Anda di halaman 1dari 129

ALIH BAHASA

GAMBARAN SINGKAT
MENGENAI WAYANG PURWO
(SUNTINGAN TEKS DAN ALIH BAHASA)

Oleh
ERSTYA GUSTI HAPSARI
ADE RIRI RIYANI
GAMBARAN SINGKAT MENGENAI WAYANG PURWO
(SUNTINGAN TEKS DAN ALIH BAHASA)
©2021 Perpustakaan Nasional RI

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


Alih Bahasa Gambaran Singkat Mengenai Wayang Purwo (Suntingan
Teks dan Alih Bahasa)/Penulis, Erstya Gusti Hapsari dan Ade Riri Riyani,
- Jakarta : Perpusnas Press, 2021
126 hlm, 16 x 23 cm
ISBN 978-623-313-xxx-x
1. Perpusnas - Alih Bahasa I.Erstya Gusti Hapsari II. Ade Riri Riyani

Penulis : Erstya Gusti Hapsari dan Ade Riri Riyani


Penyunting : Tim Editor
Penata Letak : Tim Perpusnas Press
Desain Sampul : -

Penerbit
Perpusnas PRESS
Anggota IKAPI
Jl. Salemba Raya No. 28a Jakarta
Telp. (021) 3922749
Surel : press@perpusnas.go.id
Laman : https://press.perpusnas.go.id

BUKU INI TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN


SAMBUTAN
DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN BAHAN PUSTAKA
DAN JASA INFORMASI PERPUSTAKAAN
PERPUSTAKAAN NASIONAL RI

UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mendefinisikan naskah


kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak
dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai
penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding
benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik
akibat kelembaban udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang
pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam,
kebakaran, pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disamapikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah-naskah kuno
yang ada di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa
daerah atau bahasa asing (Arab, Cina, Sansekerta, Belanda, Inggris, Portugis,
Prancis). Hal ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah
satu cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung
di dalam naskah kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini
penelitian naskah kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpusnas untuk menjalankan fungsinya
sebagai perpustakaan penelitian, sekaligus sebagai Pusat Pernaskahan
Nusantara, maka perlu dilakukan upaya akselerasi percepatan penelitian
naskah kuno yang berkualitas, memenuhi standar penelitian filologis, merta
mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, Perpusnas menjadi
lembaga yang berkonstribusi besar terhadap bidang ilmu pengetahuan di
Indonesia, khususnya di bidang pernaskahan.
Kegiatan ini merupakan kegiatan wajib di bidang pernaskahan di
Perpusnas, karena menjadi amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 2017 Pasal
7 ayat 1 butir d yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan
keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara
(transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia),
juga Pasal 7 ayat 1 butir f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban
meningkatkan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan”.

- iii -
Sejak tahun 2015, sesuai dengan indikator kinerja di Perpusnas, kegiatan
Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran dan Kajian Naskah Kuno Nusantara terus
dilaksanakan secara rutin. Pada tahun 2021, Perpusnas menargetkan 50 judul
penerbitan dari hasil karya tulis tersebut. Berkat kontribusi para penulis yang
terdiri dari filolog, sastrawan, akademisi, dll, kegiatan ini dapat terlaksana.
Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima kasih kepada
para kontributor yang telah mengirimkan karya-karya terbaiknya. Secara
khusus, Perpustakaan Nasional juga mengucapkan terima kasih kepada
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang sejak awal terlibat dalam
proses panjang seleksi karya, penyuntingan, proofreading, hingga buku ini
dapat terbit dan dibaca oleh masyarakat. Kami berharap kiranya karya-karya
yang dihasilkan dari kegiatan ini bisa mendapatkan apresiasi positif dari
masyarakat, bukan hanya bagi para penggiat naskah saja, namun juga lapisan
masyarakat lainnya sehingga bisa lebih banyak lagi yang mengenal dan peduli
terhadap warisan budaya bangsa kita.

Jakarta, 2021

Dra. Ofy Sofiana, M. Hum.


Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka
dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional RI

- iv -
DAFTAR ISI

SAMBUTAN ........................................................................................... iii


DAFTAR ISI............................................................................................. v

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................... 2
1.2. Tujuan Suntingan dan Alih Bahasa................................. 2
1.3. Penelusuran Naskah dan Alasan Pemilihan Naskah ....... 2
1.4. Deskripsi Naskah............................................................. 2
1.5. Ringkasan Isi Cerita........................................................ 5
1.6. Pedoman Suntingan dan Alih Bahasa.............................. 6

BAB 2 SUNTINGAN DAN ALIH BAHASA .................................. 15


2.1. Suntingan ........................................................................ 15
2.2. Alih Bahasa ..................................................................... 65

Glosarium ................................................................................................. 115


Daftar Pustaka .......................................................................................... 116
Lampiran .................................................................................................. 118

-v-
- vi -
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perpustakaan Nasional RI yang menyimpan 12.253 eksemplar naskah


kuno, memiliki kewajiban menjaga dan melestarikan keberadaan naskah kuno
sebagai sumber sejarah dan informasi. Definisi naskah kuno sendiri menurut
Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, adalah semua
dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik
yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-
kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi
kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan UU
Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992, Bab I Pasal 2, yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan naskah kuno atau manuskrip adalah dokumen dalam
bentuk apapun yang ditulis dengan tangan atau diketik yang belum dicetak
atau dijadikan buku tercetak yang berumur lebih dari 50 tahun.

Menurut Barried (1985), naskah kuno adalah dokumen bangsa yang


paling menarik bagi para peneliti, khususnya peneliti kebudayaan lama. Hal
ini karena naskah kuno memiliki kelebihan dapat memberi informasi yang
lebih luas dibandingkan peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar
seperti candi, istana raja dan pemandian suci. Di samping itu, melalui naskah
kuno, peneliti dapat memperoleh infomasi mengenai peristiwa atau keadaan
pada masa lampau. Hal ini menjadikan naskah kuno dapat dikatakan sebagai
salah satu sumber sejarah bangsa.

Teks pada naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI


ditulis dalam aksara dan bahasa yang berbeda, seperti: Melayu, Batak, Jawa,
Jawa Kuno, Sunda, Bali, Bugis, Belanda, Arab, dan lain-lain. Media yang
digunakan sebagai alas tulis pun beragam. Sebagian besar naskah ditulis pada
media kertas, yaitu kertas Eropa dan kertas dluwang. Media lain yang juga
digunakan sebagai alas tulis yaitu: lontar, kayu, bambu, dan lain-lain.
Informasi yang terdapat di dalam naskah kuno juga bervariasi, seperti: sejarah,
hukum, keagamaan, sastra, bahasa, pertanian, pengobatan, mantra, dan lain-
lain.

Naskah “Eene korte schets van de wajang poerwo” merupakan salah


satu koleksi naskah kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI. Penulis
naskah ini adalah Raden Adipati Ario Kromo Djojo Adi Negoro, seorang
Bupati Mojokerto.

-1-
Wayang Purwo adalah wayang yang cukup terkenal di kalangan
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pulau jawa. Namun demikian,
masih banyak yang belum sepenuhnya memahami bagaimana karakter dan
kisah dalam wayang purwo itu sendiri. Hal ini menjadi menarik, karena
banyak yang hanya memahami sebagian saja, sementara sesungguuhnya kisah
dalam wayang purwo mengandung banyak unsur ajaran kehidupan.

1.2. Tujuan Suntingan dan Terjemahan

Penulisan buku “Gambaran Singkat Mengenai Wayang Purwo” ini bertujuan


guna melestarikan dan menyelamatkan informasi penting yang terdapat di dalam
naskah yaitu mengenai kisah-kisah wayang di Jawa, keris dan senjata-senjata lain,
serta menjelaskan mengenai jenis-jenis gamelan dan jenis-jenis melodi gamelan.

1.3. Penelusuran Naskah dan Alasan Pemilihan Naskah

Penelusuran naskah “Eene korte schets van de wajang” dapat dilakukan pada
“Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia”. Naskah merupakan koleksi Perpustakaan Nasional RI
dengan kode koleksi teks naskah H 40 yang ditulis dalam bahasa Belanda
beraksara Latin pada kertas Eropa. Kertas naskah telah berubah warna menjadi
kekuningan dan getas akibat usia naskah. Meskipun kertas telah mengalami
perubahan warna, namun tulisan masih jelas dan dapat dibaca dengan baik.

Pemilihan naskah “Eene korte schets van de wajang” mempertimbangkan


hal-hal sebagai berikut: (1) naskah merupakan koleksi Perpusnas RI; (2) naskah
memiliki kandungan isi yang terkait dengan budaya Indonesia, khususnya di
pulau Jawa; (3) usia naskah; (4) jumlah naskah, dan (5) kondisi fisik naskah.

1.4. Deskripsi Naskah

Naskah “Gambaran Singkat Mengenai Wayang Purwo” merupakan


koleksi Perpustakaan Nasional RI yang tercatat dalam “Seri Katalog Induk
Naskah-Naskah Nusantara, Jilid 4, Perpustakaan Nasional RI dengan judul
“Eene korte schets van de wajang”, dengan nomor koleksi H 40. Naskah H
40 belum pernah dialihmediakan ke dalam bentuk mikrofilm, namun telah

-2-
dialihmediakan ke dalam bentuk digital.

Naskah H 40 memiliki sampul karton tebal bermotif berwarna


kecoklatan, berukuran 21 x 32 cm. Kondisi jilidan naskah kuat dan rapi.

Jumlah halaman pada naskah adalah 43 halaman. Pada bagian awal dan
akhir terdapat kelopak naskah tanpa tulisan. Setelah dan sebelum halaman
kelopak terdapat masing-masing dua halaman kosong. Penomoran halaman
menggunakan angka Arab, terletak di bagian pojok kanan halaman naskah,
ditulis oleh penulis dengan tinta hitam, dimulai dari halaman 1 sampai dengan
dengan 43. Tidak terdapat halaman naskah yang hilang, namun tinta sudah ada
yang sedikit menembus kertas.

Alas tulis naskah berupa kertas Eropa. Alas tulis yang awalnya
berwarna putih berubah menjadi kekuningan karena usia naskah, dan terdapat
beberapa lubang kecil akibat serangga.

Teks pada naskah ditulis dengan tinta hitam menggunakan aksara Latin
berbahasa Belanda. Aksara Latin ditulis dengan gaya huruf sambung dan
sangat rapi. Setiap halaman naskah terdiri dari 30-41 baris teks, kecuali pada
dua halaman depan terdiri dari 5-15 baris dan halaman terakhir terdiri dari 22
baris. Terdapat beberapa halaman yang memiliki catatan kaki.

Teks merupakan sebuah catatan berbentuk prosa yang ditulis oleh


Raden Adipati Ario Kromo Djojo Adi Negoro, seorang Bupati Mojokerto
pada masa itu, yaitu pada sekitar tahun 1909. Catatan tidak disertai lampiran.

Cuplikan awal teks “Kata Pengantar” dapat dilihat di bawah ini:

Hoe kort of ik de geschiedenis beschrijf, kunnen verscheidene gevallen niet


overgeslagen worden, terwijl deze, eene schakeling uitmaken der overlevering.

Volgens de oude gewoonte der Javanen (Hindoes) werden de jaartallen van


oprichtingen, gebeurtenissen, beschrijvingen enz. aangeduid door “het tjondro songkolo
jaar”n.m. cijfers in woorden, die tezamen een volzin, met eene zekere beteekenis
uitmaken. De logische bedoeling hiervan is, om door de beteekenis van dien volzin,steeds
in herinnering te brengen, het jaartal dier feiten, aldus een chronogram.

De rangschikking der Tjondro sengkolo cijfers of eigenlijk woorden, is het


ongekeerde van die der gewon ecijfers of in de geval der jaartallen b.v. het Tjondro
Sengkolo jaartal 9091 beteekent het jaartal 1909. (hlm. 2)

-3-
Terjemahan bebas :

Betapapun singkatnya saya menggambarkan sejarah, beberapa kejadian tidak


dapat diabaikan, sementara hal tersebut menggambarkan rangkaian tradisi.

Menurut adat lama orang Jawa (Hindu), tanggal pendirian, peristiwa, deskripsi,
dll. diindikasikan dengan “tahun tjondro songkolo” yaitu angka dalam kata-kata, yang
bersama-sama membentuk kalimat dengan arti tertentu. Secara logis tujuannya adalah
dengan melalui makna kalimat tersebut, akan selalu diingat tahun fakta, menurut
kronogram.

Susunan bilangan Tjondro Sengkolo, atau sebenarnya kata-kata, adalah kebalikan


dari bilangan biasa, atau dalam kasus tahun misalnya Tahun Tjondro Sengkolo 9091
berarti tahun 1909. (hlm. 2)

Berikut ini cuplikan halaman akhir :

Vervaardigd en gedragen door de godhead Bathoro Honggodjali :


Lenggoro : een lris recht en vierkantig instead van plat,
Bedomo : eene korte sable doch breeder,
Soedji-kentjeng : eene rechte pie ken vierkantig isntede van plat,
Soedji-look : genaamd Oeloe Ngelangi, eene piek met bochten,
Hetzij 3 a 5 a 7 of meer, ook vierkantig mistede van plat. Zij draagt dennaam van
Olea Ngelangi, dewijl zij naar eene slang gelijkt door den vierkantigen vorm. Oela is
een slang en ngelangi zwemmen, Aldus “zwemmende slang”.

Tjis Soetji : evenals Tri Soelo, doch vierkantig inplaats van plat.

De Djongbiroe, Songkelat en Saboekinten bovengenoemd, behooren niet tot de


wapens die door de godheden waren vervaardigd en gedragen, doch ze warden op
last en naar het model van den vorst van Modjopait gemaakt en door dezen gedragen.

Behalve de bovenvermelden zijn er nog vele andere soorten van krissen en andere
wapens.(hlm. 43)

Terjemahan bebas:

Diproduksi dan dipakai oleh dewa Bathoro Honggodjali:


Lenggoro: sebuah lris lurus dan persegi bukannya datar,
Bedomo: musang pendek tapi lebih luas,
Sudji-kentjeng: bujur sangkar lurus berbentuk bujur sangkar,
Sudji look: disebut Oeloe Ngelangi, puncak dengan lekukan,

-4-
Baik 3 hingga 5 hingga 7 atau lebih, juga benar-benar berkabut datar. Menyandang
nama Olea Ngelangi, karena bentuknya yang menyerupai ular persegi. Oela adalah
seekor ular dan ngelangi berenang, demikianlah “ular berenang”.

Tjis Soetji: seperti Tri Soelo, tapi persegi bukannya datar.

Djongbiru, Songkelat, dan Sabukinten yang disebutkan di atas bukanlah senjata yang
dibuat dan dibawa oleh para dewa, tetapi dibuat atas perintah dan mengikuti pola
pangeran Modjopait dan dibawa oleh mereka.

Selain di atas masih banyak jenis keris dan senjata lainnya. (hlm. 43).

Berdasarkan cuplikan awal teks dapat diketahui bahwa naskah ini


memiliki kolofon, yaitu bulan Mei tahun 1909 di Mojokerto..

Sesuai dengan judulnya naskah ini memiliki namyak informasi


mengenai wayang purwo, gamelan dan beberapa hal tentang keris dan senjata
lain.

1.5. Ringkasan Isi Cerita

Naskah ini mengisahkan mengenai wayang purwo, wayang gedok,


wayang krucil dan menggambarkan juga mengenai gamelan, macam-macam
melodi dalam gamelan, serta mengenai keris dan beberap asenjata lain.

Pada bagian awal, penulis mengupas tentang wayang purwo, asal usul para
dewa, bagaimana berbagai persitiwa terjadi terkait raksasa dengan para dewa,
misalnya bagaimana terjadinya persitiwa gerhana, yaitu saat raksasa/monster
Karawu berusaha untuk menelan matahari. Ada juga kisah mengenai
Dhosomoeko yang artinya sepuluh wajah, seorang raksasa yang memiliki
sepuluh kepala, yang memerintah di kerajaan Ngalengko dan memperoleh
kekuasaan tak terbatas atas langit dan bumi, tidak ada satu makhluk hiduppun
yang mampu melawan dia, sampai akhirnya Dewa Wisnu sendiri yang
melawannya dan membunuhnya. Di sisi lain, Dhosomoeko mulai menyadari
bahwa musuh dia sesungguhnya adalah Romo yang beristrikan Sinto.
Dhosomoeko melancarkan rencananya untuk membalas dendam kepada
Romo. Dia menculik Sinto untuk dijadikan istrinya, namun SInto terus
menolak. Sinto diletakkan di bawah pohon manga dan menjaganya dengan
ketat, namun pada akhirnya Sinto berhasil diselamatkan oleh Hanoman,
monyet putih yang dapat terbang.

-5-
Selanjutnya, penulis membahas gamelan dan melodi-melodi dalam
gamelan. Ada dua jenis gamelan, yaitu Salendro dan Mataraman. Salendro
terdiri dari lima nada, sementara Mataraman tujuh nada. Dalam pementasan
wayang, dikenal melodi halus yang disebut Gendingan, dan melodi kasar yang
disebut Giroe. Contoh-contoh melodi gamelan yang disebutkan oleh penulis
diantaranya Melodi Guntur, Melodi Smeru, Melodi Piti-pati dan melodi
Sumbrang. Melodi-melodi tersebut disesuaikan dengan babak yang dimainkan
dalam pementsan wayang.

Selanjutnya, penulis membahas sedikit tentang keris, yang tidak


terpisahkan dari wayang purwo. Penulis menyampaikan bahwa ada seorang
pandai besi bernama Soepo, yang sangat terkenal pada jaman Pangeran
Brawijaja, Kerajaan Hindu Majapahit. Keturunan Soepo juga menjadi pandai
besi seperti dia, sampai generasi ke-13.

Pada bagian akhir, penulis memamparkan beberapa keris dan senjata yang
biasa dibwa oleh Wisno, diantaranya Cokro, Pasopati, Kuntobasbowo,
Godhobindie, Lembing, Bedomo, dan Cis Suci.

1.6. Pedoman Suntingan dan Terjemahan

Buku terbitan ini menyediakan suntingan teks/edisi teks dan terjemahan.


Suntingan teks atau edisi teks dalam tulisan ini untuk mentransformasi teks
masa lampau agar mudah dibaca, tidak jauh dari aslinya, hingga kemudian
teks mudah untuk diterjemahkan. Dalam rangka menghasilkan tiga hal
tersebut, tulisan ini menggunakan dua tahapan, yaitu (1) metode kerja filologi,
dan (2) metode terjemahan. Metode pertama akan digunakan untuk meneliti teks
secara filologis sehingga lahir edisi kritik teks. Metode kedua dipergunakan untuk
menerjemahkan teks berbahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia guna
memudahkan pemahaman isi teks.

Suntingan teks menurut Karsono (2008) melalui tujuh tahapan


mengedisikan teks secara filologi, yaitu:

1) Inventarisasi naskah (dan teks)

Inventarisasi naskah adalah kegiatan mengumpulkan informasi mengenai


keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus. Naskah-naskah
yang mengandung teks sekorpus adalah naskah yang mengandung teks
sejudul, yang kadang-kadang tercantum pada sampul naskah dan/atau di

-6-
pelindung depan naskah. Meskipun demikian tidak berarti bahwa naskah-
naskah yang mengandung teks sejudul berarti mengandung teks sekorpus,
atau sebaliknya ada kemungkinan naskah-naskah yang tidak sama judulnya
tetapi mengandung naskah sekorpus.

Informasi keberadaan naskah-naskah dapat diperoleh melalui katalog dari


berbagai lembaga, ataupun kolekstor perorangan.hasil inventarisasi berupa
daftar sejumlah naskah sekorpus yang akan menjadi objek penelitian. Hasil
inventarisasi sekaligus memungkinkan untuk mengeliminasi naskah pada
tahap awal (Irawan, 2018).

2) Pendeskripsian naskah

Deskripsi naskah adalah kegiatan penyajian dan penjelasan infromasi fisik


naskah- naskah yang menjadi objek penelitian (Baried, 1985). Deskripsi
naskah paling tidak mengandung informasi keberadaan suatu naskah, nomor
koleksi, jumlah halaman naskah, keterangan mengenai sampul, ukuran
naskah, alas tulis, jenis aksara dan bahasa, jumlah baris setiap halaman
naskah, dan tinta.

3) Perbandingan teks (dan naskah)

Perbandingan teks diperlukan untuk melihat hubungan kekerabatan antar teks


sekorpus dan untuk menentukan teks yang akan disunting.

4) Penentuan teks yang disunting

Penentuan teks yang akan disunting dapat mempertimbangkan : (1) teks


tertua dari seluruh korpus yang ada; (2) keutuhan dan kemandirian teks; dan
(3) keberadaan fisik naskah yang masih baik, terbaca, dan tidak dalam kondisi
tertentu –misalnya tidak sedang dalam masa “perawatan” pada waktu yang
lama sehingga tercakup oleh masalah penelitian- sehingga memungkinkan
menjadi korpus penelitian (Irawan, 2018).

5) Pertanggungjawaban alih aksara

Alih aksara penting untuk mengenalkan teks-teks lama yang tertulis dalam
aksara yang tidak dikenal orang ke dalam aksara yang dikenal orang saat ini
sehingga diperlukan catatan pertanggungjawaban pengalihaksaraan berupa
konvensi (padanan) aksara naskah (aksara sumber) ke aksara sasaran (Irawan,
2008).

-7-
6) Kritik teks

Kritik teks merupakan catatn mengenai teks yang dialihaksarakan berupa : (1)
emendasi; (2) catatan atas bagian yang rusak atau hilang; (3) catatan mengenai
metrum; dan (4) penjelasan atas kata atau bagian teks yang “sulit dibaca”.

7) Alih aksara

Alih aksara menurut Baried (1985) adalah pergantian jenis tulisan, huruf demi
huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Asas alih aksara menurut Robson
(1994) dibedakan menjadi dua yaitu edisi standar dan edisi diplomatik. Edisi
standar adalah pengalihaksaraan dengan penyesuaian tanda berikut sistemnya
ke dalam sistem sebagaimana yang berlaku pada aksara sasaran (Robson, 1994
dan Karsono, 2008). Edisi diplomatik adalah alih aksara lambang ke lambang
lain tanpa mengubah sistem yang berlaku pada aksara sasaran.

Alih aksara XL menggunakan edisi standar. Edisi standar dipilih dengan


tujuan untuk memudahkan pembacaan. Namun demikian, terdapat perbedaan
antara sistem gramatikal bahasa Belanda masa lampau dengan masa sekarang yang
memerlukan catatan-catatan. Sistem ejaan bahasa Belanda pada teks XL
disesuaikan dengan sistem yang berlaku saat ini. Pedoman ejaan yang digunakan
akan mengacu pada tata bahasa belanda lengkap, mudah dan praktis untuk
kemahiran membaca, berbicara, dan menulis (Lilie Suratminto, 2005).

1.6.1. Alfabet

Alfabet dasar dalam bahasa Belanda terdiri dari 26 seperti pada tabel 2.1
di bawah ini. Pada tabel 2.1 juga disertakan contoh penggunaan alfabet di dalam
suntingan teks “Nota omtrent den Staat der Javasche vorstenlanden, de thans
bestaande onlusten, en de middelen welke tot herstel en verzekering der rust
kunnen worder aangewend”.

Tabel Alfabet beserta contoh

Huruf Besar Huruf Contoh pada Suntingan


Kecil Naskah
A a Adipati; afgestaan
B b Boeminoto; bewijs
C c Commandant; zich
D d Dienaren; district
E e Engelsche; eenigen

-8-
F f Fabrieken; afvallig
G g Gouverneur; gedrag
H h Heer; hield
I i Inkomende; inwoners
J j Javaansche; jaar
K k Kroonprins; k
L l Lokken

M m Mataram; meesten
N n Natuurlijke; nu
O o Oosthoek; omschrijven
P p Patih; plaats
Q q intriques
R r Residentie; rijs
S s Selarong; scheen
T t Tampit; tusschen
U u uit
V v Vorst; vrouw
W w Wedono; wreedheid
X x extract
Y y Yoede
Z z zenden

1.6.2. Ejaan

Terdapat lima huruf vokal dalam abjad bahasa Belanda: a, e, i, o dan u.


Dalam pengucapan, huruf-huruf vokal ini ada yang panjang dan ada yang
pendek: ā/ă, ē/ĕ, ī/ĭ, ō/ŏ, ū/ŭ. Pengucapan panjang pendeknya vokal dari sebuah
kata dalam bahasa Belanda sangat penting, karena dalam bahasa Belanda
terdapat banyak sekali pasangan minimal yaitu kata yang ejaannya hampir
sama, namun memiliki arti yang jauh berbeda (hanya berbeda pada panjang
pendeknya vokal). Namun demikian, pada suntingan teks naskah H 40 vokal
pendek dan vokal panjang dibedakan. Tabel 2.2 di bawah ini adalah contoh
penulisan vokal pendek dan panjang pada suntingan teks:

-9-
Tabel Vokal vendek dan vokal panjang beserta contoh

Ejaan Contoh pada suntingan


/a/ handel
/aa/ voornaamste
/o/ vorst
/oo/ schoonvader
/e/ het
/ee/ denkbeeld
/i/ prins
/ie/ bestierden
/u/ gedurig
/uu/ bestuur

Selain vokal panjang dan pendek, ejaan dalam bahasa Belanda juga
mengenal vokal lainnya. Lebih lanjut akan diungkapkan dalam tabel 2.3 dan
tabel 2.4 berikut ini beserta contoh kata pada suntingan teks naskah H 40 .

Tabel Vokal dua huruf yang dianggap satu bunyi beserta contoh

/au/ nauwelijks
/ei/ eindelijk
/eu/ voorkeur
/ij/ terwijl
/oe/ genoemden
/ou/ oudere
/ui/ uitwerkselen

Tabel Vokal rangkap beserta contoh

/aai/ fraai
/eeu(w)/ eeuw
/ieu(w)/ nieuw
/oei/ moeilijk
/ooi/ nooit

- 10 -
Ejaan bahasa Belanda juga mengenal tanda trema, yaitu tanda yang
digunakan untuk menunjukkan bahwa bunyi dua vokal termasuk suku kata
yang lain. Tanda trema yang digunakan dalam bahasa Belanda adalah tanda
titik dua di atas seperti yang terlihat pada tabel 2.5 di bawah ini berserta contoh
yang ada pada suntingan teks naskah H 40 .

Tabel Tanda Trema beserta Contoh

/eë/ toegeëigend
/ieë/ financieële
/eëu/ -
/eë/ geërfd
/oö/ beoögen
/ië/ Indië
/ië/ natiën
/oë/ -
/eï/ -
/eü/ -
/eü/ -
/uï/ -

Selain itu, ada beberapa sistem ejaan lama yang ditemukan dalam naskah.
Sistem ejaan tersebut akan dipertahankan dalam suntingan teks naskah H 40 . Di
bawah ini adalah contoh-contoh sistem ejaan yang ditemukan pada naskah:

1. Dua huruf vokal diapit 2 konsonan pada suku kata pertama sebuah kata, saat
ini hanya digunakan satu vokal saja. Contoh :

Ejaan dalam naskah Ejaan saat ini Arti


schaade schade kerusakan
genooten genoten teman, mitra

- 11 -
2. Perubahan ejaan –g menjadi -ch- pada ejaan saat ini. Contoh:

Ejaan dalam Ejaan saat ini Arti


naskah
regtvaardigheid rechtvaardigheid keadilan
plegtig plechtig khidmat

3. Perubahan ejaan lama menjadi baru sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD),
dilakukan hanya pada nama kota atau tempat, sedangkan pada nama orang tetap
dipertahankan sesuai denga aslinya yang ada pada naskah.

1.6.3. Tanda Pada Suntingan

Beberapa tanda yang digunakan pada suntingan teks yaitu:

a. Tanda (hlm.5) sebagai contoh nomor halaman naskah. Angka Arab sebagai
nomor halaman.

b. Tanda […] sebagai penanda bahwa kata-kata pada teks hilang atau tidak
terbaca karena kertas berlubang atau tidak terbaca.

c. Huruf kapital dipergunakan untuk awal paragraf, sapaan hormat, dan


nama, gelar, termasuk nama tempat.

Contoh :

Koentobojo, zoon van Boetlowo en Kuntoboyo, anak dari Butlowo,


sctichter van mandhoero (Madoera) pendiri Mandhoero (Madoera)

d. Catatan kaki sebagai penjelasan pada teks yang membutuhkan penjelasan.


Teks yang rusak atau tidak terbaca pada naskah dilakukan kritik berupa
perbaikan bacaan dengan catatan intuitif.

- 12 -
1.6.4. Terjemahan Teks

Kegiatan menerjemahkan menurut Catford (1965) adalah suatu kegiatan


yang terjadi dalam bahasa, yaitu proses mengganti teks dari suatu bahasa ke teks
bahasa lain. Kegiatan penerjemahan pada pengalihan teks berfokus pada makna
yang terkandung di dalam teks. Catford (1965) juga menyebutkan bahwa dalam
kegiatan penerjemahan dapat terjadi pergeseran.

Larson (1989) memberikan defenisi penerjemahan berarti


mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan
struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
Menurut Larson (1989) pengalihan makna yang sama dari bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran harus dikaitkan dengan konteks budaya. Pengalihan di sini
merupakan pengalihan makna dari Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran.

Terjemahan teks naskah H 40 dititikberatkan pada bahasa sasaran yaitu


bahasa Indonesia. Terjemahan yang menitikberatkan pada bahasa sasaran
bertujuan untuk memaparkan, menceritakan, reproduksi emosional, dan
mendidik sasaran pembacanya. Rambu-rambu dan prosedur penerjemahan
dibutuhkan untuk mendapat terjemahan yang baik. Berikut ini akan dijabarkan
rambu-rambu dan prosedur penerjemahan teks naskah H 40 yang berlaku
terhadap kalimat dan satuan lingual yang lebih kecil:

1. Penggeseran bentuk (transposisi) yaitu prosedur penerjemahan yang


melibatkan pengubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran.

a. Penggeseran karena kewajaran ungkapan; apabila suatu ungkapan dalam


bahasa sumber dapat diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa sasaran
melalui cara gramatikal, tetapi padanannya kaku dalam bahasa sasaran.

b. Penggeseran untuk mengisi kerumpangan kosa kata dengan


menggunakan suatu struktur gramatikal untuk mengisi kesenjangan
leksikal yang mempunyai fungsi tekstual, seperti /lah/, /pun/ dalam
bahasa sasaran dengan menggunakan suatu struktur gramatikal.

2. Penggeseran makna atau modulasi yaitu pergeseran struktur seperti yang


terjadi pada prosedur transposisi itu melibatkan perubahan yang menyangkut
pergeseran makna karena terjadi juga pergeseran perspektif, sudut pandang
atau segi makna yang lain.

a. Modulasi wajib yaitu suatu kata, frase, struktur tidak ada padanannya dalam
bahasa sasaran sehingga perlu dimunculkan.

- 13 -
b. Modulasi bebas yaitu prosedur penerjemahan yang dilakukan karena alasan
non linguistik, misalnya untuk memperjelas makna, menimbulkan
kesetalian dalam bahasa sasaran dan sebagainya.

3. Adaptasi yaitu pengupayaan padanan kultural antara dua situasi tertentu.

4. Pemadanan berkonteks yaitu pemberian konteks adalah penempatan suatu


informasi.

- 14 -
BAB II

SUNTINGAN DAN TERJEMAHAN TEKS

EENE KORTE SCHETS VAN DE WAJANG POERWO EN NAAR


AANLEIDING HIERVAN, HET EEN EN ANDER OVER DE WAJANG
GEDOK, WAJANG KROETJIL, GAMELAN EN GAMELAN
MELODIÉEN, KRISSEN EN ANDERE WAPENS.

2.1. Suntingan Teks

Eene Korte Schets Van De Wajang Poerwo En Naar Aanleiding Hiervan,


Het Een En Ander Over De Wajang Gedok, Wajang Kroetjil, Gamelan En
Gamelan Melodiéen, Krissen En Andere Wapens.

Door

Raden Adipati Ario Kromo Djojo Adi Negoro

Regent van Modjokerto

N. B.

Abusievelijk werd de noot eenvoudig gecopieerd :

“Tuscjchen haakjes”. Dus niet zooals het behooren

Moet. Daarom teeken ik aan bij elke foutiene plaatsing van de noot met zwart inkt
“[noot………]“

- 15 -
Buiten den Handel

Een korte scheets van de Wajang Poerwo en naar aanleiding hiervan het een en ander
over de Wajang Gedok, Wajang Kroetil, Gamelan en gamelan Melodien, hiervan en
andere wapens, door Raden Adipati Ario Kromo Djojo Adinegoro, Regent van
Modjokerto. (hlm. 1)

Voorrede

Hoe kort of ik de geschiedenis beschrijf, kunnen verscheidene gevallen niet


overgeslagen worden, terwijl deze, eene schakeling uitmaken der overlevering.

Volgens de oude gewoonte der Javanen (Hindoes) werden de jaartallen van


oprichtingen, gebeurtenissen, beschrijvingen enz. aangeduid door “het tjondro songkolo
jaar” n.m. cijfers in woorden, die tezamen een volzin, met eene zekere beteekenis
uitmaken. De logische bedoeling hiervan is, om door de beteekenis van dien volzin,
steeds in herinnering te brengen, het jaartal dier feiten, aldus een chronogram.

De rangschikking der Tjondro sengkolo cijfers of eigenlijk woorden, is het


ongekeerde van die der gewon ecijfers of in de geval der jaartallen b.v. het Tjondro
Sengkolo jaartal 9091 beteekent het jaartal 1909.

In verband hiermede, heb ik het jaartal 1909, waarin deze beschrijving door mij is
opgemaakt, uiteen gezegd in een Tjondro Sengkolo jaar.

Toevallig is het jaar 1909 eene gewichtige aandenking; het jaar, waarin onze prinses
Juliana was geboren. Deze voorname gebeurtenis in acht nemende, verkrijg ik het
onderstaande Tjondro Sengkolo jaartal.

- 16 -
Poeloeng Ngamboso Mentjosonge Sang Ratoe

9 0 9 1

De gespecificeerde uitlegging hier van is als volgt :

Poelonge beteekent : Ëen uit den hemel op iemand nederdalende lichtglans, die zijne
bestemming in deze wereld bepaalt” geeft aan de cijfer 9. Ngamboso beteekent : “In de
lucht zweven of elders rondgaan”, geeft aan de cijfers 0.

Mentjonge beteekent “Het Schitteren”geeft aan de cijfer 9. Sang Ratoe beteekent : “ons
vorst, onze vorstin, aldus nu onze Prinses” geeft aan de cijfers 1. Tezamen duiden deze
woorden aan :

De glans zweeft het schitteren van onze prinses


9 0 9 1
De glans zweeft wordt opgevat “Hij onderdanen van Zb. Mb. Wilhelmina wachten steeds
op de blijde gebeurtenis, aangezien de glans nog zweeft”. We Poeloong (glans) woordt
door de Javanen beschouwd als te zijn een vorstelijken glans, en niet een glans van een
gewoon mench. (hlm. 2)

Het schitteren van onze Prinses, met andere woorden : de blijde tijding is reeds
aangekomen, dewijl men nu eerst kan spreken van het schitteren van onze Prinses.

Eene proef van Poezie :

9 De lichtglans uit den hemel zal nederdalen.


0 Zoevende in het lichtruim, om zijne bestemming te volgens
9 Het schitteren gelijkt de blinkende zonnestralen
I Onze prinses Juliana deed ons allen verblijden

- 17 -
Dit proefversje wijkt wel af van de usance van het gebruik van het Tjondrosongkolo jaar,
doch de beteekenis van het onderwerp van ieder volzin blijft hetzelfde.

Derhalve luidt het chronogram van dit boek. Modjokerto 19 October van het
TjondroSengkolo jaar, “Poelonge Ngamboro, Metjoronge sang Ratoe”.

Aan degenen, die dit boek lezen, maak ik mijne beleefde verontschuldiging voor de
verscheidne fouten welke hierin voorkomen, dewijl ik in het geheel geen schrijver, noch
dichter ben.

__________________________________

Eene korte schets van de wajang poerwo.

De geschiedenis van de wajang poerwo is hoofdzakelijk eene beschrijving vande


avonturen van de godheid Whisnoe en zijne gemalin de godin Cri, voorafgegaan door
het onststaan der goden.

Alvorens over te gaan tot deze wajang poerwo overlevering, noodt het onstaant dier
goden verduidelijk door een stamboom, beginnende met Adam en Eva.

A. Voor Goden

Poerwaning - djan, Adam, de vader der wereld


Dhewi Hawa, Eva, de groote moeder
Habil (Abel)
Kabil (Leth)
Hessis (Kain) zonen van Adam
Noertjojo, zoon van Hessis

- 18 -
Hiermee begint de wajang geschiedenis, doch in de voorstelling bestaat de wajang
afbeelding van Noertjojo niet, de wijl waarschijnlijk volgens de overlevering hij
onzichtbaar was, althans in de menschelijke gedaante. (hlm. 3)

Allam zijn glans kon men ontraren. Om deze reden heete hij “Noertjoio”. Noertjoio
bestaat uit twee woorden. Noer en Tjoio”, welke dezelfde beteekenis hebben n.m. glans,
lichtglans of stralende glans.

Noer roso, zoon van Noer tjoio.

Ook van deze Noer roso bestaat er geene wajang afbeelding, waarschijnlijk omdat
zijn naam reeds insgelijkt “onzichtbaar aanduidt”. Noer beteeknet als boven “glans. Roso
“gevoel, smaak”. Aldus beide woorden zijn benamingen van iets wat onzichtbaar is.

B. Oppergoden.

Sang-Inang Wenning, zoon van Noer Roso.


Hiermee en hiervan begint de wajang afbeelding.
Sang-Inang Toenggal, zoon van Sang-Inang Wenning.
Sang-Inang Goeroe, zoon van Sang Inang Toenggal.

Sang-Inang Toenggal Schonk aan Sang inang Goeroe de natuur, die hij zelf bezat
en met de heerschappij der wereld, ook de nacht om alles voort te brengen. Hij zoude
heeten Sang inang Goeroe (de bovenmachtige leeraar).

Bathoro Goeroe (de mensch geworden leraar), Sang Moorbang Pasthi (bedeeler des
noodlots). Sang-inang Girinoto (de verheven godenvorst der bergen), Sang Hinenang
(die alle macht begrijpt), Djagadnoto (De Wereldheer).

- 19 -
Zijn zetel was op den berg Smeroe in Oost Jawa (de olympus der Javanan) en was
alzoo de oppervorst der ondergoden. Deze zetel werd “soeroloio”(hemel) genoemd.

Op den wensch van Sang Inang Goeroe schiep de godhead Sang-Inang Toenggal
negen zonen en vier dochters. Aan deze negen zonen gaf goeroe ieder een deel des
gebieds, in volgende voegen (x) (hlm. 4)

_________________________

(x) In de wajang afbeelding woordt Sang Inang Goeroe voorgesteld een wajang met vier armen,
staande op den heiligen stier, en deze rust op eenen regenboog, terwijl het geheel omring
wordt door wolken, en is door de Javanen zeer geheiligd. Een wajang maker, indien hij nog
niet de ouderdom bereikt heeft van b.v. 50 jaren, dan vraagt hij het niet, om deze wajang,
Sang-Inang Goeroe te vervaardigen. Alvorens hij deze wajang maakt, moet eerst slametan
gehouden worden, bestaande uit eterijen enz, eeb offer aan de goden en geesten”

C. Ondergoden

1. Bathoro Bromo, zoon van Sang_inang Goeroe, Heer van het Ooster-deel der aarde,
als Praboe het vorst van Java. Zie de Pararaton van Dr. J. Brandes. Het boek der
Koningin van Modjopait”. Hierin kan men lezen dat deze Bathoro Bromo de
stamvader was van de voorsten van Modjopait, waarvan de laatste genaamd
Browidjodjo V de stamvader was van bijna alle regenten van Java.
2. Bathoro Samboe. Zoon van Sang-Inang Goeroe, heer van het Zuiderdeel der aarde.
3. Bathoro Koemodjojo. Zoon van Sang-Inang Goeroe, heer van het Weesterdeel der
aarde.
4. Bathoro Whisnoe. Zoon van Sang-Inang Goeroe, Heer van het Noorderdeel der aarde,
en als vorst van Mendang-kamoelan.
5. Bathoro Bayoe, zoon van Sang-Inang Goeroe, Heer van het Noorderdeel der aarde.

- 20 -
6. Bathoro Prit-Handjolo, zoon van sangInang Goeroe, Heer van het Noord-Oosterdeel
der aarde.
7. Bathoro Koenderoe. Zoon van Sang Inang Goroe, Heer van het zuid-Oesterdeel der
aarde.
8. Bathoro Moho-Yektie. Zoon van Sang-Inang Goeroe, heer van het zuid-westerdeel
der aarde.
9. Bathoro Siwa, zoon van Sang Inang Goeroe, heer van het Noord-westerdeel der aarde.

Terwijl Sang-Inang Goeroe aldus de heershappij regelde, werd de aarde (java)


nog bewogen, waarom hij haar zevenvoudig verdikte, door de kracht van zijn mensch.
Ieder van deze aard-regionen werd gesteld onder de bewaking van eene godhead, als :
De eerste aarde, onder de schooner vrouw Hiboe Pratiwi. De tweede aarde, onder
Bathoro Koesiko. De derde aarde, onder Bathoro Ganggang. De vierde aarde, onder
bathoro Siendolo. De vijfde aarde, onder Bathoro Darampallam. De zesde aarde, onder
Bathoro Mbanikhoso en de zevender aarde, onder Bathoro Hontoboogo (een slang). Hij
is de groote slang, die den aardbol op zijn rug torecht. Wanneer hij zich beweegt, onstaat
er eene aardbeving, want hij omvat geheel de wereld (den aardbol).

Behalve deze ondergoden zijn er nog vele andere ondergoden en godinnen.


Onder de ondergoden verdient de opmerking “Bathoro Narodho” terwijl deze de bode
was van sang-Inang Goeroe, (hlm. 5) de uitvinder van de gamelan (1).

Eens vergaderden de goden in het verblijf van Sang Inang Goeroe (den hemel) alleen
van drinkbehers, om het levenswaters Kamandaloe, met volle teugen te drinken, uit het
vat haste Gino. Onder luid vreugde gejuich vilde en leegde men de volle bekers.

Bij deze gelegenheid was er een reus Remboetjoeloeng genaamd, die ontrarende dat
de goden het water des levens dronken, ijlings nederdaalde uit den hemel, en bij het vat
gekomen, het onbeschaamd voor den mond zette. De goden bevreesd, dat deze reus
daardoor onterwelijk zoude worden, rezen op om zulks te beletten, en Bathoro Whisnoe
schoot op hem met den pijl Tjokro, die den reus aan den hals trof, en de kop aan den

- 21 -
romp scheide (2).

Het levenswater had echter reeds den mond van den reus bevochtigd. Het hoofd rees
daardoor opwaarts, nam de hoedanigheid aand van het monster Karawoe, dat de zon en
maan poogt te verslinden(3).

Sang-Inang Goeroe had tot nog toe gene nederhelft. Doch door de kracht van zijnen
mensch ontstond er uit de twijig van een Kastoebo-boom eene schooner vrouwe. Hij
noemde haar : Bathari Hoemo. Uit hunne vereeniging sporten voort de monsters Romo-
salah en Mohopralojo. Sang-inang Goeroe ziende, dat zijne vrouw gedrachten
voortbracht, vertoornde op haar, greep haar aan, en hield haar bij de voeten met het hoofd
naar beneden.

Toen ontstond er uit haar [gereen] eene reuzin “Kali-doergo” op den wil van Sang-inang
Toenggal. Deze werd aan Komo-salah ten vrouw gegeven. Dit was de oorsprong der
(hlm. 6) reuzen van het tweede gesclacht.

______________________________________

1) In verband met de namen dezer godheden, bepalen (gissen) de Javanen, de geaardheid,


hoedanigheid, het karakter enz. der menschen.
2) Het begin der heldendaden van Whisnoe.
3) Het geloofd der Javanen, wanneer nu de zon of de naam verduistert, is het monster Karawoe
voornemens dit bestaan uit te voeren. De menschen slaan bij deze gelegenheid op blokken in
andere holle doelen, om dan aan valler te verschrikken en in zijn bedrif te sluiten. Dit is de oorzaak
der Grah-hono’s (eklipsen).

Sang-inang Goeroe weer aan Bathari Hoemo met hare zonen Kromo-Salah en
Moho-pralojo een verblijf op het eiland Moesso-Tombini. Daar werd Kromo-salah heer
van het eiland met den titel Sang-Inang Kala, en zijne moeder zal heeten Jamadipati (hel-
vorstin). 1)

- 22 -
Bathoro Narodho zat met de goden aan den disch. Toen bemerkte Sang-Inang
Goeroe, dat hij onafgebroken zijne hand gesloten hield, zoodat de godenvorst hem vroeg,
waarom dit was. Bathoro Narodho antwoordde, dat hij in zijne hand hield den steen
Retno-Dhoemilah van boven natuurlijke kracht. Sang Inang Goeroe [wenschte] dat
kleinnood te zien, maar Narodho gaf voor, dat zijne fijnheid voor gaane aanvatting
vatbaar is. Niettemin wilde hij den steen overhandigen dan Sang Inang Goeroe, maar hij
ontviel dezen, en in [weersil], da took de overage goden er naar grepen, werd hij niet
gestuit in zijnen val, maar drong door de zeven regionen der aarde heen, en onglipte
handen van alle goden, die de regionen bewaakten. Eindelijk viel de steen in de
opgesperden [muil] van Bethoro Honto-brogo, de slang die de zevende aarde bewaakt in
den aardbol tosste.

Honto-brogo verborg den steen in een gesloten vatje “Tjoepoe Manik


Hastagino”, dat niemand openen konde, en gaf t daarna over aan den godenvosrt Sang
Inang Goeroe. Deze nam het vatje, hief het omhoog, en verbrijzelde het. De Retno
Dhoiemilah bron te voorschijn, maar nam de gedaante aán van eene schooner vrouw
“Dhewi Tisnowati”. (hlm. 7)

____________________________

1) Bij eene Wajang vertooning alwaar verscheidene wajang volgens volgorde en usance aan het
gespannen doch zijn gerangschikt, wordt aan de rechterzijde “Sang Inang Goeroe” en aan de
linkerzijde “Bethari Hoemo” boven alle wajangs geplaats te vereering. De rangschikking der
wajang aan het gespannen doek volgens usance is, een gedeelte aan de rechter- en een gedeelte
aan de linkerzijde. De wajang aan de rechterzijde zijn die, welke bij het gevecht het meest de
overwinning behalen b.v. Whisnoe. Ardjoeno-Widjojo, Romo, Krisno, de godheden enz. En
de vrouwelijke wajangs, het tegenovergestelde aan de linkerzijde.

- 23 -
Sang-Inang Goeroe zocht haar aan ten [vrouwe]. Zij vorderde vooraf het bezit
van eenige voorwerpen van uitnemende zeldzaamheid. De godenvorst hieraan willende
voldoen, onthood voor zich “ Sang-Iang Kala”, heer van het eiland Noesa Tombini. Kala
kwam in tegenwoordigheid van Sang-Inang Goeroe, die hen hierop bevel zijnen zoon
“Kolo-Goemarang” te zenden, om de door Tisnowati, verzochte geschenken op te
sporen. Kolo-Goemarang verscheen en ontving van Sang-Inang Goeroe deu gezegden
last. Maar Kolo-Goemarang buiten de tegenwoordigheid van Goeroe gekomen, begon
terstond grimassen en zotternijen te maken, loopende op zijne handen, randde de goden
aan, slag hen in het aangezicht en bespoog hen, voorgevende de hofnar van de godenvorst
te zijn geworden. Zelfs vorderde hij Cri van haren echtgenoot Whisnoe, die den
onbeschaamden reus herschiep in een wild godijn. Maar Kalo-Goemarang, afschoon dus
van gedaante verarderd, hield niet af Cri te vervolgen. Zij nam toen de gedaante aan van
de koningin Dhermo-Nastiti, en Whisnoe die van den Koning Mengoekoehan van het
schooner hand Mindang Kamoelan. De oppervorst der goden wetende dat zijne zendeling
Kolo-Goemarang in een godijn veranderd was, konde het door Tisnowati begeerde niet
bijbrengen, doch liet niet af haar zijn hof te maken. Zij evenel soerf in de armen van den
godenvorst.

De godijn Kolo-Goemarang uit wraak over zijne herschepping, de veldgewassen


van het Land Mendang Kamoelan verwoesten de werd hij door Whisnoe doorschoten.

De oopervorst des goden bereids langen tijd zonder vrouw na de wegzending


van Bathari-Hoemo naar het eiland Noesa Tombini, wenschte eene andere vrouw te
kiezen uit de godinnen, maar de goden waren daartegen, en Narodho bood aan, eene
schoone vrouw van de aarde te halen, en op deze nederdalende vond hij er eene in het
land Meudang Kamoelan, ze heette Cri 1)

Ook Whisnoe had zijn oog op haar laten vallen en ook zijne vrouw heette Cri.
Deze omstandigheid verwekte den torn van Goeroe. Narodho werd afgezonden om dien
tooren te doen kennen en Whisnoe te noodzaken tot afstand van zijne regeering en

- 24 -
boetedoenning in het (hlm. 8) woud der zeven waringinboomen, moetende hij zijne
vrouw en allen achterlaten. Zijne vrouw verliet hij in zwangeren staat en bevol haar aan,
om het kind, dat zij ter wereld zoude brengen, te noemen “Sri-gati”.

_____________________________

1) Deze was eigenlijk het lichaam van Cri, terwijl haar ziel als koningin Dhermo-Nastiti van
Meudang Kamoelan werd.

Er war in het land Dhesso Sengkolo eens vrouw Dhewi Sinto, die eene zuster
had, Dhewi Landep genaamd. De eerste verwekte bij Resi Gono eene zoon van een
schoon en onsrustig gestel, zoodat hij, tot de jongelingsjaren opgewasen, op zekeren tijd
[ongenoegen] kreeg met zijne moeder, die hem met een rijst lepel een gat in het hoofd
sleeg. De jongen ontlood de onderlijke woning, dwaalde rond in de wouden, en ging
vervolgens naar het land Gilling-Wessi. Aldaar zocht en verkreeg hij een grooten
aanhang en begon tegen den landvorst op te staan. De aanbiedingen door dezen gedaan,
weer hij van den hand, beoorloogde den vorst en versloeg hen. Toen nam hij den naam
aan van vorst “Watoe Goenoeng” (rotsberg) omdat hij onmederstaanbaar was. 1)

Hier werd hij een groot en machtig vorst, en was nog ongehuwd, toen zijne
moeder en haar zuster te Gilling Wessi kwamen. Het tijdsverloop had hen wederkeerig
onkenbaar gemaakt. Zonder dus hunne verwantschap te bevroeden, huwde Watoe
Goenoeng met Dhewi Sinto, en later ook met Dhewi Landep. Bij de lastste had hij geene
kinderen, maar bij de eerste verwerkte hij zeven en twintig zonen.

Er ontstonden nu in het land Giling Wesi vele voortekenen van eene aanstaande
gebeurtenis. Groote natuur verschijnselen, menigvuldige staartsterren, eklipsen,
berguitbarstingen, regens en stormen werden gezien en gevoeld, en alles voorspelde en
naderenden ondergang.

- 25 -
Op zekeren tijd, dat Watoe Goenoeng bij zijne vrouw Dhewi Sinto zat, verhaalde
hij het gevaal, hoe hij nog kind zijnde, de ouderlijke woning ontloopen was om een slag,
waarvan hij het lidteeken op zijn hoofd aanwees. Dhewi-Sinto dit haarende, verschickte
zeer, wat zij zag nu in haren echgenoot (hlm. 9) haar zoon. Nu begon zij zich af een
middle om ziel van hem te ontelaan. Zij hield Watoe Goenoeng voor, dat hij van het
geslacht der goden was, en er niets aan zijn geluk ontbrak, dan het bezit eener godin,
waarom zij hem aanried, de goden in den Soeroloio (hemel) te beoordlogen. Zij hoopte,
langs dezen weg hem te zullen verliezen. Dit voorstel beviel Watoe goenoeng. Hij deed
zijne 27 zonen en alle zijne legerbonden bijeen komen, zond vooraf het verzoek aan
Sang-inang Goeroe (den godenvorst) om hen Cri uit te leveren. Hen gaf hem bescheid,
dat die de vrouw van Whisnoe was. Toen trok Watoe Goenoeng naar den Soerolojo op.
De hemel kwam in opschudding. De goden durfden den aanvaller niet wederstaan, de
godessen waren doodelijk bevreesd. Goeroe vroeg nu aan Narodho wat te doen stond.
Deze ried aan, den verbannen Whisnoe terug te reopen, en hem de bestrijding van Watoe
Goenoeng op te dragen, op belofte van vergiffenis voor het vroeger gebuerde. Whisnoe
nam dit aan, ging eerst naar zijne vrouw in Mendang Kamoelan, die indertijd een zoon
Sri-Gati geheeten, gebaard had, en welke jongen bereids tot Jaren van onderscheid
gekomen was. Daarop gingen beiden opwaarts naar den Soerolojo.

_____________________________

1) Voor af na of tijdens het planten van padi, wordt dikwijls door gegoede Javanen een
wajang voorstelling gegeven van deze geschidenis van Watoe Goenoeng, dewijl
volgens het geloof daardoor regent zullen vallen.

Voor Goeroe verschenen, vertoonde zich ook daar eensklaps Sri-Gati. Toen
Goeroe dit zag, vroeg hij aan Narodho wie deze person was. Op het dooren dezer

- 26 -
verzekering vertoonde de oppervorst der goden in ging heen, gevende bevel aan Narodho
om den zoon van Whisnoe te verdelgen, en aan Whisnoe werd bevolen den aanvallen
tekeer te gaan. Hij kantte zich tegen deze bevelen indien het eerste niet ingetrokken werd.
Narodho gaf zulks aan Goeroe te komen, die er eerst geen oor voor had. Maar toen men
hem berichte dat de vijand in aantocht en nabij was, gaf hij toe en liet Sri-Gati ongemoeid.
Toen ging Whisnoe met zijn zoon Sri-Gati en alle de Bathoros op den vorst aan Giling
Wesi af. Whisnoe vroeg de reden van zijn aanval. Watoe Goenoeng konde Whisnoe niet
zien en vroeg wie de spreker was. Deze vertoonde zich nu als de blinkende zon en deed
Watoe Goenong verschickken.

Hierna werd de vorst van Giling-Wesi ongebracht. (hlm. 10)

Toen de 27 zonen van dezen vorst hoorden wat hunnen vader was wedervaren,
wilden zij zich ter dood wijden en beoorloogden Whisnoe met meer woede. Mar deze
bracht ze een voor een ter dood in 27 dagen, elkendag een.

Zoodra Dhewi Sinto vernam dat haar manzoon en kinderen door Whisnoe waren
ongebracht, begon zij bitter te weenen, zoodat de elementen gaande werden gebracht en
er een kamp der hoofdstoffen ontstond die vreeselijken waterland deed ontstaan,
vergezeld aan orkanen, donderslagen, aardbevingen en regenslagen. Zeven dagen lang
duurde dit geween.

Eindelijk vroeg Goeroe aan Narodho van waar die omwenteling in de natuur
kwam. Narodho zeide de redenen. Toen gelaste Goeroe aan Narodho om aanstands nar
de aarde af te dalen en het geschrei van Dhewi Sinto te doen ophouden, met belofte, van
na drie dagen tijds, haren echtgenoot en zoon weder levend bij zich te zullen krijgen om
op nieuw als vorst van Giling Wessi te regeeren. Dhewi Sinto hierover getroost, hield op
met weenen. Nu hield ook de strijd der elementen op.

Maar nadat zij drie dagen lang te vergeefs gewachts had, en Watoe Goenoeng
nog niet tot har terugkeerde, begon zij weder te jammeren en te murmureeren tegen de

- 27 -
goden, die zij voor leugenaars uitmaakte.

Toen spoorde Narodho den oppergod Goeroe aan, tot vervulling zijner beloften,
opdat het menschdom de goden niet voor leugenaars zoude moeten houden. Toen beval
Goeroe om Watoe Goenoeng weder op te wekken. Narodho kwam dus bij Watoe
Goenoeng en wek hem op van den doode.

Als nu verrezen, weigerde hij naar de aare terug te keeren om opniuew zijne
heerschappij te aanvaarden, en wesnschte, da took zijne vrouwen en zonen in den hemel
wenschte worden opgenomen. Narodho ried Goeroe hiaraan te voldoen. Goeroe stond dit
toe, gaf aan de vrouwen en weder opgewekte zonen van Watoe Goenoeng een verblijf in
den hemel, maar stelde ter gedachtenis van deze overrimming eene tijdrekening in, de
Woekoes genaamd, en de week van zeven dag.

De 27 zonen en 2 vrouwen vormden met Watoe Goenoeng een 30 tal, waarvan


de naam aan elken (hlm. 11) dag van de maand zoude worden gegeven.

Ter gedachtenis van de zonen dagen weenens van Dhewi Sinto, werd de week
van zeven dagen ingesteld, opdat de aanwereld mocht weten, dat de goden het
menschdom hadden weten te overwinnen. De vier voorname staatsdienaren van den
verslagen en verrezen Watoe Goenoeng werden bested, om te dienen voor de vier groote
omwentelingen des wereld, die door de vier groote serpenten zouden worden
voorgebracht, als : Nogo boemi (de aardslang). Nogo-dhino (de dagslang), Nogo-woelo
(de maandslang), Nogo Tahoen (de Jaarslang). Deze vier tijdsomwentelingen behooren
tot de tijdsrekening.2)

Toen nu weder alles in den Soerolojo herstel was, herinerde Narodho aan Goeroe
zijne belofte, om Whisnoe als belooming zijner heerschappy terug te geven,over
Mendang kamoelan. De oppervorst des hemels, Goroe, stemde hierin toe,maar bevel, dat
Whisnoe niet meer zoude heerschen over menschen,maar over geesten en duivelen. En
daar het rijk van Giling Wessi ledig stond, zond Goeroe daarheen zijn zoon Bathoro

- 28 -
Bromo, om er als vorst heerschen over Java, onder den titel Praboe het.

(Alzoo van Bathoro Bromo stammen af de vorsten van Modjopait, waarvan de


laatste was “Browidjojo V” Koning van het laatste Hindoerijk Modjopait. Van dezen
stamen af bijne alle regenten van Java (zie de parawaton van de (hlm. 12) Brandes “het
boek der Koningin van Modjopait”.

______________________________

1) Men vindt deze 30 dagen in de almanakken.


2) De mijthe zegt dat in het begin der heerschappij van Bathoro Goeroe op Java zijn rijk verdeeld
werd in vijf hoofddeelen. De vijf hoofddeelen van Oosten, Westen, Zuiden, Noorden en
Midden hadden, af erlangden ieder een zekeren dag van oppergebied van markttijd), van gezag
od van zeker iets. Deze tijdrekening van vijf dagen, die tot heden toe de echte nationale week
uitmaakt, wordt genoemd pasaran (pasar of marktdag).
Naar de godheden, 5 pasardagen, 7 weekdagen, 30 woekoes, 4 tijdsomwentelingen (nogos) en
de daarbij behoorende attributen in de ‘Javaansche Wetenschap geregeld”, b.v. om het geluk
of ongeluk in dit leven te voorspellen, aan de menschen, die op dezen of genen dag geboren
zijn, het sluiten van huwelijk te bepalen enz, enz.

Bathoro Bromo schiep door zijn mensch en wil twee zonen, genaamd Bromo
Tomo en Bromo Soedarga. Deze beide zonen tot Jaren van onderschiep gekomen,
daalden uit den Soerolojo op de aarde neder. Bromo Soedargo huwde eene vrouw van de
aarde, van hen stamden af Rodjo Soemali en Mangliwan. De laatste volgde het voorbeeld
van Watoe Goenoeng en begon een woedenden oorlog met den Soerolojo om het bezit
van Cri de vrouw van Whisnoe. Mangliwan werd eveneens door Whisnoe gedood. Bij
diens dood horde Whisnoe eene stem, dat de hemelen nog eens ten derde male zouden
worden Beoorlogd door Dhasomoeko (Eene afstammeling van Bromo Tomo) die den
Soerolojo zoude overwwoesten.

- 29 -
Bromo Tomo huwde eene aardsche prinses. Bij deze had hij een zoon
Bromododjo geheeten. Die vorst werd van Ngalengko. De zoon van dezen genaamd
Ressi-Tomo deed afstand van zijne heerschappij en verborg zich in de wouden. Rodjo
Soemali na den doon van zijnen broeder Mangliawan, vlood met zijne dochter Dhewi
Soekesi tot Ressi-Tomo, wien hij zijne dochter liet, en vervolgens zich meer verbergende
in de wouden. Toen Ressi-Tomo nu was gekomen in het bezit van Dhewi-Soekesi ging
de oppervorst der goden “Goeroe”in hem, en zijne vrouw de godes Bathari Hoemo in
Dhewi Soekesi, zoodat zij in elkander welbehagen vonden. In weernil nu van zijn
heremietschap verwekte Resi-Toma bij Dhewi Soekesi een zoon van een reusachtig
gestel en met tien hoofden waarom hij genaamd werd Dhosomoeko (tien aangezihtige).
De tweede zoon was eveneens een reus “Hombo Karno”(langoorige) geheeten. Wijders
eene monstereuze dochters “Sarpo-Konoko” (draadklaurige) genaamd. De vader
bedroefd over de reuzen, gedaanten zijner kinderen, bad den goden om een
welgemaakten zoon. Hierop bracht Dhewi Soekesi een schoon kind dat “Wibisono”
heette.

Dhosomoeko tot Jaren van onderscheid gekomen, zonderde zich eveneens van
de wereld af, ten einde langs den weeg van derving, volgens de instelling der goden, hen
gelijk en machtig en onverrinnelijk te worden. Nadat het gestelde tijdvak verstreken was,
ging hij naar [Nga (hlm. 13) lengko], waar hij in de heerschappij van zijnen grootvader
Rodjo Soemali opvolgde.

Toen Dhosomoeko over Ngalengko begon te heerschen, had hij van de godhead
Sang Inang Toenggal eene onbeperkte macht over de geheele aarde en de heerschappij
der wereldsche rijken verkregen. Geen sterveling zoude tegen hem bestand zijn, tot dat
in latere tijden de godhead Whisnoe zelve in eene menschen gedaante en die aan het
hoofd van een lager apen stond hem zoude ombrengen.

Nu besloot Dhosomoeko zelfs het zalig verblijf der goden, der Soerolojo te
bestormen en te verwoesten, want zijne hoog vaardigheid steeg tot eene buitensporige

- 30 -
hoogte.

Onder voorwendsel deed Dhosomoeko zich door Narodho geleiden. In de


tegenwoordigheid van den oppervorst der goden gekomen, nam Dhosomoeko eene
vreeswekkende houding aan Bathoro Goeroe beschenk hem met eene slendang
(langwerpig schouderkleed) en zond hem naar de aarde terug. 1)

Maar Dhosomoeko die nu het verblijf der goden bespied had trok met een
heirleger reuzen naar de voorspoorten des hemels, waar het verblijf der godinnen was,
bestemd tot belooming der gesneuvelde helden. De godhead die de nacht hield, riep
Dhosomoeko toe, dat dit verblijf door geen sterveling mocht worden betreden zonder
vergunning van Goeroe. Maar Dhosomoeko horde naar gene vermaning en drong ter
poorte in. Doch eeneklaps bleef hij in de klem, tuschchen de deuren, en nu beulderde hij
met zulk een vreeselijk geschreeuw, dat de hemelen dreunden en de goden in onrust
kwamen.

Eindelijk liet Goroe toe, dat Dhosomoeko werd binnen gelaten. Gevolgd door
zijne reuzen, doorwandelde hij de hemelen. Eindelijk werd zijne opmerkzaamheid
getrokken op Cri de vrouw van Whisnoe. Cri verschrickte op het zien van den
monsterachtigen reuzenvorst, met tien aangezichten, die de onhebbelijkheid had, haar
aan te randen. Cri verontraardig over zulk een bestaan, vluchte tot haren gemaal
Whisnoe, en verduren in een Vlammend vuur. Whisnoe raakte hierover in geschil met
Dhosomoeko en nu onststond er een worsteijktijd, die de hemelen deer daveran. (hlm.
14)

______________________________

1) Bij de Wajang-afbeeldingen is eene slendang een teeken van Godheid.

- 31 -
Eindelijk kwam de oppervorst der goden Goeroe tuschen beide, en beval de
strijdende partijen uit te drijven naar de aarde. Narodho merkte den kampvechters op, dat
het verblijf der goden geene plaats was, om geschillen uit te maken, die op de aarde te
huis behooren. Dhosomoeko zoude wederkeeren naar zijn rijk. Hem were nogmaals
voorzegd, dat hij eenmaal ten onder gebracht en sneuvelen zoude door de hand aan het
vorst, die een apenleger zoude aanvoeren, en eene invleesching goude zijn van Whisnoe.
Aan dezen werd het verder verblijf in den Soeroloio ontzegd, omzat hij zich vermeten
had het gelukkig en vredeval gebied te schenden door eene aardische vechtpartij.

De eerste incarnatie van Whisnoe als Hardjoena Widhojo, Koning van Maospati.

Whisnoe op de aarde nedergedaald, nam van nu af de gedaante aan van een mensch,
en wel van Hardjoeno Sosrobahoe (duizend armige) of Hardjoeno Widjojo (overwinaar)
vorst van Maospati, om den monsterachtige reuzenkoning Dhosomoeko te beoorlogen
en te straffend 1).

De mijthe moet het tijdperk van zijne menschwording en bestrijding van het monster
Dhosomoeko “de Tirtodjojo”de watereeuw, den strijd der elementen voorstellende (der
leer van Whisnoe, de onderhoudende kracht des godhead, tegen de macht des hoogeren
beheerschers Goeroe, die in den person van Ressie-Tomo, ingegaan de scheppende
kracht was geweest van Dhosomoeko).

Instusschen heerschte Hardjoeno Widjojo Vreedzaam over Maospati, en had als


echtgenoote Dhewi Tjitrowati, dochter van den vorst van Mangada, en eene incarnatie
van Cri.

Op een tijd dat Hardjoeno Tridjojo zich in een zee afzonderde in de gedaante nam van
een bijzonder groote reus met duizenden armen, ontstond er een hooge watervloed, die
tot aan de legerplaats der reuzenbenden van Dhosomoeko reikte. Vreeselijk was de
woede van Dhosomoeko, toen hij het water in zijne legerplaats zag aankomen. Hij bevel
de oorzaak daarvan te onderzoeken, in zulks vermenemende, bevel hij zijne patih met het

- 32 -
leger naar (hlm. 15) Maospati op te rukken.

___________________________

1) Whisnoe in woede wordt voorgestleld, een wajang “reus”met verscheidene aangericht, armen
en beemen.

Dhosomoeko trok dus op naar Masopati. Zodra de patih aldaar “Soewondo” dan
aantocht vernam, verzamelde hij eveneens zijne banden, zonder voorweten van
Hardjonowidjojo, zijnen vorst, die tot heil des lands afwezig was. Toen de strijdloopen
dicht bij elkaar waren, daagde Dhosomoeko den vorst van Maospati uit, vorderde zijne
onderwerping in overgave zijner schaachten. Patih Soewondo evenwel antwoordde voor
zijnen vorst, dat hij en de zijnen zich nimmer aan hem zouden onderwerpen, maar
strijdende zich op offeren. Dhosomoeko vernemende dat Hardjonowidjojo zelf niet
aanwezig was, achtte zich te verheven, om met den patih te strijden en zond zijne
bevelhebben alleen op het leger van Maospati af. Een vreselijk gevecht von der nu plaats,
waarin bovennatuurlijke krachten de overhand schoken aan de benden van Maospati.
Dhosomoeko was woedend toen hij de nederlaag zijner benden vernam, en trok nu zelf
op Maospati af. Alle hoofden en midderen der bunden van Maospati sneuvelden of
namen de vlucht. Toen kwam patih Soewondo op Dhasomokeo af. Eidnelijk werd patih
Soewondo met geheel het leger van Maospati verslagen en gedood.

Dit alles was gebeurd buiten het aanwezen van Hadjowidjojo. Zoodra deze
nedelaag zijner bonden en de dood van zijn Patih vernomen had, gaf zijn bevel tot het
bijeen broingen van een nieuw leger. Maar toen daalde Narodho uit den Soerolojo en
bracht het bevel van den godenvorst Goeroe aan Hardjoeno Widjodjo om de strijd met

- 33 -
Dhosomoeko te staken, aangezien het tijdstip waarop door Sang-Inang Toenggal besloten
was, dat de reuzenkoning sterven zou, nog niet daar was. Waneer Hardjoenowidjaja
zoude zijn overgegaan in het lichaam van een mensch, die over apen regeerde, zoude de
bestemde tijd gekomen zijn. Hardjonowidjojo antwoordde, dat het zijne meening niet
was Dhosomoeko te dooden, maar dat hij slechts zijne nederlaag beoogde, terwijl het
menschendom geen rust zoude hebbben, van het monster. Narodho steeg veder op naat
den Soerolojo.

Nu ving er een verschrickkelijk geveecht aan, waarin allerlei bovennatuurlijk


kracten aanggenoemd en versplid werden. Maar afschoon Dhosomoeokoe verscheidene
malen nedergeveld, telkens neder herleefde, schoot hij eindelijk te kort, werd overmoud
door Hardjoenoe en gebonden. (hlm. 16)

Maar op dit oogenblik daalde Bromo-Tomo (de overgrootvader van


Dhosomoeko) die reeds vergood, uit den Soerolojo neder, om bij vorst Hardjoenowidjojo
vergiffenis te verzoeken voor zijnen achterkleinzoon, opdat die niet zoude gedood
worden. Dhosomoeko werd van zijn banden ontdaan en gebrachte voor het aanschijn van
Hardjoenowidjojo [wiens] moeten hij kuste. Hierop nam Bromo-tomo neder afscheid van
Hardjoenowidjojo, gaf Dhosomoeko een aantal Vermanende lesson en steeg neder op
naar den Soerolojo.

Vorst Dhosomoeko door zijn ongeluk wijzer geworden, beloofde de


vermanningen van zijn voorzaat te onthouden, en keerde hij weder naar zijn rijk
Ngalingko. In vervolg van tijd vergat Dhosomoeko weder de geode lesson, ten korte
waarvan hij zijne vrijheid had erlangs, en werd even oorlogszuchtig als te voren, overal
moordende en de verblijfplaatsen der boetelingen verontrustende, zoodat zelfs de
Begawan Djogo, een voornaam Pandiet, zijn leven wijdde in derving, om van de goden
het einde van dezen staat van zaken af te smeeken.

De tweede incarnatie van Whisnoe, als Romo Koming van Ngajoedhio.

- 34 -
Eindelijk gaf de godenvorst “Goeroe” gehoor aan de smeekingen van het
menschdom, om verlost te worden van het monster Dhosomoeko, die ingevolgde de
voorzegging, omgebracht zoude worden door een vorst, die een openleger zoude
aanvoeren, en eene invleesching zoude zijn van Whisnoe.

Eindelijk bestaat Whisnoe aan de overmoed en het rijk van den reuzenvorst
Dhosomoeko een einde te maken.

Whisnoe verliet het lichaam van Hardjoeno Widjojo vorst van Maospati nadat
deze, Dhosomoeko geslagen en vernederd had, en waarde eenigen tijd over de aarde, tot
dat hij ontmoette de godheid Bathoro Basoeki, die tot zwaarmoedigheid vervallen, den
Soerolojo had verlaten. Beide kwamen over een in te gaan in het lichaam van ongeboren
zonen van Dhosoroto vorst van Madiopoero, en daardoor te zelfden tijde de wenschen
van dezen vorst te verhooren, die reeds langentijd te vergeefs zijne gebeden, om eenen
erfgenaam voor zijnen troom ten hemel had gezonden. Zijne twee vrouwen tot nu toe
onvruchtbaar (hlm. 17) werden thans zwanger. Zoo ging Whisnoe om Bazoeki bij Dhewi
Ragae de eerste vrouw. Whisnoe werd Romo en Bazoeki Laksmono genaamd. Ook
Dhewi Kekayi de tweede vrouw baarde twee zonen, Broto Satroegno geheeten.

Gelijktijdig met de geboorte van Romo, verscheen ook zijne gemalin Cri onder
de gedaante van Dhewi Sinto, dochter van Reksikolo vorst van Dhorowati, welker
schoonheid menige vorsten bevragen had om haar ten vrouw te vragen. Ter voorkoming
van vijandelijkheden tegen de machtige mededingers, waaronder Koning Dhhosomoeko,
wilde vorst Reksikolo zijne dochter schenken aan degenen, die sterk geoeg was, den boog
te spannen welken hij als erfstuk van den godenvorst Goeroe Erlangs had, en welken niet
dan door boven menschelijke kracht en geheime woorden gespannen konde worden,
hetgeen echter, hoe moeilijk ook, slechts een gering gedeelte van de taak uitmaakte.

Op het midden van de aloon-aloon (eene opene vlakte) werd een hoogen
mastboom geplaatst met een gouden visch op den top en eene kuip volwater aan den voet.

- 35 -
Bij die dezen visch-zonder anders dan door den wederschijn in het water op denzelven
te mogen mikken-met den zwaren boog van vorst Reksikolo ter neder schieten, en den
boog daarna zoo zeer terughalen konde, dat dezelve in zijne handen brak, zoude Dhewwi
Sinto erlangen.

Deze bekendmaking kwam ook aan het hof van Madiopoero en in handen van
Romo en Laksmono, die derwaarts gingen.

Meenige vorsten en helden hadden den boog aangevat naar konden niet
hanteeren. Romo spande den boog met boven menschelijke kracht, schoot en trof den
gouden visch in het midden, die daarna naar beneden tuimelde, terwijl de machtige boog
door hem al seen suikerriet verbroken werd.

Hierna ging Romo met Sinto terug naar Madiopoero vergezeld van zijn broeder
Laksmono.

Niet lang daardna deed vorst Dhosoroto afstand van het bewind ten voordeele
van zijn oudsten zoon Romo, die alzoo vrost van Madiopoero zou worden. Maar
Dhosoroto had aan zijne vrouw Dhewi Kekayi bij het huwelijk beloofd, dar de uit haar
geboren zoon, het voorrecht der erfopvolging zoude genieten. Derhalve vorderde zij nu
de vervulling (hlm. 18) dezer voor waarde, eischande, dat haar zoon Broto vorst wordt
“Romo”het land ontruimen zou.

Dhosoroto maakte zulks aan Romo bekend. Maar Romo, het gegeven woord
zijns verders eerbiedigende, onderwierp zich aan zijne begeerte, en vertrok met Sinto en
zijn broeder Laksmono uit Madiopoero tot smart der inwoners, die hem tot aan de
grenzen der lands uitgeleide deden.

Broto wel verre van in de wenschen zijner moeder te deelen was zeer over hare
beschikking ontevreden. Hij begeerde van Romo, dat hij blijven en als voorheen de
regeering van het rijk behouden zoude, doch deze weigerde zulks standvastig, weshalve
Broto de regeering behield.

- 36 -
Romo met Sinto en Laksmono trok langs de rivier “Siloegonggo” naar de
boschen. In de wildernissen gekomen, hield bij stil, en hield zich voorts onleiding emet
heilige kluizenaars en boetdoeners te bezoeken en hen te helpen het loud van reuzen en
kwaaddoeners van Dhosomoeko te zuiveren.

De beide broeders hadden eindelijk aan de oevers van de Siloe-gonggo eene


ontmoeting met Sarpokenoko, de reusachtige zuster van Dhosomoeko.

Sarpokenoko poogde door allerlei middelen zich behagelijk te maken bij


Laksmono, maar deze weer haar af. Zij even wel hield niet af met hem te knellen, tot dat
Laksmono eindelijk zoo verram word, dat hij haar den neus afsneed. Zij vluchtte tot haren
broeder Dhosomoeko, zien zij haar ongeluk zoo leugenachtig verhaalde, en riep zijne
hulp in.

Dhosomoeko woeden over den hoon, zijne zuster aangedaan, gevoelde eenen
razenden toorn en minnenijd in zich ontbranden, toen hij uit de beschrijving zijner zuster
bemerkte, dat haar vijand niemand anders dan Romo konde geweest zijn. Hij zegende
het toeval, dat hem zulk eene geschickte gelegenheid aan den hand bood, om zich op
zijnen ouden mededinger te wreken. Hij nam derhalve de list te baat en zich in een
buitengewoon schoon gevlekt en twee hoofdig hert met gouden hoorns veranderd
hebbende, ging hij dicht bij de verbliftplaats van Romo nu in het gezicht van Sinto
grazen. Deze verrukt door zijne glimmende, prachtig gevlekte huud werd begeerig naar
het bezit daarvan en verzocht Romo het beest te schieten, ten einde van het vel een kleed
te (hlm. 19) kunnen maken. Romo die de al te bijzondere schoonheid van het dier
mistrouwende, voorzag niets goeds en weigerde in den beginne aan haar verlangen te
voldoen, doch op haar aanhouden, nam hij eindelijk zijnen boog na alvorens eenen kenig
om de verblijfplaats te hebben getrokken, met uitdrukkelijk bevel aan Sinto, derzelven,
om geene reden hoogenaamd, tot op zijne wederkomst te overschrijden. Hij gelastte
mede aan Laksmono, om de verblijfplaats noch Sinto tot zoolang te verlaten. Intusschen
had Dhosomoeko, toen hij al deze toebereidselen zag, zich reeds op eenen verren afstand

- 37 -
verwijderd en terwijl hij gestadig vluchte en doen Romo vervolgd werd, wist hij hem
ongevoelig verscheiden uren afstand van zijne woning te lokken, totdat hij den afstand
genoegzaam oordeelende, om zijn baar opzet te volvoeren, zich door Romo liet inhalen,
maar op het oogenblik dat deze den rijk afdrukte, verliet hij het lichaam van het hart,
hetwelk dood ter aarde stootte en bezielde daaren tegen het rijk van eenen bedelaar, dat
hij op den weg had zien liggen.

Terwijl Romo bezig was met zijne vangst de huid af te stroopen, ijlde
Dhosomoeko in de gedaante van den bedelaar naar de hut van Romo en zich in de
boomen verborgen houdende, liet hij zijne stem als van boven komende hooren, roepende
op eenen doffen stem : “O, Laksmono, broeder van den machtigen Romo, wat taeft gij?
Ons broeder is van vijanden omringd, die hem zullen ten onder brengen, indien gij hem
niet speodig ter hulpe snelt”.

Sinto ten hoogste over deze stem en tijding verschrikt, smeekte Laksmono haren
gemaakt uit zijnen nood te redden, maar deze weigerde zulks en maakte haar indachtig
aan het streng verbod van Romo, om haar niet alleen te laten en dat, indien haar gemaal,
zoals nog bestelings gebeurd was, tien duizend man alleen had kunnen verslaan, hij zich
nu ook wel uit deze verlegenheid zoude weten te redden. Al zijn redenen blenen echter
vruchteloos, en het wanhopig geklaag van Sinto, die eindelijk zelve de hut dreigde te
verlaten, om Romo ter hulp te snellen, bewoog Laksmono zich in het bosch te begenen
langs den weg, dien hij Romo en het hert had zien nemen.

Nauwelijks had Dhosomoeko zijne vervrijdering bemerkt (hlm. 20) of hij


vertoonde zich in de gedaante van den bedelaar voor de hut en bad met eene [klgende]
stem om eene aalmoes. Sinto guide hem, dat zij niets te geven had, doch de bedelaar hield
niet op met [sneeken] om een weinig rijstrater, zoodat zij hem eindelijk iets van den
vorigen maaltijd overreikte toen vatte Dhosomoeko opens hare hand en trok haar tot zich
over den kring, dien Romo rondom de hut getrokken had. Sinto gilde uit al hare macht
en vroeg onststeld, wat dit te beduiden had. Dhosomoeko antwoordde haar, dat zij slechts

- 38 -
bedaard zoude zijn, dat hij haar bij het gevecht van haren man zoude brengen, om te zien
hoe het aldaar toeging, maar instede van dat, nam hij midderwijl zijne schrikverwekkende
reuzengedaante aan, en na haar op zijne hand geplaatst te hebben, voerde hij haar,
niettegenstaande haar kermen en geschreeuw, door de lucht naar zijn koninkrijk
Ngalengko.

Te Ngalengko aangekomen zijnde, plaatse hij haar onder een manggaboom in


zijnen hof, en gaf haar zeenige meningte reuzen tot bewakking. Dagelijks kwam hiji haar
bezoeken en kwellen om zijne vrouw te worden, maar wigerde zij zulks stand vastig en
drong hem, haar aan Romo terug te geven. Sinto had steeds een patrem (dolk voor
vrouwen) in de hand in wilde zich daarmede van kant maken, indien Dhosomoeko in
hare nabijheid wenschte te komen.

Romo en Laksmono, thuis komende op de plaats van hem verblijf, vonden Sinto
niet en werden zeer bedroefd. Romo ging nu met zijnen broeder Laksmono op reis, ten
einde Sinto op te sporen al ware het ook tot de uiterate grenzen der aarde en niet te reusten
voor hij haar gevonden en wraak aan haren schaker genomen had. Onderweg ontoemtte
hij Soegriwo, een aapen koning der apen en hield zijn hof in het grot Kiskendo. Deze
maakte toen Romo bekend, waarheen Sinto was ontvoerd. Verder verhaalde hij dat hij in
geschil met zijn ouderen broeder, de aap Soebali, koning van Rogastino, door dezen
geslagen en verdreven was, waarom hij de hulp van Romo inriep, met de voorwaarde
dart hij steeds zijn dienaar zoude worde.

Romo gevolgd door Laksmono en Soegriwo ging af op Rogastino. Soebali werd


door Romo met een pijl dooschoten. Soegriwo volgde nu op een het gebied der apen als
Koning te (hlm. 21) Rogastino, onder den naam van patih Soegriwo, als patih van Romo.

Een der voornaamste opperhoofden van deze apen was “Hanoman” een witte
aap en neef van Soegriwo. Hanoman was eigenlijk een zoon van Romo bij Sinto verwekt,
tijdens zij in apen waren veranderd.1)

- 39 -
Romo vergezeld van Laksmono, Soegriwo, Hanoman en een geheel heirleger
apen, zette voort zijn zwerftocht, in kwam in een bosch, welk hij ontgon en hierna het
koninkkrijk Ngajoedhio stichtte. De Kraton (hof) en alles wat daarbij behoorde, werden
in een oogwenk door Romo geschapen 2) en nam hij van nu af aan den naam van Koning
Romo.

Hiij zond Hanoman naar Ngalingko om Sinto apt e spoten, te trachten haar te
spreken en tijding van haar te brengen. Hij gaf hem zijnen ring mede, om daardoor de
echtheid zijner zending te kunnen bevrijzen. Hanoman vertrok, doch wist de weg naar
Ngalingko niet en doorzocht te vergeefs de vier hoeken der wereld.3) Hij starte uit
wanhoop zijne gebeden uit voor Mahadewa (godhead) om redding uit dezen nood en
verkreeg hij de gave van zich in de gedaante van elk verkiezelijk dier te kunnen
veranderen. Hij veranderde zich hierna in eenen avond en kwam, na eenig tweegevecht
met op de wacht staande reuzen eindelijk te Ngalingko. Daar hij ook onbekend was,
almaar Dhosomoeko, Sinto had afgeslaten, zag hij zich genoodzaakt, om in de gedaante
van eene kat, alle holen, gevangesissen, huizen en kamers van geheel Ngalingko te
doorsnuffelen. Eindelijk kwam hij ook aan (hlm. 22) de woning van Dhosomoeko. Op
eens sprong hij in den manggaboom, waaronder hij eene schoone vrouw, in treurig
gepeins verzorken, zag zitten. Daar hij eveneel niet stellig verzekerd van zijn of zij wel
Sinto was, omdat hij haar niet kende, bleef hij zich nog aanhoudend verscholen houden,
om af te wachten of er niets zoude voorvallen, hetgeen zijnen twijfel kon ophelderen.
Eindelijk tegen middernacht, zag hij Dhosomoeko naderen, kortelijk gelkeed. Hij horde
hoe hij haar smeekte, om zijne wenschen te verhooren en zijne gemalin te worden, hoe
hij haar de schoonmate aller vrouwen noemde en beloofde. Van haar heerscheresse over
zich zelven en alle zijne bezittingen te zullen maken. Maar Sinto alle deze redenen en
vleiende woorden niet achtende, beval hem te zwijgen en haar naar Romo terug te voeren
en zeide, dat zijn smeeken even vruchteloos was als zijn geweld. Dhosomoeko ziende,
dat hij niets konde verwerven, keerde eindelijk naar zijne woning terug en liet Sinto
alleen.

- 40 -
____________________________

1) De geschiedenis van Soebali, Soegriwo en Hanoman is op zich zelfs reeds een boekdeel in
daarom te lang, om die hier ook ap te nemen. De overlevering begon in den tijd van
Hardjoenowidjojo, vorst van Maospati, de eerste incarnatie van Whisnoe.

2) Het Javaansche word “Tjipto” beteekent : al wat hij zich voorstelde met de verbeelding schiep
en wenschte, dat ontstond of geschiede (zie de leer van de theosophie).

3) Deze reis van Hanoman maakt op zich zelf eene lange overlevering uit, welke door de
Javanen genoemd wordt, de geschiedenis van “ Hanoman dhoeto” betekent Hanoman als
bode.

Hanoman toen verzekerd zijnde, dat zij het was die hij zocht, liet dan ring dien
Romo hem medegegeven had, uit dan boom voor hare voeten vallen, Sinto denzelve
herkende, onstelde en ring aan te weenen.

Zonder twijfel, riep zij snikkende en jammerde uit : heeft de booze Dhosomoeko
of een zijner reuzen mijnen Romo op deze of geene wijze om het leven gebracht en werpt
mij nu tot bewijs zijnen ring toe.

Hanoman de klachten van Sinto hoorende, klom van den boom in na zijne ware
gedaante aangenomen te hebben, viel van voor hare voeten neder zeggende tot haar, dat
Romo niet aleen gezond en onbeschadigd, maar dat hij zelf door hem uitgezonden was,
om haar op te zoeken en tijding van haren beminden held te brengen, en zeide verder dat
Romo nu vorst wordt van Ngajodhio. Hij had veel moeite haar van de waarheid zijner
woorden te overtuigen, want zij konde niet gelooven dat Romo, zich van zoo een
vreemden vertrouweling zoude bediend hebben, en zag het veel meer voor eene list aan,
om haar goedschiks verder te doen voeren. Daar hij haar echter zeide, geenen last te
hebben, haar terug te brengen, maar slechts van haar verblijf nauwkeurig bericht te geven,
geloofde zij hem en beval hem toen zich terug te spoeden, dewijl zij reeds zes maanden
in deze gevangenis doorgebracht had en zeer verlangde uit dezelve ontlagen te zijn. (hlm.

- 41 -
23)

Reeds was Hanoman op dit bevel vertrokken, en had de terugreis aangenomen,


toen de gedachte in hem op rees, dat het met den naam van zijnen meester, even zoo min
als met zijnen eigenen roem overeenkomstig was, zijne zending als ter sluik te verrichten
in het land te verlaten hebben, zonder/zender eenig bewijs van zijne [onverminnelijke]
krachten in groote dapperheid na te laten. Hij keerde dan tot Sinto terug en verzocht haar
om vergunning, om van de hen omeingende manggaboom eeinge vruchten te mogen
nemen, Sinto zeide hem, dat hij zich met die , welke ter aarde lagen moest vergenoegen,
want dat het niet geoorloogd was dezelde te plukken. 1).

Hanoman dit bevel letterlijk gehoordzaamde, rukte den eenen boom na den
anderen met wortel en al uit den grond, zoodat weldra alle vruchten ter aarde lagen, en
de geheele hof naar eene wildernis geleek, maar de schaduw, rijke boom waaronder Sinto
gezeten was, onstzag hij en liet dien ongeschonden.

Toen zette hij zich met den rug tegen eenen grooten boom, dien hij mede nog
had laten staan, en wachtte gerust de gevolgen zijner daad af. De tuinlieden, die des
morgens deze verwoesting aanschouwden, stonden versteld en wisten niet waaraan
dezelve toe te schrijven; maar toen zij Hanoman ontwaarden en nu in hun beizijn den
boom waartegen hij zat, uit den grond scheurde, ijlden zij verschrikt naar Dhosomoeko
en verhaalden wat zij gezien hadden. Hij zond dadelijk eene bende van tien duizend
machtige reuzen met piken, sabels en andere wapens, om dien vreemden verwoenster
van zijn hof, zoo mogelijk levend te vangen en voor hem te brengen Hanoman nam, toen
hij hen zag naderen, een der grootste boomen op en verwachtte hen kloekmoedig. Zij
vielen als verwoed op hem aan, doch niette (hlm. 24) Gestaande hunne schieten als een
dichte regen op hem neder wilen, velde hij ze allen op eenige weinigen na, die de vlucht
aan en Dhosomoeko de tijding van hunne nederlaag brachten.

- 42 -
_____________________________

1) Volgens de Javaansche overlevering hette deze manga boom “Djenggis”. De vrucht had een
lengte van 0.50 m en een breedte van 0.30 m., terwijl de boomen, sierplanten waren van vorst
Dhosomoeko. Men vindt nu nog, doch zeer geldzam, bij zommige menschen als antiquiteit
en erfstuk de scheil van de Mangga Djenggis, welke gebezigd wordt voor siribak.

Dhosomoeko’s woede en droefheid kenden gene palen, op het meenemen van


deze treurige tijding. Hij liet door geheel Ngalengko de sterkste en machtigste zijner
onderdanen uitnodigen, en Hanoman te bestrijden. Er was geen machtiger dan Dradjit,
zijn oudsten zoon, die zich dan ook aanbod, op den aap te willen wreken.

Dradjit kreeg de voorwaarde van Dhosomoeko, dat hij later de benoeming zal
krijgen tot Toemenggoeng over het land Mitoekaang, indien hij Hanoman levend kon
vangen.

Dradjit had van Batoro Bromo eenige geheime woorden geleerd 1), die alle zijne
afgeschotene pijlen in zoo vele slangen deden veranderen, welke zich om het lichaam
zijner vijanden slingerden en hem in zijne macht leverden.

OP deze voorbeelden vertrouwde, trok Dradjit met een groot getal reuzen tegen
Hanoman op, doch deze werden, toen zij op hem aanvielen, met groote boomen door
hem verpletterd en op de vlucht geslagen.

Nu zond Dradjit, onder het uitspreken der geheime woorden, eenen peil op
Hanoman af, die zich als eenen slang om zijn lichaam wilde hinden maar die, hij, gelijk
een sprinneweb, versceurde, terwijl hij de stukken wijd en zijd van zich wierp. Hij liet
zich echter op verzoek van Bathoro Bromo door tweede slang, die Dradjit op hem afzond,
binden en scheen nu nochteloos.

- 43 -
De reuzen omringden hem toen jeugend en sleepten hem voor Dhosomoeko,
welke bevolen had, dat men hem in zijn bijzijn zoude dooden. De reuzen sloegen razend
met hunne zware knotsen op hem toe, doch hunne verwoede slagen vielen niet zwaarder
dan vederen op het lichaaam van Hanoman. Dhosomoeko ver (hlm. 25) toornd, beval
nog duizend andere reuzen op Hanoman toe te slaan, doch ziende, dat zulks met even
weinig vrucht geschiedde, zocht door wel middle men hem kan het leven kon berooven,
of welke zijne zwakte plaats had. Hanoman, zoodra hij dit bemerkt had, zeide, dat hij
alleen door vuur te verdelgen awas, wanneer zijn lichaam ingewikkeheld werd met
brandbare stiffen en van zijn start af begon te branden.

________________________________________

1) Deze geheime woorden of formulieren worden in het Javaansche en in de wajang termen


genoemd “Adjie”.
2) Dat is opdat Dradjit het Toemenggoengschap zal verkrijgen volgens de belofte van zijn vader
Dhosomoeko.

Dhosomoeko liet hem dadelijk met katoen in olie gedoopt omwinden en in


denbrand steken, doch dit was nauwelijks geschied, of Hanoman scheurde de slang, die
zich om hem gekronkeld had, als eene draad van zijne leden, en nadat hij al de aanwezige
reuzen vernield had, stak hij met zijnen brandenden start de beste huizen en paleizen in
den brand, zoodat het grootste gedeelte van Ngalingko verwoest werd.

Na deze verrichting en dappere daden keerde hij tot Sinto terug, en verzocht hare
laatste bevelen. Zij wierp hem een haren armringen toe, ten banijeze dat hij haar
gesproken had en gelastte hem nogmaals, bij de vertooning van dezen, aan Romo te
zeggen, dat zij met ongeduld hare verlossing tegemoet zag. Zij waarschuwde hem tevens
van niet om te zien, voordat hij aan den oever der vaste kust gekomen zoude zijn, maar
Hanoman het strand naderde om o ver te springen 1), gevoelde de hitte van den brand,

- 44 -
dien hij gesticht had, en zag om. Terstond begon zijn snuit te branden, dien hij echter in
de zee bluste, doch hij en zijne nakomelingen behielden daarvan in het vervolg eenen
zwarten snuit, welke tevoren bij hem en allen van zijn geslacht, evenals het geheele
lichaam uit was.

Hanoman verscheen voor Romo, die op hem wachtte, en [wien] hij van alles
verslag deed. Toen Romo tijding verstaan had, beval hij Patih Soegriwo en de andere
opperhoofden al hun volk gereed te maken, om met hem tegen den machtigen
Dhosomoeko ten strijd te trekken.

Nu trok Romo met dit machtig leger van apen en zijn broeder Laksmono naar
den oever der zee, tegenover (hlm. 26) Ngalingko. Romo bevel rotsen en groote [seenen]
van de naastgelegen bergen te gaan halen, hetgeen door de apen volbracht werd, en
wierpen zij ze in zee en maakten op die wijze eene brug of een dam, waardoor Ngalingko
onder water stond. Dhosomoeko na deze tijding ontvangen hebbende, zond zijn zuster
Sarpokonoko er heen, om dan dam door te breken, welks opdracht zij liet volvoeren door
haar dienaar den kreeft genaamd Toedjoeladjaran. De dam werdieder oogenlikdoor
Toedjoe-ladjaran doorgebroken, en weder herstel door de apen, tot dat eindelijk de dader
en Sarpokenoko door Hanoman werden ontdekt en ongebracht. 1)

______________________________

1) Hanoman kon springen evenals vliegen

Aan den oever van Ngalingko gekomen zijnde, liet Romo zijne benden op een
geschickte plaats legeren.

Dhosomoekoe had nauwelijks van de overkomst zijns bestrijders bericht


bekomen, of hij begaf zich door zijne vrouw Bandondhari vergezeld, op het dak van een
zijner nabijgelegene paleizen, hij achte zich hier ver genoeg verwijderd om door gene

- 45 -
vijandelijke schieten bereikt te kunnen worden en wilde het leger zijns vijands bespieders
en over desgezelfs macht verdeelen. Zoodra Romo hem op het dak gewaar werd, spande
hij zijnen boog. De pijl doorliep met eene ongeloovelijke kracht en snelheid den wijden
afstand en un hetzelde oogenblik de tien kroonen, waarmede de hoofden van
Dhosomoeko versierd waren, doorbarende, wierp hij die ter aarde, en voor eene poos
werd het trotsche hart van Dhosomoeko met schrik en verbaastheid bevangen.

Bibisono de broeder van Dhosomoeko poogde nog door aandrang van redenen,
zijn broeder over te halen. om Sinto terug te zenden, om den onvermijdelijken ondergang
van Ngalengko te voorkomen. Maar Dhosomoeko, instede van gehoor te geven aan deze
raadgevingen, werd zoo vermoed en joeg hem weg, hem bevelende tot Romo over te
gaan, Bibisono verliet Ngalengko en ging over tot Romo. (hlm. 27)

_________________________________

1) Het aanleggen van den dam en de overtocht van Romo maken opzich zelfs eene lange
geschiedenis uit.

Ook van de andere zijde naderden de benden van Dhosomoeko, en nu kwamen


de beide legers aaneen met schrikkerend geweld. De nacht scheidde de tristanden, den
[volgman] morgen begon het gevecht opnieuw, hetwelk warsheidene dagen duurde.

Het einde van het gevecht was de geheele vermietiging van het leger van
Dhosomoeko.

Toen stond vorst Dhosomoekoo alleen, al seen boomstam van alle taken en
bladeren beroofd. Hij liet nog het verschot van zijne benden bijeen verzamelen en voerde
het zelf aan. Gezeten op zijnen witten olifant.

- 46 -
Zodra de legers elkander genaderd waren, en Romo zijnen vyand op den hoogen
olifant gezeten, bemerte, nam zijn boog in de pijl vloog, doorbarende in snellen voort vijf
der hoofden van Dhosomoeko. Deze stertte als door den bliksem gettoffen van den
olifant, doch stand op gelijk de woedende tijger.

Eindelijk kwamen Romo en Dhosomoeko elkander tegemoet. “Durft gij u nu


eindelijk zelven te verdedigen, riep Romo hem toe”. Bij het aanhooren dezer woorden
ontvlamt de toorn van vorst Dhosomoeko in zonder Romo te antwoorden, viel hij op hem
aan. Romo doorboorde hem met de machtige kris, Dhosomoeko stierf. Hanoman vatte
het doode lichaam van Dhosomoeko op, slingerde het in zee en bedekte het met de berg
Siam, opdat hij niet weder lebend zoude worden.1)

Ngalengko werd nu ingenomen door Romo, en aan Wibisono overgegeven om


als vorst aldaar te regeeren.

Intuscchen was Sinto bevrijd. Romo met Sinto keerde naar Ngajoedhio terug en
leefde nog een langen tijd en regeerde gelukkig. Hij gaf later het bewind over aan zijnen
(hlm. 28) zoon Boethowo, terwijl hij met Sinto zich liet verbranden, ten einde naar den
hemel terug te keeren.

____________________________________

1) Volgens het geloof der Javanen wordt de dood van Koning Dhosomoeko als heilig gehouden.
Heel zelden of bijna nooit durft een Javaan dit drama te laten voorstellen tot aan den dood
van Dhosomoeko, zelfs niet tot aan den dood van Dradjit “de oudste zoon van Dhosomoeko”
eveneens van Moelontamoe”, Soemolawan en Moelontono de zwanger van Dhosomoeko,
dewijl het ongeluk aanbrengt. Indien iedere avond eene wajang voorstelling wordt gegeven
van de volledige geschiedenis van Romo en Dhosomoeko dan zal dit wel eens maand duren.

- 47 -
Voordat Romo den brandstapel beklom, vroeg deze aan Laksmono waarom hij
ongetrouwd bleef. Laksmono antwordde, dat hij nimmer zal huwen, indien hij geene
vrouw krijgt, die zoo schoon is als Sinto. Romo gaf toen zijne belofte om hem Sinto te
schenken in de volgende incarnatie. 1)

De derde incarnatie van Whisnoe, als Krisna, vorst van Dhorowati. Alviorens
over te gaan tot de geschiedenis van Bimo worden de afstammelingen van Romo en
Bathoro Bromo hieronder beschreven.

Baetlowo, zoon Romo en vorst van Ngajoedhio.

Koentobojo, zoon van Boetlowo en sctichter van Mandhoero (Madoera).

Basoekethie, zoon van den Koentobojo en vorst van Madhoero. Basoedhewa,


zoon van Basoekethie en vorst van Mandhoero. Basoedhewo had twee zonen en eene
dochter :

Kokrosono, die van eene blanke kleur was vorst van Mandhoero. Krisno, zwart
van huid en eene invleesching van Whisnoe. Later had hij zich meester gemaakt van her
rijk Dhorowati en regeerde aldaar als Koning van Dhorowati en de leider der Pondowos.

Dhewi Sambodro, eene incarnatie van Cri. Zij huwde, volgens de belofte van
Romo, met Hardjoeno, een der Pandowos en eene invleesching van Laksmono.

Bathoro Bromo als praboe set vorst van Giling Wesi Java. Zijne dochter
Bramaniwati huwde met Baswarat, zoon van Bathoro Basoeki. Van deze stamde af
Tritestho, in volgde Bathoro Bromo op als vorst van Giling Wesi. Tritestho, vorst van
Giling Wesi. Hij werd verslagen door een ander vorst genaamd Sellopronoto, die om
zijne hoovaardigheid door Whisnoe gedood werd.

Tritestho liet twee zonen na, geheeten Madhoemanoso en Madhoedhewo.


Madhoemanoso, zoon van Tritestho vorst van Wirotho. Deze had twee zonen, Soetopo

- 48 -
en Sakoetrem, wiens zoon Sakri heette. Sakri had een zoon, Poelosoro genaamd. (hlm.
29)

_______________________________

1) In de volgende incarnatie ging Romo over in Krisna vorst van Dhorowati, terwijl Sinto
zijne zuster werd, genaamd Sambodro en gehuwd met Hardjono, de incarnatie van
Laksmono, en een der Pandowo’s.

Poelosoro werd vorst van Ngastino. Hij was gehuwd met Dhewi Ngawis en
verwekte bij haar een zoon, die genaamd werd Habijoso. Habijoso volgde op als vorst
van Ngastino. Had drie zonen. De ouste Doestoroto was blind, de tweede Pandoe was
kreupel in had een scheef hoofd, en de derde Ario Romo-Wedhoro was lam. Pandoe als
de minst gebrekkige, werd voor opvolging van het rijk bestem. Habijoso gaf het over aan
Pandoe en werd Begawan (kluizemaar) gelijk weleer zijn nader Poelosoro.

Pandoe had vijf zonen, die “Pendowos”genoemd worden,1) de eerste Joedisthiro


ook genaamd Dhermowongso, Koentodewo, Dhermadji, Samadji, en Poentho-Dhewo.

De tweede, Werkoedoro, ook genaamd Walkoedhoro, Bima en Seno. De derde,


Hardjoeno, ook geheten Raden Ario Djanoko, Danangdjaja, MIntorogo en Pramadi (eene
incarnatie van Laksmono, dus van Bathoro Bazoeki). De vierde, Nakoelo en de vijde
Sadhewo.

Pandoe kwam te overlijden toen de Pondowos nog niet volwassen waren.

Dhoestoroto nam voor de jeugdige kinderen van Pandoe de voogdij op zich en


het regentschap des rijks. Om nu aan de heerschappij te blijven en die voor zijne kinderen
te behouden, zond hij de Pandowos weg elders diep in de bosschen, om een nieuwen
zetel te stichten, terwijl zijn oudsten zoon Soejoedhono hem opvolgde als vorst van
Ngastino.

- 49 -
Soejoedhono had nog 99 broeders, tezamen met hem 100 in getal, welke
genoemd worden “Koerowos”.

De kinderen van Pandoe bleven alzoo verstoken van hun wettig erfdeel. Later
hadden zij het rijk Ngamarto gesticht, waar Joedisthiro als vorst regeerde, terwijl Krisno
(vorst van Dhorowati en eene incarnatie van Whisnoe), als hun leider optreed.

De pendowos, meend hunne aanspraken op het rijk Ngastino te moeten doen


gelden en verzochten te dien einde Krisno, om in dezen te willen dienstbaar zijn als
onderhande (hlm. 30) laar bij Soejoedhono, wien men aanbood, de afstand der helft van
het gebied van Ngastino, dat hem den Pendowos, als vaderlijk erfgoed toekwam. Maar
Soedjodhono gaf ten antwoord, dat zonder de berslissing van het zwaard, hij nimmer tot
een dusdanigen afstand zoude besluiten.

_______________________________

1) In den tegenwoordigen tijd worden vijf zonen uit een vader en een moeder ook
“Pandowo”genoemd. Eveneens krissen met vijf bochten krijgen dezen naam “Pendowo”.

Hierna volgde den heiligen oorlog, genoemd de “Brontojoedho” (Mahabatara)


waarin alle Koerowos met hunne opperhoofden en vorst Soejoedhono, waren gesneuveld
en ook alle de zonen der Pandowos-broeders, zoodat er geen meer overig was, dan de
ongeborene kleinzoon van Hardjoeno.1)

Joedisthiro, weleer vorst van Ngamarto, aanvaardde nu de heerschappij over


Ngastino, hij hield die heerschappij twee Jaren lang. In dien tijd was Parikesit de zoon
van Habimanjoe en klein zoon van Hardjoeno geboren en onder de voogdy van Krisno
vorst van Dhorowati gesteld, waarop Joedhistiro het rijksbewind overgaf aan dezen
voogd, voor den onmondingen Parikesit.

- 50 -
Parikesit werd als vorst van Ngastino en later opgevolgd door zijn zoon
Hoedhojono (in het gebergte Penanggoengan in de afdeeling Modjokerto is een badplaats
met besreliefs, een jaartal 899 Caka, en eene inscriptie Udayana” (zie verbeek deel XIVI).
(hlm. 31)

_________________________

1) De Bronto-Joedho wordt door de Javanen als zeer heilig gehouden. Nooit is deze Bronto-
Joedho voorstelling vertoond, dewijl zij volgens bewering ongeluk aanbrengt. De
verscheidene geschiedenissen van Pendowos en Koerowos, die dikwijls bij de wajang-
voorstelling worden verhaald, zijn de overleveringen of afonturen van een der Pandowos
broeders of een der Koerowos broeders. Zelfs de zending van Krisno naar Ngastino als
onderhandelaar, dus het begin van de afdeeling Grisoe residentie Soerabaja in zekere dessas
aan de zeestranden, eens in het jaar komt deze Bronto-Koedhovoorstelling voor, tijdens een
dessafeest “Slametan of sedekah desa”. Zij wordt met veel eerbeed gehouden b.v. de
dalang(bespeler of leider van de wajangvertooningen is in het groot costuum gekleed en
versierd met bloemen, verscheidene gerechten zijn klaar gemaakt ter offer aan de heilige
geesten.

Met het einde van de regeering van Parikesit, eindigt de geschiedenis van de
Wajang Poerwo. (eene wajang-Poerwo voorstelling begint gewoonlijk om 8 uur ‘s
avonds en eindigt om 6 uur ‘s morgens, zonder oponthoud. Men mag ook vroeger
beginnen, doch moet eindigen tot zonsopgang dus 6 uur ‘smorgens. Voor dien tijd mogen
zelfs de wajangs in de kleeer niet weggehaald worden, aangezien het volgens [bewering]
ongeluk aanbrengt. De kleer is de standard met het daaraan gespannen doek, waarop de
wajangs vertoond worden. (hlm. 32)

_________________________________

- 51 -
Over de soorten van wajang

Er zijn drie soorten van wajangs. Ten eerste : de wajang-poerwo boven


beschreven. De poppen hiervoor zijn van leder en moet voor een gespannen doek of
scherm van wit linen vertoond en bespeeld worden der avonds met licht, dat is, omdat de
schaduiwen moeten beschouwd worden als de schimmen der voorouders der Hindoes.
Deze bewering wordt bevestigd naar aanleiding van oude geschhriften. Het kan woord
“Wajang” beteekent “Schaduw”.

In die bovenvermelde oude geschriften vindt men eene beschrijving van de


wajang-poerwo, hoofdzakelijk dat de toeschouwers achter en niet voor de de scherm
zaten, dat is, om allen de schaduwen te zien, en niet de wajang zelf. Zoals men kon
ontraren, zijn de wajang-poerwopoppen plat. Verscheidene menschen die nog ontretend
zijn, zeggen hoe het mogelijk is, dat afbeeldingen van menschen plat zijn en dus geene
poppen in de gedaante van een mensch. De uitlegging is deze. De platte vormen hebben
zekere beteekenissen, hetgeen nu zeer gemakkelijk te begrijpen en logisch is, indien men
met het bovenstaande in overeenstemming brengt n.m wajang, dus schaduw is plat en
kan niet anders wezen of voorgesteld worden. Om deze reden zeg ik dat de wajang
poerwo “een schim” niet na te bootsen is door welken vorm ook, zooals het blijks uit de
volgende gevallen.

In de tegenwoordigen tijd wordt de wajang poerwo ook weer gegeven door


wajang-orang. Deze nabootsing middels wajangvertooning door levende menschen is
natuurlijk slechts eene fantasie, die op niets is gemotiveerd.

Ten tweede : Na de wajang-poerwo volgt de wajang Gedok. De overlevering is


na het einde van de regeering van Parikesit dus na het einde van de wajang-poerwo
geschiedenis.

- 52 -
De wajang-gedok wordt vertoond door houten poppen in de vorm van een mensch of ook
wel door menschen met maskers.

Ten derde : hierna volgt de wajang-kroetjil. De geschiedenis hiervan is van


Modjopait en Mekka, derhalve de overgang van Hindoenisme of Boedhisme tot
Islamisme.

De wajang kroetjil is van hout in den platen vorm van de wajang poerwo.

De wajang-gedok en de wajang kroetjil worden niet be- (hlm. 33) speeld voor
een gespannen doek, doch op een standard en zichtbaar van buiten en van binnen d.w.z.
de toeschouwers kunnen men goed zien van buiten als van binnen, wat niet het geval is
bij de wajang poerwo.

De voorstelling dezer wajang gedok en kroetjil geschiedt zoowel des daags als
des avonds.

Deze twee soorten wajangs gedok en kroetjil zijn mijn inziens eigenlijk eene
nabootsing van de wajang poerwo, Aldus eene fantasie in den lateren tijd. De wajang
poerwo is inner gebasseerd op de schimmen (der voor ouders der Hindoes) en
hiervandaan den naam “ wajang” (Schimmen) terwijl men de wajang gedok en de wajang
kroetjil de poppen zelf ziet.

Het woord po-erwo, dat “het begin of het eerste” beteekent, was laterzeker
bijgevoegd, om allen een onderscheid te maken tusschen de tweede soort wajang gedok
en de derde soort wajang kroetjil.

Uit de bovenvermelde opheldering kan men zelf zich overtuigen, dat een wajang
“schim” is een wajang zonder meer en niet op een andere wijze, hoe dan ook zij na te
bootsen.

- 53 -
Trouwens tot duiver ik weet, in Oost- en midden Java kan men zeggen dat de
wajang-poerwo de geliefkoosde en het geloof daarvan in het hart en bloed der Javanen,
als het ware ingeworteld is, zelfs worden eenige overleveringen geheiligd. Daartentegen
de wajangs gedok en kroetjil zijn slechts voor gewone en ongeheiligde amusementen.

Iets over de Gamelan en Gamelan Melodieën

Alsmede de gamelan en gamelan melodieën staan in verband met de wajang


poerwo. Er zijn zooals bekend is twee soorten van gamelan, n.m. Selendro en Mataraman.
Volgens de overlevering heeft de godhead “Bathjoro-Endro” de eerste gamelan
uitgevonden en hier vandaan dan naam van de gamelan “Soe-endro”. De tweede sort
“mataraman” of pelok is van latere datum.

De Saelendro bestaat uit vijf toonen, terwijl de mataraman zeven waaronder een
de pelok wordt genoemd. Om deze reden heet de Mataraman ook “Pelok”. (hlm. 34)

Bij de Europeesche muziek zijn er als het ware twee soorten melodieën en fijne
b.v. opera stukken en dergelijken, en de grove melodieën, zooals marsch de danstukken
enz. Eveneens bestaan er bij de gamelan eine en grove melodieën en bovendien nog
verscheidene andere melodieën, die special dienende zijn voor het gevecht welke
gevechtsmelodieën worden geheeten.

Bij de wajang voorstelling worden slechts de fijne in tijdens het gevecht de


gevechtsmelodieën gebezigd.

De fijne noemst men “gendingan” de grove “Giroe” waaronder eene, die zelfs
Endro heet, waarschijnlijk naar de godheid Bathoro Endro, de uitvinder en voor het
gevecht “Ajak”.

- 54 -
Bij de wajang poerwovoorstelling althans in de residentie Soerabaja en special
in de afdeeling Modjokerto, indien de etiquette in acht wordt genomen, dan duurt de
voorstelling wel twee maal langer.1)

De etiquette zijn als volgt : voordat de voorstelling begint, moet op de gamelan


bespeeld worden de melodie genaamd “Babar Laijar”. Babar beteekent ontrollen.

Tijdens het eerste bedrijf behooren drie soorten melodieën bespeeld te worden.
De eerste heet Djeboek Aroem. Djeboek is een drooge pinangnoot, welke bijgevoegd
wordt als ingredient voor het siri eten. Aroem is geurig. Derhalve “geurige pinangnoot”.
Niet waarschijnlijk werd hiermede oudscher bedoeld : Eene geurige pinangnoot special
voor den koning, aangezien deze melodie alleen bespeeld wordt wanneer de vorst te
voorscijn komt.

In deze eerste melodie spreekt de vorst tegen den patih en zoodra het gesprek is
afgeloopen dan moet het stuk dezer melodie ook uit zijn. Indien de patih het antwoord
geeft, dan moet de tweede melodie bespeeld worden en deze heet “Pindoo gawee”.
Pindoo beteekent twee keeren en gawe “werk” dus samen “twee keeren werk” of twee
keeren herhalen. Men wilde hiermee be (hlm. 35) deelen, dat het onderwerp twee keeren
wordt herhaald, derwijl de patih eerst herhaald wat de vorst hem zegt en daarna het
antwoord geeft.

________________________________

1) Bij de voorstelling van de wajang gedok en kroetjil is deze etiquette niet gebruikelijk.

Dit oude creterium van herhaling vind ik zeer praktisch. De bedoeling was of de
patih duidelijk heeft begrepen, zoo niet dan zal zijne herhaling ook fautief wezen. Deze
gewoonte van herhaling bezig ik altijd, indien ik met mijne onderschickte ambtenaren

- 55 -
telefoneer, vooral in gewichtige zaken n.m. ik laat mijn gesprek herhalen en het it toch
vaak gebeurd dat men verkeerd verstond door op te maken uit de fountiene herhaling.

De derde melodie wordt geslagen manner de vorst zijn troon en de patih enz. De
vergaderzaal verlaten. Deze derde melodie is genoemd “Boebar beteekent” verlaten,
verdwijnen, weggaan.

Hieronder haal ik nog aan eenige voorbeelden van gamelan melodieën.

Na de bovenvermelde drie melodieën als etiquette, volgen de andere melodieën


tijdens de daarop volgende bedrijven natuurlijk ten opzichte der vertooning van welke
wajang zooals :

Melodie “Goentoer”. Goentoer beteekent donderend geluid b.v. bij de uitbarsting van
een vuurspurenden berg. Eene melodie voor de verschijnning van de wajang “Bathoro
Goeroe”de vorst der goden, en ook voor andere goden o.a. Whisnoe.

Melodie ‘Smeroe”. Smeroe is de berg Smeroe in Oost-Java, in de mijthologi de zetel


van Bathoro Goeroe. Eene melodie voor de vertooning van Pandito (heremiet).

Melodie “Piti-pati”. Piti beteekent nauwkeurig oplettend, pati “vorst, aldus een vorst die
nauwkeurig oplettend is. Eene melodie voor de verschijning van Hardjoeno Widjojo,
vorst van Maospati en de erste incarnatie van Whisnoe.

Melodie “Soembrang”. Soembrang beteekent uitdagen. Eene melodie van Romo vorst
van Ngajoedhio en de tweede incarnatie van Whisnoe. Romo kon ten slotte zijne woede
niet meer inhouden, hiervandaan de melodie Soembrang.

Melodie “Ladrang”. Ladrang is de naam van den vorm (hlm. 36) van den kop van kris
scheeden. In vergelijking met andere kris scheeden heeft de Ladrang een trotschen en
fieren vorm end dit komt overewen met den vorm van Krisna. Waarschijnlijk werd
oudscher hiermede in verbvand gebracht. Eene melodie voor Krisno vorst van Dhorowati

- 56 -
en de derde incarnatie van Whisnoe.

Melodie “Baujak hanggrem”. Baujak beteekent gans, hanggrem “Liggen broeien”. Het
wil zeggen : wanneer ganzen liggen te broeien, dan zijn ze in boozen toestand. Eene
melodie voor Dhosomoeko, die altijd in boozen teostand was.

Melodie “Sapoe Djagat”, Sapoe beteekent bezem en Djagat “Wereld”. Het wil
beteekenen “De wereld schoonwegen”. Ook eene melodie voor Dhosomoeko.
Dhosomoeko was oorlogzuchtig en door zijne bovennatuurlijke kracht verover aar der
wereld en in verband hiermede is de bedoeling der melodie “Sapoe Djagat”.

Melodie “Brodjometo. Brodjo is wapen, meto is ‘woenden”. De geheele betekenis is


“steeds gewapend en woedend” of oorlogzuchtig. Eveneens eene melodie voor
Dhosomoeko.

Melodie “Rambangwetan”. Rambang beteekent “zonsopgang”. Het wil bedoelen


ópgeweks, vroolijk”. Eene melodie ook voor Dhosomoeko, die steeds opgewekt was.

Melodie “Ngrangsang”. Ngrangsang beteekent “Reiken”. In de wajangvoorstelling zegt


men “De zon reikt den Berg”, beteekent evenals Rambangwetan “zonsopgang”. Alsmede
eene melodie voor Dhosomoeko.

Melodie “Gramang”. Gramang is eene roode mier die jeukend kan bijten. Eene melodie
voor Soeijodhono, die vergeleken wordt met deze mier, derwijl hij in zijn optreden het
hart der menschen jeukend maakte.

Melodie “moentjar”. Moentjar is “schitterend”of “Glanzend”. Eene melodie voor


Joedisthiro vorst van Ngamarto, die zeer geduldig, langmoedig en verdraagzaam was, en
in dit opzicht alle menschen met glans overwon.

Melodie “Barongan Sepak”. Barongan is “Bamboe bosch” sepak “schoppen met den
voet”. Eene melodie voor Werkoedhoro een der Pendowobroeders. In de voorstelling

- 57 -
wordt gezegd “indien Werkoedhoro eene reis maakte, dan ging hij niet lang een weg,
doch langs bosschen en alzoo, boomen en bamboo boesschen om verschopte en rapte”.
Hiermede wordt de melodie (hlm. 37) bedoeld.

Melodie “Bekoetoet manggoeng”. Bekoetoet is een sort duif welke door de Javanen zeer
op prijs wordt gesteld. Vooral wanneer het geluid groot is, dan wordt er veel geld
daarvoor betaald. Manggoeng is aanhoudend door koeren. Eene vogel koert in eene
eenzaamheid b.v. midden in het bosch. Deze melodie is voor Hardjooeno een der
Pendowobroeders, indien hij in het bosch was.

Melodie “Bojong”. Bojong beteekent “Verhuizen”, doch in deze bedoeling meer naar
een andere plaats overbrengen of meenemen of vervoeren, vooral ten opzichte van eene
vrouw, welke in verband gebracht wordt met deze melodie. Eene melodie voor de
vrouwelijke wajangs. Bij eene huwelijksfeest indien de bruidgom het eerst begint te
taudaken (dansen) dan wordt volgens de etiquette deze melodie, “Bojong” op de gamelan
geslagen. En wild us zeggen, de vrouw wordt overgebracht of vervoerd.

Melodie “Semekar” beteekent opengaan van bloemknoppen”. Het wil beteekenen “liefde
rijk”. Eene melodie eveneens voor de vrouwelijke wajangs.

Deze bovenstaande melodieën welke er nog vele andere zijn, behooren tot de
oude melodieën. De bovengenoemde etiquette voor de wajang-poerwovoostelling en de
oude melodieën bestaan tegenwoordig bijna niet meer. Het is waarschijnlijk
hoofdzakelijk toe te schrijven aan den modernen tijd. De toeschouwers vinden
tegenwoordig dat het te lang duurt om spoedig te kunnen aanschouwen de voorgestelde
wajang en spoedig te hooren naar den uitslag der geschiedenis. Bovendien kennen de
tegenwoordige gamelanslagers de oude melodien niet. Het is jammer, want zoo verdwijnt
langzamerhand ook de oude gamelanmelodieën, die geschiedkundig zeer interesant zijn,
dewijl zij in verband staan met de wajang poerwo geshiedenis of de mythologie. (hlm.
38)

- 58 -
_______________________________

1) Bij het oude corps gamelanslagers van wijlen mijn vaders dan regent van Modjokerto zijn
er nog een paar overgebleven, die ik nu onderwijs laat geven aan het jonge zorps van den
tegenwoordigentijd, om zoodoende de oude melodieën weer in het leven te reopen.

Of ik ten dezen aanzien misschien nog onbekend ben, laat ik daar, doch ben ik
op het volgende gebaseerd.

Het laatste Hindoerijk Modjopait ligt in de afdeeling Modjokerto residentie


Soerabaja. De gamelan behoorde tot de staatsie en de wajangpoerwo tot het amusement
van den vorst van Modjopait. Het zal derhalve niet onwaarschijnlijk wezen, dat er in
Modjokerto nu nog overblijfselen zijn van de verschillende usances etc, ten opzichte van
de wajang poerwo, gamelan, gamelan-melodieën en de daarbij behoorende etiquette al
is het slechts een schijntje daarvan. Met het oog hierop kan ik zeggen, dat de bron van
afkomst van de wajang poerwo, gamelan, gamelan-melodieën en de daarbij behoorende
etiquette te vinden is in Oost-Java en special in de afdeeling Modjokerto.

De Javaansche taal bestaat zoals men ontwaart uit drie verschillende soorten :
“Kromo, Madio en Ngookoo”. Alsmede op deze zelfde wijze bestaat de oude
gamelanmelodie uit twee à drie soorten of overgangen of melodieën, na de eerste volgt
de tweede en hierna de derde, die alle van elkander verschillen, althans in de residentie
Soerabaja en special in de afdeeling Modjokerto en de aangrenzende afdeeling
Sidhoardjo en Soerabaja. Het is merkwaardig dat er zelfs in de vorstenlanden deze drie
soorten of overgangen niet bestaan. Het is toe te schrijven waarschijnlijk, dewijl de bron
van afkomst van de wajangpoerwo en gamelan is te vinden in Modjopait afdeeling
Modjokerto en men in West en Midden Java onbekend was met de bovenvermelde
finesses, zelfs in Oost-Java, met uitzondering van de residentie Soerabaja.

- 59 -
De gamelanslagers van den tegenwoordigen tijd kennen vele melodieën van de
vorstenlanden, doch de menschen die verstand hebben van gamelan althans in de
residentie Soerabaja, vinden ze niet mooi, en ten slotte vervelend om aan te hooren 1).

Het volgende verhaal wijst ook aan, dat er te dezen aanzien, werkelijk in
Modjopait in Modjokerto een schijntje van overblijfsel is.(hlm. 39)

_______________________________

1) Ik liet ook mijne gamelanslagers deze melodieën geheel afschaffen.

Dit overblifsel is geschiedkundig van waarde.

In de desa Rongkang van de afdeeling Modjokerto, niet ver van Modjopait, ja


zelfs moest deze dessa gelegen hebben in hoofdstad Modjopait, is er een bergraafplaats.
Volgens bewering der oude menschen werd daar begraven een Dalang (leider of bespeler
van de wajang) van den vorst van Modjopait. Dertig Jaren geleden kwamen aldaar nog
verscheidene menschen mannen en vrouwen van verscheidene en verre afdeelingen, om
zegen te verkrijgen van den overledene, ten einde te kunnen worden “bekwame Dalangs
of bekwame gamelanslegers, of bekwame dansmeiden”. Deze menschen bleven eenige
dagen en nachten als beoetelingen op die begraafplaats. Doch door verbod van de politie
vindt men ze tegenwoordig niet meer.

Het wordt nu nog steeds door de Javanen dezen roem in herinnering gebracht.
Indien een Dalang, of een gamelansleger of een dansmeid zeer bekwaam is, dan wordt
er gezegd : dat hij of zij zeker naar Bongkong is geweest.

__________________________________

- 60 -
Het een en ander over krissen en andere wapens

Niet alleen wat betreft de bron van afkomst van de wajangpoerwo, gamelan,
gamelanmelodieën en de daarbij behoorende etiquetten, doch ook krissen en andere
wapens, die daarmede in verband staan, moet men zoeken in het laatste Hindoerijk
Modjopait in de afdeeling Modjokerto.

Ten aanzien van dit onderwerp is de volgende overlevering alsmede eene


bijdrage tot aanwijzing.

In het midden van een sawah van de desa Wateroempak in de afdeeling


Modjokerto, niet ver gelegen van Modjopait, is er een heuveltje dat naar bewering de
plek is geweest van de smederij van den bekenden en beroemden smid “Soepa”, de smid
in krissen en andere wapens van vorst Browidjojo van het laatste Hindoerijk Modjopait.
De zoon van Soepo heette Soero. Dit heuveltje moest ook gelegen hebben in de
hoofdplaats Modjopait, evenals (hlm. 40) de bovengenoemde desa Bongkong.

In de kota Modjokerto woont nu nog een smid in krissen en andere wapens


genaamd ‘Soerokerto”die volgens bewering een eafstammeling van de 13e generatie van
bovenvermelden Soepo en als zoodanig door andere menschen in den omtrek van
Modjopait erkend is.

Hij is zeer bekend in alle mogelijke soorten van krissen en andere wapens,
hetgeen niet het eval is met andere smeden in het hetzelfde vak.

Zijne voor ouders, die allen ook den [beginnaam] “Soera”droegen, waren
eensgelijks van beroep smeden in de zelfde wapens en woonden toen in het gebied van
Modjopait (niet ver van Modjopait) en door de oude bewoners van Modjopait-
Modjokerto ook erkend warden als te zijn afstammelingen van meer vermeld ‘Soepo”.
De groot vader van dezen smid Soerokerto heb ik dertig Jaren geleden nog gekend, doch
was reeds zeer oud.

- 61 -
Tot de huidigen dag zoekt men naar antiquiteiten afkomstig van Modjopait,
vooral krissen ‘de bekende krissen van Modjopait”.

Er warden ook soms krissen en pieken of andere wapens gevonden bij


opgravingen b.v. met bewerking van rietluinen, doch het waren waarschijnlijk niet die,
welke door den beroemden Soepo waren vervaardigd. Volgens de overlevering maakte
hij slechts een paar krissen voor den vorst van Modjopait o.a. de bekende “Djongbiroe,
Sengkelat en Saboek-Inten”. Deze namen zijn in verband met de vormen n.m. de
motieven heeten Djongbiroe, Sengkeat en Saboek-Inten, waarvan het eerste tot den
hjuidigen dag door de javanen wordt geheiligd. Bij proferentie durven zij dit motief niet
te laten namaken, of een kris met dat motief te dragen.

Bovenvermelde smid Soerokerto heeft van zijne voorouders geerfd het boek,
waarin beschreven werden de wapensoorten beginnende met de wapens tijdens het
tijsperk der Bathoros (Godheden) dus der wajang poerwo geschiedenis.

Op mijn vraag gaf hij mij op de beschrijving (hlm. 41) van eenige dier wapens
als volgt :

Wapens vervaardigd en gedragen door de godheid Bathoro Whisnoe, Tjokro een


radpijl.

Pasopati een kris, heeft een rechten en platten vorm, volgens de voorschrifften.

Koentobasworo een pijl.

Tenggolo eene verpspiek met een uiteinde in den vorm van eenen haak
vervaardigd en gedragen door godhead Bathoro Sekadie :

Sepoekal Pilam-Oepik : een kris, heeft een rechten en platen vorm volgens de
voorschriften.

- 62 -
Limpoeng : een korte degen en scherp aan de twee kanten.

Godhobindie : eene strijdknots.

Bandem : een bolvormig stuk ijzer met een handvatsel.

Vervaardigd en gedragen door de godhead Bathoro-Romo-adi : Bondo : heeft


den vorm van een boorijzer.

Boesoer : eene piek, heeft een rechten en bovendien vierkantigen vorm, instede van plat.
Het onderste gedeelte is omringd door 8 kleinere pieken, eensgelijks van dienzelfden
vorm, dus samen 9 pieken.

Gerbong : een sort van wagen met wapens.

Vervaardigd en gedragen door de godhead Bathoro Bromo Kendali :

Trie Soelo : speer met drie spitse punten.

Aloe-aloe : aloe is een rijststamper, een cylindervorming hout ter lengte van een meter ,
dat men in het midden vasthoudt, en daarmede de rijststampt. Op deze wijze ziet het
wapen Aloe-aloe uit, en van ijzer, doch alleen kantig instead van cylindervorming b.v.
vijf of zeskantig of meer. De bovengenoemde smid Soerokerto zegt het word “kantig”
in dit geval “blimbingan” beteekent kantig evenals de vorm van de vrucht blimbing.

Bethok : een kris met een rechten en platten vorm volgens model,

Lembing : heeft den norm van eene spade,

Aloe-goro : eene piek, vierkantig, puntig en scherp aan de vier kanten, heeft der scherpen
vorm van de vrucht blimbing,

- 63 -
Vervaardig en gedragen door de godhead Bathoro Poerbogenie : (hlm. 42)

Dhoedhoek : eene piek met een rechten en platten vorm volgens model,

Totok : eene piek in den vorm van eenen beitel,

Koesnowarek : eene piek breed in het midden,

Soeropatejo : een pijl.

Vervaardigd en gedragen door de godhead Bathoro Honggodjali :

Lenggoro : een lris recht en vierkantig instead van plat,

Bedomo : eene korte sable doch breeder,

Soedji-kentjeng : eene rechte piek en vierkantig intede van plat,

Soedji-look : genaamd Oeloe Ngelangi, eene piek met bochten,

Hetzij 3 à 5 à 7 of meer, ook vierkantig mistede van plat. Zij draagt den naam van Olea
Ngelangi, dewijl zij naar eene slang gelijkt door den vierkantigen vorm. Oela is een slang
en ngelangi zwemmen, Aldus “zwemmende slang”.

Tjis Soetji : evenals Tri Soelo, doch vierkantig inplaats van plat.

De Djongbiroe, Sengkelat en Saboekinten bovengenoemd, behooren niet tot de


wapens die door de godheden waren vervaardigd en gedragen, doch ze warden op last en
naar het model van den vorst van Modjopait gemaakt en door dezen gedragen.

Behalve de bovenvermelden zijn er nog vele andere soorten van krissen en


andere wapens. (hlm. 43)

- 64 -
Gambaran singkat mengenai

Wayang purwo

Dan menurut hal ini, satu dan lain hal

Mengenai wayang gedok, wayang krucil, gamelan, melodi gamelan, keris dan

Senjata lain

Tidak diperjual belikan (hlm. 1)

KATA PENGANTAR

Betapapun singkatnya saya menggambarkan sejarah, beberapa kejadian tidak dapat


diabaikan, sementara hal tersebut menggambarkan rangkaian tradisi.

Menurut adat lama orang Jawa (Hindu), tanggal pendirian, peristiwa, deskripsi, dll.
diindikasikan dengan “tahun tjondro songkolo” yaitu angka dalam kata-kata, yang
bersama-sama membentuk kalimat dengan arti tertentu. Secara logis tujuannya adalah
dengan melalui makna kalimat tersebut, akan selalu diingat tahun fakta, menurut
kronogram.

Susunan bilangan Tjondro Sengkolo, atau sebenarnya kata-kata, adalah kebalikan dari
bilangan biasa, atau dalam kasus tahun misalnya Tahun Tjondro Sengkolo 9091 berarti
tahun 1909.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya telah menyatakan bahwa tahun 1909, dimana
gambaran ini saya buat sendiri, adalah pada tahun Tjondro Sengkolo.

- 65 -
Secara kebetulan, tahun 1909 adalah tahun yang sangat penting; tahun di mana putri kami
Juliana lahir. Dengan peristiwa penting ini, saya memperoleh tahun Tjondro Sengkolo
berikutnya.

Poeloenge Ngamboso Mentjosonge Sang Ratoe


9 0 9 1

Interpretasinya adalah sebagai berikut:

Poelonge artinya: “Cahaya yang turun dari surga ke atas seseorang, yang menentukan
tujuannya di dunia ini” menunjukkan angka 9.

Ngamboso artinya: “Mengambang di udara atau berkeliling ke tempat lain”,


menunjukkan angka O.

Mentjoronge berarti "Kilau" yang menunjukkan angka 9.

Sang Ratoe berarti "pangeran kami, ratu kami, maka sekarang Putri kami" menunjukan
angka 1.

Gabungan kata-kata ini menunjukkan :

Sinar mengapung gemerlapnya putri kami.


10 0 9 1

Sinar dipahami sebagai “Dia Zb. Mb. Wilhelmina selalu menunggu sesuatu yang
membahagiakan, karena kilaunya masih melayang terbang”.

De Poeloong (bersinar) dianggap oleh orang Jawa sebagai kilau agung, dan bukan kilau
manusia biasa. (hlm. 2)

- 66 -
Kecemerlangan Putri kita, dengan kata lain, kabar gembira telah tiba, untuk saat
ini hanya mungkin untuk berbicara tentang kecemerlangan Putri kita.

Contoh Puisi:

9 Kecerahan surga akan turun.


0 Mendesing di ruang cahaya, mengikuti takdirnya
9 Kilauannya seperti sinar matahari yang bersinar
1 Puteri kami Juliana membuat kami semua bahagia

Contoh puisi ini memang menyimpang dari kebiasaan penggunaan tahun


Tjondrosongkolo, tetapi makna subjek setiap kalimat tetap sama.

Maka kronogram buku ini adalah. Modjokerto 19 Oktober tahun Tjondro


Sengkolo, “Poelonge Ngamboro, Metjoronge sang Ratoe”.

Kepada mereka yang membaca buku ini, saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya atas berbagai kesalahan yang muncul di dalamnya, karena saya sama sekali
bukanlah seorang penulis atau penyair.

_____________________

Gambaran singkat wayang purwo.

Sejarah wayang purwo terutama merupakan gambaran petualangan dewa


Whisnu dan permaisurinya dewi Cri, didahului oleh asal usul para dewa.

Sebelum melanjutkan tentang tradisi wayang purwo ini, disampaikan bagaimana


munculnya dewa-dewa ini dan diperjelas dengan silsilah keluarga, dimulai dengan Adam
dan Hawa.

- 67 -
A. Asal usul Dewa-dewa

Purwaning - djan, Adam, bapak dunia

Dhewi Hawa, Hawa, Ibu Hebat

Habil (Abel)

Kabil (Leth)

Hessis (Kain) putra Adam

Noertjojo, putra Hessis

Di sinilah sejarah wayang dimulai, namun tokoh wayang Noertjojo tidak ada
representasinya, karena menurut tradisi dia mungkin tidak terlihat, setidaknya dalam
wujud manusia. (hlm. 3)

Kecemerlangan Allam terurai. Untuk alasan ini dia dipanggil “Noertjoio”.


Noertjoio terdiri dari dua kata. Noer dan Tjoio", yang memiliki arti yang sama, yaitu
kegemilangan, kecemerlangan, atau kecemerlangan bercahaya.

Noer roso, anak dari Noer tjoio.

Gambar wayang Nur roso ini juga tidak ada karakternya. mungkin karena namanya sudah
menunjukkan “gaib. Noer, seperti diatas, berarti “kilap. Roso "perasaan, rasa". Jadi
kedua kata itu adalah nama dari sesuatu yang tidak terlihat.

- 68 -
B. Dewa Tertinggi.

Sang-Inang Wenning, putra Noer Roso.


Dengan ini dan ini memulai gambar wayang.
Sang-Inang Tunggal, putra Sang-Inang Wenning.
Sang-Inang Goeroe, putra Sang Inang Tunggal.

Sang-Inang Tunggal Memberikan kepada Sang Inang Goeroe alam yang


dimilikinya sendiri dan dengan kekuasaan dunia, juga malam untuk melahirkan segala
sesuatu. Dia akan disebut Sang inang Goeroe (guru yang sangat sakti).

Bathoro Goeroe (guru yang dijadikan manusia), Sang Moorbang Pastihi


(pengemis nasib). Sang-inang Girinoto (dewa gunung yang diagungkan), Sang Hinenang
(yang memahami semua kekuatan), Djagadnoto (Penguasa Dunia).

Kursinya berada di Gunung Smroe di Jawa Timur (Olimpiade Javanan), dan


dengan demikian menjadi pangeran tertinggi dari para dewa. Tempat duduk ini disebut
“suroloio” (surga).

Atas kehendak Sang Inang Goeroe, Ketuhanan Sang-Inang Tunggal


menciptakan sembilan putra dan empat putri. Kepada kesembilan putra ini Goeroe
masing-masing memberikan sebagian dari wilayahnya, dalam persendian berikut (x)

(hlm. 4)

_________________________

(x) Dalam gambar wayang Sang Inang Goeroe direpresentasikan sebagaiwayang berlengan
empat, berdiri di atas banteng suci, bertumpu pada pelangi, sedangkan keseluruhannya
dikelilingi awan, dan sangat disucikan oleh orang Jawa. Seorang pembuat wayang, jika dia
belum mencapai usia mis. 50 tahun, kemudian dia tidak meminta untuk membuat wayang ini,

- 69 -
Sang-Inang Goeroe. Sebelum ia membuat wayang ini, ia harus terlebih dahulu mengadakan
slametan, yang terdiri dari makanan, dll, dan membuat persembahan kepada para dewa dan
makhluk halus.

C. Dewa-dewa Bawahan/Sub Dewa

1. Bathoro Bromo, putra Sang inang Goeroe, penguasa bumi bagian timur, sebagai
Praboe pangeran Jawa. Lihat Pararaton Dr. J.Brandes. Kitab Ratu Modjopait”. Di
sini dapat dibaca bahwa Bathoro Bromo ini adalah nenek moyang dari Mojopait
terkemuka, yang terakhir bernama Browidjodjo V adalah nenek moyang dari hampir
semua bupati di Jawa.
2. Bathoro Sambu. Putra Sang-Inang Goeroe, penguasa bumi bagian selatan.
3. Bathoro Koemodjojo. Putra Sang-Inang Goeroe, penguasa bumi bagian barat.
4. Whisnoe Bathoro. Putra Sang-Inang Goeroe, Penguasa bumi bagian utara, dan
sebagai pangeran Mendang-kamulan.
5. Bathoro Bayoe, putra Sang-Inang Goeroe, Penguasa bumi bagian utara.
6. Bathoro Prit-Handjolo, putra sang Inang Goeroe, Penguasa bumi bagian Timur
Laut.
7. Bathoro Kunderoe. Putra Sang Inang Goroe, Penguasa Tiram bagian selatan bumi.
8. Bathoro Moho-Yektie. Putra Sang-Inang Goeroe, penguasa bumi bagian barat daya.
9. Bathoro Siwa, putra Sang Inang Goeroe, penguasa bumi bagian barat laut.

Sementara Sang-Inang Goeroe mengatur sedemikian rupa, bumi (Jawa) masih


bergerak, mengapa ia menebal tujuh kali lipat, dengan kekuatan manusianya. Masing-
masing wilayah terestrial ini ditempatkan di bawah perwalian ketuhanan, yaitu : Bumi
Pertama, di bawah istri yang suci Hiboe Pratiwi. Bumi kedua, di bawah Bathoro Koesiko.
Bumi ketiga, di bawah Bathoro Ganggang. Bumi keempat, di bawah bathoro Siendolo.
Bumi kelima, di bawah Bathoro Darampallam. Bumi keenam, di bawah Bathoro
Mbanikhoso, dan bumi ketujuh, di bawah Bathoro Hontoboogo (ular). Dia adalah ular

- 70 -
besar yang menarik bola dunia ke punggungnya. Ketika dia bergerak, terjadilah gempa
bumi, karena dia mencakup seluruh dunia (bola dunia).

Selain subdewa ini, ada banyak subdewa dan dewi lainnya. Di antara dewa-dewa
bawahan, ucapan “Bathoro Narodho” pantas ketika dia menjadi utusan sang-Inang
Goeroe (hlm. 5) penemu gamelan.

Suatu ketika para dewa berkumpul di tempat tinggal Sang Inang Goeroe (surga)
hanya peminum saja, untuk meminum air kehidupan Kamandaloe, dengan kekuatan
penuh, minum dari bejana Gino secara tergesa-gesa. Gelas-gelas yang penuh
dikosongkan sambal mereka bersorak sorai dengan suara yang keras.

Pada kesempatan ini ada seorang raksasa bernama Rembutjoeloeng, yang


terkejut karena para dewa meminum air kehidupan, turun dengan tergesa-gesa dari surga,
menghampiri bejana, dengan kurang ajar meletakkannya di depan mulutnya. Para dewa
terdiam, takut raksasa ini akan marah dan kecewa karenanya, kemudian bangkit untuk
mencegahnya, dan Bathoro Whisnoe menembaknya dengan panah Tjokro, yang
mengenai leher raksasa itu, memisahkan kepala dari badan(2).

Air kehidupan, bagaimanapun, telah membasahi mulut raksasa itu. Karena itu,
kepalanya terangkat ke atas, diumpamakan seperti monster Karawu, yang mencoba
menelan matahari dan bulan (3).

Sampai saat ini, Sang-Inang Goeroe tidak memiliki setengah bagian bawah.
Tetapi dengan kekuatan suaminya, dari ranting pohon Kastoebo muncul seorang wanita
yang lebih cantik. Dia memanggilnya: Bathari Hoemo. Dari persatuan mereka muncul
monster Romo-Salah dan Mohopralojo. Sang-Inang Goeroe, yang melihat perilaku
istrinya, marah padanya, kemudian menangkapnya, dan memegang kakinya dengan
kepala menunduk.

Kemudian muncul dari dia [agung] seorang raksasa "Kali-doergo" atas kehendak Sang-

- 71 -
Inang Tunggal. Dia kemudian diberikan kepada Komo-Salah sebagai istri. Kejadian ini
merupakan asal usul (hlm. 6) raksasa generasi kedua,

______________________________________

1) Berkaitan dengan nama dewa-dewa tersebut, orang Jawa menentukan (menebak) watak,
kualitas, watak, dsb.
2) Awal dari eksploitasi Whisnoe.
3) Dalam kepercayaan orang Jawa, ketika sekarang matahari atau warnanya menjadi gelap,
monster Karawu berniat untuk menelan matahari. Laki-laki pada waktu itu menyerang blok di
bagian kosong lainnya, hanya untuk menakut-nakuti penebang dan menutup bisnisnya. Inilah
penyebab dari Grah-honos (gerhana).

Sang-inang Goeroe kembali ke Bathari Hoemo dengan putranya Kromo-Salah


dan Moho-pralojo tinggal di pulau Moesso-Tombini. Di sana Kromo-salah menjadi
penguasa pulau dengan gelar Sang-Inang Kala, dan ibunya akan disebut Jamadipati (Putri
Neraka). 1)

Bathoro Narodho duduk di tepi bersama para dewa. Kemudian Sang-Inang


Goeroe memperhatikan bahwa dia terus menutup tangannya, sehingga pangeran para
dewa bertanya mengapa demikian. Bathoro Narodho menjawab bahwa di tangannya ia
memegang batu permata Retno-Dhumilah yang memiliki kekuatan gaib. Sang Inang
Goeroe [ingin] melihat permata itu, tetapi Narodho mengakui bahwa kondisinya rentan
terhadap serangan. Namun demikian, dia ingin menyerahkan batu itu kepada Sang Inang
Goeroe, tetapi dia gagal, dan [sekali lagi], karena dewa-dewa lain juga berusaha
merebutnya, dia tidak berhenti karena kegagalannya, tetapi justru menembus tujuh
wilayah bumi, dan menyelipkan tangan semua dewa yang menjaga daerah itu. Akhirnya
batu itu jatuh ke [mulut] Bethoro Honto-brogo yang terbuka lebar, ular yang menjaga

- 72 -
bumi ketujuh, dilemparkan ke dalam bola dunia.

Honto-brogo menyembunyikan batu itu di dalam wadah tertutup yang disebut


"Tjoepu Manik Hastagino", yang tidak dapat dibuka oleh siapa pun, dan kemudian
diserahkan kepada Sang Inang Goeroe. Dia mengambil senjata, mengangkatnya, dan
menghancurkannya. Sumber Retno Dhoiemilah muncul, tetapi berwujud wanita yang
lebih cantik "Dhewi Tisnowati". (hlm. 7)

____________________________

1) Dalam pementasan wayang yang beberapa wayangnya ditata secara berurutan dan biasanya
menurut tata tertib dan adat, di sisi kanan “Sang Inang Goeroe” dan di sisi kiri “Bethari
Hoemo” diletakkan di atas semua wayang untuk pemujaan. Susunan wayang di atas kanvas
yang dibentangkan menurut adat adalah, sebagian di kanan dan sebagian di kiri. Wayang di
sisi kanan adalah yang paling menang dalam pertempuran misalnya Whisnoe. Ardjoeno-
Widjojo, Romo, Krisno, dewa-dewa dll. Dan wayang perempuan, sebaliknya di sebelah kiri.

Sang-Inang Goeroe mencarinya di sebelah wanita. Dia sebelumnya mengklaim


kepemilikan beberapa benda langka yang luar biasa. Pangeran para dewa yang akan
mematuhinya, mengungkapkan kepada dirinya sendiri bahwa ia "Sang-Iang Kala",
penguasa pulau Noesa Tombini. Kala datang ke hadapan Sang-Inang Goeroe, yang
kemudian memerintahkan mereka untuk mengirim putranya "Kolo-Goemarang" untuk
menemukan hadiah yang diminta oleh Tisnowati. Kolo-Goemarang muncul dan
menerima ucapan dari Sang-Inang Goeroe. Tetapi Kolo-Goemarang, di luar
sepengetahuan Goeroe, seketika itu juga mulai menyeringai dan menjadi gila, berjalan
di atas tangannya, menyerang para dewa, memukul wajah mereka, dan meludahi mereka,
berpura-pura menjadi pelawak istana pangeran kerajaan. dewa. Dia bahkan mengklaim
Cri dari suaminya Whisnoe, yang kemudian mengubah raksasa yang kurang ajar itu

- 73 -
menjadi dewi liar. Tapi Kalo-Goemarang, meski bentuknya jelek, tidak berhenti
mengejar Cri. Dia kemudian mengambil bentuk Ratu Dhermo-Nastiti dan Whisnoe, Raja
Mengokuhan dari tangan yang lebih adil Mindang Kamulan. Meskipun mengetahui
bahwa misionarisnya tidak bisa menyampaikan keinginan Tisnowati, tetapi dia tidak
berhenti membujuknya. Dia juga menemukan dirinya dalam pelukan pangeran para
dewa.

Dewi Kolo-Goemarang sebagai pembalasan atas penciptaan dirinya kembali,


merusak tanaman ladang di Tanah Mendang Kamoelan dan ditembak oleh Whisnoe.

Kepala pangeran para dewa bersiap untuk waktu yang lama tanpa istri setelah
pengiriman Bathari-Humo ke pulau Noesa Tombini, ia ingin memilih wanita lain di
antara para dewi, tetapi para dewa menentangnya, dan Narodho menawarkan untuk
mengambil wanita cantik. dari bumi dan setelah turun ia menemukan satu di tanah
Meudang Kamulan, namanya Cri 1)

Whisnoe juga jatuh hati padanya, dan nama istrinya adalah Cri juga. Keadaan ini
membangkitkan kemarahan Goeroe. Narodho diutus untuk menyatakan kemarahan itu
dan untuk memaksa Whisnu melepaskan kekuasaannya dan melakukan penebusan dosa
di (hlm. 8) hutan tujuh pohon waringin, dia harus meninggalkan istri dan semuanya. Dia
meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil dan menasihatinya untuk menamai anak
yang akan dia lahirkan dengan "Sri-gati."

_______________________________

1) Yang ini sebenarnya adalah tubuh Cri sedangkan jiwanya sebagai Ratu Dhermo-Nastiti dari
Meudang menjadi Kamoelan.

- 74 -
Alkisah di tanah Dhesso Sengkolo ada seorang wanita Dhewi Sinto, yang
memiliki saudara perempuan bernama Dhewi Landep. Yang pertama melahirkan anak
Resi Gono, seorang anak yang bagus rupanya dan tidak bisa diam, sehingga saat dewasa
dia suatu ketika memancing kemarahan ibunya yang melubangi kepalanya dengan
sendok nasi. Anak ini menemukan tempat itnggal dibawah tanah, sering berkeliaran di
hutan, dan kemudian pergi ke tanah Gilling Wessi. Di sana dia mencari dan mendapatkan
banyak pengikut, dan mulai bangkit melawan penguasa negeri itu. Tawaran yang dibuat
oleh pria ini, dia menolak, dan mengepung sang pangeran dan mengalahkan mereka.
Kemudian dia mengambil nama Pangeran Watoe Goenoeng (gunung batu) karena dia
tidak tertahankan.1)

Di sini dia menjadi pangeran yang hebat dan berkuasa, dan masih lajang ketika
ibu dan saudara perempuannya datang ke Gilling Wessi. Perjalanan waktu yang singkat
membuat mereka tidak dapat saling mengenali. Dengan demikian, tanpa menyadari
hubungan kekeluargaan mereka, Watoe Goenoeng menikah dengan Dhewi Sinto, dan
kemudian juga Dhewi Landep. Dengan yang terakhir dia tidak memiliki anak, tetapi
dengan yang pertama dia menghasilkan dua puluh tujuh putra.

Di negeri Giling Wesi kini banyak pertanda akan adanya suatu peristiwa yang
akan segera terjadi. Fenomena alam yang luar biasa, banyak bintang berekor, gerhana,
letusan gunung, hujan dan badai terlihat dan dirasakan, dan semuanya diramalkan dan
mendekati kiamat.

Suatu saat, ketika Watoe Goenoeng sedang duduk bersama istrinya Dhewi Sinto, dia
menceritakan kasus bagaimana, ketika masih kecil, dia melarikan diri dari rumah orang
tua karena sebuah pukulan, yang bekas lukanya dia tandai di kepalanya. Dhewi-Sinto
sangat membenci apa yang sekarang dilihatnya pada suaminya, (hlm. 9) anaknya.
Sekarang dia mulai bertanya-tanya cara mengekstraksi jiwa darinya. Dia memberi tahu
Watoe Goenoeng bahwa dia adalah keluarga para dewa, dan kebahagiaannya tidak
kekurangan apa pun selain menjadi seorang dewi, karenanya dia menyarankannya untuk

- 75 -
melawan para dewa di Suroloio (surga). Dia berharap dia akan kehilangan Watoe
Goenoeng dengan cara ini. Usulan ini menyenangkan Watoe Goenoeng. Dia
mengumpulkan 27 putranya dan semua pasukannya, dan sebelumnya mengirim
permintaan kepada Sang-inang Goeroe (pangeran para dewa) untuk menyerahkan
mereka kepada Cri. Mereka memberitahunya bahwa dia adalah istri Whisnoe. Kemudian
Watoe Goenoeng maju ke Soerolojo. Surga berada dalam kekacauan. Para dewa tidak
berani melawan penyerang, para dewi ketakutan. Goeroe sekarang bertanya pada
Narodho apa yang harus dilakukan. Dia menyarankan agar Whisnu yang diasingkan
dipanggil kembali, dan memerintahkannya untuk melawan Watoe Goenoeng, dengan
janji pengampunan atas apa yang telah terjadi sebelumnya. Whisnoe menerima ini, pergi
dulu ke istrinya di Mendang Kamoelan, yang pada saat itu telah melahirkan seorang putra
bernama Sri-Gati, dan seorang anak laki-laki yang telah siap untuk Tahun Kehormatan.
Kemudian keduanya naik ke Surolojo.

________________________________

1) Sebelum atau pada saat menanam padi, orang Jawa yang terpandang sering memberikan
representasi wayang tentang sejarah Watoe Goenoeng ini, karena menurut kepercayaan akan
turun hujan sebagai akibatnya.

Sebelum Goeroe berganti, tiba-tiba Sri-Gati muncul di sana juga. Ketika Goeroe
melihat ini, dia bertanya kepada Narodho siapa orang ini. Dengan hilangnya jaminan ini,
kepala pangeran para dewa pergi, memerintahkan Narodho untuk menghancurkan putra
Whisnoe, dan Whisnoe diperintahkan untuk memimpin serangan. Dia menentang
perintah ini jika yang pertama tidak dicabut. Narodho menyuruh Goeroe untuk datang,
yang pada awalnya tidak mau mendengarkan. Tetapi ketika dia diberitahu bahwa musuh
mendekat dan semakin dekat, dia menyerah dan membiarkan Sri-Gati tidak terganggu.

- 76 -
Kemudian Whisnoe, dengan putranya Sri-Gati dan seluruh Bathoro, pergi menemui
pangeran di Giling Wesi. Whisnoe menanyakan alasan serangannya. Watoe Goenoeng
tidak bisa melihat Whisnoe dan bertanya siapa yang sedang berbicara. Whisnoe sekarang
muncul sebagai matahari yang bersinar dan membuat Watoe Goenong terkejut.

Setelah itu, pangeran Giling-Wesi dibebaskan. (hlm. 10)

Ketika dua puluh tujuh putra pangeran ini mendengar apa yang terjadi pada ayah
mereka, mereka ingin mengabdikan diri mereka sendiri sampai mati, dan menyerang
Whisnoe dengan kemarahan besar. Tapi Whisnoe justru membunuh mereka satu per satu
dalam 27 hari, satu setiap hari.

Begitu Dhewi Sinto mengetahui bahwa suami-anak laki-laki dan anak-anaknya


telah dibawa pergi oleh Whisnoe, dia mulai menangis dengan penuh kesedihan, sehingga
unsur-unsur bergejolak dan sebuah ibu kota baru muncul, yang menghadirkan lahan
basah yang mengerikan, disertai dengan angin topan, guntur, gempa bumi, dan hujan.
Tangisan ini berlangsung selama tujuh hari.

Akhirnya Goeroe bertanya kepada Narodho dari mana datangnya gejolak alam
ini. Narodho mengatakan alasannya. Kemudian Goeroe memerintahkan Narodho untuk
segera turun ke bumi dan menghentikan tangisan Dhewi Sinto, berjanji, setelah tiga hari,
bahwa dia akan memiliki suami dan putranya yang hidup kembali untuk memerintah
sebagai raja Giling Wessi lagi. Dhewi Sinto terhibur akan hal ini, berhenti menangis.
Sekarang pertempuran elemen juga berhenti.

Tetapi setelah dia menunggu dengan sia-sia selama tiga hari, dan Watoe
Goenoeng masih tidak kembali padanya, dia kembali mulai meratap dan menggerutu
melawan dewa-dewa yang dia sebut pembohong.

Kemudian Narodho mendesak kepala dewa Goeroe untuk memenuhi janjinya,


agar umat manusia tidak menganggap dewa pembohong. Kemudian Goeroe

- 77 -
memerintahkan agar Watoe Goenoeng dibangkitkan. Maka Narodho mendatangi Watoe
Goenoeng dan membangunkannya dari kematian.

Sekarang telah bangkit, dia menolak untuk kembali ke bumi untuk mengambil
alih kembali pemerintahannya, dan menginginkan agar istri dan putra-putranya juga
diangkat ke surga. Narodho menyarankan Goeroe untuk mematuhinya. Goeroe
menyetujui hal ini, memberikan istri-istri dan putra-putra Watoe Goenoeng yang
dibangkitkan sebuah tempat tinggal di surga, tetapi kemudian menetapkan perhitungan
waktu, yang disebut Wukus, dan tujuh hari seminggu untuk memperingati penggantian
ini.

Ke-27 anak laki-laki dan 2 istri bersama Watoe Goenoeng membentuk 30 orang,
yang namanya masing-masing (hlm. 11) hari dalam sebulan akan diberikan.

Untuk mengenang hari tangisan Dhewi Sinto untuk putra-putranya, ditetapkan


seminggu tujuh hari, agar dunia tahu bahwa para dewa telah menaklukkan umat manusia.
Empat abdi negara Watoe Goenoeng yang kalah dan bangkit dikeluarkan untuk
mengabdi pada empat revolusi besar dunia, yang akan dihasilkan oleh empat ular besar,
sebagai: Nogo bumi (ular bumi). Nogo-dhino (ular hari), Nogo-wulu (ular bulan), Nogo
Tahoen (ular tahun). Empat putaran waktu ini termasuk dalam perhitungan waktu.2)

Kini, ketika semua telah dipulihkan di Surolojo, Narodho mengingatkan Goeroe


akan janjinya untuk mengembalikan Whisnu, sebagai keragu-raguan terhadap
kekuasaannya, atas Mendang kamulan. Kepala surga, Goroe, menyetujui ini, tetapi
memutuskan bahwa Whisnoe tidak boleh lagi memerintah manusia, tetapi atas hantu dan
setan. Dan ketika wilayah Giling Wessi kosong, Goeroe mengirim putranya Bathoro
Bromo ke sana, untuk memerintah di sana sebagai pangeran di Jawa, dengan gelar Praboe
het.

(Jadi dari Bathoro Bromo turunlah pangeran-pangeran Mojopait, yang terakhir


adalah “Browidjojo V” Raja dari kerajaan Hindu terakhir Modjopait. Dari ini turun

- 78 -
hampir semua bupati di Jawa (lihat parawaton (hlm. 12) Brandes “buku Ratu
Modjopait”.

_______________________________

1) 30 hari ini ditemukan di almanak.


2) Mitos mengatakan bahwa pada awal pemerintahan Bathoro Goeroe di Jawa kerajaannya
dibagi menjadi lima bagian utama. Lima bagian utama Timur, Barat, Selatan, Utara, dan
Tengah masing-masing memiliki, bagaimanapun juga, hari tertentu dari waktu pasar, otoritas
atau sesuatu. Perhitungan lima hari ini, yang sampai sekarang merupakan minggu nasional
yang sebenarnya, disebut pasaran (pasar).
Menurut dewa, 5 hari pasar, 7 hari kerja, 30 wukus, 4 putaran waktu (nogos) dan atribut terkait
yang diatur dalam "Ilmu Jawa", mis. untuk memprediksi kebahagiaan atau kemalangan dalam
hidup ini, untuk menentukan orang-orang yang lahir pada hari ini atau itu, kesimpulan
pernikahan, dll, dll.

Bathoro Bromo diciptakan oleh suaminya dan menginginkan dua putra bernama
Bromo Tomo dan Bromo Soedarga. Kedua putra ini, setelah datang ke tahun
penyadapan, turun dari Surolojo ke bumi. Bromo Soedargo menikahi seorang wanita
bumi, di antaranya adalah Rodjo Soumali dan Mangliwan. Yang terakhir mengikuti
contoh Watoe Goenoeng dan memulai perang sengit dengan Soerolojo untuk
mendapatkan Cri, istri Whisnoe. Mangliwan juga dibunuh oleh Whisnoe. Saat
kematiannya Whisnu mendengar suara bahwa surga akan menjadi ketiga kalinya Perang
terhadap Dhasomoeko (Keturunan Bromo Tomo) yang akan menghancurkan Surolojo.

Bromo Tomo menikah dengan seorang putri duniawi. Dengan ini ia memiliki
seorang putra bernama Bromododjo. Pangeran itu menjadi Ngalengko. Putra yang satu
ini bernama Ressi-Tomo meninggalkan ketuhanannya dan bersembunyi di hutan. Rodjo
Soumali, setelah kematian saudaranya Mangliawan, melarikan diri dengan putrinya
Dhewi Soekesi ke Ressi-Tomo, yang meninggalkan putrinya, dan kemudian

- 79 -
bersembunyi lebih banyak di hutan. Sekarang ketika Ressi-Tomo telah menjadi milik
Dhewi-Sukesi, pangeran utama para dewa "Goeroe" masuk ke dalam dirinya, dan
istrinya para dewa Bathari Humo masuk ke Dhewi-Sukesi, sehingga mereka sangat
senang satu sama lain. Meskipun dalam pertapaan, Resi-Toma diperanakkan oleh Dhewi
Soekesi seorang putra bertubuh raksasa dan berkepala sepuluh, yang untuk itu ia disebut
Dhosomoeko (sepuluh wajah). Anak kedua juga disebut raksasa "Hombo Karno"
(bertelinga panjang). Secara luas disebut putri mengerikan "Sarpo-Konoko" (berpakaian
kawat). Sang ayah berduka untuk para raksasa, bentuk anak-anaknya, berdoa kepada para
dewa untuk seorang putra yang berperilaku baik. Kemudian Dhewi Soekesi membawa
seorang anak cantik bernama “Wibisono”.

Dhosomoeko, setelah mencapai Tahun perbedaan, juga menarik diri dari dunia,
bahwa dengan cara menyusut, menurut watak para dewa, dia bisa menjadi seperti mereka
dan perkasa dan abadi. Setelah waktu yang ditentukan habis, dia pergi ke [Nga (hlm. 13)
lengko], di mana ia berhasil di masa pemerintahan kakeknya Rodjo Soumali.

Ketika Dhosomoeko mulai memerintah Ngalengko, dia telah memperoleh


kekuasaan tak terbatas atas seluruh bumi dan kekuasaan alam duniawi yang diwariskan
dari Sang Inang Tunggal. Tidak ada makhluk hidup yang bisa melawannya, sampai di
kemudian hari sang dewa Whisnoe sendiri, dalam bentuk manusia yang kepalanya
terbuka dan posisi rendah, harus membunuhnya.

Sekarang Dhosomoeko memutuskan untuk menyerbu dan menghancurkan


bahkan tempat tinggal para dewa Soerolojo yang bahagia, karena kemampuan dirinya
meningkat tinggi tak terbatas.

Dengan berpura-pura, Dhosomoeko membiarkan dirinya dipimpin oleh


Narodho. Datang ke hadapan kepala pangeran para dewa, Dhosomoeko mengambil sikap
takut kepada Bathoro Goeroe, menghadiahkan kepadanya slendang (jubah memanjang)
dan mengirimnya kembali ke bumi.1)

- 80 -
Tetapi Dhosomoeko yang sekarang telah memata-matai tempat tinggal para
dewa, berbaris dengan pasukan raksasa ke gerbang surga, di mana para dewi tinggal,
ditakdirkan untuk memberi penghargaan kepada para pahlawan yang gugur. Dewa
penjaga malam berteriak kepada Dhosomoeko bahwa tidak ada makhluk hidup yang
boleh memasuki tempat tinggal ini tanpa izin Goeroe. Tapi Dhosomoeko tidak
mengindahkan peringatan dan memasuki gerbang, seketika dia terjebak di antara pintu-
pintu, dan sekarang dia berteriak dengan tangisan yang begitu mengerikan sehingga
langit bergemuruh dan para dewa berada dalam kekacauan.

Akhirnya Goroe mengizinkan Dhosomoeko masuk. Diikuti oleh raksasa-


raksasanya, dia berjalan melewati langit. Akhirnya perhatiannya tertuju pada Cri, istri
Whisnoe. Cri ketakutan saat melihat pangeran raksasa yang mengerikan dengan sepuluh
wajah, yang memiliki kebiasaan menyerangnya. Cri kesal dengan keadaan seperti itu, ia
melarikan diri ke suaminya Whisnoe, dan bertahan dalam api yang menyala-nyala.
Whisnoe berselisih dengan Dhosomoeko mengenai hal ini, dan sekarang waktu yang
menyedihkan muncul, hingga mengguncang langit bumi. (hlm. 15).

_______________________________

1) Dalam gambar Wayang, slendang adalah tanda Dewa.

Akhirnya pangeran kepala para dewa Goeroe datang menengahi mereka, dan
memerintahkan pihak-pihak yang bertikai untuk diusir ke Bumi. Narodho mengatakan
kepada para juara bahwa tempat tinggal para dewa bukanlah tempat untuk menyelesaikan
perselisihan yang ada di bumi. Dhosomoeko akan kembali ke wilayahnya. Dia kembali
diramalkan bahwa suatu hari dia akan ditaklukkan dan dibunuh di tangan pangeran, yang
akan memimpin pasukan monyet, dan menjadi inkarnasi emas Whisnoe. Ia ditolak
tinggal lebih lanjut di Suroloio karena dianggap telah melanggar wilayah kebahagiaan
dan kedamaian dengan pertarungan duniawi.

- 81 -
Penjelmaan pertama Whisnoe sebagai Hardjoena Widhojo, Raja Maospati.

Whisnoe turun ke bumi, kemudian berwujud manusia, dan Hardjoeno


Sosrobahoe (bersenjata seribu) atau Hardjoeno Widjojo (pemenang) pangeran Maospati,
untuk melawan dan menghukum raja raksasa Dhosomoeko.1)

Mitos haruslah mewakili zaman inkarnasinya dan pertarungan melawan


monster Dhosomoeko "Tirtodjojo", zaman air, pertempuran unsur-unsur (ajaran Whisnu,
kekuatan pendukung ketuhanan, kekuatan melawan penguasa yang lebih tinggi Goeroe,
yang ada dalam diri Ressie-Tomo, yang telah menjadi kekuatan kreatif Dhosomoeko).

Sementara itu Hardjoeno Widjojo memerintah dengan Damai atas Maospati, dan
memiliki istri Dhewi Tjitrowati, putri pangeran Mangada, dan titisan Cri.

Pada saat Hardjoeno Tridjojo mengasingkan diri di laut dengan topeng raksasa yang
sangat besar dengan ribuan senjata, banjir besar muncul hingga mencapai perkemahan
kelompok raksasa Dhosomoeko. Murka Dhosomoeko sangat mengerikan ketika dia
melihat air mendekati kemahnya. Dia memerintahkan untuk menyelidiki penyebabnya,
dia memerintahkan patihnya dengan tentara untuk (hlm. 16) untuk memajukan Maospati.

_______________________________

1) Whisnoe dalam kemarahan diwakili, sebuah wayang "raksasa" dengan berbagai tempa,
lengan dan balok.

Jadi Dhosomoeko pergi ke Maospati. Begitu patih di sana mendengar


"Soewondo" mendekat, dia pun mengumpulkan gerombolannya tanpa sepengetahuan
Hardjoenowidjojo, pangerannya, yang tidak hadir demi kebaikan negara. Ketika
pertempuran sudah dekat, Dhosomoeko menantang pangeran Maospati, unutk segera

- 82 -
menyerah dengan menyerahkan semua miliknya. Namun, Patih Suwondo menjawab di
hadapan pangerannya bahwa dia dan rakyatnya tidak akan pernah tunduk padanya, tetapi
mereka akan mengorbankan diri mereka dalam pertempuran. Dhosomoeko, mendengar
bahwa Hardjonowidjojo sendiri tidak hadir, menganggap dirinya terlalu agung untuk
berperang dengan patih, dan memberi perintah kepada pasukan Maospati. Pertempuran
yang mengerikan sekarang terjadi, di mana kekuatan gaib mengalahkan pasukan
Maospati. Dhosomoeko sangat marah ketika dia melihat kekalahan para pasukannya, dan
sekarang dia sendiri menyerang Maospati. Semua pimpinan dan jajaran pasukan
Maospati dibunuh atau melarikan diri. Kemudian patih Soewondo mendekati
Dhasomokeo. Akhirnya patih Suwondo dan seluruh pasukan Maospati dikalahkan dan
dibunuh.

Semua ini terjadi di luar perintah Hadjowidjojo. Segera setelah kekalahan


pasukannya dan kematian Patihnya terdengar, dia memerintahkan pembentukan pasukan
baru. Namun kemudian Narodho turun dari Surolojo dan membawa perintah Goeroe
kepada Hardjoeno Widjodjo untuk menghentikan pertarungan dengan Dhosomoeko,
karena waktu yang telah diputuskan oleh Sang-Inang Tunggal bahwa raja raksasa harus
mati belum tiba. Ketika Hardjoenowidjaja telah masuk ke dalam tubuh seorang pria yang
memerintah atas kera, waktu yang ditentukan akan tiba. Hardjonowidjojo menjawab
bahwa tujuannya bukanlah untuk membunuh Dhosomoeko, tetapi dia hanya bermaksud
untuk mengalahkannya, sementara umat manusia tidak akan beristirahat dari monster itu.
Narodho pergi lebih jauh ke Surolojo.

Sekarang pertempuran yang mengerikan dimulai, di mana semua jenis kekuatan


gaib dikeluarkan dan disia-siakan. Tetapi meskipun Dhosomoeokoe jatuh beberapa kali,
dihidupkan kembali setiap kali, dia akhirnya gagal, dikalahkan oleh Hardjoenoe dan
diikat (hlm. 16).

Tetapi saat ini Bromo-Tomo (kakek buyut Dhosomoeko), yang diidolakan, turun
dari Surolojo, untuk memohon pengampunan Pangeran Hardjoenowidjojo atas cicitnya,

- 83 -
jangan sampai dia terbunuh. Dhosomoeko dilucuti dari ikatannya dan dibawa ke hadapan
Hardjoenowidjojo yang harus dia cium. Di Bromo-tomo ini berpamitan dengan
Hardjoenowidjojo, memberi Dhosomoeko beberapa pelajaran dan menegurnya, dan
turun ke Surolojo.

Pangeran Dhosomoeko, yang menjadi lebih bijaksana dengan kemalangannya,


berjanji untuk mengingat nasihat leluhurnya, dan kembali ke Ngalingko. Lama-kelamaan
Dhosomoeko lupa lagi pelajaran-pelajaran kehidupan sebelumnya, singkatnya ia
menginginkan kebebasan, dan menjadi suka berperang seperti sebelumnya, membunuh
di mana-mana dan mengganggu tempat tinggal orang-orang yang bertobat, sehingga
bahkan Begawan Djogo, seorang Pandite terkemuka, mengabdikan hidupnya, untuk
memohon kepada para dewa agar mengakhiri keadaan ini.

Inkarnasi kedua Whisnoe, sebagai Romo Koming dari Ngajoedhio.

Akhirnya dewa-dewa "Goeroe" mengabulkan permohonan umat manusia untuk


dibebaskan dari monster Dhosomoeko, yang menurut ramalan, akan dibunuh oleh
seorang pangeran yang akan memimpin pasukan dan menjadi inkarnasi Whisnu.

Akhirnya Whisnoe hadir untuk mengakhiri keangkuhan dan pemerintahan


pangeran raksasa Dhosomoeko.

Whisnu meninggalkan tubuh Hardjoeno Widjojo, pangeran Maospati, setelah


yang terakhir mengalahkan dan mempermalukan Dhosomoeko, dan menghabiskan
beberapa waktu di bumi, sampai dia bertemu dengan dewa Bathoro Basuki, yang berada
dalam kesedihan, dan telah meninggalkan Surolojo. Keduanya sepakat untuk masuk ke
dalam tubuh putra Dhosoroto pangeran Madiopoero yang belum lahir, dan dengan
demikian pada saat yang sama mengabulkan keinginan pangeran ini, yang telah lama sia-
sia berdoa untuk mengirim pewaris tahtanya ke surga. Kedua istrinya sampai sekarang
mandul (hlm. 17) sekarang hamil. Maka Whisnoe pergi ke Bazoeki dengan istri pertama
Dhewi Ragae. Whisnoe dipanggil Romo dan Bazoeki Laksmono. Juga Dhewi Kekayi

- 84 -
istri kedua melahirkan putra kedua, bernama Broto Satroegno.

Bersamaan dengan kelahiran Romo, permaisurinya Cri juga muncul dalam


wujud Dhewi Sinto, putri Reksikolo pangeran Dhorowati, yang kecantikannya telah
membuat banyak pangeran untuk memintanya menjadi istri. Untuk menghindari
permusuhan karena persaingan memperebutkan Dhewi Sinto, termasuk Raja
Dhosomoeko, Pangeran Reksikolo akan memberikan putrinya kepada mereka yang
cukup kuat untuk membengkokkan busur yang ia miliki sebagai pusaka dewa Pangeran
Goeroe Erlangs, dan yang hanya dengan kekuatan manusia super. dan kata-kata rahasia,
yang betapapun sulitnya, hanya merupakan sebagian kecil dari tugas itu.

Di tengah alun-alun (dataran terbuka) ditempatkan tiang-tiang tinggi dengan


ikan emas di atasnya dan bak penuh air di bagian bawah. Tidak diizinkan untuk
membidiknya selain melalui pantulan di air—untuk menembak jatuh busur yang berat
milik Pangeran Reksikolo, dan kemudian menarik busur itu ke belakang sedemikian rupa
sehingga patah di tangannya, Dhewi Sinto akan sampai di sana.

Pengumuman ini sampai juga ke istana Madiopoero dan ke Romo dan


Laksmono, yang kemudian pergi ke sana.

Banyak pangeran dan pahlawan telah mengambil busur yang tidak bisa mereka
gunakan. Romo menarik busur dengan kekuatan manusia super, menembak dan
memukul ikan emas di tengah, yang kemudian jatuh, mematahkan busur besar seperti
tebu.

Setelah itu, Romo kembali ke Madiopoero bersama Sinto ditemani oleh adiknya
Laksmono.

Tidak lama kemudian, Pangeran Dhosoroto turun tahta demi putra sulungnya
Romo, yang kemudian menjadi raja Madiopoero. Tetapi Dhosoroto telah berjanji kepada

- 85 -
istrinya Dhewi Kekayi di pernikahan bahwa putra yang lahir darinya akan menikmati
hak istimewa suksesi. Oleh karena itu dia sekarang menuntut pemenuhan (hlm. 18)
kondisi ini, menuntut agar putranya Broto menjadi pangeran "Romo" harus
mengosongkan negara. Dhosoroto memberitahukan hal ini kepada Romo. Tetapi Romo,
menghormati kata-kata berikutnya, tunduk pada keinginannya, dan berangkat dari
Madiopoero bersama Sinto dan saudaranya Laksmono, bertemu penduduk yang pintar,
yang mengantarnya ke perbatasan negara.

Jauh dari keinginan ibunya, watak Broto sangat tidak puas. Ia menginginkan
Romo untuk tetap dan mempertahankan pemerintahan kerajaan seperti sebelumnya,
tetapi Romo dengan tegas menolak, sehingga Broto mempertahankan pemerintahan.

Romo bersama Sinto dan Laksmono menyusuri sungai Siloegonggo menuju


hutan. Datang ke hutan belantara, dia tetap diam, dan terus tertipu untuk mengunjungi
pertapa suci dan orang yang bertobat dan membantu mereka untuk memberantas
kegaduhan para raksasa dan pelaku kejahatan Dhosomoeko.

Kedua bersaudara itu akhirnya bertemu dengan Sarpokenoko, saudara


perempuan Dhosomoeko yang sangat besar, di tepi sungai Siloegonggo.

Sarpokenoko mencoba dengan berbagai cara untuk membuat dirinya nyaman


dengan Laksmono, tetapi dia tidak bisa. Dia tidak berhenti mencubitnya, sampai
Laksmono akhirnya pingsan sehingga dia memotong hidungnya. Dia melarikan diri ke
saudara laki-lakinya Dhosomoeko, menceritakan kemalangannya dengan tidak jujur, dan
meminta bantuannya.

Dhosomoeko, yang murka atas cemoohan yang ditimpakan pada saudara


perempuannya, merasakan amarah yang luar biasa dan merasakan penderitaan membara
di dalam dirinya, ketika dia menyadari dari penjelasan saudara perempuannya bahwa
musuhnya tidak lain adalah Romo. Dia mensyukuri kesempatan yang tepat yang
diberikan padanya untuk membalas dendam pada saingan lamanya. Karena itu, dia

- 86 -
mengambil keuntungan dari tipu muslihat itu, dan setelah mengubah dirinya menjadi
rusa berkepala dua yang sangat cantik dengan tanduk emas, dia mendekati tempat
persembunyian Romo, sekarang merumput di hadapan Sinto. Sinto senang dengan
kulitnya yang berkilau dan berbintik-bintik indah, dia menjadi sangat ingin memilikinya,
dan meminta Romo menembak binatang itu, agar dia bisa membuat pakaian dari (hlm.
19) kulit rusa. Romo, yang tidak mempercayai kecantikan binatang yang terlalu istimewa
itu, tidak melihat apa-apa, dan pada awalnya menolak untuk menuruti keinginannya,
tetapi Sinto bersikeras padanya, Romo akhirnya mengambil busurnya sebelum
meninggalkan tempat tinggalnya, dengan perintah tegas kepada Sinto, untuk melakukan
yang sama dengan alasan keamanan, sampai dia kembali. Dia juga memerintahkan
Laksmono untuk tidak meninggalkan tempat tinggal maupun Sinto sampai saat itu.
Sementara itu, Dhosomoeko, melihat semua persiapan ini, ia mendekatkan dirinya dari
kejauhan, tapi dia kemudian terus melarikan diri dan dikejar oleh Romo, dia tanpa sadar
berlari beberapa jam jauhnya dari tempat tinggalnya, sampai dia menilai jarak yang
cukup untuk melakukan rencananya, membiarkan dirinya disusul oleh Romo, tetapi saat
yang terakhir mendekati kerajaan, dia melepaskan jantungnya dari tubuhnya, kemudian
jatuh ke tanah hingga mati, dan hal ini terinspirasi dari pengemis yang dilihatnya
tergeletak di jalan..

Sementara Romo sedang menguliti tangkapannya, Dhosomoeko bergegas dalam


wujud pengemis ke gubuk Romo, dan bersembunyi di pepohonan membiarkan suaranya
terdengar seperti datang dari atas, berseru dengan suara datar: “O Laksmono, saudara
laki-laki Romo yang perkasa, apa yang kamu lakukan? Saudara kita dikelilingi oleh
musuh, yang akan menghancurkannya jika Anda tidak segera membantunya.”

Sinto, yang amat sangat takut mendengar suara dan kabar ini, memohon
Laksmono untuk menyelamatkan suaminya yang sedang dalam kesusahan, tetapi
Laksmono menolak melakukannya, dan mengingatkannya tentang larangan keras Romo
untuk tidak meninggalkannya sendirian, dan bahwa jika suaminya, seperti yang telah
terjadi sebelumnya, jika dia bisa mengalahkan sepuluh ribu orang sendirian, dia sekarang

- 87 -
juga akan bisa menyelamatkan dirinya dari rasa masalah ini. Namun, semua alasan
Laksomo terbukti sia-sia, dan ratapan keputusasaan Sinto, yang akhirnya mengancam
akan meninggalkan tempat tinggalnya sendiri untuk segera membantu Romo, membuat
Laksmono masuk ke hutan melalui jalan yang dia lihat Romo dan kijang ambil.

Hampir tidak Dhosomoeko memperhatikan pembebasannya (hlm. 20) atau dia


muncul dalam wujud pengemis di depan gubuk dan berdoa dengan suara merengek
meminta sedekah. Sinto mengatakan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk diberikan,
tetapi pengemis itu tidak berhenti mengemis untuk sedikit nasi, sehingga akhirnya dia
memberinya beberapa makanan sebelumnya, lalu Dhosomoeko mengambil tangannya
secara terbuka dan menariknya mengelilingi lingkaran. Romo telah mengitari gubuk itu.
Sinto berteriak sekuat tenaga dan bertanya dengan penuh kecemasan apa arti semua ini.
Dhosomoeko menjawabnya bahwa dia hanya akan tenang jika dia membawa Sinto ke
dalam pertarungan melawan suaminya, untuk melihat seperti apa disana, tetapi alih-alih
itu, dia sementara itu kembali ke bentuk raksasa yang menakutkan, dan setelah Sinto
meletakkannya tangannya, terlepas dari erangan dan tangisannya, Dhosomoeko
membawa Sinto melalui udara ke kerajaannya di Ngalengko.

Sesampainya di Ngalengko, Dhasamoeko menempatkan Sinto di bawah pohon


mangga di kebunnya, dan menempatkan beberapa raksasa untuk menjaganya. Setiap hari
dia datang mengunjungi dan menyiksanya untuk memintanya menjadi istrinya, tetapi
Sinto bersikeras dan mendesak Dhasamoeko untuk mengembalikannya ke Romo. Sinto
selalu memiliki patrem (belati untuk wanita) di tangannya dan ingin bunuh diri dengan
patrem itu jika Dhosomoeko ingin mendekatinya.

Romo dan Laksmono, pulang ke tempat tinggalnya, tidak menemukan Sinto dan
menjadi sangat sedih. Romo sekarang melakukan perjalanan dengan saudaranya
Laksmono, untuk mencari Sinto, bahkan jika itu sampai ke batas bumi yang kejam, dan
tidak akan beristirahat sampai dia menemukan Sinto dan membalas musuhnya. Dalam
perjalanan ia bertemu Soegriwo, raja dari segala kera, dan memiliki istana di gua

- 88 -
Kiskendo. Dia kemudian mengenali Romo bahwa Sinto telah diculik. Soegriwo lebih
lanjut menceritakan bahwa dalam perselisihan dengan kakak laki-lakinya, monyet
Soebali, raja Rogastino, dia telah dipukuli dan diusir oleh yang Soebali, kemudian dia
meminta bantuan Romo, dengan syarat dia selalu menjadi pelayannya.

Romo diikuti oleh Laksmono dan Soegriwo mengejar Raja Rogastino. Soebali
ditembak Romo dengan anak panah. Sugriwo sekarang menguasai wilayah kera sebagai
Raja di (hlm. 21) Rogastino, atas nama patih Soegriwo, sebagai patih dari Romo.

Salah satu kepala kera ini adalah "Hanoman" kera putih dan sepupu Soegriwo.
Hanoman sebenarnya ayah dari anak Romo yang dilahirkan Sinto, namun sementara
berubah jadi monyet.1)

Romo, ditemani oleh Laksmono, Sugriwo, Hanoman, dan seluruh pasukan kera,
melanjutkan pengembaraannya, memasuki hutan yang ditebanginya, dan setelah itu
mendirikan kerajaan Ngajoedhio. Kraton (istana) dan semua miliknya diciptakan dalam
sekejap mata oleh Romo, dan selanjutnya ia berganti menjadi Raja Romo.

Romo mengirim Hanoman ke Ngalingko untuk memata-matai Sinto, mencoba berbicara


dengannya dan menyampaikan kabar tentangnya. Dia memberinya cincinnya, agar
dengan demikian dia dapat menyelesaikan misinya. Hanoman berangkat, tetapi tidak
tahu jalan ke Ngalingko, dan sia-sia mencari ke empat penjuru dunia.3) Dengan putus asa
ia mulai berdoa kepada Mahadewa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menyelamatkannya
dari kesulitan ini dan ia memperoleh karunia untuk dapat mengubah dirinya menjadi
bentuk binatang apa pun yang disukai. Dia kemudian berubah menjadi malam dan,
setelah beberapa duel dengan raksasa yang berjaga, akhirnya tiba di Ngalingko.
Hanoman juga tidak tahu pasti, karena selalu mengalahkan Dhosomoeko, Sinto
mendapati dirinya dipaksa, dengan menyamar sebagai kucing, untuk mengobrak-abrik
semua sarang, penjara, rumah, dan kamar di seluruh Ngalingko. Akhirnya dia sampai
(hlm. 22) di rumah Dhosomoeko. Tiba-tiba dia melompat ke pohon mangga, di mana dia
melihat seorang wanita cantic sedang duduk, tenggelam dalam kesedihan. Dia juga tidak

- 89 -
yakin bahwa dia adalah Sinto, karena dia tidak mengenalnya, Hanoman terus
bersembunyi, menunggu untuk melihat apakah akan terjadi sesuatu untuk
menghilangkan keraguannya. Akhirnya pada tengah malam, dia melihat Dhosomoeko
mendekat. Hanoman mendengar bagaimana Dhosomoeko memohon pada Sinto untuk
mengabulkan keinginannya dan menjadi permaisurinya, bagaimana dia memanggil dan
menjanjikan Sinto menjadi wanita paling cantik diantara semua wanita. Dhosomoeko
berjanji akan membuat Sinto berkuasa atas dirinya sendiri dan semua menjadi miliknya.
Tapi Sinto, mengabaikan semua alasan dan kata-kata yang menyanjung ini,
menyuruhnya diam dan membawanya kembali ke Romo, mengatakan bahwa
permohonannya tidak membuahkan hasil seperti juga kekerasannya. Dhosomoeko,
melihat bahwa dia tidak dapat memperoleh apa-apa, akhirnya kembali ke rumahnya dan
meninggalkan Sinto sendirian.

________________________________

1) Sejarah Subali, Soegriwo dan Hanoman itu sendiri sudah menjadi sebuah jilid tersendiri, oleh
karena itu terlalu panjang untuk dimasukkan di sini. Tradisi itu dimulai pada masa
Hardjoenowidjojo, pangeran Maospati, titisan pertama Whisnoe.
2) Kata Jawa "Tjipto" berarti: apa saja yang ia bayangkan dengan imajinasi yang diciptakan dan
diinginkan untuk menjadi ada atau terjadi (lihat doktrin teosofi).
3) Perjalanan Hanoman ini sendiri merupakan tradisi panjang, yang disebutkan oleh orang Jawa,
sejarah “Hanoman dhuto” berarti Hanoman sebagai utusan.

Hanoman, kemudian, meyakinkan bahwa dialah yang dia cari, kemudian


membiarkan cincin yang diberikan Romo jatuh dari pohon di kakinya, dan Sinto
mengenalinya, dan terkejut karena cincin tersebut.

Tidak diragukan lagi, dia menangis, terisak dan meratap: Apakah Dhosomoeko
yang jahat atau salah satu raksasanya membunuh Romo saya dengan cara ini atau tidak,
dan sekarang melemparkan cincinnya kepada saya sebagai bukti.

- 90 -
Hanoman, mendengar ratapan Sinto, memanjat dari pohon, setelah kembali ke
bentuk aslinya, jatuh tepat di kakinya, mengatakan kepada Sinto bahwa Romo tidak
hanya sehat dan tidak sakit, tetapi Hanoman sendiri telah dikirim oleh Romo, untuk
mencari dan membawa kabar tentang pahlawan kesayangannya, dan mengatakan lebih
lanjut bahwa Romo sekarang menjadi pangeran Ngajodhio. Hanoman mengalami
kesulitan besar dalam meyakinkan Sinto mengenai kebenaran kata-katanya, karena Sinto
tidak percaya bahwa Romo mempekerjakan orang kepercayaan yang aneh seperti itu,
dan menganggapnya lebih sebagai tipu muslihat agar dia segera melanjutkan. Namun,
ketika Hanoman mengatakan kepadanya, bahwa dia tidak kesulitan untuk membawa
Sinto kembali, tetapi hanya untuk memberikan laporan yang akurat, Sinto
mempercayainya, dan kemudian memintanya untuk segera kembali, karena Sinto telah
menghabiskan enam bulan di penjara ini dan sangat ingin dibebaskan. (hlm. 23)

Hanoman telah berangkat atas perintah ini, dan telah memulai perjalanan
kembali, ketika muncul pemikiran di benaknya bahwa tidak lebih sesuai nama tuannya
daripada dengan ketenarannya sendiri untuk menjalankan misinya secara diam-diam
untuk meninggalkan negara itu, tanpa meninggalkan bukti kekuatan [gigih]-nya dalam
kegagahan yang besar. Dia kemudian kembali ke Sinto dan meminta izin padanya untuk
mengambil beberapa buah dari pohon mangga yang mengelilinginya, Sinto
menyuruhnya untuk mengambil buah yang jatuh ke tanah saja, karena tidak halal untuk
memetiknya.1)

Hanoman, benar-benar mematuhi perintah ini, merobek pohon demi akar pohon
dan semua keluar dari tanah, sehingga segera semua buah terjatuh di tanah, seluruh taman
menyerupai hutan belantara, tetapi pohon rindang, tempat Sinto duduk, dia
menghindarinya, dan membiarkannya tanpa cedera.

- 91 -
Kemudian Hanoman duduk dengan punggung bersandar pada sebatang pohon
besar, yang juga kemudian dia tinggalkan berdiri, dan dengan sabar menunggu dampak
dari yang telah dilakukannya. Para tukang kebun, yang melihat kesunyian ini di pagi hari,
tercengang, dan tidak tahu harus menghubungkannya dengan kejadian apa; tetapi ketika
mereka melihat Hanoman, dan sekarang pohon tempat dia duduk tercabut dari tanah di
antara mereka berdua, mereka berlarian ketakutan ke Dhosomoeko dan menceritakan apa
yang telah mereka lihat. Dia segera mengirim sekelompok raksasa terdiri dari sepuluh
ribu orang dengan tombak, pedang, dan senjata lainnya, untuk menangkap, jika mungkin,
Hanoman hidup-hidup, penyusup aneh di istananya, dan membawanya ke hadapannya.
Hanoman, melihat mereka mendekat, mengambil salah satu pohon terbesar dan
menunggu mereka dengan gagah berani. Mereka menyerangnya dengan emosi,
meskipun tidak (hlm. 24) berdiri saat berusaha menembak jatuh Hanoman seperti hujan
lebat. Hanoman mengalahkan mereka semua kecuali beberapa, yang melarikan diri dan
membawa kabar kekalahan mereka ke Dhosomoeko.

_______________________________

1) Menurut tradisi Jawa, pohon manga ini disebut “Djenggis”. Buahnya berukuran panjang 0.50
m dan lebar 0.30 m, sedangkan pohonnya merupakan tanaman hias Pangeran Dhosomoeko.
Kulit Mangga Djenggis yang digunakan untuk kotak sirih masih dapat ditemukan, meskipun
sangat jarang, di kalangan sebagian orang sebagai barang antik dan pusaka.

Kemarahan dan kesedihan Dhosomoeko tidak ada habisnya saat menerima kabar
duka ini. Dia menyuruh dan mengundang semua yang terkuat dari rakyatnya di
Ngalengko untuk melawan Hanoman. Tidak ada yang lebih kuat dari Dradjit, putra
sulungnya, yang menawarkan untuk membalas dendam pada kera.

Dradjit menerima syarat dari Dhosomoeko bahwa dia nantinya akan diangkat
menjadi Toemenggoeng atas tanah Mitoekaang, jika dia bisa menangkap Hanoman
hidup-hidup.

- 92 -
Dradjit telah belajar dari Batoro Bromo beberapa kata rahasia, yang mengubah
semua panahnya ketika ditembakkan menjadi begitu banyak ular, yang melilit tubuh
musuh-musuhnya dan menyerahkannya ke dalam kekuasaan Dradjit.

Percaya pada hal tersebut, Dradjit berbaris melawan Hanoman dengan sejumlah
besar raksasa, tetapi mereka, ketika mereka menyerangnya, dihancurkan olehnya dengan
pohon-pohon besar dan diterbangkan.

Sekarang Dradjit mengucapkan kata-kata rahasia, mengirim panah ke Hanoman,


yang akan melilit di sekitar tubuh Hanoman seperti ular, tetapi dia merobeknya seperti
sarang laba-laba, melemparkan potongan-potongan itu jauh-jauh. Namun, atas
permintaan Bathoro Bromo, dia membiarkan dirinya diikat oleh ular kedua, yang dikirim
Dradjit kepadanya, dan sekarang tampak diam.

Para raksasa kemudian dengan mudah, mengelilinginya dan menyeretnya ke hadapan


Dhosomoeko, yang telah memerintahkannya untuk dibunuh di hadapannya. Para raksasa
menyerangnya dengan galak dengan tongkat mereka yang berat, tetapi pukulan membabi
buta mereka tidak lebih hanya seperti bulu di tubuh Hanoman. Dhosomoeko (hlm. 25)
marah, memerintahkan seribu raksasa lain untuk menyerang Hanoman, tetapi melihat
bahwa ini dilakukan hanya sedikit keberhasilnannya, dicari dengan cara apa
Dhosomoeko dapat mengambil nyawa Hanoman, atau apa kelemahannya. Hanoman,
segera setelah dia menyadari hal ini, mengatakan bahwa dia hanya dapat dimusnahkan
dengan api, ketika tubuhnya terjerat dengan mudah terbakar dan mulai terbakar sejak
awal.

_________________________________________

1) Kata-kata atau bentuk-bentuk rahasia ini disebut “Adjie” dalam istilah Jawa dan wayang.
2) Yaitu agar Drajit mendapatkan Tumenggung sesuai dengan janji ayahnya Dhosomoeko.

- 93 -
Dhosomoeko segera membungkusnya dengan kapas yang dicelupkan ke dalam
minyak dan dibakar, tetapi ini hampir tidak dilakukan ketika Hanoman merobek ular
yang melingkari tubuhnya seperti seutas benang, dan setelah memusnahkan semua
raksasa yang ada, dia membakar rumah-rumah dan istana-istana terbaik, sehingga
sebagian besar Ngalingko hancur.

Setelah berhasil dan gagah berani, Hanoman kembali ke Sinto, dan meminta
perintah terakhir Sinto. Dia melemparkan cincin dari lengannya kepada Hanoman, untuk
mengatakan bahwa Hanoman telah berbicara dengan Sinto, dan meminta lagi pada
Hanoman, pada kali ini, untuk memberi tahu Romo bahwa dia tidak sabar menunggu
pembebasannya. Sinto juga memperingatkannya untuk tidak melihat sampai dia
mencapai tepi pantai yang kokoh, tetapi Hanoman mendekati pantai untuk
melompatinya.1) mulai merasakan panasnya api yang dibuatnya, dan melihat ke
belakang. Segera moncongnya mulai terbakar, yang, bagaimanapun, padam di laut, tetapi
dia dan keturunannya untuk selanjutnya memiliki moncong hitam, yang sebelumnya
dimiliki olehnya dan seluruh keluarganya, sama seperti seluruh tubuhnya.

Hanoman muncul di hadapan Romo, yang menunggunya, dan kepadanya


Hanoman melaporkan semuanya. Ketika Romo mendengar kabar tersebut, ia
memerintahkan Patih Soegriwo dan para pemimpin lainnya untuk mempersiapkan semua
orang mereka untuk berperang bersamanya melawan Dhosomoeko yang perkasa.

Sekarang Romo berbaris dengan pasukan kera yang perkasa ini dan saudaranya
Laksmono ke tepi laut, di seberang (hlm. 26) Ngalingko. Romo memerintahkan agar
batu besar diambil dari gunung-gunung sekitar, yang dilakukan oleh kera, dan mereka
melemparkannya ke laut, sehingga terbentuklah jembatan atau bendungan, yang
menyebabkan Ngalingko terendam. Mendapat kabar tersebut, Dhosomoeko mengirim
adiknya Sarpokonoko ke sana, untuk menjebol bendungan, yang perintahnya dilakukan
oleh pelayannya yaitu lobster bernama Toedjoeladjaran. Bendungan jebol setiap saat
oleh Toedjoeladjaran, dan diperbaiki lagi oleh kera, hingga akhirnya pelaku dan

- 94 -
Sarpokenoko ditemukan dan dibawa kembali oleh Hanoman. 1)

____________________

1) Hanoman bisa melompat dan terbang

Sesampainya di tepi Ngalingko, Romo menyuruh kelompoknya berkemah di


tempat yang nyaman.

Dhosomoeko hampir tidak pernah mendengar kedatangan pasukannya ketika


dia, ditemani oleh istrinya Bandondhari, berada di atap salah satu istana terdekatnya,
menganggap dirinya cukup jauh untuk dijangkau oleh tembakan musuh, dan
menginginkan pasukannya memata-matai musuh dan membagi kekuasaan mereka.
Begitu Romo melihatnya di atap, dia menarik busurnya. Panah itu menjangkau jarak
yang luas dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, dan pada saat yang sama
menembus sepuluh mahkota yang menghiasi kepala Dhosomoeko, dia melemparkannya
ke tanah, dan untuk sesaat hati Dhosomoeko yang angkuh diliputi rasa takut dan heran.

Bibisono, saudara laki-laki Dhosomoeko, dengan berbagai alasan masih


berusaha membujuk saudaranya untuk mengembalikan Sinto, untuk mencegah jatuhnya
Ngalengko yang tak terhindarkan. Namun Dhosomoeko bukannya mengindahkan
nasehat itu, malah curiga dan mengusirnya, menyuruhnya pergi ke Romo. Bibisono
meninggalkan Ngalengko dan terus ke Romo.(hlm. 27)

_________________________________

1) Pembangunan bendungan dan penyeberangan Romo bahkan membuat sejarah panjang


tersendiri.

- 95 -
Pasukan Dhosomoeko juga mendekat dari sisi lain, dan sekarang kedua pasukan
datang bersama-sama dengan kekuatan yang mengerikan. Malam memisahkan trisula,
pagi hari pertempuran dimulai lagi, yang berlangsung selama beberapa hari.

Akhir dari pertempuran adalah pemusnahan total pasukan Dhosomoeko.

Kemudian Pangeran Dhosomoekoo berdiri sendiri, seperti batang pohon yang


kehilangan semua cabang dan daunnya. Dia masih memiliki kelompok yang berkumpul
dan memimpinnya sendiri. Duduk di atas gajah putihnya.

Segera setelah tentara mendekat, dan Romo melihat musuhnya duduk di atas
gajah yang tinggi, mengambil busurnya ke anak panah, menyerbu melalui lima kepala
Dhosomoeko. Kepala Dhosomoeko bersinar seolah-olah disambar petir diatas gajah,
tetapi berdiri seperti harimau yang marah.

Akhirnya Romo dan Dhosomoeko bertemu. “Apakah akhirnya kamu berani


membela diri?”, teriak Romo. Mendengar kata-kata ini, kemarahan Pangeran
Dhosomoeko berkobar, tanpa menjawab Romo, dia menyerang Romo. Romo
menusuknya dengan keris yang penuh kekuatan, Dhosomoeko meninggal. Hanoman
mengambil mayat Dhosomoeko, membuangnya ke laut, dan menutupinya dengan
Gunung Siam, agar dia tidak bangkit lagi.1)

Ngalengko sekarang diambil oleh Romo, dan diberikan kepada Bibisono untuk
memerintah sebagai pangeran di sana.

Sementara itu Sinto dibebaskan. Romo bersama Sinto kembali ke Ngajoedhio


dan hidup lama dan memerintah dengan bahagia. Dia kemudian menyerahkan
pemerintahannya kepada (hlm. 28) anak Boethowo, sementara dia membiarkan dirinya
dibakar bersama Sinto, agar bisa kembali ke surga.

_______________________________

- 96 -
1) Menurut kepercayaan orang Jawa, kematian Raja Dhosomoeko dianggap keramat. Sangat
jarang atau hampir tidak pernah ada orang Jawa yang berani memerankan drama ini sampai
kematian Dhosomoeko, bahkan sampai kematian Dradjit "anak sulung Dhosomoeko" juga
dari Moelontono", Soemolawan dan Moelontono hamil anak dari Dhosomoeko, karena
kecelakaan. Jika setiap malam disajikan pementasan wayang tentang sejarah lengkap Romo
dan Dhosomoeko, ini terkadang memakan waktu satu bulan.

Sebelum masuk ke tumpukan kayu bakar, Romo bertanya kepada Laksmono


mengapa ia tetap tidak menikah. Laksmono menjawab bahwa dia tidak akan pernah
menikah kecuali dia memiliki istri secantik Sinto. Romo kemudian memberikan janjinya
untuk memberinya Sinto di inkarnasi berikutnya.1)

Inkarnasi ketiga Whisnoe, sebagai Krisna, pangeran Dhorowati. Alviorens


terjadi pada sejarah Bimo, keturunan Romo dan Bathoro Bromo dijelaskan di bawah ini.

Baetlowo, putra Romo dan pangeran Ngajoedhio.

Koentobojo, putra Butlowo dan pendiri Mandhoero (Madoera).

Basukethie, putra Kuntobojo dan pangeran Madhoero. Basudhewa, putra


Basukethie dan pangeran Mandhuro. Basudhewo memiliki dua putra dan satu putri:

Kokrosono, yang berkulit putih, adalah pangeran Mandhoero. Krisno, berkulit


hitam dan merupakan keturunan dari Whisnoe. Kemudian dia menguasai wilayah
Dhorowati dan memerintah di sana sebagai Raja Dhorowati dan pemimpin Pondowos.

Dhewi Sambodro, titisan Cri. Dia menikah, sesuai janji Romo, Hardjoeno, salah
satu Pandowos, dan titisan Laksmono.

Bathoro Bromo sebagai prabu set pangeran dari Giling Wesi Jawa. Putrinya Bramaniwati
menikah dengan Baswarat, putra Bathoro Basoeki. Dari keturunan Tritestho inilah
Bathoro Bromo menggantikannya sebagai pangeran Giling Wesi. Tritestho, pangeran
Giling Wesi. Dia dikalahkan oleh pangeran lain bernama Sellopronoto, yang dibunuh

- 97 -
oleh Whisnoe karena harga dirinya.

Tritestho meninggalkan dua orang putra, bernama Madhoemanoso dan


Madhoedhewo. Madhoemanoso, putra Tritestho pangeran Wirotho. Dia memiliki dua
putra, Sutopo dan Sakutrem, yang putranya bernama Sakri. Sakri memiliki seorang putra
bernama Poelosoro. (hlm. 29)

______________________________

1) Pada inkarnasi berikutnya, Romo menjadi Krisna pangeran Dhorowati, sedangkan Sinto
menjadi saudara perempuannya, bernama Sambodro dan menikah dengan Hardjono,
keturunan Laksmono, dan salah satu Pandowos.

Poelosoro menjadi pangeran Ngastino. Dia menikah dengan Dhewi Ngawis dan
dikaruniai seorang putra bernama Habijoso. Habijoso berhasil menjadi pangeran
Ngastino. Memiliki tiga putra. Dostoroto si sulung yang buta, Pandoe anak kedua yang
lumpuh dan kepala bengkok, dan Ario Romo-Wedhoro ketiga lumpuh. Pandu sebagai
yang paling sedikit kekurangannya, ditakdirkan untuk suksesi kesultanan. Habijoso
menyerahkannya kepada Pandoe dan menjadi Begawan (pertapaan) seperti musuh
bebuyutannya Poelosoro.

Pandoe memiliki lima orang putra, yang disebut “Pendowos”,1) Yudisthiro


pertama juga bernama Dhermowongso, Koentodewo, Dhermadji, Samadji, dan Puntho-
Dhewo. Yang kedua, Werkoedoro, disebut juga Walkoedhoro, Bima dan Seno. Ketiga,
Hardjoeno, disebut juga Raden Ario Djanoko, Danangdjaja, Mintorogo dan Pramadi
(penjelmaan Laksmono, jadi Bathoro Bazoeki). Keempat, Nakolo dan kelima Sadhewo.

Pandoe meninggal ketika Pondowo belum dewasa.

- 98 -
Dhoestoroto mengambil alih perwalian atas anak-anak Pandoe dan juga perwalian
wilayahnya. Agar Dhoestoroto dapat memegang aturan dan menjaganya untuk anak-
anaknya, dia mengirim Pandowo ke tempat lain yang jauh ke dalam hutan untuk
mendirikan tempat tinggal baru, sementara putra sulungnya Soejoedhono
menggantikannya sebagai pangeran Ngastino.

Soejoedhono memiliki 99 saudara, total dengan dia berjumlah 100 orang, yang
disebut “Kurowos”.

Anak-anak Pandoe dengan demikian kehilangan warisan mereka yang sah.


Mereka kemudian mendirikan kerajaan Ngamarto, di mana Yudisthiro memerintah
sebagai pangeran, sementara Krisno (pangeran Dhorowati dan keturunan Whisnoe)
bertindak sebagai pemimpin mereka.

Para pendowos, mengira mereka harus menegaskan hak mereka terhadap


kerajaan Ngastino, dan untuk itu meminta Krisno untuk bersedia menjadi juru runding
dalam hal ini (hlm. 30) Soejoedhono, kepada siapa mereka menawarkan, setengah
wilayah Ngastino, yang menjadi miliknya dengan Pendowos, sebagai warisan dari pihak
ayah. Tetapi Soejoedhono menjawab bahwa tanpa keputusan pedang dia tidak akan
pernah memutuskan sejauh itu.

_______________________________

1) Dalam masa sekarang lima anak laki-laki dari seorang ayah dan seorang ibu juga disebut
“Pandowo”. Keris dengan lima lekukan juga diberi nama “Pendowo”.

Setelah itu terjadilah perang suci yang disebut "Brontoyudho" (Mahabatara), di


mana semua Kurowo, dengan para pemimpinnya dan pangeran Sujoedhono, terbunuh,
dan juga semua putra saudara-saudara Pandowos, sehingga tidak ada yang tersisa kecuali
para cucu Hardjoeno yang belum lahir.1)

- 99 -
Joedisthiro, mantan pangeran Ngamarto, sekarang memegang kekuasaan atas
Ngastino, ia memegang kekuasaan itu selama dua tahun. Saat itu Parikesit putra
Habimanjoe dan cucu Hardjoeno lahir dan ditempatkan di bawah asuhan Krisno
pangeran Dhorowati, di mana Joedhistiro menyerahkan pemerintahan kerajaan kepada
penjaga ini, dijaga untuk bayi Parikesit.

Parikesit adalah pangeran Ngastino dan kemudian digantikan oleh putranya


Hoedhojono (di pegunungan Penanggoengan di kabupaten Mojokerto adalah sebuah
resor tepi laut dengan relief, tahun 899 Caka, dan sebuah prasasti Udayana” (lihat
Verbeek bagian XIVI). (hlm. 31)

________________________________

1) Bronto-Joedho dianggap sangat sakral oleh orang Jawa. Pertunjukan Bronto-Joedho ini tidak
pernah dipertunjukkan, karena konon membawa sial. Berbagai sejarah Pendowos dan
Kurowos, yang sering dikaitkan dalam representasi wayang, adalah tradisi atau adegan salah
satu saudara Pandowos atau salah satu saudara Kurowo. Bahkan misi Krisno ke Ngastino
sebagai negosiator, sehingga awal mula kediaman Grisoe jurusan Surabaya di desa-desa
tertentu di tepi laut, pertunjukan Bronto-Kudho ini terjadi setahun sekali, saat festival dessa
“Slametan atau sedekah desa”. Dia dipegang dengan sangat hormat mis. dalang (pemain atau
pemimpin pertunjukan wayang mengenakan kostum besar dan dihiasi dengan bunga, berbagai
hidangan disiapkan untuk persembahan kepada roh suci.

Dengan berakhirnya pemerintahan Parikesit, sejarah Wayang Purwo pun


berakhir. (Pertunjukan wayang-Purwo biasanya dimulai pada jam 8 malam dan berakhir
pada jam 6 pagi, tanpa jeda. Bisa juga dimulai lebih awal, tetapi harus berakhir sampai
matahari terbit, jadi jam 6 pagi. Sebelum waktu itu, wayang yang ada di pakaiannya tidak
boleh dibawa pergi, karena konon membawa sial. Pakaian itu adalah standar dengan kain

- 100 -
yang direntangkan di atasnya, di mana wayang dipajang. (hlm. 32)

_________________________________

Tentang jenis-jenis wayang

Ada tiga jenis wayang. Pertama: wayang-purwo yang dijelaskan di atas. Boneka
untuk ini terbuat dari kulit dan harus dipajang di depan kanvas yang dibentangkan atau
layar dari linen putih dan dimainkan dengan cahaya di malam hari, karena bayang-
bayang harus dianggap sebagai bayangan nenek moyang orang Hindu. Klaim ini
dikonfirmasi oleh tulisan-tulisan kuno. Kata "Wajang" berarti "Bayangan".

Dalam tulisan-tulisan kuno tersebut di atas ditemukan deskripsi wayang-purwo


terutama bahwa penonton duduk di belakang dan bukan di depan layar, yaitu untuk
melihat semua bayangan, dan bukan wayang itu sendiri. Seperti yang bisa ditemukan,
boneka wayang purwo itu datar/rata. Beberapa orang yang masih bingung mengatakan
bagaimana mungkin gambar orang itu datar/rata dan karenanya bukan boneka berbentuk
manusia. Penafsirannya begini, bentuk-bentuk datar memiliki makna tertentu, yang
sekarang sangat mudah dipahami dan logis, jika ada yang setuju dengan yang di atas,
yaitu wayang, maka bayangan itu datar dan tidak dapat diganti atau diwakili atau
sebaliknya. Untuk itu saya katakan bahwa wayang poerwo "bayangan" yang tidak dapat
ditiru dalam bentuk apapun, seperti yang terlihat dari contoh-contoh berikut.

Dalam masa sekarang, wayang purwo juga dibawakan kembali dalam bentuk
wayang-orang. Peniruan melalui pementasan wayang oleh orang-orang yang masih
hidup ini tentu saja hanya khayalan belaka, tidak dimotivasi oleh apa-apa.

Kedua: Setelah wayang-purwo ada wayang Gedok. Tradisi ini dimulai setelah
berakhirnya pemerintahan Parikesit, dengan demikian setelah berakhirnya sejarah
wayang-purwo.

- 101 -
Wayang-gedok dipresentasikan dengan boneka kayu berbentuk manusia atau
juga oleh orang yang memakai topeng.

Ketiga, wayang-kroetjil. Sejarahnya adalah dari Mojopait dan Mekah, dengan


demikian transisi dari Hindu atau Buddha ke Islam.

Wayang kroetjil terbuat dari kayu berbentuk wayang purwo.

Wayang-gedok dan wayang kroetjil tidak ditampilkan (hlm. 33) di depan kanvas
yang dibentangkan, tetapi pada panggung dan terlihat dari luar dan dalam yaitu penonton
dapat melihat dengan baik dari luar maupun dari dalam, tidak demikian halnya dengan
wayang purwo.

Pementasan wayang gedok dan kroetjil ini berlangsung baik pada siang hari
maupun pada malam hari.

Menurut saya kedua jenis wayang gedok dan kroetjil ini sebenarnya merupakan
tiruan dari wayang purwo, sehingga menjadi angan-angan di kemudian hari. Wayang
purwo secara internal didasarkan pada bayang-bayang (nenek moyang orang Hindu) dan
karenanya disebut "wayang" (bayangan) sementara orang melihat wayang gedok dan
wayang kroetjil boneka itu sendiri.

Kata po-erwo, yang berarti "permulaan atau yang pertama", tentu saja
ditambahkan kemudian, untuk membedakan antara wayang gedok jenis kedua dan
wayang kroetjil jenis ketiga.

Dari penjelasan di atas seseorang dapat meyakinkan diri sendiri bahwa wayang
"bayangan" adalah wayang sederhana dan bukan tiruan.

Ngomong-ngomong, sejauh yang saya tahu, di Jawa Timur dan Jawa Tengah
orang bisa mengatakan bahwa wayang purwo dicintai dan menjadi kepercayaan di hati
dan dalam darah orang Jawa, seolah-olah sudah mendarah daging, bahkan beberapa

- 102 -
tradisi disucikan. Di sisi lain, wayang gedok dan kroetjil hanya untuk hiburan biasa dan
tidak suci.

Sesuatu tentang Gamelan dan Melodi Gamelan

Begitu pula dengan melodi gamelan dan gamelan yang berkaitan dengan wayang
purwo. Ada dua jenis gamelan yang dikenal, yaitu Selendro dan Mataraman. Menurut
tradisi, dewa “Bathjoro-Endro” menemukan gamelan pertama dan dari sini kemudian
menamai gamelan “Soe-endro”. Jenis kedua "mataraman" atau pelok ditemukan di
kemudian hari.

Saelendro terdiri dari lima nada, sedangkan Mataraman terdiri dari tujuh nada,
salah satunya adalah pelok. Oleh karena itu, Mataraman disebut juga “Pelok”. (hlm. 34)

Dalam musik Eropa, diperkirakan ada dua jenis melodi yang halus, misalnya
potongan opera dan sejenisnya, dan melodi yang kasar, seperti march, potongan tari, dan
lain-lain. Juga dalam gamelan ada melodi yang kasar, dan di samping beberapa melodi
lain yang sangat berguna untuk pertempuran, yang disebut melodi pertempuran.

Dalam pementasan wayang, hanya melodi yang halus yang digunakan selama
pertempuran.

Yang halus disebut "gendingan" yang kasar "Giroe" termasuk yang bahkan
disebut Endro, mungkin setelah dewa Bathoro Endro, yang menjadi penemu dan sebelum
pertempuran "Ajak".

Dalam pementasan wayang purwo di kediaman Surabaya dan khususnya di


lingkungan Mojokerto, jika etika diperhatikan, pementasan berlangsung dua kali lebih
lama.1)

- 103 -
Etikanya adalah sebagai berikut: sebelum pementasan dimulai, gamelan harus
dimainkan dengan melodi yang disebut “Babar Laijar”. Babar artinya membuka
gulungan layar.

Selama babak pertama, tiga jenis melodi harus dimainkan. Yang pertama disebut
Djeboek Arum. Djeboek adalah buah pinang kering yang ditambahkan sebagai bahan
masakan sirih. Aromanya harum. Oleh karena itu disebut "kacang pinang harum". Bukan
tidak mungkin maksud sebenarnya adalah: Buah pinang yang harum khusus untuk raja,
karena melodi ini hanya dimainkan saat pangeran muncul.

Dalam melodi pertama ini pangeran berbicara kepada patih, dan segera setelah
percakapan selesai, bagian dari melodi ini juga harus diselesaikan. Jika patih
memberikan jawaban, maka melodi kedua harus dimainkan dan disebut “Pindoo gawee”.
Pindoo berarti dua kali dan gawe berarti "bekerja" jadi bersama-sama "bekerja dua kali"
atau ulangi dua kali. Ini dimaksudkan (hlm. 35) untuk mengatakan bahwa subjek diulang
dua kali, patih pertama mengulangi apa yang dikatakan pangeran kepadanya dan
kemudian memberikan jawabannya.

________________________________

1) Etika ini tidak lazim dalam penyajian wayang gedok dan kroetjil

Saya menemukan kredo pengulangan yang lama ini sangat praktis. Maksudnya
adalah apakah patih mengerti dengan jelas, jika tidak pengulangannya juga akan salah.
Saya selalu melakukan kebiasaan pengulangan ini ketika saya menelepon pejabat
bawahan saya, terutama dalam hal-hal penting, yaitu percakapan saya berulang, dan
sering terjadi bahwa orang salah paham dengan menyimpulkan dari pengulangan yang
benar.

- 104 -
Melodi ketiga dipukul dengan cara singgasana raja dan patih, dll. Meninggalkan
ruang pertemuan. Melodi ketiga ini disebut "Bubar artinya" pergi, menghilang, pergi.

Di bawah ini saya kutip beberapa contoh melodi gamelan.

Setelah ketiga melodi yang disebutkan di atas sebagai etika, melodi-melodi


lainnya pada babak-babak selanjutnya tentunya berkenaan dengan pertunjukan wayang
yang antara lain :

Melodi "Goentoer". Goentoer berarti suara gemuruh mis. pada letusan gunung yang
berapi. Melodi untuk penampilan wayang "Bathoro Goeroe" pangeran para dewa, dan
juga untuk dewa-dewa lain, termasuk Whisnoe.

Melodi "Smeroe". Smeroe adalah gunung Smeroe di Jawa Timur, yang secara mitologi
merupakan tempat kedudukan Bathoro Goeroe. Sebuah melodi untuk penampilan
Pandito (pertapa).

Melodi “Piti-pati”. Piti berarti jeli yang cermat, pati "beku", jadi penguasa yang jeli.
Melodi penampilan Hardjoeno Widjojo, pangeran Maospati dan keturunan pertama
Whisnoe.

Melodi “Soembrang”. Soembrang artinya menantang. Melodi pangeran Romo


Ngajoedhio dan keturunan kedua Whisnoe. Akhirnya Romo tidak bisa menahan
amarahnya lagi, begitulah melodi Soembrang.

Melodi “Ladrang”. Ladrang adalah nama bentuk (hlm. 36) dari kepala sarung keris.
Dibandingkan dengan sarung keris lainnya, ladrang memiliki bentuk membanggakan,
yang sesuai dengan bentuk Krisna. Hal ini mungkin terkait dengan keadaan di zaman
kuno. Melodi untuk Krisno pangeran Dhorowati dan keturunan ketiga Whisnoe.

Melodi “Baujak hanggrem”. Baujak berarti angsa, hanggrem "Berbohong sampai


mendidih". Artinya, ketika angsa sedang merenung, mereka dalam keadaan marah.

- 105 -
Melodi untuk Dhosomoeko, yang selalu dalam suasana hati yang marah.

Melodi "Sapoe Djagat", Sapoe berarti sapu/membersihkan dan Djagat "Dunia". Itu
berarti "membersihkan dunia". Juga melodi untuk Dhosomoeko. Dhosomoeko adalah
seorang yang suka berperang dan penakluk dunia dengan kekuatan gaibnya dan
sehubungan dengan ini makna melodinya adalah “Sapoe Jagat”.

Melodi “Brodjometo. Brodjo adalah senjata, meto adalah “marah”. Seluruh maknanya
adalah "selalu bersenjata dan marah" atau berperang. Juga melodi untuk Dhosomoeko.

Melodi “Rambangwetan”. Rambang berarti "matahari terbit". Artinya ceria, gembira.”


Melodi yang juga untuk Dhosomoeko yang selalu ceria.

Melodi “Ngrangsang”. Ngrangsang artinya “mencapai”. Dalam pementasan wayang


dikatakan “Matahari mencapai gunung”, seperti halnya Rambangwetan yang berarti
“matahari terbit”. Juga melodi untuk Dhosomoeko.

Melodi "Gramang". Gramang adalah semut merah yang bisa menggigit dengan rasa
gatal. Melodi bagi Soeijodhono yang diibaratkan semut ini, karena tindakannya membuat
gatal-gatal di hati manusia.

Melodi “moentjar”. Moentjar adalah "brilian" atau "Mengkilap". Sebuah melodi untuk
Yudisthiro pangeran Ngamarto, yang sabar, sangat sabar, dan penuh toleransi, dan dalam
hal ini menaklukkan semua orang dengan cemerlang.

Melodi “Barongan Sepak”. Barongan adalah "kayu bambu" sepak "meyekop dengan
kaki". Melodi untuk Werkoedhoro salah satu saudara Pendowo. Dalam pertunjukan
dikatakan “jika Werkoedhoro melakukan perjalanan, ia tidak pergi jauh, tetapi melalui
hutan dan sebagainya, menendang dan mengetuk di sekitar pohon dan semak-semak
bambu”. Hal ini memunculkan melodi (hlm. 37) dimaksudkan.

- 106 -
Melodi “Bekoetoet manggoeng”. Bekoetoot adalah jenis merpati yang sangat dihargai
oleh masyarakat Jawa. Terutama ketika suaranya besar, banyak uang yang didapat.
Manggoeng adalah terus menerus berbunyi. Seekor burung berkicau dalam kesunyian,
misalnya di tengah hutan. Melodi ini adalah salah satu saudara Pendowo bagi
Hardjooeno, jika dia berada di hutan.

Melodi “Bojong”. Bojong berarti “Pindah”, tetapi dalam pengertian ini lebih banyak
memindahkan atau membawa atau mengangkut ke tempat lain, terutama dalam urusan
dengan seorang wanita yang terkait dengan melodi ini. Melodi untuk wayang wanita. Di
pesta pernikahan, jika pengantin pria pertama kali mulai tandak (menari) maka menurut
etika melodi ini, “Bojong” dipukul pada gamelan. Dan ingin mengatakan, wanita itu
sedang dipindahkan atau diangkut.

Melodi “Semekar” berarti pembukaan kuncup bunga”. Itu berarti "penuh cinta". Sebuah
melodi juga untuk wayang perempuan.

Melodi-melodi di atas, dan masih banyak lainnya, termasuk dalam melodi-


melodi kuno. Etika yang disebutkan di atas untuk lagu wayang-purwo dan melodi lama
hampir tidak ada saat ini. Ini mungkin terutama karena zaman modern. Penonton hari ini
menemukan bahwa butuh waktu terlalu lama untuk segera melihat wayang yang
diusulkan dan segera mendengar hasil sejarah. Apalagi gamelan masa kini tidak
mengenal melodi lama. Sangat disayangkan, karena dengan cara ini melodi gamelan
lama yang secara historis sangat menarik, berangsur-angsur menghilang karena terkait
dengan sejarah atau mitologi wayang purwo. (hlm. 38)

_________________________

1) Di antara korps gamelan tua mendiang bupati Mojokerto masih ada beberapa yang tersisa,
yang sekarang harus saya ajarkan kepada para zorps muda masa kini, untuk menghidupkan
kembali melodi-melodi lama.

- 107 -
Apakah saya mungkin masih belum mengetahui hal ini, saya pergi dari sana, tapi
saya didasarkan pada yang berikut ini.

Kerajaan Hindu terakhir Modjopait terletak di wilayah Residen Mojokerto


Surabaya. Gamelan milik negara dan wayangpurwo untuk hiburan pangeran Modjopait.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan di Modjokerto masih terdapat sisa-sisa
berbagai adat istiadat dan lain-lain yang berkaitan dengan wayang purwo, gamelan,
melodi gamelan dan etika yang terkait, meskipun hanya sebagian kecil saja. Berkaitan
dengan hal tersebut, saya dapat mengatakan bahwa sumber asal mula wayang purwo,
gamelan, melodi gamelan dan etika yang terkait dapat ditemukan di Jawa Timur dan
khususnya di daerah Modjokerto.

Bahasa Jawa, seperti dapat dilihat, terdiri dari tiga jenis: “Kromo, Madio dan
Ngookoo”. Demikian pula melodi gamelan lama terdiri dari dua atau tiga macam atau
transisi atau melodi, setelah yang pertama mengikuti yang kedua dan setelah itu yang
ketiga, semuanya berbeda satu sama lain, setidaknya di Residen Surabaya dan terutama
di daerah Mojokerto dan berbatasan dengan Sidhoardjo dan Surabaya. Sangat
mengherankan bahwa bahkan di negara-negara kerajaan ketiga jenis melodi atau transisi
ini tidak ada. Mungkin karena asal mula wayangpoerwo dan gamelan dapat ditemukan
di Modjopait Mojokerto dan orang-orang di Jawa Barat dan Tengah tidak mengenal poin-
poin halus yang disebutkan di atas, bahkan di Jawa Timur, kecuali Surabaya.

Para pemain gamelan masa kini mengenal banyak melodi dari negara-negara
kerajaan, tetapi orang-orang yang memahami gamelan, setidaknya di Surabaya, tidak
menganggapnya indah, dan akhirnya menyebalkan untuk didengar. 1)

Catatan berikut juga menunjukkan bahwa dalam hal ini sebenarnya ada sebagian
sisa-sisa di Modjopait di Modjokerto. (hlm. 39)

- 108 -
_______________

1) Saya juga meminta bantalan gamelan saya menghilangkan melodi ini sama sekali.

Peninggalan ini memiliki nilai sejarah.

Di desa Rongkang , Mojokerto, tidak jauh dari Modjopait, ya desa ini pun pasti
terletak di ibukota Mojopait, ada sebuah tempat pemakaman. Menurut pengakuan orang-
orang tua, seorang Dalang (pemimpin atau pemain wayang) pangeran Mojopait
dimakamkan di sana. Tiga puluh tahun yang lalu beberapa pria dan wanita dari berbagai
bagian dan jauh, datang ke sana untuk mendapatkan berkah dari almarhum, bahwa
mereka mungkin menjadi "Dalang terampil, atau pemain gamelan terampil, atau gadis
penari terampil." Orang-orang ini tinggal di pemakaman itu selama beberapa hari dan
malam hari sebagai tawanan. Namun, karena larangan polisi, mereka tidak lagi
ditemukan sekarang ini.

Ketenaran ini masih dikenang oleh orang Jawa. Jika seorang dalang, atau pemain
gamelan atau penari sangat terampil, dikatakan bahwa dia pasti pernah ke Bong Kong.

_____________________

Satu atau dua hal tentang keris dan senjata lainnya

Tidak hanya mengenai asal usul wayangpurwo, gamelan, melodi gamelan dan
etika yang terkait, tetapi juga keris dan senjata lain yang terkait dengannya, kita harus
melihat kerajaan Hindu terakhir Modjopait di Mojokerto.

- 109 -
Tentang dengan hal ini berikut narasi serta kontribusi untuk panduan.

Di tengah sawah desa Wateroempak di distrik Mojokerto, tidak jauh dari


Modjopait, ada sebuah bukit kecil yang konon pernah menjadi tempat menempa pandai
besi "Supa" yang terkenal dan kondang, pandai besi keris dan senjata lainnya pangeran
Browidjojo dari Kerajaan Hindu Modjopait terakhir. Putra Soepo bernama Soero. Bukit
ini pasti juga berada di kota utama Modjopait, serta (hlm. 40) desa Bongkong yang
tersebut di atas.

Di kota Mojokerto masih hidup seorang pandai besi dengan keris dan senjata
lain yang disebut 'Soerokerto', dia dikatakan sebagai keturunan generasi ke-13 dari Soepo
dan oleh karena itu diakui oleh orang lain di sekitar Modjopait.

Dia terkenal dalam semua jenis keris dan senjata lainnya, hal yang tidak terjadi
dengan pandai besi lain dalam perdagangan yang sama.

Leluhurnya yang kesemuanya juga menyandang nama awal “Soera”, sama-sama


pedagang senjata yang sama kemudian tinggal di daerah Modjopait (yang tidak jauh dari
Modjopait) dan juga diakui oleh penduduk lama Modjopait- Mojokerto dan disebut-sebut
sebagai keturunan 'Soepo'. Saya mengenal kakek dari Soerokerto tiga puluh tahun yang
lalu, tetapi dia sudah sangat tua.

Sampai hari ini orang mencari barang antik dari Modjopait, terutama keris "keris
terkenal dari Modjopait".

Kadang-kadang keris dan tombak atau senjata lain ditemukan selama


penggalian, misalnya bekerja dengan tempat tidur alang-alang, tetapi mereka mungkin
bukan yang diproduksi oleh Soepo yang terkenal itu. Menurut tradisi, ia hanya membuat
beberapa keris untuk pangeran Mojopait, termasuk yang terkenal “Djongbiroe, Sengkelat
dan Sabuk-Inten”. Nama-nama tersebut, berhubungan dengan bentuknya, yaitu
motifnya, disebut Djongbiroe, Sengkeat, dan Sabuk-Inten, yang dahulu disucikan oleh

- 110 -
orang Jawa hingga saat ini. Saat meramal, mereka tidak berani meniru motif ini, atau
memakai keris dengan motif itu.

Pandai besi Soerokerto di atas mewarisi kitab dari nenek moyangnya, yang di
dalamnya dijelaskan jenis-jenis senjata mulai dari senjata pada zaman Bathoros (Dewa)
hingga sejarah wayang purwo.

Ketika saya bertanya, dia memberi saya deskripsi (hlm. 41) dari beberapa senjata
tersebut sebagai berikut :

Senjata yang diproduksi dan dibawa oleh dewa Bathoro Whisnoe, Tjokro berupa
anak panah.

Pasopati merupakan keris, berbentuk lurus dan rata, sesuai dengan ketentuan.

Koentobasworo panah.

Tenggolo puncak berbentuk kait yang dibuat dan dikenakan oleh Dewa Bathoro
Sekadie:

Sepukal Pilam-Oepik : sebuah keris, berbentuk lurus dan berbentuk lempengan


sesuai dengan ketentuan.

Limpoeng : adonan yang pendek dan runcing di kedua sisinya.

Godhobindie : gada.

Bandem: sepotong besi bulat dengan pegangan.

Diproduksi dan dipakai oleh Dewa Bathoro-Romo-adi : Bondo : berbentuk seperti mata
bor.

- 111 -
Boesoer : puncak, berbentuk lurus dan apalagi persegi, bukan datar. Bagian bawah
dikelilingi oleh 8 puncak yang lebih kecil dengan bentuk yang sama, jadi bersama-sama
9 puncak.

Gerbong : semacam kereta dengan senjata.

Diproduksi dan dipakai oleh Dewata Bathoro Bromo Kendali :

Trie Soelo : tombak dengan tiga ujung runcing.

Aloe-aloe : aloe adalah cap beras, kayu berbentuk silinder dengan panjang satu meter,
yang dipegang di tengah, dan dengan itu cap beras. Dengan cara ini senjata Aloe-aloe
terlihat, dan terbuat dari besi, tetapi hanya memiliki sudut alih-alih berbentuk silinder
misalnya lima atau heksagonal atau lebih. Soerokerto, pandai besi tersebut di atas,
mengatakan kata "sudut" dalam hal ini "blimbingan" berarti sudut seperti halnya bentuk
buah blimbing.

Bethok: keris yang bentuknya lurus dan rata sesuai modelnya,

Lembing: memiliki standar sekop,

Aloe-goro : puncak, bujur sangkar, runcing dan runcing pada keempat sisinya, memiliki
bentuk buah blimbing yang runcing,

Dibuat dan dikenakan oleh dewa Bathoro Poerbogenie: (hlm. 42)

Dhoedhoek : puncak dengan bentuk lurus dan datar sesuai model,

Totok : puncak berbentuk pahat,

Koesnowarek : puncak lebar di tengah,

Suropatejo : anak panah.

- 112 -
Diproduksi dan dikenakan oleh Dewa Bathoro Honggodjali:

Lenggoro: iris lurus dan persegi bukan datar,

Bedomo : sable pendek tapi lebih lebar,

Soedji-kentjeng : puncak lurus dan bujur sangkar datar,

Soedji melihat : disebut Oeloe Ngelangi, puncak dengan kurva,

Baik 3 hingga 5 hingga 7 atau lebih, juga plat berbentuk persegi datar. Dia menyandang
nama Olea Ngelangi, karena dia menyerupai ular dalam bentuk persegi. Oela adalah ular
yang berenang dan ngelangi, sehingga "ular berenang".

Tjis Soetji : sama seperti Tri Soelo, tapi bujur sangkar bukannya datar.

Djongbiru, Sengkelat, dan Sabukints yang disebutkan di atas bukanlah salah satu senjata
yang dibuat dan dibawa oleh para dewa, tetapi dibuat atas perintah dan mengikuti model
pangeran Mojopait dan dibawa oleh mereka.

Selain yang disebutkan di atas, masih banyak jenis keris dan senjata lainnya. (hlm. 43)

- 113 -
GLOSARIUM

Gendingan : Melodi halus dalam gamelan

Giru : Melodi kasar dalam gamelan

Wayang gedok : Boneka kayu berbentuk manusia atau orang yang

memakai topeng khusus dalam lakon wayang

Wayang krucil : Wayang krucil terbuat dari kayu berbentuk wayang

purwo.

Saelendro : melodi gamlean yang terdiri dari lima nada

Mataraman melodi gamelan yang terdiri dari tujuh nada, salah

satunya adalah pelok. Oleh karena itu, Mataraman

disebut juga “Pelok”.

- 114 -
DAFTAR PUSTAKA

Behrend, T.E. (1998). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan


Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia

Catford, J.C. (1965). A. Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University


Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Indonesia.go.id. (2020) Wayang Purwa, dari Batu hingga orang.


https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/763/wayang-purwa-
dari-batu-hingga-orang

Karsono H Saputra. (2008). Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Larson, M.L. (1984). Meaning Based Translation: A Guide to Cross-Language

Equivalence. Lanham & London: University Press of Amerika.

Lilie Suratminto. (2005). Tata Bahasa Belanda Lengkap, Mudah dan Praktis : untuk
kemahiran membaca, berbicara, dan menulis. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.

Moeimam, Susi dan Hein Steinhauer. (2005). Kamus Belanda – Indonesia. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Robson, S. O. (1994). Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta : RUL.

Siti Baroroh Baried. (1985). Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Wibisana, Bayu dan Nanik Herawati. (2018). Mengenal Wayang. Klaten : PT. Intan
Pariwara.

Wojowasito, S. (2001). Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta : PT. Ictiar Baru van
Hoeve.

- 115 -
. (1999). Koenen Woordenboek Nederlands. Utrecht : Koenen Woordenboeken.

. (2003). Van Dale Pocketwoordenboek Nederlands als tweede taal (NT2). Utrecht :
van Dale.

- 116 -
LAMPIRAN

Gambar 1. Cover naskah H XL

118
- 117 106
-
Gambar 2. Awal teks naskah H XL

- 118 -
Gambar 3. Halaman akhir naskah H XL

- 119 -
- 120 -

Anda mungkin juga menyukai