Anda di halaman 1dari 28

PEMBERLAKUAN KHUSUS MEDIA BUDIDAYA MAGGOT

TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA


MAGGOT KERING

Oleh

RIZKA AIDATUL FITRI


B1D019236

Proposal Penelitian
Diajukan untuk Menyusun Skripsi

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2023
USULAN PENELITIAN

PEMBERLAKUAN KHUSUS MEDIA BUDIDAYA MAGGOT


TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA
MAGGOT KERING

Oleh

RIZKA AIDATUL FITRI


B1D019236

Menyetujui :

Pembimbing I : Pembimbing II :

(Dwi Kususma Purnamasari, S.Pt., M.Si.) (Dr. Ir. Syamsuhaidi, MS.)


NIP : 197011031997022001 NIP : 196006181985021001

Mengesahkan :

Fakultas Peternakan Universitas Mataram


Program Studi Peternakan
Ketua,

( Dr. Ir Wayan Wariata, M.Si )


NIP. 196112311987031016
KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul
“Pemberlakuan Khusus Media Budidaya Maggot Terhadap Kualitas Fisik Dan
Kimia Maggot Kering” sesuai waktu yang ditentukan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan laporan Praktik Kerja Lapangan ini, yaitu kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Maskur, M. Si., selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Mataram.
2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Wariata, M. Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas
Peternakan.
3. Ibu Dwi Kusuma Purnamasari, S. Pt., M. Si., selaku Ketua Laboratorium
Ilmu Nutrisi Non Ruminansia sekaligus dosen pembimbing I, yang telah
banyak memberikan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini.
4. Bapak Dr. Ir. Syamsuhaidi, M.S., selaku dosen pembimbing II, yang telah
banyak memberikan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini.
Penulis menyadari, bahwa proposal penelitian ini masih banyak kekurangan
dalam segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
proposal ini. Semoga proposal ini bermanfaat dan berguna bagi semua orang yang
membutuhkan.

Mataram, Februari 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 5
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 5
1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 9
1.2.1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
2.2.1. Kegunaan penelitian ................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 10
2.1. Black Soldier Fly (BSF) ..................................................................... 10
2.2. Siklus Hidup Lalat BSF ...................................................................... 11
2.3. Media Tumbuh Maggot ...................................................................... 13
2.4. Maggot Kering .................................................................................... 16
2.5. Kualitas Fisik dan Kimia Maggot Kering........................................... 17
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN .................................... 19
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................. 19
3.2. Materi Penelitian................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
LAMPIRAN .................................................................................................... 29

4
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Tata Letak Percobaan Pemeliharaan Maggot BSF ................................... 20

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Siklus Hidup Lalat BSF .......................................................................... 11
2. Hasil Maggot Kering dengan Tiga Metode Berbeda .............................. 17

6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peternakan merupakan usaha potensial untuk pemenuhan kebutuhan


daging dan protein hewani. Dalam usaha peternakan, pakan merupakan faktor
utama yang menentukan keberhasilan produk (Sholahuddin et al, 2021).
Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam kegiatan usaha peternakan
yaitu 50-70% dari total biaya pemeliharaan. Pakan yang baik ialah pakan
yang memiliki kandungan nutrisi tinggi seperti protein yang merupakan
sumber energi untuk ternak (Purnamasari et al., 2019). Pakan dengan
kandungan protein yang cukup tinggi cenderung memiliki harga lebih mahal
dibandingkan dengan pakan dengan kandungan protein rendah. Untuk
membantu mengurangi biaya pakan tersebut diperlukan upaya untuk
mendapatkan alternatif bahan pakan sumber protein (Sujarwo et al., 2022).
Salah satu pakan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber protein
adalah maggot atau larva dari Black Soldier Fly (BSF). Selama ini, beberapa
peternak sudah memanfaatkan maggot sebagai pakan (Sholahuddin et al,
2021). BSF merupakan lalat (Diptera) yang termasuk dalam keluarga
Stratiomyidae. Lalat ini dapat ditemukan di wilayah tropis dan subtropis (46°
LU - 42° LS). Siklus hidupnya terdiri dari lima fase yaitu telur, larva, prepupa,
pupa dan dewasa yang berlangsung sekitar 40-43 hari. Lalat betina dewasa
akan bertelur sekitar lima sampai delapan hari pasca keluar dari pupa dan
umumnya dapat bertelur hingga 500 butir per ekor. Telur akan menetas
menjadi larva dalam waktu kurang lebih 4,5 hari (±105 jam) (Alizahatie,
2019).
Maggot BSF mengandung nutrien yang sangat baik. Maggot dari lalat
BSF merupakan sumber protein hewani dengan kadar karbohidrat kurang dari
0,05%, kadar protein maggot berkisar antara 25,22% - 41,22 %, kadar lemak
antara 0,73– 1,02 %, kadar air antara 64,86 -74,44 %, dan kadar abu antara
2,88– 4,65 % (Azir et al, 2017). Kelebihan lain yang dimiliki maggot adalah
memiliki kandungan anti mikroba dan anti jamur (Afkar et al, 2020). Nutrien

7
tersebut bukan hanya bagus untuk ayam, tetapi untuk ikan, serta peliharaan
rumahan lain seperti burung, iguana, tokek, dan lain-lainnya. Kandungan
nutrisi maggot diperoleh dari jumlah media organik yang tiap hari dikonsumsi
(Wahyuni et al, 2021).
Dalam budidaya larva BSF atau maggot yang perlu diperhatikan
adalah media yang digunakan. Media yang digunakan dalam budidaya harus
disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi maggot. Larva BSF memiliki tingkat
pertumbuhan tinggi dan konversi pakan yang optimal serta dapat
memanfaatkan dengan baik berbagai jenis media organik sebagai sumber
makanan yang dianggap sudah tidak berguna seperti limbah rumah tangga
pada umumnya, dan limbah dapur, limbah sayuran, limbah buah-buahan,
limbah pengolahan makanan, dan limbah peternakan (Alizahatie, 2019).
Limbah organik yang digunakan sebagai media budidaya maggot
tidak boleh asal-asalan atau tidak memperhatikan kandungan nutrisi yang
terkandung dalam limbah organic tersebut. Limbah yang digunakan sebagai
media tumbuh maggot harus mengandung nutrisi yang baik untuk
pertumbuhan maggot seperti karbohidrat, protein dan lemak. Jika kebutuhan
nutrisi maggot tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan maggot kekurangan
gizi dan pertumbuhannya tidak baik. Jenis media yang digunakan dalam
budidaya maggot merupakan limbah organik yamg mudah ditemukan atau
keberadaannya melimpah, memiliki harga terjangkau, tidak dimanfaatkan
lagi atau tidak dikonsumsi oleh manusia dan mengandung nutrisi yang baik,
contohnya seperti ampas tahu, limbah buah-buahan dan makanan kadaluarsa.
Selain dalam bentuk maggot segar, maggot tersebut juga dapat diolah
menjadi maggot kering. Maggot kering merupakan maggot segar yang telah
melalui proses pengeringan dengan menggunakan oven, microwave atau
disangrai. Pengolahan maggot kering harus memperhatikan suhu dan waktu
pengeringan yang tepat agar tidak merusak kandungan nutrisi maggot.
Biasanya maggot kering memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan
maggot segar. Maggot kering dapat diberikan pada hewan peliharaan seperti
burung, ikan hias, kucing dan lain-lain.

8
Penggunaan jenis media berbeda sebagai media tumbuh bagi maggot
BSF berfungsi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi
maggot BSF, untuk itu perlu diketahui jenis media tumbuh yang efektif bagi
maggot BSF yang akan dihasilkan sebagai alternatif pakan sumber protein.
Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan media tumbuh berbeda terhadap kualitas fisik dan
kualitas kimia dari maggot yang telah dikeringkan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kualitas fisik dari maggot kering pada tiga perlakuan media
yang berbeda?
2. Bagaimana kualitas kimia dari maggot kering pada tiga perlakuan
media yang berbeda?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.2.1. Tujuan Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas fisik dan
kimia dari maggot kering yang dibudidayakan menggunakan tiga
perlakuan media yang berbeda.
1.2.2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai
kalangan khususnya mahasiswa dan peternak.
2. Sebagai bahan perbandingan dan tambahan referensi bagi
peneliti-peneliti selanjutnya.
3. Diharapkan dapat bermanfaat bagi usaha peternakan maggot.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Black Soldier Fly (BSF)

Maggot BSF merupakan larva yang berasal dari lalat tentara hitam
black soldier fly yang mengalami metamorfosis, pada fase kedua setelah fase
telur (Yusuf et al., 2023). Menurut Wahyuni et al. (2021) Lalat BSF dengan
nama ilmiah Hermetia illucens mempunyai klasifikasi taksonomi dibawah
ini:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Serangga
Ordo : Diptera
Family : Stratiomyidae
Subfamily : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Spesies : Hermetia illucens
Ordo Diptera ialah ordo dengan urutan keempat yang konsumsinya
paling banyak oleh manusia. Ordo Diptera mempunyai 16 family. Diptera
ialah kelompok serangga yang mempunyai kapasitas reproduksi paling besar,
daur hidup paling singkat, kecepatan pertumbuhan yang tinggi, serta
konsumsi pakannya bervariasi dari jenis materiorganik (Wahyuni et al.,
2021).
Lalat jenis Black Soldier Fly mempunyai ukuran lebih besar dari lalat
lainnya dan lalat jenis ini tidak menimbulkan penyakit karena masa hidupnya
hanya untuk kawin dan bereproduksi (Salman et al., 2019). Black Soldier Fly
berwarna hitam dengan bagian segmen basal abdomen berwarna transparan
(wasp waist) sekilas memiliki bentuk abdomen yang sama dengan lebah.
Panjang lalat berkisar antara 15-20 mm dan mempunyai waktu hidup lima
sampai delapan hari. Lalat dewasa tidak memiliki bagian mulut yang

10
fungsional karena lalat dewasa hanya beraktivitas untuk kawin dan
bereproduksi sepanjang hidupnya (Yuwono dan Priscilia, 2018).
Black Soldier Fly atau lalat tentara hitam adalah salah satu serangga
yang mulai banyak dipelajari karakteristiknya dan kandungan nutriennya.
Lalat ini berasal dari Amerika dan selanjutnya tersebar ke wilayah subtropis
dan tropis di dunia, termasuk di Indonesia. Dari berbagai serangga yang dapat
dikembangkan sebagai pakan ternak kandungan protein larva BSF cukup
tinggi (Putra dan Ade, 2020).
Keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan larva BSF
diantaranya: (1) dapat mendegradasi sampah organik menjadi nutrisi untuk
pertumbuhannya, (2) dapat mengkonversi sampah organik menjadi kompos
dengan kandungan penyubur yang tinggi, (3) dapat mengontrol bau dan hama,
serta dapat mengurangi emisi gas rumah kaca pada saat proses dekomposisi
sampah, (4) dapat digunakan sebagai pakan ternak karena tubuh maggot/larva
mengandung zat kitin dan protein yang cukup tinggi, (5) dapat digunakan
sebagai bahan biofuel karena kandungan lemak yang tinggi pada tubuh larva
BSF (Rukmini, 2021).

2.2. Siklus Hidup Lalat BSF

Fase hidup BSF merupakan sebuah siklus metamorfosis sempurna


dengan 4 (empat) fase, yaitu telur, larva, pupa dan BSF dewasa. Siklus hidup
BSF berbeda dengan lalat hijau. BSF memiliki fase lalat yang lebih pendek
dibandingkan dengan fase maggotnya. Sedangkan lalat hijau fase hidupnya
lebih lama ketika menjadi lalat (Wahyuni et al., 2021). Siklus hidup lalat BSF
berlagsung selama 40-43 hari (mulai dari telur hingga menjadi lalat dewasa),
tergantung pada keadaan lingkungan dan pakan yang tersedia (Yusuf, 2023).

Gambar 1. Siklus Hidup Lalat BSF

11
Adapun siklus hidup lalat BSF sebagai berikut (Putra dan Ade, 2020):
1. Fase Telur
Lalat betina BSF mengeluarkan sekitar 300-500 butir telur pada
masa satu kali bertelur. BSF meletakan telurnya di tempat gelap, berupa
lubang/celah yang berada di atas atau di sekitar material yang sudah
membusuk seperti kotoran, sampah, ataupun sayuran busuk. Telur BSF
berukuran sekitar 0,04 inci (kurang dari 1 mm) dengan berat 1-2 µg,
berbentuk oval dengan warna kekuningan. Suhu optimum pemeliharaan
telur BSF adalah antara 28- 35ºC pada suhu kurang dari 25ºC telur akan
menetas pada hari ke 3-4. Telur BSF akan matang dengan sempurna pada
kondisi lembab dan hangat dengan kelembaban sekitar 30-40%, telur
akan menetas dengan baik pada kelembaban 60-80%..
2. Fase Larva
Larva yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil sekitar
0,07 inci (1,8 mm) dan hampir tidak terlihat dengan mata telanjang.
Tidak seperti lalat dewasa yang menyukai sinar matahari, larva BSF
bersifat photophobia. Larva yang baru menetas optimum hidup pada suhu
28-35ºC dengan kelembaban sekitar 60-70%. Pada umur 1 (satu) minggu,
larva BSF memiliki toleransi yang jauh lebih baik terhadap suhu yang
lebih rendah. Ketika cadangan makanan yang tersedia cukup banyak,
larva muda dapat hidup pada suhu kurang dari 20ºC dan lebih tinggi dari
45ºC. Namun larva BSF lebih cepat tumbuh pada suhu 30-36ºC. larva
yang baru menetas akan segera mencari tempat yang lembab dimana
mereka dapat mulai makan pada material organik yang membusuk. Pada
tahap ini larva muda akan sangat rentan terhadap pengaruh faktor
eksternal, termasuk di antaranya terhadap suhu, tekanan oksigen yang
rendah, jamur, kandungan air dan bahan beracun. Ketahananya terhadap
faktor-faktor tersebut akan meningkat setelah berumur sekitar 1 minggu
(berukuran sekitar 5-10 mg).
3. Fase Pupa
Setelah berganti kulit hingga instar yang keenam, larva BSF akan
memiliki kulit yang lebih keras daripada kulit sebelumnya. Yang disebut

12
puparium dimana pupa mulai memasuki fase prepupa. Pada tahap ini
prepupa akan mulai berimigrasi untuk mencari tempat yang lebih kering
dan gelap, sebelum berubah menjadi kepompong. Pupa berukuran kira-
kira dua pertiga dari prepupa dan merupakan tahap dimana BSF dalamn
keadaan pasif dan diam. Serta memiliki tekstur kasar berwarna cokelat
kehitaman. Selama masa perubahan larva menjad pupa, bagian mulut
BSF yang disebut labrumakan membengkok kebawah seperti paruh
elang, yang kemudian berfungsi sebagai kait bagi kepompong. Proses
metamorfosis menjadi BSF dewasa berlangsung dalam kurun waktu
antar sepuluh hari sampai dengan beberapa bulan tergantung kondisi
suhu lingkungan.
4. Lalat Dewasa
Panjang tubuh BSF dewasa adalah antara 12-20 mm dengan
rentang sayap selebar 8-14 mm. BSF dewasa berwarna hitam. Antara
BSF betina dan BSF jantan memiliki penampilan yang tidak jauh
berbeda, dengan ukuran tubuh BSF betina yang lebih besar dan ukuran
ruas ruas kedua pada perutnya yang lebih kecil dibandingkan pada BSF
jantan. BSF dewasa berumur relatif pendek, yaitu 4-8 hari. BSF dewasa
tidak membutuhkan makanan, namun memanfaatkan cadangan energi
dari lemak yang tersimpan selama fase larva. Lalat dewasa berperan
hanya untuk proses reproduksi. BSF dewasa mulai dapat kawin setelah
berumur 2 hari. Setelah terjadi perkawinan, BSF betina akan
menghasilkan sebanyak 300-500 butir telur dan meletakan ditempat yang
bersuhu lembab dan gelap seperti pada kayu lapuk. Kelembaban udara
optimum yang baik untuk BSF betina dapat bertelur adalah antara 30-
90% hal ini dikarnakan BSF bersifat sangat mudah dehidrasi, sehingga
dibutuhkan kelembaban udara yang cukup.

2.3. Media Tumbuh Maggot

Bahan organik merupakan media tumbuh dan berkembangnya larva


BSF (Purnamasari et al., 2019). Larva BSF dapat diberi berbagai macam
pakan, diantaranya adalah sampah dapur, buah-buahan, sayuran, hati, limbah

13
ikan, limbah perkotaan, limbah manusia, dan kotoran hewan. Perbedaan
pakan bisa berpengaruh terhadap proses perkembangan maggot BSF dan
kandungan proteinnya (Wahyuni et al., 2021).
Dormans et al. (dalam Wahyuni et al., 2021) menyatakan bahwa
umumnya karakteristik pakan yang efektif diberikan kepada larva adalah :
1. Kandungan air dalam makanan: sumber makanan harus cukup lembab
dengan kandungan air antara 60-90% supaya dapat dicerna oleh larva.
2. Kebutuhan nutrisi pada makanan: bahan-bahan yang kaya protein dan
karbohidrat akan menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi larva.
Penelitian yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa sampah
yang telah melalui proses penguraian bakteri atau jamur kemungkinan
akan lebih mudah dikonsumsi oleh larva.
3. Ukuran partikel makanan: karena larva tidak memiliki bagian mulut
untuk mengunyah, maka nutrisi akan mudah diserap jika substratnya
berupa bagian-bagian kecil atau bahkan dalam bentuk cair atau seperti
bubur.
Adapun media-media organik yang dapat digunakan sebagai media
tumbuh dari larva BSF atau maggot adalah sebagai berikut :
1. Ampas tahu
Ampas tahu merupakan limbah padat yang diperoleh dari
proses pembuatan tahu. Secara fisik ampas tahu bentuknya agak
padat, berwarna putih diperoleh ketika bubur kedelai diperas
kemudian disaring. Banyaknya pembuatan tahu tentunya akan
menghasilkan banyak limbah ampas tahu (Putri, 2021). Limbah
ampas tahu jika dibiarkan begitu saja dapat menimbulkan masalah
lingkungan, karena ampas tahu dapat menimbulkan aroma yang
tidak sedap.
Kandungan nutrisi dalam ampas tahu yaitu: air 82,69%; abu
0,55%; lemak 0,62%; protein 2,42% dan karbohidrat 13,71%.
Ampas tahu akan cepat basi apabila tidak segera ditangani dengan
baik. Selain itu limbah ini masih mengandung nutrisi yang cukup
tinggi terutama asam amino lysin, metionin dan kalsium (Rukmini,

14
2021). Dengan memanfaatkan ampas tahu dapat membantu
mengurangi biaya produksi peternak, karena harga ampas tahu
cukup murah.
Pemberian ampas tahu sebagai media tumbuh maggot dapat
menghasilkan maggot dengan kandungan protein cukup tinggi yaitu
sebesar 48,03%. Namun, tingginya kadar air dalam ampas tahu dapat
menyebabkan pertubuhan maggot terhambat. Hal ini dikarenakan
maggot akan keluar dari tempat pembiakan untuk mencari tempat
yang lebih kering (Darmanto, 2018).
2. Makanan kadaluarsa
Salah satu jenis makanan kadaluarsa yang dapat
dimanfaatkan sebagai media tumbuh maggot adalah roti kadaluarsa
atau roti afkir. Roti apkir termasuk sampah organik yang dihasilkan
industri pembuatan roti. Roti yang melewati tanggal kedaluwarsa
baik kondisi berjamur ataupun tidak ditumbuhi jamur biasanya akan
langsung dibuang, namun bagi beberapa peternak memanfaatkan roti
apkir untuk pakan berbagai hewan ternak. Balhis et al. (2022)
menyatakan bahwa pemebrian roti afkir pada maggot dapat
mengahsilkan maggot kering dengan kandungan 36,53% protein,
44,64% lemak, 3,91% kadar abu, 7,41% serat kasar dan 4,51% kadar
air.
3. Limbah buah-buhan
Limbah buah-buahan juga dapat dijadikan sebagai media
tumbuh maggot. Ketersediaan limbah buah sangatlah banyak
dijumpai di penjual buah dan tidak termanfaatkan. Kandungan
nutrisi pada limbah buah dapat memenuhi kebutuhan nutrisi maggot
BSF sehingga limbah buah dapat di gunakan sebagai media tumbuh
maggot, tapi tidak semua limbah buah dapat di makan oleh maggot.
Limbah buah yang dapat dimakan oleh maggot yaitu seperti
semangka, apel, jambu, apukat, jeruk dll. Sedangkan limbah buah
yang tidak dapat dimakan oleh maggot adalah buah-buahan yang
matang karena di semprotkan CaC2 (karbita) (Wahyuni et al., 2021).

15
Kandungan nutrisi maggot yang diberi limbah buah-buahan adalah
BK 96.69 %; Abu 9.01 %; PK 46.70 %; SK 13.00 %; LK 21.16 %dan
Beta-N 6.82% (Purnamasari et al., 2019).

2.4. Maggot Kering

Maggot kering merupakan salah satu produk dari maggot segar yang
telah mengalami proses pengeringan untuk mengurangi kadar air, sehingga
dapat menghambat mikroba dan aktivitas enzimatik yang membuat produk
mampu bertahan lama. Eawag (2021) menyatakan bahwa terdapat beberapa
metode pengeringan maggot yaitu sebagai berikut :
1. Pengeringan Menggunakan Oven
Saat ini cukup banyak produsen maggot di Indonesia, kebanyakan
masih menggunakan metode manual berupa pengeringan dengan oven
manual. Saat menggunakan oven, larva perlahan-lahan mengalami
dehidrasi pada suhu 65°C. Pengeringan suhu yang lebih rendah ini
mencegah hilangnya nutrisi penting dan menghindari larva menjadi
terpanggang atau terbakar. Manfaat pengeringan oven adalah cara
pengoperasian yang pasif, sehingga mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
Panas yang dihasilkan dengan menggunakan oven manual tidak
merata. Oleh karena itu, penting untuk memindah-posisikan nampan di
dalam oven, sehingga akan membantu proses pengeringan yang merata.
Dalam proses pengeringan lambat seperti pengeringan oven, air menguap
perlahan dan kulit larva terus menyusut hingga mencapai berat yang
konstan. Produk yang dihasilkan pun kurang bervolume, serta teksturnya
keras dan kaku.
2. Pengeringan Menggunakan Microwave
Pengeringan dengan microwave adalah metode pengeringan
cepat dan menghasilkan pop-larva. Pop-larva merupakan salah satu jenis
maggot kering yang memiliki bentuk mengembang dan bertekstur
renyah. Microwave hanya menghasilkan sedikit reaksi induksi panas
sehingga warna kuning pucat larva tetap bertahan di produk pop-larva.
Pemanasan microwave membutuhkan aliran listrik, namun merupakan

16
proses yang hemat energi dan sederhana. Terdapat dua jenis microwave
yang dapat digunakan, yaitu microwave dapur dan microwave skala
industri. Microwave dapur yang sederhana, yang sesuai untuk
penggunaan skala kecil karena hanya membutuhkan modal dan ruang
minim. Akan tetapi, ada juga microwave skala industri, yang
membutuhkan investasi lebih besar tetapi memungkinkan pemrosesan
dengan jumlah larva terproses (batch) yang lebih besar pula.
3. Pengeringan dengan Penyangraian
Pengeringan maggot dengan cara disangrai biasanya
menggunakan pasir sebagai media pemindah panas, pasir berfungsi
untuk mencegah kebakaran dan meratakan panas. Proses penyangraian
tersebut sering menimbulkan permasalahan yaitu tingkat kematangan
maggot kurang sempurna, sehingga kualitas tidak optimal yang
berpengaruh pada harga jual. Pengeringan dengan metode penyangraian
dapat menghasilkan pop-larva dengan warna yang lebih gelap. Metedo
ini cukup banyak digunakan oleh pembudidaya maggot skala kecil
karena tidak membutuhkan biaya besar.

Hasil Microwave Hasil Sangrai Hasil Oven

Gambar 2. Hasil Maggot Kering dengan Tiga Metode Berbeda

2.5. Kualitas Fisik dan Kimia Maggot Kering

Kualitas fisik dan kimia maggot kering dapat dipengaruhi oleh


proses pengeringan yang digunakan. Proses pengeringan maggot dengan suhu
tinggi dapat menyebabkan perubahan nilai nutrien terutama protein karena
mengalami denaturasi (Purnamasari et al., 2019). Selain itu proses
pengeringan juga dapat mengubah bentuk dan warna maggot (Eawag, 2021).
Kualitas fisik maggot kering dapat diketahui dengan melakukan
pengamatan dan pengukuran. Kualitas fisik maggot kering ditentukan oleh
panjang, bobot badan, bentuk dan warna maggot kering. Panjang dan bobot

17
maggot diperoleh setelah maggot dikeringkan. Untuk mengetahui bobot
maggot kering akan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital
dengan spesifikasi 0,001gr. Sedangkan untuk panjang maggot diperoleh
dengan mengukurnya menggunakan penggaris (Wahyuni et al., 2021).
Maggot kering memiliki warna kuning pucat atau tidak jauh berbeda dengan
warna saat menjadi maggot segar (Eawag, 2021). Maggot kering memiliki
karakteristik kering, renyah, dan mengembang (Balhis et al., 2022).
Kualitas kimia maggot dapat di tentukan dengan melakukan uji
proksimal, yaitu dengan melakukan analisis kandungan nutrisi mulai dari
kadar air, kadar abu, kadar lemak protein, dan karbohidrat yang terkandung
dalam maggot kering. Adapun metode uji yang digunakan dalam analisis
kadar air dan abu menggunakan metode pengovenan, kadar lemak yaitu
menggunakan metode uji sokhlet, uji kadar protein menggunakan metode
kjedahl dan uji kadar karbohidrat menggunakan metode by different (Azir et
al., 2017).
Maggot BSF dalam bentuk kering mengandung 41-42% protein kasar,
14-15% abu, 31-35% ekstrak eter, 0,60-0,63% fosfor, dan 4,8-5,1% kalsium.
Maggot BSF kering juga mengandung protein dan minyak yang cukup tinggi.
Kandungan ini tidak dimiliki oleh larva serangga lain. Kandungan protein dan
minyak yang tinggi inilah yang menjadikan maggot BSF sangat cocok
diberikan pada unggas, ikan, burung dan reptil sebagai pakan alami pengganti
pakan pabrikan. Maggot BSF kering merupakan faktor penting untuk
meningkatkan tingkat konsumsi pakan (palatabilitas pakan). Pasalnya, rasa,
aroma dan warna maggot BSF sesuai dengan selera hewan ternak, unggas dan
ikan.

18
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2023.
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Non
Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Mataram.

3.2. Materi Penelitian

3.2.1. Alat-alat Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Cawan porselin
2. Desikator
3. Ekstraksi Soxhlet
4. Jarring besi
5. Kompor listrik
6. Kondensor
7. Labu erlenmeyer
8. Labu kjedahl 30 ml
9. Labu lemak
10. Labu suling
11. Microwave
12. Oven
13. Piring keramik
14. Saringan
15. Sendok
16. Timbangan digital
17. Wadah plastic
3.2.2. Bahan-bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :

19
1. Ampas tahu
2. Aquades 60 mL
3. HgO 0,3 g
4. H2SO4 1 M 15 mL
5. Kertas saring
6. K2SO4 7,5 g
7. Limbah buah-buhan
8. Makanan kadaluarsa
9. Metil merah 3 tetes
10. NaOH 50% 60 mL
11. NaOH 0,1 N
12. Pelarut heksana
13. Serbuk kayu
14. Tisu
3.2.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan tiga perlakuan dan 5 ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah media budidaya BSF yang berbeda.
Adapun tiga pelakuan yang dilakukan sebagai berikut :
a. P1 : Ampas tahu
b. P2 : Makanan kadaluarsa
c. P3 : Limbah buah-buahan
Berikut tabel plot tata letak unit percobaan penelitian
pemeliharaan maggot BSF dapat dilihat pada tabel 1.

PI U1 P2 U1 P3 U1
P1 U2 P2 U2 P3 U2
P1 U3 P2 U3 P3 U3
P1 U4 P2 U4 P3 U4
P1 U5 P2 U5 P3 U5

Tabel 1. Tata letak percobaan pemeliharaan maggot BSF

20
Parameter yang diamati yaitu kualitas fisik dan kimia maggot
kering. Kualitas fisik maggot kering dapat dilihat dari warna, bentuk
panjang dan berat maggot. Sedangkan kualitas kimia maggot dapat
diketahui dengan melakukan uji kandungan protein, lemak dan abu.
Adapun metode penelitian dibagi menjadi empat tahapan,
yaitu persiapan media, budidaya, pengeringan maggot dan uji
kualitas fisik dan kimia maggot kering.
1. Persiapan Media
Media tumbuh maggot yang digunakan pada penelitian ini
terdiri dari tiga jenis, yaitu ampas tahu, limbah buah-buahan dan
makanan kadaluarsa. Sebelum diberikan pada maggot, media-
media tersebut akan di hancurkan terlebih dahulu menggunakan
blender secara terpisah, kemudian di kurangi kadar airnya dengan
cara diperas. Selanjutnya setelah ketiga media tersebut
dihaluskan dan dikurangi kadar airnya, masing-masing media
akan ditimbang sebanyak 500 gram untuk diberikan pada maggot.
2. Budidaya
Kegiatan budidaya maggot dilakukan selama 14 hari.
Pada tahap awal budidaya maggot yang perlu disiapkan adalah
biopond sebagai tempat pemeliharaan maggot. Biopond yang
digunakan dalam penelitian adalah wadah plastik sebanyak 15
buah. Wadah plastik tersebut akan dibagi menjadi tiga sesuai
jumlah perlakuan, sehingga masing-masing perlakuan berisi lima
ulangan. Masing-masing wadah plastik diisi dengan media
sebanyak 500 gram. Pada perlakuan 1 (P I) berisi media dari
ampas tahu, perlakuan ke-2 (P II) berisi media dari makanan
kadaluarsa dan perlakuan ke-3 (P III) berisi media dari limbah
buah-buahan.
Wadah plastik yang berisi 500 gram media selanjutnya
ditaburi serbuk kayu, untuk menjaga kelembaban media.
selanjutnya, pada bagian atas media tersebut diletakkan jaring
besi yang berguna sebagai tempat meletakkan telur. Telur

21
sebanyak 5 gram yang telah dialasi tisu diletakkan di atas jaring
besi tersebut. Telur maggot ini diperoleh dari tempat budidaya
maggot Desa Midang, Kabupaten Lombok Barat. Selanjutnya
wadah plastik yang telah berisi telur dan media diletakkan di rak
budidaya. Pemberian media kembali dilakukan jika media dalam
wadah plastik habis.
Maggot dipanen pada fase larva umur 14 hari, saat media
yang digunakan gembur sehingga memudahkan saat memisahkan
maggot dengan medianya. Pemisahan maggot dengan medianya
menggunakan saringan besi.
3. Pengeringan Maggot
Pada penelitian ini maggot yang dikeringkan berumur 14
hari (umur panen). Pengeringan maggot dilakukan menggunakan
microwave. Maggot yang akan dikeringkan terlebih dahulu
dipisahkan dari medianya dengan cara di ayak. Selanjutnya
maggot tersebut di cuci bersih menggunakan air mengalir dan
ditiriskan. Setelah itu maggot ditimbang sebanyak 250 gram di
letakkan ke atas piring kramik khusus microwave dan diratakan.
Piring berisi maggot dimasukkan ke dalam microwave dan mulai
proses pengeringan dengan 3 siklus selama 5 menit/siklus, pada
daya tertinggi (1000 Watt). Setiap 5 menit, buka microwave
selama 30 detik untuk mengeluarkan uapnya, kemudian balik
menggunakan sendok. Uap yang terlalu banyak di dalam
microwave, dapat menyebabkan larva menjadi lembab dan basah,
dan juga pengeringan akan lebih lama jika uap tidak dikeluarkan.
Selama siklus terakhir akan terdengar suara khas meletup.
4. Uji Kualitas Fisik Maggot Kering
Uji kualitas fisik maggot dilakukan dengan mengukur
panjang, bobot badan, warna dan bentuk maggot kering. Uji
kualitas fisik maggot dimulai dengan pengambilan sampel
sebanyak 30 ekor maggot kering dari setiap perlakuan dan
ulangan yang digunakan. Selanjutnya satu-persatu sampel

22
tersebut diukur mulai dari panjang, bobot, bentuk dan warnanya.
Pengukuran panjang maggot kering diukur menggunakan
penggaris. Untuk menghitung bobot maggot kering dilakukan
dengan menggunakan timbangan digital. Uji bentuk dilakukan
dengan mengamati apakah bentuk maggot kering mengembang
atau gepeng. Sedangkan uji warna dilakukan dengan
memabandingkan warna yang dihasilkan dari masing-masing
perlakuan.
5. Uji Kualitas Kimia Maggot Kering
Pengamatan kualitas kimia pada maggot kering dengan
melakukan analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak protein, dan
karbohidrat yang terkandung dalam maggot kering. Adapun
metode uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
a. Kadar air
Prinsip analisa kadar air adalah proses penguapan air
dari suatu bahan dengan cara pemanasan. Penentuan kadar
air didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum dan
sesudah dikeringkan. Prosedur analisa kadar air adalah
sebagai berikut :
1) Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam
oven selama 15 menit, kemudian didinginkan selama 30
menit dalam desikator, setelah dingin beratnya
ditimbang,
2) Sampel ditimbang sebanyak 5g kemudian dimasukkan
dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven selama
6 jam pada suhu 105 ᵒC,
3) Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama
30 menit dan setelah dingin kembali ditimbang,
4) Kemudian setelah ditimbang, cawan tersebut
dikeringkan dalam oven kembali sehingga didapat berat
konstan,

23
5) Menghitung persentase kadar air dengan rumus menurut
sebagai berikut:
𝐵1−𝐵2
% kadar air = x 100%
𝐵
Keterangan :
B = Berat Sampel
B1 = Berat (sampel + cawan) Sebelum Dikeringkan (g)
B2 = Berat (sampel + cawan) Sesudah Dikeringkan (g)
b. Kadar abu
Prinsip kadar abu adalah proses pembakaran senyawa
organik sehingga didapatkan residu anorganik yang disebut
abu. Prosedur analisa kadar abu adalah sebagai berikut :
1) Cawan porselen kosong dipanaskan di dalam oven
kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit
dan ditimbang beratnya,
2) Sampel ditimbang sebanyak 5g dan diletakan dalam
cawan, kemudian dibakar pada kompor listrik sampai
tidak berasap,
3) Cawan kemudian di masukan dalam muffle furnace.
Pengabuan dilakukan pada suhu 550 ᵒC selama 2-3 jam
hingga terbentuk abu berwarna abu keputihan,
4) Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah
dingin cawan kemudian ditimbang, dan
5) Menghitung persentase kadar abu dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢 (𝑔)
% kadar abu = x 100%
Berat Sampel (g)

c. Kadar lemak
Analisa kadar lemak adalah pemisahan lemak dari
sampel dengan cara mensirkulasikan pelarut lemak ke dalam
sampel, sehingga senyawa - senyawa lain tidak dapat larut
dalam pelarut tersebut. Prosedur analisa kadar lemak adalah
sebagai berikut :

24
1) Sampel sebanyak ± 5g ditimbang dan dibungkus dengan
menggunakan kertas saring dan diletakkan pada alat
ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta
labu lemak dibawahnya,
2) Pelarut heksana digunakan dan dilakukan refluks sampai
pelarut turun ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu
lemak di destilasi dan ditampung,
3) Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ᵒC selama ± 5 jam,
4) Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator
selama 20 sampai 30 menit dan ditimbang serta,
5) Menghitung persentase kadar lemak dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
berat akhir g − berat awal (g)
% lemak= x 100%
berat bahan (g)

d. Kadar protein
Prinsip kadar protein adalah proses pembebasan
nitrogen dari protein dalam bahan dengan menggunakan
asam sulfat yang dilakukan dengan pemanasan. Penentuan
total nitrogen dan kadar protein dengan menggunakan
metode mikro- kjeldahl. Prosedur analisa kadar protein
adalah sebagai berikut :
1) Sampel ditimbang sebanyak 2gr, dihaluskan dan
dimasukkan dalam labu kjedahl 30 ml, ditambah 7,5 g
K2SO4 , 0,3 g HgO dan 15 ml H2SO4 pekat,
2) Destruksi dilakukan sampai diperoleh warna hijau jernih
setelah labu kjedahl dingin dan dimasukkan ke dalam labu
suling,
3) Sebelum dipindahkan ke labu destilasi bahan didinginkan
lalu ditambah 60 ml aquades dan 20 ml larutan NaOH
50%,
4) Destilat ditampung di dalam labu Erlenmeyer yang
sebelumnya telah diisi dengan 20 ml H2SO4 0,1 N dan 3

25
tetes indikator metil merah lalu didestilasi sehingga
tertampung destilat sebanyak 75 ml,
5) Isi labu Erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai
diperoleh warna larut kuning,
6) Kadar protein dihitung berdasarkan kadar N dalam bahan
dengan dikalikan factorkonversi. Adapun rumus
menghitung kadar protein adalah sebagai berikut :
mLHCL X NHCL X (14,008)
%N = X 100 %
mg Sampel

% Protein = % Factor konversi (6,25)


e. Kadar karbohidrat
Perhitungan karbohidrat dilakuakan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
% Karbohidrat = 100% - ( % Air + % Abu + Protein + % Lemak)

26
DAFTAR PUSTAKA

Afkar, K., et al. 2020. Budidaya Maggot BSF (Black Soldier Fly) sebagai Pakan
Alternatif Ikan Lele (Clarias Batracus) di Desa Candipari, Sidoarjo
pada Program Holistik Pembinaan dan Pemberdayaan Desa
(PHP2D). Journal of Science and Social Development, Vol. 3 : 10-16.
Alizahatie, H. 2019. Budidaya Black Soldier Fly dengan Memanfaatkan Limbah
Rumah Tangga Sebagai Alternatif Pakan Ikan Air Tawar dan Unggas.
Blitar.
Andari, Gardis, Nina Maksimiliana Ginting dan Ramadan Nurdiana. 2021. Larva
Black Soldier Fly (Hermetia illucens) sebagai Agen Pereduksi Sampah
dan Alternatif Pakan Ternak. Jurnal Imliah Peternakan Terpadu, 9(3) :
246-252.
Azir, A., H. Harris, dan R. N. K. Haris. 2017. Produksi dan Kandungan Nutrisi
Maggot (Chrysomya megacephala) menggunakan komposisi. Media
Kultur Berbeda. 12(1) : 34–40.
Balhis, Maduri Nur, Dyah Rini Indriyanti, Priyantini Widiyaningrum dan Ning
Setiati. 2022. Biokonversi Limbah Roti Apkir dan Ampas Tahu dengan
Memanfaatkan Larva Hermetia illucens. Life Science 11(2) : 132-142.
Eawag. 2021. Proses Pengolahan Sampah Organik dengan Black Soldier Fly
(BSF). Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology.
Purnamasari, L, Sucipto I, Muhlison W dan Pratiwi N. 2019. Komposisi Nutrien
Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucent) dengan Media Tumbuh,
Suhu dan Waktu Pengeringan yang Berbeda. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 675-680.
Putra, Yongki dan Ade Ariesmayana. 2020. Efektifitas Penguraian Sampah
Organik Menggunakan Maggot (Bsf) di Pasar Rau Trade Center.
Jurnalis, 3(1) : 11-24.
Putri, Karenina Noermita Budiman. 2021. Formulasi Komposisi Ampas Tahu dan
Singkong Terhadap Pertumbuhan Maggot (Hermetia illucens).
Skripsi. Lampung.
Rukmini, Piyantina. 2021. Pemanfaatan Ampas Tahu Dan Sampah Pasar Sebagai
Pakan Larva BSF. Joiche, 1(2) : 46-55.
Salman, Nurcholis, Estin Nofiyanti dan Tazkia Nurfadhilah. 2019. Pengaruh dan
Efektivitas Maggot Sebagai Proses Alternatif Penguraian Sampah
Organik Kota di Indonesia. Serambi Engineering, Volume V, No. 1 :
835-841.
Sholahuddin, A. Sulistya, R. Wijayanti dan Subagya. 2021. Potensi Maggot (Black
Soldier Fly) sebagai Pakan Ternak di Desa Miri Kecamatan

27
Kismantoro Wonogiri. PRIMA: Journal of Community Empowering
and Services, 5(2) : 161-167.
Sujarwo, Anton, Lady Diana Khartiono dan Sri Sukari Agustina. 2022. Perbedaan
Media Pemikat Terhadap Pertumbuhan Populasi Starter Maggot BSF
(Hermetia illucens). Zona Akuatik Banggai Journal, 3(1) : 18-26.
Wahyuni, Ratna Kumala Dewi, F. Ardiansyah dan R. C. Fadhlil. 2021. Magot BSF
Kualitas Fisik dan Kimianya. Litbang Pemas Unisla : Jawa Timur.
Yuwono, Arief Sabdo dan Priscilia Dana Mentari. 2018. Penggunaan Larva
(Maggot) Black Soldier Fly (BSF) dalam Pengolahan Limbah
Organik. Bogor : Seameo Biotrop.

28

Anda mungkin juga menyukai