian, dia
membahas pula pendidikan tradisional yang bernama pesantren yang
mengajarkan membaca al-Qur'an, ilmu-ilmu agama Islam dalam
wujudnya yang sangat sederhana. Di masa kemerdekaan, di samping
ia melihat adanya perkembangan pesantren yang menjamur di Tanah
Air, juga perkembangan pendidikan model madrasah yang banyak
juga dikelola oleh pemerintah Indonesia. Model pendidikan
madrasah yang menggunakan sistem sekolah, sudah tentu telah
menggunakan sistem pendidikan modern, sehingga mengalami
perkembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 53
Kemudian, Azyumardi Azra di dalam bukunya Esei-esei
Intelektital Muslim dan Pendidikan Islam, mengungkapkan tentang
keilmuan pesantren yang mengalami dinamika yang sangat pesat, hal

51
Jalaluddin Rahmat, “Islam Menyongsong, hal. 46
52
Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 41. Pesantren dalam katagori Gibb
adalah tradisional dan modern, lihat H.A.R. Gibb dan J.H. Kramer (ed.),
"Pesantren", Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1961), h. 460-462
53
Karel A. Steenbrink, Pesantren-Madrasah-Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 1

28
itu diawali oleh pesantren Mambaul 'Ulum Surakarta. Di pesantren
ini di samping mempelajari ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur'an,
Fiqh, Bahasa Arab dan lainnya, juga mempelajari mata pelajaran
Mantiq, Aljabar, dan Ilmu Falak.54
Selanjutnya, hasil penelitian Mastuhu dalam bukunya
Dinamika Pesantren, di bawah topik, “Prinsip Pendidikan Pesantren”
ia mengemukakan. Pertama, prinsip wisdom, yaitu mencari
kebijaksanaan (to seek wisdom), Prinsip ini membantu santri dalam
memahami makna dan tanggungjawab hidup di tengah masyarakat.
Kedua, prinsip bebas terpimpin. Dalam prinsip ini, anak didik
bertugas belajar dan ustadznya membantu dan membimbing anak
didik. Tujuan menuntut ilmu adalah sebagai ibadah kepada Tuhan.
Sementara itu, kawasan pendidikannya mencakup pengembangan
aspek kognitif, afektif' dan psikomatorik secara seimbang dan serasi.
Hal ini dapat dicapai kalau anak didik memiliki kebebasan yang
bertanggungjawab. Ketiga, prinsip self government. Prinsip ini
memberikan tanggungjawab pada santri untuk mengatur
kehidupannya sendiri di pesantren serta mengatur bidang kegiatan
seperti belajar bersama, keamanan, menerima tamu, koperasi,
penerangan, kerja sosial, olahraga, pramuka dan lainnya. Keempat,
prinsip kolektivisme. Prinsip ini dalam hal kewajiban individu harus
menunaikan kewajibannya lebih dulu, sedangkan dalam hal hak
individu harus mendahulukan kepentingan orang lain di atas
kepentingan diri sendiri dan golongan. Kegiatan-kegiatan dalam
menciptakan kebersamaan dilaksanakan, seperti pembuatan tata
tertib bersama, baik mengenai kegiatan belajar maupun mengenai
kegiatan lainnya.55
Sebelum berlanjut pada bahasan-bahasan substansial di
halaman-halaman berikutnya ada beberapa istilah yang perlu
dijelaskan seperti istilah Pemikiran, pendidikan dan Pesantren. Kata
Pemikiran, erat kaitannya dengan kata pemikir yang berarti orang
cerdik pandai yang pikirannya dapat dimanfaatkan orang lain. Selain

54
Azyumardi Azra, Esei-esei, h,87. Lihat pula dalam Azyumardi, "Pembaharuan
Pendidikan Islam", dalam Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Marwan
Saridjo, (Jakarta: Amissco. 1996), h. 13
55
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, h.55

29
itu, ada pula kata berpikir yang berarti merujuk kepada kemampuan
untuk membedakan, mengidentifikasi dan menunjukkan sesuatu.
Adapun kata pemikiran memiliki arti yaitu cara atau hasil berpikir.56
dalam konteks judul mengandung esensi pemikiran dan action.
Dalam kontek itu berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas
sebagai warga masyarakat untuk dapat bersikap sesuai dengan
tuntutan kekinian.
Kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan
pen dan akhiran an yang berarti memelihara dan memberikan
latihan, atau cara mendidik.57 Dalam bahasa Inggris kata pendidikan
atau kata education yang berarti mengasuh.58 Dalam bahasa Arab
kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata tarbiyah yang
berarti memelihara. Kata tarbiyah sering disinonimkan dengan kata
ta'lim yang berarti pengajaran, dan ta'dib yang berarti pembentukan
tindakan atau tatakrama yang sasarannya khusus kepada
manusia.59Di kalangan pakar pendidikan Islam terdapat perbedaan
penggunaan antara istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dih yang secara
prinsip istilah-istilah itu mengacu kepada arti pendidikan. Namun,
dalam tulisan ini istilah yang digunakan adalah kata tarbiyah yang
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga,
menumbuhkan dan memelihara.60
Secara istilah pendidikan Islam dapat mengandung arti
mengubah tingkah laku individu atau perorangan dalam kehidupan
pribadi, masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya melalui proses

56
Lihat Tim Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h.682-683. Lihat pula WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.752-753. Lihat pula Tim
Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Rosda, 1995), 277
57
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum, h.250
58
John M. Enchols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1987), Cet. ke-1, h. 267
59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Obyektives of Islamic Education,
(Jakarta: King Abdul Aziz Univ., 1979), h.52. Lihat pula Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo, 1999), cet. Ke-3, h.286. Lihat pula
Iksan Waseno, "Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Pendekatan Sosial
dalam Pengembangan Pendidikan Islam", dalam Pengantar Kearah Metode
Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam, (Yogyakarta:
IAIN Pres, 1992). h.222
60
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims, h. 52

30
pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut harus melalui bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
Islam.61
Sementara itu kata Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta
yang kemudian memiliki arti tersendiri dalam bahasa Indonesia.
Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran
an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata
santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata yaitu sant
(manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren
dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi
orang baik.62 Pesantren dalam pengertian luas tempat satri belajar
ilmu agama Islam baik melalui kitab kunig atau sumber lainnya yang
ditandai oleh adanya santri, kyai, masjid, dan pondok tempat santri
belajar.63
Sumber dari penulisan ini salah satunya dari hasil penelitian
atau penelusuran dari tulisan-tulisan dan kaset rekaman ceramah
KH. Abdullah Syafi'ie yang berisikan pemikiran kependidikan seperti:
al-Muassasat al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah, "Berkenalan dengan
Perguruan al-Syafi'iyah", dan kasetnya yang berjudul "Zaman
Jahiliyah". lalu sebagai bahan-bahan sekunder buku-buku karangan
ilmuan Muslim. Kemudian, melalui hasil wawancara putra-putrinya,
shahabat, murid-muridnya, tentang pemikiran modernisasi
pendidikan dan sosoknya menggunakan teknik probing (menggali
informasi lebih mendalam) sehingga diproleh jawaban yang khusus
dan tepat.64Juga memproleh sumber data yang shahih penulis
menggunakan cara triangulasi yaitu menggali informasi dengan cara
mengajukan satu pesoalan kepada beberapa informan hingga pada

61
Mohammad Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, h. 399
62
Lihat, Abu Hamid, "Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan", dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufiq Abdullah, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), h. 328.
63
Mastuhu, Dinamika, h.55
64
Irawati Singarimbun, "Teknik Wawancara", dalam Metode Penelitian dan Survei
(ed.) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 150

31
titik jenuh.65 Selain itu hasil dari observasi ke berbagai pesantrennya
dengan frekwensi yang memadai untuk menggali berbagai fenomena
yang ada di pesantrennya. Untuk materi kajian penulis menggunakan
pendekatan hisoris, sosiologis, filosofis dan teologis. 66
Dalam buku ini akan dibahas dalam beberapa Bab. Bab I,
Pendahuluan, berkaitan dengan dasar pemikiran, pustaka song
tokoh, kajian lembaga pesantren, kajian ulama, pengertian-
pengertian judul dan metodologi penelitian dan penulisan. Bab II,
Pengkajian tentang situasi yang melingkari kehidupan sang tokoh
dari aspek sosial-budaya, politik, ekonomi, kehidupan beragama dan
pendidikan Islam pada masanya yang secara tidak langsung memberi
pengaruh terhadap pemikirannya dalam konteks pendidikan. Bab III,
Menjelaskan tentang Sosok dan Kepribadian serta Kiprahnya dalam
perkembangan Islam di Jakarta serta pendidikan pesantrennya. Bab
IV, Analisis pemikiran sang tokoh yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan dan Lembaga Pendidikan Pesantrennya. Bab V,
beberapa Kesimpulan dan disertakan pula beberapa rekomendasi.
Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu khazanah
tentang pemikiran pendidikan pesantren dari seorang ulama besar
dan pendidik yang lahir, dewasa dan wafat di daerah Betawi ibu kota
Jakarta serta menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan
pendidikan pesantren di tanah air.

65
Masri Singarimbun, "Tipe. Metode dan Proses Penelitian", dalam Metode
Penelitian dan Survei (ed.) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, (Jakarta:
LP3ES, 1987), h. 6
66
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 27-46

32
BAB II
JAKARTA DI MASA ABDULLAH SYAFI’IE

A. Situasi Sosial-Budaya
Masyarakat Betawi di kota Jakarta, seperti juga masyarakat
lainnya di Nusantara terbentuk melalui proses yang panjang. Kota
Jakarta sebelumnya bernama Sunda Kelapa, Jayakarta dan Batavia.
Pada tahun 1623 di Batavia. Pada tahun 1623 di batavia yang
dikelilingi pagar terdapat 6000 jiwa penduduk dan pada tahun 1638
terdapat 12000 jiwa penduduk. Pada masa kejayaan Batavia antara
tahun 1700-1738 terdapat 20.000 jiwa di dalam kota dan 10.000 di
pinggiran kota. Ketika pada tahun 1740 terjadi pembunuhan massal
orang China, penduduk Batavia jauh berkurang. Pada masa
pemerintahan Raffles antara tahun 1811-1815 di dalam dan luar kota
terdapat 47,217 jiwa penduduk.1 Kemudian, pada tahun 1945 di dalam
an di luar kota penduduk Jakarta adalah berjumlah 623-343 jiwa dan
diperkirakan pada tahun 1950 mencapai 1.432.085 jiwa.2
Pada masa VOC (Verenigde Oostindiscbe Compagnie) tahun
1798 di Batavia terdapat beberapa golongan penduduk seperti orang
Eropa yang memegang jabatan penting dalam VOC,Burgers, yang
terdiri dari para profesional dan karyawan Eropa (Kristen),
Mardijkers (Kristen Portugis), Papangers (Kristen Spanyol Pilipina),
orang Jepang, Kristen Indonesia, Afrika, China, Arab, India, Melayu,
dan orang Islam Indonesia. Orang Bali merupakan mayoritas di
antara suku bangsa Indonesia di Batavia. Kemudian penduduk Islam
menjadi mayoritas dan melahirkan etnis baru, Kaum Betawi. Di masa
kolonial di Batavia status sosial paling rendah bagi umat Islam adalah
kaum Betawi. Pada abad ke-19 mayoritas penduduk di Jakarta adalah

1
Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta-Studi Sejarah Islam dan Budaya
Betawi, (Jakarta: Disertasi IAIN Jakarta, t.p. 2002), h.78-79
2
Muhammad Zafar, Islam, h. 173. Alwi Shahab mencatat, jumlah penduduk
Jakarta pada tahun 1945 berjumlah 500.000 jiwa dan pada tahun 1972
meningkat pesat sehingga berjumlah 4.500.000 jiwa, "Urbanisasi", Republika,
(Jakarta), 26 Desember 1999, h. 7.

33
orang Indonesia merdeka. Pada masa itu jumlah budak telah
menurun sampai 12.000 orang di Batavia.3
Sejak pertengahan abad-19 masyarakat Betawi semakin
heterogen, yaitu terdiri dari berbagai etnis yang ada di Nusantara.
Heterogenitas ini terbentuk akibat kebijakan VOC yang berusaha
memperkuat kekuasaannya di Batavia. Kota ini dibangun pada tahun
1916 di bekas kota Jayakarta yang diserbu dan dibumihanguskan oleh
tentara VOC di bawah pimpinan J.P. Coen. Demi keamanan, J.P.
Coen melarang penduduk pedalaman Jawa termasuk bekas
penduduk Jayakarta, untuk berimigrasi ke Batavia. Tetapi, guna
kepentingan pertahanan dan memajukan perdagangan, J.P Coen
mendatangkan orang China, orang taklukkan dari Benda, serdadu
bayaran Jepang, orang Moor, Bugis, Melayu dan Ambon. Mereka
bukan bagian penduduk budak. Sedangkan bagian penduduk lainya
adalah para budak yang mayoritas berasal dari India yang disebut
dengan "Mardijkers" dan penduduk dari kepulauan Arakan. Daerah
lain yang juga menyumbang penduduk ke Batavia, antara lain dari
Sumbawa, Nias, Kalimantan dan Sulawesi Selatan.4
Memperhatikan catatan Raffles mengenai dinamika penduduk
Jakarta tahun 1815 dan sensus penduduk tahun 1930, ternyata
didapatkan adanya etnis yang menghilang, meningkat pesat atau
lahir baru, dan kelompok etnis yang baru muncul adalah Batavians
(Betawi).5 Etnis ini telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan
abad ke-19, sebagai proses hasil peleburan berbagai kelompok etnis.
Penggunaan kata Batavians (Betawi) sebagai identitas etnis tidaklah
dikenal oleh orang Betawi sendiri di masa lalu, walaupun pada abad
ke-18 ulama Betawi asal Batavia yang belajar (atau mengajar) di
Makkah dan Madinah telah memakai kata itu di belakang namanya,
seperti Abdurrahman al-Batawi (1710-1812), namun hal itu lebih
3
Muhammad Zafar, Islam, h. 173
4
Lance Castles, "The Ethnic Profile of Djakarta", dalam Indonesia, Vol. I/April
Modern Indonesia Project (New York: Cornel University, 1967), h. 61-84. Lihat
pula Willard A. Hanna, Riwayat Jakarta (Jakarta Yayasan Obor, 1988), h. 64-84.
Lihat pula Alwi Shahab, "Betawi Asli", Republika, (Jakarta), 20 Juni 1999, h. 3,
lihat pula "Batavia Didominasi Para Budak", Republika, Jakarta), 1 Agustus,
1999, h. 7, juga Agus Husni, "Betawi", Republika, (Jakarta), 1 Desember 1999, h.
7
5
Lance Castles, The Ethnic, h,. 165

34
menunjukkan tempat asal daripada identitas etnis.6 Istilah Betawi
sebagai etnis baru populer ketika Husni Thamrin menamakan
organisasi yang didirikannya pada tanggal 1 Januari 1923 dengan
Perkoempulan Kaoem Betawi.
Masyarakat Betawi sebagai kelompok etnis yang cikal bakalnya
telah ada pada masa kolonial Belanda, menghadapi situasi sosial yang
tidak menguntungkan dalam pengembangan identitas kulturalnya.
Oleh VOC, penduduk Batavia dibagi berlapis-lapis berdasarkan ras
dan agama. Lapis teratas adalah pegawai VOC dan orang Eropa
lainnya. Lapis kedua adalah warga negara yang beragama Kristen
(Metizo, Mardijkers, Pampangers). Sedangkan orang China, Arab dan
India berada pada lapis ketiga. Dan pada lapis terendah adalah orang
bumiputera (asal Nusantara) yang tidak beragama Kristen (beragama
Islam, serta budak).7
Kontrol atas pelapisan itu mudah dilakukan, karena kelompok-
kelompok etnis berdiam di kampung sendiri dan dipimpin oleh
seorang kapiten yang ditunjuk oleh VOC dari mereka yang paling
berpengaruh. Perbedaan sosial tercermin pada corak kehidupan dan
mata pencaharian mereka. Sementara itu, orang Eropa hidup di
rumah mewah dengan banyak pembantu dan budak serta bekerja di
sektor modern. Sedangkan orang pribumi mendiami rumah
berdinding bambu dan beratap jerami, bekerja sebagai petani,
nelayan, serdadu, dan babu.8
Beban sosial orang Betawi semakin berat dengan meluasnya
tanah-tanah pertikelir (Particulair Landerijen), baik karena
disewakan atau dijual pemerintah jajahan. Hingga tahun 1915
terdapat 582 tanah pertikelir di Jawa, mencakup wilayah seluas 1,3
juta bau (1 bau-0,8 hektar) dan 1,8 juta penduduk. Beberapa di
antaranya berwilayah luas dengan penduduk lebih dari 75.000 orang.
Kepada penduduk di tanah pertikelir itu, para Tuan Tanah

6
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
ke-XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet.II, h. 243, 247.
7
Lihat Ridwan Saidi, "Masyarakat Betawi Asal-Usul dan Peranannya", dalam Ruh
Islam (ed.) Aswab Mahasin, (Jakarta: Festival Istiqlal, 1996), h. 1-9
8
Hadisucipto, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta-1730-1945, (Jakarta: Dinas
Meseum dan Sejarah, 1979), h. 30-34.

35
menetapkan cukai pajak, wajib bekerja untuk pemerintah serta wajib
bekerja untuk Tuan Tanah sendiri.
Situasi sosial akibat kebijakan kependudukan VOC serta
kehidupan tanah pertikelir, tidak memungkinkan etnis Betawi yang
sedang dalam proses kelahiran, untuk memiliki kelompok elit
penguasa tradisional seperti misalnya kaum priyayi di Jawa. Padahal,
dalam konteks kelahiran sebuah etnis, kehadiran kelompok elit yang
mampu mengeksploitasi sentimen etnis merupakan salah satu faktor
menentukan.9 Elit modern hasil pendidikan Belanda juga tidak
mungkin lahir, karena sekolah seperti itu hanya terbuka bagi pribumi
elit. Selain itu, penarikan diri yang relatif total terhadap segala yang
berbau asing, khususnya Belanda merupakan cara pengokohan
identitas sebagai orang "Selam" Betawi, sehingga sekolah modern di
kota Batavia sendiri sangat jarang mereka manfaatkan. Wajar, jika
kaum elit terpelajar yang muncul di Jakarta menjelang kemerdekaan,
hampir semua anggotanya berasal dari etnis lain dan tidak banyak
memiliki hubungan khusus dengan penduduk asli Betawi. Dalam
situasi seperti ini, kelompok yang dipandang elit oleh orang Betawi
adalah mereka yang memiliki keunggulan keagamaan. Elit agama
yang berasal dari masyarakat Muslim Betawi, mereka dikenal dengan
sebutan ustadz, guru mengaji atau ulama haji Betawi. Mereka yang
berasal dari keturunan Arab yang mengaku ketururan Hadramaut,
dikenal dengan sebutan sayyid, sedangkan mereka yang mengaku
keturunan Nabi Muhammad disebut habib. Pada umumnya orang
Betawi memanggil mereka dengan sebutan wan, kependekan dari
kata tuan.10 Meskipun demikian stratifikasi sosial masyarakat Betawi
cukup longgar. Hal itu terjadi karena masyarakat Betawi tidak
mengenal lembaga istana sehingga feodalisme kurang mendapat
tempat. Semangat egaliter yang menjadi salah satu ciri demokrasi,
mewarnai kehidupan masyarakat Betawi.
Masyarakat Betawi relatif tidak mengenal pemangku adat
(dengan begitu patron budaya juga lemah). Agama Islam telah

9
Anthon D Smith, The Ethnic Revival, (London: Cambridge University: 1961), h.
72.
10
Wetheim, Indonesian Society in Transition, second revised edition, (W. Van
Hove The Hague: 1964), h. 140.

36
menjadi institusi lintas belah (cross cutting institution) terhadap
perbedaan primordial di luar agama dan status sosial ekonomi.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika perkawinan
antarsuku pada etnis Betawi terhitung tertinggi di antara kelompok-
kelompok etnis lainnya di Indonesia. Fenomena ini tentu bersesuaian
dengan semangat egaliter yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
dalam memilih calon istri/suami. Seorang Muslim bisa memilih calon
istri/suami atas dasar fisik yang menarik, ekonomi, keturunan dan
agama. Tetapi, sebaik-baik pilihan adalah pilihan atas dasar agama.11
Di masa pasca kemerdekaan masyarakat Betawi menghadapi
suatu kenyataan bahwa kotanya, yaitu kota Jakarta semakin didera
oleh modernisasi dan pembangunan di semua sektor kehidupan.
Kota Jakarta yang menjanjikan kehidupan yang sejahtera, menarik
para urban yang datang dari seluruh daerah di Nusantara.
Masyarakat Jakarta semakin heterogen. Gerak kehidupan
masyarakatnya sangat dinamis. Banyak perantau yang hidup di
Jakarta mencapai keberhasilan dalam hidupnya. Sementara itu,
sebagian besar masyarakat Betawi berada dalam “kegamangan”,
seperti juga yang terjadi pada etnis asli di daerah Nusantara lainnya
yang dapat ditemukan mereka menjadi “marginal”. Umumnya
mereka orang yang berpunya atau dengan kata lain mereka banyak
memiliki tanah. Dalam menopang kehidupan sehari-hari mereka
menjual tanah. Hasil dari penjualan tanah itu sebagian besarnya
mereka gunakan untuk naik haji,12 atau mengirim anak-anaknya
belajar agama di Mesir atau Tanah Arab atau di pesantren di Tanah
Air. Sedikit sekali dari mereka mengembangkan hasil dari penjualan
tanah itu digunakan untuk berdagang. Setelah menjual tanah atau
rumah, mereka membeli tanah lain yang harganya lebih murah dan
letaknya berada di pinggiran Jakarta. Jadilah, kebanyakan mereka
hidup di pinggiran Jakarta, dan sedikit sekali yang bertahan hidup di
pusat kota. Mekipun demikian, dalam melihat proses perubahan
yang ada di sekitarnya, yakni di kota metropolitan Jakarta, mereka

11
Muhammad Fauzi Syuaib, "Masyarakat Betawi dan Perkembangan Kota
Jakarta", dalam Rub Islam, Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999, h.
51
12
Alwi Shahab, ‘Robin Hood Betawi”, (Jakarta) Republika, 2001, h. 110.

37
melihatnya secara dewasa. Tidak ada keinginan dari mereka untuk
memusuhi para pendatang, tidak ada keinginan mereka untuk
memisahkan diri dan menjadi tertutup.13
Adapun budaya masyarakatnya seperti budaya muslim ada
umumnya. Budaya masyarakatat betawi seperti masyarakat
Indonesia pada umunya yang merupakan perpaduan dari budaya-
budaya yang bercorak Hindu-Budha, bercorak Islam, Konghucu dan
Kristen. Proklamasi dan konstitusi telah membuat bangsa Indonesia,
masyarakat Indonesia menjadi satu subyek budaya yang mempunyai
principle of identity dan mempunyai principle of integrity.14 Oleh
karena itu, perpaduan seluruh budaya yang ada dapat disebut
dengan budaya nasional.
Akulturasi budaya terjadi antara budaya Budha atau Hindu
(orang India) di Nusantara, menyusul kemudian budaya Islam (orang
Arab), budaya Konghucu (China) dan budaya Kristen (orang
Belanda). Budaya Budha untuk pertama kali meninggalkan jejaknya
dalam sebuah kerajaan Sriwijaya di Palembang, sementara Hindu-
Budha meninggalkan jejaknya di Tanah Jawa, seperti adanya
Borobudur dan Candi Prambanan di Yogyakarta. Budaya Islam
meninggalkan jejaknya di Keraton-keraton di Tanah Jawa seperti
Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon dan lainnya. Budaya China
dapat dilihat dari tempat ibadah mereka di Semarang dan kehadiran
mereka sejak masa penjajahan Belanda. Lalu, budaya Kristen terlihat
dari cara kehidupan yang ditampilkan oleh penjajah Belanda di
Tanah air.15 Budaya Nusantara yang berakar dari berbagai budaya
agama menjadi budaya nasional di Indonesia.
Budaya bagaikan sebagai sebuah toko serba ada yang sangat
besar, maka jenis barang yang dijual untuk dipakai dalam kehidupan
ini berasal dari pabrik-pabrik yang beragam. Di antara pabrik
kebudayaan itu dapat saja kita golongkan tiga pabrik besar yang
menjadi produsen utama.16

13
Muhammad Fauzi Syuaib, "Masyarakat, h. 51
14
T.B. Simatupang, “Agama dan Kebudayaan Nasional”, Tinjauan Empirik, ed.
Musa Asy’ari, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988), hal. 41
15
Abdul Hadi, “Prospektif Kebudayaan Islam”, dalam Islam dan Transformasi
Sosial Budaya, ed. Naufal Ramzy, (Jakarta, Deviri Ganan, 1993), hal. 147
16
Abdul, Hadi, “Prospektif Kebudayaan Islam, hal. 148

38
Pabrik pertama, adalah kebudayaan yang bercorak spiritual
magis atau religio-magis dengan corak barang budayanya yang
penuh dengan nilai magis, mistis, kebatinan dan karenanya penuh
dengan hal-hal yang tidak rasional. Produk Islam seperti tashawuf
tidak jarang terlempar ke budaya yang satu ini untuk kemudian di
olah menurut coraknya sehingga corak Islam menjadi kabur. Yang
paling nyata dari hasil kebudayaan ini adalah kesenian yang di hidupi
dengan mitos-mitos lebih berpenampilan lokal.
Pabrik kedua, setidaknya cukup menguasai kota dan jiwa
masyarakatnya adalah kebudayaan-kebudayaan corak rasional
sekuler atau materialisme sekuler. Pabrik yang kedua ini banyak
menghasilkan barang-barang budaya yang merujuk pada pola hidup
berhura-hura, kemewahan dan tidak jarang konsumennya ialah
konsumen utama kebudayaan spiritual magis. Di lapangan ideologi,
perwujudannya barangkali pada pemikiran yang berorientasi pada
liberalisme, serba bebas, sesuka hati, kapitalisme penguasaan pada
modal yang ekploitatif terhadap si lemah, dan komunisme yang
menuhankan pemikirannya sendiri dengan dalih tidak bertuhan. Jika
pabrik ini memproduk barang barang yang diberi cap spiritual,
maksudnya jelas bukan hal-hal yang bermakna ilahiah.
Pabrik ketiga katakanlah, Islam. Walaupun sekarang ini bisa
menuai perbedaan pendapat tentang pengaruh hasil-hasil
kebudayaannya. Berbeda dengan pabrik terdahulu, pabrik ketiga
sebagai penghasil barang budaya yang mempunyai landasan barang
kemasan yang berbeda. Walaupun Islam sepenuhnya menerima
pentingnya nilai-nilai spiritual dan manusia makluk spiritual,
kebudayaan Islam tidak bercorak spiritual magis. Meski demikian,
Islam mengakui sepenuhnya perlunya akal dan upaya-upaya
keduniaan demi kesejahteraan, tampaknya Islam menolak pemujaan
terhadap akal dan dunia secara berlebihan. Karena itu kebudayaan
ini berada di antara dua kutub kebudayaan tadi ia bercorak rasional
transedental, yakin akan kehendak Tuhan dan percaya kegunaan
akal. Sesuai dengan sumber pengetahuan yang mesti diakui, yaitu

39
akal dan wahyu dan sesuai pula dengan corak ikhtiarnya untuk
memperoleh pengetahuan, yaitu memadukan fungsi fikir dan dzikir.17
Budaya Indonesia termasuk Jakarta mempunyai ideologi
Negara Pancasila yang mengakui eksistensi semua agama dan
rakyatnya wajib beragama, agama yang diakui Negara ada enam
Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Sebagai bangsa
yang menjadi landasan utama adalah. Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berarti bahwa segala produk budaya bersumber kepada-nya.
Sebagai bangsa yang beragama adalah logis kalau memproduk
budaya yang bercorak spiritual-religius. Budaya bangsa adalah
budaya yang menjadi jati diri bangsa, apakah bangsa itu memiliki
watak atau karakter yang baik atau tidak.
Budaya Jakarta seperti budaya daerah lain sangat kaya yang
menggambarkan jati diri bangsa, saat ini sedang menghadapi
tantangan yang dahsyat. Arus budaya pop, terutama yang menyerang
generasi muda dan menyerang aspek-aspek kehidupan manusia yang
sehat. Budaya yang menyerang generasi bangsa adalah budaya
sekuler yang di dasari oleh pandangan hidup materialisme atau
hedonisme; menempatkan materi atau kenikmatan di atas segala-
galanya. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang memuja
materi yang pada titik ektrimnya tidak peduli dengan segala nilai-
nilai religius. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang
tenggelam ke dalam kondisi masyarakat konsumen. Mereka di
penuhi oleh keterpesonaan, ketergiuran dan hawa nafsu yang
dibangkitkan oleh kondisi ekstasi yang melanda kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang di kelilingi oleh belantara benda-
benda, ditandai oleh makna-makna yang semuanya merasakan
kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna
spiritualitas, moralitas kemanusiaan, di tengah-tengah terbangunnya
hidup di atas landasan kegemerlapan pencitraan ketimbang ke
dalaman substansi dan transendensi.18
Adanya minuman keras atau dalam bentuk lain dapat
menghanyutkan manusia menuju ke kehilangan jati dirinya,

17
Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan, 1998), hal.
45
18
Yasraf Amir Plliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, hal. 46

40
kesadisan dan seksual ektrem. Selain itu ada juga benuk lain dalam
pergantian produk, maraknya diskursus fashion ekstasi sebagai
komoditi dalam menikmati perkembangbiakan bentuk-bentuk
seksual. Hidup manusia perkotaan termasuk Jakarta sudah berjangkit
bebagai penyakit yang mengiriya. u sebuah siklus ritual semu.
Mabuk akibat minuman eras suatu keadaan mental dan
spiritual yang mencapai titik puncaknya ketika jiwa secara tiba-tiba
naik ke tingkat pengalaman yang jauh dibandingkan kesadaran
sehari-hari, sehingga pada ketika itu muncul semacam puncak ke-
mampuan diri dan kebahagian yang luar biasa serta trance yang
kemudian diiringi oleh pencerahan.
Manusia pekotaan juga hanyut dalam berbagai bentuk terapi
yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer,
jogging pusat kebugaran, karoke, sepakbola, semua ini bukan
sekedar memenuhi obsesi dan melepaskan diri dari karantina kerja
akan tetapi menjadikannya sebagai tempat tujuan hidup yang
sebenarnya, sehingga mereka mengatakan, "aku adalah orang rock
atau aku adalah orang bola".19
Perjuangan masyarakat konsumer untuk mendapatkan
keseimbangan psikis melalui hubungan sosial yang luas, tetapi
mereka menolak hubungan ini dilandasi oleh nilai-nilai moral dan
spiritual. Karena mereka telah tenggelam ke dalam ke-asyikan dan
kegairahan dengan diri sendiri (narsisime) yang cenderung
memandang dunia sebagai tempat pemuasan hawa nafsu hewani.
Munculnya kebudayaan konsumer dikendalikan sepenuhnya
oleh hukum komoditi yang menjadikan konsumen sebagai raja;
menghormati setinggi-tinginya nilai-nilai individu yang memenuhi
selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan aspirasi keinginan dan
hawa nafsu yang membuka peluang bagi setiap orang untuk asyik
dengan diri sendiri.
Kondisi kehidupan masyarakat konsumer perkotaan adalah
sebuah kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan
bagi pelayanan hawa nafsu kebendaaan, kekayaan, kepuasan seksual,
ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan dan

19
Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia, hal. 46

41
kesenangan. Sementara penajaman hati, penumbuhan
kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan pencerahan spiritual
hanya memiliki sedikit ruang.
Di dalam kebudayaan ini banyak dikuasai oleh hawa nafsu
ketimbang ke dalaman spiritual, maka ketika sebuah revolusi
kebudayaan timbul yang ada tidak lebih dari pada sebuah revolusi
dalam penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu. Felix Guattari
adalah salah seorang dari banyak pemikir kontemporer yang melihat
bahwa kini tidak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hidup
tanpa menghambakan diri pada pembebasan hawa nafsu. Dengan
mendekonstruksi norma-norma dan moralitas yang mengatur hawa
nafsu dengan melepaskan belenggu dan membiarkan hidupnya
dalam keaneka ragaman bentuk seksual dan erotika (waria lesbian,
masakisme). Sehingga lenyaplah perbedaan antara normal dan
abnormal dengan membuka selubung diri selebar selebarnya, seperti
yang sering dipelihatkan oleh bitang film Barat, sehingga lenyaplah
dimensi rahasia karena membuka katup dan membiarkan modal
(capital) mengalir sebebas bebasnya, sehingga lenyaplah nilai guna
dengan menghanyutkan diri sedalam-dalamnya dalam gairah
kesenangan citraan dan tontonan, serta lenyaplah batas antara
realitas dan fantasi.20 Karena itu, revolusi kebudayaan mencapai titik
ektrem dan di mungkinkan semakin mempersempit ruang bagi
perenungan penghambaan dan pencerahan spiritual. Revolusi
budaya ini tengah mengancam budaya bangsa di tanah air.
Budaya pop anak muda mulai berkembang. Penampilan
mereka mirip dengan saudara-saudaranya yang bule di Barat,
tampaknya apa yang mereka lihat melalui televisi hitam-putih
langsung ditiru. Saudara bulenya memperlihatkan percintaan bebas
para remaja disini telah terpengaruh. Mereka memakai pakaian yang
memperlihatkan aurat, di sini juga begitu. Begitu pula dengan
pandangan hidup. Saudara bule berpandangan bahwa melakukan
seks bebas adalah hak asasi seseorang, maka saudaranya yang disini
berpendapat seperti itu pula.

20
Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, dalam Dialog Kini dan
Esok, (Jakarta: Lepenas, 1997), hal. 196

42
Budaya ini ditandai banyaknya mereka berilusi, sehingga sering
terjebak dengan gaya hidup hura-hura. Kenyataan hidup ternyata
tidak bisa melepaskan diri dari setumpuk masalah, masalah
kegelisahan diri, jiwa yang tidak tenteram atau masalah yang
berkaitan dengan orang sekitarnya. Untuk menenangkan sementara,
mereka lari ke minuman maupun bentuk lainnya. Bentuk pelarian ini
menimbulkan semakin rusak mentalnya dan membunuh otensi
dirinya di tengah bangsa sedang giat melakukan pembangunan.
Akulturasi budaya memang sesuatu yang tidak bisa dielakkan.21
Budaya Barat memang telah lama ada yang di adopsi oleh orang
Jakarta, seperti memakai celana, dasi, jas yang mudah diterima oleh
masyarakat. Tetapi ada budaya-budaya yang dilandasi oleh
kebebasan. Budaya kebebasaan ini sering diekpresikan melalui
kebebasan mengeluarkan aurat wanita yang ditonjolkan dan
diperlihatkan secara umum dengan kemontokannya. Kemudian
budaya hidup bebas antar wanita dengan pria tanpa adanya ikatan
perkawinan. Budaya-budaya ini berkembang di Barat. Hanya saja di
Barat ada banyak budaya yang patut ditiru oleh kita seperti budaya
bersih, disiplin, bekerja keras, dan etos keilmuannya yang tinggi.
Di Jakarta sebagai kota besar rasa sosial atau sikap gotong
royong mengalami pemudaran, artinya rasa gotong royong
masyarakat sudah berkurang, mereka hanya asyik dengan
kegiatannya masing-masing atau kegiatan yang hanya memberikan
dampak ekonomi. Mungkin ada tersisa rasa sosial tetapi hanya
kepada kelompok atau kelompok pertemanan di sekitar kita. Hal ini
berdampak kepada konsep keluarga. Kalau di pedesaan memegang
pola keluarga besar, yang terdiri dari orang tua, saudara kandung,
saudara tiri, garis keturunan dari pihak ayah, ibu, nenek atau kakek,
mereka masih saling tolong menolong, rasa solidaritas sosial masih
tinggi. Kini rasa solidaritas sosial hanya terbatas pada keluarga inti
yaitu ayah, ibu dan saudara sekandung.
Masyarakat Jakarta memiliki budaya yang penuh toleransi.
Budaya toleransi ini merupakan khazanah budaya Indonesia yang
sejak lama bermbang. Budaya toleransi bukan barang yang sudah

21
Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 197

43
jadi, tetapi memerlukan pembinaan yang terus menerus, Dalam
konstitusi, Negara Indonesia menempatkan semua warga Negara
dalam posisi yang sama, tidak ada diskriminasi pada suatu keyakinan
atau suku tertentu. Pembinaan toleransi semakin intensif dilakukan
pada saat Orde Baru yang semangatnya dirumuskan dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Toleransi beragama pada
masa Alamsyah Prawiranegara sebagai Menteri Agama di ungkapkan
dalam jargon agree disagreemen setuju dalam ketidak setujuan.22
Hanya saja konsep ini belum sepenuhnya diterima dan belum
menjiwai para tokoh agama. Hal itu di dorong oleh semangat ajaran
agamanya yang memerintahkan untuk menyebarkan agamanya dan
memberi kebahagian bagi yang memeluknya. Maka dakwah agama
bukan saja terbatas kepada pemeluknya, tetapi juga mengharapkan
semua orang menjadi pemeluk agamanya. Akibat dari belum adanya
toleransi agama, maka di saat reformasi ini muncul letupan
kerusuhan antar etnis di berbagai tempat, dan memakan korban jiwa
dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka tidak merasa lagi kalau
mereka bersaudara dalam sebuah bangsa. Intoleransi yang terjadi
antar pemeluk agama tergambarkan dalam peristiwa di mana umat
Islam yang sedang menjalankan Hari Raya Idul Fitri di serang oleh
saudaranya yang berlainan agama, lupa kalau di antara saudaranya
yang sedarah ada yang berbeda keyakinan. Ini terjadi karena diawali
oleh dua pemeluk agama yang berebut seorang penumpang,
peristiwa membesar, seolah peristiwa ini sudah di skenario
sebelumnya, dan kemudian menjadi peristiwa yang tragis yang
memakan korban jiwa dan ribuan orang terusir dari tempat
tinggalnya.
Budaya lain yang disinyalir yaitu budaya sogok-menyogok dan
budaya mengerogoti harta kekayaan Negara, yakni budaya korupsi.
Korupsi yang tinggi di Indonesia telah menempatkan pada peringkat
tertinggi di dunia dan kedua di Asia setelah Banglades. Ini sangat
ironis, karena terjadi di tengah bangsa yang mayoritas umat Islam
dan di tengah umat beragama, dimana semua agama tidak
memperkenankan umatnya melakukan hal tersebut.
22
Hasbi Indra, Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional" dalam
Majalah Ikhlas, No. II, th. III, 2000, Dep. Agama RI, hal. 52.

44
Korupsi telah menggerogoti sendi-sendi moralitas dan
ekonomi bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki sumber
daya alam yang besar, saat ini jatuh miskin dikarenakan perilaku
korupsi yang akut. Ini terjadi di awali para pengusaha yang
umumnya beretnis China. Untuk mengembangkan usahanya
memberikan upeti ke penguasa, dengan cara ini mereka mendapat
pekerjaan sampai kemudian menjadi pengusaha besar
(konglomerat). Begitu pula yang terjadi di pemerintahan, untuk
menduduki jabatan tertentu, mereka menggunakan uang pelicin.
Mereka yang berwenang membangun infrasrruktur diberikan fee
yang cukup untuk membeli rumah dan mobil mewah. Para
pengusaha dan penguasa saling bekerjasama dalam melakukan hal
itu, dan mereka saling menyimpan rahasia. Gerakan korupsi ini
semakin menggejala di berbagai lapisan masyarakat, misalnya untuk
menjadi guru, menjadi pegawai dan menduduki jabatan tertentu
diperlukan sogokan guna memudahkan rujuannya. Mengurus KTP,
SIM di kantor kelurahan dan kantor polisi memerlukan uang yang
tidak resmi. Di kampus, untuk mendapatkan nilai bagus perlu pula
membayar tenaga pendidiknya (dosen), Korupsi telah menggurita,
sehingga mengantarkan bangsa ini pada bencana nasional. Bangsa
kian terpuruk, martabat bangsa jatuh di mata bangsa lain.
Budaya mistik, budaya lain yang sedang berkembang. 23 Budaya
ini sebagai budaya nenek moyang yang dapat dikatakan sebagai
budaya primitif. Mistik sama artinya percaya dengan mitos, sesuatu
yang diragukan terjadi atau bahkan sesuatu yang tidak pernah
terjadi. Mistik, akhir-akhir ini semakin berkembang karena di
mediasi hampir di semua televisi.
Mistik digambarkan ada tempat-tempat berkumpulnya
makhluk gaib, atau terdapat jejak manusia yang pernah mengalami
kecelakaan dan mati, ruhnya gentayangan, yang dijelaskan oleh
seseorang yang katanya memiliki kemampuan untuk melihat hal itu.
Digambarkan pula ada tempat, apakah itu di gunung atau di suatu
tempat keramat di mana banyak orang mencari rezeki dengan cara
melakukan seks bebas antara seorang wanita dan pria yang bukan

23
Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 199

45
suami istri. Di televisi digambarkan pula cara mencari rezeki melalui
babi ngepet seorang manusia yang berubah menjadi babi dan
mencuri uang, atau melalui cara lain yang menggunakan setan.
Orang banyak mendatangi dukun-dukun untuk meloloskan diri-
menduduki jabatan tertentu, atau bagi artis untuk menambah
penampilan agar menjadi menarik, atau dendam seseorang kepada
orang lain dengan cara melalui pembalasan yang bersifat mistik.
Mistik dapat pula terjadi pada orang yang menunjukkan kekebalan
badannya yang tidak mempan ditusuk, atau memakan suatu benda
tajam tanpa melukai dan membahayakan nyawanya.
Mistik, bukan saja menumpulkan otak manusia, bahkan lebih
dari itu, mistik semakin meniadakan kemampuan otak manusia atau
otak manusia ditempatkan di dengkul. Padahal, dalam sejarah
peradaban umat manusia, manusia di tuntut agar mengembangkan
ilmu pengetahuan dan menciptakan teknologi yang dapat
memudahkan kehidupan manusia harus melalui hasil kerja otaknya,
artinya menempatkan otaknya pada tempat yang tinggi. Begitu pula
dalam hal manusia mengembangkan ekonomi yang maju sekarang
ini melaiui lembaga keuangannya adalah hasil kerja otak manusia
pula. Untuk maju, ekonomi atau usaha diperlukan penerapan
manajemen modern, bukan malalui makhluk lain yang pada
dasarnya lebih rendah dari manusia.
Akibat dari berkembangnya budaya mistik ini, memberikan
dampak munculnya budaya malas atau budaya tidak disiplin semakin
berkembang di tengah masyarakat. Bila budaya ini semakin
menggejala di masyarakat, lambat laun akan membawa kemunduran
bangsa ini ke depan.
Budaya lain, yaitu budaya kenduri berkembang pula. 24Budaya
ini bagian tradisi di masyarakat. Terutama di masyarakat Muslim,
hampir di setiap momen agama atau momen non agama, sepanjang
Tahun dipenuhi oleh budaya kenduri. Untuk menjadi seorang
Muslim tampaknya harus memiliki kekayaan yang banyak karena
harus mengikuti budaya kenduri. Mulai dari kenduri yang bersifat
agama seperti perayaan Isra' Mi'raj, Maulid Nabi, Hari Raya Qurban

24
Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 199

46
dan Fitri, kemudian kenduri bulan-bulan tertentu seperti bulan
Rajab. Kenduri lain, seperti ada kematian salah seorang keluarga;
semuanya memerlukan dana yang tidak sedikit dan dana itu
terhitung tidak produktif, Hidup miskin di tengah masyarakat yang
mengutamakan kenduri, sungguh menjadi beban psikologis yang
berat, karena bagaimanapun manusia semiskin apapun tidak mau
dikatakan ia seorang yang tidak berpunya atau tidak sama dengan
orang lain. Maka, dapat ditemukan di suatu tempat almarhum yang
miskin mewasiatkan anak cucunya untuk menjual sebidang tanah,
agar kelak setelah ia meninggal dunia dapat dikenduri dan dido'akan
oleh seorang kyai. Padahal, hanya tanah itu yang diandalkan keluarga
untuk menopang kehidupan.
Di tengah bangsa yang berkembang, budaya-budaya tersebut
mengakibatkan akan berkurangnya penggunaan otak dan lemahnya
berikhtiyar (ethos kerja), lalu muncul bentuk budaya lain yakni
budaya konsumtif. Budaya dimana masyarakat yang hanya mampu
membeli sesuatu meskipun kadang dipaksakan. Fenomena ini
banyak terjadi di tengah masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat konsumtif seperti membeli kulkas, TV, mereka
meminjam ke rentener. Mereka sebenarnya tidak mampu membeli
barang-barang itu, tetapi karena mendahulukan gengsi dan agar bisa
dikatakan tetangganya seorang yang kaya, mereka terpaksa membeli.
Dapat diduga, mereka tidak mampu membayar hutang, akhirnya
rumah yang ditempati terpaksa diambil oleh rentener.
Demikian, bangsa Indonesia termasuk masyarakat Betawi
memiliki budaya yang beraneka ragam dan ada yang patut
dipertahankan ada yang tidak,25 budaya baik yang dapat
dikembangkan untuk kemajuan bangsa ini seperti budaya disiplin,
bekerja keras, memiliki etos keilmuwan yang kini merupakan budaya
Barat. Ini menghindari budaya yang merugikan seperti tidak
toleransi, korupsi, mistik dan sebagainya. Budaya-budaya negatif
perlu di reformasi sementara budaya positif perlu dikembangkan.

25
Bur Ruswanto, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, hal. 200

47
B. Situasi Politik
Dari sisi politik masyarakat Betawi berada pula dalam
lingkaran dinamika politik yang ada. Masyarakat Betawi hidup di
Jakarta, Ibukota Negara Indonesia; adanya dinamika politik nasional
langsung mereka rasakan. Selain itu di Jakarta, kekuatan-kekuatan
politik besar telah muncul baik pada masa penjajahan maupun pada
masa kemerdekaan. Jakarta telah menjadi pusat perpolitikan
nasional, dimana hampir semua partai politik mendeklarasikan
dirinya serta menempatkan sekretariat partainya di kota ini.
Suasana politik Indonesia telah berkembang sejak era
penjajahan Belanda di Nusantara, pada masa ini telah berdiri
beberapa organisasi seperti berdirinya Budi Utomo Tahun 1908,
Serikat Dagang Islam (SDI) Tahun 1911, dan Indische Partij Tahun
1913.26 Kemudian ada pula partai Sarikat Islam (SI) yang berideologi

26
Kaitan partai politik telah tumbuh pemikiran politik melalui kajian kitab
kuning, atau pembelajaran melalui Negara-Negara Islam seperti di Mesir.
Pemikiran politik Timur Tengah banyak mempengaruhi pemikiran Islam
dalam berpolitik. Dipahami bahwa Islam itu tidak dapat dilepaskan dari
masalah politik dan Islam itu adalah ideologi, karena untuk memperjuangkan
ideologi Islam yang bersumber kepada Al-Qur'an dan Hadits dan dapat
menerapkan syari'at Islam melalui kekuasaan Negara, maka diperlukan partai
politik Islam. Di Turki misalnya, ada partai politik yang berideologi Islam dan
di Mesir ada partai Ikhwan al-Muslimin, Partai ini memperjuangkan ideologi
Islam yang bersinonim memperjuangkan syari'at Islam sebagai suatu kewajiban
syar'i sebagian orang Islam memahami adalah dosa bila tidak
memperjuangkannya.
Paham inilah yang dipegang oleh tokoh Islam pada awal-awal kemerdekaan.
Mereka berpandangan karena umat Islam mayoritas di negeri ini hendaklah
berdasarkan kepada ideologi Islam, sementara itu tokoh lain seperti Soekarno
menyatakan bahwa dasar Negara Indonesia hendaklah merupakan aspirasi
seluruh bangsa yang memiliki berbagai agama dan keyakinan, dan Pancasilalah
dapat dijadikan dasar Negara. Tetapi Soekarno menyatakan, bahwa kelak umat
Islam dapat memperjuangkan cita-citanya itu melalui parlemen. Perhatian
tokoh Islam hampir 100 persen ke bidang tersebut sementara bidang lain
seperti ekonomi terbengkalai, karena bidang politik adalah bidang yang
terhormat dan segera menjanjikan secara ekonomi.
Hasil dari pertarungan ini kemudian dirumuskan menjadi dasar Negara yang
pertama kali disepakati oleh tokoh-tokoh nasional yang disebut dengan
"Piagam Jakarta" yang salah satu isinya adalah "Ketuhanan dan Kewajiban Bagi
Umat Islam Melaksanakan Syari'atnya". Tetapi dalam buku sejarah dijelaskan,
ada keberatan terhadap kesepakatan itu dari non Islam di Indonesia Timur,
mereka akan memisahkan diri bila diberlakukan Piagam Jakarta.26 Melalui
pembicaraan antar tokoh perumus dasar Negara, maka dicapai kompromi pada

48
Islam, perjuangannya menentang penjajahan Belanda, menjadi besar
dibawah pimpinan Tjokroaminoto Tahun 1913.27
Di Jakarta yang bernama Batavia pada waktu itu menjadi
tempat istimewa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.28
Organisasi pemuda Jongjawa muncul di Batavia pada tahun 1915 dan
Jong Islamiten Bond (JIB) lahir pada tahun 1926. Pada tanggal 1
Januari 1923 didirikan organisasi Islam Betawi, sebagai gerakan
perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1945 terjadi
peristiwa bersejarah “sumpah pemuda” di Batavia dengan ikrar, “Satu
Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu Tanah Air”, yang menyalakan api
perjuangan dari Sabang sampai Merauke. Pada masa perjuangan
kebangsaan Indonesia muncul berbagai organisasi pergerakan
nasional seperti: Boedi Oetomo (1908), Syarikat Islam (1911),
Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Partai Nasionalis

Sila Pertama yang semula Ketuhanan dan kewajiban umat Islam melaksanakan
syari'atnya, berganti menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dan disepakati bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
27
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Prees, 1987), hal.
5. Lihat pula Hasnul Arifin Melayu, “Islam As an Ideology the Political Though
of Tjokroaminoto”, Studia Islamika, Vol. 9, Number 3, 2002, hal. 39
28
Pada masa perjuangan kemerdekaan orang-orang Betawi telah melakukan
perlawanan kepada kaum penjajah Belanda. Misalnya di masyarakat Betawi
dikenal seorang yang bernama Si Pitung, ia seorang pemberani yang
melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. la lahir di Kebayoran Lama,
terkenal sebagai perampok yang bertubuh kebal terhadap bacokan dan
tembakan. Korbannya adalah orang Belanda dan penghisap darah rakyat jelata.
la terkenal di Batavia, karena hasil rampasannya dibagi-bagikannya kepada
rakyat jelata. Belanda sangat kesulitan menangkap Si Pitung. Belanda
menugaskan tukang cukur untuk mematai-matai Si Pitung, dan mencari
rahasia kekebalannya. Tukang cukur tahu rahasianya. Pada saat Si Pitung
melepaskan jimat-jimatnya, tukang cukur melaporkannya kepada Belanda.
Kompeni menembak Si Pitung dengan pelor emas, terbunuhlah Si Pitung.
Selain itu ada versi lain menceritakan bahwa pelor itu tidak mempan, tetapi
atas bantuan gurunya, karena ketidaksetujuan atas perilakunya, si Pitung
ditangkap dan dipotong-potong serta mayatnya di kubur di beberapa tempat.
Tokoh Betawi yang lain yaitu Si Jampang, ia menjadi legenda di daerah
Marunda, Jakarta Utara. la lahir di Betawi dan terkenal jago silat dan banyak
menolong rakyat menentang penjajah, karena rakyat dibebani pajak yang
berat, dan merampas tanah rakyat. Belanda berusaha membunuhnya melalui
orang ketiga, yaitu teman Si Jampang. Akhirnya ia terbunuh dan dimakamkan
di daerah Marunda. Lihat Taufik Effendi Muluk dan Sutarjo, Beberapa
Kumpulan Epos Betawi, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah DKI, 1979), h. 12-
24.

49
Indonesia(1927), al-Jam’iyah Al-Khairiyat (1901) dan banyak lagi
organisasi pergerakan lainnya. Pergerakan yang ada di Batavia sangat
berperan dalam mengantarkan bangsa Indonesia mengusir penjajah
Belanda.29
Setelah Belanda dapat diusir dari Nusantara, Jepang
menduduki Batavia pada tanggal 5 Maret 1942. Jepang yang
menerapkan ajaran “Seikeirei” mendapatkan perlawanan dari K.H.
Zainal Mustafa dan pengikutnya. Pertempuran yang terjadi pada
tanggal 25 Februari. 1944 menyebabkan terbunuhnya 120
pengikutnya. Kyai Zainal Mustafa ditangkap dan dipenjarakan di
Cipinang Jakarta, dan pada tanggal 25 Oktober 1944 ia dibunuh
secara kejam dan dimakamkan di Ancol Jakarta.30
Pada masa penjajahan Jepang kalangan Islam berharap
tuntutan politik yang sering mendapatkan penolakan dari
pemerintahan Belanda sebelumnya, mendapat kompromi dari pihak
Jepang.31 Namun, apa yang diharapkan ternyata mengalami nasib
yang sama. Pemerintahan Jepang bahkan mengharamkan semua
organisasi yang didirikan di masa pemerintahan sebelumnya.
Tepatnya, pada tanggal 20 November 1942 semua kegiatan politik
termasuk rapat-rapat untuk membicarakan organisasi dan struktrur
pemerintah dilarang. Pemerintah Jepang rupanya sangat
memerlukan dukungan rakyat untuk usaha-usaha peperangan
mereka. Untuk itu, ditunjuklah 4 tokoh bangsa yaitu Soekarno, Moh.
Hatta, Ki. Hadjar Dewantara, dan Haji Mas Mansyur. Keempat tokoh
ini diharapkan dapat membantu mengerahkan rakyat untuk berada
di belakang pemerintahan Jepang. Untuk tujuan itu pula Jepang
memberikan perhatian terhadap kalangan Islam dan mengesahkan
berdirinya organisasi Muhammadiyah dan NU pada tanggal 10
September 1943, dan mengesahkan Persarikatan Umat Islam di
Majalengka, serta Persatuan Umat Islam di Sukabumi tanggal 1
Februari 1943. Pengesahan ini didorong antara lain oleh karena
adanya kemunduran kedudukan Jepang dalam berhadapan dengan

29
Muhammad Zafar, Islam, h. 90.
30
Muhammad Zafar, Islam, h. 96.
31
Lihat Kobayashi Yasuka, "Kyai and Japanese Military", Studia Islamica, IA1N
Jakarta, Vol. 4, 1997, h. 70-93.

50
Sekutu. Pihak Jepang memerlukan dukungan rakyat Indonesia
melalui organisasi-organisasi Islam yang memiliki akar yang kuat di
pedesaan. Kemudian mereka memperhatikan pula organisasi-
organisasi yang berasal dari kalangan yang netral agama, seperti
organisasi Taman Siswa.32
Di masa penjajahan Jepang ini, MIAI didirikan kembali di
Jakarta tanggal 5 September 1942. Federasi ini diubah menjadi
Majelis Syura Muslimin Indonesia tahun 1943.33 Namun, anggota-
anggotanya tidak meliputi organisasi-organisasi Islam di luar Jawa,
oleh karena adanya pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu.
Anggota-aggotanya pun terbatas pada organisasi Islam yang diakui
saja. Sungguhpun kegiatan federasi ini terbatas, tetapi ia dapat
dianggap sebagai penghimpun kekuatan Islam yang oleh saudara-
saudaranya seagama di luar Jawa dapat ditauladani. Kegiatan mereka
antara lain menerbitkan semacam buletin Soeara MIAI dan
dilanjutkan dengan menerbitkan buletin Soeara Moeslimin Indonesia
ketika federasi berubah menjadi Masyumi. Kegiatan lain diadakan,
yaitu pada tahun 1943 Masyumi mengadakan pelatihan ulama yang
berlangsung selama sebulan yang pesertanya 60 orang, mereka
berasal dari berbagai Kabupaten. Kemudian pada tahun 1944
dilaksanakan pula pelatihan selama 3 bulan untuk melatih guru-guru
agama, yang jumlah pesertanya 80 orang. Para pesertanya diberi
mata pelajaran ilmu pengetahuan umum, semangat dan kepercayaan
orang Jepang, metode mengajar, olahraga, dan baris berbaris.
Di pelatihan-pelatihan itu telah mempertemukan para ulama
dari berbagai kelompok Islam, apakah itu dari Muhammadiyah, NU,
PSII dan lainnya. Mereka terkadang berdebat tentang soal agama
yang menjadi keyakinan dan pegangan mereka masing-masing.
Mereka berdebat pula tentang keyakinan yang dianut oleh
pemerintah Jepang dengan “Seikeirei”nya. Sekalipun tidak sepakat
dengan keyakinan itu, secara terpaksa mereka dapatkan dalam ruang
latihan. Berkah adanya dialog dan perdebatan tentang "Seikeirei" itu,

32
Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional, h. 23.
33
Lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, Islam dan Politik Jakarta: (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 15

51
mereka semakin sadar betapa relatifnya ajaran agama orang Jepang
dan benarnya ajaran Islam yang mereka anut.
Pihak Jepang sangat terpukul dengan jatuhnya bom Sekutu di
kota Nagasaki dan Hiroshima yang menelan korban 145 ribu orang
dan Kaisar Jepang Hirohito menerima kekalahan secara mutlak. Pada
tanggal 15 Agustus 1945 di kota Jakarta terjadi suasana yang tegang
dan tersiar berita bahwa Jepang akan menyerah kepada tentara
Sekutu. Soekarno dan Hatta menggunakan kesempatan itu untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Rumah Soekarno di
Pegangsaan Timur No. 56, pagi jam 10.00 tanggal 17 Agustus 1945
pada bulan Ramadlan. Peristiwa ini memberikan tempat terhormat
bagi Jakarta dalam sejarah Nasional Indonesia, dan Jakarta direbut
dari tangan Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekan kelompok pemuda di Gedung
Menteng 31 membentuk sebuah organisasi Angkatan Pemuda
Indonesia (API). Pada tanggal 19 September 1945 para pemuda itu
mengadakan keliling kota supaya rakyat secara pasti mengetahui
bahwa Indonesia telah merdeka.
Jakarta mempunyai saham besar dalam perjuangan bangsa
Indonesia di masa revolusi antara tahun 1945 sampai tahun 1949.
Soekarno sebagai presiden menaruh perhatian khusus dalam
pembangunan Jakarta. Di bangun gedung-gedung dan tempat-
tempat terpenting seperti Monumen Nasional, Hotel Indonesia,
Gedung Sarina, dan Jembatan Semanggi dan banyak lagi bangunan
penting lainnya.34
Setelah Jepang jatuh umat Islam memperjuangkan aspirasinya
dalam wadah partai Masyumi. Sejak awal-awal kemerdekaan,
kedudukan kelompok Islam dalam Badan Usaha Penyelidik Panitia
Kemerdekaan (BUPPKI) sangat lemah. Posisi mereka juga dipandang
tidak menguntungkan dibandingkan dengan kelompok Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) yang menurut pimpinan negara
(Soekarno) merupakan satu-satunya partai dalam negara baru itu.
Sungguh pun partai ini tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan
dengan PNI yang dipimpin oleh Soekarno pada tahun 1920-an,

34
Muhammad Zafar, Islam, h. 97-98.

52
namun dengan dukungan Soekarno dan Moh. Hatta, partai PNI itu
bergema juga. Baru setelah diperbolehkan sistem banyak partai oleh
pemerintah, citra PNI sebagai satu-satunya partai negara berubah.
Berdiri pula di Komite Nasional Indonesia (KNIP) yang
merupakan badan perwakilan rakyat, menunggu terbentuknya
parlemen terpilih yang anggotanya dipilih oleh presiden, posisi wakil
Islam juga lemah, karena di Badan Pekerjanya dari 136 anggotanya,
hanya 2 orang yang berasal dari kelompok politik Islam.
Pada waktu merumuskan apa dasar negara Indonesia yang
akan dimerdekakan nantinya, komponen-komponen bangsa
berselisih tentang hal itu. Umat Islam melalui wakil-wakilnya
berpandangan bahwa negara Indonesia hendaklah berdasarkan
Syari'ah Islam. Hal tersebut didasari oleh dua hal, pertama, bangsa
Indonesia mayoritas beragama Islam. Kedua, Syari'ah Islam yang
bersumber kepada al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber hukum yang
lengkap. Dua sumber itu bukan saja mengatur tentang umat manusia
di dunia ini tetapi juga untuk kehidupan manusia di akhirat.
Komponen bangsa lain, yaitu kelompok yang menamakan dirinya
nasionalis dan non Islam menyatakan bahwa dasar negara hendaklah
bersifat netral yang dapat memayungi semua umat beragama yang
ada. Alhasil, semua pihak sepakat tentang dasar negara yang memuat
sila-sila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hanya saja
umat Islam mengusulkan dalam Sila Pertama hendaklah berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Umat Islam
Melaksanakan Syari'ah Islam”, sedangkan empat sila yang lain tidak
diperselisihkan. Akhir dari perdebatan ini, disepakati dan dipenuhi
aspirasi umat Islam itu. Kesepakatan itu disebut dengan “Piagam
Jakarta”. Namun, pada waktu itu Moh. Hatta, salah seorang perumus
dasar negara mendengar, bahwa bila yang disepakati itu
dilaksanakan, mereka yang berada di bagian Indonesia Timur yang
umumnya beragama Kristen akan memisahkan diri. Merespons
aspirasi ini Moh. Hatta berembuk kembali dengan wakil umat Islam
dan disepakatilah sila pertama yang dikenal saat ini, yang berbunyi:

53
“Ketuhanan Yang Maha Esa” (setelah disepakati oleh mereka bahwa
Piagam Jakarta mensemangati perumusan sila tersebut).35
Selanjutnya, dalam kaitan menyambut pengumuman
pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang membebaskan rakyat untuk
mendirikan partai, umat Islam merasa terpanggil untuk
mengorganisasikan dirinya dalam satu wadah politik sendiri untuk
memperjuangkan aspirasinya. Dalam rangka merealisasikan hal
tersebut, maka diadakanlah Muktamar Islam Indonesia di
Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir
semua tokoh organisasi Islam. Muktamar itu memutuskan untuk
mendirikan Majelis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia, suatu
nama yang mirip dengan Masyumi sebelumnya, yang dianggap
sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam.
Mulanya hanya empat organisasi yang masuk ke wadah
tersebut, yaitu: Muhammadiyah, NU, Persarikatan Umat Islam dan
Persatuan Umat Islam. Kemudian bergabung pula Persatuan Islam
Bandung tahun 1948, Sarikat Muslimin Indonesia Banjarmasin tahun
1949, Al-Irsyad (Jakarta) tahun 1950, menyusul Al-Jam'iyah al-
Wasliyah dan Al-Ittihadiyah. Bahkan, Persatuan Ulama Aceh (PUSA)
yang sangat berpengaruh besar di daerah itu pada tahun 1949 sampai
sekurang-kurangnya tahun 1953 menyatakan diri bergabung pula
dengan partai itu. Selain itu, ada pula organisasi Islam yang ditolak
untuk bergabung yaitu Ahmadiyah Lahore, yaitu aliran Qadian
karena dianggap tidak termasuk ahl al-sunnah wa al-jama'ah.36
Pada masa berikutnya, betapapun pada masa itu banyak orang
yang ingin bergabung dengan Masyumi, tetapi akhirnya Anggota
Istimewa Masyumi menyatakan putus hubungannya dengan partai
ini. Ini terjadi pada puncak-puncaknya pertentangan antara
Soekarno dengan Masyumi. Soekarno melihat Masyumi telah

35
Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan
Muslim, (terj.) Ahmadi Thaha, (Jakarta: LSP, 1987), h.16.
36
Organisasi Islam yang sejak awal tidak bergabung dengan Masyumi adalah
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Hubungan tokoh-tokoh Partai Politik
Tarekat Islam (PPTI) kurang mesra dengan Mejelis Islam Tinggi. Partai Islam di
Sumatera Utara bergabung dengan Masyumi dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) menetapkan diri sebagai partai politik pada 22 Nopember 1945, Deliar
Noer, Partai, h, 50.

54
bersimpati dengan pemberontak Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia. Sebaliknya Masyumi, melihat Soekarno sebagai penguasa
yang ingin menegakkan kediktatoran dan memberi angin kepada
Partai Komunis Indonesia. Pimpinan partai, setelah bermusyawarah
dengan pimpinan Anggota Istimewa, menyatakan melepaskan
ikatannya dari partai tanggal 8 Nopember 1959. Kebijakan ini diambil
untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi-organisasi yang
bersangkutan, sekiranya Masyumi nantinya mendapat hambatan
dalam geraknya.
Selain itu, persoalan keanggotaan, merupakan hal lain yang
juga memicu perpecahan dalam Masyumi. Bagaimana hubungan
antara Anggota Istimewa dengan partai masih menjadi persoalan
yang tidak terselesaikan sepenuhnya. Juga persoalan apakah
keanggotaan dalam partai Masyumi, keanggotaannya berdasarkan
perorangan ataukah berdasarkan federasi. Bila berdasarkan federasi
yang berlaku, berarti penghapusan anggota berdasarkan
perseorangan. Sistem keanggotaan yang berdasarkan perorangan
disepakati, yaitu tetap menegakkan keanggotaan inti, tetapi masalah
hubungan Anggota Istimewa dengan partai masih belum
terpecahkan sepenuhnya.37
Perpecahan yang sangat terasa terjadi di tengah umat Islam
dengan keluarnya NU dari Masyumi. Perpecahan ini antara lain
disebabkan oleh pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di dalam
pemerintahan. NU mengharapkan agar kursi Menteri Agama dapat
ditunjuk dari kalangan mereka. Namun, Dewan Syura Masyumi
memutuskan memilih KH. Fakih Usman (berasal dari
Muhammadiyah) menduduki kursi Menteri Agama (Menag).
Kegagalan tersebut, semakin memotivasi mereka untuk keluar dari
Masyumi dan membentuk NU sebagai partai tersendiri.
Dalam penerapan berpolitik atau berdemokrasi diselenggaraan
Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955 yang berlangsung secara
bebas dan demokratis dan di ikuti oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan partai-partai Islam
seperti Masyumi, NU dan Perti, tidak satupun partai yang mendapat

37
Deliar Noer, Partai, h. 86.

55
suara mayoritas. Dalam kampanyenya, partai-partai Islam akan
memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, begitu pula partai PKI
yang mencitakan komunis sebagai dasar Negara, partai lainnya
menyuarakan nasionalisme kebangsaan. Ketika pada sidang di
parlemen, para wakil rakyat terus memperjuangkan ideologi masing-
masing, dan mempersoalkan kembali ideologi Negara, yang sudah di
sepakati oleh The founding father Tahun 1945. Mereka bertahan pada
argumentasi masing-masing. Kondisi itu terus berkepanjangan dan
tidak menemukan titik temu atau jalan tengahnya. Sementara itu
rakyat merasa tidak puas dengan hasil kerja parlemen karena mereka
hanya mempersoalkan dasar Negara, sementara masalah lain seperti
masalah kesejahteraan rakyat terabaikan. Mereka berdemontrasi dan
meminta kepada Soekarno untuk mengatasi keadaan, Soekarno
mengatasi keadaan dengan cara mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959
yang salah satu isinya Kembali kepada UUD 1945. 38
Pemilu Pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955 ini
partai Islam sudah terpecah ke dalam banyak partai. Dalam
perolehan suaranya masing-masing, partai Islam di Jakarta mendapat
perolehan suara menonjol, di mana perolehan suaranya secara
keseluruhan adalah 44,9 persen dengan rincian, yaitu Masyumi
meraih 26,1 persen suara, NU 15,7 persen, serta gabungan PSII dan
PERTI 3,1 persen. Sementara itu, PNI yang secara nasional meraih
22,3 persen, di Jakarta hanya 19,8 persen, sedangkan PKI 12,6 persen
berbanding 16,3 persen secara nasional.39 Secara nasional partai Islam
memperoleh 16.518.332 suara dengan 15 kursi di parlemen (termasuk
PPTI 85.131suara dengan 1 kursi); dalam konstituante 16.464.008
suara dan 228 kursi terbagi atas Masyumi 7.789.619 suara (112) kursi,
NU 6.989.333 (91), PSII 1.059.922 (1), Perti 465.359 (1), PPTI 74.913 (1).
Sungguhpun angka ini tidak mutlak memperlihatkan keunggulan,
partai Islam sebenarnya bila mereka bisa menggalang sikap dan
tindakan bersama, orang lain tidak dengan mudah mempermainkan

38
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik, hal. 29
39
Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983),
h.121-121. Lihat pula M. Atho Mudzhar, "Islam in Indonesia" (The Politics of
Recycling and the Collapse of a Paradigm), al-Jamiah, IAIN Yogyakarta, No.
5/W2000, h. 3-5- Lihat pula Mendagri, Profil Propinsi DKI Jakarta, (Jakarta: PT.
Intermasa, 1990), h. 121 " Deliar Noer, Partai, h. 347.

56
mereka. Sekurang-kurangnya sudah pasti bahwa tawaran pertama
untuk membentuk kabinet akan diberikan kepada mereka, bila
mereka dapat dianggap sebagai satu kesatuan.40
Selanjutnya beberapa waktu kemudian, suasana politik di
Jakarta mengalami ketidakpastian. Parlemen yang bertugas
mengemban aspirasi rakyat, terjebak dalam pembicaraan tentang
dasar negara. Umat Islam melalui para wakilnya mengusulkan
kembali untuk memberlakukan "Piagam Jakarta", agar syari'ah Islam
berlaku di negara Indonesia. Sementara, pihak lain yakni suatu kaum
yang menyebut dirinya nasionalis dan non Islam ingin tetap
mempertahankan rumusan Pancasila yang telah disepakati.41 Sebagai
negara yang baru belajar berdemokrasi, memperjuangkan aspirasi
bagi setiap orang hal yang lumrah.
Persidangan di parlemen pada waktu itu berlangsung seru dan
memakan waktu yang panjang dan melelahkan bagi wakil rakyat.
Persidangan parlemen belum mencapai suatu keputusan, sementara
rakyat merasakan pembicaraan wakil-wakilnya tidak menyangkut
langsung kebutuhan-kebutuhan pokok hidup mereka yang sulit
dipenuhi. Mereka melakukan demontrasi di luar istana kepresidenan
agar presiden Soekarno segera membubarkan parlemen, karena
lembaga itu dianggap tidak memikirkan nasib rakyat. Soekarno
merespons hal itu dan mengeluarkan Maklumat 5 Juli 1959; yang
salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945. Kemudian,
Soekarno membubarkan Parlemen (DPR), dan bersama-sama dengan
TNI dan organisasi politik pendukungnya seperti PNI, PKI dan NU
menciptakan Demokrasi Terpimpin. Hal itu untuk sementara
membawa turunnya suhu politik bagi masyarakat Jakarta.
Namun, pada tahun I960 partai terpopuler di Jakarta yaitu
Masyumi dilarang, karena dituduh melibatkan diri dalam
pemberontakan terhadap pemerintah pusat di Sumatera. Dan di
tahun I960 ini pula semua pegawai negeri dipaksa mengikuti ide
politik Soekarno yaitu (NASAKOM) yang terdiri dari: Nasionalisme,
Islam dan Komunisme. Para pegawai yang tidak setuju dengan ide itu
diberhentikan dari pekerjaan mereka. Alhasil, Soekarno, sesuai
40
Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia Raspon, h.16.
41
Mendagri, Profil, h. 170

57
dengan konsep demokrasi terpimpinnya dalam memerintah
menggunakan cara-cara yang otoriter, dan menjadikan politik
sebagai "panglima". Akibat dari pengutamaannya terhadap politik,
ekonomi rakyat mengalami keterpurukan. Di tengah keadaan yang
genting ini partai politik besar seperti PKI bersaing dengan TNI
untuk dekat dengan Soekarno. Masing-masing kekuatan itu saling
mencurigai. Di saat Soekarno tampak sakit-sakitan, sementara
mekanisme pergantian kepemimpinan belum ada; PKI menggunakan
kesempatan tersebut untuk melakukan coup de taat. PKI membunuh
beberapa Jenderal TNI serta menguasai sarana-sarana vital lainnya,
sementara di berbagai daerah mereka melakukan penganiayaan dan
pembunuhan terhadap umat beragama. Kekuatan TNI yang juga
didukung oleh umat beragama tidak bisa dilumpuhkan, dan dengan
berbagai elemen bangsa yang ada seperti TNI, dan umat beragama,
PKI dapat dikalahkan di berbagai tempat.42
Perjalanan Negara di bawah Soekarno ini terus berlangsung,
namun untuk memberikan warna terhadap ideologi Negara masih
terus ada. Dari kalangan Islam muncui kelompok Darul Islam,
Negara Islam Indonesia serta yang ditunjukkan oleh Partai Komunis
Indonesia. Puncaknya PKI ingin menguasai Negara seperti yang
mereka lakukan pada Tahun 1948 di Madiun. Pada malam Tahun
1965 terbunuh 7 Jenderal AD, dan juga pembunuhan terhadap umat
beragama terjadi berbagai daerah. Tetapi perebutan tempat vital
seperti RRI terjadi antara TNI dengan pasukan PKI, PKI dapat
dikalahkan dan banyak terbunuh. Kemudian situasi dapat
dikendalikan oleh Soeharto diiringi banyaknya korban terbunuh dari
anggota PKI.
Pada saat itu situasi Jakarta sangat tegang, terjadi demonstrasi
di mana-mana. Gerakan mahasiswa yang terdiri dari Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshar, Persatuan
Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) dan lainnya bersatu
di dalam wadah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI); begitu
pula para pelajarnya, mereka bersatu di dalam wadah Kesatuan Aksi
42
Lihat BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta:Grafiti Press, 1995), h.
145.

58
Pelajar Indonesia (KAPI). Mereka bersama-sama dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) di bawah kepemimpinan Soeharto dapat
mengalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI), Soeharto kemudian
mendapat Surat Perintah 11 Maret 1965 dari Soekarno. Dengan surat
perintah tersebut ia memegang kendali keadaan, lalu beberapa waktu
kemudian ia tampil menggantikan Soekarno sebagai presiden RI.
Rezim Soekarno dinamai Orde Lama (ORLA) sementara rezim
Soeharto dinamai Orde Baru (ORBA).
Alhasil, Soeharto mengambil alih pemerintahan dan ia
dikukuhkan di Sidang MPRS, melalui Sidang ini pula PKI dan
organisasi di bawahnya dinyatakan terlarang. Soeharto di awal
pemerintahannya berjanji ingin melaksanakan UUD 1945 secara
konsekwen, dan membuat strategi pembangunan yang terfokus pada
pembangunan ekonomi. la mulai mengatur masalah politik yakni
membatasi hak-hak politik seperti dikeluarkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 1970 yang intinya melarang pegawai negeri menjadi anggota
partai politik dan menetapkan mereka harus memiliki mono loyalitas
(kesetiaan tuggal).43
Di awal pemerintahan, Soeharto telah mencanangkan untuk
mengoreksi perjalanan pemerintahan sebelumnya yang sangat
berorientasi ke bidang politik dan bertekad untuk benar-benar
menjalankan amanah UUD 1945. Prioritas pembangunan ekonomi
menjadi prioritas utamanya dan menempatkan bidang politik pada
prioritas berikutnya.
Sebagaimana diketahui tegaknya Orde Baru dan tumpasnya
kekuatan PKI, tidak lepas dari peran umat Islam yang merupakan
bagian terbesar di negeri ini. Peran umat Islam dan tokoh-tokohnya
tidak kecil dalam peristiwa tersebut. Kalau saja umat Islam
membiarkan TNI sendiri dalam menghadapi PKI, tentu TNI akan
kewalahan dan mungkin mengalami kekalahan; jadilah bangsa
Indonesia berada di bawah kekuasaan PKI.
Menyadari peran yang sangat besar dalam meruntuhkan
pemerintahan Orde Lama, umat Islam minta diperhatikan aspirasi
43
Edi Riyanto, penyt. dalam Partai Politik Era Reformasi, (Jakarta: PT. Abadi,
1998), hal. 56; lihat pula Rusli Karim, Perjalanan,, hal. 153

59
politiknya. Karena mereka merasa bahwa setelah tumbangnya Orde
Lama yang otoriter dan digantikan oleh Orde Baru, pemerintahan
yang baru akan menumbuhkan suasana yang demokratis.44 Oleh
karena itu, adalah tepat bila mereka ingin memperjuangkan
beberapa aspirasinya. Pertama, beberapa tokoh Masyumi berusaha
untuk merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan pada tahun I960
oleh rezim ORLA. Kedua, memperjuangkan agar Islam menjadi dasar
negara dan memberlakukan "Piagam Jakarta", sehingga menjelang
Pemilu 1972 para pemimpin Islam berupaya menjadikan dasar Islam
sebagai dasar negara. Ketiga, kalangan tokoh Islam yang lain hendak
mendirikan partai politik Islam yang baru, salah satunya adalah Moh.
Hatta, mantan Wakil Presiden RI ini ingin mendirikan Partai
Demokrasi Islam Indonesia (PDII), namun ditolak oleh penguasa
ORBA.
Ketiga daftar keinginan para tokoh Islam itu tidak satu pun
yang diterima oleh pemerintah. Pemerintah beralasan bahwa saat ini
bukan saatnya lagi untuk membicarakan persoalan-persoalan yang
bersifat ideologis. Sejak saat ini pula pemerintah melakukan kontrol
yang sangat ketat terhadap politik Islam. Apa pun yang berbau
Politik Islam senantiasa dicurigai oleh pemerintah.45
Harapan umat Islam ternyata hampa, justru yang terjadi
sebaliknya, di mana hampir semua aspirasi umat Islam disumbat.
Umat Islam ternyata dijadikan teman hanya pada saat menumpas
Partai Komunis Indonesia (PKI), tapi setelah itu umat Islam
dipandang sebagai momok yang menakutkan bagi pemerintah Orde
Baru.
Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada dekade
ini, dalam kebijakannya banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
yang juga bersifat ideologis, baik melalui tokoh-tokoh TNI yang
nasionalis maupun tokoh-tokoh agama tertentu yang bergabung
dalam sebuah Lembaga yang bernama CSIS. Lembaga yang berkantor
di Jakarta ini memiliki jaringan kuat secara internasional. Sudah
umum diketahui bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) inilah

44
Lihat Affan Gafar, "Islam dan Politik Dalam Era ORBA", h. 20.
45
Alfian, Pemikiran dan Pembaharuan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980),
h. 2.

60
sebagai think tank yang memasok semua kebijakan pemerintah yang
akan ditetapkan, termasuk menetapkan kebijakan-kebijakan untuk
membatasi gerak politik Islam.46
Pada bidang politik, pemerintahan Soeharto
menyelenggarakan Pemilu Pertama tahun 1972, yang diikuti oleh
partai-partai Islam seperti NU, PSII, Parmusi, kemudian Sekber-
Golkar, partai PNI, Murba, Partai Kristen Indonesia.47 Penyakit
politik lama yang mengusung ideologi masih terus mewarnai
kampanye politik, dan mereka akan menerakannya apabila
memenangkan Pemilu. Kampanye diwarnai oleh hujatan, saling
serang dan bahkan saling kafir-mengkafirkan, akibat yang lebih fatal
terjadi perkelahian antar pendukung dan bahkan memakan korban
jiwa. Partai-partai yang berbasis Islam pun sesama mereka terjadi
pertarungan yang sengit terutama adanya perbedaan khilafiyah.
Pemilu di DKI Jakarta telah menghasilkan perolehan suara partai
Islam berkisar 36,16 persen, dengan rincian NU mendapat 23,19
persen, PSII 4,83 persen, PARTI 0,59 persen dan PARMUSI 7,55
persen. Sementara itu, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber-
Golkar) mendapat 45,71 persen, dan sisanya untuk partai-partai
lainnya.48
Melihat fenomena partai-partai politik Islam yang hanya
berkutat masalah ideologi dan melupakan kemakmuran masyarakat

46
Yang memasok konsep berbagai kebijakan Orde Baru, ditengarai adalah Ali
Murtopo, seorang Jenderal, penasihat presiden Soeharto terdekat pada waktu
itu. Ada dua kelompok dibawahnya, kelompok yang pertama adalah para tokoh
Katolik (Kristen) Indonesia yang terdiri dari Liem Bian Kie, Liem Bian Khoen,
Herry Tjan dan Moerdopo, mereka mempunyai hubungan dekat dengan Ali
Murtopo. Kelompok kedua adalah dari Universitas Gajah Mada Yogayakarta
yang sekuler dan tidak simpatik terhadap Islam. Mereka adalah Sumiskun,
Sulistyo, Sugiharto, Soekarno dan Suroso, dikenal bersifat anti presiden
Soekarno serta memusuhi aspirasi Islam. Kelompok ketiga adalah kelompok
Bandung dengan tokohnya Rachmat Toleng dan Midian Sirait. Ketiga
kelompok ini merupakan think tank atau tenaga pemikir Golkar untuk
modernisasi Indonesia. Konsep modernisasi mereka berdasarkan pemikiran
Sutan Sjahrir, Ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dibekukan pada tahun
I960. Ditambah antogonisme mereka terhadap Islam dan anti Komunisme.
Muhammad Kemal, Modernisasi, h. 10.
47
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 143
48
Lihat Affan Gafar, "Islam dan Politik Dalam Era ORBA", dalam Ulumul Qur'an,
No.2, Vol. IV, tahun 1993, h. 19.

61
Islam yang mayoritas ditimpa oleh kemiskinan; menyaksikan
sengitnya persaingan antar partai Islam yang saling menyerang
masalah-masalah yang bersifat khilafiyah, serta saling mengkafirkan
dan diwarnai oleh bentrok massa, dan jauh dari program perbaikan
nasib rakyat, karena terfokus menjual ideologi. Maka kalangan muda
Islam seperti Nurcholish Madjid dan kawan-kawan mengeluarkan
pemikiran politik yang intinya de-ideologi partai Islam, dengan
jargon: "Islam Yes, Partai Islam No". Tentu saja pandangan ini
mendapat kritik dari mereka yang tidak setuju.49
Sementara itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
yang kontroversial yang dipandang sangat merugikan umat Islam.
Ketika pra Sidang Umum MPR 1973, sebuah Komite Pekerja yang
dipimpin oleh Daryatmo (seorang pejabat militer) terbentuk, telah
menyusun draf GBHN.50 Dalam draf itu tercantum beberapa hal yang
mengundang keprihatinan umat Islam yaitu: (1) Menggantikan
pelajaran agama dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dalam
semua tingkat sekolah umum, (2) Anggaran Belanja Negara tahun
1973/1974 untuk urusan keagamaan diturunkan dari satu milyar dua
ratus dua puluh enam juta, menjadi hanya Rp. 800 juta, (3)
Masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN sebagai bagian dari
agama resmi yang kedudukannya setingkat dengan agama-agama
lain. Persoalan lain yang juga menimbulkan reaksi umat Islam
setelah SU-MPR adalah masalah UU Perkawinan yang disodorkan
pemerintah ke MPR pada tanggal 6 Agustus 1973 yang beberapa
pasalnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Terhadap Draf
itu, terutama umat Islam di Jakarta banyak menentang dan
melakukan demontrasi ke Gedung MPR-DPR Senayan
Jakarta.lamUntuk memudahkan pemerintah membina partai politik,
maka melalui UU No. 3 Tahun 1975, pemerintah menyederhanakan
partai politik sehingga menjadi tiga partai yairu Partai Golkar yang
didukung pemerintah dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi partai non
pemerintah. PPP adalah partai gabungan partai Islam yaitu partai

49
Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila, (Jakarta: Galia
Indonesia, 1984), hal. 1
50
Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, h. 186.

62
PSII, NU, Parmusi dan lainnya. PDI merupakan gabungan partai
nasionalis dan agama.
Kemudian, pada tahun 1977, pemerintahan Orde Baru kembali
lagi menyelenggarakan Pemilu. Karena ekses-ekses Pemilu
sebelumnya pemerintah menetapkan peserta Pemilu hanya terdiri
dari tiga kontestan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-
partai yang bergabung di PPP adalah partai-partai Islam, dan Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), Murba dan partai nasionalis lainnya
bergabung dengan PDI. Peserta Pemilu kali ini disederhanakan oleh
pemerintah, dimaksudkan agar ekses-ekses negatif dari pelaksanaan
Pemilu dapat berkurang. Pemerintah saat ini tengah giat-giatnya
melaksanakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat. Oleh
karena itu, semua komponen bangsa dan kekuatan politik yang ada
diharapkan dapat mendukung program pemerintah tersebut. Partai
politik karena itu diharapkan tidak lagi berorientasi kepada ideologi,
tetapi hanya berorientasi kepada program-program yang dapat
mendukung pembangunan bangsa. Pada Pemilu kali ini di DKI
Jakarta, PPP memenangkan suara pemilih yaitu 44,09 persen, Golkar
pada Pemilu sebelumnya memenangkan suara pemilih, memperoleh
suara 39,84 persen, dan PDI mendapat suara 16,07 persen. Pada
Pemilu Tahun 1977, Golkar mendapat suara mayoritas. Sementara
PPP dan PDI pada urutan dua dan tiga.
Pada saat ini kampanye Pemilu kembali lagi diwarnai oleh
ketegangan antar kontestan yaitu partai Islam dengan partai yang
bercorak nasionalis, yang memunculkan benturan fisik, dan
menimbulkan korban jiwa. Di Matraman Jakarta telah muncul
pertentangan ideologi antara simpatisan Golkar dan PPP. Para
pemuda Berland, yang sebagian besar anak tangsi dan banyak
menjadi anggota Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI
(FKPPI) menjadi pendukung Golkar. Sedangkan warga Pal Merah
dan Tegalan di seberangnya lebih banyak menjagokan PPP. Pada saat
kampanye Pemilu mereka saling mengejek. Buntutnya terjadilah
beberapa kali bentrokan.51 Begitulah fluktuasi perolehan suara yang

51
Alwi Shahab, Robin, h. 67

63
tinggi serta pertarungan yang ketat antara organisasi peserta pemilu
(OPP) tampak menjadi warna yang dominan di DKI Jakarta. Hal itu
tampaknya merupakan ciri khas kehidupan politik di DKI Jakarta,
yang pada gilirannya menjadi cermin paling kongkrit dari tingginya
dinamika kehidupan politik di daerah ini.
Berbagai pertimbangan masih adanya komponen bangsa yang
masih mempersoalkan ideologi yang ada dan sering menimbulkan
berbagai konflik dan ketegangan, pemerintah melalui Keputusan
MPR No. II Tahun 1978 yang merupakan wujud penjabaran Pancasila
berupa Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (P-4),
dimana setiap warga Negara diharuskan mengikuti penataran P-4.,
dimana di setiap daerah termasuk di DKI Jakarta dibentuk BP-7.52
Penetapan Pancasila sebagai ideologi negara dimaksudkan agar
bangsa Indonesia lebih berkonsentrasi kepada pembangunan
ekonomi dan tidak menghabiskan energi bangsa berpolemik tentang
ideologi negara. Penciptaan Pancasila sebagai ideologi negara telah
mendapat penentangan dari sebagian umat Islam, yang klimaksnya
menimbulkan peristiwa berdarah yang merengut korban jiwa dengan
apa yang disebut dengan Peristiwa Tanjung Priok.53
Penyelenggaraan pemilu yang ada sangat dominan dikelola
oleh orang-orang yang sedang memerintah, dan pegawai pemerintah
diarahkan memilih partai tertentu, untuk itu mereka memilih di
kantornya masing-masing, bagi mereka yang tidak memilih partai
pemerintah akan di black list atau diminta untuk keluar dari pegawai
negeri. Satu sisi perhatian masyarakat sudah mengarah kepada
berbagai program pembangunan termasuk pembangunan ekonomi,
tetapi sisi yang lain, aspirasi rakyat yang berbeda tersumbat, suara
alternatif dalam konsep ekonomi pun sulit berkembang. Pemilu yang
ketiga diselenggarakan pada Tahun 1983, suara pemenang pemilu
masih diperoleh oleh Golkar. Pemilu masih saja menegangkan
karena diwarnai oleh bentrokan antar peserta Pemilu yang fanatik
dengan partainya.
Sementara itu, di tengah masyarakat terutama umat Islam
masih terus berlangsung suara tidak setuju dengan penerapan
52
Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah National, (Jakarta: P dan K, 1983), h. 486.
53
Lihat Majalah Tempo, Jakarta, 18 Januari 1980, h. 25-27

64
Pancasila sebagai ideologi Negara satu-satunya dan dengan
gencarnya melaksanakan penataran P-4 di tengah masyarakat.54
Suara-suara yang menyuarakan ketidaksetujuan pada ideologi ini di
tindak secara tegas melalui kekuatan militer.
Tahun 1982 Pemilu kembali lagi diselenggarakan dan Golkar
mendapat 246 kursi, PPP 24 kursi dan PDI 24 kursi. Pemilu kali ini
tambah semarak, menegangkan sekaligus memprihatinkan, karena
kembali lagi diliputi oleh suasana panas dan bahkan memakan
korban jiwa. Hal ini semakin mengundang pernyataan keprihatinan
banyak pihak dan dan bahkan menjadi kajian pemerintah untuk
mengurangi ekses dari penyelenggaraan Pemilu di masa-masa
berikutnya. Paralel dengan janji pemerintah untuk lebih
memfokuskan pada pembangunan ekonomi, mengantarkan
kebijakan pemerintah untuk memperkuat Pancasila sebagai ideologi
bernegara dan berbangsa. Membaca kondisi masyarakat yang masih
bertikai masalah ideologi, pemerintah semakin memperkokoh
Pancasila, Pancasila bukan saja sebagai ideologi partai politik, tetapi
juga untuk seluruh bangsa agar rakyat sepenuhnya berada dalam
aroma pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Untuk itu
Soeharto mengeluarkan UU. No. 3 dan UU No.8 Tahun 1985. Melihat
kebijakan ini banyak perlawanan yang dilakukan terutama oleh umat
Islam, karena dipandang menjadikan Islam sebagai bagian dari
Pancasila yang sebenarnya mereka berkeyakinan Islamlah di atas
Pancasila, beberapa kasus terjadi menentang kebijakan ini dan
banyak aktivis Islam yang di black list atau dikejar-kejar oleh militer.
Perjalanan politik Indonesia memang sejak tahun 1970-an
kondisinya sudah nampak tidak stabil. Adanya perpecahan di intern
umat Islam dengan banyaknya partai Islam, yang membawa tema
yang bersifat ideologis. Juga munculnya perpecahan di tubuh partai
non pemerintah, yakni di dalam tubuh partai-partai nasionalis.
Partai-partai tersebut sangat berorientasi kepada ideologinya yakni
Islam dan nasionalisme, menyebabkan Pemilu penuh ketegangan
dan memakan korban jiwa. Kondisi tersebut telah memunculkan
keprihatinan kelompok muda Islam yang berpikiran "liberal",
54
Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila, (Jakarta: Galia
Indonesia, 1984), hal. 1.

65
terutama kepada partai Islam, mereka mempertanyakan tentang
hubungan antara agama dan politik. Nurcholish Madjid, salah
seorang pemikir muda Islam ketika itu menulis dan mengeluarkan
jargon, "Islam, Yes; partai Islam No".55 Dengan jargon ini ia dan
kawan-kawannya ingin meletakkan bahwa partai Islam, bukanlah
tujuan, tapi hanya sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan
rakyat. la melihat bahwa eksponen partai Islam lebih mengutamakan
memperjuangkan ideologi Islam, yang telah diperjuangkan selama
beberapa dekade, tapi selalu gagal, daripada memperjuangkan
kesejahteraan rakyat. Perjuangan "ideologi" yang sensitif ini telah
menyebabkan munculnya pertikaian pada saat Pemilu dengan partai
yang bercorak lainnya.
Visi yang muncul sejak tahun 70-an dan pada dekade tahun 80-
an masih menginspirasi kebijakan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk
membuat kebijakan bukan saja mengurangi jumlah partai Islam, tapi
juga sepenuhnya mengendalikan partai yang ada di bawah kendali
pemerintah. Tepatnya pada tahun 1985 usaha pemerintah untuk
semakin memantapkan Pancasila sebagai ideologi bernegara dan
berbangsa menjadi kenyataan, yaitu dengan menyatuazaskan semua
Organisasi Sosial-Politik yang hidup di Tanah Air. Dengan
ditetapkannya UU No. 3 dan UU No. 8 Tahun 1985 ini pemerintah
bukan saja secara leluasa mengontrol partai-partai politik, tetapi juga
termasuk mengontrol semua organisasi sosial yang ada. Kebijakan
pemerintah tersebut dirasakan oleh umat Islam sebagai upaya yang
sistematis dari penguasa yang didukung oleh kelompok "nasionalis-
agamis" tertentu untuk meminggirkan kelompok Islam yang
memiliki jumlah mayoritas di negeri ini dalam semua bidang
kehidupan.
Peranan pemerintah yang didukung oleh ABRI sangat kokoh
dan kuat, sehingga berbagai kebijakan terhadap publik pasti dapat
dilaksanakan. Oleh karena itu, pemerintah mendapat kritik dari
tokoh-tokoh terkenal yang tinggal di Jakarta, seperti Moh. Hatta,
Syafruddin Prawiranegara, dan Jenderal A.M. Nasution. Moh. Hatta
berpandangan bahwa Indonesia ke depan hendaknya diperkuat

55
Muhammad Zafar, Islam, h. 210-212.

66
dengan basis moral dan tetap mengikat diri pada kesejahteraan
religius penduduknya. Komitmen semacam inilah membuat orang
bertanggung jawab pada negara berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Kritik lain diberikan pula oleh Syafruddin Prawiranegara
terhadap campur tangan militer di bidang politik, sepeiti intervensi
militer terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pengontrolan
yang begitu ketat terhadap kelompok Islam, pemberedelan terhadap
media massa, kecenderungan memperkaya sekelompok kecil orang,
serta sistem pengangkatan anggota MPR. A.H. Nasution juga
memberikan kritiknya terhadap penyimpangan-penyimpangan
konstitusional yang tampak dalam rekonstruksi sosial politik
pemerintah yang dikuasai oleh ABRI. Mengenai pembangunan
ekonomi yang dianggapnya sebagai sistem yang terlalu cenderung ke
arah sistem kapitalisme dan liberalisme.56
Kehidupan perpolitikan disederhanakan demi lebih fokus
kepada pembangunan ekonomi, sekaligus rasa ideologis di
masyarakat diminimalkan. Pemerintah lebih fokus pada
pembangunan ekonomi seolah memandang bidang politik bukan hal
lebih penting. Pembangunan politik bersifat monolitik, ruang aspirasi
rakyat menyampaikan pendapat di atur melalui atas, sebagaimana
terlihat pada pengarahan presiden pada acara Kelompencapir di
berbagai daerah. Suara alternatif dalam pembangunan dibungkam.
Demi mengamankan fokus pembangunan ekonomi dan menjaga
stabilitas Negara, peran meliter sangat menonjol di bidang- bidang
strategis dalam pemerintahan dan juga sebagai kepala daerah dan
bahkan kepala desa banyak dipercayakan kepada pihak militer.
Kondisi yang tidak kondusif ini menyadarkan umat Islam
untuk merubah strategi dari politik simbol menjadi politik
substansif. Perubahan ini terjadi tidak by design oleh umat Islam
tetapi muncul karena kondisi terpaksa karena politik simbol tidak
mendapat tempat. Hikmah yang dapat diambil bagi umat Islam,
mereka tidak terpaku lagi kepada ideologinya yang memang hanya
sebagian kecil saja dari doktrin Islam, tetapi banyak masalah yang

56
Muhammad Zafar, Islam, h. 202-204

67
dihadapi bangsa termasuk umat Islam yang mendesak dikerjakan
seperti membangun masalah ekonomi bangsa.
Perubahan ini sedikit mengendorkan ketegangan, yakni
penghadapan antara umat Islam dengan pemerintah. Meredanya
ketegangan ini diikuti pula oleh adanya akomodasi pemerintah
terhadap umat Islam. Mereka mengakomodasi kepentingan umat
Islam dalam kehidupan bermuamalah, dengan di keluarkannya UU
Perkawinan untuk mengatur masalah perkawinan, nikah, thalak dan
rujuk.
Demikian, bangsa Indonesia terutama umat Islam selama
beberapa dekade ini telah terjerat dengan masalah ideologi. Kalau
pada masa-masa Komunis Tahun 60-an dapat dipahami, para tokoh
Islam bersikeras memperjuangkan ideologi, karena mengimbangi
gerakan ideologi komunis yang sering menggunakan kekerasan
dalam mencapai cita-citanya. Tetapi setelah era komunis, seharusnya
cita-cita ideologis sudah dikurangi sebagaimana yang pernah
dijadikan kebijakan Orde Baru yang mengarahkan partai-partai
untuk berfikir program, dengan kata lain sudah berfikir "membumi"
alias tidak di awang-awang, yakni untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat.57 Tetapi era pasca komunis, berfikir ideologis masih saja
mewarnai orang-orang Muslim termasuk partai-partai Islamnya.
Akibat ini semua, menimbulkan banyak korban jiwa yang
mengiringinya. Belum lagi banyak aktivis Islam yang secara diam-
diam mencerca Pancasila dan mempertentangkannya dengan ajaran
Islam, yang akibatnya banyak dari mereka yang disiksa dan
kehidupan mereka merasa tidak tenang, karena selalu di kejar-kejar
oleh aparat keamanan. Kemudian karena konsentrasi umat Islam
bersifat ideologis, sisi kesejahteraan dan kualitas umat terabaikan.
Selama beberapa dekade ini secara esensial pembangunan
politik tidak menyentuh persoalan kebebasan yang seharusnya
dimiliki oleh warga Negara, karena pembangunan politik yang
dilakukan pemerintah menggunakan pola satu arah. Baru masa
reformasi pembangunan politik mendekati esensi yang sebenarnya,
partisipasi politik rakyat mulai berkembang, partisipasi rakyat dalam

57
Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik, h. 212

68
berpolitik mencapai puncaknya dengan sistem dipilihnya wakil
rakyat, presiden dan wakilnya langsung oleh rakyat. Hanya saja
dalam kontek umat Islam, tetap saja memunculkan belasan partai
politik yang cenderung menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan.
Gambaran-gambaran di atas memperlihatkan bahwa situasi
politik di tengah masyarakat Indonesa termasuk masyrakat Betawi
sejak masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, berada dalam situasi
yang tidak "menguntungkan" atau terpinggirkan. Di tengah bangsa
yang sedang mengalami dinamika politik pada masa penjajahan,
mereka ikut mengusir penjajah. Juga, pada awal-awal kemerdekaan,
melalui organisasinya, mereka pun ikut mensosialisasikan
kemerdekaan itu ke tengah masyarakat. Pasca kemerdekaan, mereka
ikut meramaikan suasana perpolitikan di Tanah Air, hingga mereka
ikut merasakan imbas dari dinamika politik yang ada itu.

C. Situasi Ekonomi
Kehidupan ekonomi atau perdagangan telah bersenyawa
dengan para da’i yang mensyiarkan Islam ke Nusantara yang datang
di daerah pantai tempat kegiatan perekonomian. Orang-orang
Muslim terlibat dengan kegiatan ekonomi guna memenuhi
kebutuhan dan sekaligus mengembangkan syi'ar Islam. Orang-orang
yang memeluk Islam semakin banyak, mereka berdiam mulai dari
pantai sampai ke daerah-daerah pedalaman. Di sini pusat kekuasaan
Islam tumbuh, sebagai peralihan dari daerah pantai ke tempat yang
jauh dari pantai, tumbuh pusat-pusat kerajaan Islam seperti
Yogyakarta atau Surakarta. Adanya peralihan ini, orientasi dan
profesi masyarakat sudah beragam, berdagang atau kegiatan
ekonomi bukan satu-satunya bahkan kegiatan ekonomi tidak lagi
dipandang sebagai bidang kegiatan yang utama atau terhormat.
Bidang kehidupan yang terhormat adalah menjadi pegawai raja atau
menjadi pelayan kerajaan yang tentu menggunakan pakaian yang
bersih dan rapi disertai dengan gaji dan tunjangan ekonomi yang
memadai meskipun tanpa bekerja keras atau menyingsingkan lengan
baju seperti yang dilakukan oleh seorang pedagang. 58

58
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: LSIK, 1997), hal. 196

69
Sejak perubahan orientasi ini, perekonomian Islam mengalami
pasang surut karena mentalitas umat Islam mengalami perubahan
dari mental dagang ke mental priyai. Pusat-pusat kegiatan umat
Islam pun beralih dari daerah pantai ke daerah kosmopolit.
Sementara itu, penjajah yang sengaja datang ke Nusantara menguasai
kegiatan perekonomian, dengan kekuatan senjata dan kecerdikan
politik, mereka menaklukan raja-raja Islam dan menguasai bandar-
bandar perdagangan. Jalur-jalur laut yang strategis yang dulu
dikuasai oleh umat Islam kini dikuasai oleh penjajah.
Orang-orang Barat datang ke Nusantara untuk menguasai
perekonomian. Motif ekonomilah yang mendasari orang-orang Barat
datang ke Nusantara. Orang-orang Barat menyadari, bahwa untuk
menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera lagi terhormat di mata
Negara-Negara lain, atau menjadi Negara yang tetap survive di
tengah-tengah kompetisi bangsa lain ekonomi harus maju. Melalui
kemajuan ekonomi pula mereka dapat mengembangkan lebih jauh
lagi kemajuan teknologi, baik untuk alat transportasi maupun untuk
mengembangkan senjata perang yang dapat digunakan untuk
menguasai bangsa lain.
Nusantara adalah daerah yang sangat subur. Nusantara adalah
negeri yang terdiri dari ribuan pulau dan mengandung sumber daya
alam yang kaya. Pulau-pulau ditumbuhi oleh hutan yang lebat,
berbagai makhluk, sumber nabati dan satwa alam ditemukan.
Berbagai hewan baik yang buas seperti harimau, macan, atau hewan
yang tidak buas seperti kancil, rusa, ayam, angsa, semuanya
ditemukan di Nusantara. Berbagai sumber daya alam sangat lengkap
mulai dari kopi, lada, cengkeh, dan juga sumber bumi seperti
minyak, timah dan banyak lagi ditemukan di Nusantara. Nusantara
adalah negeri yang subur, apa saja dapat menjadi tumbuh dan dapat
dimanfaatkan.
Bangsa Belanda datang ke Nusantara yang pertama kali mereka
dirikan adalah usaha dagang dengan nama VOC. 59 Guna
memperkuat penguasaan perekonomian, mereka menguasai jalur-

59
Badri Yatim, Sejarah, hal. 234

70
jalur perdagangan. Dengan penguasaan ekonomi mereka dapat
menjajah Nusantara selama 300 Tahun.
Dalam kaitan ini setelah kemerdekaan Indonesia salah satu
yang menjadi cita-cita the founding father di dalam UUD 1945, bahwa
tujuan berdirinya Negara ini adalah untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat. Cara mencapainya dibuatlah dalam salah satu
fasalnya yaitu melalui kegiatan koperasi. Koperasi adalah bentuk
kegiatan ekonomi yang didirikan dan dikelola secara bersama-sama
atau berkelompok, hasil dari kegiatan ekonomi ini merupakan
keuntungan bersama, begitu pula kalau mengalami kerugian. Watak
kebersamaan yang melekat pada koperasi ini yang membedakan
kegiatan ekonomi yang bersifat liberal yakni merupakan usaha
individu yang hasilnya untuk perorangan.
Hanya saja untuk mengantarkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, selama kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini,
tampaknya masih menjadi cita-cita atau hanya bersifat angan-angan,
pesan ini belum tercapai. Di awal-awal kemerdekaan, Soekarno salah
satu pemimpin Negara, dan juga elit Negara yang lain masih
merasakan euforia kemerdekaan, misalnya Soekarno menyebut
bahwa masa revolusi belum selesai. pemerintah pada saat itu
terpusat berkonfrontasi dengan Malaysia, karena Negara ini dianggap
berpihak ke Inggris sebagai Negara kolonialisme dan kapitalisme.
Bersamaan dengan isu ini, elit-elit politik yang menjadi panutan
rakyat, disibukkan oleh perdebatan tentang ideologi Negara. Orang
Islam bersikukuh Islamlah yang pantas menjadi ideologi Negara,
begitu pula dengan umat yang lain atau kelompok lain berpegang
pada ideologinya; sehingga bagaimana mengembangkan ekonomi
tidak mendapatkan perhatian. Ahli ekonomi memang masih dihitung
dengan jari tetapi yang paling banyak adalah ahli politik atau
agamawan yang banyak terjun ke dunia politik. Memang, memahami
ekonomi memiliki tingkat kesulitan karena berkaitan dengan hitung
menghitung, sementara masalah politik adalah masalah kepandaian
bicara dan bersilat lidah.
Perekonomian bangsa Indonesia, baru pada dataran konsep
yang tercantum di dalam Undang-Undang, sedang bagaimana
implementasi dari cita-cita ekonomi koperasi seperti yang diinginkan

71
Hatta belum ada rumusannya.60 Para agamawan di sekolah-sekolah
agama sebenarnya telah belajar masalah ekonomi hanya saja yang di
pelajari baru sekitar masalah muamalah, seperti jual beli yang masih
sangat sederhana dan baru berada pada tahapan teoritis; perlu jujur
dalam timbangan, dalam jual beli hendaklah dilakukan dengan
keridlaan, dan bunga bank itu haram dan laihnya.
Pada masa Soekarno, kajian ekonomi telah ada di Kampus-
kampus melalui buku-buku teks yang berkiblat kedua poros ke Barat
yang menganut ideologi kapitalisme dan poros yaitu Timur
menganut ekonomi sosialisme. Sistem ekonomi kapitalisme,
ekonomi pasar/bebas merupakan pikiran Max Weber, sementara
sosialisme berasal dari ide Marx yang berkembang di Negara-Negara
komunisme.61 Dua ide ekonomi besar inilah yang mewarnai
pemikiran ekonomi di Kampus di Indonesia, sementara ekonomi
Islam belum mengalami perkembangan, hal ini bukan saja terjadi di
Indonesia tetapi juga di Negara-Negara Islam lainnya seperti Mesir
atau Turki yang sekuler. Di dua Negara inipun masih mengunakan
ekonomi kapitalisme. Di masa ini, di Indonesia paling tidak ada dua
sosok pemikiran ekonomi yang muncul, yaitu sosialisme yang dianut
oleh Sutan Syahril yang telah berkembang di Timur dan ekonomi
kerakyatan yang dianut oleh Hatta yang belum ada wujudnya.
Di masa Soekarno telah terjadi dua pertarungan paham
ekonomi, yaitu sosialisme dan kapitalisme. Namun dengan kejatuhan
dan bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) Tahun 1965, paham
sosialisme pun ikut jatuh. Kemudian hubungan Indonesia dengan
Negara seperti Uni Soviet dan China mengalami keterputusan.
Banyak orang Indonesia yang terlibat dengan partai komunis lari ke
Negara-Negara tersebut. Atau mereka yang sedang belajar di negeri
itu takut untuk pulang ke tanah air.
Perubahan rezim dari Soekarno ke Soeharto mengalihkan
kiblat ekonomi ke Barat.62 Banyak mahasiswa yang dikirim untuk

60
Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945, (Bandung:
Alumni, 1977), hal. 63
61
Fachry Ali, Islam, Ideologi dan Dominasi Struktural,( Bandung: Mizan, 1984),
hal 21
62
Fachry Ali, Islam, Ideologi, hal 21

72
belajar ekonomi ke Amerika Serikat, salah satunya di universitas
Berkeley antara lain seperti Sumitro, Sadeli, dan Ali Wardana.
Banyak pula mereka hanya sekedar membuka wawasan melalui studi
singkat di Negara yang menganut sistem kapitalis. Literatur ekonomi
kapitalis mereka lahap. Setelah menyelesaikan studi dan membawa
gelar doktor yang baru sedikit orang Indonesia yang meraih gelar itu,
mereka pulang menjadi teknokrat-birokrat dan menerapkan teori-
teori ekonomi kapitalis di Indonesia dalam kondisi masyarakat yang
berbeda.
Teori-teori ekonomi kapitalis, sebagai suatu surnber
pembengunan, teori ekonomi lain seperti sosialisme tidak beraku,
dan juga ekonomi Pancasila (koperasi) yang tercantum dalam UUD
1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kemudian
dimasyarakatkan dalam pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Tapi ekonomi Pancasila kurang mendatakan
pengembangan, para ilmuwan tentu mereka tahu begitu banyak
literatur tentang ekonomi dan begitu banyak madzhab dalam
ekonomi, dan sebagai ilmuwan juga mengakui adanya keterbatasan
satu sistem ekonomi. Mereka begitu taklid kepada madzhab
kapitalisme, padahal, ibarat seorang guru silat mereka tidak akan
memberikan semua jurus kepada muridnya, karena khawatir
muridnya akan melawan guru. Begitu pula dalam perkembangan
ilmu dan teknologi, bagi seorang yang berjiwa nasionalis tidak semua
memberikan jurus-jurus ilmu serta kelemahan-kelemahan dari suatu
teori keilmuwan. Bila itu yang dilakukan semua Negara bisa menjadi
Negara industri dan memiliki kemajuan dalam bidang teknologi,
kalaupun itu di dapat diperlukan orang-orang genius atau membeli
melalui ilmuwan yang bersifat "oventurir".
Urusan ekonomi seratus persen diserahkan sepenuhnya oleh
Soeharto ke tangan para lulusan Berkeley dan "gengnya", dalam
beberapa waktu mereka menerapkan ekonomi kapitalis, ternyata
benar dapat mensejahterakan masyarakat dan membawa Negara
maju dalam banyak" hal. Mereka menerapkan teori yang mereka
pelajari dengan teori pertumbuhan dan kelak akan menetes ke
bawah (trackel down effect). Investasi berbagai Negara berdatangan,
menanamkan modalnya di Negara Indonesia yang sedang

73
membangun ekonominya.63 Maka di buatlah strategi pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan, bertahap, Pelita demi Pelita. Sementara
itu yang menguasai ekonomi dan diberi peluang berusaha seluasnya
adalah mereka yang beretnis China seperti yang pernah terjadi di
masa penjajahan dulu. Pertumbuhan ekonomi dirasakan
pergerakannya, sementara itu inflasi dapat ditekan. Kemudian,
mereka berpandangan Negara Indonesia yang baru merdeka butuh
dana yang besar. Indonesia ibarat Negara yang baru kalah perang,
seperti yang terjadi pada Jepang, banyak donor yang menawarkan
uangnya untuk dihutang dengan bunga yang cukup menguntungkan
para pendonor itu. Indonesia adalah Negara yang banyak sumber
daya alamnya, maka tidak perlu khawatir untuk membayar hutang
karena akan dibayar dengan minyak atau dengan timah atau dengan
yang lainnya. Mereka sangat yakin bahwa bangsa Indonesia ini anak
yang baik. Bak dipucuk ulam tiba, mereka dihubungi oleh
pemerintah untuk melakukan kesepakatan berhutang dengan bayar
mencicil.
Jadilah ekonomi Indonesia sangat bertumpu kepada hutang ke
Negara donor dengan bunga yang tinggi, hutang semakin
membengkak, dan pengurasan alam Indonesia berkelanjutan. Secara
parsial dan nampak dipermukaan, ekonomi Indonesia dilihat melalui
produksi brutonya mengalami pertumbuhan, merambat hingga
pertumbuhan 7 persen. Perkembangan ekonomi yang kemudian
diketahui semu ini mendapat pujian dari "Lembaga Penghutang
Dunia" yaitu IMF dan WORLD BANK, bahwa Indonesia akan
menjadi Negara yang maju di Asia Tenggara.64 Memang sangat sulit
menebak dalamnya laut, dan apa latar belakang pujian itu. Padahal,
mereka juga tahu penggerogotan terhadap hutang-hutang yang
mereka kucurkan dan hanya beberapa persen realisasinya karena di
korup. Mereka berdiam seribu bahasa dan tidak peduli sama sekali.
Memang, bagi mereka yang penting hutang terbayar, apakah Negara
ini karena salah pengelolaannya, nanti akan bangkrut itu bukan
urusan mereka, bila perlu suatu Negara akan terus berhutang

63
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1998), hal.1
64
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, hal.2

74
sepanjang keberadaan Negara itu masih ada atau dunia ini belum
kiamat.
Strategi ekonomi kapitalisme di Indonesia membiarkan
berbagai monopoli oleh segelintir orang menguasai berbaga sumber
perekonomian baik hulu maupun hilir. Nama-nama mereka yang
umumnya beretnis China dapat disebut seperti Liem Soe Liong, Bob
Hasan, dan banyak lagi nama lain oknum yang beretnis Tionghoa
menjadi kolaborasi pemerintah dalam menjalankan roda
perekonomian selama Orde Baru. Perekonomian juga melibatkan
kaum militer, sehingga banyak dari mereka yang menjadi komisaris
di perusahaan-perusahaan mereka dan banyak pula perusahaan-
perusahaan yang besar didirikan oleh militer yang konon dikatakan
untuk kesejahteraan para perajurit.
Seharusnya mereka tidak menerapkan begitu saja teori-teori
ekonomi kapitalis, teori-teori itu hanyalah sebagai suatu surnber saja,
bukankah ada sumber teori ekonomi lain seperti sosialisme, dan juga
bukankah ada ekonomi Pancasila (koperasi) yang tercantum dalam
UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kemudian
dimasyarakatkan dalam pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Sebagai ilmuwan tentu mereka tahu begitu banyak
literatur tentang ekonomi dan begitu banyak madzhab dalam
ekonomi, dan sebagai ilmuwan juga mengakui adanya keterbatasan
satu sistem ekonomi. Hanya saja mengapa mereka begitu taklid
kepada madzhab kapitalisme. Ibarat seorang guru silat mereka tidak
akan memberikan semua jurus kepada muridnya, karena khawatir
muridnya akan melawan guru. Begitu pula dalam perkembangan
ilmu dan teknologi, bagi seorang yang berjiwa nasionalis tidak semua
memberikan jurus-jurus ilmu serta kelemahan-kelemahan dari suatu
teori keilmuwan. Bila itu yang dilakukan semua Negara bisa menjadi
Negara industri dan memiliki kemajuan dalam bidang teknologi,
kalaupun itu di dapat diperlukan orang-orang genius atau membeli
melalui ilmuwan yang bersifat "oventurir".
Sementara itu, ekonomi yang selalu dicanangkan pemerintah
setiap waktu dan di setiap kesempatan, adalah ekonomi Pancasila,
hanya menjadi wacana atau life service saja dan tidak pernah
dikembangkan. Gejala yang tidak sehat ini telah ditangkap oleh

75
Mubyarto, ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan secara
khusus menulis tentang perekonomian yang berkeadilan yaitu
perekonomian Pancasila yang sesungguhnya.65
Indikator kemajuan perekonomian di Indonesia itu hanya
sedikit ahli yang melakukan kritiknya, karena memang
pembangunan berbagai bidang dirasakan oleh masyarakat. Melihat
keberhasilan yang semu ini, maka melalui kebijakan Sumarlin yang
sedang menduduki kursi perekonomian saat itu mengeluarkan
gebrakan dengan kebijakan untuk mempermudah pendirian Bank
oleh Swasta. Maka berdirilah puluhan Bank yang banyak didirikan
oleh pengusaha sebagai alat untuk mengumpulkan uang masyarakat
untuk menghidupi berbagai perusahaannya di tanah air, baik di
pusat maupun di daerah.
Konsep ekonomi Orde Baru, di samping kajian politik dan
lainnya ini banyak pula hasil kajian dari lembaga Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) yang pada saat itu dipengaruhi oleh
kakak beradik Yusuf Wanandi, Sofyan Wanandi dan Ali Murtopo
sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh.66 Sementara itu kalangan
Islam termasuk cendikiawannya belum mendapat tempat untuk ikut
merumuskan berbagai kebijakan ekonomi Negara. Di Negara yang
mayoritas Muslim ternyata tidak cukup bijak untuk menempatkan
mereka sebagai lawan, oleh pemerintah.
Kondisi ekonomi perekonomian dunia masih cukup baik,
membuat perkeonomian Indonesia berjalan dengan baik dan
dipandang fundametalnya kuat.67 Ekonomi nasional belum muncul
kepermukaan yang dipenuhi oleh KKN, juga belum muncul
banyaknya rekayasa dan kamuflase yang menyenangkan pimpinan
Negara dan rakyat, ekonomi saat ini dipujikan Bank Dunia, ekomi
yang maju. Ekonomi Indonesia tetap mengandalkan hutang. Dalam

65
Tulisan-tulisan tentang hal itu antara lain, “Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”,
1998, “Ekonomi Pancasila Lintasan Pemikiran Mubyarto”, 1997; “Sistem dan
Moral Ekonomi Pancasila”,1987, lihat Republika, Rabu, 25 Mei 2003, hal.1-11
66
Lihat Muhammad Kemal Hasan, Modernisasi Indonesia, hal. 10, dan Ali
Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta: CSIS, 1978).
67
M. Anwar Arsyad, Perkembangn Ekonomi Indonesia, 1987-1988, (Jakarta: UI
Press, 1988), hal. 9

76
perkembanganya tida keberpihakan kepada pengusaha kecil dan
menengah hanya berpihak pada konglomeras.
Umat Islam sebagai pemeluk mayoritas di negeri ini menjadi
fondasi yang kuat, belum berperan dalam berekonomi.
Pembangunan yang mengandalkan hutang terus menjadi ideologi
pemerintah dalam pembangunan hingga paling tidak hingga tahun
80-an. Kondisi ekonomi di Jakarta yang merupakan ibu kota
Indonesia menjadi barometer kemajuan perekonomian nasional
dengan massifnya pembangunan infrastruktur baik gedung pencakar
langit maupun jalan-jalan raya banyak dilakukan tentu didanai
dengan cara berhutang ke negara donor dengan bunganya yang
tinggi yang nanti harus dibayar oleh negara terutama melalui sumber
daya alamnya yang terus diandalkan.

D. Situasi Kehidupan Beragama


Masyarakat Betawi adalah masyarakat yang sangat taat dalam
melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan juga berpegang teguh kepada
agamanya. Hal itu dapat dipetik dari ungkapan HAMKA berikut :
"Sungguh begitu adalah sangat mengagumkan kita, menilik
betapa teguhnya orang Betawi memeluk Islam. Selama 350
tahun antara penjajah (Belanda) dan anak negeri asli (Betawi)
masib tetap sebagai "minyak dan air". Sekalipun bertemu
dalam botol tidak pernah bersatu. Bagaimanapun kerasnya
mengaduk minyak dalam botol kecil dalam air, sehabis adukan
itu, di saat itu pula mereka berpisah kembali".68
Selain itu, di masyarakat Betawi atau masyarakat Jakarta,
seperti juga pada masyarakat Nusantara lainnya ditemukan berbagai
bentuk paham dan keyakinan agama,69 ada agama Budha, Hindu,
Katolik, Protestan, Konghucu dan Islam.70

68
Alwi Shahab, Robin, h.93 Lihat pula Muhammad Fauzi Syuaib, Ruh, h. 49
69
Agama merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Manusia
pertama diciptakan Allah bernama Adam, ia selain sebagai simbol penciptaan
manusia pertama, juga sebagai nabi. Setelah berakhir era Nabi Adam, dikirim
pula ke umat-umat berikutnya para nabi lain seperti Nabi Nuh, Zulkifli,
Ibrahim, Ismail, Musa, 'Isa, dan Muhammad sebagai nabi yang terakhir. Para
nabi yang secara jelas disebutkan di dalam al-Qur'an kurang lebih jumlahnya

77
25 nabi. Al-Qur'an selain mengungkap nama-nama nabi itu, juga
mengungkapkan beberapa agama yang ada, seperti agarna Yahudi, Nashrani,
dan agama Islam sendiri. Semua itu menunjukkan adanya pluralitas agama
dalam kehidupan umat manusia (Q.S.al-Baqarah,132, al-Nisa', 163-165, al-
Maida, 48).
70
Sebelum agama Islam diturunkan dan Muhammad belum diangkat sebagai
Rasulullah seorang pendeta Yahudi telah bersaksi dan menyatakan kepada Abu
Thalib, paman Muhammad, bahwa ia telah melihat ada tanda-tanda kerasulan
pada dirinya, sebagaimana yang ia baca dalam ayat-ayat Injil. Muhammad
kemudian menjadi Rasul dan mendapat wahyu Allah untuk diajarkan kepada
umatnya, ajaran ini ia sebarkan ke penjuru kota Madinah dan Makkah, bahkan
keluar dari kota itu. Setelah Muhammad meninggal dunia, Islam tersebar
melalui para Sahabat Besar seperti Abu Bakar al-Siddik, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan juga para Sahabat Nabi lainnya, baik
yang berpuak Bani Umayyah maupun Bani 'Abbasiyah, serta pengikut-pengikut
Islam di masa-masa berikutnya. Atas semangat keagamaan yang mereka warisi
dari orang-orang sebelumnya, mereka menyebarkan agama Islam ke seluruh
dunia hingga ke Nusantara. Bahkan, Islam telah membentuk peradaban
tersendiri selama kurang lebih 7 abad. Lihat Husein Haikal, Sejarah Hidup
Muhammad, (terj). Ali Audah dari buku Hayatu Muhammad, (Jakarta: Pustaka,
1982), h. 63, lihat pula Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI Press, 1985), cet. Ke-5, h. 56-88, Lihat pula M.A. Shaban, Sejarah
Islam, (terj.) Mahnun Husein dari Islamic History: A New Interpretation,
(Semarang: IAIN Walisongo, 1996). h. 1-87. Selanjutnya, kapan Islam datang?
Dalam kaitan ini ada beberapa teori, teori pertama Islam datang langsung dari
negara Arab; teori ini dimunculkan oleh Sir John Crowfort. Asas teori ini
didasarkan karena kaum Muslimin dan Melayu berpegang dengan madzhab
Syafi'i yang lahir di Tanah Arab, teori ini didukung oleh Azyumardi Azra, lihat
Wan Azmi, "Islam di Aceh, Masuk dan Perkembangannya Hingga Abad XIV",
dalam A. Hasymi (ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma'arif, 1993), h. 180. Juga lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung:
Mizan, 1995), cet. II, h. 243-247. Teori kedua, Islam datang dari India. Teori ini
dikemukakan oleh C. Snough Horougnje/Pijnapel. Asas teori ini didasarkan
karena perhubungan perniagaan yang teguh antara India dengan gugusan
pulau-pulau Melayu, sedangkan Pijnapel Islam berasal dari Gujarat dan
Malabar, lihat Wan Husen, Islam, h. 180, lihat pula Azyumardi Azra, Jaringan h.
24. Teori Ketiga, Islam datang dari Bengal. Teori ini dikemukakan oleh S.Q.
Fatimi, asas teori ini dikaitkan dengan bentuk dan gaya batu nisan (batu nisan
Malik al-Shalih) mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal, S.Q. Fatimi,
Islam Comes to Malaysia, (Singapura: Malaysian Sosiological Institute, 1963), h.
31. Teori keempat, Islam datang dari China. Teori ini dikemukakan oleh
Emanuel Godinho de Readie, seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada tahun
1613-H., tepatnya akidah Muhammad diterima di Patani dan Pam di Pantai
Timur yang dikembangkan oleh Parameswara tahun 1411-H., lihat Wan Husen,
h. 180, juga S.Q. Fatimi, h. 67. Teori kelima, Islam datang dari Mesir. Pendapat
ini dari Keijer. Teori ini dipertimbangkan dengan adanya kesamaan antara
Mesir dan Nusantara yang penduduknya Muslim menganut madzhab Syafi’i,
Azyumardi Azra, Jaringan, h. 27. Dari lima teori ini tampaknya hanya dua yang

78
Sebagaiman dicatat di dalam sejarah, agama Islam diperkirakan
datang di Jakarta pada tahun 1526 yang dibawa oleh Fatahillah.71
Fatahillah menguasai Jayakarta setelah mengalahkan tentara
kolonialisme Belanda.72 Pada masa itu masyarakat banyak menganut

dapat diterima yaitu teori Arab dan Mesir, karena adanya kesamaan madzhab
yang dianut Muslim Indonesia bermazhab Syafi'i, sedangkan di Bengal
Muslimnya menganut madzhab Hanafi yang tidak dianut di sini. Selanjutnya
kapan Islam datang ke Nusantara? Pertama, ada yang berpandangan Islam
datang pada abad ke-7 M, di mana orang-orang Arab telah bermukim di
sepanjang rute dagang antara Laut Merah dan Cina pada abad VIII. Pendapat
pertama dipegang oleh kebanyakan sarjana di Tanah Air dan Malaysia dan
yang kedua, berpendapat Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13-M.
Pendapat kedua dipegang oleh Sarjana Barat. Hal tersebut didasarkan pada
laporan bahwa tahun 1292 Marcopolo sedang menunggu pergantian musim di
Perlak. Di Perlak begitu banyak orang Muslim yang merubah keyakinan
penduduk di sana, M. Atho Mudzhar, "Islam in Indonesia" (The Politics of
Recycling and the Collapse of a Paradigm), Al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta, No.
5/VI/2000, h. 4, lihat pula Kamaruzzaman, "Kontribusi Daerah Aceh Terhadap
Perkembangan Awal Hukum Islam di Indonesia", Al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta,
No. 5/VI/2000, h. 153. Dari dua teori itu saling menguatkan, yang pertama
menggambarkan bahwa kedatangan orang Islam masih dalam misi
perdagangan sekaligus berda'wah; islamisasi masih terbatas untuk individu.
Teori kedua membuktikan bahwa agama Islam telah dianut oleh masyarakat
luas di Nusantara. Kemudian melalui cara apa Islam masuk ke Nusantara?
Pertama, melalui para pedagang Islam yang berdagang di Nusantara. Kedua,
agama Islam disebarkan melalui mubaligh dari India. Ketiga, Islam disebarkan
melalui kalangan sufi, lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara,
Sejarah Wacana dan kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 51-72, lihat
pula Rifai dan Saefuddin, "The Indonesian Islamic Culture: From Aceh to
Istiqlal, Suplemen pada Ulum Al-Qur'an, Vol. Ill, No. 1 (1992), h. 3. Dari
gambaran tersebut tampaknya penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh
mubaligh yang berprofesi sebagai pedagang.
71
Badri Yatim, "Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi", dalam Ruh Islam, ed.
Aswab Mahasin, (Jakarta: Istiqlal, 1996), h. 13.
72
Orang-orang Barat belajar di universitas-universitas Islam terkenal di Cordova,
Sevilla, Malaga, Granada dan Salamanka di Spanyol. Mereka menterjemahkan
karya-karya Ibn Rusyd di Toledo Spanyol. Hasil dari belajar itu mereka
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki semangat meneliti.
Setelah mereka kembali ke negaranya, dengan ilmu yang dikuasai dan
semangat meneliti yang tinggi, mereka menciptakan kapal-kapal yang
bermesin uap dan teknologi persenjataan. Dengan penguasaan itu mereka
melakukan perjalanan jauh dan menemukan sumber-sumber alam baru.
Christoper Colombus (1492-M) menemukan Benua Amerika, dan Vasco de
Gama (1498-M) menemukan jalur yang singkat ke Timur melalui Tanjung
Harapan. Penemuan-penemuan ini sangat berharga bagi mereka untuk
mencari sumber alam yang baru, dan penguasaan mereka terhadap daerah-
daerah yang baru. Sehingga orang Portugis yang beragama Katolik datang dan

79
agama Hindu dan kepercayaan animisme. Pada masa itu rakyat pada
umumnya mengikuti agama sang rajanya.73 Kedatangan Fatahillah
telah banyak merubah keyakinan masyarakat, sehingga banyak dari
mereka menjadi Muslim. Pemeluk agama Islam di Jakarta terus
berkembang dari masa ke masa, baik pertumbuhannya karena arus
urbanisasi dari daerah-daerah maupun perkembangan penduduk
yang ada di Jakarta sendiri.
Namun, pemeluk agama Islam di Batavia pada masa penjajahan
Belanda banyak mengalami hambatan dalam melaksanakan ajaran
agamanya. Pada masa ini masyarakat Muslim sulit sekali untuk tetap
mempertahankan iman dan mengembangkan agama Islam. Para da'i
mengembangkan agama Islam melalui masjid maupun lembaga
lainnya. Mereka melaksanakan tradisi Islam seperti membaca tahlil
saat seorang Muslim meninggal dunia, dan kegiatan keagamaan
lainnya, dan hal itu dikerjakan dengan semangat tinggi.
Perkembangan agama Islam pada masa ini tidak mendapatkan
perhatian pemerintah Belanda, karena pemerintah hanya membantu
misi-misi Kristen untuk melakukan Kristenisasi di Indonesia.74

menguasai Timor Timur. Kemudian di sekitar abad 16, orang Belanda yang
beragama Kristen datang ke Nusantara dan menaklukkan beberapa kerajaan
Islam dan menjajah Nusantara selama kurang lebih 3 abad. Bangsa Belanda
datang di Bandar Jakarta pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman, mereka mencari rempah-rempah yang merupakan komediti penting
di Eropa. Untuk memperkuat penguasaan di Jakarta, di bawah pimpinannya
Pieters-zoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 melakukan penyerbuan ke istana
Pangeran Jayakarta. Pihak Belanda mengalahkan Pangeran dan memusnahkan
kraton, masjid dan bangunan-bangunan di seluruh kota Jayakarta. Setelah
menguasai ini ia mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. Belanda
mendapat perlawanan dari Pangeran Ahmad Wijayakrama. Dengan dibantu
oleh ulama mereka bergerilya ke sebelah Timur Jakarta dan
mengkonsolidasikan kekuatannya di tepi Kali Sunter, daerah ini kemudian
diberi nama Jatinegara, yang berarti negara/ pemerintah sejati. Lihat
Muhammad Zafar, Islam, h. 139
73
Muhammad Zafar, Islam, h. 139
74
Belanda berusaha keras untuk menghalangi perkembangan Islam di Batavia
dan menganggap Islam sebagai musuh besar, mereka mengembangkan agama
Kristen dan melarang penyiaran agama Islam. De Haan dalam bukunya "Oud
Batavia", mengatakan bahwa umat Islam dilarang sunatan, membangun masjid
serta sekolah Islam. Siapa yang menjalankan upacara-upacara agama Islam,
harta bendanya dapat disita, tetapi acara-acara Kristen tidak dilarang.
Muhammad Zafar, Islam di Jakarta, h. 151-158. Selain itu, pihak Belanda telah
melibatkan kalangan intelektual seperti Voetius (w. l676) guru besar teologi

80
Namun demikian, kaum Muslimin dengan semangat tinggi
terus mengembangkan syi'ar Islam melalui pendirian berbagai masjid
sebagai sarana ibadah. Pada tahun l620-an berdiri Masjid Al-Ma'mur
di daerah Tanah Abang, yang didirikan oleh Tumenggung dari
Mataram. pada tahun 1717 berdiri masjid Kampung Sawah (sekarang
dikenal dengan masjid Al-Mansyur, untuk mengabadikan nama H.
Muhammad Mansyur, anggota al-Jam'iyah Al-Khairiyat), masjid
Angke didirikan pada tanggal 2 April 1761, masjid Jamik Tambora,
terletak di daeah Jembatan lima Jakarta Barat, didirikan pada tahun
1762, dan masjid Istiqamah di daerah Tegal Parang (Mampang
Prapatan) yang berdiri pada tahun 1805.75 Dalam pelaksanaan
kegiatan agama di masyarakat Betawi, pemerintah kolonial Belanda
jelas-jelas melarang masyarakat membangun masjid, mengadakan
acara-acara keagamaan seperti perkawinan, sunatan, pengajian, dan
lain-lain. Kepada mereka yang mengadakan acara keagamaan di
muka umum, selain keagamaan (Kristen) dikenakan hukuman
berupa penyitaan harta.76Akan tetapi, larangan itu mulai melonggar
memasuki abad ke-18 sehingga numcullah masjid-masjid di wilayah
Batavia, seperti masjid al-Mansyur di Jembatan Lima (berdiri 1717),
masjid Luar Batang (1750) dan sebagainya.
Berdirinya masjid-masjid yang terpencar di berbagai penjuru
Batavia itu dapat dijadikan bukti semakin tersebarnya agama Islam di
bagian-bagian tertentu wilayah ini, karena berdirinya masjid itu
menunjukkan adanya jama'ah (komunitas muslim) di wilayah yang

Universitas Ultrecht. la mengirim murid-muridnya ke Hindia Belanda sebagai


pendeta. la mendefinisikan Islam sebagai penolakan sepenuhnya terhadap
Tuhan yang benar dan janji ajaran al-Kitab, dan pengingkaran terhadap doktrin
teologis penebusan dosa dan doktrin trinitas. la menganggap bahwa Islam
sebagai musuh yang paling menakutkan di antara agama-agama non Kristen.
Dalam karya-karyanya ia menkritik ajaran Islam tentang surga, dan menyebut
Muhammad telah dijangkiti penyakit "epilepsy” atau kegilaan. Islam di Hindia
Belanda ia pandang sebagai musuh alamiah Kristen, dan kaum Muslimin
dipandang pula kaum yang tidak dapat dipercaya dan panatik. Islam dipandang
pula sebagai dinamit berbahaya dan sebagai ancaman bagi keamanan orang-
orang Eropa di Hindia Belanda, Karel A Steenbrink, Dutch colonialism and
Indonesian islam: Contacts and conflics 1596-1950, (Amsterdam: Rodopy, 1993),
h. 50-53.
75
Badri Yatim, Peran Ulama, h. 13
76
Willard Hanna, Hikayat, h. 87.

81
bersangkutan. Pada abad ke-18, Islam dapat dikatakan sudah tersebar
di penjuru Batavia dan sekitarnya, karena dalam kasus Pieter
Erberfeld, disebutkan adanya pengerahan pasukan Islam dari
Parung.77
Di Batavia Timur pada abad ke-19 agama Islam semakin
berkembang. Sebagai bukti adalah berdirinya masjid di Kelurahan
Bidana Cina pada tahun 1839 atas jasa seorang dari Makasar, haji
Imam Muhammad. Pada mulanya masjid ini terkenal dengan nama
masjid Pos Bidara China, namun pada tahun 1868 dinamakan masjid
Nur al-Sabah (cahaya pagi), karena di tempat itu dulu sering
diadakan pengajian setelah shalat subuh.78
Pada permulaan abad-20 Belanda memulai politik etis atas
nasihat-nasihat Snouck Hurgrounje yang ahli agama Islam. Pada
masa ini telah tumbuh berbagai organisasi pergerakan untuk
melawan penjajahan. Belanda menerapkan liberalisme politik karena
takut akan berkembangnya fanatisme Islam. Penjajah Belanda yang
sebelumnya berusaha keras menghalangi perjalanan jama'ah haji,
namun pada permulaan abad-20, kebijakan mereka melunak, dan
mereka memberikan pelayanan dan melindungi para jama'ah haji,

77
Daerah Parung, adalah daerah yang berada di luar Jakarta, yang saat ini
termasuk wilayah Bogor-Jawa Barat. Sementara itu Pieter Erberfeld adalah anak
campuran Jerman Siam dari Pieter Janz, seorang tukang sepatu asal Jerman.
Ibunya adalah seorang Thailand (Siam). La mempunyai istri bernama
Margaretha, dan seorang putri bernama Aletta. Dia semula beragama "Serani"
sebutan oleh orang Betawi. Kemudian ia masuk Islam setelah menerima
pelajaran agama Islam dari Haji Abbas seorang guru besar agama Islam.
Semangatnya untuk menentang Belanda menjadi menggelora. Di samping itu
ia melawan Belanda karena masalah warisan rumah. Pada tahun 1720-an secara
diam-diam di rumahnya menjadi tempat pengikut Surapati dan kelompok yang
benci dengan Belanda. Di rumahnya di simpan senjata seperti keris, tombak,
jimat dan diadakan pengajian untuk menggelorakan semangat menentang
Belanda. Gerakannya tercium oleh Belanda, karena seorang pembantunya
bernama Ali, mencintai budak perempuan Erderfeld yang bernama Sarina,
yang dianggap anaknya sendiri. la tidak menyetujui Ali mencintai Sarina. Hal
itu menimbulkan ketidak senangan Ali, dan ia melaporkan gerakan tuannya
kepada Kapten Cruse, bahwa majikannya diam-diam akan berperang melawan
Belanda. Pada tahun 1722 Erderfeld ditangkap Belanda, bersama pengikutnya
sebanyak 17 orang diadili pada 8 April 1722 dan mendapat hukuman mati. lihat
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta, Dari Zaman Prasejarah Sampai Batavia
Tahun 1715, (Jakarta: Dinas Mesium dan Sejarah DKI Jakarta, 1977), h. 103-105.
78
Muhammad Zafar, Islam, h. 165.

82
hinga jumlah jama'ah haji semakin meningkat.79 Tentu saja
perkembangan Islam dan institusi ibadah semakin berkembang dan
bertambah.
Agama Kristen di Nusantara pada dekade ini juga mengalami
perkembangan termasuk di Batavia karena masih mendapat
dukungan dari pemerintah penjajah. Misalnya, dalam memberikan
subsidi, pihak Kristen mendapat subsidi paling besar dari pihak
pemerintah Belanda, dibandingkan dengan penganut agama Islam
yang jumlahnya mayoritas di Tanah Air, seperti tergambar dalam
tabel berikut:80
Subsidi dalam tahun (jumlah)
1936 1937 1938 1939
Protestan 686.100 683-200 696.100 844.000
Katolik 286.500 290.700 296.400 335-700
Islam 7.500 7.500 7.500 7.600

Selain itu, pihak penjajah Belanda dalam berbagai kebijakan


lainnya telah menunjukkan keberpihakannya untuk melakukan
Kristenisasi baik melalui pendidikan maupun melalui pemberian
bantuan beras (rice christians).81
Perlakuan pemerintah Belanda yang diskriminatif itu telah
menyemai rasa kecemburuan dari pihak yang merasa dirugikan dan
mengalami diskriminasi. Kebijakan pemerintah Belanda yang terang-
terangan mendukung ekspansi agama Kristen di tanah jajahan
menimbulkan image yang tidak baik di mata umat. Akibatnya di
pihak bumiputra, memandang penjajah Belanda sebagai penjajah
yang Kristen dan memandang suku-suku yang lain di Tanah Air
seperti suku Melayu, Jawa, Betawi dan lainnya sebagai orang "Selam"
atau Islam.

79
Muhammad Zafar, Islam, h, 167.
80
Deliar Noer, Gerakan modern islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LPES,
1980), h. 190.
81
Hadisutjipto, Sekitar 200 Tahun, h. 31. Lihat pula Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.36.

83
Pihak Belanda telah menyemaikan rasa antipati antar-pemeluk
agama. Kebijakan Belanda itu pada fase-fase berikutnya semakin
dikembangkah oleh pemeluk-pemeluk Kristen. Pemeluk-pemeluk
Kristen yang semula banyak mengandalkan misionaris berbangsa
Barat, mulai mendidik rakyat Indonesia yang beragama Kristen
untuk bertugas sebagai misionaris. Para misionaris lokal ini
kefanatikannya untuk menyebarkan agamanya tidak kalah dengan
para misionaris asing. Mereka menyebarkan agamanya secara
sistematis dengan berbagai taktik dan strateginya, dan disampaikan
kepada semua orang tanpa kecuali.
Ekspansi agama ini, dilakukan pula melalui berbagai sarana
baik sarana penyebaran pamplet, brosur-brosur, buku-buku agama,
maupun melalui bantuan sosial lainnya, seperti melalui panti asuhan
anak yatim, bantuan dana untuk anak jalanan, maupun bantuan
dalam bentuk dana pendidikan ke masyarakat luas termasuk ke
masyarakat Muslim. Melalui berbagai kegiatan ini, mereka telah
dapat menarik pemeluk Islam berpindah ke agama mereka.
Penyebaran agama yang sejak awal didukung oleh pemerintah
Belanda telah menjadi gerakan yang bersifat internasional; melalui
kajian yang bersifat akademik serta dilakukan dengan berbagai cara,
dengan sasaran kepada semua orang, dan di dukung oleh dana yang
tidak terbatas. Tetapi, penyebaran agama ini menghadapi suatu
kenyataan bahwa agama lain seperti agama Islam memiliki eksistensi
serta memiliki ajaran yang sama pula untuk memanggil manusia
untuk memiliki keyakinan agamanya.
Akibat dari ekspansi agama Kristen ini, di tengah masyarakat
sering terjadi konflik, karena yang menjadi sasaran da'wah mereka
adalah orang-orang yang telah beragama. Kehidupan beragama
bagaikan “api dalam sekam”, karena kebijakan penyebaran agama
tanpa melihat apakah sasaran mereka sudah memeluk agama.
Sementara itu, umat Islam merupakan mayoritas di negeri ini
termasuk di Jakarta. Jumlah umat Islam di awal kemerdekaan
memiliki jumlah pemeluk kurang lebih 90 persen. Kemudian dalam
beberapa tahun berikutnya populasi umat Islam mengalami
penurunan yang signifikan. Menurut data mutakhir pada tahun 2000

84
pemeluk Islam Indonesia hanya berjumlah sekitar 88 persen."82
Penurunan jumlah umat Islam ini diperkirakan banyak pemeluknya
melakukan konversi ke agama lain.
Agama Islam sendiri ajaran intinya adalah Tauhid yaitu paham
pengesaan Tuhan. Tuhan dalam ajaran Islam adalah satu (Esa),
Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak bersekutu
dengan Tuhan lain, apakah Tuhan itu berupa makhluk atau benda
mati, seperti berhala-berhala yang disembah oleh kaum Quraisy
Makkah (Q.S.al-Ikblas-. 1-5). Namun selain adanya doktrin keesaan
Tuhan, dalam Islam ada pula ajaran tentang perlunya toleransi
terhadap agama lain. Atas dua landasan doktrin Islam itu, hubungan
antarumat beragama dilakukan.
Sebagaimana diketahui, agama Islam seperti agama lainnya
diturunkan untuk disebarkan kepada siapa pun. Apakah penyebaran
itu kepada orang yang belum beragama atau yang sudah beragama?
Ajaran Islam tidak memberikan batasan yang jelas. Namun, etika
Islam mengisyaratkan hendaklah agama, disebarkan kepada orang
yang belum memeluk agama. Berdasarkan etika Islam inilah, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang berkedudukan di Jakarta memandang
perlu adanya kesepakatan antar umat beragama di Indonesia untuk
membatasi penyebaran agama hanya pada orang yang belum
memeluk agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Hal tersebut
diperlukan agar hubungan antar pemeluk agama di Indonesia selalu
mengalami harmonisasi.
Adanya kekosongan pengaturan cara da'wah agama bagi
misionaris, mengakibatkan penyebaran agama sering menimbulkan
protes dari pihak-pihak yang tidak rela dida'wai. Konsekuensi lebih
lanjut dari kekosongan itu, di tengah masyarakat telah muncul
keresahan dan bahkan di tingkat grass root, sering muncul konflik
dan tindak kekerasan antara satu pemeluk agama dengan pemeluk
agama lainnya. Oleh karena itu, wajah agama yang sebenarnya
berwujud kedamaian dan ketenangan, justru menunjukkan wajah
lain yang lebih menyeramkan berupa konflik dan kekacauan di
tengah masyarakat.

82
Dep. Agama, Data Keagamaan Tahun 2000, (Jakarta: Depag, 2000), h. 3-4

85
Munculnya setiap konflik agama, mengundang para tokoh
agama untuk bertemu dan mencari jalan keluar guna meredam
konflik yang terjadi, begitulah terjadi berulang-ulang. Untuk
mengatasi masalah tersebut dibentuklah wadah bagi para tokoh
agama untuk melakukan dialog antar mereka. Masalahnya ternyata
tidak dapat diatasi secara memadai adanya pemikiran agar
pemerintah dilibatkan dalam mewujudkan sebuah ketentuan atau
undang-undang yang mengatur penyebaran agama. Menyadari hal
ini pada masa Menteri Agama Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, telah
menyampaikan konsep pemikiran tentang upaya menciptakan
kerukunan antarumat beragama dengan jargonnya yang
monumental "setuju dalam ketidaksetujuan" (agree in disagreement).
Gagasan ini menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama
yang paling baik, meskipun ia mengakui, di antara satu agama
dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan juga
terdapat persamaan-persamaan.83 Selain itu, pada masa Alamsjah
Ratuprawiranegara sebagai Menteri Agama RI (1978-1983), telah
mengeluarkan Surat Keputusan No. 70/1978 yang berisi pedoman
tentang tata cara penyiaran agama, yang antara lain isinya (1)
penyiaran agama dilarang ditujukan kepada orang-orang yang telah
memeluk suatu agama lain, (2) penyebaran agama dilarang untuk
menggunakan bujukan pemberian materiil, uang, pakaian,
makanan/minuman dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk
memeluk sesuatu agama, (3) penyiaran agama dilarang dilakukan
melalui buletin, pamflet, majalah/buku-buku; atau di rumah
kediaman orang yang beragama lain.84
Sementara itu, umat Islam termasuk di Jakarta, memiliki
perbedaan dalam pandangan dan perilaku beragama, yang kadang-
kadang memunculkan konflik. Dalam Islam memang diperbolehkan
untuk berpandangan berbeda dalam sikap beragama, seperti yang
diisyaratkan dalam satu hadits, bahwa perbedaan pada umatku

83
Lihat Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988).
Lihat pula Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 48-56.
84
Lihat Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 70/1978. Lihat pula Hasbi Indra,
"Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional", Majalah Ikhlas, No.
II Th. III Februari 2000, Dep. Agama, h.51.

86
sebagai suatu rahmat.85 Hanya saja perbedaan ini sering
menimbulkan konflik "bathin".
Perbedaan yang menajam di tengah umat Islam semakin
nampak, ketika munculnya gerakan pembaruan Islam di abad
modern. Gerakan yang dipelopori oleh Abdul Wahab mulanya
muncul di Saudi Arabia.86 Gerakan tersebut muncul dilatarbelakangi
oleh tumbuhnya kesadaran di benak Abdul Wahab, bahwa Islam
pada dekade yang lalu pernah mengalami masa kejayaan selama
berabad-abad dan menjadi kampiun dunia; mengapa Islam kini
terpuruk? Dia melihat bahwa umat Islam telah melupakan al-Quran
dan Sunnah sebagai pedoman hidupnya. Bahkan, umat Islam bukan
saja melupakan dua sumber itu tetapi dalam perilaku kehidupannya
telah banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang dipenuhi oleh
bid'ah dan khurafat. Di Tanah Air semangat itu ditangkap oleh
mereka yang pernah belajar di Makkah.87

85
Lihat dalam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al-
Shaqir, (Beirut: Dar Kutub Al-'Ilmiyah, 1954), cet. 4 juz I, h. 13. Juga dalam
Musthafa Said Al-Khin, Atsar Al-Ikhtilafi fi Qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilafi al-
Fuqaha', (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1989), cet. 5, h. 46.
86
Lihat Snouck Hurgronje, Pan Islamisme dari Mekkah, terjemahan dari
Verspreid Geschriften Van C. Snouck Hurgronje, oleh Soedarso Soekarno,
(Jakarta: INIS, 1996), jilid VI, h. 15
87
Wujud perbedaan itu muncul dengan berdirinya Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh Moh. Darwis yang lahir di
Yogyakarta tahun 1869, anak seorang Kyai Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, khatib
di masjid Sultan kota itu. Ibunya adalah anak haji Ibrahim seorang penghulu.
Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam pelajaran nahwu, fiqh
dan tafsir, ia pergi ke Makkah tahun 1890, selama 1 tahun belajar di sana. Salah
seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Kembali ke Yogyakarta, ia
meluruskan arah kiblat orang shalat. Organisasi yang didirikannya disebut
sebagai organisasi pembaharu. Organisasi yang didirikannya didasarkan
kepada al-Quran dan Hadits, dan tidak menganut satu madzhab. Agak mirip
dengan organisasi ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang didirikan di
Bandung oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Organisasi ini mulai
berkembang oleh dua anggotanya yaitu Ahmad Hasan dan Mohammad Natsir
(yang terakhir mantan Perdana Menteri RI). Organisasi yang berbeda dengan
paham keagamaan dua organisasi sebelumnya yaitu Nahdatul Ulama (NU).
Organisasi ini didirikan atau salah satu pelopornya adalah K.H. Wahab
Hasbullah di Surabaya tahun 1926. Organisasi ini berpegang kepada madzhab
Syafi'iyah, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h.
85-247. Sebagai contoh perbedaan dalam bentuk amalan ibadah, organisasi
Muhammadiyah dan PERSIS tidak membaca tahlil dan talqin ketika mayat

87
Dalam konteks perkembangan pemikiran keagamaan di Jakarta
menunjukkan dinamikannya. Pemikiran keagamaan (Islam) yang
bersumber kepada al-Qur'an dan Hadits yang dipahami umat Islam,
menghadapi tantangan yang mendasar dengan adanya modernisasi
yang terjadi. Jakarta, sebenarnya sejak lama telah mengalami
modernisasi, bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Hanya saja
diskursus modernisasi yang dihadapkan dengan pemikiran
keagamaan baru bergema pada masa kemerdekaan.
Deliar Noer menulis dengan judul: "Umat Islam dan Masalah
Modernisasi". la menuntut agar masyarakat Indonesia melihat ke
depan dengan sikap yang dinamis dan aktif, memiliki sikap terbuka
terhadap pemikiran dan penemuan ilmiah. Kaum Muslim harus
mengatasi masalah-masalah intern umat dan tinggalkan taklid buta,
jangan terlalu perhatikan kekuasaan politik, dan umat Islam harus
menghadapi tuntutan zaman dengan jujur dalam keadaan modern.
Indonesia sangat memerlukan "modernisasi yang demokratis".88
Nurcholish Madjid, saat masih usia muda, menyatakan bahwa
modernisasi suatu keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak,
sebagai perintah dan ajaran Tuhan (Q.S, 16:3; 27:28). Modernisasi
bisa dicapai oleh manusia dengan ilmu. la mengkhawatirkan
munculnya sekularisme, ia sangat tegas menolak segala macam
bentuk sekularisme. Dia menyatakan Islam tidak memisahkan antara
agama dan politik, karena Islam adalah aqidab, syari'ah dan nizham
(sistem). Dia mengajak orang Islam harus meningkatkan mutu iman,
dan ilmu untuk pembangunan umat Islam.89
Kemudian Sidi Gazalba seorang dosen tentang modernisasi.
Menurut dia westernisasi adalah pemindahan bentuk-bentuk budaya
Barat pada masyarakat Indonesia. Melalui proses westernisasi di
Indonesia telah dan akan bersekutu dengan "Kristenisasi". Dia
memberi contoh modernisasi dan westernisasi yang terdapat di
daerah Jakarta. Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI dalam membangun

dimakamkan, dan tidak membaca do'a qunut di raka'at akhir shalat subuh;
sementara NU sebaliknya. Ketiga organisasi ini berkembang pula di Jakarta.
88
Deliar Noer, dalam Majalah Api, 3 Oktober 1966, h. 7-10.
89
Nurcholish Madjid, "Modernisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi",
Membina Demokrasi, (Bandung: t.p. 1968), h. 5,11.

88
kotanya menghalalkan segala cara, seperti melegalisir dan menarik
untung dari judi, memperbanyak gedung bioskop untuk memutar
film-film porno dan sadis (dari Barat). night club, massage serta
stembath harus ada di pojok kota dan lain-lainnya. Sidi Gazalba
mengajak umat Islam menguasai ilmu pengetahuan, dan
memadukan ibadah dan mu'amalah.90
Sementara itu, H.M. Rasyidi ilmuan Islam terkemuka
mengungkapkan kecurigaan tokoh-tokoh Islam terhadap konsep
modernisasi, sebagai alat atau ambisi relegio-politik. Dia menyatakan
pula bahwa kata modern dipergunakan oleh orang Kristen sebagai
suatu cara untuk menarik orang supaya dia meninggalkan sifat-sifat
keislamannya. Ketika bulan puasa ada yang mengatakan puasa
mencegah kemajuan dan mari kita menjadi modern dan melupakan
puasa. Demikian beberapa pandangan dari cendikiawan Muslim itu
menunjukkan penerimaannya adanya modernisasi, hanya saja harus
disertai dengan sikap kehati-hatian terhadap dampak-dampaknya.
Selanjutnya, dalam kaitan perkembangan sarana ibadah, pada
masa pasca kemerdekaan masjid di Jakarta semakin bertambah. Atas
prakarsa Presiden Soekarno, di Jakarta Pusat, di lokasi yang
berdekatan dengan Istana Negara, berdiri sebuah masjid yang sangat
megah, masjid ini diberi nama masjid Istiqlal (Istiqlal, berarti
kemerdekaan dimaksudkan mensyukuri kemerdekaan yang diraih
oleh bangsa Indonesia dari tangan penjajah). Pada tahun berikutnya
berdiri pula masjid yang cukup megah yang diberi nama masjid al-
Azhar, yang berdiri di daerah Kebayoran Jakarta Selatan, dan
menjadi kebanggaan masyarakatnya.
Sejalan dengan berkembangnya tempat ibadah umat Islam, di
Jakarta berdiri pula tempat-tempat ibadah agama lain. Bersebelahan
dengan masjid Istiqlal berdiri Gereja yang cukup megah yang
didirikan oleh komunitas agama Katolik. Dan tak jauh juga dari
masjid Istiqlal, berhadapan dengan stasiun Gambir berdiri tegak
Gereja yang cukup megah yang didirikan oleh komunitas agama
Kristen-Protestan. Tempat-tempat ibadah agama lainnya seperti
agama Budha, Hindu dan Konghucu, juga banyak berdiri di Jakarta.
90
Sidi Gazalba, Modernisasi dalam Persoalan: Bagaimana Sikap Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 8, 26.

89
Tempat-tempat ibadah umat beragama itu melambangkan bahwa di
masyarakat Jakarta telah berkembang berbagai agama, dan agama
dijamin eksistensinya.
Dalam kaitan dengan kelembagaan berbagai agama
berkembang pula di Jakarta. Di Jakarta telah berdiri Kantor Pusat
organisasi-organisasi keagamaan, seperti organisasi WALUBI, KWI,
PGI dan lainnya; masing-masing pengikutnya mengalami
perkembangan hari demi hari, baik melalui pendatang maupun
melalui kelahiran. Kantor organisasi keislaman pun ditemukan pula
di Jakarta, seperti Muhammadiyah yang berkantor di Menteng, dan
NU di Kramat Raya Jakarta Pusat, juga organisasi Islam lainnya.
Masing-masing organisasi keagamaan itu memiliki pengikutnya, dan
dari masa ke masa mengalami perkembangan.91
Sementara itu, dari persentase pemeluk agama di daerah
Jakarta pada tahun 1983 sebarannya sebagai berikut: Di Jakarta
Selatan pemeluk Islam 90,80 persen; Katolik 3,84 persen; Protestan
3,73 persen, Hindu 0,73 persen dan Budha sebanyak 1,07 persen. Di
Jakarta Timur pemeluk Islam berjumlah 87,85 persen, Katolik 4, 72
persen, Protestan 5,27 persen, Hindu 1,02 persen dan Budha 1,14
persen. Di Jakarta Pusat pemeluk Islam berjumlah 84,42 persen,
Katolik 5,09 persen, Protestan 6,63 persen, Hindu 1, 36 persen dan
Budha 2,51 persen. Di Jakarta Barat pemeluk Islam berjumlah 80,38
persen, Katolik 4,13 persen, Protestan 4,42 persen, Hindu 0,9 persen
dan Budha 10,18 persen. Di Jakarta Utara pemeluk Islam berjumlah
81,05 persen, Katolik 7, 19 persen, Protestan 7,19 persen, Hindu 0, 95
persen dan Budha 3,79 persen. Di DKI Jakarta pemeluk Islam
berjumlah 85,50 persen, Katolik 4,77 persen, Protestan 5,20 persen,
Hindu 0,97 persen dan Budha sebanyak 3,56 persen. Dari gambaran
itu pemeluk Islam merupakan kelompok majoritas di Jakarta.
Di Jakarta muncul lembaga-lembaga keagamaan, seperti pusat-
pusat pengajian, majelis ta'lim, lembaga da'wah, radio da'wah dan
munculnya tim-tim kasidah. Misalnya di Daerah Khusus DKI tercatat
sebanyak 646 tempat pengajian, 3.510 majelis ta'lim, 132 buah
lembaga da'wah, 23 buah radio swasta yang menyelenggarakan radio
91
H.M. Rasyidi, "Usaha Mengkristenkan Indonesia dan Dunia", Suara
Muhammadiyah, No. 1-2,1968, h. 3.

90
da'wah dan 323 buah tim kasidah. Sementara itu, agama Katolik dan
Protestan mengembangkan kelompok-kelompok do'a, kelompok
Kitab Suci yang mencoba menggali dan menghayati kehidupan iman
atau keagamaan mereka.92
Demikian pula tempat-tempat ibadah umat beragama, pada
tahun 1980 jumlah langgar sebanyak 4.662 buah, tahun 1981
bertambah menjadi 4.666 buah, tahun 1982 berjumlah 4.843 buah,
pada tahun 1983 berjumlah 4.970, tahun 1984 berjumlah 5.407 dan
tahun 1985 naik menjadi 5.519 buah. Adapun jumlah masjid di DKI
Jakarta, tahun 1980 berjumlah 1.487 buah, tahun 1981 berjumlah 1.418
buah, tahun 1982 berjumlah 1.464 buah, pada tahun 1983 berjumlah
1.594, tahun 1984 berjumlah 1.660 dan tahun 1985 naik menjadi 1.729
buah. Adapun jumlah Gereja di Jakarta, tahun 1980 berjumlah 664
buah, tahun 1982 berjumlah sebanyak 664 buah, tahun 1981
bertambah menjadi 675 buah, tahun 1982/ 1983/1984, dan tahun 1985
berjumlah 723 buah. Adapun jumlah Kelenteng, Pura/Kuil tahun
1980/1981/1982/1983 dan tahun 1984 berjumlah 165 buah dan tahun
1985 berjumlah 162 buah.
Secara umum dalam soal beragama masyarakat Betawi dikenal
sangat taat menjalankan ajaran agama.93 Namun, dalam menghadapi
pemeluk agama lain, seperti dikatakan Ridwan Saidi, mereka sangat
toleran.94 Demikian pula dalam menghadapi umat seagama yang
berbeda paham.95 Dalam paham agama yang dianut oleh masyarakat
Betawi banyak diwarnai oleh tharikat-tharikat yang dianggap serasi
dengan syari'ah, seperti tharikat Qadariyah, Naqsyahandiyah dan
Qadariyab wa Naqsyabandiyah. Adapun dalam masalah paham fiqh
masyarakat Betawi adalah penganut madzbab Syafi'i. Namun, corak
keagamaannya menurut Badri Yatim yang mengutip Deliar Noer
adalah tradisionalis. Selanjutnya, ia mengutip pula Azyumardi Azra,
corak keagamaan seperti itu justru merupakan hasil dari proses
pembaharuan pra-modernis. Corak keagamaan tersebut adalah

92
Mendagri, Profil, h. 173-175
93
Badri Yatim, Peran Ulama, h. 25
94
Lihar Alwi Shahab, Robin, h. 94
95
Alwi Shahab, Robin, h. 95.

91
seperti pembacaan berzanji dalam hampir setiap acara perkawinan,
dan membaca Hikayat Saman bila hendak berlayar dan lainnya.96
Dalam perilaku kehidupan kaum Betawi memiliki pula
keyakinan atau kepercayaan mistik, bentuk-bentuk keyakinan yang
diwariskan oleh agama Hindu yang dianut oleh nenek moyang
mereka. Dalam Islam memang dikenal konsep makhluk gaib, yaitu
seperti malaikat, jin dan roh manusia. Tetapi di masyarakat Betawi
mereka mengenal makhluk halus seperti kuntilanak, yang
digambarkan sebagai menyerupai perempuan dengan rambut
panjang yang menutupi bagian punggungnya yang berlubang; atau
tuyul, yang dianggap sebagai makhluk yang biasa membantu
manusia mencuri uang orang, atau ruh jahat yang mengakibatkan
penyakit fisik yang disebut kesambet. Keyakinan ini dipengaruhi oleh
keyakinan lokal, yang dapat ditemui pula antara lain pada acara
kehamilan dan kelahiran. Pada masa kehamilan dikenal upacara
kekeba, yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan. Di kalangan
masyarakat Betawi ada ungkapan ''kayak enggak dikebain", sebagai
ungkapan penghinaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat
tidak senonoh menurut ukuran masyarakat.97
Dalam bentuk-bentuk peribadatan sebagai perwujudan
hubungan langsung manusia dengan Allah SWT, mereka aktif
melakukan shalat wajib baik sendiri-sendiri di rumah atau
berjama'ah di masjid-masjid atau di mushalla. Apabila datang bulan
Ramadlan, mereka menyambut gembira bulan suci itu dan
melaksanakan puasa wajib sebulan penuh, serta melaksanakan
ibadah lainnya sebagai penyempurna ibadah puasa. Selain itu,
mereka membayar zakat fitrah, dan menutup ibadah puasa dengan
melakukan shalat idul fitri, dan bermaaf-maafan. Mereka saling
kunjung mengunjungi, yang lebih muda kepada yang lebih tua, anak
kepada orang tuanya, murid kepada ustadznya, dan seterusnya.
Bagi mereka yang mampu pergi haji ke Baitullah. Apabila
mereka telah melaksakan ibadah haji berarti telah sempurna
ibadahnya. la merasa terhormat, siap menjadi panutan masyarakat
dan mampu menjadi pimpinan upacara keagamaan sekurang-
96
Badri Yatim, Peran, h. 25
97
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002), h. 80.

92
kurangnya memimpin membaca do'a dan selamatan. Upacara-
upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dilakukan
seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, hal-hal itu
tidak pernah hilang sepanjang kehidupan manusia.
Di dalam upacara-upacara tertentu seperti pada saat mulai
mendirikan rumah, menempati rumah baru, dan lain sebagainya,
selalu dibacakan do'a selamat. Upacara-upacara seperti itu pada
dasarnya dilakukan selain sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat
yang diberikan Allah kepadanya, dan bukti kepatuhan terhadap
ajaran agama, serta merupakan do'a kepada Allah agar mereka
senantiasa diberikan keselamatan dalam kehidupan di dunia ini dan
di akhirat kelak.
Aktivitas keagamaan lainnya ialah pengajian-pengajian, majelis
ta'lim, peringatan hari besar Islam yang dilakukan di masjid-masjid,
mushalla-mushalla atau tempat-tempat tertentu. Pengajian-
pengajian dan majelis ta'lim baik yang dilakukan mingguan atau
bulanan yang umumnya berkelompok-kelompok. Ada pengajian
kelompok bapak-bapak, kelompok ibu-ibu, kelompok remaja dan
pemuda. Majelis ta'lim ini merupakan sarana untuk meningkatkan
pengetahuan agama, serta menghayati dan mengamalkannya serta
tempat untuk bersilaturrahmi di antara mereka. 98
Di dalam peringatan hari-hari besar Islam serta
penyelenggaraan kegiatan Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan peringatan
Tahun Baru Islam, biasanya dilakukan dengan upacara keagamaan
seperti mendatangkan penceramah-penceramah baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar Jakarta. Tujuannya, sebagai penyegaran
suasana rutinitas ta'lim atau mencari sesuatu yang baru.99
Selain itu, dapat juga dilihat kegiatan anak-anak setiap sore
pergi mengaji, belajar bahasa Arab dan membaca al-Qur'an di
masjid-masjid, mushalla atau rumah-rumah ustadz tertentu. Suasana
kehidupan beragama seperti ini semakin semarak apabila datang
bulan Ramadlan, karena setiap malam umat Islam memenuhi masjid

98
Meutia Farida, "Sistem Nilai Dan Etos Kerja Masyarakat Betawi di Pantai
Jakarta", dalam Ruh, h. 43
99
Lihat Alwi Shahab, "Komunitas Kampung Sawah", Republika, 2 Januari 2000, h.
7.

93
dan mushalla untuk melakukan shalat tarawih dan witir berjama'ah.
Sebagian yang lain, setelah shalat berjama'ah, menambah ibadahnya
dengan tadarus (membaca al-Qur'an).
Masyarakat Betawi sangat taat dengan agamanya yaitu agama
Islam. Sehingga orang Betawi disebut pula sebagai orang "Selam".
Penyebutan ini untuk membedakan mereka dengan orang Belanda
yang menjajah Batavia yang umumnya mereka beragama Nasrani.
Kehidupan sehari-hari orang Betawi sangat kental dengan tradisi
agama.100
Demikian situasi kehidupan beragama di Jakarta yang ditandai
oleh adanya dinamika dalam berbagai hal. Di masa penjajahan, umat
Islam mengalami diskriminasi dari pemerintah Belanda. Namun,
umat Islam tetap mengembangkan syi'ar Islam melalui masjid serta
mengamalkan ritual agamanya. Masjid telah tumbuh sejak masa
penjajahan dan berkembang pada masa kemerdekaan. Begitu pula
dengan sarana ibadah umat agama lain. Pemikiran keagamaan dalam
merespons medernisasi juga mengalami dinamika. Aktivitas da'wah
umat beragama ditandai oleh dialektika, dan untuk mengurangi
konflik antar umat beragama, dibuatlah aturan mainnya. Sementara
itu, masyarakat Betawi sendiri pada umumnya mengamalkan ajaran
agama dalam bentuk madzhab Syafi'i, namun terhadap keyakinan
lain mereka memiliki sikap yang sangat toleran.

E. Situasi Pendidikan Islam


Pendidikan Islam atau keagamaan Islam di masyarakat Betawi
Jakarta mengalami perkembangan meskipun agak perlahan.
Pendidikan yang awalnya diselenggarakan masyarakat dalam bentuk
yang sangat sederhana yakni membaca al-Quran, kemudian
mengambil bentuk dalam sebuah lembaga pendidikan, ada yang
berbentuk pesantren, ada yang berbentuk diniyah, juga berbentuk
madrasah. Pendidikan pesantren pendidikan indigenous Nusantara.
Institusi pendidikan ini telah ada pada masa Walisongo yang
didirikan oleh Raden Rahmad pada abad 16 di daerah Gresik Jawa
Timur. Pesantren awalnya tumbuh di tanah Jawa saat ini

100
Deliar Noer, Gerakan, h. 15

94
berkembang pula di luar Jawa. Di luar Jawa sebenarnya pendidikan
agama ada yang disebut dengan surau seperti di Sumatera Barat,
dayah di Aceh dan langgar di Sumatera Selatan. Kini nama-nama itu
telah menjadi trade mark disebut dengan pesantren. Dalam
pandangan Zamakhsjari Dofier, pendidikan pesantren memiliki
empat ciri: yakni ada masjid, kyai, santri dan ada kitab kuning
sebagai materi kajian di pesantren.101
Pendidikan pesantren dapat menjadi pendidikan unggul baik
keilmuan maupun mentalitas dan moralitas santri, Karena di
pesantren santrinya belajar mulai jam 5 pagi hingga jam 9 atau 10
malam, artinya belajar mereka paling tidak selama 16 jam. Mereka
belajar tanpa diganggu oleh kebisingan atau hai lain seperti
pengaruh media TV atau radio. Sangat logis santri pesantren banyak
ilmunya.
Begitu pula mereka unggul dalam moralitas karena mereka
senantiasa diberikan pelajaran untuk berperilaku yang baik, baik di
dalam kelas maupun di luar ruang kelas, contoh-contoh perilaku
baik itu langsung diberikan oleh kyai atau ustadz pengganti kyai,
Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengerjakan sendiri pekerjaan
mencuci pakaian dan mengurus segala kebutuhan. Bangun sebelum
waktu shalat subuh, tidur jam 9 malam teratur setiap hari, mereka
melakukannya dengan kegembiraan, tanpa mengeluh; hasilnya
mereka menjadi pejuang hidup yang tangguh tanpa mengenal putus
asa. Mungkin yang masih kering dari pola pembelajaran pesantren
adalah sentuhan terhadap prakarsa atau lebih tepatnya kreatifitas
santri. Pola pembelajaran yang kering dari dialogis atau terlarang
melakukan kritik kepada kyai seniornya atau pola belajar yang
monolitik tidak menumbuhkan kreatifitas santri. Padahal, sifat Allah
adalah Maha Pencipta, maka di diri manusia sifat itu berbentuk
kreatifitas untuk mengembangkan ciptaan Allah di bumi (QS. al-
Imran, 3: 190; al-Mukminun, 23: 12-15).
Di pesantren, santri belajar membaca Al-Qur'an dengan
tajwidnya. Juga mengkaji ilmu agama melalui bimbingan seorang
guru atau kyai dan mereka umumnya memiliki rujukan melalui kitab

101
Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), .hal. 44-55.

95
kuning. Mulanya mereka belajar masalah akidah, ibadah, dan
muamalah kemudian ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti
mantiq, balaghah, faraidl dan bidang lainnya.
Belajar kitab kuning dalam pesantren ini melalui tingkatan-
tingkatannya, mulai tingkat awal kemudian sampai tingkat lanjutan
sesuai dengan keberadaan lamanya mereka belajar di pondok itu.
Cara mereka belajar menggunakan model sorogan, yaitu santri
perindividu belajar langsung ke kyai dengan cara mendengarkan
bacaan dan pemahamannya, dan juga melalui cara bandongan, yaitu
santri belajar ke kyai secara kelompok dengan cara mencatat di sisi
kitabnya atau memberi arti di bawah teks kitab tertentu. Juga dengan
cara halaqah yakni santri belajar bersama, mendiskusikan suatu
masalah untuk dipecahkan bersama-sama.102
Belajar agama di pondok pesantren pada saat penjajahan
digunakan pula oleh kyainya untuk menumbuhkan semangat guna
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam kajian
mereka disampaikan ada dorongan agama untuk membela orang-
orang tertindas, ada pula dorongan dari agama melalui ajaran jihad
yakni berperang dengan musuh yang melakukan penjajahan di
Nusantara.
Di masa penjajahan ini berkembang pula institusi pendidikan
yang didirikan oleh kaum penjajah untuk menyiapkan kaum bumi
putera sebagai tenaga-tenaga administrasi di pemerintahan. Tempat
belajar mereka di kelas, ada tingkatan atau kelas-kelas, dalam mata
pelajarannya mereka belajar ilmu-ilmu umum seperti aljabar, biologi,
kimia yang sebelumnya ilmu-ilmu ini pernah dikembangkan orang
Islam pada masa kemajuannya. Ada yang berprofesi sebagai guru,
yang khusus mengajar, ada pula yang menangani administrasi.
Kemajuan siswa juga dievaluasi melalui ulangan atau evaluasi akhir
tahun, dari evaluasi ini siswa yang kurang cerdas akan tertinggal
kelas.103 Lulusan sekolah ini diberi ijazah dan mereka bekerja di

102
Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditbinrua, 2001), hal.
44-46
103
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003),
hal.4-17

96
pemerintahan dengan gaji yang cukup, mereka memiliki sepeda dan
memiliki rumah yang bagus.
Sistem yang diterapkan penjajah mempengaruhi pula
pendidikan di pesantren, terutama dalam materi pelajaran, mereka
bukan saja belajar agama tetapi juga belajar ilmu aljabar, sejarah dan
lainnya. Inilah tonggak dinamika yang substantif di pesantren.104 Dari
model pendidikan pesantren yang orisinil saat itu memproduk
lulusan yang tangguh menghadapi penjajahan dan bercita-cita
menjadi Syuhada. Kemudian pada masa awal-awal kemerdekaan
selain mereka banak bercita-cita menjadi pelayan agama, ada pula
menjadi politisi dan ikut merumuskan Dasar Negara RI.
Pada masa-masa kemerdekan, pesantren terus berkembang
dan jumlah pesantren semakin banyak. Perkembangan pesantren ini
di iringi pula oleh perkembangan pendidikan model Balanda yang
diteruskan oleh pemerintah Indonesia, hanya saja dalam rangka
membentuk nasionalisme dan pembentukan manusia yang utuh,
pelajaran ditambah dengan menambah pelajaran agama dan
kewarganegaraan. Sejalan dengan perkembangan ini, pesantren pun
terus mengalami dinamika dalam pendidikannya. Banyak pesantren
telah menerapkan pembelajaran melalui kelas, mata pelajaran juga
ditambah dengan mata pelajaran ilmu umum yang lebih banyak.
Dalam perkembangannya, pesantren yang mengajarkan
pelajaran kitab kuning mengalami pasang surut para santrinya, dan
kemudian diperlukan penambahan sarana balajar maupun sarana
tempat tidur para santri. Maka, para pengelola pesantren mendirikan
sekolah umum, mengadopsi model pendidikan umum, dengan
menambah pendidikan agama di jam sore atau malam. Selain
mendirikan sistem madrasah di pesantren, mereka juga mendirikan
perguruan tinggi agama, atau Ma'had Aly bahkan ada perguruan
tinggi umum atau universitas.105 Ada pula pesantren yang menjadi
tempat berdiam tetapi mereka belajar di luar pesantren tetapi
mereka di waktu malam belajar kitab kuning ke kyai di pesantren itu.

104
Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,
1998), hal. 87-88.
105
Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva
Pustaka, 2003), hal. 49.

97
Dari dinamikanya, pesantren dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe;
yaitu pesantren salafiyah yaitu pesantren yang memfokuskan dirinya
belajar ilmu agama melalui kitab kuning. Ada pula pesantren di
samping belajar kitab kuning, siswanya belajar ilmu umum di
sekolah formal seperti SLTP/SMU atau madrasah yang disebut
dengan pesantren kombinasi. Ada pula pesantren yang hanya
menekankan santrinya belajar ilmu agama dan umum, adapun kitab
kuning tidak dibebankan kepada santri yang disebut dengan
pesantren khalafiyah atau 'asyriyah/modern. Di pesantren model ini
santri ditekankan membiasakan bahasa asing baik bahasa Inggeris
maupun bahasa Arab baik di kelas maupun di luar, pengajar pun
memberikan pe;ajran dengan dua bahasa asing itu. Di pesantren
santri mendaptkan pula keterampilan-keterampilan yakni
keterampilan pidato, kepemimpinan dan lain sebagainya. Bentuk
pesantren model ini juga berkembang di seluruh Indonesia.
Dinamika pesantren terus berlanjut, bahwa ada pemilik atau
pengasuh pesantren yang berfikir bahwa pesantren bukan saja
tempat belajar ilmu tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat
meningkatkan keterampilan, apakah itu jahit menjahit, pertukangan
dan seterusnya. Terpikir pula oleh mereka, bahwa banyak pesantren
yang menerirna wakaf berupa tanah atau lahan yang luas, sangat
disayangkan kalau tidak diolah. Berbagai potensi yang ada mereka
kembangkan. Hal ini didasari pemikiran bahwa pesantren dapat
dijadikan sebagai pusat untuk pengembangan berbagai potensi yang
ada untuk kemaslahatan masyarakat.106 Dari pengembangan potensi
ini, pesantren dapat pula memberikan pengalaman kepada santrinya
dalam bidang perikanan, pertanian, sehingga pengalaman ini dapat
digunakan untuk hidupnya setelah berada di tengah-tengah
kehidupan di masyarakat, selain mereka menjadi pemimpin agama di
masyarakat. Hanya saja pesantren yang mengembangkan hal itu
jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Dari potensi ini pesantren dapat mengembangkan diri menjadi
pesantren yang mandiri, dan dalam pembelajarannya dapat
mendanai sendiri, dan karena kayanya pesantren, mereka dapat
106
Hasbi Indra, "Pesantren dan Masyarakat"', Ikhlas, Majalah Depag., Nomor 23.
Th. V Juli 2002, hal. 30-34.

98
memberikan pembelajaran kepada santri secara gratis. Dengan
pengembangan potensi pesantren ini, pesantren terjaga
kemandiriannya dari berbagai intervensi pihak lain atau dapat
membawa pesantren kepada kepentingan sesaat. Dengan demikian,
bila potensi pesantren dikembangkan ia dapat menjadi bagian dari
pergerakan perekonomian secara nasional. Dengan demikian pula
pesantren dapat mengamalkan hadits bahwa al-yad al-'ulya khairun
win al-yad al-sufla/ tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah.
Pendidikan pesantren di masa Abdullah Syafi’ie telah tersebar
ke seluruh Indonesia meskipun jumlahnya santrinya masih belum
begitu massif dan pesantren belum mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Pesantren dalam perkembangannya harus memenuhi
dinamika zaman guna merespon berbagai perubahan dalam
pengelolaan pendidikannya. Perubahan memang diperlukan dan hal
itu sesuatu yang abadi sepanjang kehidupan manusia, sepanjang hal
itu sesuatu yang baik. Dalam dunia pesantren sebenarnya telah
dipegang kaidah al-muhafazhatu 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu
bi al-jadidi al-ashlah/ memelihara khazanah lama yang baik dan
mengambil yang baru yang baik.107
Adanya perubahan sosial yang demikian cepat telah
menimbulkan berbagai tantangan baru, tidak terkecuali bagi
pesantren. Karena itu, pesantren sebagai institusi sosial yang telah
banyak memberikan kontribusi besar dalam pengembangan
kehidupan rohaniah masyarakat Muslim, dituntut pula agar dapat
menjawab segala persoalan yang ditimbulkan dari arus perubahan
sosial tersebut. Perkembangan pesantren telah ada tetapi sangat
gradual dan bersifat reaktif. Perubahan yang terbaik adalah
mensyaratkan perencanaan dan kajian yang mendalam terhadap
masa depan, kemana perkembangan dunia ini bergerak, dan
kesanalah perubahan pesantren bergerak.
Keberadaan pesantren yang umumnya adalah pesantren
Salafiyah yang secara khusus hanya mengkaji kitab kuning dan tidak
diberikan ilmu umum. Dalam menghadapi hidup ini setiap orang

107
Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hal. 82

99
memerlukan wawasan keilmuan termasuk ilmu eksakta atau MIPA.
Para santri juga seharusnya diberikan ilmu siyasah yang kelak
mereka dapat menjadi pemimpin di masyarakat, mareka bukan saja
mahir menjadi imam, mahir membaca doa, tapi tampil untuk
memperbaiki masyarakat dengan pengetahuan umumnya dan
bahkan memiliki skill untuk menopang hidupnya.
Dalam kaitannya dengan pemahaman masyarakat terhadap
MIPA atau teknologi, dewasa ini dapat di bagi menjadi tiga kelompok
yaitu (1) kelompok technological innovator, mencakup hanya 15
persen dari seluruh penduduk dunia, tetapi menguasai seluruh
inovasi teknologi yang terdapat di dunia ini, (2) kelompok
technological adopters, mencakup kira-kira setengah dari penduduk
dunia yatu kelompok bangsa-bangsa yang mampu menguasai
teknologi-teknologi baru hasil inovasi, terutama teknologi baru di
bidang produksi serta komunikasi, dan (3) kelompok technologically
exclude, mencakup kira-kira sepertiga dari penduduk dunia ini, yaitu
kelompok penduduk dunia yang tidak mampu memperbaharui
teknologi tradisional mereka dan tidak mampu pula menguasai
inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat-masyarakat di luar
wilayah mereka.108
Wilayah yang termasuk ke dalam katagori technologically
exclude ini tidak selalu berupa suatu Negara atau bangsa, kebanyakan
berupa kantong-kantong dalam suatu Negara. Negara-Negara yang
tidak mampu mengikuti dinamika teknologi global, pada umumnya
berangsur-
angsur mengalami kemunduran dan keterasingan dan akhirnya
lumpuh. Ini disebabkan ekspor mereka yang berupa komoditas
primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil-hasil
pertambangan sedikit demi sedikit digusur oleh produk-produk
sintetis. Di samping itu, persoalan-persoalan demografis juga turut
memperburuk keadaan Negara-Negara yang tidak mampu mengikuti
dinamika teknologi global ini. Negara-Negara golongan ini
memerlukan serangkaian reformasi melalui pendidikan.

108
Rifat Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA di Pondok Pesantren,
Makalah, disampaikan ke Ditjen Bagais, 2001, hal. 1-4.

100
Di Indonesia, kalau diperhatikan secara lebih mikro, akan
diketahui banyak wilayah yang merupakan kantong-kantong dari
keterkucilan teknologi (pockets of tecknologically exclude areas).
Dalam dunia pendidikan lebih terasa di lingkungan pondok
pesantren dikarenakan lokasi dan lingkungannya yang umumnya
bersifat terkucil secara teknologis. Kalau ini terus berlangsung, tentu
mereka akan berada dalam keterbenaman dalam kemiskinan materil
yang berlangsung selama ini. Kita akan semakin bergantung pada
golongan penduduk yang berkecukupan secara meteril yang
jumlahnya sungguh tidak banyak dalam menyelesaikan masalah-
masalah mendesak yang dihadapi bangsa. Tentu saja ini merupakan
situasi yang tidak sehat.109
Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan
pendidikan MIPA di pondok pesantren. Masalahnya bagaimana cara
mengatasi ketakutan serta kecurigaan terhadap metematika dan ilmu
pengetahuan alam yang dibiarkan tumbuh dalam masyarakat
pesantren dari generasi ke generasi memerlukan peninjauan ulang
yang mendasar terhadap kehidupan budaya dan keagamaan kita.
Untuk seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga santri
tradisional, kata "hukum alam" akan membuatnya terkejut karena
yang di dengarnya setiap hari selama ini adalah "hukum Tuhan".
Bagaimana mungkin bahwa alam yang merupakan ciptaan Tuhan
mempunyai hukumnya sendiri? Masih banyak lagi prasangka-
prasangka yang harus diatasi untuk membuat pendidikan MIPA
diterima dengan hati terbuka dan minat yang cukup besar oleh setiap
anggota dan setiap generasi baru.
Kalau kita betul-betul ingin meningkatkan kemampuan bangsa
di bidang teknologi di masa depan, tidak boleh dibiarkan adanya
anak-anak muda yang buta matematika dan buta ilmu pengetahuan
alam. Memang benar, tidak semua santri akan berminat menjadi ahli
matematika, ahli ilmu pengetahuan alam atau ahli teknologi. Akan
tetapi suatu masyarakat hanya akan berhasil mengembangkan
kemampuan teknologi yang cukup tinggi kalau dalam masyarakat
tadi terdapat lapisan-lapisan penduduk dengan tingkat pemahaman

109
Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA, hal. 5.

101
tentang matematika dan ilmu pengetahuan alam yang beragam, dari
kemampuan yang bersifat ekspertise sampai ke pemahaman yang
bersifat apresiatif.
Pada dasarnya setiap Negara atau masyarakat yang ingin
mengalami revolusi ilmiah; yaitu loncatan raksasa dalam penguasaan
matematika dan ilmu pengetahuan alam harus mampu
mengembangkan empat lapisan penduduk dengan penguasaan yang
berbeda-beda tentang matematika dan ilmu pengetahuan alam ini.
Paling atas adalah lapisan alpha-plus scientists, yaitu ilmuwan
dengan kemampuan yang sangat tinggi. Jumlah kelompok ini pada
bangsa manapun tidak pernah besar. Pada lapisan kedua terdapat
kelompok alpha professions yang jumlahnya jauh lebih besar
daripada kelompok pertama tadi. Tugas kelompok kedua ini adalah
melakukan supporting researche, the high class design and
development. Pada lapisan ketiga terdapat ilmuwan yang akan
melakukan secondary technical jobs. Pada lapisan keempat adalah
para politisi, birokrat dan masyarakat umum dengan pemahaman
tentang metematika dan ilmu pengetahuan alam yang memadai
sehingga mereka itu mengerti apa yang dibicarakan para ilmuwan.110
Oleh Karena itu, pengetahuan matematika dan ilmu
pengetahuan alam harus dimiliki oleh seluruh lapisan penduduk.
Mereka yang tidak mempunyai keinginan untuk menjadi ahli
matematika atau ahli ilmu pengetahuan alam pun perlu tahu apa
matematika dan ilmu pengetahuan alam itu. Inilah mengapa para
santri tidak boleh dibiarkan menjadi buta matematika dan ilmu
pengetahuan alam.
Alasan yang bersifat sosio-culrural harus ditangani. Kebutaan
terhadap matematika yang dibiarkan melembaga, artinya dibiarkan
menjadi suatu hal yang dipandang biasa akan menimbulkan akibat-
akibat yang sangat membahayakan kehidupan budaya dan politik
pada taraf global dan trans-personal. Mereka yang buta matematika
pada umumnya akan mudah merasa jengkel dan terganggu apabila
mereka berhadapan dengan manusia pemikir dan selalu tidak sabar
menghadapinya dan kemudian menolak argumen-argumen yang

110
Hamdy, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA, hal. 6

102
bersifat logis. Masyarakat yang membiarkan tumbuhnya kebutaan
metematika dan ilmu pengetahuan akan selalu menolak argumen-
argumen yang menuntut pemikiran rasional, sistematis dan tidak
berpihak. Secara singkat, kebutaan matematika dan ilmu
pengetahuan alam yang melembaga akan membuat masyarakat
kehilangan kemampuan untuk berfikir secara disipliner dalam
menghadapi masalah-masalah nyata dari masalah-masalah yang
relatif sepele, sampai pada masalah-masalah yang benar-benar gawat.
Untuk dapat hidup dalam zaman modern tanpa menjadi
bingung sangat dibutuhkan sejumlah pengetahuan tentang ilmu
pengetahuan alam. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika
berhubungan secara pribadi dengan produk teknologi baru, kita
sebenarnya memerlukan penguasaan tentang sejumlah konsep dasar
tentang sains dan teknologi. Kalau tidak, kita hanya menjadi budak
dari peralatan teknologi yang serba modern itu. Sebagai contoh,
mungkin ada di- antara kita yang terbiasa mengendarai mobil tanpa
mempunyai gambaran tentang struktur mobil sebagai satu sistem.
Akibatnya, kalau ada suatu hal yang tidak beres dengan mobil, yang
dapat kita lakukan pergi ke bengkel. Begitu pula pemakai computer,
banyak sekali yang tidak memahami perangkat keras dari computer
sebagai suatu sistem. Kalau terjadi gangguan lalu menjadi bingung.
Contoh serta fakta itu memperlihatkan bahwa hidup dalam zaman
modern dengan mempergunakan peralatan yang serba modern akan
menjadi sangat membingungkan dan bahkan menakutkan, kalau kita
tidak membekali diri dengan apa yang disebut dengan scientific
literacy.
Selain itu, masing-masing pesantren perlu berupaya untuk
menggarap berbagai potensi yang dimilikinya sehingga dengan
potensi yang dimiliki lulusannya bukan saja menguasai ilmu agama,
ilmu umum dan juga keahlian. Perhatian terhadap ilmu agama dan
ilmu umum serta keterampilan sudah saatnya diperlakukan sama di
pesantren. Ke depan, pesantren dengan potensi yang dimilikinya
dapat memenuhi kebutuhan seperti sarana dan prasarana
pembelajaran yang memadai dengan gedung dan sarana
perpustakaan lengkap diisi oleh buku agama, umum dan juga buku
keterampilan. Kemudian, dalam pembelajaran ke depan, pesantren

103
sudah harus melakukan pembelajaran melalui sarana teknologi dan
memperkenalkan santrinya dengan alat itu sehingga mereka tidak
gagap (shock condition) dengan kemajuan teknologi.111
Ke semua itu memerlukan manajemen pengelolaan pesantren
yang baik, apalagi di era saat ini. Sistem manajemen pesantren yang
baik, kelak akan memproduk lulusan yang memiliki nilai kompetitif
dibandingkan dengan produk pendidikan lainnya. Selama ini masih
banyak manajemen pengelolaan di berbagai pesantren sangat
tergantung pada komando kyai sebagai pemilik tunggal. Sehingga
sampai keputusan dari hal-hal yang bersifat strategis hingga hal-hal
yang teknis harus berkonsultasi dulu kepada kyai. Sistem
pengelolaannya belum terbagi dan belum secara otomatis berjalan.
Bila sistem pengelolaannya yang sudah terbagi, ini akan
meringankan beban kerja kyai, dan kelak akan memunculkan kader-
kader penerus manakala kyai sudah sepuh atau telah wafat.
Selain pesantren ada pula di Jakarta pendidikan diniyah yang
didirikan oleh masyarakat. Sebenarnya Pendidikan Diniyah telah
berdiri bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Di
masa pemerintahan Hindia Belanda yang penduduknya sebagian
besar beragama Islam terdapat pendidikan diniyah dengan berbagai
macam bentuk penyelenggaraan. Pada waktu itu pendidikan diniyah
mendapat bantuan dari para Sultan selaku penguasa setempat.112
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan diniyah mendapat
dukungan dalam Maklumat BPKNIP Tanggal 22 Desember 1945,
bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-
kurangnya diusahakan agar pengajaran yang berlangsung di langgar,
surau, masjid dan madrasah berjalan terus. Kemudian dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan ini diupayakan diantaranya dengan
Peraruran Menteri Agama No. 3 Tahun 1983 Tentang Kurikulum
Madrasah Diniyah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan, sehingga cita-cita pendidikan pada Pendidikan Diniyah
dapat dicapai secara selektif. Kemudian dengan dimuatnya

111
Rifat Hamdy, “Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA”, hal. 7
112
Tim Depag, Pola Pengembangan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Depag, 2003), hal.
1

104
Pendidikan Diniyah dalam UU Sisdiknas NO. 20 Tahun 2003 institusi
ini semakin kokoh keberadaannya.
Awal didirikan pendidikan diniyah pada masa penjajahan salah
satunya dimaksudkan untuk memberikan pelajaran agama bagi
anak-anak Muslim yang buta dengan agamanya. Kemudian pada
masa kemerdekaan dimaksudkan pula agar anak-anak Muslim
memiliki pemahaman agama dan pengamalannya yang cukup bagi
siswa yang belajar di sekolah umum. Selain itu, ada pula pendidikan
ini yang diselenggarakan di pesantren, juga dimaksudkan untuk
mendalami ajaran agama Islam serta mengamalkannya secara
konsisten.113
Pendidikan Diniyah yang didirikan di luar pesantren siswanya
berasal dari mereka yang belajar di sekolah umum karena di sekolah
umum mereka belajar agama sangat minim sehingga untuk
meningkatkan pengetahuan agama serta pendidikan moral mereka
belajar di diniyah. Sementara itu, diniyah yang di pesantren,
umumnya mereka belajar agama sembari belajar ilmu umum dan
siswanya tinggal di pesantren.
Pendidikan Diniyah ini sebagian besar mengunakan metode
pembelajaran kelas, dan juga lulusannya diberikan ijazah, setelah
lulus mereka dapat pula meneruskan ilmu agama ke jenjang yang
lebih tinggi. Dalam kaitan kurikulum Pendidikan Diniyah sesuai
dengan keputusan Menteri Agama No. 3 Tahun 1983 membaginya
menjadi 3 tingkatan, yaitu Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan
Diniyah Ulya. Kemudian berkembang menjadi 3 tipe, yaitu: tipe A
berfungsi membantu dan menyempurnakan pencapaian tema sentral
pendidikan agama pada sekolah umum terutama dalam hal praktik
dan latihan ibadah serta membaca al-Qur'an; (2) tipe B berfungsi
meningkatkan pengetahuan agama Islam sehingga setara dengan
Madrasah. Pendidikan Diniyah ini berorientasi kurikulumnya ke
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah;
(3) tipe C berfungsi untuk pendalaman agama dengan sistem pondok
pesantren. Materi pembelajarannya berkisar pelajaran al-Qur'an,

113
Tim Depag. Pola Pengembangan, hal. 3

105
Akidah-Akhlak, Ibadah, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa
Arab.114
Pendidikan Diniyah seperti juga pendidikan Islam lainnya
berada di tengah masyarakat yang terus perkembang. Harus juga
mempersiapkan diri dengan kurikulum pembelajarannya. Di Diniyah
ini ada siswa yang bersekolah di dua sekolah, yaitu sekolah umum
dan sekolah Diniyah, maka muatan pembelajarannya sangat padat.
Pembelajaran seperti ini membutuhkan orang-orang hero atau luar
biasa ketahanan tubuh dan kerja otaknya. Ketahanan tubuh tentu
saja memerlukan gizi yang prima, maka hal ini sangat sulit dipenuhi
ketika dihadapkan bahwa mereka yang belajar di Diniyah memiliki
orang tua yang sederhana. Oleh karena itu, terutama di Diniyah
memerlukan kurikulum yang integratif yakni memadukan ilmu
agama dan ilmu umum, bagi mereka yang sekolah di sekolah umum
dan juga sekolah diniyah, maka akan semakin memperkokoh
pengetahuannya. Tetapi bagi mereka yang hanya belajar di diniyah,
apakah itu di dalam pesantren atau di luar pesantren, maka integrasi
keilmuwan akan memberikan wawasan luas terutama pengetahuan
mereka terhadap ilmu-ilmu umum. Di pendidikan diniyah yang
semata mengajarkan ilmu agama, maka seperti yang diuraikan dalam
pembahasan lembaga pendidikan pesantren diperlukan adanya
pemberian wawasan kepada mereka dalam pengetahuan matematika
dan ilmu pengetahuan alam dengan dasar pemikiran yang sama
seperti tersebut di atas.
Ada lagi di Jakarta pendidikan madrasah, pendidikan yang
memberikan pelajaran agama Islam pada tingkat dasar dan
menengah yang umumya didirikan pemerintah. Perkembangan
madrasah berkembang di berbagai daerah. Misalnya di Sumatera
Barat sejak lama berdiri Madrasah Adabiyah, pendidikan madrasah
saat ini telah berkembang di seluruh Indonesia.115 Pendidikan
Madrasah ini pendidikan yang sudah menyerap sistem pendidikan
modern, baik pengelolaannya maupun proses pembelajaran serta
materi pelajaran yang bukan saja belajar agama tetapi juga belajar

114
Tim Depag, Pola Pengembangan, hal. 24
115
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal.
99

106
ilmu-ilmu umum.116 Hal itu disebabkan bahwa munculnya model
pendidikan madrasah karena adanya persentuhan atau kontak
langsung dengan model pendidikan Barat melalui kyai dan ulama
yang pernah belajar di Timur Tangah. Model pembelajaran Madrasah
diadakan seperti model pembelajaran sekolah umum, belajar di
ruang kelas dan bertingkat serta dilakukan evaluasi harian dan
tahunan.117
Di pendidikan madrasah pada awal-awal kemerdekaan di
kurikulum pembelajarannya, di samping memberikan mata pelajaran
agama juga mata pelajaran umum. Misalnya dalam kurikulum
Madrasah Ibtidaiyah Tahun 1936, Pelajaran Agama terdiri dari belajar
membaca Al-Qur'an, Tauhid, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir dan Hadits
serta Akhlak. Adapun mata pelajaran umum seperti Bahasa
Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Alam, Menggambar
dan pekerjaan tangan. Begitu pula gambaran kurikulum Madrasah
Tsanawiyah Tahun 1931, pelajaran agamanya Tafsir,
Hadits/Musthalah, Tauhid, Fiqh/Hikmah Tasyri' dan Ushul Fiqh,
Tarikh Islam; adapun mata pelajaran umum yakni: Ilmu Bumi, Ilmu
Alam, Ilmu Tumbuh-Tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia,
Ilmu Berhitung, Bahasa Inggris, dan gerak badan.118
Pendidikan madrasah semakin berkembang pada masa
berikutnya baik yang didirikan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Madrasah ini didirikan untuk memberikan pengetahuan agama juga
umum bagi anak didik. Lulusannya tidak hanya dapat bekerja
menjadi pegawai negeri seperti di Departemen Agama setelah selesai
dari Madrasah Aliyah, mereka juga dapat meneruskan ke IAIN atau
STAIN. Pendidikan Madrasah pada dekade ini tidak hanya
memberikan kepada siswa pelajaran agama dan umum juga pelajaran
keterampilan seperti tergambar dalam pelajarannya: Al-Qur'an,
Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh-Ushul Fiqh, Sejarah dan Peradaban
Islam, Ilmu Kalam, Tarikh Tasyri', dan Sejarah Agama. Adapun ilmu
umum seperti Pendidikan Pancasila, Bahasa dan Sastra, Sejarah

116
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim, hal. 92
117
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1995), hal. 172
118
Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan anak bangsa (Jakarta:
Rajagrafindo, 2003), hal. 202-208.

107
Nasional dan Sejarah Dunia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Orkes
dan Pendidikan Seni, dan Pendidikan Keterampilan yaitu
Administrasi Urusan dan Peradilan Agama serta Bimbingan dan
Penyuluhan Agama serta Bahasa Arab.
Pendidikan madrasah mendapatkan perhatian pemerintah
serta juga membuka kemungkinan menggali berbagai potensi dari
siswa Madrasah bukan hanya potensi ilmu agama saja tetapi juga
punya potensi menguasai ilmu umum, dan lainnya. Untuk itu pada
tahun 70-an dibuatlah Kesepakatan 3 Menteri yakni Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
SKB 3 Menteri itu memberi peluang lulusan Madrasah bukan saja
dapat bekerja di Departemen Agama tetapi juga di departemen lain,
dan juga mereka dapat melanjutkan pendidikannya ke universitas
umum, seperti melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, Teknik, Hukum
dan sebagainya. Untuk itu dibuatlah kurikulum tingkat Ibtidaiyah,
Tsanawiyah dan Aliyah kelas 1 dan 2, dan kelas 3 dibagi ke dalam 4
Program Studi yaitu Agama Islam, Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu alam
dengan kurikulum sebagai berikut: 119
Pada kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, mata pelajaran agama
seperti Al-Qur'an-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, SKI, Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, Bahasa
Arab, Matematika, Pengetahuan Alam, Kerajinan Tangan dan
Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan muatan lokal.
Untuk kelas 1 dan 2, 32 jam perminggu, untuk kelas 3, 40 jam
perminggu, untuk kelas 4, 5 dan 6, 42 jam perminggu. Pada
kurikulum Madrasah Tsanawiyah mata pelajaran hampir sama
dengan Madrasah Ibtidaiyah, kecuali berbeda ada tambahan
pelajaran Bahasa Inggris dan keterampilan, Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Untuk kelas 1, 2 dan 3, 41 jam perminggu.
Kemudian pada tingkat Aliyah kelas I dan II, jam pelajarannya
perminggu 43 jam dalam mata pelajaran yaitu: Al-Qur'an-Hadits,
Fiqh, Akidah-Akhlak, dan SKI, Pendidikan Kewarga-negaraan,
Bahasa (Sastra Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika,

119
Hasbullah, Sejarah Pendidikan, hal. 173

108
Kesenian, Pendidikan Jasmani, Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah,
Geografi, Ekonomi dan Sosiologi), Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika,
Kimia dan Biologi), Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Keterampilan Bahasa Asing dan Muatan lokal.
Kemudian untuk kelas III Aliyah, siswa di bagi kepada Program
Studi Agama Islam, Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu Alam. Kurikulum
Program Sudi Agama Islam seperti Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, SKI,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa (Sastra
Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian,
Pendidikan Jasmani, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ushul Fiqh, Tashawuf,
Tauhid, Teknologi dan Komunikasi, Keterampilan Bahasa Asing dan
Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan 2, 44, 42 jam perminggu.
Program Studi Bahasa, mata pelajarannya seperti Al-Qur'an-
Hadits, Fiqh, SKI dan Bahasa Arab, Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika,
Kesenian, Pendidikan Jasmani, Sejarah, Antropologi, Sastra
Indonesia, bahasa asing lain, Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Keterampilan dan Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan 2, 44, 43 jam
perminggu.
Adapun kurikulum Program Studi Ilmu Sosial meliputi AI-
Qur'an, Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, SKI, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa (Sastra Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa
Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Sejarah,
Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Keterampilan/ Bahasa asing dan Muatan Lokal. Untuk semester 1 dan
2, 45, 42 jam perminggu.
Adapun untuk Program Studi Ilmu Alam, hampir sama dengan
kurikulum Program Studi Ilmu Sosial, hanya saja berbeda pada mata
pelajaran khusus yaitu Fisika, Biologi, Kimia dan Matematika.120
Tampaknya, Program Studi Agama Islam, masing-masing komposisi
mata pelajarannya 30 persen untuk pelajaran agama dan 70 persen
untuk mata pelajaran umum. Sementara itu untuk Program Studi
Bahasa, Ilmu Sosial dan Ilmu Alam, komposisi mata pelajaran agama
30 persen dan mata pelajaran umum 70 persen.

120
Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan, hal. 41

109
Ada pula tuntutan madrasah agar dapat diharapkan untuk
menjadi ulama, atau madrasah yang lulusannya diharapkan
menguasai ilmu agama belum terpenuhi, maka didirikanlah
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), yaitu mata pelajarannya
hampir semua mata pelajaran agama dan penguasaan bahasa Arab
bagi siswanya menjadi mutlak. Selain tuntutan di atas, ada pula
tuntutan bahwa tidak semua siswa Madrasah dapat melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, banyak dari mereka yang
tidak melanjutkan pendidikan. Oleh karena itu sebaiknya siswa
mendapatkan keahlian atau keterampilan. Merespon hal itu, maka
didirikan pula Madrasah Aliyah Keterampilan (MAK), dimana siswa
Madrasah di samping belajar agama juga belajar ilmu keterampilan
seperti perbengkelan, jahit-menjahit, elektronik dan lainnya agar
kelak mereka selesai pendidikannya dapat langsung turun di dunia
kerja.
Begitu pula guna merespon percepatan pengembangan
Madrasah seluruh Indonesia diperlukan tipe ideal. Untuk itu
dibentuklah Madrasah Model yang diharapkan dapat menjadi contoh
bagi Madrasah pada umumnya di tanah air yang dilengkapi dengan
fasilitas perpustakaan, laboratorium IPA, laboratorium Bahasa
Inggris/Arab, laboratorium computer, bahan-bahan pelajaran seperti
teks penunjang, buku pustaka, alat peraga dan lain-lain. Dalam hal
personel, dipersiapkan guru Madrasah ini bergelar master sedikitnya
satu orang untuk setiap mata pelajaran, guru kelas atau guru mata
pelajaran biasa yang terlatih melalui kegiatan pelatihan di dalam
maupun luar negeri. Kemudian perkembangan lebih lanjut untuk
terwujudnya efisiensi dalam pengelolaan Madrasah yang meliputi
tingkat dasar sampai menengah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah),
maka dibuat pula Madrasah Terpadu dalam hal administrasi,
kurikulum, personel, sarana dan prasarana dan integrasi
pembiayaan.121
Pendidikan Madrasah berada di zaman yang berubah
yangalumninya bukan saja membutuhkan ilmu agama, ilmu umum,
tetapi juga keterampilan untuk masuk ke dunia kerja. Karena lulusan

121
Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan, hal. 42

110
Madrasah tidak semuanya dapat meneruskan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Untuk itu diperlukan Madrasah yang bukan saja
profesional dalam pengelolaannya, tetapi juga lengkap dalam sarana
dan prasarana pembelajarannya baik yang berkaitan dengan
pengembangan keilmuwan maupun yang berkaitan dengan
peningkatan skill siswa.
Untuk mencapai hal itu Madrasah lebih banyak dibantu oleh
pemerintah dalam proses pembelajaran, sementara itu kemampuan
pemerintah sangat terbatas. Jalan lain yang bisa ditempuh melalui
partisipasi civitas Madrasah. Hanya saja jalan itu masih memerlukan
pemikiran. Sementara itu banyak pula Madrasah yang
diselenggarakan non pemerintah yang pengelolaan dan
pembelajarannya dilakukan seadanya.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh Madrasah untuk
mempersiapkan siswanya di era global ini adalah memperhatikan
dan meningkatkan kemampuannya dalam bidang bahasa, baik Arab
maupun Inggris; penguasaan bahasa bagi pencari kerja era ini
menjadi syarat mutlak. juga penguasan skill tertentu yang
dibutuhkan dunia kerja. Idealnya, setiap Madrasah memiliki
laboratarium bahasa, juga memiliki sarana dan prasarana untuk
meningkatkan skill siswa baik dalam bidang perbengkelan, jahit-
menjahit. Untuk mengembangkan hal itu perlu pula Madrasah
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga
teknis lainnya. Siswa Madrasah dapat pula dipersiapkan wawasan
dan mentalnya agar memiliki mental kewirausahaan melalui
pembinaan perkoperasian atau bentuk lainnya.
Hal-hal tersebut memerlukan Madrasah yang berkualitas, ini
tentu saja memerlukan manajemen civitas Madrasah atau
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui model manajemen ini,
pengelolaan Madrasah tidak lagi terpusat di Kepala Sekolah untuk
meningkatkan kualitasnya, tetapi sudah melibatkan berbagai unsur,
selain kepala sekolah, guru dan partisipasi Komite Sekolah yang
terdiri dari orang tua siswa dan mereka yang peduli dengan kualitas
sekolah yang bersangkutan. Dengan berjalannya MBS ini,
pengelolaaan sekolah akan mengarah kepada transparansi dan
akuntabilitas. Aspirasi orang tua dan para ahli yang peduli terhadap

111
perkembangan Madrasah akan dapat diserap guna kemajuan
sekolah. Di saat pemberdayaan Madrasah agar mandiri dalam
pengelolaan, maka MBS adalah jawaban yang tepat, Hanya saja,
problema yang tengah dihadapi adalah masih minimnya kepedulian
orang tua siswa dan tokoh masyarakat dalam pemberdayaan Komite
Sekolah tersebut.122
Untuk merespon keinginan masyarakat agar Madrasah
memberikan sesuatu yang dapat dilihat atau dirasakan terhadap anak
didik, maka kurikulum yang berbasis keahlian atau mengandung
kompetensi sangat diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, dunia sekolah
salah satunya untuk mempersiapkan anak didik untuk terjun ke
masyarakat, dan masyarakat terutama orang tuanya ingin melihat
kemampuan anak-anaknya dalam menyelesaikan berbagai masalah
dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bila ia tidak meneruskan
pendidikannya lebih tinggi karena alasan finasial atau alasan lainnya.
Idealnya sekolah mempertimbangkan produknya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosialnya.
Masalah yang lain dari pendidikan madrasah ini yaitu dalam
kurikulumnya terus ditingkatkan penyatuan antara ilmu agama dan
ilmu umum. Dalam mata pelajaran yang diberikan ke siswa; materi
ilmu agama sudah terintegrasi dengan ilmu umum seperti
terintegrasi dalam ilmu bioiogi, ilmu fisika, ilmu ekonomi, sehingga
siswa sudah terbiasa melihat ilmu dalam bentuk integratif yang tidak
memandang ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Untuk pengembangan materi lebih dalam, mereka dianjurkan
mendalami berbagai literatur lainnya. Ilmu-ilmu yang sudah
terintegratif itu akan semakin memperkuat keyakinan mereka
tentang Tauhid atau keesaan Allah, dan juga dapat memperbaiki
moralitas siswa dalam bentuk pengamalan sehari-hari di sekolah dan
di rumah.
Dalam kaitan itu Aminuddin Rasyad, Guru Besar Ilmu
Pendidikan UIN Jakarta, menyatakan bahwa muatan pembelajaran
siswa Madrasah sangat padat, belasan disiplin ilmu yang terpisah

122
Lihat, Husnul Yakin, “Manajemen Pendidikan Dalam Prespektif Islam”, Edukasi
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 1 Nomor 1 Januari –
Maret 2003, hal. 13-14

112
antara ilmu agama dengan ilmu umum harus dikuasai.123
Sebagaimana organ tubuh yang lain dari manusia mengalami
kelelahan, maka otak manusia pun juga ada batasnya dan mengalami
kelelahan. Segudang teori diberikan tetapi hanya sebagian kecilnya
saja yang diperoleh atau dipahami, maka segi afektifnya saja yang
terjamah, tetapi segi psikomotorik hanya sedikit yang tersentuh.
Maka, ketika ada penerapan antara teori dengan praktik sering tidak
sejalan dan dalam bentuk riilnya dapat dilihat masih belum siap
mereka terjun di dunia kerja atau dalam bentuk aplikasi moralitas di
masyarakat terasa semakin memprihatinkan. Ajaran yang
seharusnya, berbeda dengan senyatanya, maka ini akan menciptakan
orang-orang yang lain di bibir lain pula di hati.
Demikian, Madrasah sebagai institusi pendidikan yang
mencerdaskan dan mempribadikan anak didik, yang mempersiapkan
siswanya bukan saja dengan ilmu agama tetapi juga ilmu umum,
yang dalam pembelajarannya telah dilakukan secara integratif
sehingga waktu yang ada dapat digunakan secara efesien dan
mendapatkan hasil yang optimal. Selain itu, Madrasah perlu
membekali siswanya suatu kompetensi atau keahlian (skill) bahasa
dan lainnya guna sebagai bekal baginya di masyarakat setelah lulus.
Perjalanan pendidikan Islam (pesantren, diniyah dan
madrasah) yang ada Nusantara telah berlangsung sejak lama. la
menyatu dengan tersebarnya Islam ke berbagai belahan bumi yang
luas di mana agama Islam muncul, di sana seakan tumbuh model
pendidikan Islam. Sampailah agama Islam di Nusantara terutama
Jakarta melalui para da'i yang membawa semangat pendidikan yang
pernah dialami di negaranya. Atau ada pula lembaga pendidikan
yang dibuat oleh seorang murid yang pernah belajar dari seorang
ulama yang umumnya berasal dari Timur Tengah, yang mengambil
bentuk pesantren, diniyah dan madrasah.
Pendidikan Islam di Jakarta yang umumnya juga di Nusantara
dimulai dalam lingkungan keluarga atau famili. Pendidikan untuk
anak telah dimulai ketika usianya kira-kira empat tahun atau lima
tahun. Tujuan dari pengajaranya agar si anak dapat membaca al-

123
Aminuddin Rasyad, Ikhlas, Majalah Depag.,No. 22 Th. 16, 2002, hal. 11.

113
Qur'an. Ada pula si anak mengunjungi guru yang mempergunakan
rumahnya sebagai tempat mengaji atau mempergunakan langgar di
kampung yang bersangkutan. Pada tingkat ini mempelajari al-Qur'an
dimaksudkan hanya bisa membaca, tidak dimaksudkan untuk
mengerti kandungannya. Pelajaran yang diberikan tidak diberikan
dalam kelas yang teratur, guru mengajar anak didik satu demi satu
secara bergiliran di tengah riung rendahnya murid lain membaca
ayat al-Qur'an, yang nantinya akan dibaca di hadapan sang guru.
Dengan demikian kemajuan si murid sangat tergantung kepada
ketekunan dan kecakapannya.124
Pendidikan yang masih sederhana yang tidak berjenjang dan
tidak ada perbedaan usia, mereka duduk mengelilingi gurunya untuk
menerima pelajarana. Mereka membentuk halaqah atau lingkaran
dan menerima pelajaran yang sama. Tidak ada kurikulum tertentu
berdasar umur, lama belajar atau tingkat pengetahuan. Apa yang
akan dlpelajari sepenuhnya diserahkan kepada si murid. Waktu
masuk pun terserah kepada mereka, sehingga banyak di antara
mereka yang datang dan pergi tanpa kepastian waktu. Kemudian
dengan berjalannya waktu mereka disamping mempelajari al-Qur'an,
diajarkan pula bacaan dan cara shalat serta praktiknya, juga
diajarkan ilmu tauhid yang garis besarnya berpusat pada sifat dua
puluh, soal iman yang benar sehingga siswa dapat menghindari dari
iman selain Allah yang menyebabkan seorang jatuh ke dalam syirik,
sebab syirik dipandang sebagai dosa yang tidak terampuni oleh Allah.
Waktu belajar biasanya diberikan pada waktu petang atau malam
hari, karena pada siang hari atau pagi hari, siswa banyak membantu
orang tuanya mencari nafkah atau mengolah sawahnya. Kemudian
pendidikan ini ada yang berkembang di mana muridnya belajar di
kelas dan berdasarkan usia, sudah ada kurikulumnya dan ada
pengelolanya, jam belajarnya ada yang pagi ada yang siang hari,
pendidikan ini disebut dengan pendidikan diniyah, murid yang
menyelesaikan belajar di diniyah memperoleh ijazah.
Melalui pendidikan yang masih sederhana juga ada yang
melalui pendidikan diniyah, setelah dianggap selesai pendidikannya

124
Deliar Noer, Gerakan, h. 16.

114
ada yang berkeinginan melanjutkan pelajarannya, dan ada pula yang
sudah merasa cukup dengan pelajaran yang dicapainya. Namun,
kebiasaan yang mereka lakukan seperti melaksanakan shalat
berjama'ah di masjid tetap dikerjakan, dan selesai melaksanakan
shalat jama'ah mereka mengadakan syarah pengajian yang gurunya
berasal dari kampung sendiri atau guru yang berasal dari luar
kampung itu.
Mereka yang ingin lebih jauh lagi memperdalam pengetahuan
agama, sering pergi merantau umumnya mendatangi pesantren atau
surau-surau terkenal. Di tempat ini mereka mulai mempelajari
bahasa Arab, mereka mempelajari ilmu agama seperti ilmu fiqh,
ushul fiqh dan lainnya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab
pula.
Cara belajar mereka biasanya, ada seorang kyai yang membaca
teks se baris demi sebaris dengan menerjemahkan ke dalam bahasa
pengantar (bergantung pada daerahnya: Melayu, Jawa, atau Sunda,
disertai dengan komentar atau syarah atau komentar seperlunya).
Pelajaran berikutnya biasanya dimulai dengan pembacaan bagian
yang lain, oleh seorang murid yang ditunjuk oleh kyai dengan
membaca teks dan memberi arti. Kitab-kitab yang dibaca biasanya
telah mempunyai terjemahan bahasa daerah, di antara baris-baris
bahasa Arabnya, atau baris-baris dalam bahasa Arab itu mempunyai
jarak yang agak lebar yang biasanya digunakan oleh si murid untuk
memberi arti terhadap kata-kata bahasa Arab yang belum
dimengertinya. Atau di pinggir kitabnya diberikan keterangan-
keterangan oleh kyai dalam pembahasannya. Kitab-kitab itu biasanya
hasil cetakan dari Cairo. Makkah atau Istambul.125 Di Jakarta, pola
pengajaran seperti itu, di masa penjajahan dan awal kemerdekaan
banyak dilakukan di masjid atau di rumah. Para habib seperti habib
Alwi bin al-Hadad, habib Ali Husein al-Attas, atau ulama-ulama asal
Betawi seperti K.H. Abdul Majid, memberikan pelajaran agama
melalui kitab kuning, baik diselenggarakan di lokasi masjid maupun
di rumah ulama tersebut.

125
Deliar Noer, Gerakan, h. 17.

115
Seorang murid yang baru masuk pesantren biasanya tidak
langsung belajar ke kyai, kecuali ia telah sanggup mengikuti
pelajaran kyai tersebut. Mereka umumnya belajar terlebih dahulu
kepada asisten kyai. Setelah dirasa cukup mereka dapat membaca
dan dapat memahami ala kadarnya kitab yang berbahasa Arab,
barulah ia menyertai kelompok yang langsung mengaji kepada kyai
pesantren tersebut.
Oleh karena itu mudah dimengerti, kalau sistem pendidikan
model ini memberi hasil yang sangat minim, meskipun waktu yang
dipergunakan terkadang cukup lama. Waktu dan tenaga yang
dipergunakan dengan hasil yang minim itu tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh, bila mempergunakan sistem pendidikan
modern. Kemajuan seorang santri sangat tergantung semata-mata
pada ketekunan dan kecakapannya. Kepatuhan dan kedisiplinan
hanya diserahkan kepada santri sendiri.
Untuk memperoleh pengetahuan agama yang memuaskan
diperlukan waktu belasan tahun. Hanya sedikit orang yang dapat
mencapainya, kecuali mereka memiliki kemauan keras dan berani
menghadapi berbagai keprihatinan dan kesulitan dalam menuntut
ilmu agama hingga pada tingkat yang paling tinggi. Oleh karena itu,
banyak di antara santri yang mengundurkan diri, setelah nyantri
dalam waktu yang singkat atau setelah mereka menjadi santri dalam
beberapa tahun. Ada pula mereka yang pindah ke pesantren lain
dengan harapan memperoleh nasib baik dengan memperoleh ilmu
yang memadai. Kebanyakan mereka kembali ke kampung halaman,
dengan sekedar pengetahuan agama untuk dipakai sehari-hari atau
untuk menjadi guru mengaji atau menjadi ustadz di kampungnya.
Pelajaran awal yang diberikan biasanya ilmu fiqh yang
ditekankan pada pelajaran thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji.
Pada tingkat yang lebih tinggi lagi mereka mempelajari ketentuan
nikah, thalak dan rujuk serta belajar faraidl (hukum warisan),
Berbekal ilmu-ilmu itulah mereka nantinya kembali ke kampung

116
halamannya untuk menjadi ustadz atau da'i, menjadi pemuka
masyarakat atau ada pula mereka yang menjadi orang kebanyakan.126
Di Batavia atau Jakarta pada awal-awal kemerdekaan
berkembang pendidikan berbentuk diniyah, sebagai model
pendidikan agama yang telah mengadopsi sistem modern.
Pendidikan yang sudah bersifat klasikal, mempunyai kurikulum yang
bertingkat, adanya evaluasi, tenaga pengajarnya diberi imbalan
sesuai dengan keahliannya dan sebagainya. Modemisasi pendidikan
agama di Jakarta telah muncul pada tahun 1901.127 Masyarakat Arab di
tempat ini telah mendirikan diniyah atau madrasah dengan tujuan
menyelenggarakan pendidikan umum dan agama. Meskipun usaha
pertama ini gagal, namun pada tahun 1905 organisasi al-Jam'iyah al-
Khairiyat berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab
di Jakarta. Mata pelajaran yang diberikan terdiri dari ilmu agama dan
ilmu umum, bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua setelah
bahasa Arab di samping bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa

126
Modenisasi pendidikan terjadi pula di daerah yang lain. Di Sumatera Barat
melalui prakarsa Abdullah Ahmad yang pernah berkunjung ke Singapura tahun
1906, mendirikan sekolah Adabiyah di Padang Panjang yang sepenuhnya
menggunakan sistem klasikal. Pelajaran yang diberikan di samping pelajaran
agama juga mempelajari ilmu umum seperti ilmu hitung, lihat Karel A.
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 25. Juga modernisasi pendidikan terjadi di
Solo yang berbentuk sekolah tinggi di Kraton Surakarta. Sekolah tinggi yang
didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono yang digabungkan dengan masjid,
selain diberikan pelajaran bahasa Arab, juga diberikan pelajaran ilmu falak,
aljabar dan mantiq, Karel A. Steenbrink, Pesantren, h. 36. Organisasi
Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan modern, yaitu tahun 1923
mendirikan sekolah dasar dan sekolah pendidikan guru, lihat Muslih Shabir,
"The Educational Reform of The Muhammadiyah Reflection of Muhammad
'Abduh's Influences", Ihya Ulum Al-Din, IAIN Semarang, Vol. 2, Number 1,
Februari 2000, h. 72-89 Juga di kalangan NU sejak lama mengadopsi sistem
modern, yaitu tahun 1916, di Madrasah Salafiyah dalam kurikulumnya selain
mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam, juga di tambah pelajaran ilmu
berhitung, bahasa Belanda dan ilmu sejarah, lihat Deliar Noer, Gerakan, h. 85-
86. Juga terjadi di Majalengka. Abdul Halim sebagai pelopor mendirikan
pendidikan Jami'at 'Anat Al-Muta'allimin yang menggunakan sistem kelas, juga
ia mendirikan pendidikan yang bukan hanya mengajarkan ilmu agama dan
ilmu pengetahuan umum juga mempelajari pelajaran yang meningkatkan skill,
seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, lihat dalam Jalaluddin,
“Santi Asromo K.H, Abdul Halim”, Disertasi IAIN Jakarta, (Jakarta, t.p., 1990).
127
Deliar Noer, Gerakan, h. 80-83

117
pengantar. Tenaga gurunya diambil dari orang Indonesia dengan
kreteria yang ketat serta guru yang didatangkan dari Timur Tengah
seperti Ahmad Soerkati.128 Madrasah yang berdiri pada tahun 1905 di
Tanah Abang ini mampu menampung banyak murid laki-laki. Selain
itu, bagian perempuan juga dibuka oleh al-Jam'iyah al-Khairiyat pada
tahun 1919. Tenaga pengajar al-Jam'iyah al-Khairiyat putri adalah
orang Arab dari luar negeri dan para kyai pilihan Indonesia.
Setelah terjadi perpecahan ditubuh organisasi ini, muncul
organisasi baru yaitu Al-Irsyad, Madrasah Al-Irsyad didirikan di
Batavia pada tahun 1913, madrasah ini juga sangat penting bagi
pendidikan di Jakarta karena banyak guru-gurunya berasal dari
Timur Tengah. Madrasah ini menganut model Timur Tengah,
terutama model negara Mesir dan Tunisia. Pada dasarnya sekolah
yang dikelola kedua organisasi ini tidak berbeda dengan sistem
pendidikan gubernemen, walaupun keduanya memberikan
kesempatan yang lebih banyak kepada pendidikan agama.
Model pendidikan diniyah atau madrasah yang berkembang di
Batavia, juga sebagai respons dari model pendidikan yang didirikan
oleh pemerintah Belanda. Pendirian sekolah-sekolah pemerintah
Belanda ini di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
yang diperlukan oleh pemerintah, juga dimaksudkan agar kaum
bumiputera yang umumnya beragama Islam dibentuk
kepribadiannya, menjadi berkepribadian orang-orang Eropa yang
liberal dan rasional. Sehingga, dengan terbentuknya cita-rasa, pola
budaya, dan pemikirannya, mareka diharapkan tidak melakukan
penentangan terhadap pemerintah Belanda.
Munculnya model pendidikan madrasah juga karena adanya
persentuhan atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat
melalui para kyai atau ulamanya. Beberapa orang Indonesia yang
belajar di India dan Mesir meskipun jumlahnya lebih kecil
dibandingkan generasi sebelumnya yang belajar ke Makkah, rupanya
telah mengenal model pendidikan Barat. Selain itu, kelompok-
kelompok masyarakat Arab di kota besar di Indonesia pada awal
abad ke-20 juga telah mendatangkan guru-guru dari Tunisia dan

128
Deliar Noer, Gerakan, h. 68-73

118
Syria. Guru-guru itu sudah berkenalan dengan sistem pendidikan
Barat, terutama dari Perancis di negaranya masing-masing.129
Selain madrasah-madrasah tersebut muncul banyak madrasah
lain seperti madrasah al-Khairiyat yang didirikan di Kuningan pada
tahun 1925 oleh K.H. Rahmatullah bin H. Mughni, Madrasah al-
Azhar di Pulo Gadung didirikan pada tahun 1928 oleh K.H. Mukhtar,
Madrasah Islamiyah di Kampung Kecil Kebayoran Lama pada tahun
1934 dipimpin oleh Ustadz Haji Hamid, Madrasah Al-Wathaniyah di
Klender pada tahun 1934 didirikan oleh K.H. Chayyar, dan dalam
waktu bersamaan didirikan madrasah Raudlatil Athfal oleh K.H.
Mursyidi yang kemudian menjadi madrasah Al-Falah, dan madrasah
Dar al-Ta'mil al-Islami di Kampung Kecil didirikan oleh K.H.
Rahmatullah Sidiq pada tahun 1938, dan di Klender pada tahun 1933.
K.H. Zayadi mendirikan pesantren al-Ziyadah yang kemudian
menjadi madrasah.130
Berdiri pula madrasah al-Khairiyat al-Mansuriyah, pada
permulaan bernama madrasah Nahdlatul Ulama (tidak ada
hubungan dengan NU) didirikan pada tahun 1930 oleh K.H Mansur
di Pekojan Jakarta barat, pada tahun 1945-1950 ketika dipimpin oleh
K.H. Ahmadi mempunyai 45 guru dan 1700 murid. Madrasah al-
Hidayah (kampung Basmol) Kebun Jeruk Jakarta Barat didirikan pada
tahun 1942 oleh K.H. Ma'ud. Madrasah al-Jihad didirikan atas usaha
H. Abdullah Daud pada tahun 1945 dan ketika dipimpinnya pada
tahun 1950 madrasah ini mempunyai 29 guru dan 1000 murid.
Demikian pula madrasah Raudlah al-Muta'allimin Mampang
Prapatan yang didirikan pada tahun 1945 oleh beberapa kyai terkenal
seperti K.H. Abdul Razak Ma'mun. Madrasah ini telah membuka
cabangnya di Grogol Jakarta Barat pada tahun 1945-1950 memiliki 50
guru dan 1000 murid. Madrasah-madrasah ini punya sistem
pengajaran yang cukup baik. Di samping pelajaran al-Qur'an, bahasa
Arab dan Akhlak, juga diberikan pengetahuan umum. Masa

129
Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah-Sekolah, (Jakarta: KP3ES,
1986).h. 25
130
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), h. 131. Lihat
pula Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: LSIK, 1995), h.
149-150.

119
belajarnya adalah 3 tahun (masa dasar), 4 tahun Ibtidaiyah, 2 tahun
ijazah, 4 tahun mu'allimin, 2 tahun takhassus dan waktu 5 tahun
diperlukan untuk mencapai tingkat tinggi, yaitu takhassus.
Selanjutnya, dalam kaitan kurikulum banyak madrasah memberikan
70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum (sejarah, matematika,
geografi, ilmu falak, dll.). Kemudian muncul pula bentuk-bentuk
madrasah bertingkat seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan
pesantren.
Sebagian besar buku-buku yang dipergunakan adalah buku-
buku berbahasa Arab seperti Matiah Al-Bahrain wa Majmah al-
Bahrain, Minhaj al-'Abidin, al-Dar al-Samin, Matan al-Ajramiyah, Al-
Fiqh al-Wazih, Khulasah Nur al-Yaqin, beberapa buku akhlak dan
tata bahasa Arab. Pendidikan Islam dari madrasah ini cukup
bermanfaat dan menggembirakan. Sebagian besar lulusan madrasah
ini melanjutkan studi di bidang agama Islam di berbagai perguruan
tinggi di negara-negara Timur Tengah. Pendidikan madrasah dan
juga pendidikan pesantren yang berkembang di Betawi ini sebelum
masa kemerdekaan, juga menjadi tempat menanamkan semangat
perlawanan terhadap Belanda yang sedang menjajah.131Karena
dicurigai sebagai tempat perlawanan kepada penjajah, institusi
pendidikan ini mengalami diskriminasi dari kaum penjajah.
Kemudian, berdiri pula madrasah al-Irsyad pada tahun 1950,
pada tingkat Tsanawiyahnya yang menerapkan masa belajar 3 tahun
dengan kurikulumnya 60% agama dan 40% umum, ditingkatkan
menjadi Pendidikan Guru Agama Persiapan (PGAP). Sebagai lanjutan
dari PGAP ini dididirikan satu Perguruan Tinggi Islam Jakarta (PTI)
pada tanggal 14 November 1951 oleh Yayasan Wakap Perguruan
Tinggi Islam Jakarta. Perguruan Tinggi ini merupakan lembaga
pendidikan Islam pertama yang didirikan setelah Indonesia mardeka.
Perguruan ini memiliki satu fakultas: Fakultas Hukum dan
Pengertahuan Masyarakat, dengan jumlah mahasiswa 85 orang (1951-
1952). Pada tahun 1959, PTI menjadi Universitas Islam Jakarta dengan
dua fakultas: Hukum dan Pengetahuan Masyarakat; dan fakultas
Ekonomi dan Perusahaan. Setahun sebelumnya berdiri Perguruan
131
Lihat Zuly Qadir, “Pendidikan Islam Transformatif”, Afkar, Edisi No. 11 Tahun
2001, h. 30-33

120
Tinggi Muhammadiyah Jakarta dengan fakultas Ilmu Pendidikan,
dan Ilmu Sosial yang terletak di Jalan Limau, Kemayoran Baru.
Kemudian perguruan ini dengan fakultas Ilmu Pendidikan menjadi
Institut Peguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan dengan fakultas Ilmu
Sosial menjadi Universitas Muhammadiyah. Dasar perguruan ini
adalah sekolah Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1938 di
Jakarta.
Selain itu untuk meningkatkan guru-guru agama Islam pada
tanggal 15 Mei 1957 di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama
Islam, dengan Mahmud Yunus sebagai Dekannya. Dalam bulan
Agustus I960, Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) menjadi Institut,
dan berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 tahun I960, ADIA
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.132
Institusi pendidikan Islam di Jakarta pada masa penjajahan dan
masa Orde Lama belum mengalami perkembangan yang signifikan.
Karena pada masa penjajahan umat Islam mengalami diskriminasi
dalam pendidikan. Sementara pada masa Orde Lama umat Islam
disibukkan oleh urusan berpolitik, dan pemerintahpun masih
memusatkan perhatian pada pembangunan politik, dan politik
menjadi "panglima", sementara bidang lainnya belum mendapat
perhatian. Secara kelembagaan dan kualitas pendidikan Islam belum
mengalami perkembangan yang berarti.
Pada masa penjajahan dan Orde Lama model pendidikan
pesantren belum populer seperti yang ada di Jawa. Ada pesantren al-
Ziyadah yang didirikan oleh K.H. Zayadi yang kemudian menjadi
madrasah, juga jauh hari sebelumnya ada pesantren yang didirikan
oleh KH. Ahmad Marzuki di Klender. Pesantren yang didirikannya
memiliki santri mukim sekitar 50 orang, namun tidak dapat bertahan
setelah ia meninggal dunia. Sebab, bertahan dengan pendidikan
pesantren (tradisional) tidak mampu bersaing dalam persaingan
dunia pendidikan yang sangat kompetitif di Jakarta, dan santri yang
sedikit tidak mampu membiayai pesantren itu.

132
Zuly Qadir, “Pendidikan Islam Transformatif”, hal. 34

121
Barulah pada dekade Orde Baru di Jakarta muncul banyak
pesantren sebagai "metamorphosis" dari model madrasah. Pesantren-
pesantren yang ada merupakan kelanjutan dari institusi madrasah
yang ada sebelumnya, selain muncul pesantren-pesantren yang baru.
Perubahan bentuk ini dilatarbelakangi oleh paling tidak dua hal.
Pertama, adanya gerakan pemerintah menegerikan sekolah
madrasah yang sebelumnya dikelola oleh swasta atau oleh
masyarakat. Gerakan ini sangat mengkhawatirkan para pendiri dan
pengelola madrasah kehilangan hak "miliknya". Kedua, dari segi
simbol panggilan pengelola atau pemimpin madrasah, panggilan
khasnya di masyarakat adalah ustadz, sementara panggilan khas
pemimpin pesantren yaitu kyai. Di masyarakat panggilan kyai
tercitrakan "lebih berwibawa" daripada panggilan ustadz. Adapun
Pondok Pesantren yang dapat dicatat di Jakarta sebanyak 72
pesantren seperti pesantren al-Wathaniyah, Dar al-Najah, al-Qariyah
Thayyibah, Persatuan Islam 69, Dar al-Rahman, al-Jauhariyah, Nur al-
Qur'an, Hub al- Wathan, al-Siddiqiyah, dan lainnya.
Pada masa Orde Baru ini Pendidikan Islam mengalami
dinamika yang memadai. Pendidikan Islam baru memperoleh
perhatian yang cukup baik dari pemerintah maupun dari umat Islam
sendiri. Terutama madrasah mendapatkan perhatian yang cukup
besar dari pemerintah. Hanya saja pemerintah dalam menangani
pendidikan Islam mengarah kepada penyeragaman dalam
pengelolaannya, sehingga kreativitas dalam mengelola pendidikan
mengalami hambatan yang cukup berarti.133 Pada masa ini telah
berkembang madrasah model, seperti Madrasah Aliyah
Pembangunan Khusus (MAPK) di Ciputat Jakarta Selatan. Dalam
kaitan dengan kurikulumnya dikembangkan, jika sebelumnya dibuat
proporsi hampir 100 persen mata pelajaran agama; menjadi 70 persen
untuk mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama.

133
Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang di sutradarai oleh Rano Karno,
sekaligus pemeran Si Doel, digambarkan betapa anak Betawi masih langka
mengecap pendidikan umum. Si Doel yang telah meraih gelar Insinyur (Ir.)
disebut oleh ayahnya Sabeni "Tukang Insinyur". Si Doel juga digambarkan
seseorang yang pandai mengaji serta jujur prilakunya. Lihat Rano Karno,
"Masyarakat Betawi Dalam Si Doel Anak Sekolahan", h. 1-4, Seminar Budaya
Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli l999.

122
Selain itu, adanya persamaan status antara Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) dengan Sekolah Menengah Umum (SMU)/ Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), sehingga lulusannya dapat melanjutkan
pendidikannya di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM), serta universitas
umum lainnya. Sementara itu, pendidikan pesantren pun yang
umumnya dikelola oleh masyarakat, secara kuantitatif mengalami
perkembangan.
Demikian institusi pendidikan model madrasah yang menjadi
pilihan utama masyarakat Betawi pada masa penjajahan dan awal-
awal kemerdekaan. Dan, setelah masa Orde Baru, baru pondok
pesantren menjadi institusi andalan dalam mencerdaskan putra-
putrinya. Pilihan terhadap sekolah agama bagi putra-putri Betawi
memang sengaja ditanamkan oleh orang-orang Belanda yang
menjajah Nusantara. Orang-orang Belanda mengatakan bahwa bagi
orang Betawi tempat belajar mereka yang paling tepat adalah di
madrasah atau sekolah agama. Orang-orang Belanda menanamkan
pula bahwa bagi orang Muslim di dunia ini hanyalah sementara,
hidup yang kekal bagi mereka adalah di akhirat kelak, dan kehidupan
dunia ini hanyalah bagi orang kafir. Pandangan tersebut tertanam di
benak masyarakat Betawi, karenanya dalam soal pendidikan mereka
lebih memilih sekolah agama. Bagi mereka yang kaya mengirim
anak-anaknya sekolah agama baik di Saudi Arabia maupun Mesir.
Sementara itu, bagi perempuan Betawi, mereka banyak sekolah di
sekolah agama ala kadarnya, karena bagi mereka sekolah hanyalah
sebagai pelengkap dalam hidup, yang penting bagi mereka menjadi
ibu rumah tangga kelak karenanya banyak perempuan Betawi yang
nikah di usia muda.134

134
Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Zainab yang diperankan oleh Maudy
K, menggambarkan anak perempuan Betawi yang sejak muda ditunangkan
oleh orang tuanya dengan Si Doel. Namun, orang tua perempuannya,
memutuskan pertunangan itu, dan menjodohkannya dengan pengusaha
sukses. Zainab tidak menerima begitu saja perjodohannya. Zainab masih ingin
melanjutkan sekolah. Akhirnya Zainab kursus bahasa Inggris. Yang lebih
mengejutkan lagi Zainab terpilih menjadi None Jakarta. Lihat Nasharuddin
Umar, "Perempuan Betawi Menyonsong Milenium ke-3", h. 1-6, Seminar
Budaya Betawi, IAIN Jakarta. Lihat pula Aida Vitayala SB, "Peran Perempuan

123
Sementara itu, di Jakarta muncul pula sekolah yang
dikembangkan oleh zending Kristen atau Katolik yang menerapkan
sistem pendidikan Belanda, yang mereka jadikan pula sebagai
pembawa misi penyebaran agamanya. Melalui sarana pendidikan ini
agama Kristen secara sistematis dida'wahkan.135 Sekolah-sekolah
Kristen yang berkembang di Jakarta ini seperti sekolah Tarakanita
dilengkapi dengan fasilitas yang serba lengkap, dan dikelola secara
profesional, Sehingga logis, jika prestasi yang mereka capai
menyamai prestasi sekolah yang dikelola oleh pemerintah atau
bahkan melebihinya. Atas prestasi yang mereka capai, banyak pula
umat Islam yang mempercayakan putra-putrinya di didik di sekolah
tersebut atau sekolah sejenisnya. Tentu saja siswa yang beragama
Islam harus tunduk kepada ketentuan sekolah, serta mereka
dibolehkan pula untuk mengikuti pelajaran agama Kristen. Di duga
kuat telah banyak anak didik yang beragama Islam yang dididik di
sekolah-sekolah Kristen mengalami konversi dalam agamanya.
Mereka berpindah agama melalui sekolah-sekolah Kristen atau
Katolik itu, dikarenakan mereka telah menerima ajaran agama
tersebut melebihi pemahaman mereka terhadap agamanya sendiri
(agama Islam). Apalagi, bila mereka tidak menerima ajaran
agamanya, terutama dari lingkungan keluarga, maka kebingungan
terhadap ajaran agamanya akan muncul, dan ia berpindah agama.136
Sementara itu dalam potret pendidikan agama di Jakarta,
pendidikan madrasah pada tahun 80-an menyerap rata-rata 50-60
ribu murid baru untuk berbagai jenjang baik jenjang pendidikan
dasar (Ibtidaiyah), pendidikan menengah pertama (Tsanawiyah)

Betawi Menyongsong Milenium III", h. 1-7, Seminar Budaya Betawi, IAIN


Jakarta, 3 Juli 1999
135
Lihat Hadisutjipto, Sekitar, h. 47.
136
Pengakuan Aviliani, sarjana dan pengamat ekonomi, dan salah seorang
pembawa acara talk show di ANTEVE, setelah masuk ke sekolah SMU
Tarakanita, ia berubah memeluk agama Kristen. Kini, ia kembali memeluk
agama Islam atas kesadarannya sendiri. Lihat Republika, 22 Desember 2002, h-
2. Dalam konteks ini pula ketika "Majelis Pendidikan Katolik dan Protestan
melakukan penentangan terhadap RUU-SISDIKNAS yang akan disahkan oleh
DPR-RI bulan Mei 2003, Din Syamsuddin, SEKUM MUI menyatakan ada 16000-
19000 pertahun anak didik Muslim yang "murtad" melalui institusi pendidikan
non Islam, Republika, Selasa 6 Mei 2003,h.1

124
maupun pendidikan menengah atas (Aliyah). Pada dekade ini di
Jakarta tercatat sebanyak 493 buah sekolah Madrasah Ibtidaiyah, 196
buah Madrasah Tsanawiyah dan 68 buah sekolah Madrasah Aliyah
dengan murid seluruhnya berjumlah 145.592 orang dan guru
sebanyak 8.898 orang. Dalam kaitan ini pemerintah DKI Jakarta telah
memprakarsai program pendinamisan madrasah dengan maksud
meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah-madrasah yang ada,
agar anak didik tamatan madrasah ini memiliki pengetahuan
setingkat dengan sekolah-sekolah umum. Hal ini dilakukan
mengingat makin meningkatnya pola pikir warga Ibukota serta
makin pesatnya pembangunan dan teknologi sehingga mampu
menjawab tantangan melalui pendidikan formal keagamaan.
Kegiatan-kegiatan untuk terwujudnya cita-cita itu dilakukan melalui
penataran bagi guru-guru dan pengadaan alat-alat peraga. Di
samping itu, diusahakan perluasaan pembangunan sarana
pendidikan, dalam rangka pemerataan kesempatan belajar. Selain
madrasah di Jakarta, terdapat kurang lebih 72 buah Pondok
Pesantren. Pondok Pesantren memiliki murid sebanyak 11.889 orang
dan guru sebanyak 360 orang. Untuk agama Katolik juga sudah
dibangun sebuah seminari menengah yang mampu menampung
sekitar 300 murid.137
Di Jakarta, selain tumbuh pesantren bercorak Salafiyah, juga
tumbuh pesantren-pesantren yang bercorak Kombinasi, seperti
didirikannya pesantren putra-putri, dan pesantren khusus yatim
Abdullah Syafi'ie. Selain itu, di pinggiran Jakarta bermunculan pula
pesantren yang bercorak Khalafiyah seperti pesantren Dar al-Najah
di Jakarta Selatan, pesantren al-Hamdiyah dan al-Tawwabin di
Depok. Kemudian bermunculan pula pesantren plus, seperti
pesantren Madaniyah di Parung Jawa Barat merupakan pesantren
terpadu (Sekolah Menengah Umum yang siswanya tinggal di
pesantren).138

137
Mendagri, Profil, h. 175
138
Lihat Azyumardi Azra, "The Rise of Muslim Elite Schools: A New Pattern of
"Santrinization in Indonesia", dalam al-Jami'ah, IAIN Yogyakarta,
No.64/XII/1999, h. 67.

125
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa situasi pendidikan
Islam termasuk di Jakarta mulanya sangat sederhana. Umat Islam
Betawi belajar agama di rumah atau masjid dengan sistem halaqah
atau sorogan. Pendidikan Islam lebih banyak bercorak madrasah
pada masa penjajahan, dan mengalami diskriminasi. Begitu pula
pada masa Orde Lama pendidikan madrasah belum berkembang
secara signifikan. Kemudian, pada masa Orde Baru madrasah
(Diniyah) banyak berkembang menjadi pesantren. Selain
berkembang pula pendidikan madrasah dan pendidikan Tinggi
Islam.
Dari berbagai uraian di atas, dapat digambarkan bahwa situasi
sosial kemasyarakatan yang berkembang di masyarakat Betawi atau
Jakarta, posisi sosial mereka "terpinggirkan" baik di masa penjajahan
maupun di masa pasca-kemerdekaan. Di tengah masyarakat Betawi
berkembang pula budaya yang sesuai dengan nilai Islam dan patut
dikembangkan, ada pula budaya yang tidak perlu dikembangkan.
Masyarakat etnis Betawi berciri demokratis, egaliter dan tidak
eksklusif. Situasi politik umat Islam di Betawi pada masa penjajahan,
terpusat perjuangannya untuk mengusir negara penjajah.
Kemudian, di Jakarta pada pasca kemerdekaan euporia politik
sangat menonjol, terutama pada masa Orde Lama concern umat
Islam hanya terfokus untuk menempatkan agama Islam sebagai
ideologi negara. Pada masa ini, ditandai pula oleh adanya berbagai
konflik kepentingan antar partai politik, juga antar partai politik
Islam, yang juga terjadi di Jakarta. Kemudian pada masa Orde Baru
umat Islam mengalami marginalisasi di bidang politik. Pada masa ini
di Jakarta telah terjadi kompetisi antar partai politik termasuk di
antaranya adalah partai-partai politik Islam. Ada pula penyatuan
partai-partai politik termasuk partai politik Islam ke dalam satu
partai dalam satu wadah yang disebut Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Masyarakat Betawi berada dalam dinamika
perpolitikan itu.
Masyarakat Indonesia temasuk masyarakat Betawi di masa
Orde Lama belum melihat perkembangan ekonomi tapi setelah Orde
Baru merasakan perkembangan hal itu hanya saja perkembangan itu
belum diwarnai oleh umat Islam, ekonomi kapitaslis berkembangan

126
dan pembangunan ekonomi mengandlkan hutang ke negara donor.
Dalam kehidupan beragama khususnya di Jakarta ditandai oleh
adanya dinamika, baik yang menyangkut aktivitas umat beragama,
lembaga agama maupun lainnya. Masyarakat Betawi sangat taat
menjalankan ajaran-ajaran Islam, hal itu tergambar dalam perilaku
beragamanya. Namun, mereka memiliki toleransi terhadap
keyakinan agama yang pluralitas di Jakarta. Selanjutnya situasi
pendidikan Islam di Jakarta mengalami dialektika, semula
pendidikan Islam bertumpu kepada sistem pendidikan non-formal,
seperti mengaji kitab ke seorang habib atau kyai di rumah, di masjid,
namun kemudian berkembang pula pendidikan ala madrasah, dan
ala pesantren. Pendidikan Islam di Jakarta pada masa penjajahan dan
Orde Lama berkembang sangat lambat. Baru pada masa Orde Baru
banyak mengalami perkembangan baik yang dikelola pemerintah
maupun masyarakat., Dalam kontek di tengah masyarakat Betawi
selain tumbuh pesantren tradisional (Salafiyah), tumbuh pula
pesantren Khalafiyah/Modern atau Kombinasi. Masyarakat Betawi
pada umum bersekolah di madrasah maupun di pesantren, terutama
di pesantren Salafiyah atau Khalafiyah atau Kombinasi.

127
128
BAB III
POTRET K.H. ABDULLAH SYAFI’IE

A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya


Abdullah Syafi'ie lahir di Balimatraman Jakarta pada tanggal 10
Agustus 1910 dan wafat lebih kurang 16 tahun yang lalu, tepatnya
pada tanggal 3 September 1985, juga di Jakarta. Ayahnya bernama H.
Syafi'ie bin Sairan yang memiliki profesi sebagai seorang pedagang
besar (grosir buah-buahan). Sementara itu, ibunya bernama Nona
bin Sya'ari yang juga berjiwa dagang, ia memiliki kemampuan
membuat kecap untuk diperdagangkan (home industri). Keduanya
berbahagia menerima kehadiran Abdullah, kebahagiaan mereka
bertambah dengan lahirnya saudara-saudara Abdullah yaitu Rogayah
dan Aminah.1
Abdullah, di usia yang masih sangat muda, bersama orang
tuanya telah melaksanakan ibadah haji ke Makkah.2 Ketika di usia
yang telah mencapai dewasa atau kurang lebih 18 tahun, atas restu
kedua orang tuanya, dia menyunting seorang gadis yang bemama Siti
Rogayah binti K.H. Ahmad Muchtar untuk dijadikan istrinya. 3
Istrinya adalah seorang terpelajar dan pernah menjadi pembaca al-
Qur'an di Istananegara di depan Presiden Soekarno pada tahun 1949.
Abdullah dan keluarga besarnya merasa bangga dengannya karena
memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam seni membaca al-
Qur'an.
Setahun lebih setelah masa perkawinan, Abdullah Syafi'ie dan
keluarga besarnya berbahagia, mendengar bahwa istrinya telah
mengandung anak pertama. Setelah sembilan bulan di dalam

1
K.H. Abdul Rasyid pada tanggal 13 Nopember 1999, dan K.H. Abdul Hakim
pada tanggal 4 Nopember 1999 (keduanya putra Abdullah Syafi'ie), wawancara
2
Lihat Utomo Dananjaya, "K.H. Abdullah Syafi'ie Khadimutthalabah Perguruan
Al-Syafi'iyah—Kharismatik dan Rendah Hati", dalam Abdullah Syafi'ie-Tokoh
Kharismatik 1910-1985, (Jakarta: t.p, 1999), h. 12.
3
Saudara Rogayah yaitu KH. Ahmad Khatib, H. Hayati, KH. Murtadla Ahmad,
H. Satiri Ahmad dan Hj. Sayidah Alimad, wawancara dengan Ida Farida.

129
kandungan Rogayah, lahirlah anak yang dinanti, seorang putri yang
mereka beri nama Muhibbah. Beberapa tahun kemudian lahir pula
seorang putri lain yang mereka beri nama Tutty Alawiyah. Pemberian
nama ini menurut pengakuan yang bersangkutan, bahwa ayahnya
sangat mengagumi salah seorang gurunya yang bernama Habib Alwi
al-Hadad (bentuk ta'nis dari Alwy yang kemudian menjadi Tutty
Alawiyah).4
Pada waktu itu, memang Abdullah Syafi'ie sedang tekun
menuntut ilmu agama dari satu guru ke guru yang lain, termasuk
kepada guru yang dia kagumi yaitu Alwi al-Hadad. Beberapa tahun
kemudian menyusul lahir anak ketiga, kebahagiaan mereka
bertambah karena ternyata anak yang baru lahir adalah seorang
putra. Abdullah memberi nama sang putranya dengan nama Abdul
Rasyid, beberapa tahun kemudian lahir pula Abdul Hakim, dan yang
terakhir lahir pula seorang anak putri yang mereka beri nama Ida
Farida. Lengkap sudah kebahagiaan Abdullah dan istri serta keluarga
besarnya, menerima sepasang putra dan tiga orang putri dalam
kehidupan mereka. Namun, pada tahun 1951 keluarga itu berduka
cita dengan meninggalnya Rogayah, seorang istri dan ibu dari anak-
anak yang mereka cintai dipanggil kehadirat Allah. Dan beberapa
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958, keluarga itu kembali lagi
mengalami kedukaan yang mendalam, karena Muhibbah, putri
tertua Abdullah Syafi'ie dipanggil kehadirat Allah SWT.
Abdullah Syafi'ie masih energik dan kuat serta masih
memerlukan dorongan dan semangat dalam mencapai obsesi atau
cita-cita hidupnya. Setelah beberapa tahun ditinggal istrinya, dengan
direstui oleh keluarga dan putra-putrinya dia menyunting seorang
gadis yang bernama Salamah. Dari perkawinan kedua ini ia
memperoleh sepuluh orang anak,5 anak-anak dari Salamah yaitu
Moh. Surur, Syarif Abdullah, Moh. Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yakin,
Syafi'i Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila
Sakinah.6

4
Tutty Alawiyah, "K.H. Abdullah Syafi'ie, Ayahku", Kompas (Jakarta), 15
September 1985.
5
Ida farida, Abdul Rasyid dan Abdul Hakim, wawancara.
6
Ainul Yakin, 29 Desember 2002, wawancara.

130
Abdullah Syafi'ie yang sehari-harinya mendapat panggilan dari
saudara-saudaranya dan masyarakat dengan panggilan Dulloh, ia
mewarisi bakat dagang dari orang tuanya. Ketika ia menuntut ilmu
agama di berbagai tempat, ia telah berdagang barang-barang
keperluan masyarakat berupa kain dan songkok.7 Bahkan kemudian,
setelah ia menerjunkan dirinya di tengah masyarakat, ia dikenal
sebagai seorang ulama yang energik.
Berbagai aktivitas ia lakukan, mulai dari memberikan
pengajian di beberapa majelis ta'lim, mendirikan dan mengelola
pendidikan agama yang kemudian berkembang secara luas, namun
demikian profesi dagangnya tetap tidak ditinggalkan. Di tengah
kegiatannya memberikan pengajian, baik di daerah Jakarta maupun
di luar Jakarta, dia tidak lupa membawa barang-barang dagangannya.
Tampaknya, berdagang telah menjadi bagian dari hidupnya di
samping ia sebagai da'i dan pendidik. Dari hasil laba perdagangan
itulah ia jadikan modal untuk mendirikan dan mengembangkan
institusi pendidikannya.8 Namun, betapapun besar bakat dagangnya
ia tidak lupa diri untuk terus menuntut ilmu pengetahuan agama.
Abdullah Syafi'ie, awalnya memasuki Sekolah Rakyat (SR)
hanya selama 2 tahun.9 Kemudian, ia belajar dari satu ustadz ke
ustadz yang lain, dari habib ke habib yang lain. Dibantu oleh fasilitas
yang diberikan oleh sang ayah, berupa sepeda yang masih termasuk
barang mewah ketika itu, dia mendatangi guru-gurunya untuk
belajar dalam bidang ilmu agama. Bahkan, ia pernah belajar ke
seorang guru yang berada di kota Bogor yang jaraknya puluhan
kilometer dari kota Jakarta. Pada waktu itu, kota Bogor terhitung
kota yang sangat jauh dari kota Jakarta karena masih minimnya
fasilitas transportasi umum menuju ke sana.10
Guru-guru Abdullah Syafi'ie yang dapat dicatat pada tahun 30-
an adalah: Muallim al-Musonnif di mana ia belajar ilmu nahwu,
ustadz Abdul Madjid dan KH. Ahmad Marzuki tempat ia belajar ilmu

7
Ida Farida, Abdul Rasyid dan Abdul Hakim., wawancara.
8
Abdul Rasyid, Abdul Hakim, wawancara.
9
Lihat Tuty Alawiyah (peny.), KH. Abdullah Syafi'ie-Tokoh Kharismatik, 1910-
1985, (Jakarta: t.p., 1999), h. 2.
10
Abdul Hakim, wawancara.

131
fiqh. Belajar tashawuf ke KH. Ahmad Marzuki, setelah sang kyai
meninggal dunia, ia belajar ilmu tashawuf, tafsir, dan juga belajar
berpidato ke habib Alwi al-Haddad yang tinggal di kota Bogor.
Kemudian, pada tahun 50-an, ia belajar ilmu hadits kepada habib
Salim bin Jindan di Jatinegara.11 Cara belajar Abdullah Syafi'ie dari
satu guru ke guru yang lain disebut cara belajar rihlah.
Cara belajar seperti ini di dunia Islam sudah mentradisi dan
sudah berkembang sejak masa-masa awal perkembangan agama
Islam. Di masa itu para penuntut ilmu pengetahuan agama,
melakukan perjalanan yang sangat jauh dari satu kota ke kota yang
lain, dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menuntut ilmu pengetahuan kepada
para ilmuwan (ulama) pada waktu itu.12 Hal tersebut telah
diceritakan dalam sebuah hadits, di mana Jabir bin Abdullah mencari
satu hadits kepada Abdullah bin Unais yang menempuh perjalanan
selama 1 bulan.13
Pentingnya menuntut ilmu, memang telah diisyaratkan oleh
Allah SWT., sejak awal turunnya al-Qur'an seperti yang tergambar
dalam kata iqra' (Q.S. al-'Alaq, 1). Selain itu, dalam ayat yang lain
dikatakan, bahwa orang yang berilmu akan mendapat derajat yang
tinggi dari Allah dengan beberapa derajat (Q.S. al-Zumar, 9; al-
Mujadalah, 11). Pentingnya menuntut ilmu telah diungkap pula di
dalam hadits: bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu merupakan
kewajiban bagi setiap Muslim.14 Dianjurkan pula untuk berteman
dengan orang yang berilmu;15 memiliki ilmu pengetahuan hendaklah
melalui belajar. Bagi orang yang menghendaki kebaikan dari Allah
hendaklah ia memiliki ilmu pengetahuan agama.16
Dengan semangat ajaran Islam itu, Abdullah Syafi'ie
menempatkan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan
11
Abdul Rasyid, wawancara.
12
Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1954), h. 47-49.
13
Lihat Ahmad Muhammad Syaqir, dalam Shahih Buchari, (Bairut; Dar al-Turats
al-'Arabi, t.t.), juz I, h. 29
14
Lihat dalam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al-
Shaqir, (Bairut: Dar Kutub Ilmiyah, 1954), juz I, h. 7,
15
Said al-Lahham, Al-Muwattha Imam Malik, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 664
16
Lihat Ahmad Muhammad Syaqir, Shahih Buchari, h. 27.

132
tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di
kemudian hari. Semangat keilmuan Abdullah Syafi'ie memang telah
tumbuh sejak usia muda dan kemudian berlanjut sampai usia tuanya.
Di usia mudanya ketika selesai belajar dari seorang guru, ia
mendalami pelajararannya, mendiskusikan dengan saudara-
saudaranya yang di rumah atau di lingkungan tetangga rumahnya.
Hingga sampai usia tuanya, semangat keilmuan tetap tinggi
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdul Hakim: "Dia
meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk
membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya ia selalu
membuat catatan yang berupa intisari.17 Bahkan, pada menit terakhir
dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar
selalu membaca sebuah kitab, seperti yang diungkapkan Abdul
Rasyid berikut ini: "Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi
dan semangat membaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil
Allah masih sempat mengingatkan sebuah kitab untuk dibaca.18
Di usia muda Abdullah Syafi'ie, bangsa ini memang masih
berada di bawah negara penjajah kolonialisme Belanda. Pada masa
ini situasi pendidikan kaum bumiputera sangat memprihatinkan,
dan di dalam bidang pendidikan kolonialisme Belanda melakukan
tindakan diskriminatif. Pada masa ini, apabila kaum bumiputera
melakukan kegiatan pendidikan, selalu dicurigai oleh pemerintah
jajahan Belanda sebagai lembaga yang memompakan semangat kaum
“republiken” untuk mengusir mereka dari Nusantara.
Di masa ini pendidikan yang telah memiliki sistem yang
modern adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah
Belanda. Sekolah-sekolah modern ini didirikan oleh pemerintah
jajahan di berbagai daerah, termasuk pula mereka mendirikan
sekolah modern di daerah Batavia.
Sementara itu, pendidikan yang didirikan oleh kaum
bumiputera, umumnya mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki
sistem sendiri yaitu sistem pesantren, madrasah/diniyah. Pendidikan
formal pada masa ini masih sangat jarang. Oleh karena itu, dengan

17
Abdul Hakim, wawancara.
18
Abdul Rasyid, wawancara.

133
terbatasnya lembaga pendidikan Islam yang ada, mereka banyak
menjalani pendidikan yang bersifat informal.
Abdullah Syafi'ie, setelah cukup lama menuntut ilmu
pengetahuan agama, tibalah waktunya dia mengamalkan ilmu-ilmu
yang dimiliki. Di usia yang sangat muda, tepatnya pada tahun 1928,
ketika ia masih berusia 18 tahunan, ia telah mendirikan madrasah,
yang tempatnya berlokasi di tanah wakaf yang diberikan oleh Syafi'ie,
sang ayah di kampung Balimatraman. Mengapa ia berminat
mendirikan madrasah? Dan mengapa pula ia memilih mendirikan
madrasah/diniyah bukan pesantren atau sekolah umum? Pertama,
secara sosiologis ia melihat bahwa bangsa Indonesia terutama etnis
Betawi masih banyak dilanda oleh kebodohan, sehingga secara sosial
mereka terpinggirkan. Kedua, ia mendirikan madrasah bukan yang
lainnya, karena pada saat itu sekolah Islam yang biasa didirikan oleh
ulama Islam di Batavia adalah madrasah, madrasah lebih diminati
masyarakat dibandingkan dengan pesantren. Ketiga, masyarakat
Betawi, yang umumnya beragama Islam yang taat lebih memilih
madrasah, karena untuk masuk ke sekolah yang didirikan Belanda
tidak mungkin di mana kolonialisme Belanda pada waktu itu
melakukan diskriminasi pendidikan terhadap umat Islam. Keempat,
pendirian madrasah pada waktu itu oleh ulama Islam, dapat
dikatakan sebagai bentuk respons dari adanya modernisasi yang
terjadi di Batavia; juga pengaruh dari ulama Islam yang pernah
mengecap pendidikan di Timur Tengah. Kelima, sebagai orang yang
dibesarkan di tengah komunitas Betawi yang religius atau agamis
tentu saja Abdullah Syafi'ie dalam memilih pendidikan Islam, ia tidak
memilih mendirikan model sekolah umum, tetapi lebih memilih
model atau bentuk madrasah.
Selanjutnya, pada usia kurang lebih 21 tahun ia telah memiliki
sertifikat, atau beslit dari Racben Scahf, sebagai pertanda ia telah
layak untuk menjadi seorang pendidik. Di madrasah yang dia
dirikan, ia bersama istrinya Rogayah mengajarkan ilmu-ilmu agama,
seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu akhlak dan ilmu-ilmu lainnva.19

19
Harian Terbit Jakarta, 11 maret 1984

134
Kemudian sejak tahun 1954, ia mengembangkan institusi
pendidikannya dalam bentuk pesantren. Institusi pendidikan dalam
bentuk pesantren ini kemudian mengambil bentuk beragam
pesantren, ada pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan
ada pesantren tradisional. Di pesantrennya ia mendirikan Sekolah
Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
pendidikan Taman Kanak-kanak, Majelis Ta'lim, poliklinik, hingga
Universitas Islam Al-Syafi'iyah (UIA) di Jatiwaringin.20
Dari pilihannya untuk merubah madrasah menjadi pesantren
yang berbentuk Khalafiyah/Kombinasi, di mana di dalam
pesantrennya ada sekolah umum, menunjukkan pula sebagian dari
alasan-alasan tersebut di atas masih mendasarinya, sehingga ia
merubah madrasahnya menjadi pesantren Khalafiah/Kombinasi,
meskipun ia juga mendirikan pesantren berbentuk Salafiyah. Ia
mendirikan pesantren Salafiyah atau Traditional, sebagai bagian dari
cita-citanya untuk membentuk ulama yang benar-benar menguasai
khazanah keilmuan kitab kuning.
Ulama jenis tersebut terus mengalami kelangkaan di tengah
masyarakat Betawi yang hidup di tengah kota Jakarta yang
mengalami modernisasi yang pesat, dan diiringi oleh ekses-ekses
negatifnya. Berbagai ekses modernisasi itu antara lain, banyak
munculnya keretakan suami-istri di rumah tangga, sehingga
menimbulkan anak-anak yang terlantar. la juga melihat ekses lain
yaitu banyaknya kaum urban di Jakarta yang tidak memiliki
pendidikan dan keterampilan menyebabkan banyak anak mereka
terlantar dan hidup miskin. Merespons hal tersebut Abdullah Syafi'ie
mendirikan pesantren khusus yatim-piatu, yaitu untuk membekali
anak-anak tersebut agar hidup mandiri.
Di tengah kota Jakarta yang kompleks, Abdullah Syafi'ie
tumbuh dan berkembang serta berinteraksi dengan penduduk
ibukota Jakarta yang beranekaragam. la berinteraksi, berkenalan dan
bersosialisasi dengan banyak orang yang bukan saja berasal dari etnis
Betawi, tetapi juga berasal dari etnis Ambon, Bali, Jawa, dan
Sumatera. Hasil dari interaksi itu, tumbuhlah kesadaran di dalam diri

20
Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafiie, Berkenalan, hal. 13

135
Abdullah Syafi'ie untuk berkelompok atau berorganisasi. la
kemudian menjadi anggota sebuah partai politik Masyumi, dan ia
bergaul akrab dengan pemimpinnya seperti M. Natsir.21 Bahkan, ia
dapat mengajak M. Natsir untuk bergabung dalam Mudzakarah
Ulama yang ia pimpin, yang biasanya dalam mudzakarah itu para
peserta mengkaji agama melalui kitab kuning.22 Pada masanya,
organisasi politik Masyumi pernah menjadi wadah satu-satunya bagi
umat Islam dalam membawa aspirasi umat, apakah mereka yang
berasal dari Muhammadiyah, NU, dan kelompok Islam lainnya.
Namun, sebagai sebuah partai politik yang tentu tidak lepas
dari berbagai kepentingan, baik kepentingan individu maupun
kelompok, hal itu telah pula menjangkiti partai satu-satunya umat
Islam itu. Sebagai konsekuensinya, di tubuh partai Islam yang terdiri
dari berbagai latar belakang itu telah muncul friksi dan
memunculkan perpecahan di tengah umat. Perpecahan yang terjadi
salah satunya disebabkan oleh adanya satu kelompok yang merasa
tidak terakomodasi di dalam kekuasaan. Satu demi satu mereka
menyatakan diri berpisah dari Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi.).
Setelah Masyumi membubarkan diri, Abdullah Syafi'ie tidak
lagi menjadi anggota partai politik mana pun. Namun, pada tahun
1977, ia mengaktifkan diri di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ia
menjadi Ketua I di MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya
menduduki jabatan puncak sebagai Ketua Umum MUI di DKI Jakarta
dan kemudian pada tahun 1982, ia ditunjuk sebagai anggota
penasihat di MUI Pusat yang diketuai oleh HAMKA.23
Abdullah Syafi'ie sebagai ulama, sangat diharapkan
sumbangsihnya di organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI
sebagai kelembagaan ulama pada masa ini memang diharapkan
perannya dalam mengawal kehidupan masyarakat, apalagi di
masyarakat Jakarta yang heterogen dan kompleks dengan segala

21
Hasil wawancara dengan K.H. Moh. Syafi'i Hadzami tanggal 10 Maret 2001,
yang bersangkutan adalah salah seorang ulama di DKI, pemimpin pesantren
dan pernah menjabat Ketua Umum MUI DKI Jakarta, tahun 1985
22
K.H. Moh. Syafi’i Hadzami, wawancara.
23
K.H. Syafi'i Hadzami, wawancara.

136
persoalannya. Bergabungnya Abdullah Syafi'ie di MUI, keulamaannya
semakin dikenal di masyarakat.
Di organisasi MUI itu, ia menjalin hubungan yang baik dengan
Ali Sadikin sebagai gubernur DKI, dan menjadi mitra pemerintah
DKI dalam mendorong adanya modernisasi atau pembangunan di
segala sektor kehidupan masyarakat. Namun dalam hal-hal tertentu,
untuk membentengi moral masyarakat banyak kebijakan pemerintah
DKI, dia kritik dan kritik itu ada yang mendapat perhatian
pemerintah, ada pula yang tidak. Misalnya kebijakan pemerintah
dalam melokalisasi wanita tuna susila; melegalisasi perjudian dan
sebagainya. Begitu pula kritiknya terhadap kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan berbagai kepentingan
umat Islam.
Dalam hal melokalisasi wanita tuna susila, pemerintah DKI
berpandangan bahwa pelacuran hal yang sudah berlangsung lama
dalam kehidupan manusia. Upaya untuk membatasi ekses-ekses
pelacuran agar tidak menjangkiti masyarakat luas, karena sering
dilakukan di sembarang tempat, pemerintah mengajukan konsep
“lokalisasi” untuk mengatasinya.
Kebijakan pemerintah itu sangat ditentang oleh Abdullah
Syafi'ie dengan MUI-nya. Abdullah Syafi'ie berpandangan bahwa
tindakan pemerintah yang telah melegalisasi perbuatan pelacuran
sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pelacuran tersebut sangat
dilarang agama karena termasuk perbuatan zina. Jangankan
melakukan zina, mendekati saja tidak dibolehkan oleh agama.
Karena itu, Abdullah Syafi'ie menentang keras upaya lokalisasi
pelacuran yang dilakukan oleh Pemda DKI, walaupun hal itu masih
tetap berlangsung.24
Demikian pula yang berkaitan dengan kebijakan melegalisasi
perjudian. Pemerintah Daerah Khusus Jakarta (DKI) di bawah
Gubernur Ali Sadikin telah melegalisasi perjudian. Ali Sadikin dan
pemerintahannya memandang bahwa dana yang akan diterima dari
hasil perjudian sangat besar dan dapat mendukung percepatan
pembangunan kota Jakarta. Pemerintah berpandangan pula bahwa,

24
K.H. Syafi'i Hadzami, wawancara.

137
daripada para penjudi itu berjudi ke negara lain seperti Singapura,
lebih baik mereka berjudi di Jakarta serta ikut membangun kotanya.
Abdullah Syafi'ie dan MUI melihat kebijakan itu sangat bertentangan
dengan ajaran agama. Perbuatan judi itu sendiri di dalam agama
Islam sebagai perbuatan dosa, karenanya hasil yang diperoleh
melalui perjudian otomatis bersifat haram untuk dimakan dan
dikonsumsi.25
Pada contoh yang lain, terhadap adanya wacana di
pemerintahan untuk mengambil jalan yang pragmatis untuk
membakar orang yang meninggal dunia. Pemerintah DKI melihat
bahwa kota Jakarta sudah sangat ramai dan padat, sementara itu
lahan yang ada sudah sangat terbatas untuk menampung semakin
bertambahnya orang yang meninggal dunia. Untuk itu, sebagai jalan
keluarnya ada wacana yang berkembang di pemerintahan untuk
membakar mayat. Abdullah Syafi'ie juga menentang wacana ini.26
Namun, di tengah kota Jakarta yang kompleks dengan segala
masalahnya, kehidupan masyarakat Betawi sangat kental dengan
aroma agama. Apa yang terjadi di Jakarta sebagai kota metropolitan,
masyarakat Betawi seolah-olah tidak terpengaruh dengan hiruk
pikuk kehidupan di kota ini. Mereka tetap berpegang kepada nilai-
nilai agama, memilih pendidikan di sekolah agama. Tradisi beragama
tetap mereka selenggarakan seperti membaca al-Qur'an, membaca
berzanji ketika anak lahir serta membaca tahlil ketika seorang
meninggal dunia, dan pada acara perkawinan mereka sangat kental
dengan aroma agama.
Kentalnya aroma agama di masyarakat Betawi tidak lepas dari
peranan ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakatnya. Ulama yang ada di masyarakat Betawi menurut Badri

25
Ketidaksetujuan Abdullah Syafi'ie di dengar melalui ceramahnya di radio Al-
Syafi'iyah, wawancara dengan Rahmat S dan A. Nasihin tanggal 29 Desember
2002. Versi Kamaluddin, adalah pembongkaran kuburan untuk dibangun
gedung-gedung atau sarana masyarakat lainnya.
26
Lihat Badri Yatim. "Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi", Ruh Islam Dalam
Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 10-30

138
Yatim ada tiga katagori.27 Pertama, para ulama Banten yang
menuntut ilmu pengetahuan di Haramain, mereka mempelajari ilmu
agama seperti ilmu fiqh, tauhid, hadits, nahwu dan sharaf. Mereka
bermukin di kota Makkah dan Madinah, berguru dengan ulama di
sana, selama bertahun-tahun. Hingga merasa cukup dengan ilmunya,
mereka kembali ke Tanah Air dan mengabdikan dirinya di tengah
masyarakat.
Namun, ada pula mereka yang tetap bermukim di sana sampai
wafatnya baik ketika mereka sedang menuntut ilmu maupun dalam
pengabdian mereka menjadi pengajar di Tanah Suci. Kedua, adalah
ulama Betawi yang dipandang masih ada aliran darah dengan
Rasulullah. Mereka hidup di Tanah Air selama beberapa generasi dan
telah merasa Indonesia sebagai Tanah Airnya dan Betawi tempat
leluhur keduanya. Kiprah mereka dalam menyebarkan agama Islam
di Indonesia sangat besar, dan dalam waktu yang cukup panjang,
sejak generasi awalnya tiba di Tanah Air. Mereka menjadi ulama
terpandang. Dengan kedalaman ilmu pengetahuannya dan kefasihan
bahasa serta penguasaannya terhadap kitab suci al-Qur'an dan
Hadits, mereka sering disebut dengan habib. Ketiga, adalah ulama
yang pernah menunaikan ibadah haji dan mereka sangat tekun
menuntut ilmu agama melalui para habib maupun menuntut ilmu
agama melalui para gurunya yang lama mukim di Tanah Suci.
Mereka belajar secara otodidak dan menjadikan dirinya terpandang
di tengah masyarakat Betawi. Ulama ini produks lokal tetapi
kemampuan ilmunya cukup tinggi dan kiprah mereka di tengah
masyarakat sangat menonjol.28

27
Lihat pula Nico Kaptein, The Muhimmat al-Nafais: A Bilingual Meccan Fatwa
Collection for Indonesian Muslim's from the End of the Nineteenth Century
(Jakarta:INIS, 1997), h. 6-7.
28
Ulama-ulama yang cukup menonjol adalah Zainuddin,MZ dan Tutty Alawiyah.
Zainuddin MZ, yang meraih gelar Sarjana Muda (BA) di IAIN Syarif
Hidayatullah, yang kini berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta. la disebut da'i "sejuta umat". Cara berda'wahnya yang menarik, baik
melalui kaset maupun berda'wah langsung di tengah umat. la telah berda'wa
hampir di seluruh tanah air, dan populer di Nusantara. Kiprah melalui da'wah
dirasakannya belum cukup untuk memperbaiki kondisi bangsanya, dan melalui
otokritik terhadap partainya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tidak
ditemukan titik temu, ia kemudian bersama-sama beberapa temannya
mendeklarasikan partai baru, yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan

139
Para ulama ini telah berperan dalam mencerdaskan masyarakat
Betawi, seperti tergambar dalam kiprah KH. Abdullah Syafi'ie. la
telah meninggalkan karya monumental dalam bentuk institusi
pendidikan atau dalam bentuk pemikiran-pemikirannya di bidang
agama dan pendidikan, baik melalui tulisan, ceramah di majelis
ta'lim, melalui Radio Al-Syafi'iyah maupun melalui kaset yang
berisikan pesan moral dan keagamaan. Hingga saat ini menurut Alwi
Shahab banyak bermunculan ulama beretnis Betawi yang memiliki
komitmen keislaman yang sangat kuat.
Dari generasi mudanya dapat dicatat adalah Habib Rizieq
Shihab dan KH. Misbahul Anam, Husein Alatas. Seangkatan dengan
mereka adalah KH. Fachrurazy Iskak, KH. Damanhuri dan Habib
Husein bin Syech Abu-bakar. Di atas mereka adalah KH. Zainuddin
MZ, KH. Abdul Rasyid, Hj. Tutty Alawiyah,29 dan Suryani Taher.
Seangkatan dengan mereka adalah Habib Abdurrahman bin
Muhammad al-Habsyi, Habib Ali Abdurrahman Assegaf, Habib Idrus
Jamalullail. Di atas mereka ini adalah KH. Syafi'i Hadzami, KH.
Abdurrahman Nawi. Angkatan ulama yang lebih tua dari mereka
adalah KH. Tahir Rohili, Habib Muhammad al-Habsyi, Dr. Nahrawi
Abdussalam, KH. Mursyidi, KH. Abdul Razak Chaidir, KH. Abdul
Razak Makmun, KH. Salam Jaelani, KH. Saleh Jaelani, dan KH.
Abdullah Syafi'ie.
Umumnya para ulama Betawi ini adalah murid Habib Ali
Kwitang yang sampai wafatnya tahun 1968 dalam usia 102 tahun, ia
melakukan da'wah Islam selama 80 tahun lebih. Habib Ali
mendirikan majelis ta'limnya di Kwitang tahun 1887, ia mendirikan
madrasah 'Unwan al-Falah di kampungnya dan karenanya ia

Reformasi (PPPR), dan ia menjadi Ketua Umum. Nama lain adalah Tutty
Alawiyah AS—putri Abdullah Syafi'ie. la meraih gelar Sarjana Lengkap (Dra.)
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kecil ia dipersiapkan ayahnya menjadi
da'i. Setelah ayahnya meninggal ia diberi tugas mengembangkan Universitas
Islam Al-Syafi'iyah, dan menjadi Rektornya, dan juga menjadi Pimpinan Umum
Pesantren Yatim-Piatu Jatiwaringin. Pada masa Presiden Prof. Habibie, ia
dipercaya di kabinetnya. Setelah selesai masa kementeriannya, karena
concernnya terhadap dunia akademik, melalui bidang keilmuannya, ia
memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kini, gelar baru melengkapi namanya menjadi DR. Hj. Tutty Alawiyah AS.
29
Alwi Shahab, Republika, 17 Oktober 1999, h.7

140
memiliki banyak murid. Perguruannya, perguruan Islam pertama
yang mengajarkan pengetahuan umum di samping lulusannya mahir
bahasa Arab.30
Para ulama itu sebenarnya telah membentuk jaringan yang
demikian luas baik secara lokal maupun adanya komunikasi dengan
para ulama internasional terutama yang ada di Haramain pada Abad
ke-17-18.31 Pandangan keagamaan mereka yang berbasis kepada kitab-
kitab klasik memiliki kesamaan dengan para ulama yang ada di
Makkah dan Madinah. Mereka berkiprah dalam memasyarakatkan
ilmu agama, dan meninggalkan kader-kadernya. Generasi demi
generasi berestafet, ada di antara mereka menjadi kader ulama yang
mumpuni, dan ada juga kader-kader yang mengabdikan dirinya
dalam bentuk menjadi da'i, memimpin acara-acara keagamaan baik
yang bersifat ibadah murni, seperti memimpin do'a dan tahlil bagi
yang meninggal dunia maupun memimpin pembacaan berzanji pada
bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Penampilan mereka yang positif, menimbulkan konsekuensi
positif pula di tengah masyarakat. Mereka menunjukkan ke
“ulamaan” di manapun mereka berada. Mereka menjadi obor
penerang bagi masyarakat; menjadi penengah ketika terjadi
pertikaian di tengah masyarakat; menjadi personifikasi bagi para
pengagumnya; menjadi penasihat pemerintah dalam melaksanakan
amanah kekuasaanya; menjadi penerang dan pencerah bagi
masyarakat untuk kembali ke ajaran agama; dan menjadi sosok yang
serba sempurna di tengah masyarakat.
Dengan sosoknya yang berperan lengkap di tengah masyarakat,
ulama etnis Betawi mendapat pengakuan secara kultural di tengah
masyarakat. Kedalaman ilmu dan pengakuan yang diperolehnya dari
masyarakat tidak membawa mereka menjadi lupa diri. Mereka tetap
merasa kecil dan fakir, rendah hati dan tak pernah merasa lebih dari
orang lain, mereka memiliki falsafah hidup "andap asor” bahwa “di
atas langit ada langit” pula.

30
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-2, h.264-
265.
31
Lihat Alwi Shahab, Republika, 16 Januari 2007, hal. 7

141
Penghargaan masyarakat Betawi terhadap ulamanya dapat
digambarkan dalam banyaknya masyarakat bersilaturrahmi, minta
nasihat dan belajar ke ulama. Dalam pelayanannya, ulama Betawi
tidak membedakan status sosial dan etnis masyarakat. Dari sinilah
barangkali ulama Betawi semakin mendapat simpati masyarakat.
Peran ulama Betawi melalui salah seorang tokohnya, yaitu Abdullah
Syafi'ie benar-benar telah melaksanakan fungsinya sebagai pengayom
masyarakat Islam di DKI Jakarta, yang salah satunya melalui wadah
MUI.
Keulamaan Abdullah Syafi'ie tidak diragukan lagi. Sebab, pada
umumnya ulama di Tanah Air memiliki jaringan yang luas, seperti
yang diungkap Azyumardi Azra,32 dimulai dari mala rantai salah satu
gurunya yaitu K.H. Ahmad Marzuki. Hal tersebut dapat dilihat dari
silsilah ulama Betawi abad 17 kepada ulama Betawi abad 19 berikut
ini: Jalur Ahmad al-Qusyasyi lahir 661, Sulaeman al-Bahili lahir 666,
Ahmad Zaini Dahlan dan Abu Bakar Syata al-Dimyati, murid-
muridnya, Umar Bajunaid dan Mukhtar Atharid. Jalur Abdul Azizi al-
Zamzani lahir 662, Ali al-Halabi, Abdullah Syarkawi dan Abdul Ghani
Bima, muridnya Umar Sumbawa.
Silsilah ulama Betawi kepada tiga ulama (Mukhtar Atharid,
Umar Bajunaid dan Umar Sumbawa) dan selanjutnya kepada dua
ulama Haramain ternama abad ke-17 (Al-Qusyasyi dan Al-Zamzami).
Dari beberapa ulama itu telah memproduks ulama-ulama Betawi
yang disegani yaitu K.H. Moh. Mansur,33 K.H. Abdul Majid, K.H.

32
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hal. 265
33
Moh.Mansur, lahir tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima. Ayahnya
seorang yang ‘alim yang meneruskan kepemimpinan masjid kuno di Kampung
Sawah (sekarang bernama al-Mansyuriyah) yang didirikan oleh kakek
buyutnya yang bernama Abdul Muhit. Kepada ayahnya ia pertama kali berguru
belajar agama, dan setelah ayahnya meninggal ia berguru ke kakak kandungnya
K.H. Mahbub. la belajar di Makkah selama 4 tahun dan berguru ke Syaikh
Mukhtar Atharid al-Bogori, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali al-Maliki, Said al-
Yamani dan Umar Sumbawa. Gurunya yang terakhir pernah mengangkatnya
sebagai sekretaris pribadi, karena dianggap cakap dan rapih serta tertib
tulisannya. Ilmu-ilmu yang dipelajari ilmu fiqh, qira'at, ushul fiqh, beberapa
cabang ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits dan ilmu falak; ia dikenal sebagai ahli
falak. Abdul Majid, lahir di Pekajon tahun 1887, ayahnya bernama K.H.
Abdurrahman bin Sulaiman Nur bin Rahmatullah—Rahmatullah ini konon
masih keturunan pangeran Diponegoro. Pertama kali ia belajar agama pada

142
Ahmad Khalid, K.H. Mahmud Romli, K.H. Ahmad Marzuki, dan K.H.
Abdul Mughni. Adapun Abdullah Syafi'ie berguru ke K.H. Ahmad
Marzuki dan memiliki isnad ke Abdul Aziz Al-Zamzami.34

ayahnya sendiri. Setelah belajar di Makkah ia berguru ke Mukhtar Atharid,


Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali Maliki dan Said al-Yamani. Ilmu yang
dipelajarinya adalah fiqh, Ushul fiqh, tafsir, hadits dan bahasa Arab. la dikenal
alim dalam tashawuf, tafsir, ilmu falak dan bahasa Arab. Di mata murid-
muridnya ia dikenal banyak menujukkan keluarbiasaan, yang dalam bahasa
Arab, disebut Khariqul 'adah. la meninggal dan dimakamkan di Pesolo Bosmol.
Ahmad Khalid, anak orang biasa yang bukan ulama, ia berasal dari Bogor
menikah dengan orang Gondangdia. Tidak ada catatan guru mengajinya yang
paling awal, tetapi ia pernah bermukim di Tanah Suci selama 11 tahun. Guru-
gurunya adalah Syaikh Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid. la belajar ilmu
agama pada umumnya. la dikenal di kalangan ulama Betawi sebagai ahli hadits
dan tashawuf. la terkenal di kalangan muridnya anti merokok. la di kubur di
Tanah Abang dalam usia 72 tahun. Mahmud Romli, lahir daerah Menteng, asal
usul yang lain tidak terlalu jelas. Para muridnya dan bahkan anaknya sendiri
berprinsip tidak sopan untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kecuali
kepada gurunya, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa
diminta oleh muridnya. Sedikit informasi yang ada bahwa ia pergi ke Makkah
bersama orang tua dan tiga saudaranya. Namun, mereka meninggal di sana
kecuali Guru Mahmud. la kemudian mengembara di sana selama 17 tahun. la
dikenal sebagai "jagoan" lagi tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang
keberaniannya berhadapan dengan siapapun. la dikenal sebagai ulama tafsir. la
meninggal sekitar tahun 1959—dalam usia 93 tahun. Abdul Mughni, lahir pada
tahun I860 di daerah Kuningan. la belajar agama pertama kali pada ayahnya H.
Sanusi bin Qais. la belajar pula ke H. Jabir dan Sayyid Usman bin Yahya. Dalam
usia 16 tahun ia belajar di Makkah ke Syaikh Atharid, Umar Bajunaid, Said al-
Yamani, Ali Maliki, Abdul Karim al-Dagestani, Mahfudz Al-Tremasi dan
Muhammad Umar Syata. Setelah di tanah air ia mengajar ilmu fiqh, tauhid,
tafsir, hadits dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Ia dikenal ulama yang
kaya harta, sehingga untuk mengurus kekayaannya itu ia sengaja menyewa
pengacara. Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos,
2002), h. 49-60.
34
Ahmad Marzuki, lahir tahun 1876 di Meester Cornells, ayahnya bernama
Ahmad Mirsad, merupakan keturunan keempat dari Sultan Laksana Mayang,
salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan,
meninggal ketika usianya 6 tahun. Melalui ibunya Siti Fatimah, ia diminta
belajar agama ke kakeknya Syihabuddin al-Maduri, khatib dan pendiri masjid
Rawa Bangke. Ia mendalami al-Quran kepada Haji Anwar dan berlajar
mengkaji kitab ke Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan yang kelak menjadi
ayah tirinya. Di usia yang keenam belas tahun ia belajar di Makkah, berguru
dengan Syakh Ali al-Maliki, Umar Bajunaid, Umar Sumbawa, Mukhar Atharid,
Ahmad Khatib al-Minangkabau, Mahfud Al-Tremasi, Said al-Yamani, Abdul
Karim al-Degestani dan yang lainnya dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits
dan mantiq. la juga mendalami tashawuf dan memperoleh ijazah untuk
menyebarkan tarekat al-'Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata. Setelah
kembali ke tanah air, atas permintaan Sayyid Usman Banahsan ia mengajar di

143
Dengan demikian semakin jelas memperlihatkan keulamaan
Abdullah Syafi'ie, ditambah lagi dengan keberadaannya yang pernah
menjadi pemimpin MUI, baik tingkat Pusat maupun tingkat DKI;
lembaga tersebut merupakan representasi keulamaan seseorang di
Tanah Air. Keulamaannya memang telah melalui ujian yang panjang,
bahkan sejak ia masih muda. Pada masa mudanya ia telah bergelut
dengan pendalaman ilmu agama, dan dengan bertambah usianya
semakin dalam ilmu agamanya, seperti ilmu hadits dan ilmu-ilmu
agama lainnya.
Abdullah Safi’ie juga tekun dalam beribadah. Seperti tidak
kenal lelah, ia membangunkan sendiri para santrinya untuk
melaksanakan shalat subuh dan menjadi imam shalat, dan juga
melaksanakan shalat wajib lainnya secara berjama'ah di masjid Al-
Barkah atau di masjid Jatiwaringin. Apabila kondisinya kurang sehat
ia menjadi ma'mum shalat. Setiap selesai shalat, memimpin dzikir,
seperti membaca tasbih 33 kali dan tahmid 33 kali, dan seperti juga
pada umumnya ulama Betawi di acara tertentu membaca ratib hadad.
Ratib ini biasanya disebut dengan "wirid Betawi" karena tidak
ditemukan pada komunitas etnis lain, dan juga selalu dibaca dalam
kegiatan keagamaan yang penting seperti pada saat mengantar orang
naik haji.35
Abdullah Syafi'ie memiliki semangat tinggi, di sela-sela
memimpin MUI, ia tetap meluangkan waktunya untuk mengelola
atau mengontrol institusi pendidikannya yang beranekaragam mulai
dari pondok pesantren, sekolah umum hingga Universitas Islam Al-

masjid Rawabangke selama 5 tahun. Di sini ia merintis berdirinya pesantren di


tanah miliknya. Santrinya ditaksir sekitar 50 orang. Metode mengajarnya tidak
lazim pada waktu itu, ia mengajar sambil berjalan di kebun dan berburu tupai.
Santri belajar perkelompok sebanyak 5 orang untuk kitab yang sama. Seseorang
dari mereka menjadi jurubaca, selesai membaca memberikan penjelasan.
Selesai satu kelornpok dilanjutkan oleh kelompok yang lain, mengkaji kitab
yang lain dengan metode yang sama. Mengajar dengan cara duduk
dilakukannya untuk konsumsi masyarakat umum. Meskipun demikian ada
pula santrinya yang mengikuti pelajarannya menjadi jurubaca. Ia di samping
guru agama, juga sibuk berbisnis (antara lain usaha taksi dalam kota dan
angkutan bus trayek Jakarta-Kerawang). Abdul Aziz, Islam, h. 56-58
35
Abdul Aziz, Islam, 107. Bunyi salah satu Ratib Hadad, yakni Bismillah alladzi la
yadhurru ma’a ismihi syaiun fi al-ardli wa la fi al-sama’i wa huwa al-sami al-
‘alim.

144
Syafi'iyah (UIA). Dia meluangkan waktunya yang cukup untuk
mengabdi di dunia pendidikan yang dia rintis. Selain itu, ia juga
seorang mubaligh yang andal. Karena "orator”nya ia diundang
ceramah bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti
ke Negara Malaysia dan Singapura.
Kecintaannya terhadap dunia dakwah diawali melalui
pengajiannya di masjid al-Barkah di dekat rumahnya. Peminat
pengajiannya hari demi hari kian membesar, memenuhi ruang
masjidnya. Peminat pengajiannya pun makin meluas di Jakarta. Maka
untuk memenuhi dahaga agama bagi umat Islam di Jakarta
muncullah idenya untuk membentuk kelompok pengajian, yang ia
sebut dengan majelis ta 'lim. Majelis ta 'lim ini kini telah menyebar
luas di seluruh Indonesia, Selain melalui forum majelis ta 'lim ini, ia
menyampaikan da'wahnya melalui pemancar radio yang didirikannya
di Balimatraman. Risalah da'wahnya di rekam di studionya agar
dapat didengar oleh peminatnya di waktu yang lain.
Abdullah Syafi'ie, di saat ia memimpin MUI Jakarta, masih
meneruskan aktivitas kesehariannya. Perjuangan yang dilakukannya
telah dirasakan dan banyak memberi manfaat kepada banyak orang,
karena dilakukannya sejak ia masih muda hingga ke usia tuanya. Di
usianya yang kurang lebih 75 tahun, fisiknya sudah sangat lemah, dia
dirawat di Rumah Sakit Islam, dan tepat pada tanggal 3 September
1985 ia menghembuskan napasnya yang terakhir dan di makamkan di
Jatiwaringin Jakarta.
Abdullah Syafi’ie menerima Rasa Belasungkawa dari presiden
Soeharto,"36 dan Pimpinan MUI Pusat mengajak kaum Muslimin
untuk melakukan shalat gaib. Lebih kurang 5 Surat Kabar Nasional
dan Warta Berita Antara, menjadikan Abdullah Syafi'ie sebagai Berita
Utama, dan mengungkapkan sejarah hidupnya. Pos Kota memuat
judul: "Ulama Besar KH. Abdullah Syafi'ie Meninggal Dunia Selasa
Dini Hari";37 Suara Karya berjudul: "Kita Kehilangan Ulama Besar KH.
Abdullah Syafi'ie Tutup Usia";38Kompas mengambil judul: "Ulama

36
Berita Buana, 6 September 1985.
37
Koran Harian Pos Kota, Rabu 4 September 1985.
38
Koran Harian Suara Karya, Rabu 4 September 1985.

145
Besar KH. Abdullah Syafi'ie Telah Tiada";39 Pelita mengambil judul:
''KH. Abdullah Syafi'ie Berpulang ke Rahmatullah”40 dan Warta Berita
Nusantara yang berjudul "Ulama Besar KH. Abdullah Syafi'ie". 41
Banyak pernyataan dukacita dari tokoh nasional, baik dari kalangan
militer, birokrasi maupun ulama, seperti yang disampaikan oleh
tokoh-tokoh nasional berikut ini: Try Sutrisno, mantan Wakil
Presiden RI yang pada waktu menjabat Wakasad TNI, menyatakan,
"Almarhum adalah ulama besar yang selalu memperjuangkan umat
Islam".42
Sementara itu Syukron Makmun, salah seorang ulama di
Jakarta mengatakan bahwa, ''Ulama seperti KH. Abdullah Syafi'ie
belum ada duanya, sulit mencari ulama seperti beliau. Semangat
perjuangannya untuk membela agama tidak pernah padam dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun".43 Prof. Emil Salim, Menteri
Lingkungan Hidup RI. ketika itu menyatakan, "Semangat beliau
begitu menggelora, bersemangat untuk mengembangkan da'wah dari
beliau lebih besar dari daya tahan fisiknya. la adalah seorang yang
mempunyai keyakinan yang kuat terhadap perjuangan menegakkan
agama Allah.44 Munawir Sjadzali, Menag RI mengatakan, Ulama
seperti almarhum kini semakin langka, kita belum lama merasa
kehilangan atas kepergian ulama terkenal seperti KH. EZ Muttaqin,
dan KH. Syukri Ghazali".45 Lukman Harun politisi dan PP
Muhammadiyah berkomentar, "la orang yang paling kuat da'wahnya,
terutama dalam memasyarakatkan akidah Islamiyah".46
Duka yang mendalam mengiringi Abdullah Syafi'ie, jenazahnya
diiringi oleh ratusan ribu pengagumnya, yang digambarkan oleh
Harian Pelita dan Kompas "bagaikan lautan manusia", mereka datang
dan kalangan luas. Mereka yang melayat tampak Menteri Agama RI,
H. Munawir Sjadzali, yang mewakili pemerintah RI, juga Menpen

39
Koran Harian Kompas, Rabu 4 September 1985.
40
Koran Pelita, Rabu 4 September 1985.
41
Koran Pelita, 3 September 1985.
42
Lihat Berita Antara, Rabu 4 September 1985.
43
Lihat Pos Kota, 4 September 1985.
44
Lihat Pikiran Rakyat, Rabu 4 September 1985.
45
Lihat Suara Karya, Rabu 4 September 1985.
46
Lihat Suara Karya, Rabu 4 September 1985.

146
Harmoko, Menteri Sosial Nani Sudarsono, Wakasad Try Sutrisno,
KH. Noer Ali, KH. Syafi'i Hadzami, KH. Syaifuddin Zuhri, Ny. Wahid
Hasyim dan lainnya, dari para petinggi negara hingga ke rakyat kecil,
dari keluarga hingga ke santrinya; para ulama bergantian memimpin
shalal jenazahnya.47
Beberapa tahun setelah ia meninggal dunia, tepatnya pada
masa pemerintahan presiden B J. Habibie, dia dianugerahi Bintang
Mahaputera oleh pemerintah, dengan Keppres RI Nomor
076/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999.48 Pada tahun 2000 ini
namanya terpateri di salah satu jalan Jakarta.49 Ibarat pepatah yang
menyatakan, "Gajah mati meninggalkan gading, ulama mati
meninggalkan karya dan keharumannya". Dia dipanggil Tuhan,
diiringi oleh ratusan ribu pelayat, belasan kali dishalatkan oleh
pengagumnya. Sepanjang jalan dari Balimatraman ke Jatiwaringin
kota pelajar yang dia dirikan, berjarak belasan kilometer, penuh
dengan orang yang berkabung dari segala lapisan masyarakat; mobil
yang membawanya sangat perlahan, hanya bisa didorong untuk
sampai ke peristirahatan terakhimya.50
Demikian Abdullah Syafi'ie, ia seorang ulama terpandang.
Keulamaanya dikesankan bukan hanya melalui kedalaman ilmu
agamanya, seperti mengarang kitab al-Muassasat Al-Syafi'iyah al-
Ta'limiyah, Bir al-Walidain, Penduduk Dunia Hanya Tiga Golongan,
Mu'jizat Saiyiduna Muhammad, Madarijul Fiqhi dan lainnya, tetapi
juga melalui praktik ibadah mahdlah-nya. Juga amalan-amalan
seperti dzikir setelah melakukan shalat lima waktu, dan berdo'a
kepada Allah, seperti yang dikerjakan oleh ulama pada umumnya.
Demikian pula ia seorang pendidik yang meninggalkan
lembaga-lembaga pendidikan yang cukup ternama dan dikenal.
Sebagai ulama dan pendidik ia didukung oleh kepribadian yang kuat
dan pendirian yang istiqomah baik soal akidah maupun soal
beragama, dia memiliki keluasan dalam pandangan dan pergaulan,

47
Suara Karya, Rabu, 4 september 1985
48
Sinar Harapan, 3 September dan Kompas 4 September 1985
49
Namanya menjadi nama jalan di Manggarai Jakarta Timur, atas persetujuan
pemerintah DKI. Lihat Republika, Rabu, 31 Mei 2000, h.10.
50
Lihat Tutty Alawiyah (peny.), K.H. Abdullah, h. 3.

147
dia tawaddlu', energik dan hemat serta memiliki jiwa sosial yang
tinggi.
Sebagai pribadi ia memiliki sosok badan yang kuat, seperti
yang diungkap Tutty Alawiyah berikut ini: "Apabila beliau mengajar
di majelis-majelis tal'im atau di masjid-masjid besar Jakarta secara
duduk bersila, badannya kelihatan tegak, tidak bongkok, dan apabila
berdiri di mimbar tegak, nampak seperti badan atlit yang sehat".
Sejalan dengan pandangan ini H.M. Amirin mengungkap pula
sebagai berikut:
"Saya sering memperhatikan kyai sebagai sosok yang prima dan
kuat, bukan saja melihat badannya yang tegap, tetapi ketika dia
duduk bersila di tengah halayak yang juga duduk bersila masa
yang panjang di acara itu, tidak membuat badannya rebah atau
bersender ke dinding, seperti yang umumnya diperlihatkan
oleh yang lain ".51
Adapun pandangan-pandangan yang menyatakan betapa
kokoh pendiriannya, dapat diungkap dari berbagai kesan tokoh-
tokoh berikut. "Osman Raliby sebagaimana dituturkan
Badaruzzaman, menyatakan bahwa sangat kagum kepadanya, dia
adalah seorang ulama yang tidak mudah dibeli imannya, imannya
kuat sekali dan bergandengan dengan 'amal shalih-nya. Apalagi
dalam akidah ia sangat kokoh mempertahankannya." Sementara itu,
HMS Mintaredja (eks Menteri Sosial) berpandangan, "Kyai
mempunyai pandangan yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun,
walaupun beliau mempunyai status resmi sebagai Wakil Ketua
Majelis Ulama Indonesia Pusat maupun sebagai Ketua Umum MUI
Jakarta Raya (1978-1985), ia tetap hanya berbakti kepada nusa, bangsa
berdasarkan ajaran Allah".52
Dia memiliki sikap yang tegas dan istiqamah dalam pendirian,
namun menempatkan dirinya sebagai ulama yang dapat
menghormati orang-orang yang berbeda madzhab dengannya,
seperti yang ditegaskan oleh KH. Abdussalam Djaelani berikut ini:

51
Lihat Tutty Alawiyah (peny.), h. 142-143,188. Lihat pula Abdul Rosyid dan Abdul
Hakim, wawancara.
52
Wawancara dengan H.M. Amirin, tanggal 5 Maret 2000

148
"Kyai betul-betul fanatik di dalam agama Islam dan sangat
khawatir terhadap Islam. Pandangannya terhadap madzhab
cukup fair dan luas. Ia dapat berkawan dengan segala madzhab
manapun juga. Tetapi haluannya kepada ahl al-sunnah wa al-
jama'ah tidak akan bergeser tanpa harus mengurangi pendapat
orang lain walaupun dari golongan Syi'ah".53
Sebagai seorang ulama yang memiliki prinsip yang sangat tegas
dalam pendirian, termasuk terhadap kebijakan eksekutif DKI.
Kebijakan pihak pemerintah DKI yang tampaknya menghalalkan
segala cara demi pembangunan kota Jakarta mengundang kritiknya
yang tajam. Seperti pada soal-soal legalisasi perjudian, lokalisasi WTS
dan adanya wacana pemerintahan DKI untuk membakar
mayat/membongkar mayat, telah mengundang kritiknya yang sangat
keras.
Demikian pula dalam masalah strategi orang-orang tertentu
yang melakukan pendangkalan atau perusakan akidah Islam, yang
disebutnya sebagai aliran Islam yang menyesatkan seperti Islam
jama'ah, Inkarus Sunnah, dan Aliran kepercayaan. Dia
mengkhawatirkan pula rencana pemerintah mengajarkan lima agama
(Panca agama), kepada anak didik, yang dipandangnya akan
mencampur-adukkan akidah dan akan merusakkan akidah Islam.54
Namun, keteguhan Abdullah Syafi'ie dalam memegang agama
mendapat penilaian dari rekannya HAMKA seperti yang dikatakan
oleh Badaruzzaman berikut:
"Seperti DR. Hamka yang telah mengenalnya semenjak sama-
sama berada di atas kapal haji di tahun 1950, dan kini sering
sama-sama bertemu dalam forum MUI. Melukiskan bagaimana
kalau Pak Kyai sedang berhadapan bersama-sama dengan para
Pejabat Tinggi Negara. Kalau giliran dia bicara (KH. Abdullah
Syafi'ie) maka ia bicarakan agama. Maksudnya supaya Menteri

53
Badaruzzaman, "Goresan dan Kumpulan", Tokoh Kharismatik (peny.), Tutty, “
dalam KH. Abdullab Syafi'ie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan
Al-Syafi'iyah, 1999), h. 25.
54
Kritik kerasnya terhadap kebijakan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI yang
melegalkan perjudian di daerahnya. Lihat, dalam Tutty Alawiyah (peny.), h.26.

149
bisa taat, supaya ingat akan bari kiamat. Tidak hidup di dunia
ini saja".55
Selain itu, Abdullah Syafi'ie memiliki kepribadian yang terbuka
dan luwes dalam bergaul. Dia terbuka bergaul dengan berbagai
kalangan yang luas. Meskipun ia sangat berpegang teguh kepada
paham ahl al-sunnah wa al-Jama'ah, namun dia bergaul dengan
tokoh-tokoh dari kalangan Muhammadiyah dan organisasi Islam
lainnya, seperti bergaul dengan HAMKA, Natsir, K.H. Masykur dan
K.H. Idham Khalid. Dia bergaul pula dengan tokoh-tokoh
pemerintah, seperti Moh. Hatta, Adam Malik, Emil Salim, Sutami,
Alamsyah Ratuprawiranegara, Harmoko.Try Sutrisno, Ali Sadikin dan
banyak lagi tokoh lain.56 Dia bergaul pula bersama masyarakat luas
dengan kelas sosial yang paling bawah sekalipun, seperti bergaul
dengan karyawan, tukang-tukang batu, yatim piatu, ibu-ibu tua yang
miskin dan murid-murid yang tinggal di sekitar Perguruan al-
Syafi'iyah.
Pergaulannya yang luas, ditunjukkannya pula dengan
perjalanan ke beberapa negara Eropa seperti ke Jerman dan Belanda,
serta berkunjung ke Menteri Pertahanan (Menhan) Malaysia, ia juga
ke negara Arab-Afrika, seperti ke Kuwait, Mesir, Maroko, baik
sebagai kunjungan pribadi maupun atas undangan menjadi tamu
negara. la tanpa canggung bertemu dan berbicara dengan tamu-
tamunya dalam bahasa Arab yang fasih. la berbicara dengan tamu
dari negara Timur Tengah, seperti Syekh Abdul Azizi al-Kufaily
sebagai Sekretaris Jenderal Jami'ah Madinah, dan Syekh Muhammad
Nasher al-Ubudy, keduanya dari Saudi Arabia. Juga bertemu dengan
Ketua Rabithah al-'Alam Islami Ali Harakan.
Demikian pula tamu penting dari dalam negeri seperti Moh.
Hatta (mantan Wakil Presiden Pertama RI) dan Adam Malik (Wakil
Presiden di masa Orde Baru) dan tokoh-tokoh nasional lainnya
pernah berkunjung pula ke lembaga pendidikannya.
Sementara itu, keluasan pandangannya dalam beragama
dinyatakan sendiri oleh HAMKA sebagai berikut: Ketika saya, KH.

55
Tutty Alawiyah, h.56. Juga Kasetnya, Tentang "Zaman jahiliyah", Side A
56
Badaruzzaman, "Goresan, h. 23.

150
Hasan Basri serta Kyai, sama-sama pergi ke Yogyakarta sebagai
basisnya Muhammadiyah, kami melaksanakan shalat Jum'at di sana
yang khatibnya adalah KH. Hasan Basri. Sebagaimana tradisi di
masjid-masjid Yogya pada umumnya setelah adzan, khatib langsung
berdiri menyampaikan khutbahnya. Tidak ada shalat qabliyah seperti
di masjid Al-Barkab yang dipimpinnya. Ternyata Pak Kyai mengikuti
jama'ah lain. la tidak melakukan shalat sunnah qabliyah.57
Dia juga memiliki sikap tawaddlu'. la selalu menyebut dirinya
orang pinggiran, tetapi dari segi pergaulannya tidak pernah
canggung berdialog dan bertukar pikiran dengan semua lapisan
masyarakat baik dengan kaum awam maupun dengan
cendekiawan.580
Sebagai pendidik, ia lebih banyak berkarya-nyata dalam
membentuk lembaga-lembaga pendidikan. Prinsipnya dalam
pendidikan adalah khadimutthalahah. Hal itu menurut Utomo
Dananjaya menggambarkan betapa tawaddlu' kyai ini. Sikap
tawaddlu' nya tergambar pula dalam prinsipnya bahwa, sebagian dari
pengetahuanmu, berada pada orang lain, seperti ungkapan arabnya.
nisfu ra'yika 'ala akhika.59
Dalam mendirikan lembaga pendidikannya ia tidak mengenal
lelah, dan di setiap pekerjaan yang akan dilakukannya senantiasa
memohon kekuatan dari Allah SWT, baik melalui shalat malam
maupun melalui ibadah umrah ke Tanah Suci. Hal ini diungkap oleh
Abdul Hakim berikut ini:
"Setiap hendak mengerjakan pembangunan gedung pendidikan
yang besar, beliau semakin tekun melaksanakan shalat malam,
dan selain itu. saya perhatikan setiap pulang dari habis umroh,
Ayah mengeluarkan ide untuk membangun institusi
pendidikan seperti berdirinya pesantren putra-putri, yatim,
begitu beberapa kali dia lakukan”.60

57
Abdul Rasyid, dan Abdul Hakim, wawancara. Lihat pula Tutty Alawiyah, dalam
KH. Abdullah Syafiie, h..8
58
Badaruzzaman, "Goresan, h. 25-26.
59
Lihat Utomo Dananjaya dalam Tutty (peny.), h. 2
60
Utomo, h. 12.

151
Ketika ia mendirikan dan mengembangkan institusi
pendidikan yang menjadi obsesinya, sifat ketelitian dan rasa
hematnya tampak. Sebagaimana yang diungkap oleh Zulfahmi
berikut ini: "Kyai selalu saja memiliki ide untuk membangun
pendidikan Islam, seolah pembangunan yang dilakukannya tidak
pernah berhenti. la selalu mengawasi para pekerja pembangunan dan
selalu teliti dan hemat dengan bahan-bahan yang tersisa untuk selalu
dimanfaatkan untuk gedung yang sedang dibangun". Hal yang sama
diungkap pula oleh Utomo Dananjaya seperti berikut:
"Tamunya diajak berkeliling dan melibat hasil atau proses
pembangunan. Pada saat seperti itu tidak jarang beliau
berhenti memungut paku yang tercecer. la akan marah kepada
mandor atau kuli yang menyia-nyiakan sisa semen, atau
potongan kayu. Lihat saja tegel pecah pun masih dipasang,
tidak dibuang sia-sia. Kadang-kadang kita menemukan ruang
dengan bentuk kusen yang berbeda model atau ukuran. Kusen
itu barang bekas yang dimanfaatkan kembali". Lebih lanjut ia
menyatakan-. "Sikap hemat dan sikap cermat akan nampak
nyata dalam membeli bahan bangunan, Beliau akan selalu
mendapat harga yang paling miring untuk barang berkualitas
baik, Beliau tidak segan-segan melaksanakan dan memilih
sendiri, sehingga memperoleh barang yang sebaik-baiknya".61
Karakteristik lain Abdullah Syafi'ie, ia memiliki tingkat
kepedulian sosial yang tinggi, seperti yang diungkap H.M. Amirin
berikut:
"Kyai memiliki rasa sosial yang tinggi. Ketika sekolah
melaksanakan hari libur nasional ia tidak sepenuhnya
meliburkan sekolahnya. Sekolahnya tetap buka, sekalipun
hanya untuk setengah hari, karena ia kasihan kepada para
pedagang yang biasa berdagang di lingkungan sekolahnya.
Selain itu, kepada para siswanya, dan juga kepada kaum
Muslimin seringkali ia membagi-bagikan keperluan untuk

61
Abdul Hakim, wawancara.

152
shalat atau membagi-bagi kitab al-Qur'an yang dicetak
dipercetakannya.62
Selain karya-karya tersebut di atas ia meninggalkan pula karya
tulis, juga karya yang terekam di berbagai kasetnya Karya-karya yang
sempat terkumpul oleh peneliti sebanyak sepuluh buah karya tulis,
di samping karya terjemahannya. Kaset-kaset yang jumlahnya
ratusan, dengan keterbatasan penulis hanya beberapa yang dapat
penulis temukan. Karya-karya tertulis, berikut kaset-kasetnya akan
penulis ungkap kandungannya berikut ini.
• Karya yang berjudul: al-Muassasat Al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah.
Karya ini menjelaskan tentang latar belakang dia mendirikan
pendidikan madrasahnya, serta menggambarkan pula tentang
materi pendidikan/ pelajaran.
• Karya yang berjudul: Bir al-Walidaini. Karya ini membicarakan
bagaimana kondisi seorang ibu yang sedang mengandung dan
setelah melahirkan; dan bagaimana pemberian nama kepada si
anak; proses memelihara anak dan mengisi jiwanya serta ke
arah mana anak dididik. Perlunya sejak dini menanamkan jiwa
agama dan pengamalan agama, menceritakan perlunya seorang
anak berbakti kepada orang tua serta keberuntungan yang
diperoleh seseorang apabila berbakti atau berakhlak kepada
kedua orang tua.
• Karya yang berjudul: "Berkenalan dengan Perguruan al-
Syafi'iyah". Karya ini menggambarkan tentang latar belakang
serta tujuan, kurikulum dan lainnya yang berkaitan dengan
pendirian pesantren putra-putri, pesantren khusus yatim dan
pesantren tradisional.
• Karya yang berjudul: "Penduduk Dunia Hanya Ada Tiga
Golongan". Dalam karya ini Abdullah Syafi'ie menyoroti
manusia dalam tiga kelompok, yaitu pertama kelompok
mukmin, kedua kelompok kafir, dan ketiga kelompok munafiq.
Manusia kelompok pertama adalah manusia yang meyakini
Allah serta mengikuti perintahnya serta menjauhi larangannya.
Manusia kelompok kedua adalah manusia yang tidak percaya

62
Utomo Dananjaya, dalam Tutty, h. 12.

153
kepada Allah serta senantiasa melanggar perintah-Nya.
Manusia kelompok ketiga adalah manusia yang berada di
tengah keraguan, sehingga apa yang terucapkan sangat
berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dua bentuk
manusia tersebut yaitu manusia yang kafir dan munafiq
senantiasa mereka dalam kerugian terutama di akhirat.
• Karya yang berjudul: "Mu'jizat Saiyiduna Muhammad". Karya
ini berbicara tentang mu'jizat Nabi Muhammad, juga mu'jizat
nabi-nabi lainya seperti nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan
lainnya. Nabi Muhammad dalam pandangannya mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya. Misalnya
Muhammad adalah cahaya, alam semesta ini ada karena ada
cahaya Nabi Muhammad. Mu'jizat nabi-nabi lainnya juga
dipunyai oleh Nabi Muhammad.
• Karya yang berjudul: Al-Dinu wal-Masjid. Karya ini membahas
tentang hubungan yang erat antara agama dan tempat ibadah
(masjid). Pentingnya membangun masjid bagi umat Islam.
Orang yang ikut membangun masjid serta memakmurkannya
akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar.
• Karya yang berjudul: Madarij al-Fiqhi. Abdullah Syafi'ie
membahas di dalam kitab ini tentang pengertian agama,
pengertian Islam, pengertian iman dan rukun-rukunnya; juga
berbicara tentang najis dalam konteks shalat, juga masalah
pelaksanaan shalat, tentang qunut dan lainnya.
• Karya yang berjudul: Hiddyah al-Awwam. Karya ini membahas
tentang sifat-sifat Allah yang wajib dan yang mustahil.
Kemudian ia membahas pula masalah iman kepada para
malaikat, kitab-kitab Allah, juga iman kepada nabi-nabi Allah
dengan sifat-sifatnya seperti sifat fathanah dan lainnya.
• Karya yang berjudul: Al-Ta'lim al-Din. Karya ini membicarakan
ajaran tentang siapa pencipta manusia, apa agamanya, siapa
imamnya, kiblatnya dan siapa saudaranya, siapa yang
menciptakan alam yang luas ini, juga membahas tentang rukun
Islam dan rukun iman.
• Karya yang diberi judul: Al-Mahfuzhat (sebanyak III jilid).
Karya ini berisi sejumlah materi hadits utama yang singkat,

154
seperti hadits tentang keutamaan iman, tentang keutamaan
membaca al-Qur'an, keutamaan orang yang menuntut ilmu
serta manfaat orang berilmu dan sebagainya.
Karya tulis Abdullah Syafi'ie tersebut semuanya di bidang ilmu
agama Islam. Karya tulisnya ada yang berkaitan dengan bidang
pendidikan Islam seperti dalam tulisan yang berjudul al-Muassasat
Al-Syafi'iyah al-Ta'limiyah, "Berkenalan dengan Perguruan Al-
Syafi'iyah" dan lainnya. Karya tulisnya yang berkaitan dengan bidang
ilmu tauhid terlihat dalam tulisannya yang berjudul al-Ta'lim al-Din.
Karya tulis yang berkaitan dengan bidang hadits terdapat dalam
tulisannya yang berjudul al-Mahfuzhat. Dari karya-karya itu
tampaknya minat keilmuan Abdullah Syafi'ie di bidang keilmuan
agama Islam cukup bervariasi.
Adapun materi atau kandungan kaset-kasetnya ialah:
• Berjudul "Fungsi Ulama", 14Mei 1982:
Side A : Pada bagian ini Abdullah Syafi'ie antara lain
menjelaskan bahwa "manusia senantiasa mengalami kerugian,
kecuali orang yang beriman dan beramal shalih. Iman harus
pula diiringi oleh 'amal shalih, tanpa hal itu, iman seseorang
tidak diterima oleh Allah.
Kemudian ia menjelaskan tentang keutamaan menuntut
ilmu pengetahuan, orang yang menuntut ilmu pengetahuan
termasuk ilmu agama akan mendapatkan pahala yang besar.
Fungsi ulama sangat penting di tengah masyarakat. Ulama
dalam pandangannya bagaikan bintang yang menjadi petunjuk
di waktu malam. Apabila ia kabur, maka sulitlah untuk
menemukan jalan. Ulama itu adalah pewaris para nabi.
Pada saat para orang tua tidak peduli lagi dengan
"butanya" sang anak terhadap al-Qur'an dan pengetahuan
agama, maka ulama harus turun ke rumah-rumah, seperti
turunnya ABRI ke desa-desa, memfungsikan diri untuk
mengatasi masalah tersebut. Dalam menjalankan fungsinya
sebagai guru, para ulama hendaklah memberikan materi yang
gampang-gampang dan menyampaikan berita gembira, dan

155
jangan berupa ancaman, karena nantinya mereka akan semakin
jauh dari agama.
Side B : Abdullah Syafi'ie masih menjelaskan tentang
fungsi ulama yaitu untuk mengenalkan Allah dan Muhammad.
• Berjudul "Hijrah Nabi Muhammad SAW".
Side A : "Abdullah Syafi'ie menceritakan bagaimana
perjuangan Rasulullah mensyi'arkan agama Allah di Makkah
dalam rangka menghadapi kaum Qurays. Kemudian bagaimana
Rasulullah melalui perjuangan hebat untuk lolos dari
penangkapan kaum Qurays pada saat perjalanan hijrahnya ke
Madinah, bersama-sama dengan Abu Bakar."
Side B : "Rasulullah tiba di Madinah dan disambut dengan
antusias dan bersuka cita oleh kaum Anshar dan Muhajirin.
pada saat di kota Madinah, banyak pengikutnya yang berharap
agar Rasulullah singgah dan bermalam di rumahnya dan hal itu
merupakan kebanggaan bagi mereka. Namun, Rasulullah
dengan bijaksana mengambil sikap. Rasulullah membiarkan
ontanya berjalan, hingga di satu titik tertentu ontanya berhenti
dan di sanalah Rasulullah bermalam, dan di tempat itulah
kemudian didirikan masjid pertama di Madinah."
• Berjudul "Ukhuwah Islamiyah".
Side A : "Bahwa umat Islam di manapun mereka
bersaudara. Umat Islam itu bagaikan bangunan yang satu sama
lain saling mengokohkan. Umat dilarang membenci,
bermusuhan dan saling menzhalimi dan saling memfitnah.
Ingatlah bahwa manusia itu lemah, sementara Allah Maha
Kuasa. Bukti lemahnya manusia itu, ia tidak dapat melepaskan
dirinya dari takdir kematian, apabila ruh sudah di dada, mata
sudah "melang", tidak ada yang dapat menolong sekalipun ia
seorang dokter. Dia akan meninggalkan semua harta yang
dimilikinya,"
• Berjudul "Kemuliaan al-Qur'an":
Side A : "Bahwa mu'jizat itu adalah sesuatu yang
menyalahi kebiasaan yang tampak yang terjadi pada diri Nabi.
Al-Qur'an adalah mu'jizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Al-

156
Qur'an itu harus dibaca dan dimengerti oleh umat, agar umat
mengenal Allah, hari kiamat dan lainnya. Untuk itu orang tua
memegang peran besar agar anak-anaknya tidak buta al-
Qur'an. Peran orang tua ini sangat penting karena orang tualah
yang dapat membentuk anaknya, apakah menjadi Yahudi,
Majusi, dan Nasrani. Selain itu, umat Islam dalam
kehidupannya tidak cukup hanya belajar al-Qur'an dan ilmu
agama, tetapi juga ia harus belajar teknologi, ilmu kedokteran
dan ilmu ke duniaan lainnya; karena dunia adalah jembatan
untuk menuju akhirat."
Side B : "Di dalam diri manusia ada hati, hati itu terkadang
kena penyakit, bahkan hati itu bisa mati. Apabila hati itu mati
maka iman akan merugi selamanya.
• Judul: "Menyambut Bulan Rajab":
Side A : "Bulan Rajab bulan yang sangat dihormati, bahkan
di masa Nabi apabila datang bulan ini, perang dihentikan dan
dilakukan gencatan senjata.
Pada bulan ini dianjurkan bagi umat untuk
memperbanyak istighfar, meminta ampun atas dosa-dosa yang
dilakukan. Ada beberapa syarat agar seseorang diampuni dosa-
dosanya, yaitu (1) orang yang menyesali perbuatannya, (2)
tidak melakukan maksiat lagi, dan (3) apabila ia berdosa
kepada anak Adam, dia hendaklah meminta maaf langsung
kepada yang bersangkutan.
Side B : "Dijelaskan tentang pentingnya melaksanakan
kewajiban shalat. Shalat itu tiang agama, apabila seseorang
tidak shalat maka berarti dia merubuhkan agama. Shalat
adalah amalan utama bagi umat Islam untuk keselamatannya
di akhirat. Karena amalan shalatlah yang pertama ditimbang,
apabila timbangan shalatnya baik, maka amalan atau
perbuatan buruknya dapat saja tidak dilihat lagi."
• Judul "Zaman Jahiliyah".
Side A : "Ilmu al-Islam, dan ilmu al-iman" sesuatu yang
harus diketahui. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu barulah
dapat melaksanakan ibadah. Tanpa mengetahui hal-hal itu

157
banyak perbuatan manusia yang rusak. Yang lebih parah lagi
tidak percaya kepada Nabi Muhammad. Padahal, tanpa
perantara Nabi Muhammad tidak ada amal yang diterima oleh
Allah. Mereka secara tidak sadar jatuh kepada murtad (keluar
dari agama Islam). Mereka itu berpegang kepada pemahaman
dalam UUD 1945, yang menyatakan agama dan keyakinan; kata
keyakinan mereka pahami sebagai aliran kepercayaan. Pada hal
kata "atau" di dalam bahasa Arab "an" adalah athap.
Pada saat ini berkembang pula pendapat bahwa
pemerintah akan menerapkan mata pelajaran "Pancaagama"
kepada anak didik, yang tentu akan diajarkan oleh seorang
guru yang tidak memiliki satu keyakinan agama. Tentu saja
kalau dia meyakini suatu agama, ia akan mengajarkan sisi
negatif dari agama yang lain. Sebagai seorang guru, saya sangat
sedih. Anak-anak kita di masa mendatang akan semakin jauh
dari nilai-nilai agama. Kalau demikian, kita bagaikan telah
membunuh anak-anak kita sendiri, dan itu berarti kita sama
dengan orang-orang Jahiliyah dahulu,"
Side B : "Apabila anak-anak kita tidak mengenal agama,
mereka pasti di akhirat kelak tidak bisa menjawab siapa
Nabinya? Apa sifat-sifatnya? Dan sebagainya."
• "Tentang Surat al-Naziat".
Side A : "Allah memerintahkan kepada malaikat untuk
memasukkan ruh kepada seseorang, setelah ditetapkan rezeki,
ajal, dan ketetapan lainnya. Kemudian, hanyut di air yang
deras, orang itu berharap ada orang lain yang dapat
menolongnya agar diangkat ke daratan. Bila kita tidak
menolong orang tersebut tegalah hati kita. Demikian pula
orang tua kita mengharapkan do'a dari anak yang shalih, agar
segala dosa orang tua mendapatkan keampunan dari Allah.
Namun, sayangnya banyak anak yang lupa mendo'akan orang
tuanya."
Side B : "Manusia itu asalnya dari mani sesuatu yang kotor.
Kemudian, mani itu menjadi berharga kalau manusia itu
beramal shalih. Manusia itu nantinya pasti akan menemui

158
ajalnya, pada saat orang sedang sekarat, dia akan melihat
semua amal perbuatannya di dunia, di saat itu bacakanlah atau
ajarkanlah kalimah La ilaha illallah."
Tampaknya, materi keilmuan yang dibahas Abdullah
Syafi'ie di dalam kaset-kasetnya itu sangat beragam. Materi
yang dibicarakan berkisar masalah-masalah yang berkaitan
dengan proses penciptaan manusia dan pada saat tiba ajalnya;
masalah yang berkaitan dengan masalah keimanan dan
keislaman; masalah yang berkaitan dengan pentingnya shalat
dan pengampunan dosa; masalah yang berkaitan dengan
kemulyaan kitab suci al-Qur'an; masalah pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi serta masalah-masalah lainnya.
Masalah-masalah yang dibicarakannya umumnya masalah
aktual dalam kehidupan masyarakat Jakarta.

B. Kiprahnya dalam Perkembangan Islam di Jakarta


Selain berkiprah dalam bidang pendidikan ia telah
menunjukkan kiprahnya dalam berbagai kegiatan atau
perkembangan agama Islam di kota Jakarta. Sebagai seorang ulama ia
berperan sebagai penjaga moral masyarakat dengan menggunakan
masjid sebagai tempat untuk memberi pengajaran Islam kepada
umat. Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam, pertama kali ia
dirikan di dekat rurnah tinggalnya dan ia namai masjid itu dengan
nama Masjid al-Barkah. Pada saat itu di Jakarta, nama masjid masih
banyak dinamai dengan nama lokasi di mana masjid itu berdiri,
seperti masjid Manggarai, masjid Kwitang dan lain-lain. Namun,
sejak ia memberi nama masjid dengan sighat bahasa Arab itu, maka
kemudian nama-nama masjid di Jakarta mulai menggunakan sighat
bahasa Arab, seperti masjid Istiqlal, masjid al-Azhar. Hal itu
diungkap Tutty Alawiyah berikut:
"Saat berdirinya masjid al-Barkah, nama-nama masjid di
Jakarta, biasanya diberi nama dengan nama kampungnya,
seperti masjid Manggarai, masjid Kebon Jeruk, masjid
Matraman dan lain-lain. Sejak saat itulah nama masjid al-
Barkah dikenal karena ramainya jama'ah dan pandainya KH.

159
Abdullah Syafi'ie memikat dalam tabligh-tablighnya. Dan
berkembang pula sejak itu masjid-masjid yang diberi nama
dengan sighat Arab, tidak lagi disebut nama kampungnya".63
Dengan demikian Abdullah Syafi'ie telah mengilhami
penamaan masjid-masjid yang ada di Jakarta dalam penamaan yang
menggunakan sighat bahasa Arab.
Sementara itu, kota Jakarta sebagaimana diketahui sebagai
Ibukota Negara dan juga sebagai kota metropolitan mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Dinamika terjadi, sebagai akibat
dari derasnya pembangunan, yang juga menimbulkan dampak yang
sangat negatif di tengah masyarakat Jakarta, berupa munculnya
dekadensi moral, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Untuk
mengatasi dampak dari pembangunan itu, ia mulai membentuk
masyarakat muslim yang belajar agama melalui pengajian yang
diselenggarakan di masjid. Masjid dijadikannya bukan hanya sebagai
tempat ibadah, tetapi ia jadikan pula sebagai tempat mengajar agama
yang biasa penyelenggaraannya pada Selasa malam.
Dalam pengajian agama ini Abdullah Syafi'ie membaca kitab-
kitab, seperti kitab Riyadl al-Shalihin dan lainya. Di samping itu pula,
Abdullah Syafi'ie memberikan pengajian di masjid-masjid yang ada di
sekitar Jakarta, seperti masjid al-Azhar, yang waktunya seminggu
sekali atas permintaan masyarakat Betawi di sana. Pada saat Nisfu
Sa'ban ia biasa berpidato di kota Pekalongan dan Tegal dalam
peringatan Haul seorang Habib yang sangat dicintai masyarakat di
sana. Juga berda'wah di luar negeri seperti ke Malaysia dan
Singapura.64
Model pengajian yang dilakukan oleh Abdullah Syafi'ie ini di
kemudian hari banyak ditiru dan mengalami perkembangan yang
sangat pesat di Tanah Air, yang biasa disebut dengan Majelis Ta'lim.
Majelis Ta'lim ini telah berkembang ke seluruh Tanah Air dengan
mengambil nama yang beraneka ragam, seperti Majelis Ta'lim al-
Hidayah, Majelis Ta'lim al-Muhajirin, dan sebagainya.

63
H.M. Amirin, wawancara.
64
Tutty Alawiyah, wawancara.

160
Selain melalui forum pengajian ini, Abdullah Syafi'ie
menyampaikan pesan-pesan agama Islam melalui alat komunikasi
yang canggih dan modern yaitu melalui Radio Al-Syafi'iyah yang ia
dirikan. Dia sangat pandai beretorika dalam pidatonya, suaranya
lantang. Jika ia di mimbar, isi pidatonya sering vokal dan sesekali
diselingi oleh sindiran dalam bahasa Betawi. Karena begitu mantap
isi tabligh-nya, maka tidak jarang jama'ah yang mendengar pidato
tersebut ada yang menjerit dan menangis histeris terutama ketika ia
menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan datangnya hari
kiamat.
la menyadari, bila ia memberi pengajian melalui alat teknologi
canggih yang pada saat itu melalui radio, maka jangkauannya sangat
luas. Selain itu, melalui pesan-pesan agamanya yang disampaikan
melalui sarana yang ia miliki, dimaksudkan sebagai benteng umat
dari pengaruh ajaran Partai Komunis. Ia mendirikan Radio al-
Syafi'iyah tahun 1967 untuk mengimbangi atau melawan pengaruh
Universitas Rakyat yang didirikan PKI.65 Melalui stasiun radio itu
pula ia mengingatkan umat Islam untuk menyelamatkan diri dan
keluarganya dari pengaruh buruk Kwa Hwe, Toto Koni, dan perjudian
lainnya.
Abdullah Syafi’ie menghimbau pula para pendengarnya agar
menghindarkan diri dari Night Club dan Stambath. Melalui radio
pula ia sering mengkritik kebijakan Gubernur Ali Sadikin tentang
legalisasi perjudian, pelacuran, dan pembakaran/pembongkaran
mayat. Melalui stasiun radionya pula ia menyampaikan bahwa
generasi muda Islam, di samping harus memiliki ilmu pengetahuan
umum, juga hendaklah memiliki pengetahuan agama dan akidah
yang kuat dalam menghadapi godaan pesatnya pembangunan kota
Jakarta.
Untuk membentuk generasi muda Islam yang berkualitas dan
dapat membentengi mereka dari dampak pembangunan yang ada, ia
menganjurkan kepada umat agar mendirikan tempat-tempat ibadah
dan tempat-tempat pendidikan yang Islam. Dia menghimbau agar
umat Islam peduli dan memberi bantuan kepada setiap usaha

65
Tutty Alawiyah, dalam K.H. Abdullah Syafi’ie, h. 7

161
mendirikan masjid dan tempat pendidikan Islam. Dia menghimbau
agar umat Islam memberikan bantuan sesuai dengan
kemampuannya. Dari radio itu pula ia menggembirakan orang-orang
yang telah membantu mendirikan tempat ibadah dan tempat
mendidik generasi muda Islam disertai dengan pemberian pahala
dari Tuhan. Melalui radio pula ia mempertanggung-jawabkan atau
memberikan laporan kepada umat yang telah memberikan bantuan.
Melalui himbauan dari radio ini pula bantuan mengalir dari para
dermawan yang kaya maupun para dermawan yang berasal dari
orang kebanyakan. Melalui salah satu metode yang ia lakukan inilah
institusi pendidikan agama dan masjid yang sedang ia bangun
semakin berkembang dan telah ada wujudnya.66
la sangat menyadari bahwa kekuatan teknologi dapat
mengawetkan pesan-pesan agama yang pernah ia sampaikan, dengan
tujuan agar nantinya dapat didengar pula oleh umat di kemudian
hari. Untuk itu, pada setiap ceramah yang ia berikan melalui Radio
al-Syafi'iyah, direkam oleh petugas di stasiun radionya dalam
berbagai kaset. Selama perjalanan hidupnya telah ratusan kaset yang
dihasilkannya yang isinya menyangkut berbagai tema agama. Hingga
sekarang ini Radio al-Syafi'iyah masih terus memperdengarkan
ceramah agama Abdullah Syafi'ie dari kaset-kaset yang ada, di
samping tetap merekam berbagai ceramah agama dari putra-putri
Abdullah Syafi'ie seperti ceramah agama Tutty Alawiyah, Abdul
Rasyid dan Ida Farida. Ceramah agama melalui radio serta merekam
ceramah agama melalui kaset-kaset sekarang ini telah menjadi
budaya.

66
Utomo Dananjaya, K.H. Abdullah Syafi’ie, h. 19.

162
BAB IV
PENDIDIKAN PESANTREN DALAM
PRESPEKTIF K.H. ABDULLAH SYAFI’IE

Dalam dunia pendidikan pada umumnya dikenal ada beberapa


komponen pendidikan. Dalam konteks komponen pendidikan ini
para ahli pendidikan memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya,
Soetari Imam Bernadib berpendapat bahwa, ada lima macam
komponen pendidikan formal, yaitu tujuan, pendidik, anak didik,
alat, dan lingkungan.1 Marimba tidak memasukkan lingkungan
sebagai komponen pendidikan. la berpendapat bahwa komponen
pendidikan ialah tujuan, pendidik, anak didik, alat, dan kegiatan
(usaha).2 Selanjutnya, Sudjana mengajukan pendapat bahwa
komponen pendidikan ialah tujuan, pendidik, anak didik, materi
pendidikan, metode, evaluasi, waktu penyelenggaraan, jenjang
pendidikan, dan penyelenggaraan.3 Dalam Bab ini dengan
terbatasnya data penulis membatasi diri hanya membahas beberapa
komponen pendidikan, antara lain komponen tujuan, materi
pendidikan, metode pendidikan, komponen pendidik yang titik
tekan pembahasan pada kharakteristiknya dan komponen anak didik
yang titik tekan pembahasan pada perilakunya. Komponen-
kompoenen ini dalam pandangan Abdullah Syafi’ie sangat relevan
dengan kondisi kekinian dan dapat merepon tuntutan
perkembangan masyarakat.

1
Soetari Imam Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: FIP-IKIP
Yogyakarta, 1971), h.12
2
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma'arif,
1964), h.19.
3
Sudjana, S.F, Pendidikan Nonformal, (Bandung: PTDI Jawa Barat, 1974), jilid I,
h. 44

163
A. Tujuan Pendidikan
Dalam konteks tujuan pendidikan rumusan tujuan pendidikan
telah merespon esensi pendidikan di era apapun. Manusia sebagai
objek dan sekaligus subjek pendidikan mengalami perkembangan
dari masa ke masa berikutnya. Abdullah Syafi’ie dalam konteks ini
berpandangan bahwa esensi manusia sebagai ciptaan Allah yang
diciptakan dari segumpal darah dan kemudian diberi ruh oleh Allah
SWT, dan ia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. (Q.S. al-
Dzariyat, 56).4 Ia menggambarkan dengan enam tahapan penciptaan
manusia. Tahapan pertama, manusia berada dalam sulbi seorang Ibu,
ia pindah ke rahim lebih kurang sembilan bulan ia berada di sana.
Tahap kedua, manusia lahir ke dunia, pada tahap ini manusia
diwajibkan untuk beramal dan dibebani oleh suatu kewajiban untuk
berbakti kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan jangan
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Pada tahap ini,
kehidupan manusia diakhiri oleh ajal atau kematian. Tahap ketiga,
manusia berada di alam kubur (alam barzah). Pada tahap ini manusia
diuji oleh dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Mereka
menanyakan beberapa pertanyaan kepada manusia: tentang siapa
Tuhannya? Siapa Nabinya? Apa agamanya? Siapa imamnya? Apa
kiblatnya? Dan siapa saudara-saudaranya? Manusia harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bila manusia mampu menjawab

4
Lihat Abdullah Syafi'ie, Kaset Side A, "Surat al-Naziat". Dalam merumuskan
tujuan pendidikan hendaklah diambil dari falsafah hidup. Penyusunan tujuan
pendidikan menurut ajaran Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan
yang meliputi empat aspek. Pertama, aspek tujuan dan tugas hidup manusia—
di mana manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
(Q.S.51:56). Kedua, memperhatikan sifat dasar manusia, bahwa manusia
diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Ketiga, tuntutan masyarakat,
baik berupa pelestarian nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan
masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya
dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia modern. Keempat,
memperhatikan kehidupan ideal Islam yang mengandung nilai untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta mendorong manusia untuk
berusaha keras meraih kehidupan di dunia maupun di akhirat serta berusaha
memberantas kemiskinan. Lihat Nelson F. Du Bois, et.al, Educational
Psychology and Instructional Desicions, (Home-wood, Illinois: The Dorsey
Press, 1979), h. 14. Lihat pula Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos, 1997), h 47. Lihat juga Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda, 1993), h. 153.

164
pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik, ia akan lulus. Bila tidak, ia
akan menghadapi suatu kesulitan dalam menghadapi fase
berikutnya. Tahap keempat, sebagai tahap yang sangat menentukan
yakni hari kiamat. Pada hari itu manusia akan dihisab, ia berada
dalam kesendirian, wajahnya ada yang berseri-seri, dan ada pula yang
pucat pasi. Manusia secara pribadi bertanggung-jawab atas
perbuatannya, tidak seorang pun yang mampu menolongnya baik
orang tua maupun saudaranya. Tahap kelima, setelah manusia
dihisab dan ditimbang semua amal kebaikannya, manusia
mengambil dua tempat yang dijanjikan Allah, apakah ia masuk surga
atau masuk ke neraka.5
Dari gambarannya, ia selain membuat tahapan atau proses
yang dilalui manusia sejak berada di dalam kandungan seorang Ibu,
ia ingin pula menegaskan bahwa setiap manusia pada akhirnya akan
menemui ajalnya, dan kemudian ia akan mempertanggung-jawabkan
semua perbuatannya selama di dunia ini. Oleh karena itu, melihat
proses perjalanannya, manusia jangan lupa untuk mengabdi atau
menyembah kepada-Nya.
Dalam kaitan tujuan pendidikan ini, beberapa ulama Islam
telah mengungkap rumusannya. Misalnya, Muhammad Quthub
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah untuk membentuk
“manusia yang sejati”, sebagaimana yang digambarkan al-Qur'an
tersebut di atas.6 Pengertian yang diberikan oleh Muhammad
Quthub tentang “manusia sejati” ini adalah dapat dipahami bahwa
manusia yang sejati adalah manusia yang benar-benar
menghambakan diri kepada Tuhan, melaksanakan segala perintah
dan menjauhi semua larangan-Nya.
Istilah yang lain al-Attas menyatakan, bahwa tujuan
pendidikan menurut Islam adalah menghasilkan “manusia yang
baik”.7Marimba berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam

5
Abdullah Syafi'ie, "Hari Akhirat", dalam Kumpulan Khutbah Jum'at dan 'Id,
(Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t.), juz I, h. 3-7.
6
Muhammad Quthub, Minhaju al-Tarbiyah al-Islamiyah (Cairo: Dar al-Syuruq,
1993), cet. 14, h. 19.
7
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, (ed), Aims and Objectives of Islamic
Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h.l.

165
adalah terbentuknya “kepribadian Muslim”.8 Al-Abrasyi
mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah
terwujudnya “manusia berakhlak sempurna”.9 Sedangkan menurut
Munir Mursi, tujuan akhir pendidikan Islam adalah turwujudnya
“manusia yang paripurna”.10
Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas, pendapat yang
hampir serupa telah dikemukakan pula dalam Rekomendasi 300
Sarjana Muslim yang mengadakan Konperensi Pendidikan Islam di
Makkah tahun 1977. Mereka merumuskan tujuan pendidikan Islam
adalah : “Membentuk pribadi Muslim yang sejati, mewujudkan
manusia yang baik budi pekertinya dan menyembah Allah dalam arti
yang sebenarnya. Pandangan ini sejalan pula dengan fiman Allah
yang menyatakan bahwa, “manusia diciptakan hanya menyembah
Allah semata, mereka senantiasa berikrar dalam shalatnya,
ibadahnya, hidup dan matinya hanya untuk Tuhan semesta alam”.11
Dalam hubungan ini Sayyid Husein dan Ali Asraf menyatakan bahwa
tujuan yang paling penting dari pendidikan ialah “mengingatkan
kembali kepada setiap manusia akan ikrarnya kepada Tuhan, di
setiap shalatnya agar ia memenuhi janji, hingga ia dipanggil Tuhan”.12
Berikutnya Madjid Irsan memberi pengertian, yaitu terbentuk:
“insan yang baik, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan
alam ciptaan Allah untuk kepentingan manusia, juga hubungannya
dengan sesama. la selalu berlaku adil dan ihsan, lulus dalam setiap
ujian hidup yang dilalui di dunia dan mempersiapkan dirinya
menghadapi hari akhirat, sebagai hari berhisab dan hari menerima
balasan yang setimpal”.13 Tujuan yang dikemukakan oleh Majid Irsan

8
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat, h. 39.
9
Muhamad 'Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 10.
10
Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa
Tatawwuruhafi al-Bilad al-Ambiyah, (Qahirah: Dar al-Maarif, 1986), h. 53.
11
Lihat dalam Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika
Masyarakat (Jakarta: IAIN, 1988), h.9.
12
Sayyid Husein dan Ali Ashraf, Horizon Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989), h. 61.
13
Majid Irsan al-Kailani, Falsafatu al-Tarbiyah al-Islamiyah (Makkah: Maktabah
al-Hadi, 1988), h. 81.

166
itu, tampaknya masih tetap berakar kepada posisi manusia sebagai
insan pengabdi Tuhan dalam pengabdian yang sebenar-benarnya.
Manusia yang seperti itu adalah manusia yang meyakini bahwa itulah
basis yang kokoh untuk menjalani kehidupan serta ia memiliki
kearifan terhadap lingkungannya. Ia selalu berhasil mengatasi semua
problema kehidupan, dan optimis dalam menyongsong masa
depannya, dengan amal-amalnya, dan optimis pula menyongsong
kehidupan akhirat. Dalam pengertian tersebut, ia memang tidak
secara jelas mensyaratkan ilmu pengetahuan, namun bila dicermati
lebih jauh sikap ‘ubudiyah yang benar kepada Allah, serta
kemampuan untuk arif terhadap lingkungan, dan mampu pula
mengatasi berbagai problema yang dihadapinya, tidak lain sosok
manusia seperti itu adalah manusia yang memiliki ilmu
pengetahuan.
Dari pengertian-pengertian yang telah diungkap itu tampaknya
tujuan pendidikan Islam yang telah diajukan oleh para ahli
pendidikan Islam, pada intinya mereka menekankan kepada “akidah”
islamiyah. Misalnya Muhammad Quthub dengan ungkapan
“membentuk manusia yang sejati”; Madjid Irsan dengan ungkapan
“insan yang baik ‘ubudiyahnya”; dan pandangan para sarjana sebagai
hasil Kongres Pendidikan Islam di Makkah dengan ungkapan
membentuk “pribadi Muslim yang sejati”. Mereka pada hakikatnya
sangat menekankan kepada aspek keimanan, Selain itu, mereka
menekankan pula perlunya ilmu pengetahuan umum bagi peserta
didik agar dapat mengantarkan mereka menyonsong masa depannya.
Pengertian-pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli pendidikan
Islam itu, tampaknya sangat sejalan atau memiliki substansi yang
sama dengan pengertian tujuan pendidikan yang diberikan oleh
Abdullah Syafi'ie dalam rumusannya di atas.
Untuk merespon zamannya, Abdullah Syafi'ie membuat
rumusan tujuan pendidikan dalam bentuk yang lebih operational.
Pada pendidikan pesantren putra-putri, misalnya, Abdullah Syafi'ie
membuat rumusan tujuan pendidikan, yaitu: "ingin membentuk
siswa-siswi yang menguasai ilmu pengetahuan agama setingkat
Tsanawiyah dan Aliyah, dan pengetahuan umum setingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMA).

167
Lebih jauh lagi pesantren putra-putri ingin menciptakan kader ulama
dan zu'ama Islam, pewaris bumi tercinta di masa mendatang.14
Dengan kata lain, ia bermaksud, membentuk manusia yang
memiliki kualifikasi ulama plus, yaitu seorang yang benar-benar
menguasai ilmu agama, juga sekaligus menguasai ilmu umum.
Kemudian dalam rumusan tujuan pendidikan pesantren
tradisionalnya, yaitu, “ingin menciptakan ahli agama (ulama) yang
memiliki ilmu pengetahuan agama yang tinggi agar mereka nantinya
dapat merespons persoalan-persoalan kemasyarakatan”. Mereka
mengkaji ilmu pengetahuan agama melalui khazanah klasik yang
biasa disebut dengan kitab kuning. Selanjutnya untuk tujuan dari
pesantren khusus yatim ialah, “ingin membentuk manusia yang
berilmu, dan memiliki al-akhlaq al-karimah” serta memiliki
keterampilan.15
Lebih jauh lagi rumusan-rumusan tujuan pendidikan dalam
tingkat aplikasinya, ia ingin menanamkan skill kepada-anak
didiknya. Misalnya di pesantren putra-putri yang didirikannya ia
ingin membentuk manusia yang memiliki keahlian atau
keterampilan, seperti keterampilan mengajar atau memiliki
keterampilan berda'wah. Di samping itu, dalam konteks pesantren
khusus yatim ia menginginkan agar anak didik memiliki
keterampilan seperti keterampilan menjahit atau bertukang, supaya
kelak mereka dapat hidup secara mandiri tanpa menggantungkan
dirinya kepada pihak lain.
Untuk melihat relevansi pandangan pendidikan Abdullah
Syafi'ie dalam bentuk operational, dapat dibandingkan dengan
pandangan beberapa pakar pendidikan Islam berikut ini:
Hasan Langgulung memberikan definisinya yaitu, “tujuan
pendidikan Islam hendaklah direncanakan dalam format yang dekat,
format yang jauh, dan yang lebih jauh lagi”. Hal ini dapat dipahami
bahwa tujuan pendidikan Islam versi Hasan Langgulung dalam
format yang dekat, di mana ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada
peserta didik segera berguna atau bermanfaat setelah mereka lulus

14
Lihat, Abdullah Syafi'ie dkk, Berkenalan Dengan Pesantren Al-Syafi'iyah,
(Jakarta: t.p. 1981), h.4-21
15
Abdulah Syafi’ie dkk., Berkenalan, h. 20.

168
dari pendidikan. Kemudian, untuk format yang jauh dan lebih jauh
lagi, di mana ilmu yang diajarkan kepada siswa untuk modal
sepanjang hidupnya serta memberi manfaat dalam menyongsong
kehidupannya kelak. Dalam pendidikan Islam bagi Hasan
Langgulung hendaklah mencakup mata pelajaran yang segera dapat
diterapkan seperti mata pelajaran matematika, kesenian, juga mata
pelajaran ilmu sosial yang dapat memahami masyarakatnya serta
mata pelajaran agama atau yang besifat moral yang berguna bagi
kehidupan manusia di akhirat.16
Al-Syaibani ketika memberikan penjabaran tujuan pendidikan
Islam adalah: (1) Tujuan-yang berkaitan dengan individu: mencakup
perubahan-perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku,
jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang harus
dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat; (2) Tujuan yang
berkaitan dengan masyarakat: mencakup tingkah laku masyarakat,
tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan
dalam masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat; (3) Tujuan
professional: yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan
masyarakat.17 Al-Abrasyi menjabarkan tujuan akhir pendidikan Islam
menjadi: (1) Pembinaan akhlak, (2) Menyiapkan anak didik untuk
hidup di dunia dan akhirat, (3) Penguasaan ilmu, dan (4)
Keterampilan bekerja dalam masyarakat.18 Bagi Asma Hasan Fahmi
tujuan akhir pendidikan Islam dapat dirinci menjadi: (1) Tujuan
keagamaan, (2) Tujuan pengembangan akal, dan akhlak, (3) Tujuan
pengajaran kebudayaan, dan (4) Tujuan pembinaan kepribadian. 19
Munir Mursi menjabarkan tujuan akhir pendidikan Islam sebagai
berikut: (1) Bahagia di dunia dan akhirat, (2) Menghambakan diri
kepada Allah, (3) Memperkuat ikatan keislaman dan melayani
kepentingan masyarakat Islam, dan (4) Akhlak mulia.20 Dari

16
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psychology dan
Pendidikan (Jakarta: al-Husna, 1986), h. 262
17
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) oleh
Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399.
18
Abrasyi, Dasar-dasar, h. 15-18.
19
Lihat dalam Munir Mursi, al-Tarbiyah, h. 17.
20
Munir, al-Tarbiyah, h. 18-19

169
pandangan beberapa pakar pendidikan tersebut, dapat dikatakan
tujuan pendidikan Abdullah Syafl'ie pada tingkat operasional telah
memiliki substansi yang sama dengan berbagai definisi yang telah
dikemukakan para ahli itu.
Tampaknya tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie memiliki
jangkauan ke depan dan cukup lengkap. Pertama, tujuan pendidikan
yang dimilikinya sangat responsif terhadap perkembangan zaman,
namun tetap menghunjam ke bumi, atau dengan kata lain tidak
tercerabut dari esensi pendidikan tradisional untuk membawa
manusia menjadi hamba Tuhan. Kedua, tujuan pendidikannya
mengarah kepada terbentuknya anak didik yang memiliki
pengetahuan agama yang mendalam, serta sekaligus memiliki
pengetahuan umum yang luas, dan memiliki keterampilan atau
spesialisasi untuk menjadi da'i, menjadi pendidik, atau memiliki
keterampilan tertentu.
Kalau dalam beberapa tahun yang lalu para ahli pendidikan di
Tanah Air berpendapat bahwa dunia pendidikan harus ada
hubungannya dengan dunia kerja, yang biasa disebut dengan link
and macht; maka Abdullah Syafi'ie dalam dunia pendidikannya,
dapat dikatakan telah mendahului ide-ide yang banyak mendapat
sambutan saat itu.
Dalam berbagai tujuan pendidikan yang dirumuskannya,
tampaknya ada keinginan yang kuat untuk membentuk manusia
dalam posisi penghambaan diri yang total terhadap Tuhan. Bahkan,
lebih jauh lagi ingin menciptakan seseorang yang memiliki
kualifikasi ulama, yang setiap kurun apa pun memiliki peran yang
sangat penting dan strategis di dalam masyarakat. Dia sangat
menyadari, bahwa ulama sebagai penjaga moral masyarakat telah
mengalami kelangkaan. Sementara itu, di Jakarta di tempat dia hidup
tengah dilanda arus modernisasi yang sangat pesat. Kota Jakarta atau
di tengah masyarakat Betawi telah terjadi perubahan besar-besaran
baik dalam wujud fisik maupun perubahan terhadap nilai-nilai baru
yang dibawa oleh para pendatang domistik maupun orang-orang
asing. Nilai-nilai yang mereka bawa terutama dari orang-orang asing,
sangat berbeda dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
Betawi. Kemajuan yang dicapai dalam wujud fisik seperti

170
menjamurnya Night Club dan tempat hiburan malam, gedung
bioskop dan lainnya. Sementara itu, di masyarakat muncul tantangan
untuk menangani bidang-bidang kehidupan yang baru seperti
tumbuhnya pabrik-pabrik, industri, sarana transpormasi yang tentu
memerlukan keterampilan atau skill. Dalam kerangka itulah
Abdullah Syafi'ie mencoba menghadirkan lembaga pendidikannya
yang tetap berakar dalam pendidikan Islam, tetapi juga tidak lupa
merespons perkembangan yang sangat pesat dari lingkungannya,
seperti tergambar pada institusi-institusi pendidikannya.
Dari prespektif lain, tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie yang
berangkat dari esensi penciptaan manusia berbeda dengan
pandangan pendidikan yang berasal dari ahli pendidikan Barat.
Banyak pakar pendidikan Barat dalam merumuskan tujuan
pendidikannya hanya melihat kebutuhan untuk memenuhi aspek
jasmani manusia semata, sementara aspek rohani yang juga melekat
pada diri manusia terabaikan.21
Tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie tampaknya dimaksudkan
pula untuk merespons dan menstimulus terhadap potensi-potensi
yang ada di dalam diri manusia, juga merespons adanya dinamika
yang berkembang di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui
kehidupan masyarakat dipenuhi oleh persoalan yang sangat
kompleks. Berbagai kebutuhan dasariyah manusia harus segera
dipenuhi, seperti kebutuhan sandang pangan, papan dan kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat rekreatif. Selain kebutuhan dasar itu,
manusia perlu berkomunitas dan berkomunikasi dengan sesamanya.
Selain itu, manusia memerlukan hak-haknya, seperti hak berkumpul,
hak berbicara, hak beragama dan lainnya. Semua kebutuhan manusia
itu tidak dapat dipenuhinya secara sendiri-sendiri, tetapi harus
dipenuhi melalui interaksinya dengan sesama di masyarakat. Untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, manusia harus mengerti dan

21
Lihat Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 163. Juga bandingkan dengan pandangan
Abdullah Syafi'ie bahwa manusia yang berbakti kepada Allah adalah manusia
yang dapat menimbang dengan adil antara kepentingan dunia dan akhirat,
rohani dan jasmani, lihat dalam "Sikap Hamba yang Bakti", dalam Kumpulan
Khutbah jum'at dan 'Id, (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t, ), Juz. II, h. 6.

171
memahami lingkungannva, agar ia dapat hidup sebagai manusia yang
berbudaya dan berperadaban.
Untuk membentuk kehidupan manusia yang berbudaya dan
berperadaban tidak ada jalan lain yang harus dilalui, melalui institusi
pendidikan atau pembelajaran. Adanya dinamika yang berkembang
di tengah kehidupan manusia atau di tengah masyarakat,
mengandung kensekuensi logis, bahwa institusi pendidikan harus
pula menyesuaikan dirinya dengan tuntutan yang ada di masyarakat.
Bila tidak, institusi pendidikan akan mengalami degradasi peran dan
fungsinya untuk membentuk manusia yang memiliki budaya dan
peradaban yang tinggi. Demikian pula tujuan pendidikan Islam harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan bahkan
mengarahkannya agar sesuai dengan masyarakat yang bernaung di
bawah Cahaya Ilahi.22
Dari gambaran-gambaran terdahulu dapat dikatakan bahwa
tujuan pendidikan Abdullah Syafi'ie demikian maju mengharapkan
agar anak didiknya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, baik
ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, juga
memiliki al-akhlaq al-karimah. Selain itu, diharapkan pula anak didik
memiliki skill yang mumpuni atau keterampilan yang memadai agar
kelak mereka dapat mandiri di tengah kehidupan masyarakat.
Tujuan pendidikannya telah melampau zamannya. Tujuan
pendidikan pesantrennya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat
modern saat ini.

B. Materi Pendidikan
Dalam konteks ilmu pengetahuan, Abdullah Syafi'ie
memandang semua ilmu dapat dipelajari baik ilmu agama maupun

22
Abdullah Syafi'ie, "Perlunya Memelihara Nur Ilahi", dalam Khutbah Jum'at dan
‘Id (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, t.t.) Juz II, h. 19-22. Masyarakat ideal dalam
pandangan Ali Syari'ati adalah ummat. Konsep ini menggantikan semua
konsep semacamnya yang dalam berbagai bahasa dan budaya menunjuk
kepada pengelompokan manusia atau masyarakat, seperti "bangsa, rakyat,
masyarakat, suku, dan lain sebagainya". Itulah kata ummat, kata yang sarat
dengan semangat progresif serta mengandung pandangan sosial yang dinamis,
commited dan ideologis, lihat Ali Syari'ati, Sosiologi Islam, terjemahan dari On
the Sociology of Islam, terj. Saifullah Mahyuddin, (Yogyakarta: Ananda, 1982),
h. 159.

172
ilmu umum seperti ilmu kedokteran.23 Oleh karena itu, dalam kaitan
dengan materi pendidikan Islam, ia melihat bahwa kandungan
pendidikan Islam meliputi disiplin yang luas atau mencakup disiplin
ilmu agama maupun disiplin ilmu umum. Pendidikan Islam tidak
cukup hanya mengajarkan satu bidang ilmu agama saja, tetapi juga
hendaklah mengajarkan bidang ilmu umum pula, bahkan diajarkan
pula hal-hal yang bersifat seni dan keterampilan. Hal itu
dikemukakan oleh H.M. Amirin berikut: “Pelajaran-pelajaran agama
Islam sangat digemarinya, bahkan sejak ia pertama kali mendirikan
madrasahnya. Hal ini dapat dilihat dari kegemaran Kyai terhadap
mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan ilmu alat seperti sharaf dan
nahwu”.24 Sejalan dengan perjalanan kehidupannya yang tinggal di
kota metropolitan Jakarta, wawasannya semakin berkembang, maka
mata pelajaran umum pun mendapatkan perhatiannya. Hal itu
terungkap sebagaimana dituturkan oleh H.M. Amirin lebih lanjut:
“Kyai semula tidak mengizinkan untuk memberikan mata pelajaran
umum, namun lama kelamaan ia mengizinkan siswa menerima
pelajaran itu, seperti pelajaran bahasa Inggris, al-jabar dan mata
pelajaran umum lainnya”.25 Selain itu, “hal-hal yang bersifat seni atau
hal-hal yang menunjang siswa untuk mengekpresikan anleq atau
bakat siswa mendapatkan perhatian pula dari Kyai”. 26
Kemudian, di Perguruan Al-Syafi'iyah anak didik diberikan
pula pelajaran ilmu agama melalui kitab kuning yang diberikan di
kelas, seperti kitab al-Nashaih al-Diniyah, Tafsir al-Jalalain, Riyadl al-
Shalihin dan banyak lagi.27
Hal yang hampir sama dikemukakan pula oleh Soleh RM
berikut;

23
Lihat Abdullah Syafi'ie, Kaset side A, dalam "Kemulyaan al-Qur’an".
24
H.M. Amirin, wawancara.
25
H.M. Amirin, wawancara.
26
H.M. Amirin, wawancara.
27
Belajar menggunakan sistem halaqah untuk mengkaji kitab kuning semula
diberikan di Masjid al-Barkah. Namun dengan pertimbangan santri wanitanya,
maka pengkajian kitab kuning diadakan di kelas, Nazir, Lc. (pengelola halaqah)
tanggal 6 Maret 2000, wawancara.

173
“Lembaga pendidikannya memberikan pelajaran-pelajaran
ilmu agama, seperti pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan ilmu alat
seperti sharaf dan nahwu”. Kemudian, sejalan dengan
berjalannya waktu kyai mengizinkan pula untuk diberikan
mata pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, aljabar, ilmu
ukur dan lainnya. Di samping itu, juga mengkaji beberapa kitab
kuning".28
Pandangan Abdullah Syafi'ie tentang materi pendidikan Islam
mencakup materi pendidikan yang luas yang tampaknya telah
mencakup semua kebutuhan bagi kehidupan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Hal tersebut sangat sejalan dengan pandangan al-
Qur'an yang tidak pernah meletakkan batas atau penghalang jalan
bagi manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan (Q.S Fushilat, 41:
53). Sejalan dengan ajaran Islam itu pula, Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa “materi pendidikan Islam mencakup seluruh ilmu
pengetahuan yang bermanfaat yang menjadi dasar bagi kemajuan
dan kejayaan hidup umat manusia”.29 Selanjutnya, menurut Ibn.
Sina, materi pendidikan Islam meliputi pendidikan agama,
pendidikan akhlak, pendidikan akal, pendidikan keterampilan, dan
pendidikan sosial.30 Demikian pula yang diungkap oleh Mohammad
Fadlil al-Ghamaly secara lebih rinci menjelaskan, ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang terkandung dalam al-Qur'an yang
“meliputi ilmu agama, ilmu sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu jiwa,
ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hitung, ilmu
ukur, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah serta
sastra Arab dan ilmu mempertahankan negara dan ilmu yang dapat
mengangkat derajat diri manusia”.31 Demikian pula Afzalur Rahman
mencoba menghimpun ilmu pengetahuan, seperti “ilmu astronomi,
ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu

28
Soleh RM, wawancara.
29
Lihat dalam Madjid Irsan al-Kailani, al-Fikrah al-Tarbawi 'inda Ibnu Taimiyah
(Madinah: al-Turats, 1979), h. 91
30
Lihat Taisir Syaikhul Ardh, al-Madkhal ila Falsafah Ibn. Sina, (Beirut: Dar
Anwar, 1976), h, 331.
31
Mohammad Fadlil al-Ghamaly, al-Tarbiyah al-Insan al-Jadid (Tunis: Mathba'ah
al-Ittihad al-'am al-Tunisiyah al-Sighly, t.t.), h. 119.

174
kimia, ilmu biologi, ilmu fisika dan sebagainya yang terdapat dalam
al-Qur'an”.32
Dalam konteks ini pula Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu
pengetahuan yang dapat dijadikan materi pendidikan Islam.
Pertama, ilmu lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu,
sharaf, balaghah, ma'ani, bayan, adab (sastra) dan syair. Kedua, ilmu
naqli yakni ilmu yang dinukilkan dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Ilmu ini terdiri dari ilmu membaca al-Qur'an, ilmu tafsir, ilmu hadits,
ilmu dasar-dasar istimbath. Ketiga, ilmu 'aqli yaitu ilmu yang
bersumber dari hasil pemikiran filsafat, yang termasuk kelompok ini
adalah ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu
berhitung, dan ilmu tingkah laku manusia.33
Sementara itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam klasifikasi
kewajiban mempelajarinya ada dua, yaitu yang pertama termasuk
wajib 'ain mempelajarinya seperti ilmu syari'ah, dan wajib kifayah
mempelajarinya seperti ilmu-ilmu kontemporer.34
Pandangan beberapa ahli pendidikan Islam di atas termasuk
pandangan Abdullah Syafi'ie, melihat materi pendidikan Islam yang
dikaji melalui dua sumbernya yaitu al-Qur'an dan Hadits. Hal itu
menunjukkan cakupan ilmu yang sangat luas, seluas kemampuan
manusia dalam mengungkap misteri alam yang terbentang ini. Selain
itu, dalam mempelajarinya tidak membedakan mana ilmu yang
sangat penting untuk dipelajari dan mana yang tidak penting, mana
yang sangat penting atau wajib 'ain bagi pribadi untuk mempelajari
dan mana yang wajib kipayah untuk mempelajarinya, seperti yang
menjadi pendapat al-Ghazali tersebut.
Pendapat al-Ghazali tersebut tampaknya sangat bias. Karena
al-Qur'an sendiri tidak mengisyaratkan hal tersebut. Bahkan, al-
Qur'an seperti dalam surat Fushilat di atas, sangat menekankan
untuk menuntut semua ilmu pengetahuan. Kalaupun ada bentuk
penekanan, paling banter al-Qur'an memerintahkan bagi sebagian
orang untuk menuntut ilmu agama, dan jangan semua maju ke

32
Afzalur Rahman, Qur'anic Sciences (Singapura: Pustaka Nasional, 1981), h. 1.
33
Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mathba'ah Mustafa Muhammad, 779 H), h.
400.
34
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin (Bairut: Dar al-Fikr, t.t..), h. 56.

175
medan perang (Q.S. at-Taubah: 122). Al-Qur'an tidak membedakan
kedua ilmu atau dengan kata lain ajaran Islam tidak membuat
dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Bahkan, seperti yang
dilihat oleh ahli tafsir di atas memandang ilmu dalam wawasan yang
sangat luas dalam bentuk pemetaan ilmu yang bersifat kauniyah dan
yang bersifat qur'aniyah,
Konsekuensi dari pandangan al-Ghazali tersebut diduga telah
mengantarkan umat Islam ke dalam pandangan adanya dikhotomi
ilmu.35 Hal itu semakin jelas dengan adanya ilmu-ilmu agama seperti
ilmu f'iqh, tauhid, akhlak pada satu sisi, dan pada sisi yang lain ada
pula mata pelajaran umum seperti ilmu matematika, kimia,
kedokteran dan sebagainya. Lebih jauh lagi, dikhotomi ilmu
tergambar pula dalam bentuk institusi pendidikan, ada bentuk
pendidikan madrasah, pesantren, ada pula bentuk sekolah yang
khusus belajar ilmu pengetahuan umum.
Padahal, sebagaimana diketahui bahwa dalam perjalanan
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam yang pernah
membentuk peradabannya, ilmuwan Islam seperti Ibn Sina, Ibn
Rusyd, dan lainnya, mereka bukan saja dikenal sebagai fuqaha atau
teolog, tetapi mereka juga menguasai ilmu kedokteran, menguasai
filsafat, menguasai astronomi, menguasai ilmu sejarah. Ibn Sina
selain dikenal sebagai ulama juga dikenal sebagai pakar kedokteran,
begitu pula dengan Ibn Rusyd.36 Kemudian lembaga-lembaga
pendidikan yang berkembang di Spanyol, daerah yang pernah berada
di bawah kekuasaan Islam, seperti di Cordova, Sevilla, Salamanka,
Granada, dan lainnya, adalah lembaga pendidikan Islam yang di

35
Lihat Amrullah Ahmad, "Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan
Islam", dalam Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),
h. 53.
36
Ibnu Sina, nama lengkapnya Abu Ali al-Husein Ibn. Sina. Di Barat, ia dikenal
dengan nama Avicenna. Lahir dekat Buchara dan meninggal tahun
428H/1037M. Karyanya dalam bidang kedokteran dan banyak memberi
inspirasi dasar dalam kemajuan ilmu kedokteran Eropa, yaitu Kitab al-Syifa dan
al-Qanun fi al-Thibbi. Adapun Ibn Rusyd, nama lengkapnya Abu al-Walid
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, ia dikenal sebagai Averrus. la dilahirkan di
Cordova tahun 520H/ 1126M. la sangat dikagumi baik di dunia Islam maupun di
dunia Barat. Dalam bidang kedokteran, ia menulis buku al-Kulliyat fi al-Thibbi.
Lihat Tim Penyusun Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Binbaga Islam, 1981),
h. 161-163.

176
dalam kurikulumnya tidak memisahkan antara pelajaran agama
dengan pelajaran ilmu umum.
Pandangan seperti itu menyebabkan ilmu pengetahuan dalam
dunia Islam mengalami “kemandekan”. Sementara itu, dunia ilmu
pengetahuan di negara-negara Barat mengalami kemajuan yang
pesat, bahkan mereka telah menjadi “kiblat” dunia dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk “kiblat” dunia Muslim.
Dalam ilmu ekonomi mereka mengembangkan sistem ekonomi
liberalisme atau kapitalisme yang hampir semua negara di dunia
menganutnya.37 Karena sistem ekonomi liberalisme telah senyatanya
memberikan kesejahteraan kepada rakyat bagi negara yang
menganutnya, terutama di negara-negara Barat. Dalam bidang
rekayasa teknologi mereka telah mencapai kemajuan teknologi yang
tiada tara, mereka mampu menciptakan pesawat udara yang
kecepatannya mampu melampaui kecepatan suara dan mereka telah
mencapai planet yang jaraknya sangat jauh dari bumi, yang beberapa
dekade yang lalu hanya bersifat hayal. Dalam bidang teknologi
informasi mereka telah menemukan dan mengembangkan alat
informasi yang canggih, sehingga dunia yang luas dan lebar dapat
dibuat menjadi kecil, atau dalam istilah Yasraf Amir dunia dapat
dilipat.38 Sehingga, berbagai peristiwa yang jauh jaraknya hanya
dalam hitungan menit bahkan detik telah dapat diketahui. Dalam
bidang pengembangan demokrasi dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia (HAM), mereka telah menjadi “kiblat” negara-
negara seluruh dunia.
Namun demikian, ternyata kemajuan yang telah dicapai, telah
pula mengantarkan nestapa kemanusiaan di belahan bumi yang lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan telah menyerap dana trilyunan
dolar yang dikeluarkan oleh negara-negara besar, yang sebagian
besar dana tersebut merupakan hasil eksploitasi dari Dunia Ketiga.
Dari hasil-hasil eksploitasi itu pula telah mengantarkan kehidupan

37
Lihat Fachry Ali, Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural (Bandung:
Mizan, 1984), h. 83-118. Lihat pula Muhammad Quthub, "Islam dan
Kapitalisme", dalam Salah Paham Terbadap Islam, (Bandung: Pustaka, 1982), h.
118-128.
38
Lihat Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat (Bandung: Mizan, 1998).

177
rakyat mereka mengalami kesejahteraan yang berganda
dibandingkan dengan masyarakat Dunia Ketiga. Sementara itu, di
negara-negara yang masih terbelakang, alih-alih mereka
mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian yang
bersifat unggulan, untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya
sungguh sangat sulit.
Akibat dari “ego” mereka untuk terus mengembangkan ilmu
dan teknologi, seperti mengembangkan pesawat udara yang dapat
sampai ke planet, yang menguras dana yang sangat besar; telah
membuat mereka kehilangan kesadaran. Bahwa masih banyak
manusia yang lain yang umumnya di Dunia Ketiga seperti yang
terjadi di negara-negara Afrika, menderita lapar, kekurangan gizi,
dan dalam frekwensi yang besar dan hampir di setiap harinya mereka
meninggal dunia. Dunia Barat yang menyatakan dirinya sebagai
negara modern dan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia,
ternyata memiliki pandangan “nasionalisme yang sempit”.
Sementara itu, di dunia Islam dengan cara pandang adanya
dikhotomi ilmu tersebut mengalami “kemandekan” dalam
pengembangan ilmu dan teknologi, dan bahkan kini dalam banyak
hal “mengekor” ke dunia Barat. Menyadari hal itu, umat Islam perlu
mengkaji dirinya dan melihat kembali esensi ajaran Islam yang
sebenarnya memandang dunia dalam bentuk yang utuh atau
holistik.39 Untuk keperluan itu, ilmu harus dipandang tidak
dikhotomik semua ilmu yang memberikan manfaat pada manusia
dalam kehidupannya penting dipelajari oleh semua Muslim.
Sebagai respon adanya ekses negatif dari berbagai
pengembangan ilmu dan teknologi Naquib al-Attas dan Ismail al-
Faruqi memandang perlunya melakukan upaya Islamisasi ilmu.40
Mengapa pula kemajuan ilmu, teknologi dan informasi yang telah
diciptakan dunia Barat sekarang ini, justru tidak membawa dunia

39
Lihat Ja'far Idris, Islam dan Perubahan Sosial, (terj.) Rahmani Astuti dari
Islamic Social Science,(Bandung: Mizan, 1984), h.20.
40
Isma'il al-Faruqi, "Islamization of Knowledge: Problems, Principles and
Prospektif, " dalam Islam: Source and Purpose of Knowledge, (Herndon: IIIT,
1988), h. 23. Lihat pula Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Malaysia: ABIM, 1991), h.
39.

178
semakin damai, tetapi justru membawa manusia saling
menghancurkan dan bahkan merendahkan martabat manusia pada
titik yang rendah?41
Barat memang telah mencapai kejayaannya. Akibat kejayaan
yang diperoleh telah membawa mereka terjebak kepada kekaguman
yang tinggi terhadap dirinya sendiri (narsisisme) atau akalnya
semata. Kekaguman itu telah melampaui kewajaran, sehingga
menganggap dirinya mampu memecahkan segala masalah yang
dihadapi. Akibat yang lebih jauh lagi telah membawa mereka sangat
percaya kepada kemampuan diri, dan secara tidak disadari pula
mereka semakin tidak percaya kepada kekuatan yang berada di luar
dirinya, seperti adanya Kemahakuasaan Tuhan. Mereka tidak percaya
lagi kepada sesuatu yang bersifat metafisika dan hal-hal yang bersifat
transendent; dan mereka hanya percaya kepada sesuatu yang nyata
atau yang bersifat empiris dan positivistik.
Mereka semakin jauh dari ajaran agama yang berasal dari
Tuhan, juga semakin jauh mencampakkan nilai-nilai moralitas dan
nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama. Mereka tidak
mempedulikan lagi nilai-nilai utama seperti nilai perkawinan.
Mereka memandang perkawinan hanya menambah beban
kehidupannya. Jadilah kehidupan mereka diisi dengan kehidupan
bersama, tanpa diikat oleh tali pernikahan atau mereka hidup
dengan cara semen leven, kumpul kebo, seks bebas yang dilakukan
sebagai sesuatu yang sudah biasa, mereka lakukan hal itu tanpa
merasa berdosa sedikit pun.
Belajar dari berbagai gejala yang menurunkan martabat
kehidupan umat manusia itu, timbul kesadaran para pemikir di atas
untuk merekonstruksi kembali ilmu-ilmu Islam yang diwarisi oleh
Barat, yang telah mereka reduksi tanpa nyawa spiritual. Barat telah
memisahkan nilai-nilai spiritual dari ilmu, atau ilmu-ilmu yang
mereka pelajari dan kembangkan kering dari nilai-nilai moral,
karenanya mereka katakan, ilmu, netral nilai atau bebas nilai. 42

41
Lihat Hasbi Indra, "Diskursus Pendidikan Islam Kontemporer", dalam Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia, (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta : Grasendo, 2001), h. 298-304
42
Hasbi Indra, "Diskursus..", h.. 299.

179
Pandangan ini ternyata secara tidak sadar banyak pula dianut oleh
ilmuwan Islam, mereka terkooptasi dengan pandangan tersebut.
Dunia Islam, setelah Barat mengambil alih perkembangan ilmu dan
teknologi, menjadi pihak yang inferior. Para ilmuwannya kehilangan
orientasi keilmuan, generasi mudanya kehilangan jatidirinya, dan
mereka banyak mengikuti pola kehidupan model Barat, baik gaya
budaya maupun model berpikirnya. Bukan hal yang aneh di dunia
Islam muncul para penganjur untuk mengekor ke Barat, seperti yang
dilakukan oleh Kemalis di Turki yang menyatakan, “jika negeri Islam
ingin maju tirulah pola kehidupan mereka (orang Barat)
seutuhnya”.43 Dunia Islam, akhirnya sangat sulit keluar dari
kerangkeng Barat yang hegemonik.
Sebenarnya, Barat tidak sepenuhnya dapat disalahkan dengan
keringnya epistemologi ilmu dari nilai-nilai moral, karena dalam
Islam sendiri telah lama muncul adanya pengkotakan ilmu, seperti
yang diungkap di atas. Namun, bila dicermati dengan sungguh-
sungguh, al-Ghazali tidak bermaksud sejauh itu, agar ilmu terkotak-
kotak atau agar keilmuan dalam Islam mengalami kemandekan. Al-
Ghazali sebagai ilmuwan agama hanya ingin mengembalikan agar
nilai-nilai agama tetap bersemi dalam lubuk hati setiap umat. Hal itu
hanya dapat bersemi melalui kajian terhadap ilmu-ilmu agama Islam,
yang waktu itu mungkin, kecintaan terhadap ilmu agama Islam
semakin berkurang, dan mereka sangat concern dengan ilmu filsafat
yang bersifat helenisme.44 Pandangan al-Ghazali itu sesuai dengan
konteks sosial yang ada. Namun karena al-Ghazali adalah seorang
ilmuwan yang terkenal dan dipandang sebagai Hujjah al-Islam, ada
yang melihat teorinya secara ad-hoc, tanpa ada sikap kritis, dan
membawa pandangan mereka, bahwa ilmu yang sangat penting
adalah ilmu agama, sementara itu ilmu umum adalah ilmu yang
tidak penting. Apalagi pada saat dunia Islam banyak mengalami
penjajahan dari negara-negara barat, ilmu-ilmu umum diidentikkan

43
Bahasan lebih lengkap tentang Turki Modern, lihat Mukti Ali, Islam dan
Sekularisme di Turki Modern (Jakarta: Jembatan, 1994).
44
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,
1992), cet-ke.2, h. 218. Lihat pula dalam Khazanah lntelektual lslam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 27.

180
dengan ilmu orang kafir dan haram untuk mempelajarinya, karena
dipandang sebagai alat untuk mengokohkan penjajahan mereka di
dunia Muslim.
Pandangan yang mengidentikkan ilmu-ilmu umum dengan
negara penjajah, semakin memerosokkan umat Islam ke dalam
pandangan yang salah tentang ilmu. Sebagai konsekuensinya banyak
orang Islam yang memilih sekolah pesantren atau sekolah agama,
dan memandang sekolah umum atau mata pelajaran umum sebagai
sekolah atau mata pelajaran dari kaum penjajah yang kafir.
Pandangan yang menempatkan ilmu agama dan ilmu umum
dalam tataran yang sama telah menjadi pandangan Abdullah Syafi'ie.
Secara lebih jelas dapat dilihat dari komposisi bagaimana materi
pendidikan/mata pelajaran pada tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan
Aliyah di madrasahnya sebagai berikut ini:
Materi pendidikan tingkat Ibtidaiyah ialah: al-Qur'an, Tauhid,
Fiqh, Nahwu, Sharaf, Bahasa Arab, Tajwid, Qiraah, Imlak, Insya,
Akhlak, Sejarah Islam, Muhadatsah, Mahfuzhat, al-Khat Arab/Latin,
Tafsir, Hadits, Babasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Pengetahuan
Alam.
Kemudian pada tingkat Tsanawiyah, materi pelajarannya
adalah: Tafsir, Musthalah Hadits, Tauhid, Fiqh/Ushul Fiqh, Sejarah
Islam, Akhlaq, Nabwu Sharaf, Babasa Arab, Balaghah, Babasa
Indonesia, Babasa Inggris, Sejarah Dunia, Ilmu hayat, Al-jabar, Ilmu
Administrasi, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Pendidikan, Kesenian.
Selanjutnya untuk materi pendidikan tingkat Aliyah, ialah:
Ushul Fiqh, Perbandingan Agama, Tafsir, Tauhid, Insya', Balaghah,
Sejarah Hukum Islam, Ilmu Pendidikan, Babasa Inggris, Babasa
Indonesia, PSPB, Antropohgi dan Kewarganegaraan.45
Dari gambaran-gambaran tersebut dapat dikatakan dalam
pandangan Abdullah Syafi'ie, materi pendidikan Islam telah meliputi
aspek yang luas, seluas kebutuhan-kebutuhan manusia pada
masanya. Kemudian, pandangan Abdullah Syafi'ie tersebut bila
dianalisa lebih lanjut berangkat dari kandungan pesan yang
terkandung dalam al-Qur'an telah meliputi segala aspek kehidupan
45
Lihat, Abdullah Syafi'ie, al-Muassasat al-Syafi'iyah al-Ta'lim-iyah, (Jakarta: t.p.
t.t. ), h. 12-14.

181
manusia baik di dunia maupun di akhirat yang dikemas dalam iman,
akhlak, ilmu, dan ‘amal.
Implementasi dalam kehidupan tampak bahwa iman
merupakan pembenaran yang dimanifestasikan dalam perkataan dan
perbuatan. Ilmu adalah sarana untuk mengenal Tuhan, mengetahui
berbagai benda alam serta mampu mengolahnya untuk kehidupan
umat manusia. Sementara itu, manusia dalam kehidupannya
dituntut untuk menampilkan sosok manusia yang paripurna atau
manusia yang memiliki budi pekerti, sehingga dia menjadi rahmat
bagi lingkungannya. Manusia yang ber-akhlak merupakan bentuk
nyata dari pengamalan agama yang diyakininya. Sebagai manusia
yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya, dia tidak segan
pula melakukan ‘amal-‘amal sosial untuk kepentingan bersama.46
Dilihat dari substansinya, maka keempat komponen tersebut
merupakan satu kesatuan dan saling terkait. Iman merupakan
sumber utama yang berperan menjadi pengarah atau pedoman bagi
manusia dalam menuntut ilmu, juga dalam rangka menempatkan
dirinya berinteraksi sesamanya dengan akhlaknya yang mulia, serta
dalam melakukan ‘amal-amal yang bersifat sosial. Dengan demikian
iman merupakan dasar dari akhlak mulia, akhlak mulia merupakan
dasar dari ilmu yang benar, dan ilmu yang benar merupakan dasar
dari 'amal shalih.
Kemudian, dalam bentuk penerapannya di institusi pesantren
tampak jelas tergambar dalam kurikulumnya. Di pesantren
sebagaimana biasanya mengajarkan ilmu-ilmu agama untuk
memperkuat keimanan anak didik, mengajarkan ilmu agama tentang
bagaimana mengimplementasikan rasa keimanan kepada Tuhan
dengan jalan melaksanakan perintahNya dalam bentuk ibadah
mahdlah, juga mengajarkan ilmu-ilmu yang menyangkut perilaku
terhadap sesamanya. Selain itu, diajarkan pula ilmu-ilmu umum,
dimaksudkan agar manusia dapat mengelola kehidupan, dimana ia

46
Amal sosial ini menjadi perhatian Abdullah Syafi'ie. Contoh yang berkaitan
dengan institusi pendidikannya, di pesantrennya biasanya ada hari libur
nasional, namun demi untuk tujuan sosial dia tetap menetapkan siswa masuk,
sekalipun hanya masuk setengah hari, agar para pedagang yang ada di sekitar
pesantrennya tetap dapat berdagang kepada para siswa. H.M. Amirin,
wawancara.

182
memerlukan kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti pangan, papan,
dan sebagainya.
Dari gambaran terdahulu dapat dikatakan, bahwa pemikiran
Abdullah Syafi'ie dalam kandungan pendidikan ini menggambarkan
pemikiran yang dapat merespon kurun apapun serta sesuai dengan
tuntutan masa kini, sekalipun ia masih tetap berakar dengan sistem
pendidikan tradisionalnya sebagai ciri khas pendidikan Islam.

C. Metode Pendidikan/Pengajaran
Sebagai seorang pendidik dan sekaligus da'i, Abdullah Syafi'ie
tentu saja menggunakan metode pendidikan yang tidak jauh dari
semangat ayat al-Qur'an yang mengajak umat manusia dengan cara
bi al-hiknah wal mau 'izhah al-hasanah (Q.S. al-Nahl, 125). Metode
pendidikannya sejalan dengan cara memandang menusia di era
modern yang memandang manusia pada tataran yang sama yang
harus dihargai eksistensinya. Pada tingkat penerapan, metode yang
digunakannya adalah metode talqin, diskusi, metode penugasan,
bimbingan, dan metode lainnya.
Metode talqin sangat disenangi oleh Abdullah Syafi'ie. 47
Metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu memperdengarkan
bacaan oleh salah seorang murid yang agak pandai baru diikuti oleh
yang lainnya. Langkah ini dalam sistem pendidikan modern dengan
istilah sistem tutor sebaya, suatu sistem yang mencoba
memanfaatkan peserta didik yang agak pandai untuk membantu
temannya yang agak tertinggal.
Kemudian, Abdullah Syafi'ie menggunakan metode diskusi.
Metode ini sering digunakan pula oleh Abdullah Syafi'ie pada siswa-
siswi tingkat akhir di kelas, untuk mendiskusikan suatu masalah
yang sedang dibaca di suatu kitab. Hal tersebut tergambar
sebagaimana dituturkan oleh Soleh RM berikut ini:
“Diskusi terhadap berbagai masalah dilakukan, namun ada
suatu hal yang tidak boleh dibicarakan oleh anak didik,
masalah tentang dzat Tuhan sama sekali tidak perlu
dibicarakan. Hal tersebut diduga kuat kyai mengamalkan salah

47
Zulfahmi, tanggal 4 Januari 2000, wawancara.

183
satu hadis Rasul yang diriwayatkan oleb Abu Naim: Berpikirlah
kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat
Allah, sebab kamu tidak mampu melakukannya”.48
Kemudian, ia juga menggunakan metode Penugasan. Abdullah
Syafi'ie terkadang menggunakan metode penugasan kepada anak
didik. Anak didik diberi tugas untuk mengulangi kembali mata
pelajaran yang diberikannya, untuk diulang kembali pada pertemuan
berikutnya. Dengan melakukan metode ini, dia sangat
mengharapkan anak didik benar-benar menguasai materi-materi
yang sudah dipelajarinya.49
Selain itu, digunakan pula metode pemagangan. Dalam sistem
pendidikannya digunakan pula metode pemagangan, di mana anak
didik dapat menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya dari ruang
pendidikan. Metode ini digunakan bagi siswa yang telah
menyelesaikan pendidikannya, apakah ia mengambil spesialisasi
pendidik atau spesialisasi mubaligh.50 Juga Abdullah Syafi'ie
menggunakan metode pengulangan. la sangat mementingkan
pemahaman siswa terhadap pelajaran yang ia berikan. Oleh karena
itu, pada suatu pertemuan, siswa akan diminta lagi mengulangi
pelajaran atau bacaan yang sudah dilakukan minggu sebelumnya.
Baginya mengerti terhadap makna kata dari apa yang dibacanya
sangat penting, untuk pemahaman dan pengertian terhadap
substansinya akan mudah diperoleh oleh siswa. Sebagaimana
diungkap Soleh RM berikut:
“Para siswa ketika mata pelajaran Kyai, selalu bersiap-siap
dengan hati yang berdebar, kira-kira siapa yang akan
ditunjuknya untuk membaca kembali teks kitab yang telah
diberikannya beberapa hari sebelumnya. Maka, selalu
ditawarkannya siapa yang akan membaca. Bila ada yang
mengangkat tangan dan lancar membaca serta benar, maka
siswa lain ikut senang, karena pelajaran berarti akan
diteruskan, Namun, bila tidak ada yang menunjuk tangan

48
Soleh KM, wawancara.
49
Soleh R.M, wawancara.
50
Lihat Abdullah Syafi'ie, “Berkenalan, hal. 5

184
maka Kyai akan menunjuk seseorang, tapi bila yang ditunjuk
tidak bisa, maka rasa gusar dan marahnya akan tampak, karena
siswa belum sungguh-sungguh dalam belajarnya, dan itu
pertanda pelajaran tidak akan lanjut pada bahasan
berikutnya”.51
Metode lain yang menonjol dari yang bersangkutan adalah
penguasaannya terhadap siswa, sepanjang waktu pelajaran yang
diberikannya, dia tetap berdiri, yakni tidak menggunakan tempat
duduk yang tersedia, tetapi ia mengitari kelasnya.52
Kemudian, ia menggunakan metode evaluasi. Metode ini
digunakan untuk mengecek kemampuan siswa dalam penguasaan
ilmunya, atau sekaligus mengecek kemampuan guru dalam mengajar
anak didik. Dengan metode ini, anak didik dan guru terpacu dan
bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajar, karena pada saat
tertentu kyai Abdullah Syafi'ie akan melakukan pengecekan
mendadak. Pada saat pengecekan itu siswa merasa bergetar di dalam
hatinya.53 Metode ini digunakannya pula untuk mempersiapkan
seseorang untuk menjadi pendidik yang menguasai kitab kuning. Dia
memanggil seseorang pada waktu malam, diminta membaca sebuah
kitab dan mengambil pengertiannya. Hal ini diungkap oleh
Abdurrahman berikut:
“Beberapa orang siswa diminta Kyai untuk datang kerumahnya
untuk membaca kitab kuning secara benar, tidak lupa pada
saat itu kopi dan makanan kecil telah tersedia. Pada saat
menjelang malam bacaan terus dilakukan oleh seorang siswa,
Kyai sudah tampak mengantuk, namun di tengah kantuk dan
pejaman matanya, pada saat kami salah membaca maka
muncullah reaksi beliau dan membenarkan bacaan yang
salah”.54
Abdullah Syafi'ie juga terkadang menggunakan metode
motivasi berupa pujian yang tidak berlebihan, seperti yang diungkap

51
Soleh RM, wawancara.
52
Soleh RM, wawancara.
53
Soleh RM, wawancara.
54
Abdurrahman, tanggal 13 Maret 2000, wawancara.

185
oleh H.M. Amirin berikut: “Kyai memberi tugas untuk membaca teks
sebuah kitab di antara siswanya, ketika tidak ada seorang yang
mengangkat tangan dia akan menunjuk seseorang di antara kami,
ketika seseorang disuruh membaca dengan suara lantang, maka ia
memberi pujian dan terkadang dengan membaca suatu do'a.55
Selanjutnya, ia menggunakan pula metode bimbingan dan
Teladan. Metode ini sangat melekat dalam dirinya sebagai seorang
ulama, yang senantiasa memberi teladan bagi umat sekitarnya. Hal
itu diperoleh dari ungkapan Abdurrahman berikut ini: “Kyai banyak
memberikan teladan dan bimbingan kepada anak didik. Teladan dan
bimbingan untuk disiplin melaksanakan shalat subuh sudah biasa
baginya. Kyai langsung mengingatkan atau membangunkan anak
didik untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat subuh itu”.56
Hal yang sama diungkap oleh Amirin: “Kyai, seringkali mengunjungi
murid-muridnya di tempat tinggalnya dan kemudian mendo'akan
muridnya, dan bahkan terkadang Kyai memberikan barang-barang
berupa kain untuk diperdagangkan, maksudnya agar muridnya
nantinya dapat berdagang”.57
Dalam konteks metode pendidikan Islam ini para ahli
pendidikan Islam mengemukakan pendapatnya. Misalnya Hasan
Langgulung berpendapat ada tiga metode pendidikan yang harus
diperhatikan, yaitu: Pertama, memperhatikan kemampuan anak
didik. Seorang harus membatasi dirinya dalam bicara terhadap anak
didik sesuai dengan kemampuan mereka dan memulai dari materi
pendidikan yang paling mudah kemudian baru yang rumit. Kedua,
memperhatikan fitrah anak didik. Prinsip ini mengesankan bahwa
anak didik pada umumnya suka disayang, disapa dengan lembut,
guru menghindari dari sikap marah dan berlaku kasar terhadap anak
didik. Ketiga, mengembangkan sikap sportifitas, agar anak didik
dapat menyadari sendiri perbuatannya. Bila anak didik melakukan
kebaikan diberi pujian atau ganjaran, tetapi bila ia membuat
kesalahan dapat diberi hukuman.58

55
H.M.Amirin, wawancara
56
Abdurrahman, wawancara
57
H.M. Amirin, wawancara.
58
Hasan Langgulung, Manusia, h. 40.

186
Bagi Fadil al-Ghamaly metode pendidikan Islam adalah:
“Motode praktik, metode repitisi, metode diskusi ilmiah,
metode tanya jawab, metode historis, metode pemberian kesan
dalam jiwa dan pengaruh dalam perasaan, metode ceramah,
metode nasihat, metode perumpamaan, metode perbandingan,
metode pemberian contoh, metode pemberian motivasi,
metode pemberian bimbingan dan metode pemberian
ampunan atau taubat”.59
Bila dibandingkan dengan pandangan dari dua pakar
pendidikan Islam di atas, maka metode pendidikan Islam yang
diterapkan oleh Abdullah Syafi'ie banyak memiliki kesamaan.
Abdullah Syafi'ie misalnya telah menerapkan metode diskusi pada
anak didik di kelas tertentu dengan materi yang dibatasi yang tidak
membicarakan masalah yang berkaitan dengan dzat Allah, seperti
yang telah diungkap oleh Soleh RM itu.60 Hal itu berarti Abdullah
Syafi'ie telah memahami keterbatasan kemampuan yang dimiliki
anak didik seperti yang telah dianjurkan oleh Hasan Langgulung
tersebut.
Demikian pula Abdullah Syafi'ie telah menggunakan metode-
metode seperti yang telah disebutkan seperti metode diskusi,
pengulangan, penugasan, metode bimbingan, di mana metode-
metode yang diterapkan oleh Abdullah Syafi'ie memiliki kesamaan
atau memiliki semangat yang sama dengan pandangan-pandangan
yang telah diungkap Al-Ghamaly tersebut.
Metode yang digunakan Abdullah Syafi'ie terkesan dinamis,
demokratis dan penuh kebijaksanaan, Dengan berbagai metode yang
digunakan itu seorang guru tidak akan bertindak otoriter atau
diktator atau memaksakan kehendak dan kemauannya terhadap
anak didik. Dengan metode itu pula seorang guru tidak melihat
muridnya seperti majikan melihat pembantunya, tidak juga melihat
murid sebagai obyek semata-mata, tetapi ia melihatnya sebagai
59
Muhammad Fadlil al-Ghamaly, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur'an, terj.
Asmuni S, (Jakarta: Pustaka Kausar, 1995), h. 105-106.
60
Sebagaimana yang telah diakui pula oleh Tutty Alawiyah bahwa ayahnya sering
menulis di beberapa kitab dengan ungkapan: "semoga anakku tidak membaca
kitab ini", wawancara.

187
obyek sekaligus sebagai subyek. Hal tersebut sangat sejalan dengan
visi pendidikan dunia modern yang melihat guru tidak lagi
sepenuhnya mempunyai tanggung jawab dalam belajar mengajar,
tetapi tanggung jawab itu diserahkan pula kepada si murid.

D. Karakteristik Pendidik/ Ustadz


Guru atau ustadz merupakan komponen yang sangat penting
dan menentukan dalam proses pendidikan Islam. Menurut Abdullah
Syafi'ie guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga pembentuk
watak, karakter dan kepribadian anak didik. Selain itu, untuk dapat
mencapai tujuan pendidikan di perguruannya, menurutnya, sangat
dibutuhkan guru-guru yang berpaham agama “ahl al-sunnah wa al-
jama'ah”, berakidah yang jelas, berilmu serta senantiasa
meningkatkan ilmunya, memiliki jiwa yang ikhlas, dan bersikap
bijak.61
Dalam konteks paham keagamaan seorang guru ini dapat
dipahami dari ungkapan, Soleh RM berikut ini:
“Seorang guru yang mengasuh mata pelajaran agama seperti
mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan sebagainya,
dipersyaratkan untuk memiliki paham keagamaan “ahl al-
sunnah wa al-jama'ah”, sesuai dengan nama perguruan yang
menyebut dirinya sebagai Perguruan al-Syafi'iyah. Namun,
untuk guru yang mengajar ilmu pengetahuan umum seperti

61
Bandingkan dengan Arief Rachman, Tahun 2005 Kita tak Punya Guru",
Republika, 1 Mei 2000, h. 13. Lihat pula Zakiah Daradjat dkk., Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 29. Islam menempatkan guru pada posisi
terhormat. Guru adalah Bapak spiritual anak didik, ia mengisi jiwanya dengan
ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik. Melalui bimbingan guru anak didik
akan menjadi dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dalam perjalanan
sejarah guru telah menorehkan perannya dalam membentuk para raja atau
pemimpin negara. Dalam sejarah Mesir kuno guru adalah filosof, mereka
menjadi guru sekaligus filosof, mereka menjadi guru sekaligus menjadi
penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman bagi raja. Dalam sejarah
Yunani kuno tercatat para filosof seperti Socrates, Plato dan Aristoteles sebagai
guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani. Aristoteles guru Iskandar
Zulkarnain yang kemudian menjadi Kaisar Yunani, karena keberhasilannya
sebagai guru, ia disebut sebagai Guru Pertama oleh para filosof Arab. Lihat al-
Tibawi, Islamic Education, (London: Luzac, 1978), h. 38. Lihat pula Abuddin
Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 132.

188
mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah dan
sebagainya, guru itu tidak perlu memiliki paham keagamaan
al-Syafi'iyah”.62
Hal yang sama telah diungkapkan pula HM. Amirin berikut:
“Guru agama, yang diutamakan Abdullah Syafi'ie adalah guru
yang berlatar belakang madzhab Syafi'i dalam pandangan
keagamaannya, dan ini menjadi persyaratan penting baginya.
Namun, bagi guru yang mengasuh mata pelajaran lain seperti
mata pelajaran Bahasa Inggris, Kimia dan lainnya mendapat
pengecualian, guru-guru itu dapat datang dari madzhab mana
saja. Hanya saja mereka tidak diperkenankan untuk membawa
pandangan madzhab-nya ke siswa.63
Hal senada diungkapkan pula oleh Abdurrahman berikut:
“Kyai dalam pandangan keagamaannya sangat kuat memegang
madzhab Syafi'i. Begitu pula dalam pendidikannya, seorang
guru yang dapat diterima mengajar mata pelajaran agama
adalah guru yang berpaham madzhab Syafi'i, kecuali bagi guru
yang mengasuh mata pelajaran umum, mereka dapat berasal
dari pandangan keagamaan lainnya, namun dengan syarat
mereka tidak membawa pandangan madzhabnya ke
perguruan”.64
Komitmennya terhadap madzbab al-Syafi'i sangat kuat. Hal ini
tergambar dari lembaga pendidikannya yang mengambil nama al-
Syafi'iyah. Penamaan itu selain wujud kenangan untuk orang tua
yang membesarkannya, dan memberinya se bidang tanah untuk
mendirikan madrasah; dan sekaligus pula wujud madzhab yang dia
cintai dan banyak dianut di negara ini. Pandangan keagamaan ini

62
Soleh RM, wawancara.
63
Dalam khazanah fiqh, ada banyak madzhab fiqh, namun 4 madzhab fiqh yang
masih eksis dan banyak dianut di dunia Islam saat ini, yaitu madzhab Hanafi,
Maliki, Hambali dan madzhab Syafi'i. Madzhab Syafi'i yang banyak dianut di
Indonesia, yaitu suatu madzhab yang dipelopori oleh Imam Syafi'i, lihat
Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1955), h.149.
64
Abdurraahman, wawancara

189
sangat mewarnai semua aspek di lembaga pendidikannya. Namun,
betapa pun kokohnya ia dalam memegang madzhab Syafi'i, tidak
membuatnya bersikap eklusif dalam pergaulan di tengah masyarakat,
pergaulannya demikian luas, melintasi berbagai aliran keagamaan
yang ada.65
Selain itu, dalam masalah akidah pendidik, bagi Abdullah
Syafi'ie diperlukan akidah yang jelas dan mantap dan ia sangat
memprihatinkan guru-guru yang tidak memiliki kejelasan akidahnya,
sebagaimana dia ungkap berikut ini:
“Pada saat ini masyarakat seakan kembali ke masa jahiliyah di
saat Nabi Muhammad dibangkitkan. Untuk membentuk
masyarakat yang berjiwa tauhid, dapat dimulai melalui
pendidikan agar anak didik memiliki tauhid yang benar.
Namun, bagaimana anak didik memperoleh tauhid yang benar
kalau saat ini akan diterapkan oleh pemerintah, bahwa anak
didik akan menerima mata pelajaran berbagai agama, yang
tentu diberikan oleh guru yang tidak jelas akidahnya. Maka,
bagaimana anak didik akan mendapatkan akidah yang benar
kalau pelajaran agama diberikan oleh guru-guru yang tidak
jelas akidahnya itu”.66
Akidah yang dipersyaratkan oleh Abdullah Syafi'ie adalah
akidah Islamiyah, yaitu seorang guru yang berakidah tauhid. Akidah
tauhid adalah akidah di mana seseorang meyakini benar dan
sungguh-sungguh bahwa Tuhan Maha Esa, Tuhan tidak bersyarikat,
Tuhan tidak beranak dan diperanakkan.67 Ajaran Tauhid di dalam
Islam merupakan ajaran yang fundamental. Dalam pandangan
seorang Muslim, seorang yang memiliki akidah yang bertentangan
dengan ajaran tauhid, ia akan menanggung dosa besar sebagai dosa
yang tidak terampuni oleh Allah.
Perlunya akidah yang kuat dan benar ini, semakin penting di
saat pihak-pihak penguasa yang mencoba untuk menggantikan
pelajaran agama dengan pelajaran budi pekerti, dan

65
KH. Abdul Hakim, wawancara.
66
Abdullah Syafi'ie, "Tentang Zaman Jahiliyah", Kaset, Side A
67
Q.S. al-Ikhlas, 1-5.

190
menggantikannya dengan memberikan pelajaran agama kepada
semua kelompok agama yang disebut dengan “Panca agama”.
Sehingga, dengan demikian nantinya agama Islam dapat diajarkan
oleh orang yang bukan Muslim, yang tentu saja subyektivitas
keyakinan agamanya akan muncul dengan menjelekkan agama
lainnya. Itulah yang mendasari keprihatinan Abdullah Syafi'ie
terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.68
Kemudian, guru yang mengajar di institusi pendidikannya
haruslah sosok yang memiliki banyak pengetahuan tentang ilmu
agama Islam, apakah itu ilmu fiqh, tauhid, akhlak. Hal tersebut
terungkap seperti yang dikatakan oleh Soleh RM berikut: "Guru di
perguruan al-Syafi'iyah sangat dianjurkan untuk menguasai banyak
bidang ilmu agama Islam. Hal ini sebagai hukum yang tidak tertulis
di mana guru-gurunya harus menguasai berbagai ilmu agama, seperti
mata pelajaran fiqh, tauhid, hadist, akhlak”.69
Guru yang seperti itu sangat berguna ketika seorang guru yang
bertugas sedang berhalangan, pelajaran tetap berjalan. Hal yang
sering terjadi di mana seorang guru mengajar di tiga kelas sekaligus,
seperti ungkapan Soleh R.M. berikut:
“Pada mata pelajaran tertentu yang seharusnya diisi oleh
seorang guru yang bertugas, namun karena yang bersangkutan
berhalangan, guru yang bertugas di perguruan al-Syafi'iyah
harus mengisi mata pelajaran yang kosong di kelas yang lain.
Hal yang sering terjadi, di mana seorang guru pernah
memberikan mata pelajaran pada tiga kelas dalam waktu yang
bersamaan.”70
Di institusi pendidikan al-Syafi'iyah selain diberikan mata
pelajaran agama, juga diberikan mata pelajaran umum seperti
matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris dan lainnya. Guru yang
memegang mata pelajaran itu diminta oleh Abdullah Syafi'ie agar
guru yang memiliki spesialisasi di bidang itu, seperti ungkapan Soleh
RM berikut:

68
Abdullah, "Zaman Jahiliyah".
69
Soleh RM, wawancara.
70
Soleh RM., wawancara.

191
“Kyai Abdullab Syafi'ie sangat menganjurkan, bagi guru yang
mengasuh mata pelajaran agama menguasai banyak disiplin
mata pelajaran agama. Namun, dalam mata pelajaran yang
bersifat umum, Kyai mensyaratkan guru yang mengasuhnya
adalah guru fak atau guru yang berasal dari lulusan-lulusan
tersebut. Misalnya mata pelajaran matematika harus diasuh
oleh lulusan matematika dan yang mengajar ilmu ekonomi
yang mengasuhnya adalah guru yang lulusan ekonomi”.71
Seorang guru adalah tokoh panutan dan menjadi tokoh teladan
bagi masyarakat. Demikian pula dalam wawasan dan ilmu, menjadi
tempat bertanya bagi anak didiknya. Hal tersebut sangat dipahami
dan disepakati oleh Abdullah Syafi'ie, maka ia sangat mendorong
para gurunya agar senantiasa meningkatkan wawasan dan ilmu
pengetahuannya, seperti yang diungkap oleh Amirin berikut:
“Kyai sangat memperhatikan para guru, agar para guru
memiliki wawasan yang luas serta ilmu yang tinggi. Bentuk dari
perhatian Kyai adalah memberikan kesempatan para guru
untuk kuliah di University Al-Syafi'iyah dengan pembebasan
beban pembayaran. Pada saat dibuka Ma’had al-Muballighin di
Jatiwaringin para guru dianjurkan untuk mengikuti kuliah
tersebut, tanpa biaya kuliah. Para guru yang berada di
Balimatraman yang jaraknya cukup jauh disiapkan kendaraan
mobil Kyai untuk membawa mereka ke Jatiwaringin”.72
Guru atau ustadz, bagi Abdullah Syafi'ie suatu sumber ilmu
pengetahuan. Untuk itu ia memerlukan penguasaan ilmu yang
mendalam dan mesti haus dengan ilmu pengetahuan. Abdullah
Syafi'ie tidak segan memberikan fasilitas atau kemudahan bagi guru
untuk meningkatkan diri, guna meningkatkan dirinya menjadi guru
yang ahli atau profesional di bidangnya.
Penempaan guru yang terus menerus, agar mencapai guru yang
ideal, mencerminkan semangatnya agar guru-guru memiliki

71
Soleh RM., wawancara.
72
H.M.Amirin, wawancara.

192
kualifikasi yang mengarah kepada tipe ideal, sebagaimana yang
menjadi pandangan Al-Ghazali.73
Seorang guru adalah seseorang yang memiliki keikhlasan
dalam mengemban tugasnya. Hal ini diungkapkan oleh Saifuddin
Amsir berikut: “Banyak anak didik yang didanai oleh beliau, namun
dimintanya agar anak didik benar-benar menuntut ilmu
pengetahuan serta diminta untuk memiliki jiwa yang ikhlas untuk
bersama-sama menerima pelayanan pendidikannya. Begitu juga
harapannya terhadap para pendidik”.74
Selanjutnya, seorang guru adalah seorang yang bijaksana dalam
mengatasi problema yang dihadapi siswa. Guru yang baik adalah
guru yang tidak ceroboh dalam memberikan sanksi kepada
muridnya. Karena guru dianggapnya orang yang bijak, maka ketika
Abdullah Syafi'ie ingin meluruskan bahwa ada seorang guru yang
telah ceroboh memberikan sanksi kepada muridnya, dia tidak
langsung menegor yang bersangkutan. Tetapi, dia mengumpulkan
para guru untuk melakukan rapat, dan pada saat rapat itu ia
menyampaikan bahwa ada seorang guru yang telah bertindak tidak
bijaksana, seperti yang diungkap H. M. Amirin berikut ini:
“Kyai telah menerima keluhan dan wali murid, bahwa ada
seorang guru yang telah bertindak ceroboh memberikan sanksi
terbadap anak didik, padahal guru tersebut salah atau keliru
dalam mengambil tindakannya. Maka, Kyai tidak memanggil
langsung guru tersebut untuk diperingatkan. Tetapi, Kyai
memanggil para guru untuk membicarakan hal tersebut di
rapat para guru, dan menyampaikan bahwa telah terjadi
seorang guru telah mengambil tindakan yang salah. Maka, dia
minta agar para guru benar-benar berhati-hati dalam
mengambil tindakan, karena kita (para guru) adalah orang

73
Sifat-sifat yang harus dimilikinya : Bersifat kasih sayang dan lemah lembut,
bersikap kebapakan, ikhlas dan tidak mengharapkan upah, mampu menjadi
pembimbing yang jujur dan terpercaya, tidak pemarah, mampu menjadi
teladan, memahami kemampuan murid, mengetahui perkembangan jiwa anak,
memegang teguh prinsip dan disiplin. Lihat Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep
Pendidikan al-Ghazali, alih bahasa Ahmad Hakim, (Jakarta: P3M, 1986), h. 43-
51.
74
Saifuddin Amsir, tanggal 6 Juni 2000, wawancara.

193
yang membawa amanah Allah untuk membentuk anak didik
menjadi anak yang baik”.75
Bagi Abdullah Syafi'ie sendiri, guru bukan hanya harus
memiliki akidah yang jelas untuk membawa anak didik kepada
keyakinan tauhid yang benar juga seorang guru harus dipersiapkan
sejak dia menjadi siswa, karena guru memerlukan pembiasaan dan
penghayatan terhadap tugasnya. Hal ini diungkap oleh Soleh RM
berikut:
“Kyai, sejak awal mendirikan institusi pendidikannya telah
melihat bahwa kebutuhan akan tenaga pendidik, tidak dapat
dipenuhi secepat mungkin. Apalagi ketika melihat minat
masyarakat untuk menitipkan anak-anaknya untuk dididik
atau menjadi santrinya semakin besar, sementara tenaga guru
masib terbatas, maka dia telah mempersiapkan anak-anak
didiknya untuk menjadi guru, dan mengajar dikelas-kelas di
bawahnya.”76
Dengan demikian guru menurut Abdullah Syafi'ie hendaklah
memiliki kharakteristik, seperti memiliki paham keagamaan “ahl al-
sunah wa al-jama'ah”, bagi guru pemegang mata pelajaran agama.
Bagi guru yang memegang pelajaran ilmu umum tidak ditekankan
untuk memiliki paham keagamaan tersebut. Guru juga hendaklah
memiliki akidah yang benar, bila tidak, guru akan membawa anak
didik kepada akidah yang tidak benar. Guru agama hendaklah pula
memiliki keluasan dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan
agama, juga bagi guru yang mengasuh mata pelajaran umum.
Seorang guru hendaknya tidak cukup puas dengan ilmu yang
dimiliki, dia harus senantiasa meningkatkan ilmunya agar menjadi
guru yang memiliki kualitas yang baik. Guru hendaklah memiliki
sifat yang ikhlas. Selain itu, guru harus pula memiliki sifat-sifat yang
bijak dalam menghadapi anak didik.
Kharakteristik-kharakteristik guru yang diajukan Abdullah
Syafi'ie tersebut dapat dibandingkan dengan pandangan ahli-ahli

75
H.M.Amirin, wawancara.
76
Soleh, R.M, wawancara.

194
pendidikan Islam berikut. HAMKA misalnya berpandangan, “Seorang
guru hendaklah memiliki sifat lemah-lembut, tidak keras hati,
pemaaf, bermusyawarah dan tawakkal serta memiliki sifat zuhud,
ikhlas, kebapakan, mengetahui sifat murid dan menguasai
pelajaran".77 Bagi al-Razi, seorang guru tidak boleh didewa-dewakan
baik ketika ia masih hidup maupun sesudah ia meninggal dunia,
karena guru bagaimanapun manusia biasa. Sikap yang berlebihan
kepada guru akan membawa pemujaan kepada sang guru. 78
Ahli lain, Fathiyah berpendapat, bahwa: ''Guru hendaklah
bersifat kasih sayang dan lemah lembut, bersifat kebapakan, ikhlas
dan tidak mengharapkan upah, mampu menjadi pembimbing yang
jujur, terpercaya, tidak pemarah, mampu menjadi teladan,
memahami kemampuan murid, mengetahui perkembangan jiwa
anak, memegang teguh prinsip dan disiplin".79
Selanjutnya Ibn Sina mengungkap, bahwa "Guru hendaklah
berakal, beragama, berakhlak, tidak jumud, luas dalam berpikir,
memiliki muru’ah, bersih dan rapi, memahami perkembangan anak,
cerdas, hati-hati dan teguh pendirian.80
Ibn Khaldun mengungkap pula, bahwa "Seorang guru harus
mengetahui perkembangan anak didik, mengetahui metode
mengajar, kuat hubungan batinnya dengan peserta didik, bersifat
kasih sayang, menjadi teladan atau panutan bagi peserta didik".81
Al Asraf menegaskan, "Seorang guru bukan hanya seorang yang
pandai, tetapi juga harus orang yang beriman dan berakhlak,
mempunyai rasa senang mendidik dan mempunyai tanggung jawab
yang tinggi terhadap anak didik sebagai amanah dari Allah; untuk itu
dibutuhkan latihan bagi mereka agar menjadi pendidik yang
Islami".82
Al-Abrasyi berpendapat bahwa guru dalam pendidikan Islam
harus memiliki sifat-sifat berikut ini: (1) Zuhud, tidak mengutamakan
materi, mengajar karena mencari keridlaan Allah semata; (2) harus

77
HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), juz iv, h. 126.
78
HAMKA, Tafsir, juz x, h. 179
79
Fathiyah Sulaiman, Konsep, h. 43
80
Fathiyah Sulaiman, Konsep, h. 220.
81
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 282.
82
Sayid Husen dan Ashraf, Horison, h.153

195
bersih tubuhnya; (3) Harus bersih jiwanya: dari dosa besar, tidak
bersifat ria, dengki, permusuhan dan sifat tercela lainnya; (4) Ikhlas
dalam pekerjaan: sesuai kata dengan perbuatan, mengakui
ketidaktahuannya, bijaksana dan tegas dalam kata dan perbuatan,
rendah hati, lemah lembut tanpa memperlihatkan kelemahan, keras
tanpa memperlihatkan kekerasannya; (5) Pemaaf, sanggup menahan
diri, lapang hati, sabar dan tidak marah karena sebab-sebab yang
kecil; (6) berkepribadian dan mempunyai harga diri; (7) Mempunyai
sifat kebapakan: ia harus mencintai muridnya seperti mencintai
anaknya sendiri; (8) Mengetahui tabiat muridnya: ia mengetahui
pembawaan, kebiasaan, perasaan dan memikirkan murid-
muridnya.83
Menurut Mahmud Yunus guru haruslah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut: (1) Hendaklah guru menyayangi muridnya dan
memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri; (2) Hendaklah guru
memberi nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka
menduduki suatu tingkat sebelum mereka berhak mendudukinya; (3)
Hendaklah guru memperingatkan murid bahwa tujuan menuntut
ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk
menjadi pemimpin atau bermegah-megah atau berlomba-lomba dan
bersaing; (4) Hendaklah guru melarang murid berkelakuan tidak
baik dengan cara lemah lembut, bukan dengan cara caci maki,
dengan cara menyindir bukan dengan cara terus terang; (5)
Hendaklah guru mengajarkan kepada murid-muridnya mula-mula
tentang masalah yang mudah dan banyak terjadi di dalam
masyarakat; (6.) Guru yang mengajarkan satu macam ilmu
janganlah memburukkan ilmu yang tidak diajarkannya, seperti guru
Ilmu Fiqh jangan memburukkan Ilmu Hadits; (7) Hendaklah guru
mengajarkan masalah yang sesuai dengan kecerdasan muridnya dan
menurut kadar kemampuan akalnya, (8) Hendaklah guru mendidik
muridnya supaya berpikir dan berijtihad, bukan semata-semata
menerima saja dari guru; (9) Hendaklah guru mengamalkan ilmunya,
jangan perkataannya mendustakan perbuatannya; dan (10)
Hendaklah guru memperlakukan semua muridnya dengan keadilan

83
Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar, h. 131

196
dan persamaan dan jangan dibedakan antara anak orang kaya
dengan anak orang miskin.84 Di dalam bukunya yang lain, Mahmud
Yunus menyebutkan bahwa sifat yang harus dimiliki guru ada 17
macam.85
Bila diperhatikan dengan sungguh-sungguh dapatlah diketahui
bahwa sifat-sifat guru yang diajukan oleh para ahli di atas tampaknya
hanya sebagian saja yang merupakan sifat guru, sebagian merupakan
tugas guru. Berdasarkan uraian para ahli di atas dapat diketahui
bahwa para ahli tersebut menghendaki sifat-sifat guru dalam
pendidikan Islam ialah (1) kasih sayang pada anak didiknya; (2)
lemah lembut; (3) menghormati ilmu yang bukan profesinya; (4) adil;
(5) menyenangi ijtihad; (6) perkataannya sesuai dengan perbuatan,
dan (7) sederhana.
Bila dibandingkan pandangan para ahli tentang sifat-sifat atau
kharakteristik seorang pendidik dengan pandangan yang dimiliki
oleh Abdullah Syafi'ie terhadap guru, maka pandangannya ada yang
memiliki kesamaan dengan pandangan para ahli tersebut, ada pula
yang memperkaya. Misalnya seorang guru bagi Abdullah Syafi'ie
hendaklah memiliki akidah yang kuat, memiliki wawasan ilmu
pengetahuan serta ahli di bidangnya, memiliki jiwa yang ikhlas
dalam pengabdiannya. Sementara itu pada aspek yang khas dapat
dikatakan memperkaya wacana pendidikan Islam adalah karakter
gurunya yang memiliki paham keagamaan yang bermadzhab Syafi'i,
di mana dalam wacana pendidikan Islam merupakan hal yang baru.
Mungkin saja untuk karakter yang khas itu ada ahli pendidikan
Islam yang berpandangan, hal itu sebagai kharakter yang ekslusif
karena dalam dunia pendidikan diperlukan ekspresi yang
beranekaragam, agar memberikan wawasan yang luas pada anak
didik. Pada satu sisi pandangan itu tampaknya obyektif, namun pada
sisi yang lain harus dipahami bahwa anak didik belum dapat
menerima pandangan-pandangan agama yang mengandung
kontroversial yang mungkin secara sengaja atau tidak secara sengaja
tersampaikan oleh para guru yang mengasuh mata pelajaran agama.

84
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mahmudiah, 1966), h. 114
85
Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta:
Mahmudiah, 1961), h. 56-57

197
Sebenarnya dari sudut pandang inklusifisme, Abdullah Syafi'ie telah
memberi peluang dengan diperbolehkannya seorang guru yang
berpandangan agama madzhab lain untuk mengajarkan mata
pelajaran umum di lembaga pendidikannya.

E. Perilaku Anak Didik


Bagi Abdullah Syafi'ie anak didik merupakan amanah yang
harus dibina potensi-potensinya. Sebagaimana yang ia pahami bahwa
di dalam diri manusia ada dua unsur yaitu unsur jasmani dan unsur
ruh atau rohani. Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan
pendidikan Barat yang sangat menekankan kepada unsur jasmani
manusia.86
Dalam membentuk potensi yang ada di dalam diri anak didik,
Abdullah Syafi'ie pada tingkat operasionalnya menginginkan anak
didik yang memiliki paham keagamaan ahl al-sunnah wa al-jama'ah,
berakidah Islam yang kuat, memiliki niat yang ikhlas, memiliki
keberanian, memiliki etos keilmuan, memiliki keterampilan, dan
berakhlak. Dalam mewujudkan siswa yang memiliki paham agama
bermadzhab Syafi'i, institusi pendidikannya disebut dengan
Perguruan al-Syafi'iyah. Baginya anak didik memiliki paham
keagamaan seperti itu sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.87
Sebelum memiliki paham keagamaan tersebut menurut
Abdullah Syafi'ie yang penting pula bagi anak didik adalah memiliki
kemampuan membaca al-Qur'an atau tidak buta al-Qur'an.88 Al-
Qur'an bagi seorang Muslim adalah pegangan atau pedoman dalam
hidupnya. Dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dan untuk
menuju kehidupan di akhirat kelak, seorang Muslim hendaklah
berpedoman kepada al-Qur'an. Al-Qur'an bagi seorang Muslim
bagaikan penerang dalam kehidupannya. Perlunya seorang Muslim
pandai membaca al-Qur'an sebagai suatu keharusan baginya.
Untuk selanjutnya setelah anak didik pandai membaca al-
Qur'an, hendaklah mereka memiliki keimanan atau akidah yang
kuat. Hal ini dapat digambarkan ketika anak didik memasuki ruang

86
Lihat Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan, 163
87
Abdurrahman dan Soleh RM, wawancara.
88
H.M.Amirin, wawancara.

198
kelas, maka bacaan pertama bagi mereka adalah membaca Akidah
Mujmalah, seperti yang diungkap oleh Soleh KM : "Dalam konteks
paham keagamaan Kyai sangat ketat. Anak didik agar memiliki
akidah yang kuat, maka di tingkat Ibtidaiyah para santri diwajibkan
membaca Akidah Mujmalah".89
Adapun Akidah Mujmalah itu bunyinya:
Dan kemudian, maka sesungguhnya kami dan segala puji bagi
Allah. Sesungguhnya kami ridla dengan Allah sebagai Tuhan,
dan dengan Islam sebagai agama, dan dengan Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul, dan dengan al-Qur'an sebagai imam,
dan dengan Ka'bah sebagai qiblat, dan dengan sekalian
mukmin kami bersaudara, dan kami berlepas daripada tiap
agama yang menyalahi agama Islam, dan kami percaya dengan
sekalian kitab yang diturunkan Allah akan dia, dan dengan
sekalian Rasul yang Allah bangkitkan akan dia, dengan sekalian
malaikat Allah dan dengan qadar baik dan buruknya dan
dengan hari kiamat, dan dengan tiap-tiap barang yang datang
yang dibawa oleh Nabi Muhammad-Rasulullah Saw. Atas yang
demikian kami hidup dan di atasnya kami mati, dan di atasnya
kami bangkit. Insya Allah menjadi orang yang aman sentosa,
yang tidak takut atas mereka dan tidaklah mereka berduka
cita, dengan karunia Engkau wahai Tuhan seru sekalian alam.90
Penanaman akidah atau pengenalan agama sejak dini atau di
tingkat Ibtidaiyah sangat sejalan dengan pandangan beberapa ahli
berikut:
Erich Fromm menyatakan bahwa, "Pengabdian kepada
kekuatan yang trancendent adalah suatu ekspresi kebutuhan pada
kesempurnaan kehidupan. Karena itu tidak ada seorang pun tanpa
kebutuhan pada agama.”91 Agama dibutuhkan oleh manusia karena
manusia memerlukan kerangka orientasi dan obyek pengabdian
dalam kesempurnaan kehidupannya. Sekalipun Freud berkesimpulan
89
Soleh RM., wawancara
90
Abdullah Syafi'ie, al-Akidah al-Mujmalah, (Jakarta: Perg. Al-Syafi'iyah, 1983),
h.1-3
91
Erich Fromm, Psychoanalisys and Religion (New Haven & London: Yale
University Press, 1976), h. 24-25

199
bahwa agama merupakan sekumpulan neurosis masa kanak-kanak,
tetapi Fromm dapat juga membuat penafsiran sebaliknya: neurosis
dapat menyebabkan manusia tidak mengetahui arah yang lebih
tinggi dalam hidupnya,92 sedangkan agama menunjukkan arah
tersebut.
Piaget banyak mempelajari cara anak-anak mengenal Tuhan. la
antara lain mengatakan bahwa Tuhan dikenal oleh anak-anak secara
berangsur-angsur. Pada umur tujuh atau delapan tahun anak-anak
yang ditanyai Piaget menyatakan bahwa Tuhan itu berada di langit,
tidak lebih tua dari pada ayahnya dan tidak lebih bijak.93 Pada umur
lebih kurang sepuluh tahun anak-anak tersebut telah mengetahui
bahwa bohong tidak benar dan itu merupakan dosa, Tuhan tidak
senang pada manusia yang berdosa.94 Tidak ditemukan pernyataan
Pieget yang tegas tentang perlunya agama bagi manusia. Tetapi,
Laurence Kohlberg yang meneruskan penelitian Pieget sampai pada
kesimpulan bahwa manusia memerlukan prinsip-prinsip etika
universal tentang keadilan, persamaan dan penghormatan terhadap
ketinggian harkat manusia.95 Barangkali tidak salah kalau dikatakan
bahwa prinsip-prinsip yang diperlukan itu terdapat dengan jelas di
dalam ajaran Islam. Bila hal itu benar, maka dapatlah diambil
kesimpulan bahwa berdasar studi Pieget dan Kohlberg itu manusia
memerlukan agama.
Elizabeth B. Hurlock berkesimpulan bahwa baik secara
subyektif maupun obyektif agama itu penting bagi orang dewasa.96 la
memaparkan hasil penelitian yang membuktikan bahwa manusia
memang berminat pada agama, selain itu juga mempelihatkan hasil
penelitian lain yang membuktikan bahwa manusia memang
memerlukan agama.97

92
Erich Fromm, Psychoanalisys, h. 27-28.
93
Mary Ann Spencer Pulaski, Understanding Pieget (New York: Harper Row,
Publishers, 1980), h. 125.
94
Mary Ann, Understanding, h. 128.
95
Mary Ann, Understanding, h. 133.
96
Elizabeth B. Hurlock, Adolescent Developmen (New York: McGraw-Hill Book
Company, 1967), h. 390.
97
Elizabeth B, Adolescent, h. 393.

200
Muhammad Quthub dengan tegas menyatakan bahwa hormat
dan beribadah kepada Tuhan merupakan sifat wajar manusia.98 Al-
'Ainaini berkesimpulan bahwa menurut al-Qur'an manusia pada asal
kejadiannya adalah bertauhid, tetapi manusia berkemampuan pula
untuk menjadi syirik dan jahat; beribadah kepada Tuhan adalah
tujuan wujud manusia.99 Muhammad Mahmud Hijazi, tatkala
membahas hakikat kejadian manusia tiba pada kesimpulan bahwa
hakikat kejadian (fitrah) manusia adalah Muslim."100Tabataba'i
menyatakan bahwa salah satu sifat hakiki manusia adalah ingin
mencapai kebahagiaan, sifat ini merupakan ketetapan (sunnah) Allah
pada manusia, untuk mencapai kebahagian itu manusia memerlukan
agama.101
Zakiah Daradjat lebih tegas lagi dalam hal ini, tatkala ia
menyatakan bahwa mulai usia kurang lebih tujuh tahun perasaan
anak terhadap Tuhan berganti dengan cinta dan hormat, dan
hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya atau iman.102 Sedangkan
Krathwohl dan kawan-kawannya menyatakan bahwa menerima
adanya peribadatan dalam kehidupan haruslah dijadikan salah satu
tujuan pendidikan.103
Berdasarkan pandangan-pandangan berbagai ahli itu dapatlah
diketahui bahwa manusia memerlukan agama, dan dalam versi Islam
seperti yang diungkapkan oleh 'Ainaini, bahwa yang dimaksud
adalah agama Islam yang mengajarkan akidah tauhid, seperti juga
yang menjadi pandangan Abdullah Syafi'ie dalam penekanannya
untuk membentuk anak didik memiliki akidah yang kuat melalui
Akidah Mujmalah-nya.
Kemudian, semua anak didik hendaklah memiliki niat yang
ikhlas. Untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, hal itu

98
Lihat dalam syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims, h. 51.
99
Ali Khalil Abu al-'Ainaini, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-
Karim (Qahirah: Dar al-'arabi, 1980), h. 103.
100
Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadih, juz 21 (Bairut: Dar al-Jail al-
Muqaddasah, 1993), jilid 3, juz 21, h. 28.
101
Sayid Muhammad Husin al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz 16
(Qum: al-Jama'ah al-Mudamsin al-Mahzab al-Islamiyah, t.th.), h. 178-181.
102
Zakiah Daradjat, llmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 51.
103
David R. Krathwohl, et.al., Taxonomy of Educational Objectives Handbook II:
Affective Domain (New York: David McKay Company, Inc., 1974), h. 141.

201
baginya sudah sangat memadai, tidak memandang apakah anak didik
tersebut belum sama sekali dapat membaca hurup hijaiyah, atau
belum dapat membaca dalam huruf latin, dan juga tidak melihat
apakah anak itu memiliki modal harta atau tidak untuk menuntut
ilmu.104
Namun demikian, anak didik yang ingin masuk ke lembaga
pendidikannya perlu menempuh proses seleksi yang harus dilalui, di
mana siswa itu akan ditempatkan, dan biasanya salah seorang yang
bertugas untuk menseleksi dilakukan oleh ustadz Rohimi.105
Selanjutnya, Abdullah Syafi'ie sangat memuji bagi anak didik
yang memiliki keberanian untuk tampil. Biasanya pada saat ia
memberikan pelajaran, dia memerintahkan seorang siswa membaca
kitab dan siswa itu membaca dengan lancar, dan bersuara lantang,
maka meluncurlah do'anya.106
Dalam hal etos keilmuan Abdullah Syafi'ie sangat menekankan
kepada anak didiknya agar benar-benar serius dalam menuntut ilmu
pengetahuan. Bila ada anak didik yang tidak disiplin dalam
menuntut ilmu pengetahuan, maka ia akan mendapatkan hukuman
yang bersifat mendidik.107 Anak didik yang bermalas-malasan dalam
menuntut ilmu pengetahuan, katanya, "bagaikan onta di padang
pasir".108 Dalam penekanan perlunya anak didik menguasai ilmu
pengetahuan, anak didik dilarang untuk menghabiskan waktunya
hanya untuk berdzikir, karena waktu yang ada bagi mereka adalah
menuntut ilmu pengetahuan, seperti yang diungkap Soleh RM:
"Para santrinya dilarang keras mempelajari ilmu al-hikmah.
Juga para ustadznya dilarang untuk mengembangkannya,
karena hal itu akan mengurangi atau mengganggu konsenterasi
para santri dalam menuntut ilmu. Hal yang hampir sama
diungkapkan oleh Saifuddin Amsir: Beliau sering mengeluhkan
santrinya yang tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Begitu
pula ia sering mengingatkan para santrinya yang waktunya

104
H.M. Amirin, wawancara
105
HM. Amirin, wawancara
106
HM. Amirin, wawancara
107
Soleh RM, wawancara.
108
Lihat Adi Badjuri, Pelita, (Jakarta), 5 September 1985.

202
hanya digunakan untuk berdzikir kepada Allah. Dzikir itu baik
kata kyai, tapi waktumu sekarang ini adalah untuk sebanyak-
banyaknya menuntut ilmu, membaca serta mengkaji kitab".109
Kemudian, anak didik perlu pula memiliki keterampilan,
apakah itu keterampilan mendidik atau keterampilan dalam
berda'wah serta juga keterampilan lainnya yang dapat digunakan
langsung dalam kehidupannya.
Selanjutnya, anak didik hendaklah berperilaku yang baik atau
memiliki akhlak yang baik. Dalam membentuk anak didik agar
memiliki akhlak yang baik, Abdullah Syafi'ie, terkadang menegor
langsung kepada siswanya, sebagaimana yang diungkapkan Saifuddin
Amsir berikut ini. "Beliau pernah menegor saya secara langsung,
ketika saya ngobrol dengan santriwati di sebuah toko buku. Dari sisi
ini saya melihat kyai sedang menanamkan perilaku akhlak kepada
santrinya". Dalam konteks ini pula Soleh RM mengungkap:
"Dalam membentuk akhlak, anak didik dianjurkan agar selalu
memberi salam bila berjumpa dengan seseorang. Pernah
seorang santri melongok ke dalam ruangan dan melihat kyai,
lalu siswa itu masuk kembali ke kelasnya. Melihat hal itu kyai
memanggil santri itu, dan mengatakan, Anda lain kali jangan
begitu, Anda masuk saja dan ucapkan salam, salamilah guru-
gurumu dan kemudian Anda boleh pergi".110
Dalam pembentukan akhlak ini pula lebih lanjut Soleh RM
menyatakan: "Dalam suatu peristiwa kyai pernah memberikan uang
dan menyuruh santrinya untuk memotong rambut yang tampak
sudah panjang. Hal ini pernah pula dilakukan kyai kepada seorang
yang bukan santrinya, diberinya uang untuk memotong rambutnya
yang gonderong".111
Demikian pula bila anak didik tidak berakhlak secara baik,
berakibat ia akan mendapatkan sanksi yang berat, seperti ungkapan
Soleh RM lebih lanjut berikut ini:

109
Soleh RM, dan Saifuddin Amsir, wawancara.
110
Amsir dan Soleh RM, wawancara.
111
Soleh RM., wawancara.

203
“Bila anak didik tidak menunjukkan akhlak yang baik, seperti
berperilaku amoral atau meminum-minuman keras, maka
Abdullah Syafi'ie memberikan hukuman yang keras berupa
hukuman dengan dikeluarkan dari sekolahnya. Hukuman yang
tegas diberikan kepada anak didik agar yang lain tidak
melakukan hal yang sama.”112
Penekanan terhadap perilaku anak didik agar memiliki akhlak
yang mulia ini, semakin diperlukan apalagi terhadap anak didik yang
tinggal di kota Jakarta, sebagai kota metropolitan dan pada saat
kehidupan masyarakat yang dikatakan masa modern sekarang ini. Di
kota Jakarta sebagai kota metropolitan, diwarnai oleh dinamika
pembangunan yang sangat pesat. Sarana dan prasarana kehidupan
masyarakat Jakarta dibangun dalam perkembangan yang sangat
tinggi, dibangun gedung-gedung bertingkat termasuk pula dibangun
tempat-tempat yang memberi peluang bagi seseorang untuk
melakukan perbuatan yang amoral, di bangun pula tempat-tempat
yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan seks
bebas. Demikian pula di tengah masyarakat Jakarta yang sangat
heterogen, suasana kehidupannya memungkinkan seseorang
memiliki pandangan hidup yang bersifat individualisme,
materialisme dan hedonisme, yang hanya mementingkan kehidupan
untuk kepentingan pribadinya, mementingkan kebendaan, dan tidak
lagi memperdulikan ajaran agama atau etika yang bersumber dari
ajaran agama. Akibat dari pandangan hidup seperti itu di kalangan
anak muda yang hidup di Jakarta telah dijangkiti oleh perasaan-
perasaan terasing di tengah keluarga dan lingkungan. Sehingga,
mereka banyak yang lari dari problema kehidupannya, ke obat-obat
dan narkotika. Sebagai pelepas dari rasa kesumpekan hidupnya, ada
pula yang lari ke dalam kehidupan yang serba boleh, melakukan sek
bebas atau wanita panggilan atau laki-lakinya menjadi "gigolo" dan
sebagainya.
Persoalan akhlak sangat dipentingkan dalam pendidikan Islam
di Al-Syafi'iyah, juga di institusi pendidikan Islam lainnya. Di
institusi pendidikan Islam pembentukan manusia yang beretika

112
Soleh RM., wawancara.

204
bukan saja terbatas pada mata pelajaran akhlak saja, tetapi juga
terkandung pula dalam materi pendidikan Islam lainya, seperti pada
mata pelajaran tauhid, fiqh dan lainnya.
Pada mata pelajaran fiqh di mana setiap Muslim yang baligh
diperintahkan untuk melaksanakan shalat, di dalamnya terkandung
pula bagaimana cara shalat yang baik dan sopan dalam menghadap
Allah. Sebelum dilakukan shalat kotoran-kototan yang ada yang
melekat pada diri seorang perlu dibersihkan, perlu memakai pakaian
bersih dan menutup aurat serta mengangkat tangan ketika takbir
sebagai penghormatan tertinggi di hadapan Sang Khaliq. Demikian
pula dalam mata pelajaran tauhid, Allah Maha Esa sebagai keyakinan
setiap umat Islam. Hal yang tidak pantas kalau seseorang
menyembah Allah Yang Maha Esa, juga menyembah sesama
makhluk ciptaan Allah atau menyembah benda-benda yang
diciptakan oleh-Nya.113 Pandangan ini secara lebih luas lagi diungkap
oleh Harun Nasution: "Bila kita mengkaji semangat dari seluruh
ajaran Islam serta mengamalkannya akan membentuk seseorang
memiliki akhlak yang baik. Misalnya dalam ajaran tauhid atau ajaran
mengesakan Allah, akan mengantarkan seseorang memiliki
keyakinan yang benar bahwa Dialah tempat bergantung, tempat
memohon akan sesuatu serta selalu menjaga dirinya baik dalam
keadaan suka maupun duka, senatiasa berjalan sesuai dengan ajaran-
Nya, itulah tujuan dan makna hidup seorang Muslim. Demikian pula
di dalam ajaran Islam yang lain seperti melaksanakan shalat, puasa,
haji, zakat dan lainnya, semuanya akan mengantarkan seseorang
dalam perilaku yang terpuji".114
Demikian anak didik yang diharapkan oleh Abdullah Syafi'ie di
institusi pendidikannya, adalah anak didik yang memiliki pandangan
keagamaan al-Syafi'iyah, berakidah yang kuat, memiliki etos
keilmuan, berjiwa ikhlas, memiliki keberanian dan berperilaku
dengan akhlak yang baik serta memiliki keterampilan.

113
Lihal M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-
7, h. 252-273- Lihat pula Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 139. Lihat juga Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak,
(Jakarta; Rajagrafindo, 1994)
114
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 443

205
Pandangan-pandangan Abdullah Syafi'ie tentang perilaku yang
hendaknya dimiliki oleh anak didik tersebut dapat dibandingkan
dengan pandangan-pandangan ahli pendidikan Islam berikut:
Al-Ghazali berpandangan supaya anak didik menuntut ilmu
dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan dengan tujuan
beribadah, tawaddlu', rendah hati, tidak sombong, memusatkan
perhatian sepenuhnya kepada ilmu yang dipelajari. Peserta didik
yang baik, tidak mau mempersulit dan memperberat dirinya dengan
mempelajari hal-hal yang musykil dan pelik melampaui batas
kemampuannya. Menuntut ilmu itu harus bertahap dan peserta didik
harus se selektif mungkin memilih manfaat dan kegunaan sesuatu
ilmu.115
Mahmud Yunus, tokoh pendidikan Indonesia berpendapat
bahwa anak didik hendaknya memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
(1) Hendaklah mengurangi kesibukan yang berhubungan dengan
urusan dunia, artinya urusan yang tidak ada hubungan dengan ilmu
yang dipelajari. Kesibukan itu akan mengganggu ketekunan
belajarnya. (2) Hendaklah mengurangi hubungan dengan
keluarganya, bahkan diajurkan menuntut ilmu dirantau agar ia
terjauh dari keluarganya. (3) Hendaklah belajar dengan didasari niat
menyucikan diri dan mencari pahala, bukan dengan niat hendak
mencari harta benda, kemegahan, dan kehormatan. (4) Para pelajar
pemula hendaklah menjauhi perselisihan pendapat para ulama,
karena hal itu dapat membingungkan pelajar tersebut; sebagai
pemula sebaiknya ia mempelajari satu aliran paham saja, setelah itu
bolehlah ia mempelajari paham-paham lainnya. (5) Pelajarilah
dahulu semua ilmu, setelah itu barulah memperdalam ilmu tertentu
(berspesialisasi).116
Berikutnya Hasan Fahmi berpendapat: (1) Hendaklah pelajar
Muslim meninggalkan kelakuan yang buruk, karena kelakuan yang
buruk itu akan menimbulkan kesulitan dalam belajar. (2) Hendaklah
para pelajar Muslim bersifat merendahkan diri terhadap gurunya,
menghormatinya, mematuhinya. (3) Hendaklah para pelajar muslim
memiliki semangat yang tinggi dan giat belajar, karena hal itu
115
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, h.55
116
Mahmud Yunus, Pokok-pokok, h. 115-116

206
merupakan salah satu kunci keberhasilan belajar. (4) Para pelajar
Muslim hendaklah bersifat tabah dalam menuntut ilmu. (5) Para
pelajar Muslim hendaklah memiliki sifat selalu merasa ilmunya
masih kurang, karena itu ia selalu ingin menambah ilmunya.117
Dari pandangan Abdullah Syafi'ie tersebut terhadap bagaimana
seharusnya perilaku anak didik, maka dapat dilihat bahwa
pandangannya banyak memiliki kesamaan dengan pandangan-
pandangan yang telah diungkap oleh beberapa ahli tersebut, seperti
anak didik hendaknya berakhlak, memiliki niat yang ikhlas dan
memiliki semangat keilmuan. Hanya saja diduga pandangan
Abdullah Syafi'ie lebih mendasar lagi dan sangat sesuai dengan era
modern ini ketika ia melihat perlunya etos ilmu yang hendaknya
dimiliki oleh anak didik. Ia berpandangan bahwa anak didik dalam
menuntut ilmu jangan menghiraukan hal yang lain sekalipun itu
baik, seperti perlunya anak didik mengurangi frekuensi dzikir di
setiap shalat atau bahkan di luar waktu itu, seminimal mungkin,
meskipun itu perbuatan baik. Para anak didik sedang menuntut ilmu
pengetahuan, waktu yang ada gunakanlah sebaik-baiknya, juga harus
memiliki skill untuk kehidupannya.

F. Lembaga Pendidikannya
Awal pendidikan yang didirikannya adalah pendidikan diniyah
tahun 1928 di atas tanah yang diwakafkan oleh Syafi'ie yang notabene
orang tuanya sendiri. Selain itu ia juga merintis pembelajaran di
sebuah pengajian di masjid yang diikuti oleh beberapa orang pelajar.
Mata pelajaran yang diberikan pada waktu itu hanya pelajaran al-
Qur'an dan ibadah shalat. Sebagai pengajar ia pada tahun 1931 telah
mendapat beslit, yakni izin untuk mengajar ilmu agama di mushalla
dan langgar. Beslit ini berasal dari Racben Scahf di zaman pemerintah
Hindia Belanda.
Setelah itu Abdullah Syafi’ie mendirikan masjid al-Barkah di
tahun 1933. Para pelajar menggunakan masjid itu untuk belajar.
Namun, dengan semakin banyaknya orang yang berminat untuk
belajar dengannya, dibangunlah madrasah darurat yang berlokasi di
117
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh
Ibrahim Husen (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 167-169

207
rumahnya sendiri dan di sebuah rumah yang disewanya. Pada saat
itu mata pelajaran sudah mendapat tambahan. Di samping pelajaran
al-Qur'an dan ibadah shalat juga diberikan pelajaran tauhid, fiqh,
sirah Nabi, dan pelajaran menulis. Tenaga pengajarnya Abdullah
Syafi'ie sendiri dan dibantu oleh istrinya Roqayah bin Ahmad
Muchtar.118
Pada tahun 1940-1947, lembaga pendidikannya semakin
berkembang yaitu cara belajarnya sudah mulai terarah. Pelajaran-
pelajaran lain juga bertambah, seperti pelajaran bahasa Arab, sharaf
dan lainnya. Pada saat ini ruang belajar semakin bertambah dengan
dibelinya sebuah rumah lain yang masih sangat sederhana yaitu
beratap genteng, pagar dari bilik dan lantai dari tanah. lembaga
pendidikannya terus berlangsung meskipun dengan seadanya, karena
kondisi bangsa masih dalam era kolonialisme Belanda. Tenaga
pengajarnya pada saat ini selain Abdullah Syafi'ie dan istrinya serta
dibantu oleh para murid yang sengaja dididik untuk menjadi guru.
Pada tahun 1948-1960, kondisi madrasahnya semakin
ditingkatkan dan disempurnakan. Pada masa ini di madrasahnya
sudah mulai mengadakan penyempurnaan pendidikan yang
dipandang sebagai madrasah yang sudah memenuhi syarat. Di
madrasahnya telah ada kepala sekolah yaitu Abdullah Syafi'ie sendiri,
guru-guru sudah bertambah, mata pelajaran sudah terjadual dan
teratur menurut ukuran pada waktu itu. Sekolah ini dinamai
Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah dan jumlah muridnya kurang lebih
mencapai 600 siswa terdiri dari 400 laki-laki dan 200 siswi. Pelajaran
yang diberikan yaitu al-Qur'an/Tajwid, Ilmu Tauhid, Fiqh, Tarikh,
Akhlak, Tafsir-Hadits, Nahwu-Sharaf, Insya', Qira'ah Mahfudhah,
Imla', Muhadatsah, sedang jadual diatur di tingkat kelas masing-
masing. Guru-guru pada waktu ini adalah Abdullah Syafi'ie, istrinya,
juga para guru lainnya seperti Mualim Yunus, Maksum, Hasan Basri,
Ali, Safri, Salim Idris, Abdul Gani dan ustadz Ya'qub.119

118
Harian Terbit, Jakarta tanggal 11 Maret 1984
119
Soleh R.M, tanggal 22 Maret 2001, wawancara.

208
I. Pesantren Putra-Putri
Pada tahun 1954 Abdullah Syafi'ie membeli tanah di depan
masjid al-Barkah. la mengembangkan madrasahnya dan diberi nama
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (pagi-sore). Pendidikan madrasah
ini berada di bawah Yayasan Perguruan Al-Syafi'iyah. Lembaga
pendidikan ini kemudian dikembangkan dan disebut dengan
pesantren putra dan putri. Pesantren yang pertama kali membuka
kelas I dan II, jumlah muridnya ada 24 siswa, 9 tenaga pengajar,
sedang jumlah mata pelajarannya berjumlah 20 lebih, santri
bergabung dengan santri Ibtidaiyah yang sudah ada. Santri pesantren
berasal dari ibukota dan sekitarnya. Santrinya ada yang mukim di
tempatnya, ada pula yang pulang ke rumahnya yang dekat dengan
pesantren. Waktu pagi, mereka mengaji kitab tertentu yang langsung
diasuh oleh Abdullah Syafi'ie. Pada tahun I960 sarana belajar
bertambah dengan dibangunnya gedung yang bertingkat sehingga
dapat menampung tempat belajar siswa dan tempat mukim para
santri. Pada tahun 1963 pesantren mendapat ketetapan Badan
Hukum dengan ditingkatkan menjadi Yayasan Pendidikan Islam
Perguruan Al-Syafi'iyah dengan Akte Notaris RM. Soerojo No. 100
tahun 1963. Lembaga pendidikan ini berada di Balimatraman
Jakarta.120
Pendidikan pesantren yang merupakan pengembangan atau
kelanjutan dari pendidikan madrasahnya. Sebagai ulama ia rupanya
masih mengembangkan tradisi ulama pada umumnya yang
mengembangkan pendidikan Islam dengan berbasiskan kepada
pendidikan pesantren, sekalipun ia mendirikan pendidikan formal
seperti madrasah yang berjenjang Ibitidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
di perguruannya. Secara umum Lembaga pendidikan yang
didirikannya sebagai tempat untuk mencetak para ulama dan
zu'ama.
Pengembangan pendidikannya terus berlanjut di tempat yang
berbeda di Jakarta. Ia mengembangkan pesantren putra-putri di
Jatiwaringin Jakarta, pada bulan Agustus 1976 di atas luas tanah
40.000 m2. Peresmian pesantren putra dihadiri oleh para pejabat
120
Abdullah Syafi’ie dkk. Berkenalan dengan Pesantren asy-Syafi’iyah,(Jakarta,
t.p.1981), hal. 5,

209
tinggi negara seperti Menteri Agama Mukti Ali, Faisal Tamim sebagai
wakil Mendagri, Ny. Nelly Adam Malik, Ny. Ali Sadikin, juga Jenderal
A.H. Nasution, HAMKA, Osman Raliby, Yunan Nasution dan lain-
lain.121
Pesantren ini menggunakan model sistem keterpaduan antara
sistem pesantren tradisional dengan sistem madrasah untuk
pendidikan agama, dan sistem sekolah untuk pendidikan umum dan
siswa diberikan skill tertentu. Di pesantren ini digunakan sistem
yang memadukan antara sistem pengajaran perorangan dan sistem
pengajaran bersama. Dengan sistem ini dimungkinkan murid yang
berbakat, cerdas dan tekun lebih cepat menyelesaikan program
studinya daripada yang lain.
Madrasah dan sekolah yang dikenal sebagai bentuk pendidikan
klasikal dengan mengutamakan masing-masing untuk pendidikan
umum, lebih memungkinkan terlaksananya program studi yang sama
bagi seluruh pelajaran yang harus diselesaikan pada waktu yang sama
pula.
Bentuk-bentuk itu digabung secara terpadu dalam pesantren,
menjadi suatu sistem pendidikan yang diatur menjadi: Pertama,
madrasah untuk pendidikan agama dengan target pengetahuan
agama yang sama dengan Tsanawiyah dan Aliyah. Kedua, sekolah
untuk pendidikan umum dan keterampilan dengan target
pengetahuan umum yang sama dengan dengan lulusan SMP dan
SMA. Ketiga, pesantren untuk lebih mengkhususkan murid
mendalami sesuatu bidang pengajaran yang digemarinya, baik
melalui kelompok belajar maupun secara perorangan. Waktunya
dapat diatur pagi hari setelah subuh atau setelah maghrib/isya'. Hal
itu dimungkinkan karena murid tinggal di asrama." Di samping itu,
dikembangkan pula suatu metode pengajaran bahasa Arab dan
bahasa Inggris, di mana murid-murid dalam pergaulannya sehari-
hari diwajibkan berkomunikasi sesamanya dengan salah satu dari
dua bahasa itu.122
Pada pendidikan pesantren putra-putri, para siswanya
mempelajari materi pendidikan dengan menggunakan kurikulum
121
Majalah Kiblat, Jakarta, 2 Agustus 1976
122
Abdullah Syafi’ie dkk. Berkenalan, hal. 6,

210
yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun
kurikulum yang dibuat Departemen Agama serta kurikulum yang
berasal dari perguruan Al-Syafi'iyah sendiri. Siswa yang belajar di
pesantren ini berlangsung hampir sepanjang hari. Pagi hari, jam 7.30
wib - 11.30 wib mereka belajar di SMP/SMU, artinya mereka belajar
materi pelajaran umum, sementara di siang hari, jam 13-00 wib - 17.30
wib mereka belajar di sekolah agama (Diniyah), artinya mereka
belajar pelajaran agama. Di malam hari, sekira jam 19-30-20.30
mereka mempelajari ilmu agama melalui kitab kuning yang biasa
digunakan pada pesantren Salafiyah. Pada pagi hari dan siang hari
mereka belajar dengan sistim klasikal. Setiap tahun diadakan evaluasi
untuk menentukan naik tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.
Para gurunya terdiri dari guru mata pelajaran agama dan mata
pelajaran umum. Metode pendidikan yang digunakan bervariasi baik
dengan menggunakan metode diskusi, metode penugasan dan
lainnya.123
Dengan cara tersebut diharapkan selama enam tahun seorang
murid di pesantren akan memperoleh pengetahuan agama yang
setingkat Aliyah dan pengetahuan umum yang setingkat dengan
SMA dan dapat berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Sedangkan di
bidang mental spiritual anak didik akan memiliki kepribadian utama
dan menjadi pemimpin umat dan fungsional dengan satu bidang
spesialisasi yang dipilihnya yaitu apakah ia akan menjadi pendidik
atau menjadi da'i.124
Gambaran tentang pesantren putra-putri Abdullah Syafi'ie baik
yang berkaitan dengan jumlah santri, dan jumlah ustadz atau
karyawannya di era Abdullah Syafi'ie ( 1984-1985) dan sesudahnya
(2001-2002) dapat dilihat dalam tabel berikut:125

123
Ida Farida, pimpinan pesantren putri, 5 Nopember 2002, wawancara.
124
Abdullah Syafi’ie dkk, Berkenalan, hal. 6
125
Data Yayasan Perguruan Islam Al-Syafi’iyah, 2002

211
Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985.

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Putra 400 - 400 45 27 62
2. Pesantren Putri - 510 510 57 21 78

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Putra 300 - 300 43 23 66
2. Pesantren Putri - 475 475 54 25 79

II. Pesantren Khusus Yatim


Pesantren Khusus Yatim ini didirikan Abdullah Syafi'ie pada
tahun 1977, adalah model lain dalam wacana pesantren di Tanah Air.
Pendirian pesantren khusus ini didasari oleh adanya sebagian anak di
masyarakat yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan atau
mereka yang hidupnya sangat miskin dan memprihatinkan, sehingga
untuk masuk ke sekolah mereka kesulitan biaya.126
Selain itu, didorong pula oleh semangat ajaran Islam yang
tersirat di dalam ayat-ayat al-Qur'an. Ayat al-Qur'an menganjurkan
agar umat berjuang, memberikan pengorbanan untuk
memperhatikan dan membela nasib golongan lemah dan masyarakat
kecil (Q.S. al-Nisa', ayat 75). Sebaliknya, sikap enggan
memperhatikan nasib anak yatim dan sikap mengabaikan
kepentingan golongan miskin, sebagai pertanda pembangkangan
terhadap ajaran agama (Q.S. al-Ma'un, ayat 2). Pada ayat yang lain
diungkapkan bahwa, ada pelarangan untuk menghina dan
menghardik anak-anak yatim serta mencelanya (Q.S. al-Dhuha, ayat
9 dan al-Fajr, ayat 17).
Pesantren khusus ini sebenarnya telah dirintis oleh Abdullah
Syafi'ie tahun 1970 di Balimatraman. Pesantren itu semakin
dikembangkan pada tahun 1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini
ditampung sebanyak 268 orang putra-putri, kemudian pada tahun

126
Tutty Alawiyah, dkk. Yatim dan Masalahnya, (Jakarta: UIA Press, 1988), hal. 1

212
1980 jumlah santrinya mengalami perkembangan hingga mencapai
340 siswa-siswi.127
Di pesantren khusus ini para siswa diharapkan:
Memiliki akhlak yang mulia dan akan menjadi warga
masyarakat yang baik, bertakwa kepada Allah serta
mengamalkan ajaran Islam dengan cara memahami
perkembangan dan perjuangan umat Islam dalam skala
national dan international, memiliki pengetahuan umum dan
kejuruan yang dipilihnya. Siswa diharapkan pula mampu
berkomunikasi dengan masyarakat, berpidato, mengarang,
menulis, kerajinan tangan dan kesenian serta lain-lainnya.
Siswa diharapkan pula memiliki cinta kasih sesama manusia
dan alam sekitar, menghargai seni budaya nasional serta
selektif dengan budaya asing, jujur, tabah, berdedikasi,
berdisiplin, tekun dan lainnya.128
Siswa yang belajar di pesantren ini adalah anak yatim dan anak
golongan tidak berpunya di atas usia SD/Ibtidaiyah. Karena mereka
diharapkan cepat kembali ke lingkungan keluarganya, maka masa
pendidikan mereka tidak terlalu lama, cukup 3 tahun.
Program pendidikan ditekankan kepada pembinaan
keterampilan sebagai bekal kehidupannya dan mereka dibekali pula
dengan ilmu pengetahuan dan sikap beragama. Program
keterampilan yang diberikan kepada mereka hanya merupakan "basic
knowledge" untuk membuka kesempatan untuk melanjutkan
studinya, di samping untuk bekerja di masyarakat.
Adapun jenis program yang disediakan adalah:
Pertama, program pendidikan agama dan bahasa Arab. Materi
pengajaran agama dan bahasa Arab sebagai sarana penunjang,
pendidikan agama diberikan secara selektif .dan dibatasi dalam hal-
hal yang bersifat praktis. Kedua, program pendidikan keterampilan,
berfungsi untuk pembinaan keterampilan, sebagai bekal kerja
mereka di kemudian hari di masyarakat. Pada tahun pertama
program keterampilan diberikan secara umum dan mendasar,

127
Tutty Alawiyah dkk, Yatim, hal. 2
128
Abdulah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 14-15

213
sedangkan pada tingkat II mereka diharuskan memilih program
spesialisasi untuk pendalaman. Pada tahun ini mereka akan
dimagangkan pada salah satu perusahaan yang relevan. Ketiga,
program pelengkap yang berfungsi sebagai alat pelengkap untuk
mendalami agama dan ilmu atau bidang studi yang mendukung
pendidikan keterampilan.129
Kegiatan belajar mereka lakukan tidak sekedar menekankan
pencapaian dan pengumpulan pengetahuan yang bersifat teoritis,
namun ditekankan pula pada hal-hal yang bersikap praktis.
Pembinaan kepribadian, sikap dan nilai tidak cukup dilakukan
melalui jalan pengajaran belaka, tetapi juga melalui internalisasi dan
aplikasi nilai dan norma. Untuk itu diperlukan asrama atau
pesantren bagi mereka.
Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan
pada "sekolah kerja", yang pengaturannya sebagai berikut:
Pertama, untuk pendidikan keterampilan pada tahun pertama
mereka diperkenalkan dengan dasar-dasar dari pelbagai jenis
keterampilan yang dipilih seperti montir, penjahit, beternak,
pelistrikan, administrasi perkantoran dan mereka mulai diarahkan
melalui seleksi untuk jenis keterampilan yang dipilihnya. Kedua,
Semester II tahun II mereka mulai dimagangkan untuk tahap I.
Ketiga, pada tahun III semester I mereka kembali ke kampus untuk
menguji pengalaman selama kerja magang di lapangan dengan teori
yang sudah dipelajari. Setelah itu untuk beberapa lama sebelum
penghujung semester II tahun III, mereka kembali kerja lapangan
untuk pemantapan ilmu dan praktik yang mereka terima. Kemudian,
barulah mereka menempuh ujian akhir. Keempat, pendidikan agama
dan pendidikan pelengkap berjalan menurut sistem yang biasa pada
madrasah dan sekolah kejuruan setingkat.130
Di pesantren khusus yatim, siswa yang belajar di pesantren ini
untuk tahun ajaran 1999/ 2000 sekitar 300 siswa. Para siswanya
berasal dari mereka yang tidak mampu dalam ekonomi atau mereka
yang telah ditinggal oleh orang tuanya, baik karena meninggal dunia
atau karena orang tua yang bercerai. Mereka menjalani pendidikan
129
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 19
130
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 20

214
tanpa diambil bayaran atau gratis, juga untuk pakaian seragam
disediakan oleh pesantren. Mereka diterima di pesantren melalui tes
masuk. Mereka, ada yang belajar di Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Di pagi hari mereka
belajar mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum dan siang
hari mereka belajar mata pelajaran agama di Sekolah Diniyah.
Mereka juga mendapatkan latihan skill, seperti keterampilan jahit
menjahit. Sesudah shalat 'isya rnereka belajar membaca al-Qur'an
dengan menggunakan sistem halaqah.
Adapun gambaran pesantren khusus yatim baik yang berkaitan
dengan jumlah santri, jumlah ustadz/karyawan di era Abdullah
Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut: 131
Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Khusus Yatim 155 175 330 47 12 59

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 2001-2002

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Khusus Yatim 150 185 335 48 14 62

Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah santri era


Abdullah Syafi'ie berjumlah 330 dan era sesudahnya berjumlah 335,
sementara itu jumlah ustadz/karyawannya era-nya berjumlah 59 dan
sesudahnya berjumlah 62. Data-data ini dapat disimpulkan bahwa
baik jumlah santri maupun jumlah ustadz/karyawan mengalami
kenaikan, meskipun tidak cukup signifikan.

III. Pesantren Tradisional


Pesantren Tradisional (Salafiyah) merupakan pesantren "awal"
atau cikal bakal dalam pengembangan pesantren yang berkembang
pada fase-fetse berikutnya, seperti pesantren Khalafiyah/Kombinasi

131
Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2000

215
dan pesantren plus sekarang ini. Pesantren ini pertama kali di
Nusantara dicetuskan oleh Raden Rahmad, salah seorang Walisongo
pada abad 16 yang berlokasi di daerah Gresik Jawa Timur.
Pembelajaran pesantren tradisional menggunakan sistem belajar
wetonan, sorogan atau sistem halaqah.132
Pesantren tradisional Abdullah Syafi'ie didirikan pada tahun
1977 di Jatiwaringin. Di pesantren ini azasnya tetap memiliki ciri-ciri
pesantren tempo dulu, dalam arti tidak mengenal sistem kelas, dan
lama belajar. Tetapi, menggunakan sistem kelompok pengajian
dengan sistem halaqah. Tetapi masa kemudian di pesantren ini
mengalami perkembangan. Berdirinya pesantren ini dimaksudkan
agar santrinya dapat memahami kitab-kitab klasik, dan dari institusi
pesantren ini diharapkan dapat mencetak para ulama yang dapar
merespons problema di masyarakat.
Di pesantren ini, diatur kelompok-kelompok pengajian
(halaqah) dan para santrinya diwajibkan memilih halaqah, menurut
kemampuan dan kebutuhannya. Halaqah, yaitu mengaji salah satu
kitab yang sesuai dengan kurikulum yang ditentukan dengan
bimbingan seorang badal kyai. Selain itu, dapat dibantu oleh seorang
asisten (musaid-musaidat) yang bila perlu bertindak sebagai
pengganti tugas badal terutama bagi pelajar yang mendapatkan
kesulitan dalam memahami pelajaran.
Evaluasi belajar diatur dengan cara yang lain dari sekolah biasa.
Untuk halaqah diatur oleh badal, sedangkan untuk paket-paket
pendidikan oleh asisten, dan untuk kehidupan di pesantren serta
peribadatan oleh para tentor. Prestasi santri terakhir tidak saja
ditentukan oleh nilai-nilai prestasi belajar yang dicerminkan di
halaqah dan paket-paket pendidikan, tapi ditambah atau dikurangi
dengan prestasi kehidupan pesantren atau kepribadian yang diatur
oleh "tentor”. Seorang pelajar dapat pindah halaqah atau dapat
mengambil paket selanjutnya atas seizin badal atau pimpinan
pesantren.133
Adanya modernisasi di pesantren tipe Salafiyah atau tradisional
ini santri belajar pelajaran umum, santri wajib mengikuti yang
132
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta, Gema Insani, 1997), hal. 5
133
Abdullah Syafi’ie, Berkenalan, hal. 9

216
sistemnya mirip dengan sistem klasikal pada sekolah biasa. Di
program ini materi pelajaran merupakan saripati ilmu-ilmu sosial
dan bahasa yang diajarkan di SMP/SMA jurusan sosial dan bahasa,
ditambah program khusus da'wah dan tarbiyah.
Adapun program pendidikan terdiri dari 3 komponen, yakni:
Pertama, komponen ilmu-ilmu agama, yang meliputi bidang
pengajaran ilmu tauhid, fiqh, hadits, tafsir dan akhlak/ tashawuf.
Kedua, Komponen ilmu alat yang terdiri dari bahasa Arab beserta
ilmu alat yang berkaitan dengan ilmu itu. Ketiga, Komponen
pengetahuan umum, terdiri dari serangkaian ilmu-ilmu umum dan
bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia yang merupakan saripati dari
pelajaran di SMP/ SMA ditambah dengan dasar-dasar ilmu dakwah
dan pendidikan.
Untuk komponen pelajaran ilmu-ilmu agama dan ilmu alat
ditempuh melalui sistem halaqah dan sistem sorogan (paket
pendidikan), sedangkan untuk pengetahuan umum akan ditempuh
melalui pengajaran kelas.
Pelaksanaan pendidikan pesantren terdiri dari 4 kelompok
santri, yang diatur menjadi:
Pertama, kelompok A yang merupakan kelompok dasar
diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu-ilmu agama. Kedua,
kelompok B merupakan penghalusan dari kelompok A yang standar
ilmu agamanya sama dengan tingkat Tsanawiyah. Ketiga, kelompok
C yang merupakan kelompok lanjutan akan diberikan ilmu-ilmu
agama dalam bentuk lanjutan. Keempat, kelompok D merupakan
penghalusan kelompok C yang standar ilmu agamanya sama dengan
ilmu-ilmu Aliyah.134
Dalam kehidupan sehari-hari para santri akan dikembangkan
pula sistem "tentor" yang lazim dikenal di pesantren. Yang menjadi
"tentor” adalah para santri yang dipandang sudah senior, ia
diwajibkan membimbing teman-temannya yang masih yunior, baik
dalam pemahaman ilmu maupun dalam kehidupan beragama dan ke
pesantrenan. Seorang santri yang telah memiliki prasyarat tertentu
akan diarahkan menjadi tentor dan kemudian bila telah matang lagi

134
Abdullah syafi’ie, Berkenalan, hal. 11

217
dapat ditunjuk menjadi asisten (musaid-musaidat), dan selanjutnya
menjadi badal bahkan akan menjadi kyai di suatu pesantren.
Selain sistem halaqah, para santri diwajibkan untuk memilih
bahan-bahan pendidikan (disebut paket pendidikan) yang dipilihnya
dari paket-paket yang disediakan pesantren. Paket ini menggunakan
sistem "sorogan" dengan bimbingan tentor atau para asisten. Sistem
ini disamping dapat mengembangkan kreativitas pelajar juga
berfungsi mengembangkan kreativitas para tentor dan asisten yang
ada.
Santrinya tinggal di pesantren dan mereka menyiapkan sendiri
kebutuhan makan, pakaian atau lain. Santrinya untuk tahun
1999/2000 berjumlah sekitar 100 santri dan santriwati. Di pondok ini,
tidak seperti pondok tradisional lainnya, mereka belajar dengan
sistem klasikal di pagi hari atau mulai jam 7.00 wib, hingga jam 11.30
wib. Dan ba'da sh'alat Asyar serta ba'da shalat Isya' mereka belajar
kembali melalui media kitab kuning, dengan menggunakan sistem
halaqah, atau melalui sistem bandongan untuk melanjutkan materi
pelajaran di pagi hari. Materi pendidikan yang berkaitan dengan
materi pelajaran agama Islam baik yang berkaitan dengan
pengetahuan fiqh, tauhid, akhlak dan gramatika bahasa Arab, dikaji
melalui kitab-kitab kuning, dan juga diberikan beberapa pelajaran
umum seperti pelajaran IPS, dan bahasa Inggris.135 Di pesantren ini
menggunakan pula sistem evaluasi melalui guru mata pelajaran,
evaluasi dilakukan tengah semester dan evaluasi akhir tahun untuk
kenaikan kelas. Mereka yang menyelesaikan pendidikan diberikan
ijazah kelulusan dari sekolah dan mereka dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang berikutnya.
Adapun perkembangan pesantren tradisional baik yang
berkaitan dengan jumlah santri, dan jumlah ustadz/ karyawannya di
era Abdullah Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel
berikut:136

135
Drs. Djamaluddin, pimpinan pesantren, wawancara.
136
Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2002

218
Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 1984-1985

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Tradisional 110 175 285 27 14 41

Data/Kondisi Santri & Ustadz/Karyawan Tahun 2001-2002

Santri Ustadz/karyawan
No. Lembaga Ket.
Lk Pr Jumlah Lk Pr Jumlah
1. Pesantren Tradisional 75 63 138 24 12 36

Dari tabel itu tergambar bahwa jumlah santri era Abdullah


Syafi'ie berjumlah 285 dan era sesudahnya berjumlah 138. Untuk
ustadz/karyawan era yang bersangkutan berjumlah 41 dan
sesudahnya berjumlah 36. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa
jumlah santri tradisional mengalami penurunan yang cukup
signifikan dari jumlah 285 era Abdullah Syafi'ie menjadi 138 setelah
era-nya. Begitu pula yang terjadi pada jumlah ustadz/karyawannya.
Secara umum dari keseluruhan data yang tergambar dapat
dijelaskan bahwa pesantren-pesantren Abdullah Syafi'ie di
Jatiwaringin terutama dari jumlah santrinya mengalami stagnasi atau
bahkan degradasi, kecuali santri khusus yatim menunjukkan
kestabilan. Ini menunjukkan bahwa betapa Abdullah Syafi'ie menjadi
sosok yang berarti dalam perjalanan dan perkembangan pondok
pesantren yang didirikannya ketika ia masih hidup. Hal itu tampak
dari perkembangan pesantren putra ketika ia masih hidup memiliki
santri berjumlah 400 dan santri pesantren putri berjumlah 510,
pesantren tradisional berjumlah 285 dan pesantren khusus yatim
berjumlah 330. Perkembangan pesantren-pesantrennya yang
memiliki jumlah santri yang terhitung cukup banyak pada waktu itu,
dan menjadikan institusi pesantren sebagai fenomena di DKI Jakarta.
Perkembangan berbagai pesantrennya didukung oleh sosoknya yang
kharismatik di tengah masyarakat Betawi. Sebagai seorang da'i ia
menggunakan fasilitas yang dimilikinya seperti stasiun radionya serta
berbagai forum pengajian yang ada, digunakannya untuk
memperkenalkan berbagai pesantrennya. Selain itu, ia senantiasa

219
mengontrol sendiri atau dengan "sentuhan-sentuhan" tangan-nya ia
mengembangkan pesantrennya.137
Pada masanya tentu tantangan yang dihadapi institusi
pendidikan agama berbeda dengan masa sesudahnya. Masa
sesudahnya tantangan pendidikan keagamaan di Jakarta menghadapi
hal-hal seperti semakin bertambahnya institusi pendidikan. Semakin
terpelajarnya masyarakat Betawi yang memberikan pendidikan
terhadap anak-anaknya dengan pertimbangan rasional, seperti
bersekolah di sekolah umum atau sekolah agama yang dipandangnya
berkualitas, atau berdasarkan letak sekolah yang dekat dengan
rumahnya. Selain itu, dengan pesatnya pembangunan di berbagai
sector kehidupan di Jakarta, tempat tinggal mereka terkena
"gusuran", yang menyebabkan banyak penduduk asli Betawi yang
berpindah ke tempat lain yang jauh dari pesantren Abdullah Syafi'ie.
Hal-hal tersebut merupakan faktor-faktor lain mengapa pesantren
Abdullah Syafi'ie era sesudahnya mengalami stagnasi atau degradasi.
Hanya saja di masa Abdullah Syafi'ie tantangan yang dihadapi juga
kompleks, telah tumbuh institusi pendidikan, baik agama maupun
umum, telah berlangsungnya modernisasi, dan berpindahnya
penduduk Betawi ke pinggiran; namun sosok dan responsnya atau
kiat-kiatnya selalu muncul dalam mengembangkan institusi
pendidikannya.
Lembaga pendidikan pesantren Abdullah Syafi'ie cukup
beragam, ada pesantren yang bercorak kombinasi seperti tergambar
pada pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim serta
pesantren Salafiyah, seperti tergambar pada pasantren
tradisionalnya. Di kedua pesantren yang bersifat
khalafiyah/kombinasi itu, materi pelajarannya ditekankan pada
penguasaan ilmu agama dan ilmu umum, dan bersifat klasikal.
Hanya saja kalau di pesantren putra-putri dan tradisional
penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat akademik, sementara itu,
pada pendidikan pesantren khusus yatim bersifat "sekolah kerja".
Kemudian, bila pendidikan pesantren putra-putri dan tradisional
diperuntukkan bagi masyarakat umum, maka di pesantren khusus

137
Ainul Yakin, dan Rahmat, wawancara

220
yatim hanya diperuntukkan bagi anak yatim atau anak yang tidak
mampu. Sementara itu, materi pelajaran pada pesantren tradisional
Abdullah Syafi'ie, hampir 100 persen mata pelajaran agama melalui
media kitab kuning selain ada pula mata pelajaran non agama serta
keterampilan. Pendidikannya dilakukan dengan sistem klasikal pada
pagi hari dan menggunakan sistem halaqah dan bandongan pada sore
hari dan malam. Pendidikan model ini dimaksudkan untuk
menciptakan seorang ulama yang menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Dari gambaran-gambaran di atas dapat pula dijelaskan bahwa
pemikiran pendidikan Abdullah Syafi'ie tentang pendidikan
pesantren ditemukan variasinya, ada pesantren yang bercorak
Kombinasi, seperti pesantren putra-putri, dan pesantren khusus
yatim. Ada pula pesantren yang cenderung bersifat Salafiyah, yaitu
pesantren tradisionalnya yang menggunakan sistem pendidikan yang
bervariasi pula. Pada pendidikan pesantren putra-putri di samping
menggunakan sistem klasikal juga menggunakan sistem halaqah,
seperti yang terjadi pada sistem pendidikan pesantren tradisional.
Pada pendidikan pesantren putra-putri dan pesantren tradisional,
siswa atau santrinya membiayai pendidikan sendiri, sementara itu
pada pesantren khusus yatim, santrinya gratis dalam menjalani
pendidikan. Dalam konteks materi pendidikan, di pesantren putra-
putri dan pesantren khusus yatim materi pendidikannya meliputi
mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum dalam porsi yang
hampir seimbang. Sementara itu, di pesantren tradisional, materi
pendidikannya hampir seratus (100) persen mata pelajaran agama
melalui media kitab kuning dan sedikit diberikan pengetahuan non
agama dan juga keterampilan.
Pendidikan pesantren di Tanah Air berkembang secara pesat,
misalnya pada tahun 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 dengan
jumlah santri sekitar 677.384 orang.138 Jumlah tersebut mengalami
peningkatan pada tahun 1981, di mana pesantren berjumlah 5.661
dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada tahun 1985
jumlah pesantren ini mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan
jumlah santri mencapai sekitar 1.048.801 orang. Sementara itu, pada
tahun 1997 Departemen Agama sudah mencatat 9.388 buah

138
Departemen Agama, Emis, 2002

221
pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 Orang. Kemudian pada
tahun 2013/2014 ini pesantren di seluruh Indonesia berjumlah 29.535,
sementara di DKI Jakarta jumlah pondok pesantren kurang lebih
berjumlah 119 buah.139 Pondok pesantren di daerah ini tumbuh
kebanyakan sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan
madrasah/diniyah, termasuk pondok pesantren yang didirikan oleh
Abdullah Syafi'ie.
Sebagai gambaran perkembangan pondok pesantren di era
Abdullah Syafi'ie dan sesudahnya dapat dilihat dalam tabel-tabel
berikut:
Tabel: Perkembangan Pondok Pesantren Era Abdullah Syafi'ie (1935 -
1985).
Nama Pondok Pesantren Kabupaten Tipe Tahun Berdiri
PP. Al-Ziyadah Jakarta Timur Salafiyah 1935
PP. Al-Wataniyab Putri Jakarta Timur Khalafiyah 1938
PP.Dar al-najah Jakarta Selatan Khalafiyah 1942
PP. Qariyah Thayibah Jakarta Barat Salafiyah 1970
PP. Persatuan Islam 69 Jakarta Timur Khalafiyah 1974
PP. Daral Rahman Jakarta Selatan Khalafiyah 1975
PP. Al-Jaubariyab Jakarta Timur Khalafiyah 1979
PP. Al-Hidayah Basmol Jakarta Barat Khalafiyah 1979
PP. Shaqofah Islamiyah Jakarta Timur Khalafiyah 1980
PP. Nural Qur'an Jakarta Timur Salafiyah 1980
PP. Dar al Fatah Jakarta Timur Salafiyah 1980
PP. Hub al Wathan Jakarta Pusat Salafiyah 1981
PP. Al-Siddiqiyah Jakarta Barat Khalafiyah 1985

139
Departemen Agama, Emis, 2002

222
Tabel: Perkembangan Pondok Pesantren Setelah Era Abdullah
Syafi'ie (1986 - 2000),140
Nama Pondok Pesantren Kabupaten Tipe Tahun Berdiri
PP. Nahdlab al Hilda Jakarta Barat Salafiyah 1986
PP. Husnayain Jakarta Timur Salafiyah 1986
PP. Mansyunah Jakarta Timur Salafiyah 1986
PP. Al-Wathaniah Jakarta Timur Khalafiyah 1986
PP. Al-Kamal Jakarta Barat Khalafiyah 1987
PP. Tapak Sunan Jakarta Timur Khalafiyah 1990
PP. Ziyadah al Muhtadin Jakarta Timur Salafiyah 1990
PP Al-Wathaniah 9 Jakarta Timur Khalafiyah 1990
PP. Minhaj al-thalibin Jakarta Barat Khalafiyah 1990
PP. Al-Hidayah Jakarta Timur Khalafiyah 1990
PP. Al-Muhajirin Jakarta Utara Khalafiyah 1991
PP. Fisabililah Jakarta Timur Salafiyah 1991
PP. Al-Salafi Jakarta Timur Khalafiyah 1991
PP. Modern Tunaslslam Jakarta Timur Khalafiyah 1992
PP. Kali Baru Jakarta Utara Khalafiyah 1992
PP. Sawarifiyah Jakarta Utara Khalafiyah 1993
PP. Al-Salafiyah Jakarta Timur Khalafiyah 1994
PP. Ibrahimiyah Jakarta Utara Salafiyah 1995
PP. Minhaj al-Rasidin Jakarta Timur Salafiyah 1995
PP. Al-Khunaniyah Jakarta Timur Khalafiyah 1995
PP. Dar al Hikmah Jakarta Selatan Salafiyah 1995
PP. Al-Mitthaqin Jakarta Utara Khalafiyah 1995
PP. Mar'at al- Shalihah Jakarta Barat Salafiyah 1995
PP. Nur al Yakin Jakarta Barat Salafiyah 1996
PP. Siraj al Hilda Jakarta Barat Khalafiyah 1996
PP. Al-Wathaniah 43 Jakarta Utara Khalafiyah 1996
PP.Nitral Hijrah Jakarta Timur Khalafiyah 1998

Dari tabel tersebut tergambar bahwa pesantren yang pertama


berdiri di Jakarta adalah pesantren al-Ziyadah pada tahun 1935,

140
Departemen Agama, Emis, 2002

223
kemudian 3 tahun kemudian berdiri pesantren al-Wathaniyah Putri
tahun 1938, dan baru tahun 1954 berdirinya pesantren Abdullah
Syafi'ie di Balimatraman. Pesantren Abdullah Syafi'ie sebenarnya
bercikalbakal dari pengajarannya ilmu agama di madrasahnya pada
tahun 1928, dan kemudian tahun-tahun berikutnya mengalami
perkembangan yang pesat. Pendidikan agama yang diajarkannya
semasa, bahkan lebih mendahului pesantren al-Ziyadah, pesantren
pertama yang didirikan di DKI Jakarta. Selain itu ia mengajar ilmu
agama di masjid al-Barkah yang menggunakan metode pengajaran
bandongan, atau halaqah. Pengajaran ilmu agama yang dilakukan
Abdullah Syafi'ie baik melalui institusi madrasah maupun melalui
pengajarannya di masjid al-Barkah, yang kemudian berkembang
menjadi pesantren, dapat dikatakan merupakan salah satu institusi
pendidikan agama "pioneer’' di DKI Jakarta.
Dalam wujudnya di lembaga pendidikan pesantren Abdullah
Syafi'ie yang pertama kali muncul pada tahun 1954, mengalami
perkembangan sehingga ada pesantren yang bersifat Salafiyah,
seperti pesantren tradisional, ada pula pesantren yang bersifat
Kombinasi, yaitu pesantren putra-putri dan pesantren khusus yatim.
Peyelenggaraan pendidikan pesantren tradisionalnya dan pesantren
kombinasinya telah merespon modernisasi yang berkembang pada
masanya.
Dalam konteks lembaga pendidikan pesantren, menurut
Zamakhsyari Dhofier ditandai oleh beberapa hal, yaitu: santri,
masjid, ustadz, dan pondok atau tempat tinggal santri. Lebih lanjut
ia berpandangan bahwa ada pesantren yang bersifat Salafafiyah, dan
ada pesantren yang bersifat Khalafiyah/Kombinasi.141Pesantren
Salafiyah, sistem pendidikannya menggunakan sistem tradisional,
pengajarannya bersifat halaqah, wetonan, atau bandongan, guru yang
mengajar dalam jumlah yang sangat terbatas, materi yang diajarkan
adalah materi yang terdapat dalam satu kitab, seperti kitab al-
Nashaih al-Diniyah, Tafsir al-Jalalain dan sebagainya. Sementara itu,
di pesantren yang bersifat Khalafiyah/Kombinasi, sistem
pendidikannya bersifat klasikal; ada tingkatan atau kelas; setiap

141
Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 41

224
pertengahan tahun atau akhir tahun dilakukan evaluasi atau ujian
untuk kenaikan kelas; guru yang mengajar ada yang memegang kelas
atau ada pula guru fak atau guru mata pelajaran tertentu. Materi
pelajaran terdiri dari mata pelajaran fiqh, tauhid, akhlak, dan ada
pula mata pelajaran ilmu umum dan mata pelajaran olahraga dan
kesenian.

225
226
BAB V
PENUTUP

Abdullah Syafi’ie seorang ulama dan pendidik di Jakarta. Ia


hidup di kota yang penuh dengan dinamika dalam berbagai aspek
kehidupannya. Ia Dilingkari oleh situasi kehidupan sosial masyarakat
yang multi budaya, multi etnik dan multi agama dan di tengah
masyarakat yang juga telah dijangkiti penyakit-penyakit a-moral,
tetapi juga ia di tengah masyarakat etniknya (Betawi) yang taat
dalam beragama. Juga ia dilingkungan politik dan ekonomi yang
dinamis yang mengitarinya serta di tengah etniknya yang banyak
memilih dididik di madrasah atau di pesantren. Hal-hal ini memberi
pengaruh dalam pemikirannya tentang bagaimana ia bersikap dan
beraktivitas termasuk dalam pemikirannya seperti apa lembaga
pendidikan yang ia akan dirikan. Ia di usia 18-an, telah mendirikan
pendidikan yang bernama madrasah. Kemudian di masa
kemudiannya ia mendirikan pendidikan pesantren yaitu pesantren
kombinasi yang diberi nama pesantren putra-putri dan pesantren
khusus yatim piatu dan pesantren tradisional.
Pesantren putra-putri berbentuk kombinasi adalah bentuk
pesantren yang dapat merespon perkembangan zaman. Di pesantren
ini santri mempelajari semua ilmu baik ilmu agama maupun ilmu
non agama dan juga mereka diberikan skill atau kompetensi.
Pesantren khusus yatim merupakan pesantren langka bukan saja di
Jakarta tetapi juga di Indonesia. Pesantren yang memberikan
pendidikan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Pola ini baru
akhir-akhir ini dilakukan pemerintah. Di pesantren ini santri juga
belajar ilmu non agama dan juga ilmu agama, tetapi di pesantren ini
yang menjadi stressing bagi santri menyiapkan dirinya di bidang
keterampilan. Juga pesantren tradisional yang ia dirikan juga santri
di samping belajar ilmu agama melalui kitab-kitab klasik tetapi
santrinya juga belajar ilmu-ilmu non agama dan juga diberikan
keterampilan untuk bekal kehidupannya.

227
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan
pesantrennya juga memberi respon terhadap modernisasi. Dalam
kontek tujuan pendidikan, hal tersebut secara jelas tampak di dalam
tujuan operational pesantren putra-putrinya yang bertujuan untuk
menciptakan anak didik yang memiliki pengetahuan agama yang
setinggi-tingginya dan memiliki pengetahuan umum yang juga
setinggi-tingginya, serta memiliki keahlian baik keahlian sebagai
mu'allim ataupun sebagai mubaligh. Juga, dalam tujuan pendidikan
pesantren khusus yatim, dia ingin menciptakan anak didik yang
memiliki ilmu agama dan ilmu umum serta memiliki keterampilan
atau skill yang tinggi, agar anak didik kelak dapat mandiri dalam
kehidupannya. Di pesantren tradisional, Abdullah Syafi'ie ingin
menciptakan anak didik yang menguasai kitab kuning yang di
dalamnya terkumpul pemikiran-pemikiran para ulama klasik.
Dengan penguasaan itu, mereka diharapkan menjadi ulama yang
tangguh di belakang hari di samping mereka memiliki keterampilan
berdakwa dan lainnya.
Dalam kaitan dengan materi pelajaran, santri tidak hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu
akhlak dan ilmu-ilmu alat seperti bahasa Arab; juga mempelajari
ilmu-ilmu umurn seperti ilmu berhitung/matematika, ilmu biologi,
ilmu sejarah, ilmu administrasi dan lainnya. Metode pengajarannya
sangat bervariasi, di samping menggunakan metode halaqah, juga
menggunakan metode diskusi, Tanya-jawab, penugasan, evaluasi dan
metode lainnya.
Baginya seorang pendidik hendaklah memiliki beberapa
kharakteristik. Mereka hendaklah memiliki akidah yang jelas. Bila
seorang pendidik tidak memiliki akidah yang jelas, akan membawa
konsekuensi terombang-ambingnya anak didik dalam keyakinan
agamanya. Lalu, seorang pendidik hendaklah memiliki paham
keagamaan “ahl al-sunnah wa al-jama'ah”, terutama bagi pendidik
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, terkecuali bagi seorang
pendidik mata pelajaran ilmu-ilmu umum, diperkenankan memiliki
paham keagamaan lain. Namun, dengan ketentuan ia tidak
menyebarkan paham keagamaannya kepada anak didik. Dan,

228
seorang pendidik hendaklah juga memiliki jiwa pengabdian yang
tinggi, memiliki ilmu dan kharakteristik-kharakteristik lainnya.
Anak didik dalam pandangannya memiliki beberapa perilaku.
Mereka diharapkan memiliki akidah ahl al-sunnah wa al-jama'ah
yang kuat serta paham keagamaan madzhab Syafi'i. Lalu, tidak boleh
menghabiskan waktunya hanya untuk hal-hal yang tidak berguna.
Baginya, seorang anak didik sepanjang waktunya hanya untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Hal-hal yang menurut kacamata agama
yang positif pun, seperti memperbanyak dzikir kepada Allah, dia
larang, karena hal itu dipandangnya akan mengurangi semangat
santri untuk mendalami ilmu pengetahuan. Juga, santrinya harus
memiliki jiwa yang berani, ikhlas serta memiliki al-akhlaqul-karimah,
skill dan lain-lainnya.
Pemikiran-pemikirannya yang demikian maju di atas jelas
dipengaruhi oleh lingkungannya. Orang tuanya sangat mendorong
untuk menuntut ilmu. Dia hidup di Jakarta kota metropolitan.
Pembangunan kota Jakarta sangat pesat, modernisasi kehidupan
terus berlangsung. Dia memiliki pengalaman dan pergaulan yang
luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. la hidup di dalam
masyarakat etnis Betawi yang terpinggirkan, bahkan sejak masa
kolonialisme Belanda. Pengalaman politik serta peristiwa-peristiwa
politik yang mengitari, pengalaman kehidupan beragama di
masyarakatnya—masyarakat yang religius dan taat melaksanakan
ajaran Islam, serta kondisi pendidikan masyarakat Betawi yang relatif
terkebelakang; semua itu membekas di dalam dirinya. Oleh karena
itu, pemikiran pendidikannya sangat kental dengan nuansa Islam
seperti tergambar di dalam pendidikan pesantrennya. Modernisasi
kota Jakarta yang telah disebutkan, mempengaruhinya dalam
merumuskan tujuan pendidikannya yang menyentuh aspek
intelektual, emosi dan psikomotorik. Hal itu tergambar dalam tujuan
pendidikan ingin menciptakan anak didik yang menguasai ilmu
agama juga ilmu umum disertai dengan ketermpilan yang harus
dimiliki oleh para santrinya. Juga di materi pelajaran yang lengkap
yang mencakup ilmu yang luas, dan disertai oleh metode pendidikan
yang demokratis yang memanusiakan anak didik. Lingkungan telah

229
mempengaruhinya pula dalam melihat kharakteristik seorang
pendidik dan perilaku anak didik.
Hal penting dicatat, bahwa pendidikan pesantren yang
berbentuk Kombinasinya, mungkin secara tak disadari adalah bagian
dari proses penting dalam menjembatani adanya di khotomi ilmu
yang pernah mendapat pembahasan ramai di tanah air. Dalam
konteks pendidikan pesantren Abdullah Syafi'ie, tujuan pendidikan
sudah mengarah kepada keseimbangan untuk memenuhi aspek
jasmani maupun rohani anak didik. Dari aspek materi,
pendidikannya sudah melihat kepentingan yang sama antara
menuntut ilmu agama maupun ilmu umum. Juga dari segi metode
telah digunakan berbagai metode, baik metode halaqah, bandongan,
wetonan maupun metode diskusi, dan sebagainya. Pendidik bukan
saja sebagai pengajar semata tetapi juga bertindak sebagai pendidik
yang dapat mengembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh.
Dalam melihat anak didik bukan saja mereka sebagai obyek semata,
tetapi juga sebagai subyek. Hal-hal tersebut menurut penulis adalah
sebuah embrio untuk menuju integrasi keilmuan Islam. Ini sebuah
proses atau embrio yang menarik pula untuk dilakukan kajian oleh
kalangan pemerhati pendidikan Islam.
Pesantrennya yang berawal dari madrasah yang berdiri tahun
1928, mengalami kemajuan di masanya, namun masa sesudahnya
mengalami kemandekan. Ke depan institusi pendidikan
pesantrennya diharapkan dapat menjadi institusi pendidikan yang
ideal. Untuk itu, diperlukan pemikiran, agar idealisasi dari tujuan
setiap pesantrennya dapat dicapai. Misalnya dalam konteks
pesantren putra-putri, sudah sejauhmana pesantren ini dapat benar-
benar mewujudkan lulusan-lulusan yang seimbang antara
penguasaan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Belum
lagi dunia pendidikan agama Islam dituntut untuk mensejajarkan
dirinya dengan pendidikan non Islam atau pendidikan yang dikelola
oleh pemerintah, agar lulusannya memiliki pula penguasaan
terhadap bidang-bidang ilmu eksakta, seperti ilmu matematika,
kimia, biologi dan sebagainya, sebagai suatu tantangan yang aktual
yang dihadapi oleh pesantren Abdullah Syafi'ie.

230
Demikian pula yang berkaitan dengan pesantren khusus yatim.
Pesantren ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan
pendidikan kepada anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terlantar
atau anak-anak miskin dan tidak memiliki kemampuan di bidang
ekonomi. Diharapkan santri yang dididik di lembaga ini bukan saja
memiliki ilmu pengetahuan, berkharakter kuat dan tahan uji, tidak
memiliki ketergantungan kepada pihak manapun ketika ia selesai
menjalani pendidikan, dan juga memiliki suatu keterampilan.
Dengan kata lain kharaktrer kemandirian sangat ditanamkan kepada
mereka. Dapat dipahami, kalau stressing pendidikan kepada mereka
adalah penguasaan terhadap skill atau keterampilan baik
keterampilan dalam bidang jahit menjahit, pertukangan dan
seterusnya. Inilah yang patut terus diperhatikan dalam
pengembangan pesantren khusus yatim ini ke depan.
Kemudian, dalam konteks pesantren tradisional perlu pula
mendapat perhatian. Institusi ini menjadi salah satu andalan dalam
(tafaqquh fi al-din), dan pemelihara berbagai khazanah keilmuan
klasik Islam. Institusi ini mengambil peran yang sangat strategis di
era sekarang ini sebagai tempat untuk mencetak ulama yang
memiliki kemampuan memahami kitab kuning. Yang menjadi
tantangan institusi ini adalah sejauhmana pesantren ini dapat
mengantarkan anak didiknya benar-benar memiliki keahlian yang
tinggi dalam memahami substansi ilmu-ilmu agama dalam khazanak
klasik itu. Juga tantangan berikutnya, sejauhmana lulusan dari
pesantren ini dapat menjadi "ulama" yang mumpuni, yang semakin
langka akhir-akhir ini.
Dalam dunia pendidikan Islam termasuk dunia pendidikan
pesantren, banyak hal yang menarik untuk diteliti, baik dari aspek
lembaga maupun dari sisi tokoh yang menjadi arsitek berdirinya
suatu lembaga. Sebagaimana telah dilakukan oleh penulis kepada
seorang tokoh pendidik yang beretnis Betawi, yang hidup di kota
metropolitan Jakarta yang masyarakatnya demikian kompleks.
Abdullah Syafi'ie, sebagai seorang ulama yang hidup di kota ini, tentu
saja tantangan yang dihadapinya jauh berbeda dengan tantangan
yang dihadapi oleh ulama yang hidup di kota lain, apalagi yang
hidupnya di pedesaan. Dari sisi ini menjadi menarik untuk meneliti

231
tokoh ini. Kiprahnya dalam bidang pendidikan salah satu saja dari
sekian kiprahnya, seperti bagaimana dia ber-kiprah melalui stasiun
radionya dalam menyampaikan pesan-pesan agama; bagaimana pula
kiprahnya dalam pengembangan majelis ta'lim yang menjadi
fenomena yang menjamur saat ini. Hal-hal tersebut cukup menarik
untuk dikaji oleh kalangan akademisi lainnya.
Selain itu, Jakarta sebagai kota metropolitan, kehidupan umat
beragamanya banyak mendapatkan tantangan yang luar biasa berupa
ancaman tata nilai hidup budaya modern. Di kota Jakarta telah
muncul sejumlah ulama yang kiprahnya tidak kecil, maka penelitian
terhadap kiprah mereka di tengah masyarakat menjadi penting.

232
DAFTAR PUSTAKA

Abd., al, Baqi, Muhammad Fu'ad, Shahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya
al-Turast al-Arabi, 1954).
______, al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fadh al-Qur'an al-Karim, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1981).
Abdurrahman, Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuti, al-Jami’ al-Shagir,
fi ahadits al-Basyiri al-Nadziri,( Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
t,t), Juz II.
Afzalurrahman, Qur'anic Sciences, (Singapura: Pustaka Nasional,
1981)).
Alawiyah, Tutty, “KH. Abdullah Syafie-Pribadi, Visi dan Derap
Perjuangannya”, dalam KH. Abdullab Syafi'ie-Tokoh
Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan Al-Syafi'iyah, 1999).
______, (ed.), Yatim dan Masalahnya, (Jakarta: UIA Press,1988).
Al-Faruqi, Ismail, Islamization of Knowledge: “Problems, Principles
and Prospektif, dalam Islam”, A Source and Purpose of
Knowledge, (Hendorn:IIIT, 1988).
Alfian, Pemikiran dan Pembaharuan Politik di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1980).
Ahmad, Amrullah, "Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan
Islam", dalam Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991).
Ainaini, Abu Khalil, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Quran al-
Karim, (Qahirah: Dar al-Arabi, 1980).
Algar, Hamid, Ulama, dalam Mircea Eliade, ed. The encyclopedia of
religion, (New York: Macmilan Publishing, 1987).

233
'Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam, diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Al-Ghazali, Abu Hamid, Imam, Ihya Ulumudin, (Cairo: Dar al-Fikr,
tt).
Ali, H.A., Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta : IAIN Press,
1988).
______, Islam dan Sekularisme di Turki, (Jakarta: Jembatan, 1994).
Ali, Fachry, Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural,
(Bandung: Mizan, 1984).
Al-Lahham, Said, al-Muwattha’ Imam Malik, (Bairut, Dar al-Fikr li at-
Tiba’ah wal-Nasr wa al-Tauzi’, 1989).
Abdurahman, Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Jami' al-Shaqir,
(Beirut: Dar Kutub Al-'Ilmiyah, 1954), cet. 4 juz I
Amir Pilliang, Yasraf, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung: Mizan,
1998).
Al-Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan
(terj. Hery Noer Ali) dari buku, Ushul al-Tarbiyah wa
Asalibuha, (Bandung: Diponogoro, 1989).
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Al-Tibawi, Islamic Education, (London: Luzac, 1978),
Al-Syaibani, Mohammad Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979).
Al-Khin, Mustfa Said, Atsar al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyah fi
Ikhtilaf al-Fuqaha, (Bairut: al-Muassasat al-Risalah, 1989).
Arifin, Muzayyin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika
Masyarakat, (Jakarta: IAIN, 1988).
Arsyad, M. Anwar, Perkembangn Ekonomi Indonesia, 1987-1988,
(Jakarta: UI Press, 1988),

234
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah Pengantar llmu Hadist, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1945).
Asmaran, AS, Pengantar Akhlak, (Jakarta : LSIK, 1994).
Ashraf, Ali, Husein Sayid, Horison Baru Pendidikan Islam, alih bahasa
Sori (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989).
Attas, al, Syed Muhammad Naquib, Aims and Obyektives of Islamic
Education, (Mekkah : King Abdul Aziz University. 1979).
______, “Konsep Pendidikan Dalam Islam”, (terj. oleh Haidar) Bagir
dari judul asli The Concept of Education in Islam Framework
for an Islamic Philosophy of Education, (Bandung: Mizan,
1992).
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana
dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999).
______, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos, 1999).
______, The Rise of Muslim Elite Schools: A New Pattern of
Santrinization in Indonesia", Yogyakarta, al-Jami'ah, 1999, No.
64/XIV.
______,"Pembaharuan Pendidikan Islam", dalam Marwan Saridjo,
Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amisco,
1996).
______, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad ke XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaharu
Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1995), cet.2.
Azmi, Wan Husein, "Islam di ACEH: Masuk dan Perkembangan
Hingga Abad XIV", Ali Hasjmi (ed.), Sejarab Masuk dan
Perkembangan Islam di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1993).
Aziz, Abdul, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002).
Barnadib, Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : IKIP,
1971).

235
Badaruzzaman, "Goresan dan Kumpulan", dalam KH. Abdullab
Syafie-Tokoh Kharismatik 1910-1985 (Jakarta: Perguruan As-
Syafiyah, 1999).
Boland, BJ, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Graffiti Press,
1995).
Castles, Lance, The Etnic Profile of Djakarta, dalam Indonesia (New
York: Cornel University, 1967), Vol. I.
Chalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Madzhab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1955).
Daradjat, Zakiah, Ilmu. Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1992).
______, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).
Data Yayasan Perguruan al-Syafi’iyah, 2002, Data Yayasan Perguruan
Islam Al-Syafi’iyah, 2002.
Dananjaya, Utomo, "KH. Abdullah Syafi'ie-Khadimutthalabah",
dalam KH. Abdullah Syafie-Tokoh Kharismatik 1910-1985
(Jakarta : Perguruan As-Syafiyah, 1999).
Daud Ibrahim, Marwah, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi,
(Bandung: Mizan, 1995).
1
Depag, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditbinrua,
2001)
Departemen Agama, Data Keagamaan Tahun 2000, (Jakarta: Depag.
2000).
--------, Emis, 2000
--------, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Binbagais, 1987).
Dhofier, Zamakhsjari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994).
Daerah Khusus Istimewa, Teguh Beriman, (Jakarta: Pemda DKI,
1997).
Du Bois, Nelson F, Educational Psychology and Instruksional
Decision, (Home-wood: Illinos, the Dorsey Press, 1979).

236
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998).

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.


Ibrahim Husen), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Farida, Meutia, "Sistem Nilai dan Etos Kerja Masyarakat Betawi",
dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta : Yayasan
Festival Istiqlal, 1996).
Faqih, Mansour, Jalan Lain, (Yogyakarta: Insist Press, t.t.).
______, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta:
Insist Press, 2003).
Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Gama Media, 2003).
Fromm, Erich, Psychoanalisys and Religion, (New Haven and London
: Yale University Press, 1976)
Gafar, Affan, "Islam dan Politik dalam Era Orba", Ulumul Qur'an,
Jakarta, 1983, No. 2, vol. IV.
Ghamaly, al, Mohammad Fadhil, Tarbiyah al-Insan al-Jadidi, (Tunis :
Matba'ah al-Ittihad al-Am al-Tunisiyah al-Syghly).
______, Falsafah Pendidikan Dalam al-Qur'an (terj.Asmuni S dari
buku asli al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur'ani, (Surabaya :
Bina ilmu, 1986).
Gazalba, Sidi, Modernisasi dalam Persoalan: Bagaimana Sikap Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Gibb, H.A.R dan J.H, Kramer, "Pesantren" dalam Shorter
Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1961).
Hadisucipto, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta 1730-1945, (Jakarta:
Dinas Mesium Sejarah, 1976).
Hadi, Abdul, “Prospektif Kebudayaan Islam”, dalam Islam dan
Transformasi Sosial Budaya, ed. Naufal Ramzy, (Jakarta,
Deviri Ganan, 1993),

237
Haekal, Mohammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta:
Pustaka, 1992).
Haedari, Amin, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern,
(Jakarta: Diva Pustaka, 2003)
Hamid, Abu, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan, dalam Taufik Abdullah (ed.) Agama dan Pembahan
Sosial, (Jakarta : Rajawali Press, 1983)
Hamid, Algar, dalam The Encyclopedia of Religion, (New York:
Macmillan Company, 1987).
Hamdy, Rifat, Meningkatkan Mutu Pendidikan MIPA di Pondok
Pesantren, Makalah, disampaikan ke Ditjen Bagais, 2001.
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982).
Hanna, A,Willard, Riwayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo, 1996).
Hurgronje C, Snouck, Pan Islamisme dari Mekkah, (Jakarta: INIS,
1996).
Hurlock B, Elizabeth, Adolescent Development, (New York: McGraw-
Hill Book Company, 1967).
Hijazi, Muhammad Mahmud, Muhammad, al-Tafsir al-Wadih,
(Qahirah: Mathbaah al-Istiqlal al-Kubra, 1968).
Idris, Jakfar, Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: Mizan, 1984).
Indra, Hasbi, "Merajut Serpihan Umat" dalam Agama Di Tengah
Kemelut (ed.) Hasan M. Noer, (Jakarta: Mediacita, 2001).
--------, "Pesantren dan Masyarakat"', Ikhlas, Majalah Depag., Nomor
23. Th. V Juli 2002,
______, "Diskursus Pendidikan Islam Kontemporer" dalam Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta:
Grasindo, 2001).

238
______, "Departemen Agama Sebagai Perekat Persatuan Nasional"
dalam Majalah Ikhlas, No. II, th. III, 2000, Dep. Agama RI.
Iqbal, Muhammad Zafar, Islam di Jakarta (Studi Sejarah Islam dan
Budaya Betawi), (Jakarta : t.p., 2002).
Irsan Madjid, al-Kailani, Falsafatu al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah:
Maktabah al-Hadi, 1988)
______, al-Fikrah al-Tarbawi Inda ibn Iaimiyah, (Madinah: al-Turas,
1979).
Yasuka, Kobayashi, Kyai and Japanese Military, (Jakarta: IAIN, 1997).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: LSIK, 1997),.
______, Peran Ulama Dalam Masyarakat Betawi, Ruh Islam Dalam
Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996).
Yakin, Husnul, “Manajemen Pendidikan Dalam Prespektif Islam”,
Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan,
Vol. 1 Nomor 1 Januari –Maret 2003,
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mahmudah,
1996).
______, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta:
Mahmudiah, 1961).
Jalaluddin, Santi Asromo KH.Abdul Halim, (Jakarta: Disertasi
Pascasarjana IAIN, tak diterbitkan, 1990).
Jamaluddin, Muhammad Mukarrom al-Anshari, Ibn. Manzur, Lisan
Arab, (Cairo: Dar al-Misriyah li Ta'lif wa Tarjamah, t.t.).
Kapten, Nico, The Muhimmat al-Nafa 'is.- A Bilingual Meccan Fatwa
Collection for Indonesian muslim's from the End of the
Nineteenth Century, (Jakarta: INIS, 1997).
Kailani, Madjid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah :
Maktabatu Hadi, 1988).
______, Al-Fikrotu al-Tarbawi inda Ihnu Taimiyah, (Madman: Dar al-
Turast, 1979).

239
Kamaruzzaman, "Kontribusi Daerah Aceh Terhadap Perkembangan
Awal Hukum Islam di Indonesia", al-Jami'ah, No. 5/V1/2000.
Karim, Rusli, Perjalanan Partai politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali,
1983).
Karno, Rano, "Masyarakat Betawi Dalam Si Doel Anak Sekolahan",
Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999.
Kartodirjo, Sartono, Sejarah Nasional, (Jakarta : Baku Pustaka, 1977).
Kemal Hasan, Mohammad, Modernisasi Indonesai-Respon
Cendikiawan Muslim, (Jakarta: LSI, 1987).
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, (Mesir: Mathbaah Mustafa Muhammad,
779 H).
Krathwohl, David R, Taxonomy of Educational Obyektives Handbook
II. Affective Domain, (New York: David Comapany, 1974).
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21,
(Jakarta : Pustaka Husna, 1988).
______, Manusia dan Pendidikan-- Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, (Jakarta : al-Husna, 1986).
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban-- Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992).
______, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).
______, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997).
___________,
Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997).
______,Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi,
(Bandung: tp. 1968).
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta:
Logos,1999).
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Politik, (Jakarta : Gema Insani Press,
1996).

240
Mansoer, Tolchah, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945,
(Bandung: Alumni, 1977),
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
al-Maarif, 1964).
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS,
1994).
Ma’lun Abu Luwis, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Mansyur, 1984).
Mas’ud, Abdurrahman, “Pendidikan Islam dalam Era Reformasi dan
Globalisasi”, Religia, STAIN Pekalongan, Edisi II/ 1999.
Melayu, Hasnul Arifin, “Islam As an Ideology the Political Though of
Tjokroaminoto”, Studia Islamika, Vol. 9, Number 3, 2002.
Mendagri, Profil Propinsi DKI Jakarta, (Jakarta: Imermasa, 1990).
Mochtar, Affandi, 'The Tawhidic Foundation To The Philosophy of
Education", Lektur, STAIN Cirebon, No. IX/2000.
Mudzhar, M. Atho, "Islam in Indonesia (The Politics of Recycling and
the Collapse of a Paradigm)", al-Jami'ah, IAIN Sunan Kalijaga,
No. 5/VI/2000.
Munawarah, Djunaidatul, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”,
dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta:
Grasindo, 2001).
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta : INIS, 1988).
Munir, Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Usuluha Watatawuruha,
(Mesir: Dar al-Maarif, 1987).
Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung:
Trigenda, 1993).
Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2003).

241
Muluk, Taufi Effendi, Beberapa Kumpulan Epos Betawi, (Jakarta:
Dinas Mesium, 1979).
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press,
1986).
______, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1982).
______, Islam Rasional—Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan,
1998).
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Grafindo, 1999).
______, Konsep Pendidikan Ibn Sina, Jakarta : Disertasi S3 IAIN
Jakarta, ttp. 1997).
______, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1997).
______, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001).
______, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003),

Nizar, Samsul, "Lembaga pendidikan Islam di Nusantara: Melacak


Akar pertumbuhan Surau sebagai Lembaga Pendidikan di
Minangkabau Sampai kebangkitan Perang Padri", dalam
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia (ed.) Abuddin Nata, (Jakarta:
Grasindo, 2001).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 - 1942, (Jakarta
: LP3ES, 1980).
______, Majalah Api, 3 Oktober 1966.
______,Partai-partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1987).
Notosusanto, Nugroho, (ed). Sejarah Nasional, (Jakarta: P&K, 1983).
Poerwadarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1976).
Qadir, Zauli, "Pendidikan Islam Transformatif", Afkar, No. 11, 2001.

242
Quthub, Muhammad, Minhaju al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Dar
al-Qalam, t.t.).
______, “Islam dan Kapitalisme” dalam Salah Paham Terhdap Islam,
(Bandung: Pustaka, 1982).
Rahmat, Jalaluddin, “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”,
Jurnal Ulumul Quran 2, 1986.
Rahman, Arif, “Kita Tak Punya Guru”, Republika, 1 Mei 2000.
Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung : Pustaka, 1984).
Rasyad, Aminuddin, Ikhlas, Majalah Depag.,No. 22 Th. 16, 2002,
Rasyidi, HM, “Usaha Mengkristenkan Indonesia dan Dunia”, Suara
muhammadiyah, No. 1, 1968.
Riyanto, Edi, (penyt). dalam Partai Politik Era Reformasi, (Jakarta:
PT. Abadi, 1998),
Ruswanto, Bur, “Diperlukan Reformasi Kebudayaan”, dalam Dialog
Kini dan Esok, (Jakarta: Lepenas, 1997),
Saby, Yusni, “A Profile of the Ulama in Acehnese in Society”, al-
Jamiah, IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 38, No. 2, 2000.
SB. Vitalaya Aida, "Peran Perempuan Betawi Menyongsong Milenium
III", Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999.
Salatore, Ulama di Elit Dalam Prespektif Sejarah, (Jakarta: LP3S, 1983).
Saleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan anak bangsa
(Jakarta: Rajagrafindo, 2003),
Saqir, Ahmad Muhammad, Shahih Buchari, (Bairut: Dar Ihya al-
Turast al-Arabi, 1904).
Saifuddin, dan Rifai, "The Indonesian Islamic Culture From Aceh",
Ulumul Qur'an, 1992, vol. III.
Sagimun, Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas
Mesium Sejarah, 1988).

243
Saidi, Ridwan, "Masyarakat Betawi Asal Usul dan Peranannya", dalam
Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1996).
Schoorl, J.W, Modernisasi Pengantar Pembangunan Negara-Negara
sedang Berkembang, terj. Soekadidjo, (Jakarta : Gramedia,
1974).
SF. Sudjana, Pendidikan Nonformal, (Bandung: PTDI, 1974).
Shahab Alwi, “Betawi Asli”, Republika, 20 Juni 1999.
______, “Robin Hood Betawi”, (Jakarta) Agustus Republika, 2001.
______, “Komunitas Kampong Sawah”, Republika, 2 Januari 2000.
______, ”Mengenal Lebih Dekat Ulama Betawi”, Republika, 17
Oktober 1999.
Singarimbun Masri, Tipe, Metode dan Proses Penelitian, (Jakarta :
LP3ES, 1987).
______, Irawati, “Teknik Wawancara”, (Jakarta: LP3ES, 1987).
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998).
Suyuthi, al, Jalaluddin Abdu al-Rahman, al-Jami'u al-Shaqir, (Beirut:
Dar Kutub Ilmiyah,"1954), juz I, cet. 3
Sumarno, Kohar Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila,
(Jakarta: Galia Indonesia, 1984).
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Konsep Pendidikan al-Ghazali, alih bahasa
A. Hakim, (Jakarta : P3M, 1986).
Suminto, Aqib, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor,
1988).
Smith D,. Anthony, The Ethnic Revival, (London : Cambridge
University, 1961).
Steenbrink Karel. A, Pesantren-Madrasah-Sekolah, (Jakarta: KP3ES,
1986).
______, Dutch Colonialism and Indonesian Islam : Contacts and
Conflicts 1596-1950, (Amsterdam : Rodopy, 1993).

244
Syafi’i Noer, Ahmad, Pesantren : “Asal-usul dan Pertumbuhannya”,
dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
lembaga Pendidikan Islam, ed. Abuddin Nata, (Jakarta:
grasindo, 2001).
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1973).
Syaibani al, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafat Pendidikan Islam,
(terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah
al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Shaban, M.A, Sejarah Islam, Mahnun Husein dari Islamic History: A
New Interpretation, (Semarang: IAIN Walisongo, 1996)
Shabir, Muslih, "The Educational Reform of the Muhammadiyah
reflection of Muhammad Abdu's Influences", Ihya Ulum al-
Din IAIN Walisongo, 2000.
Simatupang, T.B., “Agama dan Kebudayaan Nasional”, Tinjauan
Empirik, ed. Musa Asy’ari, (Yogyakarta: IAIN Press, 1988)
Syafi'ie, Abdullah, al-Muassasat as-Syafi'iyyah al-Taklim-iyyah,
(Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t..).
______, "Penduduk Dunia Hanya Tiga Golongan", dalam Kumpulan
Khutbah Idul Fitri, (Jakarta : Perg. As-Syafi'iyyah, 1978).
______, Berkenalan Dengan Pesantren As-Syafi'iyah, (Jakarta: Perg.
As-Syafi'iyyah, 1981).
______, "Perlunya Memelihara Nur Ilahi", Kumpulan Khutbah Jum'at
dan 'Id, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.) juz II.
______, “Hari Akhirat”, dalam Kumpulan Khutbah Jumat dan Id,
(Jakarta : Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.).
______, “Sikap Hamba Yang Bakti”, dalam Kumpulan Khutbah Jumat
dan Id, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, t.t.), juz I.
______, Akidah Mujmalah, (Jakarta: Perg. As-Syafi'iyyah, 1983).
______, Abdullah Syafi'ie, Kaset Side A, "Surat al-Naziat".

245
______, Abdullah Syafi'ie, Kaset side A, dalam "Kemulyaan al-
Qur’an".
______, Abdullah Syafi'ie, "Tentang Zaman Jahiliyah", Kaset, Side A
Syarif Khan Mohd. Islamin Ecucation, (New Delhi: Ashis Publisihing
House, 1986)..
Syariati, Ali, Sosiologi Islam, (Yogyakarta: Ananda, 1982).
Spencer, Pulaski, Mary Ann, Understanding Pieget, (New York:
Harper Row, 1980).
Syaukani, Ahmad, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Syaikhul Ardh, Taisir, al-Madkhal ila falsafah Ibn. Sina, (Bairut: Dar
Anwar, 1976).
Syuaib, Muhammad Fauzie, "Masyarakat Betawi dan Perkembangan
Jakarta", dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta :
Yayasan Festival Istiqlal, 1996).
Tabataba'i, al, Sayid Muhammad Husin, al-Mizan fi Tafsir al-Quran,
(Qum: al-Jama'ah al-Mudarrisin al-Mahzah al-Ismailiyah, t.t.)
Taher, Tarmizi, Pidato Menag, (Jakarta: Dep. Agama, 1995).
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1998),
Tibawi, al, Islam Education-Its Tradition and Modernization into the
Arab National Systems, (London : Luzac and Company LTD,
1979).
Tim, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990).
Tim, Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung : Rosda, 1995).
Tim, Penyusun, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Binbaga Islam,
1981).
Tjandrasasmita, Uka, Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah Sampai
Batavia tahun 1715, (Jakarta: Dinas Mesium, 1977).

246
Umar, Nasaruddin, "Perempuan Betawi Menyongsong Milenium ke-
3", Seminar Budaya Betawi, IAIN Jakarta, 3 Juli 1999.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani,
1997).
Waseno, Iksan, dalam Pengembangan Pendidikan Islam dalam
Pengantar ke arab Metode Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan Agama Islam, (Yogyakarta : IAIN Press, 1992).
Wetheim, Indonesian Society in Transition, (W. Van Hove: the
Hague, 1964).
Zafar Iqbal, Muhammad, Islam di Jakarta, Studi Sejarah Islam dan
Budaya Betawi, (Jakarta: IAIN, tp. 2002).
Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 70/1978.
Wawancara dengan K.H. Abdul Rasyid pada tanggal 13 Nopember
1999, dan K.H. Abdul Hakim pada tanggal 4 Nopember 1999
dengan Tutty Alawiyah, Ida Farida, tanggal 15 Nopember
1999; dengan H.M. Amirin, tanggal 5 Maret 2000; dengan
Saifuddin Amsir, tanggal 4 Januari 2000; dengan Nazir, Lc.
(pengelola halaqah) tanggal 6 Maret 2000; dengan
Abdurrahman, tanggal 13 Maret 2000; dengan Zulfahmi,
tanggal 4 Januari 2000;K.H. Moh. Syafi'i Hadzami tanggal 10
Maret 2001;dengan Soleh R.M, tanggal 22 Maret 2001; dengan
Ainul Yakin, 29 Desember 2002; dengan Rahmat S dan A.
Nasihin dan Jamaluddin tanggal 29 Desember 2002.
Republika, 1 Agustus 1999; Republika, 1 Desember 1999; Republika,
(Jakarta), 26 Desember 1999; Republika, (Jakarta), 20 Juni 1999
1999, Republika, (Jakarta), 17 Oktober 1999, Republika, 2
Januari 2000; Republika, Republika, 1 Mei 2000, Republika,
Rabu, 31 Mei 2000, Republika, 30 Juli 2000 ; Republika, 22
Desember 2002, Republika Selasa 6 Mei 2003, Pelita,3
September 1985; Pelita, Kamis, 4 September 1985; Pelita, 5
September 1985, Kompas (Jakarta), 4, 15 September 1985.
Harian Terbit Jakarta, 11 Maret 1984., Berita Antara, Rabu 4
September 1985.Berita Buana, 6 September 1985, Harian Pos

247
Kota, Rabu 4 September 1985, Harian Suara Karya, Rabu 4
September 1985, Pikiran Rakyat, Rabu 4 September 1985,
Sinar Harapan, 3 September , Majalah Kiblat, Jakarta, 2
Agustus 1976; Majalah Tempo, Jakarta, 18 Januari 1980.

248
TENTANG PENULIS

Hasbi Indra lahir 15 Agustus 1958 di Indralaya, Ogan Ilir (OI),


Sumatera Selatan, ayahnya bernama H. Hasanuddin dan Ibu Hj.
Hasimah. Beristrikan Siti Zubaedah SH bin H. Salamun, dan ibu
bernama Hj. Siti Rofiatun, bekerja di Mahkamah Agung RI, memiliki
2 anak yang bernama Alvin Rindra Fazrie, S.Kom., sedang S2 di
bidang IT Universitas Hamburg Jerman beristerikan Maria Ulfah,
S.Sos., S2 di bidang Budaya di Universitas yang sama, dan Raisa
Rindraidah masih kuliah di Ekonomi-Bisnis Internasional UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Hasbi Indra, alumnus sekolah Ibtidaiyah-Aliyah di Madrasah
al-Ittifaqiyah Indralaya, OI, Sumatera-Selatan dan se tahun pernah
belajar di SPIAIN Yogyakarta; meraih Sarjana Fak. Syariah IAIN
Sunan Kalijaga tahun 1985; memproleh Magister tahun 1998/1999
dan Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2003.
Pernah bekerja menjadi pegawai Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, pernah staf Subdit Pembinaan IAIN
(1987-1995), sebagai Kasi Pengabdian Masyarakat (1995) dan Kasubdit
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (2008) Diktis; pernah menjadi
Kasi Pendidikan Keagamaan dan IPTEK di Subdit Pondok Pesantren
(2004); pernah Kasubdit Kurikulum dan Evaluasi Dit. PAIS (2006);
pernah Kasudit Pendidikan Diniyah (2010) dan Kasubdit Pendidikan
al-Quran (2012-2014), Dit. Pd. Pontren. Pengalaman mengajar sejak
tahun 1987-1995 mengajar di UNBOR, Jakarta, UMJ Jakarta 1988-1991
dan UNPAS, Jakarta tahun 2006-2008, Sejak tahun 2006 mengajar di
Pascasarjana dan FAI Universitas Ibn. Khaldun, (UIKA) Bogor dan
kini Dpk.UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan dosen tetap dan
sebagai Kaprodi Magister Pendidikan Islam di Pascasarjana di UIKA
Bogor.
Karya Tulis yang telah dipublikasi antara lain:
1) Berebentuk buku: Wanita Shalihah-dkk, Halam-Haram, dkk.
Penamadani, Jakarta, 2003. Aku suci sebelum menikah,

249
Ridamulia Jakarta, 208; Pendidikan Islam Peluang dan
Tantangan di Era Globalisasi, Deepublish, Yogyakarta, 2016,
Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain:
“Musyawarah Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1985; “Pemikiran Nurcholish Madjid
tentang Pancasila, Tesis di S2 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta”,
Tahun 1998; “Teori Resistensi dan Peluang Habibie”, Republika Sabtu,
2 Oktober Tahun 1999; “Oposisi Menurut Hukum Islam”, Media
Indonesia, Jumat 15 Oktober Tahun 1999; “Maaf Untuk Bangsa”,
Pesan, No. 53/Th.II/01/2000; “Rakyat Punya Kuasa”, Pesan No.
64/Th.II/04//2000; “Merajut Serpihan Umat”, Pesan No.
88/Th.II/09/2000; “Depertemen Agama Sebagai Perekat Persatuan
Nasional” dalam IKHLAS Depag RI. No. 11 Th. II, 1 Februari 2000;
Editor Buku: Islam dan Hegemoni Sosial, Ditperta, 2001; “Diskursus
Pendidikan Islam Kontemporer” dalam buku Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia, (editor H. Abuddin Nata), Jakarta, Grasindo, 2001,
“Hijabul Islam”, Pesan No. 131/Th.III/07/2001;”Pesantren dan
Masyarakat’, Majalah IKHLAS Depag, Nomor 23 Th. V Juli 2002;
“Agama Itu Damai”, Pesan, No. 202/Th.IV/12/2002; “Dosen IAIN,
STAIN dan Tentang Ke depan”; Majalah IKHLAS, Nomor 21, Th.V
Maret Tahun 2002; “Pemberdayaan Pesantren”, Pesan, No.
169/Th.IV/05/2002; “Agenda Keterpurukan Umat”, Pesan, No. 183/Th.
IV/08/2002; “Pesantren dan Pergolakan Masyarakat’, Majalah
Pesantren, edisi VII/th. 1/2002; “Rasionlitas dan Implikasinya’, Pesan
No. 220/Th. V/05/2003; “Umat dan Bangsa”, Pesan No. 227/Th.
V/05/2003; Sementara itu Karya Buku yang telah dihasilakan, Halal
Haram dan Makanan, Penamadani, Jakarta, Tahun 2004; Potret
Wanita Shalehah, Penamadani, Jakarta, Tahun 2004; Aku Suci
Sebelum Menikah: Petunjuk Praktis Menuju Keluarga Harmonis,
Ridamulia, Jakarta, Tahun 2007, Pendidikan Islam, Peluang dan
Tantangan di Era Globalisasi, Deepublish, Yogyakarta, 2017.
Berbentuk jurnal yang judul-judulnya 1). Pesantren dan
Peradaban, Jabal Hikmah, STAIN Jayapura, Vol. 2, No. 4 Juli 2009; 2).
Manajemen Pendidikan Islam, Tawazun, Pansa Sarjana Univ. Ibn.

250
Khaldun, Vol. 4 No. 4 Juli 2010; 3). Pendidikan Diniyah di Era
Globalisasi, Yogyakarta, Sosio-Religia, LinkSAS, Vol. 8, Agustuts
2009; 4). Pendidikan Tinggi Islam dan Tantangan ke Depan, Fikrah.
FAI Univ. Ibn Khaldun, Vol. 8 No. 1, 2015; 5). Pendidikan Pesantren
Era MEA-Proceeding, Seminar Internasional Univ. Ibn. Khaldun; 6).
Islamic Religious Education in Era of AFTA, Tarbiya UIN Syahid
Jakarta, Vol. 2 No. 2 Des 2015; 7). Pendidikan Tinggi Islam dan
Peradaban Indonesia, Jurnal, Tahrir STAIN Ponorogo, Vol.16, No.1
2016; 8). Model Pesantren Kewirausahaan di Era Kompetisi, jurnal
Ta’dib UNISBA Bandung, Vo. V. No. 1 2016; 9). Pendidikan
Keagamaan Islam dan Manajemen Kenabian, Jurnal Muslim Heritage,
Vol. 1, N. 2, 2016; 10). Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam di Era
Globalisasi, al-Mabsuth, IAI Ngawi, Vol. 11, No. 1 Mare 2017; 11).
Salafiya Curriculum at Islamic Boarding School ini The
Golabalization Era, Jurnal Tarbiya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2017.
Pernah pula menulis di Majalah kemenag RI, koran Nasional
seperti Republika, Media Indonesia dan Sindo serta Koran lokal
seperti Radar Bogor. Pernah pelatihan atau workshop di luar negeri
seperti Australia, Malaysia, Singapura dan Turki.

Bogor, 1 Desember 2017

Hasbi Indra

251

Anda mungkin juga menyukai