Anda di halaman 1dari 478

i

ii
iii
PANGERAN DARI BUKIT LADA,
Perdagangan Lada dan Dinamika Politik di Kesultanan Banjarmasin
Abad 16-Abad 19

Tim Penulis : Mansyur, Wajidi, Wasita, Syahlan Mattiro, Nasrullah, Mursalin

Copyright © 2023
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penulis, kecuali dalam hal pengutipan untuk
keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah

Penyunting Bahasa : Mursalin

Penyunting Materi : Mansyur

Desain Cover : Mansyur

Penerbit:
Direktorat Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Gedung E, Jl. Jenderal Sudirman,
Senayan, Jakarta Pusat

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pangeran Dari Bukit Lada/ Mansyur, Wajidi, Wasita, Syahlan Mattiro,


Nasrullah, Mursalin  Cet. 1. Jakarta: Penerbit Direktorat Direktorat
Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan, 2023.
xxx, 450 hlm., 14,5 x 21 cm. ISBN : -

iv
Dipersembahkan kepada para akademisi,
Pemerhati, penggiat & pendidik sejarah

v
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta:


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
menyebarkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hal terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

vi
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, karena atas


segala anugerah dan perlindungannya, akhirnya hasil
penelitian berupa naskah buku berjudul Pangeran Dari Bukit
Lada, Perdagangan Lada & Dinamika Politik di Kesultanan
Banjarmasin Abad ke-16 Sampai Abad ke-18 dapat
dirampungkan seperti adanya penampilan naskah ini. Tulisan
ini hadir setelah melalui proses penelitian dengan
menggunakan Metode Sejarah untuk merekonstruksi aspek
kesejarahan, dengan tahap heuristik, kritik (eksternal dan
internal), interpretasi, hingga historiografi. Melalui seleksi
atas sumber arsip-arsip Eropa (Belanda dan Inggris) maupun
sumber lokal relevan, dalam rangka mewujudkan
obyektifitas penulisan sejarah sesuai tema yang ditulis.
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada pihak
Direktorat Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang telah
memberikan bantuan dana dalam rangkaian penulisan
naskah buku Zamrud Khatulistiwa : Kota-Kota di Jalur
Rempah Pada Era Kejayaan Nusantara.
Penulisan naskah Banjarmasin sebagai kota dagang di
jalur rempah akan mendukung revitalisasi jalur rempah
dengan berbagai unsur budaya dan komunitas di dalamnya
sebagai warisan dunia (world heritage route). Tujuannya

vii
dapat menjadi modal budaya (cultural capital) yang besar
nilainya untuk menumbuhkan kebanggaan jati diri daerah-
daerah di Indonesia serta bagi pembangunan berkelanjutan
seluruh Bangsa Indonesia.
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki warisan
dunia berupa jalur budaya (heritage route), padahal memiliki
potensi besar. Apalagi UNESCO World Heritage Committee
sangat mengharapkan nominasi heritage route, terutama di
kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, dengan penulisan
naskah akan memperkuat nominasi jalur rempah Nusantara
sebagai warisan dunia. Pada gilirannya dapat mewadahi
nominasi kota-kota bersejarah di Indonesia yang belum
masuk dalam Daftar Warisan Dunia. Kegiatan ini merupakan
penelitian multi years yang akan menghasilkan narasi
mengenai kota-kota dagang utama di sepanjang jalur
rempah antara Cina, Nusantara, dan Eropa. Pada tahun
pertama ini (2020), penelitian difokuskan pada beberapa
kota pelabuhan penting di jalur rempah Nusantara (dalam
negeri) dengan target sekitar 15 kota pelabuhan (15 naskah
penulisan). Satu diantaranya adalah Banjarmasin. Penulisan
dimulai dari Bulan April dan ditargetkan selesai awal Bulan
Nopember tahun 2020.
Terima kasih secara khusus dihaturkan kepada
Direktur Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan, Bapak
Dr. Restu Gunawan, M.Hum, staf Direktorat terutama
kepada Bapak M. Atqa, Ibu Yayuk, serta semua staf
direktorat yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu,
viii
telah banyak membantu kami mulai dari awal
penyelenggaraan kegiatan penulisan naskah buku hingga
akhir ditandai selesainya naskah ini. Semoga mendapat
balasan setimpal dari Allah SWT. Aamiin aamiin ya rabbal
alamiin.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing
kami, Bapak Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum., atas
segala arahan, masukan dan bimbingannya dalam penulisan
naskah ini. Beliau juga banyak memberikan data, arsip yang
sangat menunjang serta membantu kelancaran
pengumpulan data hingga penyelesaian naskah. Semoga
Allah SWT membalas kebaikan beliau. Terima kasih sebesar
besarnya kepada Dekan FKIP, Universitas Lambung
Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Bapak
Dr. Chairil Faif Pasani, M.Si atas diskusinya dalam beberapa
kesempatan mengenai sejarah lokal Banjar. Ketua Program
Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Bapak Drs Rusdi Effendy,
M.Pd, atas masukannya. Tidak lupa pihak akademisi dan
sejarawan Kalimantan Selatan dari Program Studi Pendidikan
Sejarah, FKIP Universitas Lambung Mangkurat yang selalu
menjadi panutan dan inspirasi kami, Bapak Prof. Dr.
Bambang Subiyakto, M.Hum., Dr. M. Zaenal Arifin Anis,
M.Hum, Drs. Hairiyadi, M.Hum., Drs. Yusliani Noor, M.Pd.
(almarhum), atas semua masukan dan arahannya.
Terima kasih kepada Kepala Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, Bapak Muslimin AR
Effendy beserta staf, kemudian Kepala Balai Arkeologi
ix
Kalimantan Selatan, Bapak Nuralam beserta staf, Kepala
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat, Ibu
Hendraswati dan staf yang telah banyak membantu kami
memberikan masukan dan bimbingan dalam proses
penelitian.
Terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kebudayaan
& Pariwisata Kota Banjarmasin, Bapak Ihsan Alhak, Kasi
Kebudayaan Bapak Andi Pahwanda, atas diskusinya yang
sangat membantu kegiatan pengumpulan data di lapangan.
Terima kasih juga kepada semua narasumber, dan informan
di seluruh pelosok Kalimantan Selatan yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu.
Terima kasih kepada Paul Spencer Sochaczewski dari
Washington, atas pinjaman novelnya, Hare The Daughter of
the Pangaran, Donald Tick dari Vlaardingen atas diskusinya
dan Adrian Linder dari Bern atas masukannya tentang
sejarah lokal di Borneo. Semoga selalu diberikan kesehatan.
Tidak lupa pula ucapan terimakasih secara khusus kepada
semua mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP,
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, yang telah
banyak membantu kami mulai dari proses pengumpulan
data lapangan (observasi dan wawancara), pengumpulan
arsip klasik dari berbagai sumber, arsip Hindia Belanda dan
terjemahannya, tempat berdiskusi dan konsultasi dalam
merekonstruksi budidaya & perdagangan rempah lada di
Kesultanan Banjarmasin abad ke 16 hingga abad ke 18.

x
Akhirnya dengan satu doa, semoga Allah SWT
memberikan balasan kebajikan atas peran serta dalam
membantu merampungkan naskah buku ini. Hal ini penting
sebagai bahan utama pengakuan jalur rempah Nusantara
sebagai jejaring interaksi budaya Nusantara yang diharapkan
dapat lebih mempererat hubungan antara bangsa dalam
konteks persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Pengakuan Jalur Rempah sebagai warisan dunia dapat
menjadi sarana diplomasi (budaya) bagi Pemerintah
Indonesia di kancah antar bangsa.
Naskah buku ini disadari masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga memerlukan saran-saran
konstruktif. Tim penulis sangat menyadari akan hal ini,
dengan meminjam istilah lama, “tak ada gading yang tak
retak”. Apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam naskah
buku ini kami memohon maaaf sebesar-besarnya dan akan
kami perbaiki dalam penulisan berikutnya. Semoga
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Banjarmasin, April 2023

Tim Penulis

xi
xii
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................ xii
DAFTAR TABEL ............................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .......................................... 1
A. Latar Belakang ....................................... 1
B. Ruang Lingkup & Fokus Penelitian ........ 13
C. Metode .................................................. 15
D. Sistematika Penulisan ........................... 20
BAB II KONDISI GEOGRAFIS, SOSIAL &
HISTORIS BORNEO BAGIAN TENGGARA .... 27
A. Kondisi Alam & Iklim ............................. 27
B. Penduduk & Lapisan Sosial ................... 15
1. Bangsawan/Tutus Bubuhan Raja ...... 42
2. Orang Besar Berpangkat ................... 44
3. Golongan Agama .............................. 26
4. Rakyat Jelata/Jaba ............................ 46
5. Hilang Kemerdekaan/Pandeling ....... 50
C. Sumber Daya Alam & Perekonomian .... 52
D. Latar Historis Banjarmasin Pra Abad ke-
16 .......................................................... 62
1. Kahuripan/Tabalong, Kerajaan Kuno
Vazal Majapahit ................................ 62
2. Ampu Jatmika & Negara Dipa ........... 65
3. Negara Daha, Embrio Kesultanan
Banjarmasin ...................................... 77

xiii
BAB III BUDIDAYA LADA DI BORNEO BAGIAN
TENGGARA ABAD KE-16 .......................... 83
A. Asal Usul Lada di Borneo .................... 83
1. Sentra Lada Lokal .......................... 87
2. Lada Negara, Kayutangi, Maluka &
Pulau Laut ............................. 91
B. Budidaya Lada .................................... 98
1. Tanah Belumpur & Ladang Kering .. 98
2. Mamanduk, Kearifan Lokal Berta-
nam Lada ............................... 103
C. Dari Tanaman “Terlarang” ke Komo-
ditas Unggulan ........................... 110
BAB IV SULTAN, LADA & PEDAGANG, PERSAI-
NGAN EKONOMI HINGGA IHWAL
KESULTANAN BANJAR TAHUN 1526-1700 121
A. Persaingan Bandar Muara Bahan &
Bandarmasih ........................................ 121
B. Prahara & Munculnya Kesultanan
Banjarmasin .......................................... 134
1. Berdirinya Kesultanan ...................... 134
2. Struktur Pemerintahan/Birokrasi ..... 143
C. Bangsawan Banjar: Pemilik Lada di
Tanah Apanaze ...................................... 155
1. Sultan Banjar .................................... 155
2. Sistem Tanah Apanaze (Lungguh) .... 157
3. Ihwal Perebutan Kuasa & Perge-
seran Sistem Politik .......................... 166
BAB V MASA KEEMASAN PERDAGANGAN LADA,
KESULTANAN BANJAR DALAM LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA &
INTERNASIONAL TAHUN 1700-1800 ....... 175
A. Banjarmasin Memasuki Era Niaga ...... 175
xiv
1.Jaringan Perdagangan .................... 181
2.Aktor Perdagangan & Alat Tukar .... 192
3.Lada & Barang Ekspor-Impor Lain .... 200
4.Pelabuhan Tatas & Perisai Benteng
Tabanio ........................................... 207
B. Pasang Surut Perdagangan Lada &
Intervensi Eropa ........................... 218
1. Peristiwa “Banten” & Perdagangan
Lada Banjar ............................ 219
2. Terusir Dari Patani, Pedagang Cina
ke Banjarmasin ...................... 225
3. Utang Sultan Dibayar Lada, Ekspansi
& Monopoli VOC ............. 234
4. Tarik Ulur Perdagangan Inggris ........ 247
BAB VI LADA ERA “RAJA PUTIH”: STUDI KASUS
KEHADIRAN KOLONIALIS INGGRIS DALAM
USAHA PERKEBUNAN TAHUN 1811-1817 255
A. “Raja Putih” Alexander Hare dan
Konsesi Maluka ................................... 255
B. Pengembangan Komoditas Lada Ala
Inggris ................................................. 273
C. Penempaan Mata Uang ...................... 279
D. Pembuatan Jung/Kapal Dagang ......... 286
E. “Banjarmasin Enormity”: Kisah Tragis
Perbudakan ......................................... 292
F. Kegagalan “Raja Putih” & kembalinya
Hegemoni Belanda ....................... 300
BAB VII LADA DI UJUNG TANDUK: MEREDUPNYA
BUDIDAYA & PERDAGANGAN LADA
KESULTANAN BANJARMASIN TAHUN
1825-1900 ............................................... 311
A. Monopoli VOC, Konflik Internal &
xv
Kondisi Alam ............................. 312
B. Undang-Undang Sultan Adam Tahun
1825 & Pengaturan Pemilikan Tanah .. 319
C. Perang Banjar & Penghapusan Tanah
Apanaze ................................... 327
D. Emas Hitam Sang Primadona, Batu-
bara Pesaing Lada ............................... 340
E. Varietas Lada Tergerus Karet ............. 343
F. Perubahan Ekspansi Modal Swasta .... 347
BAB VIII PERUBAHAN LANSKAP KOTA PELABU-
HAN BANJARMASIN & TINGGALAN
BUDAYA LADA ......................................... 359
A. Perubahan Lanskap Kota Pelabuhan
Banjarmasin Tahun 1526-1860 ........... 359
1. Kota Pelabuhan-Pusat Politik (Port-
Polity) Tahun 1526-1612 ................ 362
2. Kota Pelabuhan Sekunder (Secon-
dary Port-City) Tahun 1612-1663 ... 365
3. Kota Pelabuhan Utama Kesultanan
(1663-1787) .................................... 368
4. Kota Pelabuhan Utama Belanda di
Kalimantan Tenggara (1787-1860) 374
B. Tampilnya Kelas Saudagar ................. 378
C. Tinggalan Budidaya Lada di Tabalong ... 390
D. Budaya & Kuliner ................................ 395
1. Lada Dalam Motif Kain Sasirangan
Ramak Sahang ............................... 395
2. Aroma lada Dalam Kuliner & Obat
Tradisional Banjar ........................... 401
BAB IX KESIMPULAN ........................................... 405
BIBLIOGRAFI ................................................................. 413
LAMPIRAN .................................................................... 439
xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar
2.1 Kondisi geografis Kalimantan dalam Peta Borneo
Insula (Kepulauan Borneo), tahun 1602. ............... 28
2.2 Daerah Aliran Sungai Barito di wilayah Borneo ..... 32
2.3 Suasana Rumah Bangsawan Banjar jaman dahulu
yang berada di bantaran sungai, dengan posisi
menghadap sungai ………………………........................ 36
2.4 Lukisan Pakaian Bangsawan Banjar Pada Abad ke-
19 ……………………..................................................... 43
2.5 Pakaian bangsawan Banjar pada tahun 1850-an .. 45
2.6 Gambar pakaian golongan agama, bangsawan
dan masyarakat biasa di Kesultanan Banjar …… 47
2.7 Lukisan Pakaian Bangsawan Banjar dan masyara-
kat biasa (jaba) pada Abad ke-19 ……..................... 49
2.8 Wilayah Margasari, Lokasi Kerajaan Negara Dipa
tahun 1900-an ………............................................... 54
2.9 Kondisi Wilayah Negara (Bekas Kerajaan Negara
Daha) pada Tahun 1900-an ……………………………….. 56
2.10 Beberapa titik perkiraan Lokasi Kerajaan
Kuripan/Kahuripan……………................................... 64
2.11 Sketsa Lokasi Pusat Kerajaan Negara Dipa yang
kemudian pindah ke Negara Daha ………………........ 66
2.12 Situs Candi Agung Amuntai (kiri). Gambar Lokasi
Candi Agung Amuntai Hulu Sungai Utara (kanan) . 70
2.13 Ilustrasi Mahapatih Lambung Mangkurat …………… 73
2.14 Ilustrasi Puteri Junjung Buih dan Lambung
Mangkurat Bertapa di Hulak Banyu (kiri) dan
Ilustrasi Pangeran Suryanata (kanan) ………………... 74
2.15 Silsilah Raja Suryaganggawangsa ……………………….. 75
2.16 Peninggalan Situs Candi Laras ………………………....... 78
xvii
2.17 Kondisi Wilayah Negara (Bekas Kerajaan Negara
Daha) Pada Tahun 1900-an (kiri) dan Gambar
Batu Candi Laras Margasari, peninggalan
Kerajaan Negara Daha tahun 1938 (kanan) ……….. 81
3.1 Varietas Piper Ningrum (Lada Hitam) yang
Menjadi Komoditas di Banjarmasin ………………….. 85
3.2 Sentra Lada di wilayah Borneo bagian Tenggara … 90
3.3 Varietas Piper Ningrum (Lada Hitam) yang
Menjadi Komoditas di Banjarmasin ………………… 92
3.4 Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Borneo ……… 94
3.5 Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Hindia
Belanda ………………………......................................... 99
3.6 Ilustrasi Penanaman sahang (lada) di wilayah
Borneo ……………………............................................. 108
3.7 Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Borneo
(Kalimantan) bagian Timur …................................. 118
4.1 Perbandingan lokasi Muara Bahan (Marabahan)
dengan Bandar Masih (Banjarmasin) ……………...... 123
4.2 Peta Aliran Sungai Kuin dan sekitarnya yang
menjadi cikal bakal Banjarmasin ……………………..... 126
4.3 Wilayah Muara Bahan, pelabuhan utama
Kerajaan Negara Daha, tahun 1938 …………………... 129
4.4 Lukisan Kampung Kuin, Banjarmasin Tahun 1800-
an ……………………..................................................... 130
4.5 Ilustrasi pertemuan Pangeran Samudera dan
Pangeran Tumenggung ………................................. 132
4.6 Ilustrasi Keraton Istana Kerajaan Banjar di
Kampung Kuin ………………....................................... 139
4.7 Masjid Sultan Suriansyah Tahun 1900-an (atas)
dan tahun 2000-an (bawah) .................................. 142
4.8 Makam Sultan Suriansyah, Sultan Pertama
Kesultanan Banjar, tahun 1900-an …………………….. 148
xviii
4.9 Struktur Birokrasi Kesultanan Banjar Abad ke- 16-
17 …………………....................................................... 152
4.10 Istana Kesultanan Banjarmasin ke-4, tahun 1834 . 161
4.11. Lambang Kesultanan Banjar …………………………….... 170
5.1. Rute Perdagangan Internasional di Asia Tenggara
Pada Abad ke-16, Sebelum Wilayah Malaka Jatuh
ke Tangan Portugis ................................................ 177
5.2. Peta Banjarmasin dan Pantai Utara Jawa Tahun
1657 ....................................................................... 185
5.3. Banjarmasin Dalam Jalur Perdagangan Maritim
Asia Tenggara ........................................................ 188
5.4. Jalur Pelayaran Dagang Banten-Banjarmasin ........ 191
5.5. Lukisan Pedagang Belanda di Banjarmasin Pada
Abad ke- 19 ........................................................... 195
5.6. Ilustrasi Petani Lada di Perkebunan Lada Wilayah
Borneo ................................................................... 202
5.7. Wilayah Benteng dan Pelabuhan Tatas Tahun
1900 an .................................................................. 212
5.8. Lukisan Wilayah Benteng Tabanio, Tempat
Pelarian Pangeran Aminullah, Untuk Kembali
Merebut Tahtanya Pada Tahun 1759 .................. 217
5.9. Lukisan Benteng Tabanio (Fort te Tabanio) Milik
Belanda, Tahun 1865 ............................................. 217
5.10. Lukisan Kapitan Cina dan Kampung Cina di
Banjarmasin Tahun 1845 ....................................... 233
5.11. Lukisan Yang Menggambarkan Armada Belanda
di Wilayah Borneo Bagian Selatan, Tahun 1800 an 239
5.12. Armada Dagang East India Company (EIC) Yang
Mengangkut Rempah Rempah di Dunia Timur .... 251
6.1 Lokasi Wilayah Sungai Maluka di Borneo Bagian
Tenggara ………………............................................... 257
6.2 Wilayah “Kerajaan Maluka” (diarsir) milik “Rajah
xix
Putih” Alexander Hare ........................................... 263
6.3 Thomas Stamford Raffles …………………………………… 266
6.4 Ilustrasi Alexander Hare …………………………………..... 270
6.5 Pangeran Ratu Sultan Sulaiman bergelar Sultan
Sulaiman Saidullah 2 atau Sultan Sulaiman al-
Mu'tamidullah/Sultan Sulaiman Rahmatillah,
Sultan Banjar yang memerintah antara tahun
1801-1802 ………………………….................................. 272
6.6 Bekas perkebunan lada di Wilayah Maluka,
Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2020 an ……… 274
6.7 Mata Uang Yang Ditempa di Daerah Konsesi
Maluka ……………………............................................. 280
6.8 Kapal Layar di Sungai Martapura milik saudagar
Banjar, tahun 1920 an …........................................ 290
6.9 Ilustrasi budak di wilayah perkebunan …………....... 297
6.10 Godert Alexander Gerard Philip Baron van der
Capellen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Masa jabatan 1816–1826 ………………………............. 307
7.1 Perkebunan lada/sahang di area Onderneming
Pramoean Besar, Pulau Laut Borneo (Kalimantan)
bagian tenggara tahun 1900 an ……………………….... 317
7.2 Lukisan Sultan Adam al Watsiq Billah, Tahun 1844 320
7.3 Raden Tumenggung Kasuma Yudha Negara bin
Raden Adipati Danoeradja (tengah) dan
Pengawalnya …………………………………………………..... 336
7.4 Wilayah Sungai di sekitar Tambang Oranje
Nassau Pengaron yang Diperkirakan untuk
Transportasi Pengangkutan Batubara ………………… 342
7.5 Perkebunan karet di Borneo tahun 1935 ………...... 345
7.6 Area Tambang Batubara Pulau Laut tahun 1920
an ……………………….................................................. 353
8.1 Periodisasi Perubahan Lanskap Banjarmasin pada
xx
periode Kesultanan Banjar (1526-1860) .........……. 361
8.2 Rekonstruksi peta Banjarmasin di awal Pemben-
tukan kesultanan …………........................................ 364
8.3 Rekonstruksi peta Banjarmasin tahun 1612
sebagai pelabuhan sekunder ….............................. 367
8.4 Rekonstruksi peta Banjarmasin Pada awal Abad
ke-18 ……………………................................................ 371
8.5 Rekonstruksi peta Banjarmasin periode 1787 ……. 372
8.6 Rekonstruksi Peta Banjarmasin periode 1820-
1830 ……………………….............................................. 376
8.7 Budidaya lada di Desa Salikung, Kecamatan
Muara Uya Kabupaten Tabalong ...…………………….. 391
8.8 Kondisi tanaman lada di Desa Salikung, Kecama-
tan Muara Uya Kabupaten Tabalong ..................... 393
8.9 Motif Sasirangan Ramak Sahang (Lada Hancur) .... 396
8.10 Motif Sasirangan Ramak Sahang (Lada Hancur)
dan motif lain yang dipasarkan di Banjarmasin (1) 399
8.11 Motif Sasirangan Ramak Sahang (Lada Hancur)
dan motif lain yang dipasarkan di Banjarmasin (2) 400
8.12 Masakan Soto Banjar yang menggunakan rempah
lada …………………….................................................. 402

xxi
DAFTAR TABEL

Tabel
4.1 Daftar Nama Sultan di Kesultanan Banjar Tahun
1526-1860 .............................................................. 156
4.2 Daftar Tanah Apanase Yang Diberikan Sultan
Adam Al Wasik Billah bin Sultan Sulaiman (1825-
1857) Kepada Keluarganya ……............................... 163
5.1. Distribusi Uang Real dan Uang Belanda ................. 199
5.2. Kisaran Harga Lada di Nusantara Pada Tahun
1599-1620 .............................................................. 220
5.3. Stok Lada Tahun 1650 di Banten Dari Luar Banten
& Kembali ke Banten 223
5.4. Komoditas Dagang Yang Diperjualbelikan
Pedagang di Kesultanan Banjar & Pedagang Cina
Tahun 1637-1642 ................................................... 226
5.5. Perbandingan Keuntungan Perdagangan Lada
Sultan Banjar dengan Cina & Eropa Tahun 1747-
1761 ........................................................................ 229
5.6. Harga lada di Eropa Tahun 1600-1649 ................... 241
5.7. Jumlah Angkutan Lada VOC di Banjarmasin Tahun
1710-1728 .............................................................. 244
5.8. Pengiriman lada dari Asia Tenggara ke Eropa
(Inggris) Tahun 1600- 1699 ..................................... 248
5.9. Jumlah Angkutan Lada Inggris di Banjarmasin
Tahun 1713-1714 ................................................... 252
6.1. Usaha Pertanian & Perkebunan yang Dikembang-
kan Hare di Maluka ................................................ 275
6.2. Katalog Mata Uang Yang Pernah Diproduksi di
Daerah Maluka ....................................................... 283
6.3. Daftar Jenis Kayu Untuk Bangunan Perahu ............ 291
6.4. Rincian Jumlah Penduduk Dari Beberapa Daerah
xxii
Jajahan Yang Diculik dan Dijadikan Tenaga Kerja
Paksa oleh Hare, Sebelum Mei 1813 ...................... 299
6.5. Laporan Hare Tentang Tahanan & Pendatang di
Banjarmasin, 31 Juli 1816 ....................................... 308
7.1. Daftar Tanah Apanaze Yang Dihapuskan
Berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal Hindia
Belanda No. 29, 18 Agustus 1863 ........................... 331

xxiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
1. Peta Wilayah Kerajaan Banjar Tahun 1826-1860 ... 439
2. Peta Wilayah Borneo Abad ke- 16 .......................... 440
3. Peta Wilayah Nusantara Abad ke- 18 ..................... 441
4. Peta Wilayah Borneo Abad ke- 17, tahun 1657 ...... 442
5. Peta Wilayah Borneo, tahun 1902 .......................... 443
6. Surat Perjanjian Antara VOC dengan Kesultanan
Banjarmasin Tentang Monopoli Lada Tahun 1747.. 444

xxiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budidaya dan perdagangan rempah lada yang
berjuluk the king of spice berperan besar dalam dinamika
politik dan ekonomi Kesultanan Banjarmasin abad ke-16
sampai ke-19. Rempah ini telah menjadi komoditas utama
dalam perdagangan melalui jalur maritim antara Cina dan
Eropa termasuk Kepulauan Nusantara.1 Lada atau dalam
Bahasa Banjar dikenal dengan nama sahang (piper
nigrum) menjadi bahan ekspor terpenting Kesultanan
Banjarmasin.2 Didukung letak geografis dengan banyak
sungai besar dan kecil hingga pesisir pantai, menjadikan
Kesultanan Banjarmasin tampil sebagai satu diantara
pusat perdagangan rempah lada Nusantara. Apalagi
kehidupan dan mata pencaharian penduduknya yang
pada umumnya menitikberatkan pada sektor

1
Singgih Tri Sulistiyono, “Peran Pantai Utara Jawa Dalam
Jaringan Perdagangan Rempah”, makalah dalam Seminar
Internasional Jalur Rempah bertema "Rempah Mengubah Dunia”,
Makassar, 11 - 13 Agustus 2017, hlm. 1.
2
Sulandjari, “Politik dan perdagangan lada di Kesultanan
Banjarmasin (1747-1781)” (Tesis pada Fakultas Pascasarjana UI,
Universitas Indonesia, Depok, 1991), hlm. 2.
1
perdagangan menjadikan Banjarmasin tampil sebagai
kota maritim.3
Posisi wilayah Kesultanan Banjarmasin (Kesultanan
Banjar), memang sangat menguntungkan bagi aktifitas
perdagangan. Cukup strategis karena berada di tepi Laut
Jawa dan Selat Makassar yang menjadi jalur perdagangan
Nusantara. Karena itulah Pelabuhan Tatas yang terletak di
Sungai Martapura, anak Sungai Barito, maupun wilayah
Tabanio di pesisir Laut Jawa tumbuh menjadi pelabuhan
dan area ramai disinggahi kapal dagang yang melewati
jalur tersebut.4 Selain itu Kesultanan Banjarmasin juga
kaya sumber daya alam, berupa hasil pertanian, tambang
dan hutan. Antara lain lada, emas, intan, rotan, kayu besi
dan damar, yang dihasilkan di pedalaman. Sumber daya
alam tersebut kemudian dijual-belikan di pasar-pasar
pusat perniagaan/perdagangan, baik di Banjarmasin
sendiri maupun ke wilayah lainnya di Nusantara.5
Munculnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah
satu pusat perdagangan rempah lada disebabkan faktor
eksternal. Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram ke

3
Ibnu Wicaksono, “Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas
Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII” (Skripsi pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 1431 H./2010 M.), hlm. 1.
4
Ibid; paparan lebih rinci tentang geografis Banjarmasin dapat
dilihat dalam Mohamad Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung:
K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), hlm. 5.
5
Ibid.
2
Pantai Utara Jawa pada akhir abad ke-16. Dampak
ekspansi ini perdagangan di pantai utara Jawa praktis
mati, karena kota-kota perdagangan dihancurkan
Kesultanan Mataram. Hal ini menyebabkan migrasi para
pedagang secara besar-besaran ke daerah yang lebih
aman, termasuk ke Banjarmasin.6 Pada awalnya,
keberadaan lada di Borneo (Kalimantan) hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Lada ditanam tidak lebih
dari 4-5 rumpun setiap keluarga. Selain itu penduduk
masih mengumpulkan hasil hutan, bijih emas dan intan di
antaranya sebagai barang tribut tahunan ke Mataram
karena pada waktu Kesultanan Banjarmasin masih
menjadi wilayah “kekuasaan” Mataram di Jawa Tengah.
Untuk mencukupi kebutuhan pokok beras selain masih
harus mengimpor dari Jawa, penduduk hanya bertanam
padi di pedalaman seperti di Amuntasi dan Margasari.7
Setelah migrasi pedagang secara besar-besaran ke
Banjarmasin, lada berkembang. Budidaya pun meningkat
dengan mulainya penanaman lada besar-besaran dengan
teknik mamanduk (pembibitan dan penyemaian) ala
Urang Banjar.
Kedua, monopoli Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) atas beberapa pusat perdagangan di
Nusantara. Pada abad ke-17 tepatnya tahun 1669, VOC

6
H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi
Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 288 - 289.
7
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada, hlm. 3.
3
melakukan monopoli di wilayah Aceh, Palembang, Jambi,
Banten dan Makassar. Kesulitan para pedagang Cina
mendapatkan rempah-rempah berupa lada di bagian
barat Nusantara, menyebabkan mereka mencari pusat
perdagangan lada di tempat lain yang belum tersentuh
VOC, yaitu Banjarmasin.8 Permintaan lada yang
bertambah dari Cina dibarengi perhatian VOC semakin
besar terhadap Banjarmasin sejak kepentingannya
mendapatkan lada dipersulit penguasa Banten sekitar
tahun 1661, mendorong penduduk Banjarmasin
meningkatkan hasil ladanya. Orang-orang Cina datang
dengan jung-jung mereka setiap tahun secara teratur.
Mereka datang dengan kapal-kapal mereka sebanyak 4
sampai 13 buah dari Pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo,
dan Macao. Para nakhoda disambut baik di Kayu Tangi
dan Tatas oleh orang-orang Banjar, karena mereka
membawa sejumlah barang kesukaan penduduk
setempat. Pada era itu lada yang diangkut pedagang Cina
sekitar 32.213 pikul (8.053,25 ton).9 Bahkan Sultan
Inayatullah (1637-1642) mengadakan hubungan

8
Ibid.; Mengenai monopoli VOC dan perdagangan di Nusantara
secara lebih luas dapat dilihat dalam karya D.H. Burger, Sedjarah
Ekonomi Sosiologis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm.
64; Kemudian karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part
II, (Bandung: The Hague, V. van. Hoeve, 1956), hlm. 17.
9
J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede
Helft der 18de Eeuw (Leiden: Dubbeldeman, 1935), hlm. 192.
4
perdagangan bebas dengan pedagang Cina, Bugis, Jawa,
Belanda dan Inggris.10
Pada abad ke-17 sampai ke-18, golongan
bangsawan menguasai seluruh perdagangan karena
kekuasaan mereka dalam bidang politik dan pengusaha
hak apanaze (lungguh) yang menghasilkan komoditi
ekspor. Pada daerah pedalaman terdapat perkebunan
lada yang dikuasai kaum bangsawan seperti di daerah
Negara, Alai, Tabalong. Karena itulah muncul istilah Dijk11
yang menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Suryanata
sebagai koning van het pepergebergte atau “Pangeran
Dari Bukit Lada”. Kekuasaan bangsawan sangat besar,
karena mereka juga mempunyai pasukan sendiri dan
budak-budak yang dipersenjatai. Kekuasaan pasar dan
perdagangan terletak pada wewenang syahbandar yang
biasanya dijabat orang asing.
Situasi tersebut akhirnya dimanfaatkan Kesultanan
Banjarmasin sejak era Sultan Suriansyah (1526) hingga
Sultan Inayatullah (1637-1642) mengadakan hubungan
perdagangan bebas dengan pedagang-pedagang Cina,
Bugis, Jawa, Belanda dan Inggris. Perpindahan rute
perdagangan pada abad ke-17 yang melewati Makasar -

Bernard H.M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG 2008), hlm.


10

225.
11
L.C.D van Dijk, Neerlands Vroegste Betrekkingen met Borneo
en Solo Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina, (Amsterdam, 1862),
hlm. 48.
5
Banjarmasin - Pattani - Cina atau Makasar - Banjarmasin -
Banten - India, membuat daerah Banjarmasin seperti
poros tengah jalur dagang, sehingga posisinya kian hari
semakin dilirik. Pelabuhan Tatas berkembang menjadi
pelabuhan bongkar muat barang dagang dari dan ke
Banjarmasin. Para pedagang dari luar membawa porselin,
beras, garam, teh dan budak. Sebaliknya pedagang
Banjarmasin menyediakan hasil hutan, emas, intan dan
lada.12 Berikutnya pada tahun 1664, East India Company
(EIC) - Inggris berusaha mengadakan hubungan dagang
dengan Sultan Mustainbillah (1650-1678) dan diijinkan
berdagang di area Tabanio.13
Pada era awal perkembangan lada di belahan
kedua abad ke-17, Sultan Mustainbillah dan penggantinya
Sultan Inayatulah (1678-1685) tetap mengadakan
hubungan perdagangan bebas dengan pedagang Cina,
Bugis, VOC dan EIC. Budak yang ditangkap dan
diperdagangkan di sepanjang pantai Jawa, Madura dan
Bali oleh orang orang Bugis menjadi tenaga penting
mengerjakan tanaman lada milik sultan dan mantrinya.
Penanaman lada diperluas dengan membuka kebun lada
baru di pedalaman seperti di Negara. Terutama di tanah-
tanah apanaze milik bangsawan Banjar. Selain itu daerah-

12
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian
Social and Economic History (The Hague/Bandung: W. van Hoeve,
1960), hlm. 5.
13
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada, hlm. 5.
6
daerah yang umumnya merupakan tanah pertanian padi,
dialih-fungsikan menjadi kebun lada.14
Pada abad ke-18, Sultan Hamidullah (1700-1734)
makin intens untuk mengembangkan perdagangan di
Banjarmasin. Direalisasikan dengan mencari daerah dan
tenaga kerja baru. Kemudian melakukan ekspedisi militer
ke daerah pedalaman, seperti ke Tanah Dusun pada
tahun 1740-an. Dengan melaksanakan ekspedisi militer,
Sultan memaksa penduduk di pedalaman menyerahkan
tanah dan menanam komoditi perdagangan. Guna
mengembangkan perdagangan Kesultanan Banjarmasin
menjalin hubungan perdagangan yang erat dengan para
pedagang Eropa, di antaranya Inggris dan Belanda. Inggris
dengan armada dagangnya East India Company (EIC) pada
tahun 1702 diizinkan Sultan Hamidullah mendirikan
kantor dagangnya di Banjarmasin. Namun, tidak
berlangsung lama. Dalam perkembangannya tahun 1707
kantor dagang Inggris di Banjarmasin dihancurkan
pasukan Sultan Hamidullah, akibat sikap orang Inggris
yang mencoba menguasai perdagangan di Banjarmasin.15
Wilayah perkebunan lada di Borneo/Kalimantan
bagian Selatan meluas, berpusat di wilayah Martapura
(Riam Kiwa & Kanan), Tanah Laut, Amandit, Pemangkih,

14
Saleh, Bandjarmasin, hlm. 34-60.
15
P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive
Attempt at Settlement, K.G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV (Singapore:
1964), hlm. 70.
7
Kelua, Negara dan Amuntai. Lada ini kemudian
diperjualbelikan dengan pedagang Eropa di Banjarmasin.
Keuntungan perdagangan lada begitu besar. Selain
berhubungan dengan VOC dan EIC, Kesultanan Banjar
juga menjalin kontak dagang dengan bangsa lainnya,
seperti Cina, Gujarat, Arab dan Portugis. Sebenarnya
Kesultanan Banjar lebih cenderung ingin melakukan
perdagangan bebas dengan bangsa manapun. Buktinya
adalah kontak dagang dengan timur asing (orang-orang
Asia lain) dan Portugis dengan strategi dagang melalui
pedagang perantara atau dalam Bahasa Banjar dikenal
dengan istilah pambulantikan. 16
Barang-barang perdagangan Eropa ditukar dengan
lada, emas, sarang burung dan lain-lain sebagai
komoditas daerah Kesultanan Banjar. Kedatangan mereka
yang secara terus menerus membawa negeri Banjar
masuk dalam lingkaran persinggahan para pedagang dari
berbagai negara seperti Arab, Gujarat, disamping dari

16
Pambulantikan atau pemblantikan adalah istilah untuk
pedagang perantara di Banjarmasin yang lazim dikenal sebagai
pedagang Melayu. Umumnya pedagang-pedagang ini dibagi dua
kelompok yaitu pemblantikan kampung dan pemblantikan pasar.
Pekerjaan menjadi pemblantikan ini turun-temurun dari keluarga.
Pemblantikan dianggap sebagai tangan kanan pemilik modal dan
memperoleh keuntungan dari selisih harga jual-beli. Lihat Tunjung,
“Karet Dari Hulu Sungai Budidaya, Perdagangan dan Pengaruhnya
Terhadap Perekonomian di Kalimantan Selatan 1900-1940” (Disertasi
pada Program Studi Sejarah, Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Depok, 2004), hlm. 98.
8
daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura, Sulawesi,
Lombok, Bali dan Sumbawa. Mereka berkumpul saling
mengadakan transaksi. Namun komoditi dari Cina sangat
menonjol peranannya. Pada permulaan abad ke-18
perdagangan yang dilengkapi jung (kapal) menjadi begitu
penting. Bahkan pada era itu, Sungai Barito dikenal pula
dengan nama Sungai Cina, sebab dipenuhi jung-jung
(kapal dagang) dari Cina.
Setelah mengecap masa keemasan, perdagangan
lada mengalami kemunduran perdagangan di
Banjarmasin terjadi pada akhir abad ke-18 yang
disebabkan perpecahan politik antar penguasa di istana.
Gejala kemunduran perdagangan terlihat ketika Sultan
Natadilingga/Natadilaga (1761-1801) harus berebut tahta
menghadapi kemenakannya sendiri, Pangeran Amir.
Pangeran Amir ingin mengambil haknya sebagai sultan
yang diwarisi ayahnya Sultan Muhammad (1759-1761).
Pangeran Amir melakukan penyerangan terhadap Sultan
Natadilaga pada tahun 1784 sampai 1786. Namun,
penyerangan ini dapat dihentikan Sultan dibantu VOC.
Karena khawatir akan kekuasaannya, Sultan mengikat
perjanjian dengan VOC tahun 1787. Dalam perjanjian
tersebut Sultan Natadilaga mengakui kedaulatan VOC
atas Kesultanan Banjarmasin (Banjarmasin menjadi
wilayah lenstaat/pinjaman), dengan jaminan VOC
memberikan pengakuan hak atas tahta kerajaan turun

9
temurun kepada keturunannya.17 Berikutnya, setelah
perdagangan berkembang hingga tahun 1787, lada justru
mulai mengalami penurunan produksi, produktivitas,
serta kualitasnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor
politik pertikaian internal dalam Kesultanan Banjar. Pada
sisi lain, teknik budidaya kurang benar, hingga curah
hujan yang terlalu tinggi menghambat laju pertumbuhan
buah lada. 18
Perkebunan lada (merica) atau sahang yang
terakhir eksis hingga tahun 1816 sempat dirintis Raja
Putih Inggris, Alexander Hare di tanah konsesi Maluka,
Borneo (Kalimantan) bagian selatan. Pada era ini,
kejayaan Banjarmasin sebagai penghasil utama lada
hitam di Nusantara makin surut. Kejayaan lada dan
budidaya lada yang ditanam di perkebunan bertahan
hanya dalam waktu singkat karena peristiwa
“Banjarmasin Enormity”. Kemudian, kembalinya
hegemoni Belanda setelah Perang Eropa yang mengontrol
Kesultanan Banjar sebagai wilayah koloni. Pada
pertengahan abad ke-19, masa kejayaan lada pun telah
berlalu. Perdagangan lada pun makin meredup di
Kesultanan Banjar tahun 1825-1900. Pada era ini muncul

17
Arsip Nasional Republik Indonesia, Surat-Surat Perjanjian
Antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse
Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860 (Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia, 1956), hlm. 89.
18
T.C Archer, Popular Economic Botany (London, 1853), hlm.
103.
10
Undang-Undang Sultan Adam/UUSA 1825 Tentang
Hukum Islam yang berlaku di Kesultanan Banjar19 dan
penghapusan tanah apanaze. Akhirnya, lada pun tidak
lagi “pedas”, seiring perkembangan kebun lada yang
makin menyusut. Belum lagi saingan komoditas lainnya
seperti karet dan batubara mulai mendudukkan lada
dalam posisi terbawah komoditas yang diusahakan urang
Banjar akhir abad ke-19.
Secara umum, Banjarmasin sebagai bagian dari
Nusantara memiliki posisi strategis dalam geopolitik
dunia. Pada sisi lain keberadaan budaya bahari yang
memadukan potensi daratan (tanah) dan laut dengan
tepat sehingga tercipta interaksi antar manusia dan
budaya telah terjadi dengan memanfaatkan laut sebagai
wahananya. Interaksi itu juga telah memicu hubungan
jarak jauh yang tidak terbatas dari Banjarmasin ke wilayah

19
Undang-undang ini ditetapkan pada kamis 15 Muharram
1251 Hijriah oleh Sultan Adam. Dibuat oleh Sultan sendiri dan
dibantu anggota yakni menantu Sultan sendiri Pangeran Syarif
Hussein. Mufti H. Jamaluddin dan lain-lain. Tujuan dari Undang-
Undang ini untuk menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat,
mencegah jangan sampai terjadi pertentangan rakyat, dan
memudahkan bagi para hakim dalam menetapkan hukum agar
rakyatnya menjadi baik. Isinya terdiri dari aturan tentang masalah-
masalah agama dan peribadatan, hukum tata pemerintahan, hukum
perkawinan, hukum acara peradilan, hukum tanah, serta peraturan
peralihan. Dalam M. Asywadie Syukur, “Perkembangan Hukum Islam
di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Seminar Perkembangan
Hukum Islam di Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum Unlam,
Banjarmasin, 1988, hlm. 1.
11
lain di Nusantara, tetapi juga ke kawasan lainnya.
Beragam hasil bumi yang khas seperti rempah-rempah,
kayu gaharu, kapur barus, hingga sarang burung telah
lama dipertukarkan dari satu tempat ke tempat lainnya
menempuh jarak jauh. Pertukaran barang itu sekaligus
menjadi sarana interaksi dan pertukaran budaya. Awalnya
diantara penduduk kepulauan Asia Tenggara, kemudian
meluas hingga Asia Pasifik bahkan ke Eropa. Para
pedagang dari Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur, dan
Eropa berdatangan. Berinteraksi dalam suatu jejaring
perdagangan yang dikenal sebagai jalur rempah atau
spices route. Perdagangan lada secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat
kota pelabuhan rempah Banjarmasin dalam bidang
ekonomi, politik dan sosial budaya. Banjarmasin sebagai
kota dagang utama Nusantara muncul di sepanjang jalur
rempah antara wilayah Cina, Nusantara, dan Eropa.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, tim
penulis termotivasi melakukan kajian tentang
perdagangan lada dan dinamika politik Kesultanan
Banjarmasin abad ke-16 sampai abad ke-18. Tidak hanya
bertutur tentang budidaya rempah Urang Banjar, tetapi
membahas pelayaran dan perdagangan Urang Banjar,
hingga mata rantai perdagangan rempah. Bahasan lain
yang cukup penting adalah bagaimana kontrol politik
Sultan dan Bangsawan Banjar atas area perdagangan
lada, diplomasi maritim Sultan Banjar, hingga tampilnya
12
perdagangan rempah lada (sahang) yang terkait budaya
dagang Urang Banjar. Riset sejarah diperlukan guna
mencari jawaban bagaimana perdagangan lada memiliki
korelasi kuat dengan dinamika politik di Kesultanan
Banjarmasin serta turut menentukan pergolakan politik di
wilayah tenggara Borneo.

B. Ruang Lingkup & Fokus Penelitian


Penelitian dan penulisan naskah mengenai
“Pangeran Dari Bukit Lada, Perdagangan Lada dan
Dinamika Politik Kesultanan Banjarmasin Abad ke-16
sampai Abad ke-18”, menitikberatkan pada pembahasan
mengenai perdagangan lada dan pengaruhnya terhadap
dinamika politik di Kesultanan Banjarmasin. Keduanya
berhubungan erat atau berkorelasi. Hal ini kemudian
terkoneksi dengan pasang surut perdagangan rempah di
wilayah Nusantara.
Mengenai kurun waktu atau periode pembahasan
sejak abad ke-16, masa Sultan Banjar pertama, Sultan
Suriansyah (1545-1570). Pada kurun waktu ini, Kesultanan
Banjarmasin terbentuk berawal dari kampung kecil orang
Melayu yang kemudian berkembang menjadi bandar
bernama Bandar Masih. Dari nama Bandar Masih
berkembang menjadi nama Banjarmasin yang tampil
menjadi satu di antara pelabuhan perdagangan di
Nusantara dengan komoditas utama lada. Ditandai makin
ramainya budidaya lada dengan teknik mamanduk, yang
13
menjadi kearifan lokal Urang Banjar menanam lada.
Perdagangan lada di Banjarmasin memasuki masa
keemasan dan pasang surut karena intervensi orang
Eropa.
Urang Banjar dengan tradisi dagang melalui
perantara pambulantikan lambat laun tergerus tradisi
dagang monopoli dan kapitalis ala Eropa dengan jiwa
imperialisnya. Ruang lingkup penelitian dan penulisan
naskah menitikberatkan pada aspek ekonomi, berupa
budidaya lada, keberadaan lada sebagai komoditas
dagang, transaksi perniagaan/perdagangan, monopoli
dagang orang Eropa hingga dampaknya bagi Urang
Banjar. Hal ini berjalan seiring dinamika politik Kesultanan
Banjar yang terkait dengan budidaya dan perdagangan
lada.
Berdasarkan lingkup fokus permasalahan dan
ruaang lingkup tersebut, maka penelitian dan penulisan
naskah ini dirumuskan dalam dua hal utama. Pertama,
mengapa terjadi pasang surut perdagangan lada yang
berpengaruh terhadap dinamika politik di Kesultanan
Banjarmasin pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Kedua,
mengapa Kesultanan Banjarmasin bisa berperan dalam
mengontrol perdagangan lada di wilayah Borneo bagian
tenggara pada abad ke-16 hingga abad ke-18.

14
C. Metode
Penelitian dan penulisan naskah ini menggunakan
metode sejarah,20 yakni menggunakan sekumpulan
aturan sistematis dalam usaha mengumpulkan sumber
sumber sejarah, menilai secara kritis dan kemudian
menyajikannya dalam suatu sintesa. Peristiwa sejarah
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah budidaya dan
perdagangan lada di Kesultanan Banjar abad ke-16
sampai abad ke-18. Selanjutnya langkah-langkah dalam
metode sejarah tersebut dioperasionalkan dalam empat
langkah penelitian. Pertama, tahap heuristik adalah
proses pencarian sumber-sumber sejarah atau
pengumpulan bahan-bahan historis. Termasuk usaha
memilih suatu obyek dan mengumpulkan informasi
mengenai objek tersebut.21
Berdasarkan pertimbangan peristiwa yang diteliti
terjadi dalam rentang waktu yang berbeda dengan masa
sekarang, sumber informasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data-data peninggalan masa lampau.
Data-data ini sering disebut sebagai arsip atau dokumen.

20
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik, 1996), hlm. 1 - 4; lihat juga Louis
Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press, tt), hlm. 18. Mengenai Metode Sejarah juga dipaparkan dlam
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1995), hlm. 1; periksa juga Richard Marius & Melvin
E Page, A Short Guide to Writing About History (New York: Longman),
hlm.39 - 45.
21
Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hlm. 4.
15
Dalam penulisan naskah ini, penulis mengumpulkan
informasi-informasi sejarah yang berhubungan dengan
perdagangan lada dan dinamika politik di Kesultanan
Banjarmasin abad ke-16 sampai abad ke-18. Kemudian
mengumpulkan sumber sumber sejarah yang
berhubungan dengan tema yang diteliti. Setelah
ditelusuri, jejak tersebut berupa jejak material dan jejak
tertulis.
Adapun sumber yang didapatkan berupa sumber
primer adalah sumber utama yang informasi atau
kesaksiannya diperoleh secara langsung dari orang atau
alat perekam yang hadir dalam suatu peristiwa. Sumber
primer tersebut penulis peroleh dari riset arsip yang
meliputi dokumen-dokumen tertulis yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti. Adapun sumber primer
adalah arsip-arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) berupa arsip Algemene Secretarie (AS),
Binnenlandsch Bestur (BB), Memorie van Overgave
(MvO), Koloniaal Verslag (KV), Regerings Almanak (RA),
Staatsblad van Nederlandsch Indie (Stb), arsip ANRI
bundel Borneo Zuid en Oosterafdeeling (BZO), arsip Surat-
Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan
Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan
Hindia Belanda 1635 – 1860, arsip Kontrak Perjanjian,
Laporan Politik hingga Dagregister (Catatan Harian).
Sementara koleksi Perpustakaan Nasional Republik

16
Indonesia (Perpusnas), di antaranya naskah Hikayat
Banjar dan lainnya yang relevan.
Informasi tentang peristiwa sejarah dalam arsip
tersebut lebih bersifat logis (masuk akal) dan
menekankan pada peristiwa tertentu dan catatan tentang
suatu hal yang sifatnya institusional atau kelembagaan.
Pada umumnya, arsip yang berbentuk dokumen itu
memang tidak pernah dengan sengaja diciptakan untuk
kepentingan penelitian sejarah melainkan digunakan
untuk kepentingan administrasi pemerintah, organisasi
ataupun pihak swasta. Bahan arsip di Indonesia, pada
umumnya adalah berupa otobiografi, surat-surat pribadi,
buku atau catatan harian, memoir, surat kabar dan
dokumen-dokumen pemerintah.22 Walaupun sumber
yang digunakan dalam penulisan ini adalah arsip kolonial,
tapi terlepas dari segala kelemahan dan sudut pandang
Eropasentris, bukan berarti yang dicatat di dalamnya
hanya kepentingan kolonial saja. Keberadaan arsip
kolonial (Algemeen Verslag/AV) tersebut, cukup
membantu memberikan gambaran dan sejumlah
informasi tentang tema yang diteliti.
Kemudian sumber sekunder merupakan hasil
penelitian atau penulisan ulang dari sumber pertama.23

Sartono Kartodirdjo, “Metode Menggunakan Bahan


22

Dokumen”, dalam Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian


Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 62 - 92.
23
Sjamsudin, Metodologi Sejarah, hlm. 101.
17
Sumber sekunder ini berupa informasi yang diberikan
orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang
tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan
tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu.
Sumber tersebut penulis kumpulkan berupa sebagian
besar buku yang telah diterbitkan, majalah ataupun surat
kabar yang dapat mendukung topik yang dibahas.
Setelah penelusuran data, maka data tersebut
dikritik. Kritik sumber yaitu penilaian atau pengujian
terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Dalam
tahap ini penulis melakukan dua jenis kritik, yaitu kritik
ekstern dan kritik intern. Kritik intern yang dilakukan
menyangkut penilaian isi sumber tersebut untuk
mendapatkan kredibilitas sumber. Sementara itu, kritik
ekstern menyangkut keaslian (otentisitas) sumber. Kritik
intern dilakukan dengan menguji isi sumber, mencari
relevansi isi sumber sejarah tersebut dengan analisis
komparatif beberapa sumber.24 Selanjutnya memeriksa isi
sumber, apakah sumber itu layak dipercaya dijadikan
sumber informasi. Sementara itu kritik ekstern, dilakukan
dengan pengujian atas fisik sumber. Pada tahap ini,
penulis melakukan pengecekan berkaitan dengan keaslian
sumber, apakah sumber dibuat pada zaman yang sama
dengan yang dipaparkannya. Kemudian memeriksa

24
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah
Kontemporer (Suatu Pengalaman) (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978),
hlm. 38.
18
pembuat sumber, yaitu apakah sumber dibuat oleh orang
yang berwenang atau terlibat langsung atau sebagai saksi
langsung peristiwa.
Kadangkala pada beberapa sumber yang penulis
pergunakan, baik sumber lokal maupun kolonial, terdapat
angka tahun yang berbeda tentang suatu peristiwa yang
sama sehingga perlu dikritisi, mana yang mendekati
kebenaran. Perbedaan versi ini tentunya membutuhkan
kritik sehingga diperoleh fakta-fakta yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setelah dikritik
maka sumber tersebut dapat dikatakan sah, dan dapat
digunakan dalam penulisan.
Setelah melakukan kritik terhadap berbagai
sumber maka penulis menghimpun informasi-informasi
suatu periode sejarah yang diteliti. Berdasarkan
keterangan itu dapat disusun fakta-fakta sejarah
kemudian fakta-fakta tersebut diseleksi, disusun,
dianalisis dan disintesiskan dalam urutan kronologis pada
konteks hubungan kausalitas. Dalam hal ini, penulis
melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta yang yang
diperoleh melalui kritik sumber, yaitu dengan mencari
dan menyusun hubungan antar fakta-fakta sama dan
sejenis, kemudian disusun secara kronologis dan dalam
hubungan sebab akibat. Tujuannya, memperoleh
pemahaman masalah yang diteliti yakni budidaya dan
perdagangan lada di wilayah Borneo bagian tenggara
pada abad ke-16 hingga abad ke-19.
19
Tahapan akhir adalah historiografi merupakan
suatu proses tahapan penelitian sejarah yang berkenaan
dengan penulisan sejarah secara deskriptif analitis
berdasarkan sistematika dan kronologi. Menulis sejarah
merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini merupakan
suatu cara utama memahami sejarah. Rekonstruksi
imajinatif dari masa lampau berdasarkan sumber yang
diperoleh dengan menempuh proses itu disebut
historiografi atau penulisan sejarah.25 Dalam tahap ini,
penulis melakukan kegiatan menyajikan, mengisahkan
atau menuliskan hasil penelitian menjadi tulisan atau
karya sejarah. Tentunya, kemampuan imajinasi dan seni
menulis sangat diperlukan dan menentukan hasil akhir
penelitian. Oleh karena itu penulis berusaha
menggunakan bahasa baku, baik dan benar sehingga
mudah dimengerti oleh pembaca dan tidak menimbulkan
kesalahpahaman penafsiran. Dalam rangka penulisan
naskah ini, menggunakan pendekatan Ilmu Sosial.

D. Sistematika Penulisan
Naskah “angeran Dari Bukit Lada, Perdagangan
Lada dan Dinamika Politik Kesultanan Banjarmasin Abad
ke-16 sampai Abad ke-18”, ditulis secara garis besar
dalam delapan bab secara sistematis dan kronologis.

R. Moh. Ali, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam


25

Metodologi Sedjarah Indonesia (Djakarta: Bhratara, 1966), hlm. 10.


20
Bagian awal dimulai pendahuluan pada BAB I. Sub-bab
memaparkan latar belakang penulisan. Dalam hal ini
berhubungan gambaran umum budidaya dan
perdagangan lada serta relasinya dengan kekuasaan di
Kesultanan Banjar. Lada berperan besar dalam embrio
munculnya Kesultanan Banjar abad ke-16 hingga
redupnya di akhir abad ke-18. Kesultanan Banjar
mengalami dinamika politik dan perdagangan karena
komoditas lada. Pada sub bab dilanjutkan ruang lingkup &
fokus penelitian, metode serta sistematika penulisan.
Selanjutnya, pada BAB II dibahas tentang kondisi
geografis, sosial & latar historis Borneo bagian tenggara.
Sub bab dibagi atas kajian tentang kondisi alam dan iklim,
dilengkapi dengan kondisi penduduk dan lapisan sosial.
Kemudian sumber daya alam dan perekonomian.
Berikutnya latar historis Banjarmasin pra abad ke-16 yang
terbagi atas keberadaan Negara Suku Nan Sarunai,
dilanjutkan Kerajaan Negara Dipa & Kerajaan Negara
Daha, sebagai pendahulu Kesultanan Banjarmasin.
Kemudian BAB III tentang embrio budidaya lada di
Borneo bagian tenggara abad ke-16. Pada sub bab
dibahas tentang asal usul lada di Borneo bagian Tenggara.
Asal mula lada di Borneo yang ditanam orang-orang Biaju
(Dayak Ngaju). Mereka adalah etnik paling awal di Borneo
yang mengenal budidaya lada di tanah berlumpur,
sepanjang Daerah Aliran Sungai Barito dan anak
sungainya. Pada era ini lada menjadi komoditas barter
21
orang Biaju. Berikutnya, pada masa perdagangan awal di
abad ke-16, keberadaan lada yang dibudidayakan
mendorong munculnya sentra lada & varietas lada lokal.
Dari sinilah muncul lada lokal bernama lada negara, lada
kayutangi, lada maluka/tanah laut serta lada pulau laut.
Penamaan lada ini sesuai wilayah atau lokasi
budidayanya. Petani Banjar mengadopsi teknik
penanaman lada dari Suku Biaju, dikenal dengan
mamanduk yang menjadi kearifan lokal bertanam lada.
Pada pra abad ke-16, masa Kerajaan Negara Dipa dan
Daha, lada menjadi tanaman “terlarang” dibudidayakan
besar besaran, tetapi dalam perkembangannya setelah
munculnya Kesultanan Banjar lada menjadi komoditas
unggulan.
Dilanjutkan pada BAB IV, menguraikan sultan, lada
& pedagang, persaingan ekonomi hingga terbentuknya
Kesultanan Banjarmasin tahun 1526 - 1700. Pada bagian
sub bab membahas tentang persaingan Bandar Muara
Bahan, milik Kerajaan Negara Daha dan Bandar Masih
milik komunitas Melayu, yang menjadi embrio Kesultanan
Banjar awal abad ke-16. Kemenangan Raden Samudera
atas pamannya Pangeran Tumenggung dalam perang,
menjadi awal terbentuknya Kesultanan Banjar tahun
1526, dibarengi munculnya struktur/birokrasi. Berikutnya
bangsawan Banjar tampil sebagai pemilik kebun lada di
tanah apanaze (lungguh). Hal yang menjadi ihwal

22
perebutan kuasa dan pergeseran sistem politik hingga
awal abad ke-18.
Berikutnya BAB V, menguraikan tentang masa
keemasan perdagangan lada dan ekspansi pedagang asing
di Kesultanan Banjarmasin abad ke-17. Era ini dicirikan
tampilnya Kesultanan Banjar di jalur perdagangan
internasional atau Banjarmasin era niaga. Dalam
rangkaian masa keemasan perdagangan lada ini, terdapat
supremasi dan migrasi pedagang pantai utara Jawa.
Pedagang ini kemudiaan menjadi bagian dari pedagang
Banjar yang menjual lada hingga wilayah Banten.
Perdagangan di Banjarmasin makin ramai dimulai
kedatangan pedagang Cina. Sejak terusir dari Patani,
pedagang Cina ke Banjarmasin untuk mencari lada
sebagai komoditas perdagangan. Karena harumnya lada,
pedagang Cina diikuti upaya ekspansi VOC, EIC dan
pedagang asing lain yang berebut komoditas lada di
Banjarmasin. Strategi pun dijalankan, beragam mulai
dengan penawaran utang untuk Sultan Banjar, yang tidak
perlu dibayar dengan uang tapi dengan lada, hingga
pengajuan kontrak dagang. Akhirnya hegemoni pun mulai
dibentuk karena intervensi Eropa dan menjadikan intrik di
Kesultanan Banjar sebagai pintu masuk. Dalam
perdagangan lada internasional menggunakan uang real,
memperlihatkan peran pedagang perantara atau
pambulantikan ala urang Banjar dihadapkan monopoli
dagang ala kapitalis. Hal ini mengakibatkan suatu
23
benturan tradisi lokal dan kapitalis. Dinamika berlangsung
hingga tahun 1778 yang menghasilkan monopoli dan
kontrak dagang Eropa secara perlahan memudarkan
peran pedagang perantara.
Sementara itu, BAB VI membahas tentang lada
pada era “Raja Putih” yang merupakan “studi kasus”
kehadiran kolonialis Inggris dalam bisnis lada tahun 1811-
1817. Usai Perang Eropa, “Raja Putih” Alexander Hare
yang mewakili EIC-Inggris mendapatkan daerah konsesi
lada Maluka. Daerah Maluka yang sejak berabad-abad
sudah terkenal dengan varietas lada Maluka, berusaha
dikembangkan kembali, walaupun akhirnya gagal.
Kemudian pada Bab VII, dibahas tentang
keberadaan lada di ujung tanduk, ditandai meredupnya
budidaya dan perdagangan lada Kesultanan Banjar tahun
1825-1900. Hal ini disebabkan faktor diantaranya
monopoli VOC dan konflik internal bangsawan Banjar.
Ditambah faktor alam seperti banjir, perubahan iklim
hingga gangguan bajak laut. Berikutnya munculnya
Undang-Undang Sultan Adam/UUSA 1825 yang isinya
diantaranya tentang pengaturan pemilikan tanah,
kemudian penghapusan tanah apanaze. Kemudian Perang
Banjar (1859-1863) hingga dihapusnya Kesultanan Banjar
tahun 1860 sepihak oleh kolonial Belanda. Terdapat
faktor lain, kehadiran “emas hitam sang primadona”,
yakni batubara sebagai pesaing lada dan komoditas karet.

24
Pada bab 8, dibahas tentang berkembangnya
Banjarmasin sebagai kota dagang dan tinggalan budaya
yang berhubungan rempah lada atau sahang. Pada sub-
bab dibahas tentang perubahan lanskap Kota Pelabuhan
Banjarmasin tahun 1529-1860. Dalam hal ini diawali
dengan kota pelabuhan-pusat politik (port-polity) tahun
1526-1612, kemudian berubah menjadi kota pelabuhan
sekunder (secondary port-city) Tahun 1612-1663.
Selanjutnya kota pelabuhan utama kesultanan (1663-
1787), serta kota pelabuhan utama kolonial Belanda di
Kalimantan bagian Tenggara (1787-1860). Dibarengi
struktur masyarakat heterogen & tampilnya kelas
saudagar sebagai orang terpandang di kota ini.
Munculnya kelas saudagar, terkait keberadaan
perdagangan lada (sahang) di Kesultanan Banjarmasin
yang secara tidak langsung menjadi faktor pendorong.
Berikutnya, tinggalan budidaya lada/sahang sampai tahun
2020an yakni di Kabupaten Tabalong. Lada pun
menyisakan ciri khas dalam dalam budaya dan kuliner
Banjar yakni lada dalam motif kain sasirangan ramak
sahang (lada hancur). Kemudian aroma lada juga hadir
dalam kuliner dan obat tradisional Banjar.

25
26
BAB II
KONDISI GEOGRAFIS, SOSIAL & HISTORIS
BORNEO BAGIAN TENGGARA

A. Kondisi Alam & Iklim


Kesultanan Banjar terletak di bagian tenggara
Pulau Borneo (Kalimantan). Wilayah ini dialiri Sungai
Barito dengan anak sungainya. Adapun sumber airnya
berasal dari barisan pegunungan di bagian tengah yang
dikenal dengan nama barisan Gunung Tebing. Kondisi
alam daerah ini dapat dibagi menjadi rawa dan dataran
alluvial, dataran rendah, serta daerah berbukit dan
bergunung-gunung.1 Pada kawasan dataran rendah
alluvial dan rawa-rawa, Sungai Barito beserta anak
sungainya seakan membelah bentang alam Borneo
(Kalimantan) bagian tenggara ini yang mengalir ke Laut
Jawa. Sungai ini memiliki panjang mencakup hampir
seluruh kawasan Kalimantan bagian tenggara.
Menurut catatan Hollander, anak sungai utama
dari Sungai Barito adalah Sungai Negara atau Sungai
Bahan. Selain itu terdapat dua sungai lainnya mengalir
secara paralel ke Sungai Negara kemudian menuju Laut
Jawa, yaitu Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas Murung.

1
Abdul Halim Ahmad, Geografi Budaya dalam Wilayah
Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Depdikbud,
1985), hlm. 13.
27
Di antara pegunungan dan dataran rendah yang
didominasi air payau (rawa) membentang di zona
berbukit tidak beraturan yang secara dominan ditutupi
hutan hujan tropis.2

Gambar 2.1. Kondisi geografis Kalimantan dalam Peta Borneo Insula


(Kepulauan Borneo), tahun 1602. Banjarmasin dituliskan dengan
nama Bandermaschri. Sumber: peta Borneo Insula, lukisan Olivier Van
Noort (Frankfurt), tahun 1603.

Pada zaman prasejarah, wilayah rawa-rawa itu


merupakan sebuah teluk besar. Kaki-kaki Gunung
Meratus yang seakan berpijak dari selatan ke utara

2
Johannes Jacobus de Hollander, Handleiding bij de Beofening
der Land en Volkenkunde van Nederlandsch Oost Indie, Vol.II, (Broese
& Company, 1898), hlm. 9. Sungai Kahayan dan Kapuas Murung juga
dikenal Sungai Dayak Besar dan Sungai Dayak Kecil.
28
menuju daerah Tabalong adalah pantai dari teluk besar
ini. Kemudian menuju arah utara, pantai teluk ini
membelok ke arah Muara Teweh, Kuala Kurun dan di arah
barat berbatasan dengan dataran tinggi Madi. Kemudian
pada arah timur, terbentang Gunung Keramaian yang
posisinya berdekatan Tanjung Silat. Jutaan kubik lumpur
mengendap pada teluk besar ini yang dibawa hanyut oleh
arus Sungai Rungun, Kahayan, Kapuas Murung, Barito,
Tabalong, Riam Kanan dan Riam Kiwa, sehingga terbentuk
dataran rendah alluvial. Lama kelamaan dataran rendah
alluvial menjadi rawa membentang luas di sepanjang kaki
Pegunungan Meratus.3
Memori kolektif masyarakat masih merekam
bahwa di daerah mereka pernah ada teluk besar dan
berhubungan dengan laut. Misalnya, penamaan daerah
yang kental dengan laut atau perairan yang menggunakan
kata kuala, muara, tanjung, teluk, pantai, tumbang dan
lain-lain. Penamaan inilah yang dipakai dalam wilayah
Kuala Kapuas, Muara Teweh, Tumbang Jangkang,
Labuhan Amas, Tanjung Tabalong, Karang Tengah dan
sebagainya. Penumpukan sedimen atas teluk besar itu
menyebabkan pula terbentuknya sungai-sungai. Sungai
terbesar adalah Barito. Kemudian, Barito memiliki dua
cabang yaitu Sungai Martapura dan Sungai Bahan.

3
Ibid.

29
Sungai Martapura mempunyai cabang lagi, yaitu
Riam Kanan dan Riam Kiwa. Aliran air dari Riam Kiwa
berasal dari Gunung Meratus di Pengaron lalu bertautan
dengan Riam Kanan. Sementara Sungai Bahan bercabang
ke Sungai Nagara. Lalu, sungai ini bercabang lagi menjadi
Sungai Tabalong, Batang Alai, dan Batang Hamandit.4
Kemudian Sungai Tabalong Kiwa berasal dari aliran air
dari gunung di daerah Pana’an. Sungai Tabalong Kanan
dan Kiwa terus menuju Kalua, Pasar Panas, Amuntai
hingga bertemu Sungai Nagara. Kemudian, aliran ini akan
terus ke hilir menuju Sungai Barito. Sungai Negara
mengalir ke Sungai Bahan dan bertautan Sungai Kapuas di
muara Barito. Sungai-sungai ini semuanya berhulu di
barat Pegunungan Meratus.5
Masyarakat Banjar mengenal beberapa istilah
untuk menyebut aliran sungai, di antaranya sungai,
batang banyu, antasan, saka, rai, handil, dan lain-lain.6
Batang banyu adalah istilah yang paling tua. Peristilahan
batang banyu mengacu pada sungai yang dalam dan luas

4
C.A.L.M. Schwaner, Borneo: Beschrijving van het
Stroomgebied van den Barito en Reizen Langs Eenige Voorname
Rivieren van het Zuid-Oostelijk Gedeelte van dat Eiland, volume 1,
(P.N. van Kampen, 1853); Helius Sjamsuddin, Pegustian dan
Temenggung, Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), hlm. 44.
5
Noer’id Haloei Radam, “Religi Orang Bukit” (Disertasi pada
Universitas Indonesia, 1987), hlm. 71.
6
Ibid.
30
atau ba lu’uk yang artinya mempunyai lubuk sungai yang
dalam. Penggunaan istilah batang banyu pula, juga
mengacu pada penyebutan urang Banjar batang banyu.
Orang-orang ini tinggal di daerah Kelua, Alabio dan
Nagara. Berbeda dengan Riam yang mengacu pada sungai
yang berbatu-batu dan terjal dan dikelilingi pegunungan.
Berdasarkan kondisi ini, penyebutan Riam Kanan adalah
kawasan sungai di sekitar Gunung Patrabulu, Gunung
Batu, Gunung Tekompang, Gunung Pamaton, Gunung
Intan, Gunung Kahung dan lain-lain.
Sungai Martapura dan Sungai Bahan seringkali
mengalami pasang surut. Kejadian ini berkaitan dengan
penanggalan Qamariah. Air laut yang pasang bertaut
dengan muara Sungai Barito, sejak bulan muda hingga
mencapai bulan purnama. Air pasang akan menggenangi
permukaan daratan dan akan kembali surut seiring
meredupnya bulan. Begitulah kondisi air pasang surut
yang berlaku secara periodik. Pada abad ke-16, Kerajaan
Banjar telah berdiri. Ibukotanya terletak di tepi aliran
Sungai Kuin (anak Sungai Martapura) yang bermuara ke
Sungai Barito.7

7
Ita Syamtasiyah Ahyat, “Hubungan Kesultanan Banjarmasin
Dengan Pemerintah Hindia Belanda (1826-1849)”, Makalah, Sejarah
FIB-UI, April 2008, hlm. 2.
31
Gambar 2.2. Daerah Aliran Sungai Barito di wilayah Borneo. Sumber:
Kenneth Sillander, 2003.

32
Pola pemukiman masyarakat Kesultanan Banjar
dari hilir sampai ke udik hampir 80% dibangun pada
tepian sungai.8 Pada muara sungai terdapat konsentrasi
penduduk dalam bentuk kampung atau bandar serta
keraton.9 Rumah-rumah dalam sebuah perkampungan
terfokus satu titik saja. Rumah-rumah itu dihuni beberapa
kepala keluarga yang memiliki ikatan darah (keluarga
batih).10 Kelompok keluarga inilah yang disebut bubuhan.
Rumah-rumah penduduk Kerajaan Banjar dibangun pada
dua tempat, yaitu di darat dan sungai. Rumah penduduk
yang dibangun di darat berbentuk panggung dengan pola
dan bentuk atap yang khas. Pada saat itu, pola dan
bentuk atap dari rumah panggung ini menunjukkan status
sosial. Ada pula rumah penduduk yang dibuat terapung di
atas sungai. Batang yang mengapung disusun menjadi
seperti sebuah rakit, lalu dibentuk bangunan rumah di
atas rakit itu.
Para imigran dari Jawa, Melayu, dan daerah di
Nusantara lain bermukim di Banjarmasih (Banjarmasin),
tepi sungai yang lebih rendah dari Sungai Barito. Namun,
ketika ibukota Kerajaan pindah ke Martapura setelah
dihancurkan Belanda tahun 1612, para imigran itu juga

8
Mohamad Idwar Saleh et.al, Adat Istiadat Kalimantan Selatan
(Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Kalimantan Selatan, 1977), hlm. 7.
9
Ibid.
10
Biasanya memiliki nenek moyang (padatuan) yang sama.
33
ikut pindah. Akibatnya, Kayu Tangi dan Tatas dibangun
menjadi kota baru. Sementara itu, Riam Kiwa, Riam
Kanan, Margasari, dan Pulau Laut menjadi daerah
pemukiman baru. Karena mempunyai fasilitas
pelabuhannya yang baik, Banjarmasin dan Tatas menarik
minat pedagang Arab, Bengalis, Madura, Bali dan Cina
untuk menetap. Pada pertengahan abad ke-17,
pemukiman orang Banjar telah meluas ke Amuntai, Kota
Waringin dan Sampit.
Pada abad ke-17, pemukiman berpola mengelilingi
pusat pemukiman, membatasi kawasan-kawasan pantai
dan muara-muara sungai, dengan perhubungan melalui
sungai sebagai alat transportasi paling praktis. Para
imigran awal dari Jawa dan orang Melayu yang berasal
dari daerah lain di Nusantara, bermukim di atas pinggiran
sungai yang lebih rendah dari Sungai Barito. Namun
ketika ibukota kesultanan dipindah dari Martapura
setelah penghancuran Banjarmasin tahun 1612 oleh
Belanda, penduduk baru tersebut juga pindah ke daerah
ini (Martapura). Konsekuensinya, Kayu Tinggi/Kayu Tangi
dan Tartas (pulau-sungai di antara Sungai Barito dan
Sungai Antassan-Kween)11 dibangun menjadi kota baru,
sementara sekumpulan pemukiman ditemukan di
distrik-distrik tetangga Riam Kiwa, Riam Kanan,

C.A.L.M. Schwaner, Borneo:


11
Beschrijving van het
Stroomgebied van den Barito, hlm. 15.
34
Margasari, dan Pulau Laut.12 Karena fasilitas-fasilitas
perlabuhannya yang baik, Banjarmasin dan Tartas
menarik pedagang asing, termasuk pedagang Arab,
Bengalis, Madura, Bali dan Cina, sejumlah besar dari
mereka menjadi penduduk tetap7. Pada pertengahan
abad ke-17, pemukiman orang Banjar telah meluas ke
Amuntai di Atas, Kota Waringin dan Sampit.13
Penggambaran Banjarmasin sebagai kota yang
indah telah dikenal sejak lama. Pada akhir abad ke-19,
Carl Bock menggambarkan bahwa Banjarmasin
merupakan kota lama yang memiliki pemandangan sedap
dipandang mata. Kota ini menciptakan kesan indah,
mempunyai akses ke pedalaman, rumah-rumah indah
yang dibangun di pinggir sungai dengan tiang-tiang
penyangga.14 Gambaran ini mulai berubah seiring dengan
perkembangan wilayah Banjarmasin yang orientasinya
berubah dari sungai ke darat. Lahan rawa yang dahulu
untuk perkebunan kelapa diubah menjadi tempat tinggal.
Posisi rumah tidak lagi menghadap ke sungai sebagai

12
Johannes Jacobus de Hollander, Handleiding bij de
Beofening., hlm. 136 - 37.
13
Ibid., hlm. 139-141. Data tentang fasilitas-fasilitas pelabuhan
dan volume perdagangan di Banjarmasin pada Abad ke-20, dapat
dilihat dalam catatan R. Broersna, Handel on Bedrijf in Zuid on
Oost-Borneo (The Hague, 1927), hlm. 18 - 25.
14
Carl Bock, Reis in Oost en Zuid Borneo. Van Kutai naar
Banjermasin ondernomen op Last der Indische Regering in 1879 en
1880 (‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1887), hlm. 50.
35
beranda atau halaman depan rumahnya, tetapi
menghadap ke jalan darat.

Gambar 2.3. Suasana Rumah bangsawan Banjar jaman dahulu yang


berada di bantaran sungai, dengan posisi menghadap sungai.
Sumber: C.A.L.M. Schwaner, 1854.

Daerah Borneo bagian tenggara beriklim tropis.


Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh posisinya yang terletak
pada garis equator atau khatulistiwa. Curah hujan dalam
setahun rata-rata berkisar antara 2000 sampai 2750
meter. Kemudian, pada bulan April hingga Oktober
adalah musim kemarau dengan temperatur 30°C.
Sementara pada bulan November hingga Maret adalah
musim hujan dengan temperatur udara menurun sampai

36
18° celcius.15 Kondisi iklim tropis seperti ini, membawa
pengaruh pada jenis flora dan fauna. Selain itu, iklim
memunculkan hutan hujan tropis lebat.

B. Penduduk & Lapisan Sosial


Penduduk Kerajaan Banjarmasin disebut sebagai
Urang (Orang) Banjar. Menurut Mallinckrodt, nenek
moyang orang Banjar adalah kelompok penduduk yang
melakukan migrasi dan menetap di Pulau Borneo
(Kalimantan). Mereka diduga berasal dari Sumatera atau
daerah sekitarnya yang lebih dari seribu tahun yang lalu
telah sampai di Kalimantan. Setelah masa yang lama
sekali berlalu, kemudian terjadi percampuran dengan
penduduk yang lebih dahulu menempati daerah ini
(Dayak dan Bukit). Percampuran ini kemudian dilengkapi
dengan datangnya para pedagang dari negeri lain. Hingga
terjadilah sebuah “pelelehan” dari ketiganya dan menjadi
sebuah kelompok bangsa. Lalu, diikat kesatuan politis
(Kesultanan Banjar) dan Agama Islam hingga menjadi
Banjar. Ada tiga sub Banjar, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar
Batang Banyu dan Banjar Kuala.16

15
Ibid., hlm. 7.
16
Mallinckrodt tidak menyebut pasti, kapan kelompok
penduduk ini pertama kali bermigrasi. Sebutan Dayak sebenarnya
tidak menunjukkan kesatuan etnis. Orang yang mendiami wilayah
Banjar dibedakan atas kelompok Dayak Bukit, Maanyan, Ngaju dan
Lawangan. J. Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, Eerste Deel
(Leiden: Dubbeldeman, 1928), hlm. 14.
37
Banjar Pahuluan adalah penduduk daerah lembah
sungai yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar
Batang Banyu mendiami lembah Sungai Negara, Amuntai
dan Kalua. Sementara Banjar Kuala mendiami daerah
sekitar Banjarmasin.17 Banjar Kuala berasal dari kesatuan
Suku Ngaju. Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan
Suku Maanyan. Sementara Banjar Pahuluan berasal dari
kesatuan Suku Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Ketiga jenis
ini bisa dibedakan dengan mencermati dialeknya.
Walaupun sama-sama menggunakan Bahasa Banjar.
Bahasa ini dasarnya adalah Bahasa Melayu kemudian
bercampur dengan kosakata Dayak dan Jawa.18
Peter Bellwood memiliki pandangan lain terkait
asal usul orang Banjar ini. Dia berpendapat bahwa orang
Melayu Banjar berasal dari populasi Mongoloid di Cina
Selatan. Mereka sebenarnya sudah mengenal pertanian
padi basah sejak 2000 tahun yang lalu.19 Lalu, mereka
bermigrasi ke daerah Asia Tenggara dan ada yang

17
Ibid., hlm. 43 - 44. Lihat juga J.J. Ras, Hikajat Banjar, a Study
in Malay Historiography (Martinus Nijhoff: The Hague, 1968), hlm.
24.
18
Lesley Potter, “Banjarese in and beyond Hulu Sungai, South
Kalimantan: A Study of Cultural Independence, Economic
Opportunity and Mobility”, dalam: J.T. Lindblad (ed.), New challenges
in The Modern Economic History of Indonesia; Proceedings of the first
conference on Indonesia’s modern economic history (Leiden:
Programme of Indonesian Studies, 1993), hlm. 265.
19
Peter Bellwood, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 128.
38
menetap di daerah Borneo (Kalimantan) bagian tenggara.
Para pedagang Islam yang menyebar dan menetap di
suatu daerah membentuk kelompok-kelompok Islam
dengan ciri bahasa dan budaya Melayu dengan julukan
setempat, misalnya Melayu Banjar, Melayu Brunei.20
Sejak abad ke-14 dan 15, penyebaran Agama Islam dari
kelompok melayu ini membantu mempercepat proses
perluasan jaringan perdagangan. Hal ini ditandai dengan
adanya syahbandar sebagai petugas formal yang
menangani perdagangan di pelabuhan Malaka,
Palembang, Jawa, Banjarmasin dan Maluku.21
Kesultanan Banjar berdiri tahun 1526.22 Pada
masa ini Banjar belum menjadi identitas kelompok etnik
dan hanya sebagai identitas diri yang merujuk pada
kawasan teritorial tertentu. Pangeran Samudra dibantu
orang-orang Ngaju dan patih-patihnya seperti Patih
Balandean, Patih Belitung, Patih Kween dan sebagainya
serta orang Bakumpai yang dikalahkan telah membangun
kerajaan ini. Setelah Raden Samudera menang melawan
pamannya tahun 1526, penduduk Daha yang sebagian

20
Ibid., hlm. 208 - 209.
21
Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku: Indonesia Timur pada
Zaman Modern Awal. Terj. Septian Dhaniar Rahman (Yogyakarta:
Ombak, 2015), hlm. 57.
22
Syaharuddin, “Nasionalisme Indonesia: Serikat Islam,
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama & Musyawaratutthalibin di
Kalimantan Selatan 1912-1942” (Tesis, sudah diterbitkan pada UGM,
2008), hlm. 56 - 57.
39
besar orang Bukit dan Maanyan diangkut ke Muara Kuin.
Suku ini diminta memeluk Agama Islam dan bersumpah
setia kepada Raden Samudera atau Sultan Suriansyah.
Selain itu, mereka juga diperintahkan memakai bahasa
ibu baru (Bahasa Banjar) dan meninggalkan bahasa ibu
lama sebagai tanda kesetiaan.
Penduduk Kerajaan Banjar pada era Sultan
Suriansyah berarti terdiri dari orang Bukit, Ma’anyan, dan
Melayu. Tentu saja bangsa lain juga ada, misalnya orang
Jawa yang telah lama menjalin hubungan dagang dengan
daerah ini sejak era Negara Dipa. Selain orang Banjar dan
bangsa lain dari gugusan pulau Nusantara lain, ada
sejumlah orang asing yang berasal dari Cina, Arab dan
India menetap di wilayah tersebut.23 Sebagai sebuah
masyarakat tradisional masyarakat Banjar mengenal dua
golongan besar. Pertama, orang Jaba, yang merupakan
golongan terbesar dalam masyarakat, terdiri dari petani,
tukang, pedagang, nelayan sungai. Kedua, golongan
teratas yang merupakan strata bangsawan dan golongan
pejabat birokrasi.
Sebagai perbandingan, Sultan Adam yang
berkuasa antara tahun 1826-1857 mempunyai hak
prerogatif dalam masalah-masalah politik dan agama. Hal
ini tertulis dalam perangkat hukum yang ditulis tahun

ANRI: Memorie van Overgave Residen Borneo bagian Selatan


23

dan Timur J.F.A. De Rooy, 1905, Reel nomor 3, MvO DL.


40
1835, Undang-Undang Sultan Adam. Di bawah Sultan
Adam dan Sultan Muda atau Pangeran Ratu dari anggota
kelompok keturunan Sultan, hanya dua orang yang
termasuk dalam organisasi administratif, namanya Sultan
Muda dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran
Mangkubumi adalah kepala dari pusat birokrasi.
Fungsi pengadilan agama dijalankan Hakim Besar,
yang terdiri dari Kepala Qadi, Kepala Mufti, dan Kepala
Chalifah. Dibawah Mangkubumi adalah kelompok kepala/
Mantri yang memperoleh titel dalam tingkatan hierarkis
seperti Adipati, Tumenggung, Kiai, Demang, Aria,
Ngabehi, Pembakal dan Neyarsa. Menurut komisaris
Belanda Van der ven dalam tahun 1857, masyarakat
Banjar terdiri dari 6 kelas yakni (1) Raja dan kaum
bangsawan, (2) Golongan ulama, (3) Pemimpin rakyat, (4)
Rakyat umum, (5) Orang berhutang serta (6) Budak.
Raja merupakan hierarkis sosial yang teratas, dan
di samping sebagai kepala negara dan golongan
bangsawan, juga sebagai kepala golongan famili kerajaan
yang disebut tutuha bubuhan raja-raja. Kemudian
menghadiahkan pada keturunannya gelar-gelar seperti
Pangeran, Gusti dan Ratu. Selanjutnya, memberi hak
kepada mereka ini hadiah tanah dan sebagian besar dari
penghasilan yang diperoleh dari tanah apanaze, di
samping penghasilan dari hak-hak istimewa lainnya dan
hak dalam perdagangan. Bangsawan yang lebih rendah
menggunakan gelar seperti Raden, Andin dan Nanang.
41
Keturunan Nanang dari Kiai Adipati Danuraja di Banua
Lima mempunyai kekuasaan besar selama pemerintahan
dua sultan terakhir Kesultanan Banjar dan terakhir
sebagai Regent Belanda selama permulaan abad ke-20.
Orang-orang pimpinan terkemuka dalam birokrasi
yang terendah adalah pimpinan dari rakyat, merupakan
hierarkis politik yang terbawah adalah Pambakal atau
kepala kampung. Mereka dibantu pangerak dan
panakawan. Beberapa kampung dapat membentuk
sebuah sub-distrik yang dipimpin lurah dan beberapa sub-
distrik membentuk distrik yang dipimpin lelawangan.
Tiap-tiap penduduk kampung terdiri dari satu atau
beberapa kesatuan famili, yang disebut bubuhan. Ikatan
adat sangat kuat dan fungsi bubuhan adalah berfungsi
sosial ekonomi dan faktor pertahanan. Dalam sistem
bubuhan, tetuha-tetuha bubuhan adalah pemimpin yang
sangat penting dan dia sebagai tetuha memikul tanggung
jawab untuk kepentingan dan kelakuan tidak senonoh
anggota bubuhan-nya. Wibawa Kesultanan Banjar
didasari sistem bubuhan-nya, di samping legitimasi,
penguasa warisan kekayaan, kehormatan dan kharisma.
Pada masa Kesultanan Banjar, terdapat lima tingkatan
pelapisan social.
1. Bangsawan/Tutus Bubuhan Raja
Golongan ini terdiri dari bangsawan kerajaan
yang di antaranya para pangeran, puteri, gusti, andin
dan antung. Golongan ini memiliki hubungan
42
kekerabatan atau pertalian darah dengan raja secara
patrilineal. Raja berperan sebagai tetua bubuhan.
Karena pada umumnya dalam semua pelapisan sosial
masyarakat Banjar, pimpinan bubuhan dipilih
berdasarkan usia yang lebih tua, memiliki ilmu khusus
yang jarang dimiliki orang dan kharisma.24 Golongan ini
berperan besar dalam bidang politik. Contohnya
adalah dewan mahkota. Tugas dewan ini memilih dan
mengesahkan sultan baru. Peran besar ini didukung
pula oleh kekuatan militer. 25

Gambar 2.4. Lukisan Pakaian Bangsawan Banjar Pada abad ke-19.


Sumber: C.A.L.M. Schwaner, 1853.

24
Mohamad Idwar Saleh, dkk., Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah & Budaya, Departemen
Pendidikan & Kebudayaan, 1977). hlm. 40
25
Wajidi, dkk. (eds), Urang Banjar dan Kebudayaannya
(Banjarmasin: Balitbangda Provinsi Kalsel & Pustaka Banua, 2007).
43
Selain bidang politik, mereka mempunyai peran
besar dalam bidang ekonomi. Golongan ini memiliki
tanah lungguh atau apanaze yang dikerjakan
penduduk. Pada abad ke-17 hingga 18, tanah lungguh
ini ditanami lada yang sangat laku di pasaran
internasional, sehingga membuat mereka sangat kaya.
Penanaman secara besar-besaran dilakukan di wilayah
Alai, Tabalong, Negara, Banua Lima, dan daerah-
daerah pedalaman lainnya.26
2. Orang Besar Berpangkat
Pejabat kesultanan adalah orang yang berada
dalam golongan ini. Mereka diberi jabatan oleh sultan
karena memiliki hubungan keluarga, kemampuan atau
kecakapan yang dimiliki dan kesetiaan pada
kesultanan.27 Mereka mempunyai wewenang pada
tingkat daerah dalam lingkup kecil. Gelar yang
disematkan pada mereka adalah Kiai Demang. Gelar
lainnya di wilayah Banua Lima yakni gelar Kiai Adipati
untuk kepala distrik. Contohnya adalah Adipati
Danoeradja untuk kepala distrik Banua Lima yang

26
M.Z. Arifin Anis, “Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite di
Kerajaan Banjar Abad ke- XIX” (Tesis pada Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1994), hlm. 84.
27
Ibid., hlm. 85.
44
diangkat Sultan Adam tahun 1835 menggantikan
kakeknya Adipati Singasari.28

Gambar 2.5. Pakaian bangsawan Banjar pada tahun 1850-an.


Sumber: koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat, Kalimantan
Selatan.

Ada pula daerah lelawangan yang secara


administratif di bawah distrik. Sebagai contoh, Banua
Lima adalah distrik yang dipimpin kiai adipati dan
daerah ini membawahi lima daerah (banua) lagi yang
dipimpin lelawangan, yaitu Sungai Banar, Amuntai,
Negara, Alabio dan Kelua. Kemudian, di bawah
lelawangan ada jabatan yang disebut dengan lurah.

28
Yusliani Noor, dkk., Adipati Danoeradja Tumenggung
Dipanata, Sebuah Inspirasi Dari Banua Lima (Yogyakarta: Graha
Cendikia, 2018). hlm. 106.
45
Lurah ini memimpin beberapa kampung. Sementara
pada tiap kampung dipimpin oleh seorang pambakal.
Umumnya, golongan ini selalu berjuang untuk
meningkatkan prestasi kerja mereka dan bergaya
hidup menurut istana sebagai pembeda dengan
masyarakat biasa.29 Mereka juga menikah dengan
orang dari golongan tutus raja atau bangsawan murni,
sehingga keturunan mereka berhak menyandang gelar
bangsawan, yaitu nanang atau anang.30
3. Golongan Agama
Ulama, tuan guru, dan para haji termasuk pada
golongan ini. Mereka mempunyai pengetahuan dan
ilmu agama yang dalam. Sebagian besar mereka
adalah haji. Pada masa ini, masyarakat di Nusantara
melaksanakan ibadah haji sekaligus belajar ilmu
agama. Golongan ini berada pada posisi yang strategis
karena mampu menjangkau langsung golongan pada
lapisan atas sekaligus lapisan bawah. Faktor utamanya
adalah kewibawaan. Orang yang memiliki ilmu agama
tinggi sangat dihormati oleh semua kalangan.

29
M.Z. Arifin, Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite di Kerajaan
Banjar, hlm. 85.
30
Ibid.
46
Gambar 2.6. Gambar pakaian golongan agama, bangsawan dan
masyarakat biasa di Kesultanan Banjar. Sumber: WA van Reees,
1865.

Golongan ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu


formal dan non formal. Secara formal, golongan agama
yang berada dalam lingkup pemerintahan yaitu:
1) Mufti, sebagai pemegang jabatan hakim tertinggi
dan mengawasi pengadilan umum, yang menduduki
jabatan ini merupakan penasehat keagamaan
sultan.31
2) Qadi, sebagai kepala urusan hukum Islam tingkat
kesultanan.32

31
M. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah (Banjarmasin:
Lambung Mangkurat University Press, 1989), hlm. 82.
32
Ibid.
47
3) Penghulu, hakim dalam lingkup distrikdan juga
bertugas sebagai imam salat, memimpin urusan
jenazah, serta pembagian harta warisan. 33
Sementara itu golongan agama yang non formal terdiri
dari para tuan guru yang juga menguasai ilmu agama.
Biasanya mereka mengajarkan ilmu agama kepada
masyarakat.
4. Rakyat Jelata/Jaba
Golongan jaba adalah sebutan untuk rakyat
jelata. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja tanah
lungguh (apanaze) yang dimiliki golongan tutus raja-
raja atau bangsawan keturunan sultan. Selain itu,
mereka juga hidup dengan cara bertani dan berladang
di tanah sendiri, berdagang serta menjadi pengrajin.
Pada abad ke-16 hingga 17, mayoritas penduduk
Banjarmasin adalah orang-orang Banjar dan Dayak.34
Orang Dayak dianggap penduduk asli di Pulau Borneo
(Kalimantan) yang mempunyai kebudayaan berbeda
dibanding dengan orang Banjar. Ini terlihat dari bentuk
mata pencaharian hidup dan kepercayaan mereka.

33
Wajidi, dkk. (eds), Urang Banjar dan Kebudayaannya, hlm.
40
34
Ibnu Wicaksono, “Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas
Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII” (Skripsi pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), hlm. 38; lihat juga
Han Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History of
Southeast Borneo, 1600-1880 (Leiden: KITLV Press, 2001), hlm. 77.
48
Pada umumnya orang Banjar yang tinggal di pantai,
sebagai pedagang dan memeluk agama Islam.
Sebaliknya orang Dayak umumnya tinggal di
pedalaman hidup dari mata pencaharian bercocok
tanam serta mengumpulkan hasil hutan. Mayoritas
orang Dayak memeluk kepercayaan asli mereka yakni
kaharingan.35

Gambar 2.7. Lukisan Pakaian bangsawan Banjar dan masyarakat


biasa (jaba) pada abad ke-19. Sumber: C.A.L.M. Schwaner, 1853.

Orang Banjar menempati status sosial ekonomi


yang lebih tinggi dibandingkan orang Dayak karena
mereka memegang jabatan tinggi dalam struktur

35
Ibid., lihat juga Carl Bock, The Head-Hunters of Borneo
(London: Sampson and Low, 1882), hlm. 164, bandingkan dengan
Victor King, People of Borneo (Cambridge: Blackwell, 1953), hlm. 31 -
32.
49
pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti
sultan dan mantri (kepala desa). Orang Dayak jika ingin
masuk ke dalam struktur pemerintahan mereka harus
memeluk agama Islam, dan hanya bisa menjabat
sebagai pembekal (kepala kampung). Dengan demikian
Agama Islam memegang peran penting bagi orang
Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam
struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin.
Penduduk pada golongan ini kebanyakan hidup dari
perdagangan, pertanian, menangkap ikan, kerajinan
dan sebagainya.36 Golongan pedagang sangat besar
jumlahnya, sebagian besar memiliki kekayaan.
Golongan pedagang cukup dihargai di masyarakat.
Penghormatan pada seorang pedagang kaya makin
bertambah apabila pedagang tersebut masih
keturunan bangsawan. Penghormatan terhadap
golongan pedagang biasanya dilihat dari besar kecilnya
usaha ataupun kaya atau tidaknya pedagang tersebut.
5. Hilang Kemerdekaan/Pandeling
Golongan ini terdiri dari orang yang kehilangan
kemerdekaan atas diri mereka sendiri, akibat hutang
yang tidak mampu mereka bayar. Pembagian lapisan

36
Ibid., hlm. 39; Pemaparan tentang Suku Dayak dapat dilihat
dalam Alfred B. Hoedson, The Padju Empat Ma’anyan Dayak in
Historical Perspective (Cornell University, 1976), hlm. 12.
50
sosial ini tidak dijalankan begitu kaku.37 Misalnya,
seorang dari golongan orang besar yang bekerja pada
sektor birokrasi, juga bekerja sebagai pedagang dalam
sektor ekonomi. Begitu pula para ulama yang kadang
juga menjadi pedagang. Bangsawan Banjar juga tidak
luput dari peran ganda ini. Mereka mengusahakan lada
di tanah lungguh atau apanaze milik bangsawan yang
dikerjakan kaum jaba. Memang, hampir seluruh
masyarakat kesultanan diwajibkan bekerja untuk
bangsawan.38
Setelah Kesultanan Banjar dihapuskan pada
tahun 1860, sistem tanah lungguh ini dihapus.
Akibatnya, golongan tutus raja kehilangan hak
istimewa dan rakyat bebas dari kewajiban
mengerjakan tanah lungguh dan aturan tradisi
keraton.39 Pada masa ini pelapisan sosial hanya terdiri
dari golongan bangsawan, golongan hartawan
(pedagang besar) dan jaba.40 Golongan bangsawan ini
masih sangat kolot dan tidak banyak berminat

37
J. Jahmin, “Raja, Lada dan Pedagang: Kasus Kota Banjarmasin
Medio Abad ke- 17 - 18” (Tesis pada Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, 1986), hlm. 56.
38
Mohamad Idwar Saleh, dkk., Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan. hlm. 39.
39
Ibid., hlm. 55
40
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
(Banjarmasin: Fadjar, 1953), hlm. 82.
51
mengecap pendidikan formal.41 Mereka hanya
mengandalkan harta warisan dan status
kebangsawanan mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Akibatnya, golongan ini semakin tenggelam oleh
zaman. Struktur sosial masyarakat era ini juga
dipertegas dengan politik garis warna yang dilakukan
pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan
antara penjajah dengan yang dijajah. Penduduk di
daerah ini digolongkan menjadi tiga yaitu Eropa, Timur
Asing dan bumiputera. Hubungan sosial ketiga
golongan bersifat superioritas.42

C. Sumber Daya Alam & Perekonomian


Sebelum munculnya Banjarmasin dengan
bandarnya, Bandarmasih pra abad ke-16, seperti yang
tertulis dalam Hikayat Banjar, terdapat Kerajaan Hindu
yakni periode Kerajaan Negara Dipa dan kemudian
dilanjutkan periode Kerajaan Negara Daha. Pusat Negara
Dipa terletak di Amuntai dengan pelabuhannya di Muara
Rampiau. Sementara pusat Negara Daha terletak di
daerah pedalaman, yaitu diperkirakan di kota yang
sekarang disebut Negara dengan bandarnya bernama
Muara Bahan (Marabahan). Pemerintahan kedua negara
itu berpengaruh sampai ke daerah pedalaman di daerah

41
Ibid.
42
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 106 - 107.
52
Hulu Sungai sepanjang Sungai Negara, Tabalong,
Balangan, Petak, Hamandit, dan Labuhan Amas yang
memang termasuk daerah yang subur untuk pertanian,
sehingga menghasilkan kebutuhan pokok untuk
memenuhi kebutuhan penduduk kedua negara itu. Selain
kebutuhan pokok, daerah pedalaman (hinterland)
tersebut juga sering kali menyuplai barang dagang ke
ibukota kerajaan. Jalur transportasi utama mereka adalah
Sungai Tabalong, Batang Pitap, Batang Alai dan Batang
Hamandit. 43
Secara turun temurun para penguasa di Kerajaan
Negara Dipa, dan kemudian Negara Daha selalu
menekankan kepada rakyatnya untuk menanam tanam
pangan kebutuhan pokok seperti padi, jagung, keladi, dan
pisang. Kehidupan ekonomi masyarakat negara itu
berbasiskan agraria atau agraris. Schwaner
memperkirakan, di daerah sepanjang Sungai Negara
sebelum Islam masuk jumlah penduduknya lebih banyak
daripada awal abad ke-19.
Pada sisi lain, pemenuhan keperluan akan barang
mewah yang sangat diperlukan untuk kelengkapan
aksesoris istana, kerajaan melakukan sistem barter
dengan bangsa-bangsa lain. Misalnya Kerajaan Negara
Dipa dan Daha selain menghasilkan produksi pertanian,
wilayahnya dikelilingi hutan yang menghasilkan emas,

Mansyur, dkk., Sahang Banjar, hlm. 96 - 97.


43

53
intan, batu-batuan perhiasan, damar, lilin, rotan, gaharu,
dan sebagainya. Barang-barang itu sangat diperlukan
bangsa-bangsa lain terutama Majapahit untuk ditukar
dengan barang produksinya. Misalnya selain perhiasan
adalah damar. Damar pada masa itu dapat dikatakan
sumber energi utama penerangan dalam istana.44

Gambar 2.8. Wilayah Margasari, Lokasi Kerajaan Negara Dipa tahun


1900-an. Sumber : KITLV.

Bagi Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha, yang


letaknya di tepi sungai besar sangat strategis dalam jalur
lalu lintas perdagangan. Tampaknya tidak terlalu sulit
untuk mengadakan hubungan dengan bangsa-bangsa lain.
Banyak pedagang dari beragam penjuru singgah

44
M. Idwar Saleh, dkk, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan,
hlm. 117.
54
mengambil perbekalan maupun transaksi tukar menukar
barang yang sangat diperlukan antar pendatang dengan
penduduk Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha.
Seperti diwartakan Hikayat Banjar, bahwa Pelabuhan
Muara Rampiau ataupun Pelabuhan Muara Bahan
pelabuhan milik kedua negara itu, karena letaknya yang
strategis sering dikunjungi pedagang Cina, Melayu, Bugis,
Makassar, Jawa, Bali, Jambi, Madura, Makau dan Kaling.
Sebagai contoh, seorang saudagar dari Surabaya
bernama Dampuawang, sekembalinya dari Negara Dipa
pulang ke negerinya membawa beragam jenis barang
seperti damar, lilin, tikar dari rotan, buah galam, paikat,
tatudung, emas, rial, ayam sabungan dan sebagainya. Jika
melihat kondisi di atas, kontak dagang sudah dilakukan
dengan bangsa lain, terutama dengan Jawa. Mengingat
Kerajaan Negara Dipa adalah vazaal Majapahit, tentu
sangat dimungkinkan hubungan dagang tersebut. Apalagi
hasil hutan Kalimantan memang sangat diperlukan
sebagai komoditas perdagangan dan komoditas dari Jawa
juga sangat diperlukan, terutama garam. Hadirnya garam
di Kerajaan Majapahit, tentu mengingatkan pada Sumpah
Palapa Gajah Mada yang tidak akan memakan makanan
yang bergaram sebelum mempersatukan Nusantara. 45

45
Suwardi Muhammad Samin, “Kerajaan dan Kesultanan Dunia
Melayu: Kasus Sumatera dan Semenanjung Malaysia”, Jurnal
Criksetra Vol 4 No. 7 Februari 2015, Universitas Sriwijaya Palembang,
2015, hlm. 77.
55
Gambar 2.9. Kondisi Wilayah Negara (Bekas Kerajaan Negara Daha)
Pada Tahun 1900-an. Sumber: KITLV.

Kas negara diisi dari pajak kapal-kapal yang


singgah di Bandar Muara Rampiau ataupun Muara Bahan.
Misalnya, Ki Mas Lalana dengan tiga orang pengikutnya
telah tiba di Negara Dipa, barang-barang yang
dipersembahkan sebagai tanda pajak adalah 2 lembar
kain batik, 2 lembar kain limar, 2 lembar tapih cangkring
patajin, 4 lembar kakamban limar, 1000 buah gula, 100
butir kelapa, 4 tajau minyak kelapa, 2 tempayan asam,
100 tumpuk bawang merah, 10 kampil beras, 4 buah
sabuk tali datuk dan kopiah, satabla wayang gadogan,
satabla wayang purawa, satabla topeng, dan sekoyan
garam. 46

Mansyur, dkk., Sahang Banjar, hlm. 96-97.


46

56
Kerajaan Negara Dipa selain berhubungan dengan
negara-negara tradisional di Nusantara, ia juga menjalin
hubungan dengan Cina. Hal ini dituliskan dalam Hikayat
Banjar, bahwa Mpu Jatmika ketika memerlukan pemahat
patung dari tembaga ia mendatangkannya dari Negeri
Cina. Untuk itu Mpu Jatmika membekali utusannya 10
buah intan, 40 buah mutiara, 40 buah jumantan, 40 buah
polam, 40 buah merah, 40 buah biduri, 40 pikul lilin, 1000
gadai damar, 1000 gulung paikat, 100 gantang air madu,
10 ekor kera sebagai persembahan dari Negara Dipa
untuk Raja Cina. Sekembalinya utusan Kerajaan Negara
Dipa dari Negera Cina, ia membawa 10 pemahat patung
tembaga, sekodi imka merah, kuning, biru, putih, hitam,
hijau, 10 gendang air emas, 10 gendang beragam sutra,
1000 buah mangkuk besar, 1000 buah mangkuk kecil,
1000 buah cupu beragam warna dan 10 pikul menyan. 47
Paparan tentang kondisi ekonomi dari negara,
memperlihatkan bahwa Kerajaan Negara Dipa
mempunyai dua sistem perekonomian tradisional,
pertama terdapatnya muara yang membuat negara itu
terbuka, sehingga bisa berhubungan dengan bangsa lain,
kedua latar belakang pertanian dan hasil-hasil alam
lainnya mampu mendukung seluruh keperluan mereka.
Pada era ini lada masih menjadi komoditas “terlarang”
bagi masyarakat Negara Dipa dan Daha.

47
Ibid.
57
Hasil-hasil hutan hujan tropis di wilayah Borneo
(Kalimantan) bagian tenggara ini berupa getah kautsjuk,
getah perca, jelutung, copal, damar, camfer, rotan untuk
alat pengikat, barang anyaman, alat-alat rumah tangga,
tali, kayu ulin, meranti dan lain-lain.48 Banjarmasin juga
kaya dengan komoditas yang laku diperdagangkan seperti
lada, pala, spikenard, laos, kemukus, cengkeh, dan banyak
lagi rempah-rempah serta obat-obatan lainnya. Hal ini
membuat pedagang dari Negeri Zhipangu (Jepang) dan
Manji ikut berdagang dan mendatangkan barang-
barangnya ke sini, seperti logam dalam jumlah besar.”49
Di antara komoditas perdagangan itu, lada adalah
yang paling mahsyur. Pada abad ke-17, lada merupakan
komoditas penting bagi Kesultanan Banjar dan
membawanya pada puncak kejayaan. Keberadaan lada
sebagai komoditas penting bisa dilihat dari pertikaian
antar bangsawan Banjar dan monopoli perdagangan lada
oleh EIC dan VOC.50 Penanaman lada ini dilakukan di

48
Daniel Beeckman mengatakan daerah ini sangat berlimpah
hasil hutan; diantaranya lada, batu-batu berharga/bezoar/batu babi,
nanas, Kampir/Henna dengan kualitas bagus, nanas, Pumblenofes (?),
limau citrus, lemon, semangka, melon, planton (?), pisang, kelapa,
dan buah-buahan lain khas Hindia Timur. Daniel Beeckman, A Voyage
to and from The Island of Borneo in the East Indies, (London, 1718),
hlm. 36.
49
Marcopolo, Perjalanan Menyinggahi Kalimantan dan
Sumatera. Terj. Ery Kristanti (Surabaya: Selasar, 2009), hlm. 80 - 81.
50
Helius Sjamsuddin. Pegustian dan Temenggung., hlm. 70 -
75. Kiranya kegaduhan politik dan intrik istana di Kesultanan Banjar
58
daerah pedalaman atau area pinggir sungai. Penanaman
pada area dekat dengan ibukota kerajaan dilakukan di
Kayutangi dan Tanah Laut. Penanaman besar-besaran
terdapat di daerah pedalaman, seperti Negara, Amuntai,
Tanah Dusun. Para pedagang yang singgah di Banjarmasin
sangat mengenali kualitas dan asal lada tersebut. Lada
yang paling diminati berasal dari Negara, Tanah Laut dan
Kayutangi.51
Pada masa Kesultanan Banjarmasin abad ke-16,
Orang Banjar telah dikenal sejak lama sebagai kelompok
pedagang yang ulet dan rajin sampai ke luar daerah.
Menurut Amir Hasan Bondan; ada tiga golongan
pedagang di Kerajaan Banjar yaitu Sultan dan keluarganya
yang mempunyai hak dan kekuasaan memungut pajak
dari barang perdagangan, golongan mantri (bawahan
sultan), dan bubuhan saudagar.52 Bubuhan saudagar
inilah yang membawa barang dagangan keluar dan masuk
Kesultanan Banjar. Barang yang dibawa keluar, misalnya
kayu besi/ulin, minyak dan kayu gaharu, intan, rotan,
sarang burung dan lain sebagainya. Ketika kembali dari

umumnya disebabkan mahalnya harga lada di pasaran dunia. Hal ini


mengakibatkan dwi fungsi bangsawan Banjar, yaitu sebagai birokrat
dan pedagang. M.Z. Arifin Anis, Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite,
hlm, 102 - 104.
51
Ita Syamtasiah Ahyat, “Pepper Trade and the Sultanate of
Banjarmasin in the 17th – 18th Century”, International Journal of
Science and Research (IJSR) Volume 3 Issue 8, August 2014,
Chhattisgarh, hlm. 1492.
52
Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, hlm. 89 - 90.
59
luar wilayah kerajaan, mereka membawa barang seperti
berbagai macam kain, gula, bawang, garam, barang pecah
belah (piring, mangkuk, gelas), dan barang yang terbuat
dari tembaga (baki, tempat menginang, alat-alat musik
gamelan). Barang dagang yang dibawa bubuhan saudagar
didistribusikan di pasar-pasar setempat, dengan
menggunakan sarana transportasi sungai.53
Alat transportasi sungai itu didominasi perahu-
perahu (jukung) khas Banjar yang mengangkut berbagai
barang dari pedalaman maupun dari luar daerah seperti
kayu, lilin lebah, minyak kayu gaharu, kain, gerabah,
intan, dan lada.54 Komoditas ini dihasilkan orang Dayak
dan orang Banjar yang tinggal di pedalaman. Barang-
barang itu diperdagangkan di pasar lokal atau di pinggir
sungai penuh dengan orang bertransaksi jual beli.55
Hingga abad ke-20, banyak terdapat sisa sisa
produksi lada yang ditanam dalam skala kecil di Borneo
(Kalimantan) bagian tenggara. Lada ini juga masih
diperjualbelikan, walaupun kuantitasnya minim
dibandingkan abad sebelumnya. Seperti harga lada hitam
yang di wilayah Zuider een Oosterafdeling van Borneo

53
Bambang Subiyakto, “Pelayaran Sungai di Kalimantan
Tenggara: Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad ke- XIX”
(Tesis pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1997), hlm. 59.
54
Goh Yoon Fong, “Trade and Politics in Banjarmasin, 1700-
1747” (Tesis pada University of London, 1969), hlm.10.
55
Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 23 Agustus 1939.
60
berkisar dari f 60 sampai f 90 per pikul. Berbeda dengan
harga lada putih dari f 110 sampai f 150 per pikul. Dari
Kota Banjarmasin (pelabuhan pengapalan untuk lada),
jumlah ekspor mencapai 728.367 kilogram lada putih dan
234.359 kilogram lada hitam. Jumlah ekspor ini
meningkat pada tahun 1926 menjadi 577.563 kilogram
lada putih dan 365.657 kilogram lada hitam.56
Selain itu, umumnya urang Banjar bermata
pencaharian petani sawah. Sawah pasang surut yang
telah ditanami padi oleh orang-orang Banjar bisa
menghasilkan dua sampai tiga ton per hektar.
Keberhasilan budidaya padi di lahan pasang surut sangat
bergantung pada pengolahan tanah dan ketepatan waktu
penanaman bibit. Para petani menanam benih padi
mengikuti perintah masing-masing kepala padangnya
sebagai pimpinan daerah pertanian di suatu lahan
pertanian. Para kepala padang sudah mempunyai
pedoman (kebiasaan) perhitungan musim dengan cara
melihat bintang dan pertanda alam. Jika waktu
penanaman terlambat, gulma akan berkembang biak dan
sukar disiangi. Jika penanaman dilakukan terlalu dini,
banjir akan memusnahkan tanaman padi yang masih
muda tersebut.57 Orang Banjar memilih padi varietas lokal

56
Arsip Kolonial Verslag Over het Jaar 1928.
57
Dagblad Express, edisi 1936.
61
yang bersiklus panjang (6-10 bulan) seperti siam, unus,
dan karang dukuh.58

D. Latar Historis Banjarmasin Pra Abad ke-16


Keberadaan kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha di Borneo (Kalimantan) bagian tenggara
yang tidak terlepas dari pengaruh persentuhan
kebudayaan antara daerah Nusantara dengan India
sebagai tempat kelahiran kedua agama tersebut.
Persentuhan kebudayaan ini terjadi sebagai salah satu
akibat dari hubungan yang dilakukan antara orang-orang
India dengan Nusantara, terutama karena daerah
Nusantara merupakan jalur perdagangan strategis
menghubungkan antara India dan Cina. Hubungan
perdagangan yang semakin lama makin intensif
menimbulkan pengaruh masuknya pengaruh-pengaruh
kebudayaan India di Nusantara. Agama Hindu-Buddha
juga menjadi agama yang dianut penduduk di Borneo
bagian tenggara dan menjadi pendorong muncul dan
berkembangnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha di
wilayah ini.59
1. Kahuripan/Tabalong, Kerajaan Kuno Vazal Majapahit
Terdapat Kerajaan Kuripan atau Kahuripan,
yang merupakan kerajaan kuno berlokasi di wilayah

58
Dagblad Express, edisi 1935.
59
Yusliani Noor, dkk., Muatan Lokal Sejarah Kalimantan
Selatan (Banjarmasin: Alfa Merindo, 2017), hlm. 65.
62
Kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan sekarang. Tepatnya, di sebelah hilir
dari wilayah Candi Agung (Amuntai Tengah). Diduga
pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di
sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten
Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di
sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena
di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Utara Sungai
Bahan/Sungai Negara bercabang ke arah hulunya
menjadi dua yaitu Sungai Tabalong dan Sungai
Balangan. Sungai Tabalong adalah anak dari Sungai
Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak Sungai
Barito yang bermuara ke Laut Jawa.60
Diduga nama Kerajaan Kuripan sebutan lain
dari Kerajaan Tabalong merupakan wilayah vazal
Kerajaan Majapahit yang disebutkan dalam Kakawin
Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit
yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sebutan
Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan di
mana kerajaan tersebut berada.61 Nama Kuripan
diduga nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan
diduga nama lama dari Amuntai di Kabupaten Hulu
Sungai Utara yang terletak di sekitar muara Sungai
Tabalong. Menurut naskah Tutur Candi, Kerajaan

Ibid., hlm. 67.


60

TH Pigeaud, Java in The Fourtheenth Century (The Hague:


61

Martinus Nijhoff, 1960), hlm. 16 - 17.


63
Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri
sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan
Kahuripan menyayangi Ampu Jatmika sebagai anaknya
sendiri maka setelah dia sepuh dan mangkat kemudian
seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan
sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang
didiami Ampu Jatmika. 62

Gambar 2.10. Beberapa titik perkiraan Lokasi Kerajaan


Kuripan/Kahuripan. Sumber: Peta Borneo Tahun 1919.

62
Ibid., hlm. 68; lihat juga Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek
Bahasa Banjar Hulu (Jakarta: Pusat Pembinaan & Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 6.
64
2. Ampu Jatmika & Negara Dipa
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan Hindu
pertama di Kalimantan Selatan. Berdiri sejak abad ke-
14, tepatnya tahun 1387-1495 M. Raja pertama adalah
Ampu Djatmaka sejak ±1387 M dan Raja terakhir
adalah Putri Kalungsu sampai 1495 M. Letaknya
semula di Tabalong kemudian berpindah ke Amuntai,
Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan
Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di
pedalaman Kalimantan Selatan.63 Kerajaan ini adalah
pendahulu Kerajaan Negara Daha. Sejak masa
pemerintahan Lambung Mangkurat, wilayahnya
terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.
Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan
sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang
berasal dari Keling (Coromandel), berjarak dua bulan
perjalanan laut menuju Pulau Hujung Tanah
(Kalimantan).64

63
Michael R. Dove, The Banana Tree at the Gate: A History of
Marginal Peoples and Global Markets in Borneo (Singapore : NUS
Press, 2012), hlm. 45.
64
Menurut Schrieke, Keling identik dengan Kediri Utara, lihat
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, part 2 (Bandung : N.V.
Mijvarking van Hocke, 1957), hlm. l26.
65
Gambar 2.11. Sketsa Lokasi Pusat Kerajaan Negara Dipa yang
kemudian pindah ke Negara Daha. Sumber: Kaart van het Eiland
Borneo, Leiden, E. J. Brill, 1902.

Pendapat Veerbek wilayah Keling, adalah


propinsi Majapahit di barat daya Kediri. Demikian
halnya Paul Michel Munos mengemukakan Empu
Jamatka (atau Empu Jatmika) mendirikan Negara Dipa
pada tahun 1387.65 Empu Jamatka berasal dari
Majapahit. Daerah yang disebutkan itu termasuk
mempunyai lahan yang subur untuk pertanian,

65
Paul Michel Munos, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan
Indonesia dan Senanjung Malaysia (Yagyakarta Mitra Abad ke-1 ,
2009), hlm 401 & 435.
66
sehingga menghasilkan bahan pokok untuk memenuhi
kebutuhan penduduk.33 A.A Cense menuliskan, bahwa
Negara Dipa juga mempunyai pusaka-pusaka yang
berasal dari Majapahit, yaitu mahkota kerajaan,
gamelan yang bernama si Larasati, gong yang bernama
si Rambut Peradah, canang bernama si Macan
Papatuk, tombak bernama si Panutus, dan keris
bernama si Masagirang dan Jokopiturun.66
Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di
Negara Dipa yang beribukota di Margasari (Situs Candi
Laras). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan
dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi
kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja
Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuri-pan yang
wilayahnya lebih luas tersebut. Walau demikian Ampu
Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi
hanya sebagai penjabat raja (pemangku). Kerajaan
Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik
Margasari) dekat hilir Sungai Bahan tepatnya Anak
Sungai Bahan. Setelah mendirikan negeri Candi Laras
(Margasari), ia meminta izin kepada Raja negeri
Kuripan untuk menaklukkan sebelah hulu dari negeri
Kuripan yang diberi nama Negeri Candi Agung

33
Schwaner dalam M.Z.Arifin Anis, Struktur Birokrasi dan
Sirkulasi Elite., hlm. 35.
66
Anton Abraham Cense, De Kroniek van Bandjarmasin
(Proefschrift C.A. Mees Antpoort, Amsterdam, 1928), hlm.147-148.
67
(Amuntai). Kemudian banyak penduduk Kuripan yang
hijrah/migrasi ke negeri Candi Agung (Amuntai).
Setelah kemangkatan Raja Kuripan, Empu Jatmika/
Ampu Jatmaka menjadi penguasa Negeri Candi Agung,
Negeri Candi Laras dan Kuripan. Kelak daerah Kuripan
ini diwarisi Lambung Mangkurat sehingga ia juga
dikenal sebagai Ratu Kuripan.67
Setelah perpindahan ibukota kerajaan Negara
Dipa dari Candi Laras (Margasari) ke Candi Agung
(Amuntai), penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu
Mangkurat) setelah bertapa di sungai (Tabalong)
berhasil memperoleh Puteri Junjung Buih yang
kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja
Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi
Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu
Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata.
Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan
mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di
Negara Dipa. Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-
daerah bawahan disebut sakai, yang masing-masing
dipimpin mantri sakai. Pemerintahan sakai kira-kira
sama dengan lalawangan (distrik) di masa Kesultanan
Banjar. Pada mulanya Negara Dipa merupakan
bawahan Kerajaan Kuripan. Dalam perkembangannya
kemudian ibukota Kerajaan Negara Dipa pindah ke

67
Ibid.
68
Hulu Sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai),
kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan
Raja Kuripan yang mangkat tanpa memiliki keturunan,
sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi
Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di
Candi Agung yang terletak di sekitar hulu Sungai Bahan
(Sungai Negara) yang bercabang menjadi Sungai
Tabalong dan Balangan serta Sungai Pamintangan
(sungai kecil anak Sungai Negara). Kerajaan Negara
Dipa dikenal penghasil intan.68
Peninggalan Kerajaan Negara Dipa adalah Candi
Agung. Pendirinya Empu Jatmika, yang bergelar
Maharaja di Candi. Candi Agung terletak di Kelurahan
Sungai Malang, Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Bandar niaganya yang terkenal adalah Bandar Muara
Rampiau di Pamatang Panyaungan, Kecamatan Candi
Laras Selatan, Kabupaten Tapin. Situs Candi Agung
ditemukan pada tahun 1962.69 Beberapa kali penelitian
di areal situs, di antaranya, tahun 1964 dipimpin Uka
Tjandrasasmita dari Lembaga Purbakala & Peninggalan

68
Wolter Robert Hoevell, "Geschiedkundige Aanteekeningen
Omtrent Zuidelijk Borneo" dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie,
Volume 23, (zalt bommel, Joh Noman en Zoon, 1861), hlm. 199-200;
lihat juga Yumsari Yusuf, Unsur Sejarah Dalam Naskah Melayu Koleksi
Museum Nasional (Jakarta: Museum Nasional, 1987), hlm. 25 - 29
69
J.J Ras, Terj. Siti Hawa Salleh Hikayat Banjar, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990),
mlm. 309 - 310.
69
Nasional. Ekskavasi menghasilkan temuan pecahan
bata dan genteng. Tahun 1967, kembali diteliti Uka
Tjandrasasmita menghasilkan temuan reruntuhan
struktur bata berukuran 9,20 x 9,20 meter. Selain itu
juga ditemukan fragmen keramik asing, genteng,
tonggak kayu ulin, pecahan perunggu,dan lain lain.
Tahun 1975, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
dipimpin D.D. Bintarti kembali melakukan survei.
Berhasil menemukan tiang-tiang penyangga fondasi
candi berupa konstruksi kayu ulin. Sejak 1992/1993,
dari hasil ekskavasi ditemukan bukti pendukung bahwa
situs Candi Agung dalam Hikayat Banjar dan Tutur
Candi, bukanlah mitos. 70

Gambar 2.12. Situs Candi Agung Amuntai (kiri). Gambar Lokasi


Candi Agung Amuntai Hulu Sungai Utara (kanan). Sumber: Koleksi
Yusliani Noor, 2020.

70
Sunarningsih, “Penelitian ekskavasi permukiman di Nagara,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan”, Laporan
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Banjarmasin, 2007, Belum terbit;
Lihat juga Sunarningsih, “Sebaran situs pemukiman kuna di Daerah
Aliran Sungai Barito” Naditira Widya 6 (2) 2012, hlm. 130 – 144.
70
Kemudian Empu Jatmika memerintahkan
bentara kanan Tumenggung Ta-tahjiwa memperluas
wilayah dengan menaklukan daerah Batang Tabalong,
Batang Balangan, Batang Pitap dan daerah
perbukitannya sekitarnya (yang dihuni Suku Dayak
Meratus). Ia juga memerintahkan bentara kiri Arya
Megatsari menak-lukan daerah Batang Alai, Batang
Labuan Amas, Batang Amandit dan daerah perbukitan
sekitar daerah tersebut. Setelah itu ia memindahkan
ibukota dari negeri Candi Laras ke negeri Candi Agung
(candi kuno di hulu Sungai Bahan) yang terletak di
Negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah
angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan yang tidak
memiliki keturunan, namun Ampu Jatmaka
mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja.
Negeri Kuripan, Negeri Candi Laras dan Negeri Candi
Agung dan ditambah negeri Batung Batulis dan
Baparada (Balangan) yang disebutkan di dalam Hikayat
Banjar Resensi II teks Cense, maka daerah-daerah
inilah yang awal mula menjadi wilayah kekuasaan
kerajaan Negara Dipa. Tokoh lain yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat, seorang Mahapatih yang cakap
dalam mengurus pemerintahan Negara Dipa. Ia anak
dari Empu Jatmika. Bersaudara dengan Empu
Mandastana. Akhirnya Lambung Mangkurat berhasil
menyatukan beberapa kerajaan di bawah
pemerintahannya. Di antaranya Kerajaan Kahuripan di
71
Muara Bahan dan Batang Negara. Kerajaan Pudak
Satagal di Pasar Arba Kelua dan Kerajaan Nan Sarunai
di kawasan Tabalong.71
Upaya dari Lambung Mangkurat menyatukan
beberapa kerajaan suku, menimbulkan perlawanan.
Khususnya Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai adalah
kerajaan Suku Maanyan. Posisi kekuasaan kerajaan
Nan Sarunai sekitar Sungai Nagara dan Margasari
sampai ke Sungai Tabalong. Saat itu, Kerajaan Negara
Dipa sebagai kerajaan vazal (bawahan) dari Kerajaan
Majapahit di Jawa. Mahapatih Lambung Mangkurat
memiliki kemampuan politik yang sangat cakap.
Dengan mengawinkan Puteri Kahuripan yang bernama
Puteri Junjung Buih dari anak tokoh Kerajaan
Kahuripan dengan Pangeran Suryanata dari Kerajaan
Majapahit. Melalui kerjasama politik dengan
Majapahit, Kerajaan Negara Dipa menjadi kerajaan
hindu yang kuat di Borneo (Kalimantan) bagian
tenggara.72

71
Roasyadi, dkk, Hikayat Banjar dan Kotaringin (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 14.
72
Mohamad Idwar Saleh, Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan
Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad ke- IX (Banjarmasin:
Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan
Depdikbud, 1983/1984), hlm. 9.
72
Gambar 2.13. Ilustrasi Mahapatih Lambung Mangkurat. Sumber:
www.imgrum.net.

Selanjutnya terdapat tokoh Putri Junjung Buih.


Dari berbagai sumber nama Puteri Junjung Buih
biasanya ditulis dengan Poetrie Djoendjoeng Boeih
atau Poetri Djoendjoeng Boewih adalah seorang Raja
Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut Hikayat
Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi
Kalimantan. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya
mengaku sebagai keturunan dari puteri pribumi ini.
Versi umum bahwa Puteri Junjung Buih adalah nama
seorang perempuan dari kerajaan Suku Biaju-Ngaju.
Dikenal sebagai Puteri Kahuripan atau Huripan.
Kahuripan adalah sebuah kerajaan Suku Biaju-Ngaju.
Letaknya antara lintasan Sungai Bahan sampai ke
wilayah Sungai Negara dan Sungai Malang- Amuntai.
73
Sementara itu, Raja Negara Dipa adalah Pangeran
Suryanata. Diperkirakan dia putera Raja Hayam Wuruk
dari Kerajaan Majapahit. Nama asli Pangeran
Suryanata adalah Prabu Chakraningrat. Gelarnya
adalah Kuda Banjaran Sari. Nama Prabu Chakraningrat
yang bergelar Kuda Banjaran Sari disebutkan Raffles
dalam bukunya History of Java. Raffles mengambil
sumber dari Babad Tanah Jawa. Artinya, Pangeran
Suryanata adalah nama tokoh dari Jawa yang sesuai
Hikayat Banjar dan Tutur Candi. .73

Gambar 2.14. Ilustrasi Puteri Junjung Buih dan Lambung


Mangkurat Bertapa di Hulak Banyu (kiri). Ilustrasi Pangeran
Suryanata (kanan). Sumber: lukisan karya M. Husni Thambrin.

73
Ras, Hikajat Banjar, a Study in Malay Historiography., hlm.
276. Upacara badudusan dimulai diperkenalkan ketika Putri Junjung
Buih dan Maharaja Suryanata diangkat menjadi raja di Negara Dipa.

74
Kemudian terdapat Aria Dewangsa atau Surya-
ganggawangsa, putera bungsu Putri Junjung Buih
dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi 2),
menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan bergelar
Putri Kabu (Kebo) Waringin. Raden Sekar Sungsang,
cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung
Mangkurat adalah putera pasangan Pangeran Aria
Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut
Hikayat Banjar versi 2, tetapi menurut Hikayat Banjar
versi 1 adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit
Lambung Mangkurat.74

Gambar 2.15. Silsilah Raja Suryaganggawangsa. Sumber : Yusliani


Noor, 2017.

74
Ibid.
75
Maharaja Carang Lalean melantik Lambung
Mangkurat sebagai pemangku. Pada era Sekar
Sungsang terjadi perpindahan lokasi Kerajaan dari
Candi Agung Amuntai ke Muara Hulak. Negara Dipa
merupakan kerajaan potensial, mempunyai komoditas
dagang yang banyak seperti intan, emas, batu-batuan
perhiasan, damar, lilin, rotan, gaharu, dan sebagainya.
Seiring berjalannya waktu, Negara Dipa mulai
disinggahi pedagang seperti Bugis, Aceh, Sumbawa,
Jawa, Bali, Madura, Kaling, Johor dan Tiongkok.
Hal ini disebabkan selain mempunyai banyak
komoditas, Negara Dipa yang berlokasi di tepi sungai
mempunyai dua pelabuhan strategis di Muara
Rampiau dan Muara Bahan. Pada masa Maharaja Sari
Kaburungan (Raden Sekar Sungsang), putera dari Putri
Kabu Waringin (Putri Kalungsu), untuk menghindari
bala bencana, ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi
Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan
tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir
pada percabangan anak Sungai Bahan yaitu Muara
Hulak yang kemudian menjadi Negara Daha (sekarang
Kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut
Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun
berganti menjadi Sungai Negara. 75

75
Joginder Singh Jessay, Malaysian, Singapore, and Brunei
1400-1965 (Malaysia: tanpa penerbit, 1974), hlm. 141; lihat juga Vida
Pervaya Rusianti Kusmartono & Harry Widianto, “Ekskavasi Situs
76
3. Negara Daha, Embrio Kesultanan Banjarmasin
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan
Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di
Kalimantan Selatan sezaman kerajaan Islam Giri
Kedaton. Kerajaan Negara Daha diperkirakan berdiri
tahun 1478-1526. Raja pertama adalah Maharaja Sari
Kaburangan sejak ±1478 dan raja terakhir adalah
Pangeran Tumenggung yang memerintah sampai
tahun 1526. Pusat Kerajaan Negara Daha terletak di
tepi sungai Negara dan berjarak 165 kilometer di
sebelah utara Kota Banjarmasin, ibukota Kalimantan
Selatan. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan
di Kuripan/Candi Agung (sekarang Kota Amuntai).
Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk
menghindari bala bencana karena kota itu dianggap
sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan
dipindah ke arah hilir sungai Negara (Sungai Bahan)
menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga
disebut dengan nama yang baru sesuai letak
ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu
Kerajaan Negara Daha.
Bandar pelabuhannya yang terkenal adalah
Muara Bahan di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.

Candi Agung Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan”,


Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Balai Arkeologi Banjarmasin,
1997/1998.
77
Rajanya bernama Raden Sekar Sungsang dengan
peninggalan adalah Candi Laras. Letak Candi Laras di
Desa Beringin B, Kecamatan Margasari, Kabupaten
Tapin. Raden Sekar Sungsang bergelar Panji Agung Sari
Kaburangan. Keraton Negara Daha terletak di daerah
yang bernama Parit Basar, Pamatang Patung, yang
sekarang dikenal dengan Desa Garis. Kerajaan Nagara
Daha membangun Candi Laras, sebagai pusat
pemujaan dan Bandar.

Gambar 2.16. Peninggalan Situs Candi Laras. Sumber: kitlv-image.

Berdasarkan peninggalannya, Candi Laras


menunjukkan adanya pengaruh agama Siwa yang
mendapat unsur agama Budha, dan disebut aliran
“Kalacakra”. Selama pemerintahan Kerajaan Daha,
penduduk yang mendiami aliran Sungai Negara dan
Sungai Bahan penduduknya telah mengalami

78
kemakmuran.76 Peninggalan situs Candi Laras di desa
Candi Laras di antaranya patung Nandi, Lingga, Patung
Siwa Guru, Alas Patung, Batu Bertulis, Cincin emas
permata akik berukir nandi, patung kayu, batu bata,
dayung, dan patung Budha. Candi Laras adalah situs
candi berukuran kecil di Desa Candi Laras, Candi Laras
Selatan, Tapin, Kalimantan Selatan yang ditemukan
pada lokasi yang dinamakan penduduk dengan
sebutan Tanah Tinggi.
Pada situs candi ini ditemukan potongan-
potongan Arca Batara Guru memegang cupu, lembu
Nandini dan lingga. Semuanya disimpan di Museum
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Letak candi ini tidak
berada pada lokasi strategis, sehingga diperkirakan
candi ini didirikan untuk maksud-maksud tertentu dan
diperkirakan merupakan candi kenegaraan. Dalam
daerah yang berdekatan dengan candi ini, yaitu daerah
aliran sungai Amas ditemukan pula sebuah arca
Buddha Dīpankara dan potongan batu yang bertuliskan
aksara Pallawa berkaitan Agama Buddha. Potongan
batu tersebut berbunyi "siddha". Selengkapnya

M. Suriansyah Ideham, dkk, Urang Banjar dan


76

Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Pengembangan dan Penelitian


Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007), hlm. 52.; Sebelum Islam
dianut di wilayah Muara Bahan penduduknya telah mengalami
kemakmuran. Lihat juga C.A.L.M. Schwaner, Borneo, Deel I,
Amsterdam, 1853, hlm. 42.
79
seharusnya berbunyi "jaya siddha yatra" artinya
"perjalanan ziarah yang mendapat berkat".
Berdasarkan analisis radiocarbon dating C-14,
yang dilakukan Balai Arkeologi Kalsel terhadap tonggak
kayu ulin pada situs Candi Laras. Dinyatakan
periodesasi budaya situs Candi Laras berlangsung
antara abad ke-13 M sampai dengan awal abad ke-15
M. Disimpulkan, bahwa sampel tonggak kayu ulin di
situs Candi Laras berada pada periode sekitar abad ke-
14. Dengan peninggalan yang ditemukan pada situs
Candi Laras di desa Beringin B Margasari Kabupaten
Tapin, menunjukkan bukti Kerajaan Negara Daha. Pada
era abad ke-14 merupakan masa sezaman kekuasaan
Majapahit di Jawa Timur. Dalam abad ke-13, Islam
sudah masuk ke Jawa Timur. Dibuktikan penemuan
Makam Fatimah binti Maimun di Desa Leran Jawa
Timur. Hubungan antara Jawa Timur dengan
Kalimantan Selatan sangat dekat, khususnya melalui
transportasi laut. Oleh sebab itu, pada abad ke-14
sangat memungkinkah datangnya pengaruh Islam di
bandar Niaga Daha. Bandar Niaga Kerajaan Negara
Daha adalah Bandar Muara Bahan di Marabahan
Barito Kuala. Pengunjung dari bandar Muara Bahan
adalah orang Keling (Gujarat), Melayu dan Cina.77

77
M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin (Bandung: Balai
Pendidikan Guru), hlm. 15; lihat juga Bambang Sulistyanto, “Umur
Candi Laras dalam Panggung Sejarah Indonesia Kuna”, Berita
80
Gambar 2.17. Kondisi Wilayah Negara (Bekas Kerajaan Negara
Daha) Pada Tahun 1900-an (kiri) dan Gambar Batu Candi Laras
Margasari, peninggalan Kerajaan Negara Daha tahun 1938
(kanan). Sumber: KITLV.

Raja pertama pada Kerajaan Negara Daha


adalah Raden Sekar Sungsang atau Raden Sari
Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari
Kaburungan atau Panji Agung Rama Nata. Raden Sakar
Sungsang adalah putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu
Waringin, ratu terakhir Negara Dipa yang memerintah
tahun 1478. Wilayah pengaruh kerajaan ini meliputi
provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,
sebelah barat berbatasan Kerajaan Tanjungpura.
Selanjutnya, sebelah timur berbatasan Kerajaan Kutai
Kartanegara. Islam datang ke Kalimantan Selatan dari
Giri pada masa Raden Sekar Sungsang yang pernah

Penelitian Arkeologi No. 7. Balai Arkeologi Banjarmasin, Banjarbaru,


2000. Tata cara bernegara di Negara Dipa dan Daha mengikuti
Majapahit. Hal ini sesuai amanat dari raja-raja kedua negara itu.
81
merantau ke Pulau Jawa dan di sana telah memiliki
anak bernama Raden Panji Sekar yang menikahi putri
dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut.78
Kemudian Raden Sukarama bergelar Maharaja
Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar
pertama). Pada masa pemerintahan Maharaja
Sukarama, pergolakan berlangsung terus-menerus.
Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan
cucunya, Pangeran Samudera kelak menggantikan
tahtanya, tetapi pada akhirnya Pangeran Mangkubumi
yang memaksa naik takhta.79 Pangeran Mangkubumi
adalah gelar dari Raden Paksa yang kemudian bergelar
Maharaja Mangkubumi. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan mengalami kekacauan karena perebutan
kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan
merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran
Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam perebutan
kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi
penguasa kerajaan.

78
M. Suriansyah Ideham, dkk., Urang Banjar dan Kebudayaan-
nya, hlm. 66 - 72.
79
A. Van Der Ven, “Aanteekeningen Omtrent het Rijk Banjar-
masin”, T.B.G IX, Lange & Co, Batavia, 1860, hlm. 105.

82
BAB III
BUDIDAYA LADA DI BORNEO BAGIAN TENGGARA
ABAD KE-16

A. Asal Usul Lada di Borneo


Nusantara merupakan negara tropis serta menjadi
satu di antara negara penghasil rempah-rempah terkaya
di dunia. Keanekaragaman rempah-rempah yang dimiliki
Nusantara menjadikan rempah-rempah khas lokal ini
sering digunakan sebagai bumbu dalam pengolahan
pangan. Lada secara botanikal dikenal sebagai Piper
nigrum, merupakan salah satu rempah yang paling tua
dan populer di dunia.80 Lada ditemukan pertama kali di
daerah Western Ghast, India. Lada ditemukan tumbuh liar
di daerah Pegunungan Assam (India) dan utara Burma.
Tumbuhan ini kemudian mulai dibudidayakan dan
menjadi barang berharga ketika diintroduksi ke Eropa dan
mulai dikenal bangsa Yunani dan Romawi kuno.
Theophratus (372-278 B.C), seorang filsuf Yunani yang
dikenal Bapak Botani, menyebutkan dua tipe lada yang
digunakan di Yunani dan Romawi yaitu black pepper (lada
hitam) atau piper nigrum dan long pepper (lada panjang)
atau Piper longum. Lada kemudian menyebar dari
Malabar (India) ke daerah-daerah Eropa dan Asia
termasuk Nusantara (Indonesia). Lada kemungkinan

80
Mahmud Z, dkk., Profil Komoditas Lada (Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2003), hlm. 222 - 225.
83
dibawa masuk ke Indonesia oleh masyarakat Hindu ke
daerah Jawa antara 100 Sebelum Masehi hingga 600 M.81
Lada hitam dibudidayakan secara luas di daerah
tropis Asia Tenggara. Tanaman hijau ini tumbuh
merambat sejak zaman dahulu di pesisir pantai Malabar
India yang dikenal sebagai asal usulnya. Sentra produksi
lada di Indonesia saat ini ada di daerah Lampung,
Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung. Kedua
daerah ini memproduksi kurang lebih 90% dari produksi
lada di Indonesia. Daerah penghasil lada lainnya yaitu
Bengkulu, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi
Selatan.82 Manfaat lada selain bumbu masakan, adalah
pengawet, obat-obatan dan diambil minyaknya untuk
wewangian serta dapat digunakan sebagai alat tukar
layaknya uang. Pada era kekinian, lada umumnya
digunakan sebagai bumbu masakan. Peningkatan
permintaan lada seiring munculnya kebiasaan hidup
sehat. 83

81
J.W. Purseglove & E.G. Brown., Spice, Vol II (London:
Longman, 1981).
82
Mustika I., “Penyakit Kuning Pada Tanaman Lada dan Cara
Pengendaliannya”, Materi Pelatihan Teknologi Imunisasi Silang untuk
Pengendalian OPT Vanili, Lada dan Jambu Mete, 2005 Agustus 22–26;
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat & Direktorat
Perlindungan Perkebunan, Ditjen Perkebunan Deptan, Bogor, hlm 28.
83
Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada di
Lampung Tahun 1816-1942”, Jurnal Sejarah & Budaya, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Malang, vol. 9 No. 1, 2015, hlm. 64 - 78.
84
Gambar 3.1. Varietas Piper Ningrum (Lada Hitam) yang Menjadi
Komoditas di Banjarmasin (Sumber: Tanaman Lada yang dilukis oleh
Marsden, 1783, dalam Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun
Niaga, Jilid II).

Terdapat dua jenis lada yang umum dan diketahui


masyarakat luas yaitu lada hitam dan lada putih. Lada
hitam merupakan buah lada yang belum masak dan
dikeringkan bersama dengan kulitnya hingga permukaan
kulit menjadi keriput dan berwarna kehitaman,
sedangkan lada putih merupakan buah lada yang usia
tanam atau waktu pemanenannya lebih lama sehingga
buah lada menjadi masak kemudian dibersihkan sehingga
terlepas dari kulit selanjutnya dikeringkan hingga
85
berwarna putih. Lada mengandung senyawa volatil,
alkaloid, tannin, fenolik dan flavonoid, kandungan bahan
aktif flavonoid pada lada bersifat antioksidan.84 Selain itu,
menurut Dampier lada digunakan untuk penyedap rasa
masakan unggas, ikan, dan daging kerbau.85 Tanaman
lada pada awalnya dikembangkan secara kecil-kecilan di
Pulau Jawa. Seiring waktu, Akhirnya pengembangan
perkebunan lada dilakukan besar-besaran, terutama
dilakukan di Pulau Sumatera (Lampung) dan Borneo
(Kalimantan). Menanam lada, dahulu memiliki makna
kesabaran, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Tidak heran
jika pada abad ke-12, Nusantara menjadi pemasok lada
terbesar di dunia, sekitar 80 persen.86
Demikian halnya di wilayah Borneo, lada yang
dikenal dengan nama lokal yakni sahang mulai ditanam
oleh Suku Biaju pada abad ke-16.87 Lada diperkirakan
berasal dari Jawa, mulai ditanam sejak era didirikannya
Kerajaan Hindu Negara Dipa oleh Ampu Jatmaka,
kemudian dilanjutkan Maharaja Suryanata (1438 M). Lada

84
Meghwal, M. & T. K. Goswami, “Nutritional Constituent of
Black Pepper as Medicinal Molecules: A Review”, Open Access
Scientific Reports, 12, edisi 1, 2012, hlm. 1 - 7.
85
Denys Lombard, Terj. Winarsih Arifin, Kerajaan Aceh, Zaman
Sultan Iskandar Muda, 1607-1636 (Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris
& École française d’Extrême-Orient, 2006), hlm. 84.
86
Ika Ningtyas Unggraini, “Dari Lada ke Karet: Perubahan Sosial
dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942”, tulisan lepas koleksi
Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
hlm. 1 - 18.
87
Goh Yon Fong, “Trade and Politics in Banjarmasin, 1700-
1747” (Tesis pada University of London, 1969), hlm. 12 - 18.
86
yang pada waktu itu merupakan komoditi yang sangat
laku di pasaran, awalnya dilarang dibudidayakan secara
luas. Lada hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
ditanam tidak lebih dari 4-5 rumpun setiap keluarga.
Penanaman lada dibatasi sebanyak yang mereka perlukan
sendiri. Hal ini tertuang dalam Hikayat Banjar yang
bertarikh 1663, bahwa Sultan Suryanata telah melarang
rakyatnya untuk menanam sahang (lada) berlebihan.88
Maharaja Suryanata hanya mengizinkan orang menanam
sahang sepuluh sampai dua puluh tunggul meskipun
tetap khawatir kalau jumlah keseluruhan tumbuhan
sahang yang ditanam tetap banyak. Selain itu juga
larangan menanam lada juga berlaku di masa raja
penerus Kerajaan Negara Dipa yakni Maharaja Sari
Kaburungan dan Sultan Suryanullah (1550-1555).89
1. Sentra Lada Lokal
Sejak abad ke-17, komoditas lada merupakan
komoditas utama yang dihasilkan oleh Kesultanan
Banjar. Menurut Reid, perkebunan lada juga
berkembang di wilayah yang pada abad ke-17 masih
jarang penduduknya yaitu di Banjarmasin
(Borneo/Kalimantan), yang belum pernah mempunyai

88
Menurut Eisenberger, Sultan Suryanata memerintah sekitar
tahun 1438 M.
89
J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1968), hlm. 330.
87
tradisi menanam lada atau bahkan padi.90 Demikian
halnya Goh Yon Fong menuliskan tanaman ini tumbuh
di lahan sepanjang tanah rawa Bakumpai, Lusong,
Barambai, Komenting, Nagara dan Bonave Assam91
dan tanah berpasir di Amuntai, Meluklio (Maluka),
Kayutangi dan Pulau Laut.92 Daerah-daerah yang telah
disebutkan itu mempunyai akses yang mudah untuk
menuju Banjarmasin, karena dekat dengan Sungai
Barito dan anak sungainya. Penanaman lada di daerah
pedalaman, selain oleh masyarakat umumnya, juga
terdapat perkebunan lada yang dikuasai kaum
bangsawan seperti di daerah Negara, Alai, Tabalong.
Karena banyaknya lada di wilayah ini, sehingga Dijk93
menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Suryanata
sebagai koning van het pepergebergte atau raja dari
pegunungan lada.
Penanaman lada (sahang) ini dilakukan di
daerah pedalaman atau area pinggir sungai.
Penanaman pada area dekat dengan ibukota kerajaan

90
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680
(Jakarta: Yayasan Obor, 1999, Jilid 2, Jaringan Perdagangan Global.),
hlm. 44 - 45.
91
Valentjin, Oud en Nieuw Oost Indien, Bagian III, (Mackenzie
Private Collection (64A), hlm. 352.
92
Ibid.
93
L. Ludovicus Carolus Desiderius Dijk, Neerlands vroegste
betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en
Cochin-China: een Nagelaten Werk (Amsterdam: J.H. Scheltema,
1862), hlm. 48; Mansyur, et.al., Sahang Banjar: Banjarmasin dalam
Jalur Perdagangan Rempah-rempah Lada Dunia Abad ke-18
(Banjarmasin: Arti Bumi Intaran., 2019), hlm. 92.
88
dilakukan di Kayutangi dan Tanah Laut. Sementara
penanaman besar-besaran terdapat di daerah
pedalaman yakni Negara, Amuntai, Tanah Dusun. Para
pedagang yang singgah ke Banjarmasin sangat
mengenali kualitas dan asal lada tersebut, yang sangat
diminati adalah lada dari sentra budidayanya yakni
Negara, Tanah Laut, Pulau Laut dan Kayutangi.94
Keberadaan lada sebagai komoditas bisa dilihat dari
pertikaian antar bangsawan Banjar dan monopoli
perdagangan lada oleh VOC.95

94
Ita Syamtasiah Akhyat, Pepper Trade and the Sultanate of
Banjarmasin in the 17th – 18th Century, International Journal of
Science and Research (IJSR) Volume 3 Issue 8, August 2014,
Chhattisgarh, hlm, 1492
95
Kiranya kegaduhan politik dan intrik istana di Kerajaan
Banjar sedikit banyaknya disebabkan mahalnya harga lada di pasaran
dunia. Hal ini mengakibatkan dwifungsi bangsawan Banjar, yaitu
sebagai birokrat dan pedagang. M.Z. Arifin Anis, “Struktur Birokrasi
dan Sirkulasi Elite di Kerajaan Banjar Abad ke- XIX” (Tesis pada
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994), hlm, 102
- 104.
89
Gambar 3.2. Sentra Lada di wilayah Borneo bagian Tenggara. Sumber:
diadaptasi dari peta Kaart van het Eiland Borneo, Leiden E. J. Brill,
1902.

90
2. Lada Negara, Kayu Tangi, Maluka & Pulau Laut
Tumbuhan lada atau bagi urang Banjar
dinamakan sahang, berbentuk semak hanya tumbuh
subur di kawasan beriklim tropika dan agak lembap.96
Dalam berbagai standard penilaian, jenis rempah yang
bernilai paling tinggi dan paling banyak mengandung
nilai sejarah adalah sahang atau lada atau merica.
Lebih lanjut, Turner menjelaskan tentang lada bahwa
rempah ini berasal dari buah piper nigrum, jenis
tumbuhan asli yang merambat di Pantai Malabar,
India. Sulurnya menghasilkan sekumpulan biji lada
yang tebal, berduri tipis serta berubah warna merah
kekuningan jika telah masak, seperti kismis merah.97

96
M. Rafiek, “Plants in Hikayat Raja Banjar: Prohibition,
Benefits, Result, Origin and a Sign”, International Journal of the
Malay World and Civilisation (Iman) 3(1), 2015, hlm. 107 - 115; lihat
juga B.H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, terj. Samsudin
Berlian, 2008 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Freedom
Institute & Balai Pustaka, 2008), hlm. 101.
97
Ibid., lihat juga J. Turner, Sejarah Rempah dari Erotisme
sampai Imperialisme. Terj. Julia Absari (Jakarta: Komunitas Bambu,
2011), hlm. xxv.
91
Gambar 3.3. Varietas Piper Ningrum (Lada Hitam) yang Menjadi
Komoditas di Banjarmasin Sumber: Piperaceae-Piper nigrum,
Curtis’s botanical magazine; London, 1832, volume 59.

Selain itu, secara umum terdapat jenis-jenis


lada di Indonesia adalah lada api (cabai rawit,
capsicum frutescens), lada berekor (kemukus, piper
cubeba), lada burung (lada api), lada cili (lada api), lada
hitam (rempah-rempah dari buah lada (piper nigrum)

92
yang masih hijau, diperam dan dijemur sampai kering
sehingga buahnya menjadi keriput dan berwarna
kehitam-hitaman, lada kutu (lada api), lada merah
(cabai merah, capsicum annuum), lada padi (lada api),
lada panjang (cabai jawa, piper retrofractum), lada
putih (buah lada, piper nigrum) yang hampir masak,
direndam dan dikupas kulitnya, lalu dijemur, rasanya
kurang pedas, dan lada sulah (lada panjang). 98
Namun, lada yang paling dikenal adalah lada
hitam dan lada putih. Lada hitam adalah merica yang
diperoleh dari buah yang belum masak, dijemur di
panas matahari atau dikeringkan di rumah asap sampai
berwarna hitam, berbentuk butiran hitam berkeriput,
sedangkan lada putih adalah merica yang diperoleh
dari buah yang sudah masak berwarna merah, setelah
tangkainya dibuang, buah direndam dalam air
mengalir hingga sebahagian kulitnya rosak dan dapat
dikupas, kemudian dijemur. Lada atau sahang pada
umumnya digunakan sebagai rempah dapur untuk
membuat masakan terasa agak pedas. Masakan yang
menggunakan lada akan terasa panas atau hangat di
dalam perut ketika masakan atau makanan itu
dikonsumsi.99
Jenis lada yang banyak ditanam di Borneo
(Kalimantan) bagian tenggara ini adalah lada hitam
spesies Piper Nigrum. Pedagang yang sering

98
Ibid.
99
Ibid.
93
mengunjungi Banjarmasin mengidentifikasi tiga
varietas lada dari daerah yakni lada negara, lada tanah
laut, dan lada kayutangi. Dari ketiga varietas lada lokal
ini, lada negara adalah yang paling umum
dibandingkan dengan varietas di daerah lain. 100 Selain
itu ada juga jenis lada putih, namun hanya ditanam
sebagian kecil petani, karena lada putih tidak terlalu
banyak menghasilkan keuntungan. Kualitas dan bentuk
lada yang dijual di Kesultanan Banjar nampaknya
menyesuaikan kondisi tanah dan kelembaban udara.
Jenis lada yang dihasilkan di Negara berbeda
dengan tanaman lada yang ditanam di kawasan lainnya
di Banjarmasin. Faktanya, tiga varietas, di mana
semuanya adalah sub-spesies piper nigrum.101 Lada
hitam pada awalnya ditanam di Pantai Malabar, dapat
dibedakan bentuk daunnya, tingkat pertumbuhannya,
umur tanamannya dan ukuran buahnya.102 Jenis-jenis
lada tersebut dinamai sesuai dengan nama daerah
tempat jenis lada tersebut ditanam. Buah lada yang
paling umum dan paling kecil dikirim dari Negara yang
biasanya berdebu dan ringan. Ketika ditimbang, berat
lada Negara adalah 32 lbs, dalam 10 gantang. Tanaman

100
Mansyur, dkk., Sahang Banjar: Banjarmasin dalam Jalur
Perdagangan Rempah Lada Dunia Abad ke-18 (Banjarmasin: Arti
Bumi Intaran., 2019), hlm. 95.
101
H. Burkill, A Dictionary of the Economic Produce of the
Malay Peninsula, Bagian II, (London, 1935), hlm. 1749.
102
Ibid.
94
tersebut berbuah sepanjang tahun, namun. berumur
pendek.103
Lada di Maluku (Maluka) atau Pulau Laut
mempunyai buah yang lebih berat dan lebih bersih.
Sepuluh gantang lada Maluku mempunyai berat antara
35 sampai 37 pon. Meskipun tingkat produktivitasnya
lebih lambat, namun umur tanaman lebih
panjang/lama. Jenis/varietas yang kualitasnya
menengah adalah lada dari Kayu Tinggi, yang
mempunyai ukuran menengah, dan lebih tidak
berdebu dari lada Negara. Berat sepuluh gantang lada
dari Kayu Tinggi (Kayutangi) adalah antara 32 sampai
35 pon.104
Jenis lada lainnya yang biasanya dijual namun
tidak diproduksi di Banjarmasin adalah lada panjang
(long pepper), di mana menyerupai buah yang tidak
matang atau buah paku sejenis piper longum. Buah
paku yang berwarna merah, diperoleh dengan
pembabatan terus-menerus pada tanaman lada
merambat yang dikembangbiakkan di galah segera
ketika ditanam.105 Spesies asli gunung Circas ini, juga
ditanam di Semarang, Makasar dan beberapa kawasan
di Asia Tenggara lainnya dan dibawa ke Tartas (Tatas)
oleh pedagang. Sementara lada hitam dijual dengan

103
Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin, hlm.13.
104
Ibid.
105
T.C Archer, Popular Economic Botany, (London, 1853), hlm.
103; lihat juga Burkill, A Dictionary of the Economic Produce of the
Malay Peninsula, Bagian II, (London, 1935), hlm. 1751.
95
ukuran berat gantang atau pikul, transaksi-transaksi
perdagangan lada spesies piper nigrum hanya
dilakukan dengan ukuran berat pikul, biasanya senilai 3
atau 3 ½ dolar Spanyol untuk per pikulnya. 106

Gambar 3.4. Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Borneo. Sumber:


Foto berjudul “Peperplantage Lembang-Estate; de peper wordt
geleid langs ijzerhouten palen, Midden-Borneo”, koleksi KITLV
tahun 1900.

Selain lada hitam, lada putih juga lebih jarang


ditemukan di Banjarmasin dibandingkan di Palembang,
yang terkadang dijual untuk pembeli dari Eropa.
Karena waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam
pemrosesan produk dan sedikitnya dukungan yang
diberikan oleh kepala daerah untuk meningkatkan

Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin, hlm.14.


106

96
produksi, lada putih menjadi mahal. Meskipun orang
Inggris di East India Company menunjukkan keinginan
untuk membeli sejumlah kecil lada putih saja di tahun
1699, namun tidak ada satupun lada yang dibeli,
karena perusahaan tersebut menemukan bahwa
secara finansial lebih menguntungkan untuk membeli
jenis lada hitam. Kecuali untuk pembeli musiman,
seperti pada tahun 1728 ketika 60 pikul terjual,
pedagang Belanda juga menahan diri untuk tidak
membeli lada putih, karena orang Banjar tidak akan
menurunkan harga dari 7 menjadi 8 real atau menjadi
6 atau 6 ½ real per pikul yang merupakan harga yang
ditetapkan oleh perusahaan (company). 107
Butir lada yang lebih besar dipilih untuk
pemrosesan lada putih yang biasanya dipetik dari
tanaman lada segera ketika mereka matang (tidak
seperti lada hitam di mana bibitnya tidak diijinkan
untuk matang meskipun tidak mudah untuk
menemukan semua buahnya matang secara simultan).
Kemudian mereka membuat lubang yang digali di
sepanjang pinggiran sungai atau area rawa selama
sekitar 2 minggu. Daun-daun ditempatkan di atas
lubang untuk mencegah buah menjadi kering. Setelah
menetapkan periode waktunya, buah yang besar
diambil dari lubang dan dikupas dengan teknik digosok
dengan tangan (hand-rubbing) atau dinjak-injak
(trampling). Kemudian buah tersebut dicuci dan

Ibid.
107

97
dikeringkan di bawah matahari. Metode lain yang
dipraktikkan oleh petani adakah dengan membiarkan
tanaman lada mengakar di dalam lubang sampai kulit
arinya lepas/jatuh. Meskipun proses ini membutuhkan
pekerjaan yang lebih sedikit bagi petani, hasilnya
kurang efektif bagi tanaman lada tersebut karena
buahnya menjadi tidak berwarna dan isi buahnya
rusak. Dari dua belas atau tiga belas gantang lada
hitam, hanya 5 gantang lada putih yang dapat
diproduksi. 108

B. Budidaya Lada
1. Tanah Berlumpur & Ladang Kering
Seperti dipaparkan sebelumnya bahwa Goh Yon
Fong, tanaman lada di Borneo tumbuh di lahan
sepanjang tanah rawa Bakumpai, Lusong, Barambai,
Komenting, Nagara dan Bonave Assam109 dan tanah
berpasir di Amuntai, Meluklio (Maluka), Kayutangi dan
Pulau Laut.110 Daerah-daerah yang telah disebutkan itu

108
P. Van Dam, Beschryvinge van de Oost Indische Compagnie,
Volume II, (Bagian I Stapel, Hague, 1931), hlm. 306.
109
Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin., hlm. 16.
110
Lada Poeloe Laoet (Kota Baroe) berasal dari pulau dengan
nama itu di lepas pantai tenggara Kalimantan dan dipasarkan melalui
Singapura dan Batavia. Pulau Banka dan Poeloe Laoet serta daratan
Kalimantan bagian barat menghasilkan lada putih dalam jumlah
terbesar. Lada putih pada prinsipnya berasal dari pulau Banka,
mengambil nama lada “Muntok” dari pelabuhan utama pulau itu.
Lada putih terbaik berasal dari pulau ini, sedangkan kualitas kedua
berasal dari Poeloe Laoet, kualitas ketiga dari Bandjermasin dan
Pontianak, dan kualitas keempat dari Sarawak. John A. Fowler,
98
mempunyai akses yang mudah untuk menuju
Banjarmasin, karena dekat dengan Sungai Barito dan
anak sungainya. Walaupun demikian, selain tanah
berlumpur, terdapat alternatif lain sebagai tempat
penanaman lada yakni ladang atau lahan kering yang
juga merupakan lokasi penanaman lada yang baik.

Gambar 3.5. Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Hindia Belanda.


Sumber: Foto berjudul “Pepertuin in Nederlands-Indie”, tahun
1900, koleksi Schoolalbum I, plaat 10. Lichtdruk van Emrik &
Binger te Haarlem.

Netherland East Indies and British Malaya, A Commercial and


Industrial Handbook (Washington: Government Printing Office,
1923), hlm. 156 - 160.
99
Setidaknya lada sangat cocok untuk tumbuh di
daerah tropis seperti di daerah Borneo (Kalimantan)
bagian tenggara. Curah hujan dalam setahun rata-rata
2.000 sampai 2.750 meter. Pada bulan April hingga
Oktober biasanya berlangsung musim kemarau dengan
temperatur 300 celcius, sedangkan pada bulan
November hingga Maret biasanya berlangsung musim
hujan dengan temparatur udara menurun sampai 180
celcius. Lada sangat cocok ditanam di daerah tropis.
Lada dapat tumbuh hingga ketinggian 1.500 meter di
atas permukaan laut, tetapi paling baik pada
ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut.
Lada dapat tumbuh dengan subur pada tanah-tanah
yang subur secara fisik dan kimia serta drainase yang
baik. 111
Para penanam lada awal di Borneo adalah Suku
Biaju. Suku ini juga adalah pekerja di kebun lada. Suku
Ngaju disebut sebagai Biaju dalam literatur lama
maupun arsip kolonial, dipakai untuk menyebut nama
sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola
hidup.112 Sungai yang dimaksud adalah Kahayan dan
Kapuas atau disebut sebagai Batang Biaju Basar dan
Batang Biaju Kacil. Orang-orang yang mendiami tepi
sungai itut disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju
Kacil. Peristilahan biaju berasal dari penyebutan orang

111
Purseglove & Brown, Spice, hlm. 3.
112
J.J Ras, Hikayat Banjar, terj. Siti Hawa Salleh (Selangor:
Percetakan Dewan Bahasa & Pustaka, 1990). hlm. 336
100
Bakumpai. Biaju merupakan bentuk kolokial dari bi dan
aju, yang artinya dari hulu sungai. Pendapat ini
dikuatkan Tjilik Riwut yang mendefiniskan biaju adalah
orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai.113
Orang Banjar menafsirkan biaju adalah semua
orang yang tinggal di pedalaman hulu sungai dan tidak
beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan
kepada para pedagang dari Cina, Inggris, Portugis yang
berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Akibatnya catatan
pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan Inggris
ditemukan kata biaju yang merujuk pada suku di
pedalaman dan tidak beragama Islam. Pemerintah
kolonial Belanda di Banjarmasin juga menggunakan
istilah dan makna biaju sama seperti yang digunakan
orang Banjar. Terminologi biaju ini mereka gunakan
sebagai istilah teknis dalam tata administrasi
kependudukan dan laporan-laporan. Karena itu dalam
literatur dan arsip-arsip kolonial Belanda sebelum abad
ke-19, istilah biaju dipakai sebagai istilah generik atau
kolektif. 114

113
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993), hlm. 208.
114
Selain istilah Biaju atau Ngaju, adapula istilah Dayak. Kata
Dayak selalu diidentikan dengan kata Ngaju sehingga menjadi Dayak
Ngaju. Dayak merupakan istilah dari J. D. van Hohendorff menyebut
orang-orang liar di pegunungan. Johan Andries Baron van
Hohendorff, "Radicale Beschrijving van Banjermassing", Bijdragen tot
de taal-, land- en Volkenkunde /Journal of the Humanities and Social
Sciences of Southeast Asia, vol. 8. issue 1, 1 Jan 1862, hlm. 188.
Sementara J. A. Crawfurd menyatakan bahwa istilah Dayak digunakan
101
Selain Suku Biaju, tenaga kerja untuk kebun
lada menurut Anthony Reid banyak di antara penanam
lada di Kesultanan Banjarmasin adalah budak yang
didatangkan, karena salah satu ekspor utama dari
Makasar ke wilayah ini adalah "budak laki-laki dan
perempuan yang cocok untuk bekerja di kebun lada".
Tetapi dalam bentuk sifat ikatan apapun yang pada
mulanya mengikat para penanam itu dengan tuannya,
kewajiban pokok selanjutnya adalah sama-
menyerahkan hasil yang berharga itu hanya kepada
majikan ini di pusat pemasaran. Kondisi medan di
tempat tanaman ekspor ini sering kali “keras”, dengan

orang-orang Melayu untuk menunjukan “ras liar” yang tinggal di


Sumatra, Sulawesi terutama di Kalimantan. J. A. Crawfurd, A
Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries,
(Bradbury & Evans, 1856), hlm. 127 . Hans Scharer dan Victor T. King
juga menyatakan bahwa istilah Dayak kemungkinan berasal dari
Bahasa Melayu yang pengertiannya merujuk pada penduduk
pedalaman (boven beteekent) atau penduduk asli, lihat Scharer,
Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo
People, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), hlm.1; lihat juga Victor
T. King, The Peoples of Borneo, series editors P Bellwood & Ian
Glover, The Peoples of South-East Asia and the Pacific, Oxford, Basil
Blackwell, 1993), hlm. 30. Sama halnya dengan istilah Biaju, Orang-
orang Melayu pendatang menggunakan istilah Dayak menyebut
penduduk Pulau Borneo (Kalimantan) yang tidak beragama Islam.
Kemudian, makna ini bergeser menjadi dikotomi etnis berdasarkan
paham religius dari orang Melayu ini. Lalu dipakai pemerintah
Kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi kependudukan,
yaitu penduduk non muslim (Kristen atau Kaharingan) dikategorikan
sebagai Suku Dayak dan penduduk Muslim disebutnya Suku Banjar.
Lihat J. Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, Deel I (Leiden: M.
Dubbeldemen, 1928).
102
tingkat kematian tinggi, jumlah perempuan sedikit,
dan kehidupan budaya yang miskin. Orang-orang muda
tampaknya berharap untuk dapat mencari uang di
sana dengan cepat, mengembalikan utangnya, dan
kembali pada kehidupan berkeluarga di tempat
pemukiman yang lebih teratur, tetapi seperti yang
dituliskan oleh seorang penyair Aceh, "Jika kamu
beruntung kamu akan pulang; jika tidak kamu akan
mati di rantau". Dalam perkembangnnya, ada
beberapa yang beruntung, tetapi banyak yang hancur
ketika harga turun atau ketika blokade menghalangi
ekspor lada.115
2. Mamanduk, Kearifan Lokal Bertanam Lada
Komoditas sahang atau lada adalah tanaman
memanjat dan bercabang banyak, tinggi mencapai 15
meter, dari buku-buku batang keluar daun, tunas,
berbunga, berdaun tunggal berselang-seling pada
cabang, buahnya buni dan tidak bertangkai, berbiji
satu, berkulit keras dan dibalut isi buah yang tebal,
digunakan sebagai rempah-rempah.116 Dalam
budidaya lada (sahang) Beaulieu menceritakan
bagaimana orang menanam lada dengan menyatakan :
“Kembali ke lada tadi, tumbuhnya di tanah yang
baru dibuka dan yang gemuk; di negeri ini lada
ditanam pada kaki segala macam pohon, dan
pohon itu yang dililiti dan dijalarinya seperti

115
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-
1680, hlm. 44 - 45.
116
Rafiek, Plants in Hikayat Raja Banjar, hlm. 108.
103
cara tanaman hop. Mereka yang mau membuat
tanaman lada, menanam tunas dari tanaman
lada yang sudah tua di kaki salah satu semak:
semua rerumputan yang tumbuh di sekitarnya
harus dibersihkan atau disiangi dengan tekun.
Ketika lada sudah besar dan hijau serta rasanya
sangat pedas, penduduk menggunakannya
untuk dimakan sebagai selada atau diacar, yaitu
dicampur dengan buah-buahan lain dalam kuah
cuka yang dapat disimpan satu tahun penuh. 117

Ladang atau lahan kering juga merupakan


tempat penanaman lada. Pada Suku Biaju/Ngaju
maupun kemudian diadopsi Suku Banjar, mengenal
beberapa tahapan dalam penanaman lada. Gooh Yon
Fong menuliskan bahwa cara ini awalnya dipraktikan
oleh orang Biaju yang lebih dulu berkebun lada.
Kemudian cara ini pula yang ditiru oleh orang Banjar
yang juga menanam komoditas sama.
Pada tahapan awal ini mereka membersihkan
hutan dengan cara menebas semak belukar dan
menebang kayu. Lahan yang digunakan untuk
menanam adalah tanah kering atau ladang yang
dibersihkan (ditabas) dari rumput liar, kemudian
kayunya ditebang dan dipotong kecil-kecil sampai
ranting. Jika kayunya berkualitas bagus, maka
disisihkan untuk membuat barang-barang rumah
tangga atau dijual. Setelah itu kayu dibiarkan

Ibid.
117

104
mengering, sampai kecokelatan lalu lahan dibakar
sampai hangus benar (gusang/gosong) dan sisa kayu
yang masih tersisa dikumpulkan untuk dibakar lagi.
Proses ini dinamakan penduduk lokal dengan sebutan
mamanduk. Istilah mamanduk berasal dari kata dasar
panduk. Ladang yang telah selesai dipanduk kemudian
ditanami sahang atau lada.118
Para penanam awal yang seringkali
menggunakan teknik seperti ini awalnya adalah orang-
orang Biaju dan sebagian kecil orang Banjar.119 Setelah
tanah untuk menanam lada tersebut kesuburannya
habis, maka petani akan mencari lahan lain untuk
ditanami lagi. Rupa-rupanya pada zaman tersebut
lahan kosong tidak bertuan memang berlimpah,
apalagi orang Biaju hidupnya nomaden, tentu bukan
hal yang sulit bagi mereka untuk menemukan lahan
baru tersebut. Jika orang Biaju kekurangan stok lada
untuk dijual, maka barang-barang seperti emas, batu
besoar, darah naga, berlian, garam, tembakau, kapas
dan perhiasan kecil dari orang Banjar mereka barter
dengan lada dalam jumlah besar. Hal ini menandakan

118
Pada era sekarang mamanduk masih dipakai masyarakat
Banjar di wilayah Hulu Sungai dan Dayak Meratus. Pada masyarakat
Banjar istilah mamanduk juga tetap dipakai, similar dengan istilah
manaradak, merupakan tahap awal dalam pembibitan tanaman yang
akan dibudidayakan.
119
Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin, hlm. 17.
105
bahwa orang Biaju sangat antusias bertanam dan
berdagang lada.120
Berikutnya, terdapat beberapa tahap lagi dalam
penanaman sahang atau lada, ketika ladang sudah siap
dan selesai dipanduk. Galah atau turus ditancapkan ke
tanah sedalam 6-7 kaki. Turus ini berfungsi agar sulur
lada merambat ke atas. Kemudian di dekat turus itu
ditanamkan potongan sulur lama dari batang lada yang
sudah berakar. Setelah lada dipanen dalam jangka 5-6
tahun oleh petani, sulur lama yang merambat ke atas
lalu diturunkan agar sulur baru tumbuh dan merambat
ke atas pula. Hal ini dilakukan agar lada berbuah lagi
dalam jangka waktu 2-3 tahun. Selain itu, proses ini
berdampak lada akan berbuah dengan lebat.
Metode penanaman lada di Banjarmasih
menurut Goh Yoon Fong berdasarkan catatan
Buchanan, Hunter, dan Marsden mengikuti cara yang
diterapkan pada daerah Malabar, Penang dan
Sumatera Barat.121 Ketika lahan untuk tanaman lada
telah disiapkan, galah atau istilah lokal adalah turus
dipancang sedalam enam sampai tujuh kaki ke dalam
tanah, setelah itu dua tumbuhan lada disematkan ke
masing-masing galah.122 Teknik ini dikenal Urang
Banjar dengan nama manyuai. Teknik ini bertujuan

120
Mansyur, dkk., Sahang Banjar, hlm. 94.
121
Ibid., hlm. 14.
122
Ibid.
106
agar tanaman lada dapat merambat lurus keatas dan
memudahkan para petani memanen.
Perawatan tanaman ini dilakukan dengan cara
memastikan akarnya tidak rusak atau nutrisi tanahnya
tidak habis, khususnya di musim kemarau, kelembaban
tanahnya harus dijaga. Pada tahun kedua dan ketiga,
untuk menjaga produktifitasnya tetap tinggi, tanaman
ini dilapisi setelah panen pertama. Proses pelapisan
dilakukan sebelum buah yang masak mengeluarkan
sulur ke galah dan membengkokkan galah secara
horisontal ke tanah. Sesudah itu, hanya dua tanaman
lada yang bisa dililitkan ke galah untuk menghindari
pelemahan keseluruhan tanaman karena keguguran
daun berlebihan. Untuk penanaman kembali,
seringkali sulur lada diambil dari batang tanaman lada
tua. Alternatif lainnya, akar yang bertunas dari batang
yang terlapisi dapat dipotong dan ditransplantasikan
ke galah untuk dibudidayakan. Proses ini dinamakan
dengan lada anggor dengan periode panen berkisar
antara Bulan September sampai Maret. 123

Ibid.
123

107
Gambar 3.6. Ilustrasi Penanaman sahang (lada) di wilayah
Borneo. Sumber: Foto berjudul “Aanplant van Peper,
Vermoedelijk op de Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo”,
tahun 1935, koleksi H.J. Koerts (Utrecht).

Para petani lada tidak bisa menghasilkan lada


yang ditanam dalam jangka waktu 2-3 tahun tanpa
teknik di atas. Kecuali mereka memiliki kebun lain.
Kebanyakan para petani pedalaman jarang mengenal
teknik di atas, kecuali mempunyai dua atau lebih lahan
yang ditanami. Oleh karena itu adalah sebuah hal yang
meragukan bahwa orang Biaju mampu panen setelah
2-3 tahun. Akan tetapi suplai mereka selalu banyak,
melebihi penyuplai dari dataran rendah Kayu Tangi
dan Maluka. Orang Biaju selalu meyakini bahwa hasil
panen lada mereka selalu melimpah jika dibandingkan
dengan pesaing mereka dari Kayutangi dan Maluka.
Mungkin mereka menyadari bahwa tanah yang lebih
108
rendah menghasilkan lada yang banyak daripada
dataran tinggi seperti di Kayutangi. Panen lada
biasanya dilakukan pada bulan September sampai
Maret. Namun jika curah hujan dan kelembaban udara
baik, panen kedua sangat mungkin dilakukan setelah
bulan Maret, meskipun hasilnya lebih kecil. 124
Lada hitam dan putih merupakan hasil tanaman
menjalar yang dibudidayakan di Sumatera, Kalimantan,
dan pulau-pulau sekitarnya dan sebagian kecil di Jawa.
Budidaya di Hindia Belanda dilakukan secara eksklusif
oleh penduduk asli dan Tionghoa. Buah lada tumbuh
berkelompok dan matang tidak teratur. Pada tanaman
ini, tumbuh tiga jenis lada asli yakni lada hitam, putih,
dan hijau. Lada hitam, jenis yang paling dikenal, dipetik
ketika masih belum terkelupas, untuk kemudian
dicelupkan sebentar di air mendidih dan dibiarkan
mengering di bawah sinar matahari. Selang beberapa
hari, kulitnya akan mengerut dan menghitam,
menghasilkan kerut-kerutan yang khas. Lada putih
berasal dari buah yang sama, tapi dibiarkan lebih lama
merambat. Setelah dipanen, kulit bagian luarnya
dilunakkan dengan cara direndam di air, lalu dibiarkan
mengering dan diseka dengan air atau lewat aksi
mekanis. Biji lada hijau atau biji yang sudah diasamkan,
dipetik ketika masih dalam keadaan belum terkelupas,
seperti lada hitam lalu segera direndam di air asin. 125

Ibid.
124

Ibid.
125

109
Dalam produksi lada hitam, tandannya
ditumpuk untuk menginduksi fermentasi dan
kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari.
Selama proses ini buah beri dipisahkan satu sama lain
dengan cara diinjak-injak. Setelah benar-benar kering,
mereka disortir dan diayak. Lada putih dibuat dari
buah pilihan dari varietas terbaik. Ini dimasukkan ke
dalam tas atau keranjang dan direndam dalam air yang
mengalir perlahan. Setelah kira-kira delapan hari buah
pecah atau menjadi sangat lunak sehingga daging
bagian luarnya dapat dibuang dengan cara diinjak-
injak. Setelah dipisahkan, dicuci bersih dengan air
jernih mengalir dan dikeringkan, setelah siap
dipasarkan.126

C. Dari Tanaman “Terlarang” ke Komoditas Unggulan


Sebelum munculnya Banjarmasin dengan
bandarnya Bandarmasih pra abad ke-16, seperti yang
tertulis dalam Hikayat Banjar, terdapat Kerajaan Hindu
yakni periode Kerajaan Negara Dipa dan kemudian
dilanjutkan periode Kerajaan Negara Daha. Pusat Negara
Dipa terletak di Amuntai dengan pelabuhannya di Muara
Rampiau, sedangkan pusat Negara Daha terletak di
daerah pedalaman, yaitu diperkirakan di kota yang
sekarang disebut Negara dengan bandarnya bernama
Muara Bahan (Marabahan). Pemerintahan ke dua negara

Fowler, Netherland East Indies and British Malaya, hlm.


126

158.
110
itu berpengaruh sampai ke daerah pedalaman di daerah
Hulu Sungai sepanjang Sungai Negara, Tabalong,
Balangan, Petak, Hamandit, dan Labuhan Amas yang
memang termasuk daerah yang subur untuk pertanian,
sehingga menghasilkan kebutuhan pokok untuk
memenuhi kebutuhan penduduk kedua negara itu. Selain
kebutuhan pokok, daerah pedalaman (hinterland)
tersebut juga sering kali menyuplai barang dagang ke
ibukota kerajaan. Jalur transportasi utama mereka adalah
Sungai Tabalong, Batang Pitap, Batang Alai dan Batang
Hamandit. 127
Secara turun temurun para penguasa di Negara
Dipa, dan kemudian Daha selalu menekankan kepada
rakyatnya untuk menanam tanaman pangan kebutuhan
pokok seperti padi, jagung, keladi, dan pisang. Bisa
dikatakan kehidupan ekonomi masyarakat negara itu
berbasiskan agraria. Schwaner memperkirakan, di daerah
sepanjang Sungai Negara sebelum Islam masuk jumlah
penduduknya lebih banyak daripada awal abad ke-19.
Lada yang pada waktu itu merupakan komoditi
yang sangat laku di pasaran dunia dilarang dibudidayakan
secara luas. Penanaman lada dibatasi sebanyak yang
mereka perlukan sendiri. Dalam Hikayat Banjar
menuliskan bahwa pada abad sebelumnya, Sultan
Suryanata pun sebenarnya telah melarang rakyatnya
untuk menanam lada berlebihan. Biarkan tak seorang pun
di negeri ini menanam lada, sebagaimana hal itu

Ibid., hlm. 96 - 97.


127

111
dilakukan di Jambi dan Palembang. Mungkin negeri-
negeri itu menanamnya demi uang agar bisa merengkuh
kekayaan. Tidak diragukan lagi bahwa mereka akan tiba
pada saat keruntuhannya. Akibatnya timbul perseteruan
dan bahan pangan akan menjadi mahal. Peraturan-
peraturan akan berada dalam kekacauan karena orang di
kota raja tidak akan dihormati oleh penduduk pedesaan;
pengawal-pengawal raja tidak akan ditakuti oleh orang
pedesaan. Jika lebih banyak (lada yang melebihi
kebutuhan rumah tangga) ditanam, demi menggapai
uang, bencanalah yang menyelimuti negeri. Perintah dari
kerajaan akan diabaikan karena orang-orang akan berani
menentang raja.128
Demikian halnya diungkapkan M. Rafiek mengutip
dari Hikayat Banjar, bahwa Pangeran Suryanata berkata:
.... Kata raja: .... Dan jangan negeri kita ini
bertanam sahang dagangan negeri, mencari harta,
seperti negeri Palembang dan negeri Jambi itu.
Manakala negeri itu menjadikan sahang, barang
makanan mahal dan barang ditanam tiada pati
menjadi, karena uapnya sahang itu panas. Maka
adalah datang itu fitnah negeri itu dan perintah
pun huru-hara. Orang sakai pun banyak berani
pada orang kota lamun sahang dijadikan akan
dagangan mencari harta. Adapun bertanam
sahang itu kira-kira empat lima rapun seorang-

128
Tundjung, “Kehidupan Ekonomi di Kerajaan Negara Dipa
dan Negara Daha”, Buletin Kayuh Baimbai, Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) Cabang Banjar, Kalimantan Selatan, No.1 Tahun I
Februari 1991, hlm. 24-25.
112
seorang itu, maka baik akan cagar dimakan saja.
Sungguh empat lima rapun seorang-seorang itu
uapnya orang banyak itu banyak jua itu
jadinyalamun sangat dihumakan sahang itu,
niscaya negeri itu menjadi rusak” 129

Pada kutipan di atas dapat diketahui bahawa raja


Negara Dipa melarang negerinya untuk menanam sahang
sebagai barang dagangan. Raja memberi contoh negeri
yang menjadikan sahang sebagai barang dagangan yang
akhirnya membuat barang makanan menjadi mahal,
tumbuhan ditanam tiada menjadi. Pada akhir pesannya,
sekali lagi raja Negara Dipa mengumpamakan “kalau
dikebunkan (diladangkan) sahang itu, nescaya negeri itu
menjadi rosak”. Pada masa raja Negara Dipa ini, raja
hanya mengizinkan orang menanam empat sampai lima
rumpun sahang sahaja.
.... Dan satu lagi pesanku: ”Jangan segala alkah
negeri ini bertanam sahang, seperti Jambi dengan
Palembang itu. Barangkali negeri itu menjadikan
sahang akan mencari harta, akan kesugihan.
Niscaya negeri itu akhirnya rusak, banyak fitnah
dan mahal makanan karena uapnya sahang itu
panas, barang yang ditanam tiada pati menjadi.
Perintah huru-hara karena orang kota tiada
diupamai oleh orang desa, orang yang kaparak
pada raja itu tiada ditakuti oleh sakai yang
bersahang itu. Jikalau bertanam sahang, sakira-

Rafiek, Plants in Hikayat Raja Banjar, hlm. 111., lebih


129

lengkapnya dalam J.J. Ras, Hikajat Bandjar, hlm. 264.


113
kira akan dimakan, jangan banyak, kira-kira
sepuluh dua puluh tunggulnya seorang-seorang.
Astamewah perkumpulannya orang banyak itu
menjadi banyak itu. Adapun jangan tiada-tiada
berbuat sungguh-sungguh usahakan tanam itu:
padi dan jagung dan ubi, keladi, pisang. Barang
segala makan-makanan yang lain daripada sahang
itu tanam sungguh-sungguh, supaya makmur
negeri, suka ramai, barang kehendak segera jadi,
perintah istilah tahta kerajaan menjadi karena
makanan murah, segala rakyat tiada sukar mencari
makanan. .... 130

Pada kutipan di atas dapat diketahui bahawa


Maharaja Suryanata melarang negerinya untuk menanam
sahang. Menurutnya, kalau suatu negeri menanam
sahang untuk mencari harta untuk kekayaan, nescaya
negeri itu akhirnya rusak, banyak fitnah, makanan mahal,
dan tumbuhan ditanam tidak menjadi. Intinya, negeri
menjadi huru-hara. Maharaja Suryanata malah
menyarankan agar menanam padi, jagung, ubi, keladi,
dan pisang. Hal itu, ia sarankan agar negeri makmur,
negeri aman damai, makanan murah, dan semua rakyat
mudah memperoleh makanan. Pada masa Maharaja
Suryanata, maharaja hanya mengizinkan orang menanam
sahang sebanyak sepuluh sampai dua puluh tunggul
meskipun tetap khawatir kalau jumlah keseluruhan
tumbuhan sahang yang ditanam tetap banyak. Pada

Ibid.
130

114
bagian lain di Hikayat Banjar dituliskan bahwa Maharaja
Sari Kaburungan berpesan :
.... Dan jangan engkau berikan (izinkan) orang
menjadikan bertanam sahang. Manakala
menjadikan sahang itu segala tanam-tanaman
yang lain itu tiada menjadi, karena uapnya sahang
itu panas. Akhirnya mahal makan-makanan,
perintah menjadi huru-hara itu, maka orang kota
tiada ditakuti oleh orang desa. Jangankan ia takut,
hormat pun kurang itu karena ia menghumakan
sahang itu. Suruhan raja pun itu tiada pati
ditakutinya itu dan tiada akan tiada akhirnya itu
perintah menjadi huru-hara dan banyak fitnah
datang pada negeri itu. Hanya bertanam sahang
itu kira-kira sepuluh tunggulnya atau dua puluh
tunggulnya akan dimakan saja itu, astamewah
paraba orang banyak itu banyak jadinya itu. Hanya
yang patut ditanam dijadikan sungguh-sungguh
itu: padi, jagung, ubi, gumbili, keladi, pisang.
Barang makanan yang lain daripada sahang itu
harus dijadikan, supaya makmur negeri serba
murah, perintah itu menjadi karena murah
makanan, tiada sukar barang dicari itu. Jangan
seperti Jambi dengan Palembang karenanya rusak
sebab menjadikan sahang itu. .... 131

Petikan di atas menunjukkan bahawa Maharaja


Sari Kaburungan melarang anaknya mengizinkan orang
menanam sahang. Hal itu karena sahang akan membuat

Rafiek, Plants in Hikayat Raja Banjar, hlm. 112.


131

115
tanaman lain ditanam tiada menjadi, makanan mahal,
negeri menjadi huru-hara, dan banyak fitnah datang pada
negeri. Maharaja Sari Kaburungan juga menyarankan
sama seperti yang disarankan oleh Maharaja Suryanata
agar rakyatnya menanam padi, jagung, ubi, gumbili,
keladi, dan pisang. Hal itu disarankan agar negeri
makmur, makanan murah, makanan mudah dicari. Pada
masa pemerintahan Maharaja Sari Kaburungan, hanya
mengizinkan orang menanam sahang sebanyak sepuluh
sampai dua puluh tunggul meskipun tetap khawatir kalau
jumlah tumbuhan sahang yang ditanam secara
keseluruhan tetap banyak.
.... Tiada diberikan (diizinkan) bertanam sahang
lebih daripada dua tiga tunggulnya seorang-
seorang itu, hanya akan cagar dimakan. Lamun
banyak, akan mencari harta itu, menjadikan
sengsara negeri: serba mahal dan banyak fitnah
datang, perintah tiada menjadi karena orang
banyak berani kepada raja. Itulah, uapnya sahang
itu, zaman dahulu maka tiada diberikan (diizinkan)
orang bertanam sahang. .... 132

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui


bahawa maharaja Kerajaan Negara Dipa dan Daha
melarang bawahan dan rakyatnya menanam lada kerana
akan mendatangkan malapetaka. Hal itu dapat diketahui
setelah masa pemerintahan mereka, orang asing akan
datang dan akhirnya dapat menguasai Banjar.

Ibid., hlm. 113.


132

116
Kedatangan orang asing itu tidak lain disebabkan oleh
banyaknya perkebunan lada di Kalimantan Selatan ketika
itu. Larangan maharaja dan sultan itu mengandung
nasihat bahawa suatu saat bangsa asing akan datang
untuk menguasai daerah dan perdagangan lada di sana.
Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Vlekke, bahwa
kontrol perdagangan memungkinkan sebahagian negara
(baca kesultanan ketika itu) di Indonesia menangkis
segala ancaman terhadap kemerdekaan mereka untuk
waktu lama. 133
Akan tetapi dalam perkembangannya, kebijakan
ini mulai berbalik 160 derajat. Lada pun mulai
dibudidayakan secara besar besar di Borneo, terutama di
Kesultanan Banjarmasin sejak lada menjadi jenis
perdagangan yang paling menonjol di Pelabuhan
Banjarmasin pada pertengahan abad ke-16 hingga awal
abad ke-17. Lada menjadi komoditas dagang utama
karena pemakaian lada dunia cukup dibutuhkan.
Terutama di Eropa. Karena itulah, Kesultanan Banjar
mengandalkan lada sebagai komoditas ekspor.
Dampaknya tanah-tanah apanase (lungguh) umumnya
ditanami lada, mengakibatkan produksi pertanian
menjadi menurun, sehingga Kesultanan Banjar
kekurangan beras. Sangat tergantung pada impor beras
dari luar, seperti Kotawaringin, Jawa dan Makassar.134

Ibid.
133

Ibid.
134

117
Gambar 3.7. Ilustrasi Penanaman lada di wilayah Borneo
(Kalimantan) bagian Timur. Sumber: Foto berjudul “Pepertuin te
Tering op Oost-Borneo”, tahun 1938, koleksi KITLV.

Orang Banjar pada mulanya bercocok tanam padi,


mengubah usahanya dengan berkebun sahang atau lada.
Para petani perkebunan kemudian menjualnya kepada
pambalantikan (agen perantara pembelian) yang
kemudian menjualnya lagi ke pedagang asing. Petani
perkebunan sebagian besar adalah para bangsawan yang
118
memiliki tanah apanase (lungguh) yang luas. Kefeodalan
Banjar diwarnai kepemilikan tanah apanase yang
menghasilkan lada, dan sebagai pedagang yang menjual
ladanya kepada pihak asing. Hal ini faktor penyebab
persaingan dan pertikaian antar bangsawan Banjar
menyangkut tahta, harta kekayaan serta perdagangan
lada. 135

Ibid, hlm.114.
135

119
120
BAB IV
SULTAN, LADA & PEDAGANG,
PERSAINGAN EKONOMI HINGGA IHWAL
KESULTANAN BANJAR TAHUN 1526- 1700

A. Persaingan Bandar Muara Bahan & Bandarmasih


Daerah Banjarmasin yang letaknya di Muara
Sungai Barito memungkinkan kapal besar dari Laut Jawa
dapat masuk dan berlabuh di sana. Jika melihat peta
Kalimantan letak Banjarmasin dan Muara Bahan
(Marabahan) jaraknya sekitar 50 kilometer. Namun harus
ditempuh dalam waktu yang cukup lama dengan perahu
karena sungainya berliku-liku sehingga ketika Pangeran
Samudera berencana memindahkan bandar dari Muara
Bahan ke Banjarmasin, mendapat sambutan baik dari
para saudagar. Perdagangan sangat ramai setelah bandar
pindah ke Banjarmasin. Terdapat persfektif perbedaan
perekonomian antara Kerajaan Negara Daha dan
Kesultanan Banjarmasin. Negara Daha menitikberatkan
pada ekonomi pertanian (agraris) sedangkan Banjarmasin
menitikberatkan pada perdagangan (maritim).1
Kekhususan kedua dari Banjarmasin ini, pada Abad
ke-16 merupakan kampung dari orang Melayu yang
pertama dari kampung atau di tengah-tengah kampung
Oloh Ngaju (Suku Dayak Ngaju) di daerah Barito Hilir.

J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The


1

Hague: Martinus Nijhoff, 1968), hlm. 52.


121
Demikian halnya wilayah Marabahan atau Muara Bahan
juga merupakan kampung pemukiman Oloh Ngaju,
didirikan oleh Datuk Bahendang Balau, Kepala Suku Oloh
Ngaju yang turun dari Hulu Sungai Barito. Seperti yang
disebut J.J. Ras dalam Hikayat Banjar, mengapa kampung
orang Melayu disebut Banjarmasin karena “Maka
bernama Banjarmasin karena nama orang basarnya itu
nama Patih Masih itu”. Patih Masih adalah kepala dari
orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa
Ngaju (Dayak Ngaju). Sebagai seorang Patih atau kepala
suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami
situasi politik Kerajaan Negara Daha, apalagi juga dia
mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari
Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang
harus diserahkan ke Kerajaan Negara Daha. 2
Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih
Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk
mencari jalan agar wilayah mereka jangan terus-menerus
menjadi daerah bawahan. Mereka sepakat mencari
Raden Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut
sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean,
Sarapat. Apalagi Pangeran Tumenggung yang sekarang
menjadi raja di Kerajaan Negara Daha, pamannya sendiri
ingin membunuh keponakannya, Raden Samudera.
Setelah itu akan disusul upaya memindahkan bandar atau
pelabuhan perdagangan, karena ini sangat penting dari
segi ekonomis negara. Patih Masih berkata : “Kita kajut ke

2
Ibid.
122
Muara Bahan, kita rabut bandar itu. Sudah itu kita
berbuat bandar pula di sini”. Pangeran Samudera pun
akan dirajakan di Kerajaan baru Banjar setelah berhasil
merebut bandar Muara Bahan, dan memindahkan bandar
tersebut ke Banjar (Bandar Masih) beserta para pedagang
dan penduduknya.

Gambar 4.1. Perbandingan lokasi Muara Bahan (Marabahan) dengan


Bandar Masih (Banjarmasin). Sumber : diolah dari Peta Carl
Schwaner, Schwaners Borneo Karte, tahun 1853, koleksi KITLV.

Seperti dijelaskan di pendahuluan, Raden


Samudera adalah cikal bakal para Sultan Banjarmasin.
Beliau adalah cucu Maharaja Sukarama dari Kerajaan
Negara Daha. Raden Samudera terpaksa melarikan diri
123
demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan
pamannya Pangeran Tumenggung, raja terakhir dari
Kerajaan Hindu Negara Daha.3 Awal dari kebencian
Pangeran Tumenggung pada kemenakannya sendiri itu
ialah Ketika ayahnya, Maharaja Sukarama masih hidup
mewasiatkan bahwa yang kelak akan menjadi raja kalau
dia mangkat adalah cucunya Raden Samudera. Usianya
waktu itu baru tujuh tahun, pada saat Maharaja
Sukarama mangkat. Mangkubumi Aria Taranggana
memberikan nasehat agar Raden Samudera melarikan diri
ke daerah menghilir sungai melalui Muara Bahan ke
Serapat, Balandian, Banjarmasin atau Kuwin. Aria
Tranggana membekali Raden Samudera dengan sebuah
perahu, sebuah jala bekal makanan dan pakaian. Dalam
Hikayat Banjar dituliskan:
“... Aria Taranggana itu maka dicarinya Raden
Samudera itu dapatnya maka dilumpanya arah
perahu tangkasyu maka diberi jala kecil sebuah,
parang sabuting, pisau sabuting, pengayuh
sabuting, bakal sabuah, sanduk sabuting, pinggan
sabuting, mangkuk sabuah, baju salambar, salawar
salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar
salambar, kata Aria Taranggana Raden Samudera
tuan hamba larikan dari sini karena tuan hendak
dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, tahu-tahu

3
Ibid., hlm. 398 - 404.
124
menyamar diri, lamun tuan pigi beroleh menjala
...4

Ketika Raden Samudera menyembunyikan diri ke


daerah sunyi di daerah Muara Barito, yang jaraknya
cukup jauh dari Muara Bahan sebagai bandar utama
Negara Daha era itu. Telah terdapat sejumlah kampung di
daerah-daerah muara Sungai Barito seperti Balandean,
Sarapat, Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar.
Kampung Banjarmasin atau Kampung Melayu merupakan
kampung yang dibentuk lima buah sungai Yakni Sungai
Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan
Sungai Pangeran yang kesemuanya anak Sungai Kuwin.
Banjarmasin merupakan kampung dari orang Melayu
yang pertama di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju di
daerah Barito Hilir.

4
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Hikayat Banjar
(Banjarbaru: Seri Penerbitan Museum Negeri Lambung Mangkurat,
1981), hlm. 70.
125
Gambar 4.2. Peta Aliran Sungai Kuin dan sekitarnya yang menjadi
cikal bakal Banjarmasin. Sumber: diolah dari peta Schetskaart van de
Hoofdlaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, Topographie
Inrichting Batavia tahun 1916, Koleksi The National Library of
Australia.

Seperti dijelaskan sebelumnya, sebagai seorang


Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau Patih
Masih sangat memahami situasi politik Negara Daha.
Beliau juga memahami tentang kewajiban sebagai daerah
takluk dari Kerajaan Negara Daha, dengan berbagai upeti
dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih
Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih
Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan
agar jangan terus-menerus wilayah mereka menjadi
bawahan. Mereka sepakat mencari Raden Samudera cucu
Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang
bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat, karena
126
pamannya sendiri, Pangeran Tumenggung yang menjadi
raja di Negara Daha ingin membunuh Raden Samudera.
Dalam Hikayat Banjar dituliskan:
Maka tersebut Patih Masih orang besarnya di
Banjar itu. Maka bernama Banjarmasin karena
nama orang besarnya di Banjar itu nama patih
masih itu. Maka ditarik sekalian kaluwarganya
sakalian sahabat yang berhimpun sama minum itu
oleh Patih Masih itu, kira-kira orang limaratus itu,
sama mufakat handak menjadikan raja itu. Dari
pada kita masih menjadi desa, senantiasa kena
sarah dengan pupuan maantarkan kahulu, hangir
kita berbuat raja, kalau ia ini yang saparti kabar
orang itu cucu Maharaja Sukarama yang diwasiat-
kannya Menjadi raja. Maka Patih Masih berkata,
serta Patih ampat orang itu sama berkata : “andika
Kalua jadikan raja”. Kata Patih lainnya itu :
“Sukarela kaula mati mangarjakan kerajaan andika
itu”. Segala orang itu sama menyambah
mewastukan Raden Samudera itu Menjadi raja.
Maka disebut orang Pangeran Samudera. Kata
Patih Masih : “Ini bicara kaula kita kajut mudik ka
Marah Bahan, kita rabut bandar itu, maka segala
orang dagang itu bawa hilir dan orang yang diam
di Muara Bahan itu bawa hilir. sudah itu kita
berbuat Bandar pula di sini.5

Tindakan lain yang direncanakan adalah


memindahkan bandar atau pelabuhan perdagangan,

Ibid., hlm. 398-404.


5

127
karena ini sangat penting dari segi ekonomi. Patih Masih
berkata “Kita kajut ke Muara Bahan, kita rabut bandar
itu. Sudah itu kita berbuat bandar pula di sini”.6
Berikutnya, Pangeran Samudera pun akan dirajakan
setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan dan
memindahkannya ke Banjar beserta pedagang dan
penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja
dari Kerajaan Negara Daha, hal ini berarti suatu
pemberontakan dan harus dihancurkan, sehingga perang
tidak dapat dihindarkan lagi. Karena itulah, tentara dan
armada sungai dari Pangeran Tumenggung bergerak ke
hilir ke Sungai Barito dan di hujung Pulau Alalak terjadilah
pertempuran sungai besar-besaran pertama dengan
kekalahan pihak Pangeran Tumenggung. Sejak itu
terjadilah penarikan garis demarkasi dan blokade
ekonomi oleh pantai terhadap pedalaman, mulai dari
Muara Bahan.7
Pengalaman dalam pertempuran pertama ini
masing-masing pihak mengatur siasat untuk dapat
mengalahkan lawannya. Pangeran Tumenggung
mempersiapkan pasukan lebih besar lagi, begitu pula
Raden Samudera atau Pangeran Samudera berusaha
mencari bantuan dari pelosok wilayah Sambas, Lawai,
Sukadana, Kotawaringin, Pambuangan, Sampit,
Mendawai Sanggauh, Karasikan, Berau, Kutai, Asam-

Ibid.
6

M. Idwar Saleh, Banjarmasih, (Banjarbaru: Museum Lambung


7

Mangkurat, 1981/1982), hlm. 16 - 30.


128
asam, Kintap, Sawarangan, Takisung dan Tabaniau dan
berhasil terkumpul pasukan sebesar 40.000 orang.
Bantuan terbesar dan berarti yang lebih penting adalah
bantuan dari kerajaan Demak, kerajaan Islam terbesar di
pantai utara Jawa.8

Gambar 4.3. Wilayah Muara Bahan, pelabuhan utama Kerajaan


Negara Daha, tahun 1938. Sumber: koleksi KITLV.

Bantuan kerajaan Islam Demak mempunyai


pengaruh besar bagi Kalimantan Selatan, sebab bantuan
Demak hanya diberikan kalau raja dan seluruh penduduk
memeluk agama Islam. Sultan Demak mengirim bantuan
seribu orang pasukan dan diiringi oleh seorang Penghulu
Islam yang akan mengislamkan raja dan penduduk.
Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat
menyongsong air mengalir, sedang gamelan dipalu
dengan gembira. Pangeran Samudera turut pula
berangkat dengan berkedudukan di dalam sebuah gurap

8
Ibid.
129
yang diperhiasi dengan tanda-tanda kebesaran diiringi
oleh Patih Masih, Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung
dan Patih Kuwin masing-masing dengan lencana
kebesaran. Pertempuran terjadi di dekat Rantau
Sangyang Gantung. Pasukan Pangeran Samudera dapat
menembus pertahanan musuh dan menimbulkan korban
besar. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan
bertahan di Muara Sungai Amandit dan Alai. Kemenangan
demi kemenangan berada di pihak Pangeran Samudera
dan bendera Tatunggul Wulung Wanara Putih, bendera
Pangeran Samudera selalu berkibar.

Gambar 4.4. Lukisan Kampung Kuin, Banjarmasin Tahun 1800-an.


Sumber : repro Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
2020.

130
Akhirnya Mangkubumi Negara Daha Aria
Taranggana menyarankan kepada rajanya daripada rakyat
kedua belah pihak banyak yang menjadi korban, lebih
baik kemenangan dipercepat dengan mengadakan perang
tanding antara kedua raja yang bermusuhan. Hal itu
kemudian disetujui oleh kedua belah pihak.
“... Lamun masih baadu rakyat satu tahun tiada
bartantu yang manjadi raja itu. rakyat juga yang
binasa karana orang Negeri Daha ini bassuluk
barkaluarga itu sampian jua manjadi raja lamun
tiada barbanyak tiada barguna sakalian kula, siapa
hidup manjadi raja, sudah itu kula lawan Patih
Masih”.9

Dengan berperahu ketangkasan, masing-masing


dikemudikan Mangkubumi kedua belah pihak, masing-
masing berpakaian perang, berpedang, memakai perisai,
sumpit tambilahan, keris dan talabang, dengan disaksikan
rakyat kedua belah pihak, raja-raja berjumpa di atas
Sungai Parit Basar. Pangeran Samudera tidak mau
melawan, karena melawan Pangeran Tumenggung berarti
melawan ayah bundanya sendiri dan mempersilahkan
Pangeran Tumenggung membunuhnya tetapi ternyata
Pangeran Tumenggung lemah hatinya timbul kasih
sayangnya pada kemenakannya sendiri, dan keduanya
berpelukan. 10

9
Ras, Hikajat Bandjar, hlm. 430.
10
Saleh, Banjarmasih, hlm.18.
131
Gambar 4.5. Ilustrasi pertemuan Pangeran Samudera dan Pangeran
Tumenggung. Sumber: dunia-fortal.blogspot.co.id.

Pangeran Tumenggung akhirnya rela menyerah-


kan kekuasaan dan segala tanda kebesaran kepada
kemanakannya sendiri, dan keduanya berpelukan.
Terjadilah penyerahan regalia kerajaan terhadap
Pangeran Samudera. Pangeran Tumenggung
diperintahkan berkuasa di Batang Alai dengan 1.000
orang penduduk. Negara Daha ditinggalkan, menjadi
kosong karena semua penduduknya diangkut ke
Banjarmasin. Kerajaan Negara Daha perlahan lenyap dari

132
sejarah dan tinggal bekas-bekasnya di daerah Pematang
Patung di Parit Basar Garis, kilometer 21 sekarang.11
Dalam Hikayat Banjar dituliskan:
“... Kata Pangeran Samudera merakak andika
Tumenggung tombak kula atau pedang kula,
karana dahulu sampiyan kasini, sampian masih
handak membunuh kula, sakian ulun tuluskan
karsa andika, tapi kula tiada handak durhaka pada
andika, karna kula tiada lupa akan andika itu akan
ganti ibu bapa kula, sekarang mau andika bunuh
kalaf, maka Pangeran Tumenggung mendengar
demikian itu maras hatinya serta ia menangis
pedang dan perisai dilepaskannya, maka ia lumpat
pada perahu Pangeran Samudera itu serta
mamaluk mencium Pangeran Samudera.12

Dengan kemenangan Pangeran Samudera atas


Pangeran Tumenggung dan diangkutnya rakyat Daha ke
Banjarmasin, maka muncullah Banjarmasih. Pangeran
Samudera yang sebelumnya telah memeluk agama Islam
sebagai suatu persyaratan atas bantuan kerajaan Islam
Demak, telah mengganti namanya menjadi Sultan
Suriansyah, yang makamnya terletak di Kuwin,
Banjarmasin. Setelah meninggal terkenal namanya
sebagai Panembahan Batu Habang. 13

11
Ibid., hlm. 24.
12
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Hikayat Banjar.,
hlm. 96.
13
Saleh, Banjarmasih, hlm. 18
133
B. Prahara & Munculnya Kesultanan Banjarmasin
1. Berdirinya Kesultanan
Terdapat pertanyaan utama mengenai kapan
kurun waktu Banjarmasin didirikan. Beberapa sarjana
mencoba menjawab pertanyaan ini. Dr. Eisenberger
menyebutkan tahun berdirinya Banjarmasin tahun
1595. Encyclopaedie van Nederlands-Indie
menyebutnya tahun 1520. Sementara Colenbrander
dalam bukunya “Koloniale Geschiedenis” juga
menyebutkan tahun 1520. Sementara itu J.J. Ras
menegaskan bahwa Banjarmasin sebagai keraton
ketiga yang didirikan dengan bantuan Demak, terjadi
sebelum abad ke- 16.14
Pendapat Dr. Eisenberger bahwa Banjarmasin
didirikan dalam tahun 1595, tidak dapat diterima,
karena data historis tidak mendukung, dengan alasan
apabila kerajaan Islam Demak dianggap sebagai
kerajaan yang membantu berdirinya Kesultanan
Banjarmasin, maka tak mungkin tahun berdirinya
Banjarmasin tahun 1588, tahun itu kerajaan Demak
sudah tak ada lagi. Selain itu, menurut sumber
Belanda, bahwa Belanda menyerang Banjarmasin
dalam tahun 1612 dan membakar Banjarmasin,
mengakibatkan pusat kerajaan dipindah ke Kuliling
Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke
Batang Banyu hulu Sungai Martapura. Peristiwa
penyerangan ini menurut Hikayat Banjar terjadi pada

Ibid.
14

134
saat pemerintahan Sultan Musta’in Billah, Sultan ke-4
dari Kesultanan Banjarmasin. Selanjutnya, kalau
pendapat Eisenberger itu benar maka antara tahun
1588 sampai tahun 1612, yaitu selama 24 tahun ada
empat orang raja yang memerintah Banjarmasin, yaitu
Sultan Suriansyah, Sultan Rahmatullah, Sultan
Hidayatullah dan Sultan Musta’in Billah. Jangka hanya
24 tahun tidak mungkin hidup antara datu dengan
buyut, di mana buyut sudah dewasa dan sudah
menjadi Sultan.15
Ketika tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan
Portugis, maka muncullah kerajaan Islam Aceh, Demak
dan Ternate sebagai lawan baru Portugis. Kerajaan
Islam Demak memahami bahaya datangnya Portugis
ini, karena itu pada tahun 1524 dikirim pasukan ke
Jawa Barat di bawah pimpinan Falatehan dan berhasil
menaklukkan Banten Girang dan Selat Sunda dikuasai.
Pada tahun 1527 Falatehan merebut Sunda Kelapa
serta memukul mundur Portugis, dan timbullah
kenyataan bahwa Portugis tidak berani berlayar
melalui jalur Laut Jawa. Tahun 1527 didirikan kota
Jakarta oleh Falatehan. Baru ketika Sultan Trenggana
tewas pada tahun 1546 ketika mengepung Pasuruan,
Portugis kembali menggunakan jalan lama ke Maluku
dan berkedudukan di Gresik.16

Ibid.
15

B.H.M. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia (The Hague


16

& Bandung : W. van Hoeve Ltd., 1959), hlm. 88.


135
Apabila tahun 1521 Demak menyerang
Majapahit, 1524 menyerang dan menaklukkan Banten
Girang, tahun 1527 menyerang dan menaklukkan
Sunda Kelapa, maka pengiriman armada bantuan
pasukan ke Banjarmasin dimungkinkan terjadi pada
tahun 1526.17 Berdirinya Banjarmasin pada tahun 1526
hal itu berarti pula hari kemenangan Sultan
Suriansyah, cakal bakal raja-raja Kesultanan Banjar.
Kemudian hari diserahkannya regalita kerajaan Daha,
dan dirajakannya Pangeran Samudera atau Sultan
Suriansyah oleh Pangeran Tumenggung. Berikutnya,
hari ketentuan Banjarmasin menjadi ibukota seluruh
Kesultanan Banjar, sebagai pusat pemerintahan, pusat
perdagangan, pusat penyiaran agama Islam dan mata
rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis di
Laut Jawa.
Seluruh penduduk Negara Daha diangkut ke
Banjarmasin, kecuali 1.000 orang yang tinggal menjadi
rakyat Pangeran Tumenggung dan berdiam di daerah
Alai. Negara Daha kosong dan hilang ditelan masa,
dilupakan orang tempat pusatnya yang sebenarnya
dan sungai pun mati tertutup lumpur. Perubahan
kebudayaan yang hebat lebih terasa dengan masuknya
agama Islam. Kerajaan Banjar sebagai kerajaan yang
rakyatnya beragama Islam, berhasil menggantikan
posisi kerajaan Hindu dari Negara Daha. Hal itu seiring
dengan proses islamisasi di kawasan ini.

17
Saleh, Banjarmasih, hlm. 25-26.
136
Banjarmasin didirikan di daerah Suku Dayak
Ngaju, karena itulah sebagian pegawai kerajaan adalah
orang Ngaju. Amalgamasi kebudayaan Banjar sesudah
itu menjadi lebih luas dengan perpaduan inti
kebudayaan Ngaju, Melayu, Jawa, Maanyan, Bukit
yang berjalan dengan damai dan melahirkan kelompok
Banjar yang bercirikan Agama Islam. Bahasa Banjar
sebagai pengganti bahasa ibu dengan adat istiadat
walaupun masih bersifat tradisional menganggap diri
superior dari “Kebudayaan Kaharingan” yang ada.
Banjarmasih atau Kampung Suku Melayu (banjar =
kampung; masih = orang Melayu) sebenarnya terletak
di antara anak Sungai Barito yakni Sungai Sigaling,
Sungai Pandai dan Sungai Kuyin, dengan Sungai Kuyin
dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan
sungai Pangeran. Sungai-sungai Sigaling, Karamat,
Pangeran, Jagabaya dan sungai Pandai ini pada
hulunya di darat bertemu, membuat danau kecil
bersimpang lima, daerah inilah yang menjadi ibukota
Kesultanan Banjar.18
Sebagai tempat pemerintahan yang pertama
ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan
Suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat
dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin. Sebagai induk
daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar
atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah
bandar perdagangan dengan cara mengangkut

18
Ibid., hlm. 40.
137
penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun
1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih
kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas
dengan dibuatnya bangunan yakni bangunan
Pagungan, Sitiluhur dan Paseban. 19
J.J. Ras berpendapat bahwa Banjarmasin itu
berarti Banjar on the coast,20 tetapi Idwar Saleh
berbeda pendapat, bahwa Banjarmasin itu jelas berarti
Kampung Oloh Masih atau Kampung Orang Melayu.21
Adapun gambaran tentang kota Banjarmasin sebagai
ibukota Kerajaan Banjar menurut hasil penelitian Idwar
Saleh adalah kompleks keraton terletak antara Sungai
Keramat dengan Sungai Jagabaya, daerah itu sampai
sekarang masih bernama Kampung Keraton. Istana
Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi,
tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang
dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antar istana
dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai
terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan
sebagai kamar mandi. Pada area sebelah Sungai
Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur.
Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk
terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw, seorang
Gujarat (India) yang bergelar Ratna Diraja.

Ibid.
19

Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography., hlm.


20

533.
M. Idwar Saleh, Banjarmasih., hlm. 20.
21

138
J.J. Ras berpendapat bahwa Banjarmasin itu
berarti “Banjar on the coast”,22 tetapi M. Idwar Saleh
berbeda pendapat, bahwa Banjarmasin itu jelas berarti
“Kampung Oloh Masih” atau kampung Orang
Melayu.23 Adapun gambaran tentang Banjarmasin
sebagai ibukota Kesultanan Banjar menurut hasil
penelitian Idwar Saleh adalah kompleks keraton yang
terletak antara Sungai Keramat dengan Sungai
Jagabaya. Daerah itu sampai sekarang masih bernama
Kampung Keraton.24

Gambar 4.6. Ilustrasi Keraton Istana Kerajaan Banjar di Kampung


Kuin. Sumber : Bani Noor Mochamad, 2020.

22
Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, hlm.
534.
23
M. Idwar Saleh, Banjarmasih., hlm. 21.
24
Ibid.
139
Pada area seberang Sungai Jagabaya dibuat
masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan
nama Masjid Sultan Suriansyah. Pada area pertemuan
Sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar
di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu
di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari
perdagangan Orang Banjar saat itu, sebagaimana juga
rumah di atas air. Menyeberang Sungai Sigaling, searah
dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar
ilayung, merupakan alun-alun besar tempat
mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan
tiap tahun Senin atau Senenan. Kemudian di Sungai
Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan
lubang-lubang perangkap. Pada area seluruh Sungai
Kuyin dan Sungai Pangeran, rakyat sebagian besar
tinggal di lanting, dan sebagian lagi tinggal pada rumah
betang di darat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap
menjadi kebun dan sawah. Jumlah penduduk
mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha
diangkut ke ibukota Kesultanan Banjar.25
Berita Dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan
bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal
sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir sama
dengan apa yang dikatakan Valentijn. Pada wilayah
Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar

Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, hlm.


25

438.
140
mempunyai dinding terbuat dari bambu atau pelupuh
dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali,
dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-
kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan
berdiri di atas tiang yang tinggi.26 Kedua berita ini
menjelaskan bahwa, apa yang diberitakan masa Dinasti
Ming adalah rumah-rumah penduduk di atas rakit yang
banyak terdapat di sepanjang sungai. Sementara
Valentijn menuliskan adanya rumah-rumah betang
dari suku Dayak Ngaju. Selain itu, Willy menuliskan,
Kota Tatas terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah
hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan
lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan
utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-
rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-
rumah lanting sepanjang sungai. Rumah lanting itu
diikat dengan tali rotan pada sebuah pohon besar di
tepi sungai.27

26
Saleh, Banjarmasih., hlm. 42.
27
Ibid.; lihat juga Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-
Indien.; Johannes Willi of Gais, The Early Relations of England with
Borneo to 1805 (H Beyer, Langensalza, 1922).
141
Gambar 4.7. Masjid Sultan Suriansyah Tahun 1900-an (atas) dan
tahun 2000-an (bawah). Sumber: KITLV dan koleksi Disbudpar
Kota Banjarmasin.

142
2. Struktur Pemerintahan/Birokrasi
Masyarakat Banjar sebagaimana masyarakat
tradisional lainnya memiliki/ mengenal dua tingkatan
kelas dalam masyarakat. Kelas atau golongan
mayoritas dalam masyarakat merupakan kelas yang
terbawah terdiri dari petani, nelayan, pedagang dan
sebagainya yang disebut orang jaba. Golongan terkecil
adalah merupakan kelas penguasa yang memiliki
semua hak, yaitu hak dalam politik, mereka terdiri dari
famili kerajaan, keluarga dari raja yang dikenal
golongan bangsawan. Golongan ini menempati posisi
teratas dalam struktur sosial. Termasuk dalam
golongan ini adalah para bangsawan rendahan.
Pemimpin-pemimpin agama Islam, juga merupakan
kelompok penguasa tingkat atas yang mengatur semua
kegiatan para pedagang, rakyat umum dan para petani
di dalam negeri. Penempatan golongan pemimpin
agama pada tempat teratas ini didasarkan pada
ketetapan bahwa agama Islam merupakan agama
resmi negara yang memimpin manusia ke jalan yang
benar.28
Ketika Pangeran Samudera pertama kali
mengatur organisasi kerajaan/negara, kegiatan
pertama yang dilakukannya ialah tidak memilih jabatan

28
Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama Besar
Kalimantan Selatan, Silsilah Raja-Raja yang Berkuasa Pada Masa al-
Banjari dari Lahir Hingga Wafat (Surabaya: Al-Ihsan, 1968) hlm. 25.
143
mangkubumi dari golongan bangsawan famili kerajaan,
tapi dipilih orang biasa yang cakap dan mempunyai
kemampuan dan dedikasi yang tinggi terhadap negara.
Orang pertama yang dipilih dari dari penduduk yakni
Patih Masih. Patih Masih menduduki jabatan tertinggi
dalam negara sebagai mangkubumi. 29
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Borneo
(Kalimantan) Selatan, bila diteliti dengan seksama
nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha
sampai Banjarmasin dari Sekar Sungsang, Sukarama
(mertua Ratu Lemak), Pangeran Mangkubumi/Raden
Manteri, Pangeran Tumenggung serta Raden
Samudera. Bukan pergantian yang lumrah dari ayah
kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ke
tangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden
Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangun
dinasti Negara Daha, dan Raden Samudera usurpator
kedua adalah pembangun dinasti Banjarmasin. Dalam
hal ini jabatan Mangkubumi yang umumnya dijabat
seorang keluarga paling dekat dari raja yang biasanya
mendatangkan malapetaka bagi kerajaan.
Mangkubumi biasanya adalah saudara raja, mertua,
paman dan mertua raja sekaligus juga adalah paman
dari raja. Karena jabatan mangkubumi merupakan
jabatan tertinggi dalam negara dan mempunyai

29
Mohamad Idwar Saleh, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan
(Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Kalimanta Selatan, 1977), hlm. 34.
144
kedudukan dalam struktur keluarga tertinggi, sehingga
mangkubumi mempunyai pengaruh besar dalam
segala tindak tanduk raja. Dalam hal ini kalau raja
lemah, adalah mudah sekali terjadi “kudeta”. Inilah
pengalaman yang dialami Raden Samudera yang
berupaya disingkirkan pamannya sendiri Pangeran
Tumenggung, yang pada mulanya menjabat
mangkubumi. 30
Patih sebagai mangkubumi dibantu empat
orang wakil, yaitu Pangiwa, Panganan, Gampiran atau
Gumpiran, dan Panumping. Di bawah Gampiran,
Panumping terdapat 30 wilayah mantri (captain).
Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim.
Dalam usaha untuk mengembangkan pelabuhan dan
berusaha menjadikan Banjarmasin menjadi sebuah
bandar, raja mengangkat seorang penguasa
pelabuhan, sebagai kepala bea cukai dengan jabatan
yang disebut kiai palabuhan. Jabatan ini kemudian
berbeda dengan jabatan syahbandar yang mempunyai
fungsi yang sangat besar yang dapat bertindak sebagai
wakil raja dalam kegiatan perdagangan dengan
pedagang-pedagang luar negeri.31

30
Ahmad Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah
(Banjarmasin : Lambung Mangkurat University Press, 1989), hlm. 69 -
70.
31
Khairuzzaini, “Islamisasi Kerajaan Banjar: Analisis hubungan
Kerajaan Demak dengan Kerajaan Banjar atas Masuknya Islam di
Kalimantan Selatan” (Tesis pada Program Studi Magister Hukum
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. 4 - 5.
145
Pada masa Sultan Suriansyah, kiai palabuhan
yang disebut sebagai mantri bandar yang mempunyai
anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan
kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan. Mantri
Tuhabun dengan gelar pangkatnya andakawan (The
Captain of The Tuhabun corps) mempunyai anggota 40
orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja
seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu
ketangkasan raja. Untuk menjaga keamanan terdapat
dua orang kepala singabana yang terdiri dari
singantaka, dan singapati. 32
Pada masa Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi
adalah mangkubumi yang dijabat oleh Patih Masih,
panganan dijabat Patih Balitung, pangiwa dijabat Patih
Balit, gumpiran atau gampiran oleh Patih Kuin, dan
panumping dijabat Patih Muhur. Mangkubumi
mempunyai wewenang dalam masalah administrasi
negara mengurusi seluruh wilayah negara, dan
berwewenang menentukan keputusan terakhir
terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Di
samping itu, Mangkubumi juga berwewenang dari
segala hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi
hukuman. Wewenang berlaku sampai permulaan Abad
ke-17. 33

32
Muhammad Azmi, “Islam di Kalimantan Selatan pada Abad
ke-15 sampai Abad ke- Ke -17”, dalam Yupa: Historical Studies
Journal, 1 (1), 2017, hlm. 38 - 47.
33
Khairuzzaini, Islamisasi Kerajaan Banjar, hlm. 5.
146
Keempat deputi yang terdiri dari Panggiwa,
Panganan, Gampiran dan Panumping, yang masing-
masing dijabat oleh Patih Balit, Patih Balitung, Patih
Kuin dan Patih Muhur berwenang juga sebagai jaksa
dan hakim, tetapi segala keputusan mereka benar atau
salah selalu berdasarkan pada peraturan hukum yang
berlaku saat itu yang terhimpun dalam sebuah
kodifikasi hukum yang disebut kutara, yang disusun
oleh Aria Taranggana ketika dia menjabat
Mangkubumi kerajaan setelah Patih Masih. Di samping
jabatan-jabatan di atas terdapat lagi jabatan mantri
besar yang mempunyai tugas khusus yaitu bertugas
sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar
daerah kerajaan. Dari periode raja pertama Sultan
Suriansyah sampai dengan Sultan Inayatullah atau
Ratu Agung (1620-1637), yang pernah menjabat
sebagai mangkubumi adalah Patih Aria Taranggana,
Kiai Anggadipa, Kiai Jayanegara, dan Kiai Tumeggung
Raksanegara. 34
Suatu tradisi sejak sultan pertama Kesultanan
Banjar, sultan diganti oleh puteranya, sedangkan
jabatan mangkubumi, sebagai jabatan tertinggi setelah
raja, tidak dari darah bangsawan, tapi dari rakyat
umum, yang bertindak sebagai king viceregent.
Mangkubumi juga sebagai hakim tertinggi yang
mengambil keputusan tertinggi dalam seluruh wilayah
kerajaan dalam segala hal masalah. Saudara raja dapat

34
Ibid.
147
menjadi adipati dan menyertai raja atau membantu
raja, tapi mereka adalah orang kedua setelah
mangkubumi. 35

Gambar 4.8. Makam Sultan Suriansyah, Sultan pertama


Kesultanan Banjar, tahun 1900-an. Sumber : KITLV.

Pada masa pemerintahan Marhum


Panambahan Kacil (1595-1620) kaum bangsawan
mempunyai gelar Raden dan Pangeran dan selalu ikut
serta dalam segala sidang negara membicarakan
masalah negara. Pada masa itu jabatan-jabatan dalam
negara terdapat jabatan mangkubumi, mantri
pangiwa-panganan, mantri jaksa, tuan panghulu, tuan
khalifah, khatib, para dipati, serta pejabat lainnya.
Masalah-masalah yang menyangkut bidang Agama

35
Ibid.
148
Islam dibicarakan dalam suatu rapat/musyawarah yang
terdiri dari mangkubumi, dipati, jaksa, khalifah dan
penghulu. Tokoh yang memimpin pembicaraan adalah
panghulu. Masalah-masalah yang menyangkut hukum
sekuler yang disebut hukum dirgama, dibicarakan
rapat yang terdiri dari sultan, mangkubumi, dipati dan
jaksa. Tokoh yang memimpin adalah jaksa. Masalah
yang menyangkut tata urusan kerajaan merupakan
pembicaraan sultan, mangkubumi dan dipati. Jabatan
panghulu mempunyai status yang tinggi dalam negara.
Dalam hierarki struktur negara, kedudukan panghulu
berada di bawah mangkubumi, dan jabatan jaksa
adalah di bawah panghulu. Hal ini berlaku pula dalam
tata aturan negara dalam suatu sidang negara.
Urutannya adalah sultan, mangkubumi, kemudian
panghulu dan setelah panghulu adalah jaksa. Hal ini
berlaku pula kalau sultan mengadakan kunjungan ke
luar wilayah Kesultanan Banjar. Urutannya mulai dari
sultan, Mangkubumi, panghulu dan kemudian jaksa. 36
Kewenangan panghulu lebih tinggi dari jaksa,
karena panghulu mengurusi masalah yang menyangkut
agama, sedangkan jaksa mengurusi masalah yang

36
Ahmad Gazali Usman, Kerajaan Banjar, Sejarah
Perkembangan Politik Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam
(Banjarmasin: LMUP, 1994); lihat juga Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia: Indonesia Dalam Abad ke- 18 dan 19, volume 4 Sejarah
Nasional Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1975).
149
menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya terdiri
dari para saudara raja, menemani dan membantu raja,
tetapi mereka adalah orang kedua setelah
mangkubumi. Sistem politik dan pemerintahan seperti
ini berlangsung sejak pemerintahan pertama
Kesultanan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah
pada permulaan Abad ke- 17. Secara lengkap struktur
pemerintahan kerajaan Banjar itu sebagai berikut:
1. Raja, bergelar Sultan atau Panambahan.
2. Mangkubumi. Anggota di bawah Mangkubumi
terdapat Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi dan 40
orang Mantri Sikap, Seorang Mantri Sikap memiliki
40 orang pengawal.
3. Lalawangan, kepala distrik, kedudukannya sama
dengan kepala distrik pada masa penjajahan
Belanda.
4. a. Sarawasa)
b. Sarabumi) Kepala Urusan keraton
c. Sarabraja)
5. a. Mandung)
b. Raksayuda) Kepala Balai Longsari dan Bangsal
dan Banteng
6. Mamagarsari, Pengapit raja duduk di Situluhur
7. a. Parimala, Kepala urusan dagang dan pakan
(pasar).
b. Singataka, Pembantu
c. Singapati, Pembantu

150
8. a. Sarageni, Kuasa dalam urusan senjata (tombak,
ganjur)
b. Saradipa, duhung, tameng, badik, parang, badil,
meriam dll.
9. Puspawana, Kuasa dalam urusan tanaman, hutan,
perikanan, ternak, berburu
10. a. Pamarakan) Pengurus umum tentang keperluan
pedalaman
b. Rasajiwa) dan pedusunan
11. a. Kadang Aji) Ketua Balai petani dan Perumahan
b. Nanang, Pembantu
12. Wargasari, Pengurus besar tentang persediaan
bahan makanan dan lumbung padi,
kesejahteraan
13. Anggarmarta, Juru Bandar, Kepala urusan
pelabuhan
14. Astaprana, Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan
kesusasteraan.
15. Kaum Mangkumbara, Kepala urusan upacara
16. Wiramartas, Mantri Dagang, berkuasa
mengadakan hubungan dagang dengan luar
negeri, dengan persetujuan Sultan.
17. Bujangga, Kepala urusan bangunan rumah, agama
dan rumah ibadah
18. Singabana, Kepala ketenteraman umum.37

H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah


37

Kota Banjarmasin (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986), hlm. 21.
151
Gambar 4.9. Struktur Birokrasi Kesultanan Banjar Abad ke-16-17.
Sumber: Sulandjari , 1991.

Sistem pemerintahan ini mengalami perubahan


khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Al
Wasik Billah (1825-1857) pada permulaan abad ke-19.
Perubahan itu meliputi jabatan:
1. Mufti, Hakim tertinggi, pengawas Pengadilan
umum
2. Qadi, Kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu, Hakim rendah
4. Lurah, Langsung sebagai pembantu Lalawangan
dan mengamati pekerajaan beberapa orang
Pambakal (Kepala Kampung) dibantu Khalifah, bilal
dan Kaum.
5. Pambakal, Kapala Kampung yang menguasai
beberapa anak kampung.
6. Mantri, Pangkat kehormatan untuk orang-orang
terkemuka dan berjasa, di antaranya ada yang
152
menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama
dengan Lalawangan.
7. Tatulia Kampung , orang yang terkemuka di
kampung.
8. Panakawan, orang yang menjadi suruhan raja.
Mereka dibebaskan dari segala macam pajak dan
kewajiban.38
Jabatan mangkubumi adalah jabatan urutan
kedua setelah sultan. Pada Abad ke-18, jabatan
mangkubumi disebut pula dengan sebutan perdana
mantri yaitu pada masa pemerintahan Sunan Nata-
Alam (Sultan Tahmidullah), tetapi disebut pula dengan
sebutan wazir. Jadi mangkubumi, perdana mantri dan
wazir adalah jabatan eselon yang sama. Putera
Mahkota yang merupakan calon resmi pengganti
Sultan kalau sultan meninggal atau mengundurkan diri,
pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah disebut
Ratu Anum, dan pada masa pemerintahan Sultan
Adam Al Wasik Billah disebut Sultan Muda. Sebutan
Ratu Anum kadang-kadang juga dikacaukan dengan
sebutan untuk Mangkubumi, seperti Pangeran Dipati
Ratu Anum Ismail, adalah seorang Perdana Mantri
pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah.
Sebutan kehormatan untuk Sultan, disebut
yang maha mulia paduka seri sultan, sedang untuk
sebutan Gubernur Jenderal VOC hanya disebut dengan

38
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
(Banjarmasin: Fadjar, 1953), hlm. 149 - 150.
153
Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
Sebutan untuk permaisuri hanya disebut Ratu. Sebutan
sunan sebagai pengganti sebutan sultan hanya pernah
dipakai Sultan Tahmidullah dengan sebutan Sunan
Nata Alam. Sebutan Ratu tidak selamanya harus
permaisuri tetapi juga sebutan untuk sultan, seperti
Sultan Inayatullah yang bergelar Ratu Agung (1620-
1637). Sebutan Panembahan pernah diberikan kepada:
a. Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu
Habang
b. Sultan Rahmatullah dengan gelar Panembahan Batu
Putih
c. Sultan Hidayatullah dengan gelar Panembahan Batu
Irang
d. Sultan Musta’in Billah dengan gelar Panembahan
Marhum
e. Sultan Tahlilullah dengan gelar Panembahan Tingi
f. Sultan Tahmidullah bergelar Susuhunan Nata Alam,
juga bergelar Panembahan Batu, Panembahan Ratu,
dan Panembahan Anum.39

39
Tim Penulis, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta:
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, 1977), hlm.33 - 34; lihat juga Mohamad Idwar
Saleh & Sri Sutjiatiningsih, Pangeran Antasari (Jakarta: Direktorat
Jenderal Kebudayaan, 1993).
154
B. Bangsawan Banjar: Pemilik Lada di Tanah Apanaze
1. Sultan Banjar
Sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24
September 1526 sampai berakhirnya Perang Banjar
tahun 1905, terdapat ada 19 orang sultan yang pernah
berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah
(1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam,
dan raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman
yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda
di Menawing, Puruk Cahu dalam tahun 1905.
Kesultanan Banjarmasin runtuh sebagai akibat kalah
perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang
merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda.
Sultan Suriansyah sebagai sebagai sultan pertama
memiliki keraton di Kuin yang dijadikannya sebagai
pusat pemerintahan dan pusat perdagangan.
Sementara sultan terakhir yakni Sultan Mohammad
Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu sebagai
pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun
kekuatan melawan kolonialisme Belanda. Adapun
urutan nama nama Sultan Banjar sejak berdirinya
Kesultanan Banjar sampai pra dan pasaca dihapuskan
sepihak pemerintah kolonial Belanda secara terperinci
sebagai berikut.

155
Tabel 4.1. Daftar Nama Sultan di Kesultanan Banjar
Tahun 1526-1860

No Tahun Sultan Yang Memerintah


1. 1526 – 1545 Pangeran Samudera yang kemudian
bergelar Sultan Suriansyah, raja
pertama yang memeluk agama Islam.
2. 1545 – 1570 Sultan Rahmatullah.
3. 1570 – 1595 Sultan Hidayatullah.
4. 1595 – 1620 Sultan Mustain Billah, Marhum
Panembahan, yang dikenal sebagai
Pangeran Kacil. Sultan inilah yang
memindahkan keraton ke Kayutangi
Martapura, karena keraton di Kuwin
hancur diserang Belanda pada tahun
1612.
5. 1620 – 1637 Ratu Agung bin Marhum Penembahan
yang bergelar Sultan Inayatullah.
6. 1637 – 1642 Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7. 1642 – 1660 Adipati Halid (Pangeran Tapesana)
memegang jabatan sebagai Wali Sultan,
karena anak Sultan Saidullah, Amirullah
Bagus Kesuma belum dewasa.
8. 1660 – 1663 Amirullah Bagus Kesuma memegang
kekuasaan, 1663. Pangeran Adipati
Anum (Pangeran Suriansyah) merebut
kekuasaan dan memindahkan pusat
pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar
Sungai Pangeran sekarang,
Pemerintahan Martapura dipegang
kembali oleh Adipati Tuha sampai 1666.
9. 1663 – 1679 Pangeran Adipati Anum setelah
merebut kekuasaan dari Amirullah
Bagus Kesuma dan memindahkan
keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan
Agung.
10. 1680 – 1700 Amirullah Bagus Kesuma merebut
156
kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma
dan memindahkan keraton ke
Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
11. 1700 – 1734 Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.
12. 1734 – 1759 Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah
Bagus Kesuma bergelar Sultan
Tamjidillah menggantikan Pangeran
Muhammad Aminullah anak Sultan
Kuning yang belum dewasa.
13. 1759 – 1761 Pangeran Muhammad Aliuddin
Aminullah bin Sultan Kuning.
14. 1761 – 1801 Pangeran Nata Dilaga sebagai wali
putera Sultan Muhammad Aliuddin yang
belum dewasa tetapi memegang
pemerintahan dan bergelar Sultan
Tahmidullah II.
15. 1801 – 1925 Sultan Suleman Almutamidullah bin
Sultan Tahmidullah II.
16. 1825 – 1857 Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan
Suleman.
17. 1857 – 1859 Pangeran Tamjidillah.
18. 14-03- 1862 Pangeran Antasari yang bergelar
Panembahan Amir Oeddin Khalifatul
Mu’mina.
19. 1862 – 1905 Sultan Muhammad Seman.
Sumber: Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah Banjar (2013).

2. Sistem Tanah Apanaze (Lungguh)


Sultan mempunyai hak umum terhadap tanah,
di mana dia menentukan dengan ketetapan hukumnya
atas penguasaan pemilikan dan penggunaan atas
tanah. Sultan juga mempunyai hak untuk mengatur
produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah
sesuai dengan adat kerajaan turun temurun. Hak untuk

157
menetapkan produksi tanah oleh raja tersebut, sesuai
dengan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal tanah
apanaze40 yang diberikan raja kepada anak-anaknya,
atau familinya, bahwa hak atas tanah yang diberikan
raja harus dilihat sebagai pemberian-penggantian gaji
dan tidak seperti pengertian pembayaran keuangan
atau gaji terhadap tugas mereka. Raja sebagai Tutuha
Bubuhan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
untuk kepentingan keluarga besarnya. Tanah sebagai
pembayaran gaji orang Jawa yang diberlakukan di
Mataram yang kemudian disebut tanah bengkok, tidak

40
Tanah apanase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah tanah berstatus bantuan berupa tempat atau tanah
yang diberikan oleh badan legislatif atau pemerintah kepada anggota
keluarga bangsawan atau tuan tanah apanase (dari Bahasa Perancis,
apanage) pada awalnya adalah penitipan suatu wilayah yang diambil
dari tanah milik raja dan diberi oleh raja kepada putera bungsunya,
yang tidak akan menggantikannya sebagai raja karena tahta akan
jatuh ke putera sulung. Kata apanage berasal dari Bahasa Latin akhir
ad panem, yang berarti "untuk memberi roti" (panem), maksudnya
agar si pangerang bungsu kedapatan nafkah. Sistem apanase sempat
memainkan peranan yang cukup penting dalam sejarah Kerajaan
Perancis. Sistem ini berkembang dengan meluasnya kewibawaan
kerajaan sejak Abad ke-13. Apanase berdampak atas pembangunan
wilayah kerajaan, yang terlihat pada lambang banyak provinsi di
Perancis. Apanase Bourgogne adalah asal-muasal Negara Belgia, di
mana posisi duc menikmati kedu-dukan khusus terhadap Raja
Perancis. Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta, 1830–1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1991); lihat juga Gareth Knapman, Race and British Colonialism in
Southeast Asia, 1770-1870: John Crawfurd and the Politics of Equality
Empires in Perspective (New York & London: Routledge, Taylor &
Francis, 2016), hlm. 53-54.
158
dikenal dalam terminologi ini. Sejak tahun 1826
kerajaan Banjar hanya wilayah tanah tempat tinggal
kelompok etnis Suku Banjar, yang terdiri dari daerah
inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan Dusun
dengan pegunungan Meratus pada batas sebelah barat
dan utara sejauh sumber mata air Sungai-Sungai Paku,
Sihong dan Nappo dan Gunung Luang. Semua daerah
ini yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam dua
daerah teritorial. Sebagian adalah daerah pajak milik
Sultan, dan bagian lain dibagi atas daerah apanaze
kerajaan, diberikan kepada keluarga dekat Sultan.41
Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari
Banjar, Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan
Banua Lima. Pajak merupakan penghasilan negara
(penghasilan sultan pribadi) berupa pajak pemberian,
bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi
emas dan tambang intan, pembuatan perahu dan
buruh kerja untuk keraton. Pajak ini semua dapat
dibayar dengan uang atau dalam bentuk natura. Pajak
pemberian (poll-tax) ada dua jenis yakni baktin, yaitu
pajak berupa buruh-kerja. Kemudian nadar, yaitu pajak
tanpa buruh-kerja. Jumlah uang nadar adalah f 5,60
untuk pembayaran pajak yang sudah kawin, dan f 2,90
untuk yang belum kawin secara perorangan. Jumlah
uang baktin f 2,60 untuk yang sudah kawin. Pada

41
M. Idwar Saleh, “Agrarian Radicalism and Movements of
Native Insurrection in South Kalimantan (1858-1865), Archipel,
volume 9, 1975, hlm. 135 - 153.
159
wilayah di luar Banua Lima, pajak tersebut berjumlah f
2,-, kecuali orang-orang Martapura adalah bebas dari
jenis pajak (poll-tax) ini. Kampung-kampung Dayak
yang dihuni kelompok etnis suku Dayak berkewajiban
membayar tiap tahun berupa pembayaran upeti.
Buruh-kerja tidak sama untuk kategori tiap
daerah, sebagai contoh buruh-kerja untuk orang-orang
Martapura hanya tenaga kerja pengayuh perahu
ketangkasan sultan atau famili kesultanan. Wilayah
Banua Lima diperintahkan untuk menyampaikan tiap
tahun 200 orang laki-laki yang bekerja untuk kegiatan
keraton dan tiap 40 orang laki-laki dari jumlah tersebut
akan melakukan kewajiban dua bulan sebagai
pengawal kehormatan keraton. Penduduk wilayah
Kandangan bertanggung jawab untuk memelihara
kuda-kuda Sultan, yang dipergunakan pada musim
perburuan tiap tahun dari perburuan kesultanan. Cukai
retribusi untuk barang-barang adalah sepersepuluh
dari harga barang-barang komoditi, kecuali garam.
Retribusi padi tidak pernah dipungut tapi dalam
bentuk zakat. Seluruh daerah membayar zakat, kecuali
kampung-kampung Suku Dayak.42

42
Yustan Aziddin, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983, hlm 29
- 30; lihat juga Suriansyah Ideham, dkk., Sejarah Banjar (Banjarmasin
: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan, 2003), hlm. 82 - 90 .
160
Gambar 4.10. Istana Kesultanan Banjarmasin Keempat, tahun
1834. Sumber: Schwaner, 1825.

Sebagian tanah dari wilayah kesultanan


diberikan sebagai apanaze kepada keluarga sultan tapi
tidak selalu turun temurun. Si pemegang mendapat
sebuah surat hadiah dari raja yang disebut cap, sebab
segel sultan dibubuhkan pada surat tersebut. Dari
sebuah apanaze si pemilik dapat mengambil
penghasilan resmi berupa pajak pemberian (poll-tax),
fitrah, zakat, hasil berbentuk natura seperti minyak
kemiri, madu, ikan basah dan ikan kering, rotan, lilin,
daging rusa dan tanduk rusa, telur itik, kura-kura
sungai, monopoli rotan dan pajak rotan, sewa sungai
ikan (paiwakan) dan sewa tanah. Dari tambang intan,
pemilik apanaze tidak hanya memperoleh pajak yang

161
umum, tapi dia juga mempunyai hak monopoli dalam
pembelian intan. Setiap intan yang ditemukan sebesar
4 karat, harus dijual pada raja atau pemilik apanaze. 43
Penduduk yang berdiam di area tanah apanaze
harus memberikan pelayanan pada pemilik apanaze
sebulan dalam tiap tahun sebagai tenaga kerja untuk
apanaze. Dia dapat menggantikannya dengan uang,
jika dia mempunyai uang, besarnya f 7,- per kepala.
Kalau si pemegang hak apanaze tersebut meninggal,
keturunannya dapat meminta kepada sultan ketetapan
baru dan sebagai pemegang dia tidak boleh
mengalihkan apanaze tersebut kepada pihak ketiga.
Kalau sultan mangkat semua ketetapan apanaze
diperbaharui. Sultan Adam (1825-1857) misalnya, telah
memberikan tanah apanaze kepada anaknya, cucu,
saudara laki-laki dan kepada keluarga isterinya Ratu
Kemala Sari, yaitu Kiai Adipati Danoeradja dari wilayah
Banua Lima.44
Jika Sultan menganggap bahwa penghasilan
dari apanaze tidak cukup untuk si pemilik, maka Sultan
dapat menghapuskan beberapa bagian dari kewajiban-
kewajiban apanaze pada sultan, seperti kasus Ratu
Dijah anak perempuan dari Sultan Adam. Jenis baru
dari penghasilan apanaze adalah tambang batubara.
Perusahaan tambang batubara Belanda memperoleh

43
Yustan Aziddin, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme,
hlm.30.
44
Ibid.
162
hadiah konsesi dari sultan yang termasuk wilayah
tanah apanaze Mangkubumi Kencana. Dari konsesi ini
dia memperoleh batubara seharga f 10.000,- tiap
tahun dari perusahaan Belanda.45 Sebagai bahan
perbandingan, berikut adalah tanah apanaze yang
diberikan oleh Sultan Adam pada keluarga.

Tabel 4.2. Daftar Tanah Apanase Yang Diberikan Sultan


Adam Al Wasik Billah bin Sultan Sulaiman (1825-1857)
Kepada Keluarganya

Lokasi dan
Tingkat
Pendapatan
Kekera
Para Penghuni
Tempat batan
No. Nama Setiap
Tinggal Dengan
Tahunnya &
Sultan
Keistimewaan
Adam
Lainnya
1 2 3 4 5
1. Ratu Banjarmasin putri Tambang Intan
Aminah batu Babi,
pendapatan  f
5000,-
2. Ratu Martapura idem Benua Gadung f
Salamah 600 Tambang
Intan Gn.
Kupang ... ? dan
Sungai
Pamangkih f
900

R. Z. Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan


45

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat


Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1984), hlm. 30 - 36.
163
3. Ratu Martapura idem Tabalong,
Didjah Jambu Alay dan
Amandit f 800,-
Bea masuk f
12.000,-
Tambang Intan
Parupuk f ... ?
4. Pg. Surya putra Tabalong, Pitap,
Mataram Banua Bamban,
Btg. Kulur,
Banua Rambau,
dan Padang f
10.000,-
5 Pg. Prabu putra Kelua, Amuntai,
Anom Sei Banar,
alabio, Negara f
20.000,-
pendapatan dari
jabatan f ... ?
tambang intan
of Lok Cantang f
.... ?
6. Ratu putri Gantang,
Djantera Amuntai, Sei
Kesuma Banar, Alabio,
Negara f
20.000,-
pendapatan dari
jabatan f ... ?
tambang intan
Lok Cantang
f...?
7. Sultan Banjarmasin cucu Paramasan 40
Muda tail emas f 75 a
Tamjid, tail f. 3000,- gaji
crown sebagai
prince & Mangkubumi f.
Mangkubu 12.000

164
mi
8. Pg. Aria Banjarmasin idem mendapat
Kasuma bagian dari
Paramasan
Amandit f....?
9. Pg. Wira Banjarmasin idem Sungai Gatal f.
Kasuma 200,-
10. Hidayat Martapura idem memiliki bagian
dalam
pendapatan dari
Alai, Paramasan
Amandit,
Karang Intan,
Margasari f.
5000,- tambang
intan Basung
.....?
11. The 10 Martapura idem memiliki bagian
Children of dalam
Mangkubu pendapatan
mi Alay Paramasan
Amandit,
Karang Intan,
Margasari f.
5000,-
12. Pg. Krg. Intan sau- Pamarangan
Kesuma dara Puaian and
Wijaya Paringin f. 180,-
13. Pg. Tasin Martapura idem Amawang f.
400,-
14. Pg. idem idem Wayau f. 2000,-
Singosari
15. Pg. Hamim idem idem Jatuh f. 400,-
16. Children of idem kepo- Pendapatan dati
Mangkubu nakan Tanah Basung f.
mi Nata 3780,-
Adam’s Angkinang
brother Kalahian f. 600,-
165
17. Pg. idem kepona Mangkuah f.
Antasari kan 400,-
18. Adipati Amuntai Kepona Pendapatan dari
Danuraja kan Rt. Balangan and
Kumala 12 lanskap di
Sari sekitarnya f.
8000,-
19. Kiai Patih Martapura Pejabat Sei Raya f. 180,-
Guna era
Wijaya Sultan
Adam
Sumber: Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah Banjar (2013).

3. Ihwal Perebutan Kuasa & Pergeseran Sistem Politik


Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah (1595-
1642) sistem politik dan pemerintahan negara menjadi
lebih kompleks. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
Mangkubumi bertindak sebagai king viceregent
mempunyai 4 dipati dan 4 hakim untuk memecahkan
masalah hukum. Dalam kasus masalah sekuler yang
mempunyai wewenang pertama adalah para hakim,
raja, para deputi dan terakhir mangkubumi yang
memberikan pendapat. Dalam kasus masalah negara,
termasuk hubungan luar negeri, monopoli
perdagangan, serta mengadakan kontrak perdagangan
dengan luar negeri, diselesaikan oleh mangkubumi dan
para dipati. Dalam hal ini sultan memiliki keputusan
terakhir. Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara
berkembang menjadi suatu sistem yang kemudian

166
menjadi suatu institusi yang paling berwewenang yang
disebut Dewan Mahkota (The Royal Council).46
Sesudah meninggalnya Ratu Agung bin Sultan
Musta’in Billah (1642), penggantinya adalah Ratu
Anum bergelar Sultan Saidullah. Selama masa
pemerintahannya dia sebetulnya menjadi “sultan
boneka” belaka, sebab wewenang kekuasaan politik
negara dan pemerintahan dipegang oleh pamannya,
Pangeran Di Darat. Sebagai orang yang paling berkuasa
yang menguasai seluruh pemerintahan. Ketika
Pangeran Di Darat meninggal, jabatan itu digantikan
oleh Dipati Tapesana yang mengambil gelar: Dipati
Mangkubumi. Sejak Pangeran Di Darat menjabat
Mangkubumi, sejak itu pula jabatan Mangkubumi
menjadi jabatan yang tertinggi dalam negara yang
tidak pernah lagi dijabat rakyat umum, tetapi
merupakan jabatan monopoli oleh keluarga kerajaan,
yaitu paman, saudara tertua, mertua atau paman yang
juga menjadi mertua dari raja.47
Sejak pertengahan Abad ke- 17, pertumbuhan
dari kekuatan baru dalam konflik dengan elemen-
elemen golongan kerajaan yang mendominasi bidang

46
Gazali Usman,Kerajaan Banjar,, hlm.72; lihat juga Johannes
Cornelis Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede
helft der 18de eeuw (M. Dubbeldeman, 1935); bandingkan dengan
Bleeker, et.al., Tijdschrift voor Indische taal, land en volkenkunde,
deel 6, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
(Batavia: Lange & Company, 1857), hlm. 241.
47
Anton Abraham Cense, De kroniek van Bandjarmasin (C.A.
Mees, 1928). hlm. 91.
167
politik dan perdagangan mempengaruhi pada masa
selanjutnya. Hal ini pertama kali dimulai dari golongan
tingkat atas masyarakat Banjar, yaitu perebutan dan
perampasan kekuasaan (usurpation), persaingan
kekuasaan, tipu daya (intrik) dan faksionalisme yang
menyebabkan dunia kraton menjadi sangat lemah dan
menimbulkan kekacauan di masa selanjutnya.48
Abad ke-17 adalah masa memuncaknya
perdagangan lada. Pada periode tersebut, lada
merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kesultanan
Banjar. Perkembangan perdagangan ini meyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan politik dan
pemerintahan. Para penguasa (the ruling class)
berusaha dengan cepat untuk memperoleh tanah yang
lebih luas dalam bentuk tanah apanaze yang dijadikan
wilayah penguasaan penanaman lada. Penanaman
lada ini dapat berkembang karena didorong oleh
kedatangan para pedagang dari Jawa yang membawa
kapal-kapal mereka dengan modal besar. Kedatangan
para pedagang ini menjadikan ramainya dunia
perdagangan Kesultanan Banjar.49
Besarnya volume perdagangan lada
menyebabkan kekayaan yang melimpah bagi golongan

48
Ibid.
Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: Sejarah Singkat
49

Mengenai Bangkit Dan Berkembangnya Kota Banjarmasin Serta


Wilayah Sekitarnya Sampai Dengan Tahun 1950 (Banjarmasin:
Museum Negeri Lambung Mangkurat, Propinsi Kalimantan Selatan,
1981).
168
penguasa politik dan pedagang. Kekuasaan politik dan
perdagangan merupakan monopoli golongan
bangsawan. Mereka mendominasi kehidupan politik
dan perdagangan dan perkapalan. Jadi hubungan
antara kekuasaan politik dan monopoli ekonomi
sangat erat sekali.50
Perubahan ini menyebabkan pengaruh yang
besar bagi sistem politik dan pemerintahan, karena
sejak itu golongan bangsawan yang sangat kaya lebih
berkuasa daripada sultan. Para bangsawan atau
pangeran menganggap dirinya sebagai penguasa, yang
mempunyai kekuasaan absolut dalam wilayahnya. Para
pangeran juga mempunyai pengaruh besar dalam
perundingan-perundingan perdagangan dan kadang-
kadang kepentingan para pangeran ini lebih menonjol
daripada kepentingan politik kesultanan. Bagi
pedagang luar negeri terutama dari Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC)/Belanda, kekuasaan absolut
dari golongan aristokrat ini sangat merugikan mereka.
Karena itulah VOC/Belanda tidak dapat memperoleh
hak monopoli lada dalam kontrak yang dibuat. 51

50
Suriansyah Ideham, Sejarah Banjar, hlm. 86.
51
Ibid.
169
Gambar 4.11. Lambang Kesultanan Banjar. Sumber: Lembaga
Adat Kesultanan Banjar (LAKB) Kalimantan Selatan, 2020.

Dewan Mahkota yang terdiri dari keluarga raja,


golongan aristokrat, para pejabat tinggi, pegawai
rendahan seperti kiai mempunyai kekuasaan besar
untuk menentukan situasi politik, ekonomi dan
perdagangan negara. Sultan tidak dapat melakukan
suatu tindakan atau langkah tanpa izin atau
persetujuan Dewan Mahkota terutama yang
menyangkut pembicaraan dengan pedagang-pedagang
asing. Dalam Abad ke-17 pedagang asing yang datang
dan meramaikan perdagangan Kesultanan Banjarmasin
adalah orang Cina, Siam, Johor, Jawa, Palembang,
Portugis, Inggris dan Belanda. Komoditi perdagangan
terdiri dari emas, permata, lada, cengkeh, pala,
camphor, kulit buaya, mutiara, rotan, besi dan lain-
lain. Kesultanan Banjar mengimpor komoditas berupa
170
batu akik merah, rantai akik merah, gelang, benda-
benda porselen, beras, morphin, garam, gula, tawas,
pakaian dan sebagainya. Aktivitas pelayaran dan
perdagangan urang Banjar dalam Abad ke-17 melintasi
sampai Cochin Cina dan Aceh. Aktivitas pelayaran dan
perdagangan ini dibiayai modal golongan penguasa.
Pertumbuhan perdagangan dan adanya
kontrak-kontrak dengan perdagangan luar negeri
memerlukan orang asing untuk menduduki jabatan
syahbandar. Posisi syahbandar adalah orang asing
yang mengerti tata cara perdagangan dan memahami
bahasa asing. Syahbandar pertama dari Kesultanan
Banjar adalah seorang Gujarat, bernama Goja Babouw
dengan gelar Ratna Diraja. Sebuah kontrak
perdagangan yang diadakan antara Kesultanan Banjar
dengan Belanda diselesaikan melalui pengaruh tokoh
Syahbandar Ratna Diraja dan ditandatangani oleh
Sultan tahun 1635.52
Budidaya lada pada erah itu mulai meluas. Pada
era ini, terdapat tiga jenis pembagian wilayah
Kesultanan Banjar. Tiga jenis teritorial itu adalah
Negara Agung, Mancanegara dan Pasisir. Wilayah
Kesultanan Banjar, meliputi titik pusat, yaitu istana
sultan di Martapura dan berakhir pada titik luar dari
daerah Landak dan Berau. Daerah Martapura sebagai

52
Sulandjari, “Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan
Banjarmasin 1774-1787” (Tesis pada Fakultas Pascasarjana UI, Depok
: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 35.
171
sebuah wilayah pertama dan pusat pemerintahan di
mana sultan berada. Ketetapan wilayah tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap. Sangat
dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan
ketetapan batas yang fleksibel disebabkan
berkembangnya kekuasaan atau menurunnya
kekuasaan sultan dan pengaruh golongan penguasa.53
Wilayah Kesultanan Banjar menjadi lebih kecil
dalam tahun 1787 karena direbut VOC/Belanda dan
makin berkurang pada tahun 1826. Pada periode itu
hanya tinggal wilayah yang dihuni Suku Banjar di
bawah pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah
(1825-1857). Sejak penyerangan Belanda dalam tahun
1612 yang menyebabkan penghancuran Banjarmasin
dan istana sultan, ibukota pindah ke Martapura.
Daerah pusat kesultanan adalah Karang Intan dan
Martapura sebagai pusat pemerintahan dan keraton
sultan. Wilayah teritorial kedua terdiri dari Tanah Laut
atau tanah rendah, sebelah barat meratus, sebelah
selatan Banjarmasin, daerah Banjar Lama dengan
Pelabuhan Banjarmasin, Banua Ampat, yaitu Banua
Padang, Banua Halat, Parigi dan Gadung di daerah

53
Arsip Staatsblad van Nederlandisch Indie, vor het jaar 1849,
(Batavia: ter lands Drikkerij, 1849), hlm. 3, 4, 13 & 14; lihat juga J.H.
Moor, Notices of the Indian Archipelago & Adjacent Countries
(Singapore: F.Cass & Company, 1873) hlm. 31 - 32; bandingkan
dengan Arsip Natuurkundig Tidjscrift voor Nederlandsc Indie Uitgeven
Door de Natuurkundige Vereeniging in Nederlansch Indie (Vol. 2.,
Batavia: Lange & co, 1851), hlm. 870 - 872.
172
Rantau, Margasari, Alai, Daerah Amandit. Kemudian
Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai dan Kalua, Muarabahan dan
Dusun, nama daerah atas Barito. Sementara teritorial
ketiga, wilayah Tanah Bumbu, Pulau Laut, Karasikan,
Pasir, Berau dan Kutai dan pantai Timur, Kotawaringin,
Landak, Sukadana, Sambas dan pantai Barat. 54
Ketiga teritorial ini dikenal sebagai wilayah
kekuasaan Kesultanan Banjarmasin. Semua wilayah
tersebut membayar persembahan dan upeti. Daerah
tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan,
tetapi daerah-daerah itu mengakui di bawah
Kesultanan Banjar, kecuali Pasir yang ditaklukkan
tahun 1636 dengan bantuan Belanda. Penanaman
pengaruh Banjar sebagian dilakukan melalui
perkawinan politik atau kolonisasi seperti daerah
Tanah Bumbu dan Kotawaringin. Dalam wilayah
Kesultanan Banjar seperti daerah sungai dengan
cabang-cabangnya, danau, sungai di pedalaman,
gunung-gunung, pegunungan, pulau di danau, sering di
pergunakan sebagai indikator penentuan batas
wilayah. Batas alam seperti ini digunakan dalam
kontrak dengan Belanda tahun 1826 dan kontrak pada
18 Maret 1845. 55

54
ANRI, Surat-Surat Perdjandjian antara Kesultanan
Bandjarmasin dengan Pemerintah VOC, Bataafse Republik, Inggris
dan Hindia-Belanda 1635-1860 (Djakarta: ANRI, 1965).
55
Ibid.; Mansyur, "Elegi Sebuah Negeri Pinjaman, Wilayah
Kekuasaan Kesultanan Banjar Pra & Pasca Ekspansi Kolonial Belanda
173
Abad ke- 19", makalah disampaikan pada Diskusi Daring Balai
Arkeologi Kalimantan Selatan, Desk Study "Cara Bermukim dan
Kehidupan Sosial Politik Beberapa Kelompok Masyarakat Dayak di
Kalimantan Tengah Pada Abad ke- XIX" Senin, 28 September 2020,
hlm.1 - 5.
174
BAB V
MASA KEEMASAN PERDAGANGAN LADA,
KESULTANAN BANJAR DALAM LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA DAN
INTERNASIONAL TAHUN 1700-1800

A. Banjarmasin Memasuki Era Niaga


Perdagangan Asia Tenggara dalam kurun waktu
Abad ke-16 hingga 17 rempah-rempah (terutama lada)
memikat pada pedagang di seluruh belahan dunia lain
sebenarnya hanya sebuah komoditas kecil. Justru beras,
garam, asinan, tuak, tekstil dan barang logam yang
memenuhi kapal-kapal mereka. Selain negeri bawah
angin yang maksudnya adalah kepulauan Nusantara dan
sekitarnya, dalam Sulalatus Salatin atau sejarah melayu
juga dikenal negeri atas angin yang merujuk pada negeri
India, Parsi, Arab, Eropa dan mungkin saja Tiongkok. Di
antara produk komoditas dari negeri bawah angin adalah
cengkih, pala, kayu cendana, kayu sapan, kamper dan
pernis yang sudah mendapatkan pasar dari zaman
Romawi dan Dinasti Han.1
Hal yang membuat rempah-rempah menjadi
penting dan menghasilkan keuntungan besar adalah

1
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680:
Jilid 2, Jaringan Perdagangan Global, terjemahan R.Z Leirissa & P.
Soemitro (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), hlm. 3.
175
fungsinya bermacam-macam dan lebih penting lagi
bersifat terbatas/langka. Lada hitam, kayu manis, kunyit
dan kapulaga telah digunakan orang India selama ribuan
tahun untuk keperluan masakan dan obat. Begitu juga
dengan jenis rempah-rempah lain. Rempah-rempah
dibudidayakan Susruta, seorang ahli bedah kuno India
sekitar abad ke-4 menggunakan mustar putih dan
rempah-rempah aromatik untuk mengusir roh jahat dan
menggunakannya antiseptik pasca operasi.2
Pada wilayah India rempah-rempah digunakan
juga sebagai bahan masakan. Hampir semua makanan
India berbumbu rempah-rempah. Aroma dan rasa
masakan India memang dikenal kental dengan rempah-
rempah. Karena frekuensi penggunaan dan kebutuhan
akan rempah-rempah yang begitu tinggi, maka tidak
heran India merupakan lumbung dan penyuplai rempah
terbaik dari negara mereka juga termasuk rempah-
rempah yang berasal dari negeri bawah angin. Begitu
pula dengan Arab dan Persia. Frekuensi penggunaan
rempah-rempah dalam kehidupan juga tinggi. Bahkan
masakan India sangat dipengaruhi Arab dan Persia.
Bangsa atas angin yang paling berpengaruh langsung
terhadap negeri bawah angin adalah Eropa.3

2
Ankit Shukla & Nagendra Yadav, “Role Of Indian Spices In
Indian History”, IJMRR, Nov. 2018/ Volume 8/Issue 11/Article No-1,
hlm.1.
3
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm.4.
176
Gambar 5.1. Rute perdagangan internasional di Asia Tenggara pada
abad ke-16, sebelum wilayah malaka jatuh ke tangan Portugis.
Sumber: ilustrasi diolah berdasarkan peta Reid, 1993.

Peta perpolitikan dan ekonomi banyak berubah


ketika bangsa tersebut ikut campur dalam urusan politik
(yang berujung pada kepentingan ekonomi) kerajaan-
kerajaan di bawah angin. Ketika wabah hitam melanda
Eropa Barat khususnya Perancis dan banyak merenggut
nyawa pada tahun 1348, Phillipe VI memerintahkan The
Medical Faculty of Paris menemukan penyebab dan obat
dari wabah tersebut.4 Penyebabnya udara jahat dan satu
di antara obat yang mereka temukan adalah rempah-
rempah.5 Mereka merekomendasikan membakar

4
Nam Jong Kuk, “Medieval Eropean Medicine and Asian
Spices”, Korean J. Medicine History 23: 319-342 August 2014, Yonsei
University, Seoul, hlm. 318 - 319.
5
Ibid., hlm. 319.
177
rempah-rempah sebagai aroma terapi untuk
menghilangkan udara jahat. Selain itu mereka juga
menyarankan rakyat agar tidak banyak memakan sup
cassia dengan daging rebus dan anggur, tetapi mengganti
mereka dengan makanan dan minuman yang
menggunakan rempah-rempah, yakni kayu manis, jahe,
serta cengkeh.6 Selain itu di belahan negara Eropa lain
obat-obatan banyak menggunakan rempah-rempah yang
dicampurkan dengan bahan lain, seperti yang dilakukan
para pendeta di biara-biara Eropa. Mereka meresepkan
obat yang terbuat dari kayu manis untuk insomnia, siput
dan lada untuk mengobati sakit leher, anggur dan lada
untuk sakit ginjal, cengkeh, kayu manis, lidah buaya dan
lavender untuk sakit kepala, dan lain sebagainya.7
Terkait rempah-rempah sebagai bahan obat,
Matthaeus Platearius menulis buku tentang obat-obatan
herbal di antaranya memuat tentang rempah-rempah,
yaitu:
a. Lada, yang mempunyai kadar hangat dari tingkat
pertengahan ke level empat. Untuk menghilangkan
dahak lengket pada tenggorokan wine dicampurkan
lada hitam yang dimasak dengan buah tin/ara. Selain
itu juga ramuan tersebut sangat efektif untuk penyakit
asma yang disebabkan udara dingin.

6
Mansyur, dkk., Sahang Banjar, Banjarmasin dalam Jalur
Perdagangan Rempah Lada Dunia Abad ke-18 (Banjarmasin: Arti
Bumi Intaran., 2019), hlm. 88 - 90.
7
Ibid.
178
b. Jahe, jenis rempah ini mempunyai kadar hangat level
ketiga dan kelembaban level pertama. Jahe dimasak
dengan wine, buah tin/ara dan raisins de careme
(semacam kismis) baik untuk obat batuk yang
disebabkan hawa dingin. Kemudian, jahe, wine, dan
jintan mengobati sakit perut karena kembung dan
pencernaan tidak lancar.
c. Kayu Manis, rempah ini sangat aromatik dan
menyegarkan serta bagus untuk obat luka. Campuran
kayu manis dan jintan baik untuk perut, pencernaan
dan liver yang lemah. Bubuk kayu manis dan bubuk
daun cengkeh juga baik untuk penyakit jantung.
d. Cengkeh, rempah ini juga sangat aromatik dan mampu
memperbaiki mood. Wine, cengkeh dan biji adas yang
dimasak bersamaan dapat melancarkan pencernaan.
e. Pala dan bunga pala, sama seperti kayu manis dan
cengkeh, rempah ini juga aromatik dan bagus untuk
pencernaan.8
Jika di India dan belahan dunia lain di negeri atas
angin menanam rempah-rempah serta membudidayakan-
nya, buat apa mereka jauh-jauh ke negeri bawah angin
untuk mencari rempah-rempah? Ada dua alasan yang
membuat mereka rela jauh-jauh datang ke negeri bawah
angin. Pertama, kualitas rempah-rempah yang bagus, dan
kedua, kuantitasnya banyak sehingga memungkinkan
para pedagang negeri atas angin mengangkut serta
menjualnya dalam jumlah besar dan hasil keuntungan
8
Ibid.
179
besar pula. Cengkeh kualitas premium hanya tumbuh di
Kepulauan Maluku. Awalnya hanya ditanam di pulau-
pulau kecil seperti Ternate, Tidore, Makian, Morttir, dan
Bacan. Namun pada Abad ke-16 meluas ke Ambon dan
Seram. Pada abad ke-17 kedua daerah tersebut
merupakan penghasil cengkeh terbesar.9 Kemudian pala
kualitas premium juga tumbuh di gugusan Kepulauan
Maluku. Hingga akhir abad ke-18 tumbuhan ini hanya bisa
dijumpai pada pulau-pulau kecil di Maluku, bagian selatan
Pulau Seram.10 Karena banyaknya cengkeh dan pala,
pulau ini dijuluki pedagang Eropa sebagai Spice Islands.
Khusus lada, penanamannya hanya dilakukan
sebagian di daerah Maluku sehingga di daerah itu
tanaman lada kurang dikenal. Penanaman lada yang
cukup besar ditanam di Pasai (Sumatera), Jawa dan tentu
saja di Borneo (Banjarmasin). Lada merupakan komoditas
penting dalam perekonomian kurun abad ke-15 hingga
abad ke-18 karena permintaannya banyak, Anthony Reid
mencatat bahwa permintaan lada pada abad ke-16 dan
17 melonjak hingga sepuluh kali lipat, bahkan menjadi
bahan ekspor terpenting untuk kawasan Asia Tenggara.11
Selama Abad ke-16 produksi lada meluas baik di India
maupun di Nusantara untuk merespon permintaan yang
berkembang. Perluasan itu dimulai dari “Negeri Lada”
yaitu Malabar menyebar ke Kannara; dari Sumatera

9
Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm. 5.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 10.
180
bagian utara menyebar ke pantai barat dan masuk ke
pedalaman Minangkabau lalu menyeberang ke
semenanjung Malaya.12 Dari sini ladapun merambat
hingga Pulau Jawa dan Borneo bagian tenggara.
1. Jaringan Perdagangan
Pada zaman keemasan Asia khususnya abad ke-
15 hingga Abad ke-17 atau yang oleh Reid disebut
sebagai kurun niaga (the age of commerce) kawasan
pantura (pantai utara) Jawa juga mengalami
perkembangan pesat yang merupakan bagian inheren
dari pelayaran dan perdagangan internasional. Pantura
Jawa merupakan salah satu bagian penting dari apa
yang yang oleh para sejarawan disebut the Java Sea
zone atau pun the Java Sea Networks atau Jaringan
Laut Jawa. Jaringan Laut Jawa mencakup pulau Jawa
itu sendiri (khususnya pantura), Bali, Lombok, Sumba,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumbawa dan
Timor. Meskipun kawasan pantura terbagi terutama
antara kekuasaan Sunda (Jawa bagian barat) dan Jawa
(bagian tengah dan timur) namun secara ekonomi
semua kawasan ini memiliki hubungan erat. Pada masa
kejayaan Demak menyusul runtuhnya Majapahit,
hampir seluruh kawasan pantura Jawa berada di
bawah kontrol penguasa dan pedagang muslim.
Namun demikian, distintegrasi politik kembali terjadi
setelah adanya perpecahan kekuatan politik muslim

12
Mansyur, dkk., Sahang Banjar, hlm.90

181
antara Banten, Cirebon, Mataram, dan negara-negara
kota di pantura Jawa bagian tengah dan timur hingga
kedatangan VOC atau Vereenigde Oost Indische
Compagnie13 pada akhir abad ke-16.14
Jawa bertindak sebagai gudang komoditas
impor sebelum disalurkan ke daerah sekitarnya dari
luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin,
Bali dan Lombok, dan pulau-pulau di Maluku.
Pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa menjadi titik
pertemuan bagi para pedagang dari luar Jawa serta
partner dagang asing mereka. Dengan demikian pada
kurun niaga, perdagangan maritim di kawasan Luat
Jawa merupakan bagian inheren dari perdagangan di
kepulauan Nusantara yang memiliki tiga sumbu yaitu
perdagangan antarpulau, perdagangan intra Asia dan
perdagangan internasional.15
Perdagangan di Banjarmasin sebagai bagian
dari Jaringan Laut Jawa sudah terbentuk sekitar Abad

13
Pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC, gabungan semua
maskapai-maskapai dagang Belanda. Maskapai dagang disebut juga
compagnie; dari kata inilah sebutan Kompeni untuk VOC yang
populer di Indonesia. Status VOC adalah Badan Perdagangan, bukan
pemerintah atau kekuasaan. Namun inilah awal dari kolonisasi
(pemerintah) Belanda atas wilayah yang kemudian disebut Indonesia.
Kolonisasi di Indonesia dilakukan oleh badan VOC, negara Belanda
(Bataafse Republik dan kemudian kerajaan) dan Kerajaan Inggeris.
14
Singgih Tri Sulistiyono, “Jawa dan Jaringan Perdagangan
Maritim di Nusantara Pada Periode Awal Modern”, makalah dalam
Konferensi Nasional Sejarah X, Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 7 - 10
November 2016, hlm.7.
15
Ibid., hlm. 8.
182
ke-16 atau bahkan lebih awal. Bermula dari supremasi
dan migrasi pedagang pantai utara Jawa di wilayah
Borneo bagian tenggara. Supremasi Kerajaan Demak
dalam tahun 1526 adalah hal penting mengingat peran
Demak dalam penyebaran Islam dan terbentuknya
Kesultanan Banjarmasin. Pada masa pemerintahan
Sultan Suriansyah batas kerajaan diperluas meliputi
Tabalong, Batang Balangan, Alai dan Amandit. Daerah-
daerah ini semula dikuasai Pangeran Tumenggung,
paman Sultan Suriansyah yang telah menyerah
kepadanya dalam pertempuran di Sanghiang Gantung.
Selama dekade pertama Abad ke-17, secara praktis
barat daya, tenggara dan timur Borneo membayar
upeti pada Kesultanan Banjarmasin.16 Kontak politik
dengan pantai utara Jawa terutama terkait dengan
upeti dari Kesultanan Banjarmasin terhenti sejak
keruntuhan pantai utara Jawa dan tumbuhnya
Kesultanan Banjarmasin. Awal Abad ke-17, Kerajaan
Pajang sebagai pengganti Kerajaan Demak, tidak
menerima upeti lagi dari Banjarmasin.17
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin,
dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615. Pada
tahun itu, Tuban berusaha menaklukkan Banjarmasin
dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal

16
Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Bandjermasin 1700-
1747, Thesis University of London, 1969, hlm. 32.
17
Suriansyah Ideham, et.al., Sejarah Banjar (Banjarmasin:
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan, 2003), hlm. 245.
183
karena mendapat perlawanan sengit. Ambisi untuk
menancapkan hegemoni atas Borneo dihilangkan
Sultan Agung Mataram (1613-1646), yang
mengembangkan kekuasaan pemerintahan Jawa
sesudah mengalahkan Jepara dan Gresik (1610), Tuban
(1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Walaupun
demikian, ternyata pada tahun 1622 Mataram kembali
merencanakan program penguasaannya. Ambisi yang
dimunculkan Mataram itu bukan saja atas pelabuhan-
pelabuhan pantai utara Jawa, tetapi juga kerajaan
sebelah selatan, barat daya dan tenggara Borneo.
Sultan Agung pun menegaskan kekuasaannya atas
wilayah Sukadana tahun 1622.18
Ketika Demak jatuh ke bawah Pajang dan
kemudian ke bawah Mataram, Kerajaan Banjar merasa
terganggu karena Mataram berusaha menyerbu
Banjarmasin. Lebih-lebih setelah Surabaya jatuh tahun
1625 keinginan Mataram menguasai Banjarmasin pada
tahun 1629 bertambah besar. Menguasai Banjarmasin
berarti menguasai perdagangan lada, dan cara ini
merupakan usaha Mataram tahun 1629 terhadap
Batavia karena Mataram tidak memiliki armada laut
kuat, sedangkan jung-jung Banjar cukup mampu
menguasai. Itulah pertimbangan Mataram menguasai
Banjarmasin. Seiring dengan hal itu Sultan Banjar,
Sultan Inayatullah (1620-1637) mengklaim Sambas,
Lawei, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit,
18
Ibid., hlm. 33.
184
Mendawai, Kahayan Hilir dan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau
Laut, Satui, Asam-asam, Kintap dan Sawarangan
sebagai vazal Kesultanan Banjarmasin. Hal ini terjadi
pada tahun 1636.19

Gambar 5.2. Peta Banjarmasin dan Pantai Utara Jawa tahun 1657.
Sumber: peta Les Isles De La Sonde entre lesquelles sont
Sumatera, Jave, Borneo, & c., oleh Nicholas Sanson, Paris 1657.

Klaim Sultan Banjar atas daerah-daerah


tersebut didasarkan atas perhitungan bahwa ia
merasa telah memiliki kekuatan cukup menghadapi
serbuan dari kerajaan lain, utamanya dari Pulau Jawa.
Kekuasaan tersebut, terletak pada aspek militer atau
angkatan perang kuat dan ditunjang aspek ekonomi

Mansyur, dkk., Sahang Banjar, hlm.81.


19

185
yang mulai maju di bidang perdagangan. Sejak tahun
1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan
Mataram secara besar-besaran, tetapi karena
kekurangan logistik, maka rencana serangan dari
Mataram sudah tidak ada lagi. Menurut Goh Yoon
Fong20 sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari Jawa
secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi
politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa ini
mempunyai pengaruh yang sangat besar dari
sebelumnya, dan dapat dikatakan bahwa pelabuhan-
pelabuhan Borneo menjadi pusat difusi kebudayaan
Jawa. Majunya perdagangan Banjar pada Abad ke-17
tentunya membawa perubahan bagi Kesultanan
Banjarmasin. Perubahan dalam bidang ekonomi,
digambarkan dengan kemakmuran kesultanan
Banjarmasin dengan kemegahan istana serta
perangkat-perangkatnya dan dikenalnya mata uang
kian meluas telah mendorong iklim usaha dan produksi
beraneka ragam. Produksi lada, rotan dan damar
makin pesat guna memenuhi permintaan pasar. Hal itu
menggiurkan para pedagang asing.
Dalam perkembangannya, perdagangan di
Banjarmasin mulai meluas, dan terbentuk jaringan
perdagangan internasional. Ini adalah gejala lanjutan
ketika secara umum pada abad ke-16 hingga 17
kawasan Asia Tenggara memasuki ‘era niaga’ (the age
of commerce) di mana aktivitas perdagangan
20
Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Bandjermasin, hlm. 34.
186
meningkat signifikan. Fenomena ini tak hanya
mendorong persebaran dan difusi budaya, teknologi,
dan ideologi dari daratan Benua Asia ke kawasan
kepulauan Asia Tenggara, namun juga mendorong
munculnya kota-kota pelabuhan dagang di mana
kapal-kapal pedagang merapat untuk singgah dan
bertransaksi, termasuk di antaranya kota pelabuhan
Banjarmasin. Lebih lanjut, kota-kota pelabuhan ini
membentuk jalur perdagangan maritim terutama
dipengaruhi aktivitas para pedagang Cina dan Timur
Tengah.21
Pada era ini, Pelabuhan Banjarmasin yang pada
awalnya dalam sumbu perdagangan antarpulau,
meningkat menjadi sumbu perdagangan intra Asia
serta sumbu perdagangan internasional dalam jalur
perdagangan maritim Asia Tenggara di awal Abad ke-
17. Masuknya Pelabuhan Banjar dalam rute tersebut
disebabkan Kesultanan Banjar mulai dikenal sebagai
produsen lada yang ditanam di daerah hulu oleh
penduduk. Rempah-rempah, terutama lada, menjadi
komoditas dagang yang sangat penting kala itu. Kapal

21
Vera D. Damayanti, “Identifikasi struktur dan perubahan
lanskap Kota Banjarmasin di masa kesultanan (1526-1860)”, Jurnal
Arsitektur Lansekap Vol. 5, No. 2, Oktober 2019, hlm. 251 - 251, lihat
juga Anthony Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia,
Fifteenth to Seventeenth Centuries”, Journal of Southeast Asian
Studies Vol. 11 (2), 1980, hlm. 235 - 250; bandingkan dengan Anthony
Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680, Vol. 2,
Expansion and Crisis. (Yale Univ. Press, New Haven, 1993).
187
kapal dagang yang berkunjung ke Pelabuhan
Banjarmasin berasal dari kota-kota di Nusantara
seperti misalnya Makassar, Sumbawa, Jawa, selain dari
daratan Asia dan Eropa termasuk Cina, Persia, Siam,
Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, hingga Spanyol.22

Gambar 5.3. Banjarmasin dalam Jalur Perdagangan Maritim Asia


Tenggara. Sumber: Anthony Reid, 1993.

Pada akhir Abad ke-17 daerah Banjar mulai


dikenal secara umum sebagai pusat perdagangan baik

22
Ita Syamtasiyah Ahyat, Kesultanan Banjarmasin pada Abad
ke-19: Ekspansi pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan (Tangerang
Selatan : Serat Alam Media, 2012); lihat juga H. Knapen, Forests of
Fortune? The environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880
(Leiden: KITLV Press, Leiden, 2001).
188
pada masa Kesultanan Banjar maupun setelah
diperintah secara langsung oleh pemerintah Hindia
Belanda. Bertahannya perdagangan selama berabad-
abad itu karena potensi wilayah itu yang sifatnya
simbiotis, daerah pedalaman sebagai penghasil yang
terus menerus memasok daerah pesisir yang berfungsi
pusat perdagangan. Pada awalnya perdagangan
berskala lokal selanjutnya meluas ke bagian pulau-
pulau yang lain di wilayah Nusantara. Volume produksi
daerah pedalaman dan perdagangan di pesisir menjadi
kian besar ketika orang-orang barat, konsumen besar
mulai mengarahkan pandangannya ke arah Banjar.
Pola organisasi, penentuan jenis tanaman senantiasa
berubah selama kurun waktu tahun 1700-1900-an.
Semua komoditi perdagangan itu secara keseluruhan
merupakan dasar utama perekonomian daerah Banjar.
Banjarmasin di awal Abad ke-16 belum
dikunjungi bangsa Eropa. Jaringan awal perdagangan
di Kesultanan Banjarmasin tercipta dan mulai dikenal
bangsa Eropa karena adanya hubungan ke Banten
tepatnya tahun 1596 pada masa pemerintahan Sultan
Mustain Billah atau Marhum Panembahan (1595-
1620). Pedagang Banjarmasin ke Banten berdagang
beras, ikan kering dan lilin. Dalam perkembangannya
lada mulai diperdagangkan di Banten.23

23
Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede
Helft der 18de Eeuw (Leiden: Dubbeldeman, 1935), hlm. 5.
189
Sebagai bandar perniagaan, Banten membuat
jalur pelayaran dagang antarpulau di Nusantara di
mana jalur pertama adalah Banten-Banjarmasin. Letak
Banjarmasin sangat strategis, diantara selat Makasar
dan laut Jawa, sehingga banyak pedagang yang singgah
di pelabuhan ini. Komoditas yang penting dari
pelabuhan ini adalah lada, emas, intan, dan beberapa
hasil hutan lainnya. Pelayaran dagang ke Banjarmasin
juga diikuti pedagang dari Sulawesi, Jawa, Gujarat, dan
China pun singgah di Pelabuhan Banjarmasin. Jalur
perdagangan ke Banjarmasin melewati Cirebon,
Gunung Muria, Kepulauan Karimunjawa, Sampit, Pulau
Damar, Batu Mandi, Tanjung Cimanten, Sungai Kapuas,
Keramaian dan masuk ke Sungai Barito.24
Pelayaran kedua dari Banten ke Demak dengan
menyusuri pantai utara Jawa melalui Kalapa, Tanjung
Indramayu, Cirebon, Pekalongan, dan akhirnya tiba di
Demak. Selanjutnya pelayaran ke tiga yaitu, dari
Banten ke Timor melalui pantai utara Jawa, Madura,
Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba. Jalur

24
Ikot Sholehat, “Perdagangan Internasional Kesultanan
Banten Akhir Abad ke- XVI-XVII” (Tesis pada Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab & Humaniora Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), hlm. 176; lihat juga Aisyah
Syafiera, “Perdagangan di Nusantara Abad ke-16”, Avatara, E- Journal
Pendidikan Sejarah. Volume 4, No. 3, Oktober 2016, hlm.81;
bandingkan dengan Sonny C. Wibisono, Banten Kota Pelabuhan Jalan
Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1995), hlm.
91; periksa J.V. Mills, Chinese Navigators in Insulinde About A.D.
1500, Archipel, 1979. No. 18, hlm. 77 - 78.
190
pelayaran kapal dagang lain juga dapat melalui Banten
yaitu, dari Banten ke Timor, dari Banten ke Demak,
dan dari Demak ke Banten, selanjutnya dari Banten ke
Banjarmasin dan kembali lagi ke Banten, dari Kruseng
Aceh ke Barus, dari Barus ke Pariaman dan dari
Pariaman ke Banten. 25

Gambar 5.4. Jalur pelayaran dagang Banten-Banjarmasin. Sumber


: Sholehat, 2019; diolah berdasarkan peta Rigobert Bonne (1727–
1795), Les Indes Orientales et leur archipel dalam Jean Lattre,
Atlas Moderne ou Collection de Cartes sur Toutes les Parties du
Globe Terrestre, c. 1775, koleksi KITLV.

25
Ikot Sholehat, Perdagangan Internasional Kesultanan
Banten, hlm. 177.
191
Selain lada, Banten juga mendatangkan ikan
asin dari Banjarmasin sebagai bahan impor yang
diperjualbelikan di Banten. Mendatangkan ikan asin
sebagai bahan impor lebih menguntungkan
dibandingkan jika memproduksi bahan pangan sendiri.
Pedagang yang terlibat dalam jual beli ini merupakan
pedagang besar yang berasal dari Banjarmasin yang
menyalurkan barang dagangan untuk dijual secara
eceran di pasar. Dengan demikian, pedagang besar
dari Banjarmasin ini tidak terlibat langsung dengan
konsumen, karena kebutuhan konsumen akan bahan
makanan ikan asin ini sangat besar. Jaringan
perdagangan lokal di Banten lebih menekankan pada
komoditas impor bahan pangan.26
2. Aktor Perdagangan & Alat Tukar
Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin, baik
secara langsung maupun tidak langsung pasti
melibatkan tenaga kerja. Tenaga kerja ini bisa tenaga
kerja kasar dan halus, atau tenaga kerja administrasi
pemerintahan. Dalam masalah tenaga kerja ini hanya
akan menjelaskan tenaga kerja yang hanya terbatas
pada tingkat pemerintahan, walaupun dalam
mekanisme kerjanya tidak dapat lepas dari tenaga
kerja kasar. Guna menanggulangi berbagai masalah
perdagangan di pelabuhan, sejak awal berdirinya
Kesultanan Banjarmasin sudah berupaya
memanfaatkan berbagai tenaga kerja di sektor

Ibid.
26

192
administrasi. Untuk mengurus hubungan dengan
pedagang asing maka Kesultanan Banjarmasin
menugaskan kepada syahbandar. Peran syahbandar
sebagai kepala pelabuhan memegang peran penting
bagi perkembangan suatu pemerintahan, jadi bisa
diartikan syahbandar bertindak sebagai duta besar dari
istana. Tugas dari syahbandar sendiri antara lain
sebagai perantara antara raja dan orang asing yang
bertugas memperjuangkan agar kepentingan orang
asing diperhatikan penuh oleh pemerintah setempat.
Selain itu syahbandar bertindak juga sebagai hakim
karena menjalankan peradilan istimewa terhadap
perkara yang menimpa orang asing dan berhak
membuat kontrak-kontrak dengan orang asing.27
Proses hubungan antara sultan dengan orang
asing lewat Syahbandar Kyai Martajaya misalnya dapat
diketahui pada tahun 1747 yaitu pada saat kedatangan
utusan VOC, Van den Burg. Setelah sampai di
Pelabuhan, rombongan segera bertemu syahbandar
untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan
meminta izin menyampaikan surat kepada sultan.
Syahbandar memberitahukan maksud itu kepada
Sultan melalui seorang utusan. Proses itu

27
Ibnu Wicaksono, “Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas
Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII” (Skripsi pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), hlm. 58; bandingkan
dengan Purnadi Purbatjaraka, “Shahbandars in the Archipelago,”
JSAH, volume 2, 1961, hlm. 1 - 8.
193
menghabiskan waktu beberapa hari. Setelah mendapat
persetujuan sultan, maka beberapa hari kemudian
Syahbandar Kyai Martajaya mengantar utusan itu
dengan perahu milik sultan untuk menghadap ke
istana. Perundingan dihadiri syahbandar, Dewan
Mahkota dan sultan. Hal ini berarti syahbandar
mengetahui jelas permasalahan hubungan Sultan
dengan orang asing.28
Dapat diasumsikan bahwa tumbuh-
kembangnya perdagangan sangat ditentukan oleh
fasih tidaknya seorang syahbandar menangani kaum
pendatang tersebut. Jika ditengok lebih dalam maka
jasa yang telah diberikan syahbandar bertujuan akhir
mendatangkan keuntungan di pihak kesultanan, baik
dari pajak masuk maupun dari pelayaran berupa
kemudahan-kemudahan yang diperoleh oleh bangsa
asing di negeri tersebut. Setelah mendapatkan izin,
lebih lanjut transaksi perdagangan pun dilakukan.
Transaksi ini berlangsung setelah terjadi penawaran
terhadap barang dagang, selanjutnya sultan akan
mengirim contoh barang yang akan dijual. Persetujuan
mengenai barang dagang biasanya diikuti pengiriman
barang dari pedalaman ke pelabuhan. Pengiriman
barang biasanya dilakukan pada musim kering

28
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 59; bandingkan
dengan Sulandjari, “Politik dan perdagangan lada di Kesultanan
Banjarmasin (1747-1781)” (Tesis pada Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Depok, 1991), hlm. 73 - 74.
194
menjelang musim hujan, karena saat itulah jalur dari
pedalaman ke pelabuhan lebih mudah dilalui karena
terhindar dari banjir. Barang yang dibawa dari
pedalaman tadi akan sampai kepada Syahbandar dan
pembongkaran muatan dilakukan sejumlah pekerja
upahan yang disebut kuli. Kemudian barang tersebut
diperiksa untuk memastikan keadaanya. Setelah
sepakat maka pembayaran langsung dilakukan.29

Gambar 5.5. Lukisan pedagang Belanda di Banjarmasin pada abad


ke-19. Sumber: koleksi lukisan van Dorp, 1861, KITLV.

Selain dari syahbandar, golongan istana yang


berperan sebagai distributor atau pengangkut barang
dari pedalaman adalah mantri (setingkat kepala
wilayah). Pada setiap musim panen lada misalnya,

Ibid., hlm. 60.


29

195
Sultan akan membeli lada melalui perantara mantri
terlebih dahulu selanjutnya di pedalaman mantri
mendapatkan hasil lada dari para pambakal (setingkat
kepala desa), pembakal bertugas mengawasi
pelaksanaan pengolahan kebun lada milik Sultan dan
penyerahan wajib ke istana melalui perantara para
mantri. Pola perdagangan di Banjarmasin pada waktu
itu menunjukan corak yang sama dengan perdagangan
wilayah lain di Kepulauan Nusantara umumnya.
Perdagangan barang dalam jumlah banyak dimiliki
golongan penguasa, serta perdagangan barang yang
lebih sedikit jumlahnya, dijajakan berkeliling di
sepanjang pantai sampai ke pedalaman yang dilakukan
pedagang pengecer yaitu para penduduk Banjarmasin.
Pada sekitar tahun 1707, di sepanjang tepi
pantai terdapat pasar tempat terjadinya trasaksi jual-
beli antara penduduk dan pedagang dari luar yang
berdatangan ke Banjarmasin. Pasar itu merupakan
tempat berkumpulnya para pedagang yang
membentuk deretan sambil menjajakan barang
dagangan. Selain pedagang Banjar, pedagang Cina juga
banyak berjualan di tempat ini. Beberapa tata cara
perdagangan di Kesultanan Banjarmasin (1) Jual beli
barang dilakukan di pasar. (2) Para pedagang membeli
barang dagangan di rumah-rumah penduduk, yang
telah menyediakan barang perdagangannya di serambi
depan rumah. (3) Bagi para pedagang asing harus

196
menggunakan kontrak pembelian barang dengan
Sultan melalui Syahbandar.30
Transaksi jual beli di Kesultanan Banjar
umumnya menggunakan mata uang. Untuk pembelian
lada, emas, dan produk lainnya dipergunakan mata
uang real Mexico, tetapi orang Banjar juga
menggunakan mata uang real Maluku yang dianggap
baik mutunya. Mata uang Cina Picins, dari bahan timah
juga sangat umum dipakai di dalam wilayah Kesultanan
Banjarmasin. Diperkirakan orang-orang Inggris telah
memasok timah ke Banjarmasin untuk digunakan
pembuatan uang. Namun di Banjarmasin tidak
ditemukan penggunaan mata uang lokal seperti di
Aceh.31 Harga valuta asing pada tahun 1663 di
Banjarmasin untuk 1 ringgit, dengan kadar perak lebih
banyak dari real berharga 12.500 picins, turun dari
sebelumnya 30.000 picins. Pemakaian mata uang
ringgit dipopulerkan Opperkoopman Soop, ketika
berada di Kesultanan Banjarmasin di Istana Kayu Tangi,
Martapura tahun 1636.32 Kesultanan Banjarmasin
sama seperti bandar dagang di Nusantara lainnya, juga
bertransaksi dengan penggunaan mata uang real

30
Ibid.
31
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Terjemahan R.Z.
Leirissa & P. Soemitro (eds), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999),
hlm. 129.
32
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol. I
(Bandung: The Hague van Hoove, 1955), hlm. 29.
197
Spanyol. Real Spanyol mata uang yang terbuat dari
perak, satu real = 6 ¼ dollar. Terkadang juga
mengunakan mata uang gulden Belanda, karena lebih
memudahkan dalam transaksi baik di dalam maupun
keluar. Hal ini wajar karena mata uang real Spanyol
telah banyak beredar dan berlaku di berbagai tempat,
seperti Malaka, Banten, Sulawesi, Maluku dan tempat
lain. Penggunaan mata uang real Spanyol ini dapat
dilihat ketika Sultan menjual komoditi perdagangan.33
Contoh kasus lainnya, VOC juga tidak
ketinggalan melibatkan diri dalam perdagangan lada,
membeli lada dari Sultan Banjar sebesar 6 real Spanyol
(Spn). Sementara Sultan Banjar membeli lada itu dari
petani sebesar 2 real Spanyol (Spn) per pikul. Pada
tahun 1663 harga emas se-tail sama dengan 16 ringgit.
Lada berharga 16 ringgit untuk 180 gantang. Selain itu,
kain-kain dari India dan batik Coromandel terkenal dan
paling laku di Banjarmasin. Perdagangan kain, mula-
mula dipegang oleh Portugis, tetapi setelah Malaka
jatuh kepada VOC tahun 1641, maka perdagangan kain
dari VOC dan saat itu dapat dijadikan alat tukar.34

33
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 61; lihat juga J.C.
Van Leur, Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and
Economic History (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1960), hlm. 368.
34
Ibid.
198
Tabel 5.1. Distribusi Uang Real dan Uang Belanda

Daerah Real Rijksdaalder


Jawa dan Sumatera 61,798 206,805
Maluku - 33,150
Malaka - 12,750
Arakan 59,653 12,750
Coromandel - -
Ceylon - 12,750
Cina - -
Jumlah 121,451 285,855
Sumber : Glaman dalam Ikot Sholehat, 2019.

Permintaan akan uang semakin meningkat di


akhir abad ke-17 yaitu selama periode 1680-1685 lebih
dari 200.000 real dibeli dengan nilai sekitar 700.000 fl.
Pembelian dilakukan selama tahun 1683, 1684, dan
1685. Untuk memudahkan penjualan pembayaran
pada di awal tahun 1680 hanya sebesar 2% persen,
pada 1683, 14% dan pada 1684 berada pada 17,11 %.
Hal ini berlaku di seluruh Nusantara, Malaka, Batavia,
Banten, Jepara, Banjarmasin, Ambon, Banda, Ternate,
Solor, Timor, Makasar, lebih lanjut Palembang, Jambi,
Indragiri, Malaka, Perak, Ligor, Achin, serta stasiun-
stasiun di pantai Barat Sumatera seperti Padang, Pulau
Poulo Chinco, Baros, dan Priaman.35

35
Ikot Sholehat, Perdagangan Internasional Kesultanan
Banten, hlm.206; lihat juga Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade
1620-1740 (‘sGravenhage: Martinus Nijhoff, 1981), hlm. 75 - 85.
199
3. Lada & Jenis Barang Ekspor-Impor Lainnya
Sejalan dengan penyebaran barang
perdagangan yang diduga dibuat di dalam maupun di
luar kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan
impor. Sistem ekspor dimaksudkan adalah penjualan
barang-barang keluar wilayah dari Kesultanan
Banjarmasin baik berupa hasil pertanian dan non-
pertanian. Sementara sistem impor adalah penjualan
barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah
kekuasaan Kesultanan Banjarmasin yang berupa bahan
makanan seperti beras, benda seni seperti keramik
yang didatangkan dari Cina, dan peralatan sehari-hari.
Sulit sekali untuk mendapatkan rincian tertulis
mengenai komoditi ekspor dan impor di Banjarmasin.
Telah diketahui bahwa pada umumnya barang yang
diekspor oleh Kesultanan Banjarmasin antara lain:
lada, damar, lilin, sarang burung, kayu ulin, rotan,
emas dan intan. Kesulitan data ini mengakibatkan
pengambaran komoditi ekspor dan impor ini hanya
dipilih beberapa saja. Barang ekspor antara lain lada,
intan, rotan dan tembikar, sedangkan barang impor
berupa. beras.36
Barang ekspor pertama adalah lada. Kebutuhan
akan lada ini agaknya seiring dengan berbagai manfaat
yang terkandung di dalam biji lada. Khasiat biji lada ini
sangat banyak, di antaranya untuk pengobatan,
penyedap makanan dan sebagai sumber minyak lada.

Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 51.


36

200
Oleh karena hal inilah banyak pedagang asing ataupun
Nusantara bersaing dalam pencarian wilayah penghasil
lada. Setelah Portugis berhasil mendapatkan monopoli
lada di pantai barat India di Abad ke-15, karena kondisi
inilah banyak pedagang Arab dan India mencari lada ke
berbagai pulau di Nusantara. Akibatnya budidaya lada
berkembang pesat di Sumatera, Pidie, Pariaman,
Silebar, Indrapura, Jambi, Indragiri, Kampar,
Palembang dan Lampung. Kemudian di pulau Jawa,
Banten dan sekitarnya, dan lebih belakangan di Borneo
(Kalimantan) yaitu Banjarmasin.37
Pada Abad ke-18 Kesultanan Banjarmasin
makin meningkatkan penanaman ladanya di
pedalaman. Ekspansi Kesultanan Banjarmasin ke
pedalaman menambah daerah penghasil lada. Wilayah
penanam lada yang telah ada lebih awal seperti
Martapura, khususnya di wilayah sekitar Riam Kiwa
dan Riam Kanan. Dari sini, penanaman meluas hingga
ke wilayah Hulu Sungai dan Tanah Laut. Wilayah lain
yang tidak kalah penting sebagai penghasil lada adalah
Amandit, Pemangkih, Tapin, dan Kelua. Sekitar
pertengahan Abad ke-18, wilayah sekitar Hulu Sungai
telah menjadi daerah terpenting penghasil lada hingga
membanjiri wilayah kota Negara dan Amuntai yang
menjadi pusat transit barang dagangan dari
pedalaman.38

37
Ibid., hlm.52.
38
Knapen, Forests of Fortune?, hlm. 260.
201
Gambar 5.6. Ilustrasi Petani Lada di Perkebunan Lada di wilayah
Borneo. Sumber: Pepertuin te Koerla Koeroen, vermoedelijk op de
Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo, tahun 1934. Koleksi KITLV.

Besaran hasil lada ini dapat diketahui dengan


melihat berapa banyak hasil lada yang telah di ekspor
Kesultanan Banjarmasin kepada pedagang Belanda dan
Cina. Dari data yang ada pada tahun 1747-1761
Belanda telah membawa lada dari Banjarmasin
sebanyak 83.276 pikul (20.819 ton) dan Cina sekitar
32.213 pikul (8.053,25 ton).39 Perbedaan lada yang
dibawa antara VOC dan Cina pada tahun ini
disebabkan Kesultanan Banjarmasin telah melakukan
perjanjian dengan VOC, yang memutuskan Cina hanya
boleh mengangkut lada hanya dengan satu jung saja

39
J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie., hlm. 192.
202
dan pedagang Cina juga dibatasi hanya boleh datang
ke Banjarmasin 1 sampai 2 kali pertahun.40
Dalam transaksi pembelian lada, para penanam
lada tidak dapat menentukan harga, yang menentukan
harga adalah Sultan. Sultan biasanya membeli lada dari
pedalaman sekitar 2 real Spanyol per pikul (125 kg),
dan dijual kepada VOC sekitar 6 real Spanyol per pikul.
Lada akan meningkat harganya apabila Sultan
menjualnya kepada pedagang Cina yang membayar 8
real Spanyol per pikul. Ini berarti Sultan mendapatkan
keuntungan sekitar 4 sampai 6 real Spanyol untuk
setiap pikul lada, atau sekitar 100-200% dari harga beli.
Besarnya keuntungan dari perdagangan lada telah
menjadikan raja dan para bangsawan cepat kaya dan
banyak membawa keuntungan. Kekayaan ini tercermin
dari gaya hidupnya, misalnya: menurut berita Cina
sultan Banjarmasin memiliki ratusan dayang-dayang
berpakaian indah-indah. Kalau raja berpergian, maka ia
naik gajah dan diiringi pengiring yang membawa
pakaian, sepatu, pusaka kerajaan dan tempat- tempat
sirih.41 Berita lain menyebutkan, karena perdagangan
lada, Sultan sering berpesta besar, membiayai
kehidupan istana dan keluarganya setiap hari,

40
ANRI, Surat-surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin
Dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia
Belanda 1635-1860 (Jakarta: ANRI, 1965), hlm. 36 & 41.
41
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm.53; lihat juga W.P.
Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (Jakarta :
Komunitas Bambu, 2009), hlm. 149.
203
membiayai pengawal dan membangun istana indah.
Kemewahan ini disaksikan utusan VOC, Andreas
Paravicini yang datang ke Banjarmasin tahun 1756.42
Kemudian komoditas lainnya adalah intan.
Beralih dari hasil pertanian, barang ekspor yang paling
dikenal dari Banjarmasin adalah hasil pertambangan
intan. Intan merupakan bahan tambang yang telah
dikenal sejak dahulu. Tidak diketahui kapan awal
penambangan intan ini dilakukan. Intan adalah barang
tambang yang dimanfaatkan untuk pembuatan
perhiasan seperti cincin, kalung ataupun gelang.
Penambangan intan ini telah banyak dilakukan di
wilayah Martapura.43 Pada periode perdagangan Abad
ke-18, intan hanya disuplai para pedagang besar saja
seperti Cina dan Eropa. Belanda misalnya, pernah
membawa intan dari Banjarmasin ke Amsterdam untuk
diolah menjadi perhiasan. Namun demikian, semenjak
ditemukannya sumber intan di Afrika Selatan, eskpor
intan dari tempat ini lambat laun surut. Selain Belanda,
para pedagang Cina juga telah menyuplai intan
Banjarmasin ke Cina, diperkirakan 10.000 intan
pernah dikirim ke Cina.44
Hasil ekspor lain yang juga cukup menarik bagi
pedagang asing adalah produk hutan dari Banjarmasin.

42
Sulandjari, Politik dan perdagangan lada, hlm. 67.
43
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm.54; lihat juga Carl
Bock, The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low, 1882),
hlm. 170.
44
Knapen, Forests of Fortune?, hlm. 261.
204
Kawasan Kalimantan adalah wilayah yang kaya akan
hasil hutannya, karena luasnya areal hutan di wilayah
ini. Wilayah yang paling banyak menghasilkan rotan
ialah Riam Kiwa, Riam Kanan, Tanah Laut dan Pulau
laut. Wilayah inilah yang dikenal sebagai penghasil
rotan kualitas terbaik.45 Pada Abad ke-18, para
pedagang Cina dan Eropa mulai tertarik terhadap
produksi hutan ini.46 Meskipun perdagangan rotan
muncul tidak terlalu signifikan, dikarenakan tertutup
perdagangan lada saat itu. Namun rotan juga tercatat
sebagai komoditi eskpor dari Kesultanan Banjarmasin.
Tercatat tahun 1724-1777 Banjarmasin mengeskpor
rotan ke Makassar sebanyak 581 ikat.47 Kemudian di
tahun 1788 dan 1789, rotan dari Banjarmasin
sebanyak 200.000 ikat yang dikirim untuk memenuhi
kebutuhan pasar di wilayah lain Nusantara.
Tembikar juga merupakan salah satu barang
ekspor Kesultanan Banjarmasin lainnya. Kendati
barang ekspor ini bukanlah sebuah barang produksi
Banjarmasin melainkan didatangkan dari Cina. Barang
tembikar ini merupakan salah satu barang yang banyak
diminati pedagang dari Makassar. Pada tahun 1720-an
keberadaan Banjarmasin penting sekali bagi Makassar.

45
Ibid.
46
Ibid.; lihat juga Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan
Tionghoa, hlm. 150.
47
Gerrit Knaap & Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships,
Skippers and Commodities in Eighteenth-Century Makassar (Leiden:
KITLV, 2004), hlm. 241.
205
Perngiriman barang tembikar dari tanah, khususnya
mangkuk, piring dan pot ke Makassar mencapai sekitar
33.000 buah pertahun.48
Berikutnya, barang impor utama adalah beras.
Beras merupakan salah satu komoditi perdagangan
yang didatangkan dari luar Banjarmasin. Pembelian
beras dari luar ini diperuntukan memenuhi kebutuhan
penduduk di Kesultanan Banjarmasin. Pada wilayah
Banjarmasin penanaman beras diusahakan penduduk
di daerah-daerah rendah aluvial sepanjang Sungai
Bahan dan cabangnya. Di samping itu Amuntai juga
menjadi daerah penghasil beras yang setiap panen
menghasilkan beras kurang lebih 119.712 kilogram.49
Namun demikian penanaman beras ini hanya
mencukupi kebutuhan bahan makanan daerah
pedalaman sekitar Banjarmasin. Sementara untuk
memenuhi kebutuhan makanan di wilayah pantai atau
wilayah sekitar pelabuhan yang telah banyak ditempati
para pedagang tidak tercukupi. Hal ini mengakibatkan
Kesultanan Banjarmasin harus mengimpornya dari
wilayah lain. Pada Abad ke-17, Kesultanan Banjarmasin
lebih banyak memasok beras dari Jawa, khususnya dari
Mataram. Pasokan beras ini dibeli dari beberapa
wilayah seperti Jepara, Tuban, Pajang, dan Mataram.

48
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm.55; lihat juga
Gerrit J. Knaap, Shallow Waters, Rising Tide; Shipping and Trade in
Java around 1775 (Leiden: KITLV, 1996), hlm. 122 - 124.
49
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 56.
206
Jepara telah menjadi sebuah gudang beras karena dari
tempat inilah beras telah diekspor ke berbagai daerah
di Nusantara termasuk Banjarmasin.50
Pada abad ke-18, semakin bertambahnya para
pedagang dari luar, mengakibatkan Kesultanan
Banjarmasin tidak hanya memasoknya dari Jawa,
namun juga dari Makassar. Sekitar tahun 1724-1726
Makassar telah mengekspor beras ke Banjarmasin
sekitar kurang lebih 312 pikul dan di tahun 1774-1777
jumlahnya menurun hanya sekitar 213 pikul. Selain
beras, impor dari Makassar antara lain garam, agar-
agar, pakaian Bugis dan pakaian Selayar. 51 Selain beras
Banjarmasin juga mengimpor porselin, garam, teh dan
budak. Barang-barang ini didatangkan terutama para
pedagang dari Cina, Jawa dan Makassar. Tidak
didapatkannya data memadai mengenai komoditi
impor di Kesultanan Banjarmasin namun komoditi
import itu sangat penting memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat. 52
4. Pelabuhan Tatas & Perisai Benteng Tabanio
Bandarmasih muncul sebagai bandar dagang
karena perpindahan pusat kekuasaan dari ibukota
Nagara Daha di Muara Hulak ke Bandarmasih, yang
kemudian hari dikenal sebagai Banjarmasin. Bandar
dagang ini semakin berkembang akibat penyebaran

50
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society. hlm. 207 - 209.
51
Knaap & Sutherland, Monsoon Traders, hlm. 241.
52
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 57.
207
Agama Islam yang membuat kontak dagang semakin
meluas. Perpindahan rute perdagangan pada abad ke-
17 yang melewati Makasar-Banjarmasih-Pattani-Cina
atau Makasar-Banjarmasih-Banten-India, turut
membuat Banjarmasih seperti poros tengah jalur
dagang, hingga posisinya semakin dilirik. Wajar,
akhirnya Bandar Masih di Kuin makin ramai.53 Sebelum
1663, meningkatnya volume perdagangan telah
memicu terjadinya konflik internal perebutan kendali
dagang dalam kesultanan yang memunculkan dualisme
kekuasaan: Pangeran Ratu di keraton Kayu Tangi di
daerah hulu, dan Pangeran Dipati Anom di Banjar
Lama. Posisi Banjar Lama di daerah hilir lebih strategis
sebagai titik temu para pedagang dari hulu dan
seberang lautan sehingga Dipati Anom memegang
kendali perdagangan kesultanan. Dengan demikian
Banjar Lama kembali menjadi pelabuhan utama
kesultanan sekaligus pusat pemerintahan. Pangeran
Dipati Anom (1663-1679) menjalankan
pemerintahannya pada sebuah ‘istana terapung’
serupa struktur benteng dilengkapi meriam.54
Setelah kekuasaan Dipati Anom berakhir
diperkirakan terjadi perpindahan pemerintahan ke
Martapura sementara pelabuhan beralih dari Banjar

53
Mohamad Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K.
Balai Pendidikan Guru, 1970), hlm. 5.
54
Vera D. Damayanti, “Identifikasi struktur dan perubahan
lanskap Kota Banjarmasin di masa kesultanan (1526-1860)”, Jurnal
Arsitektur Lansekap Vol. 5, No. 2, Oktober 2019, hlm.254.
208
menuju Tatas. Tatas berada di sebelah selatan Banjar
Lama yang dibatasi oleh Sungai Kuin di sebelah utara,
Sungai Martapura di sebelah timur dan selatan, dan
Sungai Barito di sebelah barat; sehingga Tatas
menyerupai sebuah pulau dan dikenal sebagai Pulau
Tatas. Sultan memiliki kediaman di Tatas dan sesekali
ia berlayar dari keraton Martapura menuju Tatas untuk
melakukan negosiasi dagang dengan para pedagang
asing. Diperkirakan kediaman sultan tak jauh dari
pertemuan antara Sungai Kuin dan Martapura, dan
dekat dengan pelabuhan utama kesultanan. Tak jauh
dari kediaman sultan terdapat sebuah pos jaga di tepi
sungai dilengkapi meriam dan rantai besi sebagai
pertahanan membentang di Sungai Martapura.55
Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin Sultan
Inayatullah (1637-1642) mengadakan perdagangan
bebas dengan pedagang Cina, Bugis, Jawa, Belanda
dan Inggris.56 Pelabuhan Tatas berkembang menjadi
pelabuhan pembongkar dan pemuat barang dagang
dari dan ke Banjarmasin. Para pedagang dari luar
membawa porselin, beras, garam, teh dan budak.
Sebaliknya Banjarmasin menyediakan hasil hutan,
emas, intan dan lada.57 Sejak tahun 1635, pada area
Tatas terdapat loji dan kantor dagang VOC dipimpin

55
Ibid.
56
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG 2008), hlm.
225; J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie, hlm. 5.
57
Anton Abraham Cense, De Kroniek van Banjarmasin
(Santpoort: Uitgeverij C.A. Mees, 1928), hlm. 93 - 94.
209
Wollebrandt Gelenysen de Jonge.58 Kurun waktu 1700-
1800 setidaknya memunculkan Tatas sebagai
pelabuhan dagang ramai sebagai akibat dari Kuin yang
dibakar. Pembakaran tersebut disebabkan perang
Anglo (Inggris) dengan Kerajaan Banjar. Laporan
Hamilton menyebutkan tahun 1701 pasukan Banjar
dibantu 3000 orang Biaju menyerang Inggris, sehingga
pusat kegiatan kota dipindahkan ke Tatas. Ramainya
aktifitas dagang di Tatas, membuat daerah sekitarnya
menjadi berkembang. Perkembangan tersebut dimulai
dari Sungai Miai sampai ke Pulau Kalayan.59
Kondisi lanskap ‘Negeri Tatas’ diperkirakan
tidak berbeda jauh dengan ibukota Kayu Tangi
sebagaimana dikemukakan Johannes Willi Gais. Selain
itu, Daniel Beckman, seorang pedagang Inggris yang
berkunjung di tahun 1714 melaporkan bahwa Kayu
Tangi memiliki struktur kota linear di sepanjang Sungai
Martapura sepanjang sekitar 4 mil atau 7,41 km.
Bantaran sungai kebanyakan dihuni elit kesultanan,
sementara penduduk tinggal di rumah lanting.60 Pada

58
Mansyur, Benteng Tatas dalam Catatan, dalam website
http://nyawasungai.org/ benteng-tatas-dalam-catatan/ diakses
tanggal 03 September 2019.
59
Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih (Banjarbaru: Museum
Lambung Mangkurat, 1981/1982), hlm, 33.
60
Vera D. Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan
Lanskap Kota Banjarmasin, hlm.255; lihat juga D. Beckman, A Voyage
to the Island of Borneo in the East-Indies (London : T Warner, 1718);
bandingkan dengan J. Willi Gais, The Early Relations of England With
Borneo to 1805 (H. Beyer, Langensalza, 1922).
210
surat perjanjian 26 Oktober 1733, pasal 7
menyebutkan bahwa utusan VOC memanggil
syahbandar di Tatas untuk mendapatkan lada dari
kapal. Hal ini mengindikasikan Tatas merupakan
bandar dagang yang ramai. Pada tahun 1736 dengan
izin Sultan Hamidullah (1700-1734), orang-orang Cina
mendirikan perkampungan di area dekat pelabuhan
Tatas. Perkampungan orang-orang Cina ini dipimpin
Kapiten Cina yang setiap bulan harus membayar sewa
kepada Sultan.61
Di samping itu dalam keadaan mendesak
misalnya terjadi perang, kapiten wajib membantu
Sultan dengan meminjamkan perahu kepada sultan
bila diperlukan. Hubungan yang cukup erat dengan
Sultan merupakan salah satu mengapa Sultan pada
belahan pertama Abad ke-18 mengangkat seorang
Cina yang bernama Lin Bien Ko sebagai Syahbandar
berkedudukan di pelabuhan Tatas.62

61
Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical
Description of the principal Places in The East Indies, China, and
Japan, with their Produce, Manifacture, and Trade (London, 1813),
hlm. 414.
62
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin., hlm. 63; Syahbandar
yang dijabat oleh orang Cina ini dimasa Sultan Hamidullah (1700 -
1745), sedangkan Kyai Martajaya adalah Syhabandar pada masa
Sultan Tamjidillah memerintah (1747 - 1759).
211
Gambar 5.7. Wilayah Benteng dan Pelabuhan Tatas Tahun 1900
an. Sumber: Koleksi KITLV.

Strategisnya posisi Tatas sebagai bandar


dagang dipertegas kontrak dagang VOC dengan
Kerajaan Banjar tahun 1747 dan Perjanjian 1787.

212
Kontrak tersebut mengatakan bahwa VOC
mendapatkan tanah untuk pendirian loji di Tatas.
Hingga tahun 1826 telah diperbaharui kontrak dagang
dengan Sultan Adam tentang penyerahan Tatas, Kuin
Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpai dan lain-lain
kepada Belanda. Wilayah ini berkembang lagi ketika
tampuk pemerintahan kerajaan diduduki oleh
Susuhunan Nata Alam. Berdasarkan perjanjian dengan
VOC, Tatas dibangun sebagai pusat kota yang di
dalamnya terdapat loji, barak, kantor, dan rumah.
Hingga di sekitar Tatas berkembang pula pemukiman
Belanda, Arab, Cina, dan Madura. Pada era itu, Tatas
makin berkembang dan merupakan pelabuhan
terbesar di Banjarmasin, Kotawaringin, Tabanio, Tanah
Laut juga terletak di tepi pantai yang merupakan pintu
gerbang pedagang luar yang ingin berdagang ke
Banjarmasin.63
Pelabuhan Tatas di Banjarmasin didukung
keberadaan wilayah Benteng Tabanio. Benteng
Tabanio merupakan benteng Belanda, yang dibangun
di sekitar muara Sungai Tabanio. Menilik letaknya,
benteng ini termasuk dalam kategori benteng di muara
sungai. Dalam sebutan sumber Belanda, namanya
adalah tabenieuw, taboenieuw, atau tabanieuw. Nama
Tabanio juga digunakan untuk menamai sungai yang
mengalir di daerah ini. Sekilas gambaran utuh
tentangnya diperoleh dalam sketsa (litografi) karya
63
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada., hlm. 118.
213
W.A. van Rees tahun 1855. Pada sketsa ini benteng
Tabanio tergambar dibangun di tepi sungai kecil
(Sungai Tabanio), dan sekaligus di sekitar muara
sungai.64
Pada abad ke-17 Tabanio merupakan sebuah
kampung kecil di sekitar sungai Tabanio di pantai
selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan
kawasan strategis dengan potensi ekonomi yang tinggi
karena hasil lada, perikanan, dan tambang emas di
daerah Pelaihari. Pada tanggal 6 Juli 1779 VOC
membuat perjanjian dengan Sultan Banjar mengenai
monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian
tersebut mengatur mengenai pembangunan benteng
di Tabanio. Lalu mereka (VOC) membangun sebuah
benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di
sekitar Muara Sungai Tabanio. Masing-masing sudut
benteng diperlengkapi dengan bastion berbangun
bundar. Pintu gerbang menghadap ke laut. Tembok
benteng terbilang cukup tinggi, yakni setinggi tubuh
gapura. Pada tahun 1791, seorang insinyur Belanda, C.
F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah desain
benteng di lokasi tersebut, namun tidak terealisasi.65
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(berkuasa antara tahun 1801-1818) memerintahkan

64
M. Dwi Cahyono, “Benteng Tabanio di Tanah Laut Kalsel
dalam Perbandingan Lintas Masa”, dalam: patembayan
citralekha.wordpress, 2016, diakses 20 November 2020.
65
Ibid.
214
meninggalkan pos-pos perdagangan yang merugi di
Kalimantan, termasuk di Tabanio. Pada tahun 1826
Sultan Adam dari Kesultanan Banjar membuat
kesepakatan dengan pemerintah Hindia Belanda,
sultan menyerahkan daerah yang jarang penduduknya
di sekitar Tabanio. Kemudian benteng di Tabanio
digunakan sebagai pusat pemerintahan sipil wilayah
tersebut dan sekitarnya. Pada 1854 pemerintahan sipil
dipindah dari Tabanio ke Pelaihari dan benteng
tersebut ditinggalkan. Pelaihari berkembang menjadi
wilayah penting karena pertambangan batubara untuk
bahan bakar kapal uap yang meningkat.66
Area Tabanio juga dikenal sebagai wilayah yang
menjadi markas bajak laut. Dalam perebutan tahta
pada abad ke-18, Pangeran Muhammad mengerahkan
pengikutnya ke daerah Tabanio67 yang merupakan
tempat strategis dari mana pelabuhan Banjarmasin
dapat diawasi. Selama di Tabanio pangeran
Muhammad beralih profesi menjadi bajak laut yang
merampas setiap kapal yang melewati daerah ini.
Pangeran Muhammad menghimpun kekuatan untuk

66
“Verzameling der merkwaardigste vonnissen gewezen door
de Krijgsraden te velde in de Zuid en Oosterafdeeling van Borneo
gedurende de jaren 1859-1864”, Bijdrage Tot De Geschiedenis van
den Opstand in het Rijk van Bandjermasin (Batavia: Ter
Landsdrukkerij, 1865), hlm. 51.
67
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin., hlm. 71; Menurut
Ringholm Tabanio adalah markas penyelundupan terbesar di
Kalimantan, dalam: Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie,
hlm. 39;.
215
merebut tahta dari Pangeran Tamjidillah. Dengan
kekuatan senjata yang besar pada tahun 1759
Pangeran Muhammad dengan pasukannya berhasil
memaksa Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta
kepadanya. Pada tangga 3 Agustus 1759 dia naik tahta
bergelar Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah.68
Keberadaan Tabanio juga mengemuka pada
periode selanjutnya ketika Pangeran Amir ingin
mengambil haknya atas tahta kerajaan. Akhirnya ia
melancarkan serangan ke istana pada tahun 1785
dengan 3000 pasukan Bugis yang mendarat di Tabanio
untuk serangan ke Banjarmasin. Pasukan pengeran
Amir menderita kekalahan karena kuatnya Pangeran
Nata dibantu VOC dipimpin Hoofman. Mengenai status
Tabanio, pada tahun 1787, Sultan Nata memberikan
kedaulatannya kepada VOC dan menjadikan
Banjarmasin vassal saja. Hal ini ditandai perjanjian/
kontrak tahun 1787.69 Sultan menyerahkan daerah
Pasir, Laut, Pulo Tabanio, Mendawai, Sampit,
Pambuang, Kotawaringin pada VOC.70

68
M.Idwar Saleh, Bandjarmasin, hlm. 5.
69
ANRI: Surat-surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin
Dengan Pemerintahan VOC, hlm. 80 - 89; Noorlander, Bandjarmasin
en de Compagnie, hlm. 182.
70
ANRI, Surat-surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin
Dengan Pemerintahan VOC, hlm. 170.
216
Gambar 5.8. Lukisan wilayah Benteng Tabanio, tempat pelarian
Pangeran Aminullah, untuk kembali merebut tahtanya pada
tahun 1759. Sumber, Lukisan Tabanio, van Dorp, tahun 1861.

Gambar 5.9. Lukisan Benteng Tabanio (Fort te Tabanio) milik


Belanda, tahun 1865, sumber: De Bandjermasinse Krijg, Willem
Adriaan van Rees tahun 1865.

217
Pada bulan Mei 1859 pemberontakan melawan
Belanda meletus, yang kemudian disebut Perang
Banjar (1859-1863). Sekelompok pejuang di bawah Kiai
Demang Lehman, Kiaij Langlang (Kiai Langlang) dan
Hadji Boeijasin (Haji Buyasin) menduduki benteng di
Tabanio dan menghabisi pemegang pos di benteng
tersebut. Kemudian Belanda merebut kembali benteng
itu pada Agustus 1859. Lalu lima puluh prajurit dan dua
meriam ditempatkan di benteng Tabanio, sekaligus
dijadikan basecamp pengamanan area. Benteng
Tabanio yang terdaftar sebagai benteng kelas 4 (untuk
melawan musuh pribumi), kemudian dihapuskan dari
daftar inventaris alat pertahanan Hindia Belanda.71

B. Pasang Surut Perdagangan Lada & Intervensi Eropa


Era modern awal ditandai kedatangan bangsa-
bangsa Barat, kawasan pantura Jawa sudah memiliki pola
perdagangan yang relatif mapan. Kawasan pantura Jawa
merupakan tulang-punggung jaringan Laut Jawa. Pola
perdagangan maritim ini tidak hanya menyangkut
perdagangan maritim lokal dan antar pulau di Nusantara,
tetapi juga perdagangan internasional. Namun demikian,
pola perdagangan maritim ini mengalami berbagai
penyesuaian setelah datangnya bangsa-bangsa Barat di
Nusantara. Dalam hal ini, para pelaut Barat mengenalkan
sistem perdagangan bersenjata yang menjadi pukulan

Willem Adriaan van Rees, De Bandjermasinsche Krijg van


71

1859-1863: Nader Toegelicht (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), hlm. 59.


218
besar bagi pedagang lokal sehingga menimbulkan
berbagai penyesuaian.72 Demikian halnya dengan
Banjarmasin sebagai bagian integral perdagangan dalam
Jaringan Laut Jawa mengalami kondisi demikian. Berawal
dari perdagangan ke Banten hingga masuknya pedagang
Cina yang diakhiri intervensi Eropa dengan sistem
perdagangan bersenjata serta intervensi dalam intrik
politik Kesultanan Banjar.
1. Peristiwa “Banten” & Perdagangan Lada Banjar
Seperti dijelaskan sebelumnya, Banjarmasin di
awal abad ke-16 belum dikunjungi bangsa Eropa.
Banjarmasin mulai dikenal Eropa semenjak kehadiran
orang Banjarmasin yang datang ke Banten pada akhir
abad ke-16, tepatnya tahun 1596 pada masa
pemerintahan Sultan Mustain Billah atau Marhum
Panembahan (1595 – 1620). Pedagang Banjarmasin ke
Banten untuk berdagang beras, ikan kering dan lilin.73
Barang bawaan tersebut merupakan hasil penukaran
barang-barang mereka yang berupa intan, emas dan
hasil hutan. Akibat sikap Belanda yang sombong
menyebabkan mereka tidak memperoleh lada di
Banten. Para pedagang Banjar tidak mau menjual lada
kepada pedagang Belanda.74 Wajar jika pedagang
Banjar menjual lada sampai ke Banten era itu. Harga
lada dalam beberapa tahun, tahun 1599 hingga 1621

72
Sulistyono, Jawa dan Jaringan Perdagangan Maritim, hlm.8.
73
Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie, hlm. 5.
74
Ibid.
219
awalnya terjadi kenaikan harga luar biasa. Namun,
setelah tahun 1603 terjadi penurunan harga karena
pedagang Eropa berupaya menurunkan harga.
Pedagang Eropa seperti Belanda dan Inggris kompak
menurunkan harga lada di sejumlah pelabuhan.
Pedagang Belanda dan Inggris menetapkan
harga sesuai kemauan mereka sendiri. Pedagang Cina
yang berupaya menerobos kebijakan itu mendapat
perlawanan dari Belanda dan Inggris.75 Pada era itu
pedagang Banjarmasin menjual lada dengan kisaran
harga 3 real per karung. Dalam tahun berikutnya,
harga ini akan meningkat sekitar 1 sampai 3 real per
karungSebagai perbandingan, dapat dilihat kisaran
harga lada di Nusantara tahun 1599-1620 yang dicatat
Roelofs berikut.

Tabel 5.2. Kisaran Harga Lada Tahun 1599-1620

Tahun Satuan Harga


1599 Karung 3 real
1600 Karung 4-6 real
1608 Karung 21 real
1612 Per 10 Karung 121 real
1614 Per 10 Karung 15 real
1616 Per 10 Karung 17 real
1617 Per 10 Karung 31 real

M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia & Pengaruh


75

Eropa di Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630 (Yogyakarta:


Ombak, 2016), hlm. 404.
220
1618 Per 10 Karung 10 real
1619 Per Karung 2 real
1620 Per 10 Karung 5-7,5 real
Sumber : Meilink M.A.P. Roelofsz, 2016.

Pada sumber lain dituliskan, di Pelabuhan


Banten berlabuh dua buah jung dari Kesultanan
Banjarmasin yang dibawa pedagang-pedagang Banjar.
Dua jung tersebut memuat lada yang merupakan
“komoditas dagang primadona” milik Kesultanan
Banjarmasin pada abad ke-17. Setibanya di Pelabuhan
Banten pedagang Banjarmasin mengalami perampasan
barang dagangan oleh Belanda. Hal ini disebabkan
karena mereka tidak memperoleh lada di Banten,
sehingga merampok lada dari dua buah jung tersebut.
Karena peristiwa ini, kesan awal orang Banjar terhadap
Belanda sangat buruk. Bagi Belanda sendiri,
pertemuan dengan orang Banjar tersebut menambah
informasi tentang asal-usul datangnya lada itu,
sehingga timbul keinginan mengetahui daerah
Banjarmasin. Untuk itu, Belanda mengirim sebuah
ekspedisi ke Banjarmasin pada tanggal 17 Juli 1607
dipimpin Koopman Gillis Michielzoon. Ternyata utusan
dan seluruh anggotanya diajak ke darat oleh pasukan
Sultan Banjar dan kemudian seluruhnya dibunuh, serta
harta benda dan kapalnya dirampas.76

76
Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie, hlm. 6.
221
Sekitar enam tahun kemudian, dalam tahun
1612 secara mengejutkan armada Belanda tiba di
Banjarmasin. Rupanya armada itu disiapkan membalas
terbunuhnya rombongan Gillis Michielzoon tahun
1607. Armada ini menyerang Banjarmasin dari arah
Pulau Kembang, menembaki Kuin, ibukota Kesultanan
Banjarmasin. Penyerangan ini menghancurkan Banjar
lama (Kampung Kraton) dan sekitarnya yang
merupakan istana Sultan. Karena itu Sultan Mustain
Billah, Sultan Banjarmasin ke-4, bergelar Marhum
penembahan memindahkan ibukota kesultanan dari
Kuin ke Kayu Tangi/Telok Selong, Martapura.77 Setelah
perpindahan istana ini, perdagangan lada tetap
dilakoni pedagang Banjar. Pada era ini jumlah stok lada
yang dikirim dari Banjarmasin ke Banten terhitung
tidak terlalu besar jika dibandingkan daerah lainnya.
Pada tahun 1650 stok lada di Banten dari Banjarmasin
sekitar 620 real. Sementara daerah lainnya yang
tercatat penghasil lada utama di Nusantara dan
memperdagangkan lada ke Banten adalah Solebar,
Makassar, Jambi serta Jepara menyumbang stok lada
besar.78

Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Bandjermasin, hlm. 36.


77

Sholehat, Perdagangan Internasional Kesultanan Banten,


78

hlm.176; lihat juga William Foster, C.L.E, The English Factories in India
1655-1660 (Oxford: Clarendon Press, 1921), hlm. 7.
222
Tabel 5.3. Stok Lada Tahun 1650 di Banten Dari Luar
Banten & Kembali ke Banten

Daerah Dikirim Dari Kembali ke Banten


Luar Banten
Solebar 20.187 real 20.684
Jambi 17.000 real 48.000 real
Banjarmasin 620 real -
Makassar 34.000 real -
Jepara 7.000 real 3.000 real
Sumber: Foster dalam Ikot Sholehat, 2019.

Tabel di atas menunjukan harga impor yang


berbeda lada dari luar Banten dan dari Banten Jepara
dan Makasar dapat dikatakan sebagai daerah pemasok
beras dan gula. Namun demikian, setelah kapal-kapal
Inggris melakukan impor lada dapat diketahui bahwa
Jepara dan Makassar mempunyai komoditas dagang
lada yang besar. Akan tetapi Makassar pada tahun
1650 tidak mengirim ladanya ke Banten. Hal yang
sama dilakukan oleh Banjarmasin yang hanya
menyediakan stok kecil lada sehingga tidak bisa untuk
mengirim kembali lada ke Banten selama 2 tahun
terakhir untuk diimpor ke Inggris. Persediaan lada di
Jambi, Solebar dan Banjarmasin tidak dapat
menyediakan lebih dari sekitar 70.000 real lada. Lebih
jauh lagi, pada tahun 1650, kurangnya orang dan
pengiriman membuatnya tidak mungkin untuk
memasok persediaan lada. Pada akhir tahun

223
membawa setidaknya 76.000 real lada kembali ke
Banten. Hal tersebut telah memenuhi permintaan lada
yang meningkat setiap tahunnya. 79
Hubungan Kesultanan Banjar dengan pedagang
Belanda ini kemudian baru membaik di tahun 1636.
Ketika itu dibuat kontrak yang pertama antara
Kesultanan Banjarmasin dengan Belanda. Namun ini
tidak berlangsung lama, karena pada dua tahun
kemudian, tahun 1638 terjadi lagi pembunuhan orang-
orang Belanda oleh penduduk Banjarmasin akibat
sikap anti Belanda.80 Dalam perkembangannya,
terdapat perjanjian baru antara Belanda dan
Kesultanan Banjarmasin tertanggal 18 Desember 1660.
Belanda meminta penggantian rugi kepada
Banjarmasin sebesar 50.000 real.81 Pada tahun 1666
perusahaan dagang Belanda di Banjarmasin pun ditarik
mundur ketika Sultan berjanji untuk menjual semua
lada ke Batavia.82 Pada era ini diwarnai kehadiran
pedagang Inggris yang mendirikan perusahaan dagang
di Banjarmasin di tahun 1615 sebagai akibat blokade
Belanda terhadap Banten 1620-1628.83

79
Ibid.
80
Saleh, Banjarmasih., hlm. 66.
81
Ibid., hlm. 74
82
Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie, hlm.12.
83
R. Suntharalingam, "The British in Banjarmasin: An Abortive
Attempt at Settlement 1700-1707", dalam Journal of Southeast Asian
History Vol. 4, No. 2 (September, 1963), hlm. 33 - 50.
224
2. Terusir Dari Patani, Pedagang Cina ke Banjarmasin
Orang-orang Cina mendatangi daerah Banjar
untuk keperluan memperoleh lada pada pertengahan
pertama abad ke-17, setelah diusir oleh saingan
mereka, Belanda dan Inggris. Ketika itu mereka
diberitahu tentang kemungkinan melakukan
perdagangan lada di Banjar oleh orang-orang Portugis
di Macao. Orang Cina kemudian datang dengan jung-
jung mereka, setiap tahun teratur datang sebanyak 4
sampai 13 buah dari Pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo,
dan Macao. Para nakhoda disambut baik di Kayu Tangi
dan Tatas oleh orang-orang Banjar karena mereka
membawa sejumlah barang kesukaan penduduk
setempat. Bahkan Sultan Inayatullah (1637-1642)
mengadakan hubungan perdagangan bebas dengan
pedagang-pedagang Cina, Bugis, Jawa, Belanda dan
Inggris.84
Pada awal abad ke-17, perdagangan di
Banjarmasin dimonopoli orang-orang Cina. Besarnya
volume perdagangan lada yang diangkut ke Cina,
merupakan dorongan peningkatan penanaman lada.
Jung-jung Cina mengangkat ke Banjarmasin barang-
barang porselen, yang sangat laku di Banjarmasin
sehingga rata-rata 12 buah jung Cina tiap tahun datang
ke Banjarmasin. Pengaruh golongan Cina sangat besar
dan menentukan perkembangan politik Kesultanan
Banjar. Bahkan Sultan, sering menggunakan golongan
84
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara , hlm. 225.
225
Cina menghadapi lawan politik dalam negeri dan
menghadapi politik perdagangan luar negeri.85
Berbagai macam barang terdiri dari sutera kasar dan
halus, teh, kamfer, garam, perkakas tembaga, barang-
barang porselen dan lain sebagainya yang dapat
ditukar dengan lada, emas, sarang burung dan lain-lain
barang hasil daerah Banjar. Kedatangan mereka yang
secara terus-menerus membawa Negeri Banjar masuk
dalam lingkaran persinggahan para pedagang dari
berbagai negara seperti Arab, Gujarat, di samping dari
daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura,
Sulawesi, Lombok, Bali dan Sumbawa. Pada awal abad
ke-18 perdagangan jung begitu penting. Bahkan Sungai
Barito dikenal pula dengan Sungai Cina, sebab
dipenuhi jung-jung dari Cina.86

Tabel 5.4. Komoditas Dagang Yang Diperjualbelikan


Pedagang di Kesultanan Banjar & Pedagang Cina Tahun
1637-1642

Asal Jumlah Barang Barang Yang


Pelabuhan Jung Bawaan Dibeli
Pedagang Pedagang
Cina Cina

85
Egbert Broer Kielstra, De Ondergang van het
Banjarmasinsche Rijk, dalam Indisch Gids jaargang 1891 (Leiden: E.J.
Brill, 1892), hlm. 133 - 134.
86
Owen Rutter, The Pagans of North Borneo (London:
Hutchinson & Co.Ltd., 1929), hlm. 133; lihat juga Goh Yoon Fong,
Trade and Politics in Bandjermasin, hlm. 191 - 195.
226
Amoy 4-13 jung Porselen Lada
Kanton /tahun Sutera emas
kasar/halus
Ningpo kanfer Sarang
burung
Macao garam
Perkakas
tembaga
Sumber : Suriansyah Ideham, et.al., 2003.

Demikianlah musim penawaran lada di Banjar


adalah pada permulaan Oktober sampai Maret pada
setiap tahun. Jung-jung itu tidak seperti umumnya
pedagang-pedagang yang lain, mereka tiba pada akhir
bulan Februari. Menurut perhitungan bahwa
kedatangan mereka yang terlambat berarti hanya akan
mendapat sisa-sisa dari lada yang tidak terjual. Namun
ternyata pepatah “yang datang pertama, dilayani
pertama” tidak berlaku di lingkungan orang-orang
Banjar. Adalah hal biasa bagi orang-orang Banjar untuk
menyimpan sebagian besar persediaan ladanya untuk
para pedagang jung. Mereka tidak hanya tertarik
barang dagangan Cina, tetapi juga oleh harga lebih
tinggi yang ditawarkan. Misalnya pada tahun 1701 lada
yang berasal dari Nigeria dijual kepada orang-orang
Inggris dengan harga 1 dolar Spanyol untuk setiap 13

227
gantang, sedangkan kepada Cina seharga satu dolar
Spanyol untuk setiap 9 gantang. 87
Adapun transaksi lada itu sendiri, walaupun
mereka produsen, petani tidak bisa menetapkan harga
untuk mereka tanaman karena Sultan dan anggota
keluarga kerajaan dan pejabat pengadilan telah secara
sepihak menetapkan harga untuk panen. Sebagai
contoh dalam transaksi dagang, sultan dibayar “2
Spanyol” untuk satu pikul lada (tiang bahu dengan
beban melekat pada kedua ujungnya, satu pikul
beratnya sekitar 125 kilogram) dan dijual kembali
nantinya untuk mendapatkan keuntungan. Sebagai
ilustrasi, pada tahun 1755, Sultan menjual lada ke VOC
seharga 6 real Spanish untuk setiap pikul lada atau 8
real Spanish untuk setiap pikul lada kepada Inggris.
Keuntungan Sultan bisa lebih tinggi ketika dia menjual
panennya untuk pedagang Cina. Pasalnya, Cina mampu
membayar hingga 12,5 real Spanyol per pikul. Itu jelas
bahwa dari praktek ini Sultan akan mendapat
keuntungan dari 4-10,4 real Spanyol untuk setiap pikul
lada. Sultan memperoleh keuntungan sekitar 100%
hingga 200%.88

87
Noorlander, loc.cit.
88
Yusliani Noor & Rabini Sayyidati, “Tionghoa Muslim dan
Dunia Perdagangan di Banjarmasin Abad ke-13 Hingga Ke-19”, Juspi
(Jurnal Sejarah Peradaban Islam), Volume 3, Nomor 2 Januari 2020,
hlm. 187.
228
Tabel 5.5. Perbandingan Keuntungan Perdagangan
Lada Sultan Banjar dan Cina & Eropa Tahun 1747-1761

Harga Beli Harga Jual


Petani Lada Belanda/ Inggris Cina
VOC
2 Real 6 Real 8 Real 12,5 real
Spanyol/pikul Spanyol Spanyol Spanyol
(sekitar 125 kg)
Kisaran 4-10 Real Spanyol/pikul
Keuntungan
Jumlah Lada 83.276 32.213
Yang Diangkut pikul pikul
(20.819 (8.053,25
ton) ton)
Sumber : Suriansyah Ideham, et.al., 2003.

Perdagangan lada di Banjarmasin membawa


kemakmuran untuk Sultan dan anggota kerajaan
keluarga serta pejabat. Bukti tersebut dapat diamati
dari Istana Kayutangi yang mewah, seperti yang
dijelaskan oleh Johan Andreas Paravicini. Ia dikirim
oleh VOC ke Banjarmasin pada tahun 1756 sebagai
Komisaris untuk bernegosiasi dengan Sultan. Selain itu,
wilayah Kayutangi juga terkenal dengan tanaman lada
yang berlimpah dan produk hutan yang diekspor ke
China.89 Namun demikian, kekayaan ini lebih mengalir

Mansyur, "Istana Sultan Banjar Mewah Karena Melimpahnya


89

Lada", dalam: www.jejakrekam.com edisi 12 Des 2019,


229
ke elite daripada ke petani. Bagi mereka, semakin
berkembang perdagangan, berarti hanya satu hal,
pemaksaan dan penindasan kepada mereka karena
Sultan dan anggota keluarga kerajaan dan pengadilan
para pejabat tidak akan ragu untuk memaksa petani
lada melepaskan hasil panen mereka.
Setelah masuknya pedagang Eropa, aroma
persaingan dengan pedagang Cina mulai terasa.
Padagang-pedagang Inggris banyak yang menentang
harga yang diberikan orang-orang Cina, karena sangat
merugikan mereka. Orang-orang Cina dapat
menawarkan harga yang lebih tinggi karena mereka
akan menaksir terlebih dahulu harga lada berdasarkan
harga barang-barang Cina. Sementara pedagang-
pedagang Inggris hanya dapat membayar lada dengan
dolar Spanyol. Para pedagang Inggris akan membayar
kontan semua lada yang dibelinya, sedangkan
pedagang-pedagang jung Cina jarang yang dapat
membayar dengan kontan. Namun demikian karena
barangnya diminati penduduk setempat maka akan
lebih mudah dan lebih banyak memperoleh lada.
Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam perang
Inggris-Banjar pada Oktober 1701, orang-orang Cina
kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada.90
Oleh karena sebagian besar tindakan Sultan Banjar

https://jejakrekam.com/2019/12/12/istana-sultan-banjar-mewah-
karena-melimpahnya-lada/ diakses 16 November 2020.
90
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 71.
230
diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka
diperintahkanlah semua rakyatnya menjual ladanya
kepada pedagang di bawah pengawasan Inggris yang
mendirikan penjagaan di muara Sungai Barito.
Hal ini membuat semakin berkurangnya jung
yang mengunjungi Banjar sehingga membuat khawatir
penguasa Inggris di sana. Untuk itulah maka kemudian
mereka mengadakan perundingan dengan orang-orang
Cina, yang pada intinya orang-orang Cina dijamin
kemudahannya berdagang dengan Banjar. Oleh sebab
itu perdagangan barang dari berbagai negara di
pelabuhan di pelabuhan itu kembali ramai. Pada tahun
1702 London mengatakan bahwa lebih mudah untuk
mendapatkan barang-barang Cina di Banjar dari pada
di Cina. Pada pelabuhan ini calon pembeli dapat
melihat terlebih dahulu barang yang akan dibeli, baru
setelah kecocokan transaksi dilakukan. Hal ini mustahil
dilakukan di Cina. Di samping orang-orang Cina
menjual barangnya mereka juga banyak membeli
barang-barang yang ditawarkan pedagang Inggris,
seperti kain India, tembaga dan sebagainya. Sebelum
pendirian permukiman Inggris di Banjar, pedagang-
pedagang jung memperoleh barang-barang dari
wilayah barat dari para pedagang Belanda di Batavia.
Menurut Graham Irwin (1986) banyaknya jung
(tongkang) Cina singgah di Pelabuhan Tatas
Banjarmasin setiap tahun merupakan sebab utama
mengapa Sultan Banjarmasin tidak pernah patuh

231
kepada perjanjian dagang lada dengan VOC-Belanda.
Setiap ada peluang, Sultan Banjarmasin menjual lada
hitam pada pedagang Cina. Mereka menawarkan
harga lebih tinggi dari pedagang Belanda.91
Hubungan komersial antara Inggris dan
pedagang-pedagang jung di Banjar berakhir sesudah
pengusiran orang-orang Inggris oleh Sultan Banjar
dalam perang Inggris-Banjar kedua tahun 1707.
Setelah itu orang-orang Cina membenahi diri. Mereka
dapat bebas kembali mengadakan transaksi dengan
para pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-
orang Cina yang berkumpul di daerah Kesultanan
makin hari makin besar. Mereka terdiri dari dua
golongan yakni pedagang-pedagang jung dan
pedagang-pedagang menetap. Pedagang-pedagang
jung hanya tinggal sementara di Tatas atau di tempat
lain di daerah Banjar. Setelah selesai berdagang
termasuk mengisi perbekalan kapalnya, mereka akan
kembali berlayar ke Kanton, Amoy atau pelabuhan
lainnya di Cina. Kemudian kembali ke Banjar pada
musim berikutnya. Sementara pedagang menetap,
mulanya mereka juga seperti pedagang jung yang
hanya tinggal sementara di Banjar, namun karena
melihat kemungkinan menjadikan Banjar sebagai

Yusliani Noor & Rabini Sayyidati, Tionghoa Muslim dan Dunia


91

Perdagangan di Banjarmasin, hlm. 188.


232
rumah mereka yang kedua, maka kemudian mereka
tinggal dan menetap.92

Gambar 5.10. Lukisan Kapitan Cina dan Kampung Cina di


Banjarmasin pada Tahun 1845. Sumber: KITLV.

Beberapa di antara mereka membuat toko di


kota atau pelabuhan dan bertindak sebagai pedagang
perantara antara pedagang jung dan Banjar. Pada
tahun 1736 dengan izin Sultan Hamidullah (1700-
1734), orang-orang Cina mendirikan perkampungan di
dekat Pelabuhan Tatas. Perkampungan orang-orang
Cina ini dikepalai Kapiten Cina yang setiap bulan harus
membayar sejumlah uang sewa kepada Sultan.
Terdapat sekitar 80 keluarga Cina di Tatas dan Kayu
Tangi sebelum Tahun 1708. Jumlah mereka terus
bertambah menjadi sekitar 200 keluarga sesudah
periode itu. Bertahap beberapa di antara mereka

Ibid.
92

233
dapat berkomunikasi dalam bahasa setempat. Di
samping itu, dalam keadaan mendesak misalnya
terjadi perang, kapiten wajib membantu Sultan dengan
meminjamkan perahu bila diperlukan. Hubungan erat
dengan Sultan merupakan penyebab mengapa Sultan
Banjar pada dasawarsa pertama abad ke-18,
mengangkat seorang Cina bernama Lin Bien Ko sebagai
Syahbandar di Pelabuhan Tatas. Pada versi lain
dituliskan bahwa pimpinan mereka di Banjar, Kapten
Lin Bien Ko, sering diutus para penguasa Kesultanan
Banjar untuk ikut mewakili dalam perundingan-
perundingan dengan orang-orang Eropa.93
3. Utang Sultan Dibayar Lada, Ekspansi & Monopoli VOC
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa usai
Peristiwa Banten dan terbunuhnya utusan Belanda,
dalam tahun 1612 secara mengejutkan armada
Belanda tiba di Banjarmasin. Rupanya suatu armada
yang disiapkan membalas atas terbunuhnya ekspedisi
Gillis Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang
Banjarmasin, menghancurkan Banjar lama (Kampung
Kraton) dan sekitarnya, yang merupakan istana Sultan.
Oleh karena itu Sultan Mustain Billah memindahkan

93
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm.72 ; Syahbandar
yang dijabat oleh orang Cina ini dimasa Sultan Hamidullah (1700 -
1745), sedangkan Kyai Martajaya adalah Syhabandar pada masa
Sultan Tamjidillah memerintah (1747 - 1759).
234
ibukota kesultanan dari Kuin yang hancur ke Kayu
Tangi/Telok Selong, Martapura.94
Meskipun ibukota Kesultanan Banjar pindah ke
Kayu Tangi, namun aktivitas perdagangan di Pelabuhan
Banjarmasin tetap ramai. Hubungan dagang dengan
bangsa asing tetap berjalan terutama dengan Inggris.
Tahun 1615 Casirian David bahkan diijinkan
mendirikan factory di Banjarmasin. Berbeda dengan
pedagang Belanda/VOC. Hubungan dagang dengan
Belanda terputus, tetapi diteruskan dengan
perantaraan orang-orang Cina. Selain orang Inggris
sebagai pedagang, juga telah menetap di Banjarmasin
pedagang Denmark, yang semuanya sangat ditakuti
Belanda, karena menjadi saingan yang akan
menghancurkan perdagangannya.
Tahun 1626, produksi lada Banjar sangat
meningkat sehingga VOC berusaha untuk memperoleh
monopoli lada dan berusaha “melupakan” kejadian
tahun 1612 ketika terjadi penyerbuan Belanda
terhadap Kesultanan Banjar. Kemudian Belanda juga
meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal
dagang Kesultanan Banjar yang dalam pelayaran
perdagangan ke Brunai 4 Juli tahun 1626. Meskipun
kesalahan dalam pertikaian antara kedua bangsa ini
telah terhapus, kontrak dagang antara kedua negara
belum dapat diwujudkan. Perdagangan Kesultanan
Banjar diarahkan ke Cochin Cina dan Makassar
94
Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Bandjermasin, hlm. 36.
235
sehingga Belanda merasa dirugikan akibat
perpindahan route dagang Kesultanan Banjar itu. Pada
awal abad ke-17, Kesultanan Banjarmasin mengalami
fase perkembangan sebagai kerajaan maritim, akibat
dari perpindahan route perdagangan, melalui
Makassar, Banjarmasin, Patani, Cina atau Makassar
terus ke Banten dan India.95
Selanjutnya Schrieke96 menjelaskan, Banjar-
masin sebagai kerajaan dagang menggantikan
kedudukan Gresik, setelah bandar-bandar di pantai
utara Jawa dimusnahkan Sultan Agung dari Mataram.
Schrieke sependapat senada Goh Yoon Pong, bahwa
semaraknya pelabuhan atau bandar di Banjarmasin
disebabkan bantuan imigran-imigran Jawa yang
menjadikan Banjarmasin sebagai pusat modal dan
perkapalan mereka. Di samping lada sebagai ekspor
andalan saat itu, juga diproduksi jung-jung yang
diperlukan bagi perdagangan dan pelayaran
interinsuler.97 Dalam perkembangan perdagangan
abad ke-17, golongan bangsawan menguasai seluruh
perdagangan karena kekuasaan mereka dalam bidang
politik dan pengusaha hak apanaze yang menghasilkan
komoditi ekspor saat itu. Pada wilayah pedalaman
terdapat perkebunan lada yang dikuasai kaum

95
Bertram Johannes Otto Schrieke, Indonesian Sociological
Studies (Bandung: The Hague, 1955), hlm. 67.
96
Ibid., hlm. 30.
97
Gais, 1922, The Early Relations of England With Borneo, hlm.
100.
236
bangsawan seperti di daerah Negara, Alai, Tabalong,
sehingga Dijk98 menyebut Pangeran Anom atau
Pangeran Suryanata sebagai “Koning yan het
pepergebergte” atau “raja dari pegunungan lada”.
Kekuasaan para bangsawan ini sangat besar, karena
mereka juga mempunyai pasukan sendiri dan budak-
budak dipersenjatai. Kekuasaan pasar dan
perdagangan, terletak pada wewenang syahbandar
yang biasanya dijabat oleh orang asing. Syahbandar
memiliki wewenang dalam bidang perdagangan dan
monopoli penjualan dan pembelian bangsa asing
sangat tergantung padanya.99
Kesempatan Belanda/VOC mendekati
Kesultanan Banjar terbuka ketika Mataram sedang
meluaskan wilayah kekuasaannya dan menaklukkan
pantai utara Jawa. Pada tahun 1625 Mataram
menaklukkan Surabaya dan selanjutnya Sukadana
1625 sehingga Kesultanan Banjarmasin menaruh
“prasangka” akan diserang oleh Mataram juga. Untuk
itu kesultanan Banjarmasin mengirim utusan ke
Batavia, merundingkan bantuan VOC, dalam rangka
siaga menghadapi serbuan Mataram. Situasi ini yang
diinginkan VOC agar memperoleh kesempatan
monopoli lada.

98
L.C. van Dijk, Neerlands Vroegste Betrekkingen met Borneo
en Solo Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina, (Amsterdam: J. H.
Scheltema, 1862), hlm. 48.
99
Wolter Robert Hoevel, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie
(vol. 52, Ter Lands-drukkerij, 1861), hlm. 202.
237
Kompeni Belanda berusaha memperoleh
monopoli dengan Kesultanan Banjar, untuk menekan
perdagangan orang Banjar yang sampai ke Cochin-
Cina. Akan tetapi ketika wakil Kompeni Belanda G.
Corszoon tiba di Banjarmasin pada bulan Juli 1633,
ternyata monopoli itu telah diberikan kepada orang
Makassar. Di sini terlihat siasat Sultan bahwa
kedatangan Kompeni Belanda hanya digunakan
sebagai tameng dari serbuan Mataram semata. Sultan
tetap berprinsip bahwa perdagangan harus bebas.
Mengantisipasi sikap Sultan ini, Kompeni Belanda
memamerkan armadanya dengan mendatangkan 6
buah kapal dalam bulan Januari 1634 tetapi sungai
penuh dengan penghalang berupa batang kayu besar
sehingga sulit masuk ke Banjarmasin, dan Sultan telah
siap menghadapinya dengan 3.000 orang pasukan.
Pertemuan antara Sultan dengan Pool pimpinan
armada Belanda, bahwa Belanda akan diberi monopoli
asal Belanda bersedia menjamin keamanan pelayaran
orang Banjar terhadap serangan orang Jawa dan
Makassar.100
Perjanjian selanjutnya baru disepakati pada 4
September 1635. Sultan diwakili oleh Syahbandar
Ratna Diraja mengadakan pertemuan di Batavia. Inilah
kontrak dagang pertama yang diadakan Kerajaan
Banjar dengan Kompeni Belanda. Kompeni Belanda

100
Arsip Nasional Republik Indonesia, Surat-surat Perjanjian
Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, hlm. 2.
238
diwakili Hendrik Brouwer, Anthonie van Diemen, Jan
van der Burgh, Steven Barentszoon. Dalam perjanjian
antara lain disebutkan bahwa :
a. Banjarmasin tidak akan menjual atau mengekspor
ladanya selama di Banjarmasin masih ada orang-
orang VOC ataupun kapal-kapalnya.
b. Peminjaman uang sejumlah 3.000 real kepada
Sultan yang akan dibayar kembali dengan lada
seharga 5 real sepikulnya.
c. Pinjaman yang dibelikan picins dan barang-barang
lainnya atas nama Sultan boleh diangkut tanpa bea
oleh kapal-kapal VOC.101

Gambar 5.11. Lukisan yang menggambarkan armada Belanda di


wilayah Borneo bagian tenggara, tahun 1800-an. Sumber: lukisan
C. Buddingh, Tocht door Borneo, tahun 1856.

Ibid., dapat dilihat dalam Perjanjian 4 September 1635.


101

239
Keberanian VOC menurunkan harga lada,
seiring pula kekuasaannya di Pulau Jawa. Kompeni
dagang Belanda ini berupaya menjalankan taktik-taktik
perdagangan dan sedikit demi sedikit ikut pula
mencampuri urusan-urusan istana. Taktik yang dimiliki
pedagang-pedagang Belanda ini adalah bersaing
secara kotor dan berebut kekuasaan dengan sesama
bangsa Eropa sendiri.
Jatuhnya Malaka menyebabkan terjadinya
perpindahan pusat perdagangan ke arah Timur dengan
pusat perdagangan Makassar, dan Makassar sebagai
satu-satunya pusat perdagangan bebas di luar
pengaruh VOC. Pada sisi lain, Banjarmasin sebagai
penghasil lada terbesar merupakan daerah yang dapat
melayani perdagangan lada dunia secara besar. Karena
pesatnya dan meningkatnya permintaan lada dunia,
maka tanah-tanah apanaze umumnya ditanami lada
dan perhatian pemilik apanaze memusatkan pada
perkebunan lada. Hal ini mengakibatkan produksi
pertanian (padi) menjadi menurun, sehingga tentu saja
terjadi ketidakseimbangan antara produksi lada
dengan produksi beras. Konsekuensinya, maka
kesultanan Banjarmasin kekurangan beras sehingga
rakyat tergantung pada pemasukan beras dari luar
terutama dari Kotawaringin, Jawa dan Makassar.
Tahun 1665 beras masuk ke kesultanan Banjarmasin
dengan berbagai kualitas. Harga beras yang paling
putih dengan kualitas yang tinggi, seharga 9 sampai 10

240
ringgit sepikul.102 Sangat wajar jika terjadi peningkatan
produksi lada yang megiringi meningkatnya harga lada
di Eropa. Karena itulah permintaan lada dari Eropa
cukup tinggi, walaupun harga tiap tahunnya
mengalami fluktuasi. Sebagai perbandingan harga lada
di Eropa tahun 1600-1649, dalam Tabel 5.5.

Tabel 5.6. Harga lada di Eropa Tahun 1600-1649

Tahun Harga
dollar/kg
1600-1609 0.9
1609-1624 0.53
1625-1629 0.52
1630-1639 0.42
1640-1649 0.49
1650-1659 0.29
1660-1669 0.34
1670-1679 0.40
1680-1689 0.35
1690-1699 0.44
1700-1709 0.70
Sumber : Bulbeck, 1998.

Ketika J. van Michelen dan P. der Vesten


berlayar ke Banjarmasin untuk mencari lada pada
tahun 1678 mendapat hasil yang jauh dari

102
Suntharalingan, The British in Banjarmasin, hlm. 50 - 51;
lihat juga Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada, hlm. 28.
241
memuaskan. Oleh karena itu beberapa waktu
perhatian orang-orang Belanda tidak tertuju ke daerah
itu. Hubungan baru terjalin lagi pada tahun 1708, Lim
Kim Ko, kapten Cina Banjar, datang ke Batavia sebagai
utusan Sultan Suria Alam (1700-1717). Maksud
kedatangannya itu menyampaikan kepada Pemerintah
Pusat di Batavia bahwa mereka ingin kembali menjalin
hubungan dagang dengan VOC.103
Dalam Perundingan itu penguasa Batavia
menghendaki dilaksanakannya perdagangan bebas
antara orang-orang Banjar dan penduduk Batavia.
Mereka mengizinkan orang-orang Banjar untuk
mengirim lada mereka ke Batavia, dan memberikan
kebebasan kepada orang-orang Cina untuk membawa
lada ke Batavia dengan harga rata-rata 5 dolar Spanyol
untuk setiap pikul. Lancarnya perdagangan
mengakibatkan pemerintah pusat di Batavia lebih
senang mempercayakan pembelian lada kepada
mereka daripada kepada pegawai-pegawainya sendiri.
Pada Februari 1711, Gubernur Jenderal Abraham van
Riebeek mencabut kebijaksanaan yang telah dijalankan
sebelumnya. Diputuskan bahwa kapal The Peter and
Paul akan pergi ke Banjar untuk membeli lada dan
emas. Beberapa alasan diajukan untuk melakukan
perubahan besar ini. Pertama jumlah lada yang
didapat dari perdagang-pedagang Cina dianggap

Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Bandjermasin, hlm. 29


103

- 30.
242
kurang memuaskan. Pada Tahun 1709, sebanyak
850,000 pon lada dikirim para pedagang Cina, namun
jumlah ini terus berkurang. Pada tahun berikutnya
jumlah lada yang diperoleh pedagang Cina yang pada
bulan Agustus 1710 setelah meninggalkan Banjar
dengan 13 buah jung kedua, harga lada tidak lagi 5
dolar setiap pikul, tetapi naik dan dijual 7-8 dolar.104
Van Riebeeck melihat kenyataan bahwa Sultan
Banjar ingin sekali memperbaharui hubungan Belanda-
Banjar karena krisis politik yang sedang dialaminya.
Untuk itu maka VOC harus mengambil kesempatan
memasuki pasar lada di Tatas dan Kayu Tangi dan
menghalangi Cina membeli banyak lada di sana.
Selama periode 1700-1725 Pemerintah Pusat VOC di
Belanda menambah permintaan ladanya untuk pasar
di Eropa. Akan tetapi selama ini pemerintah di Batavia
sukar memenuhinya, maka hubungan baik dengan
kesempatan menambah ladanya. Pemerintah pusat di
Batavia menyadari adanya desas-desus bahwa orang-
orang Inggris bermaksud kembali berdagang di Banjar.
Untuk menjaga kepentingannya di Banjar para
penguasa VOC bekerja keras menghalanginya, antara
lain dengan memerintahkan kepada Gubernurnya di
pantai timur Jawa untuk menghalau kapal milik orang-
orang Inggris yang bermaksud mengangkut barang-
barang seperti batu kapur dan beras ke Banjar.105

Ibid., hlm. 136.


104

Ibid.
105

243
Tabel 5.7. Jumlah Angkutan Lada VOC di Banjarmasin
Tahun 1710-1728

Tahun Armada Jumlah Harga


Angkutan
1710 N.V.D. Bosch dan I. 826 2/3 4 dolar per
Indus (Kapal Peter & pikul
Paul)
1711 N.V.D. Bosch dan I. 826, 5 4 dolar per
Indus (Kapal Peter & pikul
Paul)
1712 N.V.D. Bosch dan Paul 73.312 ½ pon 6-7 real
(Kapal Peter & Paul, atau 626 1/2 per pikul
Luijtpol dan Jambi) pikul.

1727 (1) Landsheer and Bround 3.926 pikul/ 7 real per


495.250 lbs pikul
1728 Miderbeek,  19.785 8 real per
Wolphardijk, Vol, pikul pikul
Readhuis, Olifftak & (ditambah
Doonink 368.943 pon
yang diangkut
Jung Banjar)
 2.453.340
lbs
1729 Landsheer and Bround 1.071.250 lbs 8-10 real
per pikul
1730 Landsheer and Bround 784.125 lbs 8-10 real
per pikul
1731/ Landsheer and Bround 276.834 lbs 8-10 real
1732 per pikul
1733 Landsheer and Bround 264.347 lbs 8-10 real
per pikul
Sumber: Ideham, et.al., 2003 & Goh Yoon Fong, 1969.

244
Dari Tabel 5.7. memperlihatkan bahwa pada
pelayaran yang pertama VOC berhasil membawa
sebanyak 826 2/3 pikul lada. Jumlah itu berkurang
menjadi 586 1/2 pikul pada tahun 1712. N.V.D. Bosch
dan Indus, perusahaan yang mengelola Peter and Paul
mengadakan pendekatan kepada Sultan Suria Alam
agar bersedia memberi mereka muatan lada untuk
memenuhi kapalnya dengan harga 4 dolar per pikul.
Dalam hal ini karena VOC telah memberikan bantuan
kepada para penguasa Banjar untuk menumpas
pemberontakan Biaju di Negara tahun 1711.
Kurang dari satu bulan Peter and Paul telah
berangkat dengan muatan lada penuh. Sangat
disayangkan, kunjungan Belanda yang kedua pada
Agustus 1712 tidak sesuai yang diharapkan. Dengan
harapan memperoleh lada lebih banyak berdasar
persetujuan bersama dua orang wakil Banjar R. Aria
dan Tanu Kati yang datang ke Batavia pada awal 1712.
Pemerintah Pusat di Batavia menyediakan 10.000
dolar untuk perusahaan Bosch dan Paul yang
menggantikan Indus dan dikirim Luijtpol dan Jambl
untuk menyertai Peter and Paul dalam mengangkut
lada. Namun demikian ternyata perusahaan itu tidak
segera dapat membeli lada seperti para pedagang Cina
yang bisa membeli secara langsung dari orang-orang
Banjar, dengan harga 6-7 real setiap pikul. Akibatnya,

245
hanya Peter and Paul yang bisa memperoleh muatan
sebanyak 73.312 ½ pon atau 626 1/2 pikul.106
Para penguasa Belanda yang kecewa dengan
hasil yang tidak memadai itu tiba-tiba memutuskan
menghentikan pengiriman kapal-kapalnya ke Banjar-
masin. Sementara di Banjarmasin, peperangan antara
orang-orang Banjar dan Biaju terus berlangsung
mengakibatkan turunnya produksi lada. Kemudian
Sultan Aria Alam mengutus wakilnya menyampaikan
kepada Gubernur Jenderal C. van Zwoll, bahwa Sultan
akan memberikan monopoli perdagangan lada kepada
VOC jika VOC bersedia membantunya menghadapai
orang-orang Biaju dan Bugis.107
Pemerintah pusat di Batavia bersedia kembali
mengadakan hubungan dagang dengan Banjar karena
permintaan pemerintah pusat di Belanda semakin
tidak dapat dipenuhi oleh Banten dan Jambi yang saat
itu produksi ladanya sedang merosot. Demikianlah
kemudian pada pertengahan 1727 Batavia kembali
mengirim kapalnya, mendapatkan 3.926 pikul. Ini
adalah awal yang baik bagi perusahaan Landsheer and
Bround dibandingkan perusahaan sebelumnya tahun
1712-1713. Pada tahun 1728 VOC mengirim 6 buah
kapal yakni Miderbeek, Wolphardijk, Vol, Readhuis,
Olifftak, dan Doonink, yang semua penuh dengan
muatan lada yang berjumlah 19.785 pikul. Masih

Ibid., hlm. 137.


106

Ibid.
107

246
ditambah sebanyak 368.943 pon yang diangkut ke
Batavia dengan kapal-kapal pedagang Banjar.108
Hasil lada kesultanan Banjarmasin terus
meningkat, sehingga pada saat itu Banjarmasin
penghasil lada terbesar di Indonesia bagian tengah.109
Walaupun panen lada sedang baik, penguasa Banjar
tetap menekan para pedagang lada untuk menjual
ladanya kepada orang-orang Belanda. Oleh karena
itulah selanjutnya hubungan perdagangan lada antara
Belanda dan Banjar selalu mengalami masa pasang
surut. Tentu saja kondisi politik tidak bisa terlepas
mempengaruhi kebijaksanaan dalam bidang ekonomi.
Ketamakan orang-orang Belanda yang ingin selalu
monopoli perdagangan dengan cara-cara bersaingan
yang tidak sehat menyebabkan permusuhan dan
pemusnahan loji-loji dan kapal-kapal. Persaingan
dagang sangat ketat karena selama abad ke-17
perdagangan bebas merupakan politik kerajaan yang
dipegang teguh.110
4. Tarik Ulur Perdagangan dengan Inggris
Selain berdagang dengan orang-orang Belanda,
pedagang di Kesultanan Banjar juga mengalami
hubungan pasang surut dengan pedagang Inggris.
Bangsa Inggris sendiri mendirikan perusahaan dagang

108
Ibid.
109
D.H. Burger, Sejarah Ekonomi Indonesia dari Segi Sosiologi
sampai Akhir Abad ke- XIX (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984).
110
Roelofs, Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara,
hlm. 405.
247
di Banjarmasin di tahun 1615 akibat Belanda
memblokade Banten 1620-1628.111 Inggris pada
awalnya tidak begitu antusias berdagang dengan
Banjarmasin karena kualitas lada Banjar tidak sebaik di
Banten. Pada 3 Juni 1650, Presiden Peniston
melaporkan bahwa impor lada dari Banjarmasin dan
Jambi tidak sebaik lada di Banten, sehingga kapal-kapal
Inggris yang datang dari Banjarmasin dan Jambi tidak
dapat membawa pulang keuntungan dari penjualan
lada tersebut.112 Walaupun demikian harga lada di
Eropa semakin mahal sehingga mendorong tingginya
pesanan mereka di Asia Tenggara. Sebagai
perbandingan dapat dilihat di Tabel 5.8.

Tabel 5.8. Pengiriman lada dari Asia Tenggara ke Eropa


(Inggris) Tahun 1600 Hingga Tahun 1699

Ke Inggris Perkiraan dari Asia


Tenggara
Tahun Asia India Ton Harga di
Tenggara Eropa
1603 - 1.350 2.000 -
1603-1609 328 - - -
1610-1619 415 266 1.500 1.065
1620-1629 562 87 1.500 885
1630-1639 412 - 1.400 742
1640 272 - 1.900 988
1641-1656 - - 2.100 987

111
Suntharalingan, The British in Banjarmasin., hlm. 57.
112
Sholehat, Perdagangan Internasional Kesultanan Banten,
hlm.174.
248
1660-1669 576 175 2.900 1.421
1670-1679 1.893 354 4.500 1.305
1680-1689 763 477 2.600 884
1690-1699 298 491 2.600 1,040
Sumber : Bulbeck, 1998.

Tabel 5.8. memperlihatkan bahwa pada era ini


impor lada Belanda mencapai puncaknya pada 1670
dengan lebih dari 4.500 ton sementara impor Inggris
memuncak sedikit pada tahun 1611. Harga Eropa tetap
tinggi akibat perang Inggris-Belanda 1665-1667, harga
lada di Eropa semakin mahal sehingga mendorong
tingginya pesanan mereka di Asia Tenggara. Sementara
pada tahun 1677-1678 harga lada turun serendah 26
sen guilder perpikul sedangkan harga lada meningkat
1,10 gulden pada sepuluh tahun sebelumnya ketika
terjadi perang antara Belanda dan Inggris.113
Hubungan perdagangan yang semakin erat
antara Banjarmasin dengan Inggris terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Saidullah (1685-1700).
Perkembangan terjadi ketika Henry Watson dan
Captain Cotesvorth tiba di Banjarmasin, bulan April
tahun 1700. Kemudian sultan mengizinkan orang-
orang Inggris mendirikan kantor dagangnya di Pasir
dengan syarat membayar sejumlah uang sewa kepada
sultan. Pada Tahun 1701-1706 Inggris telah
mengekspor lada sebanyak 3.421 ton untuk Eropa.

Ibid., hlm. 171.


113

249
Produk lainnya seperti sarang burung dan emas
merupakan barang komoditi kedua.114
Dalam perkembangannya hingga tahun 1707,
terjadi Perang Inggris-Banjar dan Inggris pun terusir
dari Banjarmasin. Sejak diusirnya, orang-orang Inggeris
mencoba datang kembali ke Banjar pada tahun 1713.
Mereka mengharap bahwa kurangnya persediaan lada
dari Malabar bisa dipenuhi oleh pedagang Banjar.
Mereka berusaha meyakinkan Sultan Aria Alam (1700-
1717) atas kedatangannya untuk mengadakan kembali
hubungan perdagangan, dan tidak untuk
membicarakan peristiwa tahun 1707. Dengan muatan
perak seharga masing-masing f 4,351 dan 4,313, Eagle,
Gallery dan Borneo berlayar ke Banjar tahun 1713.
Pada kedatangannya di Tatas, pedagang-pedagang
Inggeris menjumpai orang-orang Banjar yang tetap
menyembunyikan kemarahan. Sementara para
bangsawan Banjar, Raden Tuka dan Kiai Chitra Yuda
dengan ragu-ragu menyambut kedatangan kapal itu
sampai mereka yakin yang datang adalah kapal-kapal
pedagang individu, bukan orang-orang EIC.115

114
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 67.
115
Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah Banjar, hlm. 222 - 225;
lihat juga John Pinkerton, A General Collection of the Best and Most
Interesting Voyages And Travels In All Parts of the World, (London :
Longman, 1812), hlm. 112.
250
Gambar 5.12. Armada Dagang East India Company (EIC) yang
mengangkut rempah rempah di dunia timur. Sumber: koleksi
british empire.co.uk.

Pada mulanya kapal-kapal itu tidak bisa


memperoleh lada, karena Inggris tidak menyetujui atas
harga 15 dolar Spanyol setiap pikulnya. Setelah
diadakan perundingan, Inggeris bersedia menyerahkan
20 tahanan dan 2 drum serbuk mesiu kepada Sultan
untuk membantunya dalam perang Bugis-Banjar. Para
penguasa Banjar kemudian mengirim sebanyak 4.000
pikul lada untuk Inggeris dengan harga 4 ½ dolar per
pikul, ditambah sebesar suku atau ¼ real untuk pajak.
Dalam transaksi perdagangan mereka, kapal-kapal itu
menyewa rumah kayu kecil sebagai gudang

251
menyimpan ladanya yang dikirim oleh perahu-perahu
Banjar sebanyak 4-5 pikul sekali angkut.116
Alasan orang-orang Banjar tidak memberikan
lada sekaligus dalam jumlah besar karena ketika itu di
pedalaman sedang terjadi perang dengan orang-orang
Biaju dan Bugis, selain itu pada musim hujan
produksinya berkurang. Di samping itu kapal-kapal
Inggris mempunyai kesulitan mendapatkan lada karena
persaingannya dengan pedagang jung yang datang
setiap bulan Maret dengan harga yang lebih tinggi.
Pada September 1714, tidak lama sebelum Eagle
Gallery dan Borneo sampai di Tatas, pedagang-
pedagang Inggris hanya dapat mengumpulkan lebih
sedikit lada daripada tahun sebelumnya. Kapal mereka
tidak bermuatan penuh ketika berangkat dari
Banjarmasin pada 10 Desember 1714.

Tabel 5.9. Jumlah Angkutan Lada Inggris di Banjar-


masin Tahun 1713-1714

Tahun Armada Jml. Angkutan Harga


1712 Eagle Gallery 4.000 pikul 4,5 dolar per
dan Borneo pikul + 20
tahanan + 2
drum
mesiu+pajak
1714 Eagle Gallery 2.000 pikul 4,5, dolar per
dan Borneo pikul
Sumber: Suriansyah Ideham, et.al., 2003.

Suriansyah Ideham, dkk, Sejarah Banjar, hlm. 223.


116

252
Pada waktu pelabuhan Tatas terancam oleh
serangan orang-orang Bugis, para penguasa Banjar
menghendaki kapal-kapal Inggris tidak meninggalkan
pelabuhan, agar bisa membantu mempertahankan
pelabuhan itu. Namun Reid salah seorang wakil dari
pedagang-pedagang Inggris menyatakan, bahwa
mereka bersedia tetap menempatkan kapalnya di
Pelabuhan Tatas jika mereka bisa membeli lada
seharga 4 3/4 dolar per pikul seperti Eagle dan Borneo.
Namun para pangeran Banjar mengatakan bahwa
mereka tidak mempunyai hak kekuasaan mengatur
harga lada di pelabuhan bebas seperti Tatas. Di
samping itu mereka juga tidak bisa melarang pedagang
lada menjual ladanya kepada pedagang individu
maupun perusahaan. Orang-orang Biaju memberontak
karena para bangsawan mencoba mencampuri
pengiriman lada dan menarik pajak. Para pedagang
Banjar menambahkan bahwa orang-orang Inggeris
tidak dapat mengatur harga seperti ketika mereka
mempunyai kekuatan penuh di Banjar. Mereka hanya
pedagang yang harus tunduk kepada kondisi, yakni
membeli lada dengan harga ditetapkan pedagang-
pedagang Banjar.117
Selanjutnya para bangsawan tidak mau lagi
membujuk Reid membawa kapal-kapalnya ke Tatas. Di
samping itu Reid sendiri juga merasa tidak ada
gunanya untuk mengadakan perundingan dengan

Ibid.
117

253
orang-orang Banjar mengenai pembelian lada, sejak
seorang pangeran yang berkuasa di situ
memberitahukan bahwa pedagang-pedagang jung
telah mendapatkan kontrak mendapatkan lada pada
musim tahun itu. Jadi kemungkinan mendapatkan lada
sangat sedikit dan harganya mahal. Reid merasa
bahwa jika dia mau membayar harga sama dengan
orang-orang Cina yakni 9-10 dolar per pikul, dia juga
sangsi untuk bisa memperoleh lebih dari 20 pikul
karena orang-orang Banjar selalu menukarkan lada
dengan barang-barang Cina, bukan dengan uang.
Setelah usahanya sia-sia mengadakan perundingan
dengan para penguasa Banjar, Reid meninggalkan
Banjar tanpa lada. Demikianlah bahwa kepentingan
Inggris atas lada di Banjar selalu harus berhadapan
pihak yang mempunyai kepentingan sama.118

Ibid.
118

254
BAB VI
LADA ERA “RAJA PUTIH”,
STUDI KASUS KEHADIRAN KOLONIALIS INGGRIS
DALAM USAHA PERKEBUNAN TAHUN 1811-1816

A. “Raja Putih” Alexander Hare & Konsesi Maluka


Sejak abad ke-17 wilayah Maluka di Borneo
(Kalimantan) bagian Tenggara sudah terkenal sebagai
penghasil lada. Tanaman ini tumbuh di lahan sepanjang
tanah rawa Bakumpai, Lusong, Barambai, Komenting,
Nagara dan Bonave Assam1 serta tanah berpasir di
Amuntai, Meluklio (Maluka), Kayutangi dan Pulau Laut.2
Daerah tersebut mempunyai akses mudah menuju
Banjarmasin, karena dekat dengan Sungai Barito dan anak
sungainya. Pada era perdagangan lada dikenal empat
varietas lada yakni lada negara, kayu tangi, maluka/tanah
laut dan pulau laut.
Dalam perkembangannya, nama daerah Maluka
memang cukup asing dalam catatan sejarah di Nusantara.
Seakan “kalah tenar” dibandingkan daerah lain yang
toponimnya mirip, Malaka dan Maluku.3 Walaupun

1
Goh Yon Fong, “Trade and Politics in Banjarmasin, 1700-
1747” (Tesis pada University of London, 1969), hlm. 12 - 18 ; lihat
juga Valentjin, Oud en Nieuw Oost Indien, Bagian III (Mackenzie
Private Collection (64A), hlm. 352.
2
Ibid.
3
Daerah Maluka/Maloeka sekarang menjadi Desa Maluka
Baulin, Kecamatan Kurau dan Desa Handil Maluka, Kecamatan Bumi
Makmur. Wilayah ini termasuk administratif Kabupaten Tanah Laut,
255
demikian, tidak terdapat hubungan sejarah khusus antara
daerah Maluka dengan Malaka maupun Maluku.4 Dari
latar belakang historisnya, daerah Malaka yang mulai
dikenal abad ke-15, daerah Maluku pada abad ke-16.
Sementara daerah Maluka baru dituliskan khusus dalam
catatan dan sumber kolonial Inggris dan Belanda pada
abad ke-19. Daerah Maluka adalah wilayah konsesi
(eigendom) milik Alexander Hare, wakil kolonial Inggris di
Kalimantan bagian tenggara tahun 1811-1816.5
Pada tahun 1812, secara resmi Gubernur Jenderal
Inggris Thomas Stamford Raffles menunjuk Alexander
Hare sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar. Hare
secara pribadi memperoleh 1.400 mil persegi tanah dari
Sultan Banjarmasin dan menetapkannya sebagai negara
merdeka.6 Pada masa kolonial, seperti tertulis
Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1863),
Maluka adalah nama sebuah distrik (kecamatan atau
kewedanaan) di Kalimantan Selatan. Saat Thomas
Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda atas nama
Inggris, Maluka sempat dianggap sebagai kerajaan.

Provinsi Kalimantan Selatan. Sementara mengenai daerah Malaka


dan Maluku, dapat ditelusuri dalam Marwati Djoened Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990, hlm. 48 & 59.
4
Andi Nuralang, “Eksistensi Maluka Antara Malaka dan
Maluka: Posisinya Dalam Kerangka Jalur Perdagangan Maritim”,
Tulisan Lepas Koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin, Banjarbaru, 2004),
hlm. 1.
5
Ibid.
6
Ibid.
256
Sementara dari catatan F. Pridmore, Maluka adalah
negara kecil yang didirikan pada 1812 oleh Alexander
Hare, dalam wilayah Kesultanan yang lebih tua
Banjarmasin, di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini eksis
hingga tahun 1818 ketika Hare diusir Belanda.7

Gambar 6.1. Lokasi Wilayah Sungai Maluka di Borneo Bagian


Tenggara. Sumber: Peta berjudul “Overzichtskaart van een gedeelte
der afdeeling Martapoera/ opgenomen door den mijningenieur J.A.
Hooze”, Amsterdam: Stemler Czn, 1893 skala 1:150.000.

7
F. Pridmore, The Coins of The British Commonwealth of
Nations: To the End of the Reign of George VI 1952, Part 2 - Asian
Territories, (London: Spink, 1962); lihat juga Petrik Matanasi, “Kisah
"Raja Maluka" Alexander Hare dan Para Haremnya”, dalam: www.
tirto.id, dipublikasikan 04 Juni 2017, diakses 10 November 2020.
257
Hare menetapkan tanahnya sebagai negara
merdeka yang dijalankannya sebagai wilayah kekuasaan
pribadi, dengan gelar Rajah Maluka. Kerajaan Maluka
mengeluarkan koin, membuka pertanian dan perkebunan
sahang (lada), memiliki “industri” pembuatan perahu
hingga mengumpulkan bea cukai. Hare pun berpredikat
Rajah Putih pertama di Borneo (Kalimantan) tahun 1812-
1814, 30 tahun sebelum James Brooke mendirikan dinasti
Rajah Putih kedua di Sarawak tahun 1841-1946.8
Jika diidentifikasi berdasarkan peta wilayah
Borneo (Kalimantan) bagian tenggara dalam lampiran
arsip surat-surat perjanjian antara Kesultanan
Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe
Republik, Inggris dan Hindia Belanda tahun 1635-1860,
daerah Maluka adalah wilayah di sekitar Sungai Maluka
yang meliputi Maluka, Liang Anggang, Kurau, Pulau
Lampai (Poeloe Lampej/Pulu-Lampei) dan Pulau Sari.
Daerah Maluka ini pada tahun 1865-an, menjadi bagian
dari wilayah administratif Onderafdeeling Tanah Laut.
Distrik Maluka dipimpin Kepala Distrik atau districhoofd. 9

8
Joop van den Berg, De Man Die Vrouwen Verzamelde; Een
Koloniale Geschiedenis van de Kokos-Eilanden ('s-Gravenhage 1998).
9
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, A Study in
Diplomatic Rivalry (Malaya: S. Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1955),
hlm. 16, bandingkan dengan peta “Keradjaan Banjarmasin” dalam
ANRI: Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin
Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia
Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), 1965), hlm. lampiran.
258
Daerah Maluka resmi menjadi wilayah konsesi
Inggris di Borneo (Kalimantan) bagian tenggara setelah
penandatanganan Kapitulasi Tuntang atau Penyerahan
Tuntang pada pada tanggal 18 September 1811. Isi dari
kapitulasi itu adalah Pulau Jawa dan daerah lainnnya yang
dikuasai oleh Belanda jatuh ke tangan Inggris. Selain itu,
faktor pendukung lainnya adalah “kemesraan” Sultan
Banjar, Sultan Sulaiman Saidullah (1801-1825) maupun
kaum pedagang Banjar dengan Inggris yang sudah terjalin
sejak tahun 1810. Raja dan pedagang Banjar lebih senang
berdagang dengan pedagang Inggris (EIC) daripada
pedagang Belanda (VOC). Hal ini karena pedagang Inggris
tidak mengadakan tekanan dan pembatasan terhadap
Kerajaan Banjar, bahkan kalau perlu Inggris bersedia
membantu Banjarmasin untuk mengusir VOC. Karena
itulah setelah Belanda (VOC) meninggalkan Banjarmasin
pada tahun 1811, Sultan Banjar, Sultan Sulaiman
Saidullah segera mengirimkan utusan ke Penang
(Semenanjung Malaya) yang merupakan pangkalan
Inggris di Asia Tenggara. Maksud pengiriman utusan
tersebut, meminta Inggris mengirimkan perwakilannya ke
Kesultanan Banjar yang secara tidak langsung menjadi
wilayah Inggris berdasarkan Kapitulasi Tuntang tahun
1811. Permintaan dari Sultan Banjar tersebut diterima
Inggris dengan baik karena secara tidak langsung
mendukung misi Inggris dalam rangka ambil-alih daerah
bekas jajahan Belanda di Nusantara. 10
10
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 17.
259
Wajar jika penetrasi dan penguasaan wilayah
Borneo (Kalimantan) bagian tenggara oleh Inggris tahun
1811 tidak mendapat hambatan berarti. Wilayah
Kesultanan Banjar sudah ditinggalkan Belanda. Kemudian
Sultan maupun penduduk Banjarmasin sudah menaruh
kepercayaan sepenuhnya terhadap Inggris.11 Visi Inggris
menguasai wilayah koloni di Kalimantan ini, berbeda
dengan visi Belanda. Jika Belanda menguasai Kalimantan
bagian tenggara dalam penguasaan bahan atau
komoditas perdagangan beserta jalur pelayarannya,
sedangkan Inggris menginginkan penguasaan atas tanah
beserta hasil produksinya untuk mendukung perdagangan
Inggris.12 Pada tahun 1811 pemerintah Inggris resmi
mengangkat Alexander Hare, yang mendapat
kepercayaan sepenuhnya dari Sultan Sulaiman Saidullah
sebagai Residen di Banjarmasin. Sebagai residen,
Alexander Hare pun menjadi penghubung antara
pemerintah Inggris (EIC) dan Sultan Banjarmasin. Pada sisi
lain, Hare mendapatkan daerah Maluka sebagai daerah
konsesi, daerah yang diberikan atau diduduki oleh bangsa
asing. Status daerah konsesi ini biasanya sering juga
disebut daerah enclave atau dalam bahasa Belanda
disebut eigendom.13

11
M. Idwar Saleh (ed), Sejarah Daerah Kalimantan Selatan
(Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Depdikbud, 1977/1978), hlm. 48.
12
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 18.
13
Soekartini, Kamus Bahasa Belanda-Indonesia (Bandung:
Sumur, 1972). Tanah Eigendom adalah hak milik, sama artinya
260
Pemilihan daerah Maluka sebagai konsesi karena
wilayahnya subur.14 Apalagi sudah sejak lama Maluka
terkenal sebagai wilayah penghasil lada di Borneo.
Penguasaan daerah Maluka sebagai langkah awal
menerapkan kebijakan perdagangan Inggris
mengembangkan Banjarmasin sebagai tempat niaga
besar, tetapi kondisi sosial dan keamanan pada masa itu
hanya dimungkinkan partisipasinya dari kalangan pemilik
modal besar dan memiliki jaringan kekuasaan. Modal
tidak hanya diperlukan memperoleh komoditas lada,
tetapi juga membayar sejumlah pekerja dalam usaha
Inggris untuk mengembangkan perkebunan lada lokal dan
industrinya di daerah Maluka terutama dalam budidaya
dan perdagangan lada atau “emas putih”.15

dengan kata eigendomrecht, sedangkan bukti hak milik disebut


dengan istilah eigendombewijks. Amir Hasan Kiai Bondan
menggolongkan tanah Maluka adalah tanah eigendom, lihat Suluh
Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: M.A.I. Percetakan Fadjar, 1953),
hlm. 32.
14
Sjafii, Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles (Jakarta:
Mutiara, 1982), hlm. 20; Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo,
hlm.17. Nama Hare sebagai residen yang memerintah tahun 1812-
1815 juga terdapat dalam G.L. Tichelman, Blanken op Borneo
(Amsterdam: A.J.G. Strengholt, 1949), hlm. 71.
15
Keperluan modal yang besar mendorong Alexander Hare
sebagai Residen/penguasa daerah Maluka untuk membuat industri
penempaan atau pembuatan mata uang sendiri di daerah Maluka.
Ditengarai beberapa mata uang tersebut palsu, periksa J. P.
Moquette, “Iets Over de Munten van Bandjarmasin en Maloeka”,
Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde (Batavia: Albrecht
& Co & M. Nijhoff, 1906), hlm. 491.
261
Kekuasaan yang dimiliki Hare sebagai residen,
wakil dari pemerintah Inggris di Banjarmasin terkesan
“absolute”. Hare juga mendapat gelar baru sebagai
“Rajah Putih”. Ia Seperti mendirikan usaha perkebunan
yang mengeksploitasi tenaga kerja dari pantai utara Jawa.
Bahkan Irwin mengatakan, otoritas Hare sebagai pejabat
tertinggi Inggris di wilayah Kalimantan bagian tenggara
yang membawahi tanah konsesi Maluka menjadikannya
sosok ambisius mewujudkan keinginannya, khususnya
bidang ekonomi. Untuk ambisi mengembangkan daerah
Maluka seperti daerah koloni Inggris di Cina (Macau),
Singapura dan Hongkong, Hare pun menggagas
pembangunan usaha perkebunan dan pertanian lokal,
penanaman lada, pembuatan perahu serta penempaan
mata uang Inggris di Maluka. Pembangunan bidang
ekonomi memperlihatkan adanya “ciri khas” liberalisme
dari kolonialis Inggris di wilayah koloninya.16

16
Setelah penandatanganan perjanjian/Kapitulasi Tuntang,
Thomas Stamford Raffles dianggap Wakil Gubernur (Lieutenant
Governor) di Nusantara mewakili raja muda (Viceroy) Lord Minto di
India. Sebagai orang beraliran liberal, Raffles ingin mengadakan
perubahan sistem pemerintahan di Nusantara termasuk bidang
ekonomi. Di antaranya menghapus segala bentuk penyerahan wajib
dan kerja paksa atau rodi. Rakyat diberi kebebasan menanami
tanahnya dengan tanaman-tanaman yang dianggap menguntungkan.
Lihat Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, Sekitar 200
Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945) (Jakarta: Dinas Museum dan
Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, 1993), hlm. 44, bandingkan dengan
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme ke Nasionalisme, Jilid 2
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 9.
262
Gambar 6.2. Wilayah “Kerajaan Maluka” (diarsir) milik “Rajah Putih”
Alexander Hare. Sumber: David James Oats, 1997.

263
Daerah Alexander Hare tersebut yang semua
wilayahnya dinamakan Maloeka (Maluka) merupakan
tanah dalam hak pengelolahan atau hak milik sendiri
(eigendom atau konsesi), akan tetapi mengatas namakan
EIC. Semua usaha ekonomi Hare yang dikembangkan di
daerah tersebut berjalan dengan baik sampai bulan
Oktober 1812. Daerah yang dibuka atau dikelola sejak
tahun 1808 tersebut, ternyata memberikan kemajuan dan
hasil yang bagus setelah dikelola selama 4 tahun. Wilayah
Konsesi Maluka merupakan bagian dari daerah perairan
di Borneo (Kalimantan) bagian tenggara yang cukup ramai
bagi pelayaran sungai sekaligus pelayaran laut pendukung
perdagangan. Perairan pantai terdapat pada daerah
Tanah Laut sampai Pulau Laut. Panjang perairan garis
pantai itu dimulai dari daerah Maluka sampai ke daerah
Pasir. Beberapa sungai penting bermuara di sepanjang
pantai itu adalah Maluka, Kurau, Tambangan, Tobanio,
berada Distrik Tanah Laut, serta Batulicin, Pagatan, dan
Pasir di Distrik Pulau Laut.17
Beberapa sumber tentang pentingnya keberadaan
jalur Sungai Maluka untuk kegiatan pelayaran tercatat

17
Bambang Subiyakto, “Perompakan: Sebuah Realitas Historis
Abad ke-19 di Kal-Sel”, dalam Buku Kenangan Purna Tugas Prof. M.P.
Lambut, (Banjarmasin: Kerjasama LPKPK, Forum 24, Pemko dan DPRD
Kota Banjarmasin, Banjarmasin, 2003), hlm. 93; lihat juga David
James Oats, “The First White Rajah, Alexander Hare in Southeast
Asia, 1800-1831”, Dissertation for the degree of Master of Arts
(Honours) taken at the School of History, University College,
University of New South Wales, at the Australian Defence Force
Academy, 1997.
264
dalam arsip kolonial, sebagai perbandingan. Misalnya A.L.
Weddik yang pernah mengadakan pelayaran pada Bulan
Juli-Agustus 1846 dari Banjarmasin ke Tanjung Sambar.
Weddik melakukan perjalanan berikutnya pada Bulan
November 1846 ke daerah Maluka, menggunakan Kapal
Uap Playdes dengan Nakhoda Clijver. Perjalanan itu
menempuh Sungai Martapura, Sungai Barito, perairan
pantai Tanjung Selatan dan Sungai Maluka.18
Hal lainnya bahwa Maluka adalah wilayah yang
menjadi perlintasan wilayah pesisir tenggara Borneo
dengan Banjarmasin. Wilayah pantai seperti tanah laut,
penduduknya melakukan hubungan dengan kota
Banjarmasin melalui sungai Batutungku, Tabanio, dan
Maluka. Mereka yang berasal dari daerah yang agak ke
pedalaman menggunakan sungai-sungai itu sebagai
muara, menyusuri pantai mencapai Banjarmasin.19
Magnet dari wilayah Maluka memang telah
menarik sang Gubernur Jenderal Inggris di Batavia yang
juga “atasan” Alexander Hare, Thomas Stanford Raffles.
Pada awalnya ketertarikan Raffles pada Borneo diawali
dengan hasil penelitiannya di Borneo yang kondisinya
subur. Raffles juga menuliskan tentang komoditas sahang
(lada) dan rotan yang sangat bagus di Banjarmasin.
Besarnya jumlah wax (bahan baku lilin), sarang burung,
tanduk rusa dan dagingnya, hingga kulit dan kayu juga
sangat menarik. Raffles antusias menyampaikannya

18
Ibid, hlm. 76.
19
Ibid.
265
kepada Gubernur Jenderal Inggris di Bengal yaitu Lord
Minto. Hal ini dapat dipahami karena keberadaan
Banjarmasin merupakan daerah subur, dan sebagai
penghasil emas dan intan produktif.20

Gambar 6.3. Thomas Stamford Raffles, Sumber: "Engraved by


Thomson, from a Miniature in possession of Mr. Raffles", Januari
1824, Koleksi National Portrait Gallery.

20
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm.16,
bandingkan dengan pemaparan Syafii dalam Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Raffles (Jakarta: Mutiara, 1982), hlm. 16. Keberadaan
Kalimantan sebagai penghasil intan juga dijelaskan Tjilik Riwut dalam
Kalimantan Memanggil (Djakarta: Endang, 1958), hlm. 302 - 303.
266
Pandangan Inggris terhadap hubungannya dengan
Banjarmasin mengalami perubahan ketika secara resmi
mereka menguasai kepulauan tersebut di bawah Letnan
Gubernur Thomas Stanford Raffles.21 Terlebih lagi itu
terdorong upaya Alexander Hare, seorang pengusaha
Inggris yang berupaya membangun usahanya di
Banjarmasin.22 Raffles banyak mendapatkan masukan
mengenai Banjarmasin dari pengusaha tersebut. Pada
masa awal pemerintahannya, Raffles menerima dua
orang utusan kerajaan Banjarmasin didampingi Hare.
Tujuannya adalah menyampaikan permintaan Sultan agar
pemerintah Inggris bersedia memberikan bantuan
perlindungan dan menempatkan seorang Residennya di
Banjarmasin. Untuk itu sultan mengusulkan agar Hare
yang ditunjuk sebagai Residen.23
Berdasarkan kebijaksanannya, dan atas
persetujuan Gubernur Jenderal di India, pada tanggal 7
April 1812, Raffles menginstruksikan kepada Hare
mendirikan pemukiman Inggris di Banjarmasin melalui
perjanjian dengan sultan setempat. Dalam hal itu Hare
telah ditunjuk sebagai wakil pemerintah Inggris di
Banjarmasin.24 Oleh karena itu Hare berpendapat bahwa
hal itu harus segera diatasi. Hare ditunjuk sebagai wakil

21
Syafii, Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, hlm. 25.
22
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 18.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 19.
267
pemerintah (sederajat dengan Residen) Inggris di
Banjarmasin. Perjanjian dengan Banjarmasin isinya di
antaranya adalah menjadikan daerah Berau, Kutai, Pasir,
Pagatan, dan Pulau Laut berada di bawah pengawasan
Inggris.25
Mengenai topografis atau kependudukan, pada
awal abad ke-19 penduduk Tanah Laut hanya sedikit
jumlahnya. Kemudian mereka sebagian besar terserang
epidemi yang disebut dengan penyakit kuning. Sebagian
besar penduduknya tewas, dan hanya tersisa sedikit yang
masih hidup. Beberapa waktu kemudian penduduk
daerah ini bertambah dengan adanya migrasi penduduk
Martapura, disusul kemudian penduduk dari hulu sungai.
Penduduk Tanah Laut, di antaranya daerah Maluka
semakin bertambah dengan adanya pendatang baru
tersebut yang menetap, terutama dari Martapura dan
Amuntai (Hulu Sungai).26
Daerah Konsesi Maluka awalnya merupakan
daerah yang tidak berpenghuni. Sebelum etnis lain
berdatangan, telah terlebih dahulu terdapat komunitas

25
Terdapat dalam Archift van het Contract met den Sulthan
van Bandjarmasin, 1 Oktober 1812 atau disebut juga dengan Treaty
1812, pada pasal 5, isinya adalah dalam melaksanakan ketetapan
pada Pasal 2 Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan
sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas daerah Ibukota, benteng
pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari
Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintan
dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia,
Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut.
26
Ibid.
268
orang Cina yang berada di kampung parit,27 atau tepatnya
bermukim di kelurahan Angsau wilayah Kecamatan
Pelaihari, Tanah Laut sekarang. Orang-orang Cina
tersebut banyak berasal dari Suku Hakka, Theo Chiu, dan
Hokkian. Upaya mendatangkan orang Cina tersebut
sejalan dengan alasan mereka sendiri untuk mencari
kehidupan lebih baik sehingga mereka memilih tinggal di
tempat itu. Terdapat versi pendapat bahwa Kesultanan
Banjar pernah mengirimkan surat kepada Raja Tiongkok
agar dikirimkan orang-orang yang ahli untuk
pembangunan di Kesultanan Banjar. Raja Tiongkok
menyetujui dan mengirimkan 11 orang laki-laki yang
mempunyai kepandaian khusus, yaitu ahli perkebunan,
perdagangan, peternakan, pertanian, pertukangan,
tumbuh-tumbuhan, perdagangan, perikanan, keraji-nan
dan obat-obatan. Atas perintah Sultan Banjar di
Martapura, kesebelas orang Cina tersebut dibawa ke
Desa Parit dengan dikawal sebelas orang punggawa
Keraton.28

27
Sampai sekarang terdapat Kampung Cina Parit dan masih
terdapat juga sisa keturunan Cina Parit di Kabupaten Tanah Laut.
28
Moch. Fajar Amrullah, “Proses Datangnya etnis china di
Banjarmasin Kurun Waktu 1970-1990 (Studi Kasus Di Kelurahan
Kampung Melayu Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota
Banjarmasin)” (Skripsi pada PSP Sejarah FKIP Unlam, Banjarmasin,
2004), hlm. 52 - 54.
269
Gambar 6.4. Ilustrasi Alexander Hare. Repro www.tirto.id.

Pada versi lainnya, di daerah Konsesi Maluka dan


Tabanio telah terbentuk permukiman Cina pertama di
daerah Tanah Laut, sejak tahun 1790-an. Alasan yang
sama juga melatarbelakangi pembentukan pemukiman
Cina di daerah konsesi Maluka ini, yaitu atas permintaan
Sultan Panembahan Batu. Orang-orang Cina itu pada
mulanya didatangkan 13 orang kemudian ditambah lagi
dengan 70 orang yang juga langsung berangkat dari Cina

270
atas peran Alexander Hare pada dasawarsa kedua abad
ke-19. Pada saat itu jumlah mereka lebih dari 150 orang,
diangkatlah seorang kapten Cina di sana berdasarkan
keputusan Residen. Pada perkembangan selanjutnya di
samping mendatangkan orang Cina, didatangkan pula
oleh Hare sekitar 4000 orang pekerja dari pantai utara
Jawa. Mereka terutama ditempatkan di daerah Konsesi
Maluka dan Pulau Sari, Tanah Laut, untuk mengerjakan
usahanya di bidang perkebunan lada dan yang bersedia
bekerja sebagai kuli. Adanya permintaan Hare pada
Sultan Sulaiman untuk menyediakan pekerja di
perkebunannya memang dipenuhi, akan tetapi Sultan
hanya mampu menyediakan sangat sedikit pekerja dari
Jawa. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya
penduduk dari Banjarmasin dan Martapura enggan
menerima pekerjaan sebagai kuli dan penduduk telah
mempunyai pekerjaan masing-masing. 29
Pada Perjanjian 1812 antara pemerintah Inggris
dengan Sultan Banjar, pasal 5 tertulis bahwa Sultan
Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya
kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah di antaranya
adalah daerah Ibukota, benteng pertahanan, wilayah
Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi
Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk
Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan

29
Bambang Subiyakto, “Pelayaran Sungai di Kalimantan
Tenggara: Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad XIX” (Tesis
pada Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta, 1997).
271
Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau
Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah
yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada
saat itu kepada Inggris. Dari beberapa daerah yang
disebutkan dalam sumber tersebut tidak terdapat daerah
Maluka. Daerah Maluka memang tidak dimasukkan
karena daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau
konsesi dan merupakan bagian dari Distrik Pulau Laut.30

Gambar 6.5. Pangeran Ratu Sultan Sulaiman bergelar Sultan Sulaiman


Saidullah 2 atau Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah/Sultan Sulaiman
Rahmatillah, Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1801-
1825. Sumber: repro Yusliani Noor, 2019.

30
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
(Bandjarmasin: M.A.T. Pertjetakan Fadjar, 1953), hlm. 32.
272
Hare secara sepihak mengklaim daerah tersebut
milik pribadinya, walaupun dalam hal ini pengelolannya
masih di bawah kendali pemerintah Inggris atau EIC.
Misalnya saja dalam pengelolaan pertanian, perdagangan
lada, penebangan kayu, serta penambangan emas dan
intan. Usaha lain yang dikembangkan adalah adanya
usaha perkebunan lada dan pertanian lokal, industri
perahu, dan pembuatan atau penempaan mata uang. Hal
itu merupakan ciri khas dari kolonialisme Inggris di setiap
wilayah yang dijajahnya atau merupakan koloninya.

B. Pengembangan Komoditas Lada Ala Inggris


Kekuasaan Hare sebagai Residen mencakup
Residensi Selatan dan Timur Borneo.31 Ia menggantikan
Residen Belanda sebelumnya yaitu Francios Van
Boekholz. Hare sebagai Residen selanjutnya segera
melakukan pengembangan daerah konsesi Maluka.32
Daerah Maluka secara resmi dikelola pada bulan Oktober
1812, setelah diawali pada pembukaan daerah tersebut
pada tahun 1808. Kedatangan Alexander Hare sebagai
Residen yang disebut dengan Rajah Putih baru di

31
G.L. Tichelman, Blanken Op Borneo (Amsterdam: A.J.G.
Strengholt, Amsterdam, 1949), hlm. 74.
32
Moquette, Iets Over de Munten van Bandjarmasin en
Maloeka, hlm. 491.
273
Banjarmasin,33 mampu membuat Sultan dan istananya
dihormati dan disegani.

Gambar 6.6. Bekas perkebunan lada di Wilayah Maluka, Kabupaten


Tanah Laut pada tahun 2020 an. Sumber: koleksi Hanafiyanor, 2020.

Selanjutnya dalam menjalankan pemerintahannya


di Banjarmasin, Hare membawa beberapa orang untuk
dijadikan sebagai pegawai keresidenan34 di antaranya
masing-masing satu orang asistant residen, kepala polisi,
ahli bedah, serta beberapa orang kuli atau pekerja, polisi
serta tenaga ahli (mekanik). Kedatangan pegawai
Keresidenan tersebut yang dibawa Hare, menggunakan

33
Amir Hasan Kiai Bondan menyebut Hare hanya sebagai orang
Inggris partikulir, Suluh Sedjarah Kalimantan, hlm. 32.
34
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm.19.
274
sebuah kapal bongkar muat di dermaga. Hal Ini
mengindikasikan tidak ada kekuatan militer sama sekali
yang dibawa Inggris ke Banjarmasin.35 Hare sebagai
seorang pengusaha menjadikan daerah yang sangat luas
itu di samping mengusahakan perkebunan dan pertanian
sawah juga untuk usaha perkebunan kopi, lada, sayur
mayur dan tanaman bernilai lainnya. Potensi alam dan
kemampuan penduduk lokal pada masa pemerintahan
Hare (1811-1816), berhasil dimanfaatkan untuk
kepentingannya tersebut. Komoditas tersebut untuk
orientasi ekspor ke luar negeri dan memenuhi kebutuhan
sendiri.

Tabel 6.1. Usaha Bidang Pertanian dan Perkebunan yang


Dikembangkan Hare di Maluka

No. Jenis Usaha Tujuan usaha


1 Perkebunan Kopi ekspor perdagangan Inggris
2 Perkebunan Lada ekspor perdagangan Inggris
3 Pertanian Sawah ekspor dan keperluan sendiri
4 Sayur Mayur ekspor dan keperluan sendiri
5 Tanaman lainnya ekspor dan keperluan sendiri
Sumber: Irwin, 1955.

Perkebunan lada (merica) atau sahang yang


dirintis Alexander Hare di Maluka tahun 1811-1816
adalah penghasil lada hitam (black pepper). Lada hitam ini
memiliki cita rasa dan aroma yang khas dibandingkan

35
Ibid.
275
dengan lada putih.36 Menurut Goh Yoon Fong, lada di
Maluka atau Pulau Laut mempunyai buah yang lebih
berat dan lebih bersih. Sepuluh gantang lada Maluka
mempunyai berat antara 35 sampai 37 pon namun
tingkat produktivitasnya lebih lambat karena umur
tanaman lebih panjang. Jenis (varietas) yang kualitasnya
menengah adalah lada dari Kayu Tinggi (Kayutangi) yang
mempunyai ukuran menengah dan lebih tidak berdebu
dari lada Negara. Berat sepuluh gantang lada dari Kayu
Tinggi (Kayutangi) adalah antara 32 sampai 35 pon. 37
Kebijakan Hare mengenai bidang pertanian dan
perkebunan lada sesuai aturan Pasal 9 Treaty 1812 bahwa
perkebunan dan seluruh proses administrasi budidaya
lada atau merica atau dalam bahasa setempat dinamakan
sahang, pengelolaannya harus diserahkan kepada pihak
Kompeni Inggris dan produk yang dihasilkan harus
diserahkan begitu selesai dipanen. Dalam pembagian
hasil-hasil perkebunan dan pertanian, pihak Sultan
Sulaiman Alamah Tahmidullah menerima 25 persen dari
harga jual lada yang dibayarkan kepada para petani yang
menerima pembayaran secara langsung dari pihak
Kompeni Inggris. Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah
juga disyaratkan menyetujui agar tidak ikut campur dalam
pengurusan atau pemberian ijin sebagai bentuk
36
Mansyur, et.al., “Dinamika Ekonomi Perkebunan Pada
Daerah Konsesi Alexander Hare Di Maluka, Zuid-Oost Borneo, Tahun
1811-1816”, Laporan Penelitian pada Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, 2018, hlm. 7.
37
Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin, hlm. 353.
276
persetujuannya atas pasal-pasal perjanjian yang memiliki
peran penting terhadap kesediaan akomodasi dan
fasilitas penunjang yang diberikan kepada pihak Kompeni
Inggris. Sebagai balasannya mereka akan bekerja sama
dalam rangka meningkatkan kualitas dan jumlah hasil
perkebunan lada sehingga mencapai titik diharapkan.
Dalam hal perdagangan lada, monopoli
perdagangan lada akan dilanjutkan dan selanjutnya
pemerintah Inggris juga mempunyai hak untuk
penebangan kayu dan penambangan emas dan intan.
Semua hal di atas dikuasai oleh Inggris sehingga hanya
ada sedikit tempat saja yang benar-benar manjadi
kekuasaan Sultan. Akhirnya, untuk mengangkat seorang
menteri pun Sultan tidak mempunyai hak tanpa ada
persetujuan dari Letnan Gebernur di Jawa.38 Alexander
Hare mendapatkan banyak keuntungan dari suksesnya
hubungan diplomatik tersebut. Sultan telah dibawa
menjadi bagian dari kekuasaan yang sangat luas,
walaupun dia telah menerima perjanjian yang tidak jelas
untuk perlindungan.39 Kenyataannya, isi perjanjian 1812
meminimalisir peranan Sultan. Beberapa bidang
perekonomian seperti pengembangan komoditas lada
yang dikembangkan oleh Hare di daerah konsesi Maluka
merupakan sumbangan berarti bagi pemerintah Inggris
dan terutama bagi Hare karena pada awalnya daerah
konsesi ini berkontribusi besar.

Ibid.
38

Ibid.
39

277
Pada sisi lain, hal yang paling menyakitkan atau
merupakan tekanan sebenarnya adalah tidak seorang pun
garis keturunan dari Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah
yang dibolehkan menempati wilayah Tatas atau
menangani situasi yang terjadi di wilayah Borneo
(Kalimantan) bagian tenggara. Pengaruhnya cukup tinggi
dan otoritas yang dinilai berpeluang mencampuri
pembuatan keputusan tentang kebebasan dalam dunia
perniagaan dan perkebunan maupun pertanian yang
merupakan tulang punggung kemakmuran di tingkat
ideal. Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah diupayakan
mampu bekerjasama yang baik dengan pihak
Pemerintahan Inggris baik dari segi kebijakan-kebijakan
maupun prinsip pelaksanaannya. Kebijakan tersebut yang
menjadi dasar dari Alexander Hare dalam mengatur
pertanian dan perkebunan di daerah konsesi Maluka.
Berkaitan masalah pajak, ketika jumlah pajak yang
dikumpulkan dengan adanya proses penyerahan wilayah
tersebut maka hasilnya yang diperkirakan akan lebih
besar dari apa yang pernah dibayar ketika terjadinya
penjajahan dari pihak Belanda sebelumnya. Demikian
juga jumlah pajak tahunan sesuai dengan keputusan dari
Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah adalah setengah
dari hasil pendapatan bersih. Tidak ada kewajiban, pajak
atau pajak impor barang lainnya yang ditarik pihak Sultan
Sulaiman Alamah Tahmidullah selain dari apa yang telah
tercantum dalam perjanjian tanpa seijin Kompeni Inggris.

278
C. Penempaan Mata Uang
Dalam pasal 15 Treaty 1812 perjanjian antara
Inggris (EIC) dengan Kerajaan Banjar, dikemukakan bahwa
mata uang yang dicetak pihak Kompeni Inggris, diedarkan
sebagai alat pembayaran sah di Kesultanan Banjarmasin.
Oleh karena itu pihak pemerintah Inggris berusaha
mencetak mata uang sendiri di daerah Banjarmasin
sebagai realisasi dari kebijakan yang terdapat dalam
perjanjian tersebut. Mata uang yang berlaku pada saat itu
adalah mayoritas mata uang koin, yang pembuatannya
tidak memerlukan hal-hal rumit. Dalam hal ini tentu saja
Alexander Hare sebagai penguasa di Kalimantan Tenggara
melaksanakan hal itu. Hal itu dibuktikan dengan adanya
industri penempaan atau pembuatan mata uang di
daerah Maluka selain di Banjarmasin.
Terdapat hasil analisis numismatik (ilmu mata
uang) 40 yang telah dilakukan J.P. Moquette yang
dilaporkan dalam artikelnya tahun 1906, Iets Over De
Munten van Bandjarmasin en Maloeka. Artikel ini
dikumpulkan oleh Van Ronkel dalam Tijdschrif voor
Indische Taal, Land en Volkenkunde. Upaya ini dilakukan
untuk menghasilkan suatu gambaran mengenai sejarah
daerah konsesi Maluka. Pembuatan mata uang
diharapkan mampu mengungkapkan segi kehidupan

40
Numismatik adalah melakukan studi atau melukiskan secara
ilmiah mata uang yang dibuat sejak zaman purbakala sampai
sekarang. Hugiono & P.K. Poerwanta, Pengantar Ilmu Sejarah,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 38.
279
perekonomian masyarakat.41 Van Der Kemps memberikan
pengawasan ketat terhadap pembuatan mata uang
tersebut di bawah perintah Hare. Kemps juga bekerja di
industri pembuatan atau penempaan mata uang yang
dilakukan oleh Hare. Kemps tidak memperlihatkan nada
atau suara yang negatif terhadap keberadaan industri
tersebut.

Gambar 6.7. Mata Uang Yang Ditempa di Daerah Konsesi Maluka.


Sumber: J.P Moquette (1906), Iets Over De Munten Van
Bandjarmasin En Maloeka, Tidschrift Voor Indische Taal, Land En
olkenkunde.

Moquette, Iets Over De Munten van Bandjarmasin en


41

Maloeka, hlm. 499.


280
Moquette mengemukakan bahwa ada beberapa
mata uang seri pertama yang disebut juga dengan millies
yang ditempa di penempaan uang Maluka. Demikian
halnya Van Der Kemps sebagai pegawai Hare yang
bekerja di industri penempaan uang di Banjarmasin juga
mengemukakan hal sama. Moquette memberikan
kesimpulan analisa tentang salah satu mata uang yang
diproduksi di penempaan mata uang di daerah Maluka
yang pada permukaan uang tersebut terdapat gambar
Neumman.42 Uang logam tersebut diragukan atau dapat
dikatakan bahwa uang tersebut palsu. Moquette dan Van
Der Kemps menduga bahwa uang tersebut terbatas
jumlahnya dan karena sudah ditandatangani agak sedikit
berbeda dengan yang aslinya dan terakhir pembuatan
uang itu capnya hanya sebagian dari permukaan mata
uang dengan tahun yang tertulis ١٣٢٧ dan ١٣٢٨ pada
cek aslinya. Dari mata uang yang ada juga terdapat
beberapa cap di atas mata uang yang bergambar binatang
dan cap di atas uang tersebut menurut dugaan Moquette
mempunyai maksud tertentu. Secara umum adanya cap
di atas uang tersebut merupakan ciri dari mata uang
Inggris. Ciri penting dari mata uang yang ditempa di
daerah Maluka adalah adanya tulisan Maloeka pada
permukaannya. Dengan stempel, beberapa mata uang di
daerah Maluka itu ditempa, tetapi mata uang tersebut

42
Gambar mata uang dengan gambar kupfermunzen,
merupakan gambar dengan beberapa pola khas di atas permukaan
mata uang.
281
tetaplah dikatakan sebagai uang palsu. Hal itu
menimbulkan adanya beberapa dugaan. Hare yang
pernah menjabat sebagai pembuat stempel pada
pembuatan mata uang Banjarmasin yang lama, dan dari
kenyatan tersebut terlihat sifat/dasar penempaan mata
uang yang menunjukkan mata uang yang asli maupun
yang palsu, dengan beberapa perbedaan. Tentunya mata
uang palsu tidak lebih baik yang asli dan pemerintah
Inggris harus puas menerima kenyataan tersebut. 43
Pada dasarnya hampir semua mata uang yang
dibuat di penempaan mata uang di Banjarmasin dan
daerah konsesi Maluka memiliki karakter yang utama. Hal
ini sama dengan mata uang yang tertanda millies yang
dibuat oleh Inggris untuk kepulauan Indonesia Timur. Dari
tanda yang terdapat dalam uang tersebut dapat dilihat
dengan jelas tentang jenis mata uang Millies dan
Netscher serta Van Der Chijs yang sebenarnya menjadi
cap atau tulisan yang menunjukkan bahwa itu dimiliki
pemerintah Inggris (yang dibuat dengan stempel) yang
pada beberapa mata uang tertentu yang ditemukan di
Maluka tidak menunjukkan stempel ini. Dari analisis
Moquette menunjukkan bahwa beberapa mata uang
dikerjakan dengan lebih baik dan tidak memerlukan baut
besi dengan stempel dari pabrik Eropa untuk menempa
uang tersebut, kecuali kalau Hare pandai membuat
stempelnya di Banjarmasin.

43
Ibid.
282
Tabel 6.2. Katalog Mata Uang Yang Pernah Diproduksi di
Daerah Maluka

No Jenis Uang Tulisan atau Cap


1. Uang satoe. Maloeka dengan cap di atas uang bentuk
(P L VIII. 1) 15 pada bagian sisi muka bagian
atas.
2. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 9)
3. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 9) dengan cap 15 pada bagian
bawah
4. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 10) dua stempel
5. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 10) dengan cap 15 pada bagian
muka
6. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 10) dengan cap 16 pada bagian
bawah, dua stempel
7. I ١٣٢٨ (P.L.VIII, 10) pada bagian bawah sama
seperti nomor 14
8. I ١٣٢٨ bagian muka ditempa dengan tulisan
adalah tipe 10 bagian duit/uang JAVA 1808.
bawah adalah tipe 9
9. Uang Matsrif ١٣٢٨ 18 stempel
(P.L.VIII, 2)
10. Uang Matsrif ١٣٢٨
(P.L.VIII, 3)
11. Uang Matsrif ١٣٢٨ dua stempel pada bagian bawah
(P.L.VIII, 4),
12. Uang Matsrif ١٣٢٨
(P.L.VIII, 5)
13. Uang Matsrif ١٣٢٨
(P.L.VIII, 6)
14. Uang Matsrif ١٣٢٨ dua stempel
(P.L.VIII, 7),
15. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan tulisan hanya dapat
(P.L.VIII, 8) dibaca dengan cermin.
16. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 15 pada bagian
(P.L.VIII, 4), muka

283
17. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 16 pada bagian
(P.L.VIII, 4) bawah/belakang
18. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 16 pada bagian
(P.L.VIII, 2), muka
19. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 15 pada bagian sisi
(P.L.VIII, 2), bawah
20. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 15 pada kedua
(P.L.VIII, 2), sisinya
21. Uang Matsrif ١٣٢٨ dengan cap 15 pada bagian
(P.L.VIII, 3), muka
22. Uang ١٣٢٨ dengan hiasan suluran bunga
(P.L.VIII, 11)
23. Uang ١٣٢٨ dengan hiasan suluran bunga
(P.L.VIII, 11) dengan cap 15
pada bagian muka
24. Uang ١٣٢٨ dengan hiasan suluran bunga
(P.L.VIII, 11) dengan cap 15
pada bagian sisi bawah.
25. Uang ١٣٢٨ dengan hiasan suluran bunga
(P.L.VIII, 11) dengan cap 16
pada bagian bawah
26. Uang ١٣٢٨ dengan hiasan suluran bunga
(P.L.VIII, 12)
27. 1 uang dengan ١٣٢٨ dengan bunga
yang bercabang (P.L.VIII, 12)
Sumber: J. P. Moquette, 1906.

Sejak masa pemerintahan Inggris khususnya di


daerah Banjarmasin, percetakan uang diserahkan oleh
pemerintah kepada pemilik pabrik uang atau instansi
bawahannya. Pada saat berkuasanya Alexander Hare
banyak dicetak uang palsu dan beredarnya mata uang
luar negeri. Moquette menduga bahwa Hare sendiri yang
memalsukan beberapa mata uang Inggris di penempaan

284
uang “pribadi” di daerah konsesi Maluka karena
kebutuhan modal yang mendesak dalam
mengembangkan usaha Hare atau pun mendatangkan
pekerja dari Jawa. Peredaran mata uang asing dan mata
uang palsu terpaksa dibiarkan karena tidak ada jalan lain
untuk hubungan moneter internasional. Karena tidak
adanya alat untuk mendeteksi adanya pemalsuan uang,
pemerintah tidak dapat memaksa masyarakat hanya
mempergunakan mata uang yang ditentukan dan dalam
nilai yang ditetapkan.44
Demikian pula kelaziman membuat uang logam
dan kertas serta penggunaan mata uang Inggris tetap
dilaksanakan. Sesuai hukum perang, maka setiap milik
rakyat yang ditinggalkan baik mereka yang pergi
berperang semuanya harus dimasukkan dalam gudang.
Akan tetapi modal-modal partikulir harus menyingkir dari
peredaran, dan nilai uang kertas harus diturunkan sampai
1/6. Hanya uang perak yang nilainya tetap. Orang boleh
membeli lada atau kopi dengan uangnya seberapa saja
yang ia inginkan.45 Hal yang membedakan dengan
peredaran mata uang di daerah konsesi Maluka pada saat
itu adalah bahwa mata uang dapat ditekan karena adanya
alat pemerintah dan walaupun pemalsuan uang masih
tetap ada dan penguasa dapat memaksa masyarakatnya
mempergunakan mata uang yang ditetapkan. Kebijakan

44
Dinas Museum & Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, Sekitar
200 Tahun Sejarah Jakarta, hlm. 45.
45
Ibid.
285
perdagangan mampu mengembangkan baik daerah
Maluka maupun daerah Banjarmasin sebagai tempat
niaga yang besar tetapi hanya dimungkinkan
partisipasinya dari kalangan pemilik modal besar dan
memiliki jaringan kekuasaan.46

D. Pembuatan Jung/Kapal Dagang


Selain perkebunan lada, Hare juga mengusahakan
pembuatan jung/perahu angkutan terutama untuk
pelayaran interinsuler. Jung/perahu yang dibuat ada yang
mampu mengangkut sampai 400 ton barang dagangan.47
Diperkirakan jung ini dipergunakan Hare mengangkut
komoditas dagangan ekspor seperti lada dan hasil
perkebunan lainnya. Banjarmasin sangat berpotensi
karena letaknya yang strategis terutama digunakan
sebagai daerah pembuatan perahu yang sudah dirintis
Alexander Hare. Hal itu didukung pasal 8 Treaty 1812
yang menyatakan Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah
mengakui Kompeni Inggris memiliki hak sepenuhnya atas
pengelolaan industri perkayuan, dan pengerjaannya
tanpa larangan.

46
Moquette berkesimpulan keperluan modal mendorong
Alexander Hare sebagai Residen/ penguasa daerah Maluka untuk
membuat industri penempaan atau pembuatan mata uang tersebut,
J. P. Moquette, Iets Over De Munten van Bandjarmasin en Maloeka,
hlm. 450.
47
Bambang Subiyakto, “Transportasi Perairan di Kalimantan
Selatan, 1950 - 1970-an” (Skripsi pada Fakultas sastra Universitas
Gadjah Mada, 1985), hlm. 44.
286
Dalam hal pelayaran dan perdagangan yang
menggunakan perahu sebagai sarana transportasi dan
pengangkutan, kapal berbobot antara 60 atau 100 ton
dengan kapasitas angkut penumpang antara 90 dan 200
orang bisa mengunjungi ibukota Banjarmasin.
Kebanyakan perahu ini milik orang Eropa yang dalam
beberapa hal sulit masuk ke pedalaman. Kebanyakan
menanti suplai barang dagangan di daerah hilir atau di
muara-muara sungai. Kapal-kapal dagang itu merupakan
kapal dagang samudera.48 Alat transportasi yang biasa
disebut jukung oleh penduduk setempat itu mudah
dibuat dari pohon-pohon yang tidak begitu besar dan
banyak ditemukan di sekitar lingkungan tempat tinggal
mereka. Perahu dibuat dari sebatang pohon yang dikeruk
memanjang bagian dalamnya seperti membuat lesung.
Guna memperbesar kapasitas muatnya, biasanya
ditambahkan sekeping papan atau lebih pada kedua tepi
(lambung) perahu.49
Pada dasarnya potensi alam dan kemampuan
penduduk telah menarik minat Alexander Hare. Di
samping mengusahakan perkebunan dan pertanian, Hare
juga menanamkan modalnya pada industri perahu untuk
kebutuhan melayari samudera. Perahu-perahu yang
diproduksi berbobot antara 400 dan 500 ton. Tujuan dari

48
Subiyakto, Pelayaran Sungai, hlm. 55
49
Haris Sukendar, Perahu Tradisional Nusantara, Tinjauan
Melalui Bentuk dan Fungsi (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1999), hlm.
143.
287
pembuatan perahu ini adalah untuk berdagang melayari
Laut Jawa, Sumatera, Sulawesi dan daerah lainnya.50 Jadi,
industri pembuatan perahu yang dikembangkan dan
dibangun oleh Alexander Hare adalah perahu yang
melayari samudera, bukan perahu jenis jukung seperti
yang dimiliki secara umum dalam masyarakat setempat.
Misalnya jukung parenggean yang digunakan untuk
mencari ikan oleh dua orang, ataupun jukung tiung yang
mengangkut barang atau tongkang yang diubah menjadi
gondol yang biasa untuk angkutan barang dan
penumpang atau sebaliknya.51
Perahu-perahu tersebut merupakan perahu-
perahu yang umumnya didayung dan diproduksi sendiri
oleh penduduk. Hampir di semua tempat di Kalimantan
terdapat pembuatan perahu-perahu yang dibuat dengan
cara itu yang ukurannya terbatas. Untuk membuat
perahu besar seperti yang diusahakan Hare dibangun
berdasarkan kerangka yang terdiri dari sebuah lunas dan
gading-gading.52 Terdapat sumber lain yang menuliskan
bahwa dalam pembuatan perahu tersebut Hare
menggunakan pekerja dari Jawa yang mempunyai

50
Subiyakto, Pelayaran Sungai, hlm. 62.
51
Agus Triatno, dkk. Perahu Tradisional Kalimantan Selatan
(Banjarbaru: Depdikbud, Bagian Proyek Permuseuman Kalimantan
Selatan, 1998), hlm. 49, bandingkan dengan Syarifuddin, Perahu
Banjar (Banjarbaru: Depdikbud, Bagian Proyek Permuseuman
Kalimantan Selatan, 1990).
52
Ibid.
288
kepandaian tangan (keterampilan) membuat kapal kayu
yang beratnya 400 ton serta diberi nama Kapal Borneo.53
Dari segi bahan yang dipergunakan membuat
perahu, di antaranya ada yang menggunakan bahan
utama kayu ulin. Kayu ulin paling digemari penduduk
Kalimantan Tenggara untuk membuat perahu. Akan
tetapi sebagaimana yang dikemukakan oleh Niewenhuis,
bahwa sungai-sungai besar seperti di daerah hilir, tempat
perahu tidak sering membentur batu seperti di bagian
hulu, diutamakan kayu keras dan kuat yang juga tahan
lama terhadap proses pelapukan. Perahu dari kayu ulin
memiliki sifat mudah pecah dan berat. Dalam kaitannya
dengan pelayaran samudera, jenis kayu ini kurang awet
jika dibuat menjadi perahu besar, sehingga diperlukan
kayu berkualitas bagus. Misalnya, kayu bungur
(lagerstomia spec.) dan klepek (hopea spec.) yang
merupakan jenis kayu favorit untuk membangun perahu-
perahu besar. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
Meijer mengemukakan bahwa seorang komandan militer
Belanda, yaitu Kapten Ros pernah membangun kapal dari
kayu bungur di Sungai Maluka dekat Kurau, Tanah Laut.54

53
Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, hlm. 32.
54
Subiyakto, Pelayaran Sungai, hlm. 63.
289
Gambar 6.8. Kapal Layar di Sungai Martapura milik saudagar Banjar,
tahun 1920 an. Sumber: Koleksi tropen Museum.

Bahan pembuatan perahu sebagian besar berasal


dari kayu-kayu lokal yang terdapat di hutan-hutan atau
aliran sungai besar di kawasan Kalimantan bagian
tenggara. Perahu dibuat dari kayu-kayu tertentu, seperti
kayu cangal yang terdapat di daerah ini. Umumnya yang
membuat adalah tukang-tukang perahu Suku Banjar yang
merantau ke daerah tersebut khusus untuk membuat
perahu di daerah itu. Setelah perahu tersebut selesai
bentuk dasarnya, biasanya dibawa pulang disempurnakan
atau dijual di daerah lain.55 Aneka jenis kayu hutan tropis
Kalimantan Tenggara sebagaimana umumnya disebutkan
laporan-laporan Belanda antara tahun 1800–1900. Tabel

55
Triatno, dkk. Perahu Tradisional Kalimantan Selatan, hlm. 5.
290
6.3 berikut ini merupakan daftar jenis-jenis kayu yang
biasa dijadikan bangunan perahu oleh penduduk daerah
Kalimantan bagian tenggara. 56

Tabel 6.3. Daftar Jenis Kayu Untuk Bangunan Perahu

Nama Nama Botani KK KB


Setempat
Ulin Eusideroxylon Zwageri T et B I I
Rasak Vatica Spec. II II
Bungur Lagerstoemia Spec. II II
Klepek Hopea Spec. I I
Madang Schima Spec., Lauraceae III III
Spec. div
Gansiung - - -
Bangkirai Shorea Spec. I I
Kruing Dipterocarpue Spec. II II

Keterangan, KK: Klas Kuat, KA: Klas Awet, sumber:


Bambang Subiyakto, 1985.

Seperti keahlian lainnya, dalam pembuatan


perahu pun ada satu atau dua orang yang begitu ahli
sehingga pimpinan pekerjaan diserahkan kepadanya,
terutama untuk pembuatan perahu besar.57 Dalam
pembuatan perahu besar tersebut, Hare diperkirakan
mengadopsi teknik pembanguan perahu besar yang

Ibid.
56

Ibid., hlm.6.
57

291
biasanya digunakan mengarungi lautan yang umumnya
dikerjakan penduduk pantai bagian selatan dan timur.
Mereka mayoritas orang Bugis Makassar.58 Mengenai
harga perahu, perahu dari kayu keras (ulin) lebih tinggi
harganya. Perahu kecil tentu lebih murah dibandingkan
perahu lebih besar dan panjang. Harga perahu di daerah
Borneo bagian tenggara umumnya bervariasi, ditentukan
pula ukuran perahu. Semakin panjang perahu semakin
tinggi harganya karena diperhitungkan berdasarkan
panjang setiap meter. Sebagai contoh di Banjarmasin
pada tahun 1804 terjadi penjualan 2 buah kapal kecil dan
dua buah jenis perahu pancallang senilai hampir f. 400.
Dari transaksi itu pemerintah menerima haknya (pajak)
9%, yaitu sebesar f 350. harga perahu di samping
ditentukan besar kecil atau panjang pendeknya, juga
ditentukan jenis kayu bahan bangunan perahu dan
kualitas hasil pengerjaannya. 59

E. “Banjarmasin Enormity”: Kisah Tragis Perbudakan


Rencana-rencana Hare berjalan dengan lancar.
Hare mendapati bahwa tidak ada komoditas yang tidak

58
Haris Sukendar, Perahu Tradisional Nusantara, Tinjauan
Melalui Bentuk dan Fungsi, hlm. 123; lihat juga Syarifuddin. Perahu
Bugis Pagatan (Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mngkurat,
1992); M. Masrury, et.al, Pinisi, Perahu Khas Sulawesi Selatan (Ujung
Pandang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan,
1995).
59
Subiyakto, Pelayaran Sungai di Kalimantan Tenggara, hlm.
67.
292
dapat dibeli dengan uangnya di Borneo, termasuk kuli
atau buruh dalam perkebunan lada. Dalam buku sumber
Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, dijelaskan bahwa
Alexander Hare menggunakan pekerja-pekerja paksa yang
berasal dan diambil dari desa-desa di pantai utara Jawa.60
Jumlah kuli yang disediakan oleh Sultan tidak mencukupi
keinginanya. Kekurangan buruh di perkebunan lada ini
terjadi selama beberapa tahun di Banjarmasin.
Kekurangan tenaga kerja ini terjadi karena orang Banjar
bekerja menurut perhitungan sendiri.61
Hal ini juga disebabkan di Kesultanan Banjar tidak
ada kelebihan tenaga kerja laki-laki, walaupun masalah ini
tidak terjadi di bagian wilayah Borneo yang lain. Hare
segera menyadari bahwa untuk mendapatkan tenaga
kerja yang cukup, dia harus mendatangkan dari luar
pulau. Dia kemudian kembali ke Jawa pada tahun 1812
untuk berunding dengan Letnan Gubernur, yang
kemudian disetujui Gubernur Jenderal Raffles. Padahal
Raffles tidak pernah menyetujui permintaan seperti ini
sebelumnya. Atas beberapa hal dan adanya
pertimbangan, maka Hare mengajukan permohonan lagi
pada Raffles berupa penambahan jumlah populasi dan
kembali permohonan tersebut disetujui. Kemudian
timbullah pemikiran Hare dan Raffles, untuk mengirimkan
sejumlah surat edaran kepada keresidenan-keresidenan
Inggris di Jawa merekrut sejumlah tenaga buruh untuk

60
Syafii, Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, hlm. 37.
61
Graham Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 21.
293
dipekerjakan di daerah koloni Inggris yang baru di
Banjarmasin.
Surat edaran pertama tertanggal 10 Maret 1813,
yang berisi perintah kepada seluruh residen untuk
memastikan jika ada orang Bugis atau yang lainnya yang
bukan Jawa asli yang sehat, diperbantukan di militer atau
yang lainnya sebelumnya, dan sekarang sudah tidak
bekerja lagi supaya dikurangi karena akan menyusahkan.
Kemungkinan para calon pekerja akan mulai bekerja di
Banjarmasin ketika musim hujan tiba. Para residen juga
diminta menggunakan pengaruhnya melalui bupati-
bupati Jawa untuk mencari setiap orang atau anggota
keluarga mereka yang bisa dimanfaatkan untuk rencana
tersebut. Tidak ada paksaan yang dipergunakan dalam
pelaksanaan perintah ini. Para pekerja yang prospektif
diyakinkan bahwa mereka akan dilindungi Sultan
Banjarmasin sendiri dan akan diberikan tanah sendiri
untuk digarap ketika mereka sampai.62 Surat edaran
pertama dapat dikatakan tidak berhasil dan rencana yang
berbasis sukarela ini tidak bertahan lama. Kemudian
diedarkan surat edaran selanjutnya tertanggal 31 Mei
1813, yang bersifat memaksa berbunyi :
Bagi laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki
pekerjaan yang tetap dan nafkah yang cukup
tetapi mampu bekerja untuk negara akan dikirim
ke Banjarmasin. Perintah baru ini berlaku bagi
orang biasa, kelahiran asli Jawa, tidak seperti
62
Ibid.
294
sebelumnya yang hanya berlaku untuk eks tentara
yang sudah tidak terpakai yang berkeliaran dan
menakuti di kampung-kampung pedalaman.
Residen juga ingin memiliki beberapa penombak
yang bertabiat baik yang akan dikirim ke
Banjarmasin untuk perjalanan tertentu yang
bertugas sebagai polisi pribumi. Dan tak kalah
penting dikirimnya penombak ini karena
Banjarmasin dikatakan sebagai penampungan
narapidana dan dinyatakan bersalah dan
populasinya menjadi bertambah dengan
didatangkannya para istri dan anak narapidana
untuk menemani anak dan suami mereka. 63

Surat edaran ini diubah pada surat edaran


selanjutnya hingga akhirnya dikirim 3 kelompok yang
berbeda. Mereka adalah yang pertama para penjahat dan
narapidana yang masa hukumannya berbeda, dari
beberapa bulan sampai hukuman seumur hidup.
Selanjutnya adalah para gelandangan, pengembara dan
orang yang tak berguna, di mana sebagian dari mereka
mendapatkan hukuman buangan, yang dilaksanakan
dengan pengiriman mereka untuk bekerja di perkebunan
Hare tersebut. Terakhir adalah orang-orang buangan yang
cukup jujur.64

Ibid., hlm. 22.


63

Ibid.
64

295
Secara bersamaan, sekitar 3.200 orang dibawa ke
Banjarmasin (mereka dibayar pemerintah 25 Rupee untuk
setiap orang) untuk bekerja di ladang padi dan
perkebunan lada milik Hare. Sebagian mereka tidak pergi
atas kemauan sendiri. Banyak di antaranya yang dicap
sebagai pengembara (gelandangan) yang diberangkatkan
atas rekomendasi bupati lokal atau aparat kepolisian
Jawa.65 Hanya sedikit kasus ini yang diinvestigasi atau
bahkan si penyidik sendiri yang dituduh membawa bukti
yang tak beralasan. Banyak di antara mereka yang
didaftarkan sebagai tenaga sukarela namun sebenarnya
terpaksa. Banyak kaum wanita yang dibujuk naik ke kapal
Hare dan bahkan ke kapal meriam milik pemerintah
Inggris untuk dikawinkan atau dinikahi oleh orang Inggris
di Banjarmasin.66
Pada versi lainnya dari beberapa sumber,
dikatakan bahwa suatu hal yang menjelekkan Raffles,
yaitu berhubungan dengan pengangkutan orang-orang
Jawa ke Banjarmasin. Kejadian ini oleh orang-orang
Inggris disebut sebagai Banjarmasin Enormity atau
tindakan keji di Banjarmasin. Ketika itu pemerintahan
dipegang oleh Alexander Hare, sahabat Raffles. Residen
mendirikan perkebunan di dekat kota. Oleh karena sukar
mendapat pekerja, maka dengan setahu Raffles,
Alexander Hare menangkap 3000 orang Jawa.
Dikatakannya bahwa mereka itu pelancongan. Mereka

65
Ibid., hlm.23.
66
Ibid.
296
diangkut dengan kapal kecil sehingga penuh sesak.
Sebagian dari orang-orang itu mati di tengah jalan dan
sebagian lagi mati karena pekerjaannya sangat berat dan
pemeliharaan yang jelek sekali. Hanya sebagian kecil saja
yang dapat melihat tanah airnya kembali. 67

Gambar 6.9 Ilustrasi budak di wilayah perkebunan. Sumber: Koleksi


panorama.tigweg.org.

Dalam literatur lain, kasus ini dikembalikan kepada


kebijakan Raffles yang memang dapat dikatakan orang

67
Anonim, Sedjarah Indonesia Djilid II (Semarang: KPPK, 1953),
hlm. 109. Bandingkan dengan J.C. Baud, “De Banjarmasinsche
Aeschuwelijk-heid”, Bijragen Taal land en Volkenkunde van
Nederland Indie (Batavia: Frederik Muller, 1860), yang menerangkan
dengan detail peristiwa Banjarmasin enormity yang terjadi pada
masa pemerintahan Inggris tahun 1811 - 1816 di Kalimantan bagian
tenggara.
297
yang liberal yang tindakannya melindungi rakyat kecil
terhadap tindakan sewenang-wenang, pemberantasan
perbudakan dan larangan perdagangan budak, menjadi
bukti bahwa ia memang agak liberal. Akan tetapi dalam
hal ini iapun tidak konsekuen, sebab ternyata atas
permintaan dari Alexander Hare saja yang memiliki tanah
luas (tanah konsesi) di Banjarmasin yang sangat
memerlukan tenaga kerja, Raffles tidak segan-segannya
mengirimkan beberapa ribu orang Jawa yang
dikumpulkannya dengan paksa. Kemudian ternyata nasib
orang-orang yang dikirimkannya dari 3000 sampai 5000
orang hanya tertinggal 600 atau 700 orang.68
Sebagai gambaran tentang eksploitasi dan
penyiksaan yang terjadi di Banjarmasin tersebut, terdapat
dalam surat James Simpson, seorang pengacara kepada
William Boggie, Residen Semarang yang meneliti
peristiwa ini. Dari hampir 3.167 orang yang berasal dari
beberapa daerah diculik dan dijadikan tenaga kerja paksa,
sebelum bulan Mei tahun 1813, bernasib sebagai berikut.

Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, Sekitar


68

200 Tahun Sejarah Jakarta, hlm. 45.


298
Tabel 6.4. Rincian Jumlah Penduduk Dari Beberapa
Daerah Jajahan Yang Diculik dan Dijadikan Tenaga Kerja
Paksa oleh Hare, Sebelum Mei 1813

Rincian Jumlah Keterangan


453 Meninggal dunia
1110 Melarikan diri ke hutan-hutan tanpa
membawa perbekalan yang cukup dan
harus mempertahankan diri dari
serangan binatang buas
1075 Dikembalikan ke Jawa oleh komisaris
pemerintah
529 Tetap di Banjarmasin

Sumber: J.C. Baud, “De Banjarmasinsche Aeschuwe-


lijkheid” dalam Bijragen Taal land En Volkenkunde Van
Nederland Indie, Frederik Muller, Batavia, 1860.

Dapat dikatakan sebagai awal yang kurang


menjanjikan karena orang-orang yang dikirim ke
Banjarmasin berisi elemen orang Jawa. Bentuk organisasi
yang jarang sekali diperlukan di tingkat atas justru malah
berkembang di Banjarmasin. Eksploitasi pekerja tersebut
menurut penulis dapat dikategorikan sebagai
perbudakan. Ada kemungkinan bahwa perdagangan
budak pada dekade pertama abad ke-19 terus
berlangsung ketika melemahnya otoritas pusat. Setiap
koloni Belanda harus diserahkan kepada Inggris pada
tahun 1811, satu tahun kemudian Raffles mengeluarkan

299
larangan perbudakan di wilayah kekuasaannya.69 Dari
tindakan Raffles tersebut yang dibarengi sikap Hare di
daerah perkebunan Maluka, mengindikasikan masih
adanya perbudakan dengan kamuflase bahwa mereka
digunakan sebagai pekerja biasa dengan mendapatkan
upah. Juga adanya pengumuman Raffles yang dilakukan
pada 31 Mei 1813 yang menggambarkan perundang-
undangan yang dibuat parlemen adalah merupakan
upaya Raffles menutupi tersebarluasnya peristiwa ini
walaupun akhirnya terbongkar dan diketahui publik.70

F. Kegagalan Rajah Putih & Kembalinya Hegemoni Belanda


Walaupun Hare mempunyai kemampuan
mengatasi segala masalah dengan kekuasaanya, tetapi dia
tidak mempunyai pengalaman dalam hal bercocok tanam,
budidaya lada dan kurang mampu dalam hal administrasi.
Dalam waktu singkat kondisi penduduknya sangat
menyedihkan di Banjarmasin, sandang dan pangan tidak

69
Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan, Sejarah
Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad ke- XIX (Magelang:
Indonesiatera, 2002), hlm. 132. Dalam hal ini budak diistilahkan
sebagai Slavery yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah budak yang berarti hamba atau anak-anak. W.J.S.
Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), hlm. 157. Bandingkan dengan pengertian budak
menurut Anthony Reid, Charting The Shape of Early Modern Sotheast
Asia (Sejarah Modern awal asia Tenggara). Terj. Sori Siregar, dkk.
(Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 4.
70
Thosibo, Historiografi Perbudakan, hlm. 133.
300
mencukupi.71 Dalam laporan keuangan pembiayaan
pemukiman pendatang di Banjarmasin yang terdiri dari
laporan pemasukan dan pengeluaran selama proses
pembuatan pemukiman tersebut dimulai dari tahun 1812
sampai 1816 memperlihatkan lebih banyak pengeluaran
daripada pemasukan.72
Kondisi perkebunan lada tidak lebih baik dari sejak
awal karena banyak pekerja yang ditarik untuk
mengerjakan gedung keresidenan (istana Alexande Hare).
Dalam upayanya mengembangkan wilayah Maluka dan
menjadikannya “kerajaan pribadinya”, Hare yang
membangun istana kayu di tengah hutan, dikelilingi
koleksi perempuannya, dan pengawalnya yang berasal
dari para narapidana Jawa. Menurut Hannigan,
sebenarnya hal ini merupakan bentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan. Para budak dan tenaga kerja yang
dikirimkan Raffles dari Jawa dimanfaatkan membangun
istana di tengah hutan Kalimantan. Ada 100 pekerja yang
membangun ‘keraton’ Hare, yang lebih tinggi dari pohon
tertinggi dalam setahun.73 Semua ini digunakan untuk
kepentingan pribadi. Usaha penambangan emas dan

71
Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm.24.
72
Surat tersebut berasal dari Laporan Kantor Akuntan di
Batavia tanggal 13 September 1816, ditujukan kepada Gubernur
Jenderal Raffles.
73
Tim Hannigan, Raffles and the British Invasion of Java
(Singapore: Monsoon Books), 2013; lihat juga Didi G. Sanusi,
“Kemesraan Raffles Dan Hare, Sang Penguasa Banjarmasin”, dalam:
www.jejakrekam.com. edisi 8 Apr 2018, diakses 10 November 2020.
301
intan gagal sebelum mendapatkan laba. Sultan Banjar
mengeluh bahwa kondisi anggota masyarakat pekerja
(rowdies) di perkebunan lada menjadi sangat menderita
dan mengenaskan dan telah meresahkan para penduduk
asli di daerah tersebut.74 Gagasan sistem sewa tanah yang
diterapkan di Jawa yang membawa imbas ke daerah
konsesi Maluka pada kenyatannya dapat diianalisis bahwa
dampaknya timbul secara prematur yang menimbulkan
adanya dinamika dalam kerangka sistemik dan dinamika
perekonomian masyarakat yang pada gilirannya
menimbulkan kegagalan.75
Adapun perubahan-perubahan yang terjadi adalah
unsur-unsur paksaan diganti dengan unsur kebebasan,
sukarela dan hubungan perjanjian atau kontrak.76
Selanjutnya hubungan pemerintah dengan rakyat di
daerah konsesi Maluka didasari oleh sifat kontrak. Sistem
kontrak tersebut sebenarnya merupakan hal yang baru
bagi penduduk daerah jajahan. Dalam kehidupan sosial
budaya, ikatan adat istiadat yang secara turun temurun
telah berjalan dan semakin longgar karena pengaruh adat
kehidupan yang bercorak barat. Adanya perubahan-
perubahan tersebut membawa dampak pada kegagalan
pengembangan ekonomi Alexander Hare di daerah
konsesi Maluka. Masa pemerintahan Inggris yang tidak
lama, merupakan faktor utama dan selain itu juga ada

74
Irwin, 1955, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 25.
75
Ibid.
76
Syafii, Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, hlm. 20.
302
beberapa faktor lain yang menjadi penyebab kegagalan
tersebut, antara lain terbatasnya pegawai-pegawai cakap
serta terbatasnya keuangan negara.
Korupsi pegawai-pegawai Inggris turut
memperparah kondisi ini di mana perubahan masyarakat
secara sosiologis membuat peran Residen Hare semakin
nyata dan dominan. Hal ini juga menimbulkan kelompok
baru dalam masyarakat yaitu buruh sebagai dampak dari
tumbuh dan berkembangnya industri. Sebenarnya
sebelum tahun 1816, Inggris mulai melakukan usaha
pertamanya untuk mencari tempat pendudukan yang
permanen di pesisir barat Borneo. Tentunya tindakan
Inggris tersebut menghadapi atau mendatangkan bahaya.
Bagaimanapun pendudukan Inggris di Banjarmasin secara
umum hanya merupakan suatu bagian dari rencana besar
mereka.77
Status atau keberadaan daerah konsesi Maluka
sebagai bagian dari wilayah Inggris sangat ditentukan
oleh situasi dan kondisi di Eropa. Perang koalisi Eropa
terhadap Perancis berakhir pada tahun 1914 setelah
Napoleon Bonaparte dapat dikalahkan dalam
pertempuran di Leipzig dan kemudian tertangkap, lalu
diasingkan ke Pulau Elba. Negara-negara koalisi kemudian
mengadakan Kongres Wina untuk memulihkan kembali
Eropa seperti batas sebelumnya. Kongres yang dilakukan
pada tahun 1814 melalui konvensi London (perjanjian
London) atau Convention of London. Perjanjian ini
77
Irwin, Ninetenth–Century Borneo, hlm. 26.
303
dilaksanakan antara Inggris dengan Raja Willem V.
Adapun isi dari Convention of London antara lain adalah
Belanda menerima tanah jajahannya kembali yang
diserahkan kepada Inggris dalam Penyerahan Tuntang,
selanjutnya Inggris memperoleh Tanjung Harapan dan
Sailan dari Belanda sebagai upah mempertahankan
daerah itu dari kemungkinan serbuan Perancis. Inggris
kemudian mengembalikan semua daerah kekuasaan
Belanda yang pernah dikuasai oleh Inggris. Tetapi Raffles
tidak setuju kepada keputusan-keputusan itu. Ia
meletakkan jabatannya dan digantikan oleh Letnan
Gubernur Jenderal John Fendall. Pada tahun 1816 John
Fendall menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda.
Pengganti Raffles sebagai Luitnant Gouverneur
ialah John Fendall, yang kekuasaannya merupakan masa-
masa terakhir dari kekuasaan Inggris di Jawa. Sebab
menurut Tractaat London terhitung mulai 13 Agustus
1814, Nusantara sudah harus dikembalikan kepada
Belanda. Akan tetapi karena ada satu dan lain hal, maka
komisi yang akan melakukan timbang terima baru tiba di
Jawa pada tanggal 1 Maret 1816, dan baru dapat
mengadakan sidangnya di Batavia pada tanggal 26 April
1816.78 Untuk menghadapi penyerahan kembali
nusantara, telah dipersiapkan komisi yang terdiri dari
Menteri Negara, C.T. Elout sebagai Komisaris Jenderal,
Sekretaris Negara G.A.G.P. Baron Van Der Capellen, yang

Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, Sekitar


78

200 Tahun Sejarah Jakarta, hlm. 50 - 51.


304
kelak diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dan Panglima
Angkatan Laut A.A. Buijskes, pemimpin beberapa
armada.79
Komisi inilah yang bertemu dengan John Fendall
sebagai Luitnant Gouverneur, William Grant Keir sebagai
panglima tentara, Robert Rollo Gillespie sebagai Presiden
Raad dan dua orang anggota Raad masing-masing
Thomas Abraham dan Willem Jacob Crannsen. Staff
Bestuur tersebut tidak dapat menyelesaikan timbang
terima, sehingga penyerahan terpaksa ditunda. Baru
setelah ada surat keputusan dari Eropa yaitu dari
Gubernur Jenderal Inggris di Banggala timbang terima
tersebut terlaksana dan selesai tanggal 13 Juli 1816.80
Luitnant Gouverneur John Fendall beserta seluruh
stafnya baru meninggalkan Jawa tanggal 29 Juli 1817. Ia
bercokol demikian lama untuk menyelesaikan beberapa

79
Armada tersebut terdiri dari Kapal Aversten, yang dipimpin
oleh Kapten (L) Dietz sebagai kapal komando, berkekuatan 320
pasukan, Kapal Amsterdam, yang dipimpin oleh Kapten (L) Hofmijer
dengan kekuatan 250 pasukan, Kapal Maria Reigersbergen, yang
dipimpin oleh Kapten (L) Everdingen dengan kekuatan 200 pasukan,
Kapal Prins Frederik, yang dipimpin oleh Kapten (L) Van Senden,
dengan kekuatan 250 pasukan, Kapal Iris, yang dipimpin oleh Kapten
Muda (L) Pool, dengan kekuatan 250 pasukan, Kapal Spion, yang
dipimpin oleh Kapten Muda (L) Hooft, dengan kekuatan 90 pasukan.
80
Dalam perjanjian tersebut pihak Inggris meminta jaminan
agar perjanjiann-perjanjiannya dengan Raja-raja di Indonesia tetap
berlaku. Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh oleh komisi,
sehingga Inggris mengajukan protes. Oleh karena adanya protes-
protes itulah syarat-syarat pengangkatan pegawai, pembentukan
instansi-instansi dan pemberitaan menjadi terhambat.
305
masalah yang masih menjadi perselisihan kedua belah
pihak. Perselisihan itulah yang mengakibatkan timbang
terima tersebut tidak segera selesai. Raffles yang tak
henti-hentinya memuji kepulauan Nusantara yang besar
sekali faedahnya buat Inggris berhubung dengan
kekayaannya belum mendapat kesempatan membuktikan
pujian-pujian itu. Buat kompeni Inggris pun hal ini tidak
menyenangkan karena sampai saat itu seluruh kepulauan
Nusantara hanya menjadi beban. Setiap tahun harus
menambah uang memenuhi keperluan Raffles.81
Belum sampai memetik buahnya dan manisnya
perdagangan lada, Nusantara harus dikembalikan lagi
kepada Belanda. Raffles berusaha sekuat-kuatnya serta
menganjurkan supaya pulau Jawa tetap dimiliki oleh
Inggris tetapi sia-sia. Berat rasanya buat Raffles
menantikan saat yang menyedihkan, yaitu saat
penyerahan pemerintahan kepada Belanda. Setelah
dilakukan perjanjian antara Inggris dengan Belanda pada
Konvensi London tahun 1814, daerah Indonesia
dikembalikan kepada Belanda.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris
memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali
menduduki bekas kekuasaannya dan dengan perjanjian
ini EIC (Inggris) terpaksa melepaskan Batavia pada tahun
1816. Pada tahun tersebut juga pemerintah Belanda di
bawah pimpinan Arnand van Bukholz dengan tentaranya
datang ke Banjarmasin. Hal ini dilakukan setelah
81
Syafii, Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles, hlm. 21.
306
pemerintah Inggris terlebuh dahulu meninggalkan
Kesultanan Banjarmasin lalu bendera Kesultanan Banjar
dikibarkan.82 Belanda kembali menancapkan kuku
penjajahannya melalui perjanjian dengan Sultan.

Gambar 6.10. Godert Alexander Gerard Philip Baron van der


Capellen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Masa jabatan 1816–
1826. Sumber: Koleksi Rijksmuseum.

Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, hlm. 33.


82

307
Banjarmasin yang awalnya di bawah
pemerintahan Daendels dan kemudian direbut Inggris,
lalu dikembalikan lagi pada pemerintahan Belanda yaitu
tepatnya pada tanggal 1 Januari 1817.83 Mengenai nasib
para pekerja di daerah perkebunan lada di daerah konsesi
Maluka, dibentuk badan komisi yang memeriksa orang-
orang Jawa yang bekerja di daerah tersebut. Setelah
semua pemeriksaan selesai, maka mereka dikembalikan
ke daerah asalnya di Jawa. Mereka terdiri 709 laki-laki,
337 perempuan dan 58 orang anak-anak, kecuali yang
belum habis tempo hukumannya.84 Hal ini berbeda
dengan ringkasan laporan Hare tentang tahanan dan
pendatang di Banjarmasin tanggal 31 Juli tahun 1816
dalam tabel berikut.

Tabel 6.5. Laporan Hare Tentang Tahanan & Pendatang di


Banjarmasin, 31 Juli 1816

Tahanan Laki-Laki Perempuan Anak-Anak


809 451 123
Seumur Hidup 9 - -
20 tahun 2 - -
15 tahun 6 - -
14 tahun 7 - -
10 tahun 15 3 -

83
Moquette, Iets Over de Munten van Bandjarmasin en
Maloeka, hlm. 492.
84
Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, hlm. 34.
308
7 tahun 6 - -
6 tahun 3 - -
5 tahun 16 - -
4 tahun 8 - -
3 tahun 2 3 -
2 tahun 14 - -
1 tahun 10 3 -
Jumlah 907 402 123

Sumber: Laporan Hare tentang tahanan dan pendatang di


Banjarmasin pada 31 Juli Tahun 1816, disalin Sekretaris C.
Assey, kepada Kantor Akuntan di Batavia, 13 September
1816.85

Setelah Inggris meninggalkan Banjarmasin, maka


secara otomatis status daerah konsesi Inggris, yaitu
daerah Maluka menjadi milik dari Belanda. Dengan
berakhirnya masa pemerintahan Inggris di daerah
Maluka, maka sejarah daerah konsesi Maluka kembali
kabur karena jarangnya sumber-sumber sejarah kolonial
yang menyebutkan daerah ini. Hal ini kemungkinan
diakibatkan tidak adanya ketertarikan Belanda yang
kembali berkuasa di Banjarmasin mengembangkan lagi
daerah ini setelah melihat kegagalan Inggris yang diwakili
Alexander Hare sebelumnya.

85
Baud, De Banjarmasinsche Aeschuwelijkheid, hlm. 2.
309
310
BAB VII
LADA DI UJUNG TANDUK,
MEREDUPNYA BUDIDAYA & PERDAGANGAN LADA
KESULTANAN BANJARMASIN TAHUN 1825-1900

Pasang surut menyertai berkembangnya perdaga-


ngan lada di Kesultanan Banjar. Perdagangan lada sendiri
diyakini tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Malahan tanaman lada dianggap bisa menimbulkan konflik
karena hawanya panas dan banyak pihak yang ingin
memonopoli.1 Anthony Reid mengutip pernyataan
Maharaja Suryanata (1438) dalam Hikayat Banjar meramal
penanaman lada akan membawa bencana bagi negeri yang
menanamnya. Dalam Hikayat Banjar dituliskan Maharaja
Suryanata melarang masyarakat di Kerajaan Negara Dipa
menanam lada (sahang) dan menjadikannya komoditas
perdagangan, seperti di Palembang dan Jambi. Bahan
makanan akan menjadi mahal dan tidak akan memberikan
hasil karena uapnya yang panas. Fitnah pun melanda negeri
dan akan terjadi intrik/huru-hara. Masyarakat akan
berkonflik kalau lada atau sahang dijadikan barang
dagangan. Kalaupun menanam lada sebaiknya hanya empat
atau lima rumpun saja untuk kebutuhan sendiri. Seandainya

1
Dedi Arman, “Perdagangan Lada di Jambi Abad ke- XVI-XVIII”,
Jurnal Handep, vol. 1, No. 2, Juni 2018, hlm. 101.
311
nanti lada dijadikan komoditas perkebunan maka negeri itu
akan rusak.2
Setidaknya ramalan ini terbukti pada dinamika
Kesultanan Banjar sebagai penerus Kerajaan Hindu Negara
Dipa dan Negara Daha. Kesultanan Banjar ibarat negeri
rusak, terjadi intrik karena perebutan hak akan lada. Lada
sebagai komoditas menimbun kekayaan semata. Para Sultan
yang tidak mengindahkan pesan ini berebut kuasa hingga
akhirnya budidaya dan perdagangan lada khususnya serta
perekonomian umumnya mengalami kemunduran.
Klimaksnya tahun 1860, akhirnya, Kesultanan Banjar
dihapuskan sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda karena
ekses dari Perang Banjar. Kemunduran sebuah pusat
perdagangan khususnya kerajaan di masa lalu seperti
Kesultanan Banjar, disebabkan beberapa faktor, baik
eksternal maupun internal.3

A. Monopoli VOC, Konflik Internal & Kondisi Alam


Faktor eksternal penyebab kemunduran
perdagangan adalah penguasaan jaringan perdagangan
yang semula berada di tangan raja atau sultan kemudian
direbut oleh kelompok-kelompok dagang bangsa Eropa.
Kemunduran perdagangan di Banjarmasin terjadi sesudah
VOC mendapatkan hak penuh atas monopoli
2
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid
2 (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 347.
3
Ibid., Mansyur, dkk., Sahang Banjar, Banjarmasin Dalam Jalur
Perdagangan Rempah Lada Dunia Abad ke-18 (Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran, 2019), hlm. 177.
312
perdagangannya di tahun 1787 melalui kontrak dagang.
Kemudian terdapat faktor internal, konflik politik antar
keluarga penguasa. Konflik ini dipicu oleh faktor ekonomi
yang umumnya mengakibatkan keguncangan lembaga
politik. Dalam kerangka ini pertikaian keluarga di
Kesultanan Banjarmasin sendiri mendorong perselisihan
paham antar golongan penguasa, terutama antar putra
mahkota dengan mangkubumi. Perselisihan ini terkait
masalah pergantian sultan. Seperti kasus pada tahun
1734 setelah Sultan Kuning Hamidullah meninggal,
pertikaian terjadi antara Sultan Tamjidillah (1734-1759)
dengan Sultan Muhammad Aminullah (1759-1761), dan
berlanjut hingga keturunan keduanya.4
Perjanjian tahun 1787 sampai dengan 1797
merupakan sandiwara politik Kesultanan Banjar yang
terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran
utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabotase,
bajak laut diorganisir untuk merampok kapal-kapal
Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan
dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil
memperoleh monopoli sebagaimana yang disebutkan
dalam kontrak 1787. Siasat lain yang dilakukan Sultan
Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada sehingga
populasi produksi lada berada dalam batas minimal.
Menjelang tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot
ditambah dengan bajak laut yang menutup muara sungai
Barito sehingga melumpuhkan perdagangan VOC.
4
Ibid.
313
Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di
Banjarmasin disebutkan bahwa :

“Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap


suatu “grootmacht” seperti VOC yang telah
berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal
Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam
menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya
daripada kegagalan perluasan kekuasaan VOC.
Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-
diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti
bahwa dia telah bertahun-tahun ditipu”.5

Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos


pengeluaran belaka dan sama sekali tidak mendatangkan
keuntungan bahkan menimbulkan kerugian, sehingga
bagi Belanda mempertahankan hubungan dengan
Banjarmasin menjadi beban berat. Setelah melihat
keberhasilan politik yang dijalankan maka Pangeran Nata
mengirimkan utusan ke Pulau Penang, pusat perdagangan
Inggris untuk bersama-sama mengusir Belanda dari
kerajaan Banjarmasin. Begitu pula dikirim utusan ke
Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin. Belanda
akhirnya tahun 1797 mengirim komisaris Boekholtz ke
Banjarmasin dan membuat kontrak tahun 1797 yang
sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan
Banjarmasin.

5
J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede
Helft der 18de Eeuw (Leiden: Dubbeldeman, 1935), hlm. 125 & 182.
314
Komisaris Francois van Boekholtz mengadakan
pembicaraan dengan Sultan. di istana Bumi Kencana
Martapura mengenai masalah yang menyangkut kontrak
yang dibuat tahun 1787. Kedatangan Boekholtz ini untuk
menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena
sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif
terhadap perjanjian tahun 1787 khususnya pihak
Kerajaan Banjar yang mengabaikan semua isi perjanjian
dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu.
Selama sepuluh tahun perjanjian itu ternyata Kompeni
Belanda tidak memperoleh keuntungan sama sekali.
Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris
Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok
ialah :
a) Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang
sebelumnya diharapkan medatangkan keuntungan
yang sangat besar bagi Kompeni Belanda.
b) Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni
Belanda yang telah membantu Kerajaan untuk
menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan
pasukan Bugis Pasir.
Sejak masa Sultan Nata, perdagangan merosot
akibat kebun lada dihancurkan, sedangkan komoditi lada
merupakan salah satu sumber devisa yang terpenting
bagi kesultanan Banjarmasin. Akibat dari perdagangan
merosot, maka kekayaan negara juga merosot dan
akhirnya lemah, sehingga menjelang abad ke-19
Kesultanan Banjarmasin menghadapi Belanda yang sudah

315
cukup kuat, sedangkan kesultanan sudah sangat lemah.
Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan Nata
Alam, pada tahun 1801. Pada sisi lain, mundurnya
perdagangan lada di Banjarmasin karena monopoli
perdagangan yang dilakukan oleh VOC hingga pertikaian
antar kerabat istana dalam perebutan tahta telah menjadi
sebab mundurnya perdagangan. Dampak perang
perebutan kekuasaan, rakyat pergi ke daerah lain yang
lebih aman. Hal ini menimbulkan pengaruh besar
terhadap hasil komoditi perdagangan, karena penduduk
tidak hanya meninggalkan rumahnya namun juga lahan
pekerjaan mereka. Korban jiwa di kalangan rakyat akibat
perang juga mengakibatkan kurangnya tenaga kerja.6

6
Ibnu Wicaksono, “Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas
Perdagangan Nusantara abad ke-XVIII” (Skripsi pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 1431 H./2010 M), hlm. 72;
lihat juga Hans Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History
of Southeast Borneo, 1600-1880 (Leiden: KITLV Press, 2001), hlm.
265.
316
Gambar 7.1. Perkebunan lada/sahang di area Onderneming
Pramoean Besar, Pulau Laut, Borneo (Kalimantan) bagian tenggara
tahun 1900 an. Sumber: KITLV.

Surutnya perdagangan lada di Banjarmasin hampir


sama kasusnya dengan matinya perdagangan lada di
Jambi. Turunnya harga lada di pasaran Eropa
menyebabkan penurunan intensitas penanaman lada.
Petani di daerah hulu enggan menanam lada. Selain itu,
daerah hulu yang jauh dari pusat kekuasaan kesultanan
enggan adanya monopoli perdagangan lada yang
menyebabkan harga lada dibeli murah. Petani di hulu pun
mengalihkan tanamannya ke tanaman lain, seperti padi. 7

Arman, Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII, hlm. 102 -


7

103.
317
Kondisi di Kesultanan Banjar berbeda dengan
daerah penghasil lada lain di Sumatra, seperti Bangka
Belitung, Lampung, dan Palembang. Pada daerah Bangka
Belitung tanaman lada dianggap tanaman kultural. Saat
harga lada anjlok, petani lada membiarkan tanaman lada
tidak terawat. Petani menggantungkan hidupnya dari
sektor pertanian lain. Saat harga lada kembali bagus,
petani kembali mengelola tanaman ladanya. Petani
meninggalkan penanaman lada karena harganya anjlok.
Hal ini dampak membanjirnya pasokan lada ke Eropa
berimbas terjadinya penurunan harga. Istana atau pihak
Kesultanan Banjar merasakan dampak penurunan
perdagangan lada di Banjarmasin. Selama ini sultan dan
bangsawan Banjar terlibat dalam bisnis lada. 8
Mundurnya perdagangan pada akhir abad ke-18,
juga disebabkan ekosistem tidak seimbang. Terjadinya
erosi, mengakibat-kan pendangkalan terhadap sungai
yang berdampak sulitnya kapal memasuki wilayah
Banjarmasin. Ditambah kemarau panjang dari tahun 1776
juga menjadi sebab permukaan air sungai menurun.9 Hal
ini pada akhirnya mendorong sebagian rakyat
mengalihkan usahanya dan mulai menanam lahan
pertanian lain seperti, karet, tembakau dan padi untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
8
Ibid.
9
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm.73; lihat juga
Sulandjari, “Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin
(1747-1781)” (Tesis pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Depok, 1991), hlm. 110.
318
B. Undang-Undang Sultan Adam Tahun 1825 & Pengaturan
Pemilikan Tanah
Keberadaan Undang-Undang Sultan Adam/UUSA
tahun 1825 yang diterapkan di Kesultanan Banjar turut
memberikan dampak tidak langsung bagi “matinya”
budidaya dan perdagangan lada di Borneo bagian
tenggara. Undang Undang ini mengatur pemilikan tanah
yang tidak bisa lagi semena-mena dikuasai para
bangsawan. Demikian juga dengan komoditas yang
ditanam tidak bisa lagi dikontrol langsung, seperti pada
kasus sebelumnya ketika tanah masih banyak dikuasai
kalangan bangsawan berupa tanah apanaze.
Dalam Undang-Undang Sultan Adam/UUSA tahun
1825, terdapat beberapa pasal mengatur kepemilikan
tanah. Seperti pasal bahwa setiap transaksi tanah
diharuskan didaftar atau setidak-tidaknya diketahui
hakim dan ada suatu tanda pendaftaran tertulis yang
dibuat hakim. Setiap orang menjual sawah kebun sudah
lebih dari 20 tahun, kemudian terjadi gugatan dengan
alasan seperti bahwa sawah itu harta warisan yang belum
dibagi, gugatan itu tidak berlaku. Di sini digariskan adanya
tenggang waktu kadaluwarsa dalam berbagai transaksi
tanah yaitu selama 20 tahun, baik pemilik asal maupun
pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang
dijualnya.10

10
Abdurrahman, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Kalimantan Selatan”, Majalah Kalimantan Scientie, Universitas Lambung
319
Gambar 7.2. Lukisan Sultan Adam al Watsiq Billah, Tahun 1844.
Sumber: lukisan "Sultan Adam", tahun 1844, koleksi KITLV image.

Pada pasal lainnya, bahwa tidak ada larangan bagi


setiap golongan menggarap tanah sekaligus menentukan
komoditi yang ditanam. Di sini tidak dikenal semacam hak

Mangkurat No. 18 Tahun VIII, 1989; lihat juga Abdurrahman, “Undang-


undang Sulthan Adam dan Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar”,
Majalah Orientasi no. 2 tahun II, 1977.
320
ulayat menurut ciri-ciri umum. Tanah bekas ladang yang
ditinggalkan orang kira-kira dua musim atau lebih akan
kembali menjadi padang tidak ada pemiliknya jika di
tanah tersebut tidak ada tanda-tanda hak milik berupa
tanaman atau galangan. Dalam pasal/perkara 17 UUSA
dituliskan bahwa :
“Siapa-siapa jang baisi tanah pahoemaan atau
doekoeh atau djenis milik lain daripada itoe jang
bersanda pada waktoe ini atau handak
mendjandakan jang terdjoeal atau handak
mandjoeal atau tersewakan atau handak
menjewakan atau jang terkadoeakan atau handak
mengadoeakan atau jang terindjamkan atau
handak maindjamkan datang kepada hakim
bersaksi dan hakim itoe koesoeroeh baoelah
soerah besar milik dan hakim soerah besar tempat
segala tarich itoe soepadja digadoeh oleh Hakim-
Hakim ganti berganti dan apabila taboes
manaboes datang djoea kepada hakim boleh
memboeang kadoeanja tarich itoe maka ampoenja
milik dan orang saorang orangnja memberi kepada
hakim lima doeit.” 11

Pasal ini mengatur tentang masalah tanah bahwa


barang siapa yang mempunyai sawah atau tanah kering
atau jenis hak milik lainnya yang digadaikan atau hendak
menjual disewakan atau hendak menyewakan, meminjam

11
Seman & Samsiar, “Meninjau Naskah Lama Undang-undang
Sulthan Adam”, Orientasi No. 2 Tahun. II, 1977.
321
dengan syarat bagi hasil (mangdoeakan) harus melapor
kepada hakim dengan membawa saksi-saksi. Kemudian
hakim membuatkan surat pengesahannya dua rangkap,
satu rangkap bagi pemilik asal dan satu rangkap untuk
pihak kedua. Hakim harus membuat buku besar yang
berisi tentang masalah-masalah seperti itu supaya dapat
diketahui bagi hakim selanjutnya ganti berganti. Biaya
untuk pembuatan surat-menyuratnya sebesar lima duit.
Di sini terlihat adanya aturan yang jelas karena semua
harus didaftar pada hakim atau ada tanda pendaftaran
dari hakim. Selain itu terdapat aturan tentang tanah
lainnya yang tertulis dalam pasal/perkara 23 bahwa :
“Sekalian orang jang telah berdjoeal tanah
pahoemaan ataoe doekoeh ataoe lain-lainja pada
zaman dahoeloe sama ada soedah tardjoealnja
kalain lain benda itoe ataoe tatap adja di dalam
tangannja maka manoentoet karabatnja nang
mandjoeeal itoe menda’wi berserikat lawan diija
lagi baloem dibagi banda itoe dan djikalaoe
moefakat jang manda’wo berserikat dengan jang
mandjoeal itoe sekalipoen apdahal lawannya
banda jang di dalam tangan jang manoekar itoe
doea poeloeh tahoen ataoe lebih maka anjar
menda’wi pada hal hidoep kadoeanja lagi hadir
kadoeanja di dalam masanja jang tersebut itoe di
dalam tangan jang manoekar maka tiada
koebariakan jang mandjoeal itoe ataoe jang
manda’wa berserikat itoe manaoetoet kepada
hakim-hakim dan segala hakim-hakim tiada djoea

322
koebariakan membitjarakan djoea sebab karena
lawas”. 12

Menurut ketentuan pasal ini bahwa setiap yang


menjual sawah atau kebun dan lainnya pada masa
lampau, baik barang yang dijual itu tetap berada di
tangan si pembeli maupun sudah berpindah tangan,
timbul tuntutan dari salah seorang keluarga bahwa
barang yang dijual itu adalah miliknya bersama atau harta
warisan yang belum dibagi paraid, pada terjualnya sudah
lebih 20 tahun, pada masa hidupnya ia bersama-sama
tetapi baru saja dia menggugat maka tuntutan itu tidak
berlaku dan para hakim dilarang memeriksa perkara itu.
Sehubungan dengan ketentuan ini, terdapat
pasal/perkara 26 dituliskan bahwa :
“Mana-mana pahoemaan dan doekoeh jang
soedah dijoeal ataoe soedah dibagi oleh orang
toenja ataoe oleh hakim pada hal masyhoer
wantar didjoeal toekarnja atauoe bahagianja itoe
apalagi djika ada saksi kerabat ataoe pasah
sekalipoen maka soedah sepoeloeh tahoen atawa
lebih maka tiada boeleh anak tjoetjoenja dan
karabatnja membabak manoentoet kepada hakim
kamoedian daripada soedah mati jang mendjocal
ataoe jang manarima bahagi”. 13

12
L.J, Van Apeldoorn, Inleding tot de Studies van het Nederlands
(Leiden: Recht, 1952).
13
Abdurrahman, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Kalimantan Selatan, hlm. 2.
323
Dalam pasal ini disebutkan bahwa apabila sawah
atau kebun yang sudah dijual atau sudah dibagi oleh
orang tuanya dan umumnya mengetahuinya apalagi ada
saksi dari kerabatnya sendiri, anak cucunya tidak
diperkenankan membatalkan sawah atau kebun yang
telah dijual atau telah dibagi itu. Kemudian pada
pasal/perkara 27 termaktub:
“Siapa-siapa jang menang bahoekoem tiada boleh
orang jang menang itoe menoetoet sewa tanahnja
itoe pada jang kalah bahoekoem selama
perhoemaan di dalam tangannja itoe adanja”. 14

Dalam pasal ini dijelaskan bahwa barang siapa


yang menang dalam perkara sengketa tanah, yang
menang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang
kalah. Jadi maksunya meskipun tanah itu beberapa tahun
berada di tangan pengusaha yang tidak berhak, tetapi
apabila tanah itu kembali kepada yang berhak sebagai
akibat menang perkara, si pemenang tidak boleh
menuntut sewa tanah kepada yang kalah selama tanah
itu dikuasai oleh yang kalah. Pasal-pasal 23, 26 dan 27
meskipun tidak dicantumkan hukumnya dalam kitab fiqih,
namun Agama Islam memberikan wewenang kepada
setiap penguasa atau kerajaan untuk menentukan yang
mana yang baik demi terjaminnya keadilan dan

14
Ibid.
324
ketertiban.15 Berikutnya, pasal/perkara 28, tertulis bahwa
: “Siapa-siapa jang handak bahoema di dalam watas
Halabioe ataoe Negara ataoe lainnja maka jaitoe boeleh
orang mangakoei watas jang tiada dioesahanija dan
perhoemaannja dan tiada boleh orang maharoe biroe”. 16
Pasal ini menjelaskan tentang kebebasan bagi
setiap warga dalam wilayah kerajaan untuk mengerjakan
sawah khususnya di daerah Alabio, Negara, dan lainnya,
tidak diperbolehkan penduduk lainnya untuk
melarangnya dan tidak boleh seseorang mengakui batas
sebidang tanah yang tidak dikerjakan. Dari pasal ini dapat
dilihat bahwa pada waktu dahulu khususnya pada masa
kerajaan tidak ada keutamaan penduduk di suatu daerah
tertentu atas tanah yang di dalam wilayahnya sehingga ia
dapat melarang orang dari daerah lain yang akan
mengerjakan tanah itu. Hal ini juga menunjukkan bahwa
di daerah ini khususnya wilayah kerajaan Banjar tidak
dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum.17
Berikutnya, pada pasal/perkara 29 dipaparkan bahwa:

15
M. Asywadie Syukur, “Perkembangan Hukum Islam di
Kalimantan Selatan”, Makalah pada Seminar Perkembangan Hukum
Islam di Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin, 1988,
hlm. 7
16
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan,
(Banjarmasin: Fajar, 1953), hlm. 23; Bundel Adatrechts Borneo’s, vol. XIII
(Gravenhage Martinjnus Nijhoff, 1917), hlm. 310.
17
Ahmad Gazali Usman, “The Influence of Sultan Adam’s 1835 Act
on the Traditional Land Tenure in Banjarese Region South Kalimantan”,
Paper dalam Borneo Research Biennial International Conference, Kinibalu
Sabah Malaysia, 13-17 Juli 1992, hlm. 102.
325
“Mana-mana padang jang ditinggalkan orang kira-
kira doea moesim ataoe lebih maka kembali
mendjadi padang poelang dan tiada tanda milik
djadi tattamanja atawa galangan ataoe sungai jang
menghidoepi tanahnja itoe maka diganai poela
oleh jang lannja itoe serta ditetapinja maka tiada
koebarikan orang jang dahoeloe itoe menghendaki
lagi atas menoentoet kepada hakim-hakim.” 18

Pasal ini mengatur tentang tanah bekas ladang


yang ditinggalkan oleh penggarapnya selama dua tahun
atau lebih, kembali menjadi padang atau tanah yang tidak
ada yang memilikinya dengan syarat tidak ada bekas-
bekas tanda yang memilikinya seperti “galangan” atau
tanggul, sungai yang digali untuk mengairi sawah itu.
Pasal ini mengatur kebiasaan penduduk yang
mengerjakan tanah secara berpindah (shifting cultivation)
dan kemungkinan membuka tanah yang belum pernah
dibuka yang lebih subur. Bekas tanah garapan ini apabila
ditinggalkan selama dua tahun tidak ada yang memiliki
dan tidak boleh menuntut kalau orang lain yang
mengerjakannya. Pasal-pasal 28 dan 29 tentang
pengolahan tanah dan menterlantarkan tanah diatur
sesuai dengan hukum Islam yang dalam ilmu Fiqih disebut
hakut tahjir19 tetapi menurut Adijani Al Alabi disebut

18
Ibid.
19
Syukur, Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan.,
hlm. 7.
326
Ihyanul Mawat, yaitu menghidupkan tanah yang sudah
mati.20
Pasal-pasal yang menyangkut tentang masalah
pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah
tertuang dalam pasal/perkara 17, 23, 26, 27, 28 dan pasal
29 dari Undang-undang Sultan Adam. Meskipun Undang-
undang Sultan Adam tersebut sudah dihapus sejak
Belanda menguasai Kerajaan Banjar tahun 1860, tetapi
dalam perkembangannya pola penguasaan, pemilikian
dan pola penggunaan tanah seperti tercantum dalam
pasal-pasal itu tetap berlaku secara tradisional di
kalangan masyarakat Banjar. Segala permasalahan yang
timbul dari akibat penguasaan, pemilikan dan
penggunaan tanah ini selalu hukum atau undang-undang
adalah merupakan jalan terakhir yang ditempuh. Dalam
hal ini peranan kepala desa atau pambakal sangat besar.
Pambakal yang menandatangani segel tanah yang sampai
sekarang merupakan bukti yang dipercaya dalam masalah
pemilikan tanah.21
C. Perang Banjar & Penghapusan Tanah Apanaze
Perang Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859
dan berakhir pada tahun 1905 membawa akibat-akibat
sosial politik bagi daerah Banjar dan rakyat Banjar itu
sendiri. Akibat-akibat itu antara lain adalah dihapuskan
20
Adijani Al Alabij, “Interaksi Antara Hukum Islam dengan Hukum
Adat di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Seminar Sejarah
Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum
UNLAM, Banjarmasin, 1989, hlm. 10.
21
Usman, The Influence of Sultan Adam’s 1835, hlm. 18.
327
Kesultanan Banjar dan seluruh bekas daerah kerajaan itu
dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en
Ooster Afdeeling van Borneo. Kota Martapura sebagai
bekas ibu kota kerajaan sejak tanggal 19 Juni tahun 1864,
susunan pemerintahnya dipimpin oleh Kapten C.J. Meyer
sebagai Kepala militer dan sipil, B.J. Suringa sebagai
pembantu bagian sipil, Pangeran Jaya Pemenang sebagai
regent, Raden Rastan dijabat Jaksa, Haji Muhammad
Khalid (Mufti), Kiai Suta Marta sebagai Kepala Distrik
serta Haji Makhmud (Penghulu).22
Pada sisi lain akibat Perang Banjar tahun 1859-
1863 adalah tersisihnya satu lapisan super elite dan satu
lapisan aristokrat fungsional dari birokrasi lama. Perang
Banjar diartikan sebagai suatu “religius expression of
secular conflict” yang bersifat politik ekonomis dan sosial
kultural, dalam arti khusus mempertahankan kedudukan
dan sistem kesultanan di bawah Pangeran Hidayat
sebagai sultan yang menurut tradisi dan wasiat Sultan
Adam adalah sah. Dalam arti umum Perang Banjar itu
berwujud sebagai “a religio-political attack” atas penjajah
kafir. Perang Banjar adalah perang suci, perang sabil,
perang sebagai jihad fi sabilillah. Golongan yang paling
terpukul sebagai akibat dari perang ini adalah golongan
bangsawan sebagai interest group. Pangeran Hidayat
adalah “tatuha bubuhan raja-raja” yang kedudukannya

22
Mohamad Idwar Saleh, “Some Notes on the Banjerese Royal
Apanase and its Abolition in 1863”, Makalah pada Seminar Sejarah di
Kuala Lumpur – Malaysia, hm. 2.
328
diakui sesuai dengan wasiat Sultan Adam, tulang
punggung dan pusat harapan golongan bangsawan.
Hilangnya Pangeran Hidayat berarti harapan-harapan ke
arah kemungkinan restorasi tertutup sama sekali, yang
berarti pula tersisihnya mereka sebagai ruling-class dan
lenyapnya kebesaran-kebesaran tradisional, lenyapnya
kekuasaan di masa lampau. 23
Dalam Gouvernements Indisch Besluit tanggal 17
Desember 1859 telah diputuskan bahwa Kesultanan
Banjar tidak lagi diberikan sebagai pinjaman (vazal)
kepada salah satu calon sultan yang akan datang. Sebagai
realisasi putusan ini Komisaris Guberneman F.N.
Nieuwenhuyzen telah mengeluarkan Besluit 11 Juni 1860
No.24 berupa proklamasi penghapusan Kesultanan
Banjar. Pada akhir proklamasi itu disinggung pula masalah
pemungutan hasil dan pemilikan tanah apanaze. Tanah
apanaze yang selama ini menjadi tulang punggung dan
lokasi utama penanaman lada, dihapuskan dan kepada
mereka akan diberi diganti rugi, tetapi bagi pemilik tanah
apanaze yang ikut dalam Perang Banjar tidak
memperoleh ganti rugi.24

23
Ibid.
24
M. Suriansyah Ideham, dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya
(Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007), hlm. 202;
lihat juga Abdul Rachman Patji, Etnisitas & Pandangan Hidup Komunitas
Suku Bangsa di Indonesia: Bunga Rampai Ketiga Studi Etnisitas di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2010), hlm. 198.
329
Tanah apanaze merupakan sumber penghasilan
sultan dan seluruh golongan raja-raja, terutama dalam
penanaman lada yang memberikan banyak keuntungan.
Tanpa tanah apanaze kedudukan sosial, pengaruh, dan
wibawa golongan bangsawan akan surut. Mereka yang
terlibat langsung dalam Perang Banjar yang oleh Belanda
disebut “pemberontak” tidak memiliki hak ganti rugi
tanah apanaze yang dihapus. Dalam kategori ini termasuk
Pangeran Hidayat dengan seluruh keluarga, pangeran
Antasari, Pangeran Aminullah dan mertuanya Pangeran
Prabu Anom. Di samping itu juga termasuk golongan
aristokrat fungsional yang membantu perlawanan. 25
Sebagai perbandingan, mengenai tanah apanaze
yang dikuasai Nyai Ratu Komala Sari, Ratu Syarif Husein
Darmakasuma, Ratu Kasuma Negara, dinyatakan disita
untuk Gubernement dengan alasan mereka tidak mau
menyerahkannya dan menahan perhiasan-perhiasan
mahkota yang menjadi milik kesultanan. Keputusan
penghapusan tanah apanase ini dikeluarkan Gouverneur
General Hindia Belanda tertanggal 18 Agustus 1863
no.29. Penaksiran toelage atau ganti rugi tanah apanaze
yang dihapus disesuaikan dengan penghasilan tanah itu.
Dari hasil penaksiran toelage ganti rugi yang dilaporkan
ke Betawi sebesar f. 84.777,34 setiap tahun. Jumlah ini
dianggap Betawi terlalu besar, dan selanjutnya

25
Ibid.
330
menetapkan Residen hanya boleh mengeluarkan f.
20.000,- setahun sebagai taksiran maksimum. 26

Tabel 7.1. Daftar Tanah Apanaze Yang Dihapuskan


Berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda
No. 29, 18 Agustus 1863

Lokasi Tanah Jumlah Kompensasi


No. Nama
Apanaze Bulanan
1. Pg. Kartasari Tambang Diwarisi dari ayahnya
berlian Si Djalun
di Karang Intan,
sama dengan
sebelumnya di
Sei Rapat f.60,-
2. Pg. Tasin Lanskap Sultan Soleiman
Amawang menyerahkan tanah ini
kepada putranya, pg.
Tasin, Cap tangan
Lurah Budjal, dengan
kepala wilayah ketua
Amawang sebagai
wakilnya
3. Pg. Nasaruddin Tabudarat, Sei Cap dari Sultan Adam
Gatal
f.20,- ,
Margasari f.50,-
4. Gt. Idjah Benua Idem
Kandangan, Sei
Kudung, f.25
5. Pg. Abdullah, Benua Paringin, Diwarisi dari ayahnya
Pg. Moh. Benua Pitap, Pg. Surya Mataram,
Seman Ratau, Batang Cap dari Sultan Adam

Ibid.
26

331
Kulur, Tabalong,
Bamban, f.150,-
6. Gt. Sura, Banua Paringin, Sons of Pg. Kasuma
Gt.Lalang, Pamarangan, Wijaya. Cap dari Sultan
Gt. Kasim Paian, tambang Sulaiman
berlian sei Asam
(Karang Intan)
f.155,-
7. Pg. Moeksi, Pg. Benua Cap dari Sultan Adam
Jamal, Kalahiang,
Rd. Daud tambang berlian
Saligsing (Gn.
Kupang)
Tampuang, Alat
(Gn. Luwak) f.
45,-
8. Pg. Suriawansa Tambang idem
berlian Kalabau
Bungkuk (sie
Rasung) f.20,-
9. Pg. Demang a. Tambang idem
berlian Anangi
(Mataram)
b. Padang Pulai
Babi, hunting
field, f.20,-
10. Pg. M. Tambak Sei Ulu Banua. Dia menyewakan
Anyar Balumbu, semua sungai yang
Djambak dikuasainya ke Haji
Badatu, Hadjar Moh. Taip sebesar
Badatu, Pihanin, f.2.700 per tahun.
Danau Manuk,
Batantangan, Hasil tahunan f.300
Soenga-loan, misalnya lortoise
Diwata Besar. sungai. 700 butir telur
Sei Lapat, bebek. 400 ikan kering,
Panyubarangan, 300 ikan pipih.
Bietin, Sam- Mendapat tonase dari
332
budjur, Lampur, tambang batubara.
Tumpang, Menghasilkan seperti
Awang, Kalum- halnya padi dan rotan
pang, Luang,
Hakurung,
Danau Pang-
gang, Banyu
Irang, Ampang.
Barabidja.
Boenkoe Nasi,
Batara Gangga,
Bajayan dan
sawah di
sekitarnya,
tambang emas
dan berlian di
Riam Kiwa, f....?
11. Ratu Achmad Sei Pasipatan Cap dari Sultan Adam
(Martapura)
pohon lebah di
Binuang
(Padang Alalak)
f....?
12. Kiai Desa Pasar Laut Komisi menyimpulkan
Tumenggung po-tase f. 60,- bahwa anak-anak Kiai
Dipa Nata or Sirap f.40 yang bisa
Kiai Adipati Pamarang f. 40,- mendapatkan
Danuradja Baru f. 80,- kompensasi ;
Panyambaran f. a. Kiai Warga Kasuma
8, Tanjung f,50, b. Kiaji Demang Nata
Bukit Damar : Negara
menghasilkan ½ Cap dari S. Adam
thail atau 380 Menurut komisi danau-
gantang padi danau ini tidak
menghasilkan apa-apa.
Sungai/danau
Danau
Baganting,
333
Kanta, Bilungka,
Bangkal,
Poelantan,
Panggang,
Bakang, Jadjoet,
Sampoeng
Banua,
Sambung Dua,
f.15,-
13. Kiai Puspa Sei Raya Cap dari S. Adam
Dirdja or Patih memberikan
Guna Wijaya penghasilan per
tahun sebanyak
f. 15,- f.200
)1000 gantang
padi), 100
gantang padi
14. Putri Nor Sei Taboek, Sei Putri of. Pg. Marta
Aboemboen, Sei Kasuma, cap dari
Pamakuan, f. Sultan Adam
15,-
15. Pg. Ibrahim Memiliki tanah
di Banjarmasin,
f. 10,-
16. Pg. Djaja Kp. Simpur, Apanaze cap dari
Pamenang Asam, Sirih tam- pembelian S. Adam,
bang intan di cap dari Sultan Adam.
Oetan Padang,
tanah Taluk
Haur, f.500,-
17. Pg. Sie Tabu Karsa, Inherited Apanage
Mangkubumi f. 16,-
Paku Dilaga
18. Andin Kalung Sei Batang Cap dari S. Adam.
Banyu Mati dan
sekitarnya
Sumber: Suriansyah Ideham, et.al, 2003.

334
Untuk menetapkan besar kecilnya toelage ganti
rugi yang ditetapkan kepada para bangsawan yang berhak
menerimanya dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh
Regent Martapura, Pangeran Jaya Pemenang yang
dibantu Kiai Patih Goena Wijaya. Mereka dianggap paling
mengetahui tentang tanah apanaze ini. Hasil kerja komisi
yang kemudian disetujui Residen besarnya toelage ganti
rugi yang dibayar pemerintah Belanda hanya sebesar
f.14.556,- setiap tahun. Dari jumlah penghasilan tanah
apanaze yang diperoleh para bangsawan ditaksir sebesar
f.84.777,34 tetapi yang dapat disetujui untuk dibayar
hanya sebesar f. 14.556,- Betapa merosotnya sumber
ekonomi rumah tangga para bangsawan yang tidak ikut
dalam perang atau yang ikut membantu Belanda dalam
perang itu. Para bangsawan yang memperoleh ganti rugi
sebanyak 29 orang dan dari jumlah ini, 6 orang dari
golongan aristokrat fungsional dan 23 orang dari
golongan bangsawan biasa. 27
Di antara 23 orang bangsawan yang memperoleh
ganti rugi paling banyak adalah Pangeran Jaya Pamenang,
jabatannya dalam struktur baru pemerintahan Belanda
adalah Regent Martapura yang dijabatnya sejak tahun
1861 dan kemudian sebagai Ketua Komisi Penetapan
toelage ganti rugi tanah apanase besarnya f. 6.000,-
setahun. Merosotnya penghasilan kaum bangsawan itu
dapat dilihat pada anak-anak dan keluarga almarhum

27
Tim Penulis, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin:
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977), hlm. 60.
335
Pangeran Soeria Mataram yang diberi toelage sebesar
f.100,- sebulan atau f.1.200,- setahun, padahal
penghasilan tanah apanase ini pada masa kerajaan adalah
sebesar f.10.000,- setahun, di samping pemasukan
lainnya. Contoh golongan aristokrat fungsional adalah
tiga bersaudara putra Kiai Adipati Danoeradja. Mereka
mendapatkan f.15,- per-orang atau sebesar f.450,- untuk
bertiga pertahunnya, padahal penghasilan pada masa
kerajaan sebesar f.8.000,-pertahun.28

Gambar 7.3. Raden Tumenggung Kasuma Yudha Negara bin Raden


Adipati Danoeradja (tengah) dan Pengawalnya. Sumber: Koleksi Hj.
Syahrizada binti Anang Alie Bassa bin Anang Djamain bin
Tumenggung Kasuma Judhanegara bin Raden Adipati Danoeradja,
Banjarmasin.

Ibid., hlm. 61.


28

336
Bagi golongan bangsawan tindakan ini merupakan
pukulan terakhir dalam bidang ekonomi, suatu tindakan
pemerintah Belanda yang paling menentukan bagi
kelangsungan mereka mempertahankan status sosial
dalam hierarki sistem status yang baru sekaligus
eksistensi penanaman lada. Di samping itu golongan ini
menghadapi perubahan sosial yang amat cepat dan
sistem nilai yang baru dalam struktur pemerintahan
Hindia Belanda. Perubahan status sosial ekonomi sesudah
tahun 1863 setelah Perang Banjar selesai pada tahun
1905 daerah dan masyarakat Banjar mengalami
perubahan. Pada masa sebelum perang, Urang Banjar
merupakan warganegara dari sebuah kerajaan merdeka
yang mempunyai kedudukan sederajat dengan bangsa-
bangsa merdeka lainnya. Akan tetapi setelah perang usai,
bangsa Banjar yang sebelumnya merdeka, turun
derajatnya menjadi bangsa jajahan dan hanya dikenal
sebagai inlander Hindia Belanda.29
Daerah Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan
dimasukan dalam suatu bentuk tatanan ketatanegaraan
baru menjadi sebuah residensi dari Pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengkonsolidasi pemerintahan dibentuk
organisasi baru yang modern dan sentralistis. Golongan
bangsawan fungsional yang merupakan elite ruling class

29
Mohamad Idwar Saleh, dkk, Sejarah Daerah Tematis Zaman
Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan (Banjarmasin:
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1986), hlm.
166.
337
lenyap dan kedudukannya digantikan golongan birokrasi
Hindia Belanda. Kecuali daerah Barito, seluruh daerah
Hulu Sungai terbuka bagi lalu lintas perdagangan. Sistem
talian yang amat mencekik para pedagang dihapus;
ketertiban dan keamanan memungkinkan timbulnya
usaha-usaha baru. Hubungan perdagangan langsung
dengan Surabaya dan Singapore membuka perspektif bagi
pengusaha perkebunan untuk menanam tanaman lain
selain lada yang menghasilkan keuntungan untuk
diekspor, selain mengekspor hasil-hasil hutan seperti
rotan, damar, lilin. Perdagangan dari kalangan rakyat
biasa berkembang. 30
Perubahan ini sangat mempengaruhi kelompok
kaum bangsawan dan sesudah tahun 1863 yaitu setelah
tanah apanaze sumber penghasilan kaum bangsawan
dihapus oleh Belanda. Kaum bangsawan menghadapi
krisis prestise. Dengan dihapusnya kerajaan, kekuasaan
politik pemerintahan pindah ke super elite baru,
pemerintah Hindia Belanda. Kedudukan politis kaum
bangsawan sama dihadapan penjahan Belanda, sebagai
“inlander” mempunyai kewajiban sama membayar pajak
dan lain sebagainya. Kaum bangsawan tidak memperoleh
hak sebagai pelaksana politik kecuali bagi mereka yang
memperoleh pendidikan tertentu. Gelar kebangsawanan
lama-kelamaan tidak membawa pengaruh apa-apa di
kalangan rakyat urang Banjar. Masyarakat Banjar berjiwa
dagang dengan semangat Islam tinggi dan menghargai
30
Ibid, hlm. 48.
338
seseorang bukan dengan dasar gelar kebangsawanan
atau harta benda, tetapi dengan dasar ketaqwaan
terhadap Allah, karena itulah golongan ulama mendapat
kehormatan sepanjang masa.31
Pedagang Banjar akhirnya muncul sebagai
pedagang kelas menengah dan menguasai perdagangan
hasil hutan daerah Barito. Perdagangan mereka cukup
kuat dan perdagangan Urang Banjar menggunakan kapal-
kapal layar sendiri sampai menjalani rute Banjarmasin-
Singapore-Madras India. Perdagangan Sungai Barito
dikuasai golongan pedagang Banjar dan ketika Borsumy
membuka kantor cabangnya di Banjarmasin, Borsumy
terlebih dahulu berunding dengan kelompok pedagang
Banjar agar operasional mereka tidak terganggu. 32
Akibat perubahan situasi ekonomi, maka golongan
bangsawan kedudukannya merosot, mereka menjadi
golongan yang diatur tata ekonominya dan menjadi
golongan konsumtif serta posisi mereka menurun. Hal ini
membawa akibat dalam bidang kebudayaan. Hilangnya
keraton, menyebabkan sarana perkembangan kesenian
klasik berkurang ditambah sikap golongan ulama yang
tidak menyenangi budaya keraton. Kesenian klasik
mengalami kemunduran dan akhirnya hampir tidak
dikenal lagi di kalangan masyarakat Banjar. Dalam

31
Suriansyah Ideham, dkk., Sejarah Banjar (Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan,
2003), hlm. 222.
32
Ibid., hlm. 223.
339
masyarakat tradisional, golongan bangsawan merupakan
golongan yang memberi identitas kepada kebudayaan
masyarakat Banjar di samping Islam. Sesudah tahun 1863
golongan ini krisis nilai, sehingga kedudukan mereka
sebagai kekuatan sosial lemah dan berangsur-angsur
beralih ke lapisan sosial yang lain dan akhirnya
mengalami krisis identitas. Identitas bangsawan yang
masih ada hanya berupa gelar-gelar di depan nama yang
tak berfungsi lagi ditinjau dari segi status bangsawan
seperti semula.
D. Emas Hitam Sang Primadona, Batubara Pesaing Lada
Setelah kegagalan budidaya lada ala Inggris di
daerah Maluka, Tanah Laut, tahun 1811-1816 dan
kembali bercokolnya Belanda di Borneo bagian tenggara
sekitar tahun 1816, tidak ada lagi budidaya lada dalam
jumlah atau skala besar. Walaupun pada sisi lain masih
terdapat lada yang ditanam dalam skala kecil. Dalam
perkembangannya hingga tahun 1848, pemerintah Hindia
Belanda mulai menggantikan komoditas andalan lada
menjadi batubara. Berawal dari kebijakan yang diambil
pemerintah Belanda, menyewa tanah apanaze milik
pangeran Mangkubumi Kencana, Mangkubumi pada masa
Pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, untuk
membuka tambang batubara di daerah Pengaron. Sewa
tanah itu sebesar 10.000 Gulden setahun. Belanda
berinisiatif mengeksploitasi sumber batubara tersebut. 33

33
M. Idwar Saleh, “Agrarian Radicalism and Movements of Native
Insurrection in South Kalimantan (1858-1865), dalam Archipel, volume 9,
340
Waktu itu Batubara sedang mempunyai banyak
peminat di pasar dunia dan sumber batubara tersebut
banyak ditemukan di daerah Kesultanan Banjar. Pada
tahun 1849 tambang batubara dibuka di Pengaron oleh
Gubernur Jenderal J.J. Rochassen dengan nama Tambang
Batubara Oranje Nassau. Tambang ini berproduksi 10.000
ton pertahun. Sempat ditutp pada masa Perang Banjar
tahun 1863, kemudian dibuka kembali tahun 1864.
Pembukaan pertambangan pasca Perang Banjar itu
memberikan kesan optimisme dan diharapkan sukses
seperti tambang yang telah ditutup di Martapura, Julia
Hermina dan Delft karena beberapa pegawai Belanda
terbunuh selama Perang Banjar (1859-1905). Risiko
seperti yang dihadapi kedua tambang di Martapura itu
tidak mengecilkan semangat investor menanamkan
modalnya pada usaha itu karena prospeknya yang
kelihatan cerah. Kompetisi di pasaran terjadi dengan
batubara yang diproduksi Inggris, karena kemampuan
kapal-kapalnya yang mempunyai daya angkut besar
sehingga dapat menekan harga angkutan dari Asia ke
Eropa. 34

1975, hlm. 135 - 153. Pangeran Mangkubumi adalah saudara Sultan


Adam bernama Mangkubuminata. Bulan Februari 1842 beliau meninggal
dan digantikan anak Sultan Adam kedua, Ratu Anom Mangkubumi
Kencana. ANRI, Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848
(Jakarta: ANRI, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.5, 1973), hlm.
xciii.
34
E.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsche Indie, Deel V
(Amsterdam, 1940), hlm. 319; lihat juga Arsip Koran, artikel "Stenkolen
341
Gambar 7.4. Wilayah Sungai di sekitar Tambang Oranje Nassau
Pengaron yang Diperkirakan untuk Transportasi Pengangkutan
Batubara. Sumber: Lukisan Van Rees, De Bandjermasinsche Krijg van
1859-1863, I, II. Arnhem: D. A.Thieme.

Setelah Tambang Batubara Oranje Nassau tidak


beroperasi lagi tahun 1884, muncul Perusahaan Batubaru
Pulau Laut yang didirikan pada 1903. Modal besar dari
rencana 180.000 menjadi 2 juta gulden untuk membuat
laporan tentang situasi geologi daerah itu. Berdasarkan
laporan ini banyak pemilik modal berminat menanamkan
modalnya. Persiapan cukup matang diperlukan agar para
investor dapat bekerja dengan baik, yakni membangun

Exploitatie", Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie, 10


Jaargang, No.13, 1905, hlm.6; bandingkan dengan Tim Penulis, Sejarah
Daerah Kalimantan Selatan, (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah & Budaya, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 158.
342
jalan kereta tambang pengangkut batu, penyediaan
tenaga buruh dan sebagainya. Sejumlah modal dan
beratus-ratus kuli akan membawa perubahan pada
kehidupan ekonomi dan sosial di pulau sepi itu. 35
Ketika adminsitrator pertama J. Lousdorfer
mendarat di Kotabaru (ibukota Pulau Laut) pada 1908, dia
menjumpai keadaan masyarakat yang asing dari
pengetahuannya, yakni mereka hidup dengan aturan
berbeda dengan yang dikenalnya. Produksi dari pabrik di
Pulau Laut sebanyak 80.000 ton per tahun 1905. Pada
tahun 1908 kemampuan produksi maksimum tercapai.
Jumlah pegawai bertambah dari 150.000 orang kuli
menjadi 2,300 orang kuli pada tahun 1910. Pulau Laut
menjadi kekuatan ekonomi besar, menjadi daerah
tambang batubara terbesar di wilayah jajahan Belanda.
Pada tahun 1912 pertambangan itu menghasilkan
165.000 ton. Namun pada tahun-tahun berikutnya hasil
mengalami pasang surut karena persaingan dari negara-
negara produsen lain di pasaran dunia hingga akhirnya
ditutup pada tahun 1930-an karena resesi ekonomi.36

E. Varietas Lada Tergerus Karet


Pada awal abad ke-20 keberadaan lada di Borneo
bagian tenggara dianggap tidak lagi menguntungkan.

35
C.E. van Kesteren, “Lets Over en naar Aanleiding van de Indische
Begrooting voor 1880”, Indische Gids, November, hlm. 19 - 20.
36
Artikel "Stenkolen Exploitatie", Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch Indie, 10 Jaargang, No.13, 1905, hlm. 6.
343
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melirik komoditas
lain sebagai hasil alam andalan dari Borneo bagian
tenggara. Awalnya, batubara dilirik sebagai pengganti
lada karena dianggap menguntungkan sejak pertengahan
abad sebelumnya. Sayangnya batubara, dianggap masih
kurang potensial setelah penambangan berlangsung sejak
tahun 1848 hingga tahun 1884. Dengan tidak
menentunya pasaran batubara, pemerintah Hindia
Belanda yang telah memberikan perhatian pada potensi
daerah-daerah luar Jawa mencoba untuk mengusahakan
jenis komoditi lain.37
Dengan suksesnya tanaman tembakau di Deli,
maka dicoba pula untuk mengembangkannya di daerah
Banjar, namun ternyata hasilnya jauh dari memuaskan.
Hal itu bersamaan dengan waktu pasar dunia yang sedang
dibanjiri oleh permintaan komoditi jenis baru yakni karet,
yang diperlukan oleh industri mobil, yang baru mulai
berkembang saat itu. Untuk itulah para pengusaha swasta
yang telah diberi keleluasaan menanamkan modalnya di
tanah jajahan, ada yang mencoba membudidayakan karet
di daerah Banjar. Para pengusaha Eropa mulai
membudidayakan karet di daerah Banjar pada tahun
1906. Terdapat tiga daerah perkebunan besar yakni
Hayup di Tanjung, Tanah Intan dan Danau Salak di
Martapura. Ketiganya menggunakan tenaga kuli kontrak

37
Djoehana Setyamidjaja, Karet (Budidaya dan Pengolahan)
(Jakarta: Kanisius, 1993), hlm. 2; lihat juga R.Z. Leirissa, Sejarah
Perekonomian Indonesia (Yogyakarta : Ombak, 2012), hlm. 76 - 77.
344
dari Jawa dan dari daerah sekitarnya. Jenis kuli yang
terakhir inilah yang akan menjadi pengusaha karet
pribumi. Setelah masa kontraknya, terutama dari Hayup
selesai, mereka kembali ke kampungnya dan menanam
karet sendiri. Mereka sudah berpengalaman dalam
pengolahan karet selama bekerja di perkebunan Eropa. 38

Gambar 7.5. Perkebunan karet di Borneo tahun 1935. Koleksi : KITLV.

38
Tunjung, “Karet Dari Hulu Sungai Budidaya, Perdagangan dan
Pengaruhnya Terhadap Perekonomian di Kalimantan Selatan 1900-1940”
(Disertasi pada Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu
Sejarah, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia), hlm. 88 - 89.
345
Harga karet yang tinggi sebelum Perang Dunia I
mengakibatkan perluasan perkebunan karet di sana,
terutama di daerah Hulu Sungai. Banyak tanah sawah
yang dijadikan perkebunan karet. Tidak kurang dari 40%
kepala keluarga di Hulu Sungai mempunyai perkebunan
karet. Usaha budidaya karet di daerah Banjar kemudian
dipekuat oleh modal-modal asing di luar orang-orang
Belanda. Hayup dan Tanah Intan dikelola para pengusaha
Inggris, sedangkan Danau Salak pada 1917 dipegang
Jerman. Namun setahun sejak menduduki daerah Banjar,
perusahaan-perusahaan perkebunan karet itu dijual
kepada orang-orang Jepang dan sebagian kepada pemilik-
pemilik modal Cina. 39
Satu di antara pusat budi daya karet yaitu Hulu
Sungai yang terus menambah jumlah pohon karetnya.
Pada tahun 1924 terdapat sekitar 10 juta pohon yang
dimiliki sekitar 3.000 orang (rata-rata setiap pemilik
mempunyai 300 pohon). Jumlah itu terus bertambah
sehingga pada tahun 1963 terdapat tidak kurang dari 49
juta pohon dengan pemilik sekitar 12.000 orang dengan
luas perkebunan sekitar 50.000 hektar. Kebanyakan
pohon itu ditanam pada waktu memuncaknya
permintaan karet pada tahun 1920-an. Salah satu
keistimewaan dari budidaya karet di daerah Banjar adalah
bahwa pada mulanya mereka dipelopori pengusaha-
pengusaha asing, namun pada masa kemudian justru
yang memegang peran adalah para pemilik kebun
39
Ibid.
346
pribumi. Akibat dari naik-turunnya produksi karet dan
permintaan karet pasar dunia, yang dapat mengikuti
perkembangan harga hanyalah karet rakyat, karena
mereka menggunakan tenaga kerja lebih banyak dari
anggota keluarganya sendiri.40
Demikianlah berkembangnya budi daya karet di
daerah Banjar, maka pada sekitar tahun 1930-an
kesejahteraan penduduk meningkat dengan pesat. Hal ini
ditunjukkan antara lain dengan banyaknya rumah yang
dibangun di daerah Hulu Sungai, di samping itu
permintaan daerah Banjar akan barang-barang impor
sangat meningkat, misalnya banyaknya permintaan akan
sepeda, mobil dan sebagainya. Perekonomian daerah
Banjar dalam hal ini dapat diketahui, bahwa komoditi
mereka semuanya adalah komoditi pasar dunia. Oleh
karena itu pasang-surutnya juga sangat tergantung pada
permintaan pasar dunia, sehingga terjadi diferensiasi
jenis komoditi yang sangat besar, dari lada ke batu bara,
kemudian dari batubara ke karet. Tentunya variasi yang
lebih beraneka ragam akan tampil dari masa ke masa.

F. Perubahan Ekspansi Modal Swasta


Pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan
Selatan berjalan paralel dengan kepentingannya di bidang

40
Ibid.; Thomas Linblad, Antara Dayak dan Belanda (Jakarta: Lilin
Persada Pers, 2012), hlm. 57; Rlihat juga Mubyanto, dkk., Tanah dan
Tenaga Kerja Perkebunan; Kajian Sosial Ekonomi (Jakarta: Aditya Media,
1992), hlm. 46.
347
perdagangan dan perekonomian. Apalagi setelah
mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870,
Belanda telah mengikuti arus imperialisme modern
dengan membuka diri terhadap masuknya modal
swasta.41 Undang-undang Agraria 1870 dibuat dengan
tujuan memberikan kesempatan yang luas bagi
perkembangan modal asing, terutama modal Belanda dan
melindungi serta memperkuat hak-hak tanah bagi orang-
orang bumiputera meski tujuan yang terakhir ini sama
sekali tidak teraih. Dalam hal hak atas tanah ini,
pemerintah kolonial mengatur apa yang disebut dengan
erfpacht yakni hak sewa yang turun-temurun untuk tidak
lebih dari tujuh puluh lima tahun untuk pertanian atau
perkebunan yang luas ataupun kecil.
Perkembangan modal swasta ke luar Jawa dapat
berlangsung karena didukung ekspansi teritorial,
termasuk ke Borneo (Kalimantan) yang antara lain
dimaksudkan mengantisipasi kemungkinan campur
tangan (intervensi) Inggeris yang ketika itu telah berkuasa
di Sabah Borneo Utara serta dalam rangka politik
pembulatan wilayah (afrondings-politiek) sehingga
terbentuk Pax Neerlandica. Meski terbuka terhadap
ekspansi modal swasta, namun yang dilakukan Belanda
tidak jauh berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu
sistem VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan
Sistem Tanam Paksa, yakni hanya mencari produk

41
Clifford Geertz, Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia (Jakata: Bharatara Karya Aksara, 1983), hlm. 87 - 88.
348
pertanian lokal untuk dijual di pasaran dunia tanpa
mengubah struktur ekonomi pribumi. Negeri Belanda
memang tidak pernah berhasil mengembangkan ekonomi
ekspor barang pabrik. Oleh karena itu kepentingan
Belanda di Indonesia tetap hampir sepenuhnya bersifat
perniagaan sampai pada akhir kekuasaannya.42
Perbedaan antara Jawa dengan Kalimantan,
antara lain terlihat bahwa selain Sistem Tanam Paksa
tidak pernah sepenuhnya di terapkan di sini, juga fokus
pengembangan produk tidak lagi ditujukan kepada
rempah-rempah, manis-manisan dan bahan perangsang
seperti di Jawa, melainkan dipusatkan pada produksi
bahan mentah untuk industri. Ini merupakan refleksi
perubahan dalam kondisi pasaran dunia sebagai
pertumbuhan manufaktur besar-besaran di Eropa
sesudah pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1900,
karet, timah, dan minyak bumi yang merupakan 17
persen dari total ekspor Hindia Belanda hampir
seluruhnya dari luar Jawa.
Dari Kalimantan Selatan, primadona ekspor Hindia
Belanda berupa karet, batu bara, dan minyak bumi yang
perintisannya telah dilakukan baik oleh VOC maupun
pemerintah Hindia Belanda sendiri. Untuk menghadapi
perdagangan yang sebelumnya dikuasai orang Bugis dan
Cina pada tahun 1840 Belanda membuka kantor
Nederlandsche Handels Maatchappij (NHM) di
Banjarmasin yang kemudian diikuti oleh Borneo-Sumatra
42
Ibid., hlm. 48.
349
Handels Maatschappij (Borsumij).43 Borsumij melakukan
hubungan antar kota pantai di Jawa dengan Kalimantan
bagian tenggara setiap sepuluh hari. Dalam musim timur
dua kapal layarnya mengangkut kajang, tikar, tembakau,
kayu ke Panarukan dan kota lain di Jawa. Selain Borsumij,
beroperasi pula Koninklijke Pakketvaart Maatschappij
(KPM) yang melayari Sungai Barito hingga Puruk Cahu.44
Meningkatnya pemakaian kapal uap yang
memudahkan hubungan dengan kota-kota pantai di Jawa
dan untuk kepentingan ekspor dan impor, telah
mendorong Belanda untuk mengeksploitasi batubara.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kontrak tahun 1826
dengan Kesultanan Banjar, Belanda memperoleh konsesi
dengan paksa untuk membuka tambang batu bara di
Pengaron dengan nama Oranje Nassau yang
pembukaannya dilakukan Gubernur Jenderal J.J.
Rochussen pada tahun 1848 hingga tahun 1884. Pasca
tahun 1884, upaya menghidupkan kembali tambang
tersebut tidak berhasil ketika pemerintah
menganggapnya tidak lagi penting dengan menolak
memberikan investasi yang banyak sementara usaha
menghimpun modal swasta juga mengalami kegagalan.
Untuk mengelola pertambangan batu bara di Kalimantan
Selatan, maka pada tahun 1888 berdiri sebuah
43
J.Th. Lindblad, “De Handel Tussen Nederland en Nederlands-
Indie, 1874-1939'” Economisch en Social Historisch Jaarboek, LI (1988),
hlm. 240.
44
Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional,
hlm. 90.
350
perusahaan Oost Borneo Maatschappij (OBM) berpusat di
Batu Panggal. Perusahaan ini mengeskploitasi tambang
batubara di Palaran, Kutai.45
Pada tahun 1904 aktivitas OBM merambah ke
Pulau Laut, menyusul keberhasilan Maskapai Tambang
Pulau Laut (De Steenkolen-Maatschappij Poeloe Laoet)
mengeksploitasi batubara di Semblimbingan sejak 1903.
Pada mulanya OBM kesulitan mengangkut hasil tambang
dari Semblimbingan ke Pelabuhan Stagen yang berjarak 5
kilometer. Namun OBM kemudian berhasil mengatasinya,
sehingga produksi melebihi target yakni sekitar 80.000
ton di tahun 1905 yang kemudian meningkat tajam
karena adanya pemasangan alat angkut mekanis. Antara
tahun 1905 –1910, jumlah tenaga kerja pertambangan di
Pulau Laut meningkat dari 1500 hingga 2300 orang. Di
antaranya terdapat 1.100 orang perantaian, 491 kuli
kontrak dan 425 buruh bebas. Pulau Laut cepat menjadi
tambang swasta terbesar di Hindia Belanda dan yang
kedua terbesar saat itu adalah Ombilin di Sumatera Barat.
Pada tahun 1912, Pulau Laut mampu menghasilkan batu
bara 165.000 ton atau memiliki saham sekitar 27 persen
dari hasil produk batubara Hindia Belanda. Pada tahun
1913 pemerintah kolonial mengambil-alih perusahaan
Maskapai Pulau Laut dengan harga f 3.200.000 dan

Lindblad, De Handel Tussen Nederland en Nederlands-Indie, hlm.


45

241.
351
berusaha meningkatkan produksi menjadi 300.000 ton
pertahun. 46
Keberhasilan Pulau Laut sebagai eksportir batu
bara didukung oleh lokasi pelabuhannya yakni Stagen
yang terletak dalam jalur pengapalan besar yang mudah
ditempuh berbagai macam kapal dari Makassar karena
tidak ada lagi tempat pengapalan batubara yang dekat
tempat tersebut. Sebelum tahun 1909 paling tidak 3/5
dari hasil tambang diekspor ke luar negeri antara ke
Jerman, di mana batubara Pulau Laut banyak dipakai
Norddeutscher Lloyd, Bremen. Kondisi di Borneo
(Kalimantan), pasca Perang Dunia I ada tiga perusahaan
tambang besar milik Eropa yang beroperasi yakni
Maskapai Tambang Pulau Laut, OBM dan Parapattan Baru
di Sambaliung. Ketiga perusahaan itu saling bersaing baik
dalam hal kapasitas produksi, jumlah buruh yang
digunakan maupun keuntungan yang diperoleh
perusahaan. Kecenderungan produksi menunjukkan
bentuk-bentuk unik dari ketiga perusahaan ini. Pada
tahun 1919-1922 Maskapai Pulau Laut memperoleh
keuntungan melebihi perolehan OBM dan Parapattan.
Namun pada tahun-tahun berikutnya keuntungan Pulau

46
J. T.Lindblad, “Westers en Niet Westers Economisch Gedrag in
Zuid-Oost Kalimantan, c. 1900 - 1940”, Bijdragen tot de Taal, Land en
Volkenkunde 142 (1986), no. 2, Leiden, hlm. 227; ANRI: "Vergadering, 18
Juli 1918, Mededeeling van Ingekomen Stukken, Regeling van
werkzaamheden", Handelingen der Staten-Generaal (1917-1918)-I,
Eerste Kamer, hlm. 741, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.
265.
352
Laut semakin menurun hingga sampai memperoleh
kerugian sebesar 260.000 gulden. Sementara di tahun
1923-1929 adalah tahun-tahun yang menguntungkan bagi
OBM dan Parapattan, keduanya bisa menyaingi Maskapai
Pulau Laut, yang saat itu mengalami penurunan sehingga
dibubarkan pada tahun 1930. Pada mulanya OBM yang
berjalan pesat, tetapi sesudah tahun 1927 Parapattan
berhasil sebagai ranking pertama sebagai perusahaan
tambang batubara terbesar di Borneo (Kalimantan).47

Gambar 7.6. Area Tambang Batubara Pulau Laut tahun 1920 an.
Sumber: KITLV.

Primadona ekspor Hindia Belanda lainnya adalah


karet. Tanaman ini mulai dikenal dunia sekitar tahun 1900
dan masuk ke Kalimantan Selatan melalui dua jalan yang

47
Lindblad, De Handel Tussen Nederland en Nederlands-Indie, hlm.
89 - 90.
353
lokasinya terpisah yakni daerah Pagat (dekat Barabai) dan
tempat perkebunan tembakau di wilayah utara Hulu
Sungai. Pada mulanya karet jenis Ficus Elastica dan Hevea
Brasiliensis dicoba ditanam di Perkebunan Hayup dekat
Tanjung oleh dua orang pengusaha bernama C. Bohmer
dan W.M. Ernst tetapi kemudian mengalami hambatan.
Perkebunan karet kemudian bisa dikembangkan dengan
bantuan dana dari bank-bank di Berlin dan pengawasan
dari Perusahaan Karet Borneo yang berbasis di
Banjarmasin. Seorang pengusaha bernama E.A. Hilkes
mencoba menanam karet dengan mendatangkan bibit
karet Hevea dari Semenanjung Malaya. Ia membuat
perkebunan di daerah Martapura,Tanah Intan (Karang
Intan) dan Danau Salak yang jumlah pohonnya lebih dari
100.000 pohon di tahun 1907.48
Penorehan karet dilakukan setelah usia pohon 5-6
tahun. Untuk melakukan penorehan karet di Hayup,
Tanah Intan dan Danau Salak dipekerjakan 1.250 orang
pada tahun 1910 dan kebanyakan dari mereka berasal
dari Jawa. Mereka ditempatkan di bidak-bidak kecil. Bagi
buruh yang tidak terampil, ia hanya menerima upah 35
cents perhari, sangat jauh bedanya dengan upah yang
diberikan pengusaha tambang di Pulau Laut. Pada awal
1910 terjadi perubahan kepemilikan perkebunan karet di

48
Trudi Nierop, “Lonely in An Alien World, Coolie Communities in
Southeast Kalimantan in the Late Colonial Period”, dalam: Lindbland (ed),
Coolie Labour in Colonial Indonesia, A Study of Labour Relation in Then
Outer Island c. 1900-1940 (Germany: Hubert & Co, 1999), hlm. 164.
354
Kalimantan Selatan, di mana Hilckes menjual Tanah Intan
kepada Southeast Borneo Plantations Ltd yang
berkedudukan di London, dan setelah itu didirikanlah
anak perusahaan Tanah Intan Estate Ltd di Banjarmasin.
Menyusul C. Bohmer yang menjual Perkebunan Hayup
kepada Hayup Rubber Estates Ltd di mana ia tetap
menjabat sebagai direktur. Kemudian pada tahun 1917
tatkala Danau Salak dipimpin H.G. Oeder, yakni manajer
Hilckes yang mempunyai banyak relasi dengan bank-bank
di Dusseldorf, ia menjual perkebunan tersebut kepada
Japanese Dutch Borneo Rubber Industry Company. Ketiga
pendiri perkebunan karet tersebut memperoleh
keuntungan besar, karena menjual aset-aset mereka pada
saat harga karet dunia menguat. 49
Selain perkebunan yang dikelola pengusaha-
pengusaha Eropa, karet Hevea juga dibudidayakan oleh
pengusaha-pengusaha kecil pribumi di Hulu Sungai,
terutama ditanam di kebun-kebun atau lahan dekat
penanaman padi. Tanah yang cocok ditanami adalah
daerah Hulu Sungai di bagian timur laut, yaitu mulai dari
Rantau ke arah Sungai Balangan, dan barat laut: dari
Birayang ke arah Tanjung. Tanjung menjadi lahan
pertama penanaman karet bagi orang Banjar, karena di
sana banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh di
Hayup di mana mereka belajar menanam, menoreh
getah, dan mengolah lateks. Ketika ada waktu mereka
kembali ke kampung dan mencoba menanam sendiri
49
Ibid.
355
sesuai dengan pengetahuan yang mereka dapatkan.
Hingga tahun 1910 perkebunan karet semakin banyak di
Tanjung, dan tahun 1911 muncul di Barabai serta tahun
1912 ada di Amuntai dan Kandangan. Haji Mohamad
Saleh dari Longawang, dekat Kandangan ketika sepulang
dari Johor membawa bibit dari Penang dan menanamnya
sebagai pohon karet pertama di tempat kelahirannya.50
Pengusaha-pengusaha kecil pribumi memperoleh
keuntungan semenjak karet diekspor ke luar negeri.
Tatkala harga karet tetap melambung selama Perang
Dunia I dan mencapai harga tertinggi antara tahun 1919-
1920, maka penduduk pribumi beramai-ramai menamam
pohon karet secara besar-besaran. Aset masyarakat Hulu
Sungai akan pohon karet berlipat ganda. Menurut hasil
penelitian tahun 1923, ada 4,3 juta pohon yang ditanam
masyarakat dan meningkat pada tahun 1929 menjadi
sekitar 8,9 juta pohon yang barasal dari 33.000 ladang
milik perorangan, yang menurut hasil penelitian tahun
1936 meningkat menjadi sekitar 49 juta pohon yang
ditanam tahun 1930-an.51 Dalam hal pertumbuhan,
antara tahun 1924-1936 Tanjung memiliki lahan karet
lebih sedikit dari Barabai. Sementara wilayah Amuntai
merupakan daerah pertumbuhan paling cepat, yakni tidak
kurang dari 467 persen sejak 1924. Berbeda dengan
kondisi di Kandangan, karena kebiasaan masyarakat

50
Ibid., hlm. 165.
51
Linblad, Westers en Niet Westers Economisch Gedrag in Zuid-
Oost Kalimantan, hlm. 58 - 65.
356
menamam karet sampai berhimpitan membuat
produktivitasnya menurun. Dalam hal lainnya, Tanjung
menempati peringkat pertama di Hulu Sungai yang
sepertiga wilayahnya ditumbuhi pohon karet, disusul
Barabai dan Amuntai yang areal perkebunan karetnya ¼
bagian dari wilayah tempat tinggal.

357
358
BAB VIII
PERUBAHAN LANSKAP KOTA PELABUHAN
BANJARMASIN & TINGGALAN BUDAYA LADA

A. Perubahan Lanskap Kota Pelabuhan Banjarmasin Tahun


1526-1860
Pada abad ke-15 hingga 17 kawasan Asia Tenggara
memasuki era niaga (the age of commerce) di mana
aktivitas perdagangan meningkat signifikan. Fenomena ini
tidak hanya mendorong persebaran dan difusi budaya,
teknologi, dan ideologi dari daratan Benua Asia ke
kawasan kepulauan Asia Tenggara, namun juga
mendorong munculnya kota-kota pelabuhan dagang di
mana kapal-kapal pedagang merapat untuk singgah dan
bertransaksi, termasuk di antaranya kota pelabuhan
Banjarmasin. Lebih lanjut, kota-kota pelabuhan ini
membentuk jalur perdagangan maritim terutama
dipengaruhi oleh adanya aktivitas para pedagang Cina
dan Timur Tengah.1
Pada era ini, berkembangnya Pelabuhan Banjar-
masin didorong pertumbuhan bandar-bandar lain di
Nusantara khususnya Asia Tenggara, dan Asia Timur pada
umumnya. Kemudian kemampuan mengembangkan

1
Vera D. Damayanti, “Identifikasi Struktur dan Perubahan
Lanskap Kota Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860)”, Jurnal
Arsitektur Lansekap Vol. 5, No. 2, Oktober 2019. Lihat juga Reid, A.
1993. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Vol. 2,
Expansion and Crisis (Yale Univ.Press, New Haven).
359
perdagangan didorong kondisi fisik berupa letak geografis
dan sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan
Banjarmasin. Dengan memanfaatkan sumber daya alam
yang melimpah perdagangan telah menjembatani
majunya perekonomian. Selain itu, terdapat peran
Kesultanan Banjarmasin dalam mengembangkan
perdagangan. Hal ini juga didukung hubungan
perdagangan dengan bangsa lain baik antar perorangan
maupun antar kelompok yang telah turut serta dalam
pelaksanaan perdagangan.2
Pelabuhan kesultanan Banjarmasin terlibat dalam
jalur perdagangan maritim Asia Tenggara di awal abad ke-
17. Masuknya pelabuhan Banjar dalam rute tersebut
disebabkan Kesultanan Banjar mulai dikenal sebagai
produsen lada yang ditanam di daerah hulu oleh para
penduduk lokal. Rempah-rempah, terutama lada,
merupakan salah satu komoditas dagang yang sangat
penting kala itu.3 Kapal-kapal dagang yang berkunjung ke
pelabuhan Banjarmasin berasal dari kota-kota di
Nusantara seperti misalnya Makassar, Sumbawa, Jawa,
selain dari daratan Asia dan Eropa termasuk Cina, Persia,

2
Ibnu Wicaksono, “Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas
Perdagangan Nusantara abad ke-XVIII” (Skripsi pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 1431 H./2010 M), hlm. 5.
3
Wicaksono, Kesultanan Banjarmasin, hlm. 252; lihat juga Ita
Syamtasiyah Ahyat, Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19:
Ekspansi pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan (Serat Alam
Media, TangSel, 2012).
360
Siam, Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, hingga
Spanyol.4 Selama lebih dari tiga abad keberlangsungnya
masa kesultanan (1529-1860) lanskap Banjarmasin
berevolusi. Melaui identifikasi key process, yaitu kejadian
terkait dengan aspek politik-ekonomi dan sosial budaya,
menurut Vera D. Damayanti tahapan perubahan tipologi
lanskap berdasarkan fungsi dan tatanan fisiknya secara
kronologis sebagai berikut.

Gambar 8.1. Periodisasi Perubahan Lanskap Banjarmasin pada


periode Kesultanan Banjar (1526-1860). Sumber: Vera D. Damayanti,
2019.

Berdasarkan pendapat Vera D. Damayanti


tersebut, perubahan Lanskap Kota Banjarmasin
berhubungan dengan keberadan Kota Banjarmasin
sebagai kota dagang dan transito/ Perubahan-perubahan
tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut.

4
Ibid.; lihat juga H. Knapen, Forests of Fortune? The
environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 (Leiden: KITLV
Press, 2001).

361
1. Kota Pelabuhan-Pusat Politik (Port-Polity) Tahun
1526-1612
Pada awal periode kesultanan, Keraton
Kesultanan Banjarmasin di muara Sungai Kuin memiliki
pelabuhan dagang di hulu Sungai Pelambuan tidak
jauh dari keraton. Kala itu kota Banjarmasin berfungsi
sebagai pusat politik dan sekaligus pusat ekonomi
kesultanan (port-polity). Lanskap kotanya memiliki
struktur linier di sepanjang Sungai Kuin, di mana
seluruh fungsi yang menunjang kebutuhan kesultanan
dan rakyatnya berlangsung di dalamnya, baik fungsi
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kompleks keraton
dengan masjid kesultanan serta pelabuhan beserta
rumah cukai dan institusi syahbandar, menjadi elemen
lanskap utama. Dalam kawasan ini para elit kerajaan
yang di antaranya juga berperan sebagai elit pedagang
(orang kaya) bertempat tinggal. Sementara itu
penduduk lokal dan pedagang dari luar Banjar tinggal
di sekitarnya. 5
Mata pencaharian utama kesultanan dan
masyarakatnya adalah berdagang. Kondisi ini
dipengaruhi keadaan lanskap alami yang didominasi
rawa dan sungai. Tanah berawa-gambut menyebabkan
kegiatan pertanian sulit dikembangkan. Sementara itu,
posisi geografis Banjarmasin di hilir sangat sesuai
sebagai pertemuan antara para pedagang dan pembeli

5
Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Kota
Banjarmasin., hlm. 253.
362
dari hulu dan hilir. Pematang sungai (riiver levee)
merupakan area yang cenderung ekslusif dihuni para
elit dalam rumah-rumah panggung. Sementara itu
sebagian besar masyarakat tinggal di atas sungai dalam
rumah perahu atau yang dikenal sebagai rumah
lanting.6
Sungai selain menjadi jalur transportasi utama,
juga sebagai wadah bagi masyarakat dalam melakukan
aktivitas sehari-hari dan ekonomi. Sungai Kuin menjadi
akses utama menuju pelabuhan kesultanan, baik bagi
pedagang dari kawasan hulu maupun hilir. Untuk
memperlancar kegiatan perdagangan, pada bagian
timur Sungai Kuin dibuat kanal, dikenal sebagai
Antasan Kuin, yang menghubungkan Sungai Kuin
dengan Sungai Martapura. Masyarakat Banjar dikenal
memiliki pengetahuan dan teknik tradisional menggali
kanal yang dikenal dengan saka, handil, tatah, antasan
dan anjir.7 Sementara itu, para pedagang di pasar lokal
memanfaatkan badan sungai sebagai tempat transaksi

6
Depdikbud, Sejarah kebudayaan Kalimantan (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995, hlm. 36.
7
Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Kota
Banjarmasin., hlm. 253, lihat juga Bambang Subiyakto, “Infrastruktur
Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970”. Prosiding The
first International Conference on Urban History, 2004. hlm. 2; lihat
juga S. Muller, Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel,
gedaan op last der Nederlandsche Indische regering, tusschen de
jaren 1828 en 1836. Vol. 1. F Muller, 1857, Amsterdam.
363
sehingga tercipta pasar apung. Pasar apung
merupakan salah satu fenomena yang umum dijumpai
di kota-kota pelabuhan sungai di Asia Tenggara kala
itu, di mana pedagangnya biasanya didominasi
perempuan. 8

Gambar 8.2. Rekonstruksi peta Banjarmasin di awal pembentukan


kesultanan. Sumber: Vera D. Damayanti, 2019.

Terbentuknya pola linier, kota tidak lepas dari


pengaruh kondisi fisik lanskap di mana pematang atau
bantaran sungai terbatas lebarnya. Sementara itu area
di belakang pematang (backswamp) yang didominasi
rawa bukan menjadi alternatif ideal lahan permukiman

8
Ibid., lihat juga Anthony Reid, “The Structure of Cities in
Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries”, Journal of
Southeast Asian Studies Vol. 11 (2), 1980, hlm. 235 - 250.
364
karena untuk mengolah dan mendirikan struktur di
atasnya dibutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan
rendahnya jumlah populasi di Pulau Kalimantan pada
umumnya, dan dalam kawasan tersebut pada
khususnya, akses terhadap terhadap tenaga manusia
(manpower) di masa itu tidak merata, bergantung
pada kondisi sosial-ekonominya.9
2. Kota Pelabuhan Sekunder (Secondary Port-City) Tahun
1612-1663
Peristiwa pembantaian terhadap utusan
Belanda di Banjarmasin itu, menyebabkan orang
Belanda hingga tahun 1747 tidak berhasil tinggal lama
di Banjarmasin dan dengan demikian terjaminlah
kemerdekaan Kesultanan Banjarmasin. Dalam tahun
1612 secara mengejutkan armada Belanda tiba di
Banjarmasin rupanya suatu armada yang disiapkan
membalas atas terbunuhnya ekspedisi Gillis
Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang
Banjarmasin dari arah Pulau Kembang, menembaki
Kuyin, ibukota Kesultanan Banjarmasin. Penyerangan
ini menghancurkan Banjar lama atau Kampung Kraton
dan sekitarnya, yang merupakan Istana Sultan
Banjarmasin. Oleh karena itu Sultan Mustain Billah
Sultan Banjarmasin ke-4 bergelar Marhum
penembahan memindahkan ibukotakesultanan, dari
Kuyin yang hancur ke Kayu Tangi atau Telok Selong,

9
Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Kota
Banjarmasin., hlm. 253.
365
Martapura.10 Pada era ini jumlah stok lada yang dikirim
dari luar Banjarmasin ke Banten terhitung tidak terlalu
besar dibandingkan daerah lainnya.
Hal ini yang menjadi alasan utama ibukota
kesultanan dipindahkan. Beberapa alternatif lokasi
pemindahan telah dilalui hingga pada akhirnya sultan
yang berkuasa kala itu yaitu Sultan Marhum
Panembahan (1595-1620) memilih menetap di Kayu
Tangi, di pertengahan hulu-hilir Sungai Martapura.
Pelabuhan dagang utama serta syahbandar dengan
demikian dipindahkan ke Kayu Tangi. Kepindahan
keraton dan pelabuhan dagang berdampak terhadap
lanskap Banjarmasin di muara Sungai Kuin. Area
tersebut dijuluki sebagai ‘Banjar Lama’ dan pelabuhan
yang ada berubah menjadi pelabuhan sekunder.
Meskipun demikian, pelabuhan ini tetap berperan
penting dalam perdagangan kesultanan. Perahu besar
para pedagang asing yang hendak berdagang lada
biasanya berlabuh di sini dan kemudian para utusan
dagang berlayar dengan perahu yang lebih kecil ke
Keraton Kayu Tangi karena kondisi Sungai Martapura
menyulitkan kapal besar berlayar ke hulu. 11
Sebagai pelabuhan sekunder, perubahan
lanskap yang terjadi cenderung pada elemen pengisi

10
Goh Yoon Fong, “Trade and Politics in Bandjermasin 1700-
1747” (Thesis University of London, 1969), hlm. 36.
11
Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap
Kota Banjarmasin., hlm. 254.
366
lanskap. Kondisi ini ditandai hilangnya elemen
kompleks keraton dan pelabuhan utama beserta
rumah cukai dan syahbandar. Elemen yang menandai
keberadaan pengaruh kesultanan yaitu kompleks
makam sultan di sebelah utara bantaran Sungai Kuin
yang menjadi persitirahatan tiga sultan pertama.
Sementara itu struktur kota ‘Banjar Lama’ tidak
berubah, berbentuk linier di kedua sisi Sungai Kuin
yang didominasi fungsi pemukiman. 12

Gambar 8.3. Rekonstruksi peta Banjarmasin tahun 1612 sebagai


pelabuhan sekunder. Sumber: Vera D. Damayanti, 2019.

12
Ibid.
367
3. Kota Pelabuhan Utama Kesultanan (1663-1787)
Meningkatnya volume perdagangan memicu
terjadinya konflik internal perebutan kendali dagang
dalam kesultanan yang memunculkan dualisme
kekuasaan: Pangeran Ratu di keraton Kayu Tangi di
daerah hulu, dan Pangeran Dipati Anom di Banjar
Lama. Posisi Banjar Lama di daerah hilir lebih strategis
sebagai titik temu para pedagang dari hulu dan
seberang lautan sehingga Dipati Anom memegang
kendali perdagangan kesultanan. Dengan demikian
Banjar Lama kembali menjadi pelabuhan utama
kesultanan sekaligus pusat pemerintahan. Pangeran
Dipati Anom (1663-1679) menjalankan
pemerintahannya pada sebuah ‘istana terapung’ yang
serupa dengan struktur benteng dilengkapi dengan
meriam. Struktur ini diperkirakan menjadi elemen
sentral dalam lanskap Banjar Lama yang menandakan
kembalinya fungsi politik di area ini. 13
Setelah kekuasaan Dipati Anom berakhir
diperkirakan terjadi perpindahan pemerintahan ke
Martapura sementara pelabuhan beralih dari Banjar
menuju Tatas. Tatas berada di sebelah selatan Banjar
Lama yang dibatasi Sungai Kuin di sebelah utara,
Sungai Martapura di sebelah timur dan selatan, dan
Sungai Barito di sebelah barat; sehingga Tatas
menyerupai sebuah pulau dan dikenal sebagai Pulau

13
Ibid.
368
Tatas. Sultan memiliki kediaman di Tatas dan sesekali
ia berlayar dari Keraton Martapura menuju Tatas
untuk berbagai tujuan salah satunya melakukan
negosiasi dagang dengan para pedagang asing.
Diperkirakan kediaman sultan tak jauh dari pertemuan
antara Sungai Kuin dan Martapura, dan dekat dengan
pelabuhan utama kesultanan. Tak jauh dari kediaman
sultan terdapat sebuah pos jaga di tepi sungai
dilengkapi dengan meriam dan rantai besi sebagai
pertahanan yang membentang di atas Sungai
Martapura. Kondisi lanskap ‘negeri Tatas’ dalam
konteks struktur kota diperkirakan tak berbeda jauh
dengan ibu kota Kayu Tangi. Daniel Beckman, seorang
pedagang Inggris yang berkunjung di tahun 1714
melaporkan bahwa Kayu Tangi memiliki struktur kota
linear di sepanjang Sungai Martapura sepanjang
sekitar 4 mil atau 7,41 km. Bantaran sungai
kebanyakan dihuni para elit kesultanan sementara
penduduk tinggal di rumah lanting.14
Strategisnya posisi Tatas sebagai bandar
dagang dipertegas kontrak dagang VOC dengan
Kerajaan Banjar tahun 1747 dan Perjanjian 1787.
Kontrak tersebut mengatakan bahwa VOC
mendapatkan tanah untuk pendirian loji di Tatas.
Hingga tahun 1826 diperbaharui kontrak dagang
dengan Sultan Adam tentang penyerahan Tatas, Kuin

14
Ibid, hlm. 255.
369
Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpai dan lain-lain
kepada Belanda. Wilayah ini berkembang lagi ketika
tampuk pemerintahan kerajaan diduduki oleh
Susuhunan Nata Alam. Berdasarkan perjanjian dengan
VOC, Tatas dibangun sebagai pusat kota yang di
dalamnya terdapat loji, barak, kantor, dan rumah.
Hingga di sekitar Tatas berkembang pula pemukiman
Belanda, Arab, Cina, dan Madura. Pada era itu, Tatas
makin berkembang dan merupakan pelabuhan
terbesar di Banjarmasin, Kotawaringin, Tabanio, Tanah
Laut juga terletak di tepi pantai yang merupakan pintu
gerbang pedagang luar yang ingin berdagang ke
Banjarmasin.15 Kondisi ini menunjukkan pemanfaatan
ruang di Tatas untuk berbagai fungsi kehidupan
berlangsung di bantaran dan di atas sungai.
Sebagaimana kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara
pada umumnya, dari aspek sosial-budaya kota
pelabuhan Banjarmasin merupakan kota kosmopolitan
yang ditandai penghuni kota yang majemuk, terutama
dari sisi etnis. Keragaman ini disebabkan para
pedagang intersular, regional, maupun internasional
bermukim di kota ini, baik secara permanen maupun
temporer. Mereka tinggal mengelompok membentuk
kampung-kampung berdasarkan etnik dan asalnya,

15
Sulandjari, “Politik dan perdagangan lada di Kesultanan
Banjarmasin (1747-1781)” (Tesis pada Fakultas Pascasarjana UI,
Universitas Indonesia, Depok, 1991), hlm. 118.
370
seperti misalnya kampung Jawa, Bugis, Arab, Melayu
dan Cina.16

Gambar 8.4. Rekonstruksi peta Banjarmasin Pada awal Abad ke-


18. Sumber: Vera D. Damayanti, 2019.

Pada masa itu, para pedagang asing dapat


tinggal di kota atas seijin sultan sebagai bagian dari
transaksi dagang. Dalam berbagai sumber kesejarahan,
pedagang dari Cina, Belanda dan Inggris merupakan
tiga kelompok pedagang asing yang sering bersaing
dalam perdagangan lada. Para pedagang Cina yang
biasanya datang dengan kapal jung menjalin hubungan
dagang yang baik dengan sultan dan masyarakat dan

16
Damayanti, Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap
Kota Banjarmasin, hlm. 256.
371
diperbolehkan tinggal di sebelah timur Sungai
Martapura di seberang Pulau Tatas, di Abad ke-17.
Para pedagang Cina yang menetap membuka toko-
toko di atas lanting di Sungai Martapura.17 Pedagang
Inggris utusan EIC (East Indian Company) pernah
diijinkan mendirikan benteng melalui kesepakatan
dengan sultan pada 1704. Namun benteng yang nyaris
selesai dibangun di utara Muara Sungai Kuin tersebut
diserang pada 1707 atas perintah sultan. Pada periode
selanjutnya pedagang Inggris hanya dibolehkan
mendirikan pos dagang di Tatas.18

Gambar 8.5. Rekonstruksi peta Banjarmasin periode 1787.


Sumber: Vera D. Damayanti, 2019.

17
Ibid.
18
Ibid.
372
Seperti dijelaskan sebelumnya, pedagang
Belanda dari VOC, pada mulanya hanya diijinkan
membuat pos dagang. Pada tahun 1747, setelah VOC
mengirim bantuan militer untuk menghadapi
pemberontakan, Sultan mengijinkan pedagang
Belanda membangun benteng. Oleh karenanya mereka
membeli sebidang tanah di Tatas, dengan lingkungan
rawa, di seberang kampung pedagang Cina seluas
sekitar 700 m2 untuk mendirikan sebuah pos militer
dan kantor dagang. Dapat dikatakan bahwa periode ini
menandai munculnya kota Banjarmasin pada lokasi
seperti yang kita kenal saat ini. Dengan meningkatnya
kunjungan para pedagang dari berbagai asal, Tatas
berkembang sebagai kota pelabuhan yang diikuti
dengan pertumbuhan permukiman multi-etnis. Untuk
mendukung aktivitas perdagangan, salah satu
intervensi yang signifikan pada lanskap yaitu dibuatnya
kanal yang memotong salah satu meander Sungai
Martapura yang kala itu bernama Antasan Kiai Baria
yang kemudian membentuk muara Sungai Kelayan dan
Pekapuran. Pada awal abad ke- 17, para pedagang
asing mengenal Tatas sebagai Banjarmasin, dan
perlahan-lahan istilah Banjar Lama tidak terdengar. 19

19
Ibid.
373
4. Kota Pelabuhan Utama Belanda di Kalimantan
Tenggara (1787-1860)
Seiring berjalannya waktu, pengaruh VOC
dalam bidang politik dan perdagangan kesultanan
meningkat sebagai dampak bantuan militer dari
Belanda kepada Sultan dalam menghadapi
pemberontakan dan perang yang berkepanjangan.
Setelah pada tahun 1756 Sultan menjadi vasal Belanda,
maka pada 1787 disepakati sebuah kontrak yang
menyebabkan wilayah kesultanan terbagi atas wilayah
sultan dan wilayah VOC. Kondisi di Banjarmasin kedua
wilayah ini sebagian dibatasi Sungai Kuin dan Sungai
Martapura. Dengan kontrak tersebut, Belanda
memiliki kuasa penuh mengatur wilayahnya dalam
segala sektor, termasuk mengembangkan lanskap.
Untuk meningkatkan perdagangan dan memperkuat
pertahanan, Belanda memperbaiki kamp Tatas.
Pada tahun 1806 dibuat rencana pembangunan
benteng lebih permanen –yang dikenal sebagai
Benteng Tatas yang terdiri dari barak militer, rumah
residen, dan gudang. Sebuah pelabuhan beserta
rumah cukai dibuat tak jauh dari benteng. Berbeda
dengan struktur bangunan vernakular Banjar berupa
rumah panggung di atas bantaran sungai atau rawa,
Belanda menerapkan tradisinya dalam konstruksi
bangunan, di mana benteng ini dibangun di atas lahan
rawa yang diurug sehingga permukaan tanahnya
kering karena lebih tinggi daripada rawa. Hal ini
374
kemungkinan bertujuan efisiensi kegiatan dalam
benteng, seperti misalnya kegiatan artileri dan
peletakan meriam.20
Karena okupasi di Banjarmasin secara ekonomi
dianggap tidak lagi menguntungkan, maka pada tahun
1809, Belanda meninggalkan Banjarmasin dan menjual
Benteng Tatas dan Benteng Tabanio (sebuah benteng
di muara Sungai Barito) kepada Sultan seharga 25.000
real. Atas permintaan Sultan, Inggris melalui EIC
kemudian mengantikan posisi Belanda ditahun 1812.
Namun okupasi EIC berlangsung singkat, dengan
ditandatanganinya Perjanjian London (London Treaty)
antara Inggris dan Belanda yang menyebabkan
Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Inggris
meninggalkan Banjarmasin pada akhir 1816 dan
Belanda, diwakili oleh Van Boekholtz, mengambil alih
Banjarmasin setelah kesepakatan dengan Sultan
Soleiman Saidullah (1801-1825) ditandatangani pada 1
Januari 1817 di ibukota Karang Intan.

20
Ibid., hlm. 257.; Mansyur, Benteng Tatas dalam Catatan,
dalam: website http://nyawa sungai.org/ benteng-tatas-dalam-
catatan/ diakses tanggal 03 September 2019.
375
Gambar 8.6. Rekonstruksi Peta Banjarmasin periode 1820-1830.
Sumber: Vera D. Damayanti, 2019.

Belanda kembali melakukan pengembangan


wilayahnya yang pada dasarnya bertujuan
memperkuat posisinya di Banjarmasin untuk
mendukung keberhasilan usaha dagangnya yang tidak
lagi bergantung pada lada. Kebijakan dan program
yang dilaksanakan oleh Belanda membawa dampak
pada perubahan lanskap Banjarmasin. Perubahan
signifikan yang terjadi yaitu Belanda mulai
mengembangkan area di luar benteng, seperti dengan
dibangunnya kantor residen, pelabuhan, dan gudang
baru. Pos-pos keamanan dibangun terutama pada
muara-muara sungai yang dianggap potensial
menimbulkan permasalahan penyelundupan dan
serangan perompak sungai. Beberapa di antaranya
376
yaitu pos di muara Sungai Kuin dan Kelayan, selain
sebuah benteng kecil di muara Sungai Martapura yang
diberi nama Schans Van Thuijl. 21
Berbagai intervensi lanskap menurut yang
dilakukan Belanda berdampak pada perubahan
lanskap. Pemanfaatan rawa tak hanya memunculkan
penggunaan baru berupa lahan pertanian ekstensif di
Tatas, namun juga perlahan-lahan mempengaruhi
menurunnya populasi vegetasi rawa serta
mengindikasikan penggunaan ruang yang tidak lagi
terfokus di bantaran sungai. Meskipun demikian,
kegiatan berbasis sungai tetap mendominasi karena
konstruksi jalan masih terbatas. Pengembangan
memunculkan elemen-elemen lanskap baru, terutama
benteng, jalan, kanal, jembatan, dan sawah. Pada era
ini Benteng Tatas muncul menjadi pusat kota yang
secara semantik menyimbolkan kekuasaan Belanda di
Kalimantan bagian tenggara yang awalnya merupakan
wilayah Kesultanan Banjar. Kondisi ini berlangsung
hingga tahun 1860 manakala Belanda menghapus
kesultanan karena pemerintahan kesultanan dianggap
tidak berfungsi akibat konflik politik internal
kesultanan yang diintervensi Belanda. Berakhirnya
masa kesultanan menandai dimulainya periode
kolonial yang kemudian merubah lanskap kota
Banjarmasin menjadi kota kolonial. 22

21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 258.
377
B. Tampilnya Kelas Saudagar
Keberadaan perdagangan lada (sahang) di
Kesultanan Banjarmasin secara tidak langsung
mendorong munculnya saudagar Banjar. Orang Banjar
adalah pedagang. Sejak masa Kesultanan Banjarmasin,
orang-orang Banjar terkenal sebagai pedagang sahang
yang ulet dan rajin sampai ke luar daerah. Menurut
Bondan; ada tiga golongan pedagang di Banjarmasin yaitu
Sultan dan keluarganya yang mempunyai hak dan
kekuasaan memungut pajak dari barang perdagangan,
golongan mantri (bawahan sultan), dan bubuhan
saudagar.23
Bubuhan saudagar inilah yang membawa barang-
barang dagangan keluar masuk Banjarmasin. Barang yang
dibawa keluar, kalau sebelumnya membawa lada
(sahang), dalam beberapa abad kekemudian berganti
komoditas lain seperti kayu besi, minyak dan kayu
gaharu, intan, rotan, sarang burung dan lain sebagainya.
Ketika kembali ke Banjarmasin, mereka membawa barang
seperti berbagai macam kain, gula, bawang, garam,
barang pecah belah (piring, mangkuk, gelas), dan barang
yang terbuat dari tembaga (baki, tempat menginang, alat-
alat musik gamelan).
Komoditas perdagangan yang dibawa bubuhan
saudagar didistribusikan di pasar-pasar setempat, dengan

23
Amir Hasan kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
(Bandjarmasin: Fadjar), hlm. 89 - 90.
378
menggunakan sarana transportasi sungai.24 Alat
tranportasi sungai itu didominasi perahu-perahu (jukung)
khas Banjar. Perahu-perahu tersebut mengangkut
berbagai barang dari pedalaman maupun dari luar daerah
seperti kayu, lilin lebah, minyak kayu gaharu, kain,
gerabah, intan, dan lada/sahang. Komoditas ini dihasilkan
orang Dayak dan orang Banjar yang tinggal di pedalaman.
Barang-barang itu diperdagangkan di pasar lokal. Sebagai
gambaran keadaan di dalam pasar maupun di pinggir
sungai penuh dengan orang bertransaksi jual beli. 25
Berbagai macam barang diperjualbelikan di pasar
lokal tersebut, sebagai contoh yang agak unik adalah
perdagangan kulit ular puraca dan kulit buaya. Pada
tahun 1927 ekspor kulit ular puraca sangat
menguntungkan bagi penduduk kota Banjarmasin yang
tinggal di Kampung Benua Anyar. Penduduk kota melihat
peluang usaha yang tidak dikenai pajak oleh pemerintah
Belanda. Akan tetapi keberadaan peluang usaha ini
ternyata menimbulkan pertentangan pada tahun 1931, di
antara ulama Banjar tentang halal atau haram kulit ular
puraca ini diperdagangkan. Harga per lembar kulit ular
puraca cenderung stabil di kisaran harga 0,5 sen sampai
75 sen, dengan lebar kulit 10 cm sampai di atas 30 cm.

24
Bambang Subiyakto, “Pelayaran Sungai di Kalimantan
Tenggara: Tinjauan Historis Tentang Transportasi Air Abad ke- XIX”
(Tesis pada Fak. Sastra Universitas Gadjah Mada, 1997), hlm. 59.
25
Goh Yoon Fong, “Trade and Politics in Banjarmasin, 1700-
1747” (Tesis pada University of London, 1969), hlm. 10.
379
Demikian juga dengan kulit buaya, dengan ukuran lebar
18 cm sampai 30 cm ke atas dijual dengan harga 25 sen
sampai 1 gulden per-lembar.26 Sekitar 200.000 lembar
kulit puraca diekspor ke berbagai negara lewat Singapura
dengan perantara pedagang Cina.27
Letak Banjarmasin sangat menguntungkan bagi
perdagangan para saudagar karena mudahnya akses
menuju kota ini melalui Sungai Barito maupun Sungai
Martapura. Kedua sungai ini dapat dilayari kapal besar
bertonase 2000 DWT, dan tempat itu menjadi tempat
menimbun komoditas perdagangan di seluruh daerah
aliran Sungai Barito. Pada wilayah ini terdapat pedagang
besar dan kecil yang transit maupun menetap
bertransaksi. Para pedagang intan yang berasal dari
Martapura juga transit di Banjarmasin untuk melakukan
aktivitas jual beli.28
Pada Abad ke-20, para pedagang dan saudagar
masih banyak menggunakan kapal layar untuk berdagang
dan jarak waktu tempuh itu semakin singkat dengan
adanya kapal uap yang singgah di kota Banjarmasin. Kapal
uap yang dimiliki KPM (Koninklijke Paketvaart

26
Dagblad Express edisi tahun 1936.
27
Ada dua pendapat ulama, pertama mengatakan halal dan
yang kedua mengatakan haram karena termasuk binatang melata.
Lihat G.F. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa studi Mengenai
Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad ke- 20. (Jakarta: UI Press,
1987), hlm. 51 - 53.
28
J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch Indië, eerste deel
(’s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917), hlm. 97.
380
Maatschappij) tidak serta merta menggeser keberadaan
kapal-kapal layar yang dimiliki para bubuhan saudagar
Banjar. Pada tahun 1920, kapal uap milik KPM ini
berlabuh antara 2 - 3 kali dalam seminggu.29 Hal ini untuk
mengangkut lebih banyak lagi sisa sisa produksi lada yang
ditimbun di Gemeente Banjarmasin. Harga untuk lada
hitam berkisar dari f 60 sampai f 90 per pikul dan untuk
lada putih dari f 110 sampai f 150. Dari Kota Banjarmasin
(pelabuhan pengapalan untuk lada) diekspor 728.367
kilogram lada putih dan 234.359 kilogram lada hitam,
dibandingkan 577.563 kilogram dan 365.657 kilogram
tahun 1926.30
Getah Jelutung merupakan salah satu komoditi
ekspor yang penting lainnya di Kalimantan Selatan.
Semua hasil hutan di ekspor melalui pelabuhan di
Banjarmasin dengan angkutan kapal milik KPM
(Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dengan perantara
perusahan Borsumij. Pada tahun 1923, harga getah
jelutung f 10 setiap pikul atau 16 sen setiap kilogram,
harga getah merah f 200 setiap pikul atau f 3,5 setiap
kilogram.31 Getah Jelutung diolah menjadi karet kenyal
sebagai pembungkus kabel dan juga digunakan dalam
industri mobil. Ekspor kayu memberikan pemasukan yang

29
Kolonial Verslag Over het Jaar 1921.
30
Kolonial Verslag Over het Jaar 1928.
31
R. Broesma, Handel en Bedrijf in Zuid en Oost-Borneo (‘s
Gravenhage: Naeff, 1927), hlm. 43.
381
besar bagi pendapatan Gemeente Banjarmasin.32 Laporan
mengenai angka ekspor potongan kayu terdapat di kantor
duane Banjarmasin. 33
Perdagangan kayu dan penebangan kayu menjadi
peluang usaha sebagian saudagar dan penduduk kota
mengantungkan hidupnya pada sektor hutan. Pesanan
kayu dari orang-orang Eropa dan Cina bisa dilayani oleh
seorang haji yang diketahui berhubungan baik dengan
orang-orang pedalaman dan para penebang kayu.
Terutama orang-orang Banjar yang sudah lama kenal
dengan para penebang kayu dan memberikan perintah ke
mereka. Bukan hanya perintah tetapi juga uang, beras,
perlengkapan yang diperlukan dalam proses penebangan
kayu. Kayu-kayu gelondongan atau log yang sudah
ditebang dikirim ke Banjarmasin lewat jalur Sungai Barito.
Pada Kampung Kelayan dan Alalak, kayu gelondongan
digergaji menjadi papan dan kayu batangan.
Kemudian di Kampung Alalak di sebelah barat kota
Banjarmasin adalah kampung para pengrajin perahu
tradisional. Berbagai jenis perahu diperjualbelikan dan
dibuat di kampung ini. Harga sebuah perahu pada tahun
1941, mulai Rp.150 sampai dengan Rp. 500 tergantung
dari bahan kayu yang dipakai.34 Kayu sebagai bahan

32
Koloniaal Verslag over het jaar 1928.
33
E. van der Land & L. Van Meurs, “Eenige Getah en
Rubbersoorten uit de Zuider-en Oosterafdeling van Borneo” (Tectona
jilid XIX, 1926), hlm. 20-21. Lihat juga R. Broersma, Handel en Bedrijf
in Zuid en Oost-Borneo, hlm. 48.
34
Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan., hlm. 100.
382
utama pembuatan perahu tradisional Banjar ini sebagian
besar adalah kayu lokal yang terdapat di hutan-hutan di
aliran Sungai Barito. Kayu yang tahan lama dan kuat
dipakai kayu ulin, kelemahannya perahu yang dibuat
menggunakan kayu ini apabila karam akan tenggelam.35
Orang-orang yang berprofesi sebagai tukang kayu
bermukim di kampung Kween dan kampung Alalak.
Mereka bekerja mendirikan rumah-rumah penduduk
dengan upah 60 sen per hari pada tahun 1941. Khusus
tukang gergaji kayu gelondongan yang bermukim di
kampung Alalak mendapat upah 50 sen sehari. Kayu yang
digergaji yaitu kayu ulin, lanan, klepek, meranti, sintuk
dan lain-lain.36 Sementara di Kampung Pasar Lama,
berkembang kerajinan meubel, misal pembuatan lemari,
meja, kursi, tempat tidur yang dibuat memakai kayu
sintuk, rawali dan kayu lanan. Lampit adalah tikar yang
dibuat dari rotan dengan cara diserut yang terkenal
sampai mancanegara. Lampit yang asli buatan tangan
orang Banjar masih mampu bertahan sampai sekarang.37
Bagi masyarakat kota Banjarmasin, belakang
rumah-rumah mereka yang masih luas tanahnya, cocok
ditanami padi dan tanaman tahunan (kelapa) yang dapat
menghasilkan uang. Kelapa banyak dijadikan kopra oleh
orang-orang Banjar. Para petani pemilik tanah
menggunakan tenaga buruh upahan untuk mengelola

35
Sinar Borneo, 1915.
36
Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, hlm. 101.
37
Broesma, Handel en Bedrijf in Zuid en Oost-Borneo, hlm. 32.
383
tanah pertaniannya dengan gaji 40-50 sen sehari.38
Kejeniusan mereka sebagai orang Banjar adalah
memanfaatkan gerakan pasang surut untuk
mengeringkan dan sekaligus untuk mengairi lahan yang
digarap. Pembuatan surjan bagi tanaman tahunan seperti
kelapa menjadi pilihan petani. Pembuatan surjan bagi
tanaman tahunan dibarengi dengan penggalian saluran
drainase yang lebar untuk budidaya padi. Tanah
pematang dibobol untuk mengalirkan air ke saluran itu.
Sebuah pintu air yang sederhana berfungsi mengatur
keluar masuknya air. Tanah yang digali dari saluran itu
ditimbun di atas surjan agar tanah tetap kering pada saat
laut pasang. Rahasianya adalah keberhasilan menjaga
kedalaman saluran drainase itu sebatas gerak pasang
surut.39 Pertanian ini oleh Bondan disebut pertanian
sawah pasang surut.40
Pemenuhan kebutuhan masyarakat di daerah ini
dipengaruhi keadaan alam dan bakat orang Banjar.
Keadaan alam Kalimantan Selatan ikut menentukan
pertumbuhan masyarakatnya. Alam wilayah Kalimantan
Selatan terdiri dari pegunungan, dataran tinggi, dataran
rendah, rawa atau baruh, danau dan sungai, serta daerah
pantai laut yang sedikit luasnya. Untuk menghubungkan
daerah-daerah yang tersebar di Kalimantan Selatan, maka
dari waktu ke waktu sungai memegang peranan penting

38
Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, hlm. 102.
39
Kolonial Verslag Over het Jaar 1928.
40
Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, hlm. 92.
384
menghubungkan pedalaman dengan pantai di samping
hubungan laut dengan pulau-pulau kecil dan kota-kota
yang terletak di pantai seperti Kotabaru, Pagatan dan
lain-lain.41
Kebutuhan primer berupa makanan diperoleh dari
mata pencaharian penduduk yang mengandalkan
pertanian, perkebunan; pakaian diperoleh dari
perdagangan, dan tempat tinggal diperoleh dari ramuan
kayu hasil hutan. Bahan makanan utama penduduk
adalah beras melalui usaha bercocok tanam padi. Lahan-
lahan pertanian yang digarap terdiri dari sawah, ladang
atau tegalan, dan perkebunan. Sawah berdasarkan
berdasarkan letaknya terdiri dari dua jenis yaitu (1)
Sawah Pasang Surut ialah sawah yang terdapat di daerah
rawa di tepi sungai seperti di daerah Marabahan dan
Negara; (2) Sawah yang terletak di dataran tinggi, seperti
di Kandangan, Rantau dan Barabai. Berdasarkan cara
mengerjakannya dan jenis padi yang ditanam, sawah-
sawah di daerah ini terdiri atas: (1) Sawah (huma) tahun.
Dinamakan demikian, karena lamanya dari dari di tanam
bibitnya sampai dengan selesai panen mendekati satu
tahun; (2) Sawah Pudak, karena padi yang ditanam di
sawah tersebut yaitu padi pudak yang umurnya sekitar
enam bulan.

41
Sjarifuddin, “Sikap Pergerakan Rakyat Menghadapi
Pendudukan Belanda di Kalimantan Selatan Periode 1945 sampai
dengan 17 Agustus 1950” (Skripsi Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah
FKg Unlam, Banjarmasin, 1974), hlm. 17.
385
Sawah jenis ini berdasarkan cara menanamnya
terdiri dari dua jenis yaitu sawah surung dan sawah
rintak. Sawah Surung dikerjakan kalau musim kemarau
agak lama, di mana rawa menjadi kering, hutan dan
semak serta padang rumput (alang-alang) habis terbakar.
Pada rawa yang terbakar inilah yang dijadikan sawah
tempat menanam padi tersebut, dan usaha ini sifatnya
insidental yang merupakan mata pencaharian tambahan
bagi petani pasang surut. Panennya biasanya di saat air
mulai surung atau datang. Sawah Rintak, saat menanam
padi air mulai kering (rintak). Baik Sawah Surung maupun
Sawah Rintak dikerjakan di daerah rawa Margasari,
Negara dan sekitarnya. Ladang dikerjakan di gunung yang
pengolahannya hampir sama dengan Sawah Surung, yaitu
ditanami bibit pada akhir musim kemarau menjelang
musim hujan.
Selain itu, terdapat perkebunan di kalimantan
selatan, antara lain ialah: (1) perkebunan karet yang
terdapat di dataran tinggi seperti daerah Martapura,
Pleihari, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai dan
Tanjung. Perkebunan karet ini mulai ditanam tahun 1911
dan 1912; (2) Perkebunan kelapa terdapat di dataran
tinggi dan di tepi pantai; (3) Perkebunan lada terdapat di
daerah Kotabaru; (4) Perkebunan yang merupakan usaha
secara kecil-kecilan, bertitik berat untuk keperluan
keluarga dalam kehidupan sehari-hari, misalnya rumbia,
enau, pisang, ketela pohon dan sebagainya. Pada wilayah

386
Margasari, pada tahun 1917 terjadi penanaman besar-
besaran pohon rumbia dan produksi sagu.
Pada tahun 1919, Orang Banjar mulai mengenal
pupuk buatan atas jasa Insinyur Lanbouw, Ph. Van Driest
dan Ir. Schophuys mengajarkan pencangkokan mangga,
rambutan, jeruk dan sebagainya.42 Kemudian disusul
pembinaan tani oleh Raden Noto dan Idak; (5) Kebun
Penyela, yakni rawa ketika musim kemarau menjelang
musim hujan ditanami semangka, mentimun, ubi jalar,
waluh (labu), jagung, kacang dan sebagainya, terutama di
sekitar Negara dan Amuntai. Masyarakat sejak lama
melakukan peternakan memenuhi kebutuhan akan
daging, ikan dan telur seperti (1) Peternakan itik di Alabio
dan Aluh-aluh; (2) Kerbau di Pleihari dan kerbau kalang di
Babirik dan Negara; (3) Kuda, sapi dan kambing di
Pleihari, Riam Kanan an Riam Kiwa; (4) Ikan diambil dari
rawa, danau, sungai-sungai terutama di daerah Bangkau
Kandangan, Sungai Buluh Amuntai, Babirik, Danau
Panggang, Negara, Sungai-sungai Barito, Sungai Tabalong,
dan sebagainya.
Berkenaan dengan kebutuhan akan sandang,
seperti pakaian, pada mulanya dapat ditenun sendiri,
tetapi kalah bersaing dengan tekstil impor. Dahulu,
kebanyakan orang memakai celana sarung, baju dan
laung dari kain tenunan sendiri. Nama corak kain tenunan
Banjar itu ialah corak poleng, sarigading, ramak sahang

42
Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan., hlm. 96.
387
dan tampuk gandang. Kebutuhan akan sandang, telah
dapat di atasi oleh banyaknya ragam kain yang
diperdagangkan di kota-kota besar. Hal ini juga
diakibatkan peranan pelabuhan Banjarmasin dalam
perdagangan internasional. Tahun 1895 ketika kapal KPM
mulai beroperasi antara Banjarmasin dan Surabaya rutin
setiap tujuh hari sekali, barang-barang dari luar semakin
meningkat masuknya ke Kalimantan lewat Banjarmasin.
Para pedagang Banjar memanfaatkan KPM sebagai alat
transportasi perdagangan ekspor impor lewat Surabaya.
Sejak itu rute perdagangan Banjar adalah Banjarmasin –
Surabaya – Singapura.43
Sejak itu bahan pakaian dan pakaian jadi
diperdagangkan di Banjarmasin. Orang-orang Banjar, Cina
dan Arab memperdagangkannya ke kota-kota lain di
Kalimantan Selatan, seperti kain cita, kain lina, batik dari
Surabaya.44 Di samping batik, kain gaya lokal berupa
sasirangan masih diproduksi untuk keperluan sendiri.
Setelah karet sudah diperdagangkan, pemilik kebun karet
pun mulai melibatkan diri dengan perdagangan ekspor
impor. Aktivitas perdagangan tahun 1930 berimbang
antara sungai dan darat. Ketika itu karet menjadi andalan
perdagangan yang menimbulkan kekayaan segelintir
orang Banjar dan menimbulkan kemakmuran petani
karet. Bahan pakaian pun masuk secara berlimpah

43
Ibid.
44
Kodam X Lambung Mangkurat, Kodam X/LM Membangun
(Banjarmasin: Kodam X Lambung Mangkurat, 1962), hlm. 586.
388
Perkembangan perumahan sangat dipengaruhi
perkembangan infrastruktur transportasi darat dan
sungai. Kalau sebelumnya membangun di tepi sungai
dengan sederhana yakni bertiang kayu balangiran,
berdinding pelupuh dari bambu, beratap rumbia, sejak
1930 sampai dengan tahun-tahun berikutnya mulai
membangun rumah di pinggir jalan raya dengan keadaan
yang lebih baik yakni bertiang kayu ulin, berdinding
papan, beratap sirap. Bahan bangunan seperti seperti
kayu lanan, meranti, balangiran, ulin (kayu besi), ramin
dan balau terdapat di hutan Kalimantan. Pada pinggir
sungai Martapura, Marabahan dan Banjarmasin, sejak
1925 dan tahun-tahun berikutnya telah tampak bangunan
rumah bergaya Eropa. Umumnya pemiliknya adalah
pedagang-pedagang yang sukses yang berdagang ke
Surabaya bahkan sampai ke Singapura yang terkenal gigih
dalam usaha dagang adalah orang-orang Bakumpai dan
Alabio di samping orang Arab dan Cina.45
Bagi masyarakat Banjar di desa-desa baik pesisir
maupun dataran tinggi, dan apalagi pegunungan,
kebutuhan sekunder seperti perhiasan, perabot rumah
tangga, alat hiburan informasi dan komunikasi tidak
begitu penting, kecuali di rumah pembakal atau ehner
(asal kata eigenaar yang berarti pemilik) karet, tampak
gramofon dan radio. Berbeda dengan masyarakat Banjar
yang hidup di perkotaan, seperti golongan atas yakni

Ibid.
45

389
pegawai pangreh praja, mereka membutuhkan radio,
gramofon, telepon di rumahnya. Golongan menengah ini
banyak terpengaruh oleh penetrasi kebudayaan Barat
melalui pendidikan yang mereka peroleh, sehingga
kebutuhan sekundernya dipenuhi melalui gaya hidup
secara Barat.46

C. Tinggalan Budidaya Lada di Tabalong


Budidaya dan perdagangan lada yang sudah
merajai perdagangan di Kalimantan Selatan sejak
berabad-abad yang lalu, masih tetap dibudidayakan
urang Banjar dalam skala kecil seperti budidaya
lada/sahang di Desa Salikung Kecamatan Muara Uya,
Kabupaten Tabalong. Memang termasuk desa terpencil,
karena letaknya yang cukup jauh dari pemukiman desa
tetangga dan infrastruktur jalan yang masih berupa
tanah. Namun saat ini Pemerintah Daerah tengah
melakukan peningkatan kualitas jalan untuk menuju Desa
Salikung. Desa Salikung memiliki tanah yang subur dan
cocok untuk penanaman lada, tak heran meskipun berada
di desa terpencil namun hasil buah buahan, sayuran dan
lada sangat melimpah. Potensi untuk mengembangkan
lada di Salikung sangatlah besar.47

46
Ibid, hlm.587.
47
Reni Kurnia Wati, "Kembangkan Lada di Salikung, Pemkab
Tabalong Tingkatkan Kualitas dan Akses Jalan", dalam
https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/11/14/kem bangkan-
lada-di-salikung-pemkab-tabalong-tingkatkan-kualitas-dan-akses-
jalan, diakses 6 November 2020.
390
Lada tumbuh subur dan menghasilkan buah
banyak dengan pengelolaan yang tepat dari petani.
Dengan demikian perkebunan lada bisa semakin
meningkat baik dari luasan penanaman lada dan luasnya
distribusi hasil. Warga juga bisa mengolah lada hingga
menjadi lada siap pakai, dan saat ini yang dikembangkan
adalah penangkaran bibit lada yang selama ini terbatas
dari pembibitan warga dan juga bantuan dari PT Adaro
Indonesia. Telah dilakukan sosialisasi dari Pemerinrah
Kabupaten Tabalong kepada warga untuk membuka
lahan tidak dilakukan dengan cara membakar yang juga
merusak kandungan dalam tanah. Peningkatan bidang
pertanian sangat diharapkan warga Desa Salikung.
Terlebih saat ini mulai banyak pedagang yang bisa masuk
ke Desa Salikung dengan diperbaikinya infrastruktur.

Gambar 8.7. Budidaya lada di Desa Salikung, Kecamatan Muara Uya


Kabupaten Tabalong. Sumber : Reni Kurnia Wati, 2020.

391
Pemerintah Kabupaten Tabalong melakukan
pengembangkan tanaman lada di Desa Salikung,
Kecamatan Muara Uya sejak tahun 2015 lalu. Namun
hingga kini perkembangannya belum signifikan menyusul
adanya penyakit pada tanaman randu sebagai tanaman
pokok untuk panjatan sulur tanaman lada serta tingginya
harga kayu ulin sebagai tajar hidup tanaman palawija ini.
Karena itulah penduduk mulai memanfaatkan pohon
gamal sebagai tajar hidup atau rambatan sulur tanaman
lada. Tanamam gamal pertumbuhannya lambat dan
daunnya dapat dimanfaatkan untuk ternak.48
Oleh karena itu pemanfaatan tanaman gamal
sebagai rambatan sulur tanaman lada cukup murah bagi
petani dibanding menggunakan kayu ulin yang cukup
langka. Dinas Pertanian melalui bidang perkebunan akan
melakukan rintisan pengembangan tanaman lada seluas
35 hektare dari dana APBD Provinsi Kalsel dan APBD
Kabupaten Tabalong. Pengembangan tanaman lada 35
hektare di empat desa. Masing - masing Desa Palapi 5
hektare, Desa Ribang trans 20 hektare, Desa Solan 15
haktere dan Desa Hayub 5 hektare. Sebelumnya uji coba
pengembangan tanaman lada di Desa Salikung oleh Dinas
Pertanian mengalokasikan bantuan 6.000 bibit lada pada
lahan seluas 5 hektare. Selain di Desa Salikung,

48
Herlina Lasmianti, "Istan Manfaatkan Pohon Gamal Untuk
Rambatan Tanaman Lada", dalam https://kalsel.antaranews.com/
berita/165045/distan-manfaatkan-pohongamal-untuk-rambatan-
tanaman -lada, edisi Minggu, 3 Mei 2020, diakses 6 November 2020.
392
Kecamatan Muara Uya terdapat pengembangan tanaman
lada di Desa Padang Panjang, Jaro, Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Terdapat bantuan pengembangan
tanaman lada di Desa Padang Panjang seluas 0,5 hektare.
Selain itu, juga dilakukan uji pengembangan tanaman lada
di Desa Purui, Kecamatan Jaro. 49

Gambar 8.8. Kondisi tanaman lada di Desa Salikung, Kecamatan


Muara Uya Kabupaten Tabalong. Sumber : Reni Kurnia Wati, 2020.

Pengembangan tanaman lada di kabupaten paling


Utara di Kalimantan Selatan ini sebagai upaya pemerintah
daerah meningkatkan ekonomi masyarakat lokal
mengingat anjloknya harga karet lokal. Sebelumnya uji

Ibid.
49

393
pengembangan tanaman lada dilaksanakan di Desa
Salikung Kecamatan Muara Uya seluas satu hektare
dengan menggunakan bibit lada unggul dari Palembang.
Pada area Desa Salikung pengembangan lada
dilaksanakan Kelompok Tani Mimban dan bantuan 2.100
bibit lada PT Adaro Indonesia. Petani lada di Desa
Salikung selain mendapat bantuan bibit termasuk pupuk
NPK 42 kilogram dan pupuk kandang sebanyak 1,05 ton.
Selain Kelompok Tani Mimban, Kelompok Tani Bina Usaha
Desa Salikung juga mendapatkan bantuan 6.000 bibit lada
dari dana APBD Kabupaten. 50
Dalam rangka Pengembangan Lada Provinsi
Kalimantan Selatan, Disbunnak melakukan koordinasi
dengan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan potensi pasar yang tinggi, Pemprov Kalsel
mengembangkan secara serius untuk tanaman kategori
rempah penyegar ini. Kebun Induk Lada telah dibangun di
Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Untuk ketersediaan
benih, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur siap
menyuplai yaitu benih tanaman Lada Malonan 1
Sebagaimana Kalsel selama ini telah menyuplai benih
karet ke Kaltim.
Desa Salikung, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten
Tabalong, Kalimantan Selatan, menjadi daerah
percontohan pengembangan lada menyusul dilakukannya
tanam perdana komoditi ini di wilayah tersebut. Selama

Ibid.
50

394
ini tanaman lada belum dikembangkan dengan baik
karena itu melalui kegiatan pendampingan diharapkan
lada bisa menjadi komoditi unggulan daerah. Mengingat
nilai jual lada di Kabupaten Tabalong mencapai Rp180
ribu per kilogeramnya sehingga punya prospek yang
sangat baik jika berhasil dikembangkan.51 Selain itu
Pemerintah Kabupaten Tabalong juga menggandeng
produsen ladaku untuk bisa menampung atau membeli
lada asal Tabalong. Pemerintah daerah juga memberikan
jaminan pemasarannya bekerjasama pihak ladaku.52

D. Budaya & Kuliner


1. Lada Dalam Motif Kain Ramak Sahang (Lada Hancur)
Keberadaan lada atau sahang berpengaruh
terhadap sendi sendi kehidupan masyarakat Banjar.
Bahkan dalam produksi kain sasirangan, kain khas
Kalimantan Selatan. Khususnya dalam motif kain
sasirangan atau yang dikenal sebagai “batik”-nya
urang Banjar. Dalam sasirangan dikenal salah satu
motif yakni ramak sahang. Motif ini menurut Syamsiar
Seman, sahang adalah salah satu jenis rempah rempah
yang biasa dikenal merica. Sementara ramak (Bahasa

51
Ahmad Nabhani, "Bantu Produktifitas Petani-Adaro
Kembangkan Tanaman Lada di Kalsel" https://republika.co.id/berita
/nxzt9s384/pt-adaro-serahkan-bantuan-2100-bibit-lada, edisi Sabtu,
23/ 07/2016 diakses 6 November 2020.
52
Herlina Lasmianti, “Tanam Perdana Lada di Desa Salikung”,
dalam: kalsel. antaranews.com edisi Sabtu, 17 Oktober 2015, diakses
6 November 2020.
395
Banjar) artinya hancur, jadi ramak sahang artinya
merica hancur. Pada versi lain, ramak sahang adalah
istilah suku Banjar yang artinya merica yang
dihancurkan atau dihaluskan dengan cobek. Hancurnya
merica tersebutlah yang menjadi inspirasi terciptanya
motif ramak sahang. Motif ini hampir mirip dengan
motif hiris pudak yang berganda dua, tapi gambarnya
terputus-putus, tidak senyawa.53

Gambar 8.9. Motif Sasirangan ramak sahang (lada hancur).


Sumber: Seman, 2007.

Sjamsiar Seman, Sasirangan Kain Khas Banjar (Banjarmasin:


53

Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar, 2007), hlm. 12.


396
Diperkirakan motif ini sudah muncul sejak
beberapa abad lalu. Kain sasirangan merupakan kain
adat Suku Banjar di Kalimantan Selatan yang
diwariskan secara turun-temurun sejak Abad ke-12,
saat Lambung Mangkurat menjadi Patih di Kerajaan
Hindu Negara Dipa. Cerita yang berkembang di
masyarakat Kalimantan Selatan adalah bahwa kain
sasirangan pertama kali dibuat Patih Lambung
Mangkurat setelah bertapa 40 hari 40 malam di atas
rakit balarut banyu. Motif adalah pola, corak hiasan
yang berfungsi untuk menghias.54
Demikian halnya motif yang dilekatkan pada
tekstil merupakan ungkapan kerajinan, keindahan,
kehalusan, dan kesucian yang melekat pada bangsa
Indonesia sejak masa prasejarah hingga sekarang.
Defenisi lainnya, motif adalah desain yang dibuat dari
bagian-bagian bentuk, berbagai macam garis atau
elemen-elemen, yang terkadang begitu kuat
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk stilasi alam benda,
dengan gaya dan ciri khas tersendiri. Motif juga
dianggap susunan terkecil dari gambar atau kerangka
gambar pada benda. Motif terdiri atas unsur bentuk
atau obyek, skala atau proporsi, dan komposisi. Motif
menjadi pangkal atau pokok dari suatu pola dan motif

H. Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Ketiga (Jakarta:


54

Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 756.


397
mengalami proses penyusunan dan diterapkan
berulang-ulang sehingga diperoleh sebuah pola.55
Motif yang ada di Indonesia ada bermacam-
macam bentuknya dan masing-masing daerah yang
menghasilkan motif memiliki ciri dan kekhasan yang
berbeda-beda pula. Klasifikasi kain sasirangan diberi
nama berdasarkan pada motif gambar dan warna
motif. Motif gambar dan warna motif kain sasirangan
disesuaikan dengan tujuan pembuatannya, yaitu untuk
pengobatan penyakit pingitan. Motif gambar pada kain
sasirangan pada umumnya dipengaruhi beberapa
unsur seperti flora, fauna, manusia, alam benda
budaya, dan benda-benda di langit. Warna motif pada
kain sasirangan zaman dahulu bermacam-macam
sesuai fungsinya pada saat itu, dan terbuat dari bahan-
bahan alami.56
Motif kain tradisional sasirangan pada
umumnya di dominasi oleh garis-garis berganda dua
atau tiga yang tersusun secara vertikal, motif
tradisional tersebut antara lain gigi haruan, kambang
kacang, hiris gagatas, kambang sakaki, daun jaruju,
tampuk manggis, bintang, kangkung kaumbakan,
ombak sinampur karang, bayam raja, kulat karikit,
hiris pundak, ular lidi, mayang maurai, naga balimbur,

55
Ari Wulandari, Batik Nusantara (Yogyakarta: Andi, 2011),
hlm. 113.
56
T. N. Ganie, Sasirangan Kain Khas Tanah Banjar
(Banjarmasin: Tuas Media, 2014), hlm. 7.
398
banawati, dara manginang, turun dayang, ramak
sahang, gelombang, dan daun katu. 57

Gambar 8.10. Motif Sasirangan Ramak Sahang (Lada Hancur) dan


motif lainnya yang dipasarkan di Banjarmasin (1). Sumber:
Disbudpar Kota Banjarmasin, 2020.

Kain sasirangan merupakan kerajinan yang unik


dan memiliki beberapa unsur nilai seperti nilai
keyakinan, nilai budaya dan ekonomis. Masyarakat
Kalimantan Selatan meyakini kain ini mempunyai
kekuatan untuk mengusir roh-roh jahat serta
keyakinan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa
kain merupakan bentuk nyata keyakinan masyarakat.
Nilai yang selanjutnya adalah nilai budaya, kain
sasirangan merupakan salah satu bentuk nyata
pencapaian kebudayaan masyarakat Kalimantan
Selatan. Pemilihan bahan, warna yang digunakan, cara
pewarnaan dan pembuatan motif-motif merupakan

57
Seman, Sasirangan Kain Khas Banjar, hlm. 14.
399
bentuk nyata dari hasil membaca dan memahami alam
sekitar serta fenomena di sekitar masyarakat.58
Dengan kata lain, kain sasirangan merupakan
hasil dari karya seni turun-temurun masyarakat
Kalimantan Selatan yang memiliki nilai kultural tinggi.
Nilai terakhir adalah nilai ekonomis, seiring
perkembangan zaman, masyarakat semakin menyadari
adanya potensi ekonomi yang terkandung dalam kain
sasirangan, yang pada mulanya kain sasirangan
digunakan sebagai alat pengusir roh-roh jahat, lalu
sekarang berubah menjadi berbagai macam aneka
produk, seperti baju pesta, sandal, tas hingga dompet.

Gambar 8.11. Motif Sasirangan Ramak Sahang (Lada Hancur) dan


motif lainnya yang dipasarkan di Banjarmasin (2). Sumber:
Disbudpar Kota Banjarmasin, 2020.

58
T. Winarsih, Kain Sasirangan dan Asal-usul Batik di Indonesia
(Yogyakarta: Sabdo Pinilih, 2015), hlm. 50 - 52.
400
2. Aroma Lada dalam Kuliner & Obat Tradisional Banjar
Setiap daerah memiliki kuliner khas yang wajib
dicari jika sedang mengunjungi daerah tersebut.
Seperti Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh
penduduk Suku Banjar memiliki kuliner khas yang
patut dicoba. Terdapat beberapa jenis masakan Banjar
yang menggunakan lada (sahang) sebagai bahan dasar
dan bahan tambahan. Pada masyarakat Banjar, lada
adalah salah satu bumbu dapur dalam masakan dan
termasuk dalam kelompok biji-bijian. Lada yang
berbentuk bulat kecil ini memiliki rasa pedas, pahit,
sekaligus hangat, dimanfaatkan sebagai bumbu dapur
agar masakan memiliki rasa sedikit lebih pedas dan
memberikan efek hangat pada tubuh.
Seperti masakan sambal sahang (lada) biasanya
dibuat sebagai sambal ikan asin yang dimasak
berbarengan dengan memasak nasi. Biasanya
digunakan juga untuk menambah selera saat sedang
sakit atau tidak ada selera makan. Biasanya juga
dijadikan lauk ketika berada di ladang. Kemudian
masakan cacapan sahang atau biasanya dinamakan
garih becacapan sahang. Menu khas Banjar ini adalah
makanan untuk ibu ketika habis melahirkan. Fungsinya
membuat perut terasa hangat. Kemudian terdapat
masakan lain yakni labu masak sahang.
Variasi lainnya adalah gangan basahang atau
kuah lada hitam adalah sejenis masakan Banjar yang
biasanya disediakan untuk ibu-ibu yang sedang
401
berpantang selepas bersalin di kalangan orang Banjar.
Dalam pembuatan masakan ini biasanya dengan
merebus air asam jawa, lada hitam yang telah
ditumbuk kasar, bawang putih dan sedikit garam.
Bawang putih tidak dihiris sebaliknya hanya dibuang
kulitnya. Kebiasan masyarakat Banjar memasukkan
ikan haruan kering ke dalam gangan basahang. Variasi
lainnya memasukkan sayur daun ‘kusisap’ atau daun
kermak ke dalam kuah lada hitam tadi.59

Gambar 8.12. Masakan Soto Banjar yang menggunakan rempah


lada. Sumber: Disbudpar Kota Banjarmasin.

Murdijati Gardjito, dkk., Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan


59

dalam Kuliner Indonesia (Yogyakarta: UGM Press, 2018), hlm. 332.


402
Selain masakan, biasanya lada dicampurkan ke
dalam masakan sebagai bumbu penyedap rasa.
Misalnya soto banjar, masakan dengan kuah putih
kental yang terbuat dari campuran kaldu ayam, susu,
kentang dan telur matang yang dihaluskan serta
bumbu-bumbu pembentuk rasa seperti pala, sahang
(merica), bunga sisir, kas-kas dan lain-lain. Sahang juga
menjadi bumbu dalam pembuatan masakan acan
terasi kandangan, bumbu/kuah sahang katupat
kandangan serta penyedap masakan kuah laksa.60
Selain penyedap makanan maupun bahan dasar
dalam proses pembuatan masakan, urang Banjar juga
menggunakan lada (sahang) sebagai pelengkap obat
tradisional. Dalam proses pengobatan tradisional yang
biasanya diistilahkan dengan batatamba, secara teknis,
‘tawar magis, tuah atau mana’ yang dimiliki seorang
pananamba (dukun) biasanya disalurkan melalui
kekuatan supranatural dengan bacaan, berupa doa

Rizal Khadafi, Atlas Kuliner Nusantara; Makanan Spektakuler


60

33 Provinsi (Jakarta: Bukune, 2008), hlm. 60 - 61; lihat juga


Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Materi Muatan Lokal
Kebudayaan Banjar: Muatan Lokal (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan &
Pariwisata, 2011), hlm. 155 - 160; bandingkan dengan Tim Penulis,
Makanan: wujud, variasi dan fungsinya serta cara penyajiannya
daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Proyek Penelitian,
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian Pengkajian
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1993, hlm. 94 - 95.
403
ataupun mantera. Kemudian tulisan dan simbol untuk
menolak bala. Pada kepercayaan orang Banjar, sahang
(merica) termasuk benda-benda yang diyakini
mengandung kekuatan tertentu dan ditakuti makhluk
gaib. Lada (sahang) juga dipakai sebagai obat saat
masuk angin. Dalam pengobatannya kapur dan sahang
dicampur dan dibalurkan kepada si penderita masuk
angin.

404
BAB IX
KESIMPULAN

Budidaya dan perdagangan rempah lada yang


berjuluk the king of spice berperan besar dalam dinamika
politik dan ekonomi Kesultanan Banjarmasin, Abad ke-16
sampai Abad ke-19. Lada atau dalam Bahasa lokal Banjar
dikenal dengan nama sahang (piper nigrum) menjadi
komoditas utama perdagangan melalui jalur maritim antara
Nusantara, Cina dan Eropa. Termasuk di dalamnya
Banjarmasin di wilayah Borneo bagian tenggara, sebagai
bagian Nusantara. Lada pun menjadi satu di antara bahan
ekspor penting Kesultanan Banjarmasin. Apalagi didukung
letak geografis dengan banyak sungai besar dan kecil hingga
pesisir pantai, menjadikan Kesultanan Banjarmasin tampil
sebagai satu di antara pusat perdagangan rempah lada di
Nusantara.
Kondisi geografis tersebut ditunjang kehidupan sosial
dan mata pencaharian penduduknya yang menitikberatkan
pada sektor perdagangan. Wajar hal ini turut mendorong
tampilnya Banjarmasin menjadi kota maritim. Faktor historis
Kesultanan Banjar juga tidak dapat dikesampingkan.
Kesultanan yang lahir dari prahara dan pasang surut
kerajaan sebelumnya yakni Kerajaan Hindu Negara Dipa dan
Negara Daha. Lahirnya Kesultanan Banjar tahun 1526 adalah
kulminasi gejolak politik dan perebutan tahta (usurpasi).
Embrio budidaya lada lokal sejak Abad ke-16 oleh
orang Biaju (Dayak Ngaju) kemudian dilanjutkan urang
405
Banjar, memunculkan sentra dan varietas lada lokal yakni
Lada Negara, Lada Pulau Laut, Lada Kayutangi dan Lada
Maluka. Penamaan lada ini sesuai wilayah atau lokasi
pembudidayaannya. Dalam dinamika hingga tahun 1700,
urang Banjar mengembangkan teknik budidaya lada dengan
cara mamanduk. Hal ini kemudian menjadi satu di antara
kearifan lokal Banjar dalam budidaya lada di tanah
berlumpur dan ladang kering. Lada yang sejak sebelum abad
ke-16 masa Kerajaan Negara Dipa dan Daha, menjadi
tanaman “terlarang” dibudidayakan besar besaran setelah
munculnya Kesultanan Banjar, bermetamorfosa menjadi
komoditas unggulan.
Sebelum terbentuknya Banjarmasin tahun 1526,
sudah terjadi persaingan Bandar Muara Bahan milik Kerajaan
Negara Daha dan Bandarmasih milik komunitas Melayu.
Persaingan ini kemudian dimenangkan komunitas Melayu
yang merajakan Pangeran Samudera. Dengan kemenangan
Pangeran Samudera yang dibantu Kerajaan Demak atas
pamannya Pangeran Tumenggung menjadi awal
terbentuknya Kesultanan Banjar. Tentunya supremasi
Kerajaan Demak dalam tahun 1526 adalah hal penting,
mengingat peran Demak dalam penyebaran Islam dan
terbentuknya Banjarmasin. Terbentuknya kesultanan
dibarengi munculnya struktur/birokrasi. Sultan Banjar serta
bangsawan Banjar pun tampil sebagai pemilik lada di tanah
apanaze (lungguh) yang akhirnya menjadi kebun lada.
Hingga akhirnya menjadi ihwal perebutan kuasa dan
pergeseran sistem politik awal abad ke-18.
406
Pada wilayah pedalaman terdapat perkebunan lada
besar-besaran di tanah apanaze yang dikuasai kaum
bangsawan. Seperti di daerah Negara, Alai, hingga Tabalong.
Orang Eropa pun menyebut Sultan Banjar, Pangeran Dipati
Anom atau Suryanata (1663-1679) sebagai koning van het
pepergebergte atau “raja dari pegunungan lada” atau pada
versi lain menerjemahkannya dengan “pangeran dari bukit
laga”. Kekuasaan para bangsawan ini sangat besar, karena
mereka juga mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak
yang dipersenjatai. Kekuasaan pasar dan perdagangan,
terletak pada wewenang syahbandar yang biasanya dijabat
orang asing.
Dinamika pada abad ke-17, muncul ekspansi
pedagang Eropa dan monopoli armada dagang Belanda,
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atas beberapa
pusat perdagangan di Nusantara. VOC melakukan monopoli
di wilayah Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar.
Kesulitan para pedagang Cina mendapatkan rempah-rempah
berupa lada di bagian barat Nusantara, menyebabkan
mereka mencari pusat perdagangan lada di tempat lain yang
belum tersentuh VOC, yaitu Banjarmasin. Permintaan lada
bertambah dari Cina dibarengi perhatian VOC semakin besar
terhadap Banjarmasin sejak kepentingannya mendapatkan
lada dipersulit penguasa Banten pada sekitar tahun 1661.
Hal itu mendorong penduduk Banjarmasin meningkatkan
hasil lada. Pada periode ini, golongan bangsawan menguasai
seluruh perdagangan karena kekuasaan di bidang politik dan
hak apanaze yang menghasilkan komoditi ekspor.
407
Zaman keemasan Asia khususnya Abad ke-17 atau
disebut sebagai kurun niaga (the age of commerce), kawasan
pantura (pantai utara) Jawa mengalami perkembangan
pesat, yang merupakan bagian inheren dari pelayaran dan
perdagangan internasional. Pantura Jawa merupakan bagian
penting dari the Java Sea zone atau pun the Java Sea
Networks atau Jaringan Laut Jawa. Jaringan Laut Jawa
mencakup pulau Jawa itu sendiri, Bali, Lombok, Sumba,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumbawa dan Timor.
Perdagangan di Banjarmasin sebagai bagian dari Jaringan
Laut Jawa pun tumbuh dan berkembang pesat.
Pelabuhan Kesultanan Banjarmasin yang pada
awalnya berada dalam sumbu perdagangan antar pulau,
meningkat menjadi sumbu perdagangan intra-Asia hingga
sumbu perdagangan internasional dalam jalur perdagangan
maritim Asia Tenggara di awal abad ke-17. Masuknya
Pelabuhan Banjar (Tatas) dalam rute tersebut disebabkan
Kesultanan Banjar mulai dikenal sebagai produsen lada yang
ditanam di daerah hulu oleh penduduk. Rempah-rempah,
terutama lada, merupakan salah satu komoditas dagang
yang sangat penting kala itu. Kapal-kapal dagang yang
berkunjung ke Pelabuhan Banjarmasin berasal dari kota-kota
di Nusantara seperti Makassar, Sumbawa, Jawa, selain dari
daratan Asia dan Eropa termasuk Cina, Persia, Siam,
Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, hingga Spanyol.
Didukung posisi Banjarmasin di tengah jalur
perdagangan Gresik-Makassar, menjadikan pedagang Banjar
makin aktif, perniagaan Lada Banjar pun makin efektif
408
hingga merambah perdagangan rempah di Banten. Era ini
juga dicirikan tampilnya Kesultanan Banjar di jalur
perdagangan internasional. Dimulai dengan kedatangan
pedagang Cina. Sejak terusir dari Patani, pedagang Cina ke
Banjarmasin untuk mencari lada sebagai komoditas
perdagangan. Karena harumnya lada, pedagang Cina diikuti
ekspansi VOC, EIC dan pedagang asing lain yang berebut lada
di Banjarmasin.
Strategi pun dijalankan, beragam mulai dengan
penawaran utang untuk Sultan Banjar, yang tidak perlu
dibayar dengan uang tetapi dengan lada, hingga pengajuan
kontrak dagang. Untunglah Sultan Banjar tidak terlalu terikat
kontrak dalam perdagangan. Bahkan cenderung
mengabaikannya. Banjarmasin dengan pelabuhan utamanya
yakni Pelabuhan Tatas menjadi batu loncatan penguasaan
lada orang Eropa. Akhirnya hegemoni pun mulai dibentuk
karena intervensi Eropa dan menjadikan intrik di Kesultanan
Banjar sebagai pintu masuknya. Dalam perdagangan lada
internasional ini, memperlihatkan tradisi dagang
pambulantikan ala orang Banjar dihadapkan kepada upaya
monopoli dagang ala kapitalis.
Pasang-surut budidaya dan perdagangan lada di
Banjarmasin terus berlanjut ketika kehadiran kolonialis
Inggris dengan “Raja Putih” Alexander Hare di Borneo bagian
tenggara tahun 1811-1817. “Raja Putih” Alexander Hare
yang mewakili EIC mendapatkan daerah konsesi lada Maluka
dari Sultan Banjar yang dianggap sebagai milik pribadinya.
Bahkan wilayah ini kemudian dikenal dengan Kerajaan
409
Maluka dengan rajanya bergelar “Rajah Putih”, Alexander
Hare. Maluka yang sejak berabad- abad sebelumnya sudah
terkenal dengan varietas lada Maluka berusaha
dikembangkan kembali dengan budidaya dan perdagangan
lada ala Inggris. Walaupun sempat berkembang,
perdagangan lada dan komoditas perkebunan lainnya,
penempaan mata uang hingga industri pembuatan perahu,
akhirnya tercoreng karena munculnya peristiwa Banjarmasin
Enormity. Sebuah tragedi perbudakan di kebun lada. Alhasil,
hanya kegagalan yang didapatkan “Rajah Putih” dan
hegemoni Belanda pun kembali.
Pada tahun 1825-1900 budidaya & perdagangan lada
Kesultanan Banjar mendekati titik terendah. Munculnya
Undang-Undang Sultan Adam/UUSA 1825 dan pengaturan
pemilikan tanah, kemudian penghapusan tanah apanaze,
Perang Banjar hingga dihapusnya Kesultanan Banjar tahun
1860 secara sepihak oleh kolonial Belanda menjadikan
pesona lada perlahan mulai pudar. Ditambah faktor alam
seperti banjir, perubahan iklim hingga gangguan bajak laut.
Belum lagi kehadiran “emas hitam sang primadona”,
komoditas batubara sebagai pesaing lada. Pengusaha
kolonial dan Pemerintah Hindia Belanda mengalihkan usaha
ke penambangan batubara. Selain itu ditambah munculnya
varietas tanaman lainnya yang lebih potensial di akhir abad
ke-19 yakni tanaman karet menjadikan banyak urang Banjar
beralih menanam karet.
Perdagangan rempah lada di Kota Pelabuhan
Banjarmasin berdampak pada berkembangnya Banjarmasin
410
sebagai kota dagang. Terjadi perubahan lanskap Kota
Pelabuhan Banjarmasin tahun 1526 - 1860. Dimulai dengan
kota pelabuhan-pusat politik (port-polity) tahun 1526 - 1612.
Kemudian kota pelabuhan sekunder (secondary port-city)
tahun 1612-1663. Selanjutnya, kota pelabuhan utama
kesultanan (1663 - 1787) serta kota pelabuhan utama
Belanda di Kalimantan bagian tenggara (1787 - 1860). Selain
itu, perkembangan Banjarmasin juga ditandai tampilnya
saudagar sebagai kelas terpandang dalam struktur sosial
masyarakat. Sementara itu, di sisi lain sisa-sisa penanaman
lada masih bisa disaksikan sekarang melalui tinggalan
budidaya lada di Kabupaten Tabalong. Kemudian pada aspek
budaya memperlihatkan pengaruh lada dalam gaya hidup,
yaitu menjadi inspirasi motif kain khas Banjar, kain
sasirangan, berupa motif ramak sahang (lada hancur).
Bahan dan aroma lada juga hadir dalam kuliner khas Banjar
yang beragam dan variatif serta menjadi campuran obat
tradisional Banjar.

411
412
BIBLIOGRAFI

A. Buku
Abdul Halim Ahmad. 1985. Geografi Budaya dalam
Wilayah Pembangunan Daerah Kalimantan
Selatan. (Jakarta: Depdikbud).
Abdul Rachman Patji. 2010. Etnisitas & Pandangan Hidup
Komunitas Suku Bangsa di Indonesia: Bunga
Rampai Ketiga Studi Etnisitas di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Selatan. (Jakarta: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Agus Triatno, dkk.. 1998. Perahu Tradisional Kalimantan
Selatan (Banjarbaru: Depdikbud).
Alfred B. Hoedson. 1976. The Padju Empat Ma’anyan
Dayak in Historical Perspective (Cornell
University).
Amir Hasan Kiai Bondan. 1953. Suluh Sedjarah
Kalimantan. (Banjarmasin: Fadjar)
Anonim. 1953. Sedjarah Indonesia Djilid II. (Semarang:
KPPK).
ANRI. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda
Tahun 1839-1848, (Jakarta: ANRI).
Anthony Reid. 1999. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga
1450-1680: Jilid 2 Jaringan Perdagangan Global
(Jakarta: Yayasan Obor).
---------------. 2004. Charting The Shape of Early Modern
Sotheast Asia . terjemahan Sori Siregar dkk.
(Jakarta: LP3ES).
----------------. 1993. Southeast Asia in the Age of
Commerce, 1450-1680, Vol. 2, Expansion and
Crisis. (Yale Univ. Press, New Haven).

413
----------------- 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680,
terjemahan R.Z. Leirissa & P. Soemitro (ed),
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
Anton Abraham Cense. 1928. De kroniek van
Bandjarmasin (Santpoort: Uitgeverij C.A. Mees).
Anwar Thosibo. 2002. Historiografi Perbudakan: Sejarah
Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad ke- XIX
(Magelang: Indonesiatera).
Ari Wulandari. 2011. Batik Nusantara. (Yogyakarta: Andi).
Bertram Johannes Otto Schrieke. 1955. Indonesian
Sociological Studies. Part I (Bandung: The Hague
V. van. Hoeve).
---------------------------------------. 1956. Indonesian
Sociological Studies. Part II. (Bandung: The
Hague, V. van. Hoeve).
B.H.M. Vlekke. 1959. Nusantara: A History of Indonesia.
(Hague: W. van Hoeve Ltd).
---------------. 2008. Nusantara, Sejarah Indonesia. terj.
Samsudin Berlian (Jakarta: Gramedia).
Bambang Subiyakto. 2003. Perompakan: Sebuah Realitas
Historis Abad ke-19 di Kal-Sel. dalam Buku
Kenangan Purna Tugas Prof. M.P. Lambut,
(Banjarmasin).
Broesma R. 1927. Handel en Bedrijf in Zuid en Oost-
Borneo. (‘s Gravenhage: Nijhoff).
C.A.L.M. Schwaner. 1853. Borneo: Beschrijving van het
Stroomgebied van den Barito en Reizen Langs
Eenige Voorname Rivieren van het Zuid-Oostelijk
Gedeelte van dat Eiland, volume 1. (P.N. van
Kampen).

414
Carl Bock. 1882. The Head-Hunters of Borneo. (London:
Sampson and Low).
---------------. Reis in Oost en Zuid Borneo. Van Kutai naar
Banjermasin ondernomen op Last der Indische
Regering in 1879 en 1880. (‘s Gravenhage:
Martinus Nijhoff).
Clifford Geertz. 1983. Involusi Pertanian Proses
Perubahan Ekologi di Indonesia. (Jakata:
Bharatara Karya Aksara).
David Bulbeck. 1998. Southeast Asian Exports Since the
14th Century: Cloves, Pepper, Coffee and Sugar,
(Leiden: KITLV Press).
D.H. Burger. 1983. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia.
(Jakarta: Pradnya Paramita).
Daniel Beckman. 1718. A Voyage to the Island of Borneo
in the East-Indies (London: T. Warner)
Denys Lombard. 2006. Kerajaan Aceh, Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Terj. Winarsih
Arifin. (Jakarta: Kompas Gramedia).
Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1981. Hikayat
Banjar. (Banjarbaru: Museum Negeri Lambung
Mangkurat).
---------------. 1995. Kebudayaan Kalimantan, (Jakarta:
Depdikbud).
Dinas Museum & Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 1993.
Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945)
(Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah
DKI Jakarta).
Djoehana Setyamidjaja. 1993. Karet: Budidaya dan
Pengolahan. (Jakarta: Kanisius)

415
Egbert Broer Kielstra. 1892. De Ondergang van het
Banjarmasinsche Rijk, dalam Indisch Gids
jaargang 1891 (Leiden: E.J. Brill).
F. Pridmore. 1962. The Coins of The British
Commonwealth of Nations: To the End of the
Reign of George VI 1952, Part 2 - Asian
Territories. (London: Spink, 1962)
Fudiat Suryadikara. 1984. Geografi Dialek Bahasa Banjar
Hulu, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
& Kebudayaan).
G.F. Pijper. 1987. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi
Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad
ke- 20. (Jakarta: UI Press).
G.L. Tichelman. 1949. Blanken Op Borneo (Amsterdam:
A.J.G. Strengholt).
Gareth Knapman. 2016. Race and British Colonialism in
Southeast Asia, 1770-1870: John Crawfurd and
the Politics of Equality Empires in Perspective
(New York & London: Routledge, Taylor &
Francis).
Gazali Usman. 1994. Kerajaan Banjar, Sejarah
Perkembangan Politik Ekonomi Perdagangan dan
Agama Islam. (Banjarmasin: LMUP) .
Gerrit J. Knaap. 1996. Shallow Waters, Rising Tide;
Shipping and Trade in Java Around 1775 (Leiden:
KITLV).
-------------------- & Heather Sutherland. 2004. Monsoon
Traders: Ships, Skippers and Commodities in
Eighteenth-Century Makassar (Leiden: KITLV).

416
Goh Yoon Fong. 2013. Perdagangan dan Politik
Banjarmasin 1700-1747. Terj. Ika Diyah Candra.
(Yogyakarta: Lilin Persada Press).
Graham Irwin. 1955. Ninetenth–Century Borneo: A Study
in Diplomatic Rivalry (Den Haag: S. Gravenhage-
Martinus Nijhoff).
W.P. Groeneveldt. 2009. Nusantara Dalam Catatan
Tionghoa (Jakarta : Komunitas Bambu).
H. Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
H. Burkill. 1935. A Dictionary of the Economic Produce of
the Malay Peninsula Bagian II, (London).
H.J. de Graaf. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik
Ekspansi Sultan Agung. (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti).
Hans Knapen. 2001. Forest of Fortune?: The
Environmental History of Southeast Borneo,
1600-1880. (Leiden: KITLV Press).
Hans Scharer. 1963. Ngaju Religion: The Conception of
God Among A South Borneo People. (Den Haag:
The Hague).
Haris Sukendar. 1999. Perahu Tradisional Nusantara:
Tinjauan Melalui Bentuk dan Fungsi Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan (Jakarta:
Dirjen Depdikbud).
Helius Sjamsuddin. 2001. Pegustian dan Temenggung,
Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
1859-1906. (Jakarta: Balai Pustaka).
--------------------. 1996. Metodologi Sejarah (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

417
Hugiono & P.K. Poerwanta. 1978. Pengantar Ilmu Sejarah.
(Jakarta: Bina Aksara).
Ita Syamtasyiah Ahyat. 2012. Kesultanan Banjarmasin
pada Abad ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia-
Belanda di Kalimantan. (Tangerang: Serat Alam
Media).
John Pinkerton. 1812. A General Collection of the Best and
Most Interesting Voyages And Travels In All Parts
of the World (London : Longman).
J. A. Crawfurd. 1856. A Decriptive Dictionary of The Indian
Islands and Adjacent Countries. (Bradbury &
Evans).
J. Mallinckrodt. 1928. Het Adatrecht van Borneo, Eerste
Deel, (Leiden: Dubbeldeman)
J. Paulus. 1917. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie,
eerste deel (Den Haag: ’s Gravenhage).
J.C. van Leur. 1960. Indonesian Trade and Society Essays
in Asian Social and Economic History. (Bandung:
W. van Hoeve).
J.H. Moor. 1873. Notices of the Indian Archipelago &
Adjacent Countries (Singapore: F.Cass &
Company).
J.J Ras. 1990. Hikayat Banjar. terj. Siti Hawa Salleh. (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia).
---------. 1968. Hikajat Banjar: a Study in Malay
Historiography (Leiden: Martinus Nijhoff).
J.P. Moquette. 1906. Iets Over de Munten van
Bandjarmasin en Maloeka (Batavia: Albrecht &
Co).

418
J. Willi Gais. 1992. The Early Relations of England With
Borneo to 1805 (H Beyer, Langensalza).
Jack Turner. 2011. Sejarah Rempah dari Erotisme sampai
Imperialisme, terj. Julia Absari (Jakarta:
Komunitas Bambu).
Joginder Singh Jessay. 1974. Malaysian, Singapore, and
Brunei 1400-1965. (Kuala Lumpur).
Johannes Cornelis Noorlander. 1935. Bandjarmasin en de
Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw (M.
Dubbeldeman, 1935).
Johannes Jacobus de Hollander. 1898. Handleiding bij de
Beofening der Land en Volkenkunde van
Nederlandsch Oost Indie, Vol.II.(Broese &
Company).
John A. Fowler. 1923. Netherland East Indies and British
Malaya, A Commercial and Industrial Handbook
(Washington: Government Printing Office).
Joop van den Berg, 1998. De Man Die Vrouwen
Verzamelde; Een Koloniale Geschiedenis van de
Kokos-Eilanden (Den Haag: 's-Gravenhage).
Kristof Glamann. 1981. Dutch Asiatic Trade 1620-1740. (S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff).
Koentjaraningrat (ed). 1983. Metode-Metode Penelitian
Masyarakat. (Jakarta: Gramedia).
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press).
L.C.D. van Dijk. 1862. Neerlands Vroegste Betrekkingen
met Borneo en Solo Archipel, Cambodja, Siam en
Cochin-Cina. (Amsterdam: J. H. Scheltema).
L.J, Van Apeldoorn. 1952. Inleding tot de Studies van het
Nederlands. (Leiden : Recht).

419
Leonard Y. Andaya. 2015. Dunia Maluku: Indonesia Timur
pada Zaman Modern Awal, terj. Septian Dhaniar
Rahman (Yogyakarta: Ombak).
Lesley Potter. 1993. Banjarese in and beyond Hulu Sungai,
South Kalimantan: A Study of Cultural
Independence, Economic Opportunity and
Mobility. (Leiden: Programme of Indonesian
Studies).
Louis Gottchalk. 1975. Mengerti Sejarah. terj. Nugroho
Notosusanto (Jakarta: UI Press).
M. Gazali Usman. 1989. Urang Banjar Dalam Sejarah
(Banjarmasin: Lambung Mangkurat University
Press).
M. Idwar Saleh et.al. 1977. Adat Istiadat Kalimantan
Selatan (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Kalimantan
Selatan).
------------------. 1977. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan.
(Jakarta: Depdikbud).
-----------------. 1984. Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan
Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad ke- IX
(Banjarmasin: Proyek Pengembangan
Permuseuman Kalimantan Selatan Depdikbud).
---------------. 1987. Sejarah Daerah Tematis Zaman
Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan
Selatan (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat).
M. Idwar Saleh. 1970. Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K.
Balai Pendidikan Guru).
-----------------. 1981. Banjarmasih: Sejarah Singkat
Mengenai Bangkit Dan Berkembangnya Kota

420
Banjarmasin Serta Wilayah Sekitarnya Sampai
Dengan Tahun 1950 (Banjarmasin: Museum
Negeri Lambung Mangkurat).
---------------. 1982. Banjarmasih. (Banjarbaru: Museum
Lambung Mangkurat).
M. Masrury et.al. 1995. Pinisi, Perahu Khas Sulawesi
Selatan (Ujung Pandang: Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan).
M. Suriansyah Ideham, dkk. 2003. Sejarah Banjar
(Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan).
----------------------------, dkk. 2007. Urang Banjar dan
Kebudayaannya (Banjarmasin: Balitbangda
Provinsi Kalimantan Selatan).
Mahmud Z et.al.. 2003. Profil Komoditas Lada (Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan).
Mansyur, dkk. 2019. Sahang Banjar, Banjarmasin Dalam
Jalur Perdagangan Rempah Lada Dunia Abad ke-
18 (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran).
Marcopolo. 2009. Perjalanan Menyinggahi Kalimantan
dan Sumatera. terj. Ery Kristanti, (Surabaya:
Selasar).
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.
1990. Sejarah Nasional Indonesia III. (Jakarta:
Balai Pustaka).
Michael R. Dove. 2012. The Banana Tree at the Gate: A
History of Marginal Peoples and Global Markets
in Borneo (Singapore : NUS Press).

421
Mubyanto. dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja
Perkebunan; Kajian Sosial Ekonomi (Jakarta:
Aditya Media).
Murdijati Gardjito. dkk. 2018. Profil Struktur, Bumbu, dan
Bahan dalam Kuliner Indonesia (Yogyakarta:
UGM PRESS).
M.A.P. Meilink Roelofsz. 2016. Perdagangan Asia &
Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500 dan
Sekitar 1630 (Yogyakarta: Ombak).
Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah
Kontemporer (Suatu Pengalaman) (Jakarta:
Yayasan Idayu).
Owen Rutter 1929, The Pagans of North Borneo (London:
Hutchinson & Co.Ltd.).
Paul Michel Munos. 2009. Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia
(Yagyakarta Mitra Abad ke-i).
Peter Bellwood. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-
Malaysia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
R. Moh. Ali. 1966. Penentuan Arti Sedjarah dan
Pengaruhnja dalam Metodologi Sedjarah
Indonesia. (Djakarta: Bhratara).
R. Z. Leirissa. 1984. Sejarah Sosial Daerah Kalimantan
Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
---------------. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia
(Yogyakarta : Ombak).
Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin. 1986.
Sejarah Kota Banjarmasin, (Jakarta: Depdikbud).
Richard Marius & Melvin E Page. 2015. A Short Guide to
Writing About History (New York: Longman).

422
Rizal Khadafi. 2008. Atlas Kuliner Nusantara; Makanan
Spektakuler 33 Provinsi (Jakarta: Bukune).
Roasyadi, dkk. 1994. Hikayat Banjar dan Kotaringin
(Jakarta: Depdikbud).
Sartono Kartodirdjo, dkk. 1975. Sejarah Nasional
Indonesia: Indonesia Dalam Abad ke- 18 dan 19
volume 4 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari
Kolonialisme ke Nasionalisme, Jilid 2 (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama).
Sjafii. 1982. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles
(Jakarta: Mutiara).
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta, 1830–1920. (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya).
Sonny Chr. Wibisono. 1995. Banten Kota Pelabuhan Jalan
Sutra (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
Soekartini. 1972. Kamus Bahasa Belanda-Indonesia
(Bandung: Sumur).
Syamsiar Seman. 2007. Sasirangan Kain Khas Banjar.
(Banjarmasin: Lembaga Pengkajian dan
Pelestarian Budaya Banjar).
Syarifuddin. 1990. Perahu Banjar. (Banjarbaru:
Depdikbud).
---------------. 1992. Perahu Bugis Pagatan (Banjarbaru:
Museum Negeri Lambung Mangkurat).
T. N. Ganie. 2014. Sasirangan Kain Khas Tanah Banjar
(Banjarmasin: Tuas Media).

423
T. Winarsih. 2015. Kain Sasirangan dan Asal-usul Batik di
Indonesia (Yogyakarta : Sabdo Pinilih).
T.C Archer. 1853. Popular Economic Botany, (London).
TH Pigeaud. 1960. Java in The Fourtheenth Century (The
Hague: Martinus Nijhoff).
Thomas J. Linblad. 2012. Antara Dayak dan Belanda
(Jakarta: Lilin Persada Press).
Tim Hannigan. 2013. Raffles and the British Invasion of
Java (Singapore: Monsoon Books.
Tim Penulis. 1993. Makanan: Wujud, Variasi dan
Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Daerah
Kalimantan Selatan (Jakarta: Depdikbud).
Tjilik Riwut . 1958. Kalimantan Memanggil (Djakarta:
Endang).
Trudi Nierop. 1999. “Lonely in An Alien World, Coolie
Communities in Southeast Kalimantan in the Late
Colonial Period” dalam Lindbland (ed) Coolie
Labour in Colonial Indonesia, A Study of Labour
Relation in Then Outer Island c. 1900-1940
(Germany: Hubert & Co).
F. Valentijn, Oud en nieuw Oost-Indien Deel III, Part 2
(Amsterdam: Joannes van Braam, 1726).
Victor King. 1953. People of Borneo (Cambridge:
Blackwell).
W.F. Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam
Transisi (Yogyakarta: Tiara Wacana).
William Foster, C.L.E. 1921. The English Factories in India
1655-1660, (Oxford: At The Clarendon Press).
William Milburn. 1813. Oriental Commerce: Containing a
Geographical Description of the principal Places
in The East Indies, China, and Japan, with their

424
Produce, Manifacture, and Trade. (London: Black
Parry & Co.).
Willem Adriaan van Rees.1867. De Bandjermasinsche Krijg
van 1859-1863: Nader Toegelicht (Arnhem: D.A.
Thieme).
Yumsari Yusuf. 1987. Unsur Sejarah Dalam Naskah
Melayu Koleksi Museum Nasional (Jakarta:
Museum Nasional).
Yusliani Noor et.al. 2017. Muatan Lokal Sejarah
Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Alfa Merindo).
---------------. 2018. Adipati Danoeradja Tumenggung
Dipanata: Sebuah Inspirasi Dari Banua Lima
(Yogyakarta: Graha Cendikia).
Yustan Aziddin. 1983. Sejarah Perlawanan Terhadap
Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan
Selatan (Jakarta: Depdikbud).
Yusuf Halidi. 1968. Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama
Besar Kalimantan Selatan, Silsilah Raja-raja yang
Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga
Wafat (Surabaya: Al-Ihsan).

B. Karya Ilmiah
Aisyah Syafiera. 2016. Perdagangan di Nusantara Abad
ke-16, Avatara, E- Journal Pendidikan Sejarah.
Volume 4, No. 3, Oktober.
A. Gazali Usman. 1992. The Influence of Sultan Adam’s
1835 Act on the Traditional Land Tenure in
Banjarese Region South Kalimantan. Borneo
Research Biennial International Conference,
Kinibalu Sabah Malaysia, 13-17 Juli 1992. Paper.
(Sarawak: Universiti Malaysia Sarawak).

425
Adijani Al Alabij. 1989. Interaksi Antara Hukum Islam
dengan Hukum Adat di Kalimantan Selatan.
Makalah pada Seminar Sejarah Perkembangan
Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Makalah.
(Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat: Banjarmasin).
Andi Nuralang. 2004. Eksistensi Maluka Antara Malaka
dan Maluka: Posisinya Dalam Kerangka Jalur
Perdagangan Maritim. Artikel. (Banjarbaru: Balai
Arkeologi Banjarmasin).
Ankit Shukla & Nagendra Yadav. 2018. Role of Indian
Spices In Indian History. IJMRR. Nov. Volume 8
Issue 11.
Anthony Reid. 1980. The Structure of Cities in Southeast
Asia: Fifteenth to Seventeenth Centuries. Journal
of Southeast Asian Studies Vol. 11 (2). Jurnal.
(Cambridge: Cambridge University Press).
Bambang Subiyakto. 2004. Infrastruktur Pelayaran Sungai
Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970. Prosiding
The first International Conference on Urban
History. (tanpa penerbit).
Bambang Subiyakto. 1997. “Pelayaran Sungai di
Kalimantan Tenggara: Tinjauan Historis Tentang
Transportasi Air Abad ke- XIX” (Tesis pada
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta).
Bambang Subiyakto. 1985. “Transportasi Perairan di
Kalimantan Selatan, 1950 - 1970-an” (Skripsi
pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta).

426
Bambang Sulistyanto. 2000. Umur Candi Laras dalam
Panggung Sejarah Indonesia Kuna. Berita
Penelitian Arkeologi No. 7. (Banjarbaru: Balai
Arkeologi Kalimantan Selatan).
David James Oats. 1997. “The First White Rajah,
Alexander Hare in Southeast Asia, 1800-1831”
(Disertasi pada University of New South Wales).
Dedi Arman, Perdagangan Lada di Jambi Abad ke- XVI-
XVIII. Jurnal Handep, vol. 1, No. 2, Juni 2018.
Jurnal. (Pontianak: Balai Pelestarian Nilai Budaya
Kalimantan Barat).
Goh Yon Fong. 1969. “Trade and Politics in Banjarmasin
1700-1747” (Tesis pada University of London).
Ibnu Wicaksono. 2010. “Kesultanan Banjarmasin Dalam
Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII”
(Skripsi Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam Fakultas Adab & Humaniora, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Ika Ningtyas Unggraini. tt. Dari Lada ke Karet: Perubahan
Sosial dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-
1942. Artikel (Surakarta: Universitas Sebelas
Maret).
Ikot Sholehat. 2019. “Perdagangan Internasional
Kesultanan Banten Akhir Abad ke- XVI-XVII”
(Tesis pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Ita Syamtasiah Ahyat. 2014. Pepper Trade and the
Sultanate of Banjarmasin in the 17th – 18th
Century. International Journal of Science and

427
Research (IJSR) Volume 3 Issue 8, August 2014.
(Chhattisgarh).
-----------------------. 2008. Hubungan Kesultanan
Banjarmasin Dengan Pemerintah Hindia Belanda
(1826-1849). Makalah. (Depok: Fakultas Ilmu
Budaya UI).
J. Jahmin. 1986. Raja, Lada dan Pedagang: Kasus Kota
Banjarmasin Medio Abad ke- 17-18. Thesis.
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada).
J. Th. Lindblad. 1988. De Handel Tussen Nederland en
Nederlands-Indie 1874-1939 Economisch en
Social Historisch Jaarboek. Internationaal
Instituut voor Sociale Geschiedenis.
(Amsterdam).
J.W. Purseglove et.al. 1981. Spice, vol II (London:
Longman, 1981).
J.V. Mills. 1979. Chinese Navigators in Insulinde About
A.D. 1500. Jurnal Archipel. No. 18. (Paris: Ecole
française d'Extrême-Orient).
Johan Andries Baron van Hohendorff. 1862. Radicale
Beschrijving van Banjermassing, dalam Bijdragen
tot de taal-, land- en Volkenkunde vol. 8. issue 1,
1 Jan 1862.
Khairuzzaini. 2017. Islamisasi Kerajaan Banjar: Analisis
hubungan Kerajaan Demak dengan Kerajaan
Banjar atas Masuknya Islam di Kalimantan
Selatan. Thesis. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga).
Laelatul Masroh. 2015. Perkebunan dan Perdagangan
Lada di Lampung Tahun 1816-1942. Jurnal
Sejarah dan Budaya, vol. 9 No. 1, 2015. (Malang:
Universitas Negeri Malang).

428
M. Asywadie Syukur. 1988. Perkembangan Hukum Islam
di Kalimantan Selatan. Makalah pada Seminar
Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. (Banjarmasin: Fakulas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat).
M. Idwar Saleh. 1975. Agrarian Radicalism and
Movements of Native Insurrection in South
Kalimantan (1858-1865). Jurnal Archipel volume
9. (Paris: Ecole française d'Extrême-Orient).
-----------------------.. Tt. Some Notes on the Banjerese Royal
Apanase and its Abolition in 1863. Makalah pada
Seminar Sejarah di Kuala Lumpur - Malaysia.
M. Meghwal & T. K. Goswami. 2012. Nutritional
Constituent of Black Pepper as Medicinal
Molecules: A Review, Open Access Scientific
Reports, 12, edisi 1,2012 (tanpa penerbit).
M. Rafiek. 2015. Plants in Hikayat Raja Banjar:
Prohibition, Benefits, Result, Origin and a Sign.
International Journal of the Malay World and
Civilisation. (Kuala Lumpur: Universiti
Kebangsaan Malaysia).
Mansyur, dkk. Dinamika Ekonomi Perkebunan Pada
Daerah Konsesi Alexander Hare di Maluka, Zuid-
Oost Borneo, Tahun 1811-1816. Laporan
Penelitian. (Banjarmasin FKIP Universitas
Lambung Mangkurat).
Mansyur. 2020. Elegi Sebuah Negeri Pinjaman, Wilayah
Kekuasaan Kesultanan Banjar Pra & Pasca
Ekspansi Kolonial Belanda Abad ke- 19. Makalah
disampaikan pada Diskusi Daring Balai Arkeologi
Kalimantan Selatan, Desk Study "Cara Bermukim

429
dan Kehidupan Sosial Politik Beberapa Kelompok
Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah Pada
Abad ke- XIX. (Tidak Diterbitkan).
Mustika I. 2005. Penyakit Kuning Pada Tanaman Lada dan
Cara Pengendaliannya. Materi Pelatihan
Teknologi Imunisasi Silang untuk Pengendalian
OPT Vanili, Lada dan Jambu Mete. 2005 Agustus
22–26; Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat & Direktorat Perlindungan Perkebunan.
(Bogor: Ditjen Perkebunan Deptan).
Muhammad Azmi. 2017. Islam di Kalimantan Selatan
pada Abad ke-15 sampai Abad ke- Ke -17. Yupa:
Historical Studies Journal, 1 (1), 2017.
(Samarinda: Pendidikan Sejarah FKIP UNMUL).
M.Z. Arifin Anis. 1994. Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite
di Kerajaan Banjar Abad ke- XIX. Thesis. Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Moch. Fajar Amrullah. 2004. “Proses Datangnya etnis
china di Banjarmasin Kurun Waktu 1970-1990
(Studi Kasus Di Kelurahan Kampung Melayu
Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota
Banjarmasin)” (Skripsi pada Prodi Pendidikan
Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin).
Nam Jong Kuk. 2014. Medieval Eropean Medicine and
Asian Spices, Korean J. Medicine History vol. 23
August .Yonsei University, Seoul.
Noer’id Haloei Radam. 1987. “Religi Orang Bukit”
Disertasi pada Universitas Indonesia.

430
R. Suntharalingam. 1963. The British in Banjarmasin: An
Abortive Attempt at Settlement 1700-1707,
Journal of Southeast Asian History Vol. 4, No. 2.
Purnadi Purbatjaraka, 1961. Shahbandars in the
Archipelago, JSAH, vol.2.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. 2011. Materi
Muatan Lokal Kebudayaan Banjar: Muatan Lokal
(Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan &
Pariwisata.
Singgih Tri Sulistiyono. 2017. Peran Pantai Utara Jawa
Dalam Jaringan Perdagangan Rempah. Makalah
Seminar Internasional Jalur Rempah bertema
"Rempah Mengubah Dunia”, Makassar, 11-13
Agustus 2017.
---------------------------------2016. Jawa dan Jaringan
Perdagangan Maritim di Nusantara Pada Periode
Awal Modern. Makalah Konferensi Nasional
Sejarah X, Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 7-10
November.
Sjarifuddin. 1974. “Sikap Pergerakan Rakyat Menghadapi
Pendudukan Belanda di Kalimantan Selatan
Periode 1945 sampai dengan 17 Agustus 1950”
(Skripsi Jurusan Sejarah FKg Unlam Banjarmasin).
Solomon Muller. 1857. Reizen en onderzoekingen in den
Indischen Archipel, gedaan op last der
Nederlandsche Indische regering, tusschen de
jaren 1828 en 1836. Vol. 1. Artikel. (Amsterdam).
Sulandjari. 1991. “Politik dan Perdagangan Lada di
Kesultanan Banjarmasin (1747-1781)” (Tesis

431
pada Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Depok).
Sunarningsih. 2007. Penelitian ekskavasi permukiman di
Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian
Arkeologi. (Banjarbaru: Balai Arkeologi
Kalimantan Selatan).
-----------------------.. 2012. Sebaran situs pemukiman kuna
di Daerah Aliran Sungai Barito. Jurnal Naditira
Widya 6 (2) 2012. (Banjarbaru: Balai Arkeologi
Kalimantan Selatan).
Suwardi, Muhammad Samin. 2015. Kerajaan dan
Kesultanan Dunia Melayu: Kasus Sumatera dan
Semenanjung Malaysia. Jurnal Criksetra Vol 4
No. 7 Februari 2015. (Palembang: Universitas
Sriwijaya Palembang).
Syaharuddin. 2008. “Nasionalisme Indonesia: Serikat
Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama &
Musyawaratutthalibin di Kalimantan Selatan
1912-1942” (Tesis pada Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta).
Tunjung. 2004. “Karet Dari Hulu Sungai Budidaya,
Perdagangan dan Pengaruhnya Terhadap
Perekonomian di Kalimantan Selatan 1900-1940”
(Disertasi pada Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia).
Vida Pervaya Rusianti Kusmartono & Harry Widianto.
1998. Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten
Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, Berita
Penelitian Arkeologi No. 2. (Banjarbaru: Balai
Arkeologi Kalimantan Selatan).

432
Vera D. Damayanti. 2019. Identifikasi Struktur Dan
Perubahan Lanskap Kota Banjarmasin di Masa
Kesultanan (1526-1860). Jurnal Arsitektur
Lansekap Vol. 5, No. 2, Oktober 2019. (Bali:
Universitas Udayana).
Yusliani Noor & Rabini Sayyidati, 2020. Tionghoa Muslim
dan Dunia Perdagangan di Banjarmasin Abad ke-
13 Hingga Ke-19. Juspi (Jurnal Sejarah Peradaban
Islam), Volume 3, Nomor 2 Januari.

C. Arsip
Arsip Nasional Republik Indonesia, Vergadering, 18 Juli
1918, Mededeeling van Ingekomen Stukken,
Regeling van werkzaamheden, Handelingen der
Staten-Generaal (1917-1918)-I, Eerste Kamer.
------------------------------------------ Arsip Kolonial Verslag
Over het Jaar 1928.
------------------------------------------ 1856. Surat-Surat
Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin
dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik,
Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. (Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia)
------------------------------------------ Bataviaasch Nieuwsblad,
23 Agustus 1939.
------------------------------------------ Bundel Adatrechts
Borneo’s, volume XIII, Gravenhage Martinjnus
Nijhoff).
------------------------------------------ Bundel Borneo Zuid
Oosterafdeling (BZO), No. 265.

433
------------------------------------------, E.W. Stapel. 1940.
Geschiedenis van Nederlandsche Indie Deel V.
(Amsterdam).
------------------------------------------ Koloniaal Verslag over
het jaar 1928.
------------------------------------------ Kolonial Verslag Over het
Jaar 1921.
------------------------------------------ Kolonial Verslag Over het
Jaar 1928.
------------------------------------------ Kolonial Verslag Over het
Jaar 1928.
------------------------------------------ Koran Bataviaasch
Nieuwsblad, edisi 23 Agustus 1939.
------------------------------------------ Koran Dagblad Express
edisi tahun 1936.
------------------------------------------ Koran Dagblad Express,
edisi 1935.
------------------------------------------ Koran Dagblad Express,
edisi 1936.
------------------------------------------ Memorie van Overgave
Residen Borneo bagian Selatan dan Timur, J.F.A.
De Rooy, 1905, Reel nomor 3, MvO DL, ANRI.
------------------------------------------P. Van Dam. 1931.
Beschriving van de Oost Indische Compagnie,
Volume II.
------------------------------------------ Sinar Borneo, 1915.
------------------------------------------ Staatsblad van
Nederlandisch Indie, vor het jaar 1849, Batavia:
ter lands Drikkerij 1849.

434
------------------------------------------ Stenkolen Exploitatie. Het
Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie, 10
Jaargang, No.13, 1905.
------------------------------------------ Tijdschrift voor Indische
taal. 1857. land en volkenkunde, deel 6,
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, Batavia: Lange & Company.
------------------------------------------ Verzameling der
merkwaardigste vonnissen gewezen door de
Krijgsraden te velde in de Zuid en Oosterafdeeling
van Borneo gedurende de jaren 1859-1864,
dalam Bijdrage Tot De Geschiedenis van den
Opstand in het Rijk van Bandjermasin, (Batavia:
Ter Landsdrukkerij, 1865).
Arsip Perpustakaan & Arsip Daerah Kalimantan Selatan,
Kodam X/LM, Kodam X/LM Membangun,
Banjarmasin, 1962.

D. Majalah Ilmiah
Abdurrahman. 1989. Sejarah Perkembangan Hukum Islam
di Kalimantan Selatan. Majalah Kalimantan
Scientie No. 18 Tahun VIII. Artikel. (Banjarmasn:
Universitas Lambung Mangkurat).
Abdurrahman. 1989. Studi Tentang Undang-undang
Sultan Adam 1835. Artikel (Banjarmasn:
Universitas Lambung Mangkurat).
Abdurrahman. 1977. Undang-undang Sulthan Adam dan
Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar.
Majalah Orientasi no. 2 tahun II 1977. Artikel.
(tanpa penerbit).

435
J.C. Baud. 1860. De Banjarmasinsche Aeschuwelijkheid.
Majalah. (Batavia: Frederik Muller).
Anonim, Natuurkundig Tidjscrift voor Nederlandsc Indie
Uitgeven Door de Natuurkundige Vereeniging in
Nederlansch Indie. vol. 2. Artikel. (Batavia: Lange
& co).
C.E. van Kesteren. 1880. Lets Over en naar Aanleiding van
de Indische Begrooting voor 1880. Dalam Majalah
Indische Gids, November. Artikel. (Tanpa
Penerbit).
E. van der Land & L. Van Meurs1926. Eenige Getah en
Rubbersoorten uit de Zuider-en Oosterafdeling
van Borneo. Tectona jilid XIX. Artikel. (tanpa
penerbit).
Samsiar Seman. 1977. Meninjau Naskah Lama Undang-
undang Sulthan Adam. Majalah Orientasi No. 2
Tahun. II, 1977(tanpa penerbit).
Thomas J. Lindblad. 1986. Westers en Niet Westers
Economisch Gedrag in Zuid-Oost Kalimantan, c.
1900-1940. Artikel dalam majalah Bijdragen tot
de Taal, Land en Volkenkunde 142 (Leiden:
KITLV).
Tundjung. 1991. Kehidupan Ekonomi di Kerajaan Negara
Dipa dan Negara Daha. Buletin Kayuh Baimbai,
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang
Banjar, Kalimantan Selatan, No.1 Tahun I Februari
1991. (Banjarmasin: Masyarakat Sejarawan
Indonesia Cabang Kalimantan Selatan).
Wolter Robert Hoevell. 1861. Geschiedkundige
Aanteekeningen Omtrent Zuidelijk Borneo dalam

436
Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Volume 23,
(zalt bommel, Joh Noman en Zoon).
----------------------------. 1861. Tijdschrift voor Nederlandsch
Indie, Volume 52, (Ter Lands-drukkerij).
A. Van Der Ven. 1860 Aanteekeningen Omtrent het Rijk
Banjarmasin. Artikel. (BataviaLange & Co,
Batavia).

E. Artikel Online
Ahmad Nabhani. 2016. "Bantu Produktifitas Petani-Adaro
Kembangkan Tanaman Lada di Kalsel"
https://republika.co.id/berita/nxzt9s384/pt-
adaro-serahkan-bantuan-2100-bibit-lada, edisi
Sabtu, 23/07/2016 diakses 6 November 2020.
Didi G. Sanusi. 2018. “Kemesraan Raffles Dan Hare, Sang
Penguasa Banjarmasin”, dalam
www.jejakrekam.com. edisi 8 Apr 2018, diakses
10 November 2020
Herlina Lasmianti. 2015. Tanam Perdana Lada di Desa
Salikung”, dalam kalsel. antaranews.com edisi
Sabtu, 17 Oktober 2015, diakses 6 November
2020.
Herlina Lasmianti. 2020. Istan Manfaatkan Pohon Gamal
Untuk Rambatan Tanaman Lada", dalam
https://kalsel.antaranews.com/berita/165045/dis
tanmanfaatkan-pohongamal -untuk-rambatan-
tanaman-lada, edisi Minggu, 3 Mei 2020, diakses
6 November 2020.
Mansyur. 2019. Benteng Tatas dalam Catatan, dalam
website http://nyawa sungai. org/ benteng-tatas-

437
dalam-catatan/ diakses tanggal 03 September
2019.
Petrik Matanasi. 2017. Kisah "Raja Maluka" Alexander
Hare dan Para Haremnya”. dalam www. tirto.id,
dipublikasikan 04 Juni 2017. Diakses 10
November 2020. •
Reni Kurnia Wati. 2019. Kembangkan Lada di Salikung,
Pemkab Tabalong Tingkatkan Kualitas dan Akses
Jalan", dalam https://banjarmasin.
tribunnews.com/2019/11/14/kembangkan-lada-
di-salikung-pemkab-tabalong-tingkatkan-kualitas-
dan-akses-jalan, diakses 6 November 2020.
Mansyur, "Istana Sultan Banjar Mewah Karena
Melimpahnya Lada", dalam www.jejakrekam.com
edisi 12 Des 2019,
https://jejakrekam.com/2019/12/12 /istana-
sultan-banjar-mewah-karena-melimpahnya-lada/
diakses 16 Novem-ber 2020.
M. Dwi Cahyono, “Benteng Tabanio di Tanah Laut Kalsel
Dalam Perbandingan Lintas Masa”, patembayan
citralekha.wordpress, 2016, diakses 20 November
2020.
Mansyur, Benteng Tatas dalam Catatan, dalam website
http://nyawasungai.org/ benteng-tatas-dalam-
catatan/ diakses tanggal 03 September 2019.

438
LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Wilayah Kerajaan Banjar Tahun 1826-1860.


Sumber: Arsip Nasional RI, 1965.

439
Lampiran 2. Peta Wilayah Borneo Abad ke- 16, Insula Borneo
et Occidentalis Pars celebis cum adjacentibus Infulis,
produksi Pet Schenk Gervalk. Sumber: koleksi KITLV.

440
Lampiran 3. Peta Wilayah Nusantara Abad ke- 18 berjudul
Les Indes Orientales et leur Archipel. Sumber: Jean Lattre,
Atlas Moderne ou Collection de Cartes sur Toutes les Parties
du Globe Terrestre, c. 1775.

441
Lampiran 4. Peta Wilayah Borneo Abad ke- 17, Les Isles De
La Sonde entre lesquelles sont Sumatra, Jave, Borneo, & c.
Sumber : Lukisan Nicholas Sanson, Paris, tahun 1657. Koleksi
KITLV.

442
Lampiran 5. Peta Wilayah Borneo, Kaart van het Eiland
Borneo, Leiden E. J. Brill, tahun 1902. Sumber: Arsip
Nasional RI.

443
Lampiran 6. Surat Perjanjian Antara VOC dengan Kesultanan
Banjarmasin Tentang Monopoli Lada Tahun 1747. Sumber:
Arsip Nasional RI, 1965; repro Wicaksono, 2010.

VERNIEUWD CONTRACT 18 MEI 1747

Bahwa inilah surat perniagaan dan persahabatan


yang telah dimufakatkan oleh Sultan Tamdjidallah serta Ratu
Anom dan sekalian orang besar2 yang ada memerintah
dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan
Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jendral Gustap
Wilem Baron pan Imhop serta dengan Raden pan India yang
telah berbuat titah perintah kepada tiga orang Wilandia dan
yang menjadi kepada perintah itu yaitu komandur Astipan
Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yang
seorang Jan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan de
Beruh, maka yang tiga orang itu sama juga menangung titah
itu.
Syahdan maka tersebutlah perjanjian yang telah lalu
itu tatkala pada zaman itu adalah Seri Sultan sangat kasih
berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka tiba2 tiada
orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu itu.
Syahdan kemudian dari pada yang telah tersebut itu maka
membuat perlu Kompeni Wilandia surat perjanjian tatkala
pada zaman Seri Sultan Chamidullah maka pada zaman itu
adalah seri Sultan sangat berkasih kasihan dengan Kompeni
Wilandia maka se-kunjung2 tiada orang Banjar mengikut
seperti perjanjian yang dahulu itu adalah seolah-olah tiada
surat perjanjian yang tinggal lagi pada sekarang ini. Syahdan
maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jendral dan segala

444
Raden2 pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga
orang Wilandia akan memahami surat perjanjian yang lebih
patut pada antara kedua pihak itu supaya kekal berkekalan
selama-lamanya dari pada sahabat-bersahabat tiada
berubah- ubahan dalam kedua pihak itu dan adapun titah
Kompeni itu tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu
Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur
besar yaitu Jan pan Suchtelen dan Danil pan der Breuh ialah
yang akan membikin surat perjanjian yang baru ini.
Fasal yang pertama adalah Seri Sultan Tamjidullah
dan Ratu Anom serta sekalian orang besar2 yang ada
memerintahkan dalam negeri Banjar maka sekalian itu
adalah bertetap-tetapan dengan Kompeni dari pada
sahabat-sahabat antara kedua pihak itu tiada beruabah-
ubah dalam keduniaan itu.
Fasal yang kedua adalah Kompeni Wilandia membuat
perjanjian jikalau ada musuh dalam negeri banjar datang
dari laut atau didarat itu maka adalah kompeni Wilandia
menolong dari pada bahaya itu barang siapa2nya orang
Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar dengan
seboleh2 jua menjauhkan dari bahaya sekalian itu tiada
dibilang seperti harga obat dan pelor.
Fasal ketiga adalah Seri Sultan dan Ratu Anom
membuat perjanjian dengan Kompeni Wilandia jikalau ada
raja2 berbantah dengan saudaranya atau dengan ananknya
itu maka jikalau minta tolong pada Kompeni salah seorang
tiada beroleh menolong melainkan barang siapa yang
menang maka ia menjadi raja di sanalah tempat Kompeni
bersahabat.
Fasal yang keempat adalah Seri Sultan dan Ratu
Anom berjanji dengan Kompeni daripada memelihara akan

445
hamba sahaya Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar
maka sekalian kedua pihak itu pada menghukum dan
membicarakan daripada aniaya orang Banjar adalah seri
Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian yang demikian
itu dengan orang Kompeni Wilandia dan jikalau ada
umpamanya orang yang berbuat susah dalam memberi
mudharat atas kedua pihak dan jikalau Kompeni membuat
yang demikian itu melainkan Kompenilah yang menghukum
dia dan jikalau orang Banjar berbuat aniaya kepada orang
Wilandia melainkan Seri Sultan yang menghukumkan dia
dengan bagaimanapun patut hukuman atasnya supaya
jangan ada yang berbuat bencana dalam kedua pihak itu.
Fasal yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anom
telah berjanji pada hal memberi perniagaan dengan
Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada yang di dalam
negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan
dijualkan kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri
Sultan dan Ratu Anom mengerasi atas rakyat sekalian dalam
negeri Banjar supaya jangan ada yang menjual pada pannya
melainkan Kompeni jua yang membeli sekalian lada itu.
Fasal yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anom
membuat perjanjian dengan kompeni Wilandia daripada
melarangkan jenis orang putih yang datang berniaga
kenegeri Banjar daripada menjual dagangan atau membeli
dagangan dan jikalau ada suruhannya dan jenis sekalipun
sama juga dan jikalau ada umpamanya melawan dari pada
lapangan hendak dilakukan dengan bagaimana patut
hukuman atasnya.
Fasal yang ketujuh mengikat juga kiranya kompeni
Wilandia seperti Bicara Seri Sultan dan Ratu Anom daripada
sebuah wangkang Cina yang supaya boleh ia datang ke

446
Banjar pada tiap2tahun satu wangkang dan akan
dagangannya itu mena sekehendak orang memilih akan
tetapi menjual lada itu sekali-kali tiada ia boleh orang Banjar
menjual lada itu melainkan Kompeni juga yang boleh
menjual lada dengan orang Cina dengan putus harga
delapan real dalam sepikul.
Fasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah
memutuskan harga lada dengan Seri Sultan dan Ratu Anom
yang dalam sepikul itu enam real putus harganya selama-
lama tiada berubah akan tetap yang dalam sepikul itu adalah
seratus koti atau seratus dua puluh lima pun dacin Kompeni
yang dipakai dan hendaklah lada itu kering dan bersih
dalamnya jangan ada seperti ciri pasir atau batu yang kecil2
dan jikalau menimbang lada itu hendaklah ada dua orang
pihak dari pada Seri Sultan dan dua orang pula daripada
pihak Kompeni ialah yang akan menghadapi timbangan itu
supaya jangan ada cidra-menyidrai dia dalam keduanya itu
dan jikalau ada umpamanya bersalah-bersalahan dalam
keduanya itu melainkan Seri Sultan sendiri memutuskan dia
dengan barang siapa Kompeni Wilandia yang tinggal menjadi
kepala dalam tanah banjar.
Fasal yang kesembilan adalah Seri Sultan dan Ratu
Anom memberi kuasa dengan Kompeni Wilandia yang
tinggal dalam negeri Banjar daripada memeriksa sebuah2
perahu yang keluar dari negeri Bandjar dengan tiada
menyusahi atas perahu itu melainkan jikalau ada ia lada
yang termuat dalamnya itu maka adalah Kompeni
mengambil lada yang di dalam perahu itu serta membagi
untung kepada jurutulis Sultan dan setengahnya kepada
Kompeni.

447
Fasal yang kesepuluh adalah kompeni berjanji barang
siapa orang yang suka berlayar maka adalah kompeni
memberi hingga melainkan di Batavia dan di Jawa
sekaliannya sampai Gresik dan Surabaya tiada boleh lebih
daripada sebelah timur seperti ke Bali dan ke Bawean dan ke
Sumbawa dan Lombok lain daripadanya itupun tiada jua
boleh dan lagi yang sebelah barat dan utama seperti ke
Palembang dan Malaka dan Johor dan Belitung lain
daripadanya itupun tiada boleh maka hendaklah Seri Sultan
dan Ratu Anom memberi titah kepada sekalian rakyat yang
belajar itu supaya jangan ia mendapat kerugian yang
demikian itu dan jikalau tiada ia menurut titah itu adalah ia
mendapat seperti kerugian yang demikian itu.
Fasal yang kesebelas jikalau ada barang seperti
perahu yang datang berniaga dalam negeri banjar serta
membawa dagangan yang dilarangkan oleh Kompeni seperti
opium dan buah pala dan bunga pala dan cengkeh kayu
manis Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa atas
Kompeni daripada memeriksa perahu itu dan jikalau ada ia
mendapat seperti larangan itu maka adalah kompeni
menagkap orang yang berbuat demikian itu serta
mengirimkan Kompeni kepada orang itu ke Batavia dan
menghukumkan Kompeni dengan bagaimana patut
hukuman atas orang yang berbuat demikian itu.
Fasal yang keduabelas Seri Sultan dan Ratu Anom
berjanji dengan Kompeni Wilandia daripada memberi suatu
tempat yang baik boleh ia orang Kompeni duduk dan
menyimpan barang suatunya perniagaan itu dan rumah itu
dibayar harganya dengan bagaimana patut dan
seperti loji itu man kehendak Kompeni membuat dia karena
perjanjian yang dahulu itu tatkala pada zaman Seri Sultan

448
Chamidullah boleh kompeni membuat loji demikian pada
zaman Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom sama jua
memberi dia berbuat loji itu.
Tamat surat ini perjanjian yang telah jadi di dalam
istana Seri Sultan dan Ratu Anom di Kayutangi yang telah
mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam Hidjrat Seribu
seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada
bulan Rabi’alawal dan pada hari Kamis dan yaitu dua surat
yang telah jadi dan dalam keduanya itu sama jua serta
dengan tiapnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal
di bawah Seri Sultan dan Ratu Anom dan yang satu sama
tinggal di bawah Kompeni.

(Cap lak coklat (Cap lak merah muda


tua retak2: bentuk segi delapan
tidak pecah di dalamnya dua
tetapi tak kelihatan bujursangkar
huruf2nya) yang berpotonagan
merupakan segi delapan dan
di-
dalamnya terbaca
huruf Arab dari atas ke
Bawah Allah
Tamjid Sultan)

Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Inhof dan


segala Rad pan India telah memandang dan melihat serta
membacanya surat perjanjian perniagaan sahabat
bersahabat yang karib daripada kedua pihak yaitu Sultan
Tamjidullah dan Ratu Anom bersama2 dengan orang besar2

449
dinegeri Banjarmasin maka yaitu Kompeni telah menyuruh
membaharui pula seperti mana operkupman Stephan
Markus pan der Hiden serta dua Kupman yaitu Djan pan
Suchtelen dan Danil pan de Beruh ialah yang telah disuruh
membawa titah perintah pada waad perjanjian yang mutlak
damai maka adalah kami dengan surat ini akan
mangkabulkan dan mangastajabatkan bunyi surat waad
perjanjian itu padahal berkekalan dengan tiada
berkeputusan daripada pihak Kompeni mengikut dan
memeliharakan tambahan pula barang siapa2nya yang ada
tinggal di bawah chadamat Kompeni itupun mengikut dan
menurut serta mangusahakan dan memeliharakan perihal
ichwal yang demikian itu maka perjanjian itu akan sekarang
ini adalah sesungguhnya kami mentakadkan dan
meneguhkan serta meredakan akan perihal ichwal itu sebab
itulah maka kami sekalian masing-masing menaruh tanda
tapak tangan dalam warkah ini serta dimeteraikan dengan
cap Kompeni atasnya yaitu tanda berteguh2an jua adanya.
Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami
dalam kota intan Bataviah pada enambelas bari bulan Juni
tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh.

Cap lak Kompeni (tak Terbaca)


Ter ordonnantie van haar Eds
Raden
van India

Ttd.

J.A v.d. Parra

450
451
452
453
454

Anda mungkin juga menyukai